Senin, 20 Agustus 2018

CeritaSilatCiat Si Tangan Halilintar 2 Tamat

CeritaSilatCiat Si Tangan Halilintar 2 Tamat----

"Begini, kita bertanding seolah dua orang musuh yang saling berhadapan. Jadi, kita
keluarkan semua ilmu yang kita kuasai untuk mendapatkan kemenangan."
Mendengar tantangan ini, A Siong tertawa. "Heh-heh-heh, kalau secara bebas begitu,
engkau pasti akan kalah, Siauw Beng."
Siauw Beng juga tertawa. "Hemm, benarkah? Kalau belum dicoba, bagaimana engkau
bisa memastikan begitu?"
"Kau tahu, aku mempunyai ilmu gulat yang tidak pernah kaupelajari. Sekali sebuah
anggauta badanmu tertangkap olehku, engkau akan kubuat tidak berdaya dan akan
kalah." kata A Siong sungguh-sungguh dan jawaban ini saja menunjukkan bahwa dia jujur
atau kurang cerdik. Masa dalam pertandingan mencari kemenangan, dia sudah
memberitahukan rahasia kemenangannya? Akan tetapi biarpun jujur dan kurang cerdik, A
Siong bukan sembarangan membual. Dalam pertandingan itu, tentu saja mereka berdua
sudah menguasai benar ilmunya dan dapat membatasi tenaganya sehingga kalau pukulan
mengenai anggauta tubuh lawan, pukulan itu hanya mengandung se¬bagian tenaga saja.
Dan pukulan Siauw Beng yang tidak dilakukan dengan tenaga sepenuhnya itu, dapat
diterima oleh tubuhnya yang dilindungi kekebalan dengan baik. Sebaliknya" kalau sampai
tangan, kaki, pundak atau pinggang Siauw Beng dapat ditangkapnya, dia akan membuat
Siauw Beng tidak mampu berkutik lagi dengan pitingan-pitingan dan kuncian-kuncian ilmu
gulatnya!.
"Baiklah, sekarang kita bertaruh," kata Siauw Beng. "Ayah tadi memesan agar siang nanti
selain masak sayur seperti biasa juga kita harus merebus enam butir telur, untuk ayah dua
butir dan kita masing-masing dua butir. Nah, kita pertaruhkan dua butir telur kita, kalau aku
kalah, dua butir telur untukku untukmu dan sebaliknya kalau aku menang, engkau harus
makan dengan sayur dan dua butir telurmu kau berikan padaku."
A Siong membelalakkan matanya yang sudah lebar itu sehingga mendelik seperti mata
sapi. "Jadi semua empat butir telur rebus untuk makan siangku nanti? Hemm"
"Ingat, engkau harus dapat mengalahkan aku lebih dulu!" Siauw Beng mengingatkannya.
"Baik, mari kita mulai! Demi untuk dua butir telur rebus, sekali ini aku pasti menang!" kata
A Siong.
Keduanya lalu memasang kuda-kuda yang sama, kedua kaki dipentang lebar, kedua lutut
ditekuk dan dalam keadaan seperti menunggang kuda, mereka saling berhadapan. Kudakuda
yang kokoh, na¬mun karena bentuk tubuh A Siong demi¬kian besar, maka dia
tampak lebih kokoh.
"Nah, mulailah, A Siong!" Siauw Beng menantang. A Siong mulai menerjang maju.
Gerakannya kuat dan cepat, kedua lengannya yang panjang besar itu seperti dua buah
lengan biruang yang menyam¬bar. Siauw Beng mengenal gerakan- ini, mengelak dan.
membalas. Akan tetapi karena A Siong juga mengenal gerakannya, maka A Siong dapat
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 133
pula menangkis. Keduanya mulai saling serang dengan seru. Kalau ada orang menonton
pertan¬dingan itu, dia tentu akan khawatir. Tampaknya mereka itu saling serang dengan
sungguh-sungguh dan gerakan se¬pasang tangan mereka mengeluarkan bu¬nyi
bersiutan. Akan tetapi dua orang itu telah menguasai ilmu mereka sehingga kalau ada
tangan mereka yang mengenai sasaran, sebelum tangan itu menyentuh tubuh lawan, tang
an itu tentu akan dikurangi tenaganya sehingga tidak akan membahayakan tubuh yang
terpukul. Karena sifat pertandingan ini hanya latihan, maka mereka lebih mengutamakan
gerakan otomatis untuk membuat seluruh perasaan mereka hidup dan menyatu dengan
ilmu silat yang mereka mainkan.
"Haiiittt …!" A Siong membentak dan dia sudah menyerang derigan jurus yang paling
disukainya, yaitu jurus Sam-hoan-to-goat (Tiga Lingkaran Bungkus Bulan). Tubuhnya
menyerang dengan kaki melakukan gerakan berputar seperti melingkar-lingkar tiga kali
dan dengan demikian dia menyerang lawan dari tiga jurusan yang berbeda.
Siauw Beng mengelak ke belakang, lalu memutar tubuh dan menangkis dengan jurus Pekliong-
pai-bwe (Naga Putih Sabetkan Ekor). "Duk-duk!" Dua kali serangan A Siong dapat
ditangkis dan ke¬duanya tergetar sehingga terdorong mundur.
"Sam but inU" kini Siauw Beng mem¬bentak dan tangan kanannya membentuk seperti
leher burung bangau, jari-jarinya disatukan menotok ke arah ulu hati A Siong dengan jurus
Pek-ho-tek-hu (Bangau Putih Mematuk Ikan). Namun A Siong maklum akan bahayanya
serangan ini dan dia sudah memutar lengan kanannya dari samping, menangkis dengan
gerakan memutar dengan jurus To-tui-lim-ciang (Mendorong Roboh Lonceng Emas).
Demikianlah, kedua orang itu saling serang dengan serunya. Tentu saja kalau Siauw Beng
menghendaki, dengan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan sinkang (tenaga sakti) yang
lebih unggul, dia akan mampu merobohkan A Siong le
bih cepat, namun untuk itu dia harus menggunakan tenaga dalam dan hal itu tentu akan
membuat A Siong terluka cukup parah. Dia tidak menghendaki hal ini terjadi, maka
pertandingan yang sesungguhnya hanya latihan itu berjalan seru, seimbang dan lama.
Akhirnya, setelah mandi peluh dan merasa sudah cukup puas dengan latihan itu, A Siong
mengeluarkan simpanannya yang akan membuat dia dapat menikmati dua butir telur
rebus tambahan. Tiba-tiba dia membuat gerakan aneh dan tahu-tahu jari-jari tangan
kanannya yang besar itu sudah dapat menyambar dan menangkap lengan kiri Siauw
Beng. A Siong memang pandai ilmu gulat yang dipelajarinya dari seorang pemburu
binatang berbangsa Hui yang kesasar ke Thaisan. Bagi seorang ahli gulat, sekali lengan
lawan dapat tertangkap, maka lengan itu akan dipuntir dan ditelikung dalam jurus kuncian
yang akan membuat lawan tidak berdaya lagi. A Siong sudah kegirangan dan hendak
menelikung lengan itu. Akan tetapi tiba-tiba Siauw Beng membuat gerakan dari samping,
tangan kirinya menampar pangkal lengan A Siong yang menangkapnya, disusul tamparan
lain yang mengenai pundak raksasa itu.
"Plak! Plak!!" A Siong berseru kaget, pegangannya terlepas karena dia merasa lengan
kanannya seperti lumpuh dan ketika tamparan ke dua mengenai pundaknya, diapun
terpelanting roboh! A Siong merangkak bangun dan memandang kepada Siauw Beng
dengan mata terbelalak.
"Huh, ilmu tamparan macam apa itu? Kenapa aku tidak mengenalnya? itu bukan ilmu
yang kaupelajari dari suhu! Engkau menggunakan ilmu dari luar, kau curang, Siauw
Beng!" A Siong menegur, penasaran karena dia kalah sehingga kehilangan dua butir telur
rebusnya.
"Tidak, A Siong. Itu adalah ilmu silat Lui-kong-ciang, memang belum kau kenaI, akan
tetapi bukan ilmu dari luar, melainkan ilmu warisan dari ayah kandungku. Karena tadi aku
sudah kaupegang dan hampir kaukuasai, maka dalam kegugupanku, aku terpaksa
menggunakan Lui-kong-ciang. Biarlah aku mengaku kalah dan dua butir telur rebusku
siang ini boleh kaumakan."
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 134
"Nanti dulu! Soal telur rebus gampang. Akan tetapi engkau tadi bicara tentang warisan dari
ayah kandungmu? Ma lo-sicu masih hidup, bagaimana bisa dikatakan dia meninggalkan
warisan untukmu?"
Siauw Beng menjadi bingung. Ma Giok yang selama ini dia anggap sebagai ayah
kandungnya, dua tahun yang lalu menyerahkan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat
kepadanya dan menceritakan tentang Lauw Heng San, ayah kandungnya yang tewas
sampyuh (sama-sama tewas) dengan seorang pembesar Mancu. Ma Giok juga
menceritakan tentang ibunya yang meninggal dunia ketika melahirkan dia. Baru dia tahu
bahwa Ma Giok hanyalah ayah angkatnya. Dia lalu melatih diri dengan ilmu silat
peninggalan ayah kandungnya itu. Dia masih menganggap Ma Giok sebagai ayahnya
sendiri dan tidak menceritakan tentang rahasia dirinya kepada orang lain. Akan tetapi dia
kelepasan bicara sehingga membuka rahasianya sendiri. Maka, kini dia tidak mampu
menjawab, hanya memandang A Siong dengan muka bodoh.
"Sian-cai...! Sudah waktunya engkau mengetahui juga kenyataan itu, A Siong, karena
engkaulah yang akan menemani Siauw Beng dalam perantauannya di dunia kangouw
sebagai seorang pendekar, melanjutkan cita-cita ayah kandungnya." Sesosok bayangan
berkelebat dan Ma Giok telah berdiri di dekat mereka. Ma Giok kini sudah menjadi
seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, namun dia masih tampak gagah perkasa
dan berwibawa walaupun rambutnya sudah bercampur banyak uban.
A Siong memandang kepada Ma Giok dengan mata bodoh. "Apa artinya ini semua, Malosicu?"
Ma Giok duduk bersila di atas sebuah batu bundar yang menjadi tempat duduk yang dia
senangi. Seringkali bekas pim¬pinan pejuang itu duduk melamun di at as batu ini seorang
diri. "Kalian duduklah dan dengarkan kata-kataku. Aku ingin bicara tentang hal yang
penting, dengan kalian."
Siauw Beng dan A Siong duduk di atas batu di depan kakek itu dan siap men¬dengarkan
”A Siong, ketahuilah bahwa Siauw Beng ini sebenarnya bermarga Lauw. Mendiang ayah
kandungnya bernama Lauw Heng San, seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan
yang dahulu dijuluki orang Si Tangan Halilintar! Sayang bahwa dia ditipu dan terbujuk oleh
seorang pembesar Mancu sehingga rela menjadi kaki tangannya, menentang kaum
pejuang yang gigih melawan penjajah Mancu. Akan tetapi dia sadar bahwa dia tertipu lalu
memberontak dan membunuh pembesar Mancu itu berikut para jagoannya. Isterinya yang
bernama Bu Kui Siang sedang mengandung ketika itu dan aku membantunya melarikan
diri dari pembalasan orang-orang Mancu. Aku membawa Kui Siang menuju ke sini, akan
tetapi di tengah perjalanan ia melahirkan. Kami diserang orang-orang jahat. Aku dapat
mengusir mereka akan tetapi Kui Siang meninggal dunia ketika melahirkan Lauw Beng
ini."
A Siong dengan muka sedih memandang kepada Siauw Beng dan berkata, "Aku ikut
merasa berduka mendengar tentang ayah ibumu, Siauw Beng."
"Ah, semua itu sudah berlalu, A Siong. Aku yakin ayah dan ibu kandungku telah
mendapatkan tempat yang tenteram dan damai abadi. Kita tidak perlu berduka lagi untuk
mereka." kata Siauw Beng.
"Siauw Beng benar, A Siong. Nah, sekarang kalian berdua dengarlah baik-baik. Siauw
Beng, setelah engkau mempelajari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat peninggalan ayah
kandungmu, maka tidak ada ilmu lain lagi yang dapat kuajarkan kepadamu. Juga engkau
telah mewarisi semua ilmu yang dulu diajarkan mendiang Pek In San-jin. Maka, sekarang
tibalah saatnya bagimu untuk turun gunung. Bekal kekuatan jasmani telah engkau miliki,
juga bekal kekuatan rohani telah banyak kau pelajari dari aku dan Pek In San¬jin. Engkau
boleh melanjutkan perjuanganku, perjuangan ayah kandungmu, dan engkau sudah
sepatutnya memakai julukan Si Tangan Halilintar. Dengan julukan ini engkau akan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 135
membersihkan nama ayah kandungmu yang sempat ternoda! karena bujukan orang
Mancu. Denga perbuatan-perbuatanmu yang bijaksana sebagai seorang pendekar
budiman, maka nama Si Tangan Halilintar akan terangkat, yang berarti engkau juga
mengangkat nama dan kehormatan ayah kandungmu. Dan engkau, A Siong, engkau
bantulah Siauw Beng dalam segala hal. Engkau jadilah seperti saudara sendiri,
menentukan jalan hidup kalian masing-masing. Aku hanya dapat mendoakan dari sini
semoga Tuhan selalu melindungi kalian dan memberi bimbingan ke arah jalan yang benar
dan baik."
Dua orang muda itu sudah mengenal watak Ma Giok. Pendekar ini, sekali mengeluarkan
kata-kata, tidak mungkin dibantah dan apa, yang dikatakan itu se¬lalu benar. Maka
keduanya lalu meng¬.angguk.
"Baik, ayah. Saya akan menaati perintah ayah." kata Siauw Beng.
"Saya akan menemani Siauw Beng ke manapun dia pergi, Ma-lo-sicu” kata A Siong
dengan wajah yang agak sedih dan bingung. Pikirannya kacau. Ke mana mereka harus
pergi? Dia tidak mengenal daerah di luar pegunungan Thai-san ini!
”Nah, berkemaslah kalian. Bawa semu pakaian, bungkus dengan kain dan gendong
buntalan pakaian itu. Siauw Beng, ada sisa sekantung emas di dalam peti pakaianku itu,
boleh. kau ambil dan kau bawa sebagai bekal kalian di perjalanan.”
Ketika dua orang muda itu bangkit dan hendak melaksanakan perintah itu, Ma Giok
bertanya kepada A Siong. ”A Siong, apakah enam butir telur itu sudah kau rebus?”
A Siong memandang heran. "Sudah, lo-sicu."
”Bawalah sisa roti kering dan daging kering dari dapur, juga enam butir telur rebus.
Bawalah untuk bekal kalian menuruni gunung."
Dua orang muda itu dengan patuh.melaksanakan semua perintah Ma Giok. Setelah siap,
sambil menggendong buntalan pakaian masing-masing, mereka menghadap lagi kepada
Ma Giok yang masih duduk di atas batu bundar.
Siauw Beng menjatuhkan diri di atas lututnya dan A Siong mengikuti perbuatannya.
Sambil berlutut di depan Ma Giok, Siauw Beng berkata dengan suara perlahan. "Ayah,
masih ada sebuah pertanyaan lagi yang sampai sekarang belum ayah jawab.”
Ma Giok mengangguk-angguk. "Ada sebuah pantangan besar bagi seorang pendekar,
Siauw Beng. Seorang pendekar haruslah bersikap adil dan kalau pantangan ini kau
langgar, maka engkau akan kehilangan pertimbangan yang adil itu dan engkau tidak
pantas menjadi pendekar. Pantangan itu adalah dendam sakit hati! Segala tindakan yang
didasari dendam, merupakan tindakan balas dendam yang timbul dari kemarahan dan
kebencian, dan sama sekali tidak diukur dengan keadilan lagi. Bahkan tindakan balas
dendam menimbulkan perbuatan kejam, terkadang bahkan jahat. Engkau tentu hendak
menanyakan siapa mereka yang menyerang aku sehingga ibumu sampai meninggal
ketika melahirkan, bukan?"
"Benar, ayah. Ayah sudah menceritakan tentang kematian ayah Lauw Heng San yang
telah berhasil membunuh musuh-musuhnya sehingga tidak ada penasaran lagi. Akan
tetapi kematian ibu yang disebabkan serangan orang jahat. Saya tidak akan menentang
orang itu karena balas dendam. Kalau nanti saya mendapatkan bahwa dia kini menjadi
orang baik-baik, saya tidak akan mengganggunya. Akan tetapi kalau dia masih menjadi
orang jahat, saya akan menentangnya, bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk
menentang kejahatan seperti yang Suhu Pek In San-jin dan Ayah ajarkan kepada saya
selama ini."
"Baiklah kalau begitu. Para penyerang itu adalah Hui-kiam Lo-mo, seorang datuk Sungai
Huang-ho. Dia lihai sekali akan tetapi sekarang tentu sudah sangat tua kalau dia masih
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 136
hidup. Mungkin seka¬rang usianya sudah delapan puluh lima tahun. Ketika itu dia
menyerang bersama muridnya yang bernama Can Ok dan empat orang anak buahnya.
Aku berhasil membunuh empat orang anak buah itu, akan tetapi.Hui-kiam Lo-mo dan Can
Ok sempat melarikan diri."
"Terima kasih, ayah." kata Siauw Beng.
"A Siong," kata Ma Giok sambil ter¬senyum. " Engkau agaknya juga hendak menyatakan
sesuatu. Kalau ada yang mengganggu hati dan pikiranmu, katakan¬lah dalam
kesempatan terakhir ini."
A Siong yang semula ragu-ragu, lalu berkata, "Hanya ini, lo-sicu. Kalau kami berdua pergi
meninggalkan tempat ini, lalu....... lalu bagaimana dengan lo-sicu? Siapa yang akan
mengerjakan kesemuanya itu? Mengangsu air, membersihkan rumah dan pekarangan,
mencuci dan memasak. Ah, bagaimana lo-sicu dapat hidup seorang diri di sini? Tidak ada
yang meng¬urus, tidak ada yang membantu. Sungguh, saya....... saya tidak tega, lo-sicu."
Ma Giok tersenyum. "Mendiang Pek In San-jin berkata benar ketika mengatakan
kepadaku bahwa engkau yang tampak kasar ini memiliki hati yang lembut, di dalam batu
yang sederhana itu tersimpan emas. Jangan khawatir, A Siong. Aku adalah seorang yang
sudah biasa hidup sendiri dan siapa tahu mungkin akupun akan turun dari puncak ini.
Temanilah saja Siauw Beng, kalian berdua dapat saling bantu sehingga kalian akan dapat
menemukan kebahagiaan dalam hidup ini. Nah, sekarang berangkatlah!"
Siauw Beng dan A Siong lalu berangkat. Mereka menuruni puncak. Kalau Siauw Beng
dengan langkah tegap terus maju ke depan, adalah.A Siong yang berjalan di belakangnya,
beberapa kali menengok dan diam-diam laki-laki kasar tinggi besar itu menggunakan
punggung kepalan tangan kanannya untuk mengusap air mata yang membasahi kedua
matanya.
****
Kota Sauw-ciu merupakan kota yang ramai. Pada waktu bangsa Mancu menyerbu ke
Cina, kota itupun menjadi kacau dan rusak. Akan tetapi sekarang kota itu telah dibangun
kembali. Pemerintah baru, yaitu dinasti Ceng atau pemerintah penjajah Mancu maklum
bahwa kota ini merupakan pasaran yang ramai untuk berdagang. Di sini pemerintah dapat
memperoleh banyak penghasil¬an dari pemungutan pajak dan pemungut¬an-pemungutan
lain sehingga pemerintah perlu membangun kota itu, menjaganya agar aman sehingga
rakyat dapat berda¬gang dengan leluasa. Karena semakin maju dan ramai, maka rumahrumah
penginapan dan rumah-rumah makan yang besar bermunculan seperti jamur di
mu¬sim hujan.
Di sudut barat kota itu berdiri sebuah rumah makan besar dengan nama Ho Tin Jai-koan
(Rumah Makan Ho Tin). Rumah makan itu selain mempunyai sebuah ruangan besar di
bawah, di bagian atas juga ada lotengnya yang memiliki ruangan cukup luas pula. Kalau di
ruangan bawah, rumah makan itu mampu menampung sekitar tiga ratus orang tamu, di
bagian loteng mampu menampung kurang lebih seratus orang tamu. Rumah makan Ho
Tin ini merupakan sebuah di antara tiga buah restoran terbesar di kota Sauwciu dan
restoran ini khusus menghidangkan masakan suku Khek dari utara.
Pada pagi hari itu, suasana kota sudah ramai. Toko-toko sudah buka dan yang paling
ramai adalah toko-toko besar yang menjual rempah-rempah dan toko-toko kelontong atau
toko-toko kain. Di situ orang berjual beli dengan ramainya. Sepagi itu restoran-restoran
masih sunyi. Biasanya, para tamu yang bermalam di hotel-hotel, kalau pagi cukup dengan
sarapan bubur atau makanan kecil yang dijual oleh penjaja makanan di depan hotel-hotel
itu. Kalau hendak makan siang atau makan malam dengan kawan-kawan yang mereka
sebut "makan besar", barulah mereka berkunjung ke restoran, memesan masakanmasakan
yang lezat dan mahal, lalu makan-makan sambil minum arak sampai mabuk.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 137
Akan tetapi, pada pagi hari itu sudah ada belasan tamu yang duduk di ruangan bawah
rumah makan Ho Tin. Mereka pada umumnya para pedagang kaya yang untuk sarapan
pagi saja ingin menikmati masakan yang lezat dan mahal dari ru¬mah makan besar yang
terkenal dikota Sauw-ciu itu. Kecuali dua orang tamu yang sama sekali tidak.
mendatangkan kesan sebagai saudagar kaya, bahkan mereka tampak seperti dua orang
dusun yang berpakaian sederhana sekali walaupun bersih. Mereka masing-masing
menggendong buntalan kain dan kini mereka melepaskan buntalan kain dari punggung
dan menaruh di atas lantai dekat meja yang mereka hadapi. Mereka itu bukan lain adalah
Siauw Beng dan A Siong. Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan tanpa halangan
di dalam per jalanan karena siapa yang hendak mengganggu
dua orang dusun sederhana seperti mereka, pada pagi hari itu, pagi-pagi sekali mereka
memasuki kota Sauw-ciu dan karena perut mereka terasa lapar, ketika mendum bau
sedap masakan dari rumah makan Ho Tin, mereka segera memasukinya.
Seorang pelayan menghampiri mereka dengan alis berkerut. Dia pernah mengalami
orang-orang yang uangnya tidak cukup untuk membayar makanan pesan masakan di
rumah makan itu, maka pengalaman ini membuat dia berhati-hati. Apalagi melihat A Siong
yang cengar-cengir mencoba menggerak-gerakkan hidungnya yang besar pesek ketika
mencium sedapnya masakan, dia merasa curi¬ga. Bagaimana orang-orang dusun seperti
mereka berani memasuki restoran Ho Tin yang besar dan tentu saja masakannya serba
mahal dan lezat? Biasanya hanya para saudagar kaya saja yang berpesta pora di sini.
Belum pernah ada orang dusun makan di situ. Biasanya, orang dusun membeli makan di
pinggir jalan, masakan yang murah.
"Kalian berdua masuk ke sini mau apakah?" Sebuah pertanyaan yang kasar dan amat
menghina dari seorang pelayan restoran kepada tamunya. Akan tetapi Siauw Beng dan A
Siong tidak merasakan kekasaran itu, apalagi penghinaan. Pertanyaan itu hanya membuat
Siauw Beng memandang kepada pelayan itu dengan heran.
"Sobat, melihat tulisan di luar itu, bukankah ini sebuah rumah makan? Kami lihat para
tamu juga sedang makan. Tentu saja kami masuk ke sini untuk pesan makanan." kata
Siauw Beng sambi! tersenyum.
A Siong mengangguk-angguk. "Ya, pesan makan yang baunya sedap ini"
Pelayan itu menyeringai, jelas dia memandang rendah. "Hemm, ketahuilah kalian berdua.
Masakan di rumah makan kami ini mahal harganya. Jangan-jangan setelah makan kalian
tidak mampu membayarnya!"
Mulailah Siauw Beng merasa bahwa orang ini memandang rendah kepada mereka, akan
tetapi dia tidak marah, hanya tersenyum. Sebaliknya, A Siong juga mulai mengerti bahwa
mereka disangka tidak mampu membayar harga makanan.
Kebetulan dia yang diserahi membawa kantung uang mereka, maka dia lalu cepat
membuka buntalan pakaiannya, mengeluarkan kantung uang itu dan membukanya di
depan hidung pelayan sambil membentak. "Tidak mampu membayar katamu? Lihat, kalau
kepalamu dimasakpun agaknya kami masih mampu membayarnya. Tentu kepalamu tidak
semahal ini, bukan?" Dia mengguncang kantung itu sehingga terdengar bunyi
gemerencing emas dan perak di dalamnya. Pelayan itu terbelalak ketika melihat betapa
kantung itu berisi banyak sekali emas!
"Maaf......" katanya sambi! membungkuk-bungkuk."Ji-wi (kalian berdua) hendak memesan
masakan apakah?" Sikapnya seketika berubah, kini sopan, bahkan menjilat. Siauw Beng
tersenyum. Orang macam ini berwatak rendah. Suka menjilat yang di atas dan menghina
yang di bawah, menjilat orang kaya dan menghina orang miskin.
"Hemm, kami akan memesan.......... eh, apakah ada masakan kepala seperti yang
dikatakan saudaraku tadi?" Siauw Beng menggoda.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 138
"Masakan......... kepala........ ?" Pelayan itu otomatis memegangi kepalanya sendiri.
''ah.......... tidak ada......... tidak ada.......... "
"Kalau tidak ada, kami memesan nasi dan dua macam masakan daging ayam dengan
sayur." kata Siauw Beng.
"Seperti masakan yang baunya terciurn dari sini sekarang ini" A Siong menambahkan.
"Dan minumnya, air teh!"
Pelayan itu kembali merasa heran. Biasanya, orang memesan masakan dengan minuman
anggur atau arak, akan tetapi orang-orang dusun ini memesan minuman air teh! Dia
mengangkat pundak lalu pergi untuk menyampaikan pesanan ini di bagian dapur.
Sambil menanti dihidangkannya pesanan mereka, dua orang itu memandang ke kanan
kiri. Segala yang terdapat di situ menarik perhatian mereka, terutama perhatian A Siong.
Siauw Beng masih mampu menahan keheranan dan kekagumannya, akan tetapi A Siong
merasa kagum dan mulutnya berdecak-decak kalau melihat sesuatu yang membuatnya
kagum dan heran. Seperti ukiran-ukiran pada dinding, lukisan-lukisan. Bahkan sumpit
yang halus buatannya, yang sudah tersedia di dalam tempat sumpit di atas meja. Juga dia
mengagumi pakaian orang¬orang yang sedang makan minum di ruangan itu. Ketika dia
melihat jalan tangga yang menuju ke loteng, dia berdiri untuk dapat melihat ke arah loteng.
"Lihat, di atas ada ruangannya lagi. Kita bisa duduk dan makan di sana!" katanya kepada
Siauw Beng. Siauw Beng tersenyum dan menarik tangan A Siong agar duduk kembali.
"Sudahlah, di sini juga sama saja. Lihat, orang-orang lain juga makan di sini. Belum tentu
kalau ruangan di atas itu untuk para tamu, mungkin untuk keluarga pemilik rumah rnakan
ini sendiri." katanya.
Karena Siauw Beng dan A Siong masih menunggu hidangan dan memperhatikan keadaan
sekitarnya, tidak seperti para tamu lain yang sedang sibuk makan, maka perhatian mereka
segera tertarik oleh munculnya dua orang laki-Iaki dari luar rumah makan. Mereka
memasuki ruangan itu dan Siauw Beng merasa tertarik sekali karena dari langkah mereka,
tahulah dia bahwa mereka itu adalah orang-orang yang "berisi". Dari langkah dan sikap
mereka, dia tahu bahwa dua orang itu adalah ahli-ahli silat yang pandai. Tentu saja
kemunculannya menarik perhatiannya. A Siong yang dalam banyak hal mengikuti gerakgerik
Siauw Beng, juga segera menaruh perhatian kepada dua orang itu.
Yang seorang berusia sekitar lima puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus seperti bambu.
Tampaknya lemah saking kurusnya, seolah tertiup angin saja dia akan terpelanting. Juga
saking kurusnya, wajahnya seperti tengkorak terbungkus kulit, sehingga tampak
menyeramkan. Orang ke dua lebih tua, sekitar lima puluh tiga tahun, tubuhnya sedang dan
dia mengenakan jubah longgar kebesaran sehingga tampak lucu walaupun tampangnya
boleh dibilang bersih tampan.
Yang lebih menarik perhatian Siauw Beng dan A Siong, di punggung kedua orang itu
tergantung sebatang pedang. Menarik sekali melihat orang-orang ini berani
membawa pedang di punggung mereka, begitu terang-terangan tidak disembunyikan.
Padahal pada waktu itu, pemerintah kerajaan Ceng, yaitu pemerintah penjajah Mancu,
melarang keras rakyat bangsa Han (pribumi) membawa senjata di tempat umum! Maka,
Siauw Beng dapat menduga bahwa dua orang itu tentulah sebangsa pendekar yang
terkadang tidak mengacuhkan larangan pemerintah penjajah yang mereka anggap musuh,
atau mungkin juga mereka berdua sebangsa penjahat yang tentu saja tidak
memperdulikan segala macam larangan. Maka diam-diam dia memperhatikan gerak-gerik
dua orang itu.
Dia melihat betapa dua orang itu celingukan dan menyapu ke seluruh ruangan, mata
mereka seperti mencari-cari. Agaknya mereka tidak menemukan apa yang dicari karena
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 139
lalu memasuki ruangan dan langsung saja me¬reka berdua melangkahkan kaki ke arah
anak tangga yang menuju ke loteng atau ruangan atas.
Pada saat itu, pelayan datang menghidangkan makanan yang dipesan Siauw Beng dan A
Siong. Dua piring nasi dan dua miring masakan, sepoci air teh dan mangkok-mangkok teh.
Akan tetapi be¬gitu meletakkan hidangan di atas meja, pelayan tadi melihat dua orang tadi
hendak naik ke loteng.
"Heii.......... tidak boleh naik ke sana.......... !!" Pelayan itu lalu berlari menghampiri dua
orang itu, A Siong tidak perduli, begitu melihat nasi dan masakan, dia lalu mulai makan
dengan lahapnya sehingga semangkok nasi itu habis dalam waktu cepat. Dia segera
menyambar mangkok nasi ke dua. Akan tetapi Siauw Beng yang tertarik oleh gerak-gerik
dua orang itu ingin melihat apa yang hendak dilakukan pelayan yang cerewet dan suka
memandang rendah orang miskin dan menjilat orang kaya itu.
Pelayan itu mendahului dua orang itu, menghadang dan menghalang mereka melangkah
ke anak tangga. "Harap jiwi (kalian berdua) tidak naik ke loteng karena pada saat ini
loteng telah diborong oleh Song-Loya (Tuan tua Song) untuk pesta keluarganya!"
Dua orang tamu itu memang berpakaian agak kotor, agaknya karena habis melakukan
perjalanan jauh sehingga sepatu merekapun penuh debu. Maka pelayan itupun agaknya
kurang menghormati me¬reka.
Orang yang tinggi kurus bermuka tengkorak itu berkata, suaranya serak, "Kami justeru
hendak bertemu Song-loya! Minggirlah kau!"
Akan tetapi pelayan itu berkeras melarang. "Tidak, kalau tidak ada perkenan Song-loya,
kami tidak berani membiarkan siapapun juga naik ke loteng. Apa buktinya bahwa ji-wi
merupakan tamu Song-loya?"
"Buktinya?" Orang ke dua yang mukanya bersih dan bajunya kedodoran bertanya, lalu
dijawabnya sendiri. "Inilah buktinya!" Dia menggerakkan tangan kiri menepuk pundak
pelayan itu. Kemudian sambil tersenyum lebar kedua orang itu melanjutkan langkah
mereka menaiki tangga yang menuju ke ruangan loteng di atas. Pelayan itu masih berdiri
seperti tadi dan agaknya dia hanya berdiri melongo, tidak melakukan atau berkata apapun.
Sementara itu, nasi dalam mangkok ke. dua juga sudah lenyap memasuki perut A Siong
yang tadi masih merasa lapar. "He, sobat pelayan! Tambah lagi nasinya!" Dia berseru dan
melihat pelayan itu masih bengong berdiri di bawah anak tangga, A Siong mengomel. "He,
budak uang! Kalau orang yang memanggil, engkau pura-pura tidak dengar, kalau uang
yang memanggil, engkau berlari menghampiri dengan ekor bergoyang-goyang!" Karena
tidak sabar, dia bangkit berdiri dan melangkah lebar menghampiri pelayan yang masih
berdiri bengong di bawah tangga yang menuju ke loteng.
"Hei, bung pelayan! Apakah engkau tuli dan gagu? Hayo tambah lagi nasi putih, dua
mangkok, eh, tiga......... lima mangkok. Cepat!" bentak A Siong sambil menyentuh lengan
pelayan itu. Akan tetapi dia sendiri terkejut ketika tangannya merasa betapa lengan
pelayan itu kaku. Tahulah A Siong bahwa pelayan itu tidak mampu bergerak karena
tubuhnya telah ditotok orang sehingga kaku.
Setelah mengetahui keadaan pelayan itu, A Siong menepuk pundaknya dan
menggunakan jari tangannya untuk membuka jalan darah yang tertotok sambil
berkata,”Hayo cepat ambilkan tambahan nasi!”
Seketika pelayan itu dapat bergerak kembali. Wajah pelayan itu menjadi pucat. Dia tahu
bahwa tadi tubuhnya tidak mampu bergerak setelah tangan kiri tamu yang berjubah lebar
itu menepuk pundaknya dan sekarang, setelah pemuda dusun tinggi besar itu
menepuknya, dia dapat bergerak kembali. Baru dia menyadari bahwa dia berhadapan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 140
dengan orang pandai, maka sambil membungkuk-bungkuk dia lalu menyanggupi dan
bergegas pergi ke dapur untuk mengambilkan lima mangkok nasi yang diminta A Siong.
Siauw Beng melihat ini semua. Ketika A Siong duduk kembali, dia berbisik.
"A Siong, di sini gawat, jangan bertindak sembrono. Jangan mencari pertengkaran dengan
orang tanpa sebab yang pasti. Kita tidak tahu orang-orang macam apa yang sedang
berkumpul di atas itu."
Sambil mulai makan nasi dari mangkok ke tiga, A Siong menjawab. "Hemm, masa bodoh
amat. Asalkan mereka tidak mengganggu kita, akupun tidak perduli."
Keduanya makan minum dan seakan sudah melupakan lagi peristiwa tadi. Dari tempat
mereka duduk, mereka dapat mendengar suara mereka yang di loteng bicara tidak jelas
dan hanya mendengar mereka tertawa-tawa.
Tiba-tiba terdengar suara dari atas. "Heiii! Pelayan, cepat naik ke sini!!”
A Siong dan Siauw Beng semakin tertarik. Suara itu terdengar biasa saja, namun mereka
berdua dapat merasakan betapa suara itu didorong oleh tenaga sakti kuat sehingga
mengandung getaran dan suara seperti itu dapat terdengar dari tempat jauh!
Seorang pelayan lain, karena yang tadi tidak berani naik, cepat naik ke loteng memenuhi
panggilan itu. Tak lama kemudian dia turun lagi membawa sebuah kertas catatan,
agaknya pesanan mereka yang berada di loteng itu dicatat dan itu menandakan bahwa
pesanan itu tentu banyak. Sesampainya di bawah, pelayan itu berbisik-bisik kepada
pelayan yang kena totok tadi. Kembali A Siong minta tambahan dua mangkok nasi dan
ketika pelayan itu mendekati, dia bertanya,
"Apa yang dikatakan pelayan yang melayani mereka yang berada di atas?" Karena
pelayan itu kini tahu bahwa raksasa muda itu bukan orang sembarangan, dia menjawab.
"Tadinya ada dua orang di atas, ditambah lagi dua orang yang baru datang, akan tetapi
kenapa kini yang di atas menjadi lima orang? Entah bagaimana yang seorang lagi tahutahu
berada di loteng." Setelah berkata demikian, dia pergi untuk mengambilkan dua
mangkok nasi.
Siauw Beng saling pandang dengan A Siong. "Memang mencurigakan mereka itu, A
Siong. Aku khawatir akan terjadi sesuatu yang hebat di sini. Akan tetapi ingat, kalau tidak
mengganggu kita, jangan mencampuri urusan orang lain." kata Siauw Beng.
A Siong yang sudah menghabiskan enam mangkok nasi, A Siong baru merasa kenyang
dan dia menyeka mulutnya dengan kain lap, lalu berkata, "Kalau mereka melakukan
kejahatan mengganggu orang, apakah akupun harus diam saja?"
"Tentu saja tidak. Akan tetapi hati-hati, jangan sekali-kali turun tangan sebelum ada isarat
dariku." pesan Siauw Beng. A Siong mengangguk. Dia memang harus menaati Siauw
Beng yang dia anggap sebagai ganti Ma Giok.
Tiga orang pelayan membawa baki penuh masakan ke atas loteng. Mereka turun lagi
membawa baki kosong dan di atas terdengar orang-orang bicara dan tertawa-tawa
gembira.
Siauw Beng dan A Siong sudah selesai makan. Selagi Siauw Beng hendak memberi isarat
kepada A Siong untuk membayar harga makanan dan pergi dari situ, tiba¬tiba terdengar
suara gaduh di luar rumah makan Ho Tin dan tampak seorang gadis cantik jelita
memasuki ruangan bawah, dikawal oleh selosin pasukan Mancu yang memakai pakaian
seragam gemerlapan.
Jilid 16
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 141
Tentu saja semua tamu di rumah makan itu menjadi terkejut dan ketakutan. Pada waktu
itu, setiap kalau melihat pasukan Mancu orang merasa takut dan ngeri. Walaupun bangsa
Mancu sudah memerintah hampir tiga puluh tahun di Cina, rakyat tetap merasa panik
kalau melihat pasukan Mancu karena seringkali pasukan Mancu bertindak sewenangwenang
terhadap rakyat dengan dalih melakukan pembersihan terhadap para
pemberontak! Para pelayan rumah makan, Ho Tin, dipimpin oleh majikannya sendiri, cepat
menyambut gadis itu dengan membungkuk-bungkuk penuh hormat. Mereka mengenal
gadis cantik jelita yang dari pakaiannya saja dapat diketahui bahwa ia adalah seorang
puteri bangsawan Mancu! Memang sudah beberapa kali Puteri Maya, demikian nama
gadis bangsawan Mancu itu dikenal sebagai puteri seorang bangsawan tinggi, bahkan
kabarnya ayah gadis itu adalah seorang pangeran kerajaan Mancu, datang ke restoran itu
untuk makan siang.
"Selamat pagi, Nona Puteri Maya yang terhormat, selamat pagi dan silakan memilih meja
yang paduka anggap paling menyenangkan. Silakan!" kata pemilik restoran diikuti oleh
para pelayan yang membungkuk-bungkuk sambil tersenyum ramah.
Puteri Maya, demikian nama gadis jelita itu, memandang ke sekeliling. Masih banyak meja
kosong di ruangan bawah itu, akan tetapi agaknya dia tidak tertarik. Ketika pandang
matanya bertemu dengan Siauw Beng dan A Siong, gadis itu mengerutkan alisnya.
Agaknya ia merasa heran melihat ada dua orang pemuda dusun berada pula di restoran
besar itu untuk makan! Agaknya gadis itu tidak suka dengan keadaan di ruangan bawah,
mungkin sekali karena melihat bahwa di situ terdapat dua orang dusun. Masa ia, seorang
puteri keluarga istana harus makan satu ruangan bersama dua, orang dusun yang bodoh,
miskin dan kotor? Ia lalu memandang ke arah anak tangga yang menuju ke loteng.
"Aku hendak makan di atas saja." kata gadis itu kepada majikan rumah makan yang
bertubuh gendut. Majikan restoran itu membelalakkan matanya dan suara gadis yang
nyaring merdu itu seperti mengejutkannya
”Mohon beribu ampun, Nona puteri! Akan tetapi tempat di atas sudah diborong orang
untuk pesta!”
Gadis cantik itu mengerutkan alisnya. "Pembesar mana yang memborongnya?. Katakan
kepadanya bahwa Puteri Maya yang menghendaki tempat di loteng itu dan suruh mereka
berpindah ke bawah!"
"Bukan pembesar, nona. Akan tetapi yang memborong adalah Song Wan-gwe (Hartawan
Song) yang dermawan dan terkenal di kota Sauw-ciu ini"
"Tak perduli siapa dia,.suruh turun pindah ke bawah!" bentak Puteri Maya
"Akan tetapi........ mereka sedang berpesta, nona..... "
"Hemm, berapa orang sih yang berpesta?"
"Mereka ada empat....... eh, lima orang........ "
"Apalagi cuma lima orang, hayo suruh mereka pindah ke bawah sekarang juga. Dan
jangan membuat aku habis sabar!"
Majikan restoran Ho Tin itu tampak ketakutan dan bingung. Nama besar Hartawan Song
sebagai seorang dermawan di kota Sauw-ciu amat terkenal, bukan saja karena kaya raya
dan sosiawan, suka mendermakan kekayaannya, dan yang lebih dari itu, Hartawan Song
juga terkenaI sebagai seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi dan kabarnya memiliki
hubungan erat dengan semua tokoh kangouw yang gagah perkasa!
"Akan tetapi........ Nona Puteri.......... saya....saya tidak berani......... "
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 142
"Hemmmm........" Puteri Maya lalu memberi isarat kepada perwira yang memimpin
pasukan pengawalnya. Perwira itu bersama empat orang perajurit lalu berjalan melalui
anak tangga menuju ke loteng.
Siauw Beng dan A Siong yang sudah membayar harga makanan, tidak segera keluar,
melainkan masih duduk dan memperhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Juga para
tamu yang masih berada di situ memandang dengan hati berdebar. Mereka semua
mengikuti lima orang perajurit pengawal yang naik ke loteng. Mereka yang berada di
bawah tidak dapat melihat apa yang terjadi di atas, akan tetapi mereka dapat mendengar
suara seseorang membentak.
"Loteng ini sudah kami borong dan kami sewa. Tak seorangpun boleh mengusir kami dari
sini sebelum kami selesai makan minum."
Terdengar bentakan perwira pasukan tadi. "Puteri Maya membutuhkan tempat ini, maka
kalian harus pindah ke bawah, sekarang juga atau terpaksa kami menggunakan
kekerasan menyeret kalian turun ke bawah!"
Terdengar suara tawa beberapa orang disusul suara berdebukan dan mereka yang di
bawah melihat betapa lima orang perajurit pengawal itu berpelantingan dan tergulingguling
turun dari anak tangga loteng! Agaknya lima orang itu dengan paksa dilemparlemparkan
turun!
”Bagus........" A Siong berseru, akan tetapi Siauw Beng segera menyentuh tangannya dan
raksasa muda tadi menutup kembali mulutnya. Siauw Beng tidak terlalu menyalahkan
temannya yang agaknya berpihak kepada mereka yang berada di loteng karena baik A
Siong maupun ia sendiri sudah banyak mendengar dari Ma Giok tentang kekejaman dan
kesewenang-wenangan pasukan Mancu yang menjajah tanah air dan bangsa mereka.
Namun, Ma Giok juga memperingatkan bahwa tidak semua orang Mancu jahat, di antara
mereka banyak juga yang baik.
Puteri Maya menengok dan matanya yang indah, jeli dan tajam itu menyapu ruangan itu,
agaknya hendak mencari siapa orangnya yang mengeluarkan suara pujian tadi. Akan
tetapi melihat semua orang terdiam, ia lalu mengalihkan perhatiannya lagi ke arah anak
tangga. Ketika melihat lima orang pengawalnya yang lain mencabut pedang hendak
menyerbu ke atas, puteri itu membentak "Tahan, dan mundur kalian!"
Lima orang pengawal itu tidak jadi menyerbu dan membantu kawan-kawan yang
berpelantingan tadi. Namun tidak ada yang terluka parah dan kini sepuluh orang perajurit
pengawal itu memandang ke arah gadis jelita yang dengan langkah tenang naik ke atas
loteng melalui anak tangga itu! Semua orang, termasuk Siauw Beng dan A Siong,
mengikuti langkah gadis cantik jelita itu dengan heran dan tegang. Sungguh berani gadis
bernama Puteri Maya itu. Lima orang perajuritnya saja begitu naik sudah berpelantingan
jatuh dan kini ia, seorang gadis cantik jelita yang usianya paling ban yak delapan belas
tahun, berani naik ke loteng seorang diri saja! Juga majikan rumah makan Ho Tin dan
semua pelayannya, yang hanya mengenal Puteri Maya makan di rumah makan itu selama
beberapa kali dalam waktu sebulan ini, memandang heran.
Siauw Beng memberi isarat kepada A Siong dan mereka berdua menggunakan
kesempatan selagi orang tercurah perhatian mereka ke arah loteng, cepat menyelinap
keluar dan dari sisi rumah makan itu, di mana terdapat sebatang pohon. Mereka lalu
memanjat pohon mengintai dari jendela loteng yang kini berada di depan mereka. Dari
luar.jende
la itu mereka dapat menonton dengan jelas apa yang terjadi di ruangan loteng itu.
Mereka melihat ada lima orang duduk menghadapi meja besar penuh hidangan. Yang
duduk di kepala meja adalah seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun,
pakaiannya seperti seorang hartawan sehingga mudah diduga bahwa tentu dia yang
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 143
disebut Song Wan-gwe (Hartawan Song) yang dermawan itu. Tubuhnya tinggi besar dan
wajahnya yang tampak gembira itu membayangkan kesabaran dan kematangan, namun
juga berwibawa.
Jenggotnya yang masih hitam itu rapi berjuntai sampai ke lehernya dan mukanya
kemerahan. Orang ke dua berusia sekitar lima puluh delapan tahun, bertubuh sedang
berpakaian ringkas dan wajahnya masih menunjukkan bekas ketampanannya. Orang ke
tiga bertubuh pendek gemuk, berusia sekitar lima puluh lima tahun, mukanya menyeringai
seperti orang tertawa dan tarikan mukanya lucu. Orang ke e.mpat dan ke lima adalah dua
orang yang tadi naik dan yang jubahnya longgar kedodoran adalah yang tadi menotok
pelayan sehingga pelayan itu tak dapat bergerak seperti patung. Sedangkan orang ke lima
adalah si kurus yang mukanya seperti tengkorak. Usia si jubah kedodoran sekitar lima
puluh tiga dan si muka tengkorak sekitar lima puluh tahun. Mereka adalah orang-orang
yang sudah mulai tua, berusia lima puluh ke atas dan pakaian merekapun sederhana,
kecuali yang tertua dan yang duduk' di kepala meja yang berpakaian seperti seorang
hartawan.
Orang pendek gemuk yang mukanya lucu itu tertawa sambi! membersihkan kedua telapak
tangannya seolah baru saja memegang barang kotor. "Heh-heh, segala macam tikus
busuk datang mengganggu pesta kita, Song-ko (kakak Song). Sungguh menjemukan dan
mengurangi selera saja!"
Orang tertua, yaitu Hartawan Song yang agaknya menjamu empat orang itu tersenyum,
akan tetapi kata-katanya mengandung nada teguran ketika dia berkata, "Ciang-te (Adik
Ciang), engkau masih saja tidak dapat mengubah watakmu yang suka main-main.
Permainan tadi hanya akan merepotkan aku yang tinggal di Sauw-ciu ini, Ciang-te karena
peristiwa tadi pasti akan ada ekornya!"
"Heh-heh-heh, Song-ko, tidak usah khawatir. Aku orang she Ciang selalu berpendirian,
berani berbuat harus berani menanggung resikonya! Aku yang tadi telah mengusir lima
ekor tikus itu, kalau ada ekornya, biarlah aku yang menghadapi. Engkau tidak perlu
mencampuri dan engkau tidak bersalah apa-apa, Songko." kata si pendek gemuk.
"Uh, Ciang-ko (kakak Ciang), bagaimana engkau bisa berkata begitu kepada Song-toako
(kakak tertua Song)? Biarpyn kini kita sudah terpisah-pisah, namun kita tetap merupakan
lima bersaudara yang saling membela, bukan? Apa yang dilakukan seorang di antara kita,
menjadi tanggung-jawab kita berlima. Bukankah begitu, Song-twako?"
Hartawan Song mengangguk-angguk, kemudian dia bangkit berdiri ketika muncuI gadis
cantik jelita dari bawah tangga. Melihat ini, empat orang yang lain juga menoleh dan
melihat gadis cantik jelita berpakaian bangsawan Mancu, mereka juga bangkit berdiri.
Dengan matanya yang indah namun bersinar tajam, Puteri Maya yang sebetulnya nama
lengkapnya adalah Mayani, menyapu lima orang itu, lalu terdengar suaranya yang nyaring
dan merdu, dalam bahasa yang logat Mancunya masih kental.
"Siapa yang telah merobohkan lima orang pengawalku ke bawah loteng tadi?"
Lima orang itu adalah orang-orang yang selalu bersikap gagah, maka si pendek gendut
yang bernama Ciang Hu Seng itu cepat melangkah maju menghadapi gadis itu dan
berkata, sambil tersenyum.
"Akulah orang she Ciang yang melakukannya, nona. Yang lain-lain ini tidak ikut campur
dan aku yang bertanggung jawab. Lima orang perajurit tadi bersikap kasar hendak
mengusir kami dari sini, maka terpaksa aku memaksa mereka turun kembali."
Sinar mata yang bening indah dan tajam itu mengamati wajah si pendek gendut dan
tangan kirinya perlahan-lahan melolos sebuah sabuk sutera merah yang tadinya melingkar
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 144
di pinggangnya yang Kecil ramping. Ternyata sabuk sutera merah itu panjangnya sekitar
tiga meter.
"Hemm, bagus, orang she Ciang! Engkau merobohkan mereka yang menjadi pengawalku,
berarti engkau tidak memandang kepada Puteri Mayani. Nah, cobalah engkau jatuhkan
juga aku seperti kaulakukan kepada lima orang pengawalku tadil"
Ciang Hu Seng menjadi bingung. Biarpun mulutnya masih tersenyum lebar, namun sinar
matanya kacau dan dia benar-benar menjadi salah tingkah. Dia adalah seorang pendekar
yang gagah perkasa, tidak akan mundur selangkahpun menghadapi lawan yang
bagaimanapun dahsyatnya. Akan tetapi sekarang dia ditantang seorang gadis berusia
belasan tahun, seorang puteri bangsawan yang cantik jelita seperti bidadaril Bagaimana
mungkin dia menyerang seorang puteri muda belia seperti itu?
"Aku...... aku....... tidak bisa menyerang wanita muda belia......." katanya gagap dengan
muka berubah kemerahan walaupun mulutnya masih tersenyum.
"Hemm, kalau engkau tidak bisa menyerang aku, akulah yang akan menyerangmu untuk
membalas apa yang kaulakan terhadap para pengawalku tadi!" Setelah berkata demikian,
tiba-tiba tangan puteri itu bergerak dan meluncurlah sinar merah ke arah muka si pendek
gemuk. Sinar merah itu menyambar sambil mengeluarkan suara berciutan, gerakannya
cepat bukan main dan telah menyambar ke arah kedua mata orang she Ciang itu! Si
pendek gemuk terkejut bukan main. Dia mengenal serangan berbahaya. Sabuk sutera
yang lemas itu kini menjadi senjata yang kuat dan berbahaya sekali dan hal ini saja
menunjukkan bahwa puteri muda belia itu memiliki sinkang (tenaga sakti) yang hebat! Dia
cepat mengelak, akan tetapi kedua ujung sabuk itu mengejarnya dan kini terdengar lara
meledak-Iedak ketika kedua ujung sabuk sutera itu melecut-Iecut dari atas mengancam
kepala dan muka si pendek gendut.
Diam-diam Siauw Beng dan A Siong merasa terkejut dan heran sekali. gadis bangsawan
yang muda belia itu ternyata seorang ahli silat yang lihai bukan main. Kini, kedua sinar
merah mengurung dan mendesak, dan ketika orang she Ciang itu melompat ke samping,
dia disambut dorongan tangan kiri adis bangsawan itu.
"Wuuuttt....... desss!" Tubuh di pendek gendut itu terpelanting. Dorongan telapak tangan
yang mungil itu ternyata cukup kuat sehingga biarpun tubuh si pendek gendut yang
memiliki kekebalan itu tidak terluka, namun dapat membuat dia terguling! Hal ini sungguh
mengejutkan teman-temannya yang berada di situ. Si pendek gemuk she Ciang ini
bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang pendekar yang amat terkenal, baik ilmu
silat tangan kosong maupun ilmu pedangnya. Maka sungguh mengejutkan kalau dalam
waktu beberapa jurus saja dia sampai terpukul roboh! Ciang Hu Seng juga merasa
penasaran. Dia masih tersenyum akan tetapi cepat melompat bangun dan kini sebatang
pedang telah berada,di tangan kanannya.
Melihat temannya mencabut pedang, Hartawan Song memperingatkan, "Ciangte, jangan
lukai atau bunuh orang!"
Akan tetapi gadis bangsawan Mancu itu yang menjawab, "Katak buduk ini tidak akan
mampu melukai aku, hi-hik!" Suara tawanya sungguh menggelitik dan membuat Ciang Hu
Seng menjadi marah sekali karena merasa dipandang rendah, dengan sebutan katak
buduk. Akan tetapi pada dasarnya memang dia tidak dapat marah, maka mulutnya masih
tersenyum ketika dia menggerakkan pedangnya. Pedang itu berkelebat, berdesing dan
ketika dia memainkannya, tampak gulungan sinar perak yang menyambarnyambar
dahsyat.
"Bagus, kiranya engkau seorang ahli pedang. Hemm, jangan dikira aku jerih menghadapi
pedang pemotong leher ayam di tanganmu itu!" Puteri Mayani mengejek dan iapun
memutar sabuk sutera merahnya semakin cepat. Kini sang puteri itu benar-benar
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 145
memperlihatkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa sekali. Tubuhnya
seolah lenyap, berubah menjadi bayangan yang menari-nari di antara gulungan sinar
sabuk sutera merah dan gulungan sinar pedang keperakan. Sungguh merupakan suatu
pemandangan indah namun juga menegangkan sekali.
Siauw Beng dan A Siong yang mengintai dari luar jendela, di antara dahan-dahan pohon
menjadi semakin asyik. Mereka berdua tidak mengenal kedua pihak yang bertanding,
maka tentu saja tidak berani mencampuri, hanya diam-diam nonton dengan hati kagum,
terutama terhadap gadis bangsawan Mancu itu. Tanpa disadari hati kedua orang ini
condong memihak kepada Puteri Mayani, sungguhpun mereka maklum bahwa puteri
bangsawan itu adalah bangsa Mancu yang seharusnya mereka musuhi karena bangsa
Mancu itu sekarang menjajah tanah air dan bangsa mereka! Akan tetapi melihat seorang
gadis muda belia dan demikian cantik jelita menggunakan sabuk sutera berkelahi
melawan seorang laki-laki yang memegang pedang dengan gerakan demikian dahsyat,
tentu saja mereka khawatir kalau-kalau tubuh yang indah menarik dengan kulit putih mulus
itu akan terluka oleh bacokan atau tusukan pedang!
Akan tetapi, gerakan Mayani semakin cepat sehingga pandang mata Ciang Hu Seng
menjqdi kabur. Bahkan empat orang kawannya juga memandang khawatir. Dengan
kelebihan dalam gin-kang itu saja, mudah diduga bahwa gadis Mancu itu akan dapat
mengatasi lawannya.
"Hyaaaattt...... !" Terdengar pekik melengking dan tiba-tiba ujung sabuk yang kiri sudah
membelit pedang dan ujung sabuk yang kanan menotok ke arah pundak kanan. Tak dapat
dihindarkan lagi, pedang itu terampas oleh belitan ujung sabuk!.
"Mampuslah oleh pedangmu sendiri, katak buduk!" Puteri Mayani berseru dan kini pedang
di ujung sabuk itu meluncur turun ke arah leher Ciang Hu Seng. Ciang Hu Seng yang
pundaknya tertotok saat itu tidak mampu menghindar. Akan tetapi ada sinar menyambar,
menangkis pedang di ujung sabuk dan ada jari menepuk pundak Ciang Hu Seng sehingga
si gendut pendek mampu bergerak kembali. Kiranya Hartawan Song sendiri yang turun
tangan menyelamatkan Ciang Hu Seng.
Puteri Mayani terkejut. Pedang yang tertangkis itu terlepas dari libatan sabuknya, bahkan
ujung sabuknya terpotong sedikit. Pedang rampasan itu melayang ke atas dan Ciang Hu
Seng yang sudah bebas dari totokan itu melompat dan menangkap pedangnya dengan
tangan kanan.
Puteri Mayani tersenyum mengejek. "Hemm, jangan dikira aku takut menghadapi
pengeroyokan kalian berlima. Akan tetapi aku malu kalau menjadi tontonan di tempat
ramai ini. Kalau memang kalian merasa diri jagoan, datanglah di hutan cemara di kaki
bukit Kera besok pagi setelah terang tanah. Di sana aku akan melayani kalian! Nah,
sampai bertemu besok pagi" Setelah berkata demikian, dengan tenangnya gadis itu
menuruni anak tangga.
"Tunggu, nona!" seru Hartawan Song.
"Kami tidak bermaksud bermusuhan denganmu!" Dia mengejar turun, akan tetapi Mayani
berhenti di bawah tangga, menoleh dengan suara mengejek.
"Apakah Hartawan Song yang terkenal dermawan juga terkenal pengecut dan penakut?
Kalau ada omongan, kita bicarakan besok pagi di hutan cemara!" Setelah berkata
demikian, gadis itu memberi isarat kepada sepuluh orang perajurit pengawalnya dan
merekapun pergi meninggalkan rumah makan Ho Tin.
Siauw Beng dan A Siong juga cepat-cepat turun dari atas pohon. "Wah, ada tontonan
menarik besok pagi, Siauw Beng. Kita tidak boleh lewatkan tontonan itu." kata A Siong.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 146
Siauw Beng mengangguk. "Bukan sekedar menonton, A Siong. Kalau bisa kita harus
berusaha mendamaikan antara mereka.
Kedua orang muda itu lalu mencari rumah penginapan. Kini mereka lebih berhati-hati dan
mereka tidak memilih rumah penginapan yang besar, melainkan memilih rumah
penginapan kecil yang menampung para tamu yang bukan terdiri dari orang-orang kaya
agar mereka tidak dipandang rendah oleh pelayan seperti ketika mereka memasuki rumah
makan Ho Tin tadi.
Mereka meninggalkan buntalan pakaian dalam sebuah kamar yang mereka sewa untuk
berdua. Buntalan itu hanya berisi pakaian sederhana milik mereka yang tidak begitu
berharga. Akan tetapi kantung uang berisi emas dan beberapa potong perak itu disimpan
A Siong dalam kantung bajunya. Mereka lalu keluar untuk berjalan-jalan, melihat-lihat kota
Sauw-ciu yang ramai.
Mereka berputar-putar dan ketika mereka tiba di depan sebuah rumah makan yang besar
sekali, bahkan lebih besar dari rumah makan Ho Tin, Siauw Beng menyentuh lengan A
Siong dan menudingkan telunjuknya ke arah sebuah kereta yang berhenti di depan rumah
makan itu.
A Siong memandang dan menyeringai maklum. Mereka melihat kereta yang indah dan
mereka mengenal sepuluh perajurit pengawal yang tadi mengawal puteri Mancu itu, kini
mereka berdiri di dekat kereta bersama kusir kereta. Tak salah lagi, tentu puteri Mancu
tadi makan di restoran ini!
Mereka berdua melihat bahwa bukan mereka berdua saja yang menonton kereta yang
indah itu. Ada beberapa orang bergerombol di seberang jalan sambil mengamati kereta.
Mereka tidak berani terlalu mendekat karena" sepuluh perajurit pengawal itu memasang
muka asam sehingga tidak ada yang berani mendekat.
Pada saat itu, keluarlah sang puteri itu dari dalam rumah makan, diikuti oleh majikan
rumah makan dan beberapa orang pegawainya, mengikuti sampai di luar dan
membungkuk-bungkuk dengan amat hormatnya. Sang puteri dengan angkuhnya keluar
lalu memasuki kereta yang pintunya dibukakan oleh para pengawal. Kusir sudah
menduduki bangkunya dan tak lama kemudian kereta itupun bergerak pergi, diikuti
sepuluh orang pengawal yang menunggang kuda.
Siauw Beng dah A Siong melihat seorang di antara mereka yang bergerombol tadi kini
sibuk bercerita, menggerakkan kepala dan tangannya, didengarkan banyak orang yang
tampak tertarik sekali. Diam-diam Siauw Beng dan A Siong mendekati dan ikut pula
mendengarkan. Orang itu memang pandai bicara dan ternyata dia bercerita tentang sang
puteri tadi.
"Kalian tahu apa? Puteri secantik bidadari tadi bukanlah puteri bangsawan biasa! Nama
lengkapnya Puteri Mayani Gunam, biasa disebut Puteri Maya saja. Dan kalian tahu ia itu
siapa? Ia masih keponakan Yang Mulia Kaisar Kerajaan Ceng! Ayahnya adalah seorang
pangeran aseli! Ia puteri pangeran yang besar kekuasaannya. Dan kalian tentu mengenal
pembesar yang paling berkuasa di kota Sauw-ciu? Bukan lain adalah Kepala Daerah dan
pembesar itu adalah kakak dari ibu kandung Puteri Maya, seorang pribumi Han. Nah,
tentu saja kekuasaan sang puteri itu besar sekali. Ia cantik seperti bidadari dan belum juga
bertunangan. Kabarnya yang kudapat dari kota raja, para pemuda bangsawan, para
pangeran putera kepala-kepala suku banyak yang tergila-gila kepadanya, akan tetapi
semua pinangan ditolaknya! Entah pemuda macam apa yang dicarinya sebagai
jodohnya."
"Siapa tahu ia akan mencari jodoh seorang pemuda pribumi Han, mengingat bahwa
ibunya seorang pribumi!" terdengar seorang laki-laki berkata.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 147
"Hemm, siapa tahu? Mungkin saja. Mudah-mudahan begitu. Semakin banyak orang
berdarah pribumi menjadi keluarga istana, makin baik karena tentu pemerintah tidak akan
mengeluarkan peraturan yang terlalu menindas kita”.
Ramai kini mereka saling bicara sendiri. Siauw Beng sudah merasa puas akan apa yang
didengarnya dan diapun mengajak A Siong pergi dari situ. Ketika berada di kamar
penginapan, malam itu Siauw Beng banyak melamun sehingga beberapa kali A Siong
menegurnya.
Siauw Beng tidak dapat melupakan wajah Puteri Maya! Wajah yang seperti selalu
membayang di depan matanya. Pandang mata yang tajam beriing dan indah itu. Bibir
yang mungil itu dengan senyumnya yang khas. Dan kehebatan ilmu silatnya. Dia merasa
terkagum-kagum. Seorang gadis yang am at luar biasa! Seperti yang diajarkan oleh
mendiang Pek In San-jin, dalam keadaan seperti itu, dia mengamati hati dan akal
pikirannya sendiri. Dia mendapat kenyataan bahwa rasa kagum itu bukan semata-mata
karena gadis itu cantik menarik dan menggairahkan. Rasa kagum dan tertarik di dalam
hatinya itu bukan semata karena gejolak nafsu berahi. Namun ada sesuatu yang membuat
dia tertarik. Sesuatu pada sinar gadis itu, pada gerak bibirnya. Ada sesuatu yang membuat
dia merasa bahwa dia harus melindunginya, harus menjaganya dari ancaman bahaya.
Ada semacam perasaan "iba" dalam hatinya terhadap gadis itu walaupun pikirannya
mencela perasaan ini karena pikirannya mengatakan bahwa gadis itu terlalu kejam dan
tinggi hati! Ketika ia berhasil merampas pedang si pendek gendut dengan sabuknya, ia
lalu menyerangkan pedang rampasan itu ke arah leher si gendut. Serangan itu merupakan
serangan maut dan kalau saja Hartawan Song tidak menangkis, tentu si pendek gendut
she Ciang itu sudah tewas terpenggal pedang sendiri! Pikirannya mencela gadis itu, akan
tetapi mengapa ada perasaan iba dan harus melindungi di dalam hatinya? Siauw Beng
menghela napas panjang dan berkata pada diri sendiri bahwa dia besok pagi akan melihat
keadaan. Kalau memang ada nyawa terancam, dia akan turun tangan mencegah
terjadinya pembunuhan. Bukankah menurut sikap mereka, lima orang laki-laki tua itu juga
bukan sebangsa penjahat? Bahkan Hartawan Song dikatakan sebagai seorang dermawan
yang terkenal di kota Sauw-du! Dia tidak akan berpihak, hanya akan melindungi pihak
yang terancam bahaya dan kalau mungkin mencegah terjadinya permusuhan yang akan
saling membunuh.
"Engkau kenapa sih, Siauw Beng? Dari tadi melamun saja. Bahkan engkau tidak mau
makan malam, menyuruh aku makan sendiri. Nih, kubelikan bakpauw, makanlah. Kalau
tidak, engkau akan kelaparan dan dapat terse rang angin." kata A Siong yang baru masuk
sambil memberikan bungkusan terisi bakpauw sebanyak lima buah kepada Siauw Beng.
Siauw Beng menerima bakpauw itu dan memakannya. A Siong memandang kawannya
yang makan bakpauw dengan alis berkerut. Dia tak sabar lagi.
"Siauw Beng, agaknya pikiranmu selalu terganggu oleh peristiwa pagi tadi. Mengapa
engkau pusingkan benar urusan orang lain itu?"
"A Siong, aku khawatir gadis itu akan celaka. Lima orang itu bukan orang sembarangan.
Terutama sekali Hartawan Song itu. Aku melihat ketika dia mencabut pedang dan
menangkis, gerakannya begitu cepat dan kuatnya. Dia tentu seorang ahli pedang yang
tangguh sekali. Gadis itu memang lihai, akan tetapi tak mungkin ia mampu menandingi
lima orang itu dan kalau dibiarkan mereka bertanding, gadis itu tentu akan celaka."
A Siong tersenyum, lalu merebahkan diri di at as satu di antara dua buah pembaringan itu.
"Mengapa dipusingkan benar? Biarkan gadis itu kalah kalau memang ia kalah. Pula,
bukankah ia seorang gadis Mancu, bahkan masih keluarga Kaisar Mancu? Kebetulan
kalau ia tewas dalam pertempuran, berkurang satulah musuh bangsa kita. Bukankah
menurut Ma lo-sicu, musuh utama bangsa kita adalah keluarga kaisar yang mengatur
penjajahan di negara kita?"
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 148
"A Siong, pendapatmu itu keliru. Ingat, kita harus selalu menegakkan kebenaran dan
keadilan. Siapapun juga orangnya, kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat jelata,
bangsa apapun juga, kalau ia tertindas dan nyawanya terancam, kita harus menolong dan
membelanya. Sebaliknya, siapapun orangnya, kalau bertindak sewenang-wenang, harus
kita tentang! Demikian pesan ayah Ma Giok, bukan?"
A Siong tidak suka kalau diajak berpikir banyak. Kepalanya menjadi pening kalau harus
memikirkan hal yang pelikpelik, dan dia berkata, "Ya, sudahlah, bagaimana engkau
sajalah. Lalu apa yang hams kita lakukan sekarang?"
"Sekarang? Sekarang kita mengaso dan tidur agar besok pagi-pagi kita dapat pergi ke
hutan cemara. Kita nonton pertandingan itu dan kita lihat saja perkembangannya. Jangan
engkau lakukan sesuatu sebelum kuberi isarat."
"Baik, kita tidur. Akupun sudah lelah dan mengantuk." A Siong melepaskan sepatu dan
baju luarnya karena hawa malam itu agak panas.
"Hemm, engkau lupa lagi, ya? Apa yang harus kita lakukan sebelum tidur?" Siauw Beng
mengingatkan sesuatu kebiasaan yang sudah harus mereka lakukan semenjak dahulu
sesuai dengan perintah Ma Giok.
A Siong menghela napas panjang, bangkit duduk dan mengenakan lagi sepatunya.
"Ya...... ya......, membersihkan mulut dan gigi sebelum tidur! Engkau lebih galak daripada
Ma lo-sicu dalam hal ini, Siauw Beng!"
Siauw Beng tertawa. "Karena hal ini penting sekali untuk kesehatan kita, maka aku selalu
mengingatkanmu.
Setelah makan bakpauw dan membersihkan mulut dan gigi, Siauw Beng juga merebahkan
diri di atas pembaringannya yang sederhana karena memang sewa kamar penginapan itu
murah. Mereka segera tertidur pulas. Tadinya memang Siauw Beng amat terganggu oleh
dengkur A Siong yang menggetarkan kamar itu. Akan tetapi dia menutupi telinganya
dengan bantal dan akhirnya dapat pulas Juga.
Pagi-pagi benar lima orang yang kemarin berpesta di loteng rumah makan Ho Tin sudah
tnemasuki hutan cemara. Oi tengah hutan itu terdapat sebuah lapangan rum put yang
terbuka dan di sanalah mereka menanti sambi! duduk di atas batu-batu gunung yang
banyak terdapat di Bukit Kera itu.
Lima orang ini sebetulnya adalah pendekar-pendekar yang dulu pernah mengguncang
dunia persilatan dan mereka dulu terkenal dengan julukan Ciong-yang Ngo-tai-hiap (Lima
Pendekar Besar dari Ciong-yang), juga disebut Ngo-kiam-hiap (Lima Pendekar Pedang).
Dua puluh tahun yang lalu, Ciong-yang Ngo-kiam-hiap ini pernah menjadi pejuang
melawan penjajah Mancu bersama Lam-liong Ma Giok dan lain pejuang. Setelah semua
perlawanan terhadap pasukan Mancu gagal, mereka menghentikan perlawanan dan
mereka berlima bahkan berpencar agar tidak mudah dilacak oleh pasukan Mancu yang
tentu saja mencatat nama mereka dalam daftar hitam sebagai pemberontak-pemberontak.
Seperti juga para pejuang yang lain, setelah tidak ada kesempatan untuk melawan
pemerintah penjajah Mancu, mereka bekerja sebagai pendekar-pendekar yang
menentang kejahatan, membela rakyat yang tertindas.
Orang pertama dari Lima Pendekar Pedang dari Ciong Yang ini adalah Song Kwan yang
kini telah berusia enam puluh tahun. Song Kwan ini menjadi pedagang dan dia berhasil
memperoleh kemajuan sehingga menjadi seorang yang kaya raya di kota Sauw-ciu. Akan
tetapi biarpun dia sudah menjadi seorang hartawan, tetap saja jiwa kependekarannya tak
pernah lenyap. Dia kini mendapat lebih banyak kesempatan untuk menolong rakyat, baik
dengan hartanya maupun dengan tenaganya sehingga Song K wan yang cjikenal sebagai
Hartawan Song amat terkenaI di Sauw-ciu sebagai seorang dermawan besar. Oi antara
lima orang pendekar itu, Song Kwan memiliki ilmu pedang yang paling lihai sehingga
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 149
dahulu dia pernah mendapat julukan Kiam-sian (Dewa Pedang)! Mukanya yang merah
gagah, tubuhnya yang tinggi besar, ditambah kumis jenggotnya yang panjang, membuat
dia mirip tokoh Kwan Kong dalam kisah Sam Kok (Tiga Kerajaan) yang kemudian terkenal
sebagai seorang tokoh yang amat setia dan bahkan dijadikan lam bang kesetiaan.
Orang ke dua merupakan adik kandung Song K wan, berusia lima puluh delapan tahun,
bertubuh sedang dan wajahnya bersih tampan, bernama Song Kui. Seperti juga kakaknya,
Song Kui memiliki. ilmu pedang yang amat tangguh, bahkan dia pernah mendapat julukan
Kiam-mo (Setan Pedang). Dua orang kakak beradik Song ini sudah berkeluarga. Kalau
Song K wan tidak mempunyai keturunan, sebaliknya Song Kui mempunyai dua orang
anak laki-laki yang waktu itu sudah dewasa. Song Kui dan keluarganya tinggal pula
bersama Song Kwan yang hartawan, dan dia membantu kakaknya yang menjadi
pedagang rempa-rempa yang besar. Karena dia sendiri tidak mempunyai keturunan, maka
Song K wan menganggap dua orang keponakannya yang bernama Song Cun dan Song
Cin, seperti anak- anaknya sendiri, bahkan dia yang menga jarkan ilmu pedangnya
kepada dua orang keponakann yaitu Orang ke tiga adalah Ciang Hu Seng, tokoh pendek
gendut yang berusia lima puluh lima tahun, yang wajahnya selalu riang penuh senyum dan
tawa, juga suka melucu. Akan tetapi Ciang Hu Seng inipun memiliki kepandaian yang
cukup lihai, juga dia seorang ahli pedang yang tangguh sehingga pernah dijuluki Sin-kiam
(Pedang Sakti). Dia sampai sekarang hidup menyendiri, sebatang kara dan suka
mengembara, tidak tentu tempat tinggalnya akan tetapi di manapun dia berada, dia selalu
menentang kejahatan dan suka mengulurkan tangan untuk meno long mereka yang
membutuhkan bantuannya.
Orang ke empat bernama Bhe Kam, berusia lima puluh tiga tahun dan dia sekarang
tinggal di Tung-san sebagai seorang guru silat bayaran. Isterinya sudah meninggal dan dia
hidup berdua dengan seorang anaknya, seorang puteri yang sudah berusia delapan belas
tahun bernama Bhe Siu Cen yang menjadi kembang kota Tung-san. Gadis yang cantik
jelita dan juga lihai ilmu silatnya!
Adapun yang ke lima bernama Lee Bun, berusia lima puluh tahun, bermuka tengkorak
saking kurusnya. Diapun hidup menyendiri, tanpa keluarga dan sekarang tinggal di puncak
Liong-san, menyendiri dan orang ke lima ini paling suka memperdalam ilmu-ilmunya
dalam kesunyiannya. Dia banyak bertapa dan memperkuat tenaga dalamnya sehingga
tubuhnya menjadi kurus ker ing, akan tetapi diam-diam dia kini telah menghimpun tenaga
dahsyat, bahkan kini, setelah selama dua puluh tahun bertapa, tingkat ilmu kepandaiannya
mencapai ketinggian yang melampaui semua tingkat empat orang rekannya!
Demikianlah keadaan lima orang yang dulu terkenal sebagai Ciong-yan Ngokiam-hiap dan
kini sudah hidup terpisah-pisah, kecuali Song Kui yang ikut kakaknya dan tinggal
menumpang di rumah Song Kwan, di Sauw-ciu. Pada hari itu, Song Kwan dan Song Kui
yang merasa rindu kepada tiga orang rekannya yang tak pernah dijumpainya, mengirim
undangan kepada mereka untuk mengadakan semacam reuni, pertemuan yang akan
mendatangkan nostalgia setelah mereka saling berpisah selama kurang lebih dua puluh
tahun! Dan Song Kwan sengaja memborong dan menyewa ruangan loteng rumah makan
Ho Tin untuk pertemuan yang amat membahagiakan itu. Akan tetapi siapakira, pesta
pertemuan itu bahkan menimbulkan masalah dengan seorang puteri bangsawan Mancu
yang menantang mereka berlima untuk mengadu ilmu pagi itu di hutan cemara Bukit Kera!
Sebetulnya Song Kwan merasa segan dan tidak ingin melayani tantangan puteri
bangsawan Mancu itu. Akan tetapi empat orang adiknya, yang merasa sebagai para
pendek-ar sungguh memalukan kalau menolak tantangan orang, membujuk dan
mendesaknya sehingga akhirnya dia mengalah.
"Untuk apa melayani segala macam anak perempuan yang manja dan sombong itu?"
Tadinya dia membantah.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 150
"Song-toako, yang menantang kita adalah seorang gadis bangsawan Mancu dan kita
melihat sendiri tadi bahwa ilmunya bukanlah sembarangan. Kalau kita tidak menanggapi,
tentu kita akan menjadi buah tertawaan dunia kangouw. Orang-orang akan mengejek dan
mengatakan bahwa kini Ciong-yang Ngo-taihiap telah menjadi pengecut dan penakut
sehingga tantangan' seorang gadis mudapun tidak berani kita melayaninya." bantah Ciang
Jiu Seng si pendek gemuk yang tadi dibuat penasaran oleh Puteri Mayani.
"Benar, Song-toako," kata Bhe Kam.
"Tentu saja kita tidak perlu melayani gadis itu bertanding sungguh-sungguh. Akan tetapi
tantangan itu harus kita tanggapi, agar kita tidak dianggap takut. Nanti se,telah bertemu,
kita bujuk dan nasehati ia agar jangan suka memandang rendah orang lain. Malu ah kita
kalau harus bertanding melawan seorang gadis yang usianya sepantar dengan anakku
sendiril"
Demikianlah, akhirnya Song Kwan menurut dan pagi itu mereka sudah datang ke hutan
cemara memenuhi tantangan Puteri Mayani. Tanpa mereka ketahui, dua pasang mata
mengintai mereka dari balik batu besar yang terdapat tak jauh dari lapangan rumput yang
terbuka di tengah hutan itu. Pengintai itu bukan lain adalah Siauw Beng dan A Siong.
Akhirnya orang yang mereka tunggu-tunggu itupun muncullan. Kemunculan Puteri Mayani
sungguh mengejutkan dan di luar dugaan lima orang pendekar itu.
Gadis itu muncul seorang diri saja! Hanya tampak sesosok bayangan berkelebat dan tahutahu
gadis itu sudah berdiri di situ, berpakaian sutera berkembang indah dan sabuk sutera
merah yang lihai itu melibat di pinggangnya yang kecil ramping. Semua orang
memandang dan mau tidak mau lima orang laki-Iaki tua itu diam-diam harus
mengaguminya. Rambut yang hitam panjang itu digelung ke atas, dihias dengan hiasan
rambut dari emas' permata, berbentuk seek or burung Hong. Wajahnya cantik jelita tanpa
bedak gincu yang terlalu tebal, sepasang mata itu bersinar-sinar bagaikan sepasang bin
tang kejora. Bibirnya tersenyum mengejek ketika ia melihat lima orang itu sudah berada di
situ. Pakaiannya dari sutera halus itu berkibar ketika ia melompat tadi. Kulit yang tampak
pada wajah, leher dan lengannya begitu halus dan putih mulus. Yang lebih mengherankan
dansama sekali di luai' dugaan lima orang pendekar itu, Puteri Mayani datang seorang did
saja, tanpa seorangpun pengawal! Padahal, tadinya mereka mengira bahwa puteri itu
akan muncul dengan dilindungi oleh sepasukan pengawal yang jagoan dan pilihan!
Song Kwan yang menjadi pemimpin di antara teman-temannya dan yang sudah
mengambil keputusan untuk mepcegah terjadinya perkelahian yang hanya akan
merugikan pihak mereka, segera bangkit berdiri menyambut puteri bangsawan itu, diikuti
empat orang adiknya. Mereka memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di
depan dada. Dengan suaranya yang penuh kesabaran dan kelembutan Song Kwan
berkata.
"Selamat pagi, nona. Kami berlima telah datang memenuhi undangan nona, dan kami
harap pertemuan antara kita ini akan dapat membicarakan kesalahpahaman yang terjadi
kemarin. Juga kesempatan ini kami pergunakan untuk minta maaf kepadamu dan
mengharap agar nona suka melupakan peristiwa itu sehingga kesalah-pahaman itu tidak
perlu diperpanjang lagi.".
Puteri Mayani tersenyum. Senyumnya manis sekali akan tetapi senyuman itu.
Mengandung ejekan. Ia berkata lantang dan merdu. "Aku sama sekali tidak ingin
memperpanjang urusan kemarin. Adalah kesalahan lima orang pengawalku sendiri,
Mereka itu terlalu lemah dan bodoh sehingga mudah dihajar orang! Akan tetapi karena
aku mendengar bahwa kalian berlima adalah ahli-ahli silat tersohor, maka aku ingin sekali
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 151
merasakan kelihaian kalian. Karena itu aku tidak ingin membikin ribut di kota dan menjadi
tontonan orang, maka aku menantang kalian untuk datang ke tempat sepi ini. Di sini kita
dapat membuktikan sampai di mana kehebatan kalian sehingga kalian bersikap demikian
sombong ketika berada di rumah makan Ho Tin."
Kembali Song Kwan menjura dengan hormat. "Nona, kami sudah minta maaf kepadamu.
Sebetulnya kami tidak bermaksud untuk bersikap sombong. Akan tetapi karena para
perajurit itu bersikap kasar, maka terjadilah kesalahpahaman itu. Kami tidak ingin sama
sekali untuk bertanding melawanmu, nona. Diantara kita tidak terdapat permusuhan
apapun, bagaimana kami lima orang tua begitu tidak tahu malu untuk bertanding melawan
seorang gadis muda belia seperti nona? Sudahlah, nona. Maafkan kami dan sudahi saja
urusan ini."
Puteri Mayani mengerutkan alisnya dan tiba-tiba ia menunjukkan telunjuk kirinya kearah
muka Song Kwan, "Orang she Song! Tidak perlu berpura-pura lagi. Aku sudah tahu bahwa
dahulu, sebelum aku lahir, di waktu kalian ber lima masih muda, kalian terkenal sebagai
Ciongyang Ngo-tai-hiap! Kalian. adalah orang- orang yang anti pemerintah Ceng, kalian
sekumpulan pemberontak yang selalu mengadakan kekacauan. Aku tidak perduli akan itu
semua, akan tetapi aku mempunyai satu kebiasaan, yaitu ingin mencoba kelihaian para
jagoan yang malang melintang di dunia kangouw! Jangan kalian kini menolak dan
berpura-pura menjadi orang-orang yang suka damai dan tidak biasa beradu ilmu silat!
Nah, siapapun diantara kalian boleh maju, bahkan kalau perlu, kalian boleh maju berlima.
Aku, Puteri Mayani, tidak akan takut menandingi kalian! Biarpun kalian disebut pendekarpendekar
pedang, ingin kulihat sampai di mana ketajaman pedang kalian!” Setelah
berkata demikian, sekali tangan kanannya bergerak, terdengar bunyi berdesing dan sinar
menyilaukan berkelebat. Di tangan kanannya itu sudah terdapat sebatang pedang yang
tipis yang bentuknya bengkok, mengkilap dan tampak tajam sekali.
Lima orang pendekar itu terkejut. Kiranya puteri bangsawan Mancu ini telah mengetahui
keadaan mereka berlima! Ini berbahaya sekali. Kalau Puteri Mayani melaporkan hal ini
kepada pemerintah, mereka berlima tentu akan menjadi orang-orang buruan lagi dan
tidak, dapat hidup tenteram, selalu harus "menyembunyikan diri” Yang sadar benar akan
hal ini adalah Song Kwan. Sebetulnya Song Kwan. adalah seorang pendekar yang
berwatak bijaksana dan baik. Akan tetapi pada dasarnya dia memang membenci orang
Mancu sebagai penjajah dan kini dia melihat betapa bahayanya gadis ini yang telah
mengenal mereka. Sekali rahasia itu dibocorkan, mereka berlima berikut keluarga mereka
akan terancam bahaya maut. Gadis ini seorang musuh besar! Terlalu berbahaya dan tidak
ada jalan lain kecuali bahwa gadis Mancu ini harus dibinasakan. sebelum rahasia mereka
tersiar!
"Bagus, kiranya engkau telah mengetahui bahwa kami adalah Ngo-kiam-hiap (Lima
Pendekar Pedang). Kalau begitu, engkau tentu tahu pula bahwa kami berlima amat
mengandalkan Ngo-heng Kiamtin (Pasukan Pedang Lima Unsur). Nah, kalau engkau
mampu mengalahkan kiamtin kami itu, anggap saja bahwa kami kalah dan engkau boleh
melakukan apa saja terhadap diri kamil" kata Song Kwan. Empat orang adiknya maklum
akan bahayanya gadis ini dan mereka semua setuju bahwa gadis ini harus dibinasakan.
Akan tetapi, Lee Bun, orang termuda dari mereka yang kini telah memiliki kepandaian
tertinggi karena selama dua puluh tahun dia bertapa memperdalam ilmu-ilmunya, terutama
ilmu pedangnya sehingga dia berhasil menciptakan Hui-kiam Hoat-sut (Ilmu Sihir Pedang
Terbang), merasa malu kalau harus membinasakan gadis muda belia itu dengan cara
pengeroyokan. Maka dia lalu berkata. "Song-toako, untuk membunuh seekor tikus kecil
tidak perlu menggunakan lima batang pedang besar. Biarkan aku sendiri saja
membereskan puteri Mancu yang sombong ini! Nona, beranikah engkau melawan aku?"
Lee Bun sudah melangkah maju menghadapi gadis itu dan perlahan-lahan dia mencabut
sebatang pedang hitam dari punggungnya
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 152
"Bagus, kiranya masih ada juga ang-gauta 'Ciong-yang Ngo-tai-hiap yang menghargai
kedudukannya dan malu untuk main keroyokan! Eh, muka tengkorak, katakan siapa
namamu sebelum. engkau roboh di tanganku. Jangan mati tanpa nama!" kata Puteri
Mayani dengan nada memandang rendah.
"Hemm, bocah Mancu. Kenalilah namaku Lee Bun agar engkau tahu siapa nama orang
yang menamatkan riwayat hidupmu sekarang!"
"Lee Bun, sambutlah ini!" Puteri Mayani lalu menerjang maju. Gerakannya cepat bukan
main dan pedang bengkoknya sudah menyambar ke arah perut si tinggi kurus bermuka
tengkorak itu Lee Bun kaget juga. Gadis Mancu ini benar-benar tak boleh dipandang
ringan. Terutama sekali memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat. Dia
lalu menggerakkan pedang hitamnya menangkis.
"Cringgg....... !" Kini Puteri Mayani yang terkejut. Tangan kanannya tergetar hebat ketika
pedang bengkoknya bertemu pedang hitam dan tahulah ia bahwa si muka tengkorak Lee
Bun itu memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang kuat sekali!
Iapun tidak berani main-main. Diloloskannya sabuk sutera merah dengan tangan kirinya.
Kini ia memegang pedang bengkok dan sabuk sutera merah dan segera menyerang
dengan ganas dan dahsyatnya. Bagaikan seorang akrobat saja, gadis itu memutar pedang
dengan tangan kanan dan sabuk sutera merah dengan tangan kirinya. Tampak gulungan
sinar putih dan merah, bergulung-gulung dan menyambar-nyambar dengan cepat. Lee
Bun terpaksa harus memutar pedang hitamnya untuk melindungi diri. Namun, tetap saja
dia menjadi kerepotan. Gerakan yang luar biasa cepatnya itu membuat Lee Bun sama
sekali tidak sempat untuk balas menyerang dan dia dihujani serangan pedang dan sabuk
yang keduanya amat berbahaya dan merupakan serangan maut!
Siauw Beng yang nonton bersama A Siong, mendekam di belakang batu besar, menjadi
kagum sekali. "Ah, puteri inisungguh lihai sekali." bisiknya.
”Tapi tengkorak hidup itupun amat lihai." kata A Siong.
"Hussh, apa engkau tidak ingat akan cerita ayah Ma Giok? Mereka adalah Ciong-yang
Ngo-tai-hiap yang dulu menjadi teman-teman seperjuangan ayah!"
"Ah, ya...... aku ingat sekarang!" kata A Siong. "Kalau begitu kita harus membantu
mereka!".
"Hemm, membantu lima orang laki-laki mengeroyok seorang gadis muda? Memalukan
sekalis A Siong!”
”Habis bagaimana?"
"Selama mereka bertanding satu lawan satu, kita tidak boleh mencampuri. Kalau ada yang
terancam bahaya maut, aku akan mencegahnya.” kata Siauw Beng' yang menjadi
semakin kagum ketika melihat betapa puteri Mancu itu kini semakin mendesak Lee Bun.
Song Kwan dan adik-adiknya juga terkejut. Sama sekali tidak mereka sangka bahwa gadis
Mancu itu sedemikian lihainya memainkan pedang dan sabuknya. Tentu ia murid seorang
yang amat sakti. Lee Bun tidak diberi kesempatan sama sekali, padahal ilmu pedang Lee
Bun di saat ini sudah melebihi tingkat ilmu pedang Song Kwan yang berjuluk Dewa
Pedang!
"Hyaaaattt.... !" Terdengar Puteri Mayani berseru dengan suara melengking.. Sinar
pedangnya menyambar leher dan sinat sabuknya mengancam kaki. Lee Bun melompat ke
belakang dan terus berguHngan menjauhkan diri. Ketika Mayani mengejar, tiba-tiba Lee
Bun mengayun tangannya dan pedang hitam itu kini terbang terlepas daritangannya dan
meluncur ke arah Mayani bagaikan sebatang anak panah! Mayan! mengelak ke samping,
akan tetapi pedang hitam yang meluncur lewat itu tiba-tiba membalik dan menyerangnya
lagi, seolah-olah pedang hitam itu hidup! Itulah kehebatan ilmu Hui-kiam Hoat-sut (Ilmu
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 153
Sihir Pedang Terbang) yang menjadi ilmu andalan Lee Bun yang kini berdiri denggn
pencurahan perhatian dan tenaga sakti untuk "mengendalikan" pedang hitamnya dari jarak
jauh!
Mayani menjerit sa king kagetnya melihat pedang itu membcdik dan menyerangnya lagi. Ia
cepat menangkis dengan pedang bengkoknya.
"Tranggg.... !" Bunga api berpijar dan pedang hitam itu terpental sedikit, akan tetapi lalu
membalik dan menyerang lagi. Ke manapun Puteri Mayani mengelak dan melompat,
menggunakan gin-kang yang amat hebat sehingga tubuhnya seperti beterbangan saja,
pedang hitam itu terus mengejar secara bertubi-tubi gadis itu menjadi ngeri menghadapi
pedang yang seolah hidup itu. Ia tampak kebingungan dan mengelak ke sana sini
sehingga kurang waspada dan kakinya tersandung batu. Tak dapat dihindarkan lagi
tubuhnya terguling dan pedang hitam itu masih terus mengejarnya dari atas, mengarah
lehernya. Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba pedang hitam itu terpental seperti terpukul
sesuatu dan begitu kuat pedang itu terpental sehingga jatuh ke atas tanah! Puteri Mayani
melompat bangun.
Lee Bun terkejut. Sama sekali dia tidak mengira gadis Mancu itu demikian lihainya
sehingga mampu memukul pedang terbangnya sehingga jatuh. Cepat dia mengambil
pedangnya dan kini Song Kwan yang maklum bahwa gadis berbahaya itu harus
dibinasakan, memberi isarat kepada adik-adiknya dan lima orang pendekar itu maju
menghadapi Puteri Maya sambil membentuk barisan pedang Ngo-heng Kiam-tin yang dua
puluh tahun lalu membuat nama mereka terkenal di dunia kangouw. Barisan pedang ini
bisa bekerja sama seperti lima unsur yang saling menunjang. Unsur api, air, tanah, logam
dan kayu.
Puteri Mayani tadi juga tidak tahu mengapa pedang hitam itu berhenti mengejarnya.
Hatinya merasa lega dan kini ia menghadapi lima orang itu sambil tersenyum mengejek.
"Hemm, inikah Ngo-heng Kiam-tin yang kesohor itu? Lima orang kakek mengeroyok
seorang dara remaja? Sungguh lucu! Akan tetapi jangan kira aku takut menghadapi kalian
pendekar-pendekar pengecut Majulah!" katanya dengan gagah sambi! memutar pedang
dan sabuk sutera merahnya.
"Basmi orang Mancu penjajah busuk!"
Teriak Song Kwan, mengingatkan adik-adiknya bahwa yang mereka hadapi adalah
seorang Mancu yang harus dibasmi seperti tekad mereka puluhan tahun yang lalu ketika
mereka berjuang menentang pemerintah Mancu. yang menjajah tanah air mereka.
Teriakan ini menghapus rasa rikuh bahwa mereka mengeroyok seorang gadis muda belia.
Yang mereka keroyok bukan gadis muda belia, melainkan seorang Mancu yang
berbahaya, bukan saja berbahaya bagi mereka berlima, melainkan berbahaya bagi
bangsa clan tanah air!
Ngo-heng Kiam-tin memang hebat bukan main. Lima orang ahli peclang yang amat mahir
jtu kini bekerja sama, saling tunjang saling bantu saling dukung, tentu saja hebat bukan
main. Betapapun lihainya Puteri Mayani, ia adalah seorang dara yang baru berusia
delapan belas tahun, belum ban yak pengalaman. Mana mungkin ia kuat menghadapi
penyerangan lima orang yang bersatu dalam barisan pedang yang merupakan ilmu yang
sudah teratur rapi dan amat baiknya itu. Sebentar saja ia terdesak hebat dan ke pedang
dari Ngo-heng Kiam-tin terpentat sehingga barisan itu menjadi kacau!
Song Kwan dan adik-adiknya terkejut bukan main melihat dua orang pemuda yang
mengamuk dan melindungi Puteri Mayani itu. Akan tetapi A Siong telah dipesan oleh
Siauw Beng sehingga ketika menggerakkan tongkatnya, dia sama sekali tidak menyerang
lima orang itu, melainkan semata-mata melindungi sang puteri dari ancaman pedang.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 154
Puteri Mayani sendiri juga heran dan terkejut, akan tetapi juga girang karena ada dua
orang menyelamatkannya.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suitan nyaring dan muncullah belasan orang perajurit
Mancu, dipimpin oleh seorang pemuda berpakaian seperti seorang bangsawan Mancu.
Dia juga memegang sebatang pedang bengkok seperti yang dipergunakan Puteri Mayani,
akan tetapi pedangnya lebih besar dan lebih panjang.
"Adinda Mayani" pemuda bangsawan Mancu itu berseru. Pemuda itu berwajah tampan
dan gagah dan ketika dia menyerbu, gerakannya juga ganas dan dahsyat sekali sehingga
lima orang pendekar itu terdesak ke belakang.
"Kanda Dorbai, siapa suruh kau membantu!" Puteri Mayani berseru, alisnya berkerut.
Akan tetapi pemuda Mancu yang disebut Dorbai itu tidak perduli dan terus membantu
Mayani mendesak lima orang pendekar. Belasan orang perajurit Mancu juga sudah
menggunakan golok mereka untuk mengeroyok sehingga lima orang pendekar itu berada
dalam keadaan sulit dan gawat.
Melihat ini, Siauw Beng segera berkata kepada A Siong, "A Siong, mari kita bantu
mereka!" Dan dia sendiri lalu menggerakkan tongkatnya untuk memukul ke arah lengan
pemuda bangsawan yang menggunakan pedang bengkoknya menyerang dengan dahsyat
ke arah Song Kwan. Ketika itu Song Kwan sedang menghadapi pengeroyokan tiga orang
perajurit, maka serangan dahsyat itu tidak sempat dihindarkannya. Biarpun pukulan
tongkat Siauw Beng membuat pemuda bangsawan itu membalikkan pedangnya, namun
tetap saja ujung pedang itu sudah mencium pundak Song Kwan sehingga bajunya robek
berikut kulit pundak sehingga berdarah. Akan tetapi, pemuda bangsawan itu terpaksa
melompat jauh ke belakang karena tongkat di tangan Siauw Beng sudah meluncur dan
mengancam ulu hatinya. Pemuda itu terkejut sekali karena dia merasa betapa tongkat
yang tidak mengenai dadanya itu masih tetap mendatangkan angin yang membuat
dadanya terasa panas. Dia maklum bahwa pemuda yang tadi dia lihat membantu Mayani
dan kini tiba-tiba membalik dan membantu lima orang itu memiliki sin-kang (tenaga sakti)
yang amat hebat!
Sementara itu, A Siong juga cepat memutar tongkatnya menghalangi Mayani yang telah
berhasil melukai Bhe Kam. Ujung pedang puteri Mancu itu berhasil melukai paha kiri Bhe
Kam sehingga berdarah. Akan tetapi untung, selagi Mayani mendesak hendak mengirim
tusukannya. Mayani terkejut dan melawan raksasa muda itu. Namun puteri Mancu itu
menghadapi permainan toya yang amat kuat. Toya atau tongkat itu diputar sedemikian
rupa sehingga membentuk payung yang menjadi perisai amat kuatnya. Ketika Mayani
mencoba untuk menyerang dengan pedang dan sabuk sutera merahnya, kedua
senjatanya itu terpental keras, terbentur gulungan sinar yang menjadi perisai dari tong kat
A Siong!
Kini Siauw Beng menahan serangan pemuda bangsawan yang bernama Dorbai itu,
sedangkan A Siong menghadang Mayani. Dua belas orang perajurit itu kini bertempur
mengeroyok lima orang pendekar yang mengamuk hebat walaupun Song Kwan sudah
terluka pundaknya dan Bhe Kam terluka pahanya.
Puteri Mayani juga menjadi bingung. Ketika tadi ia terancam Ngo-heng Kiamtin dan
nyawanya terancam, keadaannya gawat sekali, muncul dua orang pemuda dusun itu yang
menghalangi lima orang itu membunuhnya. Mengapa kini mereka berdua berbalik dan
membantu lima orang itu?
"Hai! Gilakah engkau?" teriaknya kepada A Siong yang terus menangkisi semua
serangannya sehingga kedua tangannya terasa pedas dan kedua senjatanya selalu
terpental kembali. "Tadi engkau membantuku akan tetapi sekarang malah menentangku!"
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 155
A Siong sendiri juga bingung. Dia hanya secara taat dan otomatis menurut permintaan
Siauw Beng dan pikirannya yang agak lambat itu menjadi bingung juga akan perubahan
yang ditentukan Siauw Beng ini.
"Aku....... aku membantu yang terancam bahaya maut!" katanya ngawur, akan tetapi juga
membuktikan kejujurannya karena hanya itulah yang dia ketahui mengapa Siauw Beng
kini berbalik membela lima orang itu.
Siauw Beng mendapat kenyataan bahwa lawannya, pemuda bangsawan Mancu itu benarbenar
lihai sekali ilmu pedangnya. Ilmu pedang yang aneh gerakannya, terkadang
menyambar-nyambar bagaikan seekor naga mengamuk dari angkasa, terkadang berubah
menyerang dari bawah dengan gerakan lenggak-lenggok seperti serangan seekor ular
yang berbahaya sekali. Akan tetapi, Siauw Beng telah mewarisi ilmu Ngo-heng Lian-hoan
Kunhoat peninggalan ayahnya, dimatangkan pula oleh penggemblengan Pek In Sanjin
yang sakti, maka dia tidak menjadi kerepotan menghadapi semua serangan aneh itu.
Bukan hanya dia mampu menangkis semua itu, bahkan kalau dia mau, dia dapat
membalas dengan tidak kalah dahsyatnya. Hanya saja, dia tidak ingin terlibat dalam
perkelahian. Niatnya hanya menolong Ngo-kiam-hiap, bekas kawan-kawan seperjuangan
ayah angkatnya yang tadi terdesak dan terancam bahaya maut.
Seperti juga Siauw Beng, A Siong tidak mau menyerang Puteri Mayani, hanya
membendung semua serangannya, membuat puteri itu tidak berdaya dan ingin menangis
saking jengkelnya.
Akan tetapi tidak demikian dengan Ngo-kiam-hiap. Mereka mengamuk dan sudah ada lima
orang perajurit terjungkal menjadi korban pedang mereka yang mengamuk ganas. Melihat
keadaan ini, pemuda bangsawan Mancu dan (Mayani maklum bahwa pihaknya akan kalah
dan menderita rugi, bahkan mungkin terancam maut kalau perkelahian itu dilanjutkan.
Maka, pemuda Mancu itu lalu membunyikan suitan tanda bahwa mereka semua harus
mundur dan melarikan diri. Mayani juga maklum akan bahaya, maka iapun melompat ke
belakang dan. melarikan diri bersama pemuda bangsawan Mancu itu, disusul tujuh orang
perajurit yang menarik tangan lima orang teman mereka yang terluka.
Siauw Beng dan A Siong tidak mengejar, apalagi menyetang, tadipun mereka berdua tidak
pernah menyerang lawan. Lima orang Ngo-kiam-hiap juga tahu diri. Dua di antara mereka
sudah terluka dan mereka tahu benar, tanpa adanya dua orang pemuda dusun itu,
mungkin.sekarang mereka berlima telah tewas. Maka, mereka juga tidak melakukan
pengejaran.
Setelah membiarkan pundaknya diobati Ciang Hu Seng yang pandai ilmu pengobatan,
yang juga mengobati luka di paha Bhe Kam, Song Kwan lalu menghampiri Siauw Beng
dan A Siong yang masih berdiri melihat ke arah larinya orang-orang Mancu tadi sambi!
memegangi kayu yang tadi mereka pergunakan sebagai senjata.
"Ji-wi eng-hiong (kedua orang pendekar) yang gagah perkasa! Kami berlima berhutang
nyawa kepada ji-wi. Kalau tidak ada ji-wi yang membantu, tentu sekarang kami telah
tewas di tangan orang-orang Mancu itu." kata Song Kwan sambil memberi hormat.
"Bolehkah kami mengetahui nama ji-wi (kalian berdua) yang mulia?"
"Hemm, kalau tidak ada mereka berdua, perempuan iblis Mancu tadi tentu telah dapat kita
binasakanl" kata Lee Bun si muka tengkorak dengan suara mengandung penyesalan.
Siauw Beng dapat merasakan ketidakpuasan yang terkandung dalam ucapan si muka
tengkorak itu dan diapun merasa bahwa dialah yang menjadi penghalang sehingga
mereka berlima tidak sempat membunuh Puteri Mayani yang tadi sudah terkepung dan
dalam keadaan gawat. Maka. diapun dengan sikap hormat menjura kepada mereka dan
berkata,
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 156
"Harap Ciong-yang Ngo-tai-hiap suka memberi maaf yang sebesarnya kepada kami
berdua. Terus terang saja, ketika kami tadi. melihat seorang gadis remaja ngo-wi keroyok
dan, ia terancam bahaya maut, kami berdua tidak dapat membiarkannya saja dan
terpaksa kami menghalangi ngowi (anda berlima) melakukan pembunuhan terhadap
seorang gadis muda."
"Heh, orang muda Apakah engkau tidak tahu bahwa ia itu seorang Puteri Mancu yang
menjajah bangsa kita dan menjadi musuh bersama kita?" bentak Song Kui yang juga
merasa penasaran karena kalau tidak ada dua orang muda dusun itu yang menghalang,
tentu puteri itu sudah dapat dibunuh dan merekapun tidak menjadi terdesak ketika
pemuda Mancu dan pasukannya datang menyerbu.
"Paman sekalian, ada dua hal penting yang membuat terpaksa kami tadi menghalangi
ngo-wi membunuh gadis itu. Pertama, sudah menjadi kewajiban kami untuk menolong
siapa saja yang terancam bahaya dan gadis itu kami pandang sebagai seorang manusia,
bukan sebagai gadis bangsa ini atau itu dan yang menjadi musuh bangs a ad~llah
pemerintah Mancu, bukan gadis itu. Kiranya bukan ia yang mempunyai prakarsa
menyerang dan menjajah bangsa kita. Dan kedua, kami merasa tidak pantas bagi orangorang
seperti Ciong-yang Ngo-tai-hiap untuk mengeroyok dan membunuh seorang lawan
yang hanya merupakan seorang gadis remaja. Hal itu akan memalukan sekali dan
menjatuhkan nama dan kehormatan para pendekar sakti seperti paman berlima."
Lima orang pendekar itu saling pandang dan Song Kwan memberi isarat dengan
tangannya agar empat orang adiknya tidak berbantahan lagi. Dia memandang.kepada
Siauw Beng lalu bertanya. "Pendapatmu itu masuk akal, orang muda. Akan. tetapi kenapa
engkau kemudian berbalik dan membantu kami ketika kami diserang oleh pemuda dan
gadis Mancu bersama para pengawal mereka itu?"
"Karena kami melihat bahwa.. keadaannya berbalik. Ngo-wi yang terancam bahaya dan
tentu saja kami berdua tidak mungkin membiarkan Ciong-yang Ngotai-hiap yang
merupakan orang-orang golongan sendiri terancam bahaya."
"Golongan sendiri? Apa maksudmu? Siapakah namamu, orang muda?" Song Kwan
mendesak.
"Nama saya Lauw Beng dan saudara ini bernama,A Siong."
"She Lauw? Engkau she Lauw …… ?"
Song Kwan bertanya, alisnya berkerut.
"Benar, paman. Dan saya mengenal nama-nama paman berlima. Paman Song Kwan,
Song Kui, Ciang Hu Seng, Bhe Kam dan paman Lee Bun, bukan?"
"Hei! Bagaimana engkau dapat mengenal kami?" tanya Song Kwan dan yang lain-lain juga
terheran dan ingin tahu sekali.
"Paman, yang memberitahu kepada kami adalah ayah angkat saya Ma Giok dan guru
saya adalah mendiang Pek In San-jin."
Lima orang itu terkejut. "Dan kau...... kau ini..... she Lauw...... " Song Kwan tidak
melanjutkan kata-katanya, meragu.
"Ayah kandung saya adalah mendiang Lauw Heng San, dan ibu kandung saya adalah
mendiang Bu Kui Siang."
"Ahh....... !!" Seruan ini keluar dari mulut lima orang pendekar itu.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 157
Jilid 17
“Su-siok, apa paman tidak melihat jelas siapa mereka ini? Lihat, mereka ini orang-orang
begini sederhana, bukan pejabat, bukan bangsawan bukan hartawan, bahkan saudara ini
buntung lengan kirinya, dan paman masih tega untuk membajaknya? Ini keterlaluan
namanya!”.
Orang bermuka hitam yang ternyata adalah Toat-beng Siang-kiam Can Ok tersenyum. “Ai
Yin, engkau tahu apa? Orang-orang ini menyimpan banyak emas dan perak. Karena itulah
aku menghadang mereka! Kalau engkau berpihak kepada mereka, engkau hanya akan
membuat mereka ini mengadalkan perlindunganmu dan bersembunyi di belakangmu!”
Sejak mendengar bahwa Hui-kiam Lo-mo sudah meninggal dunia dan orang bermuka
hitam ini bukan lain adalah Toat-beng Siang-kiam Can Ok, A Siong sudah mengepal tinju
dan menyentuh lengan Siauw Beng. Akan tetapi pemuda buntung ini masih bersabar. Jadi
inikah orang yang dahulu bersama mendiang Hui-kiam Lo-mo telah menyerang Lam-liong
(Naga selatan) Ma Giok pada saat ibunya melahirkan dia? Biarpun tidak secara langsung,
orang bermuka hitam ini yang membuat ibunya ketakutan dan kaget, sehingga ibunya
meninggal ketika melahirkan dia.
“Nona, terima kasih atas pembelaanmu!” kata Siauw Beng kepada gadis itu sambil
mengangkat tangan kanannya, di miringkan ke depan dada sebagai tanda penghormatan.
“Akan tetapi biarkan kami menghadapi sendiri Toat-beng Siang-kiam Can Ok dan anak
buahnya. Kami tidak takut menghadapi mereka, nona”.
“Nah, Ai Yin, kalau yang kau bela tidak mau, apakah engkau berkukuh hendak membela
mereka? Minggirlah, biar kami berurusan dengan bocah sombong ini!” kata Can Ok.
Gadis yang di panggil Ai Yin itu memandang Siauw Beng dengan alis berkerut.
“Benar-benar engkau berani melawan su-siok Toat-beng Siang-kiam? Dia ini datuk Sungai
Huang-ho dan lihai sekali kenapa kalian berdua tidak cepat pergi saja dari sini dan aku
yang akan melarang mereka mengganggu kalian!”.
“Jangan khawatir, Nona. Kami akan berusaha sekuat tenaga“.
“Akan tetapi lenganmu ….. “Gadis itu memandang kea rah lengan baju sebelah kiri Siauw
Beng yang tergantung kosong bagian bawahnya.
“Aku tidak takut, Nona. Terima kasih atas kebaikanmu dan maafkan kalau kami menolak
pembelaanmu”.
Gadis itu mengerutkan alisnya dan cuping hidungnya bergerak-gerak, lalu ia mendengus
dan berkata, “Kalau engkau mati jangan bilang bahwa aku tidak membelamu dan
membantu paman guruku yang menyeleweng!” Setelah berkata demikian gadis itu keluar
dari kepungan.
“He, bocah sombong! Berani kau melawan aku?” Can Ok membentak dan memandang
ringan. Dia adalah seorang tokoh besar, menggantikan mendiang gurunya, menjadi datuk
Sungai Huangho! Terkenal sebagai seorang ahli pedang sehingga mendapat julukan Toatbeng
Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa), maka tentu saja dia memandang
ringan walaupun tadi dua orang pemuda itu telah memperlihatkan kepandaian
merobohkan anak buahnya.” Katakan dulu siapa nama kalian agar jangan menjadi roh
penasaran karena sebentar lagi kalian berdua akan mampus!”.
A Siong mendahului sutenya menjawab dengan suaranya yang lantang. “Buka telingamu
lebar-lebar, kepala bajak sungai! Aku bernama A Siong dan suteku ini yang di kenal
sebagai Lui-kong-ciang ( Si Tangan Halilintar)!”. Mendengar ini Siauw Beng tersenyum
saja karena setiap kali memberi pertolongan kepada orang-orang tertindas dan
menentang kejahatan, suhengnya itu selalu memperkenalkan sebutan Lui-kong-ciang itu
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 158
untuknya. Dia membiarkan saja karena hal itu sesuai dengan pesan ayahnya, Ma Giok,
dalam usahanya untuk membersihkan nama ayah kandungnya yang dulu juga di sebut Si
Tangan Halilintar. Karena nama itu dengan sengaja “diobral “oleh A Siong, maka sebentar
saja julukan Lui-kong-ciang menjadi terkenal sebagai pendekar berlengan satu yang baru
muncul.
Can Ok belum pernah mendengar julukan Si Tangan Halilintar itu, maka dia tertawa
mengejek. Suhengnya berwajah dan bersikap seperti orang bodoh, dan sutenya itu hanya
seorang pemuda yang bertangan satu, sama sekali tidak perlu di takuti.
“Hemm, bocah-bocah kemarin sore macam kalian berani menentangku! Majulah kalian
berdua. Sepasang pedangku ini sudah haus untuk minum darah kalian!”.
Dia menggerakkan kedua tangan ke belakang dan tampak sinar berkelebat menyilaukan
mata ketika sepasang pedang yang berada di kedua tangannya itu tertimpa sinar
matahari.
Asiong tertawa. “ha-ha-ha, kami bukan orang-orang yang suka melakukan pengeroyokan
seperti pengecut. Engkaulah yang pasti akan mengandalkan pengeroyokan!”.
Wajah Can Ok semakin hitam dan matanya mendelik. Baru sekarang tokoh ini tampak
galak menyeramkan, padahal tadi ketika menjadi penjual perahu, tampak lemah lembut.
“Tidak sudi aku melakukan pengeroyokan! Kalau begitu, hayo engkau sendiri yang maju
melawanku, satu lawan satu. Yang lain menjadi saksi!”.
“He-he-he, siapa percaya saksi seperti anak buahmu ini? Kalian pasti akan bertindak
curang”. Kata A Siong, sengaja memanaskan hati karena biarpun dia tidak cerdik, namun
dia tahu benar bahwa kemarahan membuat seorang ahli silat kurang waspada dalam
sebuah pertandingan silat.
“Biar aku yang menjadi saksi!” tiba-tiba terdengar suara nyaring dan ternyata yang
berteriak itu adalah gadis tadi yang kini sudah duduk di atas sebuah dahan pohon dengan
kedua kakinya ongkang-ongkang (tergantung), lagaknya seperti anak kecil yang sedang
menonton pertunjukan menarik yang akan dilihatnya di bawah pohon!.
“Bagus sekali kalau engkau suka menjadi saksi, Nona!” kata A Siong. Akan tetapi sebelum
dia melayani Can Ok bertanding, Siauw Beng yang dapat menduga bahwa orang ini cukup
lihai, segera melangkah maju.
“Ha-ha, baiklah, Sute. Kalau kau tidak dapat mengalahkannya, barulah aku yang maju!”
katanya, sengaja menyombongkan diri untuk membikin gentar hati lawan.
“Aku akan menjaga agar jangan ada yang main curang!”.
Can Ok menghadapi Siauw Beng dengan senyum mengejek. Dia melintangkan kedua
pedangnya di depan dada dengan bersilang, membentuk gunting, lalu berseru, suaranya
mengejek. “Si Tangan Halilintar, coba keluarkan tangan ampuhmu itu dan bersiaplah
untuk mati!” Dia sudah siap untuk menyerang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara gadis
itu nyaring.
“Tahan! Sebagai saksi aku merasa tidak adil kalau yang seorang menggunakan sepasang
pedang, padahal lawannya hanya bertangan satu dan tidak bersenjata! Eh, Tangan
Halilintar, kalau kau tidak mempunyai senjata, boleh kau pinjam pedangku ini, agar
pertandingan menjadi adil. Kalau tidak adil begini, lebih baik batalkan saja!”.
Mendengar ini diam-diam Siauw Beng merasa kagum kepada gadis itu. Boleh jadi gadis
itu berandalan dan liar, sikapnya kasar, bahkan lebih ugal-ugalan dibandingkan Puteri
Mayani. Mendengar ucapan gadis itu, dia lalu menggerakkan tangan kanannya, dan Can
Ok terkejut karena dia tidak dapat mengikuti gerakan tangan kanan itu, tahu-tahu tangan
itu memegang gagang sebatang pedang tipis yang mengeluarkan suara mengaung ketika
tiba-tiba berkelebat menjadi sinar kilat itu.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 159
“Bagus, kiranya engkau memiliki sebatang pedang yang amat baik, buntung!. Nah,
sekarang kalian berdua boleh mulai bertanding!” Gadis itu berseru girang.
“Lihat pedang!” Can Ok membentak dan dua sinar pedang berkelebat menyambarnyambar
tubuh Siauw Beng. Akan tetapi dengan lincah pemuda ini bergerak cepat,
tubuhnya bagaikan baying-bayang berkelebat di antara kedua sinar pedang itu.
Tentu saja Can Ok terkejut dan dari gerakan yang amat ringan itu saja dia dapat menilai
bahwa pemuda buntung yang berjuluk si Tangan Halilintar ini benar-benar lihai. Maka dia
bersikap hati-hati dan mempercepat gerakan sepasang pedang sambil mengerahkan
seluruh tenaga saktinya. datuk Sungai Huangho ini memang lihai sekali mempergunakan
sepasang pedangnya. Gerakannya kini amat cepat. Sejak dia kalah oleh Ma Giok sekitar
dua puluh tahun yang lalu, dia telah memperdalam ilmu pedangnya, di latih gurunya, Huikiam
Lo-mo yang kini telah meninggal sehingga kini dia jauh lebih lihai daripada dahulu.
Karena serangan sepasang pedang itu menjadi semakin ganas dan berbahaya, Siauw
Beng terpaksa menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga saktinya pula.
“Haiiiitttt …….. trakk-trakkk …….! “Can Ok melompat ke belakang dan matanya terbelalak
memandang kedua batang pedangnya yang telah patah ketika bertemu sinar pedang kilat
lawan sehingga yang tinggal di tangannya hanya gagang dan sepotong pedang pendek
sekali! Sama sekali tidak di sangkanya bahwa hanya dalam pertandingan belasan jurus
saja, padahal pemuda itu sama sekali belum balas menyerang, sepasang pedangnya
sudah patah-patah! Tentu pokiam ( Pedang pusaka) si lengan buntung itu luar biasa
ampuhnya, pikirnya. Kalau bertanding tangan kosong tentu dia akan lebih unggul,
mengingat lawannya hanya bertangan satu.
“Orang muda, pedangmu amat ampuh sehingga sepasang pedangku patah. Beranikah
engkau melanjutkan pertandingan dengan tanngan kosong?”.
“Wah, tidak adil!” kembali gadis itu berseru setelah tadi bertepuk tangan memuji melihat
betapa sepasang pedang paman gurunya patah oleh tangkisan pedang Siauw Beng.
“Kalau mau adil, tangan susiok yang kiri harus di ikat di pinggang dan tidak boleh di
gerakkan!”.
Can Ok tidak menjawab, hanya memandang Siauw Beng dengan mata mendelik.
“Lui-kong-ciang, bagaimana? Beranikah engkau bertanding dengan tangan kosong
melawan aku?”.
Siauw Beng melibatkan lagi pedangnya di pinggang. Biarpun tangannya hanya sebelah,
namun dia sudah terlatih dan dapat melibatkan pedang itu. Mula-mula gagang pedang
yang di jepit di pinggang lalu ujung pedang di tarik dengan tangan kanan, dililitkan
pinggang dan ujung pedang itu masuk ke sebuah lubang yang berada di belakang gagang
pedang. Setelah melibatkan pedang Lui-kong-kiam, barulah dia menjawab.
“Tentu saja aku berani. Silahkan maju menyerang”.
“Hyaaaaaahhh …..!!” Can Ok menyerang dengan ganasnya. Gerakan kedua tangannya
mendatangkan angin dahsyat.
Namun dengan keringanan tubuhnya Siauw Beng dapat mengelak dengan amat mudah.
Can Ok menjadi semakin penasaran. Kini kedua tangan dan kedua kakinya menyerang
sedemikian gencarnya sehingga mau tidak mau Siauw Beng harus menghindarkan diri
dengan tangkisan karena kalau hanya mengelak terus, hal itu dapat membahayakan
dirinya. Ketika kaki kanan lawan menyambar kea rah lambung kirinya, lengan bajunya
berkelebat menangkis.
“Plaakkk!” Can Ok terkejut bukan main. Biarpun lengan baju itu bagian ujungnya kosong
karena lengan Siauw Beng hanya sebatas siku, namun lengan baju itu mengandung
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 160
tenaga yang hebat sehingga kakinya terpental membalik dan terasa panas dan nyeri! Can
Ok merasa terkejut dan penasaran. Dia mengeluarkan semua ilmu silatnya dan
mengerahkan selurruh tenaganya. Namun semua serangannya sia-sia belaka. Kalau tidak
di elakkan tentu di tangkis pemuda buntung itu.
Tiba-tiba kedua tangan Can Ok bergerak di pinggangnya dan begitu tangannya bergerak
ke depan, dua sinar kilat menyambar kearah tubuh Siauw Beng.
“Curang!!” terdengar gadis itu berteriak.
Akan tetapi tentu saja Siauw Beng tidak mudah di serang secara gelap dengan dua buah
pisau terbang itu. Dia melompat ke samping dan menangkis dengan tangan kanannya.
Sebatang pisau terbang meluncur lewat dan yang sebuah lagi dipukulnya runtuh. Can Ok
sudah marah sekali, menubruk maju hendak menggunakan kesempatan selagi Siauw
Beng menghindar dari sambaran dua batang pisau terbangnya, dia menyerang dengan
ganas sekali. Siauw Beng miringkan tubuhnya dan ujung lengan baju kirinya menyambar
dan membelit lengan kanan Can Ok, kemudian dia menarik dengan sentakan sehingga
tubuh Can Ok tidak mampu mempertahankan diri dan begitu dia terhuyung ke depan,
Siauw Beng menyambar tengkuknya, tangan kanannya menangkap leher baju di bagian
tengkuk dan mengerahkan tenaga, tubuh Can Ok sudah terlempar, melayang ke arah
sungai.
“Byyuurrr ….!!” Air sungai muncrat ketika tertimpa tubuh Can Ok.
Tujuh belas anak buah Can Ok yang tadinya menonton, kini mencabut senjata golok
mereka yang menyerang kearah Siauw Beng. Akan tetapi A Siong mengeluarkan teriakan
marah dan menyambut mereka dengan amukannya.
“Suheng, jangan membunuh orang!” kata Siauw Beng dan dia menjauhkan diri,
membiarkan A Siong menghadapi pengeroyokan mereka karena dia maklum bahwa A
Siong akan mampu mengalahkan mereka semua.
“Curang! Tidak tahu malu!” terdengar teriakan dan tubuh gadis itu melayang dari atas
pohon lalu iapun mengamuk dan membantu A Siong!.
Siauw Beng tersenyum menyaksikan sepak terjang A Siong dan gadis itu. Mereka
menghadapi sepak terjang A Siong dan gadis itu. Mereka menghadapi belasan orang
bersenjata golok dengan tangan kosong. Akan tetapi tamparan dan tendangan kaki
mereka membuat para pengeroyok terpelanting ke sungai! Pertempuran itu tidak
memakan waktu lama dan seluruh anak buah Can Ok sudah terlempar ke sungai semua.
Mereka berenang ke tepi yang agak jauh dari situ lalu melarikan diri terlebih dulu!.
Setelah semua lawan pergi, Siauw Beng menghampiri gadis itu dan memberi hormat
dengan tangan kanan depan dada sambil membungkuk. “Nona, kami mengucapkan
terima kasih atas kebaikan hati Nona yang telah membantu kami”.
“Hemmm, aku tidak membantu kalian. Aku hanya tidak suka melihat sikap paman guruku,
maka aku menentang dia dan anak buahnya!” Lalu ia memandang kepada A Siong
kemudian kepada Siauw Beng lagi. “Aku telah melihat gerakan kalian berdua dan aku
merasa heran sekali, mengapa kepandaian sang sute yang buntung lengan kirinya lebih
lihai daripada suhengnya?”.
“Ha-ha, tidak usah heran, Nona. Sute ku ini berjuluk si Tangan Halilintar, sedangkan aku
tidak mempunyai julukan apapun”.
“Aku juga merasa heran, Nona. Mengapa seorang keponakan murid berani menentang
paman gurunya dan juga memiliki kepandaian yang jauh lebih lihai daripada kepandaian
paman gurunya? Bukankah ini lebih aneh lagi?” kata Siauw Beng.
“Tangan Halilintar, ku lihat ilmu silat tangan kosong dan silat pedangmu hebat sekali. Aku
jadi ingin mencobanya”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 161
“Ah, Nona. Aku tidak ingin berkelahi denganmu!”.
“Siapa yang mau berkelahi? Aku hanya ingin menguji sampai dimana hebatnya ilmu
silatmu sehingga engkau mendapat julukan Si Tangan Halilintar. Nah, bersiaplah, Tangan
Halilintar!”.
Gadis itu memasang kuda-kuda, kedua kakinya berjungkit, kedua tangannya
dikembangkan dengan jari tangan terbuka menunjuk ke atas.
“Sudahlah, Nona. Biar aku mengaku kalah padamu”.
“Tidak bisa! Kalau engkau mengaku kalah sebelum bertanding, berarti engkau pengecut!”.
“Sute, nona ini hanya ingin menguji kepandaian, mengapa engkau menolaknya? Tanpa
mengenal ilmu masing-masing persahabatan tidak akan menjadi akrab dan dapat saling
mencurigai”.
Mendengar ucapan A Siong itu, Siauw Beng menghela napas panjang. Sebetulnya dia
tidak ingin bertanding dengan gadis yang telah membelanya itu. Akan tetapi gadis itu
memaksanya, bahkan kini A Siong juga ikut membujuknya. Malah dia akan di anggap
pengecut kalau mengaku kalah sebelum bertanding, dia akan melayani dan sekaligus
mengobati ketinggian hati gadis liar ini, gadis yang bersikap begitu berani terhadap paman
gurunya sendiri yang ugal-ugalan namun agaknya memiliki ilmu kepandian yang tinggi.
“Baiklah kalau engkau memaksa. Nah, maju dan seranglah!”.
Melihat Siauw Beng tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri dengan santai, gadis itu
memberi peringatan dengan seruang nyaring. “Lihat seranganku!” Ia lalu menyerang maju.
Dari kuda-kuda dengan jurus Pek-ho-liang-ci ( Bangau Putih Pentang Sayap) ia lalu
bergerak maju dan kedua tangannya dengan cepat dan bergantian menotok kea rah jalan
darah di tujuh jalan darah terpenting yang terdapat di bagian tubuh Siauw Beng. Ia
menyerang dengan jurus Pek-ho-tok-hu (Bangau Putih Mematuk Ikan). Gerakannya ringan
dan cepat sekali, juga dari angin pukulan yang menyambar mendahului jari-jari mungil
yang menotok, Siauw Beng tahu bahwa gadis ini memiliki sin-kang ( tenaga sakti) yang
kuat, bahkan jauh lebih kuat dibandingkan Can Ok tadi. Dia cepat mengelak ke kanan kiri,
kecepatan gadis itu sehingga totokan bertubi-tubi itu tak pernah mengenai sasaran.
Setelah mengelak terus dan melihat betapa gadis itu mengejarnya dan bahkan
mempercepat serangannya yang bertubi-tubi, Siauw Beng menangkis dengan ujung
bajunya yang kosong.
“Wuuuttt ….. plak-plak-plak!” Tiga kali totokan gadis itu tertangkis ujung lengan baju dan
gadis itu merasa betapa tangannya panas dan tergetar hebat oleh lengan baju yang lemas
itu. Ia kagum sekali, maklum bahwa orang yang sudah mampu menyalurkan tenaga ke
ujung kain lengan baju itu tentu memiliki tenaga sakti yang amat kuat.
Timbul kegembiraan di hati gadis itu. Tadi ia sudah menduga bahwa pemuda lengan
buntung yang memakai julukan Si Tangan Halilintar ini pasti seorang yang lihai sekali dan
ternyata benar. Ayahnya pernah mengingatkannya bahwa kalau ia berhadapan dengan
seorang wanita atau pria tua, seorang pengemis, seorang penderita cacat atau seorang
pendeta, ia harus bersikap hati-hati. Orang-orang yang tampaknya lemah tadk berdaya itu,
kalau sudah menguasai ilmu silat, biasanya amat berbahaya. Orang biasanya condong
memandang rendah kepada merak dan karena memandang rendah inilah orang dapat
roboh oleh orang-orang yang pada umumnya lemah tak berdaya ini.
Setelah merasa yakin bahwa Si Tangan Halilintar itu benar-benar lihai, gadis itu
bersemangat dan kini ia mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya untuk menyerang Siauw
Beng. Melihat perubahan ini dan merasakan betapa serangan gadis itu, Siauw Beng
membela diri dan selain mengelak dan menangkis, dia juga mulai membalas dengan
serangan tamparan dan totokan dengan ujung lengan buju kiri, walaupun dia berhati-hati
agar jangan sampai kesalahan memukul atau menotok bagian tubuh yang berbahaya.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 162
Kedua orang itu berkelebatan sehingga tubuh mereka berubah menjadi dua bayangan
yang saling serang. Demikian hebatnya gerakan mereka sehingga daun-daun pohon di
sekitar tempat itu bergoyang-goyang tertiup angin pukulan mereka!.
Melihat serunya pertandingan itu, A Siong berulang kali bertepuk tangan sambil berseru
memuji, “Bagus, bagus, hebat!”.
Mendengar pujian ini, gadis itu menyerang semakin gencar dan Siauw Beng juga
mengimbanginya. Tiba-tiba gadis itu mengubah gerakan silatnya dan berseru nyaring,
“sambut seranganku ini!”.
Siauw Beng terkejut karena gadis itu kini berkelebat dan membuat gerakan berputar-putar.
Gerakan kedua lengannya mengeluarkan angin berpusar seperti angin rebut. Itulah ilmu
silat tangan kosong Pat-hong-sin-kun ( Silat Sakti Delapan Penjuru Angin)!.
“Hyaaattt ……!!” Gadis itu menyerang dengan ganas sekali dengan jurus Hong-cui-pai-hio
( Angin Meniup Daun). Kedua tangan itu menyambar-nyambar dan tubuhnya berkelebat,
menyerang Siauw beng dari delapan penjuru! Siauw beng yang bagaimanapun juga tidak
mau kalah, mendorong-dorongkan tangan kanannya. Dari telapak tangan itu keluar hawa
dorongan yang amat kuat. Pernah gadis itu terserempet dorongan sehingga tubuhnya
terhuyung ke belakang. Tiba-tiba gadis itu mengeluarkan bentakan melengking dan
tubuhnya melompat ke atas, lalu dari atas ia turun dengan kedua kaki terlebih dulu,
menginjak kea rah kepala pemuda itu! Siauw Beng cepat mengelak lalu menyambut
sebelah kaki lawan dan mendorongnya ke atas sehingga tubuh gadis itu melayang ke atas
sampai melebihi pohon tingginya! Akan tetapi ketika ia meluncur turun, tubuhnya seperti
melayang dan ia hinggap di atas dahan pohon seperti seekor burung saja.
A Siong bertepuk tangan. “Bagus sekali! Kalian berdua memang lihai sekali!”
Gadis itu melayang turun ke depan Siauw Beng dan tersenyum. Manis sekali!.
“Julukanmu Si Tangan Halilintar ternyata bukan omong kosong! Ciang-hwat-mu ( Ilmu
Tangan Kosongmu) memang hebat, aku telah mengujinya dan aku mengaku kalah. Akan
tetapi aku ingin sekali menguji Kiam-hwat ( ilmu pedang) yang tadi telah engkau
perlihatkan ketika melawan susiok Can Ok!”.
Setelah berkata demikian, gadis itu mencabut pedangnya yang berkilauan. “Nah, cabutlah
pedangmu, Tangan Halilintar!”.
“Nona, kiranya sudah cukup. Mengapa kita harus bertanding lagi? Aku khawatir akan
merusak po-kiam ( pedang pusaka) yang kau pegang itu. Kalau pedangmu sampai rusak,
engkau akan merasa kecewa dan aku akan merasa menyesal sekali”.
“Hemm, pedangku ini adalah Liong-cu-kiam ( Pedang Naga), tidak mungkin akan terbabat
putus oleh pedangmu. Mungkin pedangmu yang akan patah oleh pedangku”.
Kalau begitu lebih berbahaya lagi! Aku tidak ingin pertandingan persahabatan yang mainmain
ini mengakibatkan pedang kita rusak”.
Tiba-tiba A Siong menghampiri mereka sambil membawa dua potong ranting kayu
sebesar lengan dan panjangnya seukuran pedang. “Ha-ha, kalian tidak perlu
menggunakan pedang pusaka masing-masing. Untuk mengukur ilmu pedang masingmasing,
cukup menggunakan ini sebagai pengganti pedang!”.
Siauw Beng dan gadis itu agaknya setuju dan mereka berdua menerima sepotong kayu
ranting dari tangan A Siong. Gadis itu sudah menyimpan kembali pedangnya.
“Bagus, usul ini baik sekali! Nah, Tangan Halilintar, coba perlihatkan ilmu pedangmu!”.
“Engkau yang ingin menguji ilmu pedang, nona, maka engkaulah yang harus membuka
serangan”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 163
“Hemm, awas, lihat serangan pedangku!” Gadis itu membentak dan iapun sudah
menggerakkan rantingnya menyerang dengan tusukan kea rah mata Siauw Beng. Itulah
jurus yang amat berbahaya bagi lawan! Siauw Beng membuat gerakan ke samping untuk
mengelak, akan tetapi ranting di tangan gadis itu, begitu tusukannya gagal, sudah di
lanjutkan dengan gerakan membabat dari samping kea rah leher lawan. Siauw Beng
kagum. Ilmu pedang yang dimainkan gadis ini memang hebat dan dahsyat sekali.
Tenaganya kuat dan gerakannya begitu cepat bagaikan angin sehingga dia terpaksa
menangkis dengan rantingnya.
“Tukk!” Dua ranting bertemu dan keduanya mundur dua langkah, lalu gadis itu menyerang
lagi. Agaknya karena ia yakin akan ketangguhan lawan, maka kini ia tidak mencoba-coba
lagi, lalu langsung saja mengeluarkan ilmu pedang intinya, yaitu Sin-liong-kiam-sut ( Ilmu
Pedang Naga Sakti). Pedangnya bergerak-gerak bergelombang seperti seekor naga
melayang-layang dan mengamuk. Pedang itu, pada saat itu digantikan ranting, menusuk,
membabat, membacok atau berputar menyambar-nyambar, masih dibantu dengan
gerakan tangan kiri menampar dan dua kakinya bergantian mencuat dengan tendangantendangan
maut! Benar-benar seorang gadis ahli pedang yang hebat, pikir Siauw Beng.
Gadis ini tentu saja menjadi seorang ahli pedang yang hebat karena perguruannya juga
terkenal dengan ilmu pedangnya. Buktinya Can Ok itu berjuluk Toat-beng Siang-kiam
(Sepasang Pedang Pencabut Nyawa) dan kalau tadi sepasang pedang itu tidak patah oleh
Lui-kong Sin-kiam (Pedang Sakti Halilintar) di tangannya, tentu dia tidak dapat
memperoleh kemenangan dalam waktu singkat. Menurut ayah atau gurunya, Ma Giok,
Can Ok adalah murid datuk Sungai Huangho yang berjuluk Hui-kiam Lo-mo ( Iblis Tua
Pedang Terbang).
Kalau Paman gurunya dan kakek gurunya semua ahli pedang, tentu saja gadis ini pun
mahir bermain pedang. Akan tetapi bagaimana ilmu pedang gadis ini jauh lebih lihai
dibandingkan ilmu pedang yang dimainkan Can Ok tadi?
Akan tetapi betapa hebatpun permainan “pedang “gadis itu, Siauw Beng yang sudah
menguasai ilmu pedang ajaib Lui-kong Sin-kiam, tentu saja tidak merasa terdesak. Dia
juga segera mengerahkan tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus ampuh dari Lui-kong Sinkiam.
Begitu ia mainkan ilmu pedang ini dan membalas, gadis itu mengeluarkan seruan
kaget. Semua serangannya membalik dan ranting di tangan pemuda itu berubah menjadi
sinar kilat berwama kehijauan seperti halilintar menyambar-nyambar! Juga semua
serangan bantuan dengan tangan kiri dan kedua kakinya, sama sekali tidak pernah dapat
menyentuh sasaran, bahkan kalau ujung lengan baju kiri pemuda itu menangkis, dara ini
merasa tangan atau kakinya yang tertangkis amat panas dan nyeri.
“Wuutttt …..!” Kini ranting di tangan Siauw Beng mendesak dan berputar-putar. Ketika
gadis ini menangkis, dia mengerahkan sin-kang menyambut tangkisan itu.
“Wuuuttt … Kreekkk!” Ranting di tangan gadis itu patah menjadi dua dan ia melompat ke
belakang, wajahnya menjadi pucat akan tetapi hanya sebentar dan ia sudah berdiri tegak
menghadapi Siauw Beng dengan wajah berseri dan mulut tersenyum gembira!.
“Hebat sekali ilmu pedangmu. Senang sekali aku dapat berkenalan denganmu, Tangan
Halilintar!”.
“Nona, kamilah yang beruntung sekali dapat berkenalan dengan nona yang gagah
perkasa dan telah membantu kami menghadapi gerombolan bajak tadi “, kata A Siong
sambil memandang wajah yang manis itu.
“Nona, harap nona jangan menyebut aku Tangan Halilintar. Aku adalah seorang biasa
saja dan namaku Lauw Beng dengan sebutan Siauw Beng ( Beng Kecil) dan ini adalah
suhengku A Siong”.
“Baiklah, mulai sekarang aku akan menyebutmu Siauw Beng dan A Siong“, kata gadis itu
yang agaknya tidak peduli bahwa dua orang pemuda itu, terutama sekali A Siong, jauh
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 164
lebih tua daripadanya. “Dan aku sendiri bernama Wong Ai Yin”. Gadis itu lalu duduk di
atas sebuah dari empat perahu yang berada di situ, yaitu sebuah perahu kecil milik Siauw
Beng dan tiga buah milik para bajak sungai tadi. “Dan jangan kalian menganggap bahwa
mereka tadi gerombolan bajak atau perampok. Sesungguhnya mereka adalah segolongan
pejuang yang menentang segolongan pejuang yang menentang pemerintah Mancu yang
menguasai tanah air kita“.
Siauw Beng teringat akan cerita ayah angkatnya. Ayahnya juga menceritakan bahwa Huikiam
Lo-mo dan muridnya Can Ok, adalah orang-orang golongan hitam, akan tetapi
mereka itu pembenci Kerajaan Mancu. Bahkan dulu mereka menyerang Lam-liong Ma
Giok karena mereka menuduh Ma Giok pengkhianat karena menolong putera pembesar
Mancu yang di ganggu perampok. Dia menghela napas panjang. Benarkah orang sesat
dapat menjadi pejuang, dapat menjadi pahlawan? Ataukah mereka itu berjuang dengan
pamrih untuk menguntungkan diri pribadi? Orang sesat selalu bertindak dengan dasar
pamrih untuk keuntungan sendiri, maka yang mereka namakan berjuangan itu
sesungguhnya hanya untuk menutupi kejahatan mereka.
“Nona Wong ……”.
“Husshh!” Gadis itu memotong ucapan Siauw Beng. “Kalau aku menyebut kalian Siauw
Beng dan A Siong, mengapa engkau menyebut aku pakai nona-nonaan segala? Namaku
Wong Ai Yin dan sebutanku Ai Yin begitu saja, tanpa nona-nonaan!”.
“Baiklah, Ai Yin. Terus terang saja, kami merasa heran sekali melihat keadaanmu.
Bagaimana engkau menyebut Toat-beng Siang-kiam Can Ok tadi sebagai paman
gurumu? Dan kalau dia paman gurumu, mengapa aku mendapat kenyataan bahwa ilmu
silat tangan kosong maupun pedangmu jauh lebih lihai daripada dia?”.
Gadis itu memandang wajah Siauw Beng dengan sinar mata mencorong, wajahnya
berseri dan mulutnya tersenyum.
“Siauw Beng, sudah sepatutnya kalau laki-laki memperkenalkan diri lebih dulu kepada
perempuan. Karena itu, sebelum aku menceritakan keadaanku, engkau harus lebih dulu
menceritakan tentang kalian, darimana kalian datang dan hendak pergi kemana, lalu
mengapa kalian sampai bentrok dengan paman guru Can Ok dan anak buahnya di sini”.
Siauw Beng dan A Siong saling berpandangan. Ai Yin berkata, “Hayo, duduklah kalian,
tidak enak bercakap-cakap sambil berdiri seperti anak wayang!”.
Siauw Beng dan A Siong tersenyum. Gadis ini lucu dan ramah. Mereka lalu duduk dalam
perahu, berhadapan dengan Ai Yin dan Siauw Beng menceritakan keadaannya secara
singkat.
“Aku tidak mempunyai ayah ibu lagi, mereka sudah meninggal dunia ketika aku masih ….
Bayi, dan …..”.
“Aduh, kasihan sekali kau, Siauw Beng “, Ai Yin memotong.
“Sejak bayi aku di pelihara ayah angkatku, juga guruku, dan aku menjadi muridnya
bersama suhengku A Siong ini. Dia jua sudah yatim piatu. Ayah angkatku itu adalah
seorang pejuang pula, mungkin engkau sudah mendengar namanya, Ai Yin”.
“Siapa sih namanya?”.
“Namanya Ma Giok dan sekarang tinggal di Thai-san “
“Aih, kau maksudkan Ma Giok yang berjuluk Lam-liong (Naga Selatan) itu?”.
“Benar, kau kenal dia?”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 165
“Aku pernah mendengar namanya di puji-puji ayahku, akan tetapi susiok Can Ok pernah
menceritakan bahwa Lam-liong mengkhianati perjuangan dan membela pembesar
Mancu”.
Dari ucapannya ini saja, tahulah Siauw Beng bahwa gadis ini jujur dan terbuka,
menceritakan apa adanya tanpa khawatir menyinggung perasaan orang.
“Aku tidak heran mendengar Can Ok bercerita seperti itu kepadamu, Ai Yin. Ketika itu, dua
puluh tahun lebih yang lalu, guruku itu melihat rumah seorang pembesar Mancu diserbu
segerombolan perampok yang selain merampok juga membunuh orang dan menculik
wanita. Putera pembesar itu yang masih pengantin baru di culik oleh segerombolan
perampok dan pengantin wanitanya, seorang perempuan Han, akan di perkosa di depan
suaminya, Melihat ini, suhu turun tangan menyelamatkan mereka dan mengusir para
perampok, walaupun gerombolan itu mengaku sebagai pejuang yang membenci Kerajaan
Mancu. Nah, kalau engkau yang melihat peristiwa seperti itu terjadi di depanmu, apakah
engkau tidak akan menolong mereka dan menentang para gerombolan itu?”.
Ai Yin mengangguk-angguk. “Sudah ku duga demikian, maka akupun tidak percaya
kepada cerita susiok Can Ok. Buktinya, dia tadi juga bermaksud buruk kepada kalian. Aku
tidak segan-segan menentang siapapun juga yang melakukan kejahatan”.
“Nah, setelah kami berdua selesai belajar ilmu-ilmu dari ayah angkatku dan dari mendiang
suhu Pek In San-jin kami lalu di suruh turun gunung oleh ayah angkatku”.
“Hemm, Pek In San-jin? Nama itupun pernah ku dengar dari ayahku yang memuji-muji dia
sebagai seorang tokoh sakti yang setia kepada Kerajaan Beng yang sudah runtuh oleh
orang Mancu”.
Ai Yin memandang kepada Siauw Beng dengan kagum.
“Pantas engkau lihai, kiranya mendapat gemblengan dari orang sakti itu. Lalu kemana
kalian hendak pergi?”.
“Kami hendak melihat-lihat keadaan Kota Raja”. Kata Siauw Beng yang tidak bercerita
tentang ditemukannya Pedang Lui-kong Sin-kiam dan pelajaran ilmu silat di dinding gua.
“Ketika kami tiba di tepi Sungai Huang-ho, kami membeli sebuah perahu kecil ini dari
orang yang menawarkannya. Kami lalu melanjutkan perjalanan dengan perahu dan
setibanya di sini, kami dihadang gerombolan tadi dan baru kami tahu bahwa yang menjual
perahu kepada kami adalah Can Ok tadi. Mungkin dia melihat kantung uang kami ketika
kami membayar perahu kecil itu. Nah, sekarang tiba giliranmu, untuk bercerita, Ai Yin.
Ceritamu tentu jauh lebih menarik“.
“Namaku Wong Ai Yin. Aku tidak mempunyai ibu lagi. Ibu meninggal ketika aku masih
kecil. Aku hidup bersama ayahku di dusun besar Po-keng di lereng gunung Beng-san.
Ayahku bernama Wong Tat, akan tetapi lebih dikenal dengan julukannya Bu-tek Sin-kiam”.
“Aku pernah mendengar nama besar Bu-tek Sin-kiam. Menurut ayah angkatku, Bu-tek Sinkiam
adalah seorang pejuang yang ditakuti Kerajaan Mancu “, kata Siauw Beng.
“Memang ayahku dahulu seorang pejuang yang gigih melawan orang-orang Mancu, akan
tetapi karena semua perjuangan itu gagal, kini ayah lebih banyak bertapa di lereng Beng-
San. Ayah pernah menjadi murid kakek guru Hui-kiam Lo-mo, maka ayahku menjadi
suheng (Kakak seperguruan) Toat-beng Siang-kiam Can Ok yang kusebut susiok (paman
guru)“.
“Akan tetapi bagaimana tingkat kepandaianmu dapat lebih tinggi daripada tingkat
kepandaian paman gurumu, Ai Yin?” Tanya A Siong.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 166
“Tingkat kepandaian ayahku jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian kakek guru Huikiam
Lo-mo karena setelah tamat belajar pada kakek guru, ayah memperdalam ilmunya
dari para pendeta Lama Jubah Merah di Tibet”.
Siauw Beng dan A Siong mengangguk-angguk maklum.
“Ayah sudah bertahun-tahun mengasingkan diri di gunung Beng-san dan tidak
mencampuri urusan dunia ramai. Akan tetapi ayah selalu memesan kepadaku untuk
membantu perjuangan para pendekar yang menentang kekuasaan pemerintah penjajah,
juga agar aku bersikap dan bertindak sebagai seorang pembela kebenaran dan keadilan,
menentang kejahatan. Setelah ayah menganggap aku cukup kuat untuk melindungi diri
sendiri, ayah memperkenankan aku pergi turun gunung dan memesan agar aku
mengunjungi susiok Can Ok untuk membantunya kalau dia masih melakukan kegiatan
melawan Kerajaan Mancu. Akan tetapi, ketika aku melihat dia mengganggu kalian yang
bukan orang Mancu, aku menjadi penasaran dan menentangnya.
Sekarang aku tidak sudi lagi membantunya karena ternyata perjuangannya hanya menjadi
kedok bagi gerombolannya yang sesungguhnya hanyalah gerombolan bajak sungai dan
perampok!”.
Siauw Beng menghela napas panjang. “Yah, begitulah keadaannya, Ai Yin. Memang,
menurut cerita ayahku, dahulu pemerintah Kerajaan Beng menjadi lemah karena para
pemimpinnya hanya mementingkan kesenangan diri pribadi, melakukan koropsi dan
kecurangan sehingga Negara menjadi lemah, rakyatnya tidak bersemangat sehingga
mudah saja mereka ditaklukan oleh Bangsa Mancu. Ketika itu, beberapa orang pendekar,
termasuk ayahmu itu, berusaha untuk menentang pemerintah penjajah. Akan tetapi semua
usaha itu gagal dan pemerintah Kerajaan Mancu menjadi semakin kuat sehingga seluruh
wilayah daratan telah mereka kuasai. Kini, tidak ada kesempatan lagi bagi kita untuk
melanjutkan perjuangan puluhan tahun yang lalu itu karena kita tidak akan mendapat
dukungan rakyat jelata. Pemerintah Mancu ini lebih bijaksana, memperhatikan
kesejahteraan rakyat jelata. Juga para pemimpin bangsa Mancu membuka kesempatan
besar kepada pribumi Han untuk itu mendorong roda pemerintahan. Bahkan para
bangsawan Mancu tidak segan-segan untuk menggunakan nama Han, menerima
kebudayaan kita sebagai kebudayaan mereka, kehidupan keluarga mereka juga
disesuaikan dengan kehidupan kita. Tidaklah mengherankan kalau rakyat akhirnya dapat
menerima kepemimpinan bangsa Mancu, bahkan para pendekar pun banyak yang mulai
mendukung usaha pemerintah demi kesejahteraan rakyat. Aku sendiri sudah beberapa
kali bertemu orang-orang Mancu yang berwatak baik. Juga ayah angkatku menganjurkan
kepadaku agar kami membela kebenaran dan keadilan sebagai pendekar karena
sekarang bukan waktunya untuk memberontak terhadap Kerajaan Mancu. Menurut
ayahku, pemberontakan menggulingkan pemerintah Mancu bukanlah hal yang mudah
karena tidak mungkin kita lakukan tanpa dukungan sepenuhnya dari rakyat jelata.
Sekarang kami berdua harus melakukan perantauan dan siap menentang siapa saja yang
melakukan kejahatan, tidak peduli apakah dia orang Mancu ataukah orang Han sendiri.
Dengan cara itu pun kita sudah membantu memerangi kejahatan dan menentramkan
kehidupan rakyat”.
“Benar sekali, Siauw Beng. Ayahku juga berpendapat seperti itu. Kau tadi mengatakan
bahwa kalian hendak pergi ke kota raja?”.
“Ya, akan tetapi sebelum ke Kota raja, kami hendak pergi dulu ke kota Keng-koan. Aku
ingin berkunjung ke makam ayah kandungku”.
“Ayahmu dimakamkan di sana? O ya, engkau belum mengatakan siapa mendiang ayah
kandungmu itu, Siauw Beng”.
“Mendiang ayah yang belum pernah ku lihat itu bernama Lauw Heng San”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 167
“Setelah mengunjungi makam ayahmu, engkau lalu pergi ke kota raja?”.
“Ya, kami ingin melihat-lihat kota raja dan menyaksikan sendiri apakah benar Kaisar Kang
Shi merupakan Kaisar Kerajaan Ceng (Mancu) yang bijaksana dan kabarnya kini sedang
berperang melawan bangsa Mongol. Dari keadaan penghidupan rakyat di kota raja kita
dapat melihat bagaimana sikap rakyat terhadap kaisar itu”.
“Bagus! Kalau begitu, aku akan pergi ke sana bersama kalian!” Ai Yin tampak gembira
sekali, wajahnya berseri.
Siauw Beng dan A Siong saling pandang, agaknya terkejut mendengar ucapan gadis yang
mengatakan hendak ikut dengan mereka ke kota raja! Tentu saja kedua orang pemuda ini
terkejut dan ragu karena baru saja mereka mengenal Ai Yin dan tiba-tiba saja gadis itu
hendak melakukan perjalanan bersama!.
“Akan tetapi sebelum kita pergi ke sana, aku ingin minta bantuan kalian lebih dulu”.
“Bantuan? Tentu saja kami siap membantumu, Ai Yin!” kata A Siong.
“Bantuan apakah yang dapat kami berikan kepadamu, Ai Yin?” Siauw Beng juga bertanya.
“Begini, aku sudah berada di sini, mengikuti kelompok yang di pimpin susiok Can Ok
selama hampir tiga bulan. Aku mendengar bahwa di Bukit Menjangan di sana itu terdapat
gerombolan jahat yang suka mengganggu penduduk, bukan hanya melakukan
perampokan, melainkan juga suka menculik wanita. Semua itu ku dengar dari para
nelayan dan sudah kuusulkan kepada susiok untuk menyerbu dan menentang gerombolan
itu. Akan tetapi susiok selalu menolak dan mengatakan bahwa gerombolan itu adalah
Perkumpulan Hek-houw-pang (Perkumpulan Macan Hitam) yang juga merupakan
sekumpulan patriot yang menentang Pemerintahan Mancu. Selama ini aku masih ragu
untuk turun tangan sendiri karena menurut keterangan yang ku dapat, gerombolan itu
mempunyai anggota sebanyak lima puluh orang lebih dan mereka semua ganas dan
kejam, memiliki senjata sepasang cakar harimau dan di pimpin oleh seorang laki-laki tinggi
besar berjuluk Hek-houw Mo-ko (Iblis Macan Hitam) yang sakti. Aku khawatir kalau gagal
jika pergi sendiri.
Akan tetapi aku mendengar laporan dari dusun di kaki bukit itu bahwa kemarin puteri
kepala dusun di culik dan lima orang penduduk dusun yang membela gadis itu telah di
bunuh. Sekarang aku kebetulan bertemu dengan kalian maka aku minta bantuan kalian
untuk menolong penduduk dusun di sekitar dusun itu dan menghajar gerombolan jahat
itu”.
“Wah, aku siap membantumu, Ai Yin. Biar ku hajar si Harimau Hitam itu!”. kata A Siong
sambil mengepal tinjunya.
“Benar, Ai Yin. Kami berdua siap membantumu”.
Gadis itu menjadi girang sekali. Ia meloncat berdiri dan berkata, “kalau begitu, kita tunggu
apa lagi? Mari kita berangkat. Kasihan puteri lurah dusun itu yang telah mereka culik
kemarin!”.
Mereka bertiga lalu berangkat, menumpang perahu kecil milik Siauw Beng. A Siong
mendayung perahu, Ai Yin duduk di tengah dan Siauw Beng duduk di depan. Perahu
meluncur cepat ke hilir dan tak lama kemudian Ai Yin berseru agar A Siong mendayung
perahu itu ke tepi sungai sebelah kanan. Mereka lalu mendarat dan A Siong
menambatkan tali perahu ke sabatang pohon.
“Inikah Bukit Menjangan itu?” Tanya Siauw Beng sambil memandang kea rah sebuah
Bukit tak jauh dari situ. Bukit itu penuh dengan hutan lebat sehingga tampak hijau
kehitaman, menyeramkan.
“Benar, mari kita cepat mendaki sebelum matahari condong ke barat “, kata Ai Yin.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 168
Mereka bertiga mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dengan cepat berlari
mendaki bukit itu. Ada jalan setapak mendaki ke atas. A Siong berjalan ke depan sambil
memegang dayung perahu. Dengan dayung itu dia siap untuk menjaga diri kalau-kalau
ada serangan mendadak. Ai Yin berjalan di belakangnya dan Siauw Beng mengikuti dari
belakang. Karena mereka belum pernah datang ke situ dan asing dengan daerah yang
penuh hutan di bukit itu, maka tentu saja mereka kini tidak dapat melakukan perjalanan
cepat. Hutan-hutan bukit itu ternyata lebat bukan main. Ketika mereka melihat bekas jejak
kaki banyak rusa dan setelah tiba di lereng bukit melihat ratusan ekor menjangan yang
melarikan diri setelah melihat mereka, tahulah mereka mengapa tempat itu disebut Bukit
Menjangan. Kiranya memang terdapat banyak sekali rusa di situ.
Saking lebatnya hutan dan jalan setapak itu kini tidak tampak lagi karena banyaknya
semak belukar dan rumput tebal tumbuh dengan liar, maka beberapa kali tiga orang itu
menjadi bingung karena jalan mereka terhalang jurang yang curam sehingga terpaksa
mereka harus mencari jalan lain. Juga berkali-kali mereka menemukan jalan yang tadi
pernah mereka lalui sehingga mereka menjadi bingung. Padahal, matahari mulai turun ke
barat karena perjalanan mereka yang tersesat dalam hutan itu membuat mereka berputarputar
dan makan waktu yang lama.
“Ah, mengapa aku begini bodoh? Kalian tunggu sebentar, aku akan meneliti keadaan dari
atas“, kata Ai Yin, lalu tubuhnya melayang ke atas seperti seekor burung terbang. Ia
hinggap di atas cabang sebatang pohon besar, lalu memanjat naik sampai ke puncak
pohon yang tinggi itu. Dari tempat tinggi itu Ai Yin memandang ke sekeliling. Tak lama
kemudian ia sudah melayang turun.
“Nah, sudah tahu aku dimana sarang mereka “, katanya. “Mari ikut aku!” Ia lalu menjadi
penunjuk jalan menuju kea rah tertentu. Matahari yang sudah condong ke barat menjadi
penentu arah sehingga mereka menuju ke arah yang benar, yaitu menuju sebuah
perkampungan kecil yang terlihat dari puncak pohon oleh Ai Yin tadi.
Akan tetapi karena mereka tidak dapat menemukan jalan rahasia yang dibuat
perkumpulan Hek-houw-pang untuk keperluan mereka sendiri, dan terpaksa harus
mengambil jalan pintas yang harus melalui daerah sukar yang penuh dengan semak
belukar dan berduri, maka setelah senja barulah mereka tiba di depan sebuah
perkampungan. Cuaca mulai agak gelap dan ketika mereka bertiga berdiri di depan pintu
gerbang yang amat kokoh itu, tiba-tiba pintu gerbang itu terbuka dan dari dalam
bermunculan puluhan orang dengan pakaian serba hitam! dan sambil berlari-lari mereka
membuat lingkaran mengepung tiga orang itu.
Tiga orang muda itu tampak tenang-tenang saja menghadapi pengepungan sekitar empat
puluh orang itu, bahkan Ai Yin tersenyum-senyum mengejek. Gadis yang pemberani ini
menyapu para pengepung dengan pandang matanya yang tajam, lalu setelah memutar
tubuhnya satu kali berkata dengan suara nyaring.
“Heeiii! Macan-macan kecil, kami datang untuk bicara dengan pemimpin kalian. Mana dia
Hek-houw Mo-ko? Apakah dia tidak berani keluar menemui kami?”.
Tiba-tiba, seolah menyambut seruan Ai Yin tadi, terdengar auman harimau dari dalam
perkampungan, gerengan suaranya menggetarkan keadaan sekeliling tempat itu. Tiga
orang muda itu maklum bahwa orang yang mengeluarkan gerengan sehebat itu tentu
menggunakan sin-kang ( tenaga sakti) sehingga suaranya mengandung getaran yang
amat kuat. Lalu dari dalam gapura itu muncul seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh
lima tahun. Pakaiannya dari sutera hitam. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat,
mukanya penuh brewok dan matanya yang lebar mencorong penuh wibawa. Kedua
tangan orang ini disambung cakar harimau, tidak seperti para anak buah yang kedua
tangan mereka memegang sepasang cakar harimau yang bergagang sepanjang lengan.
Dengan langkah perlahan namun tegap bagaikan langkah seekor harimau, laki-laki itu
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 169
berjalan dan para pengepung di bagian gapura memberi jalan dengan sikap hormat, dia
maju terus sampai berhadapan dengan tiga orang muda itu. Dengan matanya mencorong
dia mengamati tiga orang itu, pandang matanya berhenti pada Ai Yin dan gadis itu merasa
seoalah pandang mata laki-laki tinggi besar itu menggerayangi tubuhnya dari kepala
sampai ke kakinya sehingga mukanya berubah merah dan matanya mencorong merah.
“Jahanam busuk, apakah engkau yang berjuluk Hek-houw Mo-ko dan menjadi pemimpin
gerombolan Hek-houw-pang yang suka mengganggu penduduk, merampok barang dan
ternak, juga menculik gadis-gadis itu?”.
Hek-houw Mo-ko mendengus, matanya seolah hendak menelan gadis itu hidup-hidup dan
jelas tampak bahwa dia terpesona oleh kecantikan Ai Yin.
“Nona, engkau tinggallah di sini menjadi biniku dan dua orang pemuda ini boleh pergi dari
sini dengan aman dan tidak akan kami ganggu”.
Ai Yin membelalakkan matanya. Beraninya orang itu! Mukanya serasa di bakar oleh api
kemarahan yang berkobar dihatinya.
“Keparat bermulut busuk!” bentaknya dan Ai Yin sudah mengunus pedangnya lalu tanpa
banyak cakap lagi karena saking marahnya gadis itu tidak mampu mengeluarkan katakata
lagi, ia sudah menerjang Hek-houw Mo-ko dengan dahsyat sekali.
Hek-houw Mo-ko terkejut bukan main. Sebagai orang yang banyak pengalaman dia
segera mengenal serangan yang luar biasa hebatnya dan tahulah dia bahwa gadis cantik
itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Dia cepat mengelak sambil menggerakkan
kedua tangannya yang disambung cakar harimau terbuat dari baja yang sudah di rendam
racun.
Segera Ai Yin sudah bertanding seru melawan ketua Hek-houw-pang dan laki-laki tinggi
besar brewok ini diam-diam memberi tanda kepada anak buahnya untuk bergerak. Empat
puluh orang lebih itu segera mengepung dan mengeroyok Siauw Beng dan A Siong.
Mereka bermaksud membunuh dulu dua orang pemuda itu, baru mereka akan membantu
ketua mereka menangkap gadis yang cantik itu. Akan tetapi, mereka disambut dengan
kejutan hebat. Begitu kedua orang pemuda itu menggerakkan tubuh mereka, dalam
beberapa detik saja delapan orang pengeroyok sudah roboh dan tidak mampu bangkit
kembali karena tulang patah atau terluka dalam. Tamparan dan tendangan Siauw Beng
dan A Siong terlalu kuat bagi mereka sehingga mereka mengeroyok dengan hati gentar
dan kacau. Akan tetapi hal ini justeru membuat pengeroyok mereka semakin lemah dan
kembali delapan orang berpelanting!.
“Hyaattt …….!” Ai Yin menyerang dengan hebat.
Kebenciannya terhadap kepala gerombolan yang berani kurang ajar kepadanya itu
membuat ia menyerang dengan dahyat untuk membunuh. Hek-houw Mo-ko melihat
serangan yang amat ganas itu, segera menggerakkan tangan menangkis. Cakar harimau
baja itu bertemu dengan pedang.
“Criinggg ….!” Tampak bunga api berpijar dan Hek-houw Mo-ko terhuyung ke belakang.
Dia semakin terkejut dan mulai merasa gentar. Cakar harimaunya dari baja itu kuat sekali
dan biasanya kalau bertemu dengan lawan yang bersenjata cakarnya mampu
mematahkan pedang atau golok lawan. Akan tetapi sekali ini, cakarnya tidak mampu
mematahkan Liong-cu-kiam, sebaliknya malah sebuah jari cakar itu patah! Maka dia mulai
panic, apalagi ketika di liriknya dan dia melihat betapa belasan anak buahnya sudah roboh
dan tidak mampu bangkit kembali, hanya duduk dan merintih-rintih sambil memegangi
bagian tubuh yang patah tulangnya. Dia mulai takut dan cepat dia menyelinap dan
menyusup kedalam kelompok anak buahnya yang banyak.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 170
Melihat kepala gerombolan itu menghilang di antara anak buahnya, Ai Yin menjadi marah
sekali. Pedangnya berkelebatan menyambar-nyambar, menjadi gulungan sinar terang dan
berturut-turut terdengar teriakan dan tubuh bergelimpangan mandi darah di sambar sinar
pedang itu.
Sementara itu, ketika A Siong sedang mengamuk, dia melihat Hek-houw Mo-ko melarikan
diri memasuki pintu gerbang perkampungan. Melihat Ai Yin mengamuk dengan
pedangnya dan Siauw Beng masih menggunakan kaki dan tangan kanannya untuk
merobohkan para pengeroyok yang kini sudah berkumpul semua di situ, A Siong lalu
melakukan pengejaran kepada kepala gerombolan itu. Dengan gerakan ringan ia melewati
kepala para pengeroyok di depannya dan mengejar ke dalam perkampungan yang sunyi
karena semua anggota gerombolan telah berkumpul di depan pintu gapura untuk
mengeroyok.
A Siong masih sempat melihat Hek-houw Mo-ko melompat dan memasuki sebuah
bangunan yang paling besar di perkampungan itu. Karena malam mulai tiba, maka cuaca
sudah remah-remang. Namun dalam rumah besar itu terdapat penerangan. Dia melompat
ke serambi rumah dan melihat di situ sunyi, dengan hati-hati dia lalu memasuki ruangan
depan. Dia harus waspada dan hati-hati karena amat berbahaya mengejar seorang
penjahat kejam yang memasuki rumahnya. Dia dapat di serang dengan tiba-tiba, bahkan
ada kemungkinan rumah itu di pasangi alat-alat rahasia untuk menjebaknya. Ruangan
depan itupun kosong tidak nampak seorangpun manusia. Berindap-indap A Siong mencari
orang yang dikejarnya. Agaknya rumah itu telah ditinggalkan semua penghuninya karena
sepi sekali. Namun di ruangan dalam terdapat lampu penerangan. Dengan berani dia
memasuki ruangan yang sebelah dalam. Di sini pun sunyi dan dari ruangan ini dia dapat
melihat melalui pintu bahwa ada pula ruangan sebelah belakang. Akan tetapi menembus
ruangan dalam itu terdapat pintu-pintu kasar yang daun pintunya tertutup.
Selagi dia bingung tidak tahu harus mencari kemana, tiba-tiba dia mendengar suara orang
bicara di ruangan belakang. Cepat dia melangkah ke ruangan itu dan suara itu datang dari
sebuah kamar besar yang pintunya tertutup. Dia menghampiri pintu dan mendengarkan
suara laki-laki dan wanita yang terdengar berbantahan.
“Aku tidak sudi! Bunuh saja aku, aku tidak sudi ikut denganmu!” terdengar suara wanita
itu. Lalu A Siong mendengar suara laki-laki yang sudah dikenalnya, suara Hek-houw Moko!.
“Gadis bodoh tak mengenal budi! Kalau aku tidak benar-benar cinta kepadamu, sejak
kemarin engkau tentu telah ku paksa, ku perkosa seperti para gadis lain, lalu ku berikan
kepada anak buahku. Akan tetapi aku tidak mau melakukan itu terhadap dirimu karena
aku sungguh cinta padamu dan aku ingin engkau menjadi isteriku. Maka, sekali lagi,
menurutlah. Mari ku ajak engkau pergi dari sini dan kita hidup berbahagia di tempat lain.
Engkau dapat hidup mewah dan terhormat di sana. Marilah manis”.
“Tidak, aku tidak sudi ikut denganmu. kalau engkau memaksaku, aku akan bunuh diri,
daripada menjadi isterimu. Terkutuk engkau, laki-laki jahanam yang jahat dan kejam!”.
“Hemmm, kalau begitu aku akan memaksamu ikut denganku, mau atau tidak mau engkau
harus menjadi isteriku!”.
Asiong mendengar suara gedebukan dan kain robek. Maka dia lalu menendang daun pintu
kamar itu.
“Braakkkk …..!” Daun pintu jebol dan A Siong melompat masuk. Dia melihat Hek-houw
Mo-ko hendak memaksa dan meringkus seorang gadis bertubuh tinggi tegap. Akan tetapi
gadis itu meronta dan bajunya yang di cengkram Hek-houw Mo-ko menjadi robek dari
leher sampai pinggang, sehingga tubuh bagian atasnya kini hanya tertutup pakaian dalam
berwama merah muda yang tipis dan tembus pandang.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 171
Mendengar suara pintu jebol, Hek-houw Mo-ko terkejut sekali. Cepat dia melepaskan
gadis yang meronta-ronta dengan gigih itu dan menghadapi A Siong dengan marah.
Dia tadi gentar menghadapi Ai Yin dan dia tahu bahwa dia tidak akan menang melawan
dara perkasa itu. Akan tetapi kini melihat A Siong yang tidak membawa senjata, dia
memandang rendah. Dia marah sekali. A Siong merupakan seorang di antara tiga orang
muda yang mengacaukan perkampungannya, maka tanpa bicara apa-apa lagi dia sudah
menerkam dengan kedua cakarnya ke arah A Siong.
A Siong yang sudah waspada sejak tadi, maklum bahwa kedua tangan yang di sambung
cakar harimau itu berbahaya sekali, maka dia cepat mengelak ke samping, lalu membalas
serangan lawan dengan sebuah tendangan. Akan tetapi Hek-houw Mo-ko juga mampu
mengelak dengan cepat. Maka bertandinglah dua orang laki-laki yang sama tinggi
besarnya itu dalam kamar. Untung bahwa kamar itu cukup luas sehingga mereka dapat
bertanding dengan leluasa.
Akan tetapi segera ternyata bahwa A Siong masih lebih unggul walaupun lawannya
memiliki sepasang cakar berbisa yang menyambung kedua tangannya dan A Siong sendiri
bertangan kosong. Selain tingkat kepandaian A Siong memang agak lebih tinggi dan dia
memiliki tenaga sakti yang jauh lebih kuat karena dia telah makan daging ular kembang
merah, juga pada saat itu hati Hek-houw Mo-ko sudah terlanda panic dan ketakutan.
Setelah dia mendapat kenyataan bahwa lawannya inipun lihai sekali, hatinya merasa
gelisah dan dia mulai mencari kesempatan untuk melarikan diri. Tadinya dia ingin
memaksa gadis yang kemarin di culik, puteri lurah itu, untuk menemaninya karena dia
jatuh cinta kepada gadis itu. Akan tetapi sekarang yang terpenting baginya adalah
menyelamatkan diri. Maka dia lalu menyerang dengan nekat, mencakar dengan tangan
kanannya kea rah muka A Siong sambil menggereng bagaikan seekor harimau terluka.
A Siong sudah waspada. Melihat serangan nekat itu, dia cepat miringkan tubuhnya dan
setelah memutar tubuh ke kanan dia menangkap lengan kanan lawan dan dengan
pengerahan tenaga sakti dia memutar lengan itu ke belakang tubuh lawan. Sekali dia
mendorong lengan itu ke atas, terdengar bunyi berkretekkk dan sambungan tulang pundak
kanan Hek-houw Mo-ko terlepas! Kepala perampok itu mengeluh karena rasa nyeri seperti
menusuk jantungnya dan dia membungkuk untuk menahan rasa nyeri.
A Siong menggunakan kesempatan itu untuk menangkap kedua pergelangan kaki kepala
perampok itu dengan kedua tangannya dan sekali angkat dan tarik, tubuh kepala
gerombolan itu telah tergantung dan dia lalu memutar-mutar tubuh itu, kemudian dia
lemparkan keluar kamar melalui pintu yang jebol. Tubuh itu meluncur dan kepalanya
menghantam dinding.
“Praakkk ….!” Tubuh itu terbanting dan kepalanya retak. Hek-houw Mo-ko tewas seketika.
A Siong menghampiri gadis yang berlutut sambil memegangi bagian depan bajunya yang
robek. Ia tadi menonton perkelhaian itu dengan muka pucat, mata terbelalak dan tubuh
gemetaran. Kini, melihat A Siong menghampirinya ia memandang wajah pemuda tinggi
besar itu.
A Siong melihat betapa sepasang mata yang lebar dan jeli itu terbelalak seperti mata
kelinci yang ketakutan. maka dia tersenyum dan berkata lembut, “Nona, jangan takut. Aku
datang untuk menolongmu dan membawamu pulang pulang ke rumah orang tuamu”.
Mendengar ucapan itu dan bertemu pandang mata dengan sepasang mata pemuda tinggi
besar yang membayangkan kejujuran itu, gadis agaknya baru yakin bahwa pemuda ini
benar-benar datang untuk menolongnya. Maka kalau tadi ia sama sekali tidak menangis,
kini ia mengeluh dan menubruk kedua kaki A Siong dan terkulai pingsan!.
Melihat gadis itu kini rebah telentang di atas lantai dengan tubuh bagian atas depan hanya
tertutup pakaian dalam yang tipis sehingga lekuk lengkung dadanya membayang, jantung
A Siong berdebar tegang. Belum pernah selama hidupnya dia melihat pemandangan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 172
seperti ini. Dan wajah gadis itu mendatangkan kesan mendalam di hatinya. Gadis yang
tabah, berani mati dan lebih baik mati daripada menyerahkan diri kepada kepala
perampok, seperti yang di dengarnya tadi ketika gadis itu berbantahan dengan Hek-houw
Mo-ko.
Dan wajah gadis yang bertubuh tinggi tegap ini begitu memelas, dan begitu manis
menimbulkan rasa suka dan iba di hatinya yang belum pernah tersentuh oleh seorang
wanita. Dengan jari – jari gemetar dia mencoba untuk menutupkan baju luar yang robek,
akan tetapi karena dada yang membusung itu membuat bajunya menjadi ketat, maka
begitu dia melepaskan tangan, baju itu terbuka kembali!.
Jilid 18
Dia menjadi gugup dan bingung, lalu dia melepas baju luarnya sendiri dan mengenakan
bajunya itu pada tubuh atas gadis itu dia harus merangkul dan memasukkan lengan gadis
dengan mengangkat tubuh itu dan mendudukannya lalu menyangganya. Bajunya terlalu
besar, akan tetapi dapat menutup dan menyembunyikan dada yang setengah telanjang
itu. hatinya merasa lega dan dia lalu memondong tubuh gadis itu, membawanya keluar
dari rumah.
Setelah tiba di pintu gapura, A Siong melihat bahwa perkelahian telah berakhir. Siauw
Beng dan Ai Yin pada saat itu keluar dari rumah, memasuki perkampungan itu.
“Suheng, siapa yang kau pondong itu?” Tanya Siauw Beng, heran melihat A Siong
memondong tubuh seorang gadis. Mereka berhenti di depan sebuah rumah dimana
tergantung lampu penerangan sehingga birapun remang-remang, Siauw Beng dan Ai Yin
dapat melihat bahwa gadis itu seperti orang tertidur.
Jantung A Siong berdebar dan dia merasa malu sekali. “Ia ….. ia …… adalah puteri
kepala dusun yang kemarin di culik. Ia gadis yang tabah dan gagah berani
mempertahankan kehormatannya. Ketika ia hendak di paksa pergi oleh Hek-how Mo-ko,
aku datang dan aku berhasil menewaskan kepala gerombolan itu. Gadis ini jatuh pingsan
dan kubawa keluar”.
Pada saat itu, gadis itu bergerak dalam pondongan A Siong sehingga pemuda ini cepat
menurunkannya dengan hati-hati seketika ia teringat akan peristiwa tadi dan kembali ia
menjatuhkan diri berlutut merangkul kedua kaki A Siong.
“In-kong telah menyelamatkan saya dari malapetaka yang lebih mengerikan daripada
maut. Tidak ada yang dapat saya lakukan untuk membalas budi kebaikan in-kong (tuang
penolong) kecuali menyerahkan jiwa raga saya kepada in-kong”.
“Eh, apa …… apa maksudmu, Nona? Nanti ….. atau besok pagi kami akan mengantarmu
pulang ke rumah orang tuamu“.
“Tidak, in-kong …. Tidak … saya tidak mau pulang ….. “gadis itu kini menangis lirih.
“Sudahlah, A Siong, soal ini kita bicarakan nanti, perlahan-lahan kita bujuk. Sekarang yang
penting kita perlu memeriksa keadaan dalam kampung untuk mengumpulkan barangbarang
yang mereka rampas dari penduduk dan menemukan kembali para gadis lain”.
“Benar, suheng. Kau temani saja nona ini, aku dan Ai Yin akan memeriksa keadaan dalam
perkampungan“, kata Siauw Beng.
“Baik, sute”. Setelah Siauw Beng dan Ai Yin mulai memeriksa ke dalam rumah-rumah di
perkampungan gerombolan itu, A Siong mengajak gadis itu keluar pintu gerbang karena
dia tidak mau menganggur di situ.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 173
“Mau apa kita keluar, in-kong?”.
“Kita lihat keadaan para penjahat itu. Aku harus mengerahkan tenaga mereka untuk
membantu mengangkut kembali barang-barang dan ternak yang di rampok oleh
gerombolan. Enak saja kalau dia dibiarkan pergi tanpa harus bertanggung jawab atas
semua perbuatan mereka yang jahat. Mari …. Eh, siapakah namamu, Nona?”.
“Nama saya Lu Bi Hwa, anak tunggal puteri lurah dusun Ki-Cun di kaki bukit ini sebelah
utara”.
Mereka tiba di luar pintu gerbang atau gapura perkampungan itu dan di sana masih ada
belasan orang yang mengeluh dan saling menolong. Yang lain mungkin telah pergi sambil
membawa mayat kawan-kawan mereka yang tewas. Ketika tujuh belas orang itu melihat A
Siong muncul bersama Bi Hwa, mereka terkejut dan nampak ketakutan, bahkan ada yang
siap melarikan diri. Bulan telah muncul sejak senja tadi, bulan sepotong yang masih redup
sinarnya namun lumayan dapat memberi sedikit penerangan sehingga keadaan di situ
remang-remang.
“Jangan ada yang berani melarikan diri. Aku akan membunuh mereka yang mencoba
untuk melarikan diri!” A Siong membentak.
Belasan orang itu semakin ketakutan. Mereka tadi sudah melihat kehebatan sepak terjang
pemuda tinggi besar ini, yang dengan tangan kosong dapat merobohkan banyak orang
yang bersenjata sepasang cakar harimau. Mereka serentak berlutut menghadap A Siong
dan berseru, “Ampunkan kami, taihiap (Pendekar besar)“.
“Hayo kalian semua masuk ke perkampungan dan berkumpul di rumah besar tempat
tinggal ketua kalian. Urus dan kuburkan mayat ketua kalian yang berada di sana dan
tunggulah perintah kami selanjutnya. “Hayo jalan!” Semua orang itu sudah mati kutu.
Mereka takut kalau melarikan diri akan benar-benar di bunuh pendekar tinggi besar itu.
Maka mereka semua lalu memasuki perkampungan itu, di iringkan A Siong dan Bi Hwa.
Diam-diam Bi Hwa merasa kagum bukan main melihat sepak terjang penolongnya. Belum
pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang yang demikian gagah perkasa, tegar
dan berwibawa. sampai berusia dua puluh tahun Bi Hwa ini belum menikah karena ia
selalu menolak pinangan para pemuda dari dusunnya atau dusun-dusun lain karena ia
merasa tidak cocok dengan mereka. Sudah banyak ia melihat gadis yang menikah lalu
hidup bagaikan bujang bagi suaminya. Melayani semua kebutuhan suami, mengurus
anak-anak, mencuci, masak, membersihkan rumah dan pekarangan, masih di tambah
membantu pekerjaan di sawah lading kalau sang suami terlalu sibuk. Pendeknya, tenaga
wanita diperas habis-habisan. Kawan-kawannya sedusun yang sudah menikah, rata-rata
bertubuh kurus dan wajahnya cepat tua!
Ketika ia berada dalam ancaman malapetaka yang hebat, akan di paksa menjadi isteri
kepala gerombolan dan akan di perkosa, ketika ia sudah putus asa dan pasti akan
membunuh diri kalau di perkosa, tiba-tiba muncul pemuda gagah perkasa ini yang
menyelamatkannya! Maka ia sudah mengambil keputusan bulat dalam hatinya. Ia akan
menjadi isteri pemuda ini, akan menyerahkan jiwa raganya. Ia akan sanggup bekerja
keras seperti para isteri lain. Ia akan melakukan semua itu dengan senang hati, tidak
seperti kawan-kawannya, karena ia melakukannya untuk membalas budi kebaikan
pemuda itu.
Setelah mereka tiba di rumah kepala gerombolan, ternyata Siauw Beng dan Ai Yin juga
sudah selesai memeriksa semua rumah di perkampungan itu. Mereka menemukan
barang-barang rampasan, juga hewan ternak yang di kumpulkan di belakang perumahan.
Selain itu, mereka juga menemukan lima orang gadis dusun yang keadaanya amat
menyedihkan. Wajah mereka pucat, sikap mereka ketakutan dan tubuh mereka kurus.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 174
Lima orang gadis itu adalah korban penculikan yang sudah berbulan-bulan berada di situ
dan menjadi korban keganasan kepala gerombolan dan anak buahnya.
Mereka berlima itu menangis sedih, mengingat nasib mereka walaupun mereka kini telah
terbebas dari cengkraman para penjahat. Mereka melihat batapa suramnya masa depan
mereka. Akan sukar mendapatkan pria yang mau memperistri gadis yang pernah menjadi
permainan para penjahat keji itu.
Lu Bi Hwa segera menghampiri lima orang gadis itu dan ia menghibur mereka sehingga
akhirnya mereka berhenti menangis. Para anak buah gerombolan itu lalu mengubur
jenazah Hek-houw Mo-ko dan malam itu mereka di haruskan berkumpul di ruangan depan
rumah besar itu. Siauw Beng dan Ai Yin mengambil keputusan bahwa besok pagi para
anggota gerombolan itu di haruskan mengangkat barang-barang rampokan itu kembali ke
dusun. Mereka bertiga akan mengawal para gadis kembali ke rumah orang tua masingmasing.
“Ai Yin, engkau malam ini mengaso dan tidurlah. Biar aku dan suheng yang melakukan
penjagaan agar mereka tidak melarikan diri dan untuk berjaga-jaga kalau ada temanteman
mereka yang berani masuk perkampungan ini “, kata Siauw Beng setelah mereka
semua makan hidangan yang dimasak oleh Lui Bi Hwa dan lima orang gadis itu. Di rumah
kepala gerombolan itu tersedia bahan makanan yang cukup banyak.
Malam itu Ai Yin tidur di senuah kamar rumah besar itu. Kamar yang bersih dan Ai Yin
yang sudah kecapaian itu dengan mudah tertidur pulas. Siauw Beng duduk di serambi
depan, bersila di atas lantai yang di gelari tikar tebal. Para gadis juga tidur di sebuah
kamar besar. Mereka berlima baru malam ini dapat tidur nyenyak dengan hati tentram.
Akan tetapi Bi Hwa tidak mau tidur dan ia duduk menemani A Siong yang juga duduk di
serambi depan bersama Siauw Beng.
Di serambi ini, A Siong membuat api unggun, bukan untuk mendapatkan penerangan
karena di situ juga ada sebuah lampu gantung, akan tetapi untuk mengusir nyamuk yang
terdapat banyak di tempat itu. Dari serambi mereka dapat melihat ke luar. Bulan sepotong
sudah naik tinggi dan cahayanya mulai agak tering sehingga cuaca di luar rumah itu
remang-remang namun masih dapat di tembus pandang mata.
Siauw Beng memejamkan matanya seperti orang tidur. Sebetulnya dia hanya duduk diam
seperti sedang siu-lian (samadhi), akan tetapi dia menyadari keadaan di luar dirinya
sehingga dia dapat mendengar ketika Bi Hwa dan A Siong bercakap-cakap.
“In-kong, saya sudah mengambil keputusan tetap. Saya tidak akan kembali ke rumah
orang tua saya. Saya akan ikut denganmu ke manapun engkau pergi, In-kong”.
“Akan tetapi aku seorang perantau miskin, bahkan rumah tinggalpun tidak punya!”.
“Tidak mengapa, In-kong. Saya sanggup hidup bagaimanapun juga bersamamu. Saya
akan melayanimu, mengerjakan semua keperluanmu, mencuci, memasak dan engkau
suruh apapun akan saya lakukan dengan senang hati dan rela”.
A Siong menghela napas panjang lalu menengok kea rah Siauw Beng. Kemudian dia
berkata lirih. “Mari kita bicara di sana saja”.
Dia menambahkan kayu kepada api unggun, lalu bangkit mengajak Bi Hwa pergi ke
pekarangan agar dapat bicara dengan leluasa tanpa di dengar orang lain. Setelah cukup
jauh mereka duduk di atas dua buah batu besar, berhadapan. Bahkan A Siong sendiri
tidak tahu bahwa Siauw Beng membayangi mereka, lalu bersembunyi di balik batu-batu
bukit dan mendengarkan percakapan mereka.
“Bi Hwa, keputusanmu itu keliru. Tidak mungkin engkau ikut bersamaku terus. Engkau
akan hidup serba kekurangan, sengsara dan terkadang di ancam bahaya. Aku adalah
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 175
seorang petualang yang tidak memiliki apa-apa, tiada keluarga, tiada rumah tinggal, tiada
harta benda. Aku tidak dapat menerima engkau ikut bersamaku, Bi Hwa”.
Gadis itu menundukkan mukanya menangis perlahan. “Inkong, apakah engkau tidak
kasihan kepadaku?” tanyanya di sela isaknya.
“Tentu saja aku kasihan padamu, Bi Hwa. Engkau seorang gadis yang baik, tabah, teguh
mempertahankan kehormatanmu, engkau pantas di hormati. Aku kagum kepadamu, Bi
Hwa”.
“Kalau begitu, mengapa engkau tidak mau menerima saya, In-kong?” tanyanya dengan
suara memelas.
“Sudah ku katakan bahwa aku seorang perantau miskin. Engkau akan hidup serba
kekurangan dan sengsara, sekali waktu mungkin sehari tidak dapat makan”.
“Aku rela, in-kong. Biar hidup sebagai pengemis gelandangan sekalipun, saya rela. Saya
rela menjadi pelayanmu, in-kong”.
Hening sejenak, hanya terdengar beberapa kali A Siong menghela napas panjang,
berulang-ulang. Kemudian dia berkata dengan suara sedih. “Percayalah Bi Hwa
seandainya aku ini seorang pemuda biasa yang memiliki tempat tinggal, memiliki
kebebasan dan harapan masa depan, sungguh mati aku akan menerima permintaan mu
ini dengan senang hati. Akan tetapi, dalam keadaanku seperti sekarang ini, hal itu tidak
mungkin ku lakukan. Aku harus membantu sute Siauw Beng, aku sudah berjanji kepada
guruku untuk menemani sute, untuk membantunya, bahkan untuk melayaninya. Tidak
mungkin aku menerimamu, Bi Hwa”.
“Apakah …. Apakah …. Tidak ada jalan keluarnya … in-kong …?”.
A Siong menghela napas berat, lalu terdengar suaranya lirih. “maaf, Bi Hwa, ku rasa tidak
ada ….”
Isak tangis itu semakin kuat dan tiba-tiba Bi Hwa melompat turun dari atas batu. Ia
terguling roboh, akan tetapi bangkit lagi dan berlari sambil menangis ke arah jurang yang
berada tak jauh dari situ. Perkampungan itu berada di lereng dekat puncak bukit
Menjangan, maka terdapat banyak jurang di sekitar perkampungan. Dengan nekat Bi Hwa
setelah tiba di tepi jurang, hendak meloncat ke dalamnya. Akan tetapi tiba-tiba dua buah
lengan yang kuat merangkul pinggalnya. Ia meronta-ronta, namun tidak dapat terlepas dari
rangkulan A Siong.
“Bi Hwa, apa yang hendak kau lakukan ini?” A Siong memaksa, mearik tubuh gadis itu
menjauhi jurang.
“Lepaskan, In-kong, lepaskan. Biarkan saya mati saja! Tiada gunanya hidup lebih lama
kalau in-kong tidak mau menerima saya ……. “Gadis itu menangis sesunggukan.
“Akan tetapi mengapa, Bi Hwa? Mengapa engkau menjadi nekat begini? Engkau masih
mempunyai keluarga, bahkan ayahmu adalah seorang kepala dusun yang hidupnya serba
kecukupan!” bujuk A Siong tanpa melepaskan rangkulannya karena gadis itu masih
meronta, berusaha melepaskan dekapan A Siong.
“Tidak, tidak! Nama saya sudah tercemar, semua orang akan membicarakan saya, semua
orang akan mencemooh dan memandang hina! Bahkan orang tuaku juga akan menderita
karena aib. Biarkan saya mati, In-kong!”.
“Husshhh! Mengapa engkau berkata demikian? Aku mendengar sendiri ketika engkau
bicara dengan kepala perampok itu. Engkau belum ternoda atau ….. sudahkah tercemar
maka sekarang menjadi putus asa?”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 176
“Tidak, In-kong! Kalau saya sudah ternoda, tentu saya sudah tidak hidup lagi. Tentu saya
sudah membunuh diri”.
“Kalau begitu, mengapa engkau merasa namamu tercemar?”.
In-kong tidak tahu, semua gadis yang sudah di culik oelh iblis itu telah ternoda. Siapa yang
akan percaya bahwa saya belum tersentuh? Tidak akan ada yang percaya dan orang
sekampung akan mencemooh”. Ia berhenti sebentar sambil terisak. “Bahkan ayah ibuku
tidak akan percaya kalau saya mengatakan bahwa saya belum ternoda. Ah, malu sekali,
In-kong. Mati jauh lebih baik daripada hidup menghadapi itu semua!”.
“Bi Hwa, biarlah aku yang akan bicara dengan orang tuamu.Aku yang akan menyakinkan
mereka bahwa engkau masih bersih, belum ternoda. dan kalau ada orang di dusunmu
yang tidak percaya dan mengejekmu, dia akan ku hajar!”.
“Saya tidak menginginkan itu, In-kong. Saya hanya menginginkan agar diperbolehkan ikut
dengan mu, kemana pun In-kong pergi”.
“Akan tetapi aku tidak mungkin dapat menerimamu, betapa pun berat rasa hatiku. Aku
tidak enak kepada sute, kepada suhu dan …….. “
“Engkau keliru, suheng!” tiba-tiba ucapan A Siong itu terputus oleh suara ini dan
muncullah Siauw Beng bersama Ai Yin di tempat itu. Ternyata tadi ketika Siauw Beng
mendengarkan percakapan A Siong dan Bi Hwa sambil bersembunyi di belakang batu
besar, datang Ai Yin menyusulnya dan gadis inipun ikut mendengarkan.
“Sute ….! Ai Yin …..! Kalian … kalian di sini ….? “A Siong bertanya gagap sehingga dia
lupa bahwa kedua lengannya masih mendekap pinggang ramping Bi Hwa! Adapun gadis
itu yang melepaskan rangkulan lengan A Siong dengan kedua tangannya. Baru A Siong
menyadari dan cepat dia melepaskan rangkulannya dan mundur dua langkah.
"Suheng, Bi Hwa, Mari kita bicara di serambi“, kata Siauw Beng dengan suara serius.
Mereka berempat lalu pergi ke rumah besar itu. Api unggun di serambi itu masih menyala
dan Siauw Beng segera menambahkan kayu sehingga api unggunnya bernya semakin
besar, mengusir hawa dingin dan nyamuk. Mereka duduk dekat api unggun, A Siong
menundukkan mukanya yang menjadi merah, sedangkan Bi Hwa mengambil tempat
duduk di atas lantai dekat pemuda itu, memandang kepada Siauw Beng dan Ai Yin
dengan harap-harap cemas.
“Maaf, suheng. Tadi aku telah melihat dan mendengar semua tentang keadaan kalian
berdua. Engkau keliru kalau merasa tidak enak kepadaku dan kepada ayahku. Suheng,
engkau berhak menentukkan jalan hidupmu sendiri. Apalagi mengenai perjodohan. Ayah
tentu akan menyetujui dan merestui kalau engkau berjodoh dengan nona ini. Aku juga rela
sepenuhnya, suheng. Hanya engkau yang dapat menolong Bi Hwa dan kalau kalian sudah
saling mencinta, mengapa mesti ragu-ragu lagi?”.
“Siauw Beng berkata benar, A Siong. Tidak ada aib menimpa dari Bi Hwa dan keluarganya
kalau ia menikah denganmu. Biarlah aku yang akan membicarakan dengan orang tua Bi
Hwa, melamarnya untukmu agar kalian berdua dapat menikah dengan sah”.
“Tepat sekali, suheng. Jangan pikirkan tentang diriku. Aku bukan anak kecil lagi yang perlu
kau bantu dan lincungi terus menerus. Engkau dapat menjadi suami Bi Hwa dan tinggal di
sini, membantu usaha kepala dusun agar menyejahterakan kehidupan rakyat”.
Di hujan desakan Siauw Beng dan Ai Yin itu, A Siong tak mampu berkata apa-apa lagi dan
tiba-tiba Bi Hwa berlutut menyembah kepada Siauw Beng dan Ai Yin.
“Ih, jangan begitu, Bi Hwa!” kata Ai Yin dan cepat ia memegang kedua pundak Bi Hwa
untuk di paksa bangkit dan duduk kembali.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 177
Setelah Siauw Beng menyakinkan hati A Siong bahwa dia tidak keberatan bahkan girang
kalau A Siong berjodoh dengan Lu Bi Hwa dan tinggal di dusun tempat tinggal gadis itu,
dan menyakinkannya pula bahwa Ma Giok, ayah angkatnya, juga guru mereka pasti tidak
akan merasa keberatan atau marah, akhirnya A Siong menerima juga.
Memang hatinya sudah tertarik kepada Bi Hwa. Dia merasa kasihan dan juga jatuh cinta
karena selain dalam penglihatannya tidak ada wanita yang lebih cantik menarik daripada
Bi Hwa, juga dia merasa kagum akan watak gadis itu.
Pada keesokan harinya, tiga orang pendekar itu, sambil mengajak Bi Hwa, mengiringkan
lima orang gadis korban para penjahat dan memerintahkan belasan orang anggota Hekhouw-
pang untuk mengakut semua barang rampokan dan menggiringkan beberapa ekor
kerbau dan kambing, menuruni bukit itu menuju ke dusun Ki-cung. Rombongan ini di
sambut oleh seluruh penduduk dusun yang sudah mendengar akan turunnya rombongan
ini dari Bukit Menjangan. Para gadis itu di sambut dengan tangisan oleh keluarga mereka.
Kepala dusun Lu dan keluarganya juga menyambut Bi Hwa dengan girang. Ketika
penduduk melihat bahwa yang mengangkut barang rampokan dan menggiring ternak
adalah para anggota gerombolan, mereka menjadi marah dan tentu belasan orang
anggota perampok itu akan di keroyok dan di bunuh kalau saja A Siong, Siauw Beng dan
Ai Yin tidak melarang mereka.
Semua penduduk bergembira ria mendengar bahwa gerombolan perampok itu telah
terbasmi dan pemimpin mereka yang di takuti telah tewas. Setelah semua barang
rampokan dan ternak di terima oleh penduduk dan di kembalikan kepada pemilik masingmasing,
belasan orang bekas anggota Hek-houw-pang itu lalu diperkenankan pergi
setelah diberi ancaman keras oleh Siauw Beng. Mereka mengucapkan terima kasih dan
meninggalkan dusun itu. Mereka inilah yang menyebarkan berita tentang munculnya
seorang pendekar baru berjuluk si Tangan Halilintar, pendekar yang buntung lengan
kirinya akan tetapi amat lihai.
Sebentar saja julukan itu tersebar sampai luas.
Siauw Beng, A Siong dan Ai Yin di jamu pesta makan oleh Lurah Lu, kepala dusun ayah
Lu Bi Hwa beserta beberapa orang yang di anggap sebagai tua-tua dusun Ki-cung.
Mereka makan minum dengan gembira dan dalam kesempatan ini, Ai Yin berkata kepada
Lurah Lu dan isterinya.
“Paman dan bibi berdua, kami tadi telah menceritakan tentang puteri kalian Bi Hwa yang
nyaris celaka akan tetapi dapat di selamatkan oleh A Siong. Sekarang kami akan
memperkenalkan keadaan A Siong kepada paman berdua sekeluarga. Ketahuilah bahwa
A Siong ini telah yatim piatu dan tidak mempunyai keluarga lain kecuali kami berdua
sebagai sahabat baiknya dan gurunya yang tinggal jauh di Thai-san. A Siong sahabat
kami ini adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan bijaksana, usianya sekarang
sudah …. Eh, berapa usiamu, A Siong?”.
Dengan kedua pipi kemerahan A Siong menjawab sambil menundukkan mukanya.
“Tiga puluh tiga tahun”.
“Ya, tiga puluh tiga tahun. Akan tetapi dia masih perjaka tulen, belum pernah menikah,
belum pernah berpacaran. Setelah dia menyelamatkan kehormatan dan bahkan nyawa Bi
Hwa, maka terdapat hubungan kasih di antara mereka berdua. Karena A Siong tidak
mempunyai keluarga, maka kami berdua sebagai sahabat baiknya menjadi wakil
keluarganya untuk meminang puteri kalian Lu Bi Hwa untuk menjadi jodoh A Siong!
Bagaimana pendapat Paman berdua dan keluarga?”.
Siauw Beng mendengarkan dengan kagum. Bukan main gadis ini. Dapat bicara tentang
pinangan sedemikian lancarnya. Padahal kalau dia di suruh mewakili dan mengajukan
pinangan seperti itu, dia pasti tidak akan mampu bicara!.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 178
A Siong menundukkan mukanya. Dia merasa malu dan juga hatinya berdebar tegang.
Mungkinkah kepala dusun dan keluarganya dapat menerima dia yang tidak mempunyai
apa-apa itu sebagai jodoh Lu Bi Hwa? Sambil tunduk dia melirik kea rah Bi Hwa yang juga
duduk di situ, di sebelah ibunya dan dia melihat gadis itu juga menundukkan muka.
Mendengar ucapan Ai Yin, Lurah Lu dan isterinya saling pandang. Sungguh pinangan itu
sama sekali tidak mereka sangka-sangka! Puteri mereka yang telah di culik perampok, kini
di lamar seorang di antara tiga pendekar yang telah menyelamatkan, bukan saja puteri
mereka, bahkan seluruh penduduk dusun itu dari gangguan gerombolan perampok?
Hampir mereka tidak dapat percaya!.
“Bi Hwa, bagaimana pendapatmu?” Tanya ayah dan ibu itu kepada puteri mereka hamper
berbareng.
Bi Hwa yang tadinya menunduk malu, kini mengangkat muka dan pandang matanya
penuh keberanian dan kepastian, “Ayah dan ibu, In-kong A Siong telah menyelamatkan
nyawa dan kehormatanku. Aku sudah mengambil keputusan bulat untuk ikut dengannya
dan menjadi pelayannya. Kalau hal itu tidak dapat terlaksana, aku akan bunuh diri saya
karena hidup hanya akan mendatangkan aib bagiku”.
Lurah Lu dan isterinya tertegun mendengar ucapan putrinya itu. Telah banyak pinangan di
ajukan orang terhadap Bi Hwa, namun gadis mereka itu selalu menolak keras dan
sekarang Bi Hwa telah begitu pasrah kepada penolongnya, A Siong yang bertubuh tinggi
besar dan gagah itu.
Terdengar suara tawa dari seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua. Kakek ini
adalah paman dari Lurah Lu.
“Ha-ha-ha, kalian ini termangu-mangu mempertimbangkan apa lagi?” katanya kepada
Lurah Lu dan istrinya. “Bi Hwa sudah berusia dua puluh tahun dan selama ini selalu
menolak pinangan yang datang sehingga meresahkan hati keluarga kita. Sekarang dia
menemukan jodoh yang begini baik! Mereka sudah saling cocok dan dengan adanya
pendekar … A Siong, eh siapakah nama keluarganya …..?”
Siauw Beng menjawab, “Nama keluarga suheng adalah Tan, akan tetapi dia sudah
terbiasa di sebut A Siong”.
“Ya, dengan adanya Pendekar Tan Siong sebagai cucu mantuku di sini, bukan saja
keluarga kita akan terjamin keselamatannya, bahkan keselamatan seluruh dusun dapat di
lindungi. Dimana lagi Bi Hwa bisa mendapatkan seorang suami seperti dia?”.
Lurah Lu dan istrinya tertawa dan mereka memandang kakek yangmenjadi paman mereka
itu. “Aih, Paman, siapa yang termangu-mangu dan ragu? Kami hanya terheran-heran
mendengar pinangan itu! Bagaimana mungkin seorang pendekar besar seperti Taihiap ini
sudi jodoh dengan anak kami …..?”
A Siong yang memang berwatak jujur dan terbuka, merasa lega melihat gelagat keluarga
Bi Hwa menyetujui ikatan perjodohan itu sehingga kini dia berani mengangkat muka dan
dia berkata dengan suara lantang. “Ah, harap paman jangan berkata begitu. Saya yang
merasa takut, kalau-kalau di tolak karena saya hanyalah seorang yatim piatu yang miskin“.
“Hai, A Siong! Mengapa engkau menyebut paman kepada calon ayah mertuamu?” Ai Yin
menegur sehingga kembali A Siong tersipu dan semua orang tertawa. Bi Hwa merasa
begitu girang sehingga ia merangkul ibunya yang duduk di sebelahnya, mencium pipi
ibunya lalu saking malunya ia berlari ke belakang meninggalkan ruangan itu dimana
mereka berpesta tadi. Kembali semua orang tertawa.
“A Siong, sebaiknya engkau kejar Bi Hwa, ia pasti berada di taman belakang dan kalian
rundingkan berdua kapan perayaan pernikahan akan di langsungkan “, kata Lurah Lu.
“Sebaiknya secepat mungkin, suheng!” kata Siauw Beng.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 179
Dengan muka kemerahan A Siong bangkit lalu mengejar Bi Hwa ke belakang, di ikuti
suara tawa gembira semua orang yang berada dalam ruangan itu.
Demikianlah, karena Siauw Beng dan Ai Yin akan melangsungkan pernikahan antara A
Siong dan Lu Bi Hwa di langsungkan dua hari kemudian. Pernikahan itu berlangsung
meriah, di hadiri oleh seluruh penduduk dusun Ki-Cung dan para lurah dan sesepuh dusun
tetangga yang semua merasa gembira mendengar gerombolan jahat di Bukit Menjangan
itu telah di basmi oleh Pendekar Si Tangan Halilintar bersama dua orang temannya. Lebih
gembira lagi ketika mereka mendengar bahwa puteri Lurah Lu di Ki-cung kini menjadi
suami istri seorang di antara para pendekar itu sehingga semua orang di sekitar daerah itu
akan merasa tentram.
Setelah perayaan pernikahan selesai, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siauw
Beng dan Ai Yin berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja. A Siong dan
istrinya mengantar Siauw Beng dan Ai Yin menuju ke Sungai Huang-Ho, meninggalkan
para penduduk yang mengantar sampai ke pintu gerbang dusun.
Setelah tiba di pantai dimana Siauw Beng meninggalkan perahu kecilnya, A Siong
memegang kedua tangan sutenya dan berkata dengan suara parau karena terharu. “Sute,
tolong sampaikan kepada suhu tentang keadaanku di sini dan sampaikan permohonan
maafku”.
“Tentu saja, suheng. Jangan khawatir akan hal itu “, kata Siauw Beng yang merasa
terharu pula. Selama ini, sejak kecil sampai sekarang, dia tidak pernah berpisah dari A
Siong. Berlatih, bermain, makan dan tidur selalu berdua dan kini mereka harus berpisah!.
“Sute, yakinkah engkau bahwa aku tidak harus menemami perjalanmu?” Tanya A Siong
dengan suara gemetar.
Siauw Beng merasa terharu dan dia mempererat pegangan tangannya,lalu menggeleng
kepala, tidak berani bicara karena dia tahu bahwa suaranya pasti terdengar gemetar pula.
Apalagi ketika dia mengangkat muka memandang wajah suhengnya yang merah dan
sepasang mata A Siong basah dan berlinang air mata.
Siauw Beng tak dapat menahan keharuan hatinya dan diapun menundukkan mukanya
agar tidak nampak bahwa kedua matanya juga basah, bahkan kini ada air mata menetes
dari pelupuk mata mereka.
“Hai – hai! Apa – apaan ini? Kalian ini pendekar-pendekar gagah perkasa kini bertangisan
seperti nenek-nenek cengeng saja!” terdengar Ai Yin berseru dengan suara mencela.
Dua orang pemuda itu cepat-cepat mengusap dua titik air mata dan mereka tersenyum.
Untung ada Ai Yin di situ, kalau tidak ada, tentu mereka akan hanyut oleh keharuan yang
akan membuat perpisahan itu menjadi terlalu berat bagi mereka. Keduanya memaksa
senyum dan saling melepaskan tangan. Siauw Beng dan Ai Yin lalu mendorong perahu ke
air setelah talinya di lepas dari batang pohon oleh A Siong. Dua orang laki-laki itu tidak
bicara lagi sampai Siauw Beng dan Ai Yin masuk ke dalam perahu.
“Sute, jaga dirimu baik-baik “, kata Asiong.
“Engkau juga, suheng. Berbahagialah engkau bersama isterimu. Selamat tinggal, suheng,
aku akan selalu mengenangmu”.
“Aku juga, sute. Selamat jalan”.
Perahu meluncur menurut arus air. Siauw Beng yang duduk di perahu menoleh
memandang suhengnya sambil melambaikan tangan. A Siong juga mengikuti kepergian
sutenya dan melambaikan tangannya sampai perahu itu lenyap di sebuah tikungan. Baru
dia berhenti melambai dan kembali beberapa tetes air mata keluar dari mata dan
membasahi pipi.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 180
Tiba-tiba Lu Bi Hwa berlutut dan merangkul kedua kakinya. “Aduh, ampunkan aku
suamiku, akulah yang telah membuat engkau terpaksa berpisah dari sutemu itu ……”. Lu
Bi Hwa meratap sambil menangis terharu.
A Siong membungkuk, memegang kedua pundak istrinya, mengangkatnya bangkit berdiri.
Mereka berpandangan, keduanya dengan mata basah, lalu A Siong mendekap Bi Hwa ke
dadanya, menekan kepala istrinya itu ke dadanya.
“Bi Hwa, istriku. Engkau tidak bersalah, akulah yang lemah. Marilah, istriku, mari kita
pulang. Kita songsong kehidupan baru bersama”.
Dia mencium isterinya dan mereka berjalan pulang sambil saling rangkul. Suami itu
merangkul pundak istrinya dan si isteri merangkul pinggang suaminya.
****
“Siauw Beng, engkau menyesal membujuk suhengmu menikah sehingga sekarang
terpaksa engkau berpisah darinya?” Tanya Ai Yin ketika ia melihat pemuda itu termenung
di kepala perahu sehingga pemuda itu lupa bahwa sejak tadi ia yang mendayung perahu
itu.
Mendengar pertanyaan ini, barulah Siauw Beng seolah terseret kembali ke dunia nyata.
Cepat dia berkata,” Ah, maaf Ai Yin. Sini biar aku yang mendayung perahu ini”.
“Biarlah, Siauw Beng. Biar aku dulu yang mendayung, nanti kau gantikan kalau aku sudah
lelah. Kau duduklah dan tenangkan dulu hatimu, aku tahu betapa berat hatimu harus
berpisah dengan A Siong. Akan tetapi engkau harus ingat bahwa kini A Siong telah
menemukan jodoh dan rumah tinggal keluarga baik-baik. Bi Hwa amat mencintainya dan
dia juga menyayang gadis itu. Mereka akan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia.
Tentu keadaannya jauh lebih baik daripada kalau dia selalu mengikutimu sebagai seorang
kelana yang tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak mempunyai keluarga”.
Siauw Beng menarik napas panjang. “Engkau benar Ai Yin. Aku berharap dan bahkan
yakin bahwa dia tentu akan hidup berbahagia. Aku juga ikut merasa senang kalau suheng
hidup bahagia. Akan tetapi engkau tentu dapat mengerti, Ai Yin. Hubunganku dengan
suheng A Siong bukanlah hubungan kakak dan adik seperguruan belaka. Jauh daripada
sekedar saudara seperguruan! Sejak aku kecil dan mulai dapat berpikir, dialah orang yang
selalu menemaniku. Bahkan dia yang mengasuhku, mengajak aku bermain, menghiburku
kalau aku menangis, menggendongku. Kemudian setelah aku mulai belajar silat, dia pula
yang selalu menemaniku berlatih. Dia itu seolah segala-galanya bagiku, satu-satunya
orang yang paling dekat dengan aku, latihan bersama, makan bersama, tidur bersama.
dan ini terjadi selama hidupku sampai sekarang”.
Ai Yin mengangguk. “Aku mengerti betapa beratnya berpisah Dari orang yang paling kau
sayang. Akan tetapi aku pernah mendengar ayahku berkata bahwa kehidupan di dunia ini
tidak ada yang abadi. Ada pertemuan dan hidup bersama, pasti akan di susul dengan
perpisahan karena itu jangan ada kemelekatan karena kemelekatan itulah yang
mendatangkan rasa sakit kalau harus berpisah”.
Mendengar ucapan gadis itu, Siauw Beng tersenyum. Lucu rasanya mendengar gadis
ugal-ugalan itu mengucapkan kata-kata yang biasanya di ucapkan seorang pendeta atau
setidaknya seorang guru yang sudah tua. Diapun pernah mendengar ucapan itu dari
mendiang Pek In San-jin.
“Akan tetapi, Ai Yin. Segala macam pelajaran seperti itu amat mudah di dengar dan
dimengerti, akan tetapi untuk melaksanakannya, teramat sukar. Manusia manakah yang
mampu membebaskan diri dari kemelekatan? Seluruh anggota tubuh kita ini, berikut hati
akal pikiran kita, dapat mendatangkan kesenangan dan justru kesenangan itulah yang
melahirkan kemelekatan”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 181
“Tepat sekali, Siauw Beng. Memang kesenangan itulah yang menyebabkan adanya
kemelekatan, dan tidak mungkin manusia selagi hidup di dunia ini menghindarkan diri dan
menolak segala hal yang mendatangkan kesenangan. Pelajaran itu hanya boleh di ajarkan
kepada orang yang tidak suka hidup lagi atau orang yang hendak mengasingkan dirinya
dari dunia ramai untuk menjadi pertapa atau pendeta, tidak hidup sebagai manusia biasa.
Aku pun sudah membantah hal ini kepada ayahku, akan tetapi dia hanya menertawakan
aku saja”.
Siauw Beng mengerutkan alisnya mendengar ucapan gadis itu. Kiranya gadis itu belum
mengerti benar akan pelajaran yang mendalam tentang kehidupan dan kebijaksanaan
yang tadi di tiru dari ayahnya hanya di kenal kulitnya saja tanpa mengenal benar artinya
atau isinya.
“Ai Yin, ayahmu benar sekali dan engkau perlu mengetahui bahwa apa yang dimaksudkan
dengan semua ajaran tentang kebajikan dan kehidupan. Segala macam tentang hidup itu
tentu saja tidak mungkin di taati secara sempurna karena hal itu tidak mungkin bagi
manusia selagi dia masih hidup di dunia ini.
Akan tetapi pelajaran itu sedikitnya membuat kita mengerti akan sebab akbibat, mengerti
pula dengan jelas apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang patut kita lakukan dan apa
yang semestinya tidak kita lakukan. Pengertian ini yang membedakan kita dari mahluk
lain, membedakan kita dari binatang. Kita mengerti bahwa duka akibat perpisahan itu
timbul karena adanya kemelekatan yang lahir pula dari kesenangan. Akan tetapi untuk
kesenangan dalam kehidupan kita adalah tidak mungkin selama kita masih ingin hidup
lumrah sebagaimana manusia biasa. Akan tetapi, pengertian tentang timbulnya duka
karena kesenangan itu sedikitnya membuat kita sadar sehingga tidak terlalu larut atau
tidak sampai mabuk dalam kesenangan. Membuat kita waspada sehingga andaikata ada
kemelekatan pun tidaklah terlalu kuat.”
Ai Yin tertawa. “he-he-he, aku melihat engkaupun sudah dapat tersenyum. Itu tandanya
bahwa kedukaanmu karena harus berpisah dari orang yang kau kasihi itu tidaklah terlalu
mendalam. Aku sendiri tidak mungkin bebas dari senang susah, gembira sedih, puas
kecewa, cinta benci dan sebagainya karena aku masih hanyut oleh perasaanku dan aku
belum mau menjadi pertapa atau pendeta!”.
Siauw Beng tersenyum. Senang hatinya bicara dengan gadis ini yang ternyata selain lihai
ilmu silatnya, pemberani, gagah, cerdik dan di tambah lagi jujur mengakui kelemahannya
dan agaknya dapat mengerti percakapan mengenai kehidupan.
“Hemmm, biar seorang pertapa atau pendeta sekalipun selagi masih hidup mereka tidak
mungkin terbebas sama sekali dari kesenangan. Mata mereka masih suka memandang
apa yang menyenangkan, juga telinga mereka suka mendengarkan suara yang
menyenangkan, hidung mereka suka mencium bau yang menyenangkan dan segala
anggota tubuh mereka suka akan sesuatu yang menyenangkan. Ini sudah merupakan
sesuatu yang alami, yang terbawa sejak lahir. Biarpun mereka itu sudah lebih kuat dari
orang biasa yang mengalami kesenangan tanpa kesan mendalam, namun tetap saja
mereka masih dapat terpengaruh segala yang menyenangkan. Bahkan tujuan dan
harapan mereka juga ingin mencapai hasil yang menyenangkan bagi mereka, walaupun
hasil itu tidak sama dengan kesenangan lahir bagi manusia biasa”.
“Akan tetapi, Siauw Beng, aku menjadi bingung. Bukan kah para pertapa dan pendeta itu
sudah tidak lagi memperdulikan kesenangan duniawi dan hanya mengharapkan surga
atau nirwana atau yang di sebut mencapai dan bersatu kembali dengan Sang Sumber
atau Thian (Tuhan)?”.
“Benar, Ai Yin. Akan tetapi kalau mereka mau bicara sejujurnya, apa yang dinamakan
surga atau nirwana atau persatuan dengan Thian itu pun merupakan hal yang mereka
anggap menyenangkan! Kesenangan yang terselubung kehalusan, seolah berbeda
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 182
dengan kesenangan badani atau duniawi. Mereka katakan keindahan, kedamaian,
ketentraman dan sebagainya. Akan tetapi bukankah semua itu juga menyenangkan?
Kembali kepada rasa senang juga dan dimana ada rasa senang, di situ pasti ada rasa
kemelekatan tadi, hanya kadarnya saja yang berbeda, tebal dan tipis”.
“Wah, wah! Aku menjadi pusing, Siauw Beng. Engkau bicara seperti kakek- kakek dan aku
yang mendengarkan dan memikirkan merasa seperti nenek-nenek. Otakku menjadi
puyeng!” kata Ai Yin sambil tertawa. Cantiknya gadis itu kalau tertawa!.
“Sudahlah, Ai Yin tidak perlu berpusing-pusing memikirkan tentang filsafat. Filsafat itu
hanya permainan kata-kata tingkat tinggi. Kembali saja kepada keadaan kita sendiri. Kita
ini hidup ada Yang Menghidupkan, mati ada Yang Mematikan. Segala macam perasaan
inipun bukan buatan kita, melainkan ada Yang Memberi kepada kita. Kita berhak
mempergunakan semua bagian tubuh dan hati akal pikiran kita, asal saja tidak
menyimpang dari kebenaran”.
“Nah, sulit lagi! Kebenaran itu apa dan bagaimana? “
“Bukan lagi kebenaran kalau diperebutkan atau diperdebatkan. Kebenaran sudah di
ajarkan oleh semua agama. Kebenaran sudah di ajarkan oleh semua orang tua dan guru
yang tidak sesat.
Kebenaran sudah dikenal oleh setiap orang manusia di bagian dunia masing-masing sejak
dia mampu mengerti kata-kata. Semua orang yang melakukan kejahatan di dunia ini tahu
bahwa perbuatan mereka itu tidak benar. Jadi kebenaran tidak perlu di perbincangkan lagi.
Pendeknya kebenaran itu membangun, memelihara, tidak merusak, kebenaran itu juga
dapat dinamakan Kasih”.
“Ya, sudahlah, kalau kau lanjutkan aku bisa jatuh pulas karena otakku lelah memikirkan itu
semua. Sekarang engkau hendak langsung ke kota raja?”.
“Tidak, Ai Yin. Aku ingin pergi ke Kota Keng-koan dulu yang letaknya tidak jauh dari kota
raja. Aku ingin mencari dan mengunjungi Makam ayah kandungku”.
“Ah, aku senang dapat melakukan perjalanan ini, Siauw Beng. Aku juga ingin sekali
melihat Kota Raja yang kabarnya amat ramai dan indah”.
“Engkau juga belum pernah ke sana?”
“belum. Ketika aku meninggalkan ayah di pegunungan Beng-san, aku langsung saja
mencari susiok Can Ok di lembah sungai Huangho. Siauw Beng engkau belum pernah
cerita tentang mendiang orang tuamu. Ceritakanlah, Siauw Beng, aku ingin sekali
mengetahui segala tentang dirimu”.
Siauw Beng menghela napas panjang. “Sudah ku katakan bahwa aku terlahir dan tak
pernah mengenal ayah ibuku. Aku hanya mengetahui tentang mereka dari ayah angkatku,
Lam-liong Ma Giok. Ceritanya tentang ayah dan ibuku amat menyedihkan Ai Yin”.
“Nah, nah! Bukankah orang bijaksana tidak boleh terlalu terpengaruh kesenangan dan
kesusahan? Ceritakanlah, Siauw Beng. Biar aku yang mendayung terus dan engkau yang
bercerita. “Jangan seperti ayahku, Siauw Beng”.
“Kenapa ayahmu?”.
“Pendiam dan pelit sekali kalau di minta bercerita tentang mendiang ibuku, tentang masa
mudanya dan sebagainya. Karena pelit bercerita itu aku sampai tidak menduga sama
sekali bahwa susiok Can Ok ternyata seorang yang jahat! Nah, berceritalah tentang ayah
ibumu”.
“Di waktu mudanya, ayah bernama Lauw Heng San dan sejak muda dia bertindak sebagai
seorang pendekar, menolong siapa saja tanpa membedakan orang karena dia tidak
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 183
terpengaruh oleh gerakan para pendekar yang berjuang menentang pemerintah Kerajaan
Mancu.
Siapa saja yang perlu di tolong, dia tolong dan siapa saja yang melakukan kejahatan dia
tentang”.
“Wah, itu benar sekali. Aku pun dalam dua tiga bulan ini sering menentang susiok kalau
dia merampok rombongan orang Mancu dan hendak membunuh mereka yang tidak
berdosa”.
“Karena sama sekali tidak tahu akan perjuangan menentang Kerajaan Mancu, ayah
terbujuk seorang pembesar Mancu, yang di serang gerombolan. Pembesar Mancu itu
memakai nama pribumi Thio Ci Gan, padahal sebenarnya dia seorang pangeran Kerajaan
Mancu. Thio-ciangkun ( panglima Thio) bersikap baik kepada ayah dan memberi
kedudukan sebagai seorang perwira, bahkan ayah di ambil sebagai mantu, di nikahkan
dengan puteri tiri Thio-ciangkun atau Pangeran Mancu itu. Kemudian ayah mendapat
tugas untuk membasmi gerombolan-gerombolan penjahat yang sebetulnya adalah para
pejuang yang menentang Kerajaan Mancu. Ayah tidak tahu akan hal itu sehingga banyak
pendekar yang tewas di tangannya!”. Siauw Beng berhenti dan menghela napas,
menyesal dan kasihan kepada ayah yang tidak pernah dilihatnya itu.
“ayahmu tidak bersalah. Pangeran Mancu itulah yang jahat …… eh, maaf, bukankah
mendiang ibumu itu puteri dari pangeran itu?”.
“Ya, akan tetapi hanya anak tiri. Kakek ku bermarga Bu dan sudah meninggal dalam
perjuangan ketika tentara Mancu menyerbu ke selatan. Nenekku, Nyonya Bu, menjadi istri
Thio-ciangkun dan membawa seorang anak, yaitu ibuku yang bernama Bu Kui Siang.
Ketika ibuku mengandung aku, ayahku bertemu gurunya dan baru menyadari bahwa dia
telah tertipu dan membunuh banyak pendekar patriot yang berjuang menentang
pemerintah penjajah Mancu. Ayah menjadi marah sekali lalu memberontak, terjadi
pertempuran hebat dan ayahku di keroyok para jagoan Thio-ciangkun itu. Akhirnya, ayah
dapat membunuh Thio-ciangkun akan tetapi dia juga tewas”.
“Ah, sungguh sayang. dan bagaimana dengan ibumu?”.
“Ah, ketika aku ingat akan cerita ayah angkatku tentang ibu kandungku, aku menjadi sedih
sekali, Ai Yin. Ketika ayah kandungku memberontak sehingga terjadi perkelahian hebat,
ayahku di bantu oleh para pendekar pejuang termasuk Lam-liong Ma Giok, ibuku
melarikan diri, di tolong ayah angkatku itu. Ketika ibu di ajak lari oleh Lam-liong Ma Giok,
ia dalam keadaan hamil. Mereka berdua melakukan perjalanan ke Thai-san. Perjalanan itu
amat jauh dan ibu dalam keadaan mengandung sehingga perjalanan lambat sekali.
Berbulan-bulan mereka melakukan perjalanan.
Sebelum tiba di Thai-san mereka melihat pengantin baru di culik gerombolan penjahat.
Pengantin prianya putera seorang penjahat Mancu, dan yang wanita seorang wanita Han.
lam-liong Ma Giok menolong mereka lalu melanjutkan perjalanan. Ketika itu kandungan
ibuku sudah sembilan bulan. Kemudian muncul ………. Toat-beng Siang-kiam Can Ok
dan anak buahnya menghadang dan menuduh ayah angkatku sebagai pengkhianat dan
membela orang Mancu. Mereka bertanding dan Can Ok melarikan diri”.
“Hemmm, kiranya sejak mudanya susion Can Ok sudah menjadi kepala gerombolan
penjahat!” kata Ai Yin penasaran dan ia merasa malu mempunyai paman guru seperti itu.
“Can Ok dan anak buahnya dapat di usir, akan tetapi ibuku di culik dua orang anak buah
Can Ok. Lam-liong Ma Giok melakukan pengejaran dan berhasil membunuh dua orang
penculik dan menyelamatkan ibu. Perjalanan di lanjutkan dan sudah tiba saatnya ibu
melahirkan. Di sebuah dusun ibu di tolong seorang bidan. Akan tetapi ketika ibu sedang
berjuang hendak melahirkan aku, muncul Can Ok yang di bantu oleh Hui-kiam Lo-mo
menyerang!”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 184
“Wahhh, memalukan sekali! Susiok dan sukong (kakek guru) jahat sekali!” teriak Ai Yin.
“Lalu bagaimana, Siauw Beng?”.
“Lam-liong Ma Giok melawan mati-matian di luar kamar sedangkan di dalam kamar, di
bantu bidan yang ketakutan, ibu kandungku juga berjuang mati-matian. Tubuhnya yang
lemah karena perjalanan jauh dan kedukaan membuat kelahiranku itu sukar sekali.
Akhirnya ayah angkatku berhasil mengusir Can Ok dan Hui-kiam Lo-mo, akan tetapi pada
saat dia bertanding itu, ibuku telah melahirkan aku. Aku di lahirkan selamat, akan tetapi
ibuku …… “, suara Siauw Beng tersendat.
“Ibumu bagaimana? Bagaimana, Siauw Beng?” Ai Yin memegang lengan Siauw Beng
dengan kuat sehingga dia lupa mengemudikan perahu dengan dayung sehingga perahu
melintang.
“Ibu … meninggal dunia ……”.
“Keparat! Busuk sekali mereka! Aku akan melaporkan kepada ayah tentang kejahatan Can
Ok!” teriak Ai Yin marah. Akan tetapi melihat perahu melintang ia lalu menggerakkan
dayungnya sehingga perahu itu meluncur kembali. “Siauw Beng, kenapa engkau tidak
membunuh Can Ok ketika mendapat kesempatan bertanding dengan dia?”.
Siauw Beng menggeleng kepalanya. “Tidak, Ai Yin. Suhu Pek-in San-jin, juga ayah
angkatku melarang aku melakukan pembunuhan dengan semena-mena. Biarpun Can Ok
menyerang ayah angkatku, namun dia menyerang dengan tuduhan bahwa Ma Giok
menjadi pengkhianat. Dia tidak langsung membunuh ibuku, walaupun mungkin
penyerangan itu yang menyebabkan ibuku mati ketika melahirkan”.
“Hemm, aku tidak setuju dengan pendapat itu, Kalau aku menjadi engkau tentu sudah ku
bunuh Can Ok itu! Lalu bagaimana ceritamu selanjutnya, Siauw Beng?”.
“Sejak lahir aku di pelihara oleh ayah angkatku itu. Dapat engkau bayangkan betapa
sukarnya bagi seorang laki-laki untuk merawat dan memelihara seorang bayi yang baru
lahir, padahal dia sedang melakukan perjalanan ke Thai-san. Setelah dia tiba di Thai-san,
ayah angkatku itu tinggal di sana dan memelihara aku sampai aku berusia sepuluh tahun,
baru aku di serahkan kepada suhu Pek In San-jin untuk di latih lebih lanjut. Dan sejak kecil
aku selalu di temani suheng A Siong yang baik dan setia. Demikianlah riwayatku, Ai Yin
sampai aku dan suheng di suruh turun gunung”.
“Wah, sungguh amat bijaksana Lam-liong Ma Giok. Akan tetapi engkau belum bercerita
tentang nenekmu, nyonya Bu yang menjadi isteri Pangeran Mancu itu. Bagaimana dengan
ia?”
“Entah, ayah angkatku tidak tahu tentang nenekku. Karena itu, di Keng-koan nanti aku
akan mencari keterangan tentang nenekku itu”.
“Sebuah pertanyaan lagi, Siauw Beng. Akan tetapi janji dulu, engkau tidak akan marah
oleh pertanyaanku ini”.
“Siuaw Beng tersenyum. Bagaimana mungkin dia bisa marah terhadap gadis yang lincah,
jujur dan terbuka ini?.
“Aku tidak akan marah. Bertanyalah, Ai Yin”.
Gadis itu memandang kea rah lengan kiri Siauw Beng yang buntung. “Apa yang terjadi
dengan lengan kirimu? Aku tidak percaya kalau lengan kirimu buntung sejak engkau lahir“.
Siauw Beng menghela napas panjang. Dia sudah khawatir akan di Tanya tentang lengan
kirinya yang buntung. Kepada orang lain mungkin dia tidak akan menceritakan tentang ini,
akan tetapi dia merasa bahwa terhadap Ai Yin dia tidak dapat merahasiakannya. Kalau dia
tidak mau menceritakan, tentu Ai Yin akan menganggap dia tidak percaya kepadanya.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 185
Padahal gadis itu juga sudah bercerita tentang dirinya tanpa ada yang di rahasiakan,
bahkan mengaku terus terang bahwa Can Ok yang jahat adalah paman gurunya.
“Ini semua terjadi karena kesalahpahaman belaka, Ai Yin. Aku pernah menolong seorang
wanita Mancu dan hal ini di anggap sebagai pengkhianatan terhadap para pejuang.
Bahkan ayah angkatku, Lam-liong Ma Giok sendiri terkena hasutan itu dan percaya bahwa
aku berkhianat. Aku di serang dan ……….. ketika menangkis bacokan pedang, lengan
kiriku buntung ……….”.
“Apa? “Ai Yin membelalakkan matanya. “Ayah angkatmu Lam-liong Ma Giok itu, yang aku
kagumi karena kebijaksanaannya, dia sendiri yang membuntungi lengan kirimu?”.
Siauw Beng menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. Kalau dia teringat akan
peristiwa itu, bukan dibuntungi lengannya yang menyakitkan hatinya benar, melainkan
sikap Lam-liong Ma Giok yang membencinya karena ayah angkatnya itu percaya akan
tuduhan yang di lontarkan kepadanya oleh Song Cun.
“Bukan, karena ayah angkatku yang membuntungi, Ai Yin. Orang lain yang melakukan.
Akan tetapi aku merasa sedih sekali, bukan kerena buntungnya lengan kiriku, melainkan
karena ayah angkatku juga percaya bahwa aku telah berkhianat dan menjadi pembela
orang Mancu”.
“Hemmm, wanita Mancu yang kau tolong itu, mengapa engkau menolongnya? Apa yang
terjadi dengannya?”.
“Ia hendak di bunuh tanpa dosa, maka aku mencegah pembunuhan itu”. Siauw Beng tidak
mau menceritakan tentang perkosaan terhadap Puteri Mayani itu.
“Dua orang pendekar Song, orang pertama dan kedua dari Ciong-yang Ngo-taihiap telah
di serbu pasukan Manchu dan terbunuh. Wanita Manchu itu di tuduh menjadi penggerak
dari penyerbuan itu, padahal dia bukan. Para pendekar pejuang menangkapnya dan
hendak di bunuh. Aku yang tahu betul bahwa dia bukan penggerak penyerbuan, lalu
menolongnya. Akibatnya aku di tuduh pengkhianat”.
Gadis itu mengangguk-angguk, sampai lama mereka tidak bicara. Ai Yin termenung dan
alisnya berkerut.
“Siauw Beng!”.
Pemuda itu terkejut karena dia pun sedang melamun ketika gadis itu memanggilnya
secara tiba-tiba.
“Ada apa, Ai Yin?”.
“Wanita Manchu itu sudah tuakah ia atau masih muda?”.
“Masih muda, seorang gadis sebaya dengan engkau”.
“Cantik?”.
“………. Yaahhh, sama dengan engkau”.
Sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu berkerut dan sepasang mata itu
mengamati wajah Siauw Beng penuh selidik. “Cantik tidak, tanyaku tadi!”.
“Hemmm, cantik sekali “, kata Siauw Beng jujur.
Wajah Ai Yin berubah kemerahan. Hatinya merasa senang, akan tetapi juga iri. Senang
karena gadis itu cantik sekali dan sama dengannya, berarti pemuda itu juga mengatakan
bahwa ia cantik sekali! Dan ia pun iri mendengar Siauw Beng memuji gadis Mancu itu dan
menolongnya dengan pengorbanan lengan kirinya sebagai akibat pertolongan itu.
“Siapa namanya?”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 186
“Nama Siapa?”
“Nama gadis Manchu itu tentu saja!”.
“Ooo, namanya Puteri Mayani”.
“Puteri?”.
“Ya, dia puteri seorang pangeran Mancu, ibunya wanita Han“.
“Hemmm …… Mayani …..”.
“Eh, Ai Yin, mengapa engkau tertarik tentang Puteri Mayani?”.
“Aku ingin melihat seperti apa gadis Mancu itu sehingga engkau rela mengorbankan
lengan kirimu untuknya”.
“Aih, aku tidak mengorbankan lenganku untuknya! Aku hanya menolong ia karena ia
hendak di bunuh Song Cun ….. “
Siauw Beng tiba-tiba menahan bicaranya karena dia tidak ingin bicara tentang peristiwa
itu.
“Song Cun? Siapa dia?”
“Ah, dia itu putera pendekar ke dua dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang terbunuh oleh
pasukan Manchu. Karena menuduh Puteri Mayani sebagai penggerak penyerbuan itu,
maka untuk membalas dendam kematian ayahnya dia hendak membunuh gadis itu”.
Ai Yin mengangguk-angguk. “Hemmm, dan engkau mencegah pembunuhan itu maka
engkau lalu di anggap sebagai pengkhianat dan pembela gadis Manchu?”.
“Sudahlah, Ai Yin. Tidak ada gunanya kita membicarakan soal itu yang sudah terjadi lebih
dari setahun yang lalu. Aku tidak ingin lagi mengenang peristiwa yang pahit itu”.
Melihat Ai Yin masih mengerutkan alis seperti orang berpikir dia berkata, “Mari ku gantikan
mendayung!”.
Tanpa menjawab Ai Yin menyerahkan dayung dan mereka bertukar tempat. Siauw Beng
duduk di tengah mendayung atau lebih tepat mengemudikan perahu karena perahu itu
meluncur terbawa arus sungai yang mulai kuat, dan Ai Yin duduk di depannya. Gadis itu
duduk membelakanginya seperti menikmati pemandangan yang cukup indah di sepanjang
sungai. Setelah lama bersunyi diri, tiba-tiba Ai Yin tanpa menoleh bertanya, “Siauw Beng
engkau ingin pergi ke kota raja untuk menemui Puteri Mayani?”.
“Ah, tidak. Sudah ku katakan, aku ingin melihat-lihat kota raja”.
Ai Yin diam sampai lama. Akan tetapi akhirnya kegembiraannya muncul kembali dan ia
bersikap lincah dan ramah kepada Siauw Beng sehingga pemuda itu....
hal 59 -62 hilang.
Sehingga kami terpaksa melarikan diri dan banyak anak buahku yang roboh. Anak buahku
cerai-berai dan aku terpaksa membentuk kelompok baru yang sekarang baru ada belasan
orang”.
“Si Tangan Halilintar? Siapakah dia itu?”.
“Orangnya masih muda dan tampaknya lemah, bahkan lengan kirinya juga buntung tinggal
sepotong sebatas siku. Akan tetapi dia lihai bukan main. Kawannya pemuda tinggi besar
itu juga amat lihai, namanya A Siong”.
Cun Song mengangguk-angguk. Dia dapat menduga siapa yang dimaksudkan Can Ok.
Tentu Siauw Beng yang kini agaknya melanjutkan julukan ayahnya dahulu, yaitu si
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 187
Tangan Halilintar. Dan A Siong itu tentu murid Lam-liong Ma Giok yang selalu menemani
Siauw Beng.
“Aku mengenal mereka, twako. Akan tetapi siapakah keponakan muridmu itu?”.
“Ia Wong Ai Yin, puteri suheng Bu-tek Sin-kiam”.
“Ah, seorang gadis?”.
“Ya, seorang gadis cantik. Akan tetapi iapun lihai bukan main. Ketahuilah suheng Bu-tek
Sin-kiam itu memiliki tingkat kepandaian yang bahkan lebih tinggi daripada tingkat
mendiang suhu Hui-kiam Lo-mo”.
Jilid 18
"Akan tetapi bagaimana keponakan muridmu malah membantu dua orang pemuda yang
menjadi lawanmu itu?”.
"Begitulah wataknya, sama dengan watak suheng Bu-tek Sin-kiam. Ia hanya mau
membantu kalau kami merampok orang-orang Mancu, itupun ia selalu melarang kalau
kami hendak membunuh seorang Mancu dan melarang kami mengganggu wanita Mancu.
Menjengkelkan sekali! Akan tetapi Wong Ai Yin, puteri suheng Bu-tek Sin-kiam itu sudah
pergi dan aku tidak mau berhubungan dengannya lagi!”.
"Can-twako, selama setahu aku berada di Hek-kwi-san memperdalam ilmu sehingga aku
tidak pernah mendengar akan keadaan di dunia ramai. Bagaimana sekarang keadaan
penjajah Mancu? Bagaimana pula perjuangan para patriot menentang Kerajaaan Ceng?”.
"Ah, berat sekali bagi kita untuk menentang Kerajaan Ceng, Cun Song, Kerajaan Mancu
kini sudah menjadi kuat sekali dan mereka pandai mengambil hati para pendekar dan
pejuang sehingga banyak para tokoh yang tadinya berjuang dengan gigih menentang
penjajah, kini malah membantu pemerintah Kerajaan Ceng".
"Hemmm, keparat para pengkhianat itu", kata Cun Song mengepal tinju. Apa yang di
katakan Can Ok itu memang benar. Pemerintah Kerajaan Ceng, di bawah bimbingan
Kaisar Kang His, pandai menyesuaikan diri dan mengambil hati rakyat pribumi Han. Selain
banyak di antara mereka menikah dengan gadis Han, juga mereka menyesuaikan diri
dengan kebudayaan bangsa pribumi. Kaisar Kang His memperhatikan kesejahteraan
rakyat jelata sehingga sikap yang baik dari Pemerintah mancu ini menarik hati banyak
orang, baik para ahli sastra mau pun ahli silat. Apalagi mereka melihat betapa pasukan
Mancu amat kuat sehingga tidak ada gunanya melakukan pemberontakan karena sudah
banyak para pemberontak terbasmi.
"memang tidak ada artinya kalau kita melakukan perjuangan menentang kekuasaan
Mancu yang semakin kuat dengan mengandalkan kekuatan kita sendiri, Cun Song. Akan
tetapi sekarang terbuka bagi kita untuk memukul bahkan menghancurkan penjajah
Mancu”.
"Eh, bagaimana caranya, twako?”.
“Ketahuilah bahwa kini bangsa Mongol sedang melakukan gerakan untuk menundukkan
Pemerintah Mancu dan merampas kerajaan. Mereka di pimpin oleh seorang tokoh Mongol
yang gagah perkasa dan hebat bernama Galdan. Mereka mulai menyerbu ke selatan dan
kalau kita dapat bergabung dengan mereka dan membantu gerakan mereka, tentu
gerakan menentang Pemerintah Mancu akan berhasil!”.
Cun Song mengerutkan alisnya. "Akan tetapi itu berarti bahwa tanah air kita akan tetap di
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 188
jajah bangsa Mongol kembali seperti dahulu kalau Pemerintah Mancu kalah. Lalu apa
bedanya? kita tetap saja di jajah bangsa asing!”.
"Bukan begitu, Cun Song. Kita bergabung dengan orang Mongol hanya untuk
menjatuhkan Pemerintahan Mancu. Kalau hal itu sudah terjadi, kiranya akan lebih mudah
untuk membalik dan mengusir orang-orang Mongol sebelum mereka menyusun kekuatan
di sini”.
Cun Song mengangguk-angguk mengerti dan setuju. "Lalu, bagaimana untuk dapat
mengadakan kontak dengan mereka, twako?”.
"Aku sudah mencari keterangan tentang cara itu, Cun Song. Menurut keterangan yang
kami dapat, kini Pangeran Galdan, demikian dia menyebut dirinya, katanya dia masih
keturunan Kaisar Jenghis Khan dahulu, mempunyai beberapa tempat persembunyian di
perbatasan utara”.
"Baiklah, ku harap engkau akan melanjutkan usahamu untuk mengadakan hubungan
dengan mereka. Aku sendiri masih mempunyai urusan penting”.
"Urusan penting apakah, Cun Song? Kami akan membantumu”.
"Tidak, twako, ini merupakan urusan pribadiku. Akan ku selesaikan sendiri. Ku harap
engkau melanjutkan usahamu mengadakan kontak dengan Pangeran Galdan. Setelah
nanti ada hubungan, aku akan mencarimu”.
"Baiklah, Cun Song. Kelak ku harap kita akan dapat selalu bekerja sama dan menikmati
hasilnya bersama pula. Akan tetapi dimana aku dapat menemuimu. Setelah aku berhasil
mengadakan hubungan dengan Pangeran Galdan?”.
"Bukan engkau yang menghubungi aku, twako. Akan tetapi aku yang akan mencarimu di
daerah lembah Huang-ho”.
"Baiklah, Cun Song. Ada lagi sesuatu yang amat penting untuk kau ketahui”.
"Apakah itu, twako?”.
"Begini, Cun Song. Kami mendapat sebuah berita rahasia lagi tentang seorang pengeran
keponakan kaisar Mancu bernama Pangeran Dorbai”.
Cun Song mengerutkan alisnya mendengar ini. Pangeran Dorbai adalah Pangeran Mancu
yang memimpin pasukan menyerbu rumah paman tuanya, yaitu mendiang Song Kwan
dan penyerbuan itu menyebabkan Song Kwan dan isterinya juga ayah ibunya sendiri
tewas!.
"Ada apa dengan Pangeran jahanam itu?” tanyanya dengan hati mulai merasa panas.
"Eh? Agaknya engkau membencinya, Cun Song?”.
"Apakah engkau juga tidak membenci semua keluarga Kaisar Mancu, twako?”.
"Ah, benar juga. Akan tetapi ketahuilah, Cun Song, menurut penyelidikan kami, kami
mendengar akan suatu rahasia, yaitu bahwa diam-diam Pangeran Dorbai mempunyai
hubungan rahasia dengan Pangeran Galdan orang Mongol itu”.
Cun Song memandang heran. "Aih, benarkah itu, twako? Bukankah Pangeran Dorbai itu
seorang yang sibuk menentang para pejuang?”.
"Dulu memang begitu. Akan tetapi kini ia telah di angkat oleh Kaisar sebagai seorang
menteri, pejabat tinggi yang mengepalai seluruh pejabat di daerah sehingga dia memiliki
kekuasaan yang tinggi. Pengaruhnya besar sekali dan agaknya kekuasaan tinggi itu
menyebabkan dia bercita-cita untuk meraih kedudukan yang lebih tinggi lagi”.
"Hemmm, memberontak?”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 189
"Ku kira begitulah. Dia hanya keponakan kaisar sehingga tentu saja tidak berhak mewarisi
tahta kerajaan. karena itulah agaknya kini dia melihat kesempatan dengan adanya
gerakan Pangeran Galdan dari Mongol itu untuk menjatuhkan kekuasaan Kaisar Kang Shi,
pamannya sendiri sehingga dia mempunyai kesempatan untuk menggantikan kedudukan
kasiar”.
"Hemmm, kalau begitu boleh juga engkau mengadakan kontak dengan Pangeran Dorbai
itu, twako. Kelak kalau kita berhasil menjatuhkan kekuasaan pemerintah Mancu, aku
sendiri yang akan membunuh Pangeran Dorbai sebelum dia mengambil kesempatan
menjadi kaisar!”.
Pernyataan kebencian yang di lontarkan Cun Song terhadap Pangeran Dorbai ini tidak
mengherankan Can Ok sehingga dia tidak menduga bahwa ada sesuatu antara pemuda
itu dengan Pangeran Dorbai karena di antara para pejuang yang membenci pemerintah
penjajah Mancu, siapa yang tidak membenci seorang pangeran, apalagi kalau pangeran
itu dulu selalu sibuk membasmi para pejuang seperti Pangeran Dorbai?.
"Baiklah, Cun Song. Aku akan berusaha sebaik mungkin. Mudah-mudahan saja apa yang
kita cita-citakan berhasil”.
Cun Song tersenyum. "Cita-cita kita yang bagaimana, Can-twako?”.
Can Ok tertawa. "ha-ha-ha, tentu saja engkau kelak menjadi kaisar dan aku menjadi
Perdana menterinya!”.
Mendengar ini, Cun Song tertawa bergelak dan Can Ok terbahak-bahak sehingga mereka
berdua tertawa dengan gembira membayangkan terlaksananya cita-cita yang muluk itu.
Setelah berbincang-bincang cukup, Cun Song pamit dan meninggalkan tempat itu. Can Ok
lalu bersiap-siap untuk melaksanakan rencananya, yaitu mengadakan hubungan dengan
Pangeran Galdan di perbatasan utara. Untuk mengadakan hubungan dengan Pangeran
Dorbai, tentu saja dia belum berani karena hal itu pasti tidak mudah di lakukan. Pangeran
yang berniat memberontak ini pasti tidak berani terang-terangan mengadakan hubungan
dengan para pejuang yang selama ini menjadi musuhnya. Baru mungkin mengadakan
kontak dengan Pangeran Dorbai kalau dia sudah menjadi sekutu orang-orang Mongol.
****
Kota Ci-kian adalah sebuah kota yang cukup ramai karena mempunyai hubungan
langsung dengan kota raja. Perdagangan tumbuh dengan baik karena kota ini menjadi
pusat pemasok barang kebutuhan makan sehari-hari bagi penduduk kota raja.
Penduduk kota Ci-kian rata-rata hidup cukup sejahtera dari penghasilan mereka bercocok
tanam dan berdagang hasil sawah lading. Karena itu, biarpun mereka di jajah Kerajaan
Ceng pimpinan orang mancu, rakyat merasa cukup sandang pangan papannya sehingga
hidup dengan aman tentram.
Akan tetapi, baru beberapa bulan ini kota ini di ganggu seorang penjahat yang amat lihai.
Penjahat itu melakukan perkosaan dan pembunuhan secara kejam sekali. Hebatnya
gerakannya seperti setan karena amat cepatnya sehingga tidak ada seorangpun yang
dapat melihat wajahnya dengan jelas. Yang melihatnya dengan jelas mungkin hanya
mereka yang telah di bunuhnya. Mereka yang tidak terbunuh hanya melihat bayangan
seorang laki-laki, wajahnya tidak jelas, tubuhnya tegap dan penjahat itu hanya memiliki
lengan kanan karena lengan kirinya buntung dan sisanya tersembunyi dalam lengan baju
yang kosong. Ada pula yang mendengar pengakuan penjahat itu yang berjuluk sebagai Si
Tangan Halilintar karena semua pembunuhan dilakukan dengan tamparan yang demikian
kuatnya sehingga yang di tampar pecah kepalanya atau patah-patah tulang dadanya, juga
berguncang remuk isi perut dan dadanya!.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 190
Lebih hebat lagi, apa yang menjadi korbannya hanyalah orang-orang pribumi Han. Belum
pernah dia mengganggu pembesar Mancu. Dalam waktu tiga bulan saja, sudah ada lima
orang gadis di perkosa dan di bunuhnya, dan ada sepuluh orang pribumi Han yang tidak
berdosa dibunuhnya. Maka, kota Ci-kian menjadi gempar dan nama julukan Si Tangan
Halilintar tersohor dan di takuti orang.
Ketika pasukan keamanan dan para pendekar mencari dan berusaha menangkapnya,
tiba-tiba saja dia menghilang dari Kota Ci-kian. beberapa hari kemudian, dia sudah
mengamuk lagi di kota lain, membunuh dan memperkosa wanita dengan cara yang sama,
yaitu hanya orang pribumi Han yang dia bunuh. Setelah kejahatan ini berlangsung
beberapa pekan, dia menghilang lagi.
Dunia kangouw geger. Belum pernah ada penjahat seganas itu, apalagi yang dijadikan
korban bukan hartawan atau bangsawan Mancu yang kaya, melainkan penduduk pribumi
Han biasa yang hidupnya tidak mewah. Perbuatan penjahat itu membuat bukan saja para
pendekar yang marah, akan tetapi juga pemerintah Kerajaan Ceng. Pemerintah marah
karena perbuatan itu dapat mengakibatkan rakyat kembali membenci Pemerintah karena
tentu mengira bahwa yang membunuh orang pribumi tentu orang Mancu ! Dan para
pendekar tentu saja marah kerena ada penjahat yang kejam terhadap rakyat yang tak
berdosa.
Si Tangan Halilintar itu menimbulkan kemarahan kepada Pemerintah Mancu dan juga
kepada para pendekar sehingga kedua pihak itu kini mencarinya, berusaha menemukan
dan menghukumnya seberat-beratnya!.
Pada suatu malam, di kota Ceng-jun, hujan turun membasahi seluruh kota. Di jalan-jalan
sunyi karena hawa sangat dingin dan dalam cuaca hujan seperti itu, orang-orang lebih
suka tinggal di rumah dan kalau tidak terpaksa sekali tidak ada yang mau keluar rumah.
Akan tetapi dalam kegelapan malam yang dingin, ketika hujan kini tinggal rintik-rintik,
nampak bayangan berkelebat di atas genteng sebuah rumah besar. Sinar lampu besar
yang menerobos keluar dari ruangan dalam rumah itu menerangi bayangan yang kini
mendekam di atas wuwungan rumah yang gentengnya tebal dan kokoh kuat. dalam
keremangan sinar lampu, orang akan dapat melihat bahwa wajah itu wajah seorang lakilaki
yang masih muda, akan tetapi bentuk wajah itu tidak jelas. Gerak-geriknya gesit dan
tubuh laki-laki muda itu kokoh. Kepalanya di tutup sebuah caping lebar. Lengan baju yang
kiri orang itu tergantung kosong.
Malam mulai larut dan dalam cuaca yang gelap dan hawa udara yang dingin itu, agaknya
semua penghuni rumah telah tidur. Bagaikan seekor kucing, orang itu setelah mengintai
dan mendapat kenyataan betapa ruangan di bawahnya itu sepi tidak tampak ada orang
dan juga tidak terdengar suara apa pun, lalu dia melompat ke bawah. Ketika kedua
kakinya menginjak lantai, sama sekali tidak mengeluarkan suara. Hal ini menunjukkan
bahwa orang itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat.
Ada tiga buah kamar berdampingan di ruangan lebar itu. Orang yang jelas buntung lengan
kirinya itu mendekati setiap kamar dan menempelkan telinganya pada jendela kamar yang
tertutup. Kemudian seolah dapat mengetahui akan isi kamar melalui pendengarannya, ia
telah memilih kamar di sudut kiri. Dengan jari-jari tangan kanannya, mudah saja baginya
untuk mematahkan pengganjal jendela dan membuka jendela tanpa mengeluarkan suara
sedikitpun. Lampu yang menyorot dari dalam kamar tidaklah seterang lampu yang berada
di ruangan membuat kamar itu tampak remang-remang. Namun dalam keremangan itu,
orang itu dengan sepasang matanya yang mencorong dapat melihat bahwa yang rebah di
pembaringan itu adalah seorang gadis muda, seperti yang di duganya dengan
menempelkan telinganya di luar jendela tadi. Dengan mendengarkan secara itu, dia dapat
membedakan siapa yang berada di dalam kamar, dan pernapasan orang yang berada di
dalam!.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 191
Kemampuan inipun menunjukkan bahwa dia seorang yang memiliki sin-kang (tenaga
sakti) kuat sekali.
Dia tersenyum lalu bagaikan seekor kucing, dia melompat memasuki kamar melalui
jendela yang terbuka. Lalu dia menutupkan kembali daun jendela itu dari sebelah dalam.
Ketika ia menghampiri pembaringan, sebuah kejutan menyambutnya. Agaknya gadis itu
terbangun dan tiba-tiba gadis itu melompat dan menyerangnya dengan pukulan yang
cukup dahsyat. Hal ini membuktikan bahwa gadis itu seorang ahli silat yang sama sekali
tidak lemah!.
Akan tetapi ternyata orang berlengan satu yang masuk seperti maling itu bergerak lebih
cepat lagi. Dia bahkan menerima pukulan tangan gadis yang menyambar ke arah dadanya
itu.
"Dukkk ….. !!!” Pukulan itu tepat mengenai dada, akan tetapi maling itu sama sekali tidak
terpengaruh dan pada saat itu, tangan kanannya dua kali meluncur, kea rah pundak lalu
kea rah leher.
"Tukk-tukk …… ! "Gadis itu tidak sempat mengelak dan seketika ia tidak mampu bergerak,
tubuhnya lemas, kaki tangannya lumpuh dan ia pun tidak mampu mengeluarkan suara.
Maling itu menerima tubuh yang terkulai hendak roboh, memondongnya dan
membaringkannya kembali ke tempat tidur.
Rumah itu adalah milik seorang tokoh dunia kangouw, seorang murid Siauw-lim-pay
bernama Gui Liang. Tokoh Siauw-lim-pai berusia empat puluh lima tahun ini mempunyai
seorang anak gadis yang telah berusia sembilan belas tahun bernama Gui Cin. Tentu saja
Gui Cin juga mendapat latihan ilmu silat Siauw-lim-pay dari ayahnya. Gui Liang bekerja
sebagai seorang piauwsu (pengawal pengiriman barang) dan terkenal di kota Ceng-jun
karena selama kiriman yang di kawalnya tentu selamat sampai di tempat tujuan dan dia
dapat menghalau gangguan perampok. Gui Liang tinggal dan hidup tenang, bersama
isterinya dan puteri mereka, Gui Cin yang cukup cantik.
Pada hari itu Keluarga Gui menerima seorang tamu bernama Lu Kiat yang masih sute
(adik seperguruan) sendiri dari Gui Liang. Kedatangan Lu Kiat selain mengunjungi
keluarga suhengnya (kakak seperguruannya) juga membawa usul perjodohan dengan
seorang pemuda masih keponakan sendiri dari Lu Kiat yang bernama Lu Siong.
Keponakan ini juga seorang murid Siauw-lim-pay yang pandai dan semuda itu, berusia
dua puluh tiga tahun, dia sudah berdagang, memiliki toko hasil bumi yang cukup besar.
Pemuda itu pun juga bukan orang asing bagi keluarga Gui, maka usul ini di terima dengan
baik. Bahkan Gui Cin sendiri juga tidak menolak karena iapun mengenal Lu Siong yang
ganteng dan gagah perkasa.
Malam itu, karena hawa udara dingin, maka setelah bercakap-cakap, Gui Liang
mempersilahkan sutenya mengaso dan tidur di kamar sebelah kiri. Dia sendiri bersama
isterinya tidur di kamar besar yang berada di tengah, sedangkan puterinya tidur di ujung
sebelah kanan kamar mereka.
Demikian ringan gerakan maling tadi sehingga Gui Liang yang lihaipun tidak mendengar
apa-apa, padahal dia belum pulas. Akan tetapi tiba-tiba dia berkata kepada isterinya yang
juga belum tidur.
"Aku mendengar suara rintihan. Hemm, agaknya dari kamar anak kita. Ada apakah
dengan anak itu? Apakah ia sakit?”.
Isterinya sudah bangkit duduk dan turun dari pembaringan, lalu bersama suaminya ia
keluar dari kamar mereka langsung menghampiri pintu kamar puteri mereka. Kini dari
depan pintu mereka mendengar suara itu. Suara seperti rintihan.
"Tok-tok-tok!” Gui Liang menggedor pintu. "Gui Cin, engkau mengapakah? Hayo buka
pintunya!”
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 192
Akan tetapi tidak ada jawaban dan daun pintu juga tidak dibuka dari dalam. Bahkan suara
seperti rintihan di kerongkongan itu menjadi semakin kuat. Gui Liang menjadi tidak sabar
dan karena khawatir terjadi sesuatu dengan puterinya, dia lalu mengerahkan tenaganya
dan mendorong dengan kedua tangannya ke arah daun pintu.
"Braakkk ….!” Daun pintu itu jebol dan suami isteri itu melihat seorang laki-laki berdiri
dekat pembaringan. Puteri mereka rebah telentang tak bergerak dan tidak bersuara, dan
yang membuat mereka terkejut sekali adalah melihat keadaan puteri mereka itu yang telah
bertelanjang bulat!
Sepintas saja Gui Liang yang sudah berpengalaman dapat menduga apa yang terjadi. Dia
melompat ke dalam kamar itu dan membentak.
"Siapa engkau?”
Akan tetapi laki-laki yang hanya tampak bayangannya itu tiba-tiba menerjang dan
menyerangnya. Gui Liang bukan orang yang lemah. Dia seorang murid Siauw-lim-pay
yang tangguh dan sebagai seorang piauwsu dia tentu saja memiliki benyak pengalaman
bertanding. Maka dia yang melihat serangan hebat itu cepat melompat keluar kamar
mencari tempat yang lebih luas dan agak terang. Maling itu mengejarnya dan ketika tiba di
luar kamar, Gui Liang dan isterinya melihat betapa orang itu adalah seorang pemuda
tampan yang memakai sebuah caping, dan lengan kirinya buntung! Gui Liang terkejut dan
dia teringat akan berita menggegerkan dunia kangouw tentang penjahat besar berjuluk Si
Tangan Halilintar.
"Tangan Halilintar!” Dia berteriak lalu menyerang dengan pedang yang sudah dicabutnya.
Maling itu tertawa bergelak, suara tawanya bergema dan dia melayani serbuan pedang
Gui Liang dengan gerakan tubuhnya yang lincah bukan main. Berkali-kali Gui Liang
mengirim serangan bertubi-tubi, namun semua serangannya dapat di hindarkan maling itu
dengan elakan dan tangkisan. Hebatnya, dengan tangan kosong dia berani menangkis
pedang yang tajam!.
Suara rebut-ribut itu terdengar oleh Lu Kiat yang tidur di kamar sebelah. Ketika dia
membuka pintu kamar, dia terkejut melihat suhengnya sedang berkelahi melawan seorang
laki-laki muda yang lengan kirinya buntung. Dia pun segera teringat akan nama Si Tangan
Halilintar yang tersohor itu dan melihat betapa si lengan buntung itu dapat menghadapi
pedang suhengnya dengan lincah sekali, dia cepat memasuki kamarnya kembali untuk
mengambil pedangnya. Ketika dia keluar dia mendengar teriakan suhengnya dan jeritan
isteri suhengnya.
Bukan main kagetnya melihat suheng dan isteri suhengnya itu telah terkapar di atas lantai
dan si lengan buntung itu sekali menggerakkan tangan kanannya, lampu gantung yang
berada di luar kamar itu pecah berantakan sehingga keadaan di situ menjadi remangremang
karena hanya mendapat sinar lampu kecil yang menyorot keluar kamar Gui Cin.
Lu Kiat dapat melihat jelas wajah penjahat itu. Dengan marah sekali dia melompat
menerjang.
"Jahanam ! Engkau tentu Si Tangan Halilintar!” bentaknya sambil menggerakkan
pedangnya menyerang dengan dahsyat. Tingkat kepandaian Lu Kiat ini masih lebih tinggi
daripada tingkat kepandaian Gui Liang karena dia lebih lama tinggal di Siauw-lim-si (Kuil
Siauw-lim).
"Ha-ha-ha, kalian para pemberontak Siauw-lim harus di basmi!” Maling itu tertawa dan
berkata mengejek. Lu Kiat mempercepat serangannya akan tetapi dia merasa terkejut dan
juga heran karena orang itu menghadapinya dengan silat tangan kosong Lo-han-kun (Silat
Orang Tua) dari Siauw-lim-pai! Akan tetapi gerakannya lincah bukan main dan yang lebih
hebat lagi, orang yang hanya bertangan satu itu berani menangkis pedang dengan
tangannya dan setiap kali tangan kanannya itu bertemu pedang, terdengar suara
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 193
berdencing nyaring seolah tangan itu terbuat dari baja yang kuat ! Orang ini jelas orang
Siauw-lim-pai, memiliki ilmu silat Siauw-lim akan tetapi dengan tingkat yang sudah tinggi
sekali dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat!.
"Keparat busuk!” Lu Kiat kembali menyerang setelah belasan serangannya selalu dapat di
hindarkan lawan. Kini pedangnya membacok kea rah leher. Namun dengan mudah
lawannya mengelak dengan loncatan ke belakang. Pada saat itu, suara rebut-ribut
memancing datangnya sisa penghuni rumah itu, ialah para pembantu rumah tangga dan
tiga orang piauwsu pembantu yang tinggal di begian belakang rumah.
Melihat bala bantuan datang dan di antara mereka membawa teng (lampu gantung) Lu
Kiat cepat menyerang lagi dengan pedangnya, menusuk ke arah dada maling itu. Akan
tetapi yang di tusuk hanya miringkan tubuh dan begitu tangan kanannya membuat
gerakan membacok kea rah pedang, pedang itu patah menjadi dua. Sebuah tendangan
menyambar dan tubuh Lu Kiat terlempar, menabrak dinding dan roboh dengan dada
terasa nyeri. Akan tetapi dia tidak terluka amat parah sehingga tidak membahayakan
keselamatan nyawanya.
Maling itu tertawa lalu berkelebat lenyap ke atas wuwungan rumah. Geger rumah keluarga
itu ketika orang-orang mengetahui bahwa Gui Liang dan isterinya tewas dan lebih ngeri
lagi hati mereka melihat dalam kamar Gui Cing juga tewas dalam keadaan telanjang
bulat!.
Lu Kiat tidak tewas dan murid Siauw-lim-pai ini merasa yakin bahwa pelaku pembunuhan
dan perkosaan ini adalah Si Tangan Halilintar yang tersohor, penjahat keji yang berlengan
satu dan amat lihai itu. Akan tetapi ada satu hal yang membuat dia merasa sekali yaitu
melihat kenyataan bahwa Si Tangan Halilintar itu mahir memainkan ilmu silat Siauw-limpai!
Jelas bahwa orang itu adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang pandai dan lihai
sekali. Akan tetapi Lu Kiat sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai, merasa tidak mengenal
murid Siauw-lim-pai yang buntung lengan kirinya.
Peristiwa pembantaian terhadap keluarga Gui Liang ini tentu saja menggegerkan dunia
kang-ouw. Nama Si Tangan Halilintar semakin tersohor dan para komandan pasukan
keamanan dan para pendekar, walaupun mengambil jalan masing-masing, mempergiat
usaha mereka mencari Si Tangan Halilintar.
****
Setelah sembuh dari luka di dadanya akibat tendangan Si Tangan Halilintar yang
untungnya tidak membuat Lu Kiat tewas, tokoh Siauw-lim-pai ini lalu pulang ke dusun
Tong-cun, dimana dia tinggal bersama isterinya dan seorang keponakannya yang di
anggapnya seperti anak sendiri karena dia tidak mempunyai anak, yaitu Lu Siong. Ketika
dia menceritakan tentang peristiwa yang terjadi di Ceng-jun dan bencana yang menimpa
keluarga Gui, Lu Siong mengerutkan alisnya dan mengepal tinju.
"Paman, aku akan mencari dan membunuh jahanam Si Tangan Halilintar itu!”.
"Hemm, tidak begitu mudah, Lu Siong. Penjahat itu lihai bukan main. Dia ahli ilmu silat
Siauw-lim-pai yang tingkatnya sudah tinggi sekali. Bayangkan saja, dengan jurus-jurus Lohan-
kun yang sudah kukuasai dengan baik, dia mampu mengalahkan aku yang
berpedang. Dan tenaga saktinya kuat bukan main sehingga tidak mengherankan kalau dia
berjuluk Si Tangan Halilintar. Pukulan tangan kanannya seperti sambaran halilintar”.
"Akan tetapi saya tidak takut, paman!” kata Lu Siong dengan gagah.
"Memang tidak ada yang takut menghadapi penjahat, betapapun lihainya dan tewas dalam
perjuangan menentang kejahatan merupakan hal yang membanggakan bagi setiap orang
pendekar. Akan tetapi karena penjahat itu seorang ahli silat Siauw-lim-pai, maka semua
kejahatannya itu merupakan perbuatan yang mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai.
Kewajiban Siauw-lim-pailah untuk membasmi penjahat ini untuk membersihkan nama
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 194
Siauw-lim-pai yang ternoda. Karena itu, aku hendak pergi ke Siauw-lim-si (kuil Siauw-lim)
di kaki Gunung Sungsan untuk menghadap para suhu dan melaporkan tentang Si Tangan
Halilintar ini. Aku sendiri tidak mengenalnya, akan tetapi para suhu tentu mengenal ahli
silat Siauw-lim tangan satu yang amat lihai ini”.
"Paman benar sekali. Saya akan menemani Paman pergi menghadap para suhu di
Sungsan”.
"Sebelum kita berangkat ke sana, aku mau mengunjungi Suheng Lauw Han Hwesio ketua
Thian-li-tang di Bukit Ayam, luar dusun ini. Dia juga murid Siauw-lim-pai, maka berhak
pula mengetahui akan peristiwa yang menimpa Suheng Gui Liang sekeluarga”.
Dua orang itu lalu meninggalkan dusun menuju ke sebuah kuil yang cukup besar, yang
terletak di lereng Bukit Ayam.
Kuil itu cukup besar dan setiap hari ada saja orang datang sembahyang. Mereka datang
dari berbagai dusun di sekitar bukit itu.
Lauw Han Hwesio, murid Siauw-lim-pai yang menjadi suheng dari Lu Kiat itu berusia lima
puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dengan mata bersinar lembut. Dia menyambut
kedatangan Lu Kiat dan Lu Siong dengan gembira dan mereka bertiga lalu duduk di
sebelah dalam kuil, bercakap-cakap. Akan tetapi ketika mendengar akan malapetaka yang
menimpa Gui Liang dan anak isterinya, Lauw Han Hwesio terkejut bukan main.
"Omitohud ….., alangkah menyedihkan nasib sute Gui Liang sekeluarganya”.
"Suheng, aku sendiri telah bertanding melawan pembunuh itu dan ternyata dia adalah
penjahat yang terkenal sekali belakangan ini, yaitu Si Tangan Halilintar dan sungguh
mengejutkan sekali bahwa dia itu mahir ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai kita!”.
"Hemmmm, mungkinkah itu? Mungkinkah dia murid Siauw-lim-pai?”.
"Itulah yang harus kita selidiki, suheng. Kalau dia benar murid Siauw-lim-pai, hal itu
sungguh amat mencemarkan nama baik perguruan kita. Aku dan Lu Siong akan pergi ke
Sung-san untuk melapor kepada para suhu di Siauw-lim-si”.
"Kalau begitu, tunggu sebentar, Sute. Pinceng (aku) harus ikut pula. Hal ini sudah menjadi
kewajiban pinceng pula sebagai murid Siauw-lim-pai untuk menangkap murid Siauw-limpai
yang lalim dan murtad”.
Mereka bertiga lalu berangkat, melakukan perjalanan menuju Sung-san di mana terdapat
kuil Siauw-lim yang menjadi pusat dari perguruan Siauw-lim-pai. Akan tetapi baru mereka
melakukan perjalanan setengah hari, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan
seorang pemuda. Mereka berpapasan jalan dan tiba-tiba pemuda itu berhenti,
menghadang di depan mereka, memandang kepada Lauw Han Hwesio dan bertanya
dengan suara lembut dan sikap sopan.
"Mohon maaf kalau saya mengganggu. Akan tetapi, apakah suhu ini seorang pendeta
Siauw-lim-pai?”.
Lauw Han Hwesio, Lu Kiat dan Lu Siong mengamati pemuda yang menghadang itu
dengan penuh perhatian. Pemuda berusia sekitar dua puluh empat tahun, bertubuh tinggi
tegap dan gagah, wajahnya juga tampan, dan sikapnya menunjukkan bahwa dia adalah
seorang pemuda bersusila dan tahu aturan.
"Omitohud! Kalau pinceng seorang murid Siauw-lim-pai, apa hubungannya denganmu?
Siapakah Sicu (saudara yang gagah)?”.
"Suhu, nama saya Cun Song. Saya kemarin melewati Kota Ceng-jun dan mendengar akan
pembunuhan yang terjadi pada sebuah keluarga piauw-su Gui. Saya sudah sering
mendengar akan pemubunuhan-pembunuhan yang di lakukan Si Tangan Halilintar itu dan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 195
kebetulan sekarang saya bertemu seorang tokoh Siauw-lim …. Eh, apakah benar suhu
seorang hwesio Siauw-lim-pai?”.
"Hemmm, memang benar, Cun Sicu. Apa yang hendak kau bicarakan tentang Si Tangan
Halilintar?”.
"Kalau suhu seorang tokoh Siauw-lim-pai berarti yang saya duga, sungguh kebetulan
sekali. Saya sudah banyak mendengar tentang kegagahan para pendekar Siauw-lim-pai
yang selalu menentang kejahatan. Karena itu, saya merasa yakin bahwa suhu juga tentu
menentang kejahatan yang di lakukan Si Tangan Halilintar”.
"Omitohud, tentu saja pinceng dan semua murid Siauw-lim-pai selalu siap untuk
menentang kejahatan. Lalu apa maksud sicu menghadang perjalanan kami?”.
"Suhu, saya mengetahui siapa adanya Si Tangan Halilintar itu!”.
Tiga orang murid Siauw-lim-pai itu terkejut dan menatap wajah Cun Song penuh
perhatian. "Omitohud, benarkah ucapan Cun Sicu ini? Siapakah dia?”.
"Namanya Lauw Beng”.
"Cun Sicu, engkau berhadapan dengan kami para murid Siauw-lim-pai. Pinceng adalah
Lauw Han Hwesio ketua Kuil Thian-li-tang dan ini suteku Lu Kiat dan murid keponakanku
Lu Siong. Kami memang sedang menyelidiki tentang Si Tangan Halilintar. Sekarang sicu
menghadang kami dan mengatakan bahwa Si Tangan Halilintar bernama Lauw Beng.
bagaimana kami dapat yakin bahwa keterangan sicu ini benar? Bagaimana sicu dapat
mengetahui bahwa namanya Lauw Beng?”.
"Begini, suhu. Terus terang saja saya belum pernah bertemu dengan Si Tangan Halilintar
yang akhir-akhir ini merajalela melakukan banyak pembunuhan. Akan tetapi saya yakin
bahwa dia adalah Lauw Beng. Dugaan saya ini tidak ngawur. Saya pernah tahu akan
seorang pemuda yang menjadi murid dari pejuang yang kenamaan bernama Ma Giok”.
"Ma Giok yang berjuluk Lam-liong (Naga Selatan) itu?” Lu Kiat bertanya. Tentu saja
mereka bertiga tahu siapa Lam-liong Ma Giok karena tokoh itupun merupakan murid
Siauw-lim-pai yang disegani, bukan saja karena kelihaiannya akan tetapi terutama akan
kegigihannya menentang pemerintah penjajah Mancu.
"Benar, guru pemuda itu adalah Lam-liong. Akan tetapi pemuda itu adalah putera seorang
pengkhianat bernama Lauw Heng San yang menjadi antek Mancu. Kemudian pemuda itu
juga mengkhianati bangsa kita. Dia menjadi antek Mancu dan bergaul dengan puteri
seorang pangeran Mancu, bahkan membantu puteri pangeran itu memusuhi para patriot
Ciong-yang Ngo-taihiap sehingga membunuh orang pertama dan kedua dari Ciong-yang
Ngo-taihiap, yaitu Song Kwan dan Song Kui berikut isteri mereka. Karena Lauw Beng itu
berkhianat, maka para pendekar patriot menghukumnya dan membuntungi lengan kirinya.
Akan tetapi dia memang lihai dan kejam. Nah, sekarang muncul Si Tangan Halilintar,
julukan yang dulu menjadi julukan ayahnya, maka mudah saja di duga bahwa penjahat itu
pastilah Lauw Beng yang sebutannya adalah Siauw Beng”.
"Omitohud, pinceng mengenal baik Lam-liong Ma Giok. Dia seorang pendekar dan patriot
sejati. Bagaimana mempunyai seorang murid seperti itu?”.
"Bukan hanya muridnya, Suhu akan tetapi Lauw Beng atau Siauw Beng itu malah anak
angkatnya!” kata Cun Song.
"Ahhh!” Lu Kiat dan Lu Siong berseru kaget.
"Omitohud …… ! kalau begitu, Lam-liong Ma Giok harus bertanggung jawab ! Sute, kalau
begitu lebih baik langsung saja kita mencari Lam-liong. Dia harus bertanggung jawab
terhadap perbuatan murid juga anak angkatnya itu!”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 196
"Akan tetapi kemana kita harus mencarinya, suheng? Sudah bertahun-tahun kita tidak
pernah mendengar nama Lam-liong di dunia kang-ouw. Kita tidak tahu dimana dia berada
", kata Lu Kiat.
"Saya tahu, lo-cian-pwe (orang tua gagah)!” kata Cun Song kepada Lu Kiat.
"Dahulu Lam-liong Ma Giok tinggal di puncak Thai-san”.
"Hemmm, kalau begitu, sute. Biarlah pinceng yang pergi ke kuil Siauw-lim-si di Sung san
untuk melaporkan hal ini kepada pimpinan Siauw-lim-pai, sedangkan Lu Sute dan Lu siong
mencari Lam-liong Ma Giok di Thai-san”.
"Baiklah, suheng. Kami pergi sekarang ", kata Lu Kiat yang segera pergi bersama Lu
Siong.
Lauw Han Hwesio ini memandang Cun Song. "Cun-sicu, kami bertiga amat berterima
kasih atas semua keteranganmu yang sungguh amat menolong dan memudahkan
penyelidikan kami. Akan tetapi agaknya engkau juga membenci Si Tangan Halilintar.
Kalau boleh pinceng mengetahui, apakah yang menyebabkan sicu memusuhinya?”.
"Suhu, sungguh tidak ada permusuhan pribadi antara saya dan Si Tangan Halilintar. Akan
tetapi sejak kecil saya mendapat didikan
menentang Kerajaan penjajah Mancu. Maka, melihat Si Tangan Halilintar adalah seorang
yang menjadi antek Mancu, dan kini melakukan kejahatan membunuhi orang-orang tidak
berdosa, tentu saja saya membencinya. Cuma saja, dengan kebodohan dan
kelemahanku, bagaimanapun juga saya tidak berdaya untuk menentang apalagi
menangkap atau membunuhnya”.
"Hemm, bagaimanapun juga keteranganmu kepada kami tadi sudah merupakan bantuan
yang besar sekali artinya”.
"Sekarang saya mohon diri, Suhu. Saya hendak melanjutkan perjalanan saya. Kalau kelak
saya dapat bertemu lagi dengan para pendekar yang mencari Si Tangan Halilintar dan
kebetulan saya mengetahui dimana dia berada, saya pasti akan membantu mereka dan
memberitahu”.
Mereka saling memberi hormat dan berpisah. Lauw Han Hwesio melanjutkan
perjalanannya menuju pegunungan Sungsan untuk menghadap para pimpinan Siauw-limpai.
*****
Mayani melompat ke atas pohon raksasa itu. Gerakannya seperti seekor burung melayang
naik. Ia hinggap di dahan depan pondok kecil yang di bangun di puncak pohon,
merupakan sarang. Selama setahun ia dulu tiap malam tidur di dalam sarang ini, bersama
Nenek Bu. Ia memasuki sarang itu akan tetapi nenek itu tidak berada di dalam pondok.
Akan tetapi masih ada tanda-tanda bahwa tempat itu masih didiami orang. Ia keluar dari
pondok, berdiri di atas dahan yang paling tinggi dan memandang ke sekeliling. Akan tetapi
hutan itu lebar sekali sehingga sukar untuk mencari orang dalam hutan itu. Pandangannya
terhalang daun-daun pohon yang amat lebat.
"Ibuuuuu ….. "Ia berteriak sambil mengerahkan tenaga saktinya sehingga suaranya
melengking dan mengandung getaran sehingga dapat terdengar sampai jauh.
Karena tidak ada jawaban, ia memutar tubuh. Sekarang ia menghadap ke selatan dan
berteriak memanggil lagi.
"Ibuuuu ……… !!”
Setelah gema teriakan itu mereda, terdengar teriakan lain. "Kui Sianggg ….!”
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 197
Mayani menjadi girang sekali dan cepat tubuhnya melayang ke bawah pohon, lalu ia
berlari menuju ke arah suara teriakan tadi. "Ibuuuu!”
Mereka saling lari menghampiri dan ketika bertemu mereka saling berangkulan.
"Ibuuu …..!”.
"Kui Siang, anak nakal, engkau baru pulang? Mana dia cucuku?”.
"Ibu, cucumu Lauw Beng, sedang merantau. Marilah ibu ikut bersamaku dan kita bersama
nanti mencari dan mengajak Lauw Beng pulang. Nasib Siauw Beng …..”.
"Siauw Beng?” nenek itu bertanya heran.
"Ah, namanya Lauw Beng, Ibu, akan tetapi sudah biasa di sebut Siauw Beng (Beng kecil).
Nasibnya buruk sekali, Ibu.
Lengannya …. Lengan kirinya ….. sebatas siku siku telah buntung ….!”. Bicara sampai di
sini Mayani terisak menangis. Ia teringat betapa dibuntunginya lengan Siauw Beng adalah
karena pemuda itu membelanya!.
"Apa? Lengan kirinya buntung? Mengapa bisa buntung?”
Mendengar pertanyaan nenek itu yang di ajukan dengan kata-kata yang teratur, Mayani
mengerti bahwa nenek itu kini telah tenang pikirannya, tidak kacau seperti dahulu. Diamdiam
ia merasa girang dan menyusut air matanya.
Nenek itu membelalakkan matanya dan ia mengangkat kedua tanganya keatas,
membentuk cakar lalu ia mencengkram ke atas barang pohon besar.
"Krekkk!” Jari-jari kedua tangannya masuk ke dalam kayu pohon dan begitu ia menarik,
batang pohon itu terobek sebagian. "Siapa yang membuntungi lengan cucuku? Siapa?
Hayo katakan, siapa?”.
Dengan gemas dan penuh kebencian Mayani berkata, "Dia seorang jahanam keparat
yang jahat sekali, Ibu. Namanya Song Cun. Dia anak orang kedua dari Ciong-yang Ngotaihiap,
gerombolan pemberontak yang di pimpin Lam-liong Ma Giok. Mereka itu orangorang
yang amat kejam, ibu. Akan tetapi mereka itu pun kuat, terdiri dari orang-orang
lihai”.
"Aku akan menghadapi mereka semua dan akan ku pecahkan kepalanya satu demi satu!”
teriak Nenek Bu.
"Kita akan hadapi bersama, Ibu. Akan tetapi mari ibu ikut bersama aku ke Kota Raja dulu.
Nanti perlahan-lahan kita cari dimana adanya cucumu Siauw Beng dan dimana pula
musuh-musuh besar kita, terutama di jahanam busuk Song Cun!”.
Tadinya Nenek Bu bersikap ragu-ragu, akan tetapi setelah di bujuk-bujuk Mayani, akhirnya
ia menurut juga di ajak pergi Mayani keluar dari hutan lebat itu.
Dengan pandai Mayani membujuknya, mengganti pakaiannya dengan pakaian yang
pantas, menyisir dan merapikan rambutnya. Kini Nenek Bu menjadi seorang Nyonya
berusia sekitar enam puluh dua tahun yang cukup pantas karena mengenakan pakaian
yang memang telah disediakan dan dibawa Mayani ke hutan itu.
"Eh-eh, pakaian apa ini? Dan rambutku, mengapa engkau tata seperti ini. Aku akan
kelihatan jelek dan lucu, kau anak nakal!” Nenek itu terkekeh.
"mari, Ibu, Lihat bayanganmu di air. Ibu tampak cantik!”
Mayani membawa nenek itu ke tepi danau kecil yang terdapat di hutan itu dan ketika
Nenek Bu melihat bayangannya di air, ia tertawa.
"He-he-he, aku seperti nyonya bangsawan!”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 198
"Aih, bagaimana sih ibu ini? Ibu memang seorang bangsawan, apa ibu telah lupa?”.
"He-he-he, ya … aku seorang nyonya bangsawan … he-he-he!”.
Mayani merasa senang. Gurunya ini memang masih agak aneh kelakuannya, namun
sudah tidak ngaco lagi, tidak tampak gila dan kata-katanya sudah mulai teratur. ia merasa
yakin bahwa kalau Nenek Bu tinggal di rumahnya, wanita tua itu akan dapat pulih kembali
ingatannya. Ayah ibunya tentu akan menerima dengan senang, bukan hanya karena
wanita itu telah menjadi gurunya dan telah menyelamatkannya dari tangan para pendekar
yang hendak membunuhnya, akan tetapi karena Nenek Bu adalah isteri dari Mendiang
Pangeran Abagan. Masih ada hubungan keluarga antara mendiang Pangeran Abagan dan
ayahnya Pangeran Gunam.
Dalam perjalanan ini, Nenek Bu tampak gembira sekali. Hal ini dapat dimaklumi karena
semenjak ia menjadi murid nenek gila Pek Sim Kuibo yang amat sakti, ia terus
mengasingkan diri dan tinggal di dalam hutan selama dua puluh tahun lebih dan hanya
kadang-kadang saja ia keluar hutan. Itu pun tidak lama karena ia merasa betapa dunia di
luar hutannya aneh dan asing, membuat ia merasa ngeri dan ia selalu kembali ke dalam
hutannya.
Kini, melakukan perjalanan bersama Mayani yang ia anggap sebagai Bu Kui Siang,
puterinya, ia merasa gembira dan tidak merasa aneh atau asing. bahkan perlahan-lahan
ingatannya mulai terang kembali dan sedikit demi sedikit ia kembali normal walaupun ia
masih kukuh menganggap Mayani sebagai Bu Kui Siang, puterinya.
Dalam perjalanan menuju ke Kota Raja, Mayani mendengar berita menggegerkan tentang
sepak terjang Si Tangan Halilintar yang amat jahat dan kejam. Tentu saja ia tidak percaya
akan berita itu. Seorang penjahat muda yang bertangan satu, lengan kirinya buntung
sebatas siku, membunuh banyak orang yang tak berdosa dan memperkosa wanita,
berjuluk Si Tangan Halilintar ! Tandatanda
dan nama julukan itu menunjukkan bahwa penjahat itu adalah Lauw Beng ! Tidak
mungkin!.
"Paman, benarkah berita yang kau ceritakan itu?” Mayani bertanya kepada pelayan rumah
penginapan yang mengabarkan tentang Si Tangan Halilintar itu.
"Tentu saja benar, nona. Nona dapat bertanya kepada seluruh penduduk kota ini atau
daerah lain, mereka semua tentu sudah mendengar akan berita itu. Si Tangan Halilintar
penyebar maut itu amat tersohor dan semua orang merasa ngeri dan ketakutan kalau
mendengar namanya. Bahkan belum lama ini, di kota Teng-cun, penjahat kejam itu telah
membunuh seorang piauw-su murid Siauw-lim-pai bernama Gui Liang, juga membunuh
isterinya dan memperkosa lalu membunuh anak gadisnya. Kejam sekali dia, mudahmudahan
saja dia tidak akan datang ke kota kami ini”.
Nenek Bu sejak tadi mendengarkan percakapan itu. Biarpun biasanya ia bersikap tidak
acuh terhadap hal-hal yang tidak mengenai dirinya, dan merasa gembira melihat segala
sesuatu dalam kota seolah baru kembali ke kampung halaman setelah bertahun-tahun
kehilangan itu semua, namun mendengar pelayan itu menyebut-nyebut Si Tangan
Halilintar ia mulai memperhatikan.
"Hei, bukankah Si Tangan Halilintar itu cucuku Siauw Beng?”.
Pelayan rumah penginapan itu terkejut, memandang terbelalak kepada Nyonya Bu dan
Mayani juga terkejut lalu menggandeng tangannya dan menariknya untuk masuk kamar.
"Ibu, mari kita masuk kamar dan mengaso”.
Pelayan itu segera pergi tergesa-gesa dan tampak ketakutan. Nyonya tua itu memang
sudah tampak aneh dan tidak wajar, tidak banyak bicara hanya terkadang senyumKoleksi
Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 199
senyum sendiri, memandangi segala benda dengan sikap kagum dan terheran-heran. Kini
sekali membuka mulut, mengatakan bahwa Si Tangan Halilintar adalah cucunya !
Siapa tidak merasa ngeri dan takut? Akan tetapi di samping perasaan ngeri, ada juga
perasaan bangga. Maka dia segera berpamer diluaran, mengatakan dengan bangga
bahwa rumah penginapannya dimana dia bekerja, kedatangan tamu agung, yaitu nenek
dari Si Tangan Halilintar yang tersohor dan dia sendiri sudah melayani tamu agung itu!.
Sementara itu Mayani menutupkan daun pintu dan duduk di tepi pembaringan dimana
Nenek Bu sudah merebahkan diri.
"Ibu, yang diceritakan oleh pelayan tadi bukan cucumu Siauw Beng”.
"Akan tetapi, bukankah Si Tangan Halilintar itu julukan Siauw Beng seperti yang kau
ceritakan padaku?”.
"Memang benar, Ibu. Dulu Siauw Beng menggunakan julukan Si Tangan Halilintar. Akan
tetapi dia sama sekali bukan orang jahat dan tidak pernah berbuat jahat membunuh orangorang
yang tidak berdosa, apalagi memperkosa wanita. Tidak aku tidak percaya Siauw
Beng yang melakukan itu semua!”.
"Oh-oh, aku jadi bingung, Kui Siang. Kalau bukan Siauw Beng lalu siapa lagi yang berjuluk
Si Tangan Halilintar?”.
"Ini yang perlu kita selidiki, Ibu. Siauw Beng tidak mungkin melakukan semua kejahatan
itu. Aku yakin benar. Maka tentu ada orang lain yang menggunakan nama julukan Si
Tangan Halilintar yang melakukan semua kejahatan itu, mungkin sekali dia sengaja
memakai nama julukan itu untuk mencemarkan nama Siauw Beng. Dengan tersohornya
nama Si Tangan Halilintar yang jahat, tentu Siauw Beng akan di musuhi banyak orang. Ini
jelas fitnah dan kita harus menyelidiki hal ini untuk menolong Siauw Beng!”.
"Tapi orang tadi menceritakan bahwa pembunuh itupun buntung lengan kirinya”.
"Ya, itulah yang aneh. Mungkin orang-orang yang memusuhi Siauw Beng sengaja
menggunakan seorang yang buntung lengan kirinya untuk memalsukan nama Si Tangan
Halilintar, tentu saja dengan maksud agar Siauw Beng di tuduh melakukan itu semua dan
dimusuhi banyak orang. Bahkan menurut orang tadi, si penjahat itu telah membunuh
suami isteri murid Siauw-lim-pai dan memperkosa lalu membunuh anaknya. Jelas
perbuatan ini akan membuat perguruan Siauw-lim marah sekali dan mereka tentu akan
mencari Si Tangan Halilintar untuk menuntut balas.
Ah, kasihan Siauw Beng, tentu ia akan di musuhi banyak pihak dan terancam bahaya!”.
Nenek itu bangkit duduk. "Kui Siang, ini adalah tugasmu sebagai seorang ibu! Engkau
harus menyelamatkan anakmu!”.
"Tentu saja, Ibu. Akan tetapi juga tugas ibu sebagai neneknya! Kita berdua akan
membuktikan bahwa Siauw Beng bukan pelaku kejahatan itu. Aku yakin bahwa penjahat
itu adalah Si Tangan Halilintar palsu dan kita harus dapat menangkapnya, Ibu!”.
"Ho-ho, aku akan tangkap dia dan membuntungi lagi lengannya yang tinggal satu!”.
Karena adanya berita yang menggelisahkan tentang Si Tangan Halilintar, apalagi adanya
jawaban yang meyakinkan dari semua orang yang di tanyai Mayani bahwa berita itu
memang benar, Mayani menunda kembalinya ke kota raja dan bersama nenek Bu ia
berputar haluan, hendak melacak dan mencari Si Tangan Halilintar yang menyebar maut
itu.
Mereka hanya menginap semalam di kota itu dan pada keesokan harinya ia mengajak
Nenek Bu untuk melanjutkan perjalan ke Kota Teng-cun dimana Si Tangan Halilintar
muncul seperti yang diceritakan pelayan rumah penginapan itu. Pagi-pagi mereka
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 200
meninggalkan kota itu menuju ke kota Teng-cun yang jaraknya ada seratus li ( mil) dari
kota yang baru mereka tinggalkan.
Akan tetapi baru saja mereka berjalan sejauh belasan li, tiba-tiba mereka mendengar
suara orang berlari dari belakang mereka. Mayani dan Nenek Bu berhenti melangkah dan
dua orang sudah tiba di depan mereka. Mayani tidak mengenal dua orang laki-laki itu,
yang seorang setengah tua berusia empat puluhan tahun, sedangkan yang muda berusia
sekitar duapuluh tiga tahun. Mereka ini bukan lain adalah Lu Kiat dan keponakannya, Lu
Siong. Seperti kita ketahui, paman dan keponakan ini sedang melakukan
perjalanan menuju ke Thai-san untuk mencari Lam-liong Ma Giok dan melaporkan tentang
kejahatan Si Tangan Halilintar, murid atau juga anak angkat Naga selatan itu. Malam tadi
mereka bermalam di kota yang sama dengan yang diinapi Mayani. Pagi tadi mereka
mendengar kabar yang di sebar pelayan rumah penginapan bahwa di rumah
penginapannya ada tamu agung, yaitu nenek dari Si Tangan Halilintar. Mendengar ini
tentu saja Lu Kiat dan Lu Siong menjadi kaget dan mereka cepat mengunjungi rumah
penginapan itu. Akan tetapi di sana mereka mendengar bahwa pagi tadi nenek itu telah
meninggalkan rumah penginapan.
Mendengar ini, Lu Kiat dan Lu Siong cepat melakukan pengejaran. Mereka bertanya-tanya
dan mudah mendapat keterangan bahwa nenek dan gadis muda itu keluar dari pintu
gerbang barat.
Keterangan ini mudah di dapat karena orang tidak melupakan Mayani yang cantik jelita
kalau melihat ia lewat. Segera dua orang murid Siauw-lim-pai itu melakukan pengejaran
dan di tempat sunyi itu mereka berhasil menyusul dan kini mereka berdua sudah saling
berhadapan dengan Nenek Bu dan Mayani.
"Tunggu dulu, kami ingin bicara!” Lu Kiat berkata dengan suara keren karena hatinya
sudah panas mendengar bahwa nenek ini adalah nenek Si Tangan Halilintar yang amat
jahat dan kejam.
Nenek Bu memandang dengan mulut tersenyum mengejek. mayani yang menjawab
sambil menantap wajah Lu Kiat penuh selidik. "Kami tidak mengenal kalian dan sungguh
tidak sopan laki-laki menegur perempuan yang tidak dikenalnya di tengah jalan!”.
Mendengar ucapan itu, wajah lu Kiat menjadi kemerahan. Dia adalah seorang pendekar
Siauw-lim-pai dan biasanya selalu menggunakan peraturan tata susila.
"Maaf, Nona. Terpaksa kami melakukan pengejaran dan ingin bertanya apakah benar
nenek ini adalah nenek dari Si Tangan Halilintar Lauw Beng?” Sambil berkata begini, Lu
Kiat menatap tajam wajah nenek Bu yang masih tersenyum-senyum.
"He-he ! Tentu saja aku nenek dari Lauw Beng Si Tangan Halilintar ! Mau apa engkau
bertanya-tanya?” jawaban ini ketus akan tetapi mulut itu tersenyum lebar.
Lu Kiat mengamati nenek itu, dari sanggul rambutnya sampai dandanannya, lalu berkata
ragu. "Nyonya ….
Nyonya seorang berbangsa Mancu ….?”
"He-he, tentu saja, apa engkau tidak melihat? Aku ini Nyonya Pangeran!”.
Lu Kiat saling pandang dengan keponakannya, Lu Siong. "Kalau begitu, Si Tangan
Halilintar Lauw Beng adalah cucu pangeran mancu?”.
Kini Mayani tidak sabar lagi. "Hei, kalian ini siapakah dan apa maksudmu menanyai orang
seperti hakim saja? Kalau Lauw Beng seorang cucu pangeran mancu, kalian mau apa?
Aku adalah seorang gadis Mancu, ayahku seorang pangeran. Nah, kau mau apa?”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 201
Dua orang paman dan keponakan she Lu yang amat mendendam kepada Si Tangan
Halilintar, mendengar bahwa penjahat itu cucu seorang pangeran, sekarang mengerti
mengapa penjahat itu membunuhi penduduk pribumi.
Kebencian dan sakit hati mereka kepada Si Tangan Halilintar manjadi-jadi setelah
mendengar bahwa pembunuh keluarga Gui itu cucu pangeran mancu. Otomatis
merekapun membenci dua orang wanita ini, seorang nenek yang mengaku isteri pengeran
Mancu, dan seorang gadis yang mengaku anak seorang pengeran mancu pula.
"Kalian harus kami tangkap dan kami jadikan sandera sampai Lauw Beng Si Tangan
Halilintar menyerahkan diri kepada Siauw-lim-pai!” bentak Lu Kiat.
"Kalian mau menangkap kami?” Mayani berkata mengejek. "Bagaimana tikus-tikus macam
kalian akan dapat menangkap kami?”.
"Ho-ho, kalian ini dua orang budak dari mana, siapa namamu, begitu kurang ajar dan
berani kepada kami, nyonya-nyonya majikanmu?” Nenek Bu juga membentak, akan tetapi
sambil tertawa-tawa.
Lu Kiat tidak memperdulikan Nenek yang bicaranya tidak normal itu, akan tetapi dia segan
juga terhadap Mayani, seorang gadis yang cantik dan berwibawa. Dia merasa keterlaluan
kalau ingin menangkap dua orang wanita tanpa memperkenalkan diri dan memberitahu
alasannya.
"Ketahuilah, aku bernama Lu Kiat dan ini adalah keponakanku Lu Siong. Kami adalah
murid-murid Siauw-lim-pai. Suhengku, Gui Liang dan anak isterinya telah di bunuh oleh
Lauw Beng Si Tangan Halilintar. Sebagai murid-murid Siauw-lim-pai tentu saja kami tidak
menerimanya begitu saja. Mengingat bahwa kalian adalah keluarga keluarga Lauw Beng
Si Tangan Halilintar, maka kami terpaksa harus menangkap kalian dan menjadikan
sandera sampai Lauw Beng menyerahkan diri kepada Siauw-lim-pai!”.
"Hemmm, orang she Lui! Bicaramu ngawur dan engkau menuduh tanpa bukti. Apa
buktinya bahwa penjahat yang membunuh banyak orang itu adalah lauw Beng?” Tanya
Mayani.
"Aku sendiri berada di rumah itu ketika pembunuhan terjadi. Aku menjadi saksi, bahwa
aku telah berkelahi melawan penjahat berlengan kiri buntung itu dan dia mengaku Si
Tangan Halilintar. Masih kurang jelas bagaimana?”.
Mayani mengerutkan alisnya. "Hemmm, itu masih belum jelas. Coba gambarkan
bagaimana bentuk wajah dan badannya, juga cirri-ciri yang lain agar kami dapat
menentukan apakah kalian hanya menfitnah saja ataukah keterangan kalian itu benarbenar”.
"Malam itu gelap, aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, akan tetapi dia jelas
seorang laki-laki yang masih muda dan tubuhnya tegap. Cirinya yang jelas bahwa lengan
kirinya buntung. Sudah jelas bahwa dia itu Lauw Beng Si Tangan Halilintar, tak perlu di
sangsikan lagi. Karena kalian masih keluarganya, apalahi nyonya ini neneknya, maka
kami harus menangkap kalian untuk dijadikan sandera sampai dia menyerahkan diri”.
"Hemm, keteranganmu itu belum merupakan bukti yang sah, engkau bukan bukan saksi
yang sudah pasti memberi keterangan benar. Bagaimana juga, harus di akui bahwa setiap
orang dapat menyamar sebagai Lauw Beng. Mudah saja melakukan pembunuhan lalu
mengaku sebagai Si Tangan Halilintar, bukan? Engkaupun dapat melakukannya karena
keadaan gelap dan orang tidak dapat membedakan wajah!”.
"Tidak mungkin orang lain! Jelas bahwa lengan kirinya buntung. Jelas dia adalah Lauw
Beng yang berjuluk Si Tangan Halilintar. Memang sejak dulu dia itu telah mengkhianati
bangsanya,menjadi antek pemerintah penjajah sehingga lengan kirinya dibuntungi para
pendekar”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 202
"Omong kosong! Siapa yang menceritakan itu semua kepadamu?”.
"Tak perlu engkau tahu, aku percaya bahwa kenyataannya memang begitu! Kabarnya ia
bergaul akrab dengan seorang puteri Mancu. Semuanya sudah jelas, dia antek penjajah
membunuhi bangsa sendiri, orang-orang pribumi yang tidak berdosa”.
"Engkau manusia tolol, tidak mampu membedakan mana kabar yang benar dan yang
salah, merupakan fitnah. Akulah puteri Mancu yang menjadi sahabat baik Lauw Beng dan
aku menjadi saksi bahwa dia bukan orang jahat! Kalian inilah dan semua orang yang
mengaku sebagai pendekar dan patriot, yang berpemandangan sempit dan pada
dasarnya berhati jahat!”.
"Bagus, kiranya engkau puteri sahabat baik Si Tangan Halilintar Lauw Beng? Kalian
berdua akan kami tangkap dan kami bawa ke Thai-san”.
"Mau apa di bawa ke Thai-san?” Tanya Mayani heran.
"Akan kami hadapkan kepada Lam-liong Ma Giok, guru dan ayah angkat si jahat Lauw
Beng sebagai bukti akan pengkhianatan dan kejahatan Lauw Beng!”.
"Anakku, mengapa melayani si cerewet ini bercakap-cakap? Biar ku hancurkan kepala
mereka!” kata Nenek Bu.
Mayani khawatir kalau Nenek Bu benar-benar hendak membunuh orang. Kalau hal itu
terjadi, maka akan semakin buruklah nama Lauw Beng yang telah diaku sebagai cucu
nenek itu.
"Ibu, harap jangan bunuh orang. Mereka ini ku kira bukan jahat, melainkan tolol dan cukup
diberi hajaran saja agar sembuh dari kebodohan mereka”.
Mendengar ucapan dua orang wanita itu, Lu Kiat dan Lu Siong marah sekali. Mereka
adalah pendekar-pendekar Siuw-lim-pai yang lihai. Kini dijadikan bahan ejekan seorang
nenek dan seorang gadis muda!.
"Lu Siong, kau tangkap gadis itu, biar aku tangkap si nenek bawel!” kata Lu Kiat dan dua
orang itu lalu dengan sigap dan cepat maju menjulurkan tangan hendak menangkap
pergelangan tangan dua orang wanita itu. Nenek Bu mengeluarkan suara terkekeh dan
Mayani menggerakkan tangan menangkis seperti yang di lakukan Nenek Bu sambil
terkekeh itu.
"Dukkk !!”
"Dukk !!”
Tubuh dua orang murid Siauw-lim itu terjengkang dan terlempar sampai beberapa meter
ke belakang! Mereka terkejut bukan main dan baru menyadari bahwa dua orang wanita
Mancu itu bukanlah orang lemah. Tangkisan mereka tadi mengandung tenaga sin-kang
yang kuat sehingga mereka berdua tadi tidak menggunakan sin-kang, maka mereka tidak
merasa gentar, melainkan penasaran dan marah.
"Bagus, kiranya kalian memiliki sedikit kepandaian dan hendak melakukan perlawanan?
Lebih baik bagi kami karena tidak akan dikatakan menyerang dua orang wanita lemah. Lu
Siong, jatuhkan gadis itu, akan tetapi jangan bunuh, agar dapat kita tangkap!” kata Lu Kiat
dan dia sendiri maju menerjang nenek yang berdiri sambil tersenyum geli itu. Akan tetapi
dengan gerakan aneh namun lincah, tubuh nenek itu menggeliat dan serangan Lu Kiat itu
hanya mengenai angin kosong ! Lu Kiat merasa penasaran dan melanjutkan dengan
serangan sambung menyambung secara bertubi, namun kesemuanya itu dapat
dihindarkan Nenek Bu dengan amat mudahnya, mengelak dan menangkis.
Lu Siong juga sudah menyerang Mayani. Dia seorang pemuda yang sopan, maka ketika
menyerang dia menjaga agar jangan menyerang bagian yang tidak pantas. Dia
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 203
mencengkram kearah pundak gadis itu dengan maksud kalau sudah dapat mencengkram,
membuat gadis itu tidak berdaya dan menelikungnya. Akan tetapi dia kecelik karena
hanya dengan merendahkan pundaknya, Mayani sudah dapat menghindarkan diri dengan
amat mudahnya.
Tingkat kepandaian silat Siauw-lim yang dikuasai Lu Kiat sudah cukup tinggi dan tingkat
kepandaian Lu Siong bahkan lebih tinggi lagi. Namun kini mereka menghadapi dua orang
lawan yang memiliki ilmu silat yang aneh.
Jilid 19
Mereka berdua merasa bingung akan tetapi juga penasaran karena merasa dipermainkan.
Dua orang wanita itu membuat gerakan yang aneh sekali, terkadang berloncatan seperti
anak kecil menari-nari. Terkadang bertepuk tangan dan berputar-putar, lalu jongkok berdiri
dengan lucu dan aneh. Bahkan seolah sengaja membelakangi lawan seperti menantang
lawan untuk seperti menantang lawan tubuh mereka!
Merasa dipermainkan seperti anak kecil, Lu Kiat dan Lu Siong marah sekali dan mereka
mengeluarkan seluruh jurus-jurus terampuh mereka dan mengerahkan semua tenaga
sakti. Namun tetap saja semua serangan mereka tidak pernah menyentuh tubuh lawan
dan seb
mbalas, mereka menjadi terdesak hebat.
"Cukup main-main ini. ibu!” terdengar Mayani berseru.
"Nenek Bu terkejut nendang miring. "Bukkk!” Lu Kiat tidak mampu menghindar, terpaksa
menangkis dan ketika tangkisannya bertemu dengan kaki menendang, tubuhnya terlempar
dan terbanting sampai terguling-guling.
"Pergilah!” Mayani membentak dan tangan kirinya berhasil mendorong pundak Lu Siong
sehingga terjungkal lalu bergulingan. Paman dan keponakan itu terluka, dan mereka
berdua menjadi penasaran dan marah sekali. Dua orang wanita itu adalah keluarga Lauw
Beng Si Tangan Halilintar, musuh besar mereka yang hendak ditangkap atau dirobohkan.
"Sraattt ! Singgg!” Tampak dua sinar berkelebat ketika Lu Kiat dan Lu Siong mencabut
pedang mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang gagah yang merasa diri mereka
pendekar Siauw-lim, maka tentu saja mereka memegang peraturan para pendekar dan
tidak menyerang lawan dengan senjata tanpa memberi kesempatan mengeluarkan
senjatanya atau tanpa memberi peringatan.
"Keluarkan senjata kalian”. kata Lu Kiat kepada mereka sambil memandang dengan sinar
mata menantang. Juga Lu Siong menahan senjatanya, tidak langsung menyerang
melainkan menunggu lawan untuk mengeluarkan senjatanya. Akan tetapi kedua orang
wanita itu saling pandang sambil tersenyum dan berdiri menantang, sekalian mengerti
bahwa dia setuju kalau mereka berdua nenek Bu dengan gerakan melainkan membacok
mereka mengangguk karena saling pandang saja mereka sudah tahu akan isi hati masingmasing.
"Kami tidak takut menghadapi pisau mainan kanak-kanan itu. Kalau kalian hendak
menggunakan pisau itu, maju dan lakukanlah, kami tidak biasa menggunakan senjata
menghadapi lawan yang bodoh seperti kalian”. kata Mayani dan ucapan itu diikuti suara
tawa nenek Bu.
Tentu saja kedua orang wanita itu tidak sekedar membual atau menyombongkan diri.
Adanya mereka berdua berani menantang Lu Kiat dan Lu Siong dengan tangan kosong itu
karena mereka berdua yakin dari pertandingan tadi bahwa dua orang murid Siauw-lim-pai
itu bukan merupakan lawan yang terlalu berat baginya, mereka yakin bahwa dengan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 204
tangan kosongpun mereka akan mampu mengalahkan dua orang lawan yang bersenjata
pedang. Lu Kiat mengerutkan alisnya.
"Kami bukan laki-laki curang tidak biasa menyerang lawan yang bertangan kosong dengan
menggunakan senjata. Hayo keluarkan senjata kalian!” katanya.
"Dengar", kata Mayani. "Kami tidak menganggap kalian curang, melainkan bodoh! Bukan
kalian yang menyerang kami yang tidak bersenjata, melainkan kami yang menyerang
kalian dengan pedang kalian! Hayo jangan banyak cakap, kalau memang kalian berani,
seranglah kami!”. Dua orang murid Siauw-lim-pai itu tentu saja menjadi semakin
penasaran. Mereka saling pandang dan Lu Kiat mengangguk kepada keponakannya,
tanda berdua menyerang lawan dengan pedang. Mereka lalu mengelebatkan pedang
mereka.
"Sambut pedangku!” Lu Kiat membentak sambil menyerang dengan pedangnya, menusuk
kearah dada dengan gerakan yang kuat dan amat cepat. Pedangnya meluncur seperti
anak panah menuju kearah dada nenek itu. "Lihat seranganku!” Lu Siong juga membentak
dan pemuda ini menggerakkan pedangnya, bukan menusuk mke edang itu ikut tertarik
bersama tan, namun Lu Kiat su ayani. Gadis inipun tidak mengelak dan setelah pedang
mendekati kearah leher Mayani. Serangan pemuda ini bahkan lebih cepat dan lebih kuat
dibandingkan serangan pamannya.
"Syyuuuttt ….!” Pedang di tangan Lu Kiat meluncur cepat kearah dada nenek itu dan
Nenek Bu hanya tersenyum saja seolah tidak tahu kalau dadanya terancam pedang yang
siap menembus dada dan jantungnya. Melihat nenek itu sama sekali tidak mengelak atau
menangkis, Lu Kiat yang berjiwa gagah itu menjadi ragu sehingga tusukannya menjadi
lambat. Akan tetapi ketika ujung pedang hanya tinggal beberapa senti lagi, tiba-tiba dari
bawah menyambar tangan kiri Nenek Bu dan tahu-tahu pedang telah di cengkramnya dan
sekali tarik, pegelangan Lu Kiat ke atas, ke dekat mulut. Nenek Bu membuka mulutnya,
menggigit pedang itu.
"Kreekkk-krekkk-krekkk ….!” Pedang itu patah-patah terkena gigitan nenek itu dan
beberapa potong kecil berada di mulut Nenek Bu. Lu Kiat terkejut bukan main dan dia
cepat melompat ke belakang, memegang pedangnya yang tinggal sepotong. Pada saat
itu, Nenek Bu meniup dengan mulutnya dan tiga potongan pedang meluncur seperti peluru
ke arah tubuh Lu Kiat. Tokoh Siauw-lim-pai ini terkejut dan cepat memutar pedang
buntungnya menangkis. Potongan-potongan pedang itu terpukul runtuh dah terkejut bukan
main sehingga wajahnya menjadi pucat dan keringat dingin membasahi dahi dan lehernya.
"Sing …..!” Pedang di tangan Lu Siong membacok kearah leher Mayani, namun mayani
mengelak dan mencengkram lehernya, kedua tangannya dari kanan kiri mencengkram
pedang ini.
"Kreekk-krekk-krekkk …!” Pedang itu patah-patah dalam cengkraman kedua tangan
seolah-olah terbuat dari papan tipis yang rapuh saja. Lu Siong terbelalak dan wajahnya
juga pucat. Dia melompat ke belakang, ke dekat pamannya dan mereka berdua
memandang kearah pedang di tangan mereka yang tinggal sepotong pendek. Pedang
mereka bukanlah pedang biasa, melainkan pedang yang terbuat dari baja yang kuat.
Namun dua orang wanita itu dengan tangan kosong menyambut pedang dan
mencengkramnya sehingga pedang patah-patah. Lebih mengerikan lagi ulah nenek itu
yang menggunakan giginya untuk menggigit patah-patah pedang Lu Kiat. Sebagai
pendekar Siauw-lim, paman dan keponakan yang sudah tahu benar bahwa telah beberapa
kali menghela napas panjang, Lu Kiat berkata dengan gagah.
"Kami mengaku kalah. Kalian boleh membunuh kami karena bagaimanapun juga, k
ngan Halilintar, mencari dan membunuhnya bersama semua orang Siauw-lim-pai!”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 205
“He-he-he, Kui Siang, apakah orang ini sudah gila? Dia minta di bunuh! Kalau begitu,
bunuh saja mereka!”.
"Tidak, Ibu. Kita tidak boleh membunuh mereka. Mereka ini memang gila, jangan
dengarkan permintaan mereka yang bukan-bukan. He, orang she Lu, kalau kalian
memang orang-orang gagah, pendekar-pendekar sejati yang adil bijaksana dan tidak
sembrono, mari kita berlomba. Kalian carilah bukti nyata bahwa pembunuh jahat yang
menggunakan nama Si Tangan Halilintar itu memang benar Lauw Beng, dan kami akan
mencari bukti bahwa penjahat itu bukan dia melainkan orang lain yang hendak melakukan
fitnah kepada Lauw Beng. Kemudian wanita itu lalu meninggalkan mereka yang masih
berdiri dengan tertegun di tempat itu. "Paman, mereka itu lihai bukan main! Ilmu silat
mereka aneh dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Sungguh heran, belum pernah
aku melihat ilmu silat seperti kacau balau dan aneh namun tangguh bukan main. Paman
kira dari aliran manakah ilmu silat mereka itu?”.
Lu Kiat menghela napas dan menggeleng kepala. "Aku sendiri tidak yakin karena belum
pernah melihat ilmu silat seperti itu. Akan tetapi aku pernah mendengar dari mendiang
Thian Hok Losuhu bahwa di dunia persilatan terdapat banyak ilmu silat aneh, diantaranya
terdapat ilmu-ilmu sesat yang amat sakti akan tetapi kalau kalau di latih membuat
orangnya menjadi seperti gila. Melihat keadaan dua orang wanita tadi, terutama nenek
yang seperti miring otaknya itu, aku menduga bahwa mereka telah menguasai apa yang
disebut Yauw-hu Sin-kun (Silat Sakti Siluman yang kabarnya merupakan ilmu silat
gabungan dengan sihir sehingga yang melatihnya dapat menjadi orang aneh”.
"Dan mereka adalah keluarga atau orang-orang yang dekat dengan si jahanam Lauw
Beng Si Tangan Halilintar. Sungguh berbahaya sekali keluarga itu. Akan tetapi mengapa
mereka tidak mau membunuh kita, bahkan melukai, melihat kesaktian mereka, tentu
dengan mudah mereka akan dapat membunuh atau melukai kita, paman?”. Lu Kiat
menggeleng-gelengkan kepala.
"Memang aneh sekali mereka itu. Melihat sikap mereka, apalagi ucapan nenek itu, mereka
adalah orang-orang yang liar, akan tetapi nyatanya mereka tidak mau
membuktikan bahwa mereka berdua bukanlah orang jahat, Lu Siong”.
"Akan tetapi, si tangan lilintar yang kejam itu, adalah cucu si nenek dan sahabat baik
Puteri Mancu tadi!”.
"Inilah yang membuat aku berpikir, Lu Siong. Seorang yang begitu kejam dan jahat tidak
mungkin mempunyai keluarga yang demikian baik hati dan pemaaf, bukan? Dan dua
orang wanita sakti yang memaafkan merupakan angggota keluarga begitu jahat seperti si
tangan halilintar, bukan?”.
"Mengaku? Maksud paman?”. "Ya, ku rasa ada benarnya kata-kata Puteri Mancu yang
jelita tadi. Siapa saja dapat mengaku bahwa dia Si Tangan Halilintar.
pembunuh dan pemerkosa itu. bahkan aku yang sudah bertanding melawannya.
"Ah, apakah paman bermaksud menghentikan usaha kita untuk melaporkan kepada Lamliong
Ma Giok tentang anak angkatnya yang jahat itu? Apakah kema
erinya tidak perlu di balas?”. "Bukan begitu, Lu Siong. Ku rasa tantangan puteri Mancu tadi
ada benarnya. Mari kita sambut tantangannya tadi. Kita cari bukti bahwa penjahat
pembunuh yang mengaku berjuluk Si Tangan Halilintar itu betul Lauw Beng adanya.
Sementara ini dalam laporan kita nanti kepada Lam-liong Ma Giok, kita hanya melapor
bahwa ada penjahat berlengan kiri buntung yang mengaku berjuluk Si Tangan Halilintar
dan pandai bersilat aliran Siauw-lim-pai.
Kita tidak perlu mengatakan dengan pasti
ng, anak angkat Lam-liong”. "Akan …..”
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 206
"Diapun hanya mengira-ngira saja, Lu Siong. Semua itu belum merupakan bukti nyata,
tepat seperti yang dikatakan puteri Mancu tadi. Bukan tidak mungkin ada seorang yang
juga buntung lengan kirinya dan lihai sekali, melakukan semua kejahatan itu dengan
menggunakan nama julukan Si Tangan Halilintar untuk menjatuhkan fitnah kepada Lauw
Beng itu. Tentu saja bukan mustahil bahwa penjahat itu benar-benar Lauw Beng.
Bagaimana pun juga, kita perlu melaporkan kepada Lam-liong Ma Giok karena ini
merupakan kewajibannya untuk menghukum kalau benar anak angkatnya itu yang
menjadi penjahat dan untuk membersihkan nama anak angkatnya kalau memang Lauw
Beng tidak melakukan kejahatan itu. Bagaimanapun juga, Lu Siong, kita adalah orangorang
yang selalu menegakkan kebenaran dan keadilan, dan selalu menentang kejahatan.
Engkau tidak ingin kalau kita melakukan balas dendam kematian su
"Tentu saja tidak, Paman! Setelah ku pertimbangkan, pendapat Paman itu benar sekali.
Baiklah, Paman, mari kita melanjutkan perjalanan dan selain melapor kepada Lam-liong
Ma Giok, kita menyelidiki siapa sebenarnya pelaku kejahatan itu, siapa yang
menggunakan julukan Si Tangan Halilintar itu, Lauw Beng ataukah orang lain”.
Paman dan keponakan itu lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju Thai-san.
*****
Di lereng dekat puncak pegunungan Liong-san terdapat sebuah perkampungan para
petani. Jumlah penduduk dusun itu tidak banyak, hanya sekitar lima puluh kepala
keluarga. Diantara rumah-rumah di dusun dekat puncak ini terdapat sebuah rumah besar,
paling besar di antara rumah-rumah di situ. Inilah rumah Lee Bun Si Muka Tengkorak,
orang yang termuda dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang berusia sekitar lima puluh dua
tahun akan tetapi dia tidak pernah menikah dan hidup sebagai seorang pertapa di dusun
dekat puncak itu. Seperti kita ketahui, orang pertama dan kedua dari Ciong-yang Ngotaihiap
(Lima Pendekar Besar Ciong-yang) telah tewas bersama isteri mereka di Souw-ciu
diserbu pasukan. Tiga orang anggota Ciong-yang Ngo-taihiap yang lain, yaitu orang ketiga
Ciang Hok Sen berusia lima puluh tujuh tahun juga tidak berkeluarga, dan orang ke empat
Bhe Kam berusia lima puluh lima tahun bersama isterinya dan puterinya Bhe Siu Cen
berusia dua puluh tahun, dan orang kelima Lee Bun, dapat lolos dari sergapan pasukan
pemerintah. Mereka semua lalu melarikan diri ke Liong-san dan kini tinggal bersama di
rumah Si Muka Tengkorak Lee Bun. Mereka pergi dan bersembunyi di tempat ini karena
mereka menjadi orang buruan pemerintah. Bersama mereka ikut pula Song Cin, pemuda
berusia dua puluh dua tahun putera mendiang Kiam-sian Song-kui.
Seperti kita ketahui, Bhe Siu Cen yang berusia dua puluh tahun, tadinya sudah di
tunangkan dengan Song Cun, kakak Song Cin. Akan tetapi kita ketika melihat Song Cin
membuntungi lengan Siauw Beng, hati Bhe Siu Cen memberontak dan ia menjadi benci
kepada Song Cun yang di anggapnya curang, pengecut dan kejam dan ia menyatakan
putus hubungan dengan Song Cun yang kemudian lari meninggalkan rombongan yang
mengungsi ke Liong-san itu.
Tiga orang kakak beradik seperguruan ini hidup tenang di dekat puncak Liong-san itu.
Mereka hidup sebagai petani, setiap hari bekerja di ladang, mandi sinar matahari dan
menghirup udara sejuk dan jernih, menikmati kehidupan yang serba tenang, tentram,
dimana tidak terdapat masalah, tidak terdapat kekerasan dan permusuhan seperti yang
pernah mereka alami ketika mereka hidup di dunia kang-ouw. Akan tetapi karena mereka
pendekar-pendekar yang tangguh, mereka tidak pernah dapat meninggalkan latihan ilmu
silat yang sudah mendarah daging dalam diri mereka. Juga di tempat yang indah ini, Song
Cin dan Bhe Siu Cen setiap hari berlatih silat di bawah bimbingan tiga orang pendekar itu.
Tidak keliru pendapat orang-orang tua bahwa cinta kasih tumbuh dari pergaulan yang erat.
Demikian pula dengan Bhe Siu Cen dan Song Cin. Bagi Song Cin memang sejak dulu ia
menaruh hati kepada Siu Cen. Akan tetapi tadinya Siu Cen telah di tunangkan kepada
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 207
Song Cun sehingga baik Song Cin maupun Siu Cen, tidak memiliki keinginan yang bukanbukan.
Song Cin berusaha menghilangkan rasa cintanya kepada gadis yang sudah
menjadi tunangan kakaknya itu. Sebaliknya Siu Cen juga tidak pernah memperhatikan
Song Cin karena dia merasa bahwa ia akan menjadi jodoh Song Cun, hal yang telah
disepakati keluarga kedua pihak.
Akan tetapi, Siu Cen memutuskan hubungannya dengan Song Cun karena ia benci
melihat watak tunangannya yang di anggapnya curang, pengecut dan kejam itu. Kini ia
tinggal di tempat sunyi dekat puncak Liong-san dan setiap hari ia bergaul dengan Song
Cin. Mulai tampaklah olehnya betapa watak Song Cin jauh lebih berbeda dibandingkan
watak Song Cun. Song Cin adalah seorang yang lembut, bijaksana, baik budi dan biarpun
dia tidak segagah Song Cun, namun pemuda ini juga tampan dan ilmu silatnya juga cukup
tangguh. Mulai tumbuh rasa cinta di hati gadis berusia dua puluh tahun itu.
Bhe Kim yang berjuluk Sin-touw (Copek Sakti), orang ke empat dari Ciong-yang Ngotaihiap
bersama isterinya melihat gejala ini. Mereka bersepakat untuk menjodohkan puteri
tunggal mereka dengan Song Cin karena Siu Cen sudah menyatakan putus dengan Song
Cun dan berkeras tidak mau dijodohkan dengan bekas tunangannya itu. Bhe Kam
mengajak suhengnya, Ciang Hu Seng dan sutenya, Lee Bun untuk berunding mengenai
keinginannya menjodohkan puterinya dengan Song Cin. Dua orang pendekar itu pun
menyatakan persetujuan mereka mengingat bahwa pertalian jodoh antara Siu Cen dan
Song Cun telah putus.
Demikianlah, pada suatu hari di adakan upacara pertunangan antara Siu Cen dan Song
Cin. Perjodohan antara mereka di tunda, menanti dua hal. Pertama, perkabungan Song
Cin sudah lewat, dan kedua Song Cun belum di beritahu lebih dulu tentang perjodohan
bekas tunangannya dengan adiknya itu.
Setelah mereka bertunangan, hubungan antara Song Cin dan Siu Cen menjadi semakin
akrab. Namun, keduanya saling menjaga sehingga betapa rindunya hati mereka namun
tetap menjaga jarak sehingga tidak akan melanggar tata susila. Dengan kasih sayang
yang suci murni terhadap satu sama lain, mereka berdua dapat saling menjaga keutuhan
kehormatan masing-masing dan kasih murni itu dapat mencegah mereka terseret oleh
nafsu birahi. Sebelum menikah, hubungan mereka harus merupakan hubungan antara
sahabat, atau antara saudara, tidak di kotori cinta nafsu berahi.
Pada suatu sore, Song Cin dan Siu Cen seperti biasa berlatih silat didalam taman bunga
yang mereka pelihara bersama sehingga merupakan taman bunga yang indah. Tiga orang
pendekar itu bercakap-cakap di ruangan depan. Ciang Hu Sen yang berusia lima puluh
tujuh tahun, kehilangan wataknya yang selalu gembira. Bhe Kam yang berusia lima puluh,
jubahnya masih kedodoran seperti dulu, dan Lee Bun yang berusia lima puluh tiga tahun
bertubuh tinggi kurus dan mukanya seperti tengkorak, maka ia di juluki Si Muka
Tengkorak.
"Melihat keakraban antara anakku dan Song Cin, aku berpendapat sebaiknya mereka
segera dinikahkan "kata Bhe Kam Si Copet Sakti kepada dua orang saudara seperguruan
itu. "Ciang-suheng, kuanggap dapat menjadi wali mewakili suheng Song Kui yang sudah
meninggal. Bagaimana pendapatmu, Suheng?”.
Ciang Hu Seng yang gemuk pendek itu tertawa senang. "He-he-he-he, pendapatmu itu
baik sekali. Aku akan dapat menikmati arak pengantin sebagai wali pengantin pria tentu
aku mendapatkan kehormatan pertama, ha-ha-ha!”.
"Aku setuju sekali, Bhe-suheng. Puterimu itu sudah berusia dua puluh tahun dan Song Cin
sudah berusia dua puluh dua tahun. Sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berumah
tangga dan yang penting lagi, kasihan kalau orang-orang muda seperti mereka harus
melewatkan masa mudanya di tempat sunyi ini. Setelah menikah mereka dapat turun
gunung, kembali ke Souw-Cin dan membentuk keluarga bahagia. Tentu masih ada
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 208
peninggalan keluarga Song di Souw-ciu, setidaknya para sahabat kedua suheng Song
tentu siap membantu Song Cin", kata Lee Bun.
"Akan tetapi bagaimanapun juga, perkabungan yang dilakukan Song Cin atas kematian
ayahnya haruslah penuh lebih dulu yang ku kira hanya tinggal dua bulan lagi”.
"Tentu saja hal itu sama sekali tidak boleh di langgar ", kata Bhe Kam dan tiga orang itu
selanjutnya bercakap-cakap sambil minum arak untuk mengusir hawa dingin yang mulai
menyelimuti dusun di dekat puncak itu.
Sementara itu, Song Cin dan Siu Cen selesai berlatih silat. Mereka lalu duduk mengaso di
atas bangku panjang dalam rumah itu, menghapus keringat yang membasahi leher dan
muka. Wajah Siu Cen tampak segar kemerahan dan rambutnya agak kusut, namun
semua itu menambah kecantikannya sehingga Song Cin yang duduk di sebelahnya
memandang dengan terpesona.
"Ih, Cin-ko (Kakak Cin), mengapa engkau memandangku seperti itu?”
"Seperti apa?” Song Cin tersenyum tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah
gadis itu, terutama kea rah mulutnya yang manis.
"Seperti …. Seperti …. Mata kucingku memandang aku sewaktu aku makan!”.
"Wah, memangnya aku ini kucing dan engkau …. Engkau …. "keduanya tertawa geli dan
gembira.
"Katakan terus terang, Cin-ko. Apa saja yang kau lihat kalau engkau memandang aku
seperti itu? Di antara kita harus jujur terbuka dan tidak ada yang menyimpan rahasia,
bukan?”.
"Cen-moi (Adik Cen), kalau aku berterus terang, engkau tentu tidak akan marah, bukan?
Dan engkau mau memaafkan aku kalau keterus-teranganku menyinggungmu dan
membuatmu tidak senang?”.
"Cin-ko, aku tidak percaya bahwa engkau akan begitu tega untuk menyinggung dan
membuat aku tidak senang. Katakanlah!”.
"Aku memandangmu dan melihat betapa engkau cantik jelita seperti seorang dewi, Cenmoi
dan semakin mendalam rasa cinta di dalam hatiku yang telah tumbuh sejak dulu,
sejak engkau dan aku masih remaja. Diam-diam aku mencintaimu, Cen-moi, hanya tentu
saja hal itu ku rasakan secara diam-diam. Engkau cantik jelita dan di dunia ini tidak
mungkin ada keduanya!”.
Wajah Siu Cen menjadi kemerahan, bibirnya terbuka dalam senyum dan matanya
bersinar-sinar, wanita mana yang tidak akan merasa bahagia sekali mendapatkan pujian
seperti itu? Apalagi kalau yang memuji itu tunangannya sendiri, pemuda yang juga di
cintainya.
"Aihh … koko, engkau terlalu memuji, jangan merayu …..!”.
"Sungguh mati, moi-moi, pujianku itu bukan sekedar merayu, bukan hanya di mulut,
melainkan timbul dari lubuk hatiku. Aku sudah jatuh kepadamu semenjak engkau remaja
dulu”.
"Hemm, kalau benar demikian, mengapa sejak dulu engkau diam-diam saja, Cin-ko?”.
"Tentu saja, Cen-moi. Aku takut menyatakan perasaan hatiku padamu. Bagiku, engkau
seperti bidadari kahyangan, bagaimana aku berani menyatakan cinta ku? Apalagi orang
tuaku memutuskan untuk menjodohkan kakak Song Cun denganmu yang di setujui orang
tuamu dan engkau bertunangan dengan Cun-ko, aku hanya berani memandang dan
mengagumimu dari jauh”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 209
"Aduh, kasihan engkau, Cin-ko ", kata Siu Cen sambil memegang tangan pemuda itu. jarijari
tangan mereka saling menggenggam dan meremas selama ini mereka hanya berani
menyatakan cinta dan kemesraan dengan saling mempertemukan jari-jari tangan mereka,
tidak berani berbuat lebih dari itu karena mereka tetap menjaga harga diri masing-masing
dan membatasi kesopanan.
"Maka, biarpun aku merasa kasihan kepada Cun-ko dan timbul harapanku ketika engkau
memutuskan hubunganmu dengan Cun-ko dan ternyata sekarang engkau menjadi calon
isteriku. Ceng-moi, apakah sebelum ini engkau tidak sedikitpun pernah memandang dan
memikirkan diriku?”
Siu Cen tersenyum. "Jangan kecewa kalau aku bicara terus terang, Cin-ko”.
"Tidak, aku bahkan akan merasa senang kalau engkau bicara terus terang, Cen-moi”.
"Begini, ketika remaja dulu, aku menganggap engkau dan Cun-ko hanya sebagai saudarasaudara
seperguruan, sama-sama keturunan anggota Ciong-yang Ngo-taihiap. Terus
terang saja aku merasa kagum kepadamu dan juga kepada Cun-ko. Sama sekali belum
ada perasaan cinta dalam hatiku, bahkan aku tidak mengerti dan apa dan bagaimana
perasaan cinta itu. Kemudian, engkau tahu bahwa orang tuamu dan orang tuaku
menyetujui untuk menjodohkan aku dengan Cun-ko. Aku tidak berani menolak dan setuju
saja, apalagi aku melihat bahwa Cun-ko adalah seorang pemuda yang baik dan gagah
perkasa. Dan tentu saja sebagai tunangan, aku mencoba untuk menumbuhkan cinta
kepada calon suamiku itu dan aku tidak berani memandang pria lain, termasuk engkau
yang ku anggap sebagai calon adikku. Akan tetapi …. Lalu terjadi peristiwa yang
menjijikkan itu. Ketika melihat Cun-ko bertindak begitu curang dan kejam terhadap Lauw
Beng, aku menjadi muak dan timbul kebencian di hatiku. Aku tidak sudi menjadi isteri
seorang laki-laki securang dan sekejam itu, maka kau langsung memutuskan hubungan.
nah, setelah kita tinggal di sini dan aku mengenalmu lebih baik ….. "Siu Cen tidak
melanjutkan ucapannya, menundukkan muka dengan malu-malu.
"Lalu bagaimana, moi-moi? lanjutkanlah dan katakan saja terus terang”.
"Lalu orang tuaku menjodohkan denganmu dan aku …… aku setuju ………”
"Hemmm, kalau begitu engkau menjadi calon isteriku karena hendak mentaati orang tua
saja? Sebetulnya tidak ada perasaan apapun dalam hatimu terhadap diriku? Tidak ada
cinta seperti aku mencintaimu?”.
"Hushhh …. "Siu Cen menggerakkan tangan dan jari-jari tangannya menutup mulut Song
Cin. "Jangan berkata begitu, Cin-ko”.
"Katakanlah bahwa engkau juga mencintaku, Cen-moi”.
"Aih, mengapa engkau belum juga percaya kepadaku? Apakah sikapku selama ini masih
kurang menyakinkan? Baiklah kalau engkau menghendaki, Cin-ko. Aku …. Cinta
kepadamu. nah, puaskah engkau? Kalau aku tidak mencintaimu apa kau kira aku mau di
jodohkan dengamu?”.
"Cen-moi …. ! "saking girang hatinya, Song Cin merangkul. Akan tetapi Siu Cen
menghindar dan menggeser duduknya, menangkap kedua tangan pemuda itu sehingga
tentu saja Song Cin tidak dapat merangkulnya.
"Eh, Cen-moi? Mengapa engkau menolak? Kita saling mencinta, bahkan kita sudah
bertunangan, mengapa engkau selalu menghindar apabila aku hendak memelukmu?
Bukankah hal itu hanya merupakan pelepasan rasa rindu dan cinta kita?”.
"Engkau benar, Cin-ko. Akan tetapi bagaimanapun juga, kita ini terkurung oleh tata susila
yang sudah diterima masyarakat sehingga tidak dapat bebas begitu saja melakukan apa
yang kita rasakan. Biarpun kita menganggap hal itu tidak apa-apa dan pantas, namun
karena telah menjadi hokum yang diterima masyarakat bahwa itu tidak benar, terpaksa
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 210
kita juga harus menyesuaikan diri. Maka, kita harus mampu menahan dorongan hati kita
sendiri, Cin-ko”.
Song Cin menghela napas panjang dan dia menggunakan jari-jari tangannya untuk
membelai tangan tunangannya. "Aku tahu mengapa cumbu dan belaian antara dua orang
yang belum menikah di anggap tidak pantas, Cen-moi. Memang harus diakui bahwa
perbuatan itu mendatangkan rangsangan birahi dan kalau batin tidak kuat dapat menjurus
kea rah hal-hal yang melanggar kesusilaan. Baiklah, aku tidak kecewa, bahkan bangga
sekali bahwa engkau dapat mengendalikan diri, dan maafkan aku tadi yang menuntut lebih
daripada apa yang sepantasnya kau lakukan”.
"Aku girang engkau dapat mengerti, Cin-ko. Mari, kita pergi mandi, sebentar lagi aku harus
membantu di dapur menyiapkan makan malam”.
Dua orang ini bergandeng tangan meninggalkan taman dan memasuki rumah melalui
pintu belakang. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada sepasang mata yang
memandang mereka dengan sinar mata berkilat penuh cemburu dan kemarahan.
Malam itu gelap sekali. Hujan yang turun membuat udara menjadi sangat dingin sehingga
semua orang yang tinggal di dusun-dusun di sekitar Pegunungan Liong-san lebih suka
mengeram dalam kamar yang lebih hangat.
Juga semua penghuni rumah Lee Bun lebih suka berada dalam kamar masing-masing
setelah mereka makan malam. Mereka semua merasa tenang dan tentram karena mereka
yakin bahwa tidak ada seorangpun yang akan berani mengganggu rumah tempat tinggal
mereka, rumah yang cukup besar dengan pekarangan dan taman yang luas. Pemilik
rumah itu adalah lee Bun, orang kelima dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang terkenal sebagai
pendekar-pendekar lihai dan juga sebagai patriot-patriot yang penuh semangat. Lee Bun
terkenal dengan pedang hitamnya dan ia tidak pernah berkeluarga, hidup sebatang kara
sebagai seorang pertapa perantauan. Pada waktu itu, setelah perjuangan mereka
menentang pemerintah Mancu gagal dan dan dua orang yang pertama dan kedua, kakak
beradik Song, tewas oleh pasukan pemerintah penjajah Mancu, tiga orang sisa dari Ciongyang
Ngo-taihiap berkumpul dan tinggal di dusun dekat puncak Liong-san untuk
menghindarkan pengejaran pasukan Kerajaan Mancu. Mereka semua tinggal mondok di
rumah Lee Bun yang besar.
Selain tuan rumah Lee Bun yang lihai, di situ tinggal pula Bhe Kam, orang ke empat dari
Ngo-taihiap (Lima Pendekar Besar) yang dikenal sebagai Sin-touw ( Malaikat Copet), juga
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia tinggal mondok bersama isteri dan seorang puterinya,
yaitu Bhe Siu Cen yang juga merupakan seorang gadis pendekar yang lihai.
Terdapat pula di rumah itu Ciang Hu Seng, orang ke tiga dari Ngo-taihiap yang
mempunyai tingkat kepandaian lebih tinggi daripada Bhe Kam atau Lee Bun.
Selain empat orang lihai ini, disitu terdapat pula Song Cin, putera mendiang Song Kwan
yang berjuluk Kiam-sian (Dewa Pedang), orang kedua dari Lima Pendekar itu. Pemuda ini
juga cukup lihai.
Lima orang yang lihai ilmu silatnya tinggal di rumah besar itu. Siapa yang akan berani
mengganggu? Mengganggu rumah itu sama dengan mengusik sarang harimau!.
Akan tetapi, ketika semua orang penghuni rumah itu tertidur pulas karena malam telah
larut, sudah lewat tengah malam, ada bayangan berkelebat di atas genteng tidak
menimbulkan suara. Ini menunjukkan bahwa gin-kang (ilmu meringankan tubuh) orang itu
memang sudah tinggi tingkatnya.
Tak lama kemudian, bayangan hitam itu telah bergerak menyelinap di dalam rumah itu
dan berhenti di luar jendela kamar tidur Bhe Siu Cen. Dia mengeluarkan sebatang hio-swa
(dupa lidi) dan membakar ujungnya. Tercium bau harum setelah ujung hio-swa terbakar.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 211
Cepat dia memasukkan benda itu melalui celah-celah jendela sehingga asap hio-swa itu
mengepul dalam kamar.
Bayangan itu mendekam di bawah jendela. Setelah menanti beberapa lama sampai hioswa
yang ujungnya membara mengeluarkan asap itu terbakar habis, dia lalu
mengeluarkan dua buah butir pil dan memasukkannya ke mulut. Lalu dengan sedikit
pengerahan tenaga, dia sudah dapat membuka paksa daun jendela, melompat masuk dan
menutupkan lagi daun jendela. Bau harum memenuhi kamar itu. Dengan tenangnya,
bayangan hitam itu menyalakan sebatang lilin kecil di atas meja sehingga kamar itu tidak
gelap sekali, di terangi nyala lilin yang remang-remang. Lalu dihampirinya pembaringan
yang tertutup kelambu. Ketika ia menyingkap kelambu, tampak Siu Cen tidur telentang
dalam keadaan pulas. Bayangan itu tersenyum. Dupa lidi yang asapnya mengandung
racun pembius yang amat kuat itu ternyata telah bekerja dengan baik.
Untuk mendapat keyakinan, dia menguncang-guncang pundak gadis itu, namun Siu Cen
tidak terbangun seperti dalam keadaan pingsan. Bayangan hitam itu tersenyum senang
dan melanjutkan perbuatannya yang telah di rencanakannya sejak sore tadi, tanpa
gangguan karena selain seisi rumah telah tidur nyenyak, juga Siu Cen sendiri dalam
keadaan tidur pulas oleh pembius itu.
Menjelang pagi, setelah Siu Cen mengeluh dan menggerakkan tubuhnya, barulah si
bayangan hitam itu turun dari pembaringan. Siu Cen terkejut sekali. Nalurinya yang tajam
tidak terpengaruh pembius lagi yang sudah mulai meninggalkannya. Ia tahu bahwa ada
sesuatu yang tidak wajar terjadi. ia cepat menyingkap kelambu dan melompat turun dari
atas pembaringan. Akan tetapi ia menjerit ketika mendapat kenyataan bahwa dirinya tidak
berpakaian! Cepat ia menyambar selimut untuk menyelimuti tubuhnya dan pada saat itu,
ia melihat bayangan hitam melompat ke atas kosen jendela. Lilin kecil di atas meja masih
menyala dan dalam cuaca yang remang-remang itu Siu Cen melihat seorang laki-laki yang
masih muda dan yang mendatangkan kesan adalah bahwa laki-laki itu buntung lengan
kirinya! Lengan baju kiri itu menggelantung kosong, jelas nampak bahwa lengan kirinya
telah buntung.
"kau … kau …. Siauw Beng ….!” seru Siu Cen. Laki-laki itu tertawa dan sekali berkelebat
tubuhnya lenyap dari situ.
"Siu Cen hendak mengejar, akan tetapi teringat bahwa ia telanjang. Maka cepat
ditanggalkannya selimutnya dan ia memakai pakaiannya yang berserakan di atas tempat
tidur. Pada saat itu baru ia mendapat kenyataan yang membuat ia terkejut dan iapun
menangis tersedu-sedu, menelungkup di atas pembaringannya. Ia telah diperkosa orang !
Ia menjerit dan menangis oleh kenyataan yang amat mengguncang batinnya itu.
Jerit tangis Siu Cen membangunkan semua penghuni rumah. Empat orang laki-laki yang
kesemuanya ahli-ahli silat yang tangguh, segera berlompatan keluar dari kamarnya dan
dengan cepat mereka berdatangan ke depan kamar Siu Cen karena dari kamar itulah
keluarnya jerit tangis itu.
"Siu Cen, apa yang terjadi?” teriak Bhe Kam sambil mengetuk-ngetuk daun pintu kamar
puterinya.
Tidak ada jawaban, hanya tangis mengguguk yang terdengar.
"Cen-moi …. Bukalah pintunya …. !!!” Song Cin juga mengetuk dan dia merasa khawatir
sekali.
"Siu Cen, kalau tidak segera kau buka, akan ku jebol daun pintu ini!” kata Lee Bun.
Akan tetapi tetap saja pintu tidak buka bahkan tangis itu semakin mengguguk.
"Kita buka pintu ini dengan paksa!” kata Lee Bun dan mendengar ini, Bhe Kam dan Song
Cin yang sudah tidak sabar lagi lalu mendorong daun pintu.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 212
"Brakkk …!” Daun pintu terbuka dan semua orang menyerbu masuk.
"Siu Cen, apakah yang terjadi?” Bhe Kam menghampiri pembaringan dimana gadis itu
rebah menelungkup sambil membenamkan mukanya di bantal dan menangis.
Lee Bun lalu menyalakan sebatang lilin besar sehingga keadaan di dalam kamar itu
menjadi terang. Kini semua orang melihat daun jendela yang terbuka dan hidung mereka
mencium bau harus yang di tinggalkan asap pembius yang sudah meninggalkan kamar
itu.
"Ceng-moi, mengapa engkau menangis ….?” Song Cin menghampiri pembaringan dan
hendak menyentuh pundak gadis itu. Akan tetapi ia melihat bercak darah pada tilam
pembaringan yang awut-awutan itu. Tiba-tiba Bhe Kam memegang lengan Song Cin dan
menariknya menjauh dari pembaringan.
Pada saat itu, Nyonya Bhe berlari memasuki kamar. "Siu Cen, ada apakah, anakku …..?”
Nyonya itu segera menubruk anaknya. Akan tetapi, Ciang Hu Seng yang gemuk pendek
itu tiba-tiba sudah melompat ke arah jendela dan keluar diikuti oleh Lee Bun. Dua orang
pendekar tua ini sudah dapat menduga apa yang terjadi dan mereka berusaha untuk
melakukan pengejaran. Akan tetapi setelah tiba di atas, mereka tidak melihat bayangan
orang, maka mereka turun dan kembali ke kamar Siu Cen.
Siu Cen sudah duduk di atas tempat tidur, di rangkul ibunya. Song Cin terduduk di atas
kursi, kepalanya menunduk sampai dagunya menempel leher. Bhe Kam mengerutkan alis
dan ketika Ciang Hu Seng dan Lee Bun memasuki kamar, dia sedang bertanya.
"Siu Cen, hayo katakan apa yang terjadi ! Kamar ini bau keharuman aneh, mungkin obat
bius dan engkau ….. hayo katakan apa yang terjadi semalam?”.
Siu Cen menahan isaknya, mengangkat muka dan memandang kea rah Song Cin yang
duduk di atas kursi di sudut kamar.
"…… Cin-ko ….. maafkan … aku ….. "dan iapun menangis lagi, terkulai lemas dalam
rangkulan ibunya.
"Siu Cen, beginikah sikap seorang yang gagah? Hayo, katakan, siapa yang telah
melakukan kekejian terkutuk ini!” bentak Bhe Kam lagi, mukanya merah sekali karena
marah.
Gadis itu kembali memandang kepada Song Cin. Pemuda itu pun memandangnya. Dia
tahu bahwa gadis itu merasa berat untuk bercerita karena kehadirannya, maka ia lalu
bangkit berdiri dan melangkah hendak keluar dari kamar itu.
"…… Cin-ko …. Jangan pergi …. ! Engkau berhak mengetahui …. Engkau harus
mendengar …. "tiba-tiba Siu Cen berkata dan seolah timbul tenaga baru dalam dirinya.
Isaknya terhenti dan biarpun air matanya masih berderai, ia dapat bicara dengan jelas.
"Ayah, Ibu, Paman Ciang dan Paman Lee, juga Cin-ko, ketahuilah bahwa ada seseorang
semalam telah … menodaiku! Dia memperkosaku selagi aku dalam keadaan terbius dan
tidak ingat apa-apa ….. “
Semua orang tidak merasa kaget karena semua sudah menduga akan kejadian itu.
"Kami tahu, akan tetapi siapa yang melakukan ini? Hayo ceritakan!” Bhe Kam yang marah
sekali membentak lagi.
"Baru saja, ketika aku terbangun, aku melihat bayangan melompat dan berdiri di kosen
jendela itu. Dia tidak bicara, juga wajahnya tidak dapat kulihat jelas karena cuaca hanya
remang-remang dan gelap, akan tetapi yang jelas sekali dia …. Lengannya …. Lengan
kirinya buntung …..”.
"Lauw Beng …..!” teriak Song Cin. "Keparat, jahanam ! Dia itu Lauw Beng, bukan?” Tanya
Bhe Kam kepada puterinya.
"Aku pun mengira demikian dan kuteriaki nama Siauw Beng. Akan tetapi dia tidak
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 213
menjawab dan melompat pergi. Aku tidak dapat mengejar karena aku ….. aku … harus
berpakaian dulu …. “
"Jahanam ! Kurang ajar anak itu. Agaknya dia membalas dendam karena kita
menghajarnya dulu", kata Lee Bun.
"Ya, sudah jelas dia orangnya. Selain bukti bahwa pelakunya berlengan kiri buntung, juga
besar alasannya yang mendorong dia melakukan perbuatan terkutuk itu.
Tentu dia membalas dendam karena lengannya juga dibuntungi ", kata Ciang Hu Seng.
Song Cin juga marah, akan tetapi pemuda itu diam-diam merasa sangsi.
"Akan tetapi para susiok (paman guru), kalau benar Siauw Beng yang melakukan,
mengapa ia membalas dendam kepada Cen-moi? Cen-moi tidak bersalah apapun
terhadap dia”.
"Hemm, orang yang sudah bergaul akrab dengan seorang Puteri Penjajah Mancu, mana
mungkin pantang melakukan segala kejahatan? Tentu dia telah menjadi penjahat cabul
pula dan dia hendak menghancurkan perasaan kita dengan perbuatannya terhadap Siu
Cen!”.
Sementara itu, Siu Cen sudah menangis lagi dalam rangkulan ibunya yang juga menangis.
"Kita harus bertindak ! Kita harus cari jahanam itu dan membunuhnya!” kata Bhe Kam
sambil mengepal kedua tangannya.
"Tenanglah, Sute (adik seperguruan), kita harus membicarakan hal ini dengan kepala
dingin agar dapat diambil tindakan yang tepat. Mari kita biarkan Siu Cen bersama ibunya
dan kita bicarakan soal ini ", kata Song Cin keluar dari kamar Siu Cen yang masih
menangis dalam rangkulan ibunya.
"Sudah, hentikan tangismu, anakku. ayahmu pasti akan membalaskan sakit hati ini!”.
"Ibu, bagaimana aku dapat berhadapan dengan Sin-ko? Setelah terjadi peristiwa dengan
diriku ini, apakah Sin-ko masih mau melanjutkan perjodohan ini? Ah, ibu dia tentu akan
memandangku dengan hina, menganggap aku kotor …. Ah lebih baik mati saja daripada
begini, ibu …..”.
Nyonya Bhe menguatkan hatinya. Sebagai seorang wanita, iapun tahu benar bahwa pada
umumnya, seorang wanita yang sudah bukan perawan lagi akan dicemooh dan di anggap
rendah oleh laki-laki! Akan tetapi demi membesarkan hati puterinya ia berkata, "aku kira
Song Cin bukan laki-laki seperti itu, anakku. Biarpun masih muda, dia bersikap bijaksana.
Aku yang akan bicara dengannya, Siu Cen dan aku yang akan menjelaskan bahwa
engkau tidak melakukan kesalahan apapun. Peristiwa ini merupakan kecelakaan, suatu
perkosaan, sama sekali tidak mencemarkan kehormatanmu sebagai wanita!”.
Nyonya Bhe maklum bahwa apa yang dikatakannya itu sebetulnya berlawanan dengan isi
hatinya. ia tahu benar bahwa pada umumnya, kaum pria memandang keperawanan
seorang wanita sebagai sesuatu yang suci, sesuatu yang amat berharga, sesuatu yang
menjadi syarat mutlak bagi seorang calon isteri.
Ucapan ibunya itu setidaknya menghibur hati Siu Cen. "Ibu …. Benar … benarkah itu
……..?”.
"Tentu saja ibu benar, Nak. Sekarang mandilah, bertukarlah pakaian dan keluarlah dari
kamar seperti biasa. Urusan ini hanya di ketahui oleh anggota keluarga saja, jangan
sampai diketahui orang lain”.
Siu Cen merasa terhibur dan timbul harapan baru dalam hatinya. Ia lalu pergi mandi dan
Nyonya Bhe menyusul suaminya yang sedang berunding dengan Ciang Hu Seng, Lee
Bun dan Song Cin.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 214
Tiga orang sisa anggota Lima Pendekar Besar itu merasa yakin bahwa pelaku jahanam itu
pastilah Lauw Beng, putera mendiang Lauw Heng San yang pernah menjadi antek
penjajah Mancu. Apalagi Lauw Beng mendatangkan perasaan benci dalam hati mereka
karena pemuda itu bergaul akrab dengan Puteri Mayani, puteri seorang Pangeran Mancu
dari kota raja! Dan lebih dari itu, Lauw Beng ini yang menjadi biang keladi sehingga dua
orang rekan mereka yang tertua, yaitu Song Kwan dan Song Kui tewas dikeroyok perajurit
Mancu. Kini, Siu Cen diperkosa orang dan sungguhpun Siu Cen tidak dapat melihat wajah
pemerkosanya karena gelap, namun bukti lengan kiri yang buntung, membuat mereka
yakin bahwa pemerkosanya tentu Lauw Beng yang buntung lengan kirinya!.
Setelah merundingkan dan mempertimbangkan dari segala sudut pandangan, Ciang Hu
Seng berkata, "Tak dapat diragukan lagi, Lauw Beng yang melakukan perbuatan biadab
ini! Persoalannya sekarang apa yang harus kita lakukan?”.
"Apalagi yang harus kita lakukan kecuali mencari dan membunuh keparat itu?” kata Bhe
Kam yang marah dan merasa sakit hati sekali mengingat apa yang menimpa diri anak
tunggalnya.
"Bhe-sute, kita harus ingat bahwa Lauw Beng memiliki ilmu kepandaian yang tinggi",
bantah Ciang Hu Seng.
"Kami tidak takut!” seru Lee Bun. "Kami akan maju berempat dan tentu akan dapat
membunuhnya!”.
Ciang Hu Seng tertawa. Hanya sebentar dia tadi terpengaruh peristiwa yang menimpa diri
murid keponakannya, akan tetapi sekarang dia sudah pulih dan tenang kembali sehingga
muncul tawanya yang memang selalu berada di mulutnya. "Ha-ha, aku juga tidak takut
Lee-sute. Aku hanya memperhitungkan dan bersikap hati-hati. Apa artinya kalau kita maju
bersama kemudian gagal? Kita tidak boleh hanya mengandalkan keberanian, akan tetapi
harus memakai perhitungan. Ingat, perjuangan kita menentang penjajah Mancu juga
mengalami kegagalan karena kita hanya mengandalkan keberanian tanpa perhitungan
matang. Keberanian tanpa perhitungan hanya merupakan kenekatan yang ngawur. Selain
itu, harus diingat bahwa disana ada Lam-liong (Naga Selatan) Ma Tai-hiap yang menjadi
ayah angkat dan guru Lauw Beng. Juga ada Siuw lim pai karena Lauw Beng sudah di
anggap sebagai murid Siauw lim pai. Kalian tentu tidak suka kalau sampai terjadi kesalahpahaman
dan bentrok dengan Ma Tai-hiap dan Siauw-lim-pai”.
"Hemmm, Ciang-suheng, kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?” Tanya Bhe Kam
penasaran karena tentu saja dia tidak mau menghentikan keinginannya untuk membalas
dendam kepada pemerkosa puterinya.
"Itulah yang harus kita pikirkan sekarang, yakni mengambil cara yang terbaik. "Song Cin,
mengapa engkau diam saja sejak tadi? Bagaimana menurut pendapatmu?” Ciang Hu
Seng bertanya kepada pemuda yang sejak tadi hanya diam saja seperti orang bingung.
"Saya hanya menurut saja apa yang sam-wi Su-siok (Paman guru bertiga) putuskan",
katanya.
"Sekarang begini saja. Agar tidak salah paham dengan Lam-liong Ma Giok dan Siauw-limpai,
juga agar kedudukan kita lebih kuat sehingga tidak akan gagal menghukum si jahat
Lauw Beng, sebaiknya kita bersama pergi melapor ke Siauw-lim-pai dan kepada Ma
Taihiap untuk minta pertanggung jawabnya. Bagaimana pendapat kalian?”.
Semua menyatakan setuju dan demikianlah, pada keesokan harinya, empat orang itu
berangkat meninggalkan puncak Liong-San. Song Cin merasa agak gelisah karena sejak
malam tadi, Siu Cen tidak pernah menampakan diri. Bahkan Bhe Kam dan isterinya
memasuki kamarnya dan minta agar ia keluar karena semua orang akan pergi, gadis itu
menolak. Ia hanya menggelengkan kepala dan mengerutkan alisnya.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 215
Ia tidak menangis lagi, akan tetapi wajahnya membayangkan kesedihan luar biasa.
Melihat keadaan anaknya ini, Bhe Kam hanya menghela napas panjang dan memesan
kepada isterinya agar dapat menghibur anak mereka dan menjaga agar anak mereka tidak
melakukan hal yang bukan-bukan, misalnya membunuh diri.
Setelah mereka semua pergi, Siu Cen didekati ibunya dan dihibur, dengan suara gemetar
ibunya berkata, "Siu Cen, jangan engkau terlalu tenggelam kedalam kesedihan. Ayahmu
tadi khawatir kalau-kalau engkau mengambil keputusan pendek untuk membunuh diri.
jangan, anakku ……”.
"Tidak, Ibu. Aku tidak ingin mati sebelum melihat jahanam itu dihukum berat atas
kekejiannya terhadap diriku.
Kalau semua orang gagal menghukumnya, aku sendiri yang akan pergi mencari dan
membalas dendam ini. Aku hanya bersedih membayangkan bagaimana sikap Cin-ko
sekarang terhadap diriku ………..”.
"Tidak perlu disedihkan, Siu Cen. Kalau dia mengubah sikapnya, di dunia ini bukan
selebar telapak tangan. Kita anggap saja dia bukan jodohmu ! Sebagai puteri pendekar
yang gagah perkasa, engkau sama sekali tidak patut kalau berputus asa dan berkecil hati,
kehilangan semangat. Nah, minumlah obat ini. Sengaja kubuatkan untukmu”.
Melihat semangkok obat rebusan berwama kehitaman itu, Siu Cen memandang ibunya
dengan heran. "Ibu, obat apakah itu? Kesehatanku baik-baik saja, tidak perlu minum
obat”.
"Untuk pencegahan, Siu Cen. Jahanam keparat itu telah menodaimu, obat ini untuk
mencegah akibatnya”.
"Maksud ibu …. Aku … aku akan hamil ….?”.
"Kalau tidak diberi obat pencegah ini, ada kemungkinannya, Siu Cen, walaupun
kemungkinan itu kecil sekali. Akan tetapi obat ini akan membersihkan semua kekotoran
ini”.
Mendengar ucapan ini, cepat-cepat Siu Cen mengambil cawan dan meminumnya sampai
habis. Barulah tenang rasa hatinya ketika ia merasa betapa perutnya terasa panas
disebelah dalam.
"baiklah ibu. Aku akan menenangkan hatiku. Ibu benar. Kalau Cin-ko mengubah sikapnya
berarti diapun picik seperti semua laki-laki yang selalu merendahkan kaum perempuan”.
Mulai saat itu, Siu Cen benar-benar telah pulih kembali hatinya, mulai dapat
membebaskan diri dari tekanan. Iapun semakin tekun berlatih silat.
****
Lauw Beng bersembahyang di depan makam mendiang Lauw Heng San, ayah
kandungnya. Makam itu berada di kota Keng-koan, di tanah kuburan umum yang
keadaannya menyedihkan, tidak terawatt. Masih untung bagi Lauw Beng, makam itu
mempunyai batu nisan yang ada ukiran nama ayahnya itu sehingga dia dapat
menemukannya. Tadi bersama Ai Yin, dia membeli perabot sembahyang di kota Kengkoan
dan kini dia bersembahyang memasang hio-swa (dupa lidi), ditemani Ai Yin yang
juga bersembahyang.
Setelah bersembahyang dan membersihkan makam itu, mencabuti rumput liar, Lauw
Beng duduk di depan makam, bersila dan termenung. Ai Yin duduk didekatnya dan
menatap wajah pemuda itu yang menunduk. Semilir angin mendatangkan udara sejuk
dipagi itu.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 216
"Hai, Siauw Beng, melamun, ya? Diam saja sejak tadi! Apakah kau bersedih mengingat
ayahmu?”
Lauw Beng yang biasa disebut Siauw Beng (Beng kecil) itu, memandang kepada Ai Yin
dan tersenyum. "Tidak, Ai Yin. Aku tidak sedih memikirkan ayahku. Aku belum pernah
melihat ayahku, belum pernah melihat ibuku”.
"Engkau sudah berkunjung ke makam ibumu?”.
"Sudah pernah satu kali. Makam ibuku terletak disebuah dusun di kaki bukit”.
"Lalu mengapa kau termenung sejak tadi seakan-akan lupa bahwa aku berada di sini?”.
"Kalau aku duduk di depan makam ini aku teringat betapa ayah dan ibuku, juga semua
manusia lain di dunia ini, yang selagi hidupnya melakukan bermacam-macam perbuatan,
pada akhirnya hanya menjadi gundukan tanah yang sunyi dan ditinggalkan sendiri. Apa
artinya menjadi kaya atau miskin, berkuasa atau tidak, gagah perkasa atau lemah?
Akhirnya sama juga, menjadi tanah dan tidak diperhatikan lagi, mungkin hanya setahun
sekali atau dua kali di kunjungi sanak keluarga, lalu di tinggalkan lagi sepi sendiri ….. ahh,
apa gunanya semuanya dalam hidup ini kalau akhirnya hanya menjadi timbunan tanah
terlantar seperti ini?”.
"Aih, Siauw Beng, jangan teruskan! Jangan bicara tentang kematian dan dikuburkan,
ditinggalkan sendiri. Aku menjadi ngeri!”.
"Hemmm, ini masih belum, Ai Yin. badan ini di kubur, di injak-injak, menjadi busuk dan
hancur. Dan jiwa ini diseret ke dalam neraka yang katanya penuh dengan siksaan, penuh
derita ….”.
"Aih, sudahlah, Siauw Beng ! Aku menjadi takut ! Takut mati ….!” Gadis itu berteriak.
"Yang penting bukan memikirkan sesudah mati, akan tetapi memikirkan selagi masih
hidup ini kita harus bagaimana? Apa sih sebenarnya tujuan hidup ini?”.
Lauw Beng tersenyum memandang wajah yang cantik dan manja kekanak-kanankan itu
ketika memandang dan tampak begitu ingin memperoleh jawaban.
"Kalau ditanyakan kepada kita, tentu saja kita dilahirkan ini tanpa tujuan pribadi masingmasing.
Berpikirpun kita ini belum mampu ketika di lahirkan, bagaimana kita dapat
mempunyai tujuan? Yang mempunyai tujuan akan kehidupan kita tentu saja yang
menciptakan kita, yang membuat kita hidup dan terlahir di dunia ini sebagai manusia.
kalau kehendak Thian (Tuhan) itu dapat kita namakan tujuan, sungguhpun semua rencana
Thian merupakan rahasia bagi kita, namun Thian itu Maha Baik, karena itu tujuannya
terhadap kita tentu saja juga baik!
Thian membuat kita terlahir di dunia dengan segala perlengkapan yang ada pada kita.
Kiranya tidak terlalu salah kalau dikatakan bahwa tujuan Thian tentu saja agar kita
melaksanakan tugas kita membantu pekerjaan-Nya, agar kita menjadi Alat-Nya. Thian
mengatur dan memelihara segala sesuatu di alam maya pada ini agar baik dan benar,
memberkati seluruh dunia seisinya melalui angin, air, sinar matahari, tanah dan tumbuhtumbuhan.
Juga melalui kita manusia. Tugas kitalah untuk melaksanakan atau
menyalurkan berkat Thian itu kepada seluruh isi alam, terutama kepada manusia, kepada
semua mahluk hidup, kepada alam. Kalau kita merusak segalanya itu dengan perbuatan
yang jahat demi memenuhi keinginan kita sendiri, demi kesenangan kita sendiri yang
dikendalikan nafsu, berarti kita menentang rencana, tujuan, atau kehendak-Nya”.
"Hemm, jadi kesimpulannya, tujuan kita dihidupkan sebagai manusia di dunia ini, agar kita
hidup melaksanakan kebaikan, kebenaran dan keadilan, begitu? Dan kalau kita
melakukan yang sebaliknya, yaitu melakukan kejahatan berarti kita merusak rencana
Thian?”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 217
"Kurang lebih begitulah. Thian itu Maha Kuasa, akan tetapi juga Maha Kasih sehingga Dia
memberi kebebasan kepada kita untuk memilih. Menjadi manusia bajik yang menjadi alat
Thian ataukah menjadi manusia jahat yang menjadi alat Setan”.
Ai Yin menghela napas panjang. "Ayahku seringkali bicara seperti engkau ini. Agaknya
semua orang juga tahu akan kebajikan dan kejahatan. Akan tetapi mengapa di dunia ini
lebih banyak orang yang jahat daripada yang baik. Jarang aku bertemu orang yang baik
budi, akan tetapi terlalu sering aku bertemu orang-orang yang jahat”.
"Memang patut disayangkan, akan tetapi sesungguhnya memang demikian, Ai Yin. Akan
tetapi hal itu tidak aneh. Setan memang menggunakan umpan yang serba enak dan
nikmat sehingga lebih banyak manusia yang terpancing melakukan kejahatan demi
memperoleh kenikmatan, kesenangan yang serba enak”.
Karena asyik bicara, dua orang ini sama sekali tidak tahu bahwa ada tujuh orang laki-laki
yang mengintai mereka dari luar tanah kuburan. Kemudian, tujuh orang itu saling berbisikbisik
dan ketika mereka memasuki tanah kuburan menghampiri dua orang muda yang
duduk di bagian tengah tanah kuburan, barulah Siauw Beng dan Ai Yin mengetahui
bahwa ada orang-orang datang menuju ke tempat mereka.
Akan tetapi tempat itu merupakan kuburan umum. Mereka mengira bahwa tujuh orang itu
tentu akan mengunjungi makam sanak keluarga mereka masing-masing. Siauw Beng dan
Ai Yin hanya tertarik karena melihat betapa tujuh orang itu membawa pedang yang
tergantung di punggung masing-masing. Pada waktu itu, Pemerintah Mancu melarang
rakyat membawa senjata dan akan merampas senjata yang dibawa orang, maka pada
umumnya orang tidak berani membawa pedang. Yang berani membawa senjata adalah
mereka yang menentang penjajah itu, dan inipun sebagian besar menyembunyikan
senjata mereka, tidak dibawa terang-terangan. Maka, mereka berdua dapat menduga
bahwa tujuh orang yang memasuki tanah kuburan itu pastilah para pendekar yang
menentang Kerajaan Ceng, yaitu nama Kerajaan yang didirikan Bangsa Mancu sejak
mereka menguasai Cina dalam tahun 1645. Maka, ketika tujuh orang itu ternyata
menghampiri mereka, Siauw Beng dan Ai Yin merasa heran dan mereka segera bangkit
berdiri.
Tujuh orang itu kini berdiri berhadapan dengan Siuw Beng dan Ai Yin, mata mereka
ditujukan kepada Siauw Beng, terutama pada lengan kirinya yang buntung. Siauw Beng
dan Ai Yin mengamati tujuh orang itu. Mereka berusia antara empat puluh sampai lima
puluh tahun dan dari pakaian mereka yang ringkas itu mudah diketahui bahwa mereka
adalah orang-orang yang pandai dalam ilmu silat atau orang-orang kang-ouw ( sungai
telaga, dunia persilatan).
Seorang diantara mereka, yang matanya sipit wajahnya pucat dan jenggotnya panjang
beruban, agaknya yang paling tua dan berusia sekitar lima puluh dua tahun, berkata
dengan suara penuh wibawa.
"Orang muda, apakah engkau yang dijuluki Si Tangan Halilintar?”.
Siauw Beng tidak segera menjawab karena sebetulnya dia merasa sungkan untuk
mengakui sendiri bahwa dia adalah Si Tangan Halilintar, julukan yang mengandung sikap
pamer. Akan tetapi melihat Siauw Beng tidak segera menjawab, Ai Yin sudah
mendahuluinya.
"Tepat sekali ! Dia inilah yang berjuluk Si Tangan Halilintar yang terkenal sakti, bijaksana
dan budiman!”.
"Ai Yin ……!” Siauw Beng menegur temannya karena dia tidak ingin namanya dipuji-puji
seperti itu. Akan tetapi tujuh orang itu mengerutkan alis dan mengira bahwa pemuda yang
buntung lengan kirinya itu mencegah nama julukannya di perkenalkan karena takut dan
merasa bersalah!.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 218
"Hemmm, bagus sekali, akhirnya kami dapat menemukan engkau, penjahat muda yang
kejam dan seperti iblis! Menyerahlah untuk kami tangkap dan kami hadapkan ke
pengadilan untuk memberi hukuman setimpal dengan kejahatan-kejahatan yang kau
lakukan!”.
"Wah-wah-wah, sejak kapan Kang-lam Jit-hiap (Tujuh Pendekar Selatan Sungai) menjadi
antek Mancu?” tiba-tiba Ai Yin berkata dengan nada mengejek.
Tujuh orang itu terkejut dan di jenggot panjang memandang kepada Ai Yin penuh selidik.
"Engkau mengenal kami, Nona? Siapakah engkau?”.
"Dengar baik-baik, Kang-lam Jit-hiap. Aku bernama Wong Ai Yin, puteri Bu-tek Sin-kiam
Wong Tat dan selamanya kami adalah pendekar penentang kejahatan dan tak sudi
menjadi antek Mancu!”.
Sikap tujuh orang itu berubah dan pembicara yang mewakili kawan-kawannya itu berkata.
"Ah, kiranya Nona adalah puteri Pendekar patriot Buk-tek Sin-kiam (Pedang Sakti Tanpa
Tanding)!.
Kami sama sekali bukan antek pemerintah Mancu, Nona. Kami hendak menangkap si
jahat ini untuk dihadapkan pengadilan para orang gagah”.
"Eh, jangan ngawur! Kalian ini orang-orang tua seenaknya saja menuduh temanku ini
jahat. Si Tangan Halilintar Lauw Beng ini sama sekali bukan penjahat, sebaiknya dia
adalah seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan yang selalu menentang
kejahatan!”.
"Nona Wong, agaknya engkau yang masih amat muda dan belum berpengalaman mudah
saja terbujuk oleh iblis ini. Ketahuilah, Si Tangan Halilintar ini melakukan banyak kejajatan
yang menggegerkan dunia kang-ouw.
Dia membunuh banyak orang kangouw, dan yang lebih jahat lagi, dia memperkosa wanita
lalu membunuh mereka!.
Sadarlah, Nona, engkau telah tertipu oleh penjahat ini”.
Ai Yin hendak membantah, akan tetapi Siauw Beng memegang lengannya.
"Ai Yin, biar aku yang menghadapi mereka”. Lalu dia memberi hormat kepada tujuh orang
itu lalu berkata, "Jit-wi Lo-cian-pwe (Tujuh Orang Tua Gagah), terus terang saja, saya
sungguh tidak mengerti akan tuduhan jit-wi ( kalian bertujuh) ini. Saya tidak pernah
melakukan kejahatan seperti yang kalian tuduhkan itu”.
"Hemmm, mana ada penjahat mengakui kejahatannya? Si Tangan Halilintar, selama
beberapa bulan ini entah berapa banyak yang kau bunuh, harta engkau curi dan wanita
engkau perkosa lalu kau bunuh! Semua orang mengetahui bahwa Si Tangan Halilintar
yang buntung lengan kirinya adalah seorang penjahat yang teramat keji. Sekali lagi,
menyerahlah dengan baik, atau terpaksa kami akan menggunakan kekerasan untuk
menangkapmu, hidup atau mati!”.
"Heiii, Kam-lam Jit-hiap! Kalian ini benar-benar pendekar atau siauw-jin (orang rendah)
yang bicara ngawur dan menyebar fitnah! Akulah yang selama ini melakukan perjalanan
bersama Siauw Beng dan bersama-sama menentang kejahatan dan menolong orangorang
yang tertindas. bagaimana kalian dapat menuduhkan semua
kejahatan itu? Akulah saksinya, dan aku berani bersaksi dan bersumpah di depan
siapapun juga!”.
Tujuh orang itu saling pandang. Nama besar Bu-tek Sin-kiam membuat mereka meragu.
Kalau gadis ini benar puteri Bu-tek Sin-kiam kiranya tidak mungkin ia berdusta. Akan tetapi
siapa tahu? Jangan-jangan gadis ini sudah terpikat dan jatuh cinta kepada Si Tangan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 219
Halilintar. Kalau perempuan sudah jatuh cinta, bisa saja dia berusaha melindungi pria
yang dicintainya!.
Nona Wong, dengarlah baik-baik. Kami adalah orang-orang sepaham dan segolongan
dengan ayahmu, Bu-tek Sin-kiam dan tentu saja kami tidak ingin berselisih apalagi
bermusuhan dengan puteri Bu-tek Sin-kiam. Akan tetapi mungkin saja engkau tidak tahu
bahwa engkau berteman dengan seorang penjahat yang amat keji ! Kalau engkau hendak
menjadi saksi yang mengatakan bahwa dia tidak bersalah, di sana ada puluhan orang
sakti yang menyatakan bahwa Si Tangan Halilintar ini telah membunuh dan memperkosa
banyak orang! Bagaimana kesaksian satu orang dapat melawan kesaksian puluhan
orang?”.
Jilid 20
"Aku tidak peduli ! Yang jelas, Siuaw Beng ini tidak bersalah dan aku akan membelanya
terhadap tuduhan siapapun juga!”.
"Nanti dulu, Ai Yin, biarkan aku yang mengambil keputusan", kata Siauw Beng lalu dia
menghadapi tujuh orang itu. "Lo-cian-pwe, aku siap untuk dihadapkan di pengadilan
manapun karena memang aku sama sekali tidak pernah melakukan semua kejahatan
yang dituduhkan tadi. Aku tidak takut menghadapi fitnah ini”.
"Bagus, kalau begitu tugas kami menjadi ringan dan kami tidak harus mempergunakan
kekerasan!” kata si jenggot panjang.
"Tidak …..!” Dengan suara melengking Ai Yin melompat ke depan Siauw Beng seolah
hendak melindunginya.
"Ai Yin ……!”
Gadis itu membalik dan menghadapi Siauw Beng. Matanya mengkilat mukanya merah
karena marah. "Siauw Beng, jangan bodoh! Semua yang dituduhkan padamu itu hanya
ada dua kemungkinan. Pertama, mungkin hanya fitnah yang disebarkan orang-orang yang
tidak suka kepadamu. Kedua, mungkin saja ada orang yang menyamar sebagai engkau
dan melakukan semua kejahatan itu semata-mata untuk merusak namamu agar engkau
dimusuhi semua orang! Kalau engkau menyerah, berarti engkau menyerahkan nyawa
karena orang-orang yang sudah termakan fitnah seperti tujuh orang tua bodoh itu pasti
akan membunuhmu. Sebaiknya kita menyelidiki sendiri siapa yang menyebar fitnah ini dan
menangkap pelakunya untuk membersihkan namamu!”.
Mendengar ucapan Ai Yin yang keras ini Siauw Beng tertegun. Benar juga, pikirnya, dan ia
mengangguk.
"Kurasa engkau benar, Ai Yin”. Lalu dia menghadapi tujuh orang itu. "Jit-wi Lo-cian-pwe,
maafkan aku. Aku akan pergi sendiri melakukan penyelidikan dan aku akan menyerat
orang yang menyebar fitnah itu ke hadapan Lo-cian-pwe!”
"Si Tangan Halilintar! Seperti yang kami katakan tadi, engkau harus ikut kepada kami
untuk menghadap pengadilan. Kami tidak dapat melepas engkau begitu saja setelah
engkau memperkosa dan membunuh seorang murid wanita kami! Menyerahlah, atau
terpaksa kami akan menyerangmu!”
"Seranglah kalau kalian berani, kalian orang-orang tua yang mengaku pendekar akan
tetapi bodoh dan ngawur!” Ai Yin berdiri menghalang seolah hendak melindungi Siauw
Beng.
Tujuh orang itu mencabut pedang mereka dan dengan muka membayangkan kemarahan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 220
mereka mengepung. Ai Yin juga marah dan ia mencabut Liong-cu-kiam, melintangkan
pedang itu depan dada dan siap melawan Kang-lam Jit-hiap!.
Siauw Beng memperhatikan gerakan tujuh orang yang mengepung itu dan diam-diam
terkejut. Mereka itu membentuk kiam-tin (barisan pedang) dan melihat kedudukan mereka,
tujuh orang pendekar pedang itu membentuk Jit-seng Kiam-tin (Barisan Pedang Tujuh
Bintang)!. Agaknya Ai Yin, yang menjadi puteri tunggal Si Pedang Sakti Tanpa Tanding,
juga mengenal barisan pedang yang tangguh itu, maka sambil berteriak melengking ia
sudah mendahului mereka dan menerjang sambil berseru, "Lihat pedang!”.
Sinar pedang bergulung-gulung menyambar kearah tujuh orang itu. Tujuh orang itu
terkejut sekali. Mereka maklum bahwa puteri Bu-tek Sin-kiam, biarpun masih begitu muda,
tentu memiliki ilmu pedang yang amat dahsyat, maka mereka membentuk barisan bintang
dan mereka bergerak secara sambung menyambung dan saling melindungi. Ke manapun
sinar pedang Ai Yin menyambar, selalu pedangnya bertemu dengan tangkisan-tangkisan
tujuh buah pedang. Memang tujuh orang itu merasa betapa tangan mereka yang
memegang gagang pedang tergetar hebat, akan tetapi bagaimanapun juga, sebatang
pedang Ai Yin tentu saja kewalahan menghadapi pengeroyokan tujuh pedang lawan.
Tiba-tiba Siauw Beng menangkap lengan kiri Ai Yin dan menarik gadis itu untuk melarikan
diri. "Ai Yin, kita pergi!” katanya sambil menerjang ke kiri. Dua orang yang berada di kiri
cepat menggerakkan pedang mereka untuk mencegah larinya Siauw Beng akan tetapi dua
kali kaki kiri Siauw Beng menyambar dan dua orang itu terpelanting roboh.
Kesempatan itu dipergunakan Siauw Beng untuk menarik Ai Yin lari dengan cepat
meninggalkan para pengeroyok itu.
Setelah berlari jauh dan tidak dapat di kejar Kang-lam Jit-hiap, Ai Yin meronta,
melepaskan lengan kirinya yang dipegang tangan kanan Siauw Beng.
"Eh, Siauw Beng! Engkau ini bagaimana sih? Aku membelamu dari mereka, malah
engkau memaksa dan mengajak aku lari ! Memalukan benar ! Kau kira aku takut melawan
Jit-seng Kiam-tin mereka?”.
"Bukan begitu, Ai Yin. Aku bahkan yakin engkau akan mampu mengalahkan mereka. Akan
tetapi kalu kita kesalahan tangan melukai atau membunuh mereka, namaku menjadi
semakin terkenal sebagai seorang penjahat yang memusuhi para pendekar!”.
"Akan tetapi mereka keras kepala, hendak menangkapmu!”.
"Untuk itu, mereka tidak dapat disalahkan, Ai Yin. Coba bayangkan, andaikata kita yang
mengalami hal seperti itu, anaknya diperkosa lalu di bunuh orang, bagaimana rasanya?
Tentu saja mereka menjadi mata gelap, pikirannya tidak begitu jernih lagi, adanya hanya
luapan nafsu amarah dan dendam. Apalagi tanda-tandanya sudah begitu jelas ! Penjahat
itu lengan kirinya buntung dan berjuluk Si Tangan Halilintar ! Keadaan dan julukan
penjahat itu sama benar denganku, maka dapat dimaafkan kalau mereka menjadi marah
sekali, setiap bantahan dan alasan kita dianggap bohong”.
Ai Yin mengangguk-angguk. "Setelah aku mendengar omonganmu, memang benar
demikian, Siauw Beng. Mata mereka di butakan nafsu amarah, pikiran mereka di gelapkan
dendam sakit hati. Akan tetapi yang terkutuk adalah penjahat itu. Bukan saja dia kejam
dan jahat dengan pembunuhan-pembunuhan dan perkosaan-perkosaan itu, akan tetapi
dia juga licik dan curang sekali menggunakan namamu sehingga engkau yang makan
getahnya”.
Mendengar suara gadis itu penuh gelora amarah Siauw Beng berkata.
"Tenangkan hatimu dan usir kemarahan itu, Ai Yin. Dengan pikiran jernih dan hati tenang,
kita dapat berpikir lebih terang. Mendengar pengakuan Kang-lam Jit-hiap tadi bahwa
seorang murid perempuan mereka di perkosa dan dibunuh penjahat itu, maka jelas bahwa
ini bukan sekedar fitnah bohong. Jelas memang ada orang yang menyamar sebagai aku
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 221
dan melakukan semua kejahatan itu, tentu dengan maksud agar aku yang menjadi bulanbulan
kemarahan orang. Hal ini mengingatkan aku akan pengalamanku dahulu ketika aku
di musuhi Ciong-yang Ngo-taihiap dan ayah angkatku sendiri, Ma Giok. Akan tetapi hal itu
terjadi karena salah paham. Mereka mengira aku menjadi pengkhianat dengan membela
Puteri Mancu yang mereka sangka mengerahkan pasukan membunuh kakak beradik
Song yang menjadi orang pertama dan kedua dari Lima Pendekar Besar itu. Akan tetapi
sekarang jelas ada orang yang agaknya teramat membenci aku dan dengan caranya yang
licik itu dia hendak mencelakai aku”.
"Tapi dia juga berlengan kiri buntung. Apakah engkau tahu, siapa orang yang buntung
lengan kirinya dan membencimu, Siauw Beng?”.
Siauw Beng menggeleng kepalanya. "Bahkan seorang yang berlengan kirinya buntung
saja belum pernah aku melihatnya, apalagi yang mengenal dan membenciku”.
Siauw Beng, apakah ada orang yang membencimu, amat membencimu?” Tanya Ai Yin
pula, alisnya berkerut dan matanya memandang tajam seperti seorang penyelidik kelas
berat sedang menyelidiki sebuah kasus rumit!.
"Entahlah, mungkin saja banyak sekali walaupun, puji sukur kepada Thian, aku sendiri
tidak mempunyai perasaan benci kepada siapapun”.
"Siauw Beng, jalan satu-satunya adalah menyelidiki tentang penjahat itu. Kita mencari
berita tentang dirinya dan dimana ada berita penjahat itu beraksi, kita harus cepat
mengejar ke sana”.
Demikianlah, Siauw Beng dan Ai Yin mulai mendengar-dengarkan dan mencari berita
tentang sepak terjang penjahat yang memakai nama Si Tangan Halilintar yang buntung
lengan kirinya itu. Akan tetapi sejak bertemu dengan Jit-hiap (Tujuh Pendekar) Siauw
Beng terpaksa harus menyembunyikan diri dari orang banyak. Apalagi dia pernah dikejar
dan di serang pasukan Pemerintah Mancu, dan sekali lagi oleh serombongan pendekar. Si
Tangan Hlilintar berlengan kiri buntung yang membunuhi banyak orang, baik orang itu
pembesar Mancu ataukah pendekar. Juga dimana-mana dia melakukan perkosaan dan
pembunuhan terhadap wanita!.
Yang terkadang hampir tak dapat menahan rasa penasaran dan kemarahannya adalah Ai
Yin. Ketika mereka berdua mendengar bahwa Si Tangan Halilintar itu melakukan
perkosaan dan pembunuhan di sebuah dusun, mereka cepat masuk dusun itu. Akan tetapi
begitu orang melihat Siauw Beng, mereka berduyun-duyun datang dengan segala macam
senjata di tangan, di pimpin oleh kepala dusun dan beberapa orang yang tampaknya ahli
silat!.
"Bunuh Si Tangan Halilintar ! Bunuh si lengan buntung!” Demikian mereka berteriak-teriak
dan hendak menyerbu.
"Tahaaannnn ……….!” Tiba-tiba Ai Yin berteriak melengking, mengejutkan semua orang
yang menahan langkahnya dan memandang gadis yang sudah melayang naik ke atas
sebuah atap rumah bersama seorang pemuda berlengan kiri buntung yang mereka yakini
sebagai penjahat yang sedang tersohor itu, yang semalam memperkosa dan membunuh
seorang gadis dusun itu.
"Kalian semua dengarlah baik-baik!. Penjahat yang melakukan pembunuhan dan
perkosaan, yang menggunakan nama julukan Si Tangan Halilintar itu adalah palsu ! Si
Tangan Halilintar yang asli adalah pendekar ini, seorang pendekar bernama Lauw Beng
yang tidak pernah melakukan kejahatan bahkan selalu menentang
kejahatan ! Aku, Wong Ai Yin, puteri Bu-tek Sin-kiam, menjadi saksinya ! Aku selalu
bersamanya dan tidak pernah melihat dia melakukan kejahatan. Penjahat itu adalah Si
Tangan Halilintar palsu!.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 222
Akan tetapi, dengan suara penuh gemuruh penduduk itu menyatakan tidak percaya dan
mereka lalu memungut batu dan menyambitkan batu-batu itu kea rah Siauw Beng dan Ai
Yin !
Ai Yin jengkel sekali dan membanting kakinya, tidak ingat bahwa ia berdiri di atas genteng
sehingga ada genteng yang remuk.
"Menyebalkan! Monyet-monyet bodoh itu!”.
Siauw Beng yang juga repot menangkis batu-batu itu seperti halnya Ai Yin berkata,
"Percuma saja, Ai Yin. Hayo pergi dari sini!”. Dia menggandeng tangan gadis itu dan
mereka melayang turun ke belakang rumah itu dan melarikan diri. Sambil berteriak-teriak
penduduk mengejar dan berteriak-teriak penduduk mengejar dan mencari mereka, akan
tetapi dua orang muda itu telah pergi jauh.
Setelah tiba di tempat yang jauh dari dusun itu, Ai Yin berhenti dan ia membanting-banting
kaki kanannya saking jengkel. "Sialan dangkalan ! Masa kita dilempari batu dan di kejarkejar
seperti anjing!”.
"Sudahlah, Ai Yin. Bukan kesalahan mereka. Kita harus mencari penjahat itu dan mulai
sekarang aku tidak akan memperlihatkan diri kepada umum sebelum penjahat itu
tertangkap”.
Mereka melanjutkan perjalanan, tetap mengikuti jejak si penjahat yang berpindah-pindah
dan meninggalkan jejaknya berupa pembunuhan dan perkosaan.
******
Ketika pada suatu siang Siauw Beng dan Ai Yin tiba diluar sebuah hutan, tiba-tiba
bermunculan orang-orang berpakaian sebagai pendekar. Ada belasan orang jumlahnya
dan dari lain jurusan muncul pula sekitar dua puluh orang pasukan pemerintah Ceng,
dipimpin seorang perwira Mancu yang tinggi besar!.
"Bunuh penjahat Si Tangan Halilintar!”
"Tangkap pemberontak!”
Siauw Beng dan Ai Yin terkejut sekali. Setiap kali mengejar jejak yang ditinggalkan
penjahat itu, selalu saja mereka di hadang orang-orang kang-ouw atau pasukan
pemerintah, seakan-akan gerakan mereka telah diketahui orang! Mereka tidak tahu bahwa
memang pasukan dan para orang kang-ouw itu mendapatkan berita entah dari siapa
datangnya, akan adanya Si Tangan Halilintar di suatu tempat dan ketika mereka
mendatangi tempat itu, benar saja mereka bertemu Siauw Beng dan Ai Yin. Tanpa banyak
cakap lagi, puluhan orang yang berteriak-teriak itu sudah menyerbu dan menyerang Siauw
Beng. Siauw Beng merasa percuma saja kalau dia membela diri menyangkal. Orang–
orang itu tidak mau mendengarkan dan mereka semua itu sudah yakin bahwa dialah
penjahat Si Tangan Halilintar itu! Ai Yin yang membela Siauw Beng tentu saja juga ikut
dikeroyok.
Siauw Beng dan Ai Yin merobohkan para pengeroyok terdekat dengan tamparan atau
tendangan. Mereka mencabut pedang, akan tetapi pedang itu hanya untuk menangkis
saja. Mereka merobohkan pengeroyok akan tetapi tidak mau melukai dengan senjata
tajam.
"Ai Yin, lari …..!” ketika mendapat kesempatan, Siauw Beng mengajak gadis itu
meloloskan diri dari kepungan dan lari.
Akan tetapi, baru berlari belasan langkah, tiba-tiba mereka di hadang tiga orang. Ketika
melihat bahwa satu di antara tiga orang itu adalah Can Ok, Ai Yin marah sekali.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 223
"Can-susiok (paman guru Can), berani engkau hendak menyerang aku?”.
Can Ok berkata kepada seorang laki-laki Mongol yang bertubuh tinggi kurus.
"Tangkap nona ini!”.
Kemudian Can Ok dan orang Mongol kedua yang bertubuh besar pendek menerjang
Siauw Beng. Can Ok sudah mencabut sepasang pedangnya, sedangkan orang Mongol
pendek besar itu menyerang Siauw Beng dengan senjatanya yang aneh, yaitu sebuah
rantai baja yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya. Rantai itu tebal dan berat,
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
"Tranggg ……!” Ketika pedang Lui-kong Sin-kiam yang tipis di tangan Siauw Beng
bertemu dengan ujung rantai, bunga api berpijar dan Siauw Beng terkejut karena
mendapat kenyataan bahwa tenaga sakti Orang Mongol itu kuat sekali, jauh lebih kuat
daripada tenaga sakti Can Ok. Siauw Beng menghadapi pengeroyokan dua orang ini
dengan memutar pedangnya sehingga tampak sinar pedang bergulung-gulung dengan
dahsyatnya, membuat Can Ok dan orang Mongol itu melangkah mundur dengan kaget.
Akan tetapi, para orang kangouw yang tadi di tinggal lari, sudah mengejar dan merekapun
ikut mengeroyok sehingga Siauw Beng dikeroyok banyak sekali orang.
Demikian pula dengan Ai Yin. Orang Mongol tinggi kurus itu juga menyerangnya dengan
senjata rantai baja yang panjang. Namun, dengan Liong-cu-kiam, pedang pusaka yang
ampuh itu, Ai Yin dapat melindungi dirinya dengan baik. Ia bukan hanya dapat menangkis,
akan tetapi juga dapat membalas dengan serangan pedang yang tidak kalah dahsyatnya.
Akan tetapi segera pengeroyok yang amat banyak jumlahnya membuat Ai Yin terkepung
rapat dan kewalahan sekali. Untung bahwa para pengeroyok itu tidak bermaksud
membunuhnya, melainkan hanya ingin menangkapnya tidak seperti pengeroyokan mereka
terhadap Siauw Beng yang merupakan serangan maut.
Betapa pun lihainya, menghadapi pengeroyokan belasan orang yang rata-rata memiliki
ilmu silat yang cukup tangguh, setelah merobohkan empat orang pengeroyok akhirnya
rantai baja yang panjang di tangan orang Mongol itu digerakkan sedemikian rupa sehingga
melibat tubuh termasuk kedua lengan Ai Yin dan sebuah
tendangan seorang pengeroyok dari belakang mengenai belakang lututnya membuat ia
roboh terpelanting. Sebelum ia dapat menguasai dirinya, orang Mongol itu telah menubruk
dan menotoknya sehingga tubuhnya menjadi lemas tak mampu meronta. Di lain saat
orang Mongol yang tinggi kurus itu sudah memanggul tubuhnya dan membawanya lari dari
situ.
Para orang kangouw yang tadi ikut mengeroyok Ai Yin tidak menghalangi dan tidak perduli
melihat gadis itu dilarikan orang Mongol dan mereka kini mencurahkan perhatian mereka
kepada Siauw Beng, lalu beramai-ramai ikut mengeroyok. Memang penjahat pembunuh
dan pemerkosa itulah yang menjadi sasaran mereka.
Repot juga Siauw Beng menghadapi pengeroyokan puluhan orang itu. Apalagi di situ ada
Can Ok dan terutama orang Mongol gemuk pendek yang amat lihai itu. Tidak ada
kesempatan lagi untuk mengajak Ai Yin melarikan diri. Maka diapun mengamuk dan
merobohkan sebanyak mungkin pengeroyok, tentu saja membatasi tenaganya sehingga
tidak ada yang tewas. Ketika ia melihat Ai Yin roboh dan dibawa pergi orang Mongol tinggi
kurus, dia terkejut dan hendak mengejar dan menolong Ai Yin. Akan tetapi, orang Mongol
gemuk pendek dan Can Ok menghalanginya. Can Ok menggerakkan sepasang
pedangnya.
"Trangg-tranggg ….!” Can Ok terkejut sekali karena sepasang pedangnya itu sudah
terpental lepas dari pegangan tangannya. Pada saat itu, secepat kilat rantai baja di tangan
orang Mongol pendek gemuk menyambar dan melibat pinggang Siauw Beng. Orang
Mongol itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk membetot agar tubuh Siauw Beng
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 224
terguling roboh. Akan tetapi Siauw Beng mempertahankan dan tiba-tiba, pedang Siauw
Beng berkelebat.
"Cringgg ….!” Rantai itu telah terbabat putus dank arena orang Mongol itu membetot
sekuat tenaga, begitu rantai itu putus, rantai itu terbetot dan menghantam muka
pemiliknya.
"Syuuttt …. Praakkkk!” Orang Mongol pendek gemuk itu roboh dengan kepala retak dan
tewas seketika. Melihat ini, Can Ok melompat ke belakang. Siauw Beng berloncatan dan
merobohkan setiap orang yang berani menghalanginya.
Akhirnya dia berhasil keluar dari kepungan dan melakukan pengejaran ke dalam hutan
karena tadi dia melihat orang Mongol tinggi kurus itu membawa lari Ai Yin ke dalam hutan.
Akan tetapi hutan itu lebat sekali dan Siauw Beng kehilangan jejak. Dia mencari-cari
dengan hati gelisah. Satu hal menghiburnya. Gadis itu di culik dan tidak dibunuh, maka
besar harapan Ai Yin tidak akan mati. Pula, ayah gadis itu adalah Bu-tek Sin-kiam, tokoh
yang amat terkenal di dunia kangouw, maka kalau orang hendak mengganggu atau
membunuhnya, harus berpikir dulu seratus kali ! Betapa pun juga, hatinya gelisah dan
Siauw Beng melanjutkan pencariannya.
Bagaimana Can Ok dapat muncul di situ bersama dua orang jagoan Mongol yang lihai?
Seperti kita ketahui, Can Ok mengadakan persekutuan dengan Cun Song, yaitu nama
baru yang digunakan Song Cun. Setelah bersepakat, Can Ok lalu pergi mencari Galdan,
Pangeran Mongol yang memimpin bangsa Mongol yang sudah lama runtuh. Tentu saja
Galdan menyambut baik uluran tangan Can Ok yang menjanjikan bahwa dia dapat
mengumpulkan banyak pejuang bangsa pribumi Han untuk bersama pasukan Mongol
meruntuhkan Kerajaan Ceng, bersekutu pula dengan Pangeran Dorbai yang juga ingin
merebut tahta Kerajaan.
Can Ok diterima baik dan Pangeran Galdan lalu membuat surat untuk Pangeran Dorbai,
mengutus dua orang jagoannya yang paling lihai untuk pergi ke kota raja Ceng bersama
Can Ok dan mewakili dia mengadakan perundingan dengan Pangeran Dorbai sambil
menyerahkan suratnya.
Demikianlah, ketika tiba di tempat itu, Can Ok melihat Siauw Beng dan Ai Yin dikeroyok
pasukan dan belasan orang kangouw. Karena dia amat membenci Siauw Beng maka dia
lalu minta kepada dua orang jagoan Mongol itu untuk membantu mereka yang
mengeroyok Siauw Beng dan Ai Yin.
Ketika Siauw Beng dapat meloloskan diri dari kepungan dan lari menghilang, Can Ok juga
cepat mengejar ke arah larinya jagoan Mongol yang tinggi kurus dan yang menculik Ai Yin
tadi. Dia mengenal Kabilai, jagoan tinggi kurus itu, sebagai seorang yang mata keranjang.
Bagaimanapun juga, dia tidak rela kalau sampai Ai Yin, puteri suhengnya (kakak
seperguruan) itu dinodai Kabilai, maka dia mengejar. Akan tetapi, seperti halnya Siauw
Beng, dia kehilangan jejak orang Mongol itu dan akhirnya dia terpaksa melanjtukan
perjalanannya seorang diri ke kota raja untuk menemui Pangeran Dorbai dan
menyampaikan pesan Pangeran Galdan, apalagi surat dari Galdan memang ada padanya.
****
Setelah beberapa lamanya Ai Yin di panggul dan dilarikan Kabilai, jagoan Mongol itu,
pengaruh totokan mulai melemah. Akhirnya gadis itu dapat menggerakkan tubuhnya.
Sedikit gerakan ini terasa oleh Kabilai. Dengan kaget dia lalu melepaskan tubuh Ai Yin ke
atas tanah karena gadis itu menyerangnya selagi berada di atas pundaknya, hal itu dapat
membahayakan nyawanya. Ai Yin terbanting jatuh, akan tetapi hal ini menguntungkannya
karena mempercepat pulihnya jalan darahnya. Cepat ia bergulingan untuk menjauhkan diri
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 225
agar tidak mudah disergap orang Mongol itu sedangkan tenaganya belum pulih benar.
Kemudian ia melompat bangkit dan ia melihat pula pedangnya, Liong-cu-kiam, terselip di
pinggang orang itu. Bukan main marahnya Wong Ai Yin. Sebagai seorang pendekar
wanita yang gagah perkasa, walaupun pedangnya sudah dirampas lawan, ia tidak merasa
gentar.
"He-he, manis! Engkau sudah dapat bergerak? Bagus sekali! Aku tidak suka mendapatkan
seorang kekasih yang tidak mampu bergerak seperti mayat. Mari, marilah, manis, kita
bersenang-senang!” kata Kabilai dengan bahasa campuran Han dan Mongol namun cukup
dapat dimengerti oleh Ai Yin.
"Jahanam busuk ! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan! Aku adalah puteri
Bu-tek Sin-kiam dan aku pantang menyerah! Bersiaplah untuk mampus ditanganku, orang
Mongol busuk!”.
Akan tetapi Kabilai belum pernah mendengar nama Bu-tek Sin-kiam, maka tentu saja
nama itu tidak ada artinya baginya. Dia tertawa semakin keras. Dia tahu bahwa gadis ini
lihai sekali. Akan tetapi kini dia yakin akan dapat mengalahkannya dengan tidak terlalu
sukar.
Sambil menyerengai Kabilai menghampiri Ai Yin dan kedua lengannya yang kurus panjang
dengan otot melingkar-lingkar itu dikembangkan seperti orang hendak menangkap seekor
ayam!.
Ai Yin tadi sudah merasakan kelihaian orang ini, maka ia berhati-hati. ia berdiri dengan
sikap siap menghadapi serangan, tak bergerak namun seluruh urat syarafnya menegang,
menanti datangnya serangan karena pada saat lawan menyerang itulah ia berkesempatan
untuk membalas serangan secara langsung.
"Mari, mari manis, mari datang kepadaku ….!” Kabilai meloncat ke depan, menubruk
seperti seekor harimau, kedua lengannya yang panjang itu menyambar dari kanan kiri.
"Wuuuttt …. Wirrr …. Desss!” dengan lincah sekali Ai Yin mengelak, menyusup dibawah
lengan kanan lawan, kemudian setelah tiba dibelakang tubuh Kabilai, ia membalik dan
kakinya mencuat dalam tendangan kilat yang mengenai pinggul orang Mongol itu. Kabilai
menggereng dan membalik, tangannya menyambar untuk menangkap gadis itu. Namun Ai
Yin sudah melompat ke belakang dan ia merasa penasaran sekali karena tendangannya
tadi seolah tidak terasa oleh Kabilai yang ternyata melindungi tubuhnya dengan
kekebalan. Biarpun tidak terluka oleh tendangan itu, namun Kabilai mulai merasa
penasaran. Kini mulailah dia menyerang dengan pukulan, tendangan dan cengkraman,
terutama sekali sambaran tangan itu untuk mencengkram karena dia menggunakan ilmu
gulat yang merupakan ilmu berkelahi yang popular dan menjadi andalan rakyat Mongol.
Ai Yin mengimbangi cengkraman-cengkraman itu dengan kelincahan tubuhnya mengelak
ke sana-sini sambil membalas dengan tamparan dan tendangan kilat. Beberapa kali
tendangan atau tamparannya mengenai sasaran, akan tetapi semua itu seolah tidak
dirasakan oleh orang Mongol itu.
Karena semua cengkramannya tidak pernah berhasil, Kabilai mulai marah. Dia
mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang, lalu melolos senjatanya, yaitu rantai
baja yang panjang itu. Mulailah dia memutar-mutar senjata itu diatas kepalanya sambil
berkata.
"Nah, sekarang jawab! Engkau mau menyerah baik-baik atau ingin mampus dan pecah
kepalamu oleh rantai ini?”.
Dengan gagah Ai Yin berseru, "Lebih baik mati daripada menyerah kepada seekor anjing
srigala macam kamu!”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 226
Muka anjing Mongol itu menjadi merah sekali karena marah mendengar ucapan yang
menghina ini. Putaran rantai baja itu semakin cepat sehingga terdengar suara bersiutan
dan rantai itu berubah menjadi gulungan sinar yang lebar.
"Kalau begitu, mampuslah!” Dia mulai menyerang dan sinar senjata rantai itu menyambarnyambar
kea rah kepala Ai Yin. Gadis ini menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh)
untuk mengelak. Akan tetapi karena rantai itu panjang dan sambarannya cepat sekali
sehingga bertubi-tubi datangnya, Ai Yin sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk
mendekati lawannya dan balas menyerang. Maka iapun hanya dapat berloncatan cepat
kesana sini untuk menghindarkan diri dari sambaran ujung rantai yang merupakan tangan
maut itu.
Mulai terpikirlah oleh Ai Yin untuk melarikan diri karena kalau pertandingan ini dilanjutkan,
ia pasti akan celaka. Kalau ia memegang pedang tentu ia akan mampu mengadakan
perlawanan lebih seimbanh dan bukan mustahil ia akan mampu merobohkan lawan ini.
Akan tetapi agaknya Kabilai dapat menduga akan kemungkinan ini maka dia memutar
rantainya lebih cepat lagi sehingga semua jalan keluar gadis itu tertutup. Untuk
menyelamatkan diri, Wong Ai Yin sudah bergerak dengan ilmu silat Pat-hong Sin-kun
(Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang membuat tubuhnya berkelebatan cepat ke
segala penjuru.
Tiba-tiba, ketika rantai menyambar dahsyat dan ia bergerak ke kanan, lengan kiri Kabilai
memukul dan menyambut elakan tubuh Ai Yin itu. Gadis itu terkejut dan tidak mungkin
mengelak lagi. Maka ia pun cepat menangkis dengan tangan kanannya sambil
mengerahkan tenaga sinkangnya.
"Plaakkk!” Kedua lengan beradu dan tiba-tiba saja jari-jari tangan kiri Kabilai yang panjang
itu telah mencengkram pergelangan tangan Ai Yin. Memang telah menjadi kebiasaan
keistimewaan ilmu gulat Mongol untuk mengubah pukulan menjadi cengkraman yang
cepat tak terduga lawan.
Kemudian dengan gerakan ilmu gulat, sekali tekuk, lengan Ai Yin sudah dipelintir ke
belakang tubuhnya dan di lain saat kedua lengan gadis itu sudah ditangkap oleh kedua
tangan Kabilai sehingga ia tidak mampu bergerak lagi.
"Ha-ha-ha, engkau mau lari kemana sekarang, manis? Engkau harus menjadi milikku
sekarang!” Orang yang jangkung kurus itu menunduk dan berusaha untuk mencium Ai Yin
yang meronta-ronta.
Pada saat itu, tampak bayangan berkelebat dan sinar hitam menyambar.
"Craakkk !! Aduuuhhh …..!” Kabilai melepaskan Ai Yin dan ia terpelanting roboh, merintihrintih
dan tangan kirinya memegang pundak kanan yang terluka parah oleh bacokan
pedang sehingga darahnya bercucuran. Ai Yin yang sudah terlepas dari cengkraman
Kabilai, cepat mengambil sebongkah batu sebesar kepala kerbau, lalu sekali lompat ia
mendekati tubuh Kabilai dan ia menghantamkan batu itu ke kepala Kabilai sekuat
tenaganya.
"Prookkk …..!” Karena Kabilai sedang tersiksa rasa nyeri pada pundaknya yang terbabat
pedang sampai terluka parah itu, dia tidak sempat menghindarkan diri, bahkan tidak
sempat melindungi kepalanya maka pecahlah kepala itu dan diapun tewas seketika.
Ai Yin cepat mencabut pedangnya yang terselip di pinggang Kabilai lalu dengan pedang
ditangan ia memutar tubuh menghadapi orang yang telah menolongnya.
Didepannya berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang hitam, seorang
pemuda yang tampan gagah, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, tubuhnya tegap.
Pemuda itu tersenyum memandang kepadanya.
Ai Yin menghampiri dan ia menyimpan pedangnya dalam sarung pedang yang masih
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 227
tergantung di punggungnya, lalu memandang pemuda didepannya yang juga sudah
menyimpan pedang hitamnya.
"Kalau aku boleh bertanya, siapakah engkau, Nona, dan mengapa pula engkau berkelahi
dengan orang Mongol ini?”
Pemuda ini bertanya dengan sikap lembut dan senyum memikat.
Ai Yin yang berterima kasih karena merasa diselamatkan dari bahaya maut dalam tangan
orang Mongol yang lihai itu, berkata dengan wajah berseri. "namaku Wong Ai Yin, anak
tunggal Bu-tek Sin-kiam Wong Tat. Terima kasih atas pertolonganmu tadi, sobat.
Siapakah engkau?”.
Pemuda itu kembali tersenyum. "Ah, apa yang kulakukan sudah semestinya antara kita
saling bantu, apalagi menghadapi seorang Mongol yang jahat? Sudah lama aku
mendengar dan menganggumi nama besar lo-cian-pwe Bu-tek Sin-kiam. Sungguh
beruntung hari ini dapat bertemu dengan puterinya. Nona, namaku Cun Song dan seperti
juga ayahmu, aku adalah seorang pejuang yang menentang penjajah Mancu yang
menguasai tanah air kita”.
Ai Yin memandang kagum kepada pemuda itu. Tentu saja ia tidak tahu nama pemuda itu
sesungguhnya Song Cun. Seperti kita ketahui, Song Cun kini menggunakan nama Cun
Song. Tadi ia melihat perkelahian antara Ai Yin dan seorang Mongol yang tidak
dikenalnya. Ketika mendengar Ai Yin memperkenalkan diri sebagai puteri Bu-tek Sin-kiam
kepada orang Mongol itu, tentu saja dia segera turun tangan membantunya. Dia sedang
mengantur rencana
bersama Can Ok untuk bersekutu dengan Pangeran Galdan dari Mongol dan Pangeran
Dorbai untuk merampas tahta Kerajaan Ceng dan untuk itu dia perlu mendapat dukungan
dari pendekar yang membenci Pemerintah Mancu. Bu-tek Sin-kiam terkenal sebagai
seorang bekas pejuang yang gagah perkasa. Juga, pendekar ini adalah suheng dari Can
Ok, maka perlu sekali ia dekati. Apalagi, gadis itu demikian cantik jelita dan lihai pula.
"Wahh, kalau begitu kita ini masih segolongan! Aku juga ingin sekali melihat penjajah
Mancu pergi meninggalkan tanah air kita!”.
"Bagus, Ai Yin-moi ( adik Ai Yin), mari kita bekerja sama membasmi orang-orang Mancu!”
kata Cun Song penuh semangat. "Tak jauh disebelah selatan ini terdapat sebuah dusun
dan di situ tinggal sebuah keluarga Mancu. Mari kita serbu rumahnya di dusun itu dan
membunuh seluruh keluarganya!”.
Ai Yin mengerutkan alisnya. "Ah, maksudku bukan seperti itu, toako (kakak). Aku tidak
setuju kalau kita membunuhi setiap orang mancu. Yang kita musuhi adalah Kerajaannya,
bukan orang-orangnya. Kita musuhi semua orang yang jahat, tidak peduli dia bangsa
Mancu atau bangsa Han sendiri. Akan tetapi, biarpun dia Mancu, kalau baik budinya dan
tidak jahat, tidak semestinya dibunuh, bahkan kalau dia di ganggu orang jahat, wajib pula
kita bela”.
"Aih, sungguh aneh pendirianmu ini, Yin-moi (adik Yin)!” seru Cun Song yang membenci
segala yang "berbau” Mancu. Kalau dia setuju ketika Can Ok menyatakan hendak
bersekutu dengan Pangeran Dorbai, seorang bangsawan Mancu, hal itu adalah
merupakan siasat. Kalau gerakan itu berhasil, kelak dia sendiri yang akan membunuh
Pangeran Dorbai yang dia anggap sebagai musuh besarnya karena pangeran itu yang
datang bersama pasukan dan menyerbu rumah paman dan ayahnya, beserta isteri
mereka, tewas dibantai pasukan.
"Sama sekali tidak aneh, Song-ko (kakak Song). Bukankah seperti pula pendirian setiap
orang pendekar? Menegakkan dan membela kebenaran dan keadilan menentang
kejahatan?”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 228
"Akan tetapi seorang patriot harus membela tanah air dan menentang mereka yang
menjajah tanah air kita ", kata Cun Song penasaran.
"Benar sekali, Song-ko. Ayahku dulu juga berjuang mati-matian menentang bangsa Mancu
yang datang menjajah tanah air kita. Akan tetapi perang telah usai maka ayahku lebih
suka mengasingkan diri, walaupun hatinya kecewa dan bersedih sekali. Kalau sekarang
terjadi perang antara bangsa kita dan penjajah Mancu, percayalah, aku akan membantu
bangsa kita dengan taruhan nyawa ! Itu sudah menjadi kewajiban setiap warga Negara
yang baik. Perjuangan dalam perang bukan merupakan urusan pribadi lagi, jadi tidak ada
permusuhan perorangan, yang ada hanya bangsa melawan bangsa. Akan tetapi sekarang
tidak ada perang lagi, maka aku tidak lagi berjuang seperti juga ayah, melainkan bertindak
sebagai seorang pendekar yang menentang semua kejahatan, membela kebenaran dan
keadilan. Biarpun bangsa sendiri, kalau dia jahat, akan ku tentang dan biarpun orang
Mancu atau Mongol atau suku manapun juga, kalau dia baik dan benar pasti akan kubela”.
Cun Song membelalakan matanya dan mukanya berubah kemerahan. "Aih, darimanakah
engkau mendapatkan pendapat seperti itu, Yin-moi?”.
"Dari ayah, dari aku sendiri dan diperkuat ketika aku bertemu dan bersahabat dengan
Siauw Beng”.
Sepasang mata pemuda itu semakin terbelalak. "Siauw Beng? Siapa dia …..?”
"Namanya Lauw Beng akan tetapi biasa disebut Siauw Beng. Dia seorang pendekar besar
dengan julukan Si Tangan Halilintar”.
Cun Song tampak terkejut sekali. Tentu saja ini hanya pura-pura karena dia tentu sudah
tahu ketika gadis itu menyebut nama Siauw Beng tadi.
"Si Tangan Halilintar? Akan tetapi ….. aku mendengar ….. penjahat keji …….. dan dia di
cari dan dimusuhi semua orang kang-ouw ! Diakah yang kau maksudkan?”.
Ai Yin tersenyum tersenyum dan memandang wajah pemuda itu. "Tidak salah, twako.
Memang dia orangnya yang menjadi sahabatku”.
"Akan tetapi, mengapa engkau dapat bersahabat dengan seorang …. Pemerkosa dan
pembunuh yang amat jahat dan keji …..?”
"Itu hanya fitnah belaka, Song-ko. Siauw Beng sama sekali bukan seorang penjahat”.
"Akan tetapi, aku mendengar bahwa selain jahat, diapun seorang pengkhianat, Yin-moi.
Dia itu putera seorang pengkhianat pula ! Ayahnya pernah menjadi antek pembesar
Mancu, bahkan menikah dengan puteri pembesar itu. Dan ayahnya itu dahulu membantu
pemerintah Mancu, memimpin pasukan dan membantai para pejuang.
Kemudian, penjahat bernama Lauw Beng itu malah bergaul rapat dengan seorang puteri
Mancu!”.
Ai Yin mengangguk-angguk. "Semua itu aku sudah tahu, Song-ko”. Ia memandang kearah
mayat orang Mongol itu.
"Mari kita tinggalkan tempat ini, tidak enak bicara di dekat mayat itu”.
Mereka lalu berjalan perlahan sambil bercakap-cakap.
"Song-ko, Siauw Beng sudah menceritakan semua keadaannya kepadaku. Memang
ayahnya pernah tertipu orang Mancu, akan tetapi akhirnya ayahnya tewas sebagai
seorang patriot. Ibunya bukan keturunan Mancu, hanya menjadi anak tiri pembesar
Mancu. Dan tentang pergaulannya dengan puteri Mancu itu, hemmm … menurut
keterangannya, puteri itu adalah seorang gadis gagah perkasa dan berjiwa pendekar”.
"Hemmm, gadis Mancu gagah perkasa yang telah menyebabkan kematian banyak
pejuang bangsa kita yang menentang pemerintah penjajah Mancu. Yin-moi, agaknya
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 229
engkau percaya benar kepada Lauw Beng itu. Lalu, apakah dia juga menceritakan
bagaimana lengan kirinya sampai buntung?”.
Ai Yin menghela napas panjang. "Aih, memang itu gara-gara dia membela Puteri Mancu
itu. Dia membela Puteri itu hendak dibunuh para pendekar pejuang karena dia merasa
bahwa puteri itu tidak bersalah, dan ketika dia membelanya itulah lengan kirinya buntung,
terbabat pedang”.
"Hemmm, siapa yang membuntungi lengannya?”.
"Dia tidak mengatakan siapa, mungkin seorang diantara mereka yang hendak membunuh
Puteri Mancu itu. Akan tetapi aku berani menanggung dan menjadi saksi bahwa bukan
Siauw Beng yang melakukan semua perkosaan dan pembunuhan itu, Song-ko. Hal ini aku
yakin benar karena selama terjadi kejahatan itu, aku selalu bersama dia!”.
"Yakin benarkah engkau, Yin-moi? Bagaimana kalau dia melakukan hal itu di waktu
malam? Aku yakin engkau tentu berada dikamar terpisah …..”.
"Tentu saja! "Ai Yin berseru lantang. "Akan tetapi dari sikapnya, sepak terjangnya. Aku
yakin bukan dia penjahat itu. Tentu ada orang lain yang melakukan hal itu dan
mempergunakan namanya untuk melempar fitnah kepada Siauw Beng”.
"Kalau begitu tentu ada seorang penjahat yang lengan kirinya juga buntung ", kata Cun
Song sambil mengerutkan alisnya.
"Aku kira juga begitu. Engkau yang banyak mengenal orang kangouw, tahukah engkah
apakah di dunia kangouw ada seorang lihai yang lengan kirinya buntung?”.
Setelah berpikir sejenak Cun Song berkata, Ah, aku ingat sekarang. Ada seorang
perampok tunggal di daerah Kwi-cu yang lengan kirinya buntung. Diapun lihai sekali, akan
tetapi ….. usianya sudah setengah tua, mungkin sekarang sudah mendekati lima puluh
tahun”.
"Hemmm, mungkin saja dia! Menurut desas-desus, orang yang menggunakan nama
julukan Si Tangan Halilintar seperti julukan Siauw Beng itu hanya di ketahui bahwa dia
seorang laki-laki berlengan kiri buntung, tidak ada yang melihat jelas wajahnya sehingga
tidak ada yang dapat mengatakan apakah dia muda atau tua, Song-ko, katakan, dimana
adanya perampok itu dan siapa namanya?”.
"Dia tinggal di Kwi-cu dan namanya Tung Ci”.
"Terima kasih, Song-ko. Sekarang aku mau pergi ketempat dimana aku dan Siauw Beng
tadi dikeroyok banyak orang dan kalau dapat bertemu dengannya akan kuberitahu dia.
Kami akan menemui Tung Ci itu di Kwi-cu!”.
"Aku akan membantumu, Yin-moi. Aku juga merasa penasaran sekali mendengar bahwa
sahabatmu yang tidak berdosa itu difitnah orang!”.
Ai Yin menjadi girang sekali. "Terima kasih, Song-ko, aku girang sekali!”.
Mereka berdua lalu meninggalkan tempat itu dan menuju ke jalan dekat hutan dimana tadi
Ai Yin dan Siauw Beng dikeroyok banyak perajurit Mancu dan orang-orang kangouw. Akan
tetapi setelah mereka tiba di tempat itu, disitu sepi saja, tidak tampak ada seorangpun.
Hanya di atas tanah terdapat tanda-tanda bahwa di situ baru saja di injak-injak banyak
kaki orang dan ada ceceran darah di sana-sini.
"Hemmm, agaknya mereka semua telah pergi ", kata Ai Yin.
"Apakah tadi mereka mengeroyok engkau dan Lauw Beng itu di sini? Siapa saja yang
mengeroyok kalian?” Tanya Cun Song.
"Ah, sungguh menyebalkan!” Ai Yin membanting kaki dengan gemas. "Ada puluhan orang.
Mereka terdiri dari perajurit-perajurit Mancu, dan ada pula orang-orang kang-ouw dan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 230
yang membuat aku gemas, paman guruku Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang
Pencabut Nyawa) Can Ok juga datang bersama dua orang Mongol itu. Seorang di
antaranya setelah mengeroyokku dengan banyak sekali orang dapat menangkap aku dan
membawaku lari ke hutan dimana engkau datang membantuku tadi, Song-ko”.
Diam-diam Cun Song terkejut bukan main, tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu.
Kiranya Can Ok yang muncul bersama dua orang Mongol yang lihai itu! Kalau begitu, dua
orang Mongol itu tentu orang-orangnya Pangeran Galdan yang di utus bersama Can Ok
mengunjungi Pangeran Dorbai di kota raja. Dan dia telah membunuh seorang diantaranya!
Akan tetapi, peristiwa itu tidak diketahui siapapun kecuali dia sendiri dan Ai Yin. Can Ok
tidak akan mengetahuinya dan dia tidak akan dipersalahkan.
"Lalu, kemana perginya Lauw Beng?” dia bertanya sambil memandang ke sekeliling
karena bagaimanapun juga, dia khawatir kalau-kalau Lauw Beng masih berada di tempat
itu. Dia sendiri tidak takut kepada Lauw Beng karena sekarang kepandaiannya telah
meningkat tinggi setelah dia digembleng oleh Jit Kong Lama. Dia bahkan merasa yakin
akan mampu mengalahkan dan membunuh Lauw Beng. Akan tetapi gadis ini sahabat baik
Lauw Beng. Kalau mereka maju berdua mengeroyoknya, tentu akan berbahaya baginya
karena juga memiliki ilmu silat tinggi.
Ai Yin lalu berteriak memanggil dengan suara melengking tinggi karena ia menggunakan
tenaga saktinya.
"Siauw Beng …… ! Siauw Beng …….!!! “
Beberapa kali ia mengulang panggilannya, akan tetapi hanya gema suaranya yang
menyambut. Tentu saja Siauw Beng tidak dapat mendengarnya sama sekali karena
pemuda itu telah pergi amat jauh dalam usaha pemuda itu mencari jejak Ai Yin yang
dilarikan orang Mongol.
"Dia tidak berada di sini, Yin-moi ", kata Cun Song dengan hati lega.
"Ya, agaknya dia sudah pergi dari sini”.
"Atau mungkin dia tertangkap oleh banyak orang itu”.
"Tidak mungkin ! Tidak mungkin Siauw Beng dapat tertawan oleh mereka!”.
"Lalu kemana dia pergi?”
"Mungkin dia pergi mencari aku atau melanjutkan pencariannya terhadap orang yang
menyamar sebagai dia itu. Kami berdua memang sedang mencari orang itu untuk
membuktikan bahwa Siauw Beng bukan pelakunya”.
"Hemm, kalau begitu mari kubantu engkau, Yin-moi. Aku juga merasa penasaran sekali
mendengar nama baik Si Tangan Halilintar dinodai oleh penjahat itu. Kita juga cari Lauw
Beng”.
Wajah Ai Yin berseri. "Ah, engkau sungguh baik sekali, Song-ko ! Engkau telah
menyelamatkan aku dan kini membantuku mencari Siauw Beng dan penjahat yang
memalsukan namanya itu!”.
"Ah, bukankah kita harus saling menolong, Yin-moi?”.
Kedua orang itu lalu melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari Siauw Beng dan juga
mencari penjahat itu. Sikap Cun Song yang amat sopan dan baik membuat Ai Yin semakin
percaya pada pemuda itu.
*****
"Braakkk ……!” Meja yang terbuat dari batu marmar tebal dan kokoh kuat itu hancur
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 231
berantakan ketika Lam-liong (Naga Selatan) Ma Giok memukulkan tangan kanannya yang
terbuka ke atasnya. Enam orang tamu laki-laki yang duduk dalam ruangan itu memandang
dengan alis berkerut dan khawatir. Mereka itu adalah Ciang Hu Seng, Bhe Kam, Lee Bun
dan Song Cin yang datang dari Liong-san, adapun yang dua orang lagi adalah Lu Kiat dan
keponakannya Lu Siong, dua orang murid Siauw-lim-pai yang terkenal. Seperti kita
ketahui, dua rombongan tamu yang kebetulan datang pada saat yang sama itu hendak
melapor kepada
Si Naga Selatan Ma Giok tentang anak angkat dan juga murid pendekar itu, Lauw Beng
yang berjuluk Si Tangan Halilintar.
"Sukar aku mempercayai pendengaranku!” kata Ma Giok dan wajahnya yang masih gagah
walaupun usianya sudah enam puluh tujuh tahun itu merah sekali, matanya mencorong.
"Harap saudara Ciang Hu Seng mewakili rombongan dari Liong-san untuk sekali lagi
menceritakan apa yang telah dilakukan Lauw Beng di sana”.
Ciang Hu Seng, orang ketiga dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang pendek gemuk dan
biasanya tertawa-tawa lucu itu kini berwajah tegang serius walaupun mulutnya masih
membentuk senyum. "Ma-taihiap, sesungguhnya kami juga merasa tidak enak sekali
melaporkan hal ini kepadamu, akan tetapi kami tidak berani bertindak lancing terhadap
putera angkat dan murid taihiap itu sebelum kami melapor. Seperti taihiap ketahui, kami
semua tinggal di Liong-san, mondok di rumah sute ( adik seperguruan) Lee Bun. Kurang
lebih sebulan yang lalu, pada suatu malam, ada orang menggunakan asap pembius
memasuki kamar Bhe Siu Cen, puteri sute Bhe Kam dan memperkosanya! Menurut Siu
Cen, pelaku kejahatan itu adalah seorang yang lengan kirinya buntung. Kami tadinya baru
menyangka saja bahwa pelakuknya adalah Lauw Beng, akan tetapi setelah melakukan
perjalanan ke sini, kami menjadi yakin karena di sepanjang perjalanan itu kami mendengar
bahwa seorang penjahat lengan kiri buntung yang berjuluk Si Tangan Halilintar melakukan
banyak pembunuhan dan perkosaan. Maka kami menghadap taihiap dan mohon
pertimbangan”.
Jelas tampak betapa dada pendekar tua itu terengah-engah. Agaknya dia masih dapat
menahan kemarahannya. Akan tetapi dia masih dapat menekan perasaannya dan kini dia
memandang kepada Lu Kiat dan Lu Siong. Dia juga mengenal Lu KIat sebagai seorang
murid Siauw lim yang dulu pernah berjuang bersamanya menentang penjajah Mancu.
"Saudara Lu Kiat ceritakanlah apa yang engkau ketahui?”.
Lu kiat menghela napas. "Saya dan keponakan saya Lu Siong ini juga merasa tidak enak
hati sekali, Lo-cianpwe. Akan tetapi kami hendak menceritakan apa adanya, apa yang
sebenarnya terjadi. Pada suatu malam, kebetulan saya berkunjung ke rumah suheng Gui
Liang yang tentu Lo-cian-pwe juga sudah mengenalnya ……”.
"Yang menjadi piauw-cu di Ceng-jun itu?”.
"Benar, Lo-cian-pwe. Dulu kami juga pernah berjuang dibawah pimpinan Lo-cian-pwe.
Nah, malam itu terjadi malapetaka yang mengerikan menimpa keluarga Gui-suheng.
Seorang penjahat memperkosa lalu membunuh Gui Cin, puteri suheng, bahkan Guisuheng
juga dibunuhnya ketika melawan. Isteri Gui-suheng juga tewas dibunuh penjahat
berlengan kiri buntung itu. Saya sempat melawannya dan saya mengenal gerakan silat Lohan-
kun dari Siauw-lim ketika dia berkelahi melawan saya. Akan tetapi gerakannya itu luar
biasa hebatnya sehingga saya roboh. Untung saya tidak sampai terbunuh dan dia
melarikan diri karena keributan itu memancing datangnya banyak orang”.
Wajah yang tadinya agak merah itu berubah menjadi pucat. "Kau ….. kau mengenal
wajahnya?”.
"Itulah sayangnya, Lo-cian-pwe. Cuaca amat gelap dan saya tidak dapat melihat
wajahnya. Hanya saya tahu bahwa dia seorang laki-laki yang buntung lengan kirinya dan
amat lihai. Gui Cin itu adalah tunangan keponakan saya Lu Siong ini. Kami lalu pergi
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 232
menghadap suheng Lauw Han Hwesio, ketua kuil Thian-li-tang di lereng Bukit Ayam dan
melaporkan kejadian itu. Setelah berunding dengan suheng Lauw Han Hwesio, kami lalu
membagi tugas. Suheng Lauw Han Hwesio pergi ke Sung San kepada para pimpinan
Siauw-lim-pai sedangkan kami berdua pergi ke sini untuk menghadap lo-cian-pwe. Seperti
juga saudara-saudara dari Liong-san ini, di sepanjang jalan kami juga mendengar tentang
Si Tangan Halilintar yang membunuh dan memperkosa wanita”.
Setelah Lu Kiat berhenti bercerita, keadaan menjadi sunyi. Ma Giok mengerutkan
sepasang alisnya dan memejamkan mata, lalu tanpa membuka mata dia bertanya
"Apakah diantara kalian ada yang melihat sendiri peristiwa bahwa penjahat itu adalah
Lauw Beng?”.
Orang-orang itu saling pandang dan Ciang Hu Seng berkata, "Di antara kami berempat
tidak ada yang melihatnya, taihiap. Akan tetapi semua tanda menunjukkan bahwa dia
pelaku kejahatan itu. Siapa lagi yang lengan kirinya buntung, lihai dan berjuluk Si Tangan
Halilintar kalau bukan Lauw Beng. Juga kejahatannya terhadap kami ada alasannya, yaitu
agaknya dia hendak membalas dendam karena kami membuat lengan kirinya buntung”.
Ma Giok masih memejamkan matanya dan mengerutkan matanya dan mengerutkan
alisnya, agaknya belum puas dengan keterangan Ciang Hu Sen yang di anggapnya tidak
meyakinkan itu.
"Lo-cian-pwe, dalam perjalan, kami berdua bertemu dengan Puteri Mayani dan seorang
nenek yang mengaku sebagai nenek Si Tangan Halilintar!” kata Lu Kiat.
Ma Giok membuka matanya dan memandang Lu Kiat dengan mata heran. Juga empat
orang dari Liong-san memandang heran.
"Saudara Lu Kiat, harap segera ceritakan pertemuan itu!” kata Ma Giok.
"Ketika itu, kami tiba di kota Teng-cun dan mendengar kabar bahwa di situ terdapat
seorang nenek yang mengaku sebagai nenek Si Tangan Halilintar. Kami segera
mencarinya karena mungkin dari nenek itu kami dapat menemukan cucunya. Kami
bertemu dengan nenek itu yang bersama Puteri Mayani. Mereka berdua marah
mendengar berita tentang Si Tangan Halilintar dan mengatakan bahwa itu hanya fitnah.
Kami berkelahi dan ternyata, baik nenek maupun puteri itu luar biasa lihainya. Terus
terang saja, kami berdua sama sekali bukan lawan mereka. Bahkan pedang kami di
rampas dan dipatah-patahkan. Akan tetapi kami sama sekali tidak dilukai. Puteri itu lalu
menantang kami berlomba. Kami di suruh mencari bukti-bukti nyata bahwa penjahat yang
mengaku berjuluk Si Tangan Halilintar itu benar Lauw Beng orangnya, sementara mereka
juga akan mencari dan menangkap orang yang
menggunakan nama Si Tangan Halilintar untuk memburukkan nama Lauw Beng.
Demikian ceritanya, lo-cian-pwe”.
"Sungguh aneh!” kata Bhe Kam yang pernah bertemu dan bertanding melawan Puteri
Mayani. "Kami tahu bahwa puteri itu lihai, akan tetapi kalau dengan tangan kosong
mampu mengalahkan ji-wi (kalian berdua) tanpa melukai dan mematah-matahkan pedang,
hal ini sungguh luar biasa!”
Bhe Kam juga mengenal dua orang itu sebagai murid-murid Siauw-lim-pai yang tangguh.
"Saudara Bhe Kam, apakah engkau tidak ingat akan nenek yang menyebut Puteri Mayani
sebagai Bu Kui Siang? Nenek itu adalah Nyonya Bu, ibunya mendiang Bu Kui Siang yang
entah bagaimana telah menjadi seorang yang luar biasa lihainya dan juga agaknya
pikirannya kacau. Tentu Puteri Mayani telah menerima pelajaran silat yang aneh darinya”.
"Sekarang bagaimana, Ma-Taihiap? Kami mohon pertimbangan taihiap tentang Si Tangan
Halilintar ", kata Ciang Hu Seng.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 233
"Kami juga mohon petunjuk, lo-cian-pwe ", kata pula Lu Kiat.
Wajah pendekar tua itu menjadi merah kembali dan sejenak dia tidak mampu menjawab,
agaknya mempertimbangkan dalam hatinya karena apa yang didengarnya itu betul-betul
mendatangkan guncangan dan pertentangan dalam batinnya. Kemudian, dia memandang
kepada semua orang itu dan berkata dengan suara tegas.
"Cu-wi (saudara sekalian), terus terang saja hatiku belum yakin benar bahwa anak
angkatku itu melakukan semua perbuatan keji itu. Bukan sekali-kali aku menganggap
keterangan kalian bohong. Akan tetapi karena di antara kalian tidak ada seorangpun yang
menyaksikan sendiri bahwa Lauw Beng yang melakukan kejahatan itu, juga tidak ada
yang dapat mengajukan bukti-bukti kuat, melainkan hanya mendengar atau melihat
bayangan laki-laki buntung lengan kirinya yang mengaku Si Tangan Halilintar. Karena itu,
benar seperti yang dikatakan Puteri Mayani. Kita harus
menangkap orang yang menggunakan namanya. Kalau kemudian ternyata bahwa benar
Lauw Beng yang melakukan kejahatan itu, aku sendiri yang akan membinasakannya! Nah,
sekarang kalian pergi dan carilah Lauw Beng aku sendiri akan menyelidiki peristiwa ini dan
andaikata benar dugaan Puteri Mayani bahwa ada orang yang memalsukan Lauw Beng,
aku akan berusaha menangkapnya”.
Enam orang itu lalu berpamit dan meninggalkan Thai-san. Lu Kiat dan Lu Siong
mengambil jalan sendiri, berpisah dari rombongan Ciong-yang Ngo-taihiap. Setelah para
tamunya pergi dan berkemas, Ma Giok terpaksa juga turun gunung karena dia merasa
bertanggung jawab kalau benar anak angkatnya itu melakukan kejahatan seperti yang
dilaporkan para tamunya tadi.
Akan tetapi biarpun mereka mengambil jalan sendiri, tetap saja tujuan perjalanan mereka
itu sama. Untuk mencari kepastian apakah pelaku kejahatan itu Lauw Beng atau
bukan,satu-satunya cara adalah menangkap basah penjahat itu. Maka tentu saja mereka
ke tempat-tempat dimana penjahat itu meninggalkan jejaknya, yaitu dimana terjadinya
pembunuhan dan perkosaan itu.
Dalam perjalanannya, Ma Giok juga mendengar tentang kejahatan dan kekejian yang
dilakukan penjahat yang mengaku Si Tangan Halilintar. Tentu saja hal ini membuat
perasaannya terpukul sekali. Benarkah Lauw Beng yang melakukan semua ini? Sambil
melangkah perlahan dia termenung mengenangkan keadaan pemuda yang telah di
anggap sebagai anaknya sendiri dan yang sebetulnya amat disayangnya itu. Biarpun ayah
Lauw Beng, yaitu mendiang Lauw Heng San pernah menjadi kaki tangan penjajah yang
menumpas para pejuang, akan tetapi Lauw Heng San berbuat demikian karena tertipu.
Dia mengira bahwa yang di tumpas itu adalah gerombolan penjahat. Akhirnya dia
menyadari bahkan membunuh Pangeran Abagan yang menjadi mertua tirinya sendiri.
Jelas bahwa Lauw Heng San bukan orang jahat. Juga isteri Lauw Heng San, Bu Kui
Siang, adalah seorang wanita yang baik budi, wanita yang amat dicintainya. Maka, Lauw
Beng bukan keturunan
orang jahat. Lauw Beng pernah di tuduh menjadi pengkhianat bangsa, akan tetapi dia tahu
bahwa pembelaan Lauw Beng terhadap Puteri Mancu itu bukan merupakan
pengkhianatan. Dia membela karena menganggap Mayani tidak bersalah. Akan tetapi
pembelaannya itu menyebabkan dia kehilangan lengan kirinya, dibuntungi oleh Song Cun.
Apakah peristiwa itu kemudian membuat dia mendendam dan dalam sakit hatinya dia
menjadi berubah kejam? Ma Giok hampir tidak percaya. Akan tetapi dia bertekat untuk
dapat menangkap pelaku kejahatan itu, baik pelaku itu Lauw Beng atau orang lain!.
****
Cun Song dan Ai Yin melakukan perjalanan menuji Kwi-cu. Mereka hendak mencari
perampok lengan kiri buntung bernama Tung Ci seperti yang diceritakan Cun Song
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 234
kepada Ai Yin. Selama beberapa hari dalam perjalanan, Cun Song bersikap ramah dan
sopan sehingga Ai Yin semakin percaya dan suka kepada pemuda yang di anggapnya
seorang pemuda pejuang yang gagah perkasa, segolongan dengan ayahnya yang dulu
juga merupakan seorang pejuang yang gigih.
Pada suatu pagi mereka tiba di sebuah daerah pertanian yang sepi. Hanya ada beberapa
orang petani yang menunggu sawah mereka dari serbuan burung-burung yang mencari
makan.
"Hei, Cun Song …..!” tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang mereka.
Cun Song dan Ai Yin membalikkan tubuh mereka dan Cun Song berseru girang.
"Can-toako (Kakak Can) …..!”.
Ai Yin mengerutkan alisnya ketika mengenal siapa yang datang berlari kearah mereka itu.
Orang itu adalah Can ok yang berjuluk Toat-beng Siang-kiam, paman gurunya!. Setelah
mereka berhadapan, Can Ok juga terkejut bukan main mengenal siapa gadis yang
melakukan perjalanan bersama Cun Song dan tampak akrab itu.
"Eh,….., engkau …. Ai Yin ….?”.
Ai Yin cemberut dan cepat ia mencabut pedangnya. Melihat ini, Cun Song terkejut dan
memegang lengan gadis itu.
"Yin-moi, Can-toako ini sahabat baikku, bukan musuh!”.
"Ai Yin, aku adalah susiok-mu (paman gurumu) kata pula Can Ok.
Jilid 21
"Susiok macam apa engkau? Engkau yang menyerang aku dan Siauw Beng, bahkan
menyuruh jahanam Mongol itu menangkap aku ! Hayo cabut pedangmu!” Ai Yin berseru
marah.
"Jangan marah dulu, Ai Yin. Aku menyuruh tangkap engkau karena hendak
menyelamatkan engkau dari bahaya pengeroyokan semua orang itu. Mari ku jelaskan
……” kata Can Ok.
"Benar, Yin-moi. Dengarkan dulu penjelasan Can-toako”, bujuk Cun Song.
Akhirnya Ai Yin mereda kemarahannya.” Baik, coba jelaskan semua perbuatanmu yang
busuk itu”.
"Perbuatan yang mana, Ai Yin?” Tanya Can Ok, diam-diam otaknya diputar untuk mencari
akal meredakan kemarahan gadis yang dia tahu lihai, galak, namun di anggapnya kurang
pengalaman itu.
"Dahulu, engkau bersama kakek guru Hui-kiam Lo-mo dan teman-temanmu telah
menyerang Lo-cian-pwe Ma Giok pemimpin pejuang besar itu sehingga mengakibatkan
ibu kandung Siauw Beng yang di lindunginya meninggal dunia ketika melahirkan Siauw
Beng. Perbuatanmu itu sungguh jahat dan kejam!”.
Can Ok membelalakkan matanya.” Ai Yin, bagaimana engkau bisa tahu akan peristiwa
yang terjadi dua puluh tahun lebih itu? Ketika itu engkau belum lahir!”.
"Tidak peduli dari mana aku tahu. Akan tetapi benar hal itu engkau lakukan, bukan?”.
"Tidak kusangkal, Ai Yin. Akan tetapi hal itu kami lakukan bukan tanpa alasan. Pertama,
Ma Giok telah berubah, mengkhianati bangsa kita. Kedua, dia menolong putera pembesar
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 235
Mancu yang di tangkap para pejuang dan ketiga, dia melindungi puteri Abagan yang
menjadi istri Lauw Heng San, pengkhianat yang banyak membasmi para pejuang kita
ketika dia menjadi mantu Pangeran Mancu itu. Sikapnya yang berkhianat itulah yang
membuat aku dan mendiang suhu menyerangnya”. Can Ok berhenti sebentar, menatap
tajam wajah gadis itu dan melanjutkan,” Suheng Bu-tek Sin-kiam Wong Tat, ayahmu
sendiri, tidak menyalahkan perbuatanku itu karena aku memusuhi orang yang membela
pembesar Mancu”.
"Hemm, baiklah kalau engkau mempunyai alasan untuk itu. Sekarang, mengapa engkau
menyerang kami ketika aku dan Siauw Beng melakukan perjalanan dan di keroyok banyak
orang itu. Kalau engkau ini mengaku paman guruku, mengapa melihat aku dikeroyok
banyak orang tidak membelaku, bahkan menyruh orang Mongol itu menangkap aku?”.
"Jangan salah mengerti, Ai Yin. Sejak dulu aku memang telah menduga bahwa Lauw
Beng itu bukan orang baik-baik. Kemudian aku mendengar kabar bahwa dia yang berjuluk
Si Tangan Halilintar melakukan banyak perkosaan dan pembunuhan sehingga dimusuhi
para pendekar kangouw dan juga pasukan pemerintah. Nah, ketika melihat engkau
dikeroyok, aku tahu bahwa engkau telah terbujuk oleh Lauw Beng sehingga engkau
tersangkut. Karena tidak ingin engkau celaka dikeroyok, maka aku menyuruh Kabilai,
orang Mongol itu, untuk menangkapmu dan menyelamatkanmu. Sedangkan aku sendiri
sibuk mengeroyok Lauw Beng yang sayang sekali dapat melarikan diri”.
Diam-diam Ai Yin merasa girang mendengar bahwa Siauw Beng dapat menyelamatkan
diri dari pengeroyokan demikian banyak orang. Rasa lega dan girang ini setidaknya telah
mengurangi kemarahannya terhadap paman gurunya. Juga paman gurunya itu dapat
memberi alasan yang masuk akal. Akan tetapi dia masih cemberut ketika berkata.
"Huh, susiok mengira telah berlaku benar ketika menyuruh setan Mongol itu membawa
aku keluar dari pengeroyokkan banyak orang itu? Dia itu seorang jahanam keparat busuk,
hampir saja mencelakai aku!”.
"Eh, aku yang terjadi?” Can Ok bertanya kaget karena dia sama sekali tidak mengira
bahwa Kabilai akan berbuat jahat terhadap murid keponakannya itu.
"Dia hendak kurang ajar dan tidak sopan padaku. Hampir aku celaka kalau saja tidak
muncul Song-ko ini yang menolongku”.
"Wah, kurang ajar betul dia ! Dimana dia sekarang? Aku akan menegurnya dengan
keras!”.
"Tidak perlu lagi, susiok. Dia sudah mampus kubunuh!”.
"Wah, celaka ……!” kata Can Ok, terkejut sekali.
"Kenapa Can-toako?” Cun Song bertanya.
"Dia itu orang utusan Pangeran Galdan! Ah, sekarang kedua-duanya telah tewas. Tidak ku
sangka Kabilai dapat berbuat kurang ajar seperti itu kepada murid keponakanku ! Biarlah,
aku akan mencari alasan untuk kelak menjelaskan kepada Pangerang Galdan”.
Ai Yin mengerutkan alisnya.” Hemmm, susiok. Bukankah Pangeran Galdan itu Pangeran
Mongol yang kini berperang di perbatasan utara dengan pasukan Mancu? Apa hubungan
paman dengan dia dan mengapa paman berada dengan dua orang Mongol utusan
pangeran itu?” Gadis itu memandang curiga.
"Aih, tentu saja engkau merasa heran, Ai Yin. Engkau belum mengetahui apa yang
selama ini kami perjuangkan. Mari kita duduk disana agar dapat lebih enak bicara”.
Mereka lalu duduk di atas batu-batu yang berada dibawah pohon yang rindang.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 236
"Ceritakan, susiok, agar aku tidak menjadi penasaran”.
"Begini, Ai Yin, Aku dan Cun Song ini telah mempunyai rencana yang amat baik untuk
menjatuhkan kerajaan Mancu dan mengusir mereka dari tanah air kita”.
"Bagus sekali itu ! Bagaimana rencana itu?” Tanya Ai Yin penuh gairah. Bagaimanapun
juga, ia puteri seorang pejuang yang menentang penjajahan Mancu.
"Rencana itu bahkan sebagian telah kami laksanakan. Pertama-tama kami mengajak
orang-orang Mongol yang memiliki pasukan yang besar dan kuat itu untuk bersekutu dan
mereka akan menggempur pasukan Mancu dari utara. Dengan demikian mereka
memancing pemusatan bala tentara Mancu dari utara. Dengan demikian mereka
memancing pemusatan bala tentara Mancu ke pertempuran di daerah perbatasan
sehingga ke kota raja menjadi lemah. Nah, kamu sudah menghubungi para pejuang untuk
bersiap-siap, kalau saat itu telah tiba para pejuang akan bersama-sama pasukan yang
akan dikerahkan Pangeran Dorbai untuk menyerang dan menguasai istana ! Bagaimana
hebat, bukan rencana itu?”.
"Pangerang Dorbai? Siapa pula itu?” Ai Yin bertanya, kini kepercayaannya terhadap
paman gurunya mulai tumbuh.
"Dia adalah seorang pangeran Mancu yang kini memiliki kedudukan tinggi karena dia
mengepalai semua pembesar yang bertugas di daerah luar kota raja. Dia yang akan
mengerahkan pasukan pengikutnya untuk menyerang istana. Nah, penggabungan antara
Pangeran Galdan orang Mongol, Pangeran Dorbai orang Mancu, dan kita para pejuang,
akan cukup kuat untuk menggulingkan pemerintah Ceng sekaran ini”.
"Wah, itu rencana bodoh sekali, susiok!” Ai Yin mencela.
"Eh, mengapa engkau menganggap rencana itu bodoh, Yin-moi?” Tanya Caun Song.
"Jelas bodoh ! Mengapa bersekutu dengan Pangeran Dorbai, seorang pangeran dari
Kerajaan Mancu juga. Kalau berhasil Kaisar Kerajaan Ceng digulingkan, tidak urung yang
menjadi Kaisar baru tentu Pangeran Dorbai. Sama saja, kita tetap di jajah orang Mancu!”.
"Ai Yin, untuk menghadapi kemungkinan itu, kami telah mengatur siasat lanjutan”, kata
Can Ok bangga.” Kalau penggulingan kaisar itu berhasil, kami akan menggunakan
pasukan Mongol untuk menghantam pasukan pendukung Pangeran Dorbai, sedangkan
Cun Song yang dalam gerakan ini mendampingi Pangeran Dorbai akan membunuhnya
dengan mudah karena tentu dia tidak curiga kepada kami yang menjadi sekutunya.
Dengan demikian, semua orang penting bangsa Mancu tersingkir dan pasukannya akan
kami usir dari tanah air”.
"Hemmm, itu pun tidak akan menolong bangsa kita karena Pangeran Galdan tentu akan
menguasai istana dan mendirikan Kerajaan Mongol. Apa artinya kalau terlepas dari mulut
harimau jatuh ke mulut buaya? Penjajah itu bangsa apapun juga, sama saja, menindas
rakyat dan menghisap semua kekayaan tanah air kita”.
"Jangan khawatir, Yin-moi. Untuk kemungkinan itu pun kami telah membuat perhitungan
dan persiapan. Setelah kaisar Ceng dijatuhkan dan Pangeran Dorbai dibunuh, kami
tinggal menghadapi Pangeran Galdan dan pasukannya. Karena mereka belum mengenal
daerah pedalaman dan baru datang, baru saja berperang, tentu mereka masih lemah.
Pada saat itu, kita mengerahkan pasukan terdiri dari para pendekar pejuang dan rakyat,
maka orang-orang Mongol itupun dapat kami hancurkan dan usir dari tanah air”.
Ai Yin mulai tertarik. Tentu saja, untuk membebaskan tanah air dari cengkraman penjajah
yang manapun, sebagai puteri Bu-tek Sin-kiam, ia siap untuk membantu dengan taruhan
nyawa!.
"Kalau begitu memang bagus sekali!” katanya dengan wajah berseri.” Akan tetapi setelah
bangsa Mancu dan bangsa Mongol dapat di usir, Kerajaan bangsa kita sendiri yang akan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 237
berkuasa, lalu siapa yang akan menjadi kaisarnya?”.
Cun Song dan Can Ok saling berpandangan dan tersenyum maklum. Tentu saja mereka
tidak bodoh untuk membuka rahasia pribadi mereka yang penuh ambisi itu.
"Wah, soal itu bagaimana nanti saja, Ai Yin”, kata Can Ok.” Kita semua setia kepada
Kerajaan Beng. Keturunan itulah yang berhak menjadi kaisar”.
"Bagaimana, Yin-moi? Engkau mau membantu gerakan kami ini, bukan? Aku yakin kalau
ayahmu mendengar, beliau tentu akan setuju sekali dan siap membantu. Ayahmu akan
merasa bangga kalau puterinya ikut berjuang menumbangkan Kerajaan Ceng”.
"Akan tetapi aku harus bertemu dulu dengan Siauw Beng. Aku harus membantu dia
menemukan orang yang memalsukan namanya!” Setelah berpikir sejenak Ai Yin berkata
tegas.” Sebelum aku membantu gerakan kalian, aku ingin menemukan dulu Si Tangan
Halilintar palsu itu. Kita harus mencari perampok di Kwi-cu yang buntung lengan kirinya itu
dulu, Song-ko!”.
"Perampok di Kwi-cu? Apa yang dimaksudkan Ai Yin, Cun Song?” Tanya Can Ok.
"Begini, twako. Ai Yin menduga bahwa tentu ada orang yang buntung lengan kirinya yang
mempergunakan nama Si Tangan Halilintar dan melakukan semua kejahatan itu. Dan
tokoh yang lengan kirinya buntung adalah perampok tunggal di Kwi-cu yang bernama
Tung Ci. Sebaiknya sekarang kita berpisah, twako. Engkau melanjutkan persiapan
mengerahkan para pejuang untuk bergerak kalau waktunya sudah tiba dan aku akan
mengantar dulu Yin-moi ke Kwi-cu mencari Tung-ci”.
Mereka lalu berpisah, dan Cun Song bersama Ai Yin melanjutkan perjalanan mereka ke
Kwi-cu.
****
Lauw Beng atau Siauw Beng berjalan dengan alis berkerut. Dia belum juga dapat
menemukan jejak Ai Yin yang dilarikan orang Mongol itu. Kemarin dia menemukan orang
Mongol tinggi kurus itu menggeletak di tepi jalan, sudah menjadi mayat dengan kepala
pecah! Akan tetapi Ai Yin tidak kelihatan. Bagaimanapun juga, dia merasa agak lega
karena kematian orang Mongol itu menunjukkan bahwa Ai Yin telah dapat meloloskan diri.
Akan tetapi kemana ia pergi? Gadis itu sama sekali tidak meninggalkan jejak. Lalu ia
teringat bahwa ketika mereka di serang banyak orang, dia dan Ai Yin sedang pergi
mencari penjahat pemerkosa dan pembunuh yang menggunakan nama Si Tangan
Halilintar. Kiranya tidak salah lagi dugaannya bahwa setelah berpisah darinya, Ai Yin yang
sudah lolos dari tangan orang Mongol itu tentu melanjutkan usahanya mencari pembunuh
itu! Maka tidak ada lain jalan bagi Siauw Beng kecuali dia juga meneruskan usahanya
mencari pembunuh itu dengan mendengarkan berita tentang dimana dia melakukan
kejahatannya.
Dua hari kemudian dia mendengar berita bahwa di kota Kian-si terjadi pembunuhan atas
diri seorang pembesar Mancu. Mendengar ini Siauw Beng segera menuju ke kota itu dan
menjelang tengah hari dia memasuki pintu gerbang kota Kian-ci. Dia tidak mau bermalam
di dalam kota karena keadaannya mungkin akan menarik perhatian orang. Dia memasuki
pintu gerbang hanya untuk membeli makanan. Setelah membeli makanan dia membawa
itu keluar dari
kota. Dia makan di sebuah gubuk yang berada di sawah. Gubuk itu tentu milik petani yang
menggunakannya sebagai tempat mengaso setelah lelah bekerja.
Sama sekali dia tidak mengira bahwa kehadirannya yang hanya sebentar di pinggir kota
Kian-si untuk membeli makanan itu, yang nampaknya tidak menarik perhatian orang,
ternyata telah diawasi beberapa pasang mata dengan penuh perhatian yang mengikuti
semua gerak-geriknya.
Setelah dia hampir selesai makan, tiba-tiba saja dia melihat bahwa tempat itu telah di
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 238
kepung belasan orang. Siauw Beng menghentikan makannya dan keluar dari gubuk,
berdiri tegak dan memandang ke sekeliling dari bawah capingnya yang lebar. Diam-diam
dia terkejut bukan main melihat bahwa yang mengepungnya itu adalah tujuh orang Kanglam
Jit-hiap yang tempo hari mengeroyok dia dan Ai Yin. Akan tetapi yang lebih baik
mengejutkan lagi adalah ketika dia melihat empat orang yang lain, yang bukan lain adalah
Ciang Hu Seng, Bhe Kam, Lee Bun dan Song Cin, empat orang dari Ciong-yang Ngotaihiap
bersama keponakannya mereka, putera kedua dari mendiang Song Kui ! Akan
tetapi orang yang dulu membuntungi lengan kirinya, bahkan yang telah memperkosa
Mayani, yaitu Song Cun, Kakak Song Cin itu, tidak tampak. Sebelas orang itu agaknya
sudah sejak tadi membayanginya dan kini mereka mengepung dengan senjata di tangan
dan wajah bengis membayangkan kemarahan besar!.
Berdebar juga rasa jantung Siauw Beng. Bukan karena takut, melainkan karena merasa
tidak enak. Sebelas orang itu adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Tentu saja
dia tidak ingin melukai mereka. Akan tetapi untuk melarikan diri begitu saja agaknya juga
amat sukar. Maka, dia lalu mengangkat tangan kiri, dimiringkan depan dada sambil
membungkuk sedikit sebagai tanda penghormatan.
"Kalau saya tidak salah duga, cuwi (anda sekalian) mencari saya? Sadarlah bahwa cuwi
telah salah sangka. Bukan saya pelaku kejahatan yang mengaku berjuluk Si Tangan
Halilintar itu!”.
"Keparat busuk, engkau telah memperkosa dan membunuh seorang murid wanita kami!
Engkau harus menebusnya dengan nyawamu untuk membuat perhitungan dengannya di
alam baka!” bentak orang pertama dari Kang-lam Jit-hiap yang bermata sipit, berwajah
pucat dengan jenggot panjang sambil mengelebatkan pedangnya.
"Lauw Beng, manusia terkutuk kau ! Engkau telah merusak kehidupan puteriku!” bentak
Bhe Kam dengan muka berubah merah.
"Engkau harus mencuci aib yang kau lemparkan kepada Cen-moi tunanganku dengan
darahmu!” Song Cin juga membentak marah.
Siauw Beng terkejut. Dia mengetahui bahwa Bhe Kam mempunyai seorang puteri dan
agaknya puterinya itu, yang menjadi tunangan Song Cin, juga menjadi korban penjahat itu.
Dalam hatinya dia mengutuk penjahat itu.
"Cu-wi, saya bersumpah tidak melakukan semua itu!” katanya tenang.
"Huh, tidak ada maling mengakui perbuatannya!” kata pemimpin Kang-lam Jit-hiap.
"Engkau bahkan membunuh murid Siauw-lim-pai dan puterinya!” kata Ciang Hu Seng.”
Lauw Beng, menyerahlah saja untuk kami bawa ke Siauw-lim-pai menerima pengadilan!”.
"Sungguh, saya tidak bersalah”, kata Siauw Beng.” Bagaimana saya harus menyerah?
Saya tidak melakukan semua kejahatan itu!”.
Kang-lam Jit-kiam sudah mengatur Jit-seng-kiam-tin (Barisan Pedang Tujuh Bintang) dan
empat orang dari Liong-san juga sudah siap dengan pedang mereka.
Siauw Beng memandang dan dia tahu betapa dia kini dikepung lawan-lawan yang amat
tangguh. Tak mungkin dia melawan mereka dengan sebelah tangan yang kosong.
Terpaksa dia mencabut Lui-kong Sin-kiam (Pedang Sakti Halilintar) yang tadinya dipakai
sebagai ikat pinggangnya. Dia harus menggunakan pedang itu untuk melindungi dirinya.
"Maafkan, saya sungguh tidak ingin berkelahi dan bermusuhan dengan cuwi”, katanya.”
Kalau tidak ingin berkelahi, menyerahlah!” Ciang Hu Seng membentak.
"Saya tidak mungkin menyerah karena saya tidak merasa bersalah”.
"Lihat pedang!” bentak orang pertama dari Kang-lam Jit-kiam dan barisan pedang tujuh
bintang itu sudah bergerak menyerang secara sambung menyambung dan saling
melindungi. Gerakan mereka mantap dan kuat, juga teratur rapi sekali. Siauw Beng
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 239
menggerakkan pedangnya, di putar cepat melindungi dirinya dan tampaklah sinar pedang
menyambar-nyambar seperti kilat, bergulung-gulung membentuk lingkaran sinar yang
menutupi tubuhnya dari semua serangan. Terdengar bunyi dentang dan dencing logam di
susul muncratnya bunga api berpijar-pijar.
Kini tiga orang pendekar Ciang-yang itu menerjang dengan gerakan pedang mereka yang
cepat dan kuat, di ikuti pedang di tangan Song Cin yang juga menyerang dengan
pengerahan tenaga sekuatnya karena pemuda ini membalaskan dendam penghinaan
yang menimpa diri tunangannya.
Setelah puluhan jurus telah lewat, Siauw Beng merasa repot. Mana mungkin berkelahi
hanya menangkis terus? Dikeroyok sebelas orang yang memiliki ilmu pedang tinggi lagi,
apa pula barisan pedang itu sungguh amat berbahaya. Kalau saja dia mau menggunakan
pedangnya untuk balas menyerang, mungkin dia dapat merobohkan satu dua orang
sehingga makin meringankan pengeroyokan itu. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal
ini. Dia maklum bahwa sebelas orang itu adalah pendekar-pendekar dan mereka semua
tidak bersalah karena agaknya mereka yakin benar bahwa dia telah melakukan semua
perbuatan jahat yang terkutuk itu.
Dia mulai mencari kesempatan untuk melarikan diri. Kalau aku membiarkan terluka,
mungkin hal ini mengendurkan desakan mereka dan membuka kesempatan baginya untuk
melarikan diri, pikirnya. Setelah membuat perhitungan masak-masak, tiba-tiba setelah
lingkaran sinar pedangnya dapat menangkis dan membuat semua pedang para
pengeroyok terpental, Siauw Beng membuat dirinya terpeleset dan sengaja membuka
pundak kirinya agar dapat dimasukiserangan lawan. Para pengeroyok yang rata-rata ahli
pedang itu melihat kesempatan ini, maka secepat kilat Ciang Hu Seng menusukkan
pedangnya kea rah pundak kanan Siauw Beng itu.
"Tranggg ….!” Pedang Ciang Hu Seng terpental seperti di tangkis benda yang keras dan
kuat sekali. Ternyata yang menangkisnya itu adalah sebuah batu sebesar kepalan tangan
yang dilontarkan orang, menangkis pedang yang nyaris melukai pundak Siauw Beng.
Ciang Hu Seng terkejut dan melompat ke belakang. Akan tetapi pada saat itu, terjadi hujan
batu yang paling besar hanya sekepalan tangan. Akan tetapi batu-batu itu meluncur
dengan cepat dan kuat sekali.
Terdengar suara berkerontangan dan semua pedang dihantam batu sehingga hampir
terlepas dari tangan pemegangnya. Kemudian ada batu-batu sebesar ibu jari kaki
meluncur dan mengenai tubuh sebelas orang itu. Semua tepat mengenai jalan darah
sehingga mereka semua tergetar kesemutan hampir lumpuh. Selagi sebelas orang itu
mengaduh dan berlompatan dengan terhuyung terdengar suara nyaring.
"Orang-orang tak tahu diri! Pantaskah kalian disebut pendekar-pendekar sejati kalau
mengeroyok seorang seperti ini? Dan kalau orang itu sudah mengalah, tidak membalas
serangan kalian, akan tetapi kalian tidak tahu diri ! Sungguh tidak tahu malu!”.
Dua bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu di dekat Siauw Beng telah berdiri dua
orang yaitu Nanek Bu dan Puteri Mayani!. Yang bicara tadi adalah Puteri Mayani. Gadis itu
berdiri tegak dan matanya memandang sebelas orang itu satu demi satu. Ketika ia
bertemu pandang dengan Song Cin, sinar matanya berkilat dan
Song Cin teringat betapa dia dan Song Cun dulu menyeret gadis itu ke depan makam
orang tuanya dan betapa Song Cun memperkosa puteri itu sedangkan dia walaupun tidak
ikut melakukan bahkan tidak setuju, namun diam saja tidak mencegah perbuatan terkutuk
itu dilakukan ! Nenek Bu yang berdiri di dekat Mayani, hanya tersenyum-senyum dan
seolah tidak peduli kepada sebelas orang itu. Sebelas orang itu terkejut dan mereka siap
dengan pedang di tangan karena maklum bahwa ada lawan tangguh membela Siauw
Beng. Empat orang dari Liong-san itu memandang kepada puteri Mayani dan Nenek Bu.
Mereka tentu saja mengenal Puteri Mayani yang dulu dibela oleh Siauw Beng, dan
mengenal pula nenek itu sebagai nenek gila yang dulu membawa lari Puteri Mayani!.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 240
"Mayani ….. jangan ….. jangan serang mereka …..!” Siauw Beng berseru, khawatir kalaukalau
Mayani dan nenek itu membunuh sebelas orang itu akan tetapi suaranya juga
mengandung keharuan dan kegirangan dapat bertemu kembali dengan puteri yang selalu
menjadi kenangan itu, yang kini muncul menyelamatkan dirinya dari bahaya.
"Siauw Beng, orang-orang ini tidak tahu diri dan tidak tahu malu. Mengapa engkau
melarang aku menghajar mereka?”.
"Tidak, Mayani. Mereka bukan orang jahat. Mereka menyerangku karena mereka mengira
aku yang memperkosa gadis-gadis itu dan melakukan pembunuhan – pembunuhan. Tentu
saja mereka mendendam”.
"Hemmmm, gadis-gadis mana yang kau perkosa, Siauw Beng?”.
"Hush, bukan aku yang memperkosanya!”.
"Hik-hik, aku tahu, akan tetapi orang-orang ini menyangka engkau yang melakukannya.
Gadis siapa saja yang menjadi korban?”.
"Yang seorang adalah murid dari Kang-lam Jit-hiap ini, dan yang kedua adalah ……
tunangan saudara Song Cin itu”.
"Ah, begitukah?” Puteri Mayani memandang kepada Song Cin.”Baru tahu rasa sekarang!”
katanya seperti kepada diri sendiri, akan tetapi Song Cin menundukkan mukanya. Dia
merasa disindir. Karena dulu membiarkan kakaknya memperkosa Mayani, maka kini
Mayani menganggap tunangannya diperkosa orang sebagai pembalasan terhadap
dirinya!.
"Kui Siang ….. kau tadi bilang apa? Siauw Beng …… atau Lauw Beng ….? Yang mana
dia ….?” Suara nenek itu tergetar, bahkan seluruh tubuhnya menggigil.
"Inilah, dia cucumu Lauw Beng alias Siauw Beng!” kata Mayani sambil menudingkan
kearah pemuda itu.” Siauw Beng, ini adalah nenekmu, Nyonya Bu, ibu dari ibumu Bu Kui
Siang!”.
Siauw Beng terkejut sekali. Dia terbelalak memandang nenek itu dan nenek itu pun
memandang kepada Siauw Beng dengan mata terbelalak dan wajahnya berubah pucat
sekali.
"Lauw Beng ….. engkau …. Anak Kui Siang …..? Ya … ya …. Engkau mirip ayahmu,
Lauw Heng San ….. dan matamu itu …. Itu mata Kui Siang ….!”
Siauw Beng merasa terharu sekali dan dia segera menjatuhkan dirinya berlutut depan kaki
nenek itu.
"Nenek ….!” serunya dan Siauw Beng tidak dapat menahan keharuan hatinya sehingga
beberapa tetes air mata menuruni kedua pipinya.
"Siauw Beng …. Ah, cucuku …. Ahhhh ….!” Nenek itu terkulai dan jatuh pingsan ke dalam
rangkulan lengan kanan Siauw Beng.
Melihat nenek yang mereka takuti itu pingsan dan Siauw Beng memondongnya, sebelas
orang itu bergerak lagi hendak menyerang. Puteri Mayani mencabut sebatang pedang
bengkok hendak mengamuk. Akan tetapi Siauw Beng cepat berkata.
"Mayani, kita lari!” Lalu dengan lengan kanan memanggul tubuh nenek itu di atas
pundaknya, dia melompat jauh dan melarikan diri, di ikuti oleh Puteri Mayani yang
mengomel panjang pendek.
Ketika mereka telah tiba jauh dan tidak tampak lagi ada yang mengejar karena yang
mengejar tertinggal jauh, Siauw Beng berhenti dalam sebuah hutan. Mayani juga berhenti
dan gadis itu mengomel.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 241
"Sialan kau, Siauw Beng! Mengapa mengajak lari? Aku tidak takut kepada mereka ! Biar
ditambah sepuluh orang lagi aku tidak takut. Akan ku buntungi lengan mereka satu demi
satu!”.
"Sudahlah, Mayani, maafkan aku. Sekarang paling penting merawat nenek”. Dia lalu
menurunkan tubuh Nenek Bu ke atas tanah berumput dan memeriksa denyut nadinya.
"Hemmm, dia mengalami guncangan batin yang hebat, Mayani”. katanya sambil
mengerutkan alisnya, merasa khawatir sekali.
Mayani ikut memeriksanya, lalu berkata.” Siauw Beng, nenekmu ini menguasai ilmu-ilmu
aneh dengan cara latihan yang aneh-aneh pula. Ia mengajarkan beberapa macam ilmu
kepadaku dan yang hebat adalah Hwe-tok-ciang (Tangan Racun Api). Mungkin dalam
latihan itu ia membuat kesalahan. Ketika aku menerima ajaran darinya, aku telah memiliki
dasar sinkang sehingga aku dapat melindungi tubuh bagian dalam. Menghimpun tenaga
untuk Hwe-tok-ciang mendatangkan hawa yang luar biasa panasnya dan mungkin saja
latihan itu yang membuat nenek Bu mudah terluka apabila ia mengalami sesuatu yang
mengguncang perasaannya”.
"Engkau benar, Mayani. Sebelum aku mencoba untuk merawatnya, ceritakan dulu
pertemuanmu dengannya sehingga aku dapat mengerti latar belakangnya”.
Mayani lalu menceritakan betapa ia dahulu diselamatkan Nenek Bu ketika akan dibunuh
keluarga Ciong-yang Ngo-taihiap, lalu dibawa pergi nenek itu. Ia disangka Bu Kui Siang
oleh nenek itu dan dilatih ilmu-ilmu yang tinggi. Ia menceritakan kepada Siauw Beng
betapa nenek itu bersikap seperti orang yang lupa keadaan dan sakit ingatannya.
"Kemudian setelah aku digembleng selama satu tahun, aku meninggalkannya didalam
pondok yang berada di atas pohon raksasa dalam hutan, dengan alasan akan mencari
cucunya bernama Siauw Beng yang tentu saja di anggap sebagai anakku karena baginya
aku adalah Bu Kui Siang. Aku pulang dan memberitahu orang tuaku tentang nenek itu.
Orang tauku setuju kalau Nenek Bu di ajak tinggal di rumah kami, maka aku lalu kembali
ke hutan menjemputnya. Kami sedang melakukan perjalanan menuju kota raja ketika kami
mendengar tentang Si Tangan Halilintar yang melakukan kejahatan. Aku tidak percaya,
lalu mengajak Nenek Bu untuk melakukan penyelidikan dan tadi kebetulan melihat engkau
dikeroyok itu”.
Siauw Beng mengangguk-angguk. Neneknya itu telah menderita sakit ingatan dan
mungkin benar dugaan Mayani bahwa ia melakukan kekeliruan ketika berlatih
menghimpun tenaga sinkang yang berhawa panas itu.
Siauw Beng lalu duduk bersila dekat tubuh nenek Bu yang panas sekali. Napas nenek itu
agak terengah seperti orang kepanasan. Siauw Beng menempelkan tangan yang tinggal
sebelah itu di tengah dada bagian atas dekat leher, lalu mengerahkan sinkang. Hawa
lembut dingin menyusup ke tubuh nenek itu, perlahan tapi pasti mengusir hawa yang amat
panas. Pernapasan nenek itu mulai normal kembali dan panasnya menurun. Siauw Beng
lalu menotok kedua pundak Nenek Bu dan mengurutkan tengkuknya.
Tiba-tiba Nenek Bu mengeluarkan teriakan dan kedua tangannya mendorong. Siauw Beng
menangkis dengan tangan kanannya dan tubuhnya terpental sampai beberapa meter
jauhnya! Mayani terkejut sekali melihat nenek itu dengan gerakan cepat melompat berdiri.
Siauw Beng dan Mayani melihat betapa nenek itu berdiri, memandang kepada Siauw
Beng dengan alis berkerut dan pandang mata heran.
"Orang muda, siapakah engkau dan apa yang kau lakukan terhadap diriku?”
pertanyaannya itu mengandung teguran dan keheranan, akan tetapi dalam kalimat yang
halus teratur. Mayani dan Siauw Beng girang bukan main karena tanda-tanda ini
menunjukkan bahwa Nenek Bu kini telah sembuh dari sakit ingatannya yang membuat ia
lupa segalanya.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 242
Siauw Beng segera maju menghampiri dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan nenek
itu.” Nenek, apakah nenek lupa kepada saya? Saya adalah Lauw Beng, cucu nenek!”.
Nenek itu membelalakkan mata, lalu mengangguk-angguk dan menyentuh dahinya.” Ya …
ya … aku teringat sekarang …. Ah, seperti mimpi rasanya. Engkau Lauw Beng cucuku!”
Nenek itu maju dan memegang kedua pundak pemuda itu. Ketika ia menariknya, Siauw
Beng merasa betapa neneknya itu memiliki sinkang besar sekali. Nenek Bu merangkul
Siauw Beng dan menangis!.
"Cucuku …., cucuku Lauw Beng … ah, dimana ibumu, Kui Siang anakku. Rasanya aku
sudah bertemu dengan anakku Kui Siang …..!”.
"Aku berada di sini, ibu!”.
Nenek itu melepas rangkulannya dari pundak Siauw Beng lalu memutar tubuhnya,
memandang kepada Mayani dengan alis berkerut. Ia tampak keheranan.
"Engkau? Engkau bukan Bu Kui Siang, anakku, walaupun aku …. Rasanya wajahmu tidak
asing bagiku …..!” kembali nenek itu meraba dahinya.
Siauw Beng menggunakan tangan kanannya merangkul nenek itu dan berkata dengan
lembut.” Nek, marilah kita duduk dan akan kami ceritakan semua yang telah terjadi”.
"Benar, Nek, Aku adalah Mayani yang selama ini engkau anggap sebagai Bu Kui Siang
dan selama setahun engkau mengajariku ilmu silat”.
"Ya …. Ya …. Aku ingat, aku bertemu Kui Siang dan melatihnya silat dalam hutan. Ah,
mengapa aku berada dalam hutan? Lauw Beng, cucuku, apakah yang telah terjadi dengan
diriku?”.
"Nenek yang baik dan tersayang, Mayani ini menemukan engkau dalam keadaan seperti
orang kehilangan ingatan. Apakah nenek tidak dapat teringat akan apa yang nenek alami
dulu, setelah nenek menghilang dari kota Keng-koan?”.
Mereka duduk di bawah pohon dan Nenek Bu meraba dahinya, mengingat-ingat.
"Ah, aku ingat …. Ketika itu aku melarikan diri setelah melihat ayahmu, mantuku Lauw
Heng San mengamuk dan melawan Thio Ciangkun (Panglima Thio) dan para jagoannya,
melihat ayahmu itu tewas ketika berkelahi melawan Thio ciangkun. Aku melarikan diri
keluar kota menunggang kuda dan dalam sebuah hutan, aku di serang lima orang
perampok. Ya, aku ingat jelas sekarang. Ketika diserang lima perampok itu, aku di tolong
oleh seorang nenek gila. Ia adalah Pek Sim Kui-bo dan aku menjadi muridnya.
mempelajari ilmu-ilmu aneh selama belasan tahun. Subo ( ibu guru) itu meninggal dunia
dalam usia yang sudah tua sekali. Setelah itu ….. nah, setelah itu …. Wah, aku lupa sama
sekali ….”.
Siauw Beng mengangguk-angguk.” Agaknya mulai saat itulah Nenek kehilangan ingatan”.
"Benar, Nek. Engkau muncul menolongku ketika aku akan di bunuh orang-orang yang
menamakan dirinya para pendekar namun picik itu. Engkau menganggap bahwa aku
adalah Bu Kui Siang anakmu. Karena kasian aku membenarkannya saja dan aku menjadi
muridmu selama setahun dalam hutan di Kui-san itu. Aku lalu bicara tentang cucumu yang
bernama Lauw Beng, dan mengajakmu untuk pergi ke rumah orang tuaku di kota raja.
Dan kebetulan sekali kita melihat Siauw Beng dikeroyok banyak orang tadi. Ketika engkau
bertemu dengan Siauw Beng cucumu, engkau begitu girang dan tiba-tiba roboh pingsan.
Begitulah ceritanya, Nek”.
Nenek itu mengangguk-angguk, wajahnya berseri.” Ah, aku senang sekali ! Bukan saja
bertemu dengan engkau cucuku, akan tetapi aku juga sudah ingat semua. Akan tetapi
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 243
engkau, Nona yang selama ini ku anggap puteriku, siapakah engkau dan dimana
sekarang puteriku Bu Kui Siang?”.
"Aku bernama Mayani, Nek. Ayahku adalah Pangeran Ceng San di Kota raja. Menurut
keterangan ayahku, dia juga mengenal baik Pangeran Abagan atau Thio Ciangkun yang
tinggal di Keng-koan”.
"Pangeran Ceng San? Ah, apakah dia Pangeran Gunam?”.
"Benar, Nek”.
"Aku ingat sekarang. Pangeran Gunam dan isterinya adalah orang-orang yang baik dan
ramah, dahulu keluarga kami menjadi sahabat baik. Akan tetapi, Lauw Beng dimana
adanya Bu Kui Siang ibumu?”.
Siauw Beng menghela napas panjang.” Harap tenangkan hatimu, Nek. Sesungguhnya, Ibu
Bu Kui Siang telah …… meninggal dunia ketika melahirkan saya”.
"Ah, Kui Siang …..!” Nenek Bu tiba-tiba menangis. ”Alangkah buruk nasibmu ….”.
Siauw Beng dan Mayani memandang dengan haru dan membiarkan nenek itu
menumpahkan kesedihannya dalam tangis. Akan tetapi tidak lama nenek itu menangis.
"baiklah, sekarang aku sudah tahu benar siapa kalian. Nah, sekarang ceritakan, Lauw
Beng, mengapa lengan kirimu buntung? Dan mengapa pula tadi engkau dikeroyok banyak
orang?”.
Dengan sabar, jelas namun singkat Siauw Beng menceritakan semua pengalamannya
sampai lengan kirinya dibabat buntung oleh Song Cun. Dalam kesempatan ini. Mayani
juga terus terang menceritakan betapa ia nyaris di bunuh orang-orang dari Ciong-yang
Ngo-taihiap karena di tuduh menyebabkan kematian dua orang dari mereka. Juga ia
menceritakan betapa ia diperkosa oleh Song Cun dan ia pasti sudah tewas kalau tidak di
tolong Siauw Beng.
"Aih, mengapa orang-orang yang menamakan dirinya para pendekar itu demikian jahat
dan kejam? Hanya Ma Giok itu saja yang baik. Dahulu, sebelum menjadi selir Pangeran
Abagan, aku adalah isteri pendekar pejuang Bu Kiat yang mengenal baik Ma Giok. Ma
Giok telah melindungi Bu Kui Siang sampai meninggalnya anakku itu, kemudian dia
merawat dan mendidikmu, Lauw Beng. Bagaimana dia dapat terpengaruh fitnah dan
masih tidak percaya kepadamu? Dan sekarang, bagaimana sampai engkau dikeroyok
banyak orang?”.
"Mungkin engkau tidak ingat lagi, Nek. Sebelum engkau sadar dan pulih kembali
ingatanmu, kita berdua sudah mendengar bahwa ada fitnah baru terhadap diri Siauw
Beng. Ada penjahat berlengan kiri buntung melakukan perkosaan dan pembunuhan keji
dan ia mengaku berjuluk Si Tangan Halilintar, yaitu julukan Siauw Beng. Maka mereka
semua menduga bahwa Siauw Beng penjahat itu”.
"Wah-wah, mengapa engkau menjadi bulan-bulanan fitnah orang, Lauw Beng. Apakah
engkau benar-benar melakukan semua kejahatan itu?” Tanya Nenek Bu sambil
memandang tajam wajah cucunya.
"Sama sekali tidak, Nek ! Aku yang menjadi saksi dan menanggung bahwa cucumu ini
adalah seorang pendekar sejati!” seru Mayani dengan suara penuh semangat.
"Kalau benar begitu, sudah pasti ada orang yang amat benci padamu, yang sengaja
melakukan perbuatan itu dengan memakai nama julukanmu. Coba ingat-ingat, siapakah
yang begitu membencimu?” Tanya Nenek Bu.
Siauw Beng menggeleng kepalanya.” Saya tidak tahu, Nek. Saya sendiri tidak pernah
membenci siapapun”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 244
"banyak sekali, Nek!” tiba-tiba Mayani berkata.” Memang Siauw Beng ini terlalu baik hati
sehingga dia tidak pernah membenci orang. Akan tetapi banyak orang membencinya,
menduganya pengkhianat dan mengatakan bahwa mendiang ayahnya juga pengkhianat.
Mungkin orang-orang yang iri hati terhadap dirinya. Juga karena dia akrab dengan aku,
maka banyak orang menuduhnya menjadi antek Pemerintah Ceng!”.
"Hemmm, coba katakan, siapa di antara mereka itu yang paling membenci Lauw Beng?”.
"Akan tetapi, Nek, setahuku tidak ada orang berlengan buntung yang bermusuhan dengan
Siauw Beng. Apakah mungkin ada dan aku tidak mengetahuinya, Siauw Beng?” Tanya
Mayani kepada pemuda itu.
Siauw Beng menggeleng kepala.” Ku rasa tidak ada orang berlengan buntung yang
menjadi musuhku”.
"Nah, ini anehnya, Nek. Padahal yang menjadi penjahat menggunakan nama Si Tangan
Halilintar itu adalah seorang yang lengan kirinya buntung seperti Siauw Beng!”.
"Heh-he, kalian ini anak-anak yang bodoh! Apa sih sukarnya berpura-pura buntung
dengan menyembunyikan lengan kirinya dibalik baju?” kata bebek itu.
Mayani dan Siauw Beng saling pandang.” Wah, benar juga! Aih, mengapa aku tidak
pernah memikirkan kemungkinan besar ini? Siauw Beng, penjahat itu agaknya pasti tidak
buntung lengannya, dan ku rasa aku dapat menduga siapa orangnya yang melakukan
kejahatan dan menggunakan namamu itu!”.
"Siapa, Mayani?” pertanyaan ini keluar dari mulut Nenek Bu dan Siauw Beng.
"Siapa lagi kalau bukan si jahanam keparat Song Cun itu?”.
"Hemmm, dia? Tidak mungkin, Mayani. Dia itu putera dari Kiam-mo Song Kui, pendekar
pejuang, orang ke dua dari Ciong-yang Ngo-taihiap!” kata Siauw Beng dengan alis
berkerut.
"Apanya yang tidak mungkin?” kata Nenek Bu.” Song Cun itu sudah memperkosa Mayani
dengan keji, lalu hendak membunuh kalian berdua sehingga membuntungi lengan Siauw
Beng! Perbuatan ini saja sudah jelas membuktikan bahwa dia adalah seorang yang jahat
dan kejam. Mungkin sekali dia yang melakukan semua perkosaan dan pembunuhan itu,
menggunakan nama julukanmu untuk mencelakai engkau yang dibencinya!”.
Siauw Beng diam-diam terkejut dan mulai timbul kecurigaannya terhadap Song Cun.”
Akan tetapi, Nek. Bagaimana kita dapat menuduh dia? Tidak ada buktinya bahwa dia yang
melakukan semua itu”.
"Karena itu kita harus mencari buktinya ! Kita harus menangkap basah jahanam itu !
Mayani, aku tidak akan ikut ke kota raja sebelum dapat menangkap penjahat yang
menyamar sebagai cucuku itu!”.
"baik, Nek. Akupun tidak akan pulang sebelum jahanam itu ditemukan dan di hukum. Aku
ingin membuntungi kedua lengannya!” kata Mayani.
Demikianlah, tiga orang itu lalu melakukan perjalanan mencari jejak penjahat itu. Atas usul
Nenek Bu, mereka melakukan perjalanan dengan sembunyi, selain agar jangan bertemu
dengan para pendekar dan pasukan pemerintah yang mengejar Siauw Beng, juga agar
dapat mencari penjahat itu tanpa disadari oleh yang di cari.
****
Wong Ai Yin dan Cun Song memasuki kota Kwi-cu dan memasuki rumah penginapan
yang berada di pinggir kota. Kota Kwi-cu tidak terlalu besar dan tidak begitu ramai. Karena
hari itu menjadi agak ramai dikunjungi para pedagang hasil bumi, maka rumah penginapan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 245
itu pun sepi dari tamu. Hanya beberapa buah kamar saja yang terisi, di antaranya dua
kamar disewa Cun Song dan Ai Yin. Setelah makan siang, dua orang muda itu duduk di
ruangan depan kamar mereka.
Ai Yin nampak agak murung. Pagi tadi mereka berdua sudah berkunjung ke rumah Tung
Ci yang berada di luar kota. Mereka menemukan bekas perampok tunggal yang lengan
kirinya buntung itu menggeletak dalam keadaan sakit, dirawat seorang wanita setengah
tua. Kiranya Tung Ci sudah lama tidak melakukan pekerjaan sesat itu dan bahkan sudah
dua bulan dia rebah di atas pembaringan saja karena menderita sakit. Orang yang sudah
berusia enam puluh tahun ini memang sakit-sakitan, wajahnya menjadi pucat dan
tubuhnya kurus dan lemah! Baru melihat
keadaannya saja Ai Yin sudah kehilangan selera untuk bertanya lebih jauh. Sama sekali
mustahil kalau orang ini yang melakukan semua kejahatan dan menggunakan nama Si
Tangan Halilintar itu ! Bagitu lemah tak berdaya ! Maka ia lalu mengajak Cun Song
meninggalkan Tung Ci dan menyewa kamar di rumah penginapan itu karena dalam
kekecewaannya Ai Yin tiba-tiba merasa lemas dan lelah ! Inilah yang menyebabkan ia
tampak murung sejak tadi.
Mereka duduk berhadapan dalam ruangan itu.
”Yin-moi, harap jangan kecewa dan murung seperti itu. Aku merasa amat bersedih melihat
engkau kecewa dan murung begini. Yin-moi, sekarang sudah jelas bahwa bukan Tung Ci
yang melakukan kejahatan dengan memakai nama Si Tangan Halilintar itu. Dan aku yakin
tidak ada yang memalsukan nama itu”.
"Maksudmu?” Ai Yin menatap wajah Cun Song dengan pandang mata penuh selidik.
"Maksudku, tidak ada yang memalsukannya. Memang benar penjahat itu adalah Si
Tangan Halilintar sendiri!”.
"Tidak mungkin!” kata Ai Yin dengan suara tegas.” Siauw Beng tidak mungkin melakukan
hal itu. Hal ini aku yakin benar karena selama ini dia melakukan perjalanan bersama aku!”.
"Akan tetapi, Yin-moi. Bagaimana engkau begitu yakin? Hati orang siapa mampu
menjajaginya? Kalau malam, ketika engkau tidur, bisa saja diam-diam dia keluar dari
kamarnya dan melakukan semua kejahatan itu. Bukanlah peristiwa kejahatan itu selalu
dilakukan di waktu malam? Ingat, dia lihai dan bisa saja dia pergi tanpa kau ketahui”.
"Tidak, aku tetap tidakpercaya ! Siauw Beng adalah seorang pemuda yang baik sekali,
pemuda yang paling baik yang pernah ku kenal! Tidak, tidak mungkin dia melakukan
kejahatan seperti itu!”.
Cun Song menghela napas dan diam-diam merasa iri.” Yin-moi, apakah engkau ……..
jatuh cinta kepada Siauw Beng itu?”.
Ai Yin memandang Cun Song dengan alis berkerut dan mukanya berubah kemerahan.”
Song-ko, mengapa engkau bertanya seperti itu?”.
"Begini, Yin-moi. Engkau membela pemuda buntung itu mati-matian, itu tandanya engkau
jatuh cinta padanya. Aku pun siap membelamu dengan taruhan nyawaku, Yin-moi, aku
mau melakukan apa saja untukmu karena … terus terang saja, semenjak pertemuan
pertama kali, aku telah jatuh cinta padamu”.
Terharu juga rasa hati Ai Yin mendengar pemuda itu menyatakan cinta kepadanya secara
terbuka itu. Maka ia berkata dengan lembut.” Song-ko, aku minta agar engkau tidak bicara
soal cinta kepadaku sebelum semua urusan besar ini selesai”.
"Maksudmu urusan perjuangan kita menumbangkan Kerajaan Ceng?”.
"Itu juga, akan tetapi sebelum itu, aku harus dapat menemukan penjahat yang
mencemarkan nama baik Siauw Beng ! Aku akan mencari terus!”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 246
"Akan tetapi aku harus membantu Can-twako mengerahkan tenaga para pejuang untuk
urusan besar itu, Yin-moi”.
"Kalau begitu, lakukanlah urusanmu. Aku akan mencari sendiri dan sebelum urusan ini
beres, aku tidak mau di ganggu urusan lain. Aku harus membuktikan bahwa Siauw Beng
bukan penjahat itu”.
"Atau sebaliknya, buktinya bahwa Siauw Beng benar-benar penjahat itu?”.
"Tidak mungkin! Akan tetapi …. Ya begitulah, dia atau bukan pelakuknya, aku harus
menemukan buktinya!”.
"Ah, mana mungkin aku meninggalkanmu, Yin-moi? Aku harus membantumu dan
melindungmu. Aku akan menemanimu mencari, akan tetapi aku harus memberi kabar dulu
kepada Can-toako. Biarlah malam ini aku harus mencari seorang yang dapat ku suruh
memberi kabar kepada Can-toako bahwa aku belum dapat membantunya”.
"Baiklah, Song-ko. Sebetulnya aku tidak ingin engkau terganggu oleh keputusanku ini. Aku
dapat mencari sendiri”.
"Tidak, Yin-moi. hatiku akan selalu gelisah mengingatmu. Biar aku pergi sekarang mencari
orang yang dapat ku utus. Kalau malam ini aku tidak kembali, pasti besok pagi-pagi aku
akan kembali ke sini, dapat atau tidak orang yang akan ku suruh itu”.
Demikianlah, Cun Song meninggalkan Ai Yin di rumah penginapan itu. Ai Yin di rumah
penginapan itu. Ai Yin tinggal seorang diri dalam kamarnya di rumah penginapan itu.
Ketika malam tiba ia minta disediakan makan malam oleh pelayan.
Tanpa ada yang mengetahui sesosok bayangan menyelinap ke dalam dapur dan
bayangan itu memasukkan sedikit bubuk putih ke dalam poci air teh yang akan
dihidangkan oleh pelayan.
Ai Yin makam malam seorang diri. Ia masih agak murung karena tidak berhasil
menemukan penjahat yang dicari-cari itu. Omongan Cun Song bahwa ada kemungkinan
Siauw Beng di waktu malam ketika ia tidur keluar melakukan kejahatan itu mengganggu
pikirannya, membuat ia bertanya-tanya dalam hati. Namun, ia lebih condong untuk tidak
percaya. Setelah makan minum Ai Yin merasa mengantuk sekali. Ia memanggil pelayan
untuk membersihkan meja. Setelah membersihkan mulut, ia menutup jendela dan pintu,
langsung merebahkan diri di atas pembaringan untuk tidur. Rasa kantuk yang amat sangat
itu di anggapnya sebagai akibat kelelahan tubuh dan kekecewaan hatinya. Tak lama
kemudian Ai Yin sudah tertidur pulas.
Ia sama sekali tidak terbangun ketika ada bayangan membuka daun jendela dan
bayangan itu melompat masuk seperti seekor kucing, tidak menimbulkan suara apapun. Di
lain saat kedua kaki dan tangan Ai Yin sudah terikat kuat-kuat. Di ikat seperti itupun Ai Yin
tidak terbangun. Ini menunjukkan bahwa gagis itu telah terpengaruh obat bius yang tadi
tercampur dalam minuman air teh. Api lilin kecil di kamar itu belum padam sehingga
mendatangkan cuaca remang-remang. Bayangan itu lalu mengeluarkan botol kecil,
membuka tutupnya dan mendekatkan botol ke hidung Ai Yin. Tak lama kemudian Ai Yin
terbangun dan membuka matanya. Ia terkejut sekali ketika tidak mampu menggerakkan
kaki tangannya dan di lihatnya orang yang tadi dekat dengannya itu melompat ke jendela
berdiri sejenak di lubang jendela. Ai Yin terbelalak. Bayangan itu adalah Siauw Beng!
Tidak salah lagi. Lengan kiri bayangan itu buntung dan bentuk tubuhnya juga tegap.
Sayang ia tidak dapat melihat wajahnya karena cuaca hanya remang-remang dan jendela
itu agak jauh dari pembaringannya.
"Siauw Beng ……… !!” Ia berseru memanggil dan bayangan itu melompat ke atas
wuwungan rumah. Ai Yin meronta dan berusaha melepaskan diri dari ikatan kaki
tangannya akan tetapi ikatan itu kuat sekali.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 247
Sementara itu, ketika bayangan itu dengan ringan dan gesitnya melompat ke atas atap,
dia terkejut karena di situ berdiri tiga orang. Kegelapan malam membuat dia tidak dapat
melihat siapa mereka. Akan tetapi bayangan itu menyangka buruk, maka cepat dia
menerjang dan memukul orang terdekat dengan pukulan yang amat dahsyat. Angin
berdesir ketika tangannya memukul ke arah dada orang itu. Akan tetapi yang di pukulnya
dengan gerakan aneh menangkis pukulan tangan kanan si lengan buntung ini dan
berbareng tangan kanannya menyambar.
"Wukkk.. plakkkk!” Tangan orang yang di serang itu sudah menampar dada si bayangan
berlengan kiri buntung.
"Auhh …..!” Bayangan itu berseru, kaget dan heran akan tetapi dia ternyata cerdik.
Maklum bahwa lawannya amat tangguh, dia sudah menggulingkan tubuhnya seperti orang
jatuh oleh tamparan tadi, menggelinding ke bawah atap!
Tiga orang itu bukan lain adalah Nenek Bu, Mayani dan Siauw Beng. Seperti kita ketahui,
tiga orang ini melakukan penyelidikan dan ketika tiba di kota Kwi-cu, mereka segera pergi
ke rumah Tung Ci. Dari seorang penduduk dusun di luar kota Kwi-cu mereka mendengar
akan adanya seorang perampok berlengan satu bernama Tung Ci yang tinggal di luar kota
Kwi-cu. maka mereka bertiga segera mengunjungi rumah itu dan mendapatkan Tung Ci
rebah dalam keadaan sakit dan lemah.
Tung Ci menceritakan bahwa siang tadi dia juga kedatangan seorang pemuda tampan dan
seorang gadis cantik yang bertanya tentang Si Tangan Halilintar. Mendengar ini, Nenek
Bu bertanya di mana adanya dua orang itu. Tung Ci mengatakan bahwa mungkin mereka
berada di kota Kwi-cu.
Demikianlah, karena tidak mau memperlihatkan diri di waktu siang, tiga orang itu
memasuki Kwi-cu dimalam hari dan langsung saja berlompatan ke atas atap rumah-rumah
kota itu untuk melakukan penyelidikan.
Ketika mereka tiba di atas atap rumah penginapan, kebetulan sekali mereka melihat
bayangan hitam yang berlengan satu melompat naik dan tiba-tiba menyerang Nenek Bu.
Mungkin si bayangan hitam berlengan satu itu tidak menduga bahwa yang di serang
adalah seorang yang tinggi ilmunya, maka dia menjadi lengah dan dengan mudah
menerima tamparan pada dadanya oleh Nenek Bu.
"Kalian kejar dia, aku akan memeriksa ke bawah!” kata Siauw Beng dan dia sudah
melompat ke bawah. Ketika tadi mendengar keterangan Tung Ci yang menggambarkan
keadaan gadis dan pemuda itu, dia sudah menduga bahwa gadis itu tentu Ai Yin. Akan
tetapi dia tidak dapat menduga siapa pemuda itu yang agaknya membantu Ai Yin
melakukan penyelidikan untuk menangkap Si Tangan Halilintar palsu.
Ketika melewati kamar Ai Yin, Siauw Beng mendengar gerakan-gerakan dalam kamar itu.
Dia melihat jendela terbuka, maka cepat dia melompat ke dalam kamar. Pada saat itu, Ai
Yin sudah berhasil melepaskan ikatan kaki tangannya.
"Ai Yin …..!” Siauw Beng segera mengenal Ai Yin.
"Jahanam, engkau jahat …..!” Ai Yin sudah mencabut pedangnya dan menyerang Siauw
Beng. Pemuda itu cepat mengelak dan melompat keluar.
"Ai Yin, bukan aku …..”
"Keparat busuk, masih menyangkal lagi?” Ai Yin menyerang lagi dengan lebih sengit
saking marahnya. Namun Siauw Beng hanya mengelak dan ketika pedang Ai Yin kembali
menyambar, ada pedang bengkok menangkis.
"Traanggg …..!” Ai Yin terkejut bukan main karena lengan kanannya terasa bergetar hebat
ketika pedangnya tertangkis. Ia melihat seorang wanita cantik sekali dan dari pakaiannya
tahulah ia bahwa gadis itu adalah seorang gadis bangsawan Mancu. Ia marah dan jengkel
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 248
sekali, akan tetapi maklum bahwa ia tidak akan menang melawan mereka. Baru melawan
Siauw Beng saja, kalau pemuda itu membalas, ia tidak akan menang. Apalagi di situ ada
gadis Mancu ini yang membela Siauw Beng. Gadis Mancu …….?
Ah, ia teringat sekarang. Tentu ini Puteri Mayani yang di bela Siauw Beng sampai
lengannya buntung ! Hatinya semakin panas dan ia melompat pergi sambil terisak!.
Keributan itu memancing datangnya banyak orang. Mendengar ini, Nenek Bu yang sudah
muncul pula berkata,” Lebih baik kita pergi sebelum orang-orang itu datang ke sini”.
Siauw Beng dan Mayani setuju dan mereka bertiga lalu berkelebat dengan cepat
meninggalkan rumah penginapan itu dan sudah pergi jauh ketika orang-orang
berdatangan ke tempat itu. Mereka ramai membicarakan keributan yang terjadi di rumah
penginapan itu dan menduga-duga apa yang telah terjadi. Pengurus rumah penginapan
hanya dapat menceritakan bahwa dua orang tamunya seorang pemuda tampan dan
seorang gadis cantik, telah pergi meninggalkan kamar mereka sebelum membayar uang
sewanya!.
Setelah tiba di luar kota Kwi-cu, mereka bertiga berhenti berlari dan Siauw Beng lalu
bertanya tentang bayangan lengan satu yang dikejar Nenek Bu dan Mayani.
"Kami kehilangan dia, karena malam gelap sekali dan dia menghilang tanpa meinggalkan
jejak”, kata Mayani.
Nenek Bu menggeleng kepala.” Aku tidak membunuhnya dan membatasi tenagaku, akan
tetapi aku yakin bahwa kulit dadanya hangus dan ada bekas telapak tanganku di dadanya
yang tidak mudah dia hilangkan”.
"Siauw Beng, siapakah gadis tadi? Tampaknya ia marah sekali padamu dan berusaha
membunuhmu. Akan tetapi mengapa engkau tidak melawan sama sekali?” Mayani
bertanya heran.
Siauw Beng menghela napas panjang.” Ia adalah Wong Ai Yin, puteri Bu-tek Sin-kiam
yang dilarikan orang Mongol ketika ia dan aku di keroyok banyak orang itu. Kami
melakukan perjalanan berdua mencari jejak Si Tangan Halilintar palsu. Ketika aku bertemu
dengannya tadi, ia langsung memaki dan menyerangku. Jelas bahwa ia mengira bahwa
aku benar-benar penjahat itu”.
"Hemmm, aku ingat, Bu-tek Sin-kiam adalah seorang pendekar pejuang yang gigih. Kalau
sikapnya berubah seperti itu, hal ini jelas bahwa tadi ia sudah atau hampir menjadi korban
penjahat itu, maka begitu melihatmu langsung menyerang”, kata Nenek Bu.
"Agaknya memang begitu. Kami bersabahat baik dan kalau ia bersikap memusuhi seperti
tadi, berarti ia yakin bahwa sayalah penjahat itu, Nek. Keyakinan ini tentu timbul karena ia
melihat penjahat itu. Akan tetapi melihat keadaannya, ia belum menjadi korban. Nek, kita
harus dapat menangkap penjahat itu agar dia tidak menimbulkan korban lagi!” Kalimat
terakhir ini di ucapkan dengan nada penasaran dan marah oleh Siauw Beng.
"Benar, ku rasa dia belum berlari jauh. Mari kita mengejarnya”, kata Mayani dan tiga orang
itu lalu melanjutkan pencarian mereka. Nenek Bu merasa menyesal mengapa ia tadi tidak
memukul lebih keras untuk merobohkan penjahat itu. Hal ini adalah karena ia tidak ingin
membunuhnya, hanya ingin membunuhnya, hanya ingin menangkap dan ia sama sekali
tidak menduga bahwa penjahat itu ternyata memiliki sinkang (tenaga sakti) yang amat kuat
sehingga tamparannya itu sama sekali tidak mampu merobohkannya.
Sementara itu, Ai Yin melarikan diri sambil menangis. Ia keluar dari kota Kwi-cu. Ia merasa
penasaran, marah dan juga sedih bercampur panas hati. Siauw Beng yang ia kagumi,
yang ia percaya sepenuhnya, ternyata adalah pelaku semua kejahatan yang keji itu !
Siauw Beng bahkan nyaris memperkosanya! Yang lebih memanaskan hatinya, gadis
cantik puteri Mancu itu telah membela Siauw Beng!
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 249
Tentu mereka saling mencinta, kalau tidak begitu, tidak mungkin Siauw Beng membelanya
dengan mengorbankan lengan kirinya buntung! Panas, sedih, penasaran, cemburu,
semua teraduk dalam hati Ai Yin yang berlari sambil menangis. Menjelang pagi, ia sudah
berada jauh diluar kota Kwi-cu.
"Yin-moi …..!”
Ai Yin terkejut dan menoleh ke kanan. Ia melihat Cun Song berlari menghampirinya. Ai Yin
yang sudah kelelahan itu terkulai dalam rangkulan Cun Song, tubuhnya terasa lemas dan
tangisnya mengguguk.
"Yin-moi, tenanglah. Mengapa engkau menangis? Apa yang telah terjadi?” pemuda itu
menghibur dan mengelus pundak Ai Yin. Ai Yin melanjutkan tangisnya dan setelah tangis
mereda, ia baru menyadari bahwa ia dipeluk Cun Song, maka dengan halus ia
melepaskan diri dari rangkulan itu.
"Song-ko, engkau benar …..” katanya setelah dapat menenangkan dirinya sambil duduk di
atas batu melepaskan lelah. Cun Song duduk di depannya.” Siauw Beng sendiri penjahat
buntung Si Tangan Halilintar itu!”.
"Hemmm, apa yang telah terjadi? Apa yang dilakukan jahanam busuk itu kepadamu, Yinmoi?
Akan ku hancurkan kepalanya, kalau ia berani menjamahmu!” Cun Song bangkit
berdiri dan mengepal tinju, mukanya berubah merah saking marahnya.
"Aku beruntung dapat melepaskan diri, Song-ko. Kaki tanganku sudah dia ikat, akan tetapi
aku dapat melepaskan diri dan ketika dia muncul, aku menyerangnya. Akan tetapi muncul
seorang gadis Mancu membelanya. Aku merasa tidak akan mampu mengalahkan mereka
berdua, maka aku lalu melarikan diri. Jahanam keparat itu jelas Siauw Beng sendiri! Aku
tertipu!”.
"Sudah ku duga sejak dahulu, Yin-moi. Dan gadis Mancu itu tentulah Puteri Mayani.
Pasangan busuk itu memang jahat sekali!”.
"Mari kita cari mereka, Song-ko. Kita bunuh mereka berdua!”.
"Tenanglah, Yin-moi. Aku tahu bahwa mereka lihai bukan main. Kalau kita berdua
melawan mereka dan kita kalah, bukan saja usaha kita gagal, bahkan nyawa kita pun
terancam. Mari kita mencari bantuan dan kalau sudah kuat, baru kita mencari dan
membunuh sepasang manusia busuk itu!”.
Mereka lalu pergi dari situ. Di sepanjang perjalanan Ai Yin masih nampak penasaran,
marah dan kecewa kalau ia mengingat apa yang telah dilakukan Siauw Beng yang diamdiam
telah membuat ia kagum dan jatuh hati itu. Dengan pandainya Cun Song
menghiburnya dengan kata-kata lembut dan memberi harapan bahwa mereka pasti akan
dapat membalas dan membunuh si jahat tangan buntung Siauw Beng itu. Ai Yin diam
saja, akan tetapi dalam hatinya terjadi pertentangan. Ia sama sekali tidak menghendaki
Siauw Beng di bunuh, bahkan mungkin ia akan membelanya kalau pemuda itu akan di
bunuh orang.
Jilid 22
Akan tetapi yang menyakitkan hatinya melihat Siauw Beng ternyata jahat dan terutama
sekali ketika melihat betapa Mayani yang cantik jelita itu saling bela dengan Siauw Beng!
Panas dan penuh cemburu rasa hatinya.
Dalam perjalanan itu, yang menjadi petunjuk jalan adalah Cun Song karena dia yang akan
berusaha mencari bala bantuan untuk menghadapi penjahat Si Tangan Halilintar Siauw
Beng dan Puteri Mayani.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 250
Cu Song atau nama aslinya Song Cun telah melakukan penyelidikan dan tahu bahwa
rombongan Siauw-lim-pai dan rombongan Lam-liong (Naga Selatan) Ma Giok sedang
mencari Si Tangan Halilintar Siauw Beng, maka dia mengajak Ai Yin untuk menghadang
mereka. Ai Yin yang kini sudah menaruh kepercayaan besar sekali kepada Cun Song,
tidak membantah dan menurut saja kemana pemuda itu mengajaknya pergi.
****
Pada keesokan harinya, bertemulah Cun Song dengan rombongan Ciong-yang Ngotaihiap
yang terdiri dari Ciang Hu Seng, Bhe Kam, Lee Bun dan Song Cin. Ketika melihat
empat orang ini, Song Cun mengajak Ai Yin cepat menyambut mereka dan mereka saling
bertemu di jalan umum itu.
"Cun-ko …..!” Song Cin berseru ketika melihat kakaknya. Song Cun segera memberi,
mengangkat kedua tangan dengan dada dan membungkuk terhadap tiga orang paman
gurunya.
"Sam-wi Su-siok (Tiga Paman Guru), apakah selama ini susiok baik-baik saja?” katanya
hormat dan lembut.
Mereka memandang kepada Song Cun dan Ai Yin dengan heran, lalu Ciang Hu Seng
tertawa, "Ha-ha-ha, Song Cun ! Kemana saja engkau selama ini? Dan siapa pula gadis
cantik ini?”.
"Teecu (saya) selama ini merantau mematangkan kepandaian, su-siok. Ini adalah seorang
sahabat teecu bernama Wong Ai Yin, puteri dari lo-cian-pwe Bu-tek Sin-kiam Wong Tat”.
Song Cun memperkenalkan.
"Hei, Song-ko, mengapa mereka ini menyebutmu Song Cun dan siapakah orang-orang
gagah ini?” Ai Yin bertanya.
"Yin-moi, dulu namaku memang Song Cun. Mereka ini adalah tiga orang paman guruku
yang tergabung dalam Ciong-yang Ngo-taihiap, yaitu susiok Ciang Hu Seng, susiok Bhe
Kam dan susiok Lee Bun.Sedangkan pemuda itu adalah Song Cin, adik kandungku”.
"Ah, aku sudah mendengar akan nama besar Ciong-yang Ngo-taihiap! Jadi engkau ini
putera seorang dari mereka, Song-ko? Mengapa engkau tidak menceritakan hal itu
dahulu?”.
"Aku sedang merantau dan mengasingkan diri, Yin-moi, maka sengaja menggunakan
nama lain”.
Sementara itu, tiga orang dari Ciong-yang Ngo-taihiap memandang kepada Ai Yin penuh
perhatian. "Bagus, Nona! Kami juga mengenal baik Bu-tek Sin-kiam Wong Tat sebagai
seorang yang gagah perkasa. Kami girang engkau pandai memilih teman, Song Cun”.
"Paman bertiga sedang hendak pergi kemanakah? Mengapa semua meninggalkan Liongsan?
Apa yang telah terjadi?” Tanya Song Cun.
"Kami sedang mencari si jahanam Lauw Beng, Si Tangan Halilintar yang kini semakin
jahat itu! Kami harus membunuhnya!” kata Lee Bun yang kurus dan mukanya seperti
tengkorak.
"Si Tangan Halilintar Lauw Beng harus kita bunuh ! Dia telah …….”.
"Bhe susiok …..!” Song Cun memotong ucapan Bhe Kam dan ayah Bhe Siu Cen yang
marah itu menghentikan kata-katanya yang tadi hendak menceritakan bahwa Si Tangan
Halilintar telah memperkosa puterinya ! Teringatlah dia bahwa peristiwa yang celaka itu
tidak seharusnya diceritakan kepada orang lain karena merupakan aib yang menimpa
keluarganya.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 251
"Si Jahat Lauw Beng? Kami juga sedang mencari bala bantuan untuk menghadapinya,
Su-siok!” kata Song Cun.
"Ah, engkau juga sudah mendengar akan semua kejahatan Si Tangan Halilintar?” Tanya
Ciang Hu Seng.
"Tentu saja, susiok. Siapa yang belum mendengar akan kejahatannya? Bahkan kami baru
kemarin dulu bertemu dengan Si Tangan Halilintar Lauw Beng si jahanam itu!”.
"Ah, benarkah? Dimana dia sekarang? Kita harus menangkap dan menghukumnya!” kata
Bhe Kam. "Sayang kami tidak dapat menangkap atau membunuhnya beberapa hari yang
lalu”.
"Ah, susiok sudah bertemu dengan jahanam itu?” Song Cun bertanya.
"Ya, beberapa hari yang lalu, kami berempat dan Kang-lam Jit-hiap bertemu dengan
jahanam Lauw Beng. Kami sebelas orang mengeroyoknya dan pada saat dia sudah
terdesak, muncul Puteri Mayani dan nenek gila yang lihai itu. Si Tangan Halilintar itu dapat
melarikan diri dan kita kehilangan jejaknya. Kang-lam Jit-hiap berpisah dari kami untuk
melacak jejaknya dari lain jurusan “, kata Bhe Kam dengan nada suara kecewa bahwa
penjahat pemerkosa puterinya itu dapat lolos. "Dimana engkau bertemu dengan dia, Song
Cun? Cepat ceritakan!”.
"Teecu kira nona Woang Ai Yin yang lebih jelas ceritanya karena ia bertemu langsung
dengan Si Tangan Halilintar”.
Semua orang memandang Ai Yin dan gadis ini bercerita dengan nada suara penasaran
dan marah. "Aku dan Song-ko tinggal di sebuah rumah penginapan di kota Kwi-cu. Ketika
itu Song-ko sedang pergi dan aku seorang diri dalam kamarku. Aku tertidur, mungkin
terbius dan ketika aku sadar, aku berada dalam keadaan terikat dan aku melihat orang
berelngan buntung dikamar itu. Aku dapat melepaskan diri dan bayangan itu lenyap.
Kemudian orang itu muncul lagi dan ternyata dia adalah Siauw Beng! Aku sudah hampir
membunuhnya dengan pedangku akan tetapi tiba-tiba muncul puteri Mancu itu
membelanya. Terpaksa aku melarikan diri karena merasa tidak mampu melawan mereka
berdua”.
"Jahanam busuk ! Tentu dia itu mempunyai keinginan yang keji terhadap diri adik Wong Ai
Yin. Manusia itu harus di bunuh, kalau tidak tentu akan membahayakan masyarakat!” kata
Song Cun.
Pada saat itu muncul tujuh orang-orang gagah berusia antara empat puluh sampai lima
puluh tahun, semua mempunyai sebatang pedang ronce kuning di punggung mereka.
"Ah, kiranya Kang-lam Jit-hiap yang datang!” kata Lee Bun. "Bagaimana hasil melacak
jejak jahanam itu?”.
"Kami tidak berhasil menemukannya ", kata orang pertama yang wajahnya pucat dan
jenggotnya panjang.
"Kebetulan sekali kalian datang. Kami sudah menemukan jejaknya. Dia berada di Kwi-cu.
Mari kita cepat melakukan pengejaran!” kata Bhe Kam yang ingin segera dapat
membunuh Si Tangan Halilintar Lauw Beng yang telah berani menodai puterinya.
Mendengar ini, Kang-lam Jit-hiap girang sekali dan mereka semua, tiga belas orang,
segera melanjutkan perjalanan mengikuti Song Cun yang menjadi petunjuk jalan, mencari
Si Tangan Halilintar Lauw Beng.
****
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 252
Nenek Bu, Puteri Mayani, dan Lauw Beng duduk di bawah sebatang pohon besar di tepi
jalan yang sunyi itu. Siang hari itu panasnya menyengat dan mereka telah melakukan
perjalanan sejak pagi. Ketika melihat pohon besar yang rindang itu, Nenek Bu mengajak
dua orang muda itu berteduh dan mengaso. Nyaman sekali diwaktu siang hari panas
berteduh di bawah pohon itu. Angin semilir seperti mengipasi tubuh mereka, terasa sejuk
dan nyaman. Puteri Mayani lalu mengambil makanan dan minuman dari buntalan
pakaiannya. Makanan itu dibelinya pagi tadi di sebuah dusun. Ia membuka buntalan dan
belasan butir bak-pauw besar tampak, dengan seguci air jernih, mengundang selera
makan mereka.
Nenek Bu yang kini merasa berbahagia sekali karena selain keadaannya sudah pulih, juga
ia sudah bertemu dengan cucunya, makan dengan lahap dan mereka bercakap-cakap
dengan gembira.
"hemm, kalau kita sudah makan minum seperti ini, jelas terbukti bahwa bukan makanan
mahal dan tempat yang megah yang membuat kita dapat makan enak “, kata Puteri
Mayani.
Nenek Bu tertawa. "He-he, tentu saja bukan, Mayani. Yang membikin kita dapat makan
enak adalah perut lapar!”.
"Ku kira apa yang dikemukakan Mayani dan Nenek tadi hanya merupakan sebagian saja
yang menjadi penyebab makanan dapat terasa enak. Bukan hanya makanan mahal,
tempat megah, atau hanya perut lapar saja yang membuat kita dapat makan enak, akan
tetapi banyak penyebabnya. Yaitu, perut lapar, badan sehat, pikiran tentram, hati senang.
Akan lebih menyenangkan lagi kalau empat keadaan itu di tambah dengan makanan lezat
mahal, ruangan yang indah mewah. Yang empat itu merupakan hal pokok, satu saja
kurang, tak mungkin bisa makan enak. Contohnya, biar perut lapar, badan sehat, pikiran
tentram, kalau hati tidak senang, pasti makan tidak terasa enak.
Demikian pula kalau perut lapar, badan sehat, hati senang tapi pikiran tidak tentram, atau
kalau perut tidak lapar atau kalau badan tidak sehat. Betul tidak?”
Wanita tua dan muda itu tertawa. "Hik-hik, kalau begitu engkau hendak mengatakan
bahwa pada saat itu kita bertiga sedang lapar, sehat pikiran tenteram, dan hati senang?”
kata Mayani.
"Aku memang sedang dalam keadaan seperti itu, Mayani “, kata Lauw Beng.
"Kalau begitu, kita tidak membutuhkan banyak untuk mendapatkan kebahagiaan, bukan?”
kata Nenek Bu. "Ku rasa yang dimaksudkan Lauw Beng adalah kebahagiaan. Kalau kita
berbahagia, maka segala hal juga menjadi enak menyenangkan. dan untuk mendapatkan
atau merasakan kebahagiaan itu, ternyata tidak membutuhkan harta benda, kedudukan
pangkat tinggi dan segala barang keduniaan lain. Buktinya kini kita, dengan makanan
sederhana, di tempat yang lebih sederhana pula, dapat berbahagia”.
"Nenek benar! Jadi kesimpulannya, kita manusia hidup ini sebetulnya sudah dalam
keadaan bahagia itu! Thian (Tuhan) menciptakan kita di dunia ini sudah dalam keadaan
yang berbahagia. Anggota badan kita serba lengkap untuk alat mempertahankan hidup,
juga memberi segala benda, tumbuh-tumbuhan dan hewan untuk makanan penyambung
hidup. Segala apa yangterdapat di dunia ini seolah di sediakan untuk melengkapi
kehidupan manusia. Kita ini sebetulnya sudah dalam keadaan bahagia. Hanya saja,
pikiran kita ini yang terlalu sering mengaburkan bahkan menghilangkan kebahagiaan itu,
dengan segala macam persoalan yang timbul karena ulah nafsu kita sendiri.
Dendam kebencian, marah, kecewa, iri dan dengki, kemurkaan, ketakutan, iba diri, semua
itu seolah asap-asap hitam yang menutupi sinar kebahagiaan sehingga kita tidak lagi
merasa bahagia!”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 253
"Walah, dengar itu Nek, khotbah seorang pendeta tua!” Mayani berkata sambil tertawa.
"Memang, khotbah yang baik sekali, Mayani. Sayang sekali, kita manusia ini biasanya
mudah menangkap artinya dan mengerti akan kebenarannya, namun alangkah sukarnya
untuk melawan semua perasaan yang timbul dari nafsu-nafsu itu sehingga dalam
kehidupan kita ini, kita lebih terombang-ambing antara kesenangan dan kesusahan,
kepuasan dan kekecewaan, kesabaran dan kemarahan dan sebagainya sehingga sinar
kebahagiaan itu tidak pernah terasa.
Mereka sudah makan minum dan kenyang. Mayani membungkus sisa makanan dan
memasukkannya ke dalam buntalan pakaiannya. Mereka sudah siap untuk pergi
melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi tiba-tiba tampak banyak bayangan orang
berkelebatan dan tahu-tahu muncul tiga belas orang yang telah mengepung mereka !
Lauw Beng dan Mayani segera mengenal siapa Ciang Hu Seng, Bhe Kam, Lee Bun, Song
Cun dan Song Cin. Juga Lauw Beng mengenal Wong Ai Yin sehingga dia merasa
terheran-heran. Mayani tidak mengenal tujuh orang Kang-lam Jit-hiam, juga Lauw Beng
tidak mengenal mereka. Melihat Mayani berada di situ bersama Lauw Beng, Song Cun
merasa khawatir kalau-kalau puteri Mancu itu akan membuka rahasianya yang telah
memperkosa Mayani, maka dia tidak ingin banyak bicara lagi.
"Bunuh Si Tangan Halilintar!” Setelah berkata demikian, dia sudah menerjang maju
menyerang Mayani. Pedangnya menyambar kearah leher gadis itu. Ingin dia segera
membunuh gadis itu agar tidak sampai membuka rahasianya.
"Singggg ….. plakkk!” Pedang itu di tampar dari samping oleh tangan Nenek Bu sehingga
terpental.
"Pengecut!” bentak Nenek Bu. "Engkau menyerang secara gelap tanpa membuka
pembicaraan untuk mengatakan apa sebabnya kalian ini mengepung kami! Engkau
hendak membuntungi lengan Mayani seperti yang kau lakukan kepada Lauw Beng secara
licik dahulu?”.
Bentakan ini membuat muka Song Cun menjadi merah, dan Ciang Hu Seng, seorang yang
sejak muda berwatak pendekar gagah perkasa, mengerutkan alisnya dan berkata kepada
Song Cun. "Song Cun, biarkan mereka mengakui dulu kesalahan mereka!”.
Pada saat itu terdengar seruan orang, suaranya lembut namun mengadung getaran kuat.
"Omitohud ! Cu-wi (anda sekalian) harap menunggu kami untuk ikut mengadili penjahat!”
Semua orang menengok dan tampaklah serombongan orang terdiri dari Lu Kiat dan Lu
Siong, dua orang tokoh Siauw-lim yang pernah dikalahkan Nenek Bu dan Mayani, juga
Lauw Han Hwesio wakil ketua Thian-li-tang, juga seorang murid Siauw-lim dan seorang
hwesio tinggi kurus yang bukan lain adalah Tiong Hwi Hwesio, wakil ketua Siauw-lim-pai
yang membawa tongkat panjang.
Melihat datangnya empat orang lagi, Nenek Bu tertawa. "He-he, semakin ramai! Berapa
orang semua? "Ia menghitung mereka yang sudah mengepung itu. "Satu, dua, tiga …..
enam belas, tujuh belas! Wah, tujuh belas orang yang tampak gagah seperti pendekar,
akan tetapi yang hendak mengeroyok dua orang muda dan seorang nenek! Bagus,
sungguh kalian semua memperoleh kemajuan pesat dalam hal kecurangan!”.
"Nyonya Bu, aku mengenal siapa engkau ! Dahulu, engkau adalah isteri pendekar patriot
Bu Kiat yang tewas oleh penjajah mancu! Kemudian engkau menjadi selir Pangeran
Abagan yang menjadi pejabat tinggi di Keng-koan dan berganti nama menjadi Thio Ci
Gan. Engkau juga telah mengkhianati mendiang suamimu dan juga bangsamu! Sekarang
engkau hendak melindungi Si Tngan Halilintar Lauw Beng, anak dari mantumu mendiang
Lauw Heng San yang juga seorang pengkhianat bangsa?” Ciang Hu Seng yang gemuk
pendek itu agaknya marah sekali sehingga dia lupa tertawa seperti biasanya.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 254
Nenek Bu mengangguk-angguk. "Mungkin semua tuduhan itu kalian anggap benar, aku
tidak peduli. Aku membela Lauw Beng karena dia cucuku! Sebaliknya kalian ini orangorang
yang mengaku pendekar patriot gagah, akan tetapi bagaimana kenyataannya
tindakan kalian? Sekarangpun kalian hendak menggunakan jumlah tujuh belas orang
untuk mengeroyok kami yang hanya bertiga. Itukah kegagahan kalian?”.
"Omitohudd …… ! Nyonya Bu, pinceng (saya) mohon agar engkau tenang dan bersabar
sedikit. Kami sama sekali bukanlah pengecut-pengecut yang suka mengeroyok orang,
apalagi orang yang tidak bersalah. Akan tetapi kalau kami berhadapan dengan seorang
penjahat yang berbahaya sekali dan yang tinggi ilmu silatnya, untuk menghukumnya kalau
perlu terpaksa kami harus mengeroyoknya. Ini demi keadilan karena penjahat tidak boleh
dibiarkan merajalela terus meresahkan kehidupan rakyat, bukan? Pinceng adalah Tiong
Hwi Hwesio, wakil ketua Siauw-lim-pai dan curang merupakan satu di antara pantangan
kami yang utama”.
"Tiong Hwi Hwesio, aku adalah Puteri Mayani, akulah yang menjadi saksi utama bahwa
kami bertiga tidak bersalah apapun. Kalau ada yang menyalahkan seorang di antara kami,
itu hanya fitnah belaka!”.
"Mayani, biarkan lo-cian-pwe ini bicara. Silahkan, Lo-suhu, kami bertiga siap
mendengarkan mengapa cu-wi (anda sekalian) datang menghadang perjalanan kami?”
kata Lauw Beng dengan sikap tenang.
"Huh, masih pandai berlagak bodoh dan bersih!” bentak Bhe Kam dengan marah teringat
betapa puterinya tersayang telah di perkosa pemuda lengan buntung ini. "Engkau telah
memperkosa puteriku Bhe Siu Cen!”.
Lauw Beng terkejut bukan main mendengar tuduhan ini. Akan tetapi dia menahan diri dan
bertanya lagi. "Barangkali masih ada tuduhan lain? Silahkan mengatakannya semua, satu
demi satu”.
"Bukankah engkau juga telah memperkosa nona Gui Cin, lalu membunuhnya dan
membunuh pula ayahnya, Paman Gui Ling? Mereka adalah murid-murid Siauw-lim-pai !
Aku yang menjadi saksi ketika pembunuhan itu terjadi dan aku melihat bahwa
pembunuhnya adalah bayangan orang berlengan satu yang menggunakan ilmu silat Lohan-
kun ! Dan engkau tentu telah mempelajari ilmu itu dari Paman Ma Giok yang juga
seorang tokoh Siauw-laim-pai!” kata Lu Siong. Dia tidak menuduh langsung, melainkan
bertanya karena memang sudah ada keraguan dalam hatinya.
"Hemmm, begitukah? Apakah masih ada lagi?” Tanya Lauw Beng.
"Si Tangan Halilintar ! Engkau telah memperkosa seorang keponakan kami, untuk itu
engkau sekarang harus bertanggung jawab dan menerima hukuman kami!” kata seorang
dari Kang-lam Jit-hiap dengan marah.
"Hemmm, sudah tiga tuduhan? Apa masih ada lagi?” Tanya Lauw Beng sambil
memandang Ai Yin. Gadis itu lalu berkata lagi dengan suara nyaring.
"Aku sendiri hampir menjadi korban kebiadaban Si Tangan Halilintar yang buntung lengan
kirinya ! Masih untung aku dapat meloloskan diri!”.
Lauw Beng mangangguk-angguk. "Ah, kiranya begitu, Ai Yin? Pantas engkau marahmarah
dan hampir membunuhku. Apa masih ada lagi?”.
Karena sudah tidak ada lagi yang melakukan tuduhan, Tiong Hwi Hwesio berkata,
"Omitohud, selain mereka yang datang dan menuduhmu ini merupakan bukti akan
kejahatanmu, juga kami semua mendengar betapa banyaknya gadis di kota dan dusun
yang menjadi korban kebiadabanmu, Si Tangan Halilintar ! Karena itu, lebih baik engkau
menyerah mempertanggungjawabkan semua kejahatan untuk menerima hukuman
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 255
sebagai orang gagah daripada kami keroyok dan tewas sebagai seorang jahat yang mati
dikeroyok“.
"Locianpwe Tiong Hwi Hwesio dan cuwi yang gagah perkasa. Saya percaya dan yakin
bahwa cuwi (anda sekalian) adalah golongan pendekar yang gagah perkasa, yang selalu
membela kebenaran dan keadilan, karena itu tentu cuwi tidak menuduh sembarangan
atau menjatuhkan fitnah kepada saya. Akan tetapi, ada sebuah kemungkinan, yaitu bahwa
ada seseorang yang sengaja menyamar dan menggunakan nama Si Tangan Halilintar,
melakukan semua kejahatan itu untuk menjatuhkan dan merusak nama saya. Oleh karena
itu, saya harap cuwi tidak tergesa-gesa menuduh saya, melainkan menyelidiki dulu
dengan seksama agar kelak tidak merasa menyesal setelah menghukum saya lalu
ternyata bahwa saya tidak bersalah”.
"Jahanam, setelah semua bukti dan saksi, engkau masih berbohong untukmembela diri?
Kamu harus mampus!” bentak Song Cun dan dia sudah menyerang lagi dan menusukkan
pedangnya kearah dada Lauw Beng. lauw Beng menggeser kaki miringkan tubuh lalu
melompak ke belakang.
"Wuuukkk … bllaarr ……!” Dari samping Nenek Bu sudah mendorong dengan tangan
kirinya dan Song Cun terhuyung ketika angin pukulan yang amat dahsyat itu menyambar
ke arahnya.
"Omitohud, tidak semestinya toanio (nyonya besar) menggunakan kekerasan untuk
membela yang bersalah “, kata Tiong Hwi Hwesio dan dia sudah maju menghadapi Nenek
Bu. Nenek Bu yang sudah marah melihat cucunya di tuduh semua orang itu, kini
mendorongkan kedua tangannya ke arah wakil ketua Siauw-lim-pai.
"Omitohud ….!” Tiong Hwi Hwesio menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula.
"Syuuttt … blaarrr ….!” Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu dengan dahsyat dan
kedua orang tua itu terdorong mundur beberapa langkah!.
"Omitohud …..!” Tiong Hwi Hwesio berseru kaget. "Hebat sekali tenagamu, Bu Toanio!”
Akan tetapi Nenek Bu yang di puji sudah menerjang maju dan kedua orang yang memiliki
kepandaian tinggi itu sudah saling serang dengan hebatnya. Gerakan mereka tampak
lambat saja dan pukulan mereka tampaknya tanpa tenaga, akan tetapi di sekeliling
mereka ada angin-angin pukulan yang menyambar-nyambar dengan amat dahsyat
sehingga pakaian semua orang berkibar tertiup angin.
Melihat ini, Song Cun sudah menyerang Puteri Mayani karena puteri inilah yang paling
berbahaya baginya. mayani mencabut pedang bengkok dan melawan dengan penuh
kemarahan karena iapun ingin membunuh pemuda yang pernah menghina dan
memperkosanya itu!.
Akan tetapi orang-orang yang merasa sakit hati kepada Si Tangan Halilintar, sudah
menerjang dan mengeroyok Lauw Beng. Mereka adalah Bhe Kam, Song Cin, Lu Kiat dan
ketujuh Kang-lam Jit-hiap ! Lauw Beng terpaksa mencabut pedangnya untuk membela diri
karena para pengeroyoknya adalah orang-orang yang lihai.
Perkelahian itu berjalan seru dan mati-matian. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan
penuh wibawa, "Tahan semua senjata!”.
Mereka yang bertanding berloncatan ke belakang. Ternyata yang muncul adalah seorang
kakek gagah perkasa berusia hampir tujuh puluh tahun, dan semua orang mengenalnya
karena dia dia adalah Lam-liong (Naga Selatan) Ma Giok yang merupakan guru pertama,
juga ayah angkat Lauw Beng. Para orang gagah dunia kangouw amat menghormati Lamliong
Ma Giok karena pendekar gagah ini pernah memimpin orang-orang gagah untuk
menentang pasukan mancu dengan gagah. Walaupun pasukan patriot itu akhirnya kalah,
namun Ma Giok masih di pandang dengan hormat oleh dunia kangouw. Kini ketika dia
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 256
muncul dan berteriak penuh wibawa, semua orang yang tadi mengeroyok berloncatan ke
belakang dan memandang kepada Ma Giok. Pendekar inilah yang paling berhak
menghukum Lauw Beng karena dia merupakan guru pertama dan juga ayah angkat
pemuda itu.
Sementara itu, ketika melihat Ma Giok, Lauw Beng segera menjatuhkan diri berlutut.
"Ayah …..!” sebutan ini menunjukkan bahwa sampai saat itu dia masih menganggap Ma
Giok sebagai ayahnya, walaupun Ma Giok pernah menyatakan benci kepadanya karena
menganggap persahabatannya dengan puteri Mancu menunjukkan pengkhianatan kepada
bangsa Han.
"Siauw Beng!” kata Ma Giok lantang. "Aku mendengar akan semua kejahatan yang kau
lakukan! Nah, apa jawabmu sekarang?“.
"Ayah, baru saja para locianpwe ini telah mengatakan tuduhan mereka terhadap diri saya,
bahwa sayalah yang menggunakan nama Si Tangan Halilintar yang melakukan semua
kejahatan itu. Pertama, locianpwe Bhe Kam menuduh saya telah memperkosa puterinya,
dari pihak Siauw-lim menuduh bahwa saya telah memperkosa lalu membunuh nona Gui
Cin dan ayahnya, Kang-lam Jit-hiap menuduh saya memperkosa seorang murid
keponakan wanita mereka, dan nona Wong Ai Yin menuduh saya nyaris memperkosanya.
Dan yang kedua, mereka semua menuduh bahwa saya telah memperkosa banyak gadis
di kota-kota dan dusun-dusun, juga membunuh beberapa orang di antara mereka. Dan
jawaban saya, ayah, bahwa semua tuduhan itu tidak benar! Saya sama sekali tidak
merasa telah melakukan semua kejahatan yang menggunakan nama Si Tangan
Halilintar”.
"Dia bohong!” Song Cun berteriak. "Banyak yang menyaksikan bahwa Si Tangan Halilintar
yang melakukan semua kejahatan itu buntung lengan kirinya. Siapa lagi kalau bukan
dia?”.
"Aku juga yakin bahwa adik Bhe Siu Cen tidak berbohong bahwa pelakunya adalah lakilaki
berlengan kiri buntung!” kata pula Song Cun sambil menahan kemarahannya.
"Saya sendiri yang menjadi saksi ketika suheng Gui Liang dan puterinya Gui Cin di bunuh
setelah gadis itu diperkosa. Saya telah berkelahi melawan Si Tangan Halilintar yang
buntung lengan kirinya dan yang menggunakan ilmu silat Lo-han-kun. Biarpun wajahnya
tidak nampak jelas karena gelap, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya dan lengan kirinya
yang buntung, tidak salah lagi, inilah orangnya!” Lu Kiat menundingkan telunjuknya kearah
muka Lauw Beng.
"Juga murid keponakan kami mengatakan bahwa pelakunya seorang laki-laki berlengan
kiri buntung dan mengaku sebagai Si Tangan Halilintar!” kata seorang dari Kang-lam Jithiap.
Hening sejenak dan Lauw Beng memandang kepada Wong Ai Yin. "Dan engkau, Yin-moi?
Apakah engkau tidak hendak bersaksi pula?”
Wajah gadis itu berubah merah dan terpaksa ia berkata, “Akupun melihat bahwa orang
yang nyaris memperkosaku itu lengan kirinya buntung. Wajahnya tidak nampak jelas, akan
tetapi ketika dia muncul kembali, ternyata dia adalah Lauw Beng ini!”.
"Hemmm, Siauw Beng, engkau hendak menyangkal bagaimana lagi kalau begitu banyak
saksi melihat bahwa engkaulah pelaku semua kejahatan itu? Ah, sungguh engkau
membikin aku malu sekali ! Tidak ku sangka anak yang ku pelihara dan ku didik sejak
kecil, bukan hanya menjadi pengkhianat dan bergaul dengan puteri Mancu, malah
sekarang melakukan banyak kejahatan yang amat terkutuk ! Orang murtad dan jahat
macam engkau ini harus dienyahkan dari muka bumi dan aku sendiri yang akan
membunuhmu!”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 257
Ma Giok bergerak maju, akan tetapi tiba-tiba Mayani sudah melompat dan menghadang di
depan Si Naga Selatan itu.
"Bohong dan fitnah semua itu! Akulah saksi hidup yang berani menanggung bahwa Siauw
Beng tidak melakukan itu. Semua karena aku selalu berada bersamanya! Dia bukan
pelaku kejahatan itu dan jelas ada orang lain yang sengaja menggunakan nama Si
Tangan Halilintar untuk menjatuhkan fitnah kepada Siauw Beng!”.
"Siapa percaya omongan seorang perempuan Mancu!” Song Cun berteriak. Semua orang
juga menjadi berisik dan menentang Puteri Mayani. Terpengaruh oleh suara-suara yang
menentang Mayani itu, Ma Giok menjadi marah dan berseru nyaring.
"Minggirlah dan jangan ikut campur, perempuan Mancu!” berkata demikian dia lalu
mendorong dengan kedua tangan ke arah Mayani agar gadis itu tersingkir oleh kekuatan
tenaga sinkangnya yang menyambar ke depan.
"Wuuuttt … dessss …!” tiba-tiba Nenek Bu sudah melompat dan ia menyambut tenaga
pukulan Ma Giok itu dengan tangkisan tangannya sehingga Ma Giok terdorong mundur.
"Bagus ! Dahulu aku mendengar bahwa Lam-liong Ma Giok adalah seorang pendekar
pejuang yang gagah perkasa dan bijaksana. Akan tetapi apa yang ku lihat sekarang? Dia
hanya seorang yang lemah, yang mudah dipengaruhi omongan orang lain, yang mudah
saja menjatuhkan kesalahan kepada orang tanpa menyelidik lebih dulu apakah benar
orang itu bersalah, dan lebih dari itu, dia hanya seorang yang mengandalkan banyak
sekali orang-orang tolol untuk mengeroyok seorang yang pernah menjadi anak angkat dan
murdinya!”.
"Bu Toanio, ini bukan sekendar fitnah. Cucumu memang telah melakukan perbuatan yang
terkutuk dan memalukan nama baik kami, bahkan mencemarkan pula nama baik
mendiang ayah dan ibunya!” bantak Ma Giok.
"Mengapa engkau tidak menyelidiki kalau-kalau ada orang yang memalsukan nama Si
Tangan Halilintar untuk menjatuhkan fitnah kepada cucuku Lauw Beng? "nenek itu
berseru marah.
"Apa buktinya bahwa ada orang yang memalsukan nama Si Tangan Halilintar dan lengan
kirinya buntung pula?” bantah Ma Giok dan semua orang mengangguk menyetujui.
"Buktinya?” Nenek itu berseru lantang. "Akulah yang telah membuktikan sendiri. Ketika
malam itu nona Wong Ai Yin nyaris diperkosa orang, Siauw Beng bersama aku dan
Mayani melihat seseorang yang lengan kirinya buntung keluar dari kamar itu. Siauw Beng
turun untuk melihat keadaan Nona Wong, sedangkan aku dan Mayani menghadang
penjahat itu. Sayang kami tidak dapat menangkapnya karena dia menghilang dalam
kegelapan malam, akan tetapi aku telah berhasil memukul dadanya!
"Tiba-tiba tubuh Nenek Bu sudah berkelebat cepat ke depan Song Cun dan tangan kanan
nenek itu dengan dahsyat mencengkram kearah muka pemuda itu. Demikian hebat
serangannya sehingga Song Cun terkejut dan cepat dia menarik mukanya ke belakang
sambil mengangkat kedua lengannya untuk melindungi mukanya.
"Breeett …..!” Tangan kiri Nyonya Bu mencengkram baju pemuda itu dan sekali sentak
terobeklah baju luar dalam Song Cun sehingga kini tampak dadanya bertelanjang.
"Lihat dadanya itu!” kata Nenek Bu sambil melompat ke belakang. Semua orang
memandang kearah dada Song Cun. Wajah Song Cun pucat dan di kulit dadanya yang
putih tampak jelas gambaran telapak tangan menghitam.
"Itulah tanda telapak tanganku ! "Nenek Bu berseru. "Akibat pukulan Hwe-tok-ciang! Nah,
adakah bukti yang lebih menyakinkan lagi?”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 258
"Bohong!” Song Cun berteriak akan tetapi wajahnya pucat dan suaranya gemetar. "Nenek
gila itu bohong! Lihat, lengan kiriku tidak buntung, padahal Si Tangan Halilintar yang
melakukan semua kekejian itu jelas buntung lengan kirinya!”.
Puteri Mayani maju dan ia berteriak lantang. "Lam-liong Ma Giok, akupun sudah
mendengar akan kebijaksanaanmu. Sekarang pertimbangkan baik-baik dan dengan
bijaksana ! Apa sukarnya menyembunyikan lengan kiri ke dalam dan membiarkan lengan
baju kiri tergantung kosong! Semua orang juga dapat berbuat begitu. Dan tentu kalian
semua mengetahui bahwa penjahat tukang memperkosa itu adalah seorang yang
memang pernah melakukan perkosaan. Siauw Beng jelas tidak pernah melakukannya.
Akan tetapi jahanam Song Cun itu? Dahulu, ketika menyeret aku ke depan kuburan orang
tuanya, Song Cun ini telah memperkosa aku secara keji sekali!”.
"Bohong ! Perempuan Mancu ini bohong ! Siapa percaya omongannya?” Song Cun
berteriak.
Mayani memandang kearah Song Cin. "Song Cin, aku tahu bahwa engkau tidaklah
sejahat kakakmu, engkau seorang pendekar muda yang tentu akan membela kebenaran
dan keadilan! Sekarang, demi kehormatanmu sebagai seorang pendekar, demi nama dan
kehormatan mendiang orang tuamu dan demi nama Cong-yang Ngo-taihiap yang
dihormati orang, katakan yang sebetulnya, apakah aku berbohong ketika mengatakan
bahwa Song Cun telah memperkosa aku secara keji di kuburan orang tuamu?”.
Wajah Song Cin menjadi pucat, lalu merah kembali, wajahnya muram dan bingung.
"Ingat Song Cin, Bhe Siu Cen juga diperkosa oleh Song Cun ini!” kata pula Mayani yang
sudah mendengar bahwa gadis itu telah di tunangkan dengan Song Cin. Mendengar ini,
wajah Song Cin menjadi merah dan matanya memandang kearah kakaknya dengan sinar
berapi!.
"Benar, Song Cun telah memperkosa Puteri Mayani di kuburan orang tua kami!” Akhirnya
dia berkata dengan suara lantang.
"Cin-te …..!” Song Cun berseru. Semua orang terkejut dan memandang kepada Song Cun
yang wajahnya berubah pucat.
"Bukan hanya perbuatan terkutuk itu dia lakukan kepadaku, akan tetapi dia bersama Toatbeng
Siang-kiam Can Ok juga telah memperkosa dua orang saudara misanku, dua orang
gadis tak berdosa yang sedang melakukan perjalanan ke kota raja. Mereka bernama Thio
Bi Goat dan Thio Bi Hwa, keponakan ibuku! Nah, seorang yang telah melakukan
perbuatan terkutuk seperti itu, apakah tidak mungkin menyamar sebagai Si Tangan
Halilintar melakukan semua perkosaan dan pembunuhan itu?” kata Mayani penuh
semangat.
Kembali semua orang menjadi berisik dan semua mata kini memandang kepada Song
Cun. Pada saat itu, Ai Yin sudah merasa yakin bahwa pelaku kejahatan itu jelas Song
Cun, karena ketika ia nyaris diperkosa malam itu, Cun Song itu pun meninggalkan rumah
penginapan dengan alasan hendak menghubungi Can Ok!.
"Semua bohong ! Lo-cian-pwe Ma Giok, perempuan itu adalah puteri Mancu, nenek itu
pun bekas isteri Pangeran Mancu, dan Lauw Beng itu jelas seorang pengkhianat bangsa!
Sedangkan saya, semua orang tahu, saya adalah seorang patriot pejuang bangsa yang
selalu menentang penjajah Mancu! Apakah semua orang terbujuk dan lebih percaya
kepada mereka daripada kepada saya, seorang patriot?”.
"Song Cun ini yang bohong!” tiba-tiba Wong Ai Yin melompat ke depan dan berteriak
nyaring. "Dia pembohong dan penipu sehingga saya sendiri tertipu olehnya, mengira
bahwa dia seorang yang baik budi dan seorang pendekar patriot yang terhormat. Akan
tetapi, aku menjadi saksinya bahwa diam-diam dia bersekutu dengan golongan sesat
macam Toat-beng Siang-kiam Can Ok dan bersama mereka dia mengadakan hubungan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 259
pula dengan Pangeran Galdan dari Mongol, dan dengan Pangeran Dorbai dari Kerajaan
Mancu untuk merebut kekuasaan kaisar. Mana ada patriot bersekutu dengan Pangeran
Mancu dan Pangeran Mongol, juga dengan golongan sesat? Dia itu jahat dan palsu, dan
sekarang aku yakin bahwa yang malam itu menyamar sebagai Si Tangan Halilintar adalah
Song Cun!
Aku mengenal Lauw Beng sebagai seorang pendekar yang bijaksana dan budiman!”.
Semua orang kini mengepung Song Cun yang menjadi pucat. Matanya liar memandang ke
sekeliling seperti seekor harimau terkepung.
"Song Cun! Kiranya engkau yang amat jahat dan membohongi kami semua Sejak dulu
engkau berusaha untuk mencelakai Lauw Beng dengan tipu muslihatmu yang licik! Apa
yang akan kau katakan sekarang setelah kedokmu terbuka?”.
Tiba-tiba Song Cun tertawa bergelak, tawa yang tidak wajar karena terdengar seperti
setengah menangis. Tawa seorang yang miring otaknya! Segala macam perasaan marah,
kecewa dan takut mengaduk hatinya dan membuat jiwanya terguncang.
"Ha-ha-ha-ha ! Akulah Si Tangan Halilintar yang melakukan semua itu! Aku melakukannya
untuk menghancurkan si bedebah Lauw Beng yang kubenci! Mampuslah Lauw Beng, haha-
ha!”.
Bukan main marahnya semua orang yang tadinya merasa yakin bahwa pelaku perbuatan
keji itu adalah Lauw Beng. Terutama sekali Ma Giok. Dia memandang kearah Lauw Beng
dengan muka pucat. Kemudian kemarahan di hatinya memuncak dan dia memandang
kearah Song Cun.
"Jahanam keparat ! Sejak dulu sudah ku curigai kau! Sambutlah ini!” Ma Giok menerjang
kearah Song Cun.
Pemuda ini sambil menyerengai menyambut.
"Plakkk …. Desss ….!” Ma Giok terpental ke belakang sampai terhuyung.
Bhe Kam yang juga marah sekali menerjang. Akan tetapi seperti juga Ma Giok, ketika
Song Cun menangkis, dia terpental ke belakang dan hampir roboh terpental ke belakang
dan hampir roboh kalau saja Song Cin tidak cepat menangkap lengannya. Song Cun
tertawa terbahak-bahak. Ternyata setelah menerima gemblengan dari Jit Kong Lama,
kepandaian Song Cun meningkat banyak sehingga Ma
Giok sendiri masih kalah kuat ketika mengadu tenaga sakti dengannya!.
"Omitohud! Kami semua tertipu oleh orang yang jahat ini. Biar pinceng turun tangan
sendiri!” Tiong Hwi Hwesio sudah melangkah maju sambil membawa tongkatnya.
"Lo-suhu, sayalah yang di fitnah. Biarlah saya sendiri maju menghadapinya. Para Locianpwe
cukup menjadi saksi saja! "tiba-tiba Lauw Beng atau Siauw Beng melompat ke
depan dan berhadapan dengan Song Cun.
"ha-ha-ha-ha ! Inilah saat yang kunanti-nanti ! Setelah ku rusak namanya, biar sekarang
ku bunuh orangnya!” kata Song Cun dan dia sudah menerjang dengan dahsyat, tangan
kanannya mencengkram kearah muka Lauw Beng dan tangan kirinya memukul kearah
dada. Serangan ini dahsyat dan mematikan. Lauw Beng dengan tenang mundur
selangkah dan menggerakkan tangannya menangkis dari bawah dengan gerakan
memutar ke atas dan ke kanan.
Akan tetapi begitu kedua tangannya tertangkis, Song Cun sudah mengirim tendangan
susulan kearah bawah pusar lawan. Kembali Lauw Beng mengelak dan balas menyerang.
Kedua orang ini lalu berkelahi dengan seru dan mati-matian, di tonton oleh semua orang
yang berada di situ. Biarpun Lauw Beng hanya mempunyai lengan kanan saja yang dapat
dipergunakan untuk menyerang dan menangkis, namun dia sama sekali tidak terdesak
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 260
oleh serangan Song Cun yang mengamuk seperti gila. Kekalahan jumlah tangan itu dapat
di tutup dengan kemenangan dalam hal kecepatan gerakan dan kekuatan tenaga sakti.
Tiba-tiba muncul sekitar tiga puluh orang perajurit Mancu di pimpin oleh Toat-beng Siangkiam
Can Ok yang mengamuk dan membantu Song Cun! Tentu saja para pendekar yang
berada di situ menyambut dan terjadilah pertempuran hebat. Munculnya Can Ok dengan
puluhan perajurit Mancu ini meyakinkan para pendekar akan kebenaran keterangan Ai Yin
tadi bahwa Song Cun bersekutu dengan Pangeran Dorbai yang hendak memberontak di
bantu oleh
Pangeran Galdan dari Mongol! Maka, mereka menjadi marah dan menyambut dengan
senjata mereka.
Ketika melihat Mayani ikut menyambut serbuan pasukan Mancu itu, nenek Bu juga ikut
mengamuk. Ma Giok melihat ini, menjadi heran dan dia mendekati Mayani.
"Puteri Mayani, mengapa engkau melawan pasukan Kerajaan Ceng (Mancu) sendiri?”.
"Mereka bukan pasukan pemerintah. kalau pasukan pemerintah tidak mungkin
menyerangku. Mereka adalah pasukan yang hendak memberontak terhadap pemerintah
Ceng!”.
Mendengar ini, Ma Giok lalu ikut pula mengamuk. Menghadapi amukan para pendekar
dari Siauw-lim-pai, Kang-lam Jit-hiap, dan keluarga Ciong-yang Ngo-taihiap, di tambah
pula dengan Mayani dan Nenek Bu, tentu saja pasukan Mancu itu menjadi kocar-kacir!
Ketika melihat keadaan tidak menguntungkan, Toat-beng Siang-kiam Can Ok hendak
melarikan diri, akan tetapi sesosok bayangan putih berkelebat dan Wong Ai Yin sudah
menghadang di depannya.
"Ai Yin, biarkan aku pergi …..!” Can Ok yang memegang sepasang pedangnya itu minta
dengan suara memohon. "Aku Paman gurumu …..!”.
"Hemmm, Can Ok. Dosamu sudah terlalu besar dan engkau mencoreng pula nama
ayahku karena perbuatanmu yang kotor!”.
Can Ok yang putus asa itu marah dan menyerang dengan sepasang pedangnya. Akan
tetapi Liong-cu-kiam di tangan Ai Yin menyambut dan mereka lalu bertanding mati-matian.
Dalam belasan jurus saja Can Ok sudah terdesak hebat dan ketika ujung pedang Ai Yin
berhasil melukai lengan kirinya sehingga pedang kirinya terlepas, Can Ok mencoba untuk
melompat meninggalkan Ai Yin dan melarikan diri. Akan tetapi dua batang pedang dari
seorang anggota Kang-lam Jit-hiap menyambar dan robohlah Can Ok mandi darah dan
tewas seketika.
Tidak sampai lama pertempuran itu. Para perajurit Mancu, anak buah Pangeran Dorbai itu
roboh bergelimpangan dan sisanya, kurang lebih dua belas orang, melarikan diri
meninggalkan kawan-kawannya. Pertempuran selesai dan para pendekar kembali
memperhatikan Song Cun dan Lauw Beng yang masih bertanding. Kini kedua orang muda
itu bertanding dengan pedang di tangan. Berkali-kali pedang mereka beradu, terdengar
bunyi berdencing nyaring di ikuti bunga api yang berpijar. Pertandingan yang amat seru.
Biarpun kini ilmu kepandaian Song Cun meningkat banyak, namun di bandingkan dengan
tingkat kepandaian Lauw Beng, dia masih kalah jauh. Kalau Lauw Beng menghendaki,
kiranya sudah sejak tadi Song Cun roboh dan tewas. Akan tetapi Lauw Beng tidak ingin
membunuhnya, hanya ingin merobohkannya tanpa melukai berat dan inilah yang
membuat Song Cun masih dapat bertahan sampai sekian lama.
Para ahli silat yang berada di situ dan menyaksikan perkelahian itu, harus mengakui
bahwa ilmu silat Song Cun sekarang amat hebat, akan tetapi mereka, terutama sekali
Tiong Hwi Hwesio, Ma Giok, Kang-lam Jit-hiap dan tiga orang dari Ciong-yang Ngotaihiap,
mengetahui juga bahwa Lauw Beng banyak mengalah dan serangan balasannya
tidak sepenuhnya. Hal ini saja sudah membuatnya mereka kagum dan menyadari akan
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 261
kebaikan hati Lauw Beng yang jelas tidak mau melakukan serangan maut. Si Tangan
Halilintar yang asli itu tidak mau membunuh Song Cun, padahal Song Cun telah
membuntungi lengan kirinya dan telah menyamar sebagai dia dan melakukan banyak
kejahatan untuk menghancurkan namanya!.
Nenek Bu yang melihat keadaan ini, segera berseru marah dan cucunya. "Siauw Beng,
manusia berwatak iblis seperti Song Cun itu masih juga engkau kasihani? Hayo cepat
robohkan dia kalau engkau tidak mau celaka sendiri akhirnya karena orang macam itu licik
dan curang sekali!”.
Mendengar teriakan neneknya, Lauw Beng baru menyadari bahwa pertempuran telah
selesai dan semua orang kini menonton dia yang masih bertanding melawan Song Cun.
Song Cun sudah mandi keringat, wajahnya pucat dan napasnya terengah karena setiap
kali pedang mereka bertemu, tubuhnya tergetar hebat dan dalam perlawanannya yang
mati-matian itu menguras semua tenaganya.
Mendengar teriakan neneknya, Lauw Beng berseru keras, pedangnya menyambar
dahsyat. Song Cun menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan seluruh
tenaganya.
"Singggg … tranggg …. !!!” Pertemuan kedua pedang sekali ini amat dahsyat dan
akibatnya, pedang di tangan Song Cun patah. Lauw Beng melemparkan pedang Kui-kong
Sing-kiam ke atas dan tangan kanannya lalu mendorong ke depan. Itulah pukulan Kuikong-
ciang (Tangan Halilintar). Song Cun merasa dadanya seperti di sambar petir.
Biarpun Lauw Beng sudah membatasi tenaganya, tetap saja Song Cun terlempar dan
terbanting roboh dengan tangan masih memegang gagang pedangnya yang tinggal
sepotong!.
Melihat pemuda itu sudah roboh, mereka yang merasa sakit hati kepada Song Cun segera
berlompatan menghampiri untuk melampiaskan dendam mereka. Akan tetapi Song Cun
tertawa bergelak, lalu tangan kanannya menggerakkan pedang buntungnya ke leher
sendiri dan diapun tewas dengan leher hampir putus!.
Wong Ai Yin berlari menghampiri Lauw Beng dan menjatuhkan diri berlutut di depan
pemuda itu. "Siauw Beng …. Ampunkan aku …. Aku telah menuduhmu …… "Ia menangis
tersedu-sedu sambil menutup muka dengan kedua tangannya.
Lauw Beng tadi menyambut pedangnya yang di lontarkan ke atas dan menyimpan kembali
pedang Lui-kong Sin-kiam (Pedang Sakti Halilintar) dan dia menghela napas panjang
sambil menundukkan muka memandang kepada Ai Yin.
"Sudahlah, Ai Yin. Bukan salahmu, semua orang juga tertipu oleh Song Cun”.
Mereka semua kini merubung Lauw Beng dan berturut-turut mereka minta maaf. Mulamula
Kang-lam Jit-hiap yang minta maaf dan memberi hormat kepada Lauw Beng dengan
mengangkat tangan depan dada.
"Maafkan kami bertujuh yang bodoh, mudah dikelabui orang. Kami telah membuat
kesalahan besar dengan menuduh Lauw-taihiap (Pendekar besar Lauw) yang tidak
berdosa”.
Lauw Beng membalas penghormatan mereka. "Tidak mengapa, setiap orang pasti pernah
membuat kesalahan. Jit-wi (Kalian bertujuh) juga hanya tertipu”.
Kemudian Tiong Hwi Hwesio wakil ketua Siauw-lim-pai juga minta maaf, di susul tiga
orang pendekar Ciong-yang Ngo-taihiap, terutama sekali Bhe Kam ayah Bhe Siu Cen.
Juga Song Cin minta maaf kepada Lauw Beng dan juga kepada Puteri Mayani karena
selama ini dia menyimpan rahasia busuk kakaknya yang pernah memperkosa Mayani.
Kemudian Lu Kiat dan Lu Siong. Mereka semua satu demi satu, minta maaf kepada Lauw
Beng lalu meninggalkan tempat itu. Song Cin membawa pergi jenazah Song Cun untuk di
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 262
kuburkan sebagaimana mestinya dan hal ini saja sudah menunjukkan bahwa Song Cin
seorang pemuda yang baik, sama sekali berbeda dari Song Cun. Biarpun dia juga merasa
sakit hati karena tunangannya diperkosa kakaknya itu, namun dia masih mau mengurus
jenazah Song Cun sebagaimana mestinya.
Kini tinggal Ma Giok yang berhadapan dengan Lauw Beng. Pendekar tua ini tampak agak
pucat, namun sepasang matanya memandang Lauw Beng penuh kagum dan sayang.
Melihat ini, Lauw Beng lalu maju dan berlutut di depan ayah angkatnya yang sejak dia bayi
telah merawat dan mendidiknya itu.
"Ayah, ampunkan saya yang membuat ayah menjadi banyak pusing“, katanya dengan
terharu karena dia menyadari bahwa dia belum dapat membalas semua budi ayah
angkatnya ini dan hanya mendatangkan kepusingan.
Ma Giok maju dan memegang kedua pundak Lauw Beng, menariknya bangkit berdiri lalu
merangkul pemuda itu.
"Siauw Beng “, katanya dengan suara gemetar. "Bukan engkau yang harus minta ampun,
sebaliknya aku yang harus minta maaf karena selama ini, aku kurang percaya kepadamu
dan mudah dihasut orang sehingga menyangka buruk padamu. Sekarang aku tahu
banyak engkau adalah seorang yang telah dapat menjunjung tinggi nama baik ayahmu
dan aku ikut merasa bangga. Maafkanlah ayahmu yang bodoh ini, Siauw Beng”.
Mereka berangkulan dan kedua pasang mata mereka basah.
Nenek Bu berkata, "Ma Giok, aku pun mengucapkan terima kasih kepadamu atas
pembelaanmu terhadap anakku Kui Siang dan atas semua perawatan dan pendidikan
kepada cucuku Lauw Beng”.
Setelah saling melepaskan rangkulan, Lauw Beng menghela napas panjang dan berkata,
"Ayah, sungguh saya merupakan anak yang tidak berbakti. Saya tidak mampu
melanjutkan cita-cita mendiang ayah Lauw Heng San dan cita-cita ayah sendiri untuk
menjadi seorang patriot yang memusuhi Pemerintah Ceng. Saya tidak dapat memusuhi
orang yang tidak berdosa. Saya akan selalu menentang mereka yang jahat, tidak peduli
bangsa apa, dan saya akan selalu membela mereka yang tertindas, tidak peduli bangsa
apa pula. Saya sungguh sedih telah menyebabkan semua peristiwa yang mengakibatkan
banjir darah ini. Selamat tinggal, ayah“.
Setelah berkata demikian, Lauw Beng lalu meninggalkan tempat itu dengan muka di
tundukkan karena dia merasa menyesal sekali bahwa karena urusan dia maka hari ini
terjadi pembunuhan begitu banyak orang.
Ma Giok menghela napas panjang dan diapun menjura kepada Nenek Bu dan Mayani, lalu
pergi dari situ tanpa berkata apapun. Nenek Bu dan Mayani juga cepat meninggalkan
tempat yang dipenuhi mayat para perajurit Mancu pengikut Pangeran Dorbai dan mereka
melakukan pengejaran terhadap Lauw Beng yang berjalan pergi dengan santai. Sebentar
saja mereka dapat menyusul pemuda itu.
"Siauw Beng, engkau hendak kemanakah?” Tanya Mayani sambil memegang lengan
pemuda itu sehingga Lauw Beng terpaksa berhenti melangkah.
"Aku hendak melanjutkan perjalanan, kemana saja kakiku akan membawaku, Mayani”.
"Lauw Beng, cucuku, marilah engkau bersama aku ikut Mayani ke rumah ayahnya,
Pangeran Gunam atau yang nama barunya Ceng San. Dahulu keluarga itu merupakan
kenalan baikku. Mari kita mulai dengan kehidupan baru di sana dan engkau tentu akan
mudah memperoleh kedudukan di kota raja”.
Pada saat itu, Lauw Beng menoleh ke kiri dan tampaklah sesosok bayangan putih
berkelebat pergi di antara pohon-pohon. Mayani hendak mengejar, akan tetapi Lauw Beng
menahannya.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 263
"Biarkan ia pergi”.
"Siapa itu, Siauw Beng?”
"Ia Wong Ai Yin, puteri Bu-tek Sin-kiam”.
"Hemm, gadis galak yang menuduhmu nyaris memperkosanya itu?”.
"Ia juga hanya menjadi korban penipuan Song Cun, Mayani”.
"Lauw Beng, engkau belum menjawab ajakanku tadi. Mari kita ke kota raja. Sudah cukup
rasanya usiamu untuk mencari kedudukan kemudian menikah!”. Setelah berkata demikian,
Nenek Bu mengerling kearah Mayani karena memang di dalam hatinya Nenek Bu sudah
mengambil keputusan untuk menjodohkan cucunya dengan Mayani. mayani mengerti
maksud kerling itu dan wajahnya tiba-tiba berubah merah dan jantungnya berdebar
menanti jawaban Lauw Beng.
"Maaf, Nek. Saya tidak memusuhi pemerintah Kerajaan Ceng, akan tetapi saya juga tidak
ingin menjadi pegawainya. Orang-orang akan semakin memandang rendah kepada saya.
Tidak, Nek, saya ingin bebas, tidak terikat kedudukan sehingga tidak terpaksa melakukan
apa yang diperintahkan atasan saya. Kalau saya bebas, saya dapat melakukan apa saja
yang saya rasa benar dan tidak berlawanan dengan suara hati saya sendiri. Nenek ikutlah
dengan Mayani, saya percaya Mayani seorang yang baik sekali dan
dapat dipercaya. mayani, saya hanya titip nenekku ini.
Sampai di sini saja, selamat berpisah dan kelak kita berjumpa pula!” Setelah berkata
demikian, pemuda itu berkelebat dan lenyap dari situ.
Nenek Bu menghela napas panjang, sedangkan wajah Mayani yang cantik tampak
muram. Nenek Bu merangkul gadis itu. "Biarlah dia pergi dulu. Percayalah, Mayani, kalau
memang kalian berjodoh, kelak pasti akan berkumpul kembali. Mudah-mudahan yang
menjadi keinginan hatiku itu akan terkabul”.
Dua orang wanita inipun lalu pergi menuju ke kota raja dan melihat kemuraman wajah
Puteri Mayani, Nenek Bu menghiburnya sehingga akhirnya ia mendapatkan kembali
harapan dan kegembiraannya. Memang terdapat hubungan batin yang erat antara Mayani
dan Nenek Bu,lebih daripada hubungan murid dan guru.
****
Bhe Siu Cen duduk di bangku taman di puncak Liong-san, menutupi muka dengan kedua
tangannya dan menangis sesunggukan. Di depannya, juga di atas bangku, duduk Song
Cin.
"Cen-moi (adik Cen), sudahlah, jangan bersedih dan jangan menangis. Seperti sudah
engkau dengar dari ayahmu, pelaku perbuatan keji atas dirimu itu sama sekali bukan Si
Tangan Halilintar Lauw Beng, melainkan kakakku sendiri, Song Cun. Akan tetapi dia telah
mendapatkan balasan yang setimpal. Dia membunuh diri dengan pedangnya, berarti sakit
hatimu telah terbalas dan pelakunya telah menerima hukuman dengan tebusan
nyawanya”.
Setelah di hibur dan dibujuk, akhirnya Siu Cen dapat menahan tangisnya dan ia
menurunkan kedua tangannya. Dua buah mata yang kemerahan dan agak membengkak
karena terlalu banyak menangis menatap wajah Song Cin.
"Cin-ko, semua itu, bahkan kematiannya tetap saja tidak dapat mengubah keadaanku
yang terkutuk ……!. Gadis itu menunduk lagi dan menahan isaknya.
“Ceng-moi! Apa maksudmu? Terkutuk, apanya yang terkutuk?”.
Koleksi Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pdf created by: Segoro Mas 264
“Akulah yang terkutuk, Cin-ko. Aku telah menjadi seorang yang kotor dan hina, aku ….
Aku … bahkan aku tidak pantas untuk berdekatan denganmu”.
“Ah, jangan berkata demikian, Cen-moi ! Bagiku, engkau tetap Bhe Siu Cen kekasihku,
tunanganku, calon isteriku!”.
“Tidak, aku akan menyeretmu bersama ke dalam pecomberan. Aku tidak pantas menjadi
isterimu”.
“Akan tetapi mengapa begitu, Cen-moi?”.
“Ah, engkau masih bertanya lagi, Cin-ko? Apakah engkau pura-pura lupa bahwa aku
adalah seorang wanita yang kehilangan kehormatan, kehilangan keperawanan dan tidak
suci lagi?”.
Song Cin menangkap kedua tangan gadis itu dan dipaksanya gadis itu untuk duduk diam
dan memandang kepadanya. "Cen-moi, dengarlah baik-baik! Aku bukanlah laki-laki yang
berpandangan sempit seperti itu! Kesucian diukur dari keperawanan seorang gadis!
Betapa rendah dan picik pandangan seperti itu! Dengar, Cen-moi dan jawablah
pertanyaanku ini sejujurnya. Kita pernah menyatakan saling cinta. Engkau mencinta aku.
Nah, katakan, apaku yang kau cinta? Apakah kepalaku ini, tanganku, kakiku, badanku?
Apaku yang kau cinta? Jawablah sejujurnya”.
Siu Cen bingung, akan tetapi ia menjawab sejujurnya. "Aku mencinta engkau, Cin-ko,
segala yang ada padamu, bukan sebagian-sebagian”.
“Tepat, Cen-moi. Demikian pula aku. Aku cinta engkau, Cen-moi! Cinta engkau
seluruhnya, bukan cinta keperawanan. Aku mencinta engkau, apa dan bagaimanapun
keadaanmu. aku bukan ingin berjodoh dengan keperawanan. Kalau begitu, bisa saja aku
mengambil wanita siapa saja yang masih perawan! Tidak, aku mencinta engkau, bukan
keperawananmu! Pula, engkau kehilangan itu karena di paksa, diperkosa orang. Bukan
salahmu. Sudahlah, lupakan peristiwa itu, Cen-moi! Orang berbuat jahat dan keji
kepadamu, akan tetapi orang itu sudah terhukum, sudah mati. Kita masih hidup. Kita
saling mencinta dan aku tetap mencintamu, apapun yang telah, sedang dan akan terjadi
dengan dirimu! Percayalah!”
“Cin-ko …..!” Siu Cen menjatuhkan diri kedalam pelukan tunangannya sambil menangis,
sekali ini penuh kelegaan, penuh kebahagiaan, seolah ia menemukan kembali
kebahagiaan hidupnya yang tadinya ia anggap telah menghilang.
Cinta kasih murni dapat mengatasi dan memenangkan segala macam gangguan dan
persoalan. Cinta kasih itu abadi dan meresap ke hati sanubari, bukan hanya sekedar di
kulit belaka yang mudah hilang. Berbahagialah manusia yang di sinari cinta kasih sejati
dalam hatinya karena Kasih itu Suci, Kasih itu Benar, kasih itu Baik dan Kasih itu Abadi !
TAMAT
Lereng Lawu, Medio Oktober 1991


Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments