Minggu, 16 September 2018

Cerita Silat Terbaru : Panah Kekasih 1

============

baca juga:
Cerita Silat Terbaru : Panah Kekasih 1

Angin utara berhembus kencang, salju turun dengan derasnya membuat seluruh langit berwarna kelabu, udara terasa dingin membeku.
Ditengah hujan salju yang amat deras, terlihat seekor kuda dilarikan kencang memasuki kota Poo-ting.
Derap kaki kuda yang ramai menimbulkan percikan bunga salju yang berhamburan sepanjang jalan kota.
Mendadak diiringi suara ringkikan panjang, kuda itu berhenti berlari, berhenti persis disisi sebuah bangunan rumah yang luas dan megah.
Diatas pintu gerbang yang berwarna hitam, dibawah tetesan air beku dari wuwungan rumah, tertancap sebuah panji besar beralas hitam dengan gambar seekor singa merah, berkibar kencang terhembus angin.
Crang yang berada diatas kuda itu segera melompat turun dari kudanya, tanpa mengetuk pintu, tanpa berteriak memanggil, ia menjejakkan ujung kakinya ke tanah dan segera melayang masuk ke dalam halaman rumah.
"Saudara Say, kau ada di mana?" teriaknya sambil membersihkan jenggot dari bunga salju.
"Siapa?" dari balik ruang tengah bergema bentakan nyaring.
Pintu gedung segera dibuka lebar, secerca cahaya lentera menyinari permukaan halaman yang penuh salju.
Seorang lelaki berwajah merah bermantel halus melangkah keluar dengan tindakan lebar.
Begitu melihat sang pendatang, berkilat sepasang matanya, dengan lantang bentaknya: "Tham samko, kenapa kau muncul disini" Cepat masuk, minumlah dua cawan arak hangat lebih dahulu" Wajahnya kelihatan girang dan nadanya jauh lebih halus.
"ham Siau-hong berdiri mematung dengan wajah murung, sahutnya dengan berat: "Saudara Say, apakah kau telah menerima Si-sin-tiap (surat undangan dewa kematian)?" Tampak tubuh lelaki bermuka merah itu bergetar keras, dengan wajah berubah ia mendongakkan kepala memandang sekejap ke luar ruangan, seakan sedang memeriksa apakah disekitar wuwungan rumah ada manusia atau tidak.
Kembali "ham Siau-hong berkata: "Walaupun tempat ini gelap tanpa rembulan, namun hari ini adalah saat bulan purnama, saat undangan dewa kematian dan panah kekasih berulah, bila ditempat saudara Say tak ada kejadian apa apa, sekarang juga aku akan merangkat ke Bang-tok-shia untuk periksa keadaan disitu!" Lelaki bermuka merah itu mengerutkan sepasang alis matanya yang tebal kemudian sahutnya: "Saudara Iham, tak seorangpun bisa menduga ditempat mana Undangan malaikat kematian akan muncul.
apakah kau tidak merasa lelah dengan berlarian tanpa tujuan?" "ham Siau-hong menghela napas panjang.
"Aaai, semenjak Sam-siang thayhiap Jay Peng tewas diujung panah kekasih, kami empat bersaudara telah bersumpah akan melacak jejak undangan maut dan panah kekasih ini hingga tuntas, sekalipun harapan untuk itu amat tipis, namun kami tetap akan berusaha dengan sepenuh tenaga, paling tidak demi menjaga kelestarian umat persilatan di dunia ini" Lelaki berwajah merah itu tertunduk lesu, ia nampak sedih sekali.
'II "Saudara Say, jaga dirimu baik baik, aku harus segera pergi kata "ham Siau-hong lagi sambil menjura.
"Iham samko, tunggu sebentar!" Namun "ham siau-hong telah melesat dan melompat keluar dari halaman rumah.
Menyusul kemudian terdengar suara derap kaki kuda yang santer berkumandang menjauh dari situ.
Dengan satu gerakan cepat lelaki berwajah merah itu melompat ke depan pintu gerbang, mengawasi bayangan manusia dan derap kuda yang makin menjauh tiba tiba sekilas perasaan sedih melintas di wajahnya, gumamnya: "Nama besar Jin-gi suhiap (empat pendekar kesetiaan) ternyata memang bukan nama kosong belaka" "ham Siau-hong melarikan kudanya sangat kencang, dia bergerak menuju ke kota Bong-tok.
"ak selang berapa saat kemudian hutan diluar kota telah muncul di depan mata, walaupun ditengah kegelapan malam namun cahaya lampu tampak bersinar terang dari balik sebuah bangunan ditengah hutan.
Cahaya yang terang hampir menyinari seluruh permukaan salju dan ranting dahan pepohonan.
Diam diam "ham Siau-hong menghembuskan napas lega, sekilas senyuman muncul diujung bibir, pikirnya: "Ternyata watak It-kiam-ceng-ho-suo (Pedang yang me ng-getarkan utara sungai) sama sekali tidak berubah, walau sudah menjelang tengah malam, ia masih menggelar pesta pora bersama teman temannya, tak heran kalau gedung bangunannya masih bermandikan cahaya lampu" Biarpun ditengah hembusan angin dingin, secerca perasaan hangat muncul dari lubuk matinya.
Setelah melompat turun dari kudanya, ia berlari menuju pintu gerbang dan menggedornya.
Ternyata pintu hanya dirapatkan tanpa dikunci, satu ingatan cepat melintas lewat, segera teriaknya nyaring: "Thio-heng, siaute "ham Siau-hong datang berkunjung!" Suasana tetap hening, tiada suara jawaban yang terdengar kecuali tumpukan salju diatas dahan yang berguguran, biarpun ruang gedung bermandikan cahaya, ternyata tak terdengar sedikit suara pun.
Zercekat perasaan "ham Siau-hong, buru buru dia menerjang masuk ke ruang dalam.
Dibawah cahaya lentera, suasana tetap hening, sepi, tak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Yang terdengar hanya kertas jendela yang gemerisik terhembus angin kencang.
"ham Siau-hong semakin terkesiap, tubuhnya mulai gemetar keras, selangkah demi selangkah dia memasuki halaman depan, mendekati ruang utama dan membuka pintu perlahan.
Suasana didalam ruang tengah terasa jauh lebih terang, seorang kakek berjenggot panjang duduk disebuah bangku terbuat dari kayu cendana, bangku itu berada tepat ditengah ruangan.
Angin kencang berhembus lewat, mengibarkan jenggot panjang kakek itu, namun suasana tetap hening, tak ada suara, tak ada gerakan tubuh.
"Thio toako, kau.........." jerit "ham Siau-hong keras.
"iba tiba pandangan mata serta jeritannya menjadi kaku, membeku keras, ia saksikan diatas dada kakek itu telah tertancap dua batang panah pendek sepanjang lima inci, sebatang panah merah membara bagaikan darah panas dari kekasih dan sebatang panah lain berwarna hitam pekat bagai biji mata seorang kekasih.
Sepasang panah itu menancap berjajar diatas ulu hatinya.
Ketika dicabut keluar, terlihat diatas panah pendek itu tertera berapa huruf yang kecil lagi lembut: "Panah Kekasih!" Sekalipun jenggot panjang kakek itu masih berkibar terhembus angin, namun wajahnya telah dingin kaku bahkan memperlihatkan mimik yang menakutkan, seolah olah menjelang kematiannya ia telah menyaksikan sesuatu ancaman horor yang mengerikan.
Dalam waktu singkat "ham Siau-hong merasakan hawa dingin muncul dari telapak kakinya dan menusuk ulu hatinya, ia berdiri mematung, sementara air mata jatuh bercucuran.
Thio toako, siaute datang terlambat..........
II gumamnya. Belum selesai ia berkata, mendadak dari belakang tubuhnya terdengar seseorang tertawa dingin.
"Siapa bilang terlambat" Kau masih bisa menyusulnya!" Dengan perasaan tercekat "ham Siau-hong membalikkan tubuhnya, tampak selembar kertas merah melayang datang dan tepat terjatuh dihadapannya.
Ketika ia sambar kertas tadi, ternyata undangan itu kosong tanpa tulisan, yang tertera hanya lukisan sebuah tengkorak yang sedang menyeringai.
Undangan berwarna merah dengan lukisan tengkorak berwarna hitam, hanya sepasang kelopak mata tengkorak itu yang memancarkan warna kehijau hijauan.
"ham Siau-hong gemetar keras, tanpa sadar ia mundur sempoyongan.
Kembali terdengar suara tertawa dingin bergema dari belakang tubuhnya, cepat ia membalikkan badan, tampaklah sepasang mata berwarna hijau menyeramkan sedang mengawasi tubuhnya tanpa berkedip.
Kecuali sepasang mata berwarna hijau itu, dia seakan tak bisa melihat apa apa lagi.
Karena pada saat itulah sepasang anak panah pendek berwarna merah dan hitam telah menghujam di ulu hatinya tanpa menimbulkan sedikit suarapun.
Sepasang panah itu muncul tanpa disangka, persis seperti kerlingan mata dari sang kekasih, yang membuat kau tak bisa menyangka dan kau terpaksa harus menerimanya dengan perasaan lega.
Co0oo oo0oo Matahari senja telah tenggelam dibalik bukit, cahaya sore menyinari seluruh jagad, menyoroti pula kuil "aer-si (kumbum) di propinsi Cing-hay yang sudah tersohor diseantero jagad.
Disisi selatan aula utama, di sebuah tanah lapang yang luas, tampak manusia berjejal amat ramai, mereka datang untuk menyaksikan upacara tar ian memuja dewa yang segera akan dilakukan pengikut agama Lhama.
Sekeliling tanah lapang itu bertebar bangunan kuil berwarna kuning emas, kawanan lautan manusia itu nyaris mengelilingi seluruh halaman kuil.
Dalam ruang aula yang luas dan lebar, dengan alas permadani berwarna merah darah, berdiri berjajar sepuluh orang lhama berjubah kuning, perpaduan warna merah dan kuning yang mencolok membuat suasana disitu terasa jauh lebih ceria.
Ditengah kerumunan manusia yang sedang bergembira, selain kelompok pendeta lhama itu, terdapat pula seorang kakek berjubah ungu, berjenggot panjang, berdiri ditengah kerumunan orang banyak, berdiri dengan wajah keren penuh wibawa, penampilannya tak ubahnya seperti bangau ditengah kerumunan ayam.
Sementara itu, suara musik yang sederhana tapi aneh berkumandang memenuhi udara, diikuti kemudian tampak empat belas orang lhama berjubah kuning, dengan membawa alat musik seperti tambur dan kencrengan munculkan diri dengan sangat teratur.
Baru saja sinar mata kakek berjubah ungu itu berkilat, tiba tiba dari belakang tubuhnya terdengar seseorang menegur: "Apa benar yang ada didepan adalah Gui Cu-im, Sui Jiko dari Jin-gi-su-hiap (empat pendekar kebajikan dan kesetiakawanan)?" Ketika Gui Cu-im berpaling, ia jumpai seorang kakek berkopiah kain sedang berjalan menghampirinya, mendekat sambil menyingkirkan kemurunan orang disekelilingnya.
"Ma-koan heng" seru kakek berjubah ungu itu sambil menggenggam tangannya, "kenapa kau bisa muncul disini?" "Kebetulan saja siaute hendak menuju ke dataran Tionggoan, karena itu melewati tempat ini" sahut kakek itu tertawa, "tapi....
apa pula sebabnya Gui jiko datang kemari" Bikin aku bingung saja" Dalam pada itu ditengah tanah lapang yang berlapis bebatuan sebesar telur bebek telah muncul empat orang bertopeng setan cilik, topeng berwarna kuning dan hijau, mereka mulai melakukan tarian yang bebal mengikuti suara irama musik.
Gui Cu-im menyapu sekejap sekeliling arena, kemudian katanya sambil tertawa: "Sudah lama aku dengar kalau kaum lhama di wilayah sini memiliki kepandaian silat yang tak terkirakan hebatnya, sudah lama aku pengen melihatnya, selain itu........" Setelah menarik kembali senyumannya dia melanjutkan: "Akupun ingin memeriksa, apakah undangan kematian dan panah kekasih yang sudah menjadi wabah penyakit mematikan bagi umat persilatan, telah menyebar pula sampai disini" Berubah hebat paras muka kakek berkopiah kain itu.
"Biarpun tinggal jauh diluar perbatasan, namun dari perbincangan para jago dan pengembara sempat kudengar juga kisah tentang undangan maut serta panah kekasih.
"ak disangka kedatangan Gui jiko adalah lantaran urusan ini.
Masa sih surat undangan dan anak panah itu benar benar menakutkan?" Saat itu, setan setan cilik yang berada di tengah lapang telah melompat balik ke dalam aula, sementara empat orang manusia tinggi besar seperti malaikat raksasa dengan wajah kuning mas dan jubah berwarna biru mulai menari nari, semakin gencar suara irama yang berbunyi, mereka mencak mencak makin keras.
Ditengah suara tambur dan gembrengan yang memekikkan telinga itulah Gui Cu-han menghela napas panjang, ujarnya dengan suara berat: "Sepanjang hidup belum pernah siaute dengar tentang senjata rahasia yang begitu misterius dan menakutkan seperti panah kekasih, tapi dalam kenyataan, tak sampai setengah tahun sudah ada puluhan orang jago kenamaan yang tewas diujung panah tersebut, dan anehnya, hingga sekarang tak seorang manusia pun di kolong langit yang mengetahui asal usul senjata itu" "Aaah, hanya dua batang panah pendek pun bisa menimbulkan horor sehebat ini" Satu kejadian yang sungguh diluar dugaan, mungkinkah ujung panah itu beracun" Mungkinkah racun jahat itu tak bisa dipunahkan" Sekalipun senjata rahasia itu amat beracun pun, semestinya jago yang berilmu tinggi masih mampu mnghindarinya, kenapa tak seorang pun bisa berkelit?" Ketika ke empat kim-kong mundur, sekarang yang muncul adalah empat orang dengan topeng setan bengis berbentuk binatang, ada yang berkepala kerbau ada pula yang berkepala rusa, mereka menari dengan kalapnya, seperti orang kesurupan saja.
Sambil menghela napas kembali Gui Cu-im berkata: "Aku sendiripun dibuat tak habis mengerti, tahukah kau jagoan senjata rahasia beracun nomor wahid di kolong langit, Tong bersaudara dari Siok-tiong pun telah menemui ajalnya oleh panah kekasih pada tiga bulan berselang.
Dalam dunia persilatan bukannya tak ada orang yang bisa memunahkan racun jahat itu, sayang yang mampu hanya satu orang saja.
Bila tiga jam setelah terkena panah itu sang korban segera dihantar ke rumah orang tersebut, ditanggung dalam sepuluh hari, kesehatannya akan pulih kembali.
Sayangnya jejak panah kekasih sukar dilacak, hari ini berada di timur, mungkin esok sudah dibarat, akhirnya sampai sekarang hanya tiga sampai lima orang saja yang berhasil tertolong nyawanya" Kakek berkopiah kain itu menghela napas sedih, kedua orang itupun saling bertatap muka tanpa berbicara lagi.
Sementara itu suara tambur dan gembrengan sudah makin lirih, senja lewat malampun menjelang tiba, dibalik kegelapan malam yang mencekam terlihat bulan purnama muncul dari balik awan.
Dibawah cahaya rembulan yang redup, ditengah irama musik yang berat, empat orang bertopeng tengkorak muncul ditengah ruang aula sambil menggotong sebuah kotak kayu, ditengah kotak terdapat sebuah patung manusia yang dibuat seakan siap menerima hukuman pacung.
Begitu kawanan manusia bertopeng tengkorak munculkan diri, tarian pemujaan berlangsung makin memuncak, irama musik pun berubah jadi makin lambat dan berat.
Waktu itu, walaupun Gui Cu-im dan kakek berkopiah itu sedang sedih dan risau memikirkan keselamatan dunia persilatan, tak urung mereka menengok juga ke tengah aula.
Dari balik ruangan kembali berjalan keluar empat orang kim-kong, delapan belas Lohan, dewa II kerbau, dewa menjangan serta `dewa lainnya ditambah dua orang kakek bertopeng yang muncul sambil menggandeng lima orang bocah yang mengenakan topeng juga.
Setelah rombongan `manusia' tadi, dibelakangnya mengikuti seorang berkepala kerbau berjubah berkilat yang berdandan sebagai Ciang-mo goansui (Jenderal penakluk iblis), Pada bagian kepalanya terdapat sepasang tanduk dari emas yang berkilauan, sementara ditangannya menggengam sebilah golok baja yang sangat mencolok mata.
Dalam waktu singkat suara musik ditabuh makin kencang, kawanan iblis dan setan pun menari makin menggila, sementara ke empat setan tengkorak dengan membawa kotak kayu perlahan lahan berjalan menuju ke hadapan sekawanan lhama yang berdiri dengan wajah serius.
Bersamaan dengan itu, puluhan batang obor diangkat bersama sama dari empat penjuru, menerangi ruang tengah.
Berbareng dengan berkilaunya cahaya obor, tiba tiba dari balik mata ke empat tengkorak itu memancarkan sinar kehijau hijauan yang menyeramkan.
Irama musik ditabuh semakin keras, ciang-mo goansui membalik tubuh sambil berjalan menuju ke depan kotak kayu, dengan sekali tebasan golok, boneka berbentuk manusia itu sudah dibacok hingga terbelah jadi dua.
Zempik sorak segera bergema menggetarkan udara.
Mendadak Sui Cu-im merasakan hatinya bergetar keras, ternyata disaat golok itu berkilat tadi, ia telah menyaksikan selembar kartu undangan berwarna merah darah tertempel diatas boneka manusia itu.
Setelah menyapu sekejap sekeliling ruangan, tanya pemuda itu: "Lim-heng, sudah mendapat berita tentang ayahku?" Dengan kening berkerut Lim Luan-hong menghela napas.
"Aku telah menaruh perhatian khusus tentang masalah ini" sahutnya, "kemarin Lau-san-sam-gan (tiga angsa liar dari bukit Lau-san) lewat disini, mereka bertiga baru datang dari wilayah Ciat-tang, disitu pun tak ada orang yang pernah bertem u atau mengetahui jejak ayahmu, tapi di bawah bukit Thian-tay-san mereka justru bersua dengan Say-sang-taihiap (pendekar dari luar perbatasan) Lok Tiau-yang serta seorang Bu-tong tojin berusia muda yang terburu buru sedang menuju selatan, kelihatannya mereka sedang bergerak menuju ke arah bukit Gan-tong-san" Pemuda itu mengalihkan pandangannya keluar jendela, lalu katanya lagi: "Hubungan persahabatan antara Lok tayhiap dengan paman ke empatku sangat akrab, sejak kematian paman ke empat, dia pasti akan melakukan suatu tindakan" Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya: "Yang kau maksud sebagai Lau-san-sam-gan apakah ke tiga saudara keluarga Ho yang tersohor dalam dunia persilatan karena mengandalkan pedang berkait itu" Mengapa mereka bertiga melakukan perjalanan terburu buru" Apa tujuannya?" "Mereka sedang terburu buru pulang ke rumah!" "Semua sudah pulang, semua sudah pulang .
. . . . . .." gumam pemuda itu setelah termangu sesaat.
Kembali Lim Luan-hong menghela napas.
"Kalau tidak pulang lantas mau apa" Sejak Gui jihiap tewas di Cinghai, Tham samhiap tewas di Po-teng, Ch suhiap tewas di Diam-sui-cing, hampir semua jago persilatan tahu kalau nyawa mereka sudah berada diujung tanduk, bahkan pertemuan besar Hoa-tiau-tayhwee yang setiap tahun pasti diselenggarakan Hoa-san-jit-ing (tujuh kepodang dari bukit Hoa-san) pun dibatalkan untuk tahun ini, aaaai! Mong-pek, terus terang kukatakan, kalau bukan lantaran ingin mempertahankan tempat ini sebagai ajang pertukaran berita antar sesama anggota persilatan, akupun sudah berniat mengundurkan diri dari keramaian dunia" Pemuda itu tertawa dingin tanpa menjawab, sekilas cahaya kegagahan melintas diwajahnya.
Lim Luan-hong memandang pemuda itu sekejap, tiba tiba bisiknya: "Mong-pek, kuanjurkan kau untuk sedikit menutup diri pada saat seperti ini, menurut pantauan situasi saat ini, tampaknya panah kekasih bukan disebar oleh satu orang saja, yang lebih menakutkan lagi adalah kau sama sekali tak dapat menduga manusia mana yang didalam sakunya menyimpan senjata rahasia yang sangat menakutkan itu, siapa tahu dia adalah orang yang berada disampingmu, siapa tahu juga dia adalah .
. . . . . . .." Dengan kening berkerut pemuda itu tertawa keras, ujarnya: "Hahahaha .
. . . .. siapa tahu aku Tian Mong-pek pun memiliki sepasang anak panah kekasih .
. . . . .. saudara Lim, kau harus hati hati, cepat ambilkan arak untukku" Gelak tertawa itu seketika memancing perhatian banyak orang, hampir sebagian besar pengunjung berpaling ke arahnya, dalam keadaan begini Lim Luan-hong hanya bisa tertawa getir, cepat dia perintahkan orang untuk menyiapkan arak.
Setelah berhenti tertawa, kembali Tian Mong-pek mengalihkan pandangan matanya ke bayangan punggung sang kakek yang duduk disudut loteng, tanyanya lagi: "Siapa orang itu?" Berubah wajah Lim Luan-hong, belum sempat menjawab, kakek disudut loteng telah menegur: "Hei bocah cilik, masa kau tidak kenal aku?" Suaranya kering, tak bertenaga, seolah orang yang baru sembuh dari sakit parah.
Tian Mong-pek tertegun, sahutnya: "Aku merasa sangat asing!" Kakek disudut loteng meletakkan kembali cawannya sambil perlahan berpaling, tampak mukanya kurus kering dengan sepasang mata tak bersinar, berapa lembar jenggot menghiasi dagunya.
"Bocah cilik, kalau berbicara sedikitlah menghormati orang lain, sekalipun kau memiliki seorang ayah yang baik, bukan berarti kau boleh pentang cakar unjuk taring terhadap orang lain, membuat muak orang yang melihat saja" Berubah paras muka sebagian besar pengunjung yang memenuhi ruang loteng.
Tian Mong-pek menarik muka sambil bangkit berdiri, tampaknya ia dibuat sewot oleh perkataan itu.
Buru buru Lim Luan-hong menarik ujung bajunya sambil berbisik ketakutan: "Mong-pek, buat apa mencari gara-gara, cepat duduk!" Dari mimik muka serta nada suaranya, jelas dia menaruh rasa jeri dan sungkan terhadap kakek sederhana itu.
Berkilat sepasang mata Tian Mong-pek, tegurnya ketus: "Hei orang tua, kaupun harus belajar menghormati orang lain, sekalipun usia mu sudah lanjut, bukan berarti memiliki suatu kelebihan yang bisa dibanggakan atau disombongkan didepan orang" Beberapa kali Lim Luan-hong menarik ujung bajunya, namun pemuda itu seakan tidak merasa.
Terdengar kakek disudut loteng itu tertawa dingin.
"Anak pintar, berani amat kau memberi pelajaran kepadaku, memang kau sangka dikemudian hari tak bakal mohon bantuanku?" Selesai berkata kembali ia berpaling, mengangkat cawannya dan tidak lagi memandang ke arah Tian Mong-pek.
Melihat itu Lim Luan-hong menghela napas panjang, bisiknya: n "Mong-pek, tahukah kau, ulahmu telah membuat kesalahan besar terhadap dia orang tua .
. . . . . .. Belum selesai perkataan itu, mendadak terdengar seseorang membentak merdu: -- Ayah, siapa yang ingin memberi pelajaran kepada kau orang tua?" Sesosok bayangan manusia berkelewat lewat secepat hembusan angin, tahu tahu diatas loteng telah muncul seorang gadis cantik bergaun merah yang membungkus rambutnya dengan kain merah pula hingga sekilas tampak bagai segumpal bara api.
Dengan matanya yang bening dia memperhatikan sekejap wajah Tian Mong-pek, kemudian bentaknya: "Jadi kau orangnya?" Melihat orang yang muncul hanya seorang gadis, dengan kening berkerut Tian Mong-pek duduk kembali di bangkunya.
"Nah begitu baru benar Mong-pek" bisik Lim Luan-hong, "buat apa musti menyakiti hati orang .
. . . . . .." Siapa tahu belum habis dia berkata, kembali Tian Mong-pek telah bangkit berdiri sambil berteriak: "Betul, memang aku orangnya, memang hanya ayahmu yang boleh mengumpat orang sesukanya sementara orang lain tak boleh berbicara?" Dasar wataknya temperamen, apa yang dipikir langsung saja diungkap keluar.
Berkenyit sepasang alis mata gadis berbaju merah itu, katanya sambil tertawa dingin: "Sudah kuduga pasti kau!" Sembari berkata, dia melangkah maju menghampiri Tian Mong-pek.
Biarpun sebagian besar pengunjung yang berada dalam ruang loteng kenal baik dengan Tian Mong-pek, saat ini ternyata mereka hanya berpeluk tangan belaka.
Dengan wajah berubah buru buru Lim Luan-hong berseru: "Nona Chin .
. . . . . . .." Ketika nona berbaju merah itu menghentikan langkahnya, kembali Lim Luan-hong berkata: "Chin lo-sianseng, saudara Tian adalah putra dari Gip-si-uh (Hujan mendadak) Tian Huan-uh, Tian tayhiap, sebetulnya peristiwa hari ini hanya urusan kecil, buat apa .
. . . . .. aaai!" Ternyata kakek disudut loteng itu acuh tak acuh, jangan lagi menyahut, berpaling pun tidak.
Sambil tertawa dingin Tian Mong-pek segera berkata: "Biarpun aku tak suka berurusan dengan kaum wanita, akan tetapi...." "Akan tetapi kenapa?" tukas si nona berbaju merah.
"Akan tetapi bila kau berani maju selangkah lagi ke hadapanku, hari ini aku akan mewakili angkatan tua untuk memberi pelajaran kepadamu" Il "Bagus, bagus....
seru nona berbaju merah itu sambil tertawa dingin, ia maju selangkah lalu II bentaknya, "akan kulihat sampai dimana kehebatanmu .
. . . . . . .. "Tunggu sebentar!" tiba tiba Lim Luan-hong membentak nyaring.
Ketika semua orang berpaling, tampak ia sedang menunjuk ke arah sepasang lian yang tergantung diatas dinding tanpa bicara.
Nona berbaju merah itu mendongak dan melihat sejenak, kemudian katanya dingin: "Ingin berkelahi silahkan keluar, Hmm, hmmm, apa apaan itu, memangnya hanya lantaran sepasang lian itu, lantas aku jadi keder dan ketakutan" Dimana nona ingin berkelahi, disana aku akan turun tangan, siapa berani mencampuri urusanku?" Berubah paras muka semua orang, tapi Lim Luan-hong sambil menahan diri kembali berkata: "Nona Chin, tahukah kau, siapa yang telah menulis sepasang lian itu?" "Bu-lim-tee-it-hiap .
. . . . .. Hmm, Hmm, besar amat lagaknya, siapa itu .
. . . . . .." Kakek kurus kering yang duduk dipojok loteng itu tiba tiba berpaling, tegurnya dengan wajah berubah: "Ki-ji, jangan kurangajar, karena disini terdapat tulisan berharga dari tayhiap, lebih baik kau segera duduk kembali!" Nona berbaju merah itu agak tertegun, tapi akhirnya dengan wajah mendongkol ia melotot sekejap ke arah Tian Mong-pek.
"Sudahlah, cukup, cukup" ujar Lim Luan-hong kemudian sambil tertawa, "biarlah hari ini siaute jadi bandar dan mentraktir kalian semua dengan secawan arak" Sementara itu si nona berbaju merah itu sudah balik ke sisi ayahnya dengan mulut cemberut, sambil menghentakkan kakinya ia berseru jengkel: II "Kecuali kau tidak turun dari loteng ini .
. . . . . . . . .. "Kalau begitu lebih baik sekarang saja........" sela Tian Mong-pek dengan kening berkerut.
Sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar seseorang menjerit kaget: "Tu lo-sianseng .
. . . . .. Tu Lo-sianseng . . . . . .. kau berada dimana?" Menyusul kemudian suara lain berteriak pula dengan nada keras: "Tian kongcu .
. . . . .. Tian kongcu . . . . .. kau berada dimana?" Tian Mong-pek tercekat, begitu pula semua pengunjung yang berada dalam ruangan, tanpa terasa serentak bangkit berdiri, terlihat dari balik gelagah yang bergelombang bagai ombak, meluncur datang dua orang pemuda berpakaian ringkas dengan kecepatan tinggi.
Rupanya kedua orang itu telah menggunakan ilmu meringankan tubuh Cao-siang-hui (terbang diatas rumput) untuk meluncur diatas hutan gelagah.
"Lau-san-sam-gan . . . . .." kenapa . . . . . . . .." jerit Lim Luan-hong kaget.
Belum selesai pertanyaan itu diucapkan, mendadak orang disebelah kiri sudah terjatuh ke bawah gelagah.
Lim Luan-hong berkerut kening, belum sempat melakukan sesuatu, terlihat orang disebelah kanan telah meluncur datang dengan sepenuh tenaga, tapi tampaknya diapun sudah kehabisan kekuatan sehingga kecil kemungkinan untuk mencapai bangunan loteng.
Tiba tiba tampak bayangan manusia berkelebat lewat, hampir bersamaan waktu Tian Mong-pek dan gadis berbaju merah itu melesat ke depan, tampak nona berbaju merah itu mengayunkan tangannya, sebuah angkin sepanjang tiga tombak telah melesat ke depan dengan kecepatan tinggi.
Tian Mong-pek merentangkan sepasang lengannya sambil meluncur keluar, ujung kakinya menutul pelan diujung gelagah lalu melayang sejauh berapa tombak di udara.
Terlihat sepasang lutut pemuda berbaju ringkas itu jadi lemas, kebetulan Tian Mong-pek tiba ditempat sambil menyambar lengannya, sayang orang itu ibarat batu berat yang dijatuhkan dari atas, badannya langsung meluncur ke bawah dengan cepat.Baru saja Tian Mong-pek terkesiap, tiba tiba terlihat seutas angkin merah menyambar tiba, tanpa berpikir panjang lagi dia sambar angkin itu sambil melambung ke udara, kemudian sambil mengempit lengan pemuda berpakaian ringkas tadi, ia berputar satu lingkaran di udara dan ibarat seekor burung elang, terbang balik ke dalam ruang loteng.
Para jago menyaksikan semua adegan itu dengan hati berdebar, akhirnya tak tahan merekapun bersorak sorai.
Nona berbaju merah itu mendengus, sindirnya: "Kalau tak punya kemampuan, buat apa musti jual lagak!" Ia tarik kembali angkin nya lalu dililitkan kembali dipinggang.
Tian Mong-pek tertegun. Dalam pada itu Lim Luan-hong telah memayang pemuda berpakaian ringkas itu sambil bertanya: "Saudara Kun-hiap, urusan apa yang membuatmu gugup dan gelagapan?" Gin-gan (angsa liar perak) Ho Kun-hiap, pendekar ke tiga dari Lau-san-sam-gan menghembuskan napas panjang, lalu dengan wajah kuatir bercampur panik tanyanya: "Mana yang bernama Tian kongcu" Mana yang bernama Chin Siu-ang lo-sianseng?" Tergerak hati Tian Mong-pek, cepat sahutnya: "Cayhe lah Tian Mong-pek, ada urusan apa Ho tayhiap......." Belum selesai dia berkata, Ho Kun-hiap telah cengkeram bahunya sambil berbisik gemetar: "Tian......
heng, Tian kongcu, ayahmu...........
II "Kenapa dengan ayahku?" tanya Tian Mong-pek terperanjat.
~Tian locianpwee terluka parah, nyawanya diujung tanduk......" Suasana dalam ruangan pun jadi kalut dan gempar, dengan perasaan amat kaget bentak Tian Mong-pek: "Siapa yang melukainya.........." "Pa.......panah kekasih!" Sambil berteriak keras Tian Mong-pek roboh terjungkal ke tanah.
Lim Luan-hong segera menahan bahunya agar tidak sampai terjerembab, terlihat sebuah tangan yang lembut menghantarkan secawan arak hangat ke hadapannya, kemudian terdengar Chin Ki, si nona berbaju merah itu berbisik: "Suruh dia meneguk habis dulu arak itu!" Ho Kun-hiap memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian ujarnya: "Walaupun Tian locianpwee sudah terkena panah kekasih, namun beruntung ia sudah tiba diluar kota dan segera ditemukan cayhe, selisih jarak dari sini paling tak sampai dua jam, bila dapat segera menemukan Chin Siu-ang lo-sianseng, bisa jadi jiwanya bakal tertolong, tapi sayang tadi jiko telah pergi mencari Chin lo-sianseng dan ternyata tidak ada ditempat......." Bicara sampai disitu napasnya tersengkal dan segera terhenti, walau begitu, diam diam Lim Luan-hong menghembuskan napas lega.
Terdengar Chin Ki si nona berbaju merah itu berseru: "Tidak masalah, ayahku berada disini" "Dimana?" seru Ho Kun-hiap kegirangan.
Sewaktu Lim Luan-hong mendongakkan kepalanya, ia saksikan kakek kurus itu sedang berdiri disamping pagar sambil memandang Tian Mong-pek dengan pandangan dingin, teringat akan perkataan Chin Siu-ang tadi, diam diam ia jadi bergidiik sendiri.
Dengan satu lompatan, Ho Kun-hiap telah berdiri dihadapan kakek ceking itu, segera sapanya: "Apakah cianpwee adalah Chin lo-sianseng?" "Benar" jawab kakek itu dingin.
Dengan perasaan girang Ho Kun-hiap kembali berseru: --locianpwee, harap kau........." Belum selesai ia berkata, sambil menengok kearah Tian Mong-pek, kakek ceking itu tertawa dingin lalu balik kembali ke tempatnya semula dan mulai minum teh tanpa bicara.
Menyaksikan tingkah laku kakek itu, Ho Kun-hiap tertegun, tanpa terasa ia berpaling memandang Lim Luan-hong.
Dalam pada itu Tian Mong-pek telah mendusin kembali.
Terdengar Lim Luan-hong berkata: "Chin lo-sianseng, selamatnya satu nyawa ibarat menaiki tujuh tingkat candi stupa, apalagi Tian locianpwee pun seorang pendekar yang berjiwa ksatria dan suka menolong orang lain......." "Hmm, bukankah putra Tian Hua-uh berada disini?" tukas Chin Siu-ang ketus, "siapa suruh kau mewakilinya berbicara?" Tian Mong-pek tercekat, sekarang dia baru tahu kalau kakek kurus ceking itu tak lain adalah si tabib sakti Chin Siu-ang, satu-satunya tabib dikolong langit dewasa ini yang sanggup memunahkan racun panah kekasih.
Agak bimbang seperti orang kehilangan ingatan dia bangkit berdiri.
Sambil menghela napas ujar Lim Luan-hong: "Mong-pek, cepat minta maaf kepada Chin lo-sianseng bahwa tadi kau telah........." Sementara itu sambil menyeka peluh yang membasahi jidatnya kembali Ho Kun-hiap berseru panik: "Hingga sekarang, dua jam sudah lewat, menolong orang bagaikan menolong api, kalau tidak segera berangkat bisa terlambat semua" Chin siu-ang tertawa dingin.
Tiba tiba Ho Kun-hiap membentak nyaring: "Sebetulnya kau akan berangkat atau tidak?" Diam diam Chin Ki menghela napas, bisiknya: ~ayah....-- "Jangan banyak bicara!" tukas si kakek cepat.
Berkerut sepasang alis mata Ho Kun-hiap, serunya lagi: "Kalau tidak segera berangkat, jangan salahkan kalau aku Ho Kun-hiap akan bersikap kurangajar!" Chin Siu-ang tertawa dingin.
"Bila kau berani menyentuh seujung jariku, mulai saat ini tak ada manusia lagi di dunia ini yang bisa memunahkan racun dari panah kekasih" Ho Kun-hiap seketika menghentikan langkahnya setelah mendengar ancaman itu, sementara para jago lain hanya saling berpandangan tanpa bicara, siapa pun tahu, kemungkinan besar mereka akan menjadi giliran berikut dari panah kekasih, oleh sebab itu tak seorang pun berani banyak bicara.
Tiba tiba terdengar suara orang berjalan naik ke atas tangga loteng kemudian seseorang dengan suara merdu berseru: "Tian kongcu, ayah suruh aku menghantar ikan segar" Seorang pemuda basah kuyup berlarian keatas diikuti seorang gadis berbaju hijau dibelakangnya, nona itu mengenakan sepatu berwarna hijau dan membawa dua ekor ikan segar.
Rupanya jago ke dua dari Lau-san-sam-gan yakni Ciong-siau-gan (angsa liar penembus awan) Ho Kun-kiat yang tadi tercebur ke dalam air telah diselamatkan oleh Tu Kuan, si nona berbaju hijau itu.
Terlihat Tu Kuan berdiri kebingungan sewaktu melihat suasana ditempat itu, sedang Ho Kun-kiat segera berteriak: "Losam, sudah kau temukan Chin lo-sianseng?" Chin Siu-ang mendengus dingin, ujarnya: "Walaupun aku memiliki kemampuan untuk memunahkan racun, namun tidak mempunyai kewajiban untuk selamatkan nyawa orang.......
ehmm, dua ekor ikan segar ini lumayan juga, Ki-ji, bawa pulang untuk teman arakku" Melotot sepasang mata Tu Kuan, serunya: "Kedua ekor ikan ini tidak kujual, ayah suruh aku........." Tian Mong-pek menghela napas panjang, ujarnya perlahan: "Chin lo-sianseng, tadi.....
akulah yang salah" Kepalanya tertunduk dengan wajah merah padam, sepasang tangannya gemetar keras.
Dalam keadaan begini, dia merasa mendongkol bercampur sedih, namun tak bisa berbuat apa apa.




Kini perhatian semua orang yang hadir dalam ruangan, bersama-sama dialihkan ke wajah Chin Siu-ang dan menanti jawabannya.
Masih dengan wajah yang kaku ujar Chin Siu-ang: "Ki-ji, bawa pulang ke dua ekor ikan segar itu" Agak bingung Tu Kuan melirik Tian Mong-pek sekejap, lalu menyerahkan ke dua ekor ikan itu ke tangan Chin Ki.
"Terima kasih" bisik Chin Ki dengan wajah semu merah.
Tiba tiba Tu Kuan membalikkan badan kemudian lari turun dari loteng itu dengan langkah cepat, melihat pendekar pujaan hatinya harus menelan penghinaan, diam diam ia turut mengucurkan air mata.
Chin siu-ang mendongak memandang sekejap keadaan cuaca, lalu katanya dingin: "Bila anak kecil ingin minta maaf kepada cianpwee, paling tidak harus berlutut dan menyembah tiga kali" Kembali suasana jadi heboh, bahkan ada diantara para jago merasa jengkel dan tak suka hati, namun tak seorangpun berani bersuara.
Dua bersaudara Ho mengepal sepasang tinjunya kencang kencang, sepasang matanya melotot besar menahan emosi.
Lim Luan-hong tahu akan watak Tian Mong-pek, kalau suruh pemuda itu berlutut, mungkin jauh lebih sulit daripada memenggal kepalanya, apalagi disaat dan situasi seperti ini.
Belum lagi dia berbuat sesuatu, tiba tiba terlihat Tian Mong-pek menggigit bibir sambil menghampiri Chin Siu-ang dengan langkah lebar, kemudian jatuhkan diri berlutut dan menyembahnya sebanyak tiga kali.
Suasana dalam ruang loteng hening bagaikan di kuburan, terdengar...
"Duuk, duuk, duukk....!" tiga kali, sambil berlutut Tian Mong-pek menyembah dan tidak berdiri lagi, terlihat tetesan air mata jatuh berlinang membasahi lantai.
Perlahan Lim Luan-hong membangunkan pemuda itu, sedang dua bersaudara Ho mengawasi Chin Siu-ang tanpa berkedip, andaikata sorot mata mereka dapat membunuh, mungkin saat ini tubuh Chin Siu-ang sudah tercincang hingga hancur berkeping.
Tampak kakek itu perlahan-lahan mengangkat cawan air tehnya dan meneguk sekecap, tiba tiba serunya sambil membalikkan badan: "Ayoh berangkat!" Dengan langkah lebar dia berjalan menuruni anak tangga bambu.
Diiringi suara helaan napas lega, kawanan jago ikut menuruni anak tanggal, dalam waktu singkat terlihat ada puluhan buah sampan kecil bergerak menuju ke arah balik gelagah yang lebat.
Cahaya matahari dimusim gugur menembusi daun jendela, menyinari sebuah pembaringan berkelambu kain sutera halus.
Dibalik kelambu berbaring seorang kakek berambut putih dengan mata tertutup rapat, cahaya yang redup menyinari dua batang panah pendek yang menancap diatas bahunya dan memantulkan sinar kebiru biruan yang menggidikkan.
Didepan pembaringan terdapat sebuah teko tembaga dengan air yang dibiarkan menetes ke bawah, berpuluh pasang mata sama-sama tertuju ke arah benda itu dan mengawasinya tanda berkedip.
Disamping pembaringan berdiri seorang pendekar berbaju ringkas, dia tak lain adalah Cuan-hun-gan (angsa liar penembus awan) Ho Kun-hiong, salah satu diantara Lau-san-sam-gan.
Disampingnya berdiri dua orang, seorang berwajah lebar bertelinga besar, bertubuh gemuk dan memancarkan sinar merah dengan mata yang sipit, alis mata yang lembut, dia bukan lain adalah hartawan paling kaya dari kota Hangciu, orang menyebutnya sebagai See-ou-liong-ong (raja naga dari telaga barat) Lu Tiang-lok.
Disampingnya adalah seorang sastrawan setengah umur bermuka bersih tanpa janggut, yang berdiri sambil menggoyangkan kipasnya, biarpun orang ini berdandan sastrawan, padahal dia tak lain adalah congpiautau perusahaan ekspedisi Sam-seng-piuawkiok dari wilayah Kanglam, orang menyebutnya sebagai Thian-kiau-seng (bintang langit) Sun Giok-hud.
Senjata kipasnya merupakan senjata khusus untuk menotok jalan darah orang.
Lebih kedepan berdiri seorang lelaki dan seorang perempuan, yang lelaki berwajah kuning seperti orang berpenyakitan, sementara yang perempuan cantik jelita dengan mata yang jeli dan bening, mereka bukan lain adalah Kim-giok-siang-hiap (sepasang pendekar mas dan kumala), Kim-bin- thian-ong (raja langit berwajah emas) Li Koan-eng dan Giok-kwan-im (kwan-im kumala) Tan Cia-li.
Masih ada dua orang lagi, seorang tinggi kekar berdada lapang penuh otot dan seorang kecil ceking tinggal kulit pembungkus tulang, dua orang itu satu positip satu negatip, satu keras satu lembut namun berdiri bersanding.
Yang tinggi besar datang dari selatan, orang menyebutnya Thiat-ciong (tombak baja) Yo Seng, sedangkan yang kurus kecil adalah jago yang sangat ahli dalam ilmu menotok jalan darah, Pit-sang-seng-hoa (ujung pit tumbuh bunga) Seebun Ho.
Mereka bertujuh sama-sama berkumpul didalam ruangan dengan wajah serius dan tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Butiran air didalam teko tembaga setetes demi setetes perlahan-lahan meleleh ke bawah, bersama dengan menetesnya butiran air, nyawa sang kakek yang berbaring diatas ranjang pun ikut semakin memudar.
Wajahnya yang pucat kaku, kini semakin putih tanpa rona darah.
Akhirnya See-ou-liong-ong tak kuasa menahan diri, setelah mendeham, katanya: "Ho tayhiap, apakah saudara saudaramu tahu tempat ini?" Sambil menghela napas Ho Kun-hiong manggut-manggut.
"Kenapa bisa begitu tidak kebetulan" teriak si tombak baja Yo Seng, "Kenapa disaat dibutuhkan, si tua bangka Chin justru sedang keluar rumah" Seebun Ho hanya memandang sekejap ke arahnya dengan sinar mata dingin, sementara Kwan-im kumala Tan Cia-li segera berkata: "Bagaimana kalau kita cabut dulu ke dua batang anak panah yang tertancap ditubuh orang tua itu?" "Kalau sampai terjadi apa-apa, siapa yang mau tanggung jawab?" tanya Li Koan-eng sambil berkerut kening.
"Aaai, masa aku yang musti bertanggung jawab......" "Makanya, lebih baik tutup mulutmu" tukas Li Koan-eng ketus.
Tiba tiba si Bintang langit Sun Giok-hud membuka matanya, lalu sambil bertepuk tangan berseru: "Itu dia, sudah datang........" Terdengar suara langkah kaki yang ramai bergema dari jauh makin mendekat, Tian Mong-pek dengan wajah pucat pandangan kosong berlari masuk ke dalam ruangan sambil menerjang ke samping ranjang, karena tergopoh gopoh ia menumbuk teko tembaga itu hingga terguling.
Lim Luan-hong, Ho Kun-kiat serta Ho Kun-hiap mengintil dibelakangnya.
"Lotoa, apakah masih sempat?" Ho Kun-kiat segera bertanya.
Sementara Lim Luan-hong menarik tangan Tian Mong-pek sambil berbisik: "Perlahan sedikit, jangan sampai kau kagetkan dia orang tua" "Rasanya masih belum terlambat" terdengar Ho Kun-hiong menyahut.
Mendengar itu, semua orang merasakan semangatnya bangkit kembali.
Tiba tiba terdengar seseorang berkata dengan suara dingin dari luar pintu: "Silahkan kalian semua menunggu diluar!" Bersamaan dengan berkumandangnya ucapan tersebut, Chin Siu-ang berjalan masuk ke dalam ruangan.
Tanpa sadar semua jago menyingkir ke samping memberikan sebuah jalan lewat, dengan langkah lebar Chin Siu-ang menghampiri samping ranjang seraya berkata: "Aku minta saudara semua jangan bersuara, lebih baik lagi kalau tutup daun jendela itu rapat rapat" Ho Kun-hiong segera menutup rapat semua jendela.
Chin Siu-ang menggulung ujung baju nya memperlihatkan sepasang tangannya yang kurus kering, biar kurus dan berwarna kuning kepucat pucatan, namun dalam pandangan semua orang, sepasang lengan itu justru merupakan benda yang tak ternilai harganya pada saat itu.
Dengan gerakan cepat ia melepaskan pakaian yang dikenakan Tian Hua-uh, lalu memegang nadi pada pergelangan tangannya dan memperhatikan denyut nadi dengan seksama.
Semua orang yang hadir dalam ruangan sebisa mungkin menahan napas, jangan lagi bersuara, bernapas keras keras pun tak berani, semua pandangan mata seolah sudah tertumpu pada sepasang tangannya dan mengikuti semua gerak tangannya ke mana pun pergi.
Tiba tiba ia menghentikan gerak tangannya, semua orang merasa tercekat, detak jantung seolah mau melompat keluar saking kagetnya.
"Hari ini, pada saat apa dan dimana kalian menjumpai dirinya?" terdengar Chin Siu-ang bertanya perlahan.
"Kurang lebih dua jam berselang" jawab Ho Kun-hiong, "kami bersaudara menemukan tubuh dia orang tua di belakang ruang sembahyang kuil Boat-siang-sie sebelah barat kota, saat itu dia orang tua sudah terluka oleh anak panah, darah yang mengalir pun belum mengering........." "Coh......" tiba tiba Chin Siu-ang menarik kembali tangannya lalu beranjak keluar dari pintu ruangan.
Tian Mong-pek membentak nyaring, dia melompat ke depan sambil menghadang di depan pintu.
"Mau apa kamu?" tegur Chin Siu-ang dengan kening berkerut.
Sambil menggigit bibir menahan gejolak emosi dan menundukkan kepalanya, jawab Tian Mong-pek: II "Lu.....luka aa......ayahku.........
Rasa sedih, gusar dan mendongkol yang berkecamuk jadi satu nyaris membuatnya tak sanggup berbicara.
"Racun yang dilumurkan diujung sepasang panah kekasih ini boleh dibilang tiada duanya di kolong langit, cukup racun diujung panah hitam saja sudah merangkum empat puluh lima jenis racun dari yang berhawa negatip sampai yang berunsur lembut.........." kata Chin Siu-ang menerangkan.
Kemudian sambil bergendong tangan dan berjalan mondar mandir, lanjutnya: "Sementara racun yang dilumurkan diujung panah merah terdiri dari tiga puluh enam jenis racun bersifat positip dan berunsur keras, ini berarti pada ujung ke dua jenis anak panah itu terdiri dari sembilan kali sembilan, delapan puluh satu jenis racun paling ganas di kolong langit.
Satu jenis saja dari kedua jenis racun itu sudah cukup membuat berjuta orang mati, apalagi ketika dua unsur racun itu saling berkaitan dan saling menunjang, unsur positip yang bersatu dengan unsur negatip membuat keganasan racun yang terkandung tak terkirakan" Walaupun semua orang tidak paham mengapa secara tiba tiba dia menyampaikan uraian tersebut, namun tak seorangpun diantara mereka yang buka sua ra atau komentar.
Sesudah berhenti sejenak, kembali Chin Siu-ang melanjutkan: "Sekalipun begitu, bila kalian terkena racun dari panah tersebut dan bukan terkena di ulu hati dan didalam tiga jam berhasil menemukan lohu, aku yakin pasti dapat selamatkan nyawa kalian semua, hehehe...
mungkin hal ini termasuk hokki kalian, karena kebetulan hidup di kota yang sama denganku, kalau tidak......
hmm, hmm..... biarpun kolong langit amat luas, jangan lagi menemukan orang yang mampu memunahkan racun itu, mungkin yang bisa mengenali jenis racun racun itupun tak banyak" Diam diam para jago merasa bergidik bercampur tercekat, masing masing mulai menguatirkan keselamatan sendiri, karena siapa pun tak bisa meramalkan, kapan undangan dari dewa kematian akan dihantar ke tangan mereka.
Lim Luan-hong mendeham berapa kali, lalu katanya: "Itu berarti Tian locianpwee masih ada harapan untuk diselamatkan nyawanya?" Sambil senyum tak senyum Chin Siu-ang melirik sekejap ke arah Tian Mong-pek, lalu sahutnya: "Seharusnya masih tertolong, hanya sayang......." "Hanya sayang kenapa?" tanya Tian Mong-pek dengan badan bergetar dan suara gemetar.
"Sayang kau sudah kurangajar terlebih dulu kepada lohu, gara gara ingin menghukum dan memberi peringatan kepadamu, maka aku telah datang terlambat, kini racun ganas sudah menyerang ke dalam ulu hati, rasanya tak tertolong lagi" Ucapannya disampaikan dengan nada dingin, tajam dan hambar, tapi justru seakan sebatang panah tajam yang dingin dan menggidikkan yang langsung menembusi tenggorokan Tian Mong-pek lalu menghujam di hatinya.
Setetes air kembali mengalir keluar dari teko tembaga dan lenyap dibalik permukaan air di ember sebelah bawah, mendadak Tian Mong-pek merasakan sorot matanya jadi buram, kemudian kobaran api amarah mencorong keluar dengan tajamnya, sambil membentak marah secepat kilat tangannya menggenggam bahu kakek ceking itu, tegurnya dengan gemetar: "Kau.....
kau........" Telapak tangannya berputar, kali ini dia tempeleng wajah Chin Siu-ang.
Baru sampai setengah jalan, sebuah tangan lain telah menyambar tiba, mencengkeram pergelangan tangannya.
Paras muka Chin Siu-ang sama sekali tak berubah, dia seolah yakin kalau tempelengan tersebut tak bakal mengenai wajahnya.
Ketika Tian Mong-pek berusaha meronta untuk melepaskan diri dari cengkeraman, terdengar seseorang berkata pelan: "Tian si-heng, orang yang telah mati tak akan bangkit kembali....." Sambil membentak gusar Tian Mong-pek berpaling, tampak Pit-sang-seng-hoa Seebun Ho berdiri kaku dihadapannya sambil berkata lebih jauh: "Apa gunanya kau menyusahkan Chin lo-sianseng?" "Betul" sambung See-ou-liong-ong Lu Tiang-lok pula, "apa gunanya kau menyusahkan Chin lo-sianseng" Karena gemuk maka sewaktu menganggukkan kepala, daging lebih dibawah dagunya ikut bergetar keras.
Sepasang pendekar emas dan kumala berdiri pula dengan wajah serius, meski begitu, tidak nampak rasa sedih atau terharu barang sedikitpun.
Perlahan Tian Mong-pek melepaskan tangannya sambil mundur selangkah, dengan mata berwarna merah perlahan dia awasi sekejap wajah rekan rekan ayahnya semasa hidup dulu.
\\oo hmm, demi dendam pribadi menyebabkan orang lain kehilangan nyawa........
II sambil mengendalikan gejolak emosinya ia berkata dengan suara dalam, "apakah manusia semacam ini pantas disebut seorang pendekar?" Lu tiang-lok mendeham sambil menunduk, Li Koan-eng serta Tan Cia-li menghindari tatapan matanya, Seebun Ho berdiri dengan wajah kaku, Thian-kiau-seng Sun Giok-hud berkilat matanya, entah apa yang sedang dia pikirkan, hanya si tombak baja Yo Seng serta tiga jago dari keluarga Ho saja yang menunjukkan perasaan sedih bercampur geram.
Dengan air mata mengembang dalam kelopak matanya, Tian Mong-pek berpaling mengawasi wajah orang orang itu, ia merasa betapa rendah dan hinanya mereka.
"Aku tahu, kalian bukan sahabat karib ayahku, tidak pernah juga menerima budi kebaikan dari ayahku, walau begitu, sebagai seorang pendekar, seharusnya kalian tampil ke depan untuk menegakkan keadilan" nada suaranya makin lama semakin emosi, "tapi kenyataannya sekarang, kalian hanya memikirkan kepentingan sendiri, kuatir tak ada yang mau menolong ketika dirinya terkena panah kekasih, perbuatan kalian......
perbuatan kalian........" Saking emosinya, ucapan tersebut tak sanggup diselesaikan, air mata bercucuran semakin deras, membuat anak muda itu tak sanggup berkata kata lagi.
Tombak baja Yo Seng menghela napas panjang.
Sebaliknya Chin Siu-ang tertawa dingin, ejeknya: "Lantas apa yang hendak kau lakukan terhadap lohu?" "Aku akan menyiarkan kebusukan hatimu itu ke selu ruh kolong langit, biarpun memiliki ilmu pertabiban yang hebat, tapi kau tak lebih hanya manusia berdarah dingin yang tak berbudi dan tak punya hati...." Dengan cepat Seebun Ho maju selangkah, menghadang dihadapan chiusiuang, tukasnya: "Mau apa kau?" Sun Giok-hud yang berada disisinya, ikut menimbrung sambil tertawa ringan: "Perkataan Tian si-heng tak lebih hanya ucapan orang emosi, tak bisa dianggap sungguhan, apalagi siapa sih manusia dalam dunia persilatan saat ini yang tidak menaruh hormat dan kagum akan kehebatan ilmu pertabiban Chin lo-sianseng" Tian si-heng bukan orang bodoh, mana mungkin
dia akan bersikap kurangajar terhadap Chin lo-sianseng?" "Memang begitu, memang begitu........" sambung Lu Tiang-lok sambil bertepuk tangan, "tentang kematian yang menimpa Tian lo-enghiong, aku rasa sebagai sesama saudara, kita harus sumbangkan tenaga untuk membantunya" "ian Mong-pek menggigit bibirnya kencang kencang, pertama kali ini dia saksikan wajah asli dari kawanan pendekar yang mengaku berjiwa ksatria, untuk pertama kali pula dia melihat jelas kebusukan hati manusia demi kepentingan pribadi.
Perlahan Ho Kun-hiong menghampirinya dan berbisik dengan kepala tertunduk: ~ Tian sauhiap..........." Belum selesai dia bicara, mendadak dari kejauhan terdengar suara orang berteriak keras: "Chin Siu-ang........
Chin Siu-ang..........." Teriakan itu rendah dan berat namun menusuk pendengaran, ketika pertama kali berkumandang, suara itu masih berasal dari tempat yang jauh, tapi ketika berkumandang untuk kedua kalinya, suara itu sudah begitu dekat, bisa dibayangkan betapa cepatnya gerak tubuh orang itu.
Semua orang terkesiap, dengan kening berkerut tanya Tan Cia-li: "Siapa orang itu?" "Kau bertanya kepadaku, lantas aku musti bertanya kepada siapa?" sahut Li Koan-eng ketus.
"Aku..... aku toh tidak bertanya kepadamu........." Terdengar angin berdesing di luar jendela, tahu tahu kertas jendela bergetar hingga robek, lalu seseorang berteriak nyaring: "Apakah Chin Siu-ang tinggal disini?" Suaranya nyaring bagai gempa, sangat memekakkan telinga.
Chin Siu-ang melirik "ian Mong-pek sekejap, lalu menyahut: "Benarl" Daun jendela kembali bergetar hingga muncul sebuah lubang besar, seorang lelaki berbaju perlente dengan wajah penuh cambang dan mata besar, sambil bermandikan keringat dan membopong seorang gadis berbaju hijau yang tak sadarkan diri, melompat masuk ke dalam ruangan.
Dengan perawakan tubuhnya yang tinggi besar, deng an sekali langkah orang itu sudah melewati jendela dan masuk ke dalam ruangan.
Matanya yang hijau menyapu sekejap sekeliling ruangan, lalu dengan suaranya seperti geledek tegurnya: "Siapa yang bernama Chin Siu-ang" Aku Go Jit telah menempuh perjalanan sejauh dua ratus li untuk datang menyambang" Sekali lagi semua orang terperanjat, siapa pun tak menyangka Mo-siau-to (golok tanpa sarung) Go Jit yang merupakan salah satu diantara tujuh orang kenamaan dalam dunia persilatan saat ini, bisa muncul disana secara tiba tiba.
"idak menunggu jawaban orang lain, pendekar penyamun nomor wahid dikolong langit, jago golok nomor satu dalam dunia persilatan ini sudah menghampiri Chin Siu-ang sambil menegur lebih jauh: "Tentunya kau yang bernama Chin Siu-ang bukan" Zubuh istriku sudah terkena panah kekasih dua jam berselang, apakah kau sanggup menolong jiwanya?" Semua perkataannya merupakan pertanyaan, namun tidak menunggu orang lain menjawab, dia telah menerjang ke depan ranjang, memandang sekejap tubuh yang berbaring disana dan berseru lagi: "Singkirkan!" Kepada Chin Siu-ang katanya pula: "Saudara Chin, cepat! Kalau kau gagal selamatkan jiwanya, jangan harap orang yang berada dalam ruangan ini bisa keluar dalam keadaan hidup" Si tombak baja Yo Seng mendengus dingin, tiga bersaudara Ho berkerut kening, sedang Tian Mong-pek segera menghadang didepan ranjang sambil membentak: "Siapa berani mengusik ketenangan jenasah ayahku?" Mo-siau-to si golok tanpa sarung mendelik besar, sambil menyerahkan tubuh si nona berbaju hijau ke tangan Chin Siu-ang, ujarnya bengis: "Selembar nyawanya harus ditukar sepuluh lembar nyawa kalian!" Lalu sambil mendelik ke arah Yo Seng, terusnya: ~ Apakah kau si anak jadah yang barusan mendengus?" "Apa kau bilang?" teriak tombak baja Yo Seng gusar.
Belum selesai bentakan itu diucapkan, sebuah pukulan kilat dari Mo-siau-to sudah menyambar tiba.
Serangan itu sederhana dan tak ada keanehan, tapi kecepatannya membuat orang sulit untuk bersiap sedia, Yo Seng hanya merasa ada bayangan pukulan berkelebat lewat, tahu tahu pipinya sudah kena ditempeleng sementara iga kirinya kena satu tendangan.
"weessssl" tubuhnya yang tinggi besar kontan mencelat keluar dari jendela.
Selesai melancarkan tendangan, Mo-siau-to sama sekali tidak memandang lagi untuk kedua kalinya, kini dia menatap sekejap Lau-san-sam-gan, tiba tiba ia berbalik menuju ke depan "ian Mong-pek sambil menjengek: "Tidak boleh diusik?" "Iidak!" jawab "ian Mong-pek sambil busungkan dada.
Kiu-lian-huan Lim Luan-hong yang selama ini berdiri disudut ruangan tanpa bicara, kini tak tahan menghela napas panjang, ia segera pejamkan matanya.
Ia tahu Go Jit adalah seorang jagoan yang bertemperamen tinggi, bukan saja emosinya tinggi bahkan kasar, kalau bukan lantaran itu, tak mungkin orang persilatan menyebutnya sebagai "golok tanpa sarung, sekali sentuh pasti terluka" Biarpun ia tak tega menyaksikan peristiwa tragis bakal terjadi didepan mata, akan tetapi diapun merasa tak punya kemampuan untuk mencegahnya.
Berhadapan dengan musuh tangguh, "ian Mong-pek tetap berdiri sambil busungkan dada, ia sama sekali tak gentar maupun ketakutan.
Mendadak Mo-siau-to menarik kembali sorot matanya yang tajam, wajah yang semula dingin membeku pun sirna seketika, ujarnya perlahan: "Apakah orang yang sedang tidur diranjang adalah "ian Hua-uh?" "idak menunggu orang lain menjawab, kembali dia anggukkan kepalanya berulang kali sambil bergumam: "Panah kekasih......
panah kekasih........" Sambil mendongak, diapun berseru lantang: "Baik, aku tak akan mengusik jenasah ayahmu, jagalah layonnya baik baik" Diam diam Lim Luan-hong menghembuskan napas lega.
"iba tiba terdengar Chin Siu-ang berseru sambil menghela napas panjang: "Masih bisa ditolong, masih bisa ditolong, tapi......." "Tapi apa?" bentak Mo-siau-to.
"Saat ini racun baru akan menyerang ke ulu hatinya" ujar Chin Siu-ang dengan nada dingin, "itu berarti tubuhnya tak boleh bergerak lagi, pertama kau harus dapatkan dulu ranjang itu, dengan tubuh berbaring diranjang, ia baru tak akan bergerak!" "ian Mong-pek mengepal sepanjang tinjunya kencang kencang, dengan geram teriaknya: "Kau tua bangka celaka........" Dengan wajah tak berubah, kembali Chin Siu-ang berkata: "Berulang kali pemuda itu membuat pikiranku kalut, khususnya dia, harus segera diusir keluar dari sini" Lau-san-sam-gan serentak memandang "ian Mong-pek sekejap, kemudian memandang pula kearah Go Jit, kemudian setelah menghentakkan kakinya dengan gemas, mereka jatuhkan diri berlutut dan menyembah tiga kali ke arah jenasah diatas ranjang, kemudian serentak mereka beranjak pergi dari situ dengan melompati jendela, bahkan si tombak baja Yo Seng pun ikut dibopong pergi.
Mo-siau-to berdiri mematung berapa saat, akhirnya ia berkata perlahan: "Bopong tubuh ayahmu, segera pergi dari sini" Biarpun ucapan tersebut disampaikan perlahan lagi berat, sorot matanya sama sekali tidak memandang kearah "ian Mong-pek, namun perkataan itu justru mengandung kekuatan yang begitu dahsyat dan menakutkan.
Dengan kepala tertunduk Lim Luan-hong menghampiri ranjang, tampak "ian Mong-pek berdiri dengan air mata berlinang, tetes demi tetes membasahi lantai.
Dia menyapu sekejap wajah semua orang yang hadir disitu, lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun membalikkan badan, membopong tubuh ayahnya dan beranjak pergi dari situ.
Makin cepat langkah kakinya diayun, makin deras air mata meleleh membasahi pipinya, membasahi pula dada ayahnya yang mulai mendingin dan kaku.
Dada yang dingin, air mata yang dingin, namun dibalik dadanya justru menggelora api dendam yang membara.
"ak seorangpun jago yang berada dalam ruangan, berani memandang kearahnya walau sekejap pun.
Tampak Chin Siu-ang membaringkan nona berbaju hijau itu keatas ranjang, sorot mata Mo-siau-to yang tajam menatap terus wajah si nona yang cantik namun pucat pias bagai kertas, dengan suara yang lembut bagai hangatnya angin musim semi, ia berbisik: "Sisi, jangan takut, jangan takut, kau segera akan sembuh......" Co0oo Diluar serambi, didepan aneka bebungahan yang tumbuh indah, Chin Ki berdiri sambil bersandar pagar, ia membiarkan angin berhembus lewat, sementara matanya yang bening memandang tumbuhan bambu dikejauhan, seolah banyak masalah yang mengganjal hatinya.
Suara langkah yang ramai menyadarkan kembali gadis itu dari lamunan, ketika berpaling, ia saksikan "ian Mong-pek berlalu dari hadapannya dengan langkah lebar.
Menyaksikan tubuhnya yang dingin kaku, tak tahan nona itu menghela napas sedih, bisiknya: -I - Tian....kongcu........" Mendadak matanya bertatapan dengan sinar api dendam yang membara dari "ian Mong-pek, bara api yang membuatnya bergidik dan merinding.
Dalam pandangan Tian Mong-pek saat ini hanya ada kobaran api dendam, ia seolah tidak melihat apa apa, dia hanya tahu menerjang keluar dari serambi itu dengan langkah lebar, langkah kalap.
Mengawasi bayangan punggungnya yang menjauh, entah mengapa, dua titik air mata jatuh meleleh membasahi wajah Chin Ki.
Selama ini, Lim Luan-hong hanya mengikuti jauh di belakang Tian Mong-pek, ketika lewat disisi gadis itu, tak tahan ia berhenti sejenak, menghela napa s dan bertanya: "Nona Chin, kesedihan apa yang mengganjal hatimu?" "Apa urusannya dengan dirimu?" sahut Chin Ki sambil membesut air matanya dan berteriak keras.
Kemudian ia membalikkan tubuh dan lari menelusuri serambi.
Lim Luan-hong menggigit bibirnya sambil tertunduk lesu.
Dari ujung serambi sebelah lain, terdengar seseorang berteriak keras: II "Saudara Lim, saudara Luan-hong........
Tampak Thian-kiau-seng Sun Giok-hud diikuti See-ou-liong-ong Lu Tiang-lok menyusul datang dengan langkah lebar.
"Apakah "ian si-heng telah pergi?" terdengar Lu Tiang-lok berteriak keras.
Dengan kening berkerut Lim Luan-hong manggut manggut.
"iba disisinya, Lu Tiang-lok kembali menghela napas panjang, katanya: "Sungguh tak kusangka, dengan usianya yang masih begitu muda, ternyata punya temperamen yang begitu tinggi, ditinjau dari situasi hari ini......." "Ditinjau dari situasi hari ini, seandainya kau atau aku yang mengalaminya, aku yakin keadaan kita pun sama saja" tukas Lim Luan-hong dingin.
Sun Giok-hud tersenyum, selanya: "Maksud saudara Lu, tak disangkal lagi "ian si-heng sudah terikat dendam kesumat yang amat dalam dengan Chin lo-sianseng, dengan wataknya yang ceroboh dan berangasan, kami kuatir dia bakal datang lagi untuk mencari balas" Baru berbicara sampai disitu, dengan cepat Lu Tiang-lok menimpali lagi: "Padahal saat ini panah kekasih telah menjadi wabah dalam dunia persilatan, kita sendiri pun tak tahu kapan bakal mendapat giliran....." Setelah mendeham berulang kali, lanjutnya: "Apa jadinya bila Chin lo-sianseng tertimpa suatu halangan atau musibah?" "Cleh karena itu maksud dari Lu-heng adalah berharap kita semua dapat tampilkan diri untuk melindungi Chin lo-sianseng" sambung Sun Giok-hud, "tentu saja masalah ini bukan khusus diterapkan untuk menghadapi saudara Tian, tapi lebih bersifat berjaga jaga secara umum, terlebih untuk menghadapi mereka yang menggembol panah kekasih, tapi berhubung kekuatan yang kita miliki sangat minim.........." Sambil manggut manggut Lu Tiang-lok menambahkan: "Begitulah maksud kami yang sebenarnya, untuk menanggulangi semuanya ini, maka siaute bertekad akan menyebar undangan untuk mengumpulkan jago jago tangguh yang akan melakukan perlindungan secara bergilir.........." Sun Giok-hud tersenyum, katanya pula: "Dan menurut maksud Lu-heng, sekalipun kita bakal melakukan penjagaan secara bergilir, paling tidak harus ada satu orang diantara kita yang menjadi komandannya, siaute sendiri sangat sibuk, saudara Lu juga mempunyai sanak keluarga yang kelewat banyak, hanya Lim-heng seorang yang masih hidup santai dan banyak waktu senggang......." Sesudah tersenyum penuh arti, terusnya: "Apalagi kau masih bujangan, tentu paling tepat bila Lim-heng lah yang menjadi komandan kami semua" Berulang kali dia menyatakan kalau apa yang disampaikan merupakan maksud orang lain, padahal maksud dari siapa sebenarnya, bukan hanya dia sendiri yang tahu, orang lain pun mengetahuinya dengan jelas sekali.
Lim Luan-hong tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun jantungnya terasa berdebar keras, pikirnya: "Jangan jangan orang ini sudah tahu kalau aku menaruh perasaan terhadap Chin Ki?" Lu Tiang-lok berdiri sambil menggesek telapak tangannya, ketika sampai lama tidak mendapat jawaban dari Lim Luan-hong, tak tahan kembali ujarnya: "Masalah ini menguntungkan bagi semua pihak, bagi Lim-heng sendiripun tak ada ruginya, Lim-heng, harap kau menerima tawaran tersebut!" Lim Luan-hong tertunduk sambil berpikir sesaat, kemudian sahutnya perlahan: -I-- Tak masalah bagi siaute untuk menerima tawaran itu......
II "Bagus, bagus sekali" tukas Lu Tiang-lok sambil bertepuk tangan tertawa keras, "kalau begitu kita tentukan dengan sepatah kata ini, masalah beaya, tentu saja siaute yang akan memikul semuanya" "iba tiba ia berhenti tertawa, dengan kening berkerut ujarnya lebih lanjut: "Sebetulnya siaute berniat ikut mengurusi layon dari "ian lo-enghiong, tapi sayang masih ada urusan penting yang harus kuselesaikan saat ini.........
aaai, aku rasa arwah Tian lo-enghiong di alam baka tentu tak akan menyalahkan aku" Lalu dengan senyuman menghiasi bibirnya, ia menjura berulang kali sambil menambahkan: "Sekarang juga siaute akan pergi menyelesaikan masalah membagi undangan ke seluruh dunia persilatan, nama pengundang tentu saja tercantum nama Lim-heng, Sun-heng, Seebun-heng serta suami istri dari keluarga Li.......
hahahaha...... bisa dibayangkan, kali ini pertemuan tersebut pasti akan menjadi satu pertemuan paling akbar bagi dunia persilatan" Ditengah gelak tertawa nyaring, kembali ia menjura lalu tergesa gesa meninggalkan tempat itu.
Baru sirap gelak tertawa dari serambi sini, dari ujung serambi seberang terdengar pula suara gelak tertawa nyaring, Mo-siau-to sambil mengelus cambangnya berseru lantang: "Betul betul tabib sakti berilmu tinggi, dalam waktu singkat telah berhasil selamatkan nyawa seseorang" Sambil menarik lengan Lim Luan-hong, katanya lebih lanjut sambil tertawa tergelak: "Mari, mari, aku Go Jit akan mentraktir kalian semua dengan tiga cawan arak" "Apakah luka yang diderita hujin telah sembuh?" tanya Sun Giok-hud sambil tersenyum.
Sambil tertawa tergelak Go Jit manggut manggut.
II "Kalau begitu, boanpwee sekalian patut memberi selamat sebanyak tiga cawan arak.........
seru Sun Giok-hud cepat. Tiga cawan arak putih, satu gundukan tanah baru.
Matahari senja telah tenggelam dibalik bukit, kegelapan malam mulai menyelimuti angkasa, Tian Mong-pek telah menyulang kuburan baru dihadapannya dengan secawan arak.
Pepohonan nan hijau, rerumputan setinggi dada bergoyang terhembus angin, menimbulkan suara gemerisik bagai tangisan setan malam.
Suasana disekeliling tempat itu hening, sepi, tak terlihat bayangan manusia lain, kecuali dua orang kakek beruban yang berdiri dibelakang nya sambil berlinang air mata.
Ia berdiri kaku sambil memegang cawan, perasaan hatinya kalut dipenuhi rasa duka yang tak terlukis dengan kata, orang yang berbaring tenang dibalik kuburan baru sekarang, selama hidupnya berjuang dan berjuang demi ditegakkannya keadilan dan kebenaran, tapi kini .
. . . .. Ia mengangkat kepalanya, mengeringkan isi cawan pertama, arak putih yang pedas mengalir masuk melalui gusi giginya yang berdarah, lalu dia lempar cawan kosong itu sekuat tenaga ke tengah udara, sementara dalam hati berdoa: "Balas dendam! Balas dendam! Balas dendam!" Ia telah menggunakan thema dendam sebagai umpan bagi dirinya, tiga cawan arak dingin yang diteguknya telah mendidihkan darah dendam yang mengalir dalam dadanya, membuat api dendam semakin membara, membuat seluruh tubuhnya makin panas, makin mendidih, membuat seluruh tubuhnya yang semula dingin kaku, kini jadi panas menyengat.
Dia membiarkan air mata yang hangat mengembang dalam kelopak matanya lalu meleleh tanpa suara .
. . . . . .. Mendadak, dari balik kaburnya mata karena air mata, ia saksikan ada sesosok manusia berbaju hitam yang berperawakan kecil langsing, tanpa menimbulkan suara bergerak dibalik kegelapan, munculkan diri di belakang kuburan.
Bayangan manusia yang bergerak bagai sukma gentayangan itu membuat orang tua dibelakang tubuhnya menjerit kaget lalu rubuh ke tanah.
"Siapa?" hardik Tian Mong-pek dengan suara rendah.
Bayangan manusia berbaju hitam itu berdiri dengan ujung baju lengannya berkibar terhembus angin, wajahnya pucat pasi tiada rona merah, biji matanya yang hitam berkilat bagai cahaya bintang, meskipun tubuhnya kurus kering, namun kecantikan wajahnya bagai bidadari langit, bidadari yang belum tersentuh oleh kehidupan keduniawian.
Ternyata bayangan manusia itu adalah seorang wanita, Tian Mong-pek berkerut kening.
Tampak perempuan itu mengangkat tangannya yang kurus lagi pucat, perlahan dijulurkan keluar dari balik baju, ternyata ia memegang ketiga buah cawan arak itu.
Kemudian sambil menatap kearah sang pemuda, sepatah demi sepatah ia berkata: "Kau yang membuang cawan cawan arak ini?" Dalam waktu sekejap Tian Mong-pek merasakan hatinya bergidik, rasa seram timbul dari dasar hatinya, seingat dia, ke tiga cawan arak itu dibuangnya ke arah yang berbeda, apalagi membuangnya dengan penuh rasa benci dan dendam, tapi kenyataannya sekarang, ke tiga cawan arak itu justru berada dalam genggaman perempuan itu.
Meski ngeri perasaan hatinya, ia tetap menjawab dengan mantap: "Betul!" Perempuan berbaju hitam itu berjalan menuju ke depa n kuburan, terlihat dia mengebaskan bajunya, cawan cawan arak itu sudah diletakkan kembali ke tanah, sementara tatapan matanya beralih dari wajah Tian Mong-pek ke arah kuburan.
Tian Mong-pek tak dapat menyaksikan raut mukanya, terdengar perempuan itu berkata: "Kau telah mati, kau telah mati .
. . . . . .." "Hujin, apakah kau datang untuk melayat mendiang ayahku?" tegur sang pemuda.
Seolah tidak mendengar, kembali perempuan berjubah hitam itu berkata: "Kenapa begitu awal kau sudah mati" Kenapa tidak kau biarkan aku saksikan sendiri kematianmu" Tidak kau biarkan aku mendengar sendiri rintihanmu menjelang ajal .
. . . . . . .." Walaupun suaranya lembut, namun ucapan tersebut mengandung rasa benci dan dendam yang mendalam.
Gusar Tian Mong-pek mendengar ucapan perempuan itu, dengan mata memerah, bentaknya: "Meskipun ayahku telah meninggal, aku tak akan membiarkan orang lain bicara sembarangan di depan kuburan dia orang tua" Perempuan berjubah hitam itu sama sekali tak bergerak, angin malam berhembus lewat mengibarkan bajunya, seakan bukan hanya bajunya, tubuh yang kurus ceking pun seolah ikut melayang karena hembusan.
Dengan tangan yang lembut, kembali perempuan itu meraba batu nisan didepan kuburan, entah tangannya yang dingin atau batu nisan itu yang dingin, terdengar ia berkata lebih jauh: "Aku tahu, sampai mati pun kau tak bakal berani menjumpai aku...." "Kalau kau punya dendam dengan mendiang ayahku, datang saja mencari balas denganku" teriak Tian Mong-pek gusar, "kami turun temurun keluarga Tian, ta k pernah mengenal kata jeri atau takut" Tiba tiba perempuan berbaju hitam itu membalikkan badan, sinar matanya bening tapi dingin, sekulum senyuman pedih tersungging diujung bibirnya, meski dibawah cahaya rembulan tak nampak kerutan diwajahnya, namun secara lamat lamat bisa diduga berapa besar usianya.
Biarpun jalannya waktu telah merenggut pergi masa muda dan remajanya, namun tak dapat merampas sisa sisa kecantikan wajahnya.
Kecantikan wajahnya sangat mengejutkan, bahkan terselip daya kekuatan memikat yang luar biasa.
Ditatapnya wajah Tian Mong-pek sekejap, kemudian sambil tertawa sendu ia bertanya: "Kini ayahmu telah meninggal, kenapa ibumu tidak ikut datang?" Tian Mong-pek tertegun, biarpun ia merasa pertanyaan itu muncul secara mendadak dan aneh, tak urung jawabnya juga: "Ibuku sudah meninggal sejak sembilan belas tahun berselang.....
kalau kau datang untuk melayat ayahku, aku merasa amat berterima kasih sekali, kalau tidak .
. . . . . . .." Pada hakekatnya perempuan berjubah hitam itu sama sekali tidak memperhatikan ucapannya, kembali dia menyela: "Ternyata ayahmu tidak kawin lagi" Bicara sampai disitu, ia berhenti dan membungkam.
Perasaan sangsi bercampur curiga berkecamuk dalam benak Tian Mong-pek, ia tak bisa menebak perempuan seperti sukma gentayangan ini sebenarnya musuh atau sahabatnya, tak tahan kembali tanyanya: "Siapa kau sebenarnya" Apa tujuan kedatanganmu?" Perempuan berjubah hitam itu tidak menjawab, tiba tiba ia mendongak dan bertanya: "Ayahmu telah mati, apakah kau ingin membalaskan sakit hatinya?" "Tentu saja!" biarpun merasa keheranan, jawab Tian Mong-pek setelah tertegun sesaat.
Baru selesai ia berkata, sambil tertawa dingin tiba tiba perempuan berjubah hitam itu melancarkan satu pukulan ke arah tubuhnya.
Pukulan itu lembut bahkan sangat lambat, diiringi kibaran ujung bajunya, gerakan tersebut sungguh indah tak terkirakan.
Dengan kening berkerut Tian Mong-pek membentak: "Jika kau......." Siapa tahu baru ucapan tersebut meluncur keluar, tangan yang indah itu tahu tahu sudah berada diatas jalan darah Ing-hio-hiat ditubuhnya.
Dalam terkejutnya cepat dia tekuk pinggang sambil menyongsong datangnya ancaman itu, dengan jurus Lo-cik-lui-ting (dengan gusar menghantam guntur) dengan posisi menyerang ia gunakan untuk pertahanan.
"wesssl" satu pukulan kencang dilontarkan ke depan, siapa tahu meski gempuran tersebut sangat hebat, entah kenapa ternyata meleset ke tempat kosong, sementara pukulan lawan yang lembut dan lambat itu justru tak beralih dari posisi semula.
Sekali lagi ia terkesiap, cepat kepalannya ditarik sambil menekuk sikut, lalu sambil miringkan bahu mundur selangkah, kembali dia lepaskan tiga pukulan secara beruntun.
Sayang semua serangannya kembali mengenai sasaran kosong, biarpun dia telah berganti lima jenis ilmu gerakan tubuh, jalan darah pentingnya tetap berada dibawah bayangan ancamannya.
Dia seolah telah mengendus bau kematian yang menggidikan, bau kematian yang terpancar dari balik telapak tangannya yang kurus kering, sambil menggertak gigi sepasang kepalannya dilontarkan bersama, langsung menggempur iga kiri kanan musuh.
Jurus serangan ini bukan untuk melindungi diri, tapi berniat melukai musuh, jurus beradu jiwa dengan lawannya.
Siapa sangka perempuan berjubah hitam itu tertawa dingin, tangannya menggapai perlahan, belum sempat sepasang tinjunya meluncur ke depan, tubuhnya sudah terpelanting hingga roboh terjungkal ke lantai.
"Hmm, hanya andalkan ilmu silat semacam inipun ingin balas dendam?" ejek perempuan berjubah hitam itu sambil tertawa dingin.
Dia kebas ujung bajunya sambil mundur sejauh tujuh depa, kemudian tubuhnya bersandar disisi batu nisan, seolah kuatir terbang terhembus angin malam.
Tian Mong-pek rentangkan tangannya melepaskan diri dari papahan kedua orang tua yang berusaha membangunkan dirinya dari lantai, setelah menghimpun tenaga, diiringi bentakan nyaring tubuhnya kembali menerjang ke muka.
Gara gara bersikap gegabah, ia kena dipecundangi orang, maka kali ini serangannya dilakukan dengan persiapan lebih matang, serangan demi serangan dilancarkan mengandalkan ilmu silat warisan keluarga, hampir semuanya merupakan pukulan keras.
Terdengar angin pukulan menderu deru, bukan saja membuat seluruh tubuh perempuan berjubah hitam itu terkurung dibalik bayangan kepalannya, bahkan pohon dan dedaunan yang berada disekeliling tempat itupun tergetar keras.
Perempuan berjubah hitam itu sama sekali tidak melancarkan serangan balasan, sepasang tangannya malah terkulai ke bawah, membiarkan ujung bajunya nyaris menempel permukaan tanah, tapi anehnya, bayangan pukulan yang sedemikian hebatnya itu tak satupun berhasil menyentuh ujung bajunya.
Empat puluh gebrakan kemudian, Tian Mong-pek mulai terkejut bercampur ngeri.
Tiba tiba terdengar perempuan berbaju hitam itu tertawa dingin, ujung bajunya menggulung ke atas mencengkeram lutut kiri anak muda itu lalu menariknya ke belakang, untuk kedua kalinya Tian Mong-pek jatuh terjungkal.
Ketika ia mencoba mendongak, tampak perempuan berbaju hitam itu masih mengawasinya dengan pandangan dingin.
"Hmm, ilmu silat bapaknya jelek, tak disangka kemampuan putranya jauh lebih parah .
. . . .." ia menegur dingin.
Dengan sekali jumpalitan, Tian Mong-pek melompat bangun dari tanah dan melambung, dengan tangan kanan membabat, tangan kiri menjotos, sepasang kakinya melancarkan pula tendangan berantai.
Kali ini dalam satu gebrakan dia telah gunakan empat jurus serangan, membiarkan pertahanan bagian bawahnya sama sekali terbuka.
Baginya dia hanya ingin menyarangkan satu serangannya saja ke tubuh lawan, sementara keselamatan jiwanya sama sekali tak dipikirkan.
Berkilat sepasang mata perempuan berbaju hitam itu, dia seakan memuji akan keberanian anak muda itu.
Tampak tubuhnya bergerak ke samping, lagi lagi sebuah pukulannya membuat tubuh Tian Mong-pek terkapar ditanah.
Dasar bandel dan keras kepala, begitu jatuh cepat cepat Tian Mong-pek melompat bangun lagi, bentaknya: "Kalau kau tak mampu membunuh aku, hari ini akulah yang akan membunuhmu" Diiringi bentakan nyaring, bagai sapi gila kembali pemuda itu meluruk maju ke muka.
Semakin keras tubuhnya terbanting, semakin nekad pemuda itu menyerang, boleh dibilang dia seakan sudah lupa dengan keselamatan jiwa sendiri.
Sambil berkelit dari setiap serangan yang ditujukan ke tubuhnya, perempuan berbaju hitam itu kembali berkata sambil tertawa dingin: "Kalau aku ingin membunuhmu, memang kau sangka saat ini masih bisa hidup?" Secara beruntun kembali Tian Mong-pek melancarkan tiga pukulan berantai, teriaknya keras: "Kau telah membunuh ayahku dan aku tak dapat balas dendam, lebih baik bunuhlah aku sekalian" "Huh, siapa bilang aku telah membunuh ayahmu?" tukas perempuan itu dingin.
Tian Mong-pek tertegun hingga tubuhnya sedikit merandek, terdengar perempuan itu berkata lebih lanjut: "Dengan ilmu silat macam begini, ditambah watak yang tempereamen, masih ingin membalas dendam" Hmm, jangan mimpi disiang hari bolong" Ucapan tersebut ibarat lecut yang menghajar lubuk hati Tian Mong-pek, seketika membuat dia tertegun, berdiri termangu-mangu dan akhirnya sambil memeluk batu nisan kuburan ayahnya, ia mulai menangis tersedu-sedu.
Seluruh rasa mendongkol, rasa jengkel dan sedihnya nyaris ditumpahkan keluar, dia ingin menuntaskan seluruh perasaan hatinya melalui tangisan itu.
Entah sudah berapa lama dia menangis ketika terasa ada sebuah tangan mengelus bahunya dengan lembut, kemudian terdengar perempuan berbaju hitam itu berkata sambil menghela napas: "Seorang lelaki sejati, apa lagi yang ditangisi?" Tian Mong-pek segera menggigit bibir sambil menghentikan isak tangisnya, dengan tangan ia seka air mata yang membasahi wajahnya.
"Nah! Begitu baru betul" kata perempuan itu lembut, "begitu baru mencerminkan putra keluarga Tian, kalau memang tak takut menghadapi pelbagai masalah, apa lagi yang kau kuatirkan" Masa tak ada urusan yang tak bisa diselesaikan" Apalagi musuh besar ayahmu toh bukan benar benar iblis jahat yang ampuh" Perlahan-lahan Tian Mong-pek bangkit berdiri, ia merasa pikirannya amat kalut, perempuan itu sebentar menunjukkan rasa benci yang begitu dalam terhadap ayahnya, sebentar lagi malah menganjurkan dia untuk membalaskan dendam bagi kematiannya, sejenak menghina dan mempermainkan dirinya, sejenak kemudian begitu lembut dan sayang kepadanya, apa yang terjadi" Apa tujuannya berbuat begitu" Embun pagi telah membasahi tanah pekuburan, membasahi pula wajah serta pipinya.
Perempuan itu memandang sekejap wajahnya, kemudian berkata: "Barusan, aku hanya berniat menjajalmu, ingin tahu apakah kau punya tekad serta keberanian untuk balas dendam" Tian Mong-pek mendongak memandang awan yang bergerak di angkasa, pelbagai ingatan berkecamuk jadi satu, katanya kemudian: "Walaupun aku punya keberanian, apalagi tekad, tapi apa mau dibilang kalau aku tak punya tombak tanpa bayangan, gendawa bertali busur empat" Ke mana aku musti belajar ilmu silat yang sanggup menandingi kehebatan ilmu silat panah kekasih?" Sungguh aneh, dihadapan perempuan yang sesungguhnya masih sangat asing baginya ini, dia telah mengungkap rahasia hatinya yang selama ini enggan diungkap dihadapan orang lain.
Perempuan berbaju hitam itu tertawa ringan.
"Bertemu yang keras, hancurkan dengan tombak tanpa bayangan, gendawa dengan empat tali busur memang susah dilawan, tapi memang ada panah yang telah dilepas dapat balik sendiri" Selama ini, orang persilatan hanya tahu kalau dalam Bu-lim hanya ada tujuh orang ternama berilmu sakti, padahal mereka lupa kalau masih banyak orang tak bernama yang memiliki ilmu silat jauh lebih hebat dari mereka!" Tergerak hati Tian Mong-pek setelah mendengar perkataan itu.
Terdengar perempuan berbaju hitam itu berkata lebih jauh: "Bila kau ikuti aku, aku pasti akan mengajarkan ilmu silat yang tangguh kepadamu, agar kau dapat membalas dendam!" Walaupun langit diselimuti kegelapan malam, walau awan hitam menggelayut di angkasa, akan tetapi ucapan tersebut bagaikan lentera yang menerangi jagad, membuat pikiran dan perasaan Tian Mong-pek jadi terang benderang.
Tapi ingatan lain segera melintas lewat, ujarnya dengan nada berat: "Kau punya dendam dengan ayahku, lebih baik aku kehilangan ke empat anggota badanku dan tak mampu bergerak daripada mempelajari ilmu silat darimu" "Bila aku punya dendam dengan ayahmu, buat apa menawarkan bantuan untukmu?" Tian Mong-pek termenung berapa saat, katanya kemudian: "Tapi tadi kau telah bersikap tidak hormat kepada mendiang ayahku .
. . . .. bila kau memang menginginkan aku belajar silat darimu, buktikan dulu ketulusan hatimu, menyembahlah didepan kuburan ayah" Perkataan itu diucapkan tegas dan tandas, seolah orang lain harus minta bantuannya bila ingin ia belajar silat.
Mula mula perempuan berbaju hitam itu tertegun, kemudian serunya sambil tertawa dingin: "Minta aku menyembah didepan kuburan ayahmu" Hmm, hmm, sekalipun ayahmu yang minta aku .
. . . . . . . . .." "Jangan kurangajar lagi terhadap ayahku" bentak Tian Mong-pek gusar, "kau yang telah bersikap tidak sopan lebih dulu kepada ayahku tadi, mengingat kau ingin bantu aku membalas dendam, kali ini aku tak akan beradu nyawa lagi denganmu, tapi kalau berharap aku menjadi anak murid seseorang yang pernah bersikap kurangajar kepada ayahku, hmmm! Jangan harap" Bicara sampai disitu ia segera balik badan dan menggapai ke arah dua orang kakek yang berdiri dibelakangnya seraya berseru: "Ayoh kita pergi!" Tanpa berpaling lagi, dengan langkah lebar ia beranjak pergi dari situ.
Tiba tiba terdengar helaan napas panjang berkumandang dari arah belakang, seru perempuan itu: "Kembali!" "Mau apa kembali?" "Aku tidak berniat mengajarkan ilmu silat kepadamu, aku hanya ingin membawa kau pergi mencari seseorang yang memiliki ilmu silat jauh diatas kemampuanku, aku.....aaaai! aku paling banter .
. . . .. aaai! Hidup pun sudah tak lama lagi, mana mungkin bisa mengajarkan ilmu silat kepadamu?" Wajahnya yang pucat semakin memucat, pucat karena kepedihan hati yang luar biasa.
Tian Mong-pek memandangnya termangu, ditengah malam yang begitu sendu, tiba tiba muncul perasaan tak tega dihati kecilnya, dia merasa tak tega untuk membangkang perkataan perempuan itu.
"Maksudmu..... kau..... hidupmu sudah tak lama lagi?" ia bertanya agak tertegun.
Dengan sedih perempuan itu mengangguk, tiba tiba senyuman kembali menghiasi bibirnya.
"Sekalipun hidupku sudah tak lama lagi, itupun baru akan kulakukan setelah berhasil menemukan seorang guru yang baik untukmu, bila harapanku telah terkabulkan, mau mati pun tidak masalah" Ucapan terakhir hanya diutarakan dengan bibir bergetar pelan, sama sekali tak kedengaran sedikit suara pun.
Dalam keadaan begini Tian Mong-pek tak tahu haruskah merasa terharu, bersedih hati" Atau tetap merasa mendongkol terhadap sikap kurang sopan perempuan itu dihadapan kuburan ayahnya tadi.
Setelah termenung cukup lama, akhirnya ia berbisik: "Cianpwee .
. . . . . .." Perubahan sebutan ini seketika disambut perempuan itu dengan senyuman yang lembut dan hangat.
Pada saat itulah mendadak perempuan itu melesat maju ke muka dan menggenggam pergelangan tangan Tian Mong-pek.




Pemuda itu mencoba meronta namun gagal, tahu tahu badannya sudah terseret ke balik kegelapan di samping kuburan.
Dalam keadaan terkejut, dua orang kakek beruban itu buru buru ikut berlarian menuju ke balik kegelapan.
"Kenapa . . . . . . .." belum sempat Tian Mong-pek menegur, perempuan itu telah menutup mulutnya sambil berbisik: "Ada orang datang!" Dengan tangan sebelah menutup mulut Tian Mong-pek, tangan yang lain menarik pergelangan tangan pemuda itu, meski tindakannya sedikit kelewatan, namun terhitung sesuatu yang wajar wajar saja.
Maka dengan suara lirih pemuda itu berbisik: "Siapa yang datang" Apakah .
. . . . . .." "Saat ini sudah menjelang tengah malam, lagipula tempat ini terpencil dan jauh dari jalan raya, bisa diduga orang itu bukan dari golongan lurus .
. . . . . . .." Belum selesai ia berkata, kembali terdengar suara derap kaki kuda yang berat berkumandang tiba, sekarang Tian Mong-pek baru merasa amat kagum, ternyata perempuan aneh ini bukan saja memiliki ilmu silat yang tinggi, ketajaman mata serta pendengarannya pun luar biasa.
Terdengar suara derap kaki kuda itu bergema semakin dekat, menyusul kemudian terdengar suara seorang perempuan menghela napas sedih.
Semakin dekat suara derap kaki kuda.
semakin terdengar jelas suara pembicaraannya.
"Apakah fajar segera akan menyingsing" Aaai.....
aku benar-benar merasa berat hati untuk meninggalkan kau, kenapa malam selalu begitu pendek?" Tian Mong-pek segera berkerut kening, pikirnya: "Ternyata mereka adalah sepasang kekasih yang sedang mengadakan pertemuan!" Terdengar suara seorang lelaki menyahut sambil tertawa: "Angin emas hanya sekali bertemu embun kemala dimusim gugur, dan itu sudah merupakan sesuatu yang luar biasa, meski kita tak dapat bertemu setiap malam, toh bukan berarti pertemuan kita hanya terjadi setahun sekali" "Kalau benar benar hanya bertemu setahun sekali, mungkin aku sudah mati lantaran kesal!" suara perempuan itu kedengaran lembut, manja dan penuh cinta, "tahukah kau bagaimana perasaanku selama mendampinginya" Biarpun orang lain menyebut kami sebagai sepasang pendekar emas dan kumala, namun........aaai, siapa pula yang tahu betapa muak dan sebalku terhadapnya!" Mendengar itu, Tian Mong-pek terperanjat, pikirnya: "Ternyata perempuan itu adalah Giok Kwan-im Tan Cia-li!" Tak tahan dia segera melongok keluar, ingin tahu siapa gerangan lelaki itu.
Tiba tiba terdengar perempuan itu berkata lagi: "Kalau tidak salah kau pernah bilang, asal punya empat puluh laksa tahil perak, kita dapat membeli sepasang panah kekasih, aaai.....
sekarang aku benar-benar sedang membutuhkan sepasang panah kekasih, kemudian........." Bicara sampai disitu iapun berhenti secara mendadak, namun Tian Mong-pek merasa amat tercekat, begitu keras jantungnya berdebar seolah mau melompat keluar dari rongga dadanya.
Sambil menahan napas ia mendengarkan lebih jauh, mendengarkan lebih seksama.
Terdengar lelaki itu berkata: "Walaupun aku tahu kalau panah kekasih dapat dibeli, namun belum tahu bagaimana caranya membeli, hanya saja........." Setelah tertawa terkekeh, lanjutnya: "Tapi kalau kau menginginkan panah kekasih, aku bisa menghadiahkan sepasang untukmu!" Untuk kesekian kalinya Tian Mong-pek terkesiap, ia merasa tangan yang sedang menggenggam dirinya ikut gemetar pula.
"Kau mempunyai panah kekasih?" tampaknya Tan Cia-li merasa terperanjat pula.
"Tentu saja!" II "Kalau kau memiliki panah kekasih, cepat berikan sepasang untukku, aku pasti.........
nada suaranya kedengaran makin manis dan manja.
"Pasti kenapa?" tanya lelaki itu sambil tertawa ringan.
II "Malam berikutnya, aku pasti akan menuruti semua kemauanmu....
Kata berikutnya tak terdengar jelas, karena tercampur dengan suara tertawa yang amat jalang.
Saat itu kedua orang tersebut sudah mendekati tanah kubur, bahkan sudah hampir melewatinya.
Tian Mong-pek merasakan hawa amarahnya berkobar, kalau bukan ingin menunggu ucapan berikutnya, kalau bisa dia ingin menghajar ke dua orang itu hingga terjungkal dari atas kuda.
"Cepat katakan, cepat katakan.....
darimana kau peroleh panah kekasih itu" Aku janji akan lebih...........
cepat beritahu kepadaku" Tan Cia-li masih tetap merengek dengan manja.
Dari balik kegelapan malam, terlihat seekor kuda hitam muncul dari balik tanah pekuburan, diatas pelana duduk sepasang laki perempuan, Giok Kwan-im Tan Cia-li duduk bersandar dalam pelukan seorang lelaki bermantel hitam, saat itu dia sedang mendongakkan wajahnya menatap lelaki itu dengan mesra.
Sayang posisi Tian Mong-pek tertutup oleh kuburan sehingga sulit baginya untuk melihat jelas paras muka kedua orang itu.
Terdengar lelaki itu tertawa bangga, sambil membelai bahu Tan Cia-li, katanya: "Kau ingin tahu darimana aku dapatkan sepasang panah kekasih ini" Kalau begitu aku beritahu, panah kekasih itu berasal dari pundak kakek Tian yang dicabut Chin Siu-ang lalu diletakkan diatas meja, ketika itu semua orang sedang dicekam emosi sehingga sama sekali tidak menaruh perhatian ketika aku menyambarnya" Diam diam Tian Mong-pek menghela napas penuh kekecewaan, sementara Tan Cia-li menghela napas pula karena kecewa.
"Apa gunanya kalau Cuma memiliki sepasang panah kekasih?" ujarnya lesu, "bukan saja kita tak tahu bagaimana cara penggunaannya, kita pun sama sekali buta dengan rahasia dibalik benda itu" "Untuk menghadapi orang lain mungkin saja tidak berguna" kata lelaki itu sambil tertawa, "tapi kalau dipakai untuk menghadapi suamimu, lebih dari cukup.
Asal menunggu sampai dia tertidur nyenyak lalu kau hujamkan sepasang panah kekasih ini di ulu hatinya....hahaha.....
manusia mana dikolong langit yang bakal tahu kalau itu hasil perbuatanmu........." Angin malam berhembus lewat, tiba tiba kake berambut putih yang bersembunyi dibalik semak bersin berulang kali, lelaki bermantel hitam itu segera menghentikan perkataannya, sementara Tian Mong-pek segera pasang mata lebih seksama, dia berharap lelaki itu segera berpaling untuk melakukan pemeriksaan.
Siapa tahu orang itu sama sekali tidak menolah, malah sambil menutup wajahnya dengan ujung baju, ia meloncat turun dari pelana kuda dan kabur ke balik kegelapan, dalam waktu sekejap bayangan tubuhnya telah lenyap dikejauhan sana.
Tan Cia-li tidak ambil diam, dia ikut mencemplak kudanya keras keras, diiringi ringkikan panjang, kuda pun berlarian cepat meninggalkan tempat itu.
Sambil membentak, Tian Mong-pek melompat bangun dari tempat persembunyiannya.
"Mau apa kau?" tegur perempuan berbaju hitam itu.
"Lelaki laknat perempuan cabul bersekongkol ingin mencelakai suami sendiri, perbuatan ini sungguh laknat dan bedebah......." "Jadi kau merasa tidak terima dan ingin menegakkan keadilan?" "Benar" Kontan perempuan berbaju hitam itu tertawa dingin.
"Urusan sendiri saja belum beres, masih ingin mencampuri urusan orang lain?" Tian Mong-pek tertegun, katanya kemudian dengan suara berat: "Sekalipun Kim-bin-thian-ong Raja langit berwajah emas Li Koan-eng bukan termasuk manusia baik, akan tetapi diapun bukan manusia jahat yang berhati keji, masa aku harus berpeluk tangan membiarkan dia mati ditangan lelaki laknat dan perempuan cabul itu?" "Kedua orang itu sudah tahu kalau rahasia mereka telah terbongkar, mana berani melanjutkan rencananya untuk melakukan pembunuhan, dalam keadaan begini, mungkin ada orang lain ingin mencelakai orang she-Li itupun, mereka berdua akan melindunginya habis habisan, sebab mereka pasti kuatir kalau hutang itu ditagihkan kepada mereka berdua" Biarpun suaranya tetap lambat, namun nadanya diliputi gejolak emosi yang meluap, dari balik matanya yang bening pun terpancar sinar kebencian yang mendalam.
Untuk sesaat Tian Mong-pek merasa tindak tanduk perempuan aneh ini sama sekali diluar nalar, dia tak tahu orang ini termasuk perempuan lurus yang sesat" Atau perempuan baik yang keji" Dia bahkan merasa antara dirinya dengan perempuan itu seolah terikat satu hubungan yang aneh, sedang setiap ucapannya selalu memiliki daya pikat yang membuat orang susah membantah.
Co0oo Malam selalu lebih pendek daripada pagi hari, matahari telah muncul diufuk timur, diluar kota Hangciu terlihat seorang nelayan yang mengenakan topi anyaman bambu, berjalan perlahan sambil mendorong sebuah kereta gerobak.
Topi anyaman bambu itu dikenakan rendah rendah, biarpun cahaya matahari dimusim semi terasa sejuk, namun paras muka orang itu justru tampak murung dan gelap, kerutan dibalik ujung bibirnya seakan menyimpan banyak sekali kejadian masa silam.
Sorot matanya memandang empat penjuru dengan hambar, seolah tak satupun persoalan dunia yang bisa membangkitkan rasa gembiranya, dia seakan tidak mengenal indahnya kehidupan, atau mungkin dia sudah jemu dengan segala macam kehidupan" Sebaliknya nona berbaju hijau yang berjalan disampingnya justru memiliki sepasang mata yang bening, celana hijaunya yang setengah terjinjing memperlihatkan kaki kecilnya yang putih, membuat termangu siapa pun yang melihatnya.
Dibawah sinar matahari musin semi, ia merasa seluruh tubuhnya dipenuhi tenaga, satu perbedaan yang mencolok dan bertolak belakang dengan kondisi kakek disampingnya.
Dengan langkah cepat ia berjalan dan berjalan terus, mendadak sambil menghentikan langkahnya dan berpaling, ia bertanya: "Ayah, semua barang dagangan sudah habis terjual, kita akan pergi ke mana?" "Pulang" sahut sang ayah tanpa berpaling.
"Kusangka....... kusangka ayah akan berkunjung ke rumah Tian kongcu, bukankah semalam ayah bilang, dirumah Tian kongcu mungkin ada orang yang terluka, karena itu kau baru bersedia menahan rasa mendongkolmu terhadap tua bangka Chin.
Apakah sekarang kita tidak seharusnya menghantar dua ekor ikan segar lagi ke sana" Bukankah ikan segar paling baik untuk orang yang terluka?" Nelayan tua itu termenung berapa saat, tiba tiba ujarnya dengan suara berat: "Tu Kuan, apakah kau sudah melupakan perkataan dari ayahmu" Jangan mencampuri urusan orang lain, Tian kongcu tak lebih hanya salah satu langganan kita yang baik, mengerti?" "Mengerti!" dengan wajah lesu dan sedih Tu Kuan, si nona berbaju hijau itu menundukkan kepalanya.
Nelayan tua itu menghela napas panjang.
"Baguslah kalau sudah tahu" Dia mengangkat wajahnya, dengan mata yang sipit dipandangnya sekejap sinar matahari diufuk timur, kemudian gumamnya: "Cuaca bagus, cuaca bagus, inilah cuaca bagus untuk tangkapan yang banyak" Lalu kepada Tu Kuan yang tertunduk lesu, tambahnya: "Kuan-ji, kalau lelah, naiklah keatas gerobak, biar aku mendorongmu.
Biar aku sudah tua, masih cukup kuat untuk mendorongmu" Tu Kuan kembali menggeleng.
Pada saat itulah terlihat ada sebuah kereta yang tertutup rapat berlarian kencang keluar dari kota, kereta itu dilarikan amat kencang.
Cepat nelayan tua itu berseru: "Kuan-ji cepat menyingkir" Saat itu Tu Kuan sedang tertunduk macam orang kehilangan sukma, sampai kereta hampir menumbuk badannya, ia baru menyingkir dengan gelagapan.
Terdengar suara ringkikan panjang sang kuda, diantara balik tirai terlihat sepasang mata yang jeli dan tajam melongok keluar, ternyata sepasang mata Tian Mong-pek.
Ketika melihat kehadiran Tu Kuan disana, pemuda itu seolah ingin menyapa, namun kereta kuda kembali melintas dengan cepatnya.
Tiba tiba terdengar perempuan berbaju hitam yang duduk bersila disampingnya berseru tertahan: "Dia.....
apakah dia" Kenapa bisa berada disini?" Baru pertama kali ini Tian Mong-pek mendengar perempuan itu bertanya dengan keheranan, tak tahan tanyanya: "Siapa dia?" "Itu tadi, si kakek nelayan, dia seperti seseorang yang dahulu, dahulu sekali pernah kujumpai, hanya aku tak tahu benarkah orang itu atau bukan?" "Kalau menunggang kuda, kita bisa melihat lebih banyak, kalau naek kereta, sudah pasti banyak yang tak jelas" Tian Mong-pek mendongak memandang sekejap wajah perempuan itu, tampak rambutnya telah beruban semua, kerutan wajah yang tidak terlihat karena tertutup kegelapan malam, kini tertera semua dengan amat jelasnya, tubuh yang kurus kering membuat penampilannya kelihatan jauh lebih tua, hanya sepasang matanya yang terang benderang bagaikan dua buah bintang kejora dilangit yang gelap.
Maka pemuda itupun menunduk kembali dan tidak banyak bicara.
Kereta kuda bergerak tiada hentinya, selewat tengah hari pun tak tampak ada tanda tanda untuk berhenti beristirahat, tak tahan Tian Mong-pek berseru: "Cianpwee.....
hujin...... sebenarnya kita akan ke mana?" Mendengar pertanyaan itu, tiba tiba perempuan berbaju hitam itu naik pitam, sambil mengetuk lantai kereta dengan tangannya yang kurus, serunya berulang kali: "Jangan bertanya, tak usah bertanya, ikuti saja aku, tak bakal aku mencelakaimu, tak bakal membuatmu kecewa......." Begitu marah, dadanya yang kurus mulai naik turun, napasnya jadi tersengkal sengkal.
Tian Mong-pek berkerut kening, dia seperti meradang, tapi akhirnya sambil menghembuskan napas panjang katanya: "Baiklah, aku tak akan bertanya lagi!" Rupanya dia teringat kembali dengan perkataan perempuan itu semalam, dia seolah sudah tahu kalau saat hidupnya semakin pendek, karena itu ia ingin menyelesaikan semua tugasnya secepat mungkin.
Untuk sesaat pemuda itu jadi termangu, entah mengapa, tiba tiba saja muncul perasaan sedih dan ibanya terhadap perempuan asing ini.
Cahaya senja telah sirap, malam hari pun menjelang tiba, selewat Kong-sin-kiau, suasana disekeliling tempat itu semakin sepi dan jauh dari keramaian.
Tian Mong-pek berusaha untuk tidak bertanya, namun tidak menutupi rasa keheranannya, ia tak tahu dirinya hendak dibawa ke mana.
Selewat tengah malam, akhirnya sang kusir yang tak sabar, tiba tiba tanyanya: "Didepan sana adalah bukit Mok-kan-san, tak bisa lagi dilalui dengan kereta, hujin, sebenarnya kau hendak ke mana?" "Kalau memang tak bisa dilewati dengan kereta, kau boleh pulang"sahut perempuan itu sambil turun dari kereta.
"Siapa yang boleh pulang?" tanya Tian Mong-pek melengak.
Perempuan itu tertawa. "Tentu saja sang kusir kereta" jarang sekali ia tersenyum, tapi begitu tertawa, terasa kelembutan dan kehangatan terpancar dari balik wajahnya.
Dengan penuh rasa keheranan Tian Mong-pek turun dari kereta, baru akan mengeluarkan uang untuk membayar, perempuan itu telah menyodorkan sekeping emas kepada sang kusir, kemudian menarik pemuda itu dan diajak beranjak pergi.
"Kita sudah sampai tempat tujuan?" tanya Tian Mong-pek dengan kening berkerut.
"Mumpung tengah malam, kita segera lewati bukit Mok-kan-san...." "Melewati bukit Mok-kan-san malam ini juga?" "Kenapa" Kau tak kuat berjalan?" Sambil menggigit bibir Tian Mong-pek siap berang, tapi perempuan itu kembali berkata dengan lembut: "Besok, setibanya di kota An-kit kau bisa beristirahat sejenak, apa salahnya kita bersusah payah dulu sekarang" Langkah kakinya sangat enteng, dalam waktu sekejap ia sudah melesat sejauh puluhan tombak, Tian Mong-pek yang mengintil di belakangnya diam diam menghela napas panjang.
Gara gara dendam kesumat yang tak terbalas, kini dia harus mengikuti seorang wanita asing meninggalkan Hangciu kota kelahirannya, bukan saja kini dia tak tahu akan ke mana, bahkan siapa nama perempuan itupun tidak diketahui, sebenarnya apa yang sedang dilakukan" Untuk apa dia melakukan kesemuanya ini" Bukit Mok-kan-san terlihat tinggi dan curam ditengah kegelapan malam, tanpa mengucapkan sepatah kata pun Tian Mong-pek mengintil di belakang perempuan itu bergerak cepat menelusuri jalan setapak.
Angin malam berhembus sepoi, mendatangnya rasa dingin menggigil, rembulan berbentuk bulan sabit tampak bersinar cerah di angkasa.
Mendadak perempuan itu menghentikan langkahnya sambil berseru: "Aneh, sungguh aneh" Sambil menunjuk rembulan yang bergelayut di angkasa kembali dia berkata: "Apakah ayahmu terkena panah kekasih pada dua hari berselang?" Tian Mong-pek segera mengerti apa yang dimaksudkan, dengan wajah berubah serunya pula: "Aneh, dua hari berselang bukan bulan purnama, kenapa bisa muncul panah kekasih?" Selama ini pikirannya tertutup oleh kesedihan dan rasa dendam yang membara, baru sekarang dia teringat akan masalah ini: "Sejak panah kekasih muncul dalam dunia persilatan, ayah adalah korban pertama yang jatuh bukan pada saat bulan purnama......
tapi anehnya pada hari yang sama, istri kesayangan Mo-siau-to terkena pula panah kekasih diluar kota Hangciu..........." Setelah berhenti sejenak, lanjutnya dengan suara berat: "Dibalik kejadian ini pasti terselip suatu rahasia besar, jangan jangan......
panah kekasih itupun palsu?" "Kehadiran panah kekasih telah menggetarkan kolong langit, tidak aneh bila muncul panah-panah palsu, selain itu, bila ada orang yang dekat dengan ayahmu, dengan membawa dua batang panah kekasih yang diperoleh dari tubuh orang lain, kemudian menggunakan kesempatan disaat ayahmu tak siap.......aaai, seandainya peristiwa itu sama seperti kejadian yang dirancang laki perempuan semalam, bukankah semuanya akan terjadi?" Tian Mong-pek berdiri kaku, gumamnya: "Crang yang dikenal......
orang yang dikenal........" Tiba tiba teriaknya keras: "Siapakah orang itu" Kenapa aku tak dapat menduganya?" " Thian itu maha adil, orang jahat tak akan lolos dari hukuman.....
II ujar perempuan itu sambil memandang tanah perbukitan dikejauhan.
Baru saja perkataan itu selesai diucapkan, tiba tiba dari balik pepohonan ditengah kegelapan malam terdengar seseorang tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha..... Thian maha adil, orang jahat tak akan lolos dari hukuman.....
perkataan hujin memang hebat dan sangat tepat" Suara gelak tertawa itu amat keras dan nyaring hingga menembusi keheningan malam, ucapan orang itupun tajam bagaikan suara genta, membuat gendang telinga terasa bergetar.
Dengan perasaan terperanjat Tian Mong-pek berpaling, tampak dari balik pepohonan berjalan keluar lima orang manusia.
Crang pertama berbaju indah dengan perawakan tinggi besar, diatas kepalanya ia mengenakan sebuah kopiah yang aneh sekali bentuknya, dalam tiga langkah lebar dia telah tiba dihadapan Tian Mong-pek.
Dari nada suara serta langkah kakinya yang begitu cepat, bisa diduga kalau orang ini memiliki ilmu silat yang sangat tinggi.
Dibawah cahaya rembulan, terlihat orang itu memiliki wajah persegi yang sangat lebar dengan telinga besar, mulut lebar dan mata besar, penampilannya gagah dan kuat.
Biarpun Tian Mong-pek sudah lama berdiam di wilayah Kanglam, namun ia tak berhasil menebak asal usul orang ini.
Terlihat orang itu memandang Tian Mong-pek sekejap, kemudian dengan sikap yang sangat hormat menyembah dihadapan perempuan berbaju hitam itu sambil berkata: "Hong Ku-bok menjumpai sam-hujin" Saat ini, bukan saja ia sudah tak tertawa lagi, sikapnya nampak begitu menghormat seakan seorang menteri yang bertemu dengan permaisuri.
Dalam pada itu ke empat lelaki berbaju perlente lainnya sudah berlutut ditempat kejauhan.
"Hong Ku-bok, mau apa kau datang kemari?" terdengar perempuan itu menegur dengan nada ketus.
Hong Ku-bok, lelaki tinggi besar itu perlahan-lahan bangkit berdiri, dengan kepala tetap tertunduk sahutnya: "Berhubung hujin pergi tanpa pamit, bukan saja Cukong merasa amat kuatir, hamba pun ikut menguatirkan kejadian ini" Perempuan berbaju hitam itu segera mendengus dingin.
Kembali Hong Ku-bok berkata sambil tertawa: "Oleh sebab itu cukong perintahkan hamba untuk datang mencari hujin, hamba sekalian tahu akan tabiat hujin yang tak tahan menghadapi keramaian duniawi, oleh sebab itu hamba bersama Thiat-sik sekalian berempat telah menanti hujin di empat puncak bukit sekeliling kota Hangciu......."
"Darimana kalian bisa tahu kalau aku berada di Hangciu?" tegur perempuan itu lagi.
"Hamba sekalian hanya menduga .
. . . . .." Belum habis perkataan itu, tiba tiba perempuan itu mengayunkan telapak tangannya dan menampar wajah orang itu, hardiknya: "Menduga" Kurangajar, kepergian ku pun jadi bahan dugaan kalian?" Biarpun darah membasahi ujung bibir Hong Ku-bok, ia tetap berdiri dengan wajah tersenyum, jangan lagi membantah, menyeka darah dibibir pun tak berani.
"Tertawa! Kau masih bisa tertawa" Apa lagi yang kau tertawakan?" kembali perempuan itu membentak, sebuah tempelengan kembali mendarat di pipi Hong Ku-bok, membuat darah yang meleleh semakin banyak. Tian Mong-pek merasa semakin keheranan, dia tak habis mengerti, dengan penampilan serta ilmu silat yang dimiliki Hong Ku-bok, mengapa dia manda dihina dan dipermainkan perempuan itu tanpa berusaha melawan" Pemuda itupun tidak menyangka kalau wanita berbaju hitam ini memiliki perangai yang begitu berangasan dan kasar.
Benar saja, senyuman yang semula menghiasi bibir Hong Ku-bok kini hilang tak berbekas, namun sikapnya tetap sangat menghormat, sahutnya dengan kepala tertunduk: "Hamba tidak berani, hamba hanya menjalankan perintah cukong, datang untuk menjemput hujin, II selama ini kondisi kesehatan hujin kurang baik, pabila kelewat capek .
. . . . . .. "Kenapa kalau kelewat capek?" tukas perempuan itu sambil tertawa dingin, "bakal mampus" Hmm, hmm, biar aku mampus pun tak perlu orang she-Siau itu menguatirkan" Semakin mendengar, tianmopek merasa semakin keheranan, ternyata tokoh setangguh Hong Ku-bok masih mempunyai cukong atau majikan, lantas siapakah majikannya itu" Rasanya belum pernah terdengar nama pendekar sakti dari marga Siau.
Kalau ditilik dari pembicaraan tersebut, kelihatannya "cukong" dari marga Siau itu adalah suami perempuan berbaju hitam ini, tapi kenapa ia harus berkata begitu" Kenapa dia harus mengumbar amarahnya dihadapan seorang asing macam dirinya" Terdengar Hong Ku-bok berkata dengan suara berat: "Biarpun antara hujin dengan cukong telah terjadi kesalah pahaman, sekembalinya ke lembah, cukong sendiri akan memberikan penjelasan, kenapa dihadapan orang asing, hujin .
. . . . . .." "Kurangajar, urusan ku pun ingin kau campuri?" teriak Siau Sam-hujin atau perempuan berbaju hitam itu dengan sorot mata setajam mata pedang.
II Kemudian..... "Plaak, plaaak, plaaak .
. . . .. secara beruntun dia tempeleng wajah Hong Ku-bok sebanyak tujuh kali, lelaki kekar itu bukan saja tak berani membalas, menghindar pun tidak berani.
Lama kelamaan Tian Mong-pek jadi tak tega, tak tahan bujuknya: "Siau hujin .
. . . . . . . .." "Hei, siapa suruh kau memanggil aku Siau hujin?" tukas Siau Sam-hujin gusar.
Tian Mong-pek tertegun, pikirnya: "Kalau tidak memanggil kau sebagai Siau hujin, lantas harus panggil apa?" Sementara diluaran katanya dengan suara dalam: "Urusan rumah tangga hujin tak ingin cayhe campuri .
. . . .." "Urusan rumah tangga siapa" Urusan rumah tangga apa?" kembali Siau sam-hujin menukas sambil melotot.
Tiba tiba dia mengayunkan tangannya dan menampar pipi anak muda itu.
Tian Mong-pek merasakan tubuhnya bergetar keras, dengan kepalan dikencangkan dan sorot mata memancarkan api kegusaran, ditatapnya perempuan cantik tapi berangasan itu tanpa berkedip, lama kemudian rasa iba bagaikan segentong air dingin, perlahan-lahan memadamkan kembali hawa amarahnya.
Sambil menggigit bibir dia segera membalikkan tubuh, tanpa mengucapkan sepatah kata pun beranjak pergi dari situ.
Rambut berunban perempuan itu, kerutan diatas wajahnya, sinar kehangatan dari pandangan matanya telah meninggalkan kesan iba dihati kecilnya, jauh melebihi hawa amarah karena tamparannya barusan.
Dia telah mengabaikan rasa gusar dan meninggalkan perasaan iba.....
Tampaknya secara diam diam Siau Sam-hujin menghela napas, bentaknya tiba tiba: "Kembalil" Tian Mong-pek berlagak seolah tidak mendengar, ia melanjutkan perjalanan dengan langkah lebar.
Mendadak terasa bayangan manusia berkelebat lewat, Hong Ku-bok telah menghadang dihadapannya sambil menghardik: "Kau dengar tidak, hujin suruh kau kembali?" Sebetulnya Tian Mong-pek sedang membantunya, melihat orang itu justru menghadang jalan perginya, ia jadi jengkel bercampur keheranan, namun dalam keadaan begini dia enggan banyak bicara, maka sambil mendengus dan mengulapkan tangan, serunya: "Minggir kamu!" Kembali dia mengayunkan kaki, siap berjalan lewat dari samping tubuhnya.
Siapa tahu Hong Ku-bok merentangkan sepasang tangannya sambil kembali membentak: "Kembalil" Dengan penuh kegusaran Tian Mong-pek mengangkat tangannya langsung menghantam dada lawan, hardiknya gusar: "Kau mau menyingkir tidak?" Dia tak bermaksud melukai lawan, karena nya serangan tersebut hanya menggunakan tenaga sebesar tiga bagian.
Sambil menarik dadanya ke belakang, Hong Ku-bok memutar sepasang lengannya, dengan tangan kiri menghantam dagu sementara kepalan kanannya menghajar bahu, dia jepit tubuh pemuda itu dari kiri kanan.
"Dasar manusia tak tahu diri!" umpat Tian Mong-pek gusar, dia buang bahunya ke samping, menghindarkan diri dari datangnya ancaman.
"Asal kau bersedia kembali, aku tak akan menyusahkan dirimu" terdengar Hong Ku-bok berkata lagi dengan nada serius.
"Kalau tak mau kembali, mau apa kau?" dengan gusar Tian Mong-pek merangsek maju, dua pukulan langsung dilontarkan, kepalan kiri duluan disusul kepalan kanan.
Baru saja Hong Ku-bok hendak menangkis kepalan kirinya, siapa tahu kepalan kanan yang menyerang belakangan, justru tiba lebih dulu.
Inilah jurus Puan-ki ong-lu-ciam (menarik gendawa melepas panah) yang amat dahsyat.
"Ilmu pukulan hebat!" bentak Hong Ku-bok nyaring, tanpa menyeka noda darah diujung bibirnya lagi, ia keluarkan ilmu simpanannya untuk bertarung sengit melawan anak muda itu.
Aliran ilmu pukulan yang digunakan merupakan aliran keras, tampak jurus serangannya berat, tenaga pukulannya mantap, langkah kakinya sama sekali tak bergerak sementara tubuhnya yang tinggi kekar berdiri kokoh bagaikan bukit karang, hampir semua pukulan yang dilontarkan menggunakan segenap kekuatan yang dimilikinya, kendatipun jurus serangannya hampir semuanya terbuka lebar, namun sama sekali tidak memperlihatkan titik kelemahan.
Tian Mong-pek jarang bertarung, dia kurang pengalaman dalam menghadapi lawan, kendatipun tenaga dalamnya lebih sempurna, namun saat ini hatinya sedang diliputi hawa amarah yang meluap.
Tenaga amarah memperberat daya tekan pukulan yang dilontarkan, ini membuat posisinya sementara berada diatas angin, ditambah lagi kecerdasan otaknya melebihi orang lain, hal mana membuat Hong Ku-bok semakin tertekan.
Siau Sam-hujin menonton jalannya pertempuran sambil berpeluk tangan, sinar kegirangan tampak terpancar dari balik matanya, keadaan perempuan itu ibarat seorang guru sedang mengawasi muridnya berlatih, biarpun gerakannya masih lamban dan kaku, namun dengan bakat terpendam yang dimiliki, asal dipoles lagi berapa saat, tak susah tampil sebagai seorang jago tangguh.
Tiga puluh gebrakan kemudian, Hong Ku-bok melepaskan satu pukulan berantai, ketika sampai tengah jalan, mendadak ia berganti posisi, dari dada kali ini dia mengancam bawah ketiak anak muda itu.
Perubahan jurus ini dilakukan sangat cepat dan tepat, jauh berbeda dengan gerak serangan semula.
Dengan perasaan terkejut Tian Mong-pek melompat ke samping, posisinya seketika berubah, tiga serangan berantai Hong Ku-bok memaksa dia harus menghindar berulang kali, mendadak lawannya mengeluarkan lagi jurus serangan yang sama seperti tadi, hanya kali ini arah sasarannya berbeda.
Dalam keadaan demikian, terpaksa Tian Mong-pek mundur lagi sejauh tiga langkah, diam diam ia terperanjat, sama sekali tak diduga kalau dikolong langit terdapat jurus ancaman seampuh itu.
Berhasil dengan serangannya, Hong Ku-bok makin bersemangat, ujarnya dingin: "Lebih balik kau kembali saja!" Tian Mong-pek bungkam seribu bahasa, cepat dia menenangkan hatinya.
Tampak Hong Ku-bok kembali melancarkan tiga jurus serangan berantai, Tian Mong-pek tahu, lawannya kembali akan melancarkan serangan dengan jurus aneh, sayang dalam waktu sekejap ia gagal menemukan cara terbaik untuk menghadapinya.
Disaat yang kritis itulah mendadak terdengar Siau Sam-hujin berseru: "Melangkah ke samping kiri, tekuk kaki kanan, lancarkan serangan dengan sepasang kepalan, ancam tiga inci dibawah tulang bahunya!" Tanpa terasa Tian Mong-pek mengikuti petunjuk itu, baru saja sepasang kepalannya akan disodokkan ke muka, tiba tiba terlihat sepasang bahu lawan sama sekali terkunci oleh gerak serangannya, bila pukulan itu dilanjutkan, bukankah dirinya akan terjebak dalam perangkap musuh" Baru saja ia ragu dan kebingungan, saat itulah tiba tiba Hong Ku-bok merubah gerak serangannya, betul saja, titik kelemahan segera muncul dibawah tulang bahunya.
Sambil diam diam menghela napas, sepasang kepalannya kembali disodok ke muka, sayang keadaan terlambat, disaat ia sangsi tadi, pihak lawan kembali sudah mengunci gerak serangannya sambil balas mengancam iganya.
Dalam posisi begini sulit bagi anak muda itu untuk menangkis, untuk mundurpun tak sempat, terpaksa sepasang kepalannya kembali dilontarkan ke depan, lagi lagi satu jurus beradu jiwa.
Terasa segulung desingan angin tajam menyapu lewat dari sisi tubuhnya, mendadak Hong Ku-bok membentak keras lalu mundur tiga langkah, darah segar lagi lagi menyembur keluar membasahi ujung bibirnya.
Dalam pada itu Siau Sam-hujin telah melompat kesamping Tian Mong-pek, tanpa memandang Hong Ku-bok yang terluka, ujarnya perlahan: "Coba kau turuti perkataanku tadi, aku tak perlu bersusah payah untuk turun tangan sendiri, saat ini tulang bahu Hong Ku-bok kalau tidak patah, paling tidak ia bakal terluka parah" Padahal tindakan yang dilakukan Hong Ku-bok sesungguhnya merupakan bakti dia terhadap perempuan ini, siapapun tidak menyangka kalau perempuan itu justru malah berpihak kepada Tian Mong-pek.
Untuk sesaat anak muda itu berdiri tertegun karena heran, ia merasa tindak tanduk dari Siau Sam-hujin maupun Hong Ku-bok sama sama aneh dan tak menuruti aturan, dia tak habis mengerti apa sebenarnya hubungan diantara mereka berdua, sahabat atau musuh" Hong Ku-bok berdiri kaku dengan sepasang lengan lurus ke bawah, hawa amarah mulai muncul diwajahnya meski ia berusaha untuk sembunyikan perasaan itu, perlahan dia alihkan pandangan matanya ke wajah Tian Mong-pek, berapa saat kemudian tiba tiba berkilat matanya lalu berseru: "Jangan jangan kongcu ini .
. . . .. kongcu ini adalah sauya dari Tian Hua-uh?" Tian Mong-pek berkerut kening, ia merasa heran bercampur gusar, gusar karena orang itu begitu tidak menghormat sewaktu menyebut nama ayahnya, tapi merasa heran karena sikapnya yang begitu hormat, bahkan memanggil dirinya sebagai kongcu.
Siau Sam-hujin segera berbalik badan, tegurnya ketus: "Kenapa kalau benar, kenapa pula kalau tidak benar?" Sekulum senyuman menghiasi ujung bibir Hong Ku-bok yang basah oleh darah, jawabnya dengan kepala tertunduk: "Cukong menitahkan hamba sekalian untuk menjemput pulang hujin, bila hujin tak mau kembali, bagaimana hamba sekalian mempertanggung jawabkan perintah ini?" Setelah berhenti sejenak, terusnya: \\-I -api sekarang, ternyata hujin telah bertemu dengan Tian kongcu, hamba rasa kalian pasti akan berkumpul cukup lama, jadi biarlah hamba segera pulang untuk memberikan laporan dulu" Siau Sam-hujin mendengus, Hong Ku-bok tak berani mendongak tapi lanjutnya: "Semua anggota lembah merindukan hujin, semoga hujin bisa baik baik menjaga kesehatan dan segera kembali ke lembah, hamba sekalian tak berani mengganggu lagi" Sambil berkata kembali dia berlutut dan menyembah berapa kali dengan hormat.
Siau Sam-hujin tidak bicara, pandangan matanya dialihkan ke tempat kejauhan, namun dadanya naik turun cepat, tampaknya terjadi pergolakan dalam hatinya.
Hong Ku-bok mundur berapa langkah, masih dengan kepala tertunduk ia berpaling dan memberi tanda kepada ke empat lelaki lainnya.
Tiba tiba Siau Sam-hujin menghela napas panjang, serunya: "Kembali!" Tampaknya seruan itu disampaikan setelah dipertimbangkan cukup lama.
"Apakah hujin masih ada pesan lain?" tanya Hong Ku-bok tetap dengan kepala tertunduk.
Perasaan sedih dan kesepian terlintas diwajah Siau Sam-hujin, dibawah cahaya rembulan terlihat kerutan diujung matanya bertambah dalam.
"Kau boleh pulang . . . . . . .." katanya sambil menghela napas, "beritahu cukong, aku tak akan pulang lagi" "Tidak pulang lagi?" seru Hong Ku-bok terperanjat, tubuhnya yang tinggi besar tampak bergetar.
Siau Sam-hujin mengangguk perlahan, tatapan matanya masih memandang kejauhan.
"Selama belasan tahun, dia selalu bersikap baik kepadaku, namun disaat akan pergi meninggalkan dirinya, aku justru tak dapat berpamitan, hal ini sungguh membuat hatiku menyesal" Ucapan tersebut disampaikan dengan nada gemetar, jelas perasaan hatinya sedang bergolak keras.
Hong Ku-bok berdiri mematung, matanya terbelalak, wajahnya persis seperti bocah yang terkejut karena mendengar suara guntur nyaring.
Kembali Siau Sam-hujin berkata sambil menghela napas: "Beritahu juga kepadanya, dunia persilatan amat bahaya dan penuh dengan manusia jahat, apalagi belakangan sudah terjadi perubahan besar dalam dunia persilatan, lebih baik dia tak usah meninggalkan lembah" \\~I -api.....
tapi . . . . .. II "Inilah semua perkataan yang harus kau sampaikan, sudah mendengarnya dengan jelas?" tukas Siau Sam-hujin sambil menarik wajahnya.
"Hamba . . . . .. hamba telah mendengar semuanya dengan jelas, tapi hujin, kau .
. . . . . .." "Kalau sudah jelas, cepat pergi dari sini!" Kembali Hong Ku-bok tertegun, akhirnya setelah memberi hormat ia lari meninggalkan tempat itu, tampaknya dia lari dengan sepenuh tenaga, bukan saja ke empat lelaki anak buahnya jauh tertinggal dibelakang, dalam waktu singkat tubuhnya sudah lenyap di balik kegelapan.
Mengawasi bayangan punggung orang orang itu lenyap dibalik kegelapan, tubuh Siau Sam-hujin yang kurus kering berdiri kaku tanpa bergerak, bagaikan terpaku di atas tanah.
Tian Mong-pek betul betul dibuat kebingung dan tak habis mengerti, pikirnya: "Crang she-Hong tadi bilang, karena sudah bertemu aku, mungkin kami akan berkumpul cukup lama, apa maksud perkataan itu" Jangan jangan antara perempuan ini dengan aku memang terikat suatu hubungan khusus?" Setelah termenung sejenak, kembali pikirnya lebih jauh: "Dia sama sekali tak punya hubungan apa apa denganku, kenapa sikapnya terhadap diriku begitu aneh .
. . . . .." Sementara dia masih termenung, tiba tiba tampak tubuh Siau Sam-hujin mulai gemetar keras, dalam kagetnya dia langsung berteriak keras: "Hujin, kenapa kau?" Belum selesai berteriak, tubuh Siau Sam-hujin telah roboh terjungkal ke tanah bagaikan daun kering.
Dengan hati kebat kebit Tian Mong-pek berjongkok untuk memeriksa, dibawah sinar rembulan, tampak wajahnya yang pucat kini muncul roda merah membara, napasnya tersengkal, dadanya naik turun tak beraturan, seakan ada sebuah tangan iblis tak berwujud yang sedang mencekik lehernya.
Buru buru Tian Mong-pek membangunkan tubuhnya sambil berteriak gugup: "Hujin .
. . . . . .." Siau Sam-hujin memejamkan matanya rapat rapat, napasnya semakin tersengkal, teriaknya tiba tiba: "Cee....cepat....
ambil kotak hitam dari saku ku .
. . . . . . . ." Belum selesai bicara, ia sudah jatuh tak sadarkan diri.
Selapis kabut memecah disisi tubuh So Kin-soat, ia tersenyum, panggilnya lembut: "Piauci .
. . . . .." "Siapa piauci mu?" tukas Siau Sam-hujin ketus.
So Kin-soat menghela napas, ujarnya dengan kepala tertunduk: "Belasan tahun sudah lewat, apakah piauci masih menaruh salah paham kepadaku?" "Aku salah paham kepadamu?" Siau Sam-hujin tertawa dingin.
Tiba tiba ia membalikkan badan dan membanting tubuh lelaki kekar serta seruling emas itu ke samping tubuh Hong Ku-bok, jelas amarahnya butuh tempat penyaluran, karena itu bantingannya sangat keras.
Terdengar dua kali jeritan kaget, rupanya menggunakan bantingan tersebut dia telah menotok bebas jalan darah ditubuh Hong Ku-bok.
IU I IU I I,, `\-- hmm, setelah menipuku dengan suara seruling, kau anggap sebelum aku kembali maka kau bisa ujar Hong Ku-bok dengan wajah ketakutan.
gunakan kesempatan ini untuk membunuhnya, bukan begitu?" Hong Ku-bok berdiri gemetar, saking takutnya dia sampai tak mampu berkata kata.
Dalam anggapannya, kali ini nyawanya pasti bakal melayang, karena itu lelaki tinggi besar ini hanya bisa berdiri dengan wajah pucat pasi.
Terdengar Siau Sam-hujin kembali berkata: "Baru keluar dari lembah, jalan darahmu sudah ditotok orang, benar benar memalukan, bukan hanya kau yang malu, akupun ikut dibuat malu oleh ulahmu" Begitu mendengar ucapan tersebut, Hong Ku-bok segera tahu kalau masih ada secerca harapan hidup untuknya, maka dengan kepala tertunduk katanya: "Hamba tahu salah, tapi ilmu silat yang dimiliki So hujin benar benar sangat lihay!" "Budak yang memalukan, kenapa tidak segera menggelinding pergi dari sini" umpat Siau Sam-hujin gusar, "mengingat kau telah mengaku salah dan tidak menipuku, kuampuni nyawa anjingmu kali ini" Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya dengan dingin: "Daripada sementara orang, sudah menipuku, sekarang masih ingin menipu ku lagi .
. . . . . . . . .." Mendadak ia membalikkan badan menatap So Kin-soat, lalu terusnya: "Bukan begitu?" So Kin-soat tertawa sedih, ujarnya: "Sejak piauci pergi dengan membawa rasa dendam, selama ini secara diam diam aku selalu mengikuti dibelakangmu, hingga tanggal tujuh bulan tujuh, delapan belas tahun berselang tiba tiba jejak piauci lenyap diatas gunung Hoa-san, waktu itu aku gelisah setengah mati hingga akhirnya aku mendapat tahu kalau piauci telah ......." "Jadi selama ini kau selalu mengintil dibelakangku?" tukas Siau Sam-hujin dengan wajah berubah, " .
. . . .. jadi kau pula yang berapa kali menolong aku sewaktu berada di tepi telaga Thay-ou, kaki gunung Im-san, ditengah sungai huangho .
. . . ..?" Sambil pejamkan matanya So Kin-soat mengangguk berulang kali.
Tiba tiba Siau Sam-hujin tertawa dingin, ujarnya lagi: "Hmm, berulang kali kau menolong aku, tujuannya tak lain karena kau merasa telah berbuat salah, kaupun kuatir bila aku mati maka orang lain akan curiga kaulah yang telah mencelakaiku, kau sangka aku tak tahu" Kau anggap aku bakal berterima kasih kepadamu?" Ucapan serta nada tertawanya terdengar begitu tajam, begitu sinis dan penuh kebencian.
Tergerak hati Tian Mong-pek, tiba tiba saja ia teringat kembali dengan pembicaraan sepasang kekasih di luar tanah pekuburan kota Hangciu: "Mereka berdua sangka rahasianya sudah terbongkar, mana berani mencelakai orang lagi" Bahkan kalau ada orang lain ingin mencelakai orang she-Li pun, mereka berdua pasti akan melindunginya mati matian .
. . . . . . . .." Waktu itu dia hanya merasa bahwa kesimpulan tersebut kelewat tendensi, tapi bukannya tak masuk akal, sekarang dia baru sadar ternyata ucapan itu muncul dari perasaan hatinya, namun dia pun merasa susah untuk mempercayai bahwa So Kin-soat yang begitu cantik dapat melakukan perbuatan sedemikian hina dan rendah.
Tampak So Kin-soat menghela napas sedih, dua titik air mata merembes keluar membasahi pipinya.
Siau Sam-hujin angkat wajahnya memandang awan di angkasa, tanpa memandang lagi kearahnya dia berkata kembali: "Sejak kecil kuanggap dirimu sebagai adikku sendiri, sama sekali tak kusangka ternyata kau adalah perempuan berwajah manusia berhati binatang, coba bukan karena kau, aku .
. . . . .. aku . . . . . . .." Ucapan tersebut tidak dilanjutkan, kembali napasnya tersengkal sengkal.
So Kin-soat menutup wajahnya dengan kedua belah tangan, pekiknya: "Piauci, kau benar-benar tak percaya kepadaku?" 'II "Aku hanya percaya dengan apa yang telah kusaksikan dengan mata kepala sendiri kata Siau Sam-hujin sambil tertawa dingin, "selama hampir dua puluh tahun, setiap hari setiap malam, tak sedetikpun aku melupakan dirimu, setelah bertemu hari ini, aku tak akan membiarkan kau tetap hidup di dunia ini, aku tak akan membiarkan kau terus mencelakai orang lain, bagiku, senyuman manismu jauh lebih jahat dan beracun daripada ular berbisa" Bergetar keras sekujur tubuh So Kin-soat, serunya gemetar: "Piauci, kau....
kau akan membunuhku?" "Benar!" Tubuhnya melesat ke depan, tangannya diayun ke depan, dengan ke lima jari tangannya yang runcing dia cakar wajah So Kin-soat.
Andaikata serangan itu mengenai sasaran, bukan saja wajahnya yang cantik jelita akan terluka dan berdarah, bahkan akan rusak dan hancur.
Tian Mong-pek pejamkan matanya, tak berani memandang lagi, meski dia belum tahu latar belakang dari peristiwa tersebut, namun dapat menduga kalau dibalik kesemuanya pasti terselip sebuah tragedi yang mengenaskan.
So Kin-soat mengigos ke samping dengan cekatan, ujarnya lembut: "Piauci, napasmu semakin terengah, mana mungkin sanggup bertarung melawan orang lain?" Siau Sam-hujin sama sekali tidak menjawab, secara beruntun dia lancarkan tiga jurus serangan.
Jurus jurus serangan itu kelihatan begitu lembut, begitu indah melawan, seolah sebuah tarian indah didepan terangnya cahaya lilin, tapi begitu dilancarkan, terlihatlah betapa dahsyat tenaga dalam yang disertakan dibalik keindahan jurus serangan itu, terlihat begitu ganas dan telengas bahkan terkandung tenaga pukulan yang tiada putus, yang setiap saat dapat berubah, setiap waktu bisa menyerang bagian tubuhmu yang tak terduga sebelumnya.
Kembali So Kin-soat berjumpalitan ditengah udara, ujarnya sambil tertawa: "Piauci, selama berapa tahun terakhir, rupanya ilmu silatmu telah mengalami kemajuan yang amat pesat!" Tiba tiba dia melejit kembali kemudian bergeser tujuh depa dari posisi semula.
Dengan wajah sedingin es Siau Sam-hujin merangsek maju, tampak bayangan putih dan bayangan hitam melambung dan melayang bagai daun rontok ditengah kabut tebal, selama ini So Kin-soat sama sekali tidak melancarkan serangan balasan, walau satu gebrakan pun.
Tian Mong-pek sendiri meski sejak kecil belajar silat, walau setiap hari bergaul dengan jago persilatan, namun belum pernah menyaksikan ilmu gerakan tubuh secanggih ini, kontan saja dia pentang matanya lebar lebar dan tak mau berpejam lagi.
"Kenapa kau tidak membalas?" tiba tiba Siau Sam-hujin menegur sambil menghentikan tubuhnya.
"Kenapa aku harus membalas?" So Kin-soat balik bertanya.
"Hmm, biar tidak membalaspun, aku tetap akan membunuhmu!" "Aaai, biar kau bunuh akupun, aku tak ingin membalas!" jawab So Kin-soat sambil menghela napas.
Tampaknya hati Siau Sam-hujin lebih keras dari batu cadas atau besi baja, paras mukanya sama sekali tidak berubah.
Kembali So Kin-soat berkata: "Aku hanya minta waktu satu hari, agar pergi melakukan satu pekerjaan, kemudian aku akan datang mencarimu lagi!" Siau Sam-hujin tertawa dingin tanpa menjawab.
Kembali So Kin-soat melanjutkan perkataannya: "Kau tak usah kuatir aku bakal melarikan diri, kalau tak ingin bertemu denganmu, tadi aku tak bakal kemari" Siau Sam-hujin termenung sejenak, ujarnya kemudian: "Sembilan belas tahun telah kulewati, apa salahnya kalau hanya sehari?" So Kin-soat tertawa pedih, sambil beranjak pergi ujarnya: "Kesehatanmu kurang baik, tak baik hawa dingin ditempat ini, dibawah bukit terdapat sebuah losmen kecil, bersih pula, tunggulah aku disana, paling besok pagi aku sudah datang" Dengan kerdipan mata dia menyapa Tian Mong-pek, kemudian tampak bayangan putih berkelebat lewat, tubuhnya lenyap dibalik kabut tebal.
Perlahan Siau Sam-hujin berpaling ke arah Tian Mong-pek, katanya: "Mari kita turun gunung" Setelah menyaksikan senyuman pedih So Kin-soat, setelah mendengar perkataan So Kin-soat yang mengenaskan, anak muda ini merasa Siau Sam-hujin kelewat keji dan telengas, maka sahutnya ketus: "Maksud baik hujin biar kuterima dalam hati saja, boanpwee rasa lebih baik pergi seorang ...ooOO- http://cerita-silat.mywapblog.com -OOoo...
diri . . . . . . .. Belum selesai bicara, tampak Siau Sam-hujin berseru dengan wajah pucat: "Kau.....
kau akan pergi........." Tubuhnya gontai lalu roboh terjungkal ke tanah, sesaat sebelum jatuh, ia cengkeram pergelangan tangan Tian Mong-pek, biar jarinya lembut, cengkeraman itu bagaikan japitan besi, kontan membuat anak muda itu kesakitan setengah mati.
Sekuat tenaga dia mengibaskan lengannya untuk melepaskan diri dari cengkeraman, lalu teriaknya keras: "Betul, aku akan pergi, biar ilmu silatku cetek namun aku masih punya rasa kemanusiaan, aku tak sudi berjalan dengan seseorang yang tak punya hati!" Sekalipun pergelangan tangannya makin lama makin sakit, namun dadanya dibusungkan ke depan.
"Kau tahu apa?" ujar Siau Sam-hujin sambil mengendorkan cekalan, sementara air mata jatuh berlinang.
Tian Mong-pek berlagak seolah tidak mendengar, ia balik badan lantas beranjak pergi, namun isak tangis dibelakang tubuhnya bagaikan seutas tali tak berwujud yang membelenggu kakinya, tanpa terasa ia berpaling.
Terlihat Siau Sam-hujin dengan tubuhnya yang kurus kering sedang tertitah titah berjalan menuruni bukit.
Sepanjang perjalanan ia membungkam terus, berpaling pun tidak, lama kelamaan ia merasa langkah Siau Sam-hujin makin berat, makin gontai, napasnya makin tersengkal, bahkan setibanya dibawah bukit, Siau Sam-hujin sama sekali tak mampu bergerak lagi.
Tian Mong-pek jadi gugup bercampur panik, untung saja tak jauh didepan sana terdapat sebuah losmen, buru buru dia membopong tubuh perempuan itu dan melangkah masuk ke dalam ruangan.
Dengan wajah hijau membesi, mulut terkancing rapat, ditambah ia mengenakan pakain berkabung, tampang dan penampilannya sangat menyeramkan.
Ternyata pelayan losmen tak berani mencegahnya, dengan perasaan apa boleh buat pelayan itu mengajaknya ke sebuah kamar, meninggalkan air teh kemudian segera pergi dari situ.
Kamar losmen itu mempunyai ruangan yang cukup lebar, tapi berhubung dibangun bersandar pada dinding bukit, sepanjang tahun tak dapat sinar matahari hingga selain gelap, lembab pula, air teh yang disediakan pun sangat pahit.
Tian Mong-pek tidak memperdulikan hal hal itu lagi, selesai menghasilkan seteko air teh, segera teriaknya: "Pelayan, apakah disekitar tempat ini ada tabib?" Belum lagi sang pelayan menjawab, Siau Sam-hujin telah menjawab sambil menghela napas: "Tak perlu cari tabib lagi, sakitku sudah kuderita tiga puluh tahun lamanya, tak ada obat yang dapat menyembuhkannya" Tian Mong-pek mendeham berulang kali, ia duduk kembali di bangku sementara perasaan hatinya sekarang jauh lebih getir daripada air dalam cawan.
Kembali Siau Sam-hujin berkata sambil tertawa: "Kau tak usah takut, aku tak bakalan mati, selama banyak tahun tiada hentinya aku berjuang melawan penyakit, meski belum berhasil menang namun akupun tak pernah kalah, kalau bukan lantaran ingin balas dendam, dalam keadaan sakitpun masih tetap berlatih silat, mungkin saat ini aku telah sembuh dari sakitku" Napasnya kembali tersengkal, sambil pejamkan mata perlahan lanjutnya: "Kau tak usah kuatir, biarkan aku beristirahat sejenak" Dengan tenang ia berbaring diatas ranjang, lambat laun perempuan itupun terlelap tidur.
Tian Mong-pek tidak mengerti kenapa perempuan berhati keji itu bicara begitu tulus terhadap dirinya, bahkan banyak ucapan yang tidak seharusnya disampaikan kepada seseorang yang masih asing pun telah dia ucapkan.
Setelah termangu berapa saat, diam diam diapun keluar dari ruangan menuju ke lapangan diluar losmen, saat itu cahaya matahari telah tertutup awan gelap, angin dingin berhembus menggoyangkan sarang laba-laba disudut wuwungan rumah, tumpukan batu bata berserakan di balik semak sisi halaman, disamping ruang utama terlihat ada dua kamar lain, kamar kamar itupun gelap lagi lembab.
Dengan wajah murung pemuda itu menelusuri serambi samping, membayangkan kejadian yang menimpa dirinya selama ini, tanpa terasa langkah kakinya jadi berat.
Tampaknya tamu yang menghuni kamar samping pun seseorang yang sedang menderita sakit, suara rintihan lirih berulang kali bergema dari balik kamar.
Dia berjalan keluar tinggalkan losmen, setelah menangsal perut dan minum berapa cawan arak, ia balik kembali ke tengah halaman.
Saat itu menjelang senja, Siau Sam-hujin masih terlelap tidur, perasaan sepi yang luar biasa membuat pemuda itu merasa enggan untuk balik kembali ke kamarnya, namun diapun tak bisa tidak harus balik ke dalam kamar sendiri.
Disaat dia masih bingung dan ragu itulah, tiba tiba terdengar suara bentakan keras diiringi suara jerit kesakitan bergema dari balik kamar sebelah, menyusul kemudian.....
"Blammml" daun jendela berserakan, sesosok bayangan manusia terlempar keluar dari balik jendela, jatuh terbanting di lantai kemudian setelah berguling berapa kali, orang itu muntahkan darah segar.
Dalam terkejutnya Tian Mong-pek memburu ke depan, terlihat orang itu mengenakan baju berwarna hijau pucat, wajah orang itupun hijau pucat seperti warna bajunya, usianya masih amat muda.
Ketika melihat kedatangan Tian Mong-pek, ia mendongak dan memandangnya sekejap, lalu tanpa banyak bicara segera merangkak bangun dan melompat keluar melewati pagar halaman, wajahnya jelas terlihat kaget bercampur gugup.
Sementara Tian Mong-pek masih tertegun, dari balik kamar terdengar suara bentakan gusar seseorang yang serak tua: "Bedebah .
. . . . .. mau kabur ke mana kau?" Dibalik remang remangnya cuaca, Tian Mong-pek saksikan seorang kakek berambut kusut, dengan berpegangan pada sisi meja sedang bersandar diatas pembaringan, matanya berkilat tajam, persis seperti harimau terluka.
Setelah membentak gusar, tubuhnya kembali roboh keatas ranjang, sementara tangannya yang menggenggam disisi meja membuat kayu meja itu hancur berserakan.
Ternyata sepasang kaki kakek itu sudah kutung sebatas lutut, bekas luka masih diperban sedang noda darah masih terlihat membasahi kain perban itu, jelas luka itu baru dideritanya belum lama berselang.
Sementara dia masih tertegun bercampur keheranan, tampak pemuda berbaju hijau itu sudah melongok lagi dari balik tembok pagar sambil membentak: "Hei tua bangka sialan, memangnya kau mampu mengejar sauya mu" Hehehe....
tubuhmu sudah terkena panah kekasih, umurmu sudah tak lama lagi, lebih baik serahkan benda itu untuk sauya, siapa tahu aku masih berkenan mengurusi layonmu nanti, kalau tidak....
hmm, sampai mati pun belum tentu ada orang bakal mengurusimu, mungkin saja badanmu bakal dimakankan anjing!" Perkataan itu disampaikan dengan nada cepat lagi nyaring, membuat Tian Mong-pek berkerut kening dan merasa amat tak tega.
Mendadak terdengar kakek itu membentak nyaring, begitu tangannya diayun ke depan, sekilas cahaya perak segera melesat keluar lewat jendela, langsung mengancam tubuh pemuda diatas tembok pekarangan.
Buru buru pemuda itu menarik kepalanya sambil bersembunyi, cahaya perak dengan disertai desingan angin tajam langsung menyambar lewat dari atas kepalanya dan menancap diatas sebatang pohon liu, berapa kaki dari posisinya, ternyata sebilah pisau belati.
Diam diam Tian Mong-pek merasa terperanjat, dia tidak sangka kakek buntung itu memiliki tenaga sambitan yang begitu kuat, sedangkan anak panah yang terlepas dari busur otomatis pun tak bakal menghasilkan kekuatan begitu hebat.
Kembali pemuda berbaju hijau itu melongok dari balik tempat persembunyiannya dan mengejek sambil tertawa dingin: "Kau sangka sambitanmu mengenai sasaran .




. . . . . . . ..?" Tiba tiba kakek itu menghentakkan tangannya dipinggir ranjang, lalu secepat kilat tubuhnya melesat keluar lewat jendela.
Berubah hebat paras muka pemuda berbaju hijau itu, tidak berani banyak bicara lagi tergopoh gopoh dia melarikan diri dari situ.
Ketika tubuhnya tiba ditengah halaman, tenaga daya luncur kakek buntung itu melemah, tak ampuh badannya jatuh terjerembab, meski begitu umpatnya keras: ...ooOO- http://cerita-silat.mywapblog.com -OOoo...
"Binatang, mau kabur ke mana .
. . . . . .. Sepasang tangannya mencakar keatas tanah membuat tanah liat yang keras segera tergali hingga muncul sebuah lubang besar, hancuran tanah beterbangan di angkasa, tapi sayang biarpun dia marah luar biasa, tubuhnya gagal melewati pagar dinding itu.
Il "Lotiong . . . . . . . .. sapa Tian Mong-pek sambil mendeham.
Kakek buntung itu mendongakkan kepalanya, garis darah memenuhi matanya, mimik muka orang itu selain menakutkan, diapun tampak sangat mengenask an.
Setelah menghela napas pemuda itu maju selangkah, katanya lagi: "Lebih baik lotiong kembali ke kamar untuk beristirahat, apakah perlu aku memayangmu?" "Siapa kau?" bentak kakek buntung itu marah, "pergi, cepat pergi! Jangan mendekati aku" Sepasang tangannya menyanggah tanah, sikapnya persis seperti harimau terluka.
Kembali Tian Mong-pek berkata sambil menghela napas: "Aku hanya berniat baik, sama sekali tak bermaksud mencelakai lotiong" "Maksud baik .
. . . .. hmm, hmm!" kakek buntung itu tertawa seram, "sikap dan perbuatanmu tak ubahnya seperti binatang bedebah itu, bukankah kau tertarik dengan barang milik lohu" Kau sangka dapat membohongi lohu" Berani maju selangkah lagi .
. . . . .. jangan disangka kakiku sudah buntung, lohu masih mampu meringkusmu!" Tian Mong-pek merasa tersingung, keningnya berkerut, teriaknya gusar: ...ooOO- http://cerita-silat.mywapblog.com -OOoo...
"Cleh karena melihat usiamu sudah tua lagi cacad, aku hanya berniat menolongmu .
. . . . . . .. Saking gusar dan mendongkolnya dia merasa perkataannya kelewat tajam, maka ucapan berikut tidak dilanjutkan, tanpa membuang waktu dia membalikkan tubuh dan beranjak pergi.
Sambil tetap duduk diatas tanah, kakek buntung itu menghantam tanah berulang kali, teriaknya: "Siapa yang kesudian dengan pertolonganmu, enyah, cepat enyah dari sini!" Nada suaranya gemetar penuh mengandung rasa sedih dan gusar yang luar biasa, hingga Tian Mong-pek masuk kembali ke pintu kamarnya, tiba tiba dua titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.
Mengawasi sepasang kaki sendiri yang telah buntung, dia merasakan dadanya sakit bagaikan diiris dengan pisau tajam, sambil merangkak ke arah pintu kamar tiba tiba teriaknya: "Anak muda, kembali kau!" Tian Mong-pek tahu Siau Sam-hujin pasti tersadar dari tidurnya, cepat dia masuk ke dalam kamar, tampak perempuan itu masih berbaring diranjang, namun dengan napas tersengkal bertanya: "Siapa itu" Siapa itu?" Tapi setelah mendengar bentakan itu, tanyanya pula: "Siapa yang memanggilmu?" "Seorang kakek cacat!" Baru saja anak muda itu akan menceritakan kejadian yang sebenarnya, dengan mata setengah terpejam dan kelihatannya lelah sekali, Siau Sam-hujin berkata: "Kalau begitu keluar dan tengoklah dia, aku masih ingin tidur sejenak lagi" Dia seperti tidak tertarik dengan persoalan apa pun, dalam keadaan begini Tian Mong-pek tak ingin banyak bicara, setelah berpikir sejenak, ia berjalan menghampiri kakek buntung itu, meski hatinya mendongkol bercampur marah, namun setelah melihat keadaan orang tua itu, ia jadi tak tega sendiri.
"Apakah lotiong memanggil aku?" Saat itu kakek buntung tersebut sudah merangkak naik ke atas ranjang sendiri, dengan matanya yang tajam dia awasi Tian Mong-pek berapa saat, akhirnya sambil menggapai serunya: "Kemari kau!" Kelihatannya hawa amarah dalam dadanya sudah mereda, namun mimik mukanya kelihatan keren dan serius.
Tian Mong-pek berjalan masuk ke dalam ruangan, diatas meja ia lihat berapa botol obat yang berserakan, disudut ranjang terdapat sebuah bungkusan kain kuning, tidak jelas barang apa yang berada didalamnya.
"Kau belajar silat?" tanya kakek buntung itu kemudian.
Tian Mong-pek manggut-manggut.
"Apakah kau kenal aku?" tanya kakek itu lagi.
Cepat pemuda itu menggeleng.
Berkilat sepasang mata kakek itu, katanya lagi: "Kalu belajar silat, lagipula mengenakan pakaian berkabung, pasti ada sanakmu yang tewas dibunuh musuh, apakah kau bersedia mempelajari berapa jurus ilmu silatku, agar dapat balaskan dendam atas kematian sanakmu?" Tian Mong-pek membungkam tanpa menjawab.
Tampak kakek buntung itu memutar tangannya satu lingkaran kemudian dilontarkan ke depan, walaupun jurus itu tampak sederhana dan biasa, tapi dalam pandangan anak muda itu justru membuatnya terkesiap.
Sebab jurus pukulan yang kelihatannya mengarah ke bawah, tiba tiba saja telah berubah jadi atas, ancaman yang jelas terlihat mengarah kiri, tahu tahu sudah ke kanan, dalam satu jurus yang sederhana terkandung perubahan yang luar biasa, sebuah jurus pukulan yang mengagumkan.
Menyaksikan perubahan mimik mukanya, kakek buntung itu segera tersenyum, ujarnya: "Bila kau dapat segera menghantarku ke kota Hangciu, akan kuwariskan tiga jurus ilmu pukulan itu untukmu, perduli siapapun musuhmu, cukup mengandalkan ke tiga jurus serangan tersebut, kau pasti dapat balas dendam" "Cayhe akan sewakan sebuah kereta yang bisa langsung menghantar lotiong ke kota Hangciu" "Kalau menyewa kereta, memangnya aku tak bisa menyewa sendiri" Aku minta kau membopongku, bila ada musuh yang menghadang, biar sepasang kakiku sudah kutung, namun dengan mengandalkan sepasang tanganku, aku dapat memukul mundur mereka semua, jangan kuatir, tak bakal melukaimu, bila kau bisa menghantarku tiba di Hangciu, bukan saja lohu .
. . . . . .." "Maaf, cayhe tak punya waktu" tukas Tian Mong-pek.
Berubah paras muka kaki buntung itu, teriaknya gusar: "Bedebah, dasar manusia yang tak tahu diri, selama hidup belum pernah lohu minta bantuan orang, hari ini .
. . . . . . .." "Aku tidak perduli apakah selama hidup belum pernah minta bantuan orang atau tidak" kata Tian Mong-pek dengan kening berkerut, "yang jelas, dalam kamar ku juga terdapat orang sakit, mana boleh kutinggalkan dirinya dengan pergi menghantarmu ke kota Hangciu?" Sesudah berhenti sejenak dan menghela napas panjang, terusnya: "Apalagi selama hidup, aku tak ingin melangkah masuk lagi ke rumahnya Chin Siu-ang!" "Darimana kau tahu kalau lohu ingin mencari Chin Siu-ang?" tanya kakek buntung itu dengan wajah berubah.
"Kau sudah terkena panah kekasih, walaupun sepasang kakimu yang terkena panah sudah kau buntungi hingga dapat hidup sampai kini, namun sisa racun ditubuhmu belum hilang, tentu saja kau akan mencari Chin Siu-ang!" Menyinggung kembali tentang Chin Siu-ang, rasa gusar langsung menyelimuti wajahnya.
Siapa tahu kakek buntung itu segera mendongakkan kepalanya dan tertawa kalap.
"Biarpun kau cerdas, sayang dugaanmu keliru besar!" Sementara Tian Mong-pek tertegun, kakek itu dengan wajah sedih bercampur gusar sudah mendongak memandang awan diangkasa dan melanjutkan: "Sudah cukup lama lohu malang melintang dalam dunia persilatan, hidupku sudah lebih dari cukup, kini aku sudah cacat, kenapa harus minta tolong lagi kepada seorang tua bangka celaka untuk selamatkan jiwaku?" Mendengar kakek buntung itu membahasai Chin Siu-an g sebagai tua bangka celaka, Tian Mong-pek merasa setuju sekali, segera katanya pula dengan nada benci: "Betul sekali, orang ini selain bedebah, dia buas, licik dan bermoral rendah, bila aku terkena panah kekasih pun lebih baik mati daripada membiarkan jari tangannya menyentuh tubuhku!" Pemuda ini memang berwatak polos tapi berhati keras, apa yang terpikir dalam hati, semuanya langsung tampil diwajahnya.
Kakek buntung itu jadi senang sekali, sejak mendengar penampikan anak muda itu karena enggan meninggalkan orang sakit yang sedang dirawatnya, ia sudah menaruh simpatik kepadanya, apalagi setelah mendengar ungkapan perasaan hatinya sekarang, mimik mukanya kontan berubah jadi lembut.
"Lohu hanya ingin menjumpai seseorang di kota Hangciu" ujarnya kemudian, "siapa orang sakit di kamarmu" Bila sakitnya tidak terlalu parah, lebih baik hantarlah lohu lebih dulu ke kota Hangciu, kemudian baru balik lagi merawatnya" Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Aaai, sejujurnya boanpwee tak punya hubungan apa apa dengan orang yang sedang sakit dalam kamar, tapi penyakit yang dideritanya saat ini sangat parah, aku kuatir .
. . . . . .." Rasa sedih yang tiba tiba muncul membuat pemuda itu tak tega melanjutkan perkataannya.
"Penyakit yang sangat parah.....
aaai, padahal begitu juga dengan kondisi lohu saat ini, tapi bila aku tidak serahkan pesan akhirku, mana mungkin bisa mati dengan hati lega" Setelah menghela napas, nada suaranya makin lama semakin lirih dan akhirnya berubah jadi gumaman, sementara wajahnya kelihatan begitu sendu dan mengenaskan.
Tiba tiba Tian Mong-pek menimpali: "Biarpun sekarang cayhe tak bisa membantu lotiong, tapi aku lahir di Hangciu, siapa tahu aku kenal dengan orang yang sedang lotiong cari" "Selama hidup lohu tak punya sanak tak punya keluarga, sejujurnya orang itupun baru kukenal satu kali, tapi hatiku baru lega bila dapat berjumpa muka dengan dirinya" "Siapakah orang itu?" tak tahan Tian Mong-pek bertanya.
"Orang itu tak lain adalah pemimpin Jin-gi-su-hiap, orang memanggilnya Tian Hua-uh!" Bergetar keras perasaan hati Tian Mong-pek, tak kuasa dia mundur selangkah, serunya: "Mau apa kau mencarinya?" \\~ Aaai, aku akan beritahu kepadanya tentang keganasan racun panah kekasih" kata kakek buntung itu sambil menghela napas, "aku ingin mohon kepadanya untuk mencari sumber dari racun itu dan membasminya dari dunia persilatan, aku ingin mewariskan semua ilmu silatku kepadanya, minta dia carikan seorang murid untukku, aaai...
biarpun ilmu silat yang dimiliki orang ini tidak begitu tinggi, namun dialah seorang lelaki sejati, seorang pendekar yang berjuang untuk menegakkan keadilan, dikolong langit saat ini hanya dia seorang yang bisa membuat lohu mati dengan meram, aaai.....
kenapa begitu sedikit orang baik di dunia ini!"
Belum selesai dia berkata, air mata telah jatuh bercucuran membasahi pipi Tian Mong-pek, dia terduduk di bangku lalu katanya: "Lotiong, mungkin kau....
kau tak dapat bertemu lagi dengan dirinya" "Apa .
. . . .. apa kau bilang?" bentak kakek buntung itu sambil melotot.
\\"l -iga hari berselang, ayahku telah tewas terkena panah kekasih, beliau tak mungkin bisa bertemu Il lagi dengan cianpwee kata Tian Mong-pek dengan air mata bercucuran.
"Dia . . . . .. dia..... kau..... jadi kau adalah putra Tian Hua-uh" Jadi dia....
dia pun terkena panah kekasih .
. . . .. Thian, oh Thian! Kau.... " Sekujur badannya bergetar keras, tiba tiba dia mengayunkan tangannya menghantam satu inci disisi jantungnya, paras muka yang semula kuning pun segera berubah jadi pucat pasi, cahaya matanya ikut pula memudar.
"Cianpwee . . . . . .." dengan perasaan terperanjat jerit Tian Mong-pek.
Kakek buntung itu sama sekali tidak menghentikan gerakan tangannya, sekali lagi dia hantam nadi sebelah kirinya sebanyak tujuh kali, teriaknya keras: "Siapa namamu?" Tian Mong-pek mengira kesadaran orang itu telah berubah, dengan perasaan terkejut bercampur keheranan, ia menyebutkan nama sendiri.
Setelah terengah berapa saat, lambat laun kakek buntung itu berhasil mengendalikan diri, katanya lagi: "Tian Mong-pek.....
cepat berlutut!" Sementara anak muda itu masih terperangah, dengan gusar kakek buntung itu membentak lagi: "Cepat berlutut, tidak kau dengar perkataan lohu?" Selain gusar, kakek itu tampak panik bercampur cemas.
Karena menaruh perasaan simpatik terhadap kakek ini, Tian Mong-pek segera menyahut dengan nada lembut dan bersahabat: "Maaf, selama hidup cayhe tidak terbiasa berlutut didepan orang, tanpa sebab cianpwee minta boanpwee untuk berlutut, mohon dimaafkan bila boanpwee tak dapat memenuhinya!" Kakek buntung itu melotot gusar, Tian Mong-pek tidak menghindar, mereka berdua pun saling bertatap mata berapa saat.
Akhirnya kakek buntung itu menghela napas, katanya kemudian: "Berhubung kelewat emosi, hawa murni yang melindungi nadi ku tadi jadi buyar sehingga sisa racun telah menyerang ke dalam jantung, dengan mengandalkan sisa kekuatan aku berusaha membuyarkan hawa racun itu tadi, tapi sayang usia ku paling banter hanya bisa bertahan satu jam saja, bila hawa racun berkumpul kembali nanti, aaai, bi ar ada dewa pun, sulit untuk selamatkan jiwaku lagi" \\ 1 Aaai....
boanpwee menyesal tak memiliki kemampuan untuk memunahkan racun ditubuh cianpwee, tapi sebagai sahabat mendiang ayahku, sudah menjadi kewajiban boanpwee untuk mengurusi semua keperluan cianpwee dimasa mendatang........" Baru saja anak muda itu akan berlutut, tiba tiba kakek buntung itu membentak lagi penuh kegusaran: "Siapa suruh kau urusi masalahku dimasa mendatang, kalau orang sudah mati, semuanya telah selesai, biar mayatku bakal dimakan anjingpun sudah bukan urusanmu lagi" Tian Mong-pek tertegun, belum sempat mengucapkan sesuatu, kakek buntung itu telah berkata lebih jauh: "Lohu minta kau berlutut lantaran didalam waktu satu jam yang amat singkat ini akan kuangkat dirimu sebagai muridku, aku harus mewariskan ilmu silat serta tanda pengenal perguruanku sebelum aku bisa mati dengan tenang, kau betul betul tak tahu diri, malah membuang waktu yang berharga dengan percuma" Tian Mong-pek mundur selangkah, serunya: "Baru pertama kali ini aku bertemu cianpwee, mana boleh memikul tanggung jawab seberat I I C I I C I I "Tutup mulut, kalau aku sudah penuju kepadamu, kau tetap akan terpilih, kalau tidak, biar kau berlutut sambil menyembah pun, tak bakalan aku tertarik atau memandang sekejappun!" Diambilnya buntalan berwarna kuning itu, kemudian katanya lagi: "Berlutut, cepat berlutut!" "Biarpun cianpwee penuju kepadaku, tapi aku tak boleh masuk perguruan orang lain dengan begitu saja" tampik sang pemuda sambil busungkan dada.
Mula mula kakek itu tertegun, kemudian sambil tertawa keras katanya: "Hahahaha....
bagus, bagus, punya semangat, ternyata aku Chin Mo-cuan tidak salah pilih!" Cepat dia membuka bungkusan kain kuning itu, mengeluarkan sebuah panji dan dikibarkan, bentuk panji tersebut sangat aneh karena hanya berupa selembar kain putih, diatasnya tiada lukisan, tiada pula tulisan.
Sekalipun hanya sebuah panji yang sederhana, namun cukup membuat sekujur tubuh Tian Mong-pek bergetar keras, bisiknya dengan hati tercekat: "Pek-po-mo-kie (panji iblis kain putih) .
. . . . . . .." "Benar, lohu adalah Pek-po-kie (panji kain putih) Chin Mo-cuan, perguruan Po-kie-bun (panji kain) selamanya hanya diwarisi satu orang, jadi kau tidak malu menjadi pewaris dari Po-kie-bun" Kakek buntung yang menjelang kematiannya ini kelihatan bersinar wajahnya sewaktu menyebutkan nama sendiri.
Tanpa terasa Tian Mong-pek bergumam: "Berpekik bagai hembusan angin, panji kain putih .
. . . . .." Mimpi pun dia tak menyangka kalau kakek buntung ini ternyata tak lain adalah salah satu diantara tujuh tokoh maha sakti yang menggetarkan sungai telaga selama puluhan tahun terakhir, tokoh ke lima Panji kain putih.
Dia cukup tahu akan sepak terjang si kakek dimasa lampau, ketika terbayang kembali keadaannya yang begitu mengenaskan sewaktu merangkak ditanah, timbul perasaan iba dihati kecilnya.
Sesudah menghela napas panjang, tanyanya: \\ h cianpwee, kenapa kaupun bisa terkena panah kekasih?" Paras muka Chin Mo-cuan kembali berubah berat dan serius.
"Aaai, kecepatan bidikan senjata rahasia itu dan keganasan dari racunnya merupakan sesuatu yang tiada taranya dalam dunia persilatan selama ribuan tahun terakhir, tapi bagian yang paling misterius justru terletak pada hubungannya dengan undangan malaikat elmaut, kombinasi dari kedua benda ini seolah telah menciptakan suatu daya tarik yang membetot sukma, oleh sebab itu bila ingin menghindari anak panah tersebut, janganlah menghindar disaat anak panah itu dibidikkan, tapi menghindarlah disaat kau menerima kartu undangan malaikat elmaut, sebab kalau sampai menunggu panah dilepas, keadaan pasti terlambat.
Dengan pengalaman ilmu silatku, disaat melihat panah kekasih dilancarkan, aku segera meloncat untuk menghindar, tapi kenyataannya masih bersarang juga di kaki ku .
. . . . . .." Setelah menghela napas panjang, lanjutnya: "Ilmu meringankan tubuh yang kumiliki boleh dibilang jarang ada tandingannya dikolong langit, sayang umurku tak panjang sehingga tak ada kesempatan lagi untuk menyelidiki dimana letak daya pikat panah tersebut, aku harap pengalaman yang telah kuyar dengan nyawa ini bisa kau ingat terus didalam hati" "3ukan saja boanpwee akan selalu ingat dalam hati, bahkan merasa berterima kasih sekali" "Kini kau sudah menjadi murid Po-kie-bun, sudah sepantasnya kalau aku .
. . . . . .." Tiba tiba Tian Mong-pek menukas: "Cinta kasih cianpwee membuat boanpwee semakin terharu, tapi maaf karena aku tak bisa menjadi murid Po-kie-bun" "A.....
apa?" dengan mata melotot kening berkerut Chin Mo-cuan berteriak.
Dengan menundukkan kepala kembali Tian Mong-pek berkata: "Biarpun ilmu silat yang cianpwee miliki sangat tangguh, tapi kau sudah terkena panah kekasih, sehingga biarpun boanpwee berhasil mempelajari seluruh kepandaian yang kau miliki pun, aaai .
. . . ..sama saja tak mampu menghindari keganasan panah maut itu, bagaimana mungkin boanpwee dapat balaskan dendam kesumat atas kematian ayahku" Maafkan daku kalau boanpwee terpaksa bicara blak blakan, semoga cianpwee dapat memaklumi!" Paras muka Chin Mo-cuan hijau kepucat-pucatan, entah karena sedih atau lantaran gusar, berapa saat kemudian ia tertawa sedih, katanya setelah menatap sekejap panji kain yang berada dalam buntalannya: "Sungguh tak nyana ada juga manusia dalam dunia persilatan yang menolak menjadi murid Po-kie-bun, aaai, mungkinkah perguruan Po-kie-bun yang telah diwariskan puluhan generasi selama ratusan tahun harus berakhir sampai disini?" Tian Mong-pek sendiripun merasa amat sedih, dia tak menyangka kalau jagoan tangguh ini bisa tunjukkan mimik muka begitu sendu, bisa dibayangkan betapa sedih, kecewa dan beratnya perasaan hati orang ini.
Angin dingin berhembus masuk melalui jendela, tiba tiba terdengar suara tertawa dingin berkumandang dari kejauhan.
"Siapa?" bentak Chin Mo-cuan.
"Tidak adil, sungguh tidak adil" kata orang diluar jendela sambil tertawa dingin, "tak disangka dikolong langit masih terdapat kejadian yang begitu tak adil, sungguh membuat lohu tak habis mengerti!" Perkataan itu berkumandang dari kejauhan yang makin lama semakin mendekat, lalu dari balik daun jendela yang telah jebol, muncul dua sosok bayangan manusia.
Dari balik kegelapan terlihat jelas kalau mereka berdua adalah seorang kakek bersama seorang pemuda, yang tua kurus kering pendek lagi kecil, tapi memiliki mata yang tajam dan jenggot kambing yang pendek, dia berjalan mendekat sambil tertawa dingin tiada hentinya.
Sementara yang muda tak lain adalah pemuda berbaju hijau yang belum lama tinggalkan tempat itu.
Berubah paras muka Chin Mo-cuan, teriaknya dengan gusar: "Hong Sin alias Hong It-tiok! Hong It alias Hong Tiok-leng! Kalian ayah beranak masih berani datang mencariku!" Ternyata kakek kurus kering itu tak lain adalah perampok ulung yang pernah malang melintang dalam dunia persilatan, orang menyebutnya Coat-ho (Tak punya keturunan) Hong It-tiok.
Crang ini ganas, kejam dan telengas, asal tertarik dengan satu keluarga kaya raya maka dia akan merampoknya hingga habis tak bersisa, itulah sebabnya orang menyebutnya coat-ho, habis hingga tak punya keturunan.
Sudah cukup lama ia lenyap dari peredaran dunia persilatan, sungguh tak nyana hari ini dapat munculkan diri kembali di sini.
Tian Mong-pek sangat terperanjat, tapi sebelum dia melakukan sesuatu, terdengar orang itu berkata lagi sambil tertawa dingin: "Manusia mana dari dunia persilatan yang tak ingin menjadi murid Po-kie-bun, siapa suruh kau justru memilih pemuda itu dan kebetulan orang pun enggan jadi muridmu, jika sampai terlihat orang lain, apakah orang tidak mengira kau sedang merengek kepadanya?" Paras muka Chin Mo-cuan berubah sedingin salju, jelas amarahnya telah memuncak, bentaknya: "Kau.....
berani amat kau berkata begitu!" Sebagaimana diketahui, hawa racun yang mengeram dalam tubuhnya saat ini telah menyerang ke jantung, itu berarti sedikit saja bergerak niscaya jiwanya bakal melayang, coba bukan lantaran begitu, mungkin sejak tadi ia telah menerjang ke depan.
Hong It-tiok atau Hong Sin segera tertawa dingin.
"Melihat kau sudah buntung, dengan susah payah putraku telah menghantarmu sampai disini, bukan hanya melayanimu dengan air teh, bahkan masakkan obat untuk merawat lukamu, siapa tahu bukan saja kau enggan mewariskan ilmu silat kepadanya, malah melukai dia dengan pukulan.
Apa kau tidak merasa bahwa perbuatanmu itu selain tak adil, pada hakekatnya air susu telah dibalas dengan air tuba!" "Biarpun bocah laknat itu licik dan berhati busuk, bakat dia untuk belajar silat sangat jelek" kata Chin Mo-cuan gusar, "mengingat dia telah melindungi dan menghantarku selama ini, sebetulnya aku berniat mengajarkan ilmu silat kepadanya, siapa sangka ketika melihat lohu tidak mati juga, menggunakan kesempatan disaat aku sedang tidur, dia berniat mencelakaiku.
Hmmm! Aku menyesal kenapa tak berhasil menghabisi nyawa laknat busuk macam dia!" "Apa salahnya kalau sekarang kau mencoba melepaskan pukulan lagi ke tubuhku!" ejek Hong It, pemuda berbaju hijau itu sambil tertawa dingin.
"Sudah, kejadian yang lewat tak perlu diungkit lagi" sela Hong Sin cepat, "Kuanjurkan kepadamu lebih baik serahkan kitab pusaka po-kie -pit-kip segera, mungkin saja mengingat kerelaan hatimu ini lohu bakal mengubur jenasahmu secara baik baik, kalau tidak....
hehehe... saat ini hawa racunmu sudah menyerang jantung, asal lohu menggerakkan ujung jari saja, kau segera akan mati tanpa tempat kubur!" Sambil berkata, dia ayun tangannya keatas jendela, seketika hancuran kayu beterbangan, kaleng obat dimeja pun ikut berjatuhan ke lantai terkena getaran.
Pucat pasi paras muka Chin Mo-cuan, teriaknya: "Lohu lebih suka....
lebih suka tak punya murid perguruan daripada mewariskannya kepada anak laknatmu itu" Sedemikian marah kakek buntung ini hingga suaranya ikut gemetar.
Hong Sin tertawa dingin, sambil merangsek maju serunya dingin: "Mau diserahkan tidak?" Selangkah demi selangkah dia mendekati depan pembaringan.
Tian Mong-pek tak kuasa menahan diri lagi, dia melintang ke hadapan orang itu sambil bentaknya: "Keluar kau!" Hong Sin tak pandang sebelah mata terhadap anak muda itu, tanpa berpaling kembali ujarnya dingin: "Crang she-Chin, bila kau berani menggunakan tenaga saat ini berarti kematian didepan mata .
. . . . . .." Mendadak dia lancarkan sebuah babatan ke dada Tian Mong-pek, telapak tangannya yang kurus kering kelihatan berwarna hitam bersinar, tak usah ditanya pun sudah jelas kalau tenaga pukulannya beracun.
Tian Mong-pek miringkan dadanya sambil mundur setengah langkah, dengan cepat dia lancarkan sebuah pukulan balasan.
"Dasar bedebah dungu yang tak takut mampus!" umpat Hong Sin sambil menekan tangannya ke bawah, membacok tangan anak muda itu, perubahan jurus dilakukan secepat petir.
Tian Mong-pek membentak nyaring, tanpa perdulikan keselamatan pergelangan tangan sendiri, telapak kirinya menghantam ke depan, mengancam jalan darah tay-yang-hiat di kening sebelah kanan musuh.
Coat-ho Hong Sin menjerit kaget sambil mundur tiga langkah, dia sama sekali tak menyangka kalau pemuda itu bakal menggunakan jurus adu jiwa dalam gebrakan pertama, setelah berhasil menenangkan diri, serunya sambil tertawa dingin: "Kau tak punya hubungan apa apa dengannya, buat apa mesti jual nyaw" Hmm, hmm, baru pertama kali ini lohu jumpai budak dungu yang tak takut mampus macam kau!" "Anggap saja hari ini kau telah menjumpainya!" teriak Tian Mong-pek.
"Bagusl" Sambil tertawa dingin Hong Sin maju sambil menyiapkan sebuah pukulan.
\\-I -ahan!" mendadak Chin Mo-cuan membentak nyaring.
Sambil melompat masuk ke arena seru Hong It: "Ayah, serahkan saja budak dungu yang tak takut mati ini kepadaku!" "Coba kita dengarkan dulu apa yang akan dikatakan manusia she-Chin itu" Dengan geram Chin Mo-cuan berkata: "Kalian ayah beranak, satu didepan yang lain di belakang, yang satu terang-terangan yang lain ditempat kegelapan, rupanya sejak awal sudah membuat rencana untuk membohongi kitab pusaka Po-kie-pit-kip milikku?" Berubah paras muka Hong Sin.
"Kalau benar kenapa, kalau tidak kenapa pula?" katanya sambil tertawa dingin.
"Lohu sadar, racun yang mengeram dalam tubuhku tak mungkin bisa disembuhkan lagi, oleh karena itu aku tidak memikirkan lagi keselamatan jiwaku.
Namun ulat kecil pun tak ingin mati pasrah, buat apa kau masih berdiri disitu" Kau sangka pukulan sekuat tenagaku tidak cukup untuk mencabut nyawamu?" Perkataan itu disampaikan dengan jelas dan terang, membuktikan kalau tenaga dalamnya amat sempurna.
Hong Sin terkesiap, tanpa sadar ia mundur tiga langkah, apalagi Hong It, cepat cepat dia bersembunyi disudut ruangan.
Tian Mong-pek sendiri merasa sedih bercampur gusar, dia tak menyangka dalam keadaan begini Chon Mo-cuan masih memiliki pengaruh sedemikian besarnya.
Kembali Chin Mo-cuan berkata sambil tertawa seram: "Hahahaha.....
binatang bernyali tikus macam kalian masih belum pantas membuat ulah dihadapan lohu!" Walaupun suara tertawanya keras, namun nadanya kedengaran mulai melemah.
Diam diam Tian Mong-pek berkerut kening.
Betul saja, Hong Sin segera menyadari akan hal itu, katanya pula sambil tertawa keras: "Hahahaha....
tua bangka sialan, coba kau tidak tertawa, hampir saja aku termakan tipuanmu.
Memang kau sangka sisa kekuatanmu masih mampu melukai orang" Hahaha....
apa salahnya untuk dicoba!" "Selama masih ada aku orang she-Tian, jangan harap kau bisa menyentuh ujung baju dia orang tua!" bentak Tian Mong-pek sambil rentangkan lengannya dan berdiri didepan kakek buntung itu.
Gelak tertawa Hong Sin semakin kalap, dengan hawa membunuh menyelimuti wajahnya dia berseru: "Bagus, bagus, kalau kau nekat ingin mati bersamanya, lohu pasti akan kabulkan permintaanmu itu!" Diiringi gelak tertawa seram, dia mulai melangkah maju.
Tian Mong-pek merasakan darah panas mendidih dalam tubuhnya, dia kepal sepasang tinjunya kencang kencang, asal Hong Sin berani maju selangkah lagi, biar darah harus berceceran pun dia sudah nekat akan melancarkan serangan.
Mendadak terdengar Chin Mo-cuan membentak keras: "Coba aja kalau berani menyentuh dia!" Telapak tangannya dibalik sambil menekan ranjang, tahu tahu badannya sudah berdiri tegak, matanya bersinar merah, rambutnya berdiri bagai duri, sekalipun kakinya sudah kutung namun tampilannya saat ini sangat menakutkan.
Coat-ho Hong Sin sesungguhnya merupakan seorang iblis berhati keji yang tangannya sudah berlumuran darah, entah mengapa, dihadapan kakek yang sekarat hampir mati ini justru menaruh perasaan ngeri yang luar biasa.
Sambil memaksakan diri menyeringai seram, katanya: "Akan kubunuh dia dihadapanmu juga, mau kulihat apa yang bisa kau perbuat terhadapku?" "Betul" sambung Hong It, "kita buktikan saja apa yang bisa dia perbuat........" Tiba tiba terdengar seseorang berkata dari luar jendela sambil menghela napas: "Hong loji, siapa lagi yang hendak kau bunuh?" Dengan tubuh bergetar keras Hong Sin berdua berpaling, tampak seorang wanita pucat berbaju hitam telah berdiri bersandar ditepi jendela.
"Siau Sam-hujin!" tanpa sadar Hong Sin, Hong It serta Tian Mong-pek berseru tertahan., biarpun teriakanya sama namun nadanya berbeda.
Nada suara Han Sin berdua kedengaran gemetar penuh rasa takut dan ngeri sedangkan nada suara Tian Mong-pek kedengaran girang bercampur kuatir, girang karena dengan ilmu silat yang dimiliki perempuan itu, tak sulit untuk pukul mundur Hong Sin berdua, kuatir karena wajahnya kelihatan pucat dan layu, meski bersandar ditepi jendela namun kelihatan kalau sakitnya bertambah parah.
Kembali Siau Sam-hujin berkata: "Sudah berusaha merampas harta milik orang, masih ingin mencabut nyawanya, apakah kau sudah lupa dengan sumpah yang pernah kau ucapkan waktu mengemis hidup di lembah gara gara dikejar Thian-to-jin pada sepuluh tahun berselang?" Senyuman menyeringai serta napsu membunuh yang semula menghiasi wajah Hong Sin, saat ini sudah hilang tak berbekas, dengan kepala tertunduk sahutnya: "Cayhe tidak berani, semoga sam hujin ..........." "Kalau memang belum lupa, kenapa tidak segera pergi dari sini?" tukas Siau Sam-hujin cepat, "bila sejak kini kau benar benar mau bertobat dan menjadi orang baik, aku tak akan menyulitkan dirimu lagi!" Dengan sikap yang sangat hormat Hong Sin menjura dalam dalam, sahutnya takut: "Terima kasih sam-hujin!" "Cepat pergi, cepat pergi!" seru Siau Sam-hujin sambil mengulapkan tangannya berulang kali.
Hong It membuka pintu kamar, sementara Hong Sin mundur dari situ dengan kepala tertunduk.
Tiba tiba Siau Sam-hujin menegur lagi dengan suara dingin: "Hong loji, sejak tadi anakmu berkerut kening terus, apakah merasa tak puas?" "Mana berani anakku bersikap kurang ajar kepada hujin!" sahut Hong Sin ketakutan, tiba tiba dia mengayun tangannya dan "Plook, plook, plook!" berapa kali tamparan telah bersarang dipipi Hong It, terusnya: "Binatang, kenapa tidak berlutut didepan sam hujin minta ampun?" Dengan kepala tertunduk Hong It berlutut, namun sinar matanya dipenuhi rasa benci dan dendam yang luar biasa.
Berkilat mata Siau Sam-hujin, tapi akhirnya dia berkata setelah menghela napas: "Pergi, pergi, kau harus baik baik urusi anakmu!" "Baik, baik......." sahut Hong Sin dengan kepala tertunduk, kemudian sambil menendang pantat Hong It, umpatnya: "Semua gara gara kau binatang sialan!" Mereka berdua kabur dengan kecepatan tinggi, setelah berada puluhan kaki jauhnya, Hong Sin baru berani menghela napas sambil berkata: "Nak, kalau teringat kejadian barusan, kau harus baik baik melatih diri, bila ilmu silatmu hebat, orang lain tak bakal mempermalukan kita" Tak lama kemudian bayangan tubuh mereka berdua l enyap dibalik kegelapan.
Melihat kedua orang penjahat itu sudah pergi, Chin Mo-cuan baru roboh terkapar diatas ranjangnya, karena harus menghimpun tenaga dalam, kini hawa racun kembali menyerang jantung, dalam waktu singkat darah segar melelh dari ke tujuh lubang inderanya.
Dengan perasaan kaget Tian Mong-pek segera menyusul ke sisinya, teriaknya gemetar: "Chin locianpwee........" Dengan tangan gemetar Chin Mo-cuan menuding ke arah buntalan yang ada disisinya, lalu ujarnya terbata-bata: "Se.....semuanya itu ku....
kuserahkan padamu, kau.....
kau harus carikan see.....seorang ahli waris untuk.....
untuk perguruan Po-kie-bun.....
karena kau.... kau punya hubungan dengan Tee-ong-kok (lembah kaisar), tak sulit memiliki ilmu silat hebat dikemudian hari, saat itu kau.....
kau harus menjaga baik baik ahli waris.....
ahli waris dari Po-kie-bun, bila....
bila dia merusak nama baik perguruan, kau...
kau harus membunuhnya, aaai....
sayang.... sayang kau tak dapat menjadi...ah....ahli waris Po........" Dengan air mata bercucuran Tian Mong-pek tiada hentinya mengangguk, tiba tiba terdengar kakek itu menjerit keras: "Aku Chin Mo-cuan mati tidak meram!" Tiba tiba tubuhnya bangkit berdiri, sepasang kepalannya menggenggam kencang, rambutnya pada bangun berdiri, biji matanya melotot keluar dan wajahnya penuh dengan roda berwarna merah darah.
Dengan hati ngeri Tian Mong-pek mundur berapa langkah kemudian jatuhkan diri berlutut, katanya dengan kepala tertunduk: "Boanpwee tak akan menyia-nyiakan harapan cianpwee dan mencarikan seorang pemuda yang jujur untuk mewarisi perguruan Po-kie-bun dan selama hidup setia pada perguruan" Sekulum senyuman pedih tersungging diujung bibir Chin Mo-cuan, untuk kedua kalinya dia roboh ke atas ranjang, jago persilatan yang pernah merajai dunia inipun tak pernah bisa bangkit kembali, disaat terakhir dia hanya bisa tinggalkan sedikit kisah heroik bagi kenangan angkatan muda, kecuali itu dia tidak meninggalkan apa apa, tidak pula membawa apa apa.
Tian Mong-pek berlutut dan menyembah tiga kali dengan hormat, dengan kain sprei berwarna putih ia tutup tubuh jagoan persilatan itu.
Maka sejak itu tiada orang yang bisa menyaksikan ketajaman matanya lagi, enghiong yang dipuja orang semasa hidupnya itu setelah mati hanya bisa terkapar diatas ranjang.
Tian Mong-pek berdiri kaku, air mata tanpa terasa jatuh berlinang membasahi pipinya.
Siau Sam-hujin menghela napas panjang, gumamnya: "Berpekik bagai hujan angin, panji kain putih.......
kau menjadi jagoan sepanjang hidup, tapi bagaimana nasib akhirmu" Bukankah hanya sebuah peti mati sepanjang tujuh depa dan segundukan II tanah kuning.......
"Semasa hidup seorang pendekar sejati, setelah mati nama harum tetap beredar di dunia, Chin locianpwee, kau bisa datang kalau mau datang, bisa pergi kalau ingin pergi, kehidupanmu terhitung tidak sia sia!" Siau Sam-hujin tertawa pedih, ujarnya: \\ -_~ hidup itu mati, mati itu hidup.....
aaai, asal semasa hidup bisa hidup nyaman, setelah II matiuuuuuuuuu Tiba tiba badannya gemetar keras, perlahan ia roboh terkapar diatas jendela.
Tian Mong-pek yang kebetulan berpaling jadi terperanjat, cepat dia membimbingnya masuk dan didudukkan diatas bangku, ketika menyentuh tubuhnya, terasa telapak tangan perempuan itu dingin bagai tangan orang mati, denyut nadinya sebentar ada sebentar menghilang, kondisinya lemah sekali.
Tian Mong-pek jadi gugup, serunya cemas: \\-_- "ujin........." Dengan lemah Siau Sam-hujin membuka matanya, lalu sambil tertawa sedih katanya: "Pek-po-kie telah pergi, akupun segera akan pergi, dalam sehati kau dapat menemani keberangkatan kami berdua, seharusnya kau merasa bangga" "Hujin....
kau..... kau masih punya urusan yang belum terselesaikan, mana boleh pergi dengan begitu saja, kau.....
kau tidak boleh mati......." pinta Tian Mong-pek dengan nada gemetar.




Siau Sam-hujin menghela napas panjang.
"Sesungguhnya akupun tak ingin mati, aku hanya menyesal kepada Thian mengapa tidak membiarkan aku hidup selama berapa hari lagi, tapi kematian.....
kematian telah datang........." Tiba tiba ia terttawa sedih, lanjutnya: un -api......
biarpun sekarang aku harus matipun aku sudah merasa sangat puas, juga amat berterima kasih, karena akhirnya Thian telah mempertemukan kau dengan aku, kau.....
kau memang II seorang anak yang baik.........
Air mata makin deras membasahi wajah Tian Mong-pek, dia tak mampu berkata-kata.
Kembali Siau Sam-hujin berkata: "Setelah kematianku nanti, lakukanlah seperti apa yang kutulis diatas saputangan putih dalam kotak hitam itu, jangan kau sia siakan harapanku......." "Aku....
aku pasti akan.... akan melakukannya......." janji pemuda itu sangat sedih.
"Nah, begitulah baru anak baik" bisik Siau Sam-hujin, "kau harus pergi ke tempat yang kusuruh, mencari orang yang kumaksud.
Beritahu dia..... beritahu dia kalau kau adalah orang yang paling kusayang, asal kau dapat pelajari berapa bagian ilmu silatnya, sejak itu kau....
kau tak bakal dipermainkan orang lagi" Napasnya semakin tersengkal, tapi dia berusaha meronta, berusaha untuk bicara terus: "Setelah berhasil mempelajari ilmu silat, tak usah berkelana lagi dalam dunia persilatan, tak perlu pergi mencari balas......." Mendengar perkataan itu, Tian Mong-pek tertegun, serunya sambil membesut air mata: "Semua perkataan hujin pasti akan kuturuti, tapi dendam kematian ayahku lebih dalam dari samudra, biarpun badanku dibacok beribu kalipun, aku tetap akan menuntut balas!" Siau Sam-hujin termenung berapa saat, tiba tiba semacam kebulatan tekad yang aneh terlintas diwajahnya, dengan suara berat katanya: "Kau tak perlu balas dendam lagi, karena orang yang telah membunuh ayahmu segera akan mati!" Bergetar sekujur badan Tian Mong-pek, tanyanya gemet r: "Siapa......
siapa orang itu......." "Aa......
akulah pembunuh ayahmu..........." bisik Siau Sam-hujin sambil menggenggam kencang tangannya.
Angin dingin berhembus masuk melalui jendela, hujan mulai turun membasahi tanah diluar sana......
Tian Mong-pek merasakan hatinya bergidik, dia bersin berulang kali, setelah mundur tiga langkah, tiba tiba ia meraung gusar lalu menerkam ke depan, mencengkeram sepasang bahu Siau Sam-hujin yang kurus kering sambil menjerit sedih:
"Kau telah membunuh ayahku.......
kau telah membunuh ayahku......" Mendadak sepasang ketiaknya terasa kaku, sepasang tangannya yang mencengkeram pun mengendor, tubuh Siau Sam-hujin dihiasi senyuman pedih segera jatuh tersungkur ke lantai.
Dari belakang tubuhnya, Tian Mong-pek mendengar seseorang membentak dengan nada dingin: "Tahanl Kau sudah gila?" Tian Mong-pek membentak nyaring, sambil memutar badan ia lancarkan tendangan ke belakang.
Terasa bayangan manusia berkelebat lewat, lagi lagi lutut kanannya kesemutan, tubuhnya segera terjerembab.
Bukan saja sepasang lengannya tak bisa diangkat, kaki kanan pun kesemutan, tapi begitu terjerembab, kembali dia putar pinggang sambil melompat bangun, sekuat tenaga kaki kirinya menendang ke muka.
Saat ini sepasang matanya sudah merah membara, pada hakekatnya ia tak dapat melihat jelas lagi siapa orang yang berada dihadapannya, api dendam dan amarah yang tak terbendung membuat tendangan itu dilakukan sepenuh tenaga, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya serangan tersebut.
Siapa tahu baru saja badannya melambung, lutut kirinya lagi lagi terasa kesemutan, untuk kedua kalinya ia roboh terjungkal dan tak sanggup bangkit lagi.
Terdengar orang yang berada dihadapannya berkata sambil menghela napas: "Anak baik, apa yang terjadi" Masa akupun sudah tak kau kenal lagi?" Suaranya halus, lembut dan sangat akrab.
Cepat Tian Mong-pek memandang ke depan, ternyata orang yang berada dihadapannya tak lain adalah wanita berbaju putih, So Kin-soat.
Bertemu wanita itu, Tian Mong-pek yang baru saja mengalami kejadian besar merasa seolah bertemu dengan sanak sendiri, sahutnya gemetar: "So hujin, dia....
dia telah membunuh ayahku!" Sambil menepuk bebas jalan darahnya, So Kin-soat menghela napas perlahan, balik tanyanya: "Mana mungkin dia telah membunuh ayahmu" Tahukah siapa dia?" Tergerak hati Tian Mong-pek, belum sempat berkata sesuatu, terdengar So Kin-soat telah berkata lagi: "Aaai, kalau begitu aku beritahu, dia adalah ibu kandungmu!" Tian Mong-pek merasakan jantungnya berdetak kencang, tubuhnya yang baru bangkit berdiri sekali lagi jatuh terduduk, ucapan yang begitu lembut itu bagaikan sebuah palu seberat ribuan kati yang menghantam hatinya, semua peristiwa yang dialaminya selama dua hari terakhir dengan cepat melintas kembali dalam benaknya.
Kenapa dia begitu mesra dan sayang terhadapnya" Kenapa perempuan itu selalu mengucapkan kata kata yang aneh" Dalam waktu singkat semuanya telah peroleh jawaban.
Dengan gemetar dia alihkan pandangan matanya, Siau Sam-hujin telah pergi dengan tenang, sebelum menghembuskan napas terakhir, pada akhirnya ia berhasil bertemu dengan putra kandungnya, putra kandung yang didambakan pun telah menemaninya sepanjang hari, mendampinginya hingga ia tinggalkan dunia ini, diapun bisa mati dengan meram, pergi dengan perasaan lega.
Sebaliknya bagi Tian Mong-pek, hingga ibunya meninggal, dia belum tahu kalau perempuan misterius yang lembut tapi berangasan, halus tapi penuh rahasia ini tak lain adalah ibu kandung sendiri, menghadapi kenyataan seperti ini, mana mungkin Tian Mong-pek bisa menerima pukulan batin ini" Bagaimana pemuda itu harus menempatkan diri" Dia terpekur bagai patung, lalu meledaklah isak tangisnya, menangis tersedu sedu disamping tubuh yang mulai dingin dan kaku, meskipun dia tak takut menghadapi kematian, tapi kematian telah melukai hatinya, membuat hatinya berdarah darah.
So Kin-soat ikut memejamkan matanya, membiarkan air mata meleleh keluar, katanya perlahan: "Delapan belas tahun berselang, ibumu sangka aku telah berbuat tidak senonoh dengan ayahmu, dia tak mau menerima penjelasanku bahkan pergi tanpa pamit, meninggalkan kau yang belum genap berusia setahun seorang diri, aaai, tabiatnya memang keras dan angkuh, setelah kepergiannya, entah berapa banyak orang telah disalahi, berapa banyak mara bahaya yang harus dihadapi, sampai akhirnya.....
aaai, demi balas dendam, dia telah mengikuti seseorang" Tian Mong-pek merasakan hatinya amat sakit.
Terdengar So Kin-soat berkata lebih jauh: "Selama banyak tahun, untuk menghindari kecurigaan dan prasangka buruk, aku tak pernah pergi menengok kalian, hingga suatu hari, tanpa sengaja kulihat ibumu muncul kembali di Kanglam, maka secara diam diam aku mengintil dari belakang, tak sedetikpun aku tinggalkan dirinya, karena itu aku tahu kalau dia tak pernah membunuh ayahmu, sebab ketika kami tiba di Hangciu, ayahmu telah meninggal" Setelah menghela napas, lanjutnya: "Berada dikuburan ayahmu, kusaksikan kalian ibu dan anak saling bertemu, perasaanku saat itu amat gembira, siapa tahu dia tak pernah mau beritahu kepadamu kalau dia adalah ibu kandungmu, aaaai....
budi dendam yang dialaminya belasan tahun ini telah menciptakan simpul mati dalam hatinya, dia tak ingin kau tahu kalau dia.......
dia tak ingin kejadian yang dialaminya selama belasan tahun menjadi beban pikiranmu, rupanya dia lebih suka membiarkan putranya menganggap dia sebagai orang asing daripada melukai hatimu......
piauci ohh piauci, watak keras kepala mu benar benar telah mencelakaimu sepanjang hidup" Bicara sampai disini, air mata yang meleleh keluar semakin bertambah deras, dalam ruang yang gelap tanpa lentera, suasana penuh diliputi rasa duka dan murung yang tebal.
Tian Mong-pek menggigit bibir sambil angkat kepala, katanya: "Tapi....
tapi...... menjelang ajalnya, mengapa dia.....
dia mengaku sebagai pembunuh ayah?" "Mungkin saja dia telah merasa kalau panah kekasih amat menakutkan, karena itu dia tak ingin kau balas dendam, kuatir kau terluka oleh panah kekasih......
aaai! Dia lebih suka menyiksa diri sendiri daripada membiarkan orang lain menderita, apalagi terhadap putra kandung sendiri" Kembali Tian Mong-pek merasakan hatinya bergetar, mimik muka serta perkataan ibunya menjelang kematian kembali melintas dalam benaknya......
"Dia orang tua menyaksikan tokoh tangguh semacam Chin Mo-cuan pun tewas diujung panah kekasih, tentu saja dia tak ingin aku mencari masalah dengan panah kekasih, dia orang tua berharap aku bisa menjalani hidup dengan tenang, tapi........
mana mungkin aku bisa berbuat begini........." Ketika kotak hitam dibuka dan sapu tangan putih dibentangkan, terbacalah tulisan yang memilukan hati, semua isi hati yang diderita dan menyiksa batinnya selama belasan tahun, setiap huruf ditulis dengan darah, membuat orang merasa sedih, kecut......
Dibagian belakang kisah pedih itu, tertulis pula berapa kalimat yang tampaknya baru ditambahkan dua hari berselang, tulisan itu berbunyi begini: "Ibu merasa bersalah kepadamu, membiarkan kau sejak kecil hidup menderita, hidup tersiksa karena tak punya ibu, padahal setiap waktu setiap saat aku selalu merindukanmu, tak bisa kubayangkan bagaimana wajahmu, bagaimana perawakanmu, rasa rindu ku padamu tak terlukiskan dengan tulisan apa pun, tapi setelah bertemu denganmu, aku tak berani mengakui, kau adalah bocah keras hati yang polos dan tulus, mungkin kau tak dapat mendalami penderitaan ibu selamabelasan tahun, hanya menanti aku telah mati, kau baru akan tahu bahwa ibu telah melakukan perbuatan salah terhadap ayahmu, tapi ayahmu terlebih dahulu melakukan kesalahan padaku.
"Kuburlah jenasahku di bukit Mo-gan-san, tapi jangan kau katakan kepada siapa pun letak pusaraku ini, selesai mengubur aku, tinggalkan Kanglam, naiklah ke gunung Hoa-san dan menuju belakang bukit, carilah seorang kakek yang menyebut diri sebagai Mok-mong-gwa (Jangan lupakan aku), asal kau berteriak memanggil namanya, dia pasti akan menjumpaimu dan mengajakmu menuju ke sebuah tempat rahasia, kemudian .
. . . . . . . .. " Sampai disini, tulisannya kelihatan kacau lalu terputus, mungkin sewaktu menulis sampai disitu, coat-ho Hong Sin telah muncul ditempat tersebut sehingga dia harus tampil diri dan tak bisa melanjutkan lagi pesannya.
Untuk membaca tulisan yang amat singkat itu, entah berapa banyak air mata "ian Mong-pek telah membasahi wajahnya.
Baru selesai, So Kin-soat telah berkata lagi sambil menatap kotak kumala dengan bekas bacokan pedang itu: "Kotak kemala ini merupakan pemberian ayahmu ketika melamar dia, meski berulang kali dia bacok kotak tersebut dengan rasa benci, toh benda itu tak per nah dibuang .
. . . . . .. tapi apa pula arti dari tusuk konde kemala yang patah itu?" Tian Mong-pek berdiri termangu, hujan diluar jendela berhembus masuk terbawa angin, membasahi wajahnya dan membaur jadi satu dengan air matanya.
Hujan musin sepi begitu dingin, hingga kapan kau berhenti" Dibawah hujan deras, di kaki bukit Mo-gan-san telah bertambah dengan dua buah kuburan baru.
Selama berapa hari terakhir, berulang kali So Kin-soat mendesak Tian Mong-pek untuk turun gunung, tapi setiap kali tawaran itu ditolak dengan alasan dia ingin berkabung selama berapa hari didepan pusara ibunya.
Karena tak berhasil membujuk pemuda itu, akhirnya sambil menghela napas kata So Kin-soat: "Karena kau ingin berbakti, tentu aku tak bisa banyak bicara, tapi apakah kau anggap dengan menjaga kuburan maka dendam kesumat mu dapat terbalas?" "ian Mong-pek tidak menjawab maupun komentar, maka So Kin-soat kembali berkata: "Karena kau bersikeras untuk berbuat begitu, seharusnya aku tetap tinggal untuk menemanimu, II tapi .
. . . . .. "Bila kau orang tua ada urusan lain .
. . . . .." "Belakangan aku memang repot sekali" tukas So Kin-soat sambil menghela napas, "tapi aku tak boleh bicara begitu terhadapmu, aku berharap suatu saat kau bisa berkunjung ke bukit Kun-san dekat telaga Tong-ting-ou untuk mencari aku" Dia tinggalkan sekeping giok-be sebagai tanda pengenal kemudian meninggalkan pesan yang seksama sebelum pergi meninggalkan tempat itu.
Biarpun perempuan itu ramah dan hangat, namun tingkah lakunya penuh misteri, seolah ada banyak persoalan yang dia sembunyikan didalam hati.
"ian Mong-pek menemukan sebuah gua dekat kuburan ibunya untuk tempat tinggal, dia tak ambil peduli pakaiannya dekil, tidak peduli badannya bau, bahkan tak ambil peduli sudah berapa lama dia berdiam disitu.
Untung disekitar hutan banyak tumbuh pohon buah, dikala lapar dia ambil berapa biji buah untuk menangsal perut, disaat dahaga diapun minum dari sungai dekat sana.
Disaat sedih, dia akan menjelajahi seluruh perbukitan, ada kalanya ia berdoa didepan kuburan Chin Mo-cuan, ada kalanya pula menangis sedih didepan kuburan ibunya.....
Entah berapa lama sudah lewat, lambat laun gejolak hatinya mulai mereda dan tenang kembali, dia pun mulai mengubah seluruh kesedihan dan amarahnya menjadi sebuah kekuatan.
Hari ini, tengah malam kembali menjelang tiba, ia duduk bersila dalam gua, tumbuhan akar rotan dimulut gua seolah selembar tirai yang tebal, memisahkan dirinya dengan dunia luar.
Suasana dalam gua gelap lagi lembab, gigitan nyamuk membuat sekujur tubuhnya merah bengkak, namun dia tak ambil perduli, andaikata ada orang bertemu dengannya saat ini, siapa pun tak bakal percaya kalau dia adalah pemuda tampan berbaju perlente, menunggang kuda putih jempolan yang belasan hari berselang hidup di kota Hangciu.
Kekurangan pada penampilannya jauh berbeda dengan perubahan yang terjadi dalam hatinya, hawa amarah yang tak tersalurkan bukan saja membuat matanya yang sudah tajam kini lebih tajam dari mata elang, bahkan mengubah pula tekadnya sekeras dan kekokoh besi baja, namun dia terus menyiksa diri, melecuti diri sendiri, ibarat golok yang setiap hari diasah, semakin diasah semakin tajam, semakin ditempa semakin kuat.
Saat ini dia sangat lapar, sangat lelah, namun dia tidak makan apapun, tidur sekejap pun tidak, begitu rasa kantuk menyerang, dia segera membuka matanya lebar lebar.
Mendadak ia menyaksikan sesuatu, sesosok bayangan manusia diatas batu bukit didepan sana, seorang hweesio.
Padahal seingatnya disitu tak ada siapa pun, kosong, sepi dan tanpa kehidupan, lalu darimana munculnya hwesio itu" Kapan dia muncul disana" "ian Mong-pek betul betul terkejut, ditengah kegelapan malam ia saksikan hweesio itu dengan tangan kiri memegang sebuah buli arak berwarna merah darah, sedang ditangan kanannya memegang seekor ayam, tampaknya dia adalah seorang hwesio yang tidak berpantang.
Perawakan tubuhnya gemuk, wajahnya bulat seperti bulan purnama, saat itu dia duduk diatas batu sambil bersenandung, entah lagu apa yang sedang ia bawakan.
Lewat berapa saat kemudian dengan kening berkerut dia bangkit berdiri, kemudian gumamnya: "Kenapa tua bangka To belum datang juga?" Waktu kembali berlalu dengan cepat, kini dia semakin gelisah dan tak tenang, bahkan berulang kali mengumpat rekannya dengan kata cacian.
"iba tiba bergema suara tertawa nyaring dari kejauhan sana, kemudian tampak seseorang berseru sambil tersenyum: "Mana ada orang beribadah suka mengumpat dengan kata kata kotor?" Baru selesai perkataan itu bergema, disamping batu gunung telah muncul sesosok bayangan manusia, dia mengenakan topi bambu yang lebar dan berperawakan sedang.
Setiba diatas bukit, orang itu menyapu sekejap sekeliling tempat itu, lalu ujarnya sambil tertawa tergelak: "Thaysu, sungguh indah dan tenang tempat yang kau pilih, bila aku orang she-To bisa dikubur ditempat ini, mungkin aku bisa beristirahat dengan tenang" Kini "ian Mong-pek dapat melihat wajah orang itu dengan jelas, ternyata dia tak lain adalah nelayan yang pernah dijumpai di telaga see-si tempo hari, dia sama sekali tak menyangka kalau nelayan yang begitu sederhana ternyata memiliki ilmu silat tinggi.
Sementara dia menghela napas, terdengar hwesio gemuk itu telah berkata: "Aku sudah menunggu lama sekali, kusangka kau tidak berani datang kemari!" "Mana mungkin aku tak datang?" sahut nelayan To.
"Tapi kedatanganmu terlambat sekali" "Hahahaha .
. . . .." nelayan To menengadah dan tertawa terbahak bahak, "sebelum bertarung melawan thaysu, masa aku tidak persiapkan dulu semua keperluanku?" Hwesio gemuk itu melompat turun dari batu besar, membuang sisa ayam yang tak habis termakan lalu membersihkan tangan dengan baju yang dikenakan, katanya sambil tertawa keras: "Hahahaha...
sejak sepuluh tahun berselang, akupun telah persiapkan urusan akhirku, tak disangka disaat akan bertarung, kau si tua jelek justru melarikan diri" Gelak tertawanya nyaring, menggaung ditengah angkasa yang hening.
"Sepuluh tahun berselang, putriku belum dewasa, aku tak tega meninggalkan dia seorang diri, tapi sekarang urusan sudah beres, karena thaysu datang mencariku, tentu saja akupun harus mencari thaysu" "Hahahaha...
betul, betul sekali, pulang sambil membawa hutang lama memang membuat tidurku dalam peti mati tak bakal nyaman, selama hampir sepuluh tahun aku menjelajahi seluruh dunia persilatan untuk mencarimu, siapa tahu kau justru hidup enak disini sambil memancing ikan, betul betul membuat orang penasaran!" Ia mendongak dan meneguk berapa tegukan arak, lalu dipungutnya kembali sisa ayam yang telah dibuang tadi kemudian kembali dilahap.
Nelayan To tersenyum. \\-I -ernyata tabiat teman teman lama tak pernah berubah selama sepuluh tahun ini, entah pergi ke mana semua kawanan sahabat lama itu" Selesai berkata, dia pun menghela napas panjang.
Diam diam Tian Mong-pek keheranan, semula dia sangka mereka berdua adalah musuh bebuyutan, tapi setelah melihat sikap mereka berdua, kelihatan sekali kalau mereka adalah sahabat lama yang berjumpa lagi.
"Kau tak usah kuatir, mereka semua tak bakalan mati" sahut si hwesio gemuk sambil menyeka minyak dari mulutnya, kemudian setelah tertawa tergelak, terusnya: "Cleh karena hari ini kau pun telah mempersiapkan urusan akhirmu, aku rasa paling tidak kau masih bisa hidup selama tiga tahun lagi" "Kenapa kau bisa berkata begitu?" "Sepuluh tahun berselang aku telah siapkan urusan akhirku, tapi tanpa bicara apapun kau sudah ngeloyor pergi, hari ini kau datang setelah mempersiapkan urusan akhirmu, jadi akupun sudah siap untuk melarikan diri, biarpun kau dan aku tidak sama seperti si tua bangka celaka yang sepanjang hidup cari masalah terus, namun sejak dua puluh tahun berselang kita sudah pernah adu kekuatan, jadi aku pikir urusan sudah impas, siapa pun tidak berhutang lagi kepada yang lain" Sambil meneguk arak, dia tertawa keras tiada hentinya.
\\ i Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya nelayan To dengan kening berkerut.
"Apa yang terjadi" Memang ada apa" Aku hanya ingin hidup tiga tahun lebih lama, jadi akupun biarkan kau hidup tiga tahun lebih lama, tiga tahun kemudian kita bertemu lagi disini, saat itu .
. . . .." Nelayan To kembali menghela napas panjang, katanya: "Andaikata tak ada kejadian besar, tak mungkin kau akan bersikap begitu.
Kita sudah berkenalan sejak puluhan tahun berselang, memangnya kau sangka aku belum mengenali tabiatmu" Buat apa kau harus membohongi aku lagi?" Hwesio gemuk itu menghentikan tertawanya dan tertegun sesaat, tapi kemudian katanya lagi sambil tertawa keras: "Hahahaha.....
ada kejadian apa, paling hanya akan mencari Chin Mo-cuan si tua bangka itu, mau dengan cara mencuri, menipu atau merampas, aku tetap akan mendapatkan panji kain gombal itu .
. . . . .." "Buat apa?" "Tentu saja ada kegunaannya, tentang obat apa yang akan kujual dalam buli ku, tunggu saja sampai tanggal mainnya" Mendengar sampai disini, "ian Mong-pek merasa tercekat hatinya, tanpa terasa ia berpikir: "Pesan yang disampaikan Chin locianpwee sebelum meninggal, harus kulaksanakan hingga tuntas apa pun akibat yang bakal menimpa diriku, tapi kini, orang yang mengincar Pek-po-kie begitu banyak, selain Hong In ayah dan anak, masih ada pula si hwesio dengan ilmu silat yang begitu tinggi, jika aku sampai kehilangan benda pusaka tersebut, bagaimana punya muka untuk bertemu Chin locianpwee di alam baka nantinya" Berpikir begitu, hatinya jadi gugup bercampur panik, maka sesudah berpikir sejenak, diam diam dia ambil keluar bungkusan kain kuning itu lalu disembunyikan ke balik celah batu dibalik gua tersebut, kemudian ia gunakan tanah dan batu untuk menutup celah tadi.
Biarpun dia sadar bahwa ke dua jilid kitab itu berisikan ilmu silat maha sakti yang diincar umat persilatan, pemuda ini bukan saja tak mau mempelajarinya, bahkan melihat sekejap pun tidak.
Baru selesai ia sembunyikan benda tersebut, terdengar nelayan To sudah menegur dengan suara dingin: "Sobat yang berada dalam gua, sekarang kau boleh keluar" Diam diam Tian Mong-pek menghela napas, ia tahu apa yang barusan dilakukan pasti telah menimbulkan suara yang terdengar olehnya, ketika berpaling, ia jumpai nelayan To dengan menggoyang topi bambunya, berdiri tegak dimulut gua, sementara si hwesio entah telah pergi ke mana.
Setelah menyingkirkan rotan yang menutup mulut gua, diapun melompat keluar.
"Sudah puluhan tahun lohu berkelana dalam dunia persilatan" ucap nelayan To dengan nada dingin, "sungguh tak disangka masih ada sobat yang menaruh perhatian kepadaku, sobat, siapa kau?" "To lotiong, masa kau tidak kenali aku lagi?" sapa "ian Mong-pek sambil menghela napas.
Nelayan To pentang matanya lebar lebar, jeritnya kaget: "Tian kongcu .
. . . .. kenapa tampangmu jadi begini?" "ian Mong-pek tertawa sedih, saat ini wajahnya penuh lumpur, bajunya dekil lagi compang camping, penampilannya memang tak beda dengan seorang pengemis.
Dengan kening berkerut kembali nelayan To berkata: "Jenasah ayahmu belum lagi mendingin, bukannya berjaga disisi kuburan ayahmu, bukannya memberesi rumahmu, mau apa kau berada ditengah hutan" Apa yang sedang kau perbuat?" Setelah identitasnya terbongkar, ia tampil kembali sebagai seorang bulim cianpwee, selain wajahnya serius, perkataannya pun mantap.
Kembali "ian Mong-pek menghela napas.
"Sudah cukup lama aku menjaga kubur disini, jadi bukan sengaja hendak mencuri dengar pembicaraan kalian berdua, harap...." "Apa?" tukas nelayan To gusar, "bukannya menjaga kuburan bapak sendiri, kuburan siapa yang kau jaga" Apa apaan kamu ini?" Sebagaimana diketahui, dimasa ia masih malang melintang dalam dunia persilatan tempo hari, wataknya paling lurus dan jujur, walaupun selama belasan tahun dia selalu menyembunyikan kemampuannya, entah mengapa ditengah malam yang dingin hari ini, dia perlihatkan kembali jiwa kependekarannya dimasa lalu.
"ian Mong-pek tertegun, untuk sesaat dia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun, bagaimana pun juga, tentu dia tak ingin tragedi yang menimpa keluarganya diketahui orang lain, diapun tak mungkin bisa menjelaskan kepada nelayan itu kalau orang yang terkubur disana tak lain adalah ibu kandung sendiri.
Dengan sorot mata tajam nelayan To mengamati wajah pemuda itu berapa saat, kemudian ujarnya lagi: "Biarkan sebagai orang persilatan kita bisa bertindak tidak pakai aturan, namun "Bakti" merupakan sesuatu yang mutlak, sesuatu yang harus dilakukan hingga akhir hayat" "ian Mong-pek terbungkam, dalam keadaan begini, mau membantah tak bisa, berdiam diri pun serba salah.
Nelayan To berkata lebih jauh: "Kau masih muda, tingkah lakumu dihari hari biasa pun terhitung lumayan, itulah sebabnya aku memberi nasehat kepadamu hari ini, kalau tidak .
. . . . . . . .." Mendadak terdengar suara langkah kaki yang kacau berkumandang dari kejauhan diiringi suara napas seorang wanita yang tersengkal sengkal.
Berubah wajah nelayan To, sudah banyak tahun dia hidup mengasingkan diri dan enggan dikenali orang, maka tanpa membuang waktu lagi, dia sambar tangan pemuda itu kemudian melesat masuk ke dalam gua.
Sudah puluhan tahun dia menempa diri dengan ilmu silat, kemampuannya saat ini telah mencapai puncak kesempurnaan, hal ini membuat setiap langkah dan perbuatan yang dilakukan, terselip rahasia ilmu silat tingkat tinggi.
Biarpun saat ini dia genggam pergelangan tangan Tian Mong-pek dengan begitu saja, namun tanpa sadar dia telah mencekal jalan darahnya, anak muda itu seketika merasakan tubuhnya kesemutan lalu tak mampu bergerak lagi.
Sementara itu suara langkah kaki makin lama semakin mendekat, seorang wanita berambut kusut, berpakaian indah dan mewah, berjalan mundur ke arah bukit, wajah serta sikapnya amat gugup bercampur ketakutan.
Seorang lelaki kekar berwajah kuning, dengan menggenggam sebilah belati, berwajah penuh hawa membunuh, selangkah demi selangkah mendesak ke hadapan wanita itu.
Ternyata mereka tak lain adalah Kim-giok-siang-hiap, sepasang suami istri emas dan kumala.
"an Cia-li mundur berulang kali, kini belakang tubuhnya berupa batu gunung yang besar, sambil menggigit bibir segera serunya: "Sudah banyak tahun kita hidup sebagai suami istri, mengapa kau menipu ku datang kemari dan ingin membunuhku?" "Suami istri selama banyak tahun?" jengek kim-bin-thian-ong raha langit berwajah mas Li Koan-eng sambil menggenggam belatinya, "aku ingin bertanya, sudah banyak bulan kita tak pernah berhubungan badan, darimana kau bisa hamil?" "Apa....
apa kau bilang?" seru "an Cia-li dengan tubuh gemetar.
Kembali Li Koan-eng tertawa dingin.
"Kau sangka aku belum tahu" Chin Siu-ang pernah periksa denyut nadimu, kemudian ia beritahu kepadaku, bahkan berulang kali menyampaikan ucapan selamat .
. . . . . . .." Ia mendongakkan kepala dan tertawa seram berulang kali, lanjutnya: "Sungguh tak disangka, nama baik Li Koan-eng akhirnya harus musnah ditangan kau si perempuan jadah!" Posisi Tan Cia-li waktu itu membelakangi batu bukit, wajahnya pucat pasi bagai mayat.
Diam diam Tian Mong-pek berpikir: "Benar saja, ternyata sepasang laki perempuan selingkuh itu tak berani mencelakai nyawa Li Koan-eng, sungguh tak disangka rahasia perselingkuhan mereka akhirnya terbongkar juga" Berpikir begitu, tanpa terasa dia teringat kembali dengan ibunya yang kini telah tiada.
Terdengar Li Koan-eng berkata: "Sudah tujuh tahun kita hidup sebagai suami istri, sejujurnya tak tega aku membunuhmu, asal kau katakan siapa lelaki selingkuhmu, kuampuni jiwamu!" II "Kau .
. . . .. kau . . . . . . .. Sambil menekan pisaunya ke muka, bentak Li Koan-eng: "Mau mengaku tidak" Jangan lupa, akulah yang mengajarkan ilmu silat kepadamu, bila ingin membunuhmu, bisa kulakukan semudah membalikkan telapak tangan!" Berputar licik sepasang biji mata Ian Cia-li, katanya: "Kau....
kau benar benar ingin aku mengaku?" "iba tiba dia menutup wajahnya dengan kedua belah tangan, lalu menangis tersedu-sedu.
"Siapa" Katakan!" hardik Li Koan-eng gusar.
"Bapak dari jabang bayi yang berada dalam perutku adalah.....
adalah..... "ian Mong-pek, putra "ian Hua-uh .
. . . . . . .." Sambil berkata, kembali dia menangis tersedu-sedu.
Bukan hanya "ian Mong-pek, nelayan To dan Li Koan-eng ikut terperanjat setelah mendengar pengakuan itu, tak tahan umpat pemuda itu dalam hati: "Perempuan lacur, kurangajar benar kau, berani menyeret aku ke dalam air keruh!" Sayang jalan darahnya dalam keadaan tertotok, sehi ngga dia sama sekali tak sanggup berkutik.
Nelayan To merasa sangat gusar, umpatnya pula dalam hati: "Sama sekali tak kusangka, pemuda she-"ian yang nampaknya polos dan jujur, ternyata memiliki moral dan hati yang lebih bejad daripada binatang! Aaaai, nama baik "ian Hua-uh bakal hancur ditangan anak durhaka ini!" Sebagai pendekar yang polos dan jujur, darimana dia bisa menyangka kalau perkataan pasangan selingkuh sama sekali tak bisa dipercaya" Kini, ia justru percaya seratus persen dengan pengakuan Tan Cia-li.
Gemetar keras sekujur tubuh Li Koan-eng, bisiknya penuh amarah: \\ * tadi....dia...
dia adalah "ian Mong-pek .
. . . . . .." Kemudian sambil mengerang penuh amarah, lanjutnya: "Ke....
kenapa tidak kau katakan sejak awal" Dimana binatang itu sekarang?" II "Sejak awal, dialah yang memaksa aku untuk berhubungan kata Ian Cia-li sambil tetap menutup wajahnya, "waktu itu kalian semua takut dengan bapaknya, jadi akupun tak berani mengaku, sampai kemudian.....
sampai kemudian . . . . . . .." Tangisannya semakin sedih, sementara wajahnya ditutup terus dengan kedua belah tangan, kuatir Li Koan-eng mengetahui perubahan mimik mukanya.
"Tak aneh kalau saat "ian Hua-uh meninggal, kau begitu perhatian terhadapnya" ucap Li Koan-eng gemas, "sayang aku tak tahu dimana perginya budak itu sekarang?" Darimana dia tahu, justru karena "ian Mong-pek sudah meninggalkan kota Hangciu dan tidak diketahui hutan rimbanya, Ian Cia-li baru berani melimpahkan semua dosa itu atas namanya.
Hampir meledak dada "ian Mong-pek saking gusarnya, begitu pula dengan nelayan To, makin mendengar dia merasa semakin naik darah, akhirnya dengan suara menggeledek bentaknya: "Lelaki selingkuh itu berada disini!" Sambil berseru, dia melemparkan tubuh "ian Mong-pek ke luar dari gua.
Bab lima: fitnahan keji. Baru saja Li Koan-eng merasa terperanjat, tampak sesosok bayangan manusia sudah terjatuh dari tengah udara, menyusul kemudian sesosok bayangan manusia lain, seringan asap telah meluncur keluar dari gua.
Cepat dia amati wajah orang itu, yang terlihat waktu itu hanya seseorang berambut kusut, berbaju dekil dan tidak nampak jelas raut wajahnya.
Tian Mong-pek yang tergeletak kaku, buru buru mengatur pernapasannya, begitu peredaran darahnya lancar kembali, ia segera melompat bangun.
Begitu tahu siapa yang berada dihadapannya, dengan penuh amarah Li Koan-eng membentak: "Tian Mong-pek!" Tan Cia-li sendiri ikut tertegun, betapa kagetnya dia setelah melihat dari celah jari tanganmua kalau orang yang berdiri dihadapannya tak lain adalah Tian Mong-pek.
Akal busuknya segera melintas, sambil menjerit kaget teriaknya: "Ooh kekasihku, kau.....
kau . . . . . . .." Sesudah mendepakkan kakinya berulang kali, cepat dia kabur ke bawah bukit.
Memang begitulah ulah wanita selingkuhan, kebanyakan hatinya busuk, jahat dan licik, dengan kepergiannya berarti saat bagi kaum lelaki untuk berperang tanding.
Tian Mong-pek tak rela membiarkan perempuan itu kabur dari sana, bentaknya gusar: "Perempuan sundal, mau kabur ke mana kau!" Baru saja dia akan mengejar, Li Koan-eng telah membentak nyaring: "Siapa yang kau maksud perempuan sundal" Kau sendiri manusia bedebah!" Cahaya golok berkelebat langsung membacok dada Tian Mong-pek, cepat pemuda itu berkelit, menggunakan kesempatan itu Tan Cia-li kabur entah ke mana.
Li Koan-eng membentak berulang kali, tubuhnya merangsek maju, cahaya golok berkelebat berulang kali, hampir semuanya ditujukan ke jalan darah mematikan ditubuh lawan.
Tian Mong-pek berkelit berulang kali, teriaknya: "Tahanl" Li Koan-eng berlagak seolah tidak mendengar, dia meneter terus lawannya habis habisan, hal ini bisa dimaklumi, lelaki mana didunia ini yang bisa menahan diri, setelah tahu kalau bininya berselingkuh, biar Tian Mong-pek memberi penjelasan sampai mulut berbusa pun, dia sama sekali tak mau mendengarnya.
Tian Mong-pek merasa gusar bercampur jengkel, tapi dia tak mampu melancarkan serangan balasan, sebab pemuda itu tahu bila dia balas menyerang maka Li Koan-eng bakal beradu nyawa dengannya, bahkan semakin membuktikan kalau fitnahan dari Tan Cia-li itu benar adanya.
Sebaliknya bila ia tidak balas menyerang, dalam keadaan lapar, dahaga dan lelah, mana mungkin bisa menandingi kehebatan Kim-bin-thian-ong yang tersohor dalam dunia persilatan" Apalagi bila sampai terbunuh oleh bacokan goloknya, fitnahan tersebut tak mungkin bisa dibersihan untuk selamanya.
Setelah dua kali mengalami tuduhan tanpa dasar yang membuatnya tak sanggup membantah, pemuda ini benar benar naik darah, matanya jadi merah, dadanya terasa hampir meledak, darah panas menggelora dalam dadanya, tanpa pikir panjang ia membentak keras .
. . . .. "Weess, wesss!" secara beruntun ia lepaskan tiga buah pukulan berantai.
Tiga pukulan yang dilontarkan dalam keadaan marah telah disertai dengan segenap kekuatan yang dimiliki, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya serangan tersebut, tampak angin menderu deru, membuat daun dan ranting disekeliling tempat itu berguguran.
Li Koan-eng tangkis datangnya serangan itu dengan jurus Ji-hong-si-pit (seperti terkunci bagaikan tertutup), sepasang lengannya segera terasa bergetar keras hingga tubuhnya mundur sejauh tiga langkah.
Padahal dia tersohor dalam Bu-lim karena keampuhan tenaga pukulannya, itulah sebabnya ia mendapat julukan Thian-ong atau raja langit.
Tapi saat ini, hatinya betul betul tercekat.
"Kau..... kau berani membalas . . . . . . .." Belum habis teriakan itu, mendadak terdengar seseorang berteriak dari balik hutan: "Li-heng tak usah panik, siaute datang membantu!" Begitu melayang turun, orang itu menyelinap ke belakang Tian Mong-pek, dua desingan angin tajam langsung mengancam jalan darah Leng-tay-hiat dibelakang tubuh pemuda itu.
Biarpun ditengah kegelapan malam, ketepatannya membedakan posisi jalan darah sangat mengagumkan, terutama Poan-koan-siang-pit dalam genggamannya yang bersinar tajam, dia tak lain adalah Pit-sang-seng-hoa Seebun Ho, jagoan yang tersohor karena ilmu menotok jalan darahnya.
Li Koan-eng merasakan semangatnya bangkit kembali, serunya: "Saudara Seebun, mengapa tidak kau hadang kepergian perempuan rendah itu?" Ternyata dia datang kesana bersama Seebun Ho, hanya saja satu ditempat terang, yang lain mengikuti secara diam diam.
"Masa kau takut dia bisa kabur?" sahut Seebun Ho sambil tertawa dingin, "lebih baik kita bantai dulu lelaki selingkuhannya" Sembari bicara, secara beruntun dia lancarkan tujuh buah serangan berantai, mengancam jalan darah Tiong-eng, ku-koat, tan-tian, kian-cing, Ki-tong, siau-yo, dan leng-tay-hiat.
Serangan Tian Mong-pek gencar bagaikan badai angin, biarpun orang bersikap tak adil kepadanya, dia enggan memberi penjelasan, seluruh rasa sedih, mendongkol dan perasaan tak adilnya dilampiaskan dalam pukulan yang dilancarkan.
Lama kelamaan jurus yang digunakan makin kacau, tapi tenaga serangannya makin menggidikkan hati, tenaga yang tercipta oleh rasa sedih dan gusar itu telah membangkitkan seluruh kekuatan terpendam yang dimiliki, membuat dia menyerang makin garang, membuat dia tanpa sadar menciptakan banyak jurus serangan yang mengerikan dan semuanya beradu nyawa.
Diam diam Li Koan-eng dan Seebun Ho merasa terperanjat.




"Ilmu pukulan apa ini?" pikir mereka tanpa terasa, sekalipun bersenjata tajam, untuk sesaat mereka malah kelabakan sendiri dan tak mampu melancarkan serangan balasan.
Kata Li Koan-eng kemudian sambil tertawa dingin: "Tampaknya bajingan ini marah karena malu hingga berniat adu nyawa, Seebun-heng, mari kita kurung dia rapat rapat, habisi nyawanya setelah dia kehabisan tenaga nanti!" Pada saat itulah, tiba tiba dari kejauhan terdengar seseorang berteriak keras: "Ayah .
. . . .. ayah . . . . . .." Dalam waktu singkat muncullah seorang gadis berbaju hijau dari balik kegelapan, gadis itu tampak sedih bercampur bingung, ketika melihat keadaan Tian Mong-pek, kembali ia menjerit keras: II "Tian....
Tian kongcu . . . . . .. Rupanya nona itu tak lain adalah Tu Kuan.
"Tian kongcu apa?" tukas Li Koan-eng sinis, "dia tak lebih hanya manusia cabul yang tak tahu malu!" Belum selesai dia bicara, "Ploook!" tahu tahu pipinya sudah ditampar orang hingga mundur berapa langkah, "Brukkkl" tubuhnya jatuh terduduk ke tanah.
Biarpun wajahnya ditampar orang, Li Koan-eng sama sekali tak tahu dengan cara apa orang menamparnya, bahkan tak tahu apa yang harus dilakukan. Tampak nona berbaju hijau itu berdiri dihadapannya sambil bercekak pinggang, bentaknya gusar: "Apa kau bilang?" Matanya melotot besar, penuh cahaya amarah.
Ditengah bentakan gusar Li Koan-eng melompat bangun, tangannya bergetar, pisau belati dalam genggamannya ibarat titiran hujan menusuk ke tubuh nona itu.
Kalau tadi dia terkena pukulan gara gara ceroboh dan gegabah, kini cahaya pisaunya berkilauan bagaikan lapisan kabut berwarna perak yang menyelimuti seluruh tubuhnya.
Tu Kuan bertekuk pinggang sambil mundur empat langkah, sejak kecil dia sudah berlatih silat dari ayahnya, kemampuan yang dimiliki meski ampuh, sayang pengalamannya bertarung masih minim, tanpa terasa pikirannya jadi kalut setelah menghadapi sergapan itu.
Sambil tertawa seram kembali Li Koan-eng berkata: "Kalau tahu diri, cepat mundur ke samping, akan kubereskan dulu manusia cabul yang tak tahu malu itu!" "Kau masih berani menuduh yang bukan bukan!" bentak Tu Kuan gusar, tangannya diayunkan ke muka, lagi lagi sebuah serangan maut dilancarkan.
Mendengar orang lain menghina jagoan idolanya, timbul hawa amarah yang membara dalam hati kecil nona ini, secara beruntun dia lancarkan tiga buah pukulan dan lepaskan satu tendangan kilat, mengarah pisau belati dalam genggaman lawan.
Tendangan ini muncul tanpa bayangan, Li Koan-eng hanya merasakan pergelangan tangannya kesemutan, pisau belati dalam genggamannya disertai kilasan cahaya perak sudah mencelat masuk ke balik hutan.
Ia terkesiap, tanpa sadar tubuhnya mundur sejauh tujuh depa, sayang Tu Kuan tidak tahu manfaatkan kesempatan itu untuk mengejar.
Seebun Ho yang menyaksikan kehebatan gadis itu, diam diam merasa kaget juga, setelah berpikir sejenak, hardiknya: "Nona, sebelum tahu masalahnya, kenapa kau sembarangan menyerang orang" Tahukah kau, apa yang telah dilakukan bangsat she-Tian itu?" "Aku hanya tahu dia tak bakalan melakukan perbuatan bejad, kalau kalian tidak segera berhenti menyerang, aku.....
aku . . . . .." sebagai gadis yang lembut dan polos, dia tak tega mengucapkan perkataan yang kasar dan kotor.
Tian Mong-pek sangat terharu, bagaimana pun juga, ternyata dikolong langit masih ada orang yang menaruh kepercayaan terhadap dirinya.
Dengan mata mendelik teriak Li Koan-eng: "Orang she-Tian telah mencuri biniku, apakah perbuatan semacam itu bukan perbuatan bejad?" Tu Kuan agak tertegun, tapi cepat serunya: "Binimu toh bukan orang mati, mana mungkin bisa dicuri dan dibawa kabur olehnya!" Seebun Ho tahu kalau nona muda ini tidak mengerti bahasa kasar, tanpa menghentikan gerak serangan, jelasnya: "Yang dimaksud adalah orang she-Tian itu telah berselingkuh dengan istrinya Li toako, masa kau masih membelai manusia semacam itu?" Kali ini Tu Kuan mengerti, lagi-lagi ia tertegun, tapi segera teriaknya: "Aku tidak percaya!" "Hmm, orang she-Tian sendiri sudah mengakui, masa kau masih belum percaya?" jengek Seebun Ho tertawa dingin.
Gemetar keras sekujur badan Tu Kuan, jeritnya: II "Tian kongcu .
. . . . . .. "Kalau tidak pernah berbuat, kenapa dia beradu jiwa dengan kami berdua" lanjut Seebun Ho.
Hijau membesi paras muka Tian Mong-pek, ia gigit bibir menahan gejolak emosinya yang meluap, tanpa ambil perduli jurus serangan lawan, "wesss!" satu pukulan maut langsung dilontarkan ke depan, membuat tubuh Seebun Ho terpental ke samping, namun tulang bahu sendiri terhantam pula oleh senjata pit lawan.
"Tian kongcu" teriak Tu Kuan lagi, "kau.....
kau terluka!" "Aku adalah manusia jahat, kau tak usah perdulikan aku!" ujar Tian Mong-pek gusar.
Tanpa memperhatikan keadaan lukanya, dia putar badan kabur meninggalkan tempat itu, dia pergi dengan membawa api amarah yang berkobar, sekalipun semua dosa dan kesalahan dilimpahkan ketubuhnya seorang, dia tak ambil perduli, dia tak ingin memberi penjelasan apa pun.
Tu Kuan memandang sekejap sekitar arena, tiba tiba dia mengejar sambil menjerit: "Tian kongcu .
. . . . . . .." Tanpa berpaling Tian Mong-pek kabur masuk ke balik hutan, biarpun tubuhnya terluka namun tidak terlalu parah, justru luka hatinya yang berdarah darah, bila Thian punya mata, mengapa Ia diperlakukan seperti ini" Li Koan-eng tertegun berapa saat, bentaknya kemudian: "Bajingan cabul, mau kabur ke mana kau!" Dia menggerakkan badan siap melakukan pengejaran, tiba tiba Seebun Ho menarik lengannya sambil menegur: "Li toako, apa lagi yang akan kau lakukan?" "Sebelum dapat mencincang tubuh bajingan cabul itu hingga hancur berkeping, rasanya aku belum dapat menghilangkan rasa benci dan dendamku" sahut Li Koan-eng gusar.
Seebun Ho tertawa dingin, ujarnya perlahan: "Kau tak perlu membunuhnya dengan tangan sendiri, toh dia tak bakal bisa hidup melebihi satu jam!" "Apa?" teriak Li Koan-eng kaget.
Perlahan Seebun Ho mengangkat senjata poan-koan-pitnya, diujung senjata pit itu terlihat bekas darah yang belum mengering, ujarnya sambil menyeringai seram: "Barusan aku berhasil menghantam pundaknya dengan ujung pena, kau tahu bukan, senjataku mengandung racun yang sangat hebat, semisal dia duduk tak bergerak, mungkin jiwanya masih bisa bertahan selama berapa saat, tapi kini dia justru kabur dari sini, begitu hawa racun menyebar, hmm! Hmmm!" Setelah mendengus dingin berulang kali, dia tidak melanjutkan lagi kata katanya.
Li Koan-eng tertegun sejenak, kemudian mendongak dan tertawa seram.
Kembali Seebun Ho berkata dengan nada dingin: "Kini si lelaki selingkuh udah mampus, toako tak usah pusingkan perempuan cabul itu lagi, paling lama sebulan, paling cepat sepuluh hari, siaute pasti akan menenteng batok kepalanya untuk dipersembahkan kepadamu!" "Seebun-heng, kau selalu membantu orang yang sedang dalam kesulitan, selalu setia kawan, demi urusan siaute pun rela bersusah payah, aai .
. . . .. biarpun keluarga siaute tertimpa masalah, namun bisa bersahabat dengan seorang teman macam Seebun-heng, boleh dibilang inilah keuntungan diantara ketidak beruntungan!" "Hahaha....
itu mah tak terhitung seberapa" sela Seebun Ho sambil tertawa, "mari, mari! Kita habiskan berapa cawan arak untuk meredakan hawa amarah Li-heng!" Oo0oo Angin gunung berhembus kencang, hujan kembali turun dengan derasnya, suara hujan yang menimpa pepohonan membiaskan ira ma sedih yang memilukan hati.....
Secepat asap ringan nelayan To meloncat turun ke tengah arena, pikirnya: "Hukum langit memang selalu menjebak manusia berdosa, coba kalau bukan karena tindakan losu, bukankah terlalu keenakan buat manusia bejad itu! Hahaha.....
selama sepuluh tahun terakhir, baru hari ini aku merasa puas sekali!" Orang tua ini memang tak bedanya seperti sifat jahe, makin tua semakin pedas, pada empat puluh tahun berselang tindak tanduknya ceroboh, gegabah dan terburu napsu, tak disangka empat puluh tahun kemudian, wataknya sama sekali tak berubah.
"Tian kongcu, hendak kemana kau?" "Apa urusannya denganmu?" sahut pemuda itu gusar, kembali dia melanjutkan perjalanan.
"Tian kongcu, bagaimana keadaan lukamu?" kembali Tu Kuan bertanya.
"Biar matipun apa urusannya dengan kalian!" teriak Tian Mong-pek makin keras.
Sepatu yang dikenakan kini sudah robek, berlubang besar, setiap kali kakinya menginjak tanah yang becek, segera timbul suara mencicit yang nyaring.
ll "Tian kongcu kembali Tu Kuan membujuk sambil menghela napas sedih, "kenapa kau tak mau pulang" Buat apa menderita disini" Masih banyak orang di kota Hangciu yang.....
yang merindukan dirimu" "Hmm!" Tian Mong-pek hanya mendengus tanpa menjawab, langkahnya makin dipercepat, entah berapa jauh ia sudah berjalan, dia hanya mendengar dengusan napas lirih dari belakang tubuhnya, Tu Kuan masih mengintil terus dengan ketat.
Waktu itu Tian Mong-pek merasakan tubuh bagian atasnya semakin panas, kepalanya makin pening dan pikirannya semakin kalut, sambil berpaling segera bentaknya: "Hei, kau toh seorang gadis muda, buat apa mengintil terus dibelakang seorang lelaki ditengah malam buta begini?" Tu Kuan menunduk sedih, sahutnya sambil menahan air matanya yang ingin meleleh keluar: "Aku.....
aku sendiripun tak tahu mengapa?" "Tahukah kau, manusia macam apa diriku" Aku adalah penjahat cabul, seorang manusia laknat, kalau tidak segera pergi, hati hati kalau kumakan dirimu" Baru berjalan berapa langkah, merasa Tu Kuan masih mengintil terus, tiba tiba Tian Mong-pek membentak gusar, membalikkan badan sambil cengkeram bahu gadis itu.
Siapa tahu Tu Kuan sama sekali tak melawan, sambil mendesah lirih bisiknya: "Tian kongcu .
. . . . . . . .." Tiba tiba ia menyaksikan cahaya merah membara yang muncul dari kulit tubuh Tian Mong-pek, sebagai seorang gadis yang sejak kecil sudah belajar ilmu, dalam sekali pandang saja ia segera tahu kalau warna tersebut merupakan gejala keracunan.
"Racun . . . . . . .." jeritnya keras. "Racunl" Tian Mong-pek menyeringai seram, "baru sekarang kau tahu kalau aku adalah manusia sejahat racun?" Tu Kuan merasa kaget bercampur takut, secara lamat lamat diapun dapat merasakan hawa panas yang muncul dari telapak tangan Tian Mong-pek, merayap ke dalam tubuhnya.
Untuk sesaat dia merasakan jantungnya berdebar keras, kembali bisiknya: "Kau .
. . . . . . kau . . . . . . . . " Semenjak kecil hingga dewasa, belum pernah ia bersentuhan dengan tubuh lelaki, kini dia hanya merasakan bibirnya kering, tak sepatah katapun sanggup diucapkan.
Tergoncang hati Tian Mong-pek menyaksikan keadaan gadis itu, tanpa terasa dia kendorkan cengkeramannya, tanpa sadar ia peluk gadis itu erat erat.
Mendadak ia terbayang kembali semua kejadian yang menimpa dirinya selama ini, rasa gusar bercampur sedih kembali muncul dari hat i kecilnya.
"Pergi kau!" hardiknya keras, dia dorong tubuh Tu Kuan hingga jatuh terduduk, kemudian membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ.
Untuk sesaat Tu Kuan duduk tertegun, tapi segera dia melompat bangun sambil berteriak: "Tian kongcu, kau tak boleh bergerak lagi, kau .
. . . .. kau sudah keracunan" Tian Mong-pek sama sekali tak berpaling, dalam paniknya kembali Tu Kuan menggenggam bahu pemuda itu.
"Lepaskan tanganmu!" hardik Tian Mong-pek.
"Tian kongcu" rengek Tu Kuan, "kumohon, janganlah begitu, biarkan aku memeriksa keadaan lukamu .
. . . . . . . .." "Aku sengaja tak mau!" teriak Tian Mong-pek gusar, sekuat tenaga dia meronta namun gagal melepaskan diri.
Kini hawa racun dalam tubuhnya mulai bekerja, pemuda itu merasakan sekujur badannya panas bagai terbakar, sambil meraung dia bergulingan diatas tanah.
Perlu diketahui, disaat seseorang keracunan hebat, biasanya dia memiliki kekuatan yang luar biasa.
Biarpun Tu Kuan memiliki ilmu silat tinggi, saat ini dia tak sanggup melawan kekuatan pemuda itu, tak ampun tubuh mereka berdua pun bergulingan bersama ditanah, semakin besar nona itu menggunakan tenaga, semakin kuat Tian Mong-pek meronta.
Kini napas mereka berdua telah tersengkal, tubuh mereka kotor dan basah karena bergulingan ditanah pecomberan.
Tu Kuan tiada hentinya merengek, memohon, tapi Tian Mong-pek seolah tidak mendengar.
Oo0oo Begitu mendengar ucapan Sun Giok-hud, Tu Hun-thian tahu kalau dia telah salah menuduh orang baik, dalam panik bercampur cemas, dia berlarian naik keatas bukit dengan langkah cepat.
Sebagaimana diketahui, orang tua ini berangasan dan tak sabaran namun berjiwa kasatia, tak tahan dia bergumam seorang diri: "Kalau dia sampai mati membawa penasaran, akulah yang harus bertanggung jawab atas kesalahan ini, kalau sampai terjadi begitu, apakah aku masih punya muka bertemu umat persilatan" Apakah aku masih punya muka bertemu 'II arwah bapaknya dialam baka .
. . . . . . .. Walau melihat Tan Cia-li kabur turun gunung, dia sama sekali tak ambil peduli.
Dalam waktu singkat ia sudah tiba dipuncak gunung, suasana disitu hening, sepi, tak nampak bayangan manusia, diapun tidak menemukan jenasah Tian Mong-pek, hal ini sedikit membuat hatinya lega, maka sambil berhenti berlari, dia mulai melakukan pencarian di sekeliling tempat itu.
Kecepatan gerakan tubuhnya sungguh luar biasa, dalam waktu singkat dia telah menggeledah seluruh bukit, namun jejak Tian Mong-pek tetap gagal ditemukan.
Sementara dia masih mencari dengan gelisah, tiba tiba dari balik hujan dan angin terdengar suara seseorang menjerit keras: II "Tian kongcu, kumohon, jangan begitu .
. . . . . .. Suara merdu merayu itu ternyata suara dari putri kesayangannya.
Kemudian ia mendengar suara Tian Mong-pek berteriak: "Aku sengaja mau berbuat begini!" Menyusul kemudian terdengar suara orang meronta serta jeritan putri kesayangannya yang memilukan hati.
Tak ayal lagi, hawa amarah kembali berkobar dalam dada Tu Hun-thian, kontan makinya: "Tian Mong-pek wahai Tian Mong-pek, kusangka aku telah salah menuduhmu, tak disangka ternyata kau memang bajingan cabul yang biadab dan terkutuk!" Dengan kecepatan paling tinggi dia melesat ke arah sumber suara itu, dari balik kegelapan malam, betul saja, ia saksikan ada dua sosok bayangan manusia sedang bergumul diatas lumpur.
Merah membara sepasang mata Tu Hun-thian, sambil merangsek maju, bentaknya: "Bajingan cabul!" Begitu mengincar Tian Mong-pek, dia cengkeram tubuhnya lalu melempar sejauh satu tombak ke depan.
Buru buru Tu Kuan merangkak bangun, dengan badan berpelepotan lumpur, dia berdiri tertegun dengan pandangan ketakutan.
Betapa sakit perasaan Tu Hun-thian menyaksikan keadaan putri kesayangannya, cepat dia peluk nona itu sambil hiburnya: "Kuan-ji, tak usah takut, ayah telah datang .
. . . . . .." "Ayah, kau.....
lepaskan pelukanmu . . . . . .." teriak Tu Kuan gugup bercampur mendongkol.
"Kuan-ji, tenangkan hatimu, kalau kau merasa dihina dan dilecehkan, cepat laporkan kepada ayah, biar kucincang bajingan cabul itu hingga hancur berkeping!" Tu Kuan semakin cemas, teriaknya lagi: "Ayah, kau keliru, kau keliru, kalian semua keliru, Tian kongcu, dia.....
dia adalah orang baik!" Tu Hun-thian terperangah, berdiri melongo, tanpa sadar dia kendorkan pelukannya dan bertanya kebingungan: "Dimana kesalahan ayah?" Tu Kuan tidak menjawab, cepat dia menubruk ke hadapan Tian Mong-pek.
Tampak pemuda itu tak sadarkan diri dengan gigi terkatup dan wajah sepucat kertas.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi?" tegur Tu Hun-thian lagi sambil menghentakkan kakinya.
Sambil menutup wajahnya menangis tersedu, secara ringkas Tu Kuan menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya, tambahnya: "Tian kongcu, akulah yang telah mencelakaimu .
. . . . . .." Tu Hun-thian berdiri mematung, untuk sesaat dia tak mampu berkutik, perasaan hatinya campur aduk tak karuan, semula dia mengira Tian Mong-pek telah melecehkan putri kesayangannya, siapa tahu bukan demikian kenyataannya, dia berniat menolong, tak tahunya Tian Mong-pek justru semakin menderita, karena harus menerima tuduhan yang sesungguhnya tak pernah dilakukan.
"Ayah, bagaimana sekarang?" rengek Tu Kuan dengan air mata berlinang, \\ apa .
. . . ..apakah kita biarkan dia mati dengan begitu saja" Jika dia mati, akupun tak ingin hidup .
. . . . .." Tu Hun-thian jongkok disamping Tian Mong-pek dan mencoba memeriksa denyut nadinya, terasa detak jantung pemuda itu sangat lemah, napasnya tinggal satu dua, kondisinya sangat mengenaskan.
Sebagaimana diketahui, sudah berapa hari Tian Mong-pek kelaparan, keletihan dan dahaga, ditambah lagi tubuhnya saat ini keracunan, bagaimana mungkin dia sanggup menahan satu pukulan Tu Hun-thian dalam keadaan gusar" Biar Tu Hun-thian memiliki ilmu pertabiban yang hebatpun, sulit baginya untuk melakukan pertolongan.
"Apa . . . . . .. apakah dia masih bisa tertolong?" tanya Tu Kuan gemetar.
"Aku..... aku rasa . . . . . . . . .." rasa duka tersirat diwajah tua Tu Hun-thian yang penuh keriput.
Dari perubahan mimik muka ayahnya, Tu Kuan tahu apa yang terjadi, meledaklah isak tangisnya, ia segera menubruk badan Tian Mong-pek dan memeluknya erat erat.
Tu Hun-thian mengepal sepasang tinjunya kuat kuat, walau kuku yang tajam telah melukai kulitnya, dia tak ambil peduli, keluhnya sambil memandang angkasa: "Tu Hun-thian wahai Tu Hun-thian, apa yang akan kau lakukan?" Ketika membuka kepalannya, darah segar meleleh keluar membasahi bajunya.
Suara tangisan Tu Kuan bertambah lirih, tiba tiba dia membangunkan Tian Mong-pek dan membiarkan pemuda itu bersandar dalam pelukannya, kemudian sambil membelai rambut anak muda itu katanya: "Tahukah kau" Sejak kecil aku selalu memperhatikan dirimu, terutama sewaktu berdiri diujung perahu, bergerak mondar mandir, membiarkan angin ll meniup bajumu, sejak kecil aku sudah mencintaimu....
Tu Hun-thian terkesiap, apalagi sewaktu melihat wajah putri kesayangannya berubah jadi begitu kesemsem, seperti lagak orang idiot, dengan perasaan kaget teriaknya: II "Kuan-ji .
. . . . . . . .. Tu Kuan sama sekali tak ambil peduli, tetap membelai rambut Tian Mong-pek, katanya lagi: "Kau pasti sangat lelah, tidurlah! Besok akan kumasakkan telur untukmu, sekarang, tidurlah dalam pelukanku, tak bakal ada orang berani II mengganggumu lagi .
. . . . . . . .. "Kuan-ji, kenapa kau?" teriak Tu Hun-thian makin panik.
Tu Kuan tertawa bodoh. "Ayah" jawabnya, "kau tak boleh memukulnya lagi, kini, dia sudah menjadi menantumu .
. . . . . . . .." Sambil berkata, dia bopong tubuh Tian Mong-pek dan berjalan menuju ke balik kegelapan hutan.
Baru saja Tu Hun-thian akan mengejar, tiba tiba Tu Kuan membalikkan badan sambil berseru: "Ayah, kau jangan ikuti aku, malam ini adalah malam pengantin kami berdua, masa kau ingin menonton kami bermesraan?" "Kuan-ji .
. . . . . . . .." kembali orang tua itu maju selangkah.
Mendadak Tu Kuan mencabut sebilah pisau belati dari sakunya dan mengancam: "Ayah, kalau kau berani maju lagi, aku segera akan bunuh diri dihadapanmu!" Tu Hun-thian tertegun, ia merasa gejolak hawa darah dalam dadanya, riak kental teraasa tak dapat dimuntahkan keluar, setelah mendengus berat, tubuhnya roboh terjungkal ke tanah, setengah pingsan lantaran mendongkol.
Tu Kuan tak ambil peduli, kembali dia melanjutkan langkahnya menuju ke balik kegelapan.
Akhirnya dia baringkan Tian Mong-pek diatas tanah, lalu menutup tubuh pemuda itu dengan banyak ranting dan daun, katanya lagi: "Tidurlah disini sayang, tak akan ada orang yang berani mengganggu kita lagi .
. . . . . .." Tiba tiba ia merasakan ketiaknya kesemutan, tubuhnya tak sanggup bergerak lagi.
Tampak seorang kakek kurus pendek bermata tajam muncul dari balik kegelapan dan menghampiri Tian Mong-pek, katanya sambil tertawa menyeramkan: "Mencari sampai jebol sepatu tanpa hasil, siapa sangka akhirnya diperoleh dengan begitu gampang, orang ini telah memperoleh kitab pusaka Po-kie- pit-kip milik tua bangka Chin, namun tak tahu melatihnya, siapa sangka dia justru hantarkan diri ke tangan lohu" Seorang pemuda berbaju hijau, berwajah pucat, berhidung betet dan bermata tajam menyusul datang dari balik pepohonan, sahutnya sambil tertawa tergelak: "Hahaha.....
itu namanya Thian memang punya mata dan memastikan ananda menjadi ketua perguruan Po-ki-bun!" Mata yang cabul segera dialihkan ke tubuh Tu Kuan dan mengawasinya dari atas hingga kebawah.
Perlu diketahui, saat itu sekujur tubuh Tu Kuan basah kuyup sehingga potongan tubuhnya yang matang dan montok kelihatan jelas sekali.
Kedua orang ini tak lain adalah Hong Sin dan Hong It ayah beranak, dari mulut pelayan losmen mereka mendapat tahu kalau Chin Mo-cuan dan Siau Sam-hujin telah meninggal, mereka pun mulai melacak jejak Tian Mong-pek.
Kedua orang ini tak lain adalah Hong Sin dan Hong It ayah beranak, dari mulut pelayan losmen mereka mendapat tahu kalau Chin Mo-cuan dan Siau Sam-hujin telah meninggal, mereka pun mulai melacak jejak Tian Mong-pek.
Hari itu mereka melakukan pencarian dimulai dari depan kuburan Chin Mo-cuan hingga ke atas bukit, akhirnya dari balik kegelapan mereka menangkap suara manusia, ternyata dugaan mereka tak salah, sasaran yang dicari berhasil ditemukan disana.
Dengan cepat Hong Sin mencengkeram tubuh Tian Mong-pek lalu menggeledah seluruh badannya, tapi dengan cepat berubah paras mukanya.
"Pek-po-kie maupun kitab pusaka milik tua bangka Chin tidak berada dalam sakunya" "Hahaha...
jangan jangan berada disaku nona itu" seru Hong It sambil tertawa cabul, "biar ananda menggeledahnya!" Cepat dia tangkap tubuh Tu Kuan dan mulai menggerayangi sekujur badannya.
"Lepas tangan!" hardik Hong Sin ketus, dia menotok bebas jalan darah Tu Kuan, lalu bentaknya lagi, "apakah kau yang telah mengambil barang barang disaku Tian Mong-pek?" "Barang apa?" tanya Tu Kuan sambil tertawa bodoh, dia seolah tak punya rasa kaget atau ketakutan, "kami sedang menikmati malam pengantik, apakah kau datang untuk meneguk arak kegirangan" Sayang disini tidak ada!" Dengan tajam Hong Sin menatapnya berapa saat, akhirnya sambil menghela napas kecewa gumamnya: "Ternyata perempuan idiot!" "Kalau memang idiot, biarlah ananda nikmati dulu kehangatan tubuhnya!" sela Hong It sambil tertawa, sambil bicara lagi lagi dia mulai menggerayangi sekujur badan gadis itu.




Tiba tiba Hong Sin membalikkan tangan, menyingkirkan tangan Hong It yang sedang menggerayang.
"Ayah, jangan jangan kaupun tertarik dengan perempuan ini?" jerit Hong It sambil melompat mundur, dengan kecewa dia awasi wajah ayahnya sementara kehangatan dan kepatuhannya hilang sama sekali.
Tampaknya Hong Sin sudah jenuh dan muak melihat sikap putranya, kembali ia berkata ketus: "Masih banyak waktu bila kau ingin bersenang senang, saat ini kita harus mencari tahu lebih dulu dimana ia sembunyikan Pek-po-kie tersebut" "Orang itu sudah mampus, sementara gadis itu idiot, kita harus bertanya kepada siapa?" Hong Sin memeriksa denyut nadi Tian Mong-pek, jawabnya dingin: "Siapa bilang dia sudah mati! Bangsat ini hanya terkena racun jahat, ditambah pula isi perutnya terluka parah, kalau tidak bertemu lohu, dia baru mati beneran!" Dari sakunya dia mengeluarkan sebuah kotak kumala hijau, ketika dibuka, bau harum semerbak segera tersebar di udara.
"Kau hendak menolongnya dengan menggunakan soat-lian (teratai salju)?" teriak Hong It dengan wajah berubah.
"Benarl" "Dengan susah payah kita baru berhasil mendapatkan soat lian itu dari dalam istana kaisar, benda mestika itupun kita persiapkan untuk menghadapi serangan panah kekasih, kenapa kau justru memakainya untuk selamatkan nyawa bajingan itu?" protes Hong It gusar, sambil pentang cakar pemuda itu mencak mencak seperti orang gila, dipandang dari balik kegelapan malam, tingkah lakunya tak ubah seperti setan iblis.
"Kau ingin jadi ciangbunjin Po-kie-bun atau tidak?" tanpa berpaling tegur Hong Sin.
"Tentu saja . . . . . . .." "Kecuali menolongnya hingga sadar, kemudian mencari tahu jejak benda benda itu, memangnya kau masih punya cara lain yang lebih bagus?" Hong It tampak tertegun, tapi kemudian tertawa terbahak bahak.
"Hahahaha . . . . .. betul, tepat sekali, cepat kita cekokkan soat lian itu, ayah memang benar, ananda mengaku salah!" Senyum licik kembali menghiasi bibirnya, saat ini dia seakan telah berganti lagi menjadi seseorang yang lain.
Dengan mata terbelalak lebar, Tu Kuan mengawasi tingkah laku ayah beranak itu, tiba tiba dia rentangkan tangannya menghadang didepan Tian Mong-pek, teriaknya keras: "Dia adalah suamiku, dia sudah tidur, kalian tak boleh mengganggunya!" Dengan wajah sedingin es, Hong Sin melancarkan satu serangan kilat, menotok jalan darah ciong-tay-hiat ditubuh gadis itu.
Biarpun saat ini Tu Kuan mengalami pukulan batin yang sangat berat hingga kesadarannya agak hilang, bukan berarti ilmu silatnya punah, menghadapi datangnya ancaman, cepat pergelangan tangannya berputar, dengan ujung ke lima jari tangannya dia balas mengancam urat nadi Hong Sin.
Jurus serangan ini dilancarkan begitu mendadak dan menggunakan kecepatan bagaikan petir, sasaran yang dituju pun amat telak, inilah intisari ilmu silat Li-huan-cian andalan Tu Hun-thian.
Hong Sin tahu lihay, cepat dia tarik kembali tangannya sambil mundur selangkah, serunya dengan wajah berubah: "Perempuan ini punya asal usul luar biasa, jangan jangan dia keturunan tokoh silat?" "Aku adalah putri Tu Hun-thian" Tu Kuan menerangkan, "sedang dia adalah menantu Tu Hun-thian, kalian jangan mencoba menganiaya kami, sebentar lagi ayahku akan muncul disini" Bergetar sekujur tubuh Hong Sin ayah beranak, tanpa sadar jeritnya: "Aaah, Li-huan-cian!" Tapi setelah menengok sekitar sana dan tidak melihat bayangan manusia, perasaan hati mereka jadi tenang kembali.
Setelah berpikir sejenak, bisik Hong Sin ditepi telinga putranya: "Kita ayah dan anak memang sedang beruntung, dapat bertemu perempuan ini .
. . . . . .." Setelah merandek sejenak, dengan wajah penuh senyuman, katanya kepada Tu Kuan: "Tahukah kau, suamimu sudah meninggal?" Tu Kuan termangu, dalam kebingungan dia teringat kalau Tian Mong-pek memang benar benar sudah mati, bisiknya: "Apakah dia sudah mati" Dia sudah mati .
. . . . . . .." Sambil menutup wajahnya, diapun menangis tersedu sedu.
ll "Sudah, tak usah menangis bujuk Hong Sin, "biarpun dia sudah mati, aku sanggup menghidupkannya lagi" "Sungguh?" teriak Tu Kuan dengan mata terbelalak.
"Tentu saja sungguh" Hong Sin tertawa licik, "Cuma, kalau aku dapat menghidupkannya kembali, kau tak boleh bersamanya lagi, kau harus kawin dengan putraku" Tu Kuan berpikir cukup lama sebelum akhirnya tertawa dan manggut manggut.
"Baik, baik, asal dia hidup, aku akan kawin dengan putramu....
mau kawin dengan kaupun boleh saja" Dalam keadaan setengah sadar, yang dia pikirkan sekarang hanya bagaimana cara menghidupkan kembali Tian Mong-pek, sementara urusan lain sama sekali tak dimasukkan ke dalam hati.
Hong Sin jadi sangat kegirangan, serunya: "Kita sepakat dengan janji ini, Cuma kau tak boleh menyesal!" "Baik!" Hong Sin segera menjulurkan tangannya, "Plaak!" Tu Kuan memukul tangannya kuat kuat, meski sakit ditangan, diam diam kakek ceking ini merasa kegirangan.
Hong It kontan berkerut kening, teriaknya keras: "Perempuan ini idiot, aku hanya ingin menikmati kehangatan tubuhnya, II suruh dia jadi biniku" Tidak, tidak mau .
. . . . .. Belum selesai bicara, tiba tiba Hong Sin mengayunkan tangannya dan menghajar pemuda itu hingga jatuh jumpalitan.
Sambil memegang pipinya yang bengkak, dengan marah Hong It menjerit: "Kalau kau ingin kawin dengannya, kawini saja, kalau aku ogah, jangan paksa aku, kalau tidak .
. . . . . . .." "Jika ingin menjabat ketua perguruan Po-kie-bun, kawini dulu putri dari Li-huan-cian, setelah itu siapa lagi yang berani mengganggu dan mengusikmu?" tukas Hong Sin dingin.
"Soal ini . . . . . . . .." Hong It tampak tertegun.
"Sampai waktunya, kalau kau muak dengannya, bisa saja pergi mencari perempuan lain untuk bersenang-senang, waktu itu siapa lagi yang bakal mengurusimu" Siapa pula yang sanggup mengurusi perbuatanmu?" "Betul, betul sekali" teriak Hong It kegirangan, "lagi lagi ayah yang benar, ananda yang salah" Lalu sambil tertawa terbahak bahak dia mulai menggerayangi lagi sekujur badan Tu Kuan, panggilnya: "Biniku .
. . . . . . . .." "Sekarang, jangan kau sentuh dirinya lebih dulu" cegah Hong Sin sambil menarik muka.
"Kenapa?" "Kelihatannya, hubungan perempuan ini dengan orang she-Tian itu sangat akrab, bila orang she-Tian itu sadar dan melihat gadisnya kau lecehkan, memang dia bersedia membeberkan rahasia itu?" Setelah berhenti sejenak, lanjutnya sambil tertawa dingin: "Tapi, setelah orang she-Tian itu membeberkan rahasia tentang kitab pusaka Po-kie-pit-kip .
. . . . .. hehehe . . . . . .!" Sambil membuat gaya mengiris dengan tangannya, ia menambahkan: "Saat itu, dia adalah milikmu" Mendadak terdengar suara gesekan bergema dari balik hutan, Hong Sin sangka Tu Hun-thian telah datang, teriaknya dengan wajah berubah: "Cepat kabur! " "Kalian jangan bopong suamiku!" teriak Tu Kuan, perlahan dia bopong tubuh Tian Mong-pek.
Maka dengan dikawal Hong Sin ayah beranak, kaburlah mereka menuju ke bawah bukit.
Senja hari ke dua, tibalah mereka di kota Go-hing, biarpun kota Go-hing tidak terlalu besar, namun merupakan persimpangan jalan penting di wilayah Kanglam.
Menjelang senja, cahaya lampu bertebaran menerangi seluruh pelosok kota, banyak orang yang berlalu lalang di jalan raya.
Penampilan berapa orang itu segera menarik perhatian banyak orang, Hong Sin tahu, dandanan mereka pasti telah menimbulkan kecurigaan dan perhatian orang, maka tidak sampai pemilik losmen buka mulut, dia segera menjejalkan sekeping uang perak untuk menutup mulutnya.
Selama dalam perjalanan, berulang kali Hong Sin melolohkan teratai salju ke mulut Tian Mong-pek, meski benda itu merupakan barang langka yang luar biasa, namun berhubung Tian Mong-pek dua kali mengalami luka parah, ditambah pula dia telah keracunan hebat, setelah muntah berapa kali, kondisinya tetap berada dalam keadaan tak sabarkan diri.
Sepanjang jalan, pemuda itupun sama sekali tak makan apapun, akibatnya benda yang dimuntahkan dari perutnya lebih banyak air berwarna hijau daripada benda lain, sampai akhirnya tak ada lagi benda yang dapat dimuntahkan keluar.
Saat itulah luka merah bengkak dibahunya mulai luntur dan kempis, melihat itu sambil bertepuk tangan seru Hong Sin: "Bagus, bagus sekali, dia sudah sembuh .
. . . . . . . .." Waktu itu Hong It sedang berjalan mondar mandir dalam ruang kamar dengan hati gelisah, tubuh Tu Kuan yang putih mulus betul betul telah membangkitkan hawa napsu birahinya, kalau bisa, ingin sekali dia peluk tubuh gadis itu, menggerayangi seluruh badannya kemudian menyalurkan hasratnya.
Tak heran kalau dia amat girang setelah mendengar ucapan itu, teriaknya: "Jadi dia telah sembuh?" "Tak sampai satu jam kemudian, dia akan sadar kembali" Dengan cepat Hong It menyambar tangan Tu Kuan lalu diendusnya sekujur badan nona itu, katanya sambil tertawa: "Tidak sampai satu jam lagi, kau akan menjadi milikku" Dengan pandangan bodoh Tu Kuan mengawasi Tian Mong-pek, dia seolah tidak merasa kalau tangannya sedang digenggam, bahkan dia sama sekali tidak mendengar semua perkataan Hong It, tiba tiba sambil menarik kembali tangannya dan tertawa cekikikan, serunya: "Aaah, geli sekali" Bergolak napsu birahi Hong It, ia tertawa terbahak.
"Hahaha.... geli yaa" Ooh tahu geli .
. . . . . .. kalau begitu akan kubuat kau II kegelian .
. . . . . . . .. Sambil pentang tangan, lagi lagi dia siap menubruknya.
"Aaah, menjengkelkan kamu!" seru Tu Kuan sambil tertawa, biar matanya masih mengawasi Tian Mong-pek, tangannya diayun ke muka melepaskan satu dorongan.
Jangan dilihat dorongan itu dilakukan sembarangan, namun mengandung kekuatan tenaga murni yang luar biasa.
Waktu itu Hong It sudah dikendalikan napsu birahi yang berkobar, mana dia tahan menghadapi pukulan yang maha dahsyat itu" "Blaaaaml" satu pukulan telak bersarang didadanya membuat pemuda itu mencelat dan roboh disudut ruangan.
Dalam terkejut bercampur gusar Hong Sin melompat bangun, bentaknya: "Kenapa kau memukulnya" Masa kau tidak kuatir suamimu mati terhajar?" "Masa aku melukainya?" seru Tu Kuan sambil tertawa bodoh, "aduh mak, II maaf, maaf .
. . . . .. Sambil berkata dia ambil keluar selembar saputangan dan menyeka noda darah diujung bibir Hong It.
Tak terlukiskan amarah Hong It diperlakukan begitu, n amun melihat tingkah laku si nona yang bodoh, hawa amarahnya malah tak sanggup dilampiaskan.
"Nih, ambil!" kembali Tu Kuan berseru.
Tanpa terasa Hong It menerima saputangan itu untuk menyeka noda darah diujung mulutnya, padahal saputangan itu selain bau, kotor sekali, bagaimana mungkin noda darahnya bisa diseka hingga bersih" Melihat itu Tu Kuan segera tertawa cekikikan.
Pada dasarnya nona ini memang berparas ayu, biarpun sedang berada dalam keadaan idiot, namun sama sekali tidak mengurangi kecantikan wajahnya.
Senyuman manis itu begitu membetot sukma, membuat Hong It termangu mangu, untuk sesaat dia hanya bisa berdiri tertegun dengan mata melotot besar.
Tiba tiba terdengar Hong Sin mendengus dingin.
"Hmm, sudah cukup menyekamu?" tegurnya.
Hong It seolah tidak mendengar, tiba tiba teriaknya seperti orang kalap: "Aku sudah tidak tahan.....
aku sudah tidak tahan . . . . . .." Tanpa banyak bicara lagi dia sambar tubuh Tu Kuan, membopongnya lalu menerjang keluar dari pintu ruangan.
Berkerut alis mata Hong Sin, biarpun dia ganas, buas dan telengas, namun kelihatannya tak berdaya menghadapi ulah putranya, dalam keadaan begini dia hanya bisa menghela napas sambil bergumam: II "Binatang....
dasar binatang . . . . . . . .. Bab 6. Menantu kaisar yang romantis.
Terdengar Tian Mong-pek merintih sambil membuka kembali matanya, setelah memandang sekejap sekeliling tempat itu, dengan perasaan kaget dia meronta dan siap bangkit.
Cepat Hong Sin menahan badannya dan berkata sambil pura pura tertawa: "Kau keracunan hebat, baru saja kutolong nyawamu dengan soat-lian seribu tahun, biarpun saat ini hawa racun telah buyar namun luka dalammu belum sembuh, jadi lebih baik jangan bergerak dulu" Mendusin dari pingsannya, Tian Mong-pek seolah baru saja kembali dari dunia lain, perasaan heran, kaget, curiga kini berkecamuk dalam benaknya, agak melengak bisiknya: "Jadi kau....
kau telah selamatkan nyawaku .
. . . . . .." Ternyata orang itu yang telah selamatkan nyawanya, satu peristiwa yang membuatnya nyaris tak percaya.
"Coba bukan lohu yang telah selamatkan nyawamu, mungkin saat ini nyawa mu sudah berada di alam baka" kembali Hong Sin menerangkan.
Tian Mong-pek tertegun, semua kejadian sesaat sebelum pingsan pun terlintas kembali dalam benaknya, ia merasa terkejut, keheranan disamping berterima kasih, pikirnya: "Biarpun sepak terjang Hong Sin tidak lurus, tapi tindakannya selamatkan nyawa orang yang sedang terancam bahaya merupakan tindakan yang jauh lebih terhormat dan mengagumkan daripada ulah kaum pendekar yang tak bisa membedakan mana benar mana salah" Hanya saja sebagai orang yang polos, meski banyak yang ingin diucapkan, namun pernyataan terima kasih toh tak mampu diutarakan keluar.
Hong Sin adalah seorang tokoh silat yang sangat berpengalaman, dari sikap pemuda itu, dia segera tahu apa yang sedang dipikirkan, sambil tertawa kembali ujarnya: "Sekarang, lebih baik kau beristirahat dulu, setelah kondisi tubuhmu membaik nanti, lohu baru akan berbincang lagi denganmu" Tian Mong-pek merasa semakin berterima kasih, dia merasa Hong Sin betul betul seorang yang baik.
Untuk menarik simpatiknya, kembali Hong Sin mengambilkan secawan kuah jinsom dan menyuapi pemuda itu, sementara hati kecilnya merasa sangat gelisah, dia berharap dalam keadaan begini putranya jangan sampai kembali sambil membopong Tu Kuan, tapi diapun berharap putranya cepat kembali, jangan sampai menjumpai masalah lain.
Sementara perasaan hatinya masih kebat kebit, mendadak terdengar suara desingan angin diikuti sesosok bayangan manusia melompat turun dari atap wuwungan rumah, dia berambut putih, berwajah dingin dan masuk sambil menenteng tubuh seseorang.
Ternyata orang itu tak lain adalah Tu Hun-thian.
Begitu bertemu orang ini, pecah nyali Hong Sin, saking takutnya dia sampai jatuh terduduk dibangku.
Tadi, terbakar oleh hawa napsu birahinya, Hong It segera membopong Tu Kuan dan membawanya jauh jauh, dia tak ingin perbuatannya dicegah ayahnya, karena itu pemuda bejad ini berencana meniduri nona itu secepatnya.
Sementara Tu Hun-thian yang tersadar kembali setelah pingsan lantaran dadanya tersumbat hawa amarah, merasa panik bercampur gelisah setelah gagap menemukan jejak putrinya, dia segera turun gunung dan mencari berita sepanjang jalan.
Untung sekali Hong Sin dan rombongannya kelewat menyolok mata sehingga tanpa bersusah payah, Tu Hun-thian berhasil melacak jejak orang orang itu.
Walaupun dia belum bisa menduga siapa gerangan Hong Sin dan putranya, tapi dia yakin kalau nona yang berada dalam rombongan itu pasti putrinya, maka diapun menyusul ke kota Go-hing.
Menjelang tengah malam tibalah dia dikota Go-hing, waktu itu suasana kota sudah sepi, sulit bagi Tu Hun-thian untuk mencari kabar dari penduduk sekitar sana.
Sementara dia sedang bingung dan berencana akan menggeledah setiap losmen yang ada, mendadak ia saksikan ada sesosok bayangan manusia sedang bergerak cepat diatas atap rumah, semula dia mengira bayangan itu adalah manusia berjalan malam yang baru selesai melakukan kejahatan.
Sempat merasa sangsi untuk melakukan pengejaran, saat itulah Tu Kuan yang secara tiba tiba teringat akan Tian Mong-pek menjerit keras: "Lepaskan aku, lepaskan aku, aku mau menengok suamiku!" Begitu mendengar jeritan itu, Tu Hun-thian segera melakukan pengejaran.
Waktu itu Hong It hanya merasakan sesosok bayangan manusia berkelebat dihadapannya, belum sempat melihat jelas raut mukanya, tahu tahu ia merasa tengkuknya sudah dicengkeram orang hingga tak mampu berkutik, sedangkan Tu Kuan hanya mengawasinya sambil tertawa bodoh.
Tak terlukiskan rasa sedih Tu Hun-thian memnyaksikan keadaan putri kesayangannya itu.
Kembali ke losmen, Tu Hun-thian saksikan cahaya lampu menerangi sebuah kamar, dengan cepat dia melesat masuk ke dalam, tapi begitu menjumpai Hong Sin, dengan gusar segera bentaknya: "Ternyata kau!" dengan satu lemparan, dia buang tubuh Hong It ke sudut ruangan.
Hong Sin tertawa serak, sapanya: "Lama tak bersua, tak disangka Tu thayhiap tetap gagah dan menawan" Dalam pada itu Hong It telah merangkak bangun sambil berteriak keras: "Kenapa kau mempermainkan aku" adalah putrimu sendiri yang bersedia kawin denganku, buat apa kau ikut campur?" "Tutup mulut!" bentak Tu Hun-thian gusar.
Buru buru Hong Sin berkata sambil tertawa: "Putraku tidak tahu adat, harap Tu thayhiap sudi memaafkan, tapi apa yang dia katakan memang semuanya jujur dan benar, kalau tak percaya, tanyakan sendiri ke putrimu" Waktu itu, Tu Kuan telah berjalan menghampiri Tian Mong-pek, begitu mendengar ucapan tersebut, Tu Hun-thian segera berpaling ke arah putrinya sambil menegur: "Benarkah itu?" "Benarl" jawab Tu Kuan sekenanya, sedang tangannya mulai membelai rambut Tian Mong-pek dengan penuh kasih sayang.
Sebenarnya Tu Hun-thian sedang tertegun oleh ucapan putrinya, ketika melihat orang yang berbaring di ranjang ternyata Tian Mong-pek, dia semakin tercengang dibuatnya, dengan perasaan kegirangan segera teriaknya: "Ternyata kau belum mati!" Tian Mong-pek tertawa dingin, dengan kasar dia lepaskan diri dari belaian Tu Kuan, bentaknya lagi: "Aku tak berani merepotkan Tu thayhiap dan tuan putri, cayhe tak bakalan mampus!" Karena sedang gembira, Tu Hun-thian tak ingin bersikap kasar lagi terhadap Hong Sin ayah dan anak, segera bentaknya lagi: "Hari ini kuampuni nyawamu" Lalu dengan langkah lebar berjalan menghampiri Tian Mong-pek, katanya lagi sambil tertawa minta maaf: "Tempo hari lohulah yang kurang awas sehingga salah menuduh hiante .
. . . . . .." "Tidak berani, tidak berani" tukas Tian Mong-pek sambil tertawa dingin, "aku hanya penjahat cabul, mana berani menerima panggilan hiante dari Tu thayhiap" Lebih baik ampunilah diriku!" Merah jengah selembar wajah Tu Hun-thian, katanya lirih: "Hiante, lebih baik ikutlah aku pulang ke rumah, biar kutembusi semua nadimu yang tersumbat dengan tenaga dalam, anggap saja apa yang kulakukan sebagai penebus dosaku" "Hmm, biar aku orang she-Tian punya nyali besar pun tak bakal berani ikuti Tu thayhiap pulang .
. . . . . . . .." Berulang kali pemuda ini difitnah orang, nyawa pun berhasil diselamatkan dari ujung tanduk, walau perasaan sedih dan gusar berkecamuk dalam benaknya, namun dia tak berani mengucapkan perkataan tajam yang menyinggung perasaan orang.
Sesudah terengah-engah, dia angkat tangannya seraya berkata: "Silahkan, silahkan, cayhe tak berani merepotkan diri thayhiap!" Andaikata dia mencaci maki dengan kata kasar, mungkin Tu Hun-thian masih merasa agak mendingan, tapi ucapannya sekarang justru membuat pendekar itu jadi serba salah dan kikuk.
II "Hiante" serunya tergagap, "masa kau enggan .
. . . . . . . .. Tian Mong-pek tidak menanggapi perkataan itu, tiba tiba ia berpaling sambil bertanya: "Hong cianpwee, kaukah yang menyewa kamar ini?" "Betul!" sahut Hong Sin dengan mata berkilat.
"Tidak pantas rumah sekecil dan sejelek ini untuk menampung kehadiran Tu thayhiap, harap kau segera menghantar pulang thayhiap ini, hati hati, jangan sampai kaupun dihajar sampai muntah darah" Hong Sin tertawa terkekeh, sambil memberi hormat kepada Tu Hun-thian, katanya: "Tian lote baru sembuh dari keracunan, dia belum boleh marah, bila Tu thayhiap tak ingin Tian lote mati karena kambuhnya luka beracun, silahkan .
. . . . . . . .." Dia tertawa terbahak-bahak dan tidak melanjutkan perkataannya.
Untuk sesaat Tu Hun-thian hanya bisa berdiri melengak dengan wajah pucat kehijauan, selama hidup belum pernah dia diperlakukan orang dengan cara begini, akhirnya setelah menghela napas sedih katanya: "Kuan-ji, mari kita pergi!" Tu Kuan menggeleng, tampiknya sambil tertawa bodoh: "Tidak, aku tak mau pergi, orang ini telah menghidupkan kembali suamiku, aku berjanji akan kawin dengan putranya" Baru saja Tian Mong-pek merasakan hatinya tergerak, Tu Hun-thian telah membentak keras: "Apa" Kau hendak kawin dengannya?" Sambil berkata, cepat dia berpaling dan melotot ke a rah Hong It.
Hong Sin segera menangkap hawa napsu membunuh yang terpancar dari matanya, bergidik hati kecilnya, agak gugup serunya sambil tertawa: "Jangan kau anggap serius perkataan itu, kami hanya bergurau saja, lagipula putrimu cantik bak bidadari, mana mungkin putraku pantas mendampinginya?" Biarpun dihati kecilnya Hong It merasa sangat tak puas, namun melihat mimik muka Tu Hun-thian yang mengerikan, diapun ikut ketakutan hingga tak berani angkat muka.
Kembali Tu Hun-thian mendengus, sekali sambar dia cengkeram tangan Tu Kuan lalu menariknya pergi dari sana.
II "Aku tak mau pergi .
. . . . .. aku tak mau pergi . . . . . . .. rengek Tu Kuan dengan memelas, namun sayang dia tak mampu melepaskan diri dari cengkeraman.
Memandang hingga bayangan punggung kedua orang itu lenyap dari pandangan, diam diam Tian Mong-pek menghela napas panjang, sementara Hong It mulai mencaci maki sambil mendepakkan kakinya berulang kali: "Dasar makhluk sialan, tua bangka celaka .
. . . . . .." "Jangan sampai kedua orang itu datang mengusik kita lagi, lebih baik segera kita pindah ke tempat lain" tukas Hong Sin cepat.
Tanpa membuang waktu lagi, dia bopong tubuh Tian Mong-pek lalu melompat keluar lewat jendela.
Semula Tian Mong-pek menyangka mereka akan berpindah losmen, siapa tahu Hong Sin justru meninggalkan kota Go-hing pada malam itu juga, rasa terima kasih anak muda itu terhadap Hong Sin jadi semakin tebal, hanya saja perasaan tersebut tidak sampai diungkap keluar.
Tiba diluar kota, terlihat bintang bertaburan di angkasa, suasana di malam hari itu sangat cerah.
Hong Sin mencari sebuah hutan pohon liu dan meletakkan tubuh Tian Mong-pek dibawah pohon, melihat orang tua itu menggendongnya sepanjang perjalanan, dengan perasaan haru katanya: "Cianpwee, kau begitu baik kepadaku, cayhe tak tahu bagaimana harus membalas kebaikanmu itu?" Mendengar perkataan tersebut, Hong Sin segera tertawa terbahak bahak.
"Hahaha . . . .



.. gampang sekali bila kau ingin membalas budi kebaikanku" Sementara Tian Mong-pek masih tertegun, terdengar Hong Sin telah berkata lagi sambil tertawa: "Untuk selamatkan nyawamu, aku memang sudah membuang banyak waktu, tenaga dan harta, bahkan soat lian yang kuperoleh dengan pertaruhkan nyawa pun telah kuberikan untukmu, aku tidak berharap balas jasa lain, asal kau serahkan Po-kie-pit-kip yang diperoleh dari Chin Mo-cuan untuk kami, itu sudah lebih dari cukup.
Toh benda tersebut bukan milikmu, rasanya pantas bukan bila ditukar dengan nyawamu?" Tergerak perasaan Tian Mong-pek, seakan baru sadar, pikirnya: "Ternyata mereka ayah dan anak menolongku karena bermaksud mendapatkan kitab pusaka itu" Ingatan lain segera melintas kembali dalam benaknya: "Bagaimana pun juga, dialah yang telah selamatkan nyawaku, tidak pantas bila aku berpikiran begitu, hanya saja .
. . . .. sebelum meninggal, berulang kali Chin locianpwee berpesan wanti wanti agar aku melindungi kitab pusaka itu dengan sebaik-baiknya, mana boleh kuserahkan pusaka itu untuk II orang yang semasa hidupnya paling dibenci .
. . . . . . .. Sementara dia masih sangsi dan bingung, Hong It sudah melompat bangun sambil mengumpat: "Bajingan tengik yang tak punya budi, air susu dibalas air tuba, coba tak ada kami, nyawamu sudah melayang sejak dulu.
Sekarang kami hanya minta kau serahkan barang yang bukan milikmu, tapi berulang kali kau tolak, hmm! Kalau kau tetap membangkang, jangan salahkan kalau sauya akan mencopot celanamu .
. . . . . . . .." Umpatan berikut sangat kotor, pada hakekatnya tidak pantas untuk ditulis disini.
Berkerut sepasang alis mata Tian Mong-pek, ujarnya gusar: "Budi pertolongan yang kalian berdua berikan, pasti akan kubayar suatu saat nanti, tapi kalau suruh aku serahkan benda pusaka peninggalan Chin locianpwee kepada manusia macam dirimu, hmmm! Tak usah bermimpi disiang hari bolong" "Tidak mau" Kau bilang tidak mau?" Hong It berjingkrak marah, "sekali II lagi kau berani mengatakan tak mau, segera kujagal dirimu, aku .
. . . . . . .. Dalam waktu singkat, semua umpatan paling kotor yang ada dikolong langit telah diutarakan keluar.
Paras muka Tian Mong-pek berubah sedingin es, ujarnya ketus: "Aku memang berhutang budi kepada kalian, mau suruh aku terjun ke lautan api atau kuali minyak, pasti akan kulaksanakan tanpa berkedip mata, tapi kalau suruh aku menyerahkan pusaka dari Po-kie-bun .
. . . . . . . .." Tiba tiba Hong It mencabut keluar sebilah pisau belati dari balik laras sepatunya, diantara cahaya tajam yang berkilauan, ia tusuk tenggorokan Tian Mong-pek dengan ujung pisau tersebut, bentaknya: "Bajingan, kujagal kau!" "Silahkan!" tantang Tian Mong-pek tanpa berubah wajah.
"Kau benar benar menampik?" ancam Hong It sambil menekankan ujung pisaunya, darah segar segera mengucur keluar dari tenggorokan Tian Mong-pek yang terluka.
"Kalau ingin membunuh, bunuhlah, tak ada gunanya banyak bicara" Hong It membentak nyaring, mata pisaunya menyambar ke bawah, satu luka memanjang segera muncul diada Tian Mong-pek.
Pemuda itu sama sekali tak bergerak, wajahnya tetap kaku tanpa ekspresi, bahkan kelopak mata pun tidak berkedip.
Tergerak hati Hong Sin melihat itu, tiba tiba ia lepaskan satu pukulan membuat pisau ditangan Hong It miring ke samping.
"Kau . . . . . .." teriak Hong It gusar.
Kembali Hong Sin mendorong tubuhnya hingga mencelat sejauh satu kaki dan terjatuh dibelakang sebatang pohon liu, hardiknya: "Binatang!" Kembali satu pukulan dilancarkan, hanya saja serangan dari tangan kanannya itu beradu dengan telapak tangan kiri sendiri, "Plaaak!" tampaknya dia memang sengaja memperdengarkan suara benturan itu agar disangka Tian Mong-pek, dia telah menghajar putra sendiri.
Baru Hong It merasa tertegun, terdengar Hong Sin telah berkata lagi: "Dasar goblok, orang ini berwatak keras dan sukar ditekuk, biar kau bunuh diapun jangan harap dia mau mengaku" "Lantas?" Cepat Hong Sin mendekap mulutnya seraya berbisik: "Biasanya orang yang berwatak keras, hati kecilnya justru amat lembek, asal kita menipunya habis habisan, suatu saat dia pasti akan termakan oleh tipu muslihat kita.
Sekarang, biarpun hawa racunnya sudah bebas, namun secara diam diam aku telah menyumbat aliran hawa darahnya, bila tidak segera dibebaskan, hawa murni dan kekuatan tubuhnya tak bakalan pulih, ke empat anggota badannya bakal lemas seperti bayi, dalam keadaan begini, memangnya dia bisa lolos dari cengkeraman kita?" Berseri wajah Hong It mendengar penjelasan itu.
Kembali Hong Sin menambahkan: "Asal kita berlagak baik hati memperlakukan dia, lama kelamaan hatinya pasti bakal lembek .
. . . .. sekarang, cepat teriak kesakitan!" Kembali sepasang tangannya saling memukul berulang kali, sedang mulutnya mengumpat terus menerus: "Dasar binatang, dasar binatang .
. . . . . .." Kemudian sambil berjalan ke hadapan Tian Mong-pek dan menjura dalam dalam, katanya: "Bila putraku tak tahu diri, mohon hengtai sudi memaafkan dan tidak memasukkan ke dalam hati, masalah Po-kie lebih baik tak usah kita singgung lagi, bila kekuatan tubuh hengtai sudah pulih dan ingin tinggalkan tempat ini, silahkan saja pergi, tak usah kau kuatirkan lagi bila kami berniat menghalangi" Sekali lagi Tian Mong-pek dibuat tertegun, biarpun dia termasuk pemuda yang pintar, namun sayang bagaimanapun juga masih merupakan seseorang yang baru terjun ke dalam dunia persilatan, darimana dia tahu akan kelicikan dan kebusukan manusia" Perasaan hatinya jadi tak tenang sesudah mendengar ucapan tersebut, ujarnya agak tergagap: II "Cianpwee telah selamatkan nyawaku, budi kebaikan ini seharusnya .
. . . . . .. "Hahahaha.... jadi kau anggap aku menanti balas budi karena pertolonganku itu?" tukas Hong Sin sambil tertawa tergelak, "hengtai, lebih baik tak usah kau singgung lagi masalah ini, beristirahatlah dulu, tempat ini sangat tenang, cocok bagimu untuk memulihkan kesehatan dan kekuatan tubuh" Hong It dengan wajah yang dibuat buat segera menyampaikan pula permintaan maafnya, bahkan dibarengi dengan senyuman menyesal.
Tian Mong-pek segera merasakan hatinya lega, dia tak menyangka kalau ayah beranak itu bisa bersikap begitu perhatian terhadap dirinya.
Selesai membubuhkan lagi obat dimulut luka bacokan diatas dada Tian Mong-pek, Hong Sin berkata lagi: "Aku mempunyai seorang teman di wilayah Kang-im yang memiliki tempat tinggal tenang, lebih baik hengtai beristirahat di sana saja" Waktu itu, Tian Mong-pek memang merasakan ke empat anggota badannya lemas tak bertenaga, darimana dia tahu kalau hal tersebut akibat ulah Hong Sin yang mengerjainya secara diam diam, kini dia sangat berterima kasih sekali, maka tanpa membantah, berangkatlah mereka bertiga melakukan perjalanan.
Betul saja, sepanjang perjalanan penampilan watak Hong It mengalami perubahan besar, cara berbicaranya sopan, tingkah laku ayah beranak itupun sangat halus, ramah dan menunjukkan perbuatan seorang kuncu.
Bahkan mereka menyewa pula sebuah kereta kuda yang cukup besar, agar Tian Mong-pek dapat berbaring nyaman didalamnya.
Selama berapa hari, Tian Mong-pek menemukan kalau kondisi tubuhnya sama sekali tak berubah, tenaga badan pun tak pernah pulih kembali, meski dia sangat keheranan, namun diam diam pikirnya: "Tak disangka luka racunku begitu parah sehingga sampai hari inipun belum dapat sembuh, untung ada mereka berdua, aaai, tidak tahu bagaimana aku harus membalas budi pertolongan ini" Melihat perubahan sikap Hong It, dia pun merasa sangat lega, pikirnya pula: "Padahal anak muda ini bukan orang jahat benaran, baiklah, biar kuamati berapa hari lagi, andaikata dia memang baik, apa salahnya kuwariskan kitab pusaka Po-kie-pit-kip itu kepadanya" Hong Sin yang diam diam mengawasi perubahan tersebut merasa sangat kegirangan, diapun segera memberi petunjuk kepada putranya: "Kau harus hati hati bersikap, jangan sampai kau perlihatkan ekor rase mu, bersabarlah berapa hari lagi, menanti dia telah serahkan kitab pusaka itu, biar kucincang tubuhnya hingga hancur berkeping sebagai pelampiasan rasa dendam kita" Hong It pun mengiakan berulang kali, betul saja, penampilannya jauh lebih sopan dan halus, tingkah laku kedua orang licik ini secara perlahan tapi pasti, menyeret Tian Mong-pek terjebak dalam perangkap mereka berdua.
Kuatir jejaknya ketahuan orang persilatan, Hong Sin ayah beranak pun ikut duduk didalam kereta, hari ini tibalah mereka dikota Mo-sik, tujuanpun sudah semakin mendekat.
Ketika Tian Mong-pek melongok dari balik jendela, ia saksikan kota tersebut sangat ramai, banyak toko dan kedai penjual barang kelontong, manusia yang berlalu lalangpun amat banyak, tak malu disebut kota kenamaan di wilayah Kanglam.
Mereka bertiga mencari sebuah warung makan yang agak sepi untuk menangsal perut.
Setelah meneguk berapa cawan arak dan menyaksikan pemandangan alam diluar jendela, Tian Mong-pek merasakan dadanya sangat lega, sementara Hong Sin berdua tiada bosannya membujuk pemuda itu untuk meneguk arak, tujuan mereka, begitu anak muda itu terloloh mabuk, merekapun akan mulai memancingnya hingga mengatakan rahasia dari po-kie-pit-kip.
Siapa tahu, biarpun usia Tian Mong-pek masih muda, namun takaran minumnya luar biasa, meski sudah menenggak tiga sampai lima kati arak, wajahnya sama sekali tak berubah.
Sebaliknya Hong It justru mabok lebih duluan, sambil mengetuk cawan dengan sumpitnya, dia pun mulai bersenandung: "Budak cilik usia tujuh, delapan belas, siang malam memikirkan perkawinan, suatu hari bertemu nona cantik, diapun memeluk dan memboyongnya ke rumah .
. . . . . . . .." Nada maupun syair lagunya selain kasar bahkan porno, kontan suasana dalam rumah makan jadi heboh.
Berkerut sepasang alis mata Hong Sin, segera bentaknya: "Kau sudah mabuk, jangan menyanyi lagi!" Hong It tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... kenapa" Memangnya suara nyanyianku tidak enak didengar?" serunya.
Dengan langkah yang limbung dia mulai berdiri dan berjalan meninggalkan meja nya, kembali dia berteriak: "Siapa yang bilang kalau suaraku jelek .
. . . . . .." Tiba tiba ia cengkeram dada seorang tamu yang duduk dimeja sampingnya, lalu membentak: "Jadi kau yang mengatakan?" Melihat tampang buas dari pemuda itu, tamu tadi ketakutan setengah mati, dengan wajah pucat, badan gemetar sahurnya berulang kali: II "Bagus, bagus sekali .
. . . . .. Hong It kembali tertawa tergelak, dia banting tamu itu hingga terduduk kembali ke bangkunya.
Tiba tiba terdengar suara seruling mengalun dari bawah loteng, kemudian terlihatlah seorang gadis berusia sebelas, dua belas tahunan muncul dimulut loteng sambil menuntun seorang kakek buta.
Bocah perempuan itu kurus lagi kecil, wajahnya kuning kepucatan, ketika menaiki anak tangga, dia batuk tiada hentinya.
Sedangkan si kakek berbaju dekil dengan wajah kuyu, dia seakan seseorang yang baru sembuh dari sakit parah, tapi seruling yang dimainkan menghasilkan irama lagu yang sangat menawan.] Setiba diatas loteng, dengan napas terengah ujar kakek itu: "Ling-ling, hiburlah para tuan yang berada disini" Dengan cepat gadis cilik itu memberi hormat, lalu berkata: "Bila nyanyianku kurang bagus, harap tuan sekalian mau memaafkan, bila nyanyianku bagus, berilah persen berapa rence uang untuk hidup kami kakek dan cucu berdua" Suaranya lembut, lemah dan sangat mengenaskan, membuat Tian Mong-pek ikut merasa iba.
Terdengar nona kecil itu mulai menyanyi .
. . . . . .. Tiba tiba Hong It menggebrak meja sambil membentak: "Jelek, jelek, nyanyianmu jelek, biar toaya ajari kau .
. . . ..!" Ling-ling menghentikan nyanyiannya dengan wajah berubah, belum lagi dia melakukan sesuatu, Hong It telah merangsek maju sambil merampas seruling ditangan kakek buta itu.
Menyaksikan kejadian ini, banyak diantara tetamu yang merasa tak tega, ada berapa orang merasa gusar, tapi ada pula yang diam diam ngeloyor pergi dari situ.
"Tahan saudara Hong!" teriak Tian Mong-pek pula dengan wajah berubah.
"Kau manusia macam apa, berani amat mengurusi diriku!" umpat Hong It sambil berpaling.
Tangannya tetap melanjutkan sambarannya merampas seruling itu, siapa tahu meski incarannya sudah tepat sasaran, ternyata sambaran tersebut mengenai sasaran kosong.
"Binatang!" maki Hong Sin pula cemas bercampur gusar, "cepat kembali" Hong It berlagak tidak mendengar, lagi-lagi bentaknya: "Tua bangka, cepat serahkan .
. . . . . . .." Belum selesai teriaknya, mendadak ia roboh terjungkal ke tanah dan tak mampu bergerak lagi.
Kakek buta itu masih tetap berdiri dengan wajah kaku, katanya perlahan: "Rupanya tuan ini sedang mabuk, Ling-ling, mari kita pergi saja!" Sambil berkata, dia bergerak siap turun dari loteng.
Berubah paras muka Hong Sin, dengan cepat dia melompat ke depan dan menghadang jalan pergi kakek itu, ujarnya sambil tertawa dingin: "Lotiong, hebat sekali gerakan tubuhmu, tampaknya putraku tak tahu diri, dia tak melihat kalau lotiong adalah seorang jago kosen" "Apa kau bilang?" tanya kakek buta itu kaku.
Sementara Hong Sin masih tertawa dingin, Tian Mong-pek telah berjalan menghampiri kakek itu sembari berkata: "Barusan, temanku telah melakukan kesalahan, biar cayhe mewakilinya minta maaf kepada lotiong" "Apa kau bilang?" kakek buta itu tetap berdiri dengan wajah kaku.
Menyaksikan mimik muka kakek itu, tercekat perasaan Hong Sin, cepat dia periksa keadaan putranya, tampak Hong It tergeletak kaku bagaikan sesosok mayat, sepasang matanya yang melotot gusar sama sekali tak berkedip.
Dia mencoba memeriksa sekujur badannya, namun gagal untuk menemukan cara untuk membebaskan pengaruh totokan itu, dengan perasaan terkesiap ia segera berpaling dan serunya agak tersipu: "Lotiong .
. . . . . .." Tiba tiba terdengar lagi suara orang menaiki tangga, tampak seorang lelaki tinggi besar muncul di mulut loteng dengan langkah cepat.
Begitu melihat wajah orang itu, baik Tian Mong-pek maupun Hong Sin sama sama merasa terperanjat.
Dengan cepat lelaki kekar itu memandang Hong Sin dan Tian Mong-pek sekejap, kemudian dengan wajah berseri dia menjura sambil serunya: "Hong Ku-bok menyampaikan salam untuk Kiong locian pwee!" Tian Mong-pek keheranan, pikirnya: "Aneh, kenapa Hong Ku-bok menyebutku Kiong locianpwee?" Tampak paras muka kakek buta itu berubah hebat, kini pemuda itu baru tahu, walaupun sepasang mata Hong Ku-bok menengok ke arahnya, padahal kakek buta itulah yang sedang diajak bicara, tapi lantaran kakek itu buta, maka pandangan mata Hong Ku-bok tak perlu menengok ke arahnya.
"Siapa kau?" tegur kakek buta itu dengan wajah berubah, "siapakah Kiong locianpwee?" Hong Ku-bok tersenyum.
"Tentu saja cianpwee tak akan kenal dengan hamba" sahutnya, "karena hamba hanya ingin menyampaikan pesan dari majikan, dipersilahkan Kiong locianpwee mampir di gedung diluar kota" "Siapa majikanmu?" kembali kakek itu membentak.
"Majikan hanya menitahkan hamba untuk sampaikan kepada Kiong locianpwee, bahwa seorang sahabat lama penunggang kuda dari luar perbatasan ingin sekali bersua dengan Kiong locianpwee" Mendadak sekujur badan kakek buta itu bergetar keras, sesudah termangu berapa saat, tanyanya: "Berada dimana dia sekarang?" "Hamba segera akan menghantar cianpwee" Kakek buta itu segera mengelus rambut si nona kecil yang berada disampingnya dan berkata: "Ling-ling, bebaskan totokan jalan darah ditubuh pemuda bangor itu" Ling-ling mengiakan, dia segera menepuk tubuh Hong It satu kali.
Hong It segera batuk dan muntahkan riak kental, kemudian dia melompat bangun dan berdiri menjublak seperti orang bloon, dalam keadaan begini mabuknya langsung hilang tak berbekas.
Dengan gemas Hong Sin melotot sekejap ke arah putranya, kemudian bisiknya kepada Hong Ku-bok: II "Sute, orang ini .
. . . . . .. Cepat Hong Ku-bok menggoyangkan tangannya mencegah dia berbicara lebih jauh, kepada Tian Mong-pek ujarnya sambil tersenyum: "Tian kongcu, bagaimana ceritanya sehingga kau jalan bersama samko ku" Mana Siau Sam-hujin?" Tian Mong-pek menghela napas sedih, belum sempat menjawab tiba tiba terdengar kakek buta itu berseru: "Kita berangkat!" Tanpa menunggu dia langsung turun dulu dari loteng, biar matanya buta, langkah kakinya ringan dan cepat, sama sekali berbeda dengan langkahnya sewaktu muncul tadi.
"Siapa orang ini?" kembali Hong Sin bertanya dengan kening berkerut, "kenapa aku tak ingat dengan namanya?" "Orang ini tak lain adalah Kiong Gim-bit!" jawab Hong Ku-bok serius.
"Aaah!" Hong Sin menjerit kaget, "jadi orang inilah yang dimasa lalu disebut "Wajah bagai lelaki lembut hati sekeras baja" Jian-hong-kiam (pedang bermata seribu) Kiong Gim-bit" Kenapa penampilannya berubah jadi begini rupa?" Sementara Tian Mong-pek berpikir dalam hati: "Tujuh tokoh ternama yang jarang sekali muncul dalam dunia persilatan, ternyata berhasil kujumpai seorang lagi pada hari ini" Terdengar Hong Ku-bok menjawab agak terburu buru: "Kalau orang sudah tua, tampang mukanya gampang berubah, dia sudah turun loteng, lebih baik kita segera menyusul!" "Kami ikut juga?" tanya Hong Sin setelah termenung sejenak.
"Tak usah kuatir, mana mungkin cukong meninggalkan lembah" Aku tak lebih hanya mewakili Ji-huma (menantu kaisar) dengan mencatut nama cukong untuk menipu kedatangan Kiong Gim-bit, tentu saja kau harus ikut" "Bagaimana pendapat Tian kongcu?" tanya Hong Sin kemudian.
Sesungguhnya perasaan Tian Mong-pek waktu itu diliputi rasa ingin tahu, dia ingin sekali melihat bagaimana tampang orang orang yang mereka sebut Il sebagai "Cukong dan "Huma", apalagi kawanan manusia itu memang dalam kenyataan mempunyai hubungan yang akrab dengan kehidupan ibunya, maka diapun segera mengiakan.
Berangkatlah ke empat orang itu menuruni anak tangga, dibawah tangga tampak Kiong Gim-bit berdiri sambil berpangku tangan, dibawah sinar rembulan, lamat lamat masih tampak sisa kegagahannya dimasa lampau, sementara si nona dengan matanya yang bulat besar sedang melihat kian kemari, ia langsung tersenyum dan menunduk setelah bertemu Tian Mong-pek.
Terdengar Hong Ku-bok bersuit panjang, dari ujung jalan segera muncul suara kereta, ditengah ringkikan kuda, sebuah kereta besar yang dihela delapan ekor kuda berlarian mendekat.
Dalam sekilas pandang Tian Mong-pek dapat melihat kalau kereta itu mewah dan megah, mirip tumpangan seorang raja muda, diam diam ia jadi terkejut bercampur keheranan.
semua orangpun naik ke dalam kereta, Kiong Gim-bit duduk jauh disudut ruangan, sikapnya angkuh, kelihatan sekali kalau dia tak sudi duduk berbareng dengan orang lain.
Hong It yang mengira kakek itu buta, tiada hentinya melotot kesana dengan pandangan sinis dan penuh rasa muak.
Melihat itu, kembali Tian Mong-pek berpikir: "Orang ini memang parah benar, sudah tak bisa diobati lagi kelakuan busuknya, hampir saja aku tertipu oleh kelicikannya" Melihat sikap anak muda itu terhadap putranya, lamat lamat sekulum senyuman dingin tersungging diujung bibir Hong Sin.
Ke delapan ekor kuda itu bukan saja berbulu sama, langkah kaki pun tertib dan teratur, delapan ekor kuda angkat kaki bersama, melompat bersama dengan empat ekor didepan, empat ekor di belakang.
Sewaktu berbelok pada tikungan, ruang kereta pun tidak merasakan goncangan yang luar biasa, hal ini membuktikan kalau kuda kuda itu sudah memperoleh didikan dan latihan kemiliteran yang ketat dan penuh disiplin.
Tian Mong-pek sekalian yang duduk dalam kereta, merasa seolah duduk dalam ruangan, tenang, anteng dan tak banyak gejolak.
Tak lama kemudian kereta telah meninggalkan kota, pepohonan liu yang tumbuh sepanjang jalan terasa tumbang bagai terhembus angin kencang, satu demi satu roboh ke sisi tubuhnya.
Tak lama kemudian terlihat perbukitan muncul secara lamat lamat didepan sana, kuda kuda itupun mulai meringkik panjang.
"Sudah sampai!" kata Hong Ku-bok sambil tertawa.
Turun dari kereta, tampak sebuah bangunan kuil berdiri ditengah sebuah dataran, walaupun bangunan kuil itu besar dan luas, sayang dindingnya sudah bobrok, jelas sudah lama bangunan itu terbengkalai.
Dalam kuil, cahaya lampu menerangi setiap sudut ruangan namun tak terdengar suara apa pun.
Sambil melangkah masuk ke dalam ruang kuil, Hong Ku-bok segera berseru lantang: "Kiong lo-sianseng tiba!" Pintu kuil tampak terbuka, dua baris lelaki berbaju indah dengan mengangkat tinggi lampu lentera, satu demi satu berjalan keluar.
Semua orang pun berjalan masuk ke dalam ruangan menerobos hutan lentera itu, tampak sebuah permadani merah terpasang rapi di lantai, dari pintu masuk hingga keatas undak undakan batu menuju ruang utama, diujung undakan itu berdiri seorang pemuda berbaju indah dan mewah.
Tampak nona kecil itu memegang erat ujung baju kakeknya, dia tampak sangat tegang, sedangkan Tian Mong-pek, meski berasal dari keluarga persilatan, diapun belum pernah menjumpai keadaan seperti ini.
Tampak Kiong Gim-bit melangkah masuk ke dalam ruangan dengan langkah lebar, biarpun pakaiannya compang camping seperti pengemis, tindak tanduknya justru mirip seorang raja, tegurnya dengan suara dalam: "Mana Siau siangkong?" Dibawah cahaya lentera, hanya pemuda berbaju indah itu yang berdiri seorang diri diujung undakan batu, begitu melihat kehadiran tamunya, tanpa turun dari undangan, ia tertawa angkuh sambil berkata: "Silahkah Kiong lo sianseng!" Dengan langkah lebar Kiong Gim-bit berjalan naik ke atas undakan batu, sementara Hong Ku-bok serta Hong Sin ayah beranak telah jatuhkan diri berlutut.
"Hong Sin menjumpai Hun-ho!" Perlu diketahui, istilah "Hun-ho" sebetulnya sama artinya dengan "Hu-ma" atau menantu raja.
Ketika melihat seorang jago silat ternyata menyebut diri sebagai Huma, Tian Mong-pek selain mendongkol, dia merasa geli juga, tapi melihat kegagahan anak muda itu, diam diam timbul juga perasaan simpatiknya.
"Bagus!" terdengar pemuda berbaju indah itu manggut manggut, "rupanya kaupun ikut datang!" Kemudian dia menyapu sekejap Tian Mong-pek yang berdiri disamping, tegurnya lagi sambil menarik muka: "Siapa pula orang ini" Siapa yang mengajaknya kemari?" "Orang ini bernama Tian Mong-pek" jawab Hong Sin ketakutan, "dia adalah II "Dia adalah sauya dari sam-hujin!" sambung Hong Ku-bok cepat.
Berubah paras muka pemuda berbaju indah itu, ditatapnya Tian Mong-pek berapa kejap, namun setelah melihat pakaiannya yang kusut dan wajahnya yang layu, katanya sambil tertawa angkuh: "Silahkan masuk! Baik baikkah sam-hujin?" Kemudian dia balik badan berjalan masuk ke dalam ruangan dan tidak lagi memandang ke arah anak muda itu.
Kontan Tian Mong-pek berkerut kening, hawa amarahnya berkobar, tapi ingatan lain kembali melintas, dengan dandanannya sekarang, memang tak bisa disalahkan kalau orang pandang hina dirinya, maka sesudah menghela napas perlahan dia ikut berjalan masuk ke dalam ruangan.
Patung Buddha diruang utama telah diturunkan, lentera indah bergantungan disegala penjuru dinding, menerangi kertas dinding yang tertempel disetiap sudut ruang, membuat ruang kuil yang sebetulnya bobrok tampak indah dan megah.
Tiada tersedia meja kursi ditempat itu, tapi ada puluhan lembar kulit hewan yang digelar diatas lantai sebagai permadani dihiasi berapa buah meja pendek.
Waktu itu Kiong Gim-bit telah duduk disitu, sementara Ling-ling menempel ketat dibelakang tubuhnya.
Pemuda berbaju indah itu sama sekali tidak mempersilahkan Tian Mong-pek sekalian untuk mengambil tempat duduk, ia langsung duduk diatas permadani, bertepuk tangan seraya serunya: "Hidangkan arak!" Dalam waktu singkat muncul tujuh, delapan orang bocah tampan berusia enam belas tahunan berbaju indah, bersepatu merah, melangkah masuk ke dalam ruang utama dan menghidangkan arak di meja meja pendek.
Peralatan minum yang disediakan hampir semuanya indah dan mewah.
Kembali pemuda berpakaian indah itu berkata: "Aku tidak terbiasa menginap di losmen, karena itu terpaksa meminjam kuil terbengkelai ini sebagai tempat tinggal, bila persiapan kurang memadahi, harap Kiong lo-sianseng sudi memaklumi" "Mau indah mau tidak, toh losu tak dapat melihatnya" sahut Kiong Gim-bit ketus, "asal ucapanmu tidak kelewat jumawa dan lohu enak mendengarnya, itu sudah lebih dari cukup" Pemuda perlente itu tertegun, paras mukanya kontan berubah hijau membesi.
Kembali Kiong Gim-bit berkata: "Sudah cukup lama lohu sampai disini, kenapa tuan rumah belum datang juga?" "Sejak tadi tuan rumah sudah datang" sahut pemuda perlente itu dengan suara berat.
"Dimana?" "Akulah orangnya" "Hmm, siapa kau" Memang pantas mengundang lohu datang kemari?" seru Kiong Gim-bit gusar.
"Cayhe Hoa Hui, mendapat perintah dari mertuaku untuk berpesiar ke Kanglam, mertuaku pernah berpesan, bila bertemu Kiong lo-sianseng, cayhe diminta menyampaikan salam" II "Ooh..
jadi kau adalah menantunya Siau.....
Siau siangkong kata Kiong Gim-bit dengan wajah membeku, "sungguh tak disangka dua puluhan tahun kemudian, dia masih belum melupakan lohu" Mendengar sampai disini, diam diam Tian Mong-pek berpikir: "Manusia macam apakah Siau siangkong itu" Kenapa menantunya dipanggil orang sebagai Huma" Untuk melakukan perjalanan jauh pun tak lupa mengusung begitu banyak peralatan" Setiap ucapan Kiong Gim-bit tajam dan angkuh, tapi, kenapa ia tak berani menyebut langsung nama orang itu?" Tanpa terasa timbul rasa ingin tahunya terhadap tokoh aneh itu.
Terdengar Hoa Hui tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... mana mungkin mertuaku melupakan Kiong lo-sianseng" Apalagi selama dua puluh tahun, ilmu pedang yang Kiong locianpwee miliki tentu maju sangat pesat .
. . . . . .. Tiba tiba dia mengalihkan pokok pembicaraan, serunya: II "Silahkan, silahkan, mari kita minum arak sambil berbincang....
Sambil berkata, dia ambil cawan dihadapannya dan meneguk isinya dalam sekali tegukan.
Ling-ling dengan wajah kagum mengawasi terus hidangan yang tersedia dihadapannya, ia memandang semua hidangan itu dengan mata melotot besar lagi bulat.
Sambil membelai rambut cucunya, ujar Kiong Gim-bit seraya bertawa: "Ling-ling, kau sudah lama tak pernah makan daging, mumpung ada orang mengundang makan, sana, makanlah sedikit lebih banyak" Dengan rasa takut-takut Ling-ling menyuap sepotong daging, biarpun ia merasa malu, namun nona kecil itu merasa sayang kalau tidak ikut makan banyak.
Melihat itu, pikir Tian Mong-pek sambil menghela napas: "Kiong Gim-bit memiliki ilmu pedang yang lihay, bila ingin kaya raya, rasanya hal itu dapat diraih semudah membalikkan tangan, sungguh tak disangka hidupnya justru terlunta-lunta, aaai, orang ini pasti angkuh dan tinggi hati, sebab itulah hidupnya jadi miskin" Mendadak terdengar Hoa Hui berseru sambil tertawa nyaring: "Sahabat Tian, kenapa tidak ikut bersantap" Kita toh orang sendiri, tak ada salahnya kalau kau pun ikut makan" Dalam hati Tian Mong-pek merasa amat gusar, sahutnya sambil tertawa dingin: "Tentu saja tak masalah!" Dia segera mengambil sumpit dan mulai bersantap dengan lahap, padahal belum lama dia menangsal perut, andaikata bukan terbakar emosinya oleh ulah serta sindiran Hoa Hui, mungkin dia tak bakal ikut bersantap.
Melihat cara pemuda itu bersantap, sambil menundukkan kepala Ling-ling tertawa geli, tapi diapun ikut bersantap tanpa canggung lagi.
Untuk berapa saat suasana jadi hening, semua orang seolah menggunakan kesempatan itu untuk mengisi perut sebanyak-banyaknya.
Kawanan bocah berbaju indah yang berada disamping, melayani kebutuhan semua tamunya dengan cekatan, tapi ada pula yang melongo melihat tingkah laku orang orang itu, berapa orang diantaranya bahkan berbisik bisik sambil tertawa geli: "Heran, kenapa Huma bisa mengundang kawanan setan kelaparan?" Tak selang berapa saat kemudian, Kiong Gim-bit bersama cucunya telah menyapu ludas semua hidangan dihadapannya, bahkan meneguk tujuh belas poci arak kelas satu, setelah itu sambil menyeka mulut ia baru berkata: "Arak bagus, hidangan lezat, bila kau undang lohu hanya bermaksud menyiapkan hidangan, lohu segera akan pergi dari sini" Hoa Hui tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha..... kenapa lotiong musti terburu buru?" serunya, "biarlah aku orang she-Hoa menyulang lotiong dengan secawan arak" Sambil membawa poci arak, ia tinggalkan tempat duduknya menuju ke hadapan Kiong Gim-bit, katanya lagi: "Biarlah aku penuhi cawan lotiong dengan arak!" "Hahaha .
. . . .. mau penuhi seribu cawan pun apa salahnya?" sahut Kiong Gim-bit sambil tertawa tergelak.
Tian Mong-pek tahu disaat menuang arak nanti, kedua orang itu pasti akan beradu tenaga dalam, maka diapun pusatkan perhatian untuk mengawasi gerak gerik mereka berdua.
Tampak Hoa Hui mengangsurkan poci araknya dengan gerakan lambat, sama sekali tak membawa desingan angin, sambil tertawa dingin Kiong Gim-bit mengangkat cawannya menempel ke mulut poci, gerakannya begitu jitu, seakan dia memiliki mata yang tajam.
Berkerut kening Hoa Hui, tiba tiba poci araknya bergeser sejauh 30 senti ke samping, dengan wajah tak berubah cawan ditangan Kiong Gim-bit segera mengikutinya.
Hoa Hui kembali mengangkat tinggi tangannya, Kiong Gim-bit tak mau kalah, dia mengekor terus dengan ketat.
Melihat itu Hoa Hui segera menggerakkan pocinya semakin cepat, sebentar ke atas sebentar ke bawah, sebentar ke kiri sebentar ke kanan, semuanya dilakukan dengan kecepatan bagaikan petir.
Tapi cawan arak dalam genggaman Kiong Gim-bit tak pernah lepas dari mulut poci, mau bergerak ke manapun, dia mengikuti terus dengan ketat.
Dibawah sinar lentera, tampak kilauan cahaya menari kian kemari, membuat semua orang tertegun dan melongo.
Tiba tiba Kiong Gim-bit membentak nyaring: "Bajingan tengik, kau berani mempermainkan karena mataku buta?" Lengannya berhenti kaku dan tidak bergerak lagi, sementara poci arak ditangan Hoa Hui justru melekat ditepi cawan dan ikut tak mampu bergerak pula.
Tampak paras mukanya makin lama berubah makin serius, otot hijau pada lengannya pada menonjol keluar, ruas jarinya semakin memucat sedang sepasang kakinya seolah terpantek diatas lantai, sol sepatunya yang semula tebal pun makin lama berubah semakin tipis, ternyata kedua belah kakinya sudah terbenam ke dalam tanah.
"Tak heran pemuda ini begitu congkak dan jumawa, ternyata ilmu silat yang dimilikinya sangat tangguh" pikir Tian Mong-pek.
Suasana dalam ruang utama pun sepi, hening, tak kedengaran suara lain kecuali suara dengusan napas.
Tiba-tiba..... "Kraaak!" mulut poci arak yang berada dalam genggaman Hoa Hui patah jadi dua bagian, menyusul kemudian tubuhnya sempoyongan dan mundur berapa langkah, "Traaang!" poci arak itupun terbanting ke lantai.
Kiong Gim-bit mendongakkan kepala, meneguk habis isi cawannya, lalu sambil membuang cawan ke lantai dan tertawa tergelak, ujarnya: "Biarpun Kiong Gim-bit sudah tua lagi buta, bukan berarti orang lain boleh mempermainkan seenaknya" "Benarkah begitu?" hawa napsu membunuh mulai menyelimuti wajah Hoa Hui.
"Hmm, kalau tak percaya, silahkan saja untuk dicoba" Perlahan Hoa Hui berjalan balik ke tempat duduknya, dalam ayunan kakinya, rasa angkuh, jumawa dan percaya diri kembali pulih menyelimuti wajahnya.
II "Dua puluh tahun berselang katanya, "sewaktu berada diluar perbatasan, ayah mertua ku pernah menyambut sebuah tusukan Kiong Lo-sianseng secara tergesa gesa, saat itu dia sering berkata, diantara jago pedang yang ada dalam daratan Tionggoan, Kiong lo-sianseng lah yang paling hebat.
Biarpun cayhe kurang pengalaman, namun sering mendengar orang persilatan berkata bahwa "Pedang bagai bermata seribu, cepat bagai sambaran kilat", aku rasa ilmu pedang yang Kiong lo-sianseng miliki pasti luar biasa hebatnya" Tiba tiba saja sikapnya berubah jadi sangat menghormat.
"Heran" tegur Kiong Gim-bit sambil tertawa, "apa maksudmu sombong dulu, hormat kemudian?" Il "Hmm, itu mah kejadian masa lalu kata Hoa Hui lagi, "saat mata Kiong lo-sianseng belum buta, tapi kini .
. . . . .. kini..... hehehe...



kini sudah bukan yang lalu lagi" Hilang lenyap senyuman dibibir Kiong Gim-bit, ujarnya gusar: "Intisari dari Ilmu pedang bukan terletak pada perbedaan antara lurus dan sesat, tapi terpusat dalam pikiran dan perasaan, biarpun sepasang mata lohu sudah buta, aku yakin ilmu pedangku sama sekali tidak menjadi lemah" Hoa Hui tertawa dingin.
"Mata merupakan jendela hati, kalau jendela hati tertutup, ilmu pedang pun akan mengalami hal yang sama.
Hehehe.... terus terang, cayhe memang tidak percaya" "Kau tahu apa?" bentak Kiong Gim-bit gusar, "lohu ogah banyak bicara Il denganmu .
. . . . . . .. "Betul, betul sekali" tukas Hoa Hui, "hanya bicara tanpa bukti memang tak ada gunanya, bila Kiong lo-sianseng berharap cayhe percaya, lebih baik buktikan dengan kenyataan"
Dari sikap Hoa Hui, Tian Mong-pek bisa menduga kalau semua perbuatannya itu pasti dilandasi niat busuk, hanya saja dia tak tahu dimana letak niat busuknya itu, selain itu, dia sendiripun ingin sekali menyaksikan sampai dimana kehebatan ilmu pedang yang dimiliki jagoan tersohor ini.
Tampak Kiong Gim-bit menekan tangannya ke lantai, tubuhnya segera melambung ke udara, diantara berkelebatnya bayangan hitam, bentaknya nyaring: "Bawa kemari pedangmu!" Dengan wajah kegirangan, Hoa Hui segera bertepuk tangan sambil berseru: "Bawakan pedang!" Seorang bocah berbaju indah buru buru muncul sambil membawa sebilah pedang dengan sarung terbuat dari kulit ikan hiu dan gagang terbuat dari emas murni, ornamen pada pedang itu kelihatan indah dan mahal.
Kiong Gim-bit segera menggenggam gagang pedang dan mencabutnya keluar, "Criiiing!" begitu pedang dicabut, dia cengkeram badan pedang dengan ibu jari dan jari tengah tangan kirinya, lalu dengan jari tengah dia sentil badan senjata.
Dentingan nyaring kembali bergema di seluruh ruangan, kali ini Kiong Gim-bit pasang telinga dan mendengarkan dengan seksama, seolah sedang menikmati irama musik dari surga.
"Bagaimana dengan pedang ini?" tanya Hoa Hui kemudian.
Tian Mong-pek terhitung orang yang suka pedang dan mengerti tentang pedang, tak tahan dia turut memuji: "Pedang bagus!" Perlu diketahui, bagi orang yang suka pedang menjumpai pedang bagus, sama seperti orang yang suka minum arak menjumpai arak wangi, atau seperti orang yang suka perempuan, melihat wanita cantik, imannya pasti tergoyah dan tanpa sadar kehilangan kontrol.
Hoa Hui melirik sekejap ke arahnya dan mengejek sambil tertawa hambar: "Rupanya kaupun mengerti pedang?" Dari nada suara serta mimik mukanya, dapat dilihat betapa menghina dan pandang rendahnya orang ini terhadap anak muda tersebut.
Kembali hawa amarah berkobar dalam benak Tian Mong-pek, tapi dia tetap menahan diri, pikirnya: "Setelah ini, bila ilmu pedangku tak bisa mengungguli dirimu, Tian Mong-pek bersumpah tak akan jadi manusia!" "Nguunggg .
. . . .. begitu Kiong Gim-bit menggetarkan tangannya, pedang yang berada dalam genggaman seketika berubah jadi beribu-ribu bayangan pedang yang menyilaukan mata.
Kiong Gim-bit menarik pedangnya ke belakang, dalam waktu singkat Tian Mong-pek merasakan angin pedang memekak telinga, cahaya senjata menyelimuti angkasa, hawa pedang seakan sudah mendesak hingga ke depan mata, tubuh kakek buta itu sendiri telah terbungkus dibalik cahaya pedang, hingga ditengah ruang utama seolah tersisa segumpal cahaya hijau yang menggulung kian kemari.
Semua yang hadir merasakan pandangan jadi kabur dan berkunang kunang.
"Bagus, bagus sekali" kembali Hoa Hui berkata sambil tertawa dingin, "kau memang tak malu disebut pedang bermata seribu.
Tapi, bermain pedang seorang diri tentu berbeda jauh bila dibandingkan sewaktu berhadapan dengan musuh, bukankah begitu Kiong lo-sianseng?" Baru selesai dia berkata, bayangan pedang telah sirap, Kiong Gim-bit dengan pedang terhunus telah berdiri angker dihadapannya.
"Jadi kau ingin menantang lohu untuk bertarung?" ujarnya ketus.
Dibawah cahaya lampu, tampak begitu memegang pedang ditangan, kakek itu seolah telah berganti jadi orang lain, semua ketuaan dan kelayuan yang semula menempel pada dirinya, kini hilang lenyap tak berbekas, penampilannya sekarang sungguh gagah dan perkasa.
Melihat itu, diam-diam Hoa Hui terkesiap, tapi diluar ia menyahut sambil tertawa terbahak-bahak: "Hahahaha....betul sekali, cayhe memang ingin melihat apakah kegagahan Kiong lo-sianseng sewaktu menghadapi musuh, masih setegar dan segagah tempo hari?" Berkerut kening Kiong Gim-bit, hawa pembunuhan lamat-lamat menyelimuti wajahnya, sepatah demi sepatah kata ujarnya: "Tahukah kau, hingga kini belum ada seorang manusia pun yang bisa hidup didunia ini setelah bertarung melawan lohu?" "Hahaha...
bagaimana pula jika orang lain dapat melukai lotiong?" ejek Hoa Hui sambil tertawa.
"Bagus!" seru Kiong Gim-bit sambil tertawa seram, tiba tiba ia duduk bersila dilantai, "terserah berapa macam senjata yang akan kalian gunakan, lohu akan melayani semua seranganmu itu dengan cara begini!" Lengannya segera direntangkan, ujung pedang sedikit mendongkel ke atas, bagaikan sebuah patung batu ia duduk bersila tanpa bergerak.
Angin berhembus lewat dari luar pintu ruangan, menggoyangkan jenggot dan rambutnya yang memutih.
Berkilat sepasang mata Hun-ho Hoa Hui, perlahan ia bangkit berdiri, memberi kode tangan lalu berjalan menuju ke belakang ruangan, ke delapan bocah berbaju perlente serta Hong Ku-bok ikut mengintil di belakangnya.
Tak selang berapa saat kemudian, mereka bersama muncul kembali, Hong Ku-bok masih mengenakan jubah panjangnya, sementara kawanan bocah berbaju perlente tadi telah berganti dengan pakaian ringkas, dalam genggaman mereka mencekal sebilah pedang baja, begitu muncul ditengah ruangan, segera orang orang itu mengepung Kiong Gim-bit ditengah arena.
Terkesiap perasaan Tian Mong-pek setelah menyaksikan kejadian itu, dilihat dari posisi pengepungan, sudah jelas bukan barisan untuk beradu kepandaian, tapi lebih mirip pertarungan melawan musuh besar.
Belum lagi ingatan lain melintas, Hong Ku-bok telah muncul di belakang tubuhnya dan berkata sambil tersenyum: "Maaf z " Jari tangannya disodok ke muka, ia totok jalan darah ditubuh Tian Mong-pek.
Betapa gusar dan kagetnya anak muda itu, sayang dia sudah tak mampu bersuara lagi.
Terlihat cahaya perak berkelebat lewat, dengan enteng Hoa Hui telah melayang turun lebih kurang satu setengah meter didepan Hong Ku-bok, kini dia telah berganti dengan baju ringkas seorang busu yang terbuat dari benang perak.
Begitu ketat pakaiannya sehingga tertera potongan badannya yang tinggi tegap, sementara sepasang tangannya memegang sebilah pedang dan sebilah pisau belati.
Pedang ditangan kanannya bersinar hijau bagaikan riak air dimusim gugur, sekilas pandang pun dapat diketahui kalau senjata itu jauh lebih tajam dan berharga daripada pedang ditangan Kiong Gim-bit.
Sedangkan pisau belati ditangan kirinya memancarkan sinar jauh lebih tajam, hal ini membuktikan kalau senjata inipun termasuk sebilah senjata mustika.
Hoa Hui melintangkan pedang ditangan kanannya didepan dada, sedang pisau belatinya disembunyikan dibalik siku, ditatapnya Kiong Gim-bit dengan pandangan tajam, tegurnya: "Kiong lo-sianseng, kau sudah siap?" Kiong Gim-bit mendengus tanpa bergerak, Hoa Hui segera memberi kode kerdipan mata, dengan cepat ke delapan orang bocah berpakaian ringkas itu memutar senjata ditangan mereka, namun kakinya sama sekali tak bergeser.
Terdengar deruan angin pedang menembus hingga ke seluruh ruang utama, tapi semua orang seolah berdiri terpaku.
Tian Mong-pek tahu, orang orang itu memang sengaja menggunakan siasat tersebut untuk mengacaukan pendengaran Kiong Gim-bit, tanpa terasa dia mulai menguatirkan keselamatan orang tua itu.
Sebagaimana diketahui, Kiong Gim-bit telah kehilangan penglihatannya, untuk menghadapi musuh dia hanya mengandalkan ketajaman pendengaran, begitu pendengaran kalut, pada hakekatnya susah bagi dia untuk menentukan dari arah mana datangnya serangan musuh, bila jurus serangan lawan pun sukar dikenali, bukankah sama artinya dia hanya menunggu datangnya saat kematian" Tiba tiba Hoa Hui menyilangkan kakinya bergeser sejauh tiga inci ke samping, namun Kiong Gim-bit masih duduk bersila tanpa bergerak, sedang tatapan mata Hoa Hui pun sama sekali tak berkedip.
Dalam waktu singkat sudah tujuh langkah Hoa Hui bergeser kesamping, setiap langkah dia bergeser, hawa pembunuhan yang menyelimuti ruang utama bertambah tebal, begitu tebal dan beratnya membuat setiap orang seakan merasakan dadanya sesak dan sukar bernapas.
Kiong Ling-ling tampak sangat ketakutan, wajahnya pucat dicekam rasa ngeri yang luar biasa, makin cepat angin pedang menderu, makin tebal perasaan panik dan takut diwajahnya, ketika Hoa Hui menggetarkan pedangnya, tak tahan Kiong Ling-ling menjerit kaget: "Yaya!" Bagaimanapun juga dia masih seorang kanak kanak, mana mungkin ia sanggup menghadapi situasi setegang ini" Wajahnya yang bulat kecil, kini sudah berubah sepucat mayat.
Tiba tiba Hoa Hui mendengus sambil mengulapkan tangannya: "Tak usah bertanding lagi!" Kawanan bocah berbaju ringkas itu menyahut dan menghentikan gerakan, suasana hening pun kembali menyelimuti ruang utama.
"Kenapa?" tanya Kiong Gim-bit dengan wajah berubah.
Sambil tertawa dingin sahut Hoa Hui: "Meskipun sepasang mata Kiong lo-sianseng telah buta, namun masih ada sepasang mata lain yang melakukan pengamatan, setiap menjumpai bahaya, ll asal dia berteriak memperingatkan .
. . . . .. Dengan penuh amarah bentak Kiong Gim-bit: "Ling-ling, kemari kau!" "Baik!" dengan rasa takut dan suara gemetar sahut Kiong Ling-ling.
"Apakah kau putri dari Kiong It-liau, cucu dari Kiong Gim-bit?" bentak kakek itu lagi.
"Benar, yaya!" "Tahukah kau, apa penyebab kematian ayahmu?" Dengan sedih Kiong Ling-ling mengangguk, matanya kembali memerah.
Kembali Kiong Gim-bit berkata dengan suara keras: "Demi nama baik keluarga Kiong, ayahmu bertempur hingga titik darah penghabisan, meski mati dalam bacokan senjata, sampai menjelang ajal pun tak pernah mengeluh maupun merintih, itulah sebabnya hingga sekarang, semua orang persilatan menaruh hormat dan salut setiap kali menyebut nama Kiong It-liau .
. . . . . . . .." Bicara sampai disini, terlintas rasa sedih diwajah tuanya, tapi segera lanjutnya: "Kau maupun aku adalah keturunan keluarga Kiong, kita tak boleh tunjukkan kelemahan dihadapan orang, hari ini, sebelum pertarungan yaya menunjukkan hasil akhir, biar kau musti mati tertembus pedang pun tak boleh bersuara atau mengeluh, mengerti?" Suaranya keras tapi tandas dan tegas.
Dengan sedih Kiong Ling-ling mengiakan, selangkah demi selangkah dia mundur dari arena.
"Bagus!" seru Hoa Hui kemudian dengan kening berkerut.
Pedangnya disontek kedepan, ke delapan bilah pedang lain pun ikut bergerak, terdengar.....
"Wuusss!" angin serangan muncul dari empat penjuru, tiba tiba Hoa Hui merangsek maju, sekilas cahaya pedang langsung menusuk tenggorokan Kiong Gim-bit.
Kiong Gim-bit seolah tidak merasa, tapi baru saja pedang Hoa Hui menyerang tiba, pedangnya sudah digetarkan dan.....
"Tringgl" tahu tahu ujung pedang lawan sudah digiring ke samping, lalu dengan menempel ditubuh senjata, kakek itu menebas ke bawah.
Serangan ini betul betul cepat bagai kilat, bahkan menggunakan kesempatan itu dia bendung ancaman dari Hoa Hui ke luar tubuhnya.
Tampaknya ke lima jari tangan Hoa Hui segera akan terpapas kutung, saat itulah pisau belati ditangan kiri pemuda itu, tanpa menimbulkan sedikit suara pun menusuk ke dada lawan.
Waktu itu Tian Mong-pek tak mampu berkutik, jantung nya terasa berdetak kencang, sepasang matanya melotot besar saking tegangnya.
Begitu pula dengan Kiong Ling-ling, sepasang matanya terbelalak besar lagi bulat, giginya terkantup kencang menggigit ujung bibirnya hingga berdarah, namun diapun tak dapat bersuara.
Menggunakan kesempatan itu, dua orang bocah berbaju ketat, tanpa menimbulkan suara menggeser tubuhnya ke samping lalu pedang mereka membacok bahu serta punggung Kiong Gim-bit.
Biarpun gerakan tubuh kedua bocah ini cepat, namun gerak serangannya lambat lagi tenang, sama sekali tidak disertai desiran angin tajam.
Mendadak Kiong Gim-bit membentak keras, pedangnya bergetar, mementalkan tusukan Hoa Hui, kemudian gagang senjatanya ditarik ke bawah, "Triiing!" dia hantam ujung pisau belati ditangan kiri Hoa Hui, membuat pergelangan tangan pemuda itu bergetar keras hingga berdarah.
Kemudian Kiong Gim-bit menyodok tangan kirinya lewat bawah ketiak, dengan ibu jari, telunjuk serta jari tengahnya dia jepit ujung pedang dari bocah disebelah kiri, kemudian digetarkan sambil mendorong, gagang senjata itu langsung menghantam dada bocah itu.
Sedangkan pedang ditangan kanannya sama sekali tak berhenti bergerak, kembali dia bacok ke bawah, diantara kilatan cahaya, pedang ditangan bocah sebelah kanan sudah digetar hingga terlepas, manfaatkan kesempatan ini kembali senjatanya membacok ke bawah.
Tak ampun tubuh bocah itu, dari batas ketiak kanan hingga ke bahu kirinya terbelah oleh bacokannya, mampuslah bocah tersebut dengan badan terbelah dua.
Ditengah jeritan kaget, dua kali jeritan ngeri bergema di angkasa, bocah sebelah kiri muntahkan darah segar, tubuhnya mencelat ke udara, isi perutnya hancur dan mampus pula dia secara mengerikan.
Bocah sebelah kanan yang tubuhnya terbelah jadi dua, bagian atas badannya mencelat keluar lalu jatuh menindih diatas sebuah meja pendek, kucuran darah segera berbaur dengan tumpahan arak, sementara separuh tubuh bagian bawahnya, maju lagi selangkah sebelum roboh terjungkal disamping Kiong Gim-bit, semburan darahnya seketika membasahi sekuj ur badan kakek buta itu.
Pedang milik Hoa Hui terpental oleh getaran pedang Kiong Gim-bit dan .
. . . .. "Traaak!" menancap persis diatas tiang penglari, saking kaget dan ngerinya, cepat cepat pemuda perlente itu mundur sejauh tujuh langkah dengan wajah pucat pias.
Bab 7. Siapa jago pedang terkuat" Delapan orang yang berada dalam ruangan merasakan hatinya bergetar keras, apalagi sesudah menyaksikan pembunuhan yang baru saja terjadi, mereka merasa matanya berkunang, seolah terperana, seolah tertegun, bahkan Hong It yang sedang mabok pun segera tersadar kembali, peluh dingin membasahi jidatnya, ia bersyukur karena tadi tak sampai mati konyol ditangan kakek buta itu.
"Sebuah ilmu pedang yang amat ganas, sebuah perbuatan yang kejam dan telengas" pikir Tian Mong-pek pula dengan hati tercekat.
Hanya dalam sekali tebasan, Kiong Gim-bit telah membantai dua orang bocah, kini dia masih tetap duduk bersila, pedangnya sudah kembali ke posisi semula, sikapnya begitu tenang seolah tak pernah terjadi sesuatu peristiwa pun.
Suasana hening mencekam ruang utama, berapa saat kemudian enam orang bocah yang tersisa kembali memainkan pedangnya, hanya saja kekuatan yang terpancar sudah tidak setangguh tadi lagi.
Hun-ho Hoa Hui menggenggam pedangnya kencang kencang, hawa membunuh terpancar dari matanya, selangkah demi selangkah dia mundur terus, ternyata ia bergeser ke samping Kiong Ling-ling.
Waktu itu Kiong Ling-ling sudah ketakutan setengah mati, ia pejamkan matanya rapat rapat karena takut melihat potongan mayat yang berpelepotan darah.
Siapa tahu secara tiba tiba Hoa Hui membuang pedangnya lalu mencengkeram tubuh nona cilik itu, dengan sepenuh tenaga dia lempar tubuh Kiong Ling-ling yang kurus kecil itu langsung ke hadapan Kiong Gim-bit.
Bersamaan dengan lemparan itu, pisau belatinya disambitkan pula mengarah ulu hati Kiong Gim-bit, melihat itu Tian Mong-pek terkesiap.
Tampak wajah Kiong Ling-ling dicekam rasa takut yang luar biasa, namun dia tetap gigit bibir tak mau mengeluarkan sedikit suara pun.
Tian Mong-pek dengan perasaan ngeri bercampur takut diam diam mengumpat: "Dasar watak kerbau, ayoh orang she-Kiong, cepat bersuara....." Belum habis ingatan tersebut melintas, sambil tertawa dingin Kiong Gim-bit telah membacokkan pedangnya ke depan, mementalkan pisau belati yang mengancam tubuhnya, lalu menusuk dada cucu perempuannya yang lemah, kurus lagi lembut itu.
Dengan cepat tusukan itu menembusi dada si nona, dalam keadaan begini, seorang lelaki kekar pun tak sanggup menahan diri, apalagi Kiong Ling-ling, seorang bocah perempuan yang kurus lagi lemah, tak kuasa lagi dia menjerit ngeri.
Berubah paras muka Kiong Gim-bit, teriaknya keras: "Ling-ling!" Dengan sekali sambar, dia peluk tubuh Ling-ling dan mendekapnya erat erat, lalu sambil meraba mulut luka didada cucunya itu, bisiknya gemetar: "Ling-ling, kau .
. . . . .. kaukah?" Paras muka Kiong Ling-ling pucat keabu-abuan, dia membuka sedikit matanya lalu menjawab lirih: "Yaya, aku.....
aku tak bersuara, kau.....
kau orang tua jang....jangan memukul aku .
. . . . . . .." Tersirap darah panas dalam benak Kiong Gim-bit, hatinya sakit bagai diiris-iris, sahutnya: II "Ling Ling.....
yaya . . . . . . . .. Sambil meraba tubuh cucu perempuannya, tiba tiba terlintas semua kepedihan hati yang dialaminya sepanjang hidup, tanpa terasa air mata meleleh keluar dari matanya yang buta, membasahi pipinya yang berkeriput.
Tian Mong-pek yang menyaksikan adegan itu merasa terkejut, ngeri, sedih bercampur gusar, air mata turut meleleh membasahi pipinya, dia hanya bisa benci pada diri sendiri, benci karena harus menyaksikan tragedi itu berlangsung didepan mata tanpa sanggup mencegah, bukan saja tak mampu bergerak, bicara pun tak mampu, untuk sesaat rasa bencinya merasuk hingga ke tulang sumsum.
Hampir semua yang hadir terkesiap, sementara Hoa Hui telah berdiri dikejauhan dan mengejek sambil tertawa seram: "Samakah hasilnya" Samakah hasil dari seorang buta dan tidak buta?" Biarpun wajahnya tampan, hatinya jauh lebih busuk dan jahat daripada kalajengking, kalau bisa, Tian Mong-pek ingin mencincang tubuh orang itu hingga hancur berkeping.
Kiong Gim-bit meraung kalap, sambil melompat bangun, umpatnya: "Dasar binatang .
. . . . . .." "Hahaha....
jangan sembarangan bergerak" kembali Hoa Hui mengejek sambil tertawa seram, "dalam ruang utama ini, aku telah siapkan dua puluh jago pedang dan lima puluh buah busur bertenaga pegas, asal kau berani bergerak, akan kucabut nyawamu!" Biarpun dia menggertak dengan wajah serius, sayang Kiong Gim-bit tak dapat melihatnya, sambil menggetarkan pedang, kembali kakek buta itu siap menubruk ke muka.
Tiba tiba ia seperti teringat dengan tubuh cucu perempuannya yang masih berada dalam pelukan, umpatnya kemudian dengan penuh rasa dendam: "Binatang, serigala bertubuh manusia, aku .
. . . .. ada permusuhan apa diantara kau dengan aku .
. . . . . . . .." Saking bencinya, rambutnya yang beruban seolah berdiri tegak bagai landak, tapi demi cucu perempuannya, dia tak berani maju ke depan untuk beradu nyawa dengan Hoa Hui.
"Permusuhan?" seru Hoa Hui sambil tertawa keras, "ada permusuhan apa" Tua bangka, masih ingat dengan Hoa Peng suami istri yang tewas diujung pedang kalian ayah beranak pada enam belas tahun berselang" Masih ingat dengan bocah perempuan kecil yang ada bersama mereka" Terus terang kukatakan, akulah putra Hoa Peng, bocah perempuan itu adalah cici ku, demi membalas dendam kesumat ini, dengan susah payah kulacak dan kucari dirimu, ternyata Thian memang punya mata, akhirnya aku dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan pembalasan ini!" Suaranya begitu menyeramkan, pada hakekatnya seperti bukan suara yang muncul dari mulut manusia.
Berubah hebat paras muka Kiong Gim-bit.
Terdengar Hoa Hui berkata lagi sambil tertawa seram: "Sepanjang hidup, hatimu lebih keras dari baja, belum pernah ada korban yang hidup dibawah pedangmu, aku ingin tanya, bagaimana rasanya membunuh manusia" Hari ini, kau telah membunuh cucu perempuanmu dengan tangan sendiri, bagaimana pula rasanya?" "Siapa bilang aku telah membunuhnya" Siapa bilang dia sudah mati .
. . . . .." jerit Kiong Gim-bit, tapi begitu tangannya meraba tangan cucu perempuannya yang mulai mendingin, tubuhnya bergetar keras, dadanya seakan terhantam geledek, untuk sesaat dia berdiri mematung, tak berbicara tak bersuara, paras mukanya berubah jadi be gitu tawar, berubah tanpa ekspresi.
Lalu, perlahan dia membaringkan tubuh cucu perempuannya ke lantai, perlahan bangkit berdiri, sekonyong-konyong suasana dalam ruang utama berubah jadi sepi, jadi hening, lebih hening daripada tanah pekuburan .
. . . . . . .. Tak ada orang bergerak, tak ada manusia bersuara, bahkan dengus napas pun seolah punah, cahaya dari belasan lentera seolah semuanya menyinari tubuh si kakek dengan rambutnya yang putih.
Hawa pembunuhan yang berat mulai menyelimuti ruangan, seakan hembusan angin yang masuk melalui jendela, menggoyangkan api lentera .
. . . . . .. Seorang bocah yang berdiri paling dekat dengan Kiong Gim-bit, benar-benar tak sanggup menahan tekanan berat itu, baru saja kakinya bergeser, tampak cahaya pedang berkelebat, membabat dari atas menuju ke bawah.
Dalam kagetnya cepat dia angkat pedangnya untuk menangkis, namun baru setengah gerakan dilakukan, pedang dalam genggaman Kiong Gim-bit telah membelah dadanya, membuat darah segar menyembur keluar.
Seorang bocah yang lain menjerit takut, dia langsung putar badan melarikan diri.
Lagi lagi Kiong Gim-bit menggetarkan pedangnya, tidak nampak dia menggerakkan tubuh, "Sreeeet!" satu babatan maut telah membelah belakang tengkuk bocah itu hingga tembus tulang dadanya.
Diiringi jeritan ngeri dan sembuaran darah segar, bocah itu tergelepar ke tanah, mati konyol.
Dengan menempelkan ujung pedangnya dilantai, perlahan Kiong Gim-bit memutar badan, ketika sinar lentera menerangi tubuhnya, pedangnya bahkan rambutnya yang telah beruban, terlihat noda darah membasahi seluruh bagian tubuhnya, penampilannya sekarang tak ubahnya seperti setan iblis penghisap darah.
semua orang merasa ketakutan, merasa ngeri, tubuh mereka mulai gemetar, gigi mereka saling beradu, namun semua orang berusaha menggigit bibir, tidak membiarkan giginya beradu, tidak membiarkan giginya bersuara, terutama Hong It, dia sudah terkapar lemas ditanah, tergeletak ketakutan.
Tian Mong-pek merasakan pula hatinya bergidik, terasa telapak tangannya mulai gatal, gatal karena basah oleh peluh dingin, untung jalan darahnya dalam keadaan tertotok, membuat pemuda ini sama sekali tak mampu bergerak.
Kawanan lelaki berbaju perlente yang sejak semula berdiri diluar ruang utama, kini berdiri makin menjauh, menyingkir sejauh-jauhnya dari tempat bencana, sedangkan mereka yang berdiri lebih dekat, mulai merasakan pecah nyali.
Tiba tiba salah seorang diantara mereka merasakan celananya jadi dingin, ternyata ia sudah terkencing kencing saking takutnya.
'Il "Traaaaang . . . . . .. sebilah pedang terjatuh ke lantai, salah satu bocah berbaju perlente itu roboh terjungkal ke tanah, jatuh tak sadarkan diri.
Mendadak . . . . . .. kembali Kiong Gim-bit menggerakkan pedangnya secepat aliran arus lahar, langsung menusuk ke sasaran terdekat.
Seorang bocah yang berdiri paling dekat dengan pintu ruang, kontan membalikkan diri kabur keluar, apalagi setelah melihat Kiong Gim-bit menghampirinya.
Siapa tahu pandangan matanya terasa kabur, tahu tahu Kiong Gim-bit telah muncul dihadapannya, belum lagi kakek itu turun tangan, si bocah sudah menjerit ngeri sambil roboh ke tanah, ternyata nadinya pecah lantaran ketakutan.
Semua peristiwa berlangsung dalam waktu singkat, secara beruntun Kiong Gim-bit telah melukai enam orang, wajahnya tampil semakin dingin, pedangnya dilintangkan didepan dada, sambil berjaga jaga di pintu keluar, ujarnya perlahan: "Kalian telah mencelakai cucu perempuanku, jangan harap seorangpun lolos II dari sini dalam keadaan hidup .
. . . . . . . .. "Maju semua!" bentak Hoa Hui nyaring, "mari kita beradu nyawa dengan bajingan tua ini" Sambil berteriak, dia sambar sebuah bangku pendek lalu dilemparkan ke depan, ujung pedangnya mencongkel, lagi lagi dia mencongkel sebuah bangku pendek, sepasang kakinya menendang beruntun, menendang dua buah bangku lainnya, kini ada empat buah bangku pendek meluncur ke arah Kiong Gim-bit.
Dengan cekatan kakek buta itu mengibaskan pedangnya, diantara kilatan cahaya, ke empat buah bangku itu sudah terpapas kutung jadi berapa bagian, kini tubuhnya merangsek maju ke hadapan Hoa Hui.
Mendadak Hong Sin menyambar ujung baju putranya, dengan satu pukulan dia hancurkan daun jendela lalu melepaskan tujuh buah titik cahaya bintang ke arah lawan, "wesss!" menggunakan kesempatan itu dia kabur dari tempat itu.
Hong Ku-bok nampak tertegun, tapi cepat dia rentangkan tangannya melindungi diri, kemudian ikut merat dari situ.
Suasana pun berubah jadi gempar, melihat ada orang melarikan diri, kawanan lelaki dalam ruangan pun ikut membubarkan diri dan melarikan diri terbirit birit.
Lampu lentera berjatuhan ke tanah, membakar rumput-rumput kering diseputarnya, tak lama kemudian kobaran api pun membumbung tinggi ke angkasa.
Dengan kecepatan tinggi Hoa Hui berlarian mengelilingi ruangan, pedangnya berulang kali mencongkel, sepanjang jalan dia mencongkel bangku bangku yang ditemukan dan ditimpukkan ke arah Kiong Gim-bit, namun kakek buta itu seakan ulat penempel tulang, menempel terus secara ketat ke manapun dia pergi.
Hoa Hui mencoba membaca situasi, ia saksikan didalam ruang utama itu, kecuali Tian Mong-pek serta mayat yang berserakan, hanya tersisa dirinya serta dua orang bocah yang berdiri mematung karena ketakutan.
Tanpa terasa dia jadi gugup bercampur panik, peluh sebesar kacang mulai bercucuran membasahi jidatnya, masih untung Kiong Gim-bit tak punya mata, biarpun ilmu meringankan tubuhnya sangat tangguh, untuk sesaat kakek itupun tak mampu menyusulnya. Kobaran api diluar gedung membara semakin besar, tiba tiba Hoa Hui menyambar tubuh seorang bocah lalu didorong ke ujung pedang Kiong Gim-bit.
Terdengar bocah itu menjerit kesakitan, sebuah tusukan pedang menembusi dadanya.
Menggunakan kesempatan itu Hoa Hui melontarkan pula sebuah tusukan yang dilancarkan dari bawah ketiak si bocah, Kiong Gim-bit tidak melihat datangnya tusukan itu, tampaknya diapun tidak menyangka akan datangnya bokongan, untuk menghindar sudah tak sempat, tak ampun dadanya terbabat hingga muncul luka memanjang.
Dalam keadaan terluka parah, bukannya mundur kakek buta itu malah merangsek makin ke depan, sambil meraung kalap dia lepaskan sebuah tusukan lagi.
Pecah nyali Hoa Hui, buru buru dia angkat mayat dalam cekalannya dan digunakan sebagai tameng untuk membendung datangnya tusukan itu.
Gerakan pedang Kiong Gim-bit cepat bagaikan hembusan angin, secara beruntun dia lancarkan tujuh buah serangan berantai.
Ternyata Hoa Hui gunakan mayat bocah itu sebagai tameng, secara beruntun diapun menangkis datangnya ke tujuh buah serangan tersebut.
Kasihan bocah itu, entah dosa apa yang pernah diperbuatnya dalam kehidupan yang lalu, setelah mati, mayatnya tercincang hingga tak karuan bentuknya.
Melihat kejadian itu, seorang bocah yang lain segera melarikan diri, sayang kakinya keburu lemas, tak ampun tubuhnya roboh terjungkal ke tanah, dengan setengah merangkak bercampur bergulingan cepat dia menjauh dari situ.
Hoa Hui mulai takut bercampur ngeri setelah dilihatnya Kiong Gim-bit hanya mengincar dia seorang, ia sadar keinginannya untuk melarikan diri jauh lebih susah daripada mendaki ke langit, tak tahan diapun mulai mencaci maki dengan kata kata kotor, penampilannya yang semula anggun dan terhormat pun kini hilang tak berbekas.
Kiong Gim-bit sama sekali tak ambil perduli dengan luka didadanya, dia biarkan darah mengucur terus membasahi badannya.
"Tua bangka sialan" umpat Hoa Hui, "kenapa darahmu tidak segera mengering" Akan kupenggal kepalamu untuk dipersembahkan didepan kuburan ayah ibuku .
. . . . . . . . .." Mendadak bahu kanannya terasa dingin, sebuah tusukan dari Kiong Gim-bit melukai lengannya, membuat hancuran mayat yang masih tergenggam pun ikut terlepas dari cekalan.
"Biar mati sepuluh kali lagi pun Hoa Peng suami istri pantas mendapat ganjarannya" sahut Kiong Gim-bit geram, "sungguh menyesal waktu itu lohu biarkan mereka mati secara gampang"
Sementara pembicaraan berlangsung, pedangnya kembali berkelebat dari atas menuju bawah menggunakan jurus Lip-pi-hoa-san (membelah bukit Hoa-san), biarpun jurus serangan ini sederhana dan biasa, namun daya kekuatan yang terpancar dari balik tangannya sungguh luar biasa.
Hoa Hui berusaha dengan pelbagai cara untuk mematahkan serangan itu, apa daya serangan kakek buta itu kelewat cepat, terpaksa sambil mengerahkan segenap tenaga ia sambut datangnya ancaman tersebut.
"Traaaang!" sepasang pedang saling beradu, tubuh Hoa Hui seketika terpental mundur berapa langkah, namun ujung pedang Kiong Gim-bit ikut terpapas kutung sebagian.
Tiba tiba terdengar rintihan lirih berkumandang dari belakang tubuhnya, biarpun rintihan itu lemah, namun dengan ketajaman pendengaran Kiong Gim-bit yang luar biasa, ia segera dapat mengenali sebagai suara cucu perempuannya.
Sambil berteriak keras dia segera membalikkan badan dan menubruk ke arah cucunya.
Sebenarnya waktu itu Hoa Hui sudah dibuat bergelora hawa darah dalam dadanya bahkan mundur dengan sempoyongan, andaikata menggunakan kesempatan itu Kiong Gim-bit menambahi lagi dengan sebuah bacokan, niscaya pemuda itu akan mati sekarat.
"Yaa sudahlah!" pekik Hoa Hui didalam hati sambil menghela napas, ia pejamkan mata siap menantikan datangnya kematian.
Siapa tahu Kiong Gim-bit meninggalkan dirinya dengan begitu saja, setelah tertegun sejenak, dengan perasaan girang cepat dia membalikan badan dan kabur lewat jendela.
Tian Mong-pek menghela napas panjang, akhirnya drama yang amat tragis itu selesai sudah, kini semua orang hidup telah kabur, tapi dia masih belum mampu berkutik, bagaikan sebuah patung, tubuhnya tergeletak diantara tumpukan mayat.
Terlihat Kiong Gim-bit telah membuang pedangnya, kini dia memeluk tubuh Ling Ling dan merabanya berapa saat, akhirnya dia sebentar tertawa, sebentar menghela napas, semua masalah seolah telah terlupakan, bila ada orang membokongnya waktu itu, dapat dipastikan kakek itu tak sanggup menghindarkan diri.
Rupanya Kiong Ling-ling belum mati, namun denyut nadinya sudah sangat lemah, dengus napasnya sebentar ada sebentar menghilang, keadaannya sangat kritis.
Tanpa berpikir panjang, Kiong Gim-bit segera tempelkan sepasang telapak tangannya didada nona cilik itu dan menyalurkan tenaga dalamnya, dia berharap dengan mengorbankan tenaga murni hasil latihannya selama puluhan tahun, dapat selamatkan selembar nyawa cucu perempuannya.
Dengan cepat dua gulung aliran panas menembusi urat nadi Kiong Ling-ling.
Sudah cukup lama tanah perbukitan itu dilanda kekeringan, bangunan kuil itupun sudah lama tak dipugar, bahan bangunan kayu yang tersisa hampir semuanya sudah lapuk dan kering, begitu tersulut api, maka terjadilah kebakaran besar diseluruh bangunan.
Jilatan api mulai merangkak dari rumput kering di lapangan, merambat naik ke jendela, dalam waktu sekejap seluruh ruang utama telah terjilat api.
Kebakaran berkobar makin dahsyat, namun ditengah ruang utama tersisa tiga orang, seorang tak sadar karena terluka parah, seorang lagi tak perduli dengan kebakaran yang terjadi dan seorang lain tertotok jalan darahnya hingga tak berkutik, ia hanya bisa saksikan kobaran api yang makin lama semakin membesar.
Hembusan angin malam semakin kencang, angin membantu kobaran api makin membara, jilatan api menyebar dimana mana, nyaris membakar pula tubuh Tian Mong-pek.
Anak muda itu merasakan tubuhnya seolah berada diatas panggangan, bibirnya mulai mengering, peluh membasahi seluruh tubuhnya, hingga terakhir keringat pun nyaris terpanggang hingga mengering.
Selama ini, Kiong Gim-bit tetap menempelkan sepasang tangannya diatas jalan darah Kiong Ling-ling, sekalipun lidah api sudah menggulung dihadapannya, namun ia sama sekali tak bergerak.
Lambat laun Kiong Ling-ling mulai terdengar dengus napasnya, tapi jika ia tarik kembali hawa murninya dalam keadaan begini, niscaya denyut nadi nona cilik itu akan terhenti dan jiwanya bakal tak tertolong.
Sadar akan hal ini, kakek buta itu rela dirinya mati terbakar daripada melepaskan setiap kesempatan untuk selamatkan nyawa cucu perempuannya, walau begitu, lamat-lamat dia sudah mulai merasakan ngerinya ancaman kematian.
"Blaaaammm!" sebatang kayu yang terbakar, jatuh persis disamping Tian Mong-pek.
Lidah api kini mulai merambat bangku pendek yang berada disisi Tian Mong-pek, "Blaaam!" lagi lagi sebatang kayu menimpa meja pendek dihadapannya, seluruh bangunan mulai terbakar hebat, seluruh bumi seolah ikut bergoncang keras.
Tian Mong-pek sudah berada ditengah kepungan api, keadaannya bagaikan sesaji hidup dijaman kuno yang dibakar hidup hidup, dalam waktu yang amat singkat inilah tiba tiba ia teringat dengan ayahnya yang telah meninggal, kawan kawannya yang masih hidup, dendam kesumat, pelbagai tugas dan tanggung jawab, hampir semuanya mengalir lewat, membuat air matanya mengambang lalu meleleh keluar.
Sesaat kemudian, diapun teringat dengan semua penghinaan, cemoohan dan fitnahan yang dideritanya selama ini, bila dia mati sekarang, bukan saja semua penghinaan tak terbalas, semua dendam tak terbalas bahkan fitnahan yang menempel pada dirinya pun tak dapat dicuci bersih, nama baiknya tak mungkin bisa direhabilitasi.
Terbayang sampai disitu, segera pikirnya: "Tian Mong-pek wahai Tian Mong-pek, selama hidup kau jujur dan terbuka, mengapa Thian begitu tak adil terhadap dirimu?" Ia merasakan kesedihan dan kemarahan yang luar biasa menembus naik ke benaknya, tekanan bara api dari dalam hati serta bara api dari luar yang menghimpit membuat pemuda itu tiba tiba membentak keras lalu melompat bangun.
Kejadian ini kembali membuat pemuda itu termangu, setelah termenung sejenak, ia baru tahu kalau totokan jalan darahnya tanpa sengaja telah bebas, ia tak tahu kejadian ini hanya merupakan satu kebetulan atau memang diatur Thian, diapun tak tahu harus sedih atau gembira.
Begitu tersadar kembali dari lamunan, tanpa sadar dia lari keluar dari kepungan api, namun ingatan lain segera membuatnya membatalkan kembali niat itu.
Kini kobaran api telah membungkus seluruh ruangan, tak lama kemudian, tiang penyanggah ikut patah dan seluruh ruangan pun berubah jadi kubangan api yang menakutkan.
Biarpun dia sadar akan ancaman besar yang bakal dihadapi, namun pemuda ini tak bisa berpeluk tangan membiarkan Kiong Gim-bit berdua mati terbakar, buru buru dia berbalik masuk lalu mengambil bangku yang belum terbakar dan dipakai untuk memadamkan jilatan api disekeliling dua orang itu.
Dalam waktu singkat tiba tiba ia merasakan tenaga dalamnya pulih sebagian besar, rupanya karena terpanggang oleh bara api dan ditekan api amarah dari dalam tubuhnya, dia telah membebaskan pula totokan jalan darah yang dilakukan Hong Sin.
Tian Mong-pek tahu, dalam kondisi begini Kiong Gim-bit tak dapat diganggu, dia hanya berharap kakek itu secepatnya menyelesaikan tugasnya.
Jilatan api menggulung tiba bagaikan amukan gelombang ditengah samudra, biarpun Tian Mong-pek telah mengerahkan segenap tenaga yang dimiliki, dia gagal untuk membendung datangnya kobaran tersebut, yang bisa dia lakukan sekarang hanya menjaga agar api tidak membakar tubuh Kiong Gim-bit berdua, sementara pakaian yang dikenakan sendiri mulai terbakar api disana sini.
Guguran kayu arang bagai hujan deras, sambil menggigit bibir Tian Mong-pek bersumpah akan melindungi Kiong Gim-bit berdua hingga detik terakhir.
Padahal antara dia dengan kedua orang itu tak punya ikatan apa apa, tapi setiap kali melihat nyawa seseorang terancam bahaya, pemuda ini selalu tampil dengan gagah berani untuk memberikan perlindungan, demi selamatkan nyawa orang lain, diapun tak segan mengorbankan jiwa sendiri setiap saat.
Sampai akhirnya berapa bagian tubuhnya mulai terluka bakar, begitu pula dengan berapa bagian tubuh Kiong Gim-bit, padahal saat itu dia bisa saja tinggalkan tempat tersebut, tapi entah kenapa, anak muda itu justru tetap bertahan, sambil menguatirkan keselamatan Ling Ling, dia pun menguatirkan api yang semakin membara.
Akhirnya tampak Kiong Ling-ling membuka kembali matanya, disusul kemudian Kiong Gim-bit menghembuskan napas panjang.
"Locianpwee, sudah selesai?" tegur Tian Mong-pek kegirangan.
Siapa tahu tubuh Kiong Gim-bit mendadak roboh terjengkang, setelah kehilangan banyak darah tadi, sekarang diapun mengorbankan seluruh kekuatan yang dimiliki, kondisi badannya jadi sangat lemah dan tak sanggup mempertahankan diri.
Dalam terkejutnya buru buru Tian Mong-pek membopong tubuh Kiong Ling-ling dan menyambar tubuh Kiong Gim-bit lalu diiringi bentakan nyaring, ia menerjang keluar dari kepungan api.
"Blukkk!" bahunya terasa sakit, tampaknya sebatang kayu arang menimpa tubuhnya, pemuda itu tak ambil perduli, sekuat tenaga dia lari terus meninggalkan kobaran api, lari naik ke atas perbukitan, disanalah ia baringkan Kiong Ling-ling diatas batu dan membaringkan Kiong Gim-bit dibawah pohon, setelah itu dia sendiri ikut roboh terguling diatas tanah.
Sampai lama kemudian Tian Mong-pek baru menghembuskan napas panjang, dia merasa luka bakar disekujur tubuhnya mulai terasa sakit, terutama sewaktu menggerakkan bahunya, semua tulang terasa sakitnya bukan kepalang.
Dalam keadaan begini dia mencoba berpaling, tampak kobaran api dibawah bukit telah menjulang ke angkasa, terbayang kembali situasi kritis yang baru saja dialami, tanpa terasa peluh dingin membasahi tubuhnya.
Terdengar Kiong Gim-bit menghela napas panjang.
"Lotiong, kau telah mendusin?" tegur Tian Mong-pek sambil melompat bangun.
"Apa kau bilang?" teriak Kiong Gim-bit, begitu keras suaranya membuat orang jadi terkejut.
Tian Mong-pek melengak, tiba tiba paras muka Kiong Gim-bit kembali berubah.
Perlu diketahui, selama ini pendengaran kakek itu lebih tajam dari orang biasa, tapi sekarang dia justru tak sanggup mendengar perkataan orang lain, padahal dalam kondisi buta matanya, selama ini dia mengandalkan pendengaran untuk menghadapi musuh.
Siapa sangka dalam menghadapi keadaan yang amat kritis tadi, ketajaman telinga nya pun ikut lenyap, tak heran kalau kakek itu jadi terkesiap dan tak punya keberanian lagi untuk melanjutkan hidup.
Diam diam Tian Mong-pek menghela napas, kembali teriaknya: "Cayhe Tian Mong-pek, apakah lotiong bisa mendengar?" Tanpa bicara Kiong Gim-bit mengangguk, lega juga perasaan Tian Mong-pek melihat kakek itu tidak tuli sama sekali, dibopongnya Ling Ling lalu dibaringkan dalam pelukan kakek itu.
Dengan lembut Kiong Gim-bit membelai tubuh cucu perempuannya, melihat dengus napas serta kehangatan tubuhnya telah normal kembali, sekulum senyuman segera menghiasi bibirnya, bagaimana pun juga pengorbanan yang dia lakukan telah membuahkan hasil.
Tak tahan ujarnya setelah menghela napas: "Selama hidup belum pernah aku menerima budi kebaikan orang lain, tak II disangka .
. . . . . .. "Persoalan ini merupakan urusan pribadi cayhe, harap lotiong tak usah masukkan ke dalam hati" Kiong Gim-bit menggeleng.
"Keadaanku sudah parah, ibarat sebentar lagi akan masuk liang kubur, mana boleh tidak kubalas budi kebaikanmu itu" Tampaknya kaupun seseorang yang belajar silat, aku harus wariskan ilmu pedangku padamu, sebagai tanda rasa terima kasihku" Sebetulnya tawaran ini merupakan sesuatu yang luar biasa, tawaran yang diimpikan hampir oleh semua umat persilatan, siapa tahu dengan serius tampik Tian Mong-pek: "Apa maksud perkataan lotiong" Biarpun Tian Mong-pek bukan manusia baik, akupun bukan orang yang mengharapkan balas budi dari orang lain, keputusan lotiong sama artinya memandang diriku sebagai hewan, bagaimana pun Tian Mong-pek tak bisa menerimanya" Agak tertegun Kiong Gim-bit mendengar jawaban itu, serunya: "Tahukah kau, sedikit saja langkahmu kurang cepat tadi, jiwamu bisa ikut melayang" "Sejak tadi cayhe telah melupakan urusan mati hidup" "Lantas mengapa kau pertaruhkan nyawa untuk selamatkan nyawa kami berdua?" Dari nada pertanyaan itu, bisa disimpulkan kalau kakek ini merasa amat keheranan.
"Masa selamatkan nyawa orang pun perlu alasan?" Perlu diketahui, dalam pembicaraan antara dua orang, bila salah seorang diantaranya mempunyai pendengaran yang kurang baik, niscaya nada suara yang digunakan sewaktu berbicara akan sangat keras.
Tian Mong-pek kuatir Kiong Gim-bit tidak jelas mendengar percakapannya, maka diapun berbicara dengan suara keras, sebaliknya Kiong Gim-bit yang tidak bagus pendengarannya, secara otomatis berbicara pula dengan setengah berteriak, akibatnya, biarpun mereka hanya bercakap cakap biasa, namun kedengarannya seperti orang sedang bertengkar.
Kiong Gim-bit termenung berapa saat, akhirnya dia menghela napas panjang.
"Aaai, sepanjang hidup sudah banyak jenis manusia yang pernah lohu jumpai, namun belum pernah kutemui pemuda macam dirimu, semakin kau enggan menerima, aku semakin berminat mewariskan ilmu pedang ini kepadamu, dengan memperoleh ahli waris semacam kau, biar matipun lohu bisa pejamkan mata rapat rapat" "Aku berharap lotiong jangan kelewat memaksakan kehendak, bila kuterima tawaranmu itu, bukankah sama artinya aku tak berniat sungguh sungguh untuk menolong kalian" Bukankah aku hanya hewan yang mencari kesempatan?" orang lain ingin mewariskan ilmu silatnya, pemuda itu justru naik darah, padahal sepanjang hidup, entah berapa banyak orang yang berharap Kiong Gim-bit mau mewariskan ilmu pedangnya kepada mereka.
Dia tak menyangka kalau dikolong langit, ternyata masih ada orang yang menampik tawarannya, menyaksikan tabiat Tian Mong-pek, kakek buta itu semakin menaruh simpatik.
Sambil mengeluarkan sejilid kitab dari sakunya, dia berkata: "Kini aku tuli lagi buta, jarak menuju kematian sudah semakin dekat, biar aku sudah hidup cukup, namun ada dua persoalan yang tetap mengganjal hatiku" Setelah berhenti sejenak dan menghela napas, lanjutnya: "Pertama, cucu perempuanku masih muda, kedua ilmu silatku belum mendapat pewaris.
Kini kuserahkan kedua persoalan ini kepadamu, kitab ini berisikan intisari dari seluruh ilmu silatku sepanjang hidup, ambillah!" Dari nada pembicaraan itu, dia seolah segera akan mati.
Harus diketahui, bagi seorang jagoan persilatan, perubahan yang menimpa kakek ini merupakan sebuah pukulan batin yang sangat berat, dari seorang sakti, secara tiba tiba berubah jadi orang tuli lagi buta, yang mana sudah pasti mustahil lagi baginya untuk bertarung melawan siapa pun, bisa dibayangkan betapa tertekannya perasaan orang itu.
"Lotiong" ujar Tian Mong-pek kemudian, "karena kau percaya kepadaku, tentu saja cayhe tak bisa menampik lagi, akan tetapi kitab pusaka ilmu pedang tersebut tak bisa kuterima, biar kusimpankan saja untuk sementara II waktu .
. . . . . . .. Belum selesai dia berkata, tiba tiba dari bawah bukit meluncur datang sesosok bayangan manusia, pedang ditangan kanannya langsung dihujamkan ke dada Kiong Gim-bit sementara tangan kirinya merebut kitab pusaka itu.
Dibalik kegelapan malam, tampak orang itu tak lain adalah satu satunya bocah anak buah Hoa Hui yang berhasil melarikan diri tadi.
Ternyata setelah tergelinding jatuh ke bawah bukit tadi dalam usahanya untuk melarikan diri, dia berbaring dibalik rerumputan sambil menyembunyikan diri, tempat itu sangat tertutup dan aman, maka disitulah bocah tadi beristirahat.
Ketika suara gaduh sudah mulai mereda, saking lelah dan takutnya, tanpa terasa bocah itu terlelap tidur.
Sampai Tian Mong-pek dan Kiong Gim-bit berbicara setengah berteriak, dia baru tersadar dari tidurnya, begitu mendengar pembicaraan antara kedua orang itu, si bocah jadi amat kegirangan, gumamnya seorang diri: "Hoa Giok wahai Hoa Giok, kau berhasil kabur namun tak bisa pulang lagi, kini kau menjadi manusia tak punya rumah, bila kau ingin mencari nama dalam dunia persilatan dikemudian hari, inilah kesempatan baik bagimu, sekarang si tua Kiong sudah buta lagi tuli, dia tak pantas ditakuti lagi, asal kitab pusaka itu berhasil kau rampas, tak sulit lagi bagimu untuk menguasahi ilmu pedang itu" Biarpun perasaan hatinya agak takut, akhirnya sambil menggigit bibir diapun menerjang keluar.
Tusukan pedang itu dilakukan sekuat tenaga dan langsung menghujam ke ulu hati lawan, tak sempat mengeluarkan suara, Kiong Gim-bit tewas seketika.
Sambil membentak gusar, Tian Mong-pek melompat bangun, rupanya Hoa Giok ketakutan, buru buru dia cabut kembali pedangnya, siapa tahu pedangnya yang menghujam didada Kiong Gim-bit tak dapat dicabut kembali.
Peluh dingin membasahi seluruh badan Hoa Giok, tanpa perdulikan pedangnya lagi dia kabur turun bukit.
Tian Mong-pek mencoba mengejar, sayang luka bakar memenuhi seluruh badannya, ditambah lagi berapa kerat tulangnya retak dan lagi sudah kehabisan tenaga sejak tadi, baru mengejar berapa langkah ia sudah roboh terjungkal.
Menyaksikan sang pembunuh melarikan diri tanpa mampu dikejar, amarah yang meluap membuat anak muda itu jatuh tak sadarkan diri.
Walaupun saat itu mendekati fajar, namun langit justru sangat gelap, angin gunung berhembus kencang, menggoyangkan rambut Kiong Gim-bit, mengibarkan pula pita merah diujung gagang pedang.
Jago pedang yang pernah merajai dunia persilatan, pernah melukai begitu banyak nyawa manusia, siapa sangka pada akhirnya harus mati ditangan seorang asing.
Tujuh dari delapan bocah anak buah Hoa Hui berhasil dibantai, siapa sangka pada akhirnya dia sendiri harus kehilangan nyawa ditangan bocah terakhir yang tersisa.
Taburan bintang dilangit telah buyar.
Kabut tipis mulai menyelimuti permukaan jagad, dari balik lamat lamatnya suasana ditengah hutan, terdengar suara seruling yang berbunyi nyaring.
Menggunakan pedang yang ditinggalkan bocah itu tadi, Tian Mong-pek mencari sebuah tempat yang agak tersembunyi, menggali liang dan mengubur jenasah Kiong Gim-bit.
Kejadian di dunia memang begitu aneh, siapa yang menyangka seorang pemuda tanpa nama tanpa pengalaman, ternyata tak sampai sebulan harus menyaksikan dua dari tujuh tokoh persilatan, tewas dihadapannya, bahkan dia pula yang menguburkan jenasah mereka, sementara dia sendiri meski harus menghadapi banyak siksaan, penderitaan dan penghinaan, pada akhirnya tetap bisa mempertahankan hidupnya.
Saat ini, perasaan hatinya bercampur aduk, antara sedih dan marah, ia menyesal kenapa ilmu silat yang dimiliki kelewat lemah sehingga bukan saja tak bisa melindungi keselamatan si kakek yang buta lagi tuli, bahkan membekuk sang pembunuh pun tak mampu.
Biarpun beberapa kali ia mendapat kesempatan untuk belajar ilmu silat tangguh, tapi ia justru sembunyikan kitab pusak dari Po-kie-bun, menampik Le-hian-cian Tu Hun-thian dan menampik tawaran ilmu pedang seribu mata yang ganas dan telengas.
Bodohkah keputusan yang telah dia ambil" Anak muda itu tak tahu, dia hanya merasa cara itulah yang bisa membuat hatinya tenteram, tidak menipu langit, tidak membuat malu bumi.
Dia tak pernah menyesal, tak pernah mengeluh, perasaan hatinya hanya hambar, tawar dan kosong.
Atau mungkin, beginilah kehidupan dari seorang jagoan" Disamping kuburan baru, dia mencoba pejamkan matanya, berharap bisa peroleh ketenangan sesaat, sementara disisi tubuhnya tergeletak sebilah pedang tanpa sarung dan sebuah seruling bambu.
Pedang tanpa sarung dengan cahaya yang menyilaukan mata, dia memang sengaja menyimpan senjata tersebut untuk Kiong Ling-ling, agar dia selalu teringat dengan dendam kesumat hari ini.
Sementara seruling bambu itu berbentuk sederhana, terbuat dari bambu hijau yang saat ini mulai menguning, dia sengaja menyimpannya agar dia sendiri dapat selalu teringat akan kejadian hari ini, dia tak tahu sudah berapa ribu kali Kiong Gim-bit meraba benda itu, tak tahu berapa banyak usapan sayang orang tua itu terhadap benda tersebut, dia tak tega untuk membuangnya, dia sengaja menyimpannya antara lain karena ingin mempertahankan kenangannya atas kematian yang tragis dari orang tua itu, untuk mengenang pula kegagahannya semasa masih hidup.
Diatas rumput disamping kuburan, berbaring tubuh Kiong Ling-ling, walaupun luka dalamnya telah sembuh, luka luarnya justru cukup parah, Tian Mong-pek telah menotok jalan darah tidurnya, agar dia melewatkan suasana yang amat sedih ini dalam tidur yang nyenyak, dia tak ingin nona cilik itu turut menyaksikan mayat si kakek yang mati tragis serta kuburan yang dingin menyendiri.
Namun, bagi seorang pemuda yang sekujur tubuhnya penuh luka bakar, seluruh perasaan hatinya penuh luka derita serta seorang nona cilik yang baru lolos dari kematian, seberapa jauh mereka dapat berjalan" Seberapa cerah masa depan yang menghadang dihadapan mereka" Akhirnya langit mulai terang, sambil membopong Kiong Ling-ling, Tian Mong-pek mulai menuruni bukit, berjalan menelusuri jalan raya.
Sepanjang jalan orang yang berlalu lalang selalu berusaha menghindar jauh jauh, Tian Mong-pek tak ambil peduli, dia meneruskan langkahnya dengan cepat, semakin rendah pandangan orang lain terhadap dirinya, dia semakin tak pandang sebelah mata terhadap orang orang itu.
Akhirnya tibalah mereka di kota Mo-sik, Tian Mong-pek mencari sebuah losmen terkecil dan terjelek untuk tinggal, dari kedai obat diapun membeli obat luka luar dan membubuhkan diseputar luka ditubuh Kiong Ling-ling.
Jangan dilihat pakaian yang dikenakan dekil lagi compang camping, ketika meninggalkan rumah pemuda ini sempat membawa emas dan perhiasan yang cukup sehingga untuk beaya penghidupan, ia tak perlu meminta minta, bahkan obat luar yang dibelipun merupakan bahan obat berkwalitas nomor satu, tak heran kalau luka yang diderita Kiong Ling-ling dengan cepat sembuh kembali.
Bocah perempuan ini sejak dilahirkan telah kehilangan kedua orang tuanya, selama ini dia selalu hidup bersama kakeknya yang jujur tapi keras kepala, disaat anak lain masih sering merengek orang tuanya untuk dibelikan gula gula, dia justru sudah ikut kakeknya hidup mengembara dalam dunia persilatan.
Ketika dia mencapai usia lima tahun, kakeknya menjadi buta, maka penghidupan nona inipun jadi makin sengsara.
Sebagian besar umurnya telah dia lewatkan dalam suasana penghidupan semacam ini, namun nona cilik itu tak pernah mengeluh, biarpun usianya masih sedikit, namun ia telah pandai menahan diri.
Perjalanan waktu yang penuh penderitaan, menciptakan perangai aneh pada dirinya, penderitaan dan kesedihan yang kelewat banyak dalam lembar kehidupannya, membuat nona ini tak pernah berani berharap datangnya kebahagiaan.
Disaat pertama kali tersadar dari tidurnya, ia hanya be rtanya sepatah kata: "Mana yaya ku?" Tian Mong-pek tak tega untuk menceritakan keadaan sesungguhnya, dia hanya mengatakan kalau kakeknya akan balik dua hari kemudian.
Kiong Ling-ling kembali bertanya satu hal lagi: "Apakah yaya marah denganku?" Sambil tersenyum Tian Mong-pek menggeleng, padahal perasaan kecut dan sedih yang sukar dilukiskan dengan ucapan menyelimuti hatinya.
Selama ini si nona hampir tak pernah menyinggung tentang keadaan luka yang dideritanya, bagi dirinya, asal sang kakek tidak marah dan menyalahkan dirinya, ia sudah merasa amat puas.
Setelah itu, diapun tak pernah berbicara lagi, nona kecil itu hanya berbaring sambil mementang matanya lebar lebar memandang langit langit ruangan.
Menyaksikan keadaan tersebut, Tian Mong-pek merasa lebih sedih dan lebih sayang kepadanya, ia berjanji sebelum nona itu sembuh total, dirinya tak akan pergi meninggalkan dirinya.
Tampaknya nona itu tahu kalau Tian Mong-pek begitu sayang kepadanya, tapi ia tak pernah mengucapkan terima kasih, kecuali panc aran sinar matanya yang penuh dengan perasaan terharu.
Setiap pagi, dia hanya menanyakan satu hal: "Apakah yaya telah datang?" Hari ini dia tidak bersuara lagi.
Dua hari berlalu dengan cepat, untuk mengisi waktu yang senggang, sepanjang hari Tian Mong-pek hanya meneguk arak.
Pada mulanya pemilik kedai kuatir ia tak mampu membayar, sampai pemuda itu mengeluarkan sekeping uang perak, mereka baru memberikan semua yang dipesan dengan perasaan lega.
Menyaksikan kesemuanya ini, diam diam Tian Mong-pek tertawa dingin, sudah kelewat jemu dia saksikan kemunafikan di dunia nyata.
Siapa sangka biarpun obat luka luar yang dibeli mahal dan berkwalitas nomor satu, kemanjurannya tak bisa diandalkan, dua hari kemudian secara tiba tiba luka ditubuh Kiong Ling-ling kambuh lagi, sekujur tubuhnya panas tinggi, biarpun nona kecil itu menggigit bibir dan enggan merintih, toh tak dapat menutup penderitaan yang terpancar dari balik matanya.
Menyaksikan hal itu Tian Mong-pek merasa gelisah bercampur sedih, apalagi sewaktu membayangkan sikapnya yang teguh sewaktu berada dalam ruang utama waktu itu, ia merasa lebih sedih lagi.
Dia segera mencari tahu tabib paling terkenal yang ada dikota Mo-sik, saat itu sang tabib masih tertidur nyenyak, melihat dandanan Tian Mong-pek yang dekil dan miskil, orang itu segera menampik: "Saat ini sudah tengah malam, silahkan mencari ke tempat lain!" Sikap angkuh sang tabib membuat Tian Mong-pek naik pitam, teriaknya: "Saat ini keselamatan jiwanya terancam, mau berangkat tidak?" Sambil mengancam, "Blaaam!" dia hajar meja disisinya hingga hancur.
Melihat kelihayan anak muda itu, tentu saja sang tabib tak berani menampik, sambil diam diam mengumpat terpaksa dia pun ikut berangkat ke rumah penginapan.
Setelah memeriksa keadaan luka Kiong Ling-ling, keningnya berkerut makin kencang, ujarnya kemudian: "Tiga inci saja dari posisi luka sekarang, nadinya bakal .
. . . . . .." "Asal tidak melukai nadinya, berarti dia bisa tertolong" tukas Tian Mong-pek kegirangan.
"Justru kalau nadinya terluka, dia tak perlu banyak menderita" II "Jadi kalau begitu dia.....
dia . . . . . .. "Maaf kalau kepandaianku tak tinggi sehingga tak sanggup mengobatinya, maaf, maaf....." seru tabib itu sambil buru buru memberi hormat.
Menyaksikan tingkah laku tabib ini, tanpa terasa Tian Mong-pek jadi teringat dengan Chin Siu-ang yang memuakkan, rasa sedih bercampur gusar kembali menyelimuti hatinya.
Tabib itu tak berani banyak bicara, cepat cepat dia ambil peti obatnya dan kabur dari situ.
Dengan sedih Tian Mong-pek berusaha mengundang berapa orang tabib lagi, tapi hampir semuanya segera pergi tanpa meninggalkan resep.
Menyaksikan kenyataan ini, biarpun Tian Mong-pek berusaha mengubur nona cilik itu, namun tanpa terasa air mata bercucuran membasahi pipinya.
Tiba tiba Kiong Ling-ling menggenggam pergelangan tangannya dan berkata pedih: "Paman, kau tak usah sedih, nasibku memang jelek, mungkin umurku tak bakal panjang" Biarpun masih kecil usianya, namun ia sanggup mengucapkan perkataan semacam itu, Tian Mong-pek merasakan hatinya sakit bagaikan diiris iris, apalagi sebutan paman kepadanya, membuat ia tambah terharu.
Buru buru ia seka air matanya lalu sambil tertawa paksa ujarnya: "Siapa bilang nasibmu jelek" Siapa bilang umurmu pendek" Thian pasti akan melindungi bocah pintar semacam dirimu" Cepat Kiong Ling-ling menggeleng, "Paman, kau tak usah menghiburku" katanya, "padahal aku sama sekali tak sedih, hanya sedikit heran, kenapa yaya belum juga muncul disini?"
Belum selesai bicara, tiba tiba dia membalikkan tubuhnya, Tian Mong-pek menyaksikan bahunya bergetar kencang, ia tahu nona itu tak ingin melelehkan air mata dihadapannya, dia tak pernah memikirkan keselamatan sendiri, tapi diapun tak ingin orang lain bersedih hati karena dirinya.
Kontan Tian Mong-pek merasakan hawa panas bergelora dalam dadanya, dengan suara keras teriaknya: "Ling-ling, kau tak bakal mati, bila paman tak dapat selamatkan jiwamu, paman pun tak ingin hidup" Dengan langkah lebar dia beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Malam sudah kelam, seorang diri Tian Mong-pek berjalan mondar mandir ditengah jalan, biarpun dia seorang jagoan, biarpun dia memiliki keberanian yang luar biasa, namun saat ini dia tak berani menatap sepasang mata si nona yang basah oleh air mata, sebab dia sendiripun tak tahu harus menggunakan cara apa untuk selamatkan nyawa nona kecil yang menawan itu, merebutnya dari cengkeraman malaikat elmaut.
Angin malam sudah lewat, bintang pun telah berguguran, secerca cahaya putih kembali muncul diufuk timur, lambat laun mulai tampak manusia yang berlalu lalang dijalan raya, menyaksikan tingkah laku Tian Mong-pek, hampir semua orang menyangka dia adalah orang tak waras, semakin tak ada yang berani menghampirinya.
Tiba tiba terdengar suara teriakan keras memecebu dalam ruang kamar, dengan lembut bisik Tian Mong-pek: "Ling-ling, apakah kau merasa lebih sehat .
. . . . . . .." Tiba tiba ia tertegun, pembaringan tampak kacau tak karuan, daun jendela terbuka lebar, sementara bayangan tubuh Kiong Ling-ling sudah lenyap tak berbekas.
Tak terlukiskan rasa kaget Tian Mong-pek menghadapi kejadian ini, sementara hatinya panik, tiba tiba terlihat selembar kertas diletakkan dibawah tindihan poci teh, diatas kertas tadi tertera dua baris tulisan yang kelihatan ditinggalkan secara terburu buru.
Cepat Tian Mong-pek menyambar kertas itu dan membaca tulisan yang tertera: "Paman, selama berapa hari aku telah merepotkan dirimu, kini aku pergi mencari yaya, aku tahu, kemungkinan besar aku tak pernah akan bisa bertemu lagi dengan dia orang tua, tapi aku berharap bisa mencari sebuah tempat yang tenang untuk mati, aku percaya, mau dibumi atau di langit, suatu saat nanti aku pasti dapat bertemu dengan dia orang tua, bukankah begitu paman?" Gaya tulisannya sangat kekanak-kanakan, jelas muncul dari tangan seorang bocah yang belum dewasa, namun nadanya begitu berat penuh kepedihan, jauh lebih berat dari nada seorang dewasa.
Tian Mong-pek merasakan tangannya gemetar keras, hatinya pedih bagai diiris iris, ke empat anggota badannya lemas tak bertenaga, akhirnya ia jatuh terduduk di bangku.
Mendadak terdengar gelak tertawa berkumandang dari luar pintu, seorang lelaki tinggi kekar berwajahbelah kanan telah berkata sambil tertawa: "Saudara Seebun, lelaki itu seperti orang kehilangan ingatan, mana mungkin kau bisa mengenalnya" Salah orang mungkin?" Lelaki disebelah kiri itu kembali menggeleng.
"Biasanya hanya manusia luar biasa yang memiliki ketajaman mata seperti itu, aaai, padahal aku yakin pernah bertemu orang ini, apa mau dibilang untuk sesaat aku tak bisa mengingat ingat siapa gerangan dirinya" Orang ini berwajah merah, berperawakan tinggi tegap dan tampak penuh wibawa, namun pakaian yang dikenakan terlihat mewah dan indah, tingkah lakunya seperti seorang kongcu berduit yang sedang berpesiar.
Dengan termangu Tian Mong-pek mengawasi bayangan punggung kedua orang itu semakin menjauh, sementara suara teriakan keras kembali bergema membelah keheningan.
"Wi . . . . . . . .. Ceng . . . . . .. Pat . . . . . .. Hong" seru lelaki yang bertubuh pendek.
Sementara lelaki bertubuh tinggi segera menyambung: "Singa selatan Seebun, singa utara Tonghong, sepasang singa dunia persilatan, menggetarkan delapan penjuru .
. . . . . . . . . .." Diam diam Tian Mong-pek menghela napas, ditengah teriakan nyaring, dia menyelinap masuk ke dalam losmen dan kembali ke dalam kamarnya.
Cahaya fajar mulai menyusup masuk lewat jendela, menerangi lapisan dnapas panjang: "Kenapa tidak kau katakan sedari tadi .
. . . .. aaai! Kalau urusan sudah jadi begini, apa lagi yang bisa diucapkan" Masih untung dia hanya seorang bocah perempuan, apalagi sebatang kara, rasanya tak akan pergi terlalu jauh.
Keponakan Tian, lebih baik kau pulang bersamaku, nanti biar kuperintahkan anak buah untuk melacak jejaknya, aku yakin pasti akan ditemukan" Dengan perasaan bimbang Tian Mong-pek mengangguk dan beranjak keluar dari kamar, sesungguhnya dia memang tak pandai menolak niat baik orang, apalagi saat ini sedang letih, lelah, lesu dan pedih, pada hakekatnya dia kehilangan rasa percaya diri.
Perusahaan ekspedisi Ang-say-piaukiok memang sebuah perusahaan yang besar dan megah, belum masuk ke pintu, Seebun Say telah perintahkan orang untuk siapkan perjamuan.
Sudah cukup lama Tian Mong-pek hidup sengsara penuh fitnah, keramah tamahan orang itu seketika membuatnya sangat terharu.
Setelah meneguk berapa cawan arak, Seebun Say baru berkata: "Sesudah menghantar barang ke wilayah Wan-lam kali ini, aku memang berencana untuk tidak menerima pengawalan dulu, bagaimana kalau kutemani keponakan Tian untuk beristirahat selama berapa hari lebih dulu, ll kemudian .
. . . . . . .. "Apakah jisiok berhenti bertransaksi karena masalah panah kekasih?" tanya Tian Mong-pek.
Kembali paras muka Seebun Say berubah, kemudian sahutnya sambil menghela napas panjang: "Betul .
. . . .. hari itu, aku bertemu Lau-san-sam-gan ditengah jalan, dari mulut Ho bersaudara lah aku baru mendapat tahu kalau ayahmu telah tertimpa musibah.
Aaai! Hujan angin merontokkan banyak daun dan bunga, yang tua pun sudah pada berangkat pulang.
Dunia persilatan dimasa mendatang tampaknya harus tergantung pada jago jago muda macam keponakan Tian" Pucat pasi paras muka Tian Mong-pek, baru saja akan bicara, terlihat seorang piausu berjalan masuk ke dalam ruangan lalu membisikkan sesuatu disisi telinga Seebun Say.
Dengan mata mendelik Seebun Say menghardik: "Sejak kapan dia tiba disini" Atas persetujuan siapa dia diijinkan tinggal disini?" "Jiya tiba kemarin malam, katanya mau tinggal disini, tak seorang pun anggota piaukiok yang berani menentangnya" Seebun Say mendengus dingin.
"Apakah sekarang ia sudah bangun?" tanyanya.
Demi menjamu Tian Mong-pek, sejak tiba dirumah, orang ini belum kembali ke ruang belakang untuk membersihkan badan, sementara piausu yang pulang bersamanya justru sudah tampil bersih dan rapi.
Baru selesai pertanyaan itu diucapkan, dari serambi samping terdengar seseorang menyahut: "Ketika siaute mendengar toako telah kembali dan sedang minum arak, sengaja aku menyusul kemari, sekalian ingin kuperkenalkan seorang sahabat kepada toako" Suara orang itu tajam, melengking dan tertawanya menyeramkan, begitu mendengar suara tersebut, paras muka Tian Mong-pek berubah hebat.
Tirai pintu disingkap orang dan muncullah dua orang manusia, yang seorang berperawakan tinggi, berwajah kuning keemas emasan seperti orang yang berpenyakitan, sedangkan seorang lagi berperawakan pendek, bermata licik dan berpipi kempot.
Ternyata mereka tak lain adalah Kim-bin-thian-ong Li Koan-eng serta Pit-sang-seng-hoa Seebun Ho.
Biarpun menunjukkan wajah tak senang hati, Seebun Say bangkit berdiri juga sambil berkata: "Rasanya tak perlu diperkenalkan lagi, aku kenal juga dengan saudara Li, hanya tidak kusangka kenapa kau bisa sejalan dengan saudara Li?" Seebun Ho tertawa terkekeh.




"Hahahaha.... Li-heng, tak kusangka ternyata kaupun kenal dengan toako ku, itulah toako ku, selalu baik dengan siapa pun kecuali terhadap adik sendiri .
. . . . . .." Tiba tiba ia saksikan paras muka Li Koan-eng berubah hebat, tanpa terasa dia ikut menengok ke belakang tubuh Seebun Say, begitu melihat sepasang mata Tian Mong-pek yang tajam, perasaan hatinya bergetar keras, tanpa terasa jeritnya: "Tian Mong-pek, kau.....
ternyata kau belum mati?" Tian Mong-pek tertawa dingin tanpa bergerak dari tempat duduknya.
Dengan tubuh gemetar keras teriak Li Koan-eng: "Bangsat she-Tian, kau....
kau bawa kemana dirinya?" Sambil berkata dia langsung menerjang ke hadapan anak muda itu.
Sambil menarik muka, Seebun Say menghadang jalan perginya.
"Li-heng" tegurnya, "kelihatannya kau sudah lupa berada dimana dirimu sekarang" Merah membara paras muka Li Koan-eng, teriaknya: "Bagus, bagus .
. . . . . .. bangsat she-Tian, kalau punya nyali, ayoh keluar!" Sebetulnya dia sedang mencari jejak Tan Cia-li, siapa pun tak mengira kalau perempuan jalang itu telah mampus ditengah hutan, tertotok jalan darah kematiannya oleh Sun Giok-hud.
Sepanjang perjalanan dari Hangciu hingga kota Mo-sik, tak heran kalau emosinya langsung meluap begitu melihat kehadiran Tian Mong-pek disitu.
Sambil tertawa dingin teriak Seebun Ho pula: "Tempo hari kau berhasil kabur, akan kulihat kali ini kau bisa kabur lagi tidak?" Kedua orang itu bergerak cepat, satu dari kiri yang lain dari kanan, langsung merangsek ke hadapan Tian Mong-pek.
"Tahan!" hardik Seebun Say sambil menggebrak meja.
Il "Toako, kau . . . . .. "Siapa toakomu" Aku Seebun Say masih belum pantas mempunyai saudara macam kau.
Kalau berani kurangajar lagi, silahkan keluar dari tempat ini!" "Hmm, setelah berpisah banyak tahun, tak kusangka toako telah bersekongkol dengan seorang bajingan cabul .
. . . . .." ejek Seebun Ho sambil tertawa dingin.
Tiba tiba Tian Mong-pek bangkit berdiri lalu berjalan keluar dengan langkah lebar, diikuti Li Koan-eng dibelakangnya.
Hijau membesi paras muka Seebun Say, cepat dia melompat ke depan ikut berjalan keluar menuju halaman luar.
"Seebun-heng, lebih baik kau tak usah mencampuri urusan ini!" bentak Li Koan-eng.
"Mau apa kau?" tegur Seebun Say gusar.
Dengan langkah lebar Li Koan-eng berjalan keluar dari pintu piaukiok, tiba diluar, ujarnya sambil berpaling: "Bangsat she-Tian, berani kau keluar dari sana?" "Keponakan Tian, tunggu dulu .
. . . . . .." cegah Seebun Say.
Tian Mong-pek tidak menggubris, dengan cepat dia berjalan keluar dari pintu gerbang.
Li Koan-eng segera merentangkan lengannya melancarkan serangkaian pukulan gencar, melihat itu Seebun Say segera menghadang sambil menangkis, berkobarlah pertarungan sengit diantara mereka berdua.
ah toako ku, selalu baik dengan siapa pun kecuali terhadap adik sendiri .
. . . . . .." Tiba tiba ia saksikan paras muka Li Koan-eng berubah hebat, tanpa terasa dia ikut menengok ke belakang tubuh Seebun Say, begitu melihat sepasang mata Tian Mong-pek yang tajam, perasaan hatinya bergetar keras, tanpa terasa jeritnya: "Tian Mong-pek, kau.....
ternyata kau belum mati?" Tian Mong-pek tertawa dingin tanpa bergerak dari tempat duduknya.
Dengan tubuh gemetar keras teriak Li Koan-eng: "Bangsat she-Tian, kau....
kau bawa kemana dirinya?" Sambil berkata dia langsung menerjang ke hadapan anak muda itu.
Sambil menarik muka, Seebun Say menghadang jalan perginya.
"Li-heng" tegurnya, "kelihatannya kau sudah lupa berada dimana dirimu sekarang" Merah membara paras muka Li Koan-eng, teriaknya: "Bagus, bagus .
. . . . . .. bangsat she-Tian, kalau punya nyali, ayoh keluar!" Sebetulnya dia sedang mencari jejak Tan Cia-li, siapa pun tak mengira kalau perempuan jalang itu telah mampus ditengah hutan, tertotok jalan darah kematiannya oleh Sun Giok-hud.
Sepanjang perjalanan dari Hangciu hingga kota Mo-sik, tak heran kalau emosinya langsung meluap begitu melihat kehadiran Tian Mong-pek disitu.
Sambil tertawa dingin teriak Seebun Ho pula: "Tempo hari kau berhasil kabur, akan kulihat kali ini kau bisa kabur lagi tidak?" Kedua orang itu bergerak cepat, satu dari kiri yang lain dari kanan, langsung merangsek ke hadapan Tian Mong-pek.
"Tahan!" hardik Seebun Say sambil menggebrak meja.
Il "Toako, kau . . . . .. "Siapa toakomu" Aku Seebun Say masih belum pantas mempunyai saudara macam kau.
Kalau berani kurangajar lagi, silahkan keluar dari tempat ini!" "Hmm, setelah berpisah banyak tahun, tak kusangka toako telah bersekongkol dengan seorang bajingan cabul .
. . . . .." ejek Seebun Ho sambil tertawa dingin.
Tiba tiba Tian Mong-pek bangkit berdiri lalu berjalan keluar dengan langkah lebar, diikuti Li Koan-eng dibelakangnya.
Hijau membesi paras muka Seebun Say, cepat dia melompat ke depan ikut berjalan keluar menuju halaman luar.
"Seebun-heng, lebih baik kau tak usah mencampuri urusan ini!" bentak Li Koan-eng.
"Mau apa kau?" tegur Seebun Say gusar.
Dengan langkah lebar Li Koan-eng berjalan keluar dari pintu piaukiok, tiba diluar, ujarnya sambil berpaling: "Bangsat she-Tian, berani kau keluar dari sana?" "Keponakan Tian, tunggu dulu .
. . . . . .." cegah Seebun Say.
Tian Mong-pek tidak menggubris, dengan cepat dia berjalan keluar dari pintu gerbang.
Li Koan-eng segera merentangkan lengannya melancarkan serangkaian pukulan gencar, melihat itu Seebun Say segera menghadang sambil menangkis, berkobarlah pertarungan sengit diantara mereka berdua.
Bab 8. Bunga cantik bunga latah.
Li Koan-eng segera mempergencar serangannya, dengan penuh amarah bentaknya: "Seebun Say, aku telah memberi muka kepadamu dengan meninggalkan kantor piaukiok, kenapa kau masih banyak urusan?" Sementara berbicara, dia menghindari Seebun Say dan menerjang ke hadapan Tian Mong-pek.
Tanpa bersuara maupun berbicara, sambil menggigit bibir Tian Mong-pek berkelit ke samping menghindarkan diri dari ancaman itu.
Seebun Say membentak gusar, mendadak....
"Tringg!" d ari belakang tubuhnya berkumandang suara dentingan, Seebun Ho dengan sepasang senjata pit nya telah merangsek hingga ke belakang tubuhnya, terdengar jagoan itu menegur ketus: "Toako, lebih baik jangan mencampuri urusan kami! Tian Mong-pek bajingan II cabul ini .
. . . . .. "Kentut, kaulah bajingan cabul!" tukas Seebun Say gusar, sebuah tendangan langsung dilontarkan ke tubuh Li Koan-eng, sedang kepalannya menghantam Seebun Ho.
"Bagus, kalau kau bersikeras ingin turut campur dalam urusan ini, II terpaksa siaute bersikap kurangajar kata Seebun Ho, senjata pit kirinya menotok Tian Mong-pek sementara pit kanannya menutul urat nadi Seebun Say.
Dalam waktu singkat berkobarlah pertarungan sengit antara ke empat orang ini, begitu ramainya pertempuran itu sehingga mengundang kemunculan anggota perusahaan lainnya, namun kawanan piausu itu hanya bisa berdiri melengak tanpa tahu harus membantu pihak yang mana.
Sekonyong-konyong terdengar suara derap kaki kuda yang ramai bergema tiba dari ujung jalan, seekor kereta mewah yang dihela delapan ekor kuda muncul dari balik gulungan debu, di belakang kereta itu mengintil pula delapan ekor kuda.
sebagai kusir kereta adalah seorang lelaki berpakaian ringkas, walaupun ia melihat terjadinya pertempuran ditengah jalan, bukan saja lari kereta tidak dihentikan, sebaliknya dia malah mengayunkan cambuknya menghajar ke empat ekor kuda yang berada didepan.
Lari kereta pun bertambah kencang, bagaikan kilatan cahaya petir langsung menerjang ke tengah arena pertempuran.
"Hei kusir, sudah buta kau?" jerit kawanan lelaki yang berdiri di depan pintu kantor piaukiok dengan perasaan kaget.
Saat itu posisi Li Koan-eng serta Seebun Ho sudah berada dibawah angin, ketika Seebun Ho melihat pukulan yang dilancarkan Tian Mong-pek begitu dahsyat dan susah dihadapi, baru saja dia akan menghindar, kereta kuda telah menerjang tiba dengan kecepatan tinggi.
Dalam terkejutnya dia melompat ke udara lalu hinggap dipunggung kuda penghela kereta.
"Kurangajar, kau mencari mati?" umpat sang kusir gusa r, cambuknya langsung diayunkan ke muka.
Cepat Seebun Ho menangkis dengan senjata pit nya kemudian berusaha menggulung cambuk itu dan merebutnya.
Kereta kuda berlari tanpa berhenti, dalam waktu singkat ia telah berada berapa kaki dari posisi semula.
Seebun Say dan Tian Mong-pek membentak gusar, dengan cepat mereka melesat ke depan melakukan pengejaran, sementara para piausu yang menonton disamping arena ikut berebut keluar, suasana dijalan raya pun berubah jadi kalut.
Seebun Ho membentak keras, dia tarik sang kusir hingga terjatuh dari tempat duduknya, kusir itu melepaskan tali les dan jatuh terguling diatas tanah.
Dengan sekali lompatan Seebun Say naik ke tempat duduk kusir lalu menarik tali les kuda kuat kuat, sementara Tian Mong-pek segera mencengkeram roda kereta dan menahannya.
Diiringi ringkikan panjang ke delapan ekor kuda itu segera menghentikan larinya.
"Cari mampus!" umpat lelaki kusir itu gusar, dia mengayunkan tangannya membabat pergelangan tangan Tian Mong-pek.
Baru saja anak muda itu hendak membalik pergelangan tangan untuk balas mencengkeram, saat itulah lelaki tadi telah melihat jelas paras muka Tian Mong-pek, mendadak dia batalkan serangannya sambil menjerit: "Ternyata kau!" "Aaah, rupanya kau!" teriak Tian Mong-pek pula, untuk sesaat kedua orang itu berdiri tertegun, rupanya lelaki tersebut tak lain adalah Hong Ku-bok.
Delapan orang lelaki kekar yang menunggang delapan ekor kuda dibelakang kereta, kini sudah berlompatan turun, ada yang langsung bertarung melawan piausu, ada pula yang tetap duduk diatas kuda sambil mencambuki siapa pun yang dijumpai, sementara sang kusir yang terjatuh masih tergeletak di tanah dengan wajah bengkak, untuk sesaat dia tak sanggup berdiri kembali.
Setelah berhasil menghentikan layu kereta, dengan gusar kembali Seebun Say menghardik: "Kawanan manusia buas dari mana yang berani membuat keonaran didepan ang-say piaukiok!" Tiba tiba terdengar bentakan bergema dari balik kereta, menyusul terbukanya pintu, muncul seorang pemuda berwajah putih, berbaju sutera halus dan mengenakan sebuah ikat pinggang berwarna merah membara.
Saat itu dia bersandar dipintu kereta dengan membiarkan kaki sebelah tetap menginjak di lantai kereta, ujung bajunya digulung tinggi, pada ibu jari tangan kirinya mengenakan sebuah cincin jamrud sementara tangan kanannya memegang sebuah huncwe yang terbuat dari batu kumala hijau.
Begitu melihat kemunculan pemuda perlente itu, ke delapan lelaki kekar itu serentak berdiri serius dengan kepala tertunduk dan tidak berani bergerak lagi.
Sambil menuding wajah Seebun Say dengan huncwee kumala hijaunya, pemuda perlente itu menegur: "Jadi kau yang menghadang perjalanan kereta ku?" "Betul" jawab Seebun Say dengan hati panas, "mau apa kau?" II "Hahahaha,.....
bagus, ternyata kau bernyali besar kata pemuda itu sambil tertawa tergelak, dia segera melangkah turun dari kereta dan maju dengan langkah lebar.
Kalau dilihat dari dandanannya, orang ini mirip sekali dengan anak pembesar yang suka bertindak sewenang-wenang, tapi begitu berbicara, suaranya lembut dan halus seperti perempuan, apalagi dibalik kerlingan matanya, terselip kegenitan kaum hawa.
Ketika dia lewat dihadapan Tian Mong-pek, dengan kening berkerut segera serunya: "Cepat singkirkan tanganmu, jangan bikin kotor kereta milikku" Tian Mong-pek berang, sepasang alis matanya berkerut.
Belum sempat mengucapkan sesuatu, pemuda perlente itu sudah berpaling sambil menegur lagi: "Hong Ku-bok, kau kenal dengan orang ini?" Il "Hamba mengenalinya sebagai .
. . . . . . . .. sahut Hong Ku-bok dengan tangan lurus ke bawah.
"Sudah dia singkirkan tangannya?" tukas pemuda itu lagi.
II "Dia adalah putra sam hujin .
. . . . . .. "Apa?" pemuda perlente itu berseru keheranan, kembali dia amati Tian Mong-pek berapa kejap, kemudian gumamnya lagi, "heran, sungguh heran, setahuku, sam Ah-ie (bibi ke tiga) senang kebersihan, kenapa kau begitu kotor?" II "Apa urusan dengan dirimu .
. . . . . .. seru Tian Mong-pek gusar.
"Hong Ku-bok" teriak pemuda perlente itu keras, "carikan dua stel baju dan serahkan kepadanya, setiba dirumah nanti ada persoalan yang akan kutanyakan kepadanya" Kelihatannya orang ini tak pernah mau mendengarkan pembicaraan orang hingga selesai, setiap kali orang baju bicara separuh jalan, dia langsung menukasnya.
Seebun Say jadi keheranan sewaktu melihat pemuda itu seolah menganggap Tian Mong-pek sebagai familinya, sambil menahan kobaran emosi, ujarnya dengan suara berat: II "Cayhe Seebun Say adalah .
. . . . .. "Tak perlu kau lanjutkan" potong pemuda itu sambil mengayukan huncwee nya, "sebetulnya aku ingin minta kalian untuk bersujud dihadapanku, tapi lantaran dia adalah putra Sam Ah-ie, baiklah, anggap saja kalian sedang beruntung" Kemudian sambil menoleh teriaknya: "Beri dia seekor kuda, kita segera berangkat" Perintahnya selalu disampaikan dengan cepat dan tergesa-gesa, pada hakekatnya tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk bicara, dia seolah menganggap orang lain sebagai hambanya.
Berkerut jidat Seebun Say, ujarnya: "Hmm, kebetulan aku pun sebenarnya ingin suruh kau bersujud minta maaf, tapi karena kau kenal dengan keponakan Tian, terpaksa aku pun ampuni dirimu" "Apa kau bilang?" teriak pemuda itu gusar.
"Apa yang kau katakan, itu pula yang kukatakan!" Pemuda perlente itu mengernyitkan alis matanya, tiba tiba huncwee kumala hijaunya disertai cahaya hijau yang menyilaukan mata, bagai malaikat langit yang terjun ke bumi, langsung dihantamkan keatas kepala Seebun Say.
Agak kaget Seebun Say mengigos ke samping lalu mundur sejauh berapa langkah.
Pemuda perlente itu tertawa terbahak-bahak, ejeknya: "Hahahaha, .
. . . .. biarpun nyalimu besar, sayang kungfu mu amat cetek, padahal dalam seranganku tadi sengaja kuperlihatkan empat titik kelemahan, asal kau bisa melihat satu saja, sebetulnya cukup untuk mengalahkan aku.
Huuh, kalau hanya mengandalkan ilmu silat semacam itu mah belum pantas untuk bertarung melawanku" Tanpa berpaling lagi ke arah Seebun Say, dia tepuk bahu Tian Mong-pek dan katanya lagi sambil tertawa: "Cepat naik kuda, mari kita pergi!" Belum lagi selesai berbicara, Li Koan-eng sambil membentak keras telah menerjang maju, teriaknya: "Biar kubunuh orang itu lebih dahulu, kau boleh bawa pergi batok kepalanya" "Memang kau anggap kungfu mu lebih hebat dari manusia bermuka merah itu?" ejek Hong Ku-bok.
"Aku mempunyai dendam sedalam lautan dengan bangsat she-Tian itu, biar kungfu mu sepuluh kali lebih hebat pun, aku tetap akan beradu nyawa denganmu" II "Hahahaha....
sungguh bodoh orang ini kata pemuda perlente itu sambil tertawa terbahak, "kalau kungfumu sepuluh kali lebih hebat dari kepandaian orang, buat apa musti beradu nyawa" Tangannya digetarkan, lagi lagi selapis cahaya hijau memancar keluar dari huncwee kumala hijau itu, Li Koan-eng melihat ada berapa titik kelemahan muncul dari balik lapisan cahaya tersebut, sambil memaku kakinya ditanah, dia pentang ke lima jari tangannya dan berusaha mencengkeram senjata lawan.
"Goblok, kau tertipu!" seru pemuda itu sambil tertawa tergelak.
Tangannya dibalik, dengan ujung huncwee nya dia ketuk jalan darah Kian-cing-hiat dibahu lawan, seketika itu juga Li Koan-eng tertotok kaku dan tak mampu berkutik lagi.
"Ilmu totokan ku ini sangat khas dan tiada orang yang mampu membebaskannya, lebih baik berdirilah tenang disitu selama berapa jam" ujar pemuda perlente itu lagi, "bila ada yang mencoba membebaskan pengaruh totokannya hingga mengakibatkan ia luka dalam, jangan salahkan aku tidak menjelaskan lebih dulu" Kemudian sambil menaik ke punggung kudanya, tiba tiba ia berpaling sambil menegur lagi: "Kenapa kau belum naik kuda?" "Kau suruh aku naik kuda dan mengikutimu?" tanya Tian Mong-pek.
"Betul sekali, setelah kau berganti pakaian bersih, ada banyak persoalan yang ingin kutanyakan kepadamu" Tian Mong-pek segera mendongakkan kepalanya tertawa keras.
"Hahaha..... kau anggap aku kotor" Padahal aku justru menganggap kau lebih kotor, kalau ingin menanyakan sesuatu, lebih baik lepas dulu pakaianmu, biar kuendus apakah badanmu berbau atau tidak?" Karena merasa pemuda itu kelewat jumawa dan tekebur, tanpa terasa semua hawa amarahnya dilampiaskan keluar, tanpa sadar ucapan yang dilontarkan pun sangat melecehkan lawannya.
Berubah hebat paras muka Hong Ku-bok, serunya gugup: "Tian kongcu, ji-kiongcu hanya bermaksud baik kepadamu, kenapa kau begitu tak tahu sopan?" Gelak tertawa Tian Mong-pek terhenti seketika, tanyanya tercengang: "Kiongcu" Jadi dia.....
dia seorang wanita?" Kawanan jago lainnya merasa lebih tercengang, biarpun tak banyak jago persilatan yang menggunakan pipa huncwee sebagai senjata penotok jalan darah, namun belum pernah ada seorang wanita pun yang memakai senjata semacam ini.
"Benar!" terdengar Hong Ku-bok menyahut dengan nada serius.
Sorot mata semua orang serentak dialihkan kembali ke wajah "Ji kiongcu".
Bukannya marah, pemuda perlente itu malah tertawa terbahak bahak, katanya: "Tadinya aku masih belum percaya kalau kau adalah putra Sam Ah-ie, tapi setelah melihat tabiatmu sekarang, aku yakin kalau dugaan itu benar, wataknya sama sekali tak berbeda dengan watak Sam Ah-ie, sini, sini, sini, akan kubiarkan kau mengendus badanku, coba dibuktikan badanku bau tidak?" Tian Mong-pek termangu, tanpa terasa paras mukanya berubah jadi merah padam.
Sambil tertawa, kembali Ji-kiongcu berkata: "Kalau tak berani mengendus, lebih baik ikutlah aku, kalau menampik lagi, kelihatan kalau kau tak berjiwa seorang lelaki" Selama hidup belum pernah Tian Mong-pek menjumpai perempuan yang begitu tak acuh, untuk sesaat dia malah melengak dan tak mampu berkata kata.
Dalam pada itu Seebun Say diliputi perasaan heran be rcampur tak habis mengerti, sebagai jago kawakan, dia dapat melihat kalau antara Tian Mong-pek dengan perempuan itu pasti memiliki hubungan yang luar biasa.
Maka setelah berpikir berapa saat, ujarnya: "Keponakan Tian, bila kutemukan bocah perempuan itu, akan kutahan disini sambil menunggu kedatanganmu" Piausu lainnya yang berada disekitar tempat itu buru buru ikut menimbrung: "Betul, betul, Tian kongcu tak usah kuatir.....
silahkan pergi bersama Kiongcu itu" Sesudah tertegun berapa saat, akhirnya tanpa menguca pkan sepatah kata pun dia melompat naik ke atas punggung kuda siap berlalu dari situ.
Li Koan-eng yang tertotok jalan darahnya hanya bisa mendelik dengan peluh membasahi tubuhnya, dia sama sekali tak mampu bergerak.
Seebun Ho yang sadar akan kelihayan ilmu silat perempuan itupun tak berani banyak bicara, dia hanya membungkam sambil berdiri tak bergerak.
"Brakkkk!" tampak perempuan itu menutup pintu keretanya, sang kusir yang terbanting tadi, kini sudah merangkak bangun dan naik ke tempat duduknya, maka sambil melarikan kudanya, diam diam ia mengumpat: "Dasar budak budak pengawal barang, tak seorang pun manusia baik baik" Memandang hingga bayangan kereta lenyap diujung jalan, Seebun Ho segera meludah sambil menyumpah: "Laki tidak, perempuan tidak, dasar siluman!" Sambil membopong tubuh Li Koan-eng, dia siap masuk kembali ke dalam gedung perusahaan piaukiok.
Sambil menarik wajahnya bentak Seebun Say: "Hubungan persaudaraan kita sudah putus, bila kau berani melangkah masuk ke dalam gedungku, jangan salahkan kalau aku bunuh dirimu" Seebun Ho berpaling, ia jumpai para piausu yang berada disekeliling sana sedang memandang kearahnya dengan pandangan muak, maka sahutnya kemudian sambil tertawa dingin: "Pergi yaa pergi, jangan sampai besok kau merasa menyesal" "Enyah!" bentak Seebun Say gusar, satu tonjokkan dilontarkan ke muka.
Buru buru Seebun Ho mundur berapa langkah, sambil kabur serunya diiringi suara tertawa dingin: "Satu jurus serangan orang lain saja tak bisa menemukan titik kelemahannya, apa guna bergaya sok terhadap adik sendiri .
. . . .." Melihat Seebun Say maju mengejar, ia tak berani melanjutkan lagi kata katanya, dengan cepat kabur dari situ.
Jalanan itu sangat sepi, tapi begitu belok satu gang, suasana berubah jadi ramai sekali.
Sambil membopong Li Koan-eng, Seebun Ho menghela napas berulang kali, keluhnya: "Coba lihat saudara Li, dia bersikap begitu tega terhadap saudara kandung sendiri, padahal sikap siaute terhadapmu jauh lebih baik.
Coba bukan lantaran kau adalah sahabat sehidup sematiku, tak nanti siaute akan mengalami kejadian seperti hari ini, aku berharap dikemudian hari kau...." Sambil bergumam, dia berjalan masuk ke dalam sebuah losmen, mendadak terlihat seorang kakek berbaju hijau sedang melangkah keluar dari balik pintu, begitu bertatapan muka, dia segera mengenalinya sebagai Tu Hun-thian.
Kontan saja dia menghentikan perkataannya sambil berusaha menghindar.
Agak berubah paras muka Tu Hun-thian setelah mengetahui siapa ke dua orang itu, bentaknya gusar: "Kemari kalian!" Walaupun Seebun Ho tidak tahu kalau Sun Giok-hud telah menuduhnya sebagai lelaki yang selingkuh dengan Tan Cia-li, bagaimana pun dia keder juga karena dalam hati kecilnya memang tersimpan rencana lain, kuatir tak bisa meloloskan diri, cepat dia letakkan Li Koan-eng ke lantai kemudian melarikan diri terbirit birit.
Sungguh sebuah ironi, belum lama dia mengatakan kalau dirinya adalah sahabat sehidup semati, siapa tahu saat ini dia justru kabur terlebih dulu tanpa pedulikan nasib temannya.
Menanti Tu Hun-thian menyusul keluar pintu, bayangan tubuh Seebun Ho sudah lenyap dibalik keramaian orang, tentu saja ditengah hari bolong begini, tak leluasa baginya untuk melakukan pengejaran.
Balik ke samping Li Koan-eng, umpatnya sambil tertawa dingin: "Goblok, dungu, kau menganggap lelaki cabul sebagai sahabat karib, bahkan menfitnah orang lain tanpa bukti, coba bukan lantaran kau sudah cukup menderita, lohu tak bakal mengampunimu" Sembari berkata, dia lepaskan satu tendangan ke tubuh Li Koan-eng.
Sebetulnya tendangan itu bermaksud akan membebaskan Li Koan-eng dari pengaruh totokan, siapa tahu orang itu sudah tertotok oleh ilmu khas dari lembah Tee-ong-kok (Lembah kaisar), meski tak mampu berkutik, namun Li Koan-eng dapat mendengar semua pembicaraan itu dengan jelas.
Begitu tahu apa yang terjadi, Li Koan-eng merasa terkejut bercampur gusar, pikirnya: "Goblok.....
dungu..... benarkah aku memang goblok?" tiba tiba ia merasakan tubuhnya bergetar keras, peredaran darahnya mengalir terbalik dan seketika itu juga jatuh tak sadarkan diri.
Setelah melepaskan satu tendangan dan melihat Li Koan-eng tetap tak bergerak, Tu Hun-thian merasa sangat keheranan, kembali bentaknya gusar: "Kau berlagak mampus?" Mendadak terlihat seorang pelayan berlarian mendekat sambil berteriak cemas: "Aduh celaka, loya, putrimu telah menentang pintu dan terbang keatas atap" "Dia.....
dia . . . . . . .." dengan kaget Tu Hun-thian mendepakkan kakinya berulang kali, tanpa melanjutkan kata katanya, ia segera lari menuju ke halaman belakang.
Perlu diketahui, selama ini Tu Kuan berada dalam keadaan tak sadar, bagi seorang gadis muda yang tak sadar ingatan, memang terlalu berbahaya bila dibiarkan luntang lantung seorang diri di luaran.
Li Koan-eng yang tergeletak tak sadarkan diri, sampai lama belum juga mendusin, keadaan ini membuat para pelayan losmen jadi panik seperti semut dalam kuali panas, akhirnya sang ciangkwee berkata: "Bagaimana jadinya kalau orang ini sampai mati di sini?" "Lebih baik kita gotong keluar dan buang ditempat lain" usul pelayan, "bagaimana pun juga .
. . . . .." Sang ciangkwee segera menyetujui usul itu, buru buru dia perintahkan dua orang pelayan untuk menggotongnya keluar.
Saat itulah tiba tiba muncul seorang gadis berwajah cantik melangkah masuk ke dalam losmen, setelah memandang sekejap tempat itu, tegurnya: "Apa yang sedang kalian lakukan?" Para pelayan yang merasa telah melakukan kesalahan pada bungkam tak menjawab.
Kembali gadis itu melirik Li Koan-eng sekejap, setelah memeriksa denyut nadinya, ia berkata: "Cepat bawa masuk ke dalam kamar" II "Tapi....
tapi . . . . .. "Orang ini belum mati, apakah kalian ingin melenyapkan jiwanya?" kembali nona itu membentak.
Melihat nona itu meski masih muda namun pakaiannya indah dan penampilannya gagah, pelayan itu tak berani membangkang lagi, terpaksa mereka hantar Li Koan-eng masuk ke dalam kamar.
Lewat dua jam kemudian, jalan darah Li Koan-eng terbebas dengan sendirinya, perlahan diapun siuman kembali.
Bagaikan baru mendusin dari impian buruk, betapa terperanjatnya ketika melihat ada seorang gadis cantik sedang duduk disampingnya.
Dalam sekilas pandang Li Koan-eng segera mengenali nona cantik itu sebagai istri muda kesayangan Mo-siau-to Go Jit, mereka pernah bersua ketika nona itu dikirim kepada Chin Siu-ang untuk diobati.
I "Go hujin' langsung jeritnya, "kenapa kau pun berada disini?" Mula mula nona cantik itu tertegun, kemudian balik tanyanya sambil tertawa: "Jadi kau kenal denganku?" "Berada dimana Go locianpwee sekarang?" tanya Li Koan-eng gugup.
"Dia mau berada dimana, apa urusannya denganku" Aku harap sejak sekarang jangan kau sebut lagi nama si tua bangka itu!" "Go hujin, kau.....
kau . . . . . .." Li Koan-eng keheranan.
"Aku bernama Beng Li-si, siapa bilang aku adalah istri si tua bangka itu?" kata gadis cantik itu sambil mengambil secawan teh panas dan dihantarkan ke sisi mulut Li Koan-eng.




Padahal seingat Li Koan-eng, waktu itu Mo-siau-to Go Jit menaruh perhatian yang begitu besar terhadap gadis itu, bahkan melebihi nyawa sendiri, sama sekali tak disangka, hari ini, gadis tersebut justru memandangnya begitu hina.
Tanpa terasa dia membayangkan kembali kisah tragis yang dialaminya selama ini, bukankah diapun amat perhatian dan sayang kepa da Tan Cia-li" Tapi apa imbalan yang diperoleh" Penghianatan! Berpikir sampai disitu, timbul rasa gusar dan bencinya yang luar biasa, dia pun merasa penasaran untuk nasib yang dialami Go Jit.
Maka sambil menampik cawan teh itu, bentaknya gusar: "Nona, antara laki dan wanita ada batas-batasannya, harap kau sedikit menjauh" Mula mula Beng Li-si tertegun, tiba tiba sahutnya sambil tertawa: "Kalau sedang terluka dalam, lebih baik jangan marah" Gadis ini mempunyai wajah yang putih halus bagai kumala, kerlingan matanya bening bagai air, terutama sewaktu tertawa, keayuannya sungguh memikat, bila orang lain yang sedang duduk berhadapan dengannya, senyuman semacam ini tentu akan membuat lelaki mana pun tak sanggup mengendalikan diri.
Tapi bagi Li Koan-eng, senyuman jalang semacam ini justru mengingatkan dia dengan istri cabulnya, api amarah yang membara semakin berkobar, teriaknya lagi gusar: "Keluar, keluar, biar mati pun kau tak usah ikut campur, kalau tidak segera pergi dari sini, aku akan turun dari ranjang dan mengusirmu!" Suaranya kasar dan keras, sama sekali tidak memberi muka kepada nona itu.
Siapa sangka bukannya marah Beng Li-si malah tertawa makin manis, bujuknya: "Kalau ingin bicara, minumlah dulu air teh ini" Dia segera mengulurkan tangannya ke muka, memperlihatkan tangannya yang putih, halus dan mulus.
Dia turun tangan menolong Li Koan-eng sebetulnya hanya terdorong oleh rasa iba dan simpatik, tapi sikap Li Koan-eng yang seolah sama sekali tak tertarik oleh kecantikan wajahnya, justru membangkitk an rasa heran dan ingin tahunya.
Sebagaimana diketahui, ia sudah terbiasa dimanja Mo-siau-to, dalam anggapannya, semua lelaki dikolong langit akan menjadi hewan yang patut dikasihani setelah melihat kecantikan wajahny, hal ini menyebabkan sikap Mo-siau-to yang semakin baik kepadanya, ia justru merasa semakin muak.
Tak heran kalau perasaan hatinya jadi tergoyah setelah Li Koan-eng bersikap kasar, bahkan mencaci maki dirinya.
Dengan tangan sebelah dia rangkul tengkuk Li Koan-eng, sementara tangan yang lain memegang cawan teh, siapa tahu tiba tiba saja Li Koan-eng meronta bangun, sambil mendorong cawan itu kembali umpatnya: "Go locianpwee begitu gagah dan menyayangi mu, tak pernah menyakiti hatimu, kenapa kau justru bersikap begini" Kalau sampai perbuatanmu ketahuan dia, apakah kau masih punya muka jadi manusia?" "Memangnya kenapa kalau bertemu dia?" sahut Beng Li-si sambil tertawa, "usianya sudah pantas menjadi kakek ku, kalau bukan kabur secara diam-diam, memangnya aku musti ikuti dia sepanjang hidup!" Semakin berkobar hawa amarah Li Koan-eng, khususnya setelah tahu kalau perempuan itu sedang melarikan diri, sambil menuding wajahnya, ia memaki: "Kau.....
kau..... tak tahu malu! Benar-benar tak tahu malu!" "Jadi kau sedang memaki ku?" "Tentu saja sedang memakimu, kalau bukan kau yang kumaki, memang anjing yang sedang kumaki?" "Coba makilah berapa kata lagi .
. . . .. aaai! Selama hidup belum pernah kudengar orang lain memakiku, dalam hati kecil aku selalu membayangkan, betapa enaknya kalau dimaki orang" Hampir jatuh pingsan Li Koan-eng saking mendongkolnya, untuk sesaat dia sampai tak mampu berkata-kata.
Terdengar Beng Li-si berkata lagi: "Kini kau terluka, seorang diri pula, biarlah kutemani dirimu, paling tidak bisa menghilangkan kesepianmu, merawat luka mu, apa salahnya aku berbuat begitu" Memang aku kelewat jelek" Tak pantas mendampingimu?" Dengan memendam dendam pikir Li Koan-eng: "Orang lain telah menodai biniku, apa salahnya kalau kubalas menodai bini orang?" Berpikir sampai disitu, ujarnya kemudian sambil tertawa seram: "Jadi kau benar-benar ingin mengikuti aku?" Ketika menyaksikan wajahnya yang sedang gusar dengan sorot mata yang berkilat sungguh mencerminkan seorang lelaki, apalagi dibandingkan kelembutan dan perhatian yang berlebihan dari Mo-siau-to ternyata sama sekali bertolak belakang, dengan cepat Beng Li-si manggut manggut.
"Sudah terlalu banyak kujumpai perempuan jalang macam kau" ujar Li Koan-eng lagi, "jika ingin mengikuti aku, ingat, setiap saat mungkin aku bakal memakimu, setiap saat aku bisa meninggalkan dirimu, tapi kau sendiri tak boleh menipuku, berbohong sepatah kata pun tidak boleh, kalau tak mau, silahkan cepat menggelinding pergi dari sini" "Mana mungkin aku bakal menipumu?" sahut Beng Li-si sambil tertawa genit, II "yang kuinginkan hanya bisa merawat dan melayani kebutuhanmu .
. . . . . . . .. Semakin kasar Li Koan-eng mengumpat, perempuan ini merasa semakin kesemsem dengan kekasaran lelaki tersebut, betul saja, dia benar benar merawat dan melayani semua kebutuhan Li Koan-eng dengan baik.
Hampir setiap hari setiap waktu Li Koan-eng mencaci maki dirinya, seluruh rasa benci dan dendamnya terhadap Tan Cia-li boleh dibilang dilampiaskan semua ke tubuh perempuan jalang tapi bodoh ini.
Harus diketahui, hanya ada dua jenis perempuan jalang di dunia ini, kalau bukan teramat licik, biasanya orang itu pasti teramat bodoh.
Jadi lelaki yang pintar, selamanya tak pernah akan melupakan ke dua hal tersebut.
Oo0oo Kereta kuda berlari kencang, delapan orang lelaki menunggang enam ekor kuda, Hong Ku-bok pun telah naik kuda, jalan beriring dengan Tian Mong-pek.
Il II "Tian kongcu bisiknya ditengah jalan, "waktu itu .
. . . . . . .. Sebetulnya dia ingin sekali mencari tahu kabar berita dari si pedang bermata seribu, sayang Tian Mong-pek hanya mendengus tanpa bicara.
Kena batunya, terpaksa Hong Ku-bok berkata lagi sambil tertawa: "Sungguh aneh sekali, semenjak kejadian hari itu, majikanku Hun-ho juga pergi entah ke mana, beruntung sekali aku menjumpai Kiongcu, kalau tidak, mungkin akupun bakal ikut terlantar dalam dunia persilatan" Tian Mong-pek tetap bungkam tanpa menjawab, karena kehabisan daya, akhirnya Hong Ku-bok tidak berbicara lagi.
Setelah keluar kota, rombongan kereta kuda itu berjalan makin cepat, begitu terburu buru seolah sedang mengejar waktu.
Melihat itu Tian Mong-pek keheranan, sebetulnya dia ingin menanyakan hal ini kepada Hong Ku-bok, namun teringat baru saja ia membuat orang itu kebentur batunya, maka ia merasa kurang leluasa untuk mengajukan pertanyaan tersebut.
Lambat laun matahari mulai condong ke barat, setelah melewati seharian penuh tanpa makan apa pun, kini dia merasa lapar sekali, rasa lapar yang susah ditahan.
Tiba tiba terasa angin sejuk berhembus lewat, ketika mendongak, ia saksikan hamparan air bersambungan dengan kaki langit, ternyata mereka telah tiba disisi telaga Thay-ou.
Dikejauhan sana terlihat sampan dengan layar yang lebar sedang bergerak melawan arus, pemandangan alam yang terhampar sungguh indah menawan.
Sayang Tian Mong-pek sedang dipenuhi dengan berbagai masalah, dalam keadaan begini, mana mungkin dia punya minat untuk menikmatinya" Kembali rombongan kereta mengitari telaga berapa saat, tiba tiba Ji kiongcu menongolkan kepalanya dari balik kereta dan berseru sambil menuding ke depan: "Berhenti, sudah sampai!" Tian Mong-pek saksikan pepohonan nan hijau terbentang didepan mata, ternyata mereka telah tiba didepan sebuah kebun murbei yang amat luas, terlihat berapa orang gadis pemetik murbei sedang bekerja sambil tertawa.
Gadis gadis Kanglam memang tersohor karena kemolekan wajahnya, tapi kawanan gadis pemetik murbei itu tampak lebih cantik dan menawan.
Setelah turun dari kudanya dan menarik napas dalam dalam, ujar Ji-kiongcu: "Aku rasa disinilah tempatnya" Kemudian sambil berpaling, tegurnya: "Hei, siapa namamu?" Tian Mong-pek mendongak memandang angkasa, dia berlagak seolah tidak mendengar.
Hong Ku-bok yang berada disampingnya buru buru menjawab: "Kelihatannya nama lengkap Tian kongcu adalah Tian Mong-pek, Mong dari kata mimpi dan Pek dari kata putih" "Tian Mong-pek" Hahaha.....
apakah dalam mimpi mu, seringkali kau bertemu Li Pek?" ejek ji kiongcu sambil tertawa, "namamu sangat menarik" Tiba tiba Tian Mong-pek balik bertanya dengan suara keras: "Hei, siapa pula namamu?" Sembari berkata, dia melotot gemas ke arah Hong Ku-bok.
Kembali Ji kiongcu tertawa tergelak.
"Hahahaha.... tidak perlu dijawab olehnya, biar aku beritahu sendiri namaku, aku bernama Siau Hui-uh, ingat baik baik namaku ini!" "Hmm, hujan pun dapat terbang?" ejek Tian Mong-pek ketus, "huhh, lucu, menarik!" II "Betul, menarik sekali, menarik sekali kata Siau Hui-uh tertawa, "kalau kau pergi menjumpai temanku dengan dandanan seperti ini, sudah pasti hilang daya tarikmu" "Siapa bilang aku akan menjumpai temanmu" Kalau ingin ajukan pertanyaan, tanyakan sekarang, kalau tak ada pertanyaan, aku segera akan pergi dari sini" "Karena kau putra Sam Ah-ik ku, sudah sewajarnya kurawat dirimu baik baik, masa membiarkan kau hidup miskin macam kere, bikin malu keluarga bibi ke tiga saja" "Jadi hanya itu yang ingin kau sampaikan?" sambil tertawa dingin Tian Mong-pek melompat turun dari kudanya, "selamat tinggal!" Dia menjura lalu siap beranjak pergi dari situ.
"Huh, seorang lelaki sejati selalu bertindak tegas, berbicara tegas dan pegang janji.
Kalau memang tak berani mengendus badanku, lebih baik ikuti aku saja pulang ke rumah, memang kenapa kau hendak kabur sekarang" Ooh, takut padaku" Lelaki macam kau memang tak akan menangkan seorang wanita" Tian Mong-pek tertawa dingin.
"Aku pun tidak pernah bertemu perempuan macam kau" sahutnya sambil menghentikan langkah.
Siau Hui-uh tergelak nyaring.
Tanpa menghindar maupun berkelit, dia sambut datangnya serangan itu dengan sepasang kepalannya.
"Ayoh, keluarkan semua jurus pamungkasmu" ejek Siau Hui-uh, sambil miringkan badan, dia sapu urat nadi disisi telapak tangan lawan.
Siapa sangka, belum selesai dia melepaskan serangannya, Tian Mong-pek telah mendengus tertahan sambil roboh terjungkal, dari balik pepohonan terlihat bayangan manusia melintas, Liu Tan-yan dengan langkah genit telah munculkan diri.
"Kau . . . . . . .." seru Siau Hui-uh kaget.
"Aku takut cici mengotori tangan sendiri karena menyentuh tubuh budak itu, maka aku terpaksa menotok jalan darahnya lewat sebatang ranting, menghadapi manusia macam begini .
. . . . . . .." Berubah paras muka Siau Hui-uh, tukasnya: "Bebaskan jalan darahnya" "Aku.....
aku salah?" Liu Tan-yan melongo.
Nadanya lembut dan genit, membuat orang terasa iba.
Siau Hui-uh tak tega, katanya lagi sambil menghela napas: "Bagaimanapun juga, kau tidak seharusnya mencelakai orang dengan serangan bokongan!" "Aah, bagaimanapun dia masih bukan tandingan cici, apa yang kulakukan hanya membantu cici agar lebih hemat tenaga, masa dibilang membokong?" "Ketika dua orang sedang bertarung, bukan menang kalah yang diutamakan Il tapi satu pertarungan yang adil .
. . . . .. ucap Siau Hui-uh serius. Belum selesai ucapan itu, mendadak dari balik hutan bunga tho berkumandang suara nyanyian yang amat merdu, dari balik langit bertaburkan bintang, bau harum terbawa angin, suara nyanyian itu terdengar begitu lembut dan menawan.
Untuk sesaat Siau Hui-uh jadi termangu, akhirnya setelah menghela napas sedih katanya: "Sama sekali tak kusangka para dayangmu pandai melantunkan lagu semerdu ini" "Nyanyian semacam itu mah tidak mirip nyanyian dayang" tukas Liu Tan-yan.
Siau Hui-uh kembali tertegun, sementara suara nyanyia n itu bergema semakin dekat, suaranya bagai seruan seorang ibu yang menghibur putranya, seperti juga suara seorang gadis yang sedang memanggil kekasihnya.
Tampaknya Siau Hui-uh betul-betul terbuai, kelembutan seorang gadis tanpa terasa muncul diantara kerutan dahinya, perlahan ia berkata: "Perduli siapa pun yang sedang menyanyi, persilahkan orang itu datang kemari" Liu Tan-yan kontan tertawa, katanya: "Aku sendiripun paling senang dengan anak gadis yang pandai dan berjiwa seni, tak usah cici bilang, aku memang berniat mengundangnya kemari" Akhirnya suara nyanyian itu terhenti, disusul kemudian terdengar suara merdu seorang gadis berkata: "Anak baik, merdu bukan lagu nyanyian ini" Coba lihat, bintang begitu cemerlang, bunga tho begitu indah, asal kita berdua hidup bersama, bukankah kehidupan ini terasa in .
. . . . . .. indah?" Ketika mengucapkan kata "terasa indah", tiba tiba saja gadis itu menangis tersedu.
"Bocah bodoh" gumam Siau Hui-uh, "kalau kehidupan terasa indah, kenapa harus menangis?" Sementara bergumam, titik air mata tampak merambah keluar dari balik matanya.
Ada sejenis orang tak akan melelehkan air mata disaat sedih, tapi dia justru mengucurkan air mata ketika menyaksikan satu kejadian yang paling indah,.
Dia seakan tak ingin orang lain melihat air matanya, cepat tadis itu berpaling, tampak seorang gadis bertubuh semampai berjalan mendekat dari balik kegelapan, dalam rangkulannya tampak seorang bocah berusia dua-tiga belas tahunan.
Ia memiliki sepasang mata yang jeli bagai cahaya bint ang, tapi suara tangisannya mirip deraian hujan ditengah malam buta.
Siau Hui-uh mengerdipkan matanya berulang kali lalu berteriak keras: "Adikku, kemarilah, persoalan apa yang sedang kau hadapi" Katakanlah, biar kami bantu menyelesaikannya" Dengan tatapan bodoh gadis itu berjalan mendekat, sementara bocah yang bersandar dibahunya batuk tiada hentinya.
Sejak mendengar suara nyanyian tadi, perasaan Tian Mong-pek sudah tergetar keras, hatinya makin tercekat setelah menyaksikan bayangan tubuhnya.
Terdengar Liu Tan-yan berseru: "Oh, seorang gadis yang amat cantik, siapa namamu, kenapa ditengah malam buta masih berkeliaran" Tidak kuatir masuk angin?" Gadis itu menyeka matanya lalu bergumam: II "Aku....
aku bernama . . . . .. aku bernama . . . . . .. Tiba tiba dia tepuk si bocah yang berada dalam pelukannya seraya bertanya: "Anak sayang, siapa nama ibumu?" Bocah itu berpaling, dibalik matanya yang besar sama sekali tak terlintas sedikit cahaya pun, paras mukanya pucat pasi bagai kertas.
"Anak manis" Siau Hui-uh menjerit kaget, "apakah kau terluka?" Baru selesai dia berteriak, terdengar bocah itu menjerit kaget lalu sambil meronta dari pelukan, terhuyung dia berjalan ke hadapan Tian Mong-pek, lalu sambil jatuhkan diri berlutut serunya gemetar: "Paman.....
paman..... kee..... kenapa kau?" Ternyata bocah itu tak lain adalah Kiong Ling-ling, sedangkan gadis bersuara merdu itu tak lain adalah Tu Kuan.
Tian Mong-pek berdiri terbelalak, untuk sesaat dia tak tahu harus merasa terkejut atau girang atau lega.
Dalam sekilas pandang, Kiong Ling-ling sudah melihat kalau pemuda itu sudah tertotok jalan darahnya, cepat dia gunakan tangannya yang kecil berusaha untuk menepuk bebas pengaruh totokan itu, sayang lukanya yang parah membuat gadis cilik itu kontan terbatuk betuk.
Melihat itu, Tian Mong-pek merasa hatinya sakit bagaikan diiris, dia peluk tubuhnya yang kecil dan bisiknya: "Anak baik, mengapa kau kabur tanpa beritahu aku" Tahukah kau, betapa rindu paman kepadamu" Dalam pada itu Tu Kuan sedang mengawasi pemuda itu dengan tertegun, sekonyong-konyong dia tertawa terkekeh, lalu sambil menuding Tian Mong-pek serunya sinting: II "Kau! Rupanya kau, ternyata kau .
. . . . . . .. Tiba tiba ia jatuhkan diri terduduk dilantai dan menangis tersedu-sedu, teriaknya lebih jauh: II "Kau telah merampas hatiku, sekarang kaupun ingin merampas anakku .
. . . .. Sebetulnya saat itu Siau Hui-uh sedang berdiri dengan wajah terkejut bercampur keheranan, kini dengan penuh amarah teriaknya: "Bagus sekali! Tian Mong-pek, kusangka kau adalah seorang lelaki sejati, tak tahunya kau hanya lelaki tega yang tak tahu cinta, kenapa kau siksa gadis secantik ini jadi begitu rupa" Ayoh katakan, apa yang telah kau lakukan" Lalu setelah berjongkok, ujarnya lagi: "Adikku, kau tak usah takut, biar cici yang menyelesaikan persoalan ini, katakan saja, apa benar bocah itu adalah anakmu bersama dia?" Tu Kuan tidak menjawab, dia hanya menangis makin sedih.
Siau Hui-uh jadi makin gusar, sambil tuding anak muda itu teriaknya: "Orang she-Tian, kau tak pantas disebut manusia, anak pun sudah sebesar itu, kenapa kau masih bersikap kasar terhadapnya?" Tian Mong-pek betul betul panik bercampur gusar, untuk sesaat dia jadi tak tahu mesti tertawa atau menangis, teriaknya lantang: "Apa urusannya bocah ini sudah besar atau tidak .
. . . . .." "Apa" Kau masih mengatakan tak ada urusannya" teriak Siau Hui-uh makin gusar, "biar kuhajar kau sampai mampus!" Kali ini dia melancarkan pukulan dalam keadaan marah, tenaga yang disertakan pun sangat dahsyat.
"Lelaki macam begitu memang paling pantas dibikin mampus" kompor Liu Tan-yan sambil tertawa dingin.
Dalam terperanjatnya, Kiong Ling-ling langsung peluk tengkuk Tian Mong-pek, ternyata dia gunakan tubuhnya yang masih lemah karena terluka parah untuk mewakili anak muda itu menerima pukulan.
Siau Hui-uh tak sempat menarik kembali pukulannya, satu hantaman langsung meluncur keluar.
II "Kau..... kau berani . . . . . .. jerit Tian Mong-pek. Siapa tahu pukulan Siau Hui-uh ini sama sekali tak bertenaga ketika mencapai tubuh Kiong Ling-ling, serangan yang dahsyat berubah menjadi satu tepukan ringan, keluhnya sambil menghela napas: "Aaai, anak pintar, ayahmu tak punya liangsim, buat apa kau belai dirinya?" "Dia....
dia pamanku" sahut Kiong Ling-ling pilu.
Sementara Siau Hui-uh masih melongo, tiba tiba terdengar desingan angin tajam menyambar dari arah belakang, tahu tahu Tu Kuan telah melepaskan satu pukulan sambil berteriak: "Kalau kau membunuhnya, aku akan membunuhmu" Sepasang tangannya berputar kencang, secara beruntun dia lepaskan serangkaian serangan gencar, bayangan pukulan bagai bunga yang berguguran, angin pukulan yang kuat membuat putik bunga tho bergetar dan beterbangan.
Kini Siau Hui-uh betul-betul dibuat menangis tak bisa tertawapun susah, dia enggan membalas, tapi ilmu silat yang dimiliki Tu Kuan kelewat tangguh, serangannya memaksa dia harus mundur berulang kali.
Lama kelamaan ia jadi naik pitam, tegurnya: II "Aku justru turun tangan karena kau disia-siakan .
. . . .. "Siapa yang disia-siakan" Kau sendiri yang disia-siakan!" teriak Tu Kuan.
"Kentut!" dengan penuh amarah Siau Hui-uh melepaskan serangan balasan.
Tian Mong-pek sendiri meski dibakar api amarah dan tercekam oleh kebingungan, tak urung merasa geli juga setelah menyaksikan kejadian ini, buru buru bentaknya: "Tahan nona Siau" "Tidak masalah" kata Tu Kuan, "biarkan saja dia bunuh aku, toh dalam kehidupan kali ini kau tak mungkin mencintaiku lagi, apakah dalam penitisan nanti kau tetap tak akan mencintaiku?" Sementara itu Kiong Ling-ling sudah merangkak bangun, katanya: "Bibi, biar aku....
aku membantumu . . . . . .." Sayang tubuhnya yang baru saja merangkak bangun lagi lagi roboh terjungkal.
Setelah bertarung dua gebrakan, lambat laun Siau Hui-uh menjadi sadar apa yang telah terjadi, serunya: "Tahan!" "Siapa suruh kau berhenti" Ayoh bunuh, bunuh aku" "Siapa yang ingin membunuhmu" Siau Hui-uh makin dibuat serba salah.
"Hajarlah aku" jerit Tu Kuan, "ayoh, hajar aku" Sementara itu Hong Ku-bok sekalian sudah muncul karena kegaduhan yang terjadi, menyaksikan keadaan itu,semua orang jadi kaget bercampur tak habis mengerti.
Waktu itu Tian Mong-pek sudah tak ambil peduli dengan kejadian yang berlangsung, dia segera menghampiri Kiong Ling-ling, tapi begitu gadis cilik itu melihat kemunculan Hong Ku-bok, cepat jeritnya: "Dia, dialah yang telah menipu yaya" Berubah hebat paras muka Hong Ku-bok, katanya: "Nona Kiong, mana yaya mu .
. . . . ..?" tanpa sadar ia mundur berulang kali.
Sambil menangis tersedu teriak Kiong Ling-ling: "Kalian telah membohongi yaya, kalian yang menipunya sehingga pergi bersamamu, kembalikan yaya ku .
. . . .. kembalikan yaya ku . . . . . . . .." Teriakan itu sungguh memilukan hati, Siau Hui-uh makin tercengang dibuatnya, apa mau dikata Tu Kuan masih merecokinya terus, akhirnya dengan gusar ia berteriak: "Hei, kau edan rupanya .
. . . .. kau sudah edan?" Kemudian serunya lagi: "Hong Ku-bok, jawab, siapa yang telah menipu yaya bocah itu?" Hong Ku-bok berdiri menjublak, kaku mematung, untuk sesaat dia tak tahu apa yang musti dilakukan.
Suasana dalam hutan tho saat itu kacau tak karuan, guguran bunga tho berserakan ditanah membuat keadaan makin kacau, diam diam Liu Tan-yan hanya bisa menggerutu, namun diapun tak dapat berbuat apa apa.
Terdengar suara isak tangis Kiong Ling-ling makin lama makin lemah, ternyata ia sudah jatuh tak sadarkan diri diatas bahu Tian Mong-pek.
"Tahan!" terkejut bercampur gusar, bentak anak muda itu.
Suara bentakannya ibarat guntur membelah bumi, Tu Kuan tertegun seketika dan segera menghentikan serangannya, kemudian ia jatuhkan diri dan menangis tersedu-sedu.
Dengan satu gerakan cepat Siau Hui-uh melompat ke hadapan Hong Ku-bok, tegurnya: "Cepat jawab, siapa yang telah membohongi yaya bocah itu?" II C I C C C C C I C C C Sekali ayunan tangan, Siau Hui-uh menghadiahkan sebuah tempelengan ke wajah Hong Ku-bok, bentaknya lagi: "Cepat jawab! " "Dia...
dia adalah Hoa toaya" akhirnya Hong Ku-bok menjawab terbata bata.
"Hoa Hui?" Siau Hui-uh tertegun, "lantas siapakah yaya bocah ini" Kenapa Hoa Hui harus membohonginya" Dia menipunya pergi ke mana?" Hong Ku-bok makin terpojok, untuk sesaat dia tak mampu menjawab.
Dengan lantang Tian Mong-pek segera berseru: "Yaya nya adalah Jian-hong-kiam (pedang berujung seribu) Kiong Gim-bit, dia orang tua sudah tewas dicelakai Hoa Hui" semua orang menjerit kaget dan berdiri termangu, sebagaimana diketahui nama besar Kiong Gim-bit dalam dunia persilatan sangat tersohor dan disegani orang.
"Be..... benarkah itu?" tanya Siau Hui-uh sambil mendepakkan kakinya berulang kali.
sekonyong-konyong dari luar hutan tho berkumandang suara bentakan nyaring, bentakan itu sepuluh kali lebih keras dan nyaring daripada suara bentakan Tian Mong-pek tadi.
semua orang merasakan kendang telinga jadi sakit sekali, ibarat suara gelegar guntur yang membelah bumi, membuat daun dan bunga tho bergetar, berguguran ke tanah.
Bab 9. Hawa pedang mengacau bunga tho.
"Siapa?" dengan wajah berubah hardik Liu Tan-yan.
"Siapa yang sedang menangis .
. . . .. siapa yang sedang menangis .
. . . .." teriakan nyaring itu kembali bergema.
Menyusul kemudian terlihat sesosok bayangan tubuh yang tinggi besar menerobos keluar dari balik hutan.
Diiringi deruan angin kencang, kembali orang itu berteriak: "Sisi, kaukah yang sedang menangis?" Ternyata orang itu bertubuh tinggi besar, berewokan dan mempunyai mata yang cekung, saat itu dengan wajah cemas bercampur panik sedang mengawasi wajah Tu Kuan.
Tapi begitu dipandang sekejap, dengan gusar teriaknya: "Kau bukan Sisi .
. . . . .." sekali tolak, dia dorong Tu Kuan hingga roboh terjungkal.
Kontan Tu Kuan menangis keras.
"Ayah, mereka semua jahat padaku.....
mereka menganiaya aku...." sambil melompat bangun dan menjerit, dia lari menuju ke dalam hutan.
"Nona Tu!" teriak Tian Mong-pek kaget, cepat dia mengejar.
II "Jangan pergi . . . . . .. seru Siau Hui-uh sambil menghadang.
Siapa sangka kakek berewok itu bergerak lebih cepat, sambil rentangkan tangannya menghadang, tegurnya: "Ke mana perginya Sisi ku" Apakah kalian melihatnya?" "Dasar edan" umpat Siau Hui-uh gusar, "siapa tahu Sisi itu ada dimana" Diam diam ia menyumpah, entah kenapa, orang yang dijumpainya hari ini hampir rata rata adalah orang tak waras.
Akhirnya sorot mata kakek berewok itu berhenti diwajah Tian Mong-pek, bentaknya gusar: "Keparat busuk, ternyata kaupun berada disini, sudah pasti kau yang telah menipu Sisi" "Mo-siau-to!" seru Tian Mong-pek mendongkol, "walaupun aku selalu menghormatimu sebagai seorang cianpwee, tapi kalau kau menfitnahku terus menerus, jangan salahkan kalau aku mulai mengumpatmu dengan kata kasar" "Mo-siau-to?" sepasang mata Siau Hui-uh terbelalak lebar, "jadi kau adalah si golok tanpa sarung Go Jit?" "Betul, akulah Go Jit.
Bajingan itu adalah Tian Mong-pek, tahukah kau siapa bangsat ini" Dialah orang yang telah melarikan bini Kim-bin- thian-ong Li Koan-eng!" "Kau.....
kau . . . . . . .." saking marahnya Tian Mong-pek sampai tak sanggup meneruskan kata-katanya.




"Kenapa" Masih mau menyangkal?" jengek go Jit, "coba kalau bukan lantaran sedang mencari Sisi, akupun tak bakal tahu kejadian ini.
Cepat jawab, kau telah larikan Sisi ke mana?" Gemetar keras sekujur tubuh Tian Mong-pek, matanya beringas memancarkan sinar merah.
Melihat mimik muka anak muda itu, timbul keraguan dihati kecil Siau Hui-uh, tegurnya: "Sejak kapan dia melarikan Sisi mu?" "Kalau bukan dia yang membawa kabur biniku, lantas siapa lagi" Pokoknya hari ini juga lohu akan mewakili Li Koan-eng untuk memusnahkan bajingan cabul ini" Darimana dia tahu kalau Sisi kesayangannya justru sedang bermesraan dengan Li Koan-eng saat itu, coba tahu, mungkin dia bakal berlutut minta ampun kepada anak muda itu.
Tian Mong-pek berpekik keras, seolah dia hendak melampiaskan semua kekesalan hatinya, sambil tertawa latah serunya: "Betul, memang akulah yang telah melarikan semua perempuan jalang didunia ini.
Mo-siau-to, kalau ingin turun tangan, ayoh seranglah aku!" Suara tertawanya amat memilukan, seakan jeritan monyet yang kehilangan anak.
"Turunkan dulu bocah dalam gendonganmu itu" seru Go Jit.
Tian Mong-pek membalik badan dan meletakkan tubuh Kiong Ling-ling dibawah pohon tho, mengawasi paras muka si bocah yang pucat pias, pikirnya: "Nah, walaupun nasibmu jelek, tapi pamanmu jauh lebih jelek lagi, hidup hanya dihina, difitnah dan dicemooh orang, daripada batin tersiksa, lebih baik aku pergi mati saja.
Aaai... sayang paman tak bisa lagi menyaksikan kau tumbuh dewasa .
. . . . . .." Berpikir sampai disitu, tak tahan butiran air mata meleleh keluar.
Kebetulan tetesan air mata itu jatuh diwajah Kiong Ling-ling, baru saja Tian Mong-pek membesut air matanya siap berlalu, tiba tiba Kiong Ling-ling tersadar kembali sambil memanggil: "Paman .
. . . .. kau jangan pergi" "Nak, berbaringlah dengan tenang" sahut Tian Mong-pek sambil tertawa sedih, "Paman....
paman akan pergi..... pergi mencari yaya mu" II "Ling-ling ikut .
. . . . . . .. seru Kiong Ling-ling sambil merentangkan tangannya minta dibopong.
"Tempat itu jauh sekali, selain jauh, dinginnya luar biasa....
anak kecil . . . . . .. anak sekecil kau tak boleh ikut ke situ" Sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tidak meleleh keluar.
"Ling-ling tidak takut, Ling-ling ingin ikut paman .
. . . .. paman, kenapa kau menangis" Jangan menangis .
. . . .. Ling-ling jadi pengen ikut II menangis .
. . . .. Dia peluk sepasang lutut anak muda itu dan menangis tersedu, begitu sedihnya ia menangis membuat para dayang kecil yang berada di seputar sana cepat berpaling, tak tega memandangnya lebih jauh.
"Kalau ingin mampus, pergilah cepat" ejek Liu Tan-yan tiba tiba sambil tertawa dingin, "biar aku yang merawat bocah itu" Sementara Siau Hui-uh hanya berdiri mematung dengan mata terbelalak lebar.
"Tidak perlu berlagak lagi" seru Go Jit pula sinis, "jangan harap aku bakal berbelas kasian" Tian Mong-pek berteriak keras, sambil memutar badan dia kirim satu pukulan dahsyat.
"Serangan hebat!" seru Go Jit, dia pentang ke lima jari tangannya langsung cengkeram pergelangan tangan lawan.
Terdengar Kiong Ling-ling berteriak sedih: "Paman adalah orang baik, kenapa kalian semua ingin mencelakainya?" dia mencoba meronta untuk bangkit, kemudian menubruk ke arah Go Jit.
Dengan cekatan lelaki berewok itu berkelit ke samping, bentaknya gusar: "Setan cilik, kau ingin mampus?" "Kalau kau ingin membunuh paman, bunuhlah aku lebih dulu" teriak Kiong Ling-ling keras.
Biarpun sedang terluka parah namun dengan gagah berani bocah itu meronta maju, bahkan menghadang dihadapan Tian Mong-pek.
Tampaknya bocah perempuan ini ingin pertaruhkan sisa hidupnya untuk melindungi keselamatan pemuda itu.
Tian Mong-pek mengepal kencang tinjunya, dengan perasaan terharu bisiknya: "Ling-ling .
. . . .. kau . . . . . . . .." "Cepat perintahkan setan cilik ini menyingkir" bentak Go Jit gusar, "kalau tidak .
. . . . . . .." "Minggir kamu!" mendadak Siau Hui-uh membentak keras, dia lompat ke hadapan Go Jit lalu serunya lagi, "terlepas orang she-Tian ini bajingan cabul atau bukan, perduli dia telah melarikan Sisi atau tidak, mulai hari ini enyah kau dari hadapanku, gelinding pergi untuk selamanya .
. . . . . .." Belum selesai bicara, butiran air mata telah membasahi pipinya.
Go Jit agak tertegun, tapi segera teriaknya gusar: "Manusia macam apa dirimu itu" Berani amat bersikap kurangajar terhadap lohu" Dia sama sekali tak menyangka kalau di dunia saat ini masih ada orang yang berani kurangajar terhadapnya, untuk sesaat dia malah lupa turun tangan.
Cepat Liu Yan-yan menarik ujung baju Siau Hui-uh sambil berbisik: "Enci Siau, buat apa kau campuri urusan ini?" Il "Tapi si bocah .
. . . . . .. Sambil tersenyum Liu Tan-yan menghampiri Kiong Ling-ling dan katanya: "Anak manis, tak usah campuri urusan orang lain, ayoh pergi bersama bibi" Dengan perasaan terkejut bercampur gusar Kiong Ling-ling mendongakkan kepalanya, siapa tahu begitu Liu Tan-yan mengusapkan tangannya ke wajah gadis cilik itu, perasaan kaget dan marahnya seketika berubah jadi perasaan bingung, bukan saja tidak lagi menengok ke arah Tian Mong-pek, bahkan tanpa bicara sepatah kata pun langsung beranjak pergi mengintil di belakang Liu Tan-yan.
"Ling-ling!" teriak Tian Mong-pek.
Tapi gadis cilik itu seakan tidak mendengar.
Untuk berapa saat pemuda itu berdiri tertegun, ternyata Kiong Ling-ling pun telah menghianatinya.
Dalam keadaan seperti ini, dia merasa seolah hidup sebatang kara, yang tersisa hanya tuduhan, fitnahan yang menggemaskan, dia merasa begitu kesepian, sendiri, marah, getir, sedih .
. . . . .. Akhirnya setelah tertawa kalap, serunya: "Baik, baiklah!" seperti orang hilang ingatan, dia lancarkan satu pukulan maut ke tubuh Go Jit.
Berkerut alis mata Go Jit yang tebal, ejeknya: "Baguslah, kalau memang ingin mampus, biar lohu kabulkan permintaanmu itu tangannya dibalik, langsung babat urat nadi pada pergelangan tangan lawan.
Paras muka Siau Hui-uh hijau kepucat pucatan, saat itu dia mencoba bertanya diri sendiri: "Haruskah kutolong orang ini?" Dari perubahan wajah nona itu, Liu Tan-yan segera bisa menduga apa yang sedang dipikirkan, cepat selanya: "Orang semacam dia paling pantas cepat mampus, daripada perempuan baik baik hidup tak tenang" Sebetulnya Siau Hui-uh sudah melangkah maju, dia segera urungkan niatnya begitu mendengar bisikan tadi.
Sementara dia masih ragu, Tian Mong-pek sudah tak sanggup menahan diri lagi.
Mendadak dari balik hutan tho terdengar seseorang membentak nyaring: "Tahan!" "Siapa yang berani mencegah niat lohu?" umpat Mo-si au-to gusar, "kalau sengaja kubunuh orang ini, mau apa kamu?" Satu pukulan yang amat dahsyat seketika menerobos masuk dan langsung mencekal pergelangan tangan anak muda itu.
Kontan Tian Mong-pek merasakan lengan kanannya jadi kaku, tapi ia enggan menyerah kalah, sebuah pukulan dengan sepenuh tenaga lagi lagi dilontarkan dengan kepalan kiri.
Dengan cekatan Go Jit berkelit sambil balas menyerang, dengan mudahnya ia berhasil menangkap pergelangan kiri lawan, ejeknya sambil tertawa seram: "Orang she-Tian, kepandaian apa lagi yang kau miliki .
. . . . . .." Tapi belum selesai ia bicara, tiba tiba dari belakang tubuhnya terdengar seseorang berkata dengan lembut: "Engkoh sayangku, ce .
. . . .. cepat hentikan seranganmu" Seorang lelaki tinggi berwajah kuning emas, dengan ujung goloknya menempel di punggung seorang nona berbaju hijau yang dicengkeram pergelangan tangannya, perlahan munculkan diri dari balik hutan bunga tho.
Ternyata mereka adalah Kim-bin-thian-ong Li Koan-eng serta Beng Li-si, bini kesayangan Go Jit.
Tak terlukiskan rasa pedih Go Jit melihat kondisi bininya, ia merasa hatinya bagaikan diiris dengan pisau, jeritnya: II "Sisi .
. . . . . .. sambil rentangkan tangan, ia siap menubruk ke muka.
"Hmm!" ancam Li Koan-eng dengan wajah sedingin es, "bila menginginkan nyawa Beng Li-si, baik baik berdiri disana, jangan mencoba untuk bergerak" "Kurangajar, kau berani perintah lohu" umpat Go Jit marah, walau begitu, ia benar-benar tak berani berkutik, terusnya, "Li Koan-eng, cepat bebaskan Sisi .
. . . . . .." "Tidak sulit bila menginginkan kebebasannya, tapi kau harus bersumpah lebih dulu, sejak hari ini tak akan mencelakai Tian kongcu lagi, bahkan harus minta maaf kepadanya" Ungkapan tersebut segera membuat semua orang melengak, terheran-heran.
Begitu pula dengan Tian Mong-pek, dengan wajah tertegun pikirnya: "Baru berapa hari berselang dia ingin membunuhku, bahkan bersumpah akan mencincangku, kenapa hari ini sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat?" "Hei orang she-Li, kau sudah edan?" umpat Go Jit marah, "bukankah Tian Mong-pek telah berselingkuh dengan binimu, kenapa kau malah .
. . . . .." "Kentut!" tukas Li Koan-eng, "kau sangka manusia macam apa Tian kongcu itu" Hmm, biar perempuan sialan itu berniat merecoki dirinya pun, belum tentu Tian kongcu sudi mengabulkan keinginannya.
Aku Li Koan-eng punya mata tak berbiji, menjalin teman dengan manusia busuk sehingga tempo hari salah menuduh Tian Kongcu, perbuatanku waktu itu sungguh memalukan, itulah sebabnya hari ini aku khusus datang untuk minta maaf kepadanya" "Betulkah begitu?" tanya Go Jit kemudian setelah termangu berapa saat.
"Tentu saja sungguh, cepat menyembah dan minta maaf kepada Tian kongcu!" "Apa" Kau minta lohu menyembah kepadanya?" dengan wajah berubah Mo-siau-to tertawa kalap.
"Betul!" sambil menyahut, Li Koan-eng menekan ujung goloknya ke depan dan mulai menusuk tubuh Beng Li-si.
"Koko..... kabulkan permintaannya!" jerit Beng Li-si pilu, "apakah kau tega membiarkan aku mati konyol?" Suaranya begitu pedih dan memilukan hati, membuat Mo-siau-to begitu sedih, begitu sakit hati.
"Sisi . . . . .. Sisi . . . . . . . .." keluhnya, tiba tiba dia angkat muka dan teriaknya, "jika kukabulkan permintaanmu, apakah kau segera akan membebaskan dia?" "Ucapan seorang kuncu, ibarat satu cambukan dipunggung kuda jempolan!" Pucat kelabu paras muka Go Jit.
"Baiklah!" tiba tiba ia berpaling, "Tian.....
Tian kongcu, aku..... aku minta maaf kepadamu" Tian Mong-pek jadi tak tega melihat keadaan itu, buru buru dia membangunkan, gunakan kesempatan tersebut Go Jit segera bangkit berdiri dan tidak benar benar berlutut.
Kembali Li Koan-eng berkata: "Hari ini kau memang sudah minta maaf kepada Tian kongcu, namun tidak menjamin lain hari akan mencari gara gara lagi dengannya, oleh sebab itu kau pun harus .
. . . . .." "Bila dikemudian hari Go Jit masih berniat mencelakai Tian kongcu, biar aku mati tak wajar" sumpah Go Jit sambil gigit bibir, selesai bicara dia
"Bila dikemudian hari Go Jit masih berniat mencelakai Tian kongcu, biar aku mati tak wajar" sumpah Go Jit sambil gigit bibir, selesai bicara dia langsung menghampiri Beng Li-si.
Il "Tunggu dulu hardik Li Koan-eng.
"Jadi kau enggan bebaskan dia?" berubah paras muka Go Jit.
Li Koan-eng tertawa dingin.
"Sekarang, kau pasti membenci aku hingga ke tulang sumsum, jika perempuan ini kubebaskan dengan begitu saja, bukankah nyawaku bakal mampus ditanganmu?" "Jadi menurutmu, apa yang harus kulakukan?" "Berdiri disitu, jangan bergerak, setelah aku pergi jauh nanti, pasti akan kubebaskan dia untuk menjumpaimu.
Tapi awas, kalau mencoba melakukan pengejaran, dia pasti bakal mampus" Go Jit menghela napas panjang, ditatapnya Beng Li-si sekejap lalu dengan sedih mengangguk.
Sepanjang hidup belum pernah ia diperlakukan orang dengan begitu mengenaskan, tapi hari ini, demi perempuan kesayangannya, orang tua ini seakan sudah kehilangan semua kegagahannya, ia rela bertekuk lutut oleh ancaman lawan.
Melihat kejadian itu, berapa orang dayang yang berada diseputar sana mulai berpikir: "Coba kalau ada orang bersikap begitu baik terhadapku, biar dia tua atau Il jelek pun tak jadi masalah, aku tetap akan merasa gembira dan puas .
. . . .. Dalam pada itu Li Koan-eng sudah mundur dari situ, selangkah demi selangkah menuju ke balik hutan.
II "Sisi..... seru Go Jit gemetar, "bila ia bebaskan dirimu nanti, cepatlah lari kemari, sudah lama kunantikan kemunculanmu, tak akan kubiarkan kau pergi lagi dari sisiku" Beng Li-si dengan air mata bercucuran, mengangguk berulang kali.
"Aku tahu . . . . . .. aku tahu . . . . . . . . . . .." Mendadak tubuhnya meronta, melepaskan diri dari cengkeraman Li Koan-eng.
Dengan penuh kegirangan Go Jit berteriak keras, menyongsong ke depan dan memeluk tubuh Beng Li-si kuat kuat.
Tian Mong-pek sendiripun merasa terkejut bercampur girang, girang karena kedua orang itu akhirnya saling berjumpa, terkejut karena kuatir Li Koan-eng tak berhasil lolos dari serangan maut Mo-siau-to, bagaimana pun peristiwa ini terjadi gara gara ingin selamatkan dirinya.
Siapa tahu begitu berada dalam pelukan Go Jit, dengan gerakan cepat Beng Li-si turun tangan menotok belasan jalan darah penting ditubuh Go Jit.
II "Sisi, kau . . . . . . . .. jerit Mo-siau-to Go Jit kaget, belum selesai berteriak, tubuhnya sudah gontai, mundur terhuyung lalu roboh terjungkal.
Kejadian ini sama sekali diluar dugaan siapa pun, terlebih bagi Mo-siau-to Go Jit, mimpi pun dia tak mengira kalau Beng Li-si bakal menghianatinya dan melancarkan serangan, justru karena tak siaga, semua pertahanan tubuhnya terbuka, kalau bukan begitu, mana mungkin seorang jagoan tangguh bisa tertotok jalan darahnya semudah itu.
Sementara itu Beng Li-si sudah mengerling sekejap kesekitar sana dengan genitnya, lalu sambil tertawa cekikikan berseru: "Bagaimana sandiwaraku" Hebat bukan adik adikku?" Lalu setelah menendang tubuh Go Jit keras keras, lanjutnya: "Orang she-Go, kau selalu ingin aku memanggilmu koko karena kau ingin selalu dianggap masih muda bukan" Baiklah, akan kusuruh kau menjadi lebih muda, hingga nanti aku memanggilmu sebagai cucuku . . . . . .." sambil berkata kembali dia tertawa cekikikan.
Bergidik juga perasaan hati semua orang setelah menyaksikan adegan ini, padahal betapa sayangnya Go Jit terhadap gadis itu, bahkan demi melindungi keselamatan jiwanya, ia rela dihina dan dipermalukan.
Siapa nyana gadis itu berhati busuk, lebih beracun dari kalajengking, bukan saja pengorbanan itu sia sia, bahkan imbal baliknya sama sekali diluar dugaan.
Sambil mendeham Li Koan-eng menghampiri Tian Mong-pek, kembali ujarnya sambil menjura: "Gara-gara kecerobohanku, Li Koan-eng telah bersikap kasar kepada kongcu, harap Tian kongcu sudi memaafkan" "Dalam kejadian ini, saudara Li tidak salah" tukas Tian Mong-pek cepat, II "lagipula .
. . . . . .. sesudah tertawa sedih, terusnya, "bagaimana pun aku memang sudah terbiasa difitnah orang" Li Koan-eng menghela napas panjang, sementara Siau Hui-uh berkata pula dengan nada menyesal: "Tadi, akupun telah salah menilai dirimu.....
tentunya kau.... kau tidak menyalahkan aku bukan?" "Aku mana berani menyalahkan nona" jawab Tian Mong-pek ketus.
Dipihak lain, Beng Li-si telah menggandeng tangan Li Koan-eng sambil bertanya manja: "Koan-eng, menurut kau, baiknya bagaimana kita bereskan tua bangka she-Go ini?" "Minggir kamu" tukas Li Koan-eng sambil melepaskan diri dari tangan perempuan itu, "terserah apa yang hendak kau lakukan terhadap dirinya" Bukan marah Beng Li-si malah berkata lagi sambil tertawa: "Kalau begitu biar kupotong seluruh otot dan nadi tubuhnya, agar selanjutnya dia tak bisa lagi mengangkangi perempuan muda dengan mengandalkan ilmu silatnya" Tercekat perasaan Tian Mong-pek, melihat perempuan itu benar benar berjongkok, segera bentaknya: "Tahan!" Dia melompat maju dan menghadang dihadapan perempuan itu.
"Hei, mau apa kau?" tegur Beng Li-si sambil bercekak pinggang, matanya melotot besar.
"Hei, kalau Tian kongcu suruh tahan, kau harus segera berhenti, mengerti?" bentak Li Koan-eng nyaring, lalu sambil mendorong tubuh perempuan itu, hardiknya lagi, "cepat minggir!" Perlahan Beng Li-si menundukkan kepalanya, rasa sedih dan murung menghiasi wajahnya.
Diam diam Liu Tan-yan maju menghampiri.
"Adikku" bisiknya, "begitu kasar sikapnya terhadap dirimu, buat apa kau peduli dirinya lagi" Lebih baik tinggal bersama cici saja....." "Kau tak usah mencampuri urusanku" umpat Beng Li-si sambil mengebaskan tangannya, "minggir sana, biar dia mau maki aku, mau gebuki tubuhku, aku rela dan senang, buat apa kau banyak ngebacot dihada panku?" Liu Tan-yan melongo, kemudian sambil tertawa dingin diam diam umpatnya: "Dasar sundal goblok!" Dipihak lain, Tian Mong-pek telah berkata setelah memandang sekejap tubuh Go Jit yang tak mampu berkutik: II "Saudara Li, aku ada satu permintaan .
. . . .. "Kongcu ingin aku membebaskan totokan jalan darahnya?" sela Li Koan-eng sambil tersenyum.
"Memang itulah keinginanku, bagaimana pun, dia adalah seorang cianpwee, seorang enghiong, dalam sejarah hidupnya tak pernah melakukan kejahatan apa pun, bagaimana menurut pendapat saudara Li?" "Sesungguhnya aku tak punya dendam sakit hati dengannya, justru aku datang menolong karena melihat dia berniat mencelakai kongcu, bila sekarang kongcu berniat membebaskan totokan jalan darahnya, tentu saja aku akan turut perintah" Sebagaimana diketahui, semenjak mendengar penjelasan dari Tu Hun-thian, ia menaruh perasaan menyesal yang amat dalam terhadap anak muda ini, itulah sebabnya ketika mendengar keluhan sedih Tian Mong-pek tadi, ia langsung menyusul ke situ.
Tapi setelah mengetahui bahwa lawannya adalah Mo-siau-to Go Jit yang tangguh dan sadar kalau kepandaiannya masih bukan tandingan lawan, maka dia pun mengajak Beng Li-si untuk berunding dan memainkan sandiwara tadi.
Saat itu perhatian semua orang yang hadir sedang dicekam rasa gusar, sedih dan tegang, tak heran kalau kehadirannya sama sekali tak disadari semua orang.
"Bila jalan darahnya dibebaskan, mana mungkin kita bisa hidup?" seru Beng Li-si cepat.
Li Koan-eng agak tertegun, tapi segera bentaknya lagi: "Siapa suruh kau banyak bicara!!" Beng Li-si melotot ke arah Tian Mong-pek, omelnya sambil tertawa dingin: "Aku telah selamatkan nyawamu, sekarang kau malah menolongnya, memang kau anggap nyawa kami sama sekali tak berharga" Lebih murah ketimbang nyawa kalian?" Sementara Tian Mong-pek masih melengak dan tak tahu apa yang harus diucapkan, kembali Li Koan-eng telah berkata: "Kongcu, bagaimana kalau jalan darah Go locianpwee dibebaskan setelah II kita pergi jauh" Waktu itu .
. . . . . . .. Sambil tertawa dingin Beng Li-si menukas: "Kalau sampai menunggu dia tersadar, biar naik ke langit atau masuk ke bumi pun, dia pasti akan mencari jejak kami.
Hm, kami menolong orang lain, tak tahunya malah mencelakai diri sendiri" Dengan gusar dan mata melotot Li Koan-eng menghardik: "Hei, siapa suruh kau banyak bicara" sudah dengar tidak, aku suruh kau tutup mulut" Dengan sedih Beng Li-si menghela napas panjang, kepalanya tertunduk lesu.
"Aaaai, kalau toh itu kehendakmu, tentu saja aku akan menuruti saja .
. . . . . .." Diam-diam Tian Mong-pek keheranan, dia tak menyangka seorang perempuan binal macam Beng Li-si, ternyata begitu penurut dihadapan Li Koan-eng, cepat dia mengucapkan terima kasih atas kebaikan hatinya.
Selesai memberi hormat ke empat penjuru, Li Koan-eng bersama Beng Li-si pun beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Mengawasi bayangan punggung mereka yang menjauh, gumam Tian Mong-pek: II "Ternyata orang ini masih terhitung seorang hohan .
. . . . .. "Sayangnya dia sudah tak mungkin pulang ke rumah sendiri" sambung liutanyang.
Kembali Tian Mong-pek menghela napas, malam yang semakin kelam menyelimuti hutan tho, membuat bunga tho berubah warna jadi ungu, taburan bintang di angkasa pun makin surut dan menghilang.
Liu Tan-yan mengulapkan tangannya memberi tanda, dua orang dayang cilik segera membopong tubuh Kiong Ling-ling masuk ke balik kebun.
"Bocah ini pintar dan penurut" kata liutanyang, "aku berniat menahannya disini daripada membiarkan dia berkeluyuran dalam dunia persilatan tanpa tujuan.
Bagaimana menurutmu Tian kongcu?" "Terima kasih nona" sahut Tian Mong-pek setelah berpikir sejenak.
Biarpun ia merasa tingkah laku Liu Tan-yan tidak beres, namun mengingat diri sendiripun hanya gelandangan tanpa tujuan, membawa Kiong Ling-ling memang kurang leluasa, maka diapun mengabulkan tawaran tersebut.
Setelah tertawa ringan kembali Liu Tan-yan berkata: "Malam sudah semakin kelam, Tian kongcu, kau pun harus beristirahat" "Bukankah tadi kau amat membencinya?" sindir Siau Hui-uh sambil tertawa, "bahkan biar dia mau mati pun tak ambil peduli, kenapa sekarang malah begitu perhatian kepadanya, kuatir dia masuk angin?" Merah jengah Liu Tan-yan, buru buru sahutnya dengan kepala tertunduk malu: "Tadi aku telah salah sangka terhadapnya, sekarang hatiku sedih, tidak macam kau, sudah melakukan kesalahan pun tak tahu minta maaf" "Hahaha, bila kau suruh aku minta maaf, wakililah aku untuk minta maaf, kalau aku sendiri mah tak tahu bagaimana cara minta maaf" kata Siau Hui-uh sambil tertawa tergelak.
Dengan perasaan apa daya Liu Tan-yan menggelengkan kepalanya sambil menghela napas.
"Dasar manusia latah"gerutunya, :kalau watakmu tidak dirubah, siapa yang bakal mau meminangmu jadi bininya?" "Watak mah harus dirubah .
. . . . . . . .." Siau Hui-uh tertawa tergelak.
"Hmm, coba lihat gayamu waktu tertawa, terkadang aku pun tak bisa bedakan kau ini laki laki atau wanita" "Aku memang laki-laki, masa kau tidak tahu?" Dia rangkul bahu Liu Tan-yan lalu mencium pipinya.
II "Dasar setan cilik .
. . . . . . . .. umat Liu Tan-yan tertawa.
Siau Hui-uh tertawa terkekeh, sambil berlari masuk katanya: "Tian Mong-pek, ogah kalau aku disuruh temanimu menderita kedinginan disini, tapi kau jangan kabur, masih ada persoalan yang ingin kutanyakan kepadamu" Tian Mong-pek berkerut kening, belum berbuat sesuatu, Liu Tan-yan telah berkata: "Aai! Nona ini memang tak pernah memikirkan nasib orang, Tian kongcu, biarlah aku mewakilinya minta maaf kepadamu" Benar saja, dia segera membungkukkan badan memberi hormat.
Buru buru Tian Mong-pek menghindar ke samping.
"Nona, kaupun seharusnya ikut masuk" katanya.
"Kenapa kau tidak segera bebaskan jalan darahnya yang tertotok?" "Jangan, kita harus menunggu berapa saat lagi, agar keselamatan Li Koan-eng lebih aman" "Kalau begitu biarlah kutemani kau disini" seru Liu Tan-yan sambil tertawa genit.
Tian Mong-pek segera berkonsentrasi dan tidak bicara lagi, bahkan melirik pun tidak.
"Aku rasa, kau harus membujuk Siau Hui-uh cici agar merubah wataknya" kata Liu Tan-yan lagi.
"IE111rur1! " Lewat sesaat, kembali Liu Tan-yan berkata: "Bukankah seorang gadis harus bersikap lebih lembut, lebih halus, lebih hangat?" "IE111rur1! " "Kalau watak laki laki, contohnya kau ini" "Ehmm! " "Apa artinya ehm" Kenapa tidak bicara?" seru Liu Tan-yan lagi manja.
Tian Mong-pek segera menarik muka, ujarnya serius: "Malam sudah larut, lebih baik nona kembali ke kamarmu" usai bicara, dia segera membopong tubuh Go Jit dan melangkah menuju ke dalam kamarnya.
Mengawasi bayangan punggungnya yang menjauh, Liu Tan-yan mendengus dingin, sikapnya yang semula halus manja seketika berubah jadi dingin dan keji.
Kepada seorang dayang cilik yang berdiri disisinya, ia menegur: "Apakah bocah perempuan she-Kiong itu telah mendusin?" "Belum" jawab dayang itu dengan kepala tertunduk.
"Bila ia tersadar dari pengaruh obat pemabok, cekoki sebutir lagi pil si-sin-wan!" Dayang cilik itu mengiakan, berjalan sampai tengah serambi, kembali Liu Tan-yan berhenti sambil berpesan: "Begitu kakek berewok she-Go itu pergi, cepat laporkan kepadaku" Dengan langkah cepat dia lewati serambi menuju ke sebuah ruang samping, setelah membuka pintu ruangan, ia celingukan sekejap mengawasi seputar tempat itu, lalu ia bergegas menuju sudut dinding, menekan sesuatu diatas pahatan yang ada di daun jendela.
Terlihat dari atas dinding ruangan yang rata muncul sebuah pintu rahasia, dengan cekatan dia menerobos masuk, menutup kembali pintu dan melangkah ke bawah.
Selapis cahaya lentera berwarna merah memancar keluar dari kedua sisi dinding ruangan, tidak terlihat dengan jelas darimana sinar lentera itu berasal.
Menembusi lorong rahasia itu, kembali muncul selapis pintu rahasia, begitu pintu dibuka, segera terdengar suara irama musik yang merdu merayu bergema dari balik pintu tadi, bahkan terselip pula suara bisikan lirih serta suara tertawa cekikikan.
Masuk ke balik pintu, selapis tirai terbentuk dari rangkaian mutiara membentang didepan mata, cahaya lentera memancar dari balik untaian mutiara tadi.
Ternyata dibalik ruang rahasia yang terasa harum, tampak tujuh-delapan orang gadis cantik bertubuh semampai sedang memainkan alat musik, ada yang memetik khiem, ada pula yang sedang menyanyi.
Kawanan gadis itu rata-rata mengenakan pakaian sutera yang amat tipis sehingga dalam sekilas pandang dapat terlihat payudara mereka yang montok serta kulit badan yang putih halus, satu pemandangan eksotik yang gampang membangkitkan gairah birahi.
Disudut ruangan terdapat sebuah bangku indah, pada bangku itu duduk seorang lelaki berpakaian indah, dengan tangan sebelah orang itu memegang cawan emas, seorang gadis bugil sedang menuangkan arak baginya.
Liu Tan-yan segera menyingkap tirai dan berjalan mas uk, ujarnya sambil tertawa: "Diluar sana telah terjadi sedikit masalah, maaf kalau kau harus lama menunggu" Buru-buru lelaki perlente itu bangkit berdiri sambil mengucapkan terima kasih.
Kembali Liu Tan-yan berkata: "Ada urusan apa kau datang begitu terburu-buru?" Lelaki perlente itu angkat wajahnya, dibawah sinar lentera, tampak lelaki itu berwajah bersih tanpa jenggot, sinar matanya tajam, ternyata dia tak lain adalah Thian-kiau-seng Sun Giok-hud.
Ia memandang sekejap sekeliling tempat itu, katanya kemudian setelah termenung sejenak: "Soal ini .
. . . . . .." Cepat Liu Tan-yan bertepuk tangan, berapa orang gadis bugil itu serentak mengiakan dan mundur dari situ melalui pintu rahasia di ke empat dinding ruangan.
Menanti ruangan itu tinggal mereka berdua, Sun Giok-hud baru berkata: "Semenjak kematian Jin-gi-su-hiap, kota Hang-ciu telah muncul lagi sebuah perkumpulan lain, perkumpulan itu dipimpin Kiu-lian-huan Lim Luan-hong, tujuannya adalah untuk melindungi keselamatan si tabib sakti Chin Siu-ang, sementara tujuan Lim Luan-hong adalah untuk mendekati putri si tabib sakti, yakni Chin Ki" "Persoalan ini telah kuketahui" kata Liu Tan-yan dengan kening berkerut.
"Lim Luan-hng mempunyai pergaulan yang amat luas, ia berhasil mengumpulkan jago jago ternama dari empat arah delapan penjuru untuk masuk dalam organisasinya, bagaimana pun harta kekayaan milik See-ou- liong-ong Lu tiang-lok banyak tak terhingga, jadi masalah keuangan bukan problem, namun dari mulut berapa orang itu cayhe justru berhasil mendengar berapa berita penting" "Berita tentang apa?" agak berubah wajah Liu Tan-yan.
Sun giok-hud tidak langsung menjawab, dia berpikir sejenak kemudian baru ujarnya: "Semenjak Giok-ing (Kepodang kumala) Mo Siau-cing, salah satu dari tujuh II kepodang gunung Hoa-san .
. . . . . . . . .. "Betul, itulah diriku, lantas kenapa?" tukas Liu Tan-yan ketus.
Sambil tertawa paksa ujar Sun Giok-hud: "Konon Hoa-san-jit-ing berhasil mendapat petunjuk dan kemungkinan besar akan melacak sampai disini, selain itu Say-siong-thayhi ap (pendekar dari II luar perbatasan) Lok Tiau-yang .
. . . . . . .. "Masalah semacam itu mah tak perlu dikuatirkan" tukas Liu Tan-yan sambil tertawa, "paling banteng sampai saatnya kutinggalkan tempat ini, toh aku memang sudah jemu dengan tempat ini dan berniat mencari tempat lain.
Sekarang kau sudah berada disini, apa salahnya kalau nikmati berapa hari lagi ditempat ini, banyak stok perempuan cantik disini, silahkan pilih sesuai seleramu" "Kalau memang begitu, cayhe mohon diri lebih dulu" jawab Sun Giok-hud tertawa.
Liu Tan-yan ikut tertawa.
"Aku pun tahu kalau kau tidak berminat dengan perempuan perempuan semacam itu, minum arak pun ada batasnya, justru karena itulah guruku baru percaya untuk serahkan masalah besar ini kepadamu" Tiba tiba Sun Giok-hud menarik kembali senyumannya, dengan serius katanya: "Hampir saja aku melupakan satu masalah penting, menurut berita dalam dunia persilatan, katanya ada orang mencatut nama Panah kekasih untuk Il memeras dan mencari keuntungan pribadi .
. . . .. "Tidak masalah. Toh tujuan suhu menciptakan panah kekasih adalah untuk menimbulkan gejolak dan kekacauan dalam dunia persilatan, makin besar gejolak yang timbul, semakin baik.
Hanya saja . . . . ..kecuali kau berhasil mencari tahu asal usul dan tujuan mereka secara jelas, kalau tidak, jangan mencoba untuk memperdagangkan panah kekasih itu .
. . . . .." "Soal ini cayhe mengerti, sampai hari inipun cayhe hanya menjual belikan tujuh pasang panah kekasih.
Sementara yang lain...." "Kau tak usah beritahu kepadaku dimana kau sembunyikan sisa panah kekasih itu, yang paling baik lagi adalah hanya kau seorang di kolong langit yang mengetahui persoalan ini" Sun Giok-hud manggut-manggut.
Mendadak ujarnya lagi: "Satu hal yang membuat aku kecewa dan menyesal adalah hingga hari ini bukan saja aku tak pernah bertemu muka dengan gurumu, bahkan siapa dia pun sama sekali tak jelas.
Cayhe hanya bisa menduga kalau beliau pastilah seorang jago sakti yang berilmu tinggi bagaikan dewa, kalau tidak, mana mungkin dalam dunia persilatan selama puluhan tahun terakhir ada jagoan yang memiliki kungfu sesakti dan sehebat beliau?" "Kenapa kau terburu-buru ingin tahu siapakah dia orang tua?" tegur Liu Il Tan-yan sambil menarik muka, "apakah kau .
. . . . . . .. Menyaksikan sorot matanya yang tajam bagai sebilah pisau, diam diam Sun Giok-hud bergidik, cepat sahutnya panik: "Harap nona jangan salah paham.
Cayhe hanya iseng saja" Kembali Liu Tan-yan menatapnya berapa saat, setelah itu dia baru berkata sambil tertawa: "Sampai waktunya kau pasti akan bertemu dengan dia orang tua, dan waktu itu dunia persilatan telah menjadi milik kita" Baru berbicara sampai disitu, tiba tiba berkumandang suara keleningan dari balik dinding ruangan, Liu Tan-yan segera bertepuk tangan sambil bangkit berdiri, kawanan gadis bugil itupun kembali bermunculan dari balik ruangan.
"Tidak masalah jika kau ingin beristirahat lagi ditempat ini" pesan Liu Tan-yan, "tapi bila ingin pergi, lebih baik lewat jalan belakang" Selesai bicara dia langsung berjalan menuju keluar pintu, lewat lorong rahasia dan masuk ke ruang samping.
Dayang yang tadi telah berdiri dimuka pintu sambil berbisik: "Begitu tersadar, kakek she-Go itu langsung melompat lewat jendela dan tanpa bicara apa pun langsung pergi dari sana" Liu Tan-yan mengerling sekejap, tiba tiba dia menarik baju sendiri dan merobeknya dibagian pundak hingga tampak kulit badannya yang putih mulus, serunya: "Cepat, hantam bahuku keras keras" "Menghantam .
. . . . . .." dayang itu kelihatan agak ragu.
"Betul, makin keras makin baik" Dayang cilik itu menggigit bibir lalu benar benar menghantam bahunya keras keras, bekas telapak tangan yang merah kehitaman pun segera tertera dibahunya yang putih.
Liu Tan-yan memandangnya sekejap, tiba tiba dia peluk dayang kecil itu sambil berbisik lagi: "Cepat cium pipiku berulang kali, harus kau cium kuat-kuat" Merah padam wajah dayang cilik itu, terpaksa dia mulai menciumi wajah Liu Tan-yan berulang kali, begitu kalap dia mencium hingga pipi Liu Tan-yan tampak berantakan, rambut awut awutan dan jantung sang dayang ikut berdebar keras.
Kembali Liu Tan-yan dorong dayang cilik itu sambil memerintahkan: "Berdiri disana, sampai hitungan ke tiga puluh, lari ke kamar nona Siau sambil berteriak: celaka, Tian kongcu, dia...
dia . . . . .. hanya kata kata itu saja, mengerti" Tapi harus kau ucapkan dengan wajah gugup dan panik" Setelah menowel pipi sang dayang, dia pun menyusup keluar dengan gerakan cepat.
Tian Mong-pek sangka, setelah mendengar nasehat dari Li Koan-eng tadi, Mo-siau-to akan mereda amarah dan sedihnya, siapa sangka tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia pergi tinggalkan ruangan itu.
Memandang kegelapan malam diluar jendela, Tian Mong-pek menghela napas berulang kali, saat itulah tiba tiba ia mendengar teriakan minta tolong serta terlihat sesosok bayangan manusia melintas masuk ke dalam hutan, ternyata orang itu adalah Liu Tan-yan.
Tampak nona itu berlarian dengan rambut kusut dan wajah gugup, selain tubuhnya terluka, terdengar ia berbisik dengan suara gemetar: II "Tian kongcu, to.....tolong aku .
. . . . . .. "Kenapa nona Liu?" tanya Tian Mong-pek kaget.
"Go Jit, dia.... dia . . . . . . .." tidak sempat menyelesaikan perkataannya, tiba tiba tubuhnya lemas dan ia jatuh tak sadarkan diri dalam pelukan pemuda itu.
Walaupun ada wanita cantik dalam pelukan, Tian Mong-pek sama sekali tidak merasakan kelembutan, dia coba periksa bekas telapak tangan dibahunya, namun tidak tahu bekas pukulan itu berasal dari ilmu apa, sementara masih gugup dan tak tahu apa yang harus dilakukan, mendadak dari kejauhan terdengar Siau Hui-uh berteriak: "Apa yang terjadi" Apa yang terjadi?" Tian Mong-pek kegirangan, belum sempat dia berbuat sesuatu, tiba tiba tampak Liu Tan-yan meronta sambil menjerit: "Kau....
lepaskan aku..... jangan . . . . . .. aku tak mau . . . . . .." Sambil meronta, ia bergulingan ditanah dan merintih tiada hentinya.
Terkejut campur heran, untuk sesaat Tian Mong-pek hanya bisa berdiri mematung, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Saat itulah Siau Hui-uh muncul tepat waktu, menyaksikan adegan tersebut, paras mukanya kontan berubah hijau membesi, marah bercampur kecewa, teriaknya sambil menuding pemuda itu: II "Orang she-Tian, kau....
Liu Tan-yan segera melompat bangun dan menubruk ke dalam pelukan Siau Hui-uh, bisiknya sambil menangis keras: II "Enci Siau, dia.....
dia melecehkan aku . . . . . .. "Tidak apa apa, biar aku balaskan dendam" sumpah Siau Hui-uh penuh amarah.
Melepaskan Liu Tan-yan, dia langsung lepaskan satu pukulan ke tubuh Tian Mong-pek.
Cepat pemuda itu melompat ke samping, seketika ia sadar apa yang sesungguhnya telah terjadi, dengan kemarahan yang meluap, teriaknya: "Hei, belum tahu duduknya perkara, kenapa kau sembarangan memukul orang?" Tangisan Liu Tan-yan makin jadi, jeritnya sedih: "Coba lihat enci Siau, dia sudah melecehkan aku, sekarang.....
uhuhuh.... apa lagi yang bisa kukatakan .
. . . . .. uhuhuh....." "Dasar binatang!" maki Siau Hui-uh gusar, "buat apa ditanyakan lagi" Tak kusangka kau adalah binatang bertubuh manusia, eny ah, cepat enyah dari sini!" Tidak puas bercampur jengkel teriak Tian Mong-pek: "Apa.....
apa kau bilang" Kenapa kau hanya percaya perkataan Il sepihak .
. . . . . .. Pada dasarnya pemuda ini memang tak pandai bicara, ditambah sedang marah yang memuncak, ucapannya makin tak jelas.
"Coba tidak melihat wajah sam A-ik, sudah kucabut nyawamu" maki Siau Hui-uh keras, "cepat menggelinding pergi dari sini, pikirkan perbuatanmu, tidak malu kau dengan ibumu?" Hawa amarah yang membawa didada Tian Mong-pek makin menjadi, darah panas terasa menerjang naik ke atas, sambil meraung gusar dia melompat keluar lewat jendela lalu menyemburkan segumpal darah segar.
Menyaksikan Siau Hui-uh membebaskan Tian Mong-pek, diam diam Liu Tan-yan merasa amat kecewa, namun isak tangisnya makin menjadi.
Sambil memeluk tubuhnya, ujar Siau Hui-uh sambil menghela napas: "Sudahlah adikku, tak usah menangis lagi, memang kesalahan cici kenapa membawa pulang orang buas ke tempat ini" Dari nada suaranya, tercermin perasaan kecewa yang sangat dalam, kenapa dia kecewa" Kenapa tak tega turun tangan membunuh Tian Mong-pek" Jangankan orang lain, dia sendiripun tidak jelas.
Bersandar dalam pelukan Siau Hui-uh, bisik Liu Tan-yan sambil terisak: "Karena mengira dia tertekan batinnya, aku berniat menghibur dia, siapa sangka .
. . . .. siapa sangka.....



cici Siau, tahukah kau betapa takutku saat ini: "Sudah, tak usah takut, dia toh sudah pergi, sana, tidurlah dengan II nyenyak .
. . . .. "Tidak, aku tak mau tidur, tak mau tidur, aku takut" teriak Liu Tan-yan sambil menghentakkan kakinya berulang kali, kemudian dia rangkul perempuan itu makin kencang.
"Dasar anak bodoh" hibur Siau Hui-uh, "masa tidak tidur" Memangnya cici harus menemanimu?" "Betul" dari terisah, Liu Tan-yan tertawa cekikikan, "kalau tidak kau temani, aku tak mau tidur" Sembari menghibur, Siau Hui-uh membimbingnya kembali ke kamar sendiri, merebahkan dia diatas ranjang, menyelimuti badannya, lalu setelah melepaskan pakaian luar, dia ikut menyusup ke balik selimut.
Dibawah cahaya lentera yang lembut, Siau Hui-uh memandang sekejap wajah Liu Tan-yan yang merah, mengawasi kerlingan matanya yang genit, lalu tak tahan serunya sambil tertawa: "Kau memang cantik, coba aku seorang lelaki, pasti akan kucium pipimu" "Aah, cici jahat" bisik Liu Tan-yan manja, sambil melepaskan bajunya yang robek, tambahnya, "coba lihat, aku sudah dilecehkan orang, kau malah mentertawakan aku" "Padahal kau .
. . . . . .." "Tak usah dibicarakan lagi" tukas Liu Tan-yan sambil menyusupkan sepasang tangannya ke bawah tubuh Siau Hui-uh, "apalagi aku segera akan jadi lelaki untuk menganiaya kamu" "Hahaha, jangan, jangan .
. . . .. aku takut geli . . . . .." Siau Hui-uh tertawa terkekeh.
Liu Tan-yan tak ambil peduli, dia menggelitik ketiak lawannya makin menjadi .
. . . . .. Sambil meliukkan badannya kian kemari, teriak Siau Hui-uh: "Jangan .
. . . .. coba aku laki beneran . . . . . . . . .." "Aku tidak takut .
. . . .. enci Siau, kulitmu halus sekali .
. . . .." "Dasar setan .
. . . .. setan cilik, kau . . . . .. kenapa kau melepaskan pakaianku?" saking kegelian, dia sampai terengah dan badan terasa lemas tak bertenaga.
"Aku.... aku ingin cici Siau . . . . . .. aku ingin melihat kulit tubuhmu yang halus .
. . . . . .." Sambil berkata dia sudah tempelkan pipinya diatas pipi Siau Hui-uh.
Seketika perempuan itu merasakan wajah Liu Tan-yan lebih panas dari bara api, bukan hanya tangan saja yang panas, dengus napas pun ikut panas, panas membara yang membakar hingga lubuk hati.
Tak kuasa lagi dengus napas Siau Hui-uh makin cepat dan tersengkal, seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga, perasaan hatinya bagai melayang di angkasa, melambung ditengah awan, dibalik mega....
Dia mulai tertawa cekikikan, bisiknya lirih: "Setan cilik, tangan....
tanganmu..... ehmmm, kenapa kamu ini" Tak heran Tian Mong-pek.....
aduh, setan cilik, kau...
kau berani . . . . .." Bisikannya makin lemah, makin lirih .
. . . .. mendadak gadis itu menjerit kaget "Kau....
kau . . . . .. kau seorang lelaki?" Dengan napas tersengkal pinta Liu Tan-yan: "Cici Siau, anggap saja aku seorang wanita.
Aku..... aku menyukaimu.... tolong..... biar aku . . . . . .." Mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki, Siau Hui-uh menolak tangannya keatas, begitu kuat tenaga tolakan itu membuat tubuh Liu Tan-yan seketika mencelat dari atas ranjang, jeritnya gemetar: "Jadi kau....
kau benar benar seorang lelaki?" Mimpipun Liu Tan-yan tidak menyangka dalam keadaan seperti ini, Siau Hui-uh masih berkemampuan untuk mengeluarkan tenaga murninya.
Ternyata Liu Tan-yan memang seorang lelaki yang menyaru sebagai perempuan, ditambah lagi ia menguasahi ilmu merayu yang hebat, entah berapa banyak gadis muda yang terjatuh ke tangannya dengan cara begini dan berakhir diperkosa habis habisan.
Masih untung dia mengira dengan ilmu peletnya yang hebat, Siau Hui-uh pasti akan tunduk dan patuh dengan kemauannya sehingga tidak sampai menggunakan obat pemabuk, kalau tidak, biar ilmu silat yang dimiliki perempuan itu sangat lihaypun, mungkin sulit untuk terlepas dari cengkeramannya.
Cepat dia berlutut dipinggir ranjang sambil berkata lembut: "Cici Siau, kenapa kau begitu tega terhadapku" Bukankah selama ini kau menyukai aku?" Malu bercampur gusar, sambil menutup tubuhnya Siau Hui-uh mengumpat: "Kau.....
bagus sekali perbuatanmu" Tiba tiba dia lancarkan satu bacokan menghantam ubun ubun Liu Tan-yan.
Dalam terkesiap dan kagetnya cepat Liu Tan-yan menggelinding ke samping.
Sambil melompat turun dari ranjang, kembali Siau Hui-uh membentak marah: "Serahkan nyawamu!" secara beruntun dia lancarkan tiga pukulan, semua ancaman menggunakan jurus pamungkas yang mematikan.
Sadar kalau napsu membunuh lawan telah berkobar, dengan satu lompatan cepat Liu Tan-yan melesat lewat jendela dan melarikan diri.
Siau Hui-uh siap mengejar, tapi melihat pakaian sendiri yang berantakan dia segera urungkan niatnya.
Tahu kalau rahasia identitasnya terbongkar, dengan pecah nyali Liu Tan-yan kabur keatas wuwungan rumah.
Tiba tiba pandangan mata terasa kabur, bayangan manusia berkelebat lewat, seorang to-koh muda, seorang gadis berbaju hitam dan seorang nyonya berbaju putih dengan tiga bilah pedang yang memantulkan cahaya bagai kilat telah menghadang jalan perginya.
"Siapa kau?" bentak nyonya berbaju putih itu, "apakah Liu....." Berkilat sinar mata Liu Tan-yan, sengaja berlagak ketakutan serunya: "Cici bertiga, tolong aku, ada seorang siluman laki berdandan wanita sedang .
. . . .. sedang mengejar aku" Ke tiga orang wanita itu saling bertukar pandangan sek ejap, kata perempuan berbaju putih itu lagi: "Ternyata dugaan kita tak salah" "Tak usah takut" hibur gadis berbaju hitam, "cepat kabur, biar kami yang menghadapinya" "Terima kasih cici!" seru Liu Tan-yan kegirangan, cepat dia kabur ke belakang rumah, yakin diseputar sana tak ada orang, cepat ia melompat ke ruang samping dan menyusup ke dalam lorong bawah tanah.
Tak terlukiskan rasa gusar Siau Hui-uh, dengan cepat dia kenakan baju luar lalu melompat keluar dari jendela, siapa tahu baru melangkah keluar, sekilas cahaya pedang telah membacok dari atas wuwungan rumah.
Cahaya pedang bagai selendang putih, secepat petir menyandar tiba dan membabat pinggang.
Dalam bahaya Siau Hui-uh tidak panik, dia tekuk pinggang sambil mengigos lalu menyusup lewat dari bawah ancaman lawan.
Terdengar desingan angin tajam kembali menyergap dari belakang, tak sempat memutar badan, ia sentilkan jari tangannya, "Triiing!" ujung pedang lawan seketika tersentil hingga mencelat ke samping.
Begitu membalikkan badan, terlihat seorang gadis berbaju hitam dengan wajah angker dan berdiri sambil menggenggam pedang, membentak nyaring: "Ternyata hebat juga kungfu mu .
. . . . .." Baru berbicara sampai disitu, si to-koh dan perempuan berbaju putih telah menyusul datang, lagi lagi tiga bilah pedang mengurung Siau Hui-uh ditengah arena.
"Siapa kalian" Mengapa membokong aku?" tegur Siau Hui-uh gusar.
"Mungkin kau tidak kenali aku, tentunya kenal dengan adik kami Mo siau-cing bukan" Kami datang untuk membuat perhitungan baginya" "Siapa itu Mo Siau-cing?" teriak Siau Hui-uh, "siapa yang berhutang kepadanya" Cepat kalian menyingkir .
. . . . . . .." Dia bertekad ingin menghabisi nyawa Liu Tan-yan, sama sekali tak disangka kedatangan ke tiga orang wanita itupun karena sedang mencari Liu Tan-yan.
Perempuan berbaju putih itu adalah Sik-ing (Kepodang batu) Sik Ling-un, nona berbaju hitam adalah Thiat-ing (kepodang baja) Thiat Hui-king sedang si to-koh itu adalah Gin-ing (kepodang perak) Ouyang Miau, mereka tergabung dalam Hoa-san-jit-ing (tujuh kepodang dari Hoa-san).
Ternyata Giok-ing (kepodang kumala) Mo Siau-cing dari &ba-san-Ji:-zhg' telah dinodai Liu Tan-yan, dalam gusarnya serentak mereka turun gunung, setelah bersusah payah akhirnuya mereka berhasil menemukan sarang Liu Tan-yan, sama sekali tak disangka, kedatangan mereka lagi lagi berhasil ditipu Liu Tan-yan.
Ujar si kepodang batu Sik Ling-un sambil tertawa dingin: "Kau tak usah menyangkal lagi, kedatangan kami pun bukan berniat segera mencabut nyawamu, asal mau ikut kami naik gunung dan bertemu adik ll Siau-cing .
. . . . . .. "Aku tidak kenal dengan adik Siau-cing" teriak Siau Hui-uh gusar.
Sik Ling-uh tertegun. "Jadi kau bukan . . . . . . .." Kepodang baja Thiat Hui-keng yang berada disisinya cepat membentak: "Lagak dan cara bicara orang ini amat mencurigakan, tidak laki tidak wanita, kalau bukan dia lantas siapa lagi?" Ditengah bentakan nyaring, kembali satu tusukan diarahkan ke dada lawan.
"Ngo-moay" seru kepodang perak Ouyang Miau cepat, "jangan kau lukai nyawanya, asal dia mau kembali ke gunung untuk menikah dengan Jit-moay, semua masalah bisa disudahi .
. . . . . .." "Kalian salah orang" teriak Siau Hui-uh gusar, "Liu Tan-yan .
. . . .. dia . . . . . . .." "Kaulah Liu Tan-yan!" tukas Thian Hui-king.
Dari sikap serta dandanan Siau Hui-uh saat itu, ke tiga orang kepodang itu merasa yakin kalau Siau Hui-uh tidak lain adalah manusia siluman Liu Tan-yan.
Ketika didesak berulang kali, lama kelamaan Siau Hui-uh jadi mendongkol sendiri, teriaknya kemudian: "Kalau aku memang Liu Tan-yan, mau apa kalian?" Dtengan tangan kosong ia serobot masuk ke tengah cahaya pedang.
Baru sekarang dia merasa betapa sengsaranya bila difirnah orang, tanpa terasa pikirannya jadi terbayang akan diri Tian Mong-pek, dimana pemuda itu berulang kali dia tuduh dan firnah semaunya sendiri.
Perasaan menyesal bercampur malu pun timbul dihati kecilnya, kalau bisa, dia ingin segera menemukan pemuda itu dan minta maaf kepadanya.
"Kurangajar!" terdengar Sik Ling-un berteriak gusar, "kau masih berani melawan" Sam-moay, lebih baik kita hadiahkan dulu berapa tusukan ke tubuhnya yang tidak berbahaya, tapi jangan dibunuh, daripada Jit-moay bertambah sedih" Dalam pada itu serangan Siau Hui-uh telah membabat kearah pergelangan Sik Ling-uh yang menggenggam pedang, menyusul kemudian satu sikutan menyodok iga Ouyang Miau, sedangkan telapak tangan kirinya menotok jalan darah kiat-tee-hiat ditubuh Thian Hui-king.
Sewaktu dia mencoba memperhatikan sekeliling tempat itu, tampak Liu Tan-yan telah kabur hingga tak berbekas, rasa gusar bercampur panik membuat serangannya makin lama semakin bertambah ganas.
Hoa-san-sam-ing segera menyatukan serangan mereka bertiga, tusukan demi tusukan, jurus demi jurus nyaris seolah berubah jadi satu tusukan maut, satu kerja sama yang rapat dan luar biasa.
Dalam gerak serangan yang ada dalam Hoa-san-kiam-hoat, terdapat satu jurus bernama Thian-ho-hui (pertemuan sungai langit) yang terdiri dari tiga gerakan yakni, Ling-ciok-ta-kiau (gagak cerdik melangkahi jembatan), Cing-gou-leng-siu (kerbau hijau melayang di udara) serta Hui-tok- tiang-gong (melintasi langit luas), bila ke tiga jurus itu dilancarkan secara berantai maka akan tercipta berjuta perubahan yang sulit diduga, sebuah jurus serangan yang sangat tangguh.
Saat itulah Thiat Hui-king menggetarkan pedangnya menciptakan bunga pedang yang melapisi udara, begitu padat ibarat sebuah jembatan penghubung langit yang ambruk ke bawah.
Bersamaan waktu, Sik Ling-un dengan jurus Cing-gou-leng-siu menyergap dari sisi lain.
Dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya, Siau Hui-uh mengigos ke sana sini, secara beruntun ia berhasil menghindari kedua jurus serangan itu.
Tapi disaat yang bersamaan, cahaya pedang dari Ouyang Miau telah menyapu tiba dari arah samping, ibarat bianglala berwarna hijau yang membelah angkasa, ia mengancam seluruh tubuh lawan.
Suatu kerja sama yang luar biasa dari ketiga orang itu, tiga gerakan yang berbeda dilancarkan dalam satu jurus serangan secara bersama, bukan saja perubahannya tak terduga, pada hakekatnya tidak memberi peluang kepada lawan untuk menghindar.
Diam-diam Siau Hui-uh merasa terkejut, dia tak menyangka kalau dalam dunia persilatan, khususnya dari daratan Tionggoan, ternyata terdapat jagoan sedemikian hebatnya.
Darimana dia tahu kalau rasa kaget yang mencekam Hoa-san-sam-ing justru berlipat dari perasaan hatinya.
Biarpun harus melawan tiga jago pedang kenamaan dengan tangan kosong, ia sama sekali tidak tampak keteteran atau menunjukkan gejala akan kalah.
Tampak tubuhnya berputar kian kemari bagaikan sekun tum bunga yang melayang diantara hawa pedang yang menderu.
Dalam pada itu bintang yang bertaburan di angkasa sudah mulai berguguran, malam yang pekat sudah berada diujung menjelang fajar.
Puluhan gebrakan berlalu dengan cepatnya, meskipun gerakan tubuh Siau Hui-uh sama sekali tidak mengendor, namun pikiran dan perasaan hatinya amat kalut.
Kini, dia hanya merasa jengkel dengan ke tiga orang lawannya, mendongkol mengapa mereka tidak menelusuri dulu duduknya perkara, tapi langsung mengurungnya sehingga memberi kesempatan kepada Liu Tan-yan untuk melarikan diri.
Kini dia terfirnah, dituduh berbuat tak senonoh, kalau tuduhan ini tidak direhabilitasi, bagaimana cara dia untuk tampil dikemudian hari" Tapi Liu Tan-yan sudah kabur hingga lenyap tak berbekas, ke mana dia harus mencari jejaknya" Tanpa terasa dia teringat kembali dengan para pelayannya, teringat pula dengan Kiong Ling-ling si bocah bernasib jelek itu, mengapa hingga kini tak nampak mereka bertindak" Mungkinkah sudah terjadi sesuatu dengan mereka" Diapun teringat akan Tian Mong-pek, pemuda yang selalu difirnah, dituduh yang bukan-bukan, pemuda yang harus pergi dengan hati mendongkol, kemanakah dia sekarang" Apakah dia bakal membenci dirinya" Diam-diam gadis itu menghela napas panjang.
Tiba-tiba terlihat cahaya hijau menyambar lewat dihadapan mukanya, ujung pedang yang berada ditangan Ouyang Miau telah menerobos masuk, memanfaatkan kesempatan disaat pikirannya sedang gundah, menyapu rambutnya hingga terpapas sebagian.
Bab 10. Hujan panah menghalau bangau terbang.
Tian Mong-pek berlarian meninggalkan bunga tho, menembusi hutan murbai, ketika mendongakkan kepala, terlihat cahaya api di perahu nelayan ditengah telaga, sebentar menyala sebentar redup, seolah olah mereka semua sedang mentertawakan nasibnya yang buruk.
Ia merasa tak pernah berbuat kejahatan, tak pernah menyalahi orang, tapi mengapa selalu dihina, dicemooh orang lain" Perasaan masgul, jengkel, mendongkol yang berkecamuk dalam dadanya, terasa sulit untuk dilampiaskan keluar, akhirnya dia menengadah sambil menghela napas panjang.
Untuk menghilangkan kejenuhan yang menekan dada, pemuda itupun berlari kencang, berlari sekuat tenaga.....
sampai akhirnya langkah kaki mulai melambat, namun pikiran dan perasaan hatinya tak pernah tenang, pengalamannya selama berapa hari terakhir bersamaan melintas dalam benaknya.
Tiba-tiba ia teringat akan Kiong Gim-bit, terbayang mimik muka orang tua itu menjelang ajalnya, segera pikirnya: "Hanya dikarenakan cemoohan dan hinaan Liu Tan-yan, aku boleh saja pergi dengan hati gusar, boleh saja aku tidak memikirkan persoalan apapun, mengesampingkan masalah apa pun, tapi bagaimana dengan Ling-ling" Apakah aku harus meninggalkan bocah itu ditangan manusia seperti Liu Tan-yan" Sekalipun aku mati, apakah aku masih punya muka untuk bertemu dengan Kiong Gim-bit di alam baka nanti?" Berpikir sampai disitu, tanpa dipertimbangkan lebih jauh, ia segera balik tubuh dan berjalan balik, keputusan ini diambil karena ia sudah tidak memiliki pilihan lain, bagaimana pun, dia harus selamatkan Kiong Ling-ling.
Baru sampai didepan hutan murbai, mendadak terlihat seekor kuda berlarian melintas lewat, kuda itu dilarikan sangat kencang, penunggangnya mengenakan topi lebar terbuat dari anyaman yang nyaris menutupi separuh wajahnya.
Ditengah kegelapan malam, hal ini semakin sulit untuk melihat lebih jelas raut muka orang itu, namun dari bayangan punggungnya, lamat lamat menyerupai tubuh Thian-kiau-seng Sun Giok-hud, bahkan dibelakangnya masih membonceng sesosok bayangan tubuh.
Waktu itu, pikiran Tian Mong-pek sedang dicekam persoalan serius, sehingga setelah melihatnya sekejap, ia tidak memperhatikan lebih serius.
Coba kalau waktu itu dia mau perhatikan lebih seksama, segera akan diketahui kalau bayangan tubuh yang membonceng dibelakang orang itu tak lain adalah Kiong Ling-ling yang sedang dicari.
Sayang sekali dia hanya memperhatikan sekejap lalu menerobos masuk ke dalam hutan.
Selewatnya hutan murbai, dari balik hutan bunga tho ia saksikan hawa pedang menyelimuti angkasa, diantara suara benturan senjata, terselip suara bentakan seorang wanita: "Jika kau enggan mengawini lojit .
. . . . . . . .. mengapa harus membohonginya" Jika kau mencintainya, mengapa enggan kawin jadi suami istri dengannya" Bila kau tidak bicara sampai jelas, biar Lojit bakal sedih pun, hari ini aku bersumpah akan membunuhmu" Kemudian terdengar suara Siau Hui-uh mengumpat dengan nada gusar: "Kentut busuk apa yang sedang kau lepas!" Tian Mong-pek yang mendengar pembicaraan itu jadi melengak, pikirnya: "Siapa itu lojit" Masa Siau Hui-uh pun seorang wanita cabul yang telah membohongi jite orang lain?" Berpikir sampai disitu, ia segera menyelinap masuk ke balik hutan tho.
Begitu melihat kehadiran pemuda itu, dengan perasaan girang Siau Hui-uh segera berteriak: II "Tian Mong-pek, kebetulan sekali kedatanganmu.
Aku . . . . .. Satu tebasan pedang dari kepodang batu Sik Ling-uh menghentikan ucapannya yang belum selesai.
Terdengar kepodang baja Thiat Hui-king menghardik: "Hei anak muda, menyingkir dari situ, jangan mencampuri urusan kami, tahukah kau, bangsat ini bukan wanita, dia manusia siluman, banci keparat" Hijau membesi paras muka Siau Hui-uh saking gusarnya, kontan saja dia ikut mencaci maki.
Sejak kecil gadis ini sudah terbiasa dimanja, ia sudah terbiasa berbuat semau sendiri, baginya, laki perempuan itu sama saja, jadi tak ada perbedaan antara lelaki dan wanita.
Karena pandangan inilah, dihari biasa baik tindak tanduk maupun caranya berbiacara tidak pakai aturan, dia langgar semua tradisi dan tak ambil peduli dengan kritikan orang.
Terdengar kepodang perak Ouyang Miau mengejek pula sambil tertawa dingin: "Jika bangsat ini bukan lelaki, mana mungkin dia bisa mengumpat orang dengan ucapan kotor?" Sekali lagi Tian Mong-pek tertegun, pikirnya: "Ternyata dia bukan wanita! Ternyata .
. . . . .. ternyata dia seorang laki-laki! Tak heran kalau tindak tanduk serta caranya berbicara sama sekali tak menunjukkan kewanitaannya" Membayangkan sampai disini, timbul perasaan muak dihati kecilnya, dia mulai menyesal kenapa bisa berkenalan dengan manusia seperti ini.
"Tian Mong-pek!" terdengar Siau Hui-uh berteriak keras, "kau jangan ll percaya dengan ucapan perempuan perempuan itu .
. . . .. Tian Mong-pek mendengus, tanpa banyak bicara dia menerobos masuk ke dalam bangunan rumah, apa yang terpikir sekarang hanya menemukan Kiong Ling-ling secepatnya.
Biarpun Siau Hui-uh berteriak dan menjerit jerit, dia sama sekali tidak menggubris, berpaling pun tidak.
Setelah menembusi serambi, pemuda itu menerobos masuk ke dalam ruang utama, segera teriaknya: "Aku Tian Mong-pek sengaja datang untuk menjemput keponakanku Kiong Ling-ling!" Siapa tahu meski sudah berteriak berulang kali, suasana dalam ruangan tetap hening tanpa jawaban.
"Celaka!" pekik Tian Mong-pek dalam hati.
Cepat dia mendorong pintu ruangan dan menerobos masuk, biarpun empat penjuru telah digeledah dengan seksama, ternyata tak nampak sesosok bayangan manusiapun.




Semakin dipikir, ia makin gelisah, akhirnya dengan suar a nyaring teriaknya: "Ling-ling! Ling-ling! Dimana kau" Paman datang mencarimu .
. . . . .. paman datang mencarimu . . . . . . .." sudah hampir setengah harian dia berteriak, namun tetap tiada jawaban, akhirnya sambil berdiri tertegun disudut ruang, pemuda itu berdiri melongo, ia betul-betul sudah kehabisan daya.
"Kiong locianpwee" gumamnya, "aku bersalah kepadamu, aku bersalah kepadamu .
. . . . . .." Sekonyong-konyong terdengar suara rintih kesakitan berkumandang dari belakang tubuhnya, suara itu ada lelaki ada wanita.
Dalam kagetnya Tian Mong-pek membalikkan badan, belakang tubuh merupakan dinding ruangan, dari balik dinding itulah suara rintihan itu berasal.
"Jangan-jangan dibalik dinding terdapat ruang rahasia?" ingatan tersebut melintas lewat, cepat ia perhatikan tempat itu lebih seksama.
Saat itu sinar fajar telah menerangan ruangan, menyinari dinding ruang yang bersih tanpa debu, namun disamping kosen jendela terdapat bercak kuning karena keringat yang mengering, sudah jelas bagian itu sering dipegang orang sehingga meninggalkan noda kotor.
Semenjak kecil, ketajaman matanya memang melebihi orang, maka dalam sekilas pandang, ia segera menemukan ketidak beresan tempat itu.
Maka diawasinya kosen jendela itu dengan lebih seksama, kemudian dirabanya satu kelilingan.
Betul saja, tiba tiba terdengar suara lirih bergema dari atas dinding, lalu muncullah sebuah pintu rahasia, pintu itu terhubung dengan sebuah lorong bawah tanah, dari balik lorong inilah suara rintihan itu terdengar makin jelas.
Sesudah menenangkan diri, dengan kesiagaan penuh pemuda itu menelusuri lorong bawah tanah itu, dibalik cahaya lentera berwarna merah yang menerangi lorong, seolah-olah tersembunyi ancaman bahaya maut dari empat penjuru.
Ia merasa hatinya gugup bercampur ngeri, namun dengan semangat pantang mundur pemuda itu tetap maju terus ke depan.
Akhirnya tibalah dia dipenghujung lorong rahasia itu, setelah melewati sebuah pintu rahasia, terlihat selapis mutiara yang warna warni menghadang didepan mata, dari balik mutiara itulah suara rintihan kesakitan berasal, membuat siapapun yang mendengar, semakin tak kuasa untuk mengumbar perasaan hatinya.
Tian Mong-pek segera menyingkap untaian mutiara itu, kemudian diiringi suara bentakan dia menerobos masuk ke dalam.
Tapi apa yang kemudian terlihat membuat pemuda itu tak tahan untuk menjerit kaget, cepat dia mengalihkan pandangan matanya ke arah lain.
Apa yang terlihat dalam ruangan itu sungguh membuat perasaan hatinya miris, dibawah cahaya lentera berwarna merah, terlihat belasan orang perempuan bugil terkapar lemas diatas tanah, tubuh mereka mengejang keras, wajahnya berkerut menahan rasa sakit yang luar biasa, tidak jelas racun apa yang sedang bekerja dalam tubuh mereka.
Selain belasan gadis bugil itu, terdapat pula berapa orang lelaki, mereka pun terkapar dilantai sambil kejang-kejang, rintihan kesakitan bergema tiada hentinya.
Diseluruh permukaan lantai penuh berserakan pula sisa piring, cawan dan hidangan, tampaknya benda-benda itu berjatuhan ketika racun sedang bekerja ditubuh mereka.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah kawanan lelaki itu ternyata bukan lain adalah Hong Ku-bok serta para pengikut yang dibawa Siau Hui-uh.
Tampaknya orang-orang itu dipancing Liu Tan-yan untuk masuk ke ruang rahasia itu, masuk ke dalam perangkap wanita bugil yang telah disiapkan, dengan umpan seperti ini, tentu saja mereka enggan meninggalkan tempat itu, semua orang ingin bergembira, ingin mencari kesenangan, siapa pula yang mengira kalau dalam arak telah dicampuri racun keji" Tian Mong-pek segera membangunkan Hong Ku-bok sambil menegur: "Apa yang sebenarnya telah terjadi?" II "Racun .
. . . .. racun . . . . . .. sambil mengepal tinjunya Hong Ku-bok merintih.
"Mana Kiong Ling-ling" Dimana ia sekarang?" tanya Tian Mong-pek lagi cemas.
"Suu..... sudah dii..... dibawa pergi" Dia tidak tahu siapakah Liu Tan-yan itu" Diapun tak bisa menduga apa sebabnya Liu Tan-yan mencelakai pula kawanan gadis itu, karena sama sekali tidak menaruh kecurigaan itulah maka tanpa disadari dia pun dipecundangi orang.
Tentu saja dia sama sekali tak tahu kalau Liu Tan-yan telah memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, karena itulah dia berniat sekalian membantai kawanan gadis yang sudah kenyang ditiduri dan diperkosa itu.
Tian Mong-pek mencoba mengajukan berapa pertanyaan lagi, namun pada hakekatnya Hong Ku-bok sudah tak mampu menjawab.
Pemuda itu sadar, hanya dengan memunahkan racun yang bersarang ditubuh orang-orang itu, duduknya persoalan baru bisa diselidiki hingga jelas.
Dengan suara serius ujarnya kemudian: "Cobalah kalian bersabar sejenak lagi, aku akan pergi mencari obat pemunah untuk menolong kalian" Dengan cepat dia menerobos keluar dari lorong bawah tanah, tapi Liu Tan-yan sudah lenyap entah ke mana, sementara ia sendiripun tidak paham ilmu pertabiban, kemana ia harus menemukan obat penawar racun" Dalam gelisah bercampur panik, terpaksa pemuda itu berjalan keluar dari bmwmmnrmmm Saat itu fajar telah menyingsing, dibawah cahaya matahari pagi terlihat pertarungan antara Hoa-san-sam-ing melawan Siau Hui-uh masih belum berkesudahan, terlihat peluh telah membasahi tubuh mereka semua.
Sambil menggertak gigi Tian Mong-pek segera berteriak keras: "Siau Hui-uh, aku mau tanya, kemana perginya Liu Tan-yan" Tahukah kau bahwa Hong Ku-bok sekalian sudah keracunan?" Begitu mendengar teriakan itu, dengan perasaan terperanjat teriak Hoa-san-sam-ing: "Apa kau bilang?" "Dia...
dia bukan Liu Tan-yan?" jerit kepodang batu Sik Ling-un pula.
"Tentu saja dia bukan Liu Tan-yan" jawab Tian Mong-pek.
"Jangan jangan bangsat ini sedang membohongi kita .
. . . .." sela Thiat Hui-king.
"Buat apa aku membohongi kalian?" teriak Tian Mong-pek, "sudah sedari tadi Liu Tan-yan melarikan diri" Kini dia sudah dapat melihat kalau dibalik kejadian itu telah terjadi kesalah pahaman.
Terlihat Hoa-san-sam-ing saling bertukar pandangan, menyusul kemudian serangan yang mereka lancarkan pun semakin mengendor.
Namun Siau Hui-uh enggan menyudahi dengan begitu saja, diiringi suara bentakan, dalam waktu singkat kembali dia melancarkan berapa jurus serangan.
Agak sangsi Kepodang perak Ouyang Miau berteriak: "Jika kau bukan Liu Tan-yan, harap segera menghentikan serangan, dengan begitu kami bisa melakukan penyelidikan hingga jelas, bila dalam kenyataan kami yang bersalah, sudah pasti kami bertiga akan minta maaf" "Minta maaf?" Siau Hui-uh tertawa latah, "sudah cukup lama kalian merecoki aku, membuat posisiku serba salah, sejak tadi aku sudah berulang kali minta kalian untuk mendengarkan penjelasanku, tapi kalian enggan ambil peduli, coba kalau kungfu ku lemah, bukankah sejak tadi sudah kalian tangkap" Bahkan bisa jadi sudah kalian bunuh.
Hmm, kini kalian minta aku menghentikan serangan, memangnya aku langsung menuruti permintaan kalian dengan menghentikan serangan?" Tertegun Hoa-san-sam-ing sesudah mendengar ucapan tersebut, tampak jurus serangan yang dilancarkan sepanjang pembicaraan, makin lama semakin ganas, sudah jelas hal ini menunjukkan kalau hatinya amat penasaran.
Diantara ke tiga orang kepodang, kepodang baja Thiat Hui-king yang paling temperamen, serunya gusar: "Kalau memang begitu, mau apa kau" Memangnya kau masih sanggup menelan kami bertiga?" Siau Hui-uh balas tertawa dingin.
"Hmm, memang kalian anggap mau datang langsung datang, mau pergi langsung pergi" Tak ada kejadian segampang itu di kolong langit, tunggu saja sampai aku puas dengan pertarunganku" Sepasang jari tangannya kembali disentil, "Triiing!" dengan telak sentilan itu bersarang diujung pedang Thiat Hui-king.
Si kepodang baja seketika merasakan pergelangan tangannya bergetar keras, hampir saja pedangnya terlepas dari genggaman.
"Kau ini . . . . . .." teriak Sik Ling-un gelisah, "kenapa begitu .
. . . .." "Begitu apa?" teriak Siau Hui-uh lantang, berapa jurus serangan yang kemudian dilancarkan memaksa Sik Ling-un mundur berapa langkah.
Melihat lawannya sama sekali enggan menyudahi pertarungan, bahkan serangannya makin ganas, Hoa-san-sam-ing tak berani berayal, jurus pedang mereka pun tak berani mengendor, dalam waktu singkat tiga bilah pedang bersatu padu memainkan jurus serangan dari Hoa-san-kiam-hoat.
Seketika itu juga pertempuran sengit kembali berlangsung.
Dalam pada itu Tian Mong-pek amat menguatirkan keselamatan Kiong Ling-ling, dengan perasaan cemas kembali teriaknya: "Nona Siau, tolong hentikan seranganmu .
. . . .. "Kau tak usah mencampuri urusanku" bentak Siau Hui-uh gusar, "memangnya Il aku harus menelan semua kepahitan ini dengan begitu saja .
. . . . . .. Tiba-tiba ia teringat kembali atas perbuatannya yang telah menuduh Tian Mong-pek secara semena-mena, kontan saja ucapan berikut tak sanggup dilanjutkan.
II "Akupun pernah salah menuduhnya dalam hati Tian Mong-pek berpikir, "hampir saja kusangka dia adalah wanita jalang, bahkan nyaris menuduhnya sebagai manusia siluman yang berkelamin ganda.
Aaai! Kelihatannya dalam kehidupan manusia, memang tak terlepas dari pelbagai kesalah pahaman.
Ketika ia salah menuduhku, mungkin saja hal tersebut bukan muncul dari lubuk hatinya, tapi hanya terperangkap oleh siasat busuk orang lain" Berpikir sampai disitu, perasaan gusarnya terhadap Siau Hui-uh pun seketika hilang tak berbekas, ketika sinar mata mereka saling bertemu, kedua belah pihak pun sama-sama merasa bersalah dan meminta maaf.
Segulung angin berhembus lewat dihutan tho, dari balik rimbunnya pepohonan, tiba tiba terbang keluar seekor bangau berwarna abu-abu, tidak nampak bagaimana bangau itu membentangkan sayap, tahu tahu ia sudah terbang mendekat.
Dengan perasaan heran Tian Mong-pek pasang mata baik-baik, ternyata yang semula dia angkap sebagai bangau abu-abu yang bergerak mendekat itu merupakan kumpulan asap kabut, tatkala terbang diatas kepala semua orang, bangau abu-abu itupun berubah jadi selapis asap begitu terkena sambaran pedang dan buyar ke empat penjuru.
"Bagus" serentak Hoa-san-sam-ing berteriak, "San-im lojin telah datang" "Aaah, siau-supek telah datang" teriak Siau Hui-uh pula kegirangan.
Belum selesai dia erteriak, dari balik hutan tho kembali terbang datang serentetan bangau kecil disusul seseorang meluncur tiba dengan kecepatan tinggi.
Dia adalah seorang kakek kecil pendek berbaju putih, dipunggungnya menggendong seseorang, sedang ditangannya menggenggam sebuah huncwee yang amat besar, panjang huncwee itu hampir tiga depa (1 meter), berwarna putih berkilat dan tergantung sebuah kantung tembakau.
Sambil menghisap huncweenya, tiada hentinya kakek itu menyemburkan asap dari hidungnya, asap yang tersembur keluar itulah berubah jadi bangau- bangau kelabu kecil, ada yang besar, ada pula yang kecil.
Semua bangau itu beterbangan diantara bunga tho dan tampak seperti bangau benaran.
Belum pernah Tian Mong-pek menyaksikan peristiwa semacam ini, untuk berapa saat dia hanya terdiri melongo.
Dalam pada itu Hoa-san-sam-ing maupun Siau Hui-uh telah berlarian menyongsong kedatangan kakek itu.
Tampak si kakek kembali menghisap huncwee nya dalam-dalam lalu disembur keluar, kali ini asap yang disembur keluar semuanya berbentuk anak panah.
Anak panah yang tersembur itu segera mengejar asap bangau yang diciptakan semula kemudian membidiknya satu per satu.
Dalam waktu singkat hujan panah yang dilepaskan itu menghancurkan asap bangau yang ada hingga tak tersisa satupun.
Menyaksikan adegan ini, Tian Mong-pek menghela napas panjang, ia merasa seakan sedang bermimpi.
Sementara itu Siau Hui-uh sudah menarik bahu kakek itu sambil berseru: "Siau supek, kenapa kau orang tua bisa sampai disini?" Hoa-san-sam-ing telah maju pula memberi hormat.
Kakek itu selain putih rambut dan jenggotnya, diapun mengenakan pakaian putih bagai salju, kalau ditambah lagi dengan bangau kelabu yang disembur dari asap tembakaunya, orang yang tak tahu pasti akan menganggapnya dewa.
Tampak dia mengeluarkan asapnya yang terakhir, kemudian baru berkata sambil tertawa nyaring: "Bagus, bagus, ayoh bangun semua.
Sewaktu aku dengar bocah itu mengatakan kalau disini ada nona yang begini, begini bentuknya, aku segera tahu kalau kau pasti ada disini, tapi mengapa kau malah berkelahi sendiri dengan kepodang-kepodang cilik dari gunung Hoa-san?" "Darimana kau orang tua bisa kenal dengan mereka?" seru Siau Hui-uh manja, "mereka .
. . . .. mereka . . . . .. tanpa sebab yang jelas, mereka...
mereka ingin menangkapku untuk dikawinkan dengan adik nya" Kakek berbaju putih itu segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha....aku si orang tua selalu berdiam di gunung Hoa-san, tentu saja kenal dengan mereka si nona-nona yang sepanjang hari suka keluyuran digunung" Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya: "Eii, kenapa kalian ingin menangkap keponakanku untuk dipaksa kawin" Biarpun keponakanku ini sedikit agak liar, diapun seorang nona asli!" Merah padam wajah tiga kepodang dari Hoasan, dengan wajah tersipu mereka tundukkan kepalanya .
"Ngawur.... ngawur . . . . .. betul-betul ngawur semua .
. . . .." kembali kakek itu menggeleng sambil tertawa.
"Darimana kau orang tua bisa tahu kalau aku berada disini?" tanya Siau Hui-uh kemudian.
"Ditengah jalan tadi, kulihat ada seorang lelaki dengan membawa seorang gadis melarikan kudanya kencang-kencang, dari sikap dan gerak geriknya, aku tahu kalau ia sedang panik, gugup dan tergesa gesa.
Melihat itu aku keheranan dan minta dia hentikan lari kudanya, siapa tahu bocah itu mungkin kuatir perbuatan jahatnya ketahuan, begitu mendengar aku bertanya soal gadis itu dan melihat pula kepandaianku, ternyata tanpa bicara ia segera tinggalkan gadis yang dibawanya itu" Kemudian setelah menggeleng sambil tertawa, terusnya: "Orang itu betul-betul sangat licik, menanti aku orang tua membopong bocah perempuan itu, dia sudah melarikan diri.
Saat itu aku si orang tua menjumpai kalau bocah perempuan ini terkena obat pemabok bahkan terluka pula, terpaksa kuobati dulu lukanya kemudian baru bertanya, ternyata ia terburu buru ingin kembali ke hutan bunga tho ini.
Aku kuatir dia kelewat emosi, maka jalan darah tidurnya kutotok dulu kemudian baru menyusul kesini, ternyata kalian semua pun ada ditempat ini" Sambil berkata ia turunkan orang yang dibopongnya itu.
Begitu melihat siapa yang digendong kakek itu, kontan Tian Mong-pek menjerit kaget: "Ling-ling .
. . . . . . . .." Kakek berbaju putih itu memandang Tian Mong-pek berapa kejap, ujarnya setelah itu: "Ooh, rupanya kaulah sang paman yang disebut bocah ini" Ehm, ternyata memang bukan pemuda jahat" Sementara itu Tian Mong-pek telah memburu maju ke hadapan kakek itu.
"Ternyata ketajaman mata kau orang tua memang hebat" terdengar Siau Hui-uh berseru sambil tertawa, "dalam sekali pandang sudah tahu kalau dia jahat atau tidak" Kakek berbaju putih itu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, bagus, bagus sekali, sejak kapan kau si budak liar mulai menghargai seorang lelaki" Bukankah kau sering mengatakan kalau lelaki itu seperti lumpur, kotor lagi bau .
. . . . . . .." Merah padam selembar wajah Siau Hui-uh karena jengah, untuk sesaat dia tak sanggup berkata-kata.
"Hahaha... bagus, sangat bagus" kembali kakek itu berkata sambil tertawa, "ternyata pipi mu mulai memerah karena jengah" Dalam pada itu Tian Mong-pek merasa sangat gembira, amat lega setelah melihat Kiong Ling-ling tertidur begitu pulas dalam pelukan kakek berambut putih itu, khususnya setelah melihat napasnya yang teratur dan pipinya yang mulai merah bercahaya.
Dipihak lain, secara diam-diam Hoa-san-sam-ing saling bertukar pandangan sekejap, lalu sambil memberi hormat katanya: "Bila kau orang tua tak ada perintah lain, boanpwee sekalian hendak mohon diri" Sambil tertawa kakek itu manggut-manggut, ujarnya: "Sekembali ke gunung Hoa-san, sering-seringlah kalian berkunjung ke san-im, ditempat ku sudah tak ada yang bakal mengganggu kalian lagi" Hoa-san-sam-ing mengiakan, baru akan meninggalkan tempat itu, mendadak terdengar Siau Hui-uh berseru sambil tertawa dingin: "Hmm, kalian ingin pergi dengan begitu saja?" Ouyang Miau bertiga saling bertukar pandangan sekejap, agak tersipu mereka menghentikan langkahnya.
"Eei, kenapa kau melarang mereka pergi .
. . . . . . .." tanya si kakek keheranan.
"Mereka telah menfitnahku .
. . . .. memaksa aku untuk . . . . ..untuk....." Tiba-tiba ia melirik Tian Mong-pek sekejap kemudian menghentikan perkataannya.
Tian Mong-pek cukup tahu penyebab gadis itu tidak meneruskan ucapannya, tanpa terasa ia lemparkan sekulum senyuman terima kasih kepadanya.
Walau hanya dalam satu tatapan mata, namun kedua belah pihak tahu kalau masing-masing telah dimaafkan, hal ini membuat perasaan hangat pun muncul dihati kecil mereka berdua.
Ketika sepasang mata beradu, bagaikan seorang gadis alim, tersipu sipu Siau Hui-uh menundukkan kepalanya.
Sambil tertawa kakek berbaju putih itu segera mengulapkan tangannya.
"Hei kepodang-kepodang cilik" serunya, "sekarang kalian sudah boleh terbang" Hoa-san-sam-ing segera memberi hormat kemudian bergegas meninggalkan hutan bunga tho.
Sepeninggal ke tiga orang kepodang, kakek berbaju putih itu baru menepuk bahu Tian Mong-pek dengan huncwee nya, lalu ujarnya sambil tertawa: "Hei bocah, ternyata kau hebat juga, aku ingin tahu, dengan cara apa kau bisa mengubah watak aneh keponakan perempuan ini jadi begitu lembut?" Merah padam selembar wajah Tian Mong-pek.
Sedang Siau Hui-uh segera berseru manja: "Belum lagi bertanya siapakah dia, kau orang tua sudah mengajaknya bergurau" "Oya" Lantas siapa dia?"
"Dia tak lain adalah putra dari perempuan yang dalam pandangan kau orang tua sebagai wanita terbaik" "Siapa dia?" berubah paras muka kakek berbaju putih itu.
Walaupun pertanyaan yang sama, namun nada bicaranya sangat berbeda dengan nadanya tadi.
Tampaknya Siau Hui-uh sengaja hendak membuat kakek itu panik, bukannya menjawab, dia malah berpaling dan ujarnya kepada Tian Mong-pek sambil tertawa: "Biarpun dia orang tua agak aneh wataknya, tapi sikapnya terhadap ibumu baik sekali, malah dia memiliki sebuah nama yang aneh sekali, ia bernama Mo Mok-ngo (Jangan melupakan daku), apakah kau pernah mendengar nama ini"' Tian Mong-pek merasa terperanjat sekali, tiba-tiba ia teringat dengan pesan terakhir ibunya: \\ .
. . . . .. pergilah ke belakang San-im digunung Hoa-san, carilah seorang kakek yang bernama Mo Mok-ngo, asal kau memanggil namanya, ia akan muncul dihadapanmu dan membawanya pergi ke suatu tempat yang sangat II rahasia .
. . . . . . .. Ketika mendongakkan kepala, ia jumpai paras muka kakek berbaju putih itu telah berubah jadi amat serius.
Melihat itu sambil tertawa seru Siau Hui-uh: "Jika kau orang tua ingin bertemu Sam A-ie, suruh saja dia ajak II dirimu .
. . . . .. "Sam A-ie mu sudah meninggal" tukas kakek berbaju putih itu serius.
Bergetar sekujur tubuh Siau Hui-uh, tanpa terasa ia berpaling kearah Tian Mong-pek sambil bertanya: "Beee....
benarkah itu?" Dengan sedih Tian Mong-pek mengangguk.
Siau Hui-uh tertegun berapa saat, dengan air mata berlinang bisiknya gemetar: "Kee....
kenapa tidak kau katakan sejak dulu?" Kelihatannya dia mempunyai hubungan batin yang sangat dalam dengan bibi ketiganya itu.
Tian Mong-pek selain sedih, diapun merasa berterima kasih sekali, untuk sesaat dia tergagap, tak mampu mengucapkan sepatah katapun sementara air matanya mulai mengembang.
Mendadak Mo Mok-ngo melompat kehadapan Tian Mong-pek, lalu sepatah demi sepatah kata tanyanya: "Jadi kau adalah putra Tian Hua-uh....?" ll "Boanpwee .
. . . . . .. Mo Mok-ngo tertawa dingin, tiba tiba huncwee nya disabet ke muka dengan kecepatan tinggi, langsung mengancam jalan darah ciang-tay-hiat di dadanya.
"Hei, apa yang hendak kau lakukan?" jerit Siau Hui-uh.
"Bajingan ini penipu!" kata Mo Mok-ngo ketus.
"Penipu" Menipu apa?" tanya Siau Hui-uh kaget.
"Putra sam a-ie mu dengan Tian Hua-uh sudah mendatangi gunung Hoa-san dan menemui aku berapa waktu berselang, bahkan dia beritahu kalau sam a-ie sudah meninggal karena sakit, sebelum meninggal berpesan agar dia datang mencari aku, minta aku menghantar ke tempat ayahnya dan menyerahkan semua barang milik ayahnya kepada dia.
Ketika aku dengar kau dan siau-Hoa telah keluar rumah, maka akupun ikut berpesiar ke wilayah Kanglam, karena itu pula aku dapat berjumpa dengan kau di telaga Tay-ou.
Tapi sekarang bajingan ini berani membohongi aku, mengaku kalau dia adalah putra Tian Hua-uh, masa aku tak boleh kasi pelajaran terhadap manusia semacam ini?" "Tapi.....
tapi siapa tahu justru orang itu yang gadungan?" kata Siau Hui-uh agak tergagap.
"Orang persilatan mana yang mengetahui namaku" Siapa pula yang tahu cara menemukan aku di gunung Hoa-san" Jika orang itu gadungan, darimana dia bisa mengetahui saat kematian bibi ke tigamu bahkan dia mengetahui tentang Tian Hua-uh jauh lebih jelas dari siapa pun.
Lagian orang itu bersih, tampan dan sangat cerdas, bila orang itupun dianggap gadungan, aku yakin orang ini terlebih tidak asli" Tian Mong-pek yang mendengar kesemuanya itu merasa gelisah bercampur gusar, namun diapun tercengang.
"Siapa pula pemuda itu?" demikian ia berpikir, "darimana ia bisa tahu semua rahasia itu" Kenapa pula dia harus menyaru jadi aku?" Namun walaupun sudah dipikir lebih mendalam pun tiada jawaban memuaskan yang diperoleh, diapun tak dapat menebak siapa gerangan orang itu.
Setelah tertegun berapa saat, kembali Siau Hui-uh menghela napas sambil berkata: "Sekalipun gadungan, tapi ia tak pernah berbuat kejahatan, ampunilah dia!" Mo Mok-ngo menatap Siau Hui-uh berapa saat lalu menyerahkan Kiong Ling-ling ketangan gadis itu, perlahan ia membuka kantong tembakau, mengambil sedikit daun tembakau itu dan disulut dengan api.
"Hei, apa yang hendak kau lakukan?" tak tahan Siau Hui-uh bertanya.
Tiba tiba saja ia merasa sangat menguatirkan keselamatan si penipu itu, hal mana membuat pipinya kembali memerah.
Mo Mok-ngo menghembuskan asap huncwee nya langsung ke tenggorokan Tian Mong-pek, seketika pemuda itu merasakan tenggorokannya jadi lancar, biarpun badannya belum mampu bergerak, namun ia sudah dapat bersuara.
"Katakan kepadaku, siapa kau sebenarnya?" kembali Mo Mok-ngo menghardik.
Tian Mong-pek tertawa dingin, ia sama sekali tak menjawab.
"Kau berani tidak menjawab?" bentak Mo Mok-ngo gusar.
Tiba tiba dia membuka mulutnya dan kembali menyemburkan asap tembakau.
Setiap pertanyaan yang tidak dijawab, langsung disambut kakek itu dengan semburan asap, berpuluh asap tembakau itu seakan tusukan anak panah yang menembusi kulit badannya.
Dalam waktu singkat seluruh tubuhnya sudah bermandikan keringat, tapi pemuda itu tetap menggigit bibir tanpa menjawab sepatah katapun.
Siau Hui-uh jadi gelisah bercampur kasian, katanya sambil menghela napas sedih: "Mengapa kau tidak bicara?" Tian Mong-pek tertawa kelap, jawabnya: "Bicarapun tak ada yang percaya, buat apa aku musti buang waktu dan tenaga?" "Tapi bila kau bisa memperlihatkan tanda pengenal yang membuktikan .
. .



. . .." "Aku adalah aku, kau adalah kau" tukas Tian Mong-pek gusar, "bila ada orang tak percaya kalau kau adalah Siau Hui-uh, bersediakah kau mencari tanda pengenal untuk membuktikan dirimu?" Siau Hui-uh tertegun, betul juga! Bukankah tadi ada yang tak percaya kalau dia adalah Siau Hui-uh, mengapa saat itu dia tidak berusaha menunjukkan tanda pengenal yang bisa membuktikan hal ini" sebagai orang yang berwatak keras, ia lebih suka menerima fitnahan itu daripada berusaha membuktikan diri.
Maka diapun mulai bertanya kepada diri sendiri: "Jangan-jangan kali inipun kami telah menuduhnya tanpa dasar?" Sementara dia masih termenung, sambil tertawa dingin Mo Mok-ngo telah berkata lagi: "Hmm, tidak kusangka kau begitu keras kepala!" Tian Mong-pek benar-benar merasa sedih bercampur gusar, setelah menghela napas panjang katanya: "Sejak dilahirkan, aku memang tidak memiliki apapun, bahkan sekarang akupun harus kehilangan nama.
Satu satunya yang kumiliki tinggal keras hati.
Kau boleh saja merampas namaku, kebebasanku, kehormatanku bahkan kau boleh merampas nyawaku, tapi keras hati tak pernah dapat kau rampas dariku!" Siau Hui-uh merasa hatinya bergolak keras, ucapan tersebut sangat menggetarkan perasaan hatinya.
Sementara Mo Mok-ngo berkerut kening, mendadak terdengar suara gelak tertawa nyaring bergema membelah keheningan, lalu terdengar seseorang berseru nyaring: "Seorang lelaki yang benar-benar berhati baja!" Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, terlihat seorang pendeta gemuk besar dengan memanggul sebuah bule-bule besar muncul dari balik hutan.
Dalam sekilas pandang, Tian Mong-pek segera mengenali pendeta itu sebagai hwesio arak dan daging yang telah membuat perjanjian pertarungan mati hidup dengan Tu Hun-thian sewaktu berada digunung Mo-kan-san tempo hari.
Tatkala hwesio itu berdiri disamping Mo Mok-ngo, terlihat perawakan tubuhnya tiga depa lebih tinggi dari rekannya, dalam pandangan pemuda itu, perawakan tubuhnya ibarat seorang raksasa.
Mo Mok-ngo berkerut kening kemudian serunya sambil tertawa nyaring: "Ooh, rupanya kau" Ternyata kau si gemuk belum mampus, mau apa datang kemari?" "Wah, tak kusangka kau masih teringat dengan diriku, luar biasa, sungguh luar biasa" seru hwesio gemuk itu tertawa.
Kemudian setelah menatap wajah Mo Mok-ngo berapa kejap, terusnya: "Berapa tahun tak bersua, sungguh tak nyana makin tua kau semakin keras kepala" "Sudah, tak usah dilanjutkan, tampaknya aku bakal ketimpa sial lagi" tukas Mo Mok-ngo Kemudian sambil berpaling kearah Siau Hui-uh katanya: "Lebih baik kau diumpat hwesio ini daripada dipuji puji, begitu dia mulai menyanjungmu, itu berarti bakal ada permintaan yang bakal diajukan dan kau tak bakal bisa lolos dari cengkeramannya" Mendengar itu kontan saja hwesio gemuk itu tertawa tergelak.
"Hahaha, ternyata loheng memang sahabat karibku" "Hmm, orang persilatan menyebutmu Thian-ma-ciang (pukulan kuda langit), tapi menurut aku, kau lebih cocok disebut Pa-ma-ciang (Pukulan jilat pantat).
Hei Ma hwesio, ada urusan apa kau datang kemari, apa yang harus kulakukan untukmu?" Ketika tahu kalau hwesio gemuk itu adalah Thian-ma ceng-jin, diam diam Tian Mong-pek merasa terkesiap, sambil tertawa getir pikirnya: "Sama sekali tak kusangka, dari tujuh manusia kenamaan dunia persilatan, hari ini kembali aku bertemu dengan salah satu diantaranya!" Tampak Thian-ma hwesio menuding kearah Tian Mong-pek sambil berkata: "Loheng tak usah kuatir, aku hanya ingin mengajak pergi anak muda itu" "Jadi kau kenal dengan dirinya?" tanya Mo Mok-ngo tertegun.
"Tidak, sama sekali tidak, antara aku dengan dia tiada hubungan sanak maupun saudara" "Kalau bukan sanak saudara, kenapa hendak mengajaknya pergi?" Tian Mong-pek sendiripun merasa tercengang bercampur kaget, belum sempat bertanya, terdengar Thian-ma hwesio telah berkata: "Karena aku mempunyai satu urusan yang sangat penting, dikolong langit saat ini, kecuali pemuda ini, tak ada orang lain yang mampu melakukannya" "Urusan apa?" kembali Mo Mok-ngo tertegun.
"Urusan ini rahasia sekali, aku tak bisa memberitahukan kepadamu" Mo Mok-ngo termenung sesaat, mendadak bentaknya: "Siapa disitu?" Sambil putar badan ia semburkan segumpal asap huncwee ke dalam hutan bunga tho.
Tampak daun dan bunga berguguran, dari balik hutan terlihat dua sosok manusia berdiri tertunduk, seorang lelaki tua dan seorang pemuda, ternyata mereka tak lain adalah Hong Sin dan Hong It, ayah beranak.
"Mau apa kalian berdua datang kemari?" tegur Siau Hui-uh keheranan.
Hong Sin berdua tak berani menjawab.
Sambil tertawa Thian-ma hwesio segera menjelaskan: "Akulah yang mengajak mereka berdua datang kemari" Ternyata Thian-ma hwesio sedang melacak keberadaan bendera Pek-poh-ki, ketika Hong Sin berdua berhasil melarikan diri dari ujung pedang Kiong Gim-pit, secara kebetulan mereka berdua bertemu dengan hwesio ini.
Dari merekalah Thian-ma hwesio baru tahu kalau Chin Mo-cuan telah tewas, sementara panji kain putih itu terjatuh ke tangan seorang pemuda bermarga Tian.
Maka dia pun mengajak Hong Sin berdua melacak keberadaan Tian Mong-pek.
Ditengah jalan mereka berjumpa dengan Sun Giok-hud yang kabur karena takut dengan Mo Mok-ngo, dari mulut orang ini pula mereka tahu kalau orang yang dicari berada di hutan bunga tho.
Ketika tiba ditepi hutan, Hong Sin dan Hong It tak berani ikut masuk, siapa tahu ketika sedang mengintip dari balik pohon, jejaknya ketahuan Mo Mok-ngo.
"Hei anak muda" tegur Thian-ma hwesio sambil tertawa, "tahukah kau kenapa lohu datang mencarimu?" "Aku sama sekali tak kenal dengan dirimu, tolong jangan mencampuri urusanku" sahut Tian Mong-pek ketus.
Begitu melihat kemunculan Hong Sin berdua, kemudian teringat dengan perkataan yang diucapkan si hwesio ketika berada di bukit Mo-kan-san, ia segera tahu karena apa pendeta itu datang mencarinya.
"Aneh sekali" seru Thian-ma hwesio cepat, "aku datang untuk menolongmu, masa kau suruh aku tidak ikut campur?" "Silahkan segera pergi dari sini!" tukas Tian Mong-pek sambil pejamkan matanya.
"Hahaha, kalau pergi dari sini, kau bakal mati terpanggang oleh asap huncwee tua bangka itu.
Jadi..... aku tak boleh tinggalkan dirimu" "Hmm, biar harus matipun aku tak bakal menyanggupi permintaanmu itu, jadi lebih baik pergi saja ketimbang membuang waktu dan tenaga dengan percuma" "Jadi kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan?" "Tepat sekali!" jawab Tian Mong-pek sambil mendengus dingin.
"Dan kau menampik?" berubah paras muka Thian-ma hwesio.
"Tepat!" "Biar tak mau pun, kau harus bersedia!" bentak Thian-ma hwesio gusar, dia merangsek maju ke hadapan pemuda itu dan siap mencengkeramnya dengan tangannya yang besar.
Siapa tahu Mo Mok-ngo bertindak lebih cepat, bagai sambaran kilat huncweenya menyodok ke depan, dengan begitu cengkeraman dari Thian-ma hweesio persis mengarah keatas huncwee tersebut.
Kembali paras muka Thian-ma hwesio berubah, sambil membalikkan tubuh tegurnya: "Loheng, apa-apaan kamu?" Mo Mok-ngo tertawa dingin.
"Kalau ada persoalan, lebih baik dibicarakan secara baik-baik, kenapa harus main kasar begitu?" Sembari menyedot huncwee nva, perlahan-lahan ia bergeser sambil berdiri
Sembari menyedot huncwee nya, perlahan-lahan ia bergeser sambil berdiri dihadapan pemuda itu.
Thian-ma hwesio tertegun, dia lepaskan bule-bule dari punggungnya, sesudah menenggak arak baru tanyanya: "Lalu apa yang harus kuperbuat?" "Tunggu saja, biar aku pertimbangkan dulu persoalan ini" Begitulah, untuk sesaat kedua orang itu saling berhadapan tanpa bicara, yang satu menghisap huncwee nya, yang lain meneguk arak, biarpun sikap mereka berdua masih santai, padahal perasaan hati makin lama semakin tegang.
Tiba tiba Mo Mok-ngo tersenyum, sembari menyemburkan asap huncwee nya, ia berkata: "Biarpun belakangan ilmu silatmu mendapat kemajuan pesat, sayang kau masih bukan tandinganku" "Kalau benar, lantas kenapa?" jawab Thian-ma hwesio sambil meneguk arak.
"Menurut pendapatku, lebih baik tinggalkan tempat ini secepatnya!" Thian-ma hwesio tertawa dingin, mendadak ia menggapai ke arah asap bangau yang disemburkan lawan, begitu digenggam, tahu tahu asap itu sudah membeku lalu mengkristal, katanya: "Meneguk arak tanpa hidangan, rasanya kurang mantab, biarlah kugunakan bangau ini sebagai teman minum arak" Sambil bicara dia gigit sayap asap bangau itu lalu mengunyahnya dengan nikmat, sementara sisa asap yang setengah ternyata masih berada dalam genggaman.
Demonstrasi tenaga dalam semacam ini betul-betul hebat dan luar biasa.
Kontan saja Mo Mok-ngo tertawa tergelak, serunya: "Membakar alat musik, memasak bangau.
Dasar hwesio busuk, kau hanya merusak pemandangan" Baru selesai ia bicara, tiba tiba dari balik hutan bunga tho kembali terdengar suara keluhan seseorang yang lemah dan mengenaskan: "Mereka menganiaya aku, mereka menganiaya aku .
. . . .." Menyusul kemudian terdengar seorang lelaki tua menyahut: "Jangan menangis nak, ayah akan menyelesaikan masalahmu...." Sewaktu semua orang berpaling, terlihat seorang gadis berbaju hijau dituntun seorang kakek kurus, berjalan keluar dari balik hutan dengan langkah lebar.
"Eeei, kenapa tua bangka inipun muncul disini?" seru Thian-ma hwesio tanpa terasa.
Ternyata tua dan muda yang baru muncul tak lain adalah Tu Hun-thian serta putrinya, Tu Kuan.
Rupanya Tu Hun-thian yang menguatirkan keselamatan putrinya segera melakukan pencarian ke empat penjuru, akhirnya dia berhasil menemukan Tu Kuan yang sedang berlarian keluar dari hutan.
Dengan perasaan sedih Tu Kuan mengadukan semua kesedihannya kepada sang ayah dan mengajaknya menuju ke situ.
Tampak Tu Hun-thian agak tertegun sewaktu melihat kehadiran Thian-ma hwesio ditempat itu, kemudian sapanya sambil tertawa: "Taysu, kenapa kaupun berada disini .
. . . . . . .." Lalu sambil menengok Tian Mong-pek sejenak, terusnya: "Apakah lote ku ini punya permasalahan dengan taysu?" "Hahaha, tidak ada....
tidak ada . . . . .." jawab Thian-ma hwesio sambil tertawa tergelak.
"Pemuda itu hanya telah menyalahi aku si orang tua" sambung Mo Mok-ngo dingin.
Dengan sorot matanya yang tajam Tu Hun-thian menyapu sekejap wajah kakek itu, setelah menatap huncweenya yang besar dan berpikir sejenak, tegurnya: "Apakah kau adalah Yan-hok lojin (kakek asap bangau) yang tersohor dalam dunia persilatan?" "Tajam amat pandangan matamu" "Cayhe Tu Hun-thian, boleh tahu dalam urusan apa lote ku ini telah menyalahi anda?" "Jadi kaupun ingin meminta balik pemuda itu dari tanganku?" "Tidak berani .
. . . .." dia genggam tangan Tu Kuan erat-erat, kuatir putrinya mendadak menubruk kearah Tian Mong-pek.
"Hahaha, bagus, bagus sekali" seru Mo Mok-ngo sambil tertawa nyaring, "sungguh tak disangka hanya gara-gara seorang pemuda semacam ini telah menggerakkan dua dari tujuh orang kenamaan untuk datang menghadapi diriku" Setelah memandang sekeliling tempat itu sekejap, ia berpaling sambil bertanya: "Hei anak muda, bila aku bebaskan dirimu, kau hendak pergi mengikuti siapa?" Sekalipun ilmu silat orang tua ini lihay dan wataknya aneh, namun dia enggan mencari masalah dengan dua dari tujuh manusia terkenal itu.
Terdengar Tian Mong-pek tertawa dingin, jawabnya: "Mereka berdua sama sekali tak ada hubungan denganku, lebih baik cepat suruh mereka menyingkir dari sini" Kali ini Mo Mok-ngo yang dibuat melengak, agak keheranan ia berpaling sambil bertanya: "Hui-ji, sebenarnya pemuda itu .
. . . . . .." Kini dia baru tahu, ternyata Siau Hui-uh telah pergi meninggalkan tempat itu.
Ternyata ketika Siau Hui-uh menyaksikan sikap Tian Mong-pek yang keras kepala, dia semakin tidak percaya kalau pemuda itu adalah penipu, setelah berpikir berapa saat, tiba tiba ia teringat, bukankah Hong Ku-bok kenal dengan pemuda itu" Maka diapun putuskan untuk pergi mencari Hong Ku-bok, bukankah orang itu dapat membuktikan identitas sang pemuda yang sebenarnya" Berpikir begitu, tanpa ragu lagi ia segera tinggalkan tempat itu.
Ketika tiba diserambi samping, ia temukan pintu rahasia itu, maka dengan cepat gadis itu menerobos masuk ke dalam, tapi pemandangan yang kemudian terlihat membuat hatinya miris.
Dengan tangan sebelah menggendong Kiong Ling-ling, tangan yang lain dia tarik Hong Ku-bok.
Saat itu kondisi Hong Ku-bok sudah amat parah, napasnya tinggal satu dua, bagaimana mungkin masih mampu berbicara" Cepat ia ambil keluar sebutir pil keluarganya dan dijejalkan ke mulut lelaki itu, walaupun obat tersebut belum tentu sanggup memunahkan racun ditubuhnya, paling tidak masih bisa mempertahankan nyawanya untuk sesaat.
Betul saja, tak lama kemudian Hong Ku-bok memuntahkan cairan hijau, setelah itu perlahan-lahan tersadar kembali.
Siau Hui-uh tidak banyak bicara lagi, dia segera menyeret Hong Ku-bok keluar dari lorong rahasia, tanyanya: "Betulkah pemuda itu adalah putra bibi ke tiga?" Hong Ku-bok mengangguk tanda membenarkan, secara ringkas diapun menceritakan pengalamannya ketika bertemu Tian Mong-pek.
Tambahnya: "Dengan mata kepala sendiri kusaksikan dia jalan bersama sam-hujin, walaupun sam hujin belum pernah mengatakan kalau dia adalah putranya, II namun dalam pembicaraan, hujin pun tidak menyangkal .
. . . .. Belum selesai ia berkata, Siau Hui-uh sudah berteriak kegirangan, sambil berlarian keluar, teriaknya: "Siau supek, dia benar-benar adalah Tian Mong-pek, dia bukan penipu .
. . . . .." Sementara itu, tiga tokoh tersohor yang disegani umat persilatan itu sedang mengurung Tian Mong-pek rapat rapat.
Terdengar Thian-ma hwesio berkata: "Pemuda ini ada urusan penting denganku, apapun yang terjadi, hari ini aku harus membawanya pergi" "Hari ini" kata Tu Hun-thian pula, "bila lohu gagal selamatkan pemuda ini, aku bakal menyesal seumur hidup, karena itu lohu pun siap menyalahi kalian berdua" Mo Mok-ngo benar-benar tercengang dibuatnya, ia tak tahu apa keistimewaan pemuda itu, kenapa gara-gara seorang pemuda biasa, tokoh silat kenamaan bersedia saling bermusuhan" Coba tidak menyaksikan sendiri, siapa yang bakal percaya dengan kejadian ini" Ketika ia masih serba salah, teriakan keras Siau Hui-uh berkumandang tiba, karenanya dengan kening berkerut bentaknya: "Siapa pun diantara kalian berdua, jangan harap bisa membawanya pergi?" "Kenapa?" tanya Tu Hun-thian maupun Thian-ma hwesio hampir berbareng.
Dalam pada itu Siau Hui-uh telah menyeret Hong Ku-bok ke tengah lapangan, serunya pula: "Dia benar benar adalah putra bibi ke tiga, Hong Ku-bok adalah saksinya!" Hong Sin serta Hong It yang menyaksikan kejadian tersebut, segera sadar kalau satu pertempuran seru tak bakal terhindar, bagaimana mungkin mereka berdua berani tampil diantara kawanan tokoh sakti itu" Diam-diam Hong Sin menarik baju putranya, kedua orang itu saling bertukar pandangan, sekali lagi mereka ngeloyor pergi secara diam diam.
Saat itu suasana ditengah arena sedang amat tegang, ternyata tak seorangpun yang memperhatikan ulah kedua orang itu.
Mo Mok-ngo mengerutkan dahinya rapat rapat, ia tidak bicara apapun, tapi huncwee nya dihisap terus seperti orang kalap.
Sambil tertawa dingin Thian-ma hwesio menegur: "Hei, asap dalam huncwee mu toh tak ada dendam sakit hati apapun denganmu, bagaimana kalau ditinggali sedikit, hisaplah selesai bicara nanti" "Tian kongcu tak kenal dengan kau si hwesio" ujar Tu Hun-thian pula, "biarpun kau bicara seribu patah kata lagipun, hasilnya tetap sama saja" "Hahaha, memangnya dia kenal dengan dirimu" Sekalipun ingin mencarikan suami untuk putrimu, aku rasa kaupun tak usah kelewat terburu napsu!" Kontan saja paras muka To Hun-thian berubah hebat, tapi sebelum ia sempat mengumbar amarah, sambil tersenyum Mo Mok-ngo telah berkata: "Kita bertiga sudah kenal puluhan tahun lamanya, buat apa api amarahmu masih begitu besar?" Tu Hun-thian tertawa dingin, pikirnya: "Sejak kapan aku sudah kenal dengan dirimu?" tapi dia tetap membungkam.
Kembali Mo Mok-ngo berkata: "Aku rasa persoalan yang kita hadapi sekarang tak bisa diselesaikan dengan dua-tiga patah kata, kenapa kita tidak berunding dengan lebih serius" Aku rasa kalian berdua tentu percaya dengan diriku bukan, asal kalian tidak pergi, akupun tak bakalan ikut pergi" Tu Hun-thian dan Thian-ma hwesio saling bertukar pandangan sekejap, pikirnya: "Orang ini sudah cukup umur dan tersohor didunia persilatan, rasanya tak mungkin akan berbohong" Karena itu merekapun segera mengiakan.
Diiringi tertawa nyaring, kembali Mo Mok-ngo berkata: "Kalau begitu, mari kita berbincang dibawah pohon sana" Sedang dia sendiri menuju ke samping Siau Hui-uh sambil berbisik: "Kedua orang itu bukan lentera yang kehabisan minyak, biar aku yang kendalikan mereka berdua, sementara kau ajaklah Tian Mong-pek untuk pulang dulu ke lembah.
Tapi hati-hati, pemuda bermarga Tian itu aneh orangnya, jangan sampai dia kabur ditengah jalan" Siau Hui-uh segera mengiakan.
Kembali Mo Mok-ngo berpesan: "Setelah meninggalkan tempat ini, cepat naik ke atas perahu, daripada tertangkap mereka berdua.
Sesudah menyeberangi telaga Tay-ou, tunggulah aku satu hari di kota Lit-yang.
Bila aku belum datang juga, berangkatlah lebih dulu, sedang urusan disini serahkan saja kepadaku" Waktu itu, biarpun Tu Hun-thian dan Thian-ma hwesio telah duduk menanti dibawah pohon, namun sorot mata mereka tak pernah bergeser dari Mo Mok-ngo.
Melihat itu, sambil tertawa keras ujar kakek berbaju putih itu: "Keponakan perempuan ku ini memang susah disuruh menunggu, aku harus membujuknya berulang kali sebelum dia mau tetap menunggu disini" Ketika lewat disisi Tian Mong-pek, dengan ujung kakinya ia tendang tubuh pemuda itu.
Seketika ia merasakan jalan darahnya yang tertotok telah terbebas semua, hanya saja empat anggota badannya tetap lemas, sama sekali tak bertenaga.
Dengan langkah yang santai Mo Mok-ngo segera berjalan menuju ke bawah pohon, katanya lagi: "Coba kalian berdua saksikan, bunga tho pada hari ini berbunga sangat indah .
. . . . . .." Tiba tiba terdengar Thian-ma hwesio membentak nyaring: "Mau kabur ke mana kau?" Rupanya Siau Hui-uh dengan tangan sebelah membopong Kiong Ling-ling, tangan yang lain menarik Tian Mong-pek telah kabur meninggalkan tempat itu.
Ditengah bentakan keras, Tu Hun-thian serta Thian-ma hwesio segera melakukan pengejaran.
"Hei, pembicaraan kita belum selesai, mau ke mana kamu berdua?" seru Mo Mok-ngo sambil menghalangi jalan pergi kedua orang itu.
Dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya Thian-ma hwesio menghindarkan diri dari ancaman lawan, tapi huncwee ditangan kakek itu seakan seekor ular berbisa yang membelenggu dirinya, hal ini membuat si hwesio jadi kewalahan.
Apalagi Tu Hun-thian yang harus menarik tangan Tu Kuan, ia terlebih tak mampu menerobos lepas.
"Tua bangka sialan" umpat Thian-ma hwesio gusar, "ternyata perkataanmu lebih bau dari kentut busuk" Mo Mok-ngo tertawa tergelak.
"Hahaha, aku toh berjanji tak akan pergi, kapan aku bilang melarang Tian Mong-pek pergi dari tempat ini?" Huncweenya bagaikan tombak dan pedang tajam melancarkan berbagai serangan secara bertubi tubi, sementara semburan asapnya membuat hutan bunga tho itu diselimuti kabut yang makin lama semakin tebal.
Akhirnya dengan ketajaman mata Tu Hun-thian serta Thian-ma hwesio pun, mereka hanya bisa menyaksikan bayangan tubuh Mo Mok-ngo secara samar, sementara Tian Mong-pek dan siauhuiun entah sudah kabur ke mana.
Sementara itu Tu Kuan yang dipegang ayahnya berusaha meronta, ketika gagal melepaskan diri, ia ikut berteriak: "Tebal betul asap disini, Tian kongcu, Tian kongcu, kau jangan II tersesat .
. . . . . . . . . Bab 11. Lelaki sejati dari telaga Tay-ou.
Ditengah tebalnya asap, Siau Hui-uh dengan menarik tangan Tian Mong-pek kabur meninggalkan hutan bunga tho.
Dia bergerak sangat cepat, tenaga tarikan pun semakin kuat, meskipun Tian Mong-pek dapat mendengar teriakan memelas dari Tu Kuan, namun ia tak kuasa menahan diri untuk ikut berlarian hingga tiba ditepi telaga.
"Apa-apaan kamu ini?" tegur Tian Mong-pek kemudian gusar.
Siau Hui-uh tidak ambil peduli, sambil memegangi tangan pemuda itu, ia berteriak memanggil perahu.
Sudah berapa kali dia berteriak, namun tak terlihat sebuah sampan pun yang mendekat.
Sementara ia gelisah bercampur panik, ditengah remangnya cuaca, mendadak terlihat sebuah perahu bergerak mendekat.
Dengan kegirangan gadis itupun berteriak: "Pemilik perahu, pemilik perahu, seberangkan aku, akan kubayar mahal" Dalam ruang perahu itu sudah ada dua orang tamu, seorang tua dan seorang pemuda yang sedang berbincang bincang.
Terdengar pemuda itu berkata dengan nada benci: "Nasib bangsat she-Tian itu benar-benar baik, berulang kali bakal ketimpa sial, selalu ada orang yang tampil untuk membantunya" Pria tua rekannya tertawa tergelak.
"Hahaha, sekarang kita sudah berada diatas perahu, biarpun berapa orang tua bangka itu licik, jangan harap mereka bisa menemukan kita.
Asal ada kesempatan lagi, bila aku tak mampu menyiksa bajingan she-Tian itu hingga mati tak bisa, hiduppun susah, percuma aku disebut orang sebagai si pejagal keji Hong Sin" Ternyata kedua orang itu tak lain adalah Hong Sin dan Hong It.
Disaat mereka sedang berbincang itulah, kebetulan Siau Hui-uh berteriak dari tepi telaga.
"Coba dengar, suara siapa itu?" ujar Hong Sin dengan wajah berubah.
"Siapa lagi?" sahut Hong It gugup, "dialah si budak liar yang laki bukan laki, perempuan bukan perempuan itu.
Masih untung kita berada dalam perahu, cepat kabur, cepat kabur!" "Tunggu sebentar!" cegah Hong Sin sambil melongok keluar jendela, sesaat kemudian gumamnya, "ternyata tidak nampak tua bangka MO, yang ada hanya II dia serta orang she-Tian itu .
. . . .. "Selama ada dia, kita tak sanggup menghadapinya .
. . . .." "Dilawan secara otot mungkin kita tak mampu, tapi bisa dihadapi dengan memakai akal" kata Hong Sin sambil tertawa dingin, "masa hanya mengandalkan seorang budak liar serta lelaki bloon macam orang she-Tian pun, kita tak sanggup menghadapinya?" Dia segera melongok keluar ruangan sambil berseru: "Hei pemilik perahu, kami kenal dengan orang yang berteriak ditepi telaga itu, kasian kalau seorang gadis macam dia tak mendap at tumpangan, lagian kamipun bersedia menerima tumpangan mereka.
Hanya saja, kuatir dia malu, biar kami berdua sembunyi dibawah dek, dengan menghantar dia menyeberangi telaga, bukankah kalian pun akan peroleh sedikit uang tambahan?" Mendengar tawaran semacam itu, tentu saja si pemilik perahu jadi kegirangan.
"Tuan, kalian memang orang baik" seru istri pemilik perahu sambil membuka pintu dek bagian bawah.
Sekulum senyuman sinis segera tersungging diujung bibir Hong Sin, tapi kembali pesannya: "Jangan sekali kali mengatakan kalau dibawah dek ada orang lain, daripada gadis itu malu" Padahal tidak usah dipesan pun, demi tambahan uang, si pemilik perahu tak bakal mengatakan.
Tak terlukisnya rasa girang Siau Hui-uh ketika melihat ada perahu melaju mendekat, dia langsung menyeret Tian Mong-pek naik ke atas perahu sambil serunya: "Cepat! Cepat!" Perahu pun dengan cepat meluncur ke tengah telaga.
Setelah berada ditengah telaga, Siau Hui-uh baru menghembuskan napas lega, dia sangka sudah lolos dari mara bahaya, siapa sangka kalau bahaya yang lebih besar justru akan berasal dari bawah kakinya.
Kabut pagi lambat laun semakin memudar, telaga Tay-ou terlihat sangat indah.
Jauh memandang keluar jendela, perlahan Siau Hui-uh melepaskan genggamannya.
Ia membaringkan Kiong Ling-ling keatas tikar, kemudian sambil menatap Tian Mong-pek ujarnya: "Teriakan gadis tadi begitu menguatirkan keselamatanmu, sementara aku justru menyeretmu kemari, sudah pasti kau merasa tak suka hati bukan?" "Kau memang sesungguhnya tak berhak untuk menyeretku" jawab Tian Mong-pek ketus.
"Kalau tidak menyeretmu pergi, memangnya kau ingin tetap tinggal disitu, dipermainkan orang?" "Persoalan ini tak ada sangkut pautnya dengan dirimu, jangan kau sangka dengan kepandaian silatmu yang tangguh lantas boleh menentukan nasib orang lain" Ketahuilah, tiada seorang manusiapun berhak menfitnah dan menuduh orang dengan semena-mena, tiada pula seorang manusia pun yang boleh sesuka hati menolong orang lain karena iba, karena ada sementara manusia didunia ini yang tak sudi dibantu orang lain, tak sudi dikasihani orang lain" Mencorong sinar lembut dari balik mata Siau Hui-uh, tapi ia tetap berkata sambil tertawa dingin: "Kau enggan menerimanya" Memang kau memiliki kekuatan untuk menampik" Bila kau ingin menampik kebaikan atau kebusukan orang, maka paling tidak harus kau miliki dulu kemampuan untuk menampik kekuatan orang, kalau tidak, kau bukan enghiong tapi seorang blo'on" "Enghiong .
. . . .. blo'on . . . . .." Tian Mong-pek merasakan tubuhnya bergetar, perasaan kecut manis getir pahit nyaris berkecamuk jadi satu.
"Aku melakukan hal ini bukan lantaran kau" Siau Hui-uh menerangkan, "kau pun jangan mengira aku sama seperti gadis-gadis lain, berbuat begini karena menyukai dirimu" "Aku tidak berani" sahut Tian Mong-pek ketus.
Dalam hati kecil Siau Hui-uh menghela napas sedih, tapi ujarnya pula dengan ketus: "Aku berbuat begini karena bibi ke-tiga, aku tak ingin dia memiliki seorang .
. . . . . .." "Bibi ke tiga! Bibi ke tiga! Hmm, apa hubunganmu deng an dia?" tukas Tian Mong-pek gusar, "urusan ibuku biar diselesaikan keluarga Tian, kalian keluarga Siau tak usah banyak urusan" "Betul, bibi ke tiga memang ibumu, kau seharusnya berpikir untuk dia, dengan kepandaian silat yang kau miliki, bagaimana mungkin bisa balas dendam" Bagaimana mungkin bisa menghadapi banyak orang?" "Aku tak sudi mempelajari ilmu silat yang tak jelas asal usulnya" "Betul" ejek Siau Hui-uh sambil tertawa dingin, "kau bisa bersikap seorang enghiong, punya keberanian, hal ini menandak an kau memang seorang lelaki sejati, seorang hohan yang tak sudi merengek kepada orang lain, tapi bila kau ingin belajar silat, memangnya harus menunggu orang lain merengek kepadaku" Aku mengajakmu balik ke lembah karena ingin kau belajar silat, memangnya hal ini salah" Memangnya hal ini menyinggung perasaanmu?" Tian Mong-pek tertegun, sampai lama kemudian ia baru mengalihkan tatapan matanya ke arah Kiong Ling-ling yang sedang tertidur nyenyak, perasaan hati pemuda ini berat bagai ditindih bukit karang.
Siau Hui-uh pun tidak bicara lagi, dia hanya mengawasi wajah kusut sang pemuda dengan termangu, melihat bajunya yang compang camping, matanya yang sayu menyimpan kesedihan dan kepedihan, sikapnya yang keras, tekadnya yang besar .
. . . . . .. Untuk sesaat dia tak tahu apakah ia sedang jatuh cinta" Iba" Sedih" Atau menaruh rasa hormat" Gadis itu hanya merasakan satu hal, mau dia seorang enghiong atau seorang blo'on, baginya, dia tetap seorang lelaki sejati, seorang lelaki tulen.
Kini, dia hanya berharap bisa bersikap lebih baik kepadanya, lebih lebih mengharapkan sikap yang baik pula dari dia terhadap dirinya.
Aaai! Perasaan seorang gadis memang begitu rumit, susah diraba.
Sementara itu Hong It yang bersembunyi dibawah dek merasa sangat marah, sambil menggigit bibir pikirnya: "Dengan segala akal muslihat aku berusaha belajar silat, namun hingga kini tak ada yang bisa kupelajari, sebaliknya bajingan itu ditawari pelbagai kepandaian namun selalu ditampik.
Sialan, memangnya aku kalah dari dia?" Saking jengkelnya, ia menggertak gigi hingga berbunyi, hingga mendengar Siau Hui-uh mencaci maki, sekulum senyuman baru tersungging dibibirnya.
"Hei, apa yang kau tertawakan?" terdengar Hong Sin berbisik.
II "Aku mentertawakan bajingan dari marga Tian itu .
. . . . .. Hong Sin tertawa dingin, ujarnya: "Dimulut, budak Siau memang boleh berkata begitu, padahal dihati kecilnya ia sangat mencintai bangsat Tian.
Dari sepuluh orang wanita, ada sembilan orang yang gemar menunjukkan watak bau nya, apa yang kau tertawakan" Kini ia telah berhasil membujuk orang she-Tian itu untuk pulang ke lembahnya belajar silat" "Budak sialan, budak busuk .
. . . .." umpat Hong It dalam hati, tiba tiba dia menyambar sebuah kapak yang berada disudut ruangan lalu bersiap siap melubangi perahu itu.
Dengan cepat Hong Sin mencengkeram pergelangan tangannya.
"Dasar babi goblok!" umpatnya gusar, "apa yang hendak kau lakukan?" Sekalipun sedang gusar, umpatan itu diucapkan lebih lirih daripada suara nyamuk.
"Akan kutenggelamkan perahu ini, biar laki perempuan anjing itu mati tenggelam" "Bilang kau babi goblok, ternyata memang benar-benar babi goblok, orang yang ada diatas itu mustika hidup, kalau sampai mampus, tak ada harganya lagi" "Kenapa" Kalau tidak dibunuh, memangnya aku harus biarkan mereka hidup bersenang senang?" "Coba kau lihat, apa itu?" Mengikuti arah yang ditunjuk, Hong It menjumpai setitik celah kecil diatas dek perahu, dari celah itulah sinar matahari menyorot ke bawah.
II "Apa itu" Paling hanya sebuah lubang katanya.
Hong Sin tersenyum, dari sakunya dia mengeluarkan sebatang bangau tembaga yang sangat indah, lalu katanya: "Tunggu sampai mereka istirahat, nanti kita hembuskan obat pemabuk dari celah itu, asal mereka mengendus bau dupa itu, hehehe...
perempuan itu boleh kau nikmati sepuasnya, kemudian kita paksa bocah keparat itu untuk Il menunjukkan tempat persembunyian panji kain putih .
. . . .. Mendengar itu, kontan saja Hong It kegirangan setengah mati, serunya sambil mengangguk: II "Bagus, bagus sekali .
. . . . .. "Ssst, jangan keras keras!" cegah Hong Sin tiba tiba sambil mendekap mulutnya.
Terdengar suara langkah manusia berjalan mondar mandir diatas geladak kemudian tiba tiba berhenti tepat dimulut masuk ke bawah dek, kontan saja dua orang itu kaget setengah mati .
. . . .. Tak lama kemudian terdengar Siau Hui-uh bertanya: "Mau apa kau?" "Turun ke bawah untuk istirahat" jawab Tian Mong-pek, lalu pintu dek pun dibuka.
Hong Sin berdua semakin kaget, hampir saja jantung mereka melompat keluar.
Untung istri pemilik perahu segera berteriak keras: "Kau tak boleh turun ke bawah!" Diikuti kemudian terdengar suara langkah yang berat dan "Bruuk!" pintu dek segera tertutup kembali.
Hong Sin berdua saling berpandangan sekejap, diamrdiam.mereka menghembuskan napas lega.
Terdengar Siau Hui-uh berkata lagi: "Kalau hendak tidur, tidur saja diatas, aku tidak tidur" "Budak buruk" dengan gemas Hong It mengumpat, "apa salahnya tidur bersama" Dasar sok suci" "Kau tak usah kuatir" hibur Hong Sin, "kujamin perawannya bakal jadi milikmu" Diamrdiam dia periksa tabung bangau nya dan siap menyemburkan dupa pemabok.
Mimpipun Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh tidak menyangka kalau dibawah kaki mereka bersembunyi dua orang musuh, walaupun mereka duduk saling berhadapan, namun kedua belah pihak sama sama membuang muka.
Lewat berapa saat kemudian Siau Hui-uh yang tidak tahan lebih dulu, tegurnya: "Belajar silat dari ayahku bukan satu kejadian yang memalukan, mengapa kau sepertinya tidak sudi" Setiba di kota Lit-yang, kita menanti sehari dulu .
. . . .." "Sejak kapan aku berkata akan belajar silat darinya .
. . . . .. II gara-gara urusan ibunya, ia menaruh perasaan benci yang mendalam terhadap ayah Siau Hui-uh.
"Apa?" teriak Siau Hui-uh sambil melompat bangun dan menghentakkan kakinya, "jadi kita bicara setengah harian lamanya tanpa hasil" Jadi kau tetap menolak?" Mendadak dari bawah dek terdengar suara dentingan nyaring.
Rupanya waktu itu Hong Sin sedang bersiap-siap menyemburkan dupa pemaboknya, tapi begitu lantai dihentak kaki Siau Hui-uh, bangau tembaga nya seketika menumbuk lantai perahu dengan keras.
"Sudah pasti dibawah sana ada orang!" teriak Tian Mong-pek dengan wajah berubah.
Tak terlukiskan rasa kaget Hong Sin berdua.
Istri pemilik perahu buru-buru berlarian mendekat, serunya sambil menghalangi jalan pergi pemuda itu: "Tuan, kau jangan banyak curiga, dibawah sana tak ada manusia, hanya ada seekor kucing budukan" "Ooh, rupanya seekor kucing!" Kini Hong Sin berdua baru bisa menghembuskan napas lega, umpat Hong It diam-diam: "Perempuan gendut sialan, berani memaki aku kucing budukan" Tunggu saja ll nanti kurobek mulutnya .




. . . . .. Sambil bergendong tangan Tian Mong-pek berjalan mondar mandir dalam ruang perahu, tiba tiba sinar matanya tertumbuk dengan dua cawan yang tergeletak dimeja.
Kontan keningnya berkerut, sesudah memeriksa lagi sekeliling tempat itu, katanya: "Aku paling suka kucing, bagaimana kalau kubopong sejenak binatang itu?" "Tidak ada yang bagus dengan kucingku itu .
. . . . . .." buru buru bini pemilik perahu mencegah, bagaimana pun, ia tidak terbiasa berbohong.
Melihat mimik mukanya itu, Tian Mong-pek semakin curiga.
Sebagaimana diketahui, pengalaman pahit yang dialaminya berulang kali membuat pemuda ini lebih berpengalaman.
"Minggir!" segera bentaknya, "akan kuperiksa ke bawah sana!" Siapa sangka bini pemilik perahu itu masih berdiri diatas penutup dek tanpa bergerak, tentu saja pemuda itu sungkan untuk mendorongnya, terpaksa dia menengok ke arah Siau Hui-uh.
Gadis itu segera membentak: Il "Jika tidak segera menyingkir, aku akan .
. . . .. Tiba tiba berkumandang suara benturan keras dari bawah dek perahu diikuti tubuh perahu itu bergoncang keras.
Bini pemilik perahu itu semakin gugup, teriaknya: "Jangan salahkan aku .
. . . . . .." Tapi Siau Hui-uh telah mendorongnya ke samping, sementara Tian Mong-pek sudah membuka penutup dek, tapi apa yang kemudian terlihat membuatnya sangat terperanjat.
Ternyata air telaga sedang mengalir masuk ke dasar perahu dengan derasnya, sebuah lubang sebesar tiga depa muncul didasar perahu itu, dalam waktu singkat seluruh ruangan nyaris dipenuhi air.
Ternyata ketika Hong Sin berdua mendengar Tian Mong-pek akan menggeledah bawah perahu, mereka jadi ketakutan setengah mati, tanpa berpikir panjang mereka jebol dasar perahu itu dengan kapak tajam.
Melalui lubang itulah mereka berdua segera menyelam ke dalam telaga dan melarikan diri.
Menyaksikan keadaan tersebut, bini pemilik perahu pun kaget setengah mati, sambil menangis keras jeritnya: "Manusia laknat, kalian mencelakai aku .
. . . .." Tian Mong-pek serta Siau Hui-uh pun merasa sangat terperanjat, mereka mencoba periksa sekitar sana, namun tak terlihat sebuah sampan pun yang mendekat, sementara perahu yang mereka tumpangi tenggelam dengan cepatnya.
"Ganti perahuku, ganti perahuku .
. . . . .." teriam pemilik perahu sambil memegangi tangan Tian Mong-pek erat-erat.
Gelisah bercampur gusar, untuk sesaat anak muda itu tak tahu apa yang harus diperbuat.
Siau Hui-uh pun gugup bercampur gelisah, umpatnya dengan penuh amarah: "Siapa orang itu" Siapa" Bajingan mana yang bersembunyi dibawah geladak?" "Mereka kenal dengan kalian, seorang pemuda dan seorang tua Il bangka .
. . . . .. "Jangan jangan Hong Sin dan anaknya?" tergerak hati Siau Hui-uh.
II "Persoalan itu kita bicarakan nanti saja tukas Tian Mong-pek, "yang penting sekarang bagaimana cara kita melarikan diri" "Kau mengerti ilmu berenang?" Pemuda itu menggeleng.
Siau Hui-uh segera membopong Kiong Ling-ling, melihat air mengalir semakin deras, cepat dia menendang sebuah meja sambil berseru: "Berpegangan pada meja, jangan kau lepaskan" "Bagaimana dengan kau?" tanya Tian Mong-pek sambil berpegangan pada meja, tapi Siau Hui-uh telah berlarian keluar.
Dalam pada itu pemilik perahu pun kelihatan panik dan tak tahu apa yang harus diperbuat, terdengar istri pemilik perahu berteriak sambil menangis: "Cepat awasi kedua orang itu, suruh mereka mengganti perahu kita .
. . . .." Belum habis ia berkata, perahu sudah sama sekali tenggelam.
Tian Mong-pek terakhir menengok sekejap ke permukaan air, ia saksikan sekeliling tubuhnya berupa air telaga, tubuhnya pun ikut tenggelam ke bawah.
Sebetulnya dengan berpegangan pada meja, tubuhnya masih bisa terapung, siapa sangka tiba tiba saja ia merasa kakinya menegang, seakan ada orang sedang menarik kakinya dari bawah air.
Kontan saja ia meneguk air telaga dan pingsan seketika, sementara meja kayu itu mengalir menjauh mengikuti arus.
Tak lama kemudian muncul dua tiga buah perahu nelayan, berapa orang pemuda segera terjun ke air untuk memberi pertolongan.
Siau Hui-uh ikut terseret arus telaga, dia harus meneguk air telaga sebelum berhasil diselamatkan orang.
Dari dandanan serta pakaiannya yang mewah, agaknya istri pemilik perahu itu sudah mengincarnya untuk mengganti perahunya yang tenggelam, dan kini yang selamatkan gadis itupun dirinya.
Perlahan-lahan Siau Hui-uh membuka kembali matanya, ia mencoba memandang sekeliling sana, tampak banyak orang sedang menatapnya sambil tersenyum.
"Aaah, sudah sadar, sudah sadar!" Kini, ia baru tahu kalau dirinya berhasil lolos dari kematian, segera tanyanya: "Bagaimana dengan dia" Apakah sudah tertolong juga?" "Kek-koan, aku hanya menolong kau seorang" Dengan perasaan terperanjat Siau Hui-uh melompat bangun, benar saja disekeliling sana tak tampak Tian Mong-pek. "Jadi kau..... kau tidak menolongnya?" tanyanya dengan gemetar.
Istri pemilik perahu itu menyeringai, pikirnya: "Bocah muda itu mengenakan pakaian dekil dan penuh lubang, mau ditolongpun percuma, toh tak bisa mengganti perahuku" Mendadak ia tidak menjumpai suaminya, dengan hati kebat kebit segera teriaknya: II "Suamiku....
suamiku . . . . .. II "Enso gendut, tak usah kuatir hibur rekannya, "imlu berenang dari Gou toako sangat hebat, tak ada yang mampu menandinginya diseputar sini, dia tak mungkin celaka" "Betul" sambung yang lain, "kalau Gou toako sampai celaka, dari dulu kami semua sudah tidur didasar telaga" Dipihak lain, Siau Hui-uh yang termangu segera berusaha merangkak ke tepi perahu dan siap terjun ke air.
Melihat itu, buru buru istri pemilik perahu berteriak: "Eei, mau ke mana kau?" Yang dia pikirkan hanya bagaimana perahunya yang tenggelam diganti dengan yang baru.
Waktu itu kekuatan tubuh Siau Hui-uh belum pulih, dia berusaha meronta namun gagal, akhirnya diapun berseru: "Kalau suamimu pandai berenang, sementara dia....
dia tak tahu air . . . . . .." Lalu dengan air mata berlinang teriaknya: "Kalau kau tidak lepaskan aku, akan kubunuh kalian semua!" Sejak kapan para nelayan itu pernah bertemu dengan gadis segalak ini, ada yang diam.diam mengumpat, ada pula yang segera lepas pakaian dan berseru: "Nona, tunggulah disini, kami akan pergi mencari" Siau Hui-uh duduk termangu, yang dipikirkan sekarang hanya Tian Mong-pek seorang, dia seolah sudah melupakan Kiong Ling-ling yang semula berada dalam pelukannya dan kini lenyap tak berbekas.
Tiba tiba terdengar seseorang berteriak keras: "Coba lihat, apa itu?" Semua orang segera berpaling, diantara pusaran air telaga yang hijau tiba tiba mengalir percikan air berwarna merah, kemudian tampak pusaran air keras diikuti munculnya tubuh seseorang dari dalam air, dia tak lain adalah Tian Mong-pek.
Terkejut bercampur girang, Siau Hui-uh segera berteriak: "Cepat, cepat bopong dia naik!" Sebaliknya sang istri pemilik perahu memperhatikan lelaki lain yang saat itu sedang mendorong tubuh Tian Mong-pek keluar dari air, lengannya tampak terluka dan masih mengucurkan darah segar, sementara dua lelaki lain berjaga disisinya.
"Gou toako" teriaknya sambil menangis, "kau baik baik bukan?" "Tentu saja baik" jawab Gou toako sambil tertawa keras, "akhirnya aku berhasil juga menangkap tamu itu dan memaksanya untuk bayar ganti guri" Begitu tiba diatas perahu, tiba tiba saja ia jatuh terjerembab dan tidak sadarkan diri.
Ternyata tadi, Tian Mong-pek diseret ke dalam air oleh Hong Sin dan putranya, sebetulnya Hong It masih ingin mencari Siau Hui-uh, tapi berhubung para nelayan sudah terjun ke air, terpaksa mereka berdua membawa Tian Mong-pek untuk kabur.
Tak tahunya Gou toako sudah mengincar Tian Mong-pek karena akan dipaksa bayar ganti rugi perahunya yang karam, begitu melihat jejak mereka, dia langsung melakukan pengejaran.
Sekalipun Hong Sin dan putranya mengerti ilmu dalam air, namun kemampuannya tak seberapa, bagaimana mungkin mereka sanggup menandingi si kerbau air itu.
Biarpun Hong It berhasil menusuk si kerbau air, namun dia sendiripun nyaris ditenggelamkan lawan.
Mereka tidak tahu bagaimana nasib Siau Hui-uh waktu itu, namun kedua orang itupun tak berani muncul dipermukaan, terpaksa sambil bertahan didalam air, mereka enggan lepaskan Tian Mong-pek dengan begitu saja.
Sampai akhirnya datang bala bantuan dari para nelayan, kedua orang itu baru sadar kalau rencana busuknya pada hari ini gagal total, sambil bersumpah serapah meka pun melepaskan Tian Mong-pek dan melarikan diri.
Ketika para nelayan melihat si kerbau air sudah terluka, maka tak ada yang melakukan pengejaran lagi.
Si kerbau air hanyalah seorang nelayan biasa, setelah berhasil selamatkan nyawa orang, apalagi bisa mendapatkan orang yang mau membayar ganti rugi perahunya, dengan perasaan bangga diapun menarik Tian Mong-pek keatas perahu.
Tapi karena kehilangan banyak darah, pada akhirnya dia ikut jatuh tak sadarkan diri.
Setelah diberi air jahe hangat, akhirnya Tian Mong-pek pun tersadar kembali dari pingsannya.
Begitu buka mata, pada pandangan pertama ia saksikan Siau Hui-uh sedang menatapnya dengan sedih, dalam waktu sekejap, pelbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya, ia tak tahu harus sedih atau gembira.
Siau Hui-uh segera menggenggam tangannya erat erat, meski ingin tersenyum namun air matanya tak menurut perintah, butir demi butir meleleh membasahi pipinya.
Lama kemudian, Tian Mong-pek baru menghela napas, bisiknya: "Apakah.....
apakah Ling-ling sudah sadar?" Tiba-tiba sekujur tubuh Siau Hui-uh gemetar keras, cepat ia lepaskan genggamannya.
Agak terperanjat tanya Tian Mong-pek: "Bagaimana dengan dia?" II " C C C C - C C C C C - C C Ketika semua orang mendengar masih ada seorang lagi yang belum tertolong, perasaan girang yang semula meluap pun seketika padam separuh.
Siau Hui-uh berlarian menuju ke tepi perahu, tiba tiba terasa ada orang menumbuknya dari belakang, ternyata Tian Mong-pek i kut menyusul ke situ sambil bertanya: "Jadi dia belum tertolong?" Sambil bicara, ia siap terjun ke dalam air.
Untung berapa orang segera mencegahnya sambil membujuk: "Jangan panik, dibicarakan dulu baik baik" "Lepaskan aku, lepaskan aku" teriak Tian Mong-pek, "aku telah melakukan kesalahan terhadap Kiong locianpwee, lebih baik mati saja untuk menebus kesalahan ini" "Sobat" seorang lelaki gemuk datang mendekat sambil menepuk bahu Tian Mong-pek, "sekalipun kau mati, lalu apa gunanya" Karena kami telah bersusah payah menolongmu, tentu tak akan biarkan kau mati dengan begitu saja.
Asal kita ramai ramai mencarinya, percayalah, temanmu pasti akan ditemukan.
Coba jelaskan dulu, macam apa temanmu itu?" "Dia adalah seorang bocah peremuan" jawab Tian Mong-pek sedih, "dia __u Belum selesai dia berteriak, terdengar seseorang berteriak: "Jangan ribut dulu, lihat, didepan sana ada orang terapung" Semua orang merasakan semangatnya bangkit, buru buru mereka menengok kearah yang ditunjuk.
Terdengar pemuda tadi berteriak lagi: "Aaah, betul, dia seorang bocah perempuan!" Tidak menunggu ucapan itu selesai, Tian Mong-pek segera melompat ke dalam air sambil berteriak: "Ling-ling jangan takut, paman datang menolongmu!" "Hei, kau tak bisa berenang!" jerit Siau Hui-uh kaget, tanpa sadar ia turut terjun ke air.
Untung para nelayan segera terjun ke air menyelamatkan kedua orang itu sehingga mereka lolos dari kematian.
Tubuh yang terapung diatas permukaan air ternyata memang seorang bocah perempuan, saat itu si bocah sudah tak bergerak, si ikan hiu, pemilik perahu yang terjun menolong segera dapat merasakan kalau jantung bocah perempuan itu masih berdetak, cepat cepat ia menariknya keatas perahu.
Dalam pada itu Tian Mong-pek serta Siau Hui-uh sudah tersadar kembali, tak terlukiskan rasa girang mereka setelah tahu kalau Kiong Ling-ling tetap sehat dan hidup.
Sambil menepuk bahu Tian Mong-pek, ujar si ikan hiu seraya tertawa: "Hengtai, aku tak ingin menyalahkan dirimu, hanya satu perlu kukatakan, kalau tak mengerti ilmu berenang, lebih baik jangan terjun ke air" "Aku sendiripun tak mengerti kenapa bisa berbuat begitu" sahut Tian Mong-pek tersipu, "kulakukan semuanya itu tanpa sadar" Si ikan hiu segera mengacungkan jempolnya.
"Saudaraku, kau memang seorang enghiong hohan" pujinya, "hanya seorang enghiong yang mampu menolong orang tanpa memikirkan keselamatan sendiri" "Nona inipun berani terjun ke air walau tak menguasahi ilmu berenang" istri pemilik perahu ikut menimpali, "kalau ingin memuji, jangan memuji lelaki saja, memangnya tak ada enghiong diantara kaum wanita?" "Betul sekali" seseorang berseru, "mereka memang merupakan pasangan enghiong" "Mereka berdua memang sejoli yang hebat!" Biarpun Siau Hui-uh latah, tak urung saat ini ia tundukkan kepalanya dengan wajah tersipu, hatinya terasa hangat, ketika melihat Tian Mong-pek maupun Kiong Ling-ling berada disampingnya, ia merasa sangat bahagia, kebahagiaan yang tak terlukiskan dengan perkataan.
Terdengar si ikan hiu kembali berkata: "Hei kerbau air, jasamu hari ini sungguh luar biasa, hanya sayang kita gagal membekuk dua orang keparat itu untuk diberi pelajaran" "Ayoh kita kejar" seru berapa orang pemuda, "masa dia bisa kabur ke ujung dunia" Kalau berhasil ditangkap, kita bunuh saja" Mendengar itu Siau Hui-uh menghela napas panjang, cegahnya: "Tak usah dikejar, toh....
toh mereka gagal mencelakai kami" Coba kalau berganti waktu biasa, mungkin dialah orang pertama yang melakukan pengejaran, tapi sekarang perasaan hatinya sedang diliputi kemesraan dan kehangatan, dia sama sekali tak berhasrat untuk membunuh orang.
Dalam perkiraan Tian Mong-pek, dia mengira gadis itu bakal berkata begini: "Toh mereka tak bakal lolos dari cengkeramanku", siapa tahu jawabannya sangat berbeda, hal ini membuat hatinya tercengang hingga tanpa terasa berpaling.
Seketika itu juga dilihatnya gadis itu sedang menatapnya dengan begitu kelembutan, seakan dia telah berubah jadi orang lain.
Tentu saja dia tak paham kenapa bisa begitu, hingga untuk sesaat pemuda itupun termangu.
Menyaksikan Tian Mong-pek menatapnya dengan termangu, paras muka Siau Hui-uh berubah jadi merah karena jengah, segera ujarnya lembut: "Kami sama sekali tidak cedera, justru perahu itu tenggelam, jadi kami harus membayar ganti rugi" Sekarang, ia justru menaruh perasaan terima kasih terhadap Hong Sin berdua, sebab tanpa peristiwa hari ini, iapun tak dapat mengurai kesalah pahamannya terhadap Tian Mong-pek.
"Ganti rugi apa?" terdengar si ikan hiu berteriak, "kalau kalian tetap akan membayar ganti rugi, itu sama artinya tidak pandang mata terhadap kami sebagai penghuni telaga Tay-ou" "Betul sekali" teriak si kerbau air yang saat itu sudah mendusin, II "sebagai persaudaraan telaga Tay-ou .
. . . . .. Tiba tiba ia merasa bininya sedang melotot gusar kearahnya, cepat iapun telan kembali perkataan yang belum selesai.
Si ikan hiu segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha.... enso Gou tak usah gelisah" serunya, "asal kita bisa melewati malam ini, besok kita masih tetap bisa hidup di telaga Tay-ou ini.
Paling banter kami akan bekerja keras selama berapa hari untuk membelikan perahu baru bagi kalian.
Kalau jadi orang picik, sekalipun memiliki delapan puluh perahu pun tak ada gunanya" Siau Hui-uh merasa terharu sekali, pikirnya: "Kusangka dalam dunia persilatan jarang terdapat orang baik, siapa tahu diantara rakyat jelata pun terdapat banyak orang gagah" Diam diam dia lepas cincin zamrud yang dikenakan dijari tangannya lalu disodorkan kehadapan Gou toaso.
Biarpun Gou toaso tidak mengerti kwalitas barang, namun dari sinar hijau yang terpancar dari cincin itu, dia tahu kalau benda itu pasti tak ternilai harganya.
Dengan perasaan jengah dan rikuh, serunya: "Nona, ini .
. . . .." "Anggap saja sebagai harga perahumu" tukas Siau Hui-uh sambil tersenyum.
Melihat itu, seorang nelayan segera berteriak sambil tertawa: "Gou toaso, tadi saja kau tanpa sungkan sungkan menuntut ganti rugi, bahkan sempat pelototi si kerbau air, sekarang kenapa jadi rikuh sendiri?" "Hahaha, tidak disangka Gou toaso tahu merah pipi karena malu" goda yang lain sambil tertawa, "tahu apa artinya sungkan" Gelak tertawa pun segera meledak memecah keheningan.
Tiba tiba Tian Mong-pek berseru dengan lantang: "Teman teman sekalian, aku orang she-Tian tak akan banyak bicara karena hari ini telah menerima kebaikan kalian, toh kita sama sama lelaki, yang penting bisa saling memaklumi" "Hahaha, nah begitu baru betul!" seru si ikan hiu sambil tertawa nyaring, "Tian Mong-pek, hari ini aku si ikan hiu bisa berkenalan dengan enghiong hohan macam kau, biar matipun tak akan menyesal" Dengan wajah serius kembali Tian Mong-pek berkata: "Kalian harus berterus terang kepadaku, benarkah pada malam nanti, telaga Tay-ou bakal terjadi sesuatu?" Begitu selesai ia berkata, gelak tertawa para nelayan seketika terhenti, seakan tiba tiba teringat akan sesuatu, paras muka mereka berubah jadi serius.
Dengan sorot mata yang tajam, Tian Mong-pek mengawasi wajah orang orang itu, dari perubahan mimik muka mereka, dia semakin yakin kalau malam ini pasti akan terjadi suatu peristiwa di telaga Tay-ou.
Si ikan hiu pun sedang mengawasinya dengan tatapan tajam, lelaki gagah ini tiba tiba saja berubah jadi begitu sensitip dan cekatan.
Angin berhembus lewat menggoyangkan riak air, setelah terdiam lama sekali, ikan hiu baru berkata: "Setelah kau mengetahui kejadian ini, aku percaya, mau suruh kalian pergi dari sini bukanlah urusan gampang" Perkataan itu sama artinya telah mengungkap pikiran Tian Mong-pek, mengungkap pula wataknya yang asli.
Dengan serius pemuda itu menyahut: "Tepat sekali!" Sedang dihati kecilnya membatin: "Lelaki semacam ini memang tak malu menjadi pemimpin kaum lelaki sejati di telaga Tay-ou" ll "Peristiwa yang bakal terjadi malam nanti menyangkut mati hidup kata si ikan hiu kemudian, "itu berarti, bila kau melibatkan diri maka sulit bagimu untuk melepaskan diri lagi" "Bukan masalah" "Bagus sekali!" Kedua orang ini saling menanggapi dengan cepat, setelah saling menatap sekejap, ujar si ikan hiu: "Kalau begitu istirahatlah dulu, bila tiba saatnya nanti, aku akan membangunkan kau" Tian Mong-pek segera berpaling dan memandang Siau Hui-uh sekejap, cepat gadis itu menjawab: "Akupun berpendapat sama dengan dirimu" Mereka berdua tidak banyak bicara lagi, si ikan hiu pun menghantar mereka masuk ke ruang perahu.
"Kalau bisa tidur, tidurlah sejenak, yang penting harus menghimpun kekuatan" pesan ikan hiu.
"Baik!" tanpa banyak bicara, Tian Mong-pek segera merebahkan diri dan tidur.
Siau Hui-uh sendiripun tidak banyak bicara, dia tahu, watak lelaki memang begitu, kalau sudah merasa cocok satu dengan lainnya, biar urusan yang menyangkut keselamatan jiwa pun, biasanya diputuskan tanpa banyak bicara.
Ketika terjaga dari tidurnya, Tian Mong-pek menyaksikan Kiong Ling-ling sudah berganti pakaian bersih dan berbaring disisinya, diatas meja ia jumpai dua biji jeruk yang telah dikupas, dibawah jeruk tertindih secarik kertas yang berbunyi bergini: "Paman, jeruk yang satu dikupas bibi sedang jeruk yang lain Ling-ling yang kupas, kau makan semuanya yaa" Bibi sudah suruh aku tidur lagi.
Ling-ling" Membaca surat itu Tian Mong-pek tersenyum lega, diapun melahap jeruk yg terkupas itu, meski rasa jeruk kecut namun perasaan hatinya justru amat manis.
Ketika keluar dari ruang perahu, ia saksikan cahaya bintang bertaburan di angkasa, lentera telah dipasang menerangi seluruh perahu, sementara puluhan perahu nelayan yang lain berjajar ditepi pantai.
Lentera yang tergantung di perahu-perahu itu ibarat bintang dilangit, tersebar dan menerangi jagad.
Tay-sah-hi atau si ikan hiu sedang berdiri dibawah lentera, melihat kehadirannya, ia segera menyapa sambil tertawa: "Sudah mendusin" Nyenyak bukan tidurmu?" Sambil tersenyum Tian Mong-pek manggut-manggut.
"Bagus sekali!" seru si ikan hiu, dia menatap Tian Mong-pek sekejap, lalu setelah tertawa sedih, terusnya, "aku sedang menanti kedatangan seseorang, tapi hingga kini dia belum.muncul juga, mungkin saja ia tak bakalan datang lagi" "Siapa?" Si ikan hiu menghela napas.
"Disinggungpun belum tentu kau kenal.
Tian-heng, coba kau lihat air telaga yang begitu bening dan tenang, aku kuatir sebelum fajar menyingsing esok, air yang bening ini bakal berubah jadi merah, merah karena bercampur darah"
Bab 12. Hujan badai menerpa jagad.
Mendengar itu Tian Mong-pek merasa amat terkesiap, sebenarnya dia ingin bertanya, apa yang bakal terjadi, namun melihat si ikan hiu tidak menjelaskan, diapun merasa segan untuk banyak bertanya.
Waktu berlalu bagai rangkakan siput, bergerak lambat sekali ditengah kegelapan yang sunyi.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya terdengar suara derap kaki kuda yang bergema semakin mendekat.
Terlihat empat ekor kuda putih dengan empat lelaki berbaju putih berhenti ditepi telaga, ke empat orang itu mengenakan baju putih, kaus putih dan kain kerudung berwarna putih, sebuah topi kain putih berbentuk kerucut dikenakan dikepala mereka.
Begitu melompat turun dari kudanya, mereka bergerak menuju keatas perahu, gerak geriknya ringan bagaikan setan yang sedang gentayangan.
Tiada suara lain diatas perahu kecuali langkah kaki ke empat lelaki berbaju putih itu.
Tak lama kemudian mereka telah berdiri berjajar dihadapan ikan hiu, empat orang delapan mata menatap lelaki itu dengan sinar setajam sembilu.
"Bagaimana jawabanmu" Cepat katakan!" lelaki yang ada ditengah segera menegur dingin.
"Apakah kau masih menunggu jawaban?" dengus si ikan hiu.
Lelaki berbaju putih itu tertawa dingin dan tidak bicara lagi.
Sesudah tertawa keras, kata si ikan hiu: "Baik! Kalau begitu akan kuberikan jawaban dari semua lelaki gagah telaga Tay-ou!" Dengan satu lompatan, tubuhnya yang tinggi besar segera melompat naik ke atap ruang perahu, teriaknya lantang: "Bila ada orang minta kita menyerahkan telaga Tay-ou kepadanya, apa jawaban dari semua lelaki penghuni Tay-ou?" "Kami akan beradu nyawa dengannya!" serentak dari empat penjuru bergema suara jawaban yang gegap gempita.
Si ikan hiu tertawa keras, serunya: "Sudah kau dengar" Itulah jawaban dari semua lelaki penghuni Tay-ou, bila kau menginginkan tempat ini, singkirkan dulu semua mayat dari lelaki telaga Tay-ou" Ke empat orang lelaki berbaju putih itu saling bertukar pandangan sekejap, kemudian setelah tertawa dingin, tanpa mengucapkan sepatah kata pun segera melompat naik keatas kudanya dan beranjak pergi dari situ.
Dalam waktu singkat ke empat titik bayangan putih itu sudah lenyap dibalik kegelapan.
II "Saudara Tian kata si ikan hiu kemudian, "inilah persoalan yang memaksa kami harus beradu nyawa, sekalipun nyawa harus melayang, kami tak sudi membiarkan hasil karya saudara saudara telaga Tay-ou dirampas oleh penyamun yang tak jelas asal usulnya.
Hanya sayang... aii, selama dua puluhan tahun, kami orang orang Tay-ou hanya hidup dari menangkap ikan, sudah lama kami tidak berlatih silat, sedang aku .
. . . . . .. aaai! Sejak kecil sudah tak pernah giat berlatih, kalau bukan begitu, hari ini kitapun tak perlu ketakutan" Dari gerakan tubuhnya tadi, Tian Mong-pek sudah tahu kalau ilmu silat yang dimiliki si ikan hiu cukup tangguh, tapi karena mereka hidup dengan menangkap ikan, maka kehebatan mereka sama sekali tak dikenal dalam dunia persilatan.
Berapa saat berlalu dalam keheningan, mendadak terlihat paras muka si ikan hiu berubah, mengikuti arah yang dipandang, dari kegelapan dikejauhan sana tiba tiba muncul seutas sinar putih, makin lama cahaya putih itu semakin membesar dan akhirnya berubah jadi bayangan putih.
Sesaat kemudian bergema suara langkah kaki yang ramai, bayangan putih yang semakin mendekat segera menjelma jadi puluhan manusia berbaju putih, berkaok putih, berkerudung putih serta mengenakan topi segitiga warna putih.
Serentak mereka muncul dari kegelapan dan mendekat dengan langkah lebar.
Suara langkah mereka makin lama makin jelas, makin lama semakin berat .
. . . . .. Ditengah keheningan malam yang semakin mencekam, mendadak terdengar suara gembrengan dibunyikan bertalu-talu, puluhan lelaki yang berada diperahu, dengan bertelanjang dada dan bersenjata trisula, sama-sama bermunculan diatas geladak.
Rombongan manusia berbaju putih itu serentak menghentikan langkahnya berapa depa dari tepi pantai, dari balik rombongan muncul dua orang lelaki yang beda dandanan maupun pakaiannya.
Kedua orang ini mengenakan topi segitiga yang lebih tinggi dari lainnya, mereka yang seorang berperawakan tinggi sedang yang lain bertubuh gemuk pendek.
Lelaki yang jangkung segera berseru: "Silahkan piau-pacu kalian tampil untuk berbicara" Dengan suara nyaring sahut si ikan hiu: "Kami kaum lelaki sejati dari telaga Tay-ou bukan begal, bukan kaum Liok-lim, darimana datangnya seorang piau-pacu?" "Kalau bukan Piau-pacu, siapa pula dirimu?" "Aku adalah juru bicara" Il "Hmm, baguslah kalau kau memang juru bicara kata lelaki gemuk pendek itu ketus, "kalian enggan serahkan wilayah telaga Tay-ou kepada kami, lalu apa maumu?" "Hahaha, apa yang kalian andalkan sehingga memaksa kami untuk serahkan wilayah ini?" "Andalkan apa?" dengus lelaki jangkung itu, "masa kau belum paham" Sekarang apa mau kalian" Berduel satu lawan satu" Atau main keroyok" Silahkan kalian pilih sendiri" "Kami tak akan berduel, juga tak akan bertempur secara keroyokan" Sementara kawanan manusia berbaju putih itu melengak, si ikan hiu telah berkata lebih jauh: "Berhubung sebagian besar saudara kami tak mengerti ilmu silat, terpaksa kami hanya akan beradu nyawa.
Kami kaum lelaki gagah dari telaga Tay-ou tidak mengerti bagaimana merampok, tidak mengerti bagaimana cari nama dengan andalkan kepandaian, tapi beradu nyawa merupakan kelebihan kami, kalau tak percaya, silahkan saja dicoba!" Nada suaranya keras, penuh mengandung hawa pembunuhan, bikin hati bergidik bagi siapapun yang mendengar.
\\ "Beradu nyawa?" ejek lelaki berbaju putih itu sambil tertawa dingin, apa gunanya beradu nyawa" Kami anggota Po-kie-bun (perguruan panji kain) merupakan kumpulan jago pilihan dari empat penjuru, ilmu silat kami nomor wahid dikolong langit.
Kunasehati . . . . . . .." "Tunggu sebentar!" dengan perasaan tercekat bentak Tian Mong-pek, dia maju ke sisi si ikan hiu, kemudian teriaknya keras, "jadi sahabat sekalian adalah anggota Po-kie-bun?" "Betull" manusia berbaju putih itu segera melengos kearah lain, seolah-olah tak ingin bertatap mata dengan sinar mata Tian Mong-pek yang tajam.
"Kau adalah ciangbunjin?" kembali pemuda itu bertanya.
"Ciangbunjin kami suka berlanglang buana ke empat samudra dan tidak jelas jejaknya, konon berapa waktu berselang, dia telah berangkat ke langit barat.
Kami berdualah yang memimpin perguruan Po-kie-bun sekarang." "Hmm, kalau begitu kalian berdua adalah ciangbunjin baru perguruan Po-kie-bun bukan" Tampaknya aku harus mengucapkan selamat untuk kamu berdua" sindir Tian Mong-pek sambil tertawa dingin.
II "Tidak berani, asal teman-teman dari telaga Tay-ou .
. . . . .. Tiba tiba Tian Mong-pek menarik muka, bentaknya nyaring: "Kalau memang kalian adalah ciangbunjin baru, mana panji kain putih itu?" Lelaki berbaju putih itu tampak terperanjat, tapi segera sahutnya sambil tertawa dingin: "Kau tidak berhak minta aku memperlihatkan panji kain putih.
Memang kau anggap sembarangan orang dapat menyaksikan lambang suci itu?" "Hmm, jika kau ingin mengambil alih wilayah telaga Tay-ou dengan mengatas namakan perguruan Po-kie-bun, sudah sepantasnya bila perlihatkan dulu lambang panji suci itu.
Bila kau sanggup menunjukkan panji itu, semua lelaki gagah dari telaga Tay-ou pasti akan menyerahkan wilayah mereka kepadamu" Ucapan itu sontak membuat semua yang hadir tertegun, bahkan si ikan hiu sempat melengak dengan wajah kaget.
"Kau dapat memutuskan soal ini?" kembali manusia berbaju putih itu bertanya.
"Tentu saja aku dapat memutuskan!" Untuk kesekian kalinya semua yang hadir berdiri tertegun, rasa tercengang dan kaget yang menghiasi wajah si ikan hiu semakin mengental.
Manusia berbaju putih itu melirik sekejap sekeliling tempat itu, begitu melihat mimik muka para jago, sambil tertawa seram katanya: "Kau mengatakan dapat memutuskan, aku kuatir orang lain tak akan membiarkan kau mengambil keputusan!" "Tentu saja aku dapat mengambil keputusan, karena panji kain putih berada ditanganku!" Begitu perkataan itu diucapkan, ibarat batu besar yang diceburkan ke dalam telaga, segera terjadi reaksi yang luar biasa.
Bukan saja para jago menjadi gempar, lalaki jangkung serta pendek itupun merasakan hatinya bergetar keras.
Sementara dari kelompok manusia berbaju putih, kecuali belasan orang yang berada dibarisan depan, puluhan orang yang berada dibagian belakang sama sekali tidak menunjukkan reaksi apapun, sudah jelas disiplin yang diterapkan dalam perguruan Po-kie-bun sangat keras dan ketat.
Dengan perasaan girang seru si ikan hiu: "Tian-heng, be....benarkah itu?" Sementara itu manusia berbaju putih tadi telah berhasil mengendalikan diri, ejeknya pula sambil tertawa dingin: "Betulkah" Coba perlihatkan!" "Sebelum menghembuskan napas terakhir, Chin locianpwee, ciangbunjin Po-kie-bun telah menyerahkan panji kain putih itu kepadaku, mana mungkin bisa keliru?" Lelaki jangkung dan pendek itu saling bertukar pandangan sekejap, sikap dan gerak gerik mereka nampak mulai gugup dan panik.
Akhirnya terdengar lelaki jangkung itu berseru: "Percuma kalau bicara tanpa bukti, coba buktikan kalau memang panji itu berada ditanganmu!" "Walaupun sekarang tidak kubawa, namun dalam sehari saja aku sanggup membuktikan dihadapanmu" Manusia berbaju putih itu segera merasakan semangatnya bangkit, setelah tertawa keras, katanya: "Kusangka kau benar-benar memiliki panji itu, ternyata tak lebih hanya taktik mengulur waktu, minta aku menunggu selama berapa hari" Hm, hmm!" "Aku tak pernah bicara bohong!" seru Tian Mong-pek gusar.
Manusia berbaju putih itu tertawa semakin keras.
"Aku tak ambil peduli apapun yang hendak kau katakan" serunya, "pokoknya malam ini juga kalian harus serahkan wilayah Tay-ou kepada kami" Bersamaan dengan ucapan tersebut, suasana ditempat itupun berubah jadi amat tegang.
Si ikan hiu memandang sekejap musuh-musuhnya, mendadak ia membentak nyaring: "Hentikan tertawamu!" Bentakan ini keras bagaikan guntur yang membelah bumi, benar saja, seketika semua orang berdiri tertegun.
Kembali si ikan hiu berkata dengan suara nyaring: "Tian-heng berani jamin bisa menunjukkan panji kain putih, hal ini membuktikan kalau kalian berdua sama sekali tidak memiliki panji kain ll putih .
. . . . .. II "Kentut, siapa yang bilang .
. . . . . . .. umpat manusia berbaju putih itu gusar.
"Jika kalian berdua memiliki panji kain putih, sudah sejak tadi kalian berdua akan menuduh kalau ucapan Tian-heng bohong" ujar si ikan hiu lebih lanjut, "tapi berhubung kalian tidak memiliki panji tersebut, karena itulah kalian jadi sangsi dan ragu, setengah percaya setengah tidak, teori ini sangat gamblang dan siapapun memahmi, memang kalian sangka masih bisa membohongi kami semua?" "Siapa bilang tidak punya" teriak lelaki pendek itu, "aku justru tak akan perlihatkan kepada kalian" Dari alis mata yang terlihat dibalik kain kerudung putih yang dikenakan orang itu, lalu dari nada suara serta perawakan tubuhnya, tiba tiba Tian Mong-pek teringat akan seseorang, segera bentaknya: "Ternyata kau!" "Siapa orang ini?" tanya si ikan hiu dengan wajah berubah.
'I' n "Dia adalah See-ou-liong-ong, raja naga dari telaga barat, Lu Tiang-lok "Hahaha, betul sekali" sahut lelaki pendek berbaju putih itu sambil tertawa tergelak, "tak heran sering kudengar orang berkata kalau ketajaman mata Tian si-heng amat menakutkan, terbukti ucapan tersebut memang bukan isapan jempol" "Hmm, sejak kapan kau menjadi anggota perkumpulan Pek-po-kie" Kenapa baru sekarang aku mengetahuinya" Atau jangan-jangan kau hanya mencatut nama Pek-po-kie untuk membuat keonaran" Padahal harta kekayaan yang kau miliki tak habis dipakai tiga keturunan, buat apa kau hendak merampas lagi wilayah Tay-ou" Memangnya benar benar ingin menjadi raja naga dari telaga ini?" "Anak murid Po-kie-bun tersebar di seantero jagad, jangan lagi orang lain sukar mengenali setiap anggota perguruan, terkadang sesama anggota pun tidak saling mengenal" "Betul, aku memang sudah mendengar kalau perguruan Po-kie-bun merupakan aliran partai yang paling aneh, tapi akupun mendengar kalau Po-kie-bun merupakan aliran perguruan yang paling lurus, tidak pernah berulah aneh apalagi melakukan kejahatan, lalu bagaimana penjelasanmu tentang tindakan yang kalian lakukan hari ini?" Rupanya perguruan Po-ki-bun merupakan perkumpulan dari pelbagai umat persilatan yang sealiran dan satu tujuan, jangan harap ada anggotanya yang bisa mempelajari ilmu silat dari sang ketua.
Sejak didirikan, belum pernah Po-kie-bun melakukan kejahatan, tapi mereka justru memiliki kekuatan tersembunyi yang luar biasa.
Siapa tahu, hari ini perguruan Po-kie-bun yang selalu bersih, ternyata berniat merampas wilayah kekuasaan orang lain, kejadian ini benar-benar aneh sekali.
Terdengar Lu Tiang-lok berkata: "Ciangbunjin partai kami telah berganti orang lain, jadi tindak tanduk serta sepak terjang kami berbeda dengan yang dulu, inilah penjelasan dari cayhe" "Buat apa harus memberi penjelasan kepadanya" tukas lelaki jangkung itu, "sekarang kentongan ketiga sudah lewat, kalau kalian tidak segera menyerahkan wilayah ini, kami semua akan segera turun tangan" "Keponakan Tian" ujar Lu Tiang-lok kemudian, "turuti nasehatku, jangan ikut campur dalam urusan ini" Kemudian tanpa berpaling lagi kearah Tian Mong-pek, ia membalikkan tubuh sambil membentak keras: "Siap-siap turun tangan!" "Tiga tepukan tanganku sebagai batas waktu terakhir" si jangkung menambahkan.
"Plokl" dia pun bertepuk tangan untuk pertama kalinya.
Mendengar itu, dengan suara lantang seru si Ikan hiu: "Mau bertepuk tangan tiga ratus kalipun percuma, kami semua sudah siap menghadapi serangan kalian" Serentak para jago menyahut, hawa pembunuhan pun seketika menyelimuti seluruh wilayah pantai.
"Tian-heng" kembali si ikan hiu berkata, "kau harus mengurusi sendiri si bocah perempuan itu" "Biar diawasi nona Siau" sela Tian Mong-pek.
"Jadi kau benar benar akan hidup semati dengan kami, orang orang telaga Tay-ou?" "Kalau urusan ini sudah menyangkut perguruan Po-kie-bun, itu berarti akupun punya tanggung jawab" "Hahaha, bila hari ini kita bisa menangkan pertarungan, besok aku akan mengajakmu minum sampai puas" seru si ikan hiu sambil tertawa keras.
"Sreet!" ia loloskan sebuah cambuk baja yang memancarkan kilauan cahaya tajam.
Tian Mong-pek merasa darah panas mendidih dalam tubuhnya, ia menyapu sekejap sekeliling tempat itu, tampak para lelaki gagah dari telaga Tay-ou telah bersiap siap sambil memperlihatkan mata garang, sebaliknya para anggota Po-kie-bun justru berdiri mematung bagai mayat hidup.
Melihat itu pikirnya: "Walaupun ilmu silat mereka tidak bisa menandingi kehebatan orang orang Po-kie-bun, namun dari semangat juang mereka yang begitu tinggi, bahkan puluhan kali lipat melebihi mereka, apa lagi yang harus aku kuatirkan dengan pertarungan hari ini?" Berpikir begitu, semangatnya ikut berkobar, dia ingin menggunakan pertempuran hari ini untuk melampiaskan semua kekesalan yang dialaminya selama ini.
Ia sadar, bila seseorang memiliki semangat juang yang tinggi serta keberanian, walaupun berada dipihak yang lemah pun dapat menghadapi yang kuat.
Suara tepuk tangan bergema untuk kedua kalinya, pertempuran berdarah segera akan meledak.
Tian Mong-pek berdiri tegar diujung perahu, sepasang kepalannya menggenggam kencang, ditatapnya wajah Raja naga dari See-ou Lu Tiang-lok tanpa berkedip.
Ditatap seperti ini, bergidik juga perasaan Lu Tiang-lok, tanpa sadar ia mundur berapa langkah.
Tiba-tiba dari tengah kerumunan manusia berbaju putih itu berkumandang suara pekikan nyaring, menyusul kemudian tampak sesosok bayangan manusia melambung setinggi tiga kaki ke tengah udara, kemudian bersalto beberapa kali dan melayang turun diujung perahu.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu lihay sekali, membuat para jago terkesiap.
"Benarkah didalam perguruan Po-kie-bun terdapat jagoan selihay ini?" pikir Tian Mong-pek dengan perasaan tercekat, "itu berarti pertarungan yang bakal berlangsung hari ini .
. . . . . . . .." Diam-diam ia menghela napas dan tidak berpikir lebih jauh.
Tampak orang itu berteriak dengan suara lantang: "Sebelum pertempuran berdarah dimulai, terlebih dulu aku ingin bertanya kepada sahabat she-Tian ini" Biarpun suaranya parau, namun penuh bertenaga.
"Apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Tian Mong-pek tertegun.
"Apakah kau binatang?" Sekali lagi Tian Mong-pek tertegun, tapi segera teriaknya gusar: "Apa kau bilang?" Lu Tiang-lok saling bertukar pandangan dengan rekannya, terlihat mereka menunjukkan perasaan terkejut bercampur keheranan.
Para jago pun sama sekali tidak menyangka, dalam situasi seperti ini ternyata orang itu mengajukan pertanyaan yang aneh, kontan suasana jadi heboh, umpatan dan caci maki pun bergema dari seluruh arena.
Tampak manusia berbaju putih itu kembali bertanya sambil tertawa dingin: "Sekali lagi aku bertanya kepadamu, benarkah kau binatang?" Tian Mong-pek membentak gusar, ia langsung menyerbu ke ujung perahu.
Ia sadar, orang ini pasti punya dendam pribadi dengan dirinya, karena itu dalam gusarnya, tanpa pedulikan lagi siapakah orang itu, ia langsung merangsek maju, pukulan demi pukulan dilancarkan secara bertubi-tubi.
Dengan cekatan manusia berbaju putih itu menghindar sejauh satu tombak, tapi bagaikan bayangan, Tian Mong-pek merangsek maju terus.
"Siapa orang ini?" diam-diam Lu Tiang-lok berbisik, "kau kenal dengannya?" "Peduli siapakah orang itu" jawab si jangkung, "yang penting dia berpihak ke kita.
Bisa jadi orang itu adalah orang kepercayaan sia tua bangka, lebih baik kita jangan menyinggung perasaan hatinya, biarkan saja ia bertarung lebih dulu" Sementara pembicaraan berlangsung, Tian Mong-pek telah melancarkan pukulan jurus pukulan bagai titiran air hujan, tapi dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya, orang berbaju putih itu hanya berkelit kian kemari tanpa melepaskan serangan balasan.
Lambat laun tubuh mereka berdua telah bergeser ke buritan perahu, saat itulah terdengar orang berbaju putih itu membentak: "Orang she-Tian, aku sudah mengalah sepuluh jurus untukmu, hati hatilah, serangan balasan segera akan kulancarkan" "Siapa suruh kau mengalah?" teriak Tian Mong-pek gusar.
Tiba tiba tampak orang berbaju putih itu mengerdipkan matanya sambil berbisik: "Hei, Tian Mong-pek, masa kau belum tahu siapa aku?" Tian Mong-pek terkesiap, hampir saja ia jatuh semaput saking kagetnya.
Terdengar orang berbaju putih itu berbisik lagi: "Ayoh, seranglah terus, jangan berhenti, makin gencar seranganmu semakin baik" Kembali Tian Mong-pek melancarkan dua pukulan berantai, kemudian bisiknya pula: "Kau.....
kau . . . . .. sebenarnya apa yang telah terjadi" Kenapa kau..., kau....." "Sewaktu kau sudah tidur tadi, diam diam aku lakukan pemeriksaan II diseputar sana dan menemukan orang orang itu bisik orang berbaju putih itu, "maka kutotok salah seorang diantaranya, melepas pakaiannya dan menyusup ke dalam rombongan itu.
Kemudian merekapun datang kemari, disaat orang orang itu tidak menaruh perhatian, aku pun menyelinap ke tempat II lain .
. . . . .. Ternyata orang berbaju putih itu tak lain adalah Siau Hui-uh.
Tian Mong-pek yang mendengar penuturannya jadi kaget, keheranan dan merasa kagum.
Meski begitu, serangannya tetap dilancarkan secara bertubi tubi.
Siau Hui-uh sendiri sama sekali tidak membalas, setiap jurus serangan yang tiba selalu berhasil dihindari dengan gampang, bahkan gerak tubuhnya selalu berhasil menyusup diantara celah angin pukulan lawan.
Deruan angin pukulan telah menutupi pembicaraan mereka yang lirih, dilihat dari kejauhan, pertarungan mereka berlangsung seru, jurus dibalas jurus, serangan dibalas serangan, untuk berapa saat pertempuran berlangsung seimbang.
Menyaksikan hal ini, dengan kening berkerut ujar lelaki jangkung itu: "Sungguh tak disangka kungfu yang dimiliki orang she-Tian itu sangat lihay, jurus pukulan yang digunakan pun aneh dan hebat, coba lihat, serangan balasan rekan kita sama sekali tak berhasil menyentuh ujung bajunya" "Aku pun merasa terheran-heran dengan kejadian ini" sahut Lu Tiang-lok pula, "sepintar lalu, ilmu pukulan yang dimiliki Tian Mong-pek kacau balau tak beraturan, sungguh tak nyana hanya dalam puluhan hari, dia telah berhasil menguasahi jurus pukulan yang sakti dan tangguh, aku rasa Tian Hua-uh sendiripun sudah tak sanggup menandingi kehebatannya.
Lebih baik kita bertindak lebih hati-hati" "Aaai!" lelaki jangkung itu menghela napas, "masih untung ada saudara kita yang berhasil membendung keganasan orang she-Tian itu, kalau tidak, mungkin kita berdua pun bukan tandingannya" Begitulah, mereka berdua menahan napas sambil mengawasi jalannya pertarungan, perasaan keheranan dan kagum berkecamuk dalam perasaan hatinya, mereka menyesal kenapa ilmu silat yang dipelajari tak mampu mencapai tingkat setangguh itu.
Dipihak lain, sembari menyerang bertubi-tubi, tegur Tian Mong-pek keheranan: "Hei, kenapa kau bergeser terus?" Siau Hui-uh tertawa ringan, sahutnya: "Dimulai dari ujung sebelah kiri hingga ujung sebelah kanan, tanpa disadari siapa pun aku telah menotok jalan darah ke tujuh puluh empat orang itu, kecuali sepuluh orang yang berada pada barisan terdepan, kini,orang orang yang berada dibarisan belakang telah berdiri kaku bagai mayat hidup, jangan harap mereka mampu bergerak lagi" Kontan saja Tian Mong-pek merasa terkejut bercampur kegirangan, sekarang dia baru mengerti apa sebabnya anak buah Po-kie-bun tidak ikut bersorak sorai tadi melainkan hanya berdiri kaku bagaikan patung.
Tadinya dia malah menyangka perguruan Po-kie-bun memiliki peraturan dan disiplin tinggi sehingga anak buahnya tidak berani bergerak secara sembarangan.
"Biarpun sebagian besar sudah kutotok jalan darahnya" ujar Siau Hui-uh lagi, "namun kita tak boleh pandang enteng sisanya, karena bila sungguh terjadi pertarungan, kemungkinan besar masih ada banyak saudara telaga Tay-ou yang bakal terbunuh" "Lantas bagaimana baiknya sekarang?" Siau Hui-uh tertawa, sahutnya: "Dalam pandangan orang lain, caramu bertarung sekarang pasti mengundang decak kagum, mereka pasti sangka ilmu pukulanmu luar biasa.
Sebentar, kau harus kalahkan aku kemudian robohkan ke tujuh puluhan orang jago yang sudah kutotok jalan darahnya itu, dengan begitu, tindakanmu ini pasti akan menghebohkan semua orang, mereka pasti mengira kungfumu sangat menakutkan sehingga tak ada lagi yang berani turun tangan" II "Bagus, siasat yang bagus kata Tian Mong-pek kegirangan.
ll "Cuma keenakan buat dirimu kata Siau Hui-uh sambil tertawa, "nanti kau hajar aku dengan satu pukulan!" Sementara pembicaraan berlangsung, tubuh mereka berdua kembali bergeser.
Tiba tiba saja Tian Mong-pek tertawa keras, serunya: "Huh, hanya mengandalkan kungfu semacam inipun berani bertarung melawanku.
Sudah cukup lama aku menemanimu bermain, sekarang aku tak akan sungkan sungkan lagi, hati-hati, dalam tiga jurus aku bakal menghajar bahu kirimu" Mendengar perkataan itu, berkerut dahi lelaki jangkung itu, umpatnya: "Latah betul manusia she-Tian ini, mau menyerangpun sudah ditunjukkan sasarannya, apalagi akan dilakukan dalam tiga gebrakan, hmm! Aku jadi .
. . . . .." Belum selesai umpatannya, tampak Tian Mong-pek menggerakkan tangan kanannya ke belakang, sementara tangan kirinya sesudah dikebaskan berulang kali, mendadak ia lepaskan satu pukulan kilat.
Sebetulnya jurus pertahanan yang dilakukan Siau Hui-uh sangat ketat, ibarat hujan angin pun sulit tembus, tapi disaat dia menggerakkan tangannya, secara kebetulan terbuka satu titik kelemahan, pukulan yang dilepaskan Tian Mong-pek pun segera menghajar telak diatas bahu kirinya.
Siau Hui-uh seketika berpura pura menjerit kaget, badannya mencelat setinggi satu tombak lebih sebelum terjatuh ke tanah.
Peristiwa ini terjadi sangat tiba tiba, semua jago jadi terbelalak dengan mulut melongo, siapa pun tak mampu berbicara.
Begitu pula lelaki jangkung itu, dia tak mampu melanjutkan lagi kata umpatannya.
Malah si ikan hiu pun ikut terperangah dan berdiri mendelong.
Tian Mong-pek segera memandang sekejap sekeliling tempat itu, bentaknya lagi: "Siapa lagi yang ingin menjajal kepandaianku?" Semua jago terbungkam, berkutik pun tidak.
Perlahan-lahan Tian Mong-pek menggeser kakinya, selangkah demi selangkah ia maju kearah kawanan manusia berbaju putih itu, cepat Lu Tiang-lok berdua bergeser ke samping.
Sambil tertawa dingin Tian Mong-pek menuju ke tengah kerumunan manusia berbaju putih itu, karena jalan darah mereka sudah tertotok, tentu saja tak seorangpun bergeser dari posisinya.
Dengan suara lantang Lu Tiang-lok segera berteriak: "Rekan-rekan semua, ayoh maju bersama, ringkus dulu bajingan itu!" Orang ini bernyali kecil tapi paling gemar main keroyokan, kalau minta dia turun tangan sendiri, hal itu mustahil akan dilakukan, apalagi setelah menyaksikan kehebatan ilmu silat yang dimiliki Tian Mong-pek, dia berharap dengan andalkan jumlah banyak mampu merobohkan anak muda itu.




Siapa sangka kembali Tian Mong-pek bergerak cepat, sepasang kepalannya diayunkan berulang kali kesana kemari, sungguh kasihan kawanan manusia berbaju putih yang sudah tertotok lebih dulu jalan darahnya, begitu tersambar angin pukulannya, tubuh mereka langsung roboh bergelimpangan seperti balok kayu.
Dalam waktu singkat, ke tujuh puluhan orang jago itu sudah roboh terkapar ditanah.
Sebetulnya para jago dari telaga Tay-ou sudah bersiap siap untuk membantu, tapi setelah menyaksikan peristiwa itu, mereka jadi terbelalak hingga tak tahu harus berbuat apa.
Terlebih Lu Tiang-lok sekalian, mereka jadi terkesiap dan gugup setengah mati.
Sambil tertawa keras, bentak Tian Mong-pek: "Lu Tiang-lok, apa lagi yang akan kau katakan?" II "Keee...
keponakan . . . . . . .. keponakan Tian . . . . . . .. saking takutnya, Lu Tiang-lok gemetaran hingga gigipun saling beradu, "dalam kejadian hari ini, bukan kehendak siaute berbuat begini" "Berarti ide kamu?" dengus Tian Mong-pek sambil membentak nyaring.
Lelaki jangkung itu sama sekali tak berbicara, tiba tiba saja dia melejit kemudian kabur terbirit birit meninggalkan tempat itu.
"Tunggu aku" teriak Lu Tiang-lok gelisah.
"Kau masih ingin melarikan diri?" ejek Tian Mong-pek sambil menghadang jalan perginya.
Kontan saja Lu Tiang-lok merasakan sepasang kakinya jadi lemas, pintanya memelas: "Tian.....
Tian si-heng, selama ini hubungan kita cukup bagus, apalagi siaute harus menghidupi orang tua dan anak .
. . . . .. "Dasar budak anjing yang tak bernyali" maki si ikan hiu gusar, "sikapmu
Kontan saja Lu Tiang-lok merasakan sepasang kakinya jadi lemas, pintanya memelas: "Tian.....
Tian si-heng, selama ini hubungan kita cukup bagus, apalagi siaute harus menghidupi orang tua dan anak .
. . . . .." "Dasar budak anjing yang tak bernyali" maki si ikan hiu gusar, "sikapmu bikin malu semua lelaki didunia ini, buat apa manusia seperti kau dibiarkan hidup terus didunia?" ll "Tian si-heng, benar-benar bukan keinginanku .
. . . . . .. jerit Lu Tiang-lok ketakutan.
"Lalu siapa yang menjadi dalang dari kesemuanya ini?" tergerak hati Tian Mong-pek.
Lu Tiang-lok betul-betul ketakutan setengah mati, giginya saling beradu, sorot matanya jadi suram, ia tak sanggup lagi berdiri tegak.
"Cepat katakan!" kembali Tian Mong-pek menghardik.
"Kalau tak mau bicara, bunuh saja!" si ikan hiu menimpali.
"Dalangnya adalah . . . . .. adalah . . . . . . .." Tiba tiba terlihat tiga titik cahaya perak meluncur datang dari belakang tubuh Tian Mong-pek, ke tiga cahaya itu serentak menghajar ditubuh Lu Tiang-lok.
Tidak sempat lagi meneruskan perkataannya, sambil memegangi dada sendiri, Lu Tiang-lok menjerit kesakitan.
"Dirumah aku . . . . . . . . .." Belum habis ucapan itu, tubuhnya telah roboh terjungkal ketanah.
Sekalipun dia merasa berat hati untuk meninggalkan harta kekayaannya, meski berat hati untuk meninggalkan semua posisi dan martabatnya, namun nyawanya tetap melayang meninggalkan raga.
"Siapa!" bentak Tian Mong-pek sambil membalikkan tubuh.
Terlihat belasan sosok bayangan manusia berbaju putih itu sedang melarikan diri kearah kegelapan dengan kecepatan tinggi.
Si ikan hiu segera mengejar sambil teriaknya: "Cepat kejar!" "Jangan dikejar!" tiba tiba sesosok bayangan manusia berbaju putih meluncur turun tepat dihadapannya.
Si ikan hiu terperanjat, cepat dia mengayunkan senjata ruyungnya melancarkan serangan.
Dengan cekatan manusia berbaju putih itu menghindar ke samping, serunya sambil tertawa: "Masa kau sudah tidak kenali aku?" Sambil berkata, ia lepaskan kain kerudung putih yang menutupi wajahnya, ternyata dia tak lain adalah Siau Hui-uh.
Si ikan hiu ama terperanjat, untukberapa saat ia sampai berdiri tertegun dan tak tahu harus berbuat apa, selama ini dia sangka Siau Hui-uh masih berada dalam ruang perahu dan menjaga keselamatan Kiong Ling-ling.
Tampak Tian Mong-pek dengan senyum dikulum ikut berjalan mendekat.
Si ikan hiu menatap sekejap kearah Siau Hui-uh, kem udian menatap pula Tian Mong-pek, akhirnya setelah menghela napas, ia tertawa terbahak- bahak, serunya: "Aku benar-benar takluk kepada kalian berdua" Dalam pada itu para jago dari telaga Tay-ou telah bersorak sorai menyambut kemenangan yang berhasil diraih, mereka mengerumuti ke tiga orang itu dan memuji tiada hentinya.
"Bagaimana kita selesaikan kawanan bandit itu?" tanya seorang lelaki.
"Ceburkan saja ke dalam telaga!" segera sahut rekannya.
Baru saja para jago akan melakukan seruan itu, mendadak Tian Mong-pek membentak keras: "Tunggu sebentar!" II "Kalau mereka harus dibunuh, akupun merasa tidak tega kata si ikan hiu, "tapi membiarkan mereka tetap hidup, pada akhirnya toh membuat keonaran lagi, mending biarkan saja mereka berbaring disitu, ayoh kita meneguk dulu berapa cawan arak sembari merundingkan persoalan ini" Dia menarik tangan Tian Mong-pek lalu diajak naik keatas perahu besar.
"Silahkan masuk!" kata si ikan hiu sambil membuka pintu ruangan perahu.
Tidak sungkan-sungkan lagi Tian Mong-pek serta Siau Hui-uh segera melangkah masuk.
Siapa tahu belum lagi kakinya melangkah masuk, ia sudah menjerit kaget seraya berseru: "Kemana perginya Ling-ling?" Rupanya Kiong Ling-ling yang semula berbaring diatas ranjang, kini sudah hilang lenyap tak berbekas.
"Padahal tadi aku telah menotok jalan darah tidurnya" seru Siau Hui-uh pula dengan perasaan kaget, "mana.....
mana mungkin dia bisa pergi dari sini?" Ia mencoba periksa selimut dan ranjang, ternyata masih terasa hangat, itu berarti nona kecil itu belum lama pergi dari tempat tidurnya.
Dengan perasaan tercekat semua orang saling berpandangan mata, pikirnya: "Jangan jangan nona itu diculik anak buah perguruan Po-kie-bun?" Tiba-tiba dari balik ruang perahu terdengar seseorang berkata sambil tertawa dingin: "Oh, ternyata kau sudah datang" Silahkan duduk, silahkan duduk!" Suara tertawanya lembut, tajam dan menyeramkan, tidak jelas bersumber darimana, tapi semua orang merasakan hatinya bergidik hingga tanpa sadar mundur setengah langkah.
Kembali terdengar orang itu berkata sambil tertawa dingin: "Ooh, sudah mau pergi" Tidak kuhantar, tidak kuhantar!" Dibarengi suara bentakan nyaring, Tian Mong-pek serta si ikan hiu segera menyerbu masuk ke ruang perahu.
Siapa tahu suara tertawa dingin itu kembali berkumandang dari belakang tubuh mereka.
"Hehehe, aku berada disini kata orang itu sambil tertawa seram.
Dengan kecepatan luar biasa Tian Mong-pek sekalian membalikkan tubuh, namun suara tertawa dingin itu seolah berkumandang datang dari empat arah delapan penjuru.
Ditengah gema suara tertawa dingin, pintu ruang perahu pelan-pelan menutup sendiri.
Dari balik pintu terlihatlah seseorang, ia berdiri menempel dinding, pakaiannya berwarna putih, sambil melompat selangkah demi selangkah menghampiri mereka semua.
Tian Mong-pek merasa terkejut bercampur gusar, tanpa banyak bicara ia lancarkan satu pukulan dahsyat.
Siapa sangka orang itu sangat cekatan, belum lagi angin pukulan menghampiri tubuhnya, dia sudah mengigos ke samping.
"Siapa yang berlagak macam setan, aku tak percaya tidak dapat membengkuk kalian" seru Siau Hui-uh.
Baru selesai ia berteriak, dua orang sudah tertawa nyaring, ternyata mereka tak lain adalah Mo Mok-ngo serta Thian-ma hwesio.
Seru Mo Mok-ngo sambil tertawa tergelak: "Hahaha, melihat kalian pinter sekali menipu orang lain, aku jadi gatal tangan untuk ikut menakut-nakuti kalian." "Aaah, ternyata kau" teriak Siau Hui-uh jengkel, "sudah tua masih tak genah" Pada saat itulah terlihat Tu Hun-thian sambil membopong Kiong Ling-ling ikut munculkan diri.
Tian Mong-pek berdiri tertegun, untuk sesaat dia tak tahu harus berbuat apa.
Tampak si ikan hiu segera maju memberi hormat kepada Thian-ma hwesio sambil berseru: "Paman, kalau tahu kau sudah datang sejak tadi, akupun tak perlu merasa kuatir" Rupanya orang yang sedang dia tunggu tak lain adalah Thian-ma Hwesio.
"Hahaha, sebetulnya aku tak ingin datang terlambat, kalau ingin menegur, tegur saja dia" seru Thian-ma Hwesio sambil menuding kearah Tian Mong-pek.
Dengan lantang Tian Mong-pek segera berseru: "Permintaan apapun dari cianpwee, pasti akan kukabulkan, tapi panji Il Pek-po-kie adalah milik Chin .
. . . . . . .. Satu ingatan mendadak melintas dalam benaknya, segera serunya lagi: "Cianpwee, jangan jangan kau menginginkan panji kain putih karena hendak digunakan untuk persoalan ini?" "Hahaha, betul sekali!" jawab Thian-ma Hwesio sambil tertawa tergelak, "kalau bukan gara gara urusan keponakanku yang bodoh itu, buat apa pinceng menginginkan gombal jelek itu" Biarpun belakangan pinceng banyak makan daging dan minum arak, tapi belum pernah membiarkan orang lain berdarah, pincengpun sadar, kekuatanku seorang tak mungkin bisa mengendalikan setan-setan cilik itu, karena itulah timbul keinginanku untuk menggunakan panji kain putih untuk menakut-nakuti mereka, tak disangka kerja sama kalian berdua sudah cukup membuat orang orang itu kabur ketakutan" Dengan penjelasan tersebut, semua teka teki yang semula penuh misteri pun segera terkuak.
Ujar Thian-ma Hwesio lagi dengan wajah serius: "Walaupun urusan hari ini dapat teratasi, namun bibit bencana dikemudian hari belum tertumpas, sejak kematian Chin Mo-cuan dari Pek-po-kie, hampir sebagian besar anggota perkumpulan telah dikumpulkan oleh seseorang, orang itu punya ambisi yang sangat besar, meski gara gara memandang enteng lawan, jago yang terkirim hari ini tidak banyak, tapi aku yakin dia tak akan rela lepas tangan dengan begitu saja." "Betul" seru si ikan hiu sambil bertepuk tangan, "tadi, orang she-Lu itupun mengaku kalau dibelakang layar masih ada dalangnya, sayang sebelum ia menjelaskan siapakah orang itu, dia sudah keburu mampus" Dengan kening berkerut Tian Mong-pek berpikir berapa saat, katanya kemudian: "Apakah cianpwee tahu kalau Chin locianpwee dari Pek-po-kie telah tewas oleh panah kekasih" Jangan-jangan peristiwa ini ada sangkut pautnya dengan panah kekasih" Atau mungkin pemilik panah kekasih ingin mengendalikan perguruan Pek-po-kie, maka diapun menghabisi nyawa Chin locianpwee?" "Aku orang tuapun curiga begitu" kata Mo Mok-ngo, "karena itulah begitu Thian-ma Hwesio menyinggung masalah ini, kami pun segera menyusul kemari" "Hanya Kuan-ji yang masih tinggal disana merawat mereka yang terluka" Tu Hun-thian menambahkan, "aaai.....
bocah ini sebenarnya baik, hanya sayang kelewat bodoh" Perkataan itu sudah jelas ditujukan kepada Tian Mong-pek, tapi anak muda itu tidak tahu bagaimana harus menanggapi, melihat kesedihan yang menyelimuti wajah Tu Hun-thian, diapun ikut merasa pedih.
Tiba tiba dengan kening berkerut si ikan hiu lari keluar ruang perahu, tak lama kemudian ia muncul kembali sambil menyeret dua orang lelaki berbaju putih.
Tian Mong-pek segera menghampiri sambil membuka kain kerudung wajahnya, tampak yang seorang beralis tebal, berkumis tebal dengan wajah penuh keriput, sedangkan yang lain berjenggot tipis tapi terawat rapi, cepat dia totok bebas jalan darahnya dan menginterogasi dengan suara nyaring.
Bagaikan baru tersadar dari impian, kedua orang itu tampak ketakutan setengah mati.
Setelah dibentak berulang kali, akhirnya lelaki yang lebih muda itu berkata: "Hamba tidak tahu apa-apa, dulunya hamba hanya seorang pengemis didepan kuil Leng-in-sie, karena memiliki tenaga besar, entah kenapa tertanya Lu tayya tertarik denganku, dia memberi hamba uang dan suruh aku mengenakan pakaian ini, kemudian minta hamba ikut datang berkelahi.
Kemampuan hamba memang berkelahi, karena ada janji hadiah maka hamba pun bersedia" Ketika mengetahui kalau orang ini tak lebih hanya seorang pengemis bandit yang biasa mangkal didepan kuil, semua orang jadi kecewa, mendongkol bercampur geli.
Sementara itu rekannya kelihatan agak sangsi, tapi kemudian setelah menghela napas panjang katanya: "Cayhe sebenarnya bekerja di perusahaan ekspedisi, jelek jelek begini pun punya sedikit nama, belasan tahun berselang karena kenal dengan seorang sahabat dari Po-kie-bun, akhirnya akupun ikut bergabung.
Belasan tahun berlalu tanpa kejadian apa pun, selama ini kami hanya berkumpul sambil minum berapa cawan arak, hingga bulan berselang .
. . . . . . .." Ketika tahu kalau orang ini anggota Po-kie-bun, semangat semua orangpun segera bangkit, desaknya: "Bagaimana dengan bulan berselang" Siapa yang mengumpulkan kalian ditempat ini?" Tampak orang itu agak ragu sejenak, kemudian setelah menghela napas terangnya: "Belakangan, pengeluaranku bulanan bertambah besar sementara pemasukan makin sedikit, dalam kondisi demikian akupun datang ke Hang-ciu mencari sahabatku dari Po-kie-bun.
Suatu hari tiba tiba ia datang memberiku uang dalam jumlah banyak, katanya Po-kie-bun akan mengadakan pertemuan akbar.
Meski dihati kecilku merasa keheranan, namun aku tidak banyak bertanya, ketika tiba saat yang ditentukan, semua orang diwajibkan mengenakan baju putih dengan kerudung muka putih, tampaknya sang pemimpin sudah tua karena terdengar suaranya yang serak, namun kami tak bisa melihat raut mukanya, karena itu akupun bertanya kepada temanku itu, dia sendiri hanya tahu kalau si pemberi uang adalah Lu Tiang-lok, sedang si kakek bertubuh jangkung itu tetap misterius, tak ada yang tahu identita snya" Thian-ma Hwesio memperhatikan sekejap lelaki itu, dia tahu, sudah pasti orang itu gemar minum arak dan berjudi hingga akhirnya jatuh pailit, karena itu begitu ada tawaran dengan bayaran tinggi, diapun melakukan tugas itu tanpa dipikir panjang.
Dari sikap serta mimik muka mereka berdua, hwesio itu sadar bahwa apa yang mereka katakan memang tidak bohong.
Ujar Thian-ma Hwesio kemudian: "Bisa jadi lantaran susah untuk mengumpulkan semua anggota Po-kie-bun yang tersebar, maka tua bangka itu mencari kaum berandal untuk menyamar jadi anggota perguruan" "Tapi siapakah orang itu?" tanya Tian Mong-pek dengan kening berkerut.
II "Jika ditinjau dari penuturan mereka kata Mo Mok-ngo, "kemungkinan besar kecuali Lu Tiang-lok serta rekannya, orang lain tak bakal tahu identitas tua bangka itu yang sebenarnya, aku tahu, kau pasti menyangka tua bangka itu ada hubungannya dengan panah kekasih hingga perasaan hatimu gelisah, tapi dengan kepandaian silat yang kau miliki sekarang, sekalipun berhasil membongkar kedok dari tua bangka itu, apa pula yang bisa kau lakukan" Aku rasa lebih baik perdalam dulu ilmu silatmu, sementara kami akan melakukan pelacakan secara diam diam" Tian Mong-pek merasa hatinya amat masgul, ketika menyaksikan Siau Hui-uh sedang menatapnya dengan sorot mata penuh pengharapan, akhirnya dia menghela napas panjang dan menundukkan kepalanva.
"Hahaha, dia sudah bersedia" teriak Siau Hui-uh cepat dengan hati girang.
Melihat itu, Mo Mok-ngo segera berpaling ke arah Tu Hun-thian dan katanya sambil tertawa: "Coba kau lihat, disini pun terdapat seorang budak bodoh" Tu Hun-thian termangu-mangu sesaat, kemudian setelah memandang Tian Mong-pek sekejap lalu menengok Siau Hui-uh, dia menghela napas sedih, sambil bangkit dan tertawa paksa, ujarnya: "Selamat keponakan Tian, kau berhasil mendapat guru pandai, semoga setelah ini reputasi mu semakin menanjak, lohu .
. . . .. aaai, lebih baik aku pergi ke hutan bunga tho .
. . . . . . .." Mo Mok-ngo tertawa tergelak, selanya: "Tu loji, kenapa perkataanmu begitu kecut rasanya, hahaha...
jangan pergi dulu, jangan pergi dulu .
. . . . .. aku si orang tua akan menyertaimu" "Baiklah, kalian berdua berangkatlah duluan" ujar Thian-ma Hwesio pula sambil tertawa, "selesai membereskan setan-setan cilik ini, pinceng segera menyusul kalian, toh kawanan manusia itu hanya jual nyawa demi uang, biar kudemonstrasikan sedikit kemampuanku untuk mengusir mereka semua dan memaksa mereka jangan berani datang mencari urusan lagi" Tiba tiba ia cengkeram kedua orang manusia berbaju putih itu lalu diangkat ke tengah udara, bentaknya: "Betul bukan perkataanku?" Kedua orang manusia berbaju putih itu gemetar keras karena ketakutan, dengan gigi saling beradu sahutnya: II "Bee.....benar .
. . . .. Diiringi gelak tertawa nyaring, Thian-ma Hwesio segera menenteng kedua orang itu dan beranjak pergi.
Tu Hun-thian pun menjura kepada semua orang kemudian berlalu dengan menerobos jendela.
"Aku orang tua pun ikut pergi dulu" kata Mo Mok-ngo cepat, "nah, kau segera pulang, jangan buang waktu lagi" "Siau supek .
. . . . . .." teriak Siau Hui-uh cemas.
Tapi Mo Mok-ngo sudah meluncur keluar dari ruang perahu dan melayang keatas sampan kecil, rupanya mereka bertiga datang dengan menumpang sampan.
Sekali dayungan, sampan itu sudah melesat sejauh berapa tombak lebih.
Dari kejauhan terdengar Mo Mok-ngo berseru: "Jika Tian Mong-pek gadungan itu belum pergi, suruh ayahmu patahkan dulu sepasang kaki anjingnya" Menyaksikan kepergian para cianpwee itu, Tian Mong-pek menghela napas panjang, katanya: "Sepak terjang para cianpwee itu ibarat bangau liar yang terbang di angkasa, begitu bebas, begitu santai, sama sekali tak terikat oleh urusan apapun" II "Meski mereka suka kebebasan, namun wataknya aneh sekali kata Siau Hui-uh, "ambil contoh siau-supek ku itu, meski hubungannya dengan ayahku sangat kental, namun ayah tidak mengetahui asal usulnya dulu, sebetulnya aku merasa kagum dengan kebebasan mereka, tapi terkadang setelah melihat rasa kesepian yang menyiksa batinnya, akupun merasa amat menakutkan" Kini malam sudah semakin kelam, mengawasi awan yang tergerak di angkasa, Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Aaai, sejak dulu hingga kini, enghiong mana yang tidak merasa kesepian?" "Apakah kau....
kau pun kesepian?" "Aku .
. . . . . . . ?" Tiba tiba terdengar si ikan hiu berseru sambil tertawa tergelak: "Hahaha, walaupun aku tak berani menahan mereka bertiga, tapi Tian-heng semestinya mau bukan tinggal berapa hari disini" "Betul, harus tinggal selama berapa hari" sambung para jago lainnya.
Atas desakan para hohan yang penuh keramahan, akhirnya Tian Mong-pek berdiam satu hari, tapi justru gara-gara tinggal lebih lama disana, persoalan yang mungkin bisa berjalan lancar telah berubah jadi tidak lancar, kehidupan yang tenang pun berubah dengan be rbagai persoalan .
. . . . . .. Begitulah, setelah berpisah dengan para jago dari telaga Tay-ou, berangkatlah Tian Mong-pek, Siau Hui-uh dan Kiong Ling-ling yang butuh dituntun karena lukanya makin sembuh, naik ke pantai utara telaga Tay-ou.
Tiba di kota Tin-kang, mereka bertiga beristirahat disebuah penginapan kecil dikaki bukit Siong-san.
Sambil bersandar ditengah halaman kecil berlapis batu cadas, dengan sedih ujar Siau Hui-uh: "Walaupun sudah cukup lama aku tiba di wilayah Kanglam, namun baru sekarang benar-benar merasakan indahnya pemandangan alam ditempat ini, maklumlah, berapa waktu berselang, nyaris hampir tiap hari harus duduk dalam kereta, betul betul suasana yang amat menjemukan" Tian Mong-pek membungkam tanpa menjawab.
Agaknya Siau Hui-uh sudah terbiasa dengan sikap pemuda itu, kembali ujarnya: "Jarang sekali umat persilatan bertemu dengan ayahku, mereka semua mengira ayahku aneh, padahal walaupun kemampuan ayahku setingkat melebihi orang lain, namun tabiatnya .
. . . . . .." Tiba-tiba terlihat Tian Mong-pek melompat bangun kemudian menyingkir ke tempat lain.
"Kenapa kau enggan mendengar kisah mengenai ayahku?" tegur Siau Hui-uh cepat.
Tanpa berpaling sahut Tian Mong-pek: "Aku hanya bersedia ikut kau pulang ke rumahmu, bisa belajar silat atau tidak, aku tak ambil peduli, tapi yang pasti aku tak bakalan angkat ayahmu sebagai guruku" Siau Hui-uh tampak tertegun, setelah menghela napas katanya lagi: II "Buat apa kau selalu teringat kalau bibi ke tiga .
. . . . . . .. Tiba tiba terdengar isak tangis Kiong Ling-ling bergema memecah keheningan.
Dengan kening berkerut Tian Mong-pek segera berlarian menghampiri sumber tangisan, tampak Kiong Ling-ling dengan tubuh yang kurus lemah sedang bersandar disebuah pohon liu sambil menangis terisak, walaupun suara tangisannya tidak terlalu keras, namun tubuhnya kelihatan gemetar keras, bergetar bagai sekuntum bunga yang diterpa hujan gadai.
Sambil menghela napas panjang tegur Tian Mong-pek: "Kenapa kau menangis nak?" Lewat berapa saat kemudian Kiong Ling-ling baru berpaling, sahutnya sambil tertawa paksa: "Paman, aku tidak menangis" Sekalipun dia sudah menyeka air matanya secara diam-diam, namun sepasang matanya yang besar telah berubah jadi merah lantaran habis menangis, apalagi senyuman yang dipaksakan, terlihat makin membuat hati jadi kecut.
"Ling-ling" ujar Tian Mong-pek sambil menghela napas, "kau tak usah membohongi paman, katakan terus terang, apakah kau menangis karena teringat yaya mu?" Cepat Kiong Ling-ling menggeleng, sahutnya sambil menundukkan kepala: "Tidak, aku tidak teringat akan dirinya" "Kenapa?" "Ling-ling tak mau mengingat dia karena.....
karena diingat pun tak ada gunanya" Sewaktu mengucapkan perkataan itu, butiran air mata kembali berlinang.
Sementara Tian Mong-pek merasakan hatinya bergetar keras, terdengar Kiong Ling-ling kembali berkata: "Biarpun paman tidak pernah beritahu kepada Ling-ling, tapi Ling-ling tahu kalau yaya dia orang tua telah .
. . . .. telah mati" Tian Mong-pek tertegun, lama kemudian baru ujarnya: "Bukan paman enggan beritahu kepadamu, tapi.....
aaai, kau tak pernah bertanya tentang dia orang tua" "Aku tahu, paman berbuat begini lantaran Ling-ling, karena kuatir Ling-ling sedih maka tidak beritahu kepadaku, karena itu, bila Ling-ling tetap bertanya, bukankah paman akan merasa sedih" Paman dan bibi begitu baik kepadaku, mana boleh aku membuat paman dan bibi bersedih hati?" Bicara sampai disini, isak tangis yang semula tak bersuara berubah jadi tangisan keras.
Tian Mong-pek ikut merasakan hatinya kecut, untuk sesaat dia tak tahu bagaimana harus menghibur.
Lambat laun isak tangis Kiong Ling-ling semakin meredah, akhirnya sambil menyeka air mata katanya: "Ling-ling tidak akan menangis lagi, Ling-ling mau tidur, paman, pergilah tidur!" Diiringi senyuman sedih, ia beranjak melalui samping tubuh pemuda itu.
Dibawah sinar rembulan, bayangan tubuh Ling-ling tampak makin lama semakin memanjang, semakin buram sebelum akhirnya lenyap dari pandangan, ketika Tian Mong-pek mendongakkan kepala, tampak rembulan persis berada ditengah awang awang.
Ditengah keheningan malam, tiba tiba pemuda itu menyaksikan sekilas bayangan hitam yang melayang turun dari belakang tubuhnya bagaikan selembar daun.
Ketika diperhatikan, ternyata bayangan hitam itu hanya selembar kertas undangan berwarna merah, tapi ditengah kartu undangan tertera sebuah lukisan tengkorak berwarna hitam.
"Undangan malaikat kematian!" Sementara Tian Mong-pek masih terkejut, mendadak terdengar lagi dua desingan angin tajam melesat dari belakang tubuhnya, langsung mengancam pinggang kiri dan pinggang kanannya, desingan angin itu tajam dan menakutkan.
"Panah kekasih!" Dalam terperanjatnya, buru-buru Tian Mong-pek menjatuhkan diri ke tanah.
"Sreet, sreeet" dua desingan tajam menyambar lewat persis dari atas punggungnya dan "Tuuk, tukk!" menancap pada batang pohon liu.
Terlihat jelas, panah itu adalah sepasang anak panah pendek berwarna merah dan hitam.
Dengan gerakan cepat Tian Mong-pek bergulingan ke samping lalu melompat bangun, ia sempat menyaksikan sesosok bayangan hitam kabur dari situ dengan kecepatan bagaikan asap.
Lupa dengan perasaan takut dan terbakar api dendam, ia membentak keras, dengan mengerahkan segenap tenaga ia lakukan pengejaran.
Pemuda itu rela tewas diujung panah kekasih daripada membiarkan musuh besar pembunuh ayahnya kabur dari hadapan matanya.
Ternyata ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu sangat lihay, tapi api dendam sudah membara dihati Tian Mong-pek, menyulut segenap kekuatan yang dimilikinya.
Tampak tubuhnya bergerak bagaikan sambaran kilat, selisih jaraknya dengan bayangan hitam itu kian lama kian bertambah dekat.
Terlihat bayangan hitam itu kabur menuju ke bukit Siang-san, keadaan medan kian lama kian bertambah terjal dan sepi, ditambah hembusan angin malam yang dingin, membuat perasaan bergidik mencekam perasaan.
Mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, pikir pemuda itu: "Jika panah kekasih begitu gampang dikejar orang, mana mungkin ada begitu banyak jago persilatan yang tewas oleh senjata tersebut?" Tapi dalam keadaan seperti ini, dia tak berminat untuk berpikir lebih mendalam, dia hanya tahu mengejar terus dengan sekuat tenaga.
Tak lama kemudian, bayangan hitam itu sudah tiba dipunggung bukit, menanti Tian Mong-pek menyusul ke situ, bayangan tadi sudah hilang tak berbekas.
Waktu itu, sinar rembulan tertutup oleh awan gelap, bayangan bukit bagaikan segerombol iblis yang menghimpit dadanya, dengan bimbang pemuda itu mengawasi sekeliling sana, ditengah kegelapan, ia mengepal tinjunya erat erat, membenci diri sendiri, marah kepada diri sendiri, mengapa larinya tak bisa lebih cepat, mengapa kemampuan miliknya tak bisa lebih tangguh, dia pun tahu perasaan tersebut terdorong oleh kegagalan dan rasa kecewa, tapi ia tak ambil peduli, tubuhnya menerjang terus ke atas.
Siapa tahu, baru saja tubuhnya bergerak, tiba tiba dari arah belakang terdengar seseorang menyapa sambil tertawa ringan: "Tian Mong-pek, aku berada disini!" Dengan perasaan terkejut Tian Mong-pek berpaling, terlihat dari balik bebatuan berjalan keluar sesosok bayangan tubuh bertubuh kurus kering.
Ditengah kegelapan malam, bayangan itu bagaikan kemunculan sukma gentayangan.
Tak lama kemudian bayangan itu sudah semakin mendekat, ternyata dia tak lain adalah Hong Sin.
"Rupanya kau!" bentak Tian Mong-pek gusar.
"Berapa hari tak bersua, baik-baikkah kau saudara Tian?" ucap Hong Sin sambil tertawa.
"Berulang kali kau mencelakai aku" seru Tian Mong-pek gusar, "terakhir ditengah telaga Tay-ou pun kau berniat membunuh aku, walau perbuatanmu tak berhasil .
. . . . . .." "Eei, apa maksud perkataanmu itu" teriak Hong Sin seakan melengak, "sekalipun aku bukan orang baik, belum pernah aku bersikap jahat terhadapmu, kapan aku berniat mencelakai saudara Tian?" "Ketika berada di telaga Tay-ou .
. .



. . . . .." "Aaai....." Hong Sin menghela napas, "kapan aku pernah bertemu Tian-heng di telaga Tay-ou" Yaa, maklumlah, namaku memang busuk dikalangan persilatan, sehingga tak bisa disalahkan jika Tian-heng menuduhku" Penampilannya yang sungguh-sungguh membuat Tian Mong-pek tertegun, ujarnya kemudian: "Baiklah, kita jangan singgung persoalan itu, aku mau tanya, apakah kau yang barusan melepaskan panah kekasih?" "Benar .
. . . . .." Tian Mong-pek membentak gusar, sepasang tinjunya langsung dihantam ke depan.
Cepat Hong Sin mengigos, serunya sambil goyangkan tangannya berulang kali: "Tian-heng, jangan menyerang dulu, coba dengarkan dulu perkataanku" "Sudah begitu banyak jago silat yang tewas ditanganmu" ujar Tian Mong-pek gusar, "bahkan mendiang ayahku mati juga ditanganmu, apa lagi yang hendak kau katakan" Kini hanya ada kita berdua, hari ini, kalau bukan kau yang mati, akulah yang bakal mampus, tak ada pilihan lain bagimu." Perkataan itu diucapkan dengan tegas, sebab dia sudah memutuskan, sekalipun bukan tandingan lawan pun dia tetap akan beradu nyawa dengan Hong Sin.
Perempuan cantik itu segera menepuk bahu Tian Mong-pek dan katanya sambil tertawa merdu: "Hei anak muda, sudah mendengar semuanya" Sekarang tentunya kau tak perlu mencampuri urusan ini lagi bukan!" Paras muka Tian Mong-pek hijau membesi, untuk berapa saat dia hanya bisa berdiri mematung.
"Hong Sin" kembali perempuan cantik itu berkata sambil menghela napas, "kau memang kelewat pintar .
. . . . .." Sambil membenahi rambutnya dengan jari tangan yang lentik, dia menambahkan lembut: "Apa yang harus kulakukan terhadap orang yang pintar .
. . . . . .." Tiba tiba ia berpaling dan katanya sambil tertawa: "Ji-moay, pernah tahu bagaimana rasanya daging manusia" Belakangan, aku ingin sekali mencicipinya!" Paras muka Hong Sin kontan berubah jadi pucat pasi, sementara sinar mata berapi karena gusar memancar dari balik mata Tian Mong-pek.
"Jangan panik" kembali perempuan cantik itu mengerling genit, "biar sudah kubunuh pun, aku tak bakalan mau mencicipi daging manusia macam kau" Biarpun ia sedang mengucapkan perkataan yang paling sadis, paling kejam, namun senyuman manis tetap tersungging diujung bibirnya yang mungil.
Kontan saja Siau Hui-uh berkerut kening, teriaknya: "Hei Siau Man-hong, sebenarnya apa yang hendak kau lakukan terhadap orang ini" Kalau ingin dibunuh, segera bunuhlah, kalau tak ingin dibunuh, bebaskan" "Ji-moay" tegur perempuan cantik itu sambil tertawa, "dapatkah kau II memanggilku sebagai cici .
. . . . . .. Kemudian setelah berhenti sejenak, tiba tiba dia menggapai ke belakang seraya katanya: "Hei, kau jangan pergi dulu, cepat balik kemari" Ternyata tanpa berpaling pun, ia dapat mengetahui semua kejadian di belakang tubuhnya dengan jelas.
Ternyata secara diam-diam Hong It berusaha melarikan diri, namun setelah ditegur, dengan perasaan takut dia pun berjalan kemba li.
"Anak pintar" kata Siau Man-hong lagi, "ayahmu pun sudah berlutut, masa kau malah berdiri" Apakah tidak merasa malu?" Belum selesai dia berkata, Hong It telah menjatuhkan diri berlutut, persis dihadapan ayahnya, Hong Sin.
"Kalau dibunuh, rasanya kurang baik, dibebaskan juga kurang pas, bagaimana baiknya" .
. . . . .. baiklah, begini saja, yang satu dibunuh, yang II satu lagi dibebaskan .
. . . . . .. "Siapa yang kau.... kau bebaskan"' tanya Hong It ketakutan.
"Baiknya bebaskan siapa .
. . . . . .." begini saja, kalian saling menampar sebanyak dua puluh kali, siapa yang tamparannya paling keras, aku akan membebaskan dia!" Mendengar perkataan itu Tian Mong-pek berkerut kening, serunya gusar: "Kau .
. . . . . . " Siapa sangka belum sempat dia bicara, Hong It telah mengayunkan tangannya dan menampar ayahnya kuat kuat.
Hong Sin tampak agak ragu sejenak, tapi akhirnya diapun ikut balas menampar.
Sekalipun wajahnya diliputi kebencian namun ia tak berani melawan, meski sinar matanya penuh kegusaran namu n tamparannya tidak berat.
Begitulah, kedua orang itu saling menampar hampir dua puluhan tamparan, makin menampar, Hong Sin menampar makin perlahan sebaliknya Hong It justru menampar makin kuat.
"Cukup" seru Siau Man-hong tiba-tiba, "Hong Sin, kau boleh pergi!" II "Tapi....
tapi aku telah menampar sangat keras .
. . . .. seru Hong It dengan wajah berubah dan suara gemetar.
"Hahahaha, menampar dengan keras" Mungkin tadi kau salah dengar, aku bilang, siapa yang menampar dengan keras, dialah yang akan kubunuh!" II "Aku.....
aku ringan . . . . . . . .. "Bagus sekali" tukas Siau Man-hong, "kau menampar dengan ringan bukan" Kaulah yang akan kubunuh!" Dengan tubuh gemetar, Hong It mematung tanpa bergerak.
Siau Hui-uh tak kuasa menahan rasa gusarnya lagi, umpatnya gusar: "Anak jahanam semacam ini tidak pantas dibiarkan hidup, lebih baik dibantai saja!" Hong Sin menghela napas panjang, pintanya dengan air mata berlinang: "Jika tuan putri berniat membunuh untuk melampiaskan rasa kesal, lebih baik bunuhlah aku.
Usiaku sudah uzur, aku sudah hidup cukup, sementara Il dia masih muda .
. . . . . .. "Hong Sin wahai Hong Sin" kata Siau Man-hong sambil gelengkan kepalanya, "walaupun kau bukan orang baik, tapi putramu itu berapa ratus kali lipat lebih jahat ketimbang dirimu, tapi coba bayangkan sendiri, mana mungkin aku bakal membunuhmu" Memandang wajah Hong Jit-nio, akupun tak bakal membunuhmu.
Hanya saja, kalau aku tidak menyiksa manusia bejad macam kalian, siapa yang bakal menyiksa kalian" Inilah yang disebut orang jahat disiksa orang jahat, mengerti" Baiklah, silahkan menggelinding, kalian berdua sama-sama menggelinding dari hadapanku!" Dengan wajah bermandikan keringat dingin, buru buru Hong It merangkak bangun.
Hong Sin sendiripun sambil menggigit bibir menahan diri segera melompat bangun.
"Kunasehati kalian berdua, lebih baik selanjutnya jangan berkunjung lagi ke lembah Tee-ong-kok.
Paling baik lagi bila jauh menghindar dari hadapanku, mengerti?" kata perempuan itu, kemudian sambil mengulapkan tangannya, dia menambahkan: "Silahkan, silahkan, silahkan menggelinding dari hadapanku" Buru-buru Hong Sin memberi hormat lalu beranjak pergi, sementara anak durhakanya sudah kabur sedari tadi.
"Bagus, bagus sekali" puji Siau Hui-uh kemudian sambil bertepuk tangan, "Siau Man-hong, perbuatanmu hari ini terhitung satu perbuatan yang sangat menyenangkan, aku sangka kau akan turun tangan sendiri, siapa tahu .
. . . . . .." "Adikku, akupun takut mengotori tanganku" ujar Siau Man-hong tertawa, ll "mana mungkin aku bisa turun tangan sendiri .
. . . . .. Belum lagi dia menyelesaikan perkataannya, Tian Mong-pek sudah berdiri tepat dihadapannya.
Dengan wajah dingin dan mata tajam, katanya ketus: "Tian Mong-pek berada disini!" "Aku toh tidak buta" kata Siau Man-hong sambil tertawa, "masa tidak melihat kalau ada seorang lelaki besar berdiri disitu?" "Aku orang she-Tian tidak terbiasa mempermainkan orang, pun tidak terbiasa mempermainkan orang, kalau memang berniat membunuhku, sekarang juga boleh turun tangan" "Tian....
Tian kongcu" teriak Siau Hui-uh, "kau tak boleh mempercayai perkataan Hong Sin, Siau Man-hong tak punya dendam denganmu, kenapa harus membunuh ?" "Hal ini harus ditanyakan kepadanya" jawab Tian Mong-pek sambil tertawa dingin.
ll "Tidak mungkin, dia tidak mungkin .
. . . . . .. seru Siau Hui-uh. "Tidak, aku bisa membunuhnya" tukas Siau Man-hong tertawa.
"Kau . . . . . . . " Siau Man-hong segera goyang tangannya dan berkata sambil tertawa: "Tian kongcu, Hong Sin tidak berbohong, adikku yang sedang berbohong, begitu Hong Sin beritahu aku kalau adikku akan mengajak seorang lelaki yang dekil lagi bau untuk pulang bersama ke lembah Tee-ong-kok, maka secara diam-diam akupun ingin membunuhmu, semua yang dia katakan memang betul, aku tak bakal membohongi dirimu" "Aku orang she-Tian sudah siap menanti" teriak Tian Mong-pek marah.
"Tapi sekarang . . . . . . .. aaai, aku tak bisa membunuhmu sekarang, tahukah kau mengapa?" tanya Siau Man-hong sambil tertawa.
Tian Mong-pek tertawa dingin, dia hanya berdiri melotot tanpa bicara.
"Aku beritahu" kata Siau Man-hong lagi, "aku tak ingin membunuhmu sekarang karena kini adikku sudah tahu kalau aku ingin membunuhmu, bila aku benar-benar turun tangan, dia bakal membenciku sepanjang masa" "Siau Man-hong, kau .
. . . . .." bentak Siau Hui-uh.
Namun Siau Man-hong seolah tidak mendengar suara bentakan itu, katanya lebih lanjut sambil tertawa: "Tian kongcu, bukankah kau menganggap dirimu seorang lelaki sejati" Masa seorang lelaki masih butuh perlindungan dari seorang w anita" Masa kau tidak malu?" Tian Mong-pek mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, paras mukanya hijau membesi karena gusar, pada dasarnya dia memang tak pandai bicara, kini pemuda itu semakin tak mampu berbicara lagi.
"Ei, hati-hati kalau bicara" tegur Siau Hui-uh dengan nada serius.
"Baik, adikku yang baik" sahut Siau Man-hong sambil tertawa genit, "bicaraku sudah cukup berhati-hati, jika ia betul-betul seorang lelaki, balaslah sendiri dendamnya bila ingin balas dendam, belajarlah silat bila ingin belajar, buat apa dia musti merecoki dirimu terus" Memangnya dia tidak tahu kalau lembah Tee-ong-kok tak akan membiarkan lelaki sembarangan untuk masuk?" "Dia memang bukan lelaki sembarangan" teriak Siau Hui-uh semakin gusar, "bukankah tadi kau masih mengatakan kalau dia benar-benar seorang lelaki" II Kenapa sekarang .
. . . . . .. "Tentu saja aku tahu kalau dia lelaki tulen" potong Siau Man-hong sambil tertawa, "akupun tahu kalau dia bukan perempuan yang menyamar jadi lelaki, tapi .
. . . . . .. ai, sudah terlalu banyak lelaki semacam ini yang kuj umpai" Sembari berkata, ia memandang Tian Mong-pek dengan senyum dikulum, dari balik sinar matanya, terpancar pandangan menghina dan memandang rendah.
"Siau Man-hong, jika kau berani bicara sekali lagi....." tak terlukiskan rasa gusar Siau Hui-uh.
Siau Man-hong sama sekali tak menggubris ucapan tersebut, masih tetap tertawa menghina, katanya lagi: "Sudah kau lihat Tian kongcu" Gara gara lelaki macam kau, kami kakak beradik sudah mulai ribut, masa kau masih begitu tebal muka untuk ikut kami balik ke lembah Tee-ong-kok" Bila mukamu setebal itu, aku harus menaruh rasa kagum padamu" Tiba-tiba Tian Mong-pek mendongakkan kepalanya lalu tertawa kalap.
"Baik, baik, hari ini aku Tian Mong-pek telah mendapat satu pelajaran lagi" teriaknya.
Ditengah suara tertawanya yang kalap, dia putar badan lalu berlari meninggalkan tempat itu.
II "Tian kongcu . . . . . . .. jerit Siau Hui-uh kaget. Baru saja dia hendak melakukan pengejaran, dengan satu gerakan cepat Siau Man-hong telah mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kanannya, sementara mulutnya tetap berseru: "Oh, kau akan pergi dari sini Tian Kongcu" Maaf aku tidak menghantar lagi.
Ingat baik baik, selain adikku, masih banyak perempuan lain didunia ini, jadi kau tak usah kuatir tak bisa mendapat bini." Gemetar keras sekujur tubuh Siau Hui-uh saking gusarnya, dengan suara parau teriaknya: "Lee.....
lepaskan aku!" "Adikku, aku tak akan melepaskan dirimu" jawab Siau Man-hong sambil tertawa genit.
Sambil membentak gusar Siau Hui-uh mengayunkan tangan kanannya menghajar dada Siau Man-hong, sayang urat nadinya masih dicengkeram, hal ini membuat badannya lemas tak bertenaga, meskipun pukulan itu mengenai sasaran, namun sama sekali tak bertenaga.
"Wah..... enak, enak sekali" ejek Siau Man-hong sambil tertawa, "ayoh pukul lagi .
. . . . .." "Kecuali selama hidup kau tak akan melepaskan aku, kalau tidak, aku tak bakal mengampunimu .
. . . . .. tak bakal mengampunimu!" Sambil menghela napas panjang, Siau Man-hong gelengkan kepalanya berulang kali, katanya: "Adikku, tahukah kau, aku berbuat begini demi kebaikanmu" Jika kau mengajak pulang lelaki semacam itu .
. . . . . .." "Apa jeleknya dia?" tukas Siau Hui-uh gusar, "paling tidak ia masih beribu kali lebih hebat daripada suamimu Hoa Hui.
Kenapa kau membuatnya marah hingga pergi dari sini?" "Aaai, betapapun baiknya lelaki itu, kau tetap tak boleh membawanya balik ke lembah Tee-ong-kok" kata Siau Man-hong sambil menghela napas.
"Kenapa?" "Karena ayah telah menjodohkan dirimu" sekujur tubuh Siau Hui-uh gemetar keras, setelah tertegun berapa saat, tiba tiba teriaknya: "Aku tak mau dijodohkan, biar mati pun aku tak mau .
. . . . .." Air mata bercucuran membasahi pipinya.
Sambil menghela napas panjang kembali ujar Siau Man-hong: "Tahukah kau, belakangan ayah dia orang tua kurang baik perasaannya, mulai sekarang dia orang tua akan menutup diri selama satu tahun, karena itulah aku baru tinggalkan rumah.
Bila kau adalah seorang putri yang berbakti, turuti perkataannya, apalagi soal jodoh seorang gadis memang seharusnya ditentukan orang tua" Siau Hui-uh berusaha keras menggigit bibirnya agar air mata tidak meleleh keluar, tanyanya kemudian: "Sii.....
siapakah le.... lelaki itu?" "Kau tidak usah kuatir adikku" hibur Siau Man-hong sambil tertawa, "pria itu muda, tampan bahkan cerdas, tak bakal memalukan dirimu" "Siapakah dia sebenarnya?" tanya Siau Hui-uh penuh kebencian, sementara dihati kecilnya ia berpikir: "Begitu tahu namanya, aku akan mencari dan membunuhnya" Siau Man-hong tertawa, katanya: "Orang itu tak lain adalah putra kandung Siau Sam A-ie, dia datang ke lembah .
. . . . . " "Putra bibi ke tiga?" jerit Siau Hui-uh, "dari....
darimana kau tahu kalau dia adalah putra bibi ke tiga?" "Bukan hanya tahu, aku malah pernah bertemu dengannya!" "Kau bertemu dengannya?" Siau Hui-uh tertawa dingin, "hmm, hmm .
. . . . . . .." Tiba tiba dia tertawa keras, serunya lagi: "Aku beritahu, Tian Mong-pek itulah putra bibi ke tiga yang sebenarnya, sementara orang itu gadungan"
Siau Man-hong tertegun, sampai lama sekali dia tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Oo0oo Malam yang gelap menyelimuti seluruh tanah perbukitan, kegelapan yang melebihi gelapnya warna tinta.
Tian Mong-pek dengan membawa perasaan gusar dan sedih, berlarian ditengah kegelapan malam, kalau bisa, dia ingin lari ke ujung dunia, kabur dari kehidupan duniawi, lari dari keramaian hidup, tak mau menginjakkan kakinya lagi di dunia manusia.
Ejekan dan sindiran dari Siau Man-hong seolah masih mendengung disisi telinganya, sudah terlalu sering dia difitnah orang, dicemooh orang, tapi baru malam ini dia dihina habis habisan.
Ketika tiba di puncak bukit, suasana terasa makin sepi, makin hening.
Ditengah hembusan angin yang menggoyangkan rerumputan, tiba tiba ia teringat akan Kiong Ling-ling, pikirnya: "Aku hidup sebatang kara pun selalu dihina dan dicemooh orang, untuk mengurusi diri sendiripun tak mampu, mana mungkin bisa kulindungi Ling-ling" Mungkin jauh lebih baik bila membiarkan Ling-ling tetap ikut mereka!" Ingatan tersebut membuat perasaan hatinya semakin gundah, semakin masgul, seandainya disana ada arak, mungkin dia akan meneguk hingga mabuk, bila disana ada teman, mungkin dia akan melampiaskan semua kekesalan hatinya.
Tapi jagad raya begitu hening, darimana datangnya arak" Mana mungkin ada teman yang menemani" Yang ada hanya keheningan dan kesepian.
Baru saja dia hendak duduk bersila sambil menikmati kesepian, tiba tiba dari arah bukit yang lebih tinggi berkumandang suara helaan napas panjang.
Dari balik helaan napas itu, terkandung perasaan sedih dan masgul yang mendalam, persis sama seperti perasaan hatinya sekarang.
Dengan bimbang dia mengawasi sekejap sekeliling tempat itu, akhirnya dengan pikiran hampa ia berjalan menghampiri asal suara helaan napas tadi.
Ketika seseorang yang sedang dilanda kesedihan, bila bertemu orang yang senasib maka ibarat besi semberani yang saling menghisap dengan logam, dengan cepat ia tertarik untuk mendekatinya.
Ternyata suara helaan napas itu berasal dari atas sebuah tebing karang.
Dibawah cahaya bintang yang redup, terlihat sesosok bayangan manusia sedang duduk bersila diatas batu cadas sambil menerawang angkasa.
Tian Mong-pek mendaki keatas puncak tebing, terasa angin berhembus kencang, sedemikian kencangnya hingga membuat tubuh orang itupun ikut bergoyang.
Sambil mendeham Tian Mong-pek segera menegur: "Angin gunung begitu kencang, sobat, kenapa kau harus duduk ditepi tebing" Tidak kuatir terbawa hembusan angin?" "Minggir kau!" tanpa berpaling sahut orang itu.
Tian Mong-pek melengak, cepat dia menghentikan langkahnya.
Ditengah terpaan angin, kabut tebal mulai menyelimuti permukaan, Tian Mong-pek merasa tubuhnya seolah sedang melayang, sedang berbaring ditengah awan.
Menyaksikan kesendirian yang dialami orang itu, tanpa terasa ia membayangkan kembali nasib sendiri, hal mana membuat pemuda itu menyadari bahwa kesendirian dan kesepian merupakan sesuatu yang susah ditahan.
Entah berapa saat sudah lewat, tiba-tiba terdengar orang itu kembali menghela napas panjang.
Kali ini Tian Mong-pek tak kuasa menahan diri lagi, tegurnya: "Sobat, kau berulang kali menghela napas, apakah ada asalah yang membuatmu sedih?" Orang itu tetap tidak berpaling maupun menjawab, Tian Mong-pek pun berjalan menghampirinya, setiap maju selangkah, dia mendeham untuk mencoba reaksi, hingga ia tiba disisinya, orang itu tetap tidak menyuruhnya pergi, maka sambil duduk disamping orang tadi, ujarnya: "Merasakan kesedihan seorang diri merupakan kejadian yang paling II mengenaskan, sobat, kenapa kau .
. . . . . . .. Perlahan orang itu berpaling, setelah menatapnya sekejap, dia menukas: "Kau masih muda, ternyata mengerti juga bagaimana rasanya kesedihan?" Diam-diam Tian Mong-pek ikut menghela napas, sahutnya sambil tertawa getir: "Sedih tidaknya seseorang tidak dibedakan oleh usia .
.



. . . .." Ketika mendongakkan kepala, ia jumpai orang itu berwajah pucat keabu- abuan, mtanya sayu seolah tiada sinar kehidupan, ia mengenakan sebuah jubah berwarna kuning tawar.
Perlahan orang berbaju kuning itu mengalihkan tatapan matanya ke balik kegelapan yang tiada ujung pangkal, katanya: "Kalaupun kau sedang dilanda kesedihan, buat apa harus mencampuri kesedihan orang lain?" Tian Mong-pek melengak, tapi segera sahutnya sambil menghela napas: "Aku sendiripun tak tahu mengapa, begitu melihat kesedihan orang lain, aku jadi melupakan kesedihan sendiri, tanpa disadar" II "Tanpa disadari .
. . . . . .. tanpa disadari . . . . . .. gumam orang berbaju kuning itu setelah termenung sejenak, "mungkin dikarenakan tanpa disadari itulah.
banyak orang mencari kesulitan bagi diri sendiri," Selanjutnya kedua orang itu sama-sama tidak berbicara lagi, masing masing terjerumus ke dalam permasalahan sendiri.
Entah berapa lama sudah lewat, akhitnya dari balik awan muncul secerca cahaya kuning keemas-emasan.
Saat itulah orang berbaju kuning itu menengadah sambil bersenandung.
Tian Mong-pek tidak berbicara, dia hanya ikut mendengarkan nyanyian orang itu dengan termangu.
Terdengar orang itu kembali berkata sambil menghela napas: "Sepuluh tahun sudah lewat sejak terakhir menginjakkan kaki di Kanglam, biarpun panorama masih tetap seperti sediakala, namun manusia telah berubah .
. . . . . . .." Perlahan ia tundukkan kepalanya, butir air mata pun mulai mengembang dan membasahi sepasang matanya yang kelabu.
Sampai lama sekali dia tertunduk tanpa bicara, dalam keadaan begini, Tian Mong-pek tak ingin mengusiknya.
Matahari semakin tinggi di angkasa, cahaya kuning menerangi seluruh jagad, mendadak dari bawah tebing terdengar suara keleningan, suara itu dari jauh makin lama semakin mendekat, bahkan kecepatannya luar biasa.
Tiba-tiba manusia berbaju kuning itu membuka matanya dan berseru kegirangan: "Sudah datang!" Baru selesai ia bicara, terlihat seekor burung merpati putih terbang turun dari atas bukit, setelah berputar satu lingkaran diatas kepala kedua orang itu, burung tadi merapatkan sayapnya dan melayang turun diatas tangan orang berbaju kuning itu.
Dari bawah kaki burung merpati itu, dia lepaskan sebuah tabung surat lalu mengeluarkan secarik kertas, kertas itu kusut lagi kotor, seolah baru saja dipungut dari tong sampah, tapi orang berbaju kuning itu memandangnya begitu serius.
Cepat dia rentangkan kertas itu, ternyata diatas kertas yang kumal tadi hanya tertera dua huruf besar: "Segera datang!" Gaya tulisannya jelek, kaku, seperti tulisan kanak-kanak, tapi paras muka manusia berbaju kuning itu justru berseri, seolah-olah baru saja dia peroleh barang yang sudah lama dinantikan.
Dengan perasaan keheranan, tak tahan Tian Mong-pek bertanya: "Apakah kau sedang menunggu orang?" "Inilah yang sedang kutunggu." Jawab orang itu sambil menunjukkan kertas kumal itu.
"Apa itu?" Tian Mong-pek makin keheranan.
"Apa itu" Yaa inilah, tak lama lagi kau akan segera tahu" sambil menjawab, dengan penuh kasih sayang orang berbaju kuning itu membelai bulu merpati putih itu.
Sekalipun rasa ingin tahu menghantui pikiran Tian Mong-pek, namun wataknya memang tak suka merepotkan orang, karena manusia berbaju kuning itu tidak menerangkan, diapun tidak bertanya lagi.
Waktu berlalu sangat lambat, kini tengah hari telah menjelang tiba, pemuda itu mulai merasa kelaparan, semangatnya mulai loyo dan lemah, ketika mencoba berpaling, ia saksikan manusia berbaju kuning itu masih duduk bersila tanpa bergerak, sikap maupun semangatnya sama sekali tak berubah, seakan baginya, mau duduk selama delapan, sepuluh hari pun bukanlah masalah serius.
Terpaksa Tian Mong-pek menggigit bibir sambil berusaha menahan diri, sampai matahari condong ke barat, Tian Mong-pek sudah mulai berkunang matanya karena kelaparan, tapi karena orang berbaju kuning itu belum juga bergerak, maka diapun ikut tidak bergerak.
Tiba tiba orang berbaju kuning itu bertanya: "Ada sesuatu yang kau inginkan?" Tian Mong-pek agak tertegun, tapi rasa mendongkol segera menyelimuti pikirannya, dengan lantang dia berseru: "Selama hidup aku tak pernah minta tolong orang, apalagi aku tidak kenal dengan dirimu, kenapa harus minta sesuatu darimu?" "Kalau memang tiada sesuatu yang kau inginkan dariku, kenapa sampai kelaparan setengah mati pun, kau tetap duduk menemani aku" Tidak bicara, pun tidak pergi mencari makanan.
Jika aku duduk delapan, sepuluh hari lagi, bukankah kau bakal mati kelaparan ditempat ini" Hehe, sampai waktunya, kau jangan salahkan aku." "Biar mati kelaparanpun aku ikhlas, tak bakal salahkan dirimu, kau tak usah kuatir." Seru Tian Mong-pek gusar, ia berpaling dan semakin tak mau pergi.
"Masih muda, perangainya sudah berangasan, gampang marah, keras kepala, memangnya dimana kau dipermainkan orang?" jengek orang itu dingin.
"Aku sudah terbiasa dipermainkan orang, tak usah kau tanyakan lagi." Mendadak orang berbaju kuning itu tersenyum, ujarnya: "Aku sedang menunggu untuk berkelahi, kaki tangan tak bermata, kalau sampai waktunya kau terluka, jangan salahkan kalau aku tidak peringatkan dirimu lebih dulu." "Memang kau anggap tanah perbukitan ini milik pribadimu?" Tian Mong-pek semakin berang, "aku bebas duduk ditempat ini, mau hidup, mau mati, kau tak usah ikut campur." Pemuda itu semakin gusar, sikap orang berbaju kuning itu semakin lembut, kembali ujarnya sambil tersenyum: "Siapa namamu" Sudah berapa lama belajar silat?" "Siapa pula namamu" Sudah berapa lama belajar silat?" II "Hahaha, satu pertanyaan yang tepat .
. . . . . . . .. manusia berbaju kuning itu tertawa terbahak-bahak.
Belum sempat ia menyelesaikan perkataannya, tiba tiba dari bawah bukit terdengar seseorang mengumpat gusar: "Makhluk tua, kaukah yang sedang tertawa?" Ketika Tian Mong-pek berpaling, tahu-tahu dibelakang tubuhnya telah bertambah dengan seorang kakek tinggi besar berjubah pendeta warna biru sepanjang lutut yang dekil penuh tambalan, berambut awut awutan dan bersepatu rumput yang kotor.
Begitu bertemu orang berbaju kuning itu, kembali umpatnya: "Kusangka rasa mendongkolmu belum hilang, karena itu jauh jauh datang kemari menemanimu berkelahi, siapa tahu kau malah berbicara dan bergurau dengan seorang pemuda tak genah diatas gunung, memangnya kau sangka aku tak ada urusan lain?" Orang berbaju kuning itu hanya tersenyum, sama sekali tak marah, sebaliknya Tian Mong-pek dengan penuh amarah bentaknya: "Pemuda mana yang kau anggap tidak genah?" Kakek berjubah biru itu termangu, dia seakan akan terperangah dibuatnya, lalu sambil menuding hidung sendiri, tanyanya: "Jadi kau tak tahu siapakah aku ini?" Tian Mong-pek makin gusar.
"Peduli kau Thio Sam, Li Su atau Ong burik, aku tak ambil peduli, tapi kalau ingin mengumpat aku, tanya dulu hingga jelas." "Kalau sudah jelas lantas kenapa?" "Kalau sudah jelas, aku akan bertarung melawanmu." sahut pemuda itu berang.
"Kalau tak mampu mengungguli aku"' "Biar tak bisa mengungguli pun, aku tetap akan menantangmu berkelahi." Manusia berbaju kuning yang masih duduk dilantai itu tiba tiba tertawa terbahak.
"Hahaha, bagus sekali, bagus sekali .
. . . . . . .." "Apanya yang bagus?" kakek berjubah biru itu mendelik, dia awasi Tian Mong-pek sampai setengah harian lamanya tanpa berkedip.
Tian Mong-pek tak mau kalah, dia balas melotot, mengawasi lawannya dengan mendelik, tanpa berkedip.
Sampai lama sekali mereka berdua saling melotot, tiba tiba kakek berjubah biru itu menjerit pula sambil tertawa: II "Bagus sekali, bagus sekali .
. . . . .. "Apanya yang bagus?" kali ini orang berbaju kuning itu yang balik bertanya.
"Sudah hampir puluhan tahun lamanya lohu belum pernah bertemu dengan pemuda yang begini temperamen, tak disangka hari ini aku telah bertemu dengan seorang pemuda yang berwatak lebih berangasan daripada diriku, bagus, bagus, sobat kecil, anggap saja aku telah salah bicara, bagaimana kalau kucabut kembali perkataanku itu?" Tian Mong-pek tertegun, hawa amarah yang membara didada pun seketika lenyap tak berbekas, kalau orang mengumpatnya, biar matipun dia akan mengajak adu nyawa, tapi kalau orang bicara baik baik, dia malah rikuh dengan sendirinya.
Dengan agak gelagapan sahutnya kemudian: "Padahal dengan usiamu yang lanjut, bukan masalah kalau memakiku berapa patah kata." Kakek berjubah biru itu kembali tertawa terbahak-baha k.
"Hahaha, sobat cilik, kau memang menarik sekali," katanya, "tapi makhluk tua itu bukan orang baik-baik, sejak empat puluh tahun berselang dia berkelahi denganku, sejak itu pula dia selalu menjadikan aku sebagai sasarannya, setiap kali sedang mendongkol atau tak suka hati, dia selalu mencariku untuk diajak berkelahi, selama puluhan tahun, tangan lohu jadi
Kakek berjubah biru itu kembali tertawa terbahak-baha k.
"Hahaha, sobat cilik, kau memang menarik sekali," katanya, "tapi makhluk tua itu bukan orang baik-baik, sejak empat puluh tahun berselang dia berkelahi denganku, sejak itu pula dia selalu menjadikan aku sebagai sasarannya, setiap kali sedang mendongkol atau tak suka hati, dia selalu mencariku untuk diajak berkelahi, selama puluhan tahun, tangan lohu jadi ikut gatal, kurang mantab kalau berkelahi dengan orang lain, makanya, setiap kali dia ajakku berkelahi, lohu pun akan melayani dengan senang II hati, hanya sayangnya .
. . . .. "Hanya sayang kenapa?" tanpa sadar tanya Tian Mong-pek.
"Sayang orang ini tidak terlalu gampang marah, setelah lewat tujuh, delapan tahun, dia baru akan mencariku satu kali, sejujurnya lohu mulai tak sabar lagi, terkadang akupun mencari orang lain sebagai sasaran, sayang mereka kelewat bodoh, gentong nasi, setiap pertarungan tak dapat II membuatku puas, benar benar menjengkelkan hati .
. . . . .. "Kenapa kau tidak mencarinya?" kembali sela anak muda itu.
"Jangan lagi siapa namanya, dia dari marga apa pun tidak jelas, kau suruh aku mencarinya dimana?" "Masa tak ada orang persilatan yang kenal dengannya?" "Coba kau lihat tampangnya, mata ikan, muka mayat, masa kau tidak bisa melihat kalau ia sedang mengenakan topeng kulit manusia" Terkadang aku ingin sekali mencopot topengnya, tapi dia selalu berhasil menggagalkan niatku itu" "Jadi hanya dia yang boleh mencarimu, sedang kau tak boleh pergi mencarinya" Betul betul tidak adil." Protes Tian Mong-pek, tiba tiba saja ia merasa wataknya cocok sekali dengan orang itu sehingga tanpa terasa dia ikut merasa tak adil.
Kakek berjubah biru itu segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, betul, betul sekali, memang sangat tidak adil." II "Anak muda, coba dengarkan dulu penjelasanku, ujar orang berbaju kuning itu sambil tersenyum, "bukan aku tak adil, tapi dia sendiri yang rela berbuat begitu, dia selalu paksa aku membawa seekor burung merpati miliknya sambil berpesan, bila setiap kali hatiku sedang masgul atau mendongkol, lepaskan burung merpatinya itu maka dia akan datang untuk mengajakku berkelahi, kuatir merpatinya mati, setiap tahun dia selalu membawa merpati baru untuk menggantikan yang lama, coba kalau bukan gara gara perawakan tubuhnya kelewat besar hingga tak bisa menunggang dipunggung merpatinya, kalau tidak, setiap kali dia pasti akan datang mencariku dengan menunggang burung itu." Melihat kakek yang sedang sedih itu mulai tertawa, Tian Mong-pek merasa hatinya ikut gembira, katanya sambil tertawa: "Kini, rasa gusar kalian berdua telah sirna, rasanya kalian pun tak perlu berkelahi lagi." "Tidak bisa, tidak bisa," bentak kakek berjubah biru itu, "kali ini aku harus menunggu sepuluh tahun sebelum bertemu dengannya, sejak dulu aku sudah tak sabar menunggu saat seperti ini, sudah jauh jauh menempuh perjalanan ribuan li, mana boleh tidak berkelahi" Sobat kecil, duduklah lebih dulu sambil menonton kami berkelahi." Sambil bicara, dia rentangkan sepasang tangannya kemudian melepaskan satu pukulan ke tubuh manusia berbaju kuning itu.
Angin pukulan yang meluncur keluar kencang dan dahsyatnya bukan kepalang.
Sambil tertawa seru orang berbaju kuning itu: "Masa kau tidak sabar menunggu sampai aku bangkit berdiri?" Walaupun angin pukulan dahsyat itu hampir mengenai tubuhnya, ternyata dia tidak mencoba menghindar maupun berkelit.
Melihat angin pukulan itu segera akan menghajar batok kepala lawan, tak tahan Tian Mong-pek menjerit kaget.
Siapa sangka disaat yang kritis itulah, tiba tiba kakek berjubah biru itu menarik kembali ancamannya sambil membentak: "Ayoh, bangun berdiri!" Begitu serangannya ditarik, angin pukulan yang maha dahsyat itupun seketika hilang lenyap tak berbekas.
Tampaknya dia telah berhasil melatih angin pukulannya seolah benda tak berwujud yang bisa dikendalikan sekehendak hati, suatu kepandaian yang menakutkan dan belum pernah terdengar sebelumnya.
"Siapa gerangan kedua orang itu?" Terlihat orang berbaju kuning itu perlahan-lahan bangkit berdiri, sesudah menepuk debu yang menempel dibajunya, ia berkata: "Rupanya kali ini kau ingin bertanding ilmu pukulan, sama sekali tak kusangka." "Hahaha, menjajal tangan kosong lebih dulu, kemudian baru menjajal senjata." Kata kakek berjubah biru itu seraya tertawa keras.
Ditengah gelak tertawa, lagi-lagi sebuah pukulan dilontarkan ke depan.
Cepat orang berbaju kuning itu menarik tubuhnya lalu mundur sejauh satu tombak ibarat aliran awan di angkasa, serunya sambil menggoyangkan tangannya berulang kali: "Tunggu sebentar, tunggu sebentar, apakah kali inipun kita akan bertarung sampai tak sanggup menggerakkan tangan?" "Hahaha, makhluk tua, tepat sekali tebakanmu." Kakek berjubah biru itu tertawa tergelak.
"Baiklah!" Baru saja perkataan itu meluncur keluar, tahu-tahu badannya sudah melayang maju, satu pukulan segera dilontarkan menepuk bahu kakek berjubah biru itu, serunya sambil tertawa ringan: "Tosu tua, lagi-lagi kau tertipu." Dalam berapa patah kata yang singkat, dia sudah melepaskan puluhan jurus pukulan, tampak bayangan tangan menyelimuti angkasa bagaikan jaring laba-laba, dalam sekejap mata dia sudah mengurung seluruh tubuh kakek berjubah biru itu.
Perlu diketahui, yang paling penting bagi dua orang jago tangguh yang sedang bertarung adalah menggunakan peluang dengan sebaik baiknya.
Dalam waktu singkat kakek berjubah biru itu sudah menarik kembali senyumannya, mula mula tampak paras mukanya berubah amat serius, kemudian tampak dia balas melancarkan serangan bertubi tubi yang membuat lapisan cahaya menyelimuti seluruh tubuhnya, kini tidak terlihat lagi bagaimana perubahan mimik mukanya.
Dalam berapa ratus gebrakan kemudian, tubuh kakek berjubah biru itu seolah terjerat dibalik jaring laba-laba yang sangat tebal, sedemikian ketatnya sampai ilmu pukulannya sama sekali tak berkembang.
Ada kalanya sebuah pukulan tampak akan segera menembusi kepungan, tapi begitu sampai ditengah jalan, tahu tahu serangan itu sudah mental balik.
Menyaksikan kesemuanya itu, diam diam Tian Mong-pek terkesiap, dia tak tahu bagaimana harus menghadapi ancaman tersebut andaikata dia yang sedang bertempur.
Terlihat lingkaran angin pukulan dari orang berbaju kuning itu makin lama semakin mengecil, lambat laun berubah jadi lapisan bayangan yang amat tipis dan mengurung di sekeliling tubuh kakek berjubah biru yang tinggi besar itu.
Mendadak terdengar suara bentakan yang menggelegar, sekuat tenaga kakek berjubah biru itu melepaskan satu pukulan, diiringi desingan angin tajam langsung menghantam dada lawan.
Tian Mong-pek menghembuskan napas panjang, serangan itu membuat dadanya yang sesak ikut terasa lega kembali.
"Kau kenal dengan jurus serangan ini?" terdengar kakek berjubah biru itu membentak.
Paras muka orang berbaju kuning itu berubah amat serius, dia tidak berkata sepatah kata pun.
Semangat kakek berjubah biru itu makin berkobar, sepasang kepalan bajanya ibarat burung yang terlepas dari sangkar, segera terbang melintang di angkasa dan balas mengancam tubuh lawan. Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benak Tian Mong-pek, dia merasa gerak serangan yang digunakan kakek itu ternyata mempunyai banyak kemiripan dengan ilmu pukulan miliknya.
Ketika sedang gusar dan bertekad akan beradu jiwa tempo hari, pemuda itu sempat menciptakan jurus jurus serangan, dan ketika menyaksikan jurus pukulan dari kakek itu, ternyata jurus ciptaannya terdapat banyak kemiripan.
Tentu saja pemuda ini sama sekali tak menyangka kalau tanpa sengaja dia telah melangkah masuk ke jalan silat tingkat tinggi, perasaan kaget, tercengang dan girang membuat pemuda itu makin terkesima menonton jalannya pertarungan.
Makin dilihat dia semakin gembira, apalagi sewaktu menyaksikan jawaban dari keraguan yang dirasakan selama ini, ibarat bagian tubuhnya yang gatal dan sudah berapa hari tak bisa digaruk, kini digaruk orang hingga nyaman, tak sadar tangan dan kakinya ikut bergoyang, rasa sedih, marah, penat, dahaga dan lapar pun seketika terlupakan semua.
Andaikata dia hidup nyaman didalam rumah, mungkin selama hidup ilmu silatnya tak akan berhasil dikuasai, tapi sekarang, dia sudah kenyang merasakan siksaan, penderitaan, fitnahan dan penghinaan, segenap tenaga tersembunyi yang dimiliki telah terbakar oleh api amarah, hanya saja ilmu silatnya masih banyak bagian tersumbat dan belum tertembus, tapi setelah menyaksikan permainan dari kakek berjubah biru itu, ibarat bendungan air yang jebol, semua bagian yang tersumbat pun jadi tembus dan lancar.
Sementara itu orang berbaju kuning itu sudah menggunakan pelbagai ilmu pukulan untuk menghadapi lawannya, hampir setiap ilmu pukulan yang digunakan, memiliki jurus serangan yang aneh, gerakan tubuh yang digunakan pun merupakan gerakan langka yang belum pernah terlihat dalam dunia persilatan.
Saat itulah, tiba-tiba terdengar kakek berjubah biru itu membentak keras, sedangkan orang berbaju kuning itu tertawa nyaring, bayangan tubuh kedua orang itupun tahu-tahu sudah terpisah.
"Hahaha, sudah cukup?" tanya orang berbaju kuning itu sambil tertawa keras.
"Cukup." sahut kakek berjubah biru itu sambil menghembuskan napas panjang.
Tian Mong-pek merasa sinar matahari amat menusuk pandangan, kini ia baru sadar kalau kedua orang itu sudah bertarung semalaman suntuk, kini sang surya telah memenuhi angkasa, waktu menunjukkan mendekati tengah hari.
Sambil menyeka peluh yang membasahi jidatnya, kakek berjubah biru itu menghampiri Tian Mong-pek, tanyanya sambil tertawa keras: "Bagaimana sobat kecil" Sudah puas menontonnya?" "Aku sering mendengar orang berkata bahwa jago lihay yang bertarung, jurus serangannya makin lama pasti makin lambat, bahkan sampai pada akhirnya akan menjadi lamban sekali, tapi kalian berdu a berbeda sekali dengan keadaan tersebut, dtengah pertarungan sengit, tiba tiba saja bisa berhenti sama sekali." "Hahaha, rupanya kau belum cukup menontonnya." Kata kakek berjubah biru itu sambil tertawa keras.
Sedang orang berbaju kuning itu segera menimpali: "Jika pertarungan itu untuk menentukan mati hidup, menang kalah dengan seseorang, apalagi lawannya memiliki ilmu silat yang berimbang, keadaan waktu itu akan sama seperti yang barusan kau katakan, makin bertarung semakin melambat, tapi pertarunganku melawan dia jauh berbeda, pertarungan ini hanya kami jadikan sebagai permainan untuk menghilangkan kejenuhan." "Hahaha, betul sekali, oleh karena dihari biasa kami jarang mendapat kesempatan untuk bertarung, maka pertarungan tadi kami gunakan sebagai "I I permainan penghilang stress "Jadi pertarungan masih akan berlanjut?" tanya Tian Mong-pek.
Kembali kakek berjubah biru itu tertawa tergelak.
"Kau belum puas menonton, lohu belum puas bertarung, setelah anak cucu lohu berdatangan nanti, tentu saja pertarungan harus dilanjutkan." Katanya.
Seusai berkata, diapun duduk, pejamkan mata dan mulai bersamadi.
Bab 14. Martil langit. Menanti kedua orang itu mulai bersamadi, Tian Mong-pek baru teringat kalau dia sudah dua hari tidak makan, tidak minum.
Masih mending tidak dipikirkan, begitu teringat, rasa lapar dan dahaganya sukar ditahan, baru saja dia akan menuruni bukit untuk mencari makanan, tiba tiba dari bawah gunung terdengar suara aneh, suara itu seperti suara gerombolan kerbau yang mendengus, sahut menyahut, makin lama makin kasar, makin lama makin mendekat dan akhirnya suara itu muncul dari bawah tebing.
Pemuda itu merasa kaget, dia kuatir diatas tebing telah kedatangan segerombolan binatang buas.
Siapa tahu kakek berjubah biru itu segera membuka matanya dan berseru kegirangan: "Aah, sudah datang!" Terlihat berapa orang lelaki kekar berbaju biru sedang berjalan naik keatas tebing dengan napas tersengkal, empat orang yang berada dibarisan depan membawa berapa keranjang makanan, sedang dua orang dibelakangnya menggotong sejenis senjata besi berwarna hitam yang panjangnya satu meter dengan ketebalan seperti pinggang manusia, bulat bagai telur ayam, dibagian ujung yang runcing merupakan gagang besi, panjangnya sekitar tujuh, delapan inci.
"Ternyata benar-benar sudah datang!" kata orang berbaju kuning pula sambil tersenyum.
Begitu tiba dipuncak tebing, ke enam orang lelaki berbaju biru itu segera menjatuhkan diri berlutut, "Traaangl" senjata besi yang beradu dengan batu cadas segera menimbulkan suara dentingan nyaring diikuti percikan bunga api.
"Dasar dungu!" umpat kakek berjubah biru itu sambil berkerut kening, "memangnya kalian datang kemari dengan merangkak?" Salah seorang dari lelaki berbaju biru itu segera menjawab dengan ketakutan: "Hamba telah berulang kali ganti kuda untuk menyusul kemari, sedetik pun tak berani berhenti." "Hmm, sekarang cepat turun gunung," dengus kakek berbaju biru itu, "kalau berani mengintip disini, akan kucongkel mata kalian." Serentak kawanan lelaki berbaju biru itu menyahut kemudian beranjak meninggalkan tebing.
Jangan dilihat pakaian yang dikenakan kakek itu kumal, kotor lagi busuk, baju biru yang dikenakan kawanan lelaki itu justru halus, indah dan terbuat dari sutera.
Tidak tahan Tian Mong-pek segera menghampiri senjata aneh itu dan mencoba mengangkatnya, ternyata benda itu berbobot seratus kati lebih, senjata terberat dikolong langit pun mungkin hanya setengah dari bobot senjata ini.
Dalam pada itu kakek berjubah biru itu sudah duduk dilantai sambil mulai bersantap, katanya sambil tertawa: "Sobat cilik, kemarilah, ayoh makan dulu hingga kenyang sebelum melanjutkan tontonanmu." Tian Mong-pek tidak sungkan-sungkan lagi, sejak awal dia memang sudah lapar, setelah melihat hidangan yang tersedia begitu beraneka ragam, tanpa menunggu lama dia ikut menyikat semua makanan yang tersedia.
Tidak lama kemudian, hidangan yang tersedia dalam empat keranjang sudah habis tak tersisa.
Sambil menepuk perut yang kekenyangan, tanya kakek berbaju biru itu: "Sudah kenyang sobat cilik?" "Semisal masih ada, mungkin akan kusikat juga." Sahut Tian Mong-pek tertawa.
I "Hahaha, tak kusangka watak kalian berdua begitu mirip,' ujar orang berbaju kuning itu pula sambil tertawa, "hei anak muda, kenapa kau tidak takut kotor?" "Matipun tidak takut, kenapa harus takut kotor?" sahut Tian Mong-pek tanpa berpikir panjang.
Il "Hahaha, anak bagus, anak baik .
. . . . .. seru kakek berbaju biru itu sambil tertawa tergelak, dia sambar senjata aneh itu kemudian diputar di angkasa.
"Weessss!" deruan angin tajam menyapu di angkasa, kontan semua keranjang makanan terpental berantakan.
"Hahaha, sobat cilik, kau kenal senjataku ini?" tanya si kakek sambil tertawa keras.
"Tidak kenal." "Kenapa tidak kau tanyakan?" tanya si kakek lagi keheranan.
Bagi seorang jago silat, siapa pun pasti akan bertanya setelah menjumpai senjata yang belum pernah dikenal dan belum pernah dilihat sebelumnya.
Tian Mong-pek tersenyum, sahutnya: "Kalau kutanya asal usul senjatamu itu, berarti aku dapat pula menebak ll siapa dirimu .
. . . . .. "Memangnya kurang baik kalau berhasil ditebak?" "Kungfumu sepuluh kali lipat lebih tinggi dari kepandaianku, sudah pasti kau adalah Bu-lim cianpwee, jika aku tahu siapa dirimu kemudian baru menjalin persahabatan, bukankah sama artinya aku bersahabat karena kedudukanmu" Kini, aku belum tahu dirimu, kaupun belum tahu diriku, kalau cocok bisa berteman, kalau tidak cocok bisa jalan sendiri-sendiri, bukankah enak dan bebas?" Kakek berjubah biru itu tertegun berapa saat, kemudian katanya sambil menghela napas panjang: "Sobat cilik, terus terang aku bilang, watak macam diri mu bakal rugi bila hidup dalam.masyarakat ramai." Tian Mong-pek termangu, terbayang semua kejadian tragis yang menimpa dirinya, perasaan sedih dan gusar segera terpancar keluar dari balik matanya.
Kakek berjubah biru itu mengawasinya berapa saat, tiba tiba ia membalikkan badan.
Sinar mata orang berbaju kuning itu pun perlahan bergeser lewat dari wajah Tian Mong-pek, ujarnya kemudian sambil tersenyum: "Sudah hampir sepuluh tahun aku belum pernah mencicipi bagaimana rasanya martil raksasa seberat sembilan puluh tujuh kati mu itu, hari ll lnl .
. . . . . .. "Hahaha..." kakek berbaju biru itu tertawa keras, "hari ini, aku akan suruh kau menikmatinya sampai puas, hei sobat cilik, angkat kepalamu, saksikan kehebatan martil baja ku ini." Ketika Tian Mong-pek mendongakkan kepala, ia saksikan orang berbaju kuning itu sedang melepaskan seuntai ikat pinggang sutera yang bobotnya paling satu tahil, ternyata dia gunakan ikat pinggang sutera itu untuk menghadapi martil besi seberat ratusan kati.
"Itukah senjata andalanmu?" tanya Tian Mong-pek tercengang.
orang berbaju kuning itu tersenyum.
"Martil bajanya itu merupakan senjata pamungkas dari kolong langit, konon pendekar besar Cu Hay pada jaman kerajaan Gui, ketika pasukan kerajaan Gui membantu kerajaan Tio, Cu Hay dengan martil raksasanya itulah berhasil membunuh Cin Tie.
Bayangkan saja, jenderal Cin Tie memiliki pasukan sebanyak sepuluh laksa orang, dia sendiripun merupakan seorang jenderal luar biasa, tapi pada akhirnya toh tak mampu menghadapi satu pukulan martil dari Cu Hay, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya senjata ini?" "Hahaha, makhluk tua, kau memang hebat." Seru kakek berjubah biru sambil tertawa, "ternyata kau mengetahui asal usul senjataku itu jauh lebih jelas daripada aku." Orang berbaju kuning itu tersenyum.
"Biarpun senjata yang ada didunia ini beraneka ragam, namun martil baja ini merupakan senjata pamungkas, sekalipun pedang mestika golok tajam pun tak bakal menang bila bertemu dengannya, hanya ikat pinggang sutera ku yang bisa meliuk tanpa putus, mau ditempa pun tak bakal patah, akan kugunakan kelembutan untuk menghadapi kekerasanmu, aku rasa kau bakal rugi besar.
Hahaha, tahukah kau, aku sudah mengambil banyak keuntungan dari hal ini." "Hahaha, tak disangka kau cukup jujur!" "Terhadap pemuda polos macam dia, tentu saja aku harus blak blakan, tapi II terhadap dirimu .
. . . . . . .. Tiba tiba ikat pinggangnya melesat ke depan, menyapu sepasang mata kakek berjubah biru itu.
"Hai, lagi lagi lohu tertipu olehmu!" bentak kakek itu nyaring.
Ditengah bentakan keras, bayangan tubuh kedua orang itu saling menyambar dengan kecepatan tinggi.
Ikat pinggang sutera ditangan orang berbaju kuning itu tetap menyambar dan berkelebat kesana kemari, tak sedetik pun senjata tersebut meninggalkan sepasang mata dan sepasang telinga lawan.
Kakek berjubah biru itu merasakan bayangan kuning berkelebat didepan mata, sementara suara deruan angin menusuk pendengaran, pada hakekatnya sulit baginya untuk menyaksikan gerakan tubuh lawan, sulit mendengarkan suara apapun dari musuhnya.
Sekalipun sekarang ia berdiri sambil memegang sebuah senjata martil seberat seratus kati, namun untuk berapa saat senjata tersebut seolah tak berguna, yang dia pikirkan kini hanya bagaimana caranya melepaskan diri dari kurungan senjata angkin lawan.
Apa mau dikata, angkin sutera itu justru bagaikan seekor ular lincah yang membelenggu kencang tubuhnya.
Berdebar jantung Tian Mong-pek menyaksikan ketangguhan kakek itu, belum sempat ia berpikir lebih jauh, terdengar kakek berjubah biru itu berteriak keras: "Sungguh menjengkelkan!" Martil raksasanya diayun, langsung tertuju keatas ubun-ubun sendiri.
Jika martil itu sampai mengenai sasaran, jangankan manusia berdarah daging, manusia dari besi pun pasti akan gepeng jadinya.
Dengan hati terperanjat Tian Mong-pek menjerit kaget, cepat dia melompat bangun, siap memberi pertolongan.
Tampaknya orang berbaju kuning itupun tak kalah kagetnya, buru buru dia menggetarkan pergelangan tangannya, angkin sutera itu bagaikan ular berbisa yang berbelok, secepat kilat menjerat martil raksasa itu.
Siapa sangka, baru saja angkin sutera itu berputar arah, martil besi ditangan kakek berjubah biru itu sudah berhenti bergerak, diikuti tubuhnya ikut mundur sejauh satu tombak.
Sementara Tian Mong-pek masih tertegun, kakek berjubah biru itu sudah berseru sambil tertawa tergelak: "Hahaha, makhluk tua, akhirnya kau tertipu juga oleh muslihatku!" Orang berbaju kuning itu tertawa getir, katanya: "Kau sudah berulang kali bertarung melawanku, sedikit banyak sudah kau pelajari banyak tipu muslihat dariku, aaai, tahu begitu, aku tak bakalan menolongmu, biar kulihat bagaimana kau mundur dari keadaan tersebut." "Hahaha, sepanjang hidup, belum pernah lohu begitu bodoh dan konyol ingin bunuh diri, tapi lantaran kau berhasil merebut posisi diatas angin, sementara akupun tak berdaya menemukan jurus penolong, apa mau dikata, terpaksa aku harus membohongi mu.
Hahaha.. hitung hitung kita semua tak ada yang dirugikan.
Ayoh, kita mulai lagi dari awal." Menyaksikan kesemuanya itu, diam-diam Tian Mong-pek tertawa geli, pikirnya: "Ternyata diapun pintar menipu orang." Sementara masih berpikir, deruan angin tajam kembali sudah bergema.
Tian Mong-pek merasakan pandangan matanya jadi silau, terlihat kakek berjubah biru itu sudah melangkah maju, martil besinya secepat petir menghantam dada kiri lawan.
Cepat orang berbaju kuning itu berputar ke samping, tangan kirinya bergetar, ikat pinggang sutera itu segera menegang bagaikan sebuah tongkat sepanjang dua meter, dengan ujungnya yang bergetar, dia langsung menusuk Kian-cing, Sou-oh, Su-Pek, Say-keng tujuh buah jalan darah penting.
Kakek berjubah biru itu membentak nyaring, martil besinya diayun berulang kali, ditengah deruan angin tajam, dalam waktu sekejap diapun balas melancarkan tujuh jurus serangan, mengancam tujuh buah jalan darah penting ditubuh kakek berbaju kuning itu.
Biarpun kedua jenis senjata itu bukan termasuk senjata yang bisa dipakai untuk menotok jalan darah, namun ditangan mereka berdua, senjata mereka seolah dapat digunakan sekehendak hati, menyaksikan hal ini, Tian Mong-pek merasa makin tercengang, keheranan.
Puluhan gebrakan kemudian, perasaan tercengang dan heran nya berlipat ganda.
Dalam dugaannya, kakek berjubah biru itu dengan senjata martil raksasanya pasti akan menggunakan tehnik menyapu, menghantam, menghancurkan, menumbuk, membelah, membacok, melumat dan sebangsanya untuk menghadapi lawan.
Siapa sangka, begitu martil raksasa seberat seratus kati itu berada ditangan kakek berjubah biru itu, ternyata senjata tadi seolah telah berubah jadi sebatang ranting, jurus serangan yang digunakan justru merupakan tehnik menutul, membelah, menusuk dan memuntir seperti sering yang dipakai dalam ilmu pedang, walaupun gerak serangannya melebar dan terbuka, namun kecepatannya luar biasa, perubahan gerak pun sekehendak hati, semua kelebihan dari sebuah ilmu pedang telah dia rangkum dalam serangannya.
Dengan perasaan tercekat pikir Tian Mong-pek: "Dengan senjata martil yang digunakan sebagai jurus pedangpun, dia tetap bisa menyerang dengan cepat dan gesit, apa jadinya kalau senjata yang dia gunakan benar-benar sebilah pedang mustika" Bukankah serangannya lebih menakutkan?" Tanpa sadar diapun mengawasi gerak jurus kakek itu dengan seksama, karena ilmu pukulan telah dikuasai, tidak terlalu sulit baginya untuk mempelajari ilmu pedang.
Sebaliknya orang berbaju kuning itu meski memainkan angkin suteranya bagaikan seekor naga yang sedang terbang, namun gerak jurusnya mencakup kelincahan dari pedang, gaya melebar dari ilmu golok, keganasan dari ilmu tombak, ketajaman dari ilmu trisula, kemantapan dari ilmu kapak dan kegesitan dari ilmu kait .
. . . .. Jangan dilihat senjata itu hanya seutas angkin sutera, namun kemampuannya justru ibarat ada delapan belas jago lihay dengan delapan belas jenis senjata yang menyerang kakek berjubah biru itu bersamaan waktu.
Kini, matahari sudah tenggelam ke langit barat, tidak jelas berapa ratus gebrakan telah dilampaui kedua orang itu, Tian Mong-pek yang menonton jalannya pertarungan merasakan hatinya makin lama makin tercekat, kini dia baru sadar bahwa kehebatan ilmu silat bagaikan luasnya samudra, tak terukur oleh siapapun.
Tiba tiba terdengar orang berbaju kuning itu membentak keras: "Lan Thian-tui, masih akan dilanjutkan?" "Hahaha, betul sekali!" jawab kakek berjubah biru itu sambil tertawa tergelak, secara beruntun dia lancarkan kembali lima jurus serangan.
Kembali Tian Mong-pek merasakan hatinya bergetar, pikirnya: "Ternyata dia tak lain adalah pendekar nomor wahid dalam dunia persilatan, Lan Thian-tui, Lan Toa-sianseng! Tidak heran kalau ilmu silatnya sangat lihay, senjata yang dipakai pun menakutkan, kenapa tidak terpikir olehku sejak tadi?" Perlu diketahui, walaupun Lan Toa-sianseng disebut orang "tojin", padahal dia bukan pendeta, tentang asal usulnya banyak versi yang beredar, bukan saja beragam, juga sangat misterius, cukup dari tempat tinggalnya saja, istana Au-sian-kiong (istana dewa congkak), tidak banyak orang yang tahu letak serta keadaannya.
Selama puluhan tahun terakhir, belum pernah ada jago silat yang benar-benar bertarung melawannya, sedemikian termashurnya orang ini hingga cukup menyebut nama besarnya, banyak pertikaian dapat terselesaikan dengan begitu saja.
Disaat masa jayanya Hong Sin, dia terkenal congkak, latah dan telengas, tapi begitu Thian-tui tojin mengucapkan berapa patah kata, perkataannya itu sudah mampu mendesak Hong Sin untuk hidup mengasingkan diri selama sepuluh tahun dan tak berani tampilkan diri, dari sini bisa disimpulkan betapa takutnya orang persilatan terhadap tokoh sakti ini.
Sementara dia masih melamun, situasi ditengah arena telah terjadi perubahan besar, gerak serangan orang berbaju kuning itu maupun Lan Toa-sianseng sudah makin melambat, jelas tenaga dalam mereka berdua telah dikerahkan hingga puncaknya, perubahan gerak jurus serangan pun semakin lamban hingga Tian Mong-pek dapat mengikuti lebih jelas.
Sekarang dia baru tahu, meski jurus serangan dari orang berbaju kuning itu lebih lembut dan cermat dan jauh berbeda dengan gerak serangan Lan Toa-sianseng yang lebih terbuka, namun daya kekuatan serta kehebatan kungfunya sama sekali tidak berada dibawah kemampuan lawan.
Sementara dia masih melamun, situasi ditengah arena telah terjadi perubahan besar, gerak serangan orang berbaju kuning itu maupun Lan Toa-sianseng sudah makin melambat, jelas tenaga dalam mereka berdua telah dikerahkan hingga puncaknya, perubahan gerak jurus serangan pun semakin lamban hingga Tian Mong-pek dapat mengikuti lebih jelas.
Sekarang dia baru tahu, meski jurus serangan dari orang berbaju kuning itu lebih lembut dan cermat dan jauh berbeda dengan gerak serangan Lan Toa-sianseng yang lebih terbuka, namun daya kekuatan serta kehebatan kungfunya sama sekali tidak berada dibawah kemampuan lawan.
Lalu siapakah orang ini" Kalau kepandaian silatnya begitu tinggi, mengapa belum pernah terdengar nama besarnya disebut orang" Tian Mong-pek peras otak mencoba berpikir asal usul orang itu, namun usahanya tidak berhasil.
Mendadak terdengar orang berbaju kuning itu membentak nyaring, angkin suteranya dilempar keluar bagai bianglala, disaat Lan Toa-sianseng berkelit ke samping, tiba tiba angkin itu membelok, dari menggulung berubah jadi melingkar kemudian mengancam jalan darah Ming-bun dipunggung lawan.
Cepat Lan Toa-sianseng membuang bahu ke samping lalu melompat sejauh lima kaki.
Begitu melambung ke udara, Lan toa-sianseng menjejakkan kakinya sambil berputar posisi, bagaikan bintang kejora, dia melesat ke bawah sambil mengayunkan martil raksasanya.
Begitu hebat serangan itu, tak malu disebut martil langit.
Siapa tahu, tidak menunggu lawannya melayang turun, orang berbaju kuning itu sudah melambung lebih dahulu.
Dalam waktu singkat terlihat sesosok bayangan kuning menembus angkasa sementara sekilas cahaya hitam meluncur ke bawah, kedua orang itu saling menyerang satu gebrakan lalu masing masing berpisah bagai dua lembar daun yang berguguran.
Begitu tiba di permukaan tanah, kedua orang itu sama-sama duduk bersila, sedang martil besi itu diiringi percikan bunga api terjatuh disampingnya.
Paras muka Lan Toa-sianseng yang semula merah membara, kini berubah pucat keabu-abuan, butiran keringat jatuh bercucuran, dengan napas tersengkal katanya: "Kali ini aku harus takluk kepadamu .
. . . . . .." "Kenapa kau harus takluk?" tanya orang berbaju kuning itu setengah picingkan matanya.
"Sekarang seluruh kekuatanku telah habis, dalam bentrokan yang terakhir tadi aku telah menggunakan seluruh kekuatan yang dimiliki, ibarat lentera kehabisan minyak, tenaga untuk mengangkat martil pun tak punya, asal kau II menyerang sekali lagi, aku tak bakal mampu menghadapinya .
. . . . .. "Kau sangka aku masih memiliki sisa tenaga?" orang berbaju kuning itu balik bertanya sambil tersenyum.
Lan Toa-sianseng segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, bagus, bagus sekali, tak disangka hasil pertempuran hari ini pun Il tetap seri, tak ada yang kalah, tak ada yang menang .
. . . .. Meskipun sedang tertawa keras, suara tertawanya lemah dan tidak sekuat tadi lagi.
"Sebenarnya telah kuperhitungkan, selesai melancarkan jurus serangan tadi, kau pasti akan kehabisan tenaga, saat itu, asal aku masih memiliki sisa kekuatan sebesar tiga puluh persen saja, kemenangan pasti akan berpihak kepadaku.
Siapa sangka, begitu bersentuhan dengan jurus seranganmu itu, aku baru sadar, bukan saja harus kukerahkan segenap kekuatan yang kumiliki, bahkan harus kugunakan juga tenaga ekstra agar bisa membendung kekuatanmu itu!" "Kemampuanmu membendung jurus seranganku tadi sesungguh nya telah berada dalam dugaanku, namun setelah berlatih tekun hampir sepuluh tahun lamanya, aku yakin ilmu silatku kembali telah peroleh kemajuan.
Tapi dalam kenyataan, aku masih gagal mengunggulimu barang setengah jurus pun, kejadian ini sungguh bikin hatiku mendelu, tampaknya julukan "pendekar nomor wahid dari dunia persilatan" yang dihadiahkan orang kepadaku, harus kuberikan kepadamu.
Satu hal yang membuat aku lebih menyesal adalah hingga sekarang aku masih belum mengetahui asal usul dari satu-satunya lawan tangguhku." Orang berbaju kuning itu tersenyum.
"Suatu saat nanti, kau pasti bakal tahu." Katanya.
"Masa kau suruh aku menunggu sepuluh tahun lagi?" "Sepuluh tahun akan lewat bagai sentikan jari, tidak terhitung kelewat lama." "Bila sampai matipun belum bisa kupecahkan teka teki ini, bukankah aku bakal mati dengan membawa segala penyesalan?" "Kau tak bakal mati." "Hal ini sukar untuk dibicarakan,"kata Lan toa-sianseng sambil tertawa, "selama ini sepak terjangku keras dan berangasan, musuhku tersebar diseantero jagad, kini, asal ada satu saja diantara mereka yang datang kemari, aku tak bakalan hidup lebih lama lagi!" Tian Mong-pek yang mendengar perkataan itu jadi terperanjat, serunya tanpa terasa: "Apakah ada umat persilatan yang tahu kalau kalian berdua akan beradu silat disini" Kalau sampai ada yang tahu, aku kuatir .
. . . . .." "Sobat cilik, kau tak perlu kuatir, "hibur Lan Toa-sianseng sambil tertawa, "sudah hampir sepuluh tahun kami berdua tak pernah menginjak kembali bukit ini, kecuali ada orang bersedia menunggu selama sepuluh tahun ditempat ini, kalau tidak, siapa pula yang bakal tahu kalau hari ini, kami berdua akan beradu ilmu lagi ditempat ini" Mana mungkin pula ada orang goblok didunia ini yang mau menunggu selama sepuluh tahun diatas bukit gersang ini, menunggu kami berdua beradu ilmu lagi disini?" Baru selesai ucapan itu diutarakan, mendadak dari bawah tebing terdengar seseorang menimpali sambil tertawa dingin: "Mana mungkin ada orang goblok semacam ini" Hehehe, lohu lah si goblok itu!" Orang berbaju kuning, Lan Toa-sianseng serta Tian Mong-pek sama-sama terperanjat, ketika berpaling, terlihat dibawah tebing karang telah muncul sesosok bayangan manusia.
orang itu memiliki rambut panjang yang awut-awutan, tubuhnya dekil, kumis dan jenggotnya lebat bagai rumput ilalang hingga nyaris menutupi separuh bagian wajahnya, dia membawa sebuah kapak besar yang besinya sudah berkarat.
Sekilas pandang, dandanan orang itu mirip sekali dengan orang liar yang sudah banyak tahun tidak makan, tapi gerak geriknya lincah, kuat dan penuh tenaga.
Begitu tiba diatas bukit, ia menengadah lalu tertawa seram, katanya: "Lohu mau hidup menderita dan menahan segala siksaan diatas bukit ini, tak lain karena menunggu datangnya kesempatan seperti saat ini, tak disangka penderitaan dan kesepian yang kurasakan hampir sepuluh tahun, II akhirnya memperoleh imbalan yang setimpal .
. . . . . .. Dengan satu gerakan cepat Tian Mong-pek melompat maju dan menghadang dihadapan orang berbaju kuning serta Lan Toa-sianseng, katanya nyaring: "Sobat, kau jangan bangga dulu, selama ada aku orang she-Tian ditempat ini, jangan harap kau dapat menyentuh mereka berdua barang seujung rambut pun_n "Huh, kau manusia macam apa" Berani amat bicara sesumbar dihadapanku," ejek orang liar bersenjata kapak itu sinis, "ketika lohu malang melintang dalam dunia persilatan, mungkin kau masih belum lahir!" Sambil mengayunkan kapak raksasanya, dengan langkah lebar dia mulai berjalan mendekat.
Dari desingan tajam yang dihasilkan mata kapak, Tian Mong-pek sadar kalau ilmu silat yang dimiliki orang liar ini pasti hebat, pikirnya: "Selama ini, hampir semua orang dijagad raya menghina dan memandang remeh diriku, tapi kedua orang ini, biarpun punya nama besar dan berilmu silat tinggi, bahkan sama sekali tak kenal dan tak ada hubungan apa-apa denganku, justru bersikap begitu santun dan marah.
Hmm! Meski aku bukan tandingan orang liar itu, biar musti kehilangan nyawa, hari ini aku tetap akan melindungi mereka berdua dari usikan orang ini." Berpikir begitu, sambil mengepal tinjunya dan busungkan dada, ia berdiri menghadang.
"Sobat cilik," terdengar Lan Toa-sianseng berkata, "minggirlah, biar aku tanyai dulu orang ini." Tian Mong-pek agak sangsi sejenak, tapi kemudian dia minggir ke samping.
Sambil tersenyum tanya Lan Toa-sianseng kemudian: "Kau sudah menunggu aku selama sepuluh tahun untuk balas dendam" Sebetulnya ada urusan apa?" "Lan Thian-tui, masa kau dikenali aku?" dengus orang liar itu sambil tertawa dingin.
"Makhluk tua, kau kenal dengan orang ini?" tanya Lan Toa-sianseng seraya berpaling.
Orang berbaju kuning itu tetap duduk sambil pejamkan mata, sahutnya: "Dia datang mencarimu untuk balas dendam, urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan diriku, lebih baik kau tak usah menyeret aku masuk ke dalam persoalanmu." Mula-mula Lan Toa-sianseng agak tertegun, kemudian sahutnya sambil tertawa tergelak: "Hahaha, baik, baiklah, kalau begitu, kenapa kau masih belum pergi?" "Kenapa aku harus pergi" Aku masih ingin menonton keramaian disini." "Hmm, kau anggap bisa menonton keramaian secara gratis?" jengek orang liar itu sambil tertawa seram, "paling tidak lohu akan memberi sedikit pelajaran kepadamu, bahkan akan kusingkap topeng mukamu, akan kulihat bagaimana tampang muka aslimu itu." Lan Toa-sianseng kembali tertawa tergelak.
"Hahaha, bagus, bagus sekali, kalau kau bisa menyingkap wajah aslinya, tidak sia-sia aku mati disini, tapi siapa kau sebenarnya" Paling tidak .
. . . . .." orang liar itu tertawa seram.
"siksaan selama belasan tahun telah membuat tampang lohu tidak mirip manusia lagi, tentu saja kau tak akan mengenali diriku lagi," katanya, "dari kami tujuh bersaudara, kini hanya tersisa lohu seorang, sementara yang lain sudah tewas ditangan Tu Hun-thian si manusia bedebah itu.
Coba kalau aku tidak dipecundangimu ditempat ini, mana mungkin Tu Hun-thian ll bisa melipas habis ke tujuh orang saudaraku yang lain .
. . . . . .. "Tiong-tiau-jit-ok (tujuh orang jahat dari Tiong-tiau)?" bisik Lan Toa-sianseng dengan wajah berubah, "jadi kau adalah Bu-ciang-kun (manusia tanpa usus) Kim Hui yang telah dihajar masuk jurang oleh Tu Hun-thian?" Kembali manusia liar itu tertawa seram.
"Sayangnya, hantaman bedebah itu tidak sampai membuat lohu mati, lolos dari lubang jarum, seharusnya sejak awal lohu sudah akan mencarimu untuk menuntut balas, sayang aku sadar kalau kepandaianku masih bukan tandinganmu, maka setelah berpikir pulang pergi, akhinya kuputuskan untuk menantimu disini, bila kau tidak kemari, lohu terpaksa harus mati penuh penyesalan, tapi kalau kau muncul disini, berarti saat ajalmu telah tiba.
Dan ternyata Thian memang mendukung keinginanku, akhirnya kau datang juga_? "Bagus, bagus sekali," kata Lan Toa-sianseng sambil tersenyum, "tidak gampang memiliki kesabaran seperti dirimu, lagipula lohu sudah hidup kelewat lama, sudah pantas bila mati, tapi sebelum kau turun tangan, paling baik lagi jika kau bisa menyingkap dulu wajah asli makhluk tua itu, lohu sudah banyak membunuh orang, meski akhirnya bakal mati oleh bacokan kapakmu, aku tak pernah akan menyesal!" "Baiklah!" seru Kim Hui, si manusia liar itu sambil tertawa seram, "lohu akan kabulkan permintaanmu itu." Ia pun membalikkan tubuh dan berjalan menghampiri orang berbaju kuning itu.
Tian Mong-pek tidak tinggal diam, dengan satu kecepatan tinggi dia menghadang dihadapannya seraya membentak: "Bila ingin menyentuh kedua orang itu, langkahi dulu mayatku." "Hmm, kau anggap lohu tak berani membunuhmu?" ejek Kim Hui sambil tertawa keras.
Baru saja kapaknya siap diayunkan, orang berbaju kuning dan Lan Toa-sianseng telah membentak bersama: "Tunggu dulu!" \\ "Urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan dia .
. . . . .. seru Lan Toa-sianseng pula.
"Sobat kecil," kata orang berbaju kuning itu sambil tertawa, "kau bukan tandingan orang itu, lebih baik menyingkirlah lebih dulu, apa salahnya kalau dia ingin melihat wajah asliku?" Sejujurnya, Tian Mong-pek sendiripun ingin sekali melihat wajah asli tokoh aneh itu, dia ingin tahu asal usul serta identitasnya yang sesunggunya, karena itu diapun tidak bergerak lagi.
Perlahan-lahan orang berbaju kuning itu mengangkat tangannya, lalu melepas selembar topeng kulit manusia yang sangat tipis, tapi apa yang kemudian terlihat segera membuat semua orang tertegun.
Ternyata dibalik topeng kulit manusia itu, dia memiliki wajah yang putih keabu abuan dengan mata yang buram, wajahnya jauh lebih tak sedap dipandang ketimbang sewaktu mengenakan topeng tadi.
Sambil tersenyum ujar orang berbaju kuning itu: "Ada yang mengenali diriku" Kalau tidak ada, aku akan mengenakannya kembali." Bu-ciang-kun Kim Hui tertegun, bentaknya kemudian: "Bawa kemari!" Dia ambil topeng kulit manusia itu dari tangan orang berbaju kuning, kemudian masukkan ke dalam saku.
"Makhluk tua," ujar Lan Toa-sianseng sambil menghela napas, "hitung- hitung kau memang tega, lohu masih tetap tidak mengenalimu .
. . . .. baiklah, Kim Hui, sekarang juga kau akan turun tangan?" "Kalau tidak turun tangan sekarang juga, memangnya harus menunggu sampai tenaga dalammu pulih kembali?" ejek Kim Hui sambil tertawa dingin.
"Seorang lelaki sejati harus bisa membedakan mana budi mana dendam, lohu ada dendam denganmu, kalau kau ingin menuntut balas, lohu pun tak bisa salahkan dirimu, tapi pemuda itu tak ada urusan denganku, lebih baik bebaskan saja dirinya." "Mau dibebaskan atau tidak, itu bukan urusanmu, lihat saja nanti aku sedang senang hati atau tidak." Kata Kim Hui tertawa.
Kontan saja Lan toa-sianseng mengernyitkan alis matanya yang tebal, setelah berpikir sejenak, ujarnya lagi: "Kebetulan aku membawa dua jilid kitab ilmu silat, bila kau bersedia membebaskan pemuda itu, lohu segera akan hadiahkan kitab itu untukmu." Terlintas perasaan girang dibalik sorot mata Kim Hui, sahutnya sambil tertawa: "Lohu tahu kalau kau memiliki kitab ilmu silat, asal kubunuh kalian semua, bukankah barang-barang itu bakal menjadi milikku" Kenapa harus menunggu sampai kau serahkan sendiri?" Kapak raksasanya diputar lalu membacok langsung ke tubuh Tian Mong-pek, sementara satu tendangan diarahkan ke perut Lan Toa-sianseng.
Kapak raksasanya diputar lalu membacok langsung ke tubuh Tian Mong-pek, sementara satu tendangan diarahkan ke perut Lan Toa-sianseng.
Dengan menggunakan segenap tenaga yang masih tersisa, Lan Toa-sianseng menghindarkan diri dari tendangan itu, ketika melihat Tian Mong-pek sudah bertarung melawan Kim Hui, buru-buru teriaknya cemas: "Sobat cilik, cepat kabur, dia tak bakal mengejarmu, antara kau dan aku tak pernah saling mengenal, buat apa kau kehilangan nyawa karena kami." Tenaga murninya betul-betul sudah ludas, sesudah menghindari tendangan itu, kekuatan tubuhnya nyaris lenyap, untuk mengucapkan berapa patah kata itupun, napasnya sudah tersengkal.
"Kau jangan pandang rendah diriku," teriak Tian Mong-pek gusar, "memangnya kau anggap aku Tian Mong-pek adalah pengecut yang kabur dari pertarungan?" Api amarah yang berkobar membuat pemuda itu menyerang sebanyak lima gebrakan dengan sepenuh tenaga.
Ilmu pukulan yang digunakan merupakan ilmu ajaran keluarganya, kobaran hawa amarah membuat pemuda itu segera menyerang dengan menggunakan gerakan jurus yang belum lama dipahami.
Ditengah hembusan angin pukulan, tampak kepalannya menyambar kian kemari secara melebar, lima buah serangan berantainya memaksa manusia tanpa usus Kim Hui mundur berapa langkah ke samping.
"Hei tosu tua, sudah kau saksikan?" kata orang berbaju kuning itu tiba-tiba sambil tersenyum, "bukan saja kungfu yang dimiliki pemuda ini tangguh, gerak jurus yang digunakan pun berapa bagian mirip dengan seranganmu." "Betul-betul aneh .
. . . . . . .." gumam Lan toa-sianseng tercengang.
Terlihat Kim Hui sendiripun sedang tertegun oleh kehebatan lawan, tubuhnya mundur berulang kali, walaupun dia menggenggam kapak raksasa, namun serangan gencar dari Tian Mong-pek memaksa dia tak mampu memanfaatkan senjatanya itu.
Tian Mong-pek merasa semangatnya berkobar, permainan jurusnya makin lama semakin lancar, kegagahan dan kegarangannya membuat lawan jadi bergidik.
Lan Toa-sianseng merasa heran bercampur girang, serunya berulang kali: "Bagus, bagus sekali .
. . . . .. kau memang bocah hebat! Dari mana kau pelajari jurus serangan itu?" Puluhan jurus kemudian, tiba-tiba Tian Mong-pek membentak keras, sepasang kepalannya dilontarkan bersama langsung menghajar ulu hati musuh.
Buru-buru Kim Hui putar kapaknya sambil melepaskan satu tendangan.
Siapa tahu kepalan kiri Tian Mong-pek menghajar ke bawah sementara kepalan kanannya berputar ke samping lalu secepat kilat menyodok ke iga musuh.
Seketika itu juga Kim Hui merasakan sikut tangannya kesemutan, tak ampun kapaknya mencelat dan terlepas dari genggaman.
Menyaksikan kejadian ini, dengan keheranan seru orang berbaju kuning itu: "Sudah cukup lama Tiong-tiau-jit-ok merajai dunia persilatan, masa sebebal itu kemampuan silatnya?" Belum habis perkataan itu, tampak Tian Mong-pek telah menggunakan kesempatan itu untuk merangsek maju, kembali dia desak Kim Hui hingga berada ditepi tebing.
Waktu itu sekujur badan Kim Hui telah dibasahi keringat dingin, gerak serangannya makin lama semakin lemah, jurus serangan yang digunakan pun merupakan jurus serangan umum yang banyak digunakan dalam dunia persilatan, bahkan kulit wajahnya yang basah oleh keringat telah menampilkan muka aslinya, kulit wajah yang putih bersih.
Lan Toa-sianseng segera mengetahui perubahan itu, tiba tiba bentaknya nyaring: "Orang itu bukan Manusia tanpa usus Kim Hui, pasti ada tipu muslihat dibalik dirinya, sobat cilik, tangkap hidup hidup orang itu, aku harus menginterogasinya." Sementara Tian Mong-pek masih tertegun, terdengar Kim Hui sudah membentak gusar: "Aku bukan Kim Hui, aku adalah nenek moyangmu!" Tiba-tiba permainan jurusnya berubah, bagaikan hujan badai dia lancarkan lima jurus serangan.
Ternyata ke lima jurus serangan yang ia gunakan sama persis seperti ke lima gerakan yang baru saja digunakan Tian Mong-pek.
Kejadian ini tentu saja membuat anak muda itu tercengang, sedangkan orang berbaju kuning itu segera berseru sambil tertawa tergelak: "Sungguh bagus sekali, ternyata jurus serangan yang digunakan bajingan ini tak lain adalah jurus aliran kau si tosu tua." Lan Toa-sianseng tidak berkata-kata, namun paras mukanya telah berubah amat serius.
Tampak kedua orang itu bertempur makin seru, betul saja, gerak serangan yang digunakan sama persis sehingga orang yang tak tahu urusan akan mengira mereka adalah dua saudara seperguruan yang sedang latihan bersama.
Dengan gerakan tubuh yang lincah, Kim Hui melancarkan serangan secara bertubi-tubi, meskipun dia dapat memainkan semua gerak serangan lebih hapal dan lancar ketimbang Tian Mong-pek, namun sayang semua serangannya tidak memiliki kekuatan seperti yang dimiliki pemuda itu.
Puluhan jurus kemudian, dengan satu gerakan cepat Tian Mong-pek mencoba menghantam dari samping, siapa tahu pihak lawan telah membendung gerak majunya terlebih dulu, sebagaimana diketahui, Kim Hui sudah hapal sekali dengan semua gerak serangan itu, tak heran kalau ia dapat menduga sebelumnya kearah mana sasaran lawan.
Beberapa kali Tian Mong-pek berganti gerakan, tapi hampir semuanya berhasil dicegat lawan, lama kelamaan hatinya jadi terkesiap.
Tiba tiba terdengar Lan Toa-sianseng berseru dengan suara berat: "Bergeser ke tengah, serang dengan kepalan kiri, berputar badan mengancam sepasang telinga .
. . . . . .." Tanpa berpikir panjang, Tian Mong-pek segera melakukan seperti apa yang diteriakkan.
Dengan wajah serius kembali Lan Toa-sianseng berseru: II "Kiri menghantam wajah, kanan menyerang dada .
. . . . .



.. Secara beruntun dia teriakkan belasan gerakan, meski hanya jurus sederhana namun hasil yang diperoleh justru luar biasa.
Sesuai dengan apa yang dikatakan, belasan jurus kemudian Tian Mong-pek sudah dapat mainkan jurus serangan itu lebih matang.
Kini Kim Hui berhasil didesak hebat sehingga berulang kali harus mundur dari arena.
Tiba tiba terdengar orang berbaju kuning itu berseru pula dengan suara dalam: II "Kaki kanan hindari tengah, burung Hong pentang sayap .
. . . .. Tanpa berpikir panjang kembali Tian Mong-pek mengikuti petunjuk itu.
Sebagaimana diketahui, orang berbaju kuning itu sudah berulang kali bertempur melawan Lan Toa-sianseng, pada hakekatnya dia sudah hapal diluar kepala semua gerak serangannya.
Apa yang diserukan saat ini tak lain adalah gerak serangan untuk menembusi titik kelemahan dari Kim Hui dan memaksanya melangkah ke sudut kematian.
Tak terlukiskan rasa kaget Kim Hui, ketika cengkeraman Tian Mong-pek mengarah ke wajahnya, cepat dia melengos ke samping sambil mengundurkan diri.
Siapa tahu disaat terakhir Tian Mong-pek menggetarkan tangannya, dari pukulan dia rubah jadi serangan mencengkeram, ke lima jari tangannya dipentang lalu menyapu ke muka.
Tak ampun lagi rambut serta jenggot kusut yang memenuhi wajah Kim Hui telah tersambar oleh Tian Mong-pek hingga terlepas dari tempat, kini terlihatlah kulit mukanya yang bulat putih, meski masih berlumur lumpur namun tak dapat lagi menutupi wajah aslinya.
Ternyata orang itu bukan orang liar seperti yang diduga semula, dia bukan lain adalah Thian-kiau-seng Sun Giok-hud.
Dalam kagetnya Tian Mong-pek sempat tertegun, teriaknya tak tahan: "Ternyata kau." Berubah paras muka Sun Giok-hud, cepat dia lepaskan satu pukulan kemudian membalikkan tubuh dan melarikan diri terbirit-birit.
"Mau kabur ke mana kau!" bentak Tian Mong-pek.
Baru saja dia akan melakukan pengejaran, terdengar Lan Toa-sianseng telah berseru sambil menghela napas panjang: "Biarkan saja dia pergi!" Dalam waktu singkat bayangan tubuh Sun Giok-hud telah hilang lenyap tak berbekas.
Terdengar Lan Toa-sianseng kembali berkata: "Sejak awal lohu sudah menduga, bajingan itu sudah pasti hasil penyamaran murid murtadku itu, sepuluh tahun berselang ketika lohu selesai bertarung disini, dalam perjalanan pulang kujumpai murid murtad itu, waktu itu penampilannya jujur dan polos, siapa sangka ia justru orang licik yang berhati busuk, karena itu lohu pun mengusirnya dari perguruan bahkan melarang dia berkelana dalam dunia persilatan dengan mengatas namakan murid Au-sian-kiong.
Sungguh tak nyana hari ini dia berani menyamar sebagai Manusia tanpa usus Kim Hui untuk membohongi lohu, coba kalau tak ada sobat cilik, tak bisa kubayangkan bagaimana kejadiannya hari ini." Sambil tersenyum ujar orang berbaju kuning itu: "Tahukah kau kalau muridmu yang berhianat bukan hanya dia seorang?" "Memangnya masih ada siapa lagi?" tanya Lan Toa-sianseng dengan wajah berubah.
"Paling tidak masih ada enam orang lagi." Jawab orang berbaju kuning itu tertawa.
"Darimana kau tahu?" "Kalau dia bukannya sudah berkomplot dengan ke enam orang muridmu yang kau kirim untuk menghantar makanan dan martil besi, darimana dia bisa tahu akan kehadiranmu disini" Aku rasa begitu kau turun gunung, mereka pasti sudah mengirim kabar kepadanya sehingga diapun datang kemari untuk menantikan kehadiranmu, memangnya dia benar benar sudah menanti disini selama sepuluh tahun?" Lan Toa-sianseng tertegun, kemudian serunya dengan gusar: "Tak aneh kalau kehadiran mereka berenam begitu lamban, rupanya mereka mengirim kabar lebih dahulu." Perlahan-lahan orang berbaju kuning itu bangkit berdiri, ujarnya lagi sambil tertawa: "Mau marahpun tak ada gunanya, aku yakin saat ini mereka semua pasti sudah melarikan diri, masih untung sepak terjang berapa orang itu kelewat hati-hati, lagian mereka pun berniat menipu kitab ilmu silatmu, kalau tidak, bayangkan saja bagaimana akibatnya bila mereka bertujuh maju bersama" Memangnya saat ini kita masih dapat hidup terus?" Lan Toa-sianseng menghela napas panjang, ia berpaling memandang Tian Mong-pek sekejap, mendadak sambil menarik tangan pemuda itu, serunya: "Ayoh jalan! Ikut lohu pulang ke istana." "Mau apa ikut kau pulang?" tanya Tian Mong-pek keheranan.
Sambil tertawa tergelak seru orang berbaju kuning itu: "Tosu tua itu sangat berterima kasih kepadamu, dia ingin mewariskan ilmu silatnya kepadamu, bukan begitu tosu tua?" "Betul sekali!" jawab Lan Toa-sianseng sambil menghela napas panjang, "walaupun jumlah muridku di istana Au-sian-kiong banyak sekali, namun tak satupun mampu mempelajari ilmu silat yang kumiliki, terlebih tak ada II seorangpun yang memiliki watak .
. . . .. Sambil menepuk bahu Tian Mong-pek, kata orang berbaju kuning itu sambil tertawa: "Tosu tua ini ingin menerima kau sebagai muridnya, sedang aku hanya ingin bersahabat denganmu dan melakukan perjalanan bersama dalam dunia persilatan, silahkan kau pilih sendiri, mau ikuti dia ataukah ikut aku?" Perlu diketahui, dia sudah cukup memahami watak Tian Mong-pek, perkataannya itu justru dengan tepat mengenai isi hatinya.
Mendengar perkataan itu, dengan gusar Lan Toa-sianseng berteriak: "Lohu sudah puluhan tahun lamanya mencari, hari ini aku saja menemukan orang yang cocok, masa kau berebut dengan lohu?" orang berbaju kuning itu hanya tersenyum tanpa menjawab.
Tian Mong-pek segera maju memberi hormat, ujarnya: "Sejak tadi cayhe sudah mencuri belajar ilmu silat cianpwee, semestinya aku harus menjadi muridmu .
. . . . . .." "Tapi ada dasarnya kau hanya ingin berteman dengannya, jadi saat ini belum bersedia menjadi muridnya bukan?" timbrung orang berbaju kuning itu sambil tertawa.
"Kini, cayhe sudah mengetahui identitas cianpwee, mana berani aku berteman dengan cianpwee" Hanya saja .
. . . . . .." "Kalau kau bisa bersahabat dengan makhluk aneh itu, kenapa tak dapat berteman dengan lohu?" protes Lan Toa-sianseng, "kau harus ikut aku pulang dan paling tidak bermabukan selama sepuluh hari." Tian Mong-pek merasakan aliran darah ditubuhnya bergerak lebih cepat, dengan kepala tertunduk ucapnya: II "Tak disangka cianpwee begitu menghargai diriku, aku....
aku..... Saking terharunya, untuk berapa saat dia sampai tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
orang berbaju kuning itu segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, bagaimana pun kita berkenalan duluan, jadi kau seharusnya menemani aku si orang tua yang kesepian ini lebih dahulu.
Setahun kemudian, aku tak akan menahanmu lagi, jadi waktu itu kau bisa berkunjung ke istana Au-sian-kiong, mau angkat dia jadi guru atau berteman, terserah padamu." "Baik, baik," ujar Lan Toa-sianseng, "biarlah dia berpesiar dulu selama satu tahun dalam dunia persilatan, tapi.....
saudara cilik, setahun kemudian jangan lupa untuk mampir ke istana Au-sian-kiong." "Kita tetatapkan begitu saja," tegas orang berbaju kuning itu, "saudara cilik, mari kita pergi!" Dia segera menarik tangan Tian Mong-pek dan meninggalkan tebing dengan langkah lebar.
Perasaan terharu dan berterima kasih Tian Mong-pek terhadap kedua orang itu boleh dibilang sudah meluap, semisalnya kedua orang itu minta dia pergi mati pun, dengan rela hati pasti akan dia lakukan.
Maka setelah berjanji waktu untuk bertemu lagi, dia memberi hormat kepada Lan Toa-sianseng lalu mengikuti orang berbaju kuning itu beranjak pergi dari situ.
Sampai dibawah tebing, ia saksikan Lan Toa-sianseng masih berdiri termangu ditepi bukit, berdiri sambil mengawasi bayangan tubuh mereka berdua.
Bab 15. Pemandangan alam nomor wahid dikolong langit.
Diluar kota Tin-kang, berdiri sebuah bukit ditengah sungai, tegar bagaikan patung raksasa.
Itulah bukit Kim-san, tempat yang disebut para enghiong sebagai tempat dengan pemandangan alam nomor wahid dikolong langit.
Suara nyanyian terdengar berkumandang ditengah sungai, sebuah sampan terlihat berlayar ditengah riak lembut.
Diujung sampan tampak sebuah anglo, diatas anglo terdapat poci, harum teh dalam poci menyebar mengharumkan udara.
Seorang lelaki berbaju kuning duduk diujung perahu, dia duduk tanpa bergerak sambil bersenandung membawakan sebuah lagu, tampaknya ia sedang terkenang kejadian masa lalu.
Dihadapannya duduk bersila seseorang, dia adalah seorang pemuda berwajah tampan.
Ketika selesai bersenandung, terdengar orang berbaju kuning itu berkata sedih: "Lagu ini kuciptakan disaat aku masih sering berkelana dulu, aaai, walaupun sekarang aku berpesiar lagi ditempat yang sama, tapi manusia telah berubah." "Aku lihat dalam pikiran cianpwee seolah selalu hanya terkenang akan seseorang, siapa pula manusia di dunia ini yang pantas dipikirkan dan dirindukan cianpwee?" tanya pemuda itu dengan kening berkerut.
Orang berbaju kuning itu menghela napas sedih, dia segera terbungkam dan tidak bicara lagi.
Hingga sampan itu menepi di daratan, tatapan mata orang berbaju kuning itu tetap murung dan sedih.
Pemuda tampan itu tak lain adalah Tian Mong-pek, melihat kesedihan orang, dia jadi menyesal, kenapa harus menyentuh luka hati orang, maka buru-buru ujarnya lagi sambil tertawa: "Aku dengar didalam kuil Kim-san-sie tersimpan hiolo dari jaman kerajaan Ciu, tambur dari kerajaan Han, sabuk kemala dari Tong-po, mata air nomor wahid untuk wilayah Kanglam yang lezat bila dipakai merebus teh, nyaris semua kemegahan dan mustika dunia terkumpul ditempat ini, hanya sayang .
. . . . . .. bukit Kimrsan kelewat kecil, tidak cukup untuk memuaskan perasaan hatiku." "Puluhan tahun aku mengembara dan mengarungi empat penjuru, dulu, akupun merasa wilayah Kanglam hanya sebesar kepalan tangan, tapi kini aku sudah merasakan sentuhan lain, aku sudah tidak merasakan lagi betapa kecilnya wilayah ini." Tian Mong-pek tertawa getir, ia merasa ucapan itu mengandung filosori yang terlalu dalam, pemuda berdarah panas macam dia tentu saja tak dapat menerima dan meresapinya.
Ia mencoba memandang ke tempat kejauhan, ditengah tanah perbukitan yang terjal, dibalik pohon bambu yang lebat, lamat lamat terlihat atap bangunan yang megah.
Seketika Tian Mong-pek merasa dadanya jadi lega.
Dari jalan setapak diatas bukit, terlihat seorang pendeta berjubah abu abu sedang berjalan menuju ke arah seorang kakek berjubah perlente yang sedang berdiri di kaki bukit.
Begitu tiba dihadapan orang itu, pendeta tadi segera berseru: "Kuil kami tidak tahu kalau ada tamu jauh yang datang berkunjung, karena itu hongtiang tidak dapat menyambut sendiri kehadiran tamunya, mohon sicu bisa memaklumi." Kakek berbaju perlente itu segera menyahut sambil tersenyum: "Lohu selalu datang pergi sekehendak hati, bila hongtiang taysu harus datang menyambut sendiri, hal mana malah membuat lohu merasa tak tenang." Sambil berkata, sorot matanya menyapu sekejap sekeliling tempat itu, tiba tiba pandangannya terhenti di wajah Tian Mong-pek yang sedang berjalan mendekat.
Begitu melihat siapa kakek itu, dengan tubuh bergetar seru Tian Mong-pek tanpa terasa: "Chin Siu-ang!" Rupanya kakek berbaju perlente itu bukan lain adalah tabib kenamaan dari dunia persilatan, Chin Siu-ang! Tampak kakek itu tertawa dingin lalu tanpa melirik lagi kearah pemuda itu, dengan langkah lebar ia berjalan lewat dari sisinya, dari balik suara tertawa dinginnya jelas sekali penuh dengan nada menghina dan memandang rendah.
"Tabib bedebah, masih kenal dengan sauya mu?" bentak Tian Mong-pek gusar, dia melangkah ke samping, lalu dengan kepalan dikencangkan menghadang jalan pergi tabib itu.
"Minggir!" bentak Chin Siu-ang ketus.
"Bila kau bersedia datang lebih cepat, ayahku tak sampai tewas secara mengenaskan, rasa benciku terhadapmu sudah merasu k hingga ke tulang, hari ini aku harus memberi pelajaran kepadamu!" kata Tian Mong-pek gusar.
"Ingin memberi pelajaran kepadaku?" ejek Chin Siu-ang sambil tertawa dingin.
"Tepat sekali!" sambil membentak, Tian Mong-pek lancarkan satu pukulan ke wajah kakek itu.
Chin Siu-ang sama sekali tak bergerak, tapi baru saja Tian Mong-pek melepaskan pukulannya, tiba-tiba terdengar seseorang membentak nyaring: "Tahan!" Segulung desingan angin tajam mengancam sikut tangannya.
Karena angin serangan itu tajam, terpaksa Tian Mong-pek tarik kembali serangannya sambil mundur.
Tampak pendeta beralis abu-abu itu telah muncul dihadapannya sambil menegur: "Anak muda, kenapa kau begitu kurangajar?" Rupanya barusan pendeta itu sudah pukul mundur Tian Mong-pek dengan menggunakan tasbeh yang berada dalam genggamannya, hal ini membuktikan kalau ilmu silat yang dimiliki pendeta ini sangat tinggi.
Sambil menahan amarah, seru Tian Mong-pek: II "Taysu, lebih baik kau tak usah ikut campur .
. . . .. "Chin sicu adalah tamu yang sering berkunjung ke kuil Kimrsan-sie .
. . . . .." kata pendeta itu sambil berkerut kening.
"Dia tak lebih hanya tabib pembunuh dari kota Hangciu, bukan mengobati orang, dia lebih banyak melakukan pembantaian, dosanya melebihi dosa seorang bandit, taysu, masa kau tidak tahu?" "Peduli apa pun yang kau katakan, kau tidak boleh sembarangan menyerang orang disini, lebih baik segera mengundurkan diri." Bentak pendeta itu lagi.
Sementara Chin Siu-ang mengejek pula sambil tertawa dingin: "Jika kau tetap ingin turun tangan, hal itu sama saja dengan mencari malu untuk diri sendiri." Bicara sampai disitu, sambil bergendong tangan ia tetap melanjutkan perjalanan, sama sekali tak pandang sebelah matapun terhadap Tian Mong-pek.
Tiba-tiba orang berbaju kuning itu berkata sambil tersenyum: "Saudara cilik, masa kau tidak melihat para pengawal dari lo-sianseng itu?" Mendengar ucapan itu, Tian Mong-pek segera menyapu sekejap ke sekeliling hutan, betul saja, ia saksikan ada bayangan manusia bergerak disitu.
"Paling tidak ada tiga orang." Imbuh orang berbaju kuning itu sambil tertawa.
"Betul sekali, memang ada tiga orang." Suara bentakan tiba tiba berkumandang dari balik hutan.
Bersamaan itu, terlihat tiga sosok bayangan manusia melompat keluar dari tempat persembunyian, mereka adalah tiga orang manusia berpakaian ringkas, bersenjata tajam dan mengenakan kain kerudung hitam.
"Kasak usuk main sembunyi, siapa kalian?" bentak Tian Mong-pek.
Orang berbaju hitam.yang bertindak sebagai pemimpin segera menjawab dengan suara berat: "Sobat, kau tak perlu tahu siapa kami bertiga.
Yang pasti kami datang dari empat arah delapan penjuru yang bertugas untuk melindingi keselamatan Chin lo-sianseng." orang yang berada disebelah kiri menambahkan: "Dikolong langit saat ini, hanya Chin lo-sianseng seorang yang dapat memunahkan racun panah kekasih, kami tak lebih hanya sumbang tenaga demi semua sahabat dunia persilatan." Mula-mula Tian Mong-pek agak tertegun, kemudian ia mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Dilingkungan tempat beribadah, harap jangan berisik." Tegur pendeta itu lagi.
"Kalian mati-matian berusaha melindungi dia, mungkin disaat kalian benar-benar terkena panah kekasih, belum tentu ia bersedia turun tangan untuk selamatkan nyawa kamu semua." Kata pemuda itu.
"Sobat, apakah kau adalah putra Tian Hua-uh, Tian tayhiap?" tiba tiba orang disebelah kanan bertanya.
"Betul! Aku adalah Tian Mong-pek." Terlihat tubuh ke tiga orang berbaju hitam itu bergetar keras, bahkan orang berbaju kuning itupun berubah wajah setelah mendengar nama Tian Hua-uh disebut.
Dengan wajah agak sedih kata pendeta itu pula: "Kalau toh kau adalah putra Tian tayhiap, sewajarnya tidak boleh bersikap begitu kurangajar, tahukah kau, lolap dan ayahmu adalah sahabat karib?" Tanpa sadar Tian Mong-pek mundur selangkah.
Kembali pendeta itu berkata: "Minggirlah, lolap akan menghantar Chin sicu lewat sana." Sambil kebaskan jubahnya, dia lewat dari sisi tubuh anak muda itu.
"Saudara cilik," seru orang berbaju kuning itu kemudian, "bukankah tujuan kita berpesiar" Kenapa musti mengumbar amarah?" Dia menarik ujung baju Tian Mong-pek kemudian beranjak pergi dengan langkah lebar.
Tian Mong-pek berpikir sejenak, kemudian ia mendepakkan kakinya berulang kali dan siap pergi dari situ.
Tiba tiba terdengar Chin Siu-ang mengejek lagi dengan nada dingin: "Lohu sepanjang tahun berada di kota Hangciu, kau boleh cari aku setiap saat, akan lohu sambut kedatanganmu dengan senang hati!" Setelah itu tanpa berpaling lagi, ia teruskan langkahnya.
Tampak ke tiga orang berbaju hitam itu termangu selama berapa saat, akhirnya salah satu diantaranya berkata dengan terbata: "Semasa hidup Tian tayhiap dulu, kami sangat mengaguminya, tapi orang mati tak bisa hidup kembali .
. . . . .." "Cepat pergi!" bentak Tian Mong-pek.
Orang berbaju hitam itu menghela napas panjang, dengan kepala tertunduk mereka pun ikut beranjak pergi.
"Sudah tahu siapakah mereka bertiga?" "Paling juga begundal begundal jahanam." Sahut sang pemuda penuh kebencian.
"Ketiga orang itu merupakan anak murid dari Pik-pa-ciang (pukulan pembelah macan kumbang) aliran utara, bahkan pasti punya hubungan yang erat dengan ayahmu, apakah kau tahu kenapa mereka datang kemari?" "Cianpwee, hanya melihat tingkah laku orang orang itu, masa kau segera bisa menebak asal perguruan mereka?" "Benar." "Tak bisa kutebak siapakah orang orang itu." "Yaa sudah kalau tak bisa kau tebak," ucap orang berbaju kuning itu kemudian sambil tersenyum, "lebih baik kita pergi menikmati sabung kumala dari Tong-po serta tambung dari Cukat." Begitulah, dengan membawa hati yang mendelu, berangkatlah Tian Mong-pek mengikuti orang berbaju kuning itu menuju ke bukit Kimrsan.
Bangunan kuil yang ada dibukit Kimrsan sungguh anggun dan megah, suasana ditempat itu begitu indah hingga tak malu disebut tempat ziarah paling utama di wilayah Kanglam.
Dari balik ruang utama kuil yang dipenuhi asap dupa, tiba tiba muncul lima orang pendeta berjubah abu-abu yang menghadang jalan pergi mereka.
"Sicu sekalian hendak ke mana?" tanya pemimpin pendeta itu sambil memberi hormat.
"Kami ingin bertemu hongtiang dan minta ijin untuk menyaksikan keindahan hiolo jaman Ciu, kitab jaman Chin, sabuk kumala Tong-po serta lonceng Cukat." Pendeta itu mempunyai jenggot sepanjang dada, kelihatannya mempunyai kedudukan yang cukup tinggi, terdengar dia menyahut dengan suara dalam: "Hongtiang sedang menerima tamu agung, silahkan sicu berdua datang lagi dilain hari." "Tamu agung" Memangnya kami dianggap tamu durjana?" dengus Tian Mong-pek.
Pendeta berjenggot panjang itu tersenyum, katanya: "Omintohud, dalam pandangan orang beribadah, semua umat manusia adalah tamu agung, tapi tamu diruang hongtiang sudah ada janji lebih dulu dengan ketua kami, jadi mohon kalian berdua sudi memaafkan." Baru selesai pendeta itu bicara, tiba tiba terdengar seseorang menegur dengan suara merdu: "Apa" Pesiar ke dalam kuil pun harus punya janji lebih dulu" Betul betul satu kejadian aneh." Sewaktu Tian Mong-pek berpaling, terlihat seorang tokoh berusia muda, seorang gadis berbaju hitam serta seorang nyonya berbaju putih telah berdiri berjajar dibelakang tubuhnya.
Ke tiga orang itu tak lain adalah tiga kepodang dari gunung Hoa-san, kepodang batu Sik Ling-un, kepodang baja Thiat Hui-keng serta kepodang perak ouyang Miau.
Tertegun Tian Mong-pek setelah menyaksikan kehadiran ke tiga orang itu, begitu juga ke tiga orang perempuan itupun tampak sedikit melengak ketika melihat kehadiran anak muda itu.
Tampak kepodang perak ouyang Miau tersenyum sambil memberi hormat.
Sambil balas memberi hormat kata Tian Mong-pek: Il "Kalian bertiga .
. . . . .. Tapi sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, ke tiga orang kepodang dari gunung Hoa-san itu sudah lewat dari sisinya, lalu terdengar kepodang baja Thiat Hui-keng berkata: "Jadi kami tak dapat melihat tambur tembaga dan sabuk kumala karena dalam ruang hongtiang ada tamu lain?" "Biarpun tak ada tamu, li-sicu bertiga pun tak boleh masuk ke dalam." Sahut pendeta itu cepat.
"Kenapa?" tanya Thiat Hui-keng gusar.
"Kecuali gedung utama Tay-hiong-po-tian, selama ini belum pernah ada perempuan yang menginjakkan kaki disini, harap li-sicu bertiga bisa memaklumi." "Kenapa perempuan tak boleh masuk" Memang kau anggap perempuan bukan manusia?" teriak Thiat Hui-keng makin lantang.
ll "Samrmoay . . . . . . .. cegah ouyang Miau. "Kau tak usah menghalangi aku, paling tidak aku harus melihat sendiri bagaimana bentuk tambur tembaga serta sabuk kumala itu, kalau dilarang masuk maka secara diam diam aku akan menyusup masuk ke tempat ini." "Hati-hatilah li-sicu kalau bicara .
. . . . . .." tegur pendeta itu dengan wajah membesi.
Kontan saja paras muka Hoa-san-samring berubah hebat, Tian Mong-pek sendiripun merasa amat gusar, pikirnya: "Dia melarang kaum perempuan untuk masuk, kenapa dari balik ruangan terdengar suara tertawa perempuan?" Tampaknya Thiat Hui-keng semakin gusar, bentaknya: "Bukankah suara itu suara tertawa perempuan?" "Benar." Pendeta itu menjawab dengan wajah tak berubah.
Kontan saja Thiat Hui-keng dan Sik Ling-uh jadi berang, bahkan si kepodang perak ouyang Miau ikut tak tahan, tegurnya: "Kalau begitu kamipun akan masuk ke dalam." Serentak empat orang pendeta yang berjajar di belakang itu bergerak maju dan menghadang jalan pergi perempuan perempuan itu.
Sambil tertawa dingin dengus Sik Ling-uh: "Sudah lama kudengar, para hwesio dari biara Kim-san-sie memiliki kungfu yang hebat, tapi sebagai pendeta, tidak seharusnya kalian main kasar dengan andalkan ilmu silat!" "Tamu wanita yang berada didalam sana hadir karena undangan serta persetujuan hongtiang, lagipula beliau adalah orang yang sudah lama dikagumi hongtiang taysu kami .
. . . . . . .." kata pendeta berjenggot panjang itu menjelaskan.
"Aku tidak paham dengan apa yang kau ucapkan," bentak Thiat Hui-keng gusar, "pokoknya hari ini nonamu harus bisa melihat tambur tembaga dan sabuk kumala itu!"
Seraya berkata, dia langsung menerjang masuk.
"Bila li-sicu memaksakan diri, jangan salahkan kalau pinceng akan bersikap kurangajar." Kata pendeta itu dengan suara berat.
Ujung jubahnya segera dikebut ke depan, deruan angin pukulan pun menyambar ke tubuh perempuan itu.
"Serangan yang hebat!" bentak Thiat Hui-keng sambil melepaskan satu pukulan menghajar iga kanan pendeta itu sementara kedua jari tangan kirinya mengancam sepasang matanya.
Tanpa bergeser setengah langkah pun, pendeta berjenggot itu membendung datangnya ke tiga jurus serangan itu.
"Ternyata kungfu pendeta biara Kimrsan-sie memang hebat." Bisik orang berbaju kuning itu sambil tersenyum.
Il "Tapi sikap serta tingkah lakunya kelewatan .
. . . . .. imbuh Tian Mong-pek. "0mintohud!" tiba tiba terdengar suara pujian berkumandang dari balik ruang kuil.
Disaat Thiat Hui-keng menghentikan serangannya, dari balik ruangan kuil telah berjalan keluar serombongan manusia.
Diantara rombongan, terlihat ada dua orang wanita, yang satu berwajah cantik dengan rambut disanggul dan mengenakan pakaian indah, sementara yang lain berdandan seperti seorang lelaki.
Hanya dalam sekilas pandang saja Tian Mong-pek sudah mengenali kedua orang itu, pikirnya terkesiap: "Ternyata dua orang tamu agung yang berada dalam ruang hongtiang tak lain adalah Siau Hui-uh dua bersaudara." Pemuda itu tak ingin bertemu mereka berdua, cepat dia melompat ke samping, berusaha menghindarkan diri.
Saat itulah, salah seorang wanita itu telah menjerit kaget: "Tian Mong-pek .
. . . . . . .." Lalu terdengar suara seorang pria berteriak keras: "Tian-heng! Mau ke mana kau?" orang berbaju kuning itu kelihatan agak tercengang, tapi ia segera mengebaskan ujung bajunya dan ikut melompat ke samping, dalam waktu sekejap bayangan tubuhnya telah lenyap dari pandangan.
Suasana pun jadi kacau, menggunakan kesempatan itu Hoa-san-sam-ing ikut ngeloyor pergi, mereka memang tak ingin bertemu Siau Hui-uh, sebaliknya Siau Hui-uh sendiripun sama sekali tak memperhatikan kehadiran ke tiga orang itu.
Didalam pandangannya sekarang hanya ada Tian Mong-pek seorang.
"Tian Mong-pek!" kembali dia berteriak sambil siap melakukan pengejaran, tapi tangannya segera ditarik Siau Man-hong.
"Aku akan mengajaknya pulang .
. . . . . .." teriak Siau Hui-uh.
"Mengajaknya pulang?" tukas Siau Man-hong sambil tertawa, "buat apa kau mengajaknya pulang" Coba lihat, semua orang sedang memperhatikan dirimu, masa kau tidak malu?" Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Siau Hui-uh mengurungkan niatnya, meski dihati kecil ia merasa gelisah, cemas bercampur marah.
Sementara itu hongtiang taysu yang ikut keluar dari ruang belakang terlihat mengawasi bayangan punggung yang makin menjauh dengan tatapan keheranan, tanyanya kemudian: "Siapakah orang itu?" Dibelakang hongtiang taysu masih terdapat serombongan tamu lain, salah satu diantaranya kembali berteriak: "Tian-heng! Ke mana kau?" Ketika mendengar pertanyaan itu, diapun menjawab: "Dialah Tian Mong-pek, putra Tian Hua-uh, pendekar kenamaan dari kota Hang-ciu." Sembari bicara, dia memandang sekejap dua bersaudara Siau dengan pandangan tercengang, dia heran, kenapa Tian Mong-pek bisa berhubungan dengan kedua orang perempuan itu.
"Oh, ternyata Lim sicu pun kenal dengan sicu muda itu," kata hongtiang taysu sambil tersenyum, "tapi lolap merasa heran dengan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang berbaju kuning itu." Rupanya orang itu tak lain adalah Kiu-lian-huan (sembilan berantai) Lim Luan-hong, kecuali dia, rombongan tamu agung lainnya merupakan jago-jago silat berilmu tinggi.
Terdengar Hongtiang taysu kembali berkata: "Lolap percaya, pengetahuan dari sicu sekalian sangat luas dan matang, pasti dapat melihat bahwa ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang berbaju kuning itu sangat menakutkan, hanya sayang gerakan tubuhnya kelewat cepat sehingga lolap tidak sempat melihat wajah aslinya." Oo0oo Dengan mengerahkan segenap tenaga yang dimiliki, Tian Mong-pek berlari meninggalkan kuil Kim-san-sie.
Entah berapa lama dia sudah berlarian ketika tiba-tiba terdengar seseorang menegur dari belakang: "Saudara cilik, kenapa kau melarikan diri setelah berjumpa dengan mereka?" Diam-diam Tian Mong-pek terperanjat, selama ini orang berbaju kuning itu selalu mengintil dibelakangnya, namun sampai detik terakhir pun ia tidak menyadari akan hal tersebut.
Setelah menghela napas panjang, sahutnya: "Aku tak ingin bertemu dengan mereka." "Kau tidak ingin bertemu siapa?" "Cianpwee, kau lihat dua orang perempuan diantara kelompok orang orang itu?" "Aku melihatnya." "Cianpwee pasti mengetahui asal usul kedua orang itu, mereka berdua adalah putri kesayangan kokcu lembah kaisar." "Kenapa kau enggan bertemu mereka" Lembah kaisar bukan tempat yang memalukan, apa salahnya bertemu mereka berdua?" Tian Mong-pek menghela napas panjang, sampai lama sekali dia tidak menjawab.
Melihat perasaan gusar dan mendongdol yang menghiasi wajahnya, kembali orang berbaju kuning itu berkata: "Apakah mereka menganiayamu" Menghinamu?" Tiba tiba Tian Mong-pek mendongakkan kepalanya, dengan penuh kebencian ia berkata: "Aku menyesal kenapa ilmu silatku cetek, kenapa keluargaku tertimpa musibah hingga aku harus bergelandangan dalam dunia persilatan dan dihina orang." "Bagaimana mereka menghinamu?" tanya orang berbaju kuning itu setelah termenung sejenak.
"Dari kedua orang kakak beradik itu, yang seorang memaksa aku mengikutinya pulang ke lembah, tapi yang lain mengejek, menghina dan mentertawakan aku, katanya aku tak pantas ikut kembali ke lembah." Kini, dia sudah menganggap orang berbaju kuning itu sebagai sahabat karib, hingga semua rahasia hatinya diutarakan.
Tiba tiba orang berbaju kuning itu tertawa geli, ujarnya: "Aku selama hidup berkelana ke seantero jagad, akupun tahu dimana letak lembah kaisar, kalau begitu ikutilah aku, mari kita berkunjung ke sana .
. . . . . .." "Tidak," tukas Tian Mong-pek sambil membusungkan dada, "sebelum berhasil melatih ilmu silat yang hebat, aku tak akan menjumpai orang-orang lembah kaisar.
Cianpwee, aku lebih suka orang lain memebenciku, melukaiku bahkan memenggal kepalaku, tapi tak sudi dipandang rendah, dipandang hina orang lain.
Aku tak sudi merendahkan diri dengan merengek ingin masuk ke lembah mereka." "Hahaha, bagus, bagus, punya semangat!" puji orang berbaju kuning itu sambil tertawa terbahak-bahak, "belajarlah dulu berapa jurus ilmu silat dariku, kemudian belajar pula ilmu pukulan dari martil langit si tosu tua itu, kujamin kau bisa bergaya ketika datang ke lembah kaisar dan menghajar mereka hingga pontang panting.
Hahaha, saat itu pasti akan membuat hatiku puas." Tergerak hati Tian Mong-pek.
"Memangnya cianpwee punya masalah dengan lembah kaisar?" tanyanya kemudian, "suatu hari kelak, tecu pasti akan membalaskan sakit hatimu itu." "Bagus! Bagus!" kata orang berbaju kuning itu tertawa keras, "sudah lama aku tak leluasa melihat kesombongan para budak dari lembah kaisar, hanya saja aku agak segan untuk turun tangan sendiri, kalau kau bersedia mewakiliku, tentu hal ini sangat bagus." Tampaknya dia merasa gembira sekali, setelah tertawa berulang kali, kembali katanya: "Setengah tahun kemudian aku akan mengajakmu mengunjungi lembah kaisar, sekarang, ayoh kita nikmati dulu keindahan alam bukit Kimrsan." Walaupun bukit Kim-san tidak terhitung luas, namun batu tebing curam dan menjulang tinggi ke angkasa, disana sini terlihat gua karang yang dalam, air selokan mengalir jernih, aneka bunga dan pepohonan hampir tumbuh disegala penjuru.
Pagoda Cu-hun-ta menjulang keatas menembusi awan, bangunan ini tampak kokoh mempersona.
Dengan langkah santai orang berbaju kuning itu mengajak Tian Mong-pek mengitari pagoda Cu-hun-ta menuju ke tebing yang lebih tinggi, dipuncak tebing terdapat sebuah bangunan pavilion, pavilion Liu-hun-teng.
Mereka mendaki ke bukit, menembusi hembusan angin dan kabut tipis, suasana yang sejuk membuat perasaan mereka berdua jadi lega.
Mendadak terdengar orang berbaju kuning itu berbisik: "Dalam pavilion terdapat orang!" Baru selesai dia berbisik, terlihat dari balik pavilion berkelebat keluar dua sosok bayangan manusia, gerak tubuh mereka lincah, cepat dan cekatan.
"Siapa?" hardik Tian Mong-pek, baru saja dia hendak mengejar, orang berbaju kuning itu telah menarik tangannya.
"Gerak gerik orang itu mencurigakan, pasti bukan manusia baik baik, kenapa tidak kita periksa?" tanya Tian Mong-pek.
orang berbaju kuning itu tersenyum, sahutnya: "Dipuncak bukit yang terpencil seperti ini, tak sedikit terdapat orang aneh, apa yang akan kau periksa?" Baru bicara sampai disitu, tiba tiba ia kembali berseru tertahan.
Mengikuti arah yang dipandang rekannya, Tian Mong-pek ikut berpaling, ternyata dalam pavilion itu duduk bersila seseorang, tubuhnya tegap sama sekali tak bergerak.
Hembusan angin kencang mengibarkan jenggot panjang serta jubahnya, ketika diamati lebih seksama, segera dikenali kalau orang itu tak lain adalah pendeta beralis abu-abu yang menghantar Chin Siu-ang turun gunung tadi.
"Taysul" sapa orang berbaju kuning itu, "persoalan apa yang mengganjal hatimu hingga kau duduk seorang diri disini?" Pendeta itu tidak bergerak, dia seolah tidak mendengar pertanyaan itu.
II "Kurangajar, umpat Tian Mong-pek gusar, "buat apa kita mengajak bicara manusia semacam ini .
. . . . . .." Tiba tiba ia saksikan tatapan mata orang berbaju kuning itu menunjukkan perubahan aneh, selangkah demi selangkah dia mendekati pendeta itu.
Tian Mong-pek menyusul dibelakangnya, tapi cepat ia menjerit kaget: "Panah kekasih!" Ternyata pendeta yang duduk bersila itu meski tiada luka ditubuh, namun nyawanya sudah melayang karena persis diatas dadanya tertancap sepasang panah, sebatang panah merah dan sebatang panah hitam, panah kekasih! Raut mukanya sama sekali tak berubah, namun sepasang matanya melotot besar, sinar matanya melukiskan perasaan ngeri dan seram yang luar biasa menjelang ajalnya, seolah dia baru menyadari akan datangnya bahaya sedetik menjelang saat ajalnya tiba.
Ditengah hembusan angin gunung, Tian Mong-pek merasakan tubuhnya gemetar.
Sesudah menghantar tamunya, mengapa pendeta itu datang ke tempat ini" Kalau dilihat dari kehadirannya yang terburu-buru, kemungkinan besar ia sudah ada janji dengan seseorang dan orang itu membawa Panah kekasih, hingga sewaktu pembicaraan buntu, serangan mematikan pun segera dilakukan.
Dalam pikiran sekilas, orang berbaju kuning itu menyimpulkan, kemungkinan besar begitulah peristiwa itu berlangsung.
Tapi siapakah orang yang membuat janji dengannya" Apa pula yang mereka bicarakan" Karena tak habis berpikir, diam-diam orang berbaju kuning itu menghela napas, dia mencoba untuk periksa seputar sana, tapi kecuali kedua batang panah kekasih, tidak ditemukan pertanda lain dalam pavilion itu.
Tian Mong-pek tertegun pula berapa saat, mendadak sambil membentak dia melompat keluar dari pavilion.
"Mau apa kau?" cepat orang berbaju kuning itu menghadang jalan perginya.
"Dua orang yang melesat keluar tadi pastilah pemilik panah kekasih, aku punya dendam sedalam samudra dengannya, biar harus naik ke langit atau masuk ke bumi pun, aku tetap akan mencari dan menemukan mereka." orang berbaju kuning itu menghela napas panjang, ujarnya: "Kehebatan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua orang ini boleh dibilang sudah mencapai puncak kesempurnaan, aku sendiripun tak sanggup mengejar mereka, apalagi dirimu?" "Aai, lagi-lagi terlambat selangkah." Teriak Tian Mong-pek sambil menghentakkan kakinya dengan gemas.
Pada saat itulah terdengar suara genta dibunyikan bertalu talu.
Suara genta yang nyaring berkumandang dari dalam kuil Kimrsan-sie dan menembusi angkasa.
Kembali orang berbaju kuning itu berkata dengan suara dalam: "Biara ini pasti sudah mengalami peristiwa besar, kita tak perlu banyak urusan disini, asal kau yakin dengan kemampuan sendiri, kenapa harus risau tak dapat menemukan jejak musuh musuhmu?" Sambil bicara, dia menarik tangan Tian Mong-pek dan bergerak menuruni bukit.
Ditengah dentingan suara genta yang bertalu-talu, terlihat mercon api diluncurkan dan meledak di angkasa biara Cu-hun-ta.
Menyusul kemudian tampak empat sosok bayangan manusia, bagaikan burung elang yang menukik, meluncur turun dari pagoda lantai ke tiga.




Ke empat orang itu bergerak cepat, diantara suara ujung baju yang tersampok angin, mereka meluncur ke arah Tian Mong-pek berdua dengan kecepatan tinggi, rupanya mereka adalah pendeta dari biara Kimrsan-sie.
Seketika anak muda itu menghentikan langkahnya, dalam waktu singkat ke empat pendeta itu sudah mengepung mereka berdua dari empat penjuru.
Ke empat orang itu bergerak cepat, diantara suara ujung baju yang tersampok angin, mereka meluncur ke arah Tian Mong-pek berdua dengan kecepatan tinggi, rupanya mereka adalah pendeta dari biara Kimrsan-sie.
Seketika anak muda itu menghentikan langkahnya, dalam waktu singkat ke empat pendeta itu sudah mengepung mereka berdua dari empat penjuru.
"Ada urusan apa taysu?" tegur orang berbaju kuning itu dengan suara dalam.
Paras muka ke empat orang pendeta itu amat serius, selapis napsu membunuh menyelimuti wajah mereka, mereka hanya mengawasi kedua orang itu tanpa bicara.
Sementara itu suara genta berbunyi makin kencang dan keras.
Dengan kening berkerut Tian Mong-pek segera menegur: "Kami hanya pelancong yang berpesiar kemari, pertama tidak mengusik biara kalian, kedua, kamipun berlaku sopan terhadap Buddha, mengapa taysu sekalian menghalangi jalan pergi kami berdua?" Salah seorang pendeta yang bertubuh tinggi besar segera tertawa dingin, sahutnya ketus: "Kalau memang begitu, silahkan kalian ikuti pinceng untuk kembali ke biara." "Kenapa harus balik ke biara?" teriak Tian Mong-pek makin gusar.
"Hmm, tidak maupun tetap harus pergi." Dengan penuh amarah Tian Mong-pek membentak keras, satu pukulan langsung dilontarkan ke dada pendeta itu.
Melihat itu, sambil tertawa nyaring kata orang berbaju kuning itu: "Aku memang sedang risau karena kau tak punya lawan tanding dalam berlatih silat, kebetulan sekali bila ke empat orang itu bersedia menemanimu berlatih." Ditengah gelak tertawa nyaring, tiba tiba tubuhnya melayang naik dan melayang ke lantai satu pagoda itu.
Sebetulnya ke empat orang pendeta itu hendak memisahkan diri dengan dua orang mengejar orang berbaju kuning itu, siapa sangka Tian Mong-pek secara beruntun melancarkan empat pukulan yang memaksa ke empat orang pendeta itu tak sanggup memisahkan diri.
Pendeta bertubuh tinggi besar itu memiliki kekuatan tubuh yang luar biasa, ketika melihat datangnya pukulan dari Tian Mong-pek, dia tidak berkelit atau menghindar, satu pukulan balas dilontarkan untuk menyongsong datangnya ancaman.
"Blaaam!" ketika sepasang tangan saling beradu, pendeta tinggi besar itu merasakan pergelangan tangannya kesemutan, tubuhnya bergetar keras, tak kuasa lagi dia mundur berulang kali dan "Bruukk!" jatuh terduduk ke lantai.
Begitu berhasil dengan serangannya, Tian Mong-pek sama sekali tidak memandang lagi kearah korbannya, dia putar badan, se pasang kepalannya dihantamkan bersama, kaki kanan ikut pula menendang pergelangan tangan lawannya yang lain.
Tentu saja ke tiga orang pendeta itu tak berani beradu kekerasan dengannya, cepat mereka berkelit ke samping menghindari datangnya ancaman.
Siapa sangka Tian Mong-pek tidak berhenti sampai disitu, badannya berputar, serangan yang seharusnya ditujukan ke tangan orang yang disebelah kiri, tahu-tahu dihantamkan ke bahu pendeta disebelah kanan.
Mana mungkin pendeta itu mampu menahan pukulan tersebut" Sambil menjerit kesakitan, tubuhnya roboh terjungkal ke tanah.
"Bagus, bagus," puji orang berbaju kuning itu sambil tertawa, "gerak pukulanmu nyaris sama persis seperti gerak pukulan si tua bangka Lan, hanya sayang kepalan kirimu tidak disertakan, coba kalau tidak, kedua orang itu pasti ikut terjungkal!" Sementara pembicaraan masih berlangsung, pendeta tinggi besar itu lagi-lagi menerkam maju, sedangkan pendeta yang roboh terjungkal tadi segera kabur turun gunung.
Perlu diketahui, dalam serangannya Tian Mong-pek tidak sertakan tenaga mematikan, karena itu walaupun terkena pukulan namun tak sampai membuat korbannya terluka parah.
Tak lama kemudian muncul lagi puluhan sosok bayangan manusia dari balik remang-remangnya kegelapan malam, mereka bergerak cepat, langsung menerjang ke arah Tian Mong-pek.
Dari rombongan itu, terlihat seorang diantaranya bergerak amat cepat, hanya dalam berapa kali lompatan ia sudah mendekat.
Ternyata orang itu tidak lain adalah pendeta berjenggot panjang tadi.
Waktu itu, sesungguhnya ke tiga orang pendeta itu sudah dibuat pontang panting oleh serangan Tian Mong-pek, serentak mereka lancarkan pukulan berantai lalu mundur dari arena.
Tian Mong-pek hanya tertawa dingin, ia tidak melakukan pengejaran.
Begitu tahu siapa yang berada dihadapannya, dengan paras berubah seru pendeta berjenggot panjang itu: "Ternyata kau." "Kalau aku lantas kenapa?" Tian Mong-pek balik bertanya.
"Aku mengenali dirimu!" kata sang pendeta sambil tertawa dingin.
"Kalau kenal lantas kenapa?" "Hahaha, jawaban yang tepat! Jawaban yang tepat!" sambung orang berbaju kuning itu sambil tertawa keras.
Berubah paras muka pendeta berjenggot panjang itu.
"Apa yang kau tertawakan?" hardiknya, "jangan harap kalian berdua dapat meninggalkan bukit ini dalam keadaan hidup!" Sementara pembicaraan masih berlangsung, puluhan orang pendeta berjubah abu-abu itu telah berdatangan, serentak mereka mengurung disekeliling arena, semua orang bersiaga dengan wajah diliputi hawa pembunuhan yang tebal.
Kawanan pendeta yang seharusnya berwajah penuh welas kasih, kini telah berubah jadi bengis dan buas bagaikan malaikat jibril, sikap maupun mimik muka menunjukkan seolah mereka mempunyai dendam sedalam lautan dengan Tian Mong-pek, bukan hanya dendam, sinar mata pun nyaris menyemburkan cahaya api.
Melihat itu Tian Mong-pek tertawa keras, katanya: "Antara aku dengan kalian para hwesio tak ada dendam.maupun sakit hati.
Tapi sekarang kalian justru ingin membunuhku, memang begitukah sikap yang benar dari murid kaum Buddha?" "Tak ada dendam sakit hati" Hm!" dengus pendeta berjenggot panjang itu, "kalau memang tak ada sakit hati, kenapa kau tidak berani datang ke biara kami, kenapa kau menghajar anak buah kami?" Tian Mong-pek tertawa dingin.
"Siapa bilang aku tak berani memasuki biara kalian?" jengeknya, "masuk ke sarang naga gua harimau pun tidak takut, apalagi hanya biara Kimrsan-sie yang kecil." "Kalau memang begitu, silahkan saja ikut kami." "Ayoh jalan." Pemuda ini memang tak tahan kalau dipanasi hatinya, langsung saja dengan busungkan dada dia berjalan maju.
Tiba tiba terdengar orang berbaju kuning itu tertawa tergelak sambil berseru: "Saudara cilik, hwesio itu takut dengan ilmu silatmu, diapun kuatir kau melarikan diri, karena itu sengaja menipu kau untuk masuk ke dalam biara, kemudian baru meringkusmu .
. . . . .." "Turun." Bentak pendeta berjenggot panjang itu gusar.
Tubuhnya bagaikan sebatang pit, langsung meluncur ke tengah udara sambil melepaskan satu pukulan.
Siapa tahu baru saja pukulan itu dilancarkan, orang b erbaju kuning itu lagi-lagi meluncur ke atas, kali ini dia hinggap di lantai dua pagoda.
"Hahaha, memangnya kau bisa paksa lohu untuk turun?" ejeknya sambil tertawa keras.
Ditengah bentakan gusar, pendeta berjenggot panjang itu menutulkan ujung kakinya dan meluncur kembali ke tengah udara.
Gerakan tubuhnya cepat, perubahan jurusnya lincah, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pun tangguh, dengan jurus Li-hay-tam-cu (laut hitam mencari mutiara) dia hantam bahu lawan.
Orang berbaju kuning itu tertawa tiada hentinya, kembali dia melompat naik ke lantai tiga.
Terkejut bercampur gusar, dalam waktu singkat pendeta itu melancarkan tiga jurus serangan secara beruntun, tapi hasilnya, jangan lagi merobohkan lawan, meraba ujung baju musuhpun tak sanggup.
Kawanan pendeta yang berada dibawah pagoda beramai-ramai melongok keatas, tampak tubuh orang berbaju kuning itu sudah naik hingga ke lantai ke enam bangunan itu, dimana ujung kakinya menjejak, badannya langsung melambung.
Gerak geriknya tak berbeda seperti dewa yang sedang terbang dibalik awan, membuat para pendeta itu terkejut bercampur kagum, tak seorang pun berani bersuara.
Secara beruntun pendeta berjenggot panjang itu menyusul hingga ke lantai lima, saat itu tenaga dalamnya sudah hampir terkuras, ia merasa suasana begitu sepi, ketika melongok ke bawah, tampak berapa puluh pasang mata sedang mengawasinya tanpa berkedip.
Tentu saja pendeta itu tak mau kehilangan muka dihadapan murid muridnya, sambil menghimpun tenaga dalam, sekali lagi dia melompat naik keatas lantai pagoda.
Kali ini dia telah mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki untuk bertaruh, tubuhnya bagaikan mercon yang menembusi angkasa, melewati orang berbaju kuning itu dan meluncur ke lantai tingkat tujuh.
Menyaksikan gerakan tubuhnya yang indah sontak para muridnya bersorak sorai memuji.
Berada ditengah udara teriak pendeta berjenggot panjang itu sambil tertawa keras: "Kau hendak naik atau turun?" ll "Hahaha, kau saja yang turun.
jawab orang berbaju kuning itu.
Sembari berkata tubuhnya kembali melambung, kali ini dia melewati tubuh pendeta berjenggot panjang itu hingga terlampau dua kaki, dari situ dia baru meluncur ke bawah.
Siapa sangka baru saja tubuhnya meluncur ke bawah, mendadak terdengar pendeta berjenggot panjang itu menjerit kaget lalu menyusup masuk ke dalam pagoda, dia seakan telah menemukan sesuatu kejadian yang mengagetkan dalam gedung itu.
Tergerak hatinya, orang berbaju kuning itu ikut menyusup pula ke dalam pagoda.
Selain pendeta berjenggot panjang itu, ternyata didalam pagoda terdapat pula tiga orang wanita, mereka tak lain adalah Hoa-san-sam-ing, tiga kepodang dari Hoa-san.
Setelah tertegun sesaat, bentak pendeta berjenggot panjang itu: "Kenapa kalian bersembunyi disini?" Tiga kepodang dari Hoa-san sendiri meski ikut terperanjat, namun paras muka mereka sama sekali tak berubah.
Setelah tertawa dingin sahut si kepodang baja Thiat Hui-keng: "Setiap orang boleh mendatangi pagoda Cu-hun-ta, kenapa kami tiga bersaudara tak boleh kemari" Aneh sekali." Pendeta berjenggot panjang itu mendengus, katanya: "Pinceng memang sedang keheranan, kenapa kalian bertiga akan pergi dari sini sebelum melihat tambur tembaga dan sabuk kumala itu...." Sesudah menatap sekejap ke tiga orang itu, terusnya: "Ternyata kalian bertiga telah mencuri tambur serta sabuk kumala itu, bagus juga cara kalian itu." "Apa kau bilang?" berubah paras muka Thiat Hui-keng.
"Hmm, nona sendiri yang berkata begitu, masa belum lewat sehari, kau sudah menyangkal?" ucap pendeta itu dengan wajah berubah aneh.
"Bagus, rupanya murid Buddha pun pandai menfitnah orang, akan kulihat apa dasar dari perkataanmu itu, akan kulihat siapa yang telah mencuri tambur serta sabuk kumala itu." "Pinceng memang ingin kalian balik ke biara untuk menyelesaikan persoalan ini." "Kalau begitu ayoh jalan." Teriak Thiat Hui-keng lantang.
Dalam pada itu para pendeta yang berada dibawah pagoda mulai heboh dan saling berbisik.
Sementara orang berbaju kuning itu ikut berpikir: "Tidak heran kalau kawanan pendeta itu kelihatan marah sekali, ternyata pusaka mereka telah dicuri orang, tampaknya akupun harus ikut mereka untuk menjelaskan persoalan ini." Berpikir begitu, segera serunya: "Akupun akan ikut kalian untuk kembali ke biara!!" Tubuhnya segera meluncur turun dari tingkat tujuh pagoda itu, langsung menuju ke permukaan tanah, gerak tubuhnya tidak menimbulkan suara apapun, betul betul ibarat seekor naga yang sedang melayang.
Pendeta berjenggot panjang serta Hoa-san-samring ikut meluncur ke bawah, meski ke tiga kepodang itu tersohor karena ilmu meringankan tubuhnya, namun mereka tak berani melompat turun dalam sekali loncatan.
Tian Mong-pek merasa tercengang juga ketika melihat kemunculan ke tiga kepodang dari gunung Hoa-san itu, namun dia pun tidak banyak bicara, mengikuti dibelakang kawanan pendeta itu, kembali menuju biara.
Dalam pada itu suasana dalam biara Kim-san-sie terlihat serius dan menyeramkan, tiga ratusan pendeta dengan pakaian diketatkan dan menghunus senjata, berjaga jaga disekeliling bangunan itu, sikap mereka begitu serius seakan sedang menghadapi serbuan musuh tangguh.
Dalam aula Tay-hiong-po-tian pun sudah tak nampak jejak peziarah, lilin dan lentera minyak disulut menerangi empat penjuru.
Dengan wajah menyeramkan ujar pendeta berjenggot panjang itu kemudian: "Kalian datang sebagai peziarah, sebetulnya kami harus menghormati, tapi kini, pinceng tak bisa memandang kalian sebagai peziarah lagi." "Hmm, ingin kudengar, sekarang, kau menganggap kami sebagai apa?" seru Thiat Hui-keng gusar.
Pendeta itu tertawa dingin, sebelum menjawab, orang berbaju kuning itu sudah berkata lebih dulu: "Urusan telah berkembang jadi begini rupa, lebih baik undang hongtiang kalian untuk berbicara." "Kau masih ingin bertemu ciangbun hongtiang kami?" bentak pendeta itu dengan wajah berubah.
"Hmm, jika kau mencari menangnya sendiri, lebih baik lohu pergi dari sini." "Ingin pergi" Hahaha, jangan harap kau bisa tinggalkan tempat ini .
. . . . .." seru pendeta itu sambil mendongakkan kepala dan tertawa seram.
"Tutup mulutmu!" bentak orang berbaju kuning itu geram.
Dibalik suara bentakan, terselip kewibawaan yang luar biasa, dari perubahan mimik muka pun, semua orang sudah dibikin tercekat, tentu saja pendeta itu tak berani bicara lebih jauh.
Bab 16. kemelut yang membingungkan.
"Bagus!" kembali orang berbaju kuning itu berkata, "tidak bertemu ciangbun hongtiang kalianpun, lohu tak akan pergi dari sini." Paras muka pendeta itu berubah jadi hijau membesi, sesudah tertegun sesaat, teriaknya: "Ikuti aku." Ia membalikkan badan dan beranjak lebih dulu.
Sepanjang perjalanan terlihat cahaya golok berkilauan, entah ada berapa banyak pendeta berjubah abu-abu yang berdiri disepanjang jalan dengan senjata terhunus.
"Apa-apaan ini" Jebakan dibalik pesta?" ejek Thiat Hui-keng sambil tertawa dingin.
Pendeta itu tidak menanggapi, dia tetap melanjutkan perjalanan dengan langkah lebar.
Setelah melewati serambi yang berliku-liku, sampailah mereka didepan sebuah halaman yang hening.
Aneka bunga dan pepohonan tumbuh dibalik sebuah kebun kecil, gemercik air dari gunung-gunungan tak dapat menghapus suasana penuh hawa pembunuham yang mencekam tempat itu.
Enam orang pendeta dengan golok terhunus, berdiri berjajar didepan sebuah ruangan.
Pendeta itu menghentikan langkahnya didepan ruangan itu, tiba tiba ia membalikkan badan lalu dengan wajah sedih bercampur gusar katanya: "Inilah kamar tidur hongtiang kami." II "Tenang benar suasana disini.
Kata Thiat Hui-keng sambil mencoba melangkah masuk.
Tiba tiba terlihat cahaya golok berkelebat lewat, enam bilah golok besar telah menghadang didepan pintu.
"Apa-apaan kalian?" tegur Thiat Hui-keng dengan wajah berubah, II "memangnya .
. . . . . . . .. "Silahkan baca tulisan ini." Ujar pendeta itu sambil menunjuk kearah sebuah papan nama yang tergantung didepan pintu.
Diatas papan nama itu tertuliskan: "Silahkan melaporkan nama sebelum memasuki ruang hongtiang." "Besar amat lagaknya." Teriak Thiat Hui-keng sambil terttawa dingin.
"Masih untung kita bukan orang yang tak punya nama." Sambung Sik Ling-un.
"Ouyang Miau menjumpai hongtiang." Lanjut kepodang perak sambil memberi hormat.
Cahaya golok segera buyar, dipimpin Ouyang Miau, dua saudara lainnya yang telah menyebut nama secara beruntun memasuki ru ang tidur sang ketua.
Sorot mata pendeta itu kini dialihkan ke wajah orang berbaju kuning itu, katanya dengan suara dalam: "Dari kepandaian silatmu yang hebat, bisa diduga kau bukan manusia tak bernama bukan." "Hahaha, aku tak akan menyebut namaku." Ucap orang berbaju kuning itu sambil tertawa nyaring.
Cahaya golok kembali berkelebat lewat, menghadang jalan masuk ke ruangan.
"Hahaha, hanya mengandalkan ke enam bilah golok inipun, kalian ingin menghalangi lohu?" dengus orang berbaju kuning itu sambil tertawa keras.
Sekalipun sedang tertawa, mimik mukanya tetap kaku tanpa perubahan, bibir pun tiada senyuman sedikitpun.
Tercekat perasaan hati ke enam orang pendeta itu, nyaris mereka tak sanggup menggenggam goloknya.
Agaknya pendeta berjenggot itu sudah menduga kalau orang ini mempunyai asal usul yang luar biasa, wajahnya segera berubah serius, serunya: "Kalau tak mau menyebut nama, silahkan menunggu diluar saja." Pada saat itulah dari ruang tidur hongtiang terdengar suara jeritan kaget Hoa-san-sam-ing.
Tian Mong-pek terperanjat, belum sempat ia berbuat sesuatu, terdengar orang berbaju kuning itu telah berseru sambil tertawa nyaring: "Biarlah lohu melanggar kebiasaan ini." Tiba tiba ujung bajunya dikebas, kawanan pendeta itu seketika merasakan pandangan matanya jadi kabur .
. . . .. Menyusul kemudian terdengar suara gemerincingan nyaring, ke enam bilah golok itu sudah rontok ke tanah.
Menanti pendeta berjenggot panjang itu berpaling, bayangan tubuh manusia berbaju kuning itu sudah lenyap dari pandangan.
Padahal selama ini dia mengawasi terus gerak gerik orang itu tanpa berkedip, namun hingga detik terakhir sama sekali tidak melihat bagaimana cara orang berbaju kuning itu masuk ke dalam ruangan, kenyataan ini membuatnya amat terperanjat.
Tian Mong-pek tertegun sejenak, kemudian serunya: "Tian Mong-pek!" Dengan melewati samping pendeta yang masih termangu itu, dia menerobos masuk ke dalam ruangan.
Terlihat Hoa-san-sam-ing masih berdiri kaku disamping pintu dengan wajah kaget, sedangkan orang berbaju kuning itu meski wajahnya tidak berubah, namun sorot matanya berubah jadi aneh.
Asap dupa tipis masih menyelimuti seluruh ruangan.
Diatas dipan duduk bersila seorang pendeta berjenggot putih, matanya terpejam seperti sedang samadi, namun diatas dadanya tertancap dua batang anak panah berwarna merah dan hitam.
"Panah kekasih!" Dengan badan gemetar Tian Mong-pek mundur sampai tiga langkah, sementara si pendeta berjenggot panjang telah menyusul masuk ke dalam ruangan.
Tanpa berpaling gumam orang berbaju kuning itu: "Panah kekasih, lagi-lagi panah kekasih!" "Sudah kau lihat dengan jelas?" kata pendeta itu sambil tertawa dingin, II "begitu terkena panah kekasih, hongtiang taysu seketika tewas....
"Begitu menyerang langsung kena sasaran, begitu kena sasaran langsung mati, panah kekasih memang luar biasa hebatnya hingga sang korban pun tak mampu menyebut nama pembunuhnya." "Tak perlu disebut, aku pun dapat menebak siapakah orang itu." Tukas pendeta itu.
"Siapa?" "Kau!" "Aku" Darimana kau bisa menuduhku?" Pendeta itu tertawa dingin.
"Kau mengenakan topeng kulit manusia, sepak terjangmu mencurigakan, kedatanganmu jelas bukan untuk berpesiar, kalau bukan kau yang lakukan rencana busuk ini, lantas siapa pula orang itu?" "Ada lagi yang lain?" dengus orang berbaju kuning itu sambil tertawa dingin.
"Ilmu silatmu tinggi, asal usulmu misterius, belum pernah kudengar ada manusia misterius yang memiliki ilmu meringankan tubuh sehebat dirimu .
. . . . . .." "Ehmm, memang tidak ada." Orang berbaju kuning itu mengangguk.
Dengan wajah makin menyeramkan, sepatah demi sepatah kata ujar pendeta itu: "Berdasarkan semua alasan dan gejala yang ditemukan, aku dapat menyimpulkan satu hal." "Coba katakan." "Kaulah pemilik panah kekasih itu." Teriak pendeta itu penuh emosi.
Ucapan tersebut seketika membuat semua orang merasa terperanjat.
Hoa-san-sam-ing tampak bingung bercampur bimbang, tampaknya mereka pun sudah percaya tujuh puluh persen.
Orang berbaju kuning itu segera berpaling ke arah Tian Mong-pek, katanya sambil tersenyum: "Sudah kau dengar semua perkataannya" Lantas apa pertimbangan serta kesimpulanmu?" "Berlagak sok pinter." Jawab Tian Mong-pek singkat.
"Wah, kesimpulanmu itu tepat sekali." "Peduli kau mau mengakui atau tidak, aku sudah yakin akan pandanganku II itu.
Tukas pendeta berjenggot itu tegas.
"Kalau sudah yakin lantas kenapa?" Pendeta itu tertegun, belum sempat menjawab, orang berbaju kuning itu kembali berkata: "Kau sangka biara Kim-san-sie ibarat sarang naga gua harimau?" Pendeta berjenggot panjang itu tidak bicara, tapi sepasang kepalannya sudah digenggam kencang, segenap tenaga dalam yang dimiliki telah disalurkan ke tangannya itu.
Kembali orang berbaju kuning itu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, tempat yang kau pandang sebagai sarang naga gua harimau, justru merupakan tempat yang biasa bagi diriku, lihat saja, aku akan pergi dan datang sekehendak hati." Ditengah gelak tertawa, dia tarik tangan Tian Mong-pek sambil berseru: "Ayoh kita pergi." Pendeta itu membentak nyaring, dengan jurus Po-hu-kay-san (mengayun kapak membelah bukit) dia lancarkan satu serangan dahsyat.
Siapa sangka baru saja serangannya dilancarkan, tahu-tahu dia sudah kehilangan jejak orang berbaju kuning serta Tian Mong-pek, terdengar suara desingan dari arah belakang, kedua orang itu sudah menerobos keluar lewat pintu ruangan.
"Kalian bertiga jangan pergi dulu, pinceng akan mengejar musuh." Bentak pendeta itu.
I "Kami punya nama marga punya julukan,' sahut Thiat Hui-keng, "sebelum urusan jadi jelas, kami tak sudi menjadi kambing hitam, jangan lagi kabur dari sini, minta kami pergi pun jangan harap." Belum selesai perkataan itu, pendeta itu sudah menyelinap keluar dari ruangan.
Tampak dia mengayunkan tangannya melepaskan mercon api ke udara, para pendeta yang sebelumnya memenuhi halaman pun seketika jadi gempar.
Tian Mong-pek yang digenggam tangannya merasa ada segulung hawa murni mengalir masuk lewat lengannya, seketika dia merasa badannya lebih enteng, gerakan tubuh pun lebih ringan dan cepat.
Ia saksikan bayangan manusia mulai berkelebat dari empat penjuru, diantara kilauan cahaya golok, suara bentakan bergema silih berganti.
Orang berbaju kuning itu bergerak cepat, dalam waktu singkat dia sudah berada puluhan tombak dari tempat semula.
Baru saja melewati sebuah wuwungan rumah, mendadak terlihat puluhan orang pendeta berjubah abu-abu dengan golok terhunus menghadang jalan pergi mereka.
Pada saat yang bersamaan, dari balik semak terdengar pula suara desingan angin tajam, rupanya ada puluhan batang anak panah telah dibidikkan kearah mereka berdua.
Orang berbaju kuning itu tertawa dingin, tiba tiba ia lepaskan sebuah angkin panjang dari pinggangnya, kemudian ia kebaskan angkin itu ke tengah udara.
"Praaakl" puluhan batang anak panah itu seakan-akan terhisap oleh semacam besi semberani, tahu-tahu sudah terhisap dan lenyap dibalik gulungan angkin itu.
Begitu menggetarkan tangannya, angkin itu menggulung dan semua anak panah yang diarahkan ke tubuhnya pun ikut terbelenggu.
Tak terlukiskan rasa kaget kawanan pendeta itu, untuk berapa saat mereka hanya bisa berdiri tertegun.
"Pergi!" bentak orang berbaju kuning itu.
Tali angkin digetarkan, anak panah yang terbelenggu pun segera melesat ke udara dan balik menyerang kawanan pendeta itu.
Desingan angin tajam menembus angkasa, ternyata kekuatan yang ditimbulkan jauh lebih dahsyat daripada panah yang dibidik dengan busur berpegas.
Dalam kagetnya kawanan pendeta itu menggelinding ke balik wuwungan, diantara desingan angin tajam, orang berbaju kuning itu bersama Tian Mong-pek telah meluncur meninggalkan tempat itu.
Semua peristiwa itu berlangsung dalam waktu singkat, menanti para pemanah menyiapkan kembali anak panahnya, bayangan tubuh orang berbaju kuning itu sudah lenyap tak berbekas.
Ditengah kegelapan yang mencekam jagad, tidak terlihat bayangan apapun disekitar sana.
Pendeta berjenggot panjang itu berdiri mematung, ia sadar, biar punya sayap pun jangan harap bisa mengejar musuhnya, meski gelisah bercampur panik, untuk sesaat diapun tak tahu harus berbuat apa.
Sementara itu sebagian besar pendeta biara Kim-san-sie telah menyusul ke tempat kejadian, terdengar mereka bertanya dengan panik: "Mana musuhnya" Sudah kabur?" Dengan jengkel pendeta berjenggot panjang itu menghentakkan kakinya, lalu teriaknya gusar: "Siapa suruh kalian menyusul kemari" Siapa yang menjaga ruang Hongtiang?" Kawanan pendeta itu saling berpandangan, untuk sesaat mereka tak sanggup berbicara.
Kembali pendeta itu berteriak gusar: "Kalau sampai &ba-san-sam-jng'menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri, bagaimana mungkin lolap bisa memberikan pertanggungan jawab kepada ji-suheng dan su-sute?" Setelah tertegun berapa saat, serentak kawanan pendeta itu berlarian menuju ke ruang Hongtiang.
"Kembali!" bentak pendeta berjenggot itu.
Dengan hati bergetar kembali kawanan pendeta itu menghentikan langkahnya.
"Bukankah kalian mempunyai tempat tugas masing-masing" Kenapa meninggalkan tempat tugas?" kembali pendeta itu membentak, "apapun yang terjadi dalam biara, kalian tidak seharusnya meninggalk an tempat masing- masing, mengerti?" Serentak semua pendeta mengiakan.
Dengan berapa kali lompatan, pendeta itu kembali ke dalam ruang ketua.
Tampak suasana disekeliling ruangan hening, walaupun kawanan pendeta yang mengepung halaman luar telah ditarik, enam orang pendeta dengan golok terhunus masih berdiri tegak didepan pintu kamar.
"Apakah terjadi sesuatu ditempat ini?" tegur pendeta berjenggot itu sambil berjalan mendekat.
Ke enam orang pendeta itu tetap berdiri kaku, berdiri seperti orang bodoh, tak seorangpun menjawab.
"Kalian semua sudah tuli?" hardik pendeta berjenggot itu gusar, "kenapa .
. . . . .." Ucapannya seketika terhenti, ia jumpai ke enam orang pendeta itu meski memegang golok terhunus namun wajah mereka tertegun seperti orang bloon, jangan lagi bergerak, matapun tidak berkedip, sudah jelas jalan darahnya telah tertotok.
Baru saja mereka mengayunkan goloknya, jalan darah sudah keburu tertotok, dari sini bisa disimpulkan kalau gerakan tubuh orang itu amat cepat, kehebatan ilmu silatnya pun luar biasa.
"Aduh celaka!" pekik pendeta berjenggot itu dengan wajah berubah, "jangan jangan Hoa-san-sam-ing sudah pergi pula?" Buru-buru dia melangkah masuk ke dalam ruangan.
Tiba-tiba terdengar seseorang menyapa sambil tertawa ringan: "Taysu, baru sekarang tiba disini" Cayhe sudah menunggu semenjak tadi." Pendeta berjenggot itu merasa jantungnya berdebar keras, ternyata didalam ruangan itu selain Hoa-san-sam-ing, terlihat pula seorang manusia berbaju kuning dan seorang pemuda berdiri berjajar.
Dia nyaris tidak percaya dengan pandangan mata sendiri, bagaimana mungkin kedua orang itu bisa muncul dalam ruangan tanpa diketahui olehnya" Sambil tertawa dingin ejek Thiat Hui-keng: "Wah, sarang naga gua harimau yang luar biasa, sedemikian angkernya hingga orang lain bisa masuk keluar sekehendak hati." Pendeta berjenggot itu berdiri kaku, wajahnya pucat kehijauan, rasa malu, kaget, tercengang bercampur aduk jadi satu.
Terdengar orang berbaju kuning itu berkata kembali: "Tahukah kau, mengapa aku balik lagi setelah pergi tadi?" Pendeta berjenggot itu hanya bisa berdiri dengan muka membesi, tak sepatah katapun sanggup dikatakan.
Orang berbaju kuning itu berkata lagi: "Didalam menghadapi setiap permasalahan, jangan kau duga berdasarkan emosi, coba bayangkan sendiri, seandainya aku adalah pembunuhnya, selesai membantai, aku pasti sudah menghilang dari tempat ini, masa harus menunggu sampai kau tangkap" Terlebih tak mungkin balik lagi bukan setelah berhasil melarikan diri?" Pendeta itu tidak menjawab, pun tidak bergerak.
Sesudah tertawa dingin, lanjut orang berbaju kuning itu: "Apalagi dengan andalkan ilmu silat yang kumiliki, segampang membalikkan telapak tangan bila ingin membunuh seseorang, buat apa harus gunakan senjata rahasia beracun?" Perlahan-lahan pendeta itu menundukkan kepala, perasaan malu semakin menghiasi wajahnya.
Setelah menghela napas, kata orang berbaju kuning itu lagi: "Selama ini, biara Kim-san-sie tak pernah menyandang nama busuk, setelah menyaksikan peristiwa tragis yang menimpa biara kalian, masa aku harus berpeluk tangan tanpa ambil peduli?" "Mohon petunjuk dari sicu," kata pendeta berjenggot itu kemudian sambil menghela napas panjang, "sejujurnya, pikiran pinceng sangat kalut dan panik, khususnya setelah terjadi peristiwa ini."
"Biarpun kau telah salah menebak akan satu hal, namun tidak salah menduga II dalam persoalan yang lain. Kata orang berbaju kuning itu, mendadak sorot matanya yang tajam dialihkan ke wajah Hoa-san-sam-ing.
Bergidik juga perasaan ke tiga kepodang dari Hoa-san setelah terbentur dengan sorot mata orang itu.
"Cianpwee, ada suatu petunjuk?" tanya Ouyang Miau cepat.
"Sudah berapa lama kalian bertiga berada diatas pagoda Cu-hun-ta?" Hoa-san-sam-ing saling bertukar pandangan sekejap, kemudian kepodang perak Ouyang Miau baru menjawab: "Kurang lebih satu jam." Tampaknya mereka bertiga sadar, tak ada gunanya berbohong, karena itu mereka menjawab sejujurnya.
"Pagoda Cu-hun-ta tidak memiliki sesuatu yang pantas ditunggui selama itu, mengapa kalian bertiga berada disana hingga satu jam lebih?" Kepodang batu Sik Ling-uh segera menyahut: "Pagoda Cu-hun-ta menjuang tinggi hingga menembus awan, bangunan ini sudah terlihat sejak dari hulu sungai, karena itulah kami bertiga berada disana cukup lama." II "Bagus jawabanmu itu .
. . . . . .. ucap orang berbaju kuning itu, mendadak hardiknya, "benarkah begitu?" "Tidak benar!" teriak kepodang baja Thiat Hui-keng lantang.
Tian Mong-pek segera tersenyum, pikirnya: "Cepat amat perempuan ini mengambil keputusan." Terlihat mukanya yang lembut membawa ketegasan, mungil dibalik kulitnya yang agak hitam, dia terhitung seorang wanita cantik.
"Baik!" kata orang berbaju kuning itu sambil tersenyum, "kalau ucapan tadi bukan jawaban yang benar, aku ingin tahu, apa jawaban yang sebenarnya?" Thiat Hui-keng memandang sekejap kedua orang sucinya, lalu bertanya: "Bagaimana kalau diutarakan?" "Masa mereka akan percaya?" Sik Ling-uh menimpali sambil menghela napas.
"Asal kita menjawab sejujurnya, sekalipun orang lain belum tentu percaya, aku yakin sobat berbaju kuning ini pasti akan mempercayainya." "Betul sekali!" kata orang berbaju kuning itu sambil tersenyum, tatapan matanya pun ikut berubah lebih lembut.
Perlahan si kepodang perak Ouyang Miau berkata: "Sebenarnya kami tiga bersaudara sudah ingin mengungkap kejadian yang sesungguhnya, akan tetapi kamipun kuatir, pengakuan kami akan menimbulkan konflik terbuka dengan pihak biara." "Tidak menjadi masalah." Walaupun semua orang tidak mengetahui asal usul orang berbaju kuning itu, namun setiap patah kata yang diucapkan, selalu tersisip kewibawaan yang alami.
Dengan suara keras Thiat Hui-keng berkata: "Belakangan, kami bertiga selalu dikendalikan oleh toa-suci hingga jarang turun dari Hoa-san, tapi kali ini gara gara urusan siau-sumoay, ll dia .
. . . . .. Ouyang Miau mendeham berulang kali, sadar kalau salah bicara, buru-buru Thiat Hui-keng menambahkan: "Karena kami sudah tiba di Kangou, maka timbul keinginan untuk menyaksikan tambur tembaga dan sabuk kumala yang tersohor itu." Sambil menuding kearah pendeta berjenggot itu, tambahnya: "Siapa sangka dia enggan memenuhi harapan kami, maka akupun mengambil keputusan untuk mencuri tambur tembaga dan sabuk kumala itu agar bisa dinikmati lebih seksama." "Kau .
. . . . . .." bentak pendeta berjenggot itu.
Tidak memberi kesempatan pendeta itu menyela perkataannya, Thiat Hui-keng berkata lebih lanjut: "Aku pun menarik para suci untuk mengintai disekeliling ruang tidur hongtiang, kami saksikan hongtiang tua itu mengendon terus dalam ruangannya sehabis menghantar tamunya pulang.
"Hingga menjelang malam, suasana dalam ruang hongtiang tetap tenang tanpa ada perubahan, habis sudah kesabaran kami, secara diam diam kamipun menyusup ke belakang ruangan, kebetulan disana tumbuh sebatang pohon II besar .
. . . . . . .. "Apakah kalian bisa melihat situasi dalam ruang hongtiang dari atas pohon itu?" tanya sang pendeta dengan wajah berubah.
"Tentu saja." "Lantas apa yang kau saksikan?" tanya orang berbaju kuning itu.
"Kusaksikan ada seorang hwesio beralis abu-abu berada didalam ruang Hongtiang." Orang berbaju kuning itu segera saling bertukar pandangan dengan Tian Mong-pek, hati mereka tergerak.
"Orang itu adalah su-sute ku." Pendeta itu menerangkan.
"Secara lamat-lamat kudengar su-sute mu itu berkata kepada hongtiang tua: "Suheng, kau benar-benar menolak?", terlihat hongtiang tua itu menggeleng dan tidak menjawab." "Menolak apa?" tanya pendeta itu.
"Sayang aku tidak mendengar jelas perkataan sebelumnya." Saat itu rasa ingin tahu timbul juga dihati kecil Tian Mong-pek, tanyanya cepat6: "Bagaimana selanjutnya?" Thiat Hui-keng memandangnya sekejap, lalu menjawab: "Kemudian hwesio beralis abu abu itu bangkit berdiri, dengan wajah penuh amarah dia berdiri kaku sampai lama sekali." Setelah menghela napas, Sik Ling-uh menambahkan: "Kebetulan aku berdiri persis dihadapannya hingga dapat melihat lebih jelas, terlihat mukanya sebentar memerah, sebentar lagi pucat, seakan-akan dalam hati sedang memutuskan suatu persoalan besar, lewat lama kemudian dari balik sakunya tiba tiba meluncur selembar kertas berwarna merah, kertas itu meluncur kehadapan lo-hongtiang." "Kartu undangan malaikat kematian!" pekik Tian Mong-pek dengan perasaan terperanjat.
Sik Ling-un menghela napas panjang, lanjutnya: "Waktu itu kami belum menduga tentang undangan dari malaikat kematian, yang kami saksikan lo-hongtiang mengangkat bahunya secara tiba tiba setelah menyaksikan kartu merah itu." "Oleh karena punggungnya menghadap kearah jendela," sambung Thiat Hui-keng, "maka kamipun tak dapat melihat perubahan mimik mukanya, kami saksikan su-sute kalian tiba tiba membungkukkan badan, setelah mengambil dua buah kotak kumala dari bawah ranjang lo-hongtiang dan melihat sekejap sekeliling tempat itu, diapun berlalu dengan cepat.
Waktu itu aku meras keheranan bercampur menyesal, heran kenapa lo-hongtiang tidak bergerak, menyesal karena kedatangan kami terlambat selangkah hingga dia berhasil merebutnya lebih dulu." Setelah menghela napas panjang, ujarnya lagi: "Kini aku baru mengerti, rupanya waktu itu Lo-hongtiang sudah terkena panah kekasih dan menemui ajalnya." "Sebetulnya kami berada ditempat yang lebih tinggi,"kata Sik Ling-uh lagi, "semua peristiwa yang berlangsung dalam ruangan dapat terlihat amat jelas, tapi kami bertiga tak tahu sejak kapan panah kekasih itu dilancarkan." Hoa-san-sam-ing kembali saling bertukar pandangan, rasa ngeri terpancar dari balik mata mereka.
Paras muka pendeta berjenggot itu pucat kehijauan, tiba-tiba bentaknya: "Boleh saja kalian bertiga menfitnah orang lain, tapi tidak seharusnya menfitnah su sute kami." "Peduli mau percaya atau tidak, memang begitulah kenyataannya," kata Thiat Hui-keng sambil tertawa dingin, "karena alasan itu pula kami menunggu cukup lama diatas pagoda, kami berniat sewaktu ia balik ke sana, kami pun bisa merampas tambur tembaga serta ikat pinggang kumala itu." Terlihat otot hijau menonjol keluar diseluruh wajah pendeta berjenggot itu.
Terdengar kepodang perak Ouyang Miau berkata pula: "Jika kau tak percaya, temukan saja sute mu itu, kita buktikan bersama apa benar perkataan kami itu?" "Baik!" sahut pendeta itu gusar, dia membalikkan badan dan siap meninggalkan tempat itu.
Tiba tiba orang berbaju kuning itu menegur: "Memangnya kau tahu dimana dia sekarang?" "Akhirnya toh pasti dapat ditemukan." sahut sang pendeta sambil menghentikan langkahnya.
"Aaai, sekalipun dapat ditemukan, dia tak akan mampu berbicara lagi." Kata orang berbaju kuning itu sambil menghela napas panjang.
Pendeta berjenggot itu membalikkan badan dengan wajah pucat pias, bisiknya gemetar: II "Dia .
. . . .. dia . . . . . .. Begitu tergetar perasaan hatinya, membuat pendeta itu selain gemetar badannya, jenggot pun ikut bergetar.
"Su sute mu sudah tewas terkena panah kekasih," orang berbaju kuning itu menjelaskan, "kini jenasahnya tergeletak dalam pavilion Liu-hun-teng." Tubuh pendeta itu bergetar keras, dia mundur tiga langkah dan terduduk diatas bangku, kemudian secara tiba tiba melompat bangun dan membentak keras.
"Dia sudah mati?" serentak Hoa-san-sam-ing menjerit.
"Su sute ku tewas oleh panah kekasih, tapi kalian bertiga menuduh panah kekasih itu dilepaskan oleh dirinya." Teriak pendeta itu pula.
Ditengah teriakan keras, ke lima jari tangannya bagaikan kaitan menyambar ke wajah Thiat Hui-keng.
"Tunggu sebentar!" bentak orang berbaju kuning itu, tangannya langsung menyambar ke muka, mencengkeram urat nadinya.
Kontan saja seluruh tenaga yang dimiliki pendeta itu hilang lenyap tak berbekas, tapi sambil menggigit bibir teriaknya pula: "Masa kau percaya dengan perkataannya?" Orang berbaju kuning itu menghela napas panjang.
"Mereka bertiga menyaksikan pendeta beralis mata abu abu itu membunuh lo-hongtiang dengan panah kekasih, sedang aku adalah saksi yang melihat dia tewas oleh panah kekasih, kalau dibicarakan, semua kejadian ini susah II untuk dipercaya.
Katanya. "Orang bloon pun tak bakal percaya." Imbuh pendeta itu gusar.
"Tapi aku amat mempercayainya." Kata orang berbaju kuning itu tegas.
"Kau..... kau . . . . . . .." "Setelah dipikir kembali, sebenarnya persoalan ini dapat dijelaskan, karena itu harus mempercayainya.
Justru masalah lain yang susah kupahami." Saking gusarnya pendeta itu tertawa dingin, teriaknya: "Persoalan yang tak masuk diakal pun dapat kau pahami, masa masih ada kejadian lain yang tidak bisa kau pahami?" Orang berbaju kuning itu tidak memberi tanggapan, ia berpaling kearah Hoa-san-sam-ing dan tanyanya: "Kalau toh kalian telah menyaksikan peristiwa ini, kenapa tidak dikatakan sejak awal, masa kalian benar benar kuatir ribut dengan mereka?" "Bukan." Ouyang Miau menghela napas.
Dia merasa ucapan orang berbaju kuning itu lebih tajam dari ujung pisau, seakan-akan hendak menembusi ulu hati orang.
"Lantas karena apa?" tanya orang berbaju kuning itu lagi.
"Sejak suhu meninggal, toa-suci yang mengendalikan perguruan, ia melarang para adik seperguruannya mencampuri urusan perguruan lain." "Itulah dia," ucap orang berbaju kuning itu sambil mengangguk, "aku pun pernah mendengar orang berkata bahwa sejak kematian Hoa-san ciangbun, perguruan kalian tak pernah mencampuri urusan partai lain lagi." Ouyang Miau menghela napas.
"Aaai, pertama kami belum tahu dengan pasti pertikaian apa yang sudah terjalin diantara mereka, kedua, kamipun tak mau melanggar perintah ciangbunjin, karena itulah hingga kini enggan membicarakan persoalan itu." "Sekarang, semua persoalan sudah terungkap," teriak pendeta berjenggot itu lantang, "sudah sepantasnya bila kalian pun memberi penjelasan, pinceng siap mendengarkannya." Orang berbaju kuning itu memandang sekejap sekeliling ruangan, kemudian katanya: "Tampaknya pendeta beralis abu-abu dipaksa pemilik panah kekasih untuk menyerahkan tambur tembaga dan sabuk kemala, tapi lo-hongtiang menampik permintaan itu, hingga akhirnya pendeta beralis abu abu menggunakan panah kekasih untuk membokong dan mencabut nyawa lo-hongtiang." "Mengapa diapun tewas karena panah kekasih?" tanya pendeta berjenggot itu.
"Aaai, setelah menyerahkan tambur tembaga dan sabuk kumala, timbul niat pemilik panah kekasih untuk menghilangkan jejak, maka diapun turut dibunuh." Jelas orang berbaju kuning itu sambil menghela napas.
Hanya dengan dua, tiga patah kata, ternyata orang itu mampu menguak persoalan besar yang begitu pelik, mau tak mau Hoa-san-sam-ing merasa amat kagum.
Pendeta berjenggot itu termangu berapa saat, akhirnya dia menghela napas sedih dan bergumam: "Aaai.....
musibah perguruan . . . . .. musibah perguruan . . . . . .." Tiba tiba saja dia menangis tersedu-sedu.
Walaupun sudah ada usia, ternyata pendeta itu menangis dengan begitu sedihnya, Tian Mong-pek segera tahu, meski orang ini sudah menjadi pendeta, namun dia tetap seorang lelaki emosional, apalagi teringat sepak terjangnya tadi, tanpa terasa muncul rasa simpatiknya.
Dia segera menepuk bahunya dan berkata sambil menghela napas panjang: "Taysu tak usah bersedih hati, Tian Mong-pek pasti akan membantumu untuk menemukan pusaka itu serta menuntut balas bagi biara kalian." "Coba aku mengetahui siapa pemilik panah kekasih itu, pasti akan kutusuk dadanya hingga mampus." Kata Thiat Hui-keng pula, "Cuma.....
aku tetap ingin melihat macam apakah tambur tembaga dan sabuk kumala itu." "Memangnya kau mengetahui siapakah pemilik panah kekasih itu?" mendengar ucapan yang begitu polos, tak tahan sekulum senyuman menghiasi bibir Tian Mong-pek.
"Aku tidak tahu, memangnya kau tahu?" teriak Thiat Hui-keng dengan mata melotot.
\\ "Setelah terjadinya peristiwa ini, ucap orang berbaju kuning itu, "walaupun jejak pemilik panah kekasih belum jelas, tapi dia pasti meninggalkan jejak, asal diselidiki dengan seksama, rasanya tak sulit untuk ditemukan." "Betul," seru Thian Hui-keng, "asal kita melihat orang itu menggembol tambur tembaga dan sakut kencana, sudah pasti dialah pemilik panah kekasih." "Kau sangka sepanjang hari dia akan selalu menggembol tambur tembaga dan sakut kencana itu, agar jejaknya sudah kau ketahui?" dengus Sik Ling-un.
Thiat Hui-keng tertegun, untuk sesaat dia tak mampu berbicara.
Dengan suara dalam ujar orang berbaju kuning itu: "Sebagian besar orang yang mendatangi biara Kim-san-sie hari ini merupakan jago-jago persilatan, diantara mereka pasti ada seseorang yang punya hubungan dengan panah kekasih." "Betul sekali." Teriak Thiat Hui-keng kegirangan.
Dalam pada itu si pendeta berjenggot telah berhenti menangis, perlahan ujarnya: "Sesudah terjadi peristiwa ini, ji-suheng Thiat-kut segera menyusul ke kota Tin-kang dan mengundang kembali seluruh umat persilatan yang hari ini datang kemari!" I "Satu tindakan yang tepat sekali,' orang berbaju kuning itu manggut manggut, "bila ada yang menolak kembali, berarti orang itu patut dicurigai." Mendadak Tian Mong-pek membalikkan tubuh dan berjalan menuju keluar pintu.
"Mau ke mana kau saudara cilik?" tanya orang berbaju kuning itu keheranan.
"Aku akan melihat keindahan alam di belakang bukit sana." "Apakah kau enggan bertemu dua bersaudara dari keluarga Siau, hingga sebelum mereka tiba disini, kau menyingkir duluan?" "Betul sekali." Tanpa berpaling Tian Mong-pek melanjutkan langkahnya.
Tiba tiba orang berbaju kuning itu tertawa dingin.
"Bagi seorang lelaki sejati, matipun tidak takut, kenapa harus takut menghadapi dua orang wanita?" Seketika itu juga Tian Mong-pek menghentikan langkahnya, balik badan dan kembali ke bangkunya dengan langkah lebar.
Thiat Hui-keng mengerling sekejap kearah pemuda itu, sindirnya kemudian: "Apa pun tak perlu ditakuti, yang ditakuti justru kalau dipanasi hatinya." Tian Mong-pek berlagak seolah tidak mendengar, sementara si kepodang perak Ouyang Miau melotot sekejap kearah sumoay nya, namun senyuman terselip dibalik sinar matanya.
Tampak pendeta berjenggot itu berjalan bolak balik dalam ruangan dengan perasaan tak tenang, sedangkan orang berbaju kuning itu mengambil selembar kain korden lalu ditutupkan diatas layon hongtiang itu.
Asap dupa mulai menyelimuti ruangan, menyiarkan bau harum yang semerbak.
Mendadak pendeta itu seakan teringat akan sesuatu, dengan langkah lebar dia menuju keluar pintu, lalu memerintahkan berapa orang muridnya untuk
Asap dupa mulai menyelimuti ruangan, menyiarkan bau harum yang semerbak.
Mendadak pendeta itu seakan teringat akan sesuatu, dengan langkah lebar dia menuju keluar pintu, lalu memerintahkan berapa orang muridnya untuk mengambil jenasah hwesio beralis abu abu yang masih berada di pavilion Liu-hun-teng.
Ditengah kecemasan dan perasaan tak tenang itulah, tiba tiba terdengar seseorang berteriak keras: "Ji susiok telah kembali, ji susiok telah kembali!" Semua orang merasa hatinya berdebar, pendeta berjenggot panjang itu segera lari keluar untuk menyongsong kedatangannya.
Dengan hati kebat kebit, Tian Mong-pek mengawasi keluar pintu, begitu pula Hoa-san-sam-ing, merekapun enggan bertemu dengan dua bersaudara Siau, karena itu mereka menyingkir ke sudut ruangan.
Terdengar suara langkah kaki semakin mendekat, lalu terlihat dua orang lelaki berwajah asing muncul lebih dulu dalam ruangan, setelah memandang sekejap seputar tempat itu, mereka menyingkir ke samping.
Diikuti kemudian muncul tiga orang lelaki berjubah panjang, sikap maupun gerak geriknya halus dan sopan, tampaknya mereka bukan jago silat melainkan kaum saudagar.
Menyusul kemudian terlihat seorang hwesio tua bertubuh kurus kering, menemani si tabib ternama Chin Siu-ang masuk ke dalam ruangan.
Paras muka Chin Siu-ang tampak murung dan tak suka hati, diliriknya Tian Mong-pek sekejap kemudian langsung menuju ke depan pembaringan.
Hwesio kurus kering itu tak lain adalah Thiat-kut taysu dari biara Kim-san-sie, kini dengan wajah penuh pengharapan bertanya: "Apakah masih bisa ditolong?" Chin Siu-ang mendengus, sambil menurunkan kembali kain penutup, dia balik ke tempat duduknya.
II "Biar lohu dewa pun tak mungkin bisa selamatkan jiwanya lagi.
Katanya ketus. Thiat-kut taysu menghela napas sedih, wajahnya seakan akan menjadi lebih tua berapa tahun.
Sementara itu Tian Mong-pek masih mengawasi ke depan pintu, ketika melihat pendeta berjenggot itu melangkah masuk, ia segera bertanya: "Apakah sudah tak ada lagi yang datang?" "Hampir semua tamu agung yang pernah datang ke biara hari ini, telah sampai semua disini terkecuali dua bersaudara Siau." Ucap pendeta itu dengan wajah serius.
"Kenapa?" tanya Tian Mong-pek dengan wajah berubah.
Thiat-kut taysu memandangnya sekejap, kemudian menjawab dengan nada berat: "Kiongcu dari lembah kaisar enggan datang kemari lagi, biar pinceng bernyali pun tak akan berani memaksakan kehendak." Dua orang lelaki berbaju perlente itu saling bertukar pandangan, salah seorang diantaranya yang bercodet dipipinya segera berseru keheranan: "Sama sekali tak kusangka kalau kedua orang nona itu adalah kiongcu dari lembah kaisar, cayhe .
. . . . .." Dia seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun niat tersebut segera diurungkan.
"Kalau ingin mengucapkan sesuatu, cepat katakan." Sindir Chin Siu-ang ketus.
II "Tidak ada apa apa, ucap lelaki bercodet itu, "hanya saja sewaktu kami akan turun gunung tadi, masih sempat mereka berdua balik lagi keatas bukit, malah kusangka mereka adalah putri saudagar kaya yang sedang berpesiar." "Balik lagi keatas gunung" Kapan itu?" tanya pendeta berjenggot itu dengan wajah berubah.
"Aku kurang tahu kepan perginya." Paras muka Thiat-kut taysu maupun pendeta berjenggot itu berubah hebat.
"Bagus, bagus sekali!" seru Chin Siu-ang pula sambil tertawa dingin.
Tiba tiba orang berbaju kuning itu munculkan diri dari balik kegelapan, katanya: "Minta tolong taysu perkenalkan nama dari kedua orang sahabat ini." Nadanya dingin, sorot matanya lebih dingin.
Thiat-kut taysu memandangnya sekejap, dengan hati bergidik sahutnya segera: "Mereka berdua adalah murid preman dari Siau-lim, orang menyebutnya Ho-lam-siang-gi (sepasang manusia gagah dari Ho-lam)." "Tidak berani, tidak berani." Seru kedua lelaki perlente itu.
Kemudian lelaki yang berusia lebih tua berkata sambil tertawa paksa: "Aku Cian Tiong-co, adikku Cian Tiong-lam, Cian Tiong-oak merupakan saudagar obat obatan dari wilayah Suchuan.
Berhubung perjalanan yang sulit, maka kami berlatih silat untuk membela diri, jadi tidak bisa dianggap sebagai jago kenamaan." Tergerak hati Tian Mong-pek setelah mendengar itu, pikirnya: "Ke tiga orang ini tampak sederhana dan tidak mencolok, sungguh tak disangka ternyata mereka adalah Siok-tiong-sam-liau (tiga burung dari Siok-tiong) yang angkat nama bersama Lau-san-sam-gan." Sementara itu Kiu-lian-huan Lim Luan-hong telah menyebut pula namanya, terlihat orang berbaju kuning itu menunjukkan perasa an kecewa dan mundur dari situ.
Dengan sedih ujar Thiat-kut taysu: "Peristiwa tragis yang menimpa biara kami memaksa aku harus menyusahkan kalian semua, aku hanya ingin bertanya akan satu hal, apakah hari ini kalian melihat su-sute ku berbincang dengan seseorang?" "Rasanya belum pernah" sahut Lim Luan-hong setelah termenung sejenak.
Dengan hati pedih kembali ujar Thiat-kut taysu: "Dendam ini lebih dalam dari samudra, aku berharap kalian mau membantu kami untuk mengusut jejak pembunuh itu serta mencari kembali pusaka II biara .
. . . . . . .. "Suheng, buat apa kau banyak bicara?" teriak pendeta berjenggot itu sedih, "dendam sakit hati ini sulit untuk dibalas." II "Sute, kau .
. . . . . .. "Suheng, masa hingga kini kau belum tahu siapakah musuh besarmu" Apakah kau masih ingin menuntut balas?" Thiat-kut taysu menghela napas sedih, kepalanya terkulai lemas.
Sambil tersenyum ujar Chin Siu-ang: "Sudah lama kudengar Sin-ki taysu pintar menganalisa pelbagai persoalan, kalau memang sudah kau tebak iblis keji itu, apa salahnya kalau diutarakan keluar?" Ketika mendengar kalau pendeta berjenggot panjang itu bernama Sin-ki taysu, diam-diam Hoa-san-sam-ing saling berpandangan sekejap, mereka merasa geli sekali.
Terdengar Sin-ki taysu berteriak keras: "Siapakah diantara rekan persilatan yang enggan balik kemari" Tempat mana dalam dunia persilatan yang cocok untuk membuat panah kekasih" Apakah aku harus mengutarakan keluar?" "Aaah benar," ucap Chin Siu-ang sambil menarik kembali senyumannya, "sudah lama kudengar orang berkata bahwa pemilik lembah kaisar adalah II orang yang senang mengumpulkan benda antik, bisa jadi hari ini .
. . . . . . .. Tiba tiba ia membungkam dan tidak melanjutkan perkataannya.
Maksud ucapan itu jelas, biar tidak diucapkan pun semua orang pasti tahu jawabannya.
Betul saja, agak berubah paras muka semua orang, pikir mereka: "Tak heran kalau panah kekasih memiliki kemampuan sedahsyat itu, ternyata lembah kaisar yang menciptakan benda itu.
Dikolong langit dewasa ini, selain lembah kaisar, rasanya memang tak ada tempat lain yang mampu membuat senjata rahasia sehebat itu." Sebagaimana diketahui, lembah kaisar memang merupakan tempat yang paling misterius dalam dunia persilatan, tempat yang misterius menciptakan senjata misterius, hal ini jelas satu hal yang sangat masuk akal.
Kembali terdengar Sin-ki taysu menjerit: "Sungguh tragis nasib biara kami, dengan kekuatan yang kami miliki, sudah jelas sulit untuk melawan musuh besar setangguh pemilik lembah kaisar, pinceng juga tak berani mohon bantuan dari kalian, aku....
aku hanya merasa terharu karena kesediaan kalian datang kembali ke sini." Tiba tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada semua orang.
Kini paras muka semua orang telah berubah jadi berat dan sedih, untuk sesaat mereka tak tahu bagaimana harus menghibur.
Cian Tiong-lam menghela napas panjang, katanya: "Sebetulnya kami tiga bersaudara rela memberi bantuan, tapi sayang kekuatan kami .
. . . . .. aaai, karena peristiwa di biara ini, kami tak ingin mengganggu lebih lama, maaf kalau kami harus mohon diri lebih dulu." Sementara itu orang berbaju kuning itu telah berkata dengan nada aneh: "Aku rasa kesimpulan mu salah besar." "Tidak bakal salah." Tukas Sin-ki taysu.
"Lebih baik diselidiki lebih dulu sebelum .
. . . . . .." Belum selesai dia berkata, tiba tiba terlihat Tian Mong-pek berlarian meninggalkan tempat itu sambil menjerit kalap.
Selama ini, Thiat Hui-keng sempat berapa kali mencuri lihat kearahnya, ia saksikan pemuda itu berdiri kaku dengan mata mendel ong, wajahnya kelihatan aneh sekali.
Maka sewaktu melihat dia lari sambil menjerit kalap, sambil berseru kaget, nona ini siap menyusulnya.
Cepat Ouyang Miau menarik tangannya sambil menegur: "Mau apa kau?" "Tampaknya dia gila, jangan sampai membuat keonaran." "Kau tak usah kuatir, pasti ada yang menyusulnya." Ketika Thiat Hui-keng berpaling, betul saja, manusia berbaju kuning yang misterius itu sudah lenyap dari sana.
Setelah tertegun berapa saat, diapun menghela napas sambil bergumam: "Sebenarnya siapakah orang ini" Cepat benar gerakan tubuhnya." Chin Siu-ang mengerutkan pula dahinya seakan sedang menelusuri asal usul orang berbaju kuning itu, belum sempat menemukan sesuatu, tiba tiba tampak empat orang pendeta berlarian masuk dengan langkah tergesa gesa.
"Ada apa?" hardik Thiat-ku taysu.
"Kami tidak menemukan jenasah su suiok dalam pavilion Liu-hun-teng." Tak terlukiskan rasa kaget Thiat-kut maupun Sin-ki taysu, untuk sesaat mereka saling berpandangan dengan mulut melongo.
Peristiwa aneh yang terjadi beruntun, membuat suasana dalam ruangan senyap bagai di kuburan.
Biara nomor satu di wilayah Kanglam inipun terjerumus dalam kabut kedukaan yang mendalam.
Oo0oo Ketika berlarian meninggalkan biara Kim-san-sie, tak nampak seorang manusia pun yang menghalangi perjalanan Tian Mong-pek.
Dia langsung turun gunung, menuju ke tepi pantai dimana perahu penyeberang ditambatkan.
"Pemilik perahu, pemilik perahu, segera berangkat." Teriak Tian Mong-pek tanpa menghentikan larinya.
Tapi begitu tiba di atas perahu, pemuda itu kontan berdiri terperanjat.
Ternyata orang berbaju kuning itu sudah duduk menunggunya dalam ruang perahu, begitu bertemu, segera tegurnya sambil tersenyum: "Saudara cilik, janji kita selama satu tahun belum berakhir, masa kau hendak meninggalkan aku seorang diri?" Tian Mong-pek menghela napas panjang, sambil duduk sahutnya gemetar: "Boanpwee merasa pikiran dan perasanku amat kalut, rasanya tak bisa lagi menemani cianpwee untuk berpesiar." "Kenapa?" "Setelah dipikir bolak balik, aku rasa dugaan Sin-ki hwesio cukup masuk akal, karena itu hatiku amat gelisah dan ingin secepatnya berangkat ke lembah kaisar." "Dengan ilmu silat yang kau miliki sekarang, setibanya di lembah kaisar, orang akan memandang hina dirimu, apalagi kau toh sudah punya janji dengan diriku, akan mengunjungi lembah kaisar bersama-sama." "Saat ini beda sekali keadaannya dengan waktu itu, boanpwee tak dapat memenuhi janjiku itu." "Apa bedanya?" "Waktu itu aku tak punya dendam kesumat dengan lembah kaisar, akupun tak Kata Tian Mong-pek sedih.
tahu jejak dari musuh besarku, karenanya aku bisa menemani cianpwee." Kemudian sambil busungkan dada, terusnya: "Tapi sekarang aku sudah mendapat tahu jejak musuhku, itu berarti aku sudah terikat oleh dendam kesumat, biar dihadapanku terbentang gunung golok lautan api pun, aku tetap akan berangkat untuk balas dendam." "Aaai, kemampuanmu masih belum cukup untuk dipakai membalas dendam, "kata orang berbaju kuning itu sesudah termenung sesaat, "sekalipun bisa mencapai tempat itu, kau bakal menghantar nyawa dengan percuma." "Aku hidup untuk balas dendam, mengapa harus takut mati karena balas dendam" Biar tak mampu melawan pun, aku rela terkapar ditengah genangan darah." Perahu telah meluncur menembus arus, mengawasi riak air disepanjang sungai kembali orang berbaju kuning itu termenung, tiba tiba ia berpaling sambil bertanya: "Apakah kau sudah tahu letak lembah kaisar?" Pertanyaan ini kontan membuat Tian Mong-pek tertegun, air mata berlinang membasahi pipinya, agak gemetar pintanya: "Bila cianpwee kasihan kepadaku, tolong ajaklah boanpwee menuju lembah kaisar." "Mengajakmu ke lembah kaisar?" "Asal cianpwee bersedia memberi petunjuk kepadaku letak lembah kaisar, biar harus matipun, boanpwe akan sangat berterima kasih atas budi kebaikanmu itu." Orang berbaju kuning itu menghela napas panjang, gumamnya: "Aaai, dasar bocah keras kepala .
. . . . . ..aai, bisa saja kuajak kau berkunjung ke lembah kaisar, tapi apakah aku tega membiarkan kau pergi menghantar kematian?" Dengan perasaan kecewa Tian Mong-pek menghela napas panjang, perlahan dia pejamkan matanya.
Terdengar orang berbaju kuning itu berkata lagi: "Bila kau bersedia memenuhi sebuah permintaanku, bukan saja akan kuhantar kau ke lembah kaisar, bahkan akan kuajarkan serangkaian jurus silat yang khusus untuk mematahkan ilmu silat lembah kaisar." Kontan Tian Mong-pek merasa semangatnya bangkit, sahutnya lantang: "Asal tecu sanggup melaksanakan, biar harus menyeberangi lautan api pun, tecu tak bakal berkerut kening." "Setibanya di lembah kaisar, kau harus bertemu dulu dengan majikan lembah kaisar dan menyampaikan sepucuk surat kepadanya sebelum turun tangan membalas dendam." "Paling banter hal itu hanya akan menunda niatku sekian menit." Pikir Tian Mong-pek.
Maka sahutnya cepat: "Baik, sebelum bertemu majikan lembah kaisar, tecu tak akan mencari mati." "Sebelum berangkat ke lembah kaisar, kaupun harus menemani aku, paling tidak berziarah ke biara Siau-lim di siong-san." Tian Mong-pek sangsi sejenak, tapi akhirnya diapun menyanggupi.
Kini, harapan untuk balas dendam telah tumbuh, dia merasa darah panas bergelora dalam rongga dadanya.
Lama sekali orang berbaju kuning itu memandang keluar jendela, tiba tiba ujarnya lagi: "Dalam kehidupan seseorang didunia ini, dia pasti mempunyai sesosok figur yang amat dikagumi dan dihormati, betapa pun keras kepalanya dirimu, asal mendengar perkataannya, kau pasti akan mentaati .
. . . . .. saudara cilik, bolehkah aku tahu, siapa figur yang paling kau kagumi dan hormati?" "Dia sudah mati!" jawab Tian Mong-pek sedih.
"Selain ayahmu, apakah masih ada orang lain?" "Tecu tidak dapat menjawab." sahut Tian Mong-pek setelah berpikir sejenak.
"Kenapa tak dapat kau jawab?" orang berbaju kuning itu keheranan.
Perlahan Tian Mong-pek menundukkan kepalanya.
"Cianpwee begitu sayang dan perhatikan tecu, kini, asal cianpwee memberi perintah, persoalan apapun pasti akan tecu laksanakan." Berkilat sepasang mata orang berbaju kuning itu, tapi kembali desaknya: "Aku tidak termasuk, apakah masih ada yang lain?" Lama sekali Tian Mong-pek berpikir, tiba tiba ia mendongakkan kepala dan berkata: "Semasa masih hidup dulu, mendiang ayahku paling menghormati ciangbunjin dari Bu-tong-pay, Gio-ki totiang, mendiang ayahku pernah berkata, beliau sangat mengagumi kehebatan pedang sakti dari Giok-ki cinjin, tindak tanduknya lurus dan jujur, karena mendiang ayahku kagum kepadanya, boanpwee pun amat mengagumi sosok ini." Orang berbaju kuning itu hanya mengiakan dengan suara tawar, tatapan matanya tetap memandang ketempat kejauhan.
Memandang bayangan punggungnya, dalam hati Tian Mong-pek berpikir: "Ilmu silat maupun kecerdasan orang ini luar biasa, dia berjiwa ksatria dan sangat mengagumkan, tapi kenapa caranya bicara serta tingkah lakunya selalu aneh?" Sementara dia masih termenung, terlihat ada sebuah sampan bergerak mendekat dengan kecepatan tinggi.
Bab 17. Gelombang intrik. Saat itu malam sangat pekat, sampan bergerak amat cepat.
Disaat dua sampan saling bersimpangan inilah tiba tiba Tian Mong-pek melihat seorang pendeta beralis abu-abu duduk dalam sampan itu.
Jantungnya kontan berdebar keras, dia meras pendeta itu mirip sekali dengan pendeta yang tewas di pavilion Liu-hun-teng, walau tidak berani memastikan.
Pada saat bersamaan, dengan wajah berubah orang berbaju kuning itu telah melompat keluar dari ruang perahu sambil membentak: "Kejar!" "Kejar apa?" tanya pemilik sampan keheranan.
"Kejar sampan itu!" kata orang berbaju kuning itu sambil menunjuk ke arah sampan yang mulai menjauh, dari saku dia mengeluarkan sekeping uang perak dan dilempar keatas geladak.
Berkilat mata pemilik perahu itu, sekuat tenaga ia memutar kemudi sampan lalu mulai menyusul di belakang sampan tadi.
"Cianpwee," bisik Tian Mong-pek, "apakah kau merasa perahu itu .
. . . . .." "Dalam kejadian ini pasti terdapat rahasia yang penuh misteri," tukas orang berbaju kuning itu, "aku kuatir apa yang kita duga tadi merupakan satu kesalahan besar, aku hanya berharap bisa menuntaskan semua peristiwa ini sehingga tidak salah menuduh orang lain." Mengawasi bayangan sampan didepan yang melesat menembus arus, ujar Tian Mong-pek dengan kening berkerut: "Gerak laju perahu itu cepat sekali, aku kuatir kita tak mampu mengejarnya." "Tidak tahu perahu itu menuju ke arah mana?" "Tampaknya menuju bukit Ciau-san." sahut pemilik perahu.
Berkilat sepasang mata orang berbaju kuning itu, mendadak dia meraih selempar papan, membelahnya jadi tiga bagian lalu melempar satu keping sejauh tiga tombak ke tengah sungai.
"Cianpwee hati-hati, arus kelewat deras." Seru Tian Mong-pek terperanjat.
Belum selesai dia berkata, orang berbaju kuning itu sudah melesat ke tengah sungai.
Dari kejauhan Tian Mong-pek mendengar orang itu berseru: "secepatnya susul aku." Ucapan terakhir berkumandang dari tempat sejauh belasan tombak dari perahu.
Sementara pemilik perahu masih tertegun dan melongo, cepat Tian Mong-pek meraih kemudi perhu dan bantu mendayung dengan sepenuh tenaga.
Tak lama kemudian, bayangan sampan didepan sana semakin kentara, Tian Mong-pek tahu, perahu tersebut pasti sudah terhadang oleh kehadiran orang berbaju kuning itu.
Kini, perasaan hatinya makin gelisah, pemuda itu berharap bisa segera menyusul ke atas sampan lawan dan memeriksa, apa benar hwesio itu adalah hwesio yang terbunuh di pavilion Liu-hun-teng" Ketika jarak kedua sampan itu tinggal dua tombak, dengan tak sabar Tian Mong-pek segera melompat ke perahu lain.
Begitu masuk ke ruang perahu, dilihatnya orang berbaju kuning itu sedang berdiri mematung, dihadapannya duduk seseorang, siapa lagi kalau bukan pendeta beralis abu abu yang dijumpai dalam pavilion Liu-hun-teng.
"Ternyata memang dia!" seru Tian Mong-pek kegirangan.
"Betul, memang dia." sahut orang berbaju kuning itu dingin.




Tian Mong-pek segera menerjang kehadapan pendeta itu, bentaknya: II "Kau sebenarnya .
. . . .. Tiba tiba ia terbungkam, paras mukanya berubah.
Ternyata ia menjumpai kalau pendeta itu tak lebih hanya sesosok mayat, panah kekasih didepan dadanya sudah lenyap, yang tersisa hanya mulut luka selebar mata uang.
Peristiwa ini sungguh diluar dugaan siapa pun.
Ketika berpaling, ia tidak menjumpai orang berbaju kuning itu berada disitu.
Kemudian dari luar ruang perahu terdengar suara bentakan keras, buru buru Tian Mong-pek berteriak: "Cianpwee .
. . . . . . .." Belum selesai dia berteriak, terlihat orang berbaju kuning itu sudah melangkah masuk sambil menenteng tubuh seseorang, katanya: "Perubahan ini pasti terlebih diluar dugaanmu bukan, dalam hati kecil mu pasti terganjal banyak teka teki yang tak terjawab bukan?" "Memang begitu." Sahut Tian Mong-pek sambil menghela napas.
Orang berbaju kuning itu meletakkan tubuh seorang lelaki bercelana pendek diatas dek perahu, setelah menepuk bebas jalan darahnya, ia berseru: "Sekarang duduk bersila." Lelaki itu benar benar duduk bersila dengan wajah ketakutan, sedemikian takutnya hingga sepasang lututnya yang gemetar saling beradu dengan lantai perahu.
Dengan tangan kiri mencengkeram urat nadinya, tangan kanan menempel diatas punggung orang itu, orang berbaju kuning ikut bersila pula dibelakang tubuhnya.
"Sekarang, bertanyalah!" ia perintahkan.
"Bertanya kepada siapa" Bertanya tentang apa?" tanya Tian Mong-pek keheranan.
"Orang ini adalah pemilik perahu, kecurigaan apa pun yang mengganjal dihatimu kini, bisa kau tanyakan kepadanya." Selesai bicara, diapun pejamkan mata seolah olah sedang bersamadi.
Tian Mong-pek sangat keheranan dengan tingkah lakunya, ketika berpaling, ia jumpai dengus napas pemilik perahu itu sudah mulai normal kembali.
Dia sadar, hal ini tentu disebabkan orang berbaju kuning itu telah membantu si tukang perahu untuk menenangkan dengus napasnya, tapi dia tetap tak habis mengerti, apa gunanya orang berbaju kuning itu berbuat begitu.
Lewat berapa saat kemudian, ia baru bertanya: "Kau pemilik perahu ini?" Sang pemilik perahu mengangguk.
"Jangan hanya mengangguk," tegur orang berbaju kuning itu dingin, "harus menjawab dengan mengeluarkan suara." "Betul, hamba pemilik perahu ini." Buru buru sang pemilik perahu menjawab.
"Siapa yang menggotong naik jenasah itu?" tanya Tian Mong-pek kemudian dengan kening berkerut.
Sang pemilik perahu melirik mayat itu sekejap, butiran keringat dingin bercucuran membasahi jidatnya, dengan bibir yang pucat dan kering karena ketakutan, sahutnya kemudian: "Tak ada yang menggotong naik .
. . . . . .." "Kalau tak ada yang menggotong, kau anggap mayat i tu bisa berjalan sendiri?" tegur Tian Mong-pek gusar.
Bibir yang pucat, kini semakin memutih, buru buru sang pemilik perahu menyahut: "Sewaktu naik perahu, hwesio ini belum mati, dia bahkan membayar sekeping uang perak kepada hamba." "Kapan kejadiannya?" "Belum lama berselang, dia naik keatas perahu dengan menjinjing sebuah peti kayu cendana, dari arah biara Kim-san-sie sana, ia menyewa perahu hamba untuk membawanya ke bukit Ciau-san." "Mana peti itu?" tanya Tian Mong-pek sambil memandang sekejap sekeliling ruangan.
"Tidak lama setelah berada di perahu, hamba mendengar suara benda yang diceburkan ke dalam air, tampaknya hwesio itu telah membuang peti yang dibawanya ke dalam sungai." "Hmm!" Tian Mong-pek mendengus, "kalau memang dia naik perahu dalam keadaan hidup, dan kini dia telah tewas, itu berarti kaulah yang telah membunuhnya?" "Hamba tidak berani, hamba hanya ingin hidup selamat.....
ll "Kalau ingin selamat, kenapa jawabanmu ngaco belo?" bentak Tian Mong-pek makin gusar.
"Hamba . . . . .. hamba tak berani berbohong." "Sudah jelas hwesio itu telah tewas menjelang magrib, mana mungkin dia bisa berjalan sendiri naik perahu" Apakah cerita semacam ini bukan bohong?" II "Dia.....
dia.... sejak magrib . . . . . . . .. saking takutnya, sang pemilik perahu gemetar keras, sepasang gigi saling beradu keras.
Mendadak orang berbaju kuning itu mengendorkan tangannya sambil menghardik: "Pergi sana!" "Cianpwee, sebelum urusan jadi jelas, kenapa kau membebaskan dirinya?" tanya Tian Mong-pek.
Orang berbaju kuning itu menghela napas panjang.
"Aaai, yang dia ketahui paling hanya sebatas itu, ditanya lebih jauh pun tak ada gunanya." Sementara itu sang pemilik perahu sudah kabur keluar dari ruang perahu.
"Jujurkah setiap jawabannya tadi?" tanya Tian Mong-pek kemudian dengan kening berkerut.
"Aku rasa setiap patah katanya jujur." "Darimana cianpwee bisa begitu yakin?" "Jika dia sedang berbohong, denyut jantung dan nadi serta peredaran darahnya pasti tidak lancar dan berbeda sekali." Mendengar itu, Tian Mong-pek manggut-manggut.
"Betul juga, orang bilang: kalau kau punya pikiran jahat, denyut nadimu pasti kalut." "Tadi, aku sengaja bersamadi, dengan tenaga dalam yang kumiliki, asal denyut nadi dan peredaran darahnya terjadi perubahan, aku pasti dapat merasakan kalau dia sedang bicara jujur atau bohong, memang jarang orang persilatan melatih kepandaian semacam ini, itulah sebabnya kunamakan ilmu ini sebagai ilmu test kebohongan." Mendengar perkataan itu, Tian Mong-pek jadi melongo, lama setelah termangu, diapun menghela napas panjang.
"Jika setiap patah katanya jujur, lantas bagaimana penjelasannya dengan semua peristiwa ini?" Kemudian setelah berhenti sejenak, sambil gelengkan kepala kembali ujarnya: "Kalau dibilang mayat pun bisa turun gunung untuk menyewa perahu, kemudian setelah berada diperahu dan membuang peti tersebut ke sungai baru betul-betul mati, aaai....
rasanya sulit bagiku untuk mempercayainya." Orang berbaju kuning itu ikut menghela napas.
"Aai, sudah pasti ada tipu muslihat atau intrik lain dibalik peristiwa ini, setelah aku pikir bolak balik, rasanya hanya ada satu penjelasan yang masuk diakal." "Bagaimana penjelasannya?" "Kecuali ada seseorang yang pandai menyaru muka telah menyamar menjadi dirinya, lalu masukkan mayat itu ke dalam peti dan turun gunung, kemudian setelah berada diperahu, dia keluarkan mayat tersebut dari dalam peti, didudukkan keatas bangku, lalu dirinya dengan membawa peti kosong menceburkan diri ke air untuk melarikan diri, oleh sebab itu dalam perahu hanya tersisa sesosok mayat yang duduk diatas bangku." Dengan kepala tertunduk, Tian Mong-pek termenung berapa saat, jawabnya kemudian: "Walaupun penjelasan ini masuk akal, tapi tidak sesuai dengan kondisi saat ini, coba bayangkan, apa tujuannya orang itu repot repot berbuat begitu?" "Tentang hal ini .
. . . . . . .. aaai, aku sendiripun tak dapat menjelaskan." Sambil menghela napas dia memanggil pemilik perahu itu, memberinya sekeping perak sambil berpesan agar mengubur baik baik mayat hwesio itu, kemudian bersama Tian Mong-pek balik keatas perahu sendiri.
Mengawasi bayangan punggung kedua orang itu semakin menjauh, pemilik perahu itu merasa girang bercampur mendongkol, girang karena peroleh pemasukan yang lumayan hari ini, mendongkol karena dalam perahunya tertinggal sesosok mayat dan dia harus menguburnya.
Ketika perahu merapat di daratan, sambil menghela napas dia masuk ke dalam ruang perahu, tapi dengan cepat pemilik perahu itu menjerit kalap, sepasang kakinya jadi lemas, ia jatuh terduduk diatas lantai.
Ternyata mayat yang berada diperahunya kembali hilang lenyap tak berbekas.
Disisi jendela perahu, diatas geladak tersisa bekas percikan air sungai yang belum mengering.
Oo0oo Ketika perahu merapat ke daratan, malam sudah makin larut.
Kota Tin-kang-shia bermandikan cahaya lentera, kerdipan lentera yang menyebar disetiap sudut, memantul bagaikan cahaya bintang di langit.
Hingga detik ini, orang berbaju kuning itu tetap membungkam tanpa bicara, Tian Mong-pek sendiripun merasa masgul dan murung.
Akhirnya Tian Mong-pek tak kuasa menahan diri, setelah menghela napas panjang, panggilnya: II "Cianpwee .
. . . . . .. "Ssst, jangan berisik!" belum selesai dia memanggil, tiba tiba orang berbaju kuning itu membentak lirih.
"Ada apa?" Tanpa menghentikan langkahnya, sahut orang berbaju kuning itu: "Jangan tunjukkan sikap gugup atau panik, berlagak seakan akan tak ada kejadian apa pun, tetap melanjutkan langkah ke depan." Tian Mong-pek mengiakan, walaupun langkah kakinya tetap seperti semula, namun sepasang matanya tak tahan untuk menengok ke sekeliling tempat itu, namun hanya angin yang menggoyangkan dedaunan, tak terlihat sesosok bayangan manusia pun.
Dari balik pepohonan disebelah kiri, tiba tiba melayang jatuh selembar kertas yang ringan bagaikan daun kering.
Orang berbaju kuning itu membentak keras, satu pukulan dilontarkan membuat kertas itu terpental ke udara bagaikan layang-layang putus tali, sampai lama sekali baru melayang ke bawah.
Ditengah serangan yang dilancarkan, tubuhnya menerjang ke balik semak dikanan sebatang pohon, terdengar dua desingan tajam melesat keluar dari balik semak belukar itu.
Dua titik senjata rahasia meluncur datang dari kiri dan kanan dengan kecepatan luar biasa.
Begitu melihat senjata rahasia itu, dengan wajah berubah Tian Mong-pek segera membentak: "Panah kekasih!" Terlihat orang berbaju kuning itu mengebaskan jubahnya lalu menggulung kedua titik senjata rahasia itu, sementara tangan kanannya menggunakan kesempatan itu melepaskan ikat pinggang, lalu dengan jurus Poa-cau- sin-coa (mencabut rumput mencari ular) dia serang semak belukar itu sembari membentak nyaring: "Masih belum mau keluar?" Dalam waktu singkat terdengar suara jeritan kaget bergema dari atas pepohonan, lalu terlihat sesosok bayangan manusia terjatuh ke bawah dan tidak bergerak lagi.
Dari balik semak sebelah kanan kembali terlihat sesosok bayangan manusia melompat keluar, baru saja orang itu hendak melarikan diri, tahu tahu orang berbaju kuning itu telah menggetarkan angkin nya dan membelenggu kakinya.
Tampaknya ilmu silat yang dimiliki orang itu cukup tangguh, meski menghadapi bahaya, ia tak sampai jadi panik, telapak tangannya dibalik langsung membabat keatas angkin.
"Hmm, ikan dalam perangkap pun masih ingin kabur?" ejek orang berbaju kuning itu sambil tertawa dingin.
Sementara pembicaraan berlangsung, pergelangan tangannya digetarkan, ikat pinggang itu segera bergetar bagaikan teraliri gelombang listrik.
Tampak sekujur tubuh orang itu gemetar keras, diiringi jeritan ngeri, tubuhnya terkapar lemas diatas tanah.
Hanya dalam sekali gebrakan, dua orang musuh berhasil dikuasahi, diam diam Tian Mong-pek merasa terkejut bercampur kagum.
Baru saja dia akan membekuk orang dalam semak itu, terdengar orang berbaju kuning itu berseru dengan suara dalam: "Bangsat itu sudah mampus, tak usah diperiksa lagi, hati hati dengan benda yang jatuh dari langit." "Benda yang jatuh dari langit?" pikir Tian Mong-pek dengan perasaan tertegun dan keheranan.
Ketika mendongakkan kepalanya, benar saja, ia saksikan selembar kertas sedang melayang turun dari angkasa, ternyata itulah benda yang terpental ke udara karena terkena angin pukulan orang berbaju kuning.
Tian Mong-pek segera melompat untuk menerimanya, tapi ia segera merasakan hatinya bergetar keras, ditengah kegelapan, kertas itu tampak berwarna merah darah dengan sebuah lukisan tengkorak hitam diatasnya.
"Kartu undangan malaikat kematian!" Itulah benda paling berbahaya yang telah membunuh ayahnya, pamannya serta membuat seluruh umat persilatan merasa tak tenang, merasa gelisah dan tegang.
Perasaan sedih bercampur gusar membara dalam dada Tian Mong-pek, tak mampu mengendalikan diri, dia melompat kehadapan orang itu dan jeritnya: "Ternyata kau." Orang itu mengenakan pakaian ringkas berwarna hitam, wajahnya pucat keabu abuan, sepasang matanya terpejam, mulutnya membungkam, butiran keringat membasahi seluruh jidatnya, jelas dia sedang menahan rasa sakit yang luar biasa.
Setelah menghela napas panjang kata orang berbaju kuning itu: "Pemilik panah kekasih pasti bukan dia, orang itu tak lebih hanya boneka nya, mungkin manusia semacam inilah yang digunakan untuk membokong aku dengan panah kekasih." "Jadi kau yang telah mencelakai orang orang dari Jin-gi-su-hiap?" tanya Tian Mong-pek gemetar.
Tiba tiba lelaki berbaju hitam itu membuka matanya, setelah tertawa seram sahutnya: "Semua yang mati karena panah kekasih merupakan hasil karya toaya mu." "Bagus!" bentak Tian Mong-pek sambil mengayunkan tangannya siap melepaskan satu pukulan lagi.
Baru saja tangannya bergerak, orang berbaju kuning itu telah mencegahnya sambil berkata: "Musuh besarmu adalah pemilik panah kekasih, apa gunanya kau bunuh orang ini?" "Toaya mu inilah pemilik panah kekasih itu." Teriak lelaki berbaju hitam itu.
"Huh, kau pantas?" ejek orang berbaju kuning itu, tiba tiba ia perkencang cengkeramannya, kontan lelaki itu menjerit kesakitan, peluh dingin membasahi tubuhnya .
Perlahan Tian Mong-pek menarik kembali tangannya, sesudah menghela napas katanya: "Akupun tahu tak mungkin semua orang yang tewas karena panah kekasih, II dilakukan oleh dia seorang, tapi .
. . . . . .. "Tapi kau tak sanggup mengendalikan diri begitu melihat ada orang menggunakan panah kekasih bukan?" "Benar, moga cianpwee bisa mencari tahu asal usul pemilik panah kekasih yang sesungguhnya dari mulut orang ini, siapa tahu bisa menemukan pembunuh yang telah menghabisi nyawa ayahku." "Jangan mimpi." Jerit lelaki berbaju hitam itu sambil menggigit bibir.
"Aku tahu kau tidak takut mati," kata orang berbaju kuning itu ketus, "tapi hari ini, bila kau tak mau menyebutkan siapa yang mendalangi perbuatanmu ini, aku akan membuat kau hidup tak bisa, mati pun tak dapat." "Benarkah begitu?" lelaki berbaju hitam itu tertawa seram, tiba tiba dia menggigit bibir sendiri, suara tertawa seketika terhenti, darah segar menyembur keluar dari ke tujuh lubang inderanya.
"Aduh celaka!" teriak orang berbaju kuning itu sambil menghentakkan kakinya, cepat dia berusaha merenggangkan dagunya, tapi sayang orang itu keburu mengejang lalu menghembuskan napas penghabisan.
"Racun yang amat ganas!" teriak Tian Mong-pek dengan hati bergidik.
Orang berbaju kuning itu menghela napas panjang.
"Aaai, aku sama sekali tak menyangka kalau bangsat ini sudah menyiapkan obat racun dimulutnya .
. . . .. hanya salah langkah sedikit saja, pertaruhan ini harus diakhiri dengan kekalahan total." Mengawasi lelaki berbaju hitam yang terkapar dengan penuh darah itu, gumam Tian Mong-pek: "Sama sekali tak kusangka, ternyata bajingan ini adalah seorang hohan yang tidak takut mati." Setelah menjumpai orang yang tidak takut mati, timbul perasaan simpatik dihati kecilnya, karena dia sendiripun merupakan seseorang yang tak pernah memikirkan keselamatan sendiri.
Terdengar orang berbaju kuning itu berkata: "Kalau dilihat dari sinar matanya yang redup, sudah jelas dia bukan type manusia yang tak takut mati, mungkin dia sadar bila dirinya membocorkan rahasia besar itu, mungkin bakalan menghadapi penderi taan yang jauh lebih menakutkan, sehingga ia lebih suka mati daripada buka suara." Tian Mong-pek termenung berapa saat, sesudah menghela napas panjang katanya: "Bila pemilik panah kekasih bisa memberi kesan yang begitu menakutkan kepada anak buahnya, entah tindakan keji apa yang bakal ia gunakan?" Orang berbaju kuning itu tidak menjawab, dengan cepat dia menggeledah sekujur tubuh lelaki berbaju hitam itu, tiba tiba dengan nada girang serunya: "Aah, ini dia." Ketika Tian Mong-pek berpaling, ia saksikan ditangan rekannya telah bertambah dengan sebuah tabung besi sepanjang tujuh inci, segera tanyanya: "Jangan-jangan benda ini .
. . . . . . .." "Benar, sudah pasti tabung berpegas yang dipakai untuk membidikkan panah kekasih, akan kulihat dimana letak kehebatan tehnik dari alat pembunuh ini." Sambil duduk bersila dia mencoba memeriksa benda tersebut, kemudian dia bongkar tabung itu dan memeriksa isinya, ternyata didalam tabung hanya terdapat dua lingkaran kawat baja serta dua batang jarum baja.
Menanti berapa saat, tak tahan Tian Mong-pek bertanya: "Cianpwee, apakah berhasil menemukan sesuatu?" Dengan kecewa orang berbaju kuning itu menggeleng, gumamnya sambil menghela napas: "Kalau kuncinya bukan berada dalam tabung ini, masa berada pada anak panah itu?" Sambil berkata dia rentangkan jubahnya, terlihat dua batang panah kekasih itu sudah menembusi jubahnya, terbukti ilmu Liu-hun-thiat-siu (awan mengalir jubah baja) yang dilatihnya telah mencapai tingkat kesempurnaan sehingga rentangan jubah itu lebih keras daripada lempengan baja.
Tapi dalam kenyatan, jubah itu tetap berlubang, hal ini menunjukkan kalau tenaga bidikan senjata itu kuat sekali, bahkan kecepatan bidikannya melebihi bidikan dari tabung berpegas biasa.
Sementara orang berbaju kuning itu masih membolak balik tabung baja itu, Tian Mong-pek berkata: "Jangan jangan antara kartu undangan serta anak panah merupakan dua jenis senjata yang saling berhubungan?" "Kartu undangan malaikat kematian tak lebih hanya berguna untuk mengalutkan pikiran dan konsentrasi korbannya, justru ketangguhannya terletak pada panah kekasih." "Heran, setiap kali kupandang dua titik cahaya hijau yang berada dimata tengkorak itu, pandangan mataku seolah olah susah digeser kearah lain." Kata Tian Mong-pek dengan kening berkerut.
"Benar, kedua titik cahaya fosfor itu mengandung daya pikat yang menakutkan, khurusnya orang persilatan telah menganggap kartu undangan serta panah kekasih sebagai senjata pencabut nyawa, oleh karena itu ketika melihat kartu kematian itu, konsentrasi mereka jadi buyar, saat itulah panah kekasih segera menyusup masuk.
Karena alasan itu pula tadi aku tak mau menerima kartu undangan kematian, tapi menjebol serangan panah kekasih terlebih dulu!" "Aai, pendapat cianpwee sungguh luar biasa," puji Tian Mong-pek sambil menghela napas, "tapi aku tetap yakin masih ada kehebatan lain dari kartu undangan serta anak panah itu, kalau tidak, mana mungkin ada begitu banyak jago lihay yang berhasil dibokong hingga mati?" Orang berbaju kuning itu tertawa dingin.
"Hehehe, biarpun memiliki kekuatan iblis, toh bukan senjata yang luar biasa," katanya, "terbukti baru saja kita berdua berhasil meloloskan diri dari pembantaian." "Semenjak kemunculan panah kekasih di dalam dunia persilatan, mungkin baru cianpwee seorang yang berhasil menggagalkan ancamannya, tapi orang lain .
. . . . . .." Dia menghela napas dan tidak melanjutkan perkataannya.
Sementara itu orang berbaju kuning itu sudah memasukkan kartu undangan serta anak panah itu ke dalam sakunya, kemudian sam bil membesihkan debu dari jubahnya, dia bangkit berdiri.
"Saudara cilik," katanya sambil menepuk bahu Tian Mong-pek, "tak perlu bersedih hati, tak ada rahasia didunia ini yang selamanya tak bisa dibongkar." "Aai, tapi sampai kapan rahasia itu baru akan terbongkar?" II "Suatu saat nanti .
. . . . . .. "Sayang Kiu-lian-huan Lim Luan-hong tidak berada disini, kalau tidak, paling tidak ia bisa mengenali asal usul dari lelaki berbaju hitam ini." "Ilmu silat yang ia gunakan untuk membabat tali angkin ditanganku tadi berasal dari aliran Bu-tong, aku yakin orang ini pastilah murid preman dari Bu-tong-pay." "Masa anak murid Bu-tong-pay bersedia menjadi budaknya panah kekasih?" seru Tian Mong-pek terperanjat.
Orang berbaju kuning itu tertawa dingin.
"Menurut pendapatku, orang persilatan yang berhasil dikendalikan panah kekasih sudah meliputih seluruh perguruan besar yang ada saat ini, jadi bukan melulu Bu-tong-pay saja." sekujur tubuh Tian Mong-pek bergetar keras, sesudah termenung berapa saat, tiba tiba ujarnnya dengan suara keras: "Ayoh berangkat! Aku akan menemani dulu cianpwee berkunjung ke biara Siau-lim, kemudian baru berangkat ke lembah kaisar, sekalipun dendam kesumatku belum tentu terbalas, paling tidak aku harus dapat membongkar rahasianya, kalau harus menunggu hingga seluruh umat persilatan dikendalikan mereka, mungkin keadaan sudah terlambat." Begitu selesai bicara, dia langsung beranjak dengan kecepatan tinggi.
Melihat itu, orang berbaju kuning itu hanya bisa gelengkan kepala sambil menghela napas: "Aai, dasar bocah yang kelewat emosional .
. . . . . .." Tanpa membuang waktu, ia pun menyusul dari belakang.
Dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka berdua sudah lenyap dibalik kegelapan malam.
Oo0oo Dari bukit Kim-san menuju gunung Siong-san, perjalanan yang harus ditempuh sangat panjang dan jauh.
Sepanjang jalan, Tian Mong-pek nyaris lupa makan lupa tidur, sekuat tenaga ia pelajari segenap ilmu silat yang diajarkan orang berbaju kuning.
Pada dasarnya pemuda ini memang gemar silat, kini se telah mendapat petunjuk dari guru sakti, dia seolah enggan membuang setiap waktu yang ada dengan percuma.
Kini, satu satunya tujuan yang ada dalam benaknya hanyalah belajar silat sehebat mungkin lalu berangkat ke lembah kaisar untuk membuat perhitungan.
Tentu saja orang berbaju kuning itu memahami jalan pikirannya, karena itu kebanyakan jurus silat yang diajarkan merupakan jurus jurus tangguh yang khusus untuk mematahkan serangan dari lembah kaisar, banyak gerak serangan yang begitu hebat hingga bagi Tian Mong-pek, bermimpi pun dia
Tentu saja orang berbaju kuning itu memahami jalan pikirannya, karena itu kebanyakan jurus silat yang diajarkan merupakan jurus jurus tangguh yang khusus untuk mematahkan serangan dari lembah kaisar, banyak gerak serangan yang begitu hebat hingga bagi Tian Mong-pek, bermimpi pun dia tak pernah menyangka.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments