Selasa, 29 Agustus 2017

Kho Ping Hoo Suling Emas Naga Siluman 3

Kho Ping Hoo Suling Emas Naga Siluman 3 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Kho Ping Hoo Suling Emas Naga Siluman 3
kumpulan cerita silat cersil online
-
Seperti diketahui, Tang Cun Ciu yang sedang membawa pulang pedang itu, di tengah perjalanan bertemu
dengan Yeti dan karena kaget dan takut, dia menyerang makhluk itu. Terjadi perkelahian dan ternyata
makhluk itu terlalu tangguh bagi Tang Cun Ciu sehingga ketika pedang pusaka itu berhasil menusuk paha
Yeti, wanita ini melarikan diri. Dan terjadilah peristiwa-peristiwa yang menggegerkan itu di daerah
Pegunungan Himalaya.
Pada malam hari itu, Ouwyang Kwan siuman dari pingsannya. Tiga orang kakak beradik Cu itu yang
merupakan ahli-ahli pula dalam urusan kesehatan, maklum bahwa keadaan Twa-pek mereka tidak
mungkin dapat tertolong lagi. Seluruh darah telah keracunan dan luka di dalam tubuh Twa-pek itu pun amat
hebat.
Dengan napas terengah-engah Ouwyang Kwan yang tubuhnya amat panas itu memberi isyarat kepada
Hong Bu untuk mendekat. Pemuda tanggung ini maju berlutut dan Ouwyang Kwan membelai kepalanya.
Kemudian kakek itu memandang kepada kakak beradik Cu yang berkumpul di dalam kamar itu, lalu
berkata lemah sekali.
“Dia ini sudah kupilih menjadi muridku.... jadi terhitung saudara kalian sendiri.... Aku ada mencatatkan ilmu
pedang yang kuciptakan di balik kulit Yeti ini.... baru kalian boleh buka setelah aku mati.... dan kupesan
agar supaya kalian menuntun Sim Hong Bu ini untuk mempelajarinya dan sampai berhasil
menguasainya.... dan karena ilmu ini kuciptakan untuk pedang Koai-liong-pokiam.... maka kuminta.... kelak
kalau dia sudah menguasai ilmunya.... kalian serahkan pedang itu kepadanya....” Mulut itu masih bergerakgerak,
akan tetapi tidak ada suaranya lagi dan kepalanya lalu terkulai, maka tamatlah riwayat Ouwyang
Kwan yang hidup merana karena asmara gagal itu.
Sim Hong Bu seorang yang menangisi kematian kakek itu. Dia merasa suka, sayang dan kasihan kepada
‘Yeti’ ini, dan kematiannya amat menyedihkan. Tiga orang kakak beradik Cu lalu mengurus jenazah twapek
mereka, dengan hati-hati membuka kulit beruang yang sudah melekat pada kulit twa-pek mereka itu
sehingga di sana-sini kulit Twa-pek itu ikut terobek dan lecet-lecet. Dan ternyata bahwa di sebelah dalam
kulit ini terdapat coretan-coretan ilmu yang dimaksudkan itu. Dengan hati-hati Cu Han Bu lalu menyimpan
kulit itu dan dengan penuh khidmat jenazah Ouwyang Kwan itu lalu dibersihkan, kemudian dilakukan
pembakaran jenazah itu dalam keadaan berkabung.
“Mulai sekarang, Sim Hong Bu, engkau sudah murid kami! Ingat, murid Lembah Suling Emas harus
bersumpah untuk melaksanakan semua peraturan yang ada pada keluarga kami. Pertama, engkau tidak
boleh meninggalkan tempat ini tanpa ijin dari kami. Ke dua, engkau tak boleh mengajarkan ilmu-ilmu dari
kami kepada orang lain tanpa persetujuan dari keluarga kami. Ke tiga, engkau harus menjunjung tinggi
nama Lembah Gunung Suling Emas dan tidak menyeret nama baiknya dengan perbuatan-perbuatan jahat.
Masih ada peraturan-peraturan tambahan yang kelak akan diberitahukan kepadamu, dan kalau engkau
melakukan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan kami, maka engkau akan dianggap musuh oleh
Lembah Suling Emas.”
Sim Hong Bu menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang laki-laki gagah perkasa itu, disaksikan Tang
Cun Ciu dan Cu Pek In yang tersenyum-senyum melihat ini semua.
“Bagimu aku adalah Twa-suhu, Cu Seng Bu adalah Ji-suhu, dan Cu Kang Bu adalah Sam-suhu. Akan
tetapi karena aku telah dan sedang mengajarkan ilmu-ilmu kepada anakku sendiri, maka Ji-suhu dan Samsuhu-
mu yang akan membimbingmu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sim Hong Bu yang sudah yatim piatu itu merasa girang dan cepat memberi hormat dan menyatakan
sumpahnya. Demikianlah, mulai saat itu Sim Hong Bu diterima sebagai ‘anggota keluarga’ Lembah Suling
Emas, suatu hal yang amat beruntung baginya, dan hal itu hanya mungkin terjadi karena pertemuannya
dengan Yeti…..
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kam Hong bersama Bu Ci Sian yang terasing dari dunia sekitarnya
karena terdampar ke ‘pulau’ yang merupakan gunung diselimuti es yang terkurung jurang-jurang yang amat
curam sehingga tidak memungkinkan mereka keluar dari ‘pulau’ itu!
Biar pun dia terkurung di tempat itu, namun Kam Hong tidak merasa kesal. Pertama, kakinya yang patah
tulangnya itu memerlukan waktu untuk sembuh sehingga andai kata tidak terkurung dan terasing pun, dia
toh tidak dapat pergi ke mana pun dan perlu berisirahat dan menghimpun kekuatan untuk mempercepat
pertumbuhan tulangnya yang patah. Selain itu, semenjak dia menemukan ilmu dari catatan di tubuh
jenazah kakek kuno itu, Kam Hong dengan amat tekunnya melatih diri. Setiap hari dia berlatih meniup
suling!
Memang sungguh luar biasa kalau dipikir betapa sejak kecil Kam Hong sudah pandai sekali meniup suling.
Akan tetapi dia meniup suling untuk berlagu merdu dan sekali ini dia belajar meniup suling dengan cara
yang lain sama sekali! Kini dia belajar meniup suling sebagai cara untuk berlatih agar dia bisa mencapai
tingkat yang amat tinggi dalam ilmu sinkang dan khikang!
Dia berlatih menurut petunjuk dalam catatan yang dibuat oleh Ci Sian itu, dan karena catatan itu
merupakan huruf-huruf kuno yang ditiru oleh Ci Sian yang kadang-kadang hanya mencontoh saja tanpa
tahu artinya, maka sebelum melatih diri dia harus lebih dulu meneliti apa yang menjadi isi dan maksud dari
catatan-catatan itu. Dan setelah dia melatih diri, barulah dia tahu bahwa ilmu itu bukanlah ilmu
sembarangan dan amat sukar untuk dapat meniup suling seperti yang dimaksudkan oleh nenek moyang
Suling Emas yang asli itu!
Ketika terjadi pertempuran antara Yeti dan para orang kang-ouw di puncak yang berada di seberang sana,
dari jauh Kam Hong dapat melihat peristiwa itu. Tentu saja hatinya ingin sekali untuk menghampiri dan
menonton pertempuran dahsyat itu, akan tetapi kakinya dan tempat di mana dia berada tidak
memungkinkan hal itu, maka dia hanya dapat melihat dari jauh dan tidak tahu siapa yang bertempur itu dan
apa yang terjadi kemudian karena tak lama setelah pertempuran itu, orang-orang yang nampak di atas
puncak di seberang itu pun menghilang. Tentu saja dia tidak melihat betapa orang-orang kang-ouw itu
disambut oleh penghuni Lembah Suling Emas.
Dengan tekun sekali sehingga lupa akan keadaan dirinya yang berada di tempat terasing itu, Kam Hong
terus belajar menyuling. Hal ini tentu saja jauh bedanya dengan keadaan Bu Ci Sian. Dara cilik ini setiap
hari murung saja karena merasa kesal! Bagaimana dia tidak menjadi kesal? Berada di tempat terasing itu,
setiap hari hanya makan panggang daging burung dan hanya kadang-kadang saja dia dapat menangkap
binatang kelinci yang sebenarnya adalah tikus salju. Siapa tidak akan menjadi bosan?
Akan tetapi kekesalannya itu segera berubah ketika dia mulai menerima petunjuk dari Kam Hong yang
mulai mengajarnya dengan ilmu-ilmu silat atau dasar-dasar ilmu silat tinggi dan ternyata Ci Sian
merupakan seorang murid yang cerdas dan juga berbakat. Demikianlah, dua orang itu melewatkan waktu
dan mengusir kekesalan dengan berlatih ilmu. Hanya suara suling yang itu-itu saja, tanpa melagu, hanya
tuat-tuit kadang-kadang panjang kadang-kadang pendek itu kadang-kadang menimbulkan kebosanan pada
Ci Sian dan kalau sudah begitu dia lalu murung dan tidak mau berlatih, kadang-kadang marah. Baru
setelah Kam Hong menghiburnya dengan kata-kata manis kemarahannya berkurang kemudian lenyap lagi.
“Paman Kam Hong, aku pernah mendengar engkau meniup suling itu dengan lagu yang amat merdu dan
indah menyenangkan, mengapa sekarang setelah engkau mempelajari catatan-catatan dari kakek pelawak
itu engkau sekarang belajar menyuling seburuk itu? Hanya tuat-tuit menulikan telinga saja!” Pernah Ci Sian
menegur Kam Hong yang lagi meniup suling emasnya.
Kam Hong tersenyum. “Ahh, engkau tidak tahu, Ci Sian, Kelihatannya saja aku belajar meniup suling, akan
tetapi sesungguhnya ini merupakan pelajaran latihan sinkang dan khikang yang paling tinggi tingkatnya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aihhh....!” Anak perempuan itu memandang dengan mata terbelalak dan diam-diam Kam Hong harus
mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat mata seindah itu! “Kalau begitu, kau ajarilah
aku meniup suling seperti itu, Paman! Ingat, aku pun membantumu mencatat pelajaran itu, aku berhak
mempelajarinya!”
Kam Hong tersenyum dan mengangguk. “Jangan khawatir Ci Sian. Memang kita berdua yang menemukan
jenazah dan pelajaran itu. Akan tetapi ketahuilah, pelajaran meniup suling ini sama sekali tidaklah mudah,
tetapi merupakan latihan sinkang dan khikang tingkat tinggi. Engkau tidak akan mungkin dapat melatihnya
sebelum memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat. Maka, biarlah kini kuajarkan engkau latihan sinkang
melalui siulian dan kelak, kalau engkau sudah kuat, aku mau memberimu pelajaran dari catatan ini.”
Dan Ci Sian mulai melatih dengan menghimpun tenaga sinkang seperti yang diajarkan oleh Kam Hong.
Dengan latihan-latihan ini setiap hari maka sang waktu lewat tanpa terlalu menimbulkan kejemuan biar pun
mereka setiap hari harus makan daging burung dan tikus!
Tiga bulan lewat dengan cepatnya dan setelah tiga bulan, Kam Hong yang sudah memiliki tenaga sinkang
yang amat kuat itu, yang sukar dicari bandingnya, ternyata baru mampu berlatih meniup suling dengan satu
lubang saja. Baru tingkat permulaan dari latihan menurut catatan itu! Betapa pun juga, giranglah hati Kam
Hong karena biar pun baru mencapai tingkat permulaan, ternyata kini sinkang-nya sudah bertambah kuat,
jauh lebih maju dibandingkan dengan sebelum dia berlatih meniup suling.
Pada suatu pagi, selagi dia asyik berlatih meniup suling, dia mendengar jerit panjang yang mendirikan bulu
romanya, karena dia mengenal suara itu adalah suara Ci Sian! Suara jerit mengerikan seolah-olah dara itu
berada dalam ancaman bahaya besar dan dalam keadaan ketakutan. Dengan hati penuh kekhawatiran,
sekali menggerakkan tubuh, Kam Hong telah meloncat jauh dari tempat duduknya ke arah suara itu dan
berlarilah dia secepatnya.
Kini kakinya telah sembuh dan tulang yang patah telah tersambung kembali. Biar pun telah sembuh selama
beberapa hari, namun biasanya dia masih amat berhati-hati kalau berjalan. Akan tetapi pada saat itu,
begitu mendengar jerit suara Ci Sian, dia lupa akan kakinya dan berlari secepatnya dan ternyata bahwa
kakinya yang patah tulangnya itu kini telah benar-benar sembuh sama sekali.
Akan tetapi, ke mana pun Kam Hong lari dan mencari, dia tidak melihat dara itu! Padahal tadi jeritnya
terdengar jelas di tepi sebelah barat dari bukit atau pulau terpencil terkurung jurang itu! Berlarilah Kam
Hong ke sana ke mari, mengelilingi sepanjang tepi jurang. Dan mulailah dia merasa gelisah sekali.
“Ci Sian....!” Dia memanggil dan terkejutlah dia karena di dalam suaranya itu terkandung tenaga khikang
yang amat hebat sehingga suaranya menggetarkan seluruh permukaan bukit es itu. Tak disangkanya
bahwa latihan selama tiga bulan meniup suling itu telah mendatangkan tenaga yang demikian kuatnya,
padahal dia baru saja dapat menutup sebuah lubang dari suling itu yang berlubang enam buah. Akan tetapi
kenyataan yang menggirangkan ini tak terasa oleh hatinya yang penuh dengan kekhawatiran tentang Ci
Sian.
“Ci Sian, di mana engkau....?!” Dia berlari-lari lagi, kini sambil berteriak-teriak memanggil nama dara itu.
Namun hasilnya sia-sia belaka. Ci Sian lenyap dari tempat itu, seolah-olah ditelan bumi.
Mengingat hal ini, tersirap darah Kam Hong dan wajahnya berubah pucat. Ditelan bumi ataukah ditelan
jurang yang mengerikan itu? Jantungnya bagai ditusuk rasanya. Apakah Ci Sian tergelincir dan jatuh ke
dalam jurang yang sedemikian curamnya sehingga tidak nampak dasarnya dari atas itu? Kalau begitu
halnya, tidak mungkin gadis cilik itu tertolong nyawanya!
“Ci Sian....!” Dia mengeluh dan memejamkan mata, hendak mengusir bayangan yang demikian
mengerikan, bayangan Ci Sian terjungkal ke dalam jurang dan mengalami kematian menyedihkan jauh di
bawah sana. Dan dia pun bertekad untuk menyelidiki dan mencarinya. Kakinya sudah sembuh benar, dia
hendak mencoba untuk mencari jalan, kalau perlu menuruni jurang yang curam sekali itu!
Ke manakah perginya Ci Sian?
Kekhawatiran dalam hati Kam Hong memang benar, dan mala petaka menimpa dara itu seperti yang
dibayangkannya. Ketika Kam Hong sedang berlatih meniup suling, seperti biasa Ci Sian mencari burung
untuk ditangkap dan dijadikan sarapan pagi mereka. Ketika dia melihat seekor burung putih seperti burung
dara di antara kelompok burung yang biasa, timbul keinginannya untuk menangkap burung itu. Tentu rasa
dunia-kangouw.blogspot.com
dagingnya lain, pikirnya. Akan tetapi burung putih itu gesit sekali. Beberapa kali disambitnya burung itu
dapat mengelak dan berpindah-pindah tempat.
Ci Sian terus mengejarnya dan akhirnya, ketika burung itu melayang turun di tepi jurang, dia menyambitnya
dengan batu dan berhasil! Ci Sian bersorak girang dan berlari-lari menghampiri, akan tetapi alangkah
kecewa hatinya melihat burung itu tergelincir dari atas tebing. Dia menjenguk dan melihat bangkai burung
itu kurang lebih dua meter dari tebing, tertahan oleh batu besar di dinding tebing. Burung itu telah mati,
angin gunung membuat bulu dada burung itu bergerak-gerak tersingkap memperlihatkan kulit dada yang
putih dan mulus, montok dan berdaging menimbulkan selera Ci Sian.
Hanya dua meter dan di situ ada batu besar menahan, pikirnya. Batu itu tentu akan cukup kuat
menahanku, pikirnya dan dengan nekad karena dia terangsang oleh daging burung itu, Ci Sian lalu
merayap turun dari tepi tebing yang amat curam itu. Dia merosot dan berhasil menginjak batu besar itu, lalu
mengambil burung yang gemuk itu dengan girang. Burung itu masih hangat dan enak sekali terasa di
telapak tangan.
Akan tetapi, tiba-tiba batu besar yang menahan tubuhnya itu bergerak. Ci Sian terkejut bukan main dan
sebelum dia dapat memanjat naik, batu itu telah runtuh dan membawa tubuhnya bersama-sama melayang
ke bawah! Ci Sian mengeluarkan jerit melengking yang terdengar oleh Kam Hong tadi, akan tetapi
sebentar saja tubuhnya sudah ditelan oleh udara yang tertutup kabut tebal, terus melayang ke bawah
menyusul batu di bawahnya. Batu itu menimpa dinding tebing dan terlempar jauh ke kiri, akan tetapi tubuh
Ci Sian untung sekali tidak melanggar tebing dan terus meluncur ke bawah. Dara itu pingsan!
Ketika Ci Sian siuman dan membuka matanya dia segera teringat akan peristiwa tadi. Dia masih
memejamkan mata dan menggerakkan kedua tangan meraba-raba tubuhnya yang terbungkus mantel
tebal. Ahh, masih utuh! Kiranya semua itu tadi hanya mimpi, pikirnya dengan girang dan juga geli. Dia telah
bermimpi jatuh ke dalam jurang!
Ci Sian membuka kedua matanya dan seketika dia terloncat bangun saking heran dan kagetnya. Dia tidak
lagi berada di dalam goa di mana biasa dia tidur! Dia berada di tempat lain! Tempat yang seperti sebuah
istana es! Banyak terdapat batu-batu runcing tergantung dari atas dan juga batu-batu runcing terbungkus
es, putih berkilauan seperti jamur-jamur aneh tumbuh dari tanah yang tertutup salju. Dia berada di sebuah
goa yang lain, di mulut goa yang aneh sekali.
Ci Sian bangkit berdiri dan ketika dia memutar tubuh ke arah goa, hampir dia berteriak saking kagetnya. Di
mulut goa itu, yang tadi seperti kosong, kini sudah nampak seorang kakek duduk di atas batu bulat. Kakek
yang tubuhnya telanjang, hanya bercawat saja. Hawa begitu dinginnya namun kakek itu telanjang dari
kepalanya yang gundul kelimis sampai ke kakinya yang mekar seperti kaki bebek! Dan dari kepala gundul
yang besar itu nampak uap mengepul! Lebih mengerikan lagi, seluruh tubuh kakek itu, dari leher sampai ke
pinggang, lengan dan kaki, dibelit-belit oleh seekor ular yang amat panjang dan besar, perutnya sebesar
paha kakek itu!
Ci Sian makin mengkirik kegelian melihat ular yang panjang besar itu, dan dia merasa gentar dan ngeri
saat melihat kakek yang kurus tinggi dengan hidung besar mancung melengkung itu. Pasti seorang kakek
bangsa asing, melihat bentuk mukanya yang kurus dengan alis yang sangat lebat, mata lebar tajam sekali,
hidung seperti paruh burung kakatua, telinga lebar yang dihias anting-anting, dan kumis jenggot yang tak
terpelihara, kulit mukanya yang kehitaman mengkilap.
Melihat dara remaja itu ketakutan, tiba-tiba kakek itu berkata, suaranya lembut akan tetapi dengan logat
yang aneh dan asing. “Jangan takut, anak baik, ular inilah yang menyelamatkan engkau ketika jatuh dari
sana tadi.”
“Jatuh....? Dari atas....?” Ci Sian berkata dengan mata terbelalak memandang ke atas, ke arah tebing tinggi
yang puncaknya tak nampak dari bawah, tertutup awan atau kabut.
“Ya, engkau jatuh dari atas sana.”
Jadi, kalau begitu ini bukan mimpi! Dia benar-benar sudah jatuh dari atas. Dia lalu memandang ke kanan
kiri dan mencari-cari. Ketika dia melihat bangkai burung putih menggeletak tak jauh dari situ, dia meloncat
dan diambilnya bangkai burung itu. Benar! Inilah bangkai burung yang menjadi biang keladi sampai dia
terjatuh ke dalam jurang! Ci Sian membuang burung itu, lalu dia melangkah maju mendekati kakek aneh
itu, kini tidak takut lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku hendak menangkap burung itu dan tergelincir jatuh ke dalam jurang. Jadi ular itukah yang
menyelamatkan aku? Bagaimana mungkin?” Dia berkata, tidak percaya bahwa seekor ular, betapa pun
panjang dan besarnya, mampu menyelamatkannya yang terjatuh dari tempat sedemikian tingginya.
“Anak baik, engkau tidak tahu lihainya ular salju kembang ini! Dia bergantung pada batu di dinding tebing
dengan membelitkan ekornya, kemudian dengan seluruh tubuhnya dia menerima tubuhmu dan
membelitmu sehingga dengan demikian engkau terhindar dari bencana maut! Lihat, kulit-kulit pada ekornya
masih rusak dan luka-luka karena tertarik oleh tenaga luncurannya ketika dia menahanmu.”
Ci Sian mendekat dan benar saja. Kulit pada sekitar ekor ke atas itu lecet-lecet dan berdarah, tetapi telah
diberi obat oleh kakek itu dan mengering. Ular itu ketika melihat Ci Sian mendekat lalu menjilat-jilatkan
lidahnya seperti seekor anjing yang jinak. Lenyaplah rasa takut dan jijik dari Ci Sian ketika mendengar
betapa ular itu telah menolongnya dan melihat betapa ular itu jinak sekali.
“Ah, kalau begitu aku berhutang budi kepada ular ini dan kepadamu, Kek!” katanya dan wajahnya berseri.
Kakek itu menggeleng kepala. “Tidak ada hutang-piutang budi. Semua terjadi secara kebetulan. Semua
ada yang menggerakkan dan kita hanyalah pelaku-pelaku belaka! Kalau tidak begitu mengapa kebetulan
sekali ular ini melingkar di tempat engkau akan jatuh lewat, dan kebetulan sekali dapat menangkapmu
dengan tepat, dan kebetulan sekali ular itu adalah ular sahabatku sehingga kebetulan pula engkau dapat
bertemu dengan aku dan menggugahku dari semedhiku? Bukankah semua kebetulan ini sudah diatur?
Hanya kita yang bermata ini selamanya seperti orang buta saja.”
Ci Sian tidak begitu mengerti akan kata-kata itu yang selain terlalu tinggi untuknya juga dikeluarkan dengan
logat yang kaku dan asing. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang duduk bersila di atas
batu itu sambil berkata, “Aku menghaturkan terima kasih kepada ularmu itu dan kepadamu, Kakek yang
baik.”
Kakek itu tersenyum dan nampak mulutnya yang ompong tidak ada giginya sepotong pun. “Siapakah
engkau, Nona dan apa sebabnya engkau sampai terjatuh dari atas sana?”
“Namaku Bu Ci Sian, Kek, dan sudah kukatakan tadi, aku tergelincir dari atas sana ketika hendak
menangkap burung putih keparat itu!”
“Ho-ho, engkau sudah mewarisi kekejaman manusia Bu Ci Sian. Engkau membunuh burung itu untuk kau
makan dagingnya, kemudian setelah membunuhnya kau hendak mengambil bangkainya lalu terjatuh, dan
engkau memaki-maki burung yang sudah kau bunuh itu!”
Akan tetapi Ci Sian tidak mempedulikan celaan ini dan dia berkata. “Di atas sana masih ada Pamanku,
Kek. Bagaimana aku dapat naik ke sana, kembali kepada Pamanku?”
“Ahhh, yang suka meniup suling itu?”
“Hei, bagaimana engkau bisa tahu, Kek?”
“Aku dapat mendengar getaran suara sulingnya dalam semedhiku. Dia berkepandaian hebat!”
“Benar dia, Kek! Dia adalah Paman Kam, dan aku ingin kembali ke sana.”
Kakek itu menggeleng kepala. “Tak mungkin naik ke sana. Sama sukarnya seperti naik ke langit saja. Salju
dan es longsor telah membuat bukit itu terasing, terkurung jurang. Dan Pamanmu itu, betapa pun lihainya
dia, jika dia tidak memiliki sayap untuk terbang, selamanya dia pun tidak akan dapat turun.”
“Ahh.... kalau begitu tolonglah dia, Kakek yang baik. Tolonglah dia agar dapat turun ke sini.”
“Menolong dia? Ci Sian, engkau mengkhayal yang bukan-bukan. Dia yang begitu lihai saja tidak mampu
turun, bagaimana pula aku dapat menolongnya?”
“Akan tetapi, engkau tentu seorang Locianpwe berilmu tinggi.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahhh, sama sekali bukan. Aku hanya seorang tua bangka sahabat para ular yang telah kalah bertaruh
melawan seorang wanita. Hemm.... sampai sekarang aku telah terhukum selama tiga tahun di goa ini....
gara-gara kebodohanku yang kalah bertaruh melawan seorang wanita.”
“Apa? Ada wanita yang dapat mengalahkanmu, Kek? Tentu dia itu hebat sekali ilmu silatnya!”
“Bukan kalah dalam ilmu silat....”
“Habis, kalah dalam hal apakah?”
“Kalah dalam menebak teka-teki.”
“Eh?” Ci Sian terbelalak dan merasa geli. Seperti anak-anak kecil saja, main tebak teka-teki. Dia tertarik
sekali.
“Kek, ceritakanlah padaku, teka-teki apa yang membuatmu kalah. Barangkali saja aku dapat
membantumu!” Memang Ci Sian adalah seorang anak yang suka akan teka-teki dan dahulu ketika dia
tinggal bersama Kongkong-nya, setiap kali berkumpul dengan anak dusun sebaya, dia selalu bermain tekateki
dan dialah yang selalu menang karena kecerdasannya menebak segala macam teka-teki yang sulitsulit.
Wajah kakek yang hitam itu tiba-tiba menjadi berseri. “Ah, siapa tahu engkau yang akan dapat
membantuku. Nah, dengarlah, Ci Sian. Akan kuceritakan kisahku secara singkat agar engkau tahu akan
duduknya perkara.”
Kakek itu adalah seorang saniyasi atau seorang pertapa bangsa Nepal yang bernama Nilagangga.
Semenjak masih muda kesukaannya hanyalah merantau di sekitar daerah Pegunungan Himalaya, bahkan
dia pernah merantau sampai jauh ke timur, ke Tiongkok dan akhirnya setelah tua dia pulang kembali ke
Pegunungan Himalaya. Selama dalam perantauannya itu, dia telah memperoleh banyak ilmu dan terutama
sekali dia menjadi ahli dalam ilmu pawang ular sehingga dia memperoleh julukan See-thian Coa-ong (Raja
Ular dari Barat) di dunia kang-ouw. Tentu saja dia pun memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi, seperti
juga mereka yang telah ‘menjauhkan’ diri dari dunia ramai, ada semacam penyakit menghinggapi diri kakek
ini, yaitu dia suka sekali untuk mengadu ilmu dan di samping itu, dia gemar pula untuk berdebat tentang
ilmu kebatinan dan suka pula bermain teka-teki!
Demikianlah memang keadaan manusia pada umumnya. Di dalam batin sebagian besar dari kita manusia
terdapat gairah atau hasrat ingin menonjolkan diri, ingin memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan dan
agar dapat membuat kita dipandang oleh manusia lain, baik sesuatu itu merupakan harta kekayaan,
kedudukan tinggi, kepintaran luar biasa, kekuatan yang dahsyat, kemampuan-kemampuan lain lagi,
pendeknya yang dapat membuat kita menonjol dan menjadi lebih tinggi dari pada orang-orang lain!
Kebanggaan diri ini telah menjadi ‘kebudayaan’ kita manusia, sejak kecil ditanamkan pada batin kita oleh
orang tua, oleh nenek moyang, oleh kitab-kitab dan oleh guru-guru dalam pendidikan kita. Betapa sampai
kini pun kita selalu menganjurkan anak-anak kita agar tidak kalah oleh orang lain! Agar menjadi paling
menonjol, paling pintar, paling rajin dan segala macam ‘paling’ lagi. Bukankah pendidikan semacam ini
yang menanam sifat tidak mau kalah, sifat ingin menonjol dalam batin anak-anak kita?
Kemudian, setelah kita menjadi dewasa, setelah sifat ingin menang dan ingin menonjol, ingin dipuji ini
membawa kita bertemu dan bertumbuk dengan segala konflik, kita sadar bahwa sifat inilah yang
menimbulkan pertentangan antara manusia, sifat inilah yang mendatangkan permusuhan dan bentrokan.
Kemudian, sebagian dari kita lalu melarikan diri!
Seperti halnya Nilagangga itu, dia melarikan diri dari kenyataan itu, kemudian menyepi, dan menjauhkan
diri dari tempat ramai. Namun, apakah gunanya pelarian ini? Sifat itu berada di dalam batin, kita bawa ke
mana pun juga kita pergi. Sifat ingin menonjol itu tidak terpisah dari kita, maka tidaklah mungkin kita
melarikan diri darinya, yang berarti kita melarikan diri dari kita sendiri. Sungguh tidak mungkin ini!
Maka, tidaklah mengherankan kalau sifat ingin menang ini muncul dalam bentuk lain, seperti halnya
Nilagangga itu sifat ingin menang itu muncul dalam adu ilmu silat, ilmu batin, teka-teki dan sebagainya lagi.
Kita sudah biasa melarikan diri dari kenyataan pahit. Kita pemarah, kemudian kita lari ke dalam kesabaran!
Kita berduka, lalu lari ke dalam hiburan. Dan selanjutnya lagi. Kita lupa bahwa yang marah, yang duka,
dunia-kangouw.blogspot.com
adalah kita dan kemarahan atau kedukaan itu tidak pernah terpisah dari kita, berada di dalam batin kita,
oleh karena itu, kalau kita lari ke dalam kesabaran dan hiburan, maka kita hanya akan terlupa atau terbius
sebentar saja. Kemarahan dan kedukaan itu MASIH ADA di dalam batin kita, seperti api dalam sekam, dan
sewaktu-waktu dapat meletus dan berkobar lagi!
“Pada suatu hari, ketika merantau di daerah Himalaya, aku memasuki daerah Lembah Gunung Suling
Emas tanpa aku sengaja. Akan tetapi pihak penghuni itu melarangku memasuki lembah. Karena aku
menganggap bahwa seluruh Himalaya adalah daerah bebas, maka terjadilah perbantahan dan dilanjutkan
dengan pertandingan silat. Wanita itu, seorang wanita muda dan cantik yang menjadi anggota keluarga
penghuni lembah itu, ternyata lihai sekali dan sampai kami berdua kehabisan tenaga, kami ternyata
seimbang. Maka aku mengusulkan untuk bertanding dalam teka-teki dan ternyata aku kalah!” demikian
kata kakek itu melanjutkan ceritanya.
“Bagaimana teka-tekinya, Kek?” Ci Sian yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu bertanya, hatinya
tertarik sekali.
Kakek itu melanjutkan ceritanya. Lawannya itu menerima tantangannya untuk masing-masing
mengeluarkan sebuah teka-teki. Dan mereka berdua berjanji, janji orang-orang yang menjunjung tinggi
kegagahan dan menganggap janji lebih berharga dari pada nyawa, bahwa siapa yang tidak dapat
menjawab teka-teki harus bertapa dalam goa itu dan sampai lima tahun tidak boleh meninggalkan goa
sebelum dapat menjawab teka-teki itu!
“Aku mengajukan teka-teki, tetapi dia sungguh hebat, teka-tekiku dapat dijawabnya dengan mudah. Dan
dia juga mengeluarkan teka-tekinya, dan.... sungguh sial aku, sampai sekarang sudah tiga tahun aku
bertapa di dalam goa ini, tetap saja aku belum dapat menemukan jawabannya. Kalau tidak ada yang
menolongku, agaknya aku terpaksa harus bertahan sampai dua tahun lagi di tempat ini.”
Tentu saja Ci Sian merasa geli dan panasaran. Mana ada aturan seperti itu? Mengapa orang memegang
janji sampai mati-matian begitu? Andai kata kakek itu meninggalkan goa, tentu lawannya itu pun tidak akan
tahu!
“Apa sih teka-tekinya yang begitu hebat? Coba kau beritahukan, Kek, siapa tahu aku akan-dapat
menebaknya untukmu.”
“Begini teka-tekinya, dan mustahil engkau yang masih kanak-kanak ini akan dapat menebaknya!”
“Teruskanlah!” Ci Sian menjadi tidak sabar.
“Apakah perbedaan pokok antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?” Kakek itu berhenti
sebentar setelah mengucapkan pertanyaan yang agaknya sudah begitu hafal olehnya itu, yang agaknya
sudah ribuan kali diulanginya tanpa dia dapat memberi jawaban. “Nah, itulah pertanyaan atau teka-tekinya.
Aku tak mampu menjawab. Bagiku, cinta ya cinta, mana ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan?
Akan tetapi dia membantah, mengatakan bahwa ada bedanya. Kami berdebat, dia bilang bahwa dia adalah
wanita maka dia tahu akan perbedaan itu. Dan aku.... wah, aku yang sialan ini, aku tidak tahu, apalagi
bedanya, bahkan aku tidak pernah mencinta seorang wanita, aku tidak tahu bagaimana rasanya cinta itu....
wah, aku kalah.”
Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia pun pusing memikirkan teka-teki itu. Dia juga tidak tahu apa-apa tentang
cinta! Dalam urusan cinta, dia sama ‘buta hurufnya’ dengan kakek tua renta itu.
“Bagaimana, Ci Sian? Dapatkah engkau membantuku dan memberikan jawabannya?”
Memang tentu saja Ci Sian, sebagai seorang dara yang baru remaja, baru menanjak dewasa, belum
pernah jatuh cinta kepada seorang pria. Akan tetapi dia adalah seorang anak yang amat cerdik. Dia lalu
membayangkan tentang Kam Hong, satu-satunya pria yang pernah mendatangkan rasa kagum dalam
hatinya dan dia lalu membayangkan dirinya sendiri, bagaimana seandainya dia jatuh cinta kepada
pendekar sakti itu! Setelah mengerutkan kedua alisnya agak lama, sambil memejamkan kedua matanya
sehingga kakek itu memandang penuh harapan, tiba-tiba dia membuka mata memandang kakek itu,
sepasang mata yang indah itu bersinar-sinar.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Coa-ong, engkau sebagai seorang pria, coba kau beritahukan bagaimana perasaanmu, apa yang kau
inginkan andai kata engkau jatuh cinta kepada seorang wanita,” Ci Sian menyebut Coa-ong (Raja Ular)
kepada orang asing itu, mengingat bahwa julukannya adalah Raja Ular dari Barat!
Dan kakek itu agaknya malah senang disebut demikian. Hanya karena pertanyaan itu justru merupakan
pertanyaan yang dianggapnya amat sulit, dia mengerutkan alisnya.
“Wahhh.... engkau tanya yang bukan-bukan. Mana aku tahu?”
“Coa-ong, engkau harus ingat bahwa teka-teki yang diajukan oleh lawanmu itu baru dapat dijawab kalau
aku tahu bagaimana perasaan seorang pria yang mencinta seorang wanita. Tanpa mengetahui perasaan
pria, bagaimana mungkin aku dapat tahu akan perbedaan antara cinta seorang pria dan seorang wanita?
Dan tanpa diberi tahu oleh seorang pria, bagaimana aku dapat tahu bagaimana cinta seorang pria itu? Ayo
pikirlah, Coa-ong. Aku pun belum pernah jatuh cinta, tetapi setidaknya kita sama-sama dapat
membayangkan bagaimana perasaan kita dan apa keinginan kita kalau kita masing-masing jatuh cinta
kepada seseorang.”
“Wah-wah.... ini tugas yang paling berat yang pernah kuhadapi....,” kakek itu mengomel.
Akan tetapi dia pun segera mengerutkan alis dan memejamkan mata, seperti yang dilakukan oleh Ci Sian
tadi untuk membayangkan tentang bagaimana seandainya dia jatuh cinta! Juga Ci Sian sudah
memejamkan mata membayangkan keadaannya sendiri. Demikianlah, dua orang ini, seorang kakek tua
renta dan seorang dara menjelang dewasa, duduk bersila dan memejamkan mata, mengerutkan alis,
membayangkan jika mereka jatuh cinta!
Cinta adalah suatu hal yang amat lembut, amat halus, amat rumit, dan amat banyak lika-likunya sehingga
menjadi bahan percakapan, bahan tulisan dari bahan perdebatan para sastrawan, para cerdik pandai, dari
jaman dahulu sampai sekarang, tanpa ada yang mampu melukiskannya atau memperincinya dengan tepat!
Apalagi bagi dua orang ini, yang selama hidupnya belum pernah jatuh cinta, kini keduanya membayangkan
bagaimana seandainya mereka itu jatuh cinta! Padahal cinta antara pria dan wanita adalah sedemikian
ruwetnya dan banyak sekali kaitan-kaitan dan lika-likunya!
Betapa pun juga, Ci Sian yang cerdik itu dengan naluri kewanitaannya seperti dapat meraba apa yang
dimaksudkan dengan teka-teki yang diajukan oleh seorang wanita pula itu! Maka dia langsung menuju
kepada sasaran pokok, yaitu tentang perasaan seorang pria dan seorang wanita yang jatuh cinta, apa yang
paling dikehendakinya dari orang yang dicinta.
Ada satu jam lamanya kakek itu duduk diam seperti itu! Dan biar pun hawa udara amat dinginnya, namun
kakek yang tubuhnya tidak terlindung pakaian ini mulai berkeringat! Keringatnya besar-besar menempel di
seluruh tubuhnya, dan uap yang mengepul di atas kepalanya semakin tebal. Tiba-tiba dia menarik napas
panjang, membuka matanya dan mata itu berseri-seri memandang kepada Ci Sian yang sudah sejak tadi
membuka matanya. Kakek itu mengguncang tubuhnya seperti seekor anjing kalau mengusir air yang
membasahi tubuhnya. Terdengar suara berketrikan ketika keringat yang telah membeku itu berjatuhan
rontok dari tubuhnya, merupakan butiran-butiran es kecil!
“Wah, memenuhi permintaanmu membayangkan tentang cinta itu malah mendatangkan bayangan yang
amat mengerikan dan menakutkan!” katanya.
Diam-diam Ci Sian merasa geli juga. Bagaimana mungkin bayangan mencinta orang bisa begitu
mengerikan dan menakutkan?
“Yang penting, apakah engkau kini sudah mampu menceritakan atau menggambarkan bagaimana
perasaan seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita?”
“Aku sudah membayangkan.... aku sudah membayangkan dan.... hiihhh....“ Kakek itu menggigil, bukan
karena kedinginan, melainkan karena geli dan takut! “Yang terbayang adalah cerewetnya, manjanya, dan
betapa dia merongrong hidupku sehingga hidupku tidak lagi mengenal ketenteraman dan ketenangan,
betapa dia ingin menguasai seluruh diriku dan hidupku. Ihhhh....!”
Kembali Ci Sian tertawa dalam hatinya, akan tetapi mulutnya hanya tersenyum saja. Betapa anehnya
kakek ini! “Bukan itu maksudku, Kek. Tetapi bagaimana perasaanmu dan apa yang paling kau inginkan
andai kata engkau jatuh cinta pada seorang wanita?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu mengingat-ingat. “Keinginanku hanya ingin menyenangkan dia, memanjakan dia,
membahagiakan dia,” akhirnya dia berkata dengan alis berkerut, seolah-olah dia harus menjawab sesuatu
persoalan yang amat rumit!
“Nah, itulah!” Ci Sian bersorak dan wajahnya berseri-seri. “Ketemu sekarang! Biar pun hanya hasil
bayangan kita berdua, akan tetapi agaknya tidak salah lagi, Coa-ong!”
“Sudah kau temui jawaban teka-teki itu?”
Ci Sian mengangguk. “Agaknya tidak akan keliru lagi.”
“Bagaimana itu?” Wajah hitam itu pun berseri dan penuh harap. “Coba jawab, apakah perbedaan antara
cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?”
“Seperti keteranganmu tadi, Coa-ong. Cinta pria adalah ingin selalu menyenangkan dan memanjakan,
sedangkan cinta seorang wanita adalah sebaliknya, yaitu menurut hasil khayalan dan bayanganku tadi,
cinta seorang wanita justru menjadi kebalikannya, yaitu dalam cintanya, wanita ingin selalu disenangkan,
dimanjakan oleh pria yang dicintanya.”
Kakek itu melompat bangun dan baru nampak oleh Ci Sian betapa jangkungnya kakek itu. Jangkung kurus
sehingga potongan tubuhnya tidak menarik sama sekali! See-thian Coa-ong Nilagangga kini bertepuk
tangan dan mengeluarkan suara melengking seperti suara suling.
Dan tiba-tiba Ci Sian terbelalak dan merasa jijik dan ketakutan ketika mendengar suara mendesis dan
berdatanganlah ular-ular dari empat penjuru serta mengurung tempat itu! Heran dia bagaimana di tempat
bersalju bisa terdapat begitu banyak ular!
“Coa-ong, aku takut....!” katanya dan dia bersembunyi di belakang tubuh kakek itu. Dia bukan takut,
melainkan jijik.
“Kenapa takut? Engkau akan kujadikan puteri ular, mengapa takut?”
“Jadi puteri ular? Aku.... aku tidak mau!”
“Ehh, bocah bodoh. Jika engkau menjadi puteri ular, siapa lagi berani mengganggumu? Sahabatmu ularular
itu berada di mana-mana dan jika saja engkau terancam bahaya, engkau dapat sewaktu-waktu
memanggil mereka! Kini engkau telah berjasa kepadaku, maka aku ingin menurunkan ilmuku kepadamu.
Apakah kau tidak mau?”
Ci Sian menelan ludah, kini hatinya tertarik juga. “Kalau... kalau begitu, aku mau, kukira tadi.... aku hendak
kau jadikan ular....”
“Ha-ha-ha, bagus! Nah, coba kau dekati mereka dan kau pegang-pegang mereka. Ke sinikan dulu kedua
telapak tanganmu!”
Ci Sian menghampiri ke depan kakek itu, kemudian mengulurkan kedua tangannya, ditelentangkan. Tibatiba
tangan kanan kakek itu bergerak cepat ke depan.
“Plak! Plak!”
“Aduhhhh....!” Ci Sian berteriak ketika kedua telapak tangannya terasa panas sekali ditampar oleh tangan
kakek itu dan dia memandang terbelalak marah.
“Ha-ha-ha, sekarang semua ular akan tunduk kalau tersentuh tanganmu, Ci Sian,” kata kakek itu.
Ci Sian menelan kembali kemarahannya begitu tahu bahwa tamparan itu merupakan semacam
pemindahan ilmu untuk menalukkan ular! Dia lalu menghampiri ular-ular itu yang nampak diam tidak
bergerak di atas tanah, hanya lidah mereka yang bergerak keluar masuk di mulut masing-masing. Biar pun
hatinya merasa jijik dan takut-takut, akan tetapi Ci Sian segera meraba kepala ular-ular itu dan sungguh
aneh, ular-ular itu nampak takut dan jinak sekali! Giranglah dia dan di lain saat dia sudah mengangkat
dunia-kangouw.blogspot.com
seekor ular kemerahan sebesar jari kakinya, membelainya dan mempermainkannya. Ular itu sama sekali
tidak berani berkutik!
“Ha-ha-ha, tahukah engkau betapa satu gigitan ular itu akan dapat membunuh seorang manusia seketika
juga?”
“Ihhh!” Mendengar ini, Ci Sian melemparkan ular merah itu.
“Anak bodoh, kepadamu dia tidak akan berani berbuat apa-apa!” See-thian Coa-ong lalu mengeluarkan
suara melengking tiga kali dan.... ular-ular itu lalu membalikkan tubuh dan merayap pergi dengan cepat dari
tempat itu, seperti sekumpulan anjing yang ketakutan diusir pergi oleh majikan mereka.
“Ha-ha-ha, ternyata aku yang bodoh sekali, Ci Sian. Tentu saja jawabanmu tadi tepat, ha-ha-ha, begitu
mudahnya! Mengapa aku tidak ingat akan hukum alam? Wanita adalah Im dan pria adalah Yang. Wanita
adalah Bumi dan pria adalah Matahari! Sinar matahari menembus apa pun juga untuk mencari bumi, untuk
menyinari bumi, untuk membuat bumi hidup dan subur, untuk memberikan semangat dan kekuatan kepada
bumi. Sebaliknya, bumi menanti-nanti untuk disinari, untuk dibelai, untuk disuburkan, untuk menerima. Haha-
ha, benar sekali. Pria ingin mencinta, ingin menyenangkan, ingin memiliki. Sedangkan wanita ingin
dicinta, ingin dimanjakan, ingin dimiliki dan untuk itu dia menyerahkan jiwa raganya kepada pria untuk
dimiliki dan dicinta dan dipuja! Ha-ha, betapa bodohnya tidak mampu menjawab teka-teki yang amat
sederhana itu!”
Melihat sikap kakek itu yang kegirangan, Ci Sian lalu memperingatkan. “Jangan anggap sederhana dan
mudah, Coa-ong. Tanpa bantuan seorang wanita, tidak mungkin engkau dapat menjawab teka-teki itu.”
“Ha-ha-ha-ha, benar sekali. Oleh karena itulah maka aku akan menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu.”
“Aku ingin kembali kepada Paman Kam Hong.”
“Ahhh, tidak mungkin, Ci Sian. Tidak mungkin bagimu untuk naik ke bukit itu dan tidak mungkin pula bagi
Pamanmu untuk turun dari sana. Longsoran bukit itu telah merubah keadaan dan kita hanya bisa
mengharapkan terjadi longsoran lain sehingga tempat di mana Pamanmu terkurung itu akan dapat
dihubungkan dengan tempat lain. Sementara ini, marilah kau ikut denganku untuk menjumpai musuhku
itu.”
Hati Ci Sian menjadi tertarik. “Wanita yang memberimu teka-teki itu?”
“Ya, dan kuharap engkau suka membantuku, Ci Sian. Dia pandai bicara dan pandai berdebat, dan engkau
pun agaknya tidak kalah pandai. Maka bantuanmu kuharapkan. Mari kau temanilah aku menghadapinya,
dan kelak aku akan membantumu mencari Pamanmu itu.”
Ci Sian berpikir sejenak. Omongan kakek ini tidak bohong. Memang dia tahu bahwa tidak terdapat jalan
yang bisa membawanya kembali pada Kam Hong. Dia memerlukan bantuan Kam Hong untuk mencari
orang tuanya, setelah kini dia terpisah dari Kam Hong dan agaknya tidak mungkin dapat berkumpul
kembali, apa salahnya kalau kini Coa-ong ini yang membantunya mencari orang tuanya? Namun dia belum
mengenal betul kakek asing ini, oleh karena itu dia pun tidak perlu menceritakan tentang orang tuanya dan
mendiang kakeknya. Sementara ini, dari pada sendirian saja di daerah liar dan berbahaya dari
Pegunungan Himalaya ini, lebih baik dia berteman dengan seorang pandai seperti See-thian Coa-ong.
Apalagi akan diajari ilmu-ilmu yang tinggi, tentu saja dia merasa girang.
“Baiklah, Coa-ong. Aku akan membantumu.”
Kakek itu menjadi girang sekali, wajahnya yang berkulit hitam itu berseri dan dia lalu menggandeng tangan
Ci Sian sambil berkata, “Kalau begitu, hayolah kita berangkat sekarang. Ingin sekali aku melihat wajah Cuibeng
Sian-li ketika mendengarkan aku menebak teka-tekinya!”
“Cui-beng Sian-li? Itulah julukan lawanmu?” tanya Ci Sian, diam-diam dia bergidik ngeri karena julukan itu
sungguh menyeramkan. Dewi Pengejar Arwah! Tentu saja orangnya mengerikan juga!
“Ya, dan dia lihai sekali. Sebetulnya dia adalah warga dari penghuni Lembah Gunung Suling Emas, akan
tetapi semenjak suaminya meninggal, dia kini tinggal di Lereng Batu Merah tidak jauh dari lembah itu,
dunia-kangouw.blogspot.com
hanya di sebelah bawahnya. Seperti juga Lembah Gunung Suling Emas, Lereng Batu Merah itu pun sukar
didatangi manusia dari luar, kecuali mereka yang sudah tahu jalannya.”
“Dan engkau tahu jalannya, Coa-ong?”
“Tentu saja!”
Maka berangkatlah mereka meninggalkan tempat itu. Menurut keterangan See-thian Coa-ong, tempat
tinggal lawannya itu, yaitu Lereng Batu Merah, sebetulnya tidak jauh dari situ, masih merupakan satu
daerah gunung, akan tetapi karena terjadi longsor, terpaksa mereka harus mengambil jalan memutar yang
amat jauh!
Kini See-thian Coa-ong tidak bertelanjang lagi. Kalau tadinya dia hanya bercawat ketika untuk pertama kali
Ci Sian melihatnya, kini kakek itu telah mengambil pakaiannya yang disimpan di dalam goa. Sesungguhnya
bukan pakaian, hanya kain kuning panjang yang dilibat-libatkannya di tubuhnya, sebelah pundaknya dan
dari pinggang ke bawah sampai ke lutut, seperti pakaian para pendeta pada umumnya. Ular panjang besar
yang telah menolong Ci Sian itu ditinggalkan.
“Tanggalkan saja jubahmu itu. Aku akan mengajarkan ilmu untuk membuat tubuhmu hangat dan tahan
menghadapi hawa yang bagaimana dingin pun,” berkata See-thian Coa-ong kepada Ci Sian.
Mantel bulu itu memang sudah kotor, maka mendengar bahwa dia akan diajari ilmu yang aneh itu, Ci Sian
merasa girang. Dia percaya penuh karena dia sudah melihat sendiri betapa kakek itu dalam keadaan
hampir telanjang di dalam hawa udara yang sedemikian dinginnya.
Demikianlah, mereka melakukan perjalanan dan di waktu mereka beristirahat, See-thian Coa-ong memberi
petunjuk kepada Ci Sian untuk mengerahkan hawa murni dan membuat tubuhnya terasa hangat biar pun
berada dalam hawa udara yang amat dingin. Tentu saja ilmu ini tidak mudah karena sesungguhnya
membutuhkan tenaga sinkang yang amat kuat, akan tetapi kakek itu membantu Ci Sian dan menempelkan
telapak tangannya yang panjang dan lebar ini ke punggung Ci Sian, maka dara remaja ini pun dapat
dengan cepat menguasai hawa murni yang mengalir di tubuhnya.
Pada suatu pagi, ketika mereka sedang mendaki lereng, tiba-tiba mereka melihat serombongan orang
turun dari puncak. See-thian Coa-ong cepat menarik tangan Ci Sian dan diajaknya dara itu bersembunyi di
balik batu besar. Akan tetapi Ci Sian dapat mengenal wanita yang berjalan di depan bersama dua orang
anak laki-laki itu. Wanita itu bukan lain adalah A-ciu, wanita baju hijau dari rombongan empat wanita
bertandu yang pernah dia pukuli dengan bantuan Kam Hong!
Dia tidak mungkin salah mengenalnya biar pun dari jauh, karena di belakang wanita itu terdapat orangorang
yang memikul tiga buah tandu. Tentu tiga buah tandu itu berisi tiga orang wanita lainnya, pikir Ci
Sian. Akan tetapi yang amat menarik perhatiannya adalah keadaan dua orang anak laki-laki itu. Mereka itu
sebaya dengan dia, dan lucunya, dua orang anak laki-laki itu serupa benar, baik pakaiannya, wajahnya
mau pun gerak-geriknya. Mudah saja diduga bahwa mereka tentulah dua orang anak kembar.
Akan tetapi, Ci Sian tidak merasa lucu karena dia melihat betapa dua orang anak laki-laki itu berjalan
dengan kedua lengan di belakang tubuh, tanda bahwa mereka itu tidak bebas, terbelenggu kedua lengan
mereka! Mereka itu tentu ditawan oleh wanita-wanita jahat itu. Teringatlah Ci Sian akan pertanyaan wanitawanita
itu di depan warung dahulu. Mereka bertanya-tanya tentang dua orang pemuda remaja kembar!
Tentu itulah mereka yang ditanyakan dan kini agaknya mereka telah tertangkap dan menjadi tawanan.
Oleh karena hatinya merasa sangat tidak suka kepada empat orang wanita itu yang dianggapnya jahat,
maka biar pun dia tidak mengenal dua orang pemuda tanggung itu, hati Ci Sian condong berpihak kepada
dua orang pemuda yang menjadi tawanan itu dan dia mengambil keputusan untuk menolong mereka dari
tangan wanita-wanita itu. Akan tetapi dia pun maklum bahwa empat orang wanita itu lihai bukan main. Dia
pernah dapat mempermainkan mereka hanya karena pertolongan Kam Hong dan kini pendekar sakti itu
tidak berada di situ. Yang ada hanya See-thian Coa-ong. Maka dia lalu menyentuh lengan kakek itu dan
berkata dengan suara berbisik.
“Coa-ong, sekarang engkau harus membantuku, baru aku nanti membantu menghadapi lawanmu.”
“Membantu apa, Ci Sian? Tanpa kau minta sekali pun, kalau memang diperlukan aku tentu membantumu.
Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik yang saling membantu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Girang hati Ci Sian mendengar ini. “Coa-ong, wanita itu dan tiga orang temannya yang berada di dalam
tandu adalah wanita-wanita jahat sekali, akan tetapi mereka juga lihai. Dan aku pernah bentrok dengan
mereka, maka sekarang aku hendak membebaskan dua orang pemuda yang mereka tawan itu. Engkau
mau membantuku, bukan?”
“Siapakah dua orang pemuda kembar itu? Apa kau mengenal mereka?”
“Tidak, melihat pun baru sekarang.”
See-thian Coa-ong menghela napas. “Ahh, Ci Sian, mengapa engkau mencari penyakit? Bukankah engkau
merupakan seorang anak yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw? Mengapa harus
mencampuri urusan orang lain?”
“Coa-ong, mana kita dapat terlepas dari urusan orang lain? Engkau menyelamatkan aku, dan sekarang aku
ikut denganmu untuk menghadapi lawanmu. Bukankah itu berarti bahwa engkau dan aku telah
mencampuri urusan orang lain? Hayo, engkau mau membantuku atau kau ingin melihat aku mati di tangan
mereka?”
“Baiklah.... baiklah.... akan tetapi aku tidak mau kalau engkau menyuruhku membunuh orang.”
“Siapa mau bunuh siapa? Aku hanya ingin menolong dua orang pemuda yang tertawan itu,” kata Ci Sian.
Sementara itu, rombongan yang menuruni puncak telah tiba di dekat dengan mereka. Memang benar
dugaan Ci Sian. Wanita yang berjalan di depan itu adalah A-ciu, wanita baju hijau yang cantik dan
berwajah bengis. Wanita itu membawa sebatang pedang yang tergantung di belakang pundaknya, berjalan
dengan langkah gagah mendahului di depan dua orang pemuda remaja yang berwajah tampan dan yang
melangkah tenang berdampingan dengan kedua lengan terbelenggu di belakang tubuh, lalu diikuti oleh tiga
buah tandu yang masing-masing dipakai oleh empat orang.
Siapakah adanya dua orang anak laki-laki kembar itu? Usia mereka kurang lebih dua belas tahun, pakaian
mereka sederhana dan wajah mereka tampan, sikap mereka tenang sekali. Wajah dua orang ini serupa
benar, sukar membedakan satu dari yang lain, wajah yang membayangkan kegagahan dan rambut kepala
mereka yang hitam gemuk itu dikuncir ke belakang punggung. Melihat sikap mereka, biar pun mereka itu
masih remaja dan mereka menjadi tawanan, dibelenggu kedua tangan mereka, akan tetapi mereka
nampak begitu tenang. Hal ini saja sudah jelas menunjukkan adanya kegagahan dalam diri mereka.
Dan memang demikianlah. Dua orang anak laki-laki kembar ini memang bukan sembarang anak. Mereka
adalah putera-putera dari pendekar sakti Gak Bun Beng dan pendekar wanita yang pernah
menggemparkan dunia kang-ouw dan terkenal sebagai puteri istana, juga seorang panglima wanita yang
disamakan dengan nama Hwan Lee Hwa di jaman cerita Sie Jin Kwie Ceng Tang. Wanita yang menjadi ibu
mereka ini bukan lain adalah Puteri Milana, keponakan dari kaisar!
Gak Bun Beng dan Puteri Milana, suami isteri yang keduanya memiliki nama besar di dunia kang-ouw itu,
telah lama mengundurkan diri dan hidup aman tenteram di puncak Telaga Warna, di Pegunungan Bengsan,
di mana mereka hidup saling mencinta dan rukun bersama dua orang putera kembar mereka yang
bernama Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong. Di dalam bagian-bagian terdahulu dari rangkaian cerita ini,
yaitu di dalam kisah-kisah SEPASANG PEDANG IBLIS, SEPASANG RAJAWALI, serta pula JODOH
SEPASANG RAJAWALI, pasangan pendekar sakti ini muncul dengan ilmu-ilmu mereka yang
menggemparkan.
Bagaimanakah tahu-tahu dua orang saudara kembar itu, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, yang tinggal di
puncak Pegunungan Beng-san dapat berada di Pegunungan Himalaya dan menjadi tawanan Su-bi Mo-li?
Su-bi Mo-li adalah empat orang wanita cantik yang lihai sekali karena mereka itu adalah murid-murid
gemblengan dari Im-kan Ngo-ok! Mereka berempat oleh guru-guru mereka sengaja diperbantukan kepada
Sam-thaihouw yang diam-diam mengadakan hubungan dengan kelima Ngo-ok. Ketika mendengar dari
para mata-mata yang disebarnya bahwa dua orang putera dari Puteri Milana itu meninggalkan rumah
orang tua mereka untuk ikut beramai-ramai berkunjung ke Himalaya, Sam-thaihouw cepat memerintahkan
Su-bi Mo-li untuk melakukan pengejaran dan berusaha menawan dua orang kakak beradik kembar itu,
untuk melampiaskan kebenciannya terhadap Puteri Milana! Mengapa Ibu Suri ke Tiga ini membenci Puteri
dunia-kangouw.blogspot.com
Milana dan karena tidak berdaya terhadap puteri itu kini hendak melampiaskan dendamnya kepada kedua
orang putera dari Puteri Milana?
Sam-thaihouw adalah satu-satunya selir yang masih hidup dari mendiang Kaisar Kang Hsi. Sebagai selir
mendiang ayahnya, maka tentu saja kaisar yang sekarang, yaitu Kaisar Yung Ceng, tetap menghormati ibu
tiri itu, satu-satunya di antara para selir ayahnya yang masih hidup, dan memberinya kedudukah sebagai
Sam-thaihouw atau Ibu Suri ke Tiga dan menempati sebuah istana yang cukup mewah.
Pada waktu Sam-thaihouw ini masih muda, pernah terjalin cinta asmara antara selir ini dengan mendiang
Pangeran Liong Khi Ong, yaitu pangeran yang pernah memberontak itu. Mereka mengadakan perjinahan
di luar tahunya mendiang Kaisar Kang Hsi. Maka ketika pemberontakan dari kekasihnya itu gagal dan
Pangeran Liong Khi Ong bersama saudaranya, yaitu Pangeran Liong Bin Ong, tewas, diam-diam Samthaihouw
merasa berduka sekali. Maka lalu ditimpakanlah semua rasa benci dan sakit hatinya kepada
keturunan Puteri Nirahai atau keturunan dari Pendekar Super Sakti. Terutama sekali kepada Puteri Milana
yang berjasa pula memberantas pemberontakan kekasihnya itu (baca KISAH SEPASANG RAJAWALI).
Kini, setelah selir kaisar ini menjadi tua, satu-satunya nafsu yang berkobar di dalam dadanya hanyalah
membalas dendam dan membasmi keturunan Pendekar Super Sakti atau keturunan Milana, kalau tak
mungkin menghancurkan kehidupan puteri itu sendiri. Inilah sebabnya mengapa Sam-thaihouw
mengadakan kontak dengan Im-kan Ngo-ok melalui orang-orang kepercayaannya, dan ini pula yang
menjadi sebab mengapa Su-bi Mo-li menjadi pembantu-pembantunya dan kini empat orang wanita cantik
yang lihai itu bersusah payah pergi ke Himalaya untuk mengejar dua orang putera kembar dari Puteri
Milana ketika mereka mendengar bahwa dua orang anak kembar itu ikut beramai-ramai ke Himalaya
mencari pedang pusaka yang hilang dari istana.
Sungguh tak terduga oleh Su-bi Mo-li betapa di daerah Himalaya itu mereka berempat harus kehilangan
muka ketika mereka bentrok dengan Kam Hong yang ternyata adalah keturunan Pendekar Suling Emas
yang amat lihai! Akan tetapi, rasa penasaran dan kecewa ini terobatlah ketika mereka akhirnya dapat
menemukan di mana adanya dua orang pemuda tanggung yang kembar itu! Mereka menemukan Gak Jit
Kong dan Gak Goat Kong yang sedang berkeliaran di dalam sebuah hutan dalam keadaan bingung dan
tersesat jalan! Memang kedua orang anak ini dengan keberanian luar biasa telah meninggalkan rumah
orang tua mereka tanpa pamit untuk ‘mencari pengalaman’ di daerah Himalaya yang luas itu.
Su-bi Mo-li tidak perlu mempergunakan kekerasan. Ketika melihat mereka dikurung oleh empat orang
wanita lihai yang mengaku utusan Sam-thaihouw yang minta kepada mereka berdua agar ikut untuk
menghadap ke kota raja, dua orang anak muda itu menyerah tanpa perlawanan. Mereka berdua bukan
merasa takut. Sama sekali tidak. Sejak kecil mereka telah digembleng oleh ayah bunda mereka sehingga
mereka tidak pernah mengenal takut, dan biar pun keduanya baru berusia sekitar tiga belas tahun, namun
mereka telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi yang hebat.
Tetapi, mereka takut kepada ayah bunda mereka yang selalu menekankan agar mereka berdua tidak
mencari permusuhan di dunia kang-ouw dan agar tidak menimbulkan keributan. Sekarang mendengar
bahwa Su-bi Mo-li adalah utusan Sam-thaihouw yang ‘memanggil’ mereka, maka kedua orang anak
kembar ini menyerah dan bahkan tidak membantah ketika A-ciu membelenggu kedua tangan mereka ke
belakang dengan alasan agar ‘jangan lari.’
Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong bukanlah anak-anak yang bodoh, mereka menyerah bukan hanya untuk
menghindarkan bentrokan dan keributan, akan tetapi juga mereka percaya penuh bahwa jika mereka
dibawa ke kota raja, apalagi ke istana, mereka akan selamat dan tidak akan ada yang berani
mengganggunya!
Bukankah Kaisar masih terhitung paman mereka sendiri, masih keluarga dengan ibu mereka? Dan
siapakah yang tak mengenal Puteri Milana, ibu mereka? Siapa yang akan berani mengganggu mereka,
putera dari Puteri Milana yang terkenal? Mereka tidak tahu tentang Sam-thai-houw!
Ketika rombongan ini tiba ditempat Ci Sian dan See-thian Coa-ong bersembunyi, tiba-tiba Ci Sian meloncat
keluar dari balik batu besar, mengembangkan kedua lengannya dan dengan suara yang lantang dia
membentak.
“Su-bi Mo-li! Kalian masih berani melakukan kejahatan dan menawan dua orang bocah itu? Hayo kalian
bebaskan mereka!”
dunia-kangouw.blogspot.com
A-ciu tentu saja segera mengenal dara remaja itu dan wajahnya tiba-tiba berubah pucat. Cepat dia
menoleh kearah dua orang pemuda tanggung itu. Akan tetapi dua orang pemuda kembar itu hanya saling
lirik dan bersikap biasa saja, sikap yang menunjukkan bahwa mereka tidak mengenal dara cilik yang
menghadang itu. A-ciu juga menoleh ke kanan kiri, merasa ngeri karena mengira bahwa tentu dara itu
muncul bersama dengan Suling Emas, sastrawan muda yang membuat dia dan tiga orang suci-nya tak
berdaya.
Melihat A-ciu hanya bengong dan memandang ke kanan kiri, Ci Sian membentak lagi dengan marah. “Heii,
apakah engkau sudah menjadi tuli? Hayo kau bebaskan dua orang bocah itu! Apa engkau ingin kugampar
lagi mukamu sampai bengkak-bengkak?”
Ucapan itu mengingatkan kepada A-ciu akan penghinaan yang diterimanya dari dara remaja ini. Sepasang
mata wanita cantik itu lantas berkilat seperti mengeluarkan api dan dengan menahan rasa marah karena
dia masih takut pada Kam Hong, dia berkata, suaranya nyaring, “Bocah setan! Hayo suruh Pendekar
Suling Emas keluar bicara dengan kami, jangan engkau mengacau di sini! Aku percaya bahwa Pendekar
Suling Emas tidak akan selancangmu mencampuri urusan kami yang tiada sangkut-pautnya dengan dia!”
Ci Sian juga seorang yang amat cerdik. Melihat sikap A-ciu itu, dia pun tahu bahwa wanita itu masih
merasa gentar kepada Kam Hong, maka dia tersenyum. Biar pun Kam Hong tidak bersamanya, namun dia
tidak merasa takut kepada wanita itu, mengingat bahwa See-thian Coa-ong berada di belakang batu besar,
siap untuk melindunginya.
“Hemm, Paman Kam tidak datang bersamaku, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa engkau boleh
membangkang terhadap perintahku. Ayo kau bebaskan dua orang bocah itu.”
Mendengar ucapan ini, tentu saja A-ciu menjadi girang bukan main. “Bagus! Sekarang bersiaplah engkau
untuk mampus, bocah setan!” teriaknya dan dia sudah mencabut pedangnya. Walau pun tanpa pedang
juga dengan mudah dia akan mampu membunuh Ci Sian, namun saking marahnya, dia menghunus
pedangnya dan siap menerjang dara remaja itu.
Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi lengking nyaring yang tinggi sekali, sedemikian tinggi
suara itu sehingga amat halus menggetarkan jantung! A-ciu menahan gerakannya. Hatinya memang masih
gentar terhadap Kam Hong dan kalau memang pendekar itu berada di situ, sampai bagaimana pun dia
tidak akan berani menyentuh Ci Sian. Maka, mendengar lengking yang tak wajar ini, wajahnya berubah
dan jantungnya berdebar. Siapa tahu kalau-kalau bocah setan itu menipu dan membohong, pikirnya dan
dia menoleh ke kanan kiri.
Mendadak terdengar suara mendesis-desis, dan bermunculanlah ular-ular dari segala jurusan datang ke
tempat itu.
“Ular....! Ular....!” Para pemikul tandu berteriak-teriak ketakutan karena amat banyaklah binatang-binatang
itu bermunculan dari segala tempat. Ular-ular berukuran besar kecil dan bermacam-macam warnanya.
Dan ular-ular itu seperti digerakkan atau dikendalikan oleh suara melengking tinggi itu kemudian langsung
menyerang kepada A-ciu dan para anggota rombongan itu! A-ciu mengeluarkan seruan kaget dan
meloncat ke belakang. Ci Sian juga tertawa dan sekali meloncat dia telah menghampiri dua orang anak
laki-laki yang tertawan itu.
“Kalian jangan bergerak keluar dari sini!” katanya dan dengan telunjuk tangan kanannya dia menggurat
tanah di sekeliling dua orang pemuda tanggung itu.
Sungguh ajaib, ratusan ekor ular yang berkeliaran di situ, tidak seekor pun yang berani melanggar garis
bulat yang mengelilingi Si Kembar itu!
Keadaan rombongan itu menjadi kacau balau. Karena takutnya dan jijiknya, para pemikul tandu itu
melepaskan tandu-tandu mereka dan berlompatanlah tiga orang wanita dari dalam tiga buah tandu yang
dilepaskan itu. Su-bi Mo-li tentu saja merasa jijik dan mereka berlompatan ke sana-sini menghindarkan diri
dari serbuan ular-ular itu yang makin banyak berdatangan ke tempat itu! Akan tetapi, dua belas orang
pemikul tandu itu kurang gesit gerakan mereka dan dalam waktu singkat mereka itu sudah tergigit ular dan
mereka berteriak-teriak ketakutan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Su-bi Mo-li tidak tahu siapa yang memanggil ular secara luar biasa ini, akan tetapi mereka maklum bahwa
di belakang dara cilik yang bengal itu terdapat seorang sakti yang membantu. Tidak nampak Pendekar
Suling Emas membantu, akan tetapi kini muncul seorang aneh lain yang dapat memanggil datang ular-ular
demikian banyaknya!
Apalagi melihat betapa dara cilik itu mampu menyelamatkan dua orang tawanan mereka dengan
menggurat tanah dengan telunjuk dan ular-ular itu sama sekali tidak berani menghampiri kedua orang
pemuda itu, maklumlah Su-bi Mo li bahwa orang sakti pemanggil ular itu tentu ada hubungan baik dengan
dara cilik itu yang ternyata juga menguasai ilmu menaklukkan ular. Karena mereka berempat masih jeri dan
belum hilang rasa takutnya terhadap Kam Hong maka kini melihat dua belas orang pemikul tandu itu roboh
semua, mereka menjadi semakin jeri dan dengan cepat mereka lalu berloncatan meninggalkan tempat itu
mempergunakan ginkang!
Setelah mereka pergi, barulah See-thian Coa-ong muncul. Kakek ini memang tidak mau menanam bibit
permusuhan, maka dia tadi hanya menggerakkan ular-ularnya tanpa muncul sendiri. Kini dia sudah
mengusir ular-ularnya yang merubung tubuh dua belas orang pemikul tandu, dan beberapa kali tangannya
mengusap tubuh orang-orang itu yang tadi kelihatan seperti sudah mati atau pingsan. Sungguh aneh,
begitu kena diusap oleh tangan kakek Raja Ular ini dua belas orang itu dapat bergerak kembali lalu
bangkit.
“Pergilah kalian dengan tenang,” kata See-thian Coa-ong dan dua belas orang itu lalu mengangguk hormat,
lalu pergi dengan terhuyung-huyung meninggalkan tempat yang mengerikan itu.
Sementara itu, Ci Sian sudah menghampiri Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong berdua yang masih berdiri di
dalam lingkaran. Ci Sian tersenyum ramah dan berkata. “Kalian sudah terbebas dari bahaya, biarlah
kubukakan belenggu kedua tangan kalian.”
“Jangan sentuh aku!” tiba-tiba Gak Jit Kong berseru, alisnya berkerut dan sinar matanya memancarkan
kemarahan.
“Engkau siluman ular!” bentak Gak Goat Kong.
Ci Sian terkejut dan melangkah mundur, matanya memandang terbelalak dan mukanya berubah merah.
Dua orang bocah kembar yang telah diselamatkannya itu sekarang malah menghinanya! Akan tetapi, dia
makin menjadi terkejut melihat dua orang anak laki-laki itu tiba-tiba menggerakkan tangan mereka
dan....belenggu-belenggu itu putus semua, kemudian pada saat berikutnya, tubuh kedua orang anak
kembar itu bergerak dan mereka sudah meloncat jauh dan tinggi melewati semua ular dan mereka lalu
berlari sangat cepatnya menuju ke arah perginya Su-bi Mo-li dan dua belas orang pemikul tandu tadi!
Tentu saja Ci Sian menjadi bengong. Dia terkejut, heran dan juga penasaran sekali. Kiranya dua pemuda
tanggung tadi bukan sembarangan, tetapi memiliki kepandaian yang cukup hebat, bahkan jauh lebih lihai
dari pada dia sendiri. Ketika mematahkan belenggu, ketika meloncat, jelas nampak betapa tinggi ilmu
kepandaian mereka! Akan tetapi mengapa mereka tidak memberontak dan melawan ketika dijadikan
tawanan? Dan kenapa mereka itu justru marah-marah kepadanya yang telah berusaha menolong mereka?
Tiba-tiba terdengar suara ketawa geli di belakangnya. Ci Sian menengok dan melihat bahwa yang tertawa
adalah See-thian Coa-ong.
“Kenapa kau malah tertawa?” Ci Sian bertanya dengan suara seperti membentak sebab hatinya terasa
semakin mengkal.
“Ha-ha-ha, Ci Sian. Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa kita tidak perlu mencampuri urusan orang lain?
Kau lihat, karena engkau mencampuri urusan mereka, maka engkau hanya merasa kecewa saja. Dua
orang pemuda kembar itu bukan orang sembarangan, dan tentu ada sebabnya mengapa mereka mau saja
ditawan oleh wanita-wanita itu. Dan empat orang wanita itu pun lihai-lihai sekali.”
“Akan tetapi.... bocah-bocah tak kenal budi dan kurang ajar itu malah memaki aku siluman ular!” Ci Sian
berseru dengan hati panas dan dia mengepal tinju, sekarang kemarahannya bukan lagi ditujukan kepada
Su-bi Mo-li, melainkan kepada dua orang pemuda tanggung kembar itu!
Memang demikianlah. Kemarahan yang mendatangkan kebencian itu merupakan api dalam batin yang
tidak dapat dilenyapkan dengan jalan menutup-nutupinya dengan kesabaran atau dengan mencoba untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
melupakan melalui hiburan-hiburan. Kalau kita marah kepada seseorang, kepada isteri atau suami
umpamanya, kemudian kita sabar-sabarkan dengan alasan-alasan yang kita buat sendiri, memang dapat
kita menjadi sabar dan tenang. Akan tetapi, api kemarahan itu sendiri belum padam, masih bernyala di
dalam batin, hanya tidak berkobar-kobar, tidak meledak karena ditutup oleh kesabaran yang kita ciptakan
melalui pertimbangan-pertimbangan dan akal budi. Seperti api dalam sekam.
Kalau mendapatkan ketika, maka api kemarahan yang masih bernyala itu akan berkobar lagi, akan
meledak lagi dalam kemarahan yang mengambil sasaran lain, mungkin kita lalu akan marah-marah kepada
anak kita, kepada pembantu kita, kepada teman dan sebagainya! Maka kita akan terperosok dalam
lingkaran setan yang tiada berkeputusan, marah lagi, bersabar lagi, marah lagi, bersabar lagi dan
seterusnya, melakukan perang terhadap kemarahan yang pada hakekatnya adalah diri kita sendiri.
Terjadilah konflik di dalam batin yang terus-menerus antara keadaan kita yang marah dan keinginan kita
untuk tidak marah!
Akan terjadi hal yang sama sekali berbeda jikalau di waktu kemarahan timbul kita hanya mengamatinya
saja! Mengamati tanpa penilaian buruk atau baik, tanpa menyalahkan atau membenarkan. Ini berarti tanpa
adanya aku atau sesuatu yang mengamati, karena begitu ada si aku yang mengamati, sudah pasti timbul
penilaian dari si aku. Jadi yang ada hanyalah pengamatan saja, mengamati dan menyelidiki kemarahan itu,
mengikuti segala gerak-geriknya penuh perhatian. Yang ada hanya PERHATIAN saja, tanpa ada yang
memperhatikan. Dan pengamatan tanpa si aku yang mengamati inilah yang akan melenyapkan atau
memadamkan api kemarahan itu, tanpa ada unsur kesengajaan atau daya upaya untuk memadamkan!
Dari manakah timbulnya kebencian?
Kalau kita semua membuka mata memandang, akan nampak jelas bahwa benci timbul karena si aku
merasa dirugikan, baik dirugikan secara lahiriah, misalnya dirugikan uang, kedudukan, nama dan
sebagainya, mau pun dirugikan secara batiniah, seperti dihina, dibikin malu dan sebagainya. Karena
merasa dirugikan, maka timbullah kemarahan yang melahirkan kebencian. Kebencian ini seperti racun
menggerogoti batin kita, menuntut adanya pembalasan, ingin mencelakakan orang yang kita benci,
menimbulkan perasaan sadis yang dapat dipuaskan oleh penderitaan dia yang kita benci sehingga tidak
jarang mendatangkan perbuatan-perbuatan kejam yang kita lakukan terhadap orang yang kita benci demi
untuk memuaskan dendam!
Kebencian ini dipupuk oleh pikiran yang bekerja dan yang sibuk terus, mengoceh, menilai, mendorong,
menarik, mengendalikan. Kadang-kadang pikiran membenarkan kebencian dengan berbagai dalih, kadangkadang
pula menyalahkan. Terjadilah konflik batin ini yang memboroskan energi batin. Pemborosan energi
batin ini memupuk dan memberi kelangsungan kepada kebencian itu, karena pikiran bekerja terus
mengingat dan menghidupkan segala hal yang terjadi, yang merugikan kita dan mendatangkan kebencian
itu. Padahal kebencian itu adalah aku sendiri, kebencian adalah pikiran itu sendiri! Pikiran menciptakan aku
dan karena aku dirugikan, timbullah benci. Jadi benci dan aku tidaklah terpisah.
Kalau pikiran tidak bekerja untuk menilai, kalau yang ada hanya pengamatan terhadap kebencian itu,
berarti pikiran menjadi hening, pengamatan tanpa penilaian terhadap kebencian, maka kebencian akan
kehilangan daya gerak, akan kehilangan pupuk, kehilangan kelangsungan yang dihidupkan oleh pikiran
yang menilai-nilai. Dan kalau sudah begitu, maka kemarahan, kebencian akan lenyap dengan sendirinya,
seperti api yang kehabisan bahan bakar. Pikiran yang mengingat-ingat dan menilai-nilai itulah yang
merupakan bahan bakar.
Baik kebencian itu merupakan kebencian perorangan, kebencian demi bangsa, demi suku dan sebagainya,
pada hakekatnya adalah sama, karena di situ tentu terkandung si aku yang merasa dirugikan. Si aku dapat
berkembang menjadi bangsaku, agamaku, sukuku, keluargaku, dan selanjutnya.
Kembali See-thian Coa-ong tertawa mendengar gadis cilik itu marah-marah. “Mengapa marah? Engkau
muncul di antara ratusan ekor ular, tentu dua orang muda kembar itu mengira bahwa engkau adalah
siluman ular!”
“Ah, kalau begitu, Coa-ong, aku tidak sudi belajar ilmu ular!” kata Ci Sian dan dia pun lalu menjatuhkan diri
duduk di atas tanah sambil menggosok kedua matanya! Hatinya sakit sekali dimaki orang sebagai siluman
ular tadi!
See-thian Coa-ong tersenyum lebar. “Aihhh, Ci Sian, mengapa engkau mempedulikan amat segala
pendapat orang lain? Disebut Raja Ular seperti aku, atau Siluman Ular, atau sebutan apa pun, apakah
dunia-kangouw.blogspot.com
artinya? Itu hanya sebutan yang diucapkan oleh bibir saja, hanya kata-kata kosong. Yang penting adalah
perbuatan kita dalam hidup. Apa artinya disebut dewa kalau tindakannya lebih jahat dari pada setan?
Sebaliknya, apa salahnya dimaki orang sebagai iblis kalau hidupnya melalui jalan benar?”
Seorang anak perempuan yang biasa dimanja seperti Ci Sian, mana dapat menangkap ucapan seperti itu?
“Pula, kalau tidak ada sahabat-sahabat ular tadi yang membantu, apa kau kira empat orang wanita itu mau
melarikan diri meninggalkan engkau?”
Ci Sian sadar kembali dan dia dapat melihat betapa pentingnya kepandaian menguasai ular-ular itu yang
sewaktu-waktu dapat dipakai membela diri dan melindungi keselamatannya dari gangguan orang-orang
jahat! Maka dia berhenti menangis. “Su-bi Mo-li itu jahat sekali. Mereka pernah mengaku kepada Paman
Kam bahwa mereka adalah utusan dari Sam-thaihouw. Entah siapa Sam-thaihouw itu.”
See-thian Coa-ong juga tidak mengerti dan mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka. Ci Sian tidak
dapat mengingat lagi jalan yang amat sukar dan berkeliling itu. Melalui celah-celah jurang yang amat
curam, menuruni tebing dan mendaki bukit-bukit. Kalau bukan orang yang sudah benar-benar hafal akan
jalan di situ, tidak akan mungkin dapat mengunjungi tempat ini. Agaknya See-thian Coa-ong sudah hafal
akan jalan di situ dan beberapa hari kemudian, setelah mengelilingi sebuah gunung besar, barulah mereka
tiba di perbatasan tempat yang hendak dikunjungi kakek itu.
“Nah, inilah perbatasan yang berada di sebelah bawah Lembah Suling Emas. Di atas sana itulah lembah
gunung itu, dan kalau tak tahu jalan rahasia menuju ke sana, jangan harap dapat mengunjunginya. Kecuali
menyeberangi jurang yang harus menggunakan jembatan tambang yang hanya dapat dipasang atas
kehendak tuan rumah. Wanita yang menjadi lawanku itu tinggal di bawah sini. Hati-hati, jangan sembrono,
kita sudah memasuki daerah kekuasaannya.”
“Daerah kekuasaan yang kau sebut Cui-beng Sian-li?” tanya Ci Sian berbisik dan kakek itu mengangguk.
Mereka maju terus di sepanjang dinding gunung yang amat tinggi. Ketika mereka menikung, tiba-tiba
mereka mendengar suara orang berkelahi. Dari jauh sudah nampak bahwa yang berkelahi itu adalah
seorang gadis cantik jelita melawan seorang pemuda tanggung yang berpakaian pemburu, memegang
busur dengan tangan kiri dan di punggungnya tergantung tempat anak panah. Biar pun pemuda tanggung
itu kelihatan kuat dan mempergunakan senjata busur di tangan kiri untuk melawan, namun ternyata dia
terdesak hebat oleh pukulan-pukulan wanita cantik itu yang menggunakan kedua tangannya yang dibuka
dan dimiringkan, membacok-bacok seperti dua batang pedang atau golok. Dan See-thian Coa-ong terkejut
bukan main melihat betapa sambaran tangan wanita cantik itu mengeluarkan suara bercuitan, tanda bahwa
sinkang-nya telah kuat sekali!
Sementara itu, setelah tiba dekat dan dapat melihat mereka dengan jelas, Ci Sian segera mengenal
pemuda pemburu itu sebagai pemburu muda yang dahulu pernah menolongnya saat dia hendak dibunuh
oleh Su-bi Mo-li! Maka, tanpa diminta, dia sudah meloncat ke depan dan membentak sambil menyerang
wanita cantik itu. Baru saja dia marah-marah kepada Su-bi Mo-li dan wanita itu pun cantik, usianya tentu
sudah dua puluh lima tahun, biar pun jauh lebih cantik dibandingkan Su-bi Mo-li, akan tetapi ada
persamaannya, yaitu seorang wanita dewasa yang cantik.
“Perempuan jahat, jangan kau ganggu sahabatku!” Sambil berteriak demikian Ci Sian sudah menerjang
maju dan memukul wanita itu kalang-kabut.
Tentu saja wanita itu menjadi terkejut, akan tetapi dia tersenyum mengejek melihat bahwa serangan Ci
Sian itu biasa saja dan tidak berbahaya. Dengan mudahnya wanita cantik itu mengelak dan sebelum Ci
Sian menyerang lagi, pemuda tanggung itu sudah berseru kepadanya sambil melompat keluar dari
kalangan pertandingan.
“Ehh, Nona, harap jangan salah sangka! Kami hanya saling menguji kepandaian, bukan berkelahi!”
Mendengar ini tentu saja Ci Sian juga tidak melanjutkan serangannya dan dia lalu memandang dengan
heran. Siapakah dua orang itu dan mengapa mereka berada di tempat sunyi itu dan mengadu ilmu silat?
Ci Sian tidak keliru mengenal orang. Memang pemuda tanggung itu adalah Sim Hong Bu, pemuda
pemburu yang kini telah menjadi murid keluarga Cu di Lembah Suling Emas itu. Dan baru sekarang dia
dunia-kangouw.blogspot.com
bertemu dengan wanita cantik yang mengadu ilmu silat dengan dia, dan belum dikenalnya benar sungguh
pun tadi wanita itu telah sempat memperkenalkan diri.
Setelah tinggal di Lembah Suling Emas, mulailah Hong Bu berlatih ilmu silat, yaitu dasar-dasar ilmu silat
tinggi keluarga itu di bawah pimpinan Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu yang merupakan Ji-suhu dan Samsuhu
baginya, yaitu guru ke dua dan guru ke tiga. Akan tetapi pemuda tanggung ini tidak pernah
melupakan kesenangan memburu binatang yang telah menjadi pekerjaannya semenjak dia kecil, maka di
waktu terluang dia selalu membawa busur dan anak panah untuk memburu binatang di sekitar lembah, dan
hasil buruannya lalu diserahkan kepada pekerja di dapur untuk dimasak dan untuk hidangan sekeluarga
Cu. Pada pagi hari itu, ketika dia berburu dan tiba di perbatasan lembah yang hanya dapat ditempuh
melalui jalan rahasia yang hanya dikenal oleh orang-orang Lembah Suling Emas, dan yang telah
diberitahukan kepadanya pula, tiba-tiba dia melihat wanita cantik itu!
Keduanya terkejut. Hong Bu segera menjadi curiga karena menurut para gurunya, tidak boleh ada orang
luar memasuki daerah Lembah Suling Emas. Lagi pula, daerah itu merupakan daerah rahasia yang tidak
dikenal orang luar, bagaimana tahu-tahu ada wanita cantik muncul di situ?
“Siapa engkau?” tegurnya. “Berani benar engkau memasuki daerah Lembah Suling Emas tanpa ijin!”
Wanita cantik itu juga kelihatan terkejut dan heran, apalagi melihat sikap pemuda tanggung itu seperti
seorang pemburu, maka dia menduga bahwa pemuda itu tentulah seorang pemburu yang salah jalan.
Yang membuat dia terheran-heran adalah teguran pemuda itu, seolah-olah pemuda itu berhak mengatur
orang lain yang berada di tempat itu! Wanita itu tersenyum mengejek. “Ehh, bocah lancang. Engkaulah
yang lancang berani memasuki daerah terlarang ini. Siapa engkau?”
Melihat sikap ini dan mendengar pertanyaan itu, Hong Bu menjadi ragu-ragu. Dia belum lama menjadi
penghuni lembah itu dan belum mengenal betul semua anggota keluarga majikan lembah. Siapa tahu
kalau-kalau wanita cantik ini juga merupakan seorang anggota keluarga, atau seorang murid, atau seorang
pelayan! Maka dia pun bersikap halus dan cepat-cepat memperkenalkan diri. “Aku adalah murid dari
majikan lembah ini.”
Wanita itu tersenyum lebar dan nampak cantik sekali, akan tetapi sikapnya memandang rendah. “Aih,
kiranya engkaukah yang datang bersama Yeti itu? Subo telah bercerita tentang dirimu. Bukankah engkau
yang bernama Sim Hong Bu itu?”
“Benar....” Hong Bu menjadi semakin ragu karena dia yakin bahwa wanita ini tentu keluarga atau murid dari
lembah itu. “Dan.... siapakah engkau, Cici?”
“Aku? Engkau harus menyebut Suci (Kakak Seperguruan) kepadaku. Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu
adalah Subo-ku.”
Hong Bu terkejut mendengar ini, dan juga merasa heran. Toaso dari para gurunya itu, yang dia harus
menyebut Supek-bo, adalah seorang wanita yang masih kelihatan muda dan cantik. Muridnya ini juga
seorang wanita dewasa yang cantik, dan kalau Supek-bo itu usianya kurang lebih tiga puluh tahun
muridnya ini tentu sudah ada dua puluh lima tahun. Pantasnya mereka itu adalah kakak beradik, bukan
guru dan murid! Akan tetapi dia segera memberi hormat.
“Ah, harap Suci maafkan, karena aku belum mengenal semua keluarga, maka aku tidak tahu bahwa Suci
adalah murid dari Supek-bo.”
Wanita itu tertawa. “Tidak apa, Sute. Aku pun belum lama menjadi murid Subo. Engkau sungguh beruntung
bisa menjadi murid Lembah Suling Emas, bahkan menurut Subo, engkau akan mewarisi pedang Koailiong-
pokiam. Entah bagaimana sih lihaimu maka engkau dipilih? Sute, kita adalah orang sendiri. Aku
adalah Suci-mu dan namaku adalah Yu Hwi. Jangan engkau sungkan, mari kita berlatih sebentar karena
aku ingin sekali mengukur sampai di mana kepandaian silatmu.”
“Ahh, aku belum belajar apa-apa, Suci....“ Hong Bu berkata.
Akan tetapi wanita itu mendesak dengan kata-kata yang tegas. “Sute, murid Lembah Suling Emas tidak
boleh bersikap lemah. Apalagi aku hanya ingin mengujimu, apa salahnya? Hayo, kau sambut ini!” Dan
wanita itu lalu menyerangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hong Bu terkejut sekali karena gerakan wanita itu sungguh amat lihai. Maka dia cepat mengelak dan
terpaksa dia melayani suci-nya itu. Namun, biar pun dia menggunakan busurnya sebagai senjata, tetap
saja dia terdesak hebat.
Tentu saja, karena wanita itu adalah Yu Hwi, yang dulu pernah menggemparkan dunia persilatan dengan
julukan Ang-siocia! Para pembaca kisah JODOH RAJAWALI tentu masih mengenal wanita lihai ini. Yu Hwi
adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek yang semenjak kecil diculik dan diambil murid oleh Hek-sin
Touw-ong, raja maling yang luar biasa lihainya itu.
Seperti telah diceritakan dalam kisah Jodoh Rajawali, dara cantik lincah Yu Hwi yang berjuluk Ang-siocia
dan suka mengenakan pakaian merah muda ini, melarikan diri dari depan kakeknya ketika dia diberitahu
dan diperkenalkan kepada tunangannya sejak kecil yang bukan lain adalah Kam Hong! Dia merasa malu,
dan juga cinta kasihnya terhadap Pendekar Siluman Kecil membuat dia merasa kecewa, sungguh pun
harus diakuinya bahwa Kam Hong tidak kalah tampan dan gagah dibandingkan dengan Pendekar Siluman
Kecil. Dara yang keras hati ini melarikan diri dan tidak pernah kembali lagi. Seperti telah diceritakan di
bagian depan dari cerita ini, perbuatannya itu membuat Kam Hong, calon suaminya yang telah dijodohkan
dengan dia sejak mereka berdua masih kecil, merana dan pendekar ini mencari-carinya selama lima tahun
tanpa hasil!
Dan memang dugaan dan harapan Kam Hong itu tidak kosong belaka. Ramai-ramai orang kang-ouw yang
menuju ke Himalaya memang menarik juga hati Yu Hwi. Yu Hwi adalah seorang dara murid Si Raja Maling,
dan dalam hal permalingan memang dia lihai bukan main. Mendengar bahwa ada orang mencuri pedang
pusaka dari istana dan membawanya lari ke Himalaya, hatinya amat tertarik dan dia pun ikut pula
melakukan pengejaran dan pencarian. Ingin dia melihat siapa malingnya yang demikian berani dan lihai,
dan ingin dia menguji sampai di mana kepandaian maling itu! Juga, dia tertarik untuk memperebutkan
pedang pusaka yang menggegerkan dunia kang-ouw dan yang telah menarik hati semua orang kang-ouw
untuk ikut-ikutan memperebutkannya itu.
Akhirnya, dalam perantauannya ke Himalaya di mana dia tidak pernah berjumpa dengan orang-orang yang
mencarinya, yaitu tunangannya, Kam Hong, dan kakeknya, Sai-cu Kai-ong, dia malah tiba di perbatasan
Lembah Suling Emas itu tanpa disengaja dia memasuki daerah tempat tinggal Cui-beng Sian-li Tang Cun
Ciu di kaki gunung, di bawah lembah itu!
Di tempat ini bertemulah Yu Hwi dengan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu. Pada saat mendengar bahwa
dara cilik itu adalah murid Hek-sin Touw-ong yang hendak mencari pencuri pedang pusaka, Cui-beng Sianli
tertarik dan menguji kepandaiannya. Yu Hwi tekejut bukan main, dan juga kagum karena ternyata
kepandaian pencuri ini jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya sendiri, bahkan masih lebih tinggi
dari pada ilmu kepandaian gurunya, Si Raja Maling! Maka tunduklah hati dara yang keras ini dan dia pun
mengangkat guru kepada Cui-beng Sian-li yang juga merasa suka kepada Yu Hwi.
Demikianlah sedikit riwayat dari Yu Hwi yang kini bertemu sute-nya, karena keduanya adalah para muridmurid
dari para tokoh Lembah Suling Emas dan dalam kesempatan itu, Yu Hwi sengaja menguji
kepandaian sute-nya yang dilihat oleh Ci Sian sehingga gadis cilik ini turun tangan hendak membantu
Hong Bu.
Kini Yu Hwi yang berdiri di samping Hong Bu memandang kepada Ci Sian dan kepada See-thian Coa-ong
dengan alis berkerut. “Sute, engkau kenal mereka?” tanyanya tanpa menoleh kepada Hong Bu.
“Aku tidak mengenal kakek itu, Suci, namun Nona ini pernah kujumpai di pegunungan salju.”
Lega rasa hati Yu Hwi. Kiranya dua orang yang datang ini bukan keluarga atau sahabat sute-nya. Maka
setelah memandang penuh perhatian, dia dapat menduga bahwa kakek gundul botak yang datang
bersama gadis cilik itu tentulah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka ia pun menghadapi
kakek itu dan berkata dengan suara tegas.
“Kalian berdua telah memasuki daerah kami yang terlarang. Kalau hal itu kalian lakukan tanpa sengaja,
harap kalian segera pergi lagi secepatnya meninggalkan tempat ini. Kalau disengaja, harap katakan apa
keperluan kalian datang ke sini dan siapa adanya kalian berdua!”
See-thian Coa-ong tersenyum ramah. “Memang kami sengaja mendatangi tempat ini. Aku adalah Seethian
Coa-ong, hendak berjumpa dengan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Terkejutlah Yu Hwi mendengar ini dan dia menjadi semakin curiga. “Sute, harap kau pulang dulu, tidak baik
kalau sampai Subo melihatmu di sini.”
Hong Bu mengangguk. “Baiklah, aku pergi dulu, Suci.”
Dan dia pun lalu menoleh kepada Ci Sian. Sejenak mereka berpandangan. Kedua orang muda remaja ini
semenjak bertemu memang merasa saling suka, bahkan begitu berjumpa mereka telah bekerja sama
menghadapi Su-bi Mo-li, maka rasanya sekarang tidak enak dalam hati Hong Bu bahwa mereka bertemu
lagi dalam waktu sesingkat itu, tanpa ada kesempatan untuk bicara panjang lebar.
“Nona, kuharap keadaanmu akan baik selalu,” akhirnya Hong Bu berkata.
“Terima kasih, kuharap engkau pun begitu pula,” jawab Ci Sian.
“Sute, pergilah....,“ desak Yu Hwi, mengingat akan pentingnya urusan yang dihadapinya.
Kakek ini jelas bukan orang Han, melainkan seorang Nepal atau India, maka kini datang mencari subo-nya,
tentu ada urusan yang amat gawat. Apalagi melihat keadaan kakek itu yang menunjukkan tanda-tanda
seorang yang berilmu tinggi.
Hong Bu mengangguk dan membalikkan tubuhnya, akan tetapi teringat bahwa dia belum berkenalan
dengan gadis cilik itu, maka dia membalik lagi dan berkata cepat, “Namaku Sim Hong Bu.”
Ci Sian tersenyum. “Dan namaku Bu Ci Sian.”
Kini Hong Bu membalikkan tubuhnya. “Sampai jumpa!” katanya.
Dia pun berlari cepat meninggalkan tempat itu, menghilang di balik batu-batu besar. Dia harus melalui jalan
rahasia untuk kembali ke daerah Lembah Suling Emas di atas sana, jalan rahasia terowongan yang hanya
diketahui oleh para penghuni Lembah Suling Emas saja.
Sementara itu, Yu Hwi lalu berkata kepada See-thian Coa-ong. “Guruku tidak begitu mudah ditemui, dan
dia tidak suka diganggu.”
“Aihhh, Nona, agaknya Nona belum berada di sini tiga tahun yang lalu sehingga tidak mengenalku. Aku
dan Gurumu sudah berjanji untuk sewaktu-waktu bertemu di sini, maka harap kau beritahukan kepada Cuibeng
Sian-li bahwa aku See-thian Coa-ong datang untuk memenuhi janji dan untuk menebak teka-tekinya.”
Tentu saja Yu Hwi yang belum pernah mendengar dari subo-nya tentang hal itu merasa heran sekali.
“Menebak teka-teki....?”
Selagi dia meragu, mendadak terdengar suara bisikan halus terbawa angin memasuki telinganya, “Yu Hwi,
antarkan tamu-tamu itu ke dalam taman, aku menanti di sini!”
“Baik, Subo,” kata Yu Hwi dan dia pun terkejut sendiri karena maklum bahwa suara gurunya itu dikirim
melalui ilmu mengirim suara dari jauh dan yang mendengar bisikan itu adalah dia seorang.
Namun suara itu sedemikian jelasnya sehingga seolah-olah gurunya itu berada di sampingnya dan bicara
kepadanya! Demikian hebat kekuatan khikang dari subo-nya itu. Karena merasa malu bicara seperti
kepada diri sendiri atau kepada bayangan yang tidak nampak, Yu Hwi cepat berkata kepada kakek itu,
“Subo minta kepada kalian untuk menghadap kepadanya di taman. Silakan!” Dan Yu Hwi lalu membalikkan
tubuhnya tanpa menanti jawaban, lalu melangkah pergi.
“Hebat memang ilmu Coan-im-jip-bit dari Cui-beng Sian-li,” kata kakek itu.
Kembali Yu Hwi terkejut dan menduga-duga apakah kakek itu juga dapat mendengar bisikan subo-nya?
Agaknya tidak mungkin, karena sepanjang pengetahuannya ilmu itu kalau dipergunakan hanya dapat
didengar oleh orang yang ditujunya. Dia menoleh dan melihat kakek itu bersama gadis tanggung
mengikutinya.
Yang dimaksudkan taman oleh Cui-beng Sian-li dan muridnya itu adalah sebuah tempat terbuka yang
memang indah sekali. Di situ penuh dengan pohon, akan tetapi karena ketika itu musim dingin sedang
dunia-kangouw.blogspot.com
hebat-hebatnya, maka semua pohon telah kehilangan daunnya, yang tinggal hanya batang dan cabang
berikut rantingnya yang kini penuh dengan salju dan es yang menggantikan tempat daun dan bunga. Dan
di sana-sini nampak batu-batu terselaput es yang aneh-aneh bentuknya. Semua itu berkilauan dan
memantulkan cahaya yang beraneka warna sehingga memang benar-benar merupakan taman yang luar
biasa aneh dan indahnya.
Di tengah taman itu terdapat sebuah kupel, yaitu bangunan tak berdinding, di mana terdapat sebuah meja
batu berikut bangku-bangkunya yang mengelilingi meja itu, juga terbuat dari batu-batu dan jumlahnya ada
delapan buah, cocok dengan meja yang bentuknya segi delapan itu. Dan di atas sebuah di antara bangkubangku
itu nampak duduk seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu.
“Subo, teecu sudah mengantar tamu-tamu datang,” kata Yu Hwi yang lalu berdiri di belakang subo-nya.
Wanita cantik itu memutar tubuh dan memandang kepada See-thian Coa-ong, lalu memandang kepada Ci
Sian. Wajah yang cantik itu nampak suram seolah-olah sedang dibayangi kedukaan atau kepahitan hidup.
Akan tetapi dia tersenyum ketika bertemu pandang dengan See-thian Coa-ong.
“Duduklah, See-thian Coa-ong,” katanya lembut.
“Terima kasih, Cui-beng Sian-li,” jawab kakek itu yang segera duduk menghadapi nyonya rumah, terhalang
meja.
Ci Sian yang tidak dipersilakan duduk tidak mau duduk dan hanya berdiri di belakang kakek itu, seperti
yang dilakukan oleh Yu Hwi. Gadis cilik ini memperhatikan nyonya itu dengan kagum. Tidak disangkanya
bahwa di tempat sunyi seperti ini, tempat yang terpencil dari keramaian dunia, dia dapat bertemu dengan
dua orang wanita cantik seperti guru dan murid ini. Dan sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa yang
menjadi musuh kakek itu, yang namanya begitu menyeramkan, ternyata adalah seorang wanita yang cantik
jelita! Padahal tadinya dia membayangkan bahwa nama itu tentu dimiliki seorang wanita yang amat
menyeramkan.
“Engkau sungguh merupakan seorang kakek yang keras hati, Coa-ong. Tidak kusangka bahwa
kekalahanmu dulu itu benar-benar kau tebus dengan mengasingkan diri sampai sekarang dalam goa itu.
Tiga tahun lamanya! Bukan main!”
“Hemmm, Sian-li. Seandainya ketika itu engkau yang kalah, apakah engkau juga tidak akan menjalani
hukuman seperti yang kita pertaruhkan bersama?”
Wanita itu tersenyum pahit. “Aku ragu-ragu apakah aku akan mampu setekun engkau memegang janji
yang kita buat dalam keadaan marah itu, Coa-ong. Sudahlah, buktinya engkau kalah dan engkau baru tiga
tahun bertapa di dalam goa itu. Masih kurang dua tahun lagi. Kenapa engkau sudah keluar dan
mencariku?”
“Karena sekarang aku sudah mendapat jawaban teka-tekimu!”
“Ahh, benarkah? Hemm.... tidak mungkin!”
“Coba dengarlah, Cui-beng Sian-li. Akan tetapi apakah janji pertaruhan itu sekarang masih berlaku?”
“Tentu saja.”
“Jadi, kalau jawabanku keliru, aku harus melanjutkan bertapa di dalam goa itu dua tahun lagi, dan kalau
benar engkau tidak boleh keluar dari tempat ini selama dua tahun.”
“Ya, begitulah, karena yang lima tahun itu telah lewat tiga tahun.”
Kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha, menyenangkan sekali! Sekali tersesat di daerah Lembah Suling Emas, aku
mengalami hal-hal yang amat menarik. Nah, dengarlah. Teka-tekimu dahulu itu merupakan pertanyaan
begini: Apakah perbedaan pokok antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita? Bukankah begitu
pertanyaanmu?”
“Tepat sekali. Nah, kalau memang engkau tahu jawabannya, jawablah.” Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu
menantang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Cui-beng Sian-li, perbedaannya adalah begini. Pria adalah Yang dan wanita adalah Im. Pria adalah kasar
dan kuat, wanita adalah lembut dan lemah. Cinta seorang pria bersifat ingin mencinta, ingin
menyenangkan, ingin memanjakan, ingin memiliki! Sebaliknya cinta wanita bersifat ingin dicinta, ingin
dimanjakan, ingin disenangkan, ingin dimiliki! Yang lembut mengalahkan yang keras, yang lemah
menundukkan yang kuat. Bukankah begitu jawabannya?”
Wajah yang cantik itu tiba-tiba menjadi merah, lalu menjadi pucat, kemudian tiba-tiba saja dia menutupi
mukanya dengan kedua tangannya dan menangis! Melihat gurunya menangis demikian sedihnya, Yu Hwi
terkejut dan marah. Cepat dia melompat dan menyerang kakek itu sambil membentak.
“Kakek iblis, berani engkau membikin susah Guruku?!”
Serangan Yu Hwi tentu saja hebat bukan main. Biar pun baru beberapa bulan dia menjadi murid Cui-beng
Sian-li dan baru menerima sedikit petunjuk, akan tetapi oleh karena sebelumnya memang kepandaiannya
sudah tinggi, maka begitu menggerakkan Ilmu Kiam-to Sin-ciang, terdengar suara bercuitan dan
menyambarlah angin yang amat tajam ke arah kakek tinggi kurus hitam itu!
See-thian Coa-ong maklum akan kelihaian dara itu, maka dia pun sudah mencelat mundur dari bangkunya
dan begitu Yu Hwi melancarkan pukulan maut bertubi-tubi dan kedua lengannya itu seperti berubah
menjadi pedang tajam yang menyambar-nyambar, kakek ini hanya mengelak dan kadang-kadang saja
menangkis dengan lengannya yang hitam panjang.
“Hemmm, beginikah sikap orang yang kalah taruhan?” See-thian Coa-ong mendengus dan tiba-tiba
terdengar suara melengking keluar dari dada melalui kerongkongannya dan tidak lama kemudian terdengar
suara mendesis-desis dan datanglah ratusan ekor ular ke tempat itu dari segenap jurusan!
Yu Hwi merasa terkejut sekali akan tetapi tentu saja dia tidak takut. Sebelum dia turun tangan membunuh
ular-ular itu, terdengar gurunya membentak.“Yu Hwi, jangan lancang kau. Mundurlah.”
Yu Hwi tidak berani membangkang dan dia menghentikan gerakannya, lalu meloncat ke belakang gurunya.
Cun Ciu sudah menghapus air matanya dengan sapu tangan sutera, kemudian berkata kepada kakek itu.
“Coa-ong, maafkanlah muridku. Simpan kembali ular-ularmu yang menjijikkan itu.”
See-thian Coa-ong tertawa dan ratusan ekor ular itu tiba-tiba membalik dan merayap pergi dari situ.
Sebentar saja tempat itu menjadi bersih dan hening, tidak terdengar suara mendesis seperti tadi dan bau
amis dari ular-ular beracun telah lenyap pula.
“Ha-ha, aku sudah terlalu tua untuk menggunakan kekerasan, maka terpaksa minta bantuan ular-ular yang
menjadi sahabatku itu untuk menakut-nakuti,” kata kakek itu.
“Hemm, siapa takut kepada ular-ularmu, Coa-ong? Dan kalau engkau melawan dengan ilmu silatmu, mana
mungkin muridku mampu bertahan terhadapmu? Sudahlah, engkau datang bukan untuk mengadu ilmu
silat, tetapi untuk menebak teka-teki dan ternyata engkau menang. Jawabanmu benar, Coa-ong. Akan
tetapi, engkau seorang pria yang selalu tidak pernah berhubungan dengan wanita, bagaimana engkau
mampu menjawab dengan begitu tepat?” tanya Cui-beng Sian-li sambil mengusap kedua matanya yang
agak merah.
“Ha-ha, sungguh mati aku tadinya sama sekali tidak mampu menjawab dan jangankan harus bertapa dua
tahun lagi, biar dua puluh tahun lagi aku pasti tidak akan mampu menjawab kalau tidak bertemu dengan
muridku ini. Muridku ini, Bu Ci Sian, yang telah membantuku menjawab teka-tekimu.”
Tang Cun Ciu memandang tajam kepada gadis cilik itu yang juga menatapnya dengan pandang mata tidak
kalah tajamnya. “Hemm, Coa-ong, muridmu itu sebenarnya masih terlalu kecil untuk dapat menyelami
perasaan wanita jatuh cinta. Akan tetapi dia memiliki kecerdasan hebat.”
“Aku bukan murid See-thian Coa-ong!” tiba-tiba Ci Sian berseru nyaring.
Tang Cun Ciu memandang dengan heran sekali. Dia melihat Ci Sian berdiri tegak dengan sepasang mata
berapi dan tiba-tiba dia seperti melihat seorang lain dalam diri gadis cilik itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kau.... kau she Bu? Ahhh, tidak salah lagi, engkau tentu anaknya!” Cui-beng Sian-li berkata lirih dan
sepasang matanya terbelalak. “Engkau.... engkau tentu puteri Bu-tai hiap!” Tiba-tiba dia meloncat ke
depan, mukanya pucat sekali. “Engkau.... serupa benar dengan ibumu dan karena itu engkau harus
mampus!”
“Wuuuuttt....!”
Hebat bukan main tamparan yang dilakukan oleh Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu ke arah kepala Ci Sian itu.
Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan agaknya nyawa gadis cilik itu takkan dapat tertolong lagi dari
ancaman maut.
“Syuuuut.... dessss!”
Kedua orang sakti itu terhuyung ke belakang dan See-thian Coa-ong tersenyum pahit sambil berkata, “Cuibeng
Sian-li, apakah kita harus mulai mengadu kepandaian lagi seperti tiga tahun yang lalu? Apakah
engkau hendak menodai nama Lembah Suling Emas dengan membunuh seorang anak-anak yang tidak
berdosa apa pun kepadamu?”
Ucapan itu membuat Cui-beng Sian-li tersadar dan dia pun menarik napas panjang, lengan tangannya
masih tergetar hebat oleh tangkisan kakek itu tadi. “Ahhh.... aku telah lupa diri....! Aku menyesal, Coa-ong,
dan sebagai hukumanku, aku akan menceritakan kepadamu segala peristiwa yang menimpa diriku dan
kenapa aku bersedih mendengar jawaban teka-tekimu dan mengapa aku hendak membunuh Nona cilik
ini.”
Tanpa mempedulikan bahwa yang mendengar ceritanya bukan hanya seorang kakek itu, tetapi juga Yu
Hwi dan Ci Sian, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu lalu menceritakan riwayatnya yang seharusnya merupakan
rahasia bagi seorang wanita, akan tetapi kini dia ceritakan kepada orang lain tanpa malu-malu, seolah-olah
hendak membuka rahasia kebusukannya sendiri! Memang aneh-aneh watak dari orang-orang dunia
persilatan yang telah mencapai tingkat tinggi itu!
Tang Cun Ciu adalah seorang wanita cantik yang sejak kecil telah memiliki ilmu kepandaian silat yang
tinggi karena dia berguru kepada para pertapa di sepanjang perbatasan Tibet. Bahkan akhirnya di dalam
usia tujuh belas tahun dan merupakan seorang gadis yang cantik dan lihai berjumpa dengan Cu San Bu,
seorang pendekar dan tokoh besar dari keluarga Cu penghuni Lembah Suling Emas. Cu San Bu seketika
jatuh cinta kepada dara yang cantik manis ini dan akhirnya mereka menikah.
Kalau Cu San Bu tergila-gila karena kecantikan Cun Ciu, sebaliknya Tang Cun Ciu tertarik sekali kepada
Cu San Bu karena kelihaian pendekar ini yang merupakan saudara tertua dari keluarga Cu. Padahal, usia
mereka berselisih lima belas tahun! Kalau Tang Cun Ciu merupakan seorang dara remaja berusia tujuh
belas tahun, adalah suaminya itu telah berusia tiga puluh dua tahun!
Setelah menjadi isteri Cu San Bu, Tang Cun Ciu yang amat suka mempelajari ilmu silat itu memperoleh
kemajuan hebat sekali. Suaminya yang amat mencinta itu mengajarkan ilmunya kepada isterinya sehingga
dalam waktu beberapa tahun saja ilmu kepandaian Tang Cun Ciu sudah sedemikian hebatnya sehingga
tidak berselisih jauh sekali dari para kakak beradik Cu itu sehingga dia diterima sebagai seorang tokoh
Lembah Suling Emas pula.
Akan tetapi, mungkin karena perbedaan usia yang terlalu banyak, atau karena memang watak mereka pun
berbeda, Cu San Bu adalah seorang pendekar yang lebih bayak menahan nafsu-nafsunya dan lebih
banyak bersemedhi, tapi sebaliknya Tang Cun Ciu adalah seorang wanita yang berdarah panas, maka
dalam pernikahan itu Tang Cun Ciu merasa kecewa dan banyak menderita tekanan batin!
Suami itu terlalu ‘dingin’ baginya sehingga sering kali dia merasa tersiksa oleh gairah nafsunya sendiri
yang tidak terpuaskan karena suaminya hanya teramat jarang mau menggaulinya. Dan karena ketidak
serasian ini agaknya maka biar pun sudah menikah bertahun-tahun mereka berdua tidak mendapatkan
keturunan.
Makin dewasa usia Tang Cun Ciu, semakin tersiksalah dia karena suaminya menjadi semakin tua dan
semakin dingin dalam hubungan jasmani. Ketika dia berusia sekitar dua puluh tujuh tahun dan bagaikan
bunga sedang mekar-mekarnya dan sedang panas-panasnya gejolak birahinya, suaminya yang baru
berusia empat puluh dua tahun itu sudah jarang mau mendekatinya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Keadaan seperti ini agaknya tidak akan menimbulkan apa-apa dan lambat laun Tang Cun Ciu tentu akan
terbiasa dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan kalau saja tidak muncul sepasang suami isteri
pendekar yang datang bertamu di Lembah Suling Emas. Mereka ini adalah sepasang pendekar yang
berusia sekitar tiga puluhan tahun. Pendekar itu dikenal sebagai Bu-taihiap, dan isterinya seorang wanita
yang cantik dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bu-taihiap sudah mengenal Cu San Bu, kakak tertua
di antara saudara-saudara Cu itu yang memang merupakan satu-satunya orang yang sering kali keluar dari
Lembah Suling Emas dan banyak merantau.
Mereka, suami isteri itu, diterima sebagai seorang sahabat, bahkan mereka ditahan untuk tinggal di lembah
itu selama mereka belum menemukan tempat yang baik untuk bertapa. Memang suami isteri itu datang ke
Pegunungan Himalaya untuk bertapa dan mempelajari ilmu yang baru saja mereka dapatkan. Pada waktu
itulah terjadi godaan yang amat hebat menggerogoti hati Tang Cun Ciu yang selalu kehausan cinta asmara
itu! Wajah Bu-taihiap yang tampan, tubuhnya yang gagah, amat menarik hatinya dan mulailah terdapat
sinar-sinar cinta asmara berkilatan dari pandang mata dan dari senyumnya terhadap sahabat suaminya itu!
Dan Bu-taihiap walau pun dia merupakan seorang pendekar sakti yang selain berilmu tinggi juga berbatin
kuat, tetap saja masih seorang manusia biasa, seorang manusia laki-laki yang masih muda dan akhirnya
dia pun tidak kuat menghadapi godaan sinar-sinar cinta asmara yang dikobarkan oleh Tang Cun Ciu yang
kehausan kasih sayang dan mendambakan belaian pria itu. Apa yang tak dapat dihindarkan lagi pun
terjadilah. Terjadilah hubungan yang biasanya dinamakan perjinahan antara Tang Cun Ciu dan Bu-taihiap!
Setelah menderita tekanan batin selama bertahun-tahun di samping suaminya yang kurang memenuhi
kebutuhan jasmani dan perasaannya, dan sekarang bertemu dengan seorang pria muda yang berdarah
panas serta tidak kalah besar gelora birahinya dibandingkan dengan dirinya sendiri, tentu saja Tang Cun
Ciu bagaikan seorang yang telah lama kehausan bertemu dengan sumber air yang segar. Tidak puaspuasnya
dia meneguk air yang menyegarkan itu, tidak peduli lagi bahwa yang diminumnya adalah air
terlarang, Lupa dia bahwa dia menjadi isteri pria lain dan bahwa pria yang dipeluknya penuh kobaran api
cinta asmara yang menggelora dan panas itu adalah suami dari seorang wanita lain!
Dan tidak aneh pula kalau pada suatu hari mereka tertangkap basah! Semua orang di tempat itu, termasuk
suami Tang Cun Ciu dan isteri Bu-taihiap, adalah orang-orang lihai yang berkepandaian tinggi, maka tentu
tidak mudah dikelabui dan akhirnya perbuatan mereka berdua itu ketahuan! Namun, sebagai seorang
pendekar besar yang tidak lagi dimabok birahi dan mudah dikuasai amarah, Cu San Bu tidak menimbulkan
keributan.
Bu-taihiap merasa malu sendiri. Kalau seandainya suami wanita itu marah-marah dan menyerangnya, dia
tidak akan merasa demikian terpukul dan malu seperti sekarang ini. Sikap Cu San Bu yang diam seperti
orang tidak marah itu lebih menyakitkan hati bagi Bu-taihiap, karena membuat dia kelihatan semakin
rendah saja! Maka dia pun berpamit dan pergi meninggalkan Lembah Suling Emas bersama isterinya dan
semenjak itu tidak pernah nampak lagi atau terdengar beritanya.
Bercerita sampai di sini, Tang Cun Ciu memejamkan kedua matanya dan diam sampai beberapa lama.
Ketika dia membuka lagi matanya, kedua mata yang jernih tajam itu agak basah. Dia menarik napas
panjang. Dadanya yang masih membusung penuh itu naik turun.
“Sampai sekarang pun aku tak pernah dapat melupakan dia! Aku mencintai mendiang suamiku, hatiku
mencinta suamiku yang amat baik kepadaku, akan tetapi tubuhku rindu kepada Bu-taihiap.”
Diam-diam muridnya sendiri, Yu Hwi, menjadi merah mukanya mendengar cerita subo-nya dan mendengar
pengakuan itu. Pengakuan terang-terangan dan yang menurut pendapat dan pandangan umum
merupakan pengakuan tidak tahu malu dari seorang isteri!
Wanita itu melanjutkan ceritanya…..
Biar pun pada lahirnya Cu San Bu diam saja seolah-olah perbuatan isterinya yang berjinah dengan
tamunya itu tidak melukai hatinya, namun sesungguhnya dia merasa tertikam batinnya. Dia amat mencintai
isterinya, tetapi cintanya tidak terlalu condong kepada nafsu birahi. Ia tak menyesal karena merasa
dirugikan, hanya merasa menyesal mengapa isterinya melakukan perbuatan yang begitu rendah dan
memalukan. Yang lebih memberatkan perasaan batin pendekar ini adalah sikap adik-adiknya.
Cu San Bu adalah seorang anak angkat dari ayah ketiga orang saudara Cu. Biar pun dia sudah dianggap
anak sendiri dan memakai she Cu, namun tiga orang adiknya itu tahu bahwa dia bukanlah darah daging
dunia-kangouw.blogspot.com
keluarga Cu. Biasanya memang sikap Cu Han Bu, Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu kepadanya biasa saja,
tetap menganggapnya sebagai kakak sendiri, kakak terbesar yang selain paling lihai ilmunya, juga dapat
mereka hormati karena sikap dan perbuatan Cu San Bu yang gagah perkasa dan baik, yang selalu
menjunjung tinggi nama keluarga Cu. Akan tetapi, setelah peristiwa perjinahan antara Tang Cun Ciu dan
Bu-taihiap, sikap tiga orang pendekar itu berubah sama sekali!
Tiga orang kakak beradik Cu itu diam-diam merasa terhina dan marah sekali oleh perbuatan Toaso
mereka. Menurut pendapat mereka, dosa Toaso mereka itu terlampau besar dan biar pun twako mereka
tidak menganggapnya sebagai dosa, akan tetapi mereka berpendapat bahwa Toaso mereka itu telah
menodai nama dan kehormatan semua anggota keluarga Cu penghuni Lembah Suling Emas! Maka, sikap
twako mereka yang mendiamkan saja perbuatan hina dan rendah itu, membuat mereka diam-diam merasa
penasaran dan membenci twako mereka!
Inilah yang membuat Cu San Bu menderita tekanan batin dan akhirnya pendekar ini jatuh sakit! Penyakit
yang sukar diobati karena bersumber dari batin yang tertekan. Akhirnya, pendekar ini meninggal dunia
dalam usia baru empat puluh tahun lebih! Dan sebelum mati, dia sempat meninggalkan pesan atau
permintaan terakhir kepada tiga orang adiknya itu agar mereka suka memaafkan Tang Cun Ciu dan agar
wanita itu tetap diperlakukan sebagai Toaso mereka, sebagai keluarga mereka. Permintaan yang amat
berat bagi Cu Han Bu dan dua orang adiknya, akan tetapi karena merupakan pesan terakhir, mereka tidak
tega untuk menentang atau menolaknya.
“Mereka bertiga menerima pesan suamiku, dengan syarat bahwa aku harus tinggal di luar Lembah Suling
Emas, dan demikianlah, aku memilih tempat ini, di kaki gunung dan di sebelah bawah dari lembah itu.”
Tang Cun Ciu mengakhiri ceritanya yang sangat menarik perhatian tiga orang pendengarnya.
Akan tetapi kakek berkulit hitam itu, yang meski selama hidupnya belum pernah terjerat oleh perangkapperangkap
cinta asmara akan tetapi pandangannya sudah sedemikian waspada sehingga cerita yang
didengarnya itu tidak menggerakkan hatinya karena dianggapnya wajar dan tidak aneh, lalu bertanya,
nadanya penasaran, “Hemm, ceritamu mungkin menyedihkan, Cui-beng Sian-li, akan tetapi apa
hubungannya itu dengan teka-tekimu?”
“Tiga tahun yang lalu, aku mendapat tugas untuk menghadapimu, dan karena dalam ilmu silat kita
seimbang dan sukar untuk menentukan siapa kalah siapa menang, maka timbul niatku untuk membuka
perasaan hatiku yang penasaran terhadap adik-adik suamiku itu melalui teka-teki ini. Nah, itulah sebabnya
maka aku mengajukan teka-teki kepadamu, dengan harapan selain engkau tidak akan mampu
menebaknya, juga tiga orang adik suamiku itu agar memikirkan pula tentang sifat-sifat cinta pria dan
wanita. Sebagai isteri mendiang suamiku yang sungguh kucinta karena kebaikannya, sebagai seorang
wanita, aku membutuhkan kasih sayang yang diperlihatkan, butuh dimanjakan, butuh dicinta dengan
mesra, dengan lembut, butuh disenangkan dan dipuja. Akan tetapi sikap suamiku yang dingin itu
mendatangkan perasaan kepadaku seolah-olah aku tidak dibutuhkannya lagi, tidak dicinta lagi. Seorang
wanita, dari yang muda sampai yang tua sekali pun, baru percaya akan cinta kasih seorang pria kalau pria
itu memperlihatkannya dengan bukti dalam sikapnya. Dan wanita yang dilimpahi kemesraan baru akan
percaya bahwa dia memang dicintai, maka anehkah kalau aku menyerahkan segala-galanya? Suamiku
bersikap dingin, sebaliknya Bu-taihiap bersikap mesra sekali kepadaku, maka anehkah kalau aku
menyerahkan diri kepadanya untuk memuaskan kehausanku?”
Makin lama makin merah dan jengah rasa hati Yu Hwi mendengarkan kata-kata gurunya itu. Sebagai
seorang wanita dewasa, tentu saja dia mengerti semua yang dibicarakan. Sedangkan Ci Sian hanya
mendengarkan dengan bengong, walau pun dia merasa kasihan, akan tetapi dia tidak begitu mengerti
tentang urusan cinta-mencinta itu.
“Akan tetapi, apa pula hubungannya orang she Bu itu dengan aku?” Tiba-tiba Ci Sian bertanya, suaranya
lantang dan mengejutkan Cui-beng Sian-li yang tidak menyangka-nyangka akan datang pertanyaan dari
bocah itu. Dia memandang wajah Ci Sian dan alisnya berkerut, pandangannya menjadi tajam dan tidak
senang.
“Mukamu sama benar dengan isteri Bu-taihiap! Dan engkau she Bu pula, maka aku menduga bahwa
engkau tentulah puteri mereka!”
Ci Sian adalah seorang yang cerdik. Dia tahu bahwa dugaan itu mungkin saja benar karena bukankah
ayah bundanya juga berada di Himalaya seperti yang diceritakan oleh kakeknya, dan bahwa ayah
bundanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi? Akan tetapi, karena tiada bukti dan semua itu hanya
dunia-kangouw.blogspot.com
dugaan saja, lebih baik kalau dia tidak mengakui hal itu, karena mengakuinya berarti hanya akan
menimbulkan permusuhan dari wanita yang lihai ini.
“Hemm, biar pun aku she Bu, akan tetapi tidak ada bukti yang menyatakan bahwa aku adalah puteri
mereka, karena itu, jangan engkau sembarangan saja menduga-duga dan secara sewenang-wenang
hendak membunuhku,” kata Ci Sian, suaranya bernada teguran sehingga Tang Cun Ciu merasa terpukul
dan malu.
Untuk menutupi rasa malunya ditegur oleh anak-anak, dia lalu berkata kepada See-thian Coa-ong. “Ehh,
Coa-ong, engkau sekarang mempunyai seorang murid yang agaknya akan menjadi orang yang lihai, biar
pun sekarang yang lihai hanya baru mulutnya saja! Pertandingan antara kita sudah selesai, maka marilah
kita pertandingkan murid-murid kita dalam waktu lima tahun lagi. Engkau boleh menggembleng muridmu
she Bu ini, dan aku akan membimbing muridku Yu Hwi, dan kita pertandingkan mereka....”
“Yu Hwi....?” Tiba-tiba Ci Sian berseru dan dia kini mencurahkan perhatiannya kepada murid Cui-beng
Sian-li itu, memandang tajam karena baru kini dia tertarik sedangkan semenjak tadi perhatiannya
dicurahkan seluruhnya kepada Cui-beng Sian-li. Dia mulai melangkah maju mendekati Yu Hwi yang juga
memandangnya penuh perhatian, diam-diam Ci Sian harus mengakui bahwa Yu Hwi memiliki wajah yang
manis sekali, bentuk tubuh yang ramping padat, kulit yang putih kuning halus mulus. Pendeknya, wanita itu
amat cantik menarik dan memang pantas sekali kalau menjadi isteri Pendekar Suling Emas Kam Hong.
“Ada apa dengan engkau?!” Yu Hwi membentak ketika melihat Ci Sian memandangnya sedemikian rupa
setelah tadi mengucapkan namanya.
“Yu Hwi....? Mengapa engkau meninggalkan Kam Hong....?” Karena tiba-tiba timbul rasa iba kepada
pendekar itu dan teringat akan cerita Kam Hong bahwa isteri pendekar itu yang bernama Yu Hwi telah lari
meninggalkannya, maka kini Ci Sian mengucapkan kata-kata itu dengan nada suara menegur dan
mencela.
Mendengar ucapan ini, wajah Yu Hwi seketika berubah pucat dan matanya terbelalak memandang Ci Sian.
Sejenak dia tidak mampu berkata-kata, kemudian setelah dia menekan perasaannya yang terguncang, dia
lalu berkata, suaranya terdengar seperti membentak marah. “Apa.... maksudmu....?”
“Bukankah engkau yang bernama Yu Hwi, isteri yang telah meninggalkan suamimu yang bernama Kam
Hong?”
Kini wajah Yu Hwi berubah merah sekali. “Bocah setan bermulut lancang! Aku tidak pernah menikah
dengan siapa pun juga! Pula, kau peduli apa dengan urusanku?”
“Hemm, aku tidak tahu engkau sudah menikah atau belum. Akan tetapi agaknya engkau tentulah Yu Hwi
yang dicari-cari oleh Paman Kam Hong. Tentu saja aku peduli karena Paman Kam Hong menderita
sengsara karena mencari-carimu. Kiranya engkau menjadi murid Bibi Cui-beng Sian-li. Wah, memang
cocok. Gurunya seorang wanita yang telah mengkhianati suami, sedangkan muridnya seorang wanita yang
telah minggat dari suaminya. Keduanya telah menghancurkan hati dan kehidupan pria-pria yang mencintai
mereka.”
“Keparat!”
“Jahanam bermulut lancang!”
Guru dan murid itu bergerak cepat, akan tetapi See-thian Coa-ong yang lebih dekat dengan Ci Sian sudah
menyambar tubuh anak perempuan itu dan meloncat jauh dari tempat itu.
“Cui-beng Sian-li, di antara kita sudah tidak terdapat urusan lagi, biarkan kami pergi dari sini!” teriak kakek
itu tanpa menghentikan loncatan-loncatannya dan ternyata wanita itu bersama muridnya pun tidak
melakukan pengejaran.
Setelah kakek itu pergi jauh, Cui-beng Sian-li memandang pada muridnya dan dengan pandang mata
tajam dia bertanya. “Yu Hwi, benarkah engkau minggat dari suamimu?”
“Tidak Subo, bocah itu bicara yang bukan-bukan. Yang benar, aku melarikan diri karena hendak
dijodohkan dengan seorang pemuda yang bukan pilihanku sendiri.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dan pemuda itu bernama Hong?”
Yu Hwi mengangguk, kemudian dia menceritakan persoalannya dengan Kam Hong. Dia menceritakan
dengan singkat akan tetapi juga terus terang, mengingat bahwa gurunya tadi pun telah bercerita dengan
terus terang tanpa menyembunyikan perbuatan dan perasaan hatinya sendiri.
“Sebetulnya, teecu jatuh cinta kepada seorang pendekar yang amat teecu kagumi, akan tetapi pendekar itu
agaknya tidak membalas cinta teecu. Dan tanpa teecu ketahui, ternyata sejak kecil teecu telah ditunangkan
dengan seorang pemuda lain. Setelah kakek teecu memberitahu tentang pertunangan itu, maka ketika
dipertemukan dengan tunangan itu yang juga telah teecu kenal sebelumnya, teecu merasa malu, dan juga
kecewa dan teecu pergi melarikan diri sampai sekarang. Sudah lima tahun lebih lamanya, dan siapa kira,
pemuda itu ternyata masih mencari-cari teecu seperti yang dikatakan oleh bocah setan tadi.”
Hening sejenak setelah Yu Hwi menceritakan riwayatnya secara singkat. Kemudian Cun Ciu menarik
napas panjang. “Yaah, demikianlah nasib kita kaum wanita. Tidak suka dijodohkan dengan pria pilihan
orang-orang tua, disalahkan. Lari untuk menentukan nasib sendiri pun disalahkan. Disia-siakan cintanya
sehingga kehausan dan mencari hiburan pelepas dahaga dengan pria lain pun disalahkan. Coba yang
melakukan semua itu kaum pria, tentu tidak akan ada yang menyalahkan karena hal itu sudah dianggap
biasa saja. Betapa tidak adilnya dunia ini terhadap kaum wanita!”
“Akan tetapi, sungguh Kam Hong itu tidak tahu diri!” Yu Hwi berkata. “Teecu tidak menyangka bahwa dia
masih terus mencari teecu. Mau apa dia? Apakah hendak memaksa teecu menjadi isterinya berdasarkan
ikatan jodoh yang dilakukan oleh orang-orang tua kami itu? Teecu harus pergi menemuinya dan
menjelaskan bahwa teecu tidak suka menjadi isterinya!”
“Ingat, Yu hwi. Gurumu ini telah kalah bertaruh dengan See-thian Coa-ong. Dia sendiri telah
mengorbankan waktunya sampai tiga tahun bertapa dalam goa. Dan setelah dia dapat menebak teka-teki
sehingga aku kalah, sudah sepantasnya kalau aku pun memenuhi janji. Aku harus tinggal di sini dua tahun
dan sama sekali tidak boleh keluar meninggalkan tempat ini sebelum dua tahun. Dan engkau baru saja
menjadi muridku. Engkau harus pula belajar menemaniku di sini sampai sedikitnya dua tahun.”
Yu Hwi tidak berani membantah dan dia pun lalu mengikuti subo-nya kembali ke pondok kecil mungil yang
dlbangun oleh keluarga Cu di tempat itu untuk Toaso mereka. Biar pun Tang Cun Ciu tidak diperbolehkan
lagi tinggal di Lembah Suling Emas, akan tetapi dia tetap diaku sebagai keluarga dan setiap waktu boleh
saja mengunjungi lembah melalui jalan rahasia terowongan yang hanya dikenal oleh keluarga mereka…..
********************
Kita tinggalkan dulu Yu Hwi yang tekun belajar di bawah bimbingan Cui-beng Sian-li yang lihai, dan
membiarkan dulu Bu Ci Sian yang ikut bersama See-thian Coa-ong untuk mempelajari ilmu-ilmu yang
tinggi pula. Marilah kita beralih ke bagian lain dari daratan Tiongkok, meninggalkan daerah Pegunungan
Himalaya dan pergi ke sebelah timur meninggalkan daratan, menyeberang laut untuk melihat keadaan di
sebuah pulau kecil yang hanya beberapa mil jauhnya dari daratan. Dengan mempergunakan sebuah
perahu layar, kalau angin baik, dalam waktu seperempat jam saja orang sudah akan dapat sampai ke
pulau itu. Pulau ini disebut Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) karena menurut kabar di pulau kecil ini terdapat
sejenis ular yang berwarna kuning keemasan dan sangat berbahaya karena gigitannya mengandung bisa
yang mematikan.
Akan tetapi bukan ular-ular kecil berwarna kuning emas inilah yang membuat para nelayan dan pelancong
tidak berani mengunjungi Pulau Kim-coa-to itu. Pulau itu sudah belasan tahun terkenal sebagai pulau yang
berbahaya karena pulau itu ditinggali oleh seorang wanita yang hidup sebagai seorang ratu di atas pulau
kosong itu. Di atas pulau itu dibangun sebuah bangunan seperti istana kecil dan karena wanita yang hidup
seperti ratu itu selain memiliki kecantikan luar biasa juga memiliki ilmu kepandaian silat yang hebat, maka
tidak ada orang berani lancang mendekati pulau itu, kecuali kalau hendak berkunjung dengan keperluan
yang penting.
Pemilik pulau itu, wanita yang hidup seperti ratu, terkenal sekali dengan julukannya, yaitu Bu-eng-kwi (Iblis
Tanpa Bayangan) dan semua orang kang-ouw tahu belaka bahwa Bu-eng-kwi ini adalah seorang wanita
yang memiliki ilmu ginkang yang amat luar biasa, tidak pernah ada yang mampu menandinginya. Karena
ilmu ginkang-nya yang membuat tubuhnya seolah-olah dapat terbang atau menghilang itu, tentu saja dia
merupakan lawan yang amat berbahaya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bu-eng-kwi bernama Ouw Yan Hui, seorang wanita yang sesungguhnya sudah berusia empat puluh enam
tahun atau lebih. Akan tetapi kalau orang bertemu dengan dia, tak mungkin mau percaya bahwa wanita
cantik itu sudah berusia mendekati setengah abad! Wajahnya masih cantik manis, kulit mukanya masih
halus tanpa keriput sedikit pun, pinggangnya masih ramping dan tubuhnya masih padat. Orang akan
menaksir usianya tidak akan lebih dari tiga puluh dua tahun saja!
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui ini adalah seorang janda. Karena suaminya menyeleweng, maka dibunuhnya
suaminya itu dan semenjak itu hatinya patah dan dia menjadi seorang wanita pembenci pria, atau
setidaknya dia mempunyai kesan yang amat buruk terhadap pria di dalam hatinya. Dia tidak pernah
menikah lagi dan bahkan tidak pernah lagi mendekati pria yang amat dibencinya. Hatinya menjadi keras
dan kejam terhadap pria.
Akan tetapi sebagai seorang manusia yang terbuat dari pada darah daging dan memiliki hawa nafsu, maka
tentu saja dia kadang-kadang terserang oleh gairah nafsu. Hal ini membuat dia mulai mendekati sesama
kelamin dan mencari pelepasan nafsu birahinya dengan wanita lain! Dan untuk mencari teman atau lawan
dalam kebutuhan ini, mudah saja baginya karena selain cantik, dia pun amat kaya raya sehingga mudah
saja dia memilih di antara para pelayannya yang muda-muda dan cantik-cantik yang bertugas menemani
dan melayani kebutuhan jasmaninya itu di waktu malam. Demikianlah, dari seorang wanita yang memiliki
gairah birahi yang normal, karena patah hati dan benci kepada pria yang pernah menyakitkan hatinya, Ouw
Yan Hui berubah menjadi seorang wanita yang suka bermain cinta dengan wanita lain, atau yang kita biasa
namakan wanita lesbian.
Karena sikapnya yang benci kepada pria inilah yang membuat para pria tidak berani mendekatinya, biar
pun dia, dalam usia tuanya, masih cantik menarik. Dan Pulau Ular Emas itu pun dijauhi orang karena dunia
kang-ouw sudah tahu bahwa Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui adalah seorang wanita pembenci pria yang amat
berbahaya. Akan tetapi, sejak kurang lebih lima tahun terakhir ini Pulau Kim-coa-to menjadi bahan
percakapan orang dan mulailah orang-orang kang-ouw mendekatinya.
Di situ terdapat suatu daya tarik yang amat luar biasa, yang terdapat dalam diri seorang dara yang luar
biasa cantik jelita! Dara ini menjadi murid Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sejak enam tahun yang lalu, biar pun
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui merupakan seorang wanita yang amat cantik, akan tetapi jika dibandingkan
dengan muridnya ini, dia seolah-olah merupakan sebuah bintang yang mulai pudar karena jauhnya
dibandingkan dengan bulan purnama yang gilang-gemilang!
Memang kekuasaan Tuhan telah demikian bermurah hati kepada dara ini sehingga dia dikarunia
kecantikan yang sukar dicari bandingnya di seluruh jagat! Wajahnya gemilang, rambutnya hitam gemuk
dan panjang berombak, digelung seperti model sanggul puteri istana, dihias taburan permata yang
berkilauan, semerbak harum oleh sari kembang.
Sepasang matanya yang lebar itu amat jernih dan tajam, seolah dapat mengeluarkan ribuan sinar yang
menyaingi permata di atas kepalanya, berkeredepan amat indahnya, dihias bulu mata yang panjang lentik
dan lebat sehingga bulu mata itu membentuk garis hitam melingkari matanya, seperti dilukis saja.
Sepasang alisnya yang asli itu seperti lukisan pula, demikian indah, panjang melengkung dan kecil hitam,
rambut alisnya halus dan rebah teratur dengan rapinya sehingga setiap helai bulu alis itu seperti memiliki
kemanisannya sendiri. Hidungnya kecil mancung, cuping hidungnya tipis dan bentuknya patut, sesuai
dengan mulutnya yang kecil namun dengan bibir yang penuh dan selalu kemerahan, merah asli karena
sehat, merah basah dan bentuknya seperti gendewa terpentang. Dagunya meruncing menambah manis.
Luar biasa memang dara yang cantik jelita ini. Usianya sudah ada dua puluh enam tahun, akan tetapi dia
lebih pantas dinamakan dara remaja berusia delapan belas tahun! Hanya sikap gadis ini, caranya
memandang dan caranya bicara menghadapi orang, menunjukkan kematangannya sebagai seorang
wanita yang sudah dewasa. Demikian cantik jelita, demikian manis, anggun dan agung bagaikan seorang
puteri istana! Dan memang sesungguhnyalah, murid dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui ini adalah seorang
puteri asli, seorang puteri kerajaan. Dia adalah Syanti Dewi, puteri Kerajaan Bhutan!
Dalam cerita KISAH SEPASANG RAJAWALI dan JODOH RAJAWALI sudah diceritakan dengan jelas
tentang Puteri Bhutan ini. Sang Puteri ini mempunyai pertalian cinta kasih yang amat mendalam dengan
pendekar muda perkasa yang berjuluk Si Jari Maut, yaitu Ang Tek Hoat atau lebih tepat kalau disebut Wan
Tek Hoat karena pendekar ini adalah keturunan dari Wan Keng In, putera kandung dari Lulu yang kini
menjadi isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cinta kasih antara mereka berdua mengalami lika-liku yang amat rumit dan perjodohan antara mereka
berdua telah mengalami halangan-halangan yang sangat hebat sehingga sampai beberapa kali mereka
berdua itu saling terpisah. Sudah bertahun-tahun lamanya Sang Puteri ini mengalami kehidupan penuh
bahaya dan sengsara demi kekasihnya, saat dia mencari kekasihnya dan merantau di dunia yang penuh
kekejaman ini seorang diri saja.
Pada pertemuan antara mereka yang terakhir kalinya, kembali hati Sang Puteri ini tertusuk oleh sikap
kekasihnya yang mencurigainya, yang sempat menuduhnya sebagai seorang anak yang hendak
memberontak dan berkhianat terhadap ayahnya sendiri, yaitu Sang Raja Bhutan. Padahal, yang
melakukan perbuatan itu adalah seorang wanita lain yang dipergunakan oleh kaum pemberontak untuk
menyamar sebagai dirinya.
Perlakuan yang diperlihatkan Tek Hoat ini begitu menyakitkan hatinya, sehingga dia meninggalkan pemuda
kekasihnya itu dan mengambil keputusan untuk membiarkan Tek Hoat merana dan sengsara. Dia tidak
akan mau kembali kepada pemuda itu sebelum Tek Hoat datang mencarinya dan minta ampun kepadanya!
Semua ini diceritakan di dalam cerita JODOH RAJAWALI.
Puteri Syanti Dewi lalu melarikan diri ke tempat tinggal subo-nya, atau gurunya, yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yan
Hui. Tentu saja, sebagai seorang wanita lesbian, yang selera seksuilnya sudah berubah seperti selera
seorang pria, Ouw Yan Hui seperti tergila-gila melihat kecantikan Syanti Dewi dan keindahan lekuklengkung
tubuhnya. Namun, Syanti Dewi adalah seorang wanita seratus prosen, oleh karena itu, dia tidak
sudi melakukan permainan cinta yang tidak wajar itu. Bahkan ketika seorang nenek yang masih cantik,
guru dari Ouw Yan Hui dalam hal awet muda yang bernama Maya Dewi, seorang wanita India, hendak
mendekap dan membelainya, mengajak bermain cinta, Syanti Dewi lalu melarikan diri dari pulau itu!
Karena Ouw Yan Hui benar-benar amat mencinta Syanti Dewi, maka setelah Syanti Dewi mau kembali ke
Kim-coa-to, dia berjanji bahwa dia tidak akan lagi mengganggu muridnya itu. Hanya dengan janji inilah
Syanti Dewi mau kembali dan tinggal di pulau itu setelah dia melarikan diri dari Ang Tek Hoat. Dan pada
waktu itu, Maya Dewi telah meninggalkan pulau itu untuk kembali ke negaranya sendiri, meninggalkan ilmu
yang membuat Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi seolah-olah kebal terhadap usia tua dan menjadi tetap awet
muda!
Sampai bertahun-tahun Syanti Dewi tinggal bersama gurunya di pulau itu, mempelajari ilmu ginkang yang
amat tinggi dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sehingga kini Syanti Dewi merupakan seorang wanita ke dua
yang memiliki ginkang amat hebatnya. Ouw Yan Hui amat bangga dengan muridnya yang dikasihinya
seperti anak atau adik sendiri ini, dan mereka hidup rukun serta saling menyayangi di pulau itu bagaikan
seorang ratu dan seorang puteri.
Namun, semenjak nama Syanti Dewi dikenal, pulau itu sering kali menerima kunjungan tokoh-tokoh kangouw
yang terkenal atau bangsawan-bangsawan tinggi, atau hartawan-hartawan yang semua ingin
mempersembahkan milik mereka demi untuk menundukkan hati Syanti Dewi, puteri yang seperti bidadari
cantiknya itu! Nama Syanti Dewi menjadi buah bibir setiap orang pria dan setiap orang yang pernah melihat
senyumnya, tak mungkin dapat melupakannya lagi, bahkan senyum manis itu selalu membayang di depan
mata. Wajah jelita itu selalu menjadi kembang mimpi dan banyaklah pemuda-pemuda perkasa, pemudapemuda
bangsawan, dan hartawan-hartawan besar yang tergila-gila kepada Syanti Dewi.
Meski karena kegagalan cintanya dengan Ang Tek Hoat, Syanti Dewi berubah menjadi agak keras hati
terhadap pria, namun dia bukanlah pembenci pria seperti gurunya. Oleh karena itu, dia tidak menolak
perkenalan dengan para pria tingkat atas itu, bahkan menyambut mereka sebagai sahabat-sahabat dengan
sikap manis. Akan tetapi, setiap pernyataan cinta, setiap sanjungan, setiap pujaan, setiap pinangan, selalu
ditolaknya dengan halus sehingga tidak menyinggung yang ditolaknya, bahkan membuat mereka semakin
tergila-gila! Pendeknya, semenjak beberapa tahun ini, nama Syanti Dewi terkenal sekali di sepanjang
pantai timur, bahkan sampai jauh ke pedalaman dan akhirnya nama itu terdengar pula sampai ke istana
kaisar!
Tentu saja Ouw Yan Hui sendiri tidak sudi menemui para pria itu, akan tetapi dia juga tidak tega untuk
melarang muridnya menerima kunjungan para pria tingkat atas itu, dan jika Syanti Dewi dikelilingi pria-pria
muda yang rupawan dan seolah-olah berebut untuk menundukkan hati puteri juwita ini, Ouw Yan Hui yang
merasa sebal lalu mencurahkan semua ketidak senangan hatinya dengan hiburan yang biasa
dilakukannya, yaitu dia lari ke dalam pelukan lembut wanita-wanita pelayan yang biasa menjadi
kekasihnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Pulau Ular Emas kini seolah-olah menjadi ramai akan kunjungan perahu-perahu besar yang mewah dan
indah. Para pemuda yang tergila-gila itu ada yang mendatangkan ahli-ahli bermain musik, penari dan
penyanyi-penyanyi yang kenamaan untuk mengadakan hiburan di tempat itu, yang tentu saja kesemuanya
ditujukan untuk menarik hati Syanti Dewi. Juga di dalam gudang-gudang istana Ouw Yang Hui bertumpuk
banyak barang-barang hadiah yang berharga, yang seolah-olah dilimpahkan tanpa mengenal hitungan oleh
para pemuda itu di depan kaki Syanti Dewi. Namun sang puteri itu hanya membalas dengan senyum
manis, senyum yang demikian gemilangnya sehingga untuk sebuah senyum kiranya setiap orang pemuda
rela untuk bertekuk lutut!
Saking terkenalnya nama Syanti Dewi, sampai-sampai para sastrawan tertarik untuk mengunjungi pulau itu
dan di antara mereka terdapat seorang sastrawan ahli lukis dan ahli sajak yang bernama Pouw Toan.
Sastrawan ini sudah berusia lima puluh tahun, dan ketika perahu kecilnya mendarat di Kim-coa-to, para
penjaga memandangnya penuh curiga. Biasanya, yang melakukan pendaratan dan kunjungan di pulau itu
hanyalah pemuda-pemuda yang rupawan dan gagah perkasa, yang datang membawa kesan yang nampak
dari sikap mereka yang gagah perkasa dari seorang ahli silat, atau dari perahu mereka yang mewah dan
pakaian mereka yang indah dari seorang hartawan, atau dari pengawal-pengawal dan sikap angkuh
seorang bangsawan. Akan tetapi kakek ini berperahu kecil, berpakaian sederhana, dan sudah tua lagi. Apa
yang diharapkan dari seorang kakek seperti itu? Maka, seorang di antara para penjaga yang diadakan oleh
Syanti Dewi setelah tempat itu sering dikunjungi orang, cepat menghampiri dan menegur.
“Lopek, mau apakah engkau mendaratkan perahumu di sini? Dilarang untuk mencari ikan ditepi pulau ini!”
Kakek Pouw Toan tersenyum. Harus diakui bahwa kakek berusia lima puluh tahun ini pernah menjadi
seorang pria yang tampan sekali, dan hal ini nampak jelas ketika dia tersenyum.
“Sahabat, seperti juga para pendatang lain, aku ingin sekali berjumpa dengan Nona Syanti Dewi.”
Beberapa orang penjaga sudah mendekati tempat itu dan mereka tertawa mendengar kata-kata ini. Biar
pun pria ini tampan, akan tetapi dia sudah tua dan miskin! Mau apa hendak bertemu dengan Siocia, pikir
mereka.
“Ehh, orang tua. Siocia kami tidak pernah menerima kunjungan orang-orang tua! Yang menjadi tamutamunya
adalah pemuda-pemuda perkasa, pemuda-pemuda bangsawan atau pemuda-pemuda hartawan.
Lebih baik engkau lekas pergi dari sini, kalau sampai Toanio majikan pulau ini mendengar tentang
kedatanganmu, tentu dia akan marah dan nyawamu tidak akan tertolong lagi.”
Yang dimaksudkan oleh para penjaga dengan toanio itu bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui. Kalau
Syanti Dewi yang mereka sebut siocia itu merupakan seorang yang amat mereka sayang dan hormati
karena sikapnya yang ramah-tamah dan lemah lembut terhadap semua orang, sebaliknya Ouw Yan Hui
amat mereka takuti karena memang wanita ini selalu bersikap dingin dan galak terhadap para pria,
termasuk para penjaga itu.
Kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha, dunia memang penuh kepalsuan. Penghargaan terhadap manusia dinilai dari
lahirnya, bukan batinnya. Sahabat, kalian bermaksud baik, maka aku berterima kasih atas nasehat kalian.
Akan tetapi, aku mempunyai suatu hal yang perlu kusampaikan kepada Nona Syanti Dewi. Maukah engkau
menyampaikan hal ini kepadanya?” Tanpa menanti jawaban, kakek itu lalu mengeluarkan sebuah kipas
yang permukaannya terbuat dari kertas putih bersih. Lalu dia mengeluarkan alat tulis dan dengan gerakan
yang cekatan sekali dia mencorat-coret di atas kipas itu.
Para penjaga memandang dan melongo penuh kekaguman ketika melihat betapa corat-coret itu
merupakan tulisan huruf-huruf yang amat indah dan dilihat dari jauh merupakan sebuah petak rumput
dengan bunga-bunganya mencuat di sana-sini. Dan bukan hanya huruf-hurufnya yang indah, akan tetapi
bahkan huruf-huruf itu tersusun merupakan sebuah sajak yang rapi pula!
“Nah, inilah pesanku itu, harap kalian suka menyampaikan kepada Siocia kalian.”
Seorang di antara para penjaga itu, yang berkumis lebat, mengerutkan alisnya dan menghampiri sambil
bertolak pinggang, lalu membentak, “Ehhh, engkau ini tua bangka tidak tahu diri! Bercerminlah dulu
sebelum engkau berani menulis surat cinta kepada Siocia! Lagakmu seperti seorang pemuda saja, pakai
hendak mengirim surat cinta kepada Siocia!” Bentakan ini disambut suara ketawa penjaga lainnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu juga tersenyum, kemudian dengan alat tulisnya dia mencorat-coret di atas ujung perahunya.
Semua orang memandang terpesona dan kembali mereka terbelalak memandang corat-coret yang
agaknya dilakukan secara sembarangan itu ternyata telah membentuk wajah penjaga berkumis lebat itu,
mirip sekali sehingga sekali pandang saja semua orang mengenal wajah Si Kumis Lebat, lengkap dengan
kumisnya yang pada gambar di atas papan perahu itu bahkan nampak lebih menyeramkan dari pada
aslinya.
Sastrawan tua itu tersenyum ketika dia mengangkat muka memandang kepada penjaga berkumis yang
menegurnya tadi, sambil berkata, “Nah, sudah kucatat baik-baik gambar wajahmu agar mudah kulaporkan
kelak kepada penghuni pulau ini siapa di antara para penjaga yang bersikap kasar terhadap seorang
tamu.”
Mendengar ini, tiba-tiba wajah penjaga berkumis tebal itu berubah ketakutan. Memang siapakah yang tidak
takut membayangkan bahwa jangan-jangan sastrawan sederhana ini adalah seorang kenalan baik Toanio
dan kalau betul demikian halnya dan kakek ini melaporkan kepada Toanio, dia tentu akan celaka! Maka
cepat Si Kumis Tebal itu menjura kepada sastrawan itu sambil berkata, “Harap Tuan sudi memaafkan
kelakar kami tadi.... dan kalau Tuan menghendaki, biarlah saya menyampaikan pesan Tuan kepada
Siocia....“
“Nah, itu baru seorang petugas yang baik, seorang penjaga yang gagah perkasa seperti harimau!” kata
sastrawan itu dan kembali dengan alat tulisnya dia mencorat-coret ke arah lukisan wajah penjaga itu dan
semua orang memandang kagum karena kini lukisan itu berubah menjadi kepala seekor harimau yang
bagus sekali!
Penjaga berkumis lebat itu tidak berani main-main lagi, cepat diterimanya kipas yang sudah ditulisi itu
dengan hormat sambil berkata, “Saya akan menyampaikan kipas ini kepada Siocia.”
“Dan aku akan menanti balasannya di sini,” kata sastrawan itu sambil mengeluarkan sebungkus roti kering
dan seguci arak, kemudian duduklah dia di kepala perahunya sambil makan roti, minum arak dan
bersenandung kecil, kelihatannya riang dan gembira sekali.
Pada pagi hari itu, Syanti Dewi sedang duduk di dalam taman bunga bersama gurunya yaitu Bu-eng-kwi
Ouw Yan Hui, menghadapi sarapan pagi di dalam taman yang indah itu, dilayani oleh para pelayan yang
cantik muda dan berpakaian bersih rapi. Taman itu memang indah sekali, dibangun oleh Syanti Dewi
sendiri yang mendatangkan berbagai macam bunga dari daratan untuk ditanam di pulau itu. Mereka duduk
di bangunan kecil di tepi danau buatan yang penuh dengan ikan-ikan emas beraneka macam dan warna,
yang nampak berenang ke sana kemari di dalam air yang amat jernih itu. Jembatan-jembatan kecil dicat
indah dan nyeni menambah semarak pemandangan di taman dan batang-batang pohon yang-liu yang
lentik itu menari-nari tertiup angin pagi yang lembut.
“Dewi.” kata Ouw Yan Hui dengan halus. Dia selalu menyebut Dewi kepada muridnya itu, dan tak pernah
dia bosan untuk memandang wajah yang jelita itu.
Ouw Yan Hui biasanya bersikap dingin dan kasar angkuh kepada orang lain, akan tetapi terhadap Syanti
Dewi dia bersikap lembut dan manis budi. “Kabarnya hari ini pangeran akan datang mengunjungi pulau
kita, benarkah?”
“Benar, Enci Hui.” Syanti Dewi biasa menyebut gurunya itu Enci dan hubungan mereka memang lebih mirip
antara kakak dan adik dari pada guru dan murid. “Kemarin seorang pengawalnya telah menyampaikan
berita itu.”
“Dewi, sahabatmu itu adalah seorang pangeran mahkota yang kelak akan menjadi kaisar! Dan kulihat
hubungan antara kalian demikian akrab. Hemm, dari pada engkau dikelilingi begitu banyak pria muda,
apakah tidak lebih baik kalau menentukan pilihanmu sekarang juga? Dan kurasa, sudah paling tepatlah
kalau engkau memilih pangeran itu. Bayangkan saja kelak engkau menjadi permaisuri dan....“
“Enci Hui, harap jangan sebut-sebut tentang hal itu!” Syanti Dewi memotong dengan alis agak berkerut,
meski wajahnya masih tetap berseri dan senyumnya masih membayang di bibirnya yang merah basah dan
sudah begitu segar nampaknya di pagi hari itu.
Kini Ouw Yan Hui yang memandang kepada dara itu dengan alis berkerut dan sinar matanya serius. “Dewi,
marilah kita bicara dari hati ke hati secara terbuka saja karena yang kita akan bicarakan ini menyangkut
dunia-kangouw.blogspot.com
masa depan dari kehidupanmu. Tidak perlu kusebutkan lagi karena engkau sudah mengenalku, bahwa aku
pribadi tidak sudi berdekatan dengan pria, apalagi menjadi isteri. Akan tetapi engkau lain lagi. Engkau
menentang sikap hidupku dan engkau mengatakan bahwa sekali waktu engkau tentu akan menjadi isteri
seorang pria. Nah, usiamu sudah dua puluh enam tahun dan selagi sekarang terbuka kesempatan yang
amat baik ini, mengapa engkau masih hendak bertahan? Kalau memang engkau suka hidup sebagai isteri
orang, sekaranglah saatnya dan pangeran mahkota itulah orangnya yang patut menjadi suamimu.
Bayangkan, kelak engkau menjadi permaisuri. Hemm, bahkan aku sendiri pun yang tidak suka kepada pria
akan ikut merasa bangga disebut seorang kakak angkat dari permaisuri!”
“Enci, lupakah kau bahwa aku selalu menganggap perjodohan itu hanya mungkin apa bila terdapat cinta
kasih disitu? Apakah kau kira aku akan serendah itu, menikah dengan seorang pria hanya berdasarkan
kedudukan belaka? Ingat, di Bhutan aku pun adalah seorang puteri tunggal Raja Bhutan!”
“Hemm, apa artinya kedudukanmu di Bhutan kalau dibandingkan dengan menjadi permaisuri kaisar? Dewi,
apa artinya cinta kasih? Apa kau kira ada cinta kasih dalam hati seorang pria? Huh, aku tidak percaya itu!
Pria hanya mempunyai nafsu birahi, nafsu binatang, dan selalu hanya ingin memuaskan nafsunya terhadap
wanita, selalu ingin mempermainkan wanita sampai akhirnya dia menjadi bosan dan mencari wanita baru
yang lain! Kalau engkau dapat menjadi permaisuri dari sebuah pernikahan, tidak peduli Kaisar yang
menjadi suamimu itu kelak mengumpulkan seribu orang selir, tetap saja engkau sudah memperoleh
kedudukan dan kekuasaan tertinggi bagi seorang wanita, dan....“
“Cukup, Enci. Aku tidak mau lagi bicara tentang itu! Kau tahu, Pangeran Kian Liong hanya menjadi sahabat
baikku, kami saling cocok dan saling suka, saling menghormat, sama sekali tidak ada perasaan seperti
yang kau maksudkan itu....”
“Hi-hi-hik, kau kira aku ini anak kecil, Dewi? Aku bisa melihat jelas betapa pada sinar matanya terdapat
kekaguman dan gairah birahi....“
“Usianya baru delapan belas tahun, aku jauh lebih tua....“
“Apa salahnya? Melihat wajahmu, engkau lebih pantas dikatakan baru berusia delapan belas tahun! Dan
perbedaan usia itu malah akan membuat engkau lebih mudah untuk mengatasinya.”
“Sudahlah, kau tahu, Enci. Aku tidak akan menikah dengan siapa pun juga, betapa pun kaya raya dan
berkuasanya pria itu, kecuali dengan pria yang kucinta.”
“Tek Hoat itu lagi, ya? Betapa bodohnya engkau....”
“Tidak! Dia sudah kuhapus dari dalam lubuk hatiku. Setelah bertahun-tahun ini dia tidak muncul, aku mulai
percaya bahwa dia memang berhati palsu!”
Ouw Yan Hui tertawa lagi. “Bukan hanya dia, semua laki-laki di dunia ini berhati palsu! Karena itu aku lebih
suka berdekatan dengan sesama wanita yang memiliki kelembutan, baik jasmani mau pun rohaninya.
Dunia ini seharusnya dikuasai wanita dan semua pria sebaiknya dibinasakan saja!”
Pada saat mereka berdua tertawa santai terbebas dari percakapan tentang hal yang mendatangkan
kenangan tidak menyenangkan dalam hati Syanti Dewi itu, muncullah penjaga berkumis lebat. Melihat
bahwa Siocia berada di dalam taman bersama Toanio, wajahnya menjadi pucat dan cepat-cepat dia
menjatuhkan diri berlutut ketika Ouw Yan Hui menoleh dan memandang kepadanya.
“Harap Toanio sudi mengampuni saya yang berani lancang masuk ke sini, karena saya tidak tahu bahwa
Toanio di sini.”
Syanti Dewi yang maklum akan tabiat gurunya yang membenci kaum pria dan mudah menjatuhkan tangan
kejam terhadap pria yang bersalah sedikit saja, cepat berdiri menghampiri pria penjaga itu dan bertanya
dengan sikap ramah, mendahului Ouw Yan Hui yang sudah memandang dengan alis berkerut kepada pria
berkumis lebat itu.
“Ada keperluan apakah engkau datang ke sini?”
“Maaf, Siocia. Di pantai pulau ada seorang sastrawan berusia kurang lebih lima puluh tahun yang
bermaksud berjumpa dengan Siocia....”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapa dia? Apa keperluannya?” tanya Syanti Dewi.
“Usir dia pergi!” bentak Ouw Yan Hui, suaranya melengking marah hingga mengejutkan Si Penjaga
berkumis tebal yang masih berlutut.
“Saya.... sudah berusaha mengusirnya.... akan tetapi dia menuliskan sesuatu di atas kipas ini dan minta
untuk disampaikan kepada Siocia....“ Cepat-cepat dia mengeluarkan kipas itu dari saku bajunya.
“Keparat, berani kau....?”
Penjaga itu terkejut bukan main karena yang nampak hanya berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu dia
merasa kepalanya seperti disambar petir dan tubuhnya terlempar dan bergulingan. Saat dia merangkak
bangkit duduk, dengan kedua tangan dia cepat-cepat memegangi kepalanya untuk memastikan apakah
kepalanya tidak copot dan masih menempel pada lehernya! Ternyata di dalam kemarahannya tadi Ouw
Yan Hui sudah menendangnya, dan dengan sama cepatnya Syanti Dewi telah mengambil kipas itu dan
selanjutnya nona yang jelita ini menyabarkan gurunya.
“Enci, dia hanya petugas, harap ampuni dia,” kata Syanti Dewi yang segera membuka kipas itu dan
membacanya. Sepasang mata yang indah itu bersinar-sinar, mulut yang manis sekali itu tersenyum dan
kedua pipinya menjadi merah ketika dia membaca sajak yang ditulis dengan huruf-huruf biasa yang amat
indahnya itu.
Kembang indah jelita nan cantik menarik
datangnya kumbang-kumbang beterbangan
membuat banyak tangan ingin memetik
banyak pria berlomba bersaing!
Aku, sastrawan tua pengagum segala nan indah
hanya ingin menikmati dengan pandangan mata
sebelum kembang jelita dilayukan usia!
Kasihan kumbang, belum kenyang madu tertusuk duri!
Kasihan kembang, habis madu layu sendiri!
“Di mana dia sekarang?” Syanti Dewi bertanya kepada penjaga yang masih berlutut dan mandi keringat
karena ketakutan itu. Kumisnya nampak miring dan sama sekali tidak membayangkan kegalakan lagi.
“Dia.... menanti.... di dalam perahunya, Siocia,” jawabnya dengan lirih dan matanya mengerling ketakutan
ke arah Ouw Yan Hui.
“Kau persilakan dia menanti di ruangan tamu, aku akan menemuinya,” kata Syanti Dewi dengan halus.
“Nah, pergilah!”
Penjaga itu merasa lega sekali. Cepat dia bangkit dan memberi hormat, kemudian dengan penuh
penghormatan dia menjura ke arah Ouw Yan Hui. “Terima kasih atas pengampunan Toanio....“ Dan
pergilah dia dengan cepat-cepat meninggalkan taman indah akan tetapi baginya seperti neraka
menakutkan itu.
“Enci, dia itu hanya seorang sastrawan tua yang tulisannya indah syairnya bagus sekali. Aku mau
menemuinya.”
Ouw Yan Hui bangkit berdiri, sejenak memandang kepada puteri itu, lalu membuang muka dan
mendengus. “Huhh! Segala tua bangka menjemukan....!” Dan dia pun pergi meninggalkan Syanti Dewi
dengan wajah cemberut.
Syanti Dewi yang sudah mengenal watak gurunya itu hanya tersenyum saja. Gurunya itu memang tidak
suka kepada pria, akan tetapi dia tahu bahwa wanita itu amat sayang kepadanya dan tidak akan merintangi
kehendaknya. Maka dia pun cepat-cepat pergi meninggalkan taman untuk memasuki bangunan seperti
istana itu.
“Siapa namamu?” begitu bertemu dengan sastrawan tua yang masih menanti di perahu itu, penjaga
berkumis membentak. Dia masih merasa marah karena telah dihadiahi tendangan oleh toanio dan karena
hal ini adalah gara-gara munculnya sastrawan ini maka dia menjadi marah kepada sastrawan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sastrawan tua itu tersenyum dan membungkuk. “Namaku Pouw Toan, hanya seorang sastrawan perantau.
Bagaimana, apakah Nonamu telah menerima pesanku dalam kipas?”
“Dengarlah, orang she Pouw!” kata penjaga itu dengan mata merah serta telunjuknya menuding ke arah
hidung sastrawan itu. “Kalau engkau tidak menceritakan yang baik-baik tentang aku di depan Siocia agar
aku mendapat hadiah, ingat, kalau engkau kembali tentu akan kubikin lukisan di mukamu dengan kedua
kepalan tanganku ini!” Dia mengamangkan tinjunya yang besar kepada sastrawan itu. “Gara-gara
kedatanganmu aku telah kena marah oleh Toanio!”
Sastrawan itu tersenyum, “Aiihhh, kiranya aku telah menyusahkanmu, sobat. Jangan khawatir, setelah aku
berhasil bertemu dengan Siocia-mu, kalau pulang aku tentu akan memberi hadiah kepadamu. Nah,
sekarang antarkan aku kepada Siocia-mu.”
Penjaga itu lalu mengantarkan Pouw Toan menuju ke ruangan tamu di samping istana yang megah itu.
“Kau tunggu di sini, demikian pesan Siocia tadi,” kata Si Penjaga lalu meninggalkan Pouw Toan seorang
diri di dalam ruangan tamu yang luas itu.
Pouw Toan memeriksa keadaan kamar tamu yang cukup luas itu dengan hati tertarik. Sebagai seorang
sastrawan, tentu saja dia kagum sekali melihat ruangan tamu yang dihias dengan amat menyenangkan itu,
dengan warna-warna sejuk pada dinding yang digantungi lukisan-lukisan indah. Akan tetapi dia tertarik
sekali akan serangkaian tulisan indah di sudut ruangan, dan dia berdiri seperti patung di depan tulisan ini,
dengan alis berkerut dan dia masih berdiri seperti itu ketika Syanti Dewi muncul dari dalam pintu yang
tertutup tirai hijau muda.
Melihat seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun berdiri di depan tulisan itu dengan alis berkerut dan
agaknya tertarik sekali sehingga tidak melihat dia muncul, Syanti Dewi tersenyum. Dia tertarik melihat pria
yang tidak seperti para pengunjungnya yang lain itu. Biasanya, di kamar tamu ini dia menerima kunjungan
orang-orang muda yang menarik dan dengan pakaian serba indah seolah-olah bergaya dan bersaing. Tapi
pria ini sudah setengah tua dan pakaiannya sederhana saja, seperti pakaian orang yang miskin.
“Pamankah yang ingin bertemu dengan aku?” Syanti Dewi akhirnya menegur karena pria itu seperti
terpesona oleh tulisan-tulisan di dinding.
Pouw Toan menengok dan sejenak dia terbelalak memandang dara yang berdiri tak jauh di depannya.
Sudah banyak dia mendengar nama puteri yang berada di Kim-coa-to ini sehingga amat menarik hatinya
dan membuatnya datang singgah di pulau itu untuk menyaksikan sendiri seperti apa puteri yang
dikabarkan orang seperti bidadari dari sorga itu. Dan setelah kini dia berhadapan, dia terpesona dan
tercengang karena dia seolah-olah melihat Kwan Im Pouwsat sendiri berdiri di depannya. Kecantikan dara
ini sungguh jauh melampaui apa yang didengarnya dalam berita angin itu. Kecantikan yang luar biasa
sekali! Sepasang matanya seperti orang dahaga bertemu dengan air jernih, menghirup dan meneguk
keindahan di depannya itu sepuasnya!
“Nona, yang dikabarkan sebagai bidadari Kim-coa-to dan bernama Syanti Dewi itu?”
Syanti Dewi mengangguk dan tersenyum. Dia merasa aneh sekali. Sudah biasa dia disanjung dan dipuji
oleh bibir-bibir para pria muda, bahkan dengan kata-kata sanjungan yang berlebihan, tetapi anehnya,
ucapan yang keluar dari mulut kakek ini membuat dia merasa senang, bangga dan jantungnya berdebar.
Mengapa?
Mungkin karena kata-kata dan sikap pria ini begitu jujur, bukan seperti sanjungan para muda yang penuh
dengan lagak dan jelas membayangkan pamrih bersembunyi di balik sanjungan itu. Akan tetapi pria ini
tidak demikian.
“Ah, Paman, berita itu hanya isapan jempol belaka. Mana mungkin seorang manusia biasa seperti aku
dibandingkan dengan seorang bidadari?”
Kakek itu menarik napas panjang, masih terpesona. “Kau keliru! Engkau malah melebihi yang dibayangkan
orang, engkau lebih dari seorang bidadari! Engkau tahu, seorang bidadari hanya suatu gambaran yang
tanpa cacat, sebaliknya engkau adalah seorang manusia berikut cacat-cacatnya, karena itu jauh lebih
mempesona dari pada sekedar gambaran kosong belaka!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Heran sekali, ucapan ini jelas-jelas mengandung pujian yang disertai celaan tentang kecantikannya, akan
tetapi Syanti Dewi malah merasa girang! Dia merasa kembali menjadi manusia biasa bertemu dengan
kakek ini.
“Silakan duduk, Paman dan katakanlah apa cacat-cacatku? Engkau tentu tahu bahwa sebagai manusia
biasa, aku pun tidak pandai melihat cacat-cacat sendiri sungguh pun aku pandai melihat cacat-cacat lain
orang.”
Kakek itu duduk dan mengangguk-angguk. “Hemm, selain kecantikan engkau memiliki kebijaksanaan pula,
Nona. Cacat-cacatmu ialah bahwa di balik kecantikanmu itu engkau mengandung kedukaan yang
mendalam yang kau coba sembunyikan di balik senyum manis dan sinar mata yang seindah bintang. Dan
selain kedukaan ini, juga engkau menaruh dendam besar, hal itulah yang merusak kecantikanmu. Akan
tetapi cacat-cacat itu malah menghidupkanmu, bukan hanya sekedar gambar bidadari, melainkan seorang
manusia berikut kelebihan dan kekurangannya. Sayang cacat-cacatmu itulah yang kini menciptakan
kepedihan dalam hidupmu, Nona.”
Diam-diam Syanti Dewi terkejut dan memandang tajam penuh selidik, karena merasa tepatnya ucapan itu.
“Engkau seorang ahli peramal?”
“Ha-ha-ha!” Melihat kakek itu tertawa, Syanti Dewi merasa makin tertarik karena ketawa itu begitu wajar
sehingga dia pun ikut tertawa dan bergembira, seperti sinar matahari memasuki ruangan itu yang biasanya
lembab oleh sikap Ouw Yan Hui yang selalu muram dan dingin. “Nona, segala peramal itu hanya omong
kosong belaka. Aku dapat membaca keadaan batinmu dari wajahmu, bukankah wajah adalah cermin dari
keadaan hati seseorang?”
“Paman, siapakah engkau?”
“Namaku Pouw Toan, aku seorang sastrawan tua yang tidak tinggal di tempat tertentu, selalu merantau
untuk menikmati keindahan alam semesta.”
“Paman Pouw, ketika aku memasuki ruangan ini, kulihat engkau amat memperhatikan tulisan di dinding itu.
Mengapa?” Syanti Dewi memandang karena tulisan di dinding itu yang sebetulnya adalah buatannya
sendiri! “Apakah tulisan itu buruk?”
Pouw Toan menoleh ke arah tulisan itu. “Buruk? Tidak, tulisan wanita itu cukup halus dan indah, akan
tetapi bunyi tulisannya itulah yang palsu dan buruk!”
Diam-diam Syanti Dewi terkejut dan penasaran. “Ahh, aku menganggap tulisan itu benar dan baik,
mengapa kau katakan palsu dan buruk? Kurasa engkau bukanlah termasuk orang yang hanya pandai
mencela tanpa dapat mengemukakan alasannya.”
“Tentu saja! Coba kubaca tulisan itu!” Dia lalu bangkit berdiri, menghadapi tulisan itu lalu membaca dengan
suara latang dan iramanya bagus seperti bernyanyi.
Cinta membutakan mata menulikan telinga
pedih perih nyeri merobek-robek hati,
Akan tetapi mengapa seluruh raga dan jiwa
selalu mendambakan cinta?
Pouw Toan kemudian membalikkan tubuhnya menghadapi Syanti Dewi yang diam-diam merasa terharu
mendengar cara kakek itu membacakan sajaknya, demikian indah terdengar dan belum pernah selamanya
dia mendengar ada orang mampu membaca sajaknya dengan irama sedemikian cocok, tepat dan
indahnya. Hatinya seperti merasa tersentuh dan keharuan membuat kedua matanya terasa panas dan
basah air mata karena mendengar suara kakek itu hatinya terasa seperti terobek-robek mengenangkan
nasib dirinya dalam cinta yang gagal.
“Isi sajak ini sangat buruk dan palsu, harus diubah sama sekali karena hanya akan mendatangkan
kedukaan dan keharuan, dan sama sekali mengandung gambaran yang sama sekali salah tentang cinta
kasih!” kakek itu berkata-kata, nada suaranya penuh rasa penasaran. Perasaannya ini seperti yang
dirasakan oleh seorang pelukis melihat lukisan yang buruk, atau seorang ahli musik mendengarkan musik
yang sumbang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Syanti Dewi sudah dapat menguasai perasaannya lagi yang kini menjadi penasaran. Kakek itu dapat
membaca sajaknya sedemikian indah penuh perasaan, akan tetapi mengapa malah mencela habishabisan?
Timbul keinginan tahunya.
“Paman Pouw, kalau begitu, cobalah kau ubah sajak itu bagaimana baiknya.”
Kakek itu menggeleng kepalanya. “Kau kira aku ini orang macam apa Nona. Aku tidak berani selancang
itu. Mengubahnya tanpa ijin berarti menghina penulisnya!”
Syanti Dewi tersenyum. “Jangan khawatir, Paman, aku telah memberi ijin dan akulah penulisnya.”
“Ahh....!” Kakek itu nampak tercengang akan tetapi tidak minta maaf! Dan hal ini makin menarik hati Syanti
Dewi karena kakek itu ternyata selain jujur, juga tidak mempunyai sifat penjilat seperti semua pemuda yang
pernah mengunjunginya.
“Di atas meja di sudut sana itu ada kotak terisi alat-alat tulis, harap kau suka berbaik hati untuk
membetulkan dan merubahnya, Paman.”
Akan tetapi Pouw Toan sudah mengeluarkan alat tulisnya sendiri dari saku bajunya yang besar. “Seorang
pendekar tak pernah terpisah dari pedangnya, dan seorang sastrawan tak pernah berpisah dari alat
tulisnya. Kalau Nona sudah mengijinkan, nah, biar kurubah tulisan ini!”
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menggosok bak dan mendekati kain yang terisi tulisan indah dari
Syanti Dewi, kemudian tanpa ragu-ragu lagi dia menggerakkan alat tulisnya di atas kain putih itu. Mulamula
dia mencoret huruf-huruf itu dengan coretan dari atas ke bawah, coretan kasar namun tarikannya
mengandung tenaga yang halus sehingga coretan itu nampak ‘hidup’, sama sekali tidak membuat buruk
tulisan itu, bahkan seperti menjadi bayangan yang menghiasinya! Kemudian, di tempat yang masih kosong
dia menuliskan beberapa buah huruf, dilakukan dengan cepat akan tetapi huruf-huruf yang tercipta di situ
sungguh amat indah dan hidup membuat Syanti Dewi terbelalak memandang penuh kagum. Sajak baru
yang dibuat di samping sajak lama yang dihias coretan itu singkat-singkat sekali, setiap baris hanya terdiri
dari satu huruf saja!
Api....?
Asap....!
Abu....!
Cinta....?
Kepuasan....!
Kesenangan....!
Akhirnya....?
Kecewa....!
Sengsara....!
Benci....!
Aku ada Cinta tiada!
Setelah selesai menuliskan sajak yang terdiri dari huruf-huruf singkat itu, Pouw Toan menyimpan kembali
alat tulisnya, sedangkan Syanti Dewi masih menatap tulisan itu dan membacanya berkali-kali. Hanya
sebuah huruf setiap baris, akan tetapi huruf-huruf itu demikian jelas menusuk perasaan, mendatangkan
kesan mendalam dan menimbulkan pengertian yang lengkap. Namun dia masih penasaran!
“Akan tetapi, Paman Pouw. Kenapa orang mencinta tak boleh mengharapkan kepuasan dan kesenangan?
Bukankah kita mencinta dikarenakan tertarik oleh suatu kebaikan tertentu?”
Mereka sudah duduk kembali saling berhadapan, menghadapi poci dan cawan teh harum yang
dihidangkan oleh pelayan yang sudah disuruh pergi lagi oleh Syanti Dewi.
Pouw Toan menghirup teh harum kental itu, lalu menjawab, “Mencinta karena tertarik oleh suatu kebaikan
merupakan cinta yang hanya ingin menyenangkan diri sendiri. Dasarnya adalah ingin menyenangkan diri
sendiri melalui sesuatu yang menarik dan dianggap kebaikan itu. Kebaikan itu boleh saja merupakan wajah
tampan menarik, atau harta berlimpah-limpah, atau kedudukan tinggi, dan semua itu dianggap menarik dan
menyenangkan....”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tetapi bisa saja kebaikan itu berupa sifat-sifat baik dari orang yang dicinta, kegagahan misalnya,
kebijaksanaan atau sifat-sifat budiman....,“ bantah Syanti Dewi.
“Tiada bedanya. Sifat-sifat yang dianggap baik dan akan mendatangkan kesenangan, kebanggaan dan
sebagainya. Akan tetapi kita lupa bahwa setiap orang manusia itu kalau sudah dinilai, sudah pasti
mengandung dua sifat bertentangan, ada baik tentu ada buruknya. Mencinta dengan dasar ketampanan,
padahal ketampanan itu dapat pudar, dapat lenyap dan dapat berkurang menurut suasana hati yang
memandangnya. Kalau ketampanannya sudah pudar, lalu ke mana perginya cinta? Dengan dasar
kekayaan, kedudukan, kejantanan atau apa saja pun sama pula, begitu yang menjadi pendorong cinta itu
pudar atau lenyap maka cintanya turut lenyap. Dan harus diingat lagi bahwa hal-hal yang dianggap baik
dan menyenangkan itu hanya dianggap demikian karena belum tercapai oleh kita, akan tetapi apabila
sudah berada di tangan kita, biasanya muncul penyakit bosan dan segala keindahan itu sudah tidak
nampak sebaik sebelum terdapat!”
Syanti Dewi memejamkan mata. Di dalam kepala yang berbentuk indah itu, otaknya sedang bekerja keras
sekali. Nampaklah olehnya betapa kadang-kadang dia menjadi benci sekali kepada Tek Hoat kalau dia
mengingat akan sikap-sikap Tek Hoat yang tidak menyenangkan hatinya, cintanya berubah benci! Nampak
jelas olehnya betapa kalau Tek Hoat melakukan hal-hal yang dianggapnya baik dan menyenangkan,
cintanya berkobar-kobar, tetapi sebaliknya kalau Tek Hoat melakukan hal-hal yang dianggapnya buruk dan
tidak menyenangkan, cintanya melayu dan muncullah kebencian.
Dia membuka mata dengan penuh kengerian di dalam hatinya. Seperti itukah cintanya terhadap Tek Hoat?
Hanya berdasarkan menyenangkan dirinya sendiri? Dia bergidik!
“Paman Pouw.... Paman.... katakanlah, kalau begitu.... apa dan bagaimana cinta kasih itu?” Suaranya lirih
seperti memohon, pandang matanya sayu.
Sejenak sastrawan itu terpesona. Belum pernah dia melihat kelembutan dan kecantikan seperti ini. “Nona...
ehh... aku memohon padamu... bolehkah aku melukis wajahmu....?” Dia pun berbisik.
Sikap kakek ini membuat Syanti Dewi tersenyum dan keharuannya pun membuyar. Sikap dan bisikan
kakek itu mirip dengan sikap para muda, hanya perbedaannya yang teramat besar, kalau pemuda-pemuda
itu membujuknya untuk dilayani atau dibalas cinta mereka, kakek ini sebaliknya membujuk untuk
diperbolehkan melukis wajahnya!
“Tentu saja, Paman, Akan tetapi lebih dulu aku minta Paman menjawab pertanyaanku tadi.”
“Apa dan bagaimana cinta kasih itu? Ahh, Nona, mana mungkin manusia biasa macam kita dapat
menggambarkan bagaimana adanya cinta kasih itu? Sama dengan harus menggambarkan bagaimana
adanya Tuhan itu! Yang penting bagi kita, Nona, adalah kita tahu apa sesungguhnya yang bukan cinta itu!
Selama ada si aku yang ingin disenangkan melalui orang yang kita cinta, maka mana mungkin ada cinta
kasih? Yang ada tentulah hanya kekecewaan, kedukaan, kebencian dan permusuhan belaka!”
Syanti Dewi tidak berani bicara lagi tentang cinta. Kini baru terbuka matanya, betapa sesungguhnya cinta
kasih merupakan hal yang amat agung dan pelik, yang tidak mudah dibicarakan dan dipikirkan begitu saja.
Yang biasa kita pikirkan dan bayangkan adalah cinta yang sesungguhnya hanyalah keinginan untuk
menyenangkan diri kita dengan menggunakan sampul yang kita namakan cinta.
Senang sekali Syanti Dewi bercakap-cakap dengan sastrawan itu. Setiap kata-katanya mengandung
makna mendalam. Maka mulailah dia dilukis. Dia cuma diminta duduk dan bercakap-cakap seperti biasa
saja, dan kakek itu setelah menerima sehelai kain putih yang bersih dan kuat, lalu mulai melukisnya, sambil
omong-omong pula! Maka Syanti Dewi tidak lelah dan hanya duduk santai saja seperti biasa kalau dia
bercakap-cakap.
Banyak hal yang dibicarakan. Syanti Dewi teringat akan pengakuan kakek itu yang tidak mempunyai
tempat tinggal tertentu dan seorang perantau yang menikmati keindahan alam semesta.
“Kau tentu miskin sekali, Paman?”
Kakek itu terbelalak memandang Sang Puteri lalu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, justru sebaliknya, Nona.
Aku merasa bahwa aku adalah orang yang paling kaya di dunia ini! Segala keindahan di dunia ini adalah
dunia-kangouw.blogspot.com
untukku! Aku dapat menikmati alam semesta di mana pun juga, tanpa memilikinya. Sekali orang memiliki
sesuatu, maka berarti bahwa dia sesungguhnya telah kehilangan sesuatu yang menjadi miliknya itu!”
“Ehh, apa pula maksudmu, Paman?”
“Jelas sekali. Begitu kita memiliki sesuatu, maka yang kita miliki itu akan kehilangan keindahannya karena
kita telah terjangkit penyakit tamak, ingin memiliki yang lebih dari yang telah kita punyai. Memiliki hanya
menimbulkan sengketa, persaingan, perebutan, iri hati. Dan siapa yang memiliki, dialah yang akan
kehilangan dan agar jangan sampai kehilangan itu, kalau perlu dia akan menjaganya dengan taruhan
segala kebahagiaan, bahkan nyawanya. Bukankah demikian?”
“Jadi, kau tidak memiliki apa-apa, Paman?”
“Ha-ha-ha, justru karena aku tidak memiliki apa-apa, maka segala sesuatu ini adalah untukku belaka!”
Syanti Dewi masih belum mengerti betul akan inti dari semua kata-kata sastrawan itu. Mendadak timbul
pikirannya bahwa orang aneh seperti Pouw Toan ini tentu banyak pengalamannya di dunia kang-ouw dan
mengenal banyak orang sakti.
“Paman Pouw, apakah Paman mengenal seorang pendekar sakti bernama Gak Bun Beng dan isterinya
yang bernama Puteri Milana?” Dia memancing.
“Ah, tentu saja! Kami adalah sahabat-sahabat baik dan sungguh menggembirakan kalau bicara dengan
Gak-taihiap dan keluarganya! Dia tinggal di Puncak Telaga Warna yang indah di Pegunungan Beng-san.”
“Tentu Paman mengenal pula keluarga Majikan Pulau Es, kalau begitu?”
Kakek itu menarik napas panjang. “Memang aku tahu, akan tetapi seorang sastrawan macam aku ini mana
mungkin bisa berdekatan dengan mereka? Terlalu jauh.... terlalu tinggi, dan aku tidak mampu membawa
perahu mencapai Pulau Es. Tentu pendekar sakti itu, Suma Han Locianpwe, Pendekar Super Sakti dari
Pulau Es, kini telah tua dan tidak pernah kudengar beritanya di dunia kang-ouw. Bahkan putera-puteranya
pun tidak terdengar beritanya. Agaknya sekarang semua pendekar sedang menikmati ketenangan hidup di
tempat masing-masing, sungguh pun belum lama ini terjadi geger di dunia kang-ouw karena lenyapnya
Pedang Pusaka Naga Siluman dari istana kaisar.”
Dengan singkat namun jelas sastrawan itu lalu bercerita sekedarnya tentang pedang pusaka yang
kabarnya dilarikan maling sakti ke Pegunungan Himalaya itu dan betapa banyak orang kang-ouw
melakukan pengejaran ke sana untuk memperebutkan pedang pusaka keramat itu.
“Akan tetapi, kurasa pendekar-pendekar sakti seperti keluarga istana Pulau Es itu tidak akan merendahkan
diri memperebutkan pedang pusaka itu,” tambahnya.
Syanti Dewi mendengarkan dengan hati tertarik. Kemudian, pertanyaan inti yang sejak tadi berada di ujung
lidahnya, diajukan dengan suara yang dibikin setenang mungkin, “Paman Pouw, pernahkan Paman
mendengar atau bertemu dengan seorang tokoh Kang-ouw yang berjuluk Si Jari Maut?”
Sastrawan itu mengerutkan alisnya, kemudian menggeleng kepalanya. “Aku belum pernah bertemu muka,
akan tetapi aku sudah banyak mendengar tentang tokoh muda itu. Akan tetapi menurut berita terakhir,
pendekar muda yang terkenal dan bahkan kabarnya masih anak keluarga penghuni Istana Pulau Es itu kini
menjadi gila....“
“Ehhh....?” Syanti Dewi hampir menjerit dan menutup mulut dengan tangan.
“Atau menurut kabar, keadaannya seperti orang kehilangan ingatan, pakaiannya seperti pengemis, rambut
dan brewoknya tidak terpelihara dan dia sering kali tertawa dan menangis. Memang aneh sekali tokoh itu....
heiii, kenapa....?” Sastrawan itu terkejut melihat Syanti Dewi mendadak menutup muka dengan kedua
tangan dan menangis tersedu-sedu!
Sejenak sastrawan itu termangu, akan tetapi dia lalu mengangguk-angguk maklum. Dihubungkannya bunyi
sajak tulisan puteri itu dan sikapnya sekarang ketika mendengar tentang pendekar muda berjuluk Si Jari
Maut itu, dan mengertilah dia bahwa tentu ada hubungan cinta yang gagal atau patah antara dara ini dan
Si Jari Maut itu. Sebagai seorang yang bijaksana dia tidak ingin mengganggu dan membiarkan dara itu
dunia-kangouw.blogspot.com
menangis melampiaskan duka yang agaknya sudah terlalu lama ditahan-tahannya itu dan dia enak-enak
saja melanjutkan dan menyelesaikan lukisannya.
Memang lapanglah rasa dada Syanti Dewi setelah menangis, sungguh pun kini dia merasa seluruh
tubuhnya lemah dan hatinya penuh dengan haru dan iba terhadap kekasihnya yang dikabarkan menjadi
berubah ingatan itu! Dia mengusap air matanya dan memandang kepada sastrawan itu dengan mata
merah.
“Maafkan sikapku, Paman, tetapi aku ingin beristirahat dan tak dapat menemanimu lebih lama lagi....“
“Tidak mengapa, Nona. Lukisan ini sudah rampung dan terimalah lukisan ini sebagai persembahan dan
terima kasihku bahwa Nona telah sudi menerimaku serta memberi kesempatan kepadaku untuk menikmati
kecantikanmu dan sungguh pertemuan ini tidak akan terlupakan selama hidupku.” Dia menyerahkan
lukisan itu kepada Syanti Dewi.
Syanti Dewi menerima lukisan itu dan dia terkejut dan kagum. Lukisan itu tidaklah dapat dibilang indah,
dalam arti kata indah menurut keinginannya dilukis secantik mungkin, akan tetapi beberapa goresangoresan
itu amat kuatnya mencerminkan segala bentuk dan sifat-sifat, bukan hanya lahiriah akan tetapi
juga batiniah. Melihat lukisan itu dia merasa seolah-olah melihat dirinya sendiri dibalik cermin dalam
keadaan yang sewajarnya tanpa ditutup hiasan apa pun, wajahnya ‘telanjang’ sama sekali dalam lukisan
itu dan nampaklah bayangan-bayangan duka yang mendalam! Tiba-tiba dia teringat kepada Tek Hoat dan
dengan jari-jari gemetar dia mengembalikan lukisan itu.
“Paman Pouw, terima kasih atas pemberianmu. Akan tetapi, kuharap engkau.... kalau kebetulan bertemu
dengan dia.... sudilah kau memberikan lukisan ini kepadanya, siapa tahu.... dapat menolongnya....“
Suaranya gemetar dan makin lirih.
Tanpa perlu disebut namanya pun kakek yang bijaksana itu sudah tahu siapa yang dimaksudkan, maka dia
menerima lukisan itu, digulungnya dan dia lalu bangkit berdiri. “Baiklah, mudah-mudahan saja aku dapat
berjumpa dengan dia. Nah, selamat tinggal, Nona dan terima kasih atas keramahanmu telah sudi
menyambut aku sebagai seorang tamu.”
“Aku merasa girang sekali dapat berkenalan dengan seorang seperti engkau, Paman Pouw. Selamat
jalan.... mudah-mudahan kelak kita dapat saling bertemu lagi.”
Pouw Toan lalu meninggalkan ruangan tamu itu, tapi tiba-tiba dia teringat akan penjaga berkumis, maka
dia berhenti, menoleh sambil tersenyum dan berkata, “Nona, penjaga berkumis tebal itu menerima pukulan
gara-gara kedatanganku, harap kau suka ingat kepadanya.”
Syanti Dewi tersenyum dan mengangguk. Maka pergilah Pouw Toan. Benar saja, baru dia tiba di luar
istana, dia sudah disambut oleh penjaga itu yang memandangnya penuh perhatian dengan sinar matanya
yang mengandung pertanyaan.
“Siocia-mu tentu akan memperhatikan nasibmu,” kata Pouw Toan sehingga giranglah penjaga itu. Dengan
ramah dia lalu mengantar Pouw Toan kembali ke perahunya dan tidak lama kemudian perahu yang
didayung perlahan-lahan oleh sastrawan tua itu pun meninggalkan Kim-coa-to.
Sementara itu, Syanti Dewi memanggil penjaga dan memesan bahwa hari itu dia tidak mau menerima
tamu lagi.
“Tapi, Siocia! Ouw-kongcu dan Ang-kongcu sudah sejak tadi menunggu!” penjaga itu berkata. Dia yang
sudah sering kali menerima hadiah dari dua orang pemuda itu tentu saja mencoba untuk membujuk nona
majikannya untuk mau menerima dua orang pemuda itu.
Pemuda she Ouw adalah pemuda hartawan yang kaya-raya, sedangkan pemuda she Ang adalah
sahabatnya, putera seorang pembesar. Pemuda hartawan dan bangsawan itu datang dari seberang, dari
daratan dengan menggunakan sebuah perahu besar yang mewah milik Ouw-kongcu.
“Biar siapa pun juga yang datang, aku tidak akan menemui mereka. Katakan bahwa aku sedang tidak enak
badan dan tidak dapat menemui tamu.” Setelah berkata demikian, Syanti Dewi pergi ke kamarnya,
mengunci pintu kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan, kedua matanya menatap langit-langit dan
membayangkan keadaan Tek Hoat yang menyedihkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Timbul keinginan besar di dalam hatinya untuk pergi sendiri, meninggalkan pulau dan mencari Ang Tek
Hoat, menghiburnya, mengobatinya. Akan tetapi, dia membayangkan pengalamannya yang lalu dan dia
mengeraskan hati. Dia harus melihat sikap Tek Hoat lebih dulu, harus melihat pemuda itu datang ke pulau
ini, baru dia akan mengambil keputusan apakah dia menganggap baik untuk melanjutkan hubungan cinta
mereka yang telah putus. Dia tidak mau menderita lagi, tidak mau bertepuk tangan sebelah. Dia hanya
mendengar keadaan pemuda itu yang menyedihkan, akan tetapi dia belum melihat sendiri bagaimana
sikap Tek Hoat sekarang terhadap dirinya.
Dua orang pemuda yang menerima kabar bahwa Syanti Dewi tidak dapat menerima mereka karena dia
tidak enak badan, tidak menjadi marah sungguh pun mereka kecewa sekali. Mereka tidak putus asa dan
mereka juga tidak mau pulang, hanya menanti di perahu itu sampai Syanti Dewi sembuh. Bahkan mereka
mengirim buah-buah dan makanan-makanan lain yang mereka bawa dari daratan, mereka berikan kepada
Sang Puteri yang katanya sedang sakit itu melalui para pelayan yang tentu saja mau menyampaikan
semua itu karena menerima hadiah-hadiah!
Syanti Dewi membiarkan dirinya tenggelam dalam lamunan dan makin diingat, makin beratlah duka
menindih hatinya. Dia merasa amat sengsara dan tidak bahagia dalam cintanya, namun dia pun merasa
pula betapa cintanya terhadap Tek Hoat selama ini tidak pernah mati, sungguh pun dia mencoba dengan
segala daya upaya untuk menyatakan kepada diri sendiri bahwa hubungan cinta mereka telah putus!
Maka, teringat akan semua itu, tak tertahankan lagi puteri ini menangis seorang diri di dalam kamarnya,
menangis sesenggukan dan menyembunyikan mukanya dalam himpitan bantal yang telah menjadi basah
oleh air matanya.
Betapa menyedihkan melihat kehidupan begini penuh dengan duka dan penderitaan, kekecewaan dan
penyesalan, kesengsaraan dan hanya kadang saja diseling sedikit sekali suka yang hanya kadang-kadang
muncul seperti berkelebatnya kilat sejenak saja di antara awan gelap kedukaan. Apakah duka itu dan dari
mana timbulnya?
Jelaslah bahwa duka pun bukan merupakan hal di luar diri kita. Duka tidak terpisah dari kita sendiri dan kita
sendirilah pencipta duka! Kita merasa berduka karena iba diri, dan iba diri timbul kalau si aku merasa
kecewa karena dirampas apa yang menjadi sumber kesenangannya. Karena merasa di jauhkan dari
kesenangan yang mendatangkan nikmat lahir mau pun batin, maka si aku merasa iba kepada dirinya
sendiri.
Pikiran, tumpukan ingatan dan kenangan, gudang dari pengalaman-pengalaman masa lalu,
mengenangkan semua hal-hal yang menimpa diri dan memperdalam perasaan iba diri itu. Pikiran seperti
berubah menjadi tangan iblis yang meremas-remas perasaan hati, maka terlahirlah duka! Tanpa adanya
pikiran yang mengenang-ngenang segala hal yang menimbulkan iba diri, maka tidak akan ada duka.
Biasanya, kalau duka timbul, kita lalu melarikan diri pada hiburan dan sebagainya untuk melupakannya.
Akan tetapi, hal ini biasanya hanya berhasil untuk sementara saja, karena si duka itu masih ada. Sekali
waktu kalau pikiran mengenang-ngenang, akan datang lagi duka itu. Sebaliknya, kalau kita waspada
menghadapi perasaan yang kita namakan duka itu, mempelajarinya, tak lari darinya melainkan
mengamatinya tanpa ingin melenyapkannya, maka duka itu sendiri akan lenyap seperti awan tertiup angin.
Justru usaha-usaha dan keinginan untuk menghilangkan duka itulah yang menjadi kekuatan si duka untuk
terus menegakkan dirinya!
Bicara tentang duka tidaklah lengkap kalau kita juga tidak bicara tentang suka atau kesenangan, karena
kesenangan tak terpisahkan dari kesusahan, ada suka tentu ada duka! Justru pengejaran kesenangan
inilah yang merupakan sebab utama dari lahirnya duka! Sekali mengenal dan mengejar kesenangan,
berarti kita berkenalan dengan duka, karena duka muncul kalau kesenangan dijauhkan dari kita!
Kesenangan mendatangkan pengikatan. Kita ingin mengikatkan diri dengan kesenangan, maka sekali yang
menyenangkan itu dicabut dari kita, akan menyakitkan dan menimbulkan duka.
Kesenanganlah yang membius kita sehingga kita mati-matian mengejarnya, dan dalam pengejaran inilah
timbulnya segala macam perbuatan yang kita namakan jahat. Dan kesenangan ini pun merupakan hasil
karya dari pikiran, yaitu si aku yang mengenang dan mengingat-ingat. Pikiran mengunyah dan mengingatingat,
membayangkan segala pengalaman yang mendatangkan kenikmatan, maka timbul keinginan untuk
mengejar bayangan itu! Kita tak pernah waspada sehingga seperti tidak melihat bahwa yang kita kejarkejar
itu, bayangan yang nampaknya amat nikmat dan menyenangkan itu, setelah tercapai ternyata
tidaklah seindah atau senikmat ketika dibayangkan, dan pikiran sudah mengejar kesenangan lain yang
dunia-kangouw.blogspot.com
lebih hebat atau kita anggap lebih nikmat lagi! Maka terperosoklah kita ke dalam lingkaran setan dari
pengejaran kesenangan yang tiada habisnya. Kita tidak mau melihat bahwa di akhir sana pasti terdapat
dua kemungkinan, yaitu kecewa dan duka kalau gagal, dan bosan yang membawa duka lagi kalau berhasil,
dan rasa takut kalau kehilangan.
Dalam duka baru kita ingat kepada Tuhan, minta ampun, minta bantuan dan sebagainya dan semua ini
wajar, timbul dari rasa iba diri. Dalam bersenang-senang kita lupa kepada Tuhan, karena pementingan diri
yang berlebihan, mengejar kenikmatan diri sendiri.
Semua ini bukanlah berarti bahwa kita harus menjauhi atau menolak kenikmatan hidup. Sama sekali tidak!
Kita berhak menikmati hidup, berhak sepenuhnya! Akan tetapi, pengejaran terhadap kesenangan itulah
yang menyesatkan! Ini merupakan kenyataan, bukan teori atau pendapat kosong belaka. Kita harus
waspada dan sadar akan kenyataan ini, karena kewaspadaan dan kesadaran dalam pengamatan diri
sendiri akan mendatangkan tindakan langsung tersendiri yang akan melenyapkan semua itu…..
********************
Seperti telah tercatat dalam sejarah, Kaisar Kang Hsi (1663-1722) sebagai kaisar dari Dinasti Ceng atau
bangsa Mancu yang besar dan jaya telah berhasil mengembangkan kekuasaan kerajaan itu sehingga
terkenal sampai di luar negeri. Akan tetapi semenjak Kaisar Kang Hsi meninggal dunia dan pemerintahan
dipegang oleh Kaisar Yung Ceng, kekuasaan atau pengaruh itu mulai menyuram. Kaisar Yung Ceng telah
berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kekuasaan Dinasti Ceng, namun dia tidak dapat
mencapai keadaan seperti ketika kekuasaan berada di tangan Kaisar Kang Hsi.
Hal ini adalah karena banyaknya terjadi pertentangan di dalam keluarga kaisar sendiri sejak Kaisar Kang
Hsi meninggal dunia, ditambah lagi dengan adanya pemberontakan di tempat-tempat yang jauh dari kota
raja sehingga tentu saja peristiwa-peristiwa ini melemahkan keadaan Kerajaan Ceng diwaktu itu.
Pemberontakan terjadi di mana-mana, berupa pemberontakan kecil-kecilan yang cukup merongrong
kewibawaan pemerintah. Terutama sekali karena di sebelah dalam istana sendiri terdapat pertentangan
yang digolakkan oleh seorang selir dari Kang Shi yang disebut Sam-thaihouw, yaitu Ibu Suri ke Tiga. Samthaihouw
ini tentu saja masih mempunyai pengaruh yang besar, dan terutama sekali karena di antara
pembesar militer banyak yang membantu atau mendukungnya.
Tentu saja pembesar-pembesar itu adalah mereka yang selain masih terhitung keluarga dengan Ibu Suri
ke Tiga ini, juga yang pernah banyak menerima budi dari ibu suri ini, bahkan yang memperoleh kedudukan
tinggi karena jasa ibu suri. Kaisar sendiri tahu akan sepak terjang Ibu suri yang kadang-kadang bertindak
sewenang-wenang terhadap para pembesar yang menentangnya dan dianggap musuhnya. Akan tetapi
Kaisar Yung Ceng memiliki kelemahan, yaitu tidak berani banyak bertindak terhadap keluarga angkatan
tua. Dia terlalu ‘berbakti’ terhadap angkatan tua, hal yang sesungguhnya hanya menunjukkan
kelemahannya.
Bahkan pada akhir-akhir ini, secara terang-terangan Sam-thaihouw yang merasa sakit hati dan menaruh
dendam kepada keluarga puteri Nirahai yang kini menjadi isteri dari Pendekar Super Sakti di Istana Pulau
Es, memusuhi keluarga itu dan mengumpulkan orang-orang kang-ouw yang pandai dan sakti dalam
usahanya untuk membalas dendam kepada keluarga itu dan juga kepada para pembesar dan tokoh-tokoh
kang-ouw yang dianggap memusuhinya. Maka sering kali terjadi pembunuhan yang aneh dan keji di malam
hari terhadap ‘musuh’ Sam-thaihouw, pembunuhan yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang
berilmu tinggi. Hal ini selain menggegerkan kota raja, juga menggegerkan dunia kang-ouw dan nama Samthaihouw
sebentar saja disebut-sebut dan terkenal di antara orang-orang kang-ouw sebagai seorang yang
amat berbahaya dan ditakuti.
Kegawatan memuncak dan kemerosotan pengaruh Kerajaan Ceng terasa paling rendah ketika terjadi
pencurian pedang pusaka keramat dari gudang pusaka keraton! Sungguh hal ini merupakan tamparan bagi
istana. Gudang pusaka merupakan tempat yang terjaga dengan amat ketat, akan tetapi ada sebatang
pedang pusaka yang berada di dalamnya dicuri orang tanpa ada yang mengetahuinyal Peristiwa ini
disimpulkan oleh para golongan yang menentang pemerintah sebagai bukti-bukti kelemahan, maka
semakin beranilah mereka memperlihatkan sikap menentang!
Para pembesar mulai gelisah melihat kelemahan pemerintah. Banyak pembesar setia yang menasehati
kaisar untuk mengambil tindakan dan bertangan besi, bukan hanya terhadap pemberontak, akan tetapi
juga terhadap keluarga istana sendiri. Namun, Kaisar tetap tidak berani sembarangan bertindak terhadap
dunia-kangouw.blogspot.com
Sam-thaihouw, maka hal ini menimbulkan kekecewaan di kalangan pembesar. Mereka mulai memasang
mata mencari-cari orang yang kiranya dapat mereka harapkan untuk dapat menolong kerajaan. Dan orang
itu bukan lain hanyalah Pangeran Kian Liong!
Pangeran ini terkenal sebagai seorang pemuda yang amat bijaksana, pandai dalam ilmu sastra dan sering
kali pangeran ini menyamar sebagai rakyat biasa untuk menyelidiki kehidupan rakyat, mendengarkan
keluh-kesah mereka, kritik-kritik dan usul-usul mereka untuk kemudian dia lanjutkan dengan tindakantindakan
yang tepat untuk merubah keadaan yang memberatkan rakyat jelata. Karena ini, nama Pangeran
Kian Liong segera terkenal sebagai seorang pangeran muda yang budiman dan juga kalau perlu dapat
bertangan besi terhadap pembesar-pembesar yang korup dan menindas rakyat.
Sam-thaihouw tidak suka kepada pangeran ini, akan tetapi dia dan kaki tangannya tidak berani
sembarangan bertindak terhadapnya, karena selain pangeran ini merupakan pangeran yang mempunyai
harapan menggantikan kaisar, juga diam-diam pangeran ini selalu dilindungi oleh tokoh-tokoh kang-ouw
yang berilmu tinggi! Memang luar biasa sekali! Banyak tokoh-tokoh besar dan partai-partai persilatan,
tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh dan berilmu, bekerja sama melakukan penjagaan dan pengamatan siang
malam atas diri pangeran ini sehingga ke mana pun pangeran ini pergi, selalu pasti ada tokoh-tokoh sakti
yang mengawasi dan menjaganya, melindunginya tanpa diketahui oleh Si Pangeran itu sendiri!
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau para pembesar yang setia kini menujukan pandang mata
mereka kepada Pangeran Kian Liong dengan penuh harapan, sungguh pun pangeran itu sendiri tidak
memperlihatkan ambisi apa-apa kecuali sebagai seorang pangeran yang selalu bersikap melindungi rakyat
yang tertindas.
Empat lima tahun telah lewat semenjak terjadi keributan di Pegunungan Himalaya oleh karena orang-orang
kang-ouw memperebutkan Pedang Pusaka Naga Siluman. Dan pada waktu itu, berhubung dengan
kelemahan kaisar di kota raja, di bagian barat mulai lagi timbul keributan-keributan, yaitu di negara bagian
Tibet yang pernah ditundukkan dan dikuasai oleh pasukan pemerintah Ceng ketika masih berada di bawah
pimpinan mendiang Kaisar Kang Hsi. Terdapat kabar bahwa mulai berdatangan mata-mata dan
berkelompok-kelompok pasukan kecil dari luar Tibet yang memasuki daerah itu, dan kabarnya pasukanpasukan
Tibet kewalahan menghadapi gangguan-gangguan kecil ini. Pasukan-pasukan itu datang dari
arah barat dan selatan, dari arah Negara Nepal dan mungkin juga dari India…..
********************
Pada suatu pagi yang cerah, dengan sinar matahari mulai nampak di bagian yang dingin dari dunia itu,
yaitu di kaki Pegunungan Himalaya yang berada di bagian paling timur dan utara, nampak seorang dara
remaja menuruni lereng dengan sikap yang gembira dan lenggang seenaknya. Dara ini bertubuh ramping
padat, caranya melangkahkan kaki seperti seekor rusa, demikian ringannya namun di balik pakaiannya
yang sederhana itu nampak tubuh yang padat berisi dan mengandung tenaga yang kuat. Wajahnya manis
sekali, wajah yang amat cerah, secerah matahari pagi. Sepasang mata dan mulutnya membayangkan
kesegaran, sesegar embun yang bergantung pada pucuk-pucuk daun, dan kulitnya yang nampak pada
muka, leher dan tangannya mulus halus putih, seputih salju yang masih tersisa di puncak gunung yang
nampak dari kejauhan.
Dara cantik manis ini baru berusia kurang lebih enam belas tahun, seorang dara remaja yang baru
menanjak dewasa, bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar. Kedua pipinya yang halus itu
kemerahan seperti buah tomat mulai masak, dan bibirnya yang menyungging senyum dikulum itu nampak
merah delima membayangkan kesegaran tubuh yang sehat. Meski pakaiannya terbuat dari pada kain kasar
saja dan potongannya pun sederhana dan kasar, akan tetapi tidak mengurangi kecantikan dara itu, bahkan
kesederhanaan pakaian itu lebih menonjolkan kejelitaannya yang wajar dan asli.
Dara itu sama sekali tidak memakai perhiasan, akan tetapi dari jauh dia nampak seperti memakai sebuah
gelang emas yang cukup besar, sebesar jari tangannya, gelang emas berbentuk seekor ular yang
melingkar di pergelangan tangan kirinya. Akan tetapi, kalau didekati, orang akan melihat bahwa ‘gelang
emas’ itu bergerak-gerak, dari mulut ular itu keluar lidah hitam menjilat-jilat keluar masuk dan baru orang
akan tahu bahwa gelang itu adalah seekor ular asli, seekor ular hidup! Dan memang sesungguhnyalah.
Ular itu seekor ular hidup yang memiliki sisik indah sekali, kuning keemasan, dengan mata kecil merah dan
lidah yang hitam!
Melihat seorang dara remaja dengan pakaian biasa yang tipis, bukan pakaian bulu yang melindungi tubuh
dari dingin, melakukan perjalanan seorang diri serta seenaknya saja menuruni lereng Pegunungan
dunia-kangouw.blogspot.com
Himalaya yang terkenal dingin sekali itu, sungguh sudah merupakan hal yang aneh. Apalagi melihat gelang
ular emas hidup itu! Melihat dua hal ini saja, mudah diduga bahwa di balik kelembutan seorang dara
remaja yang cantik manis ini tentu terdapat kekuatan yang hebat, membayangkan seorang dara perkasa
yang tidak jarang muncul di dunia kang-ouw pada waktu itu. Dugaan ini memang tidak keliru karena dara
ini bukan lain adalah Bu Ci Sian!
Seperti kita ketahui, Bu Ci Sian adalah seorang dara yang sejak muda sekali telah mengalami hal-hal yang
amat hebat, yaitu ketika kita mula-mula melihat dia bersama mendiang kakeknya, yang sebetulnya adalah
seorang tokoh besar selatan berjulukan Kiu-bwe Sin-eng bernama Bu Thai Kun, melakukan perjalanan di
Pegunungan Himalaya dan mengalami banyak hal-hal yang hebat.
Akan tetapi, Bu Ci Sian yang pada pagi hari yang cerah itu menuruni lereng bukit sama sekali tidak dapat
disamakan dengan dara cilik yang kita kenal empat tahun yang lalu itu. Biar pun pada waktu itu Ci Sian
telah merupakan seorang gadis cilik yang penuh keberanian dan memiliki dasar-dasar ilmu silat, tetapi
dibandingkan dengan sekarang, keadaannya sudah jauh lebih hebat. Sekarang dia merupakan seorang
dara remaja yang berilmu tinggi setelah digembleng secara hebat dan tekun sekali oleh gurunya, yaitu
See-thian Coa-ong Nilagangga!
Seperti kita ketahui, dara ini terpisah dari pendekar Suling Emas Kam Hong dan setelah ditolong oleh Seethian
Coa-ong, akhirnya dia menjadi murid kakek sakti perantau dari Nepal ini dan dibawa ke sebuah
puncak bukit yang sunyi di mana dia menggembleng muridnya dengan berbagai ilmu silat yang aneh-aneh,
di antaranya juga mengajarkan ilmu menaklukkan ular-ular kepada muridnya itu. Ci Sian yang memang
suka sekali akan ilmu silat, belajar dengan tekun sekali setiap hari, sungguh pun dia merasa amat kesepian
di tempat sunyi itu dan hatinya selalu terkenang kepada Kam Hong dan ayah bundanya yang sedang
dicarinya.
Setelah belajar siang malam selama empat tahun dan merasa bahwa dia telah memiliki ilmu yang cukup
untuk dapat diandalkan dalam mencari Kam Hong atau ayah bundanya sendirian saja, Ci Sian lalu
menyatakan kepada gurunya bahwa dia ingin pergi turun gunung untuk mencari Kam Hong dan mencari
ayah bundanya.
“Ci Sian, engkau baru saja belajar empat tahun, dan sungguh pun hampir semua ilmuku telah kuajarkan
kepadamu, akan tetapi engkau harus melatih dan mematangkan lagi selama setahun. Aku telah berjanji
kepada Cui-beng Sian-li untuk mempertandingkan murid kami, yaitu engkau melawan muridnya. Maka
engkau harus menanti setahun lagi.”
“Suhu, yang berjanji adalah Suhu, dan aku bukanlah seekor ayam aduan. Mengapa selalu Suhu membuat
janji-janji aneh seperti anak-anak itu? Jangan layani dia. Aku harus turun gunung untuk mencari Paman
Kam Hong atau ayah bundaku, dan kurasa dengan kepandaian yang kupelajari dari Suhu ini sudah cukup
untuk bekal perjalananku mencari mereka.”
“Muridku, di dunia ini aku hanya mempunyai engkau seorang. Kalau bukan engkau yang menjaga namaku,
habis siapa lagi? Kalau setahun kemudian engkau tidak mau menandingi murid Cui-beng Sian-li, bukankah
nama See-thian Coa-ong akan menjadi bahan ejekan para penghuni Lembah Suling Emas dan kemudian
menjadi bahan tertawaan seluruh dunia kang-ouw?”
Ci Sian menarik napas panjang. “Kukira Suhu sudah tidak butuh apa-apa, ternyata masih membutuhkan
nama besar! Begini saja, Suhu. Waktu berlatih yang setahun ini akan dapat kulakukan dalam perjalanan
mencari orang tuaku. Dan perjanjian antara Suhu dan Cui-beng Sian-li itu hanya perjanjian untuk
mempertandingkan murid Suhu dan muridnya, akan tetapi bukan janji bahwa aku akan datang mencari
muridnya! Jadi, perjanjian itu berlaku juga untuk dia, dan muridnyalah yang harus pergi mencari aku! Nah,
kalau sewaktu-waktu dia datang, Suhu katakan saja bahwa aku menanti-nantinya dan dia boleh mencariku
sampai dapat!”
Menghadapi kebandelan Ci Sian, See-thian Coa-ong tak berdaya, apalagi memang dia amat sayang
kepada muridnya itu dan maklum betapa tersiksanya dara remaja seperti Ci Sian untuk hidup terasing di
tempat seperti itu bersama dia. Anak itu dapat bertahan hidup seperti pertapa kesepian di tempat itu
selama empat tahun sudah merupakan hal yang amat mengagumkan, dan dia pun tahu bahwa dasar ilmu
kepandaian Ci Sian sudah lebih dari cukup untuk dipakai menjaga diri, maka akhirnya dia pun tidak
menahan lebih lanjut dan memperbolehkan dara itu turun gunung!
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah, pada pagi hari itu, dengan wajah yang cerah dan semangat yang bernyala-nyala, Ci Sian
menuruni bukit dan tentu saja dia merasa seolah-olah seperti seekor burung yang baru saja terlepas dari
sangkar di mana dia tekun mempelajari ilmu selama empat tahun dan di mana dia sering kali menahannahan
rasa rindunya akan dunia luar! Kini dia merasa bebas! Dan kegembiraan mendebarkan jantungnya
kalau dia teringat akan kemungkinan bertemu dengan Kam Hong! Baru sekarang dia merasa betapa
rindunya dia kepada pendekar itu!
Dan dia pun harus mencari Toat-beng Hui-to Lauw Sek, yaitu Lauw-piauwsu untuk menanyakan di mana
dia akan dapat mencari ayah bundanya, karena dia tahu bahwa piauwsu itulah yang telah menerima pesan
terakhir dari mendiang kongkong-nya tentang tempat ayah bundanya. Dan kalau dia sudah tahu tempat itu,
dia akan mencari ayah bundanya sampai dapat. Apalagi kalau dia dapat bertemu dengan Kam Hong dan
minta bantuan pendekar itu, dia yakin pasti akan berhasil menemukan ayah bundanya. Dengan bayanganbayangan
ini dalam benaknya, Ci Sian menuruni bukit dengan hati riang dan penuh harapan.
Akan tetapi, setelah belasan hari dia mencari-cari di sekitar tempat di mana dia terpisah dari Kam Hong,
dia tidak dapat menemukan pendekar itu. Bahkan tempat di mana dia dan Kam Hong terasing ketika terjadi
longsor itu, kini telah berubah pula dan tiada jejak Kam Hong di situ. Dia mulai menyusuri jalan di mana dia
dan Kam Hong melalui ketika mereka berdua meninggalkan Lhagat. Akhirnya ia mengambil keputusan
untuk mencari Lauw-piauwsu ke kota Lhagat.
Betapa kagetnya saat dia tiba di daerah Lhagat, dia melihat banyak orang berbondong-bondong
mengungsi dan meninggalkan daerah itu. Dari para pengungsi ini tahulah Ci Sian bahwa Lhagat, kota yang
berada di perbatasan antara Tibet, Nepal dan India itu, yang menjadi tempat pemberhentian para
pedagang dan orang-orang yang melakukan perjalanan dari atau ke tempat-tempat tersebut, sekarang
telah diduduki oleh pasukan-pasukan asing yang menyerbu dari selatan!
Itu adalah pasukan yang amat kuat dari Nepal! Pasukan itu bentrok dan bertempur dengan pasukan Tibet,
memperebutkan daerah Lhagat dan akhirnya pasukan Tibet dipukul mundur dan Lhagat pun diduduki oleh
pasukan Nepal yang memang bermaksud untuk terus menyerbu ke utara dan timur, tentu saja hendak
menundukkan Tibet untuk terus menggempur Tiongkok. Menurut cerita para pengungsi, berkali-kali pihak
tentara Tibet kena digempur dan menderita kekalahan, mundur dan dikejar musuh memasuki daerah Tibet.
Ketika Ci Sian mendengar betapa banyak orang-orang Tibet dan orang dari pedalaman telah ditawan oleh
pasukan Nepal, apalagi sesudah mendengar keterangan bahwa Lauw-piauwsu yang dicari-carinya itu
mungkin saja ikut tertawan, dia lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Lhagat! Semua pengungsi memberi
nasehat agar dia jangan mendekati Lhagat, apalagi seorang wanita muda cantik seperti dia. Namun, tentu
saja Ci Sian tidak mempedulikan semua peringatan ini dan dengan cepat dia melakukan perjalanan menuju
ke kota yang sudah diduduki musuh itu.
Setelah sampai dekat Lhagat, dia bertemu dengan serombongan pengungsi lagi yang membawa berita
terakhir dari kota Lhagat. Dari mereka ini, dia mendengar berita yang lebih hangat, berita terakhir tentang
apa yang terjadi di daerah itu. Kiranya, menurut penuturan para pengungsi ini yang terdiri dari orang-orang
lelaki yang nampaknya kuat karena mereka adalah para pemuda Lhagat yang tadinya ikut pula
mempertahankan kampung halaman mereka dari penyerbu asing, pada waktu itu kedudukan pasukan
Nepal semakin kuat dengan datangnya bala bantuan lagi dari Nepal.
Pasukan itu bahkan telah berhasil menggagalkan bantuan pasukan Kerajaan Ceng yang kini telah
terperangkap, terkepung di lembah sebelah timur Lhagat! Ketika mendengar akan penyerbuan pasukan
Nepal ke daerah Tibet, Kaisar Kerajaan Ceng cepat-cepat mengirim pasukan yang terdiri dari lima ribu
orang untuk membantu pasukan Tibet yang menjadi negara taklukan Kerajaan Ceng, dan untuk mengusir
pasukan Nepal itu. Akan tetapi, sungguh di luar perhitungan Pemerintah Ceng bahwa kali ini Nepal
bersungguh-sungguh dalam serbuan mereka itu sehingga belum juga pasukan itu berhasil menyerbu untuk
merampas kembali Lhagat, mereka telah terkepung ketika mereka sedang beristirahat di lembah gunung.
Pihak musuh yang mengepung berjumlah tiga empat kali lebih banyak, maka pasukan Ceng itu tidak
berhasil membobolkan kepungan dan hanya mampu bertahan saja.
Berkali-kali pasukan Nepal yang mengurung itu menyerbu ke atas, mencoba hendak menghancurkan
musuh, akan tetapi ternyata dalam waktu singkat, komandan pasukan yang pandai dari barisan Ceng telah
dapat menyusun benteng pertahanan yang kokoh kuat. Oleh karena itu, kini pasukan Nepal hanya
mengurung ketat, hendak membiarkan pihak musuh mati kelaparan! Sudah setengah bulan pasukan yang
terjebak itu dikepung, dan karena pihak Nepal maklum bahwa sewaktu-waktu dapat datang bala bantuan
dari Kerajaan Ceng, maka penjagaan di sekitar daerah itu dilakukan dengan amat ketat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setiap orang yang lewat di daerah itu tentu digeledah dan diperiksa, kalau-kalau ada terselip mata-mata
dari pihak musuh. Di mana-mana terdapat tentara Nepal dan seperti biasa yang terjadi dalam setiap huruhara,
dalam setiap peperangan, maka di daerah pegunungan itu pun terjadi pula hal-hal yang mengerikan
setiap hari. Perampokan, perkosaan, pembunuhan, terjadi setiap saat. Manusia kehilangan peri
kemanusiaannya. Yang nampak hanyalah angkara murka dan di mana-mana manusia dicekam rasa takut
yang hebat.
Biar pun dia masih belum dewasa benar, baru berusia hampir tujuh belas tahun, namun Ci Sian adalah
seorang anak yang tergembleng oleh keadaan dan memang pada dasarnya dia cerdik. Dia mengenal
bahaya, maka dia pun mengambil jalan-jalan melalui hutan-hutan. Dia sudah mengenal daerah ini karena
ketika dia berada di Lhagat beberapa tahun yang lalu, dia sering pergi berburu ke hutan-hutan. Oleh
karena itu, dalam penyelidikannya untuk memasuki Lhagat dan mencari Lauw-piauwsu, dia pun
menyelinap-nyelinap di antara pohon-pohon di hutan dan tidak berani sembarangan memperlihatkan
dirinya kepada pasukan Nepal yang berjaga di mana-mana.
Ketika dia mencoba menyelidiki keadaan pasukan pemerintah Ceng yang terkurung di lembah gunung kecil
itu, dia terkejut bukan main. Gunung kecil atau bukit di mana pasukan itu terkurung telah dikelilingi pasukan
Nepal yang bersembunyi dan yang telah mempersiapkan segala macam jebakan dan barisan pendam
dengan anak panah selalu siap di tangan. Pendeknya, kalau pasukan di lembah itu berani mencoba-coba
untuk membobolkan kurungan itu, mereka pasti akan dihancurkan!
Diam-diam Ci Sian mencari akal bagaimana kiranya cara pasukan itu akan dapat diselamatkan. Dia
teringat akan cerita kakeknya dahulu tentang kepahlawanan, tentang kegagahan para pendekar pada
jaman dahulu, tentang perbuatan-perbuatan yang menggemparkan karena gagah perkasanya. Ingataningatan
itu mendorongnya untuk melakukan sesuatu guna menolong pasukan yang terkurung, di samping
dorongan rasa bahwa sudah menjadi tugasnya untuk menolong pasukan bangsanya yang terkurung tanpa
berdaya itu. Akan tetapi, bagaimana mungkin seorang dara remaja seperti dia, seorang diri saja, akan
mampu menyelamatkan lima ribu orang tentara yang sudah terkurung tak berdaya itu? Apa dayanya
menghadapi puluhan ribu pasukan Nepal?
Pagi hari itu, Ci Sian berjalan di dalam hutan sambil termenung. Sudah beberapa hari lamanya dia
mencari-cari akal, namun dia tetap tidak dapat menemukan siasat yang baik bagaimana dia akan dapat
menolong pasukan pemerintah yang terkurung musuh itu. Hatinya menjadi kesal dan dia makin
merindukan Kam Hong karena dia percaya bahwa kalau Kam Hong berada di sampingnya, tentu pendekar
itu akan dapat mencari siasat untuk menolong pasukan yang terkepung rapat itu.
Tiba-tiba dara itu berkelebat lenyap dan dia sudah menyelinap ke belakang sebatang pohon besar.
Gerakannya memang cepat bukan main, seolah dia pandai menghilang saja. Dia mendengar suara ringkik
kuda disusul suara kaki kuda dan suara manusia mendatangi dari depan!
Tak lama kemudian nampak rombongan orang berkuda itu. Yang paling depan adalah seorang gadis yang
cantik, usianya tentu hanya lebih satu dua tahun dibandingkan dengan dia. Seorang gadis yang berbentuk
tubuh ramping agak kecil, wajahnya bulat telur dan cantik manis, terutama dagunya yang runcing. Melihat
pakaiannya, gadis ini adalah seorang Han, akan tetapi dua losin tentara yang mengawalnya itu jelas
bukanlah tentara kerajaan, melainkan tentara Nepal!
Ci Sian bersembunyi dan tidak berani menampakkan diri, akan tetapi diam-diam dia merasa heran sekali
mengapa ada seorang gadis bangsanya yang kini dikawal oleh pasukan Nepal! Kini kuda yang
ditungganggi gadis cantik itu, yang berbulu hitam dan bertubuh tinggi besar, seekor kuda yang amat baik,
telah tiba di dekat pohon di belakang mana Ci Sian bersembunyi. Kuda hitam itu tiba-tiba meringkik
mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, mendengus-dengus ke arah pohon besar itu!
Jelas bahwa kuda itu bukan kuda sembarangan, dan agaknya seekor kuda yang amat terlatih, seperti
seekor anjing yang cerdik, begitu mencium bau seorang asing kemudian memperingatkan majikannya! Dan
gadis cantik itu agaknya pun tahu akan ulah kudanya itu, dapat menduga bahwa di belakang pohon tentu
ada seorang asing atau ada seekor binatang berbahaya.
“Keluarlah!” bentaknya dan begitu tangan kirinya bergerak, sebatang piauw kecil yang memakai ronce
merah di gagangnya melucur ke arah belakang batang pohon itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ci Sian terkejut bukan main. Kehadirannya telah diketahui orang, maka dia pun cepat mengelak dari
ancaman pisau dan dengan tenang dia lalu keluar dari balik pohon itu sambil memandang dengan sinar
mata marah namun penuh ketabahan.
“Orang kejam!” dia membentak sambil menatap wajah gadis cantik itu. “Apa salahku maka kau datangdatang
menyerangku dengan senjata rahasiamu?”
Gadis cantik itu tercengang keheranan. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa yang mengejutkan
kudanya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita! Juga dua losin pengawalnya semua mengeluarkan
seruan kaget dan heran. Mana mungkin ada seorang dara seperti itu berkeliaran di daerah ini tanpa pernah
dapat nampak oleh penjaga? Kini semua mata memandang Ci Sian dengan penuh kecurigaan.
Sudah tersiar berita di kalangan para tentara Nepal bahwa Kerajaan Ceng ada mengirim seorang
penyelidik yang sakti dari kota raja menuju ke tempat itu, tentu saja dalam usaha untuk menolong pasukan
kerajaan yang terkepung itu. Maka setiap orang asing dicurigai, apalagi orang-orang Han. Biar pun Ci Sian
hanya merupakan seorang dara remaja, namun mereka semua tahu bahwa wanita-wanita Han, biar pun
masih muda, tak boleh dipandang ringan karena di antara mereka banyak yang merupakan seorang ahli
silat yang amat lihai.
Gadis cantik itu sendiri adalah seorang wanita yang agaknya berkepandaian tinggi, hal ini terbukti dari
sambitannya dengan pisau kecil tadi. Kini gadis itu pun memandang dengan penuh curiga kepada Ci Sian,
walau pun mulutnya sekarang tersenyum dan dia menjawab, “Salahmu sendiri! Orang baik-baik tidak
bersembunyi-sembunyi seperti seorang pencuri, dan kudaku ini selalu marah kalau melihat orang yang
memiliki niat buruk di dalam hatinya.”
Kemudian dia menggerakkan cambuk kudanya ke atas hingga terdengar suara ledakan nyaring, lalu
melanjutkan. “Engkau tentu seorang mata-mata, karena engkau berniat buruk maka engkau merasa takut
dan bersembunyi!”
“Siapa yang takut? Apa yang perlu ditakuti?” Ci Sian mengejek. “Aku tidak takut, dan tadi aku bersembunyi
hanya karena enggan bertemu dengan pasukan yang kabarnya merupakan orang-orang jahat yang suka
merampok, memperkosa, dan membunuh.”
Gadis cantik itu mengerutkan alisnya dan memandang marah. “Siapa bilang pasukan kami begitu jahat?”
Ci Sian tersenyum pahit. “Uhh, masih pura-pura bertanya lagi? Apakah matamu buta, apakah telingamu
juga tuli sehingga engkau tidak melihat atau mendengar ratap tangis rakyat di sini? Jangan pura-pura
bodoh!”
Wajah yang cantik itu berubah marah. “Bocah bermulut lancang! Dalam setiap peperangan tentu saja jatuh
korban, itu sudah jamak! Akan tetapi jangan mengira bahwa kami membiarkan para pasukan melakukan
kejahatan, apalagi perkosaan! Soal menyita barang musuh, atau membunuh musuh, sudah wajar.”
“Wajar kalau yang disita itu barang musuh dan kalau yang dibunuh nyawa musuh, sesama tentara. Akan
tetapi kalau rakyat yang tidak tahu apa-apa yang diganggu, dirampok, dibunuh, wanita-wanita diperkosa,
lalu apa bedanya tentaramu itu dengan orang-orang biadab?”
“Bocah sombong bermulut besar!” Gadis itu memaki dengan marah sekali. “Kau berani mengeluarkan katakata
seperti itu di sini?”
“Mengapa tidak? Apa kau kira aku takut menghadapi beberapa gelintir anjing-anjing pengawalmu ini?”
Para pengawal sudah marah sekali mendengar ini dan mereka sudah gatal-gatal tangan akan tetapi
mereka tidak berani bergerak sebelum menerima perintah dan agaknya mereka itu tidak berani mendahului
gadis cantik yang mereka kawal itu.
“Hemmm, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian juga maka berani bersikap lancang. Beranikah
engkau melawanku?”
“Kau?” Ci Sian sengaja mengejek dan memandang rendah. “Biar ada sepuluh orang seperti engkau aku
tidak akan mundur selangkah pun!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam gadis itu di samping kemarahannya, juga kagum menyaksikan sikap Ci Sian yang sedemikian
tabahnya. Dia meloncat turun dari atas kudanya, diturut oleh semua pengawalnya yang menambatkan
kuda-kuda itu pada batang pohon, kemudian mereka membentuk sebuah lingkaran panjang,
mengelilinginya dan agaknya para pasukan itu gembira dapat menyaksikan dua orang gadis cantik yang
hendak mengadu ilmu itu. Ci Sian mengikuti gerak-gerik mereka itu dengan sikap gagah dan tenang.
Kemudian, gadis cantik itu menghampirinya di tengah-tengah lingkaran.
“Singgg!” Gadis cantik Itu sudah mencabut sebatang pedang dari pinggangnya dan sambil melintangkan
pedang di dada, dia berkata, “Nah, kau keluarkanlah senjatamu!”
Akan tetapi Ci Sian memang tak pernah memegang senjata, bahkan ‘gelang’ ular hidup tadi pun telah
dilepaskannya dan dibiarkannya merayap pergi ketika dia keluar dari tempat sembunyinya. Dia tersenyum
dan memandang calon lawan itu. “Aku tak pernah membawa senjata. Akan tetapi jangan dikira aku takut
kalau engkau membawa pisau dapur itu!”
Mendengar ejekan ini, tentu saja gadis itu menjadi marah. Dan menyarungkan kembali pedangnya,
melepaskan tali ikatan sarung pedang dan melemparkan pedang dengan sarungnya kepada seorang
pengawal. “Lihat, aku telah melepaskan pedangku, kita sama-sama tidak bersenjata. Nah, kau sambutlah
seranganku ini” Tiba-tiba gadis cantik itu menyerang dengan pukulan yang amat cepat.
Diam-diam Ci Sian terkejut melihat betapa cepatnya gadis ini bergerak dan tahulah dia bahwa dia
berhadapan dengan seorang ahli ginkang yang berkepandaian cukup tinggi. Di samping itu, juga sikap
gadis itu yang menyingkirkan pedangnya membuat dia senang dan berkuranglah kebenciannya. Gadis ini
betapa pun juga telah membuktikan kegagahannya dan tidak mau menghadapi lawan bertangan kosong
dengan pedang di tangan! Maka dia pun cepat mengelak dan membalas. Terjadilah perkelahian yang seru
antara dua orang dara yang sama cantiknya ini, ditonton oleh para pengawal yang merasa yakin bahwa
nona mereka akan menang karena mereka tahu bahwa nona mereka itu memiliki kepandaian yang tinggi,
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka sendiri!
Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang membuat semua pengawal menjadi bengong. Dara remaja itu
ternyata bukan hanya dapat mengimbangi nona mereka, bahkan perkelahian itu terjadi amat seru dan
cepat, membuat mata mereka berkunang dan sukar bagi mereka untuk mengikuti gerakan dua orang dara
itu yang seolah-olah menjadi dua bayangan yang menjadi satu! Dan lebih hebat lagi, kini nona mereka
mulai terdesak dan mundur terus sambil mengelak atau menangkis serangan lawan yang bertubi-tubi
datangnya itu!
“Serbuuuu....!” Melihat nona mereka terdesak, kepala pasukan segera memberi aba-aba dan dua puluh
empat orang pengawal itu sudah bergerak memperketat kepungan dan hendak mengeroyok Ci Sian.
Tangan mereka sudah meraba gagang senjata karena mereka itu merasa ragu sendiri apakah mereka
harus mengeluarkan senjata kalau hanya mengeroyok seorang dara remaja saja!
Di lain pihak, ketika melihat betapa para pengawal itu bergerak maju, Ci Sian lalu mempercepat
gerakannya, tubuhnya mencelat ke samping dan dari samping tangannya menampar ke arah pundak
lawannya. Gerakannya itu demikian aneh dan cepatnya sehingga biar pun lawannya dengan cepat pula
mengelak, tetap saja pundaknya kena diserempet oleh telapak tangan Ci Sian.
“Plakk!” Tubuh wanita cantik itu terpelanting dan dia tentu terbanting roboh kalau saja dia tidak cepat
menggulingkan tubuhnya ke atas tanah.
Ci Sian menggosok-gosok kedua telapak tangannya, lalu dari tenggorokannya keluar suara melengking
tinggi yang membuat para pengawal itu tersentak kaget dan tidak ada yang bergerak saking heran dan
kagetnya karena tiba-tiba saja ada getaran aneh pada telinga mereka, getaran yang seperti menembus
jantung!
Sejenak keadaan menjadi sunyi sekali dan mendadak terdengar suara hiruk-pikuk ketika kuda-kuda
mereka yang ditambat pada batang pohon-pohon itu meringkik dan meronta-ronta, kemudian memberontak
dan terlepas dari ikatan lalu melarikan diri dengan panik! Semua pengawal terkejut dan bingung, akan
tetapi segera terdengar suara mendesis-desis dan dari empat penjuru datanglah ratusan ekor ular menuju
ke arah Ci Sian! Kiranya ular-ular inilah yang tadi membuat semua kuda lari ketakutan.
Kini ular-ular itu telah berkumpul, ratusan ekor banyaknya, besar kecil dengan macam-macam warna, di
sekeliling kaki Ci Sian, bahkan seekor ular emas yang kecil kini merayap naik malalui kaki Ci Sian dan
dunia-kangouw.blogspot.com
terus ke atas. Ci Sian memegangnya dan memakai ular emas itu di lengan tangan kirinya seperti gelang.
Ular itu melingkar di situ, persis sebuah gelang emas yang berkilauan!
Setelah itu Ci Sian menggerakkan bibirnya, dan terdengarlah suara melengking lain dan kini ular-ular itu
bergerak menyerang ke arah para pengawal! Gegerlah para pengawal itu diserang oleh ratusan ekor, ular
yang sebagian besar adalah ular-ular beracun! Wanita cantik tadi kini sudah bangkit dan dia pun menjadi
terkejut dan jijik bukan main, akan tetapi aneh sekali, tidak ada ular yang merayap ke arahnya. Semua ular
merayap ke arah dua puluh empat orang pengawal itu.
Terjadilah pemandangan yang lucu dan juga mengerikan. Para pengawal itu ketakutan, dan mereka
berusaha untuk menghalau ular-ular itu dengan golok mereka, akan tetapi karena banyaknya ular-ular itu,
mereka menjadi ngeri dan bingung. Memang ada beberapa ekor yang mati kena bacokan, akan tetapi
hampir semua pengawal telah kena digigit, bahkan ada seorang pengawal gendut yang roboh karena
tubuhnya dililit oleh seekor ular berwarna hitam!
Tepat pada saat itu terdengar suara gaduh dan muncullah seorang wanita cantik yang dikawal oleh
sedikitnya seratus orang prajurit! Wanita itu usianya tentu sudah ada tiga puluh lima tahun, wajahnya
cantik, hidungnya mancung dan bentuk tubuhnya masih padat dan ramping. Dari pakaiannya saja mudah
diketahui bahwa dia adalah seorang panglima wanita, dengan pakaian panglima yang dilindungi oleh
lapisan baja di sana-sini, dengan wajah cantik yang bengis dan sepasang mata yang tajam penuh
semangat!
Wajah wanita ini pun membuktikan bahwa dia adalah seorang wanita berbangsa Nepal, namun rambutnya
disanggul ke atas seperti model sanggul puteri-puteri bangsa Mancu! Rombongan ini datang berkuda dan
kini dengan gerakan yang amat cekatan wanita itu meloncat turun dari atas kudanya dan dengan alis
berkerut dia memandang ke arah dua puluh empat orang pengawal yang masih repot menghadapi amukan
ular-ular itu, kemudian dia menoleh dan memandang kepada gadis cantik yang masih berdiri dalam
keadaan kaget dan ngeri, kemudian menoleh ke arah Ci Sian dan sepasang matanya seperti
mengeluarkan sinar berapi.
Wanita itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dan nampaklah sinar bercahaya keluar dari
batu hijau yang dipegangnya itu. Lalu, dengan tangan kirinya dia menyebar bubuk putih ke arah ular-ular
itu dan.... ular-ular yang tadinya mengamuk itu seketika diam tak bergerak liar lagi, hanya menggeliat-geliat
seperti lumpuh! Wanita itu lalu memandang kepada Ci Sian, kemudian mengangkat tangannya sambil
membentak, “Bunuh siluman ular ini!”
Para prajurit yang seratus orang banyaknya itu sudah mengeluarkan busur dan anak panah, siap untuk
menghujankan anak panah kepada Ci Sian.
“Tahan, Ibu....!” Tiba-tiba gadis cantik itu berseru dan dia pun meloncat ke dekat Ci Sian sehingga tentu
saja para prajurit tidak berani melepaskan anak panah, takut kalau mengenai puteri panglima mereka itu.
“Siok Lan, siluman ular ini telah mengganggumu dan merobohkan para pengawal, apa lagi yang kau
lakukan ini?”
“Tidak, Ibu. Akulah yang mula-mula membuat dia terpaksa melawan. Kami berjumpa di sini dan aku
menantangnya berkelahi. Aku hampir kalah dan para pengawalku, tanpa kuperintah, maju hendak
mengeroyok, maka dia lalu memanggil ular-ularnya. Bukan salahnya, Ibu, maka harap kau suka ampunkan
dia.”
Panglima wanita yang gagah perkasa itu mengerutkan alis, kelihatan meragu sejenak, akan tetapi setelah
lama beradu pandang mata dengan puterinya, agaknya karena sayangnya kepada puterinya, dia
mengalah, “Hemm, baiklah, akan tetapi kalau dia kelak memperlihatkan sikap tidak semestinya, aku akan
membunuhnya!”
Gadis yang bernama Siok Lan itu kelihatan girang sekali. Dia memegang tangan Ci Sian sambil tersenyum
dan berbisik, “Lekas kau haturkan terima kasih kepada Ibuku,” dan dia mengguncang tangan Ci Sian.
Melihat sikap gadis bekas lawannya ini demikian baik, dan karena melihat terbukanya kesempatan baginya
untuk menyelidiki keadaan pasukan Nepal dan mencari Lauw-piauwsu, maka Ci Sian yang sebetulnya
tidak mengenal takut itu lalu mengangguk ke arah panglima itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Terima kasih, Bibi.”
Akan tetapi panglima wanita itu bersikap tidak peduli.
“Siapa namamu?” Siok Lan berbisik.
“Namaku Ci Sian,” jawab Ci Sian tanpa menyebutkan nama keturunannya karena dia tidak ingin membuka
atau memperkenalkan nama orang tuanya yang dirahasiakan.
“Ci Sian, lekas kau usir ular-ularmu itu,” Siok Lan berkata, nadanya penuh permintaan.
Ci Sian memandang ke arah ular-ular itu. Dia tahu bahwa wanita perkasa itu tadi telah menyebar garam
yang membuat ular-ularnya menjadi jinak dan lumpuh, juga amat menderlta. Maka dia kemudian
mengeluarkan sapu tangannya, dan beberapa kali dia mengebut ke arah ular-ular itu dengan pengerahan
sinkang. Bubuk putih yang mengena tubuh ular dan yang tersebar di sekeliling ular itu terkena kebutan
saputangannya lalu beterbangan ke mana-mana.
Melihat ini, panglima wanita itu nampak terkejut sekali, tetapi dia hanya mengerutkan alis dan tidak berkata
apa-apa, sungguh pun dia tahu bahwa dara penaluk ular itu sungguh-sungguh amat lihai ilmu
kepandaiannya. Ular-ular itu tidak menderita lagi setelah semua bubuk putih diterbangkan bersih dari
tempat itu, dan begitu Ci Sian mengeluarkan suara melengking halus, ular-ular itu lalu bergerak pergi dari
tempat itu, meninggalkan beberapa ekor ular yang telah mati dalam pertempuran tadi, bagaikan
sekumpulan pasukan pulang dari medan perang meninggalkan mayat kawan-kawan mereka!
“Terima kasih, Ci Sian, kau baik sekali. Sekarang kau obatilah pengawal-pengawalku yang luka oleh
gigitan ular-ular berbisa itu,” kata pula Siok Lan. Ci Sian memandang ke arah dua puluh empat orang
pengawal yang mengerang-erang kesakitan itu dan dia pun mengangguk, lalu menghampiri.
“Tidak perlu, aku bisa mengobati mereka!” Tiba-tiba wanita perkasa itu berkata, nada suaranya tidak
senang. “Siok Lan, apa sih sukarnya menolong mereka? Kau gunakan batu bintang hijau ini untuk
menyedot racun dari tubuh mereka!” kata Sang Ibu dan tangannya bergerak. Batu berkilauan itu melayang
ke arah Siok Lan yang menyambut dan menerimanya dengan cekatan sekali, menggunakan tangan
kanannya.
Dia pun menoleh kepada Ci Sian sambil tersenyum. “Adik Ci Sian, kau lihatlah betapa lihainya ibuku!”
Dan dia pun menghampiri para pengawal itu, menempelkan sebentar batu hijau itu pada luka dan sungguh
menakjubkan sekali, dalam waktu beberapa detik saja semua racun telah disedot oleh batu bintang hijau
itu dan mereka semua tertolong, hanya menderita luka kecil bekas gigitan yang tentu saja tidak ada artinya
lagi karena racunnya telah lenyap.
Tentu saja Ci Sian memandang dengan kagum dan diam-diam dia juga heran atas kelihaian wanita yang
menjadi ibu Siok Lan itu. Ketika mengembalikan batu hijau itu kepada ibunya, Siok Lan berkata, suaranya
mengandung kemanjaan, “Ibu, aku suka bersahabat dengan Adik Ci Sian yang lihai ini, aku akan
mengajaknya menjadi tamu di tempat tinggal kita. Boleh bukan?”
Panglima itu mengerutkan alisnya, lalu mengerling ke arah Ci Sian sambil berkata singkat. “Sesukamulah,
akan tetapi jangan suruh dia main-main dengan ular lagi, aku tidak akan mau mengampuninya lain kali!”
Setelah berkata demikian, dengan cekatan sekali walau pun dia berpakaian perang, wanita itu meloncat ke
atas punggung kudanya dan memberi tanda kepada pasukannya untuk pergi dari situ.
Siok Lan tersenyum memandang kepada Ci Sian. “Ibuku hebat, bukan?”
Ci Sian mengangguk, bukan hanya untuk menyenangkan hati sahabat barunya ini, melainkan
sesungguhnya dia pun menganggap wanita tadi hebat! Dan dia merasa suka kepada Siok Lan, karena dia
melihat hal-hal yang baik pada diri gadis ini. Pertama, Siok Lan tidak mau melawannya yang bertangan
kosong dengan senjata, hal ini sudah membuktikan kegagahannya, dan ke dua, Siok Lan malah mintakan
ampun baginya kepada ibunya, yang tentu saja bermaksud menyelamatkannya dari bahaya maut, sungguh
pun dia sendiri tadi sama sekali tidak takut menghadapi ancaman hujan anak panah. Dan hal itu saja
sudah membuat Siok Lan patut menjadi sahabatnya, di samping keuntungan baginya untuk memasuki
Lhagat dan mencari Lauw-piauwsu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah menyuruh para pengawalnya mengumpulkan kembali kuda yang tadi melarikan diri karena takut
ular, Siok Lan lalu mengajak Ci Sian berkuda menuju ke Lhagat. Dia memberi seekor kuda kepada Ci Sian
dan mengajak dara itu mendahului para pengawal menuju ke Lhagat, karena pengawal-pengawalnya
selain masih luka dan kaget juga terpaksa mereka boncengan karena tak semua kuda dapat mereka
kumpulkan kembali.
Hal ini saja sudah menimbulkan rasa suka dalam hati Ci Sian. Sudah jelas bahwa Siok Lan merupakan
bekas lawan yang tidak mampu menandinginya, dan kalau saja dia menghendaki, tentu dengan mudah dia
dapat mencelakakan puteri panglima itu, apalagi kalau melakukan perjalanan berdua. Akan tetapi Siok Lan
mengajak dia melakukan perjalanan bersama, berdua saja, hal ini menunjukkan betapa Siok Lan sudah
percaya sepenuhnya kepadanya!
Ketika mereka tiba di pintu gerbang kota Lhagat tentu saja Ci Sian dapat memasuki kota itu dengan
mudah, bahkan ketika dia dan Siok Lan lewat berkuda, para penjaga cepat memberi hormat yang tentu
saja ditujukan kepada puteri panglima itu.
Siok Lan membawa sahabat barunya itu ke dalam gedung besar yang tadinya menjadi tempat tinggal
kepala daerah Lhagat. Kini, setelah pasukan Nepal menguasai Lhagat, kota itu menjadi semacam benteng
dan gedung itu dipakai oleh panglima bala tentara Nepal yang melakukan penyerbuan ke daerah Tibet,
yaitu panglima wanita yang kebetulan bertemu dengan Ci Sian itu, ialah ibu dari gadis cantik bersama Siok
Lan.
Setelah tinggal di dalam gedung di kota Lhagat itu sebagai tamu dan sahabat Siok Lan, kemudian mereka
berdua bercakap-cakap panjang lebar, barulah Ci Sian mengerti mengapa Siok Lan suka kepadanya dan
ingin bersahabat dengannya. Kiranya Siok Lan adalah seorang gadis peranakan, ibunya seorang puteri
Nepal sedangkan ayahnya seorang berbangsa Han yang menurut Siok Lan adalah seorang pendekar
besar yang tak pernah dilihatnya dan juga Ibunya tidak pernah menyebut siapa nama pendekar itu.
“Aku hanya diberi nama bangsamu di samping nama Nepal, yaitu Siok Lan, dan aku sendiri tidak tahu
siapa nama she (nama keturunan) Ayah kandungku itu,” kata gadis itu dengan nada kesal. “Ibu amat keras
hati dan tidak pernah mau bercerita tentang Ayah kandungku. Bahkan ketika Ayah tiriku masih hidup, dia
pun tidak pernah mau bercerita tentang Ayahku yang sebenarnya.”
“Ayah tirimu....?” Ci Sian bertanya, heran dan juga tertarik.
Siok Lan memegang tangan Ci Sian dan menarik napas panjang. “Ibu melarang aku bercerita tentang ini,
dan aku pun tidak pernah bicara kepada orang lain tentang riwayat kami ini, akan tetapi aku suka
kepadamu dan kau sudah kuanggap adik sendiri, Ci Sian. Dengarlah Ibuku adalah seorang wanita
perkasa, akan tetapi bukan bangsawan, melainkan puteri seorang pendeta yang sejak kecil mempelajari
ilmu-ilmu silat. Ibu menikah dengan seorang pangeran Nepal, dan karena ibu pandai ilmu perang, maka dia
lalu menduduki pangkat dalam kemiliteran. Ketika aku terlahir dan sudah agak besar, aku hanya tahu
bahwa Ibu adalah isteri pangeran Nepal. Akan tetapi aku sejak kecil memakai pakaian anak bangsa Han.
Kemudian Ibu mengatakan bahwa pangeran yang menjadi suaminya itu adalah Ayah tiriku, sedangkan
Ayah kandungku adalah seorang pendekar Han. Hanya itulah! Ibu tidak mengatakan siapa pendekar itu
dan apakah dia masih hidup....”
Siok Lan tampak berduka, kemudian melanjutkan. “Karena wajahku adalah wajah wanita Han, juga kulitku,
maka aku merasa terasing dan tidak mempunyai teman. Aku tekun belajar ilmu silat dari Ibu, akan tetapi
aku tidak pernah hidup bahagia di kalangan Istana Nepal. Ada bisik-bisik bahwa aku adalah anak haram,
bahwa aku adalah berdarah bangsa lain dan sebagainya. Maka, ketika Ibu memimpin tentara menyerbu
Tibet, aku ikut! Dan aku pun ikut bertempur! Dan di sini aku bertemu dengan engkau, betapa
menyenangkan hati!”
Ci Sian yang kini mengerti mengapa gadis itu suka bersahabat dengan dia, yang dianggap merupakan
orang sebangsa, dan pula juga sama-sama suka ilmu silat, bahkan puteri panglima itu agaknya kagum
akan ilmu silatnya yang lebih tinggi, lalu bertanya sambil lalu, “Akan tetapi mengapa tentara Nepal
menyerbu ke sini?” dan dengan hati-hati ditambahnya, “Dan mengapa pula pasukan Kerajaan Ceng
kabarnya dikurung di lembah?”
Sepasang mata itu nampak bercahaya penuh semangat, seperti mata ibunya yang menjadi pangllma itu.
“Tentu saja! Sejak dahulu Tibet memiliki hubungan batin yang erat dengan Nepal, dan boleh dibilang Tibet
merupakan daerah yang tunduk kepada Nepal. Akan tetapi semenjak Tibet diduduki dan ditaklukkan oleh
dunia-kangouw.blogspot.com
Kerajaan Ceng di timur, sikap Tibet tidak bersahabat, bahkan sering memusuhi Nepal. Kedudukan Nepal
agak kacau oleh seorang koksu yang ternyata seorang jahat yang hendak memberontak, maka selama itu
kami diam saja. Kini, setelah kami dapat menghimpun kekuatan, di bawah pimpinan Ibuku kami menyerbu
untuk menghajar orang-orang Tibet. Ehhh, tahu-tahu pasukan Kerajaan Mancu di negerimu itu
mencampuri, tentu saja kami tidak tinggal diam.”
Mendengar ini, Ci Sian yang tidak ingin mencampuri urusan perang, juga yang tidak tahu apa-apa tentang
politik, diam saja. Bahkan dia berpura-pura menaruh simpati karena dia ingin memperoleh kepercayaan
agar dia mendapat kesempatan menyelidiki dan mencari Lauw-piauwsu, satu-satunya orang yang agaknya
dapat menunjukkan di mana adanya ayah kandungnya.
Kota Lhagat memang sudah mulai ramai dan biasa kembali setelah kini perang tidak lagi terjadi di daerah
itu. Pasukan Tibet telah didesak mundur terus sampai jauh masuk ke daerah Tibet sendiri, sedangkan
pasukan yang tidak berapa kuat itu masih menanti-nanti bantuan dari timur, dari Kerajaan Ceng.
Sementara itu, pasukan Ceng yang dikurung di lembah bukit juga tak mampu menyerbu ke luar, maka
keadaan untuk sementara dapat dikatakan tenang, sungguh pun sewaktu-waktu diharapkan akan meledak
pertempuran besar lagi, baik dari pasukan yang terkurung itu kalau menyerbu ke luar kepungan mau pun
kalau datang bala bantuan dari Kerajaan Ceng. Sementara itu, panglima wanita itu telah mendatangkan
bala bantuan pula dari Nepal untuk sewaktu-waktu mengadakan pukulan terakhir, menyerbu sampai ke ibu
kota Tibet.
Karena keadaan menjadi tenang kembali, kota Lhagat mulai ramai, para pedagang mulai berani
berdagang, para pemburu mulai lagi bekerja dan para petani mulai lagi berladang. Juga ternyata sekarang
oleh Ci Sian betapa sebenarnya Siok Lan tidak membohong, bahwa ibu gadis itu amat keras terhadap
pasukan-pasukannya dan setiap kali terdapat gangguan pasukan yang menyeleweng atau pun melakukan
kejahatan, terutama perkosaan, tentu akan dihukum berat. Namun, tentu saja kadang-kadang sering kali
terjadi pelanggaran-pelanggaran. Maklum dalam keadaan perang di mana hawa napsu merajalela
menguasai hati semua manusia.
Ketika dia ditanya oleh Siok Lan, Ci Sian juga hanya mengatakan bahwa namanya Ci Sian bahwa dia pun
tidak pernah melihat ayah bundanya dan bahwa dia tadinya ikut dengan kakeknya dan kakeknya itu tewas
ketika mereka mengadakan perantauan di daerah Himalaya. Diceritakannya bahwa dia bertemu dengan
Yeti dan kemudian dia berguru kepada seorang pertapa aneh yang berjuluk See-thian Coa-ong.
Mendengar disebutnya nama ini, Siok Lan berseru girang, “Ahh, sudah kuduga bahwa engkau tentu murid
pertapa aneh itu! Tentu Ibu pun sudah menduganya, maka dia mau mengampunimu!”
“Ehh, kau mengenal Guruku?”
“Siapa tidak pernah mendengar nama See-thian Coa-ong? Dia itu orang Nepal, akan tetapi kata Ibu, sejak
muda dia pergi merantau dan bertapa di daerah Himalaya. Ilmu kepandaiannya hebat sekali, kata Ibu, dan
agaknya, Ibu mengingat dialah maka Ibu bersikap lunak terhadapmu, Ci Sian. Kalau tidak demikian,
kiranya engkau tentu telah dibunuhnya. Ibu keras sekali terhadap musuh. Ceritakan kepadaku tentang
orang aneh itu, Adikku, kabarnya dia itu.... ehh, kawin dengan ular?”
Ci Sian tertawa. “Mana ada manusia kawin dengan ular, Enci Lian? Suhu itu manusia biasa, hanya dia
suka bertapa dan mempelajari ilmu, dan.... kesukaannya yang lain adalah mengadu ilmu, ilmu apa saja!
Memang dia ahli menjinakkan ular, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa dia kawin dengan ular!”
“Soal ilmu perularan ini di Nepal tidak asing lagi, Adik Sian. Akan tetapi aku sendiri selalu takut, ngeri dan
jijik terhadap ular. Bukankah binatang itu jahat dan berbahaya sekali?”
“Tidak lebih jahat dan berbahaya dari pada manusia, Enci Lian.”
“Mengapa kau berkata demikian?”
“Ular tidak pernah pura-pura. Sebagai sahabat dia setia dan sebagai musuh dia jujur dan tidak curang
seperti manusia.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka lalu bicara tentang ilmu silat dan dengan sejujurnya karena dia pun mulai merasa suka kepada
Siok Lan, Ci Sian memberi petunjuk dalam hal ilmu silat kepada teman barunya ini sehingga hubungan
mereka semakin akrab.
Setelah tinggal selama beberapa hari di Lhagat, Ci Sian mendengar berita yang amat menggelisahkan
semua orang, terutama sekali golongan atas, para pimpinan pasukan Nepal, yaitu bahwa ada seorang
tokoh besar, seorang jenderal yang berilmu tinggi dari Kerajaan Ceng hendak datang melakukan
penyelidikan ke Lhagat dengan tugas untuk menolong dan membebaskan pasukan Ceng yang terkepung
di lembah itu. Bahkan Siok Lan membuka rahasia siasat ibunya yang menjadi panglima bahwa
pengepungan pasukan itu memang sengaja dilakukan untuk memancing datangnya tokoh-tokoh Kerajaan
Ceng untuk kemudian ditangkap dan dijadikan sandera untuk memaksa Kerajaan Ceng menarik mundur
semua pasukannya dan tidak melakukan ‘campur tangan’ terhadap gerakan Nepal untuk menyerbu dan
menguasai Tibet.
Ci Sian mulai dipercaya oleh Siok Lan, bahkan panglima wanita yang bernama Puteri Nandini, ibu Siok Lan
itu juga tidak begitu memperhatikan Ci Sian yang dianggapnya hanya seorang dara kang-ouw yang baru
turun dari perguruannya, apalagi ketika dia mendengar dari puterinya bahwa Ci Sian adalah murid Seethian
Coa-ong seperti yang memang telah diduganya semula ketika dia melihat dara itu pandai menguasai
ular-ular.
Begitu sukanya Siok Lan kepada sahabat barunya ini, dan begitu percayanya sehingga tidak jarang Ci Sian
diajak oleh puteri panglima itu melakukan perondaan di sekitar Lhagat untuk meneliti keadaan dalam
tugasnya membantu pekerjaan ibunya. Pada suatu senja, kedua orang dara remaja itu melakukan
perondaan dan seperti biasa kalau melakukan perodaan seperti itu, mereka menggunakan ilmu
kepandaian mereka, berloncatan ke atas genteng-ganteng rumah untuk melihat kalau-kalau ada penjahat
beraksi, atau untuk mendengar-dengarkan kalau-kalau mereka akan dapat menangkap rahasia apakah
Jenderal Ceng atau tokoh pandai pihak musuh sudah ada yang menyelundup ke dalam kota Lhagat.
Selagi dia menggunakan ginkang dengan cepat berkelebat di atas genteng-genteng rumah, tiba-tiba Ci
Sian berhenti karena telinganya menangkap rintihan atau keluhan wanita yang sedang ketakutan, di
antaranya tangis seorang bayi! Melihat Ci Sian berhenti lalu mendekati sahabatnya yang berdiri di atas
genteng dan kemudian dia mengikuti Ci Sian yang meloncat ke atas genteng rumah di sebelah kiri, lalu
keduanya berjongkok di atas sebuah kamar rumah dari mana terdengar keluhan dan tangis bayi itu.
“Kalau engkau tetap keras kepala dan menolak, bayimu ini akan kukirim ke neraka lebih dulu!” terdengar
suara bentakan tertahan, agaknya orang yang membentak itu pun tidak ingin membuat gaduh.
“Jangan.... ohh, jangan bunuh anakku....“ terdengar suara seorang wanita sambil terisak ketakutan.
Ci Sian cepat membuka genteng dan mereka berdua mengintai ke dalam. Apa yang mereka lihat di
sebelah dalam kamar itu membuat keduanya terbelalak dengan muka berubah merah dan pandang mata
penuh kemarahan! Seorang laki-laki tinggi besar bermuka bengis, pakaiannya menunjukkan bahwa dia
seorang perwira rendahan dari pasukan Nepal, sedang mencengkeram baju seorang anak kecil berusia
kurang dari setahun, mengangkat anak itu dengan tangan kirinya ke atas sedangkan tangan kanannya
yang memegang sebatang golok besar itu diancamkan ke leher anak itu yang seolah-olah hendak
disembelihnya!
Anak itu meronta-ronta lemah dan menangis. Seorang wanita muda, paling banyak dua puluh dua tahun
usianya, berwajah cukup manis dan bertubuh montok karena masih menyusui, berlutut dengan air mata
bercucuran dan dua tangan menyembah-nyembah minta diampuni.
“Engkau masih menolak kehendakku?” bentak laki-laki itu bengis.
“Aku mau.... ahhh, aku mau.... lepaskan anakku....“ Wanita itu menangis sambil dengan tangan gemetar
mulai menanggalkan bajunya.
Melihat ini, perwira rendahan itu tertawa, melemparkan anak itu ke atas pembaringan, menancapkan
goloknya di atas meja dan dengan buas dia menubruk wanita itu lalu memeluk dan menciuminya penuh
nafsu. Wanita itu, demi keselamatan anaknya, hanya merintih dan menangis, tidak berani menolak atau
melawan lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja Ci Sian dan Siok Lan marah bukan main. Akan tetapi sebelum dua orang dara ini mampu
melakukan sesuatu, tiba-tiba jendela kamar itu jebol dan dari luar melayang sesosok tubuh yang
gerakannya ringan sekali. Tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pria berpakaian prajurit Nepal, akan tetapi
wajah orang ini tidak dapat nampak jelas dari atas genteng.
Perwira yang sedang menciumi wanita itu dan tangannya mulai merobeki pakaian korbannya terkejut dan
kelihatan marah. Namun, sebelum dia mampu mengeluarkan suara, tangan kiri prajurit itu bergerak dan
terdengar suara benda pecah ketika tangan itu menampar dan mengenai kepala perwira itu! Tubuh perwira
itu terpelanting dan tewas seketika! Wanita itu terbelalak ketakutan, lalu menghamplri anaknya yang masih
menangis, mendekap anaknya sambil menangis sesenggukan.
Prajurit yang tubuhnya tidak seberapa besar itu mengeluarkan sekantung uang dan menaruh kantung itu
ke atas meja. Terdengar suaranya lembut, suara dalam bahasa daerah yang tidak kaku. “Jangan takut, aku
akan menyingkirkan mayat. Sebaiknya engkau bawa pindah anakmu dari Lhagat, dan uang ini dapat kau
pergunakan untuk biaya.”
Setelah berkata demikian, prajurit itu memondong tubuh yang sudah tewas itu, lalu meloncat dengan
gerakan yang amat tangkas keluar kamar melalui jendela. Akan tetapi sebelum ia melompat itu, dia
menengadah ke atas, seolah-olah dapat memandang dua orang dara yang berada di atas genteng!
Wajahnya tidak dapat nampak jelas, akan tetapi Ci Sian terkejut sekali melihat sepasang mata yang
mencorong seperti mata naga, mengingatkan dia akan mata dari pendekar sakti Suling Emas atau Kam
Hong!
“Lekas.... kita kejar dia! Dia mencurigakan sekali, aku mau tahu siapa prajurit itu!” Bisik Siok Lan dan kedua
orang dara ini cepat melayang turun dari genteng dan ketika mereka melihat tubuh prajurit yang
memanggul mayat itu berlari cepat, mereka segera mengejarnya.
Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa prajurit itu dapat berlari cepat sekali! Mereka
berdua sudah mengerahkan seluruh ginkang mereka, namun tetap saja dalam waktu singkat prajurit itu
telah lenyap, seolah-olah dapat terbang atau pandai menghilang! Tentu saja kedua orang dara ini menjadi
penasaran.
Mereka adalah dua orang dara yang memiliki kepandaian silat tinggi, sedangkan yang dikejar hanya
seorang prajurit biasa, yang malah sedang memanggul tubuh perwira yang tewas itu, namun ternyata
mereka tidak mampu mengejarnya! Dengan penasaran sekali Siok Lan mengajak Ci Sian mencari-cari,
namun hasilnya nihil. Prajurit yang memanggul mayat itu lenyap. Bahkan setelah Siok Lan memerintahkan
pasukan untuk membantunya, tetap saja tidak dapat menemukan prajurit itu. Akhirnya mereka merasa
putus harapan dan duduk beristirahat dengan hati mengandung penuh penasaran.
“Dia itu pasti seorang mata-mata,” kata Siok Lan. “Tidak mungkin ada seorang prajurit biasa yang memiliki
ilmu kepandaian seperti itu!”
“Memang dia lihai sekali,” Ci Sian membenarkan. “Cara dia dengan hanya sekali tampar membunuh
perwira itu dan ketika dia melarikan diri. Betapa pun, kita tetap harus mengaguminya, karena dia telah
menolong wanita yang sengsara itu.”
Siok Lan mengerutkan alisnya. “Dia lancang! Dia telah membunuh seorang perwira pasukan kami dan dia
tidak berhak!”
“Akan tetapi, Enci Lan, engkau tidak adil! Bukankah perwira itu cabul dan jahat sekali? Andai kata orang itu
tak membunuhnya, aku sendiri tentu turun tangan membunuhnya!” Ci Sian yang berwatak jujur itu berkata
terus terang.
“Memang aku sendiri pun sudah ingin turun tangan. Akan tetapi, engkau harus ingat bahwa penjahat itu
adalah seorang perwira, maka dia tunduk kepada hukum dan disiplin. Mengapa harus orang lain yang
menghukumnya, apalagi kalau orang lain itu agaknya adalah mata-mata musuh?”
“Betapa pun juga, sekarang terbukti lagi bahwa orang-orangmu jahat-jahat, Enci Lan. Perwira itu sungguh
berhati binatang, bahkan seperti iblis jahatnya, patut sekali dia dibunuh sampai sepuluh kali!”
Siok Lan menarik napas panjang. “Aahh, begitulah perang. Menurut ilmu perang yang kupelajari dari Ibuku,
memang perang selalu mendatangkan akibat-akibat seperti itu! Pasukan yang berada dalam perang selalu
dunia-kangouw.blogspot.com
terancam nyawanya, penuh dengan dendam dan rasa takut, penuh dengan kebencian terhadap musuh.
Hal ini baik sekali untuk semangat pasukan. Lagi pula mereka itu jauh dari keluarga, jauh dari isteri
sehingga rata-rata menjadi lemah kalau melihat wanita. Nah, semua itu mendorong timbulnya perbuatanperbuatan
seperti yang kita lihat, Adik Sian.”
“Jadi, menurut anggapanmu, perbuatan itu tidak salah dan sudah sepatutnya? Apakah engkau tidak
membayangkan bagaimana seandainya engkau yang menjadi wanita itu, Enci yang baik?” Biar pun nada
suaranya halus, namun penuh ejekan dan kemarahan.
Siok Lan tersenyum dan menyentuh lengan sahabatnya. “Simpan kemarahanmu, Adik Ci Sian. Aku tadi
sudah bilang bahwa aku sendiri akan membunuhnya kalau tidak didahului oleh mata-mata itu! Aku hanya
menceritakan keadaan yang sebenarnya, bukan melindunginya atau membelanya. Oleh karena itu, Ibu
mengeluarkan peraturan keras dan disiplin. Akan tetapi, sudah tentu saja kadang-kadang terjadi
pelanggaran oleh orang-orang yang lemah batinnya dan dan hal ini adalah lumrah. Kurasa di seluruh dunia
pun terjadi hal-hal yang sama di waktu terjadi perang. Akan tetapi, jangan karena ada satu dua orang
tentara yang dikuasai nafsu itu melakukan pelanggaran lalu engkau memberi cap bahwa semua pasukan
Nepal seperti itu! Buktinya, aku sendiri adalah puteri panglima pasukan Nepal yang berkuasa di sini, akan
tetapi aku menentang keras perbuatan jahat itu.”
Kini mengertilah Ci Sian dan dia pun mengangguk-angguk. Diam-diam dia merasa kagum karena biar pun
usia Siok Lan masih muda, paling banyak setahun lebih tua dari padanya, namun sudah memiliki
pengetahuan yang luas.
“Sekarang, apa yang hendak kau lakukan, Enci Lan?”
“Aku akan segera melaporkan kepada Ibu. Prajurit itu sangat mencurigakan dan melihat kelihaiannya, tentu
dia seorang tokoh besar Kerajaan Ceng, atau.... siapa tahu, dia malah jenderal yang diberitakan akan
datang ke sini itu....” Lalu dia menghela napas panjang dan berkata, “sayang.... kita tidak dapat melihat
wajahnya dengan jelas.”
“Ahh, kurasa tidak mungkin dia seorang tokoh besar, apalagi jenderal. Biar pun aku juga tidak dapat
melihat wajahnya dengan jelas, namun gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia adalah seorang pria yang
masih muda, atau setidaknya, belum tua benar.”
Siok Lan mengangguk. “Apa anehnya seorang jenderal perkasa dan tokoh besar yang masih muda? Ibuku
sendiri seorang wanita, dan belum tua benar, namun dia telah dipercaya untuk memimpin pasukan yang
menyerbu ke sini dan menjadi panglima.”
Tiba-tiba datang seorang perwira melapor bahwa ada seorang prajurit yang sikapnya mencurigakan
kelihatan di luar kota Lhagat. Mendengar ini, Siok Lan dan Ci Sian lupa akan kelelahan tubuh mereka yang
semalam suntuk tidak tidur itu dan cepat mereka lalu pergi ke tempat yang ditunjukkan itu.
Ketika mereka mengintai, memang benar ada seorang prajurit yang berjalan perlahan sambil
menundukkan kepala. Karena mereka melihat dari jauh, dari belakang, maka mereka pun tidak tahu
apakah benar prajurit itu yang mereka lihat semalam. Akan tetapi, menurut laporan penyelidik, prajurit itu
baru saja mengubur mayat di lereng bukit itu, maka tidak salah lagi tentulah prajurit itu yang telah
membunuh perwira dan yang mereka kejar-kejar.
“Mari kejar dia!” Siok Lan berseru dan Ci Sian sudah melompat keluar dari balik pohon dan mengerahkan
ginkang untuk mengejar.
Karena memang kepandaian Ci Sian lebih tinggi setingkat, maka dia yang lebih dulu lari dan Siok Lan
mengejar di belakangnya. Tiba-tiba prajurit itu menoleh. Sejenak saja, dan kembali Ci Sian melihat sinar
mata mencorong, maka dia pun tidak ragu-ragu lagi. Itulah orang yang mereka cari-cari. Mereka berdua
mengejar terus, akan tetapi kini prajurit itu pun melarikan diri, sedemikian cepat larinya sehingga sebentar
saja dua orang dara perkasa itu telah kehilangan jejaknya!
“Keparat! Dia menghilang lagi!” Siok Lan memaki sambil mengepal tinju ketika mereka berdua tiba di luar
sebuah hutan dan tidak tahu ke mana lenyapnya prajurit yang mereka kejar itu. “Mari kita mencari terus!”
Ci Sian juga merasa penasaran. Tentu saja dia tidak mempunyai keinginan seperti Siok Lan yaitu
menangkap atau menyerang prajurit itu. Akan tetapi dia ingin sekali bertemu dan melihat wajah prajurit itu
dunia-kangouw.blogspot.com
dan mengetahui apakah benar dia itu adalah mata-mata Kerajaan Ceng, terutama apakah benar dugaan
Siok Lan bahwa dia itu adalah seorang tokoh besar atau jenderal yang didesas-desuskan itu. Maka mereka
lalu melakukan pengejaran dan Siok Lan yang sejak kecil diajar ilmu perang dan sudah berpengalaman itu
dapat mengikuti jejak orang itu dengan melihat daun-daun kering yang berserakan atau jejak-jejak yang
halus di atas tanah.
Menjelang tengah hari, tibalah mereka di tepi sungai. Siok Lan yang menjadi pemburu jejak itu berlari di
depan sedangkan Ci Sian mengikuti dari belakang. Di tepi sungai itu nampak sebuah perahu dan seorang
pengail ikan sedang duduk di ujung perahu memegang joran pancing. Mereka cepat berlari menghampiri
dan melihat bahwa pengail itu adalah seorang pemuda remaja yang sedang tekun memancing. Wajah
pemuda itu sebetulnya tampan, akan tetapi ketika menoleh kepada mereka, nampak betapa sepasang
matanya itu juling dan mulutnya agak menyerong, ujung kiri ke bawah dan ujung kanan ke atas. Cacat
pada mata dan mulut ini tentu saja membuat wajahnya yang berkulit putih itu dan berbentuk tampan itu
menjadi buruk dan menggelikan.
“Heeii, apakah engkau melihat seorang prajurit lewat di sini?” Siok Lan bertanya dengan napas agak
terengah-engah karena dia tadi berlari-lari.
Pemuda itu memandang dengan mata julingnya, lalu menjawab agak bersungut-sungut. “Kalian ini
mengganggu saja! Ikan-ikan pada lari mendengar kalian membikin bising. Sejak pagi aku tidak melihat
seorang pun kecuali kalian dan sungguh sialan ikan-ikan yang sudah mulai mendekati umpan kini
beterbangan pergi lagi!”
“Kalau ikan-ikan dapat terbang, kepalamu pun dapat kubikin terbang!” Siok Lan yang merasa kecewa dan
gemas itu mengomel, tangan kanannya menghantam ujung batu di tepi sungai itu.
“Krakkk!” Ujung batu itu pecah berantakan terkena tamparan tangannya yang berkulit halus itu.
Pengail itu melongo dan mukanya menjadi semakin buruk, apalagi kini tangan kirinya mengusap dahi dan
ternyata tangannya itu kotor sehingga mukanya menjadi coreng moreng.
“Am.... ampunkan.... saya....,” katanya gemetar dan joran pancing di tangannya itu kini menggigil seperti
kalau umpannya disambar ikan.
“Nah, jangan main-main sekarang. Katakan apakah engkau tidak melihat seorang laki-laki lewat di sini?
Seorang yang berpakaian prajurit?”
“Ti.... tidak.... tidak ada.... tidak ada orang lain....”
“Berani sumpah?”
“Saya berani sumpah.... tidak ada orang lain di sini.... kecuali saya sendiri, Nona....”
Dengan hati mengkal Siok Lan lalu melanjutkan pengejarannya, menyusuri tepi sungai itu. Dia tidak melihat
betapa Ci Sian tersenyum geli dan sekali lagi Ci Sian menoleh ke arah pengail itu yang melanjutkan
pekerjaannya dengan tekun.
Setelah lewat tengah hari dan sama sekali tidak menemukan jejak prajurit itu, dengan hati kecewa dan
penasaran sekali Siok Lan lalu mengajak Ci Sian pergi dari situ dan ketika mereka lewat di tepi sungai
yang tadi, perahu Si Pengail itu sudah tidak nampak lagi. Agaknya Si Pengail merasa jemu karena tidak
berhasil dan pindah ke tempat lain.
Siok Lan mengajak Ci Sian menemui ibunya dan melaporkan semua peristiwa tentang prajurit aneh yang
membunuh perwira itu. Panglima Nandini marah sekali. Cepat dia memanggil pembantunya dan
memerintahkan agar memperkeras tindakan terhadap anak buah yang melakukan kejahatan, dan juga
agar lebih memperketat penjagaan dan menambah penyelidik untuk menangkap mata-mata yang
menyamar sebagai prajurit itu dan untuk menangkap setiap orang mata-mata yang berani menyusup ke
Lhagat.
Ci Sian diam-diam merasa kagum sekali kepada mata-mata yang menyamar sebagai prajurit itu dan dia
mengambil keputusan untuk ikut menyelidiki, bukan sekali-kali untuk melaporkan atau mencelakakan matamata
itu, melainkan untuk belajar kenal karena dia tahu bahwa mata-mata itu memiliki ilmu kepandaian
dunia-kangouw.blogspot.com
yang amat tinggi. Dan dia pun sudah dapat mendengar bahwa Lauw-piauwsu sekarang mendekam di
penjara sebagai seorang tawanan penting karena ternyata Lauw-piauwsu sudah ikut pula menentang
penyerbuan pasukan Nepal, dan malah telah memimpin orang-orang untuk melakukan perlawanan ketika
pasukan Nepal menyerbu Lhagat. Oleh karena itulah maka dia dianggap musuh dan kini ditahan dalam
penjara yang dijaga ketat sehingga sukarlah bagi Ci Sian untuk dapat menolongnya. Mengharapkan
pertolongan dari Siok Lan dia belum berani, karena melihat betapa Lauw-piauwsu dianggap musuh maka
jangan-jangan dia sendiri malah akan dicurigai. Maka dia menanti saat baik untuk dapat menyelamatkan
piauwsu itu.
Beberapa hari telah lewat tanpa ada peristiwa penting dan mata-mata yang menyamar sebagai prajurit itu
agaknya telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Karena tidak terjadi peristiwa penting, maka keadaan di
Lhagat kembali menjadi tenang sehingga orang-orang berani melanjutkan pekerjaan sehari-hari dengan
tenteram.
Siok Lan dan Ci Sian setiap hari masih saja meronda, namun tidak pernah memergoki sesuatu yang
mencurigakan. Pada suatu pagi, Siok Lan menyatakan kepada Ci Sian bahwa dia akan pergi menyelidiki
serombongan pemburu yang kabarnya sedang melakukan perburuan di sebelah bukit yang penuh dengan
hutan-hutan lebat di mana banyak terdapat binatang-binatang buruan. Mendengar ini, Ci Sian menjadi
gembira. Dia membutuhkan hiburan dan pergantian keadaan, dan memang dia sendiri pun suka berburu.
Siok Lan yang sudah dipesan oleh ibunya agar berhati-hati, telah mempersiapkan sepasukan pengawal.
Akan tetapi dia ingin bebas bersama Ci Sian, maka dia hanya memerintahkan para pengawal untuk
menyusul ke bukit itu, sedangkan dia sendiri bersama Ci Sian telah mendahului naik kuda dan
membalapkan kuda mereka keluar dari Lhagat menuju ke bukit itu, sebuah bukit yang tidak jauh letaknya
dari bukit di mana terdapat lembah tempat pasukan musuh dikurung.
Siok Lan adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng oleh ibunya sendiri, dengan ilmu silat dan ilmu
perang sehingga dia memiliki keberanian yang tidak kalah oleh laki-laki yang gagah perkasa. Apalagi kini
ada Ci Sian di sampingnya, yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari padanya dan
boleh diandalkan, maka tentu saja dia menjadi semakin berani. Dengan membalapkan kuda, dua orang
dara itu tiba di kaki bukit dan memandang ke atas. Bukit itu memang penuh dengan hutan dan terkenal
sebagai bukit yang dihuni oleh banyak binatang buas, menjadi tempat yang baik sekali bagi para pemburu,
di samping, tentu saja, juga amat berbahaya karena di situ masih banyak terdapat harimau-harimau yang
besar dan ganas.
“Mari, Adik Sian!” Siok Lan berkata dengan gembira dan dia sudah membedal kudanya naik ke bukit
memasuki hutan lebat.
Ci Sian juga menjadi gembira sekali dan dengan cepat dia mengikuti sahabatnya itu. Ternyata hutan itu
selain lebat sekali, juga jalannya kecil melalui jurang-jurang yang curam. Namun, karena Siok Lan adalah
seorang ahli menunggang kuda, maka dia tidak takut dan membalapkan kudanya menyusup di antara
pohon-pohon, melompati semak belukar dan berlari cepat di tepi jurang yang mengerikan.
“Heii, Enci Lan, hati-hatilah!” Beberapa kali Ci Sian memperingatkan sahabatnya yang dianggap bersikap
lengah di tempatnya berbahaya seperti itu.
Namun Siok Lan hanya menjawab dengan suara ketawa panjang dan terpaksa Ci Sian juga membedal
kudanya untuk mengikuti karena dia tidak mau kalau sampai terpisah dari sahabatnya itu di tempat yang
asing ini.
Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang disusul auman menggetarkan jantung dan dari balik semaksemak
belukar keluarlah seekor harimau yang luar biasa besar. Kuda yang ditunggangi Siok Lan terkejut
dan ketakutan, meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depan ke atas lalu meronta dan membedal ke
depan!
“Enci Lan, lompatlah....!” Ci Sian berseru kaget, cepat mengejar dengan membalapkan kudanya dan tidak
mempedulikan harimau yang masih menggeram dahsyat itu. Namun Siok Lan tidak mau melompat turun,
berusaha menguasai kudanya yang kabur dan panik penuh rasa takut itu.
Seekor kuda yang sudah ketakutan amatlah berbahaya kalau ditunggangi. Kuda yang panik itu berlari
dengan kacau dan tidak melihat lagi rintangan di depannya. Memang sebaiknya kalau dapat melompat
turun dari atas punggung seekor kuda yang lari ketakutan seperti itu. Akan tetapi Siok Lan adalah seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
dara yang keras hati. Sejak kecil dia sudah mahir menunggang kuda, maka kini pun dia tidak mau
mengalah dan dia merasa sanggup untuk menguasai kembali kudanya yang kabur ketakutan itu. Dengan
menarik kendali kuda dia hendak mengekang dan memaksa kudanya untuk berhenti. Kuda itu meringkik
dan berdiri di atas kedua kaki belakang, mendengus dan meringkik marah karena rasa nyeri pada
mulutnya, kemudian begitu kendali itu mengendur, dan meloncat ke depan dan tentu saja tubuhnya
melayang turun karena di depannya adalah jurang!
“Enci Lan....!” Ci Sian menjerit ketika melihat betapa kuda itu bersama Siok Lan terjatuh ke dalam jurang!
Akan tetapi pada saat itu, dari tepi jurang sebelah kiri menyambar sinar hitam kecil dari seuntai tali yang
meluncur dengan amat cepatnya ke bawah, ke arah tubuh Siok Lan yang melayang di atas punggung
kudanya dan disusul teriakan seorang laki-laki yang nyaring. “Cepat tangkap tali ini!”
Tali itu ternyata merupakan laso yang meluncur cepat sekali dan tahu-tahu sudah melaso tubuh Siok Lan
dari atas. Kalau dara itu tidak cepat menangkap tali yang menjiratnya, tentu lehernya akan terjirat dan
sentakan itu tentu membahayakan nyawanya. Untung baginya, dia mendengar teriakan itu dan cepat dia
melepaskan kendali kuda dan menangkap tali yang menjirat tubuhnya, maka ketika luncuran tubuhnya
tertahan oleh laso itu, lehernya tidak terjerat dan dia dapat menahan dengan kekuatan kedua tangannya!
Kini tubuhnya tergantung pada tali laso itu.
Ci Sian sudah melompat turun dan berlari menghampiri pemuda yang memegang ujung tali di mana Siok
Lan bergantung di bawah sana. Tanpa diminta, tanpa mengeluarkan kata-kata, dia pun membantu pemuda
itu menarik tali perlahan-lahan dan akhirnya tubuh Siok Lan dapat ditarik keluar dari dalam jurang,
sementara kudanya masih terus meluncur turun dan terdengar suara gedebukan mengerikan ketika
akhirnya tubuh kuda itu menimpa dasar jurang tentu saja hancur dan tewas!
Siok Lan agak menggigil ketika dia dapat ditarik ke tepi jurang. Sejenak dia memandang ke dasar jurang,
kemudian menoleh kepada pemuda itu. Dia tercengang karena pemuda itu ternyata adalah seorang
pemuda tampan dan gagah, biar pun pakaiannya biasa dan kasar saja dan sikapnya amat sederhana.
Seorang pemuda dusun atau seorang pemuda pemburu.
“Terima kasih, engkau telah menyelamatkan nyawaku,” kata Siok Lan kepada pemuda itu yang kelihatan
tersipu malu.
“Ahh, hanya kebetulan saja aku dapat menyelamatkanmu, Nona. Aku girang bahwa engkau demikian
cekatan dapat menangkap tali lasoku,” kata pemuda itu sederhana.
“Kepandaianmu hebat sekali!” kata Ci Sian memuji.
Pemuda itu memandang kepada Ci Sian, kemudian menunduk dan memandang tali laso di tangannya, lalu
menjawab dengan sikap wajar, “Tali laso ini? Ahhh, Nona, aku adalah seorang pemburu dan akhir-akhir ini
banyak pedagang yang membutuhkan binatang-binatang hidup, maka kami para pemburu hanya
mempelajari ilmu melempar laso untuk dapat menangkap binatang hutan hidup-hidup. Baru saja aku
sedang mengintai dan membayangi seekor kijang untuk kutangkap dengan laso ini ketika aku melihat Nona
ini terjatuh dengan kudanya ke dalam jurang.”
“Jadi engkau adalah seorang di antara para pemburu yang sedang memburu binatang di bukit ini?” Siok
Lan bertanya sambil memandang tajam.
“Benar, Nona. Kami berkemah di puncak bukit. Aku she Liong bernama Cin.... dan sungguh amat
mengherankan bertemu dengan dua orang dara remaja di tempat seperti ini. Tidak tahu siapakah Ji-wi dan
hendak ke mana....?”
“Enci ini adalah puteri panglima pasukan Nepal....”
Siok Lan cepat memandang kepada Ci Sian penuh teguran, akan tetapi Ci Sian sudah terlanjur bicara
sehingga dia tak dapat mencegah lagi sahabatnya itu memperkenalkan dirinya. Sementara itu, pemuda
pemburu itu nampak terkejut dan cepat-cepat dia menjura dengan hormat.
“Ahh, harap Nona sudi memaafkan, karena tidak mengerti....“
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sudahlah, engkau telah menyelamatkan aku dan aku berterima kasih kepadamu. Sekarang antarkan kami
ke perkemahan para pemburu, aku ingin melihat keadaan mereka,” kata Siok Lan.
Mereka bertiga lalu menyusup-nyusup di antara pohon-pohon menuju ke perkemahan itu. Kuda
tunggangan Ci Sian dituntun oleh pemburu muda itu. Akhirnya tibalah mereka di perkemahan para
pemburu. Ternyata di situ berkumpul tujuh belas orang pemburu yang semua terdiri dari laki-laki yang
kasar dan kuat. Akan tetapi begitu mendengar dari Liong Cin bahwa Siok Lan adalah puteri panglima
pasukan Nepal, para pemburu itu bersikap hormat.
Melihat keadaan mereka yang betul-betul tengah memburu binatang, dengan hasil-hasil buruan, mati atau
hidup, dikumpulkan di perkemahan mereka. Siok Lan percaya dan tidak menaruh curiga. Setelah
menerima hidangan mereka yang berupa panggang daging-daging binatang buruan, Siok Lan dan Ci Sian
berpamit. Mereka diantar oleh Liong Cin dan seekor kuda diberikan oleh mereka kepada Siok Lan. Ketika
hendak berpisah, Siok Lan melepaskan seuntai kalung dari lehernya, sebuah kalung dengan hiasan bunga
teratai emas dihias permata, dan menyerahkan kalung itu kepada Liong Cin.
“Sebagai tanda terima kasihku atas budi pertolonganmu tadi, terimalah kalungku ini,” katanya singkat.
Liong Cin menerimanya dan Siok Lan lalu membedal kudanya meninggalkan pemuda itu, diikuti oleh Ci
Sian, dan dipandang oleh Liong Cin yang masih berdiri bengong dengan kalung itu di tangannya.
“Ehhh, Enci Lan, dia itu gagah dan tampan, ya?” kata Ci Sian ketika dia berhasil menjajarkan kudanya di
samping kuda Siok Lan.
“Apa? Siapa?” Siok Lan nampak terkejut karena agaknya dia sedang melamun.
“Aihh, siapa yang kau beri hadiah?” Ci Sian menggoda.
“Hushh! Aku memberi hadiah karena dia telah menyelamatkan nyawaku! Itu merupakan suatu kenyataan
dan bukankah sudah sepatutnya kalau aku kemudian memberi hadiah kepadanya? Jangan kau mengira
yang bukan-bukan!”
“Ihh, siapa yang mengira bukan-bukan? Aku pun hanya mengatakan yang sebenarnya. Bukankah dia
memang tampan dan dia gagah karena sudah menolongmu? Kau kira aku menyangka apakah Enci Lan?”
Siok Lan cemberut dan membalapkan kudanya. Ci sian mengejar sambil tertawa.
“Enci Lan, jangan marah dong! hanya mau bilang bahwa dia tentu senang sekali memiliki kalung yang
biasa kau pakai di lehermu.”
Siok Lan menahan kudanya, lalu menoleh, memandang kepada sahabatnya itu. “Ehh, apa maksudmu?”
Ci Sian tertawa. “Maksudku engkau tahu sendiri, hi-hik!”
“Ehh, anak nakal! Engkau genit, ya? Kucubit bibirmu....!” Siok Lan meraih dengan tangannya untuk
mencubit, Ci Sian mengelak dan melarikan kudanya, dikejar oleh Siok Lan.
Kedua orang dara itu berkejaran sambil bersendau-gurau, tertawa-tawa dan akhirnya mereka memasuki
kota Lhagat dengan selamat. Siok Lan memberi laporan kepada ibunya tentang para pemburu yang
dikatakannya adalah pemburu-pemburu tulen dan orang baik-baik. Para pengawal yang terpaksa balik
kembali ketika mereka bertemu dengan dua orang dara yang berkejaran itu, tidak melihat apa-apa. Atas
pesan Siok Lan, Ci Sian juga tidak mau bicara tentang pemburu muda yang telah menyelamatkan
sahabatnya itu kepada orang lain. Siok Lan sendiri hanya secara singkat menceritakan kepada ibunya
bahwa kudanya kaget melihat harimau dan membawanya terjun ke jurang, akan tetapi seorang di antara
para pemburu itu telah menyelamatkannya dengan menggunakan tali laso. Mendengar ini, Puteri Nandini
terkejut juga, akan tetapi akhirnya dia mengangguk-angguk dengan alis berkerut.
“Lain kali kau harus hati-hati. Dan bagaimana pun juga, kita harus menyuruh penyelidik mengamat-amati
para pemburu itu. Seorang pemburu mampu menolong dengan laso seperti itu, cukup aneh dan
mencurigakan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, Ibu terlalu curiga kepada semua orang pandai. Kalau memang dia itu berniat buruk dan kalau dia itu
mata-mata musuh, tentu dia sudah mengenalku dan mana mungkin mata-mata musuh mau
menyelamatkan puteri panglima musuhnya?” Ucapan ini dapat diterima oleh panglima wanita itu, maka
kecurigaannya terhadap para pemburu itu pun banyak berkurang.
Sunyi sekali malam itu, akan tetapi para penjaga berjaga-jaga penuh kewaspadaan di sekeliling bukit yang
terkurung itu. Baru kemarin pagi, ketika matahari baru timbul, ada penjaga-penjaga di bagian barat bukit itu
melihat adanya bayangan-bayangan orang berkelebat dan bagai beterbangan saja cepatnya naik ke atas
bukit. Mereka tidak tahu bagaimana ada orang-orang mampu menyusup melalui penjagaan mereka.
Ataukah bayangan sosok tubuh itu bukan bayangan manusia? Para penjaga sudah menghujankan anak
panah ke arah bayangan-bayangan itu, akan tetapi tak ada yang berhasil. Anak-anak panah itu seperti
mengenai bayangan-bayangan saja! Oleh karena itu, malam ini juga diadakan penjagaan ketat setelah
terjadinya peristiwa itu.
Pasukan yang bertugas menjaga dengan anak panah di tangan telah siap dan setiap beberapa jam sekali
pasukan ini diganti agar mereka tidak sampai kelelahan dan kurang waspada. Menjelang tengah malam,
dari atas bukit nampak ada cahaya berkedip dan cahaya ini lalu meluncur turun ke bukit. Melihat ini, para
penjaga sudah siap menyambut karena tidak mungkin ada cahaya turun tanpa dibawa orang. Setelah agak
dekat, dari jauh para penjaga dapat melihat bahwa cahaya itu adalah sebatang obor yang bernyala. Hal ini
menimbulkan keyakinan dalam hati mereka bahwa memang ada orang yang berlari turun membawa obor
itu.
“Siap....!” bisik komandan pasukan panah.
Para penjaga itu sudah mencabut anak panah dan menyiapkan anak panah pada busur masing-masing.
Kini dari cahaya obor itu dapat nampak bahwa yang melarikan obor memang benar seorang manusia yang
bergerak ringan dan cepat sekali.
“Berhenti!” Tiba-tiba komandan jaga membentak.
Akan tetapi, pembawa obor itu malah melemparkan obornya ke arah para penjaga. Tentu saja keadaan
menjadi geger.
“Serang!” Komandan memberi aba-aba dan puluhan batang anak panah meluncur ke arah tempat di mana
orang tadi nampak.
Setelah melemparkan obornya, tentu saja keadaan di mana orang itu berdiri menjadi gelap dan tidak
nampak lagi orang itu. Kiranya orang itu, yang memiliki gerakan amat gesitnya, telah menyelinap ke dalam
kegelapan malam, menjauhi penerangan yang ada di tempat penjagaan, dan dapat menyusup pergi selagi
para penjaga menjadi panik.
Akan tetapi karena bayangan itu telah lenyap, para penjaga tidak dapat berbuat lain kecuali melakukan
penjagaan semakin ketat agar jangan ada lagi orang dari atas bukit yang terkurung itu dapat meloloskan
diri. Sementara itu, bayangan tadi dengan sangat cepat telah berlari seperti terbang saja di antara pohonpohon
dan menuju ke kota Lhagat!
Dan malam itu terjadi geger di gedung yang menjadi tempat tinggal Sang Panglima, yaitu Puteri Nandini!
Tanpa dilihat oleh seorang pun penjaga yang menjaga gedung itu dengan ketat, sesosok bayangan
manusia menyelinap dan memasuki kamar kerja Sang Panglima wanita itu, dan setelah menggeledah
sepuasnya, baru dia meloncat keluar sambil membawa beberapa buah benda yang amat penting.
Kebetulan sekali pada saat itu Puteri Nandini sedang melakukan ronda dan telinganya yang amat tajam itu
dapat menangkap suara yang tidak wajar ini. Dengan gesit, seperti seekor burung walet saja, panglima ini
yang memakai pakaian biasa karena dia hanya meronda di gedung tempat tinggalnya sendiri, meloncat ke
atas genteng. Sungguh kebetulan sekali, pada saat itu maling yang memasuki kamar kerjanya itu baru saja
melayang naik.
“Berhenti!” bentak Puteri Nandini.
Akan tetapi bayangan itu hendak meloncat pergi dan sekali menggerakkan tangan, panglima ini sudah
menyerang bayangan itu dengan lemparan senjata rahasianya yang amat berbahaya, yaitu segenggam
jarum yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh batang. Jarum-jarum halus itu menyambar seperti anakdunia-
kangouw.blogspot.com
anak panah kecil, lembut sekali sehingga tidak nampak, hanya sinarnya saja berkelebat, dan seluruh tubuh
maling itu telah dijadikan sasaran, dari mata sampai ke lutut kaki! Akan tetapi, betapa kaget hati Sang
Panglima ketika dengan amat mudahnya, bayangan itu meloncat ke samping dan dengan kebutan lengan
baju, jarum-jarumnya runtuh semua ke atas genteng!
“Mata-mata busuk, menyerahlah engkau atau mati!” bentak Puteri Nandini.
Kini dia menyerang dengan tubrukan seperti seekor harimau betina. Tubuhnya meloncat ke depan, kedua
lengannya terbentang dan kedua tangannya sudah bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah leher,
dan yang kiri menusuk dengan totokan ke arah lambung. Sungguh serangan ini hebat bukan main dan
amat berbahaya!
Akan tetapi, orang itu sungguh lihai bukan main. Biar pun menghadapi serangan yang amat berbahaya ini,
dia bersikap tenang saja, tangan kirinya masih tetap memegang benda-benda yang diambilnya dari dalam
kamar itu, yaitu sebuah gulungan kertas dan beberapa buah buku.
“Plak! Plak!”
Dua kali tangannya menangkis dan akibatnya tubuh panglima itu terpental! Tentu saja Puteri Nandini
terkejut. Keadaan di atas genteng demikian gelapnya sehingga dia tidak dapat melihat wajah orang itu,
hanya dapat menduga bahwa lawannya ini adalah seorang pria yang perawakannya sedang dan tegap,
akan tetapi dia tidak dapat mengatakan apakah pria ini tua ataukah muda. Pada saat dia terhuyung oleh
tangkisan yang amat kuat itu, dari bawah melayang naik beberapa orang perwira pengawal yang
berkepandaian cukup tangguh, di antara mereka ada yang membawa obor. Melihat ini, orang itu melompat
jauh ke depan dan sekali loncat saja dia telah turun ke atas tanah, jauh di samping gedung itu.
Bukan main kagetnya hati Sang Panglima menyaksikan kehebatan ginkang dari orang itu. Maka dia pun
cepat meloncat turun sambil berteriak. “Cepat kejar!”
Sambil mengejar, Puteri Nandini mencabut pedangnya. Dia merasa menyesal mengapa tadi memandang
rendah lawannya. Kalau saja dari tadi dia mencabut pedang, tentu setidaknya dia dapat mendesak dan
mengurung, tidak memberi kesempatan kepada maling itu untuk dapat meloloskan diri.
Dan memang ginkang orang itu hebat sekali. Walau pun Sang Puteri dan para perwira pengawal mengejar
mati-matian, tetap saja mereka tertinggal jauh dan sebentar saja orang itu sudah lenyap ditelan kegelapan
malam. Dan betapa pun para penjaga telah melakukan penjagaan ketat pada pintu-pintu gerbang dan para
pengawal juga sudah melakukan pencarian di seluruh kota Lhagat, semua itu sia-sia belaka.
Bayangan yang memasuki gedung panglima itu lenyap dan bersama dia, lenyap pula beberapa buah
benda yang penting dari dalam kamar kerja Puteri Nandini. Benda-benda itu adalah sebuah peta dari kota
Lhagat dan sekelilingnya, termasuk peta yang amat jelas dan terperinci dari bukit di mana terdapat lembah
yang menjadi tempat pasukan Ceng yang terkepung. Ada pula buku-buku, catatan Sang Panglima tentang
penyerbuannya dan rencana-rencana penyerbuan ke Tibet selanjutnya. Dan dengan lenyapnya semua itu,
tentu saja Puteri Nandini menjadi marah bukan main dan dia terpaksa akan diharuskan merubah semua
rencana penyerbuannya!
Setelah terjadi peristiwa itu, desas-desus tentang jenderal sakti dari pihak musuh menjadi semakin santer.
Betapa pun Sang Panglima mencoba untuk merahasiakan kehilangan benda-benda yang amat penting itu,
namun berita bahwa ada seorang mata mata musuh menyerbu gedung dan lalu dapat lolos, padahal Sang
Panglima sendiri yang mengejarnya, membuat geger semua orang dan menggetarkan hati para perwira
Nepal.
Desas-desus ini bukan hanya membikin gentar hati orang-orang Nepal, akan tetapi juga membesarkan hati
orang-orang Tibet dan penduduk kota Lhagat yang mengharapkan terusirnya pasukan Nepal dari situ.
Mereka yang telah dirugikan, dirampok, dibunuh sanak keluarganya, atau diperkosa isteri dan anaknya,
diam-diam amat mengharapkan pasukan Tibet atau pasukan Ceng dapat menghancurkan pihak musuh
yang mereka benci itu.
Bahkan di antara para penghuni tetap kota Lhagat itu terdapat pula orang-orang jahat yang dahulunya
menjadi jagoan-jagoan di situ dan yang hidupnya dari memeras kanan kiri mengandalkan keberanian dan
kelihaian mereka, dan setelah Lhagat diduduki pasukan Nepal mereka itu kehilangan pengaruh dan
sumber penghasilan. Mereka ini pun menaruh dendam kepada tentara asing itu, dan kini mereka pun mulai
dunia-kangouw.blogspot.com
nampak berani karena mereka percaya bahwa jenderal sakti dari Kerajaan Ceng itu agaknya muncul!
Orang-orang seperti ini beranggapan bahwa munculnya jenderal sakti itu seolah-olah hendak membantu
dan melindungi mereka!
Betapa banyaknya kita melihat di sekitar kita keadaan seperti ini. Dengan jelas kita melihat, semenjak dulu
seperti yang kita baca dalam catatan sejarah, sampai sekarang ini pun, orang-orang yang sesungguhnya
melakukan perbuatan-perbuatan sesat setiap harinya, memeras, menipu, mengandalkan kekuasaan dan
kedudukan, mengandalkan harta kekayaan, mengandalkan kepintaran, melakukan penindasan sewenangwenang.
Yang berkedudukan tinggi menekan yang lebih rendah, yang lebih rendah menekan yang rendah
lagi, dan selanjutnya. Hukum rimba berlaku di mana-mana. Siapa kuasa dia menang dan dia benar!
Akan tetapi anehnya, kita semua masing-masing merasa bahwa kita benar! Kita saling memperebutkan
pahala dan jasa! Kita masing-masing merasa bahwa kitalah orang terbaik, orang paling berguna, paling
patriot dan sebagainya. Beginilah akibat dan hasilnya kalau kita tidak belajar mengenal diri sendiri. Segala
sesuatu mengenai diri kita, yang kita ingat hanyalah segi-segi baiknya saja, sebaliknya segala sesuatu
mengenai diri orang lain hanya kita ingat segi-segi buruknya belaka.
Kalau saja kita masing-masing belajar mengenal diri sendiri, mengamati diri sendiri dan tidak membiarkan
mata kita menilai orang-orang lain, tentu akan nampak jelas betapa buruk dan kotornya kita ini masingmasing.
Dan hanya kewaspadaan dan kesadaran dalam pengamatan terhadap diri sendiri setiap saat inilah
yang mungkin sekali dapat mengadakan perubahan dalam diri kita masing-masing. Dan kalau kita sendiri
sudah berubah, barulah dapat diharapkan masyarakat, bangsa, dunia akan berubah keadaan
kehidupannya, tidak seperti sekarang ini di mana permusuhan, kebencian, dendam, iri hati, dan perang
merajalela.
Karena sesungguhnya keadaan dunia tak dapat dipisahkan dari keadaan alam batin kita masing-masing.
Kitalah yang membuat dunia seperti keadaannya pada saat ini, kita masing-masinglah yang bertanggung
jawab untuk itu. Oleh karena itu, harus terdapat perubahan pada diri kita, pada batin kita masing-masing.
Seorang di antara mereka yang biasa mempergunakan keberanian dan kepandaian untuk memeras orang
lain adalah seorang jagoan yang bernama Su Khi. Mungkin karena dia ini masih peranakan Mancu, dan
pada waktu itu bangsa Mancu dianggap sebagai bangsa besar karena berhasil menguasai seluruh
Tiongkok, maka dia merasa angkuh dan lebih tinggi dari pada orang lain. Hal ini ditambah lagi dengan
kepandaian silatnya yang membuat dia dijuluki Toa-to Hui-houw (Harimau Terbang Bergolok Besar), maka
membuat Su Khi menjadi besar kepala dan menganggap bahwa di dunia ini tidak ada yang lebih gagah
dari pada dia.
Ketika pasukan Nepal menyerbu dan menguasai Lhagat, Su Khi yang selain jahat dan sewenang-wenang
juga amat cerdik ini, hanya bersembunyi, tidak ikut melawan. Dia tahu bahwa tiada gunanya melawan
pasukan yang besar sekali jumlahnya! Maka dia pun selamat dan tidak dimusuhi oleh pasukan Nepal! Akan
tetapi diam-diam tentu saja dia amat benci kepada pasukan Nepal yang dianggap amat merugikannya,
membuat dia tidak berani berkutik dan kehilangan nama besar dan sumber hasilnya.
Kini, semenjak munculnya penyerbuan gedung panglima dan santernya desas-desus tentang jenderal
sakti, bahkan dikabarkan orang bahwa jenderal itu telah siap untuk merebut Lhagat, Su Khi mulai beraksi.
Mulailah dia keluar dan mengganggu penduduk, minta apa saja yang dikehendakinya dengan ancaman,
seperti dulu sebelum pasukan Nepal datang.
Akan tetapi Su Khi tidak tahu bahwa perbuatannya itu menimbulkan keluhan penduduk yang lalu terdengar
oleh Ci Sian! Gadis ini menjadi marah sekali, apalagi ketika dia mendengar bahwa Su Khi bukan hanya
ditakuti karena kepandaian dan kekejamannya, tetapi juga karena Su Khi pandai menyogok para penjaga
keamanan dan membagikan barang rampasannya kepada para penjaga sehingga dia seperti terlidung oleh
para penjaga Nepal.
Pagi hari itu, ketika seperti biasa Toa-to Hui-houw Su Khi sedang menjalankan aksinya, menggoda
seorang dara remaja anak seorang pemilik warung nasi dan minta dilayani untuk sarapan dengan memilih
makanan yang paling enak, tiba-tiba Ci Sian muncul di depan warung itu sambil membentak, “Si Keparat
yang bernama Su Khi itu di mana? Hayo keluar!”
Su Khi terkejut mendengar bentakan ini, dan terheran-heran ketika melihat bahwa yang menegurnya
hanyalah seorang dara remaja yang cantik sekali. Dia belum pernah bertemu dengan Ci Sian dan tidak
tahu siapa adanya dara ini. Maka tentu saja dia marah sekali dimaki keparat oleh seorang dara remaja
dunia-kangouw.blogspot.com
seperti itu di depan banyak orang. Dia, seorang ‘patriot’ yang terlindung pula oleh para penjaga Nepal, kini
dihina seorang gadis, malah seorang yang masih amat muda, seperti kanak-kanak.
Cepat dia keluar dari warung itu setelah melepaskan lengan perawan cilik yang tadi dia pegang, kemudian
sambil menyambar golok besar yang selalu dibawanya, dia berjalan keluar dengan sikap mengancam dan
golok besarnya kemudian diamang-amangkan untuk menakut-nakuti anak perempuan itu. Namun Ci Sian
memandang kepadanya dengan sinar mata marah dan bibir tersenyum mengejek.
“Engkaukah yang telah berani berlancang mulut memaki Toa-to Hui-houw Su Khi tadi?” Dia membentak
setelah berhadapan dengan Ci Sian, memandang dara itu dari atas sampai ke bawah dan diam-diam dia
terpesona oleh kecantikan dara itu.
“Benar!” jawab Ci Sian. “Apakah engkau yang bernama Su Khi itu?”
“Betul, akulah Toa-to Hui-houw Su Khi!” Dia membolak-balik goloknya sehingga nampak sinar berkilauan
ketika cahaya matahari pagi menimpa permukaan golok.
“Tukang pukul jahanam yang suka menghina penduduk dan memeras orang-orang lemah dengan
mengandalkan golok penyembelih babi itu? Kaukah itu?”
Wajah Su Khi menjadi merah sekali, matanya melotot dan alisnya yang tebal bergerak-gerak, hidungnya
mendengus-dengus penuh kemarahan. “Kau.... kau.... bocah bosan hidup! Berani engkau memakiku?
Hemmm.... akan kubunuh engkau....! Tidak, akan kutelanjangi engkau di depan umum, kemudian engkau
harus melayani aku sampai engkau bertobat!”
Berkata demikian, dia menubruk maju, tangan kirinya yang besar itu mencengkeram ke arah dada Ci Sian,
maksudnya untuk merenggut baju itu agar terlepas. Akan tetapi, dengan setengah langkah ke belakang, Ci
Sian sudah dapat mengelaknya dan sekali tangan kiri dara itu menyambar ke depan.
“Plokkk!” terdengar suara dan tubuh besar itu terpelanting roboh!
Semua orang yang menyaksikan peristiwa ini terkejut dan bengong, akan tetapi mereka semua lalu
tersenyum girang melihat betapa dara jelita itu dengan mudah mampu menghajar jagoan sombong ini.
Su Khi terbelalak dan merangkak bangun, meraba pipi kanannya yang menjadi bengkak terkena tamparan
tadi. Dia tadi merasa seperti disambar petir, maka terkejutlah dia, dan dia pun tahu bahwa dia berhadapan
dengan seorang dara yang memiliki kepandaian silat tinggi! Pantas saja dara itu berani memakinya,
kiranya mengandalkan ilmu silat pikirnya.
“Perempuan setan! Berani engkau melawan aku, ya? Benar-benar engkau bosan hidup, dan sekarang, aku
tidak akan mau mengampunimu lagi!” Berkata demikian, Su Khi lalu menggerakkan goloknya dan sekarang
dia menubruk dan membacok dengan goloknya, serangan yang dimaksudkan membunuh dara itu dengan
satu kali bacok!
Hemm, manusia ini memang kejam luar biasa, pikir Ci Sian. Dia maklum bahwa tadi pun orang itu
sungguh-sungguh hendak menelanjanginya, dan tentu akan melaksanakan ancamannya kalau mampu.
Sekarang pun menyerang dengan niat membunuh. Manusia seperti ini memang tidak layak dibiarkan
hidup, hanya akan membahayakan kehidupan orang lain saja. Maka begitu melihat lawan membacok, dia
cepat menghindar dan dia pun maklum bahwa orang ini seperti gentong kosong, hanya nyaring suaranya
saja, karena sesungguhnya hanya mengandalkan ilmu silat kasar dan tenaga besar belaka. Maka, biar pun
golok itu setelah luput membacok terus menyambar-nyambar dengan ganasnya, dengan mudahnya Ci
Sian dapat mengelak ke kanan kiri, kadang-kadang melompat tinggi menghindarkan golok yang membabat
kaki, sambil tersenyum-senyum.
Sementara itu, banyak penduduk berdatangan ke tempat itu dan melihat perkelahian yang mereka anggap
mengerikan itu, karena mereka merasa ngeri membayangkan betapa golok besar tajam itu akan membabat
tubuh dara remaja itu. Sekali sambar saja pinggang ramping itu tentu akan putus!
“Perempuan setan, bocah hina, mampuslah!” Su Khi membacok lagi dan ketika Ci Sian mengelak, dia
melanjutkan dengan babatan pada paha dara itu, Ci Sian melompat tinggi ke atas, kaki kirinya bergerak
menendang dengan kecepatan yang sukar dapat diikuti pandang mata lawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Plokk!” Dagu yang kuat itu bertemu ujung sepatu. Kepala Su Khi seperti terlempar ke belakang dan
tubuhnya terjengkang.
“Brukkk!” Dia terbanting roboh dan di antara para penonton ada yang tertawa, akan tetapi cepat-cepat
ditutupinya mulutnya dengan tangan.
Su Khi bangkit dan mukanya sebentar pucat sebentar merah, dari ujung bibirnya terus mengalir darah
karena bibirnya pecah tergigit sendiri ketika dagunya tertendang tadi, napasnya terengah-engah dan
hidungnya mendengus-dengus seperti seekor kerbau gila.
“Kau.... kau.... siapa kau dan mengapa engkau memusuhi aku?” dia akhirnya bertanya karena dia tahu
bahwa anak perempuan itu sungguh bukan orang sembarangan.
Ci Sian tersenyum. “Orang macam engkau tidak patut mengenal aku, ketahuilah bahwa kalau engkau
berjuluk Harimau Terbang, aku adalah seorang ahli pembunuh harimau busuk yang mengganggu
ketenteraman penduduk di sini.”
Pada saat itu, karena terjadi keributan, dari jauh datang sekelompok penjaga yang terdiri dari belasan
orang. Melihat ini, bangkit kembali keberanian Su Khi karena dia merasa yakin akan mendapat bantuan
dari para penjaga yang sudah biasa disogoknya itu, maka dia lalu membentak, dengan suara nyaring
karena memang dimaksudkan agar terdengar oleh para penjaga yang berlarian mendatangi itu.
“Siluman betina! Engkau tentu mata-mata jahat!” Dan dia pun lalu menyerang kembali dengan ganas.
Marahlah hati Ci Sian. Tadi dia bermaksud memberi hajaran saja, akan tetapi melihat lagak orang ini yang
agaknya mengandalkan para penjaga itu, dia makin menjadi muak dan begitu golok berkelebat, dia
mengelak dan tangannya menyusup masuk melalui bawah sinar golok.
“Kekkk!” Tubuh tinggi besar itu terbungkuk dan roboh menelungkup, goloknya terlepas dari tangannya.
Ci Sian menginjakkan kaki kanannya di atas punggung di bawah tengkuk Su Khi dan jagoan itu tak dapat
berkutik lagi! Dia merasa seolah-olah punggungnya tertindih benda yang beratnya ratusan kati,
membuatnya sukar dapat bernapas dan ia hanya mengeluh terengah-engah seperti babi terhimpit. Dan
pada saat itu, belasan orang penjaga sudah datang mendekat dan mereka telah mencabut golok masingmasing,
serta dengan sikap mengancam mereka mendekati Ci Sian.
“Kalian mau apa?” bentak Ci Sian menatap para penjaga itu dengan marah.
“Kau mata-mata....?!” Para penjaga membentak, “Lepaskan dia, dia adalah sahabat kami!”
“Huh, siapa tidak mendengar bahwa kalian sudah makan sogokan dari jahanam ini?” Ci Sian balas
membentak.
Kepala pasukan lalu membentak marah. “Serang! Tangkap dia!”
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara nyaring, “Tahan!” dan di situ telah muncul Siok Lan yang menatap
para penjaga dengan muka merah dan mata marah. Wanita cantik ini berdiri dengan sikap tenang dan
menyilangkan kedua lengan di atas dadanya, lalu berkata dengan lantang, “Siapa yang hendak menyerang
dan menangkap sahabatku ini?”
Para penjaga terkejut ketika melihat munculnya Siok Lan. Kepala penjaga itu dengan golok di tangan
menunjuk kepada Ci Sian, “Maaf, tapi dia.... dia itu.... telah menganiaya Su Khi....“
“Hemm, kalian menjadi kaki tangan penjahat ini, ya?” bentak Siok Lan dan wanita ini menyambung sambil
berteriak nyaring. “Hayo berlutut, kalian manusia-manusia busuk!”
Empat belas orang penjaga itu terkejut bukan main. Cepat-cepat mereka menjatuhkan diri berlutut. Siok
Lan mengangkat tangan kanan ke atas dan muncullah beberapa orang pengawal. “Mereka ini telah biasa
makan suap dari penjahat, maka sudah sepatutnya diberi hukuman. Cambuk mereka masing-masing
sepuluh kali dan komandan mereka lima belas kali!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja empat belas orang penjaga itu menjadi ketakutan, akan tetapi mereka tidak berani
membangkang. Lima orang pengawal lalu membuka baju mereka dan tak lama kemudian terdengarlah
bunyi cambuk meledak-ledak ketika lima orang pengawal itu menjatuhkan hukuman itu, di tempat terbuka
dan terlihat oleh semua orang. Darah mengalir dari kulit-kulit punggung yang pecah-pecah dan terdengar
rintihan-rintihan kesakitan. Setelah hukuman itu dijalankan, Siok Lan berkata kepada Ci Sian.
“Adik Sian, kau lepaskan jahanam itu.”
Ci Sian melepaskan injakan kakinya dan Su Khi lalu merangkak bangun dengan mulut merah karena dia
tadi sampai muntah darah.
“Sekarang kuserahkan jahanam itu kepada kalian dan boleh kalian perbuat sesuka hati kalian terhadap dia.
Awas, sekali lagi kalian makan suapan, aku akan minta kepada Ibu agar kalian dihukum penggal kepala!”
kata Siok Lan.
Empat belas penjaga itu menghaturkan terima kasih, kemudian seperti serigala-serigala kelaparan mereka
lalu menangkap Su Khi.
“Tidak.... tidak.... jangan.... ampunkan aku....!” Orang itu berteriak-teriak dan meronta-ronta.
Namun empat belas orang yang telah menerima hukuman yang sangat nyeri itu kini menimpakan semua
dendam mereka kepada Su Khi. Tidak lama kemudian, di luar kota, Su Khi ditelanjangi dan dicambuki oleh
empat belas orang itu sampai kulit tubuhnya pecah-pecah dan dia tewas dalam keadaan mengerikan.
Semenjak terjadi peristiwa itu, nama Ci Sian dikenal. Baru sekarang mereka tahu bahwa gadis bangsa Han
itu menjadi sahabat baik dari puteri panglima dan bahwa dara cantik itu ternyata mempunyai ilmu
kepandaian yang amat hebat! Akan tetapi, para pendekar merasa bersyukur juga bahwa dara itu ternyata
berani membela penduduk, bahkan puteri panglima itu pun telah memperlihatkan keadilan di depan rakyat.
Menurut pendapat Siok Lan dan ibunya, Su Khi malah dianggap sebagai kaki tangan mata-mata yang
sengaja menimbulkan kekeruhan di Lhagat! Memang, sejak terjadinya pencurian di dalam kamar kerja
panglima oleh seorang maling yang berilmu tinggi itu, setiap orang dicurigai dan setiap hari para pengawal
menangkapi orang-orang yang dicurigai sehingga penjara menjadi penuh menampung orang-orang
tangkapan baru ini.
Puteri Nandini sebagai panglima yang paling merasa terpukul dengan adanya pencurian benda-benda
penting dari kamar kerjanya, bertindak keras, bahkan setiap kali ada orang tangkapan baru, dia sendiri
datang untuk memeriksa. Ingin sekali dia dapat menemukan maling yang telah memasuki kamar kerjanya
itu.
Ketika pada suatu pagi ada laporan bahwa tertangkap pula seorang pemuda yang amat mencurigakan
karena malam-malam pemuda itu berkeliaran di dekat bukit tempat tentara musuh terkurung, cepat
panglima itu berpakaian, naik kuda dan datang sendiri ke tempat penangkapan itu. Begitu panglima itu tiba
di tempat penjagaan, para penjaga mendorong seorang pemuda yang kedua kakinya dibelenggu, demikian
pula kedua lengannya. Seorang pemuda yang tampan dan berpakaian sederhana, berwajah terang dan
sama sekali tidak menunjukkan wajah seorang jahat. Akan tetapi justru wajah demikian ini yang
menimbulkan kecurigaan, karena bukankah yang dikirim oleh pihak musuh adalah orang-orang pandai dan
mungkin saja orang-orang yang juga memiliki kedudukan tinggi?
Dari atas kudanya, panglima wanita itu mengamati pemuda tawanan itu dengan penuh perhatian. Pemuda
seperti ini memang pantas menjadi seorang utusan, karena biar pun nampaknya seorang yang lemah,
akan tetapi sinar matanya berkilat membayangkan kekuatan dan kecerdasan. Komandan jaga maju
memberi hormat kepada panglima wanita itu, lalu melaporkan bahwa pemuda itu pagi-pagi sekali tadi
ditangkap ketika sedang menyusup-nyusup seorang diri di dekat perkemahan para penjaga yang sedang
bertugas mengurung bukit di mana pihak musuh terjebak itu.
“Alasannya adalah mencari jejak binatang buruan dan setelah kami menggeledahnya, kami tidak
menemukan senjata pada dirinya, melainkan kalung ini.” Komandan jaga menutup laporannya sambil
menyerahkan seuntai kalung kepada panglimanya.
Puteri Nandini menerima kalung itu dan menyembunyikan kagetnya ketika dia mengenal kalung itu.
Sebuah kalung dengan hiasan berbentuk sebatang bunga teratai emas yang terhias permata. Tentu saja
dunia-kangouw.blogspot.com
dia mengenalnya oleh karena kalung itu adalah kalungnya sendiri di waktu muda dan yang sudah
diberikannya kepada puterinya, Siok Lan! Diam diam dia terkejut dan marah, dan hampir saja dia berteriak
membentak pemuda itu untuk bertanya dari mana pemuda itu memperoleh kalung puterinya. Akan tetapi
dia masih sempat menahan diri dan tidak mau membuka rahasia puterinya sehingga kalau terdengar oleh
para penjaga bahwa kalung puterinya berada pada pemuda ini, tentu akan menimbulkan prasangka yang
buruk.
“Engkau seorang pemburu?” panglima itu bertanya tanpa turun dari atas punggung kudanya.
Pemuda itu mengangguk. “Benar, Li-ciangkun. Saya adalah seorang di antara para pemburu di bukit
sebelah sana itu.”
“Kenapa kau berkeliaran di sini?”
“Semalam kawan-kawan saya mengepung seekor harimau yang amat buas dan yang sudah lama kami
coba untuk menangkapnya. Akan tetapi harimau itu dapat lolos dan saya mengikuti jejaknya sampai ke
sini, tahu-tahu saya ditangkap....”
“Hemm, mengikuti jejak harimau dengan pakaian seperti itu? Pakaianmu bukan seperti pakaian pemburu!”
“Maaf, karena semalam saya memang sudah hendak tidur, sudah terlalu lelah memburu pada siang
harinya. Tetapi mendengar suara ribut-ribut para kawan, saya terbangun dan ikut mengejar harimau yang
lolos....”
Panglima wanita itu lalu memerintahkan untuk menahan pemuda itu di dalam kamar tahanan di tempat
penjagaan itu. “Aku hendak memeriksanya sendiri,” katanya.
Dia pun meloncat turun dari atas kudanya, mengikuti para penjaga yang mendorong pemuda tawanan itu
memasuki rumah penjagaan. Setelah menyuruh semua penjaga pergi, Puteri Nandini memandang kepada
pemuda yang disuruh duduk di depannya itu dengan sinar mata penuh selidik. Kemudian dia
mengeluarkan kalung dari saku bajunya dan memperlihatkannya kepada pemuda itu.
“Dari mana engkau memperoleh kalung ini?” tanyanya halus, tetapi pandang matanya seperti hendak
menembus dada menjenguk isi hati.
Pemuda itu nampak tenang-tenang saja, hanya agak kemalu-maluan ketika mendengar pertanyaan ini.
“Dari.... dari seorang dara....,” jawabnya.
“Hemm, mengapa dia memberikan kalung ini kepadamu?”
Pemuda itu kelihatan semakin malu. “Sebetulnya.... hanya kebetulan saja, Li-ciangkun. Ketika itu.... saya
melihat seorang gadis menunggang kuda dan kudanya itu terkejut karena bertemu harimau, harimau
keparat yang kami kejar-kejar itulah! Dan kudanya terpeleset ke dalam jurang. Kebetulan saya berada di
dekat situ dan saya memang sudah siap dengan laso untuk menangkap harimau, maka saya berhasil
mencegah dia terbawa jatuh ke dalam jurang dengan laso saya....“
Puteri Nandini tidak terkejut karena memang dia tadi sudah menduga demikian. Oleh karena dia menduga
bahwa pemuda ini adalah penyelamat puterinya itulah maka dia tadi memerintahkan penjaga membawa
pemuda itu ke sini untuk diajak bicara. Akan tetapi sekarang pun dia tidak memperlihatkan perasaan apaapa
pada wajahnya yang nampak bengis namun masih tetap cantik itu. Tadi sebelum memasuki tempat ini
dia sudah diam-diam menyuruh pengawalnya untuk cepat-cepat memanggil Siok Lan agar datang ke
tempat ini.
Puteri Nandini menyuruh pemuda itu menceritakan riwayatnya dan mengapa jauh-jauh ke tempat ini untuk
berburu. Pemuda itu bercerita dengan singkat bahwa dia dan rombongannya adalah pemburu-pemburu
yang selain memiliki pekerjaan memburu dan hidup dari hasil buruan, juga suka dengan pekerjaan ini.
“Kami sudah banyak menjelajahi daerah-daerah yang terkenal memiliki binatang-binatang aneh dan buas.
Kami sebetulnya tiba di sini karena tertarik oleh berita tentang binatang atau makhluk aneh yang
dinamakan Yeti atau dikabarkan sebagai manusia salju di daerah Himalaya. Akan tetapi ternyata kami tidak
berhasil menjumpai makhluk itu, maka kami memburu harimau dan lain-lain binatang buas di bukit itu.”
Demikian antara lain pemuda itu bercerita. Dia mengaku she Liong bernama Cin dan sebagai seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
pemburu yang banyak bertualang ke tempat-tempat jauh, dia menguasai bahasa Tibet, bahkan sedikit dia
dapat berbahasa Nepal.
Selagi mereka bicara, terdengarlah suara derap kaki dua ekor kuda di luar rumah penjagaan itu dan tak
lama kemudian masuklah dua orang dara ke dalam ruangan itu. Mereka ini bukan lain adalah Siok Lan dan
Ci Sian. Siok Lan datang dengan sangat cepat setelah menerima panggilan ibunya dan dia mengajak Ci
Sian, apalagi ketika mendengar dari pengawal itu bahwa para penjaga menangkap seorang pemuda yang
mengaku sebagai seorang pemburu dan kini sedang diperiksa oleh panglima.
Begitu mereka masuk dan melihat Liong Cin, Siok Lan segera berkata kepada Ci Sian, “Benar, dia!” Lalu
dia menghampiri ibunya. “Ahhh, Ibu, mereka salah tangkap! Dia ini adalah pemburu yang pernah
menyelamatkan aku dulu!”
Puteri Nandini mengangguk. “Aku sudah menduganya, hanya menanti kedatanganmu untuk kepastiannya.”
Lalu Sang Puteri ini memandang kepada pemuda itu, tersenyum dan berkata. “Orang muda, kau maafkan
kesalahan para penjaga kami. Akan tetapi engkau juga bersalah mengapa mengejar buruan sampai dekat
dengan perkemahan kami. Harap beritahu kawan-kawanmu agar jangan mendekati tempat ini.”
Liong Cin menggeleng kepalanya dengan sedih. “Tak mungkin mereka berani mendekat ke sini lagi, Liciangkun.
Setelah mendengar atau melihat saya ditangkap, saya berani memastikan bahwa mereka tentu
sudah lari ketakutan dan tidak akan kembali lagi ke tempat ini.”
Panglima itu mengerutkan alisnya dan memandang tajam. “Kalau begitu kini engkau ditinggalkan oleh
teman-temanmu?”
Liong Cin mengangguk. “Selama ini kami memang sudah khawatir melihat betapa tempat buruan kami
dekat dengan medan perang dan sudah sering kali kami beruding untuk pergi saja. Akan tetapi harimau
itu....”
“Sudahlah, orang muda. Aku menyesal bahwa engkau terpaksa ditinggalkan teman-temanmu. Sekarang
engkau boleh bebas. Engkau adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi, harap kau suka
melepaskan belenggu tangan dan kakimu sendiri.” Panglima itu mencoba.
Tetapi pemuda itu menggeleng kepala dan mukanya menjadi merah. “Harap Li-ciangkun tidak main-main.
Mana mungkin saya dapat melepaskan diri dari belenggu yang sekuat ini?”
“Tapi engkau telah mampu menyelamatkan puteriku.”
“Itu lain lagi, Li-ciangkun. Saya memang mempelajari ilmu mempergunakan tali laso, akan tetapi untuk
mematahkan belenggu-belenggu ini.... sungguh saya tidak sanggup melakukannya.”
Panglima itu tersenyum. Senyumnya hanya sebentar saja, seperti kilatan cahaya di hari mendung. Lalu
dihampirinya pemuda itu dan dengan kedua tangannya panglima wanita itu mematah-matahkan belenggu
pada kaki tangan itu sedemikian mudahnya, bagaikan mematahkan ranting-ranting kecil saja! Pemuda itu
terbelalak penuh kaget dan kagum menyaksikan kehebatan tenaga panglima wanita ini.
Dan memang itulah yang dikehendaki oleh Puteri Nandini, agar pemuda ini terkejut dan jeri sehingga tidak
akan berani melakukan hal-hal yang dapat merugikan pasukan Nepal. Biar pun dia percaya kepada
pemuda ini, akan tetapi pemuda ini adalah bangsa Han, maka sudah tentu saja sedikit banyak dia masih
bersikap hati-hati dan curiga.
Siok Lan menghampiri pemuda itu dan berkata dengan suara menyesal. “Harap kau suka memaafkan,
Liong Cin. Karena ingin berhati-hati, para pasukan penjaga telah salah tangkap, engkau yang menjadi
penolongku malah disangka mata-mata musuh.”
Liong Cin juga tersenyum dan menjura. “Tidak mengapa, Nona. Ini malah merupakan tambahan
pengalamanku, hanya sayang... sahabat-sahabatku telah pergi meninggalkan aku di sini....”
“Kalau begitu, mari ikut bersama kami ke Lhagat,” Siok Lan mengajak dan sebelum pemuda itu menjawab,
dara ini sudah segera berpaling kepada ibunya. “Ibu, harap Ibu perkenankan Liong Cin untuk ikut bersama
kita ke Lhagat, sekedar untuk membalas budinya dan untuk minta maaf kepadanya atas perlakuan kita
yang tidak semestinya terhadap seorang penolong.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siok Lan memang pandai bicara dan ibunya tidak dapat menolak, tidak enak untuk menolak setelah
puterinya mengeluarkan kata-kata seperti itu. Biar pun, di dalam hatinya dia tidak setuju karena hal itu
memungkinkan adanya bahaya kalau-kalau pemuda ini benar-benar kaki tangan musuh, namun mana
mungkin dia menolak dengan adanya kenyataan bahwa pemuda ini telah menyelamatkan puterinya,
kemudian malah ditangkap karena disangka mata-mata? Menolaknya sama dengan menampar muka
sendiri!
Siok Lan sudah meneriaki pengawal minta seekor kuda untuk Liong Cin dan tak lama kemudian, Siok Lan,
Ci Sian, dan Liong Cin sudah membalapkan kuda mereka menuju ke Lhagat. Di sepanjang perjalanan, Ci
Sian tidak pernah bicara kepada Liong Cin, akan tetapi diam-diam dia amat memperhatikan pemuda itu
dan dia pun melihat betapa terjadi perubahan besar pada diri Siok Lan. Dara ini kelihatan amat gembira
sekali, sikapnya menjadi semakin lincah dan jenaka!
Mulai saat itu, Liong Cin diterima sebagai seorang tamu terhormat, atau juga seorang sahabat baik dari
Siok Lan, dan diberi sebuah kamar tersendiri di dalam gedung tempat tinggal panglima itu. Puteri Nandini
sendiri yang mengusulkan hal ini. Pada lahirnya dia hendak bersikap baik terhadap pemuda yang pernah
menyelamatkan nyawa puterinya itu, akan tetapi di dalam hatinya dia menghendaki agar pemuda itu tinggal
di gedung karena dengan demikian akan lebih mudah baginya untuk mengawasi gerak-geriknya. Juga dia
melihat betapa agaknya puterinya tertarik kepada pemuda itu, dan mengingat bahwa pemuda itu, biar pun
harus diakuinya bahwa pemuda itu tampan dan gagah, hanya seorang pemburu biasa saja, maka sudah
tentu hatinya tidak rela dan dia pun ingin mengamat-amati hubungan antara puterinya dan pemuda itu.
Mula-mula Liong Cin menolak halus dan menyatakan bahwa dia tak ingin mengganggu keluarga panglima
itu, akan tetapi Siok Lan cepat mendesaknya. “Saudara Liong Cin, sudah jelas kini dari pelaporan para
penyelidik bahwa benar seperti dugaanmu, semua kawanmu, rombongan pemburu yang tadinya berkemah
di bukit itu telah melarikan diri semua, entah ke mana. Oleh karena itu, tidak baik kalau engkau pergi
mencari mereka, dalam keadaan gawat dan dalam ancaman perang ini. Sebaiknya engkau beristirahat
dahulu di sini bersama kami, kelak kalau keadaan sudah aman barulah engkau pergi mencari kawankawanmu.
Setidaknya, berilah kesempatan kepadaku untuk menyatakan terima kasih dan membalas
budimu.”
Meghadapi ucapan Siok Lan ini, Liong Cin tidak dapat membantah dan demikianlah, mulai hari itu dia
tinggal di gedung panglima dan diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat dan memperoleh
kebebasan. Dia bergaul dengan akrab sekali dengan Siok Lan, dan tentu saja Ci Sian juga sering
menemani mereka bercakap-cakap, akan tetapi agaknya di antara dua orang muda ini, keduanya
merupakan tamu dan sahabat Siok Lan, terdapat sesuatu yang membuat hubungan mereka agak
renggang. Ada celah di antara keduanya, dan kadang-kadang mereka saling pandang dengan sinar mata
membayangkan kecurigaan dan keraguan.
Memang sesungguhnyalah Ci Sian menaruh rasa curiga kepada pemuda itu, rasa curiga yang sama sekali
bukan tanpa alasan. Semenjak pemuda itu datang, dia selalu mengamati gerak-geriknya dan meski dia
melakukan hal ini secara diam-diam, agaknya terasa juga oleh Liong Cin sehingga pemuda ini pun merasa
tidak enak terhadap Ci Sian. Bahkan semenjak Liong Cin berada di gedung itu, setiap malam Ci Sian
kurang dapat tidur nyenyak karena pikirannya selalu membayangkan pemuda itu dengan penuh curiga,
dan bahkan sering kali diam-diam gadis ini keluar dari dalam kamarnya untuk bersembunyi dan melakukan
pengintaian!
Dan beberapa hari kemudian, pada suatu malam kecurigaannya ini memperoleh bukti. Dia melihat
bayangan berkelebat cepat dan dia dapat mengenal Liong Cin yang bergerak cepat melakukan
penyelidikan di dalam gedung dan keluar dari gedung itu menuju ke taman bunga dengan sikap yang
mencurigakan sekali. Akan tetapi, pemuda itu ternyata lihai bukan main. Walau pun Ci Sian sudah
membayangi dengan hati-hati sekali, mengerahkan ginkang-nya sehingga tubuhnya bergerak cepat dan
ringan tanpa menimbulkan suara berisik, agaknya pemuda itu telah tahu bahwa ada orang yang
membayanginya dan tiba-tiba pemuda itu berhenti dan menoleh ke belakang, tahu-tahu telah berhadapan
dengan Ci Sian yang bersembunyi di balik pohon dan semak-semak!
Keduanya terkejut ketika saling berhadapan itu. Sejenak mereka hanya saling pandang dengan alis
berkerut tanpa dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Ci Sian tersenyum berkata. “Terkejut? Aku tahu
siapa engkau, Liong Cin!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda itu memandang dengan sinar mata penuh selidik. “Apa maksudmu? Tentu saja engkau
mengenalku. Aku sedang jalan-jalan dan kau mengejutkan aku, Nona....“
“Hemm, tidak perlu engkau berpura-pura sebagai pemburu yang tolol! Engkaulah Si Pengail yang kami
tanya tentang prajurit itu, dan engkau pula prajurit yang membunuh perwira yang hendak memperkosa
wanita itu, engkau mata-mata....“
Cepat seperti kilat tangan pemuda itu sudah menangkap pundak Ci Sian dan jari-jari tangan kirinya sudah
menempel di ubun-ubun kepala dara itu, ancaman maut yang amat mengerikan karena sekali jari-jari
tangan itu bergerak, dara itu pasti akan tewas seketika!
Ci Sian sendiri terkejut bukan main karena biar pun dia sudah waspada, ternyata dia sama sekali tidak
mampu mengelak atau menangkis, dan tahu-tahu dia sudah ‘ditodong’ seperti itu, sama sekali tidak
berdaya! Akan tetapi dia tersenyum, sedikit pun tidak menjadi gentar sehingga berbalik pemuda itulah yang
terheran-heran. Dan apa yang keluar dari mulut Ci Sian membuat dia semakin heran dan sedemikian kaget
sehingga pegangannya pada pundak dara itu terlepas.
“Jenderal, engkau salah tangkap!”
Wajah pemuda itu berubah pucat, matanya terbelalak dan dia bertanya dengan suara tegas, “Siapa
engkau?”
Ci Sian tersenyum. “Aku? Aku bernama Ci Sian dan menjadi sahabat Siok Lan seperti yang kau ketahui.”
“Tidak! Kalau demikian keadaanmu, tentu engkau sudah membuka rahasiaku. Ci Sian, jangan main-main,
katakan siapa engkau, jangan sampai aku kesalahan tangan.”
Ucapan itu mengandung kesungguhan yang membuat bulu tengkuk Ci Sian meremang. Tahulah dia bahwa
kalau dia main-main dan salah bicara, tentu bagi orang ini tidak akan ragu-ragu lagi untuk turun tangan
membunuhnya karena dia tentu dianggap berbahaya telah mengetahui rahasia orang itu.
“Aku bukan kaki tangan orang Nepal! Aku ke sini juga hendak mencari seseorang yang ditahan, seorang
piauwsu bernama Lauw Sek. Harap kau jangan curigai aku.”
Pemuda itu kelihatan lega hatinya dan dia menarik napas panjang. “Katakan, bagai mana engkau dapat
mengetahui keadaanku?”
“Dari sinar matamu,” jawab Ci Sian. “Engkau boleh menyamar, merubah bentuk muka dan berganti
pakaian, berganti suara, akan tetapi engkau tak mungkin menyembunyikan sinar matamu.”
“Sinar mataku....? Mengapa dengan sinar mataku?”
“Sinar matamu mencorong seperti sinar mata seseorang yang tidak pernah dapat kulupakan. Sinar
matamu persis seperti sinar mata Pendekar Suling Emas.”
“Pendekar Suling Emas? Siapa itu?”
“Dia she Kam, bernama Hong.”
Pemuda itu menggeleng kepala. “Aku tidak mengenalnya. Ternyata pandang matamu tajam betul, Ci Sian.
Sekarang katakan, bagaimana engkau dapat tahu bahwa aku seorang jenderal....?”
Ci Sian tersenyum. “Hanya orang tolol saja yang tidak dapat menduga. Begitu mudah seperti dua tambah
dua sama dengan empat. Desas-desusnya sudah santer dikabarkan orang bahwa akan ada seorang
jenderal sakti dari Kerajaan Ceng yang datang untuk menyelidik kesini dan membebaskan pasukan yang
terkepung. Kini melihat keadaanmu, melihat kelihaianmu, siapa lagi engkau kalau buka Si Jenderal yang
didesas-desuskan orang itu?”
“Engkau luar biasal” pemuda itu berseru dan berbisik. “Mari kau ikut aku. Tidak leluasa bicara di sini!”
Setelah berkata demikian, tubuhnya melesat dengan cepat sekali dari taman itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ci Sian terpaksa harus mengerahkan seluruh ginkang-nya untuk mengejar, akan tetapi betapa pun dia
mengerahkan tenaga, tetap saja dia tertinggal jauh dan kadang-kadang pemuda itu terpaksa harus
menunggunya hingga akhirnya mereka tiba di sebuah tanah perkuburan di pinggir kota yang amat sunyi.
Sunyi dan menyeramkan, membuat Ci Sian bergidik. Biar pun ia seorang dara perkasa yang dapat dibilang
tidak takut menghadapi lawan yang bagaimana pun juga, akan tetapi pada malam hari gelap itu berada di
dalam tanah kuburan, benar-benar merupakan pengalaman yang belum pernah dihadapinya.
Malam itu bulan sepotong menyinari permukaan tanah kuburan, menambah seramnya pemandangan.
Gundukan-gundukan tanah itu seolah-olah dalam cuaca remang-remang merupakan tubuh-tubuh manusia
raksasa yang telentang, dengan perut besar dan seperti bergerak dan bernapas. Hembusan angin pada
daun-daun pohon yang tumbuh di tanah kuburan itu seperti bisikan-bisikan, agaknya dalam keadaan mati
pun manusia masih tidak dapat melepaskan kebiasaannya yang lama semasa hidup, yaitu mengoceh dan
membicarakan keadaan orang-orang lain, terutama tentang kesalahan-kesalahan orang lain. Ci Sian
merasa seolah-olah dialah yang kini menjadi bahan pergunjingan dalam bisikan-bisikan itu dan dia
menggigil.
“Nah, kau mau bicara apa?” katanya dan suaranya agak gemetar menahan rasa ngeri.
Pemuda itu tersenyum di bawah sinar bulan yang pucat, membuat wajahnya yang tampan nampak pucat
juga. “Kau takut dan seram juga? Ahh, tempat ini merupakan tempat paling aman bagi kami....“
“Kau dan anak buahmu?”
Pemuda itu mengangguk. “Engkau memang luar biasa dan aku kagum padamu, Nona Ci Sian, atau....
namamu itu juga nama palsu?”
“Namaku tidak palsu, apa perlunya aku harus memakai narna palsu seperti engkau, Jenderal?”
“Hemm, engkau sudah menduga sedemikian jauh sehingga tahu akan nama yang kupakai?”
“Engkau seorang yang amat penting dan ternama tentu saja, maka akan bodohlah kalau engkau
menggunakan nama sendiri selagi melakukan tugas mata-mata.”
“Engkau memang cerdik luar biasa dan aku percaya padamu, Nona. Ketahuilah, aku memang utusan
kaisar untuk menolong pasukan kami yang terkurung. Dan di sana aku memang menjadi jenderal. Biar pun
nama yang kupakai palsu, akan tetapi tidak banyak selisihnya dengan namaku yang tulen, hanya di balik.
Namaku adalah Cin Liong, Kao Cin Liong.”
Semenjak kecil Ci Sian sudah banyak bertemu orang pandai, akan tetapi belum pernah dia mendengar
nama ini. Kalau dia tahu siapa pemuda ini, tentu dia akan terkejut setengah mati. Pemuda ini
sesungguhnya bukanlah orang biasa, melainkan keturunan pasangan suami isteri pendekar yang pernah
menggegerkan kolong langit dengan ilmu kepandaian mereka yang amat tinggi.
Para pembaca cerita SEPASANG RAJAWALI dan JODOH RAJAWALI tentu dapat mengingat atau
menduga siapa adanya pemuda she Kao ini. Kao Cin Liong ini adalah cucu Jenderal Kao Liang yang
sangat terkenal, seorang jenderal yang gagah perkasa dan yang membiarkan dirinya tewas terbakar demi
setianya terhadap kerajaan dan demi menjaga nama baik keluarga Kao (baca KISAH JODOH SEPASANG
RAJAWALI).
Ayah dari Kao Cin Liong bukan lain adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu, seorang
pendekar yang memiliki kepandaian luar biasa dan terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang ditakuti
lawan dan disegani kawan. Ibunya yang bernama Wan Ceng atau Candra Dewi adalah saudara angkat
dari Puteri Bhutan Syanti Dewi, dan juga ibunya memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Suami isteri ini
tinggal di dalam Istana Gurun Pasir dan merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan yang
disegani.
Agaknya darah kakeknya mengalir dalam dari Cin Liong karena semenjak kecil, selain suka akan ilmu silat
dan sastra, anak ini juga tertarik sekali akan sejarah para pahlawan. Apalagi riwayat kakeknya seperti yang
dia dengar dari ayahnya amat menarik hatinya dan sejak kecil dia pun bercita-cita untuk menjadi seperti
kakeknya, menjadl seorang pahlawan dan panglima di kerajaan! Melihat bakat dan semangat puteranya,
setelah puteranya itu memperoleh pendidikan Ilmu silat yang cukup tinggi darinya, Kao Kok Cu dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
persetujuan isterinya lalu membawa Kao Cin Liong ke kota raja dan dengan perantaraan adiknya, yaitu
Kao Kok Han yang telah menjadi seorang perwira tinggi, Cin Liong lalu memasuki ketentaraan.
Karena kepandaian silatnya memang hebat sekali, dan kaisar amat kagum kepadanya, apalagi mengingat
bahwa pemuda itu adalah cucu mendiang Jenderal Kao Liang yang gagah perkasa, maka dalam waktu
pendek saja pemuda perkasa ini telah memperoleh kedudukan tinggi. Apalagi ketika beberapa kali dia
berhasil memimpin pasukan untuk menindas pemberontakan-pemberontakan di sepanjang pantai Po-hai
dan di utara, bahkan melakukan pembersihan terhadap para bajak laut, dia berjasa besar dan dalam usia
yang masih amat muda dia sudah berpangkat jenderal! Tercapailah cita-citanya untuk hidup seperti
mendiang kakeknya yang amat dikaguminya. Dalam melaksanakan tugasnya, pemuda ini memang hebat
dan tegas, persis seperti kakeknya dahulu.
Ketika Kaisar mendengar pelaporan bahwa pasukan Nepal mengganggu perbatasan Tibet dan memukul
mundur pasukan Tibet yang melakukan penjagaan di tapal batas, bahkan telah menduduki Lhagat, dia lalu
memerintahkan untuk menggempur pasukan Tibet yang telah menjadi daerah taklukan itu. Lima ribu orang
pasukan dikirim ke barat, dipimpin oleh panglima yang amat gagah perkasa karena panglima ini bukan lain
adalah Kao Kok Han. Akan tetapi, karena kelihaian panglima Nepal, pasukan ini terjebak dan terkurung di
lembah bukit sehingga tidak mampu lagi untuk membobolkan kepungan.
Mendengar ini, Kaisar menjadi marah dan hendak mengirim pasukan lebih besar. Akan tetapi Jenderal
Muda Kao Cin Liong lalu menghadap Kaisar dan kepada panglima besar dia pun minta ijin untuk
diperkenankan melakukan penyelidikan ke barat karena dia merasa yakin bahwa dengan bantuan orangorang
Tibet dia akan dapat menyelamatkan pasukan yang terkepung itu! Tentu saja dalam hal ini, Cin
Liong bukan hanya ingin menyelamatkan pasukan itu, melainkan juga untuk menyelamatkan pamannya,
yaitu Kao Kok Han pemimpin pasukan yang terkepung itu. Dia telah ditangisi oleh keluarga pamannya itu
untuk menyelamatkan pamannya dan anak buahnya.
Demikianlah, karena ingin melakukan penyelidikan secara bebas terhadap kedudukan panglima wanita
yang lihai itu, maka Cin Liong dengan jalan menyelamatkan Siok Lan dan membiarkan dirinya ditangkap
akhirnya dapat diterima sebagai sahabat dari puteri panglima itu dan memperoleh kebebasan di Lhagat
sehingga dia dengan mudah dapat melakukan penyelidikan, apalagi karena dia disuruh tinggal di gedung
panglima!
Mendengarkan penuturan panglima muda itu, diam-diam Ci Sian menjadi kagum bukan main. Pemuda ini
sungguh berani dan juga amat cerdik. Kalau saja dia sendiri tidak mengenal sinar mata mencorong itu,
agaknya dia pun tidak nanti akan menduga bahwa pemuda itu adalah jenderal sakti yang datang utuk
menolong pasukan yang terkepung itu!
“Dan mengapa engkau begini percaya kepadaku, Ciangkun?”
“Ahhh, Nona, harap engkau jangan menyebutku dengan sebutan ciangkun. Ingat, aku masih menyamar
sebagai Liong Cin di sini, maka jangan kau merubah sebutanmu agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Engkau tentu mau membantu kami, bukan?”
Ci Sian tersenyum. Orang ini begitu percaya kepada diri sendiri! “Baiklah, Liong Cin.... Aihh… betapa
janggalnya menyebut nama palsu orang! Aku ingin sekali tahu mengapa engkau begini percaya kepadaku
sehingga engkau telah berani membongkar rahasiamu kepadaku? Bukankah hal ini berbahaya sekali?
Kalau aku membocorkan rahasiamu, bukan saja usahamu akan gagal, pasukan yang terkepung tak akan
dapat diselamatkan, dan engkau sendiri tentu akan tertimpa bencana.”
Cin Liong menggeleng kepala. “Aku yakin bahwa engkau tidak akan melakukan hal itu.”
“Bagaimana engkau dapat yakin?” Ci Sian mendesak. “Kita baru saja bertemu dan berkenalan, engkau
tidak mengenalku, tidak mengenal watakku.”
“Nona, di dalam ilmu perang terdapat ilmu mengenal watak orang dari wajahnya, dari sikap dan gerakgeriknya.
Engkau memiliki kepandaian silat yang tinggi dan wajahmu membayangkan kegagahan, bahwa
engkau tidak mungkin berbuat hal-hal yang rendah dan jahat. Pula, aku dapat melihat dari sinar matanya
bahwa panglima wanita itu menaruh curiga kepadamu, sungguh pun Nona Siok Lan percaya penuh
kepadamu. Dari semua itu saja aku sudah tahu bahwa engkau bukanlah musuh dan dapat menjadi
sekutuku.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, terus terang saja, aku tidak mau terlibat dalam perang dan permusuhan. Apalagi harus memusuhi
Siok Lan yang begitu baik. Sekarang aku hanya ingin mencari Lauw-piauwsu.”
“Aku berjanji akan mencari piauwsu itu dan membawanya kepadamu asal engkau mau membantuku,
Nona.”
“Membantu bagaimana?”
“Menutupi rahasiamu.”
“Ahh, kalau hanya begitu, tentu saja aku tidak keberatan.”
Tiba-tiba jenderal muda itu memegang lengan Ci Sian dan menariknya bersembunyi ke balik sebuah batu
besar di tanah kuburan itu. Ci Sian hampir menjerit ngeri ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia telah
ditarik dan mendekam di atas gundukan tanah kuburan! Akan tetapi melihat kesungguhan pemuda itu, dia
pun memandang ke depan.
Ternyata ada bayangan orang yang berjalan seenaknya ke arah mereka dan bayangan itu mengomel
panjang pendek, kemudian setelah dekat, bayangan itu berkata, “Huhh, dasar tidak tahu malu, berkencan
di tanah kuburan! Berjanji simpan-simpan rahasia lagi! Persekutuan busuk, ha-ha.... sungguh persekutuan
busuk!”
Tentu saja Ci Sian terkejut bukan main. Akan tetapi Cin Liong sudah meloncat keluar dan tanpa banyak
cakap dia sudah menyerang dengan totokan ke arah pundak orang itu.
“Desss....!”
Keduanya terdorong ke belakang dan tentu saja Cin Liong terkejut bukan main karena ternyata orang itu
memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, atau setidaknya dapat mengimbangi tenaganya sendiri sehingga
ketika orang itu menangkis, dia sampai terpental ke belakang. Sebaliknya orang itu yang juga terpental,
kemudian tertawa, membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari tanah kuburan yang sunyi itu. Cin Liong
yang merasa terkejut dan curiga, cepat melakukan pengejaran. Melihat itu, Ci Sian juga lalu mengejar
sekuatnya karena dua orang yang berkejaran itu ternyata dapat berlari secepat angin!
Bayangan yang dikejar oleh Cin Liong itu berlari terus dan melompat dinding kota tanpa mempedulikan
para penjaga yang banyak berkeliaran di tempat itu. Tentu saja Cin Liong tidak mau melepaskannya
karena orang yang lihai itu amat mencurigakan, dan dia terus mengejar. Demikian pula Ci Sian melakukan
pengejaran. Melihat berturut-turut ada tiga bayangan orang berkelebatan meloncati pagar tembok, para
penjaga menjadi geger dan mencoba untuk melakukan pengejaran, namun mereka tertinggal jauh dan
komandan jaga yang merasa khawatir cepat memberi laporan ke dalam.
Sementara itu, bayangan yang dikejar-kejar itu seperti hendak mempermainkan Cin Liong dan Ci Sian
yang terus melakukan pengejaran. Kadang-kadang dia tersusul dekat dan terdengar suaranya tertawatawa,
akan tetapi kemudian tiba-tiba dia melesat jauh sekali dan meninggalkan para pengejarnya. Setelah
tiba di sebuah bukit, bayangan itu mendaki naik, akan tetapi ketika tiba di lereng bukit, tiba-tiba dia
memutar dan turun kembali, kini bahkan lari ke arah kota Lhagat!
“Gila dia!” Cin Liong memaki dalam hatinya dan terus mengejar.
Karena bulan sepotong sudah turun ke barat, maka malam yang menjadi gelap itu menyulitkan dia untuk
dapat menyusul orang itu, sedangkan Ci Sian sudah mandi keringat karena lelah. Mereka berkejaran
sampai setengah malam, dipermainkan oleh bayangan itu dan akhirnya, ketika malam terganti pagi dan
cuaca tidak gelap lagi, orang itu berhenti berlari, bahkan sekarang berhenti di tengah jalan menanti para
pengejarnya sambil bertolak pinggang dan tertawa-tawa. Namun wajahnya yang penuh ditumbuhi jenggot
itu juga mengkilap basah oleh peluh, tanda bahwa main berlari-larian itu telah membuatnya lelah juga!
Cin Liong sudah berhadapan dengan orang itu ketika Ci Sian datang terengah-engah dan kedua kakinya
terasa lelah dan lemas. Mereka berdua menatap orang yang mempermainkan mereka itu dan diam-diam.
Ci Sian terkejut. Untuk ketiga kalinya dia bertemu dengan orang yang matanya mencorong. Pertama
adalah mata Kam Hong, ke dua mata Kao Cin Liong dan ke tiga adalah mata orang ini! Dan begitu melihat
wajah yang menyeramkan itu, dan melihat bibir yang tersenyum menyeringai di balik jenggot dan kumis
dunia-kangouw.blogspot.com
yang awut-awutan, tiba-tiba Ci Sian teringat. Dia pernah bertemu dengan orang ini! Akan tetapi dia telah
lupa lagi di mana.
“Siapakah engkau?” Dengan suara penuh wibawa Cin Liong bertanya sambil menatap tajam.
Orang itu berusia tiga puluh tahun lebih, hampir empat puluh tahun agaknya. Tubuhnya sedang dan tegap,
tapi pakaiannya seperti pakaian pengemis. Rambutnya, jenggot dan kumisnya tak terpelihara, awutawutan,
padahal dalam keadaan seperti itu pun masih nampak bahwa orang ini memiliki wajah yang gagah
dan tampan, terutama sekali sepasang matanya yang tajam dan memancarkan cahaya aneh, tetapi
kadang-kadang sinar mata itu menjadi suram dan seperti lampu hampir padam diliputi kedukaan.
Mendengar pertanyaan itu, orang berpakaian jembel ini tertawa dan ketika dia tertawa, nampak deretan
giginya yang kuat dan putih, sungguh berbeda dengan keadaan rambut dan pakaiannya. “Ha-ha-ha, siapa
aku, dan siapa engkau? Siapa jenderal yang menjadi mata-mata? Siapa yang masih muda sudah menjadi
seorang perwira tinggi, mengejar kedudukan? Ha-ha-ha!”
Wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Begitu berjumpa dia dimaki orang, orang jembel dan gila lagi,
dimaki sebagai pengejar kedudukan!
“Siapa engkau? Kalau engkau tidiak mau mengaku, jangan katakan aku kejam kalau terpaksa aku akan
menyerangmu!” bentaknya mengancam.
“Kau? Menyerang aku? Ha-ha-ha, anak kecil berhati besar. Hayo sekarang majulah, seranglah, siapa takut
padamu? Ha-ha!”
Ditantang seperti ini, tentu saja Cin Liong menjadi marah. Akan tetapi dia dapat menguasai hatinya, karena
maklum bahwa kemarahan bukanlah cara untuk mengatasi keadaan. Dia menatap tajam, kemudian
berkata, “Aku akan menyerangmu karena engkau mungkin membahayakan usahaku.”
“Ha-ha-ha, anak kecil, kau majulah!”
Cin Liong lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menyerang dengan pukulan cepat dan kuat
sekali ke arah lawan. Orang jembel itu tertawa dan cepat dia mengelak. Gerakannya aneh dan cepat
sekali, juga ketika dia membalas dengan tamparan tangan kirinya, gerakannya memang hebat. Cin Liong
terkejut dan maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh. Dia menduga bahwa agaknya orang
ini yang menyamar seperti orang gila tentu utusan dari panglima musuh! Maka dia pun lalu menangkis dan
menyerang bertubi-tubi dengan pengerahan tenaganya sehingga dari kedua tangannya menyambar hawa
yang mengeluarkan suara bercuitan. Lawannya berseru kagum dan juga bergerak cepat, jari-jari tangannya
terbuka dan pada waktu tangannya bergerak, jari tangannya meluncur seperti pedang dan mengeluarkan
suara bercuitan pula!
Setelah saling serang dan saling mengelak sampai beberapa belas kali, mendadak mereka harus mengadu
lengan dan mereka saling mengerahkan tenaga.
“Dukkk!” Untuk ke sekian kalinya dua lengan yang sama kuatnya bertemu dan keduanya terpental ke
belakang!
“Ha-ha-ha, heh-heh-heh, kau hebat juga....!” Pengemis aneh itu tertawa lagi dan kini wajahnya berseri,
nampak gembira dan dalam keadaan seperti itu dia tidak kelihatan tua benar sehingga usianya tentu tidak
lebih banyak dari empat puluh tahun.
Dan melihat wajah yang tertawa, mata yang berseri-seri itu, tiba-tiba Ci Sian teringat di mana dia pernah
bertemu dengan jembel ini. Dahulu, di waktu dia melakukan perjalanan dengan rombongan Lauw-piauwsu!
Pengemis yang dapat mencengkeram golok sampai rompal di dalam goa itu!
“Benar dialah itu!” tiba-tiba dia berseru.
Dan kedua orang yang sedang berhadapan itu menengok dengan heran dan kaget. Ci Sian menghampiri
pengemis itu dan menudingkan telunjuknya ke arah muka pengemis itu. “Benar dia! Inilah jembel yang
menolak roti dan mencengkeram golok anak buah Lauw-piauwsu itu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Jembel itu tertawa dan kini dia menubruk lagi kepada Cin Liong yang cepat mengelak dan berseru, “Ci
Sian, kau mundurlah!” Karena dia tahu betapa lihainya jembel itu dan amatlah berbahaya bagi Ci Sian
kalau sampal diserang oleh orang itu.
Akan tetapi dia terlalu memandang rendah Ci Sian. Setelah menjadi murid See-thian Coa-ong, dara ini
telah memiliki kepandaian yang tinggi, maka tentu saja tidak menjadi gentar dan kini dia malah ikut maju
dan menyerang. Begitu tangan kanannya bergerak, seekor ular belang kuning hitam telah menyambar ke
arah leher jembel itu.
“Ular! Ular....!” teriak Si Jembel dan dia mencoba untuk mencengkeram ular itu dengan tangannya.
Namun ular itu dapat mengelak dan dengan pergelangan tangannya, Ci Sian membuat ular itu membalik
dan menggigit ke arah lengan Si Jembel. Namun jembel itu memang lihai sekali dan dia dapat mengelak
sambil meloncat ke kanan dan kini kedua tangannya menyambar-nyambar, dengan jari-jari tangan terbuka
menotok dan menampar ke arah Cin Liong dan Ci Sian secara hebat sekali.
Kembali Cin Liong terkejut. Pertama dia kagum menyaksikan kehebatan Ci Sian, kedua kalinya dia terkejut
karena benar-benar jembel itu amat lihai. Betapa pun juga, dia masih mengkhawatirkan keselamatan Ci
Sian, dan selain itu dia pun merasa malu kalau harus mengeroyok seorang jembel sinting, padahal dia
adalah seorang jenderal muda yang terkenal memiliki kepandaian tinggi. Ayah bundanya tentu akan marah
kalau mendengar bahwa dia mengeroyok seorang jembel sinting.
“Ci Sian, aku belum kalah, biarkan aku menghadapinya. Tidak perlu kita mengeroyok!” katanya.
“Ha-ha-ha, he-he-heh! Keroyokan juga boleh! Boleh kau tambah lagi dengan barisan mata-matamu, orang
muda, heh-heh!”
Tadinya Ci Sian tidak mau menurut perintah Cin Liong, akan tetapi mendengar ucapan jembel itu, dia
merasa malu sendiri. Seorang jembel cacat pikirannya, orang sinting begini, mana pantas dikeroyok
berdua? Maka dia pun meloncat mundur dan hanya menonton dan diam-diam dia menjadi kagum. Dia
harus mengakui bahwa pemuda itu hebat sekali ilmu silatnya, akan tetapi gerakan-gerakan jembel itu pun
lihai dan aneh.
Tiba-tiba jembel itu merebahkan diri ke atas tanah dan dengan menolak tanah menggunakan kedua
tangan, kakinya meluncur dengan serangan aneh ke arah tubuh lawan. Hebatnya, dari kedua kakinya itu
menyambar hawa pukulan yang dahsyat bukan main! Cin Liong mengelak, akan tetapi masih terhuyung,
dan saat itu dipergunakan oleh lawannya untuk berjungkir balik dan kedua tangannya dengan jari tangan
terbuka sudah menghujankan tamparan bertubi-tubi.
Melihat ini, Cin Liong yang agak terdesak mudur itu tiba-tiba mengeluarkan lengking nyaring dan dia
merubah ilmu silatnya, kedua lengannya kadang-kadang membentuk cakar naga dan tubuhnya lalu
menggeliat-geliat seperti seekor naga. Itulah Ilmu Silat Sin-liong-ciang-hoat (Ilmu Silat Tangan Kosong
Naga Sakti) dan begitu dia mainkan ilmu ini, Si Jembel itu berseru kaget dan terdesak hebat. Begitu
Jembel itu mundur, Cin Liong terus mendesak dan biar pun jembel itu masih berusaha mempertahankan
diri, namun serangan-serangan Cin Liong terlampau hebat membuat dia kewalahan dan tiba-tiba dia
meloncat jauh ke belakang.
“Aihh, putera Ceng Ceng sungguh kurang ajar sekali, berani melawan orang tua!”
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Cin Liong berhenti bergerak dan memandang dengan mata terbelalak
kepada jembel itu. Dan anehnya, jembel itu yang tadinya tertawa-tawa, kini mulai menangis!
“Ceng Ceng.... Ceng Ceng.... kau memiliki putera yang lihai.... kau bahagia.... sungguh membuat aku
mengiri padamu.... hu-hu-huuhh....!” Jembel itu menangis sesenggukan seperti anak kecil.
Cin Liong dan Ci Sian memandang dengan penuh keheranan dan juga mulai merasa kasihan kepada
orang lihai yang sinting itu. Akan tetapi kalau Ci Sian hanya terheran-heran, sebaliknya Cin Liong terkejut
sekali mendengar ucapan dalam tangis Si Jembel itu. Wajahnya yang tampan itu berubah dan dia
memandang dengan mata terbelalak, kemudian melangkah maju dan bertanya dengan suara meragu.
“Apakah Paman.... ehhh.... Si Jari Maut....?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar pertanyaan ini, jembel sinting itu menghentikan tangisnya, mengangkat muka memandang Cin
Liong dan seketika tangisnya terganti senyum ramah “Ehh, engkau.... engkau sudah mengenalku....?”
Cin Liong merasa terharu bukan main. Kiranya jembel sinting itu adalah pendekar yang terkenal itu,
saudara seayah lain ibu dengan ibunya sendiri, jadi masih terhitung pamannya sendiri! Jembel sinting ini
adalah Wan Tek Hoat, saudara seayah lain Ibu dari ibunya yang bernama Wan Ceng dan menurut
penuturan ibunya Wan Tek Hoat adalah seorang pendekar besar yang tampan dan gagah, dan bahkan
telah diambil mantu oleh Raja Bhutan, juga diangkat menjadi seorang panglima di Kerajaan Bhutan! Akan
tetapi mengapa kini pendekar itu menjadi seperti ini, seorang jembel yang sinting?
“Maafkan saya, Paman Wan Tek Hoat.... karena saya tidak mengenal Paman, maka saya telah bertindak
kurang ajar. Akan tetapi Paman.... ahh, mengapa keadaan Paman menjadi seperti ini....?” Cin Liong
berkata sambil menjura dengan sikap hormat, hal yang membuat Ci Sian menjadi bengong terheran-heran.
Orang seperti jembel yang sinting itu memang Wan Tek Hoat. Karena himpitan kecewa dan duka karena
asmara gagal, pendekar ini akhirnya menjadi seperti orang sinting, suka tertawa dan menangis, dan hidup
tidak mempedulikan apa pun, bahkan tidak peduli akan keadaan dirinya yang sepertl jembel itu! Kadangkadang,
kalau dia lagi sendirian di tempat sunyi, teringatlah dia akan semua kebahagiaan yang
dinikmatinya ketika dia berada di samping kekasihnya, Puteri Syanti Dewi.
Teringatlah dia akan cinta kasih puteri itu kepadanya yang teramat besar, lalu teringat pula dia akan semua
penyelewengannya, akan semua perbuatannya yang menyakiti hati Sang Puteri, maka timbullah
penyesalan yang amat hebat, yang menghentak-hentak di dalam hatinya, yang menghimpit hatinya dan
mendatangkan kedukaan dan kekecewaan serta penyesalan yang hampir tidak kuat ditahannya dan yang
membuat dia beberapa kali hampir mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri saja! Hidup ini
rasanya seperti dalam neraka baginya! Bertahun-tahun dia menderita, rasa rindu yang menggerogoti kalbu,
penyesalan diri yang amat mendalam, kemudian rasa khawatir bahwa kekasihnya itu mungkin sekarang
telah melupakannya, bahkan mungkin sekali kini telah menjadi isteri orang. Semua ini membuat keadaan
batin pendekar ini makin lama makin lemah dan tertekan.
Sepintas lalu kita akan merasa kasihan kepada pendekar ini. Namun kita lupa bahwa betapa kita sendiri
pun hampir setiap hari menghadapi hal-hal yang sama atau tidak jauh selisihnya dengan keadaan Tek
Hoat.
Hidup di dunia ini begini penuh kesengsaraan, begini penuh konflik dan duka nestapa, hanya kadangkadang
saja kita dapat menikmati kebahagiaan selintas seperti cahaya kilat di antara awan mendung yang
memenuhi angkasa kehidupan. Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan, seluruh dunia ini penuh
dengan konflik, kebencian, dendam, permusuhan yang tidak kunjung habis, bahkan yang kadang-kadang
meletus dalam perang yang menewaskan ratusan ribu orang umat manusia! Bunuh-membunuh, dendammendendam
yang terjadi di dalam dunia kita ini, dalam jaman modern dan ‘maju’ ini, ternyata jauh lebih
hebat dan mengerikan dari pada yang terjadi dalam cerita silat mana pun!
Di dalam kenyataan hidup sehari-hari, kita semakin menjauhi ke-Tuhan-an dan peri kemanusiaan! Ke-
Tuhanan dan peri kemanusiaan hanya menjadi hiasan bibir belaka bagi kita, hanya kita dengangdengungkan
sebagai slogan-slogan kosong! Kenyataan pahit ini harus kita hadapi dengan mata dan telinga
terbuka, dan untuk menyelidiki kebenarannya, kita harus membuka mata mengamati diri kita sendiri
masing-masing!
Benarkah kita ini ber-Tuhan? Benarkah kita ini berperi kemanusiaan? Tak perlulah untuk menilai orang lain
apakah dia atau mereka itu ber-Tuhan atau berperi kemanusiaan, karena penilaian kepada orang lain itulah
yang membuat kita menjadi palsu, yang membuat kita menggunakan pengertian ber-Tuhan dan berperi
kemanusiaan itu untuk menyalahkan dan menyerang orang lain! Akan tetapi marilah kita mengamati diri
kita sendiri masing-masing!
Kita semua mengaku beriman, kita semua mengaku ber-Tuhan, akan tetapi mari kita singkirkan semua
pengakuan yang tidak ada arti dan gunanya ini, melainkan kita mengamati batin sendiri apakah benarbenar
kita ber-Tuhan! Kalau kita benar-benar ber-Tuhan, sudah tentu setiap saat kita waspada, setiap saat
kita sadar bahwa Tuhan mengamati semua perbuatan kita, mendengarkan semua suara hati dan mulut
kita!
Sebaliknya, kalau kita ber-Tuhan hanya di mulut belaka, maka terjadilah seperti yang sekarang ini terjadi di
dunia, di antara kita semua, yaitu bahwa dalam keadaan menderita saja kita ingat kepada Tuhan,
dunia-kangouw.blogspot.com
sedangkan waktu selebihnya kita lupakan begitu saja, lupakan dengan sengaja karena kita haus akan
kesenangan dan Tuhan kita anggap sebagai penghalang kesenangan!
Dapatkah kita hidup ber-Tuhan bukan dengan kata-kata kosong, pengakuan mulut, melainkan dengan
sepenuhnya, secara mendalam, mendarah daging dan nampak dalam setiap gerakan, ya, bahkan setiap
tarikan napas kita? Dapatkah? Yang menjawab hanya bukti pada diri kita sendiri, karena semua jawaban
teori hanya kosong melompong tanpa arti. Penghayatan dalam kehidupan setiap saatlah yang menentukan
segalanya.
Kita selalu ingin disebut sebagai orang yang berperi kemanusiaan! Betapa menggelikan dan juga
menyedihkan! Seolah-olah peri kemanusiaan hanya semacam cap atau semacam hiasan belaka!
Pernahkah kita meneliti, mengamati diri sendiri lahir batin apakah kita ini berperi kemanusiaan ataukah
tidak! Adakah api ‘kasih’ bernyala dalam batin kita? Tidak ada! Api itu padam sudah! Yang ada hanya abu
dan asapnya saja yang membutakan mata. Yang ada hanyalah pengejaran uang, kedudukan, dan
pengejaran kesenangan jelas meniadakan cinta kasih! Pengejaran kesenangan memupuk dan
membesarkan si aku yang ingin senang, dan makin besar adanya si aku, makin jauhlah sinar cinta kasih
dari batin.
Semua itu, yang nampak demikian gemilang dan menyilaukan, yang nampak demikian menyenangkan,
sesungguhnya hanyalah lorong lebar menuju kepada kesengsaraan hidup. Memang, kita boleh tersenyum
mengejek dengan sinis, boleh saja. Kita semua seperti dalam keadaan buta selagi mengejar-ngejar
kesenangan yang kita namakan dengan istilah-istilah muluk seperti kemajuan dan sebagainya.
Kapankah kita akan sadar bahwa hidup tanpa cinta kasih tidak mungkin membuat kita hidup ber-Tuhan dan
berperi kemanusiaan? Ber-Tuhan berarti hidup penuh sinar cinta kasih! Berperi kemanusiaan berarti penuh
cinta kasih! Dunia penuh dengan konflik, penuh kebencian, penuh pertentangan dan permusuhan, penuh
pemberontakan dan peperangan, namun kita masih selalu bicara tentang damai tentang peri kemanusiaan
dan sebagainya! Hal ini sama dengan membicarakan tentang bunga dan buah selagi pohonnya sakit dan
rontok.
Mendengar pertanyaan Cin Liong, Wan Tek Hoat sejenak bengong, lalu dia menjawab dengan heran, “Aku
mengapa? Keadaanku mengapa?”
Cin Liong tidak berani menyinggung lagi keadaan pamannya itu. Dia tahu bahwa orang sakti seperti
pamannya ini kadang-kadang memang mempunyai watak yang aneh, dan siapa tahu bahwa pakaian
jembel itu, sikap sinting itu, adalah sesuatu yang disengaja karena memang banyak orang-orang sakti di
dunia kangouw yang bersikap aneh-aneh.
“Paman, setelah Paman mengetahui tugas saya berada di sini, mengingat beratnya tugas itu dan betapa
pasukan kita terkepung dan terancam bahaya, saya mohon bantuan dan petunjuk Paman.” Pemuda yang
cerdik ini merubah bahan percakapan dan langsung saja dia mengeluarkan isi hatinya.
“Kao Cin Liong, begitu namamu, bukan? Sudah lama aku mengamati gerak-gerikmu dan engkau memang
hebat sekali. Apa lagi yang dapat kubantu? Kulihat banyak orang pandai telah membantumu, bahkan Nona
muda ini pun merupakan seorang pembantu yang hebat.”
Cin Liong lalu mengajak mereka bertiga untuk duduk di bawah sebatang pohon di tempat sunyi itu dan dia
lalu menceritakan apa yang telah dilakukannya sebagai siasat untuk menyelamatkan pasukannya yang
terkepung musuh. Kiranya jenderal muda ini memang amat cerdik dan lihai sekali. Dengan kepandaiannya
yang tinggi dia telah berhasil menyusup ke atas bukit di mana pasukan itu dikurung dan selama beberapa
hari dia mempelajari keadaan bukit itu bersama pamannya, yaitu Panglima Kao Kok Han.
Ketika melihat anak sungai yang mengalir menuruni lembah, dia kemudian mencari sumbernya dan begitu
bertemu dengan sumber air, dia lalu memerintahkan pasukan untuk membuat bendungan besar untuk
menampung air sebanyak-banyaknya di tempat yang tinggi. Pasukan menggali waduk besar dan
membendung air dari sumber itu. Melihat besarnya air yang keluar dari sumber itu, Cin Liong sudah
memperhitungkan berapa lama dia harus menampung air itu untuk dapat dipakai melaksanakan siasatnya.
Kemudian diam-diam ia lalu mengatur pasukan Tibet, dipilihnya pasukan-pasukan yang gagah berani dan
kuat, kemudian sebagian besar dari pasukan itu diselundupkannya ke Lhagat dan sekitarnya, tetapi ada
pula yang bersama dia menyamar sebagai pemburu-pemburu, sebagai pedagang-pedagang atau pencaripencari
ikan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kita masih harus menunggu tiga hari lagi, Paman. Tiga hari lagi air waduk itu akan cukup banyak untuk
dipergunakan. Sementara itu, aku harus tetap berada di Lhagat untuk memimpin pasukan gerilya kalau
saatnya tiba. Tetapi ternyata panglima wanita itu lihai sekali dan kalau aku tidak hati-hati, tentu dia dapat
mengetahui rahasiaku.”
Wan Tek Hoat mengangguk-angguk. Dalam menghadapi percakapan serius itu ‘gilanya’ tidak kumat dan
dia dapat mempergunakan pikirannya dengan baik. “Jangan khawatir, aku mendapatkan jalan untuk
membantumu agar engkau tidak dicurigai lagi.”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru