Minggu, 03 Juni 2018

Ouwyang Heng-Te 1

====
baca juga
Jilid I
KOTA Liok-hui pada hari itu ramai sekali karena banyak
tamu luar kota bahkan luar daerah datang membanjiri kota
itu. Mereka terdiri dari bermacam-macam orang. Ada
bangsawan dan ada yang berpakaian petani, ada saudagar
dan ada pula yang berpakaian seperti pengemis penuh
tambalan, ada orang-orang berpakaian seperti sastrawan
dan ada juga yang berpakaian seperti ahli-ahli silat, bahkan
tampak pendeta-pendeta, baik hwesio (penganut agama
Buddha) gundul maupun tosu (penganut agama To).
Baru keadaan para tamu yang terdiri dari berbagai ragam
dan golongan ini saja sudah merupakan pemandangan
menarik yang jarang tampak di kota itu, apalagi kalau orang
mengikuti para tamu itu dan melihat mereka semua
ternyata mengunjungi sebuah gedung besar yang dihias
mentereng dan indah, maka orang akan melihat suasana
yang lebih ramai lagi. Bunyi suling dan yang-khim,
gembreng dan tambur, meramaikan dan menggembirakan
sua sana.
Para tamu semua hanya mempunyai satu tujuan, yakni
mengunjungi gedung besar yang berada dalam suasana
berpesta itu. Gedung ini adalah milik Gak Liong Ek Si
Naga Terbang, seorang tokoh kenamaan di kalangan
persilatan, yang juga terkenal kaya raya, hingga di kota itu
ia disebut Gak-wangwe (hartawan she Gak).
Pada waktu itu Gak-wangwe sedang merayakan hari
ulang tahunnya yang ke enampuluh. Karena ia terkenal
sebagai tokoh di dunia kang-ouw (dunia orang-orang gagah
atau persilatan) dan juga terkenal sebagai seorang kaya raya
yang mempunyai hubungan luas dengan para saudagar dan
para pembesar, maka tidak heran bila hampir setiap orang
yang diundangnya pasti memerlukan datang menghadiri
perayaannya.
Ternyata Gak Liong Ek tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu untuk memamerkan kekayaannya. Ia
mendatangkan pemain-pemain musik yang paling ternama
dari Hok-chiu dan selain memanggil tukang-tukang masak
dari Lok-thian, juga sengaja mendatangkan berpuluh-puluh
guci arak wangi dari An-hwe-ein. Ia sengaja membongkar
beberapa dinding di ruang depan hingga ruang itu menjadi
sangat lega dan luas, di mana ia atur bangku-bangku bercat
merah dan meja-meja bundar yang ditilami kain
berkembang. Kertas-kertas berwarna dan daun hijau
menghias dinding dan tiang, sedangkan di atas tergantung
teng-loleng (lampion) yang indah-indah beraneka warna
bentuknya.
Karena sudah tua dan merasa terlalu merendahkan diri
kalau ia sendiri menyambut kedatangan para tamu, maka ia
perintahkan kedua orang puteranya yang kesemuanya
sudah berumah tangga, untuk mewakilinya menyambut
tamu. Putera sulung menyambut tamu di pintu depan dan
putera bungsu di sebelah dalam, mengantar para tamu
menuju ke tempat duduk masing-masing. Gak Liong Ek
sendiri duduk di tempat yang sengaja ditinggikan di mana
terdapat beberapa belas bangku lain yang khusus disediakan
untuk para tamu agung yang terdiri dari para locianpwe
(orang-orang tua gagah) dan para bangsawan tinggi.
Gak Liong Ek berpakaian serba biru yang indah berkilat
karena terbuat dari sutera. Pada dada bajunya itu tampak
sulaman naga terbang yang sengaja dibuat berbeda
bentuknya dengan naga-naga biasa karena pada waktu itu
yang diperbolehkan memakai baju bersulamkan naga
hanyalah kaisar seorang dan keluarganya. Gak Liong Ek
memakai sulaman naga terbang hanya untuk menyesuaikan
dirinya dengan julukannya yang sudah terkenal dan yang
mengangkat tinggi namanya selama berpuluh tahun, yakni
julukan Hwie-liong atau Naga Terbang.
Untuk menambahkan kebesarannya, ia sengaja
menggantungkan pedang pusakanya yang dimasukkan di
dalam sarung pedang bergambar naga terbang pula, di atas
dinding tempat ia duduk.
Dari penuturan di atas ini orang dapat mengira-ngira
akan perangai jago tua itu. Ya, Gak Liong Ek memang
sejak dulu terkenal angkuh dan sangat membanggakan
kepandaiannya, akan tetapi, betapapun sombongnya dia
harus diakui bahwa perangai sombong dan kasar itu
dibersihkan oleh adatnya yang jujur dan terus terang.
Gak Liong Ek sudah memesan kepada kedua orang
puteranya untuk berlaku hormat kepada semua tamu, tak
perduli tamu itu dari golongan apa. Jago kawakan ini
memaklumi, bahwa orang-orang gagah di dunia ini banyak
sekali yang aneh perangai dan banyak yang
menyembunyikan dirinya di balik pakaian pendeta, hwesio,
sastrawan, petani, bahkan banyak yang mengenakan baju
jembel.
Karena pesan ayahnya inilah, maka kedua puteranya itu
m maksa diri berlaku hormat kepada siapa saja yang masuk,
baik ia seorang pendeta maupun seorang pengemis jembel.
Dan lucunya, keadaan ini rupa-rupanya diketahui juga oleh
para pengemis, hingga di antara sekian banyak tamu, ada
beberapa orang pengemis tulen yang membonceng dan
sengaja berpura-pura menjadi tamu dan ikut masuk. Dan
ternyata mereka ini juga diterima baik-baik oleh kedua
putera Gak-wangwe hingga pengemis-pengemis itu tentu
saja merasa mendapat untung besar dan seperti memasuki
sorga saja. Tanpa sungkan-sungkan lagi mereka hantam
kromo segala hidangan di meja karena kesempatan macam
ini tak mungkin akan terjadi untuk kedua kalinya selama
mereka hidup.
-Ooo-dw-ooOKedua
putera Gak Liong Ek terpaksa tak dapat
menyembunyikan rasa heran, terkejut dan bingung ketika
dari luar datang dua orang anak muda yang sangat aneh.
Bukan pakaian mereka yang sederhana dan ringkas itu yang
aneh, juga bukan wajah keduanya yang sangat tampan dan
gagah yang mengherankan. Tapi yang sangat aneh dan
menyolok mata ialah persamaan mereka. Kedua pemuda
itu demikian sama dan serupa, sebentuk, dan segaya hingga
benar-benar bisa membikin orang yang melihat mereka
menjadi kesima dan terheran-heran. Muka serupa, hidung
yang mancung dan mulut yang indah bentuknya itu
semacam, tubuh sebentuk, pakaian sama, sepatu sama, ikat
kepala serupa.
Tak aneh bahwa putera Gak Liong Ek yang menyambut
mereka berdiri keheranan memandang. Setelah kedua
pemuda itu menjura dan memperkenalkan diri sebagai
Ouwyang-hengte (kakak beradik she Ouwyang), barulah
tuan rumah sadar dari kesimanya dan balas menjura.
Berbeda dengan putera sulung, ternyata putera bungsu yang
menyambut di sebelah dalam lebih tajam matanya. Tadinya
iapun heran sekali, tapi cepat matanya mencari-cari
perbedaan yang mungkin ada di antara kedua saudara
Ouwyang itu, dan ia berhasil. Ternyata pedang yang
tergantung di pinggang kedua saudara itu berbeda. Seorang
berpedang panjang, yang lain berpedang pendek. Ia lalu
tersenyum lega dan puas melihat perbedaan ini dan segera
mengantar mereka ke tempat duduk di bagian para muda,
yakni di ujung kiri.
Sebelum duduk, sepasang pemuda yang serupa itu lebih
dahulu menuju ke tempat di mana Gak Liong Ek duduk
dan keduanya lalu menjura dan memberi hormat.
“Siauwte berdua mewakili suhu dan membawa pesan
suhu yang menghaturkan selamat dan panjang usia kepada
lo-enghiong,” kata yang berpedang panjang.
Gak Liong Ek juga berdiri dan membalas hormat
mereka, lalu ia memandang kagum kepada dua orang
pemuda yang sangat tampan dan serupa itu, lalu berkata,
“Terima kasih banyak, dan jiwi-hiante ini siapakah?
Serta siapa pula suhu kalian yang terhormat? Maaf, saya
telah terlalu tua hingga tidak ingat lagi.”
“Tidak heran bila lo-enghiong tidak ingat karena
memang kita belum pernah bertemu. Siauwte berdua adalah
Ouwyang-hengte dan suhu kami adalah Ang In Liang dari
Hong-san.”
Tiba-tiba Gak Liong Ek tampak senang sekali dan ia
dongakkan kepalanya lalu tertawa gelak-gelak. “Ha-ha-ha.
Jadi suhu kalian adalah Pat-jiu Lo-mo (Iblis Tua Tangan
Delapan)? Hei, apakah iblis tua itu masih hidup?”
Melihat kegembiraan dan kekasaran tuan rumah, kedua
pemuda itu bersikap tenang saja. Si pedang pendek yang
kini menjawab, “Suhu sehat-sehat saja dan mengharap loenghiong
juga dalam keadaan sehat.”
“Ah, bagus, bagus. Mari, mari, jiwi harus mewakili si
iblis tua kawan baikku itu untuk menghabiskan tiga cawan
arak wangi.” Mendengar ucapan ini, cepat seorang pelayan
yang memegang guci arak menghampiri mereka dan tanpa
diperintah, pelayan yang tahu kewajiban itu menuang arak
dalam tiga cawan. Untuk menghormat tuan rumah,
terpaksa kedua pemuda itu mengeringkan cawan mereka
bersama-sama tuan rumah sampai tiga kali. Kemudian
mereka mundur dan duduk di tempat yang memang
disediakan untuk para muda, yakni di ujung sebelah kiri tak
jauh dari tempat duduk Gak Liong Ek.
Kedua pemuda itu memang murid-murid Pat-jiu Lo-mo
Ang In Liang, seorang pertapa tua bekas perampok tunggal
yang sangat ternama dan memiliki kepandaian tinggi dan
yang kini bertapa di Bukit Hongsan. Dua saudara ini
memang sepasang anak kembar dari keluarga Ouwyeng.
Yang berpedang panjang bernama Ouwyang Bun dan
adiknya, yang berpedang pendek, bernama Ouwyang Bu.
Ayah mereka adalah seorang saudagar bernama Ouwyang
Heng Sun yang tinggal di daerah selatan. Ketika mereka
berusia sepuluh tahun, Ang In Liang yang tadinya hendak
merampok keluarga Ouwyang, mengurungkan maksudnya
ketika melihat kedua enak itu dan sebaliknya ia laiu
menculik mereka dan membawanya ke Gunung Hong-san.
Ia didik dan ia gembleng kedua anak kembar itu sampai
delapan tahun lebih hingga kini mereka telah berusia
delapanbelas tahun dan telah memiliki kepandaian silat
yang tinggi sekali, karena boleh dibilang mereka telah
mewarisi delapan bagian dari seluruh kepandaian Pat-jiu
Lo-mo Si Iblis Tua Tangan Delapan. Biarpun muka kedua
orarfg pemuda itu serupa benar, namun ternyata perangai
mereka berbeda jauh. Ouwyang Bun berwatak pendiam,
halus tutur sapanya, dan cerdik penuh akal. Sebaliknya Bu,
adiknya, beradat keras, suka terus terang, jujur dan tak
begitu mengindahkan adat sopan santun, pula mudah sekali
marah. Hanya baiknya anak muda yang keras hati ini
sangat cinta dan taat kepada kakaknya, hingga Ouwyang
Bun yang lebih cerdik dan halus dapat menguasai dan
mengendalikan adiknya itu.
Ketika Pat-jiu Lo-mo Ang In Liang, suhu mereka
menerima undangan dari Gak Liong Ek, kebetulan sekali
jago tua ini merasa bahwa sudah tiba waktunya bagi kedua
muridnya untuk turun gunung dan mempraktekkan semua
kepandaian yang telah dipelajarinya di atas gunung dengan
tekun dan bersusah payah. Oleh karena itu, maka ia
mengutus kedua muridnya itu untuk mewakili dia
menghadiri pesta perayaan Gak Liong Ek, agar mereka
dapat bertemu dan berkenalan dengan banyak orang pandai
di dunia kang-ouw.
Selain menyuruh mereka mengunjungi pesta Gak Liong
Ek, juga Iblis Tua Tangan Delapan itu memberi pesan
dengan kata-kata bersemangat,
“Kalian boleh pergi mencari orang tuamu yang telah
kauketahui terang nama dan tempat tinggalnya. Tapi yang
terpenting sekali, aku minta kepada kamu berdua supaya
menunjukkan kepada dunia bahwa kamu berdua adalah
laki-laki bersikap jantan dan gagah yang tidak sia-sia belajar
silat dengan tekun di sini. Ketahuilah bahwa negara sedang
terancam oleh serangan-serangan para pemberontak dari
utara. Siapa lagi yang akan membela negara selain puteraputeranya
seperti kalian berdua? Dengan demikian, maka
tidak percuma pula aku mendidik kalian sampai bertahuntahun.
Setelah kamu berdua bertemu dengan orang-tuamu.,
maka pergilah ke Pak-thian dan carilah seorang panglima
perang bernama Cin Cun Ong yang memimpin barisan
besar menindas para pemberontak di daerah utara.
Ketahuilah bahwa Cin Cun Ong ini adalah susiokmu
sendiri. Kalian berikan surat dariku dan kalian harus
membantu dia menumpas para pemberontak pengacau
negara. Bunuhlah sebanyak-banyaknya para pengkhianat
negara itu, sepuas hatimu. Tapi berlakulah waspada dan
hati-hati karena di antara mereka banyak terdapat orangorang
pandai.”
Tentu saja kedua saudara Ouwyang ini menerima pesan
suhu mereka dengan taat. Mereka menerima masingmasing
sebatang pedang, dan setelah menyimpan surat
suhunya untuk diberikan kepada panglima Cin Cun Ortg
kelak dan berpamit, keduanya lalu turun gunung.
-Ooo-dw-ooOTak
lama kemudian, ruang yang sengaja disediakan
untuk para tamu di rumah Gak Liong Ek, telah penuh
dengan tamu. Tempat tuan rumah yang agak tinggi kini
telah penuh tamu pula, yakni orang-orang tua yang ganjil
pakaian dan bentuk tubuhnya dan beberapa orang yang
berpakaian seperti pembesar. Karena ingin sekali kenal
siapakah adanya para locianpwe yang mendapat
kehormatan di kursi tinggi itu, Ouwyang Bun bertanya
kepada orang-muda lain yang duduk di dekatnya. Orang
muda itu berpakaian sebagai seorang ahli silat juga dan
mendengar pertanyaan itu, ia merasa girang dan bangga
sekali. Dengan menunjukkan bahwa ia telah kenal semua
cianpwe itu, seakan-akan ia telah membanggakan
pengalamannya hingga orang dapat menduga bahwa iapun
memiliki kepandaian tinggi.
Ia menggunakan jarinya menunjuk dari kiri ke kanan
sambil memperkenalkan, “Yang duduk di ujung kiri,
tubuhnya bongkok kurus, rambutnya panjang diikatkan ke
atas dan berpakaian seperti tosu itu adalah Kin Keng Tojin,
tokoh dari Go-bi-san. Kedua dari kiri, hwesio gundul
bertubuh gemuk pendek itu adalah Cin Kong Hwesio dari
kelenteng Hok-po-tong, di mana ia menjadi ketuanya.
Ketiga adalah Bhok Sun Ki dan dari pakaiannya yang
penuh tambal an itu kau dapat menduga bahwa dia adalah
seorang pengemis, tapi bukan sembarang pengemis karena
julukannyapun Raja Pengemis. Lima orang tua berikutnya
yang berpakaian petani adalah tokoh-tokoh terkenal, karena
mereka ini tidak lain ialah Ki-lok Ngo-koai atau Lima Setan
Tua dari Ki-lok. Hanya delapan loeianpwe itulah yang
berkepandaian setingkat dengan Gaklo-enghiong,
sedangkan yang lain berada di bawah tingkatnya.”
Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu memandang mereka
yang dipuji-puji itu dengan kagum. Mereka menduga-duga
sampai di mana kehebatan dan keunggulan mereka ini.
Apakah mereka ini lebih hebat daripada gurunya?
Demikian kedua saudara Ouwyang ini berpikir.
Pada saat itu para tamu sudah banyak yang setengah
mabok karena arak wangi yang dihidangkan itu benar-benar
keras dan simpanan lama. Dari rombongan anak-anak
muda mulai terdengar suara-suara keras dan tertawa-tawa
bebas dan berani, hingga Ouwyang Bun berdua adiknya
beberapa kali menengok. Tiba-tiba seorang yang berusia
kurang lebih tigapuluh tahun dan duduk di tengah-tengah di
antara kaum muda, berdiri dan mengacungkan cawan
araknya ke arah tuan rumah, lalu berkata dengan suara
lantang,
“Gak-lo-enghiong yang gagah dan dipanggil Hui-liong
(Naga Terbang), sungguh-sungguh telah menghibur kita
dengan arak baik dan hidangan lezat. Sayangnya tidak ada
sesuatu pertunjukan yang menarik hati, kecuali suara musik
yang membosankan. Para locianpwe yang mendapat tempat
terhormat, apakah tidak hendak turun tangan sekedar
membantu meramaikan pesta dan membalas budi tuan
rumah?”
Semua orang-orang tua yang duduk di dekat tuan rumah
saling pandang, ada yang memandang marah, ada pula
yang geli dan menganggap pemuda itu sudah mabok dan
mengoceh tak keruan.
“Ha-ha.” pemuda itu tertawa, “kalau begitu percuma
saja tuan rumah menyediakan tempat khusus untuk para
locianpwe yang gagah. Nah, Gak-lo-enghiong, biarlah
siauwte minum arak ini untuk keselamatanmu.” Terpaksa
Gak Liong Ek sambil tertawa menyambut ucapan selamat
ini dengan mengangkat cawan araknya pula.
Kemudian anak muda itu berkata pula, “Sekarang, kalau
para locianpwe tidak ada yang sudi turun tangan biarlah
siauwte yang muda dan bodoh meramaikan pesta ini
dengan pertunjukan sedikit kepandaian silat. Harap jangan
ditertawakan, karena memang siauwte masih bodoh. Lihat,
tempatkupun di rombongan ini, bukan di atas.”
Terang sekali ia menyindir tuan rumah dan para
locianpwe, dan setelah meletakkan cawan arak kosong di
atas meja, orang itu dengan sekali gerakan tangan, tahutahu
tubuhnya telah melayang dan meloncat ke panggung
yang cukup luas di tengah-tengah ruangan itu. Panggung ini
memang sengaja dibangun untuk para penari dan penyanyi,
juga karena Gak Liong Ek adalah seorang dari kalangan
persilatan, ia sengaja menyediakan tempat ini kalau-kalau
ada pertunjukan silat.
Gerakan yang didemonstrasikan oleh pemuda berbaju
biru itu memang cukup gesit hingga Ouwyang-hengte
(kakak beradik Ouwyang) diam-diam memuji.
Setelah berada di atas panggung, si baju biru lalu
memberi tanda kepada para pemukul gamelan untuk
menghentikan permainan mereka. Kemudian ia menjura ke
arah tuan rumah, lalu ke seluruh penjuru.
“Cuwi sekalian yang mulia. Mungkin cuwi belum pernah
mendengar namaku dan belum mengenal siauwte, memang
siauwte bukanlah orang gagah yang terkenal. Baiklah
siauwte memperkenalkan diri, nah aku Lui Kok Pauw dan
terus terang saja siauwte mengaku bahwa siauwte ikut
menghadiri pesta ini semata-mata karena kagum akan nama
Gak-lo-enghiong, bukan atas undangan. Oleh karena itu,
karena aku bukanlah seorang yang hendak makan hidangan
orang begitu saja tanpa membayar, biarlah sekarang siauwte
bayar makanan dan hidangan itu dengan meramaikan dan
menggembirakan pesta ini. Kalau kiranya di antara para
locianpwe ada yang merasa bergembira untuk menemani
siauwte bermain-main, hal itu akan baik sekali.”
Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang tinggi dan nyaring
dari arah para locianpwe. Ternyata yang tertawa itu adalah
si Raja Pengemis Bhok Sun Ki. Dari suara tertawa ini saja
dapat diketahui bahwa khikangnya sudah matang dan tentu
kepandaiannya juga tinggi sekali.
“Lui-sicu.” katanya kepada si baju biru di atas panggung,
“kalau aku tidak salah ingat, namamu sangat terkenal di
antara tokoh-tokoh dari utara. Cobalah perlihatkan
kepandaianmu dulu untuk kulihat apakah cukup berharga
untuk bermain-main dengan aku orang tua.”
Lui Kok Pauw terkejut ketika mendapat kenyataan
bahwa pengemis jembel itu mengenalnya, maka iapun
menjura dan berkata, “Lo-enghiong yang gagah
menyembunyikan kepandaian tinggi di dalam tubuh yang
dibungkus kain-kain lapuk penuh tambalan. Bukankah
julukan lo-enghiong ini Kai-ong si Raja Pengemis?”
Kini Bhok Sun Ki yang kaget karena ternyata Lui Kok
Pauw bermata tajam. “Ha-ha, Lui-sicu, kaupun bukan
orang bodoh sembarangan saja. Lekas perlihatkanlah
beberapa gerakanmu, sudah gatal-gatal tanganku untuk
menerima sedikit pengalaman darimu.”
Lui Kok Pauw adalah seorang jago muda yang namanya
telah menggemparkan daerah utara. Dia adalah murid
langsung dari Keng-an-san dan memiliki ilmu silat
campuran dengan ilmu silat dan gumul dari Mongolia.
Sebenarnya, orang she Lui ini adalah seorang di antara para
tokoh pemberontak yang bergerak di sepanjang tembok
besar dan berusaha menjatuhkan pemerintahan kaisar yang
pada waktu itu berkuasa. Dan kini Lui Kok Pauw datang ke
situ bukanlah semata-mata hendak menghadiri pesta, tapi
juga hendak mengumpulkan kawan-kawan sepaham dan
membujuk orang-orang kang-ouw untuk membantu
pergerakan kawan-kawannya.
Untuk inilah, sengaja ia hendak memperlihatkan
kepandaiannya agar menarik perhatian para orang gagah. Ia
lalu gerakkan kedua kaki dan tangannya dan memainkan
Pek-wan-kun-hoat (Ilmu Silat Lutung Putih) yang eepat dan
gesit karena tiap-tiap pukulan diakhiri dengan tangkap dan
cengkeraman serta tiap pukulan lalu dirobah dengan
serangan lain yang tak terduga datangnya. Baru beberapa
jurus saja ia bersilat, para locianpwe yang duduk dekat tuan
rumah maklum sudah bahwa orang she Lui yang baru
berusia paling banyak tigapuluh tahun itu memang
memiliki kepandaian tinggi dan merupakan lawan yang
sukar ditandingi.
Melihat gerakan-gerakan Lui Kok Pauw yang aneh itu,
timbullah kegembiraan Bhok Sun Ki untuk mencobanya.
Sekali menggerakkan kaki ia telah sampai di atas panggung
itu dan berkata,
“Lui-sicu. Namamu bukan kosong melompong, kau
ternyata memang mempunyai isi yang baik juga. Mari kita
bermain-main sebentar.”
Tanpa menanti jawaban, si Raja Pengemis itu telah
bersilat mengimbangi permainan Lui Kok Pauw. Raja
Pengemis ini bersilat Tat-mo-kun-hoat yang cukup kuat dan
lihai hingga sebentar saja tubuh mereka berdua
Berkelebatan ke sana ke mari, makin lama makin cepat
hingga membikin kabur mata para penonton yang tak
begitu pandai dalam hal ilmu silat. Ketika kedua lengan
mereka bertemu untuk pertama kali, keduanya maklum
bahwa tenaga dalam mereka seimbang.
Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu diam-diam kagum juga
melihat kelihaian mereka dan dua orang pemuda yang
berkepandaian tinggi dan bermata tajam inipun tahu bahwa
dalam hal ilmu silat, Lui Kok Pauw lebih menang setingkat,
tapi kekalahan si Raja Pengemis itu tertutup dengan
kemenangannya dalam ginkang. Memang Bhok Sun Ki
memiliki ginkang luar biasa dan tubuhnya sampai hampir
tak terlihat lagi karena cepatnya ia bergerak.
Setelah bertempur seratus jurus, keduanya makin panas
dan penasaran karena belum juga dapat keluar sebagai
pemenang. Sebenarnya Lui Kok Pauw tidak hendak
melanjutkan perkelahian yang tadinya hanya bersifat mainmain
ini, tapi karena Bhok Sun Ki yang sudah memiliki
nama besar dan terkenal sebagai seorang tokoh tingkat
tinggi, kini tak dapat menjatuhkan seorang muda, merasa
penasaran dan malu sekali hingga Raja Pengemis itu kini
tidak main-main lagi, tapi berkelahi dengan sungguhsungguh
dan melancarkan serangan-serangan dan pukulanpukulan
maut. Tentu saja Lui Kok Pauw tahu dan merasa
pula, maka iapun terpaksa mengeluarkan ilmu
simpanannya dan kini setiap serangan dilakukan dengan
tenaga lweekang sepenuhnya hingga sangat berbahaya bagi
keduanya.
Pada suatu saat, Bhok Sun Ki menyerang hebat dengan
tangan kanannya. Karena serangan ini cepat sekali, Lui
Kok Pauw menangkis dan berbareng mencengkeram tangan
lawan itu. Ternyata maksudnyapun sama dengan maksud
Bhok Sun Ki, karena ternyata pukulan si Raja Pengemis itu
lalu diubah menjadi pukulan Eng-jiauwkang (Pukulan
Cakar Garuda). Maka secara tepat dan cepat sekali kedua
tangan kanan mereka saling mencengkeram dan saling
memegang hingga jari-jari tangan mereka saling
menggenggam. Karena gerakan ini dilakukan berbareng,
maka kini mereka tak dapat melepaskan tangan lagi dan
keduanya mengerahkan tenaga lweekang untuk
menjatuhkan lawan. Tubuh mereka diam bagaikan patung,
tangan kiri diacungkan ke atas dan kedua mata mereka
saling pandang tak berkedip.
Melihat betapa kedua orang itu mengadu kepandaian
dan lweekang hingga berada dalam keadaan yang
mengkhawatirkan sekali, semua orang menahan napas.
Memang sukar bagi kedua pihak untuk mundur lagi, karena
mengalah sedikit saja pasti akan mendapat luka dalam yang
berbahaya. Adu tenaga dalam itu telah mendatangkan
peluh di jidat kedua orang itu dan napas mereka telah
terdengar terengah-engah.
Pada saat itu, Ouwyang-hengte yang sudah bersepakat,
tiba-tiba meloncat dengan gerakan lincah dan ringan ke atas
panggung. Ouwyang Bun turun di dekat Raja Pengemis,
sedangkan adiknya turun di dekat Lui Kok Pauw.
Keduanya berseru,
“Maaf.” dan cepat sekali mereka keduanya
menggunakan tangan kanan untuk menotok pergelangan
tangan masing-masing dan cepat membetot tubuh mereka
ke belakang. Baik Bhok Sun Ki, maupun Lui Kok Pauw
ketika tertotok merasa tenaga mereka lenyap dan tangan
mereka lumpuh tak bertenaga, maka mudah saja keduanya
ditarik ke belakang hingga terlepaslah genggaman masingmasing.
Sekali lagi Ouwyang Bun dan adiknya menjura kepada
dua orang itu dan Ouwyang Bun berkata merendah,
“Mohon dimaafkan bahwa siauwte berdua lancang tangan
memisah, karena dua harimau bergulat, pasti akan ada yang
terluka. Bukankah hal itu sayang sekali?”
Sehabis memisah dua orang gagah yang bertanding matimatian
tadi, kedua saudara Ouwyang itu cepat meloncat
turun dan duduk kembali ke tempat mereka semula. Diamdiam
Bhok Sun Ki dan Lui Kok Pauw merasa kagum akan
kecerdikan kedua anak muda itu, dan merasa malu kepada
diri sendiri yang telah melupakan maksud semula bahwa
mereka bertanding hanya untuk main-main dan
meramaikan pesta saja. Bhok Sun Ki si Raja Pengemis lalu
menjura sambil berkata,
“Lui-sicu, sungguh kau gagah perkasa dan aku orang tua
takluk padamu. Kau benar-benar patut disebut enghiong
sejati, hohan yang berjiwa patriot.”
Lui Kok Pauw buru-buru membalas penghormatan itu
dengan merendahkan diri dan berkata, “Sebaliknya siauwte
merasa mendapat kehormatan besar sekali karena hari ini
telah berkenalan dengan keulungan lo-enghiong, dan
mendapat kenyataan bahwa lo-enghiong juga berjiwa
patriot sejati. Atau, apakah siauwte salah raba?” ia
memancing untuk mengetahui pendirian orang tua gagah
itu.
Si Raja Pengemis tertawa gelak-gelak. “Apakah sicu
hendak samakan aku orang tua sebagai segala macam orang
pengekor seperti Cin Cun Ong dan para begundalnya?”
Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu terkejut mendengar
kata-kata ini, dan mereka memandang kepada pengemis itu
dengan mata marah. Cin Cun Ong adalah seorang
panglima besar dan menjadi susiok mereka, mengapa kini
dimaki-maki oleh raja pengemis itu? Sebaliknya, Lui Kok
Pauw menjadi girang sekali, biarpun ia merasa agak heran
akan keberanian orang memaki panglima itu di depan orang
banyak.
Lui Kok Pauw tentu tidak tahu bahwa sebagian besar
orang-orang gagah yang duduk di situ semua merasa
simpati dan setuju akan pemberontakan yang dipimpin oleh
seorang gagah perkasa bernama Lie Cu Seng yang terkenal.
Orang gagah ini memimpin barisan besar sekali yang terdiri
dari kaum tani dan jembel yang telah merasa cukup banyak
menderita karena tindasan dan perasan para pembesarpembesar
busuk di bawah pemerintahan kaisar yang lalim.
Memang harus diakui bahwa pemberontakan yang
dicetuskan oleh Lie Cu Seng ini tidak banyak mendapat
sambutan dari para orang gagah yang kebanyakan hanya
peluk tangan dan bersikap masa bodoh saja, walaupun di
dalam hati mereka bersimpati. Akan tetapi tidak sedikit
orang-orang gagah di utara dan timur dengan aktif
membantu pergerakan ini hingga lambat-laun barisan Lie
Cu Seng makin besar dan kuat saja, apalagi karena
pergerakan ini dibantu oleh rakyat jelata yang memberi
ransum dan makan dengan suka rela kepada mereka.
Kini mendengar betapa Bhok Sun Ki memaki-maki Cin
Cun Ong, seorang panglima yang terkenal gagah dan
banyak membasmi kaum pemberontak, mereka itu bersikap
dingin saja, dan tidak ambil perduli. Akan tetapi, Ouwyang
Bun dan Ouwyang Bu merasa marah sekali, biarpun
mereka masih menahan-nahannya. Lebih-lebih Ouwyang
Bu, ketika mendengar susioknya yang dipuji oleh suhunya
itu dimaki orang, hampir saja tak dapat menahan
kemarahan hatinya dan hendak melompat ke atas panggung
kalau saja tidak ditahan oleh kakaknya yang lebih sabar.
Lui Kok Pauw tertawa senang mendengar kata-kata si
Raja Pengemis itu. “Bagus, bagus. Sungguh senang bertemu
dengan orang-orang gagah yang berhaluan mulia. Memang,
pengekor-pengekor macam orang she Cin itu dan kaki
tangannya, kalau bukan orang-orang gagah macam kita
yang membasminya, siapa lagi? Lo-enghiong, mengapa kau
tidak cepat-cepat menggabungkan diri dengan kami dari
utara? Waktunya kini telah tiba untuk membebaskan rakyat
dari hidup sengsara.”
“Sicu berada di bawah pimpinan siapakah?”
“Siapa lagi kalau bukan Thio Sian Tiong enghiong yang
bijaksana dan gagah perkasa?”
Mendengar bahwa orang she Lui itu adalah seorang anak
buah dari barisan pemberontak Thio Sian Tiong, terkejutlah
semua orang dan mereka menaruh perhatian besar.
Sementara itu, Ouwyang Bu yang sudah tak dapat menahan
sabarnya lagi, meloncat sambil memaki,
“Bangsat pemberontak jangan kau lancang mulut.”
Lui Kok Pauw dan Bhok Sun Ki terkejut karena melihat
bahwa yang meloncat ke panggung dengan muka merah, ini
adalah seorang dari kedua pemuda yang tadi memisah
mereka. Belum hilang kaget mereka, seorang pemuda lain
melompat menyusul dan kini kedua pemuda yang bermuka
sama benar itu telah berdiri menghadapi mereka. Karena
tindakan ini, maka sepasang saudara kembar ini jelas
kelihatan oleh semua orang yang memandang dengan
bingung dan heran. Sungguh kedua pemuda itu sama benar
bentuk dan rupanya. Ketika kedua pemuda ini tadi naik ke
panggung dan memisah kedua jago yang sedang bertempur,
mereka bergerak cepat dan tidak lama tinggal di atas
panggung hingga tidak menarik perhatian orang. Juga,
gerakan-gerakan mereka yang cepat tadi tak terlihat oleh
sebagian besar para tamu hingga mereka tidak menaruh
perhatian karena menyangka bahwa pemuda itu hanya
memisah dengan mulut saja.
Bhok Sun Ki si pengemis membentak. “He, anak muda,
siapakah yang kau maki pemberontak tadi?”
“Siapa lagi kalau bukan kalian berdua? Kalian
pemberontak-pemberontak rendah pengacau negara
sungguh berani mati menghina Cin-ciangkun di muka
umum. Agaknya kalian telah bosan hidup.” Ouwyang Bu
membentak.
Lui Kok Pauw lalu maju dan menjura. “Jiwi ini sungguh
anak-anak muda yang aneh. Tadi kalian bersikap sebagai
sahabat, tapi kini tahu-tahu memusuhi kami. Sebenarnya
siapakah jiwi dan mengapa melarang kami memaki-maki
pembesar pengkhianat yang menjadi penjilat kaisar lalim
itu?”
“Bangsat bermulut lancang.” Ouwyang Bu memaki, tapi
kakaknya lalu berkata kepada Lui Kok Pauw.
“Saudara adalah seorang yang berkepandaian, dan
bukanlah urusan kami kalau kau hendak berlaku sesat dan
ikut-ikut dengan para pemberontak yang kejam dan ganas.
Akan tetapi, kami berdua Ouwyang-hengte tentu saja
takkan tinggal diam mendengar susiok kami dimaki-maki
orang. Ketahuilah, kami berdua adalah murid-murid
kemenakan Cin-ciangkun, dan kami berdua hendak
membantu susiok membasmi para pemberontak dan
pengkhianat yang mencelakakan rakyat jelata.”
Tiba-tiba Lui Kok Pauw tertawa besar. “Ha-ha. Sungguh
lucu. Masih tidak aneh kalau kalian anak-anak muda ini
membantu kaisar kejam karena mempunyai susiok yang
menjadi panglima penjilat. Tapi sungguh lucu kalau orangorang
sesat dan pengkhianat seperti kalian ini mengaku
sebagai pembela rakyat. Ketahuilah orang-orang muda yang
buta, para pemberontak itulah rakyat jelata.”
“Jangan jual obrolan kosong.” Ouwyang Bu berseru lalu
maju menyerang. Lui Kok Pauw menangkis dan sebentar
saja mereka berdua bertempur hebat. Bhok Sun Ki tentu tak
mau tinggal diam saja, karena iapun sudah mengaku
sebagai seorang patriot, maka kini di situ terdapat orangorang
muda pembela kaisar, mustahil ia harus tinggal diam
saja? Maka ia lalu bergerak dan menyerang Ouwyang Bun.
Pertempuran di atas panggung makin menghebat,
sedangkan semua tamu menjadi panik dan memandang ke
arah panggung dengan wajah tegang. Mereka maklum
bahwa kini perkelahian dilakukan dengan sungguh-sungguh
dan bukan main-main. Sementara itu, Gak Liong Ek si tuan
rumah, menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
Ia tahu bahwa kepandaian keempat orang itu sangat hebat
dan untuk memisah mereka adalah pekerjaan yang sangat
berbahaya dan sukar, dan ia sendiri memang berpendirian
bebas, tidak pro sana tidak anti sini. Oleh karena itu, lain
tidak ia hanya bisa mondar-mandir di bawah panggung
sambil berseru berkali-kali,
“Berhenti, tahan, tahan.”
Akan tetapi keempat orang yang sudah terlibat dalam
pertempuran seru dan mati-matian itu, tidak sudi berhenti
demikian saja. Ouwyang-hengte memang memiliki
kepandaian asli dari Pat-jiu Lo-mo guru mereka yang
tersohor itu, maka setelah bertempur beberapa puluh jurus,
Lui Kok Pauw dan Bhok Sun Ki kena didesak hebat dan
hanya sanggup menangkis saja.
Maka marahlah kedua orang itu lalu mencabut senjata
masing-masing. Lui Kok Pauw mencabut sebatang pedang
dan Bhok Sun Ki mengeluarkan sebatang tongkat.
Ouwyang-hengte melihat kenekatan lawan, lalu
mengeluarkan senjata mereka pula. Ouwyang Bun
mencabut pedang panjangnya, sedangkan Ouwyang Bu
mengeluarkan pedang pendeknya. Keempat senjata itu
berkelebat dan kembali pertempuran berlangsung dengan
hebat dan serunya, bahkan lebih seru dan menyeramkan
daripada ketika dilakukan pertandingan tangan kosong tadi.
Ternyata dalam permainan senjata, tongkat si Raja
Pengemis sangat hebat sekali, karena ia memiliki
kepandaian tunggal, yakni Hui-coa-tung-hoat (Ilmu
Tongkat Ular Terbang). Dengan gerakan tongkatnya yang
berkelebatan dengan bergetar dan berputaran ujungnya, ia
dapat melayani pedang panjang Ouwyang Bun dengan baik
dan seimbang. Tapi sebentar saja Ouwyang Bu telah dapat
mendesak senjata Lui Kok Pauw dengan pedang pendeknya
yang ternyata hebat dan ulung pula. Lui Kok Pauw kini
hanya dapat main mundur saja dan beberapa kali
pedangnya hampir terlepas dari pegangannya kena gempur
pedang pendek lawannya yang cepat dan kuat gerakannya
itu.
Pada saat itu terdengar suara teriakan orang. “Cuwi,
kedua anak muda ini sungguh tak tahu diri. Agaknya ia
hendak meng gunakan pengaruh Cin-ciangkun untuk meng
hina kami orang-orang kang-ouw. Ayoh kita usir mereka.”
Yang berseru demikian itu adalah tosu bongkok kurus,
tokoh Go-bi-san yang bernama Kin Keng Tojin dan yang
tadi duduk di deretan tempat para loeianpwe. Tojin ini
adalah kawan baik Bhok Sun Ki. Maka ketika melihat
kawannya itu terdesak, tentu saja tak mau tinggal diam,
apalagi ketika mendengar bahwa dua orang anak muda itu
adalah murid kemenakan Cin Cun Ong, panglima raja yang
gagah perkasa dan yang sudah banyak mengorbankan jiwa
kawan-kawan baiknya di dunia kang-ouw, ia menjadi
marah sekali.
Di antara tamu-tamu Gak Liong-Ek, banyak terdapat
orang-orang gagah yang telah merasa sakit hati kepada Cinciangkun,
maka serentak mereka bangun berdiri, hanya
masih ragu-ragu karena merasa malu harus mengeroyok
dua orang anak muda. Ada juga yang tinggal diam saja
karena memang tak kurang jumlahnya orang-orang kangouw
yang tidak mau ambil perduli tentang pertentanganpertentangan
yang pro dan anti pemberontak atau yang pro
dan anti kaisar.
Ouwyang Bu dan Ouwyang Bun melihat sikap orangorang
itu, segera berkata dengan suara keras kepada tuan
rumah “Gaklo-enghiong, maafkan kami tidak dapat hadir
lebih lama di sini.” lalu dengan cepat sekali Ouwyanghengte
meloncat turun dan lari meninggalkan tempat itu
dengan cepat, disusul oleh seruan Gak Liong Ek.
“Jiwi, sampaikan maafku kepada gurumu.”
-Ooo-dw-ooOOuwyang
Bun dan Ouwyang Bu lari dan dengan
kepandaiannya meninggalkan tempat pesta itu karena
mereka berdua maklum bahwa dengan tenaga berdua saja
tak mungkin dapat menghadapi sekian banyak orang yang
memiliki kepandaian tinggi. Mereka langsung mengambil
jalan yang menuju ke selatan, karena niat mereka hendak
mencari orang tua mereka terlebih dulu. Mereka telah tahu
dari Pat-jiu Lo-mo guru mereka itu bahwa orang tua mereka
tinggal di kota Nam-tin dan bahwa ayah mereka bernama
Ouwyang Heng Sun. Telah hampir sembilan tahun mereka
berpisah dari kedua orang tua hingga wajah ayah ibu
mereka hanya teringat dengan samar-samar saja.
Ouwyang Heng Sun adalah seorang saudagar yang
berdagang hasil bumi dan memiliki tanah sawah yang
beratus hektar luasnya. Ia sangat kaya dan boleh disebut
menjadi hartawan terbesar di kota Namtin. Anaknya hanya
Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu yang lahir kembar. Maka
dapat dipahami bahwa ia dan isterinya sangat menyayangi
anak kembar mereka itu.
Tapi ketika kedua anak itu baru berusia kurang lebih
sepuluh tahun, pada suatu malam datanglah malapetaka
yang merupakan diri Pat-jiu Lo-mo, perampok tunggal yang
sangat ditakuti itu. Si iblis tua tangan delapan datang
dengan maksud hendak mengambil sedikit bagian dari harta
kekayaan Ouwyang Heng Sun, tapi kebetulan sekali ia
memasuki kamar kedua anak kembar itu dan sangat tertarik
melihat sepasang anak kembar yang cakap dan mungil itu.
Memang, selama merantau dan malang melintang di dunia
kang-ouw, iblis tua ini belum pernah menerima murid. Juga
ia belum pernah kawin dan belum pernah punya anak
sendiri, maka melihat kedua anak yang cakap-cakap ini
timbullah hati sayangnya. Tanpa berpikir panjang lagi, ia
batalkan niatnya untuk merampok harta benda dan
sebaliknya menculik dua anak kembar itu, setelah
meninggalkan surat pemberitahuan di atas meja bahwa
sepasang anak kembar itu diambil oleh Pat-jiu Lo-mo untuk
dijadikan muridnya.
Tentu saja peristiwa ini menghancurkan hati Ouwyang
Heng Sun dan isterinya. Mereka telah berusaha sedapat
mungkin untuk mencari kedua anak itu. Mereka gunakan
harta kekayaan mereka untuk menyewa guru-guru silat dan
petugas-petugas guna mencari jejak Pat-jiu Lo-mo, tapi
semua usaha ini sia-sia belaka, karena andaikata ada juga
guru silat yang dapat menemukan iblis tua itu, siapakah
yang berani menentang perampok tunggal yang
berkepandaian tinggi itu?
Maka segala kebahagiaan lenyaplah dari. dalam hati
Ouwyang Heng Sun dan isterinya dan tiap hari nyonya
Ouwyang hanya pasang hio bersembahyang kepada Yang
Maha Kuasa untuk memohon berkah bagi kedua puteranya.
Sedangkan Ouwyang Heng Sun sendiri, lebih banyak
berkecimpung dalam dunia perdagangan untuk melupakan
kesedihannya. Oleh karena itu, maka kekayaan keluarga
Ouwyang makin bertambah saja.
Ketika Ouwyang-hengte (kedua saudara Ouwyang)
memasuki kota Nam-tin, kota kelahirannya, mereka sudah
lupa sama sekali dan merasai keasingannya memandangi
rumah-rumah di kanan kiri jalan. Mereka mencoba-coba
mengumpulkan ingatan, tapi benar-benar keadaan kota
yang memang telah banyak mengalami perubahan itu
tampak baru dan asing. Mereka lalu mencari keterangan
tentang orang tuanya.
Yang ditanyai memandang heran kepada dua orang
pemuda yang sebentuk dan serupa ini karena selain merasa
aneh melihat sepasang pemuda yang serupa benar itu, juga
ia heran mengapa terdapat orang-orang yang tidak tahu di
mana rumah Ouwyang-wangwe (hartawan Ouwyang).
Setelah diberi tahu letak rumah Ouwyang-wangwe, dengan
hati berdebar kedua pemuda itu menuju ke gedung orang
tua mereka.
Di pintu depan mereka disambut oleh seorang pelayan
muda yang menyambut dengan hormat dan menanyakan
maksud kedatangan mereka.
“Saudara, apakah benar-benar ini rumah Ouwyang Heng
Sun?”
Pelayan itu mengangguk dengan heran.
“Apakah orang tua itu ada di rumah?”
“Tidak ada, sedang, pergi mengurus perdagangan di
Kwi-an. Jiwi dari manakah dan ada keperluan apa?”
Tapi Ouwyang Bu tidak memperdulikan pertanyaan itu,
dan malah bertanya lagi dengan tidak sabar, “Ouwyanghujin
(nyonya Ouwyang) adakah?”
Biarpun makin merasa heran, pelayan itu mengangguk
dan menjawab,
“Ada, di dalam.. Ada apakah kau menanya-nanyakan
hujin?”
Mendapat jawaban itu, kedua pemuda itu tak dapat
menahan sabar lagi dan menyerbu ke dalam. Pelayan itu
menjadi marah dan membentak.
“Eh-eh. Jangan kalian masuk, bukankah sudah kuberi
tahu bahwa wangwe tidak ada di rumah?”
“Minggir kau.” seru Ouwyang Bu dan mendorong
pelayan itu ke pinggir. Pelayan itu terlempar dan menabrak
dinding, hingga ia berteriak-teriak kesakitan dan marah.
“Tolong, tolong, ada perampok. Tangkap pengacau.”
teriaknya.
“Diam. Kami adalah putera-putera Ouwyang-wangwe,
kau mengerti?”
Mulut pelayan yang tadinya berteriak-teriak itu kini
terbuka ternganga dengan mata terbelalak. Mana ia mau
mempercayai keterangan ini? Pada saat itu dari dalam
gedung keluar beberapa orang pelayan berlarian mendengar
teriakan-teriakan tadi. Seorang pelayan tua bernama Tan
Ngo berdiri kesima dan memandang kedua pemuda itu. Ia
tadi sempat mendengar keterangan Ouwyang Bun bahwa
mereka adalah putera Ouwyang-wangwe dan ia teringat
akan kedua anak kembar yang dulu diculik penjahat.
Akhirnya ia tidak ragu-ragu lagi dan lari menubruk kedua
anak muda itu.
“Ah, kongcu, benar-benarkah kalian yang datang ini?
Sudah lupakah padaku? Aku A-ngo yang dulu sering
bermain-main dengan jiwi.”
Ouwyang Bun masih ingat ketika mendengar nama ini,
maka ia pegang tangan orang tua itu dengan girang sekali.
“A-ngo, benar-benar kau berhadapan dengan kami berdua.
Mana ibu?”
Dengan air mata mengalir saking gembiranya, Tan Ngo
lalu menarik-narik tangan kedua anak muda itu menuju ke
dalam. Di sepanjang jalan menuju ke kamar majikannya,
tiada hentinya ia berteriak-teriak.
“Kedua kongcu datang.... kedua kongcu pulang.”
Nyonya Ouwyang yang sedang duduk di dalam
kamarnya, mendengar teriakan ini, tergopoh-gopoh keluar
dari kamarnya. Ia berdiri dengan muka pucat dan sekali
saja memandang kedua anak muda itu, tahulah ia bahwa
mereka benar-benar puteranya. Kedua tangannya diulurkan
ke depan, bibirnya bergerak-gerak tapi tak mengeluarkan
sepatah katapun, sedangkan air mata yang membanjir turun
dari kedua matanya dan membasahi pipinya yang masih
putih halus itu bicara dalam seribu bahasa.
Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu melihat wanita
setengah tua yang masih cantik itu, untuk sesaat menahan
kedua kaki mereka dan mengumpulkan semua ingatan.
Ouwyang Bun yang teringat lebih dulu, segera lari diikuti
oleh Ouwyang Bu. Mereka berdua menjatuhkan diri
berlutut di depan ibu mereka dan menyebut,
“Ibu....”
“A Bun.... A Bu....” Nyonya itu akhirnya dapat juga
mengeluarkan perkataan, ia menangis tapi mulutnya
tertawa-tawa dan tubuhnya menjadi lemas dan limbung.
Kedua anak muda itu cepat berdiri dan memeluk tubuh
ibu mereka yang setengah pingsan karena kegirangan dan
karena peristiwa perjumpaan ini benar-benar mendatangkan
kaget pada hatinya yang memang telah lemah karena
banyak bersedih. Dengan hati-hati dan penuh kasih sayang,
kedua putera itu membimbing ibu mereka memasuki kamar
dan membaringkannya di atas tempat tidur.
“Ibu.... aku dan adikku telah berada di sini.
Senangkanlah hatimu, ibu,” kata Ouwyang Bun dengan
suara halus dan mengelus-elus rambut ibunya.
Nyonya Ouwyang lalu bangun dan duduk di atas
pembaringannya. Sekali lagi ia memandang kedua anaknya
dari kanan ke kiri dan tiba-tiba ia merangkul mereka dalam
pelukannya dan menangis keras.
Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu pun tak dapat menahan
keharuan hati mereka dan ikut mengalirkan air mata.
“A Bun.... A Bu... kau anak nakal... jangan kalian
tinggalkan ibumu lagi....” Setelah menangis sepuaspuasnya,
legalah dada nyonya yang telah bertahun-tahun
menderita sedih itu. Berkali-kali dipandanginya wajah
kedua anaknya dan akhirnya ia tertawa girang.
“A Bun.... yang manakah kau? Aku sendiri menjadi
bingung....”
“Akulah A Bun, ibu....” jawab Ouwyang Bun, dan
Ouwyang Bu tersenyum geli melihat ibunya.
“Kaukah A Bun? Ah, serupa benar, tentu aku akan lupa
lagi. Kalau dulu mudah saja bagiku, ada tanda biru di
pahamu, A Bun. Dan tanda itulah yang memudahkan aku
untuk mengenal mana kau mana adikmu.”
Ouwyang Bun tersenyum. “Tanda itu masih ada, ibu.”
Tiba-tiba nyonya itu teringat sesuatu, maka ia segera
memanggil Tan Ngo dengan suara nyaring. Nyonya itu
ternyata dalam sekejap mata saja mendapatkan kembali
kegembiraan hidupnya dan tampak lebih muda beberapa
tahun. Tapi yang dipanggil tidak menghadap, dan seorang
pelayan lain yang dapat menghadap.
“Mana Tan Ngo? Suruh ia lekas beritahukan wangwe
dan menyusulnya di Kwian. Suruh lekas pulang, kedua
kongcu telah datang.”
“Dia sudah pergi, sudah sejak tadi.”
“Pergi ke mana?”
“Menyusul loya di Kwi-an.”
Ternyata pelayan tua itu dengan gembira sekali
mendahului perintah majikannya untuk menyampaikan
berita baik ini kepada majikannya di Kwi-an. Karena
Kwian hanya terpisah beberapa li saja dari Nam-tin, maka
sebentar saja Ouwyang Heng Sun yang mendapat kabar
baik itu segera menyuruh pengemudi keretanya
membalapkan kuda menuju ke Nam-tin.
Tidak terkira rasa bangga dan girang hati ayah ini ketika
ia dapat berhadapan muka dengan kedua puteranya yang
tercinta. Semalam itu mereka berempat, kedua orang tua
dan kedua anak itu, tiada henti-hentinya mengobrol dan
Ouwyang-hengte harus menuturkan segala pengalamannya
semenjak mereka diculik oleh suhu mereka.
Esok harinya, Ouwyang-wangwe mengadakan pesta dan
mengundang handai-taulan dan langganan-langganan untuk
merayakan kedatangan kedua putera mereka. Suasana
gembira sekali dan semua orang memberi selamat kepada
hartawan yang bahagia itu.
Beberapa hari kemudian, Ouwyang Bun dan adiknya
dengan terus terang memberitahukan kepada ayah ibunya
tentang pesan suhu mereka agar mereka pergi ke utara dan
membantu usaha susiok mereka, yakni Cin Cun Ong untuk
membasmi para pemberontak yang bergerak di sepanjang
tembok besar sebelah utara.
Ouwyang Heng Sun mengangguk-angguk dan berkata,
“Sungguhpun aku sama sekali tidak suka melihat kalian
maju bertempur menghadapi para pengacau negara itu,
namun aku lebih tidak suka lagi melihat dan mendengar
tentang para pemberontak itu. Mereka itu namanya saja
pemberontak yang merobohkan pemerintah yang sekarang,
tapi pada hakekatnya mereka itu tidak lain hanya
perampok-perampok yang mengincar harta benda orang.
Aku mendengar dari orang-orang bahwa di utara, tiap kali
mereka menduduki sebuah kampung, perampok-perampok
itu merampas semua sawah dan membagi-bagikannya di
antara kawan-kawan mereka dan orang-orang jembel.
Perbuatan ini mereka tutupi dengan kedok menyumbang
dan menolong orang melarat. Tapi apa yang dilakukan oleh
para jembel yang menerima sawah rampasan itu? Mereka
menjualnya lagi kepada orang-orang yang mempunyai uang
dan menggunakan uang itu untuk foya-foya hingga sebentar
saja sawah dan uang habis ludes. Setelah habis, mereka ikut
pula dengan para pemberontak untuk mengharapkan
pembagian baru. Hah..”
Ouwyang-wangwe menghela napas. Memang tidak aneh
pendapatnya ini, karena sebagai seorang kaya raya yang
memiliki ratusan hektar sawah, tentu saja ia sangat
khawatir kalau-kalau tanahnyapun dirampas oleh para
pemberontak itu. Apalagi sebarang telah timbul
pemberontakan di mana-mana, dan tidak hanya di utara. Di
selatan inipun mulai ada orang-orang yang membentuk
perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan gelap yang
maksudnya menentang dan memberontak terhadap
pemerintah.
Mendengar kata-kata ayahnya itu, Ouwyang Bun lalu
bertanya,
“Kalau begitu, tentu ayah tidak berkeberatan kalau anak
berdua pergi memenuhi pesan suhu, bukan?”
Sebelum ayah mereka menjawab, nyonya Ouwyang
sudah mendahului,
“Baru beberapa hari kalian datang sudah mau pergi lagi.
Apalagi sekarang pergi untuk menghadapi pertempuran.
Sungguh kalian tidak sayang kepadaku.”
Ouwyang Bun segera mendekati ibunya. “Bukan
demikian, ibu. Ibu tahu bahwa aku dan adikku sayang
kepada ibu, tapi kepergian kami berdua ini tidak saja demi
kepentingan negara den rakyat tapi juga demi kepentingan
ayah dan ibu sendiri.”
“Bicara twako benar, ibu,” Ouwyang Bu menyambung,
“kalau para pemberontak ini tidak segera dibasmi sampai
mereka meluas dan menyerbu ke sini, bukankah hal itu
akan menimbulkan celaka den malapetaka terhadap
keluarga kita juga?”
Nyonya Ouwyang menutupi mukanya dengan tangan.
“Tidak tahu, tidak tahu.” serunya. uTapi aku tidak suka
kalian pergi sebelum kalian melangsungkan perjodohan
dulu.”
Ouwyang-hengte meloncat dengan kaget. “Apa?
Perjodohan kami?”
Ibu yang bersedih itu menurunkan tangannya dan
memandang kepada mereka. “Ya, perjodohan kalian.
Ketahuilah, semenjak kecil kalian telah kami jodohkan
dengan kedua puteri dari keluarga Can yang kini telah
pindah ke Tung-han. Karena kalian dulu lenyap diculik oleh
perampok itu, maka keluarga Can tidak pernah mengirim
berita lagi.”
“Ibu, jangan sebut suhu sebagai perampok,” kata
Ouwyang Bu.
“Dia itu memang perampok, bukan?” tanya ibunya dan
Ouwyang Bu tak dapat menyangkal pula. Memang dulu
suhunya adalah perampok, hal ini tak dapat disangkal,
maka ia diam saja dan menundukkan kepala.
“Sekarang kalian telah pulang dan telah dewasa. Kalau
tidak salah, tahun ini kalian telah berusia sembilanbelas
tahun, cukup dewasa untuk melangsungkan perkawinan.
Maka, sebelum kalian langsungkan perjodohan itu, aku
tidak rela membiarkan kalian pergi bertempur melawan
para pemberontak dan pengacau itu.”
Ouwyang Bun semenjak kecil memang lebih sayang
kepada ibunya. Maka mendengar kata-kata ibunya ini, ia
lalu bertanya kepada ayahnya.
“Bagaimana, ayah? Aku hanya menurut saja kepada
kehendak ayah dan ibu, dan kurasa Bu-tepun demikian
juga.”
Ouwyang-wangwe meraba-raba jenggotnya. “Memang
menurut pendapatku juga demikian. Sekarang begini,
karena Tung-han bukanlah dekat dari sini, lebih baik kau
pergi ke Tung-han bersama adikmu, mencari keluarga Can
Lim Co itu. Kalau sudah bertemu, sampaikan salam kami
dan atas nama kami boleh kalian tanyakan tentang urusan
perjodohan itu. Atau di sana kalian boleh mencari seorang
perantara untuk menyampaikan pertanyaan ini. Kalau
pihak sana bersedia, boleh ditetapkan hari kawin pada
permulaan musim Chun pada hari keempat bulan depan.”
Memang malam tadi, kedua suami isteri itu telah
merencanakan semua itu, hingga kini tanpa mencari hari
baik lagi Ouwyang Heng Sun telah dapat memutuskan
harinya. Terpaksa Ouwyang-hengte menurut kehendak
ayah ibu mereka dan mereka berkemas untuk segera
berangkat melakukan perjalanan ke Tung-han.
Pada waktu itu, memang di mana-mana banyak terjadi
pemberontakan-pemberontakan dan orang-orang gagah di
kalangan kang-ouw banyak yang bersimpati kepada gerakan
Lie Cu Seng hingga diam-diam mereka di tempat masingmasing
menghimpun para kawan-kawan sepaham, bersiapsiap
untuk sewaktu-waktu menggabungkan diri bila
masanya untuk memberontak telah tiba. Juga di Tung-han
tak terkecuali, bahkan di sekitar daerah itu telah pecah
pertempuran-pertempuran antara para pemberontak
melawan alat-alat pemerintah. Melihat adanya bahaya dari
segenap pihak, para pembesar setempat juga bersiap sedia
menjaga keamanan sendiri-sendiri. Mereka membentuk
barisan-barisan pengawal yang terdiri dari orang-orang
berkepandaian silat tinggi untuk menjadi penjaga keamanan
dan menumpas para pemberontak yang berani mengacau.
Karena kota Tung-han bukanlah kota yang sangat besar,
maka mudah juga mencari rumah keluarga Can Lim Co.
Ternyata orang she Can ini adalah seorang sastrawan yang
miskin, biarpun dulu ketika masih tinggal di selatan, ia
adalah putera seorang yang kaya raya. Agaknya Can Lim
Co bukan berjiwa pedagang hingga ia tak dapat
mempergunakan uang warisan ayahnya untuk berdagang.
Bahkan sebaliknya, uang warisan itu lekas habis karena
dimakan sambil menganggur saja, dan pula, orang she Can
ini suka sekali bergaul dengan segala macam orang dan tiap
lari di rumahnya selalu penuh dengan tamu-tamu yang
diajaknya bercakap-cakap sambil minum arak. Mereka
selalu mempersoalkan syair-syair kuno yang penuh arti,
tentang peperangan, tentang sejarah dan tentang ilmu
pengetahuan lain, tergantung dari sifat dan keadaan tamu
yang diajaknya bercakap-cakap itu. Tak heranlah, apabila
lambat-laun harta benda yang dulu dikumpulkan dengan
susah payah oleh ayahnya menjadi ludes dan habis.
Terpaksa Can Lim Co menjual rumah dan sawah, lalu
pindah ke kota Tung-han.
Ia mempunyai dua orang anak perempuan yang usianya
sebaya dengan Ouwyang-hengte. Dulu ketika ia masih
tinggal di selatan, ia menjadi kenalan baik keluarga
Ouwyang, maka terjadilah ikatan jodoh itu. Kemudian,
setelah Ouwyang-hengte diculik orang, dan keadaan
keluarganya makin susah, ia lalu pindah ke Tung-han dan
semenjak itu ia tak pernah berkabar-kabaran dengan
keluarga Ouwyang.
Ketika Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu mengunjungi
rumah keluarga Can dengan pertolongan seorang perantara,
mereka diterima oleh Can Lim Co sendiri. Sastrawan ini
telah nampak tua dan rambutnya telah putih, tapi sikapnya
masih lemah-lembut dan pakaiannya bersih.
Ketika dua anak muda itu memperkenalkan diri sebagai
kedua putera dari Ouwyang Heng Sun, ia merasa terkejut
dan heran sekali. Lalu dipanggilnya isterinya yang berada di
dalam dan kedua orang tua itu menghujani Ouwyanghengte
dengan bermacam-macam pertanyaan, membuat
kedua anak muda itu menjadi malu dan menuturkan
pengalaman mereka dengan singkat.
“Kalian telah belajar silat, itu baik sekali.” kata Can Lim
Co sambil mengangguk angguk senang. “Memang dalam
keadaan zaman seburuk ini, perlu sekali orang memiliki
kepandaian bu (silat) untuk membela keadilan. Apakah
gunanya sebatang pit (alat tulis) dan kertas pada masa
sekacau ini?” orang tua ini menghela napas, kemudian
dengan cara jujur seperti yang telah menjadi kebiasaannya,
ia tanyakan maksud kedatangan kedua anak muda itu
mengapa mereka datang membawa seorang perantara.
Kini giliran perantara itu untuk bicara, karena
mendengar pertanyaan ini. Sedangkan Ouwyang Bun dan
Ouwyang Bu tak berani menjawab. Mereka hanya tunduk
dengan muka merah. Perantara itu lalu memberi tahu.
maksud keluarga Ouwyang untuk menetapkan hari kawin,
yakni pada permulaan musim Chun pada hari keempat
bulan depan.
Setelah perantara itu selesai bicara, barulah Ouwyang-
Yiengte berani mengangkat muka untuk mendengar
jawaban calon mertua mereka. Tapi sungguh
mengherankan sekali karena wajah sastrawan tua tiba-tiba
tampak muram dan tak senang, kemudian terdengar ia
berkata,
“Pada waktu sekacau ini, siapakah yang ada waktu
untuk bicara tentang perkawinan?” kata-kata ini seakanakan
ditujukan kepada diri sendiri, kemudian segera
disambungnya dan kini ia bicara kepada kedua anak muda
yang masih duduk di depannya dengan hati tak enak
mendengar ucapannya tadi. “Jiwi hiante, sungguh menyesal
sekali bahwa, aku tak dapat menyetujui kehendak orang
tuamu. Tolong kausampaikan saja salamku disertai
pernyataan maaf dan hormatku. Kami menolak bukannya
tanpa alasan, tapi sesungguhnya pada waktu ini kedua
puteri kamipun tidak berada di rumah.”
Kedua anak muda itu heran dan bibir mereka bergerak
hendak bertanya ke mana perginya kedua “tunangan”
mereka itu tapi mereka tak kuasa membuka mulut karena
malu. Can Lim Co maklum akan maksud kedua pemuda
itu, maka ia berkata perlahan,
“Karena keadaan di sini kurang aman, mereka pergi dan
untuk sementara tinggal di rumah paman mereka di utara.”
Kemudian kedua anak muda itu berpamit dan Can Lim
Co berkata lagi kepada mereka, “Biarlah urusan perjodohan
ini ditunda dulu sampai keadaan menjadi aman dan beres.
Dan jiwi hiante yang memiliki kepandaian, tidak
menggunakan kepandaian itu pada masa ini, mau tunggu
kapan lagi?” Sebetulnya maksud Cam Lim Co ialah
menganjurkan kedua calon mantunya itu untuk membantu
pergerakan para pemberontak, tapi karena pada waktu itu
tak seorangpun berani mengatakan hal ini dengan terangterangan
yang dapat mengakibatkan mereka ditangkap dan
dianggap anggauta pemberontak lalu menerima hukuman
mati, maka ia hanya berkata seperti tadi hingga kedua
saudara Ouwyang salah mengerti. Mereka mengira bahwa
calon mertua mereka juga benci kepada para pemberontak
dan menganjurkan untuk menggunakan kepandaian mereka
membasmi pemberontak-pemberontak itu. Maka tanpa
ragu-ragu lagi mereka menjawab,
“Memang telah menjadi cita-cita kami berdua untuk
secepatnya berangkat ke utara menyumbangkan tenaga.”
Mendengar kata-kata ini, orang tua itu tampak senang
sekali. Maka pergilah Ouwyang-hengte meninggalkan
rumah keluarga Can. Mereka lalu menyuruh orang untuk
mengirimkan suratnya kepada orang tua mereka di Namtin,
karena dari Tung-han mereka akan terus ke utara hingga
tidak usah pulang lagi. Ketika menerima surat kedua
puteranya itu, Ouwyang Heng Sun dan isterinya hanya bisa
menghela napas dan mengharap mudah-mudahan kedua
anak muda itu akan pulang dengan selamat.
-Ooo-dw-ooOKarena
ayah mereka memberi bekal uang yang cukup,
kedua saudara itu lalu membeli dua ekor kuda agar
perjalanan dapat dilanjutkan lebih cepat dan tidak tertundatunda
lagi. Dengan menunggang kuda mereka dapat
melakukan perjalanan jauh tanpa merasa lelah.
Pada suatu hari, pagi-pagi mereka telah memasuki
sebuah hutan besar. Hutan itu liar dan penuh dengan
pohon-pohon raksasa. Ketika mereka telah memacukan
kuda beberapa li jauhnya di dalam hutan itu, terdengar
suara ringkik kuda dibarengi suara senjata beradu dan
orang-orang berteriak. Jelas bahwa di sebelah depan sedang
terjadi pertempuran hebat. Mereka lalu mempercepat jalan
kuda untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam
hutan itu.
Tak lama kemudian tampaklah oleh Ouwyang-hengte
sebuah pertempuran yang dahsyat dan hebat. Kurang lebih
duapuluh orang berpakaian seragam sedang mengeroyok
lima orang yang memainkan pedang dengan gerakan luar
biasa. Di sana-sini ada beberapa orang pengeroyok yang
roboh mandi darah. Melihat pakaian para pengeroyok tadi,
tahulah Ouwyang-hengte bahwa mereka adalah tentara
negeri, dan rata-rata memiliki kepandaian lumayan juga.
Tapi lima orang yang dikeroyok itu lebih hebat lagi.
Ketika diperhatikan, ternyata bahwa lima orang itu
berpakaian sederhana. Mereka adalah laki-laki semua yang
rata-rata sudah berusia empatpuluh tahun lebih.
Ouwyang Bun dan adiknya lalu melompat turun dari
kuda dan Ouwyang Bun yang tidak mau berlaku ceroboh,
lalu meng hampiri seorang tentara yang luka.
“Saudara, siapakah lima orang yang mengamuk itu?”
tanyanya.
Tentara yang luka itu memandang heran, lalu menjawab
dengan suara lemah karena ia telah banyak mengeluarkan
darah.
“Siapa lagi, mereka adalah pemberontak.”
Mendengar ini, Ouwyang-hengte lalu meloncat berdiri
dan mencabut senjata. Tanpa banyak cakap lagi mereka
menyerbu dan menyerang lima orang pemberontak itu.
Kedatangan Ouwyang-hengte merobah keadaan
pertempuran, karena dengan ilmu pedang mereka yang lihai
sebentar saja mereka dapat mendesak kelima orang
pemberontak itu. Dan para tentara negeri dengan gembira
sekali bersorak-sorak dan mengurung. Akan tetapi, ternyata
lima orang itu betul-betul gagah, karena melihat keadaan
mereka terdesak, kelimanya lalu mengeluarkan senjata
rahasia mereka yang berbahaya. Beberapa orang
pengeroyok roboh lagi oleh senjata itu hingga kurungan
menjadi kendur. Kesempatan itu mereka gunakan untuk
melompat dan kabur. Tapi Ouwyang Bu secepat kilat
mengirim serangan pada pemberontak yang terakhir larinya
hingga ketika orang itu menangkis, pedangnya kena babat
dan putus oleh pedang Ouwyang Bu, berikut dua buah jari
tangan orang itu. Dia menjerit kesakitan dan cepat
menggunakan tangan kiri menyerang Ouwyang Bu dengan
senjata rahasia berupa jarum-jarum halus. Ouwyang Bu
maklum akan bahaya senjata-senjata rahasia ini, maka ia
cepat melompat mundur dan membiarkan orang itu lari
menyusul kawan-kawannya. Terdengar kuda mereka
meringkik dan suara kaki kuda mereka meninggalkan
tempat itu dengan cepat.
Ouwyang-hengte hendak mengejar, tapi pemimpin
tentara yang berjenggot pendek mencegahnya. “Mereka
mungkin masih mempunyai banyak kawan, awas jangan
sampai terjebak.” katanya.
-O0od-wo0OJilid
II
SETELAH merawat para korban pertempuran itu,
kepala rombongan tentara lalu menjura kepada mereka.
“Ji-wi enghiong sungguh gagah perkasa. Terima kasih
atas pertolongan ji-wi yang telah mengusir lima penjahat
itu. Bolehkah kami mengetahui nama ji-wi yang terhormat
agar kami dapat memasukkan dalam buku laporan?”
“Tak usah, tak perlu nama kami disebut-sebut dalam
buku laporan. Kami adalah Ouwyang-hengte yang hendak
mencari tempat markas barisan Cin-ciangkun di Pak-thian
untuk membantu usahanya membasmi pemberontak.”
Mendengar ini, tiba-tiba sikap pemimpin rombongan itu
menjadi sangat hormat dan kagum. “Jadi ji-wi adalah
pembantu-pembantu Cin-ciangkun? Pantas demikian hebat.
Maaf kami berlaku kurang hormat.” Setelah berkata
demikian, dengan tubuh tegak ia memberi hormat lagi.
“Janganlah berlaku sungkan-sungkan, lebih baik
tunjukkan kepada kami jalan mana yang terdekat untuk
pergi ke Pak-thian,” kata Ouwyang Bun.
“Jika ji-wi keluar dari hutan ini dari sebelah kiri dan dari
situ dengan lurus menuju ke utara melalui Sungai Luan-ho,
maka dalam waktu tiga hari saja ji-wi akan tiba di Pakthian.
Harap sampaikan hormatku kepada semua kawan
dalam barisan Cin-ciangkun.”
Setelah mendapat keterangan lengkap, kedua anak muda
itu lalu melanjutkan perjalanan mereka. Setelah matahari
telah naik tinggi, baru mereka dapat keluar dari hutan itu
dan mereka lalu menurut petunjuk pemimpin rombongan
tadi menuju ke utara.
Betul saja, dua hari kemudian mereka tiba di pinggir
Sungai Luan-ho yang lebar.
Dari jauh tampak beberapa orang sedang berdiri di
pinggir sungai dan beberapa orang lagi duduk di atas perahu
yang dijalankan di pinggir. Ketika mereka telah dekat
Ouwyang-hengte melihat seorang laki-laki yang mereka
kenal baik-baik berdiri di situ sedang memandang
kedatangan mereka. Juga semua orang kini menengok dan
memandang mereka dengan mata mengancam. Ternyata
orang yang berdiri paling depan tidak lain ialah Lui Kok
Pauw si pemberontak yang pernah bertempur dengan
mereka di rumah Gak Liong Ek dulu. Dan ketika mereka
memandang dengan penuh perhatian, tampak pula lima
orang yang dikeroyok di dalam hutan pada kemarin dulu,
juga orang kelima yang dua jarinya dibuntungkan oleh
pedang Ouwyang Bu, berada pula di situ dengan tangan
dibalut.
Tahulah kedua saudara itu bahwa mereka telah dicegat
oleh sekawanan pemberontak yang berkepandaian tinggi.
Tapi mereka tidak gentar. Dengan tenang mereka meloncat
turun dari kuda dan menuntun kedua kuda mereka maju
menghampiri sungai.
Lui Kok Pauw menghadang dan berkata, “Aha, benarbenar
kalian anak muda hendak menghambakan diri
kepada para penindas rakyat itu dan rela menjadi kaki
tangan kaisar?”
Ouwyang Bu tidak sesabar kakaknya. Mendengar
makian ini ia mendelikkan mata dan membentak, “Kami
tak mempunyai urusan dengan kamu orang rendah,
mengapa mengganggu? Apakah belum cukup mendapat
hajaran di pesta Gak-lo-enghiong? Atau minta ditambah
lagi?”
Tiba-tiba sikap Lui Kok Pauw yang tadinya seperti
bermain-main itu berubah. Wajahnya memerah dan
matanya mengeluarkan cahaya.
“Dua saudara Ouwyang. Kami telah menyelidiki halmu
dan kami tahu bahwa kalian adalah anak-anak muda yang
masih bersih. Kebetulan saja kalian menjadi murid Si Iblis
Tua Tangan Delapan dan menjadi murid keponakan dari
komplot besar she Cin. Tapi jiwa kalian masih belum
ternoda, hanya karena kurang pengalaman, maka kalian tak
tahu bahwa kalian telah mengambil jalan sesat. Sadarlah
sebelum terlambat.”
Ouwyang Bun tertawa terbahak-bahak. “Ha-ha, orang
she Lui. Sungguh lucu lagakmu. Sebenarnya kaulah
orangnya yang harus sadar. Kau dan komplot-komplotmu
tidak saja mengacau negara, tapi juga merampok dan
mencelakakan rakyat jelata. Apakah kaukira kami tidak
tahu?”
“Pandangan ayahmu. Kami tahu ini. Kau berdua anakanak
orang kaya yang selalu mementingkan diri sendiri.”
“Sudahlah, jangan banyak cerewet.” Ouwyang Bu
membentak sambil mencabut pedangnya. “Kami hendak
menyeberang sungai ini dan jangan menghalang-halangi
perjalanan kami. Kalau tidak, terpaksa pedang ini yang
bicara.
“Kalau begitu kalian akan terpaksa dikubur di pinggir
sungai ini, dan sungguh sayang usia yang masih begini
muda.” Lui Kok Pauw mengejek dan mencabut pedangnya.
Beberapa orang yang berada di situ, termasuk kelima orang
yang kemarin dulu dikeroyok di tengah hutan, pada
mencabut senjata masing-masing.
Melihat hal ini, Ouwyang-hengte juga mencabut pedang
masing-masing dan siap sedia menanti serangan. Setelah
berseru, “Serbu.” Lui Kok Pauw lalu melancarkan serangan
hebat yang dapat ditangkis dengan mudah oleh Ouwyang
Bu. Yang lain serempak menyerbu pula dan sebentar saja
kakak beradik itu telah dikeroyok oleh tujuh orang yang
berkepandaian tinggi. Mereka berdua mengeluarkan seluruh
yang mereka warisi dari Pat-jiu Lo-mo hingga pedang
mereka berkeredepan dan berubah menjadi segulung sinar
yang mengurung tubuh mereka, hingga para pengeroyok itu
sukar untuk menerobos gulungan sinar ini dan melukai
Ouwyang-hengte.
Akan tetapi, ketujuh orang pengeroyok itu bukanlah
orang sembarangan dan mereka sengaja diajak oleh Lui
Kok Pauw untuk mencegat di situ. Kelimanya memiliki
kepandaian tinggi dan pengalaman pertempuran puluhan
tahun, maka biarpun mereka tak dapat segera merobohkan
Ouwyang-hengte, namun sukar juga bagi Ouwyang Bun
dan Ouwyang Bu untuk merobohkan seorang saja di antara
ketujuh pengeroyok itu.
Lui Kok Pauw dan kawan-kawannya merasa kagum
sekali melihat permainan ilmu pedang kedua pemuda itu
dan di dalam hati mereka menyayangkan mengapa
pemuda-pemuda gagah perkasa ini mau diperalat oleh kaki
tangan kaisar lalim. Tapi karena mereka pikir kalau sampai
ke dua pemuda itu dapat menggabungkan diri dengan para
tentara negeri, maka tugas mereka akan makin berat dan
musuh-musuh mereka makin tangguh saja, maka maksud
mereka menggabungkan diri dengan Cin Cun Ong perlu
dihalang-halangi dan bahkan kalau perlu dibinasakan di situ
juga. Karena pikiran ini, maka kurungan me reka makin
rapat dan desakan mereka makin hebat. Walaupun
Ouwyang-hengte memiliki kepandaian tinggi, namun
mereka kurang pengalaman bertempur, maka menghadapi
tujuh lawan yang kesemuanya merupakan lawan-lawan
kuat ini, mereka menjadi sibuk juga. Betapapun juga, kalau
terus saja mereka bertempur tanpa memperoleh hasil, tentu
mereka akan kalah tenaga. Para pengeroyok itu tak
menggunakan tenaga sebanyak mereka yang harus
menghadapi tujuh buah senjata.
Setelah bertempur duaratus jurus lebih, maka kurungan
mereka makin rapat saja dan tak lama lagi kedua anak
muda itu tentu takkan kuat bertahan lagi. Tapi dengan
kertak gigi, kakak beradik itu berlaku nekat dan mereka
mempertahankan diri sambil kadang-kadang membalas
dengan serangan-serangan maut. Hal ini membuat ketujuh
orang itu merasa terkejut dan kagum, karena sungguh tak
mereka sangka kedua anak muda itu berhati sekeras itu.
Tadinya memang ada harapan pada mereka kalau-kalau
pemuda kembar itu akan menyerah dan takluk. Kini
melihat bahwa Ouwyang-hengte benar-benar tak sudi
menyerah, mereka juga menjadi gemas. Atas isyarat Lui
Kok Pauw, mereka kini bergerak lebih cepat dan serangan
dilancarkan lebih hebat untuk membinasakan kedua anak
muda itu. Benar saja, serangan-serangan ini akhirnya
membuat Ouwyang-hengte menjadi kewalahan dan dengan
napas terengah-engah mereka kini hanya dapat menangkis
sambil mundur saja.
Pada saat yang sangat berbahaya bagi jiwa kedua
saudara itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras dan
bayangan seorang berbaju serba biru berkelebat dan
menyerbu ke dalam kalangan pertempuran. Orang yang
baru datang ini bersenjata siang-kiam (sepasang pedang)
yang dimainkan dengan hebat sekali hingga kepungan yang
mengeroyok Ouwyang-hengte menjadi buyar.
Ouwyang-hengte cepat menengok dan alangkah heran
mereka berdua ketika melihat bahwa yang membantu
mereka adalah seorang gadis berbaju biru yang wajahnya
cantik sekali seperti bidadari. Kedua pedang di tangan
kanan kiri itu bergerak-gerak bagaikan dua ekor naga
bermain-main dan sekelebatan saja tahulah kedua saudara
itu bahwa nona itu memiliki kiam-hoat (ilmu pedang) yang
sama dengan ilmu pedang mereka. Maka timbullah
semangat baru dalam dada Ouwyang-hengte. Timbul pula
tenaga mereka hingga sebentar saja mereka mengamuk
hebat, seakan-akan bersaing dengan nona penolong itu.
Keadaan para pengepung menjadi kacau, dan cepat
bagaikan kilat pedang nona itu telah berhasil melukai dua
orang pengeroyok. Melihat kehebatan ini, pengeroyokpengeroyok
yang lain lalu menolong kawan yang luka dan
dengan cepat mereka melarikan diri di atas kuda dan kabur
dari situ. Karena sudah lelah sekali, Ouwyang-hengte tidak
mau mengejar, demikianpun nona penolong itu tidak
mengejar, hanya berdiri bertolak pinggang sambil
memandang kedua saudara itu.
Dan pada saat ia memandang wajah kedua saudara
Ouwyang, barulah ia tahu akan persamaan wajah itu
hingga sepasang matanya yang indah itu terbelalak dan ia
memandang ke kanan kiri dengan bingung, karena dua
orang pemuda di kanan kiri yang berdiri berjajar itu
sungguh-sungguh sama. Tapi ia lalu melihat pedang di
tangan mereka dan baru ia tahu bahwa ia bukan sedang
berhadapan dengan ilmu sulap atau sihir. Ternyata pedang
di tangan mereka itu berbeda hingga tentu saja di depannya
ada dua orang, bukan satu orang yang menyihirnya.
Ouwyang Bun segera menjura dan berkata, “Kami
berdua sungguh merasa berhutang budi kepada lihiap.
Kalau tidak ada lihiap yang menolong, mungkin sekarang
kami telah menjadi mayat.”
Nona itu menggeleng-gelengkan kepala dan kelihatan
ngeri mendengar orang menyebut-nyebut mayat. “Ji-wi
memiliki kepandaian tinggi, tak mungkin demikian mudah
dirobohkan mereka. Aku kebetulan lewat saja dan melihat
ji-wi dikeroyok oleh perampok-perampok dan pemberontakpemberontak
itu. Melihat bahwa kita dari satu cabang
persilatan, maka tak dapat tidak aku harus membantu. Ji-wi
dari manakah dan murid siapa?”
Ouwyang Bu yang mewakili kakaknya menjawab,
“Kami juga tadi merasa heran sekali karena melihat lihiap
mainkan kiam-hoat dari cabang kami dan belum juga
bertanya, lihiap telah mendahului kami. Kami adalah
Ouwyang-hengte, dia ini kakakku bernama Ouwyang Bun
dan aku sendiri bernama Ouwyang Bu. Suhu kami ialah
Pat-jiu Lo-mo....”
Tiba-tiba wajah gadis itu berubah terang berseri. “Jadi
kalian ini murid-murid supek? Ah, maaf, ji-wi suheng, aku
tidak tahu hingga berlaku kurang hormat.” gadis itu
menjura untuk memberi hormat.
Ouwyang Bun yang tadinya merasa heran mengapa
adiknya tiba-tiba menjadi demikian ramah dan pandai
bicara, kini lebih heran lagi mendengar nona ini menyebut
suheng kepada mereka. Tapi otaknya yang cerdik segera
dapat menduga.
“Lihiap ini bukankah puteri dari Cin-susiok?”
Gadis itu mengangguk sambil memperlihatkan
senyumnya yang manis sekali hingga kedua saudara itu
berkata hampir berbareng, “Ah, sumoi, sungguh kami
girang sekali dapat bertemu dengan sumoi di sini.” mereka
terus saja menyebut sumoi sebagai layaknya seorang
menyebut adik perempuan seperguruan, karena selain
mereka lebih tua usianya, juga berada di tingkat lebih tua,
karena ayah gadis itu adalah adik seperguruan suhu
mereka.
“Kami memang sengaja hendak menghadap susiok dan
membantu pekerjaannya, dan kami membawa surat suhu
untuk su-siok.” kata Ouwyang Bun dengan girang.
Nona itu tertawa gembira dan wajahnya makin manis.
“Sungguh-sungguh pekerjaanku hari ini boleh dibilang
berhasil baik dan kebetulan sekali, hingga tanpa kusengaja
dapat membantu ji-wi suheng. Perkenalkanlah, Ouwyangsuheng
berdua, aku bernama Cin Lie Eng. Dan mari
kuantar ji-wi suheng menghadap ayah. Baiknya aku datang
membawa perahu besar yang cukup dipakai menyeberang
kita bertiga.”
“Habis, kuda kami bagaimana?” tanya Ouwyang Bu
sambil memandang kuda mereka yang tadi diikatkan pada
sebatang pohon tak jauh dari situ.
Lie Eng tertawa lagi hingga dapat diduga bahwa gadis ini
memang seorang periang. “Jangan kau bingungkan urusan
kuda, saudara.... eh, kau ini Bun-suheng atau Bu-suheng?
Nah, aku sudah bingung dan tak dapat mengenal yang
mana saudara Bun dan mana saudara Bu.” tapi lalu ia
pandang sarung pedang yang tergantung di pinggang kedua
“orang itu, maka teringatlah ia bahwa yang berpedang
panjang adalah Ouwyang Bun dan yang berpedang pendek
Ouwyang Bu. Sementara itu, kedua kakak beradik itu hanya
tersenyum dan mendiamkan saja gadis itu menerka-nerka.
“Ha, aku tahu, kau tentu Bu-suheng.” katanya girang.
“Betulkah dugaanku?” tanyanya kemudian dengan raguragu.
Sungguh sikap gadis ini lucu menarik hingga kedua
saudara itu ikut tertawa gembira. Ouwyang Bu mengangguk
membenarkan.
“Bu-suheng, kau jangan bingung perkara kuda itu, kalau
kita sudah menyeberang, maka akan kuperintahkan orang
mengambilnya. Pula, kedua kuda itu kurang baik, lihatlah
kalau kita sudah tiba di markas ayah, kau boleh pilih kuda
yang jempolan.”
Demikianlah, mereka bertiga lalu menaiki perahu Lie
Eng dan menyeberangi Sungai Luan-ho yang lebar dengan
airnya yang mengalir tenang. Lie Eng ternyata pandai sekali
bergaul dan bercakap-cakap tiada hentinya hingga kedua
saudara itu makin tertarik dan ikut bergembira. Setelah
menyeberang, mereka lalu berjalan ke utara dan sebentar
saja mereka bertemu dengan banyak tentara negeri yang
bersikap hormat sekali bila bertemu dengan Cin Lie Eng,
puteri panglima Cin yang mereka ketahui memiliki
kepandaian tinggi dan gagah perkasa itu. Di samping
menghormat, mereka juga memandang dengan kagum
sekali. Memang, siapakah yang takkan kagum memandang
dara yang cantik jelita dan bersikap gagah itu? Lie Eng
memerintahkan orang untuk mengambil dua ekor kuda di
seberang, lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke
markas.
Di sepanjang jalan menuju ke markas, kedua saudara
Ouwyang itu melihat banyak sekali tenda-tenda tentara
negeri di pasang di mana-mana, dan markas besar sendiri
berada di sebelah dalam tembok besar. Tampak banyak
tentara negeri menjaga di atas tembok besar itu dengan
senjata tombak dan anak panah. Agaknya para
pemberontak itu berada di luar tembok hingga pertahanan
dikerahkan di tempat itu.
Setelah melalui banyak sekali tenda-tenda tentara,
mereka menuju ke sebuah tenda yang berwarna coklat dan
berada ditengah-tengah, juga paling besar dan tinggi. Di
puncak tenda besar itu berkibar bendera pangkat dari Cinciangkun
dan huruf “CIN” tampak megah dan gagah di
tengah-tengah bendera itu.
Sebetulnya, tidak sembarang orang dapat keluar masuk
begitu saja di daerah itu, apalagi sampai di depan markas
besar dan memasuki tempat kediaman Cin-ciangkun. Akan
tetapi, karena Ouwyang-hengte datang bersama Lie Eng,
para penjaga hanya memandang saja kepada mereka
dengan menduga-duga, dan mereka berdua sama sekali tak
mendapat gangguan.
Tepat di depan pintu tenda ayahnya, mereka bertiga
bertemu dengan laki-laki gagah perkasa dengan pakaian
perang yang bersisik-sisik berwarna hijau. Laki-laki Itu
berusia paling banyak tigapuluh tahun, wajahnya gagah,
sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar. Pedangnya yang
panjang tergantung di pinggang kiri menambah
kebesarannya. Ketika melihat Lie Eng, sikapnya yang tegap
berubah seketika dan wajahnya yang keras itu
membayangkan kelembutan.
“Nona Cin, kau baik saja, bukan?” tegurnya dengan
suara halus.
“Terima kasih, Gui-ciangkun,” jawab Lie Eng, dan gadis
itu lalu memperkenalkan Ouwyang-hengte yang tadinya tak
dipandang sebelah mata oleh panglima muda yang
berpakaian gagah itu.
“Gui-ciangkun, kedua saudara kembar ini adalah kedua
suhengku yang bernama Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu,
mereka ini murid-murid supekku. Ia datang hendak
membantu ayah. Mereka lucu, bukan? Lihat dan kau
takkan dapat membedakan mana kiri dan mana kanan.”
Gadis itu tertawa lucu, lalu berkata kepada Ouwyanghengte,
“Ji-wi suheng, ini adalah Gui-ciangkun, pembantu ayah
yang paling berjasa. Dan untuk daerah utara sini, selain
ayah, tidak ada orang lain yang lebih ditakuti lawan,
disegani kawan seperti Gui-ciangkun.”
Ouwyang-hengte lalu menjura dan mengangkat tangan
tanda memberi hormat yang dibalas dengan tak acuh oleh
Gui-ciangkun.
“Cin-siocia, ayahmu di dalam tadi mencari-carimu.”
Hanya demikian ia berkata kepada nona itu lalu pergi tanpa
melirik sedikitpun kepada kedua saudara yang baru datang
itu. Ouwyang-hengte merasa tak enak dan tak senang
melihat sikap angkuh dari panglima muda itu, tapi
sebaliknya Lie Eng tersenyum geli dan mengajak mereka
memasuki tenda.
Cin Cun Ong adalah seorang yang bertubuh tinggi kurus
dan wajahnya telah mengerat, tapi memiliki sepasang mata
yang tajam bagaikan mata burung rajawali, kumisnya
panjang dan bercampur dengan jenggotnya. Pakaian
perangnya berwarna biru. Ketika kedua saudara Ouwyang
itu masuk, panglima tua yang terkenal namanya itu sedang
duduk menghadapi meja sambil menggunakan pit untuk
corat-coret di atas kertas, entah sedang menuliskan surat
perintah apa. Ia tidak memakai topi dan topi itu telah
ditanggalkannya dari kepala dan kini terletak di atas meja
sebelah kirinya.
“Ayah.” Lie Eng memanggil dengan suara manja, lalu
gadis itu meloncat di dekat ayahnya dan mulai
membereskan rambut ayahnya yang terurai ke belakang.
“Kau dari mana saja?” ayah itu menegur dengan mulut
tersenyum tanpa menengok, karena seluruh perhatiannya
tertuju pada kertas yang ditulisnya itu.
“Ayah, ada tamu menghadap engkau,” kata Lie Eng
lagi.
Panglima itu menunda menulis dan memandang kepada
Ouwyang-hengte yang segera menjura dalam-dalam untuk
memberi hormat. Untuk sejenak mata panglima tua itu
bercahaya tajam dan memandangi kedua anak muda itu
dengan pandangan menyelidiki, tapi segera sinar matanya
berubah heran dan tercengang melihat persamaan kedua
anak muda itu.
“Mereka ini siapa, Lie Eng?” tanyanya kepada anak
tunggalnya yang mulai menjalin rambutnya menjadi kuncir
yang besar.
“Ha, ayah mulai bingung bukan?” Lie Eng menggoda.
“Dapatkah ayah membedakan satu dari yang lain? Ayah,
mereka adalah murid-murid dari twa-supek.”
Kini Cin-ciangkun memandang penuh perhatian.
“Hm, betulkah kalian ini murid Pat-jiu Lo-mo?”
Sambil tetap menjura, Ouwyang Bun menjawab, “Betul,
susiok. Teecu berdua adalah murid orang tua itu, dan
kedatangan teecu berdua adalah atas pesan dan
perintahnya. Teecu membawa surat suhu untuk
disampaikan kepada susiok yang terhormat,” sambil berkata
demikian, Ouwyang Bun mengeluarkan surat suhunya dan
memberikannya kepada panglima itu.
Cin Cun Ong menerima surat dengan tangan kiri,
sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk mengambil
topinya dan dipakainya. Sementara itu, Lie Eng yang telah
selesai menguncir rambut ayahnya, lalu berdiri di pinggir
dan memandang kepada kedua saudara itu dengan mata
berseri.
Sehabis membaca surat itu, Cin-ciangkun bertanya,
“Jadi kalian hendak membantuku? Tahukah kalian siapa
lawan-lawan kita dalam pertempuran ini?”
Ouwyang Bun menjawab, “Maaf, susiok. Teecu berdua
memang belum mempunyai banyak pengalaman, tapi kalau
teecu tidak salah, musuh-musuh kita adalah pemberontakpemberontak
dan perampok-perampok yang mengacau
rakyat jelata.”
Tiba-tiba panglima tua itu tertawa geli. “Ha-ha-ha.
Tahumu hanya pemberontak dan perampok. Ketahuilah,
hai anak-anak muda, musuh-musuh kita adalah tokohtokoh
kang-ouw yang ternama, orang-orang gagah yang
biasa hidup sebagai pendekar-pendekar, ketua-ketua dan
pemimpin-pemimpin cabang persilatan, bahkan banyak
pula pendeta-pendeta dan pendekar-pendekar wanita.
Mereka banyak sekali yang memiliki kepandaian tinggi dan
hebat sekali.”
“Tapi teecu tidak percaya, susiok.” tiba-tiba Ouwyang
Bu yang semenjak tadi diam saja kini membuka mulut,
membuat panglima tua itu keheranan karena biarpun muka
dan potongan tubuh serupa dan sebentuk, namun suara
mereka berbeda. Ia memandang Ouwyang Bu dengan mata
tertarik ketika ia berkata dengan suara keras.
“Apa alasanmu maka kau tidak percaya omonganku,
anak muda?”
“Kalau mereka itu benar-benar orang gagah, mengapa
mereka mengacau negara dan merampok rakyat? Tak
mungkin, susiok, tak mungkin orang-orang gagah sudi
menjadi pemberontak, pengacau, dan perampok.”
“Ha-ha-ha. Anak muda, kau hanya tahu kulitnya tapi tak
tahu isinya. Bagaimana pendapatmu?” panglima itu tibatiba
bertanya kepada Ouwyang Bun. Pemuda ini dengan
tenang menjawab,
“Susiok, kalau memang para pemberontak itu terdiri dari
orang-orang gagah perkasa dan pendekar-pendekar
budiman yang memang bermaksud mulia, tidak mungkin
suhu menyuruh teecu berdua datang ke sini dan membantu
susiok. Pula, susiok terkenal sebagai seorang tokoh yang
ternama dan gagah perkasa, maka kalau memang mereka
itu benar-benar orang gagah, tak mungkin kiranya susiok
memusuhi dan menghancurkan mereka.”
“Ha, kau cerdik. Tapi kaupun tidak mengetahui isiisinya.
Segala hal di dunia ini memang tergantung dari
pandangan dan pendapat orang. Aku semenjak muda telah
menjadi tentara negeri, maka sudah menjadi tugas
kewajibanku untuk membela negara tanpa melihat dan
menyelidiki sebab-sebab pertempuran yang sewaktu-waktu
timbul. Pokoknya, menjadi tentara berarti membela negara,
tak perduli siapa-siapa saja yang berani mengganggu
negaraku, pasti akan berhadapan dengan aku dan akan
kulawan mati-matian. Tapi terus terang saja kukatakan
kepada kalian bahwa seringkali aku harus menghadapi
orang-orang gagah yang dulu pernah menjadi kawan-kawan
baikku. Dan tahukah kau bahwa pernah aku mencucurkan
air mata menangisi mayat seorang tokoh persilatan yang
mati di ujung pedangku sendiri?” Panglima tua itu
menghela napas berat dan keadaan menjadi sunyi, karena
kedua saudara Ouwyang itu sama sekali tidak mengerti
akan maksud kata-kata Cin-ciangkun. Lie Eng sendiri selalu
dilarang oleh ayahnya untuk ikut-ikut dalam pertempuranpertempuran
untuk membantunya, maka gadis itu tidak
menjadi heran mendengar ucapan ayahnya yang sampai
saat itu belum dapat diselami arti dan maksudnya.
Namun, Lie Eng adalah anak tunggal yang mencintai
ayahnya karena sudah tak beribu lagi, maka biarpun
dilarang tak jarang gadis itu membantu ayahnya dalam
pertempuran-pertempuran karena iapun memiliki
kepandaian silat yang cukup hebat.
Setelah hening sejenak, tiba-tiba Cin-ciangkun berkata
lagi, “Bagaimana, apakah kalian tetap dengan maksud
kalian hendak membantuku melawan orang-orang di luar
tembok besar itu?”
“Teecu berdua tetap dengan pendirian semula, susiok.
Apalagi teecu berdua sedang menjalankan perintah suhu,
dan pendapat teecu berdua, tindakan ini memang benar dan
patut dilakukan oleh orang-orang gagah. Teecu berdua
sediakan jiwa raga untuk tugas yang mulia, yakni membela
negara dan membebaskan rakyat dari gangguan segala
penjahat.” berkata Ouwyang Bun bersemangat.
“Terserah kepadamu, tapi satu syarat yang harus
kautaati, yakni kalian tidak boleh sekali-kali memikirkan
atau membicarakan tentang politik mereka maupun politik
negara kita. Kau berjuang di sini sebagai pembantuku, yang
berarti bahwa kau juga menjadi tentara dan tugasmu
semata-mata hanya tunduk perintah atasan, mengerti?”
Ouwyang-hengte memberi hormat dan menjawab bahwa
mereka telah mengerti akan maksud susiok mereka itu.
“Ada lagi.... malam nanti adalah malam berlatih dan
ujian kepandaian para panglima. Kalian bersiaplah karena
sebagai orang baru, kalian harus diuji. Apalagi sebagai
murid-murid keponakan dariku, kalian harus menjaga nama
suhumu dan namaku, mengerti? Nah, kalian boleh mundur.
Eh, Lie Eng, beritahukan kepada pengawal dalam untuk
memberi tenda dan atur semua keperluan kedua suhengmu
itu.”
Lie Eng menjawab, “Baik, ayah.” lalu ia memberi
hormat secara militer kepada ayahnya dengan sikap yang
lucu dan manja hingga ayahnya tertawa senang. Ketiga
anak muda itu lalu keluar dari tenda panglima Cin dan Lie
Eng lalu sibuk mengatur segala keperluan Ouwyang-hengte.
Ia gembira sekali dan melakukan segalanya dengan tangan
sendiri, hingga Ouwyang-heng-te merasa tidak enak dan
malu.
“Ji-wi suheng, kalian harus siap dan berhati-hatilah
karena malam nanti kalian akan diuji dan menghadapi
lawan-lawan berat. Terutama kalau si raksasa itu muncul
untuk mengujimu, kalian harus waspada. Ia ahli gwakang
dan kepandaiannya walaupun tidak sangat tinggi, namun
tenaganya melebihi tenaga gajah.”
“Raksasa yang mana, sumoi?” tanya Ouwyang Bun
heran.
Sambil tersenyum Lie Eng berkata, “Raksasa yang tadi
kita jumpai di depan tenda ayah.”
“O, kau maksud Gui-ciangkun tadi?” kata Ouwyang Bu.
“Benar-benarkah tenaganya melebihi tenaga gajah?”
“Entahlah,” gadis itu menjawab sambil tertawa lucu,
“aku sendiripun belum pernah melihat gajah, apalagi
mengukur tenaganya.” Ketiga anak muda itu tertawa-tawa
dan mengobrol senang.
Malam harinya, boleh dibilang semua anggauta tentara
yang tidak sedang tugas berjaga, datang membanjiri lian-buthia
(ruang main silat) di mana khusus untuk keperluan itu
telah dibangun panggung semacam panggung lui-tai
(tempat adu silat). Tempat ini sedikitnya setengah bulan
sekali tentu digunakan oleh Cin-ciangkun untuk menguji
para panglima muda yang baru, juga para kepala-kepala
regu yang baru untuk menetapkan tingkat masing-masing.
Harus diakui bahwa jika orang telah menceburkan diri
dalam dunia ketentaraan, maka hati menjadi berani, tabah
dan keras. Oleh karena itu, tidak jarang dalam hal mainmain
dan menguji kepandaian ini sampai terjadi
pertandingan seru yang mengakibatkan luka berat. Tapi
dalam hal persilatan, luka ringan atau berat adalah soal
biasa dan tak patut diributkan.
Malam hari itu, tempat itu makin ramai dan lebih penuh
dari biasanya karena para anggauta tentara mendengar
kabar bahwa selain ada lima orang panglima muda yang
baru dilantik, juga di situ datang dua orang murid
keponakan dari Cin-ciangkun sendiri. Mereka dapat
menduga bahwa malam ini tentu akan terjadi pertandinganpertandingan
hebat dan ramai, maka berduyun-duyunlah
mereka menuju ke lian-bu-thia itu, biarpun di antara mereka
ada yang siang tadi telah bertugas menjaga sampai sehari
penuh dan tubuh mereka lelah sekali.
Di atas sebuah kursi yang tinggi di dekat panggung
duduklah Cin-ciangkun dalam pakaian kebesaran. Baju
perangnya bersisik biru dan mengkilap, sedangkan pedang
gagang emasnya dipakai hingga menambahkan
kegagahannya. Di sebelah kirinya duduk Cin Lie Eng yang
memakai pakaian ringkas warna biru muda hingga tampak
terang di samping baju perang ayahnya yang berwarna biru
tua. Seperti ayahnya, gadis itupun memakai pedang di
punggung. Rambutnya diikal ke atas dan diikat dengan
benang perak yang berkilauan dan ditusuk dengan hiasan
rambut dari perak pula. Gadis itu nampak gagah dan cantik
bagaikan bidadari. Tak ada seorang pun yang berada di
ruang itu yang tidak menujukan matanya memandang gadis
itu dengan sinar kagum.
Di atas kursi-kursi yang agak rendah, di sebelah kanan
dan kiri, sejajar dengan panglima tua itu, duduk panglimapanglima
muda yang jumlahnya tujuhbelas orang. Pakaian
perang mereka bersisik dan berwarna hijau semua dan
pedang mereka tergantung di pinggang kiri. Mereka ini
biarpun disebut panglima muda, tapi di antara mereka
banyak yang sudah berusia empatpuluh lebih dan Guiciangkun
yang duduk paling dekat dengan Cin-ciangkun,
merupakan panglima muda yang tergagah, apalagi
tubuhnya yang tinggi besar memang tepat sekali dipunyai
oleh seorang panglima perang. Seringkali panglima muda
raksasa ini mengerling ke arah Lie Eng hingga para
anggauta tentara banyak yang tersenyum-senyum dan saling
berbisik. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa panglima muda
she Gui itu punya “banyak harapan” untuk memetik bunga
yang sedang mekar indah di taman panglima Cin itu.
Ouwyang-hengte karena belum disahkan sebagai
pembantu atau panglima, mendapat tempat di bagian tamu,
satu tempat khusus bagi para pendatang baru, hingga kedua
saudara itu duduk bersama-sama dengan lima panglima
baru yang hendak di uji dan beberapa orang pembesar Lain
yang sengaja diundang dan datang menyaksikan ujian ini.
Kebetulan sekali tempat duduk mereka berhadapan dengan
tempat duduk Lie Eng, hingga mereka dapat saling
memandang, bahkan ketika Lie Eng memandang ke arah
mereka ia mengangguk dan tersenyum lucu.
Setelah Cin-ciangkun memberi sambutan yang isinya
berupa nasihat-nasihat agar semua anggauta tentara, baik
yang bertingkat rendah maupun yang bertingkat tinggi,
semua tunduk akan peraturan dan taat akan perintah serta
disiplin maka tahulah Ouwyang-hengte mengapa paman
guru itu berhasil menggembleng semua anggauta tentara di
bawah pimpinannya menjadi kesatuan yang kuat dan
ternama. Di waktu menyambut, orang tua itu tampak
bersemangat dan semua nasihatnya memang tepat dan baik
sekali bagi setiap anggautanya, jauh bedanya dengan
kesatuan-kesatuan lain yang kotor sekali keadaannya,
karena para panglima dan pemimpinnya kebanyakan hanya
tahu menyenangkan diri sendiri saja dan menjalankan
korupsi besar-besaran. Kalau kepalanya merayap ke selatan,
mana ekornya bisa merayap ke utara? Demikian bunyi
peribahasa sindiran kuno yang maksudnya, kalau para
pemimpinnya nyeleweng, mana bisa anak buahnya berlaku
benar? Akibatnya, kesatuan-kesatuan itu menjadi lemah dan
menjadi tempat pemakan gaji buta saja hingga sewaktuwaktu
ada bahaya mengancam negara, tenaga mereka tak
banyak dapat diharapkan.
Kemudian, setelah sambutan selesai, ujian dimulai.
Kelima panglima muda itu maju seorang demi seorang
untuk memperlihatkan kemahiran mereka bersilat tangan
kosong dan bersilat pedang. Dalam pandangan Ouwyanghengte,
kepandaian mereka itu biasa saja, hanya lebih tinggi
sedikit daripada kepandaian guru silat biasa. Tapi mereka
mendapat sambutan hangat dan tempik sorak ramai dari
para anggauta tentara yang menganggap permainan mereka
cukup bagus.
Kemudian atas isyarat Gui-ciangkun yang menjadi
pemimpin ujian itu, dari deretan panglima muda keluarlah
seorang panglima yang bertubuh pendek. Ia adalah seorang
yang dipilih untuk menguji kepandaian perwira pertama.
Menurut peraturan, perwira yang diuji, kalau dapat
memenangkan panglima muda, mendapat pangkat, perwira
kelas satu, tapi yang kalah hanya menerima tanda pangkat
berupa pakaian seragam perwira kelas dua saja.
Setelah memberi hormat kepada Cin-ciangkun yang
menganggukkan kepala, perwira pendek itu meloncat ke
atas panggung dengan gerakan Burung Walet Menyambar
Air. Gui-ciangkun lalu memanggil calon perwira pertama
yang diuji, dan majulah seorang dari pada kelima calon
tadi. Mereka lalu bertanding tangan kosong. Biarpun
tubuhnya pendek, ternyata perwira penguji itu pandai sekali
bersilat tangan kosong dari cabang Siauw-lim. Juga ia
memiliki tenaga yang cukup hebat hingga setelah
bertanding selama lebih dari empatpuluh jurus, calon
perwira itu terdesak hebat dan akhirnya ia tertendang roboh
keluar panggung. Tempik sorak hebat-menjadi hadiah
perwira penguji ini yang lalu menjura kepada Cin-ciangkun
dan mengundurkan diri, memakai kembali pakaian perang
yang tadi ditanggalkan, dan dengan langkah bangga
kembali ke tempat duduk semula.
Demikianlah berturut-turut kelima calon perwira itu diuji
oleh perwira-perwira muda yang ditunjuk oleh Guiciangkun.
Hasilnya, tiga di antara mereka kalah dan
menjadi perwira kelas dua sedangkan yang dua orang
menang dan diangkat menjadi perwira kelas satu.
Setelah itu, tampak Cin Lie Eng berbisik dekat telinga
ayahnya dan panglima tua itu mengangguk-angguk lalu
berkata kepada Gui-ciangkun,
“Sekarang biar kita. uji dua anak muda itu, mereka juga
merupakan pembantu-pembantu yang cakap. Pilihlah
perwira yang agak tinggi kepandaiannya karena mereka
berdua tak dapat disamakan dengan orang-orang yang telah
diuji tadi.”
Gui-ciangkun yang semenjak siang tadi tidak suka
melihat kedua anak muda yang bergaul erat dengan Lie
Eng, kini makin cemburu dan iri hati, akan tetapi ia tidak
berani membantah perintah atasannya, maka berdirilah ia
dan dengan suara keras berkata,
“Kini kami hendak menyaksikan kepandaian dua tamu
muda yang bernama Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu, yang
sengaja datang ke sini untuk menawarkan tenaga
bantuannya. Kami harap kedua orang itu suka maju dan
memperlihatkan kepandaiannya, kalau dianggap cukup
tinggi maka akan diuji pula.”
Hati kedua pemuda itu panas sekali mendengar
perkenalan dan perintah yang memandang rendah sekali
ini, sedangkan Cin-ciangkun juga merasa heran mengapa
seolah-olah pembantunya ini mempunyai iri hati terhadap
kedua pemuda itu.
“Ouwyang Bu diminta maju memperlihatkan
kepandaian.” Gui-ciangkun berseru lagi dengan suara
memerintah. Ouwyang Bu dengan bersungut-sungut tidak
mau berdiri dari tempat duduknya.
“Bu-te, kau majulah.” kata Ouwyang Bun, tapi adiknya
dengan cemberut geleng-geleng kepala.
“Biarkan anjing itu menggonggong lebih lama dulu.”
jawabnya.
“Bu-te, jangan begitu. Ingatlah bahwa dia itu hanya
memenuhi perintah susiok saja. Kau majulah.”
Terpaksa Ouwyang Bu berdiri dari tempat duduknya dan
sekali loncat ia telah berada di atas panggung. Ia menjura
kepada susioknya, lalu bersilat. Tapi cara bersilatnya aneh
sekali. Ia pasang kuda-kuda dan tanpa mengindahkan
kedua kakinya, ia memukul ke depan ke belakang, ke kanan
kiri dan hanya tubuh atasnya saja yang bergerak-gerak,
sedangkan kedua kaki tetap di atas lantai tak bergerak.
Setelah memukul sana menghantam sini beberapa jurus, ia
lalu menghentikan gerakannya dan menjura lagi kepada
susioknya.
Semua orang mencela dan heran sekali akan ketololan
pemuda itu. Hanya Cin-ciangkun seorang yang tahu bahwa
pemuda itu telah mengeluarkan dasar ilmu silat Cian-jiu
Kwan-im-hian-ko (Kwan Im Tangan Seribu
Mempersembahkan Buah) yang menjadi sumber ilmu silat
Kiauw-ta-sin-na yakni gabungan ilmu silat Siauw-lim dan
Bu-tong. Biarpun kedua kaki tidak mengubah bhesi (kudakuda),
namun sepasang tangan dapat bergerak dalam
bermacam-macam tipu dan dapat menghadapi musuh dari
manapun juga, bahkan dapat menghadapi lawan yang
berada di belakang. Maka ia tidak mencela, hanya diamdiam
ia sesalkan murid keponakan itu mengapa tidak mau
memperlihatkan keindahan ilmu silat cabang mereka agar
semua orang menjadi kagum.
Melihat cara bersilat Ouwyang Bu, panglima she Gui itu
memandang remeh sekali, maka ia segera berdiri dan
dengan suara keras memerintah lagi.
“Kini Ouwyang Bun harap maju menunjukkan
kemahirannya.”
“Ayah, kuharap suheng ini tidak terlalu seji (sungkan)
seperti adiknya,” kata Lie Eng kepada ayahnya. Gadis ini
biarpun berkata perlahan, tapi sengaja ia kerahkan tenaga
lweekang dari tan-tian (pusar) hingga suaranya terdengar
pula oleh Ouwyang Bun. Pemuda ini tersenyum lalu
dengan loncatan Naga Sakti Terjang Mega ia telah berada
di atas panggung. Loncatannya benar-benar bergaya indah
hingga diam-diam panglima muda she Gui itu merasa
kagum juga, dan semua anggauta tentara melihat gaya ini
lalu bertepuk tangan ramai.
Ouwyang Bun lalu menjura kepada susioknya kemudian
ia keluarkan ilmu silatnya. Berbeda dengan adiknya,
Ouwyang Bun yang mendengar kata-kata Lie Eng, segera
berusaha “menebus” kerugian yang diperlihatkan oleh
adiknya. Ia maklum bahwa selain susioknya dan sumoinya
itu, mungkin semua orang memandang rendah kepada ilmu
silat yang baru saja diperlihatkan Ouwyang Bu, maka kini
ia segera memainkan ilmu silat Ngo-heng-lian-kun-hoat,
yakni ilmu silat warisan suhunya yang memang tidak saja
indah dipandang, tapi juga sangat hebat dan tidak mudah
dimainkan oleh sembarang orang. Tubuhnya bergerak cepat
hingga membuat mata penonton menjadi kabur. Tidak
heran bila sambutan-sambutan sorak-sorai dan tepuk tangan
terdengar terus-menerus sampai ia menghentikan
gerakannya dan berdiri menjura kepada susioknya dengan
wajah tidak berubah.
Diam-diam Cin Cun Ong senang melihat kepandaian
Ouwyang Bun dan adiknya, karena ia maklum bahwa
kedua pemuda itu benar-benar merupakan pembantu yang
boleh dipercaya.
Tapi pada saat itu, Gui-ciangkun segera berdiri dan
berseru keras.
“Ouwyang Bun dianggap lulus dan boleh diuji melawan
seorang perwira untuk menetapkan kelasnya, tapi Ouwyang
Bu tidak dapat diterima karena ilmu silatnya masih rendah.
Ia hanya boleh masuk menjadi perajurit biasa.”
Ouwyang Bu lalu meloncat cepat ke atas panggung dan
setelah menjura kepada susioknya, ia berkata kepada
panglima muda itu,
“Aku juga tidak sangat mabok pangkat seperti engkau,
tapi tentang kepandaian, biarpun pengertianku masih
rendah, tapi dapat kupastikan bahwa dengan ilmu silatku
tadi, kau takkan mampu menjatuhkan aku. Percaya atau
tidak? Kalau tidak percaya, naiklah ke mari dan kita
membuktikannya. Kalau kau percaya, maka kau ter nyata
tidak tahu malu.”
Kagetlah semua orang mendengar ucapan ini, karena
siapa orangnya berani menghina Gui-ciangkun yang selain
terkenal kejam dan gagah perkasa, juga menjadi tangan
kanan panglima tua Cin Cun Ong. Tantangan itu sungguh
lancang dan gegabah.
Sebaliknya, Cin-ciangkun merasa menyesal mengapa
pembantunya begitu bodoh hingga tak dapat mengenal ilmu
silat Ouwyang Bu yang ulung tadi dan mengeluarkan
pernyataan yang menyakiti hati pemuda itu, tapi memang
ia telah mengangkat Gui-ciangkun menjadi pemimpin
penguji hingga panglima muda itu memang berwewenang
dalam hal itu.
Gui-ciangkun tentu saja sangat marah. Kedua matanya
melotot dan mukanya menjadi merah. Kalau tidak ada Cinciangkun
di situ, pasti ia telah memerintahkan orangorangnya
untuk menangkap anak muda kurang ajar itu.
“Apa kau sudah bosan hidup?” hanya demikian
bentaknya.
Ouwyang Bu tertawa. “Aku atau kau yang bosan hidup?
Naiklah, naiklah, ingin sekali aku melihat apakah
kepandaianmu sehebat pakaianmu.”
“Bu-te. Jangan begitu, kau turunlah.” Ouwyang Bun
berseru karena tak suka melihat adiknya menimbulkan
keributan.
Sementara itu, Cin-ciangkun merasa sudah tiba
waktunya untuk bertindak sebagai pemisah, karena kalau
sampai kedua orang itu betul-betul bertempur, pasti salah
seorang menderita bencana dan hal ini tak ia kehendaki
karena berarti merugikan kekuatan kesatuannya. Ia lalu
berdiri dan membentak,
“Gui-ciangkun, habisi pertengkaran ini. He, Ouwyang
Bu, kau kembalilah ke tempat dudukmu lagi.” bentakan ini
terdengar keras dan berpengaruh sekali hingga kedua orang
itu tak berani membantah. Panglima Gui tunduk
menghadapi pemimpinnya, sedangkan Ouwyang Bu tidak
saja takut kepada kakaknya, tapi juga ia segan membantah
susioknya. Keduanya lalu mundur dan pada saat itu
terdengar suara tertawa keras dan nyaring dari luar. Suara
ketawa ini demikian nyaring dan menyeramkan, apalagi
terdengar pada saat semua orang tak berani bersuara
melihat Cin-ciangkun yang marah hingga suasana sunyi
sekali. Siapakah orangnya yang demikian berani mati
tertawa dalam saat seperti itu?
Semua orang menengok dan dari luar masuklah tiga
orang tua-tua dengan langkah kaki perlahan. Yang berjalan
paling depan adalah seorang bertubuh tinggi kurus seperti
batang bambu. Mulutnya menjepit sebatang huncwe bambu
yang kecil panjang dan ujungnya mengepulkan asap biru,
kedua tangannya yang kurus seperti tangan jerangkong itu
digendong di belakang. Ia berjalan bagaikan sedang jalanjalan
di dalam taman bunga di rumahnya saja demikian
seenaknya dan tenang. Orang kedua dan ketiga juga orangorang
tua yang usianya sebaya dengan orang pertama, kirakira
limapuluhan tahun. Yang kedua orangnya gemuk
pendek, kepalanya gundul dan berjubah hwesio. Mulutnya
selalu menyeringai dan matanya yang bundar itu
memandang liar ke kanan kiri. Orang ketiga berpakaian
seperti orang pertama, yakni pakaian guru silat yang serba
ringkas, tapi sangat mewah karena pinggir pakaiannya
dihias sulaman-sulaman benang emas. Tubuh orang ketiga
ini sedang saja, tapi dadanya bidang menandakan bahwa ia
kuat sekali.
Si hwesio dan orang ketiga itu berkali-kali menengok ke
kanan kiri dan memuji-muji, “Sungguh angker, sungguh
kuat.” agaknya mereka memuji-muji pertahanan dan
kedudukan markas besar Cin-ciangkun.
Diam-diam Cin Cun Ong terkejut karena bagaimana tiga
orang aneh ini dapat masuk ke situ tanpa dapat dicegah
oleh para penjaganya? Tentu mereka ini orang-orang
pandai. Akan tetapi, sebagai seorang berkedudukan tinggi,
ia tak mau berlaku terlalu merendah, dan sebaliknya ia
hanya memberi isyarat kepada Gui-ciangkun untuk
menegur mereka.
Tapi sebelum Gui-ciangkun sempat menegur, si empek
yang menghisap huncwe (pipa tembakau) panjang itu
melepaskan huncwenya dari mulut dan bertanya kepada
seorang anggauta tentara yang berdiri di dekatnya,
“Eh sahabat, kalian ini sedang melihat apakah? Sedang
diadakan apa di sini?”
Anggauta tentara itu geli melihat sikap dan lagak empek
itu, maka ia lalu menjawab sambil tertawa,
“Empek tua, lebih baik kau jangan dekat-dekat di sini
karena kami sedang mengadakan ujian permainan silat
kepada para perwira baru.”
“Bagus, bagus. Memang kami bertiga datangpun hendak
memasuki ujian. Mana pemimpin ujian itu?” ia lalu
memandang ke sekeliling dengan mata mencari-cari. Lalu
pandang matanya bertemu dengan Cin Cun Ong yang
duduk dengan sikap tegap dan-agung.
“Oh, oh, kiranya kita tersesat di dalam markas besar
panglima besar yang kalau tidak salah tentu Cin-ciangkun
sendiri adanya.” kakek penghisap huncwe itu berkata
kepada dua orang kawannya. Dua kawannyapun
memandang ke arah Cin-ciangkun. Tapi pada saat itu, Guiciangkun
sudah membuka mulut membentak.
“Dari mana datangnya tiga orang-orang tua kurang ajar
yang masuk ke sini tanpa ijin? Tahukah kalian bahwa
pelanggaran ini dapat dijatuhi hukuman mati?”
Si penghisap huncwe memandang ke arah panglima
muda itu dan tertawa geli kepada kedua kawannya. “Lihat,
agaknya Cin-ciangkun biarpun terkenal gagah perwira, tapi
belum dapat mengajar adat kepada orang-orangnya.”
Sementara itu, Cin Cun Ong yang dapat menduga bahwa
ketiga orang itu tentu berkepandaian tinggi, menyuruh Guiciangkun
menanyakan maksud kedatangan mereka.
Terpaksa perwira muda itu mentaati perintah atasannya
dan ia menegur pula,
“Tiga tamu yang datang tanpa diundang, sebenarnya
mempunyai maksud apakah? Harap segera memberi
laporan.”
“Kaukah yang menjadi pemimpin ujian ini?” tanya
hwesio gemuk pendek. “Kalau begitu, boleh kau catat
bahwa kami bertiga juga minta diuji apakah kami telah
cukup cakap untuk membantu pekerjaan Cin-ciangkun.
Ajukan syarat-syaratmu, baru kami akan ajukan syaratsyarat
kami, bukankah begitu, kawan-kawan?” tanyanya
kepada kedua kawannya. Dan si penghisap huncwe dan
orang ketiga yang berbaju biru itu tertawa-tawa dan
mengangguk-angguk membenarkan.
“Syaratnya? Kalian sudah tak memenuhi syarat karena
datang tanpa diundang dan tanpa ada orang perantara yang
memperkenalkan kalian.”
Tapi buru-buru Cin-ciangkun memberi isyarat kepada
pembantunya hingga Gui-ciangkun melanjutkan kata-kata,
“Biarlah, kalian dengar syarat-syaratnya. Kalian harus
dapat memenangkan seorang perwira yang kami tunjuk
untuk menguji kepandaian kalian. Tapi kalau pertandingan
ujian ini mengakibatkan luka atau mati, tidak boleh ada
tuntutan.”
“Bagus, bagus sekali.” orang ketiga yang berbaju biru
tertawa mendengar syarat-syarat ini. “Memang adil sekali.
Belum pernah seumur hidupku aku bertanding me lawan
seorang perwira. Tentu saja takkan ada tuntutan, karena
dalam hal pibu (beradu silat) sudah sewajarnya mendapat
luka atau mati. Pula, kalau orang sudah mampus, ia tak
mungkin dapat menuntut.”
Para anggauta tentara tertawa geli mendengar ucapan
yang lucu ini.
“Kami terima syarat ini.” si penghisap huncwe berkata
nyaring. “Sekarang kami majukan syarat-syarat kami.”
“Di sini orang tidak boleh mengajukan syarat.” bentak
Gui-ciangkun yang merasa marah sekali melihat sikap
orang yang ugal-ugalan. Tapi Cin Cun Ong memberi isyarat
hingga perwira muda itu dengan mendongkol bertanya,
“Apakah syaratmu, he, orang-orang aneh?”
Si penghisap huncwe tertawa gelak-gelak dan berkata,
“Biarpun orang-orangnya tak tahu adat, tapi ternyata Cinciangkun
peramah sekali, sesuai dengan nama besarnya.
Nah, dengarlah, kami minta dijamin makan minum dan
pakaian kami, di samping itu tiap sepekan sekali kami
minta upah sepuluh tail perak. Bagaimana, setuju?”
Ternyata syarat yang dimajukan ini bukanlah syarat, tapi
hanya main-main saja, hingga semua orang pada tertawa
geli dan Gui-ciangkun makin mendongkol saja.
“Syaratmu diterima dan kini orang pertama naiklah ke
panggung. Ujian segera dimulai.” Gui-ciangkun lalu
memilih seorang perwira yang cukup tinggi ilmu silatnya
untuk memberi hajaran kepada orang-orang tua gila itu.
“Orang pertama adalah aku, kaukeluarkan dulu orangmu
yang hendak pibu denganku dan suruh ia naik ke
panggung.” kata orang tua berbaju biru itu.
Terpaksa perwira yang hendak melayaninya itu cepat
menanggalkan pakaian perangnya dan dengan pakaian
ringkas ia meloncat ke atas panggung. Orang ini adalah
seorang yang telah lama menjadi perwira di situ hingga
telah cukup terkenal akan kegagahannya. Dengan gagah ia
berdiri menanti datangnya kakek baju biru itu untuk segera
diberi hajaran karena kekurang-ajarannya.
“Nah, sekarang aku naik. Ah, mengapa panggung ini
setinggi ini?” Sambil berkata demikian, si baju biru itu lalu
menggunakan tangan dan kakinya untuk memanjat balok
pinggiran panggung itu, seperti lakunya seekor monyet
memanjat pohon. Tentu saja perbuatannya ini
menimbulkan suara ketawa riuh rendah karena meloncat ke
atas panggung saja tidak becus, apalagi hendak melawan
perwira itu? Sungguh manusia tak tahu diri dan hendak
mencari mampus.
Akan tetapi Ouwyang Bun saling pandang dengan
adiknya karena dari tempat duduk mereka, kedua saudara
Ouwyang ini dapat melihat jelas dan mereka kagum sekali
akan ilmu merayap Pek-houw-yu-chong (Cecak Merayap
Di Tembok) yang cukup hebat itu. Kedua telapak tangan
dan kaki si baju biru itu bagaikan kaki tangan cecak dapat
lengket di balok yang licin itu tanpa terpeleset sedikit juga.
Ilmu ini sepuluh kali lipat lebih sukar dipelajari daripada
meloncati panggung yang dua kali tingginya daripada
panggung ini.
Setelah berhadapan dengan perwira itu, si baju biru lalu
menjura dengan lagak sangat hormat, tapi mulutnya tetap
tersenyum.
“Sungguh satu kehormatan tinggi sekali bagiku untuk
pibu dengan seorang gagah lagi berpangkat. Ciangkun,
harap kau berlaku murah dan jangan membinasakan aku,
karena akupun tidak akan melukaimu.”
Dari tempat duduknya, Gui-ciangkun berseru keras,
“Sebelum pibu, hendaknya tuan memberitahukan nama
terlebih dulu.”
“Aku bernama Lee Uh dan disebut orang Hoa-gu-ji (Si
Kerbau Belang).”
Maka mulailah pertandingan itu ketika si perwira tanpa
banyak peradatan lagi melancarkan serangannya. Perwira
itu bertenaga besar dan pukulannya mendatangkan
sambaran angin keras. Tapi ketika Lee Un menangkis
dengan kepretan tangannya, perwira itu meringis karena ia
rasakan pergelangan tangannya sakit sekali. Marahlah ia
karena maklum bahwa musuhnya mempunyai tenaga tak
kalah besarnya. Ia lalu menyerang dengan pukulan-pukulan
berat dan berbahaya dengan bertubi-tubi.
“Hati-hati, ciangkun, jangan main keras, kau nanti
jatuh.” si Kerbau Belang menyindir sambil berkelit ke sana
ke mari dengan lincahnya. Si perwira menjadi malu dan
makin marah hingga kini gerakan-gerakannya dilakukan
dengan sepenuh tenaga hingga papan panggung itu
bergerak-gerak tergetar oleh perubahan kakinya yang cepat
dan berat. Tapi dengan kegesitannya, Hoa-gu-ji Lee Un
membuat lawannya berputar-putar karena ia selalu berkelit
sambil berputar mengelilingi panggung itu. Setelah
lawannya menjadi pusing, tiba-tiba Lee Un tertawa
terbahak-bahak dan ketika lawannya memukul keras dari
depan ke arah dadanya, ia meloncat ke samping dan
sebelum perwira itu keburu menarik kembali lengannya,
Lee Un sudah berada di belakangnya dan mendorongnya
dengan keras. Karena kepalanya telah pusing dan tenaga
dorong dari belakang itu sangat besar perwira itu bagaikan
meloncat ke depan saja dan tidak ampun lagi tubuhnya
terpelanting keluar panggung.
Terdengar tempik sorak ramai menyambut kemenangan
ini, dan tiba-tiba si baju biru itu menjadi sombong sekali. Ia
bertolak pinggang dan menghadap Cin-ciangkun sambil
berkata keras,
“Ciangkun, mengapa perwira-perwiramu hanya macam
begitu saja? Kalau menghadapi pemberontak-pemberontak
yang berkepandaian tinggi, apakah takkan mengecewakan?
Kalau hanya setinggi itu kepandaian perwiramu, lebih baik
kau turun sendiri dan mengujiku, ciangkun. Dengan
mengukur kepandaianku, maka kau akan dapat mengirangira
sendiri berapa pantasnya gajiku.”
Ucapan ini bagaimanapun juga merupakan tantangan.
Gui-ciangkun menjadi marah sekali. Sambil berseru keras ia
genjot tubuhnya dan tahu-tahu ia telah berada di atas
panggung, menghadapi si baju biru dengan pakaian
perangnya masih lekat di tubuhnya.
“Ha, ini ada satu lagi. Tapi kepandaiannya jauh lebih
baik daripada yang tadi,” kata Hoa-gu-ji Lee Un.
“He, orang jumawa dan sombong. Bilanglah terus
terang, kau datang hendak membantu kami atau hendak
memusuhi?”
“Eh, bagaimanakah kau ini? Sudah terang kami datang
hendak membantu. Apakah kaukira kami suka pada kaum
pemberontak?”
“Mengapa kau berani sekali menghina jenderal kami?”
Si baju biru itu mengangkat pundaknya lalu berkata
heran, “Siapa yang menghina? Aku hanya ingin diuji oleh
orang yang benar-benar memiliki kepandaian. Kau agaknya
boleh juga, mari kau coba-coba mengujiku, tapi kalau kau
kalah, sudah selayaknya kauserahkan kedudukanmu
kepadaku.”
Marahlah Gui-ciangkun yang bernama Li Sun, karena
memang ia seorang yang beradat keras sekali. Cepat Gui Li
Sun menanggalkan pakaian perangnya yang kurang leluasa
dipakai bersilat itu dan kini ia memakai pakaian ringkas.
“Marilah kita main-main sebentar,” katanya sambil
memasang kuda-kuda. Carang she Gui ini anak murid Kunlun-
pai yang melatih tenaga gwa-kang (tenaga luar) hingga
mencapai tingkat cukup tinggi. Tenaganya besar dan kuat
sekali hingga boleh dibilang bahwa di dalam seluruh
pasukan Cin-ciangkun ia adalah orang terkuat.
Karena menduga bahwa perwira ini yang diserahi tugas
memimpin ujian tentulah bukan orang sembarangan, maka
si Kerbau Belang berlaku hati-hati. Ia hendak mengambil
keuntungan dengan menyerang lebih dulu, maka dengan
tiba-tiba ia gerakkan tangannya menyerang dada lawan.
Gui Li Sun mengangkat tangan menangkis dan dua buah
tenaga besar beradu keras sama keras tapi akibatnya
mengagumkan karena orang she Lee itu terhuyung mundur
tiga tindak sedangkan Gui-ciangkun hanya mundur
selangkah saja. Tahulah si Kerbau Belang bahwa ia kalah
tenaga hingga ia merasa kagum. Ia dijuluki Kerbau Belang
karena tenaganya yang luar biasa tapi sekali ini ia bertemu
lawan yang bertenaga gajah.
Melihat bahwa tenaganya lebih besar daripada tenaga
lawan, Gui-ciangkun merasa besar hati dan ia mendesak
makin hebat dan melancarkan pukulan-pukulan keras. Tapi
ternyata si Kerbau Belang hanya kalah tenaga saja,
sedangkan dalam hal ilmu silat dan kegesitan, terbukti
bahwa perwira she Gui itu masih kalah setingkat. Hal ini
dengan mudah dapat terlihat oleh Ouwyang-hengte dan Cin
Lie Eng serta ayahnya, walaupun tak dapat diduga oleh
orang lain karena memang Gui Li Sun berada di pihak yang
selalu menyerang dan mendesak.
Li Sun makin gembira dan mendesak, terus, tidak tahu
bahwa lawannya sengaja menggunakan akal untuk
membuat ia berlaku sangat bernafsu hingga mengutamakan
penyerangan tanpa ingat akan penjagaan diri. Dengan
demikian, maka ia memberi tempat-tempat kosong pada
tubuhnya tanpa ia sadari. Memang Lee Un si Kerbau
Belang memperlihatkan sikap seakan-akan repot dan
terdesak sekali, tapi ia tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan baik. Pada saat yang menguntungkan, ia cepat
bergerak menyerang dengan tendangan kakinya yang
“mencuri” kekosongan hingga tepat menendang lambung
kanan Gui-ciangkun. Raksasa muda yang bertenaga besar
itu merasa betapa seakan-akan pernafasannya tertutup. Ia
terhuyung mundur dengan terengah-engah, kemudian
roboh di atas panggung. Lawannya menjura kepadanya
sambil berkata,
“Gui-ciangkun, betapapun juga, aku kagumi tenagamu
yang besar.”
Kata-kata ini bahkan menambah rasa mendongkol di
hati Gui Li Sun hingga ia memuntahkan darah dari
mulutnya karena malu, marah, dan mendongkol.
Melihat hal ini, Cin Lie Eng merasa marah sekali. Ia
merasa betapa dengan peristiwa kekalahan para perwira itu,
seakan-akan orang telah mengotorkan muka ayahnya. Ia
tadi melihat bahwa Gui Li Sun hanya dikalahkan karena
kecerobohannya saja dan ia taksir bahwa ia takkan kalah
menghadapi si Kerbau Belang, maka ia cepat berdiri dan
siap hendak menghadapi orang itu. Tapi ia didahului orang
karena pada saat itu, bayangan seorang muda berkelebat
cepat dan tahu-tahu Ouwyang Bu telah berdiri di atas
panggung.
“Gui-ciangkun, biarlah aku dengan ilmu burukku
membayar hutangmu kepada sobat ini,” katanya dan pada
saat itu dua orang prajurit naik ke panggung dan membawa
pergi Gui-ciangkun yang terlalu lemah untuk turun sendiri.
Beberapa orang perwira meminumkan obat kepada perwira
itu, kemudian setelah ditempeli obat penawar luka yang
memang sudah tersedia, perwira muda yang bertubuh kuat
itu sudah dapat duduk lagi di tempat semula, biarpun
wajahnya masih pucat. Ia merasa penasaran dan kini ia
memandang ke atas panggung dengan keheran-heranan.
Tiba-tiba Kerbau Belang yang tangguh itu telah
bertanding melawan Ouwyang Bu, pemuda yang tadi ia
tolak dan nyatakan bahwa kepandaiannya terlampau
rendah. Dan yang sangat mengherankan ialah bahwa
pemuda itu masih saja menggunakan ilmu silatnya yang
didemonstrasikan tadi, yakni kedua kakinya tak berubah,
hanya tubuh atasnya saja bergerak-gerak ke sana ke mari,
sedangkan kedua tangannya seakan-akan berubah menjadi
banyak sekali.
Ouwyang Bu benar-benar hebat karena dengan ilmu silat
Cian-jiu Kwan-im-hian-ko yang sudah terlatih hebat itu ia
dapat membuat lawannya tak berdaya. Si Kerbau Belang
tadinya hendak menggunakan kegenitannya seperti tadi
untuk menjatuhkan lawan ini, tapi siapa tahu, anak muda
yang tampan dan selalu tersenyum ini sama sekali tidak
mau berpindah dari tempatnya hingga terpaksa dia harus
menghampirinya lagi. Segala macam serangan telah ia
lakukan, tapi selalu dapat ditangkis dengan tepat oleh lawan
muda itu dan ketika ia mencoba mengadu tenaga, ternyata
ia merasa betapa lengannya kesemutan. Ia terkejut dan
maklum bahwa anak muda ini adalah seorang ahli lweekeh
yang memiliki tenaga lweekang sangat tinggi, maka ia tidak
berani main-main pula.
Karena pemuda itu hanya menangkis saja, si Kerbau
Belang menjadi marah dan pada pikirnya kalau pemuda itu
menyerang, tentu akan ada kesempatan baginya untuk
merobohkannya. Jika hanya bertahan, maka tentu saja
pemuda itu kuat sekali karena seluruh perhatian dan
tenaganya dikerahkan untuk bertahan dan membela diri,
tidak demikian kalau ia balas menyerang, tenaga dan
perhatian menjadi terpecah. Maka si Kerbau Belang lalu
berseru gemas,
“Eh, anak bandel, apa kau tidak berani menyerang?”
Ouwyang Bu menjawab, “Menyerang? Kau yang minta,
jangan menyesal nanti.” dan tubuhnya lalu mulai bergerak
pindah. Sebentar saja ia berkelebat ke sana ke mari dengan
kecepatan yang melebihi lawannya hingga si Kerbau Belang
menjadi terkejut sekali. Beberapa jurus kemudian, dengan
gerak tipu Pai-bun-twi-san (Atur Pintu Tolak Gunung) ia
berhasil mendorong dada lawannya hingga sambil berseru
marah dan kesakitan si Kerbau Belang terdorong
bergulingan di atas panggung kemudian menggelinding dan
jatuh ke bawah. Tapi karena ia memang berkepandaian
tinggi, jatuhnya di atas tanah masih berdiri. Ia meringis
kesakitan dan mengelus-elus dadanya.
Gegap-gempita suara sambutan para anggauta tentara
melihat kemenangan Ouwyang Bu yang tidak disangkasangka
ini. Juga Cin Cun Ong nampak girang karena murid
keponakan itu telah dapat membersihkan mukanya. Lie
Eng ikut tepuk-tepuk tangan saking gembiranya, sementara
itu Gui-ciangkun memandang bengong seakan-akan tak
percaya kepada mata sendiri. Benar-benarkah pemuda yang
tak becus bersilat itu bisa memenangkan si Kerbau Belang
yang telah merobohkannya?
Tapi pada saat itu terdengar seruan keras dan hwesio
gemuk pendek itu sambil menyeringai telah meloncat ke
atas panggung. “Tidak adil, sungguh tidak adil. Leeenghiong
kalah karena keroyokan? Mengapa di sini orang
tidak mengerti aturan? Lee-enghiong telah dua kali menang,
kepandaianmu boleh juga, coba kaujatuhkan aku kalau
mampu.” katanya kemudian sambil memandang Ouwyang
Bu.
Pemuda yang keras hati itu tentu saja tidak gentar
sedikitpun, tapi pada saat itu terdengar kakaknya berseru
dari bawah.
“Bu-te, kau turunlah. Berikan daging gemuk ini untukku,
jangan kau borong semua.”
Ouwyang Bu tertawa dan berkata kepada si hwesio
gemuk, “Eh, hwesio gendut, sayang aku harus
meninggalkan kau. Kakakku agaknya lapar juga dan kau
memang menjadi ‘makanannya’.” Ia lalu melayang turun
dan pada saat itu Ouwyang Bun meloncat ke atas panggung
menggantikan adiknya.
Hwesio gendut itu berkata kepada Ouwyang Bun sambil
tertawa,
“Eh, bocah, jangan kau main gila. Kau bilang hendak
digantikan kakakmu, tapi setelah meloncat turun mengapa
kembali lagi. Apakah kakakmu ketakutan dan lari pulang ke
pangkuan ibumu?”
-Oo)d-e(oOJilid
III
MENDENGAR kata-kata yang diucapkan dengan suara
nyaring itu, terdengar suara ketawa di sana-sini karena
orang-orang yang telah kenal kepada Ouwyang-hengte tahu
bahwa hwesio itu salah lihat dan menyangka bahwa yang
kini berdiri di depannya masih pemuda yang tadi.
"He, hwesio, bukalah matamu lebar-lebar dan lihat baikbaik,
aku berada di sini." Ouwyang Bu berteriak dari
bawah. Hwesio itu cepat memandang ke bawah jdan kedua
matanya terbelalak lebar karena heran. Ia lalu menghadapi
Ouwyang Bun sambil menjura.
"Pemuda gagah harap perkenalkan nama. Pinceng (aku)
sendiri bernama Bi Kok Hosiang."
"Siauwte Ouwyang Bun mohon pengajaran dari kau
orang tua," jawab pemuda itu.
"Jangan kau merendah, adikmu tadi kepandaiannya
tinggi, kau tentu lebih hebat lagi. Bagaimana kalau kita
main-main dengan senjata sebentar?"
"Terserah kepadamu, siauwte hanya melayani saja."
Bi Kok Hosiang lalu mengambil seuntai tasbeh yang tadi
dikalungkan di lehernya. Sambil berseru "Ahh." ia kebutkan
tasbeh-nya yang terlepas sambungannya dan kini menjadi
senjata panjang seperti rantai. Ternyata tasbeh ini memang
sengaja dibuat dari baja kuat dan digunakan sebagai senjata
ampuh.
Melihat hwesio itu mengeluarkan senjata aneh,
Ouwyang Bun juga mencabut pedangnya dan siap menanti
datangnya serangan.
"Lihat senjata.” Bi Kok Hosiang berseru dan senjata
tasbehnya meluncur cepat ke arah leher Ouwyang Bun.
Pemuda itu cepat menangkis dan balas menyerang.
Sebentar saja kedua opang itu saling serang dengan hebat
sekali hingga semua penonton menahan napas saking
tegangnya. Memang kepandaian kedua pihak berimbang
dan hwesio itu biarpun tubuhnya gemuk, tapi gerakangerakannya
gesit dan cepat psekali. Akan tetapi, Ouwyang
Bun tidak kalah gesit. Ia putar pedangnya dan mulai
memainkan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat (Ilmu Pedang
Garuda Sakti) hingga tubuhnya tertutup sinar pedang dan
ia menyambar-nyambar dengan sinar pedangnya bagaikan
seekor garuda melayang dan menyambar-nyambar
korbannya.
Sekali lagi Gui-ciangkun dikejutkan oleh kehebatan anak
muda yang dipandang rendah itu dan diam-diam ia
menghela napas karena terus terang ia mengakui bahwa
ilmu kepandaian Ouwyang Bun masih jauh berada di
atasnya. Perwira muda yang kasar dan sombong ini
menjadi insyaf bahwa kepandaiannya sebenarnya masih
dangkal sekali.
Cin Lie Eng tidak heran melihat kehebatan kedua
saudara kembar itu karena gadis ini pernah menyaksikan
kepandaian mereka ketika dikeroyok oleh para
pemberontak di pinggir sungai. Tapi ia merasa kagum juga
melihat permainan pedang Ouwyang Bun dan tahu bahwa
dengan permainan pedang sehebat itu, Ouwyang Bun tak
kalah oleh hwesio yang juga sangat hebat itu.
Sebaliknya Cin Cun Ong berpikir lain. Panglima tua ini
merasa gembira sekali karena selain kedua saudara
Ouwyang yang kosen, ia juga kedatangan tiga orang tua
yang cukup hebat hingga mereka ini kesemuanya
merupakan pembantu-pembantu yang sangat berharga
baginya. Kini melihat jalannya pertempuran antara
Ouwyang Bun dan Bi Kok Hosiang, timbul
kekhawatirannya, la maklum bahwa hwesio itu tentu
merasa malu kalau sampai dikalahkan maka melawan matimatian
dan nekat, sebaliknya Ouwyang Bun yang masih
muda tentu saja berdarah panas dan tidak akan mau
mengalah begitu saja. Ini berarti bahwa banyak
kemungkinan seorang di antara mereka tentu akan terluka
atau binasa, dan kalau hal ini terjadi, tentu akan timbul
permusuhan di antara Ouwyang-hengte dan ketiga orang
tua itu. Maka orang tua ini lalu segera bertindak. Ia
gerakkan tubuhnya dan tahu-tahu ia telah melayang ke atas
panggung.
Semua penonton terkejut melihat jenderal besar itu turun
tangan dan berada ni atas panggung begitu tiba-tiba. Cinciangkun
lalu menggunakan kipas yang sejak tadi dipegang
untuk mengipasi tubuhnya. Kipas yang terbuat dari bambu
itu dikebutkan ke tengah-tengah di antara kedua orang yang
sedang bertempur itusam-bil berseru keras sekali,
"Tahan.."
Bi Kok Hosiang dan Ouwyang Bun terkejut bukan main
karena kebutan kipas itu mendatangkan tenaga besar hingga
kedua senjata mereka tertolak mundur hingga keduanya
juga cepat-cepat mundur.
Ouwyang Bun lalu memberi hormat kepada susioknya,
sedangkan Bi Kok Hosiang juga memberi hormat karena ia
merasa kagum akan kelihaian panglima tua ini.
"Toyu, kepandaianmu cukup tinggi. Aku amat merasa
girang sekali kalau kau sudi membantu kami."
Hwesio gendut itu tersenyum girang dan menjura
kepada Cin-ciangkun. Ia suka kepada panglima tua yang
dapat menghargai tenaganya walaupun tadi ia tak dapat
dikatakan menang atas kepandaian anak muda yang
menjadi lawannya itu.
"Ouwyang Bun, kau duduklah di sana dengan adikmu."
Orang tua ini menuding ke arah deretan tempat duduk di
dekat kursinya sendiri hingga Ouwyang Bun menghaturkan
terima kasih. Mendengar bahwa anak muda itu menyebut
"susiok" kepada panglima itu, Bi Kok Hosiang terkejut dan
berkata,
"Tidak kusangka sicu adalah murid keponakan Cin-taiciangkun,
pantas saja demikian hebat." katanya sambil
memberi hormat yang dibalas Ouwyang Bun dengan
merendah. Kemudian pemuda itu mengajak adiknya
pindah tempat duduk di dekat Cin Lie Eng dan disambut
dengan gembira oleh gadis yang sudah menyediakan kursi
untuk mereka berdua itu.
Selain Bi Kok Hosiang, juga Lee Un si Kerbau Belang
diterima oleh Cin-ciangkun hingga si baju biru itu berterima
kasih sekali, walau terang bahwa ia sudah dikalahkan, tapi
tetap diterima oleh panglima itu. Setelah kedua orang itu
menduduki kursi yang disediakan, tiba-tiba dari bawah
melayang naik ke atas panggung si penghisap huncwe tadi.
"Ha-ha-ha. Cin-ciangkun, orang-orangmu sungguh gagah
dan kau sendiri benar-benar ulung. Kedua kawanku
memang tepat bekerja di bawah perintahmu. Aku sendiri....
kalau memang ada orang-orang yang lebih pandai di sini,
pasti dengan suka rela membantu." sambil berkata begini ia
sedot huncwenya kuat-kuat dan dari mulutnya ia tiupkan
asap huncwenya yang berwarna putih kebiru-biruan, dan
heran. Asap itu bergulung-gulung tidak mau buyar dan
terbentuklah bundaran menyerupai tengkorak. Semua orang
merasa heran melihat ini dan sebagian besar menganggap
bahwa si kurus ini sedang main sulap maka di sana-sini
terdengar seruan memuji.
Tapi Cin Cun Ong terkejut melihat demonstrasi tenaga
dalam ini dan ia lalu menjura sambil berkata,
"Tidak kusangka aku berhadapan dengan si Huncwe
Maut. Sungguh satu keberuntungan besar sekali hari ini
kami mendapat kunjungan orang gagah yang telah tersohor
dan terkenal kehebatannya. Lebih beruntung lagi jika sicu
(tuan yang gagah) suka membantu usaha kami menumpas
para pengkhianat dan pemberontak."
"Ucapanmu betul, ciangkun, karena memang aku telah
datang ke sini, mau apalagi kalau tidak ikut membantu
pekerjaanmu? Tapi, kawan-kawanku telah diuji, dan
akupun perlu diuji, ciangkun."
"Ha-ha, siapa yang belum pernah mendengar nama
Huncwe Maut? Tak perlu diuji, kami telah tahu
kehebatanmu." kata Cin Cun Ong.
"Tapi aku belum tahu kehebatanmu, dan ini penting
kuketahui, karena bukankah kau akan menjadi pemimpinku
yang kutaati perintahnya?"
Cin Cun Orig berpikir. Orang ini memang hebat dan
tenaga lweekangnya cukup tinggi. Tapi kalau aku tidak
memperlihatkan kehebatanku, tentu ia kelak akan banyak
membandel, juga derajatku akan turun dalam pandangan
mata semua anak buahku. Maka ia lalu berkata sambil
tertawa,
"Sicu hendak memberi pelajaran kepada semua anak
buahku? Baik, baik silahkan."
Si tinggi kurus itu lalu menancapkan huncwenya di
dalam mulut, dan ia mulai menggerak-gerakkan kedua
lengannya. Ketika ia adu-adukan kedua tangan, maka
terdengar suara seakan-akan dua batang kayu diadu hingga
Ouwyang-hengte dan Lie Eng terkejut sekali, karena
mereka pernah mendengar adanya satu ilmu yang disebut
Tiat-bhok-ciang (Tangan Kayu Besi) yang sangat hebat dan
berbahaya. Kini mereka dapat menduga bahwa si kurus ini
tentu memiliki ilmu itu dan diam-diam mereka merasa
khawatir. Tapi Cin Cun Ong hanya memandang dengan
tersenyum, bahkan berkata, "Berlakulah murah kepadaku,
sicu." dan kemudian ia memasang kuda-kuda.
"Kau menyeranglah dulu, ciangkun," kata Huncwe Maut
dengan suara tidak jelas karena bibirnya terganjal huncwe.
"Kau tamu aku tuan rumah, jangan berlaku sungkan,
sicu," jawab Cin Cun Ong.
Maka bergeraklah si Huncwe Maut dengan serangan
tangan kanan. Sungguh mengherankan sekali, serangannya
itu dilakukan perlahan sekali dengan gerakan yang lambat,
memukul ke arah pundak lawan. Cin Cun Ong tidak
berkelit, tapi sengaja menerima pukulan itu dengan
tangannya pula. Ini adalah gerakan percobaan untuk
mengukur tenaga masing-masing dan kesudahannya
membuat si Huncwe Maut heran dan kagum. Ketika
tangannya bertemu dengan tangan panglima tua itu, ia
merasa bagaikan memukul kapas yang empuk dan lemas
sekali hingga buru-buru ia tarik kembali tangannya yang
tadinya digunakan dengan tenaga Tiat-bhok-ciang
sepenuhnya. Ternyata dengan menggunakan lweekangnya
yang tinggi Cin-ciangkun telah dapat memunahkan
serangan lawan hingga tenaga Tiat-bhok-ciang itu tak
berdaya sama sekali.
Maka si tinggi kurus tak berani main-main lagi. Ia
berlaku waspada dan mengeluarkan ilmu silatnya yang
tertinggi. Tapi ternyata Cin Cun Ong tak percuma
mendapat nama besar sebagai seorang panglima yang kosen
dan tak terkalahkan. Selain memiliki tenaga besar dan
kepandaian tinggi, juga Cin Cun Ong mempunyai
pengalaman bertempur puluhan tahun. Entah sudah
berapa banyak lawan-lawan lihai dan musuh-musuh
hebat pernah dihadapinya, maka selain pandai iapun tenang
dan tabah, serta sudah hafal akan ilmu-ilmu silat dari
berbagai cabang. Kini menghadapi si Huncwe Maut, ia
dapat membuat lawannya tak berdaya dan semua serangan
dapat dipatahkan dengan mudah saja.
Karena merasa takkan mungkin menang jika bertempur
dengan tangan kosong, maka si Huncwe Maut lalu berkata
sambil memegang huncwenya, "Maaf, marilah kita mainmain
sebentar dengan senjata."
"Silakan, sicu." Cin Cun Ong maklum bahwa lawannya
ini tentu istimewa sekali kepandaiannya dalam hal
mempergunakan huncwe dan melihat ujung huncwe yang
kecil setengah runcing itu maklumlah ia bahwa si tinggi
kurus ini tentulah seorang ahli totok yang lihai. Tapi karena
sudah dapat mengukur kepandaian lawannya, ia sengaja
hendak melayaninya dengan tangan kosong untuk
membuktikan keunggulan dan kelihaiannya.
Melihat panglima tua itu tidak mengeluarkan senjata, si
tinggi kurus lalu berkata, "Ciangkun, mana senjatamu?
Lekas keluarkan biar kurasakan pukulannya."
"Aku adalah tuan rumah, mana aku berani menghina
tamuku dengan sambutan senjata tajam. Sicu, jangan kau
sungkan-sungkan, pergunakanlah huncwemu, kebetulan
sekali aku ingin sekali belajar kenal dengan huncwe maut
yang telah terkenal. Biarlah aku bertahan dengan kedua
tanganku."
Si Huncwe Maut marah dan penasaran sekali karena
merasa dipandang rendah, tapi karena maklum bahwa
panglima tua she Cin ini tak boleh dibuat gegabah, ia tak
banyak bicara lagi lalu berseru,
"Awas senjata."
Berbeda dengan ilmu silatnya tadi yang dilakukan
dengan ayal-ayalan dan lambat karena mengandalkan
kehebatan Tiat-bhok-ciang di lengan tangannya, kini
gerakan si kurus itu berubah cepat sekali. Huncwenya
berkelebatan ke sana ke mari dan ujungnya selalu menuju
jalan darah Cin Cun Ong dengan totokan-totokan
berbahaya dan cepat sekali. Sementara itu, karena api di
dalam huncwe itu belum padam, maka a-sap tembakau
yang berbau keras itu keluar ikut menyambar muka orang
membuat lawan yang kurang hati-hati tentu akan merasa
bingung dan mabok.
Diam-diam Cin Cun Ong kagum melihat permainan si
kurus ini dan tak terasa pula ia berseru, "Bagus, memang
hebat sekali si Huncwe Maut." Ia berlaku hati-hati sekali
dan segera mengeluarkan ilmu silatnya Ngo-heng-lianhoan-
kun-hoat. Ilmu silat ini tadi telah dimainkan oleh
Ouwyang Bun tapi setelah kini dimainkan oleh Cin Cun
Ong, maka lebih hebat dan luar biasa lagi. Gerakan-gerakan
orang tua ini demikian cepat hingga seakan-akan ia berubah
menjadi lima orang yang menjaga dan menyerang dari lima
penjuru. Memang ilmu silat ini berdasarkan Ngo-heng dan
gerakannya dari lima jurusan, juga perubahan kaki lima
macam hingga tampaknya ia bersilat sambil berputaran,
tapi selalu dapat mengelit atau memukul huncwe lawannya,
bahkan dapat balas menyerang dengan hebat sekali.
Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu yang mengenal baik
ilmu silat ini merasa sangat kagum Mereka tak menyangka
bahwa ilmu silat Ngo-heng itu dapat dimainkan sedemikian
hebatnya, karena suhu mereka sendiri Pat-jiu Lo-mo (Iblis
Tua Tangan Delapan) tidak dapat memainkan sehebat itu.
Yang langsung merasai kehebatan ilmu silat Ngo-heng
dari Cin Curi Ong adalah si Huncwe Maut sendiri. Ia
merasa betapa dari lima penjuru yang mengelilinginya di
mana tampak bayangan lawannya menyambar angin
pukulan yang membuat huncwenya terasa ringan sekali dan
tak bertenaga. Ke mana saja ia menyerang, huncwenya
selalu bertemu dengan tenaga besar yang membuat
senjatanya terpental kembali hingga gerakannya menjadi
kacau-balau. Sebentar saja ia merasa pening dan matanya
menjadi kabur, maka dengan kewalahan ia lalu berteriak,
"Sudah, sudah, ciangkun. Aku menyerah kalah." maka
berhentilah panglima tua yang gagah perkasa itu, lalu
berdiri di depannya sambil tersenyum.
"Sicu, kau dan dua kawanmu memang cocok untuk
menjadi pembantu kami," tapi tiba-tiba sikapnya berobah
ketika ia berkata dengan suara keras dan tetap.
"Sekarang kau mengakulah terus terang mengapa kalian
datang hendak membantuku. Tentu ada sesuatu yang
menyakiti hatimu hingga kalian mengambil keputusan
untuk membantu kami memusuhi para pemberontak."
Si Huncwe Maut menghela nafas. "Memang tak salah
kalau orang berkata bahwa Cin-ciangkun adalah seorang
panglima nomor satu di dunia ini. Kau tidak saja kosen dan
lihai, ciangkun, tapi juga matamu awas sekali. Biarlah aku
mengaku terus terang padamu. Kami bertiga memang telah
bermusuhan dengan beberapa orang kang-ouw yang kini
menggabungkan diri dengan pemberontak. Kami telah
bertemu dengan mereka tapi kami kalah. Karena tidak ada
jalan lain untuk membalas dendam, kami mengambil
keputusan untuk menggabungkan diri dengan ciangkun di
sini untuk membantu membasmi mereka dan komplotkomplot
mereka."
Cin Cun Ong menganggok-angguk dan si Huncwe Maut
memperkenalkan diri. Ternyata ia bernama Khu Ci Lok.
Kemudian Cin-ciangkun mengadakan perjamuan untuk
menghormati perwira-perwira baru itu dan semua perwira
ikut berpesta gembira-. Para anggauta tentara bubaran dan
mereka merasa puas sekali karena pertunjukan-pertunjukan
malam ini sungguh-sungguh hebat dan lain daripada yang
lain. Bahkan Cin-ciangkun sendiri sampai maju dan turun
tangan.
0o-dw-o0
Ternyata Cin Lie Eng sangat suka bergaul dengan
Ouwyang-hengte hingga tiap hari mereka bertiga tampak
selalu bersama-sama. Hal ini tidak menjadikan keberatan
bagi ayahnya karena bagi panglima ini memang lebih suka
melihat puterinya bergaul dengan kedua keponakan kembar
itu yang tampaknya lebih sopan daripada bergaul dengan
anak buahnya yang kasar-kasar. Mereka bertiga sering
berlatih bersama-sama karena memang tidak berbeda.
Sering pula mereka pergi berburu binatang bersama-sama.
Hubungan yang akrab ini membuat sakit hati Gui Li
Sun, panglima muda yang tinggi besar itu. Hati panglima
ini merasa cemburu sekali, tapi apa yang dapat ia lakukan?
Kedua anak muda itu hebat sekali dan memiliki kepandaian
tinggi, pula Ouwyang-hengte ternyata memperlihatkan
sikap yang baik terhadapnya. Buktinya kedua pemuda yang
terang-terang telah mengalahkannya dan lebih tinggi
kepandaiannya, tidak mau merebut kedudukannya, bahkan
kedua pemuda itu mengajukan permohonan kepada Cinciangkun
untuk tetap saja dengan pakaian biasa dan tidak
diharuskan memakai pakaian tentara, walaupun mereka
bersedia membantu dalam pertempuran. Demikianpun
ketiga orang tua aneh itu. Hingga di dalam markas besar
itu, yang tidak mengenakan pakaian tentara ada enam
orang, yakni Lie Eng sendiri, Ouwyang-hengte, dan ketiga
orang tua itu.
Biarpun Lie Eng suka bergaul dengan Ouwyang-hengte,
namun ia berlaku seperti adik perempuan hingga hubungan
mereka erat dan tidak canggung-canggung.
Pada suatu hari mereka pergi berburu bertiga. Seperti
janji Lie Eng dulu ketika mereka bertemu pada pertama
kalinya, kedua saudara kembar itu akan mendapat kuda
yang bagus-bagus dan besar. Mereka bertiga berburu sambil
naik kuda dan di sepanjang jalan mereka bercakap-cakap
gembira.
"Kalau aku sedang berburu begini, seakan-akan di
sekelilingku tidak ada perang, tidak ada pertempuranpertempuran,
yang ada hanya kesenangan belaka.
Aah........ alangkah senangnya kalau keadaan damai dan
tenteram hingga orang boleh hidup sesukanya tanpa rasa
takut."
Ouwyang-hengte tersenyum mendengar kata-kata nona
ini yang sebetulnya kurang tepat keluar dari mulut seorang
puteri panglima besar. Tapi memang Lie Eng mempunyai
watak yang jujur dan terbuka.
"Seringkali aku merasa heran dan menyesal mengapa
kita harus bertempur dan membasmi bangsa sendiri,
seakan-akan keluarga besar saling bunuh-membunuh,"
gadis itu berkata lagi.
Ouwyang Bu yang melarikan kuda di sebelah kirinya
menjawab,
"Biarpun bangsa sendiri, mereka itu pemberontak,
pengkhianat dan perampok-perampok jahat. Dan orangorang
jahat harus dibasmi habis agar negara tidak menjadi
kacau dan rakyat tidak hidup ketakutan."
Nona itu menghela nafas, tapi bibirnya yang indah
bentuknya itu tersenyum manis ketika ia memandang
kepada Ouwyang Bu. "Kau betul," demikian katanya.
Mendengar percakapan antara adiknya dan gadis itu,
Ouwyang Bun yang melarikan kuda di sebelah kanan nona
itu, mendapat pikiran yang membingungkan hatinya.
Benar-benarkah pemberontak-pemberontak itu perampokperampok
jahat? Selama ia turun dari gunung, baru sekali ia
bertemu muka dengan anggauta pemberontak, yakni Lui
Kok Pauw dan kawan-kawannya yang dulu
mengeroyoknya di pinggir sungai. Mereka itu memang
pemberontak-pemberontak seperti yang mereka akui
sendiri, tapi apakah mereka itu perampok? Hal ini belum ia,
ketahui benar karena belum ada buktinya.
Tiba-tiba Lie Eng yang melihat dia termenung di atas
kudanya menegur,
"Eh, twa-suheng, kau sedang memikirkan apa?"
Ouwyang Bun terkejut dan menoleh lalu menjawab,
"Aku sedang memikirkan apakah pemberontak itu sama
dengan pengkhianat."
Lie Eng dan Ouwyang Bu memandang heran. Ouwyang
Bu sendiri tidak tahu akan perbedaannya dan tak dapat
menjawab, tapi Lie Eng segera menjawab dengan suara
tetap,
"Tentu saja sama. Pemberontak-pemberontak itu
menyerang dan memusuhi pemerintah sendiri, merampok
bangsa sendiri, maka mereka dapat juga disebut
pengkhianat."
Tapi Ouwyang Bun tidak puas mendengar jawaban gadis
itu.
Tiba-tiba kuda yang mereka tunggangi pada meringkik
ketakutan dan mengangkat kaki depan mereka ke atas
sambil mendengus-dengus. Dan terdengarlah aum harimau
yang menggetarkan hati.
"Bagus, agaknya nasib kita baik hari ini," kata Lie Eng
yang berhati tabah itu. Cepat ketiganya meloncat turun dari
kuda, mengikatkan kendali kuda mereka pada sebatang
pohon dan lalu mereka meloncat ke atas pohon untuk
mengintai. Kuda-kuda itu mereka gunakan sebagai umpan
untuk memancing binatang buas itu. Kasihan kuda-kuda itu
yang meringkik-ringkik ketakutan dan berusaha
memberontak untuk melepaskan tali dan kabur.
Tak lama kemudian, seekor harimau jantan yang besar
dan buas keluar dari semak-semak. Matanya yang lebar
memandang liar dan tajam ke arah tiga ekor kuda yang
meronta-ronta. Karena bau manusia yang berada di atas
pohon tak dapat tercium olehnya, maka ia sama sekali tidak
tahu bahwa tiga pasang mata mengintainya dari atas
dengan perasaan gembira dan tegang.
Sekali lagi harimau itu mengaum dan mendekam, siap
untuk meloncat menubruk korbannya, yakni seekor di
antara tiga kuda itu. Ia enjot kaki belakangnya dan tiba-tiba
tubuhnya mencelat ke atas. Lie Eng dan dua saudara
kembar telah siap untuk meloncat turun sambil menyambitkan
piauw mereka, tapi mereka tahan gerakan mereka
dengan kaget karena pada saat itu dari belakang sebatang
pohon besar meloncat keluar tubuh seorang kanak-kanak
berusia paling banyak empatbelas. Anak ini memegang
sebatang tongkat panjang yang dipegangnya seperti orang
pegang toya. Ia meloncat tepat di depan harimau yang
sedang melompat dan menggunakan tongkatnya menyodok
perut harimau yang sedang melayang itu.
Tapi harimau itu cukup gesit dan cerdik. Melihat
datangnya serangan tongkat ke arah perutnya, ia gunakan
kaki depan mencakar tongkat itu sambil membuang diri ke
samping.
Kini binatang yang besar dan buas itu berdiri di atas
tanah menggereng-gereng, menghadapi anak kecil itu. Tapi
anak itu dengan wajah tenang dan tabah segera siap dalam
bhesi (kuda-kuda) yang teguh sambil menyilangkan tongkat
di depan dada. Sikapnya yang gagah berani itu membuat
Lie Eng dan Ouwyang-hengte kagum sekali, tapi mereka
siap untuk membantu anak itu bila sampai terdesak oleh
harimau.
Sementara itu, setelah menggereng-gereng, harimau itu
meloncat lagi menubruk dengan lompatan tinggi. Tapi anak
itu sungguh tabah dan cerdik karena sementara tubuh
harimau masih di atas, ia bahkan lari mendekat hingga
berada di bawah perut harimau lalu menusuk lambung
binatang itu dengan tongkatnya lagi.
Kali ini tusukannya tepat dan keras hingga harimau itu
terpental dan jatuh dengan keempat kakinya di atas. Anak
itu cepat menambahi dua kali tusukan pada perut harimau
yang sedang telentang itu. Tapi harimau itu kuat sekali dan
dengan cepat meloncat membalik. Kali ini ia menubruk dari
depan lurus ke muka, tidak meloncat tinggi. Keadaan anak
itu berbahaya, dan tiga orang yang berada di atas sudah siap
membantu. Tapi anak itu cepat sekali meloncat ke pinggir
dan pada saat harimau itu lewat cepat di sampingnya, ia
memukul dengan tongkatnya yang tepat mengenai pantat
binatang itu. Agaknya pukulan kali ini mengenai tempat
yang lunak hingga binatang itu meraung kesakitan lalu lari
secepatnya menghilang ke dalam semak belukar.
"Bagus, Ahim. Kali ini kau dapat mengusirnya. Lain kali
kau harus dapat membunuhnya." tiba-tiba terdengar suara
orang dan tiba-tiba di situ muncul dua orang muda dan
seorang kakek. Dua anak muda itu cakap sekali wajahnya,
pipinya kemerah-merahan dan bibirnya merah segar hingga
patut kiranya kalau menjadi anak perempuan. Kakek itu
berpakaian petani sederhana, tapi gerak-geriknya
menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli lweekeh yang
memiliki kepandaian tinggi.
"Engkong, binatang tadi buas sekali. Kulihat mukanya
seakan-akan mengilar sekali dan ingin segera merasai
daging dan darahku. Matanya buas dan mulutnya meringis.
Kong-kong, ganas manakah harimau itu dibandingkan
dengan panglima she Cin?"
Kakek itu tertawa besar mendengar pertanyaan ini,
sementara itu ketiga anak muda yang berada di pohon
mendengarkan dengan penuh perhatian sedang Lie Eng
memandang tajam mendengar ayahnya di sebut-sebut.
"Ahim, kau ini aneh, binatang buas dibandingkan
dengan manusia," kata seorang di antara kedua pemuda itu,
dan setelah ia mengeluarkan kata-kata, barulah Lie Eng dan
Ouwyang-hengte maklum bahwa mereka itu benar-benar
dua orang gadis yang berpakaian laki-laki. Suara gadis yang
bicara tadi sangat nyaring dan merdu dan ke tawanya manis
sekali.
"Enci Cui Sian jangan berkata begitu, bukankah
panglima she Cin itu kudengar ganas dan kejam sekali dan
tak pernah memberi ampun kepada kawan-kawan pejuang
yang tertawan? Kong-kong, jawablah pertanyaanku tadi."
"Ahim, kalau kau tanya mana yang lebih buas, kurasa
dua-duanya sama buas dan sama kejam."
"Mana yang lebih jahat, kong-kong?" tanya Ahim lagi.
"Tidak ada yang jahat, cucuku," jawaban ini tidak saja
membuat anak itu keheranan, tapi juga kedua dara yang
berpakaian laki-laki itu memandang heran.
Empek tua itu maklum akan keheranan mereka maka
lalu melanjutkan kata-katanya, "Harimau itu disebut kejam
karena suka makan manusia, sedangkan Cin-ciang-kun
disebut kejam suka membunuh kawan-kawan kita. Tapi
harimau itu hanya menurut perintah, yakni perintah
perutnya yang lapar dan membutuhkan isi. Sedangkan Cinciangkun
melakukan pembasmian dan pembunuhan besarbesaran
juga hanya melakukan tugas kewajibannya belaka,
untuk mentaati perintah kaisar."
"Kalau begitu, yang jahat adalah perut harimau dan
kaisar itu, kong-kong?" tanya Ahim yang ternyata cerdik
sekali.
Kembali kakek itu tertawa. "Perut harimau tidak jahat,
karena kalau tidak diisi daging mentah, akan menderita
kelaparan. Kaisar juga tidak jahat, tapi bodoh dan lalim,
tidak memperdulikan nasib rakyatnya hingga rakyat hidup
sengsara tertindas dan kelaparan tidak diketahuinya,
tahunya hanya pelesir dan bersenang-senang belaka."
"Kaisar macam ini harus dibasmi dan diganti, kongkong."
kata Ahim bersemangat.
"Hush, Ahim, kau bicara seperti di sini tidak ada orang
lain saja." kakek itu berkata lagi.
"Siapa lagi selain kita berempat yang berada di sini,
kong-kong?"
"Kau lupa kepada pemilik ketiga ekor kuda itu?" kata
empek tua sambil menunjuk ke arah tiga ekor kuda yang
ditambatkan di batang pohon. Lalu kakek itu memandang
ke atas pohon dan berkata,
"Sam-wi silakan turun."
Ouwyang-hengte dan Lie Eng merasa terkejut dan malu
karena orang telah mengetahui tempat persembunyian
mereka. Lie Eng yang merasa marah mendengar
percakapan mereka tadi, lalu memperlihatkan
kepandaiannya. Ia meloncat turun dengan gerakan Koailiong-
hoan-sin (Siluman Naga Berjumpalitan) dan tubuhnya
melayang dan berpoksai (bersalto) di udara hingga
terpelanting ke arah di mana kudanya berdiri dan dengan
ringan sekali ia turunkan dirinya di punggung kuda.
"Bagus, bagus." Ahim bertepuk-tepuk tangan dan
suaranya memuji.
Sementara itu, Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu juga
meloncat turun dari atas pohon. Ouwyang Bu yang juga
merasa tak senang kepada orang-orang yang ternyata
adalah anggauta-anggauta pemberontak, hanya mengerling
sekilas kepada empat orang asing itu. Tapi Ouwyang Bun
tersenyum kepada Ahim dan kepada kakek itu ia menjura
lalu menyusul adiknya yang telah pergi ke kudanya.
"Mari kita tangkap mereka dan serahkan kepada susiok."
kata Ouwyang Bu kepada kakaknya, tapi Lie Eng berkata
cepat.
"Jangan". Kalau mereka tidak mengganggu kita, untuk
apa kita mencari musuh?"
"Tapi bukankah mereka pemberontak?" bantah Ouwyang
Bu.
"Bu-te, kurasa benar kata-kata sumoi. Tak perlu mencari
musuh, lagi pula kulihat empek tua itu bukan orang
sembarangan."
Sementara itu, empek itu tertawa dan berkata,
"Nona, kepandaianmu hebat sekali dan kedua suhengmu
juga tidak tercela. Kalau kau pulang, sampaikanlah salamku
kepada ayahmu, bilang saja salam dari orang tua she Ciu.”
Ketiga anak muda itu terkejut sekali karena tak mereka
sangka sama sekali bahwa dari percakapan mereka yang
dilakukan perlahan itu, si kakek telah dapat mengetahui
siapa mereka. Padahal jarak yang memisahkan mereka
cukup jauh.
Karena kakek dan kawan-kawannya itu tidak
mengganggu, maka Lie Eng lalu memacu kudanya diikuti
oleh Ouwyang-hengte pulang ke markas besar panglima
Cin.
Mereka langsung menghadap Cin Cun Ong dan Lie Eng
melaporkan kepada ayahnya tentang kakek yang berada di
pedalaman itu.
"Orang tua she Ciu? Bagaimana rupanya? Bertubuh
tinggi kurus pakaian petani, bertopi lebar dan matanya
tajam serta mulutnya selalu tertawa? Ah,... tak salah lagi,
tentu Ciu Pek In. Kalau Naga Sakti ini pun telah
menggabung menjadi pemberontak, kita harus segera
mencari bala bantuan orang-orang pandai."
Melihat betapa ayahnya agak gentar mendengar nama
orang tua itu, Lie Eng lalu bertanya kepada ayahnya,
"Sebenarnya kakek itu siapakah?"
Ayahnya menghela napas. "Dia' adalah seorang dari
jago-jago nomor satu di dunia pada masa ini. Ia dijuluki
Sin-liong atau Naga Sakti, sesuai dengan keahliannya,
memainkan Ilmu Pedang Naga Sakti atau Sin-liong Kiamsut.
Ia tidak saja sangat terkenal sebagai seorang cianpwe
(cabang atas) yang disegani, tapi juga pengaruhnya besar
sekali, dan jika ia sampai merendahkan diri dengan
menggabung pada pemberontak, maka tentu banyak orangorang
gagah yang akan meniru dan memihaknya."
"Sampai di mana ketinggian tingkat kepandaiannya,
ayah? Bagaimana kalau dengan..... Khu-lo-enghiong?"
katanya sambil memandang muka Khu Ci Lok si Huncwe
Maut yang juga berada di situ, karena kebetulan pada saat
itu Cin Cun Ong sedang bercakap-cakap dengan si Huncwe
Maut dan dua kawannya.
Mendengar pertanyaan gadis itu, Khu Ci Lok
melepaskan huncwe dari mulutnya dan ia berkata dengan
wajah bersungguh-sungguh, tidak seperti biasanya suka
membanyol.
"Nona, kau tidak tahu tentang orang tua itu. Aku sendiri
belum mengenalnya, tapi dari namanya saja aku sudah
dapat mengukur sampai di mana ketinggian ilmu silatnya.
Jangan bandingkan dia dengan aku, ah, aku masih jauh
berada di bawah tingkatnya."
Lie Eng terkejut. Si Huncwe Maut ini sudah memiliki
kepandaian yang sangat tinggi dan bahkan lebih tinggi
daripada kedua suhengnya atau dia sendiri.
"Kalau begitu, apakah dapat disejajarkan dengan
kepandaian ayah?"
Kini Cin Cun Ong berkata, "Biarpun aku belum pernah
mengukur tenaganya, tapi kiraku dia tidak akan mudah
mengalahkanku, biarpun menurut kabar, ilmu pedangnya
belum pernah dikalahkan orang. Tapi bagaimanapun juga,
datangnya orang tua ini tentu tidak sendiri dan akan disusul
oleh yang lain-lain, maka kita harus siap sedia. Khu-sicu,
harap kau dan Lee-sicu besok pagi-pagi pergi ke kota raja
untuk memanggil beberapa orang pembantu yang pandai,
dan Bi Kok suhu harap suka menyampaikan sebuah surat
undangan kepada tiga orang kawan baikku di See-bun."
"Siapakah kawan-kawan baik itu, ciangkun?" tanya si
hwesio gemuk.
"Mereka adalah See-bun Sam-lo-mo atau Tiga Iblis Tua
Dari See-bun. Kalau mereka dapat diundang ke sini, maka
segala Sin-liong dan komplot-komplotnya takkan mungkin
membikin aku gentar."
Maka dibuatlah surat-surat untuk dibawa ke See-bun dan
ke kota raja. Semua lalu mengundurkan diri. Sedang
Ouwyang Bun dan adiknya duduk di dalam kamar mereka
sendiri.
"Agaknya tak lama lagi tentu akan terjadi perang hebat
antara kita dengan pihak pemberontak," kata Ouwyang
Bun.
"Memang hal itulah yang kuharap-harapkan selama ini.
Hatiku merasa tak senang disuruh menganggur saja tanpa
ada pertempuran hingga seakan-akan kita hanya
menumpang makan dan tidur. Bagi para tentara keadaan
itu menyenangkan saja karena mereka selalu ada yang
dikerjakan, berlatih, berbaris dan lain-lain. Tapi bagi kita?"
Ouwyang Bu dengan bersungut-sungut menyatakan
ketidakpuasannya.
Ouwyang Bun termenung sejenak lalu berkata, "Bagiku
kalau bisa jangan sampai ada perang."
Adiknya memandang heran dan dengan pandang mata
menyelidik. Kakaknya membalas pandangan matanya dan
tersenyum. "Jangan salah sangka, aku bukannya takut,
sungguhpun harus kuakui bahwa pihak pemberontak
bukanlah orang-orang lemah. Dengarlah, Bu-te, melihat
tampang kakek dan orang-orang tadi, aku menjadi raguragu
dan sangsi. Apakah orang tua gagah dan bersikap
halus itu bisa menjadi penjahat? Dan pula, apakah anak
kecil yang tabah dan berbakat seperti Ahim tadi juga dapat
disebut penjahat yang harus dibasmi?"
"Bun-ko, biarpun mereka bukan penjahat, tapi karena
mereka menggabungkan diri dengan pemberontak, maka
mereka adalah pengkhianat yang berbahaya dan harus
dibasmi. Coba kau ingat kata-kata anak. kecil tadi yang
menganggap susiok dan kaisar sebagai binatang buas."
Ouwyang Bun tak menjawab,, hanya menghela napas
dan termenung.
Pada saat itu, dari arah belakang rumah, mereka
mendengar suara Gui-ciang-kun bercakap-cakap dengan
keras. Mereka tertarik sekali dan mendekati jendela
belakang agar dapat menangkap kata-kata yang mereka
ucapkan.
"Memang para anjing pemberontak makin berani saja.
Tadi kulihat beberapa o-rang berkeliaran di bawah tembok
sebelah luar. Seakan-akan mereka itu menantang-nantang
dan sama sekali tak pandang sebelah mata kepada kita.
Sungguh celaka, dan tai-ciangkun (panglima besar) hanya
bersabar saja. Apa gunanya mempunyai pembantupembantu
seperti lima orang itu? Tiap hari kerjanya
hanya makan tidur saja. Kalau aku jadi mereka, setidaknya,
tentu keluar dan menyelidiki keadaan para pemberontak.
Dengan pakaian preman mereka akan lebih mudah
melakukan pekerjaan penyelidik. Tapi dasar jiwa pemalas
dan tak tahu malu. Piara anjing masih ada gunanya."
Hampir saja Ouwyang Bu meloncat keluar dan
menerjang orang she Gui yang diam-diam memaki-maki
mereka itu. Pemuda yang keras hati ini merasa malu dan
marah sekali. Tapi Ouwyang Bun cepat mencegahnya dan
berkata,
"Adikku, sabarlah. Tak perlu kita bertindak terhadap
orang rendah seperti dia itu Kalau kita mengadakan
keributan, ma ka tentu kita akan mendapat teguran dari
susiok. Dan lagi, kalau dipikir-pikir memang tidak ada
salahnya kata-kata Gui-ciangkun tadi. Telah hampir
sepekan kita berada di sini dan kebetulan sekali susiok
menjalankan siasat bertahan dan menanti aksi gerakan
lawan hingga kita terpaksa menganggur saja Bagaimana
pikiranmu ka lau kita keluar dan melakukan penyelidikan?
Siapa tahu kalau diam-diam mereka i-tu sedang mengatur
siasat, bukankah kemarin susiok pernah mengatakan bahwa
ia merasa lebih cemas melihat musuh diam-diam saja dan
tidak melakukan penyerangan?"
Setelah diam sesaat, akhirnya Ouwyang Bu menyatakan
setuju dengan buah pikiran kakaknya ini. Dengan diamdiam
mereka bersiap untuk melakukan penyelidikan keluar
tembok besar malam nanti.
0od-wo0
Setelah siang berganti malam yang gelap, kedua saudara
itu mengenakan pakaian malam yang berwarna gelap, lalu
keluar dari kamar. Tapi mereka menjadi bingung karena
ternyata tembok besar itu penuh oleh barisan penjaga.
Memang, Cin-ciangkun menaruh penjaga-penjaga di
sepanjang tembok besar sampai lebih dari lima li
panjangnya.
Biarpun semua penjaga telah tahu siapa mereka, tapi
tanpa surat perintah dari Cin-ciangkun, mereka akan
dicurigai kalau keluar dari tembok besar. Pada saat mereka
merasa bingung, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan
suara yang merdu nyaring menegur mereka.
"Ji-wi suheng (kedua kakak seperguruan) hendak ke
manakah?"
Ouwyang-hengte terkejut karena yang menegur mereka
itu tidak lain ialah Cin Lie Eng yang juga sutfah berpakaian
malam serba gelap.
"Eh, sumoi malam-malam hendak ke mana?" tanya
Ouwyang Bun.
Di bawah sinar bulan yang bercahaya terang, dara cantik
itu tersenyum manis dan matanya bermain lincah. "Ditanya
belum menjawab sudah balas bertanya. Agaknya ada apaapa
yang dirahasiakan kepadaku."
Ouwyang Bun tak dapat menjawab, ta-pi Ouwyang Bu
dengan tabah berkata dengan tertawa, "Sumoi, memang ada
rahasia, tapi bukan rahasia jahat."
"Kalau rahasia jahat, apakah kalian ma sih hidup di
asrama ini? Suheng, ketahuilah, sumoimu ini diam-diam
sudah tahu maksud kalian. Bukankah kalian hendak pergi
menyelidik di tempat musuh?"
Terkejutlah kedua saudara itu, tapi Lie Eng hanya
tertawa manis.
"Akupun tak enak tinggal menganggur, maka aku
sengaja menyusulmu. Mari kita menyelidiki bertiga."
"Jangan, sumoi. Perjalanan ini berbahaya, kalau sampai
terjadi sesuatu padamu, kami akan mendapat marah dari
susiok," kata Ouwyang Bu.
"Aku bukan anak kecil, pula, dengan adanya kalian
berdua, apa yang harus kutakutkan?"
Terpaksa Ouwyang-hengte membawa gadis yang berani
itu. Dengan adanya Cin Lie Eng, mudah saja bagi mereka
untuk melewati penjaga di atas tembok. Mereka percaya
penuh kepada gadis puteri Cin-ciangkun itu dan dengan
mudah mereka melewati tembok besar dan turun melalui
tali yang dilepas ke bawah.
Kemudian ternyata bahwa adanya gadis itu
menguntungkan mereka karena Lie Eng telah tahu di mana
tempat yang digunakan sebagai markas oleh pihak musuh.
Bulan bercahaya terang hingga mereka dapat melakukan
perjalanan dengan mudah. Lie Eng membawa kedua
saudara itu menyusur sepanjang tembok menuju ke barat,
lalu membelok ke utara menuju ke sebuah hutan yang lebat.
"Ji-wi suheng, berhati-hatilah. Aku tidak suka melihat
keadaan yang terlalu sunyi di sini," kata Lie Eng setelah
mereka tiba di dalam hutan yang sunyi itu.
Belum sempat Ouwyang-hengte menjawab, tiba-tiba
terdengar suara ranting ter-pijak kaki di sekeliling mereka
dan tahu-tahu mereka telah dikurung oleh orang-orang yang
bersenjata tajam. Orang-orang yang mengurung mereka itu
terdiri dari bermacam-macam orang. Ada yang masih muda
sekali, ada pula yang sudah kakek-kakek. Ada yang
berpakaian pendeta, hwesio, dan sastrawan. Tapi sebagian
besar dari mereka berpakaian petani sederhana.
Ouwyang-hengte dan Lie Eng cepat mencabut pedang
mereka dan siap mengamuk tapi tiba-tiba terdengar suara
orang berkata,
"Sam-wi, tahan dulu. Apakah maksud dan kehendak
kalian maka malam ini datang ke tempat kami rakyat
miskin?"
Suara ini mereka kenal dan ternyata dari luar kurungan
masuklah kakek tua yang siang tadi mereka jumpa di dalam
hutan sebelah dalam tembok besar. Lie Eng dan, Ouwyanghengte
merasa heran sekali bagaimana orang tua itu dapat
melewati tembok besar yang terjaga kuat itu.
Mendengar teguran kakek itu, dengan suara gagah Lie
Eng menjawab, "Kami ingin menyaksikan sendiri apakah
kalian masih hidup, karena mengapa kalian tidak bergerak
menyerang benteng pertahanan kami. Apakah kalian sudah
kehabisan tenaga dan tidak berani bertempur lagi?
Ketahuilah, para tentara kami telah gatal-gatal tangan untuk
menghadapi kalian."
Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, ayah harimau anakpun
harimau. Gagah dan berani. Nona Cin, jangan khawatir.
Kawan-kawan kami bukannya takut bertempur, tapi
sesungguhnya lawan dan musuh kami bukanlah ayahmu
dan anak buahnya. Ayahmu adalah perajurit yang baik dan
amat berguna bagi negara dan rakyat. Yang kami musuhi
ialah raja lalim, para pembesar durjana, dan para pembesar
penindas rakyat jelata. Mereka inilah yang hendak kami
basmi."
Mendengar kata-kata ini Ouwyang Bun merasa makin
tertarik, maka ia lalu maju dan menjura kepada orang tua
itu.
"Siauwte tadi mendengar bahwa locian-pwe adalah Sinliong
Ciu Pek In yang terkenal di kalangan kang-ouw,
betulkah itu?" :
Orang tua itu tertawa. "Tentu Cin-ciangkun yang
memberitahukan padamu, bukan? Aha, ia masih ingat
padaku. Memang betul aku Ciu Pek In."
"Siauwte mendengar bahwa locianpwe mengutamakan
kegagahan dan keadilan serta membela pihak yang benar.
Tapi mengapa locianpwe menggabungkan diri dengan para
pemberontak yang selain mengacau negara juga
menyusahkan rakyat? Apakah ini laku seorang gagah yang
mengutamakan kebaikan dan yang pantas disebut ho-han
(orang budiman)?"
Ucapan Ouwyang Bun yang panjang ini memang ia
sengaja. Ia bukan tidak tahu bahwa kata-katanya ini
berbahaya, tapi karena terdorong oleh rasa penasarannya, ia
tidak perdulikan lagi bahaya yang mungkin timbul karena
perkataannya.
Sementara itu, semua orang yang mengurung terdengar
berseru marah mendengar betapa anak muda ini berani
sekali menghina kakek yang mereka hormati itu. Mereka
siap untuk maju menerjang, tapi Ciu Pek In mengangkat
tangan memberi tanda dan berkata,
"Anak muda, kau bagaikan seekor burung yang baru
belajar terbang dan tidak tahu keadaan dunia luas. Tahumu
hanya bahwa setiap orang yang memberontak a-dalah jahat
dan salah. Tapi aku tidak menyalahkan engkau karena kau
kebetulan sekali menjadi murid si Iblis Tua Tangan
Delapan yang justeru menjadi sute dari Cin-ciangkun.
Ya..ya, aku tahu, anak, aku tahu kau dan adikmu ini siapa
dan mengapa ikut membantu Cin-ciangkun. Kalian
Ouwyang-hengte kena diperalat dan mengotorkan tangan
tanpa kalian sadari. Sayang, sayang, sungguh sayang."
"Suheng, mari kita beri mereka pelajaran." kata Lie Eng
yang merasa marah sekali mendengar ucapan Ciu Pek In.
"Beda lagi halnya dengan Cin-siocia ini," kata kakek itu
lagi tanpa memperdulikan kemarahan Lie Eng. "Ia adalah
puteri Cin-ciangkun dan sudah seharusnya menurut jejak
kaki ayahnya."
"Orang tua, kami datang ke sini bukan hendak
mendengarkan obrolan kosong. Beritahukan apa maksud
kalian mengurung kami, jangan kira kami bertiga takut."
tiba-tiba Ouwyang Bu membentak sambil melangkah maju
dengan dada terangkat.
"Suhu, jangan kasih hati kepada orang kasar ini." tibatiba
seorang gadis yang berpakaian laki-laki meloncat maju
dari belakang kakek itu. Ia adalah seorang gadis yang baru
berusia kurang lebih tujuh-belas tahun, wajahnya manis dan
sepasang matanya bersinar tajam dan berani. Ia menatap
wajah Ouwyang Bu dengan marah sekali.
"Kau anak kecil mau apa?" Ouwyang Bu membalas
membentak sambil tersenyum mengejek. Gadis itu marah
sekali, sambil membanting-bantingkan kakinya ia berkata
kepada Ciu Pek In.
"Suhu, biarkan teecu memberi pelajaran kepadanya."
Tiba-tiba kakek itu nampak gembira. Ia memberi tanda
kepada semua orang untuk mundur dan memperlebar
kurungan.
Lalu katanya kepada gadis muridnya itu, "Siauw Leng,
kau selalu menganggap dirimu paling pandai. Kaukira anak
muda ini makanan lunak? Ha, kau salah sangka. Tapi
biarlah kau mencobanya." Kemudian ia berpaling kepada
Ouwyang Bu dan berkata,
"Anak muda, muridku yang bodoh ini hendak minta
sedikit pelajaran darimu, harap kau tidak
mengecewakannya."
Ouwyang Bu tidak suka melihat gadis yang dianggapnya
memandang rendah padanya itu, tapi ia juga tidak senang
bertempur melawan seorang anak perempuan. Ia merasa
tidak ada harganya dan memalukan, tapi melihat sinar mata
gadis itu ditujukan padanya dengan menghina, ia lalu
melangkah setindak lagi ke depan dan berkata,
"Boleh, boleh. Kau hendak bertanding dengan tangan
kosong atau senjata?"
Gadis muda yang berpakaian laki-laki dan bernama
Siauw Leng itu tersenyum, dan tampaklah sebaris gigi yang
putih dan rapi. "Kau bersikap seperti orang yang mau
menang saja," katanya, "kulihat kau membawa-bawa
pedang, mari kita bermain pedang." Ia lalu menghunus
senjatanya yang ternyata adalah sebatang pedang yang
berkilauan terkena cahaya bulan
Biarpun merasa gemas, mereka masih ingat akan sopan
santun orang berpibu (beradu kepandaian) dan mereka
bukanlah sedang berhadapan sebagai musuh hendak
bertempur, oleh karena itu terlebih dulu mereka saling
memberi hormat dengan menjura.
"Awas pedang." tiba-tiba gadis itu setelah menjura
berseru nyaring dan pedangnya berkelebat membuka
serangan yang cukup cepat. Ouwyang Bu cepat menangkis
dan menggunakan tenaga sepenuhnya dengan maksud
membuat pedang lawannya terpental dan membuat gentar
hati gadis itu. Tapi si gadis bergerak gesit dan pedang yang
hendak disabet lawan itu cepat ditarik mundur lalu
diteruskan dalam serangan kedua yang lebih berbahaya.
Diam-diam Ouwyang Bu terkejut juga melihat kegesitan
dara ini, maka ia tidak mau berlaku sembrono dan bersilat
lebih hati-hati. Ia sengaja menanti serangan-serangan lebih
dulu untuk mengukur kepandaian gadis itu dan melihat
sampai di mana kehebatannya.
Sementara itu, Ouwyang Bun dan Lie Eng berdiri
tenang-tenang saja setelah memasukkan kembali pedang ke
dalam sarung pedang masing-masing. Mereka lalu
menonton pertempuran itu dengan hati tertarik karena
ternyata bahwa gadis muda itu memiliki ilmu pedang yang
hebat sekali.
Hal inipun terasa benar oleh Ouwyang Bu. Ia tadinya
mempertahankan diri dengan tenang untuk mengukur
kepandaian gadis itu, tapi alangkah herannya ketika melihat
betapa ilmu pedang gadis itu luar biasa hebatnya. Terpaksa
ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya karena tiba-tiba ia
teringat bahwa gadis muda ini adalah murid dari Sin-liong
Ciu Pek In, seorang ahli pedang dan teringatlah ia akan
penuturan susioknya bahwa Ciu Pek In memiliki
kepandaian tunggal yang istimewa, yakni Sin-liong Kiamsut
(Ilmu Pedang Naga Sakti). Kalau begitu kiam-sut gadis
inipun tentu Sin-liong Kiam-sut.
Ouwyang Bu lalu mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya untuk mengalahkan lawannya. Oleh karena
itu, maka sebentar saja keduanya bertempur hebat dan seru
sekali. Keduanya saling mengeluarkan ilmu pedang yang
hebat dan cepat gerakannya hingga merupakan dua gulung
sinar pedang saling melibat dan membelit.
Dari permainan pedang kedua anak muda ini ternyata
bahwa ilmu pedang gadis itu masih setingkat lebih tinggi
dari ilmu Ouwyang Bu. Akan tetapi pemuda itu lebih
matang latihannya dan juga lebih besar tenaganya. Ketika
pertempuran sedang hebat-hebatnya, tiba-tiba berkelebat
bayangan putih dan suara kakek itu terdengar.
"Sudah cukup, sudah cukup." Siauw Leng segera
meloncat mundur sedangkan Ouwyang Bu tiba-tiba merasa
betapa pedangnya tertolak oleh tenaga yang besar dan kuat
hingga hampir terlepas dari pegangannya. Maka terpaksa
iapun meloncat mundur. Pemisah itu, yakni Ciu Pek In,
tertawa dan berkata kepada muridnya,
"Betul tidak kata-kataku tadi? Kau baru berlatih pedang
tiga tahun, mana dapat melawan murid dari Pat-jiu Lomo?"
Ouwyang Bu makin kaget dan heran mendengar bahwa
gadis itu baru saja berlatih pedang tiga tahun, sedangkan ia
yang sudah berlatih lebih dari delapan tahun masih juga
belum dapat mengalahkan gadis itu. Maka diam-diam ia
merasa khawatir, karena kalau sampai terjadi pertempuran,
maka pihaknya tentu takkan mungkin menang.
Pada saat itu, gadis yang seorang lagi, yang agaknya
kakak perempuan.dari Siauw Leng, juga berpakaian lakilaki,
maju dan berkata kepada kakek itu, "Suhu, aku juga
ingin sekali mengukur tenaga tamu-tamu kita."
"Kau sudah lebih lama belajar daripada adikmu, masih
juga berlaku seperti kanak-kanak?" suhunya berkata sambil
tertawa. Sementara itu, Lie Eng merasa penasaran dan
maju sambil berkata,
"Kalau kau gatal tangan, marilah mencoba
kepandaianku." ia menantang.
"Sumoi, jangan sembrono."
Siauw Keng, gadis yang berpakaian laki-laki yang kedua
itu, hanya tersenyum dan memandang suhunya, seakanakan
meminta izin. Tapi Ciu Pek In berkata kepada Lie
Eng,
"Cin-siocia, kita sudahi saja segala permainan berbahaya
ini. Kita bukanlah musuh. Kalian bertiga dengarlah dan
boleh sampaikan kepada Cin-ciangkun. Kami sama sekali
tidak ingin bermusuhan dengan dia, bukan berarti kami
takut kepadanya, tapi kami anggap Cin-ciangkun bukanlah
musuh kami."
"Kalau tidak bermaksud menyerang markas kami, untuk
apa kalian berkumpul di luar tembok besar ini?" Lie Eng
memotong dengan suara keras.
Tertawalah Ciu Pek In mendengar kata-kata nona itu.
"Ha-ha. Ayahmu telah kena kami tipu dengan siasat
kami. Memang tadinya pemimpin kami, Thio Sian Tiong
yang namanya tentu telah kau dengar, berkumpul di sini
dengan semua anggauta. Maka kaisar lalu mengerahkan
tenaga ayahmu dan barisannya untuk mencegat di tembok
besar hingga lima li panjangnya. Tapi apa kau-kira orang
dapat menjaga sepanjang tembok yang laksaan li
panjangnya ini? Thio-enghiong telah memimpin barisannya
menerobos melalui tembok besar dari sebelah barat dan
yang sekarang berada di sini hanyalah beberapa kaum tani
dan kawan-kawan yang datangnya menggabungkan diri
terlambat. Pada waktu ini, barisan Thio-enghiong telah
masuk ke pedalaman dan entah telah menyerbu sampai di
mana. Ha-ha-ha..”
Pucatlah muka Lie Eng mendengar ini. Ayahnya telah
kena tipu. Mereka semua telah menjaga beberapa lama di
tempat itu dengan sia-sia belaka.
"Kalau memang kami mengambil sikap bermusuhan,
apakah kalian kira akan dapat keluar dari tempat ini?" Ciu
Pek In kembali tertawa.
Lie Eng mendengar semua ini lalu cepat membalikkan
tubuh dan lari pulang, diikuti oleh Ouwyang Bu.
"Sumoi...... Bu-te...... Tunggulah sebentar." Tapi kedua
anak muda itu terus lari cepat tanpa menoleh lagi.
Ouwyang Bun ragu-ragu hendak menyusul pula, tapi tibatiba
Ciu Pek In berkata kepadanya,
"Ouwyang-hengte, dengarlah kata-kataku sebentar. Kau
adalah seorang muda yang panjang pikirannya dan cerdik,
apakah masih juga belum dapat membedakan mana yang
benar dan mana yang salah? Masih tidak percayakah kau
bahwa perjuangan para pemberontak ini suci dan mulia?"
Dan tiba-tiba Ouwyang Bun mengurungkan niatnya
untuk mengejar adik dan su-moinya.
"Bagaimana siauwte tidak merasa ragu dan bimbang?
Memang kalau melihat lo-cianpwe dan saudara-saudara
yang berada di sini, siauwte merasa tak percaya bahwa cuwi
sekalian tergolong orang-orang yang jahat, perampok dan
mengacau rakyat seperti yang sering kudengar dikatakan
orang. Akan tetapi sebaliknya, apakah orang-orang seperti
suhu, susiok bahkan ayahku sendiri dapat keliru dan salah?"
Ciu Pek In tertawa sebelum menjawab. "Aku tidak
pernah mempersalahkan susiok-mu. Cin-ciangkun adalah
seorang perwira dan perajurit dan memegang teguh tugas
kewajibannya sebagai seorang perajurit sejati. Juga suhumu
tak dapat dipersalahkan, karena selain orang tua itu selalu
berada di atas gunung hingga tak pernah melihat keadaan
dunia ramai dan tidak tahu pula kelaliman raja dan para
pembesar korup, juga karena ia percaya penuh kepada sutenya,
yakni Cin-ciangkun, yang dianggapnya sedang
bertugas membasmi segala gerombolan perampok jahat.
Adapun tentang orang tuamu, yah, aku tak dapat memberi
sambutan apa-apa terhadap pandangan seorang hartawan
besar seperti ayahmu itu."
Diam-dfem Ouwyang Bun merasa heran sekali terhadap
orang tua yang agaknya mengerti segala apa tentang dirinya
dan guru serta orang tuanya.
"Anak muda, akupun tidak menyalahkan kau, karena
kau masih hijau dan belum berpengalaman. Cobalah kau
merantau dan lihatlah dunia dengan segala isinya ini sambil
mempergunakan pertimbanganmu, maka kau akan
mengerti mengapa orang seperti kami sampai memberontak
terhadap kaisar yang memegang pemerintahan pada masa
ini."
Dengan hati bingung dan pikiran kacau, Ouwyang Bun
akhirnya minta diri dan lari pulang ke markas Cinciangkun.
Ternyata sumoinya yang sudah tidak tahan lagi
pada malam itu juga pergi ke kamar ayahnya dan
membangunkan orang tua ini lalu menceritakan
pengalamannya.
Cin Cun Ong mendengar ini menjadi marah sekali dan ia
berjalan hilir-mudik di dalam kamarnya sambil menggigitgigit
bibir dengan gemas.
"Kurang ajar. Pantas saja mereka tak pernah menyerang,
tidak tahunya mengatur muslihat curang. Celaka, kita harus
cepat-cepat mundur untuk menjaga serangan mereka di
pedalaman."
Ketika Ouwyang Bun tiba di markas, ternyata panglima
tua itu telah mengumpulkan semua perwira dan pemimpin
pada malam hari itu juga.
"Besok pagi-pagi, di waktu fajar menyingsing, kita semua
harus mundur dan berpencar menjadi lima. Sebagian harus
tinggal di sini untuk tetap menjaga, kalau-kalau ada barisan
pembantu pemberontak hendak lewat di sini. Aku sendiri
pimpin barisan induk langsung menuju ke kota raja. Sisa
barisan semua menuju ke barat dan bermarkas di kota Seebun,
bersatu dengan kesatuan di bawah pimpinan Lu-ciangkun.
Jurusan barat itu harus diperkuat karena kuduga
bahwa barisan pimpinan Thio Sian Tiong ini tentu hendak
bergabung dengan sisa barisan Lie Cu Seng dari barat."
Setelah memberi instruksi secara cermat kepada semua
perwira dan pemimpin regu, pertemuan lalu dibubarkan
untuk memberi kesempatan kepada mereka bersiap dan
berkemas. Cin Cun Ong lalu memanggil menghadap ketiga
orang tua yang menjadi pembantunya itu, yakni Khu Ci
Lok si Huncwe Maut dan kedua temannya.
"Sam-wi ketahui sendiri bahwa tugasku di sini gagal.
Kalau memang sam-wi berniat membasmi kaum
pemberontak, silakan menggabung dengan para pahlawan
keraton yakni barisan Sayap Garuda atau Kuku Garuda.
Dapat juga sam-wi bekerja sendiri, karena kini pemberontak
telah masuk di pedalaman hingga di mana-mana mereka
mungkin bergerak."
Kemudian panglima tua itu memberi bekal beberapa
kantung emas dan perak kepada tiga orang itu sambil
memberi petunjuk-petunjuk. Lalu ia panggil Ouwyanghengte.
"Kalian berdua telah berjasa karena dengan
kenekatanmu keluar dari sini malam tadi dan telah
membuka rahasia mereka. Kalian merasa bosan dan tidak
senang karena di sini menganggur saja? Nah, di pedalaman
akan terjadi banyak pertempuran dan kalian boleh
membantu aku membasmi anggauta gerombolan itu
sebanyak mungkin. Kita menuju ke kota raja."
Ouwyang Bun berkata, "Susiok, kalau kiranya susiok
mengijinkan, teecu ingin sekali meluaskan pengalaman
dengan merantau, karena sejak turun gunung teecu terus
langsung ke sini dan belum mendapat pengalaman. Maka,
ijinkanlah teecu berdua menuju ke kota raja dengan jalan
memutar dan biarlah teecu menjumpai susiok di kota raja
dan menggabungkan diri di sana."
Cin Cun Ong tidak keberatan dan memberi pesan agar
kedua murid keponakan itu berlaku hati-hati di sepanjang
jalan.
Maka pada keesokan harinya berangkatlah semua orang
memenuhi tugas masing-masing.
Berbeda dengan rombongan Cin-ciangkun yang menuju
langsung ke selatan, Ouwyang-hengte memutar ke barat.
Tapi ketika mereka melarikan kuda belum ada duapuluh li
meninggalkan benteng itu, tiba-tiba dari belakang terdengar
suara kaki kuda dilarikan dengan cepat dan ketika mereka
menengok, ternyata yang mengejar mereka adalah Cin Lie
Eng.
"Eh, sumoi, engkau menyusul kami?" terdengar
Ouwyang Bu berseru girang sekali hingga kakaknya diamdiam
memperhatikan adiknya ini, karena semenjak pergi
tadi adiknya tampak tidak gembira, tapi kini tiba-tiba
melihat sumoi itu lalu berobah menjadi girang sekali.
"Aku hendak ikut kalian merantau." jawab Lie Eng
dengan muka merah karena tadi ia terlalu cepat melarikan
kudanya.
"Sumoi, apakah hal ini sudah mendapat persetujuan
ayahmu?" tanya Ouwyang Bun.
Lie Eng memandangnya dengan mata berseri. "Tentu
saja, twa-suheng. Ayah juga menganggap ada baiknya aku
mencari pengalaman, sekalian memata-matai keadaan dan
gerakan lawan."
Ouwyang Bun tak dapat mengatakan ketidakcocokan
hatinya terhadap sumoinya ini dan terpaksa menerimanya.
Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan dengan
perlahan sambil mengobrol dan melihat-lihat pemandangan
di sepanjang jalan.
Di sepanjang jalan, dengan diam-diam Ouwyang Bun
memperhatikan keadaan rakyat dan keadaan kampungkampung
serta kota-kota. Sedikit demi sedikit terbukalah
matanya terhadap kenyataan yang pahit dan menyakitkan
hati. Memang, semenjak pertemuannya dengan Ciu Pek In,
dalam hatinya timbul keraguan akan kesucian tugas yang
sedang dijalankan oleh susioknya. Dalam pandangannya,
Ciu Pek In tampak begitu gagah dan budiman, sedangkan
kedua nona yang menjadi murid Ciu Pek In tampak begitu
cantik dan gagah. Orang-orang macam itukah yang harus
dibasmi?
Ia kini melihat betapa semua sawah ladang yang berada
di bumi Tiongkok sebagian besar dimiliki oleh beberapa
gelintir orang saja, pertama-tama oleh para pembesar
negeri, dari lurah sampai yang berpangkat tinggi, kedua
oleh para hartawan yang seakan-akan menjadi raja kecil di
kampung-kampung.
0o-dw-o0
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments