Minggu, 27 Mei 2018

Komik Cersil Kho Ping Hoo Teratai Merah

======
baca juga


1
Si Teratai Merah/Ang Lian Lihiap (Seri ke 01 – Serial Si Teratai Merah)
Karya : Asmaraman S Kho Ping hoo
Malam gelap gulita. Udara pekat dan seluruh kampung Ban-hok-cung terbungkus kehitaman malam dan hanya diterangi sedikit cahaya lampu-lampu lilin yang keluar menembus celah-celah dinding rumah-rumah kampung dan beberapa buah bintang yang kebetulan tak tertutup Mega.
Kentungan penjaga kampung berbunyi duabelas kali ketika di antara genteng rumah berkelebat bayangan tiga orang yang bergerak dengan gesit sekali. Tiga sosok bayangan itu berloncat-loncatan melalui beberapa petak rumah dan akhirnya mereka meloncat ke atas rumah Han Siucai yang telah sunyi karena semua penghuninya telah tidur lelap.
Setelah meneliti keadaan di sekitar rumah yang sunyi senyap itu, seorang di antara mereka menggunakan goloknya membongkar jendela. Dengan sekali bacok jendela terbuka dan berbareng dengan gerakan itu, terdengar jeritan seorang anak-anak menggema keluar dari dalam kamar itu. Mereka tak memperdulikannya dan langsung meloncat menerobos jendela.
Han Siucai dan isterinya terkejut mendengar jeritan anak mereka, dan sebelum mereka tahu benar apa yang telah terjadi, tiba-tiba saja tampak tiga orang bersenjata golok telah berdiri di depan pembaringan! Nyonya Han akan berteriak, tapi dengan sebat seorang dari para tamu-tamu malam itu mengulurkan tangan dan menotok urat gagu nyonya cantik itu sehingga menjadi lemas tak berdaya. Nyonya muda itu sedikitpun tak dapat melawan ketika penjahat yang menotoknya secepat kilat memondongnya dan membawanya meloncat keluar jendela.
Timbul keberanian Han Siucai. Ia memaki, “Bangsat rendah! Kembalikan isteriku!” Tapi belum juga habis makian itu keluar dari mulutnya, dua buah golok menyambar dan ia roboh mandi darah, dan tewas di saat itu juga setelah mengeluh, “……Lian……”
Seorang nenek tua, ibu Han Siucai, dengan tergopoh-gopoh memasuki kamar itu karena mendengar suara gaduh, tapi ia datang hanya untuk menemul ajalnya di ujung golok yang menancap di dadanya! Darah berhamburan keluar dari kedua mayat itu memenuhi kamar, merah kehitam-hitaman! Ngeri, sungguh ngeri!
“Eh, suko, mana anaknya?” bertanya seorang daripada kedua penjahat itu.
“Entah, itu tempat tidurnya!” Mereka menghampiri dengan wajah beringas. Seorang menyingkap kelambu, seorang pula mengangkat golok siap membacok. Tapi ternyata pembaringan kecil itu kosong. Ke manakah larinya anak kecil yang mereka cari?
Ternyata ketika mendengar jendela dibacok orang, Han Lian Hwa, puteri Han Siucai satu-satunya yang tidur di kamar itu pula, menjerit ketakutan turun dari pembaringan dan segera lari keluar sehingga ia tidak melihat ibunya di bawa lari orang dan ayah serta neneknya dibunuh secara mengerikan.
“Mari kita cari dia, tak mungkin ia pergi jauh. Barusan ia masih menjerit di kamar ini.” Berkata penjahat yang memimpin serbuan itu.
2
“Baik, suko, kita harus ketemukan dan bunuh anak itu, kalau tidak, pasti Bong-kongcu akan marah kepada kita.”
Mereka mencari-cari di dalam rumah dan seorang pelayan yang membantu rumah tangga Han Siucai mereka bunuh pula. Tapi anak itu tak tampak bayang-bayangannya! Mereka segera mengejar keluar. Akhirnya setelah mencari ubek-ubekan, mereka melihat anak itu berlari-lari menjauhi rumahnya, jatuh tersaruk-saruk dan menangis perlahan. Mereka segera mengejarnya. Pemimpin penjahat yang larinya lebih cepat daripada sutenya, dengan cepat sekali dapat mengejar anak kecil itu, dan tanpa berkata apa-apa, ia langsung mengangkat golok dan mengayunkan itu ke arah batang leher Han Lian Hwa!
“Traaang!” terdengar goloknya beradu dengan barang keras sehingga berpijarlah bunga api! Thai-pa-cu Kong Liat si Macan Tutul Besar terkejut dan memandang goloknya yang sedikit gempil ujungnya.
“Setan! Siapa berani main gila!” teriaknya.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang ganjil diikuti keluarnya seorang hwesio yang bertongkat toya besar.
“Siancai, siancai…… sungguh kejam benar hatimu. Orang tuanya kau bunuh, begitu pun emaknya, kini engkau masih hendak membunuhnya?”
“Eh, jangan ngoco belo! Siapa yang membunuh?” menyangkal Kong Liat dengan kaget dan kuatir karena perbuatannya ketahuan orang.
“Ha-ha…… ternyata kamu pengecut. Berani berbuat tak berani bertanggung jawab. Kalau tak terlambat kedatanganku, tak mungkin engkau bisa menghamburkan darah begitu banyaknya,” menjawab pendeta itu.
Sementara itu Siauw-pa-cu Ban Kim Ji dengan tak sabar dan kuatir mencela,
“Suko, untuk apa ribut-ribut? Bereskan saja si gundul ini, aku yang membereskan anak itu!”
Dengan kata-kata itu ia segera bergerak ke arah Han Lian Hwa sedangkan Thai-pa-cu memutar goloknya, lalu dengan gerakan Hui-eng-bok-tho atau Elang Terbang Menyambar Kelinci ia menyerang ke arah leher hwesio itu.
“Hm, Siauw-jin (orang rendah) yang tak kenal perikemanusiaan!” Hwesio itu mendamprat sambil meloncat ke arah Han Lian Hwa, dengan cepat sehingga serangan Thai-pa-cu tak berhasil.
Siauw-pa-cu yang mengayun goloknya untuk membunuh anak itu kalah cepat. Sebelum goloknya dapat mencelakakan anak itu, si hwesio dengan sebat telah menangkis dengan toyanya lalu menyambar Han Lian Hwa dengan tangan kiri.
Kedua macan tutul (gelaran mereka) menjadi gusar sekali dan dengan berbareng mereka menyerang. Kong Liat menyerang dari kiri dengan tipu Liong-ting-ti-cu (Ambil Mutiara di Atas Kepala Naga), goloknya mengeluarkan desiran angin ketika menyambar ke arah leher si hwesio, sedangkan adik
3
seperguruannya menyerang dengan tipu Thai-kong-tiauw-hi (Kiang Thai Kong Pancing Ikan), goloknya menyerang dari kanan ke arah pinggang musuhnya.
Tapi, biarpun dikeroyok dari kanan kiri padahal sedang memondong seorang anak kecil, hwesio itu tidak gentar. Ia menggunakan sebelah tangan kanannya memutar toyanya dengan gerak tipu Kiap-san-ciu-hai (Mengempit Gunung Melintasi Lautan). Dengan menggerakkan kepalanya sedikit ke bawah ia menghindarkan serangan Kong Liat dan putaran toyanya dapat membikin terpental golok Ban Kim Ji.
Baru bergebrak beberapa jurus saja ternyata kedua penjahat itu bukan tandingan hwesio itu. Tiap kali golok mereka beradu dengan sambaran toya, mereka merasakan telapak tangan mereka pedas dan perih sehingga hampir saja golok mereka terlepas dari cekalan.
“Mundur!” Kong Liat memberi isarat kepada kawannya dan mereka segera meloncat ke luar kalangan pertempuran, namun hwesio kosen itu tidak mau berhenti sampai di situ saja. Untung toyanya menyambar gesit dan dengan suara “pletak!” kaki kiri Ban Kim Ji terkena sapuan toya.
Ban Kim Ji berteriak ngeri dan rebah di tanah tak berdaya. Kakinya sebelah kiri ternyata patah tulangnya.
“Seharusnya manusia macam engkau ini patut dibunuh, tapi pinceng tidak mau melanggar pantangan membunuh. Nah, semoga pelajaran ini dapat mengubah kelakuanmu yang buruk,” gerutunya kepada korbannya itu. Kemudian ia lalu mengenjot tubuhnya menyusul Kong Liat yang lari ketakutan ketika mendengar teriakan kawannya yang terluka.
Siapakah Han Siucai yang terbunuh itu? Dan mengapa dibunuh?
Beberapa tahun yang lalu, pada waktu Han Bun Lim masih bertunangan dengan Lo Kim Eng, ia menanam bibit permusuhan dengan Bong-kongcu. Han Bun Lim hanya hidup berdua dengan ibunya dan pertunangan dengan nona Lo Kim Eng terjadi sejak mereka masih kecil. Lo Kim Eng adalah puteri dari Lo Sim Tat, seorang pedagang kecil di kampung Lun-kee-cun beberapa puluh lie jauhnya dari kampung Han Bun Lim.
Bibit permusuhan itu sebenarnya ditimbulkan dari pihak Bong-kongcu yang terkenal mata keranjang. Pada suatu hari Bong-kongcu melihat kecantikan Lo Kim Eng dan timbul cintanya kepada gadis cantik itu. Berdasarkan kekuasaan ayahnya, hartawan Bong yang terkenal mempunyai hubungan pengaruh besar dengan para pembesar di kampung maupun di kota, Bong-kongcu tidak memperdulikan kenyataan bahwa gadis itu telah mempunyai tunangan. Ia mengajukan lamaran dengan perantaraan seorang comblang.
Tentu saja lamaran itu ditolak oleh pihak keluarga Lo yang menimbulkan perasaan marah di pihak Bong-kongcu. Tapi pemuda hidung belang itu tidak berdaya untuk mencelakakan dan mengganggu Han Bun Lim, karena pemuda ini mempunyai seorang paman di kota yang berpangkat Tihu dan terkenal sebagai seorang yang adil dan jujur. Maka dendam hatinya ditahan-tahannya dan ia hanya dapat melihat dengan hati iri dan penasaran ketika Han Bun Lim setelah lulus ujian dan mendapat sebutan Han Siucai kawin dengan tunangannya itu.
4
Beberapa tahun kemudian, karena sudah terlampau tua, paman Han Siucai mengundurkan diri dari pekerjaannya, pulang ke kampung dan meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Sementara itu Han Siucai telah mendapat seorang anak perempuan yang diberi nama Han Lian Hwa. Ia hidup berempat dengan isteri, ibu dan anaknya, karena orang tua Lo Kim Eng telah meninggal dunia pula ketika penyakit menular yang hebat mengamuk di kampung mereka.
Pengaruh hartawan Bong makin besar ketika puteranya yang sulung diberi pangkat, yang didapatnya karena pengaruh sogokan uang kepada pembesar atasan. Bong-kongcu sebagai putera bungsu dan dimanja, makin menjadi binal. Ia masih merasa penasaran dan sakit hati kepada Han Siucai dan isterinya. Selain terkenal akan kerakusannya terhadap paras elok, Bong-kongcu suka pula mengumpulkan guru-guru silat yang terdiri dari buaya-buaya darat, belajar silat dari mereka dan sekalian memelihara mereka sebagai tukang pukulnya.
Pada suatu sore di kampung Ban Hok Cun itu gempar dengan munculnya seorang pengemis yang minta sedekah dengan cara paksa. Di tiap pintu ia minta uang, dan takkan pergi dari tengah ambang pintu sebelum diberi uang. Dan ia minta uang dengan ditetapkan jumlahnya! Tidak mau kurang dari lima chi! Ada beberapa orang yang memberi dua chi, tapi pengemis itu meremas uang itu sehingga dua keping tembaga itu menjadi hancur! Tentu saja hal itu menimbulkan ribut dan takut.
Bong-kongcu yang mendengar akan hal ini segera mengumpulkan tukang pukulnya dan mencari pengacau itu. Ia ingin memperlihatkan kekuasaannya dan ia merasa penasaran bahwa di kampungnya ada orang yang berani main gila, seakan-akan tidak takut kepadanya!
Bong-kongcu dan tukangpukul-tukangpukulnya melihat pengemis itu tengah berdiri di depan pintu sebuah kedai arak. Pakaiannya compang-camping, kaki kiri bersepatu baru kaki kanannya telanjang, tubuhnya kurus tinggi, tapi kedua matanya bersinar tajam. Melihat keadaan orang yang sama sekali tidak menakutkan itu, Bong-kongcu lalu maju menghampiri dan membentak,
“He, anjing kurus! Engkau berani mengacau desa kami? Hayo pergi dari sini, kalau kau ingin tulang-tulangmu yang kurus itu selamat!”
Si pengemis menengok kepada Bong-kongcu dan memandang pemuda dan anak buahnya dengan mata mengejek.
“Hm, hm, banyak lalat hijau di kampung ini. Pantas saja karena ada sarang madunya!” Ia lalu membuang muka dan tidak memperdulikan mereka lagi.
“Kurang ajar!” teriak Bong-kongcu dan memerintah anak buahnya,
“Hajar anjing tua ini!”
Enam orang tukang pukul maju mendekati pengemis itu dengan wajah menyeringai. Mereka memandang rendah kepadanya dan menyangka bahwa mereka akan mudah melakukan perintah itu. Pang Houw jagoan yang terkenal paling galak dan paling berani di antara semua tukang pukul Bong-kongcu, mengayun kepalan tangannya yang sebesar buah kelapa menghantam telinga pengemis itu. Pang Houw dijuluki orang Ouw-goe si Kerbau Hitam, tenaga tangannya ratusan kati dan ia telah
5
melatih kedua tangannya memukul pasir beberapa tahun lamanya, maka bukan main hebatnya tenaga pukulannya.
Semua orang mengira bahwa pasti kepala pengemis itu akan pecah-pecah atau sedikitnya matang biru terkena pukulan si Kerbau Hitam kali ini. Tapi ternyata dugaan mereka meleset. Dengan tenang pengemis itu menanti sampai kepalan tangan Pang Houw sudah datang dekat, lalu dengan sebat ia miringkan kepala mengelak, kemudian menangkap tangan itu dengan tangan kiri dan dipencet perlahan.
Alangkah herannya semua orang melihat si Kerbau Besi berkaok-kaok seperti kerbau disembelih ketika lengannya yang besar berbulu itu dipencet perlahan saja oleh tangan pengemis yang kurus kecil. Si pengemis hanya tertawa ha-ha hi-hi.
“Heh, heh, heh, orang macam ini mau menjadi jagoan? Kongcu salah pilih orang dan menghamburkan emas dengan percuma!” demikian katanya sambil memandang Bong-kongcu.
“Hayo keroyok!” terdengar teriakan-teriakan para tukang pukul kawan si Kerbau Besi.
Tapi tiba-tiba Bong-kongcu berseru, “Tahan!” dan semua anak buahnya mengurungkan niat mereka mengeroyok si pengemis.
Bong-kongcu mendapat pikiran baik sekali. Ia melihat bahwa pengemis ini bukan orang sembarangan dan jauh lebih lihai jika dibandingkan dengan para tukang pukulnya. Ia dapat menaksir bahwa gentong-gentong nasi yang tiada guna itu takkan sanggup mengalahkan si pengemis yang lihai, maka ia menggunakan siasat yang menguntungkan. Dengan muka manis ia maju selangkah ke arah pengemis itu dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.
“Maafkan aku yang muda tidak mengenal kelihaian lo-suhu.”
Pengemis itu memandang Bong-kongcu, atau lebih tepat mengamat-amati pakaian pemuda yang sangat mewah dan mahal itu. Kemudian ia tertawa bergelak-gelak.
“Ah, aku pengemis hina dina tak pantas mendapat hormatmu, kongcu,” iapun membalas dengan hormat.
“Aku harap lo-suhu suka memberi ampun kepada para kawan-kawanku ini atas kekurangajaran mereka.”
“Tidak apa, tidak apa. Kalau tidak berkelahi tentu tidak akan kenal,” jawab pengemis itu.
“Bolehkah kiranya aku mengetahui nama lo-suhu yang mulia?”
“Orang panggil aku Pek-bin-houw Cong Cit.”
Bong-kongcu merasa girang karena ia telah mendengar nama Cong Cit si Harimau Muka Putih ini. Di kalangan Liok-lim ada seorang perampok tunggal yang bekerja seorang diri bernama Cong Cit akan tetapi kini telah mengundurkan diri dari pekerjaan merampok.
6
Kembali ia memberi hormat. “Sudah lama aku mendengar nama lo-suhu yang terkenal gagah. Sungguh beruntung hari ini dapat bertemu muka dan berkenalan. Pertemuan ini harus dirayakan dengan minum arak dan makan besar.”
“Makan besar? Arak? Ha-ha! Kongcu tahu benar kesukaanku.” Si pengemis tertawa bergelak-gelak sambil menjulurkan lidah menjilat-jilat bibir. Sambil menggandeng tangan pengemis yang kurus itu Bong-kongcu berjalan menuju ke arah kedai arak yang terbesar di kampung itu, diiringi oleh semua anak buahnya.
Demikianlah, dengan omongan manis dan siasat yang halus Bong-kongcu berhasil menahan si Harimau Muka Putih untuk tinggal di gedungnya dan menjadi pelindungnya. Pek-bin-houw Cong Cit memang seorang yang sudah rusak moralnya, sungguhpun kepandaiannya sangat tinggi, namun ia masih sangat tamak akan harta kekayaan dan kesenangan dunia. Maka di dalam gedungnya kongcu yang banyak uangnya itu merasa mendapat tempat istirahat atau sarang yang sangat menyenangkan.
Dengan adanya Cong Cit, pengaruh Bong-kongcu semakin memuncak, ia ditakuti semua penduduk kampung dan desa di sekitar tempat itu melebihi orang menakuti setan. Dan karena mempunyai seorang pelindung yang kosen ini, Bong-kongcu merencanakan gerakan pembalasan kepada Han Bun Lim.
Pada malam hari yang gelap gulita sebagaimana telah diceritakan di permulaan cerita ini, Bong-kongcu menyuruh tiga orang tukang pukulnya, ialah murid-murid dari Cong Cit untuk menculik nyonya Han dan membasmi semua keluarga Han Siucai. Pekerjaan terkutuk itu berhasil baik. Nyonya Han dapat terculik dan seisi rumah dibunuh.
Baiknya puteri satu-satunya dari Han Siucai ialah Han Lian Hwa, terlepas dari bahaya maut berkat pertolongan seorang pendekar, yaitu Hwesio bergelar Hwat Khong Hwesio dari kelenteng Ban Hok Thong yang sedang berjalan memungut derma ke kampung-kampung guna perbaikan kelentengnya.
Sebagai mana telah diceritakan, Hwat Khong Hwesio mengikuti jejak Kong Liat si Macan Tutul Besar sambil menggendong Han Lian Hwa. Ia sengaja memperlambat jalannya karena maksudnya hendak mengikuti Kong Liat sampai ke sarangnya.
“Celaka, Kongcu!” demikianlah keluhan Kong Liat setelah ia meloncat turun di ruangan belakang. Tanpa membuang waktu lagi ia menceritakan bahwa mereka telah berhasil tapi mereka telah dihalang-halangi oleh seorang hwesio yang lihai.
Ketika Kong Liat datang, Bong-kongcu tengah minum arak dengan Cong Cit, sedangkan Kwee Seng murid kepala yang menculik nyonya Han nampak berdiri menjaga wanita muda itu yang terikat di atas sebuah kursi dengan mulut tersumbat kain, hanya kedua matanya saja mengalirkan air mata. Baru saja ia tersadar dari pingsannya.
Mendengar cerita Kong Liat, Bong-kongcu menjadi marah besar dan demikianpun Cong Cit.
“Engkau, orang bodoh!” Ia memaki muridnya. “Kalian berdua menghadapi seorang hwesio saja tak mampu mengalahkan. Pantaskah engkau disebut murid-muridku?”
7
Perhatian Bong-kongcu beralih kepada nyonya Han atau Lo Kim Eng yang telah sadar dari pingsannya. Ia segera menghampiri nyonya muda itu dan melepaskan sumbatan di mulutnya.
“Manisku, akhirnya engkau jatuh juga ke dalam tanganku,” katanya dengan sikap menjemukan.
Nyonya Han yang semenjak tadi mendengar cerita Kong Liat dan tahu bahwa suami dan mertuanya telah meninggal dunia, tak tertahan pula menangis tersedu-sedu.
“Kau…… kau manusia berhati binatang……! Apakah kesalahan kami sehingga kau berbuat demikian jahat........?”
“Salahnya sendiri, kenapa engkau dulu tidak terima saja pinanganku dan kawin dengan siucai rudin itu? Kini suami dan anakmu telah meninggalkanmu. Suamimu mati dan anakmu entah ke mana, maka lebih baik engkau hidup beruntung dengan aku di sini……”
“Anakku…… Lian Hwa…… di mana anakku……?”
“Ha, ha, ha! Jangan cari anakmu, tiada guna!” mengejek Bong Him Kian si kongcu mata keranjang dengan menyeringai.
“Kongcu…… tolonglah anakku…… tolonglah ia yang tak berdosa.”
“Hem, kalau aku mendatangkan anakmu, engkau mau menjadi kekasihku di sini,” tanya kongcu yang tak kenal malu itu.
“Tolonglah anakku, biar aku menjadi pelayan, biar menjadi apa saja, asal anakku selamat…… tolonglah……” keluh ratap ibu yang sengsara itu.
Tiba-tiba Pek-bin-houw Cong Cit yang sejak tadi melihat tingkah kongcunya dengan senyum gembira, meloncat ke sudut ruangan menyambar tombak yang berada di situ dan dengan teriakan, “Bangsat, jangan lari!” ia melayang keluar dari jendela diikuti oleh Kwee Seng muridnya yang mempunyai julukan Siauw-houw si Macan Kecil.
Ternyata telinga Cong Cit yang terlatih dapat menangkap suara tindakan kaki yang bagi lain orang tak terdengar karena ringannya kaki Hwat Khong Hwesio yang mengintai dari atas genteng. Hwat Kong Hwesio terkejut akan kelihaian si kurus itu, namun ia telah siap. Sejak tadi ia telah mengikat Han Lian Hwa di punggungnya dan kini ia menanti datangnya musuh dengan toya di tangan.
Cong Cit meloncat di hadapannya dan memalangkan tombak.
“He, bangsat gundul tak tahu malu! Berani betul engkau malam-malam datang mengacau!” makinya.
“Ha, ha! Bisa saja engkau membolakbalikkan urusan. Siapa yang mengacau? Siapa yang telah membunuh orang? Siapa yang menculik bini orang?” jawab Hwat Khong menggerak-gerakkan toyanya.
8
“Perduli apa engkau dengan urusan orang lain! Apakah engkau tiada pekerjaan di kelentengmu sehingga berkeliaran ke sini? Murid-muridku yang masih hijau mungkin tak dapat melawanmu, tapi aku Pek-bin-houw Cong Cit akan menghajar kepala gundulmu!”
Kaget juga Hwat Khong mendengar nama musuhnya. Ia maklum akan kelihaian Harimau Muka Putih itu yang dulu sangat terkenal akan permainan tombaknya sehingga ia digelari orang Sian-cio atau Tombak Dewa. Namun ia dapat menenangkan hatinya dan segera menerjang dengan toyanya.
Cong Cit menangkis dengan tombaknya dan ketika toya beradu dengan tombak, tampak api berpijar dan keduanya terpental mundur setindak. Ternyata bahwa tenaga mereka berimbang.
“Tahan dulu! Siapakah engkau hwesio yang usilan ini? teriak Cong Cit penasaran.
“Pinceng tak pernah sembunyikan nama. Namaku Hwat Khong Hwesio. Sudahlah jangan banyak cakap. Lepaskan nyonya itu atau kaurasakan kerasnya toyaku!”
“Jangan sombong, kepala keledai!” memaki Kwee Seng yang segera menyerang dengan goloknya, tapi dengan hanya sekali tangkis, golok Kwee Seng terpental dan hampir saja terlepas dari pegangannya!
“Hm, mundur kau, biarkan aku bikin mampus kepala gundul ini,” membentak gurunya.
Mereka berdua telah memasang kuda-kuda dan siap untuk bertanding mati-matian. Tiba-tiba pada saat itu terdengar jeritan ngeri dari ruangan di bawah mereka. Jeritan ini membikin mereka berdua menahan gerakan mereka dan menujukan perhatian ke bawah.
Dari bawah meloncat beberapa orang murid Cong Cit dan Kong Liat melaporkan kepada suhunya, “Celaka, si domba betina (dimaksudkan nyonya Han) membenturkan kepalanya di tembok dan binasa!”
“Sungguh kejam!” berseru Hwat Khong Hwesio sambil mulai menyerang dan sesaat kemudian Hwat Khong dan Cong Cit bertempur dengan hebat.
Tapi hwesio itu kurang leluasa gerakannya karena Han Lian Hwa yang terikat di punggungnya bergerak-gerak sambil menangis. Lagi pula Hwat Khong Hwesio yang di masa mudanya telah terlampau banyak membunuh penjahat-penjahat telah bertobat dan bersumpah tidak mau membunuh lagi. Tentu saja sukar baginya untuk melayani Cong Cit yang lihai tanpa melancarkan serangan-serangan yang mematikan, hanya menjaga diri saja. Kalau musuhnya tidak selihai Cong Cit masih mudah bagi Hwat Khong untuk mempermainkannya dan memberi pukulan-pukulan yang tidak mematikan dan bersifat menghukum saja. Tapi Harimau Muka Putih itu tidak memberi kesempatan kepadanya untuk main-main.
Tombaknya berkelebat dan ujungnya terputar-putar hingga menjadi beberapa puluh tampaknya mengurung Hwat Khong dengan tipu Giok-tai-wie-yauw (Angkin Kumala Melibat Pinggang). Hwat Khong memutar toyanya bagaikan seekor naga yang menembus awan dengan tipu Hing-sau-chian-kun (Menyerampang Bersih Ribuan Perajurit) dan ketika Cong Cit mengeluarkan Sian-chio-hoatnya yang terkenal lihai, Hwat Khong merasa sibuk juga.
9
Serangan-serangan yang dilontarkan oleh si kurus itu demikian tak terduga datangnya, tubuhnya berloncat-loncatan ke kanan ke kiri, ke depan ke belakang, sehingga Han Lian Hwa yang menangis di punggungnyapun sampai terancam bahaya ujung tombak. Terpaksa ia gunakan tipu permainan toya yang terkenal dari cabang Siauw-lim, yaitu Hok-houw-kun-hwat (Ilmu Toya Penakluk Harimau). Gerakan toyanya merupakan lingkaran hitam yang melindungi tubuhnya dan berbareng melumpuhkan serangan Cong Cit untuk sementara, tapi si kurus yang lihai merubah gerakannya dan mengeluarkan tipu-tipu Sian-chio yang paling berbahaya sehingga kadang-kadang ujung tombaknya dapat menembus benteng hitam itu dan mengancam lawannya.
Hwat Khong berpikir bahwa keadaan itu tak menguntungkan baginya. Ia akui bahwa kepandaian Cong Cit masih lebih tinggi dari padanya, apa pula ia sekarang harus melindungi anak kecil yang digendong di punggungnya. Lagi pula untuk apa ia harus melawan terus? Ibu anak ini sudah mati, membunuh diri dengan membenturkan kepala ke tembok, apa lagi yang harus dibela? Lebih baik lari dengan anak itu, demikian pikirnya sambil menangkis serangan-serangan lawannya.
Ia mencari kesempatan baik. Ketika ujung tombak menusuk ke arah lehernya dari jurusan kanan, ia tidak menangkis tapi setelah mata tombak datang dekat hingga terasa anginnya, tiba-tiba saja ia merendah hampir berjongkok dan menyapu kaki lawannya dengan gerak tipu Ouw-liong-chut-thong (Naga Hitam Keluar Gua).
Cong Cit terkejut melihat gerakan lawan sehebat itu dan tak tersangka-sangka pula, segera ia mengenjot kakinya mencelat mundur untuk menghindarkan diri dari sapuan musuh. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hwat Khong untuk memutar tubuh dan meloncat pergi melarikan diri.
“Hwesio gundul hendak lari ke mana?” Cong Cit mengejar dengan marah, namun Hwat Khong sudah lari jauh dan karena malam masih gelap, sebentar saja Cong Cit telah kehilangan jejak musuhnya. Terpaksa ia kembali dengan kecewa dan marah.
Sesampainya di gedung Bong-kongcu, ia melihat kongcu itu bersedih karena Lo Kim Eng nekat menghabiskan nyawanya sendiri dengan jalan membenturkan kepala di tembok. Tak disangka nyonya muda itu demikian nekat. Ia menyesal urusan menjadi demikian, ketika didengarnya bahwa puteri Han Siucai dapat lolos hingga dapat diduga bahwa anak itu dikemudian hari pasti akan mendatangkan malapetaka.
Namun Cong Cit dapat menghiburnya dengan berkata bahwa kalau hanya dibawah asuhan Hwat Khong Hwesio saja, tak mungkin anak itu menjadi orang yang perlu ditakuti, karena kepandaian hwesio itu masih jauh di bawah kepandaiannya. Semenjak itu, Bong-kongcu belajar silat dengan giat di bawah asuhan Cong Cit untuk menjaga diri, dan ia masih saja mengumpulkan orang-orang pandai untuk melindungi dirinya.
Adapun peristiwa keluarga Han yang terbunuh mati itu dengan mudah saja dapat dibereskan oleh pembesar setempat yang mendapat suapan dari Bong-kongcu. Pembesar membuat laporan bahwa Han Kongcu didatangi perampok dari luar kampung yang datang membalas dendam. Laporan macam itu dibuat dan beres!
?Y?
10
Marilah kita ikuti perjalanan Hwat Kong Hwesio yang menggendong Han Lian Hwa menuju ke kelentengnya. Anak kecil berusia lima tahun itu kini telah berhenti menangis.
Ketika fajar telah menyingsing, Hwat Kong tiba di bukit Kim-ma-san. Ia memotong jalan menuju ke kelentengnya yang terletak di atas Gunung Bok-lun-san, ia tidak mau melalui jalan biasa karena kuatir kalau-kalau dikejar oleh Cong Cit dan kawan-kawannya. Maka ia mengambil jalan memutar, melalui gunung-gunung dan hutan-hutan. Sebenarnya ia belum pernah melalui jalan itu, tapi karena ia tahu arahnya dan kenal pula gunung-gunung itu dari jauh, ia tidak sampai tersesat.
Bukit Kim-ma-san mempunyai pemandangan yang indah, tapi juga sangat berbahaya, karena di situ terdapat hutan-hutan yang liar dan jurang-jurang dalam yang tertutup alang-alang sehingga tak tampak dari luar dan mudah menjebloskan orang yang kurang hati-hati.
Hwat Kong beristirahat dan duduk di atas batu hitam. Ia menurunkan Lian Hwa yang tertidur dalam gendongannya. Anak itu tersadar dan segera berbisik, “Lapar…… lapar……”
Hwat Khong tertawa, “Anak baik, jangan kuatir. Tunggu sebentar, kucarikan makanan.” Kemudian ia memandang ke sana ke mari mencari-cari sesuatu yang dapat dimakan. Karena didekat situ tiada terdapat buah-buahan, maka ia masuk sedikit ke dalam hutan.
Tiba-tiba terdengar seruan Lian Hwa, “Pergi…… engkau pergi……!”
Hwat Khong menenggok dan alangkah kagetnya ketika dilihatnya seekor ular sebesar paha menggeleser mendekati anak itu. Tanpa membuang waktu lagi Hwat Khong membidik dan melemparkan toyanya ke arah kepala ular. Ini adalah jalan satu-satunya untuk menolong Lian Hwa karena untuk menghampiri sudah tidak keburu. Toyanya bersiutan meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.
Ketika ujung toya itu telah berada, kira-kira dua dim lagi dari kepala ular, tiba-tiba sebuah sinar putih kecil menyambar ujung toya dan sinar itu demikian kuatnya sehingga jurusan luncuran toya berubah ke samping dan menancap di atas tanah sampai hampir setengahnya. Hwat Kong terkejut ketika melihat bahwa sinar yang menyambar toyanya itu tak lain hanyalah sebuah batu koral putih yang kecil. Dapat dimaklumi betapa lihainya penyambit batu itu sehingga batu yang demikian kecilnya dapat membentur toyanya yang berat dan yang dilepas dengan sepenuh tenaga itu hingga mencong arahnya.
“Eh, sungguh ganjil dunia ini, sampai seorang pendetapun berhati telengas dan kejam, hendak membunuh sesama hidup yang tidak berdosa.” Demikian terdengar gerutu seorang yang keluar dari gerombolan pohon kecil.
Hwat Khong menengok dan melihat seorang laki-laki yang tak menyerupai orang biasa, bahkan boleh dikata setengah binatang. Wajahnya penuh bulu, yaitu kumis dan jenggotnya panjang tak teratur mencuat ke sana ke mari memenuhi muka, rambutnya panjang dibiarkan saja tergantung di belakang dan di atas kedua pundak bahkan sebagian rambutnya yang berwarna dua itu menutupi jidat dan muka. Ia tak berbaju dan hanya memakai celana kulit harimau dan kakinya bertelanjang pula.
11
Sungguhpun mahluk itu tampak mengerikan, namun sepasang matanya yang bersinar-sinar membayangkan keagungan dan kesucian. Tampaknya ia sudah tua benar karena biarpun rambut dan cambangnya belum putih semua namun kulit muka dan tubuhnya telah berkerut-kerut penuh keriput tanda usia tua.
“Omitohud!” Hwat Khong berseru sambil merangkap kedua tangannya memberi hormat. “Sahabat yang aneh, mengapa engkau katakan pinceng telengas dan kejam? Bukankah ular itu hendak mencelakakan anak ini?”
“Hm, sebaliknya jangan bertindak sebelum mengetahui benar-benar duduknya hal,” membantah orang itu. “Mengapa engkau begitu yakin bahwa ular itu hendak mencelakakan anak ini?”
“Ular adalah seekor binatang, biasanya binatang itu……” tiba-tiba Hwat Khong menghentikan kata-katanya karena ia melihat betapa binatang ular itu kini telah mendekati Lian Hwa dan mengulurkan lidahnya menjilat-jilat, sedangkan anak itupun sama sekali tidak takut, bahkan menggunakan tangannya yang kecil mengusap-usap tubuh ular yang berkembang indah.
“Ha, ha! Memang aku yang salah,” demikian gerutunya, kemudian ia berkata kepada orang itu, “Sahabat, maafkan pinceng yang tak dapat membedakan siapa baik siapa jahat sehingga hampir saja membunuh binatang yang tak berdosa.”
“Kelancanganmu harus dihukum!” berkata orang itu dengan suara tetap.
“Dihukum?” Hwat Khong terheran-heran.
Orang ganjil itu mengangguk-angguk, matanya bersinar. Hwat Khong tidak tahu bahwa orang itu sedang bergembira karena telah bertahun-tahun tak berjumpa dengan sesama orang dan bahwa orang tua itu suka bergurau.
“Ya, hukumannya dua macam. Yang kedua akan kukatakan nanti, sekarang hukuman pertama: Engkau harus mengaku terus terang dan menceritakan dengan sebenar-benarnya mengapa engkau datang ke sini membawa anak kecil dan siapa anak itu. Ayoh, ceritakan semua sejujurnya.”
Hwat Khong tertawa bergelak-gelak. “Engkau aneh dan lucu, sahabat. Pinceng bukan orang jahat, juga tak berniat jahat. Sudah tentu akan kuceritakan segala pengalamanku dengan anak itu.”
Ia lalu bercerita dari awal sampai akhir tentang hal menolong Lian Hwa dan bagaimana keluarga anak itu sampai terbunuh habis oleh musuh-musuhnya. Orang itu mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa mengganggu cerita Hwat Khong.
“Mengapa tak kau basmi sekalian orang-orang jahat itu?” tegurnya.
“Omitohud, pinceng tidak mau melanggar pantangan membunuh dengan begitu saja. Pula, pihak mereka sangat kuat, bahkan si Cong Cit itu kepandaiannya lebih tinggi dari padaku. Maksudku kini hanya untuk mendidik anak ini agar di kemudian hari ia dapat membalaskan orang tuanya.”
12
“Hm, hm, beralasan juga kata-katamu. Nah, sekarang hukuman kedua, yaitu engkau harus tinggalkan anak ini padaku!”
“Ah, hal ini tak mungkin!”
“Mengapa tak mungkin? Anak ini bukan anakmu!”
“Tapi pinceng bertanggung jawab penuh atas anak ini, karena pinceng yang membawanya. Pula pinceng bermaksud mendidiknya menjadi orang pandai.”
“Apa kaukira aku tidak mampu mendidik lebih baik daripadamu?”
“Bukan demikian, tapi…… tapi keadaanmu ini…… dan pinceng belum tahu engkau ini sebenarnya siapa?”
“Hm, lagi-lagi engkau tak mempercayai orang seperti engkau tak mempercayai ular tadi. Ketahuilah, hai hwesio bodoh, engkau ingin mendidik anak ini dengan ilmu kepandaianmu yang rendah itu apakah gunanya? Sedangkan engkau sendiri tak mampu mengalahkan musuh-musuhnya, apa pula muridmu! Apakah kau ingin melihat ia mati terbunuh pula kelak oleh musuh-musuhnya?”
Hwat Khong memandangnya dengan ragu-ragu dan orang itu mengerti bahwa hwesio itu masih belum percaya benar, maka dengan menjepit toya Hwat Khong yang tertancap di atas tanah menggunakan dua jarinya lalu mencabutnya dengan mudah, ia angsurkan toya itu kepada Hwat Khong.
“Nah, cobalah, dapatkah engkau membetot terlepas toyamu ini dari jepitan jariku,” ia menantang.
Hwat Khong melihat toya itu hanya terjepit telunjuk dan jari tengah dari tangan kanan orang itu. Ia teringat kepada gurunya, Hun Beng Siansu, yang dulu pernah pula mencobanya dengan cara demikian. Apakah orang ini sekuat gurunya? Tak mungkin, pikirnya. Dengan berkata “maaf” Hwat Khong memegang ujung toyanya dengan kedua tangan lalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk mencabutnya.
Tapi alangkah herannya melihat toya itu tak bergeming seakan-akan telah berakar di jepitan jari orang itu. Tiba-tiba orang itu bersiul aneh dan Hwat Khong merasa ditarik tenaga raksasa, ia terbetot maju dengan tak tertahankan pula sampai tiga langkah menurutkan orang itu yang melangkah ke belakang!
Buru-buru Hwat Khong melepaskan toyanya dan memberi hormat. “Maafkan pinceng yang tak bermata. Sungguh tak melihat orang pandai. Maaf, maaf. Bolehkah pinceng mengetahui nama suhu yang mulia?”
“Ha, ha, Hwat Khong, engkaupun sudah memperoleh kemajuan. Cukup bagi pemantang membunuh seperti engkau. Aku ialah Sian-kiam Koai-jin Ong Lun.”
13
“Sian-kiam Koai-jin?” berkata Hwat Kong dengan terperanjat dan heran, tapi segera ia berlutut, “Maafkan murid berlaku kurang ajar. Sama sekali tidak nyana akan berjumpa dengan Supek di sini, tapi……”
“Ya, aku mengerti kebingunganmu. Gurumu dulu pernah menceritakan tentang engkau. Tadipun lemparan toyamu ke arah ular itu telah membuka mataku bahwa engkau tentu murid Hun Beng. Engkau bingung mengapa aku masih hidup?” Orang itu menghela napas. “Memang Thian sewaktu-waktu suka bermain-main dengan manusia yang tak berdaya. Aku yang ingin mati tidak mati-mati sedangkan Hun Beng, gurumu yang masih ingin hidup sudah mati duluan. Apa boleh buat, aku hanya menanti panggilan Thian yang Maha kuasa.”
“Murid kini menyerahkan anak itu kepada supek, terserah bagaimana keputusan supek,” berkata Hwat Khong dengan hormat.
“Begini maksudku, biarlah kudidik anak ini untuk beberapa tahun sebelum aku mati, agar tak percuma aku mempelajari kepandaian selama ini. Kulihat anak ini bertulang baik, sayang ia perempuan. Nanti ia akan kuserahkan kepadamu untuk dididik selanjutnya ke arah jalan kebenaran.”
“Baiklah, supek, murid hanya menurut.”
“Nah, sudahlah, Hwat Khong. Aku mau pergi dengan anak itu.”
Tanpa menoleh lagi, Sian-kiam Koai-jin Ong Lun si Manusia Aneh Pedang Dewa itu menghampiri Lian Hwa, menggendongnya dengan hati-hati dan dengan sekali lambaian lengan bayangannya melesat di antara pepohonan dan lenyap dari pandangan Hwat Khong.
Hwesio itu menghela napas panjang. Tak sekali-kali ia menyangka bahwa manusia aneh itu masih hidup, karena dulu pernah ia mendengar bahwa supeknya itu telah mati dikeroyok pemimpin agama Pek-lian-kauw. Ia pernah mendengar dari gurunya sebelum mati dulu bahwa supeknya itu kepandaiannya masih lebih tinggi daripada gurunya sendiri dan bahwa di masa mudanya Sian-kiam Koai-jin adalah seorang hiap-kek yang ternama, sayangnya ia agak terlampau kejam terhadap musuh-musuhnya dan suka sekali bergurau. Ilmu silat pedangnya luar biasa dan karena adatnya yang aneh maka ia diberi julukan Manusia Aneh Pedang Dewa.
“Entah bagaimana nasib Lian Hwa, anak itu,” pikir Hwat Khong. “Terang sekali bahwa anak itu pasti akan mendapat didikan ilmu silat yang hebat, tapi sayang sekali kalau keadaan supek setengah liar itu akan mempengaruhi jiwa Lian Hwa……”
Dengan pikiran penuh akan hal anak itu, Hwat Khong melanjutkan perjalanan kembali ke bukit Bok-lun-san untuk mengurus kelentengnya Ban-hok-tong.
Sian-kiam Koai-jin Ong Lun membawa Lian Hwa ke dalam terowongan yang ia bikin selama dua tahun lebih di atas Gunung Kim-ma-san. Terowongan itu panjangnya lebih dari dua lie dan menembus ke puncak bukit di mana terdapat dataran tanah yang subur dan indah pemandangannya. Tempat itu dikelilingi jurang-jurang dalam dan orang tak mungkin dapat turun atau naik ke tempat itu selain melalui terowongan rahasia itu. Tapi hanya si Manusia Aneh saja yang mengetahui jalannya.
14
Kurang lebih sepuluh tahun lamanya Lian Hwa hidup berdua dengan gurunya dan menerima pelajaran ilmu silat yang tinggi. Ong Lun menurunkan seluruh kepandaiannya kepada murid satu-satunya itu, dan ia sangat menyayang muridnya itu demikian pula I.ian Hwa sangat kasih kepada gurunya.
Ia tidak hanya mewarisi kepandaian gurunya, bahkan adatnya yang kukoai (aneh) dan selalu gembira itupun diwarisinya pula. Maka di atas gunung yang tidak ada lain orang itu, kini ditinggali oleh dua orang yang aneh. Ong Lun suka sekali bernyanyi-nyanyi, walaupun suaranya parau seperti gembreng pecah, namun ia pandai bersyair. Kebiasaan inipun diturut oleh Lian Hwa yang memiliki suara merdu. Gadis inipun pan¬dai pula bersyair jenaka.
Pada suatu pagi si Manusia Aneh yang kebal terhadap segala apa dan kosen itu terpaksa tunduk juga terhadap kekuasaan alam. Ia jatuh sakit usia tua. Usianya telah seratus tahun lebih dan begitu lama ia bisa pertahankan kesehatannya berkat kepandaiannya yang tingggi. Tapi akhirnya ia jatuh juga. Ia memanggil muridnya untuk datang dekat. Lian Hwa menjadi bingung melihat gurunya berbaring saja tak dapat bangun itu.
“Lian Hwa, muridku. Kini tulangku yang tua ini terpaksa menyerah terhadap kekuasaan usia.”
“Suhu, engkau mengapa? Sakitkah?”
Gurunya mengangguk.
“Ah, kenapa suhu kalah oleh penyakit ? Bukankah suhu sering bernyanyi,
“Aku bebas seperti burung di udara.
Aku merdeka seperti ikan di samudra.
Aku manusia aneh beruntung bahagia.
Aku tak mengenal susah tak tahu duka.
Apa itu penyakit? Pergilah, jangan dekat!
Aku tak mengenal kamu!”
“Nah, kenapa suhu sekarang sakit? Usirlah penyakit itu, suhu!”
Kata-kata muridnya yang bersemangat dan jenaka ini membuat Ong Lun sekali lagi tertawa terbahak-bahak. Tapi kemudian ia berkata dengan sungguh-sungguh,
“Lian, muridku. Engkau tahu, besi yang begitu kuat masih bisa karatan. Apa pula aku yang hanya terbuat dari pada darah dan daging. Tentu kalah oleh usia tua. Aku sering ceritakan padamu tentang kekuasaan Thian yang maha kuasa. Nah, sekarang tibalah saatnya aku harus memenuhi panggilan Thian........”
Lian Hwa terkejut dan membuka lebar-lebar kedua matanya yang jernih.
“Suhu……! Apakah maksudmu? Apakah suhu akan meninggalkan aku? Apakah suhu akan pergi ma…… mati……?”
15
Ketika melihat gurunya hanya mengangguk sambil bersenyum, Lian Hwa segera menubruk tubuh gurunya, menangis tersedu-sedu. Ia sebenarnya jarang sekali menangis, tapi kali ini entah apa yang menggerakkan perasaannya sehingga ia tak kuat menahan membanjirnya air matanya.
“Suhu, jangan mati! Jangan tinggalkan aku seorang diri……”
Ong Lun mengelus-elus rambut Lian Hwa. “Eh, eh, engkau mengapa Lian? Tidak patut muridku bersikap selemah ini. Diamlah jangan menangis. Manusia biar bagaimana gagah dan kosenpun, tak dapat berdaya terhadap kematian usia tua. Nah, dengarkanlah Lian. Biarpun aku akan mati, tapi aku telah puas melihatmu. Engkau murid yang baik. Dulu beberapa kali engkau bertanya tentang ibumu. Sebenarnya engkau pernah mempunyai ibu dan ayah seperti juga semua binatang yang berada di gunung ini. Dan aku bukanlah ayahmu, nak.”
Lian Hwa menubruk dan memeluk gurunya lagi sambil menangis sedih.
“Tenangkan hatimu. Nanti bila aku sudah pergi, bakarlah pondok ini dan engkau pergilah ke bukit Bok-lu-san dan carilah di sana sebuah kelenteng bernama Ban-hok-tong. Di situ ada seorang suhengmu bernama Hwat Kong Hwesio. Berikan suratku ini kepadanya. Selanjutnya engkau harus menurut segala petunjuk dan nasihatnya. Ia seorang baik, Lian dan anggaplah ia sebagai penggantiku untukmu. Pedangku Sian-liong-kiam itu boleh kaubawa……” suaranya lemah.
Lian Hwa hanya dapat mengangguk-angguk sambil terisak-isak.
Tiba-tiba Sian-kiam Koai-jin Ong Lun si Manusia Aneh itu bangun duduk dan berkata dengan suara memerintah,
“Lian Hwa, engkau tentu masih ingat ceritaku tentang Gak Keng Hiap? Nah, jika engkau bertemu dengan orang itu, jangan lupa, balaskan penasaranku dan bunuhlah dia! Sudahlah, Lian jangan engkau sedih.”
“Tapi, suhu…… mengapa suhu akan meninggalkan aku begini saja? Aku tak kuat menahan kesedihan hatiku, suhu. Hatiku menjadi bingung……”
Ong Lun merebahkan dirinya kembali. “Engkau ingin aku sembuh? Baiklah, Lian. Sekarang pergilah engkau mencari bunga Biauw di puncak kiri sana setangkai saja. Bunga itu jika dimasak dapat kiranya mengobati penyakitku.”
“Baik, suhu.” Han Lian Hwa segera berbangkit dan dengan gesit tubuhnya melesat keluar. Ia mempergunakan seluruh kepandaiannya berlari cepat dan meringankan tubuh, melayang-layang dan meloncati jurang-jurang di hadapannya untuk menuju ke puncak bukit sebelah kiri di mana ia tahu banyak terdapat pohon bunga Biauw. Tapi alangkah sedihnya ketika sampai di situ ia melihat bahwa semua pohon Biauw itu tiada satupun berkembang, ia ingat bahwa waktu itu belum musimnya Biauw berkembang.
Tentu saja ia tak melihat setangkaipun bunga. Hatinya berdebar kuatir. Kalau tidak ada bunga Biauw maka bagaimana nasib gurunya? Ia masih penasaran dan mencari ubek-ubekan di seluruh permukaan
16
puncak bukit dengan harapan kalau-kalau masih ada sisa bunga Biauw di situ. Tapi hasilnya nihil dan dengan lesu ia pulang ke pondok suhunya kembali.
Ia memasuki pondok dengan kepala tunduk dan gelisah. Bagaimana ia harus memberi tahu suhunya?
“Suhu……” katanya dengan masih tunduk, tak berani memandang gurunya.
Suhunya tak menyahut.
“Suhu……“ ia memanggil lagi, tapi kembali gurunya tidak menjawab.
Han Lian Hwa mengangkat kepala memandang gurunya. Ia melihat gurunya terbujur seperti orang tidur.
“Suhu……” tegurnya agak keras dan menghampiri lalu menjamah tangan gurunya. Mendadak ia mengerti ketika tangannya merasakan kedinginan yang kaku pada lengan gurunya.
“Suhu……!” kali ini panggilannya merupakan pekik mengharukan dan ia menangis tersedu-sedu tiada hentinya. Hampir setengah hari lamanya ia berada dalam keadaan demikian, berlutut sambil terisak memanggil gurunya.
Akhirnya ia dapat menenangkan hati. Diambilnya surat pesanan gurunya dan digantungnya pedang Sian-liong-kiam di pinggangnya, kemudian setelah berlutut memberi hormat sekali lagi, ia menghunus Sian-liong-kiam, dipukulkannya ujung pedang itu pada batu karang di sudut pondok. Api besar memuncrat menyambar daun kering yang ditaruhnya di dekat batu itu sehingga tak lama kemudian berkobarlah api membakar pondok.
Han Lian Hwa meloncat keluar pondok. Setelah memandang sekali lagi ke tempat yang dicinta itu, ia segera memulai perjalanannya turun gunung melalui jalan terowongan gurunya. Hatinya yang biasanya bergembira itu diliputi awan kesedihan dan kesepian.
?Y?
Ketika masih berada di puncak Kim-ma-san, Ong Lun beberapa kali turun gunung mencarikan segala keperluan muridnya, pakaian, sepatu dan lain-lain. Maka sungguhpun Han Lian Hwa belum pernah turun gunung, ia berpakaian seperti orang lain, hanya pakaiannya serba ringkas dan sederhana.
Perhiasan satu-satunya ialah sebuah bunga Teratai terbuat daripada emas tertabur mutiara yang menghias di rambutnya yang hitam lebat, serta pedangnya yang bergagang emas berukiran Liong itu. Di dalam sebuah kantung kuning yang tergantung di pinggangnya, ia membawa beberapa puluh potong emas pemberian gurunya, karena gurunya pernah bercerita bahwa di dunia ramai orang harus menggunakan emas-emas itu untuk menukar dengan makanan dan pakaian atau segala macam keperluan!
Karena belum mengenal jalan, Han Lian Hwa tersesat. Dua hari berikutnya baru ia melihat sebuah kampung. Timbul kegembiraannya ketika ia melihat orang-orang. Ia memandang rumah-rumah
17
kampung dengan penuh rasa heran dan kagum. Ia seakan-akan merupakan burung yang baru saja belajar terbang dan pertama kali keluar dari sarangnya.
Ketika ia melalui sebuah kedai arak bau sedap menyerang hidungnya dan membuat perutnya terasa lapar. Sungguhpun ia selalu tinggal di atas gunung dan terasing, tapi ia tidak asing terhadap arak, karena gurunya membuat arak sendiri dari buah-buahan di atas gunung. Semenjak turun gunung, ia hanya makan buah-buahan di sepanjang hutan. Perutnya kini terasa lapar sekali.
Dengan hati-hati ia memasuki kedai itu. Warung itu penuh orang dan meja penuh dikelilingi tamu. Tidak ada meja yang kosong. Selagi ia berdiri bingung, tiba-tiba seorang tinggi besar bermuka hitam yang duduk minum arak seorang diri berbangkit dan menghampirinya.
“Siocia mencari tempat duduk? Marilah ke sini, tempatku masih kosong, kita minum berdua.”
Han Lian Hwa yang selama ini hidup dengan gurunya berdua saja, tidak mengerti akan adat sopan santun dan ia asing pula akan kekurangajaran laki-laki terhadap wanita. Tawaran itu diterimanya dengan senyum girang.
“Terima kasih tuan!” jawabnya dan ia ikut duduk.
“He, pelayan! Tambah lagi arak dan daging!” teriak si muka hitam dengan gembira karena ia merasa hari itu sangat mujur. Jarang sekali terdapat kemujuran seperti itu, seorang siocia yang demikian cantiknya suka duduk bersamanya semeja. Alangkah bahagianya! Ia mengangkat dada dengan sombongnya sambil mengerling kepada orang-orang di situ yang semuanya melihat Lian Hwa dengan kagum dan heran. Kagum karena jelitanya dan heran karena ia begitu menurut dan menerima ajakan Si muka hitam.
Tanpa ditanya Si muka hitam memperkenalkan diri. “Aku bernama Peng Bouw, orang-orang menjuluki aku Ouw-bin-ma si Kuda Muka Hitam.
Lian Hwa tertawa geli. Suara ketawanya bebas keras dan nyaring sehingga semua orang menengok dan makin heran memandangnya.
“Eh, nona, mengapa tertawa?” tanya Si muka hitam.
Tapi Han Lian Hwa tidak menjawab dan tiba-tiba saja suara ketawanya berhenti ketika ia melihat bahwa semua mata ditujukan kepadanya.
“Mengapa semua orang memandangku?” tanyanya perlahan.
“Karena nona tertawa terlampau keras!”
Lian Hwa menjadi bingung dan tidak mengerti.
Sementara itu pelayan datang menambah arak, daging dan mi. Si muka hitam menawarkan, tanpa seji (sungkan) lagi Lian Hwa mengerjakan mi dan daging ke dalam perutnya. Arak itu baginya terlampau
18
ringan sehingga ia menceguknya seperti orang minum air saja sampai si muka hitam melihatnya dengan mata lebar dan mulut ternganga.
Setelah makan kenyang, Lian Hwa menghela napas lega. Dan si muka hitam yang terpaksa melayani nona itu minum banyak arak, mulai menjadi sinting dan bicaranya makin berani. Tetapi Lian Hwa tidak mengerti maksud kata-katanya yang kurang ajar itu.
“Kenapa engkau tadi tertawa, nona?” tanya Peng Bouw.
“Tertawa? Tadi?” Lian Hwa mengingat-ingat dan tiba-tiba saja ia tertawa lagi dengan nyaringnya sehingga lagi-lagi para tamu di situ menengok memandangnya.
“Aku tertawa karena namamu! Si Kuda Muka Hitam! Sungguh lucu!”
Peng Bouw merasa tersindir. “Lucu? Apakah yang lucu?”
Han Lian Hwa menjawab dengan kata-kata,
“Namamu Si Kuda Muka Hitam.
Memang mukamu lebih hitam daripada arang!
Tapi mengapa namamu kuda?
Mukamu tidak seperti kuda,
Hidungmu terlalu kecil,
Lehermu terlalu pendek,
Bagiku engkau tak pantas disebut kuda,
Lebih tepat disebut…….”
Ia tidak melanjutkan kata-katanya.
“Seperti apa? Coba teruskan……” teriak orang-orang yang mendengarkan dengan tertarik dan gembira.
Han Lian Hwa memandang muka Peng Bouw dengan teliti dan si muka hitam juga mendesak,
“Coba katakan, aku pantas disebut apa?” katanya sambil membusungkan dada.
“Engkau lebih menyerupai…… lutung!”
Terdengar suara riuh rendah orang tertawa.
Ouw-bin-ma Peng Bouw timbul marahnya, tapi ia lebih marah kepada orang banyak yang mentertawainya. “Diam kamu semua! Siapa berani mentertawai aku? Hayo bilang, siapa berani?”
Segera suara tertawa itu berhenti, tiba-tiba bagaikan jengkerik, terinjak.
Peng Bouw berdiri dan menendang sebuah meja di kanannya sehingga mangkok dan sumpit jatuh berhamburan menimbulkan suara gaduh. “Hayo, siapa berani kepadaku?”
19
Seorang pelayan menghampirinya.
“Tidak ada yang berani, maafkanlah mereka itu, Peng Toaya!” ia menghibur, tapi dengan sekali sampok, pelayan itu jatuh tunggang langgang mengaduh-aduh.
“Hayoh, siapa berani?” Peng Bouw menantang makin kalap.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang nyaring dari Han Lian Hwa. Suara ketawanya demikian sewajarnya dan menggembirakan sehingga semua orang tak dapat menahan pula gelaknya dan kembali riuh rendah suara ketawa di kedai itu.
“Sungguh lucu! Alangkah lucunya, engkau ini lutung yang lucu tapi jahat. Mengapa engkau memukul orang?” Lian Hwa menghampiri Peng Bouw yang kini marah sekali kepadanya karena dimaki lutung beberapa kali.
“Eh, nona, jangan engkau lanjutkan kurang ajarmu. Lama kelamaan tuanmu akan hilang sabar dari mencinta berbalik menjadi benci. Sayang kecantikanmu, kalau sampai kena tampar olehku!”
“Engkau? Mau menampar mukaku? Boleh, boleh. Ini tamparlah!” Han Lian Hwa memberikan mukanya yang halus itu ke arah Peng Bouw.
Si muka hitam terheran-heran dan semua orang berkuatir melihat Lian Hwa.
Melihat keraguan Peng Bouw, Lian Hwa mengejek, “Hayo tamparlah lutung hitam jahat. Apa engkau tidak berani?”
Tak tertahankan lagi kemarahan Peng Pouw. Tangan kanannya menampar, tangan kirinya terulur hendak memeluk gadis cantik yang menghinanya itu. Semua orang terkejut, mereka tahu akan kekuatan Peng Bouw yang hebat. Kalau gadis itu kena tampar........
Tapi mereka kecele! Dengan sedikit miringkan kepala, tangan Peng Bouw menampar angin dan tangan kirinya yang terulurpun dapat dikelit dengan mudahnya oleh gadis itu. Sebelum Peng Bouw dapat pernahkan kedua kakinya, jari tangan kiri Lian Hwa telah bergerak menotok iganya bagian hou-cing-hiat.
Totokan itu cepat sekali dibarengi suara ketawanya yang nyaring. Sungguhpun kulit Peng Bouw bagi orang lain sekeras batu, namun mana dapat menahan totokan jari tangan Lian Hwa yang biarpun tampaknya kecil mungil tapi telah terlatih hebat.
Seketika itu juga tubuh Peng Bouw yang tinggi besar itu seakan-akan berubah menjadi patung batu! Tampaknya lucu sekali, karena kedua tangannya terjulur ke depan, yang sebelah memukul dan sebelah mencengkeram. Tubuhnya kaku tak bergerak, hanya kedua biji matanya saja yang melotot ke kanan kiri dengan bingung!
20
Sekali lagi Lian Hwa tertawa, lakunya seperti anak kecil. Ia mengambil mangkok bakmi besar dari atas meja dan memasang itu di atas kepala Peng Bouw seperti sebuah topi. Dan untuk dapat mencapai kepala Peng Bouw, ia harus berdiri di atas kursi!
Semua orang terheran-heran melihat betapa gadis yang paling tinggi berusia limabelas tahun itu dapat mempermainkan si Kuda Muka Hitam yang terkenal jagoan. Dan ketika melihat kelakuan gadis yang lucu itu mau tidak mau mereka tertawa riuh!
Tiba-tiba suara ketawa riuh rendah itu terhenti dan orang-orang yang berdiri di dekat pintu menjauhkan diri.
Han Lian Hwa menengok dan melihat serombongan orang laki-laki memasuki restoran, dikepalai oleh seorang setengah tua bertubuh kekar dan bercambang bauk menakutkan. Orang ini memandang ke arah Lian Hwa sekilas, lalu mengerling ke arah Peng Bouw yang masih berdiri kaku.
“Hm, permainan anak kecil,” gerutunya dan dengan sekali tepuk punggung Peng Bouw, si Kuda Muka Hitam itu berjengit dan dapat bergerak kembali. Tapi ia tidak berani banyak bertingkah hanya terus saja menghampiri orang itu sambil berkata minta dibela.
“Suhu, setan perempuan kecil ini telah menghinaku. Tolong balaskan suhu.”
“Mundur kau yang tak berguna, masakan dengan kanak-kanak seperti itu kau sampai dapat dipermainkan?” Kemudian ia maju menghampiri Han Lian Hwa yang memandang semua itu dengan tenang dan senyum di bibir.
“Nona, engkau sungguh lihai. Berilah kesempatan padaku untuk merasai kelihaianmu,” katanya menjura dibuat-buat sambil mulutnya yang tebal menyeringai penuh ejekan.
Sebelum orang itu berkata-kata kepadanya, Lian Hwa telah mendengar dari seorang tamu yang duduk dengan kawannya tak jauh dari tempatnya bahwa orang ini adalah guru Peng Bouw yang bernama Ma In Liang si Pagoda Besi yang lihai sekali ilmu toyanya. Gadis itu balas menjura dan menjawab, “Siapa yang menjual kelihaian di sini? Adalah muridmu si lutung itu yang kurang ajar dan sembarangan memukul orang.”
Si Pagoda Besi salah mengartikan jawaban gadis itu yang disangkanya takut kepadanya dan kini membela diri menyalahkan muridnya. Maka hatinya jadi besar dan kesombongannya timbul.
“Nona, engkau cantik dan lihai, pantas betul menjadi muridku. Kalau engkau suka menjadi muridku untuk sedikitnya sebulan, mau aku habiskan perkara ini sampai di sini saja karena engkau akan terhitung orang sendiri! Tapi kalau kau tidak mau, terpaksa kau harus layani aku beberapa jurus.”
Lian Hwa masih bersenyum, tapi kedua pipinya yang berwarna merah muda itu kini menjadi merah gelap. Sungguhpun ia masih bodoh dan seperti kanak-kanak, namun ia dapat menangkap sindiran-sindiran yang terkandung dalam ucapan Ma In Liang. Mana ada orang harus menjadi murid hanya untuk sebulan? Tapi biarpun demikian ia sama sekali tidak dapat menangkap maksud sindiran orang she Ma itu yang lebih kurang ajar, kekurangajaran seorang hidung belang dan bandot tua. Maka ia berkata dengan suara manis.
21
“Lo-enghiong (orang tua gagah), sungguh aku harus berterima kasih bahwa kau orang tua hendak menerimaku menjadi murid. Tapi sudah sepatutnya guru harus berkepandaian lebih tinggi daripada muridnya, bukan? Nah, silakan lo-enghiong mengeluarkan sedikit kepunsuanmu agar kulihat, jika ternyata memang benar kepandaianmu jauh lebih tinggi dari padaku, dengan suka hati aku akan tunduk menjadi muridmu!”
Kata-kata ini biarpun sifatnya halus, namun di dalamnya mengandung tantangan, dan semua orang yang kini makin banyak berkumpul di situ makin heran melihat keberanian dan kelincahan kata-kata gadis cilik itu.
“Ha, ha! Engkau pintar, nona. Memang benar engkau harus membuktikan dulu kebisaanku. Nah, marilah kita keluar dan tontonlah pertunjukanku!” Ia bertindak keluar dengan langkah lebar, dan dadanya terangkat sombong.
Han Lian Hwa mengikutinya sambil bersenyum-senyum dan di belakangnya mengikuti pula serombongan orang dengan hati tertarik.
Pekarangan depan kedai arak itu cukup lebar. Tanpa membuang waktu lagi si Pagoda Besi Ma In Liang menjemput toyanya dari tangan muridnya. Karena kesombongannya ia tidak memberi hormat kepada para penonton lebih dulu sebagaimana kebiasaan seorang ahli silat hendak mendemonstrasikan kepandaiannya dan dengan teriakan,
“Lihatlah toya!” ia segera bersilat dengan perlahan. Ujung toyanya ketika ia pukulkan menggetar-getar menjadi beberapa puluh agaknya, ini menyatakan betapa besar tenaganya.
Semua penonton kagum dan mereka dengan sendirinya mundur selangkah ketika si Pagoda Besi bersilat dalam ilmu toya Jeng-liong-hian-jiauw atau Ribuan Naga Mengulur Kuku, satu cabang dari Siauw-lim-si yang telah dirobah. Toyanya berputar-putar menjadi laksana kitiran atau ribuan naga yang menyambar-nyambar dan mengeluarkan suara mengaung-ngaung. Tiba-tiba si Pagoda Besi berseru keras dan tahu-tahu toyanya telah dilontarkan ke udara setinggi hampir tiga tombak dan sebelum toya itu meluncur kembali ke bawah mengenai tanah ia telah menyambutnya dengan tangan dan menancapkan di atas tanah sampai masuk sepertiga lebih.
Ma In Liang menepuk-nepuk debu dari telapak tangannya sambil memandang sekeliling dengan congkaknya, kemudian ia menghadapi Han Lian Hwa sambil berkata,
“Bagaimana, nona manis? Apakah kau puas dengan ilmu toyaku?”
Lian Hwa tiba-tiba tertawa nyaring membuat penonton merasa heran dan tidak mengerti. Mereka yang seakan-akan tidak berani bernapas keras-keras melihat kehebatan si Pagoda Besi tak habis mengerti mengapa gadis tanggung itu berani tertawa seakan-akan tidak mengindahkan sama sekali.
“Memang cukup menakutkan,” berkata gadis itu. “Tapi lontaranmu kurang tinggi dan tancapanmu kurang dalam!”
22
Sebelum Ma In Liang dan para penonton mengerti apa yang dimaksudkannya, Han Lian Hwa telah menghampiri toya yang tertancap di atas tanah itu dan mengulurkan tangan kirinya yang berjari mungil. Dengan dua jari ia memegang ujung toya lalu mencabutnya dengan mudah sekali, kemudian ia melontarkan toya itu ke atas!
Orang-orang bengong melihat toya itu meluncur ke atas bagaikan anak panah setinggi tak kurang dari lima tombak, turunnya disambut dengan dua jari pula dan terus ditancapkan ke atas tanah sampai masuk lebih separohnya.
Tentu saja hal ini merupakan keajaiban bagi para penonton, yang segera bersorak dan bertepuk tangan dengan ramainya.
Ma In Liang si Pagoda Besi terkejut dan heran, ia hampir tak percaya kepada mata sendiri. Bagaimana gadis halus lembut itu dapat mempunyai tenaga demikian besarnya? Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa gadis itu telah memiliki kekuatan dalam yang luar biasa, dan mana bisa tenaganya yang hanya mengandalkan gwakang (tenaga luar/kasar) dapat menandingi kekuatan seorang ahli lweekeh? Namun ternyata si Pagoda Besi tak mengenal keadaan. Ia menjadi malu berbareng gusar, lebih-lebih ketika mendengar Lian Hwa berkata dengan tersenyum.
“Lo-enghiong memang lihai. Suhuku dulu mempunyai seekor kera putih yang kekuatannya barang kali seimbang denganmu. Sungguh membuat aku kagum!”
Kata-kata ejekan ini memerahkan telinga Ma In Liang yang tanpa banyak cakap lagi segera membetot keluar toyanya dengan sekuat tenaga, lalu dengan teriakan,
“Bocah hina, rasakan toyaku!” Ia menyerang ke arah dada Lian Hwa dengan tusukan hebat, Lian Hwa kenal tipu ini ialah Hek-houw-to-sim atau Macan Hitam Menyambar Hati, tapi ia berdiri saja dengan tenangnya sehingga semua penonton menahan napas bahkan ada beberapa orang meramkan mata karena tak tahan melihat dada gadis cantik itu akan tertembus toya besi.
Ketika ujung toya telah berada kira-kira satu dim saja dari baju Lian Hwa, gadis itu miringkan tubuh dan membuka lengan kirinya sehingga toya menyeplos di bawah lengannya. Secepat kilat ia turunkan lengan mengempit ujung toya.
Ma In Liang membetot kembali toyanya dengan sepenuh tenaga, tapi ternyata toyanya seakan-akan telah berakar di dalam kempitan gadis itu. Selagi ia kebingungan Lian Hwa melangkah maju dan tangan kirinya menyambar iganya dengan totokan berbahaya. Ia kenal totokan ini dan tahu bahwa jalan darah cing-co-hiat sedang diarah oleh musuh, maka ia menjadi terkejut dan segera melepaskan toyanya dan menangkis tangan gadis itu. Tapi sungguh tak terduga gadis itu ilmu silatnya sangat aneh dan gerakannya gesit membingungkan.
Lian Hwa tadi hanya berpura-pura saja, dan pada saat lawannya menangkis dan memusatkan perhatiannya kepada serangan tangannya, ia tarik kembali tangan kirinya dan kaki kanannya melayang, ujungnya menotol sambungan lutut si Pagoda Besi. Lucu tampaknya tetapi nyata bagaimana tubuh tinggi besar itu sama sekali tidak dapat menahan ujung kaki kecil mungil itu. Dengan menggeram kesakitan si Pagoda Besi terpaksa bertekuk lutut dan jatuh di hadapan Lian Hwa.
23
Kembali terdengar suara ketawa nyaring dan merdu. “Ah lo-enghiong, sungguh aku tak berani menerima pemberian hormatmu. Engkau mengapa berlutut padaku? Jangan bikin orang bingung lo-enghiong, kini aku sungguh tidak mengerti bagaimana maksudmu, mau mengambil murid padaku atau mengangkat guru?”
Semua orang tertawa puas. Nah, Pagoda Besi kini bertemu batunya, pikir mereka. Memang penduduk kampung itu benci kepada Ma In Liang yang selalu membantu murid-muridnya yang jahat, lebih-lebih si Peng Bouw yang terkenal suka bertindak sewenang-wenang.
Ma In Liang merayap bangun. Masih untung baginya tendangan Lian Hwa tidak diarahkan di sambungan lututnya benar, kalau demikian halnya tentu sambungan itu akan terlepas dan ia menjadi cacad. Sekarang ia hanya merasakan tulang keringnya linu dan sakit-sakit.
Saking malunya, ia menjadi nekad. Ia lebih suka mati daripada menanggung rasa malu, karena seorang jagoan yang telah membuat nama di kalangan kang-ouw kini dijatuhkan oleh seorang gadis kecil tak ternama secara demikian mudah dan memalukan! Dengan sekali menggereng matanya menjadi merah, cambang bauknya seakan-akan berdiri, ia memungut toyanya dan menyerang pula dengan nekat.
Lian Hwa hanya tertawa nyaring dan berkelit dengan lincahnya. Sengaja ia tidak mau menyerang, tapi hendak mempermainkan orang nekat itu. Ia meloncat ke sana ke mari sehingga Ma In Liang merasa seakan-akan gadis itu menjadi beberapa orang yang mengepungnya dari depan, belakang kanan dan kiri.
Peng Bouw melihat suhunya dipermainkan orang seperti itu menjadi marah dan berteriak, “He kawan-kawan, mau tunggu kapan lagi?” Ia mencabut goloknya dan segera diikutinya oleh tujuh orang kawan-kawannya, semuanya murid si Pagoda Besi yang bekerja menjadi tukang-tukang pukul chungcu (kepala kampung) di kampung itu.
Melihat keroyokan itu, semua penonton mundur ketakutan dan hanya yang berhati tabah saja masih berani menonton dari tempat yang agak jauh. Timbul kemarahan dalam hati Han Lian Hwa melihat tingkah para orang kasar yang mengeroyoknya, namun ia masih tetap bersenyum dan bahkan kini tertawa bergelak dengan nyaring.
“Ha, manusia tak tahu malu!” bentaknya sambil berkelit dari sambaran golok Peng Bouw. “Sembilan orang laki-laki tinggi besar mengeroyok seorang anak perempuan kecil. Tak takutkah ditertawakan orang?”
“Jangan pentang bacot!” menjawab si Pagoda Besi menutup malunya dan pura-pura tidak melihat murid-muridnya yang datang membantunya.
“Baiklah, kalian cari penyakit sendiri!” berseru Lian Hwa dan seketika itu juga sembilan orang tukang pukul itu menjadi bingung karena tiba-tiba saja gadis yang mereka keroyok melesat dan tak tampak di depan mereka.
Tiba-tiba terdengar angin menyambar dari belakang dan seorang daripada mereka menjerit rubuh. Mereka segera memutar tubuh dan melihat betapa gadis itu berloncat ke sana ke mari, menyambar-
24
nyambar seperti seekor burung. Sekali tangan atau kakinya bergerak, pasti seorang musuhnya jatuh terguling. Kini tinggal Peng Bouw dan Ma In Liang saja yang masih melawannya.
Pada suatu saat Peng Bouw menyabetkan goloknya ke arah leher dengan tipu Oei-liong-coan-sin atau Naga Kuning Memutar Tubuh, goloknya terputar dari kanan ke kiri mengarah leher Lian Hwa. Di saat itu juga toya besi Ma In Liang datang menyambar kakinya. Karena gerakan Ma In Liang jauh lebih sebat dari muridnya, maka toya itu datang lebih dulu. Lian Hwa meloncat ke atas dan sebelum golok Peng Bouw mendekati tubuhnya, di udara kakinya bergerak ke arah pergelangan tangan si Kuda Muka Hitam. Karena marah dan gemas kepada si Muka Hitam itu ia mengerahkan tenaganya ke kaki, maka mana Peng Bouw dapat menahan tendangan yang lihai itu? Ia berteriak keras, goloknya terpental jauh dan tangan kanannya menjadi teklok. Ternyata tulang pergelangannya patah. Ia mengaduh-aduh sambil mundur.
Kini tinggal si guru yang melawan nona itu. Keringat panas dingin telah mengucur. Matanya berkunang-kunang. Tapi ia tak dapat lari dan menjadi nekat. Toyanya menyambar pula, kini mengarah pinggang Lian Hwa. Kembali gadis itu meloncat tinggi, tapi toya si Pagoda Besi mengejarnya dan menghantam kakinya.
Gadis itu sungguh sudah tinggi sekali kepandaiannya. Ia gesit, ringan dan berani. Di udara ia melihat datangnya ujung toya dengan sengaja ia memapakinya dengan tapak kakinya. Begitu kakinya menotol ujung toya, tubuhnya mumbul lagi ke atas dan ia berpoksai (berjumpalitan) di atas, sehingga kini kepalanya di bawah kakinya di atas melayang turun. Tangan kanannya bergerak ke arah pundak lawannya dengan cepat dan kuat.
Terdengar bunyi “krek” dan si Pagoda Besi menjerit kesakitan, toyanya terlepas dari pegangan dan ia roboh pingsan. Sambungan tulang pundaknya putus dan remuk. Lian Hwa sengaja memberi hajaran hebat dan semenjak itu si orang she Ma Menjadi seorang yang tak berguna dan cacad seumur hidup, tak mungkin lagi ia menggunakan kepandaian silatnya untuk menindas orang lain yang lebih lemah.
Melihat sembilan tukang-tukang pukul itu menggeletak malang melintang mengaduh-aduh tak berdaya dan gadis itu berdiri tersenyum-senyum sambil mengebut-ngebut pakaiannya yang terkena debu, orang-orang tadi tidak berani datang mendekati lagi sambil memandang penuh kekaguman dan keheranan. Tapi berbareng mereka kuatir akan nasib gadis itu. Seorang tua menghampiri Lian Hwa dan berkata,
“Li-enghiong sungguh hebat. Tapi aku kuatir akan keselamatanmu. Ketahuilah, nona, orang-orang ini adalah begundal-begundal chungcu di sini dan jika ia tahu akan hal ini, sebentar lagi pasti datang membawa opas-opasnya untuk me-nangkapmu. Dan nona tak mungkin melawan pembesar negeri. Maka sebelum terlambat larilah nona!”
Han Lian Hwa berterima kasih atas nasihat itu. Ia tersenyum manis dan memberi hormat. “Terima kasih, lopek (paman) aku tidak mau bersikap pengecut, berani berbuat tak berani bertanggung jawab. Dan aku tidak sudi menjadi orang buronan. Tolong tunjukkan padaku, di mana gedung kepala kampung di sini?”
25
Orang-orang tak mengerti apa kehendak nona itu, namun mereka segera menunjukkan tempat tinggal Lie chungcu (kepala kampung Lie) yang letaknya tak jauh dari tempat itu. Dengan tindakan tetap dan ringan Han Lian Hwa menuju ke gedung kepala kampung.
Sebagaimana kebanyakan pembesar-pembesar dan pegawai-pegawai negeri besar kecil di masa itu, tiap-tiap kepala kampung merupakan seorang raja kecil di dalam kampungnya. Lie chungcu pun tidak terkecuali. Ia mengumpulkan harta dengan memeras rakyatnya dan untuk dapat menguasai rakyat kampungnya, di samping opas-opas yang membelanya, ia mengumpulkan pula Ma In Liang dan murid-muridnya untuk dijadikan tukang-tukang pukul agar orang-orang kampung dapat ditaklukkan benar-benar.
Pada hari itu, kepala kampung Lie karena sedang menganggur tengah mengobrol dengan bininya di sebuah taman di belakang rumahnya yang dipeliharanya baik-baik. Pada waktu itu musim semi telah lama lewat sehingga kebun bunganya penuh kembang-kembang beraneka warna. Kepala kampung Lie adalah seorang yang pernah bersekolah dan suka akan membuat syair. Ketika itu ia sedang bergembira, sambil memandang kembang-kembang yang cantik dan, minum arak wangi yang disajikan oleh isterinya yang muda dan cantik, ia mencoret-coret di atas kipas bininya itu.
“Lihatlah, syairku kali ini di atas kipasmu bagus benar,” katanya dan kemudian ia membacakan syair itu dengan suara bangga,
“Musim Cun (semi) datang dan pergi pula,
Meninggalkan keindahan di taman bunga kita
Hidupku bahagia bagaikan bunga-bunga,
Panjang usia isteri jelita,
Banyak turunan, banyak harta!
Hidup sekali sebaik ini,
masih mau mencari apa lagi?”
Tiba-tiba terdengar suara nyaring merdu menyambung syair itu,
“Tapi itu semua tiada gunanya.
Tanpa perbuatan baik, engkau akan masuk neraka!”
Kepala kampung Lie terkejut dan marah, ia segera menengok, begitupun bininya. Dengan heran mereka melihat seorang gadis berpakaian sederhana warna merah dadu sedang berjalan menghampiri mereka. Entah dari mana datangnya gadis itu, dan entah dengan cara bagaimana ia dapat memasuki taman yang berpagar tinggi dan terjaga opas itu!
“He, siapa kau?” tegur Lie chungcu.
Han Lian Hwa menjawab tajam. “Seorang rakyat yang tidak suka ketidakadilan terjadi di kampungmu!”
“Apa maksudmu, anak kurang ajar?” bentak kepala kampung Lie.
26
“Chungcu, engkau kebetulan sekali menjadi kepala kampung ini. Tapi ternyata engkau telah berlaku sewenang-wenang menindas rakyat, memelihara bajingan-bajingan untuk menggencet orang-orang kampung, sedangkan engkau sendiri hidup mewah bersenang-senang. Di mana perikemanusiaanmu? Ketahuilah, orang-orangmu kini telah kuhajar semua, menggeletak tak berdaya di depan kedai arak. Jangan bergerak!” bentaknya ketika melihat kepala kampung Lie membuka mulut hendak memanggil opas-opasnya.
Lian Hwa dengan sekali loncat telah berada di depan kepala kampung itu sambil mengayun kedua kepalan tangannya. Ia pentang jari-jari tangan kiri dan dengan sekali totok saja meja di depan kepala kampung Lie tampak berlobang lima bagaikan kertas dicoblos dengan jarum saja! Kepala kampung itu terkejut, tubuhnya menggigil, isterinya segera berlutut.
“Nah, lihat. Kalau engkau banyak bertingkah, kepalamu akan kujadikan bulan-bulan jariku. Coba hendak kulihat, apakah kepalamu lebih keras daripada kayu meja ini,” katanya mengancam.
“Ampun, lihiap,” kata Lie chungcu dengan suara merintih cemas. “Apakah kehendak Lihiap datang ke sini? Kalau nona menghendaki uang, akan segera kusediakan!”
“Ngaco! Siapa menghendaki uangmu yang berlumuran darah dan keringat rakyat kampung? Aku tak lain hanya menghendaki jiwa anjingmu!”
“Ampun, nona, ampun……” dan isterinya ikut memohon ampun.
“Baik, kali ini kuampunkan. Tapi engkau harus menurut petunjukku. Kesembilan begundalmu yang kini malang melintang tak berdaya di pekarangan kedai arak itu harus kau tuntut semua dengan alasan menyiksa rakyat kampung. Awas, mereka harus dimasukkan penjara dan perkaranya diajukan kepada tihu yang berwajib. Dan engkau harus merobah kelakuanmu. Jangan memeras rakyatmu, harus kauingat bahwa engkau bisa menjadi kepala kampung karena di kampung ini ada rakyatnya. Kalau mereka itu tidak ada, engkau akan menjadi apa? Taman inipun harus dijadikan taman umum agar tiap penduduk dapat menikmati. Jangan mau hidup sendiri saja, mengerti!”
Kepala kampung Lie mengangguk-anggukkan kepalanya seperti burung makan gabah sambil mulutnya berkata, “Baik…... baik, li-enghiong…...”
“Nah, sekarang juga aku pergi. Tapi aku tak pergi jauh dan jika semua itu tidak kau laksanakan……” secepat kilat tangannya mencabut pedang, sinar pedang berkilau-kilau dan terdengar bunyi “sing!” pedang berkelebat dan tahu-tahu kopiah kepala kampung itu terlepas sepotong berikut rambut di dalamnya.
“Nah, kalau engkau tidak taat, aku akan datang lagi, tapi babatan pedangku akan kuarahkan lebih ke bawah, tepat di batang lehermu!”
Kemudian gadis yang memakai teratai merah di rambutnya itu berkelebat dan lenyap dari depan mereka! Kepala kampung Lie dengan gugup dan bingung segera berteriak-teriak memanggil opasnya. Mereka ini datang berserabutan seperti semut bau gula.
“He, apa kerja kalian? Goblok, bodoh! Lekas, lekas tangkapi orang-orang gila itu!”
27
“Orang gila yang mana, loya?” bertanya kepala opas.
“Bodoh! Itu Ma In Liang dan murid-muridnya. Tangkap mereka masukkan dalam tahanan.”
“Tapi...... tapi……”
“Tapi apa! Hayo lekas, mereka itu berani menghina dan menyiksa rakyatku! Tangkap mereka. Dan malam ini adakan pesta di taman ini, undang semua saudara kampung untuk menyaksikan. Lekas!”
“Baik, baik!” Opas-opas itu bersebaran ribut untuk melaksanakan perintah yang aneh dan tidak seperti biasanya itu.
Sementara itu Han Lian Hwa kembali ke kedai arak dan menghibur para penduduk kampung bahwa kali ini kepala kampung Lie pasti akan merobah sikapnya terhadap mereka! Kemudian ia menanyakan di mana letak bukit Bok-lun-san, karena ia bermaksud hendak mencari suhengnya, yaitu Hwat Khong Hwesio di kelenteng Ban-hok-thong. Seorang pedagang keliling memberitahukan bahwa bukit itu terpisah ratusan lie jauhnya dari situ.
“Kalau Lihiap berjalan kaki, paling sedikit setengah bulan baru akan sampai ke sana. Kalau berkuda tentu lebih cepat, barang kali empat hari,” orang itu menerangkan.
Han Lian Hwa berpikir bahwa dengan menggunakan ilmu berlari cepat, ia pasti akan dapat sampai di sana lebih lekas lagi. Tapi ia tak perlu tergesa-gesa, karena ia masih ingin melihat-lihat dunia yang baru saja dimasukinya itu.
Ketika orang-orang menanyakan namanya, ia hanya tersenyum dan menjura, kemudian sekali berkelebat lenyap dari pandangan mata. Semua orang mengulurkan lidah keheranan dan karena gadis kosen itu memakai bunga tertabur mutiara berwarna merah di rambutnya maka semua orang kampung itu menyebutnya “Ang Lian Lihiap” atau Pendekar Wanita si Teratai Merah.
Pada suatu senja, Han Lian Hwa memasuki desa Liok-kee-cung yang terkenal ramai. Kampung ini agak lebih besar dari kampung-kampung yang berdekatan, karena di situ banyak menghasilkan ikan yang didapat dari Sungai Cin-leng-kiang, sebuah cabang dari Sungai Huang-ho yang terkenal. Di situ banyak toko-toko dan warung-warung arak, banyak pula toko-toko obat dengan mereknya yang besar-besar.
Han Lian Hwa berhenti di depan sebuah hotel “Bin Lok” dan segera disambut oleh seorang pelayan tua yang ramah tamah.
“Silakan masuk, siocia. Apakah siocia membutuhkan penginapan?”
Han Lian Hwa tersenyum mengangguk membenarkan.
“Kebetulan sekali, nona. Masih ada sebuah kamar yang kosong di belakang. Kamar-kamar lain semua penuh, karena datang rombongan piauw-su (pengantar barang berharga) dari piauw-kiok (semacam ekspedisi) Ular Kuning.”
28
Dengan diantar oleh pelayan itu Han Lian Hwa memasuki ruangan hotel. Di tengah-tengah ruangan yang lebar dilihatnya beberapa orang laki-laki berpakaian tukang-tukang piauw duduk mengitari meja bundar. Di atas meja tertancap sebuah bendera kecil bergambarkan ular kuning. Mereka adalah para piauwsu dari Oei-coa Piauw-kiok (Ekspedisi Ular Kuning). Di kepala meja duduk seorang tua tinggi kurus berambut putih. Mereka rata-rata nampak susah dan penasaran.
Ketika Lian Hwa lewat, mereka menunda pembicaraan mereka dan mengerling ke arah gadis itu dengan tajam dan curiga. Lian Hwa tidak memperdulikannya tapi langsung mengikuti pelayan menuju ke kamarnya di ruang belakang.
Setelah mendapatkan kamarnya dan pelayan itu hendak pergi, ia menahannya, “Eh, tunggu dulu! Apakah orang-orang tadi para piauwsu dari Oei-coa Piauw-kiok?” tanyanya sembarangan.
“Ya, nona. Itu yang tua adalah Oei-coa Ong Mo Lin si Ular Kuning sendiri.”
“Mereka agaknya susah, kenapakah?”
Pelayan itu memandang gadis kita dengan tajam dan mengerling sarung pedang Sian-kong-kiam yang tergantung di pinggangnya, lalu berkata, “Hm, nona lihai juga dengan sekilas dapat tahu bahwa mereka sedang susah.”
“Ah, jangan menduga yang tidak-tidak. Aku hanya mengira-ngira saja.”
“Begini, nona. Seminggu yang lalu empat orang piauwsu dari Oei-coa Piauw-kiok lewat sini mengantar barang-barang berharga puluhan ribu tail. Tapi mereka sial, karena di Gunung Kong-lun-san tak jauh dari sini mereka berjumpa dengan perampok dan barang-barangnya dirampas. Keempat piauwsu terluka dalam pertempuran. Maka kini piauw-thouwnya (Kepala Piauw) sendiri yaitu Oei-coa Ong Mo Lin datang bersama murid-muridnya untuk merampas barang itu kembali.”
Han Lian Hwa mengangguk-angguk dan berkata perlahan, “Tidak tahu ada urusan besar itu.” Ia lalu memasuki kamar dan menutup pintunya.
Pada malam harinya ketika ia keluar hendak menyuruh pelayan membeli makanan. Ia lihat para piauwsu itu masih saja berunding di sekitar meja bundar. Tiba-tiba ia mendengar si Ular Kuning menggebrak meja sambil berseru, “Bangsat benar si Ouw-hong-cu (si Tawon Hitam) itu!”
Lian Hwa mengerling dan melihat betapa cangkir-cangkir dan lilin di atas meja itu mencelat satu kaki lebih dari atas meja dan keempat kaki meja amblas kira-kira satu dim. Ternyata dalam murkanya kepala piauw itu telah menggunakan tenaganya yang hebat juga.
Keesokan harinya, rombongan piauwsu yang terdiri dari tujuh orang itu berangkat. Dengan diam-diam Han Lian Hwa mengikuti mereka setelah membayar uang sewa penginapannya. Rombongan itu menuju ke sebuah bukit yang penuh hutan. Tiba-tiba terdengar ngaung anak panah disusul dengan menyambarnya sebatang anak panah yang menancap di batang pohon depan mereka.
Ong Mo Lin si Ular Kuning memandang sekeliling lalu berteriak, “He, bangsat Ouw-hong-cu! Jangan berlaku pengecut dan seperti anak kecil. Keluarlah mengadu kepandaian!”
29
Tantangan itu disambut oleh suara tertawa bergelak-gelak dan dari belakang gerombolan pohon meloncat keluar tiga orang. Yang dua bertubuh tinggi besar tapi yang seorang lagi kecil pendek. Si kecil pendek itu adalah Ouw-hong-cu sendiri. Pakaiannya serba hitam dan di pinggangnya tergantung ruyung hitam. Sungguhpun bentuk badannya kecil namun suaranya besar nyaring ketika ia tertawa dan berkata,
“Aha, Oei-coa Ong Mo Lin si Ular Kuning sendiri datang ke sini. Kebetulan. Sudah lama aku mendengar namamu yang besar dan sekarang ada kesempatan bagiku untuk membuktikan kebenaran berita itu.”
“Hm, hm, Ouw-hong-cu! Engkau sungguh tidak memandang mata padaku. Begitukah lakunya seorang gagah dari liok-lim? Kalau engkau hendak menjajal, bilang saja terus terang. Jangan kau rendahkan diri dengan mengganggu piauwsuku.”
“Siapa yang mau bersusah payah menjajalmu? Ini adalah daerahku dan semua yang lewat di sini harus membayar padaku. Soal barang-barangmu sudah kuambil, kalau kau ada kepandaian ambillah kembali!”
“Bagus, orang she Bu. Marilah kita coba-coba mengadu tenaga, jangan banyak cakap seperti perempuan!”
Ouw-hong-cu Bu Kiat kembali tertawa besar. “Aha, engkau gagah sekali. Barangkali engkau bertujuh hendak melawan kami bertiga? Keroyokan atau satu satu?”
“Aku bukan seorang pengecut. Tak perlu keroyokan untuk melawan orang seperti engkau ini,” jawab si Ular Kuning dengan marah dan mencabut keluar senjatanya yang istimewa, ialah Oei-coa-to, atau Golok Ular Kuning yang beratnya seratus kati.
Tapi pada saat itu seorang muridnya yang paling pandai, ialah Khong Sin yang sering mewakili gurunya mengajar lain-lain murid. Khong Sin terkenal pandai memainkan siang-kiam (sepasang pedang), maju menahan suhunya dan berkata, “Suhu, biarkan teecu (murid) menghajar orang tidak tahu adat ini.”
Di lain pihak, seorang kawan si Tawon Hitam yang bernama Poan Sit meloncat maju.
“Mana kau ada harga buat bertanding dengan Bu-toako (Kakak Bu)?” bentaknya sambil mencabut golok. “Aku tuanmu Poan Sit cukup untuk menyambut kedua pedangmu. Hayo maju!”
Khong Sin tidak seeji-seeji (sungkan-sungkan lagi) sepasang pedangnya menyerang dengan tipu Ouw-liong-poan-cu atau Naga Hitam Melilit Tiang. Kedua pedangnya berputar cepat dan menyambar ke arah leher dan perut musuh.
Si orang she Poan berseru, “Bagus!” lalu menggerakkan goloknya sekaligus menangkis kedua pedang itu. Karena tenaganya lebih besar, maka kedua pedang Khong Sin terpental. Ia segera balas menyerang dengan sengit menggunakan tipu Pek-wan-hian-ko atau Lutung Putih Persembahkan
30
Buah. Goloknya menyambar dada lawan tapi dapat ditangkis oleh pedang Khong Sin. Poan Sit maju selangkah mengayun kaki menendang perut lawan yang dapat dikelit dengan baik oleh lawannya.
Mereka serang menyerang dengan hebat, saling menggunakan tipu yang mematikan. Setelah serang-menyerang limapuluh jurus lebih ternyata Khong Sin kalah ulet dan kalah tenaga. Kedua pedangnya terkurung dan sebentar-sebentar terpental. Gurunya mulai kuatir, dan ketika Ong Mo Lin hendak menyuruh muridnya itu mundur, golok lawan telah menyambar dengan tepat mengenai pundak Khong Sin yang segera roboh mandi darah. Untungnya ia masih dapat berkelit sehingga pundaknya hanya terpapas kulitnya saja oleh ujung golok. Kawan-kawan nya segera menolongnya.
“Ha, ha. Tak berapa hebat kepandaianmu,” Poan Sit mengejek.
Dari pihak piauwsu hanya ada dua orang lagi yang kepandaiannya melebihi Khong Sin, ialah si Ular Kuning sendiri dan puteranya yang bernama Ong Bu yang kepandaiannya memainkan toya cukup lihai. Sebelum ayahnya maju, Ong Bu sudah meloncat ke depan dan tanpa berkata-kata lagi segera menyerang Poan Sit dengan tipu loncat In-liong-san-hian atau Naga Awan Perlihatkan Diri. Poan Sit mengangkat goloknya menangkis dan balas menyerang.
Setelah bergebrak sepuluh jurus lebih, Ong Bu merobah caranya bersilat. Toyanya menyambar-nyambar dengan hebatnya. Ini adalah kepandaiannya simpanan yang pernah dipelajarinya dari seorang tosu (imam) perantau. Segera Poan Sit terdesak hebat dan buru-buru meloncat mundur dari kalangan pertempuran.
“He, pengecut! Belum juga terluka sudah mundur.”
Kawan Poan Sit yang bergelar Pek-houw si Macan Putih menggantikan kawannya menghadapi Ong Bu, tapi Ong Mo Lin segera memerintah puteranya mundur. Ia sendiri maju sambil melintangkan golok menyambut Pek-houw yang bersenjatakan pian baja (senjata rantai). Ilmu goloknya si Ular Kuning sungguh hebat. Bergebrak belum duapuluh jurus saja Macan Putih telah kewalahan, senjatanya hanya dapat menangkis saja dan pada jurus keduapuluh empat, terdengar suara Ong Mo Lin.
“Pergi kau!” dan kakinya cepat menendang lawannya. Musuhnya terpental dua tombak dan jatuh pingsan.
Bu Kiat si Tawon Hitam menjadi marah dan berteriak keras sambil mencabut ruyungnya yang berwarna hitam. Tanpa banyak cakap ia menyerang dengan tipu Siok-lui-kik-ting atau Petir Menyambar ke Atas Kepala. Serangan cepat dan bertenaga sehingga menerbitkan angin dan bersuara mengaung. Ong Mo Lin tak kalah gesit, goloknya terputar-putar sehingga golok dan ruyung saling terjang merupakan dua naga putih dan hitam saling serang.
Ilmu silat Ong Mo Lin yang disebut Oei-coa-to-hoat atau ilmu golok dari partai Go-bie. Ilmu ini lihai sekali, gerakannya sukar diduga, bagaikan seekor ular yang melenggok-lenggok ke kiri ke kanan sehingga sukar dijaga dari arah mana golok itu akan menyerang. Sungguhpun ruyung si Tawon Hitam pun sangat lihai dan ruyung itu sudah menjagoi selama sepuluh tahun lebih di daerahnya, namun ternyata melawan si Ular Kuning ia masih kalah setingkat.
31
Pada suatu ketika golok Ong Mo Lin menyambar. Bu Kiat menangkis dengan ruyungnya. Mereka keduanya menggunakan seluruh tenaga sehingga kedua senjata itu seakan-akan menempel. Tak seorangpun di antara mereka berani mencabut sembarangan saja karena yang melepaskan senjata dari tempelan itu lebih dulu berarti sudah kehilangan satu ketika, dan musuhnya dapat menyerang lebih dulu. Hal ini berbahaya dan diketahui baik oleh kedua pihak.
Tiba-tiba dari samping kiri menyambar dua sinar putih dibarengi bentakan “Lepas!” dan dua sinar itu menyambar ke arah ruyung dan golok.
Kedua jago yang tengah mengadu kekuatan itu merasa tangan masing-masing kesemutan dan senjata mereka terdorong oleh tenaga luar biasa sehingga hampir saja terlepas dari pegangan masing-masing. Kedua-duanya segera meloncat mundur dengan heran.
Ternyata dua sinar putih itu adalah dua buah pelor perak yang dilepas oleh seorang tosu (pendeta) tua. Sungguhpun ia berpakaian secara pendeta, namun pakaiannya mentereng dan di dadanya terhias bunga Bwee perak bertaburan batu kemala berkilau-kilauan.
Melihat bunga Bwee itu semua orang dengan kaget mengenal bahwa yang datang itu adalah Gin-bwee-hwa Pauw Hiap Tojin, seorang tosu yang terkenal jahat dan tamak akan harta benda dan paras cantik. Jubah pendetanya hanya untuk kedok belaka. Sebenarnya ia dahulu adalah seorang kepala perampok terkenal di San-kang dan setelah Tiongkok dikuasai pemerintah bangsa Boan, ia menjadi penjilat dan pelindung pembesar-pembesar pemeras rakyat. Pengaruhnya besar sekali dan orang di kalangan kang-ouw maklum semua akan kepandaiannya yang luar biasa, terutama ilmunya Hun-kin-coh-kut atau Ilmu Pukulan Putuskan Otot dan Tulang, sehingga selain julukannya Gin-bwee-hwa iapun dijuluki orang It-ci-sin-kang atau si Jari Lihai.
“He, jiwi enghiong mengapa bertempur mati-matian? Kalau ada urusan lebih baik diurus secara damai, aku si orang usil suka sekali menjadi perantara untuk mendamaikan urusan kalian!” katanya setelah meloncat ke tengah-tengah mereka.
“Perkataan totiang (bapak pendeta) benar sekali,” berkata Ong Mo Lin sambil menjura, “Sebenarnya siauwte (aku yang rendah) pun tidak suka mencari musuh. Tapi apa boleh buat, rupa-rupanya Bu Kiat tidak mengindahkan persahabatan, karena barang-barang yang dikawal oleh piauwku telah diganggunya. Kalau saja barang itu dikembalikan, sekarang juga aku bersedia meminta maaf dan mengundang semua orang minum arak tanda hormatku.”
“Coba totiang pikir,” membantah Bu Kiat si Tawon Hitam. “Pekerjaanku telah diketahui umum, yakni memungut barang-barang di jalan (merampok) dan barang-barang itu berada di wilayahku, maka sudah sepantasnya kupungut. Tapi Ong Mo Lin tidak mau mengakui kelemahan orang-orangnya dan bahkan datang sendiri menantangku. Tentu saja aku tidak bisa tidak harus menyambut kehormatan itu.
Si Jari Lihai mengangguk-anggukan kepala yang penuh uban tapi yang teratur rapi itu. Kedua matanya yang tajam melirik-lirik ke arah kedua orang itu, kemudian ia berkata kepada Ong Mo Lin.
“Hem, hem! Tuan Ong seharusnya mengalah dan mengakui kedaulatan saudara Bu di wilayahnya sendiri. Atau sebelum melalui jalan ini seharusnya datang minta permisi dan mengantar sekedar
32
tanda persahabatan. Itu sudah menjadi aturan kaum rimba hijau. Sekarang barang-barang itu sudah pindah tangan, perlu apa diributkan lagi?”
Sebelum Ong Mo Lin yang merasa penasaran akan keputusan berat sebelah itu membantah, ia melanjutkan kata-katanya, kini ditujukan kepada si orang she Bu,
“Dan saudara Bu, sungguh engkau awas, dan lihai sekali, tidak melewatkan daging gemuk dengan percuma. Tapi karena kini aku si orang usil telah mengetahui duduknya perkara dan menjadi pemutus yang adil, engkau harus mengalah dan membagi daging itu setengahnya kepadaku!”
Walaupun merasa penasaran, namun Bu Kiat merasa agak puas juga dengan keputusan si tosu yang terang-terangan membela dia. Ia masih beruntung mendapat bagian setengahnya dan ia maklum bahwa terhadap si tosu yang lihai itu ia tak boleh main-main, lebih baik bersahabat dari pada bermusuh. Maka segera ia menjura dan berkata sambil tersenyum.
“Engkau adil sekali. Tentu aku setuju seratus prosen atas usulmu itu. Nah, bagaimana tuan Ong, apakah engkau juga setuju dan suka menghabiskan perkara ini sampai di sini saja dan pulang dengan damai?”
Ong Mo Lin merasa dadanya panas seperti terbakar. Ia marah sekali dan gemas mendengar keputusan yang bo-ceng-li itu. Masa barang antaran yang menjadi tanggungannya itu kini dengan enaknya akan dibagi-bagi orang lain! Dengan suara nekat ia berkata,
“Tak mungkin! Barang-barang itu bukan punyaku dan aku bersumpah untuk menjaga nama piauw-tiam ku. Jika Jiwi tidak mau mengembalikan, lebih baik aku yang tak berguna ini mati di sini daripada pulang tidak membawa barang-barang itu!” Ia memandang tosu itu dengan mata menyala.
“Ha, ha, ha! Ini berarti engkau menantang padaku, Ong piauwsu! Karena daging ini setengahnya menjadi bagianku, maka urusan inipun menjadi tanggung jawabku pula. Ketahuilah bagianku itu bukan untuk kumakan sendiri, tapi untuk dana pendirian beberapa kelenteng di Propinsi San-kang, jadi relakanlah hatimu, karena harta itu tak terbuang percuma tapi untuk menolong ribuan orang agar dapat naik ke sorga!”
“Tosu siluman! Bagus benar perbuatanmu!” memaki Ong Bu putera Ong Mo Lin yang segera maju menerjang dengan toyanya.
“Ha, ha! Anak kecil ini mau main-main juga?” si tosu tertawa mengejek dan sabetan toya ke arah kepalanya itu ditangkisnya dengan kepretan ujung bajunya.
Ong Bu hampir saja melepaskan toyanya karena toya itu terbetot oleh sebuah tenaga yang besar. Namun ia sudah nekad dan kembali menggunakan toyanya menyodok dada tosu itu dengan sepenuh tenaga dalam tipu Naga Hitam Menyambar Mustika. Serangan yang hebat ini tidak dikelit oleh si tosu, bahkan ia memasang dadanya yang kurus.
“Buk!” terdengar suara ujung toya mengenai dada si tosu dengan tepat, tapi bukannya si tosu yang jatuh, bahkan toya Ong Bu terpental lalu terlepas dari pegangannya karena tangannya terasa linu dan
33
sakit. Ternyata si tosu yang lihai itu menggunakan tenaga dalamnya untuk menangkis dan membentur balik tenaganya sendiri.
Sebelum Ong Bu dapat berkelit, jari-jari tangan kiri si tosu berkelebat ke arah pundaknya. “Krak!” dan Ong Bu jatuh tersungkur memuntahkan darah! Tulang pundaknya terlepas dari sambungan terkena ilmu pukulan Hun-kin-coh-kut yang lihai!
“Ha, ha! Aku orang tua yang beribadat masih berlaku murah dan tidak mengambil nyawamu. Itu hanya sekedar peringatan belaka!” katanya sombong.
“Tosu iblis, lihat golok!” Ong Mo Lin menerjang maju membela anaknya, goloknya bergerak dengan tipu Tiang-hong-keng-thian atau Bianglala Melintang Langit, tapi dengan mudahnya si jari lihai mengebut golok itu dengan ujung baju, lalu balas menyerang ke arah iga lawannya dengan gerakan Hong-tan-tian-cie atau Burung Hong Pentang Sebelah Sayap. Tapi Ong Mo Lin bukan anak kemarin, ia sudah cukup berpengalaman. Walaupun ia tahu bahwa si tosu jahat itu bukan musuhnya dan kepandaiannya jauh lebih tinggi darinya, namun ia sudah berlaku sangat hati-hati sekali.
Pukulan si imam ia kelit dengan gesit dan kembali ia mengirim serangan dengan dahsyat! Si tosu juga maklum bahwa Ong Mo Lin tak boleh diperbuat sesukanya atau main-main, maka ia bersilat dengan lebih cepat, meloncat ke sana ke mari di antara bayangan golok mencari sasaran.
Baru bertempur sepuluh jurus lebih Ong Mo Lin sudah menjadi kewalahan dan beberapa kali hampir saja tulang-tulangnya menjadi bulan-bulan pukulan Sia-kut-hoat atau Ilmu Melepas Tulang dari siluman ini. Gin-bwee-hwa Pauw Hiap Tojin bertempur sambil mengejek dan mempermainkan musuhnya, pada saat itu ia telah siap untuk menurunkan tangan besi guna menghajar Ong Mo Lin, tapi tiba-tiba terdengar seruan perlahan, “Siancai!”
Suara itu tahu-tahu sudah terdengar dekat sekali dan sebuah tongkat besi dengan gerakan mengeluarkan angin hebat menyelonong di antara kedua orang yang sedang bertempur itu. Ong Mo Lin yang sudah hampir tak berdaya segera meloncat ke belakang. Si tosu dengan muka merah karena marah memandang orang yang mengganggu perkelahiannya.
Ternyata yang datang dan memisah dengan menggunakan tongkat besi itu adalah seorang hwesio (pendeta) gundul yang sudah tua dan bermata tajam. Alisnya sudah putih sehingga ia nampak alim dan agung sekali.
“Maaf, maaf,” demikian hwesio itu menjura merangkapkan kedua tangan. “Harap jiwi suka memaafkan pinto, yang telah mengganggu jiwi (tuan berdua) yang sedang bermain-main sehingga pinceng (saya) mengurangi kegembiraan jiwi. Tapi karena pinceng lihat bahwa kedua senjata jiwi tiada bermata, maka pinceng kuatir main-main ini bisa membahayakan.”
Pauw Hiap Tojin sungguhpun sangat penasaran dan ingin memaki, tapi melihat yang mengganggu adalah seorang hwesio dan ia sendiripun termasuk golongan pertapa, maka dengan senyum paksa ia balas menjura dan berkata.
“Lo-suhu sangat baik hati. Mohon tanya nama julukan lo-suhu yang besar.”
34
“Pinceng dipanggil orang Hwat Khong, seorang penunggu kelenteng yang tak ternama.” Kemudian hwesio itu berpaling kepada Ong Mo Lin.
“Sahabat baik, mengapa engkau sampai bertempur dengan seorang suci seperti totiang ini?”
“Orang suci? Bah, ia seorang perampok! Suhu jangan kena dikelabuhi, teecu adalah seorang piauwsu yang kena dirampok oleh perampok she Bu itu,” jari tangannya menunjuk ke arah Bu Kiat. “Kemudian ia dan teecu bertempur, tapi mendadak datang tosu ini membelanya bahkan akan membagi-bagi barangku. Coba Lo-suhu pikir, adilkah itu?”
“Ha, ha! Engkau seperti seorang kanak-kanak yang merengek-rengek minta air susu, orang she Ong!” menyindir tosu itu, kemudian ia menghadapi Hwat Khong.
“Aku percaya penuh bahwa toyu sebagai orang beribadat takkan mencampuri urusan orang lain,” katanya.
“Omitohud! Tidak sekali-kali pinceng mau mencampuri, dan demikian juga lo-suhu sebagai orang budiman tentu mengenal pula keadilan, maka melihat keadaan sekarang ini, pinceng harap toyu suka memandang muka pinceng dan mengembalikan barang-barang tuan Ong,” kata Hwat Khong dengan suara manis.
“Hwesio gundul. Jangan mengimpi! Apa kaukira aku takut padamu? Pendeknya aku takkan mengembalikan barang-barang itu, habis kau mau apa?”
Inilah tantangan hebat yang sangat menghina, tapi Hwat Khong sudah cukup kuat batinnya sehingga ia hanya tersenyum.
“Kalau begitu, terpaksa pinceng campur tangan.”
“Majulah!” si tosu berteriak dan ketika ia melihat hwesio itu tetap berdiri tak bergerak sambil tersenyum-senyum bahkan menancapkan tongkat besinya di atas tanah, ia menjadi marah dan segera menerjang dengan hebat. Serangannya sangat lihai karena begitu menyerang ia sudah menggunakan ilmunya Hun-kin-coh-kut dan bergerak dengan tipu Iblis Murka Menyambar Nyawa. Tipu ini kejam dan telengas sekali, kedua tangan bergerak berbareng, yang kanan menotok iga, yang kiri mencengkeram anggauta rahasia lawan.
Karena datangnya serangan cepat dan penuh tenaga, Hwat Khong tak berani berlaku ayal, ia berkelit ke kiri menolak tangan kanan musuhnya, tapi serangan cengkeraman tangan kiri yang hendak ditangkis itu tiba-tiba berubah. Pauw Hiap Tojin yang lihai dengan cepat-cepat merobah serangan sebelum gerakannya habis. Tangan kiri yang tadinya akan mencengkeram kini berobah menjadi kepalan dan langsung menghantam perut lawan dengan kerasnya.
Tidak ada, jalan lain bagi Hwat Kong Hwesio selain menggunakan seluruh tenaga tangan kanannya untuk menubruk kepalan itu. Dua kepalan tangan beradu dengan mengeluarkan suara “duk,” dan kedua-duanya terhuyung-huyung ke belakang, tapi Hwat Khong merasa kepalan tangannya perih. Ia tahu bahwa tenaga lawannya tak di bawah tenaganya sendiri, maka ia berlaku sangat hati-hati, berdiri menanti datangnya serangan lawan.
35
“Hwesio keparat, bersedialah untuk mampus,” teriak si tosu lihai sambil maju perlahan-lahan, sikapnya menyeramkan.
Tapi tiba-tiba entah dari pohon mana, dari atas melayang turun tubuh seorang gadis kecil dengan gerakan ringan dan gesit sekali bagaikan seekor burung. Gadis itu langsung menghampiri Hwat Khong dan berdiri membelakangi si tosu. Ia menjura memberi hormat kepada Hwat Khong dengan berkata,
“Hwat Khong Suheng, terimalah hormatnya sumoimu!”
Hwat Khong Hwesio kemekmek dan untuk sesaat menjadi bingung, tapi si gadis cilik tak memberi kesempatan padanya untuk menyatakan keheranannya, lalu melanjutkan kata-katanya.
“Silakan mundur, suheng, biarlah siauw-moi menghadapi tosu bedebah ini.”
Hwat Khong memang segan berkelahi, pertama-tama ia tak suka bermusuhan, kedua ia memang sudah bersumpah takkan membunuh manusia, maka bagaimana ia akan dapat melawan tosu yang lihai itu tanpa melancarkan serangan-serangan lihai karena takut menewaskan musuh? Ia melihat gerakan gadis itu cukup gesit, maka biarlah untuk sementara gadis itu mewakilinya, kalau kiranya terdesak nanti, tentu ia takkan tinggal diam.
Pauw Hiap Tojin yang tadinya sudah siap sedia menyerang Hwat Khong, melihat datangnya si nona, hatinya seakan-akan berhenti memukul. Kedua matanya terbelalak menatap wajah gadis itu dan mulutnya tak dapat berkata-kata. Ia kagum sekali melihat kecantikan nona itu. Baginya seakan-akan gadis itu adalah seorang dewi yang baru turun dari kahyangan. Ketika mendengar suara nona itu, barulah ia tersadar dan berdiri tersenyum-senyum, sama sekali tidak marah mendengar ia dikatakan tosu bedebah.
“Eh, eh, sungguh dunia ini aneh. Tak kunyana sama sekali Hwat Khong suhu yang sudah begitu tua mempunyai sumoi begini muda dan begini manis. Hm, engkau beruntung sekali, Hwat Khong suhu.”
Ia tadinya terkejut juga melihat gerakan gadis itu yang ringan dan gesit, tapi setelah mendengar bahwa gadis itu tak lain hanya sumoi (adik seperguruan perempuan) dari Hwat Khong, maka timbul keberaniannya. Sedangkan Hwat Khong sendiri, suheng (kakak seperguruan) gadis itu, masih tak mampu menandingi kelihaiannya, apapula sumoinya yang masih kecil dan halus kulitnya ini.
“Tosu siluman, aku tahu engkau adalah penjelmaan siluman kura-kura karena mukamu hampir menyerupai kura-kura, jangan banyak cakap! Aku lihat suhengku tak pantas bertempur dengan kau, karena engkau terlampau rendah untuk bertempur dengannya! Aku sendiri sudah lebih dari cukup untuk menjatuhkanmu!”
“Ha, ha, ha! Tidak hanya cantik, tapi juga pandai bicara! Engkau hendak mencoba-coba kelihaianku ? Baik, baik, mari sini! Tapi ada taruhannya!”
Gadis itu bukan lain ialah Han Lian Hwa sebagaimana pembaca tentu telah dapat menduganya, timbul pula watak nakalnya dan melihat lagak si tosu ia sudah mengarang syair pula:
36
“Tosu siluman kura-kura!
Kau keluar dari lobang pecomberan,
Membawa bau busuk tiada terkira!
Membawa lagak imam suci dan bijaksana.
Tapi sekali kura-kura tetap kura-kura
menghadapi nonamu engkau banyak tingkah.
Tunggu kepalanku nanti bikin kepalamu pecah!”
Kata-kata ini diucapkan dengan lagu suara yang merdu dan lucu, sehingga para piauwsu mau tak mau tersenyum geli, hanya Hwat Khong Hwesio yang merasa heran dan tak puas akan tingkah laku gadis yang nakal ini.
“Ha, ha! Engkau pandai sekali, nona manis. Sekarang mari kita tetapkan taruhannya. Jika engkau dapat melawan aku lebih dari duapuluh jurus saja, aku menerima kalah. Tapi kalau belum duapuluh jurus, engkau sudah kalah, maka kau harus berikan lian-hwa merah di atas kepalamu itu padaku dan selama tiga hari engkau harus menjadi pelayanku! Jangan kuatir, pekerjaanmu takkan berat, bahkan menyenangkan sekali!”
“Tosu tersesat!” membentak Hwat Khong melihat kekurangajaran si tosu.
Tetapi Lian Hwa segera mencegah suhengnya dan berkata,
“Suheng, biarkan sumoimu kali menghadapi kura-kura busuk ini. Eh, kura-kura siluman, baik kuterima taruhanmu itu, tapi jika engkau yang kalah bagaimana?”
“Ha, ha, ha! Aku kalah? Ah, kalau aku sampai kalah, biarlah kau tetapkan sendiri taruhanmu.”
Han Lian Hwa memandang sekeliling mencari bahan kenakalannya. Tiba-tiba ia melihat ke arah kuda para piauwsu dan berkata tersenyum manis.
“Karena kura-kura suka makan kotoran, maka jika kau yang kalah, engkau harus makan tahi kuda itu. Bagaimana?”
Pauw Hiap Tojin belum pernah dihina orang sedemikian hebat, kalau yang menghinanya bukan gadis secantik itu, pasti ia takkan dapat menahan murkanya lagi. Tapi ia hanya tersenyum kecut dan berkata.
“Baik, baik. Nah, perlihatkanlah ajaran-ajaran gurumu!” Ia memasang bhesi (kuda-kuda) dan membuka jurus Naga Bumi Mengancam, menekuk lutut kanannya ke bawah pantatnya yang menempel di belakang tumit kaki kirinya dilonjorkan lempeng ke sebelah kiri, matanya memandang ke arah nona itu dengan gaya yang aksi sekali dan pandangan mata yang kurang ajar sambil mulutnya yang kempot tersenyum-seyum. “Seranglah, nona manis!” katanya jenaka.
Semua orang yang berada di situ adalah ahli-ahli silat belaka dan maklum akan kelihaian sikap gerakan ini, suatu sikap yang sukar sekali untuk diserang, apa lagi mengingat akan kelihaian sepuluh
37
jari tangan si tosu. Tapi Han Lian Hwa seakan-akan tidak mengerti akan berbahayanya kuda-kuda si tosu dan maju menghampiri dengan sembarangan.
Tiba-tiba ia menyerang sembarangan pula dengan pukulan tangan kanan dalam tipu Go-yang-pok-sit (Kambing Kelaparan Tubruk Makanan). Tipu ini adalah tipu biasa saja yaitu ia menyerang ke arah depan dengan tangan terbuka.
Semua orang kecewa melihat serangan yang sama sekali tidak berbahaya ini dan bahkan Hwat Khong Hwesio yang melihat kelemahan gadis itu mulai hilang kepercayaannya dan menyesal mengapa ia membiarkan gadis itu menghadapi bahaya besar.
Si tosu pun memandang rendah sekali. Ia tertawa bergelak menanti datangnya serangan. Ketika tangan gadis itu sudah datang dekat ke arah kepalanya, tiba-tiba ia meloncat berdiri dan kini ke dua kakinya berada dalam sikap Ciang-cip-pou, terus ia ulur tangan kirinya menyambut tangan Lian Hwa yang menyerang untuk menangkapnya sedangkan tangan kanannya terulur maju ke arah dada Lian Hwa! Gerakan ini selain kurang ajar pun berbahaya sekali.
Semua orang kuatir. Tapi tak terduga sama sekali, gadis itu menarik kembali tangan kanannya sambil tertawa nyaring tangan kirinya menyelonong ke arah leher lawan sambil miringkan tubuh menghindari cengkeraman ke arah dadanya. Si tosu terkejut, karena tak ia sangka gerakan gadis itu demikian cepatnya. Ia segera memutar tubuh memiringkan kepala, tapi tiba-tiba Lian Hwa sudah merobah pula gerakannya sambil meloncat ke samping dan mulutnya berkata nyaring,
“Jurus ke satu!” tiba-tiba kaki kirinya menendang dengan tiba-tiba tepat mengenai pantat si tosu. “Bluk!” dan Pauw Hiap Tojin terhuyung-huyung mundur beberapa langkah!
Para piauwsu yang menonton perkelahian ini tertawa gembira. Tak mereka sangka sedikit juga gadis itu demikian lihai dan cepat gerakannya, sedangkan ilmu pukulannya pun aneh. Atau barangkali hasil tendangan itu hanya kebetulan saja? Buktinya si tosu tidak terluka, hanya terhuyung ke belakang. Mereka memandang dengan hati masih agak cemas.
Pauw Hiap Tojin mengatur kedua kakinya lagi dan matanya mulai menjadi merah. Ia segera menubruk maju menggunakan ilmunya yang masyhur yaitu Hun-kin-coh-kut atau Ilmu Bikin Putus Otot dan Tulang. Jari-jarinya terbuka dengan ilmu Kim-na-hoat atau Ilmu Menangkap, karena ia masih tidak tega melukai si gadis dan hanya ingin menangkapnya.
Setelah dekat ia menggunakan tipu Giok-houw-pok-yang atau Harimau Kumala Tubruk Kambing. Melihat orang menyerang kedua pundaknya, Lian Hwa menekuk kedua kakinya ke bawah lalu melejit melalui bawah lengan orang, kemudian sambil berlompat tangan kirinya menyambar dan “plok” belakang kepala tosu itu kena tabokan dan ia berkata mengejek, “Jurus kedua!”
Si tosu hanya merasakan kepalanya agak pusing yang menambahkan kemarahannya. Sebenarnya, di luar tahunya orang, kalau Lian Hwa mau, tendangannya tadipun sudah cukup untuk merobohkan musuhnya, apalagi tabokan yang kedua ini. Tapi ia sengaja menggunakan sedikit tenaga saja, karena wataknya yang jenaka membuat ia ingin mempermainkan si tosu jahanam itu.
38
Demikianlah, dengan menggunakan ginkangnya yang luar biasa ia melayani si tosu dengan menggunakan Bian-si-lui-yap-mo-sin-ciang yaitu ilmu silat dengan kepalan lemas dan dengan ilmu lompat ke sana ke mari Yan-cu-sip-pan-sian atau Burung Walet Terbang Jumpalitan, ia berhasil dalam setiap jurus menabok muka, menyentil telinga, mendorong, menendang, bahkan ketika mereka telah bertempur sembilanbelas jurus dan ia berhasil mempermainkan musuh sampai sembilanbelas kali, ia melakukan pukulan terakhir.
Ketika Pauw Hiap Tojin yang sudah menjadi murka melakukan serangan dengan tipu dari Pat-kwa-mui yang lihai dan mematikan, yaitu dengan kedua tangan mencengkeram ke arah kepala Lian Hwa dan disusul tendangan ke perut. Lian Hwa menggunakan sebelah tangan kiri menahan kedua tangan tosu itu.
Ketika dua lengan yang berbulu itu beradu dengan lengan gadis yang halus, tenaga dalam si tosu membalik membuat sekujur badannya kesemutan! Sebelum kakinya menyambar perut Lian Hwa. Gadis itu menggunakan ujung kaki kirinya menotol lutut musuhnya sehingga kaki yang menendang itu turun kembali tak berdaya dan lemas, kemudian secepat kilat sehingga orang-orang tak dapat melihat betapa ia bergerak, jari tangan kanannya telah menotok dengan totokan Su-sat-ciu ke arah jalan darah hou-cing-hiat!
Si tosu terkejut hendak berkelit, tapi ia kalah cepat cepat, totokan tepat mengenai urat hou-cing-hiat dan di situ ia berdiri kaku bagaikan patung dengan kedua tangan menempel pada tangan kiri Lian Hwa!
Terdengar suara tertawa dan sorakan semua piauwsu di situ.
“Nah, nonamu ternyata sanggup melawan sampai duapuluh jurus dan kau telah kalah! Sekarang engkau harus membayar hutangmu dalam taruhan tadi!”
Lian Hwa memungut sebuah golok yang menggeletak di bawah. Hwat Khong Hwesio kaget dan hendak melarang gadis itu yang dikiranya akan membunuh Pauw Hiap Tojin. Tapi Lian Hwa tidak menghampiri si tosu, bahkan pergi menuju ke kumpulan kuda.
Dengan golok yang dipungutnya itu ia menyendok tahi kuda dan dari tempat itu juga ia mengayun goloknya. Tahi kuda di ujung golok meluncur terbang ke arah si tosu dan tepat mengenai mukanya. Tak sedikit tahi kuda yang masih basah dan hangat itu memasuki mulut dan hidungnya.
Kembali semua orang bersorak ramai. Tapi Hwat Khong Hwesio makin tak senang. Ia menganggap gadis itu keterlaluan dan perbuatannya tak pantas. Maka segera ia menghampiri gadis yang masih berdiri tertawa-tawa dengan suara nyaring.
“Eh, nona, kau tadi berkata bahwa aku ini suhengmu. Tapi sepanjang ingatanku, aku belum pernah mempunyai sumoi. Apalagi sekecil nona ini, coba terangkan padaku.”
Lian Hwa heran mendengar suara hwesio itu agak kurang senang.
“Hwat Khong suheng, lupakah suheng ketika sepuluh tahun yang lampau suheng menolong seorang anak perempuan?”
39
Hwat Khong ternganga. “Jadi…… engkau ini…… anak itu, si Lian Hwa?”
Han Lian Hwa mengangguk sambil tersenyum.
“Oh, oh…… sudah kusangka……” hwesio tua itu berkata terharu.
“Apa, suheng?” tanya gadis itu.
Hwat Khong sebenarnya akan berkata, “sudah kusangka bahwa tabiat supek yang aneh itu akan menular padanya” tapi ia hanya melanjutkan, “Sudah kusangka engkau akan mewarisi kepandaian tinggi dan aneh. Aku girang sekali sumoi.” Namun ia masih merasa canggung untuk menyebut sumoi (adik seperguruan) kepada gadis kecil ini.
Hati Hwat Khong girang melihat gadis yatim piatu itu kini telah memiliki kepandaian yang begitu lihai, tapi sebaliknya ia kuatir melihat kenakalannya. Ia masih saja merasa kurang senang, maka tanpa berkata sesuatu lagi ia menghampiri Pauw Hian Tojin yang masih berdiri bagaikan patung. Ia mengulurkan lengan kanan dan menggunakan jarinya menepuk punggung tosu itu untuk memunahkan totokan Lian Hwa tapi sungguh heran, usahanya tak berhasil.
Hwat Khong Hwesio merasa aneh dan malu karena di situ banyak para piauwsu dan orang-orang kalangan rimba hijau (perampok) tengah melihat perbuatannya. Dengan penasaran ia mencoba lagi dan kali ini berhasil. Tapi hal ini bahkan membikin Hwat Khong makin merasa heran, karena jelas terlihat olehnya bahwa yang menyembuhkan Pauw Hiap Tojin bukanlah tepukan tangannya, tapi adalah sebutir batu kecil yang berkelebat dan mengenai iga tosu itu.
Ia maklum bahwa Lian Hwa telah dengan diam-diam membantunya memunahkan totokannya sendiri yang aneh itu. Hwat Khong merasa kagum dan berbareng bersyukur bahwa gadis itu ternyata mempunyai cukup liang-sim (kebajikan) dan menjaga suhengnya dari malu.
Pauw Hiap Tojin dengan wajah merah karena malu membersihkan tahi kuda dari mukanya, lalu menjura kepada Hwat Khong Hwesio.
“Sungguh pinto (saya) tidak melihat Gunung Thai-san di depan mata dan tak kenal kebodohan sendiri. Mohon keterangan nama sumoimu yang gagah itu.”
“Hem, Pauw Hiap Toheng (saudara), perlu apa memperdalam permusuhan? To¬heng adalah seorang pertapa, mengapa mencemarkan nama kaummu sendiri dengan ikut mencampuri urusan harta dunia?” tegur Hwat Khong Hwesio.
Jawaban ini membuat Pauw Hiap Tojin menjadi marah. “Apakah kalian takut akan pembalasanku?” tanyanya dengan suara menyindir.
Tiba-tiba Lian Hwa menghampiri mereka dan dengan senyum manis berkata, “Eh, tosu palsu! Siapa yang takut pembalasanmu? Engkau manusia jahat yang mencari celaka sendiri. Setelah kamu mendapat pelajaran bukannya menjadi insyaf akan keburukan sendiri bahkan mau tanam
40
permusuhan. Boleh, boleh! Dengarlah, aku bernama Han Lian Hwa dan aku selalu akan siap sedia menghadapi pembalasanmu. Kau boleh belajar seratus tahun lagi!”
Ucapan ini sungguh sombong dan Hwat Khong memandang sumoinya dengan marah. Melihat pandangan suhengnya (kakak seperguruan) Lian Hwa terkejut dan menutup mulutnya dengan heran.
“Pauw Hiap toheng jangan hiraukan sumoi, ia masih kanak-kanak,” kata Hwat Khong.
Tapi kata-kata ini bahkan menusuk perasaan tosu itu karena mengingatkannya betapa namanya yang telah terkenal di kalangan kang-ouw itu kini tiba-tiba jatuh rendah sekali dan disapu lenyap oleh seorang gadis kecil tak terkenal! Kalau yang menjatuhkannya itu seorang kang-ouw ternama, ia takkan penasaran, tapi gadis ini baru saja muncul dan lagaknya masih seperti kanak- kanak. Namun ia dijadikan seperti tikus dengan kucing.
Maka mendengar ucapan Hwat Khong tadi, ia makin marah lalu dengan mengeluarkan suara mendengus ia memutar tubuhnya dan berjalan pergi dengan tindakan lebar. Lian Hwa hampir tak dapat menahan gelak tawanya karena geli hati tapi ia hanya mengerling ke arah suhengnya dengan senyum dikulum!
Hwat Khong Hwesio lalu memandang kepada Oei-coa Ong Mo Lin si Ular Kuning dan berkata, “Nah, Tuan Bu dan Tuan Ong berdua sekarang pandanglah muka pinceng dan habiskan permusuhan ini.”
Si Ular Kuning menjura, “Terima kasih atas pertolongan suhu dan siocia (nona). Tentu saja siauwte (saya) akan habiskan pertikaian ini asal saja saudara Bu Kiat mau mengembalikan barang-barang tanggungan piauw kami. Lo-suhu kiranya maklum bahwa nama baik piauw-tiam (kantor ekspedisi) merupakan mangkok nasi bagi kami sekalian piauwsu.” Ia melirik ke arah Bu Kiat dan kawan-kawannya yang berdiri dengan lemas karena tiada harapan melawan lagi setelah kini di situ ada Hwat Khong Hwesio dan sumoinya yang kosen.
Hwat Khong dengan suara halus membujuk Bu Kiat untuk mengembalikan barang-barang itu hingga terpaksa si Tawon Hitam menjawab,
“Mengingat kepada lo-suhu, apa boleh buat barang itu saya kembalikan kepada saudara Ong.” Ia lalu memberi tanda dengan suitan dan dari dalam rimba keluar beberapa orang mendorong gerobak terisi lima peti besar barang-barang berharga yang diperebutkan itu.
Setelah menghaturkan terima kasih, kawanan piauwsu meninggalkan tempat itu dengan gembira.
Hwat Khong dan Lian Hwa juga pergi ke jurusan lain, diawasi oleh Bu Kiat dan kawan-kawannya dengan hati mendongkol.
“Suheng, saya membawa surat suhu almarhum untukmu,” kata Lian Hwa yang merasa tak enak hati melihat suhengnya diam saja seakan-akan tak perdulikan padanya.
“Almarhum? Jadi supek sudah……?” Hwat Khong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena kaget dan terharu.
41
Lian Hwa mengangguk dan tak terasa dari kedua matanya mengalir air mata. Hwat Khong Hwesio segera mengajaknya berhenti dan duduk di bawah sebuah pohon besar. Ia membuka surat supeknya (paman guru) lalu membaca dengan sikap hormat. Kemudian ia memandang sumoinya yang masih termenung sedih, lalu menghela napas.
“Sumoi tenangkan hatimu! Semua orang kalau sudah tiba masanya tentu mati. Hal kematian supek tak perlu disedihkan benar, karena supek telah dipanggil pulang oleh Thian Yang Maha Kuasa. Lebih baik sekarang kita bicarakan masa depan. Sumoi kini telah turun gunung dan…... dan...... ke manakah tujuanmu sekarang?”
Lian Hwa memandang suhengnya dengan sedih. Wajah hwesio tua yang jernih dan sopan itu menimbulkan kepercayaan dan ia sejak tadi sudah merasa seakan-akan berhadapan dengan keluarga sendiri. Kini mendapat pertanyaan demikian, ia menjadi sedih dan bingung. Ia hanya dapat menggeleng-geleng kepalanya yang cantik itu dan air matanya kembali mengalir ke atas kedua pipinya.
“Aku tidak tahu, suheng…… aku tidak tahu……” hanya inilah jawabannya dengan suara pilu.
“Jangan bersedih, sumoi,” Hwat Khong menghibur sambil menepuk-nepuk tangannya. “Baik kukatakan terus terang. Suhumu minta supaya aku membimbingmu memasuki dunia yang agaknya masih asing bagimu.”
Lian Hwa segera menjura di depan suhengnya. “Terima kasih, suheng. Memang suhu telah pesan supaya aku menurut segala petunjukmu. Mulai sekarang, Suhenglah menjadi pengganti suhuku.”
Melihat gadis itu menjura berulang-ulang sambil berlinang air mata, mau tak mau Hwat Khong Hwesio merasa terharu juga. Bagaimanapun, dia sendirilah yang pertama-tama menolong Lian Hwa.
“Sumoi, aku suka mendidikmu asal saja kau mau berjanji.”
“Janji apa, suheng? Biar harus masuk ke lautan api, pasti akan kujalani asal saja suheng mau memberi petunjuk-petunjuk padaku dan mau pula…… membawaku ke tempat…… orang tuaku.”
Sampai di sini kembali air matanya mengucur.
Hwat Khong mengangguk maklum. “Aku mengerti, sumoi. Engkau sebagai seorang anak yang u-hauw (berbakti) tentu ingin sekali tahu keadaan orang tuamu. Tapi karena tempat itu jauh dan kau belum ada pengalaman merantau dan bertemu dengan orang-orang kang-ouw, maka kini belum waktunya bagimu untuk pergi. Janji itu demikian, sumoi. Terus terang kuakui bahwa dalam hal ilmu silat, aku ketinggalan jauh olehmu. Hal ini segera kuketahui ketika kau bertempur dengan Pauw Hiap Tojin tadi. Maka dalam hal ilmu silat, jangan harap untuk minta petunjukku lagi. Hanya dalam tatacara kesopanan dan perilaku yang sesuai dengan dunia ramai, kiranya dapat engkau meniruku. Tapi setelah mulai sekarang engkau ikut aku di dalam segala hal engkau harus menurut kata-kataku. Tidak boleh kau membawa kehendak sendiri. Sanggupkah kau sumoi?”
Lian Hwa segera memberi hormat mengangguk-angguk. “Sanggup suheng. Aku sanggup.”
42
“Nah, marilah kita pulang ke kelentengku lebih dulu.”
Hwat Khong Hwesio bangun berdiri dan mereka berdua lalu menggunakan ilmu lari cepat menuju ke Bukit Bok-lun-san di mana terdapat kelenteng Ban Hok Thong yang didiami oleh Hwat Khong Hwesio.
Setibanya di kelenteng tersebut, Hwat Khong lalu menceritakan riwayat Han Bun Lim, ayah Lian Hwa yang terbunuh mati oleh Bong Him Kian dan bagaimana ibunya juga telah membunuh diri ketika ditawan Bong-kongcu yang jahanam itu, serta bagaimana Lian Hwa ditolong oleh Hwat Khong dan perjumpaan mereka dengan Siau-kiam Koai-jin Ong Lun, gurunya Lian Hwa.
Mendengar nasib kedua orang tuanya, Lian Hwa menangis sedih, kemudian dengan gemas dan marah-marah ia tiba-tiba mencabut pedangnya hingga mengeluarkan sinar gemerlapan.
“He sumoi, kau mau apa?” tanya Hwat Khong, heran.
Lian Hwa tidak menjawab, hanya sepasang matanya saja mengeluarkan sinar berkeredep seakan-akan berapi, kemudian tanpa menjawab sesuatu, tubuhnya melesat ke arah luar kelenteng.
“Sumoi, tunggu!” Hwat Khong meloncat keluar pula mengejar.
Tapi Lian Hwa tak perdulikan teriakannya dan lari terus. Hwat Khong terpaksa harus menggunakan seluruh kepandaiannya lari cepat untuk dapat mengejar sumoi yang gesit dan cepat gerakannya itu. Namun ia masih saja tertinggal hingga ia menjadi sangat gugup.
“Sumoi, ingat janjimu!” kembali ia berteriak.
Lian Hwa menengok sebentar, mukanya merah dan penuh air mata yang membasahi kedua pipinya, kemudian ia lari lagi.
“Sumoi! Ke mana engkau pergi? Kau belum tahu di mana tempat tinggal musuhmu itu!” memang tadi Hwat Khong belum menceritakan tentang kampung tempat tinggal orang tuanya dan Bong-kongcu, musuhnya.
Mendengar ini, Lian Hwa berhenti dan duduk mendeprok di atas tanah sambil menangis tersedu-sedu.
Hwat Khong Hwesio dengan napas agak sengal-sengal sampai ke tempat itu dan berdiri di depan Lian Hwa dengan wajah bengis tapi dengan hati penuh rasa iba.
“Sumoi ternyata engkau belum dapat mengendalikan gelora hatimu. Adatmu ini sungguh tidak menguntungkan sama sekali. Bukankah kau tadi sudah berjanji akan menurut kata-kataku? Lupakah kau akan pesan suhumu sendiri?” Suara ini sangat tegas dan bengis.
Han Lian Hwa mengangkat kepala memandang suhengnya kemudian tiba-tiba ia menubruk kaki suhengnya sambil menangis sedih. Mulutnya berkata lemah, “Suheng…… ampunkan aku……” Lalu ia roboh pingsan!
43
Hwat Kong Hwesio menjadi bingung. Tanpa sungkan, seperti seorang ayah kepada anaknya, ia mendukung sumoinya dan berlari ke kelenteng. Ternyata tubuh Lian Hwa sangat panas, napasnya memburu.
Seminggu lamanya Lian Hwa jatuh sakit. Badannya panas dan ia selalu mengigau memaki-maki Bong-kongcu dan mengancam hendak mencincang badannya sampai hancur, lalu ia menangis tersedu-sedu sambil menyebut-nyebut ibu dan ayahnya! Ternyata gadis sejak kecilnya selalu gembira bahagia tak kenal artinya susah itu kali ini menerima pukulan batin yang terlampau berat hingga perasaannya sangat tertekan membuat tubuhnya menjadi sakit.
Selama itu Hwat Khong Hwesio selalu menghiburnya dengan sabar dan segala keperluan sumoinya itu dicukupinya dengan hati-hati dengan bantuan beberapa orang hwesio kecil pengurus kelentengnya.
Setelah Lian Hwa sembuh, Hwat Khong menasihatinya dengan suara tenang, “Sumoi, dengarlah kataku baik-baik. Tentang hal membalas dendam itu memang sudah menjadi kewajibanmu. Tapi segala tindakan itu harus diatur sebaik-baiknya. Jangan hanya menurutkan hati yang penuh napsu, karena tindakan yang berdasarkan napsu itu hanya akan menggelapkan pikiranmu hingga segala perbuatanmu takkan berhasil baik.
“Sekarang engkau belajarlah sabar dan sebagaimana yang dikehendaki suhumu, engkau harus tinggal dulu di sini beberapa lama untuk belajar mengerti tentang cara-cara kesopanan dan lain-lain yang perlu diketahui oleh wanita seperti engkau. Kemudian setelah kuanggap sudah tiba saatnya, maka tentu engkau akan kuberi tahu tempat musuh-musuhmu itu dan kau kuperkenankan pergi mencari dan membalaskan sakit hati orang tuamu.”
Lian Hwa terpaksa menurutkan kata-kata suhengnya, sungguhpun sukar sekali baginya untuk bersabar.
Demikianlah, sejak hari itu Lian Hwa tinggal di sebelah kamar di dalam kelenteng itu dan mendengarkan petunjuk-petunjuk suhengnya yang luas pengalamannya tentang keadaan di kalangan kang-ouw dan aturan-aturan yang bersangkutan dengan penghidupan dunia ramai. Tak lupa Hwat Khong mengajar sumoinya tentang sikap seorang gadis yang sopan dan mengenal aturan. Maka mengertilah kini Lian Hwa bahwa sikapnya baru-baru ini sebenarnya tidak patut.
Karena menurut ajaran suhengnya, tak pantaslah seorang gadis seperti dia tertawa keras di depan umum. Lebih tidak pantas pula duduk semeja dengan seorang laki-laki yang belum dikenalnya seperti telah ia lakukan ketika berjumpa dengan Peng Bouw si Kuda Hitam dulu.
Ia merasa malu mengenang itu semua, tapi di dalam hatinya ada juga rasa penasaran. Mengapa kalau laki-laki boleh saja bersikap sembarangan, tapi kalau wanita harus demikian banyak aturan-aturan? Sayang aku bukan laki-laki, demikian pikirnya.
Ketika ia menanyakan kepada suhengnya tentang pengalamannya dengan Peng Bouw, maka secara terus terang Hwat Khong yang maklum bahwa sumoinya itu benar-benar masih “hijau” lalu menerangkan bahwa laki-laki bernama Peng Bouw itu adalah seorang yang kurang ajar. Bahwa maksudnya mengajak Lian Hwa makan bersama-sama bukanlah keluar dari hati jujur dan suci, tapi mengandung kekurangajaran.
44
“Sumoi hati-hatilah terhadap laki-laki yang kurang ajar seperti itu. Hati-hati terhadap segala macam laki-laki yang mudah saja menegur seorang wanita yang tak dikenalnya, kecuali kalau teguran itu memang beralasan. Banyak orang laki-laki kurang ajar macam itu yang akan kau temui dalam perjalananmu kelak.”
Merah wajah Lian Hwa setelah dapat menangkap maksud suhengnya, sungguhpun ia masih bodoh namun perasaan gadisnya membisiki nuraninya, membuat ia mengerti apakah arti kekurangajaran laki-laki. Dengan tak disengaja mulutnya berkata,
“Ah, kalau begitu semua laki-laki tak dapat dipecaya dan kurang ajar……”
Suhengnya menatap tajam, membuat ia insyaf telah kelepasan bicara, tak ingat bahwa suhengnya pun seorang laki-laki! Muka Lian Hwa makin merah dan buru-buru ia berkata,
“Maaf, suheng. Bukan maksudku semua laki-laki, ada kecualinya seperti suheng, suhu dan orang-orang seperti para hwesio di kelenteng ini.” Kata-katanya ini membuat Hwat Khong Hwesio tertawa bergelak-gelak.
Pada saat itu, tiba-tiba seorang hwesio pelayan datang menghadap Hwat Khong dan melaporkan bahwa di luar ada seorang tamu. Hwat Khong segera keluar dan ternyata tamu itu adalah Lin Piauw, kepala penjaga keamanan di kampung Pian-bong-kee-chung yang terletak kurang lebih hanya sepuluh lie dari kelenteng Ban-hok-tong dan termasuk sebuah kampung terbesar di kaki bukit Bok-lun-san itu. Lin Piauw adalah seorang bekas guru silat yang dijuluki orang “Kepalan Baja” karena ia terkenal dengan tenaganya yang besar dan kepalan tangannya dengan mudah dapat menembus tembok.
Hwat Khong Hwesio menyambut kedatangan Lin Piauw dengan hormat dan ramah karena ia telah mengenal dan tahu bahwa Lin Piauw adalah seorang gagah yang jujur. Bahkan ia pernah memberi petunjuk tentang ilmu pukulan kepadanya, sehingga boleh juga disebut bahwa Lin Piauw adalah “setengah” muridnya. Lin Piauw juga sangat mengindahkan kepada kepala hwesio kelenteng Ban Hok Thong itu. Maka begitu berjumpa, segera ia menjura dengan sangat hormatnya dan berkata,
“Lo-suhu, bagaimanakah keadaan di sini? Siauwte harap saja lo-suhu dalam selamat dan tenang.”
“Terima kasih, Lin lauwte, Lohu (aku orang tua) baik-baik saja. Dan bagaimana dengan pekerjaanmu? Beres dan lancar bukan?”
Tapi Lin Piauw hanya tersenyum masam. Hwat Khong Hwesio heran melihat perubahan wajah Lin Piauw yang tak sari-sarinya itu. Ia maklum pasti ada sesuatu yang tidak beres maka setelah seorang pelayan mengeluarkan hidangan teh, ia pesan agar mereka berdua jangan diganggu.
“Lin lauwte, kita bukan orang yang baru saling mengenal. Maka melihat wajahmu, pasti ada sesuatu yang hendak dibicarakan! Harap lauwte (anda) katakan terus terang.”
Lin Piauw mengucap terima kasih, dan menghela napas lega. Kemudian menceritakan keadaannya yang membuat hatinya bingung seperti di bawah ini.
45
Kampung Pian-bong-kee-chung adalah sebuah kampung yang cukup besar dan ramai. Banyak toko-toko, kedai arak dan rumah obat terdapat di sepanjang jalan kampung itu. Bahkan di situ terdapat pula empat buah rumah penginapan yang lumayan besarnya, karena di kampung itu tak jarang dikunjungi pedagang dan orang pelancongan.
Kepala kampung di situ adalah seorang she Liu, orang baik dan ia mengatur kampungnya dengan adil sehingga ia disukai oleh rakyat di kampung itu. Liu chungcu (Kepala Kampung) mempunyai seorang anak perempuan yang cantik dan baru berusia enambelas tahun bernama Liu Siu Hiang. Gadis ini selain pandai ilmu silat pun pandai pula mengerjakan segala macam pekerjaan tangan yang indah-indah. Hasil-hasil sulamannya terkenal di kampung itu.
Tapi beberapa hari yang lalu, tiba-tiba saja awan gelap menyelimuti kampung Pian-bong-kee-chung yang aman tenteram itu. Tiba-tiba malapetaka menimpa dan yang pertama-tama menjadi korban adalah kepala kampung Liu sendiri!
Malam peristiwa itu terjadi gelap sekali, langit hanya diterangi beberapa buah bintang yang suram. Ketika kentungan peronda berbunyi dua kali menandakan bahwa malam itu telah lewat tengah malam, tiba-tiba para penduduk yang tinggal di dekat gedung Liu chungcu terkejut mendengar suara jeritan wanita yang keras dan menyeramkan.
Liu chungcu sendiri dan beberapa orang penjaga bangun dan segera berkumpul, lalu memburu ke arah suara tadi. Alangkah terkejutnya ketika mereka menghampiri kamar Liu siocia, mereka lihat pintu kamar itu terbentang lebar. Dari situlah terdengar suara jeritan tadi. Liu chungcu dengan hati berdebar-debar segera memasuki kamar puterinya.
Tiba-tiba para penjaga yang berada di luar kamar mendengar majikan mereka berteriak sedih. Mereka mengintai dan apakah yang terlihat? Ternyata Liu siocia, gadis remaja yang cantik jelita itu telah roboh di atas lantai di depan ranjangnya dengan mandi darah. Sebilah pisau belati tertancap di dadanya dan keadaan pakaiannya tidak karuan!
Lin Piauw sebagai kepala penjaga segera memasuki kamar itu dan ia yang telah berpengalaman begitu melihat sekilas saja keadaan gadis itu, tahulah sudah bahwa ini adalah perbuatan seorang penjahat pemetik bunga! Ia maklum penjahat itu tentu belum lari jauh, maka ia segera mengayun tubuhnya meloncat ke atas genteng dan pergi mencari-cari sambil berloncat-loncatan di atas wuwungan rumah orang.
Ketika sampai di tembok kampung sebelah selatan, tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan yang menggendong sesuatu di pundaknya terbang mendatangi ke arahnya. Lin Piauw si Kepalan Baja cepat bersembunyi sambil mengintai.
Tiba-tiba dari jurusan yang berlawanan datang pula sesosok bayangan orang yang gerakannya gesit sekali. Orang itu memegang sebilah pedang. Dua bayangan orang itu bertemu di atas sebuah wuwungan rumah yang tak jauh dari situ, maka Lin Piauw segera mendekati dengan diam-diam sambil memasang mata dan telinganya.
46
Ternyata olehnya bahwa bayangan tu adalah seorang wanita muda dan seorang laki-laki. Si wanita membawa sebuah kantung di pundak dan laki-laki itu memegang sebilah pedang. Mereka berdua mengenakan pakaian serba hitam, khusus pakaian jalan malam.
“Moi-moi (adik), bagaimana hasilmu?” tanya laki-laki itu.
Kawannya mengangkat kantung yang digantungkan di pundaknya ke atas. “Semua emas,” katanya tertawa merdu. “Dan kau bagaimana? Berhasilkah di gedung kepala kampung itu?”
Laki-laki itu menggelengkan kepala. “Sayang, sebelum aku dapat mengambil sesuatu yang berharga, anaknya bangun dan berteriak, terpaksa kubereskan!”
“Anak gadis, bukan? Ah, lagi-lagi kau menyakiti hatiku, koko (kanda).”
Karena sudah jelas bahwa inilah orang yang dicari, Lin Piauw segera melompat keluar dan membentak.
“Bangsat cabul! Lekas menyerah kalau tak ingin mampus!”
Kedua orang itu terkejut dan perempuan itu mencabut pedangnya.
“Biarkan saja, moi-moi jangan ikut-ikut. Biar aku sendiri membereskan anjing ini,” kata yang laki-laki.
Lin Piauw tak banyak bicara lagi, segera menyerang dengan goloknya. Penjahat cabul itu menangkis dengan pedangnya dan tak lama kemudian mereka berdua bertempur di atas genteng dengan hebat. Lin Piauw segera mengetahui bahwa bangsat itu ilmu silatnya lihai juga, maka segera ia mengeluarkan ajaran dan petunjuk-petunjuk Hwat Kong Hwesio. Goloknya menyambar-nyambar bagaikan kitiran angin dalam gerakan Hong-sauw-pai-yap (Angin Menyapu Daun Rontok). Segera penjahat itu keteteran dan hanya dapat menangkis saja.
Pada satu saat golok Lin Piauw menyambar ke arah leher, lawannya menangkis dengan pedang tapi golok yang tertangkis itu terus terayun ke bawah mengarah kaki lawan dengan gerakan gesit sekali. Lawannya tak sempat menangkis, hanya berkelit melompat ke atas untuk menghindari, kaki kirinya mengirim tendangan yang dapat ditangkis pula oleh lawannya dengan tangan kiri, tapi bangsat itu menjadi sangat gugup dan terdesak. Saat yang baik ini digunakan oleh Lin Piauw untuk menyerang makin hebat.
Pada saat itu sudah hampir mendapat kemenangan, tiba-tiba dari belakang menyambar angin dingin dibarengi bentakan halus, “Pergilah kau!”
Lin Piauw terkejut bukan main karena biarpun dengan cepat ia berkelit, namun pedang yang menyerangnya dari belakang itu masih menyerempet pundaknya dan merobek bajunya. Segera ia berloncat ke sisi dan siap menghadapi musuh baru yang ternyata adalah perempuan muda itu.
Hebat sekali gerakan lawan baru ini, gerakan pedangnya cepat dan lincah. Sedangkan menghadapi lawan yang tadi saja kepandaianya tidak jauh selisihnya, apa pula kini dikeroyok dua, maka baru bertempur beberapa jurus saja Lin Piauw tak kuat menahan pula. Terpaksa ia menggunakan saat baik
47
untuk meloncat keluar kalangan dan kabur! Kedua penjahat itu tak mengejarnya, hanya terdengar suara ketawa mengejek dari si penjahat wanita yang membuat Lin Piauw merasa gemas dan marah sekali.
Semenjak hari itu, maka berturut-turut beberapa rumah hartawan di kampung itu didatangi penjahat yang menggondol tidak sedikit jumlahnya uang dan emas. Dan seorang gadis she Him terbunuh pula oleh penjahat cabul pemetik bunga itu.
Lin Piauw merasa sangat bingung dan kuatir. Ia sebagai kepala penjaga yang bertanggung jawab akan keamanan kampungnya tentu saja mendapat teguran keras dari kepala kampung.
Akhirnya ia mendengar bahwa di kelenteng Ban-hok-thong kedatangan seorang gadis cantik yang tinggal di situ. Menurut keterangan seorang daripada beberapa mata-matanya yang sengaja disebar, gadis itu agaknya pandai silat karena datangnya membawa pedang. Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaan Lin Piauw, tapi karena mengingat Hwat Khong Hwesio, ia tidak berani bertindak serampangan.
Maka setelah menceritakan hal yang menyusahkan hatinya itu ia bertanya kepada Hwat Khong.
“Maaf, lo-suhu. Bukan maksud siauwte untuk berlaku kurang hormat. Tapi siauwte mendengar bahwa di kelenteng lo-suhu kedatangan tamu seorang wanita. Bolehkah kiranya siauwte mengetahui siapakah gerangan tamu itu?”
Hwat Khong tertawa geli. “Ha, ha, Lin lauwte agaknya mencurigai kelentengku?”
Lin Piauw buru-buru berdiri menjura dalam. “Sekali-kali tidak, lo-suhu. Mana berani siauwte, berlaku kurang ajar? Hanya tak lain, untuk urusan ini siauwte sungguh-sungguh mengharapkan budi kebaikan dan pertolongan lo-suhu karena siauwte merasa tenaga sendiri tidak cakap dan lemah. Mohon kasihanlah kepadaku lo-suhu dan juga atas nama semua penduduk kampung Pian-bong-kee-chung siauwte mohon bantuan!”
Hwat Khong Hwesio segera membalas hormat. “Jangan see-ji (sungkan) dan jangan gelisah, Lin lauwte. Duduklah dan tunggu sebentar, pinceng akan perkenalkan tamu yang kaucurigai itu kepadamu.”
Ia segera masuk ke dalam meninggalkan Lin Piauw yang menanti dengan hati tidak sedap. Sebentar kemudian Hwat Khong kembali, diikuti oleh Lian Hwa. Lin Piauw segera berdiri memberi hormat dan satu lirikan tajam ke arah gadis itu membuat ia yakin bahwa Lian Hwa bukanlah wanita yang telah melukainya pada malam itu.
“Nah, Lin lauwte, ini adalah tamu yang kaumaksudkan itu. Ia tak lain adalah Han sumoi!”
Lin Piauw terkejut dan heran mendengar Hwat Khong Hwesio memperkenalkan gadis itu sebagai adik seperguruannya! Segera ia memberi hormat kepada Lian Hwa sambil berkata.
“Han lihiap, mohon dimaafkan jika aku berlaku sembrono.”
48
Han Lian Hwa membalas hormat sepantasnya. Ia tidak kikuk pula tentang cara kesopanan setelah mendapat didikan suhengnya. Sambil tersenyum ia berkata,
“Jangan sungkan, saudara Lin, silakan duduk.”
Kemudian Hwat Khong menjelaskan dengan singkat tentang kedatangan Lin Piauw yang minta tolong bantuan tenaga untuk menangkap kedua pengacau kampung Pian-bong-kee-chung. Lian Hwa lalu menyatakan kesanggupannya pula untuk membantu usaha suhengnya menolong kampung itu.
Dengan serta merta Lin Piauw menghaturkan terima kasihnya, kemudian ia bermohon diri dengan hati lega. Tapi dalam hatinya tak bisa heran memikirkan bagaimana Hwat Khong yang lihai ilmu silatnya itu mempunyai sumoi seorang gadis kecil seperti itu! Ia tak percaya gadis itu dapat mempunyai ilmu silat yang tinggi.
Setelah Lin Piauw pergi, Lian Hwa yang sejak tadi telah tak sabar pula menahan hatinya, kini segera mengajukan pertanyaan kepada suhengnya.
“Suheng, apakah artinya penjahat pemetik bunga seperti yang diceritakan oleh tuan Lin Piauw tadi?”
Agak bingung juga Hwat Khong Hwesio mendengar pertanyaan ini! Bagaimana ia harus menerangkan? Ia maklum bahwa sumoinya itu adalah seorang gadis yang jujur dan polos, maka terpaksa ia menjawab juga pertanyaan yang keluar dari hati yang jujur dan betul-betul belum mengerti itu.
“Sumoi, kau masih ingat Peng Bouw, laki-laki kurang ajar dulu itu? Nah, penjahat cabul ini juga seorang laki-laki kurang ajar, bahkan jauh lebih jahat daripada Peng Bouw, tidak segan-segan membunuh wanita yang tidak sudi dijadikan kurbannya! Maka sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu menangkap penjahat dan kawannya perempuan si pencuri itu. Hanya sekarang bagaimana kita harus bertindak? Kita tidak tahu sarang mereka dan juga tidak kenal wajah mereka.”
Han Lian Hwa sungguhpun kurang pengalaman, namun ia mempunyai kecerdikan otak yang luar biasa, kalau tidak demikian halnya tidak mungkin ia bisa mempelajari segala ilmu silat yang tinggi dari Ong Lun sedemikian mahirnya. Maka segera ia tersenyum dan mengemukakan siasatnya kepada Hwat Kong. Suhengnya mendengar siasat ini mula-mula mengerutkan alis, tapi kemudian mengangguk-angguk menyatakan setuju.
Pada keesokan harinya, di rumah penginapan Kim Ma Li-koan yang berada di tengah-tengah kampung Pian-bong-kee-chung dan merupakan penginapan yang terbesar dan paling mewah di kampung itu, datang seorang nona cantik dengan pakaian indah. Ia memilih kamar terbesar, dan karena sikapnya yang royal, maka para pelayan sangat hormat padanya. Pula, tentu saja mereka sangat senang melayani seorang nona elok seperti tamu itu.
Tamu itu bukan lain ialah, Han Lian Hwa yang mulai menjalankan siasatnya “memancing harimau keluar dari guanya”. Ia sengaja bermalam di hotel itu, dan pada siang harinya ia berjalan-jalan melihat-lihat telaga kecil di pinggir kampung yang menjadi pusat pelancong.
49
Belum lama ia berjalan, matanya yang tajam melihat seorang pemuda yang sangat memperhatikan dirinya. Ketika ia masuk ke dalam sebuah rumah makan kecil di dekat telaga itu, pemuda itupun masuk pula dan duduk tak jauh dari mejanya. Mata pemuda itu terus menerus mengincar padanya.
Lian Hwa sangat jemu melihat lagak orang itu, tapi ia bersabar diri. Diam-diam ia perhatikan pemuda yang mencurigakan itu. Pemuda itu kira-kira berusia duapuluh lima tahun, wajahnya cakap matanya bersinar. Pakaiannya mewah, baju berwarna merah dan celana biru. Dari gerak-geriknya, maklumlah Lian Hwa bahwa pemuda itu seorang yang mengerti ilmu silat.
Setelah puas berputar-putar, Lian Hwa kembali ke hotelnya, dan ia tahu bahwa pemuda itu diam-diam mengikutinya. Kini hati gadis itu setengah yakin bahwa inilah mungkin harimau yang dipancingnya keluar itu, maka diam-diam ia berhati-hati.
Malam hari itu kebetulan terang bulan. Kamar Lian Hwa siang-siang sudah gelap, menandakan bahwa gadis itu sudah masuk tidur.
Kira-kira menjelang tengah malam sesosok bayangan orang berkelebat di atas genteng rumah penginapan Kim Ma Li-koan. Tindakan kakinya ringan dan gesit, menandakan tingginya ilmu meringankan diri orang itu. Tapi ia tidak menduga sama sekali bahwa jauh di belakangnya terdapat bayangan lain yang mengintainya bayangan seorang hwesio gundul yang berlari dan berloncatan dengan gesit sekali.
Tamu malam itu menghampiri kamar Han Lian Hwa dan dengan gerak tipu Kwie-liong-seng-thian (Naga Setan Naik ke Langit) ia melayang turun dari atas genteng. Dengan hati-hati ia menghampiri jendela dan menggunakan pedangnya mencokel daun jendela terbuka. Kemudian ia meloncat masuk.
Alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat, kamar itu telah kosong dan dengan cepat ia meloncat keluar lagi. Tapi ternyata di luar jendela telah menanti Han Lian Hwa yang telah bersiap-siap di luar kamar dan melihat jelas ketika penjahat itu mencokel jendelanya. Ia sengaja mendiamkan saja karena ingin menunggu penjahat itu dan ingin melihat bagaimana cara kerjanya.
Penjahat cabul itu melihat ada seorang di luar jendela tanpa banyak cakap lalu meloncat ke atas genteng hendak kabur. Tapi, sungguh heran, ketika kakinya menginjak wuwungan, ternyata gadis yang tadi berdiri tersenyum-senyum di bawah ternyata telah berada pula di situ, masih berdiri tersenyum mengejek.
“Jangan harap lari sebelum tinggalkan kepalamu!” kata gadis itu.
Si penjahat menjadi jengkel, lebih-lebih ketika melihat bahwa gadis itu justeru orang yang siang tadi ia incar dan hendak dijadikan korbannya.
“Jangan kurang ajar! Hayo pergi jangan menghalangi jalanku kalau tak ingin mampus!” bentaknya.
Han Lian Hwa tersenyum. “Engkau tadi mencariku, bukan? Nah, aku sudah berada di sini, kebetulan sekali, karena aku membutuhkan engkau!”
“Apa katamu? Apa maksudmu?” penjahat itu heran.
50
“Aku butuh…… kepalamu! Perlu kepalamu untuk membalaskan sakit hati penduduk kampung ini.”
“Kurang ajar!” teriakan ini dibarengi dengan sinar pedangnya menyerang dengan sebuah tusukan berbahaya ke arah dada Lian Hwa.
“Hei hati-hati dengan pedangmu, kan-cat (bangsat)!” nona itu berkelit lincah sambil mengejek. Setelah terpisah dari suhengnya, maka timbullah pula kejenakaan dan kenakalannya. Tiba-tiba Hwat Khong yang sejak tadi mengintai, menjadi tak sabar lagi dan loncat menghampiri.
“Sumoi, jangan banyak buang waktu. Tangkap dia!”
“Baik, suheng,” jawab Lian Hwa.
Tapi pada saat itu sebuah bayangan lain yang membawa pedang, terbang mendatangi. “Jangan khawatir, koko! Bikin mampus perempuan itu, biar aku bereskan keledai gundul ini.”
Segera bayangan yang baru datang ini menyerang Hwat Khong dengan pedangnya. Serangan berbahaya itu ditangkis oleh kebutan lengan baju Hwat Khong. Terjadilah pertempuran hebat. Dua penjahat bersenjata pedang melawan Lian Hwa dan suhengnya yang berkelahi dengan tangan kosong.
Memang Hwat Khong melarang sumoinya menggunakan senjata, karena ia ingin menangkap mereka hidup-hidup. Pula ia yakin bahwa ia dan sumoinya tak perlu menggunakan senjata melawan kedua penjahat itu. Tak disangkanya bahwa perempuan jahat yang dilawannya itu cukup lihai hingga agaknya tak mudah baginya untuk mengalahkan dengan cepat, apa pula menangkapnya hidup-hidup.
Di lain pihak Lian Hwa sengaja mempermainkan penjahat cabul itu. Ia bergerak-gerak bagaikan kupu-kupu lincah di antara sambaran pedang sambil memaki dan mengejek.
Penjahat cabul itu makin lama makin marah dan penasaran. Ia yang bersenjata pedang dapat dipermainkan dengan begitu mudah oleh seorang gadis muda yang bertangan kosong. Hampir ia tak dapat percaya dan merasa seakan-akan bermimpi. Ia menjadi penasaran dan menyerang makin hebat. Pedangnya menusuk ke arah leher dengan tipu Hui-eng-bok-thio (Elang Terbang Menyambar Kelinci), tapi dengan mudah lagi-lagi Lian Hwa berkelit sambil mengejek.
“Kurang cepat, bangsat kecil!” lalu dengan lincahnya meloncat ke sebelah kanan orang itu.
Si penjahat segera memutar pedangnya ke kanan menyabet dengan gerak tipu Ular Belang Memukulkan Ekornya. Tapi yang diserang hanya meloncat sedikit dan tahu-tahu gadis itu telah berada di belakangnya. Dipermainkan secara begitu, si penjahat menjadi pening dan keringatnya mengucur deras, napasnya mulai sengal-sengal.
Ia menjadi penasaran dan nekat. “Malam ini aku si burung hantu Eng Kan akan mengadu nyawa dengan kau anjing betina!” Pedangnya lalu dipakai menyerang dengan nekat.
Lian Hwa tertawa dan menjawab.
51
“Malam ini aku Ang Lian Lihiap akan mengirim kau pulang ke neraka!” Ia menggunakan nama julukan itu ketika ia dengar dari suhengnya bahwa di luaran ia disebut orang Ang Lian Lihiap.
Setelah berkata demikian, maka Lian Hwa mulai mengirim serangannya yang me-matikan. Ketika pedang lawannya mengarah pinggang, ia berkelit ke samping, tapi Eng Kan melanjutkan serangannya dengan berjongkok dan menyabet ke arah kaki.
Lian Hwa meloncat ke atas dan sebelum kakinya kembali ke bawah ia menggerakkan sedemikian rupa, merupakan tendangan maut. Kaki kirinya menotol dada penjahat itu yang segera menjerit lalu jatuh. Pedangnya terlepas dan dari mulutnya tersembur darah merah. Kemudian tubuhnya yang sudah tak berdaya itu bergulingan ke bawah akhirnya jatuh dari atas genteng.
Sementara itu Hwat Khong sudah mendesak musuhnya hingga perempuan jahat itu kini repot menghindari serangan-serangan hwesio kosen itu. Ketika mendengar jeritan Eng Kan, ia makin bingung dan ketika Hwat Khong mengirim serangan kepretan tangannya, pergelangan tangannya yang memegang pedang kena terpukul hingga pedangnya terpental dan jatuh ke atas genteng mengeluarkan suara berkerontangan.
Lin Piauw yang baru saja sampai ke situ berteriak,
“Bagus, tangkap padanya, lo-suhu!”
Tapi perempuan itu dengan cepat meloncat ke bawah dan kabur dengan cepatnya.
“Kejar! Tangkap!” teriak Lin Piauw yang segera mengejarnya.
Lian Hwa berkata, “Biarkan aku merobohkannya, saudara Lin!” Tangannya menyambar pedang penjahat perempuan yang jatuh tadi dan siap untuk dilontarkan ke arah tubuh lawan yang masih tampak.
Tapi suhengnya membentak, “Jangan!” maka Lian Hwa membatalkan niatnya.
Lin Piauw kembali dengan percuma. “Tak dapat aku mengejarnya ia menghilang dengan cepat…… sayang sekali! Lo-suhu mengapa lo-suhu tidak mengejarnya?” ia menegur agak kecewa.
“Lin lauwte, tak perlu penjahat itu dikejar-kejar, dan lebih tak perlu pula ia dibunuh karena dosanya tak sangat besar. Ia hanya pencuri biasa. Yang sangat berdosa telah membunuh jiwa orang hanya penjahat yang terbunuh oleh sumoi itu.” Kemudian ia berkata kepada sumoinya, “Mari kita pulang, sumoi!”
Di tengah perjalanan pulang ke kelenteng Hwat Khong Hwesio menegur sumoinya, “Sebetulnya tak perlu membunuhnya, sumoi.”
“Tapi suheng, ia seorang jahat sekali. Kalau tidak dibasmi mungkin membahayakan keselamatan umum.”
52
Suhengnya hanya menghela napas. “Hm, biarlah karena sudah terlanjur, pula mungkin ia memang sudah pantas membalas jiwa para kurbannya. Hanya lain kali sabarlah sedikit, jangan terlampau ganas.”
Lian Hwa hanya tunduk dan mereka melanjutkan perjalanan mereka.
?Y?
Pada suatu hari, dua orang laki-laki yang berpakaian sebagai orang-orang dari kalangan persilatan dan menunggang kuda datang ke kelenteng Ban-hok-thong. Mereka langsung menemui Hwat Khong Hwesio yang pada saat itu tengah bercerita kepada Han Lian Hwa tentang orang-orang ternama di kalangan kang-ouw.
Begitu melihat Hwat Khong, mereka segera berlutut dan menyebut, “Suhu (guru).”
Hwat Khong mengangkat bangun mereka dan berkata, “Bangun dan duduklah.”
Kedua orang itu bangun dan ketika pandangan mata mereka bertemu dengan Lian Hwa, mereka memandang guru mereka dengan mata mengandung pertanyaan, tapi mulut mereka diam saja tidak berani bertanya.
“Ini adalah aku punya sumoi, maka kalian masih terhitung sutit (murid keponakan) dari sumoi ini!”
Mendengar ini, kedua orang itu membuka mata lebar-lebar dengan penuh keheranan, tapi karena keterangan guru mereka itu, terpaksa menjura kepada Lian Hwa. Karena untuk berlutut mereka sungguh merasa tidak pantas, melihat “bibi guru”, mereka itu tak lebih baru berusia enambelas tahun!
Lian Hwa cepat-cepat balas menjura dan berkata sambil tersenyum, “Jiwi (kalian) janganlah menggunakan terlampau banyak peradatan, karena kita toh orang sendiri. Juga tak perlu kiranya memanggil aku dengan sebutan bibi guru segala, karena kalian jauh lebih tua dariku. Tentu hal ini akan sangat terasa janggal dan memalukan bagi jiwi.”
Hwat Khong pun tertawa, “Sumoi, ini adalah muridku pertama bernama Can Lun, dan ini murid kedua bernama Bwee Liong. Mereka membuka piauw-tiam (kantor ekspedisi) di Kwi-ciu.”
“Ah baru kutahu bahwa suheng juga mempunyai murid-murid. Masih ada lagikah muridmu, suheng?”
“Masih ada seorang lagi murid perempuan bernama Siu Loan ialah puteri seorang cong-tok (Pembesar) di Kwi-ciu juga.” Kemudian ia memperkenalkan Lian Hwa kepada muridnya. “Sukou (bibi guru) kalian ini adalah Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa!” Tapi nama ini sama sekali mereka belum pernah mendengarnya.
“Kalau begitu aku akan memanggilmu saudara Can dan saudara Bwee saja dan jiwipun tak perlu menyebut bibi, sebut saja siauw-moi (adik) atau apa saja.”
“Rasanya tak pantas kalau saya menyebut siauw-moi, baiklah kusebut lihiap saja,” kata Bwee Liong.
53
“Nah, cukuplah segala macam sebutan ini,” mencela Hwat Khong. “Tidak biasa kalian datang pada waktu begini. Ada keperluan apakah sebenarnya kedatangan kalian ini?”
“Teecu (murid) berdua datang, pertama untuk mengunjungi suhu karena sudah lama tidak menghadap, dan kedua teecu membawa surat undangan untuk suhu dari Ciauw Bun Liok lo-enghiong (pendekar tua) yang hendak merayakan ulang tahunnya yang ke limapuluh.” Can Lun berkata sambil menyerahkan sepucuk surat undangan.
Hwat Khong menerima surat itu dan membaca, lalu berkata sambil tertawa gembira. “Bagus, bagus. Ciauw Bun Liok si Garuda Kuku Emas (Kim-jiauw-eng) itu masih ingat kepada lohu yang tak ternama, Can Lun, engkau dan sute (adik seperguruan)mu Bwee Liong boleh mewakili aku pergi mengunjunginya dan antarkan suratku menghaturkan selamat.”
Tiba-tiba Han Lian Hwa berkata memohon, “Suheng, bolehkah aku saja mengantarkan surat itu?”
Hwat Kong berpaling memandang sumoinya, lalu tertawa, “Hem, baik juga kalau kita pergi bersama agar kau dapat bertemu muka dengan para jagoan di kalangan kang-ouw. Can Lun, biarlah kauantar saja sumbanganku dan katakan bahwa aku akan datang pada waktunya bersama seorang sumoiku.”
Kedua murid itu berdiam di kelenteng gurunya selama tiga hari dan kemudian mereka kembali dengan membawa sepucuk surat pernyataan selamat berikut sumbangan berupa sebuah kotak kecil kuno terbuat dari kayu hitam berukiran liong (naga) yang indah dan terisi sebuah kartu merah bertulisan nama Hwat Kong dan sumoinya.
Setengah bulan kemudian, Hwat Khong Hwesio mengajak sumoinya berangkat menuju ke kota Siang-kiu di Propinsi Holam, tempat kediaman Kim-jiauw-eng Ciauw Bun Liok si Garuda Kuku Emas. Karena perjalanan itu jauh dan melalui hutan-hutan, sedangkan pada masa itu keadaannya di sepanjang jalan tidak aman, maka Hwat Kong Hwesio membawa senjatanya berupa sebatang tongkat besi yang berat, Han Lian Hwa juga membawa pedangnya Siang-liong-kiam yang digantungkan di pinggang.
Mereka berdua sengaja berjalan kaki karena Hwat Khong memang ingin menunjukkan tempat-tempat yang mereka lalui untuk menambah pengalaman sumoinya. Lian Hwa bukan main senangnya melakukan perjalanan kali ini karena dengan dikawani suhengnya ia bisa mendapat penerangan-penerangan jelas tentang segala yang dilihatnya.
Mereka berjalan selama lima hari melalui beberapa buah kota yang menarik hati Lian Hwa. Gadis ini mengagumi bangunan rumah-rumah yang besar dan indah di sepanjang jalan. Tentu saja di sepanjang jalan pasangan ini tak luput dari perhatian orang.
Hwat Khong bertubuh tinggi besar berwajah angker dan agung dengan sinar matanya yang terang. Lian Hwa merupakan seorang gadis yang cantik jelita, berpakaian ringkas warna merah muda dan di atas rambutnya yang hitam gombyok itu terhias sebuah bunga teratai emas tertabur ukiran naga dengan ronce-ronce merah membuat ia tampak gagah sekali. Tiap orang bertemu dengan mereka pasti menganggap bahwa nona itu tentu murid si hwesio!
54
Pada hari ke enam mereka tiba di kota Siang-siu. Hwat Khong pernah datang ke kota itu, maka ia tidak asing lagi dengan jalan di kota itu. Ia memilih hotel “Lian An” sebagai tempat bermalam dan menyewa dua kamar.
Keesokan harinya pagi-pagi Hwat Khong dan sumoinya berangkat menuju ke rumah Ciauw Bun Liok yang terletak di jalan sebelah barat.
Kim-jiauw-eng Ciauw Bun Liok si Garuda Kuku Emas adalah seorang gagah yang disegani orang, karena selain berkepandaian tinggi juga terkenal seorang jujur yang menjunjung tinggi persahabatan di kalangan rimba persilatan.
Ia terkenal dengan ilmu silatnya Kim-jiauw-kun (Ilmu Silat Garuda Emas) dan juga Kim-jiauw-kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Emas), ilmu silat keturunan keluarga Ciauw yang ditakuti lawan dan dikagumi kawan. Terutama ilmu pedangnya yang dimainkan dengan siang-kiam (pedang sepasang) sangat terkenal kelihaiannya.
Karena memang sejak beberapa keturunan keluarga Ciauw adalah pedagang besar dan menjadi keluarga yang kaya, maka tak heran kalau rumah keluarga Ciauw merupakan gedung besar dan luas yang sangat mentereng. Di halaman belakang gedung itu terdapat taman bunga yang luas dan di tengah-tengahnya dibangun sebuah ruangan tempat bermain silat di mana terdapat delapanbelas macam senjata tajam bermacam-macam ukuran.
Di situlah Ciauw Bun Liok menurunkan ilmu silatnya kepada kedua puteranya yang bernama Lin Eng dan Lin Houw, masing-masing berusia duapuluh tiga dan duapuluh enam tahun. Selain ilmu keturunan Kim-jiauw-kiam-hoat dan Kim-jiauw-kun, Ciauw Bun Liok pun pandai menggunakan delapanbelas macam senjata kaum persilatan.
Pada hari itu, taman bunga gedung keluarga Ciauw penuh dengan tamu-tamu yang duduk mengelilingi meja, kurang lebih ada seratus orang tamu berkumpul di situ. Mereka sengaja datang dari berbagai tempat untuk ikut memberi hormat dan merayakan hari ulang tahun ke limapuluh dari Ciauw-lo-enghiong.
Tamu-tamu itu seperti orang perantauan, ada yang seperti pendeta, pelajar dan banyak pula yang lagaknya seperti seorang pendekar silat. Ada juga beberapa orang wanita yang menggantung pedangnya di pinggang atau di belakang pungung. Tapi rata-rata mereka adalah ahli-ahli silat terkemuka.
Di antara mereka yang kebanyakan adalah orang kang-ouw biasa dan berkepandaian cukupan saja, terdapat juga Liok-chiu-sin-houw Bin Goan si Harimau Sakti Tangan Enam, Hak-san-taihiap Ong Kwie si Pendekar dari Hak-san dan Kong Sin Ek yang dijuluki orang si Dewa Arak atau Ciu-sian. Mereka bertiga ini telah menjagoi di kalangan kang-ouw dan jarang menemukan tandingan. Juga di situ hadir pula wakil-wakil dari cabang Siauw-lim-si ialah Beng Sun Hosiang dan Tiat Lui In dari cabang Go-bi, pula terdapat ketua Hoa-san-pai yakni Pek Siong Tosu dan dua orang muridnya.
Para ahli yang telah berusia lebih dari setengah abad itu mendapat tempat kehormatan.
55
Kemudian datang Hwat Khong Hwesio dan Han Lian Hwa. Ciauw Bun Liok sendiri keluar menyambut Hwat Khong yang menjadi kawan baiknya di waktu muda. Ketika mereka berjumpa dan saling memberi hormat dengan gembira, Ciauw Bun Liok hanya mengangguk untuk membalas penghormatan Lian Hwa.
“Selamat bertemu, sahabatku yang baik, mana sumoimu yang kaukatakan akan ikut datang itu?” tanya Ciauw Bun Liok sambil memegang lengan Hwat Khong.
Hwat Khong tersenyum menjawab, “Ha, Ciauw-taihiap, jangan kau orang tua mentertawakan pinceng. Sumoiku ialah nona ini yang bernama Han Lian Hwa.”
Bukan main herannya Ciauw Bun Liok mendengar ini, karena tadi ia sangka bahwa nona muda yang elok itu adalah murid kawannya. Segera ia menjura dengan hormat, “Maafkan, maafkan, lohu sudah terlalu tua hingga tidak melihat Gunung Thai-san di depan mata. Silakan masuk, Lihiap.”
Han Lian Hwa membalas hormatnya dan berkata manis, “Jangan sungkan-sungkan siok-hu (paman).”
Ciauw Bun Liok lalu membimbing tangan Hwat Khong dan ditempatkan di bagian tempat terhormat dan menjadi satu dengan enam orang tua tersebut di atas.
Di antara para tamu banyak yang sudah mengenal nama dan pribadi Hwat Khong hwesio, maka mereka merasa sudah sepatutnya hwesio kosen itu diberi tempat terhormat. Tapi gadis muda yang lemah lembut itu mengapa juga diberi tempat terhormat? Gadis itu paling hebat juga murid Hwat Khong. Maka banyak diantara kaum muda yang merasa iri hati dan menganggap Ciauw Lo-enghiong telah berlaku menjilat dan kurang adil.
Setelah semua tamu lengkap jumlahnya kecuali beberapa orang yang tak dapat datang, Ciauw Bun Liok berdiri di tengah-tengah ruangan itu sambil mengangkat tangan memberi hormat ke sekeliling, kemudian membuat sambutan singkat.
“Para cianpwe (sebutan menghormat kepada golongan tua) yang terhormat dan sekalian enghiong dan saudara yang terhormat. Saya menghaturkan beribu terima kasih atas kunjungan yang menyatakan kecintaan hati saudara sekalian kepada saya yang rendah. Semoga Thian (Tuhan) saja yang akan membalas kebaikan hati ini. Dan maafkanlah kiranya jika perjamuan ini kurang lengkap.”
Kemudian pesta dimulai dengan ramai dan gembira. Sementara itu Hwat Khong dengan perlahan memperkenalkan para cabang atas yang hadir di situ kepada Lian Hwa.
Tiba-tiba, di tengah-tengah pesta, seorang yang duduk di bagian para muda berdiri mengajukan usul, yakni untuk menghormat tuan rumah dan untuk menambah pengetahuan yang muda, dimohon dengan hormat agar para cianpwe dan ahli yang duduk di tempat terhormat suka memberi sedikit pertunjukan ilmu silat. Usul ini disambut oleh semua hadirin dengan tepuk tangan yang riang gembira. Sudah tentu para jago tua itu merendahkan diri dan mengajukan keberatan, tapi karena permintaan itu disokong oleh seratus mulut, maka terpaksa Ciauw Bun Liok berdiri dan berkata kepada para jago tua.
56
“Cuwi, saya mohon dengan hormat sudilah kiranya cuwi berbaik hati dan meluluskan permohonan mereka itu, hitung-hitung membantu saya yang tidak mempunyai apa-apa untuk menggembirakan hati para hadirin yang mulia.”
Ciu-sian Kong Sin Ek si Dewa Arak tertawa, “Ha, Ciauw-heng pandai memancing orang. Baiklah, aku terima permintaan ini tapi harus ada syaratnya, yaitu engkau sendiri harus membuka pertunjukan ini, bagaimana?”
Ciauw Bun Liok mengangkat alis dan pundak. “Ini namanya terjeblos lobang sendiri,” katanya tertawa, “Tapi apa boleh buat, untuk menghormat tamu aku harus capekkan tulangku yang tua ini.”
Lalu dengan suara keras ia memberi tahu kepada semua tamu bahwa pertunjukan akan dibuka dan ia sendiri yang pertama kali akan memulai. Lain-lain jago tua terpaksa meluluskan juga. Karena ruang berlatih silat yang merupakan panggung segi empat lebar itu berada di tengah-tengah taman bunga, maka tak perlu diadakan persiapan lagi.
Ketika Ciauw Bun Liok hendak mulai bersilat, tiba-tiba dari luar mendatangi serombongan tamu baru. Yang jalan terdepan adalah seorang berusia kurang lebih empatpuluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan tindakan kakinya tetap, kelihatannya angkuh sekali.
Begitu masuk, ia berkata keras, “Ya, pantas saja Ciauw Lo-enghiong melupakan kami, kiranya sedang sibuk sekali.”
Semua orang menengok dan Ciauw Bun Liok memandang agak tidak senang tapi terpaksa ia meloncat turun dari panggung dan menyambut mereka, “Maafkan saya orang tua yang menyambut agak terlambat. Silakan.”
Ia lalu membawa mereka berempat ke ruangan itu, tapi karena tempat yang disediakan olehnya untuk para locianpwe golongan tua sudah penuh, terpaksa mereka berempat diberi tempat yang sama dengan tamu-tamu lainnya.
Banyak tamu terperanjat ketika melihat mereka, karena mengenal bahwa keempat orang itu adalah San-ciu Si-houw atau Empat Harimau dari San-ciu bernama Bu Houw, Tiat Houw, Cin Houw, dan Ban Houw. Mereka ini sangat terkenal dan belakangan ini nama mereka menjulang tinggi karena keempat orang ini mempunyai kepandaian yang istimewa dan lihai. Bahkan dikabarkan orang bahwa mereka ini beberapa kali telah melabrak jago-jago dari cabang Go-bi, hingga Tiat Hui In yang kini berada pula di situ diam-diam mengerutkan kening.
Ketika mendengar bahwa para locianpwe hendak memperlihatkan kepandaian mereka, Bu Houw harimau tertua segera tertawa bergelak-gelak dan ketiga saudaranya bertepuk tangan.
“Bagus, bagus. Alangkah baiknya, kami paling senang melihat orang bersilat,” kata mereka dengan lagak menjemukan tapi tak seorangpun berani memperlihatkan perasaan tak senangnya.
Setelah menuang arak dan menawarkan hidangan untuk tamu-tamu baru itu Ciauw Bun Liok kembali ke atas panggung dan setelah mengangguk dan menjura ke sekeliling ia mulai bersilat pedang.
57
Ternyata gerakannya sangat gesit dan siang-kiam (pedang pasangan) yang ia mainkan bergerak-gerak merupakan gulungan dua sinar putih melindungi tubuhnya.
Sehabis bersilat semua orang memuji dan San-ciu Si-houw empat kakak beradik itu bertepuk-tepuk dan berseru, “Bagus. Bagus.” Lagak mereka seperti anak kecil, terang bahwa mereka sengaja berlagak demikian untuk menarik perhatian.
Han Lian Hwa yang duduk di dekat suhengnya merasa sangat gemas melihat mereka, terutama melihat Ban Houw si Harimau Bungsu itu sejak tadi dengan secara menyolok dan terang-terangan selalu memandang padanya bahkan mengajak tertawa.
Kemudian Sin Ek si Dewa Arak mempertunjukkan keahliannya yang lihai juga. Setelah meneguk habis seguci kecil arak, ia berloncat ke atas panggung dan melepaskan jubahnya. Lalu dengan kain jubah itu ia bersilat. Tapi sungguhpun hanya kain, di dalam tangan si Dewa Arak itu merupakan senjata yang tak boleh dipandang ringan. Di waktu menggunakan tenaga kasar, jubah itu menyambar kaku merupakan toya (pentungan) besi dan di waktu ia menggunakan tenaga lemas, jubah itu seakan-akan ular yang dapat melibat senjata tajam.
Tentu saja permainannya ini mendapat sambutan hebat karena mereka maklum akan kelihaiannya orang tua yang brewokan ini. Bahkan Hwat Khong Hwesio mau tak mau memuji dan menyatakan kagumnya.
Berturut-turut Bin Goan si Harimau Sakti Tangan Enam memperlihatkan keahliannya bersilat Ta-houw-ciang, Ong Kwie si Pendekar dari Hak-san mempertunjukkan permainan silat dengan joan-pian (ruyung lemas) yang membuat ia terkenal duapuluh tahun lebih di kalangan kang-ouw, kemudian ketua Hoa-san-pai Pek Siong Tosu bersilat tangan kosong dikeroyok dua orang muridnya yang bersenjata pedang.
Beng Sun Hosiang wakil Siauw-lim-si terpaksa pula bersilat tangan kosong. Gerakannya kuat pukulan kedua lengannya mendatangkan angin, menandakan tenaga yang besar.
Kemudian Ciauw Bun Liok menghampiri Hwat Khong dan sambil tertawa berkata, “Nah, kaupun tak terluput harus membantuku, sahabat baik. Perlihatkan Tiat-mo-pang (Toya Ular Besi) ilmumu yang lihai itu!”
“Ah, engkau bikin pinceng malu saja. Ciauw-taihiap, baiklah pinceng main-main sebentar, tapi perkenankanlah pinceng bersilat dengan sumoiku ini agar lebih menarik kelihatannya.”
Hwat Khong sengaja berbuat ini agar nanti Lian Hwa tak usah bersilat seorang diri lagi, karena iapun maklum bahwa di antara sekian banyak tamu ada yang memperlihatkan pandangan kurang ajar pada sumoinya, sehingga jika sekarang sudah bersilat dengan ia, maka sumoi itu tak perlu lagi mempertontonkan dirinya.
Ciauw-lo-enghiong meluluskan dengan gembira, hanya para lo-cianpwe yang duduk dekat mereka menjadi heran mendengar hwesio itu menyebut sumoi kepada Lian Hwa. Kini mereka memandang gadis itu dengan penuh perhatian.
58
Hwat Khong mempersilakan sumoinya mencabut pedang. Ketika pedang Sian-liong-kiam dicabut, para jngo tua diam-diam mengangguk kagum melihat cahaya kehijau-hijauan yang keluar dari mata pedang itu. Hwat Khong sendiri lalu menyeret tongkatnya dan mereka mulai bersilat.
Ternyata permainan itu berat sebelah, karena yang tampak menyerang hanya Hwat Khong saja, sedangkan Lian Hwa hanya berkelit ke sana ke mari menghindari sambaran tongkat suhengnya. Gadis itu tahu bahwa tongkat suhengnya tentu akan tertabas buntung jika beradu dengan mata pedangnya, maka dalam menangkis serangan ia selalu menggunakan muka pedangnya, bukan bagian tajamnya. Tapi ia selalu berlaku lambat untuk memberi muka kepada suhengnya yang sudah ternama itu. Dengan demikian, maka di mata sebagian besar para tamu Lian Hwa agaknya terdesak sekali.
Setelah mereka berhenti main silat, semua orang memuji kepandaiannya Hwat Khong yang memang lihai ilmu toyanya. Pada Lian Hwa, semua orang tak pandang sebelah mata, karena sebagian besar dari mereka menganggap bahwa gadis itu hanya murid Hwat Khong.
Kini tiba giliran Tiat Lui In dari cabang Go-bi yang diminta mempertunjukkan kepandaiannya. Orang tua berbaju putih itu dengan merendah terpaksa meloncat ke atas panggung. Tapi sebelum ia bersilat, tiba-tiba sebuah bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu Tiat Houw yang berpakaian hitam berada pula di atas panggung dan menjura di hadapan Tiat Lui In.
Di antara keempat saudara Houw itu, Tiat Houw terkenal paling kejam dan berangasan. Sejak tadi ketika melihat seorang wakil Go-bi berada di situ, ia telah menahan-nahan ketidaksenangan hatinya. melihat Tiat Lui In mendapat ketika untuk memperlihatkan kemahirannya, ia tak dapat menahan sabar lagi dan segera meloncat ke atas pangung.
“Locianpwe maafkan saya yang muda. Melihat bahwa permainan silat pasangan lebih ramai dan menarik dari pada kalau bersilat sendirian, maka ijinkanlah saja menemani locianpwe untuk main-main,” katanya dengan suara dibikin-bikin merendah dan sopan, tapi mengandung tantangan pedas.
Ciauw Bun Liok merasa sangat tidak senang melihat gangguan ini, maka ia segera menghampiri mereka. Pada saat itu Tiat Lui In dengan sabar tersenyum menjawab.
“Congsu (orang gagah), mana lohu berani main-main dengan orang muda yang masih kuat?”
“Jangan begitu locianpwe, sebenarnya aku Tiat Houw telah sering bertemu dan mengukur kepandaian dengan beberapa orang yang mengaku murid Go-bi, tapi mereka semua itu hanya orang-orang tak berarti. Aku rasa mereka itu hanya Gobi-gobian dan palsu belaka, maka kini setelah di sini terdapat seorang ahli yang asli dari Go-bi, bagaimana aku dapat menyia-nyiakan kesempatan untuk membuktikan kelihaian cabangnya?”
“Tiat Houw-hiante, saya harap kau suka mengalah dan membiarkan Tiat Lui In lo-enghiong, bersilat seorang diri. Nanti sesudah dia, barulah engkau memperlihatkan pula kepandaianmu untuk kita lihat,” membujuk Ciauw Bun Liok.
“Jangan bikin aku kecewa karena melepaskan kesempatan baik ini, Ciauw lo-enghiong. Dan apa salahnya main-main berdua, jika Tiat locianpwe tidak menolak permintaanku?” jawab Tiat Houw tak senang.
59
“Biarkanlah, Ciauw Bun Liok. Biar aku yang tua melayani orang muda ini kalau ia mendesak.”
Tapi Ciauw Bun Liok melihat gelagat tidak baik dan maklum akan adanya kebencian diantara keempat Harimau dan partai Go-bi, tetap pada pendiriannya melarang kedua orang itu bertanding, biarpun hanya secara “main-main”. Tiat Lui In merasa tidak baik memaksa dan terpaksa mundur sambil berkata kepada Tiat Houw.
“Maaf, bukannya aku si orang tua kurang sopan tidak mau melayani yang muda, tapi sebagai tamu aku harus tunduk kepada tuan rumah.” Ia menjura dan kembali ke tempat duduknya.
Tiat Houw menjadi kurang senang kepada Ciauw Bun Liok.
“Ciauw lo-enghiong, akupun terpaksa membatalkan niatku mohon pengajaran dari Tiat lo-enghiong. Maka kini harap kau orang tua sudi meluluskan permintaanku ini, yaitu harap kau suka memberi pelajaran sejurus dua jurus kepadaku. Tadi aku sudah menyaksikan kelihaian ilmu silatmu. Bagaimana, Ciauw lo-enghiong, suka kau bermurah hati dan mengajarku?”
Sungguh orang tak tahu diri, pikir Ciauw Bun Liok, tapi terpaksa ia tersenyum juga dan menjawab, “Kalau congsu tidak merasa rendah bermain-main denganku, marilah kulayani!”
Tadi ia menyebut hiante yang lebih ramah dari pada sebutan congsu, untuk menyatakan kemendongkolan hatinya. Tapi Tiat Hauw tidak merasa akan pergantian sebutan dan perobahan sikap tuan rumah atau memang sengaja ia berlaku nekat terdorong kesombongannya.
Mereka berdua siap untuk menguji kepandaian masing-masing, tapi pada saat itu Ciauw toa-kongcu putera pertama dari keluarga Ciauw meloncat di antara mereka sambil membentak. “Orang tak tahu adat, mengapa kau hendak mengacau tempat kami?” Dan pada ayahnya ia berkata, “Ayah, hari ini adalah hari baikmu, jangan ayah capekan hati melayani orang-orang kurang ajar. Biarlah anak mencobanya.”
Tanpa banyak cakap pula ia menjotos ke arah Tiat Houw dengan tipu Pai-san-to-hai (Menolak Gunung Menguruk Laut) sebuah pukulan yang sangat berbahaya.
“Bagus,” teriak Tiat Houw dengan suara menyindir sambil mengelak pukulan lawan menggunakan lengannya menyampok tangan kiri lawan. Ciauw-kongcu merasa dorongan sampokan itu keras sekali hingga ia terhuyung ke belakang. Tahulah ia bahwa tenaga lawan hebat sekali. Tapi ia tidak takut bahkan maju pula menyerang dengan hebat.
Baru beberapa jurus saja terlihatlah sudah bahwa Tiat Houw jauh lebih kuat. Ketika lawannya memukul ke arah pinggangnya dari samping, ia memutar tubuh secepat kilat menangkap tangan lawannya dan menarik ke belakang. Tubuh Ciauw-kongcu mendoyong ke depan dan pada saat itu kaki Tiat Houw melayang, tepat mengenai dada lawannya.
Dengan hati cemas dan marah, Ciauw Bun Liok melihat betapa anaknya roboh sambil muntahkan darah terus pingsan. Beberapa orang pelayan buru-buru menghampiri Ciauw-kongcu dan mengangkatnya ke dalam rumah.
60
Ciauw Bun Liok tak dapat menahan pula marahnya. Ia meloncat ke atas panggung menghadapi Tiat Houw.
“Orang kurang ajar. Sungguh kau sombong sekali. Tak kusangka kedatanganmu, di sini sengaja membuat kacau. Engkau bukan hanya main-main memperlihatkan ilmu silat, bahkan telah berani melukai puteraku secara keji. Nah, jangan sesalkan kalau aku menghajar adat padamu!”
Orang tua itu siap untuk menyerang tapi pada saat itu seorang perempuan dengan gerakan indah melayang ke atas gelanggang. Ia adalah Han Lian Hwa yang mendapat perkenan suhengnya untuk mewakili tuan rumah.
Lian Hwa menjura kepada Ciauw Bun Liok dan berkata, “Maafkan aku, Ciauw-siokhu. Engkau adalah golongan cianpwee orang tua yang pantas dihormati. Kurasa tidak pantas kalau siok-hu melayani orang muda seperti Tiat Houw enghiong ini. Biarkanlah aku yang muda mewakilimu.”
Ciauw Bun Liok berdiri bingung dan bimbang, tapi ketika ia melirik ke arah Hwat Khong, hwesio ini mengangguk-angguk dan berkedip mata. Terpaksa ia mundur dengan hati khawatir.
“Nah, Harimau Besi (Tiat Houw) engkau mau main-main cara bagaimana? Tangan kosong atau bersenjata?” dengan langsung Lian Hwa menantang.
Tiat Houw agak bingung juga melihat tiba-tiba Ciauw Bun Liok diganti oleh nona cantik ini. Sebelum ia menjawab, tiba-tiba dari belakangnya meloncat seorang yang ternyata bukan lain adalah Ban Houw, harimau termuda.
Sejak tadi Ban Houw kagum melihat kecantikan Lian Hwa yang seakan-akan bunga teratai merah muda baru mekar, dan ia sudah melihat pula bahwa kepandaian silat gadis itu tak berapa tinggi, ternyata dari gerakannya ketika bersilat melawan Hwat Khong Hwesio tadi. Maka kini melihat gadis itu masuk ke gelanggang menggantikan tuan rumah, ia menjadi gembira dan meloncat pula menyusul kakaknya.
“Ji-ko (kakak kedua)! Biarkan aku main-main dengan perempuan ini!” Tiat Houw tersenyum dan meloncat turun. Kata-kata yang diucapkan Ban Houw itu sungguh kurang ajar, maka para jago tua yang berada di situ mendengar dengan wajah merah.
Bahkan Hwat Khong Hwesio yang biasanya sangat sabar, mengertak gigi karena marah.
“Eh, eh! Ini harimau kecil berani unjuk gigi! Engkau mau main-main dengan aku? Boleh, boleh, nonamu sudah siap,” Lian Hwa mengejek.
Dengan senyum aksi dibuat-buat Ban Houw mulai dengan serangannya. Tangan kanannya menyambar ke pundak Lian Hwa untuk dicengkeram. Ketika gadis itu berkelit, tangan kirinya menyelonong ke depan menyambar pinggang gadis itu.
Lian Hwa mengeluarkan suara mengejek dan meloncat ke samping sambil mengirim tendangan hebat! Gerakan berkelit sambil menyerang ini sangat sukar dilakukan dan sukar pula diduga hingga
61
Ban Houw terkejut bukan main. Untungnya ia masih dapat memutar tangan kanannya ke bawah untuk menangkap kaki Lian Hwa yang menendang.
Tak tahunya, tendangan itu biarpun datangnya begitu cepat, tiba-tiba saja bisa ditarik pulang dan sebelum tahu bagaimana terjadinya, Ban Houw merasa tiba-tiba telinga kirinya panas dan matanya berkunang-kunang!
Terdengar suara ketawa di sana sini karena baru dua jurus saja gadis itu telah dapat menggunakan tangannya menempiling kepala lawan yang mengenakan telinganya. Tamparan di telinga itu menerbitkan suara “plok” yang keras hingga nampaknya lucu.
Ban Houw menjadi marah. Ia tadinya tidak menyerang sungguh-sungguh karena tidak mau melukai nona cantik itu, tapi kini tamparan yang memanaskan telinga dan hati itu membuat ia mata gelap. Dengan geraman buas ia menubruk dengan tipu Siok-lui-ting (Petir Menyambar di Atas Kepala), tapi Lian Hwa sambil tertawa kecil melompat ke belakang dengan gerakan Kim-lee-coan-po (Ikan Gabus Menerjang Ombak).
Dua kali Ban Houw menubruk, tapi dua kali pula gadis itu melompat dengan gerakan indah. Dalam murkanya Ban Houw lalu mengeluarkan ilmu silatnya Pat-kwa-kun dan menyerang dengan maksud membunuh. Tapi ternyata gadis itu mengenal ilmu silatnya dengan baik. Beberapa kali Ban Houw kena ditendang, ditampar dan diejek. Setelah berlangsung hampir tiga puluh jurus, tiba-tiba Lian Hwa membentak.
“Pergilah kau!” dan sebelum ia mengerti musuh menggunakan gerakan bagaimana, tahu-tahu Ban Houw terlempar ke udara dan jatuh di luar kalangan. Untung tubuhnya kuat dan lemparan itu memang bukan dimaksud untuk membanting keras, hingga ia tidak mendapat luka berat.
Ketika tadi Lian Hwa berkelit ke sana ke mari, jago tua diam-diam memuji kelincahan gadis itu dan mereka mengenal tipu-tipu silat yang digunakan gadis itu. Tapi gerakan melempar Ban Houw keluar panggung tadi sungguh membuat mereka heran. Tak seorangpun di antara mereka pernah melihat gerakan itu.
Gerakan itu seperti gerakan Cio-po-thian-keng (Batu Meledak Langit Gempur) sebuah tipu gerakan ilmu silat cabang Kun-lun-pai tapi agak berbeda dan jauh lebih sukar dilakukan karena ketika melempar, gadis itu mengangkat kaki kirinya ke atas. Apakah itu kebetulan saja?
Ban Houw yang kena dilempar merasa penasaran dan malu, tapi ia tidak kapok. Ia meloncat kembali ke panggung setelah mengambil sebatang pedang dari kakaknya.
Lian Hwa berdiri bertolak pinggang memandang lawannya dengan senyum manis, “Eh, eh, bocah ini masih berani kembali ke sini? Lho, kau bawa-bawa pedang buat apa? Buat menakut-nakuti aku? Hati-hati, jangan main pedang nanti tanganmu sendiri terluka!”
Ejekan ini sungguh hebat. Ban Houw memandang dengan mata mendelik, lalu tanpa ingat keadaan ia memaki, “Perempuan busuk, kalau engkau ada kepandaian ambillah senjatamu!”
62
“Hem, anak tak tahu diri. Sudah dihajar masih belum kapok. Kaukira kepandaianmu itu sudah cukup untuk dipakai melagak? Haya! Seperti katak dalam tempurung saja. Untuk menghadapi pedangmu yang hanya pantas dipakai dalam dapur itu tak perlu nonamu ambil senjata. Hayo, seranglah!!”
“Perempuan sombong. Jangan jadi setan penasaran kalau kepalamu menggelinding di lantai ini!” Lalu ia menyerang dengan ganas. Lian Hwa miringkan tubuhnya dan pedang menyambar di sisi tubuhnya berbunyi “sing” karena kerasnya sabetan.
Ban Houw yang melihat serangannya dikelit demikian mudah menjadi penasaran dan makin marah. Dikirimnya serangan bertubi-tubi dan pedangnya bergerak bagaikan gulungan asap berpancaran ke sana sini. Tapi Lian Hwa dengan enak saja mengandalkan ginkangnya yang luar biasa, bergerak menyusup sana sini di antara sambaran mata pedang.
Baru sekarang para tamu tahu akan kelihaian gadis yang mereka tadinya tak pandang sebelah mata itu. Bahkan Ciauw lo-enghiong yang duduk di dekat Hwat Khong tanpa terasa memegang lengan tangan kawannya itu dan meremas-remasnya. Untung Hwat Khong bukan orang sembarangan, kalau tidak pasti lengan itu akan menjadi matang biru. Mulut orang tua itu ternganga dan akhirnya ia menghela napas berulang-ulang sambil menyebut,
“Ya Tuhan! Pantas saja ia menjadi sumoimu, tak tahunya ia demikian lihai.” Hwat Khong merasa girang mendengar pujian itu dan tersenyum lebar.
Keadaan sangat tegang karena kini tubuh Lian Hwa tak tampak lagi, hanya ikat pinggangnya yang berwarna merah berkibar-kibar di antara sinar pedang.
Lian Hwa merasa sudah cukup mempermainkan lawannya yang kini mulai berkeringat dan lelah. Ketika Ban Houw menyerang dengan nekat, yakni dengan tipu Angin Selatan Menghembus, sebuah tipu yang hanya dilakukan oleh orang nekat yaitu pedang di tangan kanan menusuk dada dan tangan kiri berbareng mencengkeram ke arah kepala lawan, Lian Hwa berayal menantikan datangnya, ia berjongkok menghindarkan pedang dan tangan kiri yang mencengkeram, lalu secepat kilat ia tangkap pergelangan lengan yang memegang pedang dan mendorong pedang itu ke arah tangan kiri penyerangnya.
Terdengar teriakan ngeri dan Ban Houw melepaskan pedangnya lalu terhuyung-huyung sambil memegang tangan kirinya yang berdarah. Ternyata dua buah jari tangannya telah terpotong oleh pedang sendiri.
“Nah, nah, nah! Apa kataku tadi? Kau main-main dengan pedang, sekarang tanganmu sendiri terpotong!” Lian Hwa mengejek.
“Bangsat perempuan sungguh kejam! Lihat pedang!” Seruan ini dibarengi berkelebatnya sebilah pedang yang menyambar ke arah leher Lian Hwa yang masih berdiri tertawa-tawa. Dengan gerakan manis Lian Hwa menghindarkan diri dari sabetan sambil meloncat mundur.
“Ah, kiranya macan tua menuntut balas. Bu Houw enghiong, apakah pandanganmu juga sepicik adikmu yang kecil itu? Kau seorang kang-ouw ternama dan tersohor gagah. Apakah kau tak dapat melihat kesalahan adikmu sendiri bahkan mau menambah kesalahan itu? Ingat, kawan, waktu ini kita
63
semua hanya menjadi tamu dan untuk menghormat tuan rumah yang terkenal sebagai seorang budiman dan gagah, tidak seharusnya adikmu membikin ribut! Barusan aku sengaja mewakili tuan rumah menghukum adikmu, seharusnya kau sebagai kakaknya berterima kasih padaku!”
“Perempuan sombong, jangan banyak mulut! Sebelum aku balaskan kekalahan adikku, katakanlah dulu siapa kau yang ganas ini.”
“Aku orang biasa saja tidak gagah seperti kalian San-ciu Si-houw Empat Harimau dari San-ciu yang terkenal suka berkelahi dan jarang dikalahkan orang! Aku adalah sumoi dari Hwat Khong suheng namaku Han Lian Hwa atau boleh juga kau ingat agar jangan lupa bahwa aku disebut orang Ang Lian Lihiap!”
“Hm, baru saja keluar kandang sudah menjadi sombong. Baiklah, Ang Lian Lihiap, adikku yang bodoh memang kalah olehmu, tapi jangan kau mencari siasat untuk melepaskan diri dariku. Ambillah senjatamu dan lawanlah aku.”
Ang Lian Lihiap menggeleng-geleng kepala. “Kalau hanya kau sendiri, aku tidak mau melayani.”
“Apa maksudmu?” tanya Bu Houw penasaran.
“Kau mau gunakan siasat maju berganti-ganti agar aku menjadi lelah bukan? Aku tidak mau! Kalau memang kau penasaran dan tetap hendak bertempur dengan aku, majulah kamu bertiga. Atau kalau adikmu yang kecil tadi masih kuat, boleh juga berempat. Agar aku dapat membereskan sekaligus. Kalau satu demi satu ogah!”
“Sumoi!” bentak Hwat Khong dengan marah.
Ia tidak senang melihat sumoinya timbul pula kenakalannya hingga terdengarnya seperti sangat sombong. Selain itu khawatir karena sumoinya telah menantang keempat harimau itu maju berbareng! Sedangkan ia maklum bahwa mereka itu sangat lihai. Ia sendiri, kalau satu lawan satu mungkin bisa menang, tapi kalau satu lawan tiga atau empat?
Lian Hwa menengok ke arah suhengnya dan menjura, “Suheng kali ini maafkanlah sumoimu, karena mereka ini menang harus dihajar!” Kemudian ia menghadap keempat penjuru sambil menjura kepada semua tamu, “Cuwi enghiong yang berkumpul di sini tentu telah melihat bahwa yang membikin kacau perjamuan ini adalah keempat harimau San-ciu ini. Maka kini aku yang muda mewakili Ciauw lo-enghiong untuk memberi hajaran kepada mereka, bagaimanakah pikiran cuwi? Aku akan menurut keputusan orang banyak. Haruskah aku turun dari panggung ini ataukah cuwi sekalian setuju?”
Hampir setengahnya para tamu itu menjawab riuh, “Setuju!”
Dengan lagak lucu Lian Hwa mengangkat pundak tanda bo-hwat (tidak berdaya) dan menjura kepada suhengnya sambil tersenyum. Kemudian gadis itu menjura kepada Ciauw Bun Liok,
“Ciauw-siokhu, maafkan aku berlaku kurang ajar dan merampas hakmu menghajar anak-anak nakal ini.”
64
“Perempuan rendah! Kau sungguh sombong! Awas jangan menyesal nanti, kau sendiri yang minta kami bertiga maju berbareng!” bentak Bu Houw dengan marah.
“Siapa menyesal? Jangan khawatir, kalian anak-anak jangankan mau mengalahkan aku, sedangkan kalau bunga teratai di rambutku ini sampai terlepas saja, aku mengaku kalah!”
Panas hati mendengar hinaan ini Tiat Houw dan Cin Houw segera meloncat ke atas panggung sambil mencabut pedang sedangkan Ban Houw yang terpotong jarinya hanya dapat melihat dengan mendongkol. Ia hanya yakin bahwa ketiga kakaknya pasti akan dapat membalas sakit hatinya.
Melihat ketiga jagoan dari San-ciu itu dengan pedang terhunus berdiri di depan dan kanan kiri gadis kecil itu, mau tak mau Hwat Kong merasa dadanya berdebar-debar demikianpun semua orang. Tapi Lian Hwa tetap berdiri tenang bahkan tersenyum-senyum.
“Perempuan rendah, lekas keluarkan senjatamu,” teriak Tiat Houw.
“Ah, senjata kalian terlampau lemah dan empuk untuk melawan pedangku, tapi apa boleh buat, karena kalian yang minta, terpaksa aku menggunakannya.” Sambil berkata demikian Lian Hwa mencabut Sian-liong-kiamnya yang mengeluarkan sinar hijau. “Majulah berbareng!” tantangnya.
Betul saja, tiga harimau itu maju menerjang berbareng, seorang dari depan dua orang dari kanan kiri. Tiba-tiba mata mereka silau ketika Lian Hwa menggerakkan pedangnya ke kanan kiri dan “trang, trang, tring!!”
Bukan main riuh keadaan di situ dan ketiga harimau itupun kaget setengah mati ketika melihat pedang mereka ternyata semuanya terpapas buntung tinggal gagangnya saja.
“Ha, apa kataku tadi? Salahmu sendiri telah minta aku menggunakan pedangku,” kata Lian Hwa dengan tenang lalu menyimpan kembali senjatanya di dalam sarungnya.
“Hebat! Lihai sekali!” demikian seruan terdengar dari kanan kiri.
Lian Hwa tak perdulikan itu semua, lalu meloncat ke arah rak senjata dan mengambil tiga batang pedang dan sebuah sarung pedang dari kulit kerbau. “Maaf, Ciauw lo-enghiong, saya pinjam senjata-senjatamu ini sebentar.” Ia lalu melemparkan ketiga pedang itu ke arah lawan-lawannya yang segera disambut oleh mereka.
Hati ketiga harimau itu sudah menjadi gentar melihat kehebatan pedang gadis itu, tapi kini mereka mendapat pedang baru dan dengan heran melihat gadis itu kini hanya memegang sebatang sarung pedang dari kulit.
“Nah, sekarang majulah kalian! Aku cukup menggunakan sarung ini saja agar pedang-pedangmu takkan buntung lagi! Hati-hati, pedang itu milik tuan rumah, jangan sampai rusak!”
Hebat sekali hinaan ini hingga saking marah dan malunya Bu Houw bertiga menjadi merah mukanya dan Tiat Houw hampir saja menangis. Tapi mereka masih ada harapan karena mustahil kalau mereka bertiga tidak mampu membikin malu atau mencelakakan gadis setan ini.
65
Bu Houw berseru keras dan menyerang dengan tipu-tipu dari gerakan pedang Tian-hong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Kilat dan Angin) sedangkan Tiat Houw dan Cin Houw dari kanan kiri menyerang dengan gerakan ilmu pedang Siang-houw-chut-tong (Sepasang Harimau Keluar Goa). Pedang mereka bertiga menyerang dengan hebat, seorang menusuk dada dari depan, dari kiri membacok leher dan dari kanan menyapu pinggang Lian Hwa.
Terdengar suara ketawa gadis itu dan tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat cepat sehingga sukar dilihat karena ia menggunakan ilmu meringankan tubuh Too-tiam-leng-po-pou yang sudah dipelajari sampai sempurna. Tubuhnya ringan dan gesit, gerakannya cepat dan tak terduga oleh musuh, hingga ketiga musuhnya menjadi kacau penyerangan mereka.
Sarung pedang kulit kerbau itu sungguhpun hanya sebuah benda yang tidak berapa keras, tapi di tangan Lian Hwa merupakan senjata yang bukan tidak berbahaya. Tiap kali kulit itu membentur pedang musuh, musuh merasakan sebuah tenaga besar yang membuat telapak tangan mereka yang memegang pedang merasa kesemutan.
Para jago tua, terhitung juga wakil-wakil dari Siauw-lim-si, cabang Go-bi, dan yang lain, juga Hwat Khong Hwesio, kini benar-benar kagum. Mereka tidak sangka sama sekali bahwa nona semuda itu dapat memiliki kepandaian yang luar biasa ini. Dengan sekaligus pandangan mereka terhadap Hwat Khong jadi naik tinggi sekali. Baru sumoinya saja begini hebat apa pula suhengnya. Demikian pikir mereka.
Sedikitpun mereka tak menyangka bahwa pada saat itu pun sang suheng sendiri terheran-heran melihat kelihaian sumoinya. Hanya Ciauw Bun Liok seorang yang mengerti bahwa gadis itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada kepandaian Hwat Khong, karena ia tahu betul sampai di mana batas kepandaian kawannya itu. Maka iapun sangat heran dan tidak mengerti siapakah sebenarnya guru Ang Lian Lihiap itu.
Lebih-lebih para tamu muda, mereka menonton dengan mulut ternganga dan mata terpentang lebar. Mereka tak dapat melihat gadis itu dengan jelas lagi, sudah tentu hati mereka sangat kagum.
Biarpun Lian Hwa telah mendapat pimpinan seorang guru yang luar biasa dan kini memiliki kepandaian yang hampir mencapai puncak kesempurnaan, namun tidak mudah saja baginya untuk menjatuhkan tiga jago dari San-ciu itu dengan cepat, apa pula hanya dengan bersenjatakan sarung pedang dari kulit. Kalau sekiranya ia mempergunakan Siang-liong-kiam, sudah pasti pertempuran itu takkan berjalan lama.
Ketiga harimau dari San-ciu itu benar-benar kosen, lebih-lebih Bu Houw dengan permainannya ilmu silat Pedang Angin. Pedangnya mengeluarkan suara angin menderu-deru, sungguh agak sukar bagi Lian Hwa memecahkannya dan mencari ketika merobohkan lawannya.
Tiba-tiba ia ingat ketika masih tinggal dengan gurunya di atas bukit Kim-ma-san, pada suatu hari dia berjalan-jalan di hutan dan melihat seekor tikus hutan diserang oleh dua ekor anjing hutan. Keadaan tikus itu sangat berbahaya karena lari ke sana ia dicegat anjing pertama, dan lari ke sini dicegat anjing kedua.
66
Kemudian tikus itu diam tidak lari lagi dan berada di tengah-tengah. Ketika kedua anjing itu menubruknya, ia berkelit dan tak ampun lagi dua ekor anjing itu saling bertubrukan. Hal ini terjadi berulang kali hingga lama kelamaan kedua anjing itu saling menggigit dalam tubrukan mereka, lalu akhirnya mereka berdua berkelahi dan tikus lari pergi dengan aman. Hal ini ia ceritakan pada gurunya yang lalu berpikir keras menciptakan gerakan tipu silat untuk melawan pengeroyokan musuh-musuh yang tangguh.
Ingat hal itu Lian Hwa menjadi girang, segera ia menggunakan kelincahannya berloncat ke sana ke sini dan selalu berusaha untuk berada di tengah-tengah kurungan ketiga lawannya itu. Usahanya berhasil baik karena musuhnya, lebih-lebih Tiat Houw dan Cin Houw yang masih bersilat dengan ilmu silat Siang-houw-chut-tong menjadi sangat repot dan kaku. Beberapa kali dua saudara ini saling beradu pedang sendiri karena orang yang diserang di antara mereka tahu-tahu melesat pergi hingga pedang mereka seakan-akan menyerang kawan sendiri.
Lian Hwa tidak menyia-nyiakan waktu baik ini. Selagi musuh masih kacau ia mendesak Cin Houw dengan sarung kulitnya dan pada saat kedua saudara itu sekali lagi hampir saling menusuk, ia melejit ke samping menangkis bacokan Bu Houw dan dengan gerakan Kim-liong-hian-jiauw (Naga Emas Mengulur Kuku) ia menotok iga kiri Cin Houw bagian jalan darah Thian-bu-hiat.
Cin Houw tak keburu berkelit dan tubuhnya menjadi lemas kehilangan tenaga. Pedangnya terlempar dan ia sendiri bagaikan sehelai baju yang terlepas dari sampiran jatuh lemas tak berdaya.
Tiat Houw terkejut sekali dan membarengi menusuk dari arah kiri ke jurusan pinggang Lian Hwa dengan cepat sekali.
Hwat Khong Hwesio berbisik “celaka” karena serangan itu betul-betul berbahaya, lebih-lebih cemasnya ketika si sumoi tidak menjatuhkan diri ke belakang, satu-satunya jalan untuk menghindarkan itu, tapi sumoinya itu bahkan miringkan badan menghadapi serangan itu dengan dada terbuka.
Semua jago tua menahan napas, mereka pikir kali ini Ang Lian Lihiap pasti celaka. Ciauw Bun Liok diam-diam menyiapkan sebuah piauw untuk menolong jika perlu.
Tapi murid Ong Lun si Manusia Aneh Pedang Dewa biarpun masih muda dan belum berpengalaman, namun ia sangat cerdik. Ia sengaja pentang dadanya agar lawannya mendapat hati dan kurang waspada.
Ketika ujung pedang sudah tinggal satu dim lagi dari dadanya, ia merendah ke kanan hingga pedang itu masuk menyusup di bawah lengannya. Gerakan ini demikian cepat hingga para tamu menyangka pedang itu telah menembus dada gadis cantik itu.
Banyak orang berteriak dan Ciauw-lo-enghiong mengayun tangannya hingga sebuah piauw (senjata rahasia) menyambar ke arah Tiat Houw. Tapi Lian Hwa segera mengayun sarung kulit dari tangannya dan menghantam jatuh piauw yang akan menancap di punggung Tiat Houw itu.
Dalam keadaan berbahaya itu ia masih ingat untuk melindungi nama baik tuan rumah yang menyerang dengan menggelap. Lalu ia mengeraskan kempitannya dan pedang dalam kempitan
67
lengan kirinya itu tak mungkin dicabut pula oleh Tiat Houw. Berbareng itu kakinya melayang. Terdengar suara “Buk” dan tubuh Tiat Houw terpental dua tombak lebih, lalu jatuh bergedebugan ke bawah panggung!
Semua penonton bersorak memuji dengan hati lega. Kembali para jago tua menggeleng-geleng kepala. Gerakan dan tipu silat macam ini belum pernah lihat seumur hidup.
Kejadian ini sangat cepat sekali hingga Bu Houw sendiri tak tahu bagaimana adiknya itu dirobohkan musuh. Ia lalu menyerang pula dengan nekat dan mati-matian.
Kini Lian Hwa hanya menghadapi Bu Houw seorang dengan tangan kosong, karena sarung pedangnya telah dipakai menimpuk piauw dari Ciauw Bun Liok tadi. Ia tidak mau membuang banyak waktu lagi. Tubuhnya melesat cepat dan tahu-tahu ia telah berada di belakang Bu Houw. Sebelum Bu Houw dapat membalikkan badan, Lian Hwa menggerakkan telunjuknya dan dengan totokan It-ci-san (totokan satu jari) ia menotok ke arah jalan darah “houw-cing-hiat”.
Serangan ini tak mungkin dikelit oleh Bu Houw dan sesaat kemudian saudara tertua dari San-ciu Si-houw ini berdiri kaku dengan pedang masih di tangan. Ia berdiri bagaikan sebuah patung kayu.
Ciauw Bun Liok yang merasa malu atas perbuatannya menyambit dengan piauw tadi, untuk menutup rasa malunya lalu menitahkan orang-orangnya mengambil obat dan mengobati jari Ban Houw dan luka Tiat Houw yang terbanting ke bawah tadi.
Kini ia menghampiri Ang Lian Lihiap sambil menjura menghaturkan terima kasih sambil memohon gadis pendekar itu memulihkan keadaan Cin Houw dan Bu Houw yang tertotok. Sambil tertawa ringan Lian Hwa menotok jalan darah in-thai-hiat kedua lawan itu dan sekejap kemudian kedua orang itu, merintih-rintih, tapi jalan darah mereka normal kembali.
Tanpa pamit, keempat saudara itu ngeloyor pergi setelah Bu Houw berkata bahwa pada suatu hari mereka tentu mencari Ang Lian Lihiap untuk “membalas budi”.
Setelah keempat pengacau itu pergi, pesta diteruskan dengan gembira. Ciauw lo-enghiong dan kedua puteranya Lin Eng dan Lin Houw sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada Ang Lian Lihiap sambil memuji-muji tiada habis-habisnya. Juga para locianpwe ikut pula menyatakan kekaguman mereka.
Ketika ditanya siapa gurunya, Hwat Khong Hwesio menerangkan bahwa sumoinya itu adalah murid tunggal dari Sian-kiam Koai-jin Ong Lun si Manusia Aneh Pedang Dewa. Barulah para jago tua itu mengangguk-anggukkan kepala, karena mereka pernah mendengar tentang seorang hiap-kek (orang gagah) yang menjagoi di kalangan kang-ouw dan membuat nama besar, ialah Sian-kiam Koai-jin Ong Lun itu, tapi yang beberapa puluh tahun kemudian lenyap tanpa meninggalkan jejak. Maka berkuranglah keheranan mereka, karena pantas sekali murid tunggal manusia aneh itu demikian lihai. Hanya mereka kagum sekali bahwa gadis yang baru berusia tidak lebih enambelas tahun itu telah dapat mewarisi ilmu silat yang luar biasa itu.
Karena kuatir sumoinya akan menjadi sombong dengan segala puji-pujian itu, Hwat Khong segera memohon maaf kepada tuan rumah berpamit pergi dengan Lian Hwa. Mereka kembali ke hotel “Liang An” dan keesokan harinya mereka kembali ke bukit Bok Lun-san.
68
?Y?
Sebulan kemudian, setelah menganggap bahwa kini sudah sampai temponya untuk sang sumoi melakukan perjalanan membalaskan sakit hati orang tuanya, Hwat Khong memberi tahu kepada sumoinya bahwa kampung orang tuanya ialah kampung Ban-hok-cun di Kie-ciu. Ia mengijinkan Lian Hwa pergi ke tempat itu, memesan gadis itu supaya berhati-hati dan jangan melupakan segala petunjuk-petunjuk dan nasihat-nasihatnya yang telah diberikan selama gadis itu diam di kelentengnya tiga bulan lebih.
Atas nasihat suhengnya, Han Lian Hwa mengenakan pakaian laki-laki berwarna putih dengan ikat pinggang warna merah darah dan sepatu serta kaus kaki warna kuning. Topinya juga berwarna merah, tapi merah muda. Dengan dandanan begitu ia merupakan seorang siucai (mahasiswa) yang berwajah sangat cakap. Ia membawa pauw-hok (ransel) warna coklat yang berisikan pakaian dan uang serta pedangnya Sian-liong-kiam juga disembunyikan di dalam buntalannya itu.
Setelah berpamit kepada suhengnya yang memesannya dengan teliti agar ia menjaga diri baik-baik dan berhati-hati di sepanjang perjalanan, Ang Lian Lihiap memulai perjalanannya merantau dengan tujuan membalas sakit hati orang tuanya.
Karena telah mendapat petunjuk yang jelas dari suhengnya, ia langsung menuju ke Kie-ciu. Perjalanan ini ia lakukan dengan mengambil jalan besar, tidak seperti suhengnya ketika membawa ia lari dari kampungnya dulu, hingga ia tidak melalui bukit Kim-ma-san, tapi melalui kota-kota besar dan kampung-kampung yang ramai.
Pada suatu hari ia sampai ke sebuah kampung yang terletak di kaki gunung. Kampung itu tampak sunyi dan penduduknya rata-rata berwajah sedih, dan keadaan mereka sangat melarat. Ang Lian Lihiap masuk di kampung itu pada waktu sore, maka ia mengambil keputusan untuk bermalam di situ.
Seorang pelayan dari rumah penginapan Thian-lok menyambutnya dan Lian Hwa melihat pelayan itupun berwajah seperti orang ketakutan dan bingung.
“Kongcu (tuan muda) lekaslah masuk, jangan lama-lama berdiri di luar!” katanya sambil mempersilakan tamunya masuk.
Lian Hwa merasa heran tapi ia bertindak masuk juga.
“Sikapmu ini sungguh aneh, apakah yang terjadi di sini?” tanyanya.
Pelayan itu hanya menggeleng-geleng kepala ketakutan dan pada saat itu pemilik rumah penginapan yang mendengar pertanyaan Lian Hwa segera menghampiri.
“Kongcu, marilah kita ke dalam kalau kau ingin tahu. Agaknya Kongcu orang asing di sini.” Pemilik rumah penginapan yang bernama A Sam itu segera bertindak ke ruang dalam, diikuti oleh Lian Hwa.
“Kongcu, engkau orang baru agaknya engkau keluarga kaya,” katanya sambil menunjuk bunga teratai emas yang menghias dada Lian Hwa.
69
“Ah, kau salah sangka, tuan, barang ini tidak berharga mahal, dan adalah milikku satu-satunya,” jawab Lian Hwa sembarangan.
“Tapi cukup untuk menarik perhatian Iblis Gelandangan!”
“Apa katamu?” tanya gadis itu heran.
“Dengar kongcu, aku si tua A Sam bukan pembohong, juga bukan orang penakut, tapi apa yang akan kubicarakan ini sedikitpun tidak bohong. Telah lebih dari tiga bulan kampung ini mendapat gangguan iblis gelandangan yang keluar dari bukit Hek-mo-san (Bukit Iblis Hitam). Beberapa hari sekali pada malam hari ia pasti datang dan mengumpulkan uang yang disediakan oleh penduduk di depan pintu rumah mereka.”
“Sungguh aneh. Mengapa kalian mengumpulkan uang dan menyediakan itu di depan pintu rumah di waktu malam?”
“Karena permintaannya, kongcu. Dan siapa saja yang berani membandel, pasti celaka! Sudah ada beberapa keluarga yang terbunuh karena tidak ada uang untuk disediakan. Maka sekarang mereka yang tidak punya uang sudah pada pergi mengungsi dan yang masih bisa menyediakan uang hanya menanti bangkrutnya saja. Tiap keluarga harus menyediakan uang perak sebanyak dua tail untuk satu jiwa. Seperti rumah tanggaku ini yang mempunyai sepuluh jiwa, berikut pelayan, tiap ia datang harus menyediakan duapuluh tail perak! Coba kongcu pikir, apa ini tidak bikin aku gulung tikar?”
“Apa sudah ada yang pernah lihat iblis itu?” tanya Lian Hwa dengan hati kebat-kebit, karena selama hidupnya belum pernah ia mendengar cerita aneh dan serem seperti itu.
“Sudah, siangkong (tuan muda),” menyambung pelayan yang sejak tadi hanya menggoyang kepala dan mendengarkan. “Iblis itu tinggi besar dengan muka hitam, matanya besar dan mulutnya lebar bersenjata tombak cagak yang hebat!” Tiba-tiba ia mendekap mulutnya seakan-akan takut iblis nanti mendengar ia membicarakannya.
“Maka kongcu harus hati-hati. Iblis itu awas benar, tiap ada tamu membawa barang berharga, ia selalu menuntut agar barang-barang itu disediakan di luar pintu, kalau tidak maka tamu itu akan mati tercekik.”
“Dan diminum darahnya,” menyambung pelayan itu.
“Ya, dan diminum darahnya sampai habis,” si tuan rumah membenarkan.
“Aah, aku tidak percaya. Mana ada urusan seaneh itu di dunia ini?” kata Lian Hwa, hingga tuan rumah dan pelayannya itu menjadi kuatir dan takut, karena mereka tahu bahwa iblis itu paling benci kepada orang yang tidak takut dan tidak percaya padanya.
Cepat-cepat si tuan rumah mengajak Lian Hwa memilih kamar, meninggalkan “pemuda” itu dalam kamarnya, hatinya merasa tak enak sekali.
70
Ketika malam tiba, tuan rumah dan seisi rumah penginapan itu makin gelisah. Betul saja, kira-kira jam sepuluh malam, tiba-tiba terdengar bunyi tertawa seram di atas genteng rumah penginapan itu dan sebuah suara tanpa rupa terdengar, “A Sam! Buntalan dan teratai merah kepunyaan tamu mudamu itu harus disediakan di depan pintu. Lekas!”
Lian Hwa yang berada dalam kamarnya terkejut juga. Suara itu demikian keras hingga kalau kiranya suara itu dikeluarkan dari mulut seorang manusia, tentu ia itu memiliki khikang yang kuat sekali. Tapi hanya sebentar ia kaget, ketabahannya timbul kembali, kemudian ia menyambar pedangnya dan meloncat keluar dari jendela terus melayang ke atas genteng.
Di atas wuwungan rumah penginapan itu berdiri seorang laki-laki tinggi besar. Mungkin inilah iblis itu. Tapi tiba-tiba Lian Hwa merasa geli melihat bahwa “iblis” itu tak lain hanya seorang manusia biasa yang berkedok hitam menakutkan. Segera ia meloncat di hadapan orang itu.
“Hm, hm, tak tahu malu. Menakut-nakuti penduduk untuk menipu barang mereka. Kaukah iblis itu? Kau mau minta barang-barangku? Perlahan dulu, bangsat!”
Orang itu kaget, ia tak menyangka ada orang yang berani keluar bahkan menghampirinya.
“Kau mau mampus barangkali!” bentaknya lalu menubruk.
Lian Hwa mengelak cepat dan balas menyerang. Segera ia ketahui bahwa iblis itu memiliki kepandaian yang boleh juga. Tapi dengan mudah ia dapat mendesaknya. Ingin ia menjatuhkan iblis itu untuk melenyapkan gangguan penduduk kampung itu maka ia menyerang dengan hebat. Ia mengeluarkan ilmu silatnya Pek-coa-jiu-hoat (Ilmu Pukulan Ular Putih) untuk menyerang. Bagaimana penjahat itu bisa tahan? Baru empat jurus saja ia sudah repot sekali.
Tiba-tiba terdengar suara di belakang Lian Hwa, “Sam-ko jangan takut, aku datang membantumu!”
Iblis yang baru datang itu menggunakan tombak cagak dan menyerang Lian Hwa dengan tipu Naga Mabok Menyembur Mustika. Tombaknya bergerak cepat menusuk punggung. Tapi dengan gesit sekali Lian Hwa meloncat tiga kaki ke kiri dan menengok. Ternyata iblis kedua inipun berkedok hitam menakutkan.
Lawannya pertama tadi tak sempat mengeluarkan senjata karena desakan Lian Hwa yang hebat. Kini setelah datang pembantu, ia mencabut goloknya yang terselip di pungung, lalu dengan marah memainkan goloknya dengan ganas sekali.
Lian Hwa berkelit ke sana ke mari, tapi walaupun dengan mudah ia dapat menghindarkan semua serangan senjata tajam itu sukar juga baginya untuk balas menyerang. Terutama senjata tombak cagak iblis yang baru datang itu betul-betul lihai.
Karena memang sudah merasa marah dan ingin membasmi iblis-iblis ini, terpaksa Ang Lian Lihiap mencabut pedang Sian-liong-kiamnya. Pada saat itu ujung tombak bercagak kembali menyambar mengeluarkan angin dingin.
71
Lian Hwa membentak, “Pergilah!” pedangnya disabetkan ke bawah dan “trang!” ujung tombak bercagak itu patah.
Si pemegang tombak kaget sekali dan meloncat pergi sejauh tiga tombak dan berbareng dengan itu golok penjahat pertama menyabet leher Lian Hwa. Gadis itu berkelit ke kiri dan ujung pedangnya bagaikan mulut naga meluncur dari bawah lengan dengan memutar pergelangan tangan.
“Cap!” pedang itu menembus dada orang dari sebelah kanan. Tanpa dapat menjerit lagi “iblis” itu roboh di atas genteng dan menggelinding ke bawah, jatuh di atas tanah dengan suara berdebuk keras.
Penjahat yang bersenjata tombak melihat itu mengangkat kaki lebar-lebar dan lari. Lian Hwa hendak mengejar, tapi karena malam gelap dan ia tidak mengenal jalan di situ, terpaksa membatalkan maksudnya dan meloncat turun.
Mendengar suasana ribut-ribut dan pertempuran di atas genteng itu, semua orang pergi bersembunyi tak berani bernapas keras-keras. Setelah Lian Hwa menghampiri mereka dan memberi penjelasan, barulah mereka keluar sambil memasang obor. Mayat adalah seorang laki-laki yang bermuka kejam.
“Nah, saudara-saudara sekalian,” kata Lian Hwa, “Ternyata iblis-iblis yang yang mengganggu kampung ini untuk berbulan-bulan itu ternyata tak lain hanyalah manusia biasa juga. Manusia jahat dan kukira banyak pula kawan-kawannya. Sayang sekali seorang kawannya yang bersenjata tombak tadi telah dapat melarikan diri.”
Pada saat itu A Sam si pemilik penginapan berkaok-kaok, “Cung Ji! Cung Ji……! Eh, ke mana perginya orang itu?” Ternyata ia mencari-cari pelayannya yang berwajah sedih dan penakut itu. Setelah dicari-cari tidak juga ketemu.
Lian Hwa segera berkata.
“Paman A Sam, tak perlu lagi Cung Ji dicari. Ia adalah penjahat yang bersenjatakan tombak dan telah kuusir pergi.”
A Sam terkejut dan semua orang heran. Pantas saja iblis-iblis itu tahu saja apa yang terjadi di kampung. Tak tahunya si Cung Ji adalah seorang di antara mereka atau mata-mata iblis itu.
Mereka beramai-ramai menghaturkan terima kasih kepada pemuda penolong mereka itu dan menanyakan namanya. Tapi Lian Hwa menjawab, “Siauwte hanya kebetulan saja lewat di sini, tak perlu perbuatan tak berarti ini diingat-ingat lagi. Aku tak mau bekerja setengah matang, kalau tidak kubasmi semua iblis itu tentu mereka akan datang mengganggu lagi setelah di sini tidak ada yang menjaga. Biarlah besok pagi kucari sarang mereka.”
Semua orang pergi tidur dengan agak tenteram malam itu.
Pada keesokan harinya, setelah memaksa bayar sewa kamar yang hendak ditolak oleh A Sam, Lian Hwa menggendong pauw-hoknya dan pergi menuju ke Bukit Iblis Hitam yang tak jauh dari kampung
72
itu letaknya. Setelah ia sampai di sebuah hutan, di batang pohon Siong besar di pintu hutan itu terdapat huruf-huruf yang diukir di batang pohon dan berbunyi bigini.
“Yang lewat di sini harus membayar uang tanda hormat sebanyak sepuluh tail perak”
Tertanda
Ngo Hek Mo.
Lian Hwa tertawa keras hingga suaranya bergema di dalam hutan itu. Ia mengeluarkan pedangnya dari bungkusan dan menggunakan senjata itu untuk menggurat-gurat pohon itu. Sebentar kemudian di atas tulisan tersebut terdapat tulisan yang berupa syair.
Mengandalkan kedok dan tombak cagak Ngo-hek-mo (Lima Iblis Hitam) menjual lagak,
Jangankan hanya Ngo-hek-mo,
Biar Cap-ang-mo (Sepuluh Iblis Merah) sekalipun,
Bertemu dengan Teratai Merah takkan mendapat ampun.
Kemudian ia mengikatkan pedangnya di pinggang dan berjalan terus memasuki hutan dengan tenang. Tiba-tiba ada angin menderu dari samping. Ia mengulur tangan kirinya dan sebuah anak panah terjepit di antara kedua jarinya.
“Ha, ha! Tidak hanya jahat tapi iblis-iblis inipun licik dan pengecut sekali,” ia berkata keras menyindir.
“Ah, Cung Ji pelayan rendah, kau sudah tukar tombakmu?” Lian Hwa mengejek. “Mengapa lima ekor iblis hanya tinggal empat saja?”
“Bangsat cilik, berhenti kamu!” suara bentakan itu disusul dengan meloncatnya empat orang dari belakang gerombolan dan mencegatnya. Seorang di antaranya Lian Hwa kenal sebagai Cung Ji si pelayan yang kini memegang sebuah tombak baru. Mereka berempat ini sekarang tidak bertopeng lagi, rata-rata bertubuh tinggi besar dan jahat.
Seorang diantara empat perampok itu maju dan menjura, “Orang gagah dari manakah yang tanpa sebab mengganggu kami? Apakah tidak kenal aturan di kalangan rimba hijau?”
Ang Lian Lihiap tertawa menghina lalu menjawab dengan bersyair :
Lima Iblis Hitam bicara tentang aturan,
Membikin aku tertawa tak tertahan,
Tindas yang lemah, peras orang kampung,
Adalah pekerjaan kamu iblis gunung!
Melihat kejahatan-kejahatanmu semua,
Apakah aku Teratai Merah harus diam saja?
Hai iblis-iblis hitam,
Rabalah mukamu dan tanya diri!
Ke mana perginya seorang kawanmu malam tadi?
73
Ia telah terpanggang di neraka,
Dan kalian akan mengikutinya segera.”
“Perempuan busuk jangan jual lagak!” teriak mereka dengan sangat murka, lalu berbareng mereka mengurung Lian Hwa. Sebatang tombak cagak dan tiga buah golok berkelebatan menyilaukan mata bergerak-gerak mengurung Lian Hwa.
Lian Hwa maklum bahwa empat musuhnya ini memiliki kepandaian tinggi maka ia segera mencabut pedangnya, sambil memutar Sian-liong-kiamnya itu ia tertawa mengejek.
“Awas, pokiamnya!” Cung Ji memperingatkan saudara-saudaranya.
Mereka berempat, berlaku sangat hati-hati dan tidak membiarkan senjata mereka beradu dengan pedang Lian Hwa. Namun gerakan Lian Hwa gesit sekali. Ia gunakan ilmu silat pedang Ngo-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Lima Dewa) yang mengandalkan gerakan lincah dan ginkang yang sempurna, maka biarpun sudah sangat hati-hati, tiba-tiba sebatang golok terbabat putus!
Kesempatan ini digunakan oleh Lian Hwa untuk menyambarkan kakinya yang tepat mengenai perut lawan. Karena Ang Lian Lihiap menggunakan tenaga lweekang yang tinggi, maka lawan yang tertendang itu terlempar tiga tombak lebih dan jatuh dengan mata mendelik, berkelojotan lalu mampus! Tiga orang kawannya menjadi keder juga melihat kehebatan lawan mereka, tapi mereka menyerang makin hebat.
Pada suatu saat, dua batang golok menyambar berbareng, satu dari, depan dan satu dari kiri, kedua-duanya menuju ke dadanya dan pada saat itu juga tombak cagak Cung Ji menusuk ke arah lehernya! Lian Hwa menundukkan kepala menghindari tusukan tombak, melangkah mundur melepaskan diri dari sabetan golok dari depan dan ketika golok dari kiri hampir mengenai pundaknya, ia angkat kaki menendang ke arah golok itu.
“Trang!” dan golok itu tertendang lepas dari pegangan.
Sebelum pemiliknya dapat menghindarkan diri, Lian Hwa meloncat maju, Pedang Naga Dewanya meluncur dan penjahat itu mengangkat kedua tangan ke atas, tubuhnya terjengkang ke belakang dan kepalanya terpisah dari tubuh! Darah mulai menyembur membasahi rumput di sekitar tempat pertempuran itu.
Makin kecil hati pengeroyoknya yang tinggal dua orang lagi itu. Tapi Lian Hwa tidak memberi waktu. Ia merangsek hebat dan pedangnya menyambar laksana naga menyambar-nyambar. Sesaat kemudian untuk kedua kalinya tombak cagak patah jadi dua dan ujung pedang terus menusuk dada pemegang golok!
Cung Ji melihat gelagat jelek segera meloncat jauh sambil berteriak, “Kalau kau memang gagah tunggulah sebentar jangan lari, aku akan panggil suhuku (guru).”
Lian Hwa tertawa menyindir, “Jangan kata gurumu, biar sukongmu (kakek guru) sekalipun akan kujadikan siluman tak berkepala!”
74
Tapi mana ia sudi menunggu di situ? Juga belum tentu berandal itu bicara sungguh-sungguh mungkin hanya mencari alasan untuk kabur. Maka setelah membersihkan pedangnya di tubuh korbannya, Lian Hwa berjalan tujuannya ke kampung kelahirannya.
Baru saja berjalan kurang lebih tiga lie, ia mendengar suara kaki kuda bergemuruh mengejar dari belakang. Ia tahu bahwa itu pasti berandal dan kawan-kawannya yang datang mengejarnya, maka ia membalikkan badan, berdiri tenang sambil tersenyum dan bersiap sedia. Buntalannya ia turunkan di bawah sebatang pohon besar dan pedangnya siap tergantung di pinggang.
Yang datang itu ternyata adalah seorang hwesio (pendeta) berbaju kuning dengan rambut terurai di atas pundak kiri kanan. Tubuhnya tinggi kurus dan kedua matanya bersinar. Kakinya telanjang dan ia berlari di depan dengan cepat, sedangkan di belakangnya tampak lima ekor kuda yang lari cepat, tapi tetap tak dapat mendahului hwesio itu.
Si hwesio itu mengempit sebatang toya kuningan yang berujung runcing. Lian Hwa mengerti bahwa hwesio itu tentu pandai ilmu totokan dan bahwa toya runcing tapi tumpul itu adalah senjata untuk menotok jalan darah lawan.
Ketika mereka telah datang dekat, Lian Hwa melihat bahwa Cung Ji berada pula di situ.
“Omitohud! Tak nyana sedikitpun bahwa musuh yang membunuh mati empat orang muridku hanyalah seorang anak kecil. Sungguh gagah, sungguh gagah! Mohon tanya, siapakah nama congsu (orang gagah)?”
“Aku orang she Han, orang menyebut aku si Teratai Merah,” jawab Lian Hwa tenang.
“Hm, Han congsu, pinceng (saya) tidak tahu mengapa kau memusuhi lima orang murid-muridku, bahkan telah membunuh empat orang di antara mereka. Tapi hal itu tak perlu disebut lagi, sekarang pinceng telah datang maka kau harus berani memikul tanggung jawabnya.”
“Terima kasih kalau lo-suhu hendak memberi pelajaran padaku, tapi apakah lo-suhu hendak maju berbareng dengan lima siauw-mo (iblis kecil) ini?” tanya Lian Hwa sambil menunjuk lima orang di atas kuda itu.
“Ha, ha, ha! Benar saja seperti kata muridku, kau ini orang muda sungguh sombong sekali. Seperti seekor katak dalam sumur. Nah, bersiaplah, Han congsu dan jangan kuatir. Pinceng takkan mengijinkan dilakukan keroyokan.”
Melihat lagak hwesio itu tidak sejahat murid-muridnya, Han Lian Hwa pun merobah sikapnya.
“Biarlah aku yang muda memberi kehormatan kepadamu untuk menyerang dulu, Lo-suhu,” katanya sambil memasang bhesi (kuda-kuda).
Melihat “pemuda” itu pasang bhesi dengan mengangkat kaki kanan dan menempelkan ujung kaki itu di lutut kaki kiri, sedangkan kedua lengannya terangkat dengan tangan di depan dada seakan-akan memberi hormat, pendeta itu berteriak, “Bagus!” dan kakinya bergeser maju sambil mengayunkan tangan kanannya menyampok ke arah pundak Lian Hwa.
75
Biarpun tangan yang menyampok itu masih jauh, namun angin sambarannya telah terasa oleh Lian Hwa, hingga diam-diam ia terkejut dan maklum bahwa lawannya kali ini benar-benar bukan sembarangan orang. Ia segera menurunkan kaki kanan yang terangkat digeserkan ke sebelah belakang hingga tubuhnya membungkuk menghindari sampokan. Tapi hwesio itu menyusul dengan serangannya kedua, ia menggunakan kaki kanan menyapu dan ketika Lian Hwa meloncat ke atas untuk menghindarkan serampangan kaki lawannya, ia menggunakan tipu Hek-houw-to-sim (Macan Hitam Menyambar Hati) memukul ke arah dada Lian Hwa.
Melihat datangnya serangan bertubi-tubi ini maka Lian Hwa tidak berani berlaku sembrono lagi. Dengan mengayunkan tubuhnya ia dapat berkelit ke samping dan dari situ mengirim serangannya pertama dengan jotosan tangan kiri.
Si hwesio mundurkan kakinya dan baru saja ia berhasil mengelak pukulan itu, kepalan tangan kanan Lian Hwa telah datang pula dengan tipu Go-yang-pok-sit (Kambing Kelaparan Menubruk Makanan). Serangan ini datangnya dengan tangan terbuka dan telapak tangan Lian Hwa yang halus menyodok ke arah ulu hati lawan.
Hwesio itupun terkejut melihat gerakan Lian Hwa yang gesit dan dapat menggunakan serangan yang susul-menyusul pula. Ia tidak berkelit terhadap serangan kedua ini, tapi segera mengulurkan lengan kanannya pula, serta menerima datangnya pukulan Lian Hwa.
Dua telapak tangan, satu kecil halus yang kedua besar keras beradu. Terdengar suara “plok” dan kedua-duanya merasa adanya tenaga hebat datang dari lengan lawan. Lian Hwa terhuyung mundur dua tindak dan hwesio itupun terhuyung mundur hampir jatuh. Ternyata tenaga dalam Lian Hwa masih menang sedikit.
Hwesio itu merasa penasaran sekali, lalu menggunakan ilmu silat Bie-ciong-kun (Kepalan Menyesatkan) menyerang dengan hebat. Lian Hwa berlaku hati-hati sekali dan merasa bahwa ilmu silat lawannya itu memang benar-benar hebat, terpaksa ia keluarkan ilmu simpanannya yang diwariskan oleh gurunya, ialah ilmu silat Sian-liong-kun (Naga Dewa). Tubuhnya tiba-tiba melesat ke sana ke mari bagaikan bayangan seekor naga yang bermain-main di awan.
Tubuh kedua orang itu kini hanya tampak bayangannya saja, membuat lima orang berkuda yang menonton jalannya pertandingan menjadi kagum dan pandangan mereka kabur.
Setelah bertanding lebih seratus jurus, akhirnya hwesio itu mulai terdesak. Ia lebih banyak menangkis daripada menyerang, karena ia mulai merasa pusing. Sungguhpun kepandaiannya tak kalah jauh dengan “pemuda” itu, tapi gerakan-gerakan Lian Hwa yang aneh dan tak tersangka-sangka datangnya ditambah dengan ginkang atau ilmu ringankan tubuhnya yang luar biasa, si hwesio lama-lama menjadi lelah juga.
Pada suatu saat Lian Hwa melesat ke samping kanan lawannya dan kakinya menendang, ketika dapat dikelit kaki kedua menyusul dengan tendangan yang lebih hebat. Dengan repot hwesio itu berkelit lagi, tapi tiba-tiba kepalan kanan Lian Hwa meluncur dan sudah dekat sekali dengan pundaknya.
76
Hwesio itu sangat terkejut, untuk berkelit tiada waktu lagi baginya, maka terpaksa ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya ke arah pundak itu dan menanti datangnya pukulan.
“Buk!” dan Lian Hwa yang tertolak tenaga dalamnya itu mundur sampai tiga tindak. Tapi si hwesio jatuh terpelanting, biarpun dengan segera ia bangun kembali.
“Hebat,” katanya sambil tertawa meringis.
Lian Hwa maklum bahwa hwesio itu menderita luka di dalam tubuh. Ia merasa kasihan, tapi sebelum dapat berkata sesuatu, hwesio itu sudah menyambar toyanya dari tangan Cung Ji dan berkata padanya.
“Orang muda sungguh harus kupuji kepandaianmu. Pinceng mengaku kalah dalam ilmu pukulan. Tapi pinceng ingin sekali mencoba ketajaman pedangmu!”
“Haruskah kita teruskan, lo-suhu?” tanya Lian Hwa, ia tidak mau mengatakan bahwa hwesio itu telah luka, khawatir membuat malu.
“Ya, jangan membikin pinceng penasaran. Biarlah pinceng merasakan juga kelihaian Kiam-hoat (ilmu pedang) Congsu.”
Lian Hwa menghela napas. Ia kasihan melihat hwesio tua itu, teringat ia akan suhengnya, tapi bagaimana juga hwesio ini telah melakukan kesalahan besar sekali dengan mempunyai murid-murid perampok itu. Dengan sebat Lian Hwa menghunus pedangnya yang mengeluarkan sinar kehijau-hijauan dan menyilaukan mata.
Tiba-tiba hwesio itu tampak pucat. “Po-kiammu (pedang pusaka) itu bukankah Sian-liong-kiam?” tanyanya dengan suara gemetar.
Lian Hwa menjadi terkejut dan heran mendengar bahwa lawannya mengenal pedangnya. Terpaksa ia mengangguk membenarkan.
Hwesio itu melempar senjatanya dan menghela napas.
“Omitohud! Mataku telah lamur, tidak tahu membedakan kawan atau lawan. Karena Sian-liong-kiam berada di tanganmu, pasti congsu masih ada hubungan dengan Sian-liong Koai-jin Ong Lun, bukan?”
Han Lian Hwa makin merasa heran. “Siauwte (saya) adalah murid tunggal dari Sian-liong Koai-jin Ong Lun.”
Tiba-tiba hwesio itu tertawa berkakakan dan menjura dengan hormatnya.
“Maaf, maaf, aku yang tua tak mengenal Gunung Thai-san! Tidak heran ilmu kepandaian congsu demikian hebat. Kini pinceng tidak malu mengaku kalah. Kalau di tangan murid tunggal Ong locianpwe (orang tua she Ong yang gagah perkasa) bahkan merupakan suatu kehormatan bagiku.”
Lian Hwa menjura. “Lo-suhu siapakah? Bagaimana kenal dengan suhuku?”
77
“Pinceng adalah Tui Hong Hwesio bergelar It-kak-liong (Naga Tanduk Satu). Dulu pinceng pernah menjagoi di kalangan sungai telaga (bajak air) dan rimba hijau (perampok darat), jarang menemukan tandingan. Tapi akhirnya pinceng sampai dua kali dijatuhkan oleh Ong locianpwe dengan Sian-liong-kiamnya. Sejak itu pinceng telah bersumpah tak mau melawan Sian-liong-kiam lagi. Tidak disangka, ini hari pinceng sekali lagi dijatuhkan olehmu, untung pinceng keburu mengenal Sian-liong-kiam sebelum pinceng untuk ketiga kalinya dijatuhkan oleh pedang pusaka ini!”
Han Lian Hwa menyatakan kegembiraannya bertemu dengan seorang yang pernah kenal gurunya, tapi dengan secara terus terang ia mencela It-kak-liong karena murid-muridnya.
It-kak-liong menghela napas dan berkata.
“Han-enghiong, memang dalam hal ini pinceng kurang teliti. Tadinya kelima orang murid-murid itu hidup sebagai anggauta rimba hijau yang mentaati peraturan-peraturan kalangan itu. Merampok pembesar-pembesar penindas rakyat yang lewat, mengambil harta orang-orang kaya yang pelit, tak lupa pula untuk membagi pendapatan mereka kepada penduduk yang miskin. Tapi belakangan ini keadaan negeri begini macam. Orang-orang hartawan dan pembesar negeri makin kuat dan mereka ini mempunyai pengawal dan penjaga-penjaga diri yang kosen. Orang-orang gagah di empat penjuru terpaksa merendahkan diri menjadi kaki tangan mereka karena keadaan yang sukar.
“Mencari makan di luar sungguh payah, hingga kelima muridku yang mempunyai banyak anak buah terpaksa minta sumbangan ke kampung. Lain jalan mereka tidak ada untuk dapat mencari makan guna diri sendiri dan kawan-kawannya. Pinceng sebenarnyapun kurang setuju, tapi apa daya pinceng?”
“Hal itu salah sekali, lo-suhu. Orang gagah lebih baik mengorbankan diri sendiri daripada mengorbankan atau mengganggu rakyat yang memang sudah melarat. Apa artinya menjadi orang gagah kalau takut segala tukang pukul, anjing penjilat orang-orang kaya dan pembesar bangsat, sebaliknya malahan mengganggu anak negeri yang miskin? Siauwte sama sekali tidak setuju. Harap lo-suhu insaf akan hal ini dan memberi jalan kepada mereka agar mereka dapat menghentikan perbuatan buruk itu dan bekerja dengan cara halal.”
Tui Hong Hwesio berjanji akan menurut nasihat “pemuda” itu dan mereka lalu berpisah. Lian Hwa melanjutkan perjalanannya ke arah kampung Ban-hok-cun.
?Y?
Pada keesokan harinya tibalah Lian Hwa di kota Cin-ciu. Ia mencari kamar di penginapan “Ho Tee” yang besar. Karena pada waktu itu kebetulan jatuh pada bulan delapan tanggal limabelas, maka penduduk kota Cin-ciu sedang merayakan hari Tiong Ciu dengan meriah.
Malam hari itu Lian Hwa juga tidak sudi tinggal meringkuk dalam kamarnya pada saat yang demikian ramainya. Bulan bundar besar lagi gilang gemilang, hawa malam sejuk segar dan penduduk kota semua keluar rumah untuk pergi ke pusat keramaian yang diadakan di tengah kota, maka Lian Hwa mengikuti aliran manusia menuju ke tempat yang mereka tuju.
78
Han Lian Hwa merasa agak heran mengapa orang-orang kota dapat hidup demikian mewah dan gembira, sedangkan penduduk kampung banyak yang miskin menderita. Di tempat keramaian itu terdapat beberapa restoran-restoran yang mengeluarkan asap masakan berbau harum. Lian Hwa memasuki sebuah restoran dan memilih tempat duduk di sudut. Yang sedang makan di situ hanya beberapa orang saja.
Di meja sebelah kanan Lian Hwa duduk seorang pemuda sendirian.
“Lauw-ko (bung), cepatan sedikit masaknya, perutku sudah sangat lapar,” terdengar pemuda itu berkata perlahan kepada pelayan.
Lian Hwa yang mendengar itu menjadi geli dan menengok ke arahnya. Kebetulan sekali pemuda itupun sedang memandangnya, hingga mereka saling pandang. Entah bagaimana, pada saat itu Lian Hwa ingat akan pesan suhengnya bahwa seorang gadis tidak layaknya memandang laki-laki yang belum dikenalnya, maka pada saat itu ia merasa mukanya panas karena malu dan segera ia buang muka. Ia sama sekali lupa bahwa pada saat itu ia bukanlah seorang gadis, tapi berpakaian sebagai pemuda juga hingga tiada salahnya untuk memandang lain pemuda.
Untuk menutup rasa malu yang menyerang dirinya, Lian Hwa memanggil pelayan dan pesan mie, daging dan arak.
Tiba-tiba pemuda itu berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Lian Hwa. Ia menjura dengan hormat sekali lalu berkata, “Saudara, kebetulan sekali pesananmu sama benar dengan pesananku. Saudara, tukang-tukang masak di kota ini semuanya malas dan lambat, pesanan dilayani lama sekali. Tapi kalau kita satukan pesanan kita, maka kurasa akan lebih cepat. Mie dan daging bisa dimasak sekaligus. Karena itu jika saudara tidak keberatan, siauwte yang kurang ajar mengundang saudara untuk duduk di tempatku.” Kata-kata ini diucapkan dengan sopan dan sikap yang halus sambil tersenyum-senyum.
Tapi Lian Hwa hampir saja bangun berdiri dan menamparnya. Hm, inilah macamnya lelaki kurang ajar seperti yang diceritakan suhengnya, demikian ia pikir. Sembarangan saja menegur seorang gadis bahkan mengajak makan bersama. Tapi tiba-tiba ia ingat pakaiannya dan marahnya berkurang. Apa salahnya, ia kan laki-laki juga pada saat ini. Maka iapun segera berdiri dan menjura.
“Kau baik sekali. Tapi, kurasa kurang sopan kalau yang tua menjamu yang muda, lebih baik siauwte yang mengundangmu untuk duduk di sini, makan sama-sama sambil mengobrol. Bagaimana pendapatmu?” kata Lian Hwa.
“Ha, ha, kau baik sekali, saudara! Tapi kau agak keterlaluan, masa aku kau anggap tua?” Ia meraba-raba mukanya. Benar-benar sudah amat tuakah aku?” Sambil berkata demikian ia menarik muka yang lucu.
Lian Hwa hampir tak dapat menahan suara ketawanya, tapi ia tahan-tahan karena kalau tertawa keras mungkin suara wanitanya akan ketahuan orang. Ia memandang pemuda itu dengan gembira. Wajah pemuda itu sama sekali tak dapat disebut tua, karena kulit mukanya lemas dan putih bersih, sepasang matanya bersinar bagaikan bintang pagi dijaga oleh sepasang alis yang hitam memanjang dan berbentuk golok. Sungguh wajah yang tampan dan tubuhnya sedang, agak tinggi.
79
“Bukan maksudku mengatakan bahwa kau sudah tua sekali kawan, tapi bahwa kau lebih tua daripada aku adalah satu hal nyata yang tak dapat dibantah!” kata Lian Hwa.
“Betulkah? Ah, belum tentu! Berapa usiamu, saudara? Aku baru duapuluh tahun.”
“Dan aku baru enambelas!” jawab Lian Hwa cepat-cepat.
“Kalau begitu memang betul aku lebih tua. Hai! Apa-apaan ini kita belum juga saling kenal tapi sudah saling mengetahui umur masing-masing! Eh, saudara muda, apakah kau merasa juga apa yang kurasakan?”
Lian Hwa menjadi gugup, dan dengan wajah merah ia menggeleng kepala.
“Aku merasa seakan-akan kita sudah saling kenal lama sekali. Seakan-akan kau ini bukan wajah baru, tapi kawanku yang baik. Apa kau tidak merasa begitu?”
Kali ini Lian Hwa mengangguk.
“Nah, kalau begitu, perkenalkan saudara muda, ini sahabat lamamu bernama Lo Cin Han dari Kwan-tung. Dan kau bernama siapa kawan?”
Lian Hwa merasa lucu sekali dengan perkenalan yang ganjil ini, tapi dalam memperkenalkan diri ia berkata gugup,
“Aku bernama Han….. Lian dari…… Kie-ciu, Ciat-kang!”
“Kalau begitu, aku akan menyebutmu adik Lian dan kau boleh panggil aku....”
“Twako (kakak tertua).”
“Mengapa twako?”
“Habis, aku tidak mempunyai kakak maupun saudara lain, jadi baiklah kau kuanggap kakakku yang tertua.”
“Eh, eh, kalau begitu kita menjadi saudara?” tanya Cin Han.
“Terserah…… kalau…… kau mau!”
“Baiklah adik Lian. Aku suka kejujuranmu.”
Sementara itu hidangan datang dan mereka makan bersama dengan gembira. Ternyata mereka merasa saling cocok dan dalam pertemuan pertama ini timbul satu rasa simpati besar di antara mereka.
“Adik Lian, bolehkah aku bertanya, ke mana adik hendak pergi? Apakah hendak ikut ujian?”
80
Lian Hwa menggelengkan kepala. “Aku yang begini bodoh mana mungkin melakukan sesuatu ujian? Bisaku hanya menulis beberapa coretan huruf saja, itupun masih banyak kelirunya. Dan engkau sendiri, twako, tentunya sudah pernah lulus ujian bukan?”
“Lulus ujian sih belum, tapi aku pernah belajar ilmu surat bertahun-tahun. Hanya memang kepalaku yang kurang isi, masa sampai kini masih bodoh juga. Apakah kau hendak pulang ke Kie-ciu?”
Lian Hwa mengangguk.
“Kalau begitu kebetulan sekali, akupun hendak ke sana. Kita bisa pergi bersama-sama,” kata Cin Han girang sekali.
“Tidak……” hampir saja Lian Hwa berkata “tidak mungkin” tapi masih ditahannya.
“Tidak…… apa, adik Lian?”
“Maksudku…… tidak baik kalau mengganggumu, twako. Jalan bersama mungkin kau akan terganggu olehku.”
“Mengganggu? Apanya yang terganggu? Kau aneh sekali. Tidak, aku bahkan akan merasa gembira selalu karena dekat seorang kawan yang cocok.”
Mendengar pernyataan ini mau tak mau wajah Lian Hwa memerah.
Pada saat itu masuklah beberapa orang muda ke dalam restoran itu. Mereka berpakaian indah dan mewah. Seorang yang berjalan di depan rupa-rupanya menjadi kepalanya, karena sikapnya sombong sekali. Mereka adalah empat orang muda pengawal di kota itu. Di pinggang masing-masing tergantung golok dan di dada terpancang tanda pangkat.
Seorang pelayan segera menyambut mereka dan membahasakan mereka “siauw-ya” (tuan muda). Mereka lalu memesan masakan-masakan istimewa dan mahal, lalu mengobrol ke barat ke timur. Suara mereka makin riuh dan keras ketika menceritakan tentang pengalaman-pengalaman mereka menangkap penjahat dan menyiksa pesakitan. Seakan-akan mereka adalah jagoan-jagoan besar.
Lo Cin Han mengeluarkan suara ejekan di hidung. “Gentong nasi sombong. Lagaknya seperti thai-ciangkun (panglima besar) saja.”
“Kau kenapa, twako?” tanya Lian Hwa.
Cin Han tersenyum, “Aku paling tidak suka melihat orang membawa-bawa golok atau senjata tajam lainnya. Lebih-lebih kalau yang membawanya berlagak sombong seperti mereka ini.”
“Mengapa tidak suka, twako? Apakah kau takut golok?”
“Takut sih tidak. Aku tak pernah mengganggu orang, kenapa mesti takut golok? Hanya aku tidak suka saja, pendeknya yang bersifat kasar-kasar seperti golongan kaum persilatan itu aku sama sekali tidak
81
suka. Apa lagi kalau mereka menamakan diri sebagai anggauta golongan liok-lim atau kang-ouw. Ah, mereka itu rata-rata kasar kejam dan biasanya hanya mencari permusuhan belaka. Aku benar-benar tidak suka.”
Lian Hwa heran melihat pemuda itu tampak merah mukanya dan seakan-akan sangat benci. Maka iapun menjawab perlahan, “Aku sendiripun tidak suka akan kekerasan, twako.”
“Nah, apa kataku? Kita kaum sasterawan tak perlu dekat-dekat dengan para ahli pembunuh seperti itu. Lebih baik bicara tentang sastera daripada tentang silat. Bukankah kau juga berpikir begitu, adik Lian?”
Gadis itu terpaksa mengangguk. Ia heran mengapa ia menurut dan setuju saja kata-kata pemuda itu. Padahal, bicara sejujurnya, ia jauh lebih suka ilmu silat daripada ilmu surat, biarpun ia suka sekali akan syair-syair. Pemuda ini seorang mahasiswa yang bertubuh lemah dan menganggapnya termasuk golongannya, maka dia setuju agar tak mengecewakannya.
“Twako, kau begitu benci kepada ahli silat, barangkali…… kalau seandainya akupun seorang ahli silat, tentu kau takkan suka kenal padaku, bukan?” tanya Lian Hwa dengan hati kecewa.
Cin Han memandang dengan tajam lalu menjawab tersenyum, “Sebaliknya, adik Lian, bukankah kaupun takkan mau dekat aku jika seandainya aku seperti orang-orang dengan golok di pinggang itu?”
Terpaksa Lian Hwa tak dapat berbuat lain daripada mengangguk.
“Adikku, kita jangan membicarakan hal ini lagi, kita toh bukan golongan orang-orang kasar.”
Pada saat itu kepala pengawal-pengawal itu yang berbaju merah dan sejak tadi memandang Cin Han dengan tajam, tiba-tiba berdiri dan menghampiri pemuda itu. Tindakannya terhuyung-huyung, mukanya merah tanda bahwa ia setengah mabok. Dengan menyeringai ia berkata, “Orang muda, kenapa kau sejak tadi menengok-nengok memandang ke arah kami saja?”
Cin Han memandangnya dengan tajam lalu berkata tenang, “Apakah ada larangan atau aturan yang melarang orang di sini menggunakan matanya?”
Kepala pengawal itu tertawa bekakakan lalu menggunakan tangannya menepuk meja, hingga arak dalam mangkok Lian Hwa muncrat membasahi pakaian gadis itu.
“Larangan? Ada sobat, dan akulah yang melarang kau menggunakan matamu melihat kami!”
“Eh, eh, tuan. Jangan kau tidak mengenal aturan! Apa kaukira aku takut kaugertak? Biarpun kau pegawal negeri, tapi aku tidak berbuat sesuatu yang salah.”
“Ha, ha! Belum apa-apa sudah begini ketakutan, kau tikus kecil! Hati-hatilah dengan mata dan mulutmu, nanti kutampar mulut dan matamu. Lihat, dengan kertas dan alat tulismu kau akan dapat berbuat apa!”
82
Lian Hwa sangat marah, tapi ia masih menahan sabar. Ia kagum melihat Cin Han walaupun orang lemah tapi bernyali besar.
“Tentu saja aku tak dapat melawan kau orang kasar,” balas Cin Han dengan masih tenang. “Tapi ingat, aku pandai menulis dan aku dapat mengarang dengan baik surat pengaduan tentang perbuatanmu itu kepada pembesar lebih tinggi.”
Orang itu nampak ragu-ragu, tapi kemudian berkata, “Baik, baik coba kita lihat saja. Nah, rasakan tamparanku!” tapi sebelum ia mengayun tangannya, tiba-tiba tiga orang kawannya berdiri dan memberi hormat kepada seorang berpakaian mewah, orang setengah tua yang masuk restoran itu diikuti oleh beberapa orang pengiring.
“Toa-loya datang!” terdengar kata-kata mereka.
Kepala pengawal yang hendak menampar muka Cin Han itu tiba-tiba membalikkan tubuh dan menyambut orang itu dengan muka berseri-seri sikap menjilat, mempersilakan orang itu mengambil tempat.
Kesempatan digunakan oleh Lian Hwa untuk menarik tangan kawannya meninggalkan tempat itu setelah membayar uang makanan. Ia tidak suka memperlihatkan kepandaiannya membela kawan itu, karena kuatir Cin Han akan mengetahui bahwa iapun tergolong “orang kasar” sehingga kemudian tidak sudi bergaul pula dengannya,
Cin Han mengomel panjang pendek dan memaki orang-orang kasar itu, tapi Lian Hwa menghiburnya. Karena merasa suka kepada kawan baru ini, Cin Han lalu mengambil keputusan untuk pindah ke hotel dimana Lian Hwa bermalam. Tapi dengan alasan bahwa ia tidak biasa tidur berdua, terpaksa Cin Han mengambil lain kamar yang berdekatan dengan Lian Hwa. Setengah malam mereka berdua mengobrol dengan gembira, bahkan Cin Han dalam kegembiraannya memamerkan kepandaiannya menulis dan bersyair yang membuat Lian Hwa sangat kagum.
Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka berangkat menuju ke Kie-ciu, dan atas usul Cin Han yang memiliki seekor kuda, Lian Hwa membeli pula seekor kuda bulu putih, lalu mereka berangkat dengan menunggang kuda.
Sehari mereka berkuda, hanya berhenti sebentar di waktu tengah hari untuk makan roti kering yang mereka bawa. Pada waktu hari telah hampir gelap, mereka masih berada di dalam sebuah hutan.
“Kampung Liok-wan-chun berada di depan kira-kira sepuluh lie lagi, marilah kita percepat kuda kita,” kata Cin Han.
Tapi tiba-tiba udara yang sejak tadi telah gelap dengan mendung kini makin gelap lagi dan angin meniup keras disusul oleh turunnya air hujan. Mereka bingung sekali, tapi tiba-tiba Lian Hwa melihat sebuah kelenteng tua di pinggir jalan yang mereka lalui.
“Twako, mari kita meneduh di sana,” katanya.
“Lebih baik kita jalan terus, adik Lian, sebentar lagi sampai.”
83
“Tidak twako. Kalau kehujanan, aku takut masuk angin!”
Padahal ia kuatir kalau-kalau kawannya itu yang jatuh sakit karena ia tahu bahwa seorang pelajar yang tak kenal ilmu silat tentu bertubuh lemah. Berbareng ia itu merasa heran lagi melihat diri sendiri. Mengapa ia begitu memperhatikan Cin Han?
“Baiklah kalau begitu,” kata Cin Han.
Mereka segera melarikan kuda mereka ke arah kelenteng tua itu. Pintu kelenteng tertutup dan mereka mengetuknya perlahan. Ketika pintu terbuka, ternyata yang menyambut mereka adalah seorang nikouw (pendeta perempuan) yang memelihara rambut dan berbaju putih bersih. Nikouw itu masih muda, takkan lebih dari duapuluh tahun usianya dan wajahnya sangat manis. Ia sangat ramah sekali menyambut tamunya.
Cin Han mengangkat tangan dan menjura memberi hormat, “Maafkan, jika kami mengganggu. Karena kehujanan di jalan, maka perkenankanlah kiranya kami meneduh sebentar.”
“Oh, silakan masuk, jiwi siangkong,” suara nikouw itu sangat merdu dengan irama dibuat-buat.
Lian Hwa merasa aneh dan bercuriga melihat lagak nikouw itu.
Setelah masuk sebentar, nikouw itu datang kembali dengan seorang nikouw lain yang umurnya kira-kira duapuluh dua tahun dan juga mempunyai wajah cantik menarik. Dengan lagak yang tak pantas dilakukan oleh orang-orang suci, kedua nikouw itu berkali-kali menjual senyum dan kerlingan mata sambil menuangkan arak hangat kepada kedua tamu mereka.
Cin Han merasa likat-likat dan malu-malu melihat sikap mereka. Untuk menghilangkan suasana tak enak itu ia bertanya tentang keadaan kelenteng itu. Nikouw yang tertua berkata dengan suara manis,
“Kelenteng ini adalah kelenteng Liok-ling-thong dan telah lama tidak terurus. Kami berdua kakak beradik Bwee Hiang dan Bwe Nio baru tiga bulan mendiami kelenteng ini,” menerangkan Bwee Hiang.
“Jiwi siangkong hendaknya bermalam di sini saja karena hari sudah malam dan gelap, serta hujan juga masih belum reda,” kata Bwee Nio sambil mengerling ke arah Lian Hwa.
“Kami tidak berani mengganggu jiwi,” kata Cin Han.
“Tidak mengganggu, sama sekali tidak,” sahut Bwee Hiang sambil sekali lagi menuang penuh arak hangat ke dalam cangkir pemuda itu dan Bwee Nio juga menurut contoh encinya menuangkan arak ke dalam cawan Lian Hwa yang telah kosong.
“Siapa yang mengganggu?” Bwee Nio menyambung kata-kata encinya sambil tertawa cekikikan dengan genit sekali. “Kami ada dua kamar, kamar enciku dan kamarku, siangkong boleh tidur di kamar enciku dan siauw-siangkong ini tidur di kamarku,” berkata demikian ini sambil memegang pundak Lian Hwa.
84
Lian Hwa hampir saja berdiri memakinya, tapi Cin Han keburu berkedip mata.
Cin Han tertawa, “Habis, jiwi hendak tidur di mana?”
Bwee Hiang tertawa genit. “Tempat tidur kami lebar, masih ada tempat bagi kami berdua.”
“Di mana?” tanya Lian Hwa yang merasa tak enak juga mengganggu tempat orang.
“Di pembaringan itu juga. Apa salahnya kami menemani jiwi?”
Tidak tahan pula hati Lian Hwa. Ia berdiri dengan marah dan hendak memaki, tapi tiba-tiba ia merasa kepalanya pening sekali, semua barang yang terdapat di situ berputar-putar di depan matanya dan iapun melihat dengan samar-samar Cin Han berdiri dan roboh. Kemudian ia roboh pula tak ingat orang.
Ketika Lian Hwa sadar dari pingsannya dan membuka mata, ia mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah kamar yang berbau harum. Kamar itu mewah sekali, jauh berbeda dengan keadaan di luar kelenteng yang kotor. Ia sedang rebah di atas sebuah pembaringan yang empuk dengan kain, sprei warna merah muda. Bantalnya berkembang.
Bwee Nio duduk pula di ranjang itu sambil tersenyum-senyum manis.
Lian Hwa merasa marah sekali dan memaki, “Perempuan rendah!” lalu hendak bangun berdiri tapi ternyata kedua kaki dan tangannya telah diikat dengan kuatnya. Pengikatnya terbuat daripada semacam kain yang lemas dan dapat mulur hingga percuma saja ia gerakkan kaki tangannya biarpun ia telah mengeluarkan tenaga dalamnya. Ia betul-betul tak berdaya.
“Siangkong jangan mencoba berontak. Saya tahu siangkong pandai silat karena dalam buntalan siangkong terdapat sebatang pedang pusaka! Kalau kawanmu itu betul-betul anak sekolah yang lemah, maka saya beruntung sekali mendapat siangkong. Saya sangat mencinta seorang laki-laki yang selain tampan juga gagah perkasa. Maka janganlah membuang waktu selagi masih muda.” Ia mendekatkan mukanya yang berbau harum ke arah muka Lian Hwa dan tertawa genit.
Lian Hwa mengerahkan tenaganya kembali untuk memberontak, tapi sia-sia saja, kain pengikat itu terlampau ulet dan kuat, maka ia menjadi putus asa dan menahan napas karena marah dan jengkel. Hampir saja ia menangis. Ia hanya memejamkan mata.
Tiba-tiba nikouw cabul itu menoleh ke arah jendela di mana berkelebat bayangan orang. Nikouw itu meniup padam pelita di dalam kamar, menyambar pedang Lian Hwa yang digantungkan di dinding, lalu meloncat keluar.
Lian Hwa membuka matanya tapi keadaan dalam kamar itu gelap gulita hingga ia tak dapat melihat apa-apa, kecuali jendela yang terbuka dan suram-suram cahaya bulan memasuki kamarnya. Ia mendengar suara orang berkelahi di atas genteng.
Telinganya yang terlatih dapat menangkap suara kaki dua orang yang sedang bertempur di atas genteng itu, dan diam-diam ia memuji mereka itu yang mempunyai kepandaian meringankan tubuh
85
yang tinggi, karena sungguhpun mereka sedang berkelahi, namun tindakan kaki mereka itu ringan sekali hingga kalau ia tidak memasang telinga baik-baik tentu ia takkan mendengar sesuatu.
Tak lama kemudian dari atas genteng terdengar suara wanita menjerit, lalu keadaan menjadi sunyi. Tiba-tiba sosok bayangan secepat kilat meloncat memasuki jendela kamarnya.
Lian Hwa tak berdaya hanya dapat menyerahkan nasib kepada Tuhan. Terasa olehnya bagaimana sepasang tangan meraba-raba kakinya hingga ia merasa geli sekali. Sekejab kemudian tali pengikat kakinya putus dan demikianpun tali pengikat tangannya. Sebelum ia bisa berbuat sesuatu, bayangan yang menolongnya itu melompat secepat burung terbang keluar jendela.
Ketika ia memperhatikan, ternyata pedangnya telah berada di atas meja di kamar itu kembali. Ia menjadi girang berbareng gemas kepada dua nikouw cabul itu, dan timbul pula kekuatirannya akan keselamatan Cin Han. Ia memungut pedangnya lalu meloncat keluar dari jendela. Tak lama ia menemukan kamar di mana Cin Han dikeram. Ia menghampiri jendela dan membacoknya, membuka dengan pedangnya.
Ia melihat Cin Han telah duduk di pembaringan sambil memegangi kepalanya. Agaknya pemuda itu masih pening, nampak pula bekas-bekas tali ikatan terlepas di pembaringan itu.
Cin Han mendengar dan melihat ia masuk, tapi ketika melihatnya dengan terang barulah pemuda itu tersenyum.
“Eh, hiante (adik), dari mana kau peroleh pedang itu?” tanyanya heran dan kuatir melihat Lian Hwa memegang pedang.
“Mana perempuan cabul itu?” tanya Lian Hwa marah. “Akan kupenggal lehernya!”
Kemudian ia ingat bahwa ia hendak menyembunyikan kepandaian silatnya dari mata pemuda itu, maka segera disambungnya cepat-cepat, “Lo twako, sungguh celaka, kita telah tertipu oleh dua nikouw cabul tadi. Aku bangun-bangun sudah terikat. Baiknya ada orang yang menolongku. Kulihat pedang ini di atas meja, maka segera kuambil untuk mencari perempuan tadi. Hem, biarpun aku tak pandai menggunakan pedang, tapi kalau bertemu padanya pasti akan kubacok putus batang lehernya!”
Cin Han menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aya, sungguh lihai sekali penolong itu. Akupun telah ditolongnya, tapi ia segera pergi kembali.”
“Siapakah orang itu, twako bagaimana roman mukanya?”
“Aku tidak tahu jelas, adik Lian, ia berlaku sangat cepat.” Kemudian Cin Han bangun berdiri. “Eh, eh, kau berani juga memegang pedang setajam itu!”
Lian Hwa agak bingung dan gugup. “Kalau terpaksa, apa boleh buat, twako. Kita kan laki-laki, bagaimana juga, malu kalau harus menyerah begitu saja kepada kedua perempuan cabul itu. Mari kita cari mereka!”
86
Mereka berdua keluar mencari-cari dan alangkah kaget mereka, ketika melihat dua orang nikouw itu telah mati dipukul orang. Bwee Hiang mati di luar kamar Cin Han dan Bwee Nio jatuh dari atas genteng karena kepalanya pecah.
Lian Hwa pura-pura ketakutan. “Aya, ada pembunuhan di sini, twako. Mari kita lari meninggalkan tempat terkutuk ini.”
Cin Han menyatakan setuju dan mereka segera berangkat menunggang kuda meninggalkan tempat itu. Ketika melihat Lian Hwa memasukkan pedang Sian-liong-kiam di dalam buntalan, Cin Han bertanya, “Untuk apa pedang itu kausimpan?”
“Twako, kita telah ditolong orang. Mungkin pedang ini pedangnya, atau mungkin juga pedang nikouw itu. Tapi kulihat pedang ini bukan pedang sembarangan. Maka akan kubawa, karena aku mempunyai seorang kenalan yang suka mengumpulkan pedang-pedang baik. Pedang ini hendak kuberikan padanya.”
Mereka berjalan di malam gelap, tapi baiknya Cin Han telah beberapa kali melalui tempat itu hingga ia kenal jalan. Di sepanjang jalan mereka saling menceritakan pengalamannya.
“Twako, apakah kau tadi…… diganggu oleh Bwee Hiang perempuan celaka itu?” Pertanyaan ini diucapkan tanpa berani memandang wajah pemuda itu.
“Hm, tidak, mana aku sudi diganggu olehnya? Selagi aku tak berdaya, baiknya penolongku datang dan mengejar perempuan itu keluar kamar. Kemudian ia kembali lagi untuk melepaskan ikatanku.”
Mereka bermalam di Liok-wan-chun, sebuah kampung kecil tak jauh dari situ dan keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan ke kampung Ban-hok-chun.
Ketika tiba di kampung Ban-hok-chun, Lian Hwa merasakan dadanya berdebar-debar dan sangat terharu. Mengingat bahwa dahulu ia dilahirkan di kampung ini dan bahwa orang tuanya tewas di dalam kampung ini juga, tak tertahan pula Lian Hwa merasakan matanya pedas dan mengalirkan air mata.
“Kau kenapa, adik Lian?” tanya Cin Han.
Lian Hwa segera kucek-kucek kedua matanya dan menjawab, “Tidak apa-apa, twako, rupanya ada debu masuk ke mataku hingga terasa pedih dan mengeluarkan air mata.”
Lian Hwa mencari sebuah rumah penginapan, tapi Cin Han tidak bermalam di situ. Ia berkata, “Adik Lian, sampai di sini kita terpaksa harus berpisah. Aku ada urusan penting dan besok pagi harus sudah berada di kota Tiong-bie-kwan.”
Lian Hwa merasa kecewa. “Twako, apakah tidak bisa besok saja kau berangkat dan malam ini bermalam di sini?” ia memohon.
Cin Han menggelengkan kepalanya. “Tidak mungkin hiante, karena kalau aku berangkat besok, tidak mungkin aku bisa sampai di sana dalam sehari, sedangkan besok malam aku harus sudah berada di
87
sana menghadiri pesta. Pula, sekarang masih siang dan aku bisa melanjutkan perjalanan sedikitnya empatpuluh lie. Nah, sampai berjumpa kembali, adik Lian yang baik. Aku yakin kita akan dapat bertemu kembali!”
Lian Hwa memandangnya sejenak dan menghela napas sambil berkata, “Selamat berpisah dan selamat jalan, twako. Mudah-mudahan kita akan segera berjumpa lagi.”
Cin Han menjura dan ketika Lian Hwa balas menjura Cin Han memegang lengan tangan sahabat itu erat-erat. “Sampai berjumpa!” katanya lalu naik kudanya yang terus dilarikan kencang diikuti oleh pandangan mata Lian Hwa.
?Y?
Kemudian gadis itu masuk ke dalam rumah penginapan, mendapat kamar dan duduk di dalam kamar termenung. Ia heran mengapa kini seakan-akan merasa kehilangan sesuatu setelah Cin Han pergi. Ia suka sekali kepada pemuda yang sopan santun dan halus gerak-geriknya itu. Alangkah bedanya dengan kebanyakan pemuda, terutama laki-laki yang bisa silat. Ia merasa malu sendiri mengingat kelemahan hatinya. Mengapa ia suka sekali kepada seorang pemuda yang baru saja dikenalnya.
“Ah, kalau aku tadi ikut dengan dia, alangkah senangnya,” demikian ia berpikir. Tiba-tiba ia terkejut dan marah kepada diri sendiri. Ikut Cin Han? Ah, sudah gilakah ia? Sedangkan di depan matanya menanti sebuah kewajiban besar yang harus dilaksanakan, mengapa ia memikirkan untuk ikut seorang pemuda? Memalukan benar! Tiba-tiba semangatnya bangkit kembali dan ia meninggalkan hotel itu untuk memulai penyelidikannya.
Karena kampung itu hanya sebuah kampung kecil saja, maka siapakah yang tidak kenal rumah keluarga Bong-wangwe (Hartawan Bong)? Bong Him Kian yang dulu disebut Bong Toaya atau Bong Wan-gwe. Ia telah kawin dengan seorang gadis keturunan bangsawan dan mempunyai dua orang putera yang kini telah berusia belasan tahun. Pengaruhnya makin besar saja dan kekayaannya makin menumpuk pula. Bahkan kini jagoan-jagoan yang menjadi kaki tangannya kabarnya banyak yang lihai.
Hwat Khong Hwesio, suheng Lian Hwa sengaja tidak mau memberi tahu sumoinya tentang nama-nama jagoan kaki tangan Bong-kongcu yang dulu membunuh ayahnya karena hwesio tua itu berpikiran luas. Ia tidak menghendaki bahwa kelak Lian Hwa menanam bibit permusuhan dengan para jagoan di kalangan kang-ouw maupun liok-lim, karena menurut pendapatnya, yang bersalah paling besar adalah Bong Him Kian seorang. Para kaki tangannya hanyalah menjalankan perintahnya, maka sudah sepatutnya kalau si orang she Bong itu saja yang dibinasakan untuk membalas sakit hati.
Walaupun Lian Hwa tidak mendapat keterangan dari suhengnya tentang nama-nama para jagoan yang membunuh ayahnya karena suhengnya mengatakan tidak tahu nama-namanya, namun dalam hatinya ia telah mengambil keputusan untuk membasmi semua kaki tangan musuhnya.
Maka setelah di dalam penyelidikannya selama dua hari itu ia mendengar bahwa Bong Wan-gwe mempunyai lima orang pengawal jempolan, hatinya makin menjadi panas. Hm, kalau aku belum bisa membasmi bajingan she Bong sekeluarga dan semua begundalnya itu, aku tidak mau sudah, pikirnya.
88
Setelah mencari-cari dan bertanya-tanya, ia dapat juga menemukan kuburan kedua orang tuanya. Kedua kuburan itu sangat sederhana dan tidak terawat, maka ketika Lian Hwa datang ke situ pada saat kuburan itu kosong tiada seorangpun pengunjung, ia menangis sedih sambil memeluki kedua gundukan tanah itu dan bersumpah akan membawa kepala orang she Bong itu untuk bersembahyang di depan kuburan orang tuanya.
Kalau menurut dorongan hatinya, ingin sekali Lian Hwa pada siang itu juga pergi mendatangi rumah keluarga Bong. Tapi ia ingat akan pesan suhengnya dan pula ia tidak suka menimbulkan kekacauan di dalam kampung itu dan menakutkan semua penduduk.
Pada malam hari itu menjelang tengah malam, ketika semua penghuni gedung Bong Wan-gwe telah pulas, Lian Hwa berloncat-loncatan di atas genteng gedung itu. Seorang bujang tiba-tiba keluar dari sebuah kamar membawa baki terisi poci teh.
Bagaikan burung layang-layang Lian Hwa turun menyambar dan sebelum bujang itu dapat berteriak, Lian Hwa telah menempelkan ujung pedangnya di leher orang.
“Jangan ribut kalau tak mau pedangku ini membuat kepalamu terpisah dari tubuh. Hayo bilang, di mana kamar Bong Wan-gwe? Awas jangan bohong!”
Dengan gemetar dan ketakutan setengah mati orang itu berdiri menggigil. Baki yang dipegangnya terlepas dari tangan, tapi dengan cepat dan tangkas Lian Hwa menyambarnya hingga baki dan pocinya tidak jatuh membuat ribut.
Bujang itu lalu membuka mulut, tapi tidak ada suara dari mulutnya, tenggorokannya seakan-akan. terkancing karena takutnya. Maka dengan jari telunjuknya menuding ke arah sebuah kamar besar.
“Di situ kamar Bong Wang-we?” tanya Lian Hwa.
Orang itu hanya mengangguk berkali-kali. Lian Hwa lalu mengulurkan, jari tangannya dan menotok jalan darah orang itu yang segera roboh tak berdaya dan tak bersuara. Untuk beberapa lama ia akan tinggal lumpuh dan gagu.
Dengan gerakan ringan Lian Hwa meloncat ke arah jendela kamar yang dimaksudkan dan mengintai dari celah-celah pintu jendela. Di dalam kamar itu Bong Wan-gwe ternyata belum tidur. Ia tengah mengeluarkan beberapa buku catatan dan mulai menggunakan mouw-pitnya (pensil bulu) menulis dan mencatat-catat, orang tua yang berusia kurang lebih empatpuluh tahun dan yang wajahnya tepat seperti apa yang digambarkan oleh suhengnya dulu.
Lian Hwa merasa dadanya seakan-akan hendak pecah dan panas seperti terbakar. Dengan sekali dorong, jendela itu terbuka dan daunnya roboh karena dipecahkan tenaga dorongan Lian Hwa.
Bong Wan-gwe terperanjat mendengar suara ribut itu dan ketika ia berpaling memandang jendela kamarnya, alangkah kaget dan takutnya melihat seorang wanita muda cantik jelita meloncat masuk sambil membawa sebatang pedang yang berkilauan karena tajamnya.
89
Bong Wan-gwe hendak berteriak, tapi dengan sekali loncatan Lian Hwa melompati meja yang menghadang di antara mereka.
“Apakah kau Bong Him Kian?” tanyanya ketus.
Bong Wan-gwe mengangguk, “Ya, akulah orang she Bong itu.” Hatinya agak tenang melihat bahwa tamu malamnya itu hanya seorang gadis tanggung. Ia tidak jadi berteriak, bahkan dengan cepatnya menyambar sebatang pedang yang tergantung di dinding.
“Kau berani sekali masuk ke sini mau apa?” bentaknya.
Mata Lian Hwa yang jernih itu tiba-tiba bersinar penuh kemarahan.
“Ingatkah kau kepada Han Bun Lim dan nyonyanya yang kau bunuh sepuluh tahun yang Ialu?”
“Han…… Han Bun Lim……?” jawab Bong Wan-gwe gugup.
“Ya, dan masih ingatkah kau kepada anak yang masih kecil dan hendak kau bunuh pula itu? Akulah anak itu, anjing keparat. Dan sekarang hadapilah kematianmu untuk menebus dosamu yang bertumpuk-tumpuk!”
Dengan kata-kata ini ia meloncat maju menusuk. Bong Him Kian yang telah belajar silat lama juga segera berkelit hingga pedang Lian Hwa menusuk tempat kosong. Tapi gadis yang sedang marah hebat itu memutar pergelangan lengannya hingga pedangnya kini terus membabat ke arah pinggang lawan.
Bong Him Kian menjadi gugup dan silau karena gerakan Lian Hwa yang cepat itu dan sinar Sian-liong-kiam yang berkilau-kilauan. Tapi ia percaya kepada pedangnya yang terkenal tajam, maka ia membacok ke arah pedang gadis itu untuk memotong atau setidak-tidaknya terpental karena ia memang bertenaga besar.
Tapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa seakan-akan membacok air saja ketika pedang mereka beradu dan ketika ia lihat, ternyata pedangnya hanya tinggal sepotong. Bukan pedang lawan tapi pedangnya sendiri yang terpotong oleh pedang musuhnya. Mau tak mau Bong Wan-gwe menjadi keder ketakutan, maka segera ia berteriak, ”Tolong! Pembunuh, tolong!!”
“Pengecut!” teriak Lian Hwa sambil menusukkan Sian-liong-kiam ke arah ulu hati musuh besarnya. Cep! Ujung pedangnya menembus dada orang dan sebelum tubuh Bong Him Kian roboh setelah pedang dicabut, Lian Hwa telah mengayun pedangnya pula hingga kepala musuh yang dibencinya itu terpental dari leher. Sebelum kepala jatuh ke tanah, tangan kiri Lian Hwa telah terulur menjambak rambut kepala itu.
Kemudian ia mengambil mauw-pit musuhnya yang berada di atas meja, mencelupkan ke dalam darah musuhnya yang memenuhi lantai dan masih mengucur dari dada dan leher, lalu menulis di atas tembok yang putih.
90
Pada saat itu terdengar bunyi ribut-ribut di luar kamar, karena teriakan Bong Wan-gwe tadi telah menarik perhatian para jagoannya yang tidur di kamar belakang. Mereka berlima membawa senjata masing-masing menyerbu ke situ.
Alangkah kaget mereka ketika melihat bahwa majikan mereka telah menggeletak di lantai dengan tak berkepala pula, sedangkan di dekat tembok berdiri seorang wanita muda dengan pedang di tangan kiri dan kepala majikan mereka digantung pada rambut dengan tangan kiri pula, sedangkan tangan kanan asyik menulis di atas tembok dengan tulisan darah!
Beramai-ramai mereka menerjang masuk, tapi karena kamar itu sempit penuh barang-barang, yang maju lebih dulu adalah Cun Tin si muka iblis yang bersenjatakan ruyung besi. Si muka iblis menggunakan ruyungnya yang berat menghantam kepala Lian Hwa yang sedang berdiri membelakanginya dan asyik menulis, seakan-akan tidak tahu bahwa di luar telah berdiri jagoan-jagoan Bong Wan-gwe dan bahkan seorang di antara mereka kini tengah mencoba untuk memukul pecah kepalanya!
Tapi Lian Hwa bukanlah murid si Manusia Aneh Ong Lun jika ia dapat dipecahkan kepalanya dengan begitu saja! Tanpa menengok sedikitpun dan dengan tangan kanan masih menulis terus, ketika senjata ruyung itu menyambar ke arah kepalanya, ia hanya menggeser sedikit kakinya dan tangan kirinya yang memegang pedang dan kepala berlumuran darah itu bergerak ke belakang.
“Trang!” Ruyung itu tersampok pedang dan si muka iblis memandang dengan mulut ternganga karena ruyungnya telah putus ujungnya. Sebelum ia dapat kembalikan semangatnya yang seakan-akan terbang karena kagetnya, Lian Hwa yang sementara itu telah selesai menulis segera membalikkan tubuh dan pedangnya telah pindah ke tangan kanan.
Cun Tin hendak lari keluar, tapi sinar pedang mengejarnya dan sebelum ia sampai ke pintu kamar, punggungnya telah tertusuk pedang. Ia mengeluarkan jeritan ngeri lalu roboh berkelojotan.
Lian Hwa memutar pedangnya dan meloncat keluar kamar. Ketika ia menurunkan kakinya di pekarangan luar, ia berdiri menanti musuh-musuhnya yang datang berlari-larian mengeroyok.
Hati dan perasaan Lian Hwa pada saat itu diliputi rasa marah dan terharu. Marah karena ingat bahwa jagoan-jagoan ini dulu telah membunuh ayahnya, dan terharu karena akhirnya ia berhasil juga membalaskan sakit hati orang tuanya dan kepala musuh besarnya kini telah berada di tangannya. Segera ia memainkan Sian-liong-kiam-hoat (Silat Pedang Naga Dewa ) yang hebat dan dalam beberapa jurus saja keempat lawannya semua telah roboh di atas tanah terbenam dalam darah mereka sendiri.
Pada saat itu Lian Hwa seakan-akan kemasukan iblis. Hatinya penuh dendam dan hawa nafsu, dengan mata beringas ia menengok ke kanan kiri mencari-cari. Maksudnya hendak membunuh seluruh isi rumah itu.
Tiba-tiba pintu sebuah kamar terbuka dan seorang anak laki-laki kira-kira berusia sebelas tahun lari keluar, di belakangnya terdengar suara wanita memanggil ketakutan, “Lian Keng! Lian Keng! Kembalilah kau!”
91
Lian Hwa mengangkat pedangnya mengejar anak itu. Setelah dekat ia mengayunkan pedangnya. Tiba-tiba pedang itu ditahannya dan hatinya menjadi lemas, hawa marahnya buyar seakan-akan awan tertiup angin. Sayup-sayup sampai terdengar olehnya gema suara Cin Han yang berkata dengan suara halus ketika mereka masih bersama-sama beberapa hari yang lalu,
“Adik Lian, aku tidak suka kepada kebanyakan orang dari kaum persilatan, karena cara hidup mereka itu kejam sekali. Betapa banyak jiwa dikorbankan karena dendam dan sakit hati di antara golongan mereka. Tindakan yang gila dilakukan oleh mereka kalau sudah berdaya membalas sakit hati. Balas-membalas tiada habisnya. Bahkan di dalam kebiasaan mereka, wanita dan kanak-kanak juga dibinasakan hanya untuk mengumbar hawa marah dan perasaan dendam. Alangkah kejamnya. Aku tidak suka, tidak suka……”
Mengingat suara ini, lenyaplah kegusaran Lian Hwa. Ia telah membunuh orang yang paling berdosa, ialah Bong Him Kian dan telah membinasakan kelima kaki tangannya pula, maka boleh dikata sakit hati orang tuanya telah terbalas penuh. Apa gunanya membunuh semua keluarga Bong yang tidak tahu-menahu tentang sakit hati itu dan sama sekali tidak berdosa.
Dengan pikiran inilah maka Lian Hwa segera loncat memasuki kamar Bong Wan-gwe tadi, 1alu menggunakan sehelai kertas buku catatan Bong Him Kian untuk menghapus namanya di bawah syair yang ditulisnya tadi dan ditinggalkan sebuah huruf “Han” saja. Syair itu berbunyi demikian :
Ayah, ibu, seisi rumah terbunuh semua,
Hingga aku menderita, sebatang kara,
Sakit hati dikandung sebelas tahun lamanya,
Semua ini gara-gara Bong Him Kian si iblis durhaka,
Malam ini aku keturunan terakhir dan satu-satunya,
Membalas sakit hati orang tua,
Teratai bersih di dalam telaga,
Kini menjadi merah oleh darah musuh orang tuanya,
Aku puas dapat berbakti kepada orang tua,
Roh ayah ibu puas, terbalaslah sakit hati mereka,
Bong Him Kian puas, karena telah dapat menebus dosa!
“Han”
Lian Hwa lalu meloncat ke atas genteng membawa kepala musuhnya dan langsung menuju ke kuburan ayah ibunya. Ia meletakkan kepala itu di depan kuburan orang tuanya, lalu berlutut sambil menangis sedih.
“Ayah ibu, janganlah penasaran lagi. Kepala bangsat Bong Him Kian telah anak bawa ke sini. Lihatlah…… dan kelima kawannya juga telah anak bunuh mampus…… Jangan penasaran, ayah...... ibu…… anak tak sanggup membunuh seluruh keluarga……!”
Ia menangis tersedu-sedu dan sebagai jawaban kata-katanya dan ratapannya itu, terdengar suara daun-daun tertiup angin berkeresekan dan suara kutu malam berlagu sedih.
92
Sampai hampir pagi Lian Hwa berlutut di situ, kemudian ia meninggalkan kampung itu menunggang kudanya. Ia tidak berganti pakaian laki-laki karena ia pikir setelah kini tugasnya terpenuhi, maka tak perlu ia berlaku hati-hati.
Ia akan mengembara meluaskah pengalaman. Ia tidak mempunyai tujuan hendak pergi ke mana, karena iapun sudah tidak mempunyai handai taulan lagi, tak bersanak tak berkawan.
Kembali ia ingat kepada Cin Han, karena hanya pemuda itu seoranglah kawannya yang baik. Ia menghela napas dan membalapkan kudanya.
Pikirannya penuh dengan peristiwa yang terjadi malam tadi. Ia sengaja tidak mau berterang memberi tahukan namanya di dalam syair itu karena ia membenarkan pendapat Cin Han bahwa tiada gunanya balas membalas terus-terusan. Ia tidak berdosa kepada keluarga Bong Him Kian karena ia membunuhnya untuk membalas sakit hati orang tua.
Kini sakit hati itu himpas sudah dan tidak perlu ia memusuhi keluarga Bong itu. Namun bagaimana juga, ia masih memasukkan nama julukannya di dalam syair itu, ialah Teratai Merah.
Berhari-hari ia mengembara tak tentu arah tujuan. Kalau berhenti di sebuah kota yang dianggapnya indah, ia tinggal beberapa hari, lalu melanjutkan pula perjalanannya. Uangnya masih ada, karena suhengnya dulu memberi bekal cukup. Tapi soal uang ia tidak khawatir, karena kalau sampai kehabisan, ia dapat “pinjam” dari simpanan seorang hartawan. Ini sesuai dengan pesan suhengnya.
“Sumoi, kalau engkau sudah terpaksa sekali kehabisan bekal boleh kau ambil secukupnya dari simpanan seorang hartawan. Tapi awas jangan mengorbankan jiwa orang dalam hal itu. Pula, sebelumnya harus diselidiki lebih dulu keadaan hartawan itu. Kalau ia orang baik dan dermawan, jangan diganggu. Ingat ini, sumoi, untuk menjaga nama gurumu dan nama kita.”
?Y?
Pada suatu hari sampailah Lian Hwa di kota Ang-see-mui. Ia bermalam di hotel terbesar di kota itu. Dan di kota itulah secara sangat kebetulan ia mendapatkan nama Gan Keng Hiap dan alamatnya!
Pembaca barangkali belum lupa bahwa ketika Sian-kiam Koai-jin Ong Lun si Manusia Aneh Pedang Dewa akan menutup mata untuk selamanya, ia telah berpesan kepada murid tunggalnya untuk membalaskan penasarannya terhadap seorang bernama Gan Keng Hiap.
Selama ini Lian Hwa belum pernah melupakan pesan gurunya tapi karena ia tidak tahu ke mana harus mencari musuh gurunya itu, ia tidak berdaya. Pula, ketika itu ia sibuk mengurus dendam keluarganya sendiri.
Ketika ia diharuskan menuliskan nama di buku hotel, secara iseng-iseng ia membuka-buka halaman buku tamu itu dan dengan tak segaja matanya bertemu dengan nama seorang tamu yang membuat hatinya berdebar-debar. Nama itu ialah Gan Keng Hiap dengan alamat kota Tiong-bie-kwan!
93
Hatinya berdebar berbareng girang. Ia masih ingat bahwa Lo Cin Han juga pergi ke Tiong-bie-kwan ketika berpisah dengan dia. Mungkin mereka dapat saling berjumpa di kota itu, karena siapa tahu bahwa pemuda itu masih di sana?
Tanpa membuang waktu lagi, Lian Hwa segera mencari keterangan di mana letak kota Tiong-bie-kwan. Ternyata jarak antara Ang-see-mui dan Tiong-biekwan hanya dua hari perjalanan berkuda. Hari itu juga Lian Hwa berangkat menuju ke Tiong-bie-kwan sambil membalapkan kudanya.
Hari telah hampir gelap ketika pada keesokan harinya ia sampai di kota itu. Ternyata kota Tiong-bie-kwan cukup ramai, lebih besar dan ramai jika dibandingkan dengan Ang-see-mui.
Lian Hwa sebenarnya tidak mengetahui permusuhan apakah yang ada antara gurunya dan Gan Keng Hiap, karena di waktu hidupnya Ong Lun hanya pernah menyatakan bahwa hidupnya telah dibikin sakit dan penasaran oleh Gan Keng Hiap dan bahwa ia sendiri tak berdaya menuntut balas, maka kini minta muridnya mewakilinya untuk membalaskan sakit hati itu.
Di dalam hatinya Lian Hwa ada juga keragu-raguan karena ia kini menghadapi satu tindakan yang tidak diketahui ujung pangkalnya dan asal mulanya, padahal suhengnya berkali-kali berpesan bahwa sesuatu tindakan harus dilakukan dengan teliti dan tidak boleh sembrono. Maka, jika ia kini pergi mencari dan tanpa minta keterangan lalu membunuh orang she Gan itu, bukankah itupun merupakan suatu tindakan yang sembrono sekali? Ah, tidak bisa, bantah suara hatinya. Ini adalah tugas yang diberikan oleh suhu, sedangkan aku sebagai murid tunggalnya harus melaksanakannya untuk membalas budinya yang begitu besar!
Dari keterangan penduduk di kota itu dengan mudah ia bisa menemukan rumah Gan Keng Hiap. Rumah itu besar juga, tapi sudah kuno dan tidak terawat. Ketika Lian Hwa berjalan lewat di depan rumah itu pada sore hari itu, pintu rumahnya tertutup saja dan keadaan dari dalam rumah sepi tak terdengar sesuatu seakan-akan rumah itu tiada penghuninya.
Sebenarnya setelah berjumpa dengan Cin Han, semangat Lian Hwa dalam hal bunuh-membunuh sudah turun banyak bahkan hampir lenyap. Ia sudah menetapkan dalam hati tidak akan sembarangan mencari perselisihan dan sembarangan membunuh kalau tidak terpaksa sekali dan kalau tidak untuk kebaikan.
Ia kini insaf mengapa suhengnya bersumpah tidak membunuh lagi, satu keputusan yang dulu ia anggap sebagai tanda kelemahan hati. Maka kali ini Lian Hwa ingin bekerja cepat. Setelah bertemu, ia akan membunuh Gan Keng Hiap itu seperti pesan gurunya, kemudian ia akan pergi dari situ. Lain orang ia takkan mengganggunya.
Malam hari itu dengan pakaian ringkas warna hijau dan ikat pinggang kuning, bunga teratai emas menghias rambutnya dan pedang Sian-liong-kiam tergantung di pinggang, Lian Hwa meloncat ke atas genteng dan berlari-larian meloncati wuwungan rumah orang menuju ke rumah musuh gurunya.
Ketika ia sampai di atas rumah Gan Keng Hiap, ia melihat di sekeliling rumah itu sunyi, tapi dari sebuah kamar masih tampak menyorot keluar api pelita. Ia segera meloncat ke arah kamar itu dan menggeser genteng mengintip ke dalam.
94
Di dalam kamar itu ia melihat seorang tua berusia lebih kurang enampuluh tahun dengan jenggot panjang warna putih sedang duduk di kursi dan memegang alat tulis. Di depannya terbentang kertas putih lebar yang sedang ia tulis.
Ternyata ia sedang membuat lian (syair berpasangan) dengan tulisan yang sangat indahnya. Melihat tulisan itu Lian Hwa merasa sangat kagum. Wajah orang tua itu putih dan halus, pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang sasterawan tua dengan lengan baju yang lebar dan panjang. Di dekatnya terdapat sebatang tongkat bercagak yang disandarkan di pinggir meja.
Melihat tongkat itu Lian Hwa merasa terkejut dan sangsi pula untuk melakukan tugasnya. Tongkat itu menandakan bahwa orang tua di bawah itu adalah seorang penderita cacat yang hanya dapat berjalan dengan bantuan tongkatnya!
Pada saat itu si orang tua yang rupa-rupanya sedang membuat lian untuk seorang sahabat menuliskan namanya dibawah lian. Membaca nama yang berbunyi “Gan Keng Hiap” itu, Lian Hwa tidak ragu-ragu lagi bahwa orang tua itulah musuh gurunya, sungguhpun di dalam hati ia merasa aneh mengapa gurunya yang gagah perkasa itu mempunyai seorang musuh yang demikian lemah tampaknya dan seorang sasterawan yang cacat pula? Tapi ia tak mau perdulikan semua itu, ia mengertak gigi dan membuka genteng untuk menerobos ke dalam melalui genteng.
Tetapi pada saat itu terdengar bentakan perlahan dari belakangnya, “He perlahan dulu, kawan! Bukan laku seorang gagah mengintai-intai rumah orang. Apakah kehendakmu?”
Lian Hwa meloncat berdiri dan membalikkan tubuhnya. Di bawah sinar bintang yang hanya suram saja, ia melihat seorang laki-laki muda berdiri di depannya sambil bertolak pinggang, dan memandangnya dengan marah.
“Eh, eh, engkau seorang wanita? Maaf, li-enghiong, tapi apakah, keperluan li-enghiong datang ke sini di malam buta sehingga kami mendapat kehormatan kunjunganmu? Kalau ada perlu silakan turun dan masuk.”
Melihat dirinya kepergok orang, Lian Hwa menjadi marah dan malu. Marah karena sikap orang yang lemah-lembut seakan-akan mau mengejeknya dan memandang ia seperti anak kecil yang nakal, dan malu karena ia yang sedang mengintai tidak tahu bahwa di belakangnya ada lain orang yang melihat perbuatannya.
Maka ia segera mengunus pedangnya dan membentak, “jangan banyak mulut! Setelah kauketahui kedatanganku, maka tak perlu pula aku sembunyi-sembunyi. Kedatanganku hendak membunuh Gan Keng Hiap!”
Terkejut orang itu mendengar pengakuannya. Iapun marah dan mencabut keluar pedangnya dari punggungnya. “Gampang saja kau bicara! Apakah hanya kau seorang yang mempunyai pedang?”
Lian Hwa menggerakkan pedangnya, tapi tiba-tiba orang itu berteriak.
“Tunggu dulu!” dan ia meloncat ke tempat yang agak terang dan tidak tertutup bayangan pohon dan wuwungan. Walaupun heran, Lian Hwa mengejarnya. Mereka saling memandang dan......
95
“Twako......!” panggilan ini keluar dari bibir Lian Hwa dengan suara penuh kesayangan. Benarkah Cin Han yang berdiri di depannya memegang pedang ini?
Sebaliknya Cin Han memandangnya dengan mulut ternganga dan mata terbelalak. Matanya berputar-putar dari atas ke bawah meneliti seluruh badan gadis itu, lalu berhenti di rambut Lian Hwa, menatap bunga teratai emas,
“Jadi kau…… kau…… Ang Lian Lihiap?”
Ang Lian Lihiap mengangguk, “Dan kau, twako…… ah, mengerti aku, dulu yang menolongku di kelenteng itu adalah kau sendiri. Sungguh sandiwara yang bagus!”
Cin Han menghela napas. “Sudahlah, jangan bicarakan itu pula. Kini yang terpenting ialah pertanyaanku ini, yaitu mengapa kau datang ke sini? Untuk bertemu dengan Gan Keng Hiap dan membunuhnya? Kenapakah kau hendak membunuh Gan Keng Hiap? Ada permusuhan apa antara kau dan dia?”
“Kau jangan ikut-ikut, twako ini urusanku sendiri.”
“Tidak bisa begitu, lihiap. Ketahuilah bahwa Gan Keng Hiap yang hendak kaubunuh itu adalah pamanku dan juga guruku mengajar ilmu surat. Apakah aku harus diam saja melihat ia hendak dibunuh orang?” Ia tak berani menyebut “adik” lagi.
Lian Hwa menjadi marah. “Hm, bagus orang she Lo! Aku tadinya hanya akan membunuh Gan Keng Hiap saja, tapi bukan salahku kalau aku melawan siapa saja yang hendak menghalangi niatku. Ketahuilah olehmu, Gan Keng Hiap itu adalah musuh guruku dan aku datang untuk membalaskan sakit hatinya!”
Kembali Cin Han terkejut. “Kalau begitu, kau adalah murid dari Sian-liong Koai-jin Ong Lun? Dengarlah lihiap, urusan di antara gurumu dan Gan-siokhu (paman Gan) adalah……”
“Aku tidak perduli!” potong Lian Hwa. “Aku harus mentaati pesan suhuku dan kau jangan menghalangi!” Setelah berkata begitu Lian Hwa menggerakkan tubuhnya hendak meloncat turun.
Cepat tubuh Cin Han berkelebat pula menghadang di depannya.
“Perlahan dulu, lihiap. Kau tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Aku tidak membiarkan kau membunuh orang seperti membunuh seekor ayam saja!”
“Orang she Lo, kau keterlaluan!” katanya dengan gemas, karena hatinya sangat menyesal mengapa pemuda yang dibuat kenangan ini ternyata membela musuhnya. Ia lalu menyerang dengan tusukan pedangnya.
“Hm, hm, dua orang sasterawan mengadu pedang, sungguh lucu,” kata Cin Han sambil menangkis serangan itu dengan pedangnya juga.
96
“Trang!” dua mata pedang saling gempur dan kedua-duanya loncat mundur untuk memeriksa pedang masing-masing karena merasa tenaga hebat membuat tangan mereka gemetar. Tapi kedua pedang itu ternyata tidak apa-apa. Tahulah mereka bahwa pedang lawan adalah pedang mustika yang kuat dan tajam.
Lian Hwa menyerang kembali dengan menggunakan ilmu pedang Sian-liong-kiam-hoat yang lihai, mula-mula ia menyerang dengan tipu Sian-liong-chut-tong (Naga Sakti Keluar dari Gua). Ia tidak menyerang secara sungguh-sungguh, karena sedikitpun tidak ada maksudnya hendak melukai pemuda itu, hanya akan memperlihatkan kelihaiannya saja untuk menundukkan “anak sekolahan” ini!
Tidak sangka sama sekali bahwa Cin Han dapat menangkis dan balas menyerang dengan sama lihainya! Pedang pemuda itu berkelebat cepat dan sinar pedangnya bergulung-gulung menyilaukan!
Kaget sekali hati Lian Hwa. Ia sama sekali tak pernah mimpi bahwa Cin Han ternyata adalah seorang ahli pedang yang tinggi ilmu pedangnya. Maka ia lalu mengerahkan semua kepandaiannya dan mengeluarkan tipu-tipu silat Sian-liong-kiam-hoat yang paling berbahaya.
Tapi semua itu sia-sia. Gerakan-gerakan ilmu pedang Cin Han, yang aneh, sedikit mirip ilmu dari cabang Kun-lun dan ada juga miripnya dengan ilmu pedang Go-bi itu, menjaga tubuhnya dengan sangat rapatnya, bahkan dapat balas menyerang dengan tak kalah hebatnya! Mereka berdua lenyap dalam gulungan sinar pedang bagaikan dua naga sakti tengah bertempur mati-matian mendatangkan debu dan awan berhamburan!
Lian Hwa merasa gemas sekali. Belum pernah selama ia keluar dari perguruan ia berjumpa seorang yang begini mahir kiam-hoatnya. Duaratus jurus lebih telah berlalu dan hebat sekali jalannya pertandingan itu, tapi belum juga nampak siapa yang lebih unggul di antara mereka.
“Lihiap, adik…… Lian…… sudahlah, apa perlunya kita bertempur terus? Bukankah kita bersahabat?” kata Cin Han sambil menangkis dan menahan pedang Lian Hwa.
“Jangan banyak cakap! Ini hari kalau bukan kau, tentu aku yang mati di ujung pedang!” bentak Lian Hwa yang sudah menjadi gemas, suaranya parau karena ia menahan-nahan tangisnya!
“Ah, kau keterlaluan, lihiap.”
Setelah berkata begini, Cin Han memperhebat gerakan pedangnya. Ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan pada suatu ketika ia mendapat kesempatan karena Lian Hwa yang merasa hatinya jengkel dan menyesal membuat gerakan agak lambat. Tangan kiri Cin Han meluncur seperti seekor ular menotok pergelangan tangan Lian Hwa yang memegang pedang, sehingga Sian-liong-kiam jatuh berkerontangan di atas genteng! Lian Hwa menjadi sedih dan malu, ia terduduk di atas genteng dan mendekap mukanya dengan kedua tangan sambil menangis tersedu-sedu.
Cin Han memungut pedang gadis itu dan menghampirinya sambil menyerahkan pedang, “Maafkan aku lihiap, telah kesalahan tangan. Inilah pedangmu.”
97
Lian Hwa mengangkat muka dan sepasang matanya yang merah dan berlinang air mata memandangnya dengan benci. Kemudian ia merebut pedang itu dan mengayun pedangnya ke arah leher sendiri!
“Moi-moi (adik)!!” Cin Han berteriak khawatir dan untungnya pedang itu dapat dirampasnya, tapi telah melukai pundak Lian Hwa. Gadis itu terhuyung-huyung dan kalau tidak dengan cepat Cin Han memeluknya pasti ia akan jatuh ke bawah genteng. Ia jatuh pingsan dalam pelukan Cin Han.
Pemuda itu kaget dan bingung. Ia mengira Lian Hwa terluka parah di pundaknya, padahal gadis itu pingsan karena hatinya sakit, sedih, menyesal dan malu. Tanpa sungkan-sungkan lagi, Cin Han memondong tubuh Lian Hwa dan membawanya meloncat turun.
Ketika sadar dari pingsannya, Lin Hwa dapatkan dirinya tengah berbaring di atas sebuah tempat tidur dan di dekatnya duduk dua orang. Yang seorang adalah Gan Keng Hiap, seorang tua sasterawan yang hendak dibunuhnya tadi, dan seorang pula adalah seorang wanita tua yang masih tampak bekas kecantikannya yang luar biasa.
Melihat gadis itu sudah sadar dan segera bangun duduk, Gan Keng Hiap tersenyum, “Tenanglah nona!”
Tapi Lian Hwa masih penasaran, ia melihat ke kanan kiri tapi tidak melihat Cin Han, maka dengan suara keras ia berkata, “Sesudah aku ditangkap, maka jangan banyak bicara lagi, bunuhlah aku!” Kemudian ia menangis lagi.
Nyonya tua itu menghampiri dan mengelus-elus rambutnya. “Kau murid dari Ong Lun taihiap? tanyanya dengan suara halus.
Lian Hwa mengangkat mukanya dan memandang muka nyonya yang manis budi dan berwajah menunjukkan keagungan itu, kemudian ia menoleh ke arah Gan Keng Hiap. Juga orang tua ini berwajah simpatik dan terang bukan orang jahat. Tapi mengapa gurunya bermusuh dengan mereka?
“Nona, kalau kau masih saja penasaran dan hendak membunuh aku orang tua tak berguna ini, nah, inilah pedangmu. Tikamlah aku, jangan khawatir, aku seorang lemah tak mengerti ilmu silat, tak mungkin aku dapat melawan,” kata Gan Keng Hiap sambil memberikan Sian-liong-kiam yang tadi terletak di atas meja. Tapi Lian Hwa tidak mau menerima pedang itu dan menundukkan kepalanya.
“Nona, dari keponakanku aku dengar bahwa kau adalah Ang Lian Lihiap yang datang hendak membalaskan sakit hati suhumu ialah Ong Lun taihiap. Mungkin kau belum diceritakan oleh gurumu sebab-sebab mengapa ia sakit hati kepadaku. Semua ini adalah karena dia!” ia menunjuk ke arah nyonya itu yang kini mengalirkan air mata dengan sedih.
Lian Hwa heran dan memandang nyonya itu dengan bingung.
“Mungkin kau tidak akan percaya kalau aku sendiri yang menceritakan riwayat ini padamu, maka biarlah dia yang bercerita,” katanya pula.
98
Nyonya tua itu menghela napas dan menghapus air matanya. “Dengarlah, nak. Memang benar bahwa Ong Lun taihiap sakit hati karena aku. Duduknya hal begini.” Ia lalu bercerita dan Lian Hwa mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Dulu ketika aku masih gadis, pernah aku diculik oleh seorang kepala rampok dan di tengah jalan aku ditolong oleh Ong Lun taihiap. Ia ketika itu merupakan seorang pemuda yang gagah perkasa dan namanya dihormati oleh semua orang. Karena perbuatannya yang gagah dan sikapnya yang sopan santun itu, aku merasa berterima kasih dan mengaguminya sepenuh hatiku.
“Tapi nasib rupanya hendak mempermainkan kami. Belakangan ternyata bahwa ia cinta padaku, dan rasa simpati dan kekagumanku terhadapnya itu diterima dengan salah sangka. Ia mengira bahwa akupun cinta padanya. Melihat sikapnya yang bersungguh-sungguh itu, aku tidak tega untuk menyangkal bahwa aku sebenarnya tidak ada perasaan cinta kepadanya seperti cintanya padaku itu, karena aku sudah bertunangan pada waktu itu, ialah dengan Gan Keng Hiap yang itu waktu masih menjadi siucai (mahasiswa).
“Setelah mengantarkan pulang dengan selamat, seringkali Ong Lun taihiap berkunjung dengan diam-diam dan mengadakan pertemuan dengan aku. Tapi kami adalah orang yang menjunjung tinggi nama kami maka tidak terjadi apa-apa antara dia dan aku. Kemudian telah diputuskan hari kawinku dengan Gan Keng Hiap, maka aku sebagai seorang anak u-hauw (berbakti) dan memandang tinggi pribudi, menurut saja karena akupun mendengar bahwa Gan Keng Hiap adalah seorang pemuda baik-baik terpelajar, dan berbudi.
“Terpaksa pada malam itu ketika Ong Lun taihiap datang mengunjungiku, aku tetapkan hatiku untuk memberi tahu tentangg perkawinanku yang sebentar lagi akan dilangsungkan itu. Celakanya sebelum aku membuka mulut, Ong Lun taihiap dengan terus terang menyatakan cintanya padaku! Maka dapat kaubayangkan betapa sakit dan sedih hatinya ketika mendengar bahwa aku tak dapat menerima cintanya itu karena aku sudah bertunangan dan bahkan hendak kawin! Ong Lun taihiap jatuh pingsan!
“Demikian besar cintanya padaku, bahkan setelah sadar dari pingsannya ia hendak bunuh diri di situ. Tapi aku menubruknya dan membujuk serta meughiburnya. Akhirnya ia minta aku pergi minggat bersama. Tentu saja ajakan tidak baik ini kutolak. Ia menjadi marah dan mengancam hendak membunuh Gan Keng Hiap. Aku menjawab bahwa jika dia membunuh calon suamiku, akupun hendak bunuh diri. Maka pergilah dia dengan hati sakit dan sedih.
“Semenjak itu kami tidak mendengar akan halnya lagi. Agaknya ia telah insaf dan melupakan urusan itu, siapa nyana bahwa sampai saat ini, setelah kami semua menjadi tua, dia masih saja, menaruh dendam dan menyuruh kau datang untuk membunuh suamiku. Maka katakanlah padanya nona, jika ia hendak membalas sakit hati, suruhlah dia datang ke sini. Kami berdua suami isteri rela mati di bawah tangannya!” kata-kata terakhir ini diucapkan dengan air mata bercucuran.
Lian Hwa menjadi terharu dan menangis pula.
“Suhu…… suhu sudah mati……”
“Apa? Ah...... Ong Lun, Ong Lun, sampai matipun kau masih saja mendendam……” Nyonya Gan menangis makin sedih dan suaminya hanya menghela napas.
99
“Nah, lihiap. Sekarang kau sudah mendengar semua, maka kalau masih mau membunuh padaku, silakan!” ia menantang dengan suara tenang.
Lian Hwa menjadi malu. “Kalau begini halnya, memang suhu yang terburu nafsu dan terlalu kow-kati (egoistis). Maafkan aku lopek, dan selamat tinggal. Aku kelak akan mohon ampun di depan arwah suhu bahwa muridnya tak dapat mentaati perintahnya.” Ia lalu mengambil pedangnya dan setelah menjura kepada kedua suami isteri itu ia bertindak keluar dari kamar.
Tak disangkanya bahwa di ruangan depan, Cin Han sedang duduk seorang diri dengan muka sedih. Ketika melihat ia keluar, pemuda itu berdiri memandangnya. Tapi Lian Hwa membuang muka dan pura-pura tidak melihatnya terus berjalan keluar.
“Nanti dulu, lihiap, dengarlah dulu bicaraku.”
“Kau mau apa?” tanya Lian Hwa ketus, tapi ia berhenti juga sambil menghadapinya tanpa memandang muka orang.
Cin Han mengangkat kedua tangannya memberi hormat. “Tadi aku telah berlaku salah terhadap Ang Lian Lihiap, wanita gagah perkasa dan budiman. Dengan jalan ini terimalah hormatku dan aku mohon maaf.”
Kata-kata ini diterima salah oleh Lian Hwa dan dianggapnya menyindir.
“Apa itu Ang Lian Lihiap? Kini tidak ada lagi Ang Lian Lihiap! Ia telah dikalahkan olehmu. Apa kau masih belum puas mengalahkannya dan kini hendak memperolok-oloknya lagi? Nah, lihat. Ang Lian Lihiap sudah hancur, aku tak sudi memakai nama itu lagi!”
Sambil berkata begitu ia mencabut teratai emas bermata merah yang indah itu dari rambutnya dan membanting itu ke atas tanah. Perhiasan itu terbanting berloncat-loncatan beberapa kali dan menggelinding ke dekat kaki Cin Han.
Cin Han hanya dapat memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, tapi Lian Hwa tidak memperdulikan lagi. Sambil memegang gagang pedangnya yang tergantung di pinggang, ia membalikkan tubuh dan berjalan dengan lenggang lemas dan lemah keluar rumah itu. Cin Han mengejarnya, tapi melihat pemuda itu mengejar, Lian Hwa meloncat ke depan dan lari dengan pesatnya.
“Ang Lian Lihiap……! Ang Lian Lihiap……!” suara Cin Han mengejarnya, tapi dengan menggigit bibir Lian Hwa lari makin keras. Ketika sayup-sayup sampai panggilan Cin Han berobah menjadi “Moi-moi……! Moi-moi……!” tak terasa pula air matanya jatuh bercucuran, tapi ia masih memaksa kakinya untuk lari makin cepat.
?Y?
Untuk mengenal pemuda tampan dan gagah perkasa ini, yang telah membuat Ang Lian Lihiap lari menangis, mari kita tinjau sejenak riwayat Cin Han yang menarik.
100
Sungai Yang-ce yang terkenal di daratan Tiongkok bermata air di Pegunungan Kun-lun, terletak di Propinsi Cing-hai. Desa Liong-thou-men berada di perbatasan Propinsi Cing-hai dan Si-kang. Desa ini walaupun berada di tanah pegunungan dan jauh dari kota, namun cukup ramai karena Sungai Yang-ce mengalir didekatnya, sehingga memudahkan penduduk kampung mengadakan perhubungan dengan kota-kota jauh dengan jalan air.
Di desa Liong-thou-men tinggal kurang lebih seratus keluarga yang meliputi limaratus jiwa lebih. Kepala desa di situ terkenal adil dan mencinta rakyat hingga desa kecil itu selalu aman dan rukun. Semua orang menyebut kepala desa Lo-chungcu, nama lengkapnya Lo Sun Bi. Lo Sun Bi dan isterinya yang telah berusia empatpuluh lebih hanya mempunyai seorang anak yang diberi nama Lo Cin Han, maka tak heran bila kedua suami isteri itu sangat mencinta anak tunggal mereka.
Ketika Cin Han masih berada dalam kandungan, ibunya pernah bermimpi melihat seekor burung hong terbang di angkasa, hilir-mudik beberapa kali sambil menggerak-gerakkan kepala ke bawah. Maka setelah lahir, di samping nama aselinya, Cin Han disebut oleh ibunya Kim Hong atau Burung Hong Emas, ialah nama sebutan atau alias.
Juga oleh ibunya, seorang wanita terpelajar dari Tiongkok Timur, semenjak lahirnya, Cia Han sering dibuatkan pakaian yang disulam gambar burung hong emas. Mungkin karena melihat gambar burung indah itu di pakaiannya, anak itu selalu minta pakaian yang bersulamkan gambar burung Hong.
Penduduk desa Liong-thou-men hidup bahagia, biarpun keadaan mereka tak dapat disebut mewah dan penghidupan mereka hanya sederhana. Agaknya kerukunan desa yang membuat mereka merasa hidup berbahagia. Pernah terjadi, beberapa gerombolan perampok mengganggu desa itu, tapi berkat ketangkasan Lo-chungcu dan berkat kerja sama yang sangat baik di antara semua penduduk, semua perampok dapat diusir dan dihancurkan. Tapi benar, sebagaimana kata orang-orang tua dahulu kala, kebahagiaan dunia tidak kekal. Demikian pula dirasakan oleh penduduk desa Liong-thou-men.
Ketika musim chun yang indah telah lewat, tiba-tiba pada suatu sore penduduk desa itu dikejutkan oleh datangnya angin yang datang bertiup membawa suara gemuruh hebat dan banyak pohon besar ditumbangkan olehnya. Juga sebagian besar rumah penduduk desa yang rusak dan tumbang pula menimpa penghuninya, maka tak sedikit penduduk desa menderita luka-luka karenanya.
Dan semenjak datang angin jahat itu, malapetaka datang pula, mungkin terbawa angin yang datang dari utara itu. Malapetaka ini merupakan sebuah penyakit menular yang mengerikan. Orang yang terserang penyakit ini, pagi sakit sore mati, dan sore sakit pagi mati. Orang-orang bingung dan segala macam usaha desa dikerahkan, seperti bersembahyang di kelenteng dan pinggir sungai, namun hasilnya sia-sia.
Dalam dua hari saja semenjak angin jahat itu datang, lebih dari duapuluh orang tewas akibat penyakit itu. Hujan air mata membanjiri desa dan keluh-kesah serta ratap tangis mereka yang ditinggalkan mati riuh menggema di angkasa merupakan jerit penasaran dan permintaan tolong.
Dalam keadaan hebat itu semua penduduk desa teringat akan seorang pertapa yang tinggal dalam sebuah gua di puncak bukit Kong-hwa-san, bukit yang kelihatan dari desa itu karena hanya terpisah paling banyak duapuluh lie. Sungguhpun pertapa tua itu tak pernah mau bicara dan bergaul dengan
101
orang, namun pernah orang aneh itu menyembuhkan A-hok penebang kayu ketika dia ini terjatuh dari atas pohon.
Pada hari pertama penyakit itu mengambil korban, Lo-chungcu sendiri dengan beberapa orang tua mendaki bukit Kong-hwa-san untuk memohon pertolongan pertapa itu.
Tapi alangkah kecewa mereka ketika ternyata bahwa gua itu kosong. Dan pada hari kedua, Lo-chungcu dan isterinya menjadi korban pula semenjak siang mereka tak dapat turun dari pembaringan.
Tubuh mereka panas, mulut mereka bicara tak keruan seakan-akan kemasukan roh jahat. Cin Han menangis sedih melihat keadaan ayah ibunya, tapi apakah yang dapat dilakukan oleh seorang anak umur enam tahun?
Tak seorangpun di antara penduduk desa itu berani memasuki kamar Lo Sun Bi, karena menurut kepercayaan mereka, penyakit itu merupakan roh-roh jahat yang memasuki tubuh orang-orang yang dipilih menjadi korban dan siapa berani datang dekat, tentu akan terpilih.
Kepercayaan mereka ini bukannya tak berdasar karena memang telah beberapa kali terbukti bahwa siapa yang mendekati seorang yang sedang sakit maka dia tentu akan menjadi korban berikutnya. Maka, tidak heran bahwa orang-orang itu, betapapun besar cinta dan hormat mereka kepada kepala desa yang sedang sakit itu, hanya berani datang dan duduk di luar kamar saja.
Semua keperluan si sakit dilayani oleh Cin Han! Bahkan, beberapa orang sudah berani meramalkan bahwa jika Lo-chungcu dan isterinya mati, tentu Cin Han menjadi korban berikutnya!
Biarpun baru menderita sakit setengah hari lamanya, keadaan dua suami isteri itu payah. Pada malam harinya, napas mereka tinggal kempas-kempis dan mata mereka sudah tak dapat dibuka untuk memandang anak mereka yang duduk di situ menangis sedih, sebentar lari ke pembaringan ayah, sebentar lari ke pembaringan ibu, dan tiada hentinya mulut kecil itu memanggil-manggil,
“Ayah…… ibu…… ayah…… ibu…… bangunlah……” Dan sepasang mata kecil yang biasanya bersinar riang gembira itu, kini redup-redup memandang ayah ibunya bergantian dengan kelopak mata merah dan kering karena sudah habis air matanya ditangiskan sejak siang tadi.
Kemudian anak itu mengambil keputusan nekat. Ia tahu pula bahwa kemarin ayahnya pergi ke bukit Kong-hwa-san mencari pertapa yang pandai mengobati orang, dan ia tahu pula di mana letak Kong-hwa-san karena memang bukit itu tak asing bagi penduduk di situ dan pada siang hari dapat terlihat jelas. Maka setelah sekali lagi memanggil-manggil ayah ibunya, ia berkata perlahan,
“Ayah..... ibu….. Aku pergi cari obat…..” Dan ia lari keluar.
Di luar rumah semua orang telah pulang karena pada malam hari mereka tidak berani berada di situ, walaupun hanya di luar kamar! Melihat keadaan sunyi, Cin Han terus lari keluar. Untung baginya, pada malam hari itu bulan bersinar terang hingga remang-remang terilhat olehnya Bukit Kong-hwa-san menjulang didepannya bagaikan hantu besar berdiri bertolak pinggang. Ia berlari terus......
102
Dapat dibayangkan betapa sengsara dan sukarnya bagi seorang anak berusia enam tahun untuk mendaki bukit yang belum pernah didatangi. Tapi ternyata anak itu memiliki semangat yang tak kunjung padam dalam membela orang tuanya. Ia tak perdulikan hawa dingin yang menyusup tulang, batu-batu tajam yang menembus sepatunya dan tangkai-tangkai pohon rendah melambai merobek bajunya.
Setelah berjalan terhuyung-huyung beberapa jam lamanya, ia sampai di lereng bukit dan berhenti di atas sebuah batu lebar dengan terengah-engah. Ia berhenti karena terpaksa oleh kakinya yang mogok. Cin Han mulai bingung karena baru insaflah ia bahwa sebenarnya ia tidak tahu sebenarnya di mana letak gua itu. Tak disangkanya sama sekali bahwa bukit itu demikian besar dan luas. Disangkanya imut saja dan mudah mencari gua di situ, karena dari desanya memang kelihatan kecil.
Ia berdiri bingung, kepalanya mulai pusing dan kedua kakinya gemetar. Ia mencoba untuk menggerakkan kakinya, tapi hampir saja ia jatuh terguling, karena sesungguhnya kaki itu seakan-akan lumpuh saking lelahnya. Di depannya terbentang jurang dalam sekali dan di bawah sekali air Sungai Yang-ce berlenggang-lenggok seperti ular putih.
Kebetulan bulan sedang terbebas dari gangguan awan, maka pemandangan sungguh mentakjubkan dan indah sekali. Melihat ke bawah, Cin Han menjadi makin pusing. tiba-tiba ia membelalakkan kedua matanya. Lalu menggunakan kedua tangan menggosok-gosoknya. Tak salahkah ia? Ah, benar! Memang ayah dan ibunya yang berada di sebuah perahu di bawah itu. Ayah dan ibunya sedang mendayung perahu di sungai bawah itu. Lihat, mereka melambai-lambaikan tangan padanya.
“Ayah……! Ibu……! Aku ikut…...!!” dan Cin Han lari ke depan, jurang itu kelihatan dangkal dan sungai itu dekat.
Tapi, pada saat kaki kirinya telah terjeblos ke dalam jurang, lengannya terpegang oleh sebuah tangan yang kuat. Cin Han sudah menggerakkan tubuh meloncat ke depan, maka kini tubuhnya tergantung di atas jurang. Ia memberontak dan menggerak-gerakkan kaki tangannya seperti seekor kelinci terpegang kedua telinganya. Mulutnya menjerit-jerit,
“Lepaskan aku……! lepaskan,…..! Aku mau ikut ayah dan ibu, lepaskan......!”
Tiba-tiba tubuhnya tersentak ke atas dan tahu-tahu ia telah berada di dalam pondongan seorang tua berjenggot panjang. Sepasang mata yang bening dan tajam memandangnya penuh sinar iba hati. Tapi Cin Han tetap memberontak dan meronta-ronta. Kakek itu menggunakan jari tangannya menekan-nekan belakang leher Cin Han sehingga anak itu merasa seakan-akan kepalanya disiram air dingin dan menjadi sadar kembali.
“Tenang, anak, kau kenapakah? Apa yang menyusahkan hatimu?”
Cin Han seorang anak cerdik. Sekali pandang saja tahulah ia bahwa kakek itu seorang yang baik hati. Dan teringat ia akan cerita orang-orang desa yang pernah melihat pertapa di atas bukit. Inilah orangnya!
Cepat-cepat ia menggerakkan tubuh minta turun dari pondongan dan tanpa, memperdulikan tanah basah ia berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
103
“Totiang yang baik…… tolonglah ayah ibuku…… tolonglah……!”
Kakek itu seorang tosu, pendeta penganut agama Tao, tersenyum sabar lalu membangunkan Cin Han.
“Pinto sudah ke sana, orang tuamu sudah beristirahat. Kau, anak baik, ikutlah pinto saja!”
Cin Han mengangkat kepala memandang wajah yang dikelilingi rambut dan jenggot putih itu. “Totiang, apakah ayah ibuku sudah sembuh dari sakitnya?”
Orang tua itu mengangguk-angguk. “Sudah baik….. sudah baik……! Kau mau menjadi. muridku?”
Bukan main besar rasa hati Cin Han mendengar akan keadaan orang tuanya. Pasti pendeta ini yang mengobati orang tuanya. Maka segera ia menjatuhkan diri berlutut lagi dan menyebut, “Suhu!”
Gwat Liang Tojin tertawa senang. Ia lalu mengangkat dan memondong tubuh anak itu dan lari bagaikan terbang ke atas bukit. Cin Han merasakan angin dingin menyambar-nyambar dan mengiris-iris mukanya, maka hatinya menjadi ngeri. Ia menyembunyikan mukanya di balik baju orang tua itu.
Gwat Liang Tojin sebenarnya adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang di masa mudanya telah membuat nama besar. Setelah berusia lanjut, ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya tentang ilmu batin dan mempelajari ilmu Tao yang tiada batasnya. Di samping bertapa membersihkan batin, ia akan merangkai ilmu silat dan ilmu pedang yang ia petik sebagian besar dari cabang Kun-lun, dan sebagian dari cabang Go-bi yang pernah pula ia pelajari, ia mengambil sari pelajaran kedua cabang itu dan menggabungkannya sambil memperbaiki sana-sini.
Di hutan-hutan Gunung Kong-hwa-san terdapat semacam burung kecil yang sangat gesit dan berani. Banyak burung-burung besar tidak berani menyerangnya.
Hal ini menarik hati Gwat Lian Tojin. Dengan penuh perhatian ia pelajari gerakan-gerakan burung kecil warna hijau itu dan gerakan-gerakan yang gesit lincah itu mengilhaminya untuk mencipta gerakan ilmu silat.
Ternyata gerakan-gerakan ini banyak miripnya dengan gerakan ilmu silat Kun-lun, maka dengan ketenangan jiwa serta keheningan pikirannya, dapatlah ia mempersatukan gerakan-gerakan itu sehingga terciptalah ilmu silat pedang yang sangat lihai dan diberinya nama ilmu pedang Kong-hwa-kiam-sut. Juga dari gerakan-gerakan burung itu, ia dapat memperbaiki ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang memang telah tinggi tingkatnya.
Gwat Liang Tojin tidak mempunyai murid selainnya Cin Han. Tidak heran bahwa ia menurunkan seluruh kepandaiannya kepada murid tersayang itu. Dan Cin Han memang seorang berbakat, hingga dalam waktu kurang lebih sepuluh tahun setelah menerima gemblengan dari suhunya, ia sudah dapat mewarisi semua pelajaran Tojin yang berilmu tinggi itu.
Selama sepuluh tahun, Gwat Liang Tojin melarang muridnya turun gunung bahkan melarang ia pergi ke desanya yang hanya terpisah dekat dari situ. Cin Han sangat taat serta belum pernah melanggar larangan suhunya, maka pendeta itu makin sayang saja kepadanya.
104
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Gwat Liang Tojin memanggil Cin Han menghadap.
“Muridku, kurasa sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi yang kuajarkan kepadamu. Semua pengetahuan dan kepandaianku telah kaumiliki. Dan kurasa tidak perlu pula ada rahasia yang harus kusembunyikan karena kau kini telah dewasa.” Ia berhenti sebentar dan menghela napas.
“Mohon diberi petunjuk-petunjuk, suhu,” kata Cin Han sambil memandang penuh hormat.
“Cin Han, tetapkan hatimu dan bersiaplah menerima pukulan pertama. Sebenarnya, ayah ibumu sudah lama meninggal dunia.”
Cin Han meloncat berdiri, memandang suhunya dengan mata terbelalak. Kalau ada kilat menyambarnya pada saat itu, takkan sekaget itu agaknya.
“Ayah…… ibu…… sudah mati......? Bila……? Bagaimana……? Mengapa suhu tidak memberi tahu padaku sebelumnya……?” Pertanyaannya mengandung penasaran besar.
“Tenang, muridku!”
Kata-kata yang berpengaruh ini membuat Cin Han sadar akan keadaan dirinya. Ia lalu duduk kembali dan mengatur napasnya, menggunakan tenaga batinnya untuk menenteramkan pikiran dan menekan dadanya yang bergelora dan napasnya yang terengah-engah. Akhirnya dapat juga ia menguasai dirinya.
“Maaf, suhu, tapi sudilah suhu menerangkan duduknya perkara agar hati teecu yang gelap mendapat sinar terang……!”
“Begini, muridku. Dahulu ketika kau berjumpa dengan pinto di dekat jurang itu, pinto baru saja kembali dari desa Liong-thou-men. Tapi pinto tidak keburu menolong jiwa orang tuamu. Sakitnya terlampau berat dan agaknya memang sudah takdir Yang Maha Kuasa. Pinto hanya dapat membagi-bagi obat kepada penduduk yang masih hidup untuk menjaga diri dari serangan penyakit menular itu. Pada waktu kita berjumpa, kulihat kau masih demikian kecil dan jiwamu dalam tekanan. Berbahaya kalau kuberi tahu tentang kematian orang tuamu pada waktu itu. Pula, apa gunanya? Kau masih kecil dan masih panjang harapan, sedangkan orang tuamu yang sudah meninggal tak perlu diganggu lagi. Pinto dengan bantuan tetangga-tetangga desa sudah mengatur jenasah ayah ibumu dengan baik.”
Cin Han berlutut sambil menangis. Gurunya mendiamkannya saja, hanya memandang sambil menghela napas. Ia maklum bahwa pada saat seperti itu, lebih baik kalau anak muda itu dapat menangis. Setelah agak reda gelora kesedihan hatinya, Cin Han berkata,
“Suhu, sungguh teecu berhutang budi besar kepada suhu. Tidak berarti kiranya jika teecu hanya menghaturkan terima kasih, maka untuk membalas kebaikan suhu, teecu bersedia untuk melayani suhu seumur hidup.”
Gwat Liang Tojin tersenyum lebar, “Cin Han muridku. Lupakah kau kepada ajaranku bahwa perbuatan yang benar-benar sempurna adalah perbuatan yang dilakukan tanpa mengharap jasa? Pinto
105
melakukan semua itu bukanlah karena pinto mengharap pembalasan budi darimu kelak. Tidak, muridku. Pinto akan merasa bahagia sekali jika kau bisa menjadi seorang manusia yang benar-benar berguna bagi orang lain, seorang yang dapat mengerahkan tenaga serta kepandaianmu untuk membantu orang lain, menjadi hamba keadilan, menentang yang jahat membela yang lemah tertindas. Sanggupkah kau?”
“Teecu akan melakukan semua yang telah teecu pelajari dan dengar dari suhu. Semua nasihat suhu akan teecu ingat selama hidup.”
“Nah, bagus. Cin Han.”
Gwat Liang Tojin menghela napas lagi, tapi kini helaan napas lega dan senang. Ia lalu menyuruh muridnya memasuki gua sebelah kiri untuk mengambil sebuah peti kayu hitam. Peti itu segera diambil oleh Cin Han dan diletakkan di hadapan gurunya.
Gwat Liang Tojin menggunakan kunci membuka peti dan mengeluarkan sebatang pedang bersarung warna biru, sebungkus surat dan sebungkus kain. Pertama-tama Gwat Liang Tojin membuka bungkusan kain. Cin Han melihat bahwa kain itu adalah sehelai kain sutera putih yang bersulamkan burung Hong merah di bagian dada, karena setelah dibuka ternyata sutera putih itu merupakan pakaian dalam.
“Cin Han, ini adalah peninggalan ibumu. Beliau sengaja menyulam ini dan menyimpannya untukmu setelah dewasa. Kebetulan sekali, bukan? Seakan-akan ibumu telah tahu bahwa sewaktu-waktu pasti akan meninggalkan kau.”
Cin Han menggigit bibirnya untuk menahan gelora hatinya yang diguncangkan rasa haru besar.
Gwat Liang Tojin membuka bungkusan kedua, ialah sesampul surat yang kertasnya sudah kekuning-kuningan. “Dan ini adalah surat ayahmu,” katanya, “surat ini hendaknya kaubawa dan berikan kepada seorang terpelajar bernama Gan Keng Hiap yang tinggal di kota Tiong-bie-kwan. Tuan Gan ini adalah adik angkat ayahmu dan menurut kehendak ayahmu kau harus berguru dan belajar ilmu surat kepadanya. Ayahmu dalam penderitaan sakit hebat masih sempat memikirkan kepentinganmu, sungguh seorang ayah bijaksana, muridku, maka kau tak boleh tidak harus mentaati permintaannya ini.”
Sekali lagi Cin Han mempertahankan hatinya agar tidak tergoncang terlalu hebat.
“Dan sekarang, aku akan memberi pukulan kedua, muridku. Yakni, hari ini juga, kau harus turun gunung dan mulai menjalankan tugasmu, pertama-tama mengunjungi makam orang tua, lalu mengantarkan surat kepada tuan Gan dan belajar kesusasteraan seperti yang dikehendaki ayahmu.”
“Setelah itu, teecu harus kembali ke sini suhu?”
Gurunya tertawa. “Untuk apa? Kau mau jadi tua di atas gunung ini? Tidak, Cin Han masih banyak waktu kita akan berjumpa pula, tapi tak perlu kau tinggal lagi di sini. Boleh datang mengunjungiku sewaktu-waktu.”
106
Cin Han merasa sedih harus meninggalkan gurunya, tapi sebagaimana biasanya, ia tak berani membantah.
“Dan ini boleh kau bawa, kuhadiahkan padamu. Pedang ini adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh dan tajam. Sayangnya pedang ini tidak bernama, mungkin dulu milik seorang gagah yang ingin menyembunyikan namanya. Ukiran nama pedang sudah dihapus. Maka pedang ini kuberi nama Kong-hwa-kiam, sesuai dengan tempat di mana aku menemukannya, ialah di dalam gua ini. Tunggu, akan kuberi gambar di atas sarungnya.”
Gwat Liang Tojin ternyata pandai menggambar pula. Dengan mencontoh sulaman kain peninggalan ibu Cin Han, ia melukis gambar burung hong emas di sarung pedang. Seekor burung hong emas sedang terbang menembus awan putih di langit biru.
“Nih, Cin Han,” kata Gwat Lian Tojin kepada muridnya setelah ia selesai melukis, “Melihat lukisan ibumu ini, aku teringat akan sesuatu. Bukankah katamu dulu bahwa kau diberi nama alias Kim-hong dan ibumu dulu bermimpikan burung Hong emas terbang ketika sedang mengandungmu? Ah, ini baik sekali. Mulai sekarang, kau akan menempuh hidup baru dan bertemu dengan banyak orang kang-ouw. Maka sudah sepantasnya kau mempunyai nama julukan. Pakailah nama pilihan ibumu ini, nak. Yaitu Hwee-thian Kim-hong. Burung Hong Emas Terbang di angkasa raya. Bukankah nama ini indah didengar?”
Cin Han menghaturkan terima kasih atas pemberian pedang dan nama julukan. Ia lalu berkemas dan setelah menerima petunjuk-petunjuk penting dari suhunya tentang letaknya kota dan tempat yang harus ditujunya ia turun gunung. Kong-hwa-kiam tergantung di pinggang, sebungkus pakaian terikat di punggung, pakaian warna biru muda dan di sebelah dalam, baju sutera putih bersulam burung Hong tampak membayang indah.
Cin Han memasuki kampung tempat kelahirannya, tapi tak seorangpun di kampung itu kenal padanya. Langsung ia menuju ke makam orang tuanya dan bersembahyang sambil menangis sedih. Ia berduka sekali mengingat bahwa hidupnya kini sebatang kara setelah ia terpisah dari gurunya. Tapi ia teringat nasihat gurunya,
“Cin Han, kau seorang laki-laki, harus berpemandangan luas dan berpikiran panjang serta berhati tabah. Hidup bukanlah penderitaan asal saja kau tahu bagaimana harus menempuh dan menjalaninya. Jangan khawatir hal-hal yang belum terjadi dan jangan mundur ketakutan menghadapi gelombang hidup yang bagaimana dahsyatpun. Berlaku tenang dan sabar. Jauhi perkelahian, jangan mengandalkan tenaga sendiri lalu menghina dan memukul orang. Ingat, kepandaian yang kaupelajari sepuluh tahun lebih di sini bukan untuk modal permusuhan, tapi untuk alat pembela keadilan.”
Mengingat nasihat ini ia menjadi tabah. Ia meninggalkan makam orang tuanya dan mulai melakukan perantauan menuju ke kota Tiong-bie-kwan yang terletak di dataran Tiongkok sebelah timur laut. Ia mengambil jalan air, karena cara ini yang paling mudah dan cepat. Air Sungai Yang-ce yang makin jauh makin melebar itu mengalir dan membawa perahunya menuju ke daratan timur.
Banyak hal-hal hebat ia alami dalam perjalanan itu. Beberapa kali ia berkenalan dengan kekejaman bajak laut yang melakukan operasi di Sungai Yang-ce di tengah hutan, tapi berkat kepandaiannya yang tinggi semua perintang dapat dihancurkannya. Maka mulai terkenallah nama Hwee-thian Kim-hong
107
dan mulai ditakuti oranglah Kong-hwa-kiam yang tajam. Sebentar saja para bajak sungai di sepanjang Sungai Yang-ce mengenal nama Hwee-thian Kim-hong dan beberapa kepala bajak yang kenamaan dan terkenal kosen merasa penasaran lalu sengaja datang mencegat untuk mencoba kepandaiannya.
Pada suatu pagi perahunya sampai di sebuah kampung bajak yang terkenal dan ditakuti oleh semua pelancong dan pedagang. Kampung itu disebut Kwan-lian-chung dan di situ terdapat dua anak sungai yang memuntahkan air dan menggabung menjadi satu dengan induk Sungai Yang-ce. Maka ramailah keadaan di situ karena kedua anak sungai itu terkenal mengandung ikan banyak sekali. Cin Han selalu bertukar perahu dari kampung ke kampung.
Bajak sungai yang berbareng menjadi kepala di kampung itu bernama Lie Thung dan bergelar Iblis Sungai Yang-ce. Ia adalah seorang yang kasar tapi jujur dan sombong, dan tidak mau kalah oleh siapapun juga.
Memang kesombongannya beralasan juga karena Lie Thung adalah murid tunggal dari Koai Bong Hwesio dan telah mewarisi ilmu silat dan tombak dari cabang Kui-thong-pai. Juga tenaganya besar sekali hingga dengan kepalan tangan kanan ia pernah memukul mampus seekor kerbau yang mengamuk! Selain itu, iapun pandai renang dan bermain dalam air seperti seekor ikan. Maka sudah pantaslah kalau ia diberi julukan Iblis Sungai Yang-ce.
Lie Thung sangat penasaran ketika mendengar betapa Sungai Yang-ce itu dibikin keruh dan kotor oleh nama Hwee-thian Kim-hong dengan dijatuhkannya beberapa kepala bajak di sepanjang sungai itu. Ia segera menyuruh beberapa anggauta penyelidiknya pergi ke atas dan mencari tahu hal pemuda pengacau itu. Alangkah girangnya ketika tak lama kemudian para penyelidiknya datang melaporkan bahwa pemuda yang dibenci itu tengah menuju ke Kwan-lian-cung!
Ketika perahu Lo Cin Han memasuki kampung Kwan-lian-chung, tiba-tiba dari depan tampak mendatangi lima buah perahu besar yang dipasang melintang. Di atas perahu paling depan berdiri seorang tinggi besar berbaju hitam. Cambang-bauknya hitam tebal dan matanya yang bulat dan besar memandang tajam. Wajah itu keren dan serem sekali, seakan-akan iblis sungai yang sedang murka.
Lie Thung dengan tombak pusakanya di tangan melihat sebuah perahu kecil mendatangi dengan perlahan. Awak perahu yang memegang galah tampak ketakutan dan mencoba bersembunyi di kamar perahu. Tapi seorang anak muda berpakaian biru muda dengan tenang berdiri di kepala perahu sambil bersedakap. Di pinggangnya tergantung pedang pendek.
Melihat pemuda berwajah cakap dengan tubuh kecil itu Lie Thung tidak memandang sebelah mata, namun karena sudah mendengar bahwa yang datang ini adalah Hwee-thian Kim-hong yang sudah berkali-kali menjatuhkan banyak pemimpin bajak, maka ia tidak berani melanggar aturan sungai telaga dan rimba hijau yang telah berlaku ratusan tahun. Maka ia segera mengangkat tangan memberi hormat sambil berkata nyaring.
“Enghiong dari manakah yang sedang lewat ini? Mohon petunjuk dan penjelasan.”
Baru kali ini Cin Han mendapat perlakuan yang agak hormat dari seorang kepala bajak, maka iapun segera balas memberi hormat dan menjawab, “Siauwte yang bodoh bernama Lo Cin Han dan mohon maaf jika perahu kecilku mengganggu kepada tai-ong dan harap memberi sedikit jalan untuk lewat.”
108
Tiba-tiba Lie Thung tertawa bergelak-gelak. Tak dapat ia menahan tawanya setelah mendengar tutur sapa anak muda yang halus itu. Orang macam inikah yang telah menjatuhkan beberapa orang kawannya? Sukar untuk dipercaya!
“Eh, maaf anak muda. Bukankah aku hendak berlaku sewenang-wenang, tapi di sini telah berlaku semacam aturan yang tak boleh dilanggar oleh siapa juga yang lewat sungai ini.”
Cin Han mengerti bahwa sikap hormat kepala bajak ini hanya di luarnya saja, dan sekarang terlihatlah maksud aselinya, tapi ia masih dapat menekan perasaan dan bersabar diri.
“Tentu, tai-ong. Lain ladang lain belalang, lain tempat lain aturan, dan siauwte sebagai tamu yang datang pasti akan taat kepada semua peraturanmu. Sebutkanlah itu, dan siauwte akan mempertimbangkan.”
“Begini anak muda. Yang boleh lewat di sungai ini hanya ada tiga golongan yang memenuhi salah satu syarat-syarat seperti berikut: Pertama, mereka yang memiliki keterangan atau tanda dari seorang sahabat baik kami boleh lewat tak terganggu. Kedua, mereka yang suka memberi sumbangan seribu tail perak kepada kami dapat lewat pula diiringi terima kasih kami. Ketiga mereka yang dengan perahunya dapat menembus halangan lima perahu kami tanpa terguling dari perahunya dan selain itu dapat melayani tombakku sampai tigapuluh jurus boleh lewat di sini diiringi pengawal kami sampai seratus lie. Nah, sekarang terserah kepadamu untuk memenuhi satu daripada tiga syarat itu.”
Cin Han menengok kepada tukang perahu, seorang tua yang kini bersembunyi ketakutan di pinggir kamar perahu, dan tersenyum berkata,
“Lo Ciang sudah dengarkah kau?” Lalu ia berpaling menghadapi Lie Thung dan menjura. “Tai-ong, memang syarat-syaratmu itu cukup adil. Mana siauwte berani membantahnya? Baik, mari kita pertimbangkan bersama. Syarat pertama, terang siauwte tak dapat mengadakannya, karena siauwte hidup sebatang kara tak berhandai taulan, sahabat siauwte satu-satunya adalah Lo Ciang tukang perahu ini, tapi tentu saja ia tidak cukup merupakan jaminan bukan?”
Lie Thung tertawa, demikian juga kawan-kawannya di kelima perahu bajak. “Menyesal sekali, kami tidak kenal kepada orang tua ini.”
“Nah, sekarang syarat kedua. Seandainya siauwte mempunyai bekal uang sedemikian banyak, tentu dengan kedua tangan terbuka akan kuberikan kepada tai-ong sebagai tanda persahabatan. Tapi apa hendak dikata, jangankan seribu tail, sedangkan seperlimanya saja siauwte tidak punya. Kalau saja bukan seribu tail, barang kali siauwte masih sanggup yaitu…… katakan saja…… kira-kira sepuluh tail……”
“Kamu menghina?” Lie Thung berseru marah. “Kami bukan pengemis!”
Cin Han mengangkat pundaknya “Menyesal sekali, tai-ong, bukan maksudku untuk menghina, tapi soalnya memang siauwte tidak punya perak sebanyak itu. Sekarang syarat ketiga. Karena kedua syarat di muka tadi tak mungkin kulakukan, terpaksa siauwte akan coba-coba mentaati syarat ketiga.”
109
“Bagus! Memang sudah kusangka kau pasti akan menggunakan kekerasan, mengandalkan kepandaianmu. Tapi jangan kauanggap aku selemah kawan-kawan yang telah kaukalahkan. Nah, mulailah dengan syarat pertama. Kau harus dapat menerjang kelima perahu kami dan dapat menerobos melalui kami.”
Ia bersuit keras dan kelima perahunya bergerak merupakan barian memenuhi permukaan sungai dan mencegat perahu Cin Han yang kecil. Cin Han menyuruh tukang perahunya sembunyi dalam kamar perahu dan ia sendiri dengan tangan kanan memegang galah dan tangan kiri memegang dayung segera menggerakkan perahunya maju perlahan.
Tapi perahu-perahu bajak itupun bergerak cepat dan menghadang di depannya. Kemanapun juga dia bergerak, selalu tentu ada perahu bajak yang mencegatnya, hingga ia hanya dapat menggerakkan perahunya ke kanan kiri tak berdaya melalui hadangan itu.
Ia mencari akal dan menghentikan perahunya. Kemudian ia menggerakkan perahunya lagi, sekarang ia menggunakan galah dan dayung, mengerahkan semua tenaganya sehingga perahunya melaju ke sebelah kiri. Semua perahu bajakpun bergerak ke kiri dan mencegatnya, dan tiba-tiba cepat sekali Cin Han memutar haluan perahunya ke kanan. Maksudnya hendak menggunakan kecepatan dan kekuatan tenaganya untuk berlomba dan mendahului perahu-perahu bajak menerobos kepungan.
Tapi Lie Thung bukan orang bodoh. Ia sudah dapat menduga maksud lawan, maka ketika mengejar perahu Cin Han ke kiri tadi, yang ikut hanya tiga buah perahu, yang dua buah lagi masih menanti dan mencegat di sebelah kanan, hingga perahu Cin Han terkurung lagi. Cin Han memutar-mutar galah bambunya di depan perahu dan dengan demikian mencoba menghalau rintangan di depan perahu, tapi usahanya ini bahkan hampir membuat ia celaka.
Lie Thung melihat ia menggunakan galah membuka jalan, segera memberi tanda dan para bajak sungai segera memutar-mutar galah mereka dan menggunakan galah itu mendorong-dorong perahu Cin Han untuk membuat perahu itu terbalik.
Cin Han terkejut sekali dan terpaksa ia memutar kembali perahunya. Ia maklum bahwa jika para bajak itu menujukan serangan-serangan kepada perahunya, ia tentu akan kalah. Karena sekali perahunya terbalik, ia takkan berdaya lagi. Untuk menjaga perahunya dari serangan galah agak sukar, karena serangan itu dilakukan dari kanan kiri dan gerakannya di atas perahu tidak leluasa. Ia duduk di perahunya dan memutar otak. Tiba-tiba ia meloncat bangun dengan wajah girang. Lalu dengan cepat ia mendayung perahunya ke pinggir. Perahu-perahu bajak mengejar dengan bingung karena tak mengerti maksudnya.
Ternyata Cin Han berpikiran cerdik. Ia maklum bahwa air di pinggir sungai dangkal sekali yang takkan mengganggu perahunya yang kecil. Tapi perahu-perahu bajak yang besar dan berat itu tentu sukar untuk dijalankan di pinggir. Dengan demikian maka jika ada juga serangan datang, maka serangan itu hanya datang dari satu jurusan saja yang lebih mudah untuk dijaganya.
Benar sebagaimana perhitungannya, ketika perahunya sudah sampai di tepi, perahu-perahu bajak tidak bisa mengejar terus, mereka yang berada di atas perahu bajak hanya berteriak-teriak dan mengacung-acungkan senjata dengan marah.
110
Cin Han tertawa geli dan dengan gembira ia mendayung perahunya menurut aliran air Sungai Yan-ce, tak memperdulikan teriakan-teriakan kaum bajak. Tapi kembali ia terkejut.
Ternyata Lie Thung tak mau menyerah kalah demikian saja. Kepala bajak yang cerdik ini segera memerintah perahu-perahunya untuk bergerak mengejar di tengah sungai. Dan Cin Han tahu akan maksudnya. Tidak semua pinggir sungai dangkal.
Jalan satu-satunya hanya membalap secepat mungkin untuk mendahului perahu-perahu itu. Maka berlombalah mereka. Setelah berlomba beberapa lama, Cin Han maklum bahwa ia takkan menang. Ombak yang diterbitkan oleh perahu-perahu di tengah itu lari ke pinggir dan menghambat kelajuan perahunya. Ia takkan menang kalau perahu-perahu bajak itu tidak ditahan majunya.
Memang Cin Han berhati tabah dan juga otaknya cerdas sekali. Diam-diam ia memesan kepada Lo Ciang untuk mendayung perahu secepat mungkin setelah ia beraksi nanti. Lalu ia menggerakkan perahunya mendekati perahu yang bergerak paling depan. Setelah perahu terpisah beberapa tombak jauhnya, Cin Han menggerakkan tubuhnya meloncat ke atas perahu bajak.
Dengan teriakan-teriakan riuh rendah bajak-bajak itu menyerangnya. Tapi Cin Han hanya berkelit dan berloncat-loncatan ke sana ke mari di atas perahu sehingga keadaan di atas perahu menjadi kacau. Dari perahu itu Cin Han meloncat lagi ke perahu lain sehingga sebentar saja anak buah kelima perahu itu memusatkan perhatian mereka kepada Cin Han yang sedang mengamuk dan mengacau.
Dengan demikian maka Lo Ciang dengan aman dan senang dapat mendayung perahunya melewati kepungan tanpa terlihat oleh seorang bajakpun.
Lie Thung melihat Cin Han mengacau, dengan marah meloncat ke perahu di mana Cin Han berada dan tombaknya siap di tangannya.
Tapi Cin Han tiba-tiba beseru keras, “Tai-ong, kau sudah kalah. Lihat itu perahuku sudah dapat keluar dari kepunganmu!”
Lie Thung terkejut dan semua bajak memandang. Baru sadar mereka bahwa perahu kecil yang dikejar-kejar itu telah lolos.
“Hm, kau cerdik, anak muda. Tapi aku belum kalah karena kau masih berada di sini, baru kau dapat disebut memenuhi syarat pertama.”
“Oh, begitukah?” mata Cin Han mengerling ke sekelilingnya, ternyata ia telah dikepung oleh puluhan bajak laut bersenjata lengkap. Tiba-tiba ia meloncat menerjang dan dua orang bajak yang mengangkat golok menghadangnya dapat dibikin terpelanting.
“Maaf dan selamat tinggal, Tai-ong!” kata Cin Han yang menyambar sebuah meja kayu. Dengan sekali tekan, meja itu pecah berantakan merupakan beberapa keping papan. Kemudian ia lari ke pinggir perahu, melemparkan sepotong papan ke air, diikuti oleh tubuhnya yang melayang ke bawah.
111
Anak muda itu mempergunakan ilmu ginkangnya yang terlatih sempurna, ia menggunakan ujung kakinya menotol papan yang tadi dilemparkan dan kini terapung di atas air hingga tubuhnya kembali melayang ke atas.
Sebelum tubuhnya turun, ia melemparkan potongan papan kedua jauh di depan, diikuti tubuhnya berkelebat cepat, turunnya di atas papan kedua itu, lalu meloncat naik ke atas.
Demikian, dengan gerakan dan loncatan Capung Bermain di Air ia berhasil meloncat ke atas perahunya sendiri dengan selamat. Semua bajak melihat hal ini dengan mata terbelalak. Setelah Cin Han tiba di perahunya sendiri, terdengar sorakan kawanan bajak menyatakan kagumnya. Lo Ciang terheran-heran melihat penumpangnya sudah kembali ke perahu, tapi ia tak banyak cakap, hanya terus mendayung sekuat tenaga.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang. Cin Han dan Lo Ciang menengok, ternyata dari perahu-perahu bajak itu diturunkan sebuah sampan yang didayung oleh seorang dan sedang mengejar mereka. Ternyata pengejar itu bukan lain adalah Lie Thung sendiri.
Cin Han kagum juga melihat tenaga kepala bajak itu yang mendayung perahu kecil dengan cepat hingga sebentar saja sudah dekat dengan perahunya. Tapi Cin Han tak mau mengalah, iapun menggunakan tenaganya mendayung hingga perahunya melaju cepat. Betapapun juga, perahu bajak itu lebih cepat karena bentuknya yang runcing dan dayungnya yang lebih sempurna.
Mendadak Lie Thung berseru keras, “Awas panah!”
Cin Han kaget dan berpaling. Ternyata kepala bajak itu melepaskan anak panah yang berekor panjang sekali bagaikan ular menyambar. Anak panah itu tepat menancap di badan perahunya dan Cin Han merasa betapa perahunya agak tergoncang. Ketika ia memperhatikan, ternyata anak panah itu diikat dengan tambang yang kuat, hingga kini perahunya seakan-akan tertangkap oleh Lie Thung yang memegang tambang itu dengan, tertawa bergelak-gelak.
“Ha-ha! Kau hendak lari ke mana, anak muda? Kau baru lulus dalam ujian pertama, yang kedua belum kaulaksanakan.”
Cin Han merasa kagum dan juga gemas. “Tai-ong, bukan maksudku hendak kabur karena takut padamu. Sebenarnya aku tidak suka mengadu tenaga dengan kau yang pasti akan memperbesar rasa permusuhan darimu saja. Sedangkan kita sama sekali tak pernah bermusuhan. Tapi, karena kau memaksa, apa boleh buat, mari kita mendarat.”
“Bagus, itu baru suara laki-laki,” kata Lie Thung yang lalu mengikatkan tambang itu ke perahunya dengan kuat didayungnya perahu ke pinggir, sehingga perahu Cin Han terbawa pula. Cin Han membiarkan saja perahunya ditarik seperti kerbau ditarik hidungnya.
Dengan tindakan lebar Cin Han ikut Lie Thung menuju ke markasnya, di mana telah menanti berpuluh-puluh orang bajak yang menyambut mereka dengan sorak ramai sebagai pujian kepada Lie Thung yang dianggap telah dapat menangkap Hwee-thian Kim-hong. Di tengah-tengah halaman yang lebar di mana mereka berkumpul, telah didirikan sebuah panggung segi empat yang tingginya kurang lebih satu tombak. Panggung ini memang khusus didirikan untuk tempat mengadu silat dan latihan.
112
Lie Thung meloncat ke atas panggung dengan gerakan gesit dan ringan. Cin Han kagum melihat gerakan Katak Meloncat Keluar Empang yang cukup sempurna itu. Iapun tidak mau kalah dan mendemonstrasikan kegesitannya meloncat ke atas panggung dengan gerakan Naga Sakti Menembus Awan.
“Nah, Tai-ong, harap jangan membuang waktu lebih lama, karena perjalananku masih jauh. Dengan cara bagaimana aku harus memenuhi syarat kedua ini?”
“Aturan lama takkan kurobah, tidak ditambah tidak dikurangi,” jawab Lie Thung. “Asalkan kau dapat melayani permainan tombakku selama tigapuluh jurus, maka berarti kau menang.”
Cin Han tersenyum dan memandang tombak pusaka dari lawannya yang sudah siap di tangan. Tombak itu agak pendek daripada tombak biasa, ujungnya tidak runcing agak besar membulat dan mata tombak sampai ke tangkai seluruhnya terbuat daripada logam hitam kehijau-hijauan dan tampaknya berat.
“Aku sudah siap, nah mulailah dengan seranganmu, Tai-ong.”
“Bukan maksud peraturan itu untuk menghadapi tombakku dengan tangan kosong. Keluarkan senjatamu, anak muda.”
“Tak perlu, Tai-ong. Kita bukan hendak mengadu nyawa, tapi hanya untuk bermain-main saja, bukan? Asal aku dapat melayanimu tigapuluh jurus, beres, bukan? Nah, seranglah.”
“Hm, jangan menyesal kalau tombakku tak bermata.”
“Tombakmu boleh tak bermata, tapi aku mempunyai dua mata yang cukup awas kiraku.”
Lie Thung berkata marah, “Kau cari mampus sendiri!”
Dengan gerakan hebat ia maju menusuk dengan tombaknya. Ujung tombak itu menyambar dan Cin Han melihat betapa ujung tombak itu meluncur dengan gerakan terputar ke arah dadanya.
“Jurus pertama!” ia berseru dan mengelakkan tusukan itu dengan cepat.
Lie Thung melihat tusukannya dikelit demikian mudah, meneruskan serangan tombaknya dengan memutar tangkai tombak dan menggunakan gagangnya menghantam ke arah kepala lawan dengan gerakan Raja Monyet Ayun Toya ialah menggerakkan ilmu silat toya yang lihai. Baiknya Cin Han mengenal gerakan ini, maka ia tidak mau berlaku gugup, dan berkelit sedikit sambil berlaku waspada.
Benar seperti dugaannya, pukulan itu hanya gertakan belaka, karena tiba-tiba tombak terputar lagi dan kini ujungnya yang tumpul dengan gerakan memutar dari kiri menyambar ke arah lambungnya. Serangan ini tak mudah dikelit, maka sambil berseru, “Aya!” Cin Han menggunakan tenaga ginkangnya menjejakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya meloncat ke atas secepat kilat.
113
Namun ujung tombak demikian cepat datangnya sehingga ia merasakan angin serangan tombak telah meniup ke arah kakinya! Ia tidak sempat berkelit lagi, maka dengan berani sekali ia menggunakan ujung kakinya menotol ke arah leher tombak dan meminjam tenaga serangan lawan ia meloncat ke atas dan berpok-sai (berjumpalitan) di udara. Kemudian, ketika tubuhnya menyambar turun dengan kaki di atas kepala di bawah, ia membuka lengannya lalu membikin gerakan menyerang dengan kedua lengan ke arah tubuh Lie Thung.
Kepala bajak menjadi terkejut melihat gerakan Cin Han yang aneh itu dan cepat-cepat ia menangkis dengan tombaknya. Tapi anak muda itu sebenarnya hanya menggertak saja agar lawannya tak sempat menyerang lagi, maka ketika Lie Thung membuat gerakan menangkis, ia segera meloncat turun agak jauh dan berkata sambil tertawa.
“Sudah berapa juruskah aku dapat melayanimu tadi, Tai-ong?”
Lie Thung tak menjawab, hanya berseru marah, “Lihat tombak!” Lalu ia maju sambil memainkan Ilmu Tombak Delapan Dewa yang sangat diandalkan, karena jarang ada orang yang dapat melawan ilmu tombak ini. Apalagi kalau lawannya itu bertangan kosong. Di dalam ilmu tombak ini terdapat gerakan-gerakan yang tak tersangka-sangka dan banyak sekali perobahannya, kedua ujung tombak menyerang berganti-ganti.
Namun dengan enak saja Cin Han dapat menghindarkan tiap serangan. Tubuhnya berkelebat kian ke mari, menyusup di antara ratusan bayangan ujung tombak bagaikan seekor kupu-kupu bermain-main di antara kembang-kembang mawar.
Para anggauta bajak dengan kagum melihat jalannya pertempuran, dan tak terasa mengeluarkan lidah karena kagum ketika mereka melihat betapa anak muda itu mempermainkan kepala bajak yang mereka segani. Tubuh pemuda itu tak tampak lagi, hanya bayangan biru berkelebatan cepat sekali.
Setelah menghitung bahwa serangan dari Lie Thung kepadanya sudah lebih dari tigapuluh jurus, maka Cin Han meloncat ke belakang dan berseru, “Tahan!!”
Lie Thung berdiri memandangnya dengan muka merah. “Apa apa?” tanyanya marah.
“Tai-ong, syaratmu tadi mengatakan bahwa aku harus melayanimu selama tigapuluh jurus. Tapi seranganmu tadi sudah lebih dari empatpuluh jurus, mengapa kau masih saja menyerang?”
Lie Thung tak menjawab hanya membentak, “Jangan banyak mulut! Terima serangan maut ini!” Dan ia maju pula mendesak dengan tombaknya.
Cin Han merasa penasaran sekali. Ternyata kepala bajak ini berwatak tak mau kalah dan harus diberi sedikit hajaran. Dengan seruan, “Baik kalau begitu!” ia mencabut Kong-hwa-kiam dan balas menyerang.
Sebetulnya ia masih cukup kuat untuk melawan dengan tangan kosong saja, tapi karena permainan tombak Lie Thung juga lihai, rasanya akan sukar baginya untuk menjatuhkannya cepat-cepat.
114
Melihat permainan pedang lawannya demikian aneh dan cepat, Lie Thung merasa bingung dan sebentar saja ia terdesak mundur. Dengan nekat ia menusukkan tombaknya ke arah dada lawan dengan tipu Giok-tai-wie-yauw atau Ang-kin Kumala Melibat Pinggang. Jurus ini hebat sekali, tapi Cin Han dengan lincahnya meloncat ke samping dan dari samping membabatkan pedangnya ke arah tangan kanan lawan dan berbareng mengirim tendangan ke lambung yang tak terjaga.
Karena serangan balasan ini tak terduga dan cepat sekali, Lie Thung berseru kaget dan untuk menolong tangannya terpaksa melepaskan tombaknya dan untuk menghindarkan diri dari tendangan Cin Han, terpaksa pula menggunakan gerakan Keledai Berguling dan tubuhnya dijatuhkan terus bergulingan menjauhkan diri. Untung baginya Cin Han tidak mengejarnya, maka ia berdiri degan wajah merah.
“Sungguh nama Hwee-thian Kim-hong bukan nama kosong belaka. Aku mengaku kalah.”
Cin Han tergesa-gesa membalas dan memberi hormat. “Tai-ong sudah berlaku murah dan mengalah. Sekarang siauwte mohon diberi kebebasan dan melanjutkan perjalanan.”
Lie Thung mengerutkan alisnya. “Perjalanan dari sini ke timur tidak mudah. Kau tentu akan banyak mendapat gangguan, maka biarlah beberapa orangku mengantarmu sampai di tempat tujuan.”
“Ah, terima kasih atas kebaikanmu, tapi tak usah merepotkan, karena siauwte memang sengaja berpesiar menambah pengalaman. Adapun tentang gangguan, bagaimana nanti saja, kuserahkan nasib kepada Yang Maha Kuasa.”
Lie Thung kurang senang mendengar ucapan ini. Ia menganggap anak muda ini terlampau menyombongkan diri.
“Kalau begitu biarlah kaubawa kartu namaku, karena semua kawan di sepanjang Sungai Yang-ce sudah kenal padaku dan tentu mereka dengan memandang mukaku takkan mau mengganggumu lagi.”
Namun Cin Han adalah seorang pemuda yang baru saja turun dari tempat penggemblengan. Tubuhnya kuat hatinya tabah, pula ia merasa rendah kalau harus menggunakan nama orang lain untuk menyelamatkan diri. Maka dengan halus ia menampik pula. Sungguhpun merasa penasaran, namun Lie Thung diam saja, hanya berkata, “Selamat jalan.”
Tapi Lo Ciang yang berada di situ dan mendengar akan usul baik yang ditolak Cin Han diam-diam mendekati Lie Thung dan mohon diberi sebuah kartu nama. “Biarpun kongcu ini tidak membutuhkan kartu nama, tapi aku yang tua dan lemah ini memerlukan sekali untuk dipakai sebagai jimat pelindung.”
Dan Lie Thung dengan tertawa memberinya sehelai.
Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan dengan perahu, perahu Lo Ciang yang terpanah itu segera diganti oleh Lie Thung dengan sebuah perahu kecil yang masih baru. Tentu saja Lo Ciang girang bukan kepalang dan berkali-kali menyatakan terima kasih sambil terheran-heran, “Selama hidup baru
115
kali ini bertemu dengan kaum sungai telaga yang baik hati, bukannya merampok bahkan memberi hadiah.”
Kemudian ternyata bahwa kartu nama Lie Thung benar-benar merupakan bintang pelindung dan karena Lo Ciang selalu memperlihatkan kartu itu kepada setiap pengganggu, Cin Han menjadi terlepas dari gangguan bajak. Diam-diam ia mengakui kebenaran Lo Ciang yang sudah minta kartu nama itu. Kalau tidak ada kartu nama Lie Thung, tentu ia mengalami banyak pertempuran yang hanya akan memperlambat perjalanannya.
Demikianlah setelah berganti-ganti perahu dan berlayar hampir tiga bulan, akhirnya sampai juga ia di kota Tiong-bie-kwan. Dengan mudah ia dapat mencari Gan Keng Hiap dan menyerahkan surat peninggalan ayahnya.
Gan Keng Hiap dan isterinya merasa terharu sekali dan ikut menangis ketika mendengar akan kematian Lo Sun Bi dan isterinya. Kemudian ia berkata dengan suara ramah dan halus.
“Hiante, biarlah yang sudah pulang ke alam asal tak perlu disedihkan lagi. Kau tinggallah saja di sini, kami juga tidak punya anak, maka bolehlah kauanggap aku dan isteriku ini sebagai pengganti orang tuamu. Dan sebagaimana pesan ayahmu, kau rajin-rajinlah belajar ilmu surat di sini.”
Lo Cin Han merasa terharu sekali. Dalam pertemuan pertama saja ia sudah merasa suka sekali kepada orang tua dengan isterinya yang kedua-duanya ramah tamah dan halus tutur sapanya itu. Tanpa ragu-ragu lagi ia menjatuhkan diri berlutut dengan terharu.
Gak Keng Hiap adalah seorang sasterawan yang pandai dan isterinya juga puteri seorang bangsawan yang pandai akan ilmu surat dan kerajinan tangan. Mereka merupakan pasangan yang setimpal dan cocok sekali, hanya sayang sekali mereka tidak mempunyai keturunan.
Nyonya Gan Keng Hiap biarpun sudah berusia kurang lebih limapuluh tahun, namun wajahnya dan tubuhnya masih membayangkan bekas seorang wanita yang sangat cantik dan terpelajar. Cin Han merasa heran melihat bibinya ini sering termenung seakan-akan merasa khawatir dan sedih.
?Y?
Waktu berjalan sangat pesat dan tak terasa pula ia sudah tinggal di rumah pamannya setahun lebih. Dengan rajin ia belajar menulis dan membaca, tapi tak pernah alpa pula ia melatih ilmu silat seorang diri pada waktu-waktu tertentu.
Pada suatu senja ketika ia sedang berlatih ilmu silatnya, tiba-tiba terdengar suara orang memuji dengan girang, “Ah, bagus sekali kau tidak melupakan pelajaran silatmu.”
Cin Han cepat berpaling dan alangkah gembiranya setelah ia melihat siapa orangnya yang berbicara itu. Segera ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata girang, “Suhu!”
Gwat Liang Tojin membangunkan muridnya dan memegang pundak muridnya yang tersayang itu sesaat lamanya.
116
Kemudian ia mengelus-elus jenggotnya yang putih panjang sambil mengangguk-angguk dan memandang pakaian Cin Han. Pemuda itu diam-diam mengerling ke arah pakaiannya dan ia maklum bahwa pakaian itu menarik perhatian suhunya, karena sudah lama sejak ia ikut pamannya mempelajari ilmu surat, ia berpakaian sebagai seorang pelajar pula.
Lenyap sifat-sifat dan kegagahan seorang ahli silat dari pakaiannya yang menunjukkan keahliannya sebagai seorang sasterawan.
“Bagus, muridku. Bagus, memang inilah yang terbaik. Makin rapat kau sembunyikan kepandaian silatmu, makin baik. Ha, ha.”
“Suhu, teecu girang sekali suhu datang. Marilah kuantar menemui pamanku!”
Gwat Liang Tojin mengangkat tangan kanannya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Tak usah, tak usah, aku tak mau membikin repot. Sebenarnya, kedatanganku ini kebetulan saja, Cin Han. Dalam perantauanku, aku kebetulan lewat tempat ini dan pula ada sesuatu yang agak penting juga.”
“Teecu sebenarnya sudah sangat rindu kepada suhu.”
“Ha, anak baik. Baru juga setahun lebih,” kata pendeta itu sedangkan di dalam hati ia girang sekali mendengar pernyataan muridnya itu dan diam-diam iapun mengakui betapa rindunya kepada murid yang sangat disayangnya itu. Tapi tiba-tiba wajahnya menunjukkan kesungguh-sungguhan.
“Muridku, dalam beberapa hari ini kau harus berhati-hati. Pamanmu mungkin dalam bahaya.”
Cin Han terkejut. “Gan siok-hu dalam bahaya? Apa maksudmu, suhu?”
“Kedatanganku sebetulnya juga ada hubungannya dengan hal ini, dan baiklah jangan kau menanyakan sesuatu. Jika bahaya ini sudah lewat, kau tentu akan mendengar sendiri pokok persoalannya dari paman dan bibimu. Tapi jangan kau cemas, Han, aku takkan berada jauh dari sini dan akan selalu mengawasi dan menjaga.”
Cin Han tak berani mendesak, tapi bagaimanapun juga, hatinya sangat bingung penuh rasa khawatir. Tiba-tiba dari dalam rumah tampak orang menuju ke halaman belakang di mana mereka berada.
“Sampai jumpa lagi, muridku,” kata Gwat Liang Tojin dan sekali berkelebat lenyaplah tubuhnya di balik pagar. Diam-diam Cin Han mengagumi gerakan gurunya yang sungguhpun sudah lanjut usianya namun masih gesit dan cepat sekali.
Ternyata yang datang adalah pamannya, Gan Keng Hiap. Mereka bercakap-cakap seperti biasa, dan dengan suara yang seakan-akan tak disengaja, Cin Han membelokkan percakapan mereka dengan sebuah pertanyaan apakah pamannya itu mempunyai musuh di luaran.
“Musuh? Ah, dari mana kau mendapat pikiran aneh ini, anakku? Aku seorang lemah dan tak pernah berselisih dengan orang lain, pula aku tidak berani berkelahi. Siapa yang memusuhi orang seperti aku?”
117
Semenjak saat itu Cin Han berlaku hati-hati sekali menjaga rumah pamannya, tapi malam hari itu tidak terjadi sesuatu. Pada malam hari kedua, pada kurang lebih jam sepuluh dan ia sedang duduk bersamadhi sambil berjaga, telinganya mendengar suara kaki menginjak genteng rumah.
Ia kaget sekali karena suara itu demikian perlahan yang menunjukkan betapa tingginya ilmu meringankan tubuh tamu malam itu. Dengan tenang Cin Han memadamkan lampu dan mencabut pedang Kong-hwa-kiam yang selama ini disembunyikan saja dalam bungkusan pakaiannya, kemudian ia meloncat keluar jendela terus mengayun tubuh ke atas genteng.
Sebelum ia dapat melihat di mana adanya tamu malam itu, tiba-tiba ia merasakan angin pukulan datang dari samping dibarengi bentakan perlahan.
“Jangan kau ikut-ikut dan merintangi maksudku, pergilah!”
Tapi Cin Han berlaku sebat. Dengan miringkan tubuh ia dapat mengelakkan sampokan tangan orang itu dan ia barengi meloncat ke belakang untuk memperhatikan lawannya. Ia kaget dan heran sekali. Yang berdiri di hadapannya adalah seorang laki-laki setengah tua yang beroman muka mengerikan.
Orang itu mukanya penuh cambang bauk dan rambutnya yang panjang terurai tak terurus sama sekali, sedangkan tubuhnya mengenakan baju dan celana pendek dari kulit harimau, kakinya tak bersepatu, ia lebih menyerupai orang hutan yang masih liar.
“Hei, siapakah kau dan apa maksudmu malam-malam datang mengganggu?”
“Ha, ha, anak muda. Kau dapat menangkis doronganku, terhitung orang pandai juga. Sayang usiamu yang muda, pergilah jangan merintangi maksudku. Kau jangan ikut-ikut, jangan turut campur.” Suara orang itu parau dan menyeramkan.
“Enak saja kau berbicara, kawan,” kata Cin Han dengan berani. “Aku termasuk penghuni rumah ini dan kau datang hendak mengganggu keamanan rumahku, dan kaukatakan aku tak boleh ikut campur? Mana ada aturan macam ini? Hayo mengaku saja, siapa kau dan apa maksudmu datang malam-malam ini? Kalau kau tidak mengaku, jangan mengatakan aku keterlaluan kalau pedangku tak mengenal ampun.”
Sepasang mata orang itu memandangnya. Karena bulan bercahaya suram-suram maka Cin Han tidak dapat melihat dengan jelas, hanya tampak seakan-akan dari sepasang mata itu mengeluarkan cahaya. Ia tidak tahu bahwa orang itu memandangnya dengan kagum.
“Kau anak kecil tahu apa? Jangan turut campur!” Sambil berkata demikian orang itu menggerakkan tubuhnya meloncat ke bawah tanpa memperdulikan lagi kepada Cin Han. Pemuda itu penasaran dan marah sekali, ia mengayunkan pedangnya dan melompat mengejar lalu mengirim sebuah tusukan sambil berteriak, “Awas pedang!”
Orang itu berkelit cepat dan berteriak kaget ketika pedang Cin Han menyerempet pundaknya dan hampir saja melukainya. Ia tidak menyangka pemuda itu demikian lihai.
“Tahan!” serunya marah. “Siapa kau? Apa hubunganmu dengan Gan Keng Hiap?”
118
Cin Han tersenyum mengejek. “Kau mau tahu sekarang? Dengar baik-baik, Gan Keng Hiap adalah pamanku, dan aku menjadi pelindungnya!”
“O, begitu? Ha, ha! Kau sombong, anak muda, sungguhpun kuakui bahwa ilmu pedangmu tidak jelek. Mari-mari, majulah, mari kita main-main sebentar, takkan terlambat bagiku untuk mengambil nyawa orang she Gan itu sebentar lagi.”
Mendengar kata-kata ini Cin Han menjadi marah sekali. “Mudah saja, lebih dulu aku akan mengambil kepalamu!” Maka iapun menyerang dengan hebat. Pedang Kong-hwa-kiam diputar cepat mengeluarkan sinar berkilauan dan mengeluarkan angin dingin.
“Bagus juga kiam-hwatmu!” Orang aneh itu berkelit dan ia makin kagum saja melihat permainan pedang pemuda itu.
Biarpun Kong-hwa-kiam-sut yang dimainkan Cin Han sangat luar biasa dan gerak-geriknya cepat melebihi burung kepinis, namun ternyata orang aneh itu lebih hebat lagi gerakan-gerakannya. Ia berkelit ke sana ke mari, menerobos di antara sinar pedang yang mengurungnya, dan kadang-kadang membalas menyerang dengan pukulan atau tendangan berbahaya. Cin Han mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, tapi setelah bertempur seratus jurus, ia mulai terdesak. Ia kalah ulet dan kalah tenaga.
Pada saat ia terdesak sekali menghadapi tendangan beruntun dari orang aneh itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Ong Lun, kau orang tak tahu diri!!”
Dan tampak bayangan putih berkelebat di depan Cin Han untuk menahan serbuan orang aneh itu.
Cin Han meloncat mundur dengan hati girang karena yang datang itu bukan lain ialah Gwat Liang Tojin, gurunya.
“Ha, ha, ha! Aku tadi sudah merasa curiga terhadap anak muda ini. Memang ilmu pedangnya mengingatkan daku akan engkau orang tua,” tamu malam yang aneh itu tertawa bergelak-gelak.
Gwat Liang Tojin menudingnya dan berkata dengan suara tetap. “Ong Lun! Kau tahu betapa besar rasa sayangku kepadamu. Kau sudah kuanggap adik kandungku sendiri, bahkan kita sudah saling bersumpah untuk bersetia kawan. Tapi kau yang selalu kukagumi, ternyata tak lain hanya seorang lemah, seorang pengecut.”
“Gwat Liang suheng, mengapa kau begitu marah? Mungkin sutemu ini seorang lemah, ini kuakui, tapi mengapa kau menyebutku pengecut?”
“Bukankah itu disebut lemah dan rendah bila seorang hohan menjadi mata gelap hanya karena wanita? Dan bukankah pengecut sekali bila seorang gagah berilmu tinggi memusuhi seorang sasterawan lemah tak berdosa hanya karena seorang perempuan? Ah, Ong Lun, Ong Lun…… kau harus malu!”
119
“Sasterawan lemah? Tak berdosa? Suheng, kau belum tahu duduknya perkara. Orang she Gan itulah yang pantas disebut orang tak tahu malu. Ia menggunakan wajah tampan dan kedudukan sebagai seorang sasterawan untuk memikat hati wanita yang kucinta. Aku sudah menderita dan menahan gelora hatiku untuk puluhan tahun, tapi hatiku makin menderita, suheng. Kalau aku belum mengirim orang she Gan itu ke neraka, hidupku akan makin tersiksa saja.”
“Betulkah kata-katamu ini?” Suara Gwat Liang membayangkan keragu-raguan.
“Tentu saja betul……”
“Bohong!” Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari bawah. Ternyata yang berteriak itu adalah nyonya Gan Keng Hiap yang sejak tadi mendengarkan percakapan mereka di atas genteng yang diucapkan dengan keras. “Itu bohong belaka! Belum pernah aku mencinta kepada Sian-kiam Koai-jin Ong Lun. Memang aku kagum dan berhutang budi padanya, tapi aku tak pernah cinta padanya. Aku kawin dengan Gan Keng Hiap karena akupun cinta padanya, bukan karena pikatan. Ah, Ong-taihiap, kenapa kau jadi begitu? Rambut kita sudah putih, tapi masih jugakah kau mendendam? Kalau kau mau bunuh suamiku, bunuhlah aku lebih dulu!” Kemudian nyonya Gan Keng Hiap berlutut di atas lantai sambil menangis sedih.
Wajah Ong Lun Sian-koam Koai-jin yang tadinya tegang dan keras, kini tiba-tiba melunak dan ia menghela napas berulang-ulang.
“Ong Lun Taihiap, aku Gan Keng Hiap ada di sini, kalau taihiap masih penasaran, inilah aku, bunuhlah kalau itu kehendakmu!” terdengar suara Gan Keng Hiap berteriak-teriak pula dari bawah.
Ong Lun si Manusia Aneh Pedang Dewa menggunakan sepasang matanya yang tajam itu mengerling ke sana ke mari bagaikan seekor harimau yang terkurung. Lalu tiba-tiba ia tertawa keras, tapi suara tawanya itu seakan-akan menggemakan suara tangis yang keluar dari hati sanubarinya.
“Ha, ha, ha, ha!!! Memang aku orang rendah tiada guna. Memang aku manusia menanti ajal. Orang tak tahu diri, tak tahu malu. Pantas saja semua orang membenci. Wanita yang kutolong dan kucinta membalas membenci. Suheng yang seperti kakak sendiri juga membenci. Sudah sepatutnya, sudah sepatutnya! Biarlah, Gan Keng Hiap, kalau di dunia ini aku tak dapat menuntut balas, nanti di akhirat tentu aku akan mencari padamu!” kemudian orang aneh itu segera berkelebat pergi secepat kilat.
“Ong Lun sute, tunggu!!”
Panggilan Gwat Liang Tojin penuh suara iba. Tapi bayangan yang sudah jauh itu hanya menjawab, “Maaf, suheng!”
Dan malam kembali sunyi senyap, hanya terdengar isak tangis nyonya Gan Keng Hiap di bawah genteng.
“Nah, tugasku selesai, muridku. Sekarang aku hendak pergi.”
“Tapi suhu, siapakah orang gagah tadi? Ilmu silatnya tinggi dan hebat, dan mengapa ia memusuhi siok-hu?” tanya Cin Han yang masih berdebar dan bingung menghadapi peristiwa yang baru terjadi.
120
“Dia adalah Sian-kiam Koai-jin Ong Lun, orang gagah perkasa yang jarang ada tandingannya. Ia telah mengangkat saudara dengan aku dan kami pernah sama-sama mempelajari ilmu silat tinggi. Tapi ia berwatak ku-koai (aneh) dan suka membawa mau sendiri. Bagaimanapun juga, ia adalah seorang baik dan berhati emas serta luhur budinya. Tentang urusannya dengan siok-humu itu, aku tak tahu jelas, lebih baik kau tanya saja kepada mereka yang bersangkutan. Nah, sekarang aku pergi muridku. Jaga dirimu baik-baik.”
“Terima kasih, suhu, selamat jalan.”
Gwat Liang Tojin mengebutkan lengan bajunya dan tubuhnya berkelebat di malam gelap.
Malam itu Cin Han tidak mau mengganggu paman dan bibinya yang masih tenggelam dalam kesedihan dan keharuan, tapi pada keesokan harinya, terpaksa ia membuka rahasia bahwa yang datang menolong malam tadi adalah suhunya.
Gan Keng Hiap suami isteri menyesal sekali mengapa Gwat Liang Tojin tidak diminta turun dan berkenalan.
Kemudian Cin Han dengan ingin tahu sekali bertanya tentang urusan pamannya dengan Sian-kiam Koai-jin Ong Lun. Sambil menghela napas panjang Gan Keng Hiap mengangguk ke arah isterinya dan berkata.
“Kau tanya sajalah kepada bibimu.”
Dan bibinya mulai bercerita tentang masa mudanya ketika berjumpa dengan Ong Lun.
?Y?
Nyonya Gan Keng Hiap ketika masih gadis bernama Pui Sin Lan. Ayahnya adalah Pui Hok Thian, seorang pembesar menjabat pangkat ti-hu di kota Bian-touw Karena keadaan di Tiongkok pada waktu itu sangat tidak aman dan kekacauan timbul di mana-mana sebagai akibat kelaliman Raja, dan semua pembesar dan alat pemerintah hidup dengan jalan korupsi, dan memeras rakyat, dan pembesar yang adil selalu bahkan dimusuhi oleh para koruptor hingga kedudukannya terdesak, maka Pui Hok Thian yang mempunyai jiwa bersih, mengundurkan diri.
Ia mengajukan surat rekes untuk meletakkan jabatan dengan alasan kesehatan, setelah mendapat ijin dengan mudah karena pembesar atasannyapun lebih suka melihat ia berhenti, ia berkemas dan membawa isteri dan anaknya pulang ke kampung asal.
Ternyata atasannya menaruh curiga padanya dan takut kalau-kalau di belakang hari bekas ti-hu yang jujur ini akan membongkar segala rahasianya. Maka diam-diam ia menyewa beberapa orang perampok kejam untuk mencegat perjalanan Pui Hok Thian dan membunuh semua keluarganya.
Demikianlah, ketika rombongan Pui Hok Thian melalui sebuah hutan yang liar dan besar, tiba-tiba sebatang anak panah melayang cepat dan menancap di kereta yang mereka duduki. Tukang kereta dan beberapa orang pengawal dengan cemas mencabut golok membuat persiapan. Muncullah
121
beberapa belas orang perampok yang dikepalai oleh seorang tinggi besar bersenjata siang-to. Perampok itu tanpa bertanya-tanya lagi segera menyerbu dan pertempuran berjalan dengan sengitnya.
Melihat bahwa pengawal-pengawal itu hanya berkepandaian biasa saja, kepala rampok hanya melihat saja betapa anak buahnya beraksi. Tiba-tiba ia melihat Pui-siocia di dalam kereta. Memang Pui Siok Lan adalah seorang gadis yang cantik sekali dan ia terkenal sebagai kembang kota Bian-touw usianya pada waktu itupun baru enambelas tahun.
Kan Beng kepala rampok yang disewa oleh pembesar jahat itu mengilar melihat kecantikan gadis itu dan timbul niat jahatnya. Dengan sekali loncat ia berada di dekat kereta dan membuka tendanya.
Pui Siok Lan menjerit kaget dan takut. Melihat perampok tinggi besar dan bengis itu mengulurkan tangan hendak menangkapnya, ia segera mencabut sebuah pisau belati kecil penjaga diri dan menggunakan senjata kecil itu menusuk tangan penjahat. Tapi Kan Beng hanya tertawa menyengir dan sekali sentil dengan jari tangannya, pisau itu terlepas dari pegangan Pui-siocia. Gadis itu hendak lari dan meloncat dari tempat duduknya, tetapi Kan Beng lebih cepat dan sebelum Pui-siocia dapat lari, tangannya telah terpegang oleh kepala rompok itu. Dengan sekali sentak tubuh yang kecil ramping itu berada dalam pelukannya dan ia meloncat dari kereta untuk membawa nona itu pergi lebih dulu.
Tiba-tiba pada saat itu terdengar jeritan-jeritan kesakitan dari beberapa orang perampok roboh tak berkutik lagi. Ternyata seorang pemuda tampan dan gagah mengamuk. Tubuhnya bagaikan burung rajawali berkelebat ke sana ke mari. Di mana saja ia sampai tentu terdengar jeritan ngeri dan seorang penjahat roboh terguling.
Tiba-tiba pemuda itu melihat Pui-siocia dalam pondongan Kan Beng. Ia berseru keras dan nyaring dan tahu-tahu tubuhnya sekali loncat telah sampai di depan Kan Beng.
Kan Beng pun berseru marah. Ia melepaskan Pui Siu Lan dari pondongan dan mencabut golok kembarnya. Tapi pemuda itu melawannya dengan tangan kosong. Sungguhpun siang-to di tangan Kan Beng merupakan sepasang golok yang lihai dan berbahaya sekali, namun dengan lima kali gebrakan saja sepasang golok itu terpental dari tangan Kan Beng dan sebuah tendangan kilat, menamatkan riwayat kepala perampok itu.
Melihat kegagahan pemuda itu, sisa-sisa perampok tanpa diperintah lalu lari tunggang-langgang. Berkat ketangkasan pemuda itu, Pui Hok Thian sekeluarga tertolong dan selamat, hanya dua orang pengawal mendapat luka-luka berat akibat bacokan golok.
Pui Hok Thian berterima kasih sekali dan menanyakan nama penolong mereka. Ternyata penolong yang gagah berani itu adalah Siang-kiam-enghiong Ong Lun si pedang dewa. Dengan merendah Ong Lun balas memberi hormat dan ia lalu mengantar pembesar jujur itu pulang ke kampung.
Semenjak itu, Ong Lun merasa bahwa hatinya telah tercuri oleh nona cantik yang ditolongnya. Pula, Siu Lan orangnya ramah-tamah dan tidak malu-malu maka pemuda itu makin tertarik.
122
Beberapa bulan semenjak terjadinya peristiwa itu, pada suatu malam rumah Pui Hok Thian didatangi penjahat. Mereka terdiri dari tiga orang dan bukan lain ialah suheng dan kawan-kawan Kan Beng yang terbunuh mati. Untung bagi keluarga Pui, pada waktu hal ini terjadi, Ong Lun masih berada di kampung itu, tinggal di sebuah hotel. Maka ketika seorang peronda memberi tahu padanya bahwa rumah keluarga Pui diserang penjahat, secepat kilat ia lari ke sana dan berhasil mencegah terjadinya pembunuhan.
Ketika ia tiba di rumah itu, ia melihat dua orang penjahat tengah mengamuk dan dikeroyok oleh penduduk kampung yang mengerti ilmu silat. Tapi orang-orang kampung itu bukan tandingan ke dua penjahat itu hingga telah ada beberapa orang yang menjadi korban. Dengan berseru keras Ong Lun menyerang mereka dan memerintahkan orang-orang kampung mundur.
“Hai, orang-orang dari manakah berani main gila di depan Sian-kiam Ong Lun?” bentaknya.
“Ha, jadi kaukah yang membunuh suteku Kan Beng? Kebetulan, memang kamu yang kucari. Hutang nyawa harus dibalas dengan nyawa!” teriak seorang kate kecil yang menjadi suheng Kan Beng dan bernama Tie Lok si Kerbau Kate Tanduk Besi. Kemudian kedua orang itu mengeroyok Ong Lun.
Ternyata kedua orang itu berkepandaian lumayan juga hingga akhirnya Ong Lun menjadi gemas dan mencabut Sian-liong-kiam. Setelah bersenjatakan pedang pusaka, maka dalam beberapa jurus saja kedua lawannya telah terbunuh mati. Ong Lun meloncat turun untuk menemui Pui Hok Thian. Alangkah terkejutnya ketika ia mendapatkan Pui Hok Thian suami isteri menangis sedih,
“Siok-hu, apa yang telah terjadi? Apakah Lan-moi…..”
“Celaka, taihiap…… adikmu…… Siu Lan diculik penjahat......”
Tanpa membuang waktu lagi Ong Lun meloncat keluar dan naik ke atas genteng. Ia menduga bahwa penjahat yang membawa lari Siu Lan tentu pergi ke sebelah hutan yang terletak beberapa belas lie dari kampung itu. Maka ia menggunakan ilmunya berlari cepat mengejar.
Betul sebagaimana yang ia duga, gadis itu dilarikan penjahat ke hutan itu. Ketika ia memasuki hutan beberapa lie dalamnya, tiba-tiba ia mendengar suara orang-orang bicara dan kuda meringkik. Ia berjalan perlahan dan mengintai. Ternyata di sebuah lapangan rumput terdapat banyak orang sedang duduk mengelilingi api.
Mereka adalah perampok-perampok yang berwajah kejam. Kurang lebih ada duapuluh orang yang duduk di situ, dan seorang yang agaknya menjadi pemimpin, bertubuh tinggi kurus dengan wajah pucat, duduk di tengah-tengah lingkaran. Di depannya kelihatan nona Siu Lan yang duduk menangis, menutup mukanya dengan kedua tangannya.
Melihat keadaan nona yang dicintanya, ingin sekali ia meloncat keluar dari tempat persembunyiannya dan mengamuk orang-orang yang dibencinya itu, tapi kecerdikannya mencegah kehendak ini. Kalau aku mengamuk, maka akan berbahayalah keadaan Siu Lan, pikirnya. Maka ia menahan sabar dan tetap mengintai. Ternyata mereka itu hendak bermalam di hutan dan besok pagi Siu Lan hendak dibawa pulang ke sarang perampok oleh kepala perampok kurus itu.
123
Tak lama kemudian kepala perampok menyeret Siu Lan yang meronta-ronta ke dalam sebuah tenda yang telah dipasang di bawah pohon Siong besar. Ong Lun menggerakkan tubuhnya dan bagaikan burung ia meloncat ke atas pohon. Kemudian, tanpa mengeluarkan sedikitpun suara, ia meloncat ke belakang tenda yang dipasang seperti kemah itu.
Ia mendengar kekasihnya menangis dan memaki-maki, maka tak sabar lagi ia menggunakan Siang-liong-kiam menusuk kain kemah. Sekali putar tenda itu robek lebar dan ia menerjang masuk.
Kepala perampok itu duduk sambil minum arak dengan mangkok besar yang dipegang dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya memegang lengan Siu Lan yang menangis sambil memaki-maki.
Kepala perampok itu terkejut bukan main melihat seorang pemuda memasuki tenda dengan tiba-tiba maka ia segera menggerakkan tangan menimpuk. Mangkok yang ditimpukkan itu dengan mudah dikelit oleh Ong Lun dan ia meloncat menerjang. Kepala perampok telah menyambar ruyungnya dan menangkis, tapi tangkisan itu membuat ruyungnya terbelah dua. Sebelum ia dapat berteriak atau lari, Sian-liong-kiam yang sangat tajam itu telah berkelebat dan kepalanya terpisah dari tubuhnya.
“Ong Lun taihiap!” Siu Lan berseru girang dan lari menghampiri, setelah sampai di depan pemuda itu, karena girangnya telah tertolong dari bahaya yang lebih hebat daripada maut itu, ia memekik dan meloncat memeluk leher Ong Lun.
Dengan terharu Ong Lun memeluk tubuh yang dikasihi itu, tapi ia terkejut sekali melihat bahwa Siu Lan telah jatuh pingsan dalam pelukannya. Ia segera memondong tubuh nona yang telah lunglai itu dan meloncat keluar dari kemah.
Sementara itu, para perampok yang mendengar beradunya ruyung dengan pedang, memburu ke dalam kemah. Bukan main kaget mereka melihat kepala perampok sudah mati konyol dengan kepala terpisah dari tubuh. Mereka ribut-ribut dan memburu keluar, tapi Ong Lun dan Siu Lan telah pergi jauh dari situ.
Karena fajar sudah hampir menyingsing, maka Ong Lun tidak berani terus melanjutkan perjalanannya, memondong seorang gadis keluar dari hutan sepagi itu. Maka ia lalu menurunkan tubuh Siu Lan di atas rumput hijau dan memanggil-manggil namanya.
Siu Lian masih saja pingsan. Gadis itu terlalu banyak menderita ketakutan dan tekanan batin hebat. Ong Lun lalu menanggalkan kain ikat kepalanya dan membasahi kain dengan air anak sungai yang mengalir tak jauh dari situ. Dengan kain basah ia menghapus-hapus jidat dan leher Siu Lan.
Perlahan-lahan gadis itu sadar kembali dan untuk sesaat ia memandang sekeliling dengan heran. Tapi ketika matanya bertemu dengan Ong Lun, ia bangkit duduk lalu menangis kembali dengan sedih.
“Sudahlah, Lan-moi, jangan bersedih. Bahaya telah berlalu dan kau selamat.”
“Ah, terima kasih, taihiap, lagi-lagi kau sudah menolong jiwaku yang tak berharga ini.”
“Dan lagi-lagi kau panggil aku taihiap. Bukankah kita ini seperti kakak dan adik?”
124
Siu Lan menunduk kemalu-maluan. “Baiklah, mulai sekarang aku menyebut koko padamu. Bagiku, kau lebih berbudi daripada seorang kakak aseli.”
Ong Lun merasa betapa merdunya ucapan ini dan ia memandang gadis itu dengan penuh rasa kasih. Tapi Siu Lan yang masih berhati kanak-kanak tidak tahu akan pandangan ini. Ia hanya balas memandang dengan kagum dan hatinya bangga mempunyai seorang kakak yang demikian gagah perkasa dan yang telah lama ia kagumi.
“Koko sudah berbulan-bulan kami kenal padamu tapi belum pernah kauceritakan riwayatmu. Aku masih lelah, maka baiklah kita mengobrol dulu di sini. Tempat ini begini sunyi dan nyaman. Coba kauceritakan sedikit riwayatmu, atau….. apakah itu kau rahasiakan?” ia mengerling sambil tersenyum.
Ong Lun tersenyum pula. Pada saat itu hatinya merasakan sesuatu yang luar biasa dan yang tidak pernah dialami sebelumnya. Hatinya seakan-akan menyaingi kenyamanan hawa pagi.
“Tidak, adikku. Bagiku tiada rahasia. Ayahku bernama Ong Tat dan dulu pernah menjabat pangkat residen. Tapi seperti juga ayahmu, ia bosan memegang jabatan yang penuh kekotoran itu, lalu minta berhenti. Tidak tahunya ia difitnah oleh kawan sejawat hingga ia terpaksa lari ke Sin-kiang. Di daerah yang liar ini ayah berjumpa dengan ibuku, seorang wanita Han yang lahir di Sin-kiang dan puteri seorang ahli pedang yang menjadi pendiri dari cabang Thai-san. Dan di situ pulalah aku terlahir, dididik ilmu silat oleh kakek dan ibuku. Kakekku masih mempunyai dua orang murid, yakni Hun Beng dan Kai Sin. Setelah tamat belajar silat, aku diusir oleh kakekku……”
“Diusir? Kesalahan apakah yang kau perbuat, koko?”'
Ong Lun tertawa. “Bukan begitu maksudku, Lan-moi. Aku bukan diusir karena salah, tapi diusir untuk pergi merantau dan meluaskan pengalaman.”
“O, begitu. Dan masih adakah semua keluargamu itu sekarang?”
“Masih, masih tetap di sana. Selama merantau empat tahun, sudah dua kali aku pulang dan mereka sehat-sehat saja, bahkan kedua suteku juga sudah tamat belajar dan sudah turun gunung.”
“Tentu banyak pengalaman-pengalaman yang menarik hati dan menyenangkan telah kau alami.”
“Memang banyak. Tapi pengalaman yang paling menarik terjadi di sini.”
“Di sini?”
“Ya, karena di sini aku mendapat seorang adik seperti kau.”
Wajah Siu Lan memerah. “Ah, jangan memuji, kakakku yang baik. Apakah kau tidak mempunyai saudara kandung?”
Ong Lun menggelengkan kepala.
125
“Nah, itulah sebabnya maka kau suka sekali mendapat seorang adik. Dan akupun senang mempunyai seorang kakak seperti kau. Kalau saja dari dulu kita bersama, tentu kawan-kawanku tidak akan ada yang berani mengganggu padaku.”
Demikianlah mereka mengobrol dengan gembira dan lupa waktu. Dalam kegembiraannya, Ong Lun bahkan menyanyikan sebuah lagu yang membuat Siu Lan sangat gembira.
Kemudian mereka berjalan pulang dengan bergandengan tangan. Pui Hok Thian suami isteri sangat girang melihat puterinya selamat. Lebih-lebih nyonya Pui, semalam penuh ia tak dapat tidur dan menangis terus. Kini melihat anaknya kembali dengan wajah berseri-seri ia menangis lagi dan memeluk anaknya.
“Aah, kau ini aneh dan lucu. Siu Lan hilang, kau menangis, sekarang dia sudah kembali, kau juga menangis lagi! Bagaimana sih maksudmu ini?” tegur suaminya.
Isterinya menyusut air mata dan merengut padanya. “Anak hilang kau hanya bisa bingung tak berbuat apa-apa. Tangisku malam tadi dan sekarang lain lagi, jangan kau anggap sama!”
“Apanya yang lain? Apakah lagunya yang lain? Atau air matanya yang berbeda?”
“Aah, sudahlah. Kau laki-laki tahu apa tentang tangis dan air mata!”
Siu Lan dan Ong Lun saling memandang dan tertawa geli melihat pertengkaran lucu ini.
Pui Hok Thian dan isteri tiada habisnya menghaturkan terima kasih kepada anak muda itu. Nyonya Pui menegur suaminya.
“Sudah berkali-kali aku bilang, lebih cepat Siu Lan keluar pintu lebih baik. Kalau ia sudah berada di rumah suaminya, tentu takkan terjadi hal-hal yang mencemaskan ini……”
Hok Thian melotot pada isterinya sambil mengerling kepada Ong Lun. Dengan isyarat ini ia menegur isterinya mengapa urusan rumah tangga semacam ini diucapkan di depan seorang luar.
Ong Lun merasa akan maksud isyarat ini dan dengan hati berdebar khawatir ia berpamit kembali ke hotelnya. Siu Lan keluar pintu? Siu Lan dikawinkan? Ah, ia merasa betapa ucapan-ucapan ini seakan-akan merupakan ujung pedang beracun menembus jantungnya. Perih dan sakit.
Tidak, tidak, kalau. Siu Lan kawin, maka ia sendirilah yang jadi suaminya. Ia harus menjumpai gadis itu dan menyatakan dengan terus terang. Malam ini aku harus menjumpainya, demikian ia mengambil keputusan.
Malam itu terang bulan. Ong Lun berdandan rapi dan berangkat menuju ke rumah keluarga Pui. Keadaan sudah sunyi, tapi ia tahu benar di mana tempat tidur gadis itu karena dengan diam-diam sudah berkali-kali jika waktu malam ia tak dapat tidur dan rindu kepada Siu Lan, ia pergi dan duduk di luar jendela gadis itu sambil melamun! Tapi belum pernah ia mengganggu atau mengetuk daun jendelanya walaupun hatinya sangat ingin.
126
Dengan perlahan ia menghampiri jendela dan mengetuk. Terdengar suara Siu Lan seakan-akan menahan teriakan. Segera Ong Lun memanggil karena ia tahu bahwa gadis itu tentu menyangka ada orang jahat lagi.
“Lan-moi!” ia memanggil perlahan.
Siu Lan membuka daun jendela. “Oh, kau, koko? Ada apa malam-malam……?”
“Stt.” Ong Lun memberi isyarat agar gadis itu jangan berisik, lalu minta ia keluar kamar.
Siu Lan mengangguk dan keluar dari pintu belakang. Mereka berjalan berendeng di dalam kebun belakang.
“Koko, agaknya ada sesuatu yang penting sekali?” tanya Siu Lan sambil memandang wajah orang.
Ong Lun berhenti dan memegang pundak Siu Lan, seakan-akan untuk menetapkan hatinya yang bergoncang keras.
“Moi-moi…… aku…… tadi aku mendengar ibumu berkata bahwa kau akan…… dikawinkan…… Maka…… aku…… terus terang, aku cinta padamu, Lan-moi dan…… dan aku akan melamar kau untuk menjadi isteriku……”
Siu Lan memandangnya dengan mata terbelalak heran. Kemudian wajahnya yang cantik menjadi pucat lalu berubah merah dan sebentar pula ia menangis terisak-isak sambil menjatuhkan diri di atas rumput di mana ia duduk menangis sedih.
“Eh, Lan-moi, kau…… kau kenapa?” tanya Ong Lun yang ikut duduk sambil memegang lengan Siu Lan.
“Kasihan kau…… koko….. tak kunyana sama sekali bahwa perasaanmu terhadap aku sedemikian…… Kukira kau hanya mencinta seperti cinta seorang kakak kepada adiknya seperti…… perasaanku kepadamu perasaan cinta seorang adik kepada kakaknya……”
“Jadi…… jadi kau tidak setuju…..?”
Siu Lan memandangnya tajam sambil menggunakan saputangan menghapus air mata dari pipinya.
“Koko, ketahuilah. Telah semenjak kecil aku ditunangkan, tunanganku adalah seorang she Gan dan…… dan siang tadi ayah ibuku menetapkan bahwa hari perkawinanku dimajukan bulan depan nanti. Bu…… bukan aku tidak menghargai perasaanmu, tapi…… ah, apa yang harus kuperbuat? Coba kaupertimbangkan sendiri keadaanku……!”
“Kau sudah bertunangan? Akan kawin bulan depan……” Wajah Ong Lun menjadi pucat seperti mayat, harapan sebesar gunung dalam hatinya pecah berantakan membuat dadanya terasa panas dan kepala pening. Ia memegang kepalanya yang rasanya seakan-akan terputar, matanya menjadi gelap dan tak tahan menerima pukulan batin ini. Tubuhnya lemah lunglai dan ia jatuh terjerembab di atas rumput!
127
Siu Lan kebingungan. Sambil menangis sedih ia menggoyang-goyang tubuh Ong Lun yang pingsan. “Koko…… koko…..”
Beberapa butir air mata gadis itu jatuh menimpa hidung dan pipi Ong Lun dan pemuda itu sadar kembali dari pingsannya. Ia merasa sedih dan malu. Ia menyatakan cintanya kepada seorang gadis yang telah bertunangan, kepada seorang gadis yang berhati suci dan menganggap ia sebagai kakak sendiri! Ia telah salah sangka.
Ternyata Siu Lan terlalu suci untuk mencinta padanya seperti cinta seorang wanita kepada seorang pria! Ah, ia malu! Malu sekali! Tiba-tiba tangannya bergerak dan pedang Sian-liong-kiam telah terhunus!
Perasaan halus seorang wanita ternyata lebih cepat lagi. Siu Lan menubruk padanya, “Jangan, koko, jangan……! Ah, laki-laki gagah perkasa yang kukagumi…… demikian pengecutkah kau? Mau bunuh diri? Buang pedangmu, buang!!”
Dengan tenaga luar biasa ia terkam tangan Ong Lun dan pemuda itu bagaikan seorang hilang pikiran membiarkan saja pedangnya dirampas dan dilempar ke bawah oleh Siu Lan. Ia mendekap mukanya dan air mata mengalir dari cela-cela jarinya.
“Lan-moi…… mari…… marilah kita pergi …… kita minggat saja dari sini, hidup berdua……”
Siu Lan berdiri marah. “Tidak! Kau anggap aku ini seorang macam apa? Tak malukah kau kalau aku melakukan hal yang demikian itu? Takkan cemarkah nama kita untuk selama-lamanya? Tidak!”
Tiba-tiba Orig Lun juga marah. “Baik! Kalau begitu, biarlah kau kawin dengan mayat orang she Gan itu! Akan kucari padanya, dan akan kubunuh, coba kau bisa berbuat apa!”
Siu Lan mengangkat kepala dan bertolak pinggang. “Hem, begitukah? Baik, bunuhlah dia! Bunuhlah calon suamiku pilihan orang tuaku itu, dan kaupun akan melihat mayatku. Kewajibanku untuk ikut suamiku, ke mana saja ia pergi, biar ke neraka sekalipun!”
Mendengar dan melihat ucapan dan sikap Siu Lan yang nekat dan menantang itu, Ong Lun merasa jiwanya hancur lebur, hatinya terasa sakit dan perih, dan ia menundukkan kepala. Rasa marahnya lenyap terganti rasa duka dan patah hati. Kemudian dengan kaki limbung ia meninggalkan Siu Lan yang duduk menangis sedih.
?Y?
Semenjak saat itu, watak Ong Lun berubah. Kalau tadinya ia merupakan seorang pemuda tampan dan manis budi bahasanya, kini ia tak menghiraukan dirinya lagi. Badan, muka, dan pakaiannya kotor didiamkan saja, ia tidak memperhatikan lagi makan tidurnya dan wataknya menjadi kasar dan aneh. Pakaiannya compang-camping dan kotor tak pernah diganti, rambutnya terurai ke mana-mana tak terurus.
128
Namun penderitaan batinnya tak membuat lupa akan tugasnya sebagai seorang pembela keadilan atau seorang hiap-kek yang dermawan. Hanya, kalau dulu ia banyak memberi ampun kepada orang-orang jahat yang bertobat, sekarang ia tak mengenal ampun lagi.
Semua orang jahat yang bertemu dengan dia tentu dibunuhnya tak mengenal kasihan lagi. Maka sebentar saja julukannya Sian-kiam atau Pedang Dewa ditambahi orang menjadi Sian-kiam Koai-jin yakni Manusia Aneh Pedang Dewa.
Keganasan Sian-kiam Koai-jin terhadap penjahat-penjahat mendatangkan bibit permusuhan yang hebat dengan perkumpulan agama rahasia Pek-lian-kauw atau Perkumpulan Agama Teratai Putih, ketika pada suatu hari ia membunuh lima orang anggauta Pek-lian-kauw yang sedang menipu rakyat untuk mengeduk uang dengan memberi pertunjukan ilmu gaib.
Peristiwa itu terjadi di kota Tiang-bun. Ketika Ong Lun berada di kota itu dan pada suatu hari berjalan di depan sebuah kelenteng kosong, ia melihat banyak orang berdiri mengelilingi lima orang yang berpakaian putih dan di dada masing-masing tersulam gambar teratai putih di atas air biru. Mereka ini adalah dua orang perempuan muda dan tiga orang laki-laki yang sedang mempertunjukkan ilmu sulap dan sihir.
Ketika Ong Lun mendekat, beberapa orang penonton menjauhkan diri dari pengemis muda yang kotor menjijikkan ini. Tapi Ong Lun tak perduli dan melongok ke dalam kalangan. Ia melihat orang laki-laki yang tertua, agaknya pemimpin rombongan itu, memegang sebuah pedang tajam dan berkata dengan suara keras.
“Cuwi yang terhormat. Cuwi sekalian telah menikmati pertunjukkan ilmu sulap dan silat yang menyatakan betapa gaibnya ilmu dari agama kami. Cuwi sekalian juga bisa masuk menjadi anggauta dan memiliki semua kepandaian aneh-aneh ini, asalkan cuwi suka menderma limapuluh tail perak tiap orang.”
Sambutan orang-orang atas pernyataan ini bermacam-macam. Ada yang setuju, ada yang tidak percaya dan mencela, walaupun celaan itu tak dikeluarkan terang-terangan.
“Cuwi-cuwi sekalian, sekarang kami akan memberi pertunjukan yang belum pernah kalian lihat seumur hidup, sebagai bukti betapa saktinya dewa-dewa yang dipuja di perkumpulan kami. Pernahkah kalian melihat orang menghilang? Nah, dewa-dewa kami akan memperlihatkan kesaktian dan melenyapkan beberapa orang anak.”
Kelima orang Pek-lian-kauw itu berjalan mengitari lapangan dan mata mereka mencari-cari. Kemudian masing-masing memilih seorang anak kecil dan dengan pikatan sebungkus kurma, anak-anak itu mau dan menurut saja diajak masuk ke dalam kalangan.
Pemimpin rombongan itu tertawa dan berkata kepada para penonton.
“Cuwi, lihatlah lima orang anak-anak mungil ini. Kami akan minta kepada dewa-dewa kami untuk memperlihatkan kesaktiannya dan membuat anak-anak ini dan kami berlima lenyap. Jangan khawatir, anak-anak ini takkan terganggu apa-apa. Nah, awas, saksikanlah!”
129
Ong Lun merasa curiga, tapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, kelima orang itu masing-masing telah mengeluarkan sebuah benda bulat dan mereka membanting benda itu di luar lingkungan mereka berlima. Terdengar ledakan keras dan benda-benda yang meledak itu mengeluarkan asap hitam yang tebal sekali sehingga sekejap saja mereka dan anak-anak itu tertutup asap dan lenyap dari pandangan mata. Tiba-tiba dari dalam gumpalan asap hitam itu terdengar suara tertawa seperti suara iblis tertawa dan para penonton tercengang mendengarkan suara pemimpin rombongan itu.
“Cuwi anak-anak ini hendak dipinjam sementara oleh dewa-dewa kami, dan siapa yang ingin menebus kembali, harus mendermakan uang seribu tail untuk tiap orang anak dan mengantar uang itu di hutan Siong-lim pada nanti jam duabelas!”
Semua penonton semenjak ledakan tadi telah mundur dan setelah asap membuyar mereka melihat bahwa lima orang Pek-lian-kauw bersama lima orang anak-anak itu betul-betul lenyap tak meninggalkan bekas! Mereka bingung dan terdengar jerit tangis orang-orang tua anak-anak itu.
Semua orang tidak tahu bahwa pemuda pengemis yang berpakaian compang-camping dan kotor menjijikkan tadi juga turut lenyap dari situ! Sebenarnya apakah yang terjadi? Benar-benarkah orang-orang Pek-lian-kauw itu pandai menghilang?
Hanya seorang saja yang dapat menjawab, ialah Ong Lun.
Ketika orang-orang tadi sedang bingung dan takut, Ong Lun bahkan mendekat dan memandang penuh perhatian. Samar-samar ia melihat lima bayangan berkelebat di belakang asap hitam dan dengan gerakan cepat sekali mereka lari ke arah utara. Ong Lun dengan diam-diam lari menggunakan ilmunya berlari cepat. Ia dapat mengejar mereka dengan mudah dan mengikuti jejak mereka.
Ternyata kelima orang Pek-lian-kauw itu lari masuk ke dalam hutan Siong-lim di mana terdapat sebuah pondok kecil tempat persembunyian mereka. Ketika mereka seorang membawa seorang anak dan kini anak-anak itu diam saja tak berteriak atau bergerak. Ia makin heran ketika melihat betapa anak-anak itu bagaikan dalam keadaan tidur atau pingsan. Ia dapat menduga bahwa kelima penjahat itu tentu telah menggunakan obat-obat bius terhadap anak-anak itu.
Ong Lun tak dapat mengendalikan napsu marahnya lagi. Ia mencabut Sian-liong-kiam yang disembunyikan di punggungnya lalu meloncat dari atas pohon siong tepat di hadapan kelima orang itu. Tentu saja mereka menjadi terkejut bukan main.
“Bangsat rendah, penculik hina! Hayo kembalikan anak-anak itu, baru tuan besarmu mau mengampuni jiwa anjing kalian!” dampratnya.
Makian ini membuat anggauta Pek-lian-kauw yang termuda menjadi naik darah. Perempuan itu segera menuding kepada Ong Lun dan memaki.
“Cis, budak pengemis hina dina! Tak tahukah kamu sedang berhadapan dengan siapa? Buka dulu matamu!”
130
“Ha, ha, ha! Tentu saja tuanmu sudah tahu. Kalian adalah gerombolan liar dari Pek-lian-kauw. Mungkin orang lain takut mendengar nama gerombolanmu, tapi aku, Sian-kiam Koai-jin Ong Lun, biar kau tambah orang-orangmu seratus lagi, aku orang she Ong tak gentar sedikit juga!”
Kelima orang Pek-lian-kauw itu diam-diam merasa tulang punggung mereka seperti tersiram air dingin mendengar nama Sian-kiam Koai-jin! Nama ini sudah cukup terkenal sebagai tukang basmi dan algojo para penjahat yang tak mengenal kompromi lagi! Buru-buru pemimpin rombongan itu, Liok Bu Tiat si Kaki Baja, mengangkat kedua tangan dan menjura dengan menghormat sekali.
“Maafkan kami sebesar-besarnya, Ong taihiap. Kami telah buta tak melihat Gunung Thai-san menghadang di depan mata. Kalau dengan tak sengaja kami bertindak salah terhadap taihiap, mohon taihiap suka memberi maaf dan pandanglah muka sucouw kami!”
Ong Lun tertawa geli. “Mengapa muka sucouwmu kalian bawa-bawa ke mari? Aku tidak kenal dia. Kalian tanya kesalahanmu? Apa yang kalian lakukan dengan anak-anak itu? Kalian menculik anak-anak kampung dan mencoba memeras rakyat, masih hendak bertanya kesalahan lagi?”
Walaupun merasa marah karena sucouwnya dihina orang, namun Liok Bu Tiat masih menyabarkan diri karena ia tahu akan kelihaian orang ini, maka ia menjura lagi,
“Ong taihiap, sepanjang pengetahuan dan ingatanku, perkumpulan kami belum pernah bermusuhan denganmu dan kami juga belum pernah membuat taihiap mengalami rugi. Maka mohon taihiap suka mengindahkan persahabatan ini dan mohon jangan mengganggu kami. Kelak kami akan melaporkan perihal kebaikan hati taihiap kepada sucouw kami dan mengundang taihiap datang minum arak wangi.”
“Apa? Setelah menculik dan memeras rakyat tak berdosa, kamu hendak membujuk-bujuk dan menyuap aku?? Jangan banyak cerewet, lekas keluarkan dan bebaskan anak-anak itu!” Kedua mata Ong Lun sudah mulai merah.
Tan Bwee Loan perempuan muda berdarah panas yang belum banyak mendengar nama Sian-kiam Koai-jin, tak dapat menahan sabar lagi. “Twako, untuk apa berdebat dengan anjing kotor ini? Tak perduli dia ini Koai-jin atau Jauw-koai (Setan Iblis), apakah kita berlima tak dapat membikin mampus padanya?”
“Bagus!” teriak Ong Lun marah dan pedang Sian-liong-kiam berkelebat bagaikan kilat.
Tan Bwee Loan menangkis, tapi pedang dan lehernya hampir berbareng terbabat putus! Demikianlah kehebatan Sian-liong-kiam dan kelihaian ilmu pedang dari Ong Lun si Manusia Aneh!
Empat kawan Bwee Loan bergidik melihat darah yang menyembur keluar dari lobang leher kawan itu. Tapi mereka tidak diberi kesempatan untuk memperpanjang keheranan dan kengerian mereka. Pedang pusaka di tangan Ong Lun berkelebat lagi menyambar-nyambar dan biarpun keempat orang Pek-lian-kauw itu berkepandaian lumayan juga, namun dalam beberapa belas jurus saja keempat-empatnya telah roboh mandi darah dan tak bernyawa pula!
131
Ong Lun tertawa bergelak-gelak, dan segera ia menolong anak-anak itu dan mengantar kembali ke kampung. Dengan siraman air anak-anak itu dapat siuman kembali dari pengaruh obat bius.
Perbuatan hebat ini membuat nama Sian-kiam Koai-jin makin ditakuti kaum penjahat dan disegani orang-orang kalangan kang-ouw, tapi sebaliknya membuat Ong Lun dibenci hebat oleh kaum Pek-lian-kauw.
Semenjak itu, sudah berkali-kali Ong Lun berkelahi dengan jago-jago dari Pek-lian-kauw yang datang membalas dendam. Dalam pertarungan hebat dan mati-matian, Ong Lun yang berkepandaian tinggi selalu mendapat kemenangan. Maka kaum Pek-lian-kauw makin benci padanya dan mereka selalu berdaya upaya untuk membalas dendam!
Beberapa tahun kemudian, kalangan kang-ouw tak mendengar lagi namanya dan orang-orang menyangka bahwa Sian-kiam Koai-jin Ong Lun tentu tewas menjadi korban pembalasan kaum Pek-lian-kauw. Padahal sebenarnya Ong Lun telah didatangi oleh sahabatnya yang ia anggap sebagai kakak sendiri, yakni Gwat Liang Tojin yang membujuknya untuk bertobat dan belajar menyucikan diri dengan bertapa dan mempelajari ilmu batin.
Berkat bujukan-bujukan suheng yang ia indahkan ini, diam-diam ia pergi bertapa ke puncak Gunung Kim-ma-san. Dengan bertapa dan mengasingkan diri, selama berpuluh-puluh tahun ia tidak ikut mencampuri urusan dunia.
Tapi ketika ia mendapat seorang murid yang bernama Han Lian Hwa, maka teringatlah ia kepada Siu Lan dan timbul kembali dendam dan sakit hatinya kepada Gan Keng Hiap. Akhirnya ia tak dapat mengendalikan diri lagi. Ia pesan kepada muridnya untuk tinggal berlatih silat di Bukit Kim-ma-san itu, lalu pergi mencari rumah Siu Lan di kota Tiong-bie-kwan, di mana ia bertempur melawan Cin Han dan bertemu pula dengan Gwat Liang Tojin yang lebih dulu telah melihatnya di tengah jalan dan tahu akan maksudnya.
Setelah mendapat kegagalan bahkan menerima pukulan-pukulan batin, Ong Lun cepat kembali ke tempat pertapaannya. Mulai saat itu, ia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mendidik murid tunggalnya, yakni Han Lian Hwa yang kemudian dijuluki orang Ang Lian Lihiap yang lihai dan beradat ku-koai seperti gurunya! Akhirnya Ong Lun si Manusia Aneh Pedang Dewa meninggal dunia di tempat pertapaannya setelah berpesan kepada muridnya untuk membalaskan sakit hatinya pada Gan Keng Hiap!
Demikianlah, setelah bibinya menuturkan sedikit riwayat pertemuannya dengan Ong. Lun, maka mengertilah Cin Han akan maksud orang aneh tadi. Diam-diam ia merasa kasihan kepada Sin-kiam Koai-jin yang ia kagumi karena ilmu silatnya yang tinggi.
Cin Han makin memperhebat ketekunannya belajar ilmu surat, juga ia rajin sekali melatih ilmu silatnya karena semenjak bertanding melawan Ong Lun ia maklum akan, kerendahan kepandaian sendiri. Pada suatu hari di musim dingin, ketika ia sedang membaca buku tentang Lo-cu, ia mendengar suara orang batuk-batuk di luar rumah.
132
Cin Han tergerak hatinya dan ia segera bertindak keluar. Ternyata yang mengeluh dan batuk-batuk itu adalah seorang pengemis tua yang berdiri menggigil dan menggunakan kedua tangan menekan dada sambil batuk-batuk hebat sekali. Tubuh orang itu kurus dan hanya terbungkus baju rombeng tipis.
“Lopek, kau rupanya sakit. Masuklah dan mengasolah di dalam. Di luar dingin sekali.” Cin Han mempersilakan orang itu dengan suara kasihan.
Pengemis itu berpaling memandangnya dengan heran dan Cin Han tak terasa mundur dua tindak ketika melihat sinar mata orang itu yang tajam dan mengeluarkan cahaya kuat. Pengemis itu heran karena selama ia menjadi pengemis belum pernah ia menemukan seorang pemuda seramah ini.
“Terima kasih, kongcu. Terima kasih.” Suaranya gemetar dan tubuhnya lemas ketika ia melangkah masuk.
Cin Han memegang lengannya dan menuntunnya masuk. Karena paman dan bibinya agaknya sedang tidur siang, maka ia lalu mengambil guci arak dan mangkok, lalu menyuguhkan arak kepada orang tua itu. Tamunya dengan lahap sekali minum arak sampai tiga mangkok, baru wajahnya yang tadinya membiru tampak agak merah dan dinginnya berkurang.
“Terima kasih, kongcu. Kau sungguh baik. Jarang menemukan orang seperti kau pada jaman seburuk ini. Terima kasih.” Ia berdiri dan berjalan terseok-seok ke arah pintu.
“Tunggu dulu, lopek!” Cin Han lari ke kamarnya dan keluar lagi membawa seperangkat pakaian. “Ini, pakailah, lopek, lumayan untuk menahan dingin.”
Pengemis itu memandangnya tajam lalu mengulurkan tangan menerima pakaian itu. Tapi Cin Han merasa terkejut karena tekanan tangan yang menerima pakaian itu berat sekali, seakan-akan tangannya tertindih barang yang ribuan kati beratnya. Terpaksa ia mengerahkan tenaga lweekangnya untuk menjaga tekanan itu dan wajah pengemis itu berseri-seri, jidatnya tampak beberapa butir keringat. Agaknya ia telah terlampau banyak menggunakan tenaga dalam keadaan sakit.
Masih saja ia memandang wajah dan tubuh Cin Han dengan tajam, sambil bibirnya bergerak-gerak, “Inilah orangnya, tak salah lagi, inilah……” Dengan jari-jari gemetar ia mengeluarkan sebuah kitab lapuk dari dalam baju rombengnya.
“Inilah, kongcu. Terimalah kitab ini. Bukan kitab sembarang kitab, tapi sudah tak berguna bagiku, aku tua dan lemah tinggal menanti ajal. Kau masih muda, dasarmu baik, tubuhmu kuat, hatimu putih, pelajarilah kitab ini. Kelak kalau ada jodoh sampaikan hormatku yang terakhir kepada pencipta kitab ini dan katakan bahwa aku sudah cukup tersiksa, sudah cukup menderita, sudah cukup terhukum. Hanya kau seorang yang berjodoh memiliki kitab ini, aku sudah mencari berkeliling belasan tahun…… terimalah……!”
“Tapi, lopek, siauwte tidak menghendaki upah atau balasan untuk perbuatanku tadi. Orang hidup sudah selayaknya tolong-menolong……”
“Nah, itulah, maka aku berikan kitab ini padamu. Kalau kau tidak suka, simpan saja, asal jangan sampai terjatuh ke dalam tangan orang lain. Kalau kausuka itu tandanya jodoh, boleh kaupelajari!”
133
Lalu tanpa berkata apa-apa lagi pengemis itu keluar dari situ, dan Cin Han masih memegang kitab itu dengan tercengang. Ia heran ketika membaca huruf tertulis di luar kitab itu yang berbunyi:
“Hwie-liong-kiam-sut”.
Sebuah buku pelajaran Ilmu Silat Pedang Naga Terbang. Siapakah pengemis tadi? Darimana ia mendapatkan kitab ini? Cin Han memburu keluar, tapi pengemis itu sudah lenyap dari pandangan mata. Ia menghela napas. Banyak orang aneh di dunia ini. Kalau ia kagum dan heran melihat Ong Lun, si Manusia Aneh Pedang Dewa, kini ia heran pula melihat pengemis itu dan menduga bahwa pengemis itupun tentu seorang hiap-kek yang mengasingkan diri.
Ia memasuki kamarnya dan membalik-balik halaman kitab itu. Ternyata buku tebal itu memuat pelajaran ilmu silat dan pedang yang aneh sekali. Beberapa kali ia membaca kalimat pertama dan mencoba membayangkan gerakan-gerakan yang disebutkan di situ tapi ia masih belum mengerti.
Dengan tak sengaja ia membalik beberapa lembaran terakhir dan di situ terdapat gambar-gambar dan peta-peta untuk gerakan kaki dan tangan yang dilukis dengan teratur sekali. Hatinya mulai tertarik dan dibacanya sekali lagi kalimat pertama sambil mengukur dengan gambar. Kini mengertilah ia dan ia bersilat meniru pelajaran itu.
Hampir ia berteriak girang karena kitab itu menggandung sari pelajaran ilmu silat yang luar biasa. Gerakan-gerakannya aneh dan terdapat pecahan-pecahan dan gerak-gerak tipu yang menyesatkan lawan. Di belakang kitab itu tertulis nama penciptanya:
Beng San Siansu.
Berdebar rasa hati Cin Han. Beng San Siansu? Pernah Gwat Liang Tojin, gurunya itu bercerita bahwa gurunya mempunyai seorang supek yang mengasingkan diri dan berilmu tinggi sekali. Dan orang suci itu ialah Beng San Siansu. Sayang supek itu tak mau menerima murid.
Jadi kitab yang dipegangnya ini ciptaan Beng San Siansu, kakek gurunya sendiri? Segera ia berlutut dan sambil memegang tinggi kitab itu ia berbisik, “Terima kasih, sukong, dan teecu akan menjunjung tinggi ilmu yang sukong ciptakan ini.”
Semenjak saat itu, Cin Han rajin mempelajari isi kitab dan berlatih silat dan pedang dari Hwie-liong-kiam-sut itu. Selama setahun ia belajar dengan rajin dan karena ia memang sudah mempunyai dasar yang dalam, pula gerakan-gerakan Hwie-liong-kiam-sut seakan-akan memperlengkap ilmu pedang yang telah dipelajarinya dari Gwat Liang Tojin, maka cepat ia dapat memainkan ilmu itu dengan sempurna.
Tanpa merasa, ia mendapat kemajuan pesat sekali, bahkan di kitab itu terdapat pelajaran-pelajaran mengatur napas dan memperdalam ilmu lweekang. Sudah tentu Cin Han seakan-akan merupakan harimau tumbuh sayap, kepandaiannya mencapai tingkat tinggi sekali di luar pengetahuan sendiri. Ia tidak insaf bahwa kepandaian kiam-sutnya sekarang tidak berada di sebelah bawah gurunya sendiri.
134
Kemudian, karena merasa rindu sekali kepada gurunya, ia minta ijin dari paman dan bibinya untuk pergi menengok Gwat Liang Tojin. Ketika ia sampai di Bukit Kong-hwa-san, dari jauh ia melihat suhunya berkelahi dikeroyok oleh dua orang hwesio.
Hwesio pertama bersenjata golok dan hwesio kedua bersenjata toya. Hwesio kedua tak berapa tinggi kepandaiannya, tapi hwesio yang memegang golok lihai sekali gerakan-gerakannya hingga Gwat Liang Tojin yang sudah tua tampak terdesak hebat dan berbahaya keadaannya. Cin Han berseru keras dan lari secepat terbang sambil menghunus pedangnya.
“Suhu, teecu datang membantu!” teriaknya dan pedangnya berkelebat menyambar hwesio yang bersenjata golok. Dua senjata beradu dan masing-masing terpental karena hebatnya tenaga kedua pihak.
“Hati-hati, Cin Han, goloknya lihai! Kaulawan yang ini saja!!”
“Biarlah, suhu. Bereskan yang satu itu, Teecu masih sanggup meladeni pemotong babi ini.”
Maka bertempurlah mereka dengan hebat. Mula-mula Cin Han menggunakan ilmu pedang Kong-hwa-kiam-sut yang ia pelajari dari Gwat Liang Tojin, tapi ia segera terdesak. Ilmu golok Pat-kwa-to-hwat dari hwesio itu sungguh lihai sekali.
“Ha, ha! Anak kecil yang masih bau tetek. Suhumu masih tidak kuat melawanku, apalagi kau. Sudah bosan hidupkah kau?” ejeknya dan goloknya bergerak makin cepat.
Cin Han teringat ilmu pedang Hwie-liong-kiam-sut yang belum lama dipelajarinya. Ia merobah gerakan pedangnya dan sekejap kemudian pedangnya berputaran dengan gerakan-gerakan aneh.
Hwesio itu terkejut. Dalam empat gebrakan saja pedang Cin Han sudah dapat menyambar ujung jubahnya dan membuat jubah itu robek. Ia berkelahi lebih hati-hati dan kini ia tak berani memandang ringan.
Sementara itu Gwat Liang Tojin sudah berhasil merobohkan lawannya yang bersenjata toya. Ia terburu-buru hendak menolong dan membantu muridnya, tapi ketika ia berpaling dan melihat jalannya pertempuran, hampir ia berseru kaget. Ternyata pedang Kong-hwa-kiam dimainkan sedemikian hebat dan aneh oleh muridnya hingga hwesio itu terdesak sekali dan lebih banyak menangkis dengan goloknya daripada menyerang! Bagaimana muridnya bisa selihai itu?
Diam-diam Gwat Liang Tojin mencurahkan perhatiannya dan memperhatikan gerakan-gerakan Cin Han. Ia makin heran dan terkejut, karena sepanjang ingatannya yang dapat bermain pedang seperti itu hanya supeknya Beng San Siansu.
Pada saat golok hwesio dibacokkan ke arah kepala Cin Han dalam gerakan tipu Harimau Putih Ulur Cakar, Cin Han memiringkan tubuh dan ketika golok itu bergerak dan diteruskan menusuk ke arah lehernya, ia memalangkan pedangnya dan menempel golok lawan. Biasanya kalau dua senjata tajam sudah bertemu dan saling tempel demikian itu, kedua pihak lalu mengerahkan tenaga dan mengadu kekuatan lweekang untuk mempertahankan kedudukannya, siapa yang lebih kuat ia akan menang.
135
Tapi dengan heran sekali Gwat Liang Tojin melihat betapa muridnya bahkan dengan seruan keras telah menggerakkan pedangnya menggeser golok sehingga memperdengarkan suara nyaring! Golok dan pedang terlepas dan kedua senjata itu meluncur ke masing-masing lawan. Tapi Cin Han melanjutkan gerakannya yang aneh.
Sambil meloncat ke kanan ia memutarkan pedangnya ke leher lawan dengan tak terduga dan cepat sekali. Hwesio itu berseru kaget tapi ia cukup gesit untuk mengangkat goloknya menangkis sekuat tenaga. Ternyata gerakan Cin Han tadi ialah tipu Burung Dewa Pentang Sayap dan merupakan sebuah daripada banyak gerakan tipu dari ilmu silatnya. Pedangnya berhenti setengah jalan dan dengan gerakan Hwee-liong-pok-sim atau Naga Terbang Menyambar Hati tiba-tiba ujung pedangnya mengarah dada lawan!
Lawannya terkejut sekali dan memutarkan goloknya menangkis, tapi karena gerakan tangkisan ini dilakukan dalam keadaan terdesak sekali, maka lambung kanannya jadi terbuka. Saat itu digunakan dengan baik oleh Cin Han yang mengirim pukulan dengan tangan kiri. Buk! Dan hwesio itu terpukul lambungnya oleh kepalan Cin Han. Sungguhpun ia masih berdiri karena bhesi kakinya sangat kuat, namun setelah menerima pukulan itu ia berteriak ngeri dan goloknya terlepas dari tangan. Tangan kirinya meraba lambung dan dari mulutnya mengalir darah segar!
Dalam marahnya Cin Han hendak menambahkan satu tusukan, tapi tiba-tiba Gwat Liang Tojin meloncat menepuk bahunya. “Sudah cukup muridku, jangan sembarangan membunuh orang.”
Kemudian ia berkata kepada hwesio yang masih berdiri merintih-rintih itu. “Kalian dari Pek-lian-kauw memang keterlaluan. Pinto sebenarnya belum pernah bermusuhan dengan kalian, tapi tanpa alasan dan tanpa tanya-tanya lebih dulu, kalian datang-datang menghendaki jiwa pinto. Nah, biarlah kali ini merupakan pelajaran bagi kalian dan lain kali jangan membikin ribut dan memusuhi orang yang tidak berdosa. Pergilah dan bawa temanmu itu!”
Hwesio itu menahan sakit, sepasang matanya memandang Gwat Liang Tojin lalu kepada Cin Han dengan marah dan gemas. “Biarlah lain waktu kita berjumpa pula!” Lalu dengan terhuyung-huyung ia menghampiri kawannya yang roboh merintih-rintih karena luka di pundaknya oleh Gwat Liang Tojin tadi, kemudian mereka berdua berjalan saling bergandengan dengan sukar menuruni Bukit Kong-hwa-san.
“Siapakah mereka itu, suhu?” tanya Cin Han.
Gwat Liang Tojin menghela napas. “Mereka adalah jagoan dari Pek-lian-kauw, pemain toya tadi adalah Bong Gwat Hwesio dan pemain golok yang lihai tadi adalah suhengnya bernama Bong Lam Hwesio. Mereka ini sebenarnya pengurus-pengurus yang berkedudukan tinggi dalam partai Go-bi, tapi entah mengapa mereka terpikat dan membela perkumpulan Pek-lian-kauw.”
“Tapi mengapa Pek-lian-kauw memusuhi suhu?”
“Ah, ini semua gara-gara Ong Lun, dari Pek-lian-kauw telah banyak anggauta dan jagoan yang tewas di tangan Ong Lun. Sekarang Ong Lun telah pergi mengasingkan diri entah di mana, mereka itu tak dapat mencari Ong Lun, maka karena mereka tahu bahwa aku adalah kakak angkat manusia aneh itu, mereka lalu datang menanyakan. Aku tidak tahu di mana tempat bertapa Ong Lun, tapi mereka tidak
136
percaya bahkan lalu menyerangku, tentu dengan maksud agar Ong Lun mendengar tentang penyerangan ini dan keluar dari tempat persembunyiannya untuk membela dan menuntut balas.”
Sekali lagi Gwat Liang Tojin menghela napas. “Hampir saja maksud mereka membunuhku berhasil, tadi. Baiknya kau cepat-cepat datang, muridku. Tapi aku melihat gerakan ilmu pedangmu sangat aneh. Kalau tidak salah, itulah Hwie-liong-kiam-sut dari Beng San Supek.”
Cin Han cepat-cepat memberi hormat. “Maaf suhu, teecu tidak memberi tahu lebih dulu kepada suhu. Sebenarnya memang yang teecu mainkan untuk melawan Bong Lam Hwesio tadi adalah Hwie-liong-kiam-sut ciptaan Beng San Siansu.” Lalu dengan cepat ia menceritakan bagaimana ia mendapatkan kitab pelajaran ilmu pedang itu yang telah dipelajarinya selama setahun lebih.
Mendengar penuturan muridnya itu, Gwat Liang Tojin merasa girang sekali. Ia memegang pundak muridnya, “Sungguh kau beruntung, muridku. Beng San Supek selamanya tidak mau menerima murid. Maka sungguh kau berjodoh untuk memiliki ilmu Hwie-liong-kiam-sut yang mujijat itu.”
Cin Han senang mendengar kata-kata gurunya. Ia berdiam di atas bukit Kong-hwa-san kurang lebih setengah bulan, kemudian atas perintah suhunya yang hendak mulai merantau pula ke barat, ia pulang menuju ke rumah pamannya Gan Keng Hiap di Tiong-bie-kwan.
Dalam perjalanan pulang ini, Cin Han bertemu dengan seorang pemuda yang menarik perhatiannya. Pemuda itu berwajah tampan sekali dan sikapnya jenaka. Karena menuju ke satu jurusan maka Cin Han berkenalan dengan pemuda yang mengaku bernama Han Lian dari Kie-cu, Ciat-kang.
Setelah berkenalan mereka merasa saling cocok dan melanjutkan perjalanan bersama-sama. Cin Han mengaku seorang sasterawan karena melihat bahwa Han Lian juga seorang anak pelajar. Di tengah perjalanan mereka kemalaman di hutan dan bermalam dalam sebuah kelenteng tua dan digoda oleh dua orang nikouw cabul. Baiknya Cin Han berlaku waspada dan dapat menolong kawannya serta membunuh kedua nikuow itu tanpa diketahui Han Lian bahwa semua itu dialah yang mengerjakan.
Kemudian mereka berpisah dan pada malam berikutnya, ketika Cin Han sedang duduk membaca buku, ia mendengar suara kaki menginjak genteng rumah dengan ringan dan gesit sekali. Ia memadamkan lampu dan meloncat ke atas.
Ternyata yang berhadapan dengannya ialah…… Han Lian, kawan seperjalanan itu yang kini sudah berubah menjadi seorang gadis cantik jelita bernama Han Lian Hwa seorang wanita gagah yang terkenal dengan sebutan Ang Lian Lihiap, si Teratai Merah. Gadis ini disebut si Teratai Merah karena ia selalu memakai sebuah perhiasan rambut indah yang berbentuk setangkai teratai merah di kepalanya.
Kedatangan gadis perkasa ini bermaksud membunuh Gan Keng Hiap, karena ternyata bahwa gadis ini bukan lain adalah murid tunggal dari Sin-kiam Koai-jin Ong Lun! Tentu saja Cin Han membela pamannya dan dalam pertempuran yang hebat sekali akhirnya ia berhasil mengalahkan Ang Lian Lihiap. Karena jengkel dan gemas gadis itu hendak membunuh diri tapi dapat dicegah oleh Cin Han hingga gadis itu jatuh pingsan.
137
Kemudian Gan Keng Hiap dan isterinya menceritakan tentang asal dan sebab mengapa Ong Lun mempunyai dendam sakit hati kepada mereka. Mendengar penuturan mereka, hati Han Lian Hwa, menjadi tawar dan kecewa. Ia menganggap gurunya yang telah meninggal dunia itu keterlaluan. Maka ia meninggalkan tempat itu dengan sedih dan malu.
Ia malu kepada Cin Han, pemuda yang menarik hatinya itu. Sebelum berpisah dengan Cin Han, ia meloloskan teratai merah dari emas dan permata itu dari rambutnya dan membantingnya di depan Cin Han lalu pergi dengan cepat. Cin Han memanggil-manggilnya, tapi ia tak perduli, bahkan mempercepat tindakan kakinya.
?Y?
Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa berlari cepat meninggalkan pemuda yang memanggil-manggilnya. Pemuda yang merebut hatinya, pemuda yang telah mengalahkannya, pemuda yang menggemaskan, yang ia benci tapi yang membuat ia mengucurkan air mata mendengar panggilannya!
Setelah berlari jauh, ia menetapkan hatinya yang menggelora. Ia penasaran sekali. Semenjak turun gunung dan ditinggal mati gurunya yang tercinta, Ong Lun taihiap, belum pernah ia mendapat malu dan dikalahkan orang.
Ia ingat pengalaman-pengalamannya ketika bersama-sama suhengnya, Hwat Kong Hwesio, menggemparkan kalangan kang-ouw dengan menjatuhkan banyak orang-orang pandai dan ahli-ahli silat ternama. Maka dengan cepat sekali nama Ang Lian Lihiap naik ke atas, dikagumi kawan disegani lawan.
Tapi sungguh tidak disangka bahwa ia harus jatuh dalam tangan Cin Han, pemuda yang dikiranya hanya seorang pelajar lemah, yang disangkanya hanya pandai dalam kesusasteraan saja itu! Memalukan sekali! Dan datangnya ke tempat Cin Han pun tidak mengandung maksud baik. Ia datang hendak membunuh Gan Keng Hiap, paman Cin Han yang ternyata seorang manis budi, lemah lembut dan berhati baik!
Ah, ia malu. Malu kepada Cin Han yang menjatuhkan, malu kepada Gan Keng Hiap dan nyonya karena ia datang hendak membunuhnya, dan malu kepada mendiang gurunya karena ternyata ia tak dapat melaksanakan pesannya terakhir.
Demikianlah dengan hati sedih dan penasaran Han Lian Hwa berjalan terus, tak perduli ke mana sepasang kakinya membawanya.
Hari telah senja ketika ia memasuki sebuah kampung kecil. Tiba-tiba di luar kampung yang sunyi ia mendengar suara anak-anak tertawa.
Ketika ia menengok, tampak dua orang anak-anak, seorang laki-laki seorang perempuan, tengah berkejar-kejaran. Anak lelaki itu membawa setangkai kembang yang dipegang tinggi di atas kepala dan anak perempuan itu mencoba merampasnya.
“Kembalikan kembangku!” kata anak perempuan itu marah.
138
“Coba ambillah!” anak laki-laki tertawa sambil lari dikejar oleh kawannya.
Mereka berkejar-kejaran mengitari pohon-pohon. Gerakan mereka cepat dan ringan sekali hingga diam-diam Lian Hwa terkejut. Tak disangkanya bahwa anak-anak itu mempunyai kepandaian ginkang yang istimewa. Ia memandang dengan kagum.
Ternyata anak perempuan itu kalah cepat dan tak berhasil merampas kembali kembangnya. Lalu ia menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis. Lian Hwa merasa kasihan dan gemas kepada anak laki-laki yang menggoda itu. Ia meloncat mendekati dan berkata dengan suara keren kepada anak laki-laki itu,
“Hayo kembalikan kembangnya. Tak malu anak lelaki menggoda anak perempuan!”
Anak itu memandangnya. Ternyata ia adalah seorang anak laki-laki berumur kurang lebih tujuh tahun berwajah putih bundar tampan sekali, sepasang matanya seperti bintang pagi penuh kegembiraan dan kejenakaan.
“Aduh galak benar cici ini!” katanya. “Coba tolong kauambilkan kembang ini untuk Mei Ling!” tantangnya.
Han Lian Hwa menjadi gemas. Ia meloncat mengejar, tapi anak laki-laki itu melesat pergi dengan gesit. Terpaksa Lian Hwa menggunakan ginkang dan kesebatannya untuk menubruk dan mengulurkan tangan hendak menangkapnya.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara keras dan entah dari mana datangnya, seekor kerbau datang dan hendak menubruk anak laki-laki itu. Di belakang kerbau itu tampak banyak orang kampung mengejarnya sambil berteriak-teriak, “Kerbau gila! Kerbau gila!”
Anak laki-laki itu sudah hampir terpegang oleh Lian Hwa, tapi tiba-tiba ia berkelit ke kanan. Malang baginya, sebelah kakinya menginjak batu licin, maka tak terhindarkan lagi ia jatuh di atas rumput. Dan pada saat itu kerbau yang mengamuk telah datang dekat hendak menubruknya.
Lian Hwa terkejut. Secepat kilat ia menggeser kakinya dan ketika kerbau itu menurunkan kepala dan dengan mata merah hendak menanduk anak itu, Lian Hwa mengayunkan kakinya menendang ke arah kaki depan.
“Krak!” dan kerbau itu jatuh bersimpuh karena kaki depannya patah tulangnya. Ia menguak-uak serem dan Lian Hwa menjadi kasihan mendengar rintihannya, maka ia segera mencabut pedangnya dan mengirim satu tusukan ke arah belakang kaki depan yang menembus ke jantung binatang itu. Seketika itu juga kerbau gila itu mati.
Anak laki-laki biarpun baru saja terlepas dari bahaya maut namun tidak memperlihatkan wajah takut. Ia tertawa-tawa dan mengangkat tingi-tinggi ibu jarinya.
“Cici hebat, cici jempol!”
139
Setelah menerima kembali kembangnya, gadis cilik itu tertawa lagi, sepasang lesung pipit manis menghias pipinya kanan kiri. “Cici, hayo ke rumah kami,” katanya dengan suaranya yang merdu. Karena merasa senang melihat kedua anak itu dan dalam hati heran melihat anak-anak yang luar biasa dan bukan seperti anak kampung biasa ini, Lian Hwa menurut saja kedua tangannya digandeng oleh mereka dan ditarik pergi.
Mereka memasuki sebuah rumah gedung dan begitu melangkah ambang pintu, kedua anak itu berteriak-teriak, “Nenek! Nenek!! Keluarlah, ada cici datang……”
“A-mei….. A-kong……! Darimana kalian! Dan cici yang mana kalian maksudkan?” terdengar suara nyaring dari dalam. Belum habis suara menggema, orangnya tahu-tahu sudah berada di depan Lian Hwa, hingga gadis ini kagum sekali, melihat ginkang yang luar biasa ini.
Ternyata yang berdiri di depannya adalah seorang perempuan tua dan bongkok, tubuhnya kecil kurus dan rambutnya sudah putih semua. Kedua anak itu memeluk dan memegang lengannya. Ang Lian Lihiap maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang berilmu, maka segera menjura dalam-dalam untuk memberi hormat.
“Silakan duduk, nona.”
Dan tanpa diminta, kedua anak itu segera menceritakan pada neneknya tentang perebutan kembang dan betapa Lian Hwa menolong Kong Liang dari bahaya. Nenek itu memandang tajam kepada Lian Hwa.
“Siocia ini dapat merebut kembang dari tanganmu?” tanyanya kepada anak laki-laki itu.
“Tentu saja, nek. Ia cepat sekali, dan kalau saja nenek lihat betapa mudahnya ia menundukkan kerbau gila itu!” Ia Mengangkat jempolnya.
Neneknya makin memperhatikan Lian Hwa, lalu tiba-tiba ia minta kembang itu dari Mei Ling dan berkata kepada Lian Hwa.
“Nona, cobalah kauambil kembang ini dari tanganku,” dan ia mengangkat kembang itu tinggi-tinggi di atas kepala.
Tentu saja Han Lian Hwa heran sekali melihat lagak nenek ini. Gilakah ia? Ia hanya tersenyum saja dan tidak berani bergerak.
“Hayo cobalah, aku ingin melihat kegesitanmu,” kata nenek itu tidak sabar. Maka mengertilah Lian Hwa akan maksud nenek itu.
Karena ruangan itu lebar, maka ia lalu berdiri, dan setelah menjura dan berkata, “Maaf!” ia berkelebat untuk merampas kembang dari tangan nenek itu.
Tapi ia hanya melihat bayangan putih lewat secepat kilat disampingnya dan nenek itu lenyap dari pandangan matanya. Selagi ia bingung, tiba-tiba terdengar suara nenek itu di belakangnya, “Aku di sini, nona!”
140
Lian Hwa cepat memutar tubuhnya dan ia menubruk ke arah tangan yang memegang kembang itu, tapi sekali lagi ia kehilangan nenek itu yang tahu-tahu sudah berada di belakangnya pula. Berkali-kali ia menubruk, untuk kesekian kalinya ia gagal.
Dan yang terakhir sekali karena gemas, Lian Hwa menggunakan tenaga angin pukulannya memukul ke arah tangan yang memegang kembang agar kembang itu terlepas jatuh. Tapi ia hanya mendengar nenek itu berseru, “Aya!” dan beberapa butir kelopak kembang rontok, ke bawah, tapi nenek itu menghilang lagi.
Lian Hwa cepat memutar tubuhnya, tapi ternyata nenek itu tidak ada di belakangnya. Ia menengok ke sana ke mari, tapi ternyata orang tua itu tidak tampak di situ. Selagi ia kebingungan, tiba-tiba Kong Liang dan Mei Ling tertawa-tawa gembira.
“Nenek, turunlah, nek!”
Dan Lian Hwa melihat nenek itu ternyata sedang enak-enak duduk di atas balok yang melintang di bawah langit-langit rumah dengan kembang masih di tangannya!
Nenek tua itu menggerakkan tubuhnya dan melayang turun bagaikan sehelai daun kering. Han Lian Hwa tunduk betul-betul. Ah, tak disangkanya di dunia ini banyak orang pandai. Baru saja ia dikalahkan oleh Cin Han dan kini ia tak berdaya menghadapi seorang nenek tua yang bongkok!
Ia telah berlaku sombong dan jumawa, menyangka bahwa diri sendiri terpandai tiada lawannya. Ah, seperti seekor katak dalam sumur saja. Maka ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Maaf subo, teecu berlaku kurang ajar. Mohon subo sudi menerima teecu yang bodoh sebagai murid.” Ia mengangguk-angguk beberapa kali.
“Siocia, jangan merendahkan diri. Kepandaianmu sungguh hebat. Aku orang tua bodoh mana berani menganggap kau sebagai murid? Aku tak mempunyai kepandaian apa-apa.”
Tapi Han Lian Hwa tetap tak mau bangun. “Kalau subo tidak sudi menerima teecu sebagai murid, maka biarlah teecu terus berlutut di sini takkan berdiri lagi.”
Kedua anak itu tertawa cekikikan.
“Ah, sungguh keras watakmu dan kuat kemauanmu. Jangan begitu nona, bangunlah.” Nenek itu menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat bangun kepada Lian Hwa.
Tapi Lian Hwa mengerahkan tenaganya dengan ilmu Benteng Besi Berakar ia membuat tubuhnya berat dan untuk dapat mengangkatnya membutuhkan tenaga ribuan kati! Tapi ketika nenek itu berkata sekali lagi. “Bangun!” tubuhnya terangkat juga dalam keadaan masih berlutut!
Kedua anak itu kagum dan bersorak gembira.
141
Nenek tua menurunkan tubuh Lian Hwa dan menghela napas. “Apa boleh buat, biarlah kau belajar lagi satu atau dua macam kepandaian.”
Lian Hwa girang sekali, ia segera berdiri dan memeluk kedua anak kecil itu dengan gembira.
“Tapi sebelumnya kau harus menuturkan riwayatmu dan siapa gurumu, jangan sekali-kali kau bohong,” kata nenek itu dengan suara keren.
Han Lian Hwa lalu menceritakan riwayatnya. Ketika mendengar bahwa ia adalah murid tunggal Sian-kiam Koai-jin Ong Lun, nenek itu mengangguk-angguk.
“Tak heran kau begini lihai, tak tahunya, kau murid orang aneh itu. Dalam hal ilmu pedang aku tidak dapat mendidikmu, barangkali aku masih harus menerima petunjukmu. Tapi kurasa Ong Lun belum tentu dapat mengalahkan aku dalam ilmu ginkang dan lweekang. Biarlah kau perdalam kedua ilmu ini di sini.”
Dan Ang Lian Lihiap menghaturkan terima kasih dengan girang sekali.
Belakangan ia mendengar bahwa gurunya yang baru ini adalah seorang liehiap-kek yang pada puluhan tahun yang lalu telah membuat nama besar dan tidak kalah terkenalnya oleh Ong Lun si Manusia Aneh. Tapi nasibnya buruk sekali karena suaminya meninggal dunia ketika ia mempunyai seorang anak laki-laki.
Wanita gagah ini, yang bernama Song Cu Ling dan dijuluki orang Dewi Tanpa Bayangan, mendidik puteranya hingga menjadi seorang ahli silat pula. Tapi, dasar nasib Dewi Tanpa Bayangan sangat buruk, anak lelaki inipun meninggal dunia karena penyakit menular, demikianpun anak menantunya. Mereka ini meninggalkan sepasang anak kembar, ialah Kong Liang dan Mei Ling.
Tentu saja Song Cu Ling yang sudah menjadi nenek merasa sedih sekali, dan ia mendidik kedua cucunya itu dengan penuh kasih sayang. Selanjutnya ia mengasingkan diri di kampung kecil itu, hanya bercita-cita untuk menggunakan sisa hidupnya yang tak seberapa lama lagi untuk mendidik kedua cucunya dengan ilmu silat yang tinggi.
Karena memang telah mempunyai dasar ilmu silat yang lihai, ditambah otaknya yang cerdik dan kerajinannya yang luar biasa dalam waktu tiga bulan saja ginkang dan lweekang Lian Hwa sudah maju pesat sekali.
“Muridku, “ kata Dewi Tanpa Bayangan pada suatu hari, “terus terang saja, kini semua dasar ilmu ginkang dan lweekang telah kaupelajari semua, tinggal kau latih saja dan kau perdalam dengan penuh kerajinan. Aku tak mempunyai kepandaian apa-apa lagi untuk diajarkan padamu. Tapi dua kepandaian itu, biarpun kau menghadapi lawan yang kepandaian silatnya lebih tinggi, kiranya cukup untuk kau gunakan sebagai pelindung karena kegesitan dan tenaga dalam yang sempurna menambah keuletanmu. Kau takkan mudah dijatuhkan lawan, betapa tinggipun kepandaian lawan itu. Syarat satu-satunya ialah, berlatih terus dengan rajin.”
142
Han Lian Hwa berlutut dan dengan suara pilu berkata, “Subo, jika boleh, ijinkanlah teecu tinggal lebih lama bersama-sama subo dan kedua adik ini karena teecu juga seorang sebatang kara, dan teecu sayang sekali kepada adik Kong Liang dan Mei Ling.”
Song Cu Ling tersenyum sedih dan menggeleng-gelengkan kepala. “Kau masih muda dan tugas hidupmu masih luas. Biarpun kau hanya seorang wanita, tetapi tenagamu sangat dibutuhkan oleh rakyat dalam keadaan sekacau ini. Bantulah mereka yang sengsara dan mereka yang tertindas, karena mereka ini membutuhkan bantuan orang-orang kuat seperti kau, muridku.”
Karena pendirian nenek itu sudah tetap, terpaksa dengan sedih Lian Hwa berpamit setelah lebih dulu memeluk dan menciumi kedua anak yang mungil itu. Di kelak kemudian hari si kembar ini akan menjadi sepasang hiap-kek yang menggemparkan dunia persilatan.
?Y?
Pada zaman itu, kaisar yang menduduki singgasana dan memerintah daratan Tiongkok, keturunan Boan, telah beberapa kali diserbu oleh orang-orang gagah, hohan-hohan yang berjiwa patriot dan yang ingin membangun kembali pemerintahan sendiri. Maka kaisar yang cerdik itu lalu menggunakan siasat mengadu domba.
Ia menyebarkan para durna untuk mengobral uang perak dan emas menyogok sana-sini mengumpulkan orang-orang gagah dan mengadu partai itu, sehingga di antara jagoan-jagoan di dunia persilatan terpecah dua, yakni golongan yang anti kaisar dan golongan yang pro kaisar. Golongan yang pro kaisar mendapat pangkat dan kekayaan serta diberi julukan “pahlawan” dan “pengawal”.
Dengan tipu muslihat yang licin, kaisar berhasil memecah belah persatuan kalangan kang-ouw. Di antara orang-orang yang menjadi pengawalnya, terdapat pula gerombolan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) dan Kwi-coa-pai (Perkumpulan Ular Setan). Pek-lian-kauw dipimpin oleh seorang hwesio bergelar Bong Cu Sianjin, sedangkan Kwi-coa-pai dipimpin oleh Kwie-eng-cu Hong Su si Bayangan Iblis.
Dengan adanya dua perkumpulan yang dipimpin oleh dua orang yang berilmu tinggi ini, maka kedudukan golongan yang pro kaisar sangat kuat dan membantu para durna dan pembesar keparat bertindak sewenang-wenang dan memeras rakyat jelata.
Semenjak pertemuannya dengan Han Lian Hwa yang lari dan hanya meninggalkan bunga teratai merah dari emas, Cin Han merasa seakan-akan hatinya ikut terbawa oleh gadis itu. Ia merasa hidupnya sunyi dan menjadi tidak kerasan lagi tinggal di rumah pamannya. Tiap hari ia termenung sambil memandang teratai emas berwarna merah yang sering ia pegang-pegang.
Ke manakah perginya nona gagah perkasa yang ia kagumi itu? Ia kagum dan tertarik sekali melihat kehebatan sepak terjang, kegagahan dan kecantikan Ang Lian Lihiap. Ia rindu sekali kepada pendekar wanita itu dan makin mendalam perasaannya kalau ia teringat betapa ia hidup sebatang kara dan kesunyian meliputi kehidupannya.
143
Sebulan kemudian, ia tidak dapat menahan lagi gelora perasaannya yang tertekan. Maka ia memaksa diri berpamit kepada Gan Keng Hiap suami-isteri untuk pergi merantau. Tadinya paman dan bibinya sangat menahan kehendaknya ini, bahkan bibinya menangis dengan sedih. Tapi Cin Han berkata,
“Telah, bertahun-tahun saya menerima budi dan pelajaran yang sangat berharga dari paman dan bibi, maka biar sampai mati saya takkan dapat melupakan budi ini. Sesungguhnya saya senang sekali tinggal di sini dengan paman berdua, tapi sebagaimana pesan suhu pada saya setelah saya tamat belajar kesusasteraan dari siok-hu, saya harus dapat mempergunakan tenaga dan kepandaian saya untuk rakyat. Apa artinya memiliki kepandaian kalau kepandaian itu tidak digunakan?”
Gan Keng Hiap menarik napas dalam. Ia teringat akan keadaan sendiri. “Kau betul, Han. Memang kalau dipikir-pikir, aku telah bertahun-tahun dengan susah payah belajar kesusasteraan, menempuh ujian dan menjadi seorang sasterawan dan sekarang aku hanya diam saja tidak mempergunakan pengertian dan kepandaianku itu, seakan-akan aku telah mengubur semua itu. Akan tetapi, lihatlah anakku. Lihatlah apa yang dikerjakan oleh orang-orang terpelajar itu? Mereka merebut kedudukan tinggi dan kepandaiannya menulis hanya digunakan semata-mata untuk dua macam maksud rendah.
“Pertama, mereka menggunakan kepandaian menulis surat permohonan sebaik-baiknya untuk menjilat-jilat dan mengambil hati para pembesar atasan. Kedua, mereka menggunakan kepandaian menulis fitnah sejahat-jahatnya untuk mencelakakan rakyat dan orang-orang yang mereka peras. Inilah sebabnya maka aku lebih suka bersembunyi menjadi seorang yang tidak mempunyai guna……” Kembali orang tua terpelajar ini menghela napas.
“Tapi Cin Han lain lagi keadaannya,” menyambung isterinya, “ia seorang pemuda bun-bu-coan-jai yang ahli dalam ilmu silat dan ilmu surat.”
Gan Keng Hiap mengangguk-anggukkan kepala. “Memang demikian. Cin Han memang sudah sepatutnya meluaskan pengalaman dan menggunakan dua macam kepandaian itu untuk berbakti kepada rakyat kita. Biarpun kami sangat berat melepasmu, Han, tapi demi kepentinganmu sendiri, terpaksa kami memberi persetujuan akan maksud merantau ini. Hanya pesanku, anakku, janganlah kau lupakan kami orang-orang tua ini......”
“Dan hati-hatilah, Han jaga dirimu baik-baik……” pesan bibinya.
Cin Han sangat terharu akan kebaikan hati kedua orang tua itu. Maka ketika ia meninggalkan mereka, mau tidak mau ia merasa sedih juga.
Pada suatu hari, dalam perantauannya, Cin Han tiba di kota Hun-kap-teng. Kota ini ramai, toko berderet-deret dan beberapa rumah penginapan besar merangkap rumah makan berdiri gagah di pingggir jalan raya. Cin Han senang sekali melihat keadaan kota yang bersih dan makmur itu.
Sambil menikmati pemandangan toko-toko di kanan kiri jalan, Cin Han menuju ke sebuah rumah penginapan yang mewah.
“Selamat siang kongcu,” seorang pelayan menyambut dengan senyumnya. “Kongcu membutuhkan kamar? Kami mempunyai beberapa kamar kosong yang indah.”
144
Cin Han mengangguk senang kepada pelayan yang peramah itu. Tapi sebelum memilih kamar, ia diharuskan memasuki kantor dulu, dan pengurus kantor ternyata tidak seramah pelayan tadi.
“Kongcu bernama siapa, datang dari mana dan hendak ke mana? Apa maksud kedatangan ke kota ini?”
Cin Han mengerutkan kening sambil memandang wajah pengurus hotel yang kurang ajar itu. Ternyata pengurus itu lebih menyerupai seorang jagoan. Tubuhnya tinggi besar, pakaiannya seperti seorang jago silat dan sebatang golok tergantung di dinding belakang mejanya. Tapi pada saat Cin Han memandangnya, ia tengah tunduk memandang buku catatan dan tak memperhatikan tamunya, seakan-akan pertanyaannya tadi keluar dengan begitu saja dari mulutnya.
“Apa artinya ini?” tanya Cin Han. “Aku datang hendak menyewa kamar bukan seorang pencuri ayam yang datang membuat pengakuan!”
Pengurus, hotel itu menggerakkan kepalanya yang besar dan memandang tamunya dengan heran. Ia tidak menyangka akan ada orang seberani itu.
“Hemm, kongcu orang luar daerah ini, ya? Ketahuilah, semua tamu yang memasuki kota ini harus mendaftarkan nama dan alamat lebih dulu. Kalau tidak, bukan hanya mendapat kamar, tapi bahkan ada kemungkinan ditangkap!”
“Apa? Ditangkap? Kenapa dan oleh siapa?”
Pengurus tinggi besar itu menjadi marah. Ia berdiri dengan mengepal tinju lalu bentaknya keras, “Jangan banyak tanya! Beritahukan nama dan jawaban semua pertanyaanku tadi, kalau tidak, pergi saja dari sini!”
Tentu saja Cin Han tidak dapat menahan panas hatinya mendengar dampratan ini. Ia bertolak pinggang dan memandang tajam. “Hmm, kau ini bangsa perampok atau pengurus hotel? Pangkatmu apa maka begitu galak dan sombong? Rumah ini dibangun untuk penginapan umum, dan tuan besarmu datang menginap bukannya tidak bayar uang sewa. Sekarang aku tidak sudi menjawab pertanyaanmu dan tidak sudi pergi, habis kau mau apa?” tantangnya dengan gemas.
Pengurus itu marah sekali.
“Bangsat kurang ajar! Kau minta dihajar!” Ia mengangkat kepalan tangannya yang sebesar buah kelapa muda itu dan mengayunkan ke arah pipi Cin Han.
Tapi pemuda itu hanya memiringkan kepala dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar ke arah siku orang yang memukul itu. Terdengar jerit kesakitan dan lengan kanan orang tinggi besar itu menjadi lumpuh, tergantung tidak berdaya di sisi tubuhnya! Ternyata sambungan siku orang itu telah terlepas.
“Bagus sekali!” tiba-tiba terdengar seruan seorang tinggi besar bercambang bauk yang memasuki ruangan itu. “Siapa berani mengacau di sini?” Dan tanpa bertanya lagi ia menyerang Cin Han dari belakang.
145
Cin Han mendengar sambaran angin pukulan yang hebat juga itu berlaku gesit. Ia meloncat ke samping dan memutar tubuhnya. Si tinggi besar yang sudah maju lagi hendak mengulangi serangannya, tiba-tiba berdiri dan berseru dengan girang.
“Eh, eh, tidak tahunya Hwee-thian Kim-hong yang berada di sini! Selamat datang, selamat datang, sobatku!”
Cin Han memperhatikan orang tinggi besar bercambang bauk itu. Akhirnya ia teringat juga. Ternyata ia adalah Lie Thung si Iblis Sungai Yang-ce dari kampung Kwan-lian-chung yang dulu menjadi kepala bajak dan pernah mencegatnya.
“Eh, kaukah ini, Lie-tai-ong?”
“Hush, jangar menyebut tai-ong (raja, sebutan kepala bajak) lagi padaku. Aku telah mencuci tangan dan menjadi orang baik-baik,” katanya tersenyum dan menarik tangan Cin Han diajak duduk di kursi dekat meja di sudut.
Pelayan yang terlepas sambungan sikunya tadi mendekati mereka dan berkata sambil menyeringai kesakitan.
“Maafkan saya, Kongcu, saya tidak tahu bahwa kongcu adalah sahabat dari Lie-taihiap.”
Lie Thung memandangnya marah, lalu berdiri dan dengan beberapa ketukan dan usapan ia memulihkan tulang siku pelayan itu. “Nah, biar pengalaman tadi menjadi pelajaran bagimu agar matamu lebih terbuka dan dapat melihat barang aseli atau tiruan. Pergilah dan sediakan hidangan untuk Lo enghiong ini.”
Cin Han merasa senang melihat keadaan Lie Thung yang tampaknya benar-benar telah mencuci tangan dari pekerjaannya membajak. Ia lalu bertanya tentang pekerjaan Lie Thung. Bekas kepala bajak itu tertawa senang.
“Pekerjaanku? Ah, aku menjadi anggauta perkumpulan pembasmi orang jahat. Aku menebus dosaku yang sudah-sudah dan belajar menjadi seorang patriot pembela negara dan rakyat dengan jalan membantu memusnahkan orang-orang jahat dan berbahaya.”
“He! Ada perkumpulan seperti itu di sini? Ah, hebat sekali.” Cin Han berseru kagum, lalu dia menanyakan lebih lanjut.
Dengan panjang lebar Lie Thung menceritakan tentang perkumpulannya.
“Perkumpulanku bernama Kwi-coa-pai dan mempunyai sejumlah anggauta yang hanya terdiri dari orang-orang gagah di seluruh propinsi Tiongkok. Bengcu kami adalah seorang yang gagah perkasa dan jarang ada tandingannya di jaman ini. Kau belum mendapat kamar? Jangan sibuk, kawan, mari ikut aku ke tempat kami, di sana kami menyediakan banyak kamar dan tempat bagi kawan-kawan dan orang-orang gagah seperti kau.”
146
“Ah, biarlah Lie-twako, jangan bikin repot saja.” Cin Han mencegah, tetapi di dalam hati dia sangat kagum melihat kejujuran dan keramahtamahan bekas raja bajak ini.
“Tentu saja aku tidak berani memaksamu. Tapi kebetulan malam ini bengcu kami merayakan hari she-jitnya yang kelimapuluh delapan, maka di sana diadakan sedikit perayaan. Dan kini semua hohan ternama telah berkumpul di sana. Kau yang masih muda ini apakah tidak ingin menggunakan kesempatan ini untuk berjumpa dan berkenalan dengan mereka?”
Cin Han berpikir bahwa memang ini kesempatan yang baik untuk meluaskan pengalaman dan melihat serta berkenalan dengan orang-orang gagah, maka ia akhirnya menyetujui dan menerima ajakan Lie Thung.
Sementara itu, pengurus rumah penginapan itu sudah datang pula dengan diikuti beberapa orang pelayan membawa bermacam-macam hidangan dan si pengurus sendiri mengatur hidangan di atas meja. Cin Han heran juga melihat betapa Lie Thung agaknya berpengaruh di kota itu, maka sambil makan ia memandang bekas bajak ini dengan curiga. Agaknya Lie Thung tahu bahwa dirinya dicurigai kawan barunya, maka sambil menyumpit sepotong daging yang dimasukkan ke mulut dan dikunyah dengan nikmatnya, ia berkata,
“Saudara Lo, aku tadi lupa memberitahukan kepadamu bahwa rumah penginapan dan rumah makan ini, seperti halnya dengan beberapa buah rumah penginapan besar yang lain di kota ini, semua adalah milik perkumpulan kami. Dan ketahuilah, sebuah dari pada tugas-tugasku ialah sebagai pengawas rumah-rumah penginapan dan rumah-rumah makan ini.”
Cin Han mengangguk-anggukkan kepala. Ah, demikian kayakah Perkumpulan Ular Setan (Kwi-coa-pai) ini? Diam-diam ia makin kagum saja.
“Ketahuilah, saudaraku, perkumpulan kami karena tugasnya melindungi rakyat dan penduduk kota, maka banyak orang bersimpati dan memberi sumbangan besar sehingga kami tidak merasa khawatir akan keadaan kas perkumpulan kami.”
Sehabis makan maka Cin Han ikut Lie Thung menuju ke tempat perkumpulan Kwi-coa-pai. Ternyata tempat itu merupakan sebuah gedung yang besar sekali sehingga Cin Han ragu-ragu dan terkejut.
“Kau kagum, kawan?” kata Lie Thung bangga. “Jangan kaget, memang gedung ini bekas milik Pangeran Goei Tek Kong yang karena jasa-jasa perkumpulan kami lalu diserahkan kepada kami. Kini ditinggali oleh bengcu kami dan orang-orang gagah luar daerah yang datang ke kota ini dipersilakan bermalam di sini.”
Gedung besar dan mewah itu terletak di pinggir kota dan di depan gedung terdapat taman bunga yang luas dan mempunyai sebuah telaga kecil penuh bunga teratai. Memang indah sekali gedung itu dan di atas pintu gerbang terdapat papan nama dengan tulisan gagah:
“Kwi Coa Pai”.
147
Ketika mereka berdua memasuki pintu gerbang, ternyata dalam gedung sudah berkumpul banyak sekali orang. Mereka adalah orang gagah yang menjadi anggauta atau sahabat-sahabat baik anggauta perkumpulan itu.
Para anggauta Kwi-coa-pai, seperti juga Lie Thung, dapat dilihat dan dibedakan dengan adanya sebuah sabuk pinggang bergambar ular hitam yang diikatkan di pinggang masing-masing. Tadinya Cin Han tidak memperhatikan sabuk yang melilit pinggang Lie Thung, tapi setelah melihat banyak orang memakainya, maka mengertilah ia.
Semua orang yang duduk berkumpul di satu ruangan tampaknya orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, karena bentuk-bentuk badan mereka yang kuat, mata yang tajam dan gerak-gerik yang gesit. Banyak mata memandang ke arah Cin Han ketika ia memasuki ruangan itu mengikuti Lie Thung. Ia langsung dibawa ke sebuah meja bundar besar di mana duduk berkumpul beberapa orang tua dan terpisah dari yang lain-lain.
Seorang tua yang duduk di tengah memakai baju hitam, tubuhnya tinggi kurus, sikapnya lemah lembut tapi sepasang matanya tajam bagaikan pisau dan jika ia memandang orang seakan-akan sinar matanya menembus dan menikam jantung. Usianya kurang lebih enampuluh tahun, di pinggangnya juga terdapat sabuk ular hitam, empat orang lain yang duduk di dekatnya semuanya beroman aneh dan menyeramkan.
Seorang di antara mereka adalah seorang hwesio gundul tapi berpakaian mewah sekali, tubuhnya gemuk pendek dan mukanya selalu tersenyum mengejek. Orang kedua dan ketiga berpakaian seperti pengemis karena baju yang mereka pakai semua compang-camping, bahkan yang seorang, yakni yang punggungnya bongkok, hanya memakai sepatu sebelah! Orang keempat kelihatannya seperti seorang sasterawan, demikianpun pakaiannya, dan ia tampaknya paling mewah di antara semuanya juga ia mendapat tempat duduk di kanan orang tua baju hitam itu, agaknya paling dihormat.
Lie Thung langsung menghadap orang tua baju hitam itu memberi hormat. “Bengcu-ya, siauwtee datang memperkenalkan enghiong ini, ialah Hwee-thian Kim-hong yang meskipun muda usianya tapi telah terkenal karena kepandaiannya yang tinggi.”
Jadi inikah kepala perkumpulan yang disebut sangat lihai itu? Demikian pikir Cin Han dan ketika bengcu itu berdiri, maka Cin Han segera menjura memberi hormat.
“Silakan duduk, taihiap,” suara Bengcu itu nyaring dan tinggi seperti suara orang perempuan. “Kami girang sekali mendapat kehormatan dengan kunjunganmu ini. Mari kuperkenalkan dulu dengan para locianpwe ini.” Ia menunjuk kepada para tamu yang duduk di situ dan memperkenalkan mereka seorang demi seorang.
Ternyata hwesio ini bukan lain adalah Tie Bong Hwesio, seorang ahli silat cabang Bu-tong yang terkenal. Pengemis pertama yang bertubuh pendek kecil bernama Kok Pin bergelar Hoa-gu-jie si Kerbau Belang. Pengemis yang bongkok, bernama Lok Sim Tat bergelar Si Iblis Bongkok. Orang yang seperti sasterawan adalah bekas pegawai kota raja bernama Lam Beng Sun yang dulu memegang pangkat tinggi dan juga menjadi kepercayaan menteri durna Long Ong.
148
Mendengar bahwa orang-orang itu bukanlah orang sembarangan, maka Cin Han merasa gembira dapat berkenalan dengan mereka maka katanya, “Siauwte yang muda dan bodoh merasa terhormat sekali dapat bertemu muka dengan para locianpwe yang ternama. Dan mohon tanya nama serta julukan yang mulia dari lo-enghiong sendiri.”
Bengcu itu tertawa bergelak-gelak, “Tidak heran sicu belum mengenal padaku. Aku orang tua tak berguna disebut Kwi-eng-cu Hong Su.”
Cin Han terkejut mendengar nama ini. Dulu gurunya pernah menyebut nama ini sebagai seorang gagah yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya. Maka diam-diam ia memperhatikan Kwi-eng-cu Hong Su si Bayangan Iblis itu. Memang pantas dengan julukannya. Bengcu yang tua itu biarpun wajah dan tubuhnya tidak ganjil, tapi sepasang matanya benar-benar seperti mata iblis saja! Setelah beberapa kali sinar matanya bertumbuk dengan sinar mata Bengcu itu, Cin Han bergidik dan segera menundukkan mukanya.
Kemudian Hong Su si Bayangan Iblis dengan tertawa ramah segera memerintahkan Lie Thung untuk mengantar Cin Han ke kamar yang terindah, dan memesan pemuda itu agar nanti malam menghadiri pesta di ruang belakang. Pesta dimulai jam tujuh. Cin Han menyatakan kesanggupannya dan setelah mengucapkan terima kasih ia pergi mengikuti Lie Thung dan mendapat kamar yang mewah.
Lie Thung tak dapat lama menemaninya karena katanya ia masih banyak tugas. Maka Cin Han lalu merebahkan diri di atas pembaringan yang bersih dan indah. Ia heran melihat keadaan perkumpulan yang serba mencurigakan ini. Tapi karena ternyata bahwa para tamu tadi terdiri dari orang-orang ternama maka iapun tak berani menyangka sesuatu. Hanya dalam hatinya ia menetapkan hendak mencari keterangan lebih jelas lagi tentang Perkumpulan Ular Setan ini.
Jam tujuh malam, di ruang belakang dari gedung bekas istana pangeran yang kini menjadi markas besar perkumpulan Kwi-coa-pai itu, sangat ramai. Ribuan lilin dan obor membuat tempat itu menjadi terang cemerlang dan indah sekali. Tamu-tamu yang memenuhi tempat itu jauh lebih banyak daripada siang tadi. Cin Han dari jendela kamarnya dapat mendengar suara mereka yang bicara, riuh-rendah, riang-gembira dan dengan dialek yang campur-aduk menandakan bahwa para tamu itu datang dari beberapa propinsi.
Ia segera berdandan. Seperti biasa, ia mengenakan baju dalam sutera bersulamkan burung Hong indah buatan ibunya. Di luar baju itu, ia mengenakan pakaian luar yang biasa dipakai oleh pelajar sastera hingga ia tampaknya sebagai seorang sasterawan muda. Ia tidak lupa untuk membawa Kong-hwat-kiamnya, juga ia sembunyikan dalam baju di belakang punggung, tertutup oleh baju sasterawan yang lebar dan longgar.
Ketika ia bertindak keluar dari kamar, dari depan Lie Thung mendatangi dengan wajah berseri-seri. Pakaiannya pun mewah sekali dan ia kelihatan gagah.
“He, laote kenapa kau masih belum ke sana? Semua tamu sudah berkumpul. Bahkan ada tambahan acara yang menarik hati sekali. Para locianpwe berkenan mendemonstrasikan keahlian mereka. Hayo, jangan kau ketinggalan. Pertunjukan bagus sekali yang akan kita lihat nanti.”
149
Mereka menuju ke ruang belakang. Ruang ini sangat luas dan nyaman karena terbuka dan mendapat hawa langsung dari taman bunga di belakang gedung. Kurang lebih seratus orang tamu duduk berkelompok mengelilingi meja yang penuh hidangan.
Meja ketua Kwi-coa-pai paling besar dan ditilami kain tenun berwarna merah. Yang menemani dia duduk, selain empat orang tua yang siang tadi sudah dijumpai Cin Han, masih ada seorang lagi yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun dan nampaknya gagah sekali dengan bajunya yang berwarna biru bersulamkan naga warna hijau.
Melihat kedatangan Cin Han, si Bayangan Iblis menepuk tangan dan tertawa girang. “Eh, Lo-sicu. Silakan duduk sini.”
Cin Han merasa agak disanjung ketika melihat betapa banyak mata para tamu memandangnya. Ia maklum bahwa tidak sembarang orang diminta duduk di mejanya oleh ketua besar itu.
“Lo-enghiong, siauwte menghaturkan selamat dan semoga lo-enghiong dikurniai usia panjang dan tubuh sehat,” kata Cin Han hormat.
“Ha-ha-ha! Terima kasih,” Si Bayangan Iblis berdiri dan membalas hormatnya., “Eh, hampir aku lupa, sudahkah sicu kenal dengan Thio-taihiap?”
Si baju biru itu berdiri dan baru Cin Han tahu bahwa orang itu sangat tinggi, wajahnya membayangkan kekejaman dan tak sedikitpun senyum membayang di muka yang gelap itu. Namun dengan hormat ia menjura dan dibalas oleh Cin Han. Hong Su memperkenalkan mereka berdua dengan bangga.
“Ini adalah Thio Lok taihiap yang bergelar si Naga Hijau dari selatan.” Kemudian tangannya menunjuk ke arah Cin Han, “Dan ini adalah Hwee-thian Kim-hong Lo Cin Han, yang meskipun masih muda tapi telah menggemparkan sungai telaga.”
Mendengar sebutan Hwee-thian Kim-hong, mata Thio Lok untuk sesaat memancar ke arah wajah Cin Han, tetapi tanpa berkata apa-apa dia duduk kembali. Cin Han juga mengambil tempat duduk di meja kehormatan.
“Lo Cin Han sicu,” kata Hong Su dengan ramah. “Sebelum kau datang tadi, lohu dengan para enghiong di sini telah mengadakan persetujuan untuk saling mempertunjukan ilmu silat masing-masing agar terbuka mata kita. Bagaimana pikiranmu, Lo-sicu?”
Cin Han tersenyum girang. “Memang hal ini baik sekali, siauwte tentu setuju sekali dan akan siauwte perhatikan untuk menambah pengetahuan yang dangkal.”
“Ha-ha! Lo-sicu, siapakah yang tidak mengenal nama Hwee-thian Kim-hong? Jangan kau terlalu merendah. Lohu bahkan mohon bantuanmu untuk membuka pertunjukan ini dengan memperlihatkan ilmu silatmu!”
“Ah, lo-enghiong, mana siauwte yang muda berani memperlihatkan kebodohan di hadapan para locianpwe?” jawab Cin Han merendah.
150
Para jagoan tua yang duduk di situ merasa suka melihat kesopanan dan kehalusan tutur sapa Cin Han, maka sebentar saja mereka berbicara dengan asyik dan gembira. Tapi Thio Lok si Naga Hijau dari Selatan tampaknya tak begitu suka kepada Cin Han, atau agaknya memandang rendah pemuda sasterawan itu!
Hidangan yang serba lezat dikeluarkan dan keadaan makin ramai gembira, bahkan di meja-meja para muda terdengar suara senda gurau disertai tertawa-tawa setengah mabuk. Di meja ketua perkumpulan Ular Setan juga kelihatan gembira sekali. Hoa-gu-ji Kok Pin pengemis kate bertanding minum arak dengan Iblis Bongkok Lok Sin Tat. Kedua pengemis ini sama-sama kuat dan mereka telah minum belasan cawan tanpa berhenti.
Tiba-tiba Tie Bong Hwesio mencela kedua kawan baiknya, “Kalau kalian berdua mabok-mabokan kalian menghabiskan arak dan tidak ingat kepada yang muda-muda, memalukan sekali! Pantasnya kalian menawarkan arak kepada kedua sicu ini.” Ia mengangguk ke arah Cin Han dan Thio Lok.
Lam Beng Sun si bekas pembesar yang pada malam itu mengenakan bekas baju kebesarannya dan tampak keren sekali, segera mengambil guci-guci arak dan mengisi cawan Cin Han dan Thio Lok sampai penuh. “Hayo, Thio-taihiap, jangan sungkan-sungkan. Kau yang menjadi orang sendiri jika berlaku sungkan-sungkan, maka Lo-sicu ini sebagai orang baru akan lebih sungkan lagi.”
Thio Lok menghaturkan terima kasih dan mengangkat cawan araknya, diikuti oleh semua orang dengan gembira. Tapi Cin Han bukanlah seorang ahli minum, maka baru tiga cawan saja ia sudah merasa mual.
Melihat kawan-kawan lain kurang kuat minum, kedua pengemis itu menyatakan kecewanya. Tiba-tiba karena teringat lagi bahwa sekarang sudah tiba saatnya untuk membuka pertunjukan silat, Hong Su si Bayangan Iblis mendapat akal, untuk memancing kedua pengemis itu.
“Jiwi congsu, kulihat kalian memang sama kuatnya dalam hal minum arak. Tapi kami ingin sekali melihat siapa di antara jiwi yang lebih cepat minum. Baiknya sekarang diadakan taruhan.”
“Taruhan apa? Aku hanya punya kutu baju beberapa belas ekor di pakaianku,” kata Kok Pin si kate.
“Dan aku hanya mempunyai sebelah sepatu lapuk. Kalau aku kalah, si Kerbau Belang boleh memilikinya,” kata si Iblis Bongkok.
“Untuk apa sepatu hanya sebelah? Merepotkan saja,” bantah si kate.
Kwie-eng-cu Hong Su tertawa bergelak. “Bukan itu taruhannya! Aku akan mengisi sepuluh cawan arak wangi di atas meja dan masing-masing boleh minum lima cawan. Yang kalah cepat harus lebih dulu membuka pertunjukan silat di tengah-tengah ruangan ini. Bagaimana, setujukah kalian?”
Sambil berkata demikian, Si Bayangan Iblis mengeluarkan seguci arak simpanan. Ia membuka tutup guci dan menuang isinya di dalam sepuluh buah cawan, harum dan wangi arak itu memenuhi ruangan. Tentu saja kedua setan arak itu mengilar sekali. Hidung mereka segera dapat membedakan dan mengenal arak baik.
151
“Setuju, setuju!” teriak mereka berbareng dan tanpa menanti jawaban, mereka menubruk maju, tangan mereka menyambar secawan arak dan menuangkan isinya ke dalam mulut.
Segera terdengar arak menggelogok di kerongkongan mereka dan sepuluh cawan arak itu cepat sekali habis dalam waktu yang sama cepatnya. Kalau orang bukan ahli silat dan matanya tidak terlatih, pasti takkan melihat dengan tegas bila dan bagaimana kesepuluh cawan arak itu dihabiskan, demikian kecepatan tangan mereka bergerak.
“Ha-ha-ha! Dasar kalian ini yang seorang iblis arak, yang seorang lagi setan arak! Kalian sama-sama menang. Maka keputusannya adalah dua-duanya harus berbareng mempertunjukkan kepandaian untuk membuka hiburan ini. Hayo, jiwi mulailah, nanti kalau sudah selesai pertunjukanmu, akan lohu beri hadiah lima cawan arak wangi lagi!”
Kedua pengemis aneh itu tertawa senang lalu Lok Sin Tat memimpin tangan kawannya yang kate menuju ke tempat bermain silat yang memang sudah disediakan di tengah-tengah ruangan itu.
Semua tamu ketika melihat bahwa pertunjukan silat akan segera dimulai, lalu menunda pembicaraan mereka. Ruangan menjadi diam dan sunyi, semua mata ditujukan ke arah si Iblis Bongkok yang memimpin tangan si Kerbau Belang dan kedua-duanya tertawa ha-ha-hi-hi tak acuh dengan pandangan para tamu.
Sesampainya di kalangan tempat bersilat, Lok Sin Tat si Iblis Bongkok segera melepaskan sabuk merah yang mengikat pinggangnya. Kalau semua pakaiannya compang-camping, adalah sabuk sutera itu kelihatan bersih dan baru, dan setelah terlepas dari pinggang ia menyentakkan tangan ke depan. Sabuk yang terlipat itu melayang ke depan bagaikan ular merah dan ternyata panjangnya tidak kurang dari sepuluh kaki. Setelah ujung sabuk sutera melayang sampai lempeng, Lok Sin Tat menggerakkan tangan menarik, dan aneh sekali, sabuk itu bergulung sendiri dengan rapi.
“Hayo, kau keluarkan permainanmu!” teriaknya tertawa kepada pengemis kate.
Kerbau Belang yang bertubuh pendek kecil itu tertawa bergelak dan menjawab, “Mari kita main bersama. Kau gunakan penangkap lalatmu yang merah itu dan aku menjadi lalatnya. Cobalah kau tangkap aku!”
“Mari bertaruh!” kata si Iblis Bongkok tertawa. “Kalau kau sampai tertangkap, lima cawan arakmu harus diberikan padaku!”
“Bagus! Dan kalau sampai tidak dapat tertangkap, arakmu harus diberikan padaku,” jawab si kate yang lalu meloncat menjauhi kawannya dengan gerakan jumpalitan ke belakang. Tubuhnya ringan sekali sehingga diam-diam Cin Han terkejut melihat ginkang yang tidak boleh dipandang rendah itu.
Lok Sin Tat mengeluarkan seruan dan ketika tangannya bergerak, sabuk yang tergulung itu melayang ke atas dan turunnya bergerak-gerak hidup bagaikan naga, ketika ia menggerakkannya lagi, maka sutera itu merupakan kembang yang indah bergerak-gerak di udara lalu buyar pula. Sebelum ujung sabuk mengenai tanah, ia menggerakkan tangannya lagi dan ujung sabuk meluncur ke depan, kini menuju ke arah pengemis kate yang sementara itu sudah mengambil sebuah kursi dan duduk di atasnya dengan tenang.
152
Melihat datangnya ujung sabuk sutera ke arahnya, ia tertawa dan tiba-tiba tubuhnya melesat ke samping. Ujung sabuk seakan-akan hidup dan tahu-tahu telah melibat kaki kursi dan ketika sabuk disendal balik, kursi itu terbawa terbang ke arah si Iblis Bongkok yang menerimanya dengan tangan kiri lalu dilemparkan ke samping. “Bagus!” katanya memuji kawan kate yang gesit itu. Ia lalu menggerakkan sabuknya lagi dan tak lama kemudian sabuknya merupakan sinar merah yang berputar-putar, terus mengejar ke mana saja pengemis kate itu bergerak.
Para tamu bertepuk tangan riuh-rendah memuji. Memang pada saat kedua orang itu bermain-main, tampak pemandangan yang indah sekali. Selendang merah itu melambai-lambai dan menyambar-nyambar mengeluarkan angin bagaikan seekor naga terbang berlenggak-lenggok. Dan si kate berkelebat ke sana ke mari diantara sinar merah itu bagaikan seekor kupu-kupu putih yang terbang dikejar. Gerakannya ringan dan gesit sekali, sehingga sebegitu lama, biarpun sinar merah mengepungnya dari segenap penjuru, tetap tidak dapat menangkapnya.
Cin Han juga memandang kagum. Ia maklum betapa lihainya kedua orang itu. Ia tahu juga bahwa betapapun halus dan lemas adanya sehelai selendang sutera, namun di tangan si Iblis Bongkok yang menggunakannya dengan tenaga lweekang yang tinggi, maka selendang yang lemas itu dapat merupakan sebuah senjata yang sangat lihai dan berbahaya.
Kalau sampai ujung selendang dapat melibat kaki atau badan si kate, tentu Kerbau Belang itu takkan dapat melepaskan diri lagi. Tapi ia kagum sekali melihat gerakan-gerakan si kate yang demikian lincahnya sehingga tidak memungkinkan selendang itu menangkapnya. Sungguh satu pertunjukan yang menarik dan berbareng menunjukkan betapa tinggi kepandaian kedua orang itu.
Tiba-tiba sinar selendang merah lenyap dan si kate juga menghentikan gerakan-gerakannya. Keduanya berdiri berhadapan dengan saling pandang, kemudian si Iblis Bongkok tertawa bergelak. “Lo-heng, kepandaianmu makin tinggi saja,” ia memuji.
Kok Pin tertawa. “Kau menyindir, Lok-ko. Aku setengah mampus harus menghindarkan diri dari Hong-ang-kin mu yang lihai.”
“Tapi aku tak dapat menangkapmu, maka biarlah arakku boleh kau minum.”
Dengan gembira ia memegang tangan kawannya lalu berdua kembali ke meja ketua. Semua orang bertepuk tangan memuji.
“Ah, benar-benar kalian hebat,” memuji ketua Kwie-coa-pai. “Patut dikagumi dengan sepuluh cawan arak!” Maka mereka lalu minum-minum lagi dengan gembira.
Si Bayangan Iblis berdiri. “Nah, sekarang lohu minta dengan hormat sukalah Lo-sicu meramaikan pesta ini dengan sedikit pertunjukan,” katanya kepada Cin Han.
“Betul, betul! Harap sicu jangan menampik.” Si kate ikut mendesak.
“Harap saja yang lain bermain dulu, karena siauwte yang muda tidak berkepandaian apa-apa maka biarlah siauwte bermain paling akhir.” Cin Han menolak halus.
153
“Rupanya saudara Lo malu-malu, biarlah aku mendahuluinya,” kata Thio Lok sambil berdiri.
Tetapi si Bayangan Iblis mengangkat tangannya. “Thio-taihiap punya ilmu pedang yang tiada tandingan, lohu harap permainan taihiap dipertunjukkan nanti saja agar dapat menutup pesta ini dengan pertunjukan yang terindah.”
Cin Han merasa heran karena sungguhpun ketua Kwie-coa-pai itu nyata sekali sangat menghormat dan mengindahkan orang she Thio itu, tapi sebaliknya bicara seakan-akan kepada orang sebawahannya.
“Atau, bagaimana kalau Thio-taihiap dan Lo-enghiong ini main sama-sama?” usul Lam Beng Sun si bekas pembesar dengan suaranya yang halus.
Mendengar usul ini, mata Hong Su bersinar gembira. “Bukankah kau juga ahli bermain pedang, sicu? Kalau begitu baik sekali, silakan kalian berdua bermain pedang, tentu indah dipandang. Tapi, agaknya Lo sicu tidak membawa pedang, biarlah lohu memberi pinjam padamu.”
Cin Han buru-buru mencegah.
“Siauwte sudah membawa pedang, tapi siauwte mana berani bermain dengan Thio-taihiap?” ia mengerling kepada Si Naga Hijau itu.
Thio Lok memandang kepadanya dan bibirnya mengandung senyum sindir.
“Tidak apa, saudara Lo, biarlah kita main-main sebentar.” Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, Thio Lok menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang ke tengah lapangan adu silat dengan tipu Naga Sakti Sambar Mustika, satu gerakan yang indah sekali hingga ia disambut dengan tepukan tangan.
Cin Han mendongkol juga melihat kejumawaan orang she Thio itu, maka ia berdiri dari kursinya dan membuka baju luarnya dengan perlahan. Maka kelihatanlah kini bajunya sutera putih yang bersulamkan burung Hong emas sedang terbang menempuh awan biru di bagian dadanya.
Dengan tergantinya pakaian yang ringkas dengan sulaman yang indah hidup itu, ia tampak gagah dan tuan rumah serta tamu-tamunya tercengang melihat anak muda yang cakap dan sopan-santun tapi yang kini kelihatan keren dan gagah itu. Juga ketua Kwie-coa-pai melihat pedang Kong-hwa-kiam yang tergantung di punggung dengan wajah girang.
Ketika Cin Han sedang bingung harus menaruh di mana baju luarnya yang masih dipegangnya, tiba-tiba Lie Thung datang menghampiri dan menerima bajunya itu. Bekas bajak ini berbisik perlahan,
“Hati-hati, kawan, orang she Thio itu adalah komandan kelas satu di perkumpulan kami, hanya bengcu saja yang lebih kuat dari padanya. Ia memang bertugas mencoba tenaga kawan-kawan baru, pedangnya lihai sekali!”
Cin Han mengangguk untuk menyatakan terima kasihnya. Hm, jadi ia hendak dicoba? Ia mengerling ke arah meja ketua dan dilihatnya semua muka di meja itu berseri-seri dan gembira.
154
Cin Han tidak mau kalah muka dengan sengaja ia memperlihatkan kegesitannya dan dengan gerakan Burung Walet Menyambar Kupu-kupu, ia meloncat berjumpalitan dengan kedua lengan terbuka. Ketika tubuhnya tiba di atas lapangan, berjumpalitan tiga kali dari atas dan menurunkan kakinya dengan ringan bagaikan burung, tepat berhadapan dengan Thio Lok. Tentu saja aksinya ini mendatangkan tepuk tangan yang hebat sekali dan Thio Lok memandangnya dengan mata bersinar merah.
“Thio-taihiap, aku harap kau suka berlaku murah kepadaku,” kata Cin Han.
“Tak perlu kiranya kau sungkan-sungkan dan merendahkan diri, saudara Lo, kepandaianmu belum tentu berada di bawahku,” jawab Thio Lok, lalu tanpa banyak cakap lagi si Naga Hijau mencabut pedangnya.
“Silakan, saudara Lo,” katanya kepada Cin Han sambil memasang kuda-kuda dengan tipu Naga Sakti Mendekam.
Cin Han lalu mencabut Kong-hwa-kiam dari sarungnya dan memasang kuda-kuda Burung Hong Hinggap di Cabang, dan berkata, “Silakan, Thio-taihiap!”
Thio Lok melihat Cin Han sungkan-sungkan untuk menyerang lebih dulu, segera memajukan kaki dan mengirim serangan pertama dengan tusukan pedang ke arah paha Cin Han dan terus melayangkan pedangnya itu untuk menyabet kedua kaki. Gerakan ini adalah pancingan untuk menggempur pasangan kuda-kuda lawan dan untuk melihat perkembangan selanjutnya dari gerakan lawan.
Cin Han ingin mencoba tenaga si Naga Hijau, maka ia tidak berkelit, hanya setelah pedang lawan berada dekat, ia menangkis ke samping. Dua pedang beradu dan Cin Han merasa telapak tangannya sedikit tergetar, maka tahulah ia bahwa lawannya memiliki tenaga yang tidak lemah.
Sebaliknya Thio Lok lebih berlaku hati-hati karena ternyata tangkisan tadi membuat lengannya kesemutan! Maka ia segera berseru keras dan menyerang dengan hebat dan cepat.
Setelah berkelit dan menangkis serangan lawan dalam beberapa jurus, berdebar kagetlah hati Cin Han. Ia berseru keras dan meloncat ke belakang tiga tombak lebih sambil berseru,
“Tahan, Thio-taihiap!”
Thio Lok heran dan berdiri tegak. Cin Han menjura dengan hormat.
“Maaf, Thio taihiap, kenalkah taihiap kepada Ang Lian Lihiap?”
Thio Lok menggeleng-gelengkan kepala dan menjawab. “Pernah kumendengar namanya, tapi belum pernah bertemu, maka aku tidak kenal.”
Cin Han terheran. Tadinya ia menyangka bahwa setidaknya orang she Thio ini tentu saudara seperguruan dengan Han Lian Hwa si Teratai Merah, tapi ternyata orang she Thio ini bahkan tidak kenal. Ia hendak mencoba pula lalu bertanya.
155
“Dan kenalkah kau kepada Sian-kiam Koai-jin Ong Lun?”
Thio Lok memandangnya tajam lalu berkata, “Dia adalah susiokku, ada apakah?”
Cin Han makin heran karena agaknya murid keponakan ini tidak menghormati paman gurunya, maka ia menjawab.
“Tidak apa-apa, pantas saja ilmu pedangmu hampir sama dengan ilmu pedang murid dari Sian-kiam Koai-jin.”
“Apa hubungannya hal itu dengan permainan kita? Lihat, semua orang memandang kita, hayo kita lanjutkan permainan kita.”
Cin Han memandang. Betul saja, semua mata memandang ke arah mereka dengan heran dan tak senang. Maka ia segera siap dan berkata, “Nah, silakan menyerang lagi, Thio-taihiap.”
Thio Lok segera membuka serangannya lagi, kini lebih hebat, Cin Han sengaja hanya menangkis dan berkelit saja. Serangan yang jarang ia lakukan pun hanya serangan-serangan tidak berbahaya saja. Ia berbuat ini untuk melihat sampai di mana batas kepandaian orang ini dan sampai di mana persamaan permainan pedangnya dengan Ang Lian Lihiap pendekar wanita yang menjadi kenangannya itu.
Ternyata Thio Lok, walaupun keuletan dan kekuatannya melebihi Han Lian Hwa, namun ilmu pedangnya masih jauh di bawah permainan gadis itu. Ilmu pedang dari Ang Lian Lihiap mempunyai banyak sekali perubahan-perubahan ganjil dan tak tersangka sungguhpun dasarnya juga sama dengan ilmu pedang Thio Lok ini ialah dari cabang Thai-san.
Tentu orang aneh Ong Lun itu telah mengadakan perubahan dan menciptakan sendiri ilmu pedangnya yang diturunkan kepada Ang Lian Lihiap, pikirnya sambil menangkis serangan Thio Lok yang makin gemas dan marah. Thio Lok merasa penasaran sekali mengapa pedangnya yang sudah berhasil membuat ia jarang menemui lawan selama beberapa tahun, kini sama sekali tidak berdaya menghadapi anak muda yang tampak lemah ini.
“Kurasa sudah cukup Thio-taihiap,” kata Cin Han sambil mengelak sebuah tikaman dan mengalah dengan bertindak mundur.
Tapi tidak tersangka sama sekali si Naga Hijau berteriak lagi dan meloncat maju menubruk, lalu langsung pedangnya menyambar dengan tipu Rajawali Mencengkeram Kelinci. Serangan ini berbahaya sekali, dari meja ketua Kwie-coa-pai terdengar seruan tertahan.
Tapi Cin Han tak pantas disebut murid Beng San Siansu yang sudah menerima dan mengisap sari pelajaran Hwie-liong-kiam-sut kalau ia dapat dijatuhkan orang dengan tipu dan keadaan yang baru sedemikian saja. Ia bersuit keras dan sekali pedang serta tubuhnya bergerak, dengan tipu Siang-liong-po-in atau Naga Dewa Membuka Awan ia berhasil berkelit dan memunahkan serangan Thio Lok dan berbareng mengirim tendangan kilat ke arah pergelangan tangan lawan.
156
Thio Lok terkejut sekali, tapi ia tak berdaya dan tak sempat berbuat sesuatu. Pergelangan tangannya tertendang dan pedang yang dipegangnya terlempar ke udara.
Namun Cin Han dengan cepat sekali meloncat ke atas, dan sebelum pedang itu turun kembali, ia telah menyambarnya dengan tangan kiri, lalu meloncat turun dengan tenang. Ia mengangsurkan pedang itu kepada Thio Lok yang masih berdiri terheran.
“Terima kasih bahwa kau telah berlaku murah dan mengalah, Thio taihiap,” katanya.
Thio Lok menerima pedangnya dengan wajah merah. Ia hendak marah, tapi melihat ketua Kwie-coa-pai telah datang menghampiri dengan tersenyum-senyum, ia lalu menjura kepada Cin Han dan berkata keras,
“Memang nama Hwee-thian Kim-hong bukan nama kosong. Aku mengaku kalah, Lo-taihiap,” katanya.
Cin Han merendahkan diri.
“Lihai sekali!” demikian seruan terdengar dari para tamu yang menyambut kemenangan Cin Han dengan tepukan dan sorakan.
Hong Su menghampiri Cin Han dan memimpin tangan anak muda ini ke mejanya. Ketua ini tidak memperdulikan lagi kepada Thio Lok agaknya, dan orang she Thio ini dengan menundukkan kepala berjalan kembali ke tempat duduknya.
“Sungguh hehat sekali kau ini, Lo-taihiap,” kata Hong Su memuji, dan Cin Han makin heran melihat betapa ketua itu kini sangat peramah dan penuh hormat, sedangkan sebutan untuk dirinya telah diganti pula, kini ia disebut taihiap!
Tie Bong Hwesio mengisikan arak dalam sebuah cawan besar dan mengangsurkan cawan itu kepada Cin Han dengan membungkuk. “Lo-taihiap, pinceng kagum sekali padamu. Ilmu pedangmu sungguh hebat dan tanpa bertempur pinceng sudah mengaku kalah. Harap taihiap sudi menerima tanda hormat pinceng dengan secawan arak!”
Melihat penghormatan dari seorang hwesio tua sebesar ini, Cin Han buru-buru bangun berdiri dan menerima dengan kedua tangannya. Tapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa betapa cawan itu seakan-akan menempel dengan tangan hwesio itu dan sukar sekali diambil.
Ia maklum bahwa hwesio kepala gundul itu sedang mencoba tenaganya dan hendak mempermainkannya. Maka diam-diam ia mengerahkan semua tenaga dalam ke arah tangannya dan sambil berkata, “Lo-suhu, terima kasih atas budi kebaikanmu!” ia menggunakan tangannya mencabut cawan itu. Ia melihat betapa kedua lengan hwesio itu bergemetar dan akhirnya terpaksa hwesio itu melepaskan cawan ke tangan Cin Han.
“Sungguh kau seorang pemuda yang luar biasa Lo-taihiap.” Hwesio itu memuji dan duduk kembali ke kursinya sambil menyusut beberapa tetes arak yang tadi tumpah ke tangannya.
157
Si Bayangan Iblis tampaknya girang sekali melihat hal ini, dan ia mengangkat kursinya mendekat Cin Han. Wajahnya berseri-seri ketika ia bertanya, “Lo-taihiap, bolehkah kami mengetahui nama guru taihiap yang mulia?”
Ketika Cin Han menyebut nama Gwat Liang Tojin, Hong Su mengangguk-anggukkan kepala dan Tie Bong menjulurkan lidahnya. “Oo, tidak tahunya taihiap adalah murid dari Kong-hwa-san! Pantas saja begitu lihai!”
Pada saat itu Lie Thung datang menghampiri Cin Han dan menyerahkan baju luarnya, kemudian dengan perlahan sekali bekas bajak yang kini menjabat pangkat kepala bagian penyelidik dalam perkumpulan itu mendekati ketua Kwie-coa-pai dan berbisik. Kwie-eng-cu Hong Su tampak terkejut dan segera berdiri.
“Saudara-saudara, ada urusan penting. Silakan berkumpul di kamar dalam dan kau juga dipersilakan ikut, Lo-taihiap.”
Semua orang yang duduk di meja itu, yakni kedua pengemis aneh, hwesio, bekas pembesar, Thio Lok dan juga Lie Thung, berdiri dan beramai-ramai masuk ke ruangan sebelah dalam. Cin Han tadinya ragu-ragu, tapi melihat Lie Thung mengangguk kepadanya, terpaksa ia ikut juga. Mereka menuju ke sebuah kamar yang terletak di bagian paling dalam.
Kamar itu terhias gambar-gambar indah, merupakan kamar tamu dan di tengah-tengah terdapat sebuah meja besar dikelilingi banyak kursi. Atas isyarat Hong Su, semua orang mengambil tempat duduk. Kemudian ketua itu, setelah memandang mereka seorang demi seorang dengan paras muka bersungguh-sungguh, berkata kepada Cin Han.
“Saudara Lo yang gagah. Sebagai seorang baru tentu kau masih belum mengerti akan hal-hal kami, maka terlebih dulu biarlah kuuraikan secara singkat padamu. Kami yang duduk di sini adalah pendiri dan pengurus perkumpulan kami Kwie-coa-pai. Perkumpulan kami mendapat tunjangan dari rakyat dan pemerintah karena maksud dan tujuan perkumpulan kami adalah untuk melindungi rakyat dan membela pemerintah.
“Kami mengumpulkan orang-orang gagah dari seluruh propinsi dan membuat gerakan membasmi para penjahat pengacau pemerintah dan pengganggu rakyat. Kita orang-orang kasar yang hanya mengandalkan tenaga untuk membuat jasa mengapa tidak menggunakan kesempatan ini untuk berbuat sedikit kebaikan dengan mengusir segala sumber kekacauan? Maka, melihat kepandaian dan kejujuranmu, kami suka sekali menerimamu sebagai seorang saudara seperjuangan. Bagaimana pendapatmu, saudara Lo?”
Lo Cin Han biarpun memiliki kepandaian tinggi, namun ia masih sangat muda dan boleh dikata ia buta politik. Ia hampir tidak mengerti sama sekali tentang keadaan sebenar dari pemerintah bangsa Boan yang pada waktu itu menjajah seluruh permukaan bumi Tiongkok. Iapun tidak tahu sama sekali betapa para pembesar Boan dan para pembesar bangsa Han yang berjiwa rendah telah menjalankan penghisapan dan penindasan kepada rakyat.
Ia tidak menyangka sedikitpun juga bahwa Kaisar Boan yang cerdik, licin dan penuh tipu muslihat itu sedang mengadakan gerakan adu domba di antara para hohan yang mengancam kedudukannya.
158
Maka kini melihat keadaan perkumpulan Kwie-coa-pai dan mendengar pembicaraan ketua perkumpulan itu, ia merasa kagum dan tertarik sekali. Seakan-akan dibangunkan semangat kepahlawanannya dan iapun ingin sekali menyumbangkan tenaganya guna rakyat dan negara.
“Hong lo-enghiong,” jawabnya kemudian. “Para saudara di sini ternyata adalah orang-orang berjiwa besar yang membuat aku kagum sekali. Mana aku yang muda dan bodoh ini dapat disamakan dengan saudara-saudara? Tentu saja aku bersedia membantumu dalam usaha yang baik ini, karena memang telah menjadi kebiasaanku untuk membasmi penjahat dan pengacau keamanan rakyat.”
Semua orang di situ merasa gembira sekali mendengar jawaban ini. Kemudian Hong Su menyatakan bahwa barusan dari para penyelidiknya ia mendapat berita bahwa malam nanti gedung Pangeran Coa Kok Ong akan diserbu penjahat, dan penjahat-penjahat itu kabarnya terdiri dari beberapa orang yang berkepandaian tinggi.
“Cuwi enghiong,” kata Hong Su sambil memandang kawan-kawannya, “sekali ini kita menghadapi perkara besar karena diantara para penyerbu itu terdapat juga Kim-jiauw-eng Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas!”
Terdengar seruan kaget dan Cin Han heran mengapa nama itu demikian berpengaruh, bahkan ia melihat wajah Thio Lok yang biasa tenang itu menjadi pucat.
Dua pengemis aneh itu saling pandang dan tertawa. Si bongkok lalu berkata, “Hm, dia juga datang? Kami berdua pernah menguji kepandaiannya dan dengan kepandaian kami digabungkan menjadi satu maka baru dapat melayaninya. Baiknya di sini kita dibantu Lo Cin Han taihiap, maka kita tidak perlu berkhawatir lagi.”
“Sebenarnya, siapakah Garuda Kuku Emas ini?” tanya Cin Han yang tidak dapat menahan keinginan tahunya lebih lama lagi.
“Kau belum pernah mendengar namanya?” kata Tie Bong Hwesio. “Ia adalah murid dari Kang-lam-taihiap Kam Hong Tie dan kepandaiannya tinggi sekali.”
“Murid Kang-lam-taihiap Kam Hong Tie? Kalau ia murid pendekar itu, mengapa kalian menyebut dia seorang jahat?” tanya Cin Han karena ia telah mendengar betapa gurunya memuji-muji nama Kam Hong Tie sebagai seorang pendekar gagah berani yang berbudi dan bijaksana.
Tie Bong Hwesio tidak bisa menjawab, tapi Hong Su mewakilinya dengan cepat, “Ah, kau rupanya belum banyak merantau ke timur, saudara Lo. Memang Kang-lam-taihiap Kam Hong Tie adalah seorang locianpwe yang gagah perwira. Dan muridnya inipun tadinya seorang hiap-kek yang budiman. Namun, entah apa sebabnya, ia berubah dan kini menjalankan pekerjaan sesat dan terkutuk. Ia mengacau rakyat dan negara, membunuh orang tidak berdosa dan melakukan segala macam perbuatan jahat mengandalkan ilmu silatnya yang tinggi.”
Cin Han mengangguk-angguk. “Kalau ia begitu jahat, harus kita tentang. Baik serahkan saja dia kepadaku, barangkali aku masih dapat melawannya.”
159
Setelah membagi-bagi tugas menjaga dan menghadapi datangnya musuh malam nanti, Hong Su lalu mengajak kawan-kawannya untuk terlebih dahulu menjumpai pangeran itu dan mengatur siasat selanjutnya. Beramai-ramai mereka menuju ke gedung pangeran yang letaknya hanya beberapa lie dari situ.
Cin Han kagum ketika masuk ke halaman gedung mentereng dan indah dan mempunyai taman bunga yang luas pula. Ketika masuk, yang mula-mula menarik perhatiannya ialah bunyi suling yang merdu tertiup angin. Suara itu datangnya dari arah taman bunga di belakang gedung.
“Hrn, Coa-siocia masih saja bersenang-senang meniup sulingnya, tak tahu hahwa bahaya besar mengancam di atas kepala,” Hong Su berkata dengan tersenyum.
Lam Beng Sun bekas pembesar itupun tersenyum dan berkata, “Memang Coa-siocia selalu gembira dan suara sulingnya memang merdu tiada bandingnya di seluruh daerah ini.”
Pangeran Coa Kok Ong yang bertubuh tinggi dan berkumis seperti kucing menyambut mereka dengan wajah gembira. Ternyata di ruang tamu telah duduk seorang yang bertubuh tinggi besar dan wajahnya gagah sekali. Pakaiannya menunjukkan bahwa iapun seorang pembesar dan melihat sikap Pangeran Coa yang agaknya sangat menghormatinya, dapat diduga bahwa ia tentu seorang pembesar yang tinggi juga pangkatnya.
Setelah mempersilakan mereka duduk, Pangeran Coa Kok Ong lalu memperkenal tamunya yang bersikap tinggi hati itu. Ternyata ia adalah Biauw Su Hai yang berpangkat ciang-bu atau kapten dari pasukan penjaga keamanan kota raja dan menjadi panglima kepercayaan kaisar. Maka segera Lam Beng Sun dan semua orang gagah, kecuali Cin Han, menyatakan hormat mereka terhadap Biauw Su Hai yang mereka sebut Biauw-ciangkun.
Kemudian mereka diberi tahu bahwa Biauw-ciangkun telah diterima lamarannya dan kini menjadi calon mantu Pangeran Coa atau tunangan Coa-siocia yang tiupan sulingnya terdengar tadi.
Ketika mendengar tentang adanya bahaya penyerbuan, Biauw Su Hai tertawa bergelak-gelak dan berdiri menepuk-nepuk dada. “Saudara-saudara tidak perlu demikian sibuk. Ada aku di sini, masa menghadapi beberapa gelintir maling kecil itu saja harus demikian berhati-hati?”
Tapi Lam Beng Sun berkata hati-hati, “Kami percaya bahwa Biauw-ciangkun pasti dapat memukul mundur mereka, tapi berhati-hati lebih baik, dan lagi, kiranya tidak perlu Biauw-ciangkun sendiri yang menghadapi penjahat-penjahat kecil itu. Serahkanlah saja kepada Hong Su bengcu dan kawan-kawannya pasti beres.”
Biauw Su Hai tertawa keras. “Kau benar, Lam-twako. Kau benar!”
Cin Han merasa sebal sekali melihat kecongkakan dan kekasaran kapten itu. Ingin sekali ia tahu betapa tinggi kepandaian kapten dogol ini. Tapi ia diam saja tidak ikut bicara sampai Hong Su mengajak mereka pulang.
Malamnya, baru saja jam delapan, Hong Su mengajak kawan-kawannya yang telah siap dengan pakaian ringkas dan senjata masing-masing. Cin Han diharuskan menjaga di taman bunga belakang
160
gedung. Thio Lok di taman bunga depan, Tie Bong Hwesio, Liok Sin Tat, Kok Pin dan Hong Su sendiri terbagi-bagi menjaga di atas genteng sambil bersembunyi.
Karena harus menjaga taman bunga yang luas, maka Cin Han berjalan-jalan di dalam kebun itu, mengagumi bunga-bunga yang sedang mekar di dalam taman dan di dalam empang kecil yang penuh dengan ikan emas terlihat beberapa bunga teratai merah. Ia teringat kepada Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa, gadis yang belum pernah meninggalkan lubuk hatinya itu. Diam-diam ia menghela napas.
Tiba-tiba di taman yang sunyi terdengar suara orang bercakap-cakap. Cin Han merasa heran dan terkejut karena sejak tadi ia berlaku waspada dan tidak dilihatnya seorangpun memasuki taman itu. Maka segera ia dengan hati-hati menghampiri ke arah suara itu mendatang.
Ternyata bahwa orang-orang yang bicara itu berada di dalam sebuah bangunan kecil yang mungil dan indah sekali, agaknya sengaja dibangun di ujung taman itu untuk tempat mengaso. Kini terdengar jelas olehnya suara percakapan itu.
Yang berbicara adalah dua orang wanita dan menurut kata-kata yang diucapkan, ternyata mereka adalah seorang majikan dan bujangnya. Cin Han menyembunyikan diri ketika terdengar bujang itu menyebut “Siocia”. Ia dapat menduga bahwa wanita di dalam bangunan kecil itu tentu puteri pangeran sendiri, yakni Coa-siocia yang tadi telah meniup suling demikian merdunya.
Tapi hatinya ingin sekali melihat wajah puteri itu, pula ia berpendapat bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk minta gadis itu supaya masuk ke dalam gedung dan sekali-kali jangan keluar pada malam ini. Maka ia memberanikan diri dan berdiri menanti di luar pintu.
Ia mendengar siocia yang berada di dalam menangis terisak-isak dan pelayannya dengan suara pilu menghiburnya. Karena ingin tahu, Cin Han melangkah maju dan mendekati pintu. Kini terdengar olehnya suara di dalam berkata keras,
“Tidak, A-bwee, tidak! Lebih baik aku mati saja…… A-bwee, pergilah ke kamarku, di laci meja riasku ada sebuah botol kecil, ambillah dan bawa ke sini.....! Cepat, A-bwee……”
“Tidak, siocia, jangan begitu! Masih ada jalan lain, nona.”
“Jalan lain yang mana? Watak ayah kukuh dan keras…… dan orang she Biauw si jahanam kasar itu……. ia berpengaruh…… ah…… jangan membantah, A-bwee…… ambillah botol itu……”
Terdengar A-bwee menangis tersedu sedan. “Saya tidak sanggup, siocia, saya tidak…… tidak mau……”
“Kau tidak mau ambilkan?? Baik, tinggal saja di sini, aku akan mengambil sendiri!”
“Jangan, nona…… jangan…… tolong……” A-bwee menjerit!
Cin Han terkejut dan hendak menolak daun pintu, tapi pada saat itu, daun pintu terbuka dari dalam dan hampir saja ia bertubrukan dengan seorang yang berlari keluar. Baiknya Cin Han cepat memiringkan tubuhnya, dan orang itu karena terkejut, kakinya terkait ambang dan terhuyung ke depan akan jatuh.
161
Cin Han berlaku sebat dan dengan tangan kiri ia menangkap lengan orang itu untuk mencegahnya jatuh. Tapi, setelah orang itu berdiri, Cin Han cepat-cepat melepaskan pegangannya dan wajahnya merah, hatinya berdebar.
Ternyata orang itu adalah seorang gadis muda yang cantik sekali dan kini tengah memandangnya dengan sepasang mata yang indah dan jeli bagaikan mata burung Hong. Mulut yang kecil dengan bibir merah itu menggigil dan bergerak-gerak, tapi untuk sejenak gadis itu tidak dapat berkata-kata. Cin Han mengangkat tangan dan menjura,
“Nona, maafkan aku……”
“Kau…… kau siapakah? Mengapa berani memasuki tempat ini?” Akhirnya siocia itu dapat juga membuka mulut bertanya.
“Aku ditugaskan oleh Hong Su lo-enghiong untuk menjaga taman ini. Kuharap siocia suka masuk saja ke dalam gedung dan jangan keluar-keluar untuk semalam hari ini, karena berbahaya sekali.”
Coa Giok Lie memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. Ia tertarik oleh sikapnya yang sopan-santun, dan terutama sulaman burung Hong di dada anak muda itu membuatnya kagum. Ketika pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata Cin Han, ia menundukkan kepala dan kulit mukanya merah padam.
“A-bwee! Hayo kita masuk!”
Dari balik pintu itu muncul keluar seorang perempuan muda yang masih menyusut air mata dari pipinya. Ia memandang Cin Han dengan heran dan penuh curiga, kemudian menuntun tangan siocianya, “Marilah, siocia.”
Sebelum mereka pergi, Cin Han maju selangkah dan menjura lagi, “Siocia, maafkan aku. Maksudmu itu kurang benar, siocia. Di dunia ini tidak ada persoalan yang tidak dapat dibikin beres. Jalan pendek dan sesat itu hanya bisa dilakukan oleh seorang bodoh dan picik, dan saya yakin siocia bukan termasuk golongan orang-orang demikian.”
Coa Giok Lie memandang Cin Han dengan marah, sepasang mata yang indah itu seakan-akan mengeluarkan api, bagaikan mata burung rajawali yang mengintai kurbannya. Kemudian tanpa bicara apa-apa, ia membalikkan tubuh dan lari masuk ke dalam gedung.
Cin Han menghela napas dan melanjutkan perjalanannya meronda di taman bunga itu. Ia tidak menyangka bahwa Coa Kok Ong mempunyai seorang gadis yang demikian cantiknya! Seumurnya belum pernah ia melihat wanita secantik itu. Begitu lemah lembut, halus gerak-geriknya, tubuhnya bergoyang lemas bagaikan pohon Yang-liu tertiup angin, dan mata itu!
Diam-diam Cin Han membandingkan gadis itu dengan bayangan Han Lian Hwa yang tidak pernah meninggalkan alam pikirannya. Baginya, gadis perkasa itu lebih menarik dan sikapnya yang gagah mendatangkan rasa kagum dan perindahan darinya, tetapi mengenai kecantikan dan sifat halus
162
kewanitaan, harus ia akui bahwa Coa Giok Lie siocia ini masih menang jauh. Tiba-tiba ia merasa malu kepada diri sendiri. Mengapa ia harus memikirkan gadis itu?
Pada saat itu terdengar bunyi suitan keras. Cin Han tahu bahwa itu adalah tanda dari kawan-kawannya bahwa musuh telah tiba. Suitan itu datang dari atas genteng, maka Cin Han segera mengayun tubuhnya ke atas genteng. Dengan berlari cepat ia menuju ke wuwungan tengah, dan di situ ia melihat sepasang pengemis sedang bertempur melawan seorang pemuda baju hijau yang bersilat dengan pedang panjang.
Sekilas saja tahulah Cin Han bahwa permainan pemuda itu lihai sekali, dan sepasang pengemis itu hanya dapat menangkis dan berkelit saja. Liok Sin Tat menggunakan selendang merahnya yang hebat, dan Kok Pin menggunakan senjata joan-pian lemas yang menyerupai cambuk.
Sebenarnya permainan senjata kedua pengemis ini sudah mencapai tingkat yang tinggi juga, tapi ternyata pemuda baju hijau itu lebih hebat gerakan-gerakannya. Cin Han dapat menduga bahwa pemuda itu tentu murid Kam Hong Tie yang disebut orang Garuda Kuku Emas. Pantas saja ia disegani, kiranya ilmu pedangnya memang luar biasa.
Cin Han melihat sekeliling. Ternyata bahwa semua kawan-kawannya sedang bertempur. Hong Su si Bayangan Iblis sedang bertempur melawan seorang yang bertubuh kecil ramping. Cin Han sekali lagi merasa terkejut karena permainan pedang lawan Hong Su sangat hebat. Dan ketika ia melihat lebih tegas, ia dapat menduga bahwa orang itu tentu seorang wanita. Tapi permainan pedangnya agaknya tidak di sebelah bawah dari Garuda Kuku Emas.
Ketua Kwi-coa-pai yang bersenjata sepasang siang-kek, semacam tombak pendek bercagak, bermain dengan cepat dan kuat sehingga lawannya tidak dapat terlalu mendesak, tapi sebaliknya si Bayangan Iblis yang terkenal gagah perkasa itupun tidak dapat berbuat banyak!
Cin Han mengerutkan jidat dan ia cemas sekali. Masih banyakkah lawan-lawan lihai ini? Selagi ia hendak membantu sepasang pengemis mengeroyok Garuda Kuku Emas yang mendesak kedua pengemis itu, tiba-tiba terdengar seruan panjang dan muncullah seorang yang bersenjatakan baju luar yang digulung!
Orang yang datang ini sudah tua dan brewokan, tapi ketika ia menyerbu dan mengeroyok Hong Su, Cin Han merasa kagum melihat betapa baju luar yang digulung dan dipakai sebagai senjata itu sungguh lihai dan hebat sekali. Sabetan baju itu mendatangkan angin menderu dan teringatlah Cin Han akan cerita gurunya dulu bahwa di dunia persilatan terdapat seorang hiap-kek yang terkenal dengan sebutan Ciu-sian Kong Sin Ek dan yang mempunyai senjata luar biasa, yakni baju luarnya!
Dengan majunya Dewa Arak Kong Sin Ek itu, maka segera Hong Su terdesak mundur. Tapi pada saat itu juga, tampak Thio Lok melayang naik dan membantu sepasang pengemis menggempur Garuda Kuku Emas sehingga keadaan mereka kini berimbang.
Cin Han hendak meloncat membantu Hong Su, tapi ia melihat bayangan orang tinggi besar berkelebat memasuki gedung! Ia mengurungkan niatnya membantu Hong Su, dan secepat kilat ia mengejar bayangan tadi yang pasti bermaksud jahat. Tapi ternyata bayangan itu bergerak cepat sekali sehingga ketika Cin Han mengejar ke dalam gedung, bayangan itu telah lenyap.
163
Ia memandang tajam ke kiri, dan tiba-tiba dari kamar di ujung kanan ia mendengar suara orang. Dengan gerakan Naga Sakti Mengejar Awan ia meloncat ke arah kamar itu dan dengan berpok-sai ia menggantungkan kedua kaki di balok melintang. Dari lobang di atas jendela ia dapat mengintai ke dalam.
Alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa kamar itu adalah kamar Coa-siocia dan pada saat itu terdapat pemandangan yang membuat ia hampir berteriak marah! Coa-siocia berdiri angkuh dan matanya yang seperti mata burung Hong itu memandang hina kepada seorang hwesio tua tinggi besar yang berdiri di hadapannya dengan toya di tangan! A-bwee tampak berlutut dan menutupi muka karena takut.
Cin Han tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi dari keadaan mereka ia dapat tahu bahwa hwesio penjahat itu tentu sedang memaksa dan menanyakan sesuatu yang tidak dijawab oleh Coa-siocia. Diam-diam Cin Han kagum sekali melihat keberanian nona yang lemah lembut itu. Melihat nona cantik itu berdiri bagaikan seorang ratu memandang rendah seorang penjahat!
Dengan gerakan Naga Sakti Memutar Ekor Cin Han meloncat dan membalikkan tubuh, terus meloncat ke kamar melalui jendela yang didorongnya dengan tangan kiri.
“Pendeta cabul jangan mengganggu anak gadis orang!” teriaknya dan dengan gemas ia menggunakan kepalan kanan memukul.
Hwesio itu cepat berkelit dan Cin Han memandang ke arah sepasang mata yang sangat tajam. Tapi ia heran melihat wajah hwesio yang tampaknya alim dan agung. Hwesio itu meloncat keluar dengan cepat sekali, dan Cin Han mengejar sambil berteriak, “Hwesio jahat hendak lari ke mana?”
Hwesio itu memutar toyanya dan segera Cin Han merasakan angin toya menyambar dadanya. Ia meloncat ke samping dan berbareng mencabut keluar pedangnya. Mereka segera bergebrak seru dan ternyata ilmu pedang Cin Han yang luar biasa itu sebentar saja sudah dapat mendesak dan membuat hwesio itu sibuk menangkis.
Kalau ia mau, agaknya tidak sukar bagi Cin Han untuk mengirim serangan maut, tapi karena ia tadi melihat wajah hwesio ini bukan seperti orang jahat, maka ia tidak tega membunuhnya dan timbul kekhawatirannya membunuh orang baik-baik. Pada saat ia hendak menyudahi pertempuran itu dan membuat lawannya tidak berdaya, sebuah bayangan orang berkelebat datang dibarengi bentakan halus nyaring,
“Jangan sibuk, suheng, aku datang membantumu!” dan bayangan ini segera menggerakkan pedangnya.
Cin Han menangkis keras untuk membabat pedang lawan baru ini, tapi ketika kedua pedang beradu, tidak saja pedang lawan tidak terbabat buntung, bahkan ia merasakan tenaga besar membuat pedangnya sendiri terpukul! Ia heran dan terkejut sekali, tetapi pada saat itu, lawannya berseru kaget dan meloncat mundur.
“Kau......??” lawannya yang ternyata seorang wanita muda itu bertanya ragu.
164
Cin Han memandang dan…… ternyata yang berdiri di depannya bukan lain ialah Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa.
“Moi…… Lihiap…… kaukah ini?” tanyanya gagap.
Lian Hwa memandang tajam dan mulutnya mengejek, “Hm…… jadi kaupun menjadi pembela, menjadi anjing penjilat? Kau?? Ah...... tidak kusangka.......” terdengar elahan napas mengandung isak, kemudian pendekar wanita itu mengertak gigi. “Baiklah! Biar saat ini kita tentukan, siapa yang harus mampus di ujung pedang!”
“Nanti dulu, lihiap…… agaknya......”
“Jangan banyak cerewet!” Lian Hwa membentak.
“Agaknya...... ada salah paham…… aku bingung……”
“Ah! Alasan palsu. Suheng, hayo kita basmi anjing ini!”
“Moi-moi!!” Cin Han berteriak pilu.
“Pengkhianat! Gunakan pedangmu, bukan mulutmu!” Dan Ang Lian Lihiap dengan gemas dan marah sekali menggerakkan pedangnya menusuk.
Cin Han terpaksa menangkis, tapi segera ia merasakan betapa banyak kemajuan yang diperoleh gadis ini. Gerakan-gerakannya demikian lincah dan cepat hingga harus ia akui bahwa ginkang atau ilmu ringankan tubuh dari gadis ini bahkan berada di atas kepandaiannya sendiri. Maka sudah tentu saja ilmu pedang Sian-liong-kiam-hwat pelajaran aseli dari Sian-kiam Koai-jin Ong Lun yang dimainkan oleh gadis itu makin hebat dan lihai saja.
Pula terasa olehnya dalam benturan pedang bahwa tenaga lweekang dari gadis itu sudah jauh lebih maju daripada ketika bertempur dengannya dulu. Kini, ditambah lagi dengan permainan toya dari hwesio yang cukup lihai, tentu saja kedua lawan ini merupakan lawan yang tangguh.
Baiknya ia sudah mencangkok sari pelajaran dari Beng San Siansu dan sudah mahir mainkan Hwie-liong-kiam-sut, maka ia dapat menutup dirinya dengan sinar pedangnya sehingga tidak mungkin terluka, biarpun dirinya dikurung toya dan pedang yang dimainkan hebat bagaikan disulap menjadi ratusan mengeroyok dirinya. Cin Han mengakui bahwa kalau saja ia tidak menguasai Hwie-liong-kiam-sut, jangankan dikeroyok, melawan Ang Lian Lihiap sendiri saja pasti ia akan kalah.
Kini ia menjadi bingung dan serba salah. Diluar kehendaknya, ia sekali lagi bertempur melawan Ang Lian Lihiap. Bahkan ia dianggap pengkhianat. Apakah artinya semua ini? Tapi Lian Hwa tidak menghendaki perundingan, tidak sudi mendengarkan pembelaannya, maka ia menindas kesedihan dan kebingungannya, lalu mengertakkan gigi dan memusatkan perhatiannya di ujung pedang.
165
Setelah bertempur limapuluh jurus lebih, ia dapat memunahkan semua serangan dan keadaan mereka berimbang. Lian Hwa dengan nekat dan mati-matian terus menyerang, sedangkan Hwat Kong Hwesio, suheng gadis itu, sudah mulai mengeluarkan keringat.
Tiba-tiba datang pula seorang yang gerakannya cukup gesit, tapi orang ini bukan hendak mengeroyok, bahkan dengan tergesa-gesa bersuit keras.
“Ah, mengapa harus mundur? Aku belum puas kalau belum membunuh pengkhianat ini.” Terdengar Ang Lian Lihiap mengeluh kepada suhengnya.
“Sudahlah, sumoi. Hayo kita pergi!” Dan Hwat Khong mendahuluinya meloncat mundur.
Cin Han juga meloncat mundur dan menanti dengan pedang di tangan.
Lian Hwa menuding dengan pedang ke arahnya. “Pengkhianat she Lo! Biar kau hidup sampai besok malam untuk menyesali pengkhianatanmu!” Kata-kata ini dibarengi pandangan mata yang penuh sinar kebencian tapi yang dihiasi dengan dua butir air mata menitik turun di sepanjang pipinya.
“Lihiap, dengarlah dulu......”
Tapi Ang Lian Lihiap, dan suhengnya sudah meloncat pergi.
Cin Han hanya menghela napas berulang-ulang, kemudian ia meloncat ke atas genteng untuk menemui kawan-kawannya. Ternyata Hong Su si Bayangan Iblis mendapat luka ringan di pundaknya. Ketika ketua Kwi-coa-pai ini bertempur melawan Ang Lian Lihiap, keadaan mereka seimbang, tapi setelah datang Ciu-sian Kong Sin Ek si Dewa Arak, ia mulai terdesak dan ujung pedang Lian Hwa melukai pundaknya. Gadis itu melihat lawan sudah terluka, lalu meninggalkannya untuk membantu suhengnya, sedangkan Hong Su terus bertempur melawan Kong Sin Ek.
Sedangkan sepasang pengemis dengan bantuan Thio Lok ternyata telah berhasil membuat Garuda Kuku Emas menjadi sibuk juga. Melihat kekuatan penjagaan yang demikian besar, akhirnya si Garuda Kuku Emas yang memimpin penyerangan ini memberi perintah mundur.
Cin Han menghampiri Thio Lok. “Saudara Thio, tahukah kau siapa penyerang wanita yang bertempur melawan Hong Su lo-enghiong tadi?”
Thio Lok menggelengkan kepala.
“Ia adalah saudara seperguruan dengan kau,” kata Cin Han.
“Apa katamu?” Thio Lok terkejut dan heran.
“Ia adalah murid Sian-kiam Koai-jin Ong Lun yang disebut orang Ang Lian Lihiap.”
“Oo, begitukah?” dan heran sekali, orang she Thio itu menjebirkan bibir seakan-akan mengejek. Maka Cin Han tak sudi berkata apa-apa lagi hanya merasa heran sekali mengapa saudara seperguruan ini agaknya saling membenci.
166
Walaupun di dalam hati merasa sangat penasaran dan penuh kecurigaan akan kebersihan orang-orang yang ia bela tapi Cin Han tak banyak cakap. Ia hanya berlaku waspada dan mengambil keputusan untuk menyelidiki sendiri keadaan orang-orang yang ia anggap “gagah dan patriotik” ini.
Kalau kawan-kawannya ini benar-benar orang baik-baik, mengapa Ang Lian Lihiap dan murid Kam Hong Tie sampai memusuhinya? Mungkin juga Garuda Kuku Emas itu bisa tersesat. tapi apakah Ang Lian Lihiap juga berlaku sesat dan buta? Ah, ia tidak percaya. Dan mengapa ia disebut pengkhianat oleh Han Lian Hwa?
“Cuwi,” tiba-tiba Hong Su berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Musuh yang datang kali ini sangat kuat. Baiknya kita masih dapat memukul mundur mereka. Tapi, kurasa besok malam mereka tentu datang lagi dan pasti mereka membawa lebih banyak kawan. Maka, kuharap Thio taihiap dan Tie Bong Lo-suhu sekarang juga pergi mengundang beberapa kawan dari Kie-ciu.”
Kedua orang itu mengatakan baik dan langsung berangkat menuju ke selatan. Pada saat itu, dari bawah meloncat naik seseorang dan ketika dilihat, ternyata dia adalah Biauw Su Hai yang memegang sebuah golok besar di tangan. Sikapnya sombong sekali.
“Bagaimana, cuwi?” tanyanya, “sudah kaburkah semua penjahat tadi? Sayang golokku tidak kebagian sedikit darah. Aku menjaga di dalam kamar khawatir kalau-kalau ada penjahat yang memasuki kamar calon mertuaku!”
Biarpun agaknya gemas, Hong Su menceritakan juga kepada kapten ini tentang datangnya musuh tadi. Di depan seorang kepercayaan kaisar, ia tidak berani berlaku kurang ajar. Tapi Cin Han tak dapat menahan muaknya, dan dengan suara mengandung sindiran ia berkata.
“Sayang sekali Biauw-ciangkun tidak muncul tadi. Kalau ciangkun ada di sini, tentu. Hong Su lo-enghiong takkan terluka. Sayang sekali. Biauw-ciangkun muncul setelah semua lawan sudah pergi!”
Biauw Su Hai memandangnya dengan marah, lalu tanpa berkata apa-apa ia meloncat turun kembali. Kedua pengemis tertawa ha-ha-hi-hi melihat keadaan ini.
Semua lalu turun dan pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat.
Pada keesokan harinya, sore hari, Thio Lok dan Tie Bong Hwesio datang dengan dua orang hwesio lain. Cin Han yang duduk diam dalam kamarnya, hanya mendengar suara mereka bercakap-cakap, tapi ia tidak ada nafsu untuk keluar menemui mereka.
Setelah hari menjadi gelap, Hong Su mengetuk pintu kamarnya, dan ketika pintu dibukanya, ketua perkumpulan Kwi-coa-pai itu memesan agar mulai jam sembilan nanti ia suka bersiap dan berjaga di posnya yang kemarin juga, yakni di dalam taman bunga belakang. Cin Han menyanggupi dengan sabar tak banyak cakap.
Kurang lebih jam delapan ia sudah keluar dari kamarnya dan menuju ke taman belakang. Tapi ketika sampai di ruang tengah dan mendengar suara orang bercakap-cakap di dalam kamar, ia tiba-tiba
167
mendengar suara orang yang agaknya telah dikenalnya. Maka diam-diam ia meloncat naik ke atas genteng dari celah-celah genteng itu mengintip ke dalam.
Bukan main kagetnya ketika ia melihat bahwa dua tamu yang diundang itu tak lain ialah Bong Lam Hwesio dan Bong Gak Hwesio, kedua hwesio dari Pek-lian-kauw yang dulu pernah mengeroyok Gwat Liang Tojin gurunya! Semua pengurus Kwi-coa-pai berada di situ mengadakan perundingan.
Pada saat itu ia melihat Bong Lam Hwesio mencabut golok dan bangun berdiri, diikuti oleh Bong Gak yang juga menyambar toya.
“Apa kaubilang?” teriak Bong Lam kepada Hong Su. “Hwee-thian Kim-hong berada di sini? Ia musuh kami!”
Hong Su berdiri dan memberi tanda kepada dua orang itu supaya berlaku tenang. Kemudian ia bertanya bagaimana asal mulanya maka terdapat dendam permusuhan di antara mereka.
“Tahukah kalian? Ia adalah murid Gwat Liang dan Gwat Liang itu adalah suheng dari Ong Lun yang menjadi musuh keturunan kami. Pendeknya, Pek-lian-kauw telah bersumpah untuk membasmi mereka ini, terutama Ang Lian Lihiap karena ia itu adalah murid Ong Lun!” kata Bong Gak dengan suara marah tertahan.
Lam Beng Sun yang sebenarnya menjadi perantara untuk mengumpulkan orang-orang gagah dan memusuhi para patriot-patriot bangsa, ikut menyatakan pendapatnya dengan suara tenang.
“Saya harap jiwi suhu berlaku tenang dan bijaksana dalam hal ini. Pada waktu ini, teristimewa malam hari ini, kita menghadapi lawan-lawan yang tangguh, dan kita membutuhkan bantuan dari luar. Sedangkan Hwee-thian Kim-hong benar-benar merupakan tenaga bantuan yang berharga. Maka, menurut pendapatku yang bodoh, biarlah jiwi jangan jumpai dia dulu, tunggu kalau bahaya dan ancaman musuh sudah dihalau pergi, mudah saja melakukan balas dendam. Pula kawan-kawan yang saya datangkan dari Barat mungkin beberapa hari lagi tiba di sini untuk menggabung kepada kita dan memperkuat kedudukan kita. Sabarlah, jiwi suhu.”
Biarpun Lam Beng Sun hanya seorang biasa saja, namun besar sekali pengaruhnya, karena dialah yang memegang kunci keuangan yang mengalir dari istana kaisar untuk membiayai para orang gagah yang dapat dipikat dan ditarik menjadi orang yang pro kaisar. Maka usulnya ini tak seorangpun berani membantahnya.
Cin Han yang mendengar semua inl merasa sesak napasnya! Ah, ia telah terjeblos ke dalam gua ular berbisa! Ia telah membantu orang-orang jahat, telah membantu Pek-lian-kauw dan Kwi-coa-pai yang ternyata bermaksud jahat. Baru insaflah dia akan kesalahannya, sungguhpun masih belum dimengerti mengapa Ang Lian Lihiap dan kawan-kawannya menyerang Pangeran dan mengapa pula Pek-lian-kauw dan Kwi-coa-pai membela pangeran ini.
Betapapun juga, kini ia yakin bahwa pihak Ang Lian Lihiap yang malam ini akan datang menyerang pula adalah pihak yang benar. Hal ini ia yakin setelah melihat macamnya orang-orang di pihak pangeran. Ia marah sekali dan besar sekali hasratnya untuk mendobrak pintu dan menerjang semua
168
orang itu, tapi perasaan ini ditahannya karena ia merasa takkan ada faedahnya menghadapi sekian banyak orang-orang yang berkepandaian tinggi.
Maka ia meloncat pergi dengan maksud meninggalkan tempat itu agar dapat membantu rombongan Ang Lian Lihiap kalau mereka datang. Tapi tiba-tiba, entah apa yang menggerakkan, kakinya menyeleweng dan menuju ke atas kamar Coa Giok Lie. Tepat sekali pada saat ia tiba di atas kamar dan mengintai ke dalam, dilihatnya siocia itu telah mengikat dan menyumpal mulut A-bwee!
“A-bwee, menyesal sekali hal ini harus kulakukan, karena kalau tidak, kau tentu akan menggagalkan maksudku dengan menghalanginya atau berteriak-teriak. Keputusanku sudah tetap. Tak perlu aku hidup lebih lama di dunia ini. Ayah mabok pangkat dan harta, dikelilingi bangsa penjahat, bahkan lamaran manusia macam orang she Biauw itupun diterimanya agar ia mudah mendapat kedudukan. Sekarang jiwa sekeluarga kami terancam. Orang-orang jahat menghendaki jiwa kami. Ah, ini semua salah ayah sendiri. Air mataku tak dianggapnya. Sayangnya kepada anaknya telah luntur. Maka, A-bwee, untuk apa aku hidup lebih lama lagi untuk menderita hidup di samping orang she Biauw itu?”
Cin Han melihat Giok Lie mengambil sebuah botol kecil dari atas meja, membuka tutup botol dan mengeluarkan dua butir obat lalu memasukkan obat yang berwarna hitam itu ke dalam cangkir terisi air. Kemudian, setelah berdongak ke atas dan menyebut. “Ibu, selamat tinggal, ibu……” ia mengangkat cangkir itu ke mulutnya.
Tapi sebelum bibirnya dapat mengecup pinggir cangkir, tiba-tiba sebuah batu kecil melayang dan “prak!” cangkir itu pecah dan jatuh ke atas lantai. Isinya tumpah keluar dan Giok Lie mendekap dadanya dengan terkejut. Kedua matanya bersinar marah ketika ia melihat Cin Han masuk ke kamarnya.
“Siocia, kenapa kau tetap ingin mati bunuh diri? Tak malukah kau?” suara Cin mengandung penasaran.
“Malu? Mana lebih malu menjadi bini Biauw Su Hai? Ah, kau tak tahu…… mengapa pula kauhalang-halangi maksudku? Kau pernah menolongku ketika penjahat-penjahat itu datang. Apakah…… apakah kali ini kau hendak membuatku hidup sengsara?”
Sebelum ia dapat menjawab, tiba-tiba dari luar terdengar suara bentakan. “Bangsat kurang ajar! Berani betul kau masuk kamar tunanganku. Hayo keluar untuk terima binasa!”
Giok Lie memegang lengan Cin Han. “Celaka! Itu suara bajingan she Biauw! Kau pasti akan mendapat celaka…… koko…… kau…… lekas kau pergi, larilah sebelum terlambat…..”
Tapi Cin Han ragu-ragu karena ia khawatir kalau-kalau gadis ini tetap akan bunuh diri nanti apabila ia pergi meninggalkannya. Di luar kamar terdengar banyak orang mendatangi dan sebentar kemudian pintu kamar Giok Lie diketuk keras-keras.
“Giok Lie! A-bwee!! Hayo buka pintu...... cepat!”
“Ah, ayah juga datang…… bagaimana ini baiknya, koko? Ah, daripada aku mendapat malu, maka bunuhlah aku lebih dulu, kemudian terserah padamu, hendak lari atau mengadu jiwa. Tapi bunuhlah
169
aku…… namaku akan tercemar…… bunuhlah......” Giok Lie mencoba untuk merebut pedangnya, tapi Cin Han memegang lengannya.
“Nona! Jangan takut. Kalau memang kau berjanji tidak akan bunuh diri, serahkanlah semua ini kepadaku. Aku akap melindungimu. Tunggu di sini, hendak kubereskan mereka semua.” Kemudian dengan sekali mengayunkan tubuh Cin Han melesat keluar dari jendela sambil memutar pedangnya.
Begitu tiba di luar, ia dikeroyok, tapi dengan mempergunakan ilmu pedang Hwie-liong-kiam-sut, sebentar saja ia berhasil membabat patah toya berikut sebuah lengan Bong Gak Hwesio. Namun kepungan makin rapat, diantaranya Hong Su juga menyerangnya sambil memaki.
“Hem, Hwee-thian Kim-hong, kau manusia tak mengenal budi. Kami memperlakukan kau baik-baik, tapi sebaliknya kau bahkan mau mengganggu gadis orang. Sungguh bagus perbuatanmu.”
Cin Han sambil bersilat memperdengarkan suara ejekan. “Kwi-eng-cu! Tadinya aku mengagumi kalian karena mataku seakan-akan buta. Kini aku tahu siapa kalian ini, dan dapat terduga olehku mengapa kalian menggabung dengan bangsat-bangsat gundul dari Pek-lian-kauw. Pendeknya, kalian mau apa? Biarkan aku pergi dari sini dengan aman, atau aku membuka jalan darah.”
Kata-kata Cin Han disambut dengan serangan-serangan hebat. Payah juga Cin Han melayani semua ini, karena sesungguhnya, biarpun kepandaiannya cukup tinggi, namun ia menghadapi enam orang yang kesemuanya memiliki kepandaian istimewa.
Kok Pin yang memiliki ginkang yang tinggi dapat memainkan joan-piannya dengan baik sekali, dibarengi permainan ang-kin merah dari Lok Sin Tat yang telah terkenal kelihaiannya. Tie Bong Hwesio kemarin malam tak sempat ikut bertempur karena ditugaskan menjaga pintu belakang kalau-kalau ada musuh menyerobot, tapi kini hwesio yang mahir sekali ilmu lweekangnya itu ikut mengeroyok dengan sebatang tongkat besi di tangan.
Juga Thio Lok yang memang membencinya, tampak memutar pedangnya dengan gerakan yang mengingatkan Cin Han akan ilmu pedang Ang Lian Lihiap. Dan pada saat itu ia berkenalan pula dengan sepasang siang-kek dari Hong Su. Semua itu masih ditambah lagi dengan adanya Bong Lam Hwesio dengan goloknya yang memainkan Pat-kwa-to-hwat yang dulu pernah ia rasakan kelihaiannya. Sungguh yang bukan ringan.
Tapi Cin Han bagaikan seekor banteng terluka, ia bergerak lincah dan gesit sekali. Pedangnya Kong-hwa-kiam menyambar-nyambar bagaikan naga terbang mengeluarkan suara ngaungan nyaring yang menyeramkan. Tubuhnya lenyap digulung sinar pedangnya dan menerobos ke sana ke mari diantara sekian banyak senjata yang mengurungnya.
Melihat bahwa biarpun mengeroyok dengan enam orang masih juga belum dapat membinasakan pemuda itu, Tie Bong Hwesio merasa penasaran dan malu. Ia menggereng keras dan goloknya melesat ke arah Cin Han, berusaha menerobos gulungan sinar pedang.
Serangan ini dilakukan dengan tenaga penuh, maka Cin Han yang sedang sibuk menangkis banyak serangan-serangan lihai itu, hanya sempat menowel lengan Tie Bong agar golok itu melejit ke
170
samping. Namun, tenaga dalam hwesio itu cukup hebat hingga biarpun gerakan goloknya agak mencong karena towelan itu, namun masih saja mengancam pundaknya.
Dalam keadaan terdesak Cin Han menggunakan tangan kiri menangkis sambil mengerahkan tenaga. Tangkisan tangan ke arah golok ini kalau bukan seorang ahli yang melakukan, sangat berbahaya, karena mana kuat kulit dan daging dipakai menangkis golok yang keras dan tajam.
Gerakan ini disebut Burung Garuda Mengibas Sayap dan tangkisan itu lebih menyerupai sampokan ke arah pinggir golok. Namun biarpun Cin Han dapat menyelamatkan pundaknya, masih saja lengan kirinya mendapat luka dan mengalirkan darah.
Tapi dengan mengertak gigi Cin Han menubruk maju dan “bres!” ujung pedangnya memasuki perut Bong Lam Hwesio yang tak sempat menangkis lagi. Dengan berteriak keras hwesio itu roboh mandi darah.
Untuk sesaat para pengeroyoknya terkejut dan mundur, tapi mereka maju mendesak pula. Biarpun Cin Han masih gesit dan kuat, namun ia telah terluka dan pengeroyoknya masih bersemangat dan berusaha keras membinasakannya, maka anak muda itu menjadi sibuk juga.
Tiba-tiba terdengar suitan keras dan beberapa bayangan orang berkelebat di atas genteng.
“Mereka datang!” teriak Hong Su dan lima orang yang mengeroyok Cin Han segera meninggalkan anak muda itu untuk menyambut penyerang-penyerang yang telah datang.
Cin Han bernapas lega, dan terasa kini betapa sakit dan perihnya tangannya yang terluka. Tapi tiba-tiba ia teringat bahwa Biauw Su Hai yang ia benci itu tadi tidak ikut mengeroyok. Kemanakah perginya jahanam itu? Ia menjadi khawatir akan keselamatan Giok Lie, maka segera ia loncat menuju ke kamar gadis itu.
“Tidak, aku tidak mau pergi. Kau pengecut besar, seharusnya kau bantu mereka menghalau musuh. Pergi dari sini, pergi!!”
Mendengar bentakan Giok Lie dan bujukan-bujukan Biauw Su Hai yang hendak membawa pergi gadis itu dengan alasan bahwa keadaan sangat berbahaya Cin Han menjadi marah sekali.
“Pengecut!” teriaknya dan ia meloncat memasuki kamar dari jendela.
“Eh, bangsat kecil, kau belum mati?” teriak Su Hai dan Coa-siocia menjerit kecil ketika melihat tangan Cin Han berlumuran darah.
Cin Han mengangkat pedangnya menangkis datangnya golok besar yang menyambarnya. Segera mereka berkelahi mati-matian. Tenaga orang she Biauw itu sesungguhnya besar sekali, ditambah pula goloknya yang berat membuat serangan-serangannya berbahaya dan mematikan. Tapi bagi Cin Han, kapten ini merupakan makanan lunak.
Dengan kelincahannya ia dapat menghindarkan diri dengan mudah dan balas menyerang secepat kilat. Baru saja bertempur belasan jurus, pedangnya telah berhasil melukai pundak kapten itu yang
171
roboh mandi darah. Tapi Cin Han juga merasa sangat lemah dan pening karena banyak mengeluarkan darah dari lukanya. Ia melapangkan dadanya dan menarik napas dalam-dalam sambil bersandar ke tembok.
Coa Giok Lie siocia memburu dan memegang lengannya.
“Kau luka?”
Cin Han hanya mengangguk dan Giok Lie segera menggunakan saputangan sutera membungkus tangan kiri Cin Han.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang berbaju putih meloncat masuk dengan pedang di tangan. Melihat Biauw Su Hai merintih-rintih di lantai, ia berkata, “Nah, inilah orangnya.”
Lalu dengan sekali sabetan, kepala orang she Biauw itu terpisah dari tubuhnya. Dengan cekatan sekali ia sambar rambut kapten itu dan membawa kepala Biauw Su Hai ke jendela.
Dari situ ia berteriak. “Nyo-toako, anjing Biauw telah kubereskan. Ini kepalanya, terimalah!” Dan kepala itu lalu dilemparkan keluar. Kemudian ia membalikkan tubuh dan memandang ke arah Cin Han dan Giok Lie dengan mata beringas.
Coa Giok Lie hampir mengeluarkan teriakan kaget. Ternyata orang itu adalah seorang wanita muda yang sangat cantik, tapi pada saat itu wajah yang cantik itu merah padam dan kedua mata yang jeli seakan-akan mengeluarkan api.
Cin Han membuka matanya. “Lan-moi......” katanya perlahan.
“Siapa sudi kau sebut adik!” Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa membentak. “Pengkhianat rendah. Angkat pedangmu untuk terima binasa.”
Cin Han tersenyum lemah, “Kau mau, bunuh padaku? Bunuhlah…… memang aku telah salah sangka dan tersesat. Kau wanita gagah, patriot sejati, aku hanya orang rendah yang buta dan bodoh. Bunuhlah!”
Han Lian Hwa mengertak gigi. “Jangan banyak cerewet. Hayo angkat senjatamu. Demi Tuhan…… kutusuk dadamu dengan pedang ini, hayo...... hayo lawan!!”
Giok Lie mendengar dengan heran dan ia merasa penasaran sekali melihat Cin Han dihina tapi tak mau melawan. Maka ia memegang lengan pemuda itu.
“Koko, mengapa kau tidak melawan dia? Lawanlah, masakah kau kalah oleh perempuan galak ini? Kau dihina, koko lawanlah, kalau kau tidak mau, biar aku wakilnya!”
Dan Giok Lie mencoba untuk mengambil pedang Kong-hwa-kiam dari tangan Cin Han. Gadis yang lemah lembut ini karena gemas melihat Cin Han dihina dan dimaki, telah melupakan kelemahan sendiri. Sikap ini membuat Cin Han malu dan bangunlah semangatnya. Ia memandang Han Lian Hwa dengan sayu lalu berkata perlahan,
172
“Ang Lian Lihiap…… kau tidak memberi kesempatan padaku untuk menerangkan dan membela diri. Kau salah sangka, nona. Aku bukan pengkhianat seperti yang kaukira......”
“Kau berada di sini, di sarang para pengkhianat bangsa. Masih saja tidak mau mengaku? Mana ada maling mau mengaku? Dan kau…… agaknya anak keluarga Coa penjual negara ini…… kekasihmu! Mau berkata apa lagi? Nah terimalah pedangku!” Dengan hebat Lian Hwa menutup kata-katanya dengan sebuah serangan kilat.
Cin Han menangkis dan segera ia sibuk menangkis dan berkelit menghindarkan diri dari serbuan Ang Lian Lihiap yang nekad dan marah itu. Sedikitpun ia tidak balas menyerang!
Diam-diam Lian Hwa mengakui bahwa ilmu pedang Cin Han jauh lebih hebat daripada dulu dan ia maklum bahwa ia bukanlah lawannya, tapi ia penasaran sekali mengapa pemuda itu tidak mau balas menyerang? Karena penasaran ia menjadi marah dan malu, merasa dirinya dipandang rendah sekali.
Ia malu karena perempuan yang kelihatannya mesra sekali hubungannya dengan Cin Han itu berada di situ dan melihat jalannya pertempuran. Sedikitpun ia tidak menyangka bahwa perempuan itu sama sekali tidak pandai bersilat dan tentu saja tidak tahu bahwa Cin Han dalam pertempuran itu selalu mengalah. Dalam pandangan Giok Lie, Cin Han selalu terdesak, maka diam-diam ia meraba-raba ke arah dinding.
Biarpun Cin Han dapat menggunakan ilmu pedangnya yang lihai untuk menjaga diri, tapi karena ia sudah terluka dan lagi karena jiwanya merasa tertekan serta kesedihan membuat pikirannya bingung, maka gerakannya tak selincah biasanya. Maka pada satu saat Ang Lian Lihiap berhasil melukai pundak kirinya dan darah mengalir lagi membasahi bajunya dan membuat burung Hong di dadanya seakan-akan mengalirkan darah!
Cin Han terhuyung-huyung mundur dan Giok Lie maju memeluknya dan menariknya ke arah dinding.
Lian Hwa dengan napas terengah-engah berdiri memandang ke ujung pedangnya yang menjadi merah karena darah pemuda itu. Tidak terasa olehnya, dua butir air mata membasahi pipinya, tapi ia menahan perasaannya dan membentak, “Hayo jangan bersembunyi di balik baju kekasihmu! Majulah, biar seorang diantara kita mati di ujung pedang!”
Tiba-tiba Giok Lie memekik. “Kau…... kau perempuan kejam!”
Lian Hwa menjadi marah dan meloncat maju. Tapi tiba-tiba terdengar suara keras dan dinding di belakang Giok Lie terbuka! Gadis itu dengan cepat menarik lengan Cin Han memasuki pintu rahasia itu, dan ketika Lian Hwa mengejar, pintu itu cepat sekali tertutup pula seperti sebelum terbuka dengan tak tersangka itu.
Lian Hwa menggunakan pedang Sian-liong-kiam membacok, tapi ternyata di balik dinding itu terdapat daun pintu besi yang sangat tebal.
Lian Hwa membanting-banting kakinya dan memaki, “Perempuan siluman! Hayo buka dan biarkan kupenggal leher laki-laki pengkhianat itu!”
173
Berkali-kali ia membacok pintu besi itu dengan pedang sampai tangannya merasa panas. Akhirnya ia menjatuhkan diri di atas sebuah kursi dan menangis.
Pertempuran di luar kamar berjalan dengan seru dan hebat. Tapi di pihak penyerang ditambah seorang tosu yang lihai, ialah Pek Siong Tosu, ketua Hoei-san-pai, termasuk golongan anti kaisar. Maka, karena di pihak Kwi-coa-pai telah kacau oleh perlawanan Cin Han tadi, mereka tak dapat menahan desakan para penyerang, dan setelah Hong Su dan kedua pengemis menderita luka-luka, mereka melarikan diri.
Sebenarnya yang dikehendaki jiwanya oleh rombongan penyerang anti kaisar ini tak lain ialah Biauw Su Hai dan Lam Beng Sun. Yang pertama itu dibenci karena ia adalah kepercayaan kaisar dan terkenal kejam serta telah membinasakan banyak orang gagah. Sedangkan orang she Lam telah dikenal sebagai seorang penghasut yang licin dan banyak berhasil dalam hasutan dan bujukannya terhadap banyak orang gagah sehingga mereka itu berbalik pikiran akibat pengaruh hasutan dan pengaruh sogokan harta dan uang.
Karena Biauw Su Hai terbunuh oleh Lian Hwa dan Lam Beng Sun juga terbunuh oleh rombongan itu, sedangkan para kauwsu penjaga telah lari pergi, maka Kim-jiauw-eng Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas yang memimpin serbuan itu, mengajak kawan-kawannya pergi. Tapi Lian Hwa tidak kelihatan di situ sehingga semua orang menjadi bingung lalu mencari-cari dengan terpencar.
?Y?
Ke manakah perginya Ang Lian Lihiap?
Sebetulnya, tadi setelah Cin Han diselamatkan dan dibawa pergi melalui pintu rahasia oleh Coa Giok Lie siocia, pendekar wanita itu merasa penasaran sekali. Hatinya telah kecewa dan sedih melihat kenyataan bahwa pemuda yang dikagumi itu kini telah tersesat dan menjadi pengkhianat, kini ditambah pula melihat Coa Giok Lie demikian mencinta pemuda itu bahkan berhasil melarikannya, hatinya seakan-akan dipotong-potong pedang tajam.
Rasa sayangnya terhadap Cin Han yang ada sejak dulu di dalam hatinya kini berubah rasa benci, ya, benci sekali hingga kehendak satu-satunya kini hanya ingin membunuh. Biarpun ia sendiri tidak tahu apakah ia akan sanggup membunuh pemuda itu karena tadi baru melukai pundaknya saja ia sudah merasa dadanya perih dan sakit karena iba hati!
Tapi, mengingat pula bahwa kini mungkin gadis yang membawa lari Cin Han itu tengah merawat pundak yang terluka oleh tusukannya tadi, ah, tak kuat menahan hatinya yang bergelora dan tinggal berpangku tangan saja. Ia harus membunuh Cin Han, membunuh perempuan itu, dan kalau perlu membunuh diri sendiri!
Dengan hati-hati dan cermat diperiksanya seluruh dinding dan tiang. Akhirnya dapat juga olehnya rahasia pintu itu, ialah sebuah lukisan harimau yang tergantung di dinding. Diputar-putarnya lukisan itu dan tiba-tiba dengan mengeluarkan suara keras pintu rahasia itu terbuka.
174
Lian Hwa meloncat masuk sambil siap dengan pedang di tangan. Jalan rahasia itu merupakan sebuah terowongan yang menembus tanah di bawah taman. Ia terus maju merayap dan tahu-tahu terowongan itu membawanya keluar dari pekarangan dan sampai di hutan kecil di belakang gedung.
Dengan bernafsu Lian Hwa maju terus. Ia mencari-cari, tapi keadaan di sekeliling hutan sunyi saja. Ia maju terus ke tengah. Tiba-tiba dilihatnya cairan warna hitam tertimpa cahaya bulan. Diperhatikannya benda cair itu. Darah! Hatinya berdebar dan rasa iba menusuk hatinya.
Darah Cin Han! Sekali lagi air matanya menitik keluar dari pelupuk mata. Ia membungkuk mengamat-amati jejak kaki yang menyatakan bahwa orang-orang yang dikejarnya lari ke arah utara.
Setelah berlari lagi beberapa lamanya di sepanjang lorong kecil dalam hutan itu, ia melihat sebuah pondok bambu di tengah hutan, dan ketika ia datang mendekat, terdengar olehnya suara orang bicara. Hatinya panas lagi ketika ia mendengar suara Giok Lie.
Ingin sekali ia menerjang membuka pintu pondok dan menyerang, tapi tiba-tiba ia mendengar suara Cin Han berkata-kata. Ia jadi ingin tahu apakah yang mereka bicarakan, maka dengan diam-diam ia memasang telinga mendengarkan dari luar.
“Kau bilang dia itu Ang Lian Lihiap? Ah, pernah aku mendengar nama ini disebut orang sebagai seorang pendekar wanita berhati mulia. Tapi mengapa ia, demikian kejam dan jahat?”
“Dia tidak jahat, nona. Dia benar-benar wanita gagah yang berhati mulia,” terdengar Cin Han menjawab dengan suara lemah.
“Tapi…… mengapa dia begitu membencimu?”
Terdengar Cin Han mengeluh dan menarik napas dalam. “Ia salah paham…… dan karena kebodohanku sendiri……”
“Koko, aku merasa seakan-akan kau ini kakakku sendiri. Aku bukan orang luar lagi, maka berterus teranglah, koko…… kau…… kau, cinta pada Ang Lian Lihiap, bukan?”
Ketika Lian Hwa mendengar ini dadanya berdebar-debar dan ia mengertak giginya menekan gelora hatinya. Ia memasang telinga baik-baik, tapi tidak terdengar jawaban Cin Han.
“Koko, kau cinta padanya,” terdengar Giok Lie berkata lagi, “hal ini mudah diketahui, ketika ia hendak membunuhmu kau menyerah saja seakan-akan bagimu senang mati di tangannya. Tapi, mengapa sebaliknya ia begitu membencimu? Ada salah paham apakah diantara kau dan dia?”
Kembali terdengar Cin Han menghela napas.
“Semua salahku sendiri. Aku memang bodoh, mudah saja tertipu oleh Hong Su si Bayangan Iblis! Kusangka benar belaka pengakuan mereka bahwa mereka membentuk perkumpulan untuk membasmi pengacau dan penjahat yang mengganggu rakyat. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa mereka ini adalah pengkhianat-pengkhianat dan penjilat kaisar. Siapa dapat mengira? Bahkan Thio Lok si Naga Hijau yang masih ada hubungan saudara seperguruan dengan Ang Lian Lihiap sendiri,
175
terdapat pula di situ, Tentu saja ketika mereka minta pertolonganku untuk membantu melindungi ayahmu dari serangan penjahat-penjahat yang datang, aku tidak menolaknya. Ternyata yang datang bukanlah penjahat-penjahat, sebaliknya adalah Ang Lian Lihiap dan para pendekar kang-ouw. Aku tertipu tapi betapapun juga, aku tidak pernah melakukan kejahatan......”
“Tidak, Cin Han koko, kau bukan penjahat. Kau bahkan telah menolongku dari si jahanam Biauw itu…… biarpun ayah termasuk golongan penjilat kaisar juga, hal ini kuakui, tapi aku sebagai anaknya belum begitu jahat untuk tak dapat membedakan mana penjahat mana orang baik. Biarlah, kalau aku bisa berjumpa dengan Ang Lian Lihiap, akan kujelaskan kepadanya bahwa kau putih bersih tak ternoda dosa…… Ah, kasihan kau, koko, semua orang memusuhimu. Pihak Pek-lian-kauw dan Kwi-coa-pai pasti akan mencari-carimu untuk membalas dendam, sedangkan Ang Lian Lihiap dan kawan-kawannya tetap akan mengejar-kejarmu sebagai seorang pengkhianat.”
Lian Hwa mendengarkan semua percakapan itu dengan tubuh gemetar. Ia terharu sekali. Ia merasa telah berlaku sewenang-wenang terhadap Cin Han. Dan Giok Lie demikian baik, demikian lemah lembut, tidak seperti dia, wanita kasar dan kejam. Tiba-tiba ia tersedu dan segera ditahannya tangis yang telah menerjang keluar dari dadanya, tapi suara isaknya telah keluar dari kerongkongannya.
Cin Han yang mendengar suara di luar ini lalu mengumpulkan tenaga dan meloncat keluar. Ia masih dapat melihat Han Lian Hwa lari pergi dengan cepat sambil menangis.
“Lian-moi......! Adik Lian…… berhentilah……?” Ia lari mengejar, tapi gerakan Ang Lian Lihiap cepat luar biasa hingga sebentar saja ia telah lenyap ditelan malam gelap.
Sementara itu terdengar suara Giok Lie memanggil-manggil, maka Cin Han segera lari ke pondok.
“Lihat, koko, barang ini melayang masuk dari jendela,” kata gadis itu sambil memperlihatkan sehelai kain putih.
Cin Han mengambil sutera itu dengan dan membaca tulisan darah di atas sutera putih yang berbunyi,
“Maafkan aku yang ceroboh.”
di bawah itu terlukis bunga teratai. Tulisan dan lukisan itu terang sekali dibuat dengan darah!
Cin Han memandang sutera itu dengan terharu. Tiba-tiba Giok Lie memegang lengannya. “Koko, dia…… dia cinta padamu.”
Cin Han menengok dengan pandangan bodoh dan sedih.
“Lihat koko. Kain ini adalah potongan ujung baju, dan tulisan ini ditulis dengan darah. Tentu ia merasa menyesal sekali telah melukaimu maka ia menggigit ujung jarinya untuk menulis surat ini!”
Cin Han makin terharu. Kalau benar pendekar wanita itu menyesal dan cinta padanya, mengapa ia lari pergi? Karena merasa sedih ditambah lukanya terasa lagi karena ia mengeluarkan tenaga ketika lari tadi, kepalanya menjadi pening, matanya berkunang-kunang dan ia terhuyung-huyung hampir jatuh. Baiknya Giok Lie segera memburu dan gadis itu memeluknya lalu membawanya ke pembaringan.
176
Dengan sangat teliti Giok Lie merawat luka Cin Han, mencuci dan membalut pundak dan lengan yang luka itu, hingga dua hari kemudian Cin Han merasa tubuhnya segar kembali, biarpun lengan kiri dan pundaknya masih agak sakit karena lukanya belum kering betul. Baiknya ia selalu membawa obat luka buatan gurunya yang dapat menghentikan jalannya darah dan mencegah masuknya racun dalam luka. Ia merasa berterima kasih sekali atas kebaikan hati gadis itu yang menganggapnya sebagai kakak sendiri.
Setelah badannya kuat kembali, pertama-tama yang dilakukan ialah menyelidik di gedung Pangeran Coa Kok Ong. Ia mendapat keterangan bahwa selain orang-orang she Biauw dan Lam Beng Sun si dorna, keluarga Coa semua tidak ada yang diganggu oleh rombongan penyerang. Tapi karena takut, Pangeran Coa berikut keluarganya semua pindah ke kota raja di mana mereka mempunyai sebuah gedung pula.
Tidak ada diceritakan orang tentang kehilangan Coa siocia. Agaknya Coa Kok Ong hendak merahasiakan tentang lenyapnya gadis itu untuk menjaga nama.
Mendengar bahwa orang tuanya telah meninggalkan dirinya, Coa Giok Lie menangis sedih.
“Adikku yang baik, jangan kau bersedih. Ayahmu baru kemarin berangkat, marilah kita susul saja pasti kita akan dapat mengejarnya.” Cin Han berkata dengan suara menghibur.
Giok Lie mengangkat mukanya dengan girang. “Kau mau mengantarku, koko?”
Cin Han mengangguk dan gadis itu segera menyusut kering air matanya. Karena Giok Lie memakai beberapa perhiasan berharga, maka mudah saja mereka mendapatkan dua ekor kuda bagus yang mereka tukar dengan emas perhiasan. Maka berangkatlah mereka naik kuda mengejar rombongan Coa Kok Ong.
Biarpun tidak pandai ilmu silat, namun Coa Giok Lie biasa naik kuda, bahkan boleh dikatakan pandai, karena sejak kecil ia suka sekali naik kuda dan permainannya ini dituruti saja oleh ayahnya yang memanjakannya. Hal ini ternyata menguntungkan mereka pada saat itu, karena mereka dapat dengan cepat melakukan pengejaran.
Setiap kali memasuki sebuah kota dan kampung, Cin Han bertanya tentang rombongan Pangeran Coa kepada penduduk di situ, maka tahulah ia bahwa rombongan itu tidak dapat berjalan cepat karena membawa kereta yang diduduki anggauta keluarga wanita. Maka ia mengajak Giok Lie mempercepat larinya kuda.
Pada keesokan harinya menjelang senja, mereka dapat mengejar rombongan pangeran itu dalam sebuah hutan.
Tapi alangkah kaget mereka ketika melihat bahwa rombongan itu tengah diserbu oleh segerombolan perampok. Terdengar jeritan minta tolong dari kaum wanita. Suara beradunya senjata tambah menyeramkan suasana. Pengawal-pengawal dengan nekad mengangkat senjata dan mencoba membela majikan mereka dari serangan penjahat.
177
Giok Lie berseru kaget ketakutan.
Cin Han meloncat turun dari kuda, “Siocia jangan bergerak. Tunggu saja di sini, biar aku menolong keluargamu!”
Kemudian ia lari secepat terbang ke tempat pertempuran itu. Datangnya pemuda pendekar ini mengacaukan para perampok. Di mana saja bayangan Cin Han berkelebat di situ tentu terdengar pekik kesakitan dan tubuh seorang anggauta perampok jatuh terguling. Karena tidak mau membinasakan banyak orang, Cin Han hanya menggunakan tangan kosong dan bergerak bagaikan seekor garuda menyambar-nyambar dengan Hun-kin-coh-kut yakni ilmu pukulan putuskan otot lepaskan tulang, sehingga sebentar saja para perampok jatuh rebah bergulingan, bertumpuk-tumpuk dan mulut mereka merintih-rintih.
Cin Han melihat ke arah kereta. Dilihatnya bahwa Pangeran Coa Kok Ong dan isterinya telah rebah di atas tanah dan seorang penjahat sedang mengangkat golok dan mengayunkan itu ke arah leher Coa Kok Ong. Jarak antara tempat berdirinya dengan penjahat itu terpisah lima tombak lebih, maka untuk dapat menolong ayah Giok Lie, pendekar muda itu memungut batu kecil dan mengayunkannya ke arah lengan penjahat. Dengan menjerit kesakitan penjahat itu melepaskan goloknya dan menggunakan tangan kiri meraba-raba lengan kanan sambil merintih-rintih.
Bagaikan kilat menyambar, Cin Han meloncat datang dan mengirim tendangan. Penjahat itu terlempar jauh dan jatuh tak bergerak lagi.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Anjing dari mana berani datang mengacau?”
Bentakan ini diikuti berkelebatnya golok besar menyambar ke leher Cin Han. Tapi Cin Han berkelit dan mengayun kakinya menendang. Ternyata penyerangnya gesit juga dan dapat meloncat ke samping menghindari tendangan.
Cin Han mengerling dan melihat bahwa penyerangnya adalah seorang tinggi kurus berwajah kejam. Tenaga orang itu besar dan goloknya berwarna merah dan basah oleh darah! Cin Han melayaninya dengan tenang dan gesit. Pada saat itu ia melihat Giok Lie lari mendatangi dan menuju ke kereta sambil berteriak-teriak memanggil ayah-ibunya, lalu menubruk dua tubuh yang rebah di atas tanah itu. Cin Han terkejut sekali.
“Kau bunuh mereka?” bentaknya kepada penyerangnya.
“Ha-ha! Dan sebentar lagi kuantar kau menyusul mereka!”
Cin Han marah sekali mendengar sindiran yang sombong ini, kaki kirinya diayun lagi dengan seruan keras. Lawannya mencoba berkelit dan menangkis dengan tangan kiri, tapi tendangan ini hebat sekali dan dilakukan dengan sepenuh tenaga karena gemas. Dengan menjerit ngeri kepala perampok itu terlempar jauh dan jatuh berdebuk tidak berkutik lagi karena tulang iganya patah-patah dan mati seketika itu juga!
Cin Han memandang sekeliling, tetapi semua perampok yang masih hidup sudah melarikan diri, gentar melihat kehebatan sepak terjangnya. Beberapa belas perampok rebah berguling-guling dan
178
merintih-rintih. Di pihak rombongan pangeran, hanya tinggal empat orang pengawal yang masih hidup, tetapi sudah hampir mati lemas kelelahan.
Cin Han segera menghampiri Giok Lie. Hatinya terharu melihat gadis itu memeluki tubuh ibunya yang rebah mandi darah dan sudah mati di dekat kereta. Nyonya tua itu telah mati karena bacokan golok pada lehernya!
Tiba-tiba Coa Kok Ong menggerak-gerakkan tubuhnya. Cin Han cepat menghampiri dan menotok pundak kiri orang tua itu untuk menghentikan jalan darah ke arah dada yang terluka sehingga pangeran itu tidak menderita sakit terlalu hebat. Tetapi melihat keadaannya, diam-diam Cin Han maklum bahwa jiwanya takkan tertolong lagi.
Giok Lie lari dan menubruk ayahnya.
“Ayah......!” Coa Kok Ong memandang puterinya.
“Kau…… Giok Lie……?” ia lalu memandang Cin Han yang berjongkok di dekatnya. “Hwee-thian Kim-hong.......? Kau yang menolong kami? Terima kasih…… janganlah kepalang kau menolong…… tolonglah juga anakku ini....... lindungi ia........ aku serahkan Giok Lie…… kepadamu......!”
Dan pangeran itu menghembuskan napas terakhir diikuti pekik Giok Lie yang lalu jatuh pingsan. Cin Han dengan tidak sungkan lagi memijit urat leher gadis itu sehingga terdengar ia menjerit perlahan dan sadar dari pingsannya lalu menangis sedih, dihibur oleh kata-kata halus dari Cin Han.
Setelah memesan kepada empat pengawal yang masih hidup itu untuk mengurus semua jenazah dan minta bantuan orang-orang kampung yang dekat dengan hutan itu, Cin Han dan Giok Lie naik kuda dan pergi dari situ.
Sebenarnya Giok Lie amat berat hatinya meninggalkan jenazah orang tuanya tanpa menanti sampai dikebumikan, namun ia maklum bahwa Cin Han tidak aman berada di tempat itu, di daerah yang dikuasai Kwi-coa-pai. Maka dengan sedih ia ikut pemuda yang telah dipercayai ayahnya untuk menjadi pelindungnya.
Kalau ia teringat ucapan terakhir dari ayahnya bahwa dirinya telah di“serahkan” kepada Cin Han, ia merasa seluruh mukanya panas, hatinya berdebar-debar dan ia tidak berani memandang wajah Cin Han.
Beberapa hari kemudian mereka tiba di rumah Gan Keng Hiap, paman dan guru pemuda itu. Cin Han lalu menuturkan pengalamannya dan riwayat Giok Lie. Paman dan bibinya merasa terharu mendengar nasib gadis cantik itu, maka ketika Cin Han minta pertolongan mereka untuk menerima Giok Lie yang sebatang kara tinggal di situ, mereka tidak ragu-ragu berkata,
“Siocia, jangan sedih. Biarlah kami berdua menjadi pengganti orang tuamu.”
Giok Lie menubruk dan memeluk nyonya Gan sambil menangis tersedu-sedu. Sejak saat itu ia menyebut ayah dan ibu kepada suami-isteri Gan yang budiman itu.
179
Dari Gan Keng Hiap, Cin Han mendengar akan keadaan pemerintah di saat itu. Kini dia tahu akan siasat kaisar yang sangat licin, yaitu siasat mengadu domba untuk melemahkan semangat pemberontakan rakyat Tiongkok yang tertindas.
Ia kini tahu peranan apakah yang dipegang oleh Kwi-coa-pai dan Pek-lian-kauw sebagai pelopor barisan pro kaisar. Ia kini dapat menduga bahwa Ang Lian Lihiap dan kawan-kawannya yang menyerbu gedung Pangeran Coa Kok Ong adalah golongan anti kaisar. Maka ia menyesal sekali mengapa ia demikian bodoh hingga mudah saja tertipu oleh Lie Thung dan Hong Su ketua Kwi-coa-pai itu.
“Cin Han, kau adalah keturunan seorang berjiwa besar, dan kau sudah seperti anakku sendiri,” kata sasterawan tua itu bersemangat, “maka agaknya arwah orang tuamu akan tersenyum bangga jika kali ini kau dapat menyumbangkan tenaga dan kepandaianmu demi kepentingan rakyat dan negara. Ketahuilah, kaisar lalim yang menjajah negeri kita ini sedang berusaha untuk menghancurkan atau sedikitnya mengurangi tenaga para patriot yang anti pemerintahannya. Ia menggunakan siasat mengadu domba dan menghasut para cerdik pandai dan para orang gagah untuk memihak kepadanya. Ia tidak segan-segan menggunakan tipu-tipu keji dan pengaruh emas dan perak.
“Dan yang menjadi tulang punggung kaisar penghisap rakyat itu dalam hal ini terutama adalah para dorna-dorna bejat moral yang menggunakan Pek-lian-kauw dan Kwi-coa-pai kedua perkumpulan iblis itu. Maka, jangan gentar, anakku, kaupergilah dan carilah hubungan dengan orang-orang gagah untuk membasmi mereka ini.”
Cin Han kagum sekali mendengar kata-kata pamannya yang bersemangat. Tidak disangkanya bahwa pamannya, seorang ahli sastera yang lemah itu, ternyata bersemangat sebagai seorang pahlawan bangsa dan mencinta tanah airnya. Ia menghaturkan terima kasih, kemudian setelah mengaso dua hari, ia minta diri dari paman dan bibinya.
Bibinya berkata, “Hati-hatilah dalam perantauanmu, Han. Dan....... kau sudah cukup umur dan…… dan…… kulihat gadis itu......”
Gan Keng Hiap tertawa bergelak. “Betul juga kata bibimu. Anak itu walaupun keturunan pangeran penyokong kaisar, tapi kulihat selain pandai ilmu sastera, juga berwatak baik…… dan cantik. Kalau kau suka……”
Cin Han menundukkan kepala dan seluruh wajahnya memerah. Tiba-tiba ia teringat Ang Lian Lihiap dan kedua matanya menjadi basah. Maka tanpa menjawab lagi ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Mengapa, Han? Apa kau tidak setuju?” tanya bibinya.
“Adik Giok Lie cukup berbudi, cukup berharga untuk diriku yang rendah ini......” kata Cin Han cepat-cepat.
“Apa barangkali hatimu sudah terisi orang lain?” tanya pamannya.
Cin Han makin terdesak dan bingung, akhirnya dapat juga ia mencari alasan.
180
“Siok-hu, perkara ini kurasa baik dibicarakan kelak saja. Sebagaimana siok-hu telah pesan tadi, aku menghadapi urusan besar yang bukan ringan dan yang berbahaya. Maka dalam keadaan begini, siapakah yang mau meributkan urusan kawin?”
Gan Keng Hiap dengan ketawa memukul kepalanya sendiri dan mencela isterinya, “Dasar kau yang mulai dulu. Dia benar, biarlah, hal ini kita tunda dulu, kelak masih banyak waktu untuk diurus!”
Ketika berpamit kepada Giok Lie, Cin Han merasa malu untuk memandang muka gadis itu akibat usul paman dan bibinya. Maka ia tidak melihat betapa mata gadis itu merah karena tangis dan ia hanya mendengar Giok Lie berkata halus, “Pergilah dan semoga kau bertemu dan berbaik kembali dengan dia, koko.”
Ia heran mendengar suara Giok Lie mengandung isak, tapi ketika ia angkat muka memandang, ternyata gadis itu telah memutar tubuhnya dan lari masuk ke kamar. Ia hanya dapat mengangkat pundak dan menarik napas dalam. Sungguh baginya, wanita-wanita muda mempunyai watak yang ganjil dan tidak mudah dimengerti!
Tempat pertama-tama yang dituju oleh Cin Han adalah Hun-kap-teng, tempat di mana perkumpulan Kwi-coa-pai berada. Ia merasa sangat penasaran kepada Hong Su dan kawan-kawannya yang telah menipunya sehingga dalam pandangan Ang Lian Lihiap ia telah menjadi seorang pengkhianat bangsa! Ia hendak membalas dendam dan membasmi sarang Ular Iblis itu untuk membersihkan namanya.
Tapi alangkah kecewa dan menyesalnya ketika ternyata bahwa sarang perkumpulan itu kosong, gedung besar itu sudah ditinggalkan dan tidak nampak bayangan seorangpun anggauta Kwi-coa-pai. Ia pergi ke rumah makan di mana ia berjumpa dengan Lie Thung dahulu, tapi rumah makan itu telah diurus oleh orang baru. Dengan putus asa ia pergi mencari kamar dan menyewa sebuah kamar di hotel Liang-an.
Malam hari itu ia masih merasa penasaran, lalu keluar dengan diam-diam dari jendela. Ia berjalan di atas genteng dan pergi menyelidik ke bekas gedung perkumpulan. Lama ia menanti di atas genteng itu. Tetapi ternyata ia tidak menanti dengan sia-sia, karena lama kemudian dari jurusan timur berkelebat bayangan orang.
Ketika tiba di situ, ia melihat tiga orang hwesio dan yang dua tak lain ialah kedua pengemis, si bongkok dan si kate! Kelima orang itu gesit sekali gerakannya dan ringan kakinya, lebih-lebih ketiga hwesio itu, sehingga diam-diam Cin Han terkejut dan mengeluh karena di pihak Kwi-coa-pai telah datang orang-orang begini pandai untuk membantu. Mereka meloncat turun dan memasuki kamar besar. Si pengemis bongkok memasang sebuah lilin.
Cin Han diam-diam mengintai dari atas genteng.
Mereka berlima duduk mengelilingi meja, seakan-akan ada yang mereka nantikan. Benar saja, belum lama mereka duduk, terdengar suitan nyaring. Sin Tat si bongkok membalas suitan itu dan sekejap kemudian seorang bertubuh tinggi meloncat turun memasuki kamar itu. Cin Han melihat bahwa yang masuk itu adalah Hong Su si Bayangan Iblis sendiri, ketua dari Kwi-coa-pai!
181
Ketiga hwesio itu saling memberi hormat dengan Hong Su dan ketua ini melayaninya dengan penuh hormat. Kemudian Hong Su bertanya kepada Kok Pin si pengemis kate. Cin Han tidak begitu mendengar pertanyaan ini, hanya ia tahu bahwa Hong Su menanyakan seseorang.
“Ia benar-benar kembali, sekarang di hotel Liang-an,” jawah si kate.
Jawaban ini membuat Cin Han terkejut. Sudah tahukah mereka ini bahwa ia datang mencari mereka?
Kemudian orang-orang dalam kamar itu bangun dari tempat duduk mereka dan berjalan keluar. Dengan cepat sekali mereka meloncat naik ke atas genteng dan berlari-larian bagaikan terbang. Cin Han masih terus mengikuti jejak mereka.
Seperti yang ia duga mereka itu menuju ke hotel di mana ia bermalam! Ia menjadi marah sekali dan selagi ia hendak meloncat keluar dan membentak mereka, tiba-tiba dari belakang hotel itu meloncat naik dua orang yang bersenjata pedang yang segera menyerang keenam orang itu!
Perkelahian terjadi ramai karena walaupun dikeroyok enam, kedua orang itu tidak terdesak. Ilmu pedang mereka lihai sekali dan sebentar saja mereka berhasil mematahkan semua serangan dari enam orang itu.
Cin Han merasa gatal tangan dan biarpun ia tidak kenal siapa adanya kedua orang itu, namun karena yang mengeroyok adalah musuh-musuhnya, maka ia mencabut Kong-hwa-kiam dan menyerbu bagaikan naga muda menyambar.
Keenam orang Kwi-coa-pai itu terkejut. Mereka sudah mengenal kelihaian anak muda itu, dan biarpun ketiga hwesio kawan-kawan Hong Su belum pernah bertempur melawan Cin Han, namun gerakan-gerakan pedang, pemuda itu cukup menginsyafkan mereka akan kehebatan kiam-sut dari Hwee-thian Kim-hong! Mereka ini merasa keder juga menghadapi Cin Han dan dua orang kosen itu, maka atas tanda suitan Hong mereka meloncat ke belakang dan melarikan diri!
Cin Han hendak mengejar, tetapi kedua orang itu berkata,
“Tidak perlu dikejar, masih banyak waktu untuk membasmi mereka!”
Cin Han menahan kakinya dan ketika ia hendak menanyakan nama mereka, kedua orang itu hanya tertawa dan meloncat pergi di dalam gelap! Melihat orang itu tidak suka bertemu dan bercakap-cakap dengan dia, Cin Han hanya menggerakkan pundak dan meloncat memasuki kamarnya.
Di dalam kamarnya ia melihat sehelai kertas, di atas meja yang berisi tulisan :
“Sarang Kwi-coa-pai pindah ke Lam-hu-teng dan kedudukannya sangat kuat. Tunggu serbuan kawan-kawan pada malam limabelas.”
Surat itu tidak ditanda-tangani, tetapi Cin Han dapat menduga bahwa yang menulis tentu dua orang tadi. Ia dapat juga menduga bahwa dua orang gagah tadi tentu golongan anti kaisar dan kawan-kawan Ang Lian Lihiap.
182
Malam limabelas ialah lusa malam dan Lam-hu-teng terletak di selatan, pikirnya. Kalau berkuda, maka dua hari tentu ia sampai di sana.
Esok harinya, pagi-pagi sekali, Cin Han mencari seekor kuda yang kuat dan melarikan kuda itu menuju ke Lam-hu-teng. Karena kuda itu kuda murah, maka ia tidak berani memaksanya untuk membalap, takut kalau-kalau mogok di tengah jalan, karenanya ia sering berhenti dan membiarkan kudanya beristirahat. Hal ini memperlambat perjalanannya, sehingga pada hari keduanya, ia memasuki kota Lam-hu-teng pada waktu hari sudah gelap.
Ia mendapat kamar di sebuah penginapan. Ketika ia memasuki kamar dan membuka jendelanya karena hawa dalam kamar itu agak panas, sehelai kertas melayang masuk kamar dari jendela. Cin Han memungut kertas itu yang ternyata berisi lukisan peta kota dan yang menunjukkan di mana letaknya sarang Kwi-coa-pai!
Ia merasa girang sekali melihat bahwa orang-orang sehaluan sedang membantunya, tapi ia penasaran juga mengapa mereka itu tidak mau datang menjumpainya dengan berterang. Agaknya mereka masih mencurigaiku, pikirnya.
Setelah ganti pakaian dan tidak ketinggalan lukisan burung Hong menghias dada, Cin Han meloncat ke atas genteng menuju ke sarang Perkumpulan Ular Iblis sebagaimana yang tersebut di dalam surat tadi. Ketika tiba di tempat yang dimaksud, ia heran dan bimbang karena tempat itu ternyata adalah sebuah kelenteng besar. Apakah perkumpulan jahat itu bersarang di tempat suci ini? Tetapi ia tetap waspada dan hati-hati.
Gesit laksana kucing ia meloncat tanpa mengeluarkan suara ke bagian belakang. Tiba-tiba dari sebuah kamar di bawah ia mendengar suara mendesis-desis. Suasana sunyi sekali, maka suara itu terdengar nyata. Suara itu tidak keras, tapi kecil dan tajam menyakitkan telinga.
Cin Han menggunakan gerakan Naga Sakti Menembus Awan, meloncat turun dari bubungan ke tiang yang melintang di atas jendela kamar itu, kemudian dengan sekali berjumpalitan, ia mengaitkan kakinya ke tiang itu dan tubuhnya bergantung ke bawah. Ia telah bergerak dengan gerakan Ular Emas Lilitan Ekor. Dari situ ia dapat mengintai ke dalam kamar dengan leluasa sekali.
Ia melihat di dalam kamar itu terdapat belasan orang duduk mengelilingi sebuah meja besar. Mereka diam tidak bersuara dan tidak bergerak sedikit juga, bagaikan patung-patung. Hanya seorang saja diantara mereka, yaitu Hong Su ketua Kwi-coa-pai, yang tampak bergerak perlahan, mengikuti gerakan-gerakan seekor ular hitam yang melingkar bulat di tengah meja, dengan kepala dan leher tegak ke atas dan bergoyang-goyang bagaikan menari.
Suara mendesis-desis tajam tadi keluar dari mulut ular yang mengembang-kempiskan lehernya. Semua orang dalam ruangan itu memandang dengan wajah tegang ke arah Hong Su yang menghadapi ular itu dan yang berusaha menjinakkan binatang buas itu.
Tapi ketua Kwi-coa-pai ini menghadapi ular itu dengan senyum simpul, agaknya dia sudah biasa dengan permainan ini!
183
Cin Han memperhatikan orang-orang yang mengelilingi meja itu. Ia meiihat Thio Lok si Naga Hijau dari Selatan, sepasang pengemis aneh Kok Pin dan Liok Sin Tat, Tie Bong Hwesio, tiga hwesio yang ia lihat bersama kedua pengemis kemarin dulu, dan beberapa orang lain yang tidak dikenalnya, tetapi yang kesemuanya kelihatan terdiri dari orang-orang ahli silat.
Ketika ia memandang ke arah Hong Su, ternyata ketua ini telah mengeluarkan sepotong bambu dan memegangnya di tangan kiri. Lalu ia menjulurkan kepala mendekati ular itu dan mengeluarkan suara desisan meniru-niru bunyi ular.
Ular itu menjadi marah, dan sekali membuka mulut maka keluarlah uap hitam kehijau-hijauan dari mulutnya! Uap racun itu menyambar ke arah Hong Su.
Si Bayangan Iblis ini cepat memiringkan kepalanya dan menggunakan bambu itu untuk menutup kepala ular. Tapi ular hitam itu biarpun tubuhnya besar ternyata dapat mengelak dengan gesit dan ia membalas menyerang. Kepalanya meluncur merupakan senjata berbisa dan menyambar ke arah leher Hong Su!
Si Bayangan Iblis memperdengarkan suara ketawa mengejek dan mengulur tangan kanan lalu menggunakan dua jarinya hendak menjepit leher ular itu! Tapi karena ular itu tiba-tiba melengkungkan lehernya, maka jari tangan Hong Su tidak dapat menjepit dengan tepat pada bagian lehernya, tetapi agak ke bawah di bagian perut.
Ular itu menggerakkan ekornya, menyabet ke atas mengarah kepala Hong Su dan berbareng leher dan kepalanya yang masih bebas itu bergerak membalik dengan mulut terbuka lebar hendak menggigit lengan Hong Su yang memegang perutnya! Serangan ini berbahaya sekali dan semua orang berseru kaget, bahkan Cin Han yang berada di luar juga merasa terkejut melihat kelihaian ular itu.
Tapi pada saat itu terlihat bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu kepala dan ekor ular hitam yang menyerang Hong Su itu telah hancur dan tubuhnya terkulai lemas, bergantung di tangan Hong Su yang masih menjepit perut ular!
Semua orang memandang kepada seorang laki-laki bopeng yang dengan tenang mengebut-ngebutkan saputangannya. Orang itu berusia kurang lebih tigapuluh tahun dan wajahnya belang-belang bagaikan kedok, kulitnyapun hitam dan bolong-bolong bekas penyakit cacar, sedangkan hidungnya menjungat ke atas sehingga ia kelihatan selalu berdongak ke atas. Semua orang memuji ketangkasannya karena dengan sekali kebut saja, kain yang lemas halus itu telah dapat menghancurkan kepala dan ekor ular tadi.
Diam-diam Cin Han kagum juga dan ia mengeluh karena kali ini ia akan berhadapan dengan seorang yang benar-benar merupakan lawan berat. Tetapi Kwi-eng-cu Hong Su si Bayangan Iblis memandang tamunya dengan senyum dingin dan jelas kelihatan air mukanya membayangkan tidak senang hati.
“Oei Koai-hiap sungguh lihai, tapi sayang ular lambang perkumpulanku telah mati dan tidak mudah dicari gantinya. Sayang aku tidak segagah Oei Koai-hiap untuk dapat mencari pengganti ular perkumpulanku......” Hong Su mengeluh dan suaranya penuh penyesalan.
184
Orang yang buruk mukanya itu ialah Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan si Pendekar Aneh Kepalan Delapan. Ia selain terkenal berkepandaian tinggi, juga terkenal mempunyai adat yang aneh, maka ia disebut Koai-hiap. Ketika mendengar keluhan Hong Su, hidungnya yang berdiri ke atas itu mengeluarkan suara ejekan dan sambil memutar-mutar saputangannya ia berkata, suaranya nyaring dan tinggi.
“Dibantu tidak menerima bahkan menyesal, beginilah adat dunia. Di luar ada musuh kuat bahkan bermain-main dengan ular berbisa, beginilah kelakuan orang-orang ceroboh. Aku kenal ularmu itu, Hong-pai-cu, bukankah itu disebut Ouw-kwi-coa atau Ular Iblis Hitam yang hanya terdapat di daerah barat? Kau agaknya lebih sayang ular itu daripada jiwamu, dan aku telah salah tangan membunuh kekasihmu itu. Biarlah, kucarikan gantinya.” Oei Gan berjalan ke pintu.
Diam-diam Cin Han terkejut karena ternyata orang aneh itu telah tahu bahwa ia bersembunyi dan mengintai di luar.
Hong Su buru-buru mengejar. “Tidak usah, Koai-hiap. Biarlah yang sudah mati biar mati, tapi kita sedang menghadapi perkara besar, janganlah kau pergi!”
“Ha-ha. Urusanmu bukan urusanku. Perkaramu bukan perkaraku. Aku datang hanya ingin berkenalan dan coba-coba kepandaian orang-orang gagah yang kaukatakan jahat dan telah menjadi musuh-musuhmu. Tapi aku telah salah tangan dan aku paling benci mempunyai hutang. Sekarang boleh dikata aku berhutang kepadamu. Hutang seekor ular Ouw-kwi-coa. Harus kubayar secepat mungkin.”
Sambil berkata demikian ia mengepal-ngepal saputangan tadi menjadi bulat dan tiba-tiba ia menimpukkan kain itu keluar jendela.
Cin Han melihat datangnya kain bulat itu cepat sekali bagaikan sebuah pelor besi ke arah tubuhnya yang bergantung, tentu saja ia merasa terkejut sekali. Tapi ia segera menahan napas di dadanya dan menggunakan tenaganya meniup ke arah pelor kain itu yang segera kehilangan tenaga luncurannya dan melayang ke bawah merupakan sehelai saputangan.
Oei Gan tertawa bergelak-gelak.
“Eh, tuan-tuan yang gagah perkasa. Ada tamu lihai datang, kenapa tidak segera disambut? Sebetulnya tamu yang datang ini cukup berharga untuk dipakai mengukur tenaga, sayang hutangku belum lunas. Nah, sampai ketemu lain kali!” Kemudian tanpa menoleh ia meloncat pergi dari situ.
Hong Su dan kawan-kawannya kini tahu bahwa di luar ada orang mengintai, maka mereka segera mengambil senjata masing-masing dan meloncat keluar. Cin Han mendahului mereka meloncat ke atas wuwungan dengan Kong-hwa-kiam di tangan.
Baru saja kakinya menginjak genteng, telinganya dapat menangkap suara angin senjata rahasia yang menyambar dari tiga jurusan ke arah leher, dada dan lambungnya. Cin Han mengulur kedua tangan untuk menangkap dua batang piauw yang menyambar dada dan lambung, sedangkan piauw yang menyambar lehernya ia kelit.
185
Pada saat itu datang pula menyambar tiga batang piauw. Ia mengayun tangan menyambit dengan kedua piauw yang ditangkapnya tadi dan lemparannya tepat mengenai piauw yang datang menyambar sehingga semua senjata rahasia terpukul jatuh ke atas genteng.
“Hong Su manusia iblis, jangan berlaku pengecut! Keluarlah terima binasa!” teriak Cin Han gemas.
Sembilan orang meloncat ke depannya, dan Hong Su berada di depan sendiri sambil memegang sepasang siang-kek di kedua tangan berkata marah.
“Hm, kukira siapa, tidak tahunya Hwee-thian Kim-hong si burung Hong mau mampus dan penculik anak gadis orang! Kebetulan sekali. Banyak tamu datang dan aku tidak mempunyai hidangan istimewa. Sekarang ada burung Hong datang karena bosan hidup, mari kawan-kawan! Kita tangkap burung ini dan dipanggang dagingnya!”
“Manusia tak tahu malu!” Cin Han memaki dan sesaat kemudian Kong-hwa-kiam di tangannya telah menyambar-nyambar dan mengeluarkan cahaya putih berkilauan karena ia mengeluarkan ilmu pedang simpanannya yaitu Hwie-liong-kiam-sut.
Hong Su yang maju berbareng dengan Kok Pin dan Liok Sin Tat sepasang pengemis, segera terdesak hebat. Kawan-kawan yang lain segera maju mengepung Cin Han dan sebentar saja delapan orang, kecuali tiga hwesio gundul itu, telah mengeroyoknya.
Pengepungnya terdiri dari jagoan-jagoan dan cabang-cabang atas yang semuanya memegang senjata mustika, maka dapat dibayangkan betapa lihai dan berbahayanya mereka itu. Tapi, kali ini Cin Han mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, ia memainkan Hwie-liong-kiam-sut dengan baik dan cermat sehingga tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedangnya yang baru anginnya saja sudah sangat tajam mengiris kulit. Inilah kehebatan ilmu pedang ciptaan Beng San Siansu yang telah dimiliki Cin Han lebih dari tiga perempat bagian.
Pada saat itu terdengar suitan nyaring dan lima orang meloncat naik ke atas genteng. Seorang diantaranya yang bertubuh kecil ramping, langsung menerjang kepungan dan membantu Cin Han. Pedangnya berkelebat cepat dengan gerakan-gerakan aneh sehingga sebentar saja pengeroyok Cin Han menjadi kacau balau dan terbagi menjadi dua rombongan.
Cin Han melihat bahwa yang datang itu bukan lain adalah Ang Lian Lihiap, maka tidak terkira besarnya rasa girang dalam hatinya. Ia memperhebat gerakan pedangnya dan karena sekarang yang mengurungnya telah terbagi dua, gerakan pedangnya yang menyerang secara hebat akhirnya berhasil juga.
Dengan tipu Naga Terbang Mengejar Mustika, Kong-hwa-kiam nya berkelebat dibarengi tendangan ke arah Hong Su, serangan ini hebat karena tipu gerakan pedang itu sudah sangat lihai dan berbahaya, ujung pedang meluncur maju mengarah dada orang dengan cepat dan sedikit terputar, ditambah lagi dengan tendangan yang dila-kukan dengan ilmu tendangan Siauw-cut-wi, yakni tendangan berantai yang jika dapat dikelit lalu terus disusul dengan tendangan kaki lain bertubi-tubi dengan cepat dan berat.
186
Sungguhpun Hong Su dijuluki orang Bayangan Iblis dan sangat gesit gerakannya sehingga dapat juga ia mengelit tusukan pedang Cin Han, tapi pada gerakan tendangan ke tiga ia tidak sempat berkelit lagi sehingga pergelangan tangannya tertendang dan sebatang tombak cagaknya terpental ke atas.
Ia merasakan lengannya sakit sekali dan sebelum ia dapat meloncat pergi, ujung Kong-hwa-kiam telah menyambar dan membacok pundaknya! Si Bayangan Iblis, ketua Kwi-coa-pai menjerit ngeri dan ia jatuh menggelundung ke bawah dari atas genteng.
Empat kawan Lian Hwa yang ikut datang itu ternyata adalah Kim-jiauw-eng Nyo Tiang Pek, Pek Siong Tosu, Ciu-san Kong Sin Ek dan Hwat Kong Hwesio suheng dari nona itu. Mereka berempat juga telah bertempur melawan tiga hwesio dan sebagian orang yang tadi mengeroyok Cin Han.
Tiba-tiba Kong Sin Ek berseru, “Saudara-saudara! Tahan dulu!” Semua orang yang sedang bertempur mendengar seruan yang keras sekali ini merasa heran dan menahan senjata masing-masing.
“Bukankah sam-wi suhu ini Sam Lojin dari Ki-lee?” tanya Kong Sin Ek kepada tiga hwesio yang tadi bertempur dengan kawan-kawannya.
Ketiga hwesio membalas bertanya, “Dan congsu bukankah Ciu-sian enghiong Kong Sin Ek?”
“Ha-ha! Kita bertempur melawan orang sendiri!” Si Dewa Arak berkata keras. “Tapi maaf, sam-wi suhu, mengapa sam-wi yang hidup penuh damai dan bahagia di kelenteng Kok-sin-bio, bisa sampai di sini dan membantu para anjing penjilat kaisar lalim ini?”
“Eh, congsu jangan sembarangan menuduh!” jawab seorang daripada tiga orang tua gagah dari Ki-lee itu. “Kami tidak ada hubungan dan tidak kenal dengan kaisar yang mana juga. Kami datang karena mendengar bahwa murid Sian-kiam Koai-jin Ong Lun, yang disebut Ang Lian Lihiap, katanya melanjutkan keganasan suhunya dan mengumpulkan kawan-kawan untuk membasmi habis semua anggauta perkumpulan Kwi-coa-pai dan Pek-lian-kauw!
“Kami bertiga walaupun tidak ada hubungan dengan kedua perkumpulan ini, namun kami tidak bisa bersamadhi dengan hati tenteram mendengar bahwa orang-orang hendak mengandalkan kegagahan dan membasmi orang-orang lain bagaikan membunuh semut saja. Terpaksa kami turun tangan membela yang lemah dan tertindas sebagaimana telah menjadi tugas bersama yang mau menyebut diri orang-orang kang-ouw!”
“Ha-ha! Tidak salah kata orang bahwa kaisar lalim ini memang cerdik dan licin sekali. Sam-wi telah terbujuk orang. Perkumpulan Kwi-coa-pai dan Pek-lian-kauw bukanlah perkumpulan-perkumpulan bersih sebagaimana yang kebanyakan orang kira. Kedua perkumpulan ini telah makan suapan dan kini menjadi kaki tangan para dorna untuk memeras rakyat dan mengadudombakan para enghiong di seluruh Tiongkok. Masih belum sadarkah sam-wi?”
“Tutup mulutmu yang kotor!” Tiba-tiba Thio Lok si Naga Hijau dari Selatan meloncat maju dan memaki Kong Sin Ek. “Akulah anggauta Pek-lian-kauw. Jangan kau sembarangan memburukkan nama perkumpulanku dihadapan lain orang! Hinaanmu ini harus dibalas dan dicuci dengan darah. Tapi karena anggauta Pek-lian-kauw yang ada malam ini hanya aku seorang sedangkan di pihakmu banyak, maka aku mewakili Pek-lian-kauw untuk menantang kalian. Beranikah engkau dan kawan-kawanmu
187
ini datang ke Gunung Hong-lai-san pada nanti musim chun malam ke limabelas untuk menentukan siapa diantara kita yang lebih unggul?”
“Baik, baik! Bagi kami mau sekarang boleh juga, kalau kau tidak berani sekarang, mau nanti malam ke limabelas bulan satu musim chun boleh saja. Kami pasti datang, tapi jangan kau main-main dan diam-diam meninggalkan tempat itu!”
Thio Lok mendengar sindiran ini merasa gemas sekali, tapi karena lawan demikian banyak dan semuanya lihai, ia hanya mengeluarkan suara jengekan dari hidung lalu memutar tubuhnya hendak pergi.
“Eh, eh, nanti dulu,” tiba-tiba Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa meloncat menghalangi jalannya. “Bukankah kau ini yang bernama Thio Lok dan bukankah benar seperti kata orang bahwa kau adalah murid dari Khai Sin Susiok?”
“Benar, aku adalah murid tunggal dari Khai Sin Tosu, apa hubungannya dengan kau?”
“Ah, mengapa begitu? Guruku Ong Lun adalah supekmu sendiri dan kau terhitung masih adik seperguruan dengan aku biarpun usiamu lebih tua.”
“Kau? Hm, siapa yang mempunyai saudara seperguruan dengan kau? Guruku pun tidak mempunyai murid keponakan macammu ini.”
“Kurang ajar! Mengapa Khai Sin Susiok mempunyai murid macam ini? Saudara, sekali lagi kuperingatkan bahwa kau bertindak salah sekali telah menjadi anggauta Pek-lian-kauw! Gurumu akan marah kalau tahu akan hal ini!”
“Ha-ha-ha!” tiba-tiba Thio Lok yang biasanya bermuka masam itu tertawa geli. “Guruku sendiri menjadi pengurus Pek-lian-kauw, masa ia akan marah? Ah, sudahlah, barangkali otakmu miring, seperti gurumu yang gila itu!”
Mendengar gurunya yang tercinta dimaki orang, naiklah darah Lian Hwa. Ia mencabut Sian-liong-kiam dan menusuk dengan cepat sekali kepada Thio Lok.
Thio Lok menangkis dan mereka saling menyerang dengan sengit. Orang tua gagah dari Ki-lee yang paling tua meloncat untuk memisah mereka, tapi Ang Lian Lihiap membentaknya,
“Aku bertempur dengan sute sendiri, ada hubungan apa dengan kau?”
Terpaksa hwesio ini meloncat mundur. Lian Hwa maju lagi dan menyerang dengan menggunakan ilmu silatnya yang aneh. Biarpun kepandaian mereka didapat dari satu cabang, namun karena gerakan-gerakan Lian Hwa adalah ciptaan Ong Lun sehingga mengalami banyak perobahan serta mempunyai keistimewaan-keistimewaan tersendiri, maka sebentar saja Thio Lok terdesak hebat dan hanya dapat menangkis saja.
188
Pada jurus keduapuluh empat, tiba-tiba pedang Lian Hwa dapat melukai paha Thio Lok yang roboh tidak berdaya. Lian Hwa akan menyusul dengan satu tusukan mematikan, tapi tiba-tiba Hwat Kong Hwesio membentak,
“Sumoi, jangan!!” Dan Lian Hwa yang sudah biasa mentaati perintah suhengnya, mengurungkan tusukannya.
“Biarlah peristiwa ini akan dapat menyadarkanmu,” kata Hwat Kong dengan sabar kepada Thio Lok. “Karena, kalau betul kau murid Khai Sin Susiok, kaupun terhitung suteku sendiri.”
Thio Lok sambil memegang-megang pahanya yang berdarah, memandang mereka dengan benci dan marah. “Tak usah banyak cakap, kalau memang kalian berani, tidak perlu mengandalkan banyak tenaga untuk menghina seseorang, datanglah saja pada saat yang ditentukan di tempat kami!”
Hwat Khong Hwesio menghela napas. “Dasar kau mencari mampus sendiri.”
Sementara itu Kong Sin Ek menjura kepada ketiga Lojin dari Ki-lee itu. “Sam-wi, maafkan kami yang telah mengganggu malam ini. Harap saja sam-wi dapat insyaf bahwa sebenarnya sam-wi telah kena dibujuk orang. Nah, sampai ketemu lagi, sam-wi suhu.”
Kong Sin Ek dan kawan-kawannya, berikut Cin Han yang mendapat isyarat mata dari Lian Hwa supaya ikut meninggalkan tempat itu dan menuju ke kelenteng di luar kota. Ketika mereka sedang berjalan, Lian Hwa sengaja berjalan di sebelah Cin Han dan dengan perlahan dan halus berkata. “Cin Han twako, kau sudah memaafkan aku?”
Cin Han tersenyum. “Aku yang salah dan aku yang minta maaf padamu, Lian-moi.”
Lian Hwa diam saja dan mukanya menjadi merah. Kemudian, tiba-tiba ia bertanya,
“Dia ada di mana, twako?”
“Dia……? Siapa……??”
“Siapa lagi? Tentu Coa-siocia kawan baikmu itu……”
“Oh…… dia……, dia kini menjadi anak Gan-siokhu.”
Kemudian dengan ringkas Cin Han menceritakan betapa sengsara keadaan Coa Giok Lie yang ditinggal mati oleh orang tuanya.
Fajar telah menyingsing ketika mereka tiba di kelenteng Khun-lim-bio yang diketuai oleh seorang hwesio kenalan Hwat Kong. Semua orang segera beristirahat.
Pada sore harinya, setelah mengaso sehari, Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas mengundang semua kawan berkumpul di ruang belakang, yaitu di tempat berlatih silat, untuk diajak berunding.
189
Setelah semua orang duduk, Nyo Tiang Pek murid pendekar Kam Hong Tie ini sambil memandang wajah Cin Han berkata, “Cuwi sekalian, sekarang kita tidak perlu ragu-ragu lagi akan keadaan saudara Lo Cin Han yang tadinya mencurigakan. Ternyata ia benar-benar terkena tipu orang Kwi-coa-pai dan boleh dikata ia sehaluan dengan kita.”
Sambil berkata begini ia mengerling ke arah Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa yang tahu arti kerlingan ini, maka dengan menggigit bibir ia berdiri membuat pengakuan.
“Saudara Cin Han. Biarlah dihadapan semua enghiong ini aku mengaku padamu bahwa sebenarnya akulah orangnya yang tadinya mencurigaimu, kukira kau…… kau juga menjadi…… pengkhianat!”
Cin Han memerah muka. “Ah, sudahlah jangan dipercakapkan lagi hal ini yang hanya membuat aku malu saja. Semua adalah salahku sendiri, mudah saja tertipu orang……”
“Kau benar, saudara Cin Han. Biarlah kali ini menjadi pelajaran dan menambah pengalamanmu agar lain kali jangan mudah terbujuk pula,” kata si Garuda Kuku Emas dengan suara tetap.
“Nah, sekarang, baiklah kita membicarakan tentang tantangan Thio Lok untuk datang ke sarang Pek-lian-kauw pada malam kelimabelas musim chun nanti.”
Kong Sin Ek berdiri dan berkata, “Aku pernah mendengar tentang bukit Hong-lai-san ini yang mempunyai banyak tempat-tempat yang dipasang jebakan dan rahasia sehingga menjadi tempat yang berbahaya, sekali. Tidak kusangka bahwa tempat ini telah digunakan oleh Pek-lian-kauw sebagai sarang pusat. Sebelum sampai saat tantangan itu, kurasa lebih baik kita pergi melakukan penyelidikan dulu.”
“Bagaimana kalau kita berenam pergi menyelidiki?” usul Pek Siong Tosu.
Nyo Tiang Pek biarpun masih muda tapi sudah banyak merantau dan ia berhati-hati sekali, maka mendengar usul Pek Siong Tosu ini ia menggeleng-gelengkan kepala. “Memang harus dilakukan penyelidikan, tetapi jangan semua pergi, hal ini kurang leluasa. Kita harus memilih seorang diantara kita yang cukup berkepandaian untuk pergi melakukan penyelidikan.”
“Ada satu hal yang penting juga,” Hwat Khong Hwesio berkata. dengan suara sabar. “Bukankah pedang kebesaran dari kerajaan Beng-tiauw juga kabarnya terjatuh di tangan kaum Pek-lian-kauw? Kalau mungkin, sambil menyelidiki sarang mereka sekalian mencari pedang itu, karena pedang itu kalau berada di tangan mereka, dapat mereka gunakan untuk menipu dan membujuk para hohan untuk memihak mereka dengan mengatakan bahwa mereka berniat membangun kerajaan lama kembali dan merobohkan kerajaan Boan, padahal merekalah yang menjadi kaki tangan pemerintah Boan.”
Semua orang mengangguk-anggukkan kepala mendengar keterangan yang berharga dan penting ini.
“Tugas penyelidikan ini tidak ringan......” kata Nyo Tiang Pek.
“Siapakah yang pantas pergi?” tanya Kong Sin Ek.
190
“Bagaimana kalau aku pergi?” tiba-tiba terdengar suara Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa. Yang lain-lain saling memandang.
“Kepandaian lihiap aku yang tua sudah mengetahuinya. Lihiap paling tinggi kepandaiannya dalam hal ginkang hingga pekerjaan ini memang tepat sekali,” kata Kong Sin Ek.
“Tetapi sumoi kurang pengalaman,” bantah Hwat Khong Hwesio biarpun dia juga sudah yakin akan kelihaian sumoinya itu.
Pek Siong Tosu memegang-megang jenggotnya yang putih dan panjang. “Menurut pendapatku, memang Lihiap boleh dipercaya dan boleh diharapkan akan berhasil. Kurasa selain Lihiap atau Nyo-taihiap sendiri, tidak ada orang lain yang lebih cocok. Tapi Nyo-taihiap perlu mengumpulkan kawan-kawan lain untuk menghadapi Pek-lian-kauw karena pinto tahu betul betapa lihainya pengurus-pengurus Pek-lian-kauw, jangan dikatakan lagi ketuanya yaitu Bong Cu Sianjin!”
Cin Han dengan mata tajam memandang Nyo Tiang Pek. Dia maklum bahwa biarpun masih muda, orang she Nyo ini agaknya menjadi pemimpin golongan anti kaisar ini, dan orangnya pun sangat hati-hati.
Nyo Tiang Pek menghela napas dan memandang Lian Hwa. “Biarlah aku sendiri saja yang pergi melakukan penyelidikan.”
“Eh, mengapa? Kau tidak percaya padaku?” tegur Lian Hwa dan Cin Han mendengar Lian Hwa menyebut si Garuda Kuku Emas itu dengan “kau” saja, hatinya berdebar cemburu.
“Bukan tidak percaya, tetapi aku khawatir kau akan mendapat bencana.”
Cin Han melihat ujung bibir Hwat Khong Hwesio bergerak mengarah senyum.
“Bagaimana kalau kalian berdua yang pergi? Yang seorang bertugas menyelidik dan yang Iain bertugas mencari pedang kerajaan.” Hwat Khong Hwesio mengusulkan. Yang lain-lain hanya saling memandang dan kedua mata Lian Hwa memandang kepada Cin Han dengan mengandung pertanyaan mengapa pemuda itu berdiam diri saja.
Cin Han segera berdiri. “Kalau Lihiap pergi, Nyo-taihiap tidak tega sedangkan kalau Nyo-taihiap yang pergi, maka pekerjaan di sini terbengkelai. Maka, biarlah aku yang bodoh menawarkan diri untuk pergi melakukan kedua tugas itu.”
“Kau??” Hwat Khong Hwesio tidak tahan pula untuk tidak membuka mulut. “Saudara muda, jangan kau main-main, sarang Pek-lian-kauw itu berbahaya sekali dan kau masih begini muda.”
“Tapi lo-suhu tadi mendengar sendiri bahwa sumoi-mu dipilih, sedangkan menurut pandanganku, aku tidaklah lebih muda daripada Lihiap!”
Hwat Khong tersenyum mendengar jawaban kekanak-kanakan ini, dan dia hanya berkata,
“Kalau dia lain lagi……”
191
“Akupun pernah mendengar nama Hwee-thian Kim-hong, dan agaknya sicu baru saja muncul di kalangan kang-ouw telah membuat nama besar, maka tentang kepandaian tidak perlu disangsikan lagi. Tapi, kuharap sicu berhati-hati, karena dalam hal ini lain lagi dengan jika kita menghadapi para bajak biasa saja. Pek-lian-kauw penuh orang-orang lihai dan sungguh berbahaya......” Kong Sin Ek memperingatkan. “Memang kalau Lihiap atau Nyo-taihiap aku lebih merasa tenang hati karena terus terang saja aku yang tua ini tunduk betul terhadap kepandaian mereka.”
Nyo Tiang Pek sendiri tidak berkata apa-apa, hanya ia memandang Cin Han dengan tajam seakan-akan hendak mengukur tenaga dan kepandaian orang, tapi Cin Han tampak lemah-lembut, lebih lagi karena pada saat itu dia telah memakai baju luar yang lebar, baju seorang sasterawan.
“Bagaimana pendapatmu, adikku?” akhirnya ia bertanya kepada Lian Hwa.
Gadis ini dengan tersenyum memandang wajah Cin Han lalu menjawab pertanyaan Nyo Tiang Pek.
“Nyo-twako, kepandaianmu aku sudah tahu dan pernah pula kita mencoba tenaga. Tapi saudara Lo ini orang baru dan kita belum mengenal tentang kepandaiannya. Bagaimana kalau kau mencobanya lebih dulu untuk kemudian memutuskan apakah dia cukup kuat untuk dipercayai tugas berat ini?” Sambil berkata begini, ia memandang wajah Cin Han dengan mata lucu dan mulut tersenyum.
Cin Han mengerti bahwa gadis ini sedang mengeluarkan sifat nakalnya.
Tapi diam-diam Cin Han makin tidak senang melihat betapa akrab agaknya hubungan antara Lian Hwa dengan Nyo Tiang Pek. Maka ia ingin mendapat kepastian dan mulai bersikap biasa terhadap Lian Hwa, yaitu ia tidak menyebut “lihiap” lagi, tetapi menyebut “adik” dan tidak menyembunyikan kenyataan bahwa ia telah lama kenal kepada gadis itu. Dengan tenang ia berkata,
“Sudahlah, adik Lian, mengapa kau hendak mempermainkan aku? Mana aku berani mencoba tenaga dengan Nyo-taihiap? Jangan-jangan aku akan terluka hebat dan lenyaplah harapanku untuk membantu kalian menyelidiki Pek-lian-kauw!”
“Eh, eh, siapa yang mempermainkan kau, Han-ko? Mereka ini belum tahu kelihaianmu, maka biarlah kau dicobanya agar semua mengerti sampai di mana tingkat kepandaianmu.”
Semua orang heran sekali melihat sikap dan mendengar pembicaraan mereka, lebih-lebih Hwat Khong Hwesio, ia memandang wajah sumoinya dengan mata terbelalak, sedangkan si Garuda Kuku Emas menekan perasaan hatinya yang tidak enak.
“Eh, sumoi, jadi kau sudah kenal baik dengan saudara Cin Han? Belum pernah kauceritakan padaku sedikit juga tentang dia!”
Sumoinya tersenyum manis. “Sudah dua kali aku bertempur melawan Han twako! Dan kedua kalinya aku tidak berdaya sedikit juga. Yang pertama kali pedangku terampas, yang kedua kali ia melawan dengan tangan kosong.”
192
Semua orang memandang kepada gadis itu dengan mata menyatakan tidak percaya, sementara itu Cin Han memerah muka dan mencegah gadis itu mengobrol lebih lanjut.
Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa berdiri dan mencabut pedangnya. “Kalian tidak percaya? Nah, saksikanlah sendiri!” Kemudian ia meloncat ke tengah ruang bermain silat dan melambaikan tangannya kepada Cin Han. “Twako, hayo kita main-main.”
Cin Han memang sudah mendapat pikiran untuk memperlihatkan kepandaiannya agar tidak dipandang sebelah mata oleh semua hohan, juga ia melihat gerakan Lian Hwa demikian ringan dan gesit bagaikan seekor burung walet yang sesungguhnya jauh jika dibandingkan dengan dahulu, maka timbul kegembiraannya untuk mencoba-coba kepandaian gadis itu. Maka ia berdiri dan menjura kepada semua orang.
“Cuwi harap maafkan siauwte.”
Dan orang tidak melihat ia membuat gerakan, tapi tahu-tahu tubuhnya telah mencelat ke depan Lian Hwa.
“Moi-moi jangan melukai aku lagi,” katanya perlahan kepada Lian Hwa yang tiba-tiba tertusuk hatinya mendengar ucapan ini.
Melihat gadis itu seakan-akan tertampar mukanya dan kini kedua matanya menjadi merah, Cin Han merasa menyesal sekali mengapa ia mengingatkan kembali hal itu, maka buru-buru ia menyambung kata-katanya. “Maafkan mulutku yang lancang, lukaku dulu tidak berarti, hanya tergores sedikit di kulit pundak!”
Ang Lian Lihiap tersenyum manis dan menarik sekali dalam pandangan Cin Han, dan terdengar olehnya merdu sekali ketika gadis itu berkata, “Twako, selama hidup aku takkan dapat melupakan peristiwa itu, dan selama hidup aku takkan dapat memaafkan kebodohanku itu.”
“Tidak…… tidak, moi-moi, aku hanya main-main.” Cin Han buru-buru berkata.
Lian Hwa tersenyum lagi dan berbisik, “Twako, kau memang berhati mulia.”
Sementara itu, semua orang yang ingin melihat sebuah pertempuran adu tenaga yang menarik, tentu saja heran sekali melihat mereka berdua hanya bercakap-cakap perlahan yang tidak terdengar oleh mereka.
“Eh, eh, ini mau adu tenaga atau adu lidah?” Kong Sin Ek berkata sambil tertawa.
Ang Lian Lihiap tersenyum lagi. “Awas, twako, perlihatkan kegesitanmu dan lawanlah aku dengan tangan kosong!” Lian Hwa lalu menggunakan Sian-liong-kiam di tangannya menyerang hebat.
Cin Han dengan cepat membuka dan melempar baju luarnya sehingga baju dalam yang terlukis burung Hong indah itu membuat ia tampak cakap dan gagah sekali. Serangan Lian Hwa dikelit cepat dan sebentar kemudian tidak nampak bayangan mereka, tergulung sinar pedang yang dimainkan oleh Lian Hwa secara hebat.
193
Sian-liong-kiam-hwat ciptaan Ong Lun sesungguhnya jarang tandingannya, tapi Cin Han yang memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa serta otak yang cerdik sudah dapat menyelami ilmu pedang itu sehingga ia dapat berkelit sambil balas menyerang ke arah pergelangan tangan lawan untuk mencoba merampas pedang.
Namun Lian Hwa sekarang bukanlah Lian Hwa yang dulu ketika bertempur dengan dia di atas rumah Gan Keng Hiap. Ang Lian Lihiap yang sekarang sudah menerima latihan dari Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan.
Kini melihat Cin Han ternyata jauh lebih lihai daripada dulu, diam-diam ia kagum sekali, maka ia segera mengeluarkan ilmu meringankan tubuh yang dipelajari dari Song Cu Ling, kedua kakinya seakan-akan tidak menginjak tanah lagi. Pedang di tangan kanan dimainkan dengan ilmu-ilmu paling lihai dari Ilmu Pedang Naga Dewa sedangkan tangan kirinya masih bergerak dipakai menotok jalan darah.
Biarpun Cin Han lihai, namun menghadapi serangan hebat ini, ia menjadi sibuk juga. Diam-diam ia terkejut dan berbareng kagum melihat kemajuan Lian Hwa.
Kini barulah Hwat Khong, Kong Sin Ek, Pek Siong Tosu, dan Nyo Tiang Pek sendiri tahu akan kehebatan pemuda itu dan diam-diam mereka menarik napas dalam, karena sedikitpun mereka tidak menyangka bahwa pemuda sekolahan yang kelihatan lemah-lembut itu ternyata demikian lihai.
Pada saat itu Lian Hwa menggunakan serangan dengan tipu Naga Dewa Sambar Harimau, pedangnya berkelebat menyerang dada Cin Han, ketika Cin Han berkelit dan membalas mengulur tangan kanan untuk mengetok lengan Lian Hwa supaya pedangnya terlepas, tiba-tiba Lian Hwa menggunakan jari tangan kiri menotok pundaknya. Hampir saja pundaknya tertotok, maka buru-buru ia meloncat ke belakang berjumpalitan tiga kali udara dan turun di tempat yang tiga tombak jauhnya dari gadis itu sambil tersenyum,
“Aduh!! Kau hebat sekali. Lian-moi! Aku menyerah kalah!”
Lian Hwa memasukkan pedang di sarung pedangnya, menggunakan ujung lengan baju menyusut keringat dari jidat dan berpaling kepada kawan-kawannya sambil tersenyum pula, “Nah, lihatlah! Tidakkah kepandaian Hwee-thian Kim-hong berada jauh di atas kepandaianku?”
“Lihai…… lihai……” kata Hwat Khong yang masih terheran-heran.
“Hebat sekali. Aku tua bangka menjadi gatal tangan karena gembira. Hayo, sicu, layani aku sebentar, akupun ingin sekali merasakan sendiri kelihaianmu!” kata Kong Sin Ek sambil berdiri dan menghampiri Cin Han.
Cin Han tahu bahwa Kong Sin Ek si Dewa Arak ini mempunyai tenaga lweekang yang sempurna, maka untuk membuat orang tua ini tunduk, ia harus mengeluarkan tenaga dalamnya juga. Ia segera menjura dan berkata halus.
194
“Kong lo-enghiong sungguh membuat siauwte malu dengan pujian ini. Tapi siauwte tahu bahwa perkenalan akan menjadi makin erat setelah mengukur tenaga kawan, maka siauwte tentu tidak berani menolak permintaan lo-enghiong. Hanya hati-hatilah, jangan berlaku kejam terhadap siauwte!”
Kong Sin Ek tertawa bergelak-gelak. “Terhadap aku jangan sungkan-sungkan lagi, sicu, aku bukan orang luar. Hayo keluarkan pedangmu biar aku mencobanya.”
Orang she Kong ini melepaskan jubah luarnya dan sekali menyentakkan lengannya maka jubah itu meluncur merupakan sebatang toya keras! Inilah keistimewaan Kong Sin Ek yang dengan sebuah baju luar telah menjagoi berpuluh tahun lamanya!
Cin Han tahu bahwa jika ia menggunakan pedang, maka menghadapi senjata istimewa yang bisa menjadi keras dan dapat juga menjadi lemas itu ia hanya dapat melawan dengan serangan-serangan berbahaya yang dapat melukai lawan, maka ia tidak mau menggunakan pedang. Sedangkan kalau bertangan kosong, biarpun belum tentu ia dapat dikalahkan, namun hal itu merupakan penghinaan terhadap orang tua gagah itu. Setelah berpikir sejenak, ia memungut baju luarnya yang tadinya dilemparkan ke sudut dan memegang baju itu pada ujungnya.
“Biarlah siauwte mencontoh perbuatan lo-enghiong dan mencoba-coba belajar atau memetik satu dua macam tipu pukulan lo-enghiong yang sudah terkenal kelihaiannya.”
Kong Sin Ek memandangnya dengan kagum karena ia dapat menerka bahwa pemuda itu tentu seorang ahli lweekeh juga, kalau tidak, tidak mungkin ia berani menggunakan baju itu sebagai senjata. Tetapi diam-diam ia merasa lebih unggul, karena baju luarnya terbuat daripada kain yang tebal dan kuat dan memang khusus dibuat untuk senjata, sedangkan baju luar pemuda itu terbuat daripada sutera tipis dan lemas! Tetapi ia sebagai seorang jujur tidak dapat tinggal diam, lalu berkata,
“Kau lihai, sicu, tapi apakah bajumu itu tidak terlalu tipis?”
“Biarlah, lo-enghiong, bukankah kita hanya main-main saja?”
Setelah saling menjura tanda hormat, Kong Sin Ek berseru, “Awas!” dan senjatanya yang luar biasa itu menyambar merupakan toya, menyabet ke arah pinggang Cin Han.
Pemuda ini mengebutkan bajunya yang juga menjadi keras untuk menangkis senjata lawan, tapi karena baju itu kalah keras, maka terpental. Tapi segera Cin Han merobah tenaganya sehingga baju itu menjadi lemas terus diputarkan mengait baju Kong Sin Ek, dibarengi tubuhnya meloncat ke atas melewati senjata lawan, terus menggunakan tenaga membetot!
Gerakan yang cepat dan tidak tersangka ini hampir saja berhasil dan Kong Sin Ek mengeluarkan seruan kaget. Belum pernah ia bertemu tandingan seperti ini. Tetapi ia sudah berpengalaman sehingga dapat berlaku tenang.
Ia segera mengatur tenaganya sehingga bajunya pun menjadi lemas dan baju Cin Han yang mengait dengan sendirinya lalu terlepas. Demikianlah, mereka saling serang dengan hebat, baju mereka sebentar menjadi toya, sebentar menjadi cambuk dan gerakan mereka mengeluarkan suara angin.
195
Namun, Kong Sin Ek biarpun sudah mengeluarkan semua kepandaiannya, belum juga ia dapat mendesak Cin Han. Ia merasa penasaran dan heran sekali.
Kemudian Cin Han menggunakan kedua tangan memegang tengah-tengah bajunya dan kedua ujung baju ia mainkan sedemikian rupa sehingga merupakan permainan siang-kiam atau sepasang pedang yang hebat. Tentu saja Kong Sin Ek dapat pula bermain seperti ini, tapi karena gerakan-gerakan Cin Han sangat aneh dan tipu-tipunya tidak terduga perubahannya, sebentar saja ia terdesak mundur.
Cin Han mengalah dan mengendurkan serangannya, tapi Kong Sin Ek sudah merasa puas. Ia meloncat mundur dan berkata, “Ahh, memang kau pantas disebut Hwee-thian, Kim-hong, sicu. Gerakan-gerakanmu seperti burung Hong menyambar-nyambar saja. Aku sungguh kagum dan takluk.”
Cin Han buru-buru menjura, “Terima kasih, lo-enghiong. Kau orang tua sudah berlaku murah kepada yang muda dan sudah mengalah.”
Nyo Tiang Pek adalah murid Kang-lam Taihiap Kam Hong Tie yang tersohor kegagahannya. Maka diam-diam ia terkejut juga melihat kelihaian Cin Han dan berbareng merasa malu sendiri mengapa tadi mereka memandang rendah pemuda itu. Ia merasa gembira mendapat seorang kawan baru yang kosen ini, tapi sebagaimana halnya seorang ahli silat, hatinya belum puas kalau ia belum mencoba sendiri. Maka ia meloncat ke depan Cin Han dan memegang lengan pemuda itu dengan tersenyum girang.
“Ah, saudara Lo. Bukan main kau ini. Sikapmu lemah lembut seperti seorang kutu buku tulen, tapi tidak tahunya ilmu silatmu hebat sekali. Maaf, saudara Lo, tadi aku sendiri tidak memandang sebelah mata kepadamu. Kebodohan ini kuakui, harap kau maafkan.”
Melihat kejujuran ini, Cin Han pun merasa girang sekali dan membalas dengan ucapan kata-kata merendah.
“Bukan aku tidak percaya kepadamu, saudara Cin Han,” kata Nyo Tiang Pek, “tapi kau sungguh membuat aku kagum. Selama bertahun-tahun aku berkelana, menjelajah empat penjuru, belum pernah aku menemukan orang semuda kau dengan kepandaian setinggi ini. Aku tadinya merasa kagum sekali melihat Ang Lian Lihiap yang kuanggap masih terlampau muda untuk memiliki kepandaian setinggi yang dimilikinya, tapi kau ternyata lebih lihai, jauh melampaui dugaanku semula.”
“Ah, kau terlalu memuji, Nyo-taihiap.”
“Jangan menyebut aku taihiap, sebut saja twako, karena Lian-moi juga menyebutku demikian. Sudah sepatutnya karena aku lebih tua darimu. Saudaraku yang baik, kau ini murid siapakah?”
“Suhuku yang pertama adalan Gwat Liang Tojin.”
“O, ya?? Dia adalah kawan baik guruku,” kata Nyo Tiang Pek gembira.
“Juga suhuku itu suheng dari Ong Lun lo-enghiong almarhum,” kata Cin Han.
196
Lian Hwa memandang heran tetapi gadis itu diam saja.
“Guruku kedua adalah Beng San Siansu.”
“Apa? Dewa pedang itu masih hidup?” tanya Pek Siong Tosu heran.
“Entahlah. Aku sendiri belum pernah bertemu muka dengan beliau,” jawab Cin Han terus terang. “Aku berguru kepadanya dengan perantaraan kitab.”
“Ah, pantas kau lihai sekali, saudara Lo. Menurut kata guruku Kam Hong Tie, Beng San Siansu tidak terlawan ilmu pedangnya dan guruku sendiri menganggapnya jago golongan tua yang lebih tinggi tingkat kepandaiannya. Mari, saudara, puaskan hatiku yang ingin sekali melihat ilmu pedang ciptaan Beng San Siansu.”
Cin Han tidak sungkan-sungkan lagi, ia mencabut Kong-hwa-kiam dan menjura kepada mereka.
“Biar kita berdua main-main sebentar!” seru Nyo Tiang Pek gembira dan ia mencabut pedang Ceng-lun-kiam dari pinggangnya.
Kong Sin Ek dan Pek Siong Tojin juga merasa gembira sekali karena mereka tahu akan kelihaian ilmu pedang Nyo Tiang Pek. Mereka tahu, bahwa mereka akan menyaksikan dua macam ilmu pedang yang lihai dan jarang terlihat.
Kedua jago muda itu segera bersilat saling menyerang. Nyo Tiang Pek adalah murid Kam Hong Tie yang berilmu tinggi. Tentu saja kiam-hoatnya pun hebat dan tenaga dalamnya terlatih sempurna. Pula ia banyak pengalaman bertempur.
Tapi Cin Han pun bukanlah seorang ahli pedang biasa. Ia seorang pemuda yang telah digembleng oleh tangan ahli, bahkan telah mewarisi Ilmu Pedang Naga Terbang, sehingga ilmu pedangnya boleh dikata pada masa itu jarang mendapat lawan. Pedang Ceng-lun-kiam di tangan Nyo Tiang Pek dapat diumpamakan seekor burung garuda menyambar-nyambar, mengeluarkan angin dingin dan gerakannya cepat sekali.
Tapi pedang Kong-hwa-kiam di tangan Cin Han tidak kalah hebatnya, lembut dan indah bagaikan burung Hong terbang tapi cepat kuat dan ganas bagaikan naga sakti mengamuk! Telah puluhan jurus mereka bersilat dan menurut pandangan orang-orang yang melihat mereka mengukur tenaga, ilmu pedang mereka sama kuatnya dan sama bagusnya, karena pedang Nyo Tiang Pek merupakan gulungan sinar hijau dan pedang Cin Han merupakan gulungan sinar putih.
Tetapi bagi Cin Han dan Tiang Pek sendiri, mereka diam-diam tahu sampai di mana keunggulan lawan. Cin Han maklum bahwa ia masih kalah sedikit dalam hal tenaga dan keuletan, tetapi Nyo Tiang Pek maklum bahwa ilmu pedangnya masih kalah jauh dari pemuda ini, dan jika Cin Han tidak berlaku mengalah, pasti ia mudah saja digulingkan!
Cin Han sendiri mengerti akan kelemahan-kelemahan ilmu pedang lawannya, tapi mengingat bahwa Nyo Tiang Pek adalah pendekar ternama dan pendiri atau pelopor gerakan perjuangan meruntuhkan
197
pemerintah penjajah, mana ia tega untuk menjatuhkannya. Maka gerakan pedangnya lebih banyak bersifat menjaga diri daripada menyerang.
Tiba-tiba terdengar Nyo Tiang Pek tertawa dan ia meloncat mundur.
“Sudah, sudah! Aku menyerah, saudara Lo! Benar kata suhu dulu bahwa Hwie-liong-kiam-sut ciptaan Beng San Siansu adalah nomor satu tingkatnya di dunia ini.”
“Ah, kau merendah, Nyo-twako. Tenaga dan keuletanku masih kalah jauh,” jawab Cin Han merendah.
Nyo Tiang Pek makin suka melihat pemuda yang lihai ini ternyata pandai membawa diri dan tidak sombong karena kepandaiannya.
“Bagaimana, twako, kini kau mau memberikan tugas itu padanya atau tidak?” tanya Lian Hwa dengan wajah berseri.
Nyo Tiang Pek tersenyum. “Melihat kepandaiannya, sekarang ini selain dia tidak ada orang lain yang pantas melakukan tugas berat ini.”
Mereka lalu berunding dan Kong Sin Ek yang sudah agak kenal akan keadaan Bukit Hong-lai-san, memberi keterangan-keterangan dan nasihat-nasihat kepada Cin Han.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Han berangkat menuju ke sarang Pek-lian-kauw di bukit Hong-lai-san. Pada malam hari kedua sampailah ia di kaki bukit itu.
Bukit Hong-lai-san adalah sebuah bukit kecil yang tertutup penuh oleh pohon siong tua dan di sana-sini tampak pohon liu yang melambai-lambaikan ranting karena tiupan angin. Pohon-pohon siong tua yang besar-besar pada malam hari itu tampak bagaikan raksasa-raksasa hitam berdiri megah di bawah sinar bulan purnama.
Cin Han memperkuat tali pengikat kaki dan pinggangnya. Ia membuka baju luarnya dan meloncat ke atas sebatang pohon besar untuk menyimpan bajunya itu.
Ketika ia mau meloncat turun, tiba-tiba ia melihat sinar api di tempat jauh. Api itu bergerak-gerak dan ia dapat menduga bahwa itu tentu sebuah obor yang dipegang orang. Ia meloncat turun dan lari ke arah api yang dilihatnya dari atas pohon itu.
Ketika Cin Han melalui tempat yang agak gelap karena bayangan pohon tiba-tiba kakinya terlibat oleh sesuatu. Ia cepat meloncat ke samping, tetapi terlambat. Tali yang dipasang orang di jalan dan yang menyangkut kakinya itu telah tertarik dan bunyi hiruk-pikuk di balik pohon mengejutkan hatinya.
Dengan gesit Cin Han meloncat ke atas pohon. Tetapi pada saat itu juga datang anak panah berhamburan menyerang tempat ia berdiri tadi. Dan tak lama kemudian, datanglah dua orang berlari-lari dengan obor di tangan. Dua orang itu bertubuh tegap. Tangan kiri memegang obor dan tangan kanan memegang golok. Yang seorang adalah hwesio.
198
“Eh, Lo-sam, tidak ada bekas apa-apa di sini! Mengapa tali jerat tertarik?” tanya hwesio itu kepada kawannya.
Yang ditanya mengangkat pundak. “Sudah dua kali terjadi seperti ini. Kalau binatang yang melanggarnya, pasti bangkainya telah menggeletak di sini terkena anak panah. Tetapi di sini tiada bekas apa-apa! Hm, barangkali setan yang penasaran datang mengganggu bukit ini.”
“Jangan mengacau, kawan. Bukankah para Lo-suhu sudah memesan agar mulai sekarang kita harus menjaga bukit ini dengan hati-hati! Para pemberontak sudah berkumpul dan kabarnya nanti lain bulan malam ke limabelas mereka akan menyerbu ke sini! Siapa tahu malam ini mereka mengirimkan orang berkepandaian tinggi datang menyelidik!”
Orang yang disebut Lo-sam menengok ke sana ke mari dengan wajah takut, tetapi ia memberanikan hatinya dengan mengangkat obor tinggi-tinggi dan mengayun-ayunkan goloknya.
“Siapa orangnya berani memasuki tempat ini? Biar setan sekalipun, ia takkan dapat keluar dengan selamat. Pula, kawan-kawan kita menjaga gunung ini dari delapan penjuru. Tidak mungkin orang dapat masuk tanpa terlihat.”
Hwesio itu hendak menjawab, tetapi tiba-tiba matanya terbelalak ketika tahu-tahu di dalam sinar obor tampak seorang pemuda berdiri di depan mereka! Entah dari mana datangnya dan sejak kapan sudah berada di situ! Sebelum ia dapat memperpanjang rasa kagetnya, jari tangan kiri Cin Han sudah menotok iganya, membuat ia jatuh dengan lemas dan tak bergerak lagi!
Lo-sam yang pandai juga bersilat, segera mengayunkan goloknya membacok, tetapi entah bagaimana, sekali bergerak saja pemuda itu telah merampas goloknya. Ia hanya merasa pergelangan tangannya sakit sekali dan karena takutnya ia membuka mulut hendak berteriak.
Tapi “plok!” tangan Cin Han menampar tulang rahangnya dan mulut yang sudah terbuka itu tidak dapat tertutup pula, hanya “a-a-u-u!” seperti orang gagu! Cin Han memegang lengan Lo-sam sambil mengancam.
“Kalau ingin hidup, berilah keterangan sejelasnya kepadaku!” Kemudian ia menepuk pipi Lo-sam yang segera dapat menggerakkan mulutnya kembali, berdiri dengan tubuh menggigil ketakutan.
“Jangan mencoba berteriak! Katakan padaku siapa yang berada di bukit ini dan mereka kini sedang berbuat apa.”
Lo-sam tahu bahwa pemuda ini tentu orang asing yang belum pernah datang ke situ, maka ia ingin menggunakan nama besar Pek-lian-kauw untuk menakut-nakuti.
“Ampun, hohan, saya hanya seorang penjaga dan peronda biasa. Bukit ini adalah milik perkumpulan Pek-lian-kauw yang besar. Pada saat ini para locianpwe sedang berpesta. Katanya orang-orang gagah dari selatan datang, juga para jagoan dari Kwie-coa-pai hadir. Harap hohan jangan mengganggu tempat ini, tinggalkan saja, karena kauw-cu kami bersahabat dengan orang-orang gagah di semua kalangan kang-ouw.”
199
“Jangan banyak ngobrol!” Cin Han membentak. “Jawab pertanyaanku dengan singkat. Di mana disimpannya pedang kerajaan Beng-tiauw?”
“Bagaimana saya bisa tahu, hohan? Saya hanya orang rendah, tak tahu apa-apa. Mungkin di gudang pusaka……”
“Nah, sekarang antar aku ke gudang pusaka itu.”
“Ampun, hohan. Ketahuilah bukit ini penjaganya berlapis sembilan. Saya dan suhu ini adalah penjaga pertama bagian timur. Naik ke atas, satu lie dari sini terdapat penjaga lapis kedua, demikian selanjutnya tiap satu lie ada penjaga sampai sembilan lapis! Maka tidak mungkin saya dapat mengantar hohan naik, karena saya tidak diperkenankan melewati penjaga lapis kedua yang tingkatnya lebih tinggi dari saya.”
“Tidak bohongkah kau?”
“Siauwte yang hina tidak berani membohong, hohan.”
Cin Han menggerakkan tangannya dan Lo-sam kena ditotok jalan darahnya. Seperti kawannya yang masih rebah di tanah, iapun jatuh tak berdaya. Biarpun pikiran dan perasaannya masih terang, tapi tidak kuasa menggerakkan tubuh atau mengeluarkan suara.
“Ingat, jika kalian tidak ditolong, dalam waktu dua belas jam kalian tentu akan mati. Tunggulah, aku pasti membebaskanmu jika keteranganmu tadi benar.”
Setelah berkata demikian, Cin Han lari ke atas dengan cepat dan hati-hati. Benar saja seperti keterangan Lo-sam tadi, kira-kira satu lie jauhnya ia maju, tampak orang-orang berjaga dengan obor di tangan. Tapi dengan mudah saja Cin Han dapat melewati mereka ini dengan jalan meloncat dari pohon ke pohon. Demikianpun pada tempat penjaga ketiga sampai kelima, ia dapat lewat dengan menggunakan ilmu lari cepat dan ringankan tubuh.
Tapi pada penjagaan keenam, ia mulai menghadapi kesulitan. Penjaga di bagian keenam ini adalah orang-orang anggauta Pek-lian-kauw sendiri yang terhitung golongan ahli silat. Di baju mereka terlukis gambar teratai putih dan kesemuanya memegang pedang. Di tiap penjuru terdapat tiga orang penjaga.
Cin Han berlaku amat hati-hati. Ia bersembunyi di atas sebatang pohon besar dan dari situ mengintai ke bawah. Tiga orang penjaga berjalan hilir mudik sambil bercakap-cakap.
Melihat sikap dan gerakan mereka, Cin Han tahu bahwa ia tidak dapat menggunakan kecepatannya seperti tadi untuk menerobos, karena banyak kemungkinan penjaga-penjaga itu akan melihatnya, pula setelah tiba di situ ternyata pohon-pohon mulai berkurang.
Kemudian ia mendapat akal. Tanpa mengeluarkan suara ia melompat ke bawah di bagian yang gelap dan agak jauh dari situ lalu memilih batu-batu kecil sebagai pengganti senjata rahasia. Kemudian ia naik lagi ke atas pohon tadi.
200
Ia mengayun tangannya dan seorang di antara yang tiga itu tiba-tiba berteriak dan jatuh tidak berdaya. Lehernya telah terpukul batu yang tepat menghantam jalan darah Koan-goan-hiat. Kedua kawannya meloncat ke samping dan ketika dua buah batu kecil menyambar ke arah mereka, mereka dapat mengelak dengan menggulingkan diri di atas tanah.
Cin Han mematahkan dahan pohon dan melempar itu jauh ke bawah. Kedua orang penjaga itu mendengar suara dahan jatuh segera memburu ke bawah pula. Kesempatan ini digunakan oleh Cin Han untuk menerobos naik melalui tempat penjaga yang kini telah kosong.
Tapi ia segera menghadapi penjagaan lapis ketujuh. Penjagaan mulai dari sini keras sekali. Tembok yang tingginya tidak kurang dari empat tombak mengelilingi puncak bukit. Dan di atas tembok tampak penjaga-penjaga dengan senjata di tangan berjalan hilir mudik.
Cin Han tidak melihat jalan masuk lain kecuali melompat naik ke tembok itu. Maka ia melompat ke atas dengan cepat. Baru saja kakinya menginjak tembok, lima buah senjata rahasia terbang menyambar kepala, leher, dada, pusar dan lututnya. Ia mengelak ke kiri sambil menggunakan sebelah kakinya menendang piauw yang paling bawah sehingga piauw itu terpental kembali ke arah penyerangnya. Tetapi penyerangnya dapat mengelak dengan mudah.
“Hai! Manusia dari mana berani lancang memasuki tempat penjagaanku?” Penjaga itu membentak sambil menyerang dengan sebuah tombak yang ada kaitannya.
Cin Han tidak menjawab, hanya berkelit ke samping dan sekali kakinya terayun tombak itu terlepas dari pegangan penjaga itu. Pada saat itu, tiga orang penjaga yang lain lari-lari mendatangi dengan golok dan pedang terangkat tinggi-tinggi.
Cin Han tidak mau membuang-buang waktu maka dicabutnya Kong-hwa-kiam dan sekali putar saja, semua senjata pengepungnya terpotong. Tentu saja musuh-musuhnya terkejut sekali. Cin Han meloncat ke sebelah dalam dan empat orang penjaga itu tidak berani mengejar karena sudah tidak bersenjata lagi, pula mereka harus mentaati perintah atasan.
Penjaga di bukit Hong-lai-san diatur berlapis-lapis sampai sembilan lapis. Makin ke atas, penjagaan makin keras dan para penjaganya pun makin lihai. Mereka ini bertugas menghalang-halangi musuh yang menerjang masuk.
Jika musuh dapat melewati sebuah penjagaan, ini berarti musuh itu kepandaiannya lebih tinggi daripada para penjaga di bagian itu, maka akan sia-sia belaka jika mereka ini terus mengejar dan meninggalkan pos masing-masing. Mereka harus mendiamkan saja agar musuh itu dilawan oleh penjaga-penjaga berikutnya yang lebih kuat. Sedangkan mereka harus bersiap untuk mencegat musuh itu kalau keluar nanti. Juga aturan ini diadakan untuk mencegah musuh menggunakan tipu “memancing harimau meninggalkan goa”. Dengan demikian, tiap pos penjagaan selalu tidak pernah ditinggalkan.
Inilah sebabnya maka penjaga tembok ketujuh tidak mengejar ketika Cin Han terus naik ke atas bukit. Di depannya menjulang tembok penjagaan kedelapan. Temboknya sama tinggi dengan penjagaan ketujuh, tapi di atas tembok kedelapan ini dipasang ujung-ujung tombak yang runcing. Sedangkan penjaga-penjaga yang bertubuh kuat berdiri di belakang barisan ujung tombak itu.
201
Cin Han merasa heran melihat penjaga-penjaga di atas tembok tampak sibuk seakan-akan telah terjadi sesuatu yang mengacaukan. Tanpa ragu-ragu lagi Cin Han mencabut pedangnya yang tadi diselipkan kembali ke pungggung dan mengayun tubuhnya melayang ke atas tembok. Kedua kakinya dengan ringan mentotol ujung tombak di atas tembok itu dan dengan gerakan Naga Sakti Balikkan Diri, ia berjumpalitan meminjam tenaga totolan kaki di ujung tombak tadi.
Untung ia menggunakan tipu gerakan yang cepat ini karena pada saat ia berjumpalitan, dari bawah ujung tombak yang ia injak tadi banyak anak panah menyambar ke atas. Kalau ia tadi berayal sedikit saja, agaknya akan sukar untuk mengelak anak panah yang menyerang dari bawah tubuh ini.
Segera lima orang penjaga datang menyerbu. Tapi dengan lincah Cin Han mengeluarkan ilmu pedangnya sehingga baru beberapa jurus saja ia berhasil merobohkan mereka dengan tendangan Soan-hong-twi dibarengi pukulan-pukulan Bi-ciong-kun, yakni kepalan menyesatkan, semacam ilmu pukulan yang penuh gaya palsu dan yang tidak terduga perubahan-perubahannya.
Cin Han meloncat turun dari tembok kedelapan. Ia berlaku hati-hati sekali dan ketika tubuhnya turun ke tanah ia hanya menggunakan kaki kiri saja agar kaki kanan dapat siap menolong diri jika ada bahaya perangkap musuh mengancam. Betul saja, baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba kakinya kena injak batu yang menjadi penggerak anak-anak panah beracun yang terpasang di pohon di kanan kirinya.
Cin Han mendengar suara angin senjata yang beterbangan menyambar itu segera meloncat jauh ke depan, tapi hampir saja ia terjeblos ke dalam lubang jebakan yang ditutup oleh tanah dan rumput tipis. Baiknya ia memiliki ginkang yang tinggi sehingga secepat kilat ia dapat mengayunkan tubuhnya ke belakang. Ketika ia memandang ke dalam lubang jebakan itu, ia bergidik dengan perasaan ngeri melihat tiga ujung pedang yang runcing terpasang dalamnya, siap menanti jatuhnya tubuh orang untuk disate.
Kini Cin Han menghadapi tembok kesembilan. Berbeda dengan tembok-tembok penjagaan yang lain, tembok ini tingginya hanya dua tombak. Tapi tembok itu tebalnya tiga kaki dan di atas tembok duduk hwesio-hwesio yang kelihatannya sedang bersamadhi. Tiap lima tombak duduk seorang hwesio dan di dekat masing-masing terletak sebuah pedang.
Tiba-tiba dari jurusan kiri tampak seorang berlari-lari di atas tembok. Ketika orang itu datang dekat, Cin Han mengenal bahwa ia bukan lain adalah Thio Lok si Naga Hijau dari Selatan. Agaknya luka di pahanya karena tusukan pedang Ang Lian Lihiap dulu itu telah sembuh kembali dan rupa-rupanya orang she Thio itu tugasnya memeriksa barisan penjaga di tembok di depan.
Cin Han tidak berani sembarangan menerjang, karena ia dapat menduga bahwa barisan penjaga tembok terakhir ini pasti kuat sekali dan di belakang tembok itulah terletak sarang Pek-lian-kauw di mana terdapat ahli-ahli silat tinggi.
Ketika ia bersiap-siap dan mencari jalan untuk menyerbu, tiba-tiba dari bawah tembok tak jauh dari tempatnya itu terdapat bayangan orang berkelebat dan tiba-tiba bayangan itu melemparkan tubuh seorang ke atas tembok.
202
Seorang hwesio penjaga yang duduk tak jauh dari situ mengayunkan tangannya. Terdengar orang yang dilempar ke atas itu berteriak ngeri karena sebatang piauw yang dilepas hwesio tadi dengan tepat menembus keningnya. Hwesio yang melepas piauw itu terkejut melihat bahwa orang yang diserang itu bukan lain ialah seorang penjaga dari tembok penjagaan di bawah.
Sebelum ia hilang kagetnya, bayangan yang melemparkan orang tadi tahu-tahu telah berada di belakangnya dan mengayunkan pedangnya yang tajam berkilau. Hwesio itupun bukan orang lemah. Dengan cepat ia menjatuhkan diri ke belakang dan menggelundung di atas tembok sehingga terhindar dari sabetan pedang.
Sementara itu, Thio Lok yang belum pergi jauh, segera lari mendatangi dengan beberapa orang hwesio penjaga yang lain, lalu langsung mengeroyok bayangan yang gerakan-gerakannya luar biasa gesit dan cepat itu.
“Ang Lian siluman perempuan! Kau datang mencari mati?” bentak Thio Lok dengan marah dan memutar pedangnya menyerang.
Cin Han yang berada di bawah tembok mendengar ini merasa kaget sekali. Tak disangkanya bayangan gesit dan lincah itu adalah Ang Lian Lihiap. Entah mengapa hatinya mendadak berdebar girang. Segera ia meloncat ke atas tembok. Belum juga kakinya menginjak tembok, jari tangannya telah berhasil menotok seorang hwesio sehingga roboh tidak berkutik.
Keadaan pengeroyok menjadi kacau. Thio Lok melihat datangnya Hwee-thian Kim-hong segera bersuit memberi tanda.
“Lian-moi, tahan mereka ini, aku hendak mencari……!”
Lian Hwa mengangguk dengan tersenyum manis karena ia maklum bahwa Cin Han tentu hendak mencari pedang pusaka kerajaan itu. Maka ia putar Sian-liong-kiam lebih cepat sehingga sebentar saja dua orang hwesio pengeroyoknya terjungkal jatuh ke bawah tembok!
Cin Han meloncat turun ke bawah. Cepat bagaikan kilat Cin Han meloncat ke atasnya dan sekali tangannya bergerak maka pedang hwesio itu dapat terpukul jatuh dan si hwesio sendiri kena ia totok pundaknya! Kemudian ia mengempit hwesio itu dan membawa lari ke tempat gelap.
“Hayo bawalah aku ke tempat simpanan pedang kerajaan!” Demikian ia mengancam hwesio itu.
Karena tak berdaya, hwesio itu segera membawanya ke bangunan sebelah belakang. Bangunan itu ternyata besar sekali.
“Di dalam kamar itulah disimpannya, tapi ada penjaga yang lain, aku tak berani masuk!”
Cin Han menotok lagi jalan darah hwesio itu hingga ia terguling dengan tubuh lemas tak berdaya, lalu dengan tak menyia-nyiakan waktu lagi Cin Han membuka pintu kamar yang dimaksudkan. Namun karena ia memang selalu curiga, ia berlaku hati-hati sekali. Dengan sekali mendorong, daun pintu itu terbuka, tapi secepat kilat ia meloncat mundur.
203
Betul saja, dari belakang pintu itu sudah bersedia orang-orangan besi yang maju menubruk ke arah pintu yang terbuka. Karena menubruk tempat kosong, kedua orang-orangan itu berdiri kembali ke tempat semula.
Cin Han perlahan memasuki pintu. Tiba-tiba ketika kakinya menginjak ambang pintu, terdengar bunyi “ser! ser!!” dan dari empat penjuru menyemprot keluar pisau-pisau beracun bagaikan hujan ke arah pintu! Cin Han segera menggunakan gerakan Wanita Cantik Membuka Payung, pedangnya terputar merupakan payung atau tameng melindungi tubuhnya hingga semua pisau beracun kena terpukul runtuh nenerbitkan suara hiruk-pikuk.
Setelah senjata rahasia habis, tiba-tiba dari atas pintu jatuh segumpal besi yang beratnya ratusan kati hendak menimpa kepalanya! Karena datangnya besi itu cepat sekali dan sudah terlambat untuk dikelit, maka Cin Han mengerahkan tenaganya di telapak tangan lalu menggunakan telapak tangan itu mendorong besi yang jatuh menimpa. Besi itu terdorong dan terpental ke depan, jatuh menimpa orang-orangan besi hingga hancur berantakan dan dari dalam tubuh besi meloncat keluar per-per yang menggerakkan tubuh itu
Cin Han melihat ke dalam kamar. Ternyata di situ memang terdapat banyak barang-barang pusaka dan kumpulan barang-barang antik. Banyak pedang dan golok yang berusia ribuan tahun tergantung di dinding sebelah dalam. Dan di atas sekali, tergantung pedang kerajaan Beng-tiauw yang dicarinya!
Ia mengenal pedang ini dari sarungnya yang berukir burung Hong dan Naga Emas! Untuk berjaga diri, Cin Han menggerakkan kaki menendang orang-orangan besi yang satunya lagi hingga orang-orangan itu terlempar jatuh ke tengah kamar. Betul saja, ketika orang-orangan itu menimpa lantai di tengah-tengah kamar terbuka dan orang-orangan itu terjeblos masuk, lalu terdengar suara air di bawah!
Cin Han ngeri mendengar ini tapi ia girang karena ia kini tahu sampai di mana batas lubang jebakan itu. Sementara itu, lantai yang terbuka itu kini telah tertutup kembali. Cin Han meloncat ke dalam kamar melewati batas lantai yang dapat terbuka lalu menurunkan kakinya dengan ringan karena ia masih curiga.
Ternyata lantai yang diinjaknya tidak apa-apa maka ia segera mengulurkan tangannya mengambil pedang pusaka kerajaan. Setelah mencabut pedang itu untuk melihat bahwa pedang itu memang tidak palsu, ia meloncat lagi keluar melewati lantai berbahaya tadi.
Ketika tiba di atas tembok penjagaan kesembilan, Cin Han merasa terkejut sekali melihat betapa Ang Lian Lihiap berada dalam keadaan berbahaya sekali! Gadis itu kini bertempur melawan seoang tua kurus kering yang ternyata lihai sekali gerakan pedangnya, hingga Ang Lian Lihiap hanya mengandalkan keringanan dan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan maut dari pedang lawan itu!
Cin Han marah sekali dan meloncat ke atas tembok. Pada saat itu lawan Lian Hwa sedang menyerang dengan gerak tipu Raja Maut Menyambar Nyawa. Pedangnya dari bawah dengan gerakan memutar menusuk ke atas, ke arah dada gadis itu dan dibarengi tangan kirinya dengan gerakan Eng-jiauw-kang atau Kuku Garuda Mencengkeram ke arah leher Ang Lian Lihiap!
204
Serangan ini adalah serangan maut, karena baik tangan kiri maupun tangan kanan adalah penyebar maut yang sukar dihindarkan lagi! Cin Han melihat keadaan ini segera berkelebat cepat. Ia melihat bahwa dengan pedangnya, gadis itu menggerakkan tangannya dengan tipu Naga Laut Naik ke Darat dan ia tahu bahwa Lian Hwa akan berhasil menangkis pedang lawannya, tapi gadis itu tak mungkin dapat mengelit pukulan kuku garuda yang lihai dan berbahaya. Maka tanpa ragu-ragu lagi, ia meloncat mendekat dan menggunakan tangan kanan menangkis cengkeraman orang itu. Setelah dapat menangkis pedang lawan dan melihat Cin Han maju, Lian Hwa meloncat mundur.
Orang kurus kering itu melihat ada orang luar berani menangkis tangannya, lalu mengerahkan tenaga hendak mematahkan lengan tangan orang lancang itu dengan ilmu lweekangnya, maka terbenturlah kedua lengan dan mengeluarkan suara keras. Cin Han terhuyung mundur tiga tindak, tapi orang tua itupun terpaksa melangkah mundur dua langkah!
Ketika melirik ke arah lengan tangannya, Cin Han melihat lengannya merah, tapi iapun melihat lengan lawannya itu matang biru! Maka ia menghela napas lega karena kalau hendak dikatakan kalah tenaga, maka kekalahan itu hanya sedikit selisihnya!
“Eh, siapakah kau orang muda berani campur tangan urusan orang lain?” tanya orang tua kurus kering itu.
Cin Han tidak menjawab, tapi melemparkan pedang pusaka kerajaan kepada Lian Hwa, “Pegang dulu ini Lian……”
Ang Lian Lihiap menangkap pedang yang dilemparkan itu dan walaupun Cin Han membungkus pedang itu dengan sehelai kain yang didapatkan di dalam kamar tadi gadis itu tahu bahwa itulah pedang yang dicari, maka diam-diam ia merasa girang dan kagum.
Melihat pertanyaannya tak diperdulikan orang, si kurus kering menjadi marah sekali. Ia perhatikan lebih jelas dan tiba-tiba ia melihat lukisan burung Hong di dada Cin Han.
“Ho-ho! Jadi inikah Hwee-thian Kim-hong anak kemarin sore yang jumawa itu? Rupanya suhumu tidak mengajarkan adat padamu, anak muda? Kau berani melawan aku yang sedang memberi ajaran sedikit kepada murid keponakanku sendiri?”
Cin Han heran mendengar ini. Lian Hwa murid keponakan kakek ini? Ia berpaling memandang gadis itu yang berdiri menentang lawan dengan mata menyala.
“Siapa sudi menjadi murid keponakanmu? Hm, kalau suhu masih hidup, pasti ia akan mengetok kepala sutenya yang tersesat dan menjadi pengkhianat bangsa macam kau ini!”
“Ha, ha, ha! Memang, guru kencing berdiri, murid kencing berlari! Ong Lun jahat dan galak, tapi muridnya lebih jahat dan galak lagi!”
Kini Cin Han dapat menduga siapa lawan yang tangguh ini.
“Bukankah lo-enghiong ini Khai Sin Tosu?”
205
“He, anak muda, kalau kau sudah kenal namaku, kenapa tidak lekas-lekas melempar pedang minta maaf?”
“Perkara minta maaf itu mudah saja. Yang penting harus dilihat dulu siapa yang salah. Totiang sebagai seorang pendeta mengapa berada dalam sarang Pek-lian-kauw dan membela perkumpulan ini?”
Kedua mata Khai Sin Tosu mengeluarkan cahaya kemarahan.
“Ada sangkut-paut apa denganmu? Aku pemeluk Agama Pek-lian-kauw, habis kau mau apa?”
Cin Han memperhatikan pakaian tosu itu dan diam-diam menghela napas. Ia melihat pakaian pendeta itu sangat mewah dan terbuat daripada kain halus, rambutnya yang panjang dijepit dengan hiasan rambut emas pula. Di dadanya, terlukis gambar teratai putih. Jelas baginya bahwa tosu tua ini telah terpengaruh oleh harta kemewahan.
“Tosu tersesat!” Cin Han berkata marah. “Benar seperti kata Ang Lian Lihiap tadi, kalau Ong Lun susiok masih hidup, tentu kepalamu akan diketok sampai retak-retak.”
“Bangsat kecil! Kau siapa? Kenapa kau sebut Ong Lun sebagai susiokmu?”
“Gwat Liang Tojin adalah suhuku dan karena Ong Lun susiok telah meninggal biarlah aku yang muda mewakilinya memberi sedikit hukuman kepadamu!”
“Anak setan!” Khai Sin memaki dan kedua tangannya terayun dengan tiba-tiba. Empat butir batu koral putih berkelebat, dua ke arah Cin Han, dan yang dua lagi ke arah Lian Hwa.
Tapi kedua orang muda itu cepat berkelit. Tanpa sia-siakan waktu lagi Cin Han memutar pedangnya menyerang. Khai Sin Tosu menggerakkan pedangnya menangkis dan sesaat kemudian mereka saling serang dalam pertempuran mati-matian.
Tenaga mereka berimbang, tapi Khai Sin Tosu yang sudah banyak pengalaman ternyata jauh lebih ulet dan tenang. Namun, setelah bertempur limapuluh jurus lebih, sekali lagi Hwie-liong-kiam-sut membuktikan bahwa ilmu pedang ini memang sangat tinggi dan jarang ditemukan tandingannya.
Perlahan-lahan Khai Sin merasa bingung dan pening menghadapi ilmu pedang yang demikian aneh gerak-geriknya dan banyak sekali perubahan-perubahannya yang tak terduga. Kalau ia tidak tenang dan waspada, pasti sudah tadi-tadi ia celaka.
Lian Hwa makin kagum melihat permainan pedang Cin Han yang mulai mendesak Khai Sin Tosu. Ia diam-diam berpikir bahwa di dunia ini sukar ditemukan seorang pemuda seperti Cin Han. Tinggi ilmu silatnya, pandai ilmu sastera, berwajah tampan, sikapnya lemah-lembut, herhati jujur dan tidak sombong.
Diam-diam ia membanding-bandingkan Cin Han dengan Nyo Tiang Pek. Ketika ia bertemu dan kenal dengan Tiang Pek, ia mengagumi pemuda ini sebagai seorang pendekar dan pahlawan bangsa yang berkepandaian lebih tinggi darinya.
206
Nyo Tiang Pek pun suka sekali kepadanya karena menurut keterangannya, Han Lian Hwa mengingatkan ia akan adik perempuannya yang telah meninggal dunia karena penyakit panas. Demikianlah maka Nyo Tiang Pek mengangkat Lian Hwa sebagai adik dan hubungan mereka seperti kakak dan adik saja.
Ketika Khai Sin telah terdesak dan hanya dapat menangkis saja, tiba-tiba dari bawah tembok terasa angin berdesir dan tahu-tahu seorang sai-kong pendeta pendek gemuk dan seorang wanita cantik berdiri di kanan kiri mereka yang bertempur. Si imam membentak perlahan.
“Tahan pedang!” Suara yang nyaring ini dibarengi dengan kebutan pertapaannya terayun dan menyabet pedang Cin Han yang sedang menyerang dan mendesak Khai Sin yang mundur menangkis.
Cin Han merasa betapa sebuah tenaga besar sekali menolak pedangnya sehingga telapak tangannya tergetar. Ia meloncat ke samping dan memandang orang yang menangkis pedangnya itu.
Sai-kong itu bermuka bundar bagaikan bulan purnama. Mukanya yang gemuk bulat membuat kepalanya seperti sebuah balon karet. Kulit mukanya halus lemas seperti muka kanak-kanak. Tubuhnya yang pendek gemuk sesuai benar dengan potongan muka yang bulat itu.
Tangan kanannya Memegang hud-tim (kebutan pertapa) dan tangan kiri memegang seuntai tasbeh yang terbuat daripada butiran-butiran mutiara. Di dadanya terlukis teratai putih dari benang perak hingga mengeluarkan cahaya berkilauan. Rambut di kepalanya diikatkan ke atas dan diikat dengan sebuah penjepit rambut dari emas terhias batu permata. Biarpun kulit mukanya licin seperti kanak-kanak tapi melihat rambutnya yang putih itu ia tentu sudah berusia lebih dari enam atau tujuhpuluh tahun.
Wanita itu berusia kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya cantik dan tubuhnya tinggi langsing dengan potongan yang menggiurkan. Terutama sepasang matanya yang indah itu mengeluarkan sinar menggairahkan penuh kecabulan, sedangkan bibirnya yang mungil membayangkan senyum genit memikat. Pakaiannya pun sangat mewah, bajunya dari sutera merah dan celananya berwarna biru.
Pada saat itu ia mengerling ke wajah Cin Han sambil melepaskan pandangan penuh rasa kagum. Sekali pandang saja lalu timbul rasa benci dalam hati Lian Hwa karena pandangan mata dan sikap perempuan itu mengingatkan ia akan dua orang nikouw atau pendeta wanita cabul yang pernah mengganggu dia dan Cin Han beberapa tahun yang lalu.
Sai-kong itu bukan lain ialah Bong Cu Sianjin sendiri, ketua Pek-lian-kauw, seorang bekas pertapa yang lihai dan mahir ilmu silat dan ilmu hitam. Sedangkan wanita itu adalah Kim Eng yang disebut orang si Dewi Cabul, seorang penjahat wanita yang terkenal kejam dan pandai ilmu silat.
Kim Eng mempunyai kepandaian yang sangat berbahaya, yakni melepas jarum lima racun yang disebut Ngo-tok-ciam! Jarum ini sangat halus dan kecil dan dilepaskan menuju urat-urat dan jalan darah, maka lawannya yang bagaimana pandaipun jika terkena jarum beracun ini jangan mengharap dapat hidup lebih lama lagi.
Perempuan cantik ini telah bersatu dengan Pek-lian-kauw dan menjadi kawan baik Bong Cu Sianjin yang biarpun sudah tua namun masih suka bermain cinta. Yang menarik hati Kim Eng maka ia suka
207
berada di situ ialah karena Pek-lian-kauw mempunyai banyak anggauta terdiri dari pemuda-pemuda tampan dan kuat.
Dan tak seorangpun, baik ketua Pek-lian-kauw sendiri maupun pemimpin yang lain-lain, berani melarang Kim Eng berlaku sekehendak hatinya. Selain daripada hal tersebut, Kim Eng juga mendekati Bong Cu Sianjin untuk dapat memetik beberapa ilmu siluman guna memperlengkap kepandaiannya.
Cin Han yang sudah merasakan kehebatan tenaga kebutan pendeta itu, meloncat mundur sambil menyiapkan diri dengan waspada dan hati-hati.
“Eh, eh sungguh satu kehormatan besar bagi kami yang telah didatangi oleh dua orang gagah muda belia, Hwee-thian Kim-hong dan Ang Lian Lihiap yang namanya telah menggemparkan empat penjuru dunia!” kata Bong Cu Sianjin dengan suaranya yang nyaring dan halus dan matanya yang bening itu bergerak-gerak memandangi wajah dan tubuh Lian Hwa.
Menerima sambaran kerling mata yang tajam dan mempunyai tenaga yang berpengaruh seakan-akan dapat menembus pakaiannya, hingga ia merasa seperti berdiri telanjang dibawah pandangan mata pendeta itu, Lian Hwa merasa malu dan marah hingga seluruh mukanya menjadi merah padam.
“Kalian sungguh berani seperti anak harimau baru keluar dari sarang! Berani dan muda, muda dan tampan dan cantik! Kenapa berani mengganggu sahabat Khai Sin Tosu? Daripada kita berselisih paham, bukankah lebih baik kalian masuk sebagai sahabat-sahabat dan minum arak wangi bersama kami?”
“Bangsat tua jangan banyak cakap!” teriak Lian Hwa yang merasa jemu serta benci sekali melihat tingkah sai-kong itu.
Tapi Bong Cu Sianjin hanya tertawa perlahan.
“Galak benar! Bunga yang berduri harum baunya! Kalian mempunyai kepandaian apakah maka berani bertingkah?”
Cin Han yang sudah menahan sabar sejak tadi, tak memperdulikan bahaya lagi segera menyerang dengan pedangnya, juga Lian Hwa loncat menubruk. Sian-liong-kiamnya berkilauan. Tapi dengan tenang Bong Cu Sianjin mengelebatkan kebutannya yang sekaligus dapat menyampok kedua pedang itu hingga terpental!
Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong dengan penuh semangat dan mengertak gigi maju menyerang. Walaupun ilmu kepandaian dan tenaga Bong Cu Sianjin sudah mendekati puncak kesempurnaan karena sesungguhnya tenaganya bukanlah tenaga biasa, tapi terbantu oleh Ilmu hitam, namun menghadapi Lian Hwa dan Cin Han yang boleh diumpamakan sebagai dua ekor naga sakti mengamuk, ia tak dapat segera memperoleh kemenangan. Kalau tadi ia hanya menggunakan kebutannya, kini tangan kirinya yang memegang tasbeh ikut menbantu. Ternyata tasbeh ini lebih lihai daripada kebutannya! Senjata aneh digunakan sebagai ruyung atau cambuk lemas yang mengeluarkan cahaya berkeredepan menyilaukan mata lawan. Berkali-kali pedang kedua orang itu beradu dengan tasbeh hingga mengeluarkan bunga api, sedangkan Lian Hwa dan Cin Han merasa tangan mereka pedas dan panas!
208
Cin Han mengumpulkan semangat dan bersilat lebih cepat sambil mengeluarkan tipu-tipu terlihai dari Hwie-liong-kiam-sut, sedangkan Lian Hwa mengerahkan seluruh tenaga dan kegesitannya dengan mengandalkan ginkangnya yang tinggi dan ilmu pedang Sian-liong-kiam-hoat yang ganas gerakan-gerakannya.
“Bagus!” Sai-kong itu memuji dan ia terpaksa tak berani bermain-main seperti tadi. Baru kali ini selama turun dari gunung pertapaannya ia bertemu tandingan sedemikian tangguhnya!
Si Dewi Cabul Kim Eng merasa gatal tangan melihat “kekasih” atau gurunya itu terdesak oleh pengeroyokan Lian Hwa dan Cin Han, maka ia segera mencabut keluar pedang dengan tangan kanan dan tangan kirinya mencabut saputangan yang harum baunya. Kemudian sambil tertawa genit ia menyerang Cin Han.
Serangan itu ternyata hebat juga hingga terpaksa Cin Han melayaninya dengan hati-hati dan tinggal sai-kong yang kini hanya menghadapi Lian Hwa sendiri. Ketua Pek-lian-kauw itu tertawa terbahak-bahak.
“Nona, menyerahlah. Lebih baik tinggal di sini dan hidup mewah.”
Lian Hwa menggigit bibir dan memaki.
“Pendeta siluman! Jangan banyak tingkah!”
Lalu ia perhebat gerakannya. Tiba-tiba Lian Hwa melihat bahwa pedang lambang kerajaan Beng-tiauw yang tadi ditaruh di atas tembok karena hendak membantu Cin Han, kini hendak diambil oleh Thio Lok. ia menggunakan ginkangnya melayang ke arah Thio Lok dan sekali tangannya terulur, pedang kerajaan itu sudah terampas kembali.
Berbareng dengan itu, pedangnya berkelebat ke leher Thio Lok.
Tapi Bong Cu Sianjin sudah berada di situ pula dan kebutannya bergerak melilit Sian-liong-kiam terus ditarik sehingga pedang itu terlepas dari pegangan Ang Lian Lihiap tanpa dapat ditahan pula!
“Ha-ha-ha!” Sai-kong itu memberikan pedang Lian Hwa kepada Thio Lok, lalu menggerakkan tangan hendak menangkap Lian Hwa! Pada saat itu, sebuah bayangan hitam berkelebat cepat dan tahu-tahu tubuh Lian Hwa sudah dipondong pergi terlepas dari bahaya pelukan Bong Cu Sianjin, dan bayangan itu sambil memondong Lian Hwa, tangannya terulur merampas pedang Sian-liong-kiam dari pegangan Thio Lok!
Gerakannya ini sungguh sangat cepat bagaikan kilat menyambar hingga sebelum dapat dilihat jelas orangnya, bayangan itu telah berhasil menyelamatkan Lian Hwa dan merampas kembali pedang gadis itu! Ketika Lian Hwa memandang, ternyata yang menolongnya bukan lain adalah Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan, gurunya sendiri!
“Bong Cu, jangan kau berani mengganggu muridku!” Wanita tua itu membentak.
209
“Cu Ling, kau?? Kau masih hidup?” Sai-kong itu memandang heran. “Dia ini muridmukah?”
Sementara itu, Cin Han dengan mudah mendesak keras pada Kim Eng, tetapi tiba-tiba perempuan cabul itu mengebutkan saputangan di tangan kirinya! Cin Han mencium bau wangi yang keras sekali dan yang langsung memasuki hidung terus ke kepalanya dan membuat penglihatannya menjadi gelap. Tubuhnya terhuyung-huyung, tapi pada saat itu ia merasa ada orang menariknya dari situ dan ternyata orang itu adalah gurunya seadiri Gwat Liang Tojin yang sudah berada di situ pula.
“Makanlah ini, Han!” kata Gwat Liang Tojin.
Cin Han menerima pil itu dan memasukkan ke mulutnya. Seketika itu juga lenyaplah pengaruh jahat yang wangi memabokkan itu.
“Bong Cu! Tidak malukah menghina orang-orang muda?”
Bong Cu Sianjin memandang mereka berdua dengan tajam lalu tertawa besar, “Ha-ha! Jadi Gwat Liang Tojin juga datang? Bagus, bagus? Kau dan Song Cu Ling agaknya menyangka bahwa aku takut padamu? Ha-ha! Jangan mimpi, sobat. Bong Cu sekarang bukanlah Bong Cu duapuluh tahun yang lalu!”
“Bong Cu! Kau telah menjadi seorang kauw-cu, kepala agama yang memiliki nama besar di kalangan kang-ouw. Apakah kau sudah begitu hina untuk merendahkan namamu dengan mencelakai dua orang muda yang belum berpengalaman di sarang perkumpulanmu sendiri? Pula, kau harus ingat bahwa kau sudah mengundang para hohan untuk datang ke sini pada malam kelimabelas musim Chun nanti.”
Bong Cu Sianjin mengeluarkan suara jengekan, “Bukan aku yang mengundang, tapi biarlah, karena sudah terlanjur, jangan orang kira aku takut. Tapi mengapa Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong datang mengacau dan mencuri pedang kerajaan?”
Gwat Liang Tojin menghela napas. Ia maklum bahwa ia sendiri dan Song Cu Ling takkan dapat mengalahkan Bong Cu Sianjin yang lihai, pula di situ banyak berkumpul orang-orang lihai seperti Khai Sin Tosu dan yang lain-lain. Maka ia mengalah dan berkata,
“Kalau kau mau persalahkan yang muda-muda ini, biarlah aku yang mintakan maaf. Cin Han, kembalikan pedang itu.”
Dengan penasaran dan heran melihat gurunya begitu mengalah terhadap ketua Pek-lian-kauw itu, Cin Han minta pedang lambang kerajaan Beng-tiauw dari tangan Lian Hwa dan memberikan pedang itu kepada Bong Cu Sianjin.
“Ha-ha-ha! Biarlah aku pandang muka Gwat Liang dan Cu Ling dan biarlah kalian hidup sampai malam kelimabelas bulan depan! Kalau kalian tak ikut datang, kuanggap kalian penakut.”
“Bong-kauwcu, bersiaplah untuk nyambut kami pada bulan purnama yang akan datang. Nah, selamat tinggal!”
210
Gwat Liang Tojin memberi isyarat kepada Song Cu Ling, Cin Han dan Lian Hwa, dan mereka berempat lalu turun gunung. Mudah saja mereka melalui tempat-tempat penjagaan di mana Cin Han membebaskan para penjaga yang tadi ia bikin tidak berdaya, dan mengambil baju luarnya yang tergantung di pohon.
Tanpa banyak cakap, Gwat Liang Tojin mengajak mereka menuju ke sebuah kampung di mana terdapat bio tua yang kosong.
Setelah diperkenalkan kepada kedua orang tua itu, Cin Han memberi hormat kepada Song Cu Ling sedangkan Lian Hwa memberi hormat kepada Gwat Liang Tojin.
Mereka berempat tidak tidur, tapi dengan gembira masing-masing menceritakan pengalamannya. Ternyata dengan diam-diam Lian Hwa mendahului Cin Han menuju ke sarang Pek-lian-kauw. Ia mengandalkan kegesitan dan kepandaiannya melalui semua penjaga dengan maksud hendak membuat jasa dan mencuri pedang kerajaan, mendahului Cin Han. Juga dengan jalan itu ia hendak membantu Cin Han karena ia maklum bahwa di sarang Pek-lian-kauw itu banyak orang-orang lihai.
Tidak tahunya ia menemui batu, sehingga biarpun ia dapat bekerja sama dengan Cin Han, tetap saja mereka hampir-hampir mengalami bencana. Baiknya gurunya dan guru Cin Han datang tepat pada saat berbahaya itu dan dapat menolong mereka.
Kemudian Song Cu Ling dan Gwat Liang Tojin menuturkan perjalanan mereka sehingga mereka bisa sampai di sarang Pek-lian-kauw.
Karena insyaf bahwa kedua cucunya, yaitu Kong Liang dan Mei Ling, perlu mendapat didikan ilmu kesusasteraan, Song Cu Ling mencari seorang guru sekolah yang pandai. Kemudian ia mendengar nama Gan Keng Hiap sebagai seorang sasterawan yang selain pandai pun berjiwa patriot. Ia senang sekali mendengar hal ini karena iapun sangsi untuk mempercayakan pendidikan kedua cucu itu dalam tangan seorang sasterawan penjilat pemerintah Boan.
Ia segera mengajak Kong Liang dan Mei Ling, anak kembar itu, menemui Gan Keng Hiap. Sasterawan tua yang baik hati ini menerima permintaan Song Cu Ling dengan girang karena sebentar saja ia merasa sayang kepada kedua anak yang mungil dan kelihatan cerdik itu.
Untuk membalas budi Gan Keng Hiap, si Dewi Tanpa Bayangan mengangkat Giok Lie yang disangkanya puteri Gan Keng Hiap, sebagai murid. Giok Lie yang merasa kagum melihat kepandaian Ang Lian Lihiap dan sedikit banyak mempunyai rasa iri hati, menerima pengangkatan ini dengan rasa bahagia.
Demikianlah, dengan rajin Kong Liang dan Mei Ling belajar ilmu surat kepada Gan Keng Hiap, sedangkan Giok Lie puteri pangeran itu dengan tekunnya mempelajari ilmu silat dari Song Cu Ling. Ia makin giat belajar ketika mendengar dari gurunya bahwa Ang Lian Lihiap juga murid Song Cu Ling atau ia punya suci.
Pada suatu hari, karena terkenang kepada Cin Han, dengan disengaja Giok Lie menyebut-nyebut tentang kepandaian Ang Lian Lihiap dan tentang percekcokannya dengan Cin Han. Song Cu Ling mendengar ini menjadi tertarik dan mendesaknya untuk menceritakan riwayat itu.
211
Giok Lie yang berhati jujur dan yang kini menganggap Song Cu Ling sebagai orang tua sendiri, segera menceritakan semua riwayatnya, bagaimana ia ditolong Cin Han dan bagaimana Cin Han bertempur dengan Ang Lian Lihiap.
“Sayang sekali Lian Hwa suci itu agak keras hatinya. Kasihan koko Cin Han yang disangka pengkhianat oleh gadis pujaan hatinya yang dicintanya sepenuh hati. Tapi aku yakin suci juga menderita batinnya karena sesungguhnya ia juga cinta kepada koko Cin Han.”
Demikian gadis itu mengakhiri ceritanya dengan menghela napas. Kata-kata terakhir yang diucapkan itu menyedihkan hatinya.
Ketika mendengar bahwa Cin Han adalah pendekar muda Hwee-thian Kim-hong yang pernah ia dengar namanya dan keponakan Gan Keng Hiap sendiri, Song Cu Ling segera menemui Gan Keng Hiap. Dari sasterawan ini ia diberi tahu bahwa Cin Han adalah murid Gwat Liang Tojin di Kong-hwa-san yang telah dikenal baik oleh Song Cu Ling di waktu mudanya.
Song Cu Ling mengaku bahwa Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa adalah muridnya yang tersayang dan karena gadis itu yatim piatu, bahkan gurunya yang pertama Ong Lun sudah meninggal dunia pula, maka boleh dibilang ia adalah walinya. Maka ia bertanya kepada Gan Keng Hiap suami-isteri, bagaimana kalau Cin Han dijodohkan saja dengan Han Lian Hwa.
Gan Keng Hiap suami-isteri pernah diceritakan oleh Giok Lie tentang hubungan hati yang ada antara Lian Hwa dan Cin Han, pula mereka pernah bertemu dengan Ang Lian Lihiap, dan mereka memang merasa kagum kepada gadis yang cantik, pandai dan berbakti itu.
“Bagi kami sebagai paman dan bibi Cin Han, kami merasa beruntung jika nona Lian Hwa sudi menjadi isterinya. Tapi harap toanio maklum bahwa dalam hal ini kami tidak berkuasa penuh. Masih ada dua orang yang harus ditanya pendapat mereka dulu, ialah Gwat Liang Tojin dan Cin Han sendiri, karena semenjak ditinggal orang tuanya, Cin Han dirawat dan dididik oleh Gwat Liang Tojin.”
Song Cu Ling mengangguk-angguk. “Memang seharusnya demikian. Biarlah aku pergi dulu beberapa hari untuk membereskan hal ini dan menemui Gwat Liang Tojin. Kasihan kedua anak itu yang dipisahkan oleh kesalah pahaman. Pula, kurasa mereka itu sudah cukup dewasa untuk berumah tangga.”
Maka naiklah Song Cu Ling ke Kong-hwa-san menemui Gwat Liang Tojin. Kebetulan sekali pada waktu tiba di situ, Gwat Liang Tojin sedang menerima seorang tamu yang bukan lain adalah Nyo Tiang Pek.
Pemuda yang rajin ini sedang mengajukan permohonan kepada Gwat Liang Tojin untuk membantunya di dalam serbuan ke Pek-lian-kauw nanti! Maka, melihat kedatangan jago wanita tua itu, Nyo Tiang Pek yang pandai bergaul dan pandai berbicara itu sekalian mohon bantuannya! Karena baik Gwat Liang Tojin maupun Song Cu Ling adalah pendekar-pendekar yang berhati budiman dan mencinta negara, mereka meluluskan permintaan Tiang Pek.
212
Ketika mendengar dari Nyo Tiang Pek bahwa Cin Han pergi seorang diri ke sarang Pek-lian-kauw dan bahwa Lian Hwa juga pergi tanpa pamit dan mungkin menyusul pemuda itu ke sarang Pek-lian-kauw, kedua guru itu merasa khawatir sekali dan mereka lalu menyusul!
Di tengah perjalanan Song Cu Ling mengutarakan usulnya untuk menjodohkan pemuda itu dan Lian Hwa. Gwat Liang Tojin sudah banyak mendengar nama Ang Lian Lihiap sebagai pendekar wanita yang gagah dan berbudi. Tapi karena belum pernah bertemu muka, ia menunda keputusannya, sampai nanti setelah ia melihat sendiri gadis itu.
Demikianlah maka kedua pendekar tua ini bisa sampai di sarang Pek-lian-kauw pada waktu yang tepat dan berhasil menolong kedua murid mereka. Tentu saja dalam menceritakan pengalaman mereka, kedua guru itu tidak menyebut-nyebut tentang maksud mereka menjodohkan kedua murid itu.
Han Lian Hwa mendengarkan cerita gurunya sambil memeluk dan memegang-megang tangan Song Cu Ling dengan sikap kekanak-kanakan dan manja. “Bagaimana dengan adik Kong Liang dan Mei Ling, subo? Teecu sudah kangen sekali,” katanya dengan wajah berseri-seri.
Cin Han diam-diam girang mendengar bahwa Giok Lie telah menjadi murid wanita gagah itu. Mulai sekarang gadis yatim piatu itu dapat menjaga diri sendiri.
Setelah melihat dengan mata kepala sendiri betapa cantik dan menarik gadis itu dan tadi telah disaksikannya sendiri kiam-hoat Lian Hwa yang lihai hingga memang gadis itu tepat dan pantas sekali menjadi isteri muridnya, Gwat Liang Tojin diam-diam memberi isyarat kepada Song Cu Ling dengan sebuah anggukan kepala dan tersenyum tanda setuju!
Song Cu Ling mengerti isyarat ini, maka ditariknya tangan Lian Hwa keluar dari bio itu. Lian Hwa merasa heran, tapi sambil tertawa ia menurut saja. Setelah sampai di luar kelenteng, Song Cu Ling menarik muridnya duduk di atas lantai batu.
“Lian Hwa, berapakah usiamu sekarang?”
“Sembilanbelas tahun. Mengapa subo bertanya demikian?”
Song Cu Ling tertawa, “Tidak apa-apa, muridku. Hanya saja, aku dulu pada usia tujuhbelas tahun sudah dikawinkan.”
Ang Lian Lihiap terkejut sekali, ia menggigit bibirnya dan menunduk, tidak berani berkata apa-apa.
Gurunya memegang lengannya yang halus. “Lian, ada orang yang menyampaikan peimintaan kepadaku dengan maksud melamar kau.”
Lian Hwa memandang muka gurunya. Kulit mukanya merah. “Coba katakan siapa dia yang kurang ajar itu? Biar kupukul mulutnya yang lancang.”
“Sstt! Yang melamar adalah Gwat Liang Tojin dan Gan Keng Hiap, untuk Hwee-thian Kim-hong Lo Cin Han.”
213
Tiba-tiba muka Lian Hwa yang sudah memerah itu menjadi makin merah sampai ke telinga-telinganya, kini bukan merah karena marah.
“Dia……? Dia……?”
Song Cu Ling memandang muridnya dengan wajah berseri-seri dan senyum menggoda. Ia merasa beruntung dan girang bahwa ternyata benar seperti dugaannya, nama pemuda itu merupakan panah asmara yang menembus jantung hati Lian Hwa.
Untuk sejenak Lian Hwa menatap wajah gurunya, kemudian tiba-tiba memeluk gurunya sambil menyembunyikan mukanya ke dada wanita itu. Song Cu Ling merasa betapa air mata yang hangat membasahi bajunya dan menembus ke kulitnya.
Ternyata Lian Hwa telah menangis, menangis tersedu-sedu dan tubuhnya bergoyang-goyang karena isak tangisnya. Song Cu Ling merasa sangat terharu dan sambil memeluk muridnya, iapun ikut menangis pula!
Sementara itu, di dalam kelenteng itupun terjadilah hal sama. Setelah guru dan murid wanita itu keluar, Gwat Liang Tojin memberitahukan muridnya bahwa ia dan Song Cu Ling, juga Gan Keng Hiap, telah bermufakat untuk menjodohkan ia dengan Lian Hwa.
Ketika Cin Han mendengar berita yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka ini tak tahu harus berkata apa dan bersikap bagaimana. Wajahnya memerah dan dadanya berdebar-debar. Sampai lama ia tidak dapat menjawab gurunya. Setelah tiga kali Gwat Liang Tojin bertanya, “Bagaimana pikiranmu, Han?”
Ia hanya dapat mengangguk-angguk saja!
Gwat Liang Tojin tersenyum lalu berkata, “Nah, kesinikan po-kiammu itu.”
Cin Han meloloskan sarung pedangnya dan memberikan itu kepada gurunya dengan hormat. Gwat Liang Tojin membawa pedang itu keluar di mana ia melihat Lian Hwa masih terisak-isak di dada gurunya!
Diam-diam pertapa itu menghela napas dan berbisik, “Ahh perempuan pandainya menangis saja!”
Tapi ia merasa heran dan khawatir juga melihat kedua orang itu bertangis-tangisan. Baru hatinya menjadi lega kembali ketika Song Cu Ling berpaling kepadanya dan mengangguk kepadanya sebagai tanda bahwa urusan telah beres!
Lian Hwa melihat Gwat Liang Tojin menjadi makin malu dan tidak berani memandang. Maka ketika gurunya minta Sian-liong-kiamnya ia meloloskan pedang itu dengan kedua tangan gemetar!
“Nah, kedua po-kiam telah ditukar sebagai lambang tertukarnya dua hati,” kata Song Cu Ling seperti berdoa.
“Semoga kedua po-kiam menjadi saksi dan berkah bagi pertunangan ini,” kata Gwat Liang Tojin yang betul-betul berdoa.
214
Setelah menerima pedang Cin Han dari Gwat Liang Tojin sebagai tukaran pedang Lian Hwa, Song Cu Ling memberikan pedang Kong-hwa-kiam itu kepada Lian Hwa. Tapi Lian Hwa menunduk saja sambil ujung matanya mengerling ke arah Gwat Liang Tojin tanpa memandang mukanya. Ia malu kalau harus menerima pedang Cin Han dihadapan orang tua itu.
Gwat Liang Tojin yang berpengalaman tertawa bergelak lalu kembali memasuki bio.
Setelah Gwat Liang Tojin pergi, Lian Hwa menerima pedang itu dari tangan gurunya dan memandang ukiran burung Hong di sarung pedang dengan mesra.
Song Cu Ling tertawa gembira.
“Lian Hwa, kudoakan semoga kau kelak hidup berbahagia sampai di hari tua dengan suamimu……” dan tiba-tiba pendekar wanita tua ini memalingkan mukanya karena ia merasa air matanya hendak menetes keluar ketika ia teringat akan nasib sendiri yang ditinggal mati oleh suami di waktu muda.
“Subo, ijinkan teecu kembali lebih dulu ke Lam-hu-teng.” Dan tanpa menanti jawaban, Lian Hwa bertindak pergi.
“Anak pemalu! Baiklah, kita akan berjumpa lagi lain bulan malam kelimabelas!” jawab gurunya dengan mulut tertawa tetapi mata menangis.
Kemudian Song Cu Ling memasuki bio dan ia minta diri dari Gwat Liang Tojin untuk pulang ke rumah Gan Keng Hiap yang ditinggalkannya seminggu lebih dan berjanji hendak datang berkumpul lain bulan malam kelimabelas. Si Dewi Tanpa Bayangan yang sudah cukup berpengalaman itu dapat menangkap sinar mata Cin Han yang mencari-cari, maka ia berkata dengan senyum.
“Lian Hwa telah kembali ke Lam-hu-teng dan minta aku sampaikan maaf karena tidak sempat berpamit.”
Cin Han merasa tergoda, maka ia buru-buru mohon agar nyonya tua itu menyampaikan hormatnya kepada paman dan bibinya.
Setelah Song Cu Ling pergi, Gwat Liang Tojin berkata, “Nah, muridku, sekarang kitapun harus berpisah. Aku melihat kedudukan Pek-lian-kauw kuat sekali. Baru Bong Cu saja sudah sukar dilawan. Apalagi kalau ia berhasil membujuk sucinya turun gunung.”
“Siapakah sucinya, suhu?”
“Sucinya adalah Sin-kun Mo-li Lan Bwee Niang-niang si Iblis Perempuan Kepalan Dewa. Iblis perempuan ini lihai sekali dan ilmu-ilmu yang dahsyat dari Bong Cu didapatkan dari sucinya ini.”
Cin Han diam-diam merasa ngeri juga mendengar lawan-lawan berat ini.
215
“Maka tidak ada jalan lain bagi kita selain minta bantuan dari orang-orang berilmu tinggi. Tiang Pek sicu sudah kuberi nasihat untuk mendatangi Kun-lun-san. Aku sendiri hendak mencari Beng San supek. Aku pergi sekarang, muridku, bertemu lagi bulan depan.”
Guru dan murid itu berpisah, Cin Han berpikir lebih baik ia kembali ke Lam-hu-teng untuk berkumpul dengan Nyo Tiang Pek. Apalagi kalau ia pikir bahwa “tunangannya” pun berada di sana. Ia merogoh ke dalam saku bajunya sebelah dalam dan mengeluarkan sebuah teratai merah. Barang ini adalah perhiasan Ang Lian Lihiap yang dulu dilempar oleh gadis itu ketika kalah bertempur olehnya.
Sejak teratai merah itu berada di tangannya, tak pernah ia lepaskan dari saku bajunya. Ia memandang teratai merah itu dan memegang-megang pedang Sian-liong-kiam yang kini tergantung di pinggangnya. Hatinya senang dan gembira sekali. Inikah kebahagiaan?
Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa yang malam itu juga meninggalkan gurunya dan pergi menuju ke Lam-hu-teng, di sepanjang jalan merasa hatinya senang luar biasa. Bulan yang mengintai di balik awan tampak lebih bercahaya dan seakan-akan tersenyum manis kepadanya. Segala apa yang terlihat di sekitarnya tampak indah menyenangkan.
Berkali-kali ia mengambil pedang Kong-hwa-kiam dan menempelkan sarung pedang indah berlukiskan burung Hong itu ke dadanya. Kemudian karena dorongan hatinya, ia mencabut pedang Cin Han itu dari sarungnya dan bersilat pedang di bawah sinar bulan purnama. Pedang Kong-hwa-kiam berkilat-kilat dan merupakan segulungan sinar putih membungkus dirinya ketika ia memainkan Sian-liong-kiam-hwatnya yang hebat.
Ketika ia tiba di kelenteng di luar kota Lam-hu-teng, kebetulan sekali Nyo Tiang Pek dan Kong Sin Ek telah berada di situ, baru saja datang kembali dari perjalanan mereka mencari bantuan. Girang sekali hati si Garuda Kuku Emas melihat gadis itu.
“Eh, Lian-moi pergi ke mana saja? Kami sampai pusing dan khawatir sekali memikirkanmu,” tegurnya.
Lian Hwa lalu menceritakan pengalamannya di sarang Pek-lian-kauw dan menceritakan pula betapa Gwat Liang Tojin dan Song Cu Ling menolong dia dan Cin Han dari bencana. Entah bagaimana tiap kali menyebut nama tunangannya, hatinya berdebar dan pipinya memerah! Nyo Tiang Pek mengerutkan jidat dengan hati cemas mendengar tentang kelihaian pihak lawan, tapi ia girang mendengar bahwa kedua orang tua itu hendak mencari bantuan.
Tiba-tiba Kong Sin Ek yang selalu bermata tajam dapat melihat pedang Cin Han tergantung di pinggang Lian Hwa.
“Eh, eh! Lihiap sudah berganti pedang? Kalau tidak salah, ini adalah pedang Hwee-thian Kim-hong? Mengapa Lihiap yang membawa dan Sian-liong-kiammu di mana?”
Nyo Tiang Pek pun merasa heran dan mengajukan pertanyaan.
Lian Hwa merasa begitu malu sehingga ia ingin bumi yang diinjaknya terbelah agar ia dapat meloncat ke dalam dan bersembunyi! Ia hanya tersenyum-senyum malu dan menundukkan kepala.
216
Nyo Tiang Pek yang masih muda tidak segera dapat mengerti, tapi Kong Sin Ek tiba-tiba menepuk-nepuk tangannya dan tertawa senang. “Ah…… hal ini harus dirayakan dengan arak!” Dan si Dewa Arak ini lalu menenggak guci araknya. Kemudian sambil tertawa dan keringkan mulut dengan lengan bajunya, ia menjura kepada Lian Hwa, “Lihiap, kiong-hi, kiong-hi……”
Lian Hwa terpaksa balas memberi hormat kepada orang tua itu dan mukanya makin memerah.
Nyo Tiang Pek dengan heran dan girang maju memegang pundak Lian Hwa. “Adikku…… betulkah ini? Betulkah kau saling mengikat janji dengan Cin Han dan bertukar po-kiam?”
Lian Hwa, terpaksa dengan tunduk dan wajah kemerah-merahan menceritakan tentang pertunangannya dengan Cin Han yang diselenggarakan oleh kedua guru itu.
“Lian-moi, selamat…… selamat! Cin Han memang pantas menjadi calon suamimu. Aku girang sekali, adikku!”
Merasa dirinya digoda, Lian Hwa cemberut dan memandang wajah Nyo Tiang Pek dengan marah.
“Sudahlah jangan marah, Lian-moi! Mari kita rundingkan urusan yang menjadi kewajiban kita. Aku telah pergi ke Kun-lun-san, tapi ketua Kun-lun-pai hanya menyanggupi untuk menjadi pendamai saja dan, akan menyuruh Lui Siok Totiang mewakilinya. Kurasa, karena keadaan lawan demikian lihai, lebih baik kita pergi mencari bantuan lain agar kedudukan kita kuat.”
“Kau benar, Nyo-taihiap. Aku hendak pergi ke utara mencari beberapa orang kawan,” kata Ciu-hiap Kong Sin Ek.
“Ya, dan akupun hendak mencari suhu yang kabarnya berada di Lun-an. Dan kau, adikku, kalau kau belum banyak berkenalan dengan orang-orang kang-ouw, lebih baik kau menjadi penyelidik saja.”
“Penyelidik? Aku tidak mengerti maksudmu, twako.”
“Begini, kalau orang hendak pergi ke sarang Pek-lian-kauw, ia tentu akan melalui kampung Gu-lok-chung. Nah, kautinggallah di sana, lihat saja siapa yang naik ke Bukit Hong-lai-san untuk membantu Pek-lian-kauw, agar kita lebih waspada.”
“Baik, twako.”
“Tapi kau harus menyamar menjadi laki-laki agar jangan menimbulkan kecurigaan orang.”
Setelah menyiapkan pakaian dan lain-lain keperluan penyamaran, Lian Hwa merobah diri menjadi seorang kongcu yang tampan sekali, lalu berangkat ke Gu-lok-chung.
Kemudian Nyo Tiang Pek dan Kong Sin Ek berangkat untuk mencari bantuan. Mereka sejurusan dan berangkat bersama-sama. Baru saja mereka keluar dari kota Lam-hu-teng, mereka bertemu dengan Cin Han yang hendak ke kota itu.
217
Nyo Tiang Pek segera memeluk pemuda itu. “Lauwte, kiong-hi!” katanya sambil memandang pedang Sian-liong-kiam yang kini tergantung di pinggang Cin Han.
“Eh, eh…… mengapa kau berkata begitu, twako?” tanya Cin Han yang berlagak bodoh.
“Ahh, berpura-pura lagi!” kata Tiang Pek, dan Kong Sin Ek tertawa bergelak-gelak sambil mengucapkan selamat pula.
Akhirnya Cin Han tidak dapat menyangkal pula dan menerima pemberian selamat mereka dengan gembira. Rasa cemburu terhadap Nyo Tiang Pek yang tadinya menggoda hatinya, kini lenyap sama sekali, bahkan tiba-tiba ia teringat sesuatu. Alangkah baiknya kalau orang she Nyo yang muda dan gagah perkasa ini dijodohkan dengan Coa Giok Lie yang cantik jelita!
Ia ingat bahwa Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan itu tinggi sekali ilmu ginkangnya hingga Ang Lian Lihiap sendiri setelah menjadi muridnya sekarang memiliki ginkang yang luar biasa. Kini Giok Lie menjadi murid Song Cu Ling, tentu gadis inipun akan memiliki ilmu kepandaian silat yang lihai, biarpun gadis itu tadinya tidak mengerti ilmu silat. Sedangkan dalam hal ilmu kesusasteraan, juga ilmu pekerjaan tangan, gadis itu boleh dikatakan seorang ahli.
Maka sambil tersenyum ia mulai menjalankan peranannya sebagai perantara, “Nyo-twako, aku baru saja bertemu dengan piauw-moiku. Ah, anak nakal dan bandel betul piauw-moiku itu. Karena memiliki kepandaian tinggi ia menjadi jumawa sekali dan ketika paman ingin mengawinkan piauw-moiku berkata bahwa ia hanya mau diperisteri oleh seorang hohan yang dapat mengalahkannya!”
“Eh, lauwte, siapakah piauw-moimu itu dan apa maksudmu menceritakan semua ini kepadaku?”
“Piauw-moiku adalah sumoi dari…… dari…… Ang Lian Lihiap,” ia sukar sekali menyebut nama Lian Hwa, “dan maksudku menceritakan kepadamu, twako, tidak lain aku akan senang sekali bila kau menjadi piauw-moi-hu ku!”
Kong Sin Ek tertawa bergelak-gelak. “Betul, betul! Nyo-taihiap perlu dipasangi kendali, sudah tiba waktunya!”
“Eh, ada-ada saja, apa maksudmu, Kong lo-enghiong?” tanya Tiang Pek tertawa.
“Kuda kalau tidak dipasangi kendali pada hidungnya, akan tetap binal dan liar. Maka kaupun perlu dipasangi kendali, dan agaknya baik sekali kalau yang memasang kendali itu adik Lo Cin Han taihiap sendiri, apa pula kalau itu sumoi dari Ang Lian Lihiap. Biarpun belum bertemu dengan orangnya, aku berani memastikan ia bukan orang sembarangan dan pasti tidak mengecewakan!”
Baru tahulah kini Nyo Tiang Pek akan maksud-maksud mereka itu. Ia hanya tertawa dan menggeleng-geleng kepala. Tapi diam-diam dalam hatinya timbul juga keinginan tahu yang besar. Ingin ia melihat adik misan Cin Han itu. Ingin ia mencoba kepandaian gadis jumawa itu. Ingin ia “menaklukkannya”!
Tapi sedikitpun tiada terdapat keinginan kawin, biar dengan siapa juga. Hatinya belum pernah tercuri oleh wanita. Tadinya ia sangka bahwa ia cinta kepada Lian Hwa, tapi kemudian ternyata bahwa
218
perasaannya terhadap gadis itu hanya cinta kasih seorang kakak terhadap adiknya sendiri, tak mungkin ia mencintanya sebagai seorang kekasih.
Kini adiknya itu mendapat jodoh seorang pemuda yang gagah perkasa seperti Cin Han, tentu saja ia sangat girang.
“Lauwte, kaupergilah ke Gu-lok-chung, selidiki baik-baik siapa yang naik ke Hong-lai-san membantu Pek-lian-kauw. Ada seorang kawan kita sudah menjaga di situ, tapi kukhawatir ia akan menemui celaka jika terlihat oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Aku dan lo-enghiong hendak pergi mencari bantuan.”
Karena pikirannya penuh dengan Lian Hwa, maka Cin Han tidak memperhatikan kata-kata Tiang Pek dan tidak bertanya ke mana perginya Ang Lian Lihiap, tapi ia tidak kuasa membuka mulut karena malu. Terpaksa ia pergi menuju ke Gu-lok-chung untuk melaksanakan tugasnya.
Di kampung itu ia menyewa kamar dalam rumah penginapan Chian-lok, satu-satunya rumah penginapan yang ada di kampung itu. Kamarnya berada di ujung belakang. Maka mulailah ia memasang mata dan memperhatikan para tamu. Ia dapat melihat nama-nama para tamu di buku daftar, dengan pura-pura mencari teman.
Ada dua nama yang mencurigakan hatinya. Seorang bernama Ma Kie Liang dan seorang lain bernama Siauw Han. Ia curiga karena Ma Kie Liang datang dari Kang-lam dan Siauw Han dari daerah selatan. Mengapa dua orang yang bertempat tinggal sejauh itu datang ke sini?
Malam itu Cin Han meloncat ke atas genteng dan mengintai ke dalam kamar Ma Kie Liang, tapi kamar itu kosong. Pada waktu itu kentongan peronda kampung berbunyi duabelas kali. Cin Han heran melihat keadaan begitu sunyi karena tadi jelas terdengar olehnya suara kaki menginjak genteng.
Suara itulah yang membuat ia meloncat ke luar dari kamarnya. Ia lalu meloncat ke atas kamar Siauw Han, tapi baru saja menginjak genteng bagian itu, dari jendela Siauw Han meloncat keluar seorang berpakaian hitam yang disusul oleh seorang berbaju putih.
Pengejar berbaju putih itu berlari sambil membentak, “Bangsat rendah jangan lari!”
Cin Han kaget mendengar suara ini, tapi berbareng ia merasa girang sekali, karena ia mengenal suara ini bukan lain adalah suara Ang Lian Lihiap! Hampir saja ia memanggil, tapi tiba-tiba ia ingat akan hubungannya dengan gadis itu dan rasa malu mencegah mulutnya yang sudah terbuka hendak memanggil namanya.
Ia melihat orang yang dikejar oleh Lian Hwa itu gerakannya cukup gesit dan larinya cepat, tapi Lian Hwa mengejar dengan secepat tenaga pula hingga sebentar saja kedua orang itu telah lenyap dari pandangan. Cin Han merasa khawatir akan keselamatan Lian Hwa, karena ternyata mereka yang berkejar-kejaran itu menuju ke Bukit Hong-lai-san, sarang Pek-lian-kauw! Maka iapun segera meloncat dan lari cepat mengejar pula.
219
Ketika ia mengejar sampai di kaki bukit, ternyata Lian Hwa telah dapat mengejar lawannya dan mereka sedang bertempur dengan hebat. Melihat Lian Hwa dapat mengurung dan mendesak lawannya dengan sinar pedangnya, hati Cin Han agak lega.
Tapi tiba-tiba ia melihat seorang hwesio berdiri di bawah pohon menonton pertempuran itu dan melihat lawan Lian Hwa terdesak, hwesio itu memungut sebuah batu kecil lalu menyambit ke arah Lian Hwa. Tapi baru sampai di tengah jalan, batu itu tertumbuk oleh lain batu hingga menerbitkan suara dan kedua batu jatuh ke tanah. Hwesio itu cepat berpaling dan memandang kepada Cin Han dengan marah.
“Bangsat kecil, majulah!” ia menantang dan memalangkan tongkat besinya di depan dada.
Cin Han mencabut pedangnya dan meloncat ke depan hwesio itu lalu menyerang. Tangkisan tongkat menunjukkan bahwa lawannya bertenaga besar juga, tapi Cin Han terus mendesak dengan hebat.
Tiba-tiba ia mendengar Lian Hwa berteriak, “Aya!!” dan gadis itu roboh pingsan.
Cin Han menahan napas dan meloncat ke arah lawan Lian Hwa, tapi hwesio itu menghalanginya. Lawan Lian Hwa mengebut-ngebutkan saputangan yang tadi dipakai untuk membuat Lian Hwa pingsan, lalu tetawa bergelak-gelak.
“Sute, tahan bangsat kecil itu dulu, aku hendak bawa bunga ini ke atas gunung untuk dihadiahkan kepada twa-suheng.”
Cin Han terkejut sekali, karena ia maklum bahwa penjahat itu adalah anggauta Pek-lian-kauw dan sudah tahu bahwa Lian Hwa yang berpakaian sebagai laki-laki itu adalah wanita yang menyamar. Ia tahu pula maksud jahat orang itu, maka dengan kertak gigi pusatkan perhatiannya kepada pedangnya lalu percepat gerakannya.
Beberapa kali pedangnya berkelebat dan tiba-tiba lawannya menjerit keras karena tongkatnya terpotong berikut lengan kirinya. Melihat lawannya tak berdaya lagi, Cin Han segera mengejar penjahat yang memondong tubuh Lian Hwa dan sedang lari ke bukit itu.
Ternyata penjahat itu dapat lari cepat, tapi karena Cin Han sedang marah dan gemas, pula karena penjahat itu harus memondong tubuh Lian Hwa, sebentar saja Cin Han dapat mengejarnya dan hanya berada beberapa tombak di belakangnya.
Sementara itu mereka telah mendekati tempat penjagaan pertama dari Pek-lian-kauw.
Cin Han maklum bahwa jika penjahat itu sudah melewati tempat penjagaan akan sukar baginya untuk menolong Lian Hwa karena ia harus menghadapi lawan-lawan baru. Maka karena terburu-buru, ia merogoh sakunya, mengeluarkan bunga teratai merah itu dan mengayunkan lengannya. Bunga teratai itu meluncur cepat ke arah betis lawan dan dengan keras sekali menusuk betis penjahat yang memondong Lian Hwa hingga orang itu berteriak kesakitan dan jatuh tersungkur.
220
Sementara itu, Cin Han sudah memburu ke depannya dan sekali tendang ia membikin orang itu terlempar beberapa kaki jauhnya dan tak bergerak, pingsan. Lian Hwa yang tadi dipondong dan ikut jatuh tersungkur tampak tak bergerak bagaikan mati.
Cin Han lupa akan perasaan malu. Ia menubruk gadis itu dan menggoyang-goyangkan tubuhnya sambil menangis. “Lian moi…… Lian Hwa…….”
Tapi Lian Hwa tetap rebah tak bergerak dengan kedua mata tertutup. Dari tempat penjagaan turun dua orang membawa golok. Melihat kedua kawan yang terluka dan rebah merintih-rintih itu, kedua penjahat itu lalu lari ke arah Cin Han dengan golok terangkat.
Cin Han yang merasa bingung dan marah segera berdiri dan sekali berkelebat, tubuhnya telah berada di depan kedua penjaga itu. Mana kedua penjaga kasar itu dapat melawan Cin Han. Biarpun hanya bertangan kosong, Cin Han sekali gebrak saja dapat menendang seorang sehingga remuk tulang kakinya dan yang seorang pula ia ketok hingga putus sambungan tulang pundaknya.
Setelah merobohkan lawannya, Cin Han memondong tubuh Lian Hwa dan lari turun gunung. Tiap tiga langkah, ia memanggil nama Lian Hwa.
Tiba-tiba Lian Hwa bergerak perlahan-lahan. Segera Cin Han membaringkan tubuh Lian Hwa di atas rumput dan ia pergi mengambil air anak sungai yang mengalir di dekat situ. Dengan sehelai saputangan ia membasahi muka Lian Hwa.
Kini wajah Lian Hwa yang tadi tampak pucat sudah mulai merah lagi. Tiba-tiba Cin Han teringat sesuatu, dan ia berlari meninggalkan Lian Hwa menuju, ke tempat pertempuran tadi. Empat orang penjaga yang baru saja turun dari bukit dan sedang menolong kawan-kawan mereka, melihat kedatangan Cin Han segera ramai-ramai mengepung tapi Cin Han kembali mengamuk hingga dalam beberapa jurus saja, empat penjaga yang tadinya datang dengan maksud menolong orang-orang luka itu kini mereka sendiri rebah merintih-rintih dengan tulang putus dan kepala bengkak!
Setelah merobohkan semua lawannya, Cin Han mengambil perhiasan teratai merah yang masih menancap di betis penjahat yang menjatuhkan Lian Hwa tadi, karena sebenarnya hanya untuk itulah ia datang kembali. Lalu sebelum meninggalkan tempat itu, lebih dulu ia berkata kepada lawan-lawannya yang menggeletak malang melintang di atas tanah.
“Hai kalian penjahat-penjahat Pek-lian-kauw! Karena mengingat hari ini belum sampai saatnya pertempuran yang telah dijanjikan, maka aku mengampuni jiwamu sekalian. Biarlah ini menjadi pelajaran bagimu agar kalian jangan terlalu sewenang-wenang dan bersimerajalela melakukan segala kejahatan, seakan-akan dunia ini tiada orang yang akan berani melawan dan menumpasmu!” Kemudian secepat terbang ia kembali ke tempat di mana Lian Hwa berbaring.
Ia bingung sekali melihat Lian Hwa masih diam tak bergerak! Diraba-rabanya kening gadis itu dan dipegangnya pergelangannya. Tapi keningnya tidak terasa panas dan pergelangan tangannya berdetik biasa.
Cin Han merasa heran dan makin bingung. Gadis ini terang sekali telah menahan napas menghadapi pertempuran yang hebat dan mencium bau racun yang memabukkan dari saputangan penjahat itu.
221
Bagaimana kalau sampai Lian Hwa mati karena ini? Cin Han makin bingung, belum pernah selama hidupnya ia merasa bingung seperti ini. Hampir ia menangis dan memanggil-manggil nama tunangannya.
Sebenarnya Lian Hwa telah semenjak tadi sadar dari pingsannya. Gadis ini timbul kenakalannya karena gembira. Ia sengaja diam saja untuk menggoda Cin Han dan melihat sikap pemuda itu.
Kini melihat kesedihan dan kebingungan Cin Han, ia merasa kasihan. Tiba-tiba Cin Han yang masih memegang lengan gadis itu merasa bahwa lengannya terpegang pula oleh tangan yang halus dan ia mendengar suara yang halus merdu berkata, “Koko...... jangan bingung, aku tidak apa-apa……”
Cin Han memandang ke bawah dan heran melihat wajah Lian Hwa tersenyum malu-malu sambil memandangnya dengan mata setengah terkatup. Untuk sesaat Cin Han mempererat pegangan tangannya pada lengan Lian Hwa, tapi ia ingat bahwa ia sejak tadi memegangi lengan orang, maka cepat-cepat ia menarik kembali tangannya dan wajahnya terasa panas bagaikan terbakar karena malunya! Lian Hwa bangun duduk dan menundukkan kepala.
“Lian…… kau…… terkena racun penjahat itu.”
“Baiknya kau cepat datang menolong, koko.”
“Ketika tadi melihat kau mengejarnya, aku sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda baju putih itu adalah engkau.”
“Bukankah dahulu pernah kau berjumpa dengan aku dalam pakaian seperti ini?”
“Dulu lain lagi, kau dulu menjadi seorang pemuda sasterawan, sedangkan sekarang. menjadi pemuda pendekar!”
Mereka mulai merasa biasa dan lenyap rasa malu dan sungkan. Hanya sewaktu-waktu bila tanpa sengaja mata mereka saling memandang, maka menjalarlah warna merah di wajah masing-masing dan selalu Lian Hwa menundukkan muka lebih dulu, tapi diam-diam ujung matanya mengerling!
Lama juga mereka duduk di atas rumput dan mereka agaknya lupa akan maksud mereka di situ, akan keadaan sunyi di sekeliling, dan lupa akan segala-galanya! Sinar bulan mulai suram karena terhalang oleh mega putih.
“Lian-moi, ini perhiasanmu. Semenjak dulu kusimpan saja, padahal aku tak berhak……”
“Mengapa tidak berhak, koko? Memang dulu kutinggalkan dengan maksud……”
“Dengan maksud……??”
“Supaya kau menyimpan, yaitu, kau menyimpan untukku, supaya……”
“Supaya…… apa……?”
222
“Supaya kau takkan melupakan aku.”
Dada Cin Han berdebar keras, jantungnya seakan-akan menari-nari dan berloncat-loncatan dalam rongga dadanya. Jadi kalau begitu, Lian Hwa semenjak perjumpaan pertama itu telah “ada hati” padanya?
Rasa terharu menghapus semua rasa malu-malu. Ia memegang lengan Lian Hwa dan berkata perlahan. “Dan semenjak itu, Lian-moi…… semenjak kau pergi itu, teratai merah inilah yang menjadi penawar rindu hatiku.”
“Aah, kau bohong, koko!” Dan dengan tersenyum Lian Hwa bangun berdiri, tapi Cin Han menarik lengannya hingga ia terduduk kembali. Tenaga tarikan itu membuat ia terduduk dekat sekali dan karena mesranya pegangan tangan Cin Han, ia menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu.
“Lian, bilanglah, bagaimana pendapatmu tentang…… pedangku itu? Sukakah kau kepada…… pedang itu?”
“Dan, koko, bagaimana dengan engkau? Sukakah kau kepada...... teratai merah dan pedangku pula?”
Cin Han mengangguk-angguk. “Di dunia ini tak ada yang lebih kusuka daripada itu.”
Lama mereka berdiam diri tak bergerak hingga mereka dapat mendengar bunyi detik jantung masing-masing. Kemudian Lian Hwa berkata dalam bisikan,
“Koko, tahukah kau bahwa telah dua kali aku merasa...... cemburu padamu hingga aku jadi membencimu?”
Cin Han dapat menduga bahwa yang dimaksudkan tentu Giok Lie, tapi ingin mendengar kekasihnya membuat pengakuan sendiri, maka ia menggelengkan kepala.
“Pertama aku merasa cemburu padamu ketika kita ditawan oleh dua nikouw di kelenteng dulu itu. Kedua kalinya, yakni ketika ketika kau menolong anak pangeran she Coa itu.”
“Kau maksudkan Giok Lie sumoimu?”
Lian Hwa tertawa. “Ya, sekarang ia menjadi sumoiku. Aku harus minta maaf padanya.”
“Dan tahukah kau, bahwa akupun pernah merasa cemburu padamu?”
Lian Hwa mengangkat kepalanya dari bahu Cin Han dan memandang pemuda itu dengan heran.
Mega penghalang bulan telah pergi dan bulan memancarkan cahaya penuh ke wajah Lian Hwa hingga tak habis kagumnya mata Cin Han mengagumi wajah yang cantik, kulit muka yang halus, mata yang bening dan lebar bagaikan mata burung Hong, dan tiada habisnya hidungnya menikmati harum yang membuatnya berdebar, yang keluar dari rambutnya yang hitam itu.
“Kau cemburu, koko? Siapa yang membuatmu cemburu?”
223
Cin Han berdehem perlahan, ia merasa terlanjur bicara.
“Aku cemburu kau dengan…… Nyo-twako!”
“Iihh! Ada-ada saja kau ini. Nyo-twako telah menjadi kakakku sendiri. Tahukah kau, aku katanya mirip dengan adik perempuannya yang telah meninggal dunia. Kau kejam sekali menuduhnya.”
“Karena itu, maka untuk menebus kedosaanku itu, aku hendak mencoba menjodohkan dengan Giok Lie.”
Kedua mata Lian Hwa memancarkan cahaya gembira. “Bagus! Baik sekali. Aku akan membantumu, koko!”
Demikianlah dengan gembira dan bahagia taruna dan remaja itu bercakap-cakap di atas rumput di bawah bulan yang tinggal separoh. Kemudian mereka berjalan menuju ke kampung Gu-lok-chung sambil bergandengan tangan.
Berhari-hari mereka melakukan penyelidikan dan pengawasan. Mereka kini bekerja dengan hati-hati sekali sehingga dapat menghindarkan segala bentrokan dengan orang Pek-lian-kauw.
Ternyata dalam beberapa hari itu, hanya ada tiga orang yang naik ke Bukit Hong-lai-san, dua orang hwesio dan seorang tosu yang, bermuka merah.
Pada hari keduabelas dari bulan yang telah ditetapkan untuk pertandingan itu, berturut-turut datang Nyo Tiang Pek, Kong Sin Ek, Hwat Khong Hwesio, Pek Siong Tosu, Lui Siok Tojin wakil dari Kun-lun-pai. Pada hari ketigabelas datanglah berturut-turut Song Cu Ling dan Gwat Liang Tojin. Mereka semua beramai-ramai berkumpul dalam kelenteng tua yang telah disiapkan oleh Nyo Tiang Pek.
Pada sore harinya datanglah bala bantuan yang diundang oleh Tiang Pek, yakni Biauw In Suthai, seorang pendeta wanita kawan baik Kam Hong Tie, dan dua orang balabantuan yang didatangkan oleh Kong Sin Ek, yaitu Sepasang Naga dari Tit-lee bernama Ong Su dan Ong Bu, dua orang hiap-kek yang telah menggemparkan dunia persilatan dengan permainan tombak mereka.
Song Cu Ling tak berhasil mengundang seorang pun, dan semua orang bernapas lega ketika Gwat Liang Tojin memberitahukan bahwa ia berhasil menghadap supeknya yaitu Beng San Siansu, dan setelah menceritakan duduknya segala hal. Supek yang sudah lepas tangan dari urusan dunia itu janji bahwa beliau hendak datang melihat-lihat dan sedapat mungkin menolong mereka jika menghadapi bencana.
Demikianlah, pada malam kelimabelas, jam sembilan malam, ketika bulan purnama telah naik tinggi, semua orang tersebut berangkat beramai-ramai mendaki Hong-lai-san menuju ke sarang Pek-lian-kauw.
Malam itu sungguh terang. Tak sedikitpun awan menjadi penghalang bagi sang ratu malam membanggakan cahaya bumi. Di Bukit Hong-lai-san sedikit angin pun tiada, seakan-akan sang angin ikut prihatin melihat apa yang akan dilakukan oleh orang-orang berkepandaian tinggi di puncak bukit
224
itu. Keadaan sunyi sepi, seekor jangkerikpun tak berani berkerik, agaknya mereka tahu bahwa sebentar lagi akan banjir darah merah menakutkan sehingga siang-siang mereka telah mengungsi ke lain daerah aman.
Sepuluh orang terkemuka di kalangan kang-ouw, duabelas dengan Cin Han dan Lian Hwa, berjalan dengan tenang mendaki bukit. Ketika mereka tiba di tempat penjagaan pertama, para penjaga di situ berdiri merupakan barisan di kanan kiri dengan golok dilintangkan di dada, memberi jalan kepada para tamu dengan sikap menghormat sekali. Demikianpun di tempat penjagaan kedua, ketiga dan seterusnya.
“Mereka tentu mendapat bantuan orang luar biasa hingga bernyali besar dan tidak mengganggu perjalanan kita ke sarang mereka,” Gwat Liang Tojin berbisik kepada Nyo Tiang Pek.
Cin Han mendengar ini merasa betapa seluruh urat tubuhnya menjadi tegang, belum pernah ia menghadapi pertempuran yang dapat dibayangkan betapa dahsyatnya ini. Sebenarnya, semua orang yang sedang naik ke bukit itu, kecuali Kong Sin Ek yang masih enak-enak menenggak arak sambil berjalan, diliputi ketegangan.
Ketika mereka sampai di tembok penjagaan kesembilan dan yang terakhir, di depan pintu gerbang tembok ini yang terbuka lebar, berdiri beberapa orang menyambut mereka. Pihak Pek-lian-kauw yang menyambut ini adalah Bong Cu Sianjin ketua Pek-lian-kauw, di kanannya berdiri Kim Eng si Dewi Cabul, di sebelah kirinya berdiri Khai Sin Tosu, Hong Su ketua Kwi-coa-pai yang ternyata belum mampus dan rupa-rupanya telah dapat disembuhkan luka berat di pundaknya, dua orang hwesio yakni Beng Beng Hwesio dan Beng Leng Hwesio dari cabang Tiauw-san-pai yang terkena bujukan juga, dan seorang tosu mata satu yaitu Kin Pin Tosu dari Gunung Liang-kek-san. Tosu ini mata kanannya telah buta, tapi mata tunggalnya yang sebelah kiri bersinar-sinar bagaikan bintang pagi.
Melihat di situ tidak ada Lan Bwee Niang-niang si Iblis Perempuan Kepalan Dewa, Gwat Liang Tojin bernapas lega. Sebagai orang tertua, ia menjadi pemimpin rombongannya dan sambil menjura kepada para penyambut.
“Cuwi yang terhormat, kami telah datang memenuhi undangan cuwi.”
“Selamat datang, selamat datang!” Bong Cu Sianjin berkata sambil tertawa. “Silakan masuk ke tempat kami yang buruk!”
Gwat Liang Tojin dengan kawan-kawannya memasuki sarang Pek-lian-kauw dengan berani. Di gedung yang besar dan megah itu ternyata telah dipersiapkan untuk menyambut mereka.
Beratus lilin besar menerangi ruangan mengalahkan cahaya bulan di luar gedung. Sebuah meja panjang dan lebar dipasang di tengah ruang depan dan lebih dari tigapuluh buah kursi mengitari meja itu.
“Silakan duduk saudara-saudara yang mulia!” Demikian Bong Cu Sianjin mempersilakan tamu-tamunya dengan senyum masih menghias mukanya yang seperti boneka.
225
Tanpa ragu-ragu lagi Gwat Liang Tojin mengambil tempat duduk, diturut oleh semua kawannya. Mereka tak gentar sedikit juga walaupun mereka melihat betapa puluhan orang yang berpakaian seragam, yakni dengan gambar bunga teratai putih di dada masing-masing, mengepung gedung itu dengan senjata lengkap.
Pihak tuan rumah yang terdiri dari tujuh orang itupun mengambil tempat duduk di meja itu, menghadapi para tamu. Pelayan-pelayan wanita yang cantik-cantik dan muda-muda datang berlari-larian sambil membawa tempat arak, dan segala macam masakan yang masih mengebulkan asap dan yang menghamburkan bau sedap memenuhi ruangan.
Bong Cu Sianjin berdiri dan memperkenalkan kawan-kawannya kepada para tamu. Bong Cu Sianjin lalu mempersilakan tamu-tamunya makan dan minum seadanya.
“Nanti dulu, Bong Cu to-yu! Makan dan minum adalah urusan kecil. Mari kita selesaikan urusan besar lebih dulu. Sebulan yang lalu kau undang kami datang pada malam hari ini. Nah, kami sudah datang, apakah kehendakmu?”
Bong Cu Sianjin tertawa keras. “Ah, semangatmu benar-benar masih seperti anak muda, Gwat Liang! Kau ingin tahu maksudku mengundang kalian? Selain ingin menjamu minum arak, juga hendak minta penjelasan mengapa kalian selalu mengganggu kami, dan kalau perlu kami hendak menagih hutang-hutangmu beberapa jiwa orang anggauta kami.”
“Itukah kehendakmu? Bagaimana dengan jiwa beratus rakyat yang menjadi korban para anggautamu?” tanya Gwat Liang dengan suara tenang.
Bong Cu masih tertawa. Ia menuang arak wangi dalam cawannya lalu minum itu dengan sekali tenggak.
“Kau orang tua usilan sekali, masih suka ikut campur urusan orang lain. Yang kami basmi rakyat pemberontak, rakyat yang jahat, untuk membela yang benar.”
“Hem, Bong Cu, ucapanmu yang kosong ini hanya dapat digunakan untuk membujuk para anggautamu dan membodohi mereka yang tak berpikiran saja! Semua enghiong tahu belaka bahwa kau dan kawan-kawanmu tak lain hanya penjilat-penjilat rendah yang menghianati bangsa dan negara sendiri untuk dapat mengeduk harta benda dan kemuliaan. Kalian bukan lain adalah anjing-anjing kaisar Boan yang telah melupakan asal usul leluhur dan nenek moyang sendiri.”
“Tutup mulutmu yang lancang itu!” Khai Sin Tosu membentak marah.
“Hm, kau juga menjadi kaki tangan Pek-lian-kauw? Kalau saja suhumu masih hidup, atau kalau saja suhengmu masih hidup, belum tentu kau akan tersesat seperti sekarang ini!”
“Aah…… adu mulut hanya laku perempuan, mulut diadakan untuk makan minum, bukan untuk diadu! Minum saja dulu, nanti mau berkelahi boleh saja.” Terdengar Kong Sin Ek berkata mencela dan ia sambar guci arak di atas meja terus diminum habis.
226
Lui Siok Tojin wakil dari Kun-lun-pai berdiri dari kursinya. Ia menjura kepada semua orang dan berkata:
“Pinto datang ini atas undangan Nyo Tiang Pek taihiap yang kami kenal lama sebagai seorang pendekar muda yang banyak melakukan perbuatan baik. Maka undangan itu diterima oleh ketua kami dan pinto mewakilinya datang ke sini. Tapi bukan sekali-kali kami dari pihak Kun-lun-pai hendak mencampuri urusan kalian hanya kami mengingat bahwa kita sekalian adalah orang-orang kang-ouw yang berarti masih segolongan pula, maka kami harap sudilah kiranya cuwi memandang muka kami dan menghapuskan saja perselisihan paham yang tak berarti ini. Tak tahukah cuwi bahwa pengaruh asing sedang berusaha keras untuk mengadu dombakan para enghiong di kalangan kang-ouw?”
“Nah, itulah kata-kata yang sehat,” menyambung Gwat Liang Tojin. “Tapi agaknya Lui Siok Toyu sendiri belum tahu bahwa yang berusaha mengadu domba kita adalah kaisar Boan dan bahwa Pek-lian-kauw justru adalah kaki tangan kaisar? Bagi kami, tidak ada perlunya kami mencampuri urusan Pek-lian-kauw. Biar Pek-lian-kauw mempelajari agama dan kepercayaannya sendiri, biar andaikata mereka ini hendak menjilat-jilat kaisar asing. Tapi, bila mereka sudah mulai berani menganggu rakyat jelata, hal ini tak dapat kami biarkan saja! Asal Pek-lian-kauw suka berjanji bahwa mulai saat ini tidak akan mengganggu rakyat, dan juga asalkan Bong Cu suka mengembalikan pedang pusaka kerajaan Beng-tiauw kepada kami karena ia tidak berhak atas pedang itu, kami akan pergi dari sini dan akan menghabiskan perkara sampai di sini saja.”
Lui Siok Tojin memandang kepada Bong Cu Sianjin dengan girang. “Nah, pinto rasa permintaan Gwat Liang Toyu ini cukup pantas dan mudah dilaksanakan. Bukankah Bong Cu Kauwcu takkan keberatan untuk berjanji agar selanjutnya anggauta Pek-lian-kauw tidak menganggu rakyat jelata? Dan pinto rasa soal pedang pusaka kerajaan Beng-tiauw, tak patut diributkan dan diserahkan saja kepada Gwat Liang Toyu.”
“Hm, kau ini pendamai macam apa? Janganlah pura-pura menjadi pendamai tapi bertindak berat sebelah! Kalau kau mau membantu Gwat Liang, terus terang sajalah, kami tidak takut!”
Lui Siok Tojin menjadi marah. Ia mengangkat kursi yang didudukinya tadi dan membenturkan kursi kayu itu pada kepalanya. Terdengar suara keras dan kursi itu pecah berkeping-keping!
“Dasar aku yang bodoh, yang tak tahu diri. Pantas saja Gwat Liang Toyu dan semua hohan datang menyerbu ke sini, tak tahunya Pek-lian-kauw seperti ini isinya! Tapi ketua kami tidak memperkenankan aku ikut campur, maka biar aku yang bodoh dan tak tahu diri pergi saja!”
Pendeta tua itu segera mengangguk kepada semua orang dan sekali berkelebat tubuhnya sudah mencelat keluar dan berlari turun gunung.
“Ha-ha-ha! Orang macam itu jadi pendamai. Eh, Gwat Liang kalau pihakmu takut, lebih baik tidak usah datang ke sini. Buat apa dibawa-bawa badut seperti itu? Sebenarnya ia takut berkelahi dan mendapat kepala benjol, maka ia berlari pergi dengan seribu macam alasan. Ha-ha-ha!”
“Bong Cu! Tak perlu banyak bercakap angin. Bagaimana, bisakah kau memenuhi dua permintaanku itu? Atau, akan kita teruskan sajakah permusuhan ini?”
227
“Eh, betul-betul kau ini orangnya tua tapi hatinya muda! Segala apa ingin buru-buru saja. Sabarlah, kawan. Kau mengajukan dua tuntutan. Tapi dengarkan dulu tuntutan kami! Kau sendiri tahu bahwa si jahat Ong Lun adalah musuh kami, bahwa ia sudah banyak hutang jiwa dan sebelum kami dapat menagihnya, ia telah keburu mampus. Sekarang muridnya, Ang Lian Lihiap si setan kecil ini, mengikuti jejak gurunya dan memusuhi kami pula dibantu oleh Hwee-thian Kim-hong. Maka kami minta supaya kamu menyerahkan dua setan itu kepada kami! Tentang yang lain-lain yang telah bentrok dengan Kwi-coa-pai dan orang-orang kami, biarlah itu kami anggap sebagai salah paham kecil saja.”
Cin Han dan Lian Hwa saling memandang dengan senyum tertahan. Tiba-tiba terdengar Kong Sin Ek tertawa bergelak-gelak dan melempar guci arak yang telah kosong ke atas meja.
“Aya……! Memang tuan rumah lihai sekali! Baru saja menghabiskan dua guci arak wangi yang harganya hanya beberapa tail saja, sekarang sudah minta dibayar Teratai Merah dan Burung Hong!! Di dunia ini mana ada aturan seperti itu?”
Ia berdiri dan menggerak-gerak kedua lengannya lalu membuka baju luarnya. Orang-orang di pihak Pek-lian-kauw yang telah mengenal Dewa Arak ini tahu bahwa baju luar itu adalah senjatanya yang lihai, maka mereka inipun bersiap sedia dengan tangan meraba-raba gagang senjata!
Keadaan menjadi tegang, semua memandang uap yang mengepul dari masakan di atas meja yang belum terjamah itu!
“Cuwi lo-suhu sekalian,” tiba-tiba terdengar suara Ang Lian Lihiap yang merdu dan nyaring, “Bong Cu Sianjin tadi minta kami berdua, seakan-akan kami berdua adalah barang-barang yang tidak berjiwa dan mudah diminta begitu saja!” Ia mengerling ke arah Cin Han dan pemuda itu yang mengerti maksudnya mengangguk perlahan.
“Kalau memang dia menghendaki kami berdua, biarlah dia mencoba menawan dan mengalahkan kami. Atau, barangkali Bong Cu Sianjin raja siluman Pek-lian-kauw ini gentar dan tidak berani menandingi Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong, kedua musuhnya itu?”
Merah muka Bong Cu Sianjin mendengar ucapan gadis ini, tapi ia dapat menekan perasaannya dan tersenyum mengejek. Gadis yang cerdik ini pernah bertempur dengannya bersama-sama dengan Cin Han, dan pada waktu itu memang keadaan mereka berimbang, bahkan ia harus mengakui bahwa sepasang taruna remaja itu memang merupakan tandingan yang sangat berat.
Sebenarnya tak usah ia merasa jerih terhadap mereka berdua ini, tapi ia harus berlaku hati-hati karena pihak lawan bukanlah orang-orang yang lemah, terutama Gwat Liang Tojin, Song Cu Ling, Kong Sin Ek dan yang lain-lain. Bahkan Nyo Tiang Pek yang muda itupun tidak boleh dibuat gegabah karena pemuda itu adalah murid dari Kang-lam Taihiap Kam Hong Tie.
“Melawan kamu berdua bukanlah pekerjaan berat,” katanya kemudian, “tapi ini adalah tidak adil. Masa aku harus memborong sendiri permainan ini? Aku harus memberi kehormatan kepada yang lain-lain dulu.”
228
“Hayo jangan banyak mengobrol yang bukan-bukan. Bagaimana penyelesaiannya? Kau mau berdamai, boleh asal memenuhi permintaan Gwat Liang Toyu, atau kau mau menyelesaikan dengan kepalan dan senjata, hayo, jangan buang-buang waktu dengan sia-sia.” Kong Sin Ek berkata.
“Ha-ha! Tamu-tamuku sungguh orang-orang gagah dan bernafsu. Mari, mari, mari kita pergi ke tempat yang khusus untuk itu.”
Semua tamu yang tinggal sebelas orang mengikuti pihak tuan rumah yang menuju ke lian-bu-thia, yakni ruang tempat bermain silat. Ruang ini letaknya di belakang menghadapi sebuah taman yang penuh bunga dan sangat luas. Juga di ruang silat dan taman bunga itu, selain sinar bulan, ratusan lilin dipasang menerangi seluruh tempat.
Di empat sudut lian-bu-thia terdapat rak tempat senjata yang penuh dengan delapanbelas macam senjata. Di pinggir ruangan itu tersedia bangku-bangku dan semua orang menduduki bangku-bangku itu yang dipasang berjajar. Tuan rumah dan kawan-kawannya di sebelah kiri dan para tamu duduk di sebelah kanan.
“Nah, Gwat Liang. Rupa-rupanya di antara kita tidak ada persesuaian paham, maka persoalan ini harus diselesaikan secepat mungkin melalui urat dan kepalan. Baiknya diatur begini. Jika pihakmu kalah, kami hanya minta kepala Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong. Yang lain-lain, kalau belum mampus dalam pertandingan, boleh pulang.”
Gwat Liang Tojin tersenyum. “Kalau pihakmu yang kalah, kami tidak menghendaki kepala orang, hanya minta pedang pusaka kerajaan dan janjimu untuk membubarkan gerombolan penjahat yang berkedok agama Pek-lian-kauw ini.”
Bong Cu Sianjin menepuk tangan dan dari dalam keluarlah delapan orang dengan senjata lengkap. Mereka ini adalah jagoan-jagoan dari golongan muda yang dipimpin oleh Thio Lok sendiri. Kini di pihak tuan rumah terdiri dari limabelas orang jagoan, belum dihitung para penjaga yang berjumlah puluhan dan kesemuanya memiliki kepandaian yang tak dapat dikata rendah.
Setelah menenggak arak dari guci yang selalu tergantung di pinggangnya, Kong Sin Ek berseru keras dan sambil meloloskan bajunya yang diputar-putar di tangannya, ia meloncat ke tengah-tengah ruang silat sambil menantang,
“Biarlah kumulai saja. Hayo orang Pek-lian-kauw siapa yang sudah bosan hidup?”
Dari pihak Pek-lian-kauw, seorang jagoan muda bernama Boan Sai menerima tantangannya. Boan Sai bersenjata golok besar dan segera kedua orang itu mulai bertempur.
Tapi ternyata Boan Sai sekali-kali bukan, lawan Kong Sin Ek yang pun tua tapi gagah perkasa. Baju luarnya berputar mendatangkan angin menderu-deru dan menjadi keras kaku bagaikan pentungan besi, hingga golok Boan Sai setelah bertempur beberapa jurus saja kena tersapu dan terpental jauh dan ujung senjata luar biasa dari Kong Sin Ek menghantam pundak Boan Sai sehingga remuk tulangnya!
229
Orang-orang Pek-lian-kauw menggotong pergi Boan Sai yang rebah pingsan, dan seorang tinggi besar brewokan menggantikan Boan Sai menyerang Kong Sin Ek. Si tinggi besar ini bersenjata toya kuningan dan tenaganya besar, tapi ilmu silatnya masih kalah jauh dibandingkan dengan Kong Sin Ek, sehingga dalam limabelas jurus saja kembali senjata Kong Sin Ek yang hebat telah menyapu kaki si tinggi besar itu hingga terlepas sambungan lututnya. Ia digotong pergi sambil merintih-rintih.
“He, Bong Cu! Apakah tidak lebih baik kau sendiri saja yang maju? Jangan majukan orang-orang tak berguna, kasihan!” Kong Sin Ek mengejek sambil memutar-mutar baju luarnya yang ternyata merupakan senjata yang ampuh sekali itu.
Bong Cu mulai marah, tapi dari pihaknya loncat keluar Beng Beng Hwesio yang bersenjata sebuah kebutan dan pedang. Melihat gerakan Koai-liong-hoan-sin atau Siluman Naga Jumpalitan yang dilakukan dengan gesit itu, Kong Sin Ek berlaku hati-hati. Ia tadi telah diperkenalkan dan ia telah mendengar bahwa Beng Beng Hwesio adalah orang kedua dari cabang Tiauw-san-pai yang terkenal dengan ilmu silat Chian-chiu-koan-im atau Dewi Koan Im Tangan Seribu ciptaan cabang itu.
Beng Beng Hwesio maklum akan kelihaian senjata Kong Sin Ek, maka ia menggunakan kebutannya untuk menangkis dan berbareng mencoba menyabet dan memutuskan baju luar itu dengan pedangnya. Mereka berputar-putar dan bertempur lebih dari limapuluh jurus, tapi keadaan mereka berimbang.
Pada suatu saat ketika Kong Sin Ek dengan gerakan Topan Mengamuk Kilat Menyambar mengayun bajunya menghantam ke arah kepala Beng Beng Hwesio, lawannya ini menggunakan kebutan di tangan kiri membelit ujung baju. Mereka mengerahkan tenaga tapi kedua senjata itu seakan-akan menjadi satu dan tidak dapat dipisahkan.
Beng Beng Hwesio tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini, ia mengayun pedang di tangan kanannya menusuk leher Kong Sin Ek. Tapi si Dewa Arak tak kurang gesit, ia miringkan kepala dan ketika pedang lewat dekat kulit lehernya, ia mengulur tangan kiri dan menangkap pergelangan tangan kanan Beng Beng.
Beng Hwesio cepat menggunakan kaki kanan menendang, sedangkan saat itu Kong Sin Ek dengan tiba-tiba melepaskan baju luar dari pegangannya dan melayangkan pukulan keras dengan tangan kanan itu ke pundak lawan. Maka ia tidak keburu berkelit dari tendangan Beng Beng Hwesio.
Hampir berbareng jatuhnya tendangan dan pukulan itu. Kong Sin Ek yang tertendang iga kanannya terpental jauh dan jatuh pingsan, sedangkan Beng Beng Hwesio terkena pukulan Chian-kin-lat atau Pukulan Seribu Kati dari tangan Kong Sin Ek, jatuh terjengkang dan muntahkan darah segar.
Cin Han dan Nyo Tiang Pek, segera menolong Kong Sin Ek dan menggotongnya ke tempat Gwat Liang Tojin yang segera memeriksanya. Gwat Liang yang pandai ilmu obat-obatan, menyatakan bahwa tulang iganya patah dan paru-parunya mendapat getaran hebat, tapi tidak membahayakan jiwanya. Ia menggunakan jari tangan menotok jalan darah mengurangi rasa sakit, lalu memasukkan dua butir pil ke dalam mulut Kong Sin Ek.
Sementara itu, dari pihak Pek-lian-kauw keluar Beng Leng Hwesio, suheng dari Beng Beng Hwesio yang dijatuhkan Kong Sin Ek tadi. Berbeda dengan sutenya, Beng Leng Hwesio bersenjata tombak
230
panjang. Dari pihak Gwat Liang Tojin keluarlah Hwat Kong Hwesio suheng dari Ang Lian Lihiap yang bersenjata tongkat.
Hwat Kong adalah murid tersayang dari Hun Beng Siansu sute dari Ong Lun, maka tentu saja kepandaiannya pun tidak lemah. Pula karena sejak puluhan tahun ia menjadi seorang pertapaan yang benar-benar membersihkan batinnya hingga untuk bertahun-tahun ia pantang membunuh, maka tenaga batinnya menjadi kuat hingga lweekangnya dengan otomatis pun naik tingkatnya.
Namun Beng Leng Hwesio jauh lebih lihai daripada sutenya dan permainan tombaknya adalah yang disebut Ngo-heng-chio-hwat atau Ilmu Tombak Lima Anasir yang mempunyai perubahan-perubahan luar biasa.
Kedua hwesio ini bertempur sampai ratusan jurus, tapi akhirnya tombak Beng Leng Hwesio dapat dibikin terpental dan terlepas dari tangannya hingga Beng Leng Hwesio yang tidak diserang terus mengerti bahwa lawannya tidak mau melukainya. Maka ia menjura sambil berkata malu,
“Hwat Khong suhu sungguh murah hati. Pinceng mengaku kalah.”
Thio Lok dengan marah meloncat ke tengah menghadapi Hwat Kong Hwesio. “Kudengar kabar bahwa kau adalah murid dari Hun Beng supek, ingin aku membuktikan sendiri. Majulah, kepala gundul!”
“Hm, murid tersesat!” kata Hwat Kong yang masih tersenyum dan tidak menjadi marah karena hinaan itu.
Tapi sebelum ia bergerak, lebih dulu Ang Lian Lihiap melesat dari tempat duduknya dan berdiri menghadapi Thio Lok. “Suheng, mengasolah, biarkan sumoimu bereskan anjing hina ini!”
Thio Lok pernah merasai kelihaian Ang Lian Lihiap, maka ia merasa serba salah. Mau mundur, malu kepada semua orang, hendak melawan merasa tidak kuat. Tapi sebagai laki-laki ia pantang mundur menghadapi lawan apa pula lawan seorang gadis muda, maka dengan nekat ia memutar pedangnya.
Lian Hwa memang benci sekali melihat Thio Lok, maka sekali pedang Kong-hwa-kiam berkelebat, Thio Lok telah terdesak mundur. Pedang pemuda itu hanya dapat menangkis saja, sedangkan Lian Hwa, makin besar semangatnya. Ia menyerang dengan tipu-tipu mematikan dan pada saat Thio Lok agak terdesak sehingga penjagaannya terbuka, Kong-hwa-kiam menyambar ke arah lambungnya!
Khai Sin Tosu berseru keras dan meloncat dengan pedang di tangan hendak menolong muridnya, tapi tiba-tiba bayangan seorang pemuda berkelebat dan menghalang di depannya.
Ternyata Cin Han dengan Sian-liong-kiam di tangan telah mencegatnya sambil berkata, “Jangan main keroyokan, satu lawan satu!”
Sementara itu pedang Lian Hwa telah berhasil merobohkan Thio Lok.
Melihat muridnya terluka, Khai Sin Tosu marah sekali. Ia menjerit sambil menerjang kepada Cin Han dengan pedangnya. Serangannya hebat dan berbahaya sekali karena ia mainkan Tat Mo Kiam-hoat
231
dan diseling dengan Liang Gie Kiam-hoat dari cabang Bu-tong, permainan pedang campuran ini telah ia yakinkan puluhan tahun sehingga amat lihai.
Tapi Cin Han berlaku tenang dan mainkan ilmu pedang Hwie-liong-kiam-sut yang luar biasa dahsyatnya! Ilmu pedang tunggal ciptaan Beng San Siansu ini memang luar biasa. Tiap tangkisan selalu dibarengi gerakan membabat atau menusuk, pendeknya tidak ada tangkisan yang sifatnya hanya membela diri.
Tiap tangkisan itu adalah merupakan awal sebuah serangan berbahaya. Gerakan cepat lawan dimatikan dengan serangan kilat. Tusukan-tusukannya berbahaya dan kuat sekali karena selain menggunakan tenaga sendiri, juga meminjam tenaga lawan ketika menangkis serangan.
Sudah tentu Khai Sin Tosu merasa bingung dan terdesak. Terpaksa untuk kedua kalinya ia mengakui kehebatan lawan yang masih muda ini.
Pada jurus keseratus sepuluh, Cin Han mengeluarkan gerakan istimewa yang jarang ia keluarkan, yakni Hwie-liong-pok-sui atau Naga Terbang Menyambar Air. Ujung pedangnya menukik ke bawah dan bergerak-gerak ke kiri kanan membingungkan lawan.
Khai Sin tak kuasa menangkis karena gerakan Cin Han ini dibarengi tendangan kaki yang dilayangkan susul menyusul. Pendeta itu hanya menujukan seluruh perhatiannya kepada kedua kaki Cin Han dan berkelit sambil menangkis, maka ujung pedang Cin Han sudah melayang dekat sekali. Tiba-tiba terdengar suara Lian Hwa,
“Koko, awas belakang!” dan berbareng dengan suara itu Cin Han mendengar suara angin berdesir dari belakangnya.
Ia menarik kembali pedangnya yang telah mendekati dada Khai Sin Tosu, lalu menyabetkan pedang itu ke belakang tubuhnya. Tapi berbareng dengan itu, secepat kilat tangan kirinya meluncur menghantam dada Khai Sin. Gerakan ini cepat sekali dan tidak terduga, maka terdengar suara “bukk!” dan Khai Sin berdiri tegak seperti patung dan menggigit bibirnya. Kemudian ia jatuh terjengkang, rebah terjengkang dengan kaku.
Sementara itu Cin Han membalikkan tubuh dengan cepat untuk menghadapi penyerangnya yang ternyata bukan lain adalah si Dewi Cabul Kim Eng. Perempuan cantik ini memegang pedang di tangan kanan dan saputangan hijau di tangan kiri.
“Awas saputangannya, koko,” kembali Lian Hwa berteriak, tapi Cin Han hanya tersenyum saja. Sedangkan Gwat Liang Tojin berkata kepada Lian Hwa.
“Jangan kau khawatir! Cin Han sudah menyimpan sebutir pil penawar hawa beracun dalam mulutnya. Ini, kaupun harus menyimpan sebutir dalam mulutmu, karena iblis-iblis itu selalu menggunakan racun.
Lian Hwa menerima sebutir pil merah dan masukkan itu ke dalam mulut. Rasanya manis dan baunya harum dan sedap sekali. Kembali ia menengok ke arah kekasihnya yang sedang bertempur.
232
Kim Eng bukanlah lawan Cin Han. Sebentar saja perempuan itu terdesak dan sibuk menangkis serangan-serangan Cin Han yang hebat. Tiba-tiba Cin Han mencium bau wangi tanpa merasa pusing seperti dulu.
Melihat saputangan wasiatnya tidak menjatuhkan lawan, Kim Eng terkejut sekali. Ia berseru keras dan tiba-tiba, dari ujung pedangnya yang menangkis pedang Cin Han, melayang tiga buah jarum beracun ke arah leher Cin Han!
Baiknya Cin Han berlaku awas dan pendengarannya tajam. Ia melihat jarum berkelebat lalu cepat menundukkan kepala sehingga jarum-jarum itu melayang di atas kepalanya. Cin Han marah sekali dan ia memutar pedangnya dengan gemas hingga Kim Eng hampir tidak, kuat menahan lagi.
Pada saat itu, dari pihak Pek-lian-kauw keluarlah Kik Pin Tosu si mata satu. Tosu ini begitu sampai di belakang Kim Eng, segera menggunakan kedua tangannya. Ujung baju kanan digerakkan menangkis pedang Cin Han dan tangan kirinya membetot Kim Eng ke belakang.
“Mundurlah, nona, biarkan lohu main-main dengan Hwee-thian Kim-hong sebentar.”
Tapi Nyo Tiang Pek meloncat menggantikan Cin Han.
“Biarlah aku menerima pengajaran dari lo-suhu,” katanya.
Mata Kik Pin yang hanya sebelah itu memancar ke wajah Tiang Pek.
“Hm, hm! Pantas Kang-lam Taihiap Kam Hong Tie mempunyai murid segagah ini! Sudah lama aku mendengar nama besar Kam Hong Tie, tapi belum pernah mendapat kehormatan mencoba kesaktiannya. Kini kau muridnya yang hendak melawanku, bagus. Majulah, anak muda.”
Cin Han terpaksa mundur ketika Nyo Tiang Pek menggantikannya tadi dan ia berdiri di pinggir. Ia melihat tosu itu menggerak-gerakkan tangan dan menggulung lengan bajunya ke atas sampai di sikunya. Cin Han yang memperhatikan lengan tosu yang kurus kecil itu, tiba-tiba terkejut melihat kedua lengan itu berwarna merah kehitam-hitaman!
Celaka, imam ini adalah ahli Ang-see-chiu atau Tangan Pasir Merah, pikirnya! Ia merasa khawatir sekali karena ia cukup maklum akan kelihaian tangan yang sudah terlatih menjadi sepasang tangan yang selain kuat bukan main, juga sangat jahat itu.
Tapi Tiang Pek kelihatan tenang saja. Cin Han tidak tahu bahwa Nyo Tiang Pek telah digembleng oleh Kam Hong Tie sehingga memiliki ilmu menguatkan urat dan kulit lengannya yang disebut Lengan Bubuk Perak. Untuk memiliki ilmu kesaktian ini, latihannya digunakan bubuk perak halus dan digosok-gosokkan di kedua lengan. Latihan ini dilakukan terus menerus sampai bertahun-tahun sehingga kalau sudah meresap betul-betul kedua lengan itu selain kuat juga berani digunakan menangkis senjata tajam ataupun senjata beracun!
Kik Pin tosu berseru, “Awas kepalan!” dan mulai membuka serangan.
233
Tiang Pek berkelit dan membalas memukul. Lweekang dari pemuda ini sudah hampir menyamai gurunya sendiri, maka dapat dibayangkan betapa hebat pukulannya.
Kik Pin melihat pukulan Tiang Pek demikian kerasnya, segera mengerahkan tenaga Tangan Pasir Merahnya menangkis, “Plak!” dan kedua lengan mereka tergetar karena hebatnya pertemuan tenaga yang saling membentur ini. Kik Pin merasa girang karena ia menduga bahwa lengan pemuda itu pasti terkena racun tangannya.
Tiang Pek seakan-akan tidak merasa apa-apa dan terus menyerang dengan gerak tipu Siok-lui-kik-ting atau Petir Menyambar Atas Kepala.
Kik Pin berkelit ke samping dengan gerakan loh-be yaitu gerakan membalik sambil kakinya terayun memutar menjadi tendangan tan-twie! Tapi Tiang Pek meloncat ke samping dan menyambar pula dengan pukulan Sian-jin-ci-louw atau Dewa Tunjukkan jalan, dengan dua jari tangan ia menusuk leher lawan. Kik Pin menangkis tusukan dan balas memukul dada dengan tangannya yang lihai.
Tiang Pek tahu bahwa tenaga pukulan ini sedikitnya mempunyai kekuatan seribu kati, tapi ia sengaja mencoba tenaga lawan dan menyampok lengan itu sekuat tenaga. Sekali lagi dua tenaga raksasa bertemu dan kini keduanya terhuyung ke belakang.
“Bagus!” Kik Pin Tosu berseru memuji dan kini tahulah ia bahwa Tiang Pek mempunyai tangan yang “berisi” juga dan tidak takut kepada Tangan Pasir Merahnya. Maka ia memperhatikan lengan lawannya yang samar-samar mengeluarkan cahaya berkilau warna putih bagaikan perak, hingga ia terkejut dan berlaku hati-hati.
Setelah saling menyerang lagi, Kik Pin Tosu mengubah gerakan-gerakannya dan kini ia menggunakan pukulan Eng-jiauw-kang, yakni Pukulan Kuku Garuda. Ilmu silat ini dilakukan dengan sepuluh jari tangan terbuka merupakan kaki garuda hendak mencengkeram. Tenaga cengkeraman ini hebat sekali, karena biarpun kayu keras kalau tercengkeram bisa hancur berkeping-keping. Apa pula kulit daging biasa yang lunak.
Tapi Tiang Pek yang sudah banyak pengalaman dapat menghadapinya dengan sikap tenang. Ia menggunakan ilmu silat Ho-kun dan gerakan-gerakannya menjadi tenang, dan lemas bagaikan burung Ho hendak terbang. Biarpun lemas tapi ia lincah sekali dan pukulannya mengandung tenaga besar.
Berpuluh-puluh jurus mereka berkelahi tapi belum juga dapat menjatuhkan lawan. Tiang Pek merasa penasaran dan segera ia mengeluarkan kepandaian simpanannya, yakni Ilmu Silat Angin Ribut. Benar saja, kecepatan yang ia gunakan dalam melakukan serangan ini membuat Kik Pin yang hanya bermata satu menjadi pusing. Mereka berdua berputar-putar cepat dan tahu-tahu Kik Pin berteriak dan terlempar dua tombak lebih, tapi jatuhnya masih berdiri tegak.
“Aku mengaku kalah,” katanya dengan wajah pucat.
Tiang Pek menjura dan napasnya agak terengah-engah. Sebenarnya, baru saja ia berhasil menotok dada lawannya yang tidak dapat menangkis pula tapi yang mengerahkan tenaga dalam untuk membentur totokan ini, namun tetap saja pendeta itu terluka di sebelah dalam, sedangkan Tiang Pek yang terlalu banyak mengeluarkan tenaga, menjadi lelah sekali.
234
Melihat kekalahan-kekalahan di pihaknya, para pengurus muda dari Pek-lian-kauw menjadi marah dan dengan seruan keras, lima orang maju dengan senjata di tangan. Tiang Pek biarpun sudah lelah, melihat mereka maju pedangnya dan siap menghadapi mereka. Tapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
“Nyo-taihiap, mengasolah!” Dan Biauw In memutar pedangnya. Juga Ong Su dan Ong Bu, Sepasang Naga dari Tit-lee, tak senang mereka melihat pihak Pek-lian-kauw hendak mengeroyok, segera maju dengan tangan memegang tombak. Maka bertempurlah lima orang Pek-lian-kauw itu melawan Biauw In Suthai dan kedua orang saudara Ong. Tapi biarpun jumlah mereka banyak, pengurus-pengurus Pek-lian-kauw itu tidak dapat menandingi Biauw In, Ong Su dan Ong Bu.
Lebih-lebih Biauw In Suthai, pedangnya berkelebat ke sana-sini dan sebentar saja lengan seorang lawan terbabat putus. Empat orang kawannya segera mengeluarkan senjata rahasia dan dengan berbareng mereka menyambit.
Delapan buah piauw beracun melayang ke arah Biauw In Suthai dan kedua Naga itu. Masih lebih baik kiranya kalau orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak menggunakan senjata rahasia, karena Biauw In Suthai adalah seorang ahli am-gi atau senjata rahasia yang terkenal.
Sekali ia berseru nyaring tubuhnya bergerak ke kanan kiri dan dari delapan senjata piauw itu, lima telah berada di tangannya sedangkan yang tiga telah dapat disampok jatuh oleh Kedua Naga dari Tit-lee.
“Ini, makan senjatamu sendiri,” kata Biauw In Suthai dan ia mengayunkan kedua tangannya.
Empat piauw melayang ke arah empat orang Pek-lian-kauw tadi, dan yang sebuah lagi melayang cepat ke arah Bong Cu Sianjin. Ketua Pek-lian-kauw ini dengan perlahan menggunakan kebutannya menyabet dan piauw itu terpukul jatuh. Tapi diantara empat orang, hanya dua orang yang dapat berkelit dengan bergulingan, sedangkan yang dua orang lagi tidak keburu berkelit sehingga dada masing-masing tertancap piauw sendiri. Racun piauw itu jahat sekali, karena segera tubuh mereka menjadi biru dan mereka rebah tidak berkutik lagi.
Bong Cu Sianjin marah sekali. Ia meloncat, keluar dari ruang itu ke dalam taman. “Gwat Liang kalau kau berani, ikutlah aku!”
“Mengapa tidak berani?” Gwat Liang menjawab dan meloncat mengejar.
Cin Han dan yang lain-lain merasa khawatir kalau Gwat Liang Tojin mendapat celaka oleh tipu muslihat ketua Pek-lian-kauw itu, segera berloncatan menyusul.
Di tengah-tengah taman bunga itu ternyata ada sebuah telaga kecil penuh bunga teratai. Tapi bunga-bunga yang terapung di atas air itu agaknya memang diatur karena jarak dari yang satu kepada yang lain tepat dua kaki jauhnya.
235
Benar saja, ketika diperhatikan, ternyata di bawah tiap bunga dipasangi ujung tombak yang runcing sekali. Tapi Bong Cu Sianjin dengan gerakan Burung Kepinis Sambar Capung, meloncat ke tengah telaga dan kaki kirinya menginjak setangkai bunga.
Sebetulnya bukan bunga yang diinjaknya, tapi ujung sebuah tombak. Maka dapat dibayangkan betapa tinggi ginkangnya, karena orang dengan kepandaian yang belum tinggi mana berani meloncat dan berdiri di atas ujung tombak yang runcing.
“Aha, baru bisa begini saja kau sombong.” Dan tahu-tahu sehabis berkata begini, Song Cu Ling, sudah berada di atas sebuah ujung tombak pula.
Gwat Liang Tojin tidak keburu mencegah tindakan berbahaya ini. Ia maklum bahwa walaupun Song Cu Ling memiliki ginkang yang tak usah menyerah kalah dari Bong Cu, namun kepandaian silatnya masih lebih rendah daripada ketua Pek-lian-kauw itu.
“Song Cu Ling, kauantar kematianmu!” kata Bong Cu Sianjin mengejek.
Tapi Song Cu Ling sudah mengayun tangannya sambil berseru, “Awas piauw!” dan dua buah piauw berkeredepan melayang dari kedua tangannya, sebuah menyambar leher Bong Cu dan sebuah lagi menyambar kakinya.
“Bagus!” kata Bong Cu yang segera meloncat ke belakang dan pindah ke atas teratai lain, tapi segera ia mengayunkan tangannya membalas. Sebuah pelor hitam menyambar dada Song Cu Ling yang dapat berkelit dengan baik pula.
“Rasakan ini!” bentak pula nyonya tua itu dan ketika kedua tangannya terayun, enam buah piauw menyambar. Dua ke arah tubuh Bong Cu, dua lagi ke sebelah kiri dan dua buah ke sebelah kanan Bong Cu Sianjin.
Menghadapi serangan piauw yang luar biasa dan berbahaya ini, Bong Cu memperlihatkan kepandaiannya. Ia tahu bahwa ia tidak dapat berkelit, maka ia menggunakan kebutannya menyabet sehingga kedua piauw yang mengarah tubuhnya dapat dipunahkan. Sedangkan piauw yang menyambar di kanan kirinya didiamkan saja.
Berbareng dengan itu Bong Cu Sianjin menggerakkan kedua tangannya dan empat butir pelor melayang ke arah Song Cu Ling. Nyonya tua ini mengandalkan gin-kangnya yang luar biasa. Ia meloncat ke atas dan berjumpalitan dengan gerakan Naga Sakti Bermain di Awan, dan ia berhasil mengelit empat pelor itu.
Tapi sebelum kakinya dapat turun ke atas ujung tombak, tiba-tiba melayang lagi empat buah pelor. Dua pelor menuju ke tubuhnya dan yang dua menggempur ujung tombak sehingga ujung tombak yang sedianya menerima kaki Song Cu Ling, kini menjadi patah!
Serangan ini betul-betul berbahaya, karena biar pun nyonya itu dapat menghindarkan diri dari sambaran pelor, namun sukar baginya untuk turun, karena ujung tombak yang hendak diinjak telah lenyap. Tapi Song Cu Ling benar-benar mempunyai kepandaian gin-kang yang mengagumkan sekali. Ia berhasil berkelit hingga dua buah pelor melewati pinggir tubuhnya ketika kakinya turun, tiba-tiba ia
236
melihat ujung tombak itu dipatahkan oleh lawan, maka ia menyentakkan tubuhnya hingga kedua tangannya terulur ke depan dan dapat mencapai ujung tombak di depannya, lalu dengan tenaga lweekangnya ia menekan ujung tombak itu dengan tangan hingga tubuhnya melayang lagi ke atas, untuk kemudian turun perlahan di atas tombak lain!
“Bagus benar gin-kangmu!” Bong Cu memuji, tapi kini ia berada dekat dan menyerang dengan pedangnya.
Song Cu Ling menangkis dengan pedang dan membalas menyerang. Sebenarnya dalam hal ilmu pedang, Bong Cu Sianjin masih lebih tinggi dari nyonya tua itu, tapi Song Cu Ling benar-benar memiliki gin-kang yang hebat hingga dengan mengandalkan kegesitan dan kelincahannya, ia masih dapat mengimbangi permainan pedang lawannya.
Nyonya itu berkelebat ke sana ke mari di atas ujung-ujung tombak sehingga merupakan seekor kupu-kupu terbang bermain-main di atas sekian banyak bunga teratai itu, diserang dan terbungkus oleh sinar pedang Bong Cu Sianjin yang cepat, bagaikan ular menyambar.
Tiba-tiba Bong Cu Sianjin membentak, “Roboh!” dan tangannya melepaskan barang hitam yang menyambar ke arah pundak Song Cu Ling.
Ketika nyonya itu membacok barang itu dengan pedangnya, tiba-tiba barang itu meledak dan dari dalamnya menyambar berpuluh-puluh piauw dan pelor besi ke arah Song Cu Ling! Tentu saja nyonya itu terkejut sekali dan dengan gugup mumbul ke udara tapi karena serangan senjata mujijat itu tidak tersangka-sangka datangnya dan dalam jumlah yang banyak, tidak urung sebuah piauw menancap di kaki Song Cu Ling! Nyonya itu merasa kakinya panas sekali dan kepalanya pening, maka dari atas terjatuh ke bawah dengan kepala lebih dulu.
Semua kawannya mengeluarkan suara kaget, lebih-lebih Ang Lian Lihiap yang cepat bergerak hendak meloncat menolong, tapi nona itu ditahan Cin Han. “Jangan khawatir.” kata pemuda itu.
Ketika Lian Hwa memandang ke arah gurunya, ternyata Song Cu Ling biarpun sudah terluka dan terkena racun piauw itu, ia masih dapat mengumpulkan tenaganya.
Ketika tubuhnya melayang jatuh, ia mengulurkan tangan kanannya dan dapat memegang ujung tombak sebelum tombak itu memakan dirinya, kemudian dengan mengerahkan tenaga terakhir ia mengayunkan tubuhnya hingga melayang ke pinggir. Ia turun di dekat kawan-kawannya dengan terhuyung-huyung dan pingsan dalam pelukan Lian Hwa.
Gwat Liang Tojin cepat memeriksa. “Ia terkena racun, tapi jangan takut. Beri makan pil ini yang mencegah menjalarnya racun dalam darah.”
Lian Hwa menerima pil itu dan memasukkan ke dalam mulut gurunya.
“Awas!” Tiba-tiba Tiang Pek dan Cin Han berteriak hampir berbareng dan dari jurusan kiri taman itu datang menyambar ratusan anak panah ke arah mereka. Cin Han dan kawan-kawannya cepat menggunakan pedang menangkis hujan anak panah itu.
237
“Bong Cu jangan berlaku curang!” teriak Gwat Liang Tojin.
Tapi hanya terdengar suara Bong Cu tertawa seram dan tiba-tiba dari jurusannya melayang enam buah barang hitam seperti yang tadi digunakan untuk menyerang Song Cu Ling.
“Jangan tangkis!” Gwat Liang Tojin memberi ingat kawan-kawannya tapi terlambat.
Ong Su dan Ong Bu yang merasa marah sekali melihat kecurangan lawan, menggunakan tombaknya menusuk barang itu yang meledak hebat dan dari dalamnya menyambar puluhan senjata rahasia beracun. Sebenarnya barang hitam itu adalah bungkusan senjata-senjata rahasia yang dipasangi per dan jika pecah maka obat peledak yang dipasang di dalamnya akan meledak dan per-per bekerja hingga sekian banyak senjata beracun di dalamnya akan dilontarkan keluar ke segenap penjuru.
Ong Su dan Ong Bu mencoba berkelit, tapi sia-sia. Ong Su terkena senjata piauw beracun pada lehernya dan sebuah pelor besi runcing menghantam paha Ong Bu. Bahkan Pek Siong Tosu yang berada dekat dengan dua saudara Ong ini terkena juga oleh sebuah piauw yang menancap di punggungnya.
Ketiga orang ini sebentar saja merasa pening dan panas tubuhnya, lalu tak tertahan lagi mereka jatuh pingsan. Sibuk juga Gwat Liang Tojin menolong mereka dengan pilnya anti racun itu.
Sementara itu, Cin Han, Lian Hwa, dan Tiang Pek dengan marah sekali loncat mengejar Bong Cu. Ketua Pek-lian-kauw itu melihat hasil senjata rahasia yang dilepasnya tadi tertawa bergelak-gelak.
Tapi segera ia tidak dapat melanjutkan tawanya ketika tiba-tiba tiga bayangan cepat berkelebat dan tiga buah pedang tajam bergerak menyerangnya. Ia angkat kebutannya menangkis. Biarpun Bong Cu Sianjin memiliki kepandaian tinggi dan karena kini ia menggunakan kebutan di kiri dan tasbeh di tangan kanan, senjata yang aneh yang sangat berbahaya sekali, namun dikeroyok tiga ahli pedang tingkat tinggi ini, ia menjadi sibuk juga.
Tadi ketika melawan Song Cu Ling, Bong Cu Sianjin menggunakan pedang, karena sebenarnya ia segan mengeluarkan tasbehnya. Tasbeh ini selain merupakan senjata yang sangat ampuh darinya, juga merupakan barang perhiasan yang jarang terlihat dan tak ternilai harganya, karena terbuat daripada empatpuluh sembilan buah mutiara yang besar dan indah. Tapi kini menghadapi tiga orang pemuda pemudi ini, terpaksa ia gunakan kebutan dan tasbehnya.
Biarpun demikian, masih saja ia sangat terdesak. Ia hendak mengeluarkan senjata rahasianya yang berbahaya, tapi Cin Han bertiga tidak memberi kesempatan kepadanya. Tiba-tiba Bong Cu Sianjin menyemburkan mulutnya dan hawa hitam keluar dari mulut menyambar ke arah lawan-lawannya. Cin Han bertiga cepat berkelit, dan saat ini digunakan oleh Bong Cu Sianjin unkuk meloncat melarikan diri.
“Kejar!” Tiang Pek memberi komando dan mereka cepat mengejar.
Kembali Bong Cu Sianjin terkurung. Beberapa orang anak buahnya mencoba membantu, tapi baru beberapa gebrak saja mereka dengan mudah dapat dirobohkan oleh tiga pedang yang lihai. Pada satu
238
saat Bong Cu Sianjin menggunakan kebutannya menangkis ujung pedang Tiang Pek yang menusuk leher, Cin Han berbareng Lian Hwa gunakan pedang menyerang ke arah dadanya.
Tidak ada jalan lain bagi Bong Cu Sianjin selain menggunakan tasbehnya untuk menangkis. Tapi kali ini agaknya Lian Hwa dan Cin Han sudah bersatu pikiran, karena tanpa berunding dulu mereka dengan gerakan berbareng telah robah jurusan pedang mereka terus menyabet ke arah tasbeh.
Dua po-kiam yang tajam dan ampuh dengan berbareng menyabet tasbeh itu sehingga kawat baja yang meronce mutiara itu tidak kuat menahan. Kawat itu putus sehingga mutiara empatpuluh sembilan butir itu terlepas dari ikatan dan jatuh ke atas tanah, tersebar ke kanan kiri.
Bong Cu kaget sekali. Ia memutar kebutannya, mengeluarkan angin menderu-deru untuk sesaat ketiga lawannya terpaksa mundur dan menjaga diri dengan pedang mereka. Bong Cu meloncat jauh ke belakang dengan maksud melarikan diri, tapi ketiga lawannya sambil berseru, “Siluman tua, jangan lari!” terus mengejar.
Sementara itu Kim Ek si Dewi Cabul dengan dibantu oleh Hong Su ketua Kwi-coa-pai, mengeroyok kepada Biauw In Suthai karena Gwat Liang sedang sibuk menolong kawan-kawannya yang terluka oleh senjata beracun.
Biauw In Suthai melawan sekuat tenaga, karena kedua lawannya itu memiliki ilmu silat yang tinggi juga. Gwat Liang melihat Biauw In terdesak, segera membantu hingga kini kedua lawan itulah yang terdesak hebat.
Berkali-kali Kim Eng melepas piauw beracun dan saputangannya yang mengandung hawa memabukkan itu dikebut-kebutkan, tapi Gwat Liang hanya tertawa mengejek saja. Belum juga limabelas jurus mereka berkelahi, Gwat Liang Tojin dan Biauw In Suthai berhasil merobohkan Kim Ek dan Hong Su.
Bong Cu dengan sibuk sekali melayani tiga pengejarnya dan ia mulai mengeluarkan keringat dingin. Berkali-kali ia melepaskan benda hitam yang menjadi senjata rahasianya, mereka tidak mau menangkis hanya menggunakan kesebatan mereka berkelit.
Pada saat Bong Cu sudah terdesak hebat hingga ketika tiga ujung pedang menyambarnya, ia berteriak ngeri dan tak berdaya menghindarkan diri lagi. Tapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring, “Tenanglah, sute!!”
Berbareng dengan itu Nyo Tiang Pek, Cin Han, Lian Hwa merasa betapa ujung pedang mereka tertahan oleh sesuatu yang panjang bagaikan ular tapi yang mengandung tenaga besar sekali. Kemudian benda panjang itu berbunyi “tar, tar, tar” dan menyambar ke arah mereka.
Tiga pendekar muda itu terkejut sekali, karena ternyata benda itu adalah sebuah cambuk panjang yang digerakkan dengan luar biasa dan yang pada saat itu dengan sekaligus dapat menyerang mereka dengan tiga sabetan. Mereka menangkis lalu meloncat mundur.
Ternyata yang menolong Bong Cu Sianjin dan menyerang mereka adalah seorang pendeta wanita berambut panjang. Tangan kiri pendeta, wanita itu memegang kebutan putih, tangan kanan
239
memegang cambuk panjang dan di punggungnya terikat sebuah pedang. Pakaian nikouw itu dari sutera biru. Rambutnya yang panjang dikelabang dua dan tergantung di atas bahunya.
Sungguhpun usianya tidak kurang dari tujuhpuluh tahun, namun sepasang matanya yang jeli dan raut mukanya yang halus membayangkan bahwa di waktu mudanya ia tentu merupakan seorang wanita yang cantik sekali. Tapi sayang, matanya yang jeli itu, mengeluarkan sinar yang kejam dan kerut wajahnya membayangkan watak pemarah.
Pada saat itu, Gwat Liang Tojin dan Biauw In Suthai yang telah berhasil menjatuhkan Kim Eng dan Hong Su, datang pula di situ dan siap membantu kawan-kawannya.
“Hm, jadi kaukah yang menjadi biang keladinya?” Nikouw itu mengerling kepada Gwat Liang Tojin dengan sudut matanya.
“Niang-niang pertimbangkan dulu duduknya persoalan. Sutemu mendirikan Pek-lian-kauw sih tidak ada sangkut-paut nya dengan pinto, tapi ternyata sutemu telah tersesat dan menjadi penjilat kaisar Boan.”
Kata-kata ini diputus oleh suara tawa Lan Bwee Niang-niang yang merdu dan nyaring bagaikan suara ketawa seorang gadis cantik. “Gwat Liang! Kau sudah tua tapi masih suka usilan sekali. Mau mencampuri urusan orang lain Apakah rugimu kalau suteku bersekutu dengan kaisar?”
“Suci, balaskan sakit hatiku. Perkumpulanku diobrak-abrik, kawan-kawanku banyak yang terbunuh mati oleh mereka ini,” kata Bong Cu Sianjin bagaikan seorang kanak-kanak ingin dimanja.
“Hm, kalian mengandalkan kepandaian sendiri dan menganggap tidak ada orang lain yang berani menghalangi tindakanmu yang sewenang-wenang.” Sin-kun Mo-li Lan Bwee Niang-niang menegur lagi.
“Niang-niang, dengarkan dulu,” Gwat Liang Tojin membantah, “pinto tidak suka mencari permusuhan. Tapi pinto sebagai seorang pembela kebenaran, tidak mungkin pinto dan kawan-kawan para hohan ini memangku tangan dan diam saja melihat betapa Bong Cu Sianjin dan kawan-kawannya berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat, mengandalkan pengaruh para dorna keparat dan raja lalim untuk melakukan pemerasan terhadap rakyat jelata yang lemah.”
“Gwat Liang, jangan memutar-balikkan duduknya perkara! Pernahkah aku mengganggu kalian? Tapi dapatkah kau memungkiri bahwa ketika masih hidup, si jahat Ong Lun selalu memusuhi perkumpulanku? Berapa banyak jiwa anggauta Pek-lian-kauw yang telah dibunuhnya?” teriak Bong Cu Sianjin.
“Ya, karena kamu dan kawan-kawanmu adalah musuh rakyat, dan Ong Lun adalah pembela rakyat,” jawab Gwat Liang Tojin.
Bong Cu Sianjin menjadi marah dan meloncat menerjang ke arah Gwat Liang Tojin dengan pedangnya. Gwat Liang menangkis dan segera mereka bertempur hebat.
240
Lan Bwee Niang-niang memperdengarkan suara ketawa menghina, cambuknya berbunyi keras dan berkelebat menyambar-nyambar ke arah Tiang Pek dan kawan-kawannya. Melihat lagaknya yang sombong itu, Lian Hwa menjadi marah dan maju menerjang dengan pedangnya!
Lan Bwee Niang-niang tertawa menghina dan tiba-tiba ujung cambuknya dapat menyambar membalik bagaikan bernyawa dan melibat pedang Lian Hwa!
Ang Lian Lihiap terkejut sekali ketika merasa betapa pedangnya tidak dapat digerakkan dan tak dapat ditarik kembali! Melihat hal ini, Cin Han, Nyo Tiang Pek maju berbareng mengirim serangan kilat hingga Lan Bwee Niang-niang terpaksa melepaskan pedang Lian Hwa untuk menangkis serangan baru ini.
Maka pertempuran menjadi terpecah dua rombongan. Gwat Liang Tojin dan Biauw In Suthai mengeroyok Bong Cu Sianjin, sedangkan Lan Bwee Niang-niang menghadapi Cin Han, Tiang Pek, dan Lian Hwa.
Lan Bwee Niang-niang yang ternyata berilmu tinggi dapat melayani tiga pendekar muda itu dengan baik, dan ia merasa kagum dan sayang melihat kepandaian mereka, maka sampai saat itu ia belum menjatuhkan tangan kejam. Tapi sebaliknya, Bong Cu Sianjin terdesak hebat oleh Gwat Liang Tojin dan Biauw In Suthai yang memiliki kiam-sut yang lihai.
Ketika keadaan sangat mendesaknya, Bong Cu Sianjin mengeluarkan ilmu hitamnya. Ia menatap wajah Biauw In Suthai dengan tajam, kedua matanya seakan-akan mengeluarkan api dan membawa pengaruh besar sekali, kemudian tiba-tiba ia berteriak keras!
Teriakan ini merupakan jeritan ngeri dan ganjil, hingga menusuk telinga dan mendebarkan jantung. Lebih-lebih Biauw In Suthai yang telah terpengaruh pandangan mata Bong Cu Sianjin, tidak kuat ia menahan suara ini, tubuhnya menjadi lemas dan tak terasa pedangnya terlepas dari pegangan. Dengan buas Bong Cu Sianjin menggunakan kebutannya untuk menyabet dan menghancurkan kepala Biauw In, tapi Gwat Liang Tojin dapat menetapkan hati dan secepat kilat menangkis.
Tapi kini, setelah Biauw In Suthai yang menjadi lemas terduduk di atas tanah tidak berdaya bagaikan seorang yang hilang ingatan, ia harus menghadapi seorang diri ketua Pek-lian-kauw yang lihai itu. Lama kelamaan Gwat Liang Tojin terdesak mundur oleh pedang dan kebutan Bong Cu Sianjin dan hanya dapat menangkis saja!
Di pihak Lan Bwee Niang-niang, ketika melihat betapa sutenya telah berhasil menjatuhkan seorang lawan, ia menjadi gembira dan tak mau kalah. Ia mengebut-ngebutkan kebutan putih di tangan kirinya ke arah lawan-lawannya dan suaranya yang lembut merdu berkata, “Rebah, rebah...... rebah!”
Heran sekali, suara ini mengandung tenaga luar biasa yang sangat berpengaruh. Lian Hwa dan kawan-kawannya merasa betapa tenaga mereka bagaikan lenyap dan merasa tubuh mereka lemas dan lelah sekali. Mereka ingin sekali merebahkan diri di atas rumput dan tidur dengan nyenyak dan sedapnya.
Tapi ketika Lian Hwa memandang Cin Han dan kebetulan kekasihnya itu sedang memandangnya, bentrokan sinar mata mereka menimbulkan kekuatan dan tenaga mereka seakan-akan kembali
241
memasuki tubuh. Rasa saling kasih dan saling membela disertai kekhawatiran akan nasib masing-masing, membuat kedua anak muda yang saling mencinta ini tertolong dari bahaya.
Mereka segera memutar pedang dan menyerang lagi. Tapi hati mereka berdebar cemas melihat betapa Nyo Tiang Pek agaknya tidak kuasa menahan getaran pengaruh ilmu hitam Lan Bwee Niang-niang tadi dan pemuda itu melempar pedangnya terus berbaring di atas tanah sambil meramkan kedua mata.
Keadaan mereka kini berbahaya sekali. Tapi Lian Hwa dan Cin Han, dengan hati bulat hendak saling membela atau kalau tak mungkin menang, hendak mati bersama, membuat permainan pedang mereka hebat sekali. Memang permainan pedang Lian Hwa, yakni Sian-liong-kiam-hwat ciptaan dari Ong Lun adalah luar biasa dan jarang tandingannya, juga Hwie-liong-kiam-sut yang dimainkan oleh Cin Han bahkan lebih tinggi daripada Sian-liong-kiam-hwat.
Kini kedua ilmu pedang kelas satu itu dimainkan oleh kedua anak muda yang saling membela hingga kedua ilmu pedang itu seakan-akan tergabung menjadi satu, tentu saja kehebatannya luar biasa sekali. Si Iblis Perempuan Kepalan Dewa Lan Bwee Niang-niang walaupun berilmu tinggi namun jika hanya menggunakan ilmu silatnya saja, agaknya takkan mungkin ia mendapat kemenangan. Maka sekali lagi ia menggoyang-goyangkan kebutannya dan mulutnya berkemak-kemik, lalu ia tertawa bekakakan.
Lian Hwa dan Cin Han tiba-tiba mendengar suara ketawa itu datang dari mana-mana, di belakang, di kanan kiri, di depan, dari atas, bahkan dari bawah tanah. Mereka bingung dan permainan pedang mereka kacau-balau. Tapi Cin Han berbisik, “Lian-moi, tetapkan hatimu, ada aku di sini.”
Benar saja, Lian Hwa seakan-akan terbetot dari sebuah jurang yang dalam dan ia mulai bisa mengatur, permainannya kembali. Namun, pada saat itu cambuk Lam Bwee Niang-niang bermain ganas sekali bagaikan seekor naga siluman mengamuk sehingga sekali Lian Hwa terkena ujung cambuk pada pundaknya, dan Cin Han terkena pada lengan kirinya.
Pada saat taruna dan remaja itu sedang repot sekali, tiba-tiba Lan Bwee Niang-niang membentak keras dan dari kebutannya yang dia putar-putar keluarlah asap hijau bergulung-gulung menyerang Cin Han dan Lian Hwa. Asap itu berbau busuk seperti bau mayat sehingga Cin Han dan Lian Hwa segera menahan napas karena mereka maklum betapa berbahayanya asap beracun ini.
Namun, biarpun lweekang mereka sudah tinggi, asap yang lihai itu seakan-akan dapat mendobrak hidung mereka dan hendak memaksa masuk. Keadaan mereka sungguh sangat berbahaya.
Tapi pada saat itu, terdengar suara orang berkata halus. “Sungguh kejam, sungguh keji……” dan berbareng dengan ucapan itu, tiba-tiba dari atas menyambar turun segumpal asap putih yang memasuki asap racun hijau dan menjadi satu.
Cin Han dan Lian Hwa mencium bau harum dan kepala mereka yang sudah agak pening karena pengaruh racun asap hijau tadi mendadak menjadi dingin dan sembuh bahkan asap putih itu seakan-akan memberi tambahan semangat kepada mereka.
242
Pelepas asap putih itu ternyata adalah seorang pertapa yang berbaju putih. Rambut dan jenggotnya sudah putih semua, menandakan usianya yang sangat tinggi. Wajahnya tampak ramah-tamah dan alim sekali, tapi sinar matanya menyinarkan cahaya yang lembut namun mengandung pengaruh yang kuat tak terlawan.
Pertapa itu melihat betapa Gwat Liang Tojin terancam oleh pedang dan kebutan Bong Cu Sianjin, segera memanggil.
“Gwat Liang, ke sinilah.” Tangan kirinya melambai.
Mendengar suara ini, Gwat Liang meloncat mundur, tapi karena ia memang sedang terdesak, saat itu digunakan oleh Bong Cu Sianjin untuk menyabetkan pedangnya ke arah pinggang Gwat Liang Tojin, sedangkan kebutannya yang lihai terayun menghantam belakang kepala!
Cin Han dan Lian Hwa hampir berseru kaget melihat bahaya yang hendak menimpa Gwat Liang Tojin, tapi tiba-tiba pertapa baju putih itu mengebutkan lengan bajunya ke arah Bong Cu Sianjin. Dari lengan baju itu keluarlah angin pukulan yang hebat sekali dan Bong Cu Sianjin tiba-tiba merasa tenaga raksasa mendorongnya ke belakang hingga ia terhuyung-huyung beberapa tindak!
Cin Han dan Lian Hwa saling memandang dengan heran. Betapa takkan heran melihat bagaimana pertapa itu dari jarak jauh dapat mengundurkan Bong Cu Sianjin yang lihai hanya dengan angin pukulan saja! Dapat diukur betapa lihainya pertapa tua ini!
Gwat Liang Tojin yang terlepas dari bahaya segera maju dan berlutut dihadapan pertapa itu sambil berkata. “Supek!”
Bukan main terkejutnya Cin Han dan Lian Hwa mendengar ini. Mengertilah mereka bahwa yang berdiri dihadapan mereka ini bukan lain ialah Beng San Siansu! Dengan serta merta Cin Han membetot tangan Lian Hwa dan ia berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Beng San Siansu meraba-raba jenggotnya yang putih seperti benang perak, wajahnya tersenyum gembira sekali.
“Ah, inikah Hwee-thian Kim-hong yang kebetulan menjadi muridku seperti yang kauceritakan dulu, Gwat Liang?”
Gwat Liang Tojin mengangguk dan Cin Han lalu maju sambil berlutut serta berkata. “Suhu, teecu menghaturkan hormat.”
Kini Beng San Siansu tertawa senang. “Sudah kulihat kiam-sutmu tadi. Memang kau sudah pandai memainkan Hwie-liong-kiam-sut, tapi masih kaku! Dan nona ini tentu Ang Lian Lihiap murid Ong Lun?”
Ketika Lian Hwa mengangguk hormat, ia lalu melanjutkan kata-katanya. “Sudah kuduga. Permainan kiam-hwatmu tentu Sian-liong-kiam-hwat. Memang Ong Lun orang cerdik. Kalau kedua kiam-hwatmu itu digabung, maka dapat merupakan ilmu pedang yang jarang dapat dilawan di dunia ini. Namanyapun indah, coba dengar Hwie-Sian-liong-kiam-hwat, Ilmu Pedang Naga Dewa Terbang!”
243
Cin Han mengangguk-angguk kepala sambil berkata. ”Teecu mohon pimpinan suhu dalam hal ini.”
“Ha, kau cerdik. Boleh, boleh, tapi urusan sekarang belum beres.”
Ia berpaling memandang ke arah Lan Bwee Niang-niang yang berdiri dengan muka merah karena marah memandang mereka.
“Hm, jadi lo-suhu ini Beng San Siansu yang tersohor?” kata Lan Bwee Niang-niang menyindir. “Kata orang, lo-suhu sudah boleh disebut manusia setengah dewa, tapi kulihat sekarang bahwa kabar itu kosong belaka. Lo-suhu masih tertarik oleh keadaan dunia dan ikut-ikut campur urusan orang lain!”
Beng San Siansu tersenyum sabar. “Lan Bwee Niang-niang, sedangkan Thian Yang Maha Tunggal sendiri masih mencampuri urusan dunia, mengapa orang tua seperti aku tidak! Apa aku haruskan saja kau menyembelih semua orang-orang tidak berdosa ini?” Jari tangannya menunjuk kepada mereka yang terluka dan terkena racun tadi yang masih rebah sambil menahan sakit.
“Salah mereka sendiri! Kenapa mereka memusuhi perkumpulanku?” jawab Bong Cu Sianjin dengan marah.
Sinar mata Beng San Slansu yang tajam menyambar ke wajah Bong Cu dan senyumnya melebar. “Sayang……” katanya bagaikan kepada diri sendiri. “Harta benda itu bagaikan tinta hitam, ke mana saja ia datang, ia selalu mengotorkan sekelilingnya. Teratai putih pun akan menjadi kotor kalau tersiram olehnya……”
“Lan Bwee Niang-niang,” katanya kemudian kepada Iblis Perempuan Kepalan Dewa itu, “Sudah terlalu banyak korban. Sudahilah saja pertempuran tiada berguna ini.”
“Beng San Siansu! Jangan kau berat sebelah. Sudah banyak kawan-kawanku terbunuh mati oleh anak muridmu. Kami harus membalas dendam!”
“Ya, ya! Begitulah sifat dunia. Balas dendam, balas membalas tiada habisnya. Kalau aku orang tua ini, andaikata dipukul orang, aku tidak akan buru-buru menuntut balas, tapi hendak kucari lebih dulu mengapa aku sampai dipukul orang. Segala akibat tentu bersebab, lupakah kau?” kata Beng San Siansu.
“Tidak perduli. Pendeknya aku hanya menghendaki murid Ong Lun, si Ang Lian Lihiap harus menebus dosa-dosa gurunya,” kata Lan Bwee Niang-niang dengan gemas.
“Lan Bwee Niang-niang,” suara Beng San Siansu terdengar keren bagaikan suara seorang guru terhadap muridnya yang nakal, “Lupakah kau kata-kata suhumu dulu? Lupakah kau bahwa kau pernah diperingatkan gurumu sehingga kau sucikan diri di Bukit Hoa-mo-san? Mengapa kau turun gunung dan hendak mengulangi dosa-dosamu yang lalu?”
Marah sekali Lan Bwee Niang-niang mendengar ini, matanya seakan-akan menyala, mulutnya seakan-akan mengeluarkan uap panas. “Beng San! Kaukira aku takut padamu!”
244
Dan perempuan tua yang galak itu menggunakan cambuknya menyabet!
“Siancai, siancai!” Beng San Siansu menyebut, tapi tidak berkelit sama sekali.
Sabetan itu hebat sekali dan dengan suara keras, cambuk panjang itu bagaikan ular melilit ke pinggang dan leher Beng San Siansu. Tapi orang tua itu tetap tersenyum saja.
Lan Bwee Niang-niang melihat bahwa Beng San Siansu seakan-akan tidak merasa sakit oleh cambuknya, ia kerahkan tenaga dalamnya dan sentakkan cambuk untuk mengiris kulitnya. Tapi alangkah heran dan terkejutnya ketika ia merasa seolah-olah cambuk itu menempel dan lengket dengan kulit Beng San Siansu. Ia mencoba lagi, tapi bahkan merasa tangannya tergetar hingga dengan sengit ia lepaskan cambuknya dan gunakan kebutannya memukul kepala Beng San Siansu, sedangkan tangan kanan mencabut pedang dari punggung.
“Eh! jangan ganggu kepalaku,” Beng San Siansu menegur halus dan angkat tangan kirinya melindungi kepala.
Kebutan lihai itu beradu dengan lengan Beng San Siansu dan aneh sekali, kebutan itu terbalik dan membentur kepala Lan Bwee Ning-niang sendiri.
Terkejut sekali nyonya tua itu. Ia berkelit dan menggunakan pedang menusuk.
Sekali kebutkan lengan bajunya, pedang inipun dibikin terlepas dari tangan Lan Bwee Niang-niang. Tapi wanita nekad itu tidak kapok. Ia merogoh ke dalam baju dan keluarkan sebuah benda yang dapat bergerak-gerak. Ternyata benda itu adalah seekor ular hitam.
Lan Bwee Niang-niang gunakan ular itu sebagai senjata dengan pegang ekornya dan ayun kepala ular ke arah leher Beng San Siansu.
“Ganas, ganas!” Beng San Siansu berkata dan tahu-tahu leher ular telah terjepit diantara kedua jari tangannya dan ular itu menjadi lemas tak bertenaga lagi.
Lan Bwee Niang-niang tekan per di dadanya dan tiga belas buah piauw dengan tiga belas macam racun yang paling jahat menyambar ke depan, langsung menyerang Beng San Siansu. Tapi pertapa sakti itu kembali kebutkan lengan bajunya dan sekaligus semua senjata rahasia itu terpukul dan tertumpuk di atas tanah.
Sementara itu, melihat betapa sucinya dipermainkan, Bong Cu Sianjin menjadi marah sekali dan ia gunakan kebutannya Memukul dari belakang. Seperti juga tadi, pukulan itu dapat dipunahkan oleh Beng San Siansu hanya dengan kebutkan ujung lengan bajunya.
Tiba-tiba Lan Bwee Niang-niang berteriak keras dan meluncurlah lima buah hui-to atau golok terbang dengan keluarkan suara mengaung keras ke arah Beng San Siansu. Pertapa ini sudah kenal akan kehebatan golok terbang itu, maka tiba-tiba dengan ringan sekali tubuhnya melayang ke atas bagaikan kapas tertiup angin.
245
Semua hui-to melayang di bawah kakinya dan langsung menyerang Bong Cu Sianjin yang tadi berdiri di belakang Beng San Siansu. Bong Cu Sianjin kaget sekali dan menangkis dengan pedangnya, tapi dua buah hui-to tepat mengenai pundaknya kanan kiri hingga kedua lengannya putus.
Bong Cu Sianjin menjerit keras dan jatuh pingsan. Sedangkan Lan Bwee Niang-niang melihat betapa hui-tonya bahkan melukai sute sendiri demikian hebat, iapun menjerit keras dan roboh pingsan. Dari mulutnya mengalir darah karena jantungnya mendapat getaran dan tekanan keras.
Ia sebenarnya telah bertahun-tahun meyakinkan ilmu batin yang tinggi untuk menjalani Ilmu kesucian dengan bertapa di atas bukit. Maka bertahun-tahun ia dapat menahan dan mengendalikan segala macam nafsu yang merajalela di hati tiap orang. Nafsu-nafsu ini karena dapat terkendali, merupakan tenaga hebat yang merupakan pendorong kuat bagi tenaga dalamnya.
Tapi sekarang, tiba-tiba saja karena menuruti nafsu hati, segala macam nafsu itu dengan serentak berbangkit merupakan perasaan marah, malu, jengkel, penasaran, kecewa dan terkejut, akhirnya ditambah kesedihan melihat betapa ia melukai sute sendiri. Semua perasaan nafsu ini merupakan tenaga raksasa yang menyerang dari dalam hingga batinnya yang biasanya tenang tenteram menjadi tergoncang hebat dan jantungnya terkena pukulan pula.
“Siancai, siancai……” Beng San Siansu menyebut perlahan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia segera berjongkok dan menggunakan jari telunjuk menotok ulu hati Lan Bwee Niang-niang yang segera siuman kembali. Tanpa berkata apa-apa Beng San Siansu menghampiri Bong Cu Sianjin dan menotok pula kedua bahu ketua Pek-lian-kauw itu, lalu dikeluarkannya obat bubuk dan dibalurkan di luka lengan yang buntung itu.
Lan Bwee Niang-niang yang sudah berdiri melihat semua ini dengan terharu. Ia maju menjura dan berkata dengan suara mohon dikasihani. “Dapatkah aku yang hina ini diampuni?”
“Thian bersifat murah dan adil, Niang-niang,” kata Beng San Siansu. “Bawa sutemu ini ke bukit dan peliharalah dia, pelihara lahir dan batinnya.”
Lan Bwee Niang-niang mengangguk dan mengangkat tubuh sutenya, kemudian sekali berkelebat tubuhnya lenyap dari situ!
Beng San Sianjin memandang keadaan kawan-kawan Gwat Liang Tojin yang masih rebah di ruang belakang itu, karena walaupun sudah diberi obat oleh Gwat Liang Tojin namun pengaruh racun jahat itu masih saja membuat mereka menderita sakit. Ia memberikan sebuah batu kepada Gwat Liang Tojin, “Rendam dalam air dan berilah mereka minum!”
“Gwat Liang Tojin menghaturkan terima kasih dan segera melakukan perintah supeknya itu, dan tidak hanya mengobati kawan-kawannya, juga ia memeriksa dan mengobati luka-luka dari para korban Pek-lian-kauw.
Sementara itu Beng San Siansu memandang Cin Han yang kembali berlutut di depannya. “Pinto sebagai orang tua ikut bergembira dan mengucap kiong-hi atas pertunangan kalian. Baiknya perkawinanmu dilakukan bulan depan hari kedelapan. Setelah kawin, boleh kalian datang ke Kim-ma-
246
san, tempat tinggal Ong Lun dulu karena sementara waktu Pinto akan berada di sana. Kalian datanglah untuk menggabungkan kedua kiam-sut itu.”
Cin Han dan Lian Hwa menghaturkan terima kasih sambil berlutut. Dalam hati mereka merasa heran bagaimana pertapa suci itu dapat tahu akan pertunangannya!
Kemudian Beng San Siansu meninggalkan tempat itu dengan perlahan turun gunung setelah menerima kehormatan dari semua orang yang kini telah dapat berjalan setelah minum obat mujijat dari pertapa itu. Beng San Siansu meninggalkan batu mustikanya dan minta supaya Cin Han dan Lian Hwa kelak membawanya.
Biarpun pertapa sakti itu hanya berjalan perlahan saja, namun sebentar saja ia sudah lenyap dari pandangan mereka. Cin Han diam-diam menghela napas karena kagum, tapi ia merasa girang sekali bahwa suhunya itu telah berjanji hendak menggabungkan ilmu pedangnya dengan, ilmu pedang Ang Lian Lihiap!
Setelah memberi nasihat kepada sisa anggauta Pek-lian-kauw untuk membuang sifat pengkhianat dan pemeras rakyat jelata, Gwat Liang Tojin dan rombongan meninggalkan Gunung Hong-lai-san dan berpisah untuk kembali ke tempat masing-masing.
Oleh bujukan Cin Han dan Lian Hwa, Nyo Tiang Pek akhirnya tak dapat menolak lagi dan ikut mereka dan Song Cu Ling kembali ke rumah Gan Keng Hiap untuk menyaksikan perkawinan mereka pada bulan depan hari kedelapan, karena Gwat Liang Tojin sendiri juga menetapkan hari itu, sesuai dengan kehendak Beng San Siansu, demikian pun Song Cu Ling.
Coa Giok Lie yang ditinggal pergi oleh gurunya, tiap hari rajin melatih ilmu silatnya dan ia tidak merasa kesunyian karena di samping berlatih silat ia memimpin Kong Liang dan Mei Ling dalam pelajaran mereka menulis dan membaca, dan dalam ilmu silat, kedua bocah ini dapat memimpinnya karena mereka biarpun kecil telah memiliki kepandaian dasar yang boleh juga.
Ketika Song Cu Ling datang dan Cin Han bersama Lian Hwa ikut bersama-sama, Giok Lie menjadi girang sekali. Ia memeluk gurunya. Ketika diperkenalkan kepada Ang Lian Lihiap oleh gurunya, ia memeluk Lian Hwa dengan terharu.
“Lihiap, aku girang sekali dapat berkenalan dengan kau yang cantik dan lihai ini,” katanya dengan muka merah.
“Ah, sumoi, jangan menyebut aku lihiap. Aku bukan kenalan biasa, tapi adalah sucimu yang kasar dan buruk. Kau jauh lebih cantik dariku, sumoi,” kata Lian Hwa sambil balas memeluk dan tertawa.
Pada saat itu juga, lenyaplah ganjalan hati diantara kedua gadis itu. Ketika Giok Lie diberi tahu oleh Song Cu Ling akan pertunangan Lian Hwa dan Cin Han, Giok Lie merangkul leher sucinya.
“Kau menjadi tunangan koko Cin Han? Ah, bagus sekali, cici, kiong-hi…… kiong-hi…..!” Dan Lian Hwa mencubit dengan wajah merah karena malu.
247
Sementara itu, Nyo Tiang Pek mengobrol dengan Gan Keng Hiap, karena sasterawan tua ini pernah berjumpa dengan Kam Hong Tie dan memang semenjak dulu ia mengagumi pendekar ternama itu. Maka tidak heran ketika mendengar pemuda she Nyo itu adalah murid Kang-lam Taihiap Kam Hong Tie, ia menghujani berbagai pertanyaan. Nyo Tiang Pek juga senang sekali bercakap-cakap dengan Gan Keng Hiap yang terpelajar dan halus tutur bahasanya itu.
Malam hari itu karena bulan masih muncul tiga perempat lebih Lian Hwa mengajak Giok Lie keluar dari kamar dan berjalan-jalan di kebun belakang di rumah keluarga Gan yang lebar juga. Mereka duduk di bawah pohon Liu yang indah.
“Sumoi, aku pernah mendengar bahwa kau pandai sekali meniup suling. Maukah kau meniup satu dua lagu untukku?” tanya Lian Hwa.
“Aah, siapa bilang, suci? O, ya, tentu kakak Cin Han yang bilang, bukan? Siapa lagi,” Giok Lie balas menggoda.
“Eh, kau ini! Masakan segalanya hanya dia saja yang memberi tahu padaku? Ayolah, ambil sulingmu, biar aku mendengar lagu merdu.”
“Apa upahnya untuk tiap lagu suci?”
“E, e…… minta diupah segala! Aku miskin tidak punya apa-apa.”
“Siapa bilang kau miskin. Kepandaianmu begitu banyak.”
“Hm, cerdik kau. Kau maksudkan minta diupah kepandaian silat?”
“Habis, apa lagi? Suci, maukah kau bermain sejurus dua jurus ilmu pukulan pedang setelah aku meniup suling untukmu?”
“Baiklah, ayoh, ambil sulingmu!”
Dan Giok Lie dengan riang berlari-lari masuk kamar untuk mengambil sulingnya.
Sementara itu, Cin Han pun mengajak Nyo Tiang Pek keluar kamar berjalan-jalan.
“Nah, lihat adik perempuanku tadi. Bagaimana pendapatmu? Bukankah ia secantik bidadari? Tapi sayang, nakalnya bukan main. Ilmu silatnya cukup tinggi.”
Memang tadi telah dilihatnya Giok Lie yang cantik jelita itu dan diam-diam hati Tiang Pek tertarik sekali. Tapi ia tidak percaya bahwa gadis itu nakal, lebih-lebih tidak percaya gadis itu berkepandaian tinggi, biarpun ia mengaku murid Song Cu Ling. Maka mendengar kata-kata Cin Han ia hanya tersenyum saja.
Tiba-tiba mereka mendengar suara tiupan suling yang sangat merdu. Nyo Tiang Pek terpesona dan kagum sekali. Ia berdiri diam mendengarkan. Suara suling itu bagaikan ayunan ombak samudra yang mengombang-ambingkan hatinya, membuat seluruh tubuhnya merasa lemas dan nikmat.
248
“Alangkah indah dan merdunya,” Tiang Pek berkata sambil menghela napas setelah suara suling berhenti. “Siapakah peniup suling sepandai itu?”
“Ia adalah tukang kebun pamanku, seorang laki-laki tua yang hidup sunyi. Kau ingin belajar menyulingkah?” Cin Han bertanya sambil senyum.
“Orang tua? Kasihan, suara sulingnya demikian halus dan mengandung kesedihan. Mari bawa aku padanya, ingin aku bertemu.”
“Maaf, twako. Masuk sajalah dan temui sendiri. Aku ada sedikit keperluan dengan paman untuk dibicarakan.” Dan Cin Han meninggalkan kawannya itu.
Tiang Pek tanpa ragu-ragu lagi segera memasuki taman. Sementara itu, Lian Hwa pun sudah meninggalkan Giok Lie seorang diri dengan alasan mau mencari dan memanggil nyonya Gan Keng Hiap untuk diajak bercakap-cakap di taman.
Coa Giok Lie yang ditinggal seorang diri segera meniup sulingnya lagi, sedikit pun tidak tahu bahwa sepasang mata memandangnya dengan kagum. Itu adalah sepasang mata Nyo Tiang Pek yang datang menghampiri dari belakang.
Pemuda itu sama sekali belum tahu bahwa yang meniup suling adalah seorang gadis cantik jelita, disangkanya seorang kakek sebagaimana yang dikatakan Cin Han tadi. Kebetulan pada saat itu bulan bersembunyi di balik awan hingga keadaan agak gelap.
“Pak tua, tiupan sulingmu sungguh merdu,” Tiang Pek berkata dan Giok Lie dengan terkejut melepas sulingnya dari bibir dan membalikkan tubuh.
Tiang Pek hampir berteriak kaget ketika melihat bahwa yang ditegurnya adalah seorang gadis yang pada saat itu memandangnya dengan mata indah yang terbelalak heran.
“Ah, oh…… maaf, nona…… kukira……”
“Nyo-taihiap, kaukah?” tegur Giok Lie yang tadi siang sudah diperkenalkan kepada pendekar muda ini.
“Maaf nona. Kakakmu berkata bahwa peniup sulingnya bukan kau……”
“Kau maksudkan koko Cin Han?”
“Ya, bukankah kau adik saudara Cin Han?”
Giok Lie mengangguk dan memandangnya dengan senyum sindir ketika dilihatnya betapa pendekar yang dipuji-puji oleh Cin Han dan Lian Hwa itu kini berdiri di depannya dengan sikap kemalu-maluan. Melihat senyum sindir yang membayang di bibir gadis itu, teringatlah Tiang Pek akan keluhan Cin Han bahwa adiknya itu sangat nakal dan jumawa karena memiliki kepandaian tinggi!
249
“Nyo-taihiap, ada perlu apakah kau memasuki taman ini?” tiba-tiba Giok Lie bertanya karena merasa tidak enak kalau diam saja.
Tiang Pek makin bingung. “A...... aku....... pernah saudara Cin Han ceritakan padaku bahwa kau memiliki bu-gee yang tinggi, tapi sama sekali tak kusangka kaupun memiliki kepandaian meniup suling demikian hebatnya!”
“Aah, kau hanya menyindir, Nyo-taihiap. Aku baru saja belajar silat, belum ada seperseratus dari Lian Hwa cici! Bahkan di kemudian hari banyak mengharap petunjuk taihiap dalam hal ilmu silat.”
Nyo Tiang Pek merasa gemas kepada Cin Han. Masakan gadis yang begini sopan santun merendah dan cantik jelita dikatakan sombong, nakal dan jumawa? Gadis ini begini halus tutur bahasanya, begini sopan gerak-geriknya, bahkan jauh lebih menarik daripada Lian Hwa!
Pada saat itu terdengar suara orang tertawa-tawa. Lian Hwa mendatangi, diikuti Song Cu Ling yang menggandeng tangan Kong Liang dan Mei Ling.
“Eh, eh, Nyo-twako sudah berada di sini? Sudah lamakah, twako?”
Wajah Tiang Pek memerah mendengar pertanyaan yang mengandung godaan ini. Ia pelototkan mata memandang Lian Hwa yang segera menutup mulutnya dengan tangan, menahan suara ketawanya.
“Aah, Giok Lie cici berada di taman dengan seorang kawan, pantas saja kami cari di mana-mana tidak ada!” Mei Ling tiba-tiba menegur yang membuat Lian Hwa tertawa geli dan membuat wajah kedua pemuda pemudi itu makin merah saja.
Karena merasa serba salah, Tiang Pek segera minta maaf dan bermohon diri, keluar dari taman. Di luar taman Cin Han menantinya dan pura-pura tidak tahu akan siasat yang diaturnya dengan Lian Hwa itu.
“Hm, kau memang terlalu, lauwte.” Tiang Pek menegur cemberut.
“Eh, eh, apakah tukang sulingnya berlaku kurang ajar padamu, twako?”
“Jangan begitu, lauwte, hampir saja aku mendapat malu. Kau tukang bohong, dulu kau bilang adikmu nakal dan sombong. Tapi......”
“Tapi apa, twako?” Cin Han bertanya, sambil menggoda.
“Sama sekali tidak nakal, dan sedikit pun tidak sombong......”
“Jadi kau suka padanya, twako?”
“Anak gila kau!” Tiang Pek yang digoda memaki tapi sambil tersenyum, lalu meninggalkan Cin Han ke dalam kamarnya.
250
Malam itu juga Cin Han menjumpai paman dan bibinya untuk membicarakan hal usulnya untuk menjodohkan Giok Lie dengan Tiang Pek. Kedua orang tua itu memang suka dan kagum melihat Tiang Pek, maka tentu saja mereka senang sekali mendengar usul ini, lalu mereka ajak Song Cu Ling berunding. Nyonya tua inipun sudah cukup kenal dan tahu akan sepak-terjang pendekar muda itu, sehingga iapun menyatakan kegembiraannya.
Untuk menyatakan hal ini kepada Giok Lie, Lian Hwa lah yang bertanggung jawab, sedangkan yang bertanya kepada Tiang Pek tentu saja diserahkan kepada Cin Han. Kedua taruna remaja itu memang sudah merasa tertarik yang satu kepada yang lain, maka ketika ditanya mereka hanya bertunduk saja dengan muka merah dan dada berdebar.
Demikianlah, pada bulan berikutnya, hari kedelapan, di rumah Gan Keng Hiap dihias indah dan diramaikan dengan gembreng dan tambur. Tamu-tamu keluar masuk memenuhi ruang rumah Gan Keng Hiap. Di ruang dalam, dua pasang pengantin duduk bersanding: Lo Cin Han dengan Han Lian Hwa, dan Nyo Tiang Pek dengan Coa Giok Lie. Baik Lian Hwa maupun Giok Lie masing-masing mengucurkan air mata karena teringat akan ayah ibu masing-masing.
Di dalam perayaan itu, semua kawan dari kalangan kang-ouw pun datang untuk memberi selamat. Tidak ketinggalan datang juga Gwat Liang Tojin, Kong Sin Ek si Dewa Arak, Pek Siong Tosu, Ong Su dan Ong Bu, Biauw In Suthai, dan yang lain-lain. Bahkan ada beberapa orang pula dari pihak Pek-lian-kauw yang sudah sadar dan insaf akan kesalahan mereka.
Setelah pesta kawin bubar, Nyo Tiang Pek dan isterinya pergi ke Kang-lam mencari Kam Hong Tie, sedangkan Cin Han dan Lian Hwa pergi ke Kim-ma-san untuk menghadap Beng San Siansu. Kedua pengantin ini berbulan madu sambil menikmati pemandangan indah di sepanjang perjalanan mereka.
Maka bahagialah penghidupan mereka sepanjang masa.
TAMAT
alysa, http://indozone.net/literatures/literature/1566
19 April jam 7:14am

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru