Senin, 13 Agustus 2018

Rajawali Lembah Huai 2

=====
baca juga
“Suci, aku.....aku pulang...aneh sekali...”
Dan kini terjadi perubahan pada wajah Liu Bi. Ia tertawa dan suara tawanya amat
mengejutkan hati Lee Siang. Gadis itu berusaha sekuat tenang untuk membelalakan matanya
agar dapat melihat dengan jelas.
“Tidak aneh, sumoi, karena memang anggur yang kauminum tadi telah kuisi racun!”
“Suci.....! Kau....kau meracuni aku? Suci, mengapa? Mengapa kau lakukan ini, suci?” Lee
Siang terkejut bukan main, dan terheran. Ia memaksa diri agar tidak jatuh pingsan walaupun
pusing di kepalanya semakin menghebat, pandang matanya berkunang dan tubuh terasa lemas
dan berat.
“Hi-hi-hik,” ketua itu tertawa dan kini tawanya terdengar aneh dan mengerikan bagi Lee
Siang. “Aku selalu sayang padamu, sumoi, akan tetapi kalau engkau hendak merebut pria
pilihanku, terpaksa engkau kusingkirkan!”
“Apa....? Maksudmu...engkau...engkau....”
“Ya, sejak semula aku telah jatuh cinta kepada Cu Goan Ciang dan aku sudah mengambil
keputusan untuk menarik dia menjadi suamiku!”
“Tapi.....tapi..bukankah suci mencinta Perwira Khabuli....?”
“Huh, raksasa kasar itu? Itu hanya demi kedudukan, aku muak melihatnya. Aku mencinta Cu
Goan Ciang, dan engkau tidak boleh merampasnya dariku, sumoi.”
“Tapi suci, kalau benar demikian, tidak perlu suci meracuni aku. Aku suka mengalah, suci.
Demi Tuhan, kalau aku tahu suci mencinta twako, aku akan mundur, aku akan rela mengalah
karena aku sayang padamu, aku menghormatimu. Mengapa harus meracuni aku, suci?”
“Aku tahu dan aku percaya bahwa engkau akan mengalah kepadaku, akan tetapi aku
meracunimu agar dia mau menjadi suamiku.”
“Suami....” suara Lee Siang semakin lemah. Gadis ini terlalu heran melihat betapa sucinya
yang saling sayang dengannya kini dapat berlaku sedemikian curang dan kejam kepadanya!
Dalam keadaan hampir pingsan dan setengah sadar ia masih melihat sucinya tersenyum
mengejek dan bicara dengan suara yang semakin lirih.
“Tenanglah, sumoi. Kalau dia sudah setuju menjadi suamiku, engkau pasti akan kuberi obat
penawar. Akan tetapi kalau dia menolak, tidak ada jalan lain bagiku kecuali membiarkan
engkau mati. Racun itu akan membunuhmu selama tiga hari, jadi dalam waktu tiga hari ini,
mudah-mudahan Cu Goan Ciang akan suka menjadi suamiku, “ Lee Siang tidak kuat
menahan lagi dan iapun terkulai dan tentu akan roboh kalau tidak cepat sucinya merangkul
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 99
kemudian memondong tubuhnya dan membawa Lee Siang ke dalam kamar gadis itu sendiri,
merebahkan tubuh yang pingsan itu ke atas pembaringan, kemudia memanggil pelayan dan
menyuruh pelayan menjaga dan merawat Lee Siang yang ia katakan sedang menderita sakit.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Goan Ciang sudah bangun dan setelah mandi dan
berganti pakaian, dia segera pergi mengunjungi kamar Lee Siang. Akan tetapi, pintu kamar itu
masih tertutup dan dia mengetuknya perlahan. Ketika daun pintu kamar terbuka, yang muncul
adalah seorang gadis pelayan, yaitu seorang anggota Jang-kiang-pang.
“Ah, selamat pagi, Cu-enghiong,” kata pelayan itu dengan sikap hormat.
“Selamat pagi. Di mana Kim Siocia?” demikian sebutan bagi Lee Siang untuk para anggota
perkumpulan itu.
“Kim Siocia belum bangun dari tidurnya, taihiap (pendekar besar),” kata lagi pelayan itu.
“Aneh sekali! Biasanya ia bangun pagi-pagi sekali, kenapa sekarang belum bangun? Ada
apakah dengannya?”
“Kim Siocia sakit, taihiap. Malam tadi ia dipondong oleh pangcu masuk kamar ini dan
tertidur atau pingsan, sampai sekarang belum terbangun. Keadaannya mengkhawatirkan,
taihiap.”
Mendengar ini, Goan Ciang terkejut bukan main dan dia cepat mendorong pelayan itu ke
samping lalu menerobos masuk untuk memeriksa sendiri keadaan kekasihnya. Ketika dia
melihat tubuh Lee Siang rebah telentang di atas pembaringan dan tertutup kelambu, tanpa
ragu lagi dia menyingkap kelambu dan duduk di tepi pembaringan. Dia terkejut bukan main
melihat wajah kekasihnya yang cantik manis itu, dengan rambut kusut akan tetapi tidak
mengurangi kecantikannya, nampak membiru dan pucat sekali.
“Siang moi....!” dia berseru dan meraba tangan kekasihnya. Dia semakin terkejut. Tangan itu
panas bukan main. Kekasihnya menderita demam! Kenapa? Pada hal semalam dalam keadaan
sehat. Cepat dia memeriksa denyut nadi gadis itu. Denyut nadinya kacau sebentar cepat
sebentar lambat. Setelah memeriksa leher, dada, membuka pelupuk matanya, tahulah Goan
Ciang bahwa sumoinya keracunan. Keracunan hebat sekali!
Pelayan tadi berdiri di belakangnya, memandang dengan wajah khawatir. Goan Ciang
memandangnya penuh selidik. “Katakan, apa yang terjadi semalam? Apakah Nona Kim
berkelahi dengan seseorang?”
“Saya tidak tahu, taihiap. Setahu kami, semalam Kim Siocia dan pangcu bergembira di kamar
pangcu, minum-minum anggur. Akan tetapi, tahu-tahu malam tadi pangcu memondong tubuh
Kim Siocia memasuki kamar ini, merebahkannya dan menyuruh saya melakukan penjagaan
dan merawatnya.”
“Di mana pangcu?”
“Pagi-pagi sekali ia sudah terbangun dan menjenguk ke sini, kemudian memesan agar saya
menjaga di sini, karena ia hendak berjalan-jalan di taman.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 100
Mendengar itu, cepat Goan Ciang berlari keluar kamar dan langsung dia lari ke dalam taman
di mana semalam dia saling menyatakan cinta dengan Lee Siang. Seperti ada perasaan yang
menuntunnya, dia langsung saja pergi ke dekat kolam ikan emas, tempat di mana dia
bermesraan dengan Lee Siang semalam dan benar saja di atas bangku di mana semalam Lee
Siang duduk, nampak Liu Bi duduk seorang diri, seolah-olah ia sedang melamun dan melihat
ikan emas hilir mudik berenang dengan indahnya di dalam kolam yang airnya jernih. Ketua
itu nampak cantik sekali, dengan wajah yang segar karena pagi itu telah mandi, rambutnya
yang hitam halus berombak itu digelung rapi ke atas seperti gelung rambut puteri bangsawan,
dihias permata indah. Wajah itu segar dan cantik, dengan penghitam alis, pemerah bibir dan
pipi, dan pakaiannyapun baru dan indah terbuat dari sutera mahal dan potongannya agak ketat
membungkus tubuhnya yang langsing dan padat. Seorang wanita yang amat cantik
menggairahkan. Goan Ciang dapat menduga bahwa wanita itu tentu pura-pura tidak tahu akan
kedatangannya karena dengan ketajaman perasaan dan pendengarannya yang terlatih,
mestinya ia tentu sudah mendengar langkah kakinya.
“Selamat pagi, pangcu.”dia berkata setelah berdiri dalam jarak dua meter di belakang wanita
itu.
Liu Bi menoleh dan pura-pura hanya mengangkat sepasang alis yang hitam itu ke atas,
matanya mengerling tajam dan bibirnya yang kemerahan itu tersenyum.
“Aihhh....selamat pagi, Cu-twako! Sudah berapa kali aku mengingatkan agar kau jangan
menyebut pangcu kepadaku! Sebut saja Bi moi (adik Bi), tidak maukah engkau akrab dengan
aku?”
Goan Ciang yang ingin menyenangkan hatinya dan ingin sekali mendengar tentang
kekasihnya, membalas senyumnya. “Tentu saja, Bi-moi.”
“Nah, begitu lebih akrab, bukan? Toako, pagi-pagi benar engkau sudah bangun dan nampak
segar, sudah mandi dan berganti pakaian. Apakah pelayan telah mengantar sarapan pagi
untukmu?”
“Belum, dan biarlah nanti saja, Bi moi. Aku sengaja mencarimu di sini untuk menanyakan
sesuatu.”
“Apa yang hendak kau tanyakan, twako yang baik?”
“Aku ingin bertanya tentang Siang-moi! Apakah yang terjadi dengannya maka ia dalam
keadaan seperti itu, keracunan hebat? Apa yang terjadi semalam ketika ia minum-minum
anggur denganmu, Bi-moi?”
Mendengar ini, Liu Bi tersenyum. Senyumnya memang manis sekali. Sepasang bibir lembut
itu merekah dan nampak kilatan gigi yang berderet rapi dan putih dan karena mulut itu agak
ternganga ketika senyum, nampak rongga mulut yang kemerahan dan ujung lidah yang merah
muda. “Engkau tahu bahwa ia keracunan hebat? Akan tetapi engkau tentu tidak tahu bahwa
kalau ia tidak mendapatkan obat penawar yang ampuh, dalam waktu tiga hari ia pasti akan
mati dan tidak ada obat apapun di dunia yang akan mampu menyembuhkannya.”
Wajah Goan Ciang berubah agak pucat dan matanya terbelalak memandang wajah wanita itu
dengan penuh selidik. “Pangcu....eh, Si moi, apa yang telah terjadi dengannya. Mengapa ia
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 101
dapat keracunan seperti itu?”
Senyum itu melebar dan kerlingnya menyambar tajam. “Semua itu karena salahmu, twako.”
“Salahku?” Apa maksudmu, Bi-moi?”
“Semalam itu, engkau merayu dan menjatuhkan hati sumoi. Itulah kesalahanmu yang
mengakibatkan kini sumoi terpaksa harus menderita seperti itu.”
“Maksudmu?” Goan Ciang sungguh tidak mengerti dan menjadi bingung.
“Karena engkau membuat aku membenci sumoiku yang tadinya sudah kuanggap sebagai
murid atau adik sendiri. Ia minum anggur yang kucampuri racunku yang amat kuat!”
“Pangcu!!!” Goan Ciang meloncat dan mukanya berubah merah, kedua tangannya gemetar
karena timbul perasaan marah yang hebat yang membuat dia hampir tak dapat menahan diri
untuk tidak menyerang wanita cantik itu.
Akan tetapi, Liu Bwe tersenyum dan bangkit berdiri, agaknya sudah siap dan berkata lembut,
“Tenanglah, twako.”
“Pangcu....”
“Ingat, Bi-moi, bukan pangcu.”
“Baiklah, Bi-moi!” kata Goan Ciang gemas.
“Apa artinya semua ini? Kalau engkau yang meracuni Siang-moi, engkau harus cepat
memberinya obat penawar!”
“Kalau aku menolak?”
“Demi Tuhan! Aku akan memaksamu!”
“Memaksaku? Hik-hik, lucunya. Pertama, belum tentu engkau dapat mengalahkan aku, apa
lagi kalau aku mengerahkan semua anak buahku. Kedua, andaikata engkau mampu
mengalahkan aku sekalipun, menyiksa atau membunuh sekalipun, aku tidak akan mau
membiarkan kau pergi dan dalam waktu tiga hari, tetap saja sumoi akan mati dalam keadaan
tersiksa! Nah, kau tetap hendak memaksaku?”
Goan Ciang seorang cerdik dan dia tahu bahwa wanita itu bukan hanya menggertak saja.
“Lalu, apa kehendakmu, Bi-moi? Engkau meracuni sumoimu sendiri karena ia cinta kepadaku
dan hal ini membuatmu membencinya. Kenapa? Engkau tidak mau mengobatinya, kenapa?”
“Cu Goan Ciang, engkau seorang laki-laki, masihkah perlu bertanya lagi sebabnya? Aku tidak
ingin ia menjadi isterimu! Itulah sebabnya!”
“Tapi kenapa? Andaikata engkau tidak menyetujui perjodohan kami, dan engkau
melarangnyapun, tidak perlu engkau meracuninya dan mengancam nyawanya! Tidak perlu
engkau membunuhnya!”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 102
“Cu-twako, apakah engkau menghendaki agar ia hidup kembali? Engkau ingin agar sumoi
mendapatkan obat penawar dan nyawanya tidak terancam oleh racun itu?”
“Tentu saja! Bi Moi yang baik, tolonglah jangan sampai Siang-moi terancam bahaya maut.
Kasihan ia! Bukankah engkau sayang kepadanya, Bi-moi? Tolonglah, berilah obat penawar
agar ia sembuh.”
“Tentu saja aku sayang kepadanya. Akan tetapi, peristiwa semalam membuat aku tega
membunuhnya, twako.”
“Akan tetapi kenapa? Apa salahnya kalau dia mencintaiku dan aku mencintainya? Apa
salahnya dengan itu?”
“Salahnya adalah karena dia membuat aku iri hati, membuat aku cemburu setengah mati.
Goan Ciang terbelalak saking kaget dan herannya. “Cemburu? Ehh...apa....maksudmu, Bimoi?”
“Maksudku, aku tidak ingin engkau menjadi suami sumoi, akan tetapi aku ingin engkau
menjadi suamiku, Cu Goan Ciang!”
Goan Ciang tertegun, sejenak tidak mampu bicara, bahkan tidak mampu berpikir karena hal
itu sama sekali tidak pernah disangkanya. Selama belasan hari tinggal di situ dia hanya akrab
dengan Lee Siang. Biarpun ketua inipun bersikap ramah kepadanya, namun tak pernah dia
melihat tanda-tanda behwa wanita ini tertarik kepadanya. Dan sekarang, tiba-tiba saja wanita
ini menghendaki agar dia menjadi suaminya, dan tega meracuni sumoi yang disayangnya
untuk merebut dia dari tangan sumoinya.
“Tapi...tapi...aku sungguh tidak mengerti, Bi-moi. Kenapa begini mendadak dan keinginan itu
sungguh....rasanya tak masuk akal dan aneh!
“Apakah yang aneh, twako? Selama ini aku tidak menikah karena kuanggap tidak ada pria
yang cocok untuk menjadi suamiku. Ketika aku bertemu denganmu, melihat sepak terjangmu,
segera aku yakin bahwa engkaulah satu-satunya pria yang cocok untuk menjadi suamiku.
Krena itu, tentu saja aku benci dan marah melihat sumoi hendak merebutmu. Malam tadi,
kami berdua masih sama-sama bebas, kami saling mencinta dan...”
“Cukup! Sekarang tinggal terserah kepadamu. Kalau engkau suka menikah denganku, sumoi
tidak akan mati. Aku akan memberi obat pemunah racun dan ia akan sembuh kembali.
Sebaliknya, kalau engkau menolak, dalam tiga hari sumoi pasti tewas dan tidak ada obat di
dunia ini yang akan mampu menyembuhkannya.”
“Ahhh...! saking bingungnya, Goan Ciang tidak mampu bicara, hanya berdiri mematung dan
memandang wanita itu dengan m ata terbelalak mulut ternganga. Perlahan-lahan mukanya
berubah merah sekali saking marahnya. “Jang-kiang Sian li Liu Bi, engkau adalah seorang
wanita berhati iblis! Akan kuhancurkan engkau dan perkumpulanmu!” Dia membentak dan
siap menyerang.
Liu Bi tersenyum mengejek dan sekali ia mengeluarkan suara bersuit nyaring, dari segenap
penjuru bermunculan anak buahnya yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang
mengepung tempat itu.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 103
“Engkau memilih sumoi mati tersika dan engkau sendiri mampus oleh pengeroyokan kami?
Ingat, aku sendiri saja belum tentu engkau mampu mengalahkan!” katanya.
Goan Ciang tidak takut mati, tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri. Akan tetapi mengingat
keadaan kekasihnya, dia gelisah sekali. “Kalau aku menuruti kehendakmu, engkau benarbenar
akan menyembuhkan Siang-moi?” akhirnya dia bertanya. “Maukah engkau
bersumpah?”
“Kau laki-laki gila! Janji ketua Jang-kiang pang lebih kuat dari pada sumpah. Pula, aku
sayang kepada sumoi dan hanya karena engkau maka aku tega meracuninya.”
Diam-diam Goan Ciang mengasah otaknya. Yang terpenting adalah menyelamatkan Lee
Siang lebih dahulu, pikirnya. “Berilah waktu kepadaku sampai besok, dan biarkan aku
menjaga Siang-moi dan bicara dengannya dahulu sebelum aku memberi keputusanku besok.”
Dia minta waktu sehari semalam agar dia dapat berusaha mengobati gadis itu dengan
kekuatan sin-kangnya, juga kalau gadis itu siuman, dia ingin bicara dengan Lee Siang tentang
niat gila Liu Bi yang hendak menariknya sebagai suaminya.
Tentu saja Liu Bi dapat menduga apa yang sedang dipikirkan pemuda itu. Akan tetapi, dia
pura-pura tidak tahu dan hanya tersenyum, lalu mengangguk, “Baiklah, aku tidak tergesagesa.
Akan tetapi ingat, kalau sampai besok malam engkau belum memberi jawaban berati
sudah terlambat untuk menolong sumoi.. Bahkan obatku sekalipun tidak akan ada gunanya
lagi. Besok siang harus sudah ada keputusan darimu.”
“Baik,” kata Goan Ciang dan Liu Bi memberi isarat kepada semua anak buahnya sehingga
mereka mundur. Dengan langkah gontai Goan Ciang lalu menuju ke kamar Lee Siang,
memasuki kamar itu dan menyuruh pelayan yang berjaga di situ keluar. Lalu dia duduk di tepi
pembaringan setelah menutupkan daun pintu kamar itu.
Dengan hati-hati Goan Ciang lalu memeriksa lagi keadaan kekasihnya. Dia pernah
mempelajari ilmu pengobatan, walaupun tidak banyak, dari gurunya ketika dia berada di kuil
Siauw-lim-pai. Setidaknya, oleh Lauw In Hwesio dia diajar bagaimana caranya mengobati
luka oleh senjata tajam, bahkan sedikit tentang pengobatan menggunakan tenaga sin-kang
seperti mengobati luka dalam dan menggunakan sin-kang mengusir hawa beracun dari dalam
tubuh korban.
Dengan hati-hati dia lalu duduk bersila di dekat tubuh kekasihnya, kemudian menghimpun
tenaga melalui pernapasan, dan menempelkan kedua telapak tangannya pada punggung Lee
Siang setelah dia membalikkan tubuh kekasihnya itu sehingga rebah miring. Dia lalu
mengerahkan sin-kang, disalurkan melalui kedua telapak tangan, menggetar memasuki tubuh
Lee Siang dari punggung.
Tak lama kemudian, Lee Siang mengeluh, membuka mata, kemudian berkata,
“Hentikan...twako, hentikan....!”
Goan Ciang terkejut dan melepaskan kedua tangannya. Gadis itu telentang lagi dan napasnya
terengah, akan tetapi ia telah siuman. Dahi dan lehernya penuh keringat. Goan Ciang
menggunakan ujung lengan bajunya menghapus keringat itu.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 104
“Bagaimana rasanya, Siang-moi?”
“Lemah....pusing.....”
“Kenapa engkau menghentikan usahaku untuk mengusir racun dari tubuhmu?”
“Twako, kalau kaulakukan itu....aku....aku akan segera mati....”
Tentu saja Goan Ciang terbelalak dan mukanya berubah pucat. “Apa? Kenapa begitu..?”
Lee Siang kini sudah sadar sepenuhnya dan ia menghela napas panjang. “Racun yang telah
masuk ke tubuhku ini amat kuat, bukan saja meracuni darahku, akan tetapi juga merampas
tenaga saktiku. Kalau diobati dengan pengerahan sin-kang, maka tenagamu yang menyusup
ke dalam tubuhku tidak dapat kubantu dengan tenagaku sendiri dan akibatnya bahkan akan
mempercepat jalannya racun. Tanpa diobati, aku akan bertahan tiga hari. Hanya suci yang
memiliki obat pemunahnya...”
“Betapa kejamnya Liu-Bi...!” kata Goan Ciang dengan gemas.
“Jangan berkata demikian, twako. Suci menyayangku...”
“Omong kosong ! Menyayangmu dan meracunimu, hendak membunuhmu?”
“Hai itu ia lakukan karena ia mencintamu, twako.”
“Apa? Kau sudah tahu? Gila benar! Ia mengatakan bahwa ia baru akan memberimu obat
penawar racun kalau aku mau menikah dengannya! Aku tidak sudi!”
“Ahhh...Cu-twako..., kuminta....kuharap, jangan engkau menolak permintaannya. Menikahlah
engkau dengannya, twako...kata gadis itu dengan suara tersendat bercampur tangis.
Goan Ciang tertegun, terkejut, heran dan penasaran sekali. Kekasihnya ini bahkan minta
kepadanya agar dia mau menikah dengan Liu Bi! Kekecewaan menyusup ke dalam hatinya.
Tak disangkanya bahwa kekasihnya yang amat dia cinta dan kagumi ini ternyata pada saat
terakhir adalah seorang penakut. Takut mati. Akan tetapi dia menghibur dirinya. Siapa yang
tidak akan takut kalau sudah dicengkeram racun seperti yang dialami Lee Siang dan tahu
bahwa kalau dia menolak menikah dengan ketua Jang-kiang-pang, dalam waktu tiga hari
nyawanya akan melayang?
“Tidak, Siang-moi. Dan jangan engkau takut. Aku akan mencarikan obat untukmu, kalau
perlu aku akan menangkap Liu-Bi, menyiksa dan memaksanya agar ia suka mengobatimu
sampai sembuh. Kalau perlu akan kuhancurkan seluruh Jang-kiang-pang ini!”
“Twako, engkau salah sangka! Aku tidak takut mati, twako, sama sekali bukan karena aku
takut mati maka aku memohon engkau suka menikah dengan suci.”
“Lalu kenapa engkau minta aku melakukan hal yang gila itu?”
“Twako, aku kasihan dengan suci. Aku sayang padanya, aku berhutang budi padanya, aku
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 105
berhutang budi padanya, aku ingin melihat ia berbahagia. Kalau engkau suka memenuhi
permintaanya, menjadi suaminya dan ia berbahagia, akupun akan merasa berbahagia pula.
Mengertikah engkau, twako? Bukan karena aku takut mati, melainkan aku ingin
membahagiakan suci. Andaikata aku tahu bahwa suci mencintamu, sudah pasti aku
mengeraskan hati menolak cintamu, mengubur perasaan cintaku padamu sebagai rahasia yang
akan kubawa mati.”
Kembali Goan Ciang terkejut bukan main. Kekasihnya ini adalah seorang gadis luar biasa,
penuh kejutan. “Jadi, engkau sama sekali tidak menyesal telah diracuni sucimu sendiri?”
Mulut itu tersenyum dan ia menggeleng kepala. “Mengapa mesti menyesal? Suci melakukan
ini untuk memaksamu menerima permintaannya. Aku mengenal suci. Ia harus mendapatkan
apa saja yang dikehendakinya. Aku hanya menyesal, mengapa aku tidak tahu sebelumnya,
bahwa suci mencintaimu.”
“Tapi..., lalu bagaimana dengan kau?” Dengan cintamu? Cinta kita?”
“Twako, aku rela mengorbankan apa saja demi kebahagiaan suci. Rela kehilangan engkau,
kehilangan cintaku, bahkan aku rela mati demi untuk suci. Maka, sekali lagi aku mohon
padamu, twako, terimalah suci sebagai isterimu. Kalau engkau menolak, aku akan mati
penasaran, twako...”
Goan Ciang terkejut bukan main. Gadis ini rela patah hati, bahkan rela mati demi kebahagiaan
iblis betina itu! Melihat pemuda itu duduk tertegun dan mematung dengan wajah pucat, akan
tetapi matanya berkilat penuh penasaran dan kemarahan. Lee Siang menangis terisak-isak.
Goan Ciang diam saja, akan tetapi tangis itu semakin mengguguk seperti menusuk-nusuk
jantungnya.
“Sudahlah, Siang-moi, jangan menangis. Permintaanmu itu sungguh tidak masuk akal,
bagaimana mungkin aku dapat menerimanya. Aku cinta padamu, dan aku sama sekali tidak
mencintainya, bahkan muak dan benci rasa hatiku terhadapnya karena perbuatannya terhadap
dirimu.”
Mendengar ucapan itu, Lee Siang memaksa diri untuk menghentikan tangisnya. Setelah
berhasil, ia lalu berkata, suaranya gemetar, “Dengar, twako. Kalau engkau menikah dengan
suci, engkau akan membahagiakannya, berarti engkau juga membuat aku berbahagia.
Sedangkan kau sendiri aku yakin bahwa engkau akan dapat mencintai suci. Ia seorang wanita
yang hebat segala-galanya melebihi siapa saja, melebihi aku. Ia amat lembut dan penuh kasih
sayang kepada orang yang dicintanya. Ia hanya kejam dan keras kalau kehendaknya
dihalangi. Kita bertiga akan merasa bahagia, twako. Akan tetapi kalau engkau menolak, aku
akan.....benci sekali kepadamu! Aku bahkan minta kepada suci agar untuk sementara aku
diberi penawar dan aku akan membantunya memusuhimu. Aku bersumpah untuk melakukan
itu, twako!”
Goan Ciang tercengang, wajahnya berubah, pucat kini. Agaknya tidak ada jalan lain. Tentu
saja dia tidak menghendaki Lee Siang mati keracunan, apa lagi kalau gadis itu sam pai
membencinya, dan kalau mati sampai arwahnya menjadi setan penasaran! Kalau dia
menerima permintaan Liu Bi, berarti dia berkorban demi kekasihnya ini.
Sampai lama dia tak bergerak seperti patung sampai tangan gadis itu menyentuh lengannya,
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 106
dan Lee Siang sudah bangkit duduk. “Bagaimana, twako? Sudikah engkau memenuhi
permohonanku?”
Goan Ciang menoleh. Mereka duduk dengan muka saling tatap, lalu Goan Ciang mengangguk
lesu. “Baiklah, akan tetapi ingat, aku melakukan ini hanya demi engkau, Siang-moi, hanya
demi keselamatanmu.”
“Dan aku melakukan ini hanya demi kebahagiaan suci, twako, kita berdua berkorban, engkau
untuk aku dan aku untuk suci. Alangkah indahnya hidup ini kalau kita dapat berkorban demi
orang lain....” Gadis itu terisak, akan tetapi bukan karena duka, melainkan karena bahagia.
“Siang moi...!” Goan Ciang tak dapat menahan keharuan hatinya dan diapun merangkul gadis
itu dan mendekap kepalanya di dadanya. “Siang-moi, apapun yang terjadi, aku akan tetap
mencintaimu, selamanya..”
Dari dada pemuda itu, Lee Siang berbisik, “Akupun demikian, twako. Biar aku tidak menjadi
isterimu, aku akan tetap mencintaimu selama hidupku. Biar cinta kita tidak berakhir dengan
pernikahan, namun kita masing-masing menyadari bahwa kita saling mencinta, sampai akhir
hayat...” Dengan lembut Lee Siang lalu melepaskan diri dari pelukan Goan Ciang merebahkan
kembali tubuhnya yang lemah.
“Twako, keluarlah dan katakan kesanggupanmu kepada suci, agar ia cepat tahu dan
berbahagia. Percayalah, kalau ia merupakan orang yang paling berbahagia, aku adalah orang
paling berbahagia ke dua setelah dia.”
Goan Ciang menunduk dan menghentikan ucapan gadis itu dengan mencium mulutnya, dan
pada saat itu, dua titik air matanya jatuh menimpa pipi Lee Siang. Kemudian, dia cepat turun
dan meninggalkan kamar itu, diikuti pandang mata Lee Siang dan gadis inipun tersenyum
bahagia!
Tebing bukit yang menjadi markas Jang-kiang pang itu ramai dan meriah sekali. Semua
bangunan tempat tinggal para anggotanya dirias, terutama sekali bangunan besar megah yang
menjadi tempat tinggal ketua mereka. Sang ketua yang cantik itu merayakan pernikahannya
dengan Cu Goan Ciang!
Suasananya amat meriah dan semua orang nampak bergembira ria. Pesta pernikahan itu
diadakan secara mewah, dibangun panggung besar yang khusus untuk pesta dan semua
anggota Jang-kiang pang mengenakan pakaian baru. Tamu-tamu berdatangan pada sore hari
itu, dan di antara para tamu yang sebagian besar adalah orang-orang kang-ouw, terdapat pula
banyak orang-orang berpakaian sebagai pembesar dan bangsawan. Akan tetapi di antara para
pembesar itu, yang nampak menyolok dan disambut dengan penuh kehormatan adalah
seorang pria raksasa. Tidak mengherankan kalau dia dihormati karena orang ini adalah
Panglima Khabuli! Usia panglima yang masih bujangan ini sudah empat puluh tahun dan dia
memang memiliki kekuasaan dan pengaruh yang amat besar, karena dialah panglima pasukan
di Wu-han. Bahkan kepala desa Wu-han sendiri tunduk dan segan kepadanya bukan hanya
karena Panglima Khabuli memegang kekuasaan atas pasukan keamanan di daerah Wu-han,
akan tetapi terutama sekali karena panglima raksasa hitam ini adalah keponakan dari Menteri
Bayan, tangan kanan Kaisar yang amat terkenal di kota raja. Dengan demikian, dapat dibilang
bahwa Khabuli merupakan orang yang paling berkuasa di Wu-han! Orangnya memang
mengesankan sekali. Tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kokoh kuat seperti benteng.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 107
Kulitnya yang agak hitam itu mengkilap seperti berminyak, namun wajah itu tidak kelihatan
buruk, bahkan menarik karena nampak jantan. Segala yang ada pada dirinya menimbulkan
kesan tebal dan bulat namun tidak gemuk, melainkan kokoh. Matanya lebar dan hidungnya
besar. Mulut yang bibirnya tebal itu selalu dihias senyum, akan tetapi tarikan hidungnya
membayangkan keangkuhannya dan rasa diri penting.
Di antara para penyambut tamu, yaitu para murid kepala atau anggota tingkat atas dari Jangkiang-
pang, nampak pula kesibukan Lee Siang. Gadis ini sudah sehat kembali, berkat obat
penawar dari sucinya, semua racun telah keluar dari tubuhnya. Namun, akibat racun itu, dia
masih kehilangan tenaga sinkangnya sehingga untuk sementara waktu, menurut keterangan
Liu Bi untuk waktu kurang lebih tiga bulan, Lee Siang hanya merupakan seorang wanita yang
tidak memiliki kelihaian luar biasa. Ia memang tidak kehilangan jurus-jurus silatnya, akan
tetapi kalau di dasar ilmu silat itu tidak terkandung tenaga yang kuat, apa artinya? Tenaganya
seperti tenaga wanita biasa yang sama sekali tidak tahu ilmu silat saja.
Lee Siang nampak cantik manis dan wajahnya berseri gembira. Bukan gembira palsu,
melainkan ia benar-benar gembira dan merasa berbahagia melihat sucinya merayakan pesta
pernikahannya dengan Cu Goan Ciang! Bahkan ia sendiri yang membantu sucinya berias,
dengan penuh kebanggaan dan kegembiraan melihat betapa cantiknya sucinya dalam pakaian
pengantin! Sungguh luar biasa sekali perasaan kasih sayang dan kesetiaan dalam hati Lee
Siang terhadap sucinya. Sedikitpun tidak terkandung perasaan iri atau cemburu, walaupun
sampai saat itu, ia tetap mencinta Goan Ciang sepenuh hati.
Ketika Lee Siang menyambut para tamu dengan sikap yang ramah dan suasana amat meriah
karena musik telah dimainkan sejak tadi oleh para pemusik paling kenamaan dari Wu-han.
Ruangan panggung yang luas itu mulai dipenuhi para tamu dan ketika Khabuli dan empat
orang pengawalnya muncul, Lee Siang sendiri tergopoh menyambut, mewakili sucinya yang
masih belum muncul karena sedang dirias di kamar pengantin.
Ketika Lee Siang memberi hormat menyambutnya, Khabuli tersenyum lebar dan memandang
kepada Lee Siang seolah seekor ikan besar yang hendak menelan ikan kecil.
“Selamat datang, Ciangkun (panglima), silakan duduk di kursi kehormatan.”kata Lee Siang
sambil mempersilakan tamunya untuk duduk di deretan kursi kehormatan, yaitu dekat tempat
duduk mempelai, Khabuli memberi isarat kepada empat orang pengawalnya untuk duduk di
tempat tamu biasa, sedangkan dia sendiri dengan langkah yang gagah, menggiringkan Lee
Siang yang membawanya ke deretan kursi kehormatan, sedangkan para tamu yang sudah
hadir, memandang dengan hormat, bahkan mereka yang dilewati panglima itu bangkit
memberi hormat.
“Ah, Kim Siocia, engkau sungguh nampak cantik jelita sekali sore ini!” demikian kata
panglima itu setelah dia dipersilakan duduk. Lee Siang yang mendengar pujian itu, memberi
hormat dan tersipu.
“Terima kasih atas pujian Ciangkun.”
“Sungguh, aku tidak hanya memuji kosong. Engkau tidak kalah cantik dibandingkan sucimu.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 108
Lee Siang merasa tidak enak, Ia tahu bahwa antara sucinya dan panglima ini terjalin
hubungan yang akrab sekali, bahkan pernah ia mengira bahwa sucinya akan menikah dengan
panglima yang biarpun usianya sudah empat puluh tahun akan tetapi masih bujang ini.
“Tidak ada wanita yang secantik suci,” demikian katanya lirih.
Panglima itu mengangguk, “Aku tahu, apa lagi kalau sekarang ia mengenakan pakaian
pengantin. Mana pengantinnya, kenapa belum keluar?”
“Nanti, sebentar lagi, Ciangkun. Belum selesai berias, “ hati Lee Siang semakin tidak enak.
Baru kemarin panglima ini datang bertamu dan melakukan pembicaraan berdua saja dengan
sucinya. Ia dapat menduga bahwa tentu sucinya menjelaskan tentang cintanya kepada Cu
Goan Ciang maka menikah dengan pemuda itu, dan mungkin sucinya minta maaf kepada sang
panglima. Dan melihat sikap Panglima Khabuli, hatinya juga lega karena agaknya sang
panglima sudah dapat menerima kenyataan itu dan tidak akan membuat ribut. Kebetulan para
tamu berdatangan lagi sehingga Lee Siang mendapat kesempatan untuk minta maaf dan
meninggalkan panglima itu yang kini bercakap-cakap dengan para tamu lain yang
mendapatkan kehormatan, seperti para pejabat tinggi dan para undangan, yaitu tokoh-tokoh
dunia kang-ouw.
Hanya karena nama besar Jang-kiang Sian Li sajalah maka tak seorangpun mencurigai
pengantin pria. Andaikata ada yang mengenalinya dan menghubungkannya dengan perusuh
yang membunuh Bhong-Ciangkun di Wu-han, tentu hal itu akan dilupakan atau dianggap
tidak ada. Bagaimanapun juga, orang itu telah melangsungkan pernikahan dengan ketua Jangkiang-
pang, menjadi suami dari ketua yang disegani itu. Akan tetapi agaknya tidak ada yang
mengenal pengantin pria, dan sama sekali tidak pernah dapat menduga bahwa pelarian itulah
yang kini menjadi orang paling beruntung dapat mempersunting ketua yang cantik jelita,
gagah perkasa dan kaya raya itu.
Ketika sepasang pengantin keluar ke ruangan pesta, semua orang bangkit berdiri dan memberi
selamat. Semua orang juga kagum melihat pengantin puteri yang demikian cantiknya, seperti
bidadari baru turun dari kayangan. Dan juga mereka semua memuji pengantin pria yang
gagah dan tampan, yang cocok sekali untuk menjadi suami ketua Jang-kiang-pang. Musik
dibunyikan semakin meriah dan pestapun dimulai. Masakan-masakan yang mewah, mahal
dan lezat dihidangkan, juga anggur dan arah yang terbaik.
Panglima Khabuli mendapat kehormatan pertama, yaitu duduk semeja dalam perjamuan itu
dengan sepasang mempelai, ditemani pula oleh Lee Siang yang terpaksa ikut duduk karena
diminta oleh pengantin puteri. Meja istimew itu hanya dihadapi sepasang mempelai, Lee
Siang, dan Panglima Khabuli. Mempelai wanita nampak cantik dan berbahagia, demikian
pula dengan Panglima Khabuli yang selalu tersenyum dan tertawa-tawa, menggoda sepasang
mempelai dan mengucapkan selamat berulang kali dengan secawan arak. Ketika
diperkenalkan, dia bersikap ramah kepada Cu Goan Ciang, dan Goan Ciang juga terpaksa
harus bersikap manis dan hormat kepadanya. Bahkan wajah Lee Siang juga nampak
bergembira dan murah senyum. Agaknya gadis ini tidak berbohong ketika mengatakan bahwa
ia menjadi orang kedua yang paling berbahagia setelah sucinya. Hanya Goan Ciang seorang
di antara mereka berempat yang terpaksa menggunakan kekuatan batinnya untuk menahan
derita yang dirasakannya sebagai siksaan di saat itu. Andaikata Lee Siang tidak duduk semeja
dengan mereka, agaknya tidak akan sedemikian hebat siksaan batin yang dideritanya saat itu.
Gadis yang merupakan satu-satunya wanita yang pernah dan masih dicintanya, duduk semeja
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 109
dengan dia yang bersanding sebagai pengantin pria dengan wanita lain yang tidak dicintainya!
Beberapa kali dia mencuri pandang ke arah waja Lee Siang, untuk menangkap sedikit saja
rahasia hati gadis itu. Namun, tidak ada sedikitpun kepura-puraan dalam kegembiraan gadis
itu. Demikian wajar, dan diapun percaya bahwa kekasihnya itu sungguh-sungguh telah rela,
demi kasihnya kepada sucinya.
Diam-diam Goan Ciang terpaksa memasang muka gembira itu, dan mengeluh dalam hatinya.
Dia seoranglah yang sungguh menderita, Lee Siang juga berkorban, untuk menderita, Lee
Siang juga berkorban, untuk kebahagiaan sucinya, akan tetapi kekasihnya itu benar-benar ikut
berbahagia. Hanya dia seorang yang berkorban demi keselamatan Lee Siang, berkorban
dengan hati yang hancur!
“Ha-ha-ha, kalian sungguh merupakan pasangan yang amat serasi, yang cocok, seperti
pengantin dari kahyangan saja! Belum pernah selama hidupku aku melihat sepasang
mempelai yang begini hebat. Yang wanita cantik jelita seperti dewi, yang pria tampan gagah
seperti dewa. Aku harus memberi selamat lagi,” kata Khabuli sambil tertawa dan mukanya
yang hitam itu semakin mengkilap, matanya yang lebar bercahaya. “Selamat kepada kalian!”
katanya sambil mengangkat cawan pula menyambut, dan terpaksa Lee Siang juga ikut minum
pula anggur dari cawannya. Sebetulnya, ia sudah merasa pusing karena selain ia tidak begitu
suka minum banyak anggur keras, juga keadaan dirinya yang masih lemah membuat ia tidak
kuasa menolak pengaruh anggur.
“Ha-ha-ha, aku merasa gembira sekali. Malam ini adalah malam yang amat berbahagia karena
ketua Jang-kiang-pang akhirnya menemukan jodohnya. Setelah kakak seperguruannya
menikah, tinggal adik seperguruannya. Bagaimana, Kim Siocia, kapan tiba giliranmu? Ha-haha!”
“Aih, Ciangkun...!” Lee Siang tersipu dan menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.
Sucinya tertawa manis dan menyentuh lengan sumoinya.
“Sumoi adalah seorang gadis istimewa, harus mendapatkan suami yang istimewa pula.
Bukankah engkau juga berpendapat demikian, koko?”
Goan Ciang terkejut. Lee Siang tak pernah memandang kepadanya, melirikpun tidak. Dan
kini Liu Bi bertanya tentang jodoh Lee Siang. Akan tetapi dia menguatkan hatinya dan
mengangguk. “Pendapatmu benar.”
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Kita semua telah sepakat! Untuk itu, mari kita doakan agar nona
Kim segera menemukan jodohnya. Mari kita minum tiga cawan arak untuk itu!”
Lee Siang hendak memrotes karena ia telah merasa pening, akan tetapi melihat betapa
sepasang mempelai juga minum dengan sikap senang, iapun tidak berani mengecewakan hati
sucinya. Iapun memaksa diri minum tiga cawan anggur yang dituangkan ke dalam cawannya
oleh tangan panglima sendiri, mendahului para pelayan yang berada di sekeliling meja.
Setelah minum tiga cawan anggur, Lee Siang tidak dapat menahan lagi dan iapun berkata
dengan suara keluhan lirih, “Aih...maafkan....kepalaku pusing, suci...” dan iapun meletakkan
kepalanya ke atas kedua tangan di meja. Goan Ciang memandang dengan iba.
“Aih, sumoi, engkau memang tidak kuat minum.” Ia lalu memberi isarat kepada seorang
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 110
pelayan yang menjadi kepercayaannya. “Antar nona Kim ke kamarnya, ia perlu mengaso dan
tidur.” Pelayan itu memberi hormat lalu membantu Lee Siang yang sudah dalam keadaan
setengah sadar, terhuyung dan dipapah oleh para pelayan meninggalkan ruangan pesta.
Biarpun hatinya merasa kasihan sekali, akan tetapi Goan Ciang tidak memperlihatkan sikap
ini, bahkan kini dia nampak lega dan gembira. Lebih baik begitu, pikirnya. Biar Lee Siang
mabok dan tidak ingat apa-apa lagi, terbuai dalam tidur pulas! Maka, diapun melayani
panglima yang amat kuat minum arak itu dengan gembira. Akhirnya, Liu Bi yang kalah lebih
dahulu.
“Aihh, aku sudah terlalu banyak minum, kepalaku sudah mulai terasa pusing. Lebih baik kita
istirahat, aku tidak dapat minum lagi....” ia mengeluh. Panglima Khabuli tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, pengantin wanita sudah ingin mengajak pengantin pria ke kamar. Saudara Cu,
sebaiknya engkau cepat membimbing isterimu ke kamar kalian, ha-ha-ha!”
Liu Bi tersipu, “Ihh, panglima. Agaknya engkaupun sudah mulai mabok. Hati-hati, kalau
sampai terlalu mabok engkau tidak bisa pulang!”
“Hemm, apa susahnya kalau mabok di sini? Apakah aku tidak boleh tidur di sini dan
melepaskan mabokku di sini sampai besok pagi?”
“Tentu saja boleh, panglima. Engkau adalah tamu kehormatan kami. Pelayanku akan
menunjukkan kamar tamu terbaik untukmu...” Liu Bi bangkit dan agak terhuyung. Karena di
situ banyak tamu, demi kepantasan Goan Ciang cepat menggandeng lengan isterinya sehingga
mereka berdiri bergandengan.
“Para tamu yang terhormat!” kata Panglima Khabuli sambil tersenyum dan mukanya yang
kehitaman itu kemerahan, tanda bahwa dia sudah dipengaruhi minuman keras. “Kami
memberitahukan bahwa sepasang mempelai sudah cukup makan minum dan kini hendak
meninggalkan ruangan, memasuki kamar pengantin mereka. Mohon doa restu dari saudara
sekalian!” Dia tertawa-tawa dan para tamu menyambut dengan tawa gembira pula. “Silakan
saudara sekalian makan minum sampai selesai!”
Dengan tersipu Goan Ciang dan Liu Bi bergandeng tangan meninggalkan ruangan itu,
diiringkan para pelayan yang mengantar kedua mempelai sampai ke depan kamar pengantin.
Keduanya lalu memasuki kamar dan daun pintu kamar ditutup. Para pelayan yang terdiri dari
gadis-gadis muda yang manis itu meninggalkan kamar itu sambil tersenyum-senyum dan
tersipu.
Biarpun hampir tanpa semangat, mau tidak mau Goan Ciang malam itu tidur sebagai suami
isteri dengan Liu Bi. Dia mendapat kenyataan bahwa apa yang dikatakan Lee Siang tentang
sucinya memang benar. Liu Bi seorang wanita yang hebat, penuh gairah dan amat mesra.
Namun, tetap saja semalam itu dia lebih banyak melamun dan memikirkan Lee Siang
sehingga berulang kali isterinya menegurnya.
Menjelang pagi, ketika dengan manja dan mesra Liu Bi merangkulnya dan dia menanggapi
kembali Liu Bi menegur, “Engkau kenapa sih?” Kita sudah menjadi suami isteri dan malam
ini adalah malam pengantin pertama kita, kenapa engkau banyak melamun? Apa yang
kaupikirkan?” Dalam suaranya yang sejak tadi lembut dan mesra, kini terkandung teguran.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 111
“Tidak apa-apa, aku hanya lelah dan ingin tidur,” kata Goan Ciang, dan dia membalikkan
tubuh membelakangi isterinya.
Liu Bi bangkit duduk dan ia menjadi marah. “Aku tahu, engkau tentu memikirkan sumoi,
bukan? Hemm, tidak perlu kaupikirkan lagi. Pada saat engkau menjadi suamiku, ia telah
menjadi isteri Khabuli Ciangkun!”
Goan Ciang tersentak kaget, bangkit duduk dan menghadapi isterinya, memandang dengan
alis berkerut, “Apa yang kaumaksudkan!”
Liu Bi tersenyum manis. “Malam ini, sumoi juga berpengantinan dengan Panglima Khabuli di
dalam kamarnya!”
Tentu saja Goan Ciang terkejut bukan main. “Kau.....! Kau....! Ah, jadi kau sengaja membuat
Siang-moi mabok, kemudian kauberikan ia kepada jahanam itu?”
“Benar, dan apa hubungannya denganmu? Ia adalah sumoiku, dan Panglima Khabuli seorang
laki-laki yang baik dan pantaas menjadi suaminya. Mereka memang kujodohkan agar engkau
tidak lagi memikirkan sumoi dan...”
“Keparat!” Goan Ciang menyambar pakaiannya, meloncat turun dari pembaringan,
mengenakan baju dan cepat meloncat keluar dari kamar itu.
“Koko....!” Liu Bi berteriak memanggil akan tetapi dia tidak perduli. Dengan marah Liu Bi
membereskan pakaiannya sebelum lari mengejar. Hari masih pagi sekali. Hampir seluruh
penghuni rumah itu masih tertidur karena semalam mereka tidur sampai larut malam. Goan
Ciang sudah lari ke kamar Lee Siang dan dengan kemarahan meluap dia mendorong daun
pintu yang tertutup dari kamar itu. Ternyata daun pintu tidak terkunci dari dalam dan dengan
mudah terbuka. Sebatang lilin masih bernyala di atas meja dan diapun meloncat ke dalam.
Tiba-tiba dia berdiri kaku dan matanya terbelalak memandang ke atas pembaringan. Di situ,
dia melihat Lee Siang rebah telentang seorang diri dengan pakaian setengah telanjang, kedua
tangannya masih memegang pedang yang menembus dadanya sampai ke punggung! Matanya
terbuka dan gadis itu telah tewas, akan tetapi agaknya belum lama benar karena darah itu
masih belum kering.
“Siang-moi....!! Goan Ciang berteriak dan menubruk ke atas pembaringan, merangkul dan
mengangkat kepala gadis itu, dirangkulnya tidak perduli betapa tangan dan pakaiannya
terkena darah.
“Siang-moi....ahhh, Siang moi....!” Dia mengeluh dan menangis, tahu atau dapat menduga apa
yang telah terjadi. Tentu dalam keadaan lemah dan mabok, mungkin juga terbius, gadis ini
semalam telah menjadi korban kebiadaban panglima Mongol itu, dan pada pagi harinya,
ketika panglima itu pergi, dan mendapat kesempatan, Siang-moi membunuh diri. Masih
belum kering air mata yang membasahi kedua pipi gadis itu.
“Siang-moi....!” Goan Ciang berteriak lagi mendekap muka itu ke dadanya.
Pada saat itu, terdengar suara orang di pintu. “Sumoi....! Apa yang telah terjadi?” Liu Bi
memasuki kamar itu dan berdiri di dekat pembaringan, wajahnya menjadi pucat ketika ia
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 112
melihat sumoinya telah tewas dengan pedang masih menembus dadanya. Iapun mengerti apa
yang telah terjadi. Tak disangkanya sumoinya mengambil keputusan pendek dan nekat. Apa
salahnya menjadi isteri Panglima Khabuli yang selain berkuasa, juga cukup gagah dan jantan?
Ia sendiri, andaikata tidak bertemu dengan Goan Ciang, tentu akan menjadi isteri panglima itu
dengan siapa ia telah menjalin hubungan yang mesra selama lebih dari setahun ini.
Begitu mendengar suara Liu Bi, Goan Ciang seperti kemasukan setan saking marah, benci dan
sakit hati.
Dia mencabut pedang dari dada Lee Siang, kemudian bagaikan seekor harimau, dia meloncat
turun dari pembaringan dan pedangnya menyambar ganas, menyerang kepada wanita yang
baru semalam menjadi isterinya.
“Koko...!” Liu Bi terkejut dan mencoba untuk mengelak, akan tetapi ia terguling oleh
tendangan Goan Ciang. Dengan kemarahan yang meluap Goan Ciang telah mempergunakan
gerakan Sin-tiauw ciang-hoat, tubuhnya melayang seperti seekor burung rajawali menyambar
dan pedangnya berkelebat cepat membacok ke arah leher Liu Bi. Wanita itu yang tidak
sempat mengelak lagi, terpaksa menggunakan tangan kirinya menangkis.
“Crokkk!” Lengan kiri itu bertemu pedang yang dibacokkan dengan sepenuh tenaga dan
dengan itupun buntung! Melihat lengan itu buntung, darah muncrat dan Liu Bi menjerit lalu
roboh, Goan Ciang seperti baru sadar. Dia berdiri tertegun. Bukan Liu Bi yang harus
dibunuhnya akan tetapi Panglima Khabuli, pikirnya. Liu Bi memang bersalah dan sudah
menerima hukumannya! Pada saat itu, berdatanganlah para anggota Jang-kiang-pang dan
melihat betapa ketua mereka merintih-rintih dengan lengan kiri buntung dan Goan Ciang
berdiri di situ dengan pedang di tangan, juga melihat Lee Siang rebah tewas di pembaringan,
mereka segera mengepung dan mengeroyok Goan Ciang!
Goan Ciang mengamuk dengan pedang yang telah membunuh kekasihnya dan membuntungi
lengan ketua Jang-kiang-pang tadi. Akan tetapi, pihak pengeroyok semakin banyak sehingga
dia kewalahan dan akhirnya, setelah merobohkan belasan orang, dia sendiri terkena sabetan
golok dan tusukan tombak sehingga terluka pada pundak kiri dan paha kanannya. Maklum
bahwa kalau dilanjutkan akhirnya dia akan roboh, Goan Ciang lalu meloncat dan melarikan
diri, dikejar para anggota perkumpulan itu. Akan tetapi, cuaca yang masih gelap
menguntungkan Goan Ciang dan diapun dapat meloloskan diri di tebing itu, menyusup di
antara pohon-pohon dan semak-semak.
Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, Goan Ciang telah berada jauh dari
tempat itu dan dia hampir pingsan saking kelelahan dan kehilangan darah ketika dia
menggulingkan tubuhnya di sebuah gua yang tertutup batu-batu dan semak-semak mengering
sehingga tidak nampak dari luar, di lereng sebuah bukit.
Biarpun seluruh tubuhnya nyeri dan lelah, namun Goan Ciang tidak merasakan semua itu
karena hati dan pikirannya masih dipenuhi kenangan tentang Lee Siang yang membuat dia
serasa jantungnya seperti diremas-remas. Ingin rasanya dia berteriak-teriak menangis,
perasaan hatinya hancur penuh penyesalan, tersayat-sayat duka yang menimbulkan dendam.
Lee Siang membunuh diri, tentu karena telah kehilangan kehormatannya, semalam
dipermainkan oleh Khabuli dalam keadaan tidak berdaya, selain lemah kehilangan tenaganya
akibat racun, juga ia dalam keadaan mabok. Semua itu karena ulah Liu Bi yang ingin
menjauhkan Lee Siang darinya. Dendam kebencian memenuhi hatinya. Terhadap Liu Bi.
Terhadap Khabuli dan mengingat bahwa Khabuli adalah seorang panglima Mongol, maka
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 113
kebenciannya terhadap permerintah Mongol yang menjajah semakin berkobar.
Tiba-tiba dia bangkit duduk, seluruh sendi tubuhnya menegang. Terdengar suara banyak
orang menuju ke gua itu! Siapa lagi kalau bukan para pengejarnya? Tentu para anggota Jangkiang-
pang yang terus mengejar. Dia lalu menyingkap semak-semak, mengintai keluar.
Nampak sedikitnya dua puluh orang mendaki lereng itu dan dia terbelalak ketika melihat
bahwa di antara orang-orang Jang-kiang-pang terdapat pula beberapa orang yang berpakaian
seragam. Perwira-perwira pasukan pemerintah. Hemm, kiranya orang-orang Jang-kiang-pang
sudah minta bantuan pasukan pemerintah, pikirnya geram. Apakah Khabuli berada di antara
mereka? Kalau benar demikian, dia akan mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk
membunuh panglima itu! Dengan pedang rampasan di tangannya yang masih berlumuran
darah dan berbau amis, dia siap menanti mereka. Dia tahu bahwa dia meninggalkan jejak, dan
orang-orang itu akhirnya tentu akan sampai di gua. Kalau mereka sampai tiba di dalam gua
itu, tentu saja dia tidak akan dapat melakukan perlawanan dengan leluasa. Tempat itu
terlampau sempit dan dia akan terhimpit. Dia melupakan rasa nyeri di pundak dan pahanya,
melupakan tubuhnya yang sudah lemah. Melihat para perwira itu, seperti bangkit
semangatnya karena dia harus membunuh Khabuli! Membayangkan betapa semalam Khabuli
mempermainkan dan menghina tubuh dan kehormatan kekasihnya, kebenciannya memuncak
dan melihat serombongan pengejarnya itu tiba di tempat terbuka yang datar, diapun meloncat
keluar dan dengan pekik dahsyat seperti seekor harimau terluka, diapun menerjang mereka,
terutama kepada mereka yang berpakaian perwira.
“Hyaaaaatttt....!!” Pedang di tangannya menyambar-nyambar ganas dan biarpun pasukan itu
segera mengeroyoknya, namun dua orang di antara mereka roboh terkena sabetan pedang.
Bagaikan seekor harimau atau seekor rajawali terluka, Goan Ciang mengamuk dengan
pedangnya. Dia sudah lupa akan keadaan dirinya, yang hidup pada saat itu hanyalah
semangatnya untuk melawan, mengamuk dan membunuh musuh yang dibencinya. Ditambah
lagi dia memainkan ilmu yang dia andalkan, yaitu Sin-tiauw-ciang-hoat, maka gerakannya
bagaikan seekor rajawali yang menyambar-nyambar menyebar maut. Akan tetapi karena
pihak pengeroyok cukup banyak dan di antara mereka terdapat banyak perwira yang tangguh,
maka biarpun Goan Ciang berhasil merobohkan sedikitnya sepuluh orang, dia sendiri
menderita luka-luka di seluruh tubuhnya. Hanya keadaan tubuhnya yang kuat itu saja yang
membuat dia mampu menerima luka-luka itu dengan pengerahan tenaga sehingga tidak ada
luka yang cukup parah untuk merobohkannya. Namun, dia merasa semakin lemah karena
banyak darah keluar, maka akhirnya terpaksa dia melarikan diri.
”Kejar!”
“Tangkap!”
“Bunuh....!!”
Pasukan pemerintah dan orang-orang Jang-kiang-pang melakukan pengejaran dengan
penasaran dan marah sekali karena banyak kawan mereka yang tewas atau terluka oleh
amukan pemuda buronan itu. Mereka mengambil keputusan untuk mengejar sampai berhasil
menangkap pemuda itu, bahkan perwiranya lalu minta bala bantuan dan menyebar pasukan
untuk terus melakukan pencarian.
Sambil menahan rasa nyeri dan mengerahkan semua sisa tenaganya, Goan Ciang berhasil
meloloskan diri dari pada pengejarnya dan dapat menumpang sebuah perahu nelayan
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 114
melanjutkan pelariannya dengan perahu yang sedang mencari ikan di tepi sungai Yang-ce.
Perahu kecil itu hanya ditumpangi seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang sedang
mencoba peruntungannya menangkap ikan dengan jala. Dapat dibayangkan betapa kagetnya
ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan perahunya terguncang. Seorang pemuda
bertubuh tinggi tegap, pakaiannya robek-robek berdarah, tangan kanan memegang sebatang
pedang yang juga berlumur darah, dari darat sejauh kurang lebih sepuluh meter telah
meloncat ke atas perahunya!”
“Heiii...siapa...kenapa....” Nelayan itu berseru sambil menoleh dan terbelalak, mukanya
kemerahan dan dia marah, juga takut.
“Ssttt, paman. Aku tidak akan mengganggumu, akan tetapi tolonglah aku. Aku dikejar-kejar
pasukan, aku harus menggunakan perahumu ini untuk melarikan diri.” Tanpa banyak cakap
lagi Goan Ciang mengangkat jangkar perahu, lalu mendayung perahu itu mengikuti arus
dengan cepat ke tengah sungai. Nelayan itu terpaksa menarik jalannya.
“Siapakah engkau? Apa yang terjadi?” tanyanya sambil menumpuk jala di perahu dan duduk
memandang penuh perhatian.
“Nanti saja kuceritakan, sekarang bantulah aku melarikan diri, paman. Kalau paman menolak,
aku tidak segan untuk menggunakan pedang ini yang telah membunuh banyak perajurit
pasukan pemerintah.
Nelayan itu memang tidak perlu diancam lagi. Dia seorang nelayan sederhana yang tentu saja
tidak ingin terlibat, akan tetapi melihat pemuda itu meloncat ke perahunya dan membawa
pedang berlumur darah, dia sudah ketakutan. Diapun mengambil dayung kedua dan
membantu pemuda itu mendayung perahu dengan cepatnya mengikuti aliran air sungai Yangce
menuju ke timur.
Demikianlah, Cu Goan Ciang berhasil lolos dari pengejaran pasukan. Setelah dia mengaku
kepada nelayan itu bahwa dia yang pernah menggegerkan bandar sungai Wu-han membela
para pekerja kasar, nelayan itu tentu saja menghormatinya dan atas bantuan nelayan itu, Goan
Ciang berhasil membeli obat-obat untuk luka-luka di tubuhnya, membeli pula pakaian kasar
beberapa stel untuk mengganti pakaian pengantin yang masih menempel di tubuhnya, pakaian
pengantin yang robek-robek oleh senjata para pengeroyok dan bernoda darah.
Setelah meninggalkan perahu dan nelayan itu di tempat yang jauh sekali dari Wu-han, dia
melanjutkan perjalanannya melalui darat, berjalan kaki dan karena dia harus selalu hati-hati,
bersembunyi dan tidak berani memperkenalkan diri, maka dia hidup sengsara sekali sebagai
seorang buronan. Bahkan di mana dia melihat gambarnya ditempel di dalam kota dan dusun,
dengan pengumuman bahwa dia adalah seorang penjahat dan pemberontak yang dicari-cari
pasukan! Hal ini membuat dia semakin tidak leluasa bergerak. Kalau hanya dusun-dusun kecil
dan dia lebih sering melanjutkan perjalanan di waktu malam. Dia tidak mungkin dapat bekerja
untuk biaya hidupnya. Bekal uangnya sudah habis dan pakaiannya sudah tinggal menempel di
tubuhnya. Itupun sudah penuh tambalan. Cu Goan Ciang terlunta-lunta dan kalau orang
seorang bertemu dengan dia, tentu menganggap dia seorang jembel yang terlantar.
Pada suatu senja dia tiba di luar kota Nan-king. Kota yang besar, merupakan kota ke dua
setelah kota raja Pe-king. Kota tua yang pernah menjadi kota raja. Biarpun keadaannya sudah
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 115
seperti jembel dan mukanya penuh ditumbuhi brewok sehingga keadaannya berbeda sekali
dengan gambar yang ditempel di dinding kota-kota besar, namun Goan Ciang tetap tidak mau
memasuki kota Nan-king di waktu senja itu. Biasanya pintu gerbang kota lebih diteliti oleh
para penjaga setelah hari mulai gelap.
Dengan perut perih karena lapar, tubuh dingin karena udara menjelang malam itu dingin
dengan angin dari timur, tubuh lelah walaupun kini luka-lukanya telah sembuh semua. Goan
Ciang memasuki sebuah kuil kosong yang berdiri terpencil di bukit kecil, sebelah kiri jalan
raya yang memasuki pintu gerbang kota Nan-king. Melihat kuil itu berdiri terpencil dan ada
jalan setapak menuju ke sana, diapun mendatangi kuil itu. Melihat bahwa kuil itu adalah kuil
tua yang kosong dan tidak dipergunakan lagi, dia lalu memasukinya mengambil keputusan
untuk melewatkan malam di tempat itu.
Akan tetapi, biarpun dari luar nampak sudah kosong, setelah dia masuk ke dalam kuil yang
besar namun keadaannya rusak dan kosong itu, di sebelah dalamnya sama sekali tidak kosong
atau sepi. Banyak sekali orang di dalam kuil itu, para pengemis atau jembel yang semuanya
memang mempergunakan tempat itu sebagai tempat bermalam mereka! Mereka tentulah para
pengemis yang setiap hari berkeliaran di kota Nam-king, bekerja dengan cara meminta-minta,
kemudian setelah matahari condong ke barat, mereka keluar kota dan melewati malam di
tempat ini. Kuil ini merupakan sarang atau istana, hotel tanpa bayar bagi para pengemis!
Akan tetapi, agaknya para pengemis itu telah menjadi penghuni tetap di kuil itu, walaupun
hanya penghuni malam karena kalau siang, tempat itu kosong sama sekali. Maka, begitu
melihat ada seorang asing memasuki kuil, sedikitnya tiga puluh pasang mata mengikuti
gerak-gerik Goan Ciang dengan penuh perhatian dan kecurigaan, Tak seorangpun dari mereka
rela kalau ada sudut yang telah menjadi tempat tinggal mereka terganggu orang asing. Mereka
seperti sekumpulan binatang yang menjaga kandang masing-masing, kalau perlu dengan
perkelahian!
Melihat betapa kuil itu, dari ruangan paling luar sampai paling belakang sudah ditempati
orang sehingga sukar mencari tempat untuk melewatkan malam itu. Goan Ciang menjadi
bingung juga. Apalagi tempat itu berbau apek dan lembab. Dia keluar lagi dan berdiri
bengong di luar kuil. Haruskah malam ini dia berada di tempat terbuka, diterpa angin dan
disiksa dingin dan kelaparan? Dia menengadah dan melihat betapa langit yang mulai gelap itu
indah, bintang-bintang mulai nampak dengan sinar yang masih lemah disilaukan sinar
matahari yang mulai mengundurkan diri. Langit cerah tiada awan. Dia menghela napas
panjang. Langit demikian bersih dan damai, betapa jauh bedanya dengan keadaan di
permukaan bumi yang kotor dan penuh penderitaan.
Dan di antara bintang-bintang yang mulai bermain mata dengannya, dia melihat sepasang
mata Lee Siang! Dan nampak pula garis bentuk wajah gadis itu, kekasihnya, satu-satunya
wanita yang pernah dikasihinya. Cantik, manis sederhana, gagah perkasa dan lembut.
“Lee Siang....moi-moi....” dia mengeluh penuh duka, teringat akan tubuh setengah telanjang
yang rebah dengan dada yang tertembus pedang. Dia meraba pedang yang disembunyikan di
balik bajunya. Dia tidak akan berpisah dari pedang itu. Betapapun menyakitkan perasaan,
namun pedang itulah satu-satunya benda terakhir yang pernah dekat dengan Lee Siang,
teramat dekat karena pedang itu telah memasuki dada kekasihnya dan menembus jantungnya!
Dan pedang itu pula yang telah dia pergunakan untuk membalaskan dendam kematian Lee
Siang, membuntungi tangan Jang-kiang Sian-li Liu Bi, dan membunuh entah berapa
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 116
banyaknya orang-orang yang mengeroyok dan hendak menangkap atau membunuhnya.
“Siang-moi..” kembali dia mengeluh.
“Tiba-tiba terdengar suara tawa di belakangnya. “Ha-ha-ha-ha, seorang laki-laki pantang
menghela napas dan mengeluh! Itu hanya sikap seorang yang lemah dan cengeng!”
Goan Ciang terkejut dan membalikkan tubuh, siap siaga menghadapi lawan. Akan tetapi dia
tidak melihat ada orang yang hendak menyerangnya, hanya nampak seorang pengemis tua
duduk di sana, bersandar dinding depan kuil, beralaskan jerami, duduk dengan santai dan
memandangnya dengan sinar mata yang tajam dan mulut di balik kumis yang tersenyum
mengejek.
Goan Ciang menghampiri kakek itu. Hanya seorang saja yang duduk di bagian luar kuil, yang
terbuka dan tidak terlindung sama sekali. Kalau hujan akan kehujanan kalau angin bertiup
akan kedinginan. Akan tetapi, setidaknya tempat itu tidak berbau apek dan hawanya segar dan
bersih.
“Kakek yang baik, aku tidak mengeluh karena diri sendiri, melainkan karena mengingat
keadaan orang-orang lain. Demikian banyaknya penderitaan kulihat di dunia ini.”
Kembali kakek itu tertawa, “Ha-ha-ha, kulihat engkau tadi masuk lalu keluar lagi. Tidak
mendapatkan bagian tempat duduk atau tidur? Sama dengan aku. Nah, duduklah di sini, orang
muda, kita dapat mengobrol dengan asyik!”
Goan Ciang tersenyum, mengangguk, lalu diapun duduk bersila di depan kakek itu.
“Bagaimana kalau aku membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan dingin, kek?”
“Heh-heh, bagus sekali kalau begitu!”
Goan Ciang bangkit lalu keluar dari pekarangan kuil, mengumpulkan kayu kering. Setelah
meraih cukup, dia kembali ke ruangan depan kuil itu dan segera membuat api unggun kecil
yang ternyata menyenangkan mereka berdua. Selain api itu dapat mendatangkan kehangatan,
mengusir nyamuk, juga mereka kini dapat saling pandang dengan cukup jelas.
”Aha, ternyata engkau seorang pemuda yang tampan dan gagah! Dan kulihat engkau juga
tidak malas dan cekatan!” kakek itu memuji setelah mereka duduk berhadapan lagi. “Engkau
pantas kuberi upah beberapa teguk arak. Nah, minumlah!” Dia menyodorkan sebuah guci
arak. Tanpa sungkan lagi Goan Ciang menerimanya, membuka tutup guci dan dia terkejut
mencium bau arak yang amat sedap, arak yang jelas bukan arak murahan! Diapun
mendekatkan guci ke bibirnya, dan minum beberapa teguk. Benar dugaannya.
“Wah, arakmu hebat, kek! Sedap dan enak sekali!”
“Heh-heh-heh, tentu saja. Arak ini mengandung jin-som dan rendaman janin kijang hanya
menjadi minuman kaisar di istana, ha-ha!”
Goan Ciang terkejut. Dia pernah mendengar tentang arak yang dicampur jin-som dan
rendaman janin kijang yang merupakan minuman yang selain lezat juga amat baik untuk
kesehatan. Akan tetapi bagaimana mungkin seorang jembel tua bisa mendapatkan minuman
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 117
yang takkan terbeli oleh seorang hartawan sekalipun?
“Engkau sudah makan?” tiba-tiba kakek itu bertanya dan wajah Goan Ciang berubah
kemerahan. Sejak kemarin dia belum makan! Diapun menggeleng kepalanya.
“Sejak kemarin siang aku belum makan, kek,” katanya.
Kakek itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak, lalu dia memandang ke atas dan
suara ketawanya memecahkan kesunyian malam, bergelak. Diam-diam Goan Ciang
mendongkol, akan tetapi dia mulai memperhatikan kakek itu karena merasa bahwa sikap
jembel tua yang biasanya lemah dan selalu hendak menarik perhatian dan iba hati orang lain.
Kakek itu usianya sudah enam puluh lima tahun, tubuhnya jangkung kurus rambutnya itu
panjang putih tiap-tiapnya dibiarkan bergantung di punggung dan kedua pundak, juga kumis
dan jenggotnya sudah putih semua. Sepasang matanya agak sipit, akan tetapi amat tajam dan
kadang mencorong penuh wibawa, akan tetapi wajahnya ramah dan mulutnya selalu dibayng
senyum sabar. Sikapnya lincah dan jenaka, ramah. Pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi
pakaian itu bersih, jelas sering dicuci. Bukan pengemis sembarangan, pikir Goan Ciang.
“Ha-ha-ha, aku suka sekali engkau seorang laki-laki yang jujur! Kalau begitu, kebetulan
akupun belum makan malam dan aku masih mempunyai bekal roti kering dan daging dendeng
yang cukup untuk kita berdua. Mari makan bersamaku orang muda.”
“Aku memang lapar dan akan senang sekali makan bekalmu, kek. Akan tetapi, aku merasa
tidak enak dan malu. Aku seorang pemuda bagaimana mungkin aku harus menyusahkan dan
mengganggu seorang tua sepertimu?”
Kakek itu tertawa lagi, “Heh-heh-heh siapa mengganggu siapa? Heh-heh, kalau begitu, ketika
aku mengambil makanan dan minuman ini dari orang lain, akupun mengganggu mereka?
Tidak sama sekali. Marilah, orang muda. Kita makan dulu baru nanti mengobrol melewatkan
malam. Kalau sudah makan, perut hangat dan semangat menjadi kuat!”
Goan Ciang memang lapar. Ketika kakek itu mengeluarkan bungkusan dan membuka
bungkusan, dia melihat roti dan daging yang memang cukup banyak untuk mereka berdua,
maka dengan hati lega diapun ikut makan.
Dan dia mendapat kenyataan bahwa seperti juga mutu arak tadi, roti dan dendeng yang
dimakannya bukan merupakan makanan murah, apa lagi hanya sisa. Jelas bahwa roti dan
dendeng itu bukan hasil mengemis, melainkan merupakan makanan orang mewah, lezat dan
tentu mahal harganya. Karena mereka makan dengan lahap, dan keduanya merasa kenyang,
dan sehabis makan, mereka minum arak dari guci itu, bergantian karena di situ tidak terdapat
cawan untuk minum.
Setelah selesai makan, Goan Ciang menambah kayu pada api unggun, lalu mereka berdua
duduk saling berhadapan di lantai yang tertutup jerami. Angin malam semilir lembut
membuat api anggun menari-nari.
“Orang muda, siapa namamu? Dari mana kau datang dan hendak ke mana?” Dia memandang
pedang yang tadi oleh Goan Ciang dikeluarkan dan diletakkan di atas lantai. “Dan untuk apa
engkau membawa-bawa pedang tanpa sarung itu?” Pedang itu memang hanya dibuntal kain
butut oleh Goan Ciang dan selalu dia selipkan di pinggang, disembunyikan di balik bajunya.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 118
“Kalau ada perajurit keamanan melihatmu, tentu engkau akan ditangkap karena membawa
pedang ini.”
Goan Ciang menarik napas panjang. Dia seorang pelarian, seorang buruan. Tidak perlu
mencari penyakit dengan memperkenalkan nama lengkapnya, akan tetapi diapun tidak tega
untuk membohongi kakek yang telah begitu baik membagi makan malamnya dengan dia.
“Kek, namaku....biasa orang memanggilku Siauw Cu (Cu Kecil) dan aku datang ah, terus
terang saja aku hana bisa bilang bahwa aku datang dari belakang dan ingin pergi ke depan!”
Melihat kakek itu tertawa, dia cepat menyambung, “Aku, tidak mempermainkanmu, kek.
Memang aku tidak mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai tujuan perjalanan. Pedang
ini adalah kawanku satu-satunya, untuk membela diri kalau diserang orang jahat.”
“Hemm, namamu Siauw Cu dan engkau hidup sebatang kara di dunia ini, tidak mempunyai
tempat tinggal, tidak memiliki tujuan. Engkau jelas bukan anggota kaipang (perkumpulan
pengemis) walaupun pakaianmu tambal-tambal. Aku yakin engkau tidak pernah mengemis.”
“Mengemis? Ihh, aku tidak sudi mengemis, kakek yang baik. Mengemis adalah pekerjaan
yang hina!”
“Ha-ha-ha, jangan katakan bahwa engkau mencari nafkah dengan bekerja? Apa sih
pekerjaanmu?”
Siauw Cu menggeleng kepalanya. “Aku memang tidak bekerja, kek, aku menganggur dan aku
menyusahkan hatiku.”
“Engkau tidak bkerja, dan mengemis tidak sudi, Lalu apa yang kaumakan setiap hari?
Mencuri?”
“Lebih baik mencuri daripada mengemis!”
“Heh-heh-heh, itu kan alasan seorang pencuri. Kalau seorang pengemis tentu akan
mengatakan bahwa mengemis lebih baik daripada mencuri. Apa salahnya mengemis makanan
kalau kita lapar dan tidak mampu membeli? Setidaknya, mengemis berarti mengetuk hati
nurani manusia lain agar menaruh iba kepada sesamanya.”
“Akan tetapi, sekali mengemis akan membuat orang menjadi malas bekerja dan hanya
mengandalkan pemberian orang saja, bahkan dia lalu mengemis bukan untuk keperluan
makan, melainkan untuk mengumpulkan harta.”
“Heh-heh-heh, yang demikian bukan pengemis namanya, melainkan penipu. Sudahlah, jangan
bicara tentang pengemis, kalau mereka tersinggung, semua penghuni kuil ini akan keluar dan
memaki atau mengeroyokmu. Aku ingin bertanya, kenapa engkau tadi menghela napas dan
mengeluh panjang pendek? Engkau kelihatan seperti orang yang bersusah hati. Kenapa?”
Goan Ciang termenung. Sejak kecil, dia memang lebih banyak mengenal susah daripada
senang. “Siapa yang takkan susah hatinya melihat semua penderitaan yang mewarnai
kehidupan manusia ini, kek? Di mana-mana aku melihat kesengsaraan manusia!”
“Heh-heh-heh, maksudmu kemiskinan dan penyakit, usia tua dan kematian?”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 119
“Bukan itu saja, juga kekecewaan-kekecewaan, harapan-harapan hampa, keputusasaan. Aku
sendiri sejak kecil belum pernah menikmati kebahagiaan. Yang kukenal hanya penderitaan,
duka nestapa, kekecewaan, dan kesusahan belaka. Apakah memang kehidupan ini berarti
penderitaan dan kesusahan, kek?”
“Heii, orang muda. Jawab terus terang, apakah engkau pernah merasakan apa yang dinamakan
kesenangan itu? Pernahkah engkau senang sejak kecil sampai sekarang?”
“Kalau itu tentu saja pernah, kek. Akan tetapi, kesenangan sekelumit yang disusul kesusahan
segunung.”
“Heh-heh-heh, itulah sebabnya! Karena engkau pernah merasakan senang, maka engkau
merasakan susah. Coba andaikata engkau selama hidupmu belum pernah merasakan senang,
tidak mengenal senang, aku yakin engkau tidak pula mengenal susah. Mengejar kesenangan
sama dengan mengejar kesusahan. Coba pikir, engkau tadi makan minum bersamaku, senang
atau tidak?”
“Ya, tentu....senang, kek.”
“Nah, coba kalau sebelum makan minum engkau tidak merasakan susahnya dan derita perut
lapar, apa engkau akan dapat menikmati senangnya makan? Kalau hendak menikmati
enaknya minum, haruslah lebih dahulu menderita tidak enaknya haus. Kesenangan merupakan
pengalaman, kenangan, dan kita ingin memilikinya secara abadi, sehingga kalau kesenangan
itu lepas dari tangan, kita bertemu kesusahan. Senang dan susah sama saja, itu hanya
permainan pikiran yang bergelimang nafsu. Nafsu membentuk si-aku yang ingin senang, tidak
mau susah, lupa bahwa adanya senang karena adanya susah, adanya siang karena adanya
malam. Itulah perimbangannya, yang satu mengadakan yang lain.”
“Tapi, kek. Bukankah semua orang juga begitu? Siapa yang mau susah? Bahkan senangpun
kalau berekor susah, aku tidak mau. Aku ingin bahagia selamanya, akan tetapi sejak kecil aku
tidak pernah merasakan kebahagiaan.”
Kakek itu memandang penuh perhatian dan Goan Ciang menambahkan kayu pada api unggun
sehingga nyala api membesar. “Orang muda, dalam pertanyaanmu sudah terdapat
jawabannya. Aku melihat bahwa engkau bukan seorang yang tepat untuk mencapai
kebahagiaan, melainkan seorang yang memiliki kemauan besar, memiliki bakat besar untuk
mendapatkan kesenangan yang sebanyak-banyaknya. Berbakat untuk menjadi orang besar
dengan kekuasaan yang tak terbatas!”
“Maksudmu bagaimana, kek?”
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku tidak dapat mengatakan lebih dari itu, aku
hanya membaca tanda-tanda pada wajahnya. Akan tetapi kembali tentang kebahagiaan,
engkau sendiri tadi mengaku bahwa sejak kecil engkau belum pernah merasakan kebahagiaan.
Nah, dengan begitu berarti engkau tidak mengenal kebahagiaan dan tidak tahu apa itu
kebahagiaan, bukankah begitu?”
“Justru, karena itu aku sedang mencarinya, kek. Aku mendambakan kebahagiaan, aku ingin
menemukan kebahagiaan.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 120
“Heh-heh-heh, lucunya! Siauw Cu, aku mempunyai seorang kenalan, namanya Akong. Nah,
dapatkah engkau mencarinya untukku? Engkau belum mengenalnya, belum mengetahui di
mana dia dan tidak mengenal ciri-cirinya, hanya tahu bahwa namanya Akong. Dapatkah
engkau menemukannya untukku?”
“Wah, jelas tidak mungkin, kek! Andaikan aku bertemu seorang yang namanya Akong
sekalipun, aku tidak tahu apakah itu Akong yang benar ataukah Akong yang lain.”
“Bagus! Begitu pula dengan kebahagiaan. Kalau engkau belum pernah mengenalnya
bagaimana engkau dapat menemukannya? Andaikata engkau bertemu dengan sesuatu yang
kaunamakan kebahagiaan sekalipun, engkau tidak tahu apakah itu kebahagiaan yang asli
ataukah yang palsu, seperti Akong tadi! Mengertikah engkau, Siauw Cu? Orang tidak
mungkin mencari sesuatu dan menemukan sesuatu yang belum pernah dikenalnya. Kalau
engkau mencari kesenangan, yaitu pengalaman menyenangkan hati seperti yang pernah
kaualami atau yang pernah dialami orang lain dan yang engkau dengar orang lain
menceritakannya kepadamu. Dan mencari kesenangan, seperti kita bicarakan tadi, sama
dengan mencari kesusahan karena keduanya kait-mengait dan tak terpisahkan.”
Siauw Cu mengerutkan alisnya. Belum peernah dia mendengarkan pendapat seperti itu.
Belum pernah dia bercakap-cakap dengan orang lain seperti yang dilakukannya pada malam
hari sunyi di depan kuil kosong itu. Ia takjub, juga tidak mengerti. Apa yang diucapkan kakek
itu hanya samar-samar saja dapat ditangkap hatinya, namun segera menjadi kabur pula.
“Kakek yang baik, aku telah memberitahu namaku. Bolehkah aku mengetahui nama kakek
yang bijaksana?”
“Bijaksana? Heh-heh-heh, aku sama sekali tidak bijaksana, sama seperti engkau dan orang
lain. Kalau makan enak perut kenyang harus senang, heh-heh-heh! Kalau orang-orang
menyebutmu Siauw Cu, maka orang-orang menyebut aku Pek Mau Lokai (Pengemis Tua
Berambut Putih). Engkau boleh sebut aku Lo-kai (Jembel Tua) saja.”
Akan tetapi Siauw Cu adalah seorang pemuda yang pandai membawa diri. Dia tahu bahwa dia
berhadapan dengan seorang kakek yang luar biasa, dan bukan mustahil kakek seperti ini
memiliki ilmu kepandaian tinggi.
“Pek-mau locianpwe (Orang Tua Gagah Berambut Putih), aku hanya ingin bertanya dan
akupun mengharap locianpwe akan menjawab sejujurnya.”
“Heh-heh-heh, tanyalah, orang muda.” Kata kakek itu, tidak kikuk disebut locianpwe.
“Apakah locianpwe tidak seperti aku, tidak mendambakan dan tidak mencari kebahagiaan?”
Wajah yang keriputan dibungkus rambut putih itu berseri, matanya bersinar-sinar, mulutnya
tersenyum lebar sehingga kelihatan bahwa mulutnya tidak bergigi lagi, seperti mulut bayi
yang belum tumbuh gigi. “Heh-heh-heh, aku tidak butuh kebahagiaan, orang muda. Untuk
apa kebahagiaan? Tidak bisa dimakan, tidak bisa dipakai. Untuk apa? Aku adalah aku, seperti
inilah, dan aku tidak ingin menjadi yang lain, tidak ingin menjadi apa-apa, tidak ingin apaapa.
Kalau aku tua, tualah, kalau miskin, miskinlah, kalau sakit, sakitlah, kenapa harus
mengeluh dan tidak menerima kenyataan? Kalau lapar, cari makan, kalau sakit, cari obat, itu
saja. Aku tidak butuh bahagia. Nah, sekarang ini perutku kenyang, tubuh terasa nyaman,
mataku mengantuk. Aku tidak ingin apa-apa, tidak butuh bahagia, hanya butuh tidur!” Setelah
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 121
berkata demikian, kakek yang tadinya duduk bersila itu lalu merebahkan tubuhnya, miring
dan dalam beberapa detik saja dia sudah tidur pulas!
Siauw Cu tercengang, lalu tertegun, merenung, memandang kepada kakek yang tidur nyenyak
itu, lalu menambahkan kayu pada perapian dan termenung memandang api yang merah.
Pandang matanya kosong menerawang, menembus nyala api. Dia menemukan sesuatu,
menemukan kenyataan pada diri kakek itu. Itulah bahagia! Itukah? Keadaan tidak ingin apaapa,
ituka yang dinamakan bahagia? Akan tetapi, bagaimana mungkin hidup tidak ingin apaapa,
seperti kakek itu? Menerima keadaan begitu saja? Mungkin bisa dilakukan seorang yang
sudah tua seperti kakek itu. Akan tetapi dia? Dia masih muda, dia ingin memperoleh
kemajuan dalam segala bidang! Dia bercita-cita. Dia ingin mengusir penjajah Mongol. Dia
ingin memimpin rakyat membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Dia ingin menjadi
pemimpin besar rakyat jelata, ingin mencapai kekuasaan tertinggi! Dia sudah cukup
menderita kekurangan, penghinaan, kerendahan. Dia ingin berkecukupan, berlebihan,
dihormati dan disembah, dia ingin kedudukan setinggi-tingginya. Salahkah itu? Dia menoleh
dan melihat betapa kakek itu tersenyum pada tidurnya.
“Engkau boleh puas dengan keadaanmu, kek. Akan tetapi aku belum puas dengan keadaanku.
Kalau sudah tercapai cita-citaku, barulah aku akan merasa puas dan bahagia. Ya, puas dengan
keadaannya itulah bahagia dan aku tidak berbahagia karena aku belum puas dengan keadaan
diriku!”
Cu Goan Ciang masih diombang-ambingkan pikirannya sendiri, tidak tahu bahwa hati akah
pikiran itu sudah dikuasai nafsu daya rendah. Oleh karena itu, apapun yang kita pikirkan
selalu mempunyai satu tujuan, yaitu demi keenakan dan kesenangan diri pribadi. Dengan
selimu dan kedok apapun, berselubung apapun yang menjadi tujuan pemikiran adalah
keenakan dan kesenangan diri pribadi. Baik kesenangan dan keenakan diri jasmani maupun
keenakan dan kesenangan diri bagian dalam, y aitu batin. Orang yang haus akan kebahagiaan
adalah jelas merupakan orang yang tidak berbahagia. Kenyataannya bahwa kita ingin
berbahagia menunjukkan bahwa kita tidak berbahagia. Ini merupakan fakta. Nah, dalam
keadaan tidak berbahagia, bagaimana mungkin dapat menemukan bahagia? Yang tidak
berbahagia itu bukan lain adalah yang mendambakan kebahagiaan itu juga. Dalam keadaan
sakit, bagaimana mungkin tubuh mendambakan kesehatan? Yang terpenting bukan mencaricari
kesehatan, melainkan menghilangkan penyebab sakit, apakah kita butuh akan kesehatan
lagi. Demikian pula dengan kebahagiaan. Yang terpenting adalah mengamati, mempelajari,
dan meyakinkan mengapa kita tidak berbahagia! Kalau penyebab yang mendatangkan
ketidakbahagiaan itu lenyap, apakah kita butuh lagi kepada kebahagiaan? Tentu saja tidak
butuh! Orang yang tidak sakit tidak butuh kesehatan karena memang sudh sehat. Orang yang
tidak ‘tak berbahagia’ tidak membutuhkan kebahagiaan lagi karena sesungguhnya dialah
orang berbahagia! Seperti juga kesehatan, kita tidak pernah menyadari kebahagiaan. Kalau
kita sehat, kita lupa bahwa kita sehat, kita tidak dapat menikmatinya. Demikian pula kalau
kita berbahagia, kita lupa atau tidak tahu bahwa kebahagiaan tak pernah meninggalkan kita.
Kalau kita sakit, baru kita rindu kesehatan, kalau kita sengsara baru kita mendambakan
kebahagiaan! Pada hal, kebahagiaan, seperti Tuhan dan kekuasaanNya, tidak pernah
meninggalkan kita sedetikpun. Kitalah yang meninggalkan Dia!
Nafsu daya rendah telah mencengkeram kita lahir batin sehingga nafsu yang diikut-sertakan
kepada kita dan yang semula dijadikan pembantu dan alat kita dalam kehidupan ini, berbalik
memperalat kita sehingga kita diperhamba. Nafsu mencengkeram kita dan mendorong kita
untuk selalu mengejar-ngejar keenakan dan kesenangan diri lahir batin. Hidup kita hanya
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 122
diseret ke satu arah, satu arah mencapai tujuan, yaitu keenakan dan kesenangan! Dan untuk
mencapai tujuan ini, kita menghalalkan segala cara karena sudah lupa diri, lupa bahwa kita ini
manusia, mahluk tersayang yang mendapat anugerah Tuhan secara berlimpah-limpah. Kita
melupakan Tuhan, hanya menyebut nama Tuhan dalam mulut saja, itupun kita lakukan kalau
kita sedang ditimpa kesengsaraan! Kesengsaraan yang menimpa diri kita karena akibat ulah
kita sendiri, membuat kita ingat kepada Tuhan, ingat untuk minta tolong, untuk minta
dibebaskan dari kesengsaraan! Dalam keadaan menderita, baru kita menjerit-jerit minta
ampun kepada Tuhan! Permintaan ampun seperti itu biasanya tidak ada gunanya, karena kita
minta ampun dalam keadaan menderita, dengan satu tujuan terselubung, yaitu terlepas dari
kesengsaraan! Permintaan ampun seperti itu hanya suatu cara untuk memperoleh keenakan
dan kesenangan karena bebas dari derita. Kalau sudah terbebas dari derita, maka kitapun
sudah lupa lagi kepada Tuhan! Itulah ulah nafsu yang sudah mencengkeram hati akal pikiran,
sehingga apapun yang kita lakukan menuruti dorongan hati akah pikiran yang masih
bergelimang nafsu yang selalu berpamrih demi kesenangan diri.
Bebas dari cengkeraman nafsu berarti selalu berada dalam bimbingan kekuasaan Tuhan.
Apapun yang kita lakukan merupakan suatu kebaktian kepadanya karena tidak ada saat di
mana kita lupa kepadanya, seolah setiap denyut jantung, setiap gerakan, setiap hembusan
napas merupakan pujian dan pujaan kepadanya.
Malam semakin larut. Ketika Siauw Cu memandang ke arah kakek pengemis itu, dia
tersenyum. Boleh jadi kakek itu merasa puas dan berbahagia, akan tetapi bagaimanapun juga
dia hanya seorang kakek pengemis yang papa. Tidurnya saja di luar kuil tua, di tempat
terbuka, keadaannya miskin sekali. Bagaimana kalau jatuh sakit? Tidak ada obat, tidak ada
yang merawatnya, terlantar dan sengsara. Tidak ada uang pembeli makanan!
Siauw Cu menambahkan lagi kayu pada api unggun. Kehangatan api melindunginya dalam
udara malam yang semakin dingin, membuat dia mengantuk. Dia memandang api dan
melamun sambil melenggut. Dan dalam keadaan antara sadar dan tidak itu, dia melihat
pelangi melengkung di depannya, pelangi yang berwarna, indah sekali seperti tangga yang
menuju ke langit. Dan diapun bangkit, lalu berjalan menaiki tangga pelangi itu, makin lama
semakin naik tinggi. Di ujung pelangi sana dia melihat sebuah bangunan yang besar dan
indah, dan banyak perajurit menyambutnya dengan sikap hormat!
Tiba-tiba suara gaduh menariknya lepas dari dunia mimpi. Dia terkejut dan melihat bahwa
tempat dia dan kakek itu berada, telah dikepung oleh belasan orang! Ada yang berpakaian
pengemis, adapula yang berpakaian perajurit! Akan tetapi mereka itu bukan menyambutnya
dengan hormat, melainkan mengancamnya dengan senjata di tangan. Ada beberapa orang di
antar mereka memegang obor dan seorang yang berpakaian pengemis hitam-hitam berteriak
dengan lantang.
“Tangkap dia!”
“Bunuh, dia berbahaya sekali!” teriak seorang pengemis berpakaian hitam yang lain.
Siauw Cu maklum bahwa tentu mereka itu datang untuk menangkapnya. Akan tetapi dia
merasa heran mengapa ada pengemis-pengemis pakaian hitam yang ikut-ikutan membantu
para perajurit. Ah, tentu mereka itu mata-mata pasukan keamanan yang menyamar pengemis
dan bermalam di kuil itu untuk melakukan penyelidikan. Merekalah yang mengenalnya dan
diam-diam melapor sehingga kini datang pasukan perajurit hendak menangkapnya. Diapun
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 123
siap siaga dan cepat menyambar pedangnya yang dia letakkan di atas lantai. Ternyata api
unggun yang dibuatnya telah padam, mungkin tadi dia telah tertidur sambil duduk dan
bermimpi aneh. Mungkin sinar pelangi itu adalah sinar obor-obor yang dipegang oleh para
pengepung.
Tiba-tiba seorang pengemis yang berjenggot lebat, bertubuh tinggi besar dan memegang
golok, sudah menerjang ke depan dan mengayun goloknya, akan tetapi tidak menyerang
dirinya, melainkan membacok ke arah tubuh Pek Mau Lokai yang masih tidur pulas! Siauw
Cu heran dan terkejut, akan tetapi dia cepat menggerakkan pedangnya sambil meloncat,
melindungi kakek itu.
“Tranggg.....!” Bunga api berpijar ketika pedangnya menangkis golok yang menyambar ke
arah kepala kakek pengemis itu. Penyerangan itu terkejut dan terhuyung ke belakang. Seorang
yang berpakaian perwira melangkah maju dan terbelalak memandang kepada Siauw Cu.
“Heiii! Dia itu Cu Goan Ciang, pelarian yang kita cari!”
“Ah, sudah jelas sekarang! Pek Mau Lokai bergabung dengan pemberontak dan pembunuh
perwira pasukan kerajaan!” Keadaan menjadi gaduh dan belasan orang itu siap mengeroyok
Cu Goan Ciang dan juga kakek yang kini terbangun dan menggosok-gosok kedua mata
dengan punggung tangan.
“Wah-wah, apa yang terjadi? Begini banyak anjing menggonggong dan hendak menggigit
Siauw Cu, apa yang terjadi?” Kakek itu mengambil tongkat bututnya.
“Pek-mao Lo-kai Tang Ku it, tidak perlu berpura-pura lagi. Engkau telah bergabung dengan
Cu Goan Ciang si pemberontak!” bentak pengemis berjenggot lebat berpakaian hitam.
“Bunuh dia!” Si kumis lebat menggerakkan goloknya menikam tubuh kakek yang masih
duduk setengah rebah itu Cu Goan Ciang sendiri sudah diserang beberapa orang perajurit
sehingga dia tidak lagi dapat melindungi kakek pengemis. Akan tetapi, dia terbelalak dan
girang sekali melihat betapa kakek tua itu menggerakkan tongkatnya dan si kumis tebal
terjungkal dan tidak dapat bergerak lagi. Tahulah dia bahwa kakek ini, seperti yang sudah
diduganya, amat lihai dan sama sekali tidak membutuhkan bantuannya! Diapun menjadi
bersemangat dan mengamuk di samping kakek itu yang kini memutar tongkat bututnya dan
telah merobohkan empat orang berpakaian hitam-hitam!
Akan tetapi, para pengeroyok bertambah banyak. Kiranya hampir semua pengemis yang tadi
tinggal di kuil, kini datang mengeroyok kakek rambut putih, sedangkan dari luar datang lebih
banyak perajurit mengeroyok Cu Goan Ciang.
Betapapun lihainya Cu Goan Ciang, dikeroyok oleh banyak perajurit, dia terdesak hebat. Dia
sudah berhasil merobohkan delapan orang pengeroyok, akan tetapi dia sendiri mulai
menerima sambaran senjata lawan yang membuat dia luka-luka. Masih baik baginya bahwa di
situ terdapat kakek pengemis yang ternyata lihai sekali sehingga para pengemis dan sebagian
perajurit terpaksa mengeroyok kakek itu.
Agaknya kakek itupun maklum bahwa keadaan dia dan Siauw Cu tidak menguntungkan.
Kalau dilanjutkan, tidak mungkin mereka akan mampu bertahan terus. Apa lagi kalau malam
telah lewat dan cuaca menjadi terang. Akan datang lebih banyak perajurit dan akan semakin
sukar bagi mereka berdua untuk menyelamatkan diri.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 124
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara pekik melengking tinggi yang mengejutkan semua
orang. Tak lama kemudian, beberapa buah gulungan jerami yang diikat dan diberi minyak,
terbakar bernyala-nyala, dilemparkan orang dari luar ke tempat pertempuran! Tentu saja
pengeroyokan menjadi kacau karena semua orang takut terkena api yang bernyala-nyala itu.
Pek Mau Lokai menangkap lengan Siauw Cu. “Mari, kita tunggu kapan lagi?” katanya dan
Siauw Cu merasa dirinya ditarik amat kuat. Diapun ikut melompat dan melarikan diri ke
belakang kuil di mana terdapat sebuah hutan kecil. Kakek itu agaknya hafal akan jalan di situ,
dia menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon dan semak belukar. Siauw Cu hanya
mengikuti saja dengan membuta. Tubuhnya terasa perih dan nyeri karena ada beberapa luka
menggores kulitnya dan mengeluarkan darah. Di belakang mereka, terdengar teriakan orang
dan dengan derap kaki mereka yang melakukan pengejaran.
Ketika mereka tiba di ujung yang lain dari hutan itu, terdengar derap kaki kuda dan ada tiga
orang laki-laki setengah tua berpakaian pengemis menunggang tiga ekor kuda dan menuntun
dua ekor lagi.
Silakan Pangcu (ketua), dan maafkan kelambatan kami tadi karena kami harus membuat bolabola
jerami lebih dulu,” kata seorang di antara mereka.
“Siauw Cu, mari kita menunggang kuda dan pergi dari sini. Kalian bertiga bekerja dengan
baik!” kata Pek Mau Lokai. Siauw Cu tidak membantah, lalu mereka menunggang dua ekor
kuda tadi dan lima orang itupun membalapkan kuda melarikan diri dari tempat itu.
Cu Goan Ciang tidak merasa heran. Memang dia sudah menyangka bahwa kakek itu bukan
orang sembarangan, maka diapun menyebutnya lo-cian-pwe. Akan tetapi sama sekali ia tidak
menyangka bahwa kakek itu ternyata adalah seorang kaipang-cu (ketua perkumpulan
pengemis), dan tiga orang yang menolong mereka dengan melemparkan bola-bola jerami
bernyala kemudian membawakan dua ekor kuda itu tentulah anak buahnya. Sama sekali keliru
semua perkiraannya tadi mengira bahwa kakek itu hidup terlantar, miskin dan papa. Dari
perjalanannya selama ini dia tahu bahwa biarpun namanya perkumpulan pengemis,
perkumpulan kaum jembel, namun di antara mereka banyak yang memiliki kedudukan kuat
dan sama sekali tidak miskin. Pakaian butut tambal-tambalan yang mereka pakai bukan
pertanda kemiskinan, melainkan lebih sebagai tanda bahwa mereka adalah anggota dari
perkumpulan pengemis tertentu! Dan melihat pakaian Pek mau Lo-kai yang penuh tambalan
namun bersih dan dari kain berkembang, juga ketiga orang pembantunya yang pakaian
mereka juga tambal-tambalan akan tetapi dari kain berkembang, dia dapat menduga bahwa
mereka itu tentulah orang-orang Hwa I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang)
yang pernah didengarnya sebagai perkumpulan pengemis yang kuat dan yang menentang
pemerintah Mongol! Kini, tanpa disengaja, dia telah bertemu dengan ketuanya, bahkan makan
dan tidur bersama di depan kuil di luar kota Nan-king itu.
Lima orang itu membalapkan kuda mendaki sebuah bukit dan matahari sudah mulai mengirim
sinarnya mengusir kegelapan malam ketika mereka tiba di lereng bukit itu, di mana terdapat
dinding batu yang panjang, mengandung banyak gua-gua besar. Dan belasan orang pengemis
menyambut kedatangan ketua mereka dengan gembira.
Setelah dipersilakan turun dan memasuki gua terbesar di mana terdapat perabot rumah
sederhana, Siauw Cu duduk berhadapan dengan Pek-mau Lo kai dan tiga orang anak buahnya
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 125
tadi.
Kiranya aku berhadapan dengan Hwa Kaipang-cu,” kata Siauw Cu sambil memberi hormat
kepada kakek itu. “Terima kasih, pangcu, dan terima kasih kepada tiga orang saudara ini.
Kalau tidak ada pertolongan kalian, tentu sekarang aku telah menjadi tawanan atau telah
menjadi mayat.”
“Sudahlah, Siauw Cu. Kita di antara orang sendiri, kalau tidak saling bantu lalu siapa yang
akan membantu kita?” kata Pek Mau Lokai. “Begitu bertemu di depan kuil itu dan mendengar
engkau mengaku bernama Siauw Cu, aku sudah menduga bahwa engkau tentulah Cu Goan
Ciang yang telah menggegerkan itu, yang dikagumi semua pejuang karena engkau telah
berani membunuh perwira, kemudian membunuh banyak perajurit seorang diri saja, bahkan
engkau berani menentang Jang-kiang-pang yang menjadi antek pemerintah Mongol. Engkau
hebat, Siauw Cu, akan tetapi engkau juga bodoh!”
Siauw Cu mengamati wajah kakek itu dengan muka berubah merah. “Aku tidak mengerti apa
yang lo-cian-pwe maksudkan.”
“Bahwa engkau bodoh? Ha-ha, mari perkenalkan dulu dengan tiga orang pembantuku ini.”
Dia memperkenalkan tiga orang itu. Lee Ti atau Lee-pangcu berusia empat puluh tahun,
merupakan ketua Hwa I Kaipang cabang wilayah barat, bertubuh tinggi besar dan mukanya
brewok. Pouw Sen berusia empat puluh tahun, ketua cabang di timur, bertubuh tinggi kurus
dan mukanya putih tanpa kumis atau jenggot. Adapun orang ke tiga adalah Kauw Bok atau
Kauw Pangcu, ketua cabang selatan bertubuh pendek gendut dan mukanya yang bulat itu
selalu tersenyum cerah. Mereka itu menjadi ketua-ketua Hwa I Kaipang di tiga wilayah, dan
mereka juga merupakan murid-murid dari Pek Mau Lokai Tang Ku It.
Setelah mereka saling berkenalan, seorang anggota kaipang datang menyuguhkan sarapan
pagi. Siauw Cu dipersilakan makan bersama dan setelah makan mereka duduk bercakapcakap.
“Sekarang harap pangcu suka menjelaskan mengapa aku disebut bodoh.” Siauw Cu bertanya
kepada ketua itu.
Hwa I Kaipangcu Tang Ku It tertawa. “Bagus, engkau ingin mengetahui kekuranganmu
sendiri? Itu pertanda baik, karena hanya orang yang mau mengetahui dan mengakui
kekurangan sendiri sajalah yang mempunyai harapan untuk mendapatkan kemajuan dari
kehidupan ini. Siauw Cu, aku mengatakan engkau gagah dan pemberani, akan tetapi bodoh.
Bagaimana mungkin engkau seorang diri saja berjuang melawan penjajah yang merupakan
sebuah kerajaan dengan ratusan ribu pasukannya? Baru menghadapi pengeroyakan puluhan
orang perajurit saja engkau sudah luka-luka dan kalau dilanjutkan, engkau akan mati konyol.
Kalau engkau berjuang seorang diri, sama saja dengan membunuh diri dan sama sekali tidak
ada manfaatnya bagi rakyat.
Siauw Cu mengangguk-angguk. “Aku mengerti akan kesalahanku dan mohon petunjuk.”
“Engkau tidak mungkin berjuang melawan pemerintah Mongol tanpa mempunyai pasukan.
Engkau harus menghimpun tenaga para patriot, barulah perjuanganmu ada artinya. Kamipun
pejuang, dan sejak lama kami menghimpun tenanga, namun juga belum merasa cukup kuat
untuk melawan pasukan pemerintah.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 126
“Aku tidak dapat sesabat itu, pangcu, kata Siauw Cu. “Sampai kapan kita akan bergerak
menentang penjajah kalau selalu merasa kurang kuat? Aku melihat penderitaan rakyat di
mana-mana, aku melihat penindasan, dan aku ingin memberontak. Aku ingin menentang
semua penjajah dan penindas, termasuk orang-orang sesat yang menjadi antek penjajah dan
yang melakukan kejahatan terhadap sesama bangsa. Aku ingin menghancurkan mereka
semua, perwira-perwira terkutuk yang mengganggu wanita, menindas rakyat!”
Pek Mau Lokai tersenyum dan mengangguk-angguk. “Kami sudah mendengar tentang nasib
nona Kim Lee Siang.”
Siauw Cu tercengang. “Ah, jadi pangcu sudah tahu akan hal itu?”
Ketua kaipang itu tersenyun. “Nah, engkau melihat bahwa kalau kita mempunyai banyak
anggota, maka di mana-mana kita dapat menaruh penyelidik, dan kita dapat mengetahui
banyak hal. Andaikata aku hanya seorang diri seperti engkau, Siauw Cu, tentu akupun tidak
tahu apa-apa. Hanya ada satu hal yang membuat kami tidak mengerti. Mengapa seorang
pejuang seperti engkau, yang menurut hasil penyelidikan mencinta nona Kim Lee Siang yang
anti penjajah Mongol, dapat menjadi calon suami ketua Jang-kiang-pang? Dan kemudian
bahkan engkau menyerangnya dan membuntungi lengannya setelah nona Kim Lee Siang
membunuh diri?”
Siauw Cu mengepal kedua tangannya.
Diingatkan tentang peristiwa itu, dia teringat akan Lee Siang yang dicintanya dan wajahnya
diliputi kedukaan, juga kebencian terhadap Liu Bi.
“Perempuan keparat itu!” katanya gemas. “Ketua Jang-kiang-pang itu meracuni sumoinya
sendiri dan memaksaku untuk menikah dengannya. Kalau aku tidak mau, ia tidak akan
memberi obat penawar kepada Lee Siang. Untuk menyelamatkan nyawa Lee Siang, terpaksa
aku menerima permintaannya. Akan tetapi pada malam perayaan pernikahan itu, ia telah
menyerahkan Lee Siang yang lemah dan dibius kepada jahanam Khabuli itu!” Mukanya
berubah merah dan matanya mencorong penuh kemarahan. “Aku harus membunuh jahanam
Mongol itu!!”
“Sabar dan tenanglah, Siauw Cu. Seorang laki-laki tidak hanya menuruti nafsu
kemarahannya, dan seorang pejuang mengesampingkan urusan dan kepentingan pribadi,
mendahulukan kepentingan perjuangan. Semua itu terjadi, juga semua penderitaan rakyat itu
terjadi sebagai akibat dari satu sebab, yaitu penjajahan. Andaikata engkau berhasil membunuh
Khabuli karena dia menyebabkan kematian nona Kim, akan muncul ribuan orang Khabuli
yang lain, yang mengorbankan ribuan nona Kim yang lain! Andaikata engkau membunuh
seorang penindas rakyat, masih akan bermunculan ribuan penindas yang lain. Satu-satunya
jalan adalah melenyapkan penjajah dari bumi kita, barulah ada ketenteraman dan
kesejahteraan bagi rakyat.”
Diam-diam Siauw Cu kagum kepada ketua pengemis itu. Apa yang diucapkannya memang
benar dan tepat. Kalau dia ingin berhasil, dia harus menahan diri, tidak menuruti nafsu
dendam pribadinya, dan dia juga harus dapat menghimpun tenaga dari rakyat jelata. Dia tidak
seharusnya hanya mencurahkan perhatiannya untuk membalas kepada orang-orang seperti
ketua Jang-kiang-pang dan perwira Khabuli saja, melainkan kepada pusatnya, yaitu kepada
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 127
pemerintah Mongol, sang penjajah yang menjadi biang keladi kesengsaraan rakyat,
kesengsaraannya. Sejak kecil, dia telah menderita akibat penjajahan. Orang tuanya sakit dan
mati karena kelaparan, dia sendiri hidup terlunta-lunta, semua itu karena keadaan kehidupan
rakyat yang miskin dan sengsara, akibat penjajahan. Dia harus berusaha melenyapkan
penjajah!
Melihat pemuda itu termenung, Pak-mau Lo-kai yang diam-diam merasa kagum dan suka
kepada pemuda itu langsung mengulurkan tangan, “Cu Goan Ciang, kalau engkau sudah
dapat mengerti apa yang kumaksudkan, tentu engkau tidak lagi memandang rendah dan hina
kepada kita para pengemis.
“Tentu saja tidak, lo-cian-pwe. Sejak pertama kali kita berkenalan, apakah aku pernah
memandang rendah kepadamu?”
“Bagus, kalau begitu, bagaimana kalau engkau kami tarik sebagai anggota Hwa I Kaipang?
Aku ingin engkau menjadi pembantuku yang dapat ku andalkan dan kupercaya.
“Heii, tidak begitu mudah...!!” Tiba-tiba terdengar teriakan suara wanita dari luar gua.
“Wah, si rewel itu akan membuat ulah lagi, heh-heh-heh!” Pek Mau Lokai berkata sambil
tertawa dan memandang keluar gua. Tiga orang ketua cabang juga memandang keluar sambil
tersenyum. Melihat mereka semua memandang keluar gua, Siauw Cu juga menoleh dan dia
melihat seorang gadis berdiri di depan gua. Gua itu agak gelap, dan di luar demikian
terangnya sehingga gadis itu seperti berada di dalam sinar yang cerah dari atas. Seorang gadis
yang manis sekali dengan pakaian tambal-tambalan dan berkembang-kembang, akan tetapi
selain pakaian itu amat bersih, juga potongannya amat manis sehingga tidak seperti pakaian
pengemis, melainkan seperti pakaian mode terakhir, model terbaru yang tentu akan menarik
perhatian gadis-gadis lain! Rambutnya yang hitam dan lebat itu digelung ke atas,
sembarangan saja agak awut-awutan dan diikat pita merah dan diperkuat tusuk sanggul dari
perak berbentuk burung merak. Tidak memakai perhiasan lain, namun justeru
kesederhanaannya itu bahkan menonjolkan kecantikannya yang alami. Dahinya berkulit halus
seperti lilin, dengan anak rambut halus lembut melingkar mesra di dahi dan kening, sepasang
alisnya hitam kecil melengkung seperti dilukis dan tidak ditambah penghitam apapun.
Sepasang matanya seperti mata burung Hong, tajam dan menantang namun mengandung
kelembutan yang khas wanita. Kedua pipinya putuh kemerahan tanpa pemerah, hidungnya
kecil mancung dan nampak lucu karena ujungnya agak berdongak, mulutnya amat manis,
dengan sepasang bibir yang merah basah tanpa gincu, dan selalu dibayangi senyum dikulum
dengan lesung pipit di sebelah kiri dan garis-garis manis di sebelah kanan. Dagunya yang
meruncing memberi kesan wajah itu berbentuk seperti telur. Usianya tentu tidak akan lebih
dari dua puluh tahun, dengan tubuh yang tinggi ramping, kedua kaki panjang dan sepatu kulit
hitam mengkilap itu sungguh tidak pantas dipakai seorang pengemis!
“Heii, anak bengal! Apa lagi kau ribut-ribut di situ?” teriak Pek Mau Lokai. “Kalau mau
bicara, jangan berteriak-teriak dari luar, masuklah saja dan bicara yang baik dan pantas!”
“Kong-kong (kakek), aku tidak mau masuk! Di situ ada orang asing!”
Lee Ti, atau Lee-pangcu, ketua cabang Hwa I Kaipang di barat, tertawa dan berseru, “Hui
Yen, kami adalah paman-pamanmu, bukan orang asing!”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 128
“Lee-susiok (paman guru Lee), aku tidak maksudkan kalian bertiga!” jawab gadis yang
disebut dengan nama Hui Yen itu.
“Yen Yen, jangan tidak sopan. Tamu kita ini adalah Cu Goan Ciang, dan mulai hari ini dia
menjadi saudara kita, menjadi pembantu utamaku di sini,” kata kakek Pek Mau Lokai sambil
tersenyum. Gadis itu bernama Tang Hui Yen yang biasa disebut Yen Yen, berusia dua puluh
tahun. Ia adalah cucu dalam dari Pek Mau Lokai Tang Ku It. Ayah dan ibu anak itu telah
tewas dalam pertempuran besar antara kelompok Hwa I Kaipang yang diserbu pasukan
pemerintah dan anggota kaipang lain yang memusuhi mereka.
“Justru itulah, kek, maka tadi aku mengatakan tidak boleh begitu mudah. Pembantu kakek
berarti seorang yang akan memimpin kaipang kita, berarti dia haruslah seorang yang cakap
dalam kepemimpinan, bijaksana, cerdik, berwibawa, dan terutama sekali memiliki ilmu
kepandaian yang lebih tinggi dari pada para anggota kita. Apakah orang muda itu memiliki
kesemuanya itu?”
Pek Mau Lokai memandang kepada Siauw Cu sambil tersenyum lebar. “Begitulah cucuku itu,
selalu ingin memuji orang!”
“Suhu, kami kira hal itu baik sekali. Kalau Cu-sicu ini menjadi pembantu suhu, sudah
selayaknya kalau dia memperlihatkan kepandaiannya agar dilihat oleh para anggota sehingga
kelak tidak akan ada anggota yang merasa penasaran dan ragu.”kata Lee Ti dan kedua orang
rekannya juga mengangguk menyetujui.
Siauw Cu mengerutkan alisnya. “Mana aku berani kurang ajar terhadap cucu lo-cian-pwe
yang lihai?”
“Ha-ha-ha, katakan saja engkau sungkan melawan seorang wanita! Akan tetapi biar ia seorang
gadis, Yen Yen telah memiliki tingkat kepandaian yang seimbang dengan tingkat para
muridku yang lain. Dan biarpun ia cucuku, akan tetapi engkau tidak berkelahi melawannya,
melainkan hanya bertanding untuk diuji kepandaianmu olehnya. Nah, sambutlah
tantangannya, Siauw Cu.”
Terpaksa Siauw Cu bangkit dan keluar, diikuti Pek Mau Lokai dan ketiga orang ketua cabang.
Siauw Cu merasa panas juga perutnya melihat gadis manis itu berdiri dengan pandang mata
menantang dan senyum mengejek dan memandang rendah.
Diam-diam Yen Yen memperhatikan pemuda yang melangkah keluar dari dalam gua itu.
Sejak ayah ibunya belum meninggal dua tahun yang lalu, ayah ibunya selalu mendesaknya
agar mau menikah. Namun, Yen Yen selalu menolak. Banyak pinangan datang, namun
terpaksa ayah ibunya menolak halus karena gadis itu tidak pernah mau dan mengatakan
bahwa kalau ayah ibunya menerima pinangan orang, ia akan menolak dan pada hari
pernikahan, ia akan minggat. Ia mengemukakan tekadnya bahwa kalau belum bertemu dengan
seorang pria yang menjadi pilihan hatinya, ia tidak mau menikah. Setelah ayah ibunya
meninggal, tewas dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah, tidak ada lagi orang yang
mendesaknya untuk menikah. Kakeknya, yang menjadi pengganti ayah ibunya juga menjadi
gurunya, tidak mendesak, hanya bertanya mengapa sampai berusia dua puluh tahun ia belum
juga mau menjatuhkan pilihannya. Orang macam apa sih yang diharapkannya demikian
kakeknya pernah bertanya. Ia menjawab bahwa pria itu harus memenuhi semua harapan
hatinya, cocok dengan seleranya dan terutama sekali, harus dapat mengalahkannya dalam
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 129
pertandingan silat.
Kini kedua orang muda itu saling berhadapan. Siauw Cu memandang dengan sikapnya yang
tenang dan berwibawa, alisnya agak berkerut karena dia menganggap gadis ini terlalu
sombong dan manja. Dan Yen Yen berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang, pandang
matanya seperti seorang nona majikan terhadap seorang muridnya. Sejenak mereka saling
pandang, Siauw Cu menunggu dengan tenang, Yen Yen mengamati pemuda itu pernuh selidik
dengan sikap menantang, seperti sikap ayam aduan berlagak sebelum bertanding.
“Hemm, orang muda, engkau memiliki kemampuan apa sih mau menjadi pembantu kakekku,
ketua Hwa I Kaipang?” kata Yen Yen dengan sikap tinggi hati sekali. Kini Pek Mau Lokai
dan tiga orang ketua cabang sudah keluar dari gua dan duduk di atas batu, menjadi penonton.
Bahkan para anggota Hwa I Kaipang yang kebetulan melihat adegan itu, tanpa dipanggil
sudah datang sehingga sebentar saja tempat itu sudah dikelilingi puluhan orang yang
menonton dengan hati tegang dan wajah gembira. Mereka mengenal watak Yen Yen yang
galak dan yang suka sekali memuji kepandaian orang. Dan banyak di antara mereka yang
merasa iba kepada pemuda yang nampak pendiam dan sederhana itu, karena sukar mencari
orang yang mampu menandingi kelihaian Yen Yen.
Mendengar gadis itu bicara kepadanya seolah-olah seorang dewasa terhadap seorang kanakkanak,
wajah Siauw Cu menjadi kemerahan dan sinar matanya menyambar dan berkilat.
“Nona kecil, karena usiamu tidak akan lebih tua dari aku, maka tidak semestinya engkau
menyebut aku orang muda, seolah-olah engkau sudah tua renta dan pikun!”
Ucapan Siauw Cu ini bukan untuk melucu melainkan karena dia mendongkol, akan tetapi
terdengar lucu sehingga Pek Mau Lokai tertawa bergelak dan para anggota Hwa I Kaipang
juga tersenyum dengan hati khawatir karena tentu gadis itu akan marah sekali. Dan memang
Yen Yen menjadi marah. Mukanya yang memang sudah putih kemerahan itu kini menjadi
merah, seperti seekor bunglon yang berubah warna, matanya mencorong dan menggerakkan
tangan kirinya, jari telunjuk kiri ditudingkan ke arah muka Siauw Cu.
“Bocah sombong!” Biarpun usiamu lebih tua dariku, dalam pandanganku engkau masih
kanak-kanak, tahu? Dan seorang kanak-kanak seperti engkau ingin menjadi pembantu
kakekku memimpin para anggota Hwa I Kaipang? Tidak begitu mudah, sobat!”
Panas juga rasa perut Siauw Cu. Gadis ini terlalu memandang rendah dan lidahnya tajam
melebihi ujung pedang. Akan tetapi karena dia mengingat bahwa gadis itu adalah cucu Pek
Mau Lokai, diapun menahan diri. “Nona, bukan kehendakku untuk menjadi pembantu
kakekmu, melainkan beliau sendiri yang mengkehendakinya.”
“Hemm, kukatakan tadi tidak semudah itu. Kalau engkau tidak mampu mengalahkan aku,
engkau tidak pantas menjadi pembantu kakek. Hayo, coba kita lihat bersama apakah engkau
mempunyai kemampuan untuk menandingi ilmu silatku. “Berkata demikian, gadis itu
memasang kuda-kuda dengan lagak yang gagah sekali.
Cu Goan Ciang tersenyum dan dia menoleh ke arah Pek Mau Lokai. Biarpun kakek itu tadi
sudah menganjurkan agar dia menyambut tantangan gadis itu, tetap saja dia merasa sungkan
dan tidak enak hati terhadap ketua Hwa I Kaipang. Melihat pemuda itu menoleh kepadanya,
Pek Mau Lokai sambil tertawa mengangguk.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 130
Siauw Cu lalu melangkah maju menghampiri gadis itu. Dia melihat betapa kuda-kuda gadis
itu gagah sekali, dengan kaki kiri di depan dan kaki kanan di belakang, kaki kiri ditekuk
rendah, tangan kanan diangkat ke atas kepala dan tangan kiri miring di depan dada.
Siauw Cu tidak berani memandang ringan. Gadis ini adalah cucu Pek Mau Lokai yang dia
tahu amat lihai, maka tentu gadis inipun bukan orang lemah, bahkan mungkin merupakan
lawan yang tangguh. Akan tetapi, kecerdikan Siauw Cu membuat dia dapat menduga bahwa
dia a kan mampu menandingi gadis itu. Kalau tidak demikian halnya, tidak mungkin kakek itu
mengangkatnya sebagai pembantu dan menganjurkan dia menyambut tantangan Yen Yen.
Kakek yang sakti itu sudah melihat sepak terjangnya ketika mereka di keroyok pasukan, tentu
telah dapat mengukur kepandaiannya dan membandingkan dengan tingkat kepandaian Yen
Yen.
“Kuharap nona tidak bersungguh-sungguh, kita bukan musuh yang sedang berkelahi,” dia
mengingatkan.
Gadis itu cemberut. “Siapa yang memusuhimu? Kita sedang menguji kepandaian, bukan
berkelahi. Tentu saja aku bersungguh-sungguh!” katanya.
“Baik, aku sudah siap. Silakan mulai, nona.”kata Siauw Cu dan diapun sudah memasang
kuda-kuda dengan kedua kaki seperti orang menunggang kuda, kedua tangan dirangkap di
depan dada seperti memberi hormat dan begitu lawan bergerak, kedua tangannya turun ke
dekat pinggang kanan kiri.
“Lihat seranganku, haiiittt....!” Yen Yen berseru dan iapun menerjang dengan gerakan yang
dahsyat. Siau Cu terkejut dan kagum ketika merasa angin pukulan menyambar dengan
kuatnya. Benar seperti dugaannya, gadis ini lihai sekali. Karena dia memang sudah menduga
demikian, biarpun kaget, dia sudah siap sedia dan cepat dia menggerakkan kaki memutar
tubuh miring sambil menangkis dengan pengerahan tenaga sinkang.
“Dukk-duk-dukk!” Tida kali berturut-turut dia menangkis pukulan berantai dari Yen Yen dan
tangkisann yang ketiga kalinya membuat gadis itu agak terdorong ke belakang.
Yen Yen merasa penasaran. Ia tahu bahwa dalam hal tenaga sin-kang, ia masih kalah kuat,
maka ia lalu mempergunakan kecepatannya dan menyerang lagi dengan cepat dan bertubitubi.
Namun, Siauw Cu adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang terkenal memiliki
pertahanan yang kokoh. Dia dapat pula mengimbangi kecepatan gerakan lawannya dengan
langkah-langkahnya, bahkan dia juga mulai membalas dengan serangan yang tak kalah cepat
dan kuatnya.
Terjadilah pertandingan yang membuat semua anggota Hwa I Kaipang merasa kagum. Inilah
yang dikehendaki oleh Lee-pangcu ketika dia menyetujui Siauw Cu menerima tantangan itu.
Dengan memperlihatkan ilmu silatnya yang ternyata mampu menandingi ilmu kepandaian
Yen Yen, dengan sendirinya para anggota Hwa I Kaipang menjadi kagum dan tentu tidak
akan ada yang merasa penasaran kalau nanti mereka mendengar bahwa pemuda yang baru
datang itu diangkat menjadi pembantu utama sang ketua.
Lima puluh jurus lewat dengan ramainya dan biarpun para anggota Hwa I Kaipang semua
menganggap bahwa kedua orang itu memiliki kepandaian seimbang dan pertandingan itu seru
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 131
dan saling serang, namun Yen Yen sendiri, juga tiga orang ketua cabang dan tentu saja Pek
Mau Lokai maklum bahwa Siauw Cu telah banyak mengalah dalam pertandingan itu. Balasan
serangan pemuda itu bukan untuk mendesak, melainkan hanya dilakukan untuk membendung
serangan lawan saja. Serangan balasannya hanya untuk melindungi dirinya, bukan untuk
menjatuhkan lawan. Hal ini lama-kelamaan terasa juga oleh Yen Yen, membuat ia menjadi
semakin penasaran dan tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan nyaring dan kedua tangannya,
dengan jari-jari terbuka mendorong ke arah dada lawan sambil mengerahkan seluruh
tenaganya! Inilah serangan yang amat berbahaya sehingga Pek Mau Lokai sendiri
mengerutkan alisnya, menganggap cucunya itu keterlaluan sekali karena serangan maut
seperti itu tidak pantas dilakukan dalam pertandingan menguji kepandaian atau pi-bu (adu
silat) persahabatan, bukan mengandung kebencian atau permusuhan. Akan tetapi, karena dia
percaya akan kemampuan Siauw Cu, diapun tenang-tenang saja, tidak seperti tiga orang
muridnya yang menjadi pucat wajahnya. Tiga orang ketua cabang ini memiliki ilmu
kepandaian silat yang setingkat dengan Yen Yen dan mereka juga tahu betapa hebatnya ilmu
yang juga mereka kuasai itu.
Siauw Cu merasakan sambaran angin dahsyat dari kedua tangan itu dan dia mengenal pukulan
berbahaya, maka diapun segera menggunakan ilmu andalannya, yaitu Sin-tiauw Ciang-hwat.
Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas seperti seekor burung rajawali terbang dan ketika kedua
tangan lawan lewat di bawahnya, kedua tangannya dengan tubuh menukik itu menyambar,
mencengkeram ke arah kepala Yen Yen!
“Aihhh....!!” Tiga orang ketua cabang melompat berdiri saking kaget dan khawatirnya, hanya
Pek Mau Lokai yang tetap duduk tenang walaupun mukanya berubah kaget karena kalau tadi
dia dapat mengenal ilmu silat Siauw Cu dengan jurus-jurus yang ampuh dari Siauw-lim-oai,
kini dia tidak mengenal ilmu yang dipergunakan Siauw Cu ketika tubuhnya mencelat ke atas
seperti burung itu. Dia yakin bahwa biarpun Siauw Cu dapat mencengkeram kepala dan
menewaskan cucunya, namun pemuda itu tidak mungkin mau melakukannya. Dan benar saja,
Siauw Cu sudah melompat turun lagi dan berkata lirih.
“Maafkan aku, nona.” Tangannya bergerak dan sebatang tusuk sanggul perak melayang ke
arah gadis itu. Yen Yens cepat menyambutnya dan mukanya berubah kemerahan. Kiranya,
tusuk sanggulnya telah dapat dicabut pemuda itu tanpa ia merasakannya! Ini saja sudah
merupakan bukti nyata bahwa ia telah kalah, karena kalau pemuda itu menghendaki tadi dia
telah mencabut tusuk sanggul, melainkan mencabut nyawanya melalui cengkeraman pada
kepalanya!
Akan tetapi Yen Yen adalah seorang gadis yang galak dan tidak mudah mau menerima
kekalahan walaupun sesungguhnya ia tidak sombong. Ia lincah dan agak binal, memandang
rendah siapa saja sebelum ia yakin benar akan kemampuan orang itu. Kini, setelah
menancapkan lagi tusuk sanggulnya dan peristiwa itu tidak dilihat para anggota Hwa I
Kaipang, kecuali kakeknya dan tiga orang ketua cabang, ia lalu menggerakkan tangannya dan
di lain saat ia telah mancabut sebatang tongkat sebesar ibu jari kakinya yang tadi ia selipkan
di punggung. Ia memutar-mutar tongkat yang panjangnya satu meter itu di antara jari-jari
tangan kirinya sehingga tongkat itu berputar cepat seperti kitiran.
“Orang She Cu, engkau boleh juga. Akan tetapi kalau engkau belum mengalahkan tongkatku,
aku belum puas. Tongkat adalah senjata keramat para pengemis untuk menaklukkan setan dan
iblis. Majulah dan keluarkan senjatamu!” tantangnya.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 132
“Nona, aku hanya mempunyai sebatang pedang, akan tetapi pedang itu hanya akan
kupergunakan untuk menghadapi musuh.” Dia teringat akan pedangnya, pedang yang pernah
menembusi dada Lee Siang kekasihnya, pedang yang sejak saat itu selalu dibawanya dan tadi
dia tinggalkan di dalam gua karena dia tidak ingin menghadapi tantangan nona itu dengan
senjata di tangannya. “Karena ini hanya merupakan pertandingan persahabatan, aku akan
menghadapi tongkatmu dengan tangan kosong saja.”
“Ihhh, berani engkau memandang rendah tongkat kami? Ingat, ilmu tongkat kami Hok-motuung
(Tongkat Penakluk Iblis) tak terkalahkan di dunia ini!”
Mendengar ini, kakeknya tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Yen Yen, jangan tekebur seperti itu!
Engkau memalukan kakekmu saja. Mana ada ilmu yang tak terkalahkan di dunia ini. Tidak
ada!”
Yen Yen memandang kakeknya. “Kek, kenapa kita harus merendahkan ilmu sendiri. Orang
she Cu, kuperingatkan sekali lagi. Keluarkan senjatamu untuk menghadapi tongkatku!”
“Tidak nona, cukup dengan kedua tangan kakiku saja. Majulah, aku telah siap menghadapi
tongkatmu!”
Marahlah Yen Yen. Ia menganggap pemuda itu yang telah berhasil mencabut tusuk
sanggulnya, terlalu memandang rendah tongkatnya. “Baik, engkau sendiri yang mencari
penyakit. Nah, sambutlah tongkatku!” Berkata demikian, ia menerjang dengan amat cepatnya.
Dengan sigap Siauw Cu mengelak ke samping, akan tetapi ujung tongkat itu terus
mengejarnya secara aneh! Dia menggerakkan tangan untuk menangkap ujung tongkat itu,
untuk merampasnya, akan tetapi ujung tongkat tergetar dan lepas dari sambaran tangannya
dan secara aneh telah meluncur dan menusuk ke arah antara kedua matanya!
“Ehh...!” Siauw Cu terkejut dan cepat melangkah mundur, akan tetapi kembali ujung tongkat
itu telah menotoh jalan darah di depan tubuhnya secara bertubi-tubi. Dia mengelak ke sanasini
dan dalam waktu beberapa detik saja, ujung tongkat itu telah menyerang dengan totokan
ke arah lima jalan darah di bagian tubuh depan.
Siauw Cu meloncat ke belakang dan agak terhuyung, dan tongkat itu sempat pula menotok
pundaknya. Untung dia masih miringkan pundak sehingga tongkat itu tidak tepat mengenai
jalan darah, akan tetapi tetap saja sempat membuat dia tergetar dan terhuyung, dan bajunya di
bagian pundak itupun berlubang!”
“Nah, baru engkau merasakan sedikit kelihaian tongkatku!” kata nona itu dengan suara
mengandung kebanggaan.
“Tongkatmu hebat, nona, akan tetapi aku belum kalah,” kata Siauw Cu penasaran dan begitu
gadis itu menggerakkan tongkatnya lagi, diapun cepat memainkan ilmu silat andalannya, yaitu
Sin-tiauw Ciang-hwat!
“Hemm...!” Pek-mau Lo kai berseru kagum dan dia tidak berkedip mengikuti gerakangerakan
Siauw Cu ketika menghadapi desakan tongkat itu dengan ilmunya yang aneh. Dia
melihat gerakan pemuda itu seperti seekor burung rajawali saja. Tangkisan yang biasanya
dilakukan, lengan menuju ke luar, kini sebaliknya tangkisan itu dari luar ke dalam, disusul
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 133
cengkeraman. Juga tubuh itu seringkali mencelat ke atas dan menukik seperti seekor burung
rajawali menyambar. Kakek itu merasa kagum dan heran. Dia tak mengenal ilmu silat Siauwlim-
pai mengenai dasar gerakan ilmu silat itu yang kokoh kuat, akan tetapi ilmu silat yang
dimainkan pemuda ini, walaupun memiliki dasar gerakan kaki tangan Siauw-lim-pai, namun
amat aneh gerakan kembangannya, mirip burung rajawali. Pernah dia melihat ilmu silat yang
meniru gerakan burung rajawali, seperti yang terdapat pada aliran Kun-lun-pai, akan tetapi
tauw-kun (silat rajawali) yang dimainkan pemuda ini berbeda sama sekali dan amat hebatnya.
Yen Yen sendiri menjadi bingung. Kini tongkatnya tak pernah mampu mendekati lawan,
bahkan terancam untuk dirampas. Gerakan yang cepat, kadang mencelat ke atas itu amat
membingungkannya. Baru belasan jurus saja, dua kali tongkatnya hampir terampas.
Lawannya menangkis dari luar ke dalam diteruskan cengkeraman dan dua kali sudah
tongkatnya kena dicengkeram lawan, akan tetapi dapat ia tarik lepas kembali. Pek Mau Lokai
maklum bahwa yang dua kali itu, kalau Siauw Cu menghendaki, tentu dia sudah dapat
merampas tongkat, atau setidaknya mencengkeramnya patah-patah. Akan tetapi, agaknya
pemuda itu tidak mau merusak tongkat, dan hal ini membuat dia semakin senang dan kagum.
Memang ilmu silat tongkat cucunya belum sempurna benar. Kalau dia yang memainkan
tongkat itu, tentu dia akan mampu mengimbangi ilmu silat aneh dari Siauw Cu.
Tiba-tiba tongkat itu menyambar dan tertangkap lagi oleh Siauw Cu. Sekali ini, Siauw Cu
tidak merampas tongkat, tidak pula merusaknya, hanya menangkap dan menahan tongkat itu
sehingga biarpun Yen Yen mengerahkan tenaga untuk menariknya kembali tongkat itu tidak
dapat terlepas lagi. Hal ini menjengkelkan hati Yen Yen. Gerakan tongkatnya adalah gerakan
seperti seekor ular. Kalau tangan biasa saja jangan harap dapat menangkapnya, karena
gerakannya dapat berputar dan licin seperti tubuh ular. Akan tetapi, biarpun tadi dua kali
Siauw Cu terpaksa melepaskan lagi, kini, dengan gerakan tangan seperti paruh rajawali
mematuk, dia berhasil menangkap tongkat itu sehingga tidak dapat terlepas lagi! Dalam
geramnya, Yen Yen menggunakan tangan kirinya menghantam ke arah muka Siauw Cu.
Pemuda ini menggerakkan pula tangan kana, membentuk paruh rajawali dan tahu-tahu
tangannya telah menangkap pergelangan tangan kiri gadis itu. Gadis itu menarik-narik dan
meronta-ronta, namun baik tangan kirinya maupun tongkatnya tidak dapat terlepas lagi dari
kedua tangan Siauw Cu. Mereka kini kelihatan saling tarik sehingga nampak lucu seperti dua
orang kanak-kanak memperebutkan mainan!
“Lepaskan!” bentaknya, akan tetapi Siauw Cu tidak mau melepaskan, karena dia maklum
bahwa begitu terlepas, gadis itu akan menyerangnya dari jarak dekat dan hal ini cukup
berbahaya.
“Baik, kau menghendaki tongkatku! Nah, ambillah!” Tiba-tiba dengan marah ia melepaskan
tongkatnya, lalu tangan kanannya menotok ke arah tenggorokan Siauw Cu!
Siauw Cu sudah menduga akan hal ini, maka cepat diapun menggigit tongkat itu dan kini
tangan kirinya menyambut, menangkap pula pergelangan tangan kanan itu sehingga kini
kedua tangan gadis itu tertangkap olehnya. Yen Yen semakin marah, menarik dan meronta,
namun kedua tangan Siauw Ce seperti sepasang tangan baja yang amat kuat. Dan tiba-tiba
Yen Yen menangis!
Siauw Cu terkejut bukan main, cepat melepaskan kedua tangan itu dan meloncat ke belakang,
lalu menyerahkan tongkat itu kembali. “Maafkan aku, nona, terimalah kembali tongkatmu.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 134
Akan tetapi gadis itu mendengus, membalikkan tubuhnya lalu berlari meninggalkan tempat
itu, membuat Siauw Cu berdiri bengong dengan muka merah dan hati menyesal karena ia
telah membikin marah cucu Pek Mau Lokai. Akan tetapi, tepuk tangan memujinya dan para
anggota Hwa I Kaipang bertepuk tangan memuji, sedangkan Pek Mau Lokai tahu-tahu sudah
berada di depannya dan menerima tongkat cucunya itu.
“Ha-ha-ha, engkau telah dapat menaklukkan cucukuyang seperti naga betina itu, ha-ha!’
Kakek itu tertawa-tawa gembira.
Tiga orang ketua cabang itu saling pandang, lalu mereka bertiga mengangkat kedua tangan
depan dada dan berkata. “Cu-sicu, kionghi (selamat)!”
“Ehh? Apa maksud paman bertiga?” tanya Siauw Cu heran mengapa tiga orang itu memberi
selamat kepadanya. Pada hal, kemenangan dalam ujian silat itu lama sekali tidak perlu diberi
selamat, apa lagi melihat akibatnya membuat gadis itu merasa jengkel dan marah.
Pek Mau Lokai yang menjawab, “Siauw Cu, engkau tidak tahu bahwa senjata tongkat bagi
kami merupakan senjata andalan, juga merupakan tanda bahwa kami adalah anggota kaipang
yang setia. Tongkat merupakan kawan dan senjata yang setia bagi kami dan tidak akan kami
tinggalkan, apa lagi kami serahkan kepada orang lain. Kalau kami menyerahkan tongkat itu,
berarti taluk, sama dengan menyerahkan hati, nyawa, dan badan. Dan kini cucuku yang
selama ini menolak semua lamaran orang, menganggap tidak ada pria yang patut menjadi
jodohnya, hari ini ia menyerahkan tongkatnya kepadamu! Ha-ha-ha, hal itu hanya mempunya
satu arti, bahwa ia taluk kepadamu, dan ia menyerahkan hatinya kepadamu.” Dia tertawa,
diikuti empat orang ketua cabang.
Mendengar ini, Cu Goan Ciang terkejut bukan main. “Ah, nona Tang menyerahkan tongkat
karena tidak mampu merampasnya kembali dariku dan aku merasa menyesal sekali telah
membuat ia marah. Bukan....bukan maksudku untuk....”
“Siauw Cu, mari kita bicara di dalam.” Mereka masuk kembali ke dalam gua basar dan duduk
di lantai bertilamkan tikar tebal. “Kuharap engkau jangan menyangka salah. Kami semua
orang mengetahui bahwa dengan penyerahan tongkat tadi, Yen Yen telah menyatakan taluk
padamu, dan ia kagum padamu, dan ia bahkan tentu akan merasa berbahagia sekali kalau
dapat menjadi jodohmu. Akan tetapi, sama sekali bukan berarti bahwa ia akan memaksamu
untuk menjadi jodohnya. Kami semua percaya akan cinta kasih kedua pihak dalam
perjodohan. Jadi, kalau engkau tidak membalas perasaan hatinya, hal itupun tidak akan
mendatangkan penyesalan apapun dan kami hanya akan menganggap bahwa kalian tidak
berjodoh.”
“Akan tetapi, kalau boleh saya mengemukakan pendapat saya, Cu-sicu. Bukanlah sikap yang
bijaksana kalau ada seorang pemuda menolak cinta seorang gadis seperti Yen Yen. Ia cantik
jelita, berbudi mulia, patriot sejati, berwatak pendekar, cerdik, dan memiliki ilmu silat tinggi.
Para pemuda yang pernah mengenalnya, dari golongan kecil sampai golongan yang paling
besar, semua kagum dan mengharapkan uluran kasihnya, namun semuanya ditolaknya. Dan
kalau sekarang ia memilihmu, sicu, sungguh luar biasa sekali. Kalau engkau tidak
menyambutnya....” kata Kauw Bok yang pendek gendut.
Tentu saja Siauw Cu merasa tidak enak sekali terhadap Pek Mau Lokai. Dia menarik napas
panjang dan teringatlah dia akan wajah Kim Lee Siang. Dia tahu bahwa dia mencinta Lee
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 135
Siang, dan baru saja dia ditinggal Lee Siang yang mati secara amat menyedihkan. Bagaimana
dalam waktu beberapa hari saja, dia dapat melupakan Lee Siang dan menyambut uluran cinta
seorang gadis lain?
“Tadi aku mendengar bahwa Pangcu dan semua anggota Hwa I Kaipang percaya bahwa cinta
kasih kedua pihak dalam perjodohan. Kepercayaan ini sama dengan kepercayaanku.
Perjodohan memang harus diadakan dengan dasar cinta kasih kedua pihak. Akan tetapi,
bagaimana mungkin aku berani mengatakan bahwa aku mencinta nona Tang yang baru saja
kutemui sekarang? Aku akan bersikap palsu kalau aku mengaku cinta padanya sekarang,
karena di dalam hatiku, sama sekali belum ada perasaan itu kepadanya kecuali perasaan
kagum dan menyesal bahwa aku telah membikin dia marah. Pula, kita menghadapi tugas yang
mulia, dan besar, bagaimana mungkin memikirkan urusan perjodohan? Oleh karena itu,
kuharap agar Tang locianpwe, para pangcu dan seluruh anggota Hwa I Kaipang, terutama
sekali nona Tang Hui Yen sendiri, suka memaafkan kalau aku belum dapat mengambil
keputusan sekarang atau dalam waktu dekat mengenai perjodohan.”
“Bagus sekali!” Pek Mau Lokai berseru kagum. “Begitulah seharusnya sikap seorang
pahlawan! Mendahulukan kepentingan perjuangan dan mengesampingkan kepentigan pribadi.
Aku dapat menerima pendapatmu itu Siauw Cu, dan percayalah, Yen Yen juga bukan seorang
gadis yang berpemandangan sempit. Aku akan menyampaikan perasaan dan pendapatmu itu
kepadanya. Sekarang, mari kita bicara, tentang keadaan kita dan perjuangan kita.”
Mereka lalu berbincang-bincang, atau lebih tepat lagi, Cu Goan Ciang mendengarkan
penjelasan mereka tentang keadaann Hwa I Kaipang dan perjuangan perkumpulan itu.
Hwa I Kaipang merupakan perkumpulan pengemis terbesar di seluruh wilayah Nan-kiang.
Akan tetapi karena kaipang ini jelas anti pemerintah Mongol, bahkan beberapa kali
menyerang markas pasukan pemerinta dan membunuh banyak tentara dan perwira, tentu saja
perkumpulan ini dinyatakan sebagai perkumpulan pemberontak oleh pemerintah. Pasukan
keamanan mengadakan pembersihan dari para anggota Hwa I Kaipang. Penangkapan
dilakukan terhadap para pengemis baju kembang. Hwa I Kaipang melakukan perlawanan,
akan tetapi pasukan keamanan terlampau kuat sehingga banyak di antara mereka yang gugur,
termasuk ayah dan ibu Yen Yen yang tadinya menjadi tokoh terkemuka dari perkumpulan itu.
Karena dimusuhi pemerintah dan dicap sebagai pemberontak maka tentu saja perkumpulan itu
tidak lagi berani mempunyai rumah perkumpulan yang terang. Mereka tidak mempunyai
markas tertentu, dan para anggotanya juga tidak lagi diharuskan memakai pakaian kembang
kecuali kalau mereka mengadakan pertemuan rapat di suatu tempat yang ditentukan. Mereka
tinggal di kuil-kuil tua, di gubuk-gubuk dan pondok darurat yang mereka dirikan di dalam
hutan-hutan, bahkan tinggal di gua-gua. Akan tetapi, pemimpin besar mereka, Pek Mau Lokai
Tang Ku It, walaupun usianya sudah enam puluh lima tahun, tidak pernah turun semangat.
Dia tetap memimpin para anggota Hwa I Kaipang, bahkan berusaha memperkenalkan
perkumpulannya dan kadang-kadang masih memimpin anak buahnya untuk menentang para
pembesar Mongol. Karena dikejar-kejar dan tentu ditangkap kalau ketahuan oleh petugas ada
pengemis yang memakai pakaian berkembang, maka para anggota tidak berani memakai
pakaian seperti itu. Yang masih tetap berani hanyalah para pemimpinnya saja, terutama Pek
Mau Lokai sendiri, Tang Hui Yen atau Yen Yen, dan tiga orang ketua cabang. Mereka
memiliki ilmu kepandaian tinggi maka mereka berani menempuh bahaya itu.
“Berapakah jumlah anggota Hwa I Kaipang?” tanya Siauw Cu, hatinya tertarik sekali dan
kagum mendengar bahwa para pengemis, justeru orang-orang yang paling miskin, memiliki
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 136
semangat begitu besar dan keberanian yang luar biasa untuk menantang pemerintah penjajah
yang amat kuat.
“Kalau dikumpulkan seluruhnya dari wilayah empat penjuru, anggota kita tidak kurang dari
seribu orang,” kata Pek Mau Lokai.
Siauw Cu terkejut. “Ah, kalau begitu besar juga kekuatan Hwa I Kaipang. Apakah semua
pengemis di wilayah ini menjadi anggotanya? Dan bagaimana dengan para pengemis yang
mengeroyok kita di kuil itu?”
Pek Mau Lokai menghela napas panjang. “Aihh, itulah yang merisaukan hati dan
mendatangkan penasaran. Di wilayah Nan-king terdapat banyak kelompok pengemis yang
mempunyai perkumpulan masing-masing. Hal ini tidak mengapa karena mereka adalah rekanrekan
sependeritaan kami. Akan tetapi yang paling menyebalkan adalah kenyataan bahwa ada
perkumpulan pengemis yang cukup besar telah menjadi antek Mongol, bahkan mereka
memusuhi kami. Kalau tadinya, di antara para kaipang terdapat persaingan biasa, akan tetapi
yang dilakukan perkumpulan pengemis yang telah menjadi pengkhianat bangsa itu bukan
persaingan, melainkan mereka diperalat oleh orang-orang Mongol untuk menumpas kami.
Mereka adalah Hek I Kaipang (Pengemis Baju Hitam).”
Siauw Cu menggeleng-geleng kepalanya. “Sungguh aku tidak mengerti bagaimana mungkin
ada sekelompok pengemis yang mau menjadi antek Mongol? Bukankah mereka itu sampai
hidup melarat karena akibat penindasan kaum penjajah? Sepatutnya mereka itu menentang
penjajah, bukan menentang saudara sependeritaan, apa lagi sama-sama anggota kaipang.”
Ketua Hwa I Kaipang tertawa. “Di dunia ini, kekuasaan apa yang mampu menandingi
kekuasaan emas dan perak? Sebagian besar manusia diperbudak oleh harta benda karena
mereka mengira bahwa dengan harta benda merupakan syarat mutlak untuk memperoleh
kesenangan. Mereka menganggap bahwa dengan harta benda, mereka dapat memenuhi semua
keinginan mereka. Oleh karena itu, mereka silau oleh mengkilapnya emas dan perak dan mau
melakukan apa saja demi memperoleh harta.”
Siauw Cu terkenang akan kehidupan orang tuanya. Mereka, ayah ibunya, dan banyak lagi
penduduk desanya, bahkan kemudian dia tahu bahwa banyak lagi yang senasih di seluruh
negara, mati karena sakit, karena kelaparan. Kalau mereka memiliki harta benda, tentu tidak
akan mati kelaparan!
“Maaf, lo-cian-pwe. Bukankah manusia hidup ini memang tidak mungkin ditinggalkan harta
benda? Bahkan untuk makan saja, untuk mempertahankan hidup, untuk sandang dan untuk
tempat tinggal, kita membutuhkan harta benda.”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Hai itu memang benar dan tidak dapat disangkal pula. Akan
tetapi kalau orang mengejar harta benda,maka pengejaran itu mempeerbudaknya, dan dia akan
mengejar dengan cara apa saja untuk mendapatkannya.. Tidak dapat disangkal bahwa hidup
ini membutuhkan harta benda, akan tetapi apakah hanya harta yang menjadi syarat utama
untuk dapt hidup senang? Siauw Cu, coba bayangkan, engkau memiliki harta benda yang
paling banyak di antara seluruh manusia di dunia ini, akan tetapi tubuhmu tidak sehat, engkau
sakit dan tak dapat turun dari pembaringan, tak dapat menikmati apa saja karena tubuhmu
menderita sakit dan setiap saat disiksa nyeri. Dalam keadaan seperti itu, apakah harta
bendamu yang berlimpah itu dapat melenyapkan kesengsaraanmu?”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 137
“Ah, tentu saja tidak, lo-cian-pwe. Akan tetapi, kalau kita memiliki harta benda, kita dapat
mencari obat dan mengundang tabib yang paling mahal sekalipun. Sebaliknya, kalau kita
melarat, lalu jatuh sakit, untuk membeli obatpun tidak mampu.” Siauw Cu membantah karena
dia yang sejak kecil mengalami kemiskinan tahu benar akan kesengsaraan itu.
Kakek itu mengangguk. “Ada benarnya kata-katamu itu, walaupun belum tentu tabib itu
pandai dan obat mahal dapat menyembuhkan seseorang, apa lagi menahan nyawanya di badan
dan kalau memang sudah tiba saatnya nyawa itu harus kembali ke asalnya. Sekarang,
katakanlah engkau kaya raya dan sehat badanmu, akan tetapi bagaimana kalau keluargamu
yang sakit? Bagaimana pula kalau terjadi pertentangan dan percekcokan di dalam
keluargamu? Bagaimana pula kalau terjadi pertentangan antara engkau dan tetanggamu,
masyarakatmu? Bagaimana kalau harta bendamu dirampas orang, engkau terancam
kehilangan harta bendamu? Bagaimana kalau usia tua menggerumutimu, dan kalau kematian
datang menjemput?”
Siauw Cu tertegun. “Aih, kalau diingat tentang banyaknya persoalan dan kesulitan yang kita
dapat hadapi sewaktu-waktu dalam hidup, memang harta benda nampak tidak ada artinya, locian-
pwe. Apakah kalau begitu kita tidak perlu dengan harta?”
“Ha-ha-ha, tentu saja kita memerlukan harta, Siauw Cu, karena harta merupakan satu di
antara kepentingan kita untuk dapat hidup layak di dunia ini, bahkan untuk dapat hidup wajar
dan menikmati hidup. Hanya satu di antaranya, bukan kepentingan tunggal. Ingat ini! Siapa
yang hanya mementingkan harta, mengira bahwa harta merupakan satu-satunya kebutuhan
kita dalam kehidupan ini, dia akan kecelik, bahkan menyesal. Hidup merupakan suatu
keadaan yang memiliki banyak macam kebutuhan, di antaranya harta, kesehatan, kerukunan
dalam keluarga, kerukunan dalam masyarakat, dan banyak lagi. Selama nafsu menguasai diri
kita, maka kita akan selalu mengejar kesenangan, lupa akan kebutuhan yang lain sehingga
terjadi pertentangan dalam batin sendiri karena banyaknya kebutuhan yang saling
bertabrakan. Seperti halnya para pimpinan Hek I Kaipang, karena mereka hanya
mementingkan harta, maka mereka lupa diri dan rela mengkhianati bangsa sendiri, menjadi
penjilat penjajah Mongol dan mau memusuhi golongan dan bangsa sendiri.”
Siauw Cu mengangguk, mengerti apa yang dimaksudkan kakek itu. “Apakah yang
menyeleweng dalam Hek I Kaipang hanya pimpinannya, lo-cian-pwe?”
Pek Mau Lokai menoleh kepada tiga orang muridnya dan berkata, “Kalian beri gambaran
yang jelas kepada Siauw Cu, tentang keadaan kita, tentang perjuangan kita, tentang keadaan
pihak musuh. Aku ingin beristirahat,” katanya dan diapun memasuki gua itu ke bagian dalam
di mana terdapat ruangan yang menjadi kamarnya.
Lee Ti, Pouw Sen, dan Kauw Bok, tiga orang ketua cabang itu, lalu memberi penjelasan
kepada Siauw Cu yang didengarkan oleh pemuda itu dengan penuh perhatian.
Dahulu, Hek I Kaipang merupakan rekan seperjuangan dari Hwa I Kaipang. Apalagi karena
ketua Hek I Kaipang masih terhitung murid keponakan Pek Mau Lokai sendiri. Akan tetapi
dua tahun yang lalu, ketua Hek I Kaipang itu gugur ketika bertempur melawan pasukan
pemerintah dan semenjak itu, ketuanya yang baru membawa Hek I Kaipang menyeleweng
dan menjadi antek pemerinta penjajah Mongol.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 138
“Ketua Hek I Kaipang semenjak dua tahun yang lalu bernama Coa Kun dan terkenal dengan
julukan Twa-sin-to (Golok Besar Sakti). Dialah yang menguasai Hek I Kaipang dan sejak itu
dia menjadi ketua dua tahun yang lalu, perkumpulan itu merajalela karena tidak dimusuhi
pemerintah, bahkan menjadi sekutu atau anteknya. Ilmu kepandaian Coa-pangcu itu lihai,
terutama sekali ilmu goloknya. Akan tetapi, selihai-lihainya, kami masih mampu
menandinginya. Hanya ilmu kepandaian puterinya yang amat hebat. Bahkan Yen Yen sendiri
pernah bentrok dengannya, dan Yen Yen nyaris celaka di tangan puteri Coa-pangcu yang
bernama Coa Leng Si itu.”
Tiga orang itu melanjutkan penjelasan mereka. Sejak Hwa I Kaipang menjadi buronan
pemerintah, tidak pernah ada lagi ada beberapa bentrokan langsung antara Hwa I Kaipang dan
Hek I Kaipang, walaupun Hek I Kaipang selalu membantu pasukan pemerintah. Seperti telah
dialami sendiri oleh Siauw Cu, ketika dia dan Pek Mau Lokai dikeroyok pasukan pemerintah,
beberapa orang anggota Hek I Kaipang ikut pula mengeroyok. Karena menjadi antek
pemerintah Mongol, tentu saja pimpinan Hek I Kaipang memiliki hubungan dekat dengan
pejabat pemerintah, baik sipil maupun militer.
Demikianlah, Siauw Cu menerima penjelasan dari tiga orang ketua cabang sehingga dia tahu
benar keadaan Hwa I Kaipang dan keadaan perjuangannya, juga keadaan kota Nan-king dan
siapa-siapa yang dapat dianggap kawan seperjuangan, dan siapa lawan.
Setelah para pimpinan Hwa I Kaipang berkumpul makan malam dalam gua besar itu,
mengelilingi meja rendah dan duduk di lantai, barulah Siauw Cu bertemu dengan Yen Yen.
Gadis itu bersikap biasa saja, tersenyum dan mengangguk kepadanya seolah-olah mereka
sudah lama menjadi rekan dan tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Hanya kakeknya
dan tiga orang ketua cabang itu yang diam-diam merasa geli karena mereka melihat
perubahan besar pada diri gadis itu. Biasanya, Yen Yen berpenampilan sederhana, akan tetapi
malam ini, dara itu mengenakan pakaian baru, rambutnya disisir rapi, dan terutama sekali
kalau tadinya dia lincah jenaka dan galak, periang, kini mendadak saja ia menjadi pendiam.
Tawanya yang bisana meledak bebas itu kini lenyap dan yang berbekas dari kelincahan dan
kejenakaannya hanya tinggal senyumnya yang manis itu! Mereka semua tahu bahwa
perubahan ini tentu karena kehadiran Siauw Cu!
Setelah makan malam, mereka duduk bercakap-cakap, dan sekali ini dihadiri pula oleh Yen
Yen. Dalam percakapan inilah Siauw Cu mengemukakan pendapat dan usulnya.
“Kukira, cara perjuangan kita harus diubah.”katanya. “Penyerangan terhadap pasukan
pemerintah merupakan perbuatan berbahaya yang akan menjatuhkan korban di pihak kita.
Kita perlu menghimpun tenaga dan bersatu dengan rakyat. Tanpa bantuan rakyat, perjuangan
kita takkan mungkin berhasil. Sebaiknya kalau kita mulai dari dusun-dusun. Kita baru
menyergap kalau ada pasukan kecil yang terpencil sehingga kita yakin bahwa tidak akan ada
anggota kita yang menjadi korban. Penyerangan ke kota harus dihentikan dan tunggu kalau
sampai kekuatan kita lebih besar dari pada pasukan keamanan, baru kita melalukan
penyerangan. Dan terutama sekali, kita harus bersatu dengan kelompok pejuang lainnya.
Bahkan kalau mungkin, kita harus mendekati Hek I Kaipang dan membujuk agar mereka
kembali ke jalan suci perjuangan menentang penjajah dan membebaskan rakyat dari
penindasan.”
Pek Mau Lokai mengangguk-angguk. Pouw Sen, ketua tinggi kurus muka putih yang
memimpin cabang di timur berkata dengan nada memrotes, “Akan tetapi, kalau kita
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 139
menghentikan serbuan-serbuan kita, berarti perjuangan kita mundur. Kita harus selalu ganggu
dan kacaukan kedamaian di kota agar pemerintah penjajah selalu terpukul karena hal ini akan
melemahkan mereka dan akan mengingatkan mereka bahwa para pejuang takkan pernah
berhenti menentang mereka!”
“Pouw-pangcu benar, akan tetapi perjuangan bukan berarti dengan nekat menyerang dan mati
konyol, mengorbankan banyak teman. Apa hasilnya? Apa artinya membunuh beberapa orang
perwira dan beberapa puluh atau ratus tentara penjajah? Mereka dapat memperoleh
penggantinya dalam sehari, bahkan lebih banyak lagi. Kita harus bekerja dengan berencana,
dengan siasat bagaimana agar dapat merugikan dan melemahkan musuh dengan korban
sedikit mungkin di pihak kita,” kata Siauw Cu penuh semangat. “Kita harus mengikutsertakan
rakyat sebanyak mungkin. Barulah perjuangan kita ada artinya dan lebih banyak harapan
untuk dapat berhasil.”
“Aku setuju dengan pendapat Cu-sicu! Memang selama ini kita hanya mengandalkan
keberanian saja tanpa menggunakan perhitungan. Buktinya, sudah banyak di andtara kita yang
tewas, bahkan ayah ibuku sendiri tewas, akan tetapi apa hasilnya? Begini-begini saja, bahkan
kita menjadi orang-orang buronan yang tidak berani tampil terang-terangan. Kalau tidak
diubah siasat kita seperti yang diusulkan Cu-sicu, kita tidak akan mendapatkan kemajuan
setapakpun, bahkan mundur,” kata Yen Yen penuh semangat pula, terang-terangan
menyokong pendapat pemuda itu.
Pek Mau Lokai tersenyum. “Aihh, sekarang aku baru merasakan betapa aku sudah terlalu tua
untuk perjuangan. Pendapat dan siasatku ketinggalan jaman! Memang benar pendapat Siauw
Cu yang didukung oleh Yen Yen. Nah mulai hari ini, aku wakilkan kepemimpinanku kepada
Yen Yen dan Siauw Cu yang menjadi pembantu dan pendampingnya. Aku hanya akan
menjadi penasihat saja. Aku sudah terlalu tua dan kurang semangat, aku khawatir kalau
kulanjutkan memimpin langsung, Hwa I Kaipang akan menjadi semakin lemah.”
Tiga orang ketua cabang tidak menentang keputusan itu karena merasa tua sudah melihat
kelihaian Siauw Cu. Hanya diam-diam mereka meragukan kepemimpinan pemuda yang
kurang pengalaman itu. Bagaimana pemuda itu akan mengatur untuk mendapatkan biaya bagi
seluruh anggotanya yang semua berjumlah seribu orang lebih itu?
Semua anggota yang berkumpul di tempat itu, yaitu mereka yang oleh kelompok kecil
masing-masing diangkat sebagai wakil dan jumlahnya di tempat itu tidak kurang dari seratus
orang, dikumpulkan dan malam itu juga, Pek Mau Lokai mengumumkan keputusannya, yaitu
bahwa mulai malam itu, dia menunjuk cucunya, Tang Hui Yen mewakili dia sebagai ketua
umum, sedangkan Cu Goan Ciang diangkat menjadi pembantu utama. Tiga orang ketua
cabang masih tetap menjadi ketua cabang masing-masing. Bukit penuh gua itu akan segera
ditinggalkan malam itu juga dan akan tetap menjadi tempat pertemuan berkala. Masingmasing
kelompok harus memberitahu tempat persembunyian masing-masing kepada ketua
cabang yang berdekatan sehingga mudah mengadakan saling hubungan. Juga ketua dan kedua
wakilnya akan selalu mengadakan kontak dengan tiga ketua cabang agar mereka dapat saling
berhubungan. Ketika Pek Mau Lokai mengumumkan keputusannya, Cu Goan Ciang yang
berdiri dekat Yen Yen membisiki gadis itu yang mengangguk-angguk. Setelah kakeknya
selesai dengan pengumumannya, ia lalu mengangkat kedua tangan minta perhatian.
“Ketiga paman, pangcu dari timur, barat, dan selatan, juga semua saudara yang mewakili
kelompok masing-masing! Sebagai pimpinan yang ditunjuk dan mewakili ketua umum, kami
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 140
membuat pengumuman dan peraturan pertama yang harus dilaksanakan oleh setiap orang
anggota. Mulai sekarang, mengingat bahwa kita semua menjadi orang buronan, juga
mengingat bahwa seringkali pihak musuh menyamar sebagai anggota kita dengan pakaian
berkembang, maka kita semua harus meninggalkan kebiasaan mengenakan pakaian
berkembang.”
Terdengar suara protes di sana-sini, bahkan tiga orang ketua cabang itupun tidak setuju.
“Lalu apa artinya nama perkumpulan kita Hwa I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju
Kembang) kalau kita tidak boleh mengenakan pakaian berkembang?” terdengar Pouw Sen,
ketua cabang dari timur dan semua anggota mendukung pertanyaan ini.
“Kita tetap anggota Hwa I Kaipang! Itu adalah nama perkumpulan kita. Bukankah
sekarangpun banyak anggota kita terpaksa tidak mengenakan pakaian berkembang agar tidak
dikejar-kejar petugas keamanan? Maksudku bukan untuk menghapus nama perkumpulan kita,
melainkan sementara ini, demi keselamatan kita tanggalkan dulu pakaian berkembang itu.
Siapa yang merasa sayang, boleh memakia pakaian berkembang sebelah dalam dan ditutup
dengan pakaian biasa! Pula, yang penting bukan pakaiannya, melainkan semangatnya,
bukan?”
“Akan tetapi, bagaimana kita dapat saling mengenal tanpa pakaian seperti itu?” bantah pula
Kauw Bo ketua cabang selatan dan kembali semua anggota mendukung pertanyaan ini.
Yen Yen mengangkat kedua tangan dan semua orang diam mendengarkan. “Aku sudah
memikirkan hal itu. Mulai sekarang, kita boleh mengenakan pakaian apa saja asal jangan
tambal-tambalan dana berkembang seperti yang biasa kita pakai. Kita mengenakan pakaian
biasa, polos akan tetapi harus ada sulaman setangkai bunga di baju kita, di bagian mana saja
dari baju kita karena itu hanya merupakan tanda bagi sesama anggota. Atau boleh juga
mengantungi setangkai bunga dan memperlihatkan bunga itu kepada sesama anggota sebagai
tanda pengenal, ditambah lagi dengan cara penghormatan atau salam seperti ini.” Yen Yen
memberi contoh, merangkap kedua tangan dikepal di depan dada seperti penghormatan biasa,
akan tetapi begitu kedua tangan yang dikepal itu menempel di dada, tangan kiri yang tadinya
mengepal tangan kanan itu dibuka atau dikembangkan jari-jarinya ke atas, lalu ditutup
kembali.
“Nah, mengertikah kalian dan apakah masih ada keberatan lainnya?”
Tidak ada yang menyatakan keberatan lagi setelah mereka mengerti apa yang dimaksudkan
Yen Yen. Mereka semua tidak merasa asing kalau kini Yen Yen mewakili kakeknya, karena
biasanya ia memang seringkali mewakili kakeknya dalam banyak hal, hanya biasanya belum
diresmikan oleh ketua Hwa I Kaipang.
Pek Mau Lokai menyatakan pertemuan itu selesai karena semua laporan telah diterima
sebelum Siauw Cu datang ke tempat itu, dan semua orang bubaran, meninggalkan tempat itu
yang menjadi sepi. Tinggal Pek Mau Lokai, Yen Yen dan Siauw Cu bertiga saja.
“Nah, sekarang akupun akan pergi. Yen Yen mulai sekarang tanggung jawabmu besar.
Berhati-hatilah dan cepat engkau cari aku kalau menemui kesulitan. Jangan memusuhi Hek I
Kaipang secara terbuka. Mereka berbahaya. Sebaiknya, setelah kini ada Siauw Cu yang
membantumu, segala hal kaurundingkan dengan dia. Engkau tahu ke mana harus mencariku,
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 141
bukan?”
“Baik, kek. Aku tahu dan jangan khawatir, aku akan selalu berhati-hati seperti yang selalu
kakek ajarkan.”
“Sukurlah, dan engkau masih kurang matang dalam ilmu Hok-mo tung-hoat (Silat Tongkat
Penakluk Iblis) itu. Engkau dapat mematangkannya dengan berlatih melawan Siauw Cu. Nah,
selamat tinggal. Siauw Cu, bantulah Yen Yen. Sampai jumpa.”
Siauw Cu cepat mengangkat kedua tangan ke depan memberi hormat dan teringat akan pesan
Yen Yen tadi, dia mengembangkan tangan kiri yang terkepal itu sebentar, lalu mengepalnya
kembali. Pek Mau Lokai tertawa. “Ha-ha-ha, bagus, bagus! Tanda sebagai isarat antar
anggota itu bagus sekali.” Sambil masih tertawa gembira kakek itu pergi dengan gerakan yang
cepat sehingga sebentar saja dia sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Tinggal Yen Yen dan
Siauw Cu yang masih berdiri berhadapan. Satu-satunya penerangan di situ hanya dua buah
lilin besar yang berada di dinding gua.
“Heran, mengapa kita harus begini tergesa-gesa, malam-malan meninggalkan tempat ini? Apa
lagi kakekmu yang sudah tua, kasihan dia pergi malam-malam......”
“Begini, Cu-sicu....”
“Ahh, setelah kita menjadi rekan, perlukah engkau menyebut aku sicu (orang gagah) lagi,
nona?”
“Hemm, dan engkau juga menyebutku nona!”
Siauw Cu menyadari kesalahannya. “Aku lebih tua darimu, sebaiknya kusebut engkau Yenmoi
(adik Yen).”
“Dan engkau kupanggil Cu-toako (kakak Cu). Nah, begini, toako, menurut laporan penyelidik
kita, mungkin sekali malam ini mereka akan menyerbu tempat ini. Berbahaya sekali kalau kita
tidak pergi sekarang!”
“Mereka? Kaumaksudkan....”
“Siapa lagi kalau bukan orang-orang Hek I Kaipang jahanam itu! Dan mereka tentu membawa
majikan mereka, pasukan Mongol. Penyelidik kita sore tadi melihat bayangan orang
berkelebat di bawah, mencurigakan sekali. Maka, kami lalu mengambil keputusan untuk cepat
pergi agar jangan terkepung. Nah, mari kita pergi sekarang sebelum terlambat. Kita dapat
bicara dalam perjalanan nanti.” Gadis itu memasuki gua dan mengambil sebuah buntalan
pakaian. Kiranya dara ini sudah siap.
Setelah meniup padam dua batang lilin, Yen Yen melangkah keluar dan Cu Goan Ciang
mengikutinya. Gadis itu lebih hafal jalan di situ. Malam hanya diterangi bintang-bintang saja,
kalau tidak hafal benar jalan di daerah itu, orang dapat saja tersesat atau bahkan tergelincir ke
dalam jurang.
Baru setengah jam mereka menuruni lereng bukit yang berbatu-batu dan mempunyai banyak
gua itu, tiba-tiba mereka mendengar suara gaduh dari depan. Yen Yen dan Siauw Cu dapat
menyelinap dan bersembunyi di balik semak belukar, mengintai keluar! Nampak sinar obor
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 142
dan bermunculan puluhan orang dari bawah, orang-orang yang memegang obor dan senjata
tajam, jelas di bawah sinar api itu nampak orang-orang berpakaian perajurit dan mereka
berpakaian tambal-tambalan serba hitam. Tentara kerajaan Mongol dan orang-orang Hek I
Kaipang! Tiba-tiba Yen Yen mencengkeram lengan kiri Cu Goan Ciang. Pemuda ini terkejut
dan menoleh. Dia melihat gadis itu tidak memandang kepadanya, melainkan ke depan agak
kana. Dia mengikuti pandang mata itu dan alisnya berkerut. Jelas nampak seorang yang
pakaiannya kembang-kembang! Anggota pengemis baju kembang! Dan agaknya Yen Yen
mengenal orang itu. Sepasang mata gadis itu mencorong mengeluarkan sinar dan mulutnya
terkatup tanda bahwa ia menahan kemarahan. Kemudian, tiba-tiba tangan kiri gadis ituu
bergerak ketika si baju kembang lewat dalam jarak terdekat dari tempat persembunyian
mereka. Terdengar pekik, lalu gaduh, dan Yen Yen sudah menarik tangannya, diajak
menyusup pergi meninggalkan tempat itu. Mereka terus berlari menyusup-nyusup, makin jauh
meninggalkan lereng bukit dan suara gaduh itu semakin tak terdengar, juga sinar obor itu di
tangan banyak orang itu makin tak nampak.
Mereka berlari terus dan menjelang pagi, Yen Yen baru mengajak Siauw Cu berhenti di
dalam sebuah gubuk di tepi sungai kecil. Tempat itu sunyi sekali dan agaknya gubuk ini
memang merupakan tempat yang sudah amat dikenalnya. Gubuk itu nampak reyot dan tua,
namun ketika mereka berdua masuk, ternyata rangkanya terbuat dari kayu yang kuat. Jelas ini
sengaja dibuat oleh orang-orang Hwa I Kaipang untuk tempat istirahat atau sembunyi atau
bermalam kalau perlu. Dalamnya kosong, akan tetapi di lantai terdapat banyak jerami yang
bersih.
“Semalam kita tidak tidur. Kita harus tidur dulu melepas lelah dan mengumpulkan tenaga,”
kata Yen Yen.
Cu Goan Ciang memandang aneh. “Ti....tiduar...?” tanyanya sambil memandang ke arah
tumpukan jerami.
Gadis itu tertawa, tawanya bebas mengingatkan Goan Ciang kepada kakek Pek Mau Lokai,
akan tetapi wajah gadis itu kemerahan, hal yang diketahui oleh pemilik wajah itu sendiri
karena terasa mukanya panas dan jantungnya berdebar.
“Hushhh, maksudku, tidak tidur bergantian. Aku tidur dulu engkau berjaga di luar, nanti
setelah aku terbangun, engkau mendapat giliran tidur dan aku yang berjaga di luar. Nah,
keluarlah, aku mau tidur.” Setelah berkata demikian, gadis itu lalu menjatuhkan diri, rebah
miring di atas tumpukan jerami! Goan Ciang melangkah keluar.
“Yen-moi dari sini kita akan ke mana....!” dari luar dia bertanya.
“Bukan waktunya bicara. Aku mau tidur, perlu beristirahat. Besok setelah kita memulihkan
tenaga kita bicara sepuasnya!” kata Yen Yen dan iapun tidak mengeluarkan kata-kata lagi.
Diam-diam Goan Ciang tersenyum. Gadis ini luar biasa, pikirnya dan diapun teringat kepada
Lee Siang. Teringat akan gadis kekasihnya itu, wajahnya menjadi muram dan alisnya
berkerut. Akan tetapi, dia mengepal tinju. Tidak! Aku tidak boleh menjadi laki-laki cengeng!
Aku harus mengalahkan semua kelemahan i ni, pikirnya. Dia bercita-cita besar, apa akan
jadinya dengan cita-citanya kalau urusan kematian kekasih saja membuat dia terkulai lemas?
Dan apa gunanya disusahkan? Dia harus berani menghadapi kenyataan. Lee Siang sudah me
ninggal dunia dan agaknya itulah yang terbaik bagi Lee Siang. Kalau ia masih hiduppun, aib
dan penghinaan itu akan menghantui kehidupan selanjutnya, akan selalu merasa hina, rendah,
kotor. Dia mengenal watak Lee Siang yang gagah dan keras. Banyak persamaan Yen Yen
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 143
dengan Lee Siang. Hanya bedanya, Yen Yen benar-benar keras seperti baja, sedangkan Lee
Siang masih memiliki kelemahan, yaitu amat setia dan penurut terhadap sucinya pada hal
sucinya adalah seorang wanita yang amat kejam dan jahat. Lega hatinya kalau mengingat
betapa dia telah membuntungi sebelah lengan Liu Bi. Setidaknya dia sudah dapat sedikit
membalas kematian Lee Siang. Akan tetapi, tidak perlu berpikir tentang urusan pribadi,
demikian dia mencela diri sendiri. Dia teringat akan percakapannya dengan Pek-mou Lo-kai.
Memang, kalau dia benar-benar hendak berjuang, dia harus mengesampingkan semua urusan
pribadi, mementingkan urusan perjuangan. Dan dia akan berjuang sekuat tenaga, demi....demi
apa? Mulutnya tentu akan mudah mengatakan demi tanah air dan bangsa, membebaskan
mereka dari cengkeraman penjajah! Akan tetapi ada bisikan di hatinya yang sesungguhnya
amat dibencinya. Bisikan liirih itu berkata bahwa dia berjuang demi mencapai puncak
kekuasaan! Dia akan menunjukkan kepada dunia bahwa dia, anak dusun yang yatim piatu dan
miskin, gelandangan yang tidak mempunyai rumah, dia dapat menjadi orang yang paling
hebat di dunia ini, paling berkuasa! Dia berpegang kepada cita-cita ini, melekat dengan citacita
ini sehingga dia dengan mudah dapat melupakan Lee Siang dan yang lain-lain. Biarlah
Lee Siang mati sebagai pupuk bagi tercapainya cita-cita! Dan diapun duduk bersila di luar
gubug itu, tidak berani tidur sama sekali, melainkan waspada menjaga kalau-kalau ada
ancaman bahaya bagi mereka, yaitu dia dan Yen Yen.
Matahari mulai memuntahkan cahanya, menggugah ayam-ayam jantan dan burung-burung
yang berkeruyuk dan berkicau dengan gembira menyambut datangnya fajar. Sudah kurang
lebih dua jam Yen Yen tidur dan mendengar keruyuk ayam jago, dara yang peka inipun
terbangun. Ia bangkit duduk, menggeliat, menguap, lalu meraih buntalan pakaian yang tadi ia
pergunakan sebagai bantal, lalu bangkit berdiri dan melangkah keluar.
Mendengar langkah lembut itu, Goan Ciang menoleh dan melihat Yen Yen yang rambutnya
masih awut-awutan, namun kebetulan ia berdiri menghadap ke timur sehingga cahaya
kemerahan jatuh ke mukanya, membuat ia nampak cantik jelita seperti dewi pagi, Goan Ciang
memandang terpesona. Akan tetapi, cepat dia dapat menekan perasaannya dan bangkit berdiri.
“Kau sudah bangun?”
Yen Yen mengangguk, sebetulnya masih merasa sayang meninggalkan jerami empuk dan
hangat itu, akan tetapi ia berkata, “Sekarang giliranmu tidur, aku berjaga di luar.”
“Tapi aku.....”
“Sudahlah, cepat tidur, pulihkan tenagamu, mungkin kita memerlukannya nanti.”
Goan Ciang tersenyum mendengar nada memerintah dalam ucapan itu dan seperti seekor anak
domba penurut, diapun memasuki gubuk, diikuti pandang mata gadis itu yang tersenyum.
Ketika tiga jam kemudian gadis itu menggugahnya dengan panggilan dari luar, Goan Ciang
terbangun.
“Cu-toako, bangun! Sudah siang, engkau sudah cukup tidur! Kita harus melanjutkan
perjalanan kita!” Agaknya sudah berkali-kali gadis itu memanggilnya sehingga dalam suara
itu terkandung nada jengkel.
“Baik, aku sudah terbangun!” kata Goan Ciang, menggeliat dengan enaknya mengurisr semua
rasa lelah dan pegal-pegal pada sendi-sendi tulangnya. Dia menggosok-gosok kedua matanya
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 144
dengan punggung tangan, lalu merapikan rambutnya dengan kedua tangan, bangkit berdiri
dan melangkah keluar.
Begitu tiba di luar, dia terkejut bukan main. Tidak nampak Yen Yen di situ, melainkan
seorang pemuda remaja yang pakaiannya seperti pemuda petani desa, pakaian butut dan muka
serta tangannya tidak bersih, kepalanya tertutup caping petani butut pula.
“Heiii! Siapa engkau dan di mana nona yang tadi duduk di sini?” bentak Cu Goan Ciang, siap
untuk menyerang karena dalam keadaan seperti itu, kecurigaan telah mencengkeram hatinya.
Pemuda remaja yang seperti petani lugu itu nampak ketakutan, membungkuk-bungkuk dan
berkata suara gemetar, “Jangan marah, tuan....”
“Cepat katakan siapa engkau dan di mana nona tadi, atau....akan kuhajar engkau! Cepat
jawab!!” Melihat orang itu ketakutan, kecurigaan hati Goan Ciang menjadi-jadi sehingga dia
menggertaknya agar cepat mengaku karena dia khawatir telah terjadi sesuatu dengan Yen
Yen.
Pemuda itu menjadi semakin takut mendengar ancaman Goan Ciang. Dia menjatuhkan diri
berlutut. “Ampun, kongcu, ampun tai-hiap....harap jangan pukul saya....ampun.....”
“Tolol, cepat jawab, pertanyaanku tadi!” Goan Ciang membentak dengan marah.
“Nona...nona tadi telah pergi dan meninggalkan pesan untuk saya katakan kepadamu...”
“Hayo katakan, apa pesan itu!” bentak pula Goan Ciang tak sabar lagi.
“Pesan nona adalah bahwa matahari telah naik tinggi akan tetapi kalau tidak dibangunkan,
taihiap belum bangun itu tandanya taihiap malas, dan taihiap tidak mengenalnya, itu tandanya
taihiap bodoh!”
“Hah....??” Goan Ciang marah sekali dan maju hendak memukul, akan tetapi dengan gerakan
kilat, pemuda dusun itu sudah menyerangnya lebih dahulu dengan sebatang tongkat!”
“Ehhh....??” Goan Ciang cepat mengelak, akan tetapi tongkat itu menyerangnya bertubi-tubi
dengan gerakan yang amat dahsyat, dan dia segera mengenal ilmu tongkat yang hebat itu.
Itulah ilmu tongkat yang kemarin dimainkan oleh Yen Yen untuk menyerangnya! Diapun
cepat memainkan Sin tiauw wu ciang hota untuk melindunginya, danbaru setelah dia
memainkan ilmu ini, pemuda dusun itu terdesak dan akhirnya meloncat ke belakang, agak
terhuyung.
“Kenapa engkau menyerangku? Siapa engkau?” tanyanya, mengira bahwa pemuda ini tentu
seorang murid lain dari Pek Mau Lokai yang lihai sekali, tidak kalah lihai dibandingkan Yen
Yen.
“Hemm, bukankah kakek memsan kepadaku agar mengajakmu berlatih untuk kemajuan
ilmuku?” terdengar suara Yen Yen dan Goan Ciang kini terbelalak memandang pemuda
remaja itu yang tertawa lepas di depannya, tawa khas Yen Yen!
“Yen-moi! Kau...? Ih, apa-apaan engkau ini? Menyamar seperti ini dan mempermainkan
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 145
aku....”
“Toako, aku telah dikenal banyak orang, kalau tidak menyamar tentu dalam waktu setengah
hari saja memasuki sebuah dusun atau kota aku akan dikenal dan ditangkap. Dan aku tidak
mempermainkanmu, hanya untuk menguji apakah penyamaranku cukup baik.”
“Wah, baik sekali, Yen-moi. Sungguh mati, sedikitpun aku tidak pernah mengira bahwa
engkaulah pemuda remaja dusun yang ketolol-tololan dan penakut ini! Engkau memang
hebat!”
“Pemuda” yang nampak masih muda sekali itu tertawa. “Sudah, simpan pujianmu itu dan
cepat mandi. Di sana ada sumber air jernih dan ini aku membawakan pengganti pakaian
untukmu.” Dari buntelan pakaiannya, Yen Yen mengeluarkan satu stel pakaian berwarna biru
terbuat dari kain yang kuat dan bentuknya sederhana, seperti pakaian yang biasa dipakai
orang dusun. Akan tetapi pakaian itu bersih sekali.
Wajah Goan Ciang berubah kemerahan. “Aih, aku menyusahkanmu saja, Yen-moi. Akan
tetapi, di tempat sunyi ini, dari mana engkau bisa mendapatkan pengganti pakaian untukku?”
Dia mengamati wajah Yen Yen dan diam-diam merasa kagum dan geli. Setelah ini dia tahu
bahwa ‘pemuda’ itu adalah Yen Yen, maka dari muka yang nampak kotor itu, dia dapat
mengenal wajah Yen Yen.
“Tentu saja tidak mungkin mendapatkan pakaian di sini! Aku memang sengaja membawanya,
kumintakan dari seorang di antara anggota kita yang kebetulan membawa bekal pakaian dan
yang bentuk tubuhnya sama denganmu. Sudahlah, cepat mandi dan berganti pakaian, kita
harus melanjutkan perjalanan.”
“Ke mana.....”
“Nanti saja! Mandi dulu!” kata Yen Yen dengan sikap seorang ibu membentak anaknya yang
banyak rewel.
Goan Ciang pergi ke sumber air yang memang airnya bening itu. Dia segera menanggalkan
pakaiannya dan mandi, menggosok-gosok bersih debu yang menempel di kulit tubuh bersama
keringat. Tangannya menggosok dengan batu halus, mulutnya bersiul dan matanya ber sinarsinar,
hatinya merasa gembira bukan main. Tiba-tiba siulnya terhenti dan dia termenung.
Betapa mudahnya dia melupakan Lee Siang! Akan tetapi, segera dia mengusir penyesalan ini.
Untuk apa berduka terus mengenangkan seorang yang sudah mati? Tidak, masa depan yang
harus dipandangnya, cita-citanya. Masa lalu sudah mati dan lewat, tidak boleh mengganggu
ketenteraman hatinya. Kini bukan lagi Lee Siang yang harus dikenang, melainkan Yen Yen!
Gadis inipun hebat, seperti Lee Siang, bahkan lebih lagi. Dengan Yen Yen di sampingnya, dia
akan mampu berbuat banyak! Diapun bersiul lagi dan melanjutkan mandinya sehingga dia
merasa segar lahir batin dan setelah mencuci pakaiannya, dia kembali ke gubuk dengan
pakaian bersih yang ukurannya pas dengan tubuhnya.
Yen Yen menyambutnya dengan perintah. Twako, duduklah di atas batu ini dan jangan
bergerak-gerak.” Dengan heran Goan Ciang duduk dan melihat gadis itu menghampirinya
dengan sebuah kotak kecil di tangan. Ketika gadis itu berjongkok di depannya dan mengamati
wajahnya dari jarak dekat sehingga dia dapat merasakan hembusan napas gadis itu mengusap
pipinya, dia semakin heran.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 146
“Hemm, apa lagi ini, Yen-moi?” akhinrnya saking tak tahan untuk mengetahui, dia bertanya.
“Aku sedang mempelajari bentuk mukamu, apa kiranya yang paling menonjol dan mudah
diingat orang,” jawab Yen Yen. Goan Ciang tidak mengerti dan semakin heran, juga agak
rikuh karena gadis itu mengamati wajahnya seperti orang mengamati dan menilai sebuah
benda yang aneh!”
“Apa sih maksudmu?” tanyanya, alisnya berkerut.
“Alismu! Benar, alismu mempunyai bentuk istimewa, harus diubah!”
“Apa? Apa maksudmu?”
“Toako, semua orang akan mengenalmu. Bahkan gambarmu dipasang di mana-mana sebagai
seorang buruan. Apakah engkau senang dengan keadaan ini? Kita tidak akan dapat bergerak
dengan leluasa. Engkaupun seperti aku, harus menyamar.”
“Hemm, itukah maksudmu! Kenapa tidak bilang sejak tadi? Akan tetapi, aku tidak pernah
menyamar dan....”
“Serahkan saja kepadaku. Bukankah engkau tadi tidak mengenalku? Aku ahli menyamar, dan
kalau aku sudah selesai dengan wajahmu, bahkan orang yang paling dekat denganmu tidak
akan mengenalmu lagi.”
“Kau hendak mencoreng moreng mukaku?”
“Tidak. Penyamaran dengan mencoreng moreng muka adalah penyamaran kasar dan bodoh,
hanya dilakukan para pemain wayang di panggung, dengan bedak tebal, gincu dan
sebagainya. Nah, duduklah diam. Aku akan mengubah sedikit bentuk alismu yang seperti
bentuk golok itu.”
Goan Ciang maklum akan kebenaran pendapat Yen Yen. Memang dia akan dikenal orang di
mana-mana karena pemerintah Mongol telah memasang gambarnya sebagai seorang buronan.
Dan dia tentu tidak akan leluasa bergerak. Maka, diapun pasrah saja. Akan tetapi, melihat
wajah gadis itu demikian dekat dengan wajahnya, walaupun itu sudah seperti wajah seorang
pemuda, membuat dia merasa canggung dan untuk mengatasi getaran jantungnya, diapun
memejamkan matanya. Dia tadi melihat gadis itu mengambil alis mata palsu, dengan bulu
rambut alis yang aseli, menggunakan gunting dan merasa setelah dia memejamkan mata
betapa gadis itu membongkar dan menambah rambut alisnya, menggunakan semacam getah
sebagai alat penempel. Bentuk alisnya diubah, mungkin dipertebal dan diperpanjang.
“Alis tambahan ini akan melekat terus, biar kau gosok dan cuci dengan airpun tidak akan
dapat lepas, kecuali kalau kaucabuti. Itupun mungkin akan membuat kulinya terluka dan
berdarah. Satu-satunya cara untuk melepas alis palsu itu adalah menggunakan semacam
minyak jarak yang ada padaku. Nah, sekarang giliran alismu sudah berubah. Matamu juga
harus diubah bentuknya.”
Goan Ciang terkejut. “Ihh! Apakah mataku akan kausayat-sayat pelupuknya?”
Gadis itu tertawa dan Goan Ciang memejamkan mata lagi untuk melihat kilatan gigi putih
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 147
seperti mutiara berderet, ujung lidah yang merah dan rongga mulut yang lebih merah lagi.
“Tentu saja tidak! Matamu terlalu lebar, mudah diingat orang. Kalau ujungnya diberi sedikit
goresan, akan nampak sipit seperti mata orang kebanyakan.” Gadis itu kini menggunakan
pena bulu dengan semacam tinta hitam yang tidak dapat luntur, membuat garis di kedua tepi
mata Goan Ciang. Seperti seorang pelukis, ia membuat garis hitam, lalu mundur untuk
melihat hasilnya, mencoret lagi sampai akhirnya ia menghela napas lega dan puas.
“Bagus, sekarang bentuk matamu sudah berubah. Garis hitam di tepi matamu inipun tidak
akan hilang oleh air, akan tetapi jangan digosok terlalu kuat kalau engkau mandi atau mencuci
muka, terutama jangan dengan air panas. Sekarang, coba kulihat apa lagi yang perlu diubah
agar wajahmu benar-benar kehilangan jejak bentuk lamanya.”
Sekarang Goan Ciang sudah menyerah benar-benar. Jari-jari tangan yang terasa halus dan
hangat itu meraba-raba mukanya, membuat dia memejamkan mata dan merasa nyaman sekali,
membuatnya mengantuk lagi!
“Hemm, coba kulihat. Telingamu tidak menyolok, seperti telinga orang biasa, akan tetapi
dahimu terlalu lebar dan bentuknya mengandung wibawa, sebaiknya ditambah rambut di
depan sehingga akan nampak lebih kecil. Kemudian, kalau ada kumis dan jenggot, ditambah
sedikit cambang, dan bentuk gelung rambutmu diubah, hemm, tak seorangpun akan
mengenalmu lagi, toako!” Gadis itu nampak gembira lalu mengerjakan semua rencananya itu.
Menempel sana menempel sini dan dalam waktu kurang dari sejam, kini Goan Ciang telah
berkumis, berjenggot dan cambangnya memanjang sampai ke pipi, dahinya tidak selebar tadi,
matanya sipit dan alisnya tebal panjang!
“Nah, coba kau periksa wajahmu sendiri, masih kurang apa untuk mengubahnya menjadi lain
sama sekali.” Gadis itu mengeluarkan sebuah cermin kecil bundar dan menyerahkannya
kepada Goan Ciang. Ketika Goan Ciang melihat wajahnya sendiri dalam cermin, dia tertegun.
Mukanya berubah merah. Dia seperti melihat seorang laki-laki lain, wajah yang tidak
disukanya, dalam cermin itu! Dengan cambang, kumis dan jenggot, matanya sipit dan alis
tebal, apa lagi dahi sempit itu dia kelihatan kejam dan licik!
“Ihh! Tampanku seperti seorang bandit!” serunya. Gadis itu tertawa senang. Makin kaget dan
marah Goan Ciang, akan makin senanglah hatinya karena hal itu membuktikan bahwa
pekerjaannya berhasil baik.
“Bagus, penyamaranmu sempurna, Hung-toako!” katanya seperti bersorak.
“Hung-toako? Apa lagi ini?”
“Toako, tentu saja namamu harus diganti. Mulai sekarang engkau bernama Hung Wu dan aku
menyebutnya Hung-toako (kakak Hung), sedangkan engkau menyebut aku Yen-te (adik Yen).
Nama Yen adalah nama umum, aku tidak perlu mengganti nama sama sekali, cukup dengan
nama Siauw Yen (Yen kecil) saja. Lebih mudah bagimu, bukan?”
Diam-diam Goan Ciang kagum bukan main. Gadis ini memikirkan segala hal. Seorang gadis
yang amat cerdik, dan sekarang dia tidak merasa heran mengapa seorang kakek bijaksana
seperti Pek-mou Lo-kai menyerahkan kepemimpinan perkumpulan besar seperti Hwa I
Kaipang kepada seorang gadis! Kiranya gadis ini memang cerdik sekali.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 148
“Baiklah, Yen-te. Sekarang, kita akan ke mana?”
“Memasuki kota Nan-king?”
Goan Ciang membelalakkan matanya, tidak menyadari betapa lucunya ketika dia terbelalak
sehingga gadis yang berubah menjadi pemuda remaja itu tertawa terpingkal-pingkal sehingga
kotak alat penyamaran yang dipegangnya terlepas, kotaknya terjatuh, tutupnya terbuka dan
isinya berantakan. Sambil mengambili isi kotak, Yen Yen masih tertawa terpingkal dan
kadang memegangi perutnya.
“Siauw Yen! Apa sih yang kau tertawakan sampai setengah mati begitu?” tanya Goan Ciang.
“Toako, ingat, jangan sekali-kali engkau membelalakkan matamu seperti tadi. Aku pasti tidak
dapat menahan untuk tidak tertawa terpingkal-pingkal. Kalau matamu yang berubah sipit itu
kaubelalakkan, aduh, sungguh lucu sekali, mengingatkan aku akan seorang badut di panggung
wayang yang pernah kutonton ketika aku berkunjung ke kota raja Peking.”
“Hemm, engkau hendak mempermainkan dan mentertawakan aku?” kata Goan Ciang
cemberut, marah karena dia dikatakan seperti badut.
“Maaf, toako. Maafkan adikmmu, ya? Sungguh mati, aku tidak bermaksud mentertawakanmu.
Bahkan itu tandanya bahwa penyamaranmu amat baik. Nah, mari kita berangkat, toako, sekali
lagi maafkan aku!” Yen Yen memegang tangan pemuda itu dan menggandengnya. Lenyap
seketika kemarahan dari hati Goan Ciang ketika mereka berjalan sambil bergandeng tangan.
“Yen-te, katakan, mau apa kita ke Nan-king? Bukankah tempat itu berbahaya sekali, penuh
dengan pasukan keamanan dan mempunyai banyak perwira yang tangguh?”
“Kita harus menyelidiki para pengkhianat itu! Hek I Kaipang harus kita hancurkan!
Merekalah yang mengkhianati kita. Para pengkhianat itu lebih berbahaya dari pada orang
Mongol sendiri. Kalau orang Mongol, sudah jelas musuh kita. Akan tetapi para pengkhianat
itu, merupakan musuh dalam selimut yang amat berbahaya. Aku lebih membenci mereka dari
pada para penjajah itu sendiri.”
“Hemm, itukah sebabnya engkau tadi membunuh anggotak Hwa I Kaipang yang agaknya
mengkhianati kita dan melaporkan tentang pertemuan di bukit batu?”
Yen Yen mengangguk, “Aku serang dia dengan pisau terbangku. Pengkhianat seperti dia
tidak boleh diampuni. Kalau dia tidak terlambat, tentu malam tadi kita telah dikepung
pasukan! Ini semua gara-gara Hek I Kaipang, dan para kaipang yang rela menjadi antek
penjajah Mongol!”
“Akan tetapi, hanya kita berdua, apa yang dapat kita lakukan menghadapi mereka? Kakekmu
sendiri sudah memperingatkan agar kita berhati-hati kalau berhadapan dengan para pemimpin
Hek I Kaipang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Apa yang dapat kita lakukan?
Menyerbu Hek I Kaipang dengan tenaga kita berdua saja?”
“Aih, toako, apakah engkau kira aku begitu bodoh? Tidak, aku belum ingin bunuh diri dan
mati konyol.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 149
Kita menyelundup ke Nan-king dan kita mempelajari keadaan. Kita menyelidiki sampai di
mana keakraban hubungan antara Hek I Kaipang dan para pembesar Mongol. Dengan
penyamaran ini, kita dapat bergerak leluasa, menjadi dua orang pemuda yang datang dari
dusun ke kota itu, untuk mencari pekerjaan, mencari pengalaman atau sekadar bertualang.
Kita tidak akan dapat menyolok, tidak akan ada yang mencurigai kita.”
Mereka melanjutkan perjalanan dan hati Goan Ciang merasa lega bahwa sejauh ini, Goan
Ciang merasa lega bahwa sejauh ini, gadis yang luar biasa itu tidak pernah memperlihatkan
dengan sikap, kata-kata maupun perbuatan tentang isi hatinya, yang oleh kakek Pek-mou Lokai
dikatakan bahwa gadis itu telah memilih dia sebagai calon jodoh!
Kita tinggalkan dulu Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen yang menyamar sebagai kakak
beradik dari desa yang pergi ke kota Nan-king, dan mari kita mengikuti perjalanan pemuda
Shu Ta, sute dari Cu Goan Ciang. Pemuda murid Lauw In Hwesio ini melakukan perjalanan
seorang diri.
Shu Ta juga seperti Cu Goan Ciang, yatim piatu dan hidup sebatang kara di dunia ini. Usianya
sebaya dengan suhengnya, sekitar dua puluh tahun. Akan tetapi pemuda yang tampan ini
memiliki kecenderungan untuk brewok. Kumis dan jenggot serta cambangnya tumbuh dengan
subur memenuhi setengah wajahnya yang tampan. Karena merasa belum pantas memelihara
kumis jenggot, maka dia sering kali mencukurnya, akan tetapi baru dicukur beberapa hari saja
sudah nampak rambut yang subur itu tumbuh lagi.
Berbeda dengan Goan Ciang yang agak pendiam, Shu Ta ini orangnya cerdik dan lincah,
banyak akalnya. Ketika dia berpisah dari suhengnya, selama beberapa jam melakukan
perjalanan seorang diri, perasaan hatinya tertekan, seolah dia merasa kehilangan. Sejak kecil,
dia berada di kuil Siauw-lim-si, menjadi kacung kuil sampai dia bertemu dengan Goan Ciang,
belajar silat bersama. Kemudian mereka berdua meninggalkan kuil untuk mencari
pengalaman, dan bersama-sama menundukkan keluar Ji dan keluarga Koa di dusun Cang-cin
sehingga kedua keluarga yang tadinya menjadi penindas rakyat itu berbalik kini menjadi
dermawan dan pelindung rakyat di dusun itu.
Kalau Cu Goan Ciang dari dusun itu pergi ke kota Wu-han, maka Shu Ta pergi menuju ke
kota Nan-king. Dia tidak menolak ketika hendak meninggalkan dusun itu dia diberi bekal oleh
dua orang kakak beradik Koa. Dia memang membutuhkan biaya dalam perjalanan, sebelum
dia mendapatkan pekerjaan untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Dan bekal yang
diterimanya itu cukup untuk membiayainya melakukan perjalanan ke kota Nan-king. Dahulu,
ayah dan ibunya pernah tinggal di kota besar ini. Di waktu dia berusia lima enam tahun, dia
pernah tinggal di kota itu dan masih ingat akan kebesaran dan keindahannya, dan oleh karena
itulah maka kini dia menuju ke Nan-king.
Seperti juga Cu Goan Ciang, di sepanjang perjalanan Shu Ta melihat kesengsaraan rakyat,
terutama yang hidup di pedusunan dan dia merasa prihatin sekali. Agaknya pemerintah
penjajah sama sekali tidak mau memperdulikan nasib rakyat dari negara yang dijajahnya. Para
pejabat pemerintah penjajah hanya memikirkan kesenangan diri sendiri masing-masing, dari
kaisarnya sampai pejabat paling kecil. Bukan saja mereka tidak memperdulikan nasib
rakyatnya, tidak mengulurkan tangan untuk menolong, sebaliknya mereka bahkan melakukan
pemerasan di sana-sini, demi untuk memenuhi kantung mereka yang sudah penuh.
Pada suatu hari, tibalah dia di jalan yang melintasi sebuah bukit kecil, di sebelah utara kota
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 150
Nan-king. Dari tempat itu, ke Nan king masih sejauh tiga puluh li lagi. Tengah hari itu
amatlah teriknya. Tubuh Shu Ta sudah basah oleh keringat, maka diapun berhenti di tepi
jalan, duduk di bawah pohon besar yang rindang. Jalan itu sepi sekali. Dia menurunkan
buntalan pakaiannya dan mengeluarkan sebuah guci yang terisi air jernih.
Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda. Dia memegang guci dan tidak jadi membuka
tutupnya karena dua ekor kuda yang berlari congklang ke tempat itu menimbulkan debu.
Tidak sehat kalau dia minum pada saat itu, tentu banyak debu ikut memasuki mulutnya. Dia
mengangkat muka memandang. Dua ekor kuda yang bagus, tinggi besar, jelas kuda-kuda
pilihan yang mahal. Juga pakaian kudanya menunjukkan bahwa penunggangnya adalah
orang-orang kaya. Dan memang benar. Pemuda dan gadis yang menunggang kuda itu jelas
orang kaya, bahkan tentu bangsawan karena pakaian mereka yang indah. Dari model topi
mereka, Shu Ta dapat menduga bahwa mereka yang berkedudukan tinggi dan kaya raya.
Yang mengherankan hatinya, kalau mereka itu putera dan puteri bangsawan tinggi Mongol,
kenapa berkeliaran berdua saja tanpa pengawal? Biasanya, para pembesar Mongol kalau
keluar kota selalu dikawal ketat karena tentu saja ada kemungkinan mereka diserang oleh para
pemberontak, yaitu patriot-patriot yang memusuhi penjajah Mongol.
Kedua orang itu tiba-tiba menahan kuda mereka dan memandang kepada Shu Ta. Shu Ta
yang tadi mengamati mereka, merasa canggung. Pemuda Mongol itu tampan dan gagah, akan
tetapi gadis itu lebih hebat lagi. Begitu cantik jelita dan memiliki sepasang mata yang
demikian tajam seperti sepasang bintang! Dia menjadi gugup dan menuangkan air jernih dari
guci mulutnya. Dia mendengar suara wanita bicara kepada pemuda itu dan si pemuda
bangsawan berseru.
“Heii, sobat, jangan dihabiskan air itu!”
Tentu saja dia terkejut dan heran, menunda minumnya dan menutupi lagi guci arinya dengan
cepat agar tidak kemasukan debu yang masih mengepal. Kini dua orang muda bangsawan itu
sudah turun dari kuda, membiarkan kuda mereka makan rumput dan mereka melangkah
menghampirinya. Shu Ta tidak tahu harus berbuat apa, hanya memandang seperti orang
kehilangan akal. Dia merasa heran mengapa tidak timbul kebencian dalam hatinya terhadap
mereka, seperti yang dibayangkannya dahulu ketika dia masih berada di kuil. Kalau dia
membayangkan orang Mongol, selalu timbul kebencian di hatinya karena mereka telah
menjajah tanah air dan bangsanya. Akan tetapi, kini berhadapan dengan seorang pemuda dan
seorang gadis Mongol, entah mengapa, dia tidak merasakan kebenciannya itu! Memang tidak
mengherankan karena muda mudi itu sama sekali tidak mempunyai penampilan yang cukup
untuk menimbulkan perasaan benci.. Mereka memiliki gerak-gerik yang lembut, sikap mereka
halus dan pandang mata merekapun riang dan tidak mengandung kekerasan atau
kesombongan seperti yang seringkali dia dengar.
“Maafkan kami, sobat. Tadi adikku melihat engkau minum dan kami memang sedang
kehausan. Dalam keadaan hampir mati kehausan ini, tidak ada yang lebih nikmat dari pada air
jernih. Kalau engkau tidak keberatan, sobat. Bolehkah kami minta sedikit air minum dari
gucimu itu?”
Shu Ta memandang bengong. Dua orang muda bangsawan Mongol yang begitu kaya raya
kini minta air minum darinya di tengah jalan yang sunyi? Dia sendiri tidak akan percaya kalau
mendengar orang bercerita seperti itu. Biasanya, demikian yang sering didengarnya, orangorang
Mongol menganggap orang pribumi seperti binatang saja, memandang remeh dan
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 151
rendah. Akan tetapi, pemuda bangsawan ini bersikap demikian ramah, sopan dan bersahabat.
Minta air minum dari gucinya! Seperti dalam mimpi saja, tanpa mengeluarkan sepatahpun
kata, dia menyodorkan guci air minumnya yang masih tiga perempat penuh kepada pemuda
bangsawan itu.
Pemuda Mongol yang usianya sekitar dua puluh dua tahun itu menerima guci air dan
menyerahkannya kepada gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun itu tanpa
bicara pula. Gadis itu menerima guci, menoleh dan memandang kepada Shu Ta dengan mata
bintangnya, kemudian membuka tutup guci dan menengadahkan mukanya, lalu menuangkan
air jernih dari guci itu ke dalam mulutnya yang dibuka sedikit. Gerakannya luwes dan tidak
tergesa-gesa, air yang dituangkannya pun mengalir kecil memasuki rongga mulutnya dan
nampak lehernya bergerak-gerak lembut ketika ia minum dan menelan air itu. Agaknya ia
memang haus sekali, ia tersenyum memperlihatkan deretan gigi putih yang rapi dan
memberikan guci kepada kakaknya. Terdengar suaranya yang merdu dan sama sekali tidak
terdengar asing, seolah ia seorang gadis Han aseli.
“Bukan main nikmat dan lezatnya air ini!”
Pemuda bangsawan itu tersenyum, lalu diapun minum beberapa teguk, kemudia menutup
kembali guci itu dan menyerahkannya kepada Shu Ta yang masih tertegun.
“Enak sekali! Engkau tahu, adikku, apa yang membuat air jernih ini demikian enaknya?”
“Tentu saja aku tahu. Kehausan kita itulah yang menjadikan air apapun terasa enak, bukankah
begitu?”
“Ha-ha, engkau pintar. Memang, tidak ada minuman yang enak melebihi enaknya air biasa
bagi seorang yang kehausan, dan tidak ada makanan seenak makanan bagi seorang yang
kelaparan!”
Shu Ta kagum. Dua orang kakak beradik bangsawan Mongol ini jelas bukan orang-orang
sombong yang bodoh, mereka terpelajar.
“Banyak terima kasih atas kebaikanmu memberi minuman kepada kami, sobat. Kami juga
ingin beristirahat di sini. Sekalian membiarkan kedua ekor kuda kami beristirahat. Hari amat
panasnya. Kami tidak mengganggumu, bukan?” kata pemuda bangsawan itu.
Shu Ta tidak menjawab, seperti tadi, dia tidak mengeluarkan suara, hanya menggeleng kepala
tanda bahwa dia tidak berkeberatan. Pemuda dan gadis itupun duduk di atas batu. Pemuda itu
langsung duduk, akan tetapi gadis itu meniup untuk membersihkan debu dari batu sebelum ia
mendudukinya.
Sejak tadi, Shu Ta memandang penuh perhatian karena dia benar-benar merasa heran bukan
main. Mereka itu jelas anak-anak bangsawan Mongol, kaya-raya, pakaian mereka indah. Kuda
mereka saja demikian hebat dan mahal harganya. Orang biasa bekerja beberapa tahun
lamanya belum tentu dapat membeli seekor kuda seperti itu! Dan anehnya, mereka itu mau
duduk-duduk di atas batu dengan dia, bahkan telah minum air jernih biasa dari guci airnya,
minum tanpa cawan, dituang begitu saja ke mulut! Orang-orang apakah mereka ini? Dia
memandang penuh perhatian.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 152
Pemuda Mongol itu berusiah dua puluh dua tahun, tampan dan gagah sekali, juga wajahnya
cerah dan mulutnya selalu dihiasi senyum. Gerak-gerinya halus dan ketika bicara tadipun
lembut dan kata-katanya menunjukkan bahwa dia seorang terpelajar. Adapun gadis Mongol
yang menjadi adiknya itu berusia delapan belas tahun, juga cantik jelita, terutama sekali
matanya yang lebar dan tajam sinarnya itu dan mulutnya yang menggairahkan. Pendeknya,
banyak pemuda dan gadis tentu akan terpesona dan tergila-gila melihat mereka berdua!
Agaknya sikap mereka yang lembut dan sama sekali tidak membayangkan kecongkakan sikap
para bangsawan pada umumnyalah yang membuat Shu Ta sama sekali tidak merasa marah
atau benci kepada mereka. Dia tahu bahwa andaikata kedua orang ini bersikap tinggi hati,
pasti dia akan membenci mereka karena maklum bahwa mereka ini adalah orang-orang
Mongol si penjajah!
Kakak beradik bangsawan Mongol itupun beberapa kali memandang kepada Shu Ta dan
akhirnya gadis itu tertawa, suara tawanya merdu dan agak bebas, tidak seperti tawanya gadis
Han yang biasanya menahan suara tawa mereka bahkan menutupi mulut dengan ujung lengan
baju. Gadis ini tertawa begitu saja tanpa menutupi mulutnya dan dia teringat kepada Ji Kui
Hwa, puteri Hartawan Ji di dusun Cang-cin itu. Kui Hwa juga suka tertawa bebas, akan tetapi
masih menundukkan mukanya seperti hendak menyembunyikan mulutnya. Gadis Mongol ini
tidak menunuduk malah mengangkat muka memandang langit sehingga Shu Ta dapat melihat
mulut yang agak terbuka itu dan sekilas dapat melihat rongga mulut yang merah dan deretan
gigi yang putih mengkilap.
“Heh-heh-heh, koko (kakak), sobat ini melihat kita seperti orang yang selamanya belum
pernah melihat orang-orang seperti kita. Dipandang seperti itu, aku mempunyai perasaan
aneh, seolah-olah mataku tiga, atau ada tanduk di atas kepalaku!”
Pemuda itu tertawa pula dan memandang kepada Shu Ta. “Moi-moi (adik), pemuda mana
yang tidak akan memandangmu dengan terpesona? Engkau terlalu cantik jelita bagi mata
setiap orang pemuda.”
“Ihhh, koko! Jangan mengejekku. Engkaulah yang terlalu tampan sehingga banyak gadis
tergila-gila kepadamu dan mengitarimu seperti sekelompok kupu-kupu menyerbu setangkai
kembang.”
“Wah, itu terbalik namanya, Mimi! Akulah kupu-kupu atau kumbangnya, dan merekalah
kembang-kembangnya, ha-ha-ha!” Pemuda itu tertawa dan dia kini menghadapi Shu Ta.
Suaranya ramah bersahabat ketika dia bicara kepada Shu Ta.
“Sobat, agar menenangkan dan meyakinkan hati adikku yang manja ini, maukah engkau
mengaku sejujurnya, kenapa engkau memandangi kami seperti itu? Seperti orang terpesona
dan terheran-heran?”
Sejak tadi Shu Ta telah mampu menguasai perasaannya. Dia melihat betapa kakak beradik ini
bicara dalam bahasa pribumi yang amat fasih sehingga mudah diduga bahwa mereka memang
sehari-hari mempergunakan bahasa pribumi, bukan bahasa Mongol. Juga mereka saling
menyebut koko dan moi-moi seperti kebiasaan orang pribumi, Sebuah kenyataan menambah
kekaguman dan keheranannya, yaitu betapa kedua orang muda bangsawan ini berwatak jujur,
terus terang dan suka pula bergurau.
“Terus terang saja, aku memang terpesona dan terheran-heran, akan tetapi bukan karena
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 153
keindahan wajah kalian, walaupun kalian tampan dan cantik seperti dewa dan dewi.”jawab
Shu Ta yang memang pandai bicara sambil tersenyum, siap untuk menyerang keturunan
penjajah ini secara halus.
“Ehh? Kalau begitu, apa yang kauherankan?” Gadis itu bertanya, ingin tahu sekali, “Janganjangan
benar ada sesuatu yang aneh pada diriku! Apakah ada coreng moreng pada mukaku?
Apakah ada pakaianku yang terbalik memakkainya, atau jangan-jangan tumbuh tanduk benarbenar
di kepalaku!” Ia meraba-raba kepalanya yang tertutup topi bulu yang indah. Kakaknya
tertawa mendengar kelakar adiknya dan Shu Ta juga tersenyum. Bagaimana mungkin dia
dapat menyinggung perasaan hati seorang gadis yang begini polos dan lucu? Tapi ia seorang
gadis Mongol, bantah pikirannya sendiri.
“Yang membuat aku heran adalah keadaan dan sikap kalian. Kalau kalian ini kakak beradik
dari dusun, orang-orang miskin yang tidak mempunyai sepeserpun uang di saku, yang
mempunyai kaki dengan sepatu butut yang melakukan perjalanan, dengan pakaian butut, yang
setiapsaat disiksa rasa lapar dan haus tanpa mampu membeli makanan dan minuman, maka
aku tentu tidak akan merasa heran melihat kalian minta air minum padaku dan duduk di sini
bersamaku. Akan tetapi kalian adalah dua orang bangsawan muda yang kaya-raya, berlebihlebihan
dan berlimpahan, dua ekor kuda kalian saja akan mampu memberi makan kepada
orang sedusun yang kelaparan kalau dijual. Dan kalian minta air minum padaku dan duduk di
atas batu. Ini aneh sekali!”
Kakak beradik itu saling pandang dan tersenyum, akan tetapi senyum mereka senyum pahit.
Pemuda itu menarik napas panjang. “Aihh, sejak kami masih kecil, betapa seringnya kami
mendengar keluhan dan protes, walaupun belum pernah ada yang bicara sedemikian terangterangan
dan tanpa takut seperti engkau, sobat! Kami kakak beradik sejak mulai dapat
berpikir, telah melihat keadaan rakyat jelata yang dilanda kemiskinan, akan tetapi apa yang
dilakukan oleh dua orang kakak beradik seperti kami? Eh, kalau boleh kami mengetahui,
engkau ini siapakah? Jelas bukan pemuda dusun. Cara bicaramu teratur dan berisi. Apakah
engkau seorang pendekar?”
Shu Ta menunduk, sikapnya acuh dan menggeleng kepala tanpa menjawab. Kembali kakak
beradik itu saling pandang, kemudian si adik yang bicara, “Sobat, kami tidak ingin
memaksakan kehendak untuk berkenalan. Akan tetapi, engkau boleh tahu bahwa namaku
Bouw Mi, biasa dipanggil Mimi, dan ini kakakku bernama Bouw Ku Cin dan kami berdua
adalah putera dan puteri Menteri Bayan yang tinggal di kota raja Peking. Kami sedang
melakukan perjalanan tamasya dengan tujuan terakhir kota Nan-king. Nah, kami sudah
memperkenalkan diri. Apakah engkau masih terlalu tinggi untuk berkenalan dengan kami, dua
orang muda bangsa Mongol yang merasa bahwa kami sama sekali bukan orang?”
Melihat Shu Ta masih bersikap acuh, walaupun di dalam hatinya Shu Ta terkejut setengah
mati mendengar bahwa mereka ini putera Bayan, menteri yang amat berpengaruh dan besar
kekuasaannya karena menjadi tangan kanan Kaisar Togan Timur, pemuda Mongol yang
bernama Bouw Ku Cin itu menyambung kata-kata adiknya.
“Sobat, engkau sungguh tidak adil. Engkau menggambarkan kami berdua seolah-olah kami
ini bukan manusia dan tidak sama dengan engkau atau dengan rakyat jelata. Pada hal, apa sih
bedanya? Yang berbeda kan hanya pakaian kita saja. Coba engkau yang mengenakan pakaian
ini dan aku mengenakan pakaianmu, apa bedanya? Takkan ada yang tahu bahwa engkau
adalah engkau dan aku adalah aku, kalau kita bertukar pakaian.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 154
Shu Ta tertegun. Wah, pemuda ini bukan seorang pemuda bangsawan kaya raya yang
berkepala kosong! Juga gadis itu bicaranya sungguh lain, sedikitpun tidak mengandung sikap
angkuh, bahkan begitu rendah hati untuk lebih dahulu memperkenalkan diri padanya. Pada
hal, dilihat dari pakaiannya, mereka tentu mengira dia seorang pemuda dusun biasa! Sejak
kecil Shu Ta tinggal di kuil dan selain ilmu silat, diapun dididik sastra dan tatasusila oleh para
hwesio, maka melihat sikap kakak beradik itu, diappun merasa tidak enak. Maka, diapun
bangkit dan memberi hormat kepada kakak beradik itu yang agaknya terkejut dan cepat
merekapun membalas penghormatan itu dengan sikap yang sama, mengangkat kedua tangan
depan dada.
“Harap kalian memaafkan sikapku tadi. Sudah terlalu banyak aku mendapatkan gambaran
para bangsawan yang hanya mementingkan diri sendiri, tidak memperdulikan nasib rakyat
jelata, hidup bermewah-mewahan di atas tubuh rakyat jelata yang sekarat, dan biasanya
berwatak sombong dan memandang rendah rakyat miskin. Aku tadinya tidak mengira bahwa
kalian adalah dua orang muda yang terpelajar dan sopan, rendah hati dan tidak menghina
rakyat kecil. Nah, namaku Shu Ta dan aku seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara di
dunia ini, melihat banyak ketimpangan hidup dan ketidak adilan. Kalian memang memiliki
sikap yang baik, otak yang cerdas, tidak sombong, namun sayang, kalian tergolong
bangsawan tinggi yang kaya raya, keluarga penindas dan penjajah yang menyengsarakan
rakyat.” Dengan berani Shu Ta menentang pandang mata mereka. Dia berdiri dan siap
menanti kemarahan kakak beradik itu.
Akan tetapi, kakak beradik itu tidak menjadi marah, hanya mereka saling pandang dan muka
mereka berubah agak kemerahan. Gadis itu sudah menjatuhkan diri duduk kembali ke atas
batu, dan Bouw Ku Cin yang biasa dipanggil Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw) itu menghela
napas, dan diapun duduk kembali.
“Memang apa yang kaukatakan semua itu ada benarnya, saudara Shu Ta. Akan tetapi, urusan
penjajahan itu apa sangkut-pautnya dengan kami berdua? Mengapa bangsa Mongol, bangsa
nenek moyang kam i, telah menyerbu Cina dan menundukkannya, kemudia menjajahnya.
Akan tetapi hal itu telah terjadi hampir tujuh tahun yang lalu dan kami sama sekali tidak tahu
akan isi hati mendiang Temucin, pemimpin besar bangsa Mongol yang kemudian menjadi
Jenghis Khan. Kami baru dilahirkan kurang lebih dua puluh tahun yang lalu dan ketika kami
terlahir, keadaan sudah begini, penjajahan sudah berlaku selama puluhan tahun. Kami tidak
ikut melakukan penyerbuan, tidak ikut menjajah dan ahh...., aku tidak tahu lagi apa yang
harus aku katakan. Hanya ini, kawan. Kalau ada nenek moyang kita melakukan kesalahan,
apakah kita juga diharuskan mempertanggung jawabkan perbuatannya?”
Shu Ta kembali tertegun dan diapun duduk kembali di atas batu, termenung memikirkan katakata
itu. “Akan tetapi, kalian menikmati hasil penjajahan! Kalian hidup bermewah-mewahan
sedangkan rakyat jelata hidup kelaparan. Apakah kalian tidak merasa malu, hidup senang di
atas mayat rakyat jelata?”
Kini gadis itu mengerutkan alisnya dan pandang matanya mencorong menatap wajah Shu Ta.
“Saudara Shu, jangan engkau sembarangan saja bicara, seenaknya saja menuduh kami! Kami
dilahirkan dalam keluarga ayah kami dan sejak kami lahir, ayah kami sudah menjadi menteri.
Dengan sendirinya kami hidup di istana ayah dan menikmati semua yang ada. Salahkah itu?
Apakah kami, anak-anak ayah, harus meninggalkan keluarga ini dan hidup menderita
kemiskinan bersama rakyat? Begitukah kehendakmu?”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 155
Kembali Shu Ta tertegun dan tidak mampu menjawab.
“Saudara Shu Ta, kami mengerti benar perasaanmu. Kami tidak menyalahkanmu kalau
engkau membenci pemerintah karena pemerintah adalah pemerintah penjajah. Memang
orang-orang Monglo menjajah rakyat pribumi Cina. Dan percayalah, semenjak kami mampu
berpikir, kami berdua sudah tidak setuju dengan keadaan ini. Buktinya, sampai sekarang aku
tidak pernah memegang jabatan apapun, selalu menolak desakan ayah. Dan kami bergaul
dengan rakyat, kami tidak menghina, tidak menindas, tidak memusuhi rakyat. Bahkan di
manapun, kapanpun, kami selalu siap membantu rakyat dengan segala kemampuan kami.
Jangan dikira bahwa seluruh bangsa Mongol merupakan orang-orang yang suka menindas
dan menjajah. Yang menjajah itu adalah pemerintahannya, kerajaannya, bukan rakyat
Mongol. Hal ini patut kauketahui, sobat! Nah, sekarang, maukah engkau bersahabat dengan
kami?” Pemuda bangsawan itu mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. Akan tetapi Shu
Ta pura-pura tidak melihat tangan itu.
“Maafkan aku. Kalau aku bersahabat dengan putera puteri Menteri Mongol, tentu semua
orang akan memandang rendah kepadaku dan menganggap aku pengkhianat bangsa!”
Mimi marah sekali mendengar ucapan itu dan menolak pemuda dusun itu menolak uluran
tangan kakaknya. Sungguh merupakan suatu penghinaan besar! Ingin ia mendamprat, akan
tetapi kakaknya berkedip kepadanya dan dengan suara sungguh-sungguh akan tetapi mulutnya
tetap tersenyum dia berkata.
“Saudara Shu Ta, apakah kaukira kalau engkau sudah memusuhi semua orang Mongol lalu
engkau menjadi pahlawan? Apa manfaatnya kalau engkau hanya membenci dan memusuhi
semua orang Mongol, apa manfaatnya bagi rakyat yang menderita? Apakah kalau engkau
memperlihatkan sikap bermusuhan dengan kami, bahkan andaikata engkau membunuh kami,
hal itu dapat mengenyangkan perut rakyat yang lapar? Sobat, memusuhi dan membenci
orang-orang Mongol, bukan satu-satunya cara untuk membela rakyat jelata.
Lihat kami ini. Kami dimaki sebagai keturunan Mongol, dibenci oleh orang-orang yang
berpikiran sempit sepertimu, akan tetapi kami dapat lebih bermanfaat bagi mereka. Sudah
banyak rakyat yang kubantu, baik sandang maupun pangan, banyak yang kami selatkan dari
ancaman para penjahat! Dan kau....apa yang telah kaulakukan untuk rakyat? Hanya membenci
dan menghina orang Mongol. Itu saja?”
“Koko, mari kita pergi. Dia orang yang sombong dan dungu, tidak perlu banyak bicara,
takkan dia mengerti!” kata gadis itu dan mereka berdua lalu melompat ke atas punggung kuda
mereka. Cara mereka melompat ke punggung kuda, mengejutkan hati Shu Ta. Terutama gadis
itu. Bagaimana mungkin seorang gadis bangsawan dapat melompat ke atas kuda yang tinggi
itu dengan gerakan demikian ringannya? Tidak keliru lagi dugaannya, mereka itu tentulah dua
orang muda yang pandai ilmu silat!
Shu Ta mengikuti mereka yang menjalankan kuda perlahan-lahan menuju ke selatan dengan
pandang matanya. Beberapa kali dia menghela napas panjang. Ucapan pemuda itu tadi seperti
telah menamparnya dan dia merasa malu kepada diri sendiri. Kalau dipikir-pikir, dia sendiri
tidak tahu apa yang telah dia lakukan untuk rakyat semenjak dia meninggalkan kuil. Memang
di dusun Cang-cin dia telah melakukan sesuatu untuk penduduk dusun itu, akan tetapi dia
hanya membantu Cu Goan Ciang! Dia sendiri memang belum melakukan sesuatu yang
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 156
bermanfaat, kecuali memperlihatkan kebenciannya kepada penjajah Mongol, kalau perasaan
kebencian itu dapat dianggap sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat. Dia bangkit berdiri,
menyambar buntalannya dan berjalan di jalan raya itu, ke selatan pula karena dia bermaksud
pergi ke kota Nan-king.
Belum lama dia berjalan, dia melihat suara gaduh di depan dan nampak debu mengebul. Dia
segera lari ke depan dan segera melihat belasan orang mengeroyok kakak beradik Mongol
tadi! Setelah dekat, Shu Ta berdiri bengong, tidak tahu harus berbuat apa. Sebetulnya, dia
merasa heran kepada diri sendiri. Seharusnya dia mengeroyok pula dua orang Mongol itu,
membantu belasan orang yang jelas merupakan orang-orang pribumi. Kenapa dia termangu
dan meragu? Bukankah belasan orang itu adalah orang-orang pribumi, rakyat tertindas dan
dua orang itu adalah bangsawan Mongol, sang penindas? Entah kenapa, dia diam saja dan
memandang kagum. Tak salah dugaannya. Kakak beradik itu pandai silat, bukan hanya pandai
bahkan lihai sekali! Mereka berdua sudah turun dari kuda mereka dan dengan pedang di
tangan, mereka membela diri dan pengeroyokan enam belas orang yang memegang golok atau
pedang, akan tetapi para pengeroyok itu sedikitpun tidak mampu mendesak kakak beradik itu!
Gerakan pedang kedua orang Mongol itu cepat, kuat dan juga indah, dan Shu Ta dapat
melihat bahkan gerakan pedang mereka mempunyai dasar gerakan pedang mereka untuk balas
menyerang, dan Shu Ta maklum bahwa kalau mereka berdua membalas dengan pedang, tentu
sudah ada pengeroyok yang roboh dan terluka parah atau tewas. Agaknya dua orang itu tidak
mau melakukan pembunuhan!
“Keroyok terus!” teriak seorang yang bertubuh tinggi kurus.
“Bunuh penjajah itu!” teriak orang ke dua yang tinggi besar. Mereka berdua agaknya
merupakan pimpinan karena kini mereka setelah mengeluarkan seruan itu, cepat meloncat dan
menghampiri dua ekor kuda tunggangan kakak beradik itu, lalu melompat ke atas punggung
dua ekor kuda yang besar, tinggi, dan kuat itu.
“Jangan kau bawa kudaku!” teriak Bouw Mimi.
“Pencuri kuda berkedok pejuang!” bentak pula Bouw Kongcu atau Bouw Ku Cin dan kedua
kakak beradik ini telah meloncat dan mengejar dua ekor kuda yang akan dilarikan kedua
orang pimpinan kelompok itu. Gerakan kakak beradik itu ternyata ringan dan cepat sekali.
Mereka seperti dua ekor burung terbang saja dan sudah berada di atas punggung dua orang
yang menunggang kuda. Sebelum dua orang itu dapat membela diri, kakak beradik itu telah
menggerakkan tangan kiri mereka ke arah tengkuk dan dua orang perampas kuda itupun
terpelanting roboh. Kakak beradik itu segera menangkap kembali kuda dan menenangkan
kuda mereka. Ketika belasan orang itu melihat betapa dua orang pemimpin mereka
dirobohkan, dan merekapun tadi sudah melihat betapa tangguhnya dua orang bangsawan
Mongol itu, mereka lalu melarikan diri cerai berai, tidak memperdulikan lagi dua orang
pemimpin mereka yang masih belum dapat bangun.
Sambil menuntun kuda mereka, kakak beradik itu menghampiri dua orang korban mereka.
Kini, si tinggi besar dan si tinggi kurasa sudah dapat merangkak bangkit duduk. Melihat
semua anak buahnya melarikan diri dan dua orang muda Mongol itu sudah berada di dekat
mereka, keduanya menjadi ketakutan dan menggigil. Mereka tahu bahwa orang yang berani
melawan orang Mongol dan tertangkap tentu akan dihukum siksa sampai mati. Saking
takutnya, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bouw Ku Cin dan Mimi.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 157
“Ampun...ampunkan kami, kongcu.....siocia.....ampunkan kami.....” mereka berdua meratap
ketakutan.
Kakak beradik itu saling pandang dan tersenyum. Mereka menyimpan kembali pedang
mereka yang tidak bernoda darah. “Hemmm, katakan yang jujur, kalian tadi menghadang
kami untuk melakukan perampokan, ataukah kalian ini orang-orang yang mengaku pejuang
dan hendak membunuh kami karena kami adalah orang-orang Mongol?”
“Mengaku yang jujur kalau kalian ingin hidup!” Mimi membentak dengan nada mengancam.
“Ampun, kongcu dan siocia....kami....kami melihat dua ekor kuda ji-wi (kalian berdua) dan
pakaian yang indah...kami....kami perampok....”
Bouw Ku Cin mengangguk-angguk, “Hemm, sudah kami duga. Kalian hanyalah perampokperampok
kecil yang mengaku sebagai pejuang. Begitukah? Ataukah kalian ini pejuangpejuang
yang melakukan perampokan?”
“Kami...kami hanya perampok....”
“Dan mengaku pejuang?”
“Be...benar...”
“Manusia hina!” bentak Mimi. “Orang macam kalian ini sebenarnya tidak pantas hidup.
Kalian mengotorkan nama pejuang juga kalian mengacaukan keamanan dan mengganggu
rakyat. Kalian hanya merugikan semua pihak.”
“Ampun, siocia....ampun kongcu....” Dua orang itu berlutut dan membentur-benturkan dahi ke
atas tanah, ketakutan.
“Pergilah! Sekali lagi kami melihat engkau merampok dan mengaku pejuang, kami tidak akan
mengampunimu lagi. Pergi!”
Dua orang perampok itu mengangguk-angguk, lalu bangkit berdiri dan melarikan diri dengan
cepat meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, ketika mereka tiba di dekat semak belukar,
nampak bayangan orang berkelebat dan sinar pedang berkilat menyambar. Dua orang
perampok itupun roboh dan tewas seketika.
Kakak beradik Mongol itu terkejut dan ketika mereka memandang penuh perhatian mereka
mengenal Shu Ta yang sudah menyarungkan kembali pedangnya. Mereka saling memandang
dengan pemuda yang telah mereka kenal itu.
“Saudara Shu Ta, kami sudah mengampuni mereka berdua, kenapa engkau membunuh
mereka?” tegur Mimi dengan alis berkerut.
“Orang-orang macamm mereka itu harus dibasmi. Mereka itulah yang mencemarkan nama
baik para pejuang, membuat para pejuang dipandang rendah sebagai penjahat-penjahat
rendah. Penjahat-penjahat seperti mereka mengganggu ketenteraman kehidupan rakyat,
memaksakan kehendak mereka, merampok dan membunuh.”kata Shu Ta.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 158
Bouw Kongcu dan Mimi tidak berkata-kata lagi, dan Bouw Kongcu lalu mengambil sebatang
golok besar milik para perampok yang tercecer, kemudian mempergunakan golok besar itu
untuk menggali tanah. Shu Ta memandang dengan heran. Ketika melihat Bouw Siocia juga
mengambil sebatang golok dan membantu kakaknya tanpa bicara, Shu Ta merasa semakin
heran.
“Eh, apa yang kalian lakukan?” tanyanya menghampiri.
Bouw Kongcu menghentikan pekerjaannya, mengangkat muka memandang kepada Shu Ta
lalu berkata, “Menggali lubang untuk mengubur dua mayat itu, apa lagi kalau bukan untuk
itu?”
“Tapi....tapi....mereka itu penjahat yang tadi hendak merampok dan membunuh kalian!” Shu
Ta berseru heran dan kaget.
“Kalau begitu, mengapa?” kata Bouw Siocia. “Mereka memang jahat, selagi masih hidup
tadi! Kini, mayat mereka tidak dapat kita anggap jahat, dan kalau dibiarkan membusuk tanpa
dikubur, hanya akan mengotorkan tempat ini dan akan mengganggu orang-orang hidup yang
kebetulan lewat di sini.” Kakak beradik itu sudah melanjutkan penggalian mereka. Shu Ta
merasa kagum bukan main. Dalam keadaan biasa saja, mana ada dua orang muda bangsawan,
putera dan puteri Menteri Besar Bayan, mau menggali lubang kuburan mempergunakan golok
saja? Apa lagi sekarang mereka menggali lubang untuk mengubur mayat dua orang perampok
yang tadi menyerang mereka untuk merampok dan membunuh! Diapun merasa malu kepada
diri sendiri, dan tanpa banyak cakap lagi diapun mengambil sebatang golok dan ikut menggali
membantu mereka!
Setelah lubang cukup besar dan mereka mengubur dua sosok mayat itu, ketiganya duduk
melepas lelah. Bouw Siocia atau Mimi menghapus keringat di lehernya dengan sehelai sapu
tangan yang dibasahi ketika tadi ia dan kakaknya dan Shu Ta mencuci tangan di sumber air
yang terdapat tak jauh dari situ.
Ketika tadi ikut menggali lubang, diam-diam Shu Ta berpikir bahwa apa yang diucapkan
kakak beradik bangsawan Mongol tadi benar. Perjuangan mempunyai lapangan yang luas
sekali. Bukan sekadar membenci orang Mongol, bukan sekadar memberontak dengan kasar,
atau lebih-lebih lagi bukan dengan cara merampok seperti yang dilakukan para perampok itu.
Dia seorang diri saja, menggunakan tenaga dan kepandaiannya, bagaiman mungkin mampu
berjuang, apa lagi kalau perjuangan itu bercita-cita mengusir penjajah dari tanah air?
Menghimpun tenagapun tidak merupakan hal yang mudah. Setelah bertemu kakak beradik
Mongol ini, timbul suatu gagasan yang dianggapnya baik dan merupakan satu cara untuk
berjuang yang lebih banyak harapannya untuk berhasil. Perjuangan yang dilakukan secara
halus, yaitu menyusup ke dalam sarang musuh! Dia dapat mencari kedudukan di
pemerintahan Mongol sehingga banyak hal yang menguntungkan para pejuang akan dapat
dilakukan. Kalau dia bisa mendapatkan kedudukan yang baik di pemerintahan Mongol, yang
sudah jelas dia dapat mengatur agar rakyat tidak terlalu ditindas oleh peraturan-peraturan
yang mencekik dan memeras rakyat. Selain itu, dia dapat mengetahui keadaan dan kekuatan
pemerintah Mongol, dan kelak kalu terjadi penyerbuan para pejuang, dia dapat membantu dari
dalam! Tentu saja keadaan itu jauh lebih baik dari pada ka lau dia berada di luar dan hanya
mampu melakukan gangguan-gangguan kecil.
Shu Ta memandang kepada mereka. Justeru pada saat itu, pemuda dan gadis bangsawan itu
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 159
sedang memandang kepadanya, sehingga pandang mata mereka saling bertemu. “Sungguh
aku merasa kagum kepada kalian berdua, Bouw Kongcu dan Bouw Siocia. Apa yang kalian
lakukan tadi, mengubur dua jenazah itu, membuat aku sadar bahwa kalian, biarpun
bangsawan-bangsawan muda Mongol, adalah orang-orang yang berbudi baik!”
“Saudara Shu Ta, sesungguhnya tidak ada yang dinamakan manusia baik atau buruk itu, yang
ada hanyalah manusia hamba nafsu dan manusia yang menjadi majikan diri dari nafsunya
sendiri. Kami kakak beradik selalu akan berusaha agar tidak menjadi hamba nafsu, sehingga
perasaan prikemanusiaan tidak akan luntur dari hati kami. Hanya nafsu yang membedabedakan
antara agama, agama, bangsawan atau tidak, martabat tinggi atau rendah.”
“Ucapan-ucapan Bouw Kongcu seolah keluar dari mulut seorang pendeta saja, dan membuat
aku merasa kagum. Sekarang agaknya sikap kalian mendatangkan perubahan dalam
pandanganku. Aku tidak lagi berani memandang rendah manusia Mongol atau bangsawan
apapun juga, karena pada hakekatnya manusianya sama. Maukan kalian membantuku
mencarikan pekerjaan yang sesuai untukku di Nan-king? Tentu kalian mempunyai hubungan
yang luas dan sekiranya dapat membantuku mencarikan pekerjaan, aku akan berterima kasih
sekali.”
Kakak beradik itu saling pandang dan Mimi bertanya sambil mengerutkan alisnya. “Apa yang
kudengar ini, saudara Shu Ta? Engkau yang tadinya membenci Mongol kini malah hendak
mengabdikan diri kepada pemerintah Mongol, pemerintah penjajah yang tadinya kaukutuk?”
Wajah Shu Ta menjadi kemerahan tetapi dia mengangkat muka, menatap wajah kakak beradik
itu dengan berani. “Harap kalian tidak salah paham dan mengira bahwa aku tiba-tiba saja
menjadi pengkhianat bangsaku. Baru saja aku membunuh dua orang perampok itu karena
mereka adalah pengkhianat yang tidak segan merusak dan mencemarkan nama baik para
pejuang. Tidak, Siocia, aku sama sekali bukan bermaksud mengkhianati para pejuang demi
mencari kedudukan dan harta. Justeru niat ini timbul setelah aku menyadari kebenaran ucapan
kalian tadi bahwa perjuangan bukan sekedar membenci pemerintah Mongol. Dengan
menduduki jabatan di pemerintah penjajah, sedikit banyak aku akan dapat membantu agar
rakyat tidak terlalu ditindas. Kalau dapat, aku ingin memperoleh kedudukan sebagai seorang
perwira sehingga aku dapat mengawasi para pasukan Mongol agar tidak sewenang-wenang
kepada rakyat jelata, dan akan kupergunakan kekuasaanku untuk menjaga ketenteraman dan
membasmi para pengacau yang mengganggu rakyat.”
Kakak beradik itu mengangguk-angguk. “Hemm, keputusanmu ini bijaksana sekali, Saudara
Shu Ta. Memang dengan jalan demikian, engkau dapat berbuat lebih banyak untuk rakyat dari
pada sekadar membenci penjajah tanpa berbuat sesuatu. Akan tetapi, memasukkan engkau
sebagai seorang pejabat pemerintah sama saja dengan memasukkan harimau ke dalam rumah
kerajaan Goan (Mongol). Kalau sampai harimau itu membahayakan seisi rumah, bukankah
berarti kami berdua yang bertanggungjawab?”
“Terserah penilaian Bouw-kongcu. Aku hanya minta bantuan, tentu saja kalau engkau
percaya kepadaku. Aku hanya ingin berbuat sesuatu untuk rakyat. Kalau hanya tenagaku
seorang diri saja, aku dapat berbuat apa terhadap kerajaan Goan? Akan tetapi kalau kalian
khawatir, akupun tidak akan memaksa.”
Kakak beradik itu saling pandang, kemudian Bouw Kongcu berkata, “Saudara Shu Ta, engkau
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 160
sudah minta bantuan kepada kami, hal itu saja menunjukkan bahwa engkau percaya kepada
kami dan engkau beritikad baik. Kalau sebaliknya kami tidak percaya kepadamu, hal itu
sungguh akan membuat kami merasa tidak enak sekali. Baiklah, kami akan mencoba
membantumu, mencarikan pekerjaan untukmu. Akan tetapi, karena engkau menghendaki
kedudukan sebagai perwira tentu saja kami harus melihat dulu kemampuanmu dalam ilmu
silat.”
“Maksudmu, Bouw Kongcu?”
“Tentu saja kami hendak mengujimu,” kata Bouw Kongcu tenang.
“Baiklah, mudah-mudahan aku tidak akan mengecewakan, karena aku melihat tadi bahwa
kalian adalah murid-murid Butong-pai yang amat lihai.”
“Bagus, nah, mari kita bertanding pedang sejenak agar aku dapat menilai apakah engkau
cukup baik untuk menduduki jabatan perwira di Nan-king.” Berkata demikian, Bouw Kongcu
sudah mencabut pedangnya. Shu Ta juga mencabut pedangnya. Dia tadi melihat betapa
lihainya bangsawan muda ini, maka dia tidak berani memandang rendah dan setelah mencabut
pedangnya, diapun sudah memasang kuda-kuda dengan teguh. Melihat gerakan Shu Ta
membuka pasangan kuda-kuda, Bouw Kongcu berseru kagum.
“Ah, kiranya engkau murid Siauw-lim-pai!”
Diam-diam Shu Ta semakin kagum. Begitu melihat pasangan kuda-kudanya, pemuda Mongol
itu mengenal ilmu silatnya. Inipun membuktikan bahwa Bouw Kongcu telah memiliki
pengetahuan yang cukup luas tentang ilmu silat.
“Aku sudah siap, mulailah, kongcu!” tantangnya.
Bouw Ku Cin mengeluarkan teriakan nyaring dan diapun sudah menggerakkan pedangnya
menusuk dada. Shu Ta mengelak ke samping sambil menangkis, lalu balas menyerang. Bouw
Kongcu juga dapat menangkis dengan baik dan keduanya segera saling menyerang dengan
cepat dan kuat. Ternyata setelah beberapa kali mengadu pedang, keduanya maklum bahwa
dalam hal tenaga, mereka sama kuat. Akan tetapi Shu Ta memiliki dasar yang lebih kuat dan
matang. Hal ini tidaklah mengherankan. Shu Ta sejak kecil menjadi murid para pendeta
Siauw-lim-pai dalam kuil, biasa hidup kekurangan dan diharuskan memiliki disiplin dan
ketekunan yang luar biasa. Sejak kecil dia tidak pernah berani melalaikan latihat silatnya,
maka gerakannya lebih matang. Berbeda dengan Bouw Kongcu, putera seorang menteri besar,
seorang bangsawan yang kaya raya dan sejak kecil biasa dimanja. Tentu saja seringkali dia
malas berlatih dan guru-gurunya sendiri, para jagoan istana tidak ada yang berani bersikap
keras kepadanya. Maka tentu saja latihannya tidak setekun Shu Ta. Setelah lewat dua puluh
lima jurus, mulai nampaklah bahwa Shu Ta lebih tangguh. Mulailah Bouw Kongcu terdesak
oleh pedang Shu Ta yang makin lama makin kuat.
Melihat kakaknya terdesak, Mimi merasa kagum sekali dan timbul kegembiraannya. Jarang
ada pemuda yang mampu menandingi kakaknya dan ia sendiri memiliki kepandaian yang
setingkat kakaknya. Iapun mencabut pedangnya dan berseru gembira.
“Saudara Shu Ta, akupun ingin menguji kepandaianmu, menemani kakakku. Apakah engkau
tidak keberatan?”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 161
Mendengar ucapan dengan suara ramah itu, bukan suara orang marah, Shu Ta menjawab,
“Silahkan, nona!”
Mimi menerjang maju dan kini kakak beradik itu mengeroyok Shu Ta. Setelah dikeroyok dua,
terpaksa Shu Ta mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena dia mulai merasa
betapa beratnya menandingi kakak beradik itu jika mereka maju berdua. Sekarang, barulah
pertandingan berjalan seimbang, namun kalau itu merupakan perkelahian sungguh-sungguh,
agaknya Shu Ta tidak akan mampu menang menghadapi pengeroyokan kedua orang
bangsawan itu.
Setelah lima puluh jurus lebih, Bouw Kongcu berseru, “Sudah cukup!” dan diapun melompat
ke belakang, diikuti adiknya. Kini kakak beradik itu dengan pedang di tangan, tersenyum
memandang kepada Shu Ta penuh kagum, sebaliknya Shu Ta juga merasa kagum kepada
mereka dan cepat dia memberi hormat.
“Aku merasa kagum sekali dan mengaku kalah terhadap kalian!”
“Aihh, saudara Shu Ta sungguh merendahkan diri. Kami berdua maju mengeroyokpun tidak
mampu mendesakmu!” kata Bouw Kongcu. “Dengan kepandaian seperti yang kaumiliki itu,
kami akan berani mintakan pekerjaan untukmu kepada komandan pasukan yang berada di
Nan-king.”
Mereka lalu berangkat memasuki kota Nan-king yang tidak jauh lagi, dan karena kakak
beradik itu hanya memiliki dua ekor kida, maka Shu Ta mempersilahkan mereka untuk pergi
lebih dahulu memasuki kota Nan-king. “Harap kongcu suka lebih dahulu memintakan
pekerjaan itu kepada komandan pasukan keamanan di Nan-king, aku akan menyusul
belakangan dan kita bertemu nanti di sana.”
Kakak beradik itu mengangguk, kemudian mereka menunggang kuda mereka mendahului
berangkat ke kota itu. Shu Ta juga segera menuju ke Nan-king, hatinya penuh kegembiraan
dan harapan. Dia harus dapat melakukan sesuatu untuk perjuangan mengusir penjajah Mongol
dari tanah air, pikirnya. Dan dia akan dapat melakukan hal yang lebih berarti kalau dia
menyusup ke dalam, apa lagi kalau dia dapat memperoleh kedudukan dan kekuasaan.
Setelah Shu Ta memasuki kota Nan-king, seregu pasukan yang agaknya sudah menunggu di
pintu gerbagn, menghadangnya dan pemimpin regu itu bertanya dengan hormat apakah dia
yang bernama Shu Ta. Tadinya, Shu Ta terkejut san meragu, takut kalau-kalau pasukan
Mongol itu hendak menangkapnya. Akan tetapi melihat sikap mereka yang hormat dan
lembut, diapun bertanya kembali.
“Apakah maksud kalian menanyakan namaku?”
Komandan regu itu tersenyum. “Kami diperintah oleh Bouw Kongcu untuk menjemput si-cu
(orang gagah) di sini dan mengantar si-cu ke benteng di mana Bouw Kongcu dan Bouw
Siocia telah menanti bersama komandan kami.”
Shu Ta merasa girang dan diapun segera mengikuti regu itu menuju ke markas besar atau
perbentengan pasukan keamanan yang bertugas di Nan-king. Dan di kantor tempat markas itu,
Bouw Kongcu dan Bouw Siocia telah menantinya, dan di situ terdapat pula dua orang
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 162
panglima. Yang menjadi panglima di benteng itu bernama Yatucin, akan tetapi dia
mempergunakan nama pribumi menjadi Yauw Tu Cin atau lebih terkenal disebut Yauw-
Ciangkun (Panglima Yauw). Dia seorang Mongol asli, mukanya persegi penuh kejantanan,
dengan brewok tebal dan matanya bersinar-sinar, hidungnyaa dan mulutnya besar dan
bibirnya tebal. Tubuhnya tinggi agak kurus, namun penuh dengan otot melingkar-lingkar,
nampak kokoh kuat.
“Inilah saudara Shu Ta yang kami ceritakan tadi, Ciangkun,” kata Bouw Kongcu, lalu dia
memperkenalkan dua orang panglima itu kepada Shu Ta. “Saudara Shu Ta, Yauw-Ciangkun
ini adalah panglima yang menjadi komandan benteng di Nan-king ini, dan yang ini adalah
saudara misan kami, juga seorang panglima yang menjadi komandan di kota Wu-han dan
sekarang sedang datang berkunjung ke sini, dia adalah Panglima Khabuli.”
Shu Ta memberi hormat kepada dua orang panglima itu. Orang yang diperkenalkan sebagai
Yauw-Ciangkun yang menjadi komandan pasukan di Nan-king itu memang pantas menjadi
seorang panglima, berwibawa dan pembawaannya memang sebagai seorang militer yang
kokoh dan gagah perkasa, berusia kurang lebih lima puluh tahun. Diam-diam Shu Ta kagum
kepada panglima ini. Seorang seperti ini, berbangsa apapun juga, tentu memiliki watak yang
keras, kasar dan jujur, tegas dan pemberani. Ketika dia memberi hormat dan memandang
kepada panglima kedua yang diperkenalkan sebagai saudara misan dari kakak beradik itu, Shu
Ta segera merasa kurang suka kepada panglima ini. Panglima Khabuli berusia empat puluhan
tahun, bertubuh tinggi besar seperti raksasa dengan kulit hitam tebal. Dia memang nampak
gagah dan menyeramkan, akan tetapi pembawaannya menunjukkan bahwa dia seorang tinggi
hati, angkuh dan membanggakan kedudukan dan kekuasaannya. Juga matanya yang sipit itu
ketika memandang kepada Bouw Siocia, bersinar dan mulutnya tersenyum menyeringai
ceriwis, membayangkan bahwa dia seorang laki-laki yang mata keranjang, juga sambaran
kerling matanya membayangkan kelicikan.
Kalau Yauw-Ciangkun mengamati Shu Ta dengan penuh selidik, diam-diam merasa heran
bahwa orang yang dipuji setinggi langit oleh kakak beradik itu, ternyata hanya seorang
pemuda sederhana saja, dengan pakaian sederhana mendekati kasar, tubuhnya juga sedang
saja, wajahnya tampan dan mulai tumbuh brewok di dagu dan pipinya, sebaliknya, Panglima
Khabuli tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha, adik-adikku yang baik, bagaimana seorang pemuda dusun macam ini kalian
usulkan agar menjadi seorang perwira? Ha-ha, jangan-jangan kalau dia melihat pertempuran,
mukanya berubah pucat dan dia akan lari tunggang-langgang!” Khabuli tertawa-tawa dan
pandang matanya mengejek dan merendahkan sekali. Dia bersikap berani karena Bouw
Kongcu dan Bouw Siocia adalah adik-adik misannya. Dia sendiri adalah keponakan Menteri
Bayan, maka hubungan keluarga ini membuat dia berani bersikap kasar terhadap kakak
beradik itu, berbeda dengan Yauw-Ciangkun yang bersikap hormat, bukan saja mengingat
bahwa mereka ini putera puteri menteri yang paling berkuasa sesudah kaisar, juga karena dia
tahu bahwa kakak beradik ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, tidak banyak selisihnya
dengan tingkat kepandaiannya sendiri.
“Panglima Khabuli, harap jangan menertawakan!” tegur Yauw-Ciangkun. “Bukankah Bouw
Kongcu dan Bouw Siocia sendiri yang telah menguji kepandaian saudara Shu Ta ini?”
“Ha-ha-ha-ha!” kembali Khabuli tertawa bergelak. Sebetulnya, dalam hal kedudukan atau
pangkat, dia masih kalah tinggi dibandingkan Yauw-Ciangkun. Akan tetapi karena
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 163
mengandalkan pengaruh pamannya, yaitu Menteri Bayan, sudah terbiasa baginya untuk
mengangkat diri sendiri dan bersikap angkuh. Dan para panglima yang biarpun memiliki
kedudukan lebih tinggi darinya seperti Yauw-Ciangkun, terpaksa mengalah, mengingat akan
Menteri Bayan. “Yauw-Ciangkun, apakah engkau mempercayai ujian yang diberikan kedua
orang adikku itu? Ha ha, mereka masih amat muda, bagaimana mungkin akan mampu menilai
tingkat kepandaian seseorang?”
Melihat sikap kakak misan itu, apa lagi sejak tadi pandang mata Khabuli seperti
menggerayangi seluruh tubuhnya, Bouw Siocia sudah menjadi marah sekali.
“Kakak Khabuli, engkau terlalu memandang rendah orang!” bentaknya. “Sekarang begini
saja, Yauw-Ciangkun. Biar kakak Khabuli yang sombong itu menguji sendiri kepandaian Shu
Ta! Kalau dia kalah, dia harus minta maaf kepada saudara Shu Ta! Tentu saja kalau dia
berani, atau mungkin dia hanya pandai menghamburkan suara yang tidak ada gunanya saja!”
Wajah yang kulitnya hitam dari muka Khabuli, menjadi semakin hitam, dan sepasang
matanya mengeluarkan sinar berkilat. “Bagus! Dan bagaimana kalau pemuda dusun ini kalah
olehku, Mimi yang manis? Mau engkau berjanji bahwa kalau dia kalah olehku, engkau harus
menjamu makan minum padaku sampai mabok?” Ucapan ini mengandung kekurang ajaran,
karena menjamu makan minum sampai mabok merupakan hal yang sma sekali tidak mungkin,
mengingat bahwa Mimi adalah seorang gadis. Walaupun masih adik misannya sendiri. Akan
tetapi ia sudah tahu akan tingkat kepandaian Khabuli yang tidak berselisih banyak dengan
tingkatnya sendiri, maka tentu saja ia merasa yakin bahwa Shu Ta pasti akan mampu
mengalahkannya.
“Baik! Kita bertaruh. Kalau kau menang, akan kujamu makan minum, sebaliknya kalau kau
kalah, jangan melanggar janji, engkau harus minta maaf kepada saudara Shu Ta karena kau
telah memandang rendah kepadanya!” kata Mimi.
Bouw Kongcu sebaliknya merasa tidak enak. Diapun tahu bahwa kakak misannya yang
sombong itu pasti tidak akan menang melawan Shu Ta, maka diapun mendekat dan berkata,
“Kakak Khabuli, harap jangan lanjutkan adu kepandaian ini, karena aku yakin bahwa engkau
tidak akan menang. Sudahlah, kita serahkan saja kebijaksanaan untuk menerima dan memberi
pekerjaan kepada saudara Shu Ta ini kepada Yauw-Ciangkun saja.”
Akan tetapi, ucapan Bouw Kongcu yang sebetulnya menyayangkan kalau sampai kakak
misannya itu nanti kalah dan mendapat malu, bahkan membuat Khabuli semakin penasaran
dan marah, menganggap bahwa adik misannya itu terlalu memandang rendah kepadanya.
“Adik Bouw Ku Cin, tanpa diuji, bagaimana kita dapat membuktikan kemampuan orang ini?
Aku juga seorang panglima, sudah menjadi kewajibanku untuk ikut menguji agar pasukan kita
tidak kemasukan orang yang tidak becus, agar Yauw-Ciangkun tidak menerima seseorang
hanya karena orang itu kauusulkan untuk diterima. Nah, Shu Ta, majulah dan ingin kulihat
kemampuanmu!”
Tentu saja Shu Ta merasa tidak enak sekali. Orang ini masih kakak misan dari kakak beradik
Bouw, dan seorang panglima. Karena dia akan bekerja di bawah perintah Yauw-Ciangkun,
maka tidak akan baik kalau dia melayani Khabuli ini tanpa persetujuan dari Yauw-Ciangkun,
calon atasannya. Maka, diapun menghadapi Yauw-Ciangkun dan berkata dengan sikap
tenang.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 164
“Saya mohon petunjuk Ciangkun, apa yang harus saya lakukan.”
Yauw-Ciangkun mengangguk-angguk. Dia sendiripun kurang senang kepada Khabuli yang
biasa mempunyai watak angkuh itu. Sekarang, kakak beradik Bouw sendiri yang
mengusulkan agar Khabuli menguji kepandaian Shu Ta ini. Dia percaya bahwa kakak beradik
itu tidak akan sembarangan menyuruh orang yang mereka calonkan itu menandingi Khabuli
kalau mereka tidak yakin akan kemampuan Shu Ta. Maka, diapun mengangguk.
“Sebagai seorang calon perwira, engkau harus dapat membuktikan bahwa engkau memiliki
ilmu kepandaian yang cukup tangguh, oleh karena itu, setelah kini Khabuli-Ciangkun hendak
mengujimu, tandingilah dia, saudara Shu Ta.”
Ruangan itu memang cukup luas dan dengan sikap tenang, setelah mendapatkan persetujuan
Yauw-Ciangkun, Shu Ta lalu melangkah maju menghampiri Khabuli yang sudah berdiri di
tengah ruangan dengan sikap bengis. Pria itu memang menyeramkan, tinggi besar hitam dan
nampak kokoh kuat seperti sebongkah batu karang, namun, Shu Ta melihat titik kelemahan,
yaitu pada pandang matanya. Pandang mata Khabuli jelas memperlihatkan ketinggian hati.
Orang seperti ini akan memandang rendah lawan dan itulah kelemahannya, karena sikap
memandang rendah lawan menimbulkan kelengahan.
Kakak beradik Bouw tentu saja sudah yakin akan kemampuan Shu Ta, akan tetapi Yauw-
Ciangkun memandang dengan khawatir. Ketika dua orang yang akan bertanding itu berdiri
saling berhadapan, memang nampak jelas sekali perbedaannya, yaitu dalam penampilannya,
Shu Ta kalah segala-galanya. Kalah tinggi besar, kalah kokoh dan agaknya sekali gebrakan
saja pemuda sederhana itu akan roboh!
“Ciangkun, aku sudah siap,” kata Shu Ta. Sebelum kalimat ini habis diucapkan, Khabuli
sudah mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya yang tinggi besar itu sudah menerjang ke
depan. Karena diapun dapat menduga bahwa orang sederhana ini tentu memiliki sedikit
kepandaian maka diusulkan menjadi perwira oleh kakak beradik Bouw, biarpun dia
memandang rendah, namun begitu menyerang dia sudah mengerahkan tenaganya sehingga
terjangannya itu cepat dan kuat bukan main. Khabuli adalah seorang jagoan yang selain
mempelajari ilmu silat, juga dia ahli ilmu gulat yang menjadi kebanggaan bangsa Mongol.
Karena itu, terjangannya itu selain mengandung pukulan kedua tangan yang dahsyat, juga
jari-jari tangannya siap untuk menangkap anggota tubuh lawan. Sekali bagian tubuh lawan
dapat dicengkeram jari-jari tangan yang hitam panjang itu, akan celakalah lawan!
Namun, Shu Ta yang sudah waspada dan tidak pernah memandang rendah lawan,
menghadapi terjangan itu dengan gerakan lincah mengelak ke kanan sehingga tubuh tinggi
besar itu bagaikan seekor gajah menyuruk ke depan. Shu Ta menggerakkan kakinya
menendang ke arah tepi lutut kiri lawan, namun dalam keadaan tersaruk ke depan itu, Khabuli
masih dapat mengangkat kaki mengelak dari tendangan. Dia membalik dan menyerang lagi
dengan lebih ganas dari pada tadi. Serangannya bertubi-tubi, dan dia sama sekali tidak
memberi kesempatan kepada Shu Ta untuk membalas. Dia menampar dari samping,
menonjok dari depan, mencengkeram dari atas, dan kedua kakinya yang panjang dan besar
itupun tidak tinggal diam, melengkapi hujan serangannya dengan tendangan-tendangan!
Agaknya, Khabuli bernapsu besar untuk merobohkan lawan, maka dia sudah mengerahkan
seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghujankan serangan. Kakak beradik Bouw yang
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 165
melihat kegarangan Khabuli ini, mau tidak mau merasa khawatir pula, apa lagi Yauw-
Ciangkun yang maklum betapa besar bahayanya melawan seorang yang kokoh kuat seperti
Khabuli. Namun, Shu Ta masih bersikap tenang saja walaupun dia dihujani serangan. Dengan
elakan-elakan cepar, mempergunakan keringanan tubuhnya, juga kadang dia menangkis dari
samping, dia dapat menghalau semua terjangan yang ganas itum dan sengaja dia
mengeluarkan suara seperti orang menertawakan lawan. Hal ini membuat Khabuli menjadi
semakin marah dan penasaran. Dia menyerang terus, terpancing kemarahannya dan tanpa
memperhitungkan apa-apa lagi, diapun mengerahkan seluruh tenaga dan menyerang bertubitubi.
Pengerahan tenaga yang terus menerus ini, membuat dia sebentar saja, setelah lewat dua
puluh lima jurus, menjadi terengah-engah dan tubuhnya sudah mandi keringat. Namun,
panglima raksasa ini memang seorang yang terlalu tinggi hati. Dia tidak dapat melihat betapa
lawannya amat lincah dan memiliki gerakan yang amat cepat, melainkan dia menganggap
bahwa lawan yang sama sekali belum membalasnya itu terdesak dan gentar terhadap
serangan-serangannya yang bertubi-tubi.
Setelah melihat lawan terengah-engah dan sambaran pukulan dan cengkeraman tangannya
tidaklah seganas tadi, tanda bahwa tenaga lawan mulai berkurang, barulah Shu Ta mengirim
serangan balasan. Ketika melihat lengan kanan lawan yang besar panjang itu menyambar
lewat, secepat kilat dia menggunakan jari-jari tangan terbuka menghantam dari samping ke
arah belakang siku lawan.
“Dukk...!!” Tangannya tepat sekali mengenai otot yang berada di dekat siku dan seketika
lengan kanan Khabuli tergetar hebat dan seperti lumpuh. Pada saat itu, kaki Shu Ta juga
menyambar dan mengenai belakang lutut kiri lawan.
“Dukkk...!!” Kembali Khabuli merasa betapa kakinya tergetar dan lumpuh, dan tak dapat pula
dia menahan dirinya untuk jatuh berlutut dengan sebelah kakinya! Kalau Shu Ta
menghendaki, tentu dia dapat mengirim serangan susulan pada saat lawan berlutut itu. Akan
tetapi dia tidak melakukan hal itu, hanya menanti dengan berdiri tegak.
Terdengar tepuk tangan. Yang bertepuk tangan adalah Mimi karena gadis ini merasa girang
sekali melihat jagoannya menang. “Kakak Khabuli, engkau sudah kalah!”teriaknya.
Akan tetapi Khabuli yang merasa penasaran dan marah, tidak percaya bahwa dia dapat dibuat
jatuh berlutut oleh lawan, menggunakan kesempatan itu untuk melompat dan sekali terkam,
kedua lengannya yang panjang itu telah berhasil menerkam tubuh Shu Ta. Mimi
mengeluarkan seruan kaget, juga Bouw Kongcu terbelalak, maklum betapa bahayanya kalau
orang sudah dapat diterkam oleh Khabuli seperti itu. Jari-jari tangan yang terlatih dengan ilmu
gulat itu tentu akan dapat mematahkan tulang, mencekik dan mengunci, membuat lawan tidak
mampu melepaskan diri lagi. Khabuli mengeluarkan gerengan seperti seekor beruang yang
berhasil menangkap mangsanya. Agaknya, rasa malu karena tadi dijatuhkan, membuat
panglima raksasa ini lupa bahwa dia sedang menguji kepandaian seorang calon, bukan sedang
berkelahi melawan musuh! Dia sudah mengerahkan tenaga dan siap mematahkan lengan atau
tulang punggung lawan.
Akan tetapi, sesungguhnya, Shu Ta bukan dapat diterkam karena lengah. Dia memang sengaja
membiarkan dirinya diterkam untuk cepat menyudahi pertandingan itu. Maka, begitu kedua
pundaknya dapat diterkamm sebelum lawan mampu mengerahkan tenaganya, secepat kilat
kedua tangannya sudah melakukan totokan-totokan.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 166
“Tuk! Tuk!” Dua kali jari tangannya menotok dan seketika tubuh Khabuli menjadi lemas.
Walaupun kedua lengan Khabuli masih merangkul dan menerkamnya, namun sesungguhnya,
raksasa itu sudah kehilangan tenaga karena berada dalam keadaan tertotok! Shu Ta tidak ingin
membikin malu lawan, maka diapun mengerahkan tenaga dan memanggul tubuh yang masih
menerkamnya itu, membawanya ke meja dan mendudukkan tubuh Khabuli ke atas kursinya,
kemudian, secepat kilat dia menggerakkan tangan memulihkan totokan lalu mundur,
mendekati kursinya sendiri!
Bouw Kongcu dan Bouw Siocia bertepuk tangan dengan gembira. “Kakak Khabuli, engkau
sudah kalah, hayo cepat minta maaf kepada saudara Shu Ta!” kata Bouw Kongcu.
Sekali ini, Khabuli tidak dapat lagi menyangkal kekalahannya. Dia maklum bahwa pemuda
sederhana itu benar-benar amat lihai. Juga dia tahu bahwa Shu Ta sengaja tidak ingin
merobohkannya dan membikin malu, maka diapun tidak dapat berkata apa-apa lagi.
Wajahnya yang hitam menjadi semakin hitam.
“Kakak Khabuli, hayo kau mengaku kalah!” kata pula Mimi dengan gembira.
“Bouw Kongcu dan Bouw Siocia, sudahlah, sesungguhnya, Khabuli-Ciangkun telah bersikap
mengalah. Dia memang hebat, memiliki tenaga yang kuat dan ilmu silat serta ilmu gulatnya
lihat sekali,” kata Shu Ta yang tidak ingin menanam permusuhan dalam penyusupannya di
pasukan Mongol.
“Saudara Shu Ta, melihat ilmu kepandaianmu, kami merasa gembira menerimamu sebagai
seorang perwira dalam pasukan kami. Engkau kami beri tugas untuk mengajarkan ilmu silat
kepada para perwira rendahan agar tingkat mereka bertambah.”
Khabuli yang merasa malu dan juga tidak enak untuk terus berada di siu, bangkit berdiri.
“Ilmu totok dari saudara Shu Ta memang sungguh lihai sekali sehingga aku dapat dibuat tidak
berdaya. Yauw-Ciangkun, aku masih mempunyai kepentingan lain di kota. Aku pergi dulu!
Tanpa menanti jawaban, Khabuli sudah melangkah keluar dari ruangan itu dengan tergesagesa.
Demikianlah, mulai hari itu, Shu Ta diterima sebagai seorang perwira baru, dan dia mendapat
tugas untuk melatih ilmu silat kepada para perwira lain. Dia bekerja dengan baik, dan atas
desakan kedua putera puteri Menteri Bayan itu, sebentar saja dia sudah mendapatkan
kepercayaan dan kenaikan pangkat sehingga dia dipercaya untuk memimpin seregu pasukan.
Shu Ta memang cerdik sekali. Setiap kali menerima tugas, selalu dia laksanakan dengan baik.
Kalau pasukannya menerima tugas untuk menjaga keamanan, dia bersungguh-sungguh
menumpas gerombolan penjahat sehingga setelah dia menjadi perwira keamanan, daerah Nanking
menjadi aman. Dan kalau dia menerima tugas untuk membasmi kelompok pemberontak,
dia selalu berhasil memberi kabar kepada kelompok itu, sehingga pada saat dia dan
pasukannya tiba, maka para pemberontak itu sudah kabur sehingga tidak terjadi pembasmian
atau penangkapan.
Seperti yang telah dia perhitungkan dan harapkan ketika timbul pikirannya untuk menyusup
menjadi seorang perwira kerajaan Mongol, Shu Ta dapat mulai mengumpulkan keterangan
tentang keadaan kerajaan Mongol, tentang kekuatannya, dan tentang kemundurankemunduran
yang sedang terjadi karena kaisarnya, yaitu Kaisar Togan Timur (1333-1368),
bukan merupakan seorang kaisar yang bijaksana dan pandai seperti nenek moyangnya.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 167
Seluruh kekuasaan dikendalikan oleh para menteri, terutama Menteri Bayan, dan para thaikam
(orang kebiri), yaitu mereka yang mempengaruhi kaisar dari sebelah dalam istana.
Korupsi merajalela, pemerintahan lemah sekali dan pengendalian atau pengontrolan terhadap
para pejabat di daerah hampir tidak ada lagi. Para pejabat di daerah dapat bertindak sesuka
hati sendiri, dan kalaupun ada pemeriksa datang dari kota raja, pemeriksa itu tentu
melaporkan yang baik-baik saja ke pusat karena dia sudah menerima suapan dari para pejabat
daerah. Dalam keadaan pemerintah lemah seperti itu, di daerah selalu timbul pergolakan,
gerombolan-gerombolan pemberontak bermunculan, gerombolan-gerombolan penjahat juga
saling memperebutkan kekuasaan. Makin nampaklah oleh Shu Ta bahwa saatnya hampir
masak untuk mengadakan pemberontakan besar-besaran yang pasti akan mampu
menggulingkan pemerintah yang sedang dalam keadaan lemah itu. Apa lagi pemerintahan
penjajah yang memiliki pamong praja yang korup itu amat dibenci rakyat, karena para pejabat
itu melakukan penekanan, penindasan dan penghisapan. Pemerintah yang para pejabatnya
korup, mementingkan kesenangan sendiri, di mana terjadi perebutan kekuasaan, pemerintah
yang tidak disuka oleh rakyat jelata, condong untuk mudah berantakan dan roboh. Hanya
pemerintah yang dipimpin oleh mereka yang benar-benar mencinta negara dan bangsa,
mereka yang adil dan jujur, tidak korup, yang memiliki pasukan yang kokoh kuat dan taat
serta setia, yang didukung oleh rakyat jelata, pemerintah seperti itu yang akan berhasil
memajukan kehidupan rakyat dan memperkuat negara ddan pemerintahannya.
Hubungan Shu Ta yang kini disebut Shu-Ciangkun (Panglima Shu) dan kakak beradik Bouw
semakin baik dan biarpun mereka tinggal saling berpisah jauh, karena kakak beradik itu
tinggal di Peking, namun mereka sering saling memberi kabar dan setiap kali ada kesempatan,
mereka saling bertemu, terutama kalau kakak beradik itu pergi ke Nan-king.
Kita tinggalkan dulu Shu Ta yang kini telah menjadi seorang panglima muda yang dipercaya
di Nan-king, yang mendiami sebuah gedung dan memiliki belasan orang pengawal dan
pelayan walaupun dia masih hidup membujang. Shu Ta sama sekali tidak tahu bahwa
beberapa bulan kemudian setelah dia menjadi panglima di Nan-king, terjadi kegemparan
dengan adanya berita tentang seorang pemberontak yang telah melakukan pembunuhan
terhadap seorang perwira yang bertugas di Wu-han, bahkan gambarnya dipasang di manamana
agar orang-orang mengetahui dan membantu pemerintah menangkap pembunuh itu.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal gambar itu sebagai suhengnya, Cu
Goan Ciang! Akan tetapi tentu saja dia pura-pura tidak tahu, hanya memesan kepada semua
anak buahnya bahwa kalau mereka sampai dapat bertemu dengan “pembunuh” itu, agar
jangan dibunuh akan tetapi ditangkap dan dibawa menghadap kepadanya. Orang itu amat
penting, harus ditangkap dan dibawa membuka rahasia para pemberontak, demikian katanya,
maka tidak boleh dibunuh dan dihadapkan kepadanya hidup-hidup. Tentu saja perintah ini
dikeluarkan untuk melindungi Goan Ciang agar jangan sampai terbunuh.
Pada suatu pagi, seorang pemuda dusun yang nampak bodoh dan lugu, memasuki pintu
gerbang kota Nan-king bersama seorang pemuda lain yang agak jangkung, juga seorang
dusun yang kelihatan bodoh dan bermata sipit, jenggot dan kumisnya kacau tak terpelihara.
Tidak ada seorangpun yang akan mengenal mereka, karena wajah dan keadaan mereka sudah
berubah sama sekali dari keadaan asli mereka. Mereka adalah Cu Goan Ciang dan Tang Hui
Yen yang melakukan penyamaran sebagai dua orang dusun yang bodoh dan sederhana seklai.
Siapa akan mengira bahwa pemuda jangkung yang mukanya buruk dan licik, juga nampak
amat bodoh itu, adalah Cu Goan Ciang yang baru saja menggegerkan Wu-han karena dia telah
membunuh seorang perwira tinggi dan beberapa orang prajurit? Wajah aslinya tampan dan
gagah, akan tetapi sekarang dia kelihatan seperti seorang pemuda dusun yang bodoh. Adapun
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 168
pemuda ke dua yang nampak muda dan juga bodoh itu, lebih mengagumkan lagi kalau orang
melihat wajah aslinya. Ia adalah seorang gadis yang cantik jelita, lincah jenakan, bahkan ia
adalah wakil ketua umum dari Hwa I Kaipang yang terkenal! Adapun Cu Goan Ciang
diangkat menjadi pembantunya.
Dua orang pimpinan Hwa I Kaipang ini sengaja menyamar dan memasuki Nan-king untuk
menyelidiki tentang Hek I Kaipang yang kini agaknya diperalat oleh pemerintah Mongol,
menjadi antek Mongol. Mereka ingin menyelidiki sampai berapa jauh hubungan atau
persekongkolan antara Hek I Kaipang dengan para pembesar Mongol sehingga perkumpulan
pengemis itu tega untuk mengkhiananti golongan sendiri, membantu para prajurit untuk
menyerang Hwa I Kaipang.
Tidak sukar bagi kedua orang itu untuk membaur dengan banyak orang yang keadaannya
mirip mereka. Di kota Nan-king memang setiap hari berdatangan penduduk dusun untuk
menjual hasil sawah ladang mereka. Ratusan orang banyaknya, datang dari berbagai dusun di
sekitar Nan-king. Para penghuni dusun ini seperti keadaan mereka berabad-abad yang lalu,
masih sama saja. Rajin bekerja, sederhana, kurang akal sehingga hasil merekapun amat
sederhana, namun agaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka yang sederhana pula.
Setiap hari atau beberapa hari sekali, setelah memetik hasil ladang mereka, para petani ini
berangkat dari dusun pada pagi hari sekali, bahkan yang jaraknya agak jauh berangkat malammalam,
membawa obor di tangan, memikul barang dagangan berupa sayur mayur, buahbuahan
dan sebagainya, untuk dibawa ke kota Nan-king dan tidak kesiangan tiba di pasar, di
mana banyak orang berbelanja. Setelah dagangan mereka habis, biasanya mendapatkan uang
tidak berapa banyak untuk ukuran orang kota, mereka menghabiskan pula uang itu untuk
berbelanja bermacam keperluan, baju baru, sepatu atau makanan yang tidak terdapat di dusun
untuk anak mereka. Mereka tidak tahu betapa hasil ladang mereka yang didapat dengan
cucuran keringat ketika menanam, merawat, kemudian memtik dan memikulnya ke pasar,
diharbai semurah-murahnya oleh orang kota, tidak tahu pula bahwa barang-barang yang
mereka beli dari orang kota, dihargai amat mahal. Orang bodoh selalu menjadi makanan
orang pintar, pada hal, sepantasnya orang pintar menjadi guru orang bodoh, orang kaya
menjadi penderma orang miskin, orang kuat menjadi pelindung orang lemah dan selanjutnya.
Sayang keadaan di dunia tidaklah demikian adanya. Yang kuat menindas yang lemah, yang
pintar menipu yang bodoh, yang kaya merendahkan yang miskin.
Cu Goan Ciang yang menggunakan nama baru Hung Wu bersama Tang Hui Yen yang
memakai nama Siauw Yen, memasuki pasar di mana terdapat banyak orang dusun. Mereka
tadi telah membeli lima buah kue bakpouw untuk sarapan pagi. Mereka, seperti orang-orang
dusun itu, tidak malu untuk makan bakpouw di tepi jalan, mendorong makanan itu ke dalam
perut dengan air teh yang mereka bawa sebagai bekal, seperti kebiasaan orang-orang dusun
pula. Hung Wu menghabiskan tiga buah bakpouw, masih menerima sepotong pula dari Siauw
Yen karena gadis yang kini menjadi pemuda remaja itu hanya mampu menghabiskan satu
setengah saja.
Mereka kini sengaja menghampiri sekelompok pengemis yang berkeliaran di dalam pasar,
minta sedekah. Mereka melihat bermacam pengemis, dari yang tua sampai yang muda dan
kanak-kanak, akan tetapi mereka itu adalah pengemis biasa, yaitu mereka yang hidupnya
terlantar dan tidak termasuk pengemis yang berorganisasi. Tidak nampak seorangpun
pengemis yang berpakaian hitam-hitam, yaitu anggota Hek I Kaipang (Perkumpulan
Pengemis Baju Hitam). Diam-diam mereka berdua merasa heran. Mereka tahu bahwa Hek I
Kaipang berpusat di Nan-king, dan merupakan perkumpulan pengemis yang berkuasa di NanRajawali
Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 169
king. Akan tetapi kenapa di kota Nan-king sendiri tidak nampak seorangpun pengemis
anggota Hek I Kaipang?
Tiba-tiba Siauw Yen menyentuh tangan Hung Wu dan berbisik, “Hung-twako, kita ikuti dua
orang anak itu.”
Hung Wu memandang dan melihat dua orang anak jembel yang tadinya dia lihat menghitunghitung
uang receh berkeping-keping kini berjalan keluar melalui pintu belakang pasar. Dia
tidak tahu mengapa Siauw Yen mengajak dia mengikuti dua orang anak itu, akan tetapi dia
tidak membantah dan dengan langkah santai agar tidak kentara mereka mengikuti dua orang
anak-anak yang keluar dari dalam pasar melalui pintu belakang. Dua orang anak laki-laki
berusia antara dua belas sampai lima belas tahun itu keluar dari pintu menuju ke sebuah
jembatan. Di tebing dekat jembatan, bagian bawahnya, nampak seorang laki-laki setengah tua
sedang duduk dan kini Hung Wu dan Siauw Yen memandang penuh perhatian karena lakilaki
itu adalah seorang anggota Hek I Kaipang! Dua orang anak laki-laki itu menghampiri
pengemis baju hitam yang menyambut mereka dengan mata melotot dan sikap bengis.
“Paman, kalau boleh, hari ini setoranku kukurangi tiga keping, besok akan kutambahkan tiga
keping. Adikku sakit dan aku ingin membelikan buah yang segar untuknya,” kata anak yang
lebih kecil dengan suara memohon. Sedangkan anak yang lain sudah menyerahkan uang yang
dihitung oleh pengemis itu, jumlahnya sepuluh keping.
“Apa?” Si pengemis melotot dan membentak. “Kalau ingin mendapatkan penghasilan lebih,
bekerjalah lebih giat! Tidak boleh potong, kalau setoranmu kurang, jari tanganmu yang akan
kupotong!”
Anak itu menjadi ketakutan dan biarpun dia cemberut, dia menyerahkan semua uangnya yang
jumlahnya juga hanya sepuluh keping. Setelah pengemis itu menerima uang mereka, kedua
orang anak jembel itu pergi. Kemudian berdatangan para pengemis yang tadi dilihat oleh
Hung Wu dan Siauw Yen di pasar, dan mereka semua menyetorkan uang kepada anggota Hek
I Kaipang itu.
Hung Wu dan Siauw Yen saling pandang. Tanpa bicarapun mereka mengerti sekarang
mengapa mereka tidak melihat seorangpum anggota Hek I Kaipang mengemis di kota Nanking.
Kiranya mereka itu sekarang bukan lagi mengemis sendiri melainkan menjadi pemeras
para pengemis. Para pengemis yang melakukan pekerjaan mengemis, dan hasil pekerjaan itu
harus disetorkan kepada mereka sebagai semacam “pajak”! Dan orang-orang Hek I Kaipang
pasti tidak akan berani melakukan pemerasan seperti itu kalau tidak mendapat restu dari
penguasa setempat. Agaknya inilah imbalan Hek I Kaipang membantu pasukan pemerintah
untuk memusuhi golongannya sendiri. Mereka mendapatkan kekuasaan tertentu, di antaranya
memungut pajak dari para pengemis lain yang bukan anggota Hek I Kaipang.
Hung Wu dan Siauw Yen lalu meninggalkan jembatan itu dan sehari mereka berkeliaran di
kota dan melakukan penyelidikan. Akhirnya, mereka mengetahui bahwa benar seperti yang
mereka duga, Hek I Kaipang kini benar-benar telah merupakan sebuah perkumpulan yang
menjadi antek pemerintah Mongol, telah rela menjual golongan sendiri, bangsa sendiri, demi
kemakmuran yang mereka peroleh dari pejabat setempat. Hek I Kaipang yang telah
bersekongkol dan menjadi antek Mongol, dan untuk balas jasa, para pejabat tinggi memberi
hak kepada mereka untuk memungut pajak para pengemis lain, dan menguasai pula tempattempat
hiburan, seperti rumah-rumah pelesir, rumah-rumah judi dan lain-lain. Di tempatRajawali
Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 170
tempat hiburan ini, merekapun memungut pajak besar dan tidak ada pengusaha rumah pelesir
atau rumah judi yang berani menentang mereka karena di belakang para pengemis ini berdiri
pembesar setempat. Tentu saja, Hek I Kaipang memperoleh penghasilan besar, pemasukan
uang secara mudah sekali.
Lewat tengah hari, Hung Wu dan Siauw Yen mengaso di sebuah taman di kota, duduk di
bangku. Mereka merasa lelah, juga marah, melihat betapa perkumpulan pengemis Hek I
Kaipang kini jelas menjadi antek pemerintah dan kini mereka tahu mengapa Hek I Kaipang
menyerang Pek Mau Lokai.
“Sungguh aneh,” kata Siauw Yen. “Dahulu Hek I Kaipang merupakan rekan dari Hwa I
Kaipang, bahkan para pimpinan Hek I Kaipang adalah sahabat-sahabat baik kakekku. Apa
lagi setelah ketua Hek I Kaipang yang baru adalah murid keponakan kakek sendiri, hubungan
di antara kedua perkumpulan amat baik, bahkan bekerja sama dalam menentang pemerintah
penjajah Mongol. Akan tetapi, sejak Coa Kun itu menjadi ketuanya, terjadi perubahan. Dan
sekarang, kita melihat sendiri betapa Hek I Kaipang benar-benar menjadi antek dan bahkan
mendapatkan kekuasaan di Nan-king. Hal ini berbahaya sekali.”
“Kurasa, jalan satu-satunya untuk melemahkan penjajah adalah menguasai Hek I Kaipang.
Kurasa, para anggota Hek I Kaipang hanya terbawa oleh ketuanya, kalau kita mampu
mengambil alih kepemimpinan atas para anggota Hek I Kaipang, kita dapat mengubah
kemudi dan mengarahkan Hek I Kaipang kepada perjuangan.”
Mendengar usul Hung Wu atau Cu Goan Ciang itu, Siauw Yen mengangguk-angguk dan
berkata, “Memang benar. Kakek pernah mengatakan pendapat seperti itu. Akan tetapi,
bagaimana kita mampu mempengaruhi mereka atau mengambil alih kekuasaan? Dengan
kekerasan, tentu akan terjadi pertempuran antara kedua kaipang, dan mengingat bahwa
pasukan pemerintah tentu akan membantu Hek I Kaipang, sukar sekali bagi kita untuk
mendapatkan kemenangan.”
“Tentu saja tidak dengan kekerasan, karena maksud kita bukan membasmi perkumpulan itu
dan memusuhi anggotanya, melainkan menundukkan para pimpinannya agar kita dapat
mengembalikan Hek I Kaipang ke jalan perjuangan.”
“Akan tetapi bagaimana caranya, toako? Hek I Kaipang memiliki pemimpin-pemimpin yang
lihai. Ketuanya, Coa Kun itu lihai sekali terutama puterinya yang bernama Coa Leng Si,
biarpun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi ia memiliki kepandaian yang melebihi
ayahnya! Aku sendiri bahkan pernah bertanding dengannya dalam sebuah bentrokan barubaru
ini, dan harus kuakui bahwa ia amat lihai dan kalau dilanjutkan tentu aku akan roboh
olehnya.”
“Hemm, begitu hebatkah ia?”
“Masih ada para pembantu pimpinan yang juga lihai dan jangan dilupakan, setelah kini
mereka membantu pemerintah, tentu mereka dekat dengan para jagoan Mongol yang berada
di Nan-king. Tidak mudah menundukkan Hek I Kaipang sekarang ini, toako.”
“Akan tetapi, kita harus mencari jalan, harus menundukkan mereka dan merenggut mereka
lepas dari pengaruh pemerintah Mongol. Kalau tidak, bagaimana mungkin kita dapat bergerak
bebas?”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 171
“Ssttt... lihat di sana, toako,” tiba-tiba Siauw Yen berbisik dan matanya memandang ke arah
jalan. Hung Wu menengok dan diapun melihat apa yang menarik perhatian gadis yang
menyamar sebagai pemuda itu. Seorang laki-laki tinggi kurus, berusia kurang lebih tiga puluh
tahun, berjalan di tepi jalan. Yang menarik perhatian mereka berdua adalah bahwa laki-laki
itu mengenakan pakaian berkembang dan tambal-tambalan, pakaian seorang anggota Hwa I
Kaipang!
“Jelas dia seorang yang menyamar sebagai anggota Hwa I Kaipang,” kata Siauw Yen. Hung
Wu mengangguk. Peraturan pertama yang mereka berikan kepada para anggota dan yang
segera ditaati, kini sudah menghasilkan buah. Dengan peraturan baru itu, kalau ada yang
menyamar sebagai anggota Hwa I Kaipang, akan mudah dilihat dan segera dikenal. Kalau
orang tinggi kurus itu seorang anggota Hwa I Kaipang yang asli tentu dia sudah tahu akan
peraturan baru itu dan tidak akan mengenakan pakaian menyolok itu! Jelas, dia seorang matamata
yang biasa menyelidiki Hwa I Kaipang. Mungkin orangnya pemerintah, mungkin pula
orangnya Hek I Kaipang.
“Mari kita membayanginya,” kata Siauw Yen. Hung Wu mengangguk dan tersenyum, karena
dia merasa semakin kagum kepada gadis ini. Seorang gadis yang bukan saja berjiwa
pahlawan, patriotik, akan tetapi juga cerdik dan pemberani!
“Dia bukan anggota kita?” Dalam perjalanan membayangi pengemis itu, Hung Wu bertanya.
Siauw Yen menggeleng kepala dan Hung Wu merasa yakin karena tentu saja gadis yang
mewakili kakeknya memimpin Hwa I Kaipang ini sudah hafal akan semua anggota
perkumpulan itu.
Tepat seperti telah diduganya, Siauw Yen melihat orang itu memasuki pekarangan rumah
besar yang menjadi pusat Hek I Kaipang. Di depan rumah itu terdapat papan nama besar
dengan tulisan Hek I Kaipang yang coretannya gagah dan di pekarangan itu terdapat sebuah
gardu penjagaan di mana terdapat belasan orang anggota Hek I Kaipang berjaga. Orang yang
berpakaian pengemis baju kembang itu berhenti sebentar karena ditahan oleh para penjaga,
akan tetapi setelah bicara sebentar, dia diperkenankan masuk.
Melihat ini, Siauw Yen berbisik kepada Hung Wu, “Toako, jelaslah bahwa pihak Hek I
Kaipang menyebar mata-mata yang menyamar seperti anggota kita. Akan tetapi, dengan
adanya peraturan baru kita, maka kini kita semua akan mudah menangkap mata-mata mereka.
Kiranya sudah banyak yang kita dapatkan dalam penyelidikan kita tadi, mari kita pulang,
toako.”
Hung Wu mengangguk, akan tetapi pada saat itu nampak sebuah kereta yang ditarik dua ekor
kuda dipersiapkan orang di pekarangan rumah besar yang menjadi pusat Hek I Kaipang.
Siauw Yen memberi isarat kepada Hung Wu untuk menanti sebentar. Mereka dapat melihat
seorang laki-laki yang berusia lima puluhan tahun, bertubuh sedang dan mukanya gagah
sekali, seperti muka harimau, keluar dari dalam rumah itu bersama seorang kakek dan nenek
yang keduanya sudah tua renta dan berjalan dibantu tongkat. Mereka bertiga naik ke dalam
kereta dan Siauw Yen cepat memberi isarat kepada Hung Wu untuk segera pergi dari situ.
Siauw Yen mengajaknya menyelinap di tempat sepi dan berkata, “Toako, engkau harus
membayangi kereta itu jangan dilepaskan. Laki-laki tadi adalah ketua Hek I Kaipang, Coa
Kun. Kebetulan sekali dia hendak keluar kota dan yang menemaninya hanya seorang kakek
dan seorang nenek yang sudah sangata tua. Inilah kesempatan tepat bagi kita untuk turun
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 172
tangan, membunuh pengkhianat bangsa itu. Kalau dia mati dan Hek I Kaipang dipegang orang
lain mungkin sikap mereka akan menjadi lain. Kau bayangi saja, jangan turun tangan karena
dia cukup lihai. Aku akan mencari bala bantuan.” Tanpa menanti Hung Wu menjawab, Siauw
Yen sudah menyelinap dan lenyap.
Hung Wu tinggal seorang diri, termangu. Namun, dia dapat melihat kebenaran dalam
pendapat gadis itu. Memang sayang sekali kalau Hek I Kaipang dibawa menyeleweng oleh
ketuanya, menjadi antek Mongol. Semua kekuatan yang ada pada rakyat yang terjajah harus
dikerahkan, kalau hendak membebaskan diri dari belenggu penjajah. Terutama semua
perkumpulan, harus bersatu padu. Kalau perkumpulan yang tidak mau bersatu, apa lagi yang
bahkan berkhinat membantu penjajah, harus dibasmi, karena hal ini berarti merontokkan
sebuah di antara gigi dan kuku penjajah.
Kereta itu mulai bergerak meninggalkan pekarangan. Hung Wu segera mengikutinya dari
jauh. Untung baginya bahwa kereta itu oleh kusirnya, dijalankan lambat-lambat sehingga
tidak sukar baginya untuk terus membayangi kereta itu. Kereta itu ternyata menuju ke utara
dan keluar dari pintu gerbang utara. Hung Wu juga keluar dari pintu gerbang itu. Matahari
sudah mulai condong ke barat. Hung Wu menduga-duga apakah Siauw Yen berhasil
mendapatkan bala bantuan. Ah, gadis itu terlalu berhati-hati, pikirnya. Biarpun ketua Hek I
Kaipang lihai, kalau dia, maju bersama Siauw Yen, tentu akan mampu mengalahkannya!
Bahkan dia sendiripun agaknya tidak takut menghadapinya. Bukankah Siauw Yen pernah
menyatakan bahwa gadis itu tidak gentar menghadapi ketua Hek I Kaipang, akan tetapi yang
amat lihai adalah puteri ketua itu? Dan sekarang yang berada di dalam kereta hanyalah Coa
Kun, sang ketua, bersama seorang kakek dan seorang nenek yang sudah tua renta dan nampak
loyo. Juga kusirnya itu tentulah hanya anak buah biasa saja.
Pada waktu itu, karena tadi matahari amat teriknya, jalan yang keluar dari Nan-king ke utara
itu nampak sunyi. Hal ini juga memudahkan Hung Wu untuk membayangi kereta yang kini
berjalan agak cepat sehingga dia harus berlari.
Bagaimana kalau Siauw Yen tidak berhasil mendapatkan bantuan? Dan bagaimana pula kalau
Siauw Yen tidak dapat menyusulnya, tidak tahu bahwa kereta menuju ke utara? Apakah dia
harus mengikuti terus sampai kelelahan? Atau harus membiarkan saja ketua Hek I Kaipang itu
pergi tanpa mengganggunya? Akan tetapi, kalau dia turun tangan sendiri kemudian gagal,
bukankah hal itu akan membuat Siauw Yen menjadi amat kecewa dan marah? Sungguh serba
salah, pikirnya.
Setelah kini kereta tiba di jalan menuji perbukitan yang sunyi dan kereta dilarikan semakin
cepat, Hung Wu mengeluh. Kalau begini terus, akhirnya sebelum mati tiba dia akan kehabisan
tenaga dan semua usahanya membayangi akan sia-sia belaka. Sudah hampir dua jam dia
membayangi dan belum juga Siauw Yen muncul. Sebaiknya, aku turun tangan sendiri,
membunuh ketua Hek I Kaipang, pikirnya. Andai kata gagalpun, dia masih dapat
menyelamatkan diri dan diapun tidak akan malu kepada Siauw Yen akan kegagalannya,
karena setidaknya dia telah berusaha! Agaknya Siauw Yen tidak berhasil mendapatkan
bantuan, atau gadis itu mengambil jalan yang keliru ketika mengejarnya, tidak tahu bahwa
kereta menuju ke utara.
Hung Wu mempercepat larinya, mendahului kereta. Setelah mendahului kereta dalam jarak
tiga puluh meter, dia berhenti, membalik dan menghadang, mengangkat kedua tangan ke atas
dan membentak kepada kusir agar menghentikan keretanya.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 173
Kusir kereta yang duduk di depan atas, melihat seorang pemuda jangkung berpakaian seperti
seorang petani menghadang di tengah jalan dan membentak agar kerta dihentikan, tentu saja
menjadi marah sekali. Dua ekor kudanya juga menjadi ketakutan ketika dihadang orang yang
membentak-bentak. Kusir menghentikan keretanya lalu menghardik.
“Siapakah engkau yang tak tahu diri dan kurang ajar berani menghentikan kereta? Tidak
tahukah siapa yang menjadi penumpang kereta ini? Minggir, atau aku akan menerjangmu dan
melindasmi!” Tukang kereta menggerakkan cambuknya yang panjang untuk mengusir orang
itu yang dianggapnya sinting atau kurang ajar. Cambuknya yang panjang menyambar ke arah
kepala Hung Wu. Akan tetapi, pemuda ini menyambar ujung cambuk dan secara tiba-tiba
seklai dia menarik cambuk itu sehingga kusinya yang memegang gagang cambuk terkejut dan
terbawa jatuh dari atas keretanya!
“Heii, apa yang terjadi?” terdengar teriakan dari dalam kereta. Pintu kereta terbuka, tirainya
tersingkap dan keluarlah tiga orang dari dalam kereta itu. Mereka adalah Coa Kun ketua Hek I
Kaipang dan dua orang tua renta tadi. Seorang kakek dan seorang nenek yang keduanya
berusia delapan puluh tahun, memegang tongkat dan kurus, nampak ringkih dan loyo. Coa
Kun melihat betapa kusirnya mengerang kesakitan dan tidak mampu bangun karena sebelah
kakinya terkilir, ketika dai terbanting jatuh dari atas kereta. Marahlah ketua Hek I Kaipang
itu.
“Jahanam keparat! Sudah gilakah engkau? Siapakah engkau berani menghadang keretaku?
Apa matamu sudah buta, tidak melihat bahwa aku, ketua Hek I Kaipang yang menjadi
penumpang kereta ini?”
Hung Wu memandang dengan mata bersinar-sinar. “Aku tahu bahwa engkau adalah Twa-sinto
Coa Kun, ketua Hek I Kaipang yang telah membawa perkumpulan itu menjadi pengkhianat
bangsa, penjilat orang-orang Mongol. Karena itu, aku akan membunuhmu!”
“Keparat, engkaulah yang akan mampus di tanganku!” Coa Kun membentak dan diapun
sudah menerjang maju dengan marah. Orang she Coa ini adalah ketua Hek I Kaipang, bukan
saja kepandaiannya tinggi, akan tetapi dia juga telah bersekutu dengan pasukan pemerintah,
tentu saja dia menyadari akan kekuasaannya. Kini muncul seorang pemuda dusun berani mati
mengancam hendak membunuhnya, maka tentu saja dia marah bukan main dan begitu
menyerang, dia telah mengerahkan tenaganya dan dengan bertubi, tangan kananya
mencengkeram ke arah kepala sedangkan tangan kirinya menyusul dengan tangan miring
menghantam ke arah dada lawan.
Melihat gerakan lawan, tahulah Hung Wu bahwa nama besar ketua Hek I Kaipang ini bukan
nama kosong belaka. Orang ini memiliki tenaga yang kuat, hal ini dapat dia ketahui dari
sambaran angin pukulan yang menyerangnya. Diapun cepat mengelak dari cengkeraman
tangan kanan ke belakang, lalu menyambut pukulan tangan lawan dengan tangkisan sambil
mengerahkan tenaganya.
“Dukkk!!” Keduanya tergetar, akan tetapi kalau Hung Wu hanya tergetar lengannya yang
menangkis, dengan kedudukan kaki masih tegak, adalah pangcu (ketua) itu yang selain
tergetar hebat, juga kakinya melangkah ke belakang dua langkah. Ini saja sudah membuktikan
bahwa dia kalah tenaga melawan Hung Wu. Bukan main kagetnya Coa Kun. Tak disangkanya
pemuda dusun yang nampak bodoh ini bukan saja mampu mengelak dan menangkis
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 174
serangannya, bahkan dapat membuat dia melangkah ke belakang. Dia kalah kuat dalam hal
tenaga! Kemarahan dan rasa penasaran membuat Coa Kun meraih gagang goloknya dan
segera nampak sinar berkilat ketika golok besar yang tergantung di pinggang itu telah
dicabutnya. Golok itu besarm lebar dan berkilauan, tentu tajam bukan main.
Melihat ini, Hung Wu tidak berani memandang ringan. Ketua Hek I Kaipang ini berjuluk
Twa-sin-to (Golok Besar Sakti), tentu dia ahli bermain silat golok. Oleh karena itu, Hung Wu
juga mencabut pedang yang tadinya disembunyikan di balik bajunya.
Coa Kun sudah menerjang lagi, kini sambil menggerakkan goloknya dan nampak gulungan
besar sinar yang menyambar-nyambar. Namun, Hung Wu juga sudah menggerakkan
pedangnya dan karena dia maklum betapa lihainya lawan, dan dia sudah mengambil
keputusan untuk membunuh ketua Hek I Kaipang ini, diapun segera menggerakkan
pedangnya, menangkis dan balas menyerang dengan dasar ilmu silat Rajawali Sakti. Terjadi
perkelahian yang seru, akan tetapi setelah lewat dua puluh jurus, perlahan-lahan ketua Hek I
Kaipang mulai terdesak oleh gulungan sinar pedang di tangan Hung Wu. Ilmu silat Rajawali
Sakti memang hebat, dan Coa Kun beberapa kali mengeluarkan seruan kaget. Kakek dan
nenek yang tua renta itu tetap menonton, berdiri seperti patung bertopang pada tongkat
mereka. Kusir kereta sudah dapat bangkit kembali dan kini menenangkan dua ekor kuda
penarik kereta, sambil memandang dengan gelisak ke arah perkelahian, karena dia melihat
betapa ketuanya mulai terdesak.
Selagi Hung Wu mendesak lawannya dan merasa gembira karena besar harapannya dia akan
berhasil, terdengar derap kaki kuda. Wajah Hung Wu berseri karena tanpa melihatpun dia
hampir yakin bahwa tentu itu rombongan bala bantuan yang didapatkan Siauw Yen dan kini
mereka datang untuk membantunya. Dengan demikian hampir dapat dipastikan bahwa ketua
Hek I Kaipang tentu akan dapat ditewaskan! Apa lagi ketika dia sempat melirik ke arah suara
derap kaki kuda dia melihat bahwa penunggang kuda terdepan adalah seorang gadis! Siapa
lagi kalau bukan Yen Yen!
Kini, rombongan orang yang jumlahnya belasan itu sudah tiba di situ dan terdengar bentakan
suara wanita, “Ayah, biar aku yang melawannya!”
Nampak bayangan berkelebat dan sebatang pedang menyambar ganas ke arahnya. Dia
terkejut dan menangkis. “Tranggg...!!” Nampak bunga api berpijar ketika dua batang pedang
bertemu dan Hung Wu terkejut bukan main, cepat melompat ke belakang. Ketika dia
memandang penuh perhatian, wajahnya berubah. Kiranya gadis itu bukan Yen Yen,
melainkan seorang gadis yang lebih muda dari Yen Yen, cantik pula, dengan pedang di
tangan. Dan belasan orang yang bersama gadis itu, lebih mengejutkan hatinya lagi. Terdapat
seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, tinggi besar berkepala botak dengan jubah
merah, dan yang lain adalah pasukan pemerintah, dapat dikenal dari pakaian seragam mereka!
Celaka, dia belum berhasil membunuh ketua Hek I Kaipang, sekarang telah dikepung pasukan
pemerintah, dan agaknya gadis berpakaian serba hijau yang tadi menyerangnya dengan
pedang adalah puteri ketua Hek I Kaipang yang pernah dia dengar dari keterangan Yen Yen.
Gadis yang membuat Yen Yen kewalahan dan katanya lebih lihai dibandingkan ketua Hek I
Kaipang sendiri. Belum lagi kakek botak itu yang kini sudah turun dari kuda, dan berdiri
memandang kepadanya dengan sinar mata mencorong, yang dia duga tentulah seorang yang
lihai pula.
“Siapakah engkau dan mengapa engkau menyerang ayahku?” Gadis itu yang kini berdiri di
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 175
depan Hung Wu, bertanya dengan suara nyaring.
“Tidak perlu tahu aku siapa, aku adalah orang yang akan membunuh semua orang yang
menjadi pengkhianat bangsa dan menjadi antek penjajah Mongol!”
Mendengar ini, perwira yang agaknya memimpin pasukan itu mencabut goloknya dan
berseru, “Kiranya seorang pemberontak! Tangkap! Bunuh dia!” Teriakan ini merupakan abaaba
dan disambut oleh anak buahnya dengan cabutan golok. Belasan orang prajurit itu segera
mengepung dan mengeroyok, membantu gadis baju hijau yang juga sudah menerjang dengan
pedangnya.
Begitu mereka saling serang, keduanya terkejut bukan main. Segera Hung Wu mengenal ilmu
silat Sin-tiauw ciang-hoat (Ilmu Silat Rajawali Sakti) persis seperti ilmu silat yang
dikuasainya! Ini tidak mungkin! Demikian dia berpikir dengan kaget. Ilmu silat ini adalah
ciptaan gurunya, Lauw In Hwesio, dan merupakan ilmu simpanan yang hanya diajarkan
kepadanya saja, tidak pernah diajarkan kepada murid lain. Akan tetapi gadis ini kini
memainkannya, dan permainannya begitu baik, bahkan tidak kalah olehnya!
Gadis baju hijau itupun terkejut bukan main, akan tetapi dengan penasaran ia menyerang terus
sehingga terjadilah perkelahian yang seru dan aneh karena mereka memiliki gerakan yang
sama! Akan tetapi karena ternyata tingkat kepandaian antara mereka seimbang, dan masih ada
belasan orang prajurit Mongol mengeroyoknya, sebentar saja Hung Wu terdesak dan
terkepung ketat.
Tiba-tiba terdengar suara parau dari kakek botak yang sejak tadi memandang penuh perhatian,
“Leng Si, mundurlah, dan suruh semua prajurit mundur. Aku sendiri yang akan menghadapi
pemuda ini!”
Mendengar ucapan parau itu, gadis berbaju hijau melompat mundur dan memberi aba-aba
kepada pasukan kecil itu untuk mundur pula. Kemudian, kakek botak tinggi besar itu sekali
menggerakkan kakinya, sudah berdiri di depan Hung Wu yang masih melintangkan pedang di
depan dadanya. Sejenak mereka saling pandang, kemudian pria botak itu berkata dengan
suaranya yang parau.
“Orang muda, dari mana engkau mempelajari Sin-tiauw ciang-hoat? Apa hubunganmu
dengan Lauw In Hwesio?”
Mendengar pernyataan ini, seketika Hung Wu tersadar. Gadis itu memiliki pula ilmu Sintiauw
ciang-hoat, pada hal ilmu itu hanya dikuasai oleh dua orang yang merangkai ilmu itu,
yaitu Lauw In Hwesio dan Bouw In Hwesio. Karena itu, mudah diduga dengan siapa dia
berhadapan.
“Lauw In Hwesio adalah guruku,” kata Hung Wu, “dan agaknya lo-cian-pwe tentu supek
(uwa guru) Bouw In Hwesio.” Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada agak meragu
karena kakek di depannya itu tidak gundul sepenuhnya, melainkan botak dan memelihara
rambut di bagian belakang dan kanan kirinya. Juga pakaiannya tidak seperti pakaian hwesio
walaupun dia mengenakan jubah hwesio yang berwarna merah.
Kakek itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kiranya murid sute Lauw In Hwesio!” katanya.
“Sungguh heranm kenapa sute mengajarkan ilmu itu kepada seorang pemberontak?”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 176
Hung Wu mengerutkan alisnya, “Suhu tentu akan merasa heran pula kalau mengetahui bahwa
supek mengajarkan ilmu itu kepada seorang antek Mongol!” katanya dengan berani sambil
memandang kepada gadis baju hijau tadi.
“Hemm, bocah sombong, berani engkau berkata demikian kepadaku? Aku tahu bahwa para
pemberontak adalah orang-orang jahat yang mempergunakan kedok perjuangan untuk
menutupi kejahatan mereka. Mereka hanya perampok dan mencuri. Nah, ingin kulihat sampai
di mana kehebatanmu dengan ilmu kami itu.” Setelah berkata demikian, Bouw In Hwesio
yang kini tidak lagi menjadi hwesio itu sudah menggerakkan kedua lengannya dan dia maju
menyerang. Begitu kedua tangan digerakkan, maka kedua lengan bajunya yang panjang,
bagian dari jubah merahnya, menyambar dengan dahsyat ke arah Hung Wu.
Pemuda ini sudah siap. Biarpun supek sendiri, kalau dia menjadi antek Mongol berarti
menjadi musuhnya! Maka, dia memutar pedangnya dan melawan mati-matian. Kini terjadi
perkelahian yang ditonton banyak orang, perkelahian yang menarik, di mana pedang
berkelebatan disambut sepasang lengan jubah merah. Namun, karena memang kalah matang
dalam ilmu Sin-tiauw ciang-hoat dna kalah tenaga sakti, sebentar saja Hung Wu terdesak dan
hanya mampu memutar pedang melindungi tubuh tanpa mampu membalas lagi.
Pada saat itu terdengar bentakan, “Toako, jangan khawatir aku datang membantumu!” dan
muncullah Siauw Yen.
“Siauw Yen, pergilah! Cepat larilah sebelum terlambat, siauw-te!” teriak Hung Wi, terkejut
dan khawatir sekali melihat Yen Yen muncul dengan penyamarannya, seorang diri saja tanpa
bantuan! Namun, Yen Yen adalah seorang gadis yang gagah perkasa dan pemberani. Apa lagi
ia merasa amat kagum kepada Hung Wu, bahkan pemuda itu telah diangkat menjadi
pembantu utamanya. Oleh karena itu, melihat Hung Wu terancam bahaya, bagaimana
mungkin ia dapat pergi begitu saja menyelamatkan diri sendiri dan membiarkan pemuda itu
terancam bahaya? Tadi ia sudah berusaha mencari bala bantuan, akan tetapi ia telah gagal. Ia
hanya bertemu dengan dua orang saja anggota Hwa I Kaipang di kota Nan-king, dua orang
anggota biasa yang ilmu kepandaiannya tidak dapat diandalkan. Oleh karena itu, timbul
kekhawatirannya kalau-kalau Hung Wu bertindak sendiri dan terancam bahaya, maka iapun
melakukan pengejaran seorang diri dan muncul pada saat Hung Wu didesak seorang kakek
yang amat lihai. Biarpun ia melihat bahwa selain kakek botak yang lihai, di situ terdapat pula
belasan orang prajurit, bahkan ia mengenal pula kehadiran ketua Hek I Kaipang, yaitu Coa
Kun, dan puterinya yang lihai di samping seorang kakek dan seorang nenek tua renta yang
tadi berkereta bersama ketua Hek I Kaipang, Yen Yen tidak merasa gentar. Ia harus
membantu dan menolong Hung Wu, apapun yang terjadi, maka iapun sudah menerjang ganas,
menyerang dan mengeroyok kakek botak yang kedua lengan jubahnya lihai bukan main itu.
Tongkatnya segera memainkan ilmunya yang paling ampuh, yaitu Hok-mo-tung.
Sesosok bayangan berkelebat dan gadis baju hijau Coa Leng Si sudah menggunakan pedang
menyambut Yen Yen. Mereka berdua segera saling serang dengan seru, dan biarpun Yen Yen
maklum akan kelihaian Leng Si, namun untuk dapat menolong Hung Wu, ia melawan dengan
nekat dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Hok-mo-tung.
Melihat permainan tongkat pemuda dusun yang masih remaja itu, Coa Kun segera mengenal
ilmu itu sebagai ilmu andalan dari Hwa I Kaipang. Dia cepat melompat dan membantu
puterinya dengan golok besarnya sambil berseru, “Mereka orang-orang Hwa I Kaipang.
Tangkap hidup-hidup!”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 177
Kini keadaan Hung Wu dan Siauw Yen tiada bedanya, sama-sama terdesak hebat oleh pihak
lawan. Hung Wu yang melawan mati-matian, tidak berdaya karena yang menandinginya
adalah supeknya yang tentu saja memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi.
Sedangkan Siauw Yen sendiri, melawan Leng Si seorang saja sudah kalah, apa lagi dikeroyok
dua oleh gadis lihai itu dan ayahnya, ketua Hek I Kaipang. Gadis yang menyamar itu hanya
mampu menggerakkan tongkat untuk melindungi dirinya saja. Akhirnya, hampir berbareng
dengan Hung Wu, ia roboh tertotok oleh Leng Si. Hung Wu sendiri juga roboh lemas terkena
totokan ujung lengan jubah Bouw In Hwesio.
“Akupun mengenal ilmu tongkat dan gerakannya, ayah. Kalau tidak salah, ia adalah cucu dari
Pek Mau Lokai, gadis yang kabarnya kini menjadi pemimpin Hwa I Kaipang, yang bernama
Tang Hui Yen.” Setelah berkata demikian, Coa Leng Si berlutut mendekati Siauw Yen yang
rebah lemas tak berdaya. Leng Si menggosok sana-sini di muka, kepala dan leher. Leng Si,
melepaskan kain penutup rambut dan sebentar saja nampaklah bahwa pemuda petani itu
bukan lain adalah seorang gadis cantik!
“Hemm, benar katamu, Leng Si. Ia adalah Tang Hui Yen, tokoh Hwa I Kaipang. Kalau
begitu, aku yakin bahwa yang seorang lagi inipun tokoh Hwa I Kaipang,” kata Coa Kun dan
diapun berlutut mendekati Hung Wu dan seperti yang dilakukan puterinya tadi, dia
menggosok muka Goan Ciang atau Hung Wu sehingga penyamaran pemuda itu terbuka dan
nampak wajah aslinya. Begitu kelihatan wajah aslinya, perwira yang memimpin pasukan kecil
itu berseru kaget.
“Ah, dia adalah pemberontak yang dicari itu! Dia Cu Goan Ciang!”
“Cu Goan Ciang?” kata Coa Kun. “Hemm, siapa dia?”
“Pangcu, dia adalah pemberontak yang telah membunuh Bhong-Ciangkun dari Wu-han dan
membunuh banyak prajurit kita. Bahkan Shu-Ciangkun telah memesan kepada kami bahwa
kalau kami dapat menangkap Cu Goan Ciang, agar tidak dibunuh dan cepat dibawa
menghadap Shu-Ciangkun, karena beliau hendak melakukan pemeriksaan dan memaksa dia
menceritakan semua tentang para pemberontak. Pangcu, kami harap agar pangcu suka
menyerahkan kedua orang tawanan ini kepada kami, karena sekarang juga akan kami
hadapkan kepada Shu-Ciangkun.”
Pangcu dari Hek I Kaipang mengangguk-angguk. Dia mengenal siapa yang disebut Shu-
Ciangkun itu. Seorang perwira tinggi yang biarpun baru beberapa bulan bertugas di Nan-king,
namun telah membuat nama besar dan banyak juga membersihkan Nan-king dan sekitarnya
dari gangguan para penjahat. Tentu saja dia tidak ingin membantah kehendak panglima baru
yang menjadi tangan kanan atau pembantu utama Yauw-Ciangkun, panglima yang menjadi
komandan pasukan keamanan di Nan-king.
“Baik, akan tetapi agar kedua orang ini jangan sampai lolos dalam perjalanan, biar kita
bersama kembali ke Nan-king. Baru setelah tiba di sana kalian boleh membawa mereka ke
benteng.”
Tubuh kedua orang pemberontak yang masih lemas itu lalu ditelikung dan kaki tangan mereka
dibelenggu. Mereka diangkat dan dimasukkan ke dalam kereta, kemudian rombongan itu
berangkat menuju ke Nan-king.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 178
“Ayah, bagaimana ayah bersama kedua lo-cian-pwe (orang tua gagah) dapat berada di hutan
dan dihadang oleh Cu Goan Ciang itu?” tanya Leng Si kepada ayahnya. “Aku sedang
membujuk suhu untuk suka datang ke Nan-king, dikawal tiga belas orang prajurit seperti yang
diperintahkan ayah. Akan tetapi, kenapa tahu-tahu ayah dan kedua orang lo-cian-pwe berada
di hutan itu?”
“Karena tidak sabar menanti kembalimu, maka aku mengajak suhu dan subo untuk menyusul
saja ke sana, dan aku sendiri yang akan membujuk gurumu. Syukurlah kalau beliau sudah
mau datang bersamamu. Bagaimanapun juga, karena aku tidak sabar, maka kita berhasil
menangkap dua orang tokoh Hwa I Kaipang, bahkan yang seorang adalah pemberontak yang
dicari-cari oleh para panglima. Sekali ini kita berjasa besar!” kata ketua Hek I Kaipang itu
dengan gembira.
Ternyata bahwa benar seperti dugaan Goan Ciang, kakek botak itu adalah Bouw In Hwesio,
atau bekas hwesio Siauw-lim-pai. Dahulu, Bouw In Hwesio adalah seorang tokoh Siauw-limpai
yang berbeda dari para hwesio yang lain, suka sekali merantau. Dia adalah suheng dari
Lauw In Hwesio, bahkan bersama Lauw In Hwesio, dia berhasil merangkai ilmu silat Sintiauw
ciang-hoat yang ampuh. Dalam perantauan ini dia bertemu dengan Coa Leng Si dan
gadis itu lalu menjadi muridnya selama dua tahun. Sebelum itu, Leng Si memang sudah
merupakan seorang gadis yang lihai, karena ia puteri tunggal Twa-sin-to Coa Kun. Dia tinggal
di lereng Bukit Bambu di luar kota Nan-king, dibuatkan sebuah rumah oleh muridnya dan
pada hari itu, muridnya datang bersama seregu prajurit yang membawa surat dari Panglima
Yauw dari Nan-king. Juga ketua Hek I Kaipang menyuruh puterinya untuk ikut membujuk
agar Bouw In Hwesio suka datang ke Nan-king karena bantuannya amat dibutuhkan untuk
menghadapi para pemberontak yang dipimpin orang-orang pandai. Bahkan Coa-pangcu
berhasil pula mendatangkan dua orang gurunya, yaitu kakek dan nenek tua renta itu yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka berdua itu, bersama Bouw In Hwesio, diharapkan
untuk dapat membantu pemerintah menundukkan para pimpinan pemberontak.
Karena tidak sabar menanti pulangnya Leng Si, maka Coa-pangcu mengajak suhu dan
subonya untuk menyusul dengan kendaraan kereta.
Setelah tiba di Nan-king, kedua orang tawanan itu diserahkan kepada regu pasukan
pemerintah untuk dibawa ke markas atau benteng dan dihadapkan kepada Shu-Ciangkun yang
oleh Yauw-Ciangkun memang diserahkan tugas untuk mengatur keadaan di Nan-king dan
sekitarnya, bukan hanya untuk membasmi gerombolan penjahat, akan tetapi terutama sekali
para pemberontak.
Cu Goan Ciang atau Hung Wu dibawa ke dalam benteng dan dimasukkan ke dalam kamar
tahanan secara terpisah, walaupun bersebelahan. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk
saling bicara. Kini, Hung Wu yang dibelenggu kaki tangannya, duduk bersanding dinding
kamar tahanan. Dia tahu bahwa dia menghadapi ancaman maut. Dia tidak takut, hanya merasa
menyesal mengapa semua usahanya gagal dan kini dia tidak mempunyai kesempatan lagi
untuk berbuat sesuatu untuk negara dan bangsanya. Semua cita-citanya kandas dan hancur.
Dia memang bodoh, sesalnya kepada diri sendiri. Terlalu memandang rendah kepada lawan
sehingga bukan dia berhasil membunuh ketua Hek I Kaipang, bahkan dia yang tertawan, dan
dia pula yang menyebabkan Yen Yen ikut tertawan. Akan tetapi, satu hal yang membuat dia
paling penasaran adalah keadaannya supeknya, Bouw In Hwesio. Menurut suhunya, yaitu
Lauw In Hwesio, supeknya itu seorang hwesio perantau yang bijaksana. Pada umumnya, para
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 179
pendekar Siauw-lim-pai tidak suka kepada penjajah Mongol walaupun mereka tidak berdaya.
Akan tetapi kenapa Bouw In Hwesio itu agaknya menjadi antek orang Mongol?
Memang aneh keadaan bekas tokoh Siauw-lim-pai itu. Memang dahulu dia dikenal sebagai
seorang hwesio perantau yang bijaksana dan gagah perkasa. Akan tetapi, apa yang telah
terjadi dua tida tahun yang lalu telah mengubah jalan hidupnya sama sekali.
Hampir tiga tahun yang lalu dia merantau sampai ke daerah Secuan, menyusuri sepanjang
sungai Yang-ce. Pada suatu senja, ketika dia mendayung sebuah perahu kecil sederhana yang
dibelinya dari seorang nelayan, tiba-tiba dia mendengar jerit seorang wanita di pantai yang
sunyi dan penuh semak belukar itu. Mendengar jeritan ini, Bouw In Hwesio cepat mendayung
perahunya ke tepi sungai dan sambil memegang ujung tali perahu, dia meloncat ke darat.
Setelah mengikatkan tali itu pada sebatang pohon, dia cepat berlari ke arah suara jeritan yang
kini terdengar lagi.
Dia menyusup-nyusup di antara semak belukar dan pohon-pohon, dan ketika dia tiba di
tengah hutan kecil itu, dia melihat tiga orang laki-laki sedang menggumuli seorang wanita!
Wanita itu meronta-ronta, akan tetapi tidak mampu menjerit lagi karena mulutnya didekap
tangan, pakaiannya koyak-koyak dan nyaris tiga orang laki-laki itu mencapai niat keji mereka,
yaitu memperkosa wanita itu.
“Omitohud...!” Bouw In Hwesio berseru dan dia meloncat ke depan, kaki tangannya bergerak
dan tiga orang laki-laki itu terpental dan terlempar dari wanita yang mereka gumuli. Wanita
itu menangis dan berusaha menutupi tubuhnya dengan kain robekan pakaiannya, matanya
terbelalak memandang kepada Bouw In Hwesio sambil menggeser ke belakang ketakutan,
seluruh tubuh menggigil dan tidak mampu bangkit berdiri saking takutnya.
Tiga orang laki-laki itu berlompatan berdiri dan mereka marah sekali ketika melihat bahwa
yang menarik dan melemparkan mereka adalah seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar.
Adapun Bouw In Hwesio ketika memandang kepada tiga orang itu, segera dapat menduga
bahwa dia berhadapan dengan orang-orang jahat, yang agaknya sudah terbiasa memaksakan
kehendak mereka kepada orang lain, biasa mempergunakan kekerasan untuk melakukan apa
saja yang mereka inginkan. Mereka berusia empat puluh tahun lebih, memiliki perawakan
yang kokoh kuat dan kini ketiganya sudah mencabut sebatang golok besar dan memandang
kepadanya dengan wajah bengis. Ketika Bouw In Hwesio melirik ke arah wanita tadi, di
melihat bahwa wanita itu berusia tiga puluh tahun lebih, seorang wanita yang berwajah sayu
namun memang memiliki daya tarik, baik pada wajahnya yang lembut dan manis maupun
pada tubuhnya yang ramping padat. Bukan wanita kaya, karena pakaian yang sudah koyakkoyak
itu seperti pakaian wanita dusun saja, dari kain kasar yang murah. Namun ada sesuatu
pada pandang mata wanita itu yang membuat Bouw In Hwesio mengambil keputusan untuk
melindunginya.
“Hwesio keparat! Berani engkau mencampuri urusan kami?” bentak seorang di antara tiga
pria itu, yang pipinya dihias codet.
“Omitohud, pinceng harap kalian bertiga suka bertaubat dan tidak melakukan perbuatan yang
tidak senonoh dan jahat,” kata Bouw In Hwesio sambil mengerutkan alisnya.
“Hwesio yang bosan hidup!” bentak si codet dan bersama dua orang kawannya, dia
menerjang ke depan, menyerang pendeta itu dengan goloknya. Dua orang temannya juga
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 180
menyerang dari kanan kiri.
Diterjang tiga batang golok dari depan, kanan dan kiri, Bouw In Hwesio cepat menggerakkan
kaki mundur. Dari sambaran golok dan cara tiga orang itu menyerangnya, tahulah hwesio ini
bahwa dia berhadapan dengan tiga orang yang cukup tangguh. Maka, diapun segera
memainkan ilmu silat andalannya, yaitu Sin-tiauw ciang-hoat. Bagaikan seekor burung
rajawali, tubuhnya berkelebat di antara tiga gulungan sinar golok.
Wanita yang nyaris diperkosa tadi tidak menangis lagi, akan tetapi kini, sambil duduk
bersimpuh di atas rumput, matanya terbelalak penuh kegelisahan memandang ke arah
perkelahian. Penolongnya, hwesio itu, dikepung dan diserang tiga orang jahat itu dengan
golok, sedangkan hwesio itu sendiri sama sekali tidak memegang senjata. Tentu saja ia
merasa khawatir sekali dan merasa ngeri untuk melihat hwesio itu nanti roboh dan mandi
darah.
Akan tetapi dengan ilmu silatnya yang amat tangguh itu, Bouw In Hwesio yang bertangan
kosong sama sekali tidak dapat disentuh oleh tiga batang golok itu. Bahkan gerakannya
membuat tiga orang pengeroyoknya mulai merasa pening, tubuh lawan itu seperti beterbangan
saja dan ketika mendapat kesempatan, ujung lengan jubah Bouw In Hwesio menyambar tiga
kali dan tiga orang pengeroyok itupun terpelanting roboh, golok mereka beterbangan. Masih
untung bagi mereka bahwa Bouw In Hwesio tidak ingin membunuh mereka, maka ujung
lengan jubah tadi hanya mematahkan tulang pundak dan lengan kanan saja, membuat mereka
menyeringai kesakitan, tidak mampu melawan lagi dan begitu mereka dapat bangkit, mereka
seperti dikomando, lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu.
Bouw In Hwesio tidak mengejar, lalu membalikkan tubuh menghadap ke arah perempuan
tadi. Ketika melihat betapa hwesio itu telah berhasil mengusir tiga orang penjahat, wanita itu
lalu maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bouw In Hwesio, menangis tersedusedu,
tidak dapat mengeluarkan kata apapun untuk menyatakan terima kasihnya.
Melihat wanita itu berlutut di depan kakinya sambil menangis, tangis yang menunjukkan
kesedihan yang mendalam, Bouw In Hwesio merasa kasihan sekali. Dia membungkuk,
menyentuh kedua pundak wanita itu dan berkata dengan lembut, “Toanio (nyonya),
bangkitlah dan hentikan tangismu. Bahaya telah lewat dan kita patut bersyukur bahwa
malapetaka tidak jadi menimpa dirimu.”
Dia setengah menarik wanita itu agar mau bangkit berdiri, kemudian mengajaknya duduk di
atas rumput tebal, di mana tadi tiga orang penjahat menggumulinya. Wanita itu menurut
diajak ke situ, akan tetapi masih tetap menangis sesunggukan.
“Duduklah, toanio dan ceritakan apa yang telah terjadi. Bagaimana engkau sampai dapat
dibawa oleh tiga orang sesat tadi ke tempat ini? Di mana rumahmu, dan di mana
keluargamu?”
Ditanya demikian, tangis itu menjadi-jadi. Wanita itu menutupi mukanya dengan kedua
tangan, duduknya hampir menelungkup dan dari celah-celah jari tangannya mengalir air mata.
Bouw In Hwesio menanggalkan jubahnya yang lebar, lalu menyelimuti tubuh yang setengah
telanjang karena pakaian yang koyak-koyak itu. Merasa ada kain menyelimutinya, wanita itu
membuka kedua tangan, lalu menangkap kedua ujung jubah dan menyelimuti tubuhnya rapatRajawali
Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 181
rapat, kemudian ia menangis lagi. Tangisnya amat menyedihkan dan Bouw In Hwesio hanya
duduk memandang, membiarkan tangis itu memperoleh penyaluran agar hati yang nampaknya
ditekan duka itu dapat meringan. Ketika wanita itu tadi menurunkan kedua tangan dari muka
untuk memegang ujung jubah sehingga wajahnya terbuka dan nampak jelas, diam-diam Bouw
In Hwesio terkejut dan jantungnya berdebar keras. Dia merasa seolah-olah isterinya yang
telah meninggal dunia hidup kembali! Dua puluh tahun yang lalu, isterinya tewas di tangan
penjahat dan ketika itu, usia isterinya seperti wanita ini, dan sungguh ajaib, ada kemiripan
wajah yang luar biasa! Ketika itu, dua puluh tahun yang lalu, dia belum menjadi hwesio,
hidup bahagia dengan isterinya. Akan tetapi, karena sejak muda dia menentang kejahatan
sebagai seorang pendekar, dia dimusuhi banyak penjahat dan pada suatu hari, penjahatpenjahat
datang ke rumahnya untuk membunuhnya. Dia dapat menyelamatkan diri, akan
tetapi isterinya tewas di ujung senjata para penjahat. Karena hampir gila oleh kematian
isterinya yang tersayang, akhirnya diapun menjadi hwesio! Dan kini, dia menyelamatkan
seorang wanita dari tangan tiga orang penjahat, dan wanita itu persis isterinya!
Setelah membiarkan wanita itu menangis beberapa lamanya, akhirnya tangis itupun mereda,
tinggal isaknya saja. Bouw In Hwesio maklum bahwa kini tiba saatnya untuk mengajak
wanita itu bicara.
“Nah, sekarang ceritakanlah kepada pinceng, apa yang telah terjadi, nyonya. Siapa tiga orang
jahat itu, kenapa engkau berada di sini. Siapa engkau dan siapa pula keluargamu.”
“Nama saya Kui Lan Bi tinggal di dusun Kwa-ci bersama suami saya bernama Tang Lok.
Kami hanya tinggal berdua sebagai petani karena kami tidak mempunyai anak. Biarpun hidup
kami miskin, namun kami cukup berbahagia. Akan tetapi tadi... ketika saya dan suami saya
sedang bekerja di ladang, muncul tiga orang itu. Mereka... mereka bersikap kurang ajar
kepada saya dan suami saya...” wanita itu mengerang dan menangis lagi.
“Suamimu kenapa, nyonya?” Bouw In Hwesio bertanya, namun alisnya berkerut karena dia
menduga apa yang mungkin terjadi. Dugaannya memang benar.
“Suami saya... dia membela saya dan... dan... mereka membunuhnya... lalu melarikan saya ke
sini...”
“Omitohud...! Kalau pinceng tahu begitu, tidak akan pinceng biarkan mereka melarikan diri
begitu saja! Nyonya, mari kita cepat ke sana menengok keadaan suamimu!” Wanita itu
bangkit dan berselimut jubah lebar, terhuyung berlari meninggalkan tempat itu. Khawatir
kalau wanita itu terjatuh, Bouw In Hwesio memegang tangannya dan menggandeng sambil
setengah menunjang agar wanita itu tidak sampai terjatuh.
Ketika mereka tiba di ladang itu, mayat suami wanita itu sudah dirubung banyak penduduk
dusun. Mereka tidak tahu apa yang terjadi dan mengapa suami wanita itu, Tang Lok, tahutahu
tewas di ladang dengan leher hampir putus terbacok. Kini, Kui Lan Bi datang berlarilarian,
berselimut jubah, bersama seorang hwesio yang tidak mengenakan baju hanya
bercelana saja, tentu hal ini membuat para penghuni dusun menjadi semakin heran dan
mereka hanya dapat memandang terbelalak ketika Kui Lan Bi menubruk mayat suaminya dan
menangis tersedu-sedu.
Dengan sabar dan tenang, Bouw In Hwesio menceritakan kepada para penghuni dusun itu apa
yang telah terjadi. Mendengar bahwa hwesio itu telah menyelamatkan Kui Lan Bi dari
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 182
perkosaan yang dilakukan oleh para pembunuh Tang Lok, para penduduk dusun baru
mengerti, dan di antara mereka ada yang memberikan pakaian kepada wanita itu dengan
mengambilkan pakaiannya dari rumah. Jubah milik Bouw In Hwesio dikembalikan oleh Kui
Lan Bi yang kini sudah menjadi agak tenang.
Bouw In Hwesio merasa kasihan sekali kepada Kui Lan Bi, apa lagi ketika dia melihat betapa
sikap dan pandang mata para penduduk terhadap Lan Bi mengandung rasa tidak suka dan
merendahkan, pandang mata para pria di dusun itu mengandung kekurang ajaran dan pandang
mata para wanitanya mengandung perasaan tidak senang dan cemburu. Diapun tahu mengapa
demikian, Kui Lan Bi adalah seorang janda, tanpa anak, masih cukup muda dan berwajah
manis menarik. Bahkan dia kini tahu bahwa Kui Lan Bi hidup sebatang kara setelah kematian
suaminya, maka tentu banyak mata pria di situ menaksirnya, dan para wanitanya menjadi
cemburu dan curiga. Bouw In Hwesio melihat pula betapa miskin keadaan Kui Lan Bi.
Bahkan untuk membeli peti mati saja ia tidak mempunyai uang, dan terpaksa menjual semua
perabot rumah untuk ditukarkan dengan peti mati sederhana! Dia merasa kasihan sekali dan
dengan sukarela, dia ikut berkabung, mengatur persembahyangan jenazah dan membantu
sampai jenazah itu dikubur.
Bouw In Hwesio yang menghibur Kui Lan Bi dengan nasihat-nasihat selama tiga hari janda
itu menangisi kemaratian suaminya yang kini telah dikubur. Dan lebih menyedihkan lagi,
jarang ada tetangga yang datang. Yang pria takut kalau dicurigai dan dicemburui isterinya,
yang wanita merasa iru dan cemburu. Mereka yang masih membujang juga merasa rikuh
karena bagi para pemuda, janda itu merupakan seorang wanita yang lebih tua dengan usianya
yang tiga puluh lima tahun dibandingkan mereka yang baru dua puluhan tahun!
Pada hari ke empat, Bouw In Hwesio berpamit kepada Lan Bi yang nampak pucat dan kurus
karena selama tiga hari itu ia hanya menangis saja, lupa makan lupa tidur.
“Nyonya, hari ini pinceng akan pergi melanjutkan perjalanan pinceng, harap engkau baik-baik
menjaga dirimu dan jangan menenggelamkan hati dan pikiran ke dalam lautan duka.”
Mendengar ini, Lan Bi yang sudah mulai mau bekerja dan pagi itu mempersiapkan makan
pagi untuk Bouw In Hwesio, terbelalak memandang kepada pendeta itu. Wajah yang pucat
itu, mata yang sayu dan kini dibuka lebar-lebar, bibir yang setengah terbuka dan gemetar,
kembali mengingatkan Bouw In Hwesio kepada isterinya, menjelang kematian isterinya yang
terluka parah oleh serangan penjahat. Kemudian, tanpa dapat mengeluarkan kata-kata apapun,
Kui Lan Bi menjatuhkan diri berlutut dan menangis sesunggukan, menutupi mukanya dengan
kedua tangan.
“Ya Tuhan, lebih baik aku mati saja... lebih baik mati saja...” demikian ratapnya di antara
tangisnya.
Diam-diam Bouw In Hwesio terkejut. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pamitnya itu
akan membuat nyonya muda itu menjadi berduka kembali, bahkan seolah kehilangan
pegangan, kehilangan harapan.
“Omitohud, kenapa begini, nyonya? Bangkit dan duduklah, mari kita bicara baik-baik dan
tenangkan hati dan pikiranmu,” katanya dan dia menarik wanita itu bangun lalu menuntunnya
agar duduk di atas bangku kasar yang tidak laku dijual.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 183
“Nah, sekarang katakan, kenapa setelah pinceng berpamit untuk melanjutkan perjalan
pinceng, engkau menjadi berduka dan putus asa?”
Kui Lan Bi menyusut air matanya, “Suhu telah membebaskan saya dari malapetaka yang
lebih mengerikan dari pada maut, kemudian suhu membantu saya mengurus penguburan
suami saya. Sekarang, setelah saya masih dapat bertahan hidup karena ada suhu yang
menghibur dan menasihati, tiba-tiba suhu hendak pergi meninggalkan saya. Membayangkan
harus hidup seorang diri di sini, tidak mempunyai apa-apa lagi, hidup sebatang kara sebagai
seorang janda... ah, saya merasa ngeri, suhu. Saya akan menjadi bahan gunjingan, bahan
ejekan, bahkan bahan penghinaan orang-orang. Saya tidak sanggup menghadapi semua itu
dan lebih baik saya mati saja, suhu...” Kembali wanita itu menangis sedih.
“Omitohud...!” berulang kali Bouw In Hwesio menggumamkan pujian ini dan di dalam hati
dia merasa kasihan sekali. Dia tahu betapa takutnya wanita ini menghadapi kehidupan seorang
diri, dan dia tahu pula bahwa kekhawatiran wanita itu bukan tak berdasar. Sebagai janda
muda tanpa anak, tanpa keluarga sama sekali, sudah pasti akan banyak pria datang menggoda
dan banyak wanita mencemburuinya. Hidupnya akan merupakan siksaan belaka, apa lagi
keadaannya amat miskin.
“Nyonya, apakah engkau sudah tidak mempunyai sanak keluarga lagi kepada siapa engkau
akan dapat minta bantuan dan tinggal bersama mereka? Kalau tidak sanak keluarga, sanak
keluarga suamimu?”
“Tidak, tidak ada, suhu. Biarpun ada akan tetapi sama dengan tidak ada. Dahulu, dalam usia
delapan belas tahun, orang tuaku hendak memberikan aku kepada seorang hartawan unuk
menjadi selirnya. Akan tetapi aku tidak mau, dan aku lalu melarikan diri dengan Tang Lok,
pemuda tetanggaku yang menjadi suamiku kemudian. Kalau aku pulang, orang tuaku tentu
tidak akan sudi menerimaku, demikian pula orang tua Tang Lok yang semua mengutuk
perbuatan kami melarikan diri. Suhu, saya tidak mempunyai sanak keluarga lagi...”
“Hemm, kalau begitu, lalu bagaimana kehendakmu, nyonya?”
Wanita itu bangkit dari bangkunya dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bouw In
Hwesio, “Hanya suhu seorang manusia di dunia ini yang sekarang menjadi harapanku. Suhu,
kalau suhu pergi, bawalah saya. Saya akan merawat dan melayani semua keperluan suhu,
mencuci pakaian, menyediakan makanan, bekerja sebagai pembantu, sebagai budak.
Setidaknya ada artinya saya hidup. Kalau suhu tidak mau menerima saya, dan meninggalkan
saya di sini seorang diri, saya lebih senang mati menyusul suami saya dari pada hidup
menderita siksaan lahir batin.”
Bouw In Hwesio terkejut, sejenak tak dapat bicara. Dia sendiri seorang hwesio, perantau pula,
tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, tidak mempunyai harta kekayaan. Bagaimana
mungkin dia menerima seorang wanita, seorang janda, yang ingin mengikutinya? Sebagai
pembantu? Betapa janggal dan anehnya, seorang pendeta miskin perantau mempunyai
pembantu! Menjadi murid? Kui Bi Lan tidak memiliki bakat menjadi seorang pesilat, apa lagi
ia seorang wanita, seorang janda yang usianya sudah tiga puluh lima tahun. Akan tetapi kalau
dia menolak? Dia hampir yakin bahwa tentu wanita yang putus asa ini akan membunuh diri!
Kalau dia yang hidup tidak mau diikutinya, tentu wanita itu memilih ikut suaminya yang
sudah mati! Dan kalau terjadi wanita ini membunuh diri karena dia, berarti dia yang
menyebabkan wanita itu mati, dan dia memikul karma yang buruk. Akan tetapi kalau dia
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 184
menerimanya, lalu bagaimana? Tiba-tiba timbul harapannya. Biarlah wanita ini mengikutinya,
kalau nanti merasa tidak tahan dengan kehidupan perantauan yang miskin dan sukar, tentu
wanita itu akan mundur sendiri. Dan kalau wanita itu yang meninggalkannya, bukan dia yang
meninggalkan wanita itu, lalu terjadi apa-apa dengan wanita itu, dia tidak bertanggung jawab
lagi, lahir maupun batin. Akan tetapi, bayangan inipun tidak mengenakkan hatinya. Dia
sungguh merasa kasihan kepada wanita ini, wanita yang mengingatkan dia kepada isterinya!
“Omitohud, apa yang dapat pinceng lakukan? Baiklah, nyonya, kalau itu yang kaukehendaki.
Engkau boleh ikut pinceng, hanya ketahuilah bahwa pinceng seorang pendeta perantau yang
tidak mempunyai tempat tinggal, yang miskin dan...”
Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan ucapannya karena wanita itu sudah menubruk
kakinya dan menangis sambil mengucapkan terima kasih. Air matanya bercucuran membasahi
dan membasuh kedua kaki Bouw In Hwesio yang masih bertelanjang karena belum
mengenakan sepatunya itu.
“Terima kasih, suhu, terima kasih... suhu telah menyambung kehidupan saya...”
“Nyonya, jangan begitu. Bangkitlah...!” Bouw In Hwesio mengangkatnya bangun dan kini
wanita itu memandang kepadanya dengan mata yang merah dan muka basah, akan tetapi
mulutnya mengandung senyum kebahagiaan dan penuh harapan.
“Suhu, nama saya Kui Lan Bi, panggil saja Lan Bi, harap jangan menyebut nyonya lagi, suhu
sudah siap? Biar saya ambilkan sepatu suhu...!” Dengan cekatan seolah ada semangat dan
hidup baru yang menggerakkan tubuhnya yang selama beberapa hari nampak layu dan lemah,
Lan Bi setengah berlari ke bilik dan mengambilkan sepatu hwesio itu. Dengan cekatan pula ia
membawa sepatu itu, berlutut di depan kaki Bouw In Hwesio dan hendak membantu hwesio
itu mengenakan sepatunya, sikapnya seperti seorang hamba sahaya yang setia dan taat!
Bouw In Hwesio merasa terharu. “Mulai sekarang, engkau harus mentaati semua petunjukku,
Lan Bi. Nah, perintahku yang pertama, jangan engkau membantuku memakai sepatuku, akan
tetapi cepat kauselesaikan mempersiapkan sarapan pagi. Sebelum kita pergi, engkau harus
makan dulu. Sudah tiga hari ini engkau tidak makan, engkau dapat jatuh sakit. Cepat
laksanakan perintahku ini!”
Lan Bi bangkit berdiri, memandang kepada hwesio itu penuh rasa terima kasih, lalu
menjawab penuh semangat, “Baik, suhu, akan saya laksanakan perintah suhu!” Dan iapun
setengah berlari pergi ke dapur. Bouw In Hwesio menjatuhkan dirinya di atas bangku,
mengenakan sepatunya lalu termenung dan berulang kali menghela napas panjang,
menggeleng kepala, tersenyum-senyum pahit, menggeleng kepala lagi, lalu menganggukangguk.
Pada keesokan harinya, mereka berdua pergi meninggalkan dusun, diiringi jebiran dan
gunjingan orang sedusun. Akan tetapi Lan Bi tidak menghiraukan itu semua, bahkan setelah
ia dan hwesio itu jauh meninggalkan dusun, semakin ringan rasa hatinya, seolah seekor
burung yang baru saja terlepas dari sangkarnya.
Mungkin karena merasa hutang budi, apa lagi karena di dunia ini tidak ada orang lain lagi
yang bersikap baik terhadapnya, yang dapat digantungi harapan masa depannya, Lan Bi
benar-benar amat taat dan berbakti terhadap Bouw In Hwesio. Di lain pihak mungkin karena
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 185
iba hati dan karena persamaan janda itu dengan mendiang isterinya, Bouw In Hwesio juga
merasa sayang. Suka duka mereka dalam perjalanan, dalam perantauan, dalam menghadapi
bahaya, ketika mereka saling membela, saling menghibur, bukan hal yang aneh kalau
akhirnya timbul perasaan lain dalam hati masing-masing. Cinta kasih dapat bersemi di tempat
manapun juga, dan dapat melanda di hati siapapun, tua muda, kaya miskin. Bouw In Hwesio
yang semenjak ditinggal mati isterinya, dua puluh tahun yang lalu, hidup sebagai pendeta,
mengekang nafsu duniawi dan menjauhi segala kesenangan, kini setelah bergaul dengan Lan
Bi yang hidup di sampingnya, tak kuasa menahan gairah cintanya. Akhirnya, dengan sukarela,
keduanya mengambil keputusan untuk menjadi suami isteri! Bouw In Hwesio rela
meninggalkan kependetaannya, menjadi orang biasa yang berkepala botak, namun bagi Lan
Bi, dia merupakan pria terbaik di dunia ini, pengganti suaminya!
Cinta asmara memang sesuatu yang ajaib. Bukan monopoli pria ganteng dan wanita jelita
saja. Juga cinta asmara bukan didatangkan karena ketampanan atau kecantikan belaka. Bukan
pula karena harta kekayaan. Bahkan lebih sering dan lebih kuat cinta asmara yang
dibangkitkan oleh persamaan watak dan kebaikan pribudi ini biasanya lebih kuat dan lebih
awet, sebaliknya, yang dibangkitkan oleh keelokan wajah dan banyaknya harta benda, kadang
kala malah rapuh. Memang tidak mengherankan. Kecantikan dan ketampanan wajah hanyalah
setipis kulit, tidak menembus batin. Maka, yang tadinya nampak cantik atau tampan, setelah
timbul pertikaian karena keburukan watak, maka yang cantik atau tampan itu nampak buruk
seperti setan! Demikian pula harta kekayaan, hanya menempel di luar kulit belaka. Betapa
banyaknya orang yang menikah dengan hartawan, akhirnya menderita batinnya dan harta
kekayaan yang tadinya diidamkan, kehilangan daya tariknya, bahkan kehilangan daya
hiburnya. Sebaliknya, suami isteri miskin yang tidak cantik tidak tampan sekalipun, dapat
hidup berbahagia dan saling mencinta karena mereka memang memiliki cinta yang murni,
cinta yang mendatangkan perasaan belas kasihan, mendatangkan kemesraan, mendatangkan
perasaan tenang dan aman tenteram, ada ikatan batin yang mendalam.
Setelah menjadi suami isteri, Lan Bi menceritakan kepada suaminya bahwa ia memiliki
seorang kakak misan yang juga merupakan seorang ahli silat kenamaan akan tetapi sudah
lama ia tidak pernah berhubungan dengan kakak misan itu. Suaminya, Bouw In Hwesio yang
sekarang kalau memperkenalkan diri bernama Bouw In saja, terkejut ketika mendengar bahwa
kakak misan isterinya itu bukan lain adalah Twa-sin-to Coa Kun dan karena kebetulan
perantauan mereka tiba tak jauh dari Nan-king, merekapun pada suatu hari mengunjungi Coa
Kun atau Coa-pangcu (ketua Coa) di kota Nan-king. Pertemuan antara saudara misan itu tentu
tidak akan mengesankan atau pihak keluarga Coa tidak akan menyambut dengan gembira
kalau saja Lan Bi datang seorang diri. Akan tetapi, adik misan ini datang sebagai isteri Bouw
In Hwesio! Tentu saja demi bekas pendeta itu, Coa Kun menyambut dengan penuh
kegembiraan dan kehormatan dan mereka diterima sebagai tamu kehormatan.
Akan tetapi, Bouw In Hwesio atau sebaiknya kalau kita sebut nama barunya, Bouw In tanpa
embel-embel hwesio, tidak mau tinggal menumpang di rumah besar ketua Hek I Kaipang.
Atas bantuan Coa Kun, dia memilih tinggal di sebuah dusun di luar kota Nan-king, dibelikan
sebuah rumah oleh Coa Kun. Untuk membalas budi Coa Kun, Bouw In tidak menolak ketika
puteri Coa Kun, yaitu Coa Leng Si, mengangkatnya sebagai guru. Bahkan setelah melihat
bakat besar yang dimiliki Leng Si yang memang sudah mewarisi ilmu-ilmu dari ayahnya,
Bouw In merasa suka sekali kepada murid ini dan dia bahkan mengajarkan ilmu
simpanannya, yaitu Sin-tiauw ciang-hoat! Tentu saja Leng Si maju pesat selama dua tahun
digembleng Bouw In, dan tingkat kepandaiannya bahkan melebihi tingkat ayahnya!
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 186
Demikianlah sedikit riwayat Bouw In mengapa dia kini dekat dengan pimpinan Hek I
Kaipang. Biarpun dahulu dia tidak pernah menentang pemerintah secara berterang, namun
diapun tidak suka membantu pemerintah Mongol. Dia tidak mau terlibat dalam urusan
pemerintahan maupun pemberontakan. Beberapa kali dia dibujuk oleh Coa Kun untuk
membantu pemerintah menumpas pemberontak, akan tetapi selalu ditolaknya dengan halus.
“Coa-pangcu, sejak semula aku sudah memberi tahu kepadamu bahwa aku tidak ingin terlibat
dalam urusan pemerintah yang bermusuhan dengan para pemberontak. Aku tidak ingin
membantu pemerintah, juga tidak mau membantu pemberontak. Aku ingin hidup tenteram di
dusun bersama isteriku, menghabiskan masa tuaku,” demikian dia memberi alasan.
Akan tetapi, pada siang hari itu, muridnya, Coa Leng Si datang bersama seregu prajurit yang
membawa surat undangan dari Panglima Yauw Tu Cin. Leng Si membujuk suhunya untuk
datang menghadap, menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Yauw-Ciangkun di rumah
ayahnya. “Suhu, urusannya bukan sekedar penumpasan pemberontakan. Suhu tidak akan
dilibatkan dengan urusan itu, akan tetapi ada hal lain yang amat penting, yang membutuhkan
bantuan suhu. Bahkan ayah telah mengundang kakek dan nenek guru untuk datang
membantu.”
Bouw In tentu saja merasa tertarik. “Apasih urusannya?” akhirnya dia bertanya, karena
biarpun dia dapat menolak undangan Coa Kun, ia merasa tidak enak kalau tidak
menghiraukan undangan Yauw-Ciangkun, komandan pasukan keamanan di Nan-king.
Menolak undangan itu berarti dia mengambil sikap menentang, dan dia bisa dianggap
bersekutu dengan pemberontak!
“Teecu (murid) sendiri belum tahu, suhu. Agaknya urusan penting yang dirahasiakan.”
Demikianlah, Bouw In berangkat menunggang kuda bersama Leng Si dan belasan orang
prajurit, dan dapat membantu Coa Kun yang bertanding melawan Cu Goan Ciang dan Tang
Hui Yen sehingga kedua orang muda itu akhirnya tertawan.
Setelah dua orang tawanan itu dibawa pergi oleh pasukan untuk dihadapkan komandan
mereka, Coa Kun lalu memperkenalkan Bouw In dengan sepasang kakek dan nenek itu. Akan
tetapi sebelum dia memperkenalkan, baru berkata, “Ini adalah suhu dan suboku...” Bouw In
sudah memotongnya sambil tersenyum.
“Aku sudah mengenal mereka. Siapa yang tidak akan mengenal Thian Moko (Iblis Langit)
dan Tee Moli (Iblis Bumi)? Ha-ha, sudah bertahun-tahun tidak pernah bersua, apakah kalian
baik-baik saja, Siang Lomo (Sepasang Iblis Tua)? Dan angin apa yang meniuo kalian
memasuki dunia ramai?”
Sepasang kakek nenek tua renta itu saling pandang, lalu mengamati pria tinggi besar yang
kepalanya botak dan berjubah lebar itu. Kemudian, kakek tua renta yang berjuluk Thian Moko
mengerutkan alisnya, memandang tajam dan berkata, suaranya tinggi kecil, cocok dengan
tubuhnya yang tinggi kurus pula.
“Sungguh mata ini sudah terlalu tua, ingatan ini sudah terlalu pikun. Akan tetapi, kami
rasanya tidak pernah jumpa dengan si-cu (orang gagah), walaupun gerakan si-cu tadi jelas
berdasarkan ilmu silat Siauw-lim-pai yang tangguh. Siapa gerangan si-cu?”
“Ilmu silat tadi aneh, biarpun dasarnya Siauw-lim-pai, akan tetapi belum pernah aku
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 187
menyaksikan orang Siauw-lim-pai bersilat seperti itu, seperti gerakan burung!” kata si nenek
tua renta yang usianya sekitar hanya satu dua tahun lebih muda dari suaminya, yaitu sekitar
delapan puluhan tahun. Kalau kakek itu suaranya meninggi kecil, sesuai dengan tubuhnya
yang tinggi kurus, nenek yang berjual Tee Moli ini memiliki suara yang parau besar, sesuai
pula dengan tubuhnya yang pendek dan gemuk sekali.
Bouw In tertawa. “Omitohud! Apakah Siang Lomo hanya mengenal orang karena pakaiannya
belaka? Andai kata aku mengenakan jubah merah dan kepalaku gundul, lalu bersikap sebagai
seorang hwesio, agaknya baru kalian akan mengenalku. Memang aku murid Siauw-lim-pai,
akan tetapi sekarang tidak lagi menjadi seorang hwesio.”
“Ah, kiranya Bouw In Hwesio!” kini kakek itu berseru.
“Luar biasa!” kata isterinya. “Bagaimana mungkin ini? Kalau orang biasa mengubah dirinya
menjadi pendeta untuk menebus dosa dan kembali ke jalan benar, itu baru wajar. Akan tetapi
kalau hwesio mengubah diri menjadi orang biasa, menambah dosa memilih jalan sesat,
barulah luar biasa!”
Bouw In tertawa. “Kembali kalian hanya menilai orang dari pakaian dan kedudukannya. Pada
hal, pakaian dan kedudukan itu hanya kulitnya belaka, dan yang terpenting adalah isinya,
bukan? Bagi manusia, isi dirinya nampak pada sepak terjangnya dalam kehidupan, pada
pikiran, kata-kata dan perbuatannya.”
Siang Lomo saling pandang dan tertawa. Thian Moko tertawa dengan suaranya yang kecil
tinggi, lalu berkata, “Bukan main! Sejak dahulu menjadi seorang hwesio sampai sekarang,
Bouw In Hwesio memang seorang yang aneh dan menyimpang dari orang lain, ingin sekali
kami berdua melihat apakah ilmu kepandaianmu juga tetap aneh dan menyimpang dari orang
lain! Dahulu ketika engkau menjadi hwesio, engkau tidak pernah tinggal di kuil mengajarkan
agama, tidak pernah mengemis makanan, melainkan berkelana seperti seorang petualang
sejati. Kini, setelah menjadi orang biasa, engkaupun aneh, bahkan bersembunyi di dusun dan
tidak ikut dengan persaingan keramaian dunia. Heh-heh-heh!”
Melihat percakapan itu menjurus kepada kritikan yang mungkin akan menimbulkan
bentrokan, atau setidaknya mengadu kepandaian, Hek I Kai-pangcu Coa Kun cepat
menengahi.
“Suhu dan subo, dan juga Bouw In suhu, harap sam-wi (kalian bertiga) bersabar sampai kita
tiba di rumah, barulah kita dapat melakukan percakapan panjang yang lebih dan penting. Apa
lagi, sekarang tentu Yauw-Ciangkun telah menanti di rumah kami dan saya tidak ingin
mengecewakan hati Yauw-Ciangkun dengan membiarkan dia menunggu terlalu lama.”
Mereka lalu menuju ke rumah Coa Kun dan benar saja, Yauw-Ciangkun telah menanti di
rumah itu. Akan tetapi, komandan kota Nan-king ini tidak marah, bahkan dia merasa gembira
sekali mendengar ditawannya pemberontak Cu Goan Ciang dan cucu dari Pek Mau Lokai
yang menjadi pimpinan Hwa I Kaipang, perkumpulan pengemis yang dianggap menentang
pemerintah. Mendengar bahwa pasukan telah membawa merka ke benteng untuk
menyerahkan mereka kepada Shu-Ciangkun, komandan ini tertawa gembira.
“Bagus, Shu-Ciangkun tentu akan dapat memaksa mereka mengakui di mana adanya
pimpinan para pemberontak yang lain. Hanya Shu-Ciangkun yang akan mampu menindas
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 188
pemberontakan dan memadamkan api pemberontakan sebelum menjalar luas,” kata Yauw-
Ciangkun yang merasa bangga dengan pembantu barunya yang masih muda dan lihai itu.
Mereka semua lalu mengadakan pertemuan di ruangan yang luas dan memang disediakan
untuk pertemuan yang penting. Ruangan itu tertutup dan di sekelilingnya dijaga ketat oleh
anak buah Hek I Kaipang sehingga jangan harap ada orang luar akan mampu ikut
mendengarkan apa yang dibicarakan di dalam ruangan itu. Panglima Yauw Tu Cin atau nama
aslinya Yatucin, komandan kota Nan-king, duduk sebagai pimpinan di kepala meja. Coa Kun
dan puterinya, Coa Leng Si, duduk di sebelah kananya. Di sebelah kirinya duduk suami isteri
Siang Lomo atau sepasang Iblis, kemudian baru duduk Bouw In yang bersikap sederhana,
bahkan agak acuh.
“Pertama-tama, kami atas nama pemerintah mengucapkan selamat datang dan terima kasih
kepada sam-wi lo-cian-pwe (tiga orang tua gagah), yaitu Huang-ho Siang Lomo (Sepasang
Iblis Tua Sungai Kuning) dan lo-cian-pwe Bouw In yang sudah banyak kami dengar
kesaktiannya dari saudara Coa Kun.”
“Aihh, kami berdua adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua dan loyo,” kata Thian
Moko dengan suaranya yang tinggi.
“Akan tetapi, untuk murid kami Coa Kun, kami akan mempersiapkan tenaga kami kalau
memang dapat membantunya,” sambung Tee Moli dengan suaranya yang parau dan besar.
“Omitohud..., saya telah lama mengambil keputusan untuk tidak mencampuri urusan negara,
Ciangkun,” kata pula Bouw In.
“Terima kasih kepada ji-wi Siang Lomo yang telah menyatakan kesediaan mereka untuk
membantu saudara Coa Kun. Sebetulnya, urusan ini memang bukan hanya menyangkut diri
saudara Coa Kun, akan tetapi terutama sekali menyangkut kehidupan rakyat. Bouw lo-cianpwe,
biarpun lo-cian-pwe tidak mau mencampuri urusan negara, akan tetapi kami percaya
bahwa seorang gagah perkasa dan juga beribadat seperti lo-cian-pwe, akan suka
menyumbangkan tenaganya demi kesejahteraan dan ketenteraman rakyat, bukan?”
“Hemm, terus terang saja, Ciangkun. Saya menghormati Ciangkun sebagai komandan di Nanking
yang bertanggung jawab akan keamanan dan ketertiban di sini, maka saya datang
memenuhi undangan Ciangkun. Sebelum saya menyatakan pendapat dan keputusan saya
menyambut tawaran Ciangkun, saya ingin mendengar dulu, apa yang dapat saya lakukan
untuk membantu Ciangkun. Terus terang saja lebih dulu saya beritahukan bahwa kalau saya
disuruh membantu Ciangkun untuk menumpas pemberontak, saya tidak akan dapat
menerimanya. Bukan karena saya memihak pemberontak, melainkan karena di antara para
pemberontak itu terdapat banyak sahabat-sahabat baik saya. Saya tidak ingin menjadi seorang
pengkhianat terhadap para sahabat saya sendiri, Ciangkun.”
“Baiklah, lo-cian-pwe. Kami tidak akan memaksa siapapun melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan suara hati sendiri. Akan tetapi kamipun tidak mengajak sam-wi untuk
membantu kami menumpas pemberontakan. Kami hanya mengajak sam-wi untuk membantu
agar jangan sampai terjadi perang, jangan sampai terjadi bentrokan besar-besaran yang akan
menghancurkan persatuan orang-orang kang-ouw. Kami dari pihak pemerintah merasa amat
penting menjaga keutuhan para tokoh dunia persilatan karena kekuatan mereka yang akan
mampu mempertahankan keamanan dalam kehidupan rakyat jelata. Para penjahat tidak berani
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 189
merajalela hanya karena mereka takut kepada para pendekar, bukankah demikian? Nah,
masalah yang akan kami bicarakan, yaitu tentang pemilihan Beng-cu di antara para tokoh
persilatan.”
“Apa yang dapat saya lakukan dalam urusan pemilihan Beng-cu, Ciangkun? Saya tidak ingin
menjadi Beng-cu, kalau itu yang Ciangkun maksudkan,” kata pula Bouw In Hwesio.
“Heh-heh, kamipun sudah terlalu tua untuk menjadi Beng-cu!” kata Thian Moko dan isterinya
mengangguk membenarkan.
“Harap sam-wi tidak keliru dan salah sangka. Bukan maksud kami minta kepada sam-wi
untuk menjadi Beng-cu. Akan tetapi, sam-wi tentu mengetahui apa akibatnya kalau sampai
kedudukan Beng-cu dipegang seorang pemberontak. Sudah pasti dia akan mengerahkan
semua tenaga orang-orang dunia persilatan untuk memberontak terhadap pemerintah. Nah,
kalau begitu maka akan terjadi perang dan terjadi perpecahan di antara para tokoh kang-ouw.
Tidakkah itu menyedihkan sekali? Sebaliknya, kalau yang menjadi Beng-cu seorang yang
tidak suka adanya perang, yang menghendaki rakyat hidup tenteram dan sejahtera, tentu dia
akan mencegah adanya perang. Di sinilah bantuan sam-wi kami butuhkan, yaitu untuk
memberi suara kepada calom yang suka damai dan menentang dipilihnya calon yang akan
menimbulkan perang.”
Setelah mendapatkan kesempatan, Coa Kun sendiri lalu bicara. “Suhu, subo dan Bouw-suhu,
apa yang dikemukakan yauw-Ciangkun tadi adalah garis besarnya, dan pokok persoalan.
Akan tetapi banyak sekali kaitannya. Pemilihan Beng-cu masih lama, akan tetapi yang
sekarang perlu kita tanggulangi adalah bahaya yang mengancam kedamaian rakyat. Baru saja
sam-wi melihat sendiri betapa kami diserang oleh dua orang pemberontak. Yang seorang
sudah terkenal sebagai pemberontak berbahaya, yaitu Cu Goan Ciang yang telah membunuhi
banyak orang, dan yang ke dua adalah cucu Pek Mau Lokai ketua Hwa I Kaipang. Nah, sudah
jelas bahwa Hwa I Kaipang adalah perkumpulan yang memberontak. Mereka mendatangkan
kekacauan, pembunuhan, dan segala macam kejahatan yang meresahkan rakyat. Akan tetapi
harus diakui bahwa Pek Mau Lokai amatlah lihainya. Untuk menghadapi dia dan para
pembantunyalah kami mohon bantuan sam-wi. Selama para pimpinan Hwa I Kaipang tidak
ditangkap atau dibunuh, selalu akan timbul kekacauan dan ketidak amanan di Nan-king.”
Huang-ho Siang Lomo tentu saja siap untuk membantu murid mereka menghadapi Hwa I
Kaipang. Bouw In tadinya merasa enggan untuk mencampuri, akan tetapi mengingat bahwa
isterinya masih adik misan Coa Kun, dan ketua Hek I Kaipang ini sudah banyak membantu
dia dan isterinya, menerimanya dengan ramah dan baik, lebih-lebih kini puteri ketua itu, Coa
Leng Si, telah menjadi muridnya yang dia sayang, maka diapun tidak dapat menolak lagi.
Demikianlah, sejak hari itu, Hek I Kaipang diperkuat oleh tiga orang tokoh besar ini sehingga
selain Coa Kun merasa gembira, juga Yauw-Ciangkun senang karena di pihak yang pro
pemerintah bertambah tenaga yang dapat diandalkan.
Dalam keadaan kaki tangan terbelenggu, Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen didorong jatuh
menjerembab di atas lantai, di depan seorang panglima muda yang duduk di kursinya dengan
sikap angkuh. Cu Goan Ciang mengangkat mukanya memandang dan dia terbelalak.
Panglima muda itu! Dia berani bersumpah bahwa panglima ini adalah sutenya, Shu Ta! Akan
tetapi, dia membantah keyakinannya sendiri. Tidak mungkin sutenya kini menjadi panglima
yang menghambakan diri kepada pemerintah penjajah Mongol! Mustahil! Dia mengenal
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 190
benar siapa dan bagaimana watak sutenya. Shu Ta adalah seorang yang berjiwa patriot, yang
seperti juga dia, bertekad untuk berjuang mengusir penjajah Mongol. Bagaimana mungkin
kini menjadi panglima Mongol? Tentu dia salah lihat, atau memang wajah panglima ini mirip
Shu Ta.
Panglima itu memandang kepada dua orang tawanannya, lalu memberi perintah kepada para
pengawalnya. “Kosongkan ruangan ini! Aku sendiri yang akan memeriksa mereka!”
Mendengar suara panglima ini, hampir saja Cu Goan Ciang berteriak. Suara itu! Tak salah
lagi, orang ini pasti Shu Ta. Mana ada dua orang yang serupa segala-galanya, termasuk
suaranya? Para pengawal dan prajurit yang membawa dua orang tawanan itupun tidak berani
membantah perintah sang panglima. Hanya kepala regu penawan itu yang berkata, “Tai-
Ciangkun, dua orang tawanan ini lihai sekali, mereka berbahaya!”
Panglima itu melotot. “Biar mereka tidak terbelenggu sekalipun, aku dapat mengatasi mereka.
Apa lagi mereka terbelenggu. Kaukira aku takut! Hayo cepat keluar, aku akan memeriksa dan
memaksa mereka mengaku!” Dibentak demikian, semua prajurit segera meninggalkan
ruangan itu.
Setelah mereka pergi, Cu Goan Ciang yang tidak dapat menahan lagi penasaran di hatinya,
berseru, “Kau...?”
“Sssttt...!” Panglima itu yang bukan lain adalah Shu Ta, cepat menaruh telunjuknya di atas
bibir, memberi isarata kepada Cu Goan Ciang untuk diam. Panglima itu lalu menulis di atas
sehelai kertas dengan cepat, dan menyerahkan “surat” itu kepada Cu Goan Ciang yang cepat
membacanya. Singkat saja, akan tetapi cukup meyakinkan. “Bersikaplah seolah kita tidak
saling mengenal. Jangan khawatir, aku akan membebaskanmu.” Hanya demikian isi surat. Cu
Goan Ciang mengangguk dan surat itupun diambil kembali oleh Shu Ta.
“Nah, sekarang kalian ceritakan, siapa saja dan di mana adanya kawan-kawan kalian, para
pimpinan pemberontak itu!” tiba-tiba Shu-Ciangkun membentak dengan suara nyaring.
Tang Hui Yen tadi juga membaca tulisan panglima itu. Dara ini amat cerdik sehingga melihat
sedikit tulisan itu, ia telah tanggap, apa lagi ketika Cu Goan Ciang memperkenalkan dengan
bisikan. “Dia suteku.” Tahulah gadis ini bahwa sute dari Cu Goan Ciang ini merupakan satusatunya
harapan mereka untuk dapat lolos, maka iapun membantu permainan sandiwara
panglima itu.
“Hemm, apa perlunya membujuk atau menakut-nakuti kami? Kami sudah tertawan, mau
hukum, hukumlah, mau bunuh, bunuhlah, kami tidak takut mati dan tidak perlu lagi engkau
banyak bicara!” Bentakan gadis itu nyaring sekali dan Shu Ta tersenyum, matanya bersinar
gembira dan kagum. Seorang gadis yang hebat, pikirnya.
Tadi ketika para prajurit menyerahkan tawanan, Shu Ta mendengar laporan mereka bahwa
gadis itu adalah cucu Pek Mau Lokai, pimpinan Hwa I Kaipang, maka tahulah dia bahwa
gadis ini seorang pejuang yang gagah. Diapun tertawa bergelak, suara tawa yang seperti
mengejek. “Ha-ha-ha-ha, engkau ini yang menjadi pimpinan perkumpulan jembel Hwa I
Kaipang yang membuat kerusuhan dan kekacauan di Nan-king, ya? Seorang wanita muda!
Aku mempunyai cara yang membuat seorang wanita akan menyesal menjadi manusia kalau
engkau tidak cepat membuat pengakuan!”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 191
Cu Goan Ciang tadinya terkejut bukan main ketika mengenal komandan Mongol itu ternyata
sutenya sendiri, akan tetapi sekarang diapun sudah dapat menenangkan diri. Entah apa alasan
Shu Ta menjadi seorang panglima Mongol! Apapun alasannya, dapat dibicarakan kelak. Kini
yang terpenting, sutenya itu berjanji akan membebaskan dia dan Yen Yen! Maka, melihat
sikap Yen Yen, diapun segera menanggapi.
“Perwira Mongol keparat! Kami memang pemberontak, kami berjuang untuk membebaskan
rakyat dari pada cengkeraman penjajah. Sekarang kami telah tertawan, tidak perlu banyak
cakap lagi. Kami siap menerima hukuman mati sekalipun!”
“Jadi kalian tidak mau mengaku siapa kawan-kawan kalian dan di mana mereka?”
“Tidak sudi!” Goan Ciang dan Hui Yen menjawab serentak.
Shu-Ciangkun tertawa lagi. “Hemm, aku memberi waktu kepada kalian sampai besok pagi.
Malam ini pikirkan baik-baik karena kalau besok kalian tetap berkeras kepala tidak mau
menunjukkan tempat sembunyi kawan-kawan kalian, maka kalian akan mati sekerat demi
sekerat!” Shu-Ciangkun bertepuk tangan memberi isarat kepada para pengawal. Biarpun para
pengawal tadi tidak ada yang berani mengintai ke dalam, akan tetapi telinga mereka dapat
menangkap percakapan yang nyaring itu.
Setelah empat orang pengawal masuk, Shu-Ciangkun memberikan perintahnya.
“Masukkan mereka ini ke dalam sel. Satukan dalam sel agar mereka dapat berunding. Biarkan
belenggu kaki tangan mereka dan baru boleh dilepaskan kalau mereka akan makan dan ada
keperluan ke belakang. Jaga ketat, dan di luar kamar tahanan mereka harus selalu dijaga oleh
dua belas orang pengawal. Malam ini, semua penjaga di luat pintu sel jangan ada yang tertidur
atau aku akan memberi hukuman berat!”
“Baik, panglima!” kata kepala pengawal dan empat orang itu lalu menarik Goan Ciang dan
Hui Yen keluar dari ruangan itu, memasukkan mereka di dalam sel yang istimewa, yaitu sel
yang terpisah dan dijaga ketat.
Setelah mereka berdua didorong masuk dalam keadaan kaki tangan terbelenggu sehingga
mereka terpelanting roboh dan rebah miring, pintu sel ditutup dan dipasangi gembok baja
yang besar dari luat. Sel itu hanya tiga kali tiga meter luasnya, tanpa ada perabot apapun
sehingga mereka berdua terpaksa harus rebah di atas lantai yang dingin. Temboknya amat
tebal dan di depan terdapat pintu baja dan juga lubang angin yang dipasangi terali baja yang
kokoh kuat.
Goan Ciang bergulingan mendekati Hui Yen dan mereka rebah miring saling berhadapan.
“Kenapa sutemu menjadi panglima Mongol?” Hui Yen bertanya dalam bisikan.
“Entahlah, akan tetapi dia pejuang sejati.”
“Hemm, bagaimana kita dapat percaya padanya? Jangan-jangan sikapnya tadi hanya
pancingan agar kita tunduk dan taat, suka bekerja sama dengan dia.”
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 192
“Tidak mungkin! Aku mengenal dia sejak kecil. Dia cerdik sekali dan aku bahkan yakin
bahwa masuknya menjadi panglima Mongol merupakan siasatnya.”
“Jadi engkau percaya bahwa dia pasti akan membebaskan kita?”
“Aku percaya. Kita tunggu saja dan siap siaga menghadapi segala kemungkinan.”
Hening sejenak, kemudian terdengar bisikan halus Hui Yen, “Cu-twako...”
Goan Ciang memandang heran karena dalam suara gadis itu kini terkandung getaran aneh dan
ketika dia melihat mukanya, jelas nampak betapa rasa takut terbayang di sana. “Ada apakah,
Yen-moi?” Lalu melihat wajah gadis itu, dia menyambung, “Engkau takut...?”
Dalam keadaan biasa, kalau ada yang menyangka ia takut, gadis yang lincah periang dan
galak ini tentu akan marah-marah. Akan tetapi saat itu, ia sama sekali tidak marah, bahkan
mengangguk! “Twako, bagaimana andai kata... seandainya saja sutemu itu hanya berbohong
dan menjebak kita? Bagaimana andai kata ancamannya tadi bukan hanya kosong belaka? Kita
akan disiksa...”
“Yen-moi, dalam keadaan seperti ini, jangan membiarkan pikiran membayangkan hal yang
belum terjadi, karena rasa takut timbul oleh ulah pikiran yang membayangkan hal-hal yang
tidak enak. Kita melihat kenyataan saja, siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam
keadaan waspada dan siap siaga, tanpa membayangkan sesuatu, tidak akan ada rasa takut.
Yang akan terjadi, terjadilah, namun kita selalu siap menanggulanginya, selalu wajib
berikhtiar sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri. Kita adalah orang-orang yang berjuang
demi membela rakyat dan tanah air, dan jelas bahwa taruhannya adalah kalau atau terbunuh.
Dan kita akan melawan sampai titik darah yang penghabisan, bukan?”
Perlahan-lahan, bayangan rasa takut meninggalkan wajah yang cantik manis itu dan kini
kembali sepasang mata itu bersinar dan wajah itu berseri. “Terima kasih, koko. Engkau telah
menenteramkan hatiku. Maaf... rasa takut tadi menguasaiku..., sungguh memalukan sekali...”
“Ah, Yen-moi, kenapa memalukan? Takut itu wajar saja. Kaukira akupun tidak mengenal
takut? Semua manusia mempunyai rasa takut ini, akan tetapi kalau kita tidak membiarkan
pikiran kita melayang dan membayangkan hal-hal yang belum terjadi, maka rasa takut akan
menghilang.”
“Terima kasih, dan kini hatiku mantap dan tenang. Andai kata sudah takdirnya aku akan
matipun, aku tidak gentar! Bukankah ada engkau di sampingku? Kalau ada engkau
mendampingiku, biar matipun aku tidak takut. Kita akan mati bersama, toako!”
Goan Ciang merasa terharu. Dia mengerti apa yang terjadi dalam hati gadis ini. Ia jatuh cinta
kepadanya! Dan dia sendiri? Ah, belum sempat dia berpikir tentang cinta, belum hilang luka
di hatinya oleh kematian Kim Lee Siang, wanita yang pertama kali menjatuhkan hatinya, yang
dicintanya dan mencintanya. Akan tetapi, dia yakin pula bahwa tidak akan sukar bagi hatinya
untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Hui Yen ini. Akan tetapi, belum waktunya
untuk membiarkan diri hanyut dalam kemesraan cinta lagi. Perjuangan masih belum selesai,
bahkan kini mereka berdua menjadi tawanan dan mereka hanya dapat mengandalkan sutenya
untuk dapat meloloskan diri. Tanpa bantuan sutenya, bagaimana mungkin membebaskan diri
dalam kamar tahanan sebuah benteng?
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 193
“Yen-moi, aku berjanji tidak akan meninggalkanmu. Semua ancaman bahaya kita hadapi
bersama, dan kalau perlu, kita mati bersama demi perjuangan!”
“Demi perjuangan!” kata pula Yen Yen dengan penuh semangat.
“Sekarang, kita harus sedapat mungkin tidur dan menghimpun tenaga untuk menghadapi
segala kemungkinan,” bisik Goan Ciang.
Sementara itu, tertawannya Cu Goan Ciang membuat Shu Ta menjadi risau. Bagaikan seekor
harimau yang tertangkap dan dikurung dalam kerangkeng, pemuda yang berhasil menjadi
panglima Mongol ini berjalan hilir mudik di dalam kamarnya. Dia memang merasa seperti
seekor harimau dalam kerangkeng. Sambil berjalan hilir mudik berjam-jam lamanya, dia
mencari jalan keluar dari dalam kerangkeng itu. Mencari akal yang baik untuk dapat keluar
dari keadaan yang mencemaskan keadaan hatinya itu. Dia harus membebaskan suhengnya dan
gadis pemberani itu, apapun resikonya! Dan dia harus mencari cara yang tepat, karena ada
dua hal yang harus dapat dia kerjakan dengan baik. Pertama tentu saja mengusahakan agar
suhengnya dna gadis itu dapat lolos dengan berhasil, dan ke dua agar usaha meloloskan dua
orang itu tidak sampai melibatkan dirinya! Pada hal, dia tidak mempunyai seorangpun yang
dapat dipercaya dalam benteng itu, tidak ada seorangpun yang mengetahui keadaan dirinya
yang sebenarnya. Dia tidak dapat mengharapkan bantuan orang lain, dan harus dia lakukan
seorang diri!
Malam itu hujan turun dengan derasnya. Shu Ta baru saja menghadap Yauw-Ciangkun,
atasannya dan dia melaporkan bahwa dia sedang berusaha agar dua orang tawanan itu
membuka rahasia dan mengakui tentang kawan-kawan mereka agar pasukan dapat melakukan
pembersihan total.
“Mereka berdua adalah orang-orang penting dalam gerombolan pemberontak,” demikian
antara lain dia melapor dan mengajukan usul. “Oleh karena itu, saya bersikap sabar dan
memberi waktu kepada mereka semalam ini untuk berpikir dan memilih, yaitu pada besok
hari, mereka menceritakan tentang tempat persembunyian kawan-kawan mereka, atau mereka
akan disiksa perlahan-lahan sampai mereka tidak tahan dan terpaksa mengaku juga. Hal ini
penting sekali, Ciangkun. Kalau membunuh mereka begitu saja, mereka mati tanpa ada
manfaatnya bagi kita. Sebaliknya kalau mereka mau mengaku, kita untung besar dan dapat
membasmi para pemberontak dengan cepat.”
Yauw-Ciangkun mengangguk-angguk dan tersenyum. “Aku percaya padamu, Shu-Ciangkun.
Terserah kepadamu untuk bertindak.”
Demikianlah, ketika malam itu turun hujan, Shu Ta merasa gembira di dalam hatinya.
Agaknya alam juga membantu lancarnya siasat yang akan dilakukannya malam itu. Dia telah
mempersiapkan segalanya. Dia lalu mengadakan perondaan, hal yang tidak luar biasa karena
komandan muda ini memang seringkali turun ke lapangan dan di waktu malam suka
melakukan perondaan untuk memeriksa sendiri para prajurit yang melakukan penjagaan.
Dalam hal ini, dia bersikap keras dan berdisiplin. Maka, ketika malam itu dia meronda, dari
ujung benteng di pintu gerbang sampai ke tempat tawanan umum dan tawanan istimewa, para
penjaga tidak merasa heran. Shu Ta sempat memberi teguran di sana-sini, dan
memperingatkan bahwa malam itu terdapat dua orang tawanan penting, maka penjagaan harus
diperketat. Bahkan dia memerintahkan agar malam itu diadakan perubahan pada cara
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 194
perondaan.
“Malam ini, setiap satu jam sekali, dari menara harus dibunyikan lonceng lima kali dengan
nyaring agar semua penjaga tidak sampai tertidur. Dan setelah lonceng berbunyi, seregu
penjaga harus melakukan perondaan memutari tembok benteng dengan mengambil searah
jarum jam, dari kanan terus memutar sampai kembali, ke pintu gerbang. Hujan lebatpun,
perondaan harus dilakukan! Siapa melanggar, akan dihukum berat! Ingat, aku ikut
mendengarkan lonceng itu, dan perondaan harus tepat pada waktunya.” Setelah meninggalkan
pesan ini kepada kepala penjaga, yaitu perwira yang bertugas malam itu, Shu-Ciangkun lalu
meronda ke tempat tahanan istimewa, di mana malam itu hanya ada dua orang tahanan, yaitu
Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen.
Dia memeriksa keadaan ruangan tahanan itu. Ada seorang penjaga di setiap pintu dan tempat
itu mempunyai tujuh lapis pintu! Sungguh merupakan tempat yang amat kokoh kuat dan
betapapun tinggi tingkat kepandaian seseorang, kalau dia disekap di dalam tempat itu, jangan
harap akan mampu meloloskan diri. Di bagian dalam sendiri terdapat tujuh orang penjaga
sehingga jumlah mereka dari depan sampai ke dalam ada empat belas orang penjaga. Setiap
tiga jam sekali, empat belas orang ini diganti dengan tenaga yang masih baru sehingga tidak
mungkin ada yang mengantuk. Kalau ada tahanan hendak melarikan diri, lebih dahulu dia
harus membunuh tujuh orang penjaga sebelah dalam itu, lalu dia harus mampu membuka
setiap pintu baja sampai tujuh kali, pada hal semua pintu terkunci dari luar, dan harus
membunuh setiap orang penjaga. Sebelum dia dapat melakukan ini, si penjaga tentu saja dapat
memukul kentungan tanda bahaya dan dalam waktu sebentar saja tempat itu akan dipenuhi
pasukan. Tidak, tidak mungkin orang dapat melarikan diri dari situ, betapapun lihainya.
Shu Ta memesan kepada semua penjaga agar malam itu hati-hati melakukan penjagaan dan
siapapun juga orangnya, malam itu tidak diperkenankan masuk, kecuali kalau dia sendiri
hendak memeriksa tahanan.
Tak lama setelah Shu Ta kembali ke bangunan tempat tinggalnya sendiri dalam perbentengan
itu, nampak bayangan hitam berkelebat dan menyelinap di antara kegelapan bayang-bayang
bangunan di dalam benteng itu. Agaknya dia mengenal baik keadaan di situ. Dia menyusupnyusup
dan menghindarkan pertemuan dengan para petugas yang melakukan penjagaan
malam itu. Betapapun ketatnya penjagaan karena malam itu turun hujan, maka para petugas
agak enggan untuk berhujan-hujan dan mereka hanya berjaga-jaga di pos penjagaan. Tak
seorangpun dapat melihat berkelebatnya bayangan yang gerakannya amat cepat itu, apa lagi
malam itu amat gelapnya, biarpun hujan turun sejak tadi, langit masih saja gelap.
Setelah tiba di pintu pertama tempat tahanan istimewa, bayangan itu telah berubah menjadi
Panglima Shu Ta, berpakaian lengkap. Tentu saja penjaga pintu pertama terkejut melihat
munculnya komandan ini. Memang tidak aneh, kalau sang komandan melakukan perondaan,
akan tetapi di malam hujan dan gelap dingin seperti itu!
“Buka pintu, aku akan memeriksa tawanan, lalu tutup lagi pintu, kunci dari dalam dan kau
ikut mengawalku masuk,” kata sang komandan dengan singkat, namun suaranya mengandung
perintah yang tidak boleh dibantah. Penjaga itu tentu saja melaksanakan perintah ini dengan
girang bahwa dia disuruh mengawal masuk karena diapun ingin sekali mengetahui apa yang
akan dilakukan panglima yang bertangan besi terhadap para penjahat itu terhadap dua orang
pemberontak yang ditawan.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 195
Shu Ta mengulangi perintahnya di pintu-pintu berikutnya, yaitu mengunci pintu kembali dari
dalam dan memerintahkan penjaga ikut pula mengawalnya masuk. Sikap ini tentu saja tidak
membuat para penjaga itu seujung rambutpun tidak mencurigai panglima ini. Panglima itu
menyuruh mereka mengunci pintu dan mengajak mereka ikut masuk. Jelas ini merupakan
langkah keamanan dan mereka merasa terhormat dipercaya untuk ikut masuk ke dalam tempat
yang sesungguhnya terlarang oleh siapapun kecuali sang komandan dan petugas yang
melakukan tugas jaga di dalam.
Tujuh orang penjaga di dalampun merasa heran ketika melihat komandan mereka muncul
dikawal tujuh orang penjaga pintu. Kini Shu Ta berada di depan ruang tahanan bersama empat
belas orang prajurit penjaga.
“Kalian semua harus berjaga dengan ketat di luar ruangan tahanan. Aku akan memeriksa
tahanan dan membujuk mereka agar mengaku. Awas, semua siap, akan tetapi sebelum ada
perintah dariku, jangan bergerak. Mereka terbelenggu, tidak perlu mengkhawatirkan aku.
Kepala jaga, serahkan kunci-kuncinya kepadaku!”
Seuntai kunci diserahkan kepala jaga kepada Shu Ta, terdiri dari dua kunci pintu baja dan dua
buah kunci belenggu kaki tangan dua orang tawanan itu. Setelah sekali lagi memperingatkan
mereka untuk berjaga-jaga di luar menanti perintahnya, Shu Ta sendiri membuka pintu
ruangan itu. Ketika dia memasuki ruangan itu, Goan Ciang dan Hui Yen yang sejak tadi sudah
mendengarkan suara Shu Ta dan mereka berdua sudah siap siaga.
“Panglima Mongol jahanam busuk, mau apa engkau masuk ke sini? Pergi, engkau
memuakkan perutku saja!” terdengar Yen Yen berteriak memaki-maki.
“Hemm, panglima Mongol, kami sudah tertawan dan kami siap menerima hukuman mati.
Tidak ada gunanya bagi engkau membujuk kami, kami tetap tidak mau membantumu.
Bunuhlah kalau kau mau membunuhku!” kata pula Goan Ciang dengan suara penuh geram.
Sementara itu, Shu Ta sudah mengeluarkan kunci dan membuka belenggu kaki tangan dua
orang itu selagi mereka memaki-makinya, dan dia berbisik, “Di luar ada empat belas orang
pengawal, kita harus membunuh mereka dengan serentak, suheng. Kalau ada seorang saja
yang lolos, kita bertiga takkan dapat lolos, dari sini!”
Goan Ciang sudah dapat mengerti dan dia merangkul Shu Ta. “Baik, sute, mari kita bunuh
mereka!”
“Kalian pura-pura masih terbelenggu dan rebah, akan kupanggil mereka semua ke sini,” bisik
Shu Ta dan diapun menjenguk keluar dari pintu kamar tahanan dan berteriak, “Kalian semua
ke sini, aku membutuhkan bantuan kalian. Semua ke sini, jangan ada yang berada di luar!”
Mendengar perintah ini, empat belas orang penjaga itu seperti berlomba memasuki kamar
tahanan. Hal ini tidak aneh karena seorang di antara dua tawanan itu adalah seorang gadis
yang amat cantik manis dan mereka mengharapkan untuk dapat memperoleh tugas menggarap
gadis itu agar mengaku.
Melihat empat belas orang itu sudah masuk semua, Shu Ta malah melangkah keluar dan
menjaga di pintu, seolah menjaga agar dua orang tawanan itu tidak dapat lari keluar.
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 196
Setelah empat belas orang itu memasuki kamar tahanan sehingga agak berhimpitan, mereka
tidak tahu harus berbuat apa karena belum ada perintah. Mereka semua menghadap ke arah
pintu sehingga membelakangi dua orang tawanan yang masih rebah miring. Mereka semua
menanti perintah dari sang komandan. Akan tetapi pada saat itu, dua orang tawanan yang
tadinya nampak rebah miring dengan kaki tangan terbelenggu, tiba-tiba berloncatan bangun
dan begitu kaki tangan mereka bergerak, empat orang penjaga roboh! Yen Yen merampas
sebatang tombak, sedangkan Goan Ciang merampas sebatang pedang, lalu kedua orang ini
mengamuk dari dalam.
Tentu saja para penjaga itu terkejut setengah mati menghadapi amukan dua orang itu. Mereka
tadinya tertegun melihat empat orang rekan mereka roboh, tidak tahu apa yang terjadi. Ketika
melihat empat orang itu roboh oleh serangan dua orang tawanan yang tadinya rebah di lantai,
mereka tidak mengerti bagaimana hal itu dapat terjadi. Mereka segera mencabut senjata dan
melawan sedapat mungkin, akan tetapi karena tempat itu sempit dan mereka tidak melakukan
persiapan, diserang secara mendadak sehingga panik, maka sebentar saja, empat orang roboh
lagi oleh tombak Yen Yen yang dimainkan seperti tongkat, dan pedang di tangan Goan Ciang.
Enam orang prajurit, sisa dari empat belas orang itu menjadi semakin panik dan mereka
berdesakan hendak keluar dari kamar tahanan. “Ciangkun..., bagaimana ini...?” teriak mereka
dengan bingung. Akan tetapi, sambutan yang mereka dapat dari Shu Ta menghilangkan
kebingungan mereka, Shu Ta menggerakkan pedang dan membunuh dua orang yang berada
paling depan. Tahulah mereka bahwa ini merupakan suatu pengkhianatan dari komandan
mereka itu! Empat prajurit membalik dan melawan mati-matian, namun dengan mudah Goan
Ciang dan Hui Yen merobohkan mereka. Habislah empat belas orang itu, roboh semua oleh
tiga orang itu. Shu Ta tidak mau mengambil resiko, dia mengajak Goan Ciang untuk
melakukan pemeriksaan dengan teliti dan menambah tusukan maut bagi mereka yang belum
tewas sehingga mereka yakin bahwa empat belas orang itu sudah tewaas semua.
“Sekarang, dengar baik-baik, suheng. Aku menjadi panglima agar kelak dapat membantumu
dari dalam. Engkau dari luar dan aku dari dalam. Bagus, bukan?”
Goan Ciang tidak menjawab, hanya merangkul dan menepuk-nepuk pundak sutenya.
“Sekarang, apa yang akan kita lakukan, sute?”
“Nah, perhatikan rencanaku ini. Siasat ini harus dilaksanakan sebaik mungkin karena kalau
gagal, membahayakan keselamatan kita dan berarti menggagalkan pula perjuangan kita.” Dia
lalu bicara berbisik-bisik namun singkat dan jelas. Setelah Goan Ciang dan Hui Yen
mengangguk-angguk mengerti, barulah Shu Ta merasa puas.
“Nah, sekarang aku akan membuka satu demi satu tujuh pintu depan. Bantu aku mengambil
kunci-kunci itu dari dalam saku baju para penjaga, suheng. Yang itu, dan itu, dan di sana
itu...” Bukan hanya Goan Ciang, juga Hui Yen tanpa diperintah sudah ikut membantu,
mencari dan mengambil kunci dari saku baju para penjaga yang ditunjuk dan yang telah
menjadi mayat.
Tidak lama kemudian, tujuh lapis pintu itu terbuka semua dari dalam dan yang keluar dari
pintu paling luar adalah dua orang prajurit dan seorang berpakaian dan berkedok hitam! Tentu
saja si kedok hitam adalah Shu Ta dan dua orang pelarian itu melucuti dan mengenakan
pakaian dua orang di antara para prajurit yang tewas. Karena sudah hafal benar akan keadaan
dalam perbentengan itu, tentu saja tidak sukar bagi Shu Ta untuk mencari jalan paling aman
Rajawali Lembah Huai > karya Kho Ping Hoo > published by BuyanKaba 197
sehingga mereka dapat mendekati pagar tembok tanpa diketahui seorangpun penjaga.
Dari dalam segerombolan semak Shu Ta mengeluarkan segulung tali yang dipasangi kaitan di
ujungnya. Semua terjadi sesuai dengan rencana yang sudah dipersiapkannya sore tadi. Dia
mengajak dua orang pelarian itu bersembunyi di belakang semak yang jaraknya sekitar lima
puluh meter dari pagar tembok dan menanti. Hujan masih turun rintik-rintik dan malam gelap
sekali. Tak lama kemudian, terdengar bunyi pukulan lonceng dan seperti yang sudah
diperintahkan Shu-Ciangkun, beberapa orang peronda lewat.

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments