Senin, 20 Agustus 2018

CersilTerbaru Sepasang Rajah Naga 1

CersilTerbaru Sepasang Rajah Naga 1
========

SEPASANG RAJAH NAGA
KHO PING HOO Perahu itu berbentuk naga. Perahu yang sedang saja dan layarnya yang terkembang itu sudah penuh tambalan. Akan tetapi perahu itu melaju dengan tenangnya. Layarnya mengembung terdorong angin lembut yang cukup kuat. Perahu meluncur lembut seolah tidak terasa ada ombak yang mengganggu. Air laut amat biru dan tenang. Langit pun biru dan banyak awan putih menciptakan berbagai bentuk yang aneh-aneh di angkasa. Matahari pagi itu memancar dengan cerah. Tukang perahu yang berusia kurang lebih lima puluh tahun itu, duduk mengemudikan perahu dengan wajah berseri. Tidak ada kesenangan yang lebih menggembirakan bagi seorang tukang perahu dari pada keadaan laut tenang dan lembut seperti itu. Di bagian perahu yang terlindung atap,duduk dua orang wanita berusia kurang lebih dua puluh lima tahun. Mereka bercakap-cakap sambil memangku anak mereka masing masing. Dua orang
2
anak laki-laki yang usianya sekitar tiga tahun. Melihat pakaian wanita-wanita dan anak mereka itu, dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang kota,bukan orang-orang dusun yang miskin. Pakaian mereka terbuat dari sutera halus. Wajah merekapun cantik dan terpelihara. Anak-anak merekapun tampan dan séhat, kemeraan warna pipi kedua anak itu. Terdengar suara orang bercakap-cakap dan tertawa di bagian depan perahu. Dua orang laki-laki, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, duduk berhadapan di papan perahu. Seguci arak berada di antara mereka berikut dua buah cawan arak. “Wong Siauw-te (Adik Wong), coba lihat itu. Engkau melihat bentuk-bentuk yang aneh di sebelah sana itu?” kata seorang antara mereka yang bertubuh tinggi besar berkumis tipis dan berjenggot pendek sambil menuding ke atas, ke arah langit sebelah barat. Orang ke dua yang bertubuh sedang berwajah tampan dan mempunyai sebuah tahi lalat di dagunya, menengadah dan memandang ke arah langit yang ditunjuk oleh kawannya.Setelah memandang sejenak, dia berseru, “Tan Twa-ko (Kakak Tan)! Engkau juga melihat apa yang kulihat? Awan-awan itu membentuk dua ekor naga, hitam dan putih!”
3
“Benar! Dua ekor naga, seekor putih dan seekor hitam, melayang-layang di angkasa. Kupikir, keadaan kita berdua ini mirip dengan sepasang naga itu, Wong Siauw-te. Terpaksa terbang, dikejar-kejar, melayang-layang tidak tentu arah tujuan, harus melarikan diri. Ah, betapa hal itu membuat hatiku merasa penasaran sekali!” Orang tinggi besar bermarga Tan itu menghela napas panjang. “Betul sekali, Tan Twa-ko. Betapa amat kebetulan sekali. Bukankah kita berdua inipun Shio Liong Bertahun kelahiran Naga)? Dan lihat perahu yang kita tumpangi ini. Berbentuk naga pula! Anehnya, dua orang anak kita juga shio Liong! Mereka berselisih tepat dua puluh empat tahun dengan kita.” Wong Cin, pria yang bertubuh sedang dan berwajah tampan itu, mengangguk-angguk. “Memang sungguh kebetulan sekali. Agaknya para dewa hendak menunjukkan sepasang naga di angkasa yang terbentuk daripada awan-awan hitam putih itu sebagai pertanda akan keadaan kita berdua.” “Mari kita mengangkat cawan dan minum arak.untuk memperingati peristiwa ini, Wong Siauw-te!” kata Tan Hok, pria yang tinggi besar itu sambil mengisi cawan mereka dengan arak yang dituangkannya dari dalam guci.
4
“Mari, Tan-twako!” kata Wong Cin sambil mengangkat cawannya. Keduanya minum habis arak dalam cawan dengan sekali tenggak dan Wong Cin berkata, “Kalau saja di sini terdapat seorang tukang rajah (pembuat lukisan di atas kulit) yang pandai, alangkah baiknya kalau kita menyuruh dia membuatkan rajah gambar naga kepada tubuh anakkita masing-masing untuk menandai peristiwa munculnya sepasang naga awan di angkasa itu!” Ucapannya terdengar ringan dan gembira, pertanda bahwa hawa arak mulai mempengaruhi lidahnya. “Pikiran yang baik sekali!” kata Tan Hok. “Akan tetapi di atas lautan ini, di mana kita bisa menemukan seorang tukung rajah? Apa lagi tukang rajah yang pandai, yang dapat membuat rajah di tubuh anak anak kita tanpa mendatangkan rasa nyeri.” “Saya adalah seorang tukang rajah!” tiba-tiba terdengar suara yang dalam dan agak parau. Dua orang bersahabat itu menengok dan ternyata yang bicara adalah tukang perahu yang usianya sudah lima puluh tahun itu. Dengan perasaan heran keduanya tanpa dikomando lalu bangkit berdiri, Tan hok membawa guci arak dan Wong Cin membawa dua cawan arak, lalu mereka menghampiri tukang perahu yang duduk di buritan memegang kemudi. Mereka berdua lalu duduk di depan
5
tukang perahu itu dan mendengar pengakuan tukang perahu bahwa dia adalah seorang tukang rajah, kedua orang sahabat itu mengamati si tukang perahu yang sebelumnya tidak mereka perhatikan. Dia seorang pria berusia lima puluh taun lebih. Kulit muka dan tangannya yang tidak terlindung tampak coklat kehitaman karna dibakar terik matahari setiap hari. Wajahnya penuh keriput yang merupakan garis mendalam, akan tetapi sepasang matanya membayangkan kecerdikan dan kaya akan pengalaman hidup. Kedua tangan yang memegang kemudi itu tampak tegap dan kuat, walaupun tubuhnya agak kurus dan jangkung. “Paman, benarkah engkau pandai merajah?” tanya Tan Hok setelah dia duduk di depan tukang perahu itu. Tukang perahu itu mengangguk. Muka yang menunjukkan penuh garis-garis kepahitan hidup itu selalu tampak muram, tidak pernah ada senyum muncul di sana. “Banyak pelaut minta kepada saya untuk membuatkan rajah di tubuh mereka. Akan tetapi saya belum pernah merajah di tubuh bangsawan seperti tuan berdua.” Wong Cin mengerutkan alisnya. “Paman, bagaimana paman menduga bahwa kami berdua adalah orang-orang bangsawan.?”
6
“Mudah saja, tuan. Dari bahasa percakapan, dari gerak dan gaya ji-wi (anda berdua), juga melihat keadaan kedua hu-jin (nyonya) dan kedua kong-cu (tuan muda), mudah diduga bahwa ji-wi tentulah keluarga bangsawan.” “Paman, engkau seorang tukang perahu yang aneh. Siapakah namamu” tanya Tan Hok. “Orang-orang memanggil saya A-ming. Itulah nama saya,” jawab tukang perahu itu dengan sederhana. “Benarkah engkau pandai merajah kulit tubuh, paman A-ming?” tanya Wong Cin. “Sudah bertahun-tahun saya merajah, sudai ratusan orang saya rajah kulitnya dan saya dapat membuat gambar rajah apa saja dari segala macamn bunga sarmpai segala macam binatang,” kata tukang perahu tanpa nada bangga. Suaranya dalam agak parau dan datar saja, seolah-olah yang dia bicarakan itu adalah soal yang biasa saja. “Dan dapatkah engkau merajah kulit tubuh anak kami tanpa membuat mereka menderita nyeri?” tanya Tan Hok.
7
“Saya mempunyai obat khusus untuk menghilangkan rasa nyeri ketikà kulit tubuh saya tusuk-tusuk dengan jarum untuk merajah.” “Bagus! Kalau begitu buatkanlah rajah gambar naga kepada anak kami,” kata WongCin. “Sebaiknya di manakah rajah itu dibuat Tan-twako? Di lengan atau jangan di lengan. Sebaiknya di dada saja agar jangan terlihat orang, akan tetapi menjadi kenangan atas peristiwa hari ini. Paman A-ming, aku ingin engkau merajah dada anakku Tan Song Bu dengan sebuah gambar naga hitam. Dapatkah?” “Tentu saja dapat, tuan.” “Dan aku ingin engkau merajah dada anakku Wóng Sin Cu dengan sebuah gambar naga putih!” kata pula Wong Cin dengan nada gembira. “Aku ingin naga itu berbentuk seperti itu...! Tan Hok berdongak dan menuding ke atas, akan tetapi wajahnya tempak kecewa ketika dia melihat bahwa bentuk dua ekor naga di angkasa itu telah membuyar. “Ah, awan berbentuk sepasang naga di angkasa itu telah hilang” katanya.
8
“Paman A-ming, engkau dapat merajah gambar naga tanpa melihat contoh, bukan? “Gambar naga? Mudah saja!” jawab A-ming. Wong Cin dan Tan Hok segera memasuki bilik perahu dan memberitahu isteri mereka akan maksud mereka membuatkan rajah pada dada anak mereka. “Hari ini adalah hari istimewa. Kami berdua tadi melihat awan di angkasa berbentuk gambar sepasang naga. Bukankah anak kita juga shio Liong?” “Akan tetapi, kalau dada anak kita dirajah, tentu dia akan kesakitan!” protes Liu Hong atau Nyonya Tan Hok yang berwajah cantik manis. “Kalau perajahan itu menyakitkan, aku tidak membolehkan Sin Cu dirajah” berkata pula Su Leng Ci atau Nyonya Wong Cin yang juga cantik dan berkulit putih mulus. “Tidak nyeri, ji-wi Hu-jin (kedua nyonya), saya tanggung anak-anak itu tidak mengalami nyeri. Obat penghilang rasa nyeri saya amat ampuh. membuat kulit menjadi kebal rasa,” kata A-ming si tukang perahu yang mendengar percakapan itu, dari buritan. Dua pasang suami isteri itu lalu membawa anak mereka mendekati tukang
9
perahu yang sudah mengeluarkan sebuah buntalan kain kuning yang tadi dia le takkan di dekatnya. “Biar Song Bu yang lebih dulu dirajahi kata Tan hok dengan gembira sambil membuka baju anak itu sehingga tampak dadanya. Biarpun baru berusia tiga tahun, sudah tampak bahwa Tan Song Bu memiliki perawakan besar dengan tulang-tulang yang kokoh jangan lupa paman A-ming,rajah gambar naga hitam untuk anakku!” “Harap tuan suka menggantikan saya memegang kemudi ini, Untuk saat ini air laut tenung sehingga mudah memegang kemudi dan saya dapat melakukan perajahan dengan baik.” Tan Hok lalu mengambil alih kemudi perahu. Pekerjaan ini mudah saja karena air laut tenang dan angin berembus lembut namun kuat, paman A-Ming lalu membuka buntalan kuning dan mengeluarkan alat rajah yang terdiri dari beberapa batang jarum, obat yang membuat kulit kebal dan semacam tinta hitam. Mula-mula dia meiumuri dada Tan Song Bu dengan obat penghilang rasa nyeri itu, membiarkan obat itu meresap ke dalam kulit untuk beberapa lamanya dan mulailah dia mengerjakan perajahan, menggunakan jarum-jarum untuk menusuki kulit dada anak itu. Ujung jarum itu telah dicelupkan ke
10
dalam tinta hitam sehingga ketika ditusukkan, tinta hitam memasuki kulit yang terluka. Ternyata obat kebal kulit itu ampuh sekali. Buktinya Tan Song Bu yang ditusuki kulitnya sama sekali tidak menunjukkan rasa nyeri. Sambil bekerja menusukkan ujung jarum itu dengan teliti sekali, A-ming bercerita. “Rajah Naga mengingatkan aku akan dongeng tentang Naga Putih dan Naga Hitam gumumnya lirih seperti bicara kepada diri sendiri. Mendengar ini, dua pasang suami isteri itu tertarik. “Paman, ceritakanlah dongeng itu kepada kami!” pinta Liu Hong atau Nyonya Tan. “Ya, ceritakanlah, paman,” desak Su Leng Ci atau Nyonya Wong. A-ming mengangguk, mencelupkan ujung jarumnya ke dalam tinta hitam dan asyik bekerja lagi. “Baik, akan kuceritakan. Dahulu kala, Raja Siang Sang Matahari dan Ratu Malam Sang Rembulan bersaing untuk menonjolkan kekuasaan mereka. Disaksikan para dewa, mereka ber tanding mengadu kesaktian untuk saling mengalahkan. Dalam pertarungan itu, Ratu Malam Sang Rembulan menciptakan seekor naga hitam yang mengumuk di angkasa. Raja Siang Sang Matahari tidak mau kalah dan dia menciptakan seekor naga putih untuk mengimbangi
11
sepak terjang sang naga hitam. Terjadilah pertempuran dahsyat di angkasa. Kedua naga itu sama saktinya dan berimbang kekuatannya hingga terus terjadi perang di antara mereka sampai saat ini. Kalau mereka bertanding, mereka mengeluarkan halilintar. Guntur, geledek dan kilat menyambar-nyambar. Mereka meniupkan angin taufan, membuat air laut bergelombang menimbulkan badai, menurunkan hujan lebat. Kadang naga hitam unggul dan menutupi matahari dengan awan-awan hitam yang gelap namun kadang naga putih unggul mengusir awan awan gelap. Pertempuran itu terus menerus terjadí dan sampai kini tidak diketahui siapa yang kalah dan siapa yang menang.” A-ming berhenti bercerita dan rajah naga hitam yang dibuatnya di dada Tan Song Bu sudah selesai. Di dada anak itu terlukis sebuah gambar seekor naga hitam yang indah. Demikian indahnya gambar rajah itu sehingga seolah-olah naga kecil hitam itu hidup. di kala anak itu bernapas dan dadanya bergerak turun naik. Gambar naga itu ikut bergerak seperti terbang melayang! setelah selesai merajah dada Tan Song Bu dengan gambar naga hitam, A-ming mulai mengerjakan rajah gambar naga putih didada Wong Sin Cu. “Dongeng itu sederhana sekali,” kata Tan Hok setelah A-ming selesai bercerita tentang naga putih dan naga hitam.
12
“Tidak begitu sederhana seperti tampaknya, Tan-twako,” kata Wong Cin. Wong Cin adalah seorang terpelajar, mengerti tentang sastra, filsafat dan sejarah yang tadinya memegang jabatan sebagai seorang jaksa di kota raja. “Tidak sederhana? Apa maksudmu, Wong-siauwte?” tanya Tan Hok yang tadinya menjabat sebagai seorang perwira, juga bertugas di kota raja. Dongeng itu mengandung arti yang mendalam. Ratu Malam Sang Rembulan dan Raja Siang Sang Matahari, naga hitam dan naga putih, itu melambangkan kekuatan Im dan Yang (Positif dan Negatif). Kedua unsur ini selalu bertentangan, saling tarik menarik, saling dorong mendorong, saling menguasai, seolah selalu saling bertandig, tidak henti-hentinya. Tidak ada yang kalah atau menang. Justeru karena dua sifat yang bertentangan inilah yang membuat seluru alam semesta bergerak, dunia berputar, saling isi tmengisi. Yang satu melengkapi yang lain, tanpa yang satu tidak akan ada yang lain. Yang satu jantan yang lain betina.” “Wah, demikian dalamkah arti dongeng itu, Wong-siauwte? Lalu apa artinya tanpa yang satu tidak akan ada yangain itu?” tanya Tan Hok. Diapun seorang terpelajar, akan tetapi yang dipelajari secara mendalam hanyalah ilmu perang dan ilmu silat.
13
“Im dan Yang sifatnya berlawanan, yang satu menjadi kebalikan yang lain. Seperti siang dan malam, terang dan gelap, baik dan jahat, senang dan susah. Tanpa yang satu, apakah yang lain itu akan ada? Tanpa adanya gelap, dapatkah kita mengenal terang? Tanpa adanya yang jahat, dapatkah kita mengenal yang baik? Karena itu, yang satu harus ada untuk melengkapi yang lain agar menjadi utuh. kenyataan seperti inilah yang, tidak dikehendaki oleh Thian, karena tanpa kehendakNya hal itu tidak akan terjadi. “Akan tetapi mengapa Thian mengadakan iblis yang menjadi sumber terjadinya kejahatan di dunia ini?” Tan Hok mengejar, suaranya pahit karena dia teringat akan keadaan dirinya sendiri bersama keluarga sahabatnya itu, yang menjadi korban dari perbuatan jahat. “Hal ini sudah sewajarnya, twa-ko. Deagan adanya kebaikan dan kejahatan, manu-sia berwenang untuk memilih jalan mana yang akan diambilnya, jalan yang ditunjukkan Thian ataukah jalan yang ditunjukkan oleh iblis. Seperti yang telah disodorkan kepada kita berdua. Kalau kita mengambil jalan iblis tentu kita akan menjadi antek para pembesar korup itu dan hidup bermewah-mewahan di kota raja. Akan tetapi kita tidak sudi mengambil jalan itu yang menindas rakyat, maka kita memilih jalan Thian,menjauhi perbuatan maksiat dan jahat itu.
14
“Dan akibatnya kita dikejar-kejar dan selalu berada dalam ancaman bahaya sebagai orang-orang pelarian.” “itu sudah merupakan akibat yang harus kita hadapi dengan tabah, Tan-twako. Mengambil jalan Thian, mempertahankan kebenaran dan keadilan, memang mengandung banyak resiko yang mungkin membawakita kepada kesengsaraan duniawi. Akan tetapi, kesenangan duniawi bukan hal yang mutlak penting dalam kehidupan ini. Kesenangan duniawi bukanlah segalanya! Bahkan seorang kun-cu (orang bijaksana) siap mengorbankan nyawanya demi mempertahkan kebenaran dan keadilan!” “Ah, tuan sungguh seorang yang amat bijaksana!” Tiba-tiba A-ming membungkuk dengan hormat kepada Wong Cin. “Sekarang saya mengetahui bahwa ji-wi (anda berdua) adalah dua orang bangsawan pembela kebenaran dan keadilan yang menentang kelaliman dan karenanya menjadi buronan. Senang sekali hati saya telah dapat merajah putera putera ji-wi!” Rajahan pada dada Wong Sin Cu sudah selesai. Pada dada anak itu terdapat sebuah lukisan naga berwarna putih. Juga lukisan itu amat indah seolah naga putih kecil itu hidup ketika dada itu bergerak naik turun seirama dengan pernapasan Sin Cu. lbunya lalu mengenakan baju anak itu kembali. A-ming mengambil alih
15
kembali kemudi perahu yang meluncur ke arah selatan Dia memandang kepada dua orang pria yang dikaguminya itu dan berkata, “Saya akan merasa terhormat sekali kalau ji-wi suka memperkenalkan diri kepada saya, siapa sebenarnya ji-wi dan mengapa ji-wi sampai menjadi buronan pemerintah. Siapa tahu, saya akan dapat menolong ji-wi sekeluarga.” Tan Hok saling pandang dengan Won Ci. Dua orang yang bersahabat akrab ini baiknya sudah saling mengenal watak dan pribadi masing masing. Melalui pandang mata mereka, kedua orang sahabat itu mengetahui bahwa mereka tidak keberatan untuk menceritakan keadaan mereka kepada tukang perahu yang mendatangkan kesan baik dalam hati nereka itu. Wajah Wong Cin yang tampan itu tersenyum ramah. “Paman A-ming, namaku adalah Wong Cin, ini isteriku Nyonya Wong dan anak kami yang tunggal bernama Won Si Cu. Tadinya kami sekeluarga tinggal dikota raja dan aku menjabat sebagai seorang jaksa di kota raja.” Tan Hong berkata dengan suaranya yang mantap, “Dan aku adalah sahabat baiknya, Paman A-ming. Namaku Tan lok dan ini isteriku Nyonya Tan. Yang ini adalah putera kami, anak
16
tunggal bernama Tan Song Bu. Seperti juga adik Wong Cin, kami tinggal di kota raja di mana tadinya aku menjabat sebagai seorang perwira dalam pasukan keamanan di kota raja.” A-ming segera mengangkat kedua tangan depan dada sambil membungkuk dan berkata, “Tepat seperti yang saya duga, kiranya Tan-ciangkun dan Wong-taijin (pembesar Wong) beserta keluarganya yang menumpang perahu saya. Harap ciang-kun (panglima) dan tai-jin suka memaafkan saya kalau saya bersikap kurang hormat.” “Aih, Paman A-ming, harap jangan menyebut kami seperti itu. Kini kami bukan lagi pejabat-pejabat pemerintah, melainkan pelarian, menjadi orang-orang buruan. Akan tetapi paman sendiri kami lihat seperti bukan seorang nelayan biasa. Paman pandai merajah, dan sikap paman mencerminkan seorang yang mengenal peraturan dan sopan santun. siapakah sebenarnya paman A-Ming ini? tanya Wong Cin, Orang setengah tua itu menghela nafas panjang. “Saya, sudah hampir melupakan kehidupan saya yang lalu. Belasan tahun yang lalu saya juga tinggal di kota raja sebagai seorang, guru silat. Akan tetapl, gara-gara bentrok dengan seorang pejabat yang sewenang-wenang, dalam bentrokan itu saya
17
membunuh satu pejabat dan terpaksa saya melarikan diri dan berkelana di sepanjang pantai timur sampai sekarang.” “Ah, paman A-ming, kalau begitu nasib kita sama!” seru Tan Hok. orang tua itu mengangguk. “Akan tetapi saya hanya seorang guru silat biasa, sedankan ji-wi adalah seorang perwira dan seorang jaksa yang memiliki kedudukan tinggi. Bagaimana jiwi bisa seperti saya menjadi pelarian?” Kedua orang bekas pejabat itu saling pandang dan menghela napas panjang. Mereka berhadapan dengah seorang yang nasibnya sama dengan mereka, maka mereka kemudian tidak ragu-ragu lagi untuk menceritakan riwayat mereka. “Ceritanya panjang”, Paman A-Ming kata Wong Cin. “Akan tetapi akan kuceritakan singkat saja, mungkin sudah paman ketahui bahwa banyak pejabat, bahkan hampir semua dari pejabat kecil sampai yang besar, tidak jujur dalam menjalankan jabatan mereka. Mereka itu sebetulnya tidak setia kepada Kaisar, dan tidak memperdulikan nasib rayat, hanya mementingkan diri sendiri belaka dan bahkan berlumba untuk memupuk harta bagi diri mereka sendiri. Semua pejabat, hampir semua, mclakukan kejahatan yang sama. Yang bawah menjilat yang atas, sogok menyogok terjadi di mana-mana, hukum keadilan diinjak-injak, yang benar dikalahkan dan yang salah dimenangkan karena
18
pengaruh uang sogokan. Apa saja mampu dibeli oleh uang. Uang mendatangkan kebenaran, kemenangan, kekuasaan. Semua pejabat melakukan tindak korupsi tanpa ada yang mengawasinya maupun melarangnya. Bagaimana yang bawah dapat dicegah melakukan pencurian uang negara kalau yang di atas juga mencuri bahkan lebih banyak lagi” A-ming mengangguk-angguk. “Saya mengenal juga keadaan seperti itu ketika saya berada di kota raja. Kaisar sendiri tidak berdaya karena kekuasaannya telah diambil alih secara halus oleh para Thai-kam (kasim atau sida-sida).” “Benar sekali, Paman A-ming. Kami berdua juga bentrok dengan kepala Thai-kam yang bernama Liu Cin,” kata Tan Hok, “Pada hal, dia itu masih terhitung paman sendiri dari isteriku ini yang bernana Liu Hong, sungguhpun hubungan kekeluargaan itu sudah agak jauh. Pada mulanya aku melihat atasanku, seorang panglima, melakukan korupsi besar-besaran dan memeras rakyat kecil, bahkan panglinma itu membela puteranya yang melakukan perampasan kepada seorang gadis dengan kekerasan. Aku menentangnya dan sahabatku Wong Cin ini sebagai jaksa lalu menuntut panglima itu. Melalui pengadilan, kami berhasil menjatuhkan panglima itu sehingga dia dihukum dan dipecat dari kedudukannya. Akan tetapi kemudian ternyata pariglima itu minta
19
bantuan Kepala Thai-kam Liu Cin. Liu Cin ini besar sekali kekuasaannya, bahkan dia seolah menjadi wakil kaisar! Kami berdua lalu dituduh sebagai pemberontak dan akan ditangkap. Karena itulah kami berdua sekeluarga melarikan diri, dikejar-kejar sebagai buronan. Untung kami mempunyai banyak sahabat yang menolong kami melarikan diri sehingga akhirnya kami tiba di pantai laut Timur dan dapat menumpang perahu paman untuk melarikan diri ke selatan lewat laut.” Tan Hok menghentikan ceritanya. “Sebetulnya, Liu Cin bertindak demikian kepada kami bukan hanya karena urusan panglima itu, Paman A-ming,” kata Wong Cin. “Akan tetapi terutama sekali karena kami berdua selalu menentang tindakan sewenang-wenang para pemibesar. Sikap kami ini terdengar oleh Liu Cin dan tentu saja dia merasa tidak suka kepada kami. Tan-twako dan aku sudah bersahabat seperti saudara sendiri, kami berjuang bersamA-Sama karena memiliki pendirian yang sama. Akan tetapi apa daya kami menentang arus yang demikian kuatnya? Hampir semua pembesar merupakan bawahan dan anak buah Kepala Thai-kam Liu Cin.” A-ming menghela napas panjang. “Sepanjang catatan sejarah, dari jaman dahulu sampai sekarang sama saja. Orang-orang sama saja saling memperebutkan kekuasaan dan siapa yang berkuasa dialah yang benar dan
20
menang. Semua kemrkaan itu didorong oleh napsu hendak menyenangkan diri sendiri. Demi mengejar kesenangan, segala cara dilakukan orang, kalau perlu mereka itu akan bersenang-senang di atas mayat orang-orang lain. Betapa keruhnya dunia, betapa iblis-iblis bersuka ria karena mereka merasa mendapatkan kemenangan atas diri manusia.” Tiba-tiba terasa ada guncangan keras pada perahu itu. Semua orang terkejut sekali. Liu Hong cepat merangkul Tan Song Bu dan Su Ling Ci mendekap puteranya, Wong Sin Cu. Tubuh mereka bergoyang-goyang. “Cepat memasuki bilik perahu” kata Tan Hok dan bersama Wong Cin dia membawa isteri dan anaknya ke dalam bilik perahu. Setelah anak isteri mereka berada dalam bilik, Tan Hok dan Wong Cin kembali ke buritan di mana A-ming sedang memegangi kemudi perahu dengan kuat-kuat. Angin datang bertiup sernakin kuat, bahkan berbolak balik dan berputar. “Angin puting beliung!” seru A-ming. “Cepat bantu turunkan layar!” Tan hok dan Wong Cin cepat bergerak dan bekerja keras. Perahu oleng ke kanan kiri dan mereka berdua tahu bahwa bahaya besar mengancam mereka. Angin puting beliung adalah angin topin yang dahsyat. Biarpun
21
selama hidup mereka belum pernah mengalaminya sendiri, narmun sudah banyak mereka mendengar tentang angin topan. “Bantu dengan dayung!” kermbali terdengar A-ming memerintah. Bagaikan kesetanan Tan Hok dan Wong Cin mengambil dayung yang tersedia di perahu itu dan merekapun menggunakan dayung untuk menahan perahu agar tidak sampai terbalik. Angin bertiup keras, berbolak balik dan air laut mulai menggila. Mengalun tinggi melempar perahu ke atas, kemudian menghunjam ke bawah dan perahu seperti dihempaskan, kemudian diangkat lagi tinggi-tinggi. Semua itu ditambah dengan gemuruh suara angin dan air laut yang seolah menggulung mereka. Angin 'menggebu, berteriak, melolong, mendidih, menggereng dan seribu satu macam suara yang mengerikan menyelimuti sekeliling mereka. Teriakan-teriakan A-ming yang memberi komando sudah tidak dapat terdengar lagi, ditelan hilang oleh gemuruh suara air dan angin. “Cepat! lkat mereka! Ikat mereka de ngan perahu!!” Berulang-ulang A-ming berteriak dan akhirnya dapat juga terdengar oleh Tan Hok dan Wong Cin. Mereka merangkak, terpelanting, bangun lagi dan merangkak menuju bilik perahu. Dua orang ibu muda itu saling rangkul dengan dua orang anak mereka, bergulung menjadi satu sehingga mereka bersamA-Sama
22
terpelanting ke kanan atau ke kiri. Mereka tidak merasakan lagi lecet-lecet pada tubuh mereka. Mereka menjerit-jerit setiap kali perahu oleng dan mereka terbanting ke kanan atau ke kiri. mata mereka terbelalak, muka mereka pucat rasa takut dan ngeri hampir membuat mereka gila. dengan terhuyung-huyung Tan Hok dan Won Cin memasuki bilik perahu. Hati mereka trenyuh sekali menyaksikan keadaan isteri dan anak mereka. Pakaian anak dan isteri mereka basah kuyup, awut-awutan, dan wajah mereka membayangkan kengerian dan ketakutan yang amat sangat. “Ayah, ayah...!!” teriak Tan Son Bu dan Wong Sin Cu ketika dua orang anak itu melihat ayah mereka. Mereka melepaskan rangkulan pada ibu mereka dan menubruk ayah mereka, merangkul dengan kédua tangan mereka yang kecil sedemikian kuatnya terdorong rasa takut. Dengan hati yang seperti diremas-remas rasanya, Tan Hok dan Wong Cin lalu menggunakan tali yang terdapat di dalam bilik itu untuk mengikat anak isterinya kebadan perahu untuk menjaga agar mereka tidak sampai terlontar keluar dari dalam perahu. “Apa artinya ini?” jerit Liu Hong. “Kenapa kami. harus diikat?” jerit Su Leng Ci.
23
“Tenanglah, kalian dikat agar tidak sampai terlempar keluar dari dalam perahu.” Tan Hok dan Wong Cin menjelaskan dan mereka harus berteriak beberapa kali sampai arti kata-kata mereka yang suaranya tertelan gemuruh itu dapat tertangkap. Setelah selesai mengikat anak dan isteri mereka ke badan perahu, kedua orang itu kembali terhuyung huyung dan merangkak-rangkak menuju ke tempat mereka tadi membantu A-ming yang mengemudikan perahu dengan dayung mereka, Angin topan mengamuk terus, kalau tadinya ada kepusingan mengganggu kepala Tan Hok dan Wong Cin, sekarang kepeningan itu lenyap. Amukan topan sudah melampaui batas yang membuat mereka mabok sehingga tidak terasa lagi kemabok itu. Telinga rasanya tuli dan pandang mata rasanya sudah hampir buta karena yang tampak hanya air belaka. Air yang memercik mercik, air yang bergelombang dan yang menimpa mereka sebagai air hujan. Yang mebuat hati mereka semakin ciut adalah cuaca yang menjadi semakin gelap. Entah dari mana datangnya, cuaca yang tadinya cerah itu kini tertutup mendung yang agaknya sedemikian rendahnya sehingga hampir menyentuh perahu mereka. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba saja Tan Hok dan Wong Cing teringat akan bentuk sepasang naga yang tadi mereka lihat di angkasa, diciptakan oleh awan yang melayang-layang.
24
Agaknya sepasang naga itu yang kini mengamuk! Arah perahu sudah tidak menentu Mereka tidak tahu ke mana perahu dibawa oleh dorongan alun yang menggila. Perahu mereka bagaikan sebuah mainan kecil, dilanbungkan ke atas, dihempaskan ke bawah dan diguncang. Kemudian hujan rmulai turun Keadaan mereka semakin payah, A-ming berteriak minta kepada mereka berdua untuk menguras air yang mulai memenuhi perahu, menggunakan duà buali ember yang tersedia di perahu. Tan Hok dan Wong Cin bekerja keras, berlumba dengan hujan yang berusaha memenuhi perahu sehingga akan membuat perahu tenggelam. Mereka bekerja keras menguras, mengeluarkan air dari perahu. Tiba-tiba A-ming berteriak nyaring. “Daratan! Cepat bantu mendayung perahu ke darat!” teriakan ini bernada gembira karena tukang perahu itu melihat titik terang yang mendatangkan harapan bahwa mereka akan dapat diselamatkan. Tan Hok dan Wong Cin mengangkat muka dan merekapun melihat bayang-bayang hitam memanjang di depan. Cepat mereka menyambar dayung dan mendayung sekuat tenaga ke arah bayang-bayang hitam itu. Tiba-tiba ada dorongan yang amat kuat, seolah ada tangan raksasa yang mengangkat perahu ke atas dan mendorong perahu ke depan.
25
“Awas! Berpegang pada perahu...!!” A-ming masih sempat berteriak kepada dua orang penumpang itu. Tan Hok dan Wong Cin melepaskan dayung dan berpegang pada bibir perahu sekuat tenaga. Mereka merasa diri mereka melayang layang kemudian dihermpaskan dengan amat kuatnya ke atas benda keras. “Bressss...!!! Perahu mereka pecah beratakan. Tan Hok dan Wong Cin terpental kekanan kiri. Mereka masih melihat betapa buritan perahu itu pecah terpisah dan terseret air laut yang bergelombang, membawa A-ming yang masih duduk di atas bagian buritan itu. Tan Hok yang terlempar tak jauh dari A-ming, berhasil meraih sepotong papan pecahan perahu. Dia melihat A-ming hanyut ditelan ombak dan hilang Wong Cin yang terlempar ke sebelah kiri perahu juga berhasil menangkap sepotong papan pecahan perahu. Seperti juga yang dilakukan Tan Hok, dia menggunakan papan itu sebagai pengapung dan menggerakkan kaki tangannya untuk berenang melawan ombak ke pantai pulau itu. Hatinya gelisah sekali memikirkan anak isterinya yang masih berada di dalarn bilik perahu itu yang telah pecah. Dalam perjuangan dan pergulatannya melawan maut ditelan ombak, dia tidak dapat melihat lagi bagaimana nasib anak isterinya, juga bagamana nasib sahabatnya Tan Hok.
26
“Ibuuu... Ibu...!” Tangis dan jerit Tan Song Bu dan Wong Sin Cu bercampur dengan jerit tangis kedua orang ibu masing-masing yang mendekap puteranya sambil menangis dan memanggil-manggil nama suami mereka. Mereka menanti datangnya maut yang ganas, menanti datangnya gelombang yang akan menelan mereka yang masih berada didalam bilik perahu yang miring. Akan tetapi tidak ada gelombang yang menerkam mereka. Bilik perahu itu miring, akan tetapi diam tak bergerak, seolah dicengkeram tangan raksasa yang kokoh kuat. Hanya terdengar suara gemuruh angin dan air yang memecah di batu-batu karang di sepanjang pantai pulau itu. “Hok-ko (Kanda Hok)... berulang kali Liu Hong memanggil suaminya Tan Hok dengan suara mengandung jerit tangis penuh rasa gelisah dan kengerian. “Cin-ko (Kanda Cin)...!” berulang kali pula Su Leng Ci atau Nyonya Wong Cin memanggil suaminya, bercampur dengan tangis anaknya. Wong Sin Cu menjerit-jerit sambil merangkul ibunya. “Ayah...ayah!!” “lbuuu...! Ayah di mana? Aku mau ikut ayah. Ayaaaahhh...!” Tan Song Bu juga menjerit-jerit. Mendadak kedua orang ibu muda itu
27
baru menyadari betapa jerit anak-anak mereka terdengar amat jelas, pada hal tadinya semua jerit tangis mereka tertelan suara gemuruh di luar bilik. Juga mereka mendapat kenyataan betapa bilik perahu itu sama sekali tidak bergerak lagi. Walaupun letaknya miring namun kokoh dan tidak bergoyang sama sekali seolah tidak berada di atas air lagi. Sambil menggendong anak mereka, kedua orang ibu muda itu perlahan-lahan merangkak keluar dari dalam bilik. Yangmereka lihat pertama kali adalah tubuh perahu itu yang telah terpotong, tinggal bagian yang ada biliknya itu saja, dan bagian tengah perahu itu terdampar di atas batu-batu karang di tepi pantai sebuah pulau. Mereka selamat! Hanya mereka berempat yang selamat. Mereka tidak tahu bagaimana nasib suami mereka dan A-ming, tukang perahu itu. Sambil menahan tangis dan rasa takut, Liu Hong berkata kepada Su Leng Ci. “Ci-moi, mari kita keluar dari sini dan naik ke daratan!” Su Leng Ci juga menggendong anaknya dan melihat letak bagian perahu itu yang miring di atas batu karang dan untuk mendarat harus mendaki batu karang yang besar dan permukaannya tajam dan runcing itu, ia merasa ngeri.
28
“Hong-ci (kakak Hong). Aku, aku takut terjatuh...” “Gi-moi (adik Ci), apakah engkau lebih suka tinggal di sini dan sewaktu-waktu datang gelombang menyeret perahu ini? Lihat, sekarang laut telah tenang kembali udara menjadi terang. Inilah kesempatan kita untuk menyelamatkan diri, mendarat di pulau ini. ayolah, siapa tahu suami suami kita juga sudah berhasil mendarat.” “Cin-ko...” Su Leng Ci menyebut lirih ketika teringat akan suaminya dan mendengar bahwa mungkin suaminya sudah mendarat, timbul keberaniannya untuk keluar dari bilik perahu yang miring di atas batu karang itu. Mereka berdua merangkak di atas batu karang yang besar. Kaki mereka terlindung sepatu, akan tetapi kedua telapak tangan mereka yang tidak terlindung, ketika dipakai merangkak di permukaan batu karang yang kasar dan tajam meruncing itu, penuh dengan goresan yang merobek kulit dan mengeluarkan darah. Akhirnya, setelah dengan susah payah mereka merangkak menuruni batu karang yang besar itu, mereka turun dan berada atas pantai berpasir. Dari situ méreka dapat melihat bahwa perahu yang mereka tumpangi tadi tinggal bagian tengahnya yang ada biliknya itu saja yang tinggal, terdampar di atas batu karang yang besar itu, bagian depan dan belakangnya pecah terpotong.
29
Agaknya hagian tengah yang ada biliknya itu, di mana mereka berempat duduk terikat pinggang mereka dengan badan perahu, dilontarkan ombak dan terdampar di atas batu karang itu. Cuaca terang. Matahari yang sudah naik tinggi memancarkan sinarnya yang terik, cahayanya terpantul di atas pasir sehingga menyilaukan. Air laut tenang sekali, sama sekali tidak ada bekasnya ketika mengamuk dahsyat tadi, begitu tenang dan penuh damai! Tidak tampak ada pecahan perahu di atas lautan dan betapapın kedua orang wanita itu mencari-cari dengan pandang mata mereka, mereka tidak menemukan sesuatu... Suami-suami mereka seperti lenyap ditelan lautan. Cin-ko. Su Leng Ci menjatuhkan diri berlutut sambil menggendong Wong Sin Cu dan menangis, meratapi suaminya. Liu Hong yang memiliki hati yang tabah, menghampiri dan memegang pundaknya. “Sudahlah, Ci-moi, jangan menangis dan jangan putus harapan. Aku masih tidak percaya kalau suami kita tewas, karena kalau demikian halnya, tentu mayat mereka akan terdampar di pantai.” Su Leng Ci menyusut air matanya dan memandang kepada Liu Hong dengan kedua mata merah. “Engkau pikir begitukah, Hong ci? Apakah suamiku masih hidup?”
30
“Mudah-mudahan begitu. Kita hanya dapat berdoa semoga mereka juga tertolong seperti kita.” Mereka lalu membalikkan tubuh memandang ke arah daratan. Tampak sebuah bukit memanjang, akan tetapi bukit itu gersang, hanya ditumbuhi sedikit pohon yang biasa dapat bertahan hidup, di tempat gersang seperti itu. Tidak tampak ada pedusunan. Sunyi sekali di sini, enci Hong, tidak tampak seorangpun manusia,” kata Su Leng Ci dengan nada suara khawatir. “Kita harus mencari, kalau perlu ke balik bukit itu, sampai kita dapat menemukan sebuah dusun di mana kita dapat minta tolong,” kata Liu Hong. “Eh, enci Hong, itulah mereka! Suami suami kita...” Su Leng Ci yang kebetulan menengok ke kanan melihat dua orang laki-laki berlari-larian menuju ke tempat itu. Mereka itu masih jauh sehingga tidak dapat tampak jelas. Liu Hong cepat membalikkn tubuh menengok ke arah yang ditunjuk oleh Su Leng Ci dan iapun melihat dua orang laki-laki yang datang berlarian itu. Sesaat Liu Hong juga berseri wajahnya karena ia juga merasa yakin bahwa mereka itu tentulah suaminya, Tan Hok dan suami Su Leng Ci, Wong Cin. Siapa lagi adanya dua orang itu kalau bukan suami-suami mereka? Akan tetapi setelah dua orang laki-laki itu datang lebih dekat
31
sehingga dua orang ibu muda itu dapat mengenali wajah mereka, keduanya terbelalak dan wajah mereka berubah kecewa. Dua orang laki-laki itu sama sekali bukan suami suami mereka, melainkan dua orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang berpakaian kotor dan kumal dan berwajah keras. Akan tetapi, betapapun juga mereka merasa agak terhibur karena dapat bertemu dengan manusia di tempat sesunyi itu. Kini dua orang laki-laki itu telah berada di depan mereka. Dua orang laki-laki itu juga terbelalak memandang mereka dan mulut mereka menyeringai, sepasang mata mereka memandang seperti hendak menelan bulat-bulat tubuh kedua orang ibu muda ya cantik jelita itu, Mata dan mulut dua orang pria itu mendatangkan rasa ngeri dalam hati Liu Hong dan Su Leng Ci. Naluri kewanitaan mereka merasa bahwa mereka berhadapan dengan dua orang laki-laki kasar yang sama sekali tidak dapat dipercaya! Akan tetapi karena mereka sudah bertemu dan berhadapan,Liu Hong lalu berkata kepada mereka. “Kebetulan sekali kami bertemu dengan kalian berdua. Kami mendapat kecelakaan, perahu kami diserang badai dan kami terdampar di sini. Akan tetapi dua orang suami kami telah hilang entah ke mana maukah kalian berdua berbaik hati dan menolong kami mencarikan suami kami yang hilang itu? Mungkin saja
32
mereka terdampar di lain bagian pulau ini.” Dua orang laki-laki itu menoleh dan memandang ke arah bağian perahu yang terdampar di atas batu karang itu. Kemudian merea kembali memandang kepada dua orang wanita cantik itu dan keduanya saling pandang lalu menyeringai sermakin lebar. Seorang dari mereka, yang berkumis panjang berkata, “Jarang ada orang dapat keluar dengan selamat dari badai yang dahsyat seperti yang terjadi tadi. Para dewa agaknya sengaja menyelamatkan kalian berdua dan menuntun kalian ke sini untuk bertemu dengan kami! Kami adalah kakak beradik yang belum mempunyai isteri. Kalian tidak perlu mencari suami yang telah hilang. Biarlah kami berdua menjadi penggantinya, menjadi suami kalian!” Dua orang nyonya muda itu menjadi pucat wajahnya mendengar ucapan itu. Su Leng Ci berseru lirih dengan tubuh gemetar. “Saudara-saudara berdua, harap mengasihani kami, Kami adalah orang-orang yang ditimpa bencana dan membutuhkan pertolongan. Kami telah bersuami dan kami telah mempunyai anak. Kalau kalian berdua tidak mau menolong kami, sudahlah, harap tingalkan Kami dan harap jangan mengganggu kami,” kata Liu Hong yang lebih tabah, walaupun ia sendiri juga sangat gelisah menghadapi dua orang laki-laki kasar yang mempunyai niat buruk
33
terhadap mereka itu. Orang kedua, yang bertubuh tinggi besar dan mukanya kehitaman, tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Dewa Laut telah menyerahkan kalian kepada kami untuk menjadi isteri-isteri kami. Kita sudah dijodohkan olepara dewa. Kalian tidak boleh menolak lagi. Twa-ko, engkau pilihlah yang mana, nanti yang lain untukku. Bagiku mendapatkan yang manapun sama saja, mereka itu sama sama cantik jelita dan denok menggairahkan. Ha-ha-ha!” “Ha-ha, aku memilih yang ini. Wanita ini pemberani dan penuh semangat! Mari manis, mari ikut denganku dan menjadi İsteriku,” kata si kumis sambil mendekati Liu Hong. “Kebetulan, akupun senang kepada yang ini. Alangkah putih mulus kulitnya” kata si muka hitam sambil mendekati Leng Ci. Kedua orang wanita itu melangkah mundur dan keduanya saling gandeng sambil memondong anak mereka, mundur-mundur ketakutan. Melihat ini, si kumis panjang agaknya merasa jengkel juga. “Hei, kalian berdua dengarlah baik-baik! Sekarang kalian berdua boleh pilih. Kalian menyerah kepada kami dengan suka rela dan kalian menjadi isteri kami yang penurut dan anak itupun menjadi anak kami. Kalian akan hidup senang bersama kami. Ketahuilah,
34
kami berdua adalah pimpinan gerombolan bajak yang berpengaruh, Kalau kalian menolak, kami akan membunuh anak kalian! Nah, boleh pilih sekarang!” Mendengar ancaman bahwa anak mereka akan dibunuh, lemaslah seluruh tubuh kedua orang wanita itu dan mereka terkulai jatuh berlutut sambil menangis. Dua orang laki-laki itu menghampiri mereka. “Sudahlah, jangan menangis. Kalau kalian sayang kepada anak dan tidak ingin kami perkosa dengan kekerasan, marilah ikuti kami. Laut telah tenang. Kita naik perahu menuju ke daratan,” kata si muka hitam sambil menyentuh pundak Su Len Ci. Disentuh tangan kasar itu, Su Leng tersentak kaget seperti dipagut ular dan menarik tubuhnya ke belakang. Liu Hong juga bergerak mundur ketika si kumis panjang mendekatinya. Si kumis panjang mengerutkan alisnya. “Hemm, manis. Apakah engkau ingin aku membunuh anakmu lebih dulu?” Tangannya meraih untuk mengambil Tan Song Bu dari pondongannya. “Jangan...! Tidak..., jangan bunuh Anakku,” teriak Liu Hong sambil mendekap anaknya.
35
“Kalau begitu, engkau harus menurut semua kehendakku. Kalau tidak mau berjalan sendiri mengikuti aku, mari kupondong engkau!” Si kumis panjang lalu menubruk dan menangkap tubuh Liu Hong, dengan mudah dan ringan dipondongnya nyonya muda itu bersama puteranya. Liu Ho tidak berani meronta, takut kalau anaknya dibunuh. Melihat ini, si muka hitam tertawa lalu diapun menangkap Su Leng Ci dan dipondongnya nyonya muda itu. Su Leng Ci juga tidak berani berkutik, apalagi melihat betapa Liu Hong juga sudah menyerah. la hanya dapat mendekap anaknya sambil menangis ketakutan. la merasa menghadapi ancaman bahaya yang lebih mengerikan dari pada ancaman badai di perahu tadi! Dua orang laki-laki itu dengan gembira memondong wanita pilihan masing-masing, melangkah lebar dan di sepanjang jalan mereka mencoba untuk menggerayangi tubuh dan menciumi muka wanita tawanan mereka. Liu Hong dan Su Leng Ci mulai meronta dan sedapat mungkin menghindarkan muka mereka dari ciuman kasar dua orang laki-laki itu. “Turunkan aku, biar aku berjalan kaki saja mengikutimu!” teriak Liu Hong sambil meronta. Si kumis panjang tertawa dan menurun kan Liu Hong.
36
“Lebih baik engkau berjalan agar aku tidak repot memondongmu. Mari jalan!” Melihat Liu Hong sudah terbebas dari perbuatan kasar dan tidak sopan penawannya, Su Leng Ci juga berseru, “Aku juga mau berjalan kaki saja!” Si muka hitam juga menurunkannya dan kedua orang ibu muda itu lalu berjalan kaki tersaruk-saruk, menggendong anak mereka sambil menahan tangis, dikuti oleh dua orang laki-laki itu Mereka berjalan menyusuri tepi laut tanpa mengeluarkan suara. Su Leng Ci berjalan mendekati Liu Hong. dalam keadaan seperti itu ia tidak mau berjauhan dengan sahabatnya itu seperti hendak minta perlindung walaupun Liu Hong sendiri tidak berdaya. Ketika mereka tiba di pantai yang penuh dengan pasir berwarna putih dan lembut, dan di situ tumbuh beberapa batang pohon pantai yang cukup lebat daunnya, si kurmis panjang berseru, “Kita berhenti mengaso dulu di sini!” Liu Hong dan Su Leng Ci yang memang sudah merasa lelah sekali, menjatuhkan diri di atas pasir yang lembut di bawah pohon. Akan tetapi pada saat itu, si kumis panjang sudah menyambar tubuhnya dan berusaha untuk memangku Liu Hong. Demikian pula muka hitam meringkus Su Leng Ci dan memangkunya. Kedua orang wanita itu meronta hendak melepaskan diri. Si kumis
37
panjang merenggut Tan Song Bu dari dekapan Liu Hong dan mendorong anak itu sehingga terpental jauh dan bergulingan. Anak itu tentu saja menangis karena nyeri dan takut. Liu Hong tetap meronta-ronta dalam rangkulan si kumis panjang yang berusaha untuk membelai dan menciumnya. Su Leng Ci mengalami hal yang sama. Anaknya, Wong Sin Cu, direnggut lepas dari pondongannya dan dilemparkan oleh si muka hitam ke atas pasir sehingga anak berusia tiga tahun itu berguling-guling dan menangis keras. Su Leng Ci meronta sekuat tenaga ketika hendak dibelai. “Tolong... Tolooooooonggg...!” Dua orang wanita itu menjerit-jerit, suara mereka bercampur dengan tangis dan lolong dua orang anak itu yang duduk di atas pasir dan memandang ke arah ibu mereka yang bergumul dengan dua orang laki-laki kasar itu. “Ha-ha-ha, biar engkau menjerit setinggi langit, siapa yang akan menolongmu di tempat yang sunyi ini? Pulau ini adalah sebuh pulau kosong yang terkenal dengan namanya Pulau Ular. Di bukit sana itu penuh dengan ular. Apakah engkau lebih senang kalau kubuang di bukit itu agar dikeroyok ular?” Si kumis panjang tertawa dan mengancam, Selagi dua orang wanita itu bergelut dan meronta mempertahankan kehormatan mereka, tiba-tiba muncul dua orang yang pakaiannya cabik-cabik dan terdengar mereka membentak marah.
38
“Keparat jahanam! lepaskan isteriku!” Mendengar suara itu, Liu Hong dan Leng Ci yang sedang bergelut mempertahkan diri itu menengok dan alangkah girang rasa hati rnereka ketika melihat bahwa yang muncul adałah suami-suami mereka! Ternyata Tan Hok dan Wong Cin juga selamat. Papan di mana mereka bergantung dalam air itu dilontarkan ombak menuju ke tepi pantai. Mereka terdampår di tempat yang berbeda akan tetapi ketika keduanya menyusuri pantai mereka saling bertemu dan duanya lalu terus menyusuri pantai mencari isteri dan anak mereka dengan hati gelisah karena sedikit sekali kemungkinan mereka akan menemukan isteri dan anak mereka dalam keadaan hidup. Badai di lautan itu sungguh dahsyat dan perahu yang mereka tumpangi telah hancur. Tiba-tiba mereka mendengar teriakan suara wanita-wanita minta tolong. Cepat mereka berlari menuju ke arah suara itu dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat bahwa isteri-isteri mereka sedang bergumul mempertahankan diri dari cengkéraman dua orang laki-laki, sedangkan anak-anak mereka duduk di atas pasir sambil menangis. Tentu saja mereka menjadi marah, membentak lalu menerjang dua orang laki-laki yang sedang berusaha untuk memperkosa kedua orang wanita itu. Tan Hok menubruk si kurnis panjang, menjambak rambutnya dan menariknya dengan sentakan
39
kuat sehingga si kumis panjang terpaksa melepaskan dekapannya atas diri Liu Hong. Tan Hok yang sudah marah sekali mengayun kepalan tangan kanannya, menghantam muka si kumis panjang. “Desss...” Tubuh si kurnis panjang terjengkang keras. Akan tetapi rupanya dia memiliki kekebalan karena pukulan yang keras itu hanya membuat dia nanar sejenak. Dia lalu melompat bangun dan mencabut goloknya, kemudian menerjang dan mengayun goloknya membacok ke arah kepala Tan Hok. Bekas perwira ini memiliki ilmu silat yang memadai, cepat dia mengelak ke kiri dan dari kiri kaki kanannya mencuat dalam tendangan. “Bukk!” kembali serangannya mengenai. Dada si kumis panjang tertendang sehingga untuk kedua kalinya dia terjengkang roboh. Akan tetapi dia sudah bangkit kembali dan menyerang secara membabi buta kepada Tan Hok. Terjadilah perkelahian yang seru antara si kumis panjang dan Tan Hok. Sementara itu, Wong Cin menyambar tangani si muka hitam dan menarik sekuat teaga sehingga si muka hitam terbetot lepas dari rangkulannya kepada Su Leng Ci dan terhuyung-huyung. Selagi dia terhuyung, Wong Cin sudah mengejarnya dan mengayun kepalan tangan kanannya ke arah dada si muka hitam.
40
“Bukk!” Dada itu terpukul dan si muka hitam terhuyung ke belakang. Akan tetapi, agaknya diapun memiliki kekebalan dan pukulan Wong Cin itu tidak terasa menyakitkan benar. Dia sudah dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan cepat mencabut golok- nya yang berkilauan saking tajarmnya. Wong Cin memasang kuda-kuda. Bekas jaksa ini pernah juga mernpelajari ilmu silat, akan tetapi dibandingkan dengan Tan Hok, dia kalah jauh. Maka, ketika si muka hitam mengamuk dan menyerangnya secara bertubi-tubi, Wong Cin menjadi kelabakan dan megelak ke sana sini, melompat dan menyelinap untuk menghindarkan diri dari sambaran golok. Akan tetapi dia cukup cerdik. Ketika dia mengelak, dia merendahkan tubuh dan kedua tangannya sudah mencengkeram pasir sehingga berhasil menggenggam pasir dalam kedua tangannya. Golok menyambar lagi. Dia mengelak ke kiri dan tiba-tiba dua tangannya secara susul menyusul meleparkan pasir ke arah muka si rnuka hitam dan mengenai muka dan si muka hitam berseru kaget, Matanya yang sebelah kanan kemasukan pasir, terasa pedih dan nyeri. Pada saat itu Wong Cin sudah mengayunkan kakinya menedang sekuat tenaga, mengenai tangan kanan si muka hitam yang memegangi, golok itu terlepas dan terlempar jauh,sempatan ini dipergunakan Wong Cin untuk menyerang
41
dengan pukulan bertubi-tubi, akan tetapi si muka hitam itu bertubuh kuat dan kebal. Pukulan-pukulan Wong Cin hanya membuat dia terhuyung dan dia sudah menggosok mata kanannya dan membebaskan mata itu dari pasir. Kini tinggal terasa pedih sedikit akan tetapi dia sudah dapat membuka mata kanannya. Si muka hitarn yang kini tidak memegang senjata lagi itu mengamuk. Terjadi perkelahian yang seru antara Wong Cin dan si muka hitam. Akan tetapi Wong Cin segera terdesak dan sudah beberapa kali terkena pukulan si muka hitam. Berbeda dengan keadaan Wong Cin, Tan Hok menghadapi si kumis panjang dengan tenang. Semua sambaran golok si kumis panjang dapat dielakkan dan ketika golok itu menyambar lagi, dia mengelak. Golok lewat disisi tubuhnya dan secepat kilat Tan Hok menyambar pergelangan tangan kanan lawan. Terjadi adu tenaga, saling betot dan saling dorong, bersitegang memperebutkan golok. Tan Hok mengayun kakinya menendang dada si kumis panjang, melepas pegangannya pada pergelangan tangan lalu memukul ke arah pergelangan tangan kanan lawan itu dengan tangan dimiringkan dan mengerahkan seluruh tenaganya. “Desss...!” Si kumis panjang berseru sakitan dan goloknya terlepas dari pegangan, ditendang sampai terlempar jauh oleh Tan Hok dan bekas perwira yang tinggi besar ini lalu mengamuk, menghujani
42
lawannya dengan pukulan-pukulan yang cukup keras Si kumis panjang terdesak terus dia tiba-tiba melompat jauh ke belakang meneriaki kawannya, “Siauw-Ong (Raja Kecil), kita lari!” Si muka hitam yang disebut Siauw-Ong itu mengerti bahwa kawannya terdesak, maka diapun melompat dan melarikan diri bersama kawannya itu. Sementara itu, Liu Hok dan Su Leng Ci yang tadi dilepaskan oleh dua orang penjahat itu, telah memondong dan mendekap anak mereka dan menonton perkelahian antara suami mereka dan dua orang penjahat itu dengan khawatir sekali. Setelah dua orang penjahat itu melarikan diri, Tan Hok menghampiri Liu Hong, Wong Cin menghampiri Su Leng Ci. Dua pasang suami isteri itu lalu berangkulan.dua orang nyonya muda itu menangis, juga dua orang anak mereka yang tadi ketakutan dan juga kesakitan karena dilempar keatas pasir, ikut menangis. “Sudahlah, kalian sudah dapat diselamatkan, terbebas dari bahaya. Kita semua akhirnya selamat dari badai dan dapat berkumpul kembali. Jangan menangis, kita sudah terlepas dari ancaman bahaya.” Wong Cin menghibur. “Aku tidak percaya kalau dua orang jahanam busuk tadi mau sudah begitu saja. Kita terlepas dari ancaman bahaya untuk sementara
43
saja. Aku khawatir mereka akan datang lagi, mungkin membawa teman.” “Ah, apa yang harus kita lakukan, Tan-twako?” tanya Wong Cin sambil mengerutkan alisnya dengan hati khawatir. “Tidak menguntungkan kalau kita berada di tempat terbuka begini,” kata Tan Hok. Sebagai bekas perwira tentu saja dia lebih tahu tentang siasat pertempuran dan pengetahuan itu kini dapat dia pergunakan untuk membela diri sekeluarga mereka. “Kita harus mencari tempat perlindungan, tempat dimana kita dapat melawan musuh apa bila mereka menyerang dan anak isteri kita dalam keadaan terlindung. Mari, kalian ikut aku.” Tan Hok lalu melangkah, menuju ke kumpulan batu-batu karang besar yang berada di kaki bukit, diikuti oleh Wong Cin dan dua orang isteri mereka yang menggendong anak masing-masing. Matahari sudah mulai condong ke barat dan perut mereka mulai terasa lapar, seluruh tubuh terasa nyeri-nyeri dan lelah sekali. Pergulatan antara mati dan hidup di dalam perahu tadi telah menghabiskan tenaga mereka. Apa lagi Tan Hok dan Wong Cin yang tadi harus berjuang melawan gelombang, kemudian malah berkehi melawan dua orang penjahat tadi.
44
“Hok-ko, penjahat tadi mengatakan bahwa pulau ini bernama,Pulau Ular dan bukit itu terdapat banyak ular!” kata liu Hong kepada suaminya. “Hemm, begitukah?” kata Tan Hok. “Biarlah, kalau ada ular terpaksa kita harus menghadapinya, karena tempat berlindung yang ada hanya di kaki bukit ini.” Tan Hok meneliti dan mencari dan akhirnya dia menemukan sebuah guha yang cukup luas. Lebarnya tidak kurang dari satu meter, dalamnya tiga meter dan tingginya tiga meter. Di depan guha itu terdapat seongkah batu karang yang besar-besar sehingga tempat itu merupakan tempat persembunyian sekaligus perlindungan yang baik. Akan tetapi karena matahari sudah mulai condong ke barat, ruangan dalam guha itu tidak mendapat sinarnya dan menjadi agak gelap. Teringat akan cerita isterinya tadi, Tan Hok berhenti di depan guha dan memberi isyarat kepada tiga orang itu untuk berhenti pula. “Kita harus membuat api lebih dulu. Kalau ada ular di dalamnya, kita dapat mengusirnya dengan menggunakan api,” katanya. Berdua dengan Wong Cin,Tan Hok lalu mengumpulkan kayu dan daun kering dan membuat api unggun di depan guha, kemudian dia dan Wong Cin dengan bersenjatakan obor memasuki guha untuk melihat apakah di sana ada ularnya. Akan tetapi ternyata
45
guha itu tidak ada ularnya. Mereka semua lalu memasuki guha dan duduk di lantai guha yang cukup kering. “Hari tak lama lagi akan menjadi malam. Kita perlu beristirahat dan memulihkan tenaga semalam di sini agar besok pagi kita dapat memeriksa keadaan di pulau ini, Mudah-mudahan saja kedua orang jahanam itu tidak akan mengganggu kita malam ini.” Liu Hong dan Su Leng Ci yang merasa lelah lahir batin, segera merebahkan diri diatas lantai guha dan memeluk anak mereka. Segera mereka dapat tertidur. Tan Hok dan Wong Cin berjaga di mulut guha sambi menjaga agar api unggun tidak menjadi padam. Api unggun itu amat penting bagi mereka. Pertama, untuk mengusir hawa dingin yang tentu akan datang menyerang mereka malam itu dan kedua untuk mengušir nyamuk. “Siauw-te (adik), engkau mengaso dan tidur lah lebih dulu biar aku yang berjaga disini,” kata Tan Hok kepada Wong Cin. “Aih, Tan-twako, dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin engkau menyuruh aku tidur sedangkan engkau sendiri melakukan penjagaan? Tidak, aku akan ikut menjaga bersamanu. Dalam keadaan seperti ini kita harus selalu bersama, mati hidup bersama!”
46
“Tentu saja kita harus bersamA-Sama siauw-te. Akan tetapi tidak untuk mati bersama, melainkan untuk hidup bersama. Kalau engkau tidak mau tidur dan beristirahat lebih dulu, kita sama-sarna melakukan penjagaan kemudian kita berdua kehabisan tenaga dan kelelahan lalu datang musuh menyerbu, bagaimana kita akan dapat melawan mereka? Kita harus bergantian, yang seorang tidur, seorang lagi berjaga. Dengan demikian kita berdua akan dapat beristirahat dan mengumpulkan tenaga. Tidur lah lebih dulu, nanti malarn kau kubangunkan untuk menggantikan aku berjaga dan aku yang tidur.” “Ah, begitukah maksudmu, twa-ko? Baik lah, aku akan tidur lebih dulu. Akan tetapi jangan lupa untuk membangunkan aku agar aku dapat menggantikanmu melakukan penjagaan, twa-ko.” “Jangan khawatir. Akupun tidak kuat untuk berjaga terus semalam suntuk karena akupun lelah sekali. Nah, tidurlah di dalam guha, siauw-te.” Wong Cin tidak membantah lagi. Karena diapun amat lelah, maka setelah merebahkan diri di lantai guha, diapun segera tertidur pulas. Tan Hok menjaga di dekat api unggun dengan penuh kewaspadaan karena dia khawatir kalau-kalau dua orang penjahat akan datang lagi. Untung guha itu letak baik sekali. Dari depan guha itu dia dapat melihat kalau ada orang menghampiri gua dan
47
diapun dapat bersembunyi di balik batu batu yang térdapat di depan guha “Wong-siauwte..., bangun... malam telah larut, Tan Hok menguncang pundak Wong Cin. Bekas jaksa itu terbangun, bangkit duduk dan menggosok dua matanya. “Apa...? Ada apa...?” tanyanya gagap akan tetapi dia segera mengenal siapa yang menggugahnya. “Ah,engkaukah,twako?” “Ya, bangunlah, siauw-te. Malam telah larut. Engkau harus menggantikan aku berjaga, aku lelah sekali, ingin mengaso sebentar.” Wong Cin kini sudah sadar betul. “Baiklah, twa-ko. Engkau tidurlah, biar aku yang menggantikanmu berjaga,” setelah berkata demikian Wong Cin lalu bangkit berdiri dan pindah duduk di dekat api unggun. Tan Hok lalu merebahkan diri di lantai guha dan segera tertidur pulas. Wong Cin berjaga di dekat api unggun menjaga agar api unggun jangan sampai padam atau mengecil. Langit bersih sekali sehingga tampak jutaan bintang berkelap-kelip di angkasa dan mendatangkan cahaya remang-remang di luar sana.
48
Dari tempat itu dapat terdengar bunyi air laut mendesis-desis, kadang menggelegar kalau menghantam batu karang. Suara itu tiada henti-hentinya dan Wong Cin senang mendengarnya, merasa seolah-olah ada yang menemaninya berjaga. Seperti Tan Hok tadi, diapun waspada melayangkan pandang matanya ke luar guha, melihat kalau-kalau ada orang yang datang menghampiri guha. Malam semakin larut. Karena guha itu menghadap ke timur, yaitu ke laut, maka ketika fajar mulai menyingsing, tampaklah langit di timur kemerahan. Cuaca masih remang-remang dan tiba-tiba Wong Cin terbelalak. Dia melihat bayangan orang! Dia turun mendekati batu dan mengintai. Tak salah lagi. Ada orang berindap-indap menghampiri guha, rnenyelinap di antara batu-batu Wong Cin cepat, memasuki guha mengguncang pundak Tan Hok. “Tan-ko, bangunlah, twa-ko. Bangunlah!” Tan Hok yang diguncang pundaknya bangun, menggosok-gosok kedua mata. “Ada apakah, siauw-te?” “Twa-ko, ada orang menuju ke sini,” bisik Wong Cin. “Apa? Ah, tentu penjahat itu!” Tan Hok seketika bangkit berdiri dan dia sudah sadar betul, lalu bersama Wong Cin berindap indap keluar dari guha, mengintai dari batu besar. Diapun melihat
49
bayangan orang itu, bayang-bayang hitam yang menyelinap di antara batu-batu. “Cepat, padamkan api unggun, siauwte,” bisik Tan Hok. Wong Cin cepat menghampiri api unggun dan memadamkananya. Tempat itu menjadi gelap karena kehilangan cahaya api unggun dan mereka dapat melihat keluar lebih jelas lagi. Sinar matahari yang belum nampak, hanya langit di timur seperti ada kebakaran memerah namun bintang-bintang masih belum kehilangan sinarnya sama sekali sehngga diluar guha sana cuacanya. remang-remang. Mereka berdua dapat mengintai keluar dan mengikuti gerak-gerik bayangan hitam itu yang kini telah mendekati guha. “Siapkan batu, kita serang dia dengan batu” bisik Tan Hok, lalu dia nengumpulkan batu-batu sebesar kepalan tangan. Wong cin juga mengumpulkan batu-batu yang ditumpuk di dekat kakinya. Mereka mengintai lagi dan kini tampak bahwa bukan hanya satu orang saja yang berindap-indap mendekati guha, melainkan ada tiga orang! Tentu tiga orang penjahat yang kemarin dapat mereka usir itu datang lagi bersama seorang kawannya, pikir mereka. Setelah tiga bayangan orang itu tiba dekat, hanya dalam jarak belasan meter dan mereka muncul dari balik sebuah batu berserulah Tan Hok dengan suara nyaring,
50
“Serang!” Dan merekapun melontarkan batu-batu sebesar kepalan tangan itu dengan kedua tangannya. Wong Cin juga cepat menyerang tiga orang itu dengan lemparan batu-batu yang telah dikumpulkan. Terdengar suara orang mengaduh, tanda bahwa lontaran batu mereka mengenai sasaran dan tiga orang itu cepat berloncatan ke belakang lalu berlindung ke belakang batu besar. Tan Hok dan Wong Cin menghentikan serangan batu mereka. Suasana menjadi sunyi sekali, sunyi yang menegangkan karena mereka maklum bahwa tidak jauh dari situ terdapat musuh-musuh yang siap untuk menyerbu mereka. Akan tetapi setelah ditunggu-tunggu, tiga orang itu tidak muncul lagi, Agaknya mereka itu telah mengundurkan dan melarikan diri, menjauh dari situ. Dua orang nyonya muda dan putera mereka terbangun oleh suara ribut-ribut tadi. Tan Song Bu dan Wong Sin Cu merengek kepada ibu mereka. “Ibu, aku lapar...” kata Sin Cu. “Ibu, aku ingin makan,” kata Song Bu. Dua orang ibu muda itu kebingungan. Mereka sendiripun merasa amat lapar, akan tetapi dari manakah mereka akan dapat menemukan makanan untuk mereka sendiri dan anak-anak mereka? Tan Hok dan Wong Cin juga merasa lapar dan mereka mendengar keluhan anak-anak
51
mereka tadi. Kita tidak dapat tinggal terus di sini menanti kelaparan menggerogoti perut kita,” akhirnya Tan Hok berkata. “Kita harus pergi ke pantai dan di sana kita dapat mencari ikan atau binatang laut lain untuk kita makan. Kita harus mendapatkan makanan agar tidak kelaparan, juga kita harus mencari air tawar untuk minum.” “Akan tetapi penjahat-penjahat itu, Twa-ko,,? Terpaksa kita lawan mati-matian kalau mereka berani muncul dan mencoba mengganggu kita. Mari kita persiapkan diri dan membawa tongkat untuk senjata, siauw-te.” Mereka ialu memilih ranting kayu yang cukup besar untuk dipergunakan sebagai senjata. Setelah matahari mulai muncul di permukaan laut merupakan sebuah bola besar merah yang makin lama menjadi semakin kecil dan naik dari permukaan laut, sinarnya yang merah pun mulai berubah menjadi kuning keemasan dan sinarnya mulai menerangi tanah, Tan Hok dan Wong Cin mengawal anak isteri mereka keluar dari dalam guha. Mula-mula mereka mencari air di antara batu-batu di kaki bukit. Akhirnya mereka menemukan sebuah pancuran air di antara batu-batu. Agaknya air itu mengalir turun dari bukit. Karena mereka telah merasa haus sekali, mereka lalu minum air yang jenih itu, mencuci
52
muka dan kaki tangan mereka sehingga terasa segar kembali. Setela itu, mereka mulai menuju ke tepi laut. Akan tetapi baru saja mereka tiba di pantai yang berpasir, tiba-tiba terlihat sebuah perahu dengan layar hitam bergerak ke tepi. Mereka memandang dengan hati penuh harapan. Kalau perahu itu milik orang baik-baik, mereka akan tertolong dan dapat meninggalkan pulau itu! dengan wajah berseri penuh harapan dua keluarga itu berdiri di pantai memandang perahu yang semakin dekat. Setelah agak dekat, mereka dapat melihat ada tujuh orang berada di atas perahu dan hati mereka mulai terasa tidak enak karena ketujuh orang itu semua adalah laki-laki! Setelah perahu kandas di pasir dan layar diturunkan, tali dilempar keluar, Tujuh orang laki-laki itu lalu berlompatan dari atas perahu. Mereka lari ke dalam air yang setinggi lutut menuju ke pantai sambil berteriak-teriak dan tertawa-tawa. Tan Hok dan Wong Cin terkejut sekali karena mereka mengenal bahwa dua orang diantara mereka adalah dua orang penjahat yang kemarin hampir memperkosa isteri mereka! Kiranya tujuh orang itu adalah orang-orang jahat! Liu Hong dan Su Leng Ci juga mengenal dua orang penjahat itu. Mereka segera berlindung di belakang suami sambil memondong anak mereka. Wajah mereka pucat dan kedua kaki mereka menggigil. Tan Hok dan Wong Cin melintangkan tongkat mereka,
53
siap untuk melawan mati-matian karena tidak ada jalan lain kecuali melawan untuk melindungi anak isteri mereka. Tujuh orang laki-laki kasar itu kini mengepung mereka sambil tertawa-tawa gembira. “Ha-ha-ha!” Si kumis panjang yang menjadi pimpinan mereka tertawa bergelak dengan gembira. “Bunuh dua ekor anjing ini,akan tetapi dua betinanya itu jangan dilukai. Mereka berdua adalah milik kami berdua, jangan diganggu!” Mereka semua tertawa dan kepungan menjadi semakin ketat terhädap Tan Hok dan Wong Cin. “Kalian orang-orang jahat!” bentak Tan Hok. “Di antara kita tidak ada permusuhan mengapa kalian berniat jahat tehadap kami?” “Hahaha” kini pemimpin kędua, yang bermuka hitam, tertawa lalu memberi aba-aba, “Serang” Tujuh orang itu bergerak dengan golok di tangan, menyerbu Tan Hok dan Wong Cin. Dua orang ini menggerakkan tongkat dan melawan mati-matian. Mereka menangkisi golok-golok yang menyambar dengan tongkat mereka dan berusaha membalas pula dengan nekat.
54
Liu Hong dan Su Leng Ci berlutut saling rangkul sambil memondong anak mereka. Kedua orang ibu muda ini ketakutan dan merasa khawatir sekali melihat suami mereka dikeroyok tujuh orang penjahat tu. Dua orang anak itupun menangis ketakutan. Betapapun nekatnya Tan Hok dan Wong mengamuk, kepandaian silat mereka haya terbatas dan tujuh orang pengeroyoknya adalah orang-orang yang biasa berkelahi dan ganas sekali. Tan Hok dan Wong Cin haya berhasil merobohkan masing-masing seorang pengeroyok, menghantam kepala meeka dengan tongkat sehingga dua orang pengeroyok itu roboh dengan kepala retak dan golok mereka terlepas dari tangan, menggeletak dekat dua orang wanita itu. Melihat dua batang golok itu, tanpa diperintah, Liu Hong dan Su Leng Ci segera mengambilnya dengan maksud untuk diberikan kepada suami mereka agar suami mereka dapat melawan lebih baik. Akan tetapi kedua orang wanita itu terbelalak dan menjerit-jerit ketika melihat betapa dua orang suami mereka pada saat itu roboh mandi darah terkena bacokan golok golok yang menghujani tubuh mereka! sambil berlari menghampiri suaminya yang sudah roboh mandi darah. menghampiri suaminya dan menjatuhkan diri berlutut dekat tubuh suaminya yang sudah tidak bergerak lagi dan mandi darah itu. Song Bu dan Sin Cu yang ditinggalkan ibu masing-
55
masing menangis bingung dan ketakutan. Kedua orang anak berusia tiga tahun itu duduk di atas pasir sambil menangis. Setelah merobohkan Tan Hok dan Wo Cin, dua orang pimpinan gerombolan itu tertawa bergelak. Mereka berdua menghampiri Liu Hong dan Su Leng Ci. “Manis, sudahlah jangan menangis. Suami kalian sudah tewas, akan tetapi ada pengantinya, yaitu kami dan kalian perdua akan hidup senang bersama kami!” kata si kumis panjang. Tiba-tiba Liu Hong bangkit berdiri dan memutar-mutar golok di tangannya, menyerang para penjahat itu dengan membabi buta. Melihat ini, Su Leng Ci juga bangkit dan mengamuk. Dua orang wanita yang melihat suami mereka tewas itu menjadi nekat dan dengan golok di tangan mereka, mereka mencoba untuk menyerang dua orang pimpinan penjahat' itu. Akan tetapi tentu saja amukan mereka itu tidak ada artinya. Mereka tidak pernah belajar ilmu silat, bahkan tidak pernah memegang golok. Para penjahat itu mengelak sambil tertawa-tawa mempermainkan sambil mencari kesempatan untuk merampas golok itu dari tangan kedua orang wanita yang mengamuk. Melihat bahwa mereka tidak berdaya dan akhirnya tentu akan tertangkap oleh para penjahat itu, Liu Hong menjadi putus asa. Kalau sampai tertangkap para penjahat itu, ia tentu akan mengalami bencana yang lebih
56
mengerikan dari pada maut. la menjadi nekat dan menggorokkan golok di tangan kanannya ke lehernya sendiri. Robohlah Liu Hong di atas mayat suaminya, mandi darah. Melihat ini, Su Leng Ci terbelalak, akan tetapi iapun mengerti mengapa Liu Hong melakukan perbuatan nekat itu. la menjadi semakin ke takutan dan tahu nasib apa yang akan dideritanya kalau ia terjatuh ke tangan para penjahat itu. Maka, tanpa pikir panjang lagi, melupakan anaknya dalam keadaan tersudut, Su Leng Ci lalu menggerakkan goloknya, menggorok leher sendiri dan ketika terhuyung, ia menghampiri mayat suaminya dan roboh di atas mayat suaminya. Para penjahat itu terkejut bukan main Mereka itu sama sekali tidak menyangka bahwa dua orang wanita itu akan berbuat sedemikian nekatnya membunuh diri. Si kumis panjang dan si muka hitam menjadi terkejut dan menyesal sekali. Mereka telah kehilang an dua orang wanita cantik yang membuatnya tergila-gila dan yang tadinya sudah mereka tentukan akan menjadi isteri-isteri mereka. Pada saat itu terdengar suara berat dan parau, “Kalian manusia-manusia iblis yang jahat!” Semua penjahat yang jumlahnya tinggal lima orang itu karena yang dua orang belum mampu bangun setelah kepala mereka dihantam tongkat oleh Tan Hok dan Wong Cin tadi, membalikkan tubuh dan melihat seorang
57
laki-laki setengah tua berdiri di depan mereka. Laki-laki itu bukan lain adalah A-ming, tukang perahu yang kemarin terpisah dari dua keluarga itu ketika perahunya pecah. Dia terapung-apung di atas laut, dipermainkan ombak sampai semalam suntuk. Baru pagi ini papan yang dijadikan pegangan itu dapat dia bawa ke tepi dan dia dapat mendarat dalam keadaan selamat. Dia menemukan bekas perapian yang dibuat para penjahat, juga menemukan sisa makanan mereka berupa roti kering. Karena perutnya terasa lapar sekali A-ming lalu makan roti kering yang cukup banyak baginya itu sehingga tenaganya pulih kembali. Mulailah ia menyusuri pantai untuk mencari kalau-kalau dua keluarga itu ada yang terdampar dan selamat. Tiba-tiba dia mendengar suara tangis dua orang anak itu dan dia lalu berlari cepat menuju ke arah suara itu. Di tepi pantai itu dia melihat pemandangan yang xmembuat dia marah bukan main. Tan Hok dan Wong Cin beserta isteri-isteri mereka telah roboh mandi darah dan dua orang anak kecil itu menangis ketakutan di atas pasir! Dan di situ terdapat tujuh orang penjahat, dua di antaranya duduk memegangi kepala mereka yang berdarah. Sekali pandang saja tahulah dia bahwa dua pasang suami isteri itu telah dibunuh para penjahat ini dan dua orang anak kecil itupun terancam keselamatannya. Hal ini membuat dia marah sekali. Bangkitlah
58
watak kependekarannya yang dimiliki ketika dia masih muda dahulu. Bekas guru silat ini melirik ke arah dua batang golok yang menggeletak di dekat mayat dua pasang suami isteri itu. Tanpa mengeluarkan suara, tiba-tiba saja dia merebahkan dirinya ke atas pasir lalu bergulingan mendekati mayat-mayat itu. Sebelum para penjahat itu hilang kagetnya dan menyadari apa yang akan dilakukannya, A-ming telah melompat bangun lagi dan kini kedua tangannya memegang sepasang golok yang masih berlumuran darah Liu Hong dan Su Leng Ci. “Majulah kalian! Aku akan membasmi kalian jahanam-jahanam busuk!” teriak A-ming dengan mata mencorong penuh kemarahan. Lima orang penjahat itu adalah orang orang kasar yang sudah terbiasa mempergunakan kekuatannya dan sudah terbiasa dalam perkelahian maka mereka tentu saja tidak menjadi takut. “Bunuh!” Si Kumis panjang membentak. “Nanti dulu! Sebelum aku membunuh kalian, katakan dulu siapa kalian yang begini kejam telah membunuhi orang-orang yang tidak berdosa!” bentak A-ming sambil melintangkan sepasang goloknya. Si kumis panjang dan si muka hitam tertawa bergelak. Mereka berdua adalah kepala-kepala bajak dan perampok yang amat
59
terkenal dan mereka merasa bangga memperkenalkan julukan mereka. “Buka telingamu lebar-lebar” bentak Si kumis melintang. “Aku dan adikku ini dikenal di dunia kang-ouw sebagai Hai-Coa-Ong Raja Ular Laut). Aku disebut Toa-Ong (Raja Besar) dan adikku ini disebut Siauw-Ong (Raja Kecil). Nah, engkau boleh mampus dengan mata terpejam setelah mendengar siapa yang akan membunuhmu!” Si kumis melintang memperkenalkan diri dan si muka hitam. A-ming memandang kepada dua orang itu dengan alis berkerut. “Hari ini Raja Ular Laut akan menjadi ular mampus!” teriak A-ming dan dia lalu menerjang maju sambil mengayun kedua batang, goloknya. Lima orang itu menyambut serangannya dan terjadilah perkelahian yang seru dan mati-matian. Akan tetapi ternyata permainan sepasang golok dari A-ming cukup hebat. Biarpun sudah lama dia tidak pernah bersilat, akan tetapi karena dasarnya memang kuat, maka kini dia dapat memainkan sepasang goloknya demikian hebat sehingga lima orang pengeroyoknya itu tidak mampu mendekatinya! Bahkan dua orang pengeroyok telah terserernpet golok dipundaknya sehingga terluka dan berdarah Melihat ini, si kumis panjang tiba-tiba berseru dengan nyaring.
60
“Tangkap dan bunuh dua orang anak itu!” Mendengar perintah ini, A-ming terkejut sekali dan cepat dia melompat ke dekat dua orang anak itu untuk melindungi mereka. Akan tetapi ternyata teriakan yang merupakan perintah dari Siauw-Ong (Raja Besar) yang berkumis panjang itu hanya merupakan pancingan belaka. Setelah A-ming melompat ke dekat kedua anak itu untuk melindungi, si tinggi besar memimpin anak buahnya untuk melarikan diri dari situ sambil memapah dua orang kawan mereka yang terlukà, kepalanya oleh tongkat Tan Hok dan Wong Cin tadi. Melihat ini, biarpun hatinya merasa kecewa, A-ming tidak berani melakukan pengejaran. Kalau dia mengejar, siapa yang akan melindungi dua orang anak kecil yang menangis ini? A-ming menyelipkan dua batang golok itu di pinggangnya, lalu dia berjongkok dan mengelus kepala dua orang anak kecil itu. “Anak-anak yang baik, diamlah jangan menangis. Jangan takut, aku akan melindungi kalian dengan taruhan nyawaku.” Karena dielus dan dirangkul, kedua orang anak kecil itu menghentikan tangis mereka. Mereka masih terlalu kecil sehingga tidak tahu betapa ayah bunda mereka dibůnuh orang di depan mata mereka! A-ming lalu pergi menghampiri perahu berlayar hitam yang berada di tepi laut dan dari dalam perahu itu dia mendapatkan sebungkus roti kering. Dia mengambil beberapa potong dan diberikannya
61
kepada dua orang anak kecil itu. Tan Song Bu yang lebih tua beberapa bulan dari Wong Sin Cu, menerima roti kering dan segera memakannya karena dia memang lapar sekali. Akan tetapi Wong Sin Cu menerima roti kering itu dan tidak segera memakannya. Dia menoleh dan memandang ke arah tubuh ayah dan ibunya. “Ibuuu...! Ayaaahh...!!” Dia memanggil dan suaranya mengandung tangis. A-ming merangkulnya. Dari sikap kedua orang anak ini saja tahulah dia bahwa Tan Song Bu adalah seorang anak yang tabah dan mungkin berwatak keras, sedangkan Wong Cin Su lebih peka dan perasa dan mungkin berwatak lembut. “Sudah, diamlah, Sin Cu anak baik. Makanlah roti itu agar perutmu tidak lapar.” “Akan tetapi, ayah dan ibu...” tanya Sin Cu dengan suara masih agak cadel. “Mereka... mereka telah pergi jauh...” “Tapi, itu mereka “ bantah Sin Сu sambil menuding ke arah ayah dan ibunya.
62
“Kenapa mereka?” A-ming menjadi serba salah. Anak sekecil ini mana mengerti tentang kematian? “Mereka sedang tidur. Sudahlah, makan rotimu dan jangan banyak bertanya,” katanya. Setelah kedua 'orang anak itu makan, dia memberi minum dari tempat minum air tawar yang terdapat dalam perahu yang ditinggalkan para penjahat tadi. Kemudian dia menyuruh kedua anak itu duduk di dalam bilik perahu dan berpesan. “Aku mau bekerja di pantai. Kalian harus duduk menunggu di sini dan jangan keluar dari perahu. Kalian bisa terjatuh ke dalam air laut kalau kalian keluar. Ingat pesanku, jangan keluar dari sini dan tunggu aku. Setelah selesai bekerja di pantai, aku tentu akan datang ke sini.” Dia tidak dapat bercerita panjang dan hanya menekankan agar anak itu mengerti bahwa mereka harus menunggu dalam bilik perahu dan tidak boleh keluar dari situ. Setelah kedua orang anak itu mengangguk-angguk secara meyakinkan, A-ming lalu keluar dari perahu. Menuju ke darat dan mulailah dia menggali lubang, agak jauh dari pantai agar kuburan yang dibuatnya itu tidak akan terendam air laut kalau sedang pasang. Dengan menggunakan golok tadi, dia menggali dua buah lubang yang cukup besar, kemudian dengan hati-hati, penuh
63
khidmat dan keharuan, dia lalu menguburkan dua pasang jenazah suami isteri itu. Masing masing pasangan suami isteri dia jadikan satu kuburan; dimasukkan dalam satu lubang dan ditimbuni tanah yang mengandung pasir. Setelah selesai, dia menggunakan dua buah batu karang untuk diletakkan di depan dua makam itu, masing-masing sebuah batu besar dan dengan sebatang golok, diukirnya beberapa buah huruf di atas batu besar yang menjadi batu nisan itu, dengan ukiran yang kasar namun huruf-huruf itu dapat dibaca dengan jelas. Batu nisan di depan kuburan Tan Hok diberi ukiran MAKAM TAN HOK DAN ISTERI, dan di batu nisan di depan kuburan Wong Cin diberi ukiran MAKAM WONG CIN DAN ISTERI. Setelah selesai, dia memberi hormat kepada kedua kuburan itu lalu dia pergi ke perahu. Dua orang anak itu masih berada di dalam bilik perahu dan keduanya tertidur nyenyak. Jiwa kanak-kanak itu masih bersih, belum ternoda tebal oleh hati akal pikiran yang bergelimang nafsu. Oleh karena itu, jiwa mereka belum dapat terusik oleh duka nestapa. Setelah semakin besar nanti, mulailah hati akal pikiran bekerja sepenuhnya dan masuklah nafsu menguasai hati akal pikiran sehingga sinar jiwanya tertutup oleh kotoran nafsu. Setelah demikian, maka manusia menjadi permainan nafsu, diayun
64
gelombang suka duka sepanjang hidupnya, tidak lagi mengenal apa itu yang disebut kebahagiaan. Nafsu, akal pikiran manusia mendorongnya untuk selalu mengejar kesenangan atau yang dianggap akan mendatangkan kesenangan. Dan dalam pengejaran inilah dia lebih banyak bertemu dengan duka dari pada suka, lebih banyak bertemu dengan kekecewaan daripada kepuasan, lebih banyak mendapatkan kekurangan daripada kecukupan. Kebahagiaan bukanlah kesenangan. Kebahagiaan tidak dapat diperoleh melalui pengejaran. Kebahagiaan adalah... (maaf ketikan kurang jelas - Yons ) dan senantiasa ada pada diri setiap orang manusia. Masalahnya adalah si orang dapat merasakannya ataukah tidak! Pengejaran kesenangan membuat kebahagiaan yang demkian dekat menjadi jauh, karena dengan pengejaran kesenangan manusia terlibat dalam ayunan susah senang karena kesusahan itu pada hakekatnya adalah permukaan yang lain dari mata uang yang sama atau kebalikan dari kesenangan. Mengejar kesenangan, tidak dapat tiada orang akan bertemu juga dengan kesusahan karena yang satu tidak akan ada tanpa yang lain. A-ming memandangi dua orang anak itu dan menghela napas panjang. Alangkah menyedihkan nasib kedua orang anak kecil ini. Anak yang kebetulan sekali bertemu dengan dia, dan kebetulan
65
sekali pula dia yang membuat rajah gambar naga di dada kedua orang anak itu. Dan sekarang, kedua orang anak itu telah kehilangan orang tua masing-masing. Ayah ibu mereka terbunuh di depan mata mereka! Walaupun dalam usia sekecil itu mereka belurn mengerti benar apa yang telah terjadi rnenimpa orang tua mereka, namun, setidaknya penglihatan itu tentu akan menggores dalam-dalam dibatin mereka. Dua orang anak sekecil itu telah kehilangan ayah bundanya dan sekarang sepenuhnya berada di tangannya. Nasib mereka seolah telah ditaruh ke dalam telapak tangannya dan mau tidak mau dia harus mengurus mereka! A-ming membiarkan dua orang anak itu tidur. Dia mulai memeriksa keadaan dalam perahu yang ditinggalkan para penjahat itu. Sebuah perahu yang lumayan besarnya dan di situ terdapat persediaan roti kering yang kiranya cukup untuk mencegah kelaparan selama beberapa hari. Juga ada persediaan air tawar yang cukup banyak. Layar hitam tergulung dan terdapat pula beberapa buah dayung. Bahkan di ujung perahu itu terdapat sebuah perahu kecil, sebuah perahu yang biasanya dipakai dua orang. Ketika tadi dia terdampar dan berusaha mencari kedua keluarga itu, dia melihat bahwa bukit itu gersang. Sebuah pulau yang kosong dan tidak subur seperti itu pasti tidak ada penghuninya. Siapa mau tinggal di sebuah pulau yang
66
tanahnya gersang? Dan di satu bagian yang terdapat pohon-pohon pantai, dia melihat banyak sekali ular besar kecil. Mengerikan sekali. Sebuah pulau penuh ular dan tidak ada penghuninya. A-ming mulai melepaskan tali perahu itu, menggulungnya dan menaruh ke dalam perahu. Kemudian dia mendorong perahu ketengah. Dia harus meninggalkan pulau ular ini. Harus berusaha untuk kembali ke daratan besar, walaupun daratan itu tidak tampak dari situ. Akan tetapi sebagai seorang pelaut yang berpengalaman, dia tahu ke mana dia harus membawa perahunya kalau ingin mencapai daratan besar. Tentu saja ke arah barat. Ini adalah Lautan Timur, dan tentu saja daratan sebelah barat. Setelah perahu itu terapung di bagian yang lebih dalam, dia lalu naik ke dalam perahu, mendayungnya ke tengah kemudian mengembangkan layarnya yang hitam. Angin lembut bertiup dan Jayar mengembang, mendorong perahu melaju menuju arah barat. Air laut tenang dan lembut. tidak ada bekas-bekasnya lagi badai yang mengamuk dahsyat pada hari kemarin itu. Setelah perahu meluncur cepat beberapa lamanya, A-ming yang memegang kemudi dan selalu memandang ke depan, ke arah barat, tiba tiba berseri wajahnya. Dia melihat baang-bayang daratan di sana! Bayangan hitam memanjang. Bagus, pikirnya. Dia akan segera mendarat dan kalau sudah berada didaratan besar sana, baru akan
67
dia carikan jalan keluar akan masalah yang dia hadapi ini, yaitu merawat dan memelihara dua orang anak kecil! Dia akan mencari keluarga-keluarga baik-baik yang kiranya akan suka dan mampu menerima anak-anak itu sebagai anak angkat mereka. Dia tidak berani membawa anak-anak itu ke kota raja dari mana mereka berasal. Dia tidak berani mencari keluarga orang tua anak-anak ini. Bukankah orang tua mereka telah menjadi buronan? Kalau pihak musuh keluarga itu mengetahui bahwa dua orang anak itu adalah putera keluarga Tan Hok dan Wong Cin, tentu kedua anak itu akan menghadapi ancaman pula. Bayangan hitam itu semakin lama menjadi semakin jelas. Sebentar lagi dia akan mencapai daratan itu. Terdengar suara dan ketika dia memandang ke arah bilik, Song Bu dan Sin Cu berjalan keluar dari bilik sambil menggosok-gosok kedua mata mereka, Ketika mereka berdua melihat A-ming yang duduk di buritan, tertatih-tatih mereka menghampiri. “Kakek, aku haus!” kata Song Bu. “Aku juga,” kata pula Sin Cu. A-ming meraih sebuah guci kecil yang sudah diisi air tawar.
68
“Ke sinilah. ini air untuk kalian minum,” katanya sambil tersenyum. Kedua orang anak itu menghampiri dan A-ming memberi mereka minum langsung dari mulut guci ke mulut mereka yang kecil. Setelah minum, kedua orang anak itu duduk di depan A-ming. “Kakek, aku ingin ikut ayah dan ibu!” berkata pula Song Bu. “Aku ingin ikut mereka,” kata Sin Cu. “Di mana ayah dan ibuku?” “Ayah ibu kalian sudah pergi ke sana lebih dulu,” kata A-ming sambil menunjuk kedepan, ke arah daratan. “Kalian jangan rewel dan aku akan membawa kalian menyusul ayah ibu kalian.” Akan tetapi tiba-tiba A-ming mengerutkan alisnya dan memandang ke depan dengan sinar mata penuh keraguan dan kekhawatiran. Ada sebuah perahu layar besar datang dari depan. Tentu saja dia akan merasa girang sekali kalau saja perahu itu merupakan perahu yang ditumpangi penduduk pantai biasa, atau perahu pedagang. Akan tetapi yang mencemaskan hatinya adalah melihat perahu itu bercat hitam dan juga berlayar hitam seperti perahu yang dikemudikannya! Dan biasanya, perahu yang serba hitam seperti itu adalah perahu bajak laut! Setelah perahu besar itu
69
agak dekat dan dła dapat melihat wajah orang-orang yang berada di perahu, jantungnya berdebar keras penuh ketegangan. Dia mengenal Siauw-Ong dan Siauw-Ong berada diantara belasan orang yang sedang berdiri di perahu hitam itu! Dan agaknya kedua orang itu kini sudah yakin bahwa dia berada di perahu itu bersama dua orang anak kecil yang duduk di depannya karena terdengar dua orang itu mengeluarkan bentakan-bentakan dan belasan orang di atas perahu itu mulai bergerak. Tiba-tiba dari perahu besar itu meluncur banyak anak panah menuju ke perahunya, A-ming terkejut. Mereka menyerarng dengan, anak panah! Sungguh membahayakan keselamatan dua orang anak itu. Dia menyambar dua orang anak itu dengan kedua tangannya dan membawanya lari ke dalam bilik untuk berlindung dari hujan anak panah. Dia sama sekali tidak berdaya untük membalas serangan mereka. Tiba-tiba terdengar orang-orang bersorak dari perahu besar itu dan dengan kaget A-ming melihat kobaran api pada layar perahunya. “Celaka, mereka menggunakan anak panah berapi!” serunya sambil mengutuk Dia harus bertindak cepat. Kalau perahunya terbakar, dia dan dua orang anak itu akan celaka. Dia teringat akan perahu kecil yang berada di luar bilik. Pikirannya berjalan cepat dan dia sudah mengambil keputusan kilat. Cepat dia menyelinap keluar dari bilik, melepaskan ikatan perahu kecil itu. Kemudian dia
70
memondong dua orang anak kecil, menyelinap ke belakang perahu, menurunkan perahu kecil dan memasukkan dua orang anak itu ke dalam perahu kecil. Kemudian didorongnya perahu kecil itu menjauhi perahunya. Perahu terbawa ombak, menjauh dari perahu yang mulai terbakar tihang layarnya itu. Sejenak ia memandang ke arah perahu kecil yang semakin menjauh dan hatinya merasa iba sekali kepada dua orang anak itu. “Semoga Thian melindungi kalian!” katanya dan hatinya seperti ditusuk rasanya ketika mendengar dua orang anak itu mulai menangis dan memanggil-manggil ayah ibu mereka. Dia lalu melompat keluar dari balik bilik sambil membawa sebatang dayung. Begitu dia muncul, belasan batang anak panah menyambar ke arah dirinya. Akan tetapi dia memutar dayungnya dan belasan batang anak panah itu runtuh. “Jahanam busuk kalian! Hayo kalau memang kalian berani, naiklah ke perahu ini dan kita bertanding sampai seribu jurus!” tantangnya dengan marah sekali. Akan tetapi, jawaban yang didapat hanya anak-panah yang menyambar-nyambar dan di antaranya terdapat anak panah yang membawa api. Kebakaran terjadi di mana-mana dalam perahu itu dan akhirnya A-ming dikepung api. Tidak mungkin dapat dia pertahankan lagi atas perahu itu dan terpaksa dia lalu melompat keluar.
71
“Byuurrr...” Air laut terpercik keatas ketika tubuhnya menimpa permukaan air. Para penjahat itu segera menghujankan anak panah ke arah dia. A-ming maklum akan bahaya, apa lagi ketika sebatang anak panah mengenai pundak kirinya. Dia menahan rasa nyeri. dan menyelam, lalu meluncur di dalam air menjauhi perahu para penjahat. Siauw-Ong dan Siauw-Ong yang melihat betapa A-ming telah terkena anak panah lalu tenggelam, tertawa puas. Mereka telah dapat membalas kekalahan mereka terhadap bekas guru silat itu. Melihat perahu mereka yang tadi dipakai A-ming telah terbakar habis, Siauw-Ong dan Siauw-Ong memerintahkan kawan-kawannya untuk memutar perahu dan kembali menuju ke daratan. Kemujijatan adalah suatu peristiwa yang terjadi di luar perhitungan dan akal manusia. Suatu kejadian aneh yang rasanya tidak masuk akal. Suatu sentuhan Kekuasaan Tuhan yang membuka mata kita bahwa ada Kekuasaan yang luar biasa, yang bekerja di luar jangkauan pengertian kita. Kemujijatan bukan hanya terjadi di jaman dahulu. Di jaman sekarang sekalipun, sampai hari ini, kemujijatan terjadi di mana-mana, setiap waktu. Setiap kali terjadi malapetaka, selalu saja terjadi kemujijatan yang berada di luar jangkauan penalaran kita. Misalnya terjadi bencana kecelakaan hebat di mana puluhan
72
orang tewas, akan tetapi entah mengapa dan bagaimana, seorang bayi lolos dari maut yang telah menewaskan demikian banyak orang dewasa. Bayi yang tidak berdaya itu bahkan lolos dari maut. Banyak lagi terjadi hal-hal yang aneh di mana Kekuasaan Tuhan bekerja dengan luar biasa dan di luar perhitungan akal manusia. Nasib Tan Song Bu dan Wong Sin Cu agaknya sudah dapat ditentukan. Kedua orang anak kecil itu hampir dapat dipastikan akan menemui ajalnya karena mereka tidak berdaya terapung-apung di atas lautan, disebuah perahu kecil. Apa dayanya anak-anak berusia tiga tahun dalam keadaan seperti itu? Mereka berdua hanya dapat menangis dan menangis lagi, memanggil-manggil ayah ibunya sampai suara mereka serak Air mata mereka telah terkuras habis dan tidak ada air mata lagi yang keluar dari pelupuk mata mereka. Hanya tangis mereka yang masih terdengar, itupun semakin melemah. Perahu kecil itu terombang-ambing dan tidak terkemudikan, menurut saja kemana Tangan Ajaib yang tidak tampak membawanya. Matahari telah naik tinggi. Masih untung bagi kedua orang anak kecil itu bahwa keadaan laut tetap tenang. Kalau sekiranya terdapat ombak yang lebih besar sedikit saja, perahu itu tentu akan terhempas dan terguling dan dua orang anak itu tentu tidak akan dapat lolos'dari kematian yang mengerikan. Tenggelam ke dalam lautan atau menjadi mangsa ikan-ikan besar!
73
Tiba-tiba tampak sebuah titik hitam melayang-layang di angkasa. Titik hitam itu melayang semakin rendah sehingga tampak bahwa benda itu adalah seekor burung Rajawali hitam yang besar sekali! Sepasang sayap yang terkembang itu dari ujung ke ujung tidak kurang dari dua meter panjangnya. Sepasang matanya yang tajam itu agaknya dapat melihat calon mangsanya yang berada dalam perahu kecil itu. Anak-anak kecil yang bergerak-gerak sambil menangis di dalam perahu kecil merupakan mangsa empuk bagi Rajawali itu. Tidak ada bahaya mengancam di sekeliling tempat itu. Yang ada hanya air dan air, tidak tampak ada perahu lain, tidak ada manusia dewasa yang menjadi musuh utamanya yang paling berbahaya. Setelah merasa bahwa di sekitarnya aman, burung Rajawali hitam itu lalu menukik ke bawah, Tubuhnya meluncur bagaikan anak panah cepatnya menuju ke arah perahu kecil itu. Song Sin Cu yang lebih dulu melihat burung itu. Anak ini bangkit berdiri, tertarik, akan tetapi pada saat itu, burüng Rajawali hitam menyambar dan menggunakan kedua kaKinya yang berkuku runcing melengkung itu untuk mencengkeram tubuh Sin Cu dan memawanya terbang ke atas dengan cepat sekali. Sin Cu merasa kesakitan dan ketakutan, dia menjerit-jerit, akan tetapi jeritnya itu tidak dapat terdengar lagi karena burung Rajawali itu membawanya terbang tinggi lalu meluncur ke arah daratan!
74
Tan Song Bu yang tidak mengerti apa yang telah terjadi dengan Sin Cu, terbelalak bingung dan melihat Sin Cu lenyap dan dia berada seorang diri saja dalam perahu itu diapun menjerit dan menangis. Akan tetap lautan tidak mengacuhkan jerit tangisnya terus saja membawa perahu itu terombang ambing, bergerak maju tanpa arah tertentu. Wong Sin Cu yang dicengkeram burung Rajawali hitam dan dibawa terbang tinggi itu, tidak dapat bertahan lama. Pundak dan pinggulnya yang dicengkeram kuku-kuk yang runcing melengkung itu, terasa nyeri sekali dan juga rasa takut tak dapat ditahannya lagi sehingga dia segera pingsan dalam cengkeraman burung Rajawali hitam itu. burung itu terus membawanya terbang menuju ke sebuah bukit yang menjadi tebing tepi laut yang amat curam. Di puncak tebing itu, di antara batu-batu karang, terdapat sarang Rajawali itu. Di mana dua ekor anaknya yang lapar telah menanti induk mereka datang membawa makanan lezat. Ketika burung Rajawali itu membawa terbang Sin Cu dan tiba di atas tebing, mendadak Sin Cu siuman dari pingsannya. Melihat dirinya melayang-layang di atas tebing,anak itu menjerit-jerit ketakutan. Jeritnya nelengking nyaring. Kebetulan sekali pada saat itu terdapat seorang manusia berada di atas tebing itu. Dia seorang pria yang usianya sekitar lima puluh tahun, pakaiannya sederhana sekali, hanya kain kuning
75
yang dilibat-libatkan di tubuhnya seperti pakaian pendeta atau pertapa, kakinya memakai sepatu kulit yang sederhana pula. Rambutnya yang panjang itu digelung ke atas dan diikat dengan kain putih. Tubuhnya seang saja. Wajahnya menunjukkan bahwa di waktu mudanya dia adalah seorang pria yang tampan dan wajah itu diliputi keteangan dan kedamaian, Mulutnya selalu tersungging senyuman dan sepasang matanya yang mencorong itupun mengeluarkan sinar lembut dan sabar. Melihat penampilannya, orang akan menduga bahwa dia tentu seong Tosu (pendeta To) perantau yang berpindah-pindah tempat pertapaannya. da Kekuasaan yang tidak tampak membuat Sin Cu siuman di saat itu dan menjerit dengan lengkingan nyaring sehingga terdengar oleh Tosu yang sedang berada di atas tebing. Kita akan menganggap semua itu sebagai suatu hal yang kebetulan saja. Justeru “kebetulan” itulah mujijat yang telah “diatur” oleh Kekuasaan Tuhan. Mendengar jerit tangis itu, Tosu tadi menengadah dan sepasang matanya terbelalak ketika dia melihat seekor burung Rajawali hitam terbang di atas tebing dan kedua kaki burung raksasa itu mencengkeram seorang anak kecil. “Siancai (damai)...!” Dia berseru dan tubuhnya bergerak cepat sekali, mendaki tebing yang amat curam itu dengan gerakan yang amat cekatan, tiada ubahnya seperti seekor monyet.
76
Sin Cu sudah pingsan lagi ketika Rajawati Hitam itu melayang turun dan hinggap di sarangnya yang besar, yang berada di puncak tebing. Kedua anaknya mengeluarkan bunyi cecowetan menyambut kedatangan sang induk dengan girang karena induk mereka membawa makanan yang lezat. Pada saat Rajawali hitam itu siap untuk mencabik-cabik tubuh Sin Cu dengan paruhnya yang kuat dan kedua cakar kakinya yang runcing, tiba-tiba terdengar suara bentakan melengking nyaring yang menggetarkan seluruh puncak tebing itu! Rajawali itu terkejut sekali sehingga ia mengurungkan niatnya untuk mencabik-cabik tubuh Sin Cu, lalu memutar lehernya menoleh dan memandang ke arah Tosu yang telah muncul di dekat puncak dengan marah. “Maaf, sobat Rajawali, kalau aku mengganggumu. Akan tetapi engkau tidak boleh makan manusia kecil itu. Carilah mangsa yang lain!” kata Tosu itu dan dia mendorongkan tangan kanannya ke arah sang Rajawali. Angin yang amat kuat bertiup menyambar ke arah burung Rajawali itu sehingga tubuh burung itu terdorong dengan kuatnya. Burung itu mengembangkan sayapnya lalu terbang untuk mernatahkan tenaga dorongan yang amat kuat. la menjadi marah karena mengira bahwa orang yang datang itu hendak merampas makanannya yang ia bawa untuk kedua
77
anaknya. la menukik dan membalik lalu menyerang Tosu itu dengan paruh dan kedua kakinya. “Maaf, sekali ini engkau harus mengalah!” Tosu itu berkata lagi dan menyambut serangan itu dengan dorongan tangan kanannya, kini dorongannya begitu kuatnya sehingga angin menyambar dahsyat memapaki terjangan burung Rajawali hitam. “Wuuut... bress...!!” Tubuh burung Rajawali itu terpental sampai jauh dan ia mengeluarkan pekik lalu terbang mengitari sarangnya seolah hendak melindungi kedua anaknya, akan tetapi jerih menghadapi Tosu ya memiliki pukulan jarak jauh yang ampuh itu, “Jangan khawatir, sobat Rajawali, aku tidak akan mengganggu anak-anakmu!” kata Tosu itu. Dia lalu memanjat batu mendekati sarang dan mengambil tubuh Sin Cu yang masih tergeletak pingsan di sarang itu. Dibawanya turun tubuh itu dan dibawanya masuk ke dalam sebuah guha kecil di sebelah bawah sarang Rajawali. Dari situ dia dapat melihat sarang itu dengan jelas. Akan tetapi dia tidak lagi memperhatikan burung Rajawali dan kedua anaknya karena dia sibuk memeriksa keadaan Wong Sin Cu, anak berusia tiga tahun yang masih pingsan itu. Setelah memeriksa pernapasan dan denyut jantung anak itu, si Tosu lalu menotok beberapa jalan darah di punggung dan mengurut urat di leher anak
78
itu. Sin Cu siuman dan membuka matanya. Dia segera terbelalak dan mulutnya berteriak, “Burung jahat” Tosu itu mengelus kepalanya. “Jangan takut, anak baik. Burung itu tidak akan mengganggumu lagi. Diamlah, pinto akan mengobati luka-luka di pundak dan pinggulmu.” Pundak dan pinggul Sin Cu memang luka karena tertusuk kuku Rajawali. Tosu itu membuka baju anak itu dan dia terbelalak kagum melihat rajah gambar naga di dada anak itu. Rajah gambar naga putih yang indah sekali dan seperti hidup ketika dada nak itu kembang kempis bernapas. “Naga.?” Dia bergumam. Akan tetapi dia segera dapat mengatasi kekaguman dan keheranannya melihat dada seorang anak kecil dirajah gambar naga. Dia menngeluarkan buntalan yang digendong di punggungnya dan membuka buntalan kain kuning dan mengeluarkan roti kering, sayur kering dan obat bubuk berwarna putih. Dia menaburkan obat bubuk itu ke atas luka di pundak dan pinggul Sin Cu. “Bagaimana rasanya, anak yang baik?”
79
“Rasanya dingin, kek. Engkau siapakah kek? Dan di mana ayah ibuku?” tanya wong Sin Cu. Tentu saja Tosu itu menjadi bingung mendengar pertanyaan ini. “Namaku Bu Beng Siauw-jin, akan tetapi kau sebut saja Suhu (guru). Dan siapakah namamu, Anak sekecil Wong Sin Cu tentu saja tidak mempanyai kesan apapun akan nama itu. Akan tetapi kalau orang dewasa mendengarnya, tentu akan merasa terheran-heran. Tosu itu memperkenalkan namanya sebagai Bu-beng Siauw-jin (Orang rendah Tanpa Nama): Mana ada orang yang menyebut diri sendiri siauw-jin (orang rendah) Biasanya, sebutan ini ditujukan kepada seorang yang rendah atau hina, bahkan digunakan sebagai makian kepada orang jahat dan tersesat. Akan tetapi Tosu itu mempergunakan sebutan yang buruk itu sebagai nama julukannya! Melihat anak itu sudah hilang rasa takutnya, Bu Beng Siauw jin lalu memberikan sepotong roti kering dan sepotong sayur kering kepada Sin Cu. Anak itu menerima makanan ini dan sambil makan roti dan sayur kering, dia menjawab, “Namaku Sin Cu.” “Engkau she (marga) apa?” tanya Bu Beng Siauw-jin. Sin Cu memandang dengan tidak mengerti.
80
“Apa itu marga? Aku tidak tahu, Kong-kong (kakek).” “Jangan sebut Kong-kong kepadaku, akan tetapi sebut saja Suhu. Engkau pantas menjadi muridku, Sin Cu, anak baik.” Karena sikap Bu Beng Siauw-jin yang ramah dan lembut, Sin Cu sudah hilang rasa takut dan canggungnya. “Di mana ayah dan ibuku, Suhu?” Tentu saja Tosu itu tidak tahu ke mana perginya ayah dan ibu anak ini. Dia bingung bagaimana harus menjawab. Akan tetapi untuk tidak membuat anak itu susah atau bingung, dia berkata, “Ayah dan ibumu sedang pergi. Nanti kita cari mereka, ya?” Sin Cu mengangguk. Agaknya anak itu terkenang akan saat-saat yang mengerikan, maka katanya, “Suhu, aku takut pada laut! Bu Beng Siauw-jin semakin terheran. Takut kepada laut? Akan tetapi dia yang tidak mengerti apa yang tersembunyi di balik pernyataan anak ini, tidak ingin membantah karena kalau dibantah tentu hanya akan membuat anak itu menjadi bingung. “Jangan takut, Sin Cu. Di sini tidak ada laut yang perlu ditakuti.”
81
“Aku juga takut kepada orang-orang jahat itu, Suhu.” Laut? Orang jahat? Anak ini tentu telah mengalami hal-hal yang hebat, pikir Bu Beng Siauw-jn. Tidak ada orang jahat di sini, Sin Cu. Kalau ada orang jahat, pin-to yang akan melindungimu dan mengusir orang-orang jahat itu. “Aku takut kepada burung jahat itu, Suhu.” “Burung itu tidak jahat, Sin Cu. ia tidak tahu bahwa engkau bukanlah makanan untuk anak-anaknya. Lihat, ia kini telah mendapat mangsa lain.” Tosu itu menuding ke arah sarang burung Rajawali. Sin Cu mengangkat mukanya memandang dan matanya yang kecil itu menunjukkan sikap ngeri melihat betapa Rajawali hitam tadi kini mencengkeram seekor kelenci. Kelenci itu diturunkan di atas sarang dan kini paruh dan cakar Rajawali hitam mulai mencabik-cabik kelinci itu. “Burung jahat...!” Sin Cu berseru dan menutupi mukanya dengan tangan. Hati anak kecil yang peka itu tidak tahan melihat kelenci itu berkelojotan ketika kulit dagingnya dicabik-cabik dan berdarah-darah. Bu Beng Siauw-jin menghela napas panjang dan berkata lirih, lebih kepada diri sendiri untuk menenteramkan hatinya yang juga terasa ngeri menyaksikan pemandangan itu, daripada bicara kepada Sin Cu.
82
“Sama sekali tidak jahat. Kelinci itu memang mangsanya, makanannya. Kalau ia pulang ke sarangnya tanpa membawa mangsa, anak-anaknya akan mati kelaparan.la menangkap mangsa dan memakannya karena memang itu makanannya, penyambung hidupnya. la tidak dapat makan buah-buahan atau daun-daunan seperti kera atau kerbau. la memang diciptakan dalam keadaan seperti itu. Tidak, Rajawali, Harimau, Srigala, Burung pemakan bangkai dan segala binatang pemakan daging mentah, sama sekali tidak kejam atau jahat. Keadaannya sejak lahir memang mengharuskan ia makan mangsa seperti itu, kalau tidak mereka akan mati kelaparan. Mereka tidak sejahat manusia yang makan segala macam bukan karena tuntutan perut melainkan tuntutan mulut yang penuh nafsu ingin makan enak.” Tentu saja Sin Cu tidak mengerti akan semua kata-kata itu, bahkan tidak memperhatikan, akan tetapi anak itu lalu bangkit dan mengambil beberapa buah batu. Dia melemparkan batu-batu itu ke arah sarang burung dan tiada hentinya mengatakan burung jahat! Tentu saja sambitan batu kecil itu tidak ada artinya bagi Rajawali dan anak-anaknya yang sedang makan daging kelenci dengan lahapnya. Melihat ini, Bu Beng Siauw-jin mengangguk-angguk dan wajahnya berseri gembira.
83
Dia melihat bahwa Sin Cu adalah seorang anak yang peka sekali perasaannya, mudah terharu dan mudah bangkit rasa ibanya,tidak tega melihat kekejaman, akan tetapi juga berwatak gagah sehingga untuk membela kelenci yang menjadi korban itu dia lupa akan rasa takutnya dan berani menyerang Rajawali hitam dengan sambitan batu. Bagus, anak ini memiliki dasar watak yang baik dan memang pantas menjadi muridnya pantas mewarisi ilmu-ilmu yang pernah dia pelajari selama bertahun-tahun. Selain memiliki dasar watak yang baik, Sin Cu ternyata merupakan seorang anak yang tahan menderita. Dia seolah telah melupakan luka-luka di pundak dan pinggulnya, pada hal, biarpun sudah diberi obat yang manjur, tentu luka-luka itu masih terasa pedih dan kaku. Melihat anak itu tampaknya sudah kuat, Bu Beng Siauw-jin lalu memegang tangan Sin Cu dan berkata, “Sin Cu, marilah kita pergi dari sini.” “Ke mana, Suhu? Pergi mencari ayah dan ibu?” “Ya, benar. Kita pergi mencari ayah dan ibumu. Tahukah engkau, siapa nama ayahmu?” Sin Cu mengangguk. Biarpun suaranya masih agak cadel, namun dia dapat menyebut nama ayahnya dengan jelas,
84
“Ayah bernama Wong Cin.” “Di mana tinggalnya?” “Tinggalnya... di perahu. Ah perahu dan laut jahat, aku takut, Suhu.” “Apa yang terjadi? Dapatkah engkau menceritakan padaku?” Sih Cu menggeleng kepala dan wajahnya membayangkan ketakutan sehingga Bu Beng Siauw-jin tidak mendesak lagi. Dia memondong anak itu dan membawanya menuruni tebing itu. “Sudahlah, kalau tidak tahu juga tidak mengapa. Kita cari ayah ibumu.” Bu Beng Siauw-jin adalah seorang pertapa yang memiliki kesaktian tinggi. Ketika menuruni tebing, dia menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan dia bergerak cepat bukan main, berloncatan dari batu ke batu yang runcing dan tajam, berlari cepat bagaikan terbang saja. Sin Cu seperti hilang rasa nyerinya. Anak itu tertawa-tawa senang “Suhu, kita terbang... Kita terbang...!” katanya dengan gembira. Kita tidak terbang melainkan berlari cepat dan berlompatan, Sin Cu. Kalau tadi memang benar engkau dibawa terbang oleh burung Rajawali hitam.”
85
“Ihh, dibawa terbang burung jahat itu menakutkan, Suhu. Kalau terbang dengan Suhu menyenangkan,” kata Sin Cu. Bu Beng Siauw-jin mengajak Sin Cu berkeliling mengunjungi dusun-dusun yang berada di sekitar daerah itu. Di setiap dusun dia berhenti dan bertanya-tanya apakah ada orang yang mengenal ayah anak itu bernama Wong Cin. Kini dia tahu bahwa nama lengkap anak itu adalah Wong Sin Cu. Akan tetapi sampai berhari-hari dia berkeliling dari dusun ke dusun, tidak ada orang yang mengenal Wong Sin Cu maupun mendengar tentang ayah anak itu yang bernama Wong Cin, Tosu itu lalu teringat akan kata-kata Sin Cu yang bicara tentang perahu dan laut Tentu anak itu pernah naik perahu di laut, pikirnya. Maka dia lalu mengajak Sin Cu menuju ke timur. Laut Timur tidak jauh dari pedusunan yang dikunjunginya itu. Bahkan tempat di mana dia menemukan Sin Cu, di puncak tebing itupun merupakan tepi laut. Kini dia pergi ke tepi laut di sebelah bawah tebing. Dia menyusuri tepi laut untuk melakun penyelidikan. Akan tetapi tepi laut bagian itu sepi dari pedusuran sehingga dia tidak dapat meñemukan apa-apa. Setelah jauh dari daerah itu, barulah dia menemukan, akan tetapi di sinipun tidak ada orang yang mengenal Sin Cu tidak ada orang yang pernah mendengar akan nama wong cin.
86
Telah kurang lebih tiga bulan lamanya Bu Beng Siauw-jin membawa Sin Cu berkeliing ke banyak kota dan dusun mencari orang tua anak itu, akan tetapi sermua usahanya sia-sia. Tidak ada orang mengenal Wong Cin. Pada suatu pagi, kakek itu duduk di tepi pantai berpasir, memandang ke arah laut dan termenung. Sungguh suatu pertemuan yang ajaib sekali. Dia menemukan Sin Cu digondol burung Rajawali hitam, hampir saja menjadi mangsa burung itu dan anak-anaknya. Dan Sin Cu, bocah berusia tiga tahun itu mempunyai rajah gambar naga putih didadanya. Bicara tentang perahu dan lautan dan orang-orang jahat, akan tetapi tidak dapat menceritakan dengan jelas apa yang telah dia alami. Tidak diketahui asal usulnya dan mencari orang tua anak itupun sampai tiga bulan Sama sekali tidak ada hasilnya,Seolah-olah anak itu dikirim oleh para dewa ke tangannya! “Suhu, di mana ayah ibu? Kenapa kita tidak bertemu dengan ayah dan ibu?” tiba tiba Sin Cu yang duduk di atas pasir, di sebelah kirinya, bertanya sambil menyentuh tangan Bu Beng Siauw-jin. Bu Beng Siauw-jin mengelus rambut kepala Sin Cu. “Sin Cu, anak yang baik. Agaknya ayah ibumu pergi jauh sekali dan sampai sekarang belum kembali. Karena itu engkau sekarang ikut saja dengan aku sambil menanti kembalinya ayah ibumu. Engkau
87
mau ikut dengan aku, bukan?” Sin Cu berdiri dan merangkul Bu Ben Siauw-jin, “Aku mau, Suhu, Suhu baik.” Bu Beng Siauw-jin tertawa bergelak lalu memondong tubuh anak itu. Dia merasakan suatu perasaan gembira yang selama ini belum pernah dia rasakan. Sudah lebih dari dua puluh tahun dia hidup sebatang kara tanpa keluarga, merantau di seluruh negeri, tenggelam ke dalam kesunyian, dan lupa bagaimana rasanya gembira dan berduka. Akan tetapi, setelah bertemu Sin Cu ada sesuatu yang terasa olehnya, suatu yang mengusik hatinya dan mendengar Sin Cu suka ikut dengannya dan menganggapnya baik, entah mengapa dia merasa gembira bukan main. Perasaan yang sudah puluhan tahun tidak pernah dirasakannya. Sambil tertawa-tawa, Bu Beng Siauw-jin yang memondong tubuh Sin Cu lalu lari dengan kecepatan luar biasa meninggalkan pantai itu, menuju ke barat. Karena dia mengerahkan ilmunya ketika berlari, maka dia seperti terbang saja. Sin Cu berteriak-teriak kegirangan ketika dibawa lari secepat terbang itu. Sebentar saja, tubuh mereka hanya tampak sebagai setitik warna kuning jubah kakek itu dan tak lama kemudian titik itupun lenyap.
88
Pantai berpasir itu ditinggalkan dalam kesunyian dan yang terdengar hanya air laut mendesis-desis seperti mendidih ketika menjilat pantai pasir. Perahu itu terapung-apung di tengah lautan, semakin menjauh dari pantai daratan,terbawa ombak. Tan Song Bu yang takut menangis menjerit-jerit melihat Sin Cu disambar dan digondol burung besar, kini rebah pingsan di atas perahu saking lelahnya. Tiba-tiba tampak dua buah sirip meluncur mendekati perahu kecil di mana Song Bu rebah pingsan itu. Sirip dua ekor ikan hiu yang besar! Moncong kedua ekor ikan hiu itu menyentuh-nyentuh perahu yang terdorong ke sana sini dan menjadi bergoyang goyang. Kalau perahu kecil itu sampai terbalik, atau tubuh anak yang pingsan itu sampai terlontar keluar perahu, tentu tubuh anak kecil ítu akan diperebutkan dua ekor ikan hiu yang buas dan agaknya kelaparan itu, akan dicabik-cabik sampai menjadi bebrapa potong! Karena berada dalam keadaan pingsan Song Bu tidak sadar walaupun tubuhnya bergulingan ke kanan kiri dalam perahu karena perahunya terdorong ke sana kemari. Bahkan ada kalanya tubuhnya menggeding ke tepi perahu dan hampir saja keluar dari perahu. Song Bu berada dalam ancaman maut yang gawat dan mengerikan sekali. Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Song Bu itu, tiba-tiba datng sebuah perahu
89
yang meluncur cepat sekali ke tempat itu. Seorang pria tinggi besar yang mendayung perahu itu melihat tubuh anak kecil yang berada di dalam perahu yang didorong-dorong oleh moncong dua ekor ikan hiu itu. “Ikan keparat” Dia mendesis marah, tagan kirinya mencabut sebatang pisau belati yang mengkilat dan sekali dia mengayunkan tangan kirinya, sinar kilat meluncur dan pisau itu dengan tepat sekali menancap tepat di tengah-tengah kepala seekor ikan hiu. Pisau itu menancap sampai ke gagangnya, padahal panjangnya tidak kurang dari dua puluhan sentimeter. Tentu saja pisau itu menembus memasuki otak ikan hiu itu yang meluncur sampai jauh lalu meronta ronta sebenr. Tak lama kemudian tubuh ikan hiu itu terapung dengan perut di atas, mati. Ikan hiu ke dua agaknya tidak menyadari akan hal ini dan masih menyundul-nyundul perahu kecil di mana Song Bu tergeletak Pria itu mendayung perahunya mendekat kemudian dia menggunakan kedua tangan mengangkat dayungnya dan sekali mengayun dayung itu, dayung menyambar kearah kepala ikan hiu ke dua. “Brakkk...!” Kepala ikan hiu itu pecah terpukul dayung yang ternyata terbuat dari pada baja itu. Ikan ini tidak sempat meronta lagi. Kepalanya pecah berantakan dan ikan itu tewas seketika! Dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga yang menggerakkan
90
dayung baja itu sehingga sekali pukul saja dapat membuat kepala seekor ikan hiu besar pecah berantakan! Pria itu mendekatkan perahunya ke perahu kecil itu dengan dayungnya sehingga tidak bergerak menjauh. Alisnya yang tebal menghitam itu berkerut ketika dia melihat tubuh anak kecil yang tidak bergerak dengan wajah pucat itu. Sejenak timbul dugaan dalam hatinya apakah anak itu sudah mati. Akan tetapi pandang matanya yang tajam dapat menangkap denyut di leher anak itu, juga pernapasannya yang lemah. Pria itu tiba-tiba mengangkat dayung bajanya dan dipukulkan pada perahu kecil! “Dukk!” Terjadilah keanehan. Agaknya pemukulan itu dilakukan dengan tenaga yang sudah terkendali dengan baik. Akibatnya tubuh Song Bu mencelat ke atas, ke arah perahu orang itu! Dengan tangan kirinya, pria itu menyambar tubuh Song Bu, menangkapnya lalu meletakkannya di dalam perahu, di depan kakinya. Diapun mulai memeriksa, meraba dada dan lehęr anak itu. Lemah, dan mengalami guncangan hebat, pikirnya. Dia menggunakan jari tangan kirinya untuk menotok pundak dan mengurut punggung. Song Bu mengeluh lirih dan membuka kedua matanya, akan tetapi lalu dipejamkannya kembali. Pria itu meraba dada Song Bu. Denyut jantungnya amat lemah. Dia lalu membuka baju Song Bu
91
dan dia terbelalak melihat rajah gambar naga hitam yang amat indah dan seperti hidup itu. “Hemm, Naga Hitam...?” Gumamnya, kagum sejenak. Akan tetapi dia lalu menempelkan telapak tangan kirinya di dada Song Bu,menyalurkan tenaga saktinya untuk membantu bekerjanya jantung dan kelancaran jalan darah anak itu. Beberapa menit kemudian wajah Song Bu sudah tampak merah dan anak itu kembali siuman, mengeluh dan membuka matanya. Pria itu sudah mengangkat tangannya dan menutupkan kembali baju Song Bu. Melihat pria itu, Song Bu segera bangkit, menatap wajah pria itu penuh selidik. “Apakah engkau orang jahat?” tanyanya. agaknya teringat akan orang-orang yang rnengeroyok ayah ibunya Pria itu tertegun, kemudian tertawa bergelak. Tawanya bebas lepas dan seperti bergemuruh di permukaan air laut itu. Pria itu sesungguhnya bukan orang sembarangan. Dunia kang-ouw (sungai, telaga, persilatan) sudah mengenal nama besarnya sebagai seorang datuk persilatan yang disegani dan ditakuti, terutama di wilayah timur dan di sepanjang pantai Laut Timur. Namanya adalah Ouw Yang Lee, akan tetapi dia lebih terkenal dengan julukannya, yaitu Tung-Hai-Tok (Racun Laut Timur).
92
Diapun terkenal sebagai majikan dari Pulau Naga, sebuah pulau di lautan timur yang tidak berapa besar akan tetapi memiliki tanah yang subur. Di pulau itu terdapat perbukitan yang memanjang sehingga kalau pulau itu tampak dari jauh, bentuknya seperti seekor naga karena bentuk inilah maka pulau itu dinamakan Pulau Naga. Ouw Yang Lee atau Tung-Hai-Tok tinggal di pulau yang sudah diakui sebagai miliknya itu bersama dua orang istrinya. Dari mereka dia memperoleh dua rang anak, kesemuanya perempuan. Yang satu berusia satu tahun dan yang lain baru berusia dua bulan. Selain dua isteri dan dua anaknya, di rumahnya yang berbentuk gedung besar itu tinggal pula beberapa orang pelayan. Dan di bagian belakang gedung terdapat rumah-rumah pondok yang menjadi tempat tinggal para anak buahnya yang berjumlah tidak kurang dari lima puluh orang. Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee terkenal sebagai seorang datuk yang seperti juga para datuk persilatan lainnya, berwatak aneh sekali. Sukar untuk menilai apakah dia orang yang berhati baik atau jahat. Kadang dia dapat melakukan perbuatan yang baik sekali, dan kadang dia dapat pula bertindak keras dan kejam. Terutama sekali dia terkenal keras hati dan keras kepala, tidak mau tunduk kepada siapapun juga. Dan dia terkenal sekali karena kesaktiannya. Dia meliki tenaga sakti yang amat kuat dan dia terkenal sebagai ahli
93
racun sehingga mendapat julukan Racun Laut Timur. Senjanya äda dua macam, yaitu dayung baja yang biasa dipergunakan untuk mendayung perahu, dan sebatang pedang yang jarang dia pergunakan karena sekali pedang itu dicabut, harus ada orang yang tewas menjadi korban! Sebagai seorang majikan Pulau Naga, diapun terkenal kaya raya dan ada cerita tersiar di dunia kang-ouw bahwa tokoh ini pernah menemukan harta karun dari perahu kuno yang tenggelam, kemudian dapat diangkatnya dan harta karun yang berada dalam perahu menjadi miliknya. Akan tetapi ada pula yang mengabarkan bahwa anak buah Pulau Naga suka melakukan penghadangan terhadap perahu-perahu besar yang membawa barang-barang para saudagar dan merampoknya atau setidaknya rnenuntut semacam upeti. Mendengar pertanyaan dari Song Bu apakah dia seorang jahat, Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee tertawa bergelak. Dia merasa lucu sekali, Ketika melihat anak laki-laki yang tampan dan bertulang besar ini, apa lagi melihat rajah gambar naga hitam di dadanya, sudah timbul rasa suka di hatinya. Dia tidak mempunyai anak laki-laki yang sudah lama didambakannya, dan anak laki-laki yang ditemukannya ini merupakan anak yang istimewa dan aneh.
94
“Ha-ha-ha, engkau boleh menyebut aku orang jahat atau orang baik, sama saja.Akan tetapi bagaimana engkau dapat berada di perahu ini seorang diri? Siapakah namamu?” “Namaku Song Bu.” “Siapa nama ayahmu?” Ayah bernama Tan Hok.” “Di mana sekarang ayah ibumu?” “Ayah dan ibu dipukuli orang-orang jahat, Song Bu terisak, Paman bawalah aku kepada ayah dan ibu...” “Hemm, bagaimana engkau bisa berada di pulau kecil itu seorang diri? Apa yang telah terjadi?” Ditanya demikian, Tan Song Bu yang baru berusia tiga tahun itu menjadi bingung dan tidak dapat menjawab. Ouw Yang Lee juga tidak bertanya lebih jauh. Anak ini bernama Tan Song Bu. Ayah dan ibunya entah berada di mana. Dia tidak perduli. Dia telah menemukan anak ini dan menyelamatkan dari ancaman bahaya maut di moncong ikan ikan hiu. Dia berhak atas anak ini. “Song Bu, mulai sekarang engkau ikut denganku.”
95
“Akan tetapi aku mau ikut ayah dan ibu.” “Nanti kita cari atau kita tunggu ayahmu datang. Sekarang mari ikut aku dan engkau akan kujadikan muridku. Sebut aku. Suhu!” Song Bu adalah seorang anak yang tabah dan keras hati. Juga dia cerdik. Dia takut ditinggal sendiri di perahu dan orang ini pasti bukan orang jahat. Buktinya tidak mengganggunya. Maka diapun menurut. “Suhu…!!” katanya tanpa mengetahui apa artinya sebutan guru itu. Ouw Yang Lee menjadi girang sekali. “Song Bu, mari kita pulang. Engkau akan kuperkenalkan kepada dua orang subo-mu (ibu gurumu) dan kedua orang sumoi-mu (adik perempuan seperguruan).” Setelah berkata demikian, datuk ini menggerakkan dayung bajanya dan perahu itu meluncur dengan amat cepatnya, seperti anak panah terlepas dari busurnya, menuju ke Pulau Naga yang sudah tampak dari situ. Setelah tiba di perairan Pulau Naga, disitu terdapat banyak perahu. Perahu-perahu itu milik anak buah Pulau Naga yang bertugas mencari ikan. Para anak buah Pulau Naga itu setiap hari bekerja, ada yang mencari ikan dan ada pula yang bercocok tanam dipulau. Kalau ada berita angin bahwa anak buah Pulau Naga suka membajak kapal-kapal dagang, hal itu sebenarnya tidak tepat benar. Yang
96
benar, di daerah perairan itu memang terdapat banyak bajak laut, baik bajak laut bangsa sendiri maupun bajak-bajak laut dari jepang. Akan tetapi pengaruh Pulau Naga sedemikian besarnya sehingga tidak ada bajak laut yang berani melakukan pekerjaannya yang jahat di sekitar daerah Pulau Naga. Karena jasa pengaruh Pulau Naga inilah maka semua perahu yang lewat didaerah itu, dengan sula rela memberi sumbangan atau hadiah kepada majikan Pulau Naga melalui anak buahnya, tentu saja dengan jaminan bahwa pihak Pulau Naga akan menentang apabila terjadi pembajakan teradap perahu-perahu dagang itu. Jadi, pada hakekatnya Pulau Naga hanya memungut sekadar “uang jasa” dan sama sekali tidak pernah melakukan pembajakan. Hal ini merupakan larangan keras dari Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee yang menjaga nama besarnya sebagai datuk timur. Kalau dia membiarkan anak buahnya membajak atau merampok, tentu nama dan kehormatannya akan ternoda. Melihat perahu kecil yang di dayung Ouw Yang Lee, para anak buah dalam perahu-perahu itu cepat berdiri dan memeri hormat kepada ketua mereka. Mereka begitu merasa terheran-heran melihat ketua mereka berada dalam perahu bersama seorang anak laki-laki kecil yang tidak mereka kenal. Akan tetapi tentu saja tidak ada yang berani bertanya. Ketua mereka adalah seorang
97
yang berwatak aneh dan keras. Dua orang isterinya yang menggendong anak masing-masing menyambut kedatangan Ouw Yang Lee dengan senyum manis. akan tetapi mereka juga terheran-heran melihat suami mereka pulang membawa seorang anak laki-laki yang tidak mereka kenal. Setelah Ouw Yang Lee duduk dan disuguhi minuman air teh, dia menyuruh Song Bu duduk pula di atas sebuah kursi di sebelahnya. Isteri pertamanya lalu bertanya, “Suamiku, siapakah anak ini dan mengapa dia ikut bersamamu? Di mana orang tuanya?” “Anak ini bernama Tan Song Bu, ayahnya bernama Tan Hok akan tetapi dia tidak tahu ke mana perginya ayah dan ibunya. Melihat dia sebatangkara dan terapung-apung di atas lautan, aku lalu menolong dan mengajaknya kesini. Aku mengambilnya sebagai muridku. Hayo Song Bu beri hormat kepada kedua orang wanita ini Engkau sebut yang ini sebagai Toa-subo (ibu guru tertua) dan yang ini Ji-subo (ibu guru ke dua).” Song Bu yang masih kecil itu telah mendapat pendidikan yang patut dari mendiang ayah ibunya. Dia sudah mengerti akan tata-susila umum dan mendengar perintah Suhunya itu, dia lalu turun dari atas kursi mengampiri dua orang wanita itu dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk.
98
“Toa-subo.” katanya sambil memberi hormat kepada isteri tertua gurunya, kemudian hormat kepada isteri ke dua Suhunya. “Ji-subo” Dia beralih memberi hormat. Melihat anak kecil yang tampan itu dan melihat pula betapa anak sekecil itu telah dapat memberi penghormatan dengan baik dua orang isteri itu tersenyum senang. Kalau saja anak laki-laki itu merupakan anak tiri, mungkin sekali mereka akan merasa tidak suka kepada Song Bu. Akan tetapi mendengar bahwa anak itu ditinggal orang tuanya dan kini menjadi murid suaminya, mereka merasa suka. “Song Bu, ini adalah sumoi-mu (adik perempuan seperguruanmu) Ouw Yang Lan, kelak ajaklah ia bermain-main.” Isteri pertama Ouw Yang Lee memperkenalkan anak perempuannya yang berusia setahun, anak yang mungil dan lucu, yang tersenyum-senyum memandang kepada Song Bu. “Dan ini adalah sumoi-mu Ouw Yang Hui. Sayangilah ia, Song Bu.” kata isteri kedua sambil memperlihatkan anak perempuannya yang baru berusia dua bulan, Anak inipun sudah tampak mungil dan cantik biarpun masih bayi. Song Bu memandangi dua orang anak dengan wajah berseri. Dia merasa senang memperoleh dua orang adik. Ketika masih bersama ibunya dulu, dia sering merengek kepada ibunya minta diberi seorang adik!
99
Karena sikap Ouw Yang Lee dan kedua orang isterinya amat ramah dan baik kepadanya, Song Bu merasa senang tinggal di Pulau Naga. Dalam beberapa bulan pertama, dia memang seringkali menanyakan ayah dan ibunya kepada keluarga itu. Akan tetapi selalu dijawab bahwa ayah ibunya pergi jauh dan belum kembali. Akhirnya, lambat laun Song Bu dapat melupakan ayah ibunya. Mula-mula pertanyaannya tentang ayah ibunya semakin jarang dia ajukan dan beberapa bulan kemudian, anak ini sudah lupa akan ayah bundanya dan dia merasa dirinya sudah tergabung menjadi anggaura keluarga Ouw Yang. Song Bu berangkat besar di dalam keluarga ini dan karena tumbuh bersama dan diperlakukan dengan baik oleh semua keluarga itu, Song Bu juga merasa sayang kepada mereka. Terutama kepada Ouw Yang Lan dan Ouw Yang Hui, dia menganggap mereka seperti adik-adik sendiri dan dia suka mengajak mereka bermain-main. Kasih sayang merupakan perasaan yang paling murni dan amat kuat dari manusia, Bahkan sering terjadi watak yang amat keras dan jahat sekalipun, akan mencair oleh kasih sayang. Kasih sayang mengandung getaran yang amat kuat. Kasih sayang yang tulus menghilangkan pementingan diri sendiri dan tercermin dalam segala tindakan, suara, tatapan mata dan air
100
muka orang yang menyayangnya sehingga orang yang disayangnya terdorong untuk bersikap baik dan membalas kasih sayang itu. Kasih sayang murni tidak mengandung pamrih untuk kesenangan dan kepentingan diri pribadi. Kalau kasih sayang mengandung pamrih menyenangkan diri sendiri, maka itu adalah nafsu, karena sifat nafsu selalu berdalih mementingkan diri sendiri. Karena mendapatkan kasih sayang seperti itu. terutama sekali dari kedua orang Nyonya Ouw Yang dan kedua orang putri mereka, Song Bu tumbuh besar dalam keluarga itu dengan perasaan sayang pula kepada keluarga Ouw Yang. Perasaan sayang yang menimbulkan kesetiaan dan kepatuhan. Ouw Yang Lee, yang pada dasarnya berwatak aneh dan kasar, selalu menuruti nafsu-nafsunya, juga merasa sayang kepada Song Bu. Akan tetapi rasa sayang dari seorang datuk setengah sesat seperti Ouw Yang Lee ini tentu saja berpamrih. Pertama, karena Song Bu merupakan anak yang tampan dan penurut sehingga menyenangkan, dan ke dua, dia mempunyai harapan agar kelak Song Bu menjadi muridnya yang baik dan boleh diandalkan sehingga dapat mengangkat tinggi-tinggi nama gurunya! Ouw Yang Lee sengaja mendatangkan seorang guru sastra dari daratan dan dengan bayaran tinggi, guru sastra itu tinggal di Pulau Naga. Sejak berusia lima tahun, Song Bu sudah mulai belajar membaca
101
dan menulis. Beberapa tahun kemudian, setelah dia pandai membaca, dia bahkan mulai diajar membaca kitab-kitab suci Agama To, Agama Khong-hu-cu dan Agama Budha yang dianut oleh kebanyakan rakyat di waktu itu. Tidak hanya membaca kitab-kitab suci tiga agama itu, bahkan dią diharuskan menghafal ayat-ayat sucinya. Tentu saja seorang anak berusia tujuh delapan tahun tidak mungkin dapat menghayati segala macam ujar-ujar kitab suci. Hafalan di luar kepala itu membuat semua ayat itu hanya menjadi semacam kalimat yang tidak berarti sama sekali. Sama saja seperti burung kakatua yang pandai menirukan bahasa manusia. Kebiasaan seperti ini, yaitu menghafalkan semua pelajaran tentang kebajikan yang dijejalkan ke dalam hati akal pikiran manusia, masih dilakukan orang sampai hari ini. Setiap orang mermpelajari ayat-ayat dalam kitab suci berbagai agama, menghafalkan di luar kepala. Akan tetapi sungguh sayang, menghafal semua pelajaran tentang kebaikan itu ternyata tidak dapat membuat manusia menjadi baik, atau kalaupun ada yang berhasil, sedikit sekali atau langka. Mengapa semua pelajaran tentang kebaikan itu tidak dapat melekat ke dalam jiwa dan tidak dihayati?
102
Kenyataan ini membuktikan bahwa sesungguhnya kebaikan itu tidak dapat dipelajari. Orang tidak mungkin dapat belar menjadi baik! Baik itu adalah suatu sifat yang keluar dari dalam diri, cahaya jiwa bersih yang memancar keluar melalui sikap dan perbuatan. Kebaikan yang dipelajari dan dihafalkan hanya menimbulkan kemunafikan. Seperti wajah setan bertopeng wajah malaekat. Karena kebaikan yang disengaja itu bukan kebaikan lagi namanya. di situ sudah pasti tersembunyi pamrih sebagai dasarnya. Dan semua pamrih itu timbul dari nafsu dan pasti tidak dapat disebut kebajikan. Seperti minyak wangi yang dituangkan kepada sesuatu yang busuk, hanya membungkus kebusukan dengan wewangian. Berbeda dengan keharuman bunga, karena keharuman ini adalah keharuman yang wajar, yang menjadi sifat dari bunga itu. Kebajikan yang murni dilakukan orang tanpa si pelaku merasakan bahwa perbuatannya itu baik, melainkan dirasakan sebagai suatu kewajaran, atau bahkan suatu kewajiban. Mempelajari sesuatu, dalam hal ini mempelajari kebaikan, hanya akan menghasilkan pengetahuan belaka. Dan pengetahuan ini tidak akan mampu membendung terjangan nafsu yang selalu berusaha menguasai hati akal pikiran. Padahal pengetahuan itu bersarang dalam hati akal pikiran. Pengetahuan tidak akan mampu membuat kita menjadi baik, atau menjadi penuntun sehingga kita menjadi
103
manusia yang baik, bukan harmba nafsu. Hal ini terbukti dengan kenyataan yang ada di sekitar kita. Kalau kita bertanya kepada ribuan pencuri, apakah mereka itu tidak tahu bahwa perbuatan mencuri itu adalah jahat dan tidak baik? Semua pencuri, tidak terkecuali, tentu TAHU akan hal ini. Tahu benar. Demikian pula kalau kita bertanya kepada seluruh koruptor di dunia ini, tentu mereka itu tahu benar, lebih tahu dari kita bahwa perbuatan korupsi itu jahat dan tidak baik. Akan tetapi mengapa mereka semua itu masih saja mencuri, masih saja berkorupsi? Semua penjahat tahu belaka bahwa kelakuan mereka itu jahat dan tidak baik, mengapa mereka masih saja melakukan perbuatan jahatnya? Mengapa? Karena alat kita untuk mengetahui yaitu hati akal pikiran kita, sejak kita kecil sudah mulai disusupi nafsu-nafsu kita, daya-daya rendah nafsu yang berebutan untuk menguasai hati akal pikiran kita. Hati akal pikiran kita sudah dicengkeram oleh nafsu-nafsu kita sendiri sehingga tidak berdaya untuk melepaskan diri. Coba dengar bisikan hati akai pikiran seorang koruptor yang tahu benar bahwa perbuatannya korupsi itu jahat. Begini bisikan hati akal pikiran itu, “Ah, korupsi yang kulakukan ini kan tidak seberapa? Semua orang melakukannya! Aku terpaksa melakukannya, karena gajiku tidak
104
mencukupi kebutuhan hidup, karena aku harus membayar ini itu untuk anak isteriku, keluargaku” Nah, dengan keadaan hati akal pikiran dalam kekuasaan naísu seperti itu, bagaimana mungkin kita dapat belajar menjadi baik? Pelajaran semua ayat-ayat suci hanya menjadi hafalan belaka, mengambang tanpa isi, seperti api yang sudah padam hanya meninggalkan asap dan abunya saja. Lalu apa yang harus kita lakukan untuk menanggulangi daya kekuasaan nafsu kita sendiri? Apapun yang kita lakukan, kita masih berputar-putar dalam ruangan yang di bentuk nafsu Karena itu, jangan lakukan apa-apa! Karena apapun yang kita lakukan, masih berada dalam tuntunan nafsu! Makin kita berusaha untuk melemahkan nafsu, akan menjadi makin besarlah nafsu. Lalu bagaimana, apakah yang kita dapat lakukan untuk mengendalikan nafsu-nafsu kita sendiri? Kita tidak dapat melakukan sesuatu Yang dapat mengendalikan nafsu hanyalah Kekuasaan Tuhan! Tuhan yang menganugerahi kita dengan penyertaan nafsu dalan kehidupan ini, karena itu hanya Kekuasaa Tuhan yang akan dapat mengembalikan nafsu-nafsu kita kepada fungsinya semula yaitu menjadi peserta dan pembantu kita menjadi hamba kita. Kita hanya dapat MENYERAH, menyerah kepada Tuhan dengan sepenuh dan sebulat lahir batin kità menyerah dengan penuh kepasrahan, keikhlasan,
105
ketawakalan dan sepenuh iman. Dengan penyerahan, tanpa keinginan karena keinginan inipun ulah nafsu, maka Kekuasaan Tuhan akan bekerja dalam diri kita dan barulah nafsu-nafsu itu dapat ditundukkan dan dikembalikan kedudukannya menjadi bamba kita, tidak lagi menjadi penguasa yang memperhamba kita. Sang waktu meluncur dengan amat cepatnya bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Hal ini terjadi kalau kita tidak memperhatikannya. Bertahun-tahun lewat bagaikan berhari-hari saja rasanya. Akan tetapi kalau kita memperhatikan jalannya waktu, maka berhari-hari terasa bertahun-tahun. Tanpa terasa tujuh tahun telah terlewat sejak Song Bu berada di Pulau Naga. Dia bukan saja menjadi murid Ouw Yang Lee, mempelajari ilmu silat dari Ouw Yang Lee dan ilmu sastra dari guru sastra, akan tetapi juga dia seolah menjadi anak pungut dari datuk itu. Dia dimanjakan seperti anak sendiri dan tidak pernah disuruh bekerja berat seperti para anggauta Pulau Naga dan keluarga mereka. Song Bu menjadi manja dan tumbuh sifat congkak dalam dirinya karena merasa dibela. Pembelaan Ouw Yang Lee terhadap dirinya memang agak berkelebihan. Pernah terjadi seorang anggauta Pulau Naga yang merasa iri melihat anak pungut itu dimanjakan, bersikap kasar
106
kepada Song Bu. Ketika Song Bu mengadu kepada gurunya, anggauta itu lalu dihajar oleh Ouw Yang Lee di depan para anggauta lain. Hal ini selain membuat para anggauta Pulau Naga merasa segan dan tidak suka kepada Song Bu, juga membuat anak ini dihinggapi perasaan manja dan congkak. Pada suatu senja, Song Bu yang sudah berusia sepuluh tahun berada di taman bersama Ouw Yang Lan yang berusia delapan tahun dan Ouw Yang Hui yang berusia tujuh tahun. Tan Song Bu kini telah-menjadi seorang anak laki-laki yang bertubuh besar dan sehat, biarpun baru berusia sepuluh tahun namun tubuhnya tampak kuat dan gesit berkat penggemblengan Ouw Yang Lee kepadanya sejak dia berusia enam tahun. Dasar dasar ilmu silat yang baik telah dikuasainya sehingga kaki tangannya menjadi kokoh kuat. Wajahnya juga tampak tampan dan gagah. Kedua orang anak perempuan yang dianggap adik-adiknya sendiri akan tetapi yang disebut sumoi (adik perempuan seperuruan) olehnya, juga tampak mungil dan cantik, dengan gerakan tubuh yang gesit karena sejak berusia enam tahun merekapun sudah digembleng oleh ayah mereka. Ouw Yang Lan tampak cerewet, manis dan genit, tawanya bebas dan wataknya lincah gembira. Sebaliknya Ouw Yang Hui tampak jelita namun pendiam dan gerak geriknya halus walaupun ia juga sudah
107
mempelajari dasar langkah-langkah dalam gerakan silat seperti kakaknya. Pada senja hari itu mereka bertiga bermain-main dalam taman bunga yang luas dan indah di pulau itu sambil berlatih mengatur langkah-langkah gerakan silat. Dua orang anak perempuan itu baru mempelajari pemasangan kuda-kuda yang benar dan kokoh, lalu menggerakkan kedua kaki membuat langkah-langkah menurut garis-garis pat-kwa (segi delapan) seperti yang diajarkan, ayah mereka. Langkah-langkah Pat-kwa-kun (Silat Segi Delapan) ini tidaklah mudah. Walaupun hanya langkah-langkah saja tanpa gerakan kedua tagan, namun amat banyak perubahan dan perkembangannya sehingga terasa sukar bagi Ouw Yang Lan dan Ouw Yang Hui. Akan tetapi dengan sabar dan tekun Song Bu memberi petunjuk kepada kedua orang sumoinya dan menyuruh mereka membuat langkah-langkah yang paling sederhana dulu. Karena kedua orang anak perempuan itu sering membuat kekeliruan, maka Song Bu minta kepada mereka untuk mengulang dan mengulang kembali. “Bu-suheng (kakak seperguruan Bu), aku lelah, kedua kaki sudah terasa kaku dan ngilu.” Ouw Yang Hui mengeluh sambil membungkuk dan memijati kedua kakinya dengan tangan.
108
“Ah, kita berlatih sebentar lagi, Hui-moi (adik perempuan Hui)” kata Ouw Yang Lan. “Mari, Su-heng, kita ulangi lagi langkah-langkah permulaan. Hayo, adik Hui, kalau kita tidak tekun berlatih, bagaimana bisa memperoleh kemajuan?” Mendengar ucapan kakak perempuannya, Ouw Yang Hui memaksa diri untuk memasang kuda-kuda lagi dan mengikuti gerakan Song Bu dan Ouw Yang Lan membuat langkah-langkah Pat-kwa. Pada saat itu muncul seorang wanita setengah tua, pelayan keluarga itu. “Nona Lan dan Nona Hui, nona berdua disuruh masuk oleh Nyonya. Hari telah mulai gelap dan nona berdua belum mandi,” kata pelayan itu. “Nanti dulu, apakah engkau tidak melihat bahwa kami sedang sibuk? Pergi dan jangan ganggu kami lagi!” bentak Ouw Yang Lan galak sambil memandang kepada pelayan itu dengan mata melotot. Wanita itu tidak berani membantah lalu pergi kembali ke rumah untuk melapor kepada nyonya majikannya. Sementara itu, senja telah larut dan cuaca mulai menjadi remang-remang. Setelah mendapat pelaporan dari pelayan bahwa anak-anak mereka tidak mau disuruh pulang padahal hari sudah mulai gelap, dua orang nyonya muda itu langsung pergi sendiri ke dalam taman untuk menyusul puteri mereka. Ketika kedua orang nyonya muda itu
109
melihat betapa puteri-puteri mereka masih berlatih silat bersama Song Bu, mereka lalu menegur Song Bu. “Song Bu, malam mulai tiba, cuaca sudah gelap, kenapa engkau masih mengajak adik-adikmu untuk bermain terus?” tegur isteri pertama Ouw Yang Lee. Song Bu yang selalu pandai membawa diri dan bersikap hormat kepada kedua orang subo (ibu guru) itu, segera menjawab sopan. “Maaf, toa-subo (ibu guru pertama), kami sedang asyik berlatih sehingga tidak sadar bahwa hari telah malam.” Dia sama sekali tidak mau mengadu bahwa Ouw Yang Lan yang menghendaki berlatih terus. Pada saat itu, tiba-tiba saja tampak belasan bayangan orang berkelebatan memasuki taman itu. Dua orang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan gerakan mereka gesit sekali, telah melompat dekat kedua orang nyonya Ouw Yang. Seorang di antara mereka, pria berusia kurang lebih empat puluh tahun, bermuka gagah dan kemerahan, memegang sebatang pedang, melompat dekat Nyonya Ouw Yang Lee yang pertama dan sekali tangan kirinya bergerak, dia telah menotok nyonya itu sehingga tubuh wanita itu menjadi lemas dan segera disambar dan dipanggul di pundak kirinya. Melihat ibunya dirobohkan dan dipanggul orang itu, Ouw Yang Lan melompat
110
maju dan anak berusia delapan tahun imi dengan penuh keberanian menerjang dan memukul penawan ibunya. “Lepaskan ibuku, kau keparat!” bentaknya sambil memukul. Akan tetapi, pria itu menggigit pedangnya dan menggunakan tangan kanannya untuk menotok. Ouw Yang Lan menjadi lemas tak berdaya. Laki-laki itu menyimpan pedang di sarung pedangnya dan memanggul tubuh Ouw Yang Lan di pundak kanannya. Pria ke dua juga menotok roboh Nyonya Ouw Yang ke dua. Ketika Ouw Yang Hui lari mendekat sambil berteriak memanggii ibunya, anak inipun dirobohkan dengan totokan dan dipanggul pula seperti ibunya. Kedua ibu dan anaknya itu telah ditawan dua orang itu. Penawan Ouw Yang Hui dan ibunya itu seorang laki-laki yang usianya juga sekitar empat puluh tahun, mukanya penuh brewok dan matanya tinggal satu karena yang kiri terpejam dan agaknya buta karena tidak ada biji matanya lagi. Melihat ini, Song Bu terkejut bukan main. Kedua orang subo-nya dan kedua orang sumoi-nya telah ditangkap dua orang itu dan di situ masih ada belasan orang yang kesemuanya memegang pedang atau golok dengan sikap mengancam sekali. Dia segera menjerit sekuatnya.
111
“Suhuuuuu... Tolooooooongg...!!” Setelah mengeluarkan jeritan melengking itu, Song Bu lalu menerjang pria bermuka merah yang memondong tubuh Ouw Yang Lan dan ibunya. “Lepaskan mereka!” bentaknya dan diapun memukul ke arah perut pria itu. Biarpun baru mempelajari silat selama empat tahun, namun Song Bu yang berusia sepuluh tahun itu telah memiliki kegesitan dan pukulannya itu berbeda dengan pukulan anak seusia dia pada umumnya. Pukulan itu mengadung tenaga bagaikan pukulan seorang dewasa. Akan tetapi, orang tinggi besar yang menawan Ouw Yang Lan dan ibunya itu ternyata seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tentu saja serangan anak sekecil Song Bu tidak ada artinya bagi dia. Sekali kakinya bergerak menendang, tubuh Son Bu tertendang sampai terlempar beberapa meter jauhnya. “Bunuh anak itu!” Si muka merah memerintah, lalu bersama si brewok yang menawan Ouw Yang Hui dan ibunya, diapun melompat dan menghilang ke dalam malam yang mulai gelap. Beberapa orang cepat menghampiri Song Bu yang sudah merangkak hendak bangun itu. dengan golok dan pedang di tangan. Empat batang senjata tajam itu menyambar ke arah tubuh Song Bu!
112
“Trangg-trangg-tranggggg” Empat batang golok dan pedang itu patah-patah dan begitu sinar itu berkelebatan menyambar, empat orang yang tadinya hendak membunuh Song Bu telah berpelantingan dengan leher hampir putus! Kiranya Ouw Yang Lee telah berdiri di situ dan dialah yang tadi menangkis senjata empat orang itu kemudian membunuh mereka dengan sekali gerakan pedang. “Song Bu, apa yang terjadi?” Akan tetapi sebelum Song Bu dapat menjawab pertanyaan suhunya itu, belasan orang yang melihat betapa empat orang rekan mereka terbunuh, sudah menerjang dan mengeroyok Ouw Yang Lee sambil membentak nyaring, Akan tetapi, Ouw Yang Lee segera bergerak cepat. Pedangnya menyambar-nyambar dan setiap golok atau pedang pengeroyok yang bertemu dengan pedangnya, tentu patah-patah dan pemegang senjata itu sendiri roboh disambar sinar pedang di tangan datuk itu. Suara hiruk pikuk di taman ini menarik perhatian anak buak Pulau Naga dan mereka lari berdatangan. Melihat ketua mereka dikeroyok banyak orang, para anak buah Pulau Naga lalu menyerbu dan sekarang para penyerang itulah yang berbalik dikeroyok banyak sekali orang. Selain pedang Ouw Yang Lee yang amat dahsyat merobohkan banyak di antara mereka, sisanya dibantai oleh anak buah Pulau Naga. Ouw Yang Lee sengaja
113
merobohkan seorang penyerbu tanpa membunuhnya, melainkan erobohkannya dengan totokan tangan kirinya. Kemudian Ouw Yang Lee menengok ke arah Song Bu. “Song Bu, apa yang terjadi? Mana kedua subo dan sumoi-mu?” tanya Ouw Yang Lee kepada muridnya. “Celaka, suhu! Kedua subo dan kedua sumoi ditangkap dan dilarikan dua orang penjahat!” Song Bu menudingkan telunjukna ke arah belakang taman ke dimana tadi dia melihat dua orang itu melarikan kedua subo dan kedua sumoinya. “Celaka...”. Ouw Yang Lee berseru dan dia lalu melompat ke arah itu dan berlari cepat melakukan pengejaran. Akan tetapi malam itu gelap dan dia tidak dapat melihat jejak kedua orang penculik itu. Ketika dia tiba di tepi pantai pulau, dia melihat empat orang anak buah Pulau Naga menggeletak dan tewas. Akan tetapi seorang di antara mereka masih bergerak. Dibawah penerangan bintang yang remang-remang dia mengguncang pundak anak buahnya itu dan bertanya. “Apa yang terjadi? Apa engkau melihat kedua hu-jin (nyonya) dan Siocia (nona)?” Anak buah yang terluka parah pada dadanya itu dengan susah payah mengeluarkan suara,
114
“Mereka mereka dilarikan... dengan perahu... oleh dua orang kakek... kami... tidak berhasil mencegahnya...” Ouw Yang Lee tidak memperdulikan lagi orang itu. Dia melompat berdiri, melihat beberapa buah perahu anak buahnya Ouw Yang Lee lalu mendorong sebuah perahu ke tengah, lalu menggunakan dayung untuk mendayung perahu mieninggalkan pantai. Akan tetapi malam itu gelap, hanya diterangi laksaan atau jutaan bintang di langit. Cahayanya remang-remang dan dia tidak mungkin dapat melihat lebih jauh dari beberapa ratus meter saja. Dia memandang ke sekeliling, namun tidak melihat ada perahu sehingga dia tidak tahu harus mengejar kearah mana. Akhirnya dia putus harapan dan teringat akan seorang pengeroyok yang tadi dirobohkan dengan totokan. Pengeroyok yang masih hidup tentu akan dapat memberi tahu siapa adanya orang-orang yang memimpin mereka, berani menyerang Pulau Naga dan berani menculik kedua isterinya dan kedua anaknya. Teringat akan ini, dia cepat mendayung perahu ke tepi pulau lagi dan melompat ke darat, lalu lari ke perkampungannya di tengah pulau. Ketika tiba di taman, pertempuran telah berhenti. Semua penyerbu telah dapat dirobohkan dan 'dibunuh. Ouw Yang Lee mencari orang yang tadi dia robohkan dengan totokan. Setelah menemukan orang itu, memegang tangannya dan menyeretnya menuju ke dalam rumah.
115
“Kalian urus semua mayat ini, kuburkan dalam hutan agar jangan mengotori udara di sini. Song Bu, kau ikut aku masuk rumah!” Dia memerintah kepada anak buahnya dan kepada Song Bu. Song Bu segera mengikuti gurunya yang menyeret tubuh orang yang belum tewas namun yang tidak mampu menggerakkan badannya karena jalan darahnya tertotok oleh Ouw Yang Lee. Setelah tiba di ruangan dalam di mana penerangan telah dinyalakan oleh para pelayan, Ouw Yang Lee melemparkan tubuh tawanannya itu ke tengah ruangan. Song Bu mengikuti gurunya dan anak itu berdiri di sudut ruangan sambil melihat apa yang hendak dilakukan gurunya terhadap tawanan itu. Ouw Yang Lee membebaskan totokan orang itu dengan menepuk kedua pundaknya. Orang itu bangkit dan merangkak hendak bangun, akan tetapi dia mendekam kembali ketika ujung pedang di tangan Ouw Yang Lee menodong lehernya. “Hayo katakan, siapa dua orang pemimpin kalian yang telah menculik kedua orag isteri dan anak kami! Cepat katakan!” Berkata demikian, pedangnya berkelebat. “Cratt!” Ujung pedang itu menggores paha kiri orang itu sehingga celana dan kulit dagingnya robek. Orang itu mengeluh dan memegangi pahanya yang terluka dan terasa perih.
116
“Cepat jawab pertanyaanku tadi. Siapa kedua orang pemimpin itu!” “Saya... saya... dan kawan-kawan hanya anak buah yang taat kepada perintah ketua kami yang berjuluk Tok-Gan-Houw (Harimau Mata Satu) bernama Lo Cit. Kami bersarang di Bukit Harimau di pantai laut. Kami hanya menaati perintah ketua kami yang membawa kami menyerbu ke Pulau Naga.” Orang itu mengaku dengan wajah pucat sekali, kemudian merintih karena pahanya terasa nyeri bukan main, pedih dan panas. Sebagai seorang yang sudah lama berkecimpung dalam dunia kang-ouw (sungai telaga persilatan), dia dapat menduga bahwa luka di pahanya mengandung racun. Dugaannya itu memang benar. Ouw Yang Lee yang berjuluk Tung-Hai-Tok (Racun Laut Timur) adalah seorang yang ahli dalam penggunaan segala macam racun, oleh karena itu, tentu saja pedang yang dipergunakannya mengandung racun. “Jadi yang menculik keluarga kami ada lah Tok-Gan-Houw Lo Cit? Siapa yang seorang lagi?” bentak Ouw Yang Lee dan pedangnya sudah mengancam ke leher orang itu. Dengan tubuh menggigii menahan rasa nyeri dan takut, orang itu menjawab, “Saya saya tidak tahu... siapa kawan dari Tok Gan Houw Lo Cit,” Ouw Yang Lee sudah merasa cukup mendapat keterangan itu.
117
Kalau dia dapat menangkap Tok-Gan-Houw Lo Cit, tentu dia akan tahu pula siapa orang ke dua itu. Kakinya bergerak menendang ke arah dada orang itu. Tubuh orang itu terlempar keluar dari ruangan'dan tewas seketika karena tendangan. yang disertai tenaga sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat itu telah mengguncang dan menghancurkan isi dadanya. Song Bu menghampiri gurunya. “Suhu, kita harus cepat melakukan pengejaran dan menolong kedua subo dan kedua sumoi!” “Song Bu, engkau tinggal saja di rumah. Pekerjaan ini berbahaya, hanya aku yang dapat melakukannya. Aku hendak melakukan pengejaran sekarang, engkau tinggal di rumah saja.” “Baik, suhu,” kata Song Bu walaupun hatinya merasa kecewa karena sebetulnya dia ingin membantu gurunya untuk mencari para subo dan sumoinya. Sambil membawa pedang dan dayungnya, Ouw Yang Lee lalu keluar dari rumah menuju ke pantai di mana terdapat sebuah perahu yang khusus miliknya. Dua orang anak buahnya membawa obor dan mengikuti ketua mereka untuk menerangi jalan. Akan tetapi ketika mereka tiba di pantai, mereka melihat bahwa air laut sedang pasang. Keadaan lautan di malam itu sungguh ganas dan sama sekali tidak mungkin untuk
118
melakukan penyeberangan ke daratan Ouw Yang Lee mengerutkan alisnya. Dia tidak mampu melakukan pengejaran malam ini dan dia khawatir sekali akan keselamatan kedua isteri dan kedua orang anaknya. Kalau mereka itu dibawa lari penjahat dengan menggunakan perahu, mereka tentu terancam oleh keadaan laut yang sedang pasang itu. Karena tidak mungkin melakukan pengejaran di waktu malam gelap dan air laut sedang pasang itu, terpaksa Ouw Yang lee menunggu. Dia tidak kembali ke rumah melainkan duduk di dalam sebuah perahu yang berada di tepi, bersila dan termenung, mencoba untuk menenangkan hatinya yang gelisah. Dia mengingat-ingat dan rasanya belum pernah bermusuhan dengan orang bernama Lo Cit yang berjuluk Tok-Gan-Houw. akan tetapi mengapa orang itu datang menulik kedua orang isterinya dan kedua orang anaknya? Ouw Yang Lee marah sekali. Belum perah selama hidupnya dia marah seperti itu. belum pernah selama hidupnya dia terganggu seperti itu. Kedua orang isterinya dan kedua orang anaknya diculik orang! Sungguh hal ini merupakan penghinaan dan tantangan yang harus dihadapinya mati-matian. Dia harus membunuh penculik itu! Dia akan menunggu sampai malam lewat. Biasanya, kalau air laut pasang di malam hari, pada pagi harinya akan surut dan tenang
119
kembali. Dia menunggu di situ, dalam kegelapan karena dia menyuruh pergi dua orang anak buah yang tadi mengikutinya sambil membawa obor. Dia menanti dengan hati penuh kegeraman, penuh dendam. Perahu besar yang dipergunakan oleh dua orang penjahat yang menculik kedua orang Nyonya Ouw Yang dan dua orang puteri mereka itu meluncur dengan cepat meninggalkan Pulau Naga. Perahu itu sempat mengembangkan layarnya karena pada saat mereka melarikan diri itu air laut belum pasang terlalu besar dan masih memungkinkan melakukan pelayaran. Gelombang besar mulai timbul ketika perahu mereka telah jauh meninggalkan Pulau Naga dan enam orang anak buah mereka yang mengatur layar dan kemudi perahu adalah orang-orang yang cakap dan sudah berpengalaman sehingga walaupun perahu itu harus menerjang gelomang besar, perahu tetap meluncur dengan pesat menuju ke daratan besar. Dua orang nyonya bersama anak merea berada di dalam bilik perahu dan mereka menangis terisak-isak penuh rasa khawatir. Ouw Yang Lan dan Ouw Yang Hui merangkul ibu masing-masing dan kedua orang anak perempuan ini bersikap seperti hendak melindungi ibu mereka! Bahkan Ouw Yang Lan berulang kali menghibur ibunya dengan kata-kata bersemangat.
120
“Jangan menangis, ibu dan jangan takut. Aku akan melindungimu!” kata Ouw Yang Lan dengan sikap gagah sambil memandang kepada dua orang yang duduk tak jauh dari mereka di dalam bilik perahu itu. Ibunya yang bernama Lai Kim atau Nyonya Ouw Yang Lee yang pertama hanya merangkul puterinya dengan gelisah. Sim Kui Hwa atau Nyonya Ouw Yang ke dua yang memeluk Ouw Yang Hui sudah tidak menangis lagi dan ia menoleh kepada dua orang penculik mereka, lalu berkata dengan suara lembut. Wanita ini memäng berwatak lembut dan suaranyapun halus, “Mengapa ji-wi (kalian berdua) menculik kami yang tidak berdosa? Kalau jiwi membutuhkan harta, katakan saja. Suami kami tentu akan suka menyerahkan kepada ji-wi asalkan ji-wi suka membebaskan kami.” Seorang di antara dua pria yang duduk dalam bilik itu, yang sejak tadi hanya diam saja dan kadang-kadang melirik ke arah mereka, mengerutkan alisnya. Dia seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, mukanya penuh brewok akan tetapi mata kirinya buta dan tidak berbiji. Mendengar ucapan Sim Kui Hwa itu, dia menghardik. “Diam kau! Atau aku akan meiempar kalian ke dalam lautan!” Dihardik seperti itu, dua orang wanita itu tidak berani mengeluarkan suara lagi. Mereka berdua, biarpun merupakan wanita wanita lemah, namun sebagai isteri-isteri seorang datuk besar, mereka
121
tidak takut mati, akan tetapi mereka mengkhawatirkan keselamatan puteri mereka. Laki-laki tinggi besar brewok bermata satu inilah Tok-Gan-Houw (Harimau Mata Satu) Lo Cit. Dia adalah kepala gerombolan yang bersarang di bukit Houw-san (Bukit Harimau) yang letaknya di pesisir Laut Timur. Gerombolannya terdiri dari kurang lebih tiga puluh orang dan mereka adalah gerombolan yang suka merampok dan membajak. Berulang kali anak buah dari Houw-san ini diwaktu melakukan penbajakan bentrok dengan anak buah Pulau Naga dan seringkali mereka terpukul mundur, bahkan banyak di antara anak buah Houw-san yang tewas menjadi korban dalam bentrokan itu. Hal ini tentu saja amat menyakitkan hati Tok-Gan-Houw Lo Cit. Akan tetapi kepala gerombo!an ini sudah mendengar akan kesaktian Tung-Hai-Tok (Racun Laut Timur) Ouw Yang Lee yang menjadi majikan Pulau Naga. Ouw Yang Lee terkenal sebagai datuk dari timur, maka tentu saja memiliki kesaktian yang hebat. Tok-Gan-Houw Lo Cit merasa jerih walaupun dia sendiri sebenarnya adalah seorang tokoh kang-ouw (dunia persilatan) yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang cukup tinggi. Namun karena hatinya sudah kesal sekali melihat betapa anak buahnya sering kali ditentang dan dikalahkan oleh para anak buah Pulau Naga, dia menyimpan dendam.
122
Pada suatu hari, kebetulan sekali dia bertemu dengan seorang kenalannya, seorang tokoh kang-ouw lain yang dia tahu memiliki ilmu silat yang amat tangguh. Bahkan orang itu lebih lihai dari pada dirinya sendiri. Orang itu adalah pria tinggi besar bermuka merah dan gagah yang membantunya melakukan penyerbuan ke Pulau Naga. Pria yang bermuka merah dan gagah ini di dunia kang-ouw juga amat terkenal dengan julukan Thai-Lek-Kui (Iblis Bertenaga Besar bernama Ciang Sek. Dia adalah seorang datuk yang menjadi pemilik atau majikan bukit Awan Putih. Sebetulnya Thai-Lek-Kui Ciang Sek tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan Ouw Yang Lee, akan tetap ketika dimintai tolong oleh Lo Cit yang menjadi kenalan baiknya, dia merasa tidak enak untuk menolak. Demikianlah, Ciang Sek bersama Lo Cit membawa belasan orang anak buahnya menyerbu Pulau Naga di malam hari itu. Melihat kelihaian Ouw Yang Lee yang merobohkan para anak buahnya, Lo Cit lalu menawan Sim Kui Hwa dan anaknya Ouw Yang Hui, sedangkan Ciang Sek tiba tiba merasa tertarik sekali kepada Lai Kim, ibu Ouw Yang lan yang cantik jelita. Maka diapun lalu menawan wanita itu bersama puterinya dan membawanya lari bersamA-Sama Lo Cit, melarikan diri dari pulau dengan perahu besar itu. Thai-iek-kui Ciang Sek yang berusia empat puluh tahun itu telah menjadi seorang duda. Beberapa bulan yang lalu dia
123
kehilangan isterinya yang tercinta. Isterinya meninggal dunia karena suatu penyakit. Setelah isterinya meninggal dunia, Ciang Sek begitu berduka. Dia memulangkan tiga orang isteri mudanya ke kampung tempat asal mereka masing-masing, kemudian dia meninggalkan Pek-In-San (Bukit Awan Putih) dalam rawatan belasan orang anak buahnya, kemudian dia merantau tanpa tujuan tertentu. Dalam perantauannya. inilah dia bertemu Tok gan-houw Lo Cit yang minta bantuannya untuk menyerbu Pulau Naga. Ketika melihat Lai Kim yang wajahnya mirip mendiang isterinya, bahkan Lai Kim lebih muda dan lebih jelita, seketika hatinya terpikat dan tanpa diminta dia menawan Lai Kim dan puterinya, Ouw Yang Lan. Setelah perahu itu akhirnya tiba dengan selamat ke pantai daratan besar, malam telah larut, bahkan fajar hampir menyingsing. Pelayaran itu menjadi lambat karena laut yang pasang mengombang-ambingkan perahu itu sehingga pelayaran itu tidak lancar dan memakan waktu lama baru tiba di pantai daratan. “Lo-twako (kakak Lo), setelah tiba di sini, aku harus melanjutkan perjalananku. Ibu dan anak yang kutawan ini akan kubawa!” kata Thai-Lek-Kui Ciang Sek kepada Lo Cit, dalam suaranya terkandung nada keras yang menyatakan bahwa kehendaknya itu
124
tidak boleh dibantah lagi. Lo Cit cepat mengangkat kedua tangan e depan dada memberi hormat. “Memang sebaiknya kalau kita berpencar di sini, dan wanita beserta puterinya itu adalah engkau yang menawannya, maka engkau pula yang berhak atas diri mereka. Terima kasih atas bantuanmu, saudara Ciang Sek.” Pada saat itu, beberapa orang mendekati méreka sambil menuntun beberapa ekor kuda. Mereka itu ternyata adalah anak buah Lo Cit yang ditinggal di pantai itu untuk mempersiapkan segalanya kalau mereka pulang dari penyerbuan mereka ke Pulau Naga. “Kebetulan sekali engkau mempunyai beberapa ekor kuda, Lo-toako. Aku membutuhkan dua ekor kuda yang kuat dan baik, kata pula Ciang Sek. “Silakan memilih dua ekor, saudara Ciang Sek,” kata pula Lo Cit. Thai-Lek-Kui Ciang Sek memilih dua ekor kuda, kemudian tanpa banyak cakap dia mengangkat tubuh Lai Kim dan Ouw Yang Lan ke atas seekor kuda. Ibu dan anak ini disuruh berboncengan dan dia sendiri melompat ke atas punggung kuda yang ke dua.
125
“Nah, kami berangkat, Lo-toako!” kata Ciang Sek sambil membedal kudanya dan menuntun kuda yang ditunggangi Lai Kim dan Ouw Yang Lan. Dia menjalankan kudanya menuju ke Barat. “Engkau hendak membawa kami ke manakah?” tanya Lai Kim yang kini sudah tidak menangis lagi. “Kenapa engkau membawa kami pergi? Lepaskanlah kami berdua yang tidak tahu apa-apa dan tidak bersalah apapun kepadamu.” “lbu, jangan takut! Aku akan melindungimu kata Ouw Yang Lan yang duduk di atas kuda, depan ibunya. “Nyonya yang baik, tenang sajalah. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyengsarakanmu. Kalau engkau banyak membantah, terpaksa aku akan membunuh anak perempuanmu itu!” Biarpun suaranya terdedengar lembut namun nadanya mengandung ancaman yang membuat Lai Kim tidak berani mengeluarkan suara lagi, melainkan mendekap tubuh puterinya yang berada di depannya. Dua ekor kuda itu berjalan terus menuju ke barat, dalam keremangan cuaca fajar. Kabut tebal segera menyelimuti bayangan dua ekor kuda itu. Sementara itu, Lo Cit memberi isyarat kepada anak buahnya. Tak lama kemudian
126
sebuah kereta datang. Kiranya anak buah Lo Cit sudah mempersiapkan kuda dan kereta untuk menyambut ketua mereka. Yang ikut menyerbu ke Pulau Naga hanya belasan orang dan yang masih tinggal ada belasan orang lagi. Sisa anak buahnya itulah yang kini menyambut kedatangan Lo Cit dan mereka tentu saja merasa heran dan terkejut melihat bahwa yang kembali dengan selamat hanyalah Lo Cit dan Ciang Sek yang menawan dua orang wanita beserta puteri mereka. “Teman-teman berada di mana, Pangcu (ketua)?” tanya seorang di antara para anak buah itu. Lo Cit mengangkat tubuh Sim Kui Hwa dengan paksa naik ke kereta, demikian pula Ouw Yang Hui dipaksanya naik kereta. “Jangan banyak bertanya!” bentak Lo Cit marah karena dia merasa terpukul sekali dengan kenyataan bahwa belasan orang anak buahnya yang ikut menyerbu Pulau Naga telah tewas semua dan tidak ada seorangpun yang lolos. “Jalankan kereta, cepat Dia khawatir kalau-kalau Ouw Yang Lee melakukan pengejaran. Kereta dilarikan dengan cepat dan belasaan orang sisa anak buahnya yang tidak ikut menyerbu ke Pulau Naga mengikuti dari belakang, dengan menunggang kuda. Sim Kui Hwa mendekap puterinya dan memandang kepada Lo Cit
127
yang duduk dalam kereta di depannya dengan mata mengandung ketakutan. “Tuan, kami hendak kau bawa ke manakah? Kenapa kami yang tidak bersalah apa-apa kau tawan? Harap kau suka membebaskan kami ibu dan anak.” Sim Kui Hwa memohon dengan suara lirih. Mata yang tinggal sebelah kanan saja itu memandang dengan sinar mata mengancam. “Diam, jangan banyak bicara kalau kalian ingin hidup!” bentak Lo Cit yang masih marah mengingat akan kematian banyak anak buahnya. Bentakan itu membuat Sim Kui Hwa tidak berani bicara lagi dan hanya menangis. Setelah matahari naik agak tinggi, tibalah kereta yang dikawal belasan orang anak buah itu tiba di sebuah persimpangan jalan. Lo Cit menghentikan keretanya dan memberi isyarat keluar kereta, memanggil seorang pembantunya yang dipercaya. Pembantunya ini seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya seperti tengkorak,tingal tulang terbungkus kulit. “Ji-Tong, seperti sudah kuperintahkan dengan jelas kepadamu, bawalah anak itu sekarang juga. Engkau tahu sudah, apa yang harus kau lakukan dengan anak itu.”
128
“Baik, pang-cu,” kata laki-laki tinggi kurus yang bernama Ji-Tong itu. Dia lalu memasuki kereta dan meraih ke arah Ouw Yang Hui. Anak berusia tujuh tahun itu ketakutan dan memeluk ibunya. Ibunya juga merangkulnya ketika melihat betapa orang kurus itu hendak menangkap Ouw Yang Hui. Akan tetapi sepasang lengan yang panjang kurus itu terus mengejar lalu menangkap pinggang Ouw Yang Hui dan menariknya. Sim Kui Hwa mempertahankannya dan menjerit-jerit. Ouw Yang Hui juga menjerit-jerit. Akan tetapi sepasang tangan Ji-Tong merenggut dengan kuatnya sehingga ibu dan anak yang saling rangkul itu terlepas dan terpisah. Ji-Tong memondong Ouw Yang Hui keluar dari kereta. Sim Kui Hwa hendak mengejar keluar. Lo Cit merangkul pinggangnya dan menahannya di dalam kereta. “Jałankan kereta! Cepat!” perintahnya kepada kusir yang segera mencambuk kudanya dan kereta itu bergerak melaju dengar cepat. Sim Kui Hwa meronta-ronta hendak melepaskan diri agar dapat menolong puterinya. “Lepaskan aku…!! Kesinikan Anakku...!” Ouw Yang Hui la meronta dan menjerit. Akan tetapi pinggangnya dirangkul Lo Cit dengan kuatnya sehingga ia tidak mampu melepaskan diri dan kereta bergrak cepat sekali. Sementara itu, Ji-Tong sudah membawa tubuh Ouw Yang Hui melompat ke atas punggung kudanya dan
129
membalapkan kuda itu mengambil jalan simpang yang menuju ke kota Nam-po yang letaknya kurang lebih puluhan lie dari situ. Ouw Yang Hui yang dipisahkan dari ibunya, meronta dan menjerit-jerit, akan tetapi apakah artinya tenaga rontaan seorang anak perempuan berusia tujuh tahun bagi seorang Ji-Tong, penjahat yang terbiasa mempergunakan kan kerasan dan kekuatan? Ji-Tong membalapkan kudanya dengan cepat, tidak perduli teriakan-teriakan Ouw Yang Hui. “Diam, anak bandel!” akhirnya Ji-Tong merasa jengkel juga karena anak perempuan itu terus menangis. “Ku tampar kau kalau menangis dan berteriak-teriak terus.” Akan tetapi dia tidak menghentikan kudanya yang tetap berjalan cepat. “Ibuuu... bawa aku kembali kepada ibuuuuuuu! Aku tidak mau ikut kamu...” Ouw Yang Hui tidak perduli akan ancaman orang itu dan menjerit-jerit terus. Kuda yang ditunggangi Ji-Tong itu memasuki sebuah hutan kecil yang berada di luar kota Nam-po. Tiba-tiba tampak dua orang laki-laki muncul dan berlompatan keluar dari balik semak-semak dan dua orang itu menghadang di tengah jalan kecil yang dilalui Ji-Tong. Kuda yang ditunggangi menjadi terkejut. Ji-Tong menahan kendali kudanya yang berdiri dan meringkik.
130
“Mau apa kalian?” Minggir bentak Ji-Tong. Akan tetapi dua orang itu sama sekali tidak mau minggir, bahkan seorang di antara mereka segera memegang kendali dekat mulut kuda. “Turun kau dan tinggalkan kuda untuk kami, kalau engkau ingin selamat!” bentak orang ke dua. Ji-Tong marah sekali. Dia adalah seorang yang biasa merampok, dan kini agak nya hendak dirampok orang lain! Dia membawa Ouw Yang Hui melompat turun dari atas kuda, melepaskan tubuh anak itu di atas tanah, lalu tangannya mencabut sebatang golok yang berada di punggungnya. “Kalian penjahat-penjahat kecil yang sudah bosan hidup!” bentaknya dan diapun sudah menerjang dengan goloknya. Akan tetapi kedua orang itupun sudah mencabut golok mereka dan mengeroyok Ji-Tong. Terjadilah perkelahian yang seru dan mati-matian. Kuda itu dibiarkan terlepas, dan Ouw Yang Hui yang melihat perkelahian itu, memandang dengan mata terbelalak. la tidak tahu harus berbuat apa, hendak lari harus mengambil jalan mana? la berada di tengah hutan dan ia tidak tahu ibunya berada di mana. Karena kebingungan, anak itu tidak mampu beranjak dari tempat itu. Perkelahian masih berlangsung dengan serunya. Tempat itu sunyi, tidak tampak ada orang lain menyaksikan perkelahian itu. Ternyata kedua orang yang melakukan
131
penghadangan itu tangguh juga sehingga Ji-Tong mengalami kesulitan. Biarpun sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, namun tetap saja dia terdesak hebat, kini hanya dapat menangkis saja sambil terus mundur. Sial baginya, ketika dia mundur-mundur itu, kakinya terjegal oleh akar pohon yang menonjol di atas tanah. Tak dapat dihindarkan lagi, diapun terjengkang dan selagi dia terhuyung mempertahankan keseimbangan tubuhnya, dua orang pengeroyoknya mengejar dan menghujamkan serangan golok mereka. Ji-Tong tidak dapat menghindarkan diri lagi dan dia berteriak keras ketika tubuhnya menjadi sasaran dua batang golok itu. Dia terpelanting dan roboh mandi darah oleh dua orang pengeroyoknya. Dia roboh dengan luka parah di leher dan dadanya. Dua orang itu memandang kepada Ji-Tong yang sudah menggeletak berlumuran darah dan tidak bergerak lagi, lalu mereka menyarungkan golok mereka ke sarung di punggung. “A-Liuk, bawa kuda itu dan mari kita cepat pergi dari sini,” kata seorang dari mereka yang kepalanya botak dan usianya sekitar tiga puluh lima tahun. Sam-ko, lihat anak itu. Manis dan cantik sekali! kata orang yang disebut A-Liuk, orang yang bertubuh pendek kecil dan usianya sekitar tiga puluh tahun. Orang kedua yang bernama A-Sam menoleh dan diapun tertegun melihat Ouw
132
Yang Hui yang sudah tidak menangis lagi. Bukan main cantik manisnya anak itu! “Sam-ko, ia bahkan jauh lebih berharga dari pada kuda ini!” kembali A-Liuk berkata. Hati A-Sam menjadi tertarik dan dia lalu menghampiri Ouw Yang Hui. Anak itu memandang kepada laki-laki botak yang menghampirinya dengan senyum ramah di wajahnya. Karena melihat betapa dua orang itu telah membunuh Ji-Tong yang jahat, Ouw Yang Hui menganggap mereka berdua itu sebagai penolongnya dan iapun tidak merasa takut. A-Sam lalu berjongkok di depan anak itu. “Anak yang baik, kenapa engkau tadi menangis dan siapakab orang itu?” Dia menuding ke arah tubuh Ji-Tong yang sudah tidak bergerak lagi. “Dia orang jahat, memaksa aku berpisah dari ibuku,” kata Ouw Yang Hui. “Hemm, jangan takut lagi, anak manis. Dia telah kami bunuh. Dan di mana ibumu sekarang?” Ouw Yang Hui menggeleng kepala. “ibu juga dibawa lari penjahat, entah ke mana.”
133
“Ah, kalau begitu, mari engkau ikut dengan kami. Kami berdua akan mencarikan ibumu sampai dapat,” kata A-Sam. Mendengar ini, Ouw Yang Hui tampak gembira sekali. “Benarkah, paman? Ah, aku girang sekali. Tentu saja aku mau ikut dengan paman berdua untuk mencari ibuku!” A-Sam saling pandang dengan A-Liuk dan mereka berdua merasa girang sekali. Ouw Yang Hui lalu diangkat oleh A-Sam, didudukkan di atas punggung kuda rampasan itu dan mereka berdua lalu menuntun kuda dan berjalan keluar dari hutan menuju ke kota Nam-po. Karena percaya sepenuhnya bahwą dua orang paman itu bersikap baik kepadanya dan akan mencarikan ibunya maka tentu saja Ouw Yang Hui menjadi girang dan mengikuti mereka dengan taat. Hari telah menjelang sore ketıka akhirnya mereka memasuki kota Nam-po yang cukup ramai. Karena Ouw Yang Hui mengeluh perutnya lapar, maka kedua orang itu membawa Ouw Yang Hui ke sebuah rumah makan dan mereka bertiga makan minum sampai kenyang. Ouw Yang Hui sudah mulai dapat tersenyum karena hatinya girang bertemu dengan dua orang yang baik ini, yang menjanjikan untuk mencarikan ibunya. Sehabis makan, A-Sam dan A-Liuk membawa Ouw Yang Hui berkunjung ke sebuah rumah mungil yang pintunya bercat merah
134
dan di pekarangan depan rumah itu banyak tanaman bunga yang beraneka macam dan warna. Mereka menuntun kuda yang ditunggangi Ouw Yang Hui itu memasuki pekarangan, lalu berhenti di depan rumah dan mengikatkan kuda mereka pada sebatang pohon. A-Sam menurunkan Ouw Yang Hui dan menggandeng tangan anak perempuan itu menghampiri pintu depan. Dia mengetuk pintu dan ketika daun pintu terbuka, seorang wanita berpakaian pelayan menyambut mereka. Melihat dua orang laki-laki yang sikap dan pakaiannya kasar, pelayan wanita itu mengerutkan alisnya dan bertanya dengan sikap memandang rendah. “Kalian berdua mau apa?” A-Sam tersenyum, tidak marah melihat sikap pelayan itu. “Kami hendak bertemu dan bicara dengan Cia-Ma, ada urusan penting sekali!” Sambil berkata demikian, A-Sam mengijapkan sebelah matanya sambil menunjuk dengan dagunya ke arah Ouw Yang Hui. Anak perempuan itu tidak memperhatikan dan tidak melihat isyarat ini, bahkan andaikata ia melihat sekalipun ia tidak akan dapat menduga sesuatu. Pelayan itu, wanita berusia lima puluhan tahun memandang kepada Ouw Yang Hui dan tersenyum.
135
“Cantik dan manis sekali! Kau tunggulah sebentar, aku akan memberi tahu nyonya.” Setelah berkata demikian, pelayan itu lalu masuk ke dalam. Tak lama kemudian ia muncul kembali dan sikapnya sekarang tidak kaku seperti tadi. “Kalian dipersilakan masuk ke ruangan tamu,” katanya. A-Sam dan A-Liuk memasuki ruangan tamu mengikuti pelayan itu. A-Sam menggandeng tangan Ouw Yang Hui yang merasa heran. “Paman, rumah siapakah ini…? Apakah ibu berada di sini?” “Tenanglah, anak yang baik. Ini rumah Bibi Cia. Untuk sementara engkau akan tinggal di sini dan kami berdua akan mencarikan ibumu. Kalau sudah bertemu, kami akan membawa ibumu ke sini.” Mendengar ucapan itu, Ouw Yang Hui tidak bertanya lagi. Pelayan meninggalkan mereka duduk di ruangan tamu dan tak lama kemudian, pintu tembusan terbuka dari daam dan munculiah seorang wanita berusia empat puluhan tahun berpakaian mewah dan tubuhnya penuh dengan perhiasan dari emas permata. Wajah wanita ini cerah penuh senyurn dan begitu memasuki ruangan tamu itu, sepasang matanya yang sipit mengamati Ouw Yang Hui dengan penuh perhatian dan tampaknya ia tertarik sekali. Kemudian wanita yang biasa di sebut Cia-Ma (Ibu Ma) atau Bibi
136
Cia itu memandang kepada A-Sam dan A-Liuk. la segera mengenal dua orang ini. Dua orang yang terkenal sebagai orang-orang yang biasa melakukan segala macam kejahatan di kota Nam po dan sekitarnya, dua orang yang suka berjudi dan mau melakukan pekerjaan apa saja asalkan diberi upah. Kemarin iaa mendengar bahwa dua orang ini telah berjudi habis- habisan dan ludes. Agaknya sekarang telah rnendapatkan “rejeki” lagi sehingga datang membawa seekor kuda dan seorang anak yang manis. Tanpa bertanyapun tahulah Cia-Ma apa maksud mereka datang membawa seorang bocah perempuan kepadanya. Akan tetapi sekali ini gadis cilik yang dibawa mereka ini lain lagi. Bukan bocah sembarangan! Baru pakaiannya saja sudah menunjukkan bahwa ia adalah seorang anak yang keluarganya berkecukupan. Tubuhnya terpelihara dengan baik dan dalam keadaan sehat sekali. Wajahnya demikian anggun dan cantik. Hati Cia-Ma tergerak dan tak dapat ia menahan diri untuk tidak mengusap pipi anak itu dengan usapan lembut dan menyayang. “Anak yang baik, siapakah namamu nak?” tanyanya dengan manis budi. Karena sikap Cia-Ma yang lembut, Ouw Yang Hui juga tidak malu-malu dan menjawab dengan jelas. “Namaku Ouw Yang Hui, bibi.”
137
“Aduh, nama yang indah sekali! Dan berapa usiamu, Ouw Yang Hui?” “Usiaku tujuh tahun, bibi.” Dari cara bicara anak itu dalam memberikan jawaban saja sudah dapat diketahui oleh Cia-Ma bahwa anak ini memang bukan anak sembarangan. Anak yang tahu akan usianya sendiri tentulah anak yang mendapat pendidikan baik. Cia-Ma menoleh kepada A-Sam dan A-Liuk, lalu bertanya singkat, “Berapa hendak kalian jual?” A-Sarn mengacungkan tiga buah jarinya ke atas sebagai isyarat. Cia-Ma mengerutkan alisnya, akan tetapi wajahnya masih cerah penuh senyum. belum pernah aku membeli anak ayam yang harganya lebih tinggi dari pada seratus tahil. “Akan tetapi anak ayam yang ini lain lagi, Cia-Ma. Lihat saja matanya! Hidungnya dan mulutnya! Pernahkah engkau melihat yang lebih hebat dari pada ini? Kelak kalau sudah dewasa tentu akan merupakan sumber uang yang tidak ada habisnya untukmu, dapat membuat engkau menjadi kaya raya kata A-Sam. Percakapan antara dua orang ini sudah jelas artinya. Tentu saja mereka membicarakan Ouw Yang Hui yang hendak diperjual-belikan. Akan tetapi anak perempuan yang masih bersih
138
daripada dosa itu, yang belum tahu seluk-beluknya dunia hitam, tentu saja tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Cia-Ma menimbang-nimbang dan mengamati anak yang ditawarkan kepadanya itu. Memang anak luar biasa dan pandang matanya yang tajam dan banyak pengalaman itu dapat membayangkan bahwa kalau sudah dewasa anak ini akan menjadi seorang gadis yang sukar dicari bandingannya. Cantik jelita dan dapat menjadi kembang kota Nan-po. Dan ia membayangkan betapa banyaknya para kong-cu (tuan muda) bangsawan dan hartawan akan berebutan untuk memetik dan memiliki kembang ini. Dan itu berarti hujan uang untuknya. Apa artinya uang tiga ratus tail. Kalau sudah begitu,lalu dapat mengumpulkan ribuan tail, bahkan laksaan tail dengan mudah! 'Biarlah kuberi kalian dua ratus tail. Ini sudah gila! Aku sudah gila, berani mengeluarkan uang sebanyak itu!” Dua pasang mata laki-laki itu berkilat. Dua ratus tail perak! Seratus tail untuk mereka masing-masing! Kuda itupun tidak akan mendatangkan uang lebih dari dua puluh tail! “Begini saja, Cia-Ma. Dua ratus lima puluh tail perak! Kau boleh ambil atau engkau akan kehilangan sumber rejeki yang hebat!” kata A-Sam. “Pemeras kau! Kau bikin aku bangkrut! Akan tetapi, ya sudahlah. Akan kubayar dua ratus lima puluh tail perak. Akan tetapi kalau
139
yang punyak anak ayam datang ke sini, kalian harus bertanggung jawab. Kalian akan kulaporkan dan aku tanggung kalian akan mendapatkan hukuman berat. Ingat, jaksa di kota ini adalah langgananku dan sahabat baikku. Jangan kalian main-main!” “Jangan khawatir, Cia-Ma. Kalau engkau simpan baik-baik anak ayam ini, kau kurung baik-baik dan jangan dibiarkan berkeliaran di luar, tentu tidak ada burung elang yang akan menyambarnya,” kata A-Sam. Kemudian si botak ini dengan wajah cerah penuh kegembiraan lalu bergerak mendekati Ouw Yang Hui yang duduk di kursi dan mengelus rambut kepala anak itu. “Ouw Yang Hui, anak yang baik. Sekarang aku dan Paman A-Liuk hendak pergi mencari ibumu sampai dapat. Kalau kami sudah menemukan ibumu, tentu ibumu akan kami ajak ke sini untuk menjemputmu sayang. Sementara itu, engkau tinggai saja duiu di sini, di rumah Bibi Cia ini. Bibi Cia amat sayang kepadamu.” “Aku ikut mencari ibu,” kata Ouw Yang Hui. Cia-Ma mendekati Ouw Yang Hui dan merangkulnya. “Anak yang baik, kalau engkau ikut, engkau hanya akan mengganggu kedua paman yang sedang mencari iburnu. Mereka
140
akan gagal mencari ibumu. Sebaiknya engkau tinggal dulu di sini bersama Cia-Ma. Sebut saja aku Cia-Ma, dan aku akan menjadi seperti ibumu sendiri. Engkau akan tidur di kamar yang indah, mendapat makanan yang lezat dan engkau akan kuberi pakaian yang indah-indah pula. Kalau ibumu sudah berhasil ditemukan, tentu ibumu akan datang ke sini, nak.” “Benar sekali, anak yang baik. Kami berdua akan mencari sampai jauh, membalapkan kuda. Kalau engkau ikut, tentu kami tidak dapat melakukan perjalanan cepat dan engkau akan lelah sekali. Usaha kami mencari ibumu bisa gagal. Kau tunggulah saja di sini!” bujuk A-Sam. Ouw Yang Hui akhirnya mengangguk. Baiklah, paman. Aku akan menunggu di sini.” “Bagus, anak baik, engkau memang anak yang manis sekali!” A-Sam berkata sambil memberi isyarat dengan kedipan mata kepada Cia-Ma. “Kalian tunggu sebentar,” kata Cia-Ma kepada dua orang laki-laki itu. Kemudian dia menggandeng tangan Ouw Yang Hui. “Mari, A-Hui, hari telah sore. Pakaianmu telah kotor. Engkau perlu mandi dan bertukar pakaian bersih. Setelah itu engkau makan. marilah, nak.”
141
A-Hui menurut saja dibimbing ke dalam, tidak menyadari bahwa ia seperti seekor anak ayam masuk ke peternakan ayam untuk dipelihara baik-baik sampai menjadi seekor ayam dewasa yang gemuk untuk dipotong! Di ruangan dalam Ouw Yang Hui yang mulai hari itu memiliki nama panggilan A-Hui melihat enam orang gadis yang rata-rata cantik dan berpakaian mewah duduk dalam ruangan itu. Mereka bercakap-cakap, bersenda-gurau dan terkekeh dengan bebas. Dan ternyata rumah itu cukup besar dan di bagian belakangnya terdapat sebuah loteng dengan belasan buah kamar. Cia-Ma membawa Ouw Yang Hui ke dalam kamarnya sendiri di bawah, sebuah kamar yang besar dan ia menyuruh seorang pelayan pria yang berjaga di luar untuk cepat membelikan beberapa stel pakaian untuk Ouw Yang Hui. Kemudian ia menyerahkan anak itu kepada seorang pelayan wanita. “Rawat dan layani ia baik-baik. la adalah anak angkatku dan kalian harus menyebut Hui-Siocia kepadanya. Mandikan ia dengan air hangat bercampur air mawar, kemudian taburi tubuhnya dengan bedak halus dan gantikan pakaiannya dengan pakaian baru yang sedang kusuruh beli. Nanti tambah masakan. Hui-Siocia akan makan bersamaku di dalam kamar ini.” “Baik, nyonya,” kata pelayan itu.
142
“A-Hui, engkau ikut dengan pelayan tui, pergi mandi dan bertukar pakaian. Aku akan menemui kedua orang itu untuk memesan agar mereka cepat dapat menemukan ibumu.” Ouw Yang Hui adalah anak yang terdidik baik sehingga sekecil itu ia sudah tahu diri dan pandai bersikap baik. Karena tahu bahwa wanita itu telah menolongnya dan bersikap baik kepadanya, ia lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada dan berkata, “Cia-Ma, aku mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Cia-Ma.” Melihat sikap dan mendengar ucapan ini tentu saja Cia-Ma girang bukan main. Ia membungkuk dan mencium pipi Ouw Yang Hui. “Engkau akan senang tinggal di sini, A-Hui,” katanya. Kemudian ia mengambil sebuah karung yang cukup berat sehingga ia minta bantuan seorang pelayan pria lain untuk mengangkatkan karung itu, membawanya karung itu ke kamar tamu. Karung itu berisi uang dua ratus lima puluh tail perak dan diserahkannya uang itu kepada A-Sam dan A-Liuk. Setelah karung itu ditaruh di atas meja dan pelayan pria itu meninggalkan ruangan tamu, Cia-Ma mengeluarkan sehelai kertas dan alat tulis.
143
“Nah, buatlah pernyataan jual-beli dan tanda tangani kalian berdua!” katanya. muka mereka berubah merah. A-Sam dan A-Liuk saling pandang. “Akan tetapi Cia-Ma… kami… kami tidak dapat menulis!” Cia-Ma mengerutkan alisnya yang di gambari garis kecil melengkung hitam. “Kalian buta huruf? Sungguh memalukan, laki-laki. buta huruf. Mari kubuatkan kalian nanti tinggal cap jari tangan saja.” Cia-Ma lalu menuliskan surat pernyataan menjual anak itu. Tulisannya rapi dan indah, dilakukan dengan cepat, menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita yang terpelajar. Setelah surat itu selesai ditulisnya, kedua orang itu bergantian mengecapkan ujung jari-jari tangan mereka ke atas surat itu setelah dibasahi tinta hitam. Cia-Ma memandang puas. Dengan surat pernyataan itu di tangannya, kedudukannya dalam memiliki Ouw Yang Hui menjadi kuat. Kalaupun terjadi ada orang yang rnengaku A-Hui sebagai anaknya dan menuntutnya, ia dapat membebaskan diri dengan adanya surat itu yang menyatakan bahwa ia membeli anak itu dari kedua orang yang menanda tangani surat itu. Mereka berdualah yang bertanggung jawab. Pengadilan tidak akan menyalahkannya. Apa lagi Jaksa Lui berada di belakangnya dan pasti jaksa yang menjadi
144
langganannya itu akan membelanya. A-Sam dan A-Liuk juga merasa puas. Mereka pergi membawa uang dua ratus lima puluh tail itu dan merasa kaya raya. Sekarang mereka memiliki modal besar untuk bermain, judi lagi, dan sekali ini mereka hampir merasa yakin akan menang dan menyedot kembali uang kekalahan mereka pada hari-hari yang lalu. Demikianlah permainan pikiran para penjudi, bermain-main dengan harapan sendiri. Yang hari kemarin menang, hari ini mengharapkan untuk mendapatkan kemenangan yang lebih besar lagi, dan yang hari kemarin kalah, hari ini mengarapkan untuk dapat menarik kembali kekalahan mereka. Karena harapan-harapan inilah,mereka itu, baik yang pernah menang maupun yang pernah kalah, tidak dapat melepaskan kebiasaan berjudi. Mulai hari itu, Ouw Yang Hui atau A-Hui tinggal bersama Cia-Ma. Anak ini memang memiliki watak yang menyenangkan.Halus budi, lemah lembut, pandai membawa diri. Cia-Ma merasa suka sekali kepada a-nak itu, bahkan segera jatuh cinta! Cia-Ma sendiri, biarpun kini menjadi seorang mucikari, dahulu adalah seorang wanita cantik yang terpelajar. Selain pandai membaca tulis, pandai pula meniup suling dan memainkan yang-kim (siter), juga pandai melukis dan menulis sajak, pernah membaca kitab-kitab kuno penuh filsafat.
145
Akan tetapi kehidupannya yang tidak bahagia menjerumuskannya sehingga akhirnya, dalam usia tiga puluh tahun lebih, dia sudah menjadi seorang mucikari yang memiliki rumah pelesit paling besar dan terkenal di kota Nam po, la menikah dalam usia yang muda sekali. Dalam usia enambelas tahun ia telah menikah, atas kehendak orang tuanya dan menikah dengan seorang duda berusia lima puluh tahun. Akan tetapi, duda itu hanya menganggapnya sebagai alat hiburan belaka dan sebentar saja sudah bosan karena duda yang menjadi suaminya itu memang mata keranjang dan selalu mencari yang baru. Setelah disia-siakan, Cia-Ma bertemu dengan seorang laki-laki muda dan iapun tersesat, menjlin hubungan gelap dengan laki-laki itu. Perbuatannya ini akhirnya ketahuan oleh suaminya. Dia lalu dijual oleh suaminya ke rumah pelacuran dan terpaksa menjadi pelacur. Karena ia memang cantik dan pandai, ia menjadi kembang rumah pelesir. Setelah usianya tiga puluh tahun lebih, Cia-Ma sudah berhasil mengumpulkan uang yang cukup banyak karena memang sejak menjadi penghuni rumah pelacuran ia telah memiliki cita-cita dan menabung. Setelah berusia tiga puluh tahun lebih, mulailah ia tidak laku dan lalu membuka sendiri sebuah rumah pelesir. Pada mulanya memang hanya kecil-kecilan. Akan tetapi karena pandainya ia mengatur dan mencari gadis-gadis ayu,
146
menyenangkan hati para pemuda hartawan dan bangsawan yang datang berkunjung, maka sebentar saja rumah pelesir asuhannya menjadi sangat terkenal. Banyak hartawan dan para pembesar menjadi langganannya. Cia-Ma mendapatkan penghasilan besar sehingga beberapa tahun kemudian ia sudah dapat membangun sebuah rumah pelesir berdaun pintu merah yang besar yang memiliki belasan buah kamar di loteng rumahnya. Mula-mula A-Hui masih suka menanyakan ibunya. Akan tetapi dengan lembut Cia-Ma dapat menghiburnya dan menyenangkan hati anak itu. Dengan penuh kasih sayang ia memelihara anak itu, mendidiknya dengan pelajaran membaca dan menulis, bahkan mendatangkan seorang sastrawan untuk mengajar anak itu. Juga ia mendatangkan seorang ahli tari dan nyanyi untuk melatih A-Hui. Diperlakukan dengan penuh kasih sayang seperti itu, A-Hui lambat-laun melupakan ibunya dan menganggap Cia-Ma sebagai pengganti ibunya. Cia-Ma juga benar-benar mencinta anak itu yang setiap malam tidur sekamar dengannya. la menganggap A-Hui sebagai anak sendiri dan hatinya merasa berbahagia. la belum pernah mempunyai anak, maka cintanya terhadap A-Hui benar-benar membahagiakannya. Kalau tadinya ia bercita cita membuat A-Hui menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan
147
terpelajar dan pandai agar kelak anak itu dapat menjadi sumber uang dalam rumah pelesirnya, keinginan itu dalam waktu setahun saja sama sekali tidak ada bekasnya. Tidak, ia tidak rela melihat “Anaknya” menjadi seorang pelacur! la ingin melihat anaknya menjadi seorang wanita terhormat dan mulia. la harus mengawinkan anaknya itu dengan seorang pemuda bangsawan! Dengan demikian anaknya itu akan menjadi seorang nyonya besar yang dihormati semua orang dan ia sebagai ibunya tentu saja juga akan terangkat derajatnya. Kalau sudah begitu, ia akan meninggalkan rumah pelesir jauh-jauh. la akan menjadi ibu mertua seorang pejabat tinggi yang dihormati orang. Ah, betapa bahagianya. Kita tinggalkan dulu A-Hui yang telah mendapatkan tempat di rumah pelesir milik Cia-ma dan mari kita ikuti pengalaman ibunya, yaitu Sim Kui Hwa atau Nyonya Ouw Yang Lee yang ke dua. Sim Kui Hwa dilarikan dalam kereta oleh Tok-Gan-Houw Lo Cit. Kalau tadi ketika anaknya masih berada di dalam kereta bersamanya ia tidak berani menjerit atau meronta, hanya menangis lirih karena takut ancaman Lo Cit yang akan membunuh anaknya kalau ia tidak diam, kini ia tidak takut lagi akan ancaman itu. Anaknya telah dibawa pergi dan ia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri. Maka Sim Kui Hwa meronta-ronta, menjerit-jerit dan menangis memangili
148
nama anaknya. Lo Cit menegangi kedua lengan wanita itu sehingga tidak dapat bergerak lagi. Hati Lo Cit menjadi gemas sekali, akan tetapi dia tidak ingin memukul nyonya yang cantik dan yang menggairahkan hatinya itu. “Sudahlah, nyonya. Jangan menangis. Anakmu pasti aman, aku tanggung itu dan engkau akan hidup berbahagia di sampingku sebagai isteriku,” kata Lo Cit menghibur. “Tidak sudi aku! Lebih baik mati!” Sim Kui Hwa berteriak, akan tetapi karena ia tidak dapat menggerakkan kedua lengannya yang dipegang kuat-kuat oleh Lo Cit, ia hanya dapat menangis. Pada saat itu mereka telah tiba di kaki bukit Houw-san. Tiba-tiba kereta berhenti. Lo Cit membuka tirai memandang keluar dan melihat betapa empatbelas orang pengawal atau anak buahnya semua berhenti dan di depan mereka berdiri seorang laki-laki. Laki-laki itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, perawakannya sedang-sedang saja akan tetapi wajahnya yang tampan itu membayangkan kegagahan, terutama manatanya yang mencrong tajam. Pakaiannya ringkas dan di pungungnya tampak gagang sebatang pedang Dandanannya seperti seorang kang-ouw (dunia persilatan) dan pakaiannya bersih dan rapi walaupun tidak
149
mewah. Melihat betapa anak buahnya yang berada terdepan tampaknya seperti sedang berbantahan dengan orang itu, Lo Cit lalu menggerakkan tangan menotok Sim Kui Hwa sehingga wanita itu seketika terkulai di atas tempat duduk kereta tanpa dapat bergerak lagi karena tertotok jalan darahnya. Setelah membuat wanita itu tidak berdaya dan tidak akan dapat melarikan diri Lo Cit melompat keluar dari dalam kereta dan lari ke depan. “Apa yang terjadi? Mengapa kalian berhenti?” tanyanya ketika tiba di bagian depan rombongannya. Seorang anak buahnya yang tadi berhadapan dan berbantahan dengan laki-laki yang agaknya menghadang rombongan itu lalu berkata, “Pang-cu, orang ini yang telah menahan rombongan kita dan dia berkeras hendak melakukan pemeriksaan ke dalam kereta!” Mendengar laporan ini, Tok-Gan-Houw Lo Cit menjadi marah sekali. Matanya yang tinggal sebelah kanan itu mendelik ketika dia menghampiri dan memandang kepada laki-laki itu. Kini dia berhadapan dengan orang itu dan suaranya lantang dan membentak. “Siapakah engkau dan apa yang kau kehendaki menahan rombongan kami?” Pria itu bersikap tenang dan sama sekali tidak
150
kelihatan gentar menghadapi Lo Cit dan anak buahnya yang semua memperlihatkan sikap bengis mengancam itu. “Aku bernama Gan Hok San. Kebetulan hari ini lewat di sini dan tadi aku mendengar suara tangis dan jerit wanita dari dalam kereta itu, maka aku harus melihat mengapa wanita menangis dan menjerit seperti itu.” “Manusia lancang! la adalah isteriku sendiri. Apakah engkeu begitu berani mati hendak mencampuri urusan suami isteri yang sedang cekcok?” bentak Lo Cit. “Hemm, itu adalah keterangan sepihak, dari pihakmu. Kalau benar ia isterimu yang Sedang cekcok denganmu, aku harus mendengar sendiri dari mulut wanita itu. Biarkan aku menengok dan menanyainya sendiri.” “Keparat! Apa perdulimu dengan urusan kami? “Aku tidak akan mencampuri urusan suámi isteri. Akan tetapi aku telah mendengar jerit tangisnya dan semua urusan penasaran dan penindasan adalah urusanku. Aku harus mencegah terjadinya kejahatan dan kesewenang-wenangan.” “Manusia sombong! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau berurusan! Aku adalah Tok-Gan-Houw Lo Cit, ketua perkumpulan
151
Houw-san-pai (Perkumpulan Bukit Harimau)!” Akan tetapi pengakuan ini tidak membuat Gan Hok San kaget. Dia tersenyum dan berkata, “Aku adalah seorang, perantau aku tidak mengenal Tok-Gan-Houw Lo Cit dan perkumpulan Houw-san-pai. Sobat, aku tidak berniat buruk. Aku hanya ingin menanyai wanita yang menangis tadi. Kalau setelah kutanyai ternyata benar ia isterimu dan sedang cekcok denganmu, aku akan minta maaf kepadamu dan selanjutnya tidak akan mengganggurnu lagi.” Tentu saja Lo Cit tidak ingin orang asing ini menanyai Sim Kui Hwa yang telah menjadi tawanannya. Dia marah sekali lalu menherahkan anak buahnya untuk maju mengeroyok. “Engkau sudah bosan hidup! Dia mengerakkan tangannya ke belakang memberi isyarat kepada anak buahnya. “Hajar dan bunuh dia!” Dua orang anak buah yang berada paling depan dan yang sudah mempersiapkan golok telanjang di tangan, mendapatkan isyarat ini segera menggerakkan golok mereka dan menerjang ke depan, nenyerang orang yang bernama Gan Hok San itu. “Wuuuttt... wuutt...!!” Dua cercah sinar menyambar ke arah tubuh Gan Hok. Akan tetapi dengan sigap dan mudah pria ini dua kali
152
mengelak ke samping dua kali pula kakinya menyambar. Demikian cepat dan kuatnya serangan balik itu sehingga dua orang anak buah itu tidak mampu menghindar dan mereka roboh terpelanting karena perut mereka terkena tendangan itu. Mereka roboh dan mengaduh-aduh sambil memegangi perut mereka yang mendadak menjadi mulas sekali! Melihat ini, Lo Cit menjadi marah sekali. “Kalian mundur, biar aku menghajar manusia sombong ini!” bentaknya. Dia hendak memamerkan bahwa dia adalah seorang ketua dan tidak akan mempergunakan pengeroyokan dan sanggup untuk menghajar musuh itu seorang diri saja. Sekali melompat Lo Cit sudah berhadapan dengan Gan Hok San. Dia sudah mencabut senjatanya, yaitu sebatang golok besar yang tebal dan berat. Golok itu mengkilat tertimpa sinar matahari sore. Lo Cit hendak memperlihatkan sikap gagah di depan anak buahnya, maka dia membentak, “Orang she Gan, engkau memang bosan hidup dan mencari mati di ujung golokku. Hayo cabut senjatamu itu dan kita selesaikan urusan ini di ujung senjata!” Gan Hok San tersenyum. “Tok-Gan-Houw Lo Cit, sikapmu ini saja sudah membuktikan bahwa telah terjadi hal yang tidak semestinya di dalam kereta itu. Kalau memang benar isterimu yang menangis tadi karena cekcok
153
denganmu, tentu engkau akan membiarkan aku menengok dan menanyainya. Engkau hendak menggunakan kekerasan? Boleh, akan kulayani kehendakmu!” Setelah berkata demikian, tangan kanan Gan Hok San bergerak ke belakang punggungnya melalui atas pundak dan di lain saat tangan itu sudah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Setelah melihat lawannya memegang pedang, Lo Cit membentak, “Jaga seranganku!” Goloknya menyambar dahsyat sekali. Diam-diam Gan Hok San terkejut juga karena dari serangan pertarna ini saja dia sudah tahu; bahwa lawannya memiliki gerakan cepat dan tenaga yang besar. Lawannya memiliki ilmu silat yang tinggi, pantas saja kalau dia bersikap sewenang-wenang dan dia dapat menduga bahwa perkumpulan Houw san pastilah bukan sebuah perkumpulan bersih. Gan Hok San adalah seorang pendekar besar. Sejak muda dia hidup sebagai seorang pendekar dan namanya terkenal di daerah barat dan selatan. Dia seorang tokoh aliran Siauw Lim Pai Pai yang banyak melahirkan pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan baik budi. Hal ini tidak mengherankan karena aliran atau partai Siauw Lim Pai Pai adalah perguruan silat yang diasuh dan dibimbing oleh para pendeta Buddha sehingga para murid Siauw Lim Pai, selain menerima gemblengan ilmu silat tinggi, juga menerima
154
gemblengan batin dengan pelajaran keagamaan. ini membuat batin para murid Siauw Lim Pai pada umumnya kuat sehingga mereka mempergunakan ilmu silat mereka untuk membela kebenaran dan keadilan. Gan Hok San bertempat tinggal di lereng pegunungan Beng-san, di sebuah dusun yang tanahnya subur namun yang letaknya terpencil dan sunyi. Akan tetapi sejak mudanya dia suka melakukan perjalanan merantau dan di mana pun dia berada, dia selalu siap unjuk menolong yang lemah tertindas dan menentang yang sewenang-wenang. Sebagai seorang pendekar perantau, Gan Hok San memilih hidup sendiri dan membujang sehingga sampai berusia empat puluh tahun, dia masih belum menikah dan tidak memiliki seorangpun anggauta keluarga. Hidupnya sebatangkara di dunia ini, bebas tanpa ikatan apapun juga dan ini pula yang menjadi sebab mengapa dia suka melakukan perjalanan merantau. Melihat betapa Lo Cit yang memegang sebatang golok besar itu menyerang secara bertubu-tubi dan semua serangannya merupakan serangan maut, semakin yakinlah hati Gan Hok San bahwa Lo Cit tentu telah melakukan perbuatan jahat dan wanita yang tadi menangis dan menjerit-jerit dalam kereta itu tentu seorang korban kejahatannya. Maka, diapun menggerakkan pedangnya dengan cepat dan kuat mengimbangi serangan Lo Cit.
155
“Haiiittt! Trang-trang-trangg.” Bunga api berpijar-pijar dan Lo Cit melompat ke belakang dengan kaget sekali karena ketika pedang lawan secara beruntun bertemu dengan goloknya, dia merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat dan hampir saja golok itu terlepas dari tangannya! Maklumlah dia bahwa lawannya itu adalah seorang yang amat kuat! Sebagai seorang tokoh sesat yang sudah terbiasa dengan watak yang licik dan curang, diapun tidak ragu atau malu lagi untuk memperlihatkan kecurangannya. Kalau tadi dia bersikap gagah gagahan, hal itu hanya untuk gengsi saja. setelah mendapat kenyataan bahwa lawannya amat kuat, diapun tidak malu-malu untuk cepat berteriak kepada anak buahnya. “Keroyok dan bunuh dia!” Dua orang anak buah yang tadi terkena tendangan kaki Gan Hok San sudah bangkit dan nyeri perut mereka sudah mereda. Kini dengan marah mereka lalu bersama duabelas orang kawan mereka maju mengepung dan mengeroyok Gan Hok San. Melihat ini, semakin jelas bagi Gan Hok San dengan orang-orang macam apa dia berhadapan. Maka dia lalu menggerakkan pedangnya dengan cepat sekali, menerjang para pengeroyok. Pedangnya menyambar dahsyat dan banyak golok beterbangan ketika bertemu dengan pedangnya, ada yang patah dan ada yang terlepas dari tangan pemegangnya. Pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan segera terdengar
156
teriakan-teriakan kesakitan ketika sinar pedang itu menyambar-nyambar. Dia merobohkan para pengeroyok dengan ujung pedangnya atau dengan tamparan tangan kirinya, dibantu sambaran kakinya. Lo Cit berusaha untuk mempergunakan pengeroyokan mengalahkan pendekar itu namun dia kecelik. Biarpun dia juga sudahmenyerang dengan hebat, tetap saja semua serangannya dapat tertangkis oleh lawan Bahkan pengeroyokan yang hiruk pikuk dan kacau bałau itu menghalanginya sehingga serangannya tidak dapat dilakukan dengan lancar, terhalang oleh gerakan golok para anak buahnya. Dalam waktu singkat, delapan orang anak buah gerombolan itu sudah berpelantingan roboh dan yang enam orang lagi mulai merasa gentar, tidak berani menyerang terlampau dekat, hanya mengacung-acungkan goloknya dari jarak aman saja. Melihat ini, Lo Cit merasa bahwa pihaknya tidak akan menang. Dia lalu berlari mendekati kereta, meloncat ke tempat kusir dan menyentakkan kendali sehingga dua ekor kuda yang menarik kereta itu meloncat kedepan dan membalap. Melihat ini, Gan Hok San mengeluarkan seruan panjang dan pedangnya menyambar-nyambar sedemikian dahsyatnya sehingga sisa enam orang anak buah gerombolan itu tidak mampu menghindar dan merekapun roboh terluka oleh ujung pedangnya. Setelah merobohkan semua
157
pengeroyoknya, meihat Lo Cit melarikan kereta, Gan Hok San cepat melakukan pengejaran. Dia mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan tubuhnya melaju dengan cepatnya bagaikan terbang. Tak lama kemudian dia dapat menyusul kereta itu, bahkan mendahuluinya, kemudian membalikkan tubuhnya dan degan kedua tangannya dia menangkap moncong dua ekor kuda itu dan menahannya. “Berhenti..!!” serunya dan dua ekor kuda itu tertahan, tidak mampu bergerak maju lagi dan keretapun berhenti. Lo Cit yang berada di depan, duduk sebagai kusir, menjadi marah sekali. Dia menggerakkan cambuknya yang panjang untuk menyerang Gan Hok San. “Tarr...” Cambuk itu melecut ke arah muka Gan Hok San, akan tetapi pendekar ini menggunakan tangan kanannya menangkap ujung cambuk kemudian mengerahkan tenaga membetot. Lo Cit hendak mempertahankan, namun ia kalah kuat dan tubuhnya terbawa oleh tarikan Gan Hok San sehingga meloncat turun dari atas kereta. Akan tetapi dasar orang licik. Karena maklum tidak akan mampu menandingi lawan, begitu kedua kakinya menyentuh tanah dia lalu mengambil langkah seribu, melarikan diri dengan cepat meninggalkan kereta.
158
Gan Hok San tidak melakukan pengejaran. Tidak adanya tangisan dan jeritan lagi dari dalam kereta menggelisahkan hatinya. Maka, setelah kedua ckor kuda itu sudah tenang, dia lalu melepaskan dua ekor kuda itu dan menghampiri kereta dan membuka daun pintu kereta. Dia mendapatkan seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun, cantik jelita, berkulit putih mulus dan berwajah jelita dan anggun, duduk setengah rebah di atas kursi kereta. Wajah wanita itu pucat sekali dan kedua matanya masih basah mengeluarkan air mata yang mengalir di sepanjang kedua pipinya. Maklumlah Gan Hok San bahwa wanita itu berada dalam keadaan tertotok sehingga tidak mampu mengeluarkan suara. Dia lalu menotok kedua pundak wanita itu, menggosok tengkuk dan punggungnya dengan tangan dan, Sim Kui Hwa dapat bergerak kembali. Begitu dapat bergerak, Kui Hwa menangis... “Anakku... ah,kembalikan Anakku…, mengapa kalian begitu jahat? Kami tidak bersalah apa-apa, kenapa kalian memisahkan aku dengan anakku…” Gan Hok San maklum bahwa wanita itu tentu mengira bahwa dia adalah seorang di antara anak buah gerombolan itu, maka dia lalu keluar dari kereta dan berdiri di luar kereta lalu berkata dengan sikap hormat. “Nyonya…” katanya, menyebut nyonya karena wanita itu tadi mengeluh tenang anaknya, “harap nyonya jangan cemas dan takut
159
lagi. Semua penjahat telah kuusir pergi. Mereka telah melarikan diri dan meninggalkanmu di sini. Akan tetapi apakah yang telah terjadi, nyonya? Kenapa engkau dapat berada di kereta ini dan apa hubunganmu dengán penjahat Tok-Gan-Houw Lo Cit itu?” Sim Kui Hwa merasa heran dan juga girang mendengar ucapan itu. la menyusut air matanya dan memandang kepada pria yang berdiri di luar kereta. Lalu ia turun dari kereta itu, memandang ke sekeliling dan benar saja, di situ tidak lagi terdapat penjahat bermata satu dan anak buahnya. Laki-laki yang gagah perkasa ini telah menolongnya, menyelamatkannya! Sebagai seorang wanita yang tahu tata-krama, dengan hati terharu dan penuh harapan bahwa pendekar itu akan dapat menolong puterinya, ia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Gan Hok San sambil berkata dengan suara bercampur tangis. “Terima kasih bahwa tai-hiap (pendekar besar) telah menolong dan menyelamatkan saya dari tangan penjahat itu. Akan tetapi...mohon pertolongan tai-hiap untuk anak saya, tai-hiap!” Melihat wanita itu berlutut sambil menangis di depan kakinya, Gan Hok San lalu membungkuk, menyentuh kedua pundak wanita itu dan membantunya untuk bangkit berdiri.
160
“Nyonya yang baik, berdirilah dan mari kita bicara dengan tenang. Ceritakan apa yang terjadi dengan anakmu, tentu saja aku siap untuk menolong anakmu. Duduklah saja dalam kereta agar lebih enak dan berceritalah, nyonya. Ceritakan semua dari permulaan agar menjadi jelas bagiku.” Karena tubuhnya terasa lemas, Sim Kui Hwa menurut dan ia duduk di dalam kereta. la menghapus air matanya dan menenangkan hatinya agar dapat bercerita dengan jelas. “Nama saya Sim Kui Hwa dan saya adalah isteri dari Ouw Yang Lee majikan Pulau Naga.” “Ah! Maksudmu Ouw Yang Lee yang berjuluk Tung-Hai-Tok?” tanya Gan Hok San dengan heran dan agak kaget karena dia sudah mendengar akan narna datuk dari timur yang namanya amat terkenal itu. Sim Kui Hwa merasa girang banwa penolongnya ini telah mengenal suaminya. “Benar, tai-hiap. Malam tadi, Pulau Naga diserbu gerombolan penjahat. Suami saya dan anak buah Pulau Naga mengadakan perlawanan akan tetapi dalam kekacauan itu, saya yang šedang berada dalam taman bersama madu saya dan dua orang anak kami, telah disergap dan kami berempat ditawan oleh dua orang
161
kepala gerombolan. Kammi dilarikan dari pulau dengan perahu dan setelah tiba di pantai daratan besar kami dipisahkan. Aku bersama anakku Ouw Yang Hui dibawa oleh penjahat mata satu itu dengàn kereta, sedangkan maduku, enci Lai Kim dan anaknya entah dibawa kemana.” “Ah! Akan tetapi, bagaimana suamimu tidak dapat mencegah hal itu terjadi Bukankah dia seorang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali?” seru Hok San dengan heran. “Mungkin suamiku sedang sibuk menghadapi pengeroyokan anak buah gerombolan. Kami dilarikan dalam gelap dari taman, langsung ke pantai pulau dan dilarikan dengan perahu pada saat laut pasang dan bergelombang. Mungkin dalam kegelapan itu suamiku tidak dapat melakukan pengejaran.” Gan Hok San mengangguk-angguk. “Lalu bagaimana, Ouwyang Hu-jin (Nyonya Ouw Yang)? “Saya dan anak saya Ouw Yang Hui dilarikan dengan kereta, akan tetapi setelah kereta tiba di jalan persimpangan, kami berdua dipisahkan dengan paksa. Anakku dibawa oleh seorang anggauta gerombolan entah ke mana dan aku sendiri dilarikan oleh si mata satu. Aku menjerit dan menangis sampai engkau muncul dan aku
162
ditotok sehingga tidak dapat bergerak atau bersuara seperti tadi, in-kong (tuan penolong).” la terisak lagi karena teringat akan anaknya, lalu melanjutkan, “Tolonglah anak saya, tai-hiap (pendekar besar), tolonglah selamatkan anak saya!” Gan Hok San mengerutkan alisnya. “Tentu aku siap untuk menolong anakmu, nyonya. Akan tetapi bagaimana aku bisa tahu ke mana anakmu dibawa pergi? Tidak ada petunjuk ke mana anakmu dibawa pergi. Apakah si mata satu itu tidak mengatakan' apa-apa ketika dia menyuruh seorang anak buahnya membawa lari anakmu?” “Aku masih ingat. Orangnya berusia kurang lebih tiga puluh tahun, tinggi dan mukanya kurus seperti tengkorak. Namanya.. kalau tidak salah ketika si mata satu memanggilnya, adalah Ji Tong. Si mata satu hanya mengatakan demikian: Ji Tong seperti sudah kuperintahkan dengan jelas kepadamu, bawalah anak ini sekarang juga Engkau tahu sudah apa yang harus kaulakukan dengan anak itu. Demikianlah pesannya itu dan Ji Tong itu lalu melarikan anak saya di atas kuda. Aku mendengar Ouw Yang Hui menjerit-jerit.” Kembali ia terisak ketika teringat akan anaknya.
163
“Petunjuk itu belum jelas benar, akan tetapi rasanya cukup untuk mencari jejak orang bernama Ji Tong itu. Mari kita menggunakan kereta ini untuk mencari jejaknya, nyonya.” “Saya hanya menyerahkan kepada pertolonganmu, tai-hiap. Saya akan duduk di depan sebagai penunjuk jalan.” Sim Kui Hwa lalu pindah duduk di depan, di samping Gan Hok San yang mengendalikan dua ekor kuda. Kereta diputar dan mulailah meluncur mengikuti jalan dari arah mana tadi kereta datang. Gan Hok San menjalankan kereta dengan cepat. Akan tetapi setelah tiba di jalan simpang tiga, malam telah tiba dan cuaca sudah mulai gelap. “Di sinilah jalan simpang itu, taihiap. Di sini anakku dibawa lari ke arah jalan itu!” Sim Kui Hwa menunjuk kemana terdapat sebuah jalan yang menuju ke utara. Akan tetapi malám telah tiba, hu-jin. Kita tidak dapat melihat jalan. Aku khawatir kita bukannya mendapatkan jejak orang itu, bahkan akan tersesat jalan. baiknya kita melewatkan malam di sini dan besok pagi-pagi setelah terang tanah baru kita lanjutkan pencarian ini.” Sim Kui Hwa mengangguk lesu. “Saya pikir engkau benar, tai-hiap. Tidak ada jalan yang lebih baik dari pada melewatkan malam gelap di tempat ini.”
164
“Engkau dapat beristirahat dan tidur di dalam kereta, nyonya, sedangkan aku akan menjaga keamanan di depan ini.” Sim Kui Hwa mengangguk dan berpindah duduk ke dalam kereta. Sementara itu. Gan hok San membuat api dan menyalakan lampu yang terdapat di pinggir kereta. untung bahwa minyak pada lampu itu masih penuh sehingga malam itu mereka tidak akan kegelapan. Setelah menyalakan lampu lalu, Gan Hok San membongkar buntalan pakaiannya dan mengeluarkan beberapa potong roti kering dan daging kering,juga seguci minuman anggur “Silakan makan, nyonya.. adanya hanya roti dan daging kering serta minuman anggur yang tidak begitu keras. Walaupun sederhana namun lumayan untuk sekedar mengurangi rasa lapar.” Gan Hok San mempersilakan Sin Kui Hwa. Karena tubuhnya memang terasa amat letih dan lapar, wanita itupun membuang rasa malu dan ikut makan walaupun sedikit. la merasa beruntung sekali bertemu dengan seorang penolong yang demikian baik dan sopan. Pada malam hari itu, Sim Kui Hwa dapat melepaskan kelelahan dan tidur pulas di dalam kereta, sedangkan Gan Hok San hanya duduk bersila di tempat kusir. Dia sudah terbiasa beristirahat dalarn keadaan seperti samadhi. Dalam keadaan seperti itu, semua urat syarafnya dapat beristirahat dan sama seperti orang
165
tidur, walaupun telinganya tetap waspada untuk menjaga segala ancaman yang datang. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali begitu sinar matahari pagi mulai menyentuh tanah, Gan Hok San melanjutkan perjalanan. Seperti juga pada kemarin sore Sim Kui Hwa berpindah duduk di depan, disamping Gan Hok San. Kereta dijalankan oleh Gan Hok San, kini tidak begitu cepat perti kemarin karena di sepanjang jalan itu mereka memasang mata memandang kanan kiri mencari jejak. Setelah mereka tiba tak jauh dari kota Nam-po, tiba-tiba Gan Hok San menghentikan keretanya. Sim Kui Hwa juga melihat tubuh laki-laki yang menggeletak di tepi jalan itu. Biarpun hatinya merasa ngeri, wanita ini ikut turun bersama Gan Hok San dan mereka menghampiri orang yang menggeletak di tepi jalan itu. Orang itu rebah menelungkup dan dengan kakinya, Gan Hok San membalik tubuh yang telah menjadi mayat itu. “Ahh...!! Dialah orangnya... dia orang yang bernama Ji Tong, yang melarikan anak ku di atas kuda itu!” Jerit Sim Kui Hwa dengan mata terbelalak sambil telunjuknya menuding ke arah muka mayat itu. Gan Hok San mengerutkan alisnya.
166
“Orang ini telah terbunuh oleh bacokan-bacokan senjata tajam. Ada yang membunuhnya. Akan tetapi kuda dan anakmu itu tidak berada di sini.” “Ahhh Hui ji... dimanakah engkau? Apa yang terjadi denganmu,,tanya Sim Kui Hwa sambil mengusap air matanya. Ibu muda itu menangis. Sementara itu, Gan Hok San mencari jejaknya di sekitar tempat itu. Akan tetapi dia tidak melihat sesuatu. “Nyonya, kurasa anakmu tentu dibawa.” “Akan tetapi, siapa dia dan ke mana?” “Aku tidak tahu, nyonya. Akan tetapi kurasa Anakmu dibawa oleh orang yang telah membunuh Ji Tong ini. Mengingat bahwa Ji Tong adalah seorang penjahat, besar kemungkinan yang membunuhnya adalah seorang pendekar yang berniat menolong anakmu. Kalau dugaanku ini benar, tentu dia sudah mengantar anakmu kembali ke Pulau Naga. Tentu anakmu mengaku siapa ayahnya dan dia sudah mengantarkan anakmu itu ke sana.” “Terima kasih kepada Thian kalau begtu!” seru Sim Kui Hwa penuh harap. “Lalu sekarang bagaimana baiknya, tai-hiap?”
167
“Kalau kita melakukan pencarian, kurasa akan sukar sekali, nyonya. Kita tidak tahu ke mana anak itu dibawa, dan kurasa kalau memang benar pembunuh Ji Tong ini seorang pendekar, anakmu tentu akan diantarkan pulang ke Pulau Naga. Karena itu tidak ada artinya kita mencari jejak orang yang membawa anakmu. Lebih baik engkau kuantar pulang ke Pulau Naga,” kata Gan Hok San. “Akan tetapi bagairnana kalau Hu-ji (anak Hui) tidak diantar pulang ke Pulau Naga?” tanya Sim Kui Hwa meragu. “Mudah-mudahan saja tidak begitu. Akan tetapi seandainya pembunuh Ji Tong itu tidak mengantarkan anakmu pulang ke sana kita dapat melapor kepada suamimu dan aku percaya dia pasti akan mampu mencari anakmu sampai dapat.” Setelah termenung sejenak, Sim Kui Hwa berkata, “Baiklah, biar saya pulang ke Pulau Naga. Akan tetapi saya hanya akan merepotkan engkau saja, tai-hiap. Entah bagaimana saya akan dapat membalas semua kebaikanmu, sejak engkau menyelamatkan saya dari tangan Lo Cit, sampai mencari anakku, kemudian engkau bahkan akan mengantarku pulang ke Pulau Naga.” Suara nyonya itu mengandung keharuan karena budi pertolongan pendekar itu sungguh terasa amat besar baginya. Gan Hok San tersenyum dan wajahnya berseri.
168
“Senang sekali hatiku dapat menolongmu, nyonya. Kuharap saja anakmu sudah diantar pulang oleh penolongnya sehingga engkau akan dapat berkumpul kembali dengan suami dan anakmu, dan hidup berbahagia.” “Terima kasih, tai-hiap. Engkau benar-benar seorang pendekar yang budiman, semoga Thian selalu akan memberkahimu!” kata Sim Kui Hwa terharu. Gan Hok San melompat ke atas tempat duduk kusir. Sambil tersenyum dia menggerakkan cambuk kereta itu ke atas dua ekor kuda. “Tar-tar-tar!” dan dua ekor kuda itu lalu membalik dan berlari menuju ke jalan simpang tadi. Wajah Gan Hok San masih tersenyum-senyum dan dia sendiri merasa amat heran kepada dirinya sendiri. Mengapa ada perasaan gembira yang demikian membahagiakan menyusup dalam hatinya mendengar ucapan terakhir dari nyonya itu? Belum pernah dia merasakan hatinya merasa bahagia seperti itu. Dia mulai memutar otaknya, menyelidiki diri sendiri. Akan tetapi seluruh perhatiannya tidak dapat dialihkan dari dalam kereta di mana nyonya itu duduk seorang diri. Dan tiba-tiba dia menyadari keadaannya. Dia telah jatuh cinta! Untuk pertama kali dalam hidupnya yang sudah empat puluh tahun itu dia jatuh cinta. Kepada nyonya ini. Kepada isteri orang, isteri datuk besar dari timur lagi!
169
“Engkau telah gila!” bisik hatinya dan cambuknya meledak-ledak di atas kepala kuda sehingga dua ekor kuda itu berlari semakin kencang. Ketika mereka tiba di jalan simpang tiga, Gan Hok San membelokkan kereta itu kekiri dan menuju ke timur karena arah perjaanan itu adalah Laut Timur di mana Pulau Naga terletak. Dalam perjalanan menuju ke pantai Laut Timur ini, Gan Hok San selalu bersikap manis dan lembut akan tetapi penuh sopan santun terhadap Sim Kui Hwa sehingga nyonya muda itu semakin berkurang rasa rikuhnya dan menjadi akrab karena ia menganggap pendekar itu seorang yang benar-benar patut untuk dijadikan sahabat. Akan tetapi ketika mereka tiba di tepi laut, mereka mendapatkan kenyataan bahwa air laut sedang pasang dan bergelombang besar sehingga amat berbahaya untuk berperahu menyeberang ke Pulau Naga yang cukup jauh dari pantai, “Keadaan laut tidak mengijinkan untuk pelayaran, nyonya. Tidak ada lain pilihan kecuali kita harus menanti sampai air laut tenang kembali,” kata Gan Hok San. Sim Kui Hwa hanya menurut saja karena memang kenyataannya demikian. Pendekar itu lalu mencari sebuah perkampungan nelayan di pantai untuk tempat bermalam selama menanti air laut surut dan tenang. Diapun mencarikan dan membeli satu stel pakaian untuk pengganti
170
pakaian Sim Kui Hwa yang sudah kotor, biarpun pakaian itu hanya pakaian wanita nelayan yang sederhana sekali, akan tetapi mengenakan pakaian yang sederhana itu tidak mengurangi kejelitaan Sim Kui Hwa, bahkan dalam pakaian bersahaja itu kecantikannya semakin menonjol dalam pandangan Gan Hok San! Beginilah kuasa cinta terhadap hati seorang manusia, terutama kaum prianya. Kalau hati sudah jatuh cinta, bagaimanapun keadaan wanita yang dicintanya itu, akan selalu tampak indah menarik. Sedang cemberutpun tampak semakin manis! Pakaian jelek sederhana bahkan menonjolkan kecantikannya! Akan tetapi sebaliknya kalau orang sedang membenci. Orang yang dibencinya sedang terseyumpun tampak jelek sekali dan seperti menertawakannya sehingga menambah kebenciannya! Mereka terpaksa harus menanti sampai tiga malam di perkampungan itu sebelum mereka akhirnya berani menyewa sebuah perahu nelayan yang berani mengantarkan mereka ke Pulau Naga. Berdebar-debar rasanya jantung di dada Sim Kui Hwa ketika ia duduk di dalam perahu yang meluncur cepat menuju ke tengah lautan itu. Berdebar penuh harapan untuk mendapatkan puterinya sudah kembali ke pulau dengan selamat. Akan tetapi ada debar lain yang tidak mengenakkan hatinya. Setelah ia tiba di pulau dan
171
berkumpul kembali dengan suami dan anaknya, ia harus melihat tuan penolongnya ini pergi meninggalkan pulau, meninggalkannya dan bayangan ini entah mengapa membuat hatinya merasa kecewa dan sedih. Makin jelas pulau itu tampak, makin kencang debar jantung dalam dada Sim Kui wa. Akhirnya tukang perahu dapat membawa perahu ke tepi dan perahu terpaksa berhenti di kedalaman selutut. Daratan masih terpisah dua meter lebih dari perahu. Karena itu, terpaksa Gan Hok San berkata dengan sikap hormat kepada Sim Kui Hwa. “Nyonya, engkau harus menyeberang kecuali kalau aku boleh memondongmu dan membawa melompat ke darat.” Sim Kui Hwa yang sudah merasa akrab dan tahu bahwa penolong itu bukan seorang pria yang kurang ajar atau mata keranjang, mengangguk sambil tersenyum. “Tentu saja boleh, tai-hiap. Silakan,” katanya lirih. Biarpun dia sudah menguatkan hatinya, tetap saja jantungnya berdebar keras ketika kedua lengannya memondong tubuh wanita itu dan sekali menggerakkan tubuh, dia sudah membawa nyonya itu melompat ke darat, lalu diturunkannya dengan lembut dan hati-hati. Sama sekali dia tidak mengira bahwa pada saat itu, Ouw Yang Lee berlari-lari dari tengah pulai dan melihat ketika Sim Kui Hwa dipondong dan dibawa loncat ke darat olehnya.
172
Ketika tadi perahu nelayan mendekati pantai, dua orang anak buah Pulau Naga telah melihatnya dan ketika mereka melihat ji-hujin (Nyonya Ke Dua) berada dalam perahu itu, cepat mereka lari melapor kepada Ouw Yang Lee. Mendengar laporan bahwa isterinya yang ke dua datang dengan perahu, Ouw Yang Lee cepat berlari menuju ke pantai itu. Dia berlari cepat sekali dan sempat melihat ketika isterinya dipondong seorang pria dan dibawa melompat turun ke darat. alisnya berkerut dan sepasang matanya mencorong penuh cemburu dan kemarahan. Ketika Sam Kui Hwa melihat suaminya berlari mendekatinya, ia lalu berlari juga menyambut dan mengembangkan kedua lengannya untuk merangkul suaminya sambil terisak menangis. Akan tetapi Ouw Yang lee menangkis dan nendorong kedua lengan itu, tidak mau dirangkul. “Mana Ouw Yang Hui, Ouw Yang lan dan ibunya?” tanya Ouw Yang Lee dengan suara mengandung geram. Mendengar pertanyaan ini, Sim Kui Hwa yang sudah merasa heran akan penyambutan suaminya yang dingin, menjadi terkejut sekali. “Apakah... bukankah Hui-ji sudah diantar pulang oleh seseorang?” tanyanya penuh harap dan matanya mencari-cari untuk melihat apakah Ouw Yang Hui juga ikut menyambut kedatangannya.
173
“Tidak ada, Hui-ji belum pulang. Hayo cepat ceritakan apa yang telah ter jadi dan siapa orang ini!” Dia menuding ke arah Gan Hok San yang masih berdiri dengan sikap tenang Sim Kui Hwa tidak mengerti akan sikap suaminya yang menyambutnya sedingin itu, juga ia terkejut sekali mendapat keterangan bahwa anaknya belum pulang. Dengan suara bercampur tangis ia menceritakan pengalamannya. “Malam itu, aku dan enci Lai Kim beserta Lan-ji(Anak Lan) dan Hui-ji ditawan dan dilarikan oleh dua orang jahat ke pantai, lalu kami dibawa pergi dengan perahu menuju ke daratan besar. Setelan tiba di sana, kami dipisahkan. Enci Lai Kim dan Lan-ji dibawa pergi seorang penjahat, sedangkan aku dan Hui-ji dibawa dengan kereta oleh penjahat yang lain. Di tengah perjalanan, Hui-ji dilarikan seorang anak buah gerombolan dan aku dilarikan oleh pimpinan penjahat yang bernama Tok-Gan-Houw Lo Cit. Akan tetapi di tengah jalanan, aku ditolong oleh tai-hiap Hok San ini. Dia amat baik, selain menyelamatkan aku juga sudah berusaha untuk mencari Hui-ji, akan tetapi di tengah perjalanan kami menemukan orang yang melarikan Hui-ji telah menggeletak di tepi jalan, sudah mati. Kami kira Hui-ji ada yang menolong dan mengembalikan ke Pulau Naga. Demikianlah apa yang kualami.”
174
“Akan tetapi, kembali ke Pulau Naga mengapa sampai memakan waktu berhari-hari? Perempuan tidak tahu malu! Engkau bergaul dengan laki-laki selama berhari-hari, berdua saja. Perempuan macam apa engkau ini?” mukanya pucat dan matanya terbelalak. “Jangan sebut aku suamimu! Engkau tidak patut menjadi isteriku dan aku tidak percaya bahwa engkau masih menjadi isteriku yang setia. Engkau telah bergaul berdua saja dengan laki-laki lain selama beberapa hari. Aku tidak sudi lagi mengakuimu sebagai isteriku!” “Fitnah...! Itu fitnah... Aku...aku..hanya berterima kasih kepada Gan-taihiap dan dia sudah begitu baik, bahkan mengantarkan aku pulang, dan engkau menuduh kami yang bukan-bukan?” “Aku tidak menuduh! Aku masih mempunyai sepasang mata yang dapat melihat dengan jelas. Ketika mendarat tadi, engkau membiarkan dirimu dipondong dengan mesra. Itu saja sudah membuktikan bahwa engkau telah berbuat serong dengan laki-laki ini!” bentak Ouw Yang Lee dengan marah. “Demi Tuhan, aku tidak melakukan perbuatan tercela itu!” “Tidak perlu menyebut nama Tuhan engkau perempuan hina. Orang macam engkau tidak pantas menjadi isteriku bahkån tidak
175
pantas untuk hidup lebih lama lagi. Lebih baik engkau mati di tanganku dari pada mencemarkan dan menodai nama besar dan kehormatanku!” Setelah berkata demikian, Ouw Yang Lee menggerakan tangan kanannya, memukul dari jarak jauh dengan pengerahan tenaga sin-kang yang amat kuat. Dia yakin bahwa dengan pukulan jarak jauh itu, sekali pukul dia dapat membunuh wanita yang menimbulkan kebencian dan kemarahan karena cemburu itu. Hawa pukulan yang amat kuat menyambar ke arah tubuh Sim Kui Hwa. Akan tetapi ada angin menyambar dari samping, menyambut pukulan jarak jauh yang dilontarkan Ouw Yang Lee itu. “Wuuutt...desss...!” Dua tenaga sakti bertemu di udara dan akibatnya, kedua orang jagoan itu terdorong mundur beberapa langkah. Ouw Yang Lee terkejut bukan main dan dia tidak memperdulikan lagi Sim Kui Hwa yang menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. Ouw Yang Lee memandang kepada Gan Hok San yang telah berani menangkis pukulannya tadi. “Keparat, siapa engkau yang berani mencampuri urusan antara suami dan isterinya?” bentak Ouw Yang Lee menudingkan telunjuknya ke muka Gan Hok san. Pendekar ini tersenyum tenang sambil melangkäh maju mendekati Ouw Yang Lee, mudian berkata dengan suara tegas Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee!
176
“Telah lama aku mendengar akan nama besarmu sebagai seorang datuk timur yang berilmu tinggi dan disegani. Akan tetapi apa yang kudapatkan sekarang? Engkau bukan lain hanyalah seorang suami yang sama sekali tidak bijaksana, seorang pencemburu besar yang tidak tahu akan kesetiaan dan kebaikan budi isterinya sendiri, seorang laki-laki kejam yang hendak membunuh begitu saja ibu dari anaknya sendiri! Aku Gan Hok San tidak mencampuri urusan antara suami dan isterinya. Akan tetapi tentu saja kalau melihat tindakan sewenang-wrnang, aku akan mencampuri, menentang yang sewenang-wenang, dan menolong orang yang menjadi korban kesewenang-wenangan. Sebagai seorang murid Siauw Lim Pai Pai aku sudah bersumpah untuk membela kebenaran dan keadilan, di manapun juga aku berada.” Terkejut juga hati Ouw Yang Lee. Dia teringat bahwa dia pernah mendengar akan nama besar tokoh Siauw Lim Pai Pai ini. “Hemm, kiranya engkau tokoh Siauw Lim Pai Pai bernama Gan Hok San itu! Kalau aku tetap hendak membunuh isteriku sendiri ini, engkau mau apa?” “Aku akan mencegahnya sekuat tenaga dan menyelamatkan wanita ini. Aku pandang ia sebagai seorang wanita yang membutuhkan pertolongan, bukan sebagai isterimu. Tentu saja engkau dapat mengerahkan anak buahmu untuk mengeroyok aku,
177
akan tetapi kalau kaulakukan itu, hal itu hanya akan membuktikan bahwa sesungguhnya nama besar Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee hanya nama kosong belaka, karena sesungguhnya dia hanya seorang pengecut yang curang.” “Jahanam keparat yang sombong dan bermulut besar! Kaukira aku takut kepadamu untuk bertanding satu lawan satu? Mari kita buktikan dan mengadu kepandaian!” Gan Hok San menyapu ke arah para anak buah Pulau Naga yang sudah berkumpul di situ dan mulutnya tersenyum mengejek. “Benarkah satu lawan satu? Anak buahmu yang sudah siap itu tidak akan mengeroyok? Aku sangsikan hal itu!” Hati Ouw Yang Lee menjadi semakin panas. Dia adalah seorang gagah perkasa yang sudah yakin akan kehebatan ilmu silatnya, seorang yang dianggap datuk timur. Tentu saja dia merasa malu untuk melakukan pengeroyokan setelah ditantang untuk bertanding satu lawan satu. Dia lalu membalikkan tubuhnya dan berteriak kepada anak buahnya. “Kalian mundur dan tonton saja dari jauh. Awas, tak seorangpun boleh turun tangan dalam perkelahian antara aku dan dia ini!” Mendengar perintah itu, para anak buah Pulau Naga lalu mundur dan hanya nonton dari jarak jauh.
178
“Ouw Yang Lee, sebelum kita bertanding, aku ingin lebih dulu mengetahui bagaimana kalau engkau nanti kalah atau menang dalam pertandingan ini? Aku tetap curiga bahwa kalau engkau kalah olehku, engkau akan mengerahkan anak buahmu untuk mengeroyok aku!” “Gan Hok San manusia sombong, aku berjanji tidak akan melakukan pengeroyokan, apapun yang terjadi. Aku sudah mengeluarkan perintah dan anak buahku tidak akan ada yang berani melanggar perintahku. Karena engkau datang tanpa diundang sebagai seorang tamu tak diundang engkau harus menaati peraturan yang diadakan tuan rumah. Akulah yang menentukan,Kalau dalam pertandingan ini engkau kalah maka engkau akan mati dan apa yang akan kulakukan terhadap isteriku ini tidak ada seorang pun boleh mencampurinya” “Hemm, itu kalau aku kalah, tentu saja terserah kepadamu. Akan tetapi bagaimana seandainya engkau yang kalah?” “Hemm, kalau aku kalah olehmu, engkau boleh membawa perempuan ini bersamamu dan meninggalkan pulau ini. kata Ouw Yang Lee. Tiba-tiba Sim Kui Hwa berseru...,
179
“Tidaaakk…” Dan ia bangkit lalu la menghampiri Gan Hok San dan berkata “Gan-tai-hiap, pergilah sekarang juga jangan mencampuri urusan kami. Biar aku dibunuh suamiku, akan tetapi engkau yang tidak bersalah apa-apa tidak boleh terancam kematian. Pergilah dan aku akan berterima kasih kepadamu sarnpai aku mati. Gan Hok Sah tersenyum. “Minggirlah, nyonya. Aku harus menolong dan melinungimu, biar untuk itu aku harus mempertaruhkan nyawaku. Marilah, Ouw Yang Lee, aku menerima dan menyetujui peraturan yang kautentukan tadi. Aku telah siap menandingimu!” Setelah berkata demikian,Gan Hok San melangkah maju sehingga berhadapan dengan Ouw Yang Lee dalam jarak lima meter. Kedua orang gagah itu saling pandang bagaikan dua ekor singa yang saling menantang atau dua ekor ayam jantan yang hendak berlaga, Saling pandang dengan pandang mata mencorong dan penuh selidik, seolah dengan pandang mata itu mereka hendak mengukur kekuatan masing-masing. Gan Hok San memasang gerakan pembukaan dengan kedua kaki terpentang dan lutut ditekuk seperti orang menunggang kida, kedua tangannya dirangkap di depan dan sepasang matanya mencorong memandang lawan untuk
180
mengikuti semua gerak-geriknya. Maklum bahwa lawannya yang menjadi tokoh Siauw Lim Pai Pai itu tentu memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga sin-kang (tenaga sakti) yang kuat, Ouw Yang Lee juga sudah mengerahkan sin-kang yang mengandung hawa beracun. Dia membuat kedua lengan tangannya tergetar dan perlahan-lahan kedua kulit lengannya itu berubah menjadi kemerahan! Itulah pengerahan ilmu yang disebut Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah), satu di antara ilmu-ilmunya tentang racun. Kedua tangan itu sudah dirawatnya sedemikian rupa sehingga kalau dikerahkan, hawa beracun merah itu akan timbul dan pukulannya mengandung racun merah yang dapat membuat tubuh lawan yang terpukul menjadi seperti terkena bara api! Melihat ini, Gan Hok San sebagai seorang jagoan atau pendekar yang banyak pengalarman, dapat menduga bahwa lawannya tentu memiliki pukulan-pukulan keji yang beracun sesuai dengan nama julukannya Racun Lautan Timur. Maka pendekar inipun sudah melindungi kedua lengannya dengan pengerahan ilmu kekebalan Tiat-pou-san (Ilmu Kebal Baju Besi) sehingga kedua lengannya itu terlindung oleh sin-kang yang amat kuatnya sehingga dengan lengan telanjang dia akan mampu menangkis senjata-senjata tajam dan menolak serangan hawa beracun.
181
“Sambut seranganku! Haiiiittttt...!” Ouw Yang Lee membentak nyaring sekali dan dia sudah menerjang dengan tamparan tangan kirinya ke arah kepala lawan. Gan Hok San menundukkan kepalanya sehingga tamparan itu lewat mengenai tempat kosong. Akan tetapi tangan kiri Ouw Yang Lee menyusul dengan pukulan membalik, menggunakan tangan itu seperti sebatang golok menghantam ke arah leher lawan. Hantaman ini didahului oleh angin yang menyambar dahsyat dan berbau amis, tanda bahwa tangan itu mengeluarkan hawa pukulan beracun. Namun Gan Hok San tidak menjadi gentar. Dia mengangkat lengan kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya. “Dukkk!” Kedua lengan kiri itu bertemu dengan kuatnya dan akibatnya, mereka berdua terdorong mundur dan agak terhuyung. Hal ini membuat Ouw Yang Lee menjadi semakin penasaran dan kembali dia mengeluarkan bentakan nyaring dan menerjang dengan hantaman tangan kanannya ke arah dada lawan. Gan Hok San kembali menangkis dan ketika tangan lawan terpental, dia membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya, menggunakan tangan kiri dari samping nenampar ke arah pelipis kanan lawan. “Wuuutt... dukk!” Ouw Yang Lee juga berhasil menangkis pukulan ini. Mereka lalu saling serang dengan ganas dan hebatnya.
182
Keduanya ternyata memiliki gerakan yang sama kuatnya, akan tetapi perlahan-lahan tampak bahwa dalam hal kegesitan atau gin-kang (ilmu meringankan tubuh), Gan Hok San masih unggul sedikit. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga Ouw Yang Lee merasa terdesak dan bingung mengikuti gerakan lawan yang demikian cepatnya. Sim Kui Hwa yang sudah bangkit berdiri terpaksà menonton jalannya pertandingan itu dengan wajah pucat sekali. la mengenal suaminya sebagai seorang yang amat keras hati dan kalau Gan Hok San kalah, tentu pendekar dan penolongnya itu akan dibunuh mati sedangkan ia sendiripun tidak ada harapan untuk diampuni. Tentu saja ia tidak mengharapkan kekalahan bagi Gan Hok San karena ia tidak ingin melihat penolongnya itu tewas dan dirinya sendiri terancam maut. Akan tetapi Ouw Yang Lee adalah suaminya,ayah dari anaknya maka tentu saja ia pun mengharapkan bahwa kalau Gan Hok San menang, pendekar itu tidak akan membunuh Ouw Yang Lee. Biarpun ia menjadi isteri Ouw Yang Lee sudah hampir sepuluh tahun, akan tetapi wanita yang cantik dan berwajah lembut ini sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu silat. Maka ia tidak dapat mengikuti pertandingan itu dengan jelas, tidak tahu siapa yang akan menang atau kalah. Tiba-tiba Song Bu lari
183
dari kelompok para anak buah Pulau Naga, mendekati Sim Kui Hwa. Wanita ini yang sudah amat akrab dengan anak itu, menganggap anak itu sebagai anak sendiri, merangkulnya, seolah minta dilindungi. Song Bu juga menonton per tandingan itu dan dia sendiripun belum cukup lihai untuk dapat mengikuti dan menilai jalannya pertandingan. Perkelahian tangan kosong itu sudah mencapai puncaknya. Dengan kegesitannya, tiba-tiba kaki Gan Hok San mencuat dan mengenai paha lawannya. Ouw-yan Lee terhuyung dan hampir roboh! Sebetulnya hal ini sudah menunjukkan bahwa dia masih kalah dalam pertandingan silat tangan kosong itu. Akan tetapi datuk ini tentu saja tidak mau mengaku kalah demikian saja. “Singgg...” Tampak sinar berkilat ketika dia mencabut pedangnya. Biasanya,Ouw Yang Lee cukup bersenjatakan dayung bajanya kalau menghadapi lawan biasa. Kalau dia sampai mencabut pedangnya, hal itu menunjukkan bahwa lawan yang dihadapinya amat tangguh. “Keluarkan senjatamu dan lawan pedangku kalau engkau memang jantan!” bentaknya sambil memalangkan pedangnya didepan dada. “Hemm, Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee! Belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, engkau sudah mernpergunakan pedang,Baiklah, kalau engkau ingin ber tanding dengan sènjata,
184
aku akan melayanimu!” Setelah berkata demikian, Gan Hok San menggerakkan tangan kanan ke belakang punggung dan tampak sinar berkilat ketika dia mencabut sebatang pedang yang bersinar kebiruan. Dia melihat betapa ujung pedang dan di sepanjang mata pedang yang dipegang lawannya berwarna kehitaman, maka tahulah dia bahwa pedang lawannya itu mengandung racun yang berbahaya. Dia harus menjaga diri dengan hati-hati karena tergores sedikit saja oleh pedang itu berarti bahaya maut mengancam dirinya! Melihat lawannya sudah memegang pedang, Ouw Yang Lee membentak nyaring, “Sarnbut pedangku!” dan dia sudah menerjang ke depan, pedangnya berkelebat dan menyerang dengan sabetan ke arah leher. Gan Hok San mengerahkan tenaga dan menggerakkan pedangnya menangkis. “Trang...!” Bunga api berpijar ketika dua batang pedang itu saling bertemu dengan kuatnya. Demikian kuatnya dua batang pedang itu beradu, sehingga membuat keduanya terpental dan dua orang yang sedang bertanding itu melompat ke belakang untuk memeriksa pedang masing-masing. Setelah dengan hati lega melihat bahwa pedang mereka tidak rusak, mereka lalu maju lagi dan saling serang dengan dahsyatnya, Akan tetapi ternyata sekali ini Ouw Yang Lee salah perhitungan. Kalau tadi, ketika mereka
185
bertanding dengan tangan kosong, tingkat kepandaian mereka berimbang dan dia hanya kalah dalam hal kecepatan gerakan, kini setelah mereka bertanding dengan silat pedang, Ouw Yang Lee terkejut sekali. Ilmu pedang yang dimainkan Gan Hok San ternyata hebat sekali dan segera dia terdesak hebat. Setelah lewat lima puluh jurus, Ouw Yang Lee hanya mampu bertahan saja, menangkisi hujan serangan Gan Hok San dengan main mundur. Masih untung baginya bahwa pendekar Siauw Lim Pai itu tidak bermaksud membunuhnya. Ketika mendapatkan kesempatan, ujung pedang Gan Hok San hanya melukai pundak kanan Ouw Yang Lee sehingga baju berikut kulit pundak nya terobek. Majikan Pulau Naga ini terpaksa melompat ke belakang dengan muka berubah kemerahan. Dia merasa penasaran dan malu sekali karena dia harus mengakui bahwa dia telah kalah. Kalau dia nekat dan dilanjutkan, belum tentu kalau lawannya akan demikian bermurah hati dan hanya melukai ringan pada pundaknya. “Gan Hok San, pergilah engkau dan bawa serta perempuan hina ini!” katanya sambil mendelik memandang kepada Sim Kui Hwa. Wanita itu menangis dan menjatuhkandiri berlutut. Song Bu merangkulnya.
186
“Subo, harap jangan rnenangis...” Dia menghibur. “Song Bu, ke sini engkau” Ouw Yang Lee membentak dan Song Bu cepat meninggalkan Sim Kui Hwa dan menghampiri gurunya lalu berdiri di sampingnya. “Aku adalah isterimu, selama sepuluh tahun menjadi isterimu yang setia, kenapa engkau menyuruh aku pergi mengikuti seoang laki-laki lain?” Wanita itu meratap. “Kalau engkau tetap tinggal di sini, akan kubunuh!” Ouw Yang Lee membentak. “Ouw Yang Lee! Seorang laki-laki tidak akan menjilat ludah sendiri yang telah dikeluarkan, tidak akan mengingkari janji sendiri yang telah diucapkan. Engkau berjanji tidak akan membunuh wanita ini!” Gan Hok San menegur. “Aku berjanji tidak akan membunuhnya, akan tetapi tidak berjanji untuk menerimanya kembali tinggal di sini! Wanita rendah ini tidak boleh tinggal di atas pulau ini dan kalau ia nekat, tentu akan kubunuh!” “Bunuh saja aku... ahh, bunuh saja… Gan Hok San yang diam-diam telah jatuh hati kepada wanita itu dan merasa amat iba, lalu
187
menghampiri dan berkata dengan suara lembut. “Nyonya, sudah jelas suamimu bersikap kejam kepadamu. Tidak baik membiarkan dia membunuhmu. Apakah nyonya tidak ingat kepada puterimu yang hilang dibawa orang? Apakah nyonya tidak ingin mencarinya dan menemukannya kembali?” Mendengar ini, Sim Kui Hwa meratap. “Nah, kalau engkau ingin menemukan puterimu sampai dapat ditemukan, nyonya,marilah kuantar engkau mencari anakmu, Sia-sia saja membuang nyawa di sini membiarkan anakmu kehilangan ibunya sedangkan ayahnya sudah begitu kejam terhadap dirlnya.” Sim Kui Hwa menurunkan kedua tangan yang menutupi mukanya dan dengan mata merah dan basah memandang suaminya. “Suamiku... benarkah engkau begitu tega tidak mau enerimaku kembali dan mencari anak kita Ouw Yang Hui sampai dapat ditemukannya?” tanyanya dengan suara memelas. “Perempuan rendah, aku tidak sudi menerimamu! Pergilah engkau dengan penolong dan kekasihmu itu, aku tidak perduli!” Kui Hwa terkulai dan roboh pingsan di atas tanah. “Ouw Yang Lee, engkau manusia kejam dan tak berprikemanusiaan! Lain kali kalau kita saling bertemu kembali,
188
aku pasti akan membunuhmu!” kata Gan Hok San dan diapun segera menghampiri dan mengangkat tubuh Sim Kui Hwa yang pingsan, Memondongnya dan membawanya ke pantai di mana perahunya berada. Dengan tenang dan tanpa menengok lagi kepada Ouw Yang Lee dan anak buahnya, dia merebahkan tubuh Sim Kui Hwa di dalam perahu, lalu mendayung perahu itu ke tengah dan meninggalkan Pulau Naga. Setelah Gan Hok San pergi, diikuti pandang mata Ouw Yang Lee yang masih berdiri bertolak pinggang dengan alis berkerut, menyesali kekalahannya, Song Bu menghampirinya. “Suhu, kenapa suhu membiarkan orang itu pergi membawa subo? Kenapa tidak mengerahkan para paman untuk menangkapnya dan merampas subo dari tangannya?” Suara muridnya itu seolah baru menyadarkan Ouw Yang Lee dari lamunannya. Dia memutar tubuh memandang Song Bu, menghela napas panjang dan berkata, “Untuk apa mempertahankan isteri yang tidak setia? Song Bu, catatlah dalam hatimu bahwa orang bernama Gan Hok San itu hari ini telah menghinaku dengan melarikan isteriku. Kelak engkau harus membalaskan sakit hatiku ini. Sanggupkah engkau?” “Tentu saja tee-cu (murid) sanggup, suhu: Akan tetapi bagaimana dengan Toasubo (lbu Guru Tertua) dan adik Lan, juga Ji-subo (lbu
189
Guru Kedua) dan adik Hui? Apakah suhu tidak pergi mencari mereka?” “Hemm, mereka hanya dua orang puteri. Aku akan dapat mencari penggantinya dengan mudah, yang lebih muda dan cantik. Dan anak-anak itupun hanya anak perempuan, aku tidak terlalu membutuhkan anak perempuan. Sekarang, engkaulah yang menjadi pengganti mereka, Song Bu. Mulai sekarang, engkau menjadi anakku, nama lengkapmu Ouw Yang Song Bu. Bagaimana pendapatmu?” Song Bu adalah seorang anak yang cerdik luar biasa. Biarpun pada lahirnya dia tidak berkata sesuatu, namun otaknya bekerja dan dia sudah dapat rnembayangkan semua keadaannya. Ucapan gurunya itu berarti mengangkat dia menjadi anak sehingga segala yang ada pada gurunya kelak menjadi miliknya! Pulau Naga dan semua anak buahnya, dan terutama ilmu kepandaian Ouw Yang Lee tentu akan diwariskan kepadanya! Maka, setelah pikirannya bekerja secepat kilat, dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki datuk itu, memberi hormat dengan membenturkan kepalanya berkali-kali ke atas tanah dan menyebut “Ayah” Ouw Yang Lee yang tadinya muram karena kecewa atas kekalahannya terhadap Gan Hok San, tiba-tiba kini tertawa bergelak. Dia telah menemukan seorang anak laki-laki yang telah lama didambakannya. Kini Song Bu merupakan orang yang paling dekat
190
dengannya, satu-satunya orang yang disayangnya dan kelak dapat dia andalkan. Para anak buah Pulau Naga yang menonton dari jarak jauh tidak tahu apa yang terjadi antara Song Bu dan Ouw Yang Lee. Mereka tadi menonton dari jauh, akan tetapi dapat melihat bahwa pemimpin mereka telah kalah dan isteri pemimpin mereka dibawa pergi oleh lawan. Kemudian mereka melihat Song Bu berlutut di depan majikan atau pemimpin itu. Biarpun pundak kanannya terluka, Ouw Yang Lee tidak mengeluh. Dia membangunkan Song Bu dengan tangan kirinya, menggandeng tangan anak itu menuju ke rumah dan ketika berada di depan para anak buahnya, dia berhenti dan berkata dengan lantang. “Kalian semua dengar baik-baik! Mulai saat ini, anak ini menjadi puteraku dan bernama Ouw Yang Song Bu. Kalian semua harus menghormatinya dan menyebutnya Ouw Yang Kong-cu (Tuan Muda Ouw Yang).” Semua orang mengangguk dan mereka pun bubaran. Ouw Yang Lee mengajak putera angkatnya itu menuju ke rumah dimana dia mengobati luka di pundaknya. malam itu juga dia menyuruh para pelayannya untuk mempersiapkan sebuah pesta kecil untuk merayakan pengangkatan Ouw Yang Song Bu menjadi puteranya. Pesta kecil itu dihadiri pula oleh para anggauta pimpinan yang terdiri dari lima orang pembantu Ouw Yang Lee. Ouw Yang Kee
191
juga tidak banyak membuang banyak waktu membiarkan kamar-kamarnya kosong. Dalam waktu sebulan saja dia telah mendapatkan dua orang gadis cantik yang dibawanya dari dusun-dusun di daratan,Orang tua para gadis itu tentu saja, menyerahkan anak mereka dengan senang hati karena anak mereka menjadi isteri majikan pulau Naga yang berkuasa dan kaya raya. Semenjak hari itu, Ouw Yang Song Bu digembleng secara tekun oleh ayah angkatnya yang menginginkan dia menjadi seorang yang tangguh dan kelak akan dapat mengangkat nama ayah angkatnya. Anak yang cerdik inipun tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu, belajar silat dengan rajin sekali, berlatih siang malam sehingga cepat dia dapat menguasai seluruh gerakan dasar yang diajarkan oleh ayah angkatnya. Akan tetapi di samping itu, perangainya juga berubah. Karena merasa bahwa dia adalah satu-satunya putera yang disayang dan dimanja oleh Ouw Yang Lee, dia bersikap tinggi hati terhadap para anak buah Pulau Naga yang merasa tidak berani memperlihatkan perasaan ini karena maklum bahwa Song Bu amat disayang oleh Ouw Yang Lee. Thai-Lek-Kui (Iblis Tenaga Besar) Ciang Sek menahan kendali kudanya sehingga binatang itu berhenti melangkah. Dia menoleh ke kiri, ke arah kuda lain yang ditunggangi Lai Kim dan puterinya, Ouw Yang Lan.
192
Kuda itu tampak letih, demikian pula dengan dua orang penunggangnya. Lai Kim memegang tali kendali kuda dengan tangan kanannya sedangkan lengan kirinya memeluk Ouw Yang Lan yang duduk didepannya. Melihat kuda yang ditunggangi Ciang Sek berhenti, Lai Kirh juga menghentikan kudanya. la sudah lelah sekali sehingga tubuhnya membungkuk, tinggal sedikit lagi tenaganya untuk mencegahnya terpelanting dari atas punggung kuda. Ouw Yang Lan adalah seorang anak yang pemberani, bahkan keras hati dan keras kepala. Sejak semula ia sudah tidak takut terhadap laki-laki tinggi besar bermuka merah itu dan pandang matanya terhadap pria yang menawan ibunya itu selalu menantang. Kini, melihat laki-laki itu menoleh dan memandang kepada ibunya, iapun tidak tahan untuk tidak berkata dengan suara penuh celaan. “Paman, kenapa engkau begitu kejam? Tidak dapatkah engkau melihat bahwa kami sudah lelah sekali? Terutama sekali ibu, tidak kasihanikah engkau kepadanya?” “Lan-ji (Anak Lan).. Lai Kim menegur anaknya agar diam karena ia takut kalau-kalau anaknya akan membuat penawan mereka marah. Sudah beberapa kali Ciang Sek mengancam bahwa kalau ia banyak ribut, maka laki-laki itu akan membunuh anaknya! Sejenak sinar mata Ciang Sek menatap wajah anak itu dengan
193
tajam, akan tetapi dia tersenyum, kagum akan keberanian anak itu! Dia telah tergila-gila kepada Lai Kim dan dia ingin wanita itu menyerahkan diri dengan sukarela kepadanya, menjadi isterinya. Kalau dia membunuh anak itu dan memaksa Lai Kim menjadi isterinya, wanita itu tentu tidak akan menyerahkan diri dengan suka rela dan dia tidak menghendaki hal ini terjadi. Dia harus mengancam akan membunuh anak itu agar Lai Kim mau menyerahkun diri, dan bersikap lunak untuk merayu dan meruntuhkan hati wanita itu. “Baiklah, kita berhenti mengaso sebentar di sini,” katanya dan diapun lalu melompat turun dari atas punggung kuda. Setelah menambatkan kudanya Ciang Sek lalu membantu Lai Kim dan Ouw Yang Lan untuk turun dari atas kuda. Untuk menenangkan dan menyenangkan hati ibu dan anak itu, ketika membantu mereka turun Ciang Sek bersikap lembut sekali. “Duduklah kalian di bawah pohon itu Di sana. sejuk dan ada batu-batu untuk tempat duduk,” katanya. Ibu dan anak itu mengikutinya menuju ke bawah pohon yang ditunjuk. Karena lelah sekali Lai Kim lalu duduk dia atas sebuah batu dan Ouw Yang Lan duduk di sebelahnya. Kalau Lai Kim duduk dengan muka agak pucat dan mata menunjukkan kegelisahan dan kedukaan, sebaliknya Ouw Yang Lan memandang ke arah Ciang Sek dengan sinar mata
194
mengandung kemarahan dan kebencian. Ciang Sek membuka buntalan kain yang tadi diterimanya dari anak buah Tok-Gan-Houw (Harimau Mata Satu) Lo Cit dan menaruh buntalan yang sudah terbuka itu di atas tanah di depan mereka. Isi buntalan itu ternyata roti dan daging kering, juga terdapat seguci arak. “Mari, kalian makanlah. Perjalanarn masih jauh dan kalian tentu sudah merasa lapar,” katanya. Akan tetapi Lai Kim tetap duduk di atas batu dan memeluk puterinya. “Nyonya yang baik, engkau makanlah dan beri anakmu makan,” kata pula Ciang Sek. “Apa engkau lebih suka melihat anakmu mati kelaparan?” Teringat akan puterinya, Lai Kim terpaksa lalu turun dari atas batu dan mengambil dua potong roti dan dua potong daging kering. Sepotong roti dan sepotong daging diberikannya kepada Ouw Yang Lan dan mereka makan roti dan daging itu tanpa berkata-kata. Melihat sikap lembut penculiknya, Lai Kim memberanikan hati bertanya dengan hati-hati, “Kenapa engkau menculik kami ibu dan anak yang tidak bersalah apapun terhadap dirimu?” Sebelum menjawab, Ciang Sek minum arak dari guci, dituangkan begitu saja ke dalam mulutnya. Setelah menyeka mulutnya, dia memandang kepada Lai Kim dan menjawab,
195
“Aku menculik kalian untuk memberi pelajaran kepada Ouw Yang Lee yang suka bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang di dunia kangouw (sungai telaga, persilatan). Biar dia tahu rasa dan mengurangi kesombongan nya.” “Ke mana engkau hendak membawa kami? “Kalian akan kubawa ke Pek-In-San (Bukit Awan Putih) di Pegunungan hai-san. Di sana aku tinggal sebagai majikan bukit itu,” jawab Ciang Sek dengan tenang. “Akan tetapi... kapankah engkau akan membebaskan kami?” Ciang Sek tersenyum dan menatap wajah cantik dengan tahi lalat kecil di pipi kiri itu, “Tenanglah, nyonya. Kalau engkau tidak membuat ribut dan tidak melawan, aku pasti akan memperlakukan engkau dan puterimu dengan baik. Akan tetapi kalau engkau banyak rewel, engkau tahu apa yang akan kulakukan!” Berkata demikian, dengan penuh arti dia melirik ke arah Ouw Yang Lan Lai Kim mengerutkan alisnya dan iapun tersedak makanan yang serba kering itu karena ucapan dan sikap laki-laki tinggi besar itu membuatnya gelisah sekali. melihat ini, Ciang Sek segera bangkit berdiri, membawa sebuah guci arak lain yang telah kosong.
196
“Kau tunggulah di sini, aku akan mencarikan air jernih untuk kalian minum. Awas, jangan pergi-pergi dari tempat ini!” Setelah berkata demikian, Ciang Sek lalu memasuki hutan pegunungan yang berada di sebelah kiri jalan dan memghilang di balik pohon pohon dan semak semak. Begitu laki-laki itu lenyap dari pandang mata mereka, Ouw Yang Lan segera berkata kepada ibunya, “Ibu, ini merupakan kesempatan baik bagi kita. Mari kita melarikan diri, ibu!” Lai Kim meragu, memandang ke kanan kiri yang amat sunyi. “Pergi ke mana?” “Ah, ibu! Ke mana saja asal dapat terbebas dari orang itu! Mari, Ibu!” Anak itu bangkit dan menarik tangan ibunya. Lai Kim bangkit berdiri. “Baik kita lari!” akhirnya ibu itu menyetujui ajakan puterinya. “Akan tetapi kita jangan naik kuda. Derap kaki kuda akan terdengar olehnya. Pula kita tidak biasa menunggang kuda. Kita lari sąja. Hayo!” Ibu dan anak itu lalu berlari sambil bergandeng tangan. Setelah berlari cukup jauh dán tidak melihat ada yang mengejar mereka, ibu dan anak itu merasa lega juga. Akan tetapi biarpun
197
napas mereka sudah terengah-engah, mereka tidak mau berhenti. Mereka terus berlari sampai mereka tidak kuat lagi. Tidak menuju ke arah tertentu, asal menjauhi penawan mereka. Selagi ibu dan anak itu berlari dengan harapan berkembang dalam hati, tiba-tiba muncul tiga orang laki-laki yang berlompatan keluar dari balik pohon-pohon di tepi jalan. Tiga orang laki-laki kasar yang memegang sebatang pedang di tangan kanan dan sikap mereka bengis! Seorang diantara mereka yang bertubuh tinggi besar dan dahinya terhias codet memanjang bekas luka, tertawa bergelak ketika melihat bahwa yang mereka hadang adalah seorang wanita yang cantik dan seorang anak perempuan yang mungil. “Ha-ha-ha-ha, kita untung besar, kawan-kawan! Ada seorang bidadari cantik tersesat di hutan! la pantas sekali untuk menjadi pendampingku!” Orang kedua yang tinggi kurus juga berkata, “Dan perempuan kecil inipun mungil dan manis sekali. Rumah pelesir tentu suka membelinya dengan harga mahal!” Lai Kim terbelalak dengan muka pucat. Baru melihat sikap dan mendengar ucapan itu saja ia sudah dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang jahat dan kejam, yang mempunyai maksud buruk terhadap dirinya dan puterinya.
198
“Mari, manis. Engkau ikut aku dan kita bersenang-senang!” kata si muka codet dan kali dia menubruk ke depan, tangan kirinya menyambar dan dia sudah dapat menangkap pergelangan tangan Lai Kim. sementara itu, orang kedua yang tinggi kurus juga menyerbu dan hendak menangkap Ouw Yang Lan. Akan tetapi anak perempuan itu melawan. la menarik tangannya yang hendak ditangkap, bahkan tangan kanannya lalu memukul ke depan, ke arah perut si tinggi kurus itu! “Ehh...?” Si tinggi kurus tercengang, akan tetapi sambil tertawa dia menangkis terus menangkap tangan yang memukul itu, memuntirnya dan dia telah dapat meringkus Ouw Yang Lan yang lalu dipondongnya. “Lepaskan aku! setan jahat, lepaskan aku!” Ouw Yang Lan meronta-ronta dan mencoba untük memukul dengan kedua tangannya. Si tinggi kurus itu tetawa dan sekali tangan kanannya menotok, tubuh anak itu menjadi lemas dan tidak mampu bergerak lagi. Ternyata si tinggi kurus itu pandai bersilat, bahkan menguasai ilmu menotok jalan darah. Melihat anaknya ditawan, Lai Kim yang juga sudah diringkus si muka codet itu meronta dan menjerit-jerit. “Lepaskan anakku! Ahhhh, lepaskan anakku!” Akan tetapi si muka codet yang bertubuh tinggi besar itu sudah mengangkat dan
199
memondongnya, bahkan lalu menciumi muka Lai Kim yang meronta dan berusaha sekuatnya untuk menghindarkan mukanya dari ciuman dan melepaskan diri dari dekapan. Orang ke tiga yang menonton semua ini hanya tertawa-tawa gembira Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan Ciang Sek menunggang seekor kuda sambil menuntun seekor kuda lain mendatangi dengan cepat. “Keparat jahanam!” bentaknya setelah tiba di tempat itu dan melihat Lai Kim meronta-ronta dalam dekapan seorang laki-laki dan Ouw Yang Lan terkulai lemas dalam pondongan seorang laki-laki lain. Dia melompat turun dari atas kudanya sambil membentak. Orang ke tiga yang tadi hanya menonton sambil tertawa-tawa, cepat menyambut Ciang Sek dengan pedang di tangan. “Manusia lancang, apa engkau bosan hidup? Jangan mencampuri urusan kami. Hayo cepat menggelinding pergi tinggalkan dua ekor kudamu di sini!” Katanya sambil menyerang dengan pedangnya. Serangan itu cepat dan merupakan serangan maut untuk membunuh. Ciang Sek marah sekali. Dia adalah seorang datuk, majikan dari Bukit Awan Putih yang biasanya dihormati orang dan ditakuti para tokoh dunia kang-ouw. Kini melihat dirinya diserang oleh seorang perampok biasa, tentu saja dia marah bukan main. Terutama sekali melihat Lai Kim, wanita yang telah menjatuhkan
200
hatinya itu, dipondong dan hendak diciumi orang, hatinya menjadi panas sekali. melihat pedang yang menyambar, Ciang Sek memperlihatkan kehebatannya. ia tidak mengelak, melainkan menyambut pedang yang membacok ke arah kepalanya itu dengan tangan kiri begitu saja! Pedang itu meluncur turun dan ditangkap tangan kirinya yang telanjang. Akan tetapi tangan kirinya itu telah diisi penuh tenaga sakti menangkap dan meremas. “Krakk!!”Pedang itupun hancur seperti kerupuk kering saja. Si penyerang terkejut dan terbelalak, akan tetapi dia tidak sempat melanjutkan keheranannya karena pada saat itu tangan kanan Ciang Sek menyambar dengan tamparan ke arah kepalanya. “Darrr..” Kepala itu terkena tamparan tangan kanan Ciang Sek menjadi pecah berantakan. Tubuh orang itu terkulai dan tewas seketika. Si muka codet yang menjadi pimpinan gerombolan tiga orang itu, terkejut melihatbbetapa mudahnya kawannya terbunuh. Dia melempar tubuh Lai Kim ke atas tanah dan mencabut pedangnya. “Siapakah engkau, berani mencampuri urusan kami?” bentaknya. “Cacing busuk, memang sebaiknya engkau kau mengenalku agar tidak mati penasaran. Aku adalah Thai-Lek-Kui (Iblis Bertenaga
201
besar) majikan Pek-In-San!” Mendengar ini, si muka codet terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Dia cepat merangkapkan kedua tangan ke depan dada dan berkata gagap. “Ohh... maafkan kami tidak mengenal maka berani bersikap kurang ajar... Tidak ada maaf! Engkau harus mampus ditanganku!” kata Ciang Sek sambil melangkah maju menghampiri. Melihat bahwa datuk itu tidak mau memaafkannya, si muka codet menjadi nekat.Dari pada mati konyol lebih baik melawan dulu, siapa tahu dia akan mampu menandingi datuk yang nama besarnya sudah pernah didengarnya itu. Tanpa berkata apapun dia lalu menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah dada lawan. Ciang Sek melihat datangnya pedang yang meluncur itu dan tahu bahwa lawannya memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat, sehingga dia tidak menyambut dengan tangan kosong, tidak ingin membahayakan tangannya, maka diapun memiringkan tubuhnya. Ketika pedang itu meluncur lewat secepat kilat tangan kanannya dibacokkan dengan tangan miring ke arah lengan kanan lawan yang memegang pedang. “Krekkk!!” Seketika tulang lengan kanan si muka codet itu patah. Pedangnya terlempar dan lengan kanan itu terkulai. Pada saat itu, Thai-Lek-Kui sudah menyusulkan sebuah tendangan yang amat kuat ke arah dada lawannya.
202
“Dessss...!!” Tubuh yang tinggi besar dari si muka codet terlempar jauh ke belakang lalu terbanting keras dan tidak bergerak lagi karena dadanya pecah, semua tulang iganya remuk dan dia tewas seketika! Melihat betapa dengan mudahnya Thai-Lek-Kui Ciang Sek merobohkan dua orang penjahat itu, Lai Kim yang bingung melihat si tinggi kurus sudah melarikan diri sambil memondong tubuh Ouw Yang Lan, segera tolong selamatkan anakku” la lari menghampiri Ciang Sek dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan laki-laki itu. “Tolong selamatkan anakku... ia dibawa lari orang itu... la menuding ke arah laki-laki tinggi kurus yang masih tampak dari situ, berlari cepat sambil memondong Ouw Yang Lan. Akan tetapi Ciang Sek hanya memandang ke depan sebentar, lalu melipat kedua lengan di depan dada, dengan sikap tak acuh berkata, “Hemm, engkau sudah mencoba untuk melarikan diri dariku!” “tolonglah anakku. Cepat... tolonglah anakku...!” Lai Kim meratap kebingungan melihat orang yang membawa lari ánaknya kini sudah hampir tidak kelihatan. “Aku mau mengejar dan menyelamatkan anakmu, hanya dengan satu syarat. Engkau harus mau menjadi isteriku. Kalau tidak, aku
203
tidak mau menolongmu,” biar ia dibawa lari dan dicelakai orang Lai Kim menjadi bingung sekali. la menoleh dan melihat betapa bayangan orang yang melarikan anaknya sudah tidak tampak lagi Pada saat itu, satu-satunya keinginannya adalah agar anaknya diselamatkan. Untuk itu, disuruh apapun juga ia tentu mau!


Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf

kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments