Senin, 14 Agustus 2017

Kho Ping Hoo Komik Jodoh Rajawali 5

Kho Ping Hoo Komik Jodoh Rajawali 5 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Kho Ping Hoo Komik Jodoh Rajawali 5
kumpulan cerita silat cersil online
-
“Uhhh... uhhhhh... keparat kalian... iiihhhhh, tolooonggggg...!”
“Jahanam...!” Tubuh Tek Hoat mencelat ke tempat itu, kemudian kaki tangannya cepat bergerak-gerak, jari
tangannya seperti senjata ampuh menyambar-nyambar lima kali dan lima orang laki-laki itu terlempar ke
sana-sini dan roboh tak dapat bangkit kembali, di dahi dan muka yang tercium jari-jari tangan itu kini
terdapat bekas tapak tangan menghitam dan tubuh mereka tidak bernyawa lagi!
“Uuuhhhhh... hu-huuuk, Sicu...!” Mauw Siauw Mo-li mengeluh, bangkit berdiri lalu lari menubruk Tek Hoat
sambil menangis. Kedua lengannya merangkul leher pemuda itu dan mukanya menangis di atas dada Tek
Hoat.
Pemuda ini tertegun dan bengong memandang ke arah lima orang laki-laki yang telah menjadi mayat itu.
Dia menuduk, lalu memandang ke arah muka yang tersembunyi di dadanya sambil bertanya, “Kenapa...
apa yang terjadi...?”
Akan tetapi tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li mengangkat mukanya dan menyambut muka pemuda yang
menunduk itu dengan ciuman pada mulutnya!
Sejenak saking kagetnya Tek Hoat tak dapat berbuat apa-apa dan sepenuhnya merasakan ciuman yang
berapi-api itu. Bibir Mauw Siauw Mo-li terasa basah dan panas sekali. Akan tetapi ketika Tek Hoat
merasakan lidah wanita itu menjilat-jilat, dia cepat melepaskan rangkulan wanita itu dan melangkah
mundur, memandang kepada wajah yang merah itu, mata yang meredup seperti mengantuk, cuping hidung
yang kembang kempis, pernapasannya yang memburu, terengah-engah dan mulut yang agak terbuka itu.
“Apa yang kau lakukan ini?” dia membentak.
“Tek Hoat... ahhh, Tek Hoat...” Mauw Siauw Mo-li mengembangkan kedua lengannya, akan memeluk lagi,
namun Tek Hoat memandangnya dengan bengis dan melangkah mundur lagi.
“Mo-li, apa yang kau lakukan ini?” kembali dia membentak.
“Tek Hoat... ahhh, betapa besar rasa bahagia dan terima kasihku... sebab engkau telah menyelamatkan
aku dari pada penghinaan... lihatlah pakaianku... dan mereka... mereka jahanam-jahanam itu...“ Mauw
Siauw Mo-li meraba dadanya yang hampir telanjang sama sekali, menggerakkan jari-jarinya seperti
membelai dadanya sendiri.
Tek Hoat membuang muka. “Huh, kau... kau telah menipuku, Mo-li!” Tek Hoat berseru marah dan kini dia
memandangi lima orang yang telah menjadi mayat itu. “Kau pura pura kalah oleh mereka, memancingku
agar aku turun tangan.”
“Tidak... tidak... aku... aku hampir...“
“Cukup! Tak perlu bersandiwara lagi! Mereka itu hanyalah laki-laki lemah, sekali serang mereka roboh dan
tewas. Engkau yang berkepandaian tinggi, jangankan baru dikeroyok lima orang seperti ini, biar ada lima
puluh orang engkau tidak akan kalah. Akan tetapi engkau sengaja mengalah dan aku... si tolol... aku
terlebak! Dasar engkau wanita iblis! Siluman betina kejam!”
Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li terkekeh genit. “Hi-hi-hik, dan engkau Si Jari Maut telah memperlihatkan
kehebatanmu! Lihat tapak jarimu di dahi dan pipi mereka, Tek Hoat. Bukankah engkau masih Si Jari Maut
dan aku adalah Mauw Siauw Mo-li? Kita berdua memang cocok sekali bukan? Kita satu golongan dan
pantas menjadi kawan akrab, bukan? Mana aku cocok dengan laki-laki macam mereka, yang lemah? Kita
dunia-kangouw.blogspot.com
seperti sajak dengan nyanyian, apakah tidak terasa olehmu betapa saat ini tubuh kita saling membutuhkan,
betapa nikmat ciuman tadi, Tek Hoat?”
“Wuuuuuttttt...!”
Jari tangan Tek Hoat menyambar, akan tetapi dengan gesit Mauw Siauw Mo-li dapat mengelak dari
sambaran jari tangan maut itu.
“Perempuan tak tahu malu!” Tek Hoat memaki karena marah sekali, marah yang ditimbulkan oleh
penyesalan mengapa dia tadi menyambut ciuman itu dengan sepenuh hatinya, mengapa tadi bibirnya
menyambut dengan kecupan penuh rangsangan nafsu birahi! Tadi, pada saat mulutnya bertemu dengan
mulut Mauw Siauw Mo-li, seluruh kerinduannya terhadap Syanti Dewi tertumpahkan dan tersalurkan dalam
ciuman itu dan tentu saja hal itu terasa oleh Mauw Siauw Mo-li.
“Hi-hi-hik, Tek Hoat. Tak perlu engkau mengingkari suara hatimu sendiri, kebutuhan jasmanimu sendiri.
Marilah, Tek Hoat, marilah ke dalam pelukanku. Sudah lama aku tergila-gila dan rindu kepadamu!”
“Wuuuttttt... brakkkkk!”
Sebatang pohon roboh oleh hantaman tangan Tek Hoat, lalu pemuda ini membalikkan tubuhnya dan
dengan muka panas dia meninggalkan hutan itu. Mauw Siauw Mo-li mengejarnya, namun Tek Hoat tidak
mau berhenti dan terus melangkah maju, meraba raba dalam gelap, melawan hambatan duri-duri dan
cabang-cabang pohon yang menjuntai ke bawah, tersaruk-saruk dalam kegelapan malam. Pada keesokan
harinya, dia berhasil keluar dari hutan itu.
“Tek Hoat tunggu...!” Terdengar teriakan dari belakang.
“Keparat...!” Tek Hoat berhenti dan membalikkan tubuh, matanya bernyala dan dia mengambil keputusan
untuk membunuh wanita itu.
Mauw Siauw Mo-li menghampiri dan ketika dia melihat sikap Tek Hoat, melihat sinar maut dalam pandang
mata pemuda itu, dia berhati-hati dan tidak mau terlalu mendekat. Tangannya sudah siap di pinggangnya,
di mana tersimpan senjata rahasianya yang amat hebat, yaitu bahan peledak.
“Tunggu, Tek Hoat. Aku tidak akan main-main lagi, aku bicara sungguh-sungguh. Dengarlah, engkau tidak
akan berhasil menemukan Syanti Dewi tanpa bantuanku. Kau kira di mana engkau akan dapat menyusul
Syanti Dewi?”
Bicara tentang Syanti Dewi, tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sungguh pun dia masih marah. “Di pantai
Po-hai, di mana lagi? Dan aku tidak butuh bantuanmu.”
“Hemmm, jangan sombong kau, Tek Hoat. Pantai Po-hai merupakan pantai yang amat luas, apakah kau
hendak menjelajahi seluruh pantai di sepanjang teluk itu? Sampai berapa tahun kau akan berhasil?
Sebaliknya, kalau kau mau menerima bantuanku, aku tahu dan mengenal seorang kakek yang tinggal di
pantai Pohai, seorang kakek yang lihai, dan aku berani bertaruh bahwa agaknya kakek itulah yang
dimaksudkan orang, kakek yang singgah di restoran itu bersama Syanti Dewi.”
Tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sekali, akan tetapi dia masih curiga dan tidak mau percaya begitu
saja. “Mo-li, kalau engkau mempermainkan aku sekali ini, demi Tuhan, aku tentu akan membunuhmu!”
“Hi-hik, kau kira aku wanita macam apa mudah saja kau bunuh? Pula, perlu apa aku main-main denganmu
kalau aku benar-benar cin... ehh, suka kepadamu?”
“Kalau begitu, katakan siapa kakek itu dan di mana tempat tinggalnya?!”
“Hemm, nanti dulu, jangan mau enaknya saja. Telah kukatakan bahwa aku suka sekali kepadamu, Tek
Hoat. Engkaulah satu-satunya pria yang cocok berada di sampingku, sebagai... apa pun, pendeknya,
sebagai sahabat. Oleh karena itu, tidak mungkin aku memberi tahu kepadamu lalu engkau pergi
meninggalkan aku begitu saja. Kalau kau mau berbaik denganku, mau melakukan apa yang kuminta, aku
akan mengantarmu ke tempat kakek itu dan aku akan membantumu mencari sampai kita dapat
menemukan kembali Puteri Syanti Dewi. Bagaimana?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tek Hoat mengerutkan alisnya, berpikir-pikir. Dia tidak mungkin dapat memaksa wanita ini untuk mengaku.
Andai kata dia dapat mengalahkan Mauw Slauw Mo-li sekali pun, agaknya wanita seperti dia itu tidak akan
mau mengaku biar dibunuh sekali pun. Lebih menguntungkan berbaik dengan orang seperti ini dari pada
memusuhinya, apa lagi dia memang amat membutuhkan petunjuknya agar dapat menemukan kembali
Syanti Dewi yang hilang.
“Baiklah, Mo-li, akan tetapi engkau pun tahu bahwa orang macam aku takkan menuruti permintaanmu
begitu saja kalau permintaan itu tidak cocok dengan rasa hatiku. Seperti juga engkau, aku pun tidak takut
mati. Kita bersahabat, cukup sekian saja, jangan mengharapkan yang bukan-bukan.”
Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita yang sudah banyak mengenal pria, sudah memiliki banyak sekali
pengalaman, maka jawaban ini tidak mengecilkan hatinya. Dia maklum bahwa dalam hubungan antara pria
dan wanita, yang penting adalah keakraban lebih dulu, karena dari keakraban ini mudah sekali berubah
menjadi cinta! Pendekatan antara minyak dengan api memang tidak begitu saja menimbulkan kebakaran,
akan tetapi setidaknya membuka kesempatan besar sekali untuk terjadinya kebakaran itu, dan dengan
pengalamannya, dengan kecantikannya dan tubuhnya yang masih padat dan nampak muda, dia akan
dengan mudah menimbulkan kebakaran itu.
“Baiklah, Tek Hoat. Dan langkah pertama setelah kita menjadi sahabat adalah agar engkau jangan
menyebutku Mo-li (lblis Betina) lagi. Betapa tidak enaknya mendengar sebutan itu dari mulut seorang...
sahabat. Namaku adalah Lauw Hong Kui. Nama yang indah sekali, bukan? Memang mendiang orang
tuaku pandai memilih nama untuk anaknya. Nah, mulai sekarang kau sebut saja namaku seperti aku
menyebut namamu.”
Tentu saja hal semacam itu tidak terlalu dipedulikan benar oleh Tek Hoat. “Baiklah, Hong Kui. Dan mari kita
melanjutkan perjalanan.”
Mauw Siauw Mo-li tersenyum manis, sepasang matanya bersinar penuh kegembiraan mendengar
namanya disebut oleh Tek Hoat. “Mari, Tek Hoat, mari kita datangi kakek itu!”
Kedua orang itu melanjutkan perjalanan, jalan berendeng dan kalau dilihat dari jauh memang mereka itu
serasi sekali. Yang pria tampan gagah, yang wanita cantik manis. Hanya kalau dilihat dari dekat dengan
penuh perhatian baru dapat diketahui bahwa yang wanita jauh lebih tua dan memang banyak berbeda usia
mereka. Tek Hoat berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, sedang Lauw Hong Kui, Siluman Kucing itu,
paling sedikitnya berusia tiga puluh lima tahun. Mereka melakukan perjalanan menuju ke timur, menuju ke
pantai Teluk Po-hai…..
********************
Setelah berhasil memperoleh ramuan obat seperti yang dipesan oleh Sai-cu Kai-ong untuk mengobati
kakaknya, Kian Bu dan Siauw Hong dengan cepat meninggalkan kota kecil di perbatasan Ho-pei sebelah
barat itu untuk kembali ke puncak Nelayan di pegunungan Tai-hang-san, yaitu tempat tinggal Sai-cu Kaiong.
Obat yang dicarinya itu agak sukar sehingga mereka berdua telah melewati beberapa buah kota,
barulah dapat membeli di toko obat dalam kota di perbatasan itu, setelah melakukan perjalanan dua hari!
Maka kini, khawatir kalau ditunggu-tunggu oleh Sai-cu Kai-ong, dua orang muda ltu bergegas pulang.
Dalam perjalanan ini, Kian Bu mencoba ilmu kepandaian berlari cepat dari pengemis muda yang sekarang
telah berpakaian biasa itu, dan dengan kagum dia mendapatkan kenyataan bahwa Siauw Hong benarbenar
merupakan seorang pemuda remaja yang memiliki dasar ilmu kepandaian tinggi yang hanya perlu
dimatangkan saja.
Ketika mereka melewati jalan sunyi dan berbatu-batu di luar sebuah dusun, ditimpa terik matahari lewat
tengah hari yang masih bersinar sepenuh kekuatannya, tiba-tiba pada suatu tikungan jalan Siauw Hong
berseru, “Ehh, ada orang berkelahi...!”
Kian Bu juga sudah melihatnya. Agak jauh di depan, dia melihat dua orang sedang berkelahi dan dari jauh
sudah dapat dilihat bahwa dua orang yang sedang berkelahi itu keduanya menggunakan ilmu silat yang
cukup hebat. Dan di tepi jalan nampak rebah seorang laki-laki yang bergerak-gerak lemah.
“Siauw Hong, jangan engkau sembarangan mencampuri urusan mereka sebelum kita mengetahui duduk
persoalan,” bisik Kian Bu dan Siauw Hong mengangguk.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah mereka tiba di tempat itu, Siauw Hong melihat bahwa yang rebah itu adalah seorang laki-laki tua
yang gagah kelihatannya, dan agaknya dia itu telah terluka. Dia menggigit bibir dan menahan rasa nyeri,
akan tetapi tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya.
Ketika dia melihat mereka yang berkelahi, Siauw Hong terkejut karena dia mengenal bekas teman
seperjalanannya, yaitu Kang Swi, si pemuda royal yang menjadi pengawal dari Gubernur Ho-nan! Ada pun
yang menjadi lawan Kang Swi adalah seorang gadis cantik berbaju hijau yang hidungnya mancung. Siauw
Hong tertarik sekali. Dia maklum betapa lihainya Kang Swi karena dia pernah bertanding dengan pemuda
kaya raya itu di atas panggung lui-tai ketika diadakan sayembara pemilihan pengawal oleh Gubernur Honan
dan dia harus mengakui keunggulan Kang Swi. Akan tetapi kini Kang Swi seperti terdesak oleh wanita
baju hijau yang amat lihai itu!
Kian Bu juga memandang dengan tertarik dan kagum. Dia mengenal gadis baju hijau yang hidungnya
mancung itu. Pernah dia bertemu dengan wanita ini di dalam restoran. Bahkan wanita ini pernah menjamu
para tamu dan membayar harga makanan dan minuman mereka, termasuk dia. Dan kemudian muncul
seorang pemuda yang kulitnya putih, matanya agak biru dan rambutnya coklat yang diakui sebagai suheng
oleh wanita hijau itu dan mereka berdua kemudian terluka dan pingsan oleh jarum-jarum beracun dari
huncwe yang dilepas oleh Boan-wangwe. Benar, dia mengenal wanita itu dan kini diam-diam dia
memperhatikan betapa Kang Swi repot juga menghadapi wanita baju hijau yang gerakannya amat cepat
dan aneh itu, mengandung gerakan liar yang tidak dia kenal. Entah dari cabang persilatan apakah ilmu silat
yang dimainkan oleh wanita baju hijau ini.
Melihat Kang Swi terdesak dan gerakan pemuda tampan itu agak kaku, Kian Bu hanya menarik napas
panjang. Dia tahu bahwa pemuda tampan itu masih menderita luka akibat bentrok dengan dia ketika
mereka memperebutkan Pangeran Yung Hwa di gubernuran Ho-nan. Beberapa kali Kang Swi terdesak dan
terhuyung menyeringai tanda bahwa dia merasa nyeri di dalam tubuhnya. Akan tetapi baik dia sendiri mau
pun Siauw Hong, kini telah menganggap Kang Swi sebagai musuh karena pemuda itu telah menjadi kaki
tangan Gubernur Ho-nan yang dianggap memberontak, maka mereka berdua hanya menonton saja ketika
melihat Kang Swi terdesak.
Sementara itu, pada saat Kang Swi melirik dan mengenal Kian Bu dan Siauw Hong, mukanya menjadi
merah karena marahnya. Kedua orang itu tadinya adalah sahabat sahabat baiknya, yang tidak saja pernah
melakukan perjalanan dengan dia, malah di dalam perjalanan mengobrol dan bergurau sebagai sahabat.
Bukan itu saja, malah dia sudah membelikan kuda tunggangan untuk mereka! Akan tetapi kini mereka
hanya menonton, padahal dia terdesak oleh lawan yang lihai ini. Hatinya terasa mendongkol bukan main
dan kemarahannya memuncak, maka dia kemudian mengeluarkan suara melengking nyaring, tubuhnya
meloncat dan menerjang ke arah lawan dengan pukulan tangan kanan yang dimiringkan.
Kian Bu terkejut melihat serangan dahsyat ini. Ia mengenal pukulan sakti, maka karena dia
mengkhawatirkan keselamatan gadis baju hijau itu, dia berseru, “Awasss...!”
Namun terlambat sudah. Pukulan itu datang dengan dahsyatnya dan tidak mungkin dapat dielakkan lagi,
kecuali ditangkis. Dan wanita baju hijau itu pun agaknya tidak takut menghadapi pukulan itu. Dia
mengangkat lengannya menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya, apa lagi karena mendengar
seruan Kian Bu.
“Desssss...!”
Hebat sekali pertemuan antara dua lengan yang mengandung tenaga sinkang dahsyat itu. Akibatnya
hebat, tubuh Kang Swi terpelanting dan dia terbanting jatuh berdebuk, sedangkan kedua kaki gadis baju
hijau itu ambles ke dalam tanah sampai setengah lutut dalamnya!
Sambil menyeringai, gadis berbaju hijau itu menarik kedua kakinya dari dalam tanah dan menggoyangkan
lengan kanannya yang beradu dengan lengan lawan tadi karena terasa ngilu dan panas.
“Reettttt...!”
Kagetnya bukan main melihat betapa lengan bajunya sebatas siku terlepas dan ternyata lengan baju itu
robek dan putus seperti digunting dan copot dari lengannya. Dia cepat memeriksa lengannya dan di bagian
lengan yang tadi bertemu dengan lengan lawan nampak terluka melintang dan mengucurkan darah,
kulitnya robek seperti terkena bacokan pedang atau golok. Bukan main kaget dan herannya. Dia tahu jelas
dunia-kangouw.blogspot.com
bahwa lawannya itu tadi ketika memukul tidak mempergunakan senjata apa pun, akan tetapi lengannya
yang dipakai menangkis terluka, bahkan lengan bajunya terobek.
Memang jarang sekali orang menyaksikan ilmu seperti yang dipergunakan oleh Kang Swi tadi. Dia sendiri
pun jarang mempergunakannya, bahkan ketika dia bertanding di atas panggung lui-tai, dia tidak mau
mempergunakannya. Itulah ilmu pukulan sakti Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) Biar
pun dia belum melatihnya secara sempurna dan belum menguasai sepenuhnya, namun sudah demikian
lihai dan berbahaya.
Wanita baju hijau itu menjadi marah sekali. Lawannya telah menurunkan tangan kejam, maka dia cepat
menghadapi Kang Swi yang sudah bangkit berdiri lagi. Dengan sepasang mata mengeluarkan sinar berapi,
wanita berbaju hijau itu kini menggosok gosokkan kedua telapak tangannya, kemudian kedua tangan
digerak-gerakkan dengan lingkaran-lingkaran di depan dadanya.
Kang Swi yang melihat betapa pukulannya tadi telah berhasil melukai lengan lawan, biar pun tangkisan itu
membuat dia terbanting keras, kini memandang rendah kepada lawannya. Sambil mengeluarkan lengking
panjang lagi, dia hendak mengulangi pukulan sakti Kiam-to Sin-ciang dan menerjang dengan dahsyatnya.
Gadis berbaju hijau itu menyambutnya dengan dorongan kedua tangan yang terbuka jari-jarinya.
Kian Bu terkejut bukan main. Dia mengenal pukulan hebat dari gadis berbaju hijau itu, karena dia pernah
melihat suheng dari si nona baju hijau itu dahulu di restoran juga mempergunakan pukulan dahsyat ini
terhadap para lawannya. Maklumlah dia bahwa Kang Swi yang tidak menduga apa-apa itu terancam
bahaya maut. Dia tidak begitu suka kepada pemuda tampan yang banyak lagak ini biar pun pemuda itu
telah bersikap baik sekali kepadanya, akan tetapi tentu saja dia pun tidak ingin melihat Kang Swi terkena
hantaman yang demikian ampuh dan kejamnya, maka dari tempat dia berdiri, dia lalu mendorong dengan
pukulan jarak jauh untuk membuyarkan tenaga serangan gadis baju hijau terhadap Kang Swi.
Hebat bukan main pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Kian Bu. Kedua orang yang sedang saling adu
tenaga ini merasa seperti tertahan oleh kekuatan dahsyat yang tak tampak, yang membuat tenaga mereka
seperti tersedot lenyap. Oleh karena itu, ketika kedua tangan mereka bertemu, kekuatan mereka tidak
sepenuhnya lagi.
“Plakkk!”
Biar pun tenaga gadis berbaju hijau dan Kang Swi hanya tinggal beberapa bagian saja karena telah
dibuyarkan oleh tenaga sinkang yang didorongkan oleh Kian Bu, namun akibatnya masih sangat parah
bagi Kang Swi yang sudah terluka. Dia terjengkang dan terbanting, bergulingan dan kemudian rebah
pingsan. Mukanya kelihatan biru seperti orang kedinginan.
Melihat Kang Swi roboh seperti orang mati, Siauw Hong tiba-tiba menjadi marah. Dia teringat akan
kebaikan pemuda tampan itu dan kini melihat pemuda itu dipukul mati, dia berteriak marah dan
membentak, “Berani kau membunuh orang?”
Akan tetapi sebelum serangannya disambut oleh gadis berbaju hijau yang kelihatan sedang
mengumpulkan kekuatan karena benturan tenaga dengan Kang Swi tadi membuat dia terengah sedikit,
dari samping muncul seorang laki-laki bermata kebiruan dan berkulit agak putih, gerakannya tangkas ketika
dia menangkis pukulan Siauw Hong yang ditujukan kepada gadis berbaju hijau tadi. Mereka segera
berkelahi dan dari tangkisan-tangkisannya, tahulah Siauw Hong bahwa laki-laki yang seperti orang asing ini
memiliki tenaga yang sangat kuat, maka dia berlaku hati-hati dan memusatkan perhatian kepada gerakangerakannya.
“Tahan...! Siauw Hong, mundurlah dan jangan berkelahi!” Kian Bu berseru. Mendengar ini, Siauw Hong lalu
meloncat mundur dan cepat dia menghampiri Kang Swi yang masih menggeletak dengan muka biru.
Melihat Kian Bu, gadis baju hijau dan laki-laki asing itu segera mengenalnya dan cepat mereka berdua
menjura. “Kiranya Taihiap yang berada di sini...” Gadis baju hijau itu berkata dan sikapnya agak canggung
dan gugup.
“Mengapa Ji-wi berkelahi dengan dia?” Kian Bu bertanya sambil memandang tajam, tanpa menoleh
kepada Siauw Hong yang sudah memondong tubuh Kang Swi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siauw Hong merasa kasihan sekali melihat Kang Swi rebah seperti mati, mukanya menjadi biru pucat,
akan tetapi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Kang Swi masih bernapas, sungguh pun napas yang
senin kemis, dia kemudian memondongnya dan membawanya ke tempat teduh di bawah sebatang pohon
besar, agak jauh dari tempat perkelahian itu. Dia tidak lagi mendengarkan apa yang sedang
diperbincangkan oleh Kian Bu dan dua orang itu.
Melihat napas yang empas-empis dan muka yang pucat kebiruan, tahulah Siauw Hong bahwa bekas
temannya ini menderita luka dalam yang cukup berbahaya dan tentu akan dapat menyebabkan kematian
kalau tidak cepat diobati. Sebagai murid terkasih dari Sai-cu Kai-ong si ahli obat, tentu saja Siauw Hong
juga mempelajari ilmu pengobatan dan terutama sekali ilmu mengobati luka-luka bekas pukulan, baik luka
luar mau pun luka dalam. Tahulah dia bahwa tanpa bantuan dari luar, Kang Swi terancam bahaya maut
karena dalam keadaan setengah pingsan itu tentu saja Kang Swi tidak dapat menyalurkan sinkang untuk
mengobati lukanya.
Tanpa ragu-ragu lagi dan tanpa mempedulikan Kian Bu yang kelihatan masih bercakap cakap dengan dua
orang itu, Siauw Hong lalu membuka kancing baju Kang Swi. Dia melihat betapa di balik baju itu terdapat
pula baju dalam. Hemmm, pikirnya. Dasar pemuda royal dan banyak lagak, pakaian saja sampai
berangkap-rangkap dan pakaian dalamnya menutupi tubuh dari leher ke bawah! Karena melihat bahwa
baju dalam itu tidak dapat dibuka semua, hanya terdapat kancing kecil di bagian pembukaan yang
menyerong ke pundak, dia membuka dua buah kancing itu, lalu tangan kanannya menyusup ke dalam
untuk meraba dada mendekati ulu hati Kang Swi agar dia dapat menyalurkan sinkang melalui telapak
tangannya dan membantu pemuda tampan itu mengobati luka di dalam dadanya yang agaknya tergoncang
oleh pertemuan tenaga dahsyat tadi.
“Ehhhhh...!”
Dia menahan seruannya dan seperti orang menyentuh api, tangannya yang menyusup di balik pakaian
dalam Kang Swi itu ditariknya keluar, lalu dia memandang wajah yang pingsan kebiruan itu dengan
bengong terlongong.
Wajah yang amat tampan, terlalu tampan malah. Dia bengong seperti tak percaya akan apa yang
dialaminya. Setelah meragu sejenak dia kembali memasukkan tangannya untuk meyakinkan dirinya bahwa
apa yang dialaminya bukan dalam mimpi.
“Uhhhhh...!”
Kembali tangannya dicabut keluar dan seluruh mukanya dari bawah rambut kepala sampai leher menjadi
merah sekali. Tidak salah lagi. Tangannya yang menyusup tadi memang meraba sesuatu yang aneh! Dia
menoleh dan melihat betapa Kian Bu masih bicara dengan tegang bersama empat orang. Entah dari mana
datangnya dan kapan, di situ kini telah terdapat dua orang laki-laki muda lain lagi dan mereka semua
kelihatan bercakap-cakap dengan sikap tegang.
“Heemmm... aneh...,“ dia berbisik dan kembali dia menatap wajah Kang Swi yang tampan. “Kalau tidak
cepat kutolong, dia bisa tewas. Akan tetapi dia... tidak boleh aku menjamahnya... ahhh, tapi dia bisa mati...
dia...“
Terjadi perang hebat di dalam hati pemuda remaja ini. Akan tetapi, melihat wajah yang pucat kebiruan itu,
napas yang tersendat-sendat, Siauw Hong makin khawatir dan semua perasaan lain disapu bersih oleh
rasa khawatir ini, maka dia memutuskan untuk cepat menolong Kang Swi dan membuktikan dugaannya.
Dia mulai membukai semua kancing, kemudian menarik baju dalam itu ke bawah sehingga terobek sedikit
dan dia memejamkan mata dan membuang muka ketika melihat dua buah bukit tersembul keluar dan
nampaklah dada putih yang dihias dua bukit dada itu.
Kedua tangannya menggigil, akan tetapi cepat Siauw Hong menutupkan kembali baju dalam itu, menutupi
dada dan juga menutupi tangan kanannya yang menempel di dada itu, tepat di tengah tengah di antara dua
buah bukit dada yang ranum. Dengan jantung berdebar Siauw Hong mengerahkan sinkang-nya namun
tetap saja seluruh tubuhnya panas dingin dan agak menggigil biar pun dia sudah menenteramkan hatinya.
“Ahhh... ohhhhh... tolol kau...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia memaki diri sendiri dalam hatinya. “Biar dia perempuan, laki-laki atau banci, peduli apa kau? Yang
terpenting adalah mengobatinya agar dia terbebas dari cengkeraman maut, jangan memikirkan dada yang
indah itu!”
Akan tetapi, suara hatinya berhenti pada kalimat ‘dada yang indah itu’ dan terus saja dada yang putih
dengan sepasang bukit yang bentuknya indah itu terbayang di depan matanya, walau pun dia telah
memejamkan kedua matanya. Mulailah Siauw Hong mengobati Kang Swi sambil memejamkan matanya
dan memerangi sendiri ketegangan hatinya yang timbul ketika dia memperoleh kenyataan bahwa Kang Swi
adalah seorang dara muda!
Sementara itu, Kian Bu sedang sibuk melerai orang-orang yang sedang ngotot dan hendak saling serang.
Siapakah dua orang pemuda yang baru datang itu? Mereka ini bukan lain adalah Kao Kok Tiong dan Kao
Kok Han, dua orang putera dari Jenderal Kao Liang! Sedangkan laki-laki gagah yang rebah terluka tadi
adalah Jenderal Kao Liang sendiri.
Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Jenderal Kao Liang bersama dua orang puteranya
ini telah kehilangan seluruh keluarga mereka ketika keluarga mereka itu bersama harta benda mereka
diculik dan dicuri orang tanpa mereka ketahui dengan pasti siapa yang melakukannya. Hanya akhirnya
mereka yakin bahwa yang memusuhi mereka tentulah keluarga Pulau Es, yaitu putera-putera dari Suma
Han yang mereka duga tentulah diperalat oleh kaisar untuk menyingkirkan atau membasmi mereka
mengingat bahwa ayah mereka itu adalah menantu kaisar! Karena mereka merasa tidak kuat menghadapi
keluarga Suma yang amat sakti itu, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk mencari putera sulung
jenderal itu yaitu Sin-liong Kao Kok Cu, di Naga Sakti dari Gurun Pasir. Hanya putera sulungnya itulah
yang akan mampu menghadapi musuh-musuh tangguh itu, pikir Jenderal Kao.
Akan tetapi, di tengah perjalanan ayah dan anak ini bertemu dengan rombongan gadis baju hijau dan
suheng-nya yang bule dan bermata kebiruan itu bersama lima orang anak buah mereka. Dan tanpa bicara
apa-apa lagi, gadis berbaju hijau dan suheng-nya itu, dibantu oleh orang-orang mereka, langsung saja
menyerang Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya! Pertempuran hebat dan mati-matian terjadi dan
selain kalah banyak, juga jenderal dan dua orang puteranya itu kalah lihai. Akhirnya jenderal atau lebih
tepat lagi bekas Jenderal Kao Liang tertawan, akan tetapi sebelum roboh dan tertangkap dia meneriaki dua
orang puteranya untuk cepat melarikan diri dan minta bantuan kakak mereka.
Kok Tiong dan Kok Han terpaksa lari karena maklum bahwa ayahnya benar. Kalau mereka terus melawan,
akhirnya mereka akan roboh juga sehingga selain tidak ada yang akan dapat melapor kepada kakak
mereka, juga tidak ada harapan lagi menolong keluarga mereka. Namun, ketika mereka melihat ayah
mereka dibawa pergi, mereka tidak tega meninggalkan dan diam-diam mereka membayangi rombongan
gadis baju hijau yang menawan ayah mereka itu.
Akhirnya, pada hari itu, rombongan yang menawan Kao Liang bertemu dengan Kang Swi. Melihat orang
tua gagah itu ditawan serombongan orang, Kang Swi menegur dan terjadi bentrok antara dia dan gadis
baju hijau. Si gadis baju hijau yang merasa memiliki kepandaian tinggi, melarang suheng-nya dan kelima
orang anak buahnya untuk turun membantunya dan dia melawan sendiri pemuda tampan itu sehingga
mereka berkelahi dengan seru sampai muncul Siluman Kecil atau Suma Kian Bu yang cepat melerai
mereka. Ketika melihat munculnya pendekar yang ilmunya amat tinggi itu, baik si gadis baju hijau mau pun
Kang Swi yang sudah mengenalnya menjadi kaget dan jeri untuk melanjutkan pertandingan itu.
Kao Liang yang terluka itu kini dapat bercerita kepada Kian Bu setelah pemuda ini bertanya dengan suara
tenang. “Kalian berdua telah mengenal aku dan tahu bahwa Siluman Kecil selalu mencegah terjadinya
permusuhan di antara orang-orang sendiri. Kalau kalian berdua mempunyai urusan dan di antara kalian
terdapat penasaran, mari kita perbincangkan dengan seadilnya.”
Kao Liang yang sudah kembali bangkit berdiri itu melihat betapa gadis baju hijau dan penolongnya si
pemuda tampan itu kelihatan jeri terhadap pemuda berambut putih yang baru tiba, apa lagi mendengar
disebutnya nama Siluman Kecil, dia terkejut dan cepat cepat dia lalu menceritakan pengalamannya itu.
Betapa dia dan putera-puteranya sama sekali tidak mengenal gadis baju hijau yang menangkap mereka,
dan betapa pemuda tampan itu datang untuk menolongnya.
Kao Liang dan kedua orang puteranya juga menghaturkan terima kasih kepada Kang Swi yang telah
mencoba untuk menolong orang tua itu, kemudian bekas jenderal itu menudingkan telunjuknya kepada
muka gadis baju hijau sambil berkata, “Dia ini tentulah seorang di antara kaum sesat karena hanya orangorang
dari golongan hitam sajalah yang akan memusuhi keluarga kami!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja Kian Bu mengenal Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang agaknya tidak
mengenalinya karena rambutnya putih semua itu menutupi sebagian dari mukanya. Akan tetapi, bukanlah
menjadi watak Kian Bu untuk membantu orang yang telah dikenalnya begitu saja tanpa menyelidiki lebih
dulu urusannya. Maka dia lalu menghadapi wanita baju hijau itu dan bertanya, “Nona, benarkah cerita
mereka bahwa Nona menyerang dan menawan Paman ini tanpa sebab?”
Wanita baju hijau itu tersenyum dingin. “Nama Siluman Kecil telah menggemparkan kolong langit dan kami
berdua saudara seperguruan sudah lama merasa kagum, apa lagi semenjak peristiwa di restoran itu.
Karena Taihiap yang datang meleraikan, maka memandang muka Taihiap, kami menyabarkan diri. Tetapi
hendaknya Taihiap ketahui bahwa dia itu…,” sampai di sini gadis baju hijau itu menudingkan telunjuknya ke
arah muka Kao Liang dan memandang dengan penuh kebencian. “Dia itu adalah bekas Jenderal Kao
Liang. Dialah orang yang telah membasmi seluruh keluargaku. Seluruh keluarga, tua muda laki
perempuan, semua dihukum mati karena dia, dan hanya secara kebetulan saja ketika itu aku masih berada
di tempat Subo sehingga tidak sekalian dibunuh. Kao Liang, urusan lima enam tahun yang lalu di utara,
ketika engkau membasmi keluarga Kim, aku tidak akan dapat melupakannya begitu saja!”
Jenderal Kao Liang terbelalak. “Keluarga Kim...?” Dia mengingat-ingat. “Maksudmu keluarga pemberontak
dan pengkhianat Kim Bouw Sin?”
“Tutup mulutmu!” Gadis baju hijau itu membentak marah. “Engkau sudah membasmi keluargaku dan kau
masih berani memaki ayahku?” Kini kedua mata gadis itu menjadi basah.
“Ahhhhh... kiranya Nona adalah puteri dari Kim Bouw Sin?” Kao Liang menarik napas panjang dan
mengangguk-angguk, lalu meraba-raba jenggotnya. “Pantas...! Pantaslah engkau marah-marah dan
membenci kami sekeluarga. Akan tetapi agaknya karena engkau tidak tahu akan duduknya persoalan yang
sebenarnya, Nona. Kulihat engkau seorang yang berkepandaian tinggi, tentu berwatak gagah dan pastilah
juga dapat mempertimbangkan keadaan. Baik kau dengar penuturanku mengapa keluarga ayahmu sampai
terhukum semua. Semua itu adalah gara-gara perbuatan mendiang ayahmu.”
Bekas Jenderal Kao Liang lalu bercerita tentang peristiwa yang terjadi lima enam tahun yang lalu. Ketika
itu, Kao Liang masih menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal gagah perkasa yang amat ditakuti
oleh para pemberontak dan musuh-musuh negara yang berada di luar tapal batas. Jenderal Kao Liang
bermarkas besar di utara karena pada waktu itu, musuh yang paling ditakuti adalah suku-suku liar dari
utara, di luar tembok besar. Yang menjadi pembantunya, bahkan menjadi wakil panglima di utara itu adalah
Kim Bouw Sin, seorang panglima yang lebih muda dan yang pandai pula, dipercaya sebagai wakil oleh
Jenderal Kao.
Tetapi, seperti banyak di antara para pembesar, Panglima Kim Bouw Sin dapat dibujuk oleh dua orang
pangeran yang merencanakan pemberontakan, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi
Ong. Panglima Kim Bouw Sin dijanjikan kedudukan tertinggi oleh dua orang pangeran yang memberontak
itu sehingga dia tertarik dan memberontaklah panglima ini, berusaha menguasai bala tentara yang berada
di bawah kekuasannya di utara (baca cerita Sepasang Rajawali).
Usahanya itu ternyata gagal sama sekali, dan tentu saja sebagai seorang pemberontak, dia dan
sekeluarganya dijatuhi hukuman mati.
“Nah, demikianlah…” Jenderal Kao Liang mengakhiri penuturannya secara singkat itu. “Keluargamu
terbasmi karena gara-gara pengkhianatan ayahmu terhadap kerajaan, Nona. Tak ada permusuhan pribadi
antara kami dan ayahmu. Ayahmu terkena bujukan Pangeran Liong Khi Ong dan Pangeran Liong Bin Ong.
Dua orang pangeran khianat itulah yang menjadi biang keladi pemberontakan dan penyelewengan
ayahmu.”
“Orang she Kao! Kalau saja engkau tidak berhenti memaki ayahku, terpaksa aku akan menghancurkan
mulutmu!” Tiba-tiba pemuda berkulit putih dan bermata kebiruan itu melangkah maju dan mengepal tinju
mengancam Kao Liang.
Dua orang putera bekas jenderal itu cepat maju untuk melawan. Kian Bu melerai dan menyuruh kedua
pihak mundur.
Kao Liang kini memandang pemuda asing itu dengan alis berkerut. “Orang asing, apakah maksudmu?”
tanyanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemmm, Kao Liang, engkau tadi memaki ayahku. Pangeran Liong Bin Ong adalah ayah kandungku. Ibuku
adalah seorang puteri Mongol yang berdarah orang kulit putih. Dengarlah, orang she Kao. Kami, aku dan
Sumoi-ku ini menyadari akan kesalahan orang-orang tua kami yang melakukan pemberontakan terhadap
kerajaan, maka kami tidak akan mengulang kesalahan mereka. Tetapi, sebagai anak-anak yang berbakti,
kami tetap harus membalaskan kematian keluarga kami itu kepada yang bersangkutan! Karena hancurnya
keluarga Kim-sumoi ini adalah karena engkau, maka Sumoi hendak membalaskan dendam keluarganya
kepadamu!”
Mendengar bahwa pemuda asing ini adalah putera mendiang pemberontak Liong Bin Ong, semua orang
tercengang. “Ahhh... sungguh aneh dan luar biasa. Mengapa anak anak mereka juga dapat menjadi
saudara-saudara seperguruan?” Kao Liang berseru heran.
“Kao Liang, dalih apa pun yang kau kemukakan, tetap saja kuanggap bahwa engkau menjadi biang keladi
terbasminya keluargaku, oleh karena itu aku harus membalas kepadamu!” Gadis berbaju hijau itu berseru.
“Aku Kim Cui Yan bersumpah takkan mau sudah sebelum musuh besar keluargaku dapat terbasmi pula!”
Sepasang matanya memandang penuh kebencian kepada Kao Liang dan dua orang puteranya itu yang
sudah siap lagi untuk menghadapi terjangan wanita yang menjadi berbahaya karena sakit hati itu.
“Dan mengingat bahwa engkau dahulu pun merupakan musuh dari mendiang ayahku, maka aku akan
selalu membantu Sumoi menghadapi engkau dan keluargamu, orang she Kao!” si pemuda asing berseru.
“Aku Liong Tek Hwi juga sudah bersumpah akan membasmi musuh-musuh orang tuaku!”
Melihat kedua pihak sudah mau bergerak saling serang lagi, Kian Bu cepat melangkah maju dan
membentak. “Cukup! Selagi aku berada di sini, aku tidak akan membiarkan pertempuran lagi. Aku tidak
membantu siapa pun juga, tetapi aku akan menghadapi siapa saja yang hendak memamerkan
kepandaian!” bentaknya keras dan sikapnya menyeramkan sehingga Kim Cui Yan dan Liong Tek Hwi yang
berkepandaian tinggi itu menjadi gentar.
Mereka bukan penakut, akan tetapi mereka merasa segan untuk melanggar larangan Siluman Kecil yang
selain hebat kepandaiannya, juga pernah menolong mereka. Juga, nama Siluman Kecil sudah cukup
membuat mereka tunduk dan mengalah.
Kim Cu Yan menjura kepada Kian Bu. “Baiklah, Taihiap. Memandang muka Taihaip dan nama Siluman
Kecil, biarlah kami mengalah dan tidak akan menggunakan kekerasan di depan Taihiap.” Lalu dia menoleh
kepada bekas jenderal itu. “Akan tetapi, orang-orang she Kao, ingatlah bahwa selama aku Kim Cui Yan
masih hidup, jiwa kalian selalu akan dibayangi oleh pembalasanku! Liong-suheng, mari kita pergi!”
Dua orang itu lalu melangkah pergi diikuti oleh lima orang anak buahnya, berjalan cepat tanpa menoleh
lagi. Jenderal Kao Liang mengelus jenggotnya dan berkata seperti kepada diri sendiri namun cukup jelas
terdengar oleh orang lain yang berada di situ.
“Aihhh..., kekerasan..., kekerasan..., dalam bentuk apa pun juga, tentu mendatangkan kekerasan yang
lainnya lagi, sebab akibat, balas-membalas tiada berkeputusan seperti lingkaran setan. Betapa
menyedihkan...!”
“Aduhhhhh...!”
Kian Bu beserta tiga orang ayah dan anak itu terkejut dan cepat menengok ke arah datangnya suara itu.
Kian Bu melihat Siauw Hong terlempar dan roboh terbanting, pingsan! Sedangkan Kang Swi lari pergi dari
bawah pohon sambil menangis terisak isak, sebentar saja lenyap di antara pohon-pohon.
Kian Bu terkejut dan heran. Bukankah tadi Siauw Hong memondong tubuh Kang Swi yang terluka parah itu
ke bawah pohon dan mengobatinya? Apa yang terjadi? Mengapa kini Siauw Hong terpukul sampai pingsan
dan mengapa pula pemuda tampan yang kaya raya itu melarikan diri sambil menangis terisak-isak seperti
itu? Kian Bu cepat meloncat dan berlutut memeriksa Siauw Hong. Tidak terluka parah dan hanya dengan
beberapa kali pijatan di kedua pundaknya dan tengkuknya, pemuda remaja itu telah siuman kembali.
Begitu siuman, Siauw Hong bangkit duduk, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari.
“Kau mencari siapa?” Kian Bu bertanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dia... mana dia...?“ Siauw Hong bertanya.
“Kang Swi? Dia telah lari dan anehnya, dia berlari sambil menangis seperti anak kecil. Siauw Hong, apakah
yang telah terjadi?” Kian Bu bertanya.
Tiba-tiba wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan dia menundukkan mukanya. Terbayanglah semua
yang telah terjadi tadi. Biar pun dia merasa malu dan sungkan, akan tetapi demi untuk menyelamatkan
Kang Swi yang ternyata adalah seorang dara remaja itu, terpaksa dia menempelkan telapak tangannya di
dada itu, dada yang putih dan tangannya diapit sepasang bukit indah, menyalurkan sinkang-nya dan
perlahan lahan memulihkan keadaan rongga dada yang terluka akibat guncangan pukulan tadi.
Selagi dia melakukan pengobatan, tiba-tiba saja Kang Swi membuka matanya. Dara itu menahan jeritnya
lalu menghantam ke arah muka Siauw Hong. Pemuda ini terkejut, miringkan kepalanya sehingga hantaman
itu meleset dan mengenai lehernya. Dia terlempar dan pingsan.
“Apa yang telah terjadi, Siauw Hong?” tanya pula Kian Bu mendesak ketika dilihatnya pemuda itu
menunduk saja tanpa menjawab.
Siauw Hong menggelengkan kepala “Tidak apa-apa... tidak apa..., dia memang orang aneh...,“ jawabnya.
Tentu saja Siauw Hong merasa sungkan sekali untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Pula terdapat
perasaan aneh di dalam hatinya terhadap Kang Swi. Kalau Kang Swi ternyata seorang dara yang
menyamar tentu berarti dia tidak ingin diketahui orang bahwa dia seorang gadis. Nah, biarlah tidak ada
yang mengetahuinya kecuali dia!
Sementara itu, bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang tidak mau mencampuri urusan
mereka, kini menghampiri Kian Bu dan orang tua gagah itu menjura sambil berkata, “Kami telah menerima
bantuan Sicu yang amat berharga. Kalau tidak ada Sicu, kiranya kami sudah terbunuh oleh wanita puteri
pemberontak itu. Dan saya merasa seperti pernah mengenal wajah Sicu. Kami juga sudah mendengar
akan nama besar Siluman Kecil, akan tetapi, bolehkah kami mengetahui nama Sicu?”
Pada saat itu, Kian Bu masih memandang kepada Siauw Hong dengan pandang mata penuh selidik. Dia
mengerti bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang aneh antara Kang Swi dan Siauw Hong, dan dia ingin tahu
apa adanya peristiwa itu. Melihat pandang mata Kian Bu kepadanya, Siauw Hong juga maklum bahwa dia
tidak mungkin dapat menyembunyikan rahasia kalau didesak oleh Siluman Kecil. Mendengar pertanyaan
bekas jenderal itu, untuk mengalihkan perhatian dan mengubah percakapan, dia cepat menjawab, “Nama
Taihiap ini adalah Suma...“
“Siauw Hong!” Kian Bu berseru sehingga Siauw Hong menjadi kaget dan tidak jadi melanjutkan katakatanya.
Akan tetapi, sebutan she Suma itu sudahlah cukup bagi Kao Liang dan dua orang puteranya. Bekas
jenderal itu melangkah maju, menatap wajah Kian Bu dengan sinar mata tajam dan di baliknya terkandung
kemarahan yang mengherankan hati Kian Bu.
“Jadi engkau adalah putera keluarga Pulau Es?” bentak bekas jenderal itu.
Dengan pandang mata masih terheran-heran, Kian Bu mengangguk karena tidak perlu lagi untuk
menyembunyikan diri setelah she-nya diketahui orang.
“Keparat!” Tiba-tiba saja jenderal itu bersama dua orang puteranya telah maju dan langsung menyerang
kalang-kabut!
“Ehhhh...! Lhohhh...! Bagaimana pula ini...?” Siauw Hong kebingungan dan berteriak teriak.
Tetapi tiga orang itu tetap saja menyerang terus sungguh pun orang yang diserangnya itu terus mengelak
dengan mudah. Melihat ini Siauw Hong hendak menyerbu dan membantu Kian Bu, akan tetapi Kian Bu
melarangnya.
“Mundurlah kau, Siauw Hong! Paman dan Saudara-saudara Kao, hentikan serangan kalian! Ketahuilah
bahwa aku bukanlah orang yang menculik keluarga Kao mau pun mencuri harta benda keluarga kalian!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar ini, Jenderal Kao dan dua orang puteranya menghentikan serangan, namun mereka masih
memandang dengan penuh kecurigaan dan kemarahan. “Apa pula maksudmu? Dan bagaimana kau bilang
bahwa kau bukan orang yang melakukannya kalau kau mengetahui semua itu?”
Kian Bu menghela napas. “Aku mendengar dari kakakku, Suma Kian Lee yang juga telah menceritakan
betapa dia kalian serang kalang-kabut seperti tadi. Jelas bahwa kami berdua kakak beradik difitnah orang
sehingga engkau menyangka kami yang melakukan semua itu, Paman Kao Liang. Sungguh aneh, Paman
Kao tentu sudah mengenal dengan baik keadaan kami sekeluarga. Apakah Paman dapat percaya begitu
mudahnya mendengar bahwa kami kakak beradik dari Pulau Es kini menjadi perampok dan penculik?
Begitu rendahkah Paman memandang kami berdua?”
Wajah bekas jenderal itu menjadi merah. Dia menarik napas panjang dan menjawab, “Kalau keadaan tidak
seperti ini, tentu sampai mati pun kami tidak akan percaya. Akan tetapi, banyak bukti menunjukkan bahwa
yang melakukan semua kekejian terhadap keluarga kami adalah orang-orang she Suma. Dan mengingat
bahwa kami tidak terpakai lagi oleh kerajaan, mengingat bahwa ayah kalian adalah mantu kaisar, maka
besar kemungkinannya keluarga kalian yang dipergunakan oleh sri baginda atau mereka yang berkuasa
untuk membasmi kami. Bukan sebagai penculik atau perampok, melainkan sebagai pengemban perintah
atasan.”
Lalu diceritakanlah semua pengalaman yang menimpa dia sekeluarganya itu kepada Kian Bu, dari awal
sampai saat itu mereka belum juga dapat menemukan keluarga mereka.
“Demikianlah, Sicu. Semua bukti menunjukkan bahwa keluarga Suma yang melakukan ini, dan sekarang
Sicu bersikap seperti ini. Sungguh membuat kami meragu dan amat bingung. Katakanlah, demi keadilan,
demi kegagahan dan demi nama baik Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, katakanlah Suma-sicu,
demi persahabatan di antara keluarga kita, apakah kalian berdua yang melakukan penculikan keluarga
kami ataukah bukan?”
Melihat wajah yang pucat dan muram penuh kekhawatiran dan kedukaan itu, melihat pandang mata yang
penuh harapan itu, Kian Bu merasa terharu dan dengan tegas dia menjawab, “Bukan kami, demi
kehormatan keluarga kami!”
“Ohhhhh...!” Dan bekas jenderal itu menjatuhkan diri berlutut dan menutupi mukanya dengan kedua
tangannya. Dua orang puteranya cepat berlutut dan memegang lengan ayah mereka.
“Ayah...!” Kok Han mengeluh.
“Ayah, kuatkanlah perasaan Ayah,” kata Kok Tiong, dia sendiri menjadi pucat mukanya dan menahan air
matanya. Hati siapa tidak akan menjadi gelisah memikirkan lenyapnya isterinya di antara keluarga itu, juga
dua orang anaknya?
Kao Liang menurunkan dua tangannya. Pipinya basah akan tetapi dari kedua matanya tidak lagi ada air
mata mengalir. “Hatiku lega mendengar bahwa bukan keluarga Suma yang melakukan perbuatan biadab
itu,” katanya setelah dia berdiri lagi. “Akan tetapi bersama dengan kelegaan itu hatiku menjadi makin
khawatir karena kami sama sekali tidak tahu siapa gerangan pelakunya.”
“Ayah, mari kita cepat melanjutkan perjalanan mencari Twako,” kata Kok Tiong.
Ayahnya mengangguk-angguk. “Benar, akan tetapi tempat tinggal kakakmu terlalu jauh, aku khawatir
kalau-kalau akan terlambat...“
Tiba-tiba Kian Bu berkata, “Paman, jangan kalian khawatir. Aku dan kakakku sudah memperbincangkan
urusan kalian itu dan kami berdua sudah mengambil keputusan untuk membongkar rahasia ini. Bukan
hanya untuk menolong keluargamu dan mencari harta bendamu, melainkan juga untuk membersihkan
nama kami yang difitnah orang. Kakakku menderita sakit, terluka parah dan sedang berobat, bahkan
sekarang pun aku sedang membelikan obat untuknya. Tunggu kalau dia sudah sembuh, kami berdua tentu
akan menyelidiki hal ini dan menangkap orangnya yang telah melakukan semua perbuatan secara
sembunyi itu dan menggunakan nama kami!” Kian Bu bicara penuh semangat.
“Ahhh, kami menyesal sekali, kami pernah pula menyerang kakakmu. Hal itu adalah karena kami masih
mengira...“
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sudahlah, Paman Kao. Kakakku juga mengerti bahwa kalian salah paham dan tidak menaruh
penyesalan.”
“Betapa pun juga, kami harus menengoknya.”
“Kalau begitu, marilah, Paman.”
Berangkatlah Kian Bu, Siauw Hong, diiringkan oleh Kao Liong dan dua orang puteranya itu, menuju ke
puncak Nelayan yang tidak berapa jauh lagi dari situ. Siauw Hong merasa girang dan lega sekali karena
percakapan yang serius antara Kian Bu dan keluarga Kao tadi agaknya membuat semua orang, terutama
Kian Bu, lupa akan keadaan Kang Swi sehingga tidak lagi bertanya-tanya. Mereka melakukan perjalanan
cepat mendaki puncak dan matahari sudah mulai berkurang panasnya…..
********************
Ketika mereka baru tiba di lembah bawah puncak Nelayan, tiba-tiba terdengar seruan, “Sute...!”
Kian Bu dan Siauw Hong cepat menengok dan cepat pula mereka berlari ke arah datangnya suara itu,
diikuti oleh Kao Liang dan dua orang puteranya yang merasa terheran-heran melihat bahwa yang
memanggil itu adalah seorang yang berpakaian pengemis, yang usianya sudah enam puluh lima tahun
lebih. Pengemis ini berdiri bersandarkan batang pohon dan terikat pada batang pohon itu dari dada sampai
ke kaki, sama sekali tidak mampu bergerak!
“Suheng...! Kau kenapa...?” Siauw Hong bertanya penuh keheranan dan cepat dia bersama Kian Bu
melepaskan ikatan itu.
Wajah Gu Sin-kai, pengemis itu, menjadi merah sekali. “Celaka,” katanya. “Gadis setan itulah yang
melakukannya!”
Siauw Hong terkejut sekali. “Seorang gadis…? Dan dia mampu mengalahkanmu dan membelenggumu
seperti ini, Suheng?” Tentu saja Siauw Hong terkejut bukan main. Suheng-nya itu, Gu Sin-kai, adalah
murid pertama dari gurunya, ilmu kepandaiannya tinggi, akan tetapi kini dapat dibelenggu oleh seorang
gadis!
Melihat pengemis itu ragu-ragu dan kelihatan seperti malu untuk menceritakan karena di situ terdapat
banyak orang, Kian Bu lalu berkata, “Gu Sin-kai, harap kau tidak ragu-ragu untuk menceritakan semuanya.
Mereka ini bukan orang lain, melainkan Paman bekas Jenderal Kao Liang yang terkenal itu dan dua orang
puteranya.”
Memang nama Kao Liang amat terkenal, apa lagi hampir semua orang gagah di dunia kang-ouw mengenal
nama ini dengan perasaan hormat, maka begitu mendengar bahwa kakek gagah perkasa yang datang
bersama sute-nya dan Siluman Kecil itu adalah bekas panglima yang amat terkenal itu, dia cepat menjura
dengan hormat. “Ahh, kiranya Kao tai-ciangkun...“
Kao Liang tersenyum. “Jangan menyebutku Tai-ciangkun karena aku sekarang bukan lagi seorang
panglima, bahkan prajurit pun bukan.”
Gu Sin-kai mengangguk. “Maafkan saya, Kao-enghiong.” Lalu dia bercerita kepada Kian Bu dan Siauw
Hong. “Tadi ada seorang gadis remaja yang liar naik ke sini. Ketika bertemu denganku, dia mengatakan
bahwa dia hendak bertemu dengan Taihiap Suma Kian Lee. Aku merasa curiga dan lalu mengatakan
bahwa tidak boleh sembarangan bertemu dengan Suma-taihiap, akan tetapi dengan lagak sombong dia
mengatakan bahwa kalau aku tidak mau menunjukkan, dia akan memukulku. Tentu saja aku makin curiga
dan marah. Kami bertempur dan ternyata dia lihai bukan main...“
“Hemmm, gadis itu apakah pakaiannya serba hitam?” tiba-tiba Kian Bu bertanya.
“Ya benar! Apakah kau mengenalnya, Taihiap?” tanya Gu Sin-kai.
Kian Bu menahan senyumnya dan membayangkan wajah Hwee Li. Siapa lagi kalau bukan gadis liar yang
lihai itu yang dapat membelenggu Gu Sin-kai? Gadis itu liar, ganas, aneh dan ilmu kepandaiannya tinggi.
Sukar sekali diduga apa saja yang akan dilakukan oleh seorang dara seperti Hwee Li.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mari kita cepat naik ke puncak!” katanya tanpa menjawab pertanyaan Gu Sin-kai tadi. Semua orang
mengikutinya dan mereka mendaki puncak dengan cepat.
Apa yang dikhawatirkan oleh Kian Bu memang benar terjadi. Ketika dia dan yang lain lain tiba di depan
pintu gerbang tempat tinggal Sai-cu Kai-ong, mereka melihat keributan sedang terjadi di situ. Dari jauh
sudah nampak dua orang sedang bertanding dengan serunya. Para pengemis yang menjadi anak buah
Sai-cu Kai-ong hanya mengurung dengan senjata di tangan, tidak berani turun tangan.
Kian Bu maklum bahwa Sai-cu Kai-ong adalah seorang tua yang angkuh dalam hal pertandingan, sama
sekali tidak mengijinkan anak buahnya melakukan pengeroyokan. Padahal dia terdesak hebat dalam
perkelahian itu! Di dekat situ nampak Hwee Li berdiri sambil meringis kesakitan memegangi lengan
kanannya yang agaknya terluka.
Pertempuran itu memang hebat sekali. Kian Bu menjadi bengong dan kagum. Lawan dari Sai-cu Kai-ong
adalah seorang wanita muda yang amat luar biasa gerakannya. Melihat betapa Sai-cu Kai-ong sampai
mempergunakan tongkatnya melawan wanita yang bertangan kosong itu, dan masih terdesak, dapat
diduga betapa lihainya wanita ini, wanita cantik yang pandang matanya tajam mencorong namun alisnya
berkerut seperti orang sedang marah atau berduka.
Kian Bu, Siauw Hong, Kao Liang dan dua orang puteranya itu segera mengenal wanita itu.
“Ceng Ceng...!” Terdengar bekas jenderal itu menahan seruannya ketika dia mengenal mantunya.
Kian Bu yang tadinya teringat bahwa wanita itulah yang disebut ‘subo’ oleh Hwee Li, mendengar
disebutnya nama ini menjadi terkejut sekali dan kini dia pun teringatlah bahwa guru Hwee Li itu adalah
Ceng Ceng! Ada pun Siauw Hong juga mengenal wanita perkasa itu ketika Ceng Ceng dan suaminya, Kao
Kok Cu, berada di dalam restoran di mana Kok Cu membagi-bagikan masakan kepada para pengemis.
Melihat bahwa wanita itu adalah Ceng Ceng, yang baru sekarang diingatnya, Kian Bu cepat meloncat ke
depan dan berseru. “Tahan...! Kita berada di antara teman sendiri!”
Ceng Ceng menahan gerakannya dan sekarang dia berdiri tegak, sepasang matanya mencorong
memandang ke arah pemuda berambut putih yang berdiri di depannya. Sejenak mereka berpandangan
dengan sinar tajam penuh selidik, kemudian terdengar Kian Bu berkata lirih, “Ceng Ceng, Lupakah kau
kepadaku? Aku Suma Kian Bu...“
“Ohhhhh...!” Sepasang mata itu terbelalak, bibir itu tersenyum dan dia cepat menjura. “Ahhh, kiranya
Paman...,“ katanya agak gagap karena memang belum terbiasa olehnya menganggap pemuda dari Pulau
Es ini sebagai pamannya.
“Ceng Ceng...!”
Wanita itu terkejut dan menengok. Bukan main kagetnya ketika dia melihat bahwa ayah mertuanya berada
di situ pula.
“Twa-so...!” Kok Tiong dan Kok Han juga berseru.
“Ayah...! Adik Tiong dan Adik Han...!” Ceng Ceng cepat menghampiri dengan wajah berseri. “Ayah di sini?”
Dia cepat memberi hormat.
“Ceng Ceng, kebetulan sekali kita bisa bertemu di sini. Mana suamimu? Kami sedang hendak mencari
kalian di utara.”
“Kami sudah lama meninggalkan utara, Ayah. Puteramu tidak jauh dari sini dan kami... ah, panjang
ceritanya, Ayah. Akan tetapi mengapa Ayah dan kedua adik berada di sini?”
Bekas jenderal itu menarik napas panjang. “Ceritanya juga panjang, nanti kuceritakan semua kepadamu...”
Dia menoleh ke arah Kian Bu. “Ceng Ceng, sebaiknya urusanmu di sini dibereskan dulu. Apa yang terjadi
dan kenapa kau berkelahi?”
“Benar, Ceng Ceng, mengapa kau berkelahi dengan Paman Sai-cu Kai-ong? Paman, apakah yang telah
terjadi dan mengapa kalian berdua tadi bertempur?” Kian Bu juga bertanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahhh, semua ini adalah gara-gara Hwee Li yang bengal! Hwee Li, hayo kau ceritakan semua perbuatanmu
yang mengakibatkan aku sampai bertempur dengan Locianpwe ini!” Ceng Ceng berkata kepada Hwee Li
sambil menghampiri muridnya itu dan memeriksa luka di lengan muridnya, mengobatinya dan
membalutnya dengan sapu tangan.
Mulut yang indah bentuknya itu cemberut, matanya yang tajam menyambar ke kanan kiri, mengamati
semua orang dan agak lama berhenti di wajah Kian Bu. Lalu dia berkata kepada Kian Bu, “Ehh, kau sudah
kubantu mendapatkan obat untuk kakakmu, apakah engkau juga akan menyalahkan aku dan membantu
tuan rumah yang galak ini?” Dia menuding ke arah Sai-cu Kai-ong.
Kian Bu menahan senyumnya. Dara itu sebenarnya bukan kanak-kanak lagi, baik dilihat dari wajahnya
yang cantik jelita mau pun bentuk tubuhnya, akan tetapi sikapnya benar benar seperti seorang anak kecil!
“Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, kita berada di antara orang-orang sendiri, maka sebaiknya semua
kesalah pahaman ini diselesaikan dengan damai. Hwee Li, mengapa engkau membelenggu Gu Sin-kai ini
di bawah sana, mengikatnya pada sebatang pohon?”
Hwee Li tersenyum. “Siluman Kecil, kau sudah tahu namaku sekarang?”
“Tentu saja! Dan Lee-koko sangat berterima kasih kepadamu.”
“Ahhh, bagaimana dengan dia? Ketahuilah, ketika aku mendengar darimu bahwa... dia terluka parah, aku
lalu menyusul ke sini dan aku ingin sekali menengoknya. Aku pernah mengenalnya, pernah mengobati
pahanya dan kini mendengar dia menderita luka parah, aku ingin menengoknya. Salahkah itu? Akan
tetapi... para jembel ini...“
“Hwee Li!” Ceng Ceng menghardiknya.
Hwee Li melirik ke arah Ceng Ceng dengan mulut cemberut. “Subo, harap Subo lihat pakaian mereka,” dia
menuding ke arah anak buah Sai-cu Kai-ong, “Bukankah mereka itu pengemis semua dan bukankah
pengemis juga boleh disebut jembel?”
“Hemmm, bocah bengal! Jangan kurang ajar kau!” kembali Ceng Ceng menghardik. Sering kali nyonya
muda ini merasa kewalahan menghadapi muridnya yang bengal dan pandai bicara itu, dan sering dia
memarahi Hwee Li sungguh pun di dalam hatinya dia sayang sekali kepada dara ini dan hal ini pun
diketahui oleh Hwee Li sehingga murid ini tidak pernah merasa sakit hati dimarahi oleh subo-nya.
“Baiklah, Subo. Siluman Kecil, ketahuilah, ketika aku hendak menengok kakakmu, aku dilarang naik ke
puncak oleh jem... ehh, oleh kakek itu.” Dia lalu menuding ke arah Gu Sin-Kai. “Kami bertempur dan dia
lalu kuikat di pohon agar tidak menghalangiku. Masih baik aku tidak mengetuk kepalanya...!” Dia melerok
ke arah Gu Sin-kai yang hanya menundukkan mukanya dan masih terheran-heran dan penasaran
bagaimana dia telah dikalahkan oleh dara remaja yang sikapnya masih seperti anak kecil itu!
“Kemudian, ketika tiba di depan pintu gerbang ini, muncul jem... eh, kakek tua yang lihai ini. Aku kalah dan
untung datang Subo yang membantuku setelah lenganku terluka oleh tongkat bututnya.”
“Aku tadinya tidak tahu akan duduk perkaranya, akan tetapi melihat Hwee Li terluka oleh Locianpwe ini,
tentu saja aku lalu membelanya, Paman,” kata Ceng Ceng kepada Kian Bu sehingga Sai-cu Kai-ong dan
para murid serta anak buahnya terheran-heran mengapa nyonya muda itu menyebut paman kepada Kian
Bu, padahal usia mereka sebaya.
Tentu saja bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang sudah tahu bahwa Ceng Ceng adalah
cucu isteri Pendekar Super Sakti, tahu akan hubungan mereka dan tidak menjadi heran.
“Ahhh, sungguh kesalahan terletak pada kami,” Sai-cu Kai-ong berkata dan menjura ke arah Ceng Ceng.
“Kepandaian Toanio sungguh amat hebat luar biasa dan harap suka memaafkan kami yang terlalu
mencurigai orang. Suma Kian Lee sedang terluka parah dan tidak boleh sembarang ditengok orang, apa
lagi kami belum mengenal muridmu ini, maka kami melarangnya.”
Akan tetapi Ceng Ceng sudah tidak memperhatikan lagi kata-kata itu. Dia menoleh kepada Kian Bu dan
bertanya dengan wajah agak berubah, “Paman Kian Lee terluka parah...?” Dia bertanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, Subo. Dan aku yang mencarikan obatnya. Kalau tidak ada aku, tidak mungkin Siluman Kecil bisa
mendapatkannya dengan mudah.”
“Kenapa kau tidak menceritakannya kepadaku? Ahhh, bocah bodoh. Hayo kita cepat menengok Paman
Kian Lee!”
Kian Bu cepat memperkenalkan mereka semua, keluarga Jenderal Kao Liang dan Ceng Ceng serta
muridnya kepada Sai-cu Kai-ong. Kakek ini terkejut sekali mendengar bahwa para tamunya adalah orangorang
yang telah lama dikagumi dan dijunjung tinggi namanya, apa lagi nama bekas Jenderal Kao Liang,
dan dia terkejut mendengar bahwa nyonya muda bekas lawannya itu adalah isteri dari pendekar si Naga
Sakti dari Istana Gurun Pasir! Dengan ramah dan penuh hormat dia lalu mempersilakan mereka semua
masuk dan mereka langsung mengunjungi Suma Kian Lee yang masih rebah di atas pembaringan di dalam
kamar.
Akan tetapi setelah tiba di luar pintu, Sai-cu Kai-ong menahan mereka dan berkata halus, “Harap Cu-wi
sekalian sudi memaafkan saya. Biar pun Kian Lee telah terbebas dari bahaya maut, akan tetapi tubuhnya
masih lemah sekali, maka kunjungan banyak orang tentu akan mengejutkannya dan melelahkannya.
Karena itu, sebaiknya kunjungan dilakukan secara bertahap dan terpisah, dan sebaiknya kalau satu demi
satu.”
“Aku akan menengoknya lebih dulu!” Hwee Li sudah melangkah maju.
Melihat ini, yang lain mengalah dan menyaksikan sikap muridnya itu diam-diam Ceng Ceng mengerutkan
alisnya. Akan tetapi di depan banyak orang, dia diam saja tidak mencegah dan pintu kamar itu dibuka oleh
Sai-cu Kai-ong yang membiarkan Hwee Li menyelinap masuk.
Hwee Li melangkah perlahan. Dia mendekati pembaringan di mana Kian Lee rebah terlentang dengan
mata terpejam. Wajahnya yang tampan masih agak pucat dan tubuhnya agak kurus. Hwee Li berdiri dekat
pembaringan, pandang matanya menatap wajah itu tanpa berkedip. Selama bertahun-tahun ini, semenjak
dia mengobati paha Kian Lee ketika terluka dahulu, dia tidak pernah melupakan Kian Lee yang
dikaguminya.
Kini, melihat pemuda itu, jantungnya berdebar aneh dan baru pertama kali ini selama hidupnya Hwee Li
yang keras hati itu merasa terharu dan hampir saja dia meneteskan air mata kalau dia tidak cepat-cepat
memejamkan mata dan mengeraskan hati menekan perasaan. Ketika dia membuka kembali matanya, dia
melihat bahwa Kian Lee telah sadar dan menengok kepadanya, memandang kepadanya dengan mata
terbelalak. Akan tetapi segera Kian Lee tersenyum dan mengenalnya, bahkan sudah bangkit duduk. (baca
Kisah Sepasang Rajawali)
“Ahhh, kiranya engkau yang datang, Hwee Li,” kata Kian Lee wajah gembira.
Hwee Li cepat duduk di atas bangku dekat pembaringan. “Kau masih mengenali aku?” Suaranya agak
gemetar karena dia masih terharu.
“Tentu saja, apa lagi karena adikku telah menceritakan betapa engkau yang membantu dia mencari jamur
panca warna. Hwee Li, beberapa tahun yang lalu engkau pernah menyelamatkan nyawaku ketika pahaku
terluka oleh bibi gurumu, dan kini kembali engkau menyelamatkan nyawaku dengan bantuanmu
mendapatkan jamur panca warna. Sungguh aku berhutang budi kepadamu, Hwee Li.”
“Ahhhhh, siapa ingin bicara tentang budi? Mukamu pucat sekali, Kian Lee, tubuhmu kurus dan engkau
kelihatan lemah sekali. Hemmm, sungguh keji sekali Siluman Kecil adikmu itu! Ingin aku mengetuk
kepalanya karena dia berani memukulmu seperti ini!”
Kian Lee tersenyum dan matanya bersinar-sinar. Melihat dan mendengar kata-kata gadis ini benar-benar
mendatangkan semangat dan gairah hidup, seolah-olah ada cahaya matahari cerah memasuki kamarnya
dari jendela.
“Sudah cukup kau menghajarnya, Hwee Li. Kasihanilah dia karena dia memukul aku tanpa disengaja. Kami
berkelahi karena kami berdua dalam penyamaran dan tidak saling mengenal. Ehhh, kau dari mana saja,
Hwee Li? Selama lima enam tahun tidak berjumpa, engkau kini telah menjadi seorrang gadis yang lihai dan
sudah dewasa.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sepasang mata itu bersinar-sinar amat indahnya. “Benarkah kau tidak melupakan aku? Aku telah banyak
merantau, Kian Lee, sampai di gurun pasir, bahkan melintasi lautan bersama burung garuda. Akan tetapi
aku tidak pernah bertemu denganmu, dan baru secara kebetulan aku bertemu dengan Siluman Kecil yang
ternyata adalah Kian Bu, adikmu.”
Selama ini Kian Lee banyak menanggung penderitaan batin sehingga dia selalu murung dan kurang
gembira. Baru sekarang dia merasa gembira sekali memandang dan bicara dengan gadis ini. Sungguh,
luar biasa lucu dan menggembirakannya melihat gadis ini bicara, menyebut namanya dan nama adiknya
begitu saja seolah-olah Hwee Li merasa lebih tua, lebih pandai dan lebih segala-galanya! Akan tetapi di
dalam semua itu terdapat kewajaran yang menyegarkan, sehingga orang tidak akan merasa tersinggung
oleh sikapnya yang polos, wajar dan jujur sehingga agak kasar itu. Tidak ada bosannya mendengar Hwee
Li bercerita panjang lebar dengan gerakan kedua tangannya dan bibir itu bergerak-gerak dengan
kenesnya, mata itu bersinar-sinar. Dari cerita ini Kian Lee mendengar bahwa Hwee Li telah berguru kepada
Ceng Ceng yang kini menjadi nyonya Kao Kok Cu, tinggal di Istana Gurun Pasir dan mempunyai seorang
anak laki-laki yang telah lenyap.
“Subo dan Suhu sekarang mencari-carinya...“
Pada saat itu, pintu kamar terbuka dan masuklah Sai-cu Kai-ong. “Nona, harap Nona menyudahi
kunjungan Nona karena yang lain-lain juga ingin masuk. Maaf, dia tidak boleh diganggu terlalu lama.”
“Akan tetapi siapa yang mengganggunya? Aku sama sekali tidak mengganggunya! Bukankah aku tidak
mengganggumu, Kian Lee?” Hwee Li membantah.
Kian Lee menggeleng kepala lalu bertanya kepada kakek itu, “Paman, siapakah yang akan mengunjungi
aku?”
“Ada Panglima Kao Liang di luar...“
“Ahhh!” Kian Lee terkejut dan dia lalu berkata kepada Hwee Li, “Hwee Li, maafkan aku. Harap kau suka
keluar dulu dan membiarkan Jenderal Kao masuk.”
“Huh, jadi kau lebih suka bercakap-cakap dengan segala macam jenderal, ya? Kau lebih senang bicara
dengan dia dari pada dengan aku?”
Kian Lee tersenyum. “Tidak begitu, Hwee Li, akan tetapi kasihan dia yang sudah lama menanti sejak tadi.”
Dengan mulut cemberut Hwee Li terpaksa meninggalkan kamar itu dan ketika di pintu kamar dia bertemu
dengan Kao Liang, dia mencibirkan bibirnya kepada bekas panglima besar itu!
Bekas Jenderal Kao Liang memasuki kamar. Kian Lee memandangnya, dan kemudian mempersilakan
duduk dengan tangannya. Kao Liang duduk dan berkata, “Kedua orang puteraku berada di luar pula, akan
tetapi karena kami tidak ingin banyak mengganggu Sicu yang sedang sakit, maka aku mewakili mereka
untuk menengok dan sekalian minta maaf kepada Sicu atas sikap kami tempo hari.”
“Ahhh, Lo-ciangkun terlalu sungkan...”
“Sicu, saya bukan panglima lagi. Kami telah bertemu dengan adikmu dan barulah kami tahu bahwa Sicu
berdua sama sekali bukan orang yang telah mengganggu keluarga kami, maka maafkanlah kami atas
penyerangan kami terhadap Sicu tempo hari karena kami tadinya mengira bahwa...“
“Sudahlah Lo-enghiong. Aku pun sudah mengerti dan sudah menduga bahwa terjadi kesalah pahaman di
sini. Bahkan aku dan adikku sudah bersepakat untuk kelak setelah aku sembuh, membantu keluarga Loenghiong
dan membongkar semua rahasia itu, menghukum penjahatnya yang telah menjatuhkan fitnah
kepada kami.”
Kao Liang lalu bangkit berdiri dan menjura. “Terima kasih, Sicu. Sungguh bodoh sekali bahwa saya pernah
meragukan kemuliaan budi dan kegagahan keluarga Pulau Es. Perkenankan saya keluar dan harap Sicu
menjaga diri baik-baik agar cepat sembuh.”
“Terima kasih.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kao Liang lalu keluar dan tak lama kemudian pintu itu terbuka kembali dan masuklah seorang wanita cantik
ke dalam kamar itu.
Sejenak mereka berpandangan ketika wanita itu berdiri di tengah kamar. Wajah Kian Lee sebentar pucat
sebentar merah ketika dia memandang wajah cantik yang selama ini sukar untuk dilupakannya itu, wajah
wanita satu-satunya di dunia ini yang pernah mencengkeram hatinya, yang telah merampas cinta kasihnya
akan tetapi juga yang kemudian menghancurkan hatinya karena wanita ini tidak mungkin menjadi
jodohnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Ceng Ceng akan memasuki kamarnya.
“Kau... kau... Ceng Ceng...?” Dia berkata lemah dan gugup, lirih seperti bisikan saja.
Sejenak hati Ceng Ceng seperti diremas oleh rasa haru. Dia tahu apa yang terjadi di dalam hati pemuda
perkasa ini. Melihat betapa pemuda ini demikian kurus dan pucat, dan wajah tampannya itu jelas
membayangkan banyak penderitaan batin, dia merasa terharu karena merasa bahwa dialah yang berdosa
telah mengecewakan hati pemuda yang amat baik ini. Dari pandang mata Kian Lee, dia dapat mengukur isi
hatinya dan makin perih rasa hatinya melihat betapa besar sinar kemesraan dari cinta kasih masih saja
terpancar dari sepasang mata itu yang kini memandangnya.
“Paman...!” Cepat Ceng Ceng menghampiri pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kian Lee
yang tetap duduk di atas pembaringan. “Keponakanmu Ceng Ceng memberi hormat dan mengharapkan
kesembuhan bagimu, Paman Suma Kian Lee.”
“Ehh... ehhh..., Ceng Ceng, bangunlah...!” Kian Lee berseru gugup. “Ha-ha-ha, hampir saja aku lupa bahwa
engkau adalah keponakanku! Ceng Ceng, kau bangunlah dan duduklah di atas bangku itu...“
Mendengar ini, barulah Ceng Ceng bangkit kemudian duduk di atas bangku, mukanya menjadi merah
sekali, mungkin karena dia berlutut tadi demikian anggapan Kian Lee, padahal wanita ini dengan sekuat
tenaga menahan air matanya. Hati Ceng Ceng menjadi lega melihat pemuda itu kini memandangnya tidak
seperti tadi lagi, bahkan ada senyum di bibir pemuda itu. Sejenak mereka saling berpandangan.
“Terima kasih, Ceng Ceng, terima kasih atas kunjungan ini dan sikapmu yang ramah. Bagaimana
keadaanmu? Mana suamimu dan apakah engkau sekarang telah menjadi seorang ibu yang baik?”
Ceng Ceng mengangguk-angguk kemudian bangkit berdiri, menghampiri pembaringan. “Paman, keadaan
kami baik-baik saja dan kami telah mempunyai seorang anak laki-laki. Akan tetapi biarlah kita bicara
tentang hal itu kelak saja karena aku datang mendengar engkau terluka parah dan aku ingin mengobatimu,
Paman.”
Suma Kian Lee tersenyum. “Aku sudah sembuh, Ceng Ceng, setidaknya, sudah hampir sembuh berkat
pengobatan Sai-cu Kai-ong.”
“Aku tahu, Paman, aku sudah mendengar penuturan orang tua itu dan Paman Kian Bu, akan tetapi selama
ini aku memperdalam ilmu pengobatan dengan penggunaan sinkang dan kim-ciam (jarum emas) dari guru
suamiku.”
“Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir?”
Ceng Ceng hanya mengangguk.
“Hebat sekali!”
“Marilah kuperiksa keadaanmu, Paman. Harap kau suka rebah terlentang,” kata Ceng Ceng dan Kian Lee
tidak membantah, lalu dia rebah terlentang dan hanya memandang ketika dengan cekatan jari-jari tangan
itu menanggalkan semua kancing bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Dengan teliti dari
halus, jari-jari tangan Ceng Ceng memeriksa dada dan sekitarnya, menekan sana sini, meraba sana sini,
dipandang dengan sinar mata penuh keharuan oleh Kian Lee.
Dia merasa amat terharu melihat betapa wanita yang selama bertahun-tahun ini dirindukannya, membuat
dia merana, kini memeriksanya dengan sikap begitu lembut dan teliti, membuatnya teringat benar bahwa
wanita ini adalah keponakannya sendiri!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Lee yang melihat betapa wanita yang selama ini merampas semangat hidupnya itu memeriksanya,
wajahnya demikian dekat sehingga dia melihat wajah itu sejelasnya, merasakan benar kehadirannya, dan
merasakan betapa jari-jari itu dengan amat teliti memeriksanya, memejamkan mata dan merasa malu
kepada diri sendiri mengapa dia tidak mau melihat kenyataan bahwa wanita ini adalah keponakannya,
masih ada hubungan darah daging dengan ibunya sendiri, cucu dari ibunya!
Kini jari-jari yang cekatan itu mengancingkan kembali bajunya dan terdengar Ceng Ceng berkata, "Seperti
yang telah kuduga, Paman. Memang obat dari Sai-cu Kai-ong amat manjur dan telah menyelamatkanmu
dari bahaya, tetapi untuk dapat memulihkan kesehatan dan tenagamu secara cepat dan tepat, kiranya
hanya dapat dilakukan dengan bantuan sinkang dari luar dan tusukan jarum emas. Dan mengingat bahwa
engkau memiliki dasar tenaga sinkang yang amat kuat, maka diperlukan tenaga yang jauh lebih kuat
darimu, dan untuk itu kiranya kalau aku menggabungkan tenagaku dengan Paman Kian Bu, engkau akan
dapat mudah tertolong sehingga cepat sembuh dan pulih seperti biasa kembali."
Kian Lee sudah bangkit duduk dan memandang kepada Ceng Ceng sambil tersenyum. "Sungguh bahagia
mempunyai seorang keponakan seperti engkau, Ceng Ceng. Tentu saja aku suka sekali dapat segera
sembuh dan kuat mengingat banyaknya persoalan yang kuhadapi."
Ceng Ceng lalu membuka daun pintu dan memanggil masuk Suma Kian Bu dan Sai-cu Kai-ong. Kedua
orang itu bergegas masuk dan kepada mereka Ceng Ceng kemudian menceritakan hasil pemeriksaannya.
"Harap Sai-cu Kai-ong suka memaafkan kelancanganku. Pengobatanmu memang luar biasa sekali dan
engkau sudah menyelamatkan nyawa Paman Kian Lee, akan tetapi untuk dapat memulihkan kesehatan
dan tenaga secara cepat, pengobatan dengan mengandalkan ramuan obat itu kurang cepat. Paman Kian
Lee terluka oleh pukulan sinkang, maka pengobatan satu-satunya yang tepat dan cepat hanyalah dengan
penggunaan sinkang pula, dibantu dengan penusukan jarum emas untuk menahan dan membuka jalanjalan
darah tertentu."
Sebagai seorang ahli pengobatan, Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Sayang aku tidak pandai ilmu
tusuk jarum, dan tentang pengobatan dengan sinkang, siapakah yang mampu menembus tubuh Kian Lee
yang penuh dengan sinkang amat kuat itu?"
"Aku akan menggabungkan tenagaku dengan Paman Kian Bu, Kai-ong, dan tentang penggunaan jarum
emas, sangat kebetulan sekali aku telah mempelajarinya dari guru suamiku."
"Bagus sekali kalau begitu!" Sai-cu Kai-ong berseru girang dan kagum.
Juga Kian Bu merasa girang sekali dan cepat-cepat ia membantu Ceng Ceng membuka baju Kian Lee,
kemudian pemuda itu duduk bersila di atas pembaringan. Ceng Ceng lalu mengeluarkan empat batang
jarum emas. Dengan gerakan hati-hati tetapi cekatan, dia lalu menancapkan jarum-jarum itu pada dahi di
antara kedua mata, di tengkuk, dan di kedua pundak Kian Lee yang sama sekali tidak merasakan nyeri.
Kemudian, Ceng Ceng menyuruh Kian Bu duduk bersila di belakang Kian Lee, sedangkan dia sendiri
duduk bersila di depan pemuda yang diobati itu, kemudian mereka berdua mengulur lengan, menempelkan
telapak tangan di punggung dan dada Kian Lee menurut petunjuk Ceng Ceng. Mulailah mereka
mengerahkan tenaga sinkang mereka dari pusar, sesuai dengan petunjuk nyonya muda yang lihai itu.
Di dalam Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan bahwa sebelum menjadi isteri Kao Kok Cu, Ceng Ceng
pernah menjadi murid Ban-tok Mo-li, seorang nenek iblis ahli racun yang amat lihai dalam hal ilmu tentang
racun dan dari nenek ini Ceng Ceng telah mempelajari ilmu-ilmu yang mukjijat tentang segala macam
racun yang dipergunakan oleh dunia persilatan. Tentu saja, selain pandai menggunakan racun, dia pandai
pula mengobati segala macam penyakit akibat racun. Setelah dia menjadi isteri Kao Kok Cu, melihat
keahliannya ini, Dewa Bongkok Bu Beng Lojin dari Istana Gurun Pasir lalu menurunkan pelajaran ilmu
pengobatan dari golongan putih yang mempergunakan sinkang dan jarum emas untuk mengubah keahlian
yang berdasarkan ilmu kaum sesat itu menjadi ilmu yang bersih pula.
Karena hawa pukulan yang melukai tubuh Kian Lee adalah penggabungan antara tenaga yang sifatnya
panas dan dingin seperti yang dilatih oleh Kian Bu, maka cara pengobatannya juga menyalurkan dua
macam tenaga. Ceng Ceng menyuruh Kian Bu menggunakan inti tenaga Swat-im Sin-ciang sedangkan dia
sendiri mempergunakan sinkang yang berhawa panas. Dengan dua macam hawa sakti itu, mereka berdua
mengalirkan tenaga mereka ke dalam tubuh Kian Lee. Dan jarum-jarum emas itu melakukan tugasnya
untuk mencegah masuknya hawa-hawa yang amat kuat ini ke bagian-bagian tertentu yang lemah dan
untuk mengurung tenaga sinkang Kian Lee sendiri agar jangan bangkit melakukan perlawanan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terasalah oleh Kian Lee betapa tubuhnya disusupi dua macam hawa yang amat dingin dan amat panas,
dua hawa yang saling bertentangan dan yang mula-mula membuat tubuhnya kadang-kadang menggigil
kedinginan dan kadang-kadang malah berkeringat kepanasan, akan tetapi lambat-laun dua tenaga itu
seperti dapat bersatu dan membuat dia merasa nyaman sekali. Tanpa disadarinya, Kian Lee tertidur dan
melihat ini, Ceng Ceng memberi tanda kepada Kian Bu untuk perlahan-lahan menarik kembali tenaganya.
Kemudian nyonya muda ini dibantu oleh Kian Bu merebahkan Kian Lese yang pulas itu ke atas
pembaringan setelah dia mencabuti kembali empat batang jarum emas tadi.
"Biarkan dia tidur. Pengobatan ini diulang sekali lagi dan dia akan sembuh sama sekali," kata Ceng Ceng
setelah mereka semua meninggalkan kamar itu dan menutupkan daun pintunya.
Bukan main girangnya hati Kian Bu mendengar ini. Dia memegang tangan Ceng Ceng, mengepalnya eraterat
dan berkata, "Terima kasih, engkau benar-benar keponakanku yang amat hebat!" katanya. Ceng Ceng
hanya tersenyum akan tetapi merasa betapa matanya menjadi basah.
Sambil menanti sehari semalam lamanya untuk mengobati Kian Lee lagi, mereka semua bercakap-cakap
di ruangan tamu yang luas. Kesempatan ini mereka pergunakan untuk saling menceritakan pengalaman
mereka dan tentu saja masing-masing menjadi terkejut, marah, penasaran dan berduka sekali ketika
mendengar malapetaka yang menimpa diri masing-masing. Bekas Jenderal Kao mengepal tinju dan
matanya yang lebar terbelalak.
"Brakkk!"
Untung meja itu tidak pecah oleh hantaman tinjunya ketika orang tua ini dengan gemas menampar dengan
tangannya ke atas meja di depannya. "Jahanam manakah berani menculik cucuku? Aihhh, jangan-jangan
cucuku itu bukan diculik orang melainkan pergi sendiri dan hilang seperti yang dialami oleh ayahnya di
waktu kecil?"
Ceng Ceng menggeleng kepalanya. "Tidak, Ayah. Kami berdua sudah menyelidiki dan beberapa kali kami
menemukan jejak Cin Liong diajak seseorang. Akan tetapi anehnya, orang yang mengajaknya itu selalu
berganti-ganti sehingga kami menjadi bingung dan sampai sekarang kami berdua belum berhasil
menemukannya."
Nyonya muda itu mengusap air mata yang menetes turun. Betapa pun gagahnya Ceng Ceng, namun
sebagai seorang ibu, tentu saja hatinya seperti disayat-sayat oleh rasa kekhawatiran kalau dia mengingat
akan puteranya yang hilang.
Kini tiba giliran Kao Liang menceritakan tentang keadaannya yang dipecat atau istilah halusnya dipensiun
dan betapa ketika dia sekeluarga hendak pulang ke kampung halaman, di tengah jalan terjadi malapetaka
sehingga harta bendanya dicuri orang dan semua anggota keluarganya diculik orang.
"Ehhh...!" Kini Ceng Ceng yang bangkit berdiri dengan muka pucat. "Siapakah mereka yang begitu jahat?"
Dia duduk kembali dan mendengarkan penuturan ayah mertua dan dua orang adik iparnya itu dan dia
menggeleng-geleng kepala ketika mendengar betapa ayah mertuanya dan dua orang adik iparnya pernah
menyangka keluarga Pulau Es yang melakukannya, bahkan mereka pernah menyerang Suma Kian Lee
dan Suma Kian Bu karena mengira bahwa mereka inilah yang melakukan semua kejahatan terhadap
keluarga mereka.
"Akan tetapi, baru kemarin kami bertemu dengan Sicu Suma Kian Bu dan kami sadar bahwa bukan mereka
yang melakukannya, bahkan mereka berjanji hendak membantu kami." Kakek itu menutup penuturannya
sambil menarik napas panjang.
Ceng Ceng mengerutkan alisnya. "Memang tidak mungkin kalau kedua orang Paman Suma yang
melakukan kejahatan seperti itu. Ayah, kini timbul dugaanku bahwa sangat boleh jadi hilangnya Cin Liong
ada hubungannya dengan penculikan terhadap keluarga kita itu!"
"Ahhh...!" Kao Liong dan dua orang puteranya berseru kaget.
"Saya dan puteramu telah mengunjungi semua orang yang agaknya dipandang sebagai orang-orang yang
memusuhi Istana Gurun Pasir, akan tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang melakukan penculikan
dunia-kangouw.blogspot.com
atas diri Cin Liong. Oleh karena itu, agaknya hanya orang-orang yang memusuhi Ayah saja yang akan
melakukannya, tahu bahwa Cin Liong adalah cucu Ayah. Mengingat akan kedudukan Ayah dahulu, tentu
banyak sekali orang-orang yang memusuhi Ayah."
"Ahhh... kiranya benar dugaanmu itu, mantuku. Benar sekali! Bahkan tempo hari kami bertiga pun hampir
celaka oleh puteri mendiang pemberontak Kim Bouw Sin. Sama sekali tidak pernah kusangka-sangka
sebelumnya bahwa Kim Bouw Sin meninggalkan seorang anak yang kini hendak membalaskan
kehancuran keluarganya kepadaku. Mungkin... mungkin sekali musuh-musuhku yang selain melakukan
penculikan atas diri keluarga kita juga telah menculik anakmu. Akan tetapi siapa? Para penjahat dan
pemberontak yang jatuh olehku ketika aku masih menjadi panglima begitu banyak, ratusan, mungkin
ribuan. Kemana kita harus menyelidiki?"
"Saya dan Kok Cu koko berjanji akan bertemu di Pao-ting sepekan lagi. Marilah kita berunding dengan dia
untuk mengambil keputusan."
Girang sekali hati ayah dan dua orang puteranya itu mendengar bahwa dalam waktu sepekan lagi mereka
dapat bertemu dengan Kao Kok Cu, oleh karena hanya kepada pendekar inilah mereka bisa
menggantungkan harapan. Mereka kemudian meneruskan percakapan, menceritakan pengalaman
masing-masing.
Sementara itu, atas kemauannya sendiri yang sangat keras, Hweee Li minta agar dia diperkenankan
menjaga Kian Lee di kamarnya. Sai-cu Kai-ong dan Kian Bu tidak bisa melarang gadis yang keras kepala
ini sehingga akhirnya dia diperkenankan menjaga Kian Lee di dalam kamarnya, ditemani oleh Kian Bu. Ada
pun Sai-cu Kai-ong sendiri sibuk memasak obat karena dia hendak memberi kesempatan kepada Ceng
Ceng dan ayah mertuanya untuk bercakap-cakap urusan kekeluargaan mereka yang tentu saja tidak boleh
dicampuri atau didengarkan oleh orang luar. Dan Siauw Hong membantu gurunya ini dengan tekun.
Pada keesokan harinya, kembali Ceng Ceng dan Kian Bu mengerahkan sinkang mengobati Kian Lee yang
ternyata benar saja sudah hampir sembuh sama sekali setelah menerima pengobatan pertama itu. Dibantu
pula dengan obat-obat dari Sai-cu Kai-ong, maka setelah pengobatan kedua yang dilakukan Ceng Ceng
dibantu oleh Kian Bu, maka boleh dibilang keadaan Kian Lee sudah pulih kembali! Dia sudah sehat
kembali, juga tenaganya sudah pulih dan hanya tubuhnya saja masih kurus dan mukanya masih agak
pucat. Namun, dia telah sembuh sama sekali!
Tentu saja Kian Bu girang bukan main. Demikian pula Sai-cu Kai-ong menjadi girang dan raja pengemis ini
kemudian memerintahkan para muridnya untuk mempersiapkan masakan dan minuman karena dia hendak
menjamu para tamu yang terhormat itu. Semua orang bergembira dan mengucapkan selamat kepada Kian
Lee yang tersenyum dengan wajah cerah di antara mereka yang mengelilingi meja perjamuan yang besar
dan penuh dengan masakan dan minuman.
"Terima kasih... terima kasih," kata Kian Lee dengan terharu setelah dia minum arak menyambut ucapan
selamat mereka. "Terutama sekali terima kasih kuhaturkan kepada Paman Yu Kong Tek yang berjuluk Saicu
Kai-ong dan yang telah menyelamatkan saya. Terima kasih kepada keponakan saya Ceng Ceng yang
telah membantu mempercepat kesembuhan saya dengan kepandaiannya yang tinggi, dan juga kepada
Nona Hwee Li yang telah membantu adik saya memperoleh jamur panca warna. Kepada Paman Kao Liang
dan kedua Saradara Kao, saya juga berterima kasih atas kunjungan mereka."
Semua orang tersenyum dan merendahkan diri. Kemudian Kian Bu berkata, "Kita merupakan sekelompok
orang yang masih ada hubungan, baik hubungan keluarga atau persahabatan. Bahkan Paman Yu Kong
Tek ini adalah keturunan dari keluarga yang sejak dahulu bersahabat dengan keluarga Suling Emas yang
tidak dapat dipisahkan dengan riwayat keluarga kami. Oleh karena itu, mengingat bahwa kita semua telah
mengenal riwayat masing-masing, sukalah kiranya Paman Yu menceritakan riwayatnya, dan riwayat
tempat kuno yang seperti benteng ini."
Sai-cu Kai-ong teringat akan janjinya kepada kedua saudara Suma bahwa dia akan memperlihatkan
bangunan seperti istana peninggalan nenek moyangnya itu, maka dia lalu menghela napas panjang dan
berkata, "Memang, tempat ini dahulunya merupakan istana-istana dari nenek moyang saya yang menjadi
raja pengemis dan terkenal di seluruh dunia pengemis. Akan tetapi sekarang tinggal bekas-bekasnya saja
karena saya lebih senang menyembunyikan diri di sini bersama beberapa orang murid dan dilayani oleh
mereka yang masih setia kepada keluarga saya. Semenjak ratusan tahun yang lalu, nenek moyang saya
terkenal sebagai keluarga pendekar besar pendiri perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Apa lagi ketika
berada di bawah pimpinan kakek besar saya Yu Siang Ki, Khong-sim Kai-pang menjadi makin terkenal
dunia-kangouw.blogspot.com
sebagai perkumpulan pengemis yang hanya menggunakan pakaian pengemis sebagai tanda
kesederhanaan, sebagai para pengikut pelajaran Buddha yang suci, hidup sederhana untuk diri sendiri
tanpa banyak keinginan, akan tetapi selalu mempergunakan ilmu warisan keluarga untuk membela yang
lemah tertindas dan menentang yang kuat jahat. Akan tetapi saya... ahhh, setelah tua saya kehilangan
semangat, bahkan tidak suka mencampuri urusan dunia lagi, hidup tenang dan sunyi di tempat ini sampai
datang utusan dari kaisar yang memaksa saya berangkat memimpin pasukan ke Ho-nan untuk
menyelamatkan Pangeran Yung Hwa." Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang tugasnya itu di mana
dia bertemu dengan Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee dan betapa Pangeran Yung Hwa telah berhasil
diselamatkan dan kini telah dengan aman kembali ke istana.
Setelah secara singkat menceritakan riwayat nenek moyangnya yang didengarkan penuh perhatian oleh
semua orang, kakek itu kemudian mengajak para tamunya untuk melihat-lihat keadaan bangunan kuno
yang seperti istana itu. Bangunan itu memang amat besar dan luas, mempunyai banyak sekali ruanganruangan
dan kamar-kamar dan di situ tergantung banyak gambar orang-orang yang berpakaian pengemis,
namun kelihatan gagah perkasa dan berwibawa. Itulah gambar-gambar dari para anggota keluarga Yu dan
Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek memperkenalkan gambar-gambar itu kepada para tamunya, siapa namanya,
hidup di jaman apa dan bagaimana kedudukan masing-masing di Khong-sim Kai-pang.
Juga dia memperlihatkan kamar-kamar bersejarah yang pernah dipakai oleh para nenek moyangnya.
Kamar-kamar itu digunakan ketika mereka menjabat ketua perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Semua
kamar-kamar ini dijaga oleh anak murid yang bertugas menjaga kebersihan kamar itu dan juga menjaga
agar jangan sampai kemasukan orang luar yang dapat mencuri benda-benda kuno di dalam kamar itu.
Akhirnya Sai-cu Kai-ong membawa mereka ke sebuah kamar yang besar indah dan angker, yang di
pintunya terjaga oleh empat orang pengemis. Melihat kamar ini lain dari pada kamar yang lain, lebih besar
dan lebih megah, Hwee Li tak dapat menahan keinginan tahunya dan bertanya, "Kai-ong, kamar apakah
ini?"
"Inilah kamar dari leluhur keluarga Yu yang langsung menurunkan saya," kata kakek itu dengan wajah
sungguh-sungguh, "Dan kamar ini ditempati secara turun-temurun oleh keluarga yang menurunkan saya
secara langsung. Mari, silakan Cu-wi masuk dan melihat-lihat."
Kamar itu memang megah, diatur seperti ruangan balairung istana, hanya bentuknya sederhana dan tidak
mewah seperti istana yang terhias oleh emas permata. Biar pun tidak mewah, namun ruangan itu megah
dan agung, membuat mereka yang masuk merasa kagum. Dinding ruangan itu terhias sutera beraneka
warna, dan selain terdapat tulisan-tulisan indah yang menghias dinding, juga terdapat banyak gambargambar
orang tergantung rapi.
"Itu adalah kumpulan gambar-gambar dari para leluhur saya yang pernah menjadi raja di perkumpulan
kami," Sai-cu Kai-ong menerangkan dengan suara penuh hormat.
Hwee Li yang mendahului orang-orang lain memandangi gambar-gambar itu, berhenti di depan sebuah
gambar dan memandang gambar itu dengan melongo penuh kagum. "Gambar siapakah ini, Sai-cu Kaiong?"
tanyanya. "Tampan dan gagah sekali dia!"
Sai-cu Kai-ong dan semua tamunya lalu menghampiri Hwee Li. Ternyata gambar itu memperlihatkan
seorang pria muda yang berpakaian pengemis dan bertubuh jangkung, kepalanya memakai topi pandan
yang berhiaskan bunga mawar. Memang gambar itu memperlihatkan seorang pria yang gagah perkasa
dan tampan.
"Dia adalah kakek besar saya yang bernama Yu Siang Ki," kata Sai-cu Kai-ong dengan suara mengandung
kebanggaan. "Dia adalah kebanggaan perkumpulan kami karena beliau yang mengangkat nama Khongsim
Kai-pang ke tempat tinggi sehingga dihormati oleh seluruh perkumpulan mana pun juga. Beliau
memimpin perkumpulan kami dengan adil dan usahanya itu diteruskan oleh putera tunggal beliau yang
bernama Yu Goan, itulah gambarnya. Kakek besar Yu Goan itulah yang memperbaiki istana tua ini, bahkan
dia yang pertama-tama mengumpulkan semua harta benda pusaka di sini, yang kami jaga terus-menerus
dan turun-temurun. Dan deretan sana itu terdapat gambar-gambar para sahabat leluhur saya."
Hwee Li yang berjalan paling dulu telah tiba di depan gambar yang berderet-deret di dinding sebelah kiri
dan dia berseru, "Wah, dia ini lebih ganteng lagi! Siapakah dia?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Ceng Ceng terpaksa tersenyum karena pujian muridnya itu bukan keluar dari hati seorang wanita yang
genit, melainkan pujian yang keluar dari hati yang jujur dan tulus seperti watak muridnya itu. Semua orang
kini memandang gambar itu. Memang benar, pria yang bertubuh tinggi besar itu dan berpakaian sastrawan
itu amat ganteng, dan tangannya memegang kipas.
"Dia ini bukan orang sembarangan, dan menjadi sahabat baik dari kakek besar saya Yu Siang Ki. Dia
bernama Kam Liong..."
"Heeei... bukankah itu sebatang suling emas yang terselip di pinggangnya?" Hwee Li berseru heran sambil
menunjuk ke arah gambar pria ganteng itu.
Kian Bu terkejut dan meneliti dan semua orang kini memang melihat gambar suling yang terselip di
pinggang orang dalam gambar itu, suling yang berwarna kuning emas.
"Memang benar," kata Sai-cu Kai-ong. "Beliau adalah putera kesayangan dari pendekar sakti Suling Emas
yang termasyur itu. Tentu saja suling itu adalah senjata pusaka beliau yang mengangkat nama beliau
menjadi pendekar besar Suling Emas. Ketika masih muda, beliau ini terkenal dengan sebutan Kam-taihiap,
akan tetapi setelah tua, beliau lebih terkenal lagi sebagai Kam-taijin, seorang menteri yang setia. Akan
tetapi sayang... sayang beliau tewas dalam keadaan tidak begitu baik, mati dalam keadaan sebagai
seorang pemberontak" Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang.
"Tidak!" Tiba-tiba Kian Lee membantah. "Beliau tewas sebagai seorang gagah perkasa dan beliau tetap
seorang menteri yang setia. Dia tewas karena fitnah seorang yang amat jahat, demikian menurut
penuturan ibuku."
Kian Lee dan Kian Bu saling pandang dengan alis berkerut. Di dalam hati mereka merasa menyesal sekali
kematian orang gagah keturunan Suling Emas ini adalah akibat perbuatan keji dari kakek besar mereka
sendiri, yaitu Suma Kiat! Suma Kiat yang jahat itu mempunyai anak yang lebih jahat lagi, seorang jai-hoacat
(penjahat pemerkosa wanita) bernama Suma Hoat, dan dari Suma Hoat inilah ayah mereka Suma Han
diturunkan. Sungguh amat tidak enak menghadapi gambar-gambar para orang-orang besar keturunan
keluarga gagah perkasa itu, yang mengingatkan betapa keluarga Suma sejak dahulu amat jahat. (baca
cerita Istana Pulau Es)
Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Mungkin juga, karena aku sendiri pun selalu tidak percaya bahwa
putera pendekar sakti Suling Emas sampai bisa menjadi pemberontak. Senjata pusaka suling emas itu
selalu berada di tangan orang-orang gagah, sebuah senjata yang amat bagus, ampuh dan luar biasa.
Jarang ada orang berkesempatan melihat pusaka itu..."
"Aku pernah melihatnya!" Tiba-tiba Hwee Li berseru.
Sai-cu Kai-ong kembali menghadapi Hwee Li setelah menoleh ke belakang, ke arah Siauw Hong yang
sejak tadi diam saja dan mengikuti rombongan itu melihat-lihat. "Ahh, benarkah itu, Nona? Di mana?"
"Tentu saja di tangan Sin-siauw Sengjin! Aku melihatnya beberapa bulan yang lalu."
"Benarkah itu? Sin-siauw Sengjin adalah pewaris dari ilmu-ilmu keluarga Suling Emas. Dia adalah cucu
murid dari Gu Toan yang pernah menjadi pelayan setia dari Kam-taijin atau Kam Liong itu. Gu Toan inilah
yang mewarisi semua pusaka dan kitab-kitab ilmu yang sakti dari keluarga Suling Emas, dan kemudian
secara turun-temurun pusaka pusaka itu tiba di tangan Sin-siauw Sengjin. Dimanakah Nona bertemu
dengan dia?"
Hwee Li menoleh kepada Kian Bu. "Kalau kau ingin tahu, Kai-ong, kau tanyalah kepada Siluman Kecil ini!
Dialah orangnya yang pernah mencoba keampuhan suling emas yang ternyata tidak berguna itu!"
"Jangan sembarangan bicara!" tiba-tiba terdengar suara bentakan dari belakang.
Hwee Li menoleh dan ternyata yang mengeluarkan suara membentak marah itu adalah Siauw Hong yang
tadi berlutut menghadap kepada gambar Kam Liong dan kini sudah bangkit berdiri.
"Apa? Kau membentak-bentak aku, heh? Kau bocah ini belum pernah dihajar rupanya!" Hwee Li sudah
maju menghampiri dan mengepal tinjunya sedangkan Siauw Hong juga sudah bersiap dan memandang
marah.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Siapa pun tidak boleh menghina kepada orang yang kami hormati dan junjung tinggi itu. Aku akan
membelanya, dengan nyawaku!" kata pula Siauw Hong, suaranya penuh kesungguhan sehingga Kian Bu
yang telah mengenalnya memandang dengan heran.
"Hwee Li!" Tiba-tiba Ceng Ceng membentak. "Mundur kau dan hayo cepat kau minta maaf!"
Hwee Li masih mengepal tinju, akan tetapi dia menoleh ke arah subo-nya dan sejenak dua orang wanita itu
saling ‘mengukur’ tenaga dengan pandang mata mereka. Akhirnya Hwee Li mengeluh pendek dan
tersenyum, mata kirinya berkejap kepada subo-nya. "Aku paling tidak kuat kalau melihat Subo marah
kepadaku...," lalu dia menoleh kepada Sai-cu Kai-ong dan berkata, "Kai-ong, harap kau maafkan
kelancanganku tadi, ya?" Dia sama sekali tidak memandang kepada Siauw Hong dan sengaja minta maaf
kepada Sai-cu Kai-ong. Dasar gadis yang berhati keras seperti baja, mana dia mau mengalah dan minta
maaf kepada Siauw Hong yang dianggapnya masih bocah itu?
Akan tetapi, semua orang merasa heran ketika Sai-cu Kai-ong menghadapi Siauw Hong dan berkata,
"Nona Kim telah minta maaf, hendaknya dilupakan saja kata-kata tadi." Dan Siauw Hong mengangguk!
"Paman Yu, benarkah itu... bahwa Sin-siauw Sengjin adalah ahli waris yang tulen dari Suling Emas?" Kian
Bu bertanya sambil memandang tajam kepada Sai-cu Kai-ong.
Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Benar! Ketika pendekar sakti Kam Liong sebagai menteri dikeroyok
oleh pasukan kerajaan dan sudah luka-luka parah, beliau berpesan kepada pelayannya yang setia itu, Gu
Toan, untuk melarikan semua pusakanya. Kabarnya berkat bantuan manusia dewa Bu Kek Siansu sendiri
akhirnya Gu Toan dapat membawa jenazah pendekar Kam Liong, jenazah muridnya she Khu, juga
membawa semua pusaka, kemudian memakamkan jenazah itu di kuburan keluarga Suling Emas dan
menjaga kuburan di sana. Sin-siauw Sengjin adalah keturunan Gu Toan itu yang bertugas menjaga baikbaik
semua pusaka, mempelajarinya agar supaya kelak dapat diserahkan kepada yang berhak, yaitu
keturunan langsung dari keluarga Kam, keluarga Suling Emas."
"Ah, mana mungkin itu?" Kian Lee membantah. "Menurut penuturan ayah, keluarga Kam dari pendekar
Suling Emas telah habis, berhenti hanya sampai kepada pendekar Kam Liong itu saja. Pendekar Kam
Liong tewas sebagai seorang menteri yang hidup menyendiri, tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai
isteri dan anak."
Sai-cu Kai-ong kembali melirik kepada Siauw Hong, lalu menarik napas panjang dan berkata, "Memang
demikianlah yang diketahui orang. Dan tentu saja cerita Suma taihiap Majikan Pulau Es itu tidak salah,
karena memang hal ini merupakan rahasia pribadi dari Menteri Kam Liong. Beliau kematian isterinya dan
tidak mempunyai anak. Sebagai seorang yang berbakti kepada leluhurnya, tentu saja hal itu amat
menyusahkan hatinya, karena dia merupakan putera tunggal dari pendekar Suling Emas. Untuk menikah
lagi, hal itu berlawanan dengan hati nuraninya, maka untuk menyambung keturunan nenek moyangnya,
Menteri Kam Liong diam-diam memiliki seorang wanita baik-baik dari antara para pelayannya. Dari wanita
inilah dia memperoleh seorang putera..."
"Ahhhhh...!" Kian Bu dan Kian Lee berseru kaget dan heran.
"Memang tidak ada yang tahu, bahkan sungguh amat mengharukan sekali, mendiang Menteri Kam Liong
sendiri tidak pernah mengetahuinya bahwa beliau mempunyai atau meninggalkan seorang keturunan,
seorang putera!" kata Sai-cu Kai-ong.
"Ehhh, bagaimana pula itu?" Kian Lee bertanya kaget.
"Wanita yang diambilnya sebagai selir untuk menyambung keturunan itu baru diambilnya beberapa bulan
lamanya sebelum beliau tewas sehingga beliau sendiri tidak tahu bahwa selir itu telah mengandung ketika
beliau tewas. Tidak ada yang tahu akan hal itu kecuali pelayannya yang setia, yaitu Gu Toan. Karena
khawatir kalau-kalau selir itu dan keturunan Menteri Kam Liong akan dibunuh karena dianggap sebagai
keturunan pemberontak, maka selir itu lalu disingkirkan ke tempat aman oleh Gu Toan. Nah, keturunan dari
Gu Toan inilah yang selalu mengikuti perkembangan keturunan tunggal itu dan sampai sekarang menjadi
tugas Sin-siauw Sengjin untuk menyerahkan semua pusaka dan ilmu dari Suling Emas kepada keturunan
itu. Karena, hanya apa bila terdapat keturunan langsung yang berbakat, barulah ilmu-ilmu itu akan
diserahkan kepada yang berhak, yaitu keturunan langsung dari Pendekar Suling Emas. Dan putera selir
itulah yang melanjutkan keturunan Suling Emas, karena putera lain dari keluarga Kam, yaitu yang bernama
dunia-kangouw.blogspot.com
Kam Han Ki, adik sepupu Menteri Kam Liong, telah menjauhkan diri dari keduniaan dan tidak pernah
mempunyai keturunan."
"Koai-lojin..." Kian Lee dan Kian Bu berbisik. Mereka sudah mendengar cerita ayah mereka bahwa
keluarga Suling Emas yang bernama Kam Han Ki dan murid terutama dari Bu Kek Siansu, hidup
menyendiri dan setelah tua menjadi Koai-lojin yang sakti seperti dewa.
"Ah, kalau begitu ada keturunannya sekarang? Siapa dia...?" Kian Lee bertanya penuh keheranan dan
Kian Bu kembali memandang gambar dari laki-laki ganteng berpakaian sastrawan membawa kipas dan
suling emas itu.
"Bukan menjadi hakku untuk membuka rahasia orang lain. Hanya Sin-siauw Sengjin seorang yang berhak,"
jawab Sai-cu Kai-ong.
Kian Bu bengong memandang gambar itu, terutama memandang ke arah kipas dan suling emas yang
berada pada pria di dalam gambar itu. Dia merasa bingung sekali. Manakah yang asli sebenarnya? Milik
orang tuanya ataukah milik Sinsiauw Sengjin? Ibunya, Puteri Nirahai, memiliki sebatang suling emas yang
juga dahulu katanya diterima dari kakek Gu Toan, dan juga ibu Kian Lee, bekas ketua Pulau Neraka, Lulu,
menerima pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas dari kakek Gu Toan. Akan tetapi sekarang muncul
keturunan kakek Gu Toan yang menyimpan semua pusaka itu!
"Kian Bu, bagaimana engkau sampai bertanding dengan Sin-siauw Sengjin?" Sai-cu Kai-ong bertanya,
akan tetapi yang ditanya masih bengong memandangi gambar itu.
Ketika Sai-cu Kai-ong hendak mendesak, tiba-tiba seorang muridnya tergopoh-gopoh masuk dan
melaporkan bahwa di luar lembah terjadi pertempuran antara orang-orang yang tidak dikenal. Mendengar
ini, Sai-cu Kai-ong berlari keluar diikuti oleh Suma Kian Lee, Ceng Ceng, Hwee Li, Siauw Hong, bekas
Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, dan bergegas lari ke arah pertempuran itu. Dalam
ketegangan itu, mereka sampai tidak tahu bahwa Kian Bu masih tetap terlongong memandangi gambar
Kam Liong.
Ketika mereka tiba di lembah bawah puncak, benar saja di sana terjadi pertempuran dahsyat sekali. Yang
bertempur adalah seorang kakek raksasa yang menyeramkan melawan seorang kakek tua renta yang
bersenjata sebatang suling emas! Hwee Li, Ceng Ceng, dan Jenderal Kao segera mengenal kakek raksasa
itu yang bukan lain adalah Hek-tiauw Lomo, ketua Pulau Neraka, ayah dari Hwee Li! Sedangkan kakek tua
yang bersenjata suling emas itu adalah Sin-siauw Sengjin.
Dua orang ini bertempur dengan seru dan hebatnya dan terdengar suara berdengung dari suling ditangan
Sin-siauw Sengjin. Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan seorang lawan yang tangguh sehingga
keduanya saling serang dengan dahsyatnya. Sedangkan tidak jauh dari situ, beberapa orang anak buah
Hek-tiauw Lomo dengan wajah seram-seram sedang bertanding melawan pengikut-pengikut Sin-siauw
Sengjin yang jumlahnya lima orang.
Melihat ayahnya bertanding dengan pewaris Suling Emas itu, Hwee Li segera meloncat ke depan dan
berseru, "Ayah...! Aku berada di sini!"
Sai-cu Kai-ong terkejut ketika mendengar nona berpakaian hitam itu menyebut ayah kepada lawan Sinsiauw
Sengjin, maka dia pun cepat maju dan berkata kepada sahabatnya itu, "Sengjin, hentikan
pertempuran di antara orang sendiri!"
Mendengar seruan Sai-cu Kai-ong ini, Sin-siauw Sengjin terkejut dan meloncat mundur, mengelebatkan
sulingnya dan berteriak menyuruh Gin-siauw Lo-jin dan empat orang murid lain untuk mundur dan
menghentikan pertempuran pula. Sepuluh orang anak buah Hek-tiauw Lomo yang seram-seram itu pun
mundur dan berkelompok.
Hek-tiauw Lo-mo sendiri ketika mendengar suara Hwee Li, sudah menarik kembali golok gergajinya,
menyimpannya di punggung. Kakek ini memandang kepada Hwee Li dengan mata terbelalak lalu tertawa
bergelak. Semua orang merasa ngeri ketika melihat kakek ini tertawa karena nampak gigi seperti taring di
mulut kakek itu! Sungguh seorang kakek yang mengerikan, seperti iblis saja. Tubuhnya tinggi besar,
kelihatan kokoh kuat seperti batu karang. Di punggungnya nampak golok gergaji dan tombak tulang ikan,
sedangkan di pinggangnya tergambar sebatang pedang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha-ha! Kiranya benar engkau di sini, anakku! Melihat garuda terbang di atas sini, aku sudah menduga
bahwa engkau tentu berada di sini. Ha-ha-ha, dan ternyata engkau bersama orang-orang yang
berkepandaian tinggi yang berkumpul di lembah ini. Hebat... hebat..."
"Ayah, aku bersama Subo di sini..."
"Hemmm, aku tahu." Hek-tiauw Lo-mo lalu menjura dengan kaku ke arah Ceng Ceng sambil berkata,
"Terima kasih atas bimbinganmu kepada puteriku, Toanio. Akan tetapi, hari ini terpaksa aku hendak
mengajak puteriku pergi."
"Ahhh, tidak, Ayah! Aku masih ingin bersama Subo...!" Dan gadis berpakaian hitam itu menoleh, bukan
kepada subo-nya, melainkan kepada Kian Lee!
"Hushhh! Sudah lima tahun lamanya aku membiarkan engkau pergi meninggalkan aku menahan hati yang
rindu. Anakku, setelah kini bertemu, apakah engkau masih tidak kasihan kepada ayahmu? Aku rindu
padamu, ingin mengajakmu berkumpul. Apakah engkau hendak menjadi searang anak yang sama sekali
tidak berbakti terhadap ayahmu? Aku hanya memiliki engkau seorang, Hwee Li anakku..." Aneh sekali,
kakek raksasa yang segala-galanya kelihatan kasar dan keras itu, kini suaranya terdengar menggetar
seperti mengandung isak!
"Hwee Li, kau tahu bahwa Subo-mu dan Suhu-mu sedang sibuk menghadapi banyak urusan. Sekarang,
Ayahmu telah datang dan sebagai seorang anak yang berbakti kau tidak boleh menyakitkan hati Ayahmu.
Sudah menjadi kewajibanmu untuk menghibur hati Ayahmu. Kelak masih banyak waktu untuk kita saling
bertemu lagi."
Mulut yang manis itu cemberut, lalu tiba-tiba Hwee Li menghampiri Kian Lee dan bertanya, "Bagaimana
pendapatmu, Kian Lee? Apakah benar bahwa aku harus turut dengan Ayah?"
Kian Lee terkejut. Tidak disangkanya bahwa dia akan ditanya oleh Hwee Li tentang hal itu. Tentu saja
semua orang juga merasa heran, hanya Ceng Ceng yang mengerutkan alisnya karena guru yang sudah
bertahun-tahun mengenal watak muridnya itu dapat merasakan sesuatu yang membuat dia merasa tidak
enak. Dia tahu bahwa muridnya itu jatuh cinta kepada Kian Lee!
"Ehhh... ini... ini... memang sebaiknya begitu, Hwee Li. Seorang anak harus berbakti kepada orang tuanya,
dan kurasa ada baiknya jikalau engkau ikut bersama ayahmu sebab aku yakin bahwa dengan adanya
engkau di sampingnya, engkau akan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik." Dengan ucapan ini Kian
Lee hendak mengatakan bahwa dara itu dapat mencegah ayahnya melakukan kejahatan-kejahatan karena
dia sudah mengenal siapa adanya Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka yang ganas dan keji seperti iblis
itu.
Mulut itu makin cemberut. "Tapi... kita baru saja saling berjumpa... dan kau baru saja sembuh. Aku masih
belum puas bercakap-cakap denganmu, Kian Lee."
"Hwee Li, jangan banyak membantah. Ayahmu sudah mengajak, aku sebagai gurumu telah menyetujui,
dan... Paman Kian Lee telah menganjurkan pula, mengapa engkau masih banyak membantah?"
Hwee Li membanting-banting kaki kanannya, lalu mulutnya mengeluarkan lengkingan panjang. Tidak lama
kemudian terdengar lengking panjang menjawab, itulah garudanya yang segera melayang turun. Hwee Li
sekali lagi membanting kaki kanannya dan menghampiri ayahnya.
"Ha-ha-ha! Apakah kau marah, anakku? Apakah gurumu terlalu galak kepadamu? Apakah ada orang yang
membuatmu tidak senang? Katakan, siapa dia dan aku akan mengeluarkan isi perutnya, ha-ha-ha!" Semua
orang bergidik mendengan ucapan ini, apa lagi mata yang lebar dan liar itu menyapu semua orang yang
berada di situ tanpa terkecuali, seolah-olah dia sama sekali tidak memandang mata kepada mereka.
"Sudahlah, Ayah. Mari kita pergi.” Dia menoleh ke arah Kian Lee dan berkata lagi, "Benarkah aku harus
pergi?"
Kian Lee hanya mengangguk karena dia merasa sungkan dan malu untuk menjawab.
"Subo, sampai jumpa. Sampaikan hormatku kepada Suhu," kata Hwee Li kepada Ceng Ceng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Wanita itu mengangguk dan hatinya merasa tertusuk ketika melihat Hwee Li meloncat ke atas punggung
garuda sambil menangis! Tahulah dia bahwa sebenarnya hati dara itu berat sekali harus pergi bersama
ayahnya.
"Muridku yang baik, hati-hatilah menjaga diri dan kelak kita bertemu kembali!" katanya melambaikan
tangan ketika garuda itu mulai menggerakkan sayapnya dan terbang meninggalkan tempat itu.
"Heiii, Hwee Li, aku ikut...!" Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berseru keras.
"Ayah mengikuti dari bawah saja!" teriak Hwee Li.
Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak, dari tangannya menyambar sinar hitam yang halus dan tahu-tahu tubuh
raksasa ini sudah melayang naik bergantung pada benda halus hitam yang telah mengait pada kaki garuda
yang baru terbang tadi. Kiranya kakek itu menggunakan sehelai jala tipis lembut yang tadi ditujukan ke
arah kaki garuda dan kini dia bergantung kemudian memanjat naik dengan cekatan dan tak lama kemudian
dia sudah duduk di atas punggung garuda di belakang puterinya! Semua orang terkejut dan kagum karena
memang hebat sekali kakek raksasa itu. Anak buahnya lalu berlari-larian mengikuti arah terbangnya
burung garuda.
Setelah orang-orang Pulau Neraka itu lenyap, Sin-siauw Sengjin lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap
ke arah Sai-cu Kai-ong. Tentu saja kakek ini menjadi terheran heran dan cepat dia menghampiri
sahabatnya itu dan memeluknya.
"Sengjin, apa artinya ini? Kau aneh sekali, Twako! Kenapa engkau berlutut di depan adikmu seperti ini?"
Akan tetapi, kakek itu tidak menjawab, melainkan menundukkan mukanya yang menjadi pucat dan
kelihatan berduka sekali, hampir menangis malah. Makin heranlah Sai-cu Kai-ong dan dia berkata lagi,
"Ehhh, kakakku, Sin-siauw Sengjin, apakah yang terjadi? Lihatlah dia itu..." Sai-cu Kai-ong menuding ke
arah Siauw Hong, "Telah kudidik dia sesuai dengan persetujuan antara kita lima belas tahun yang lalu.
Lihat, dia telah menjadi seorang dewasa dan telah memiliki dasar kepandaian yang cukup kuat. Dan
manakah cucuku yang kutitipkan kepadamu? Mengapa tidak kau bawa bersamamu? Ahhh, tentu dia sudah
dewasa sekarang!"
Sin-siauw Sengjin tetap berlutut dan kini memejamkan mata seperti hendak menahan keluarnya air
matanya.
"Kai-ong adikku yang baik... kau... kau bunuhlah saja aku sekarang...," akhirnya kakek tua renta itu
berkata.
Sai-cu Kai-ong terkejut bukan main. "Apa... apa maksudmu... Twako?"
"Cucumu... cucumu itu... baru dua tahun berada bersamaku, lalu diculik orang... sampai sekarang..."
"Ahhh...!" bagai tersengat Sai-cu Kai-ong meloncat berdiri dan mukanya menjadi pucat sekali. Dia
memandang kakek yang masih berlutut itu, kemudian dia menarik napas panjang dan menarik tangan Sinsiauw
Sengjin.
"Sengjin, marilah kita bicara di dalam. Marilah kita menenangkan pikiran dahulu dan kemudian kita bicara
di antara sahabat-sahabat ini," katanya dan dia menggandeng tangan Sin-siauw Sengjin, diajak naik ke
puncak dan mereka semua lalu masuk istana tua itu, duduk mengelilingi meja besar di ruangan tamu.
Sementara itu, setelah tadi mendengar bahwa kakek itu adalah Sin-siauw Sengjin, Kian Lee mencari-cari
dengan pandang matanya dan merasa heran karena baru dia tahu bahwa Kian Bu tidak berada di situ. Dia
merasa tidak aneh, karena bukankah Sin-siauw Sengjin pernah bertanding melawan adiknya? Tentu
adiknya itu menyembunyikan diri agar supaya jangan terjadi pertemuan yang tidak enak, pikirnya dan
diam-diam memuji kebijaksanaan adiknya itu.
Setelah duduk, pandang mata Sin-siauw Sengjin ditujukan kepada orang-orang asing yang ikut duduk di
situ. Melihat ini, Sai-cu Kai-ong berkata, "Tenangkan hatimu, Twako. Mereka ini adalah sahabat-sahabat
sendiri. Beliau ini adalah bekas Panglima Kao Liang bersama dua orang puteranya, dan nyonya ini adalah
mantunya, dan Sicu ini adalah putera Majikan Pulau Es. Semua adalah orang-orang sendiri..."
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin-siauw Sengjin memandang dengan kagum dan mengangguk-angguk. "Sudah lama mendengar namanama
Cu-wi yang mulia...," katanya, akan tetapi kembali dia terbenam ke dalam kedukaan.
"Sekarang ceritakanlah tentang diri cucuku, Twako."
"Dua tahun setelah dia ikut bersamaku, pada suatu hari dia diculik orang yang amat tinggi kepandaiannya.
Aku dan para murid mengejar, akan tetapi setelah dia lari jauh ke luar dari daerah Tai-hang-san, tentu saja
aku tidak berani melanjutkan pengejaran. Seperti telah kau ketahui, Kai-ong, aku dan para murid telah
bersumpah tidak akan meninggalkan puncak Tai-hang-san selama hidup sebelum aku dapat menguasai
secara sempurna semua ilmu warisan itu, kecuali kalau aku dikalahkan orang dalam pibu. Lima belas
tahun telah lewat dan baru-baru ini sebelum aku berhasil menguasai semua ilmu dengan sempurna, aku
telah dikalahkan orang, maka aku dapat turun puncak dan berkunjung kepadamu untuk mengabari tentang
lenyapnya cucumu itu lima belas tahun yang lalu. Aihhh, Kai-ong, aku merasa bersalah dan selanjutnya
terserah kepadamu..." Dia berhenti sebentar.
"Ketika aku tiba di lembah itu, aku melihat raksasa itu sedang mencari-cari orang, sikapnya mencurigakan
dan kami bentrok. Ternyata dia lihai bukan main. Ahh, sampai setua ini ternyata aku belum juga dapat
menguasai ilmu-ilmu keluarga Suling Emas!" Dia menarik napas panjang. "Andai kata aku sudah berhasil,
tidak mungkin pemuda itu dapat mengalahkan aku, dan juga raksasa tadi tentu sudah dapat kurobohkan.
Dasar aku yang bodoh dan tidak berbakat..."
Lalu dia memandang kepada Siauw Hong yang sejak tadi mendengarkan saja dan duduk anteng, dan
kakek ini lalu bangkit berdiri, menjura ke arah pemuda itu sambil berkata, "Kongcu... kuharap saja engkau
tidak akan mengecewakan... leluhurmu..." suaranya seperti tercekik keharuan.
Siauw Hong balas menjura. "Mudah-mudahan saja, Locianpwe," jawabnya singkat.
Semua orang saling pandang dengan heran. Kian Lee mengerutkan alisnya karena dia sama sekali tidak
mengerti apa artinya semua itu. Melihat ini, Saicu Kai-ong lalu berkata kepada Sin-siauw Sengjin, "Twako,
di depan para sahabat yang gagah perkasa ini, kiranya kita tidak perlu merahasiakan lagi, apa pula karena
kita boleh mengharapkan bantuan mereka untuk mencari cucuku yang hilang."
Sin-siauw Sengjin yang sudah tua sekali itu menarik napas panjang dan mengangguk angguk. "Sebaiknya
memang demikian. Sudah terlampau lama rahasia itu tersimpan di antara keturunan kami sehingga
menjadi beban yang amat menggelisahkan, dan sekarang setelah terdapat keturunan majikan kami yang
tepat untuk mewarisi ilmu dan pusaka dari Pendekar Suling Emas, sudah sepatutnya pula kalau rahasia ini
kubuka saja di depan orang-orang gagah."
Mereka semua mendengarkan penuh perhatian terutama sekali Kian Lee karena pemuda ini pernah
mendengar riwayat keluarga Suling Emas yang diceritakan oleh orang tuanya di Pulau Es. Bahkan
sebetulnya, di antara leluhurnya dan keluarga Suling Emas terdapat hubungan yang amat dekat, yaitu
antara nenek moyang keluarga Suma dan nenek moyang keluarga Kam. Hanya sayangnya, di antara
keluarga Suma, yaitu nenek moyangnya, muncul banyak orang-orang jahat yang mengganggu keluarga
Kam yang terkenal gagah perkasa itu. Bahkan kehancuran keluarga Kam sejak Menteri Kam Liong, adalah
karena hasil perbuatan jahat dari seorang she Suma, yaitu Suma Kiat, kakek buyut dari ayahnya sendiri!
Dengan perasaan bersalah pemuda Pulau Es ini mendengarkan, dan dia maklum bahwa adiknya, Kian Bu
tentu sengaja tidak mau muncul karena merasa tidak enak terhadap Sin-siauw Sengjin, dan memang
benarlah dugaan Kian Lee ini. Kian Bu yang tadinya bengong di dalam ruangan menghadapi gambar dari
Menteri Kam Liong di waktu muda, menjadi terkejut ketika mengetahui bahwa yang datang bersama orang
orang itu adalah Sin-siauw Sengjin!
Dia merasa tidak enak untuk keluar, takut kalau-kalau kakek yang belum lama ini dikalahkannya akan
merasa malu dan penasaran sehingga akan terjadi bentrok antara mereka. Tentu saja dia tidak
menghendaki hal ini karena kalau terjadi demikian, dia merasa sungkan sekali kepada Sai-cu Kai-ong yang
begitu baik. Maka diam-diam dia pun mendengarkan dari balik pintu ruangan.
Sin-siauw Sengjin mulai dengan penuturannya…..
Kakek besarnya, Gu Toan bekas pelayan setia dari Menteri Kam Liong, menyelamatkan pusaka-pusaka
Suling Emas dan membawa jenazah Menteri Kam Liong dan muridnya she Khu, menguburkan mereka di
tanah pekuburan keluarga Suling Emas. Gu Toan lalu menjadi penjaga kuburan dan diam-diam dia
dunia-kangouw.blogspot.com
memperdalam ilmu-ilmunya dari kitab-kitab pusaka Suling Emas yang berada di tangannya, sehingga dia
menjadi seorang yang lihai sekali. Dia khawatir bahwa pusaka-pusaka itu tentu akan dicari dan
diperebutkan orang-orang pandai, maka dia menyimpannya di tempat rahasia, dan dia telah membuat
beberapa buah suling dan kipas palsu, juga kitab-kitab palsu yang dikutipnya dari yang asli, lalu
menyimpan pusaka-pusaka palsu itu di beberapa tempat.
Hal ini dilakukannya untuk menjaga keamanan yang asli dan memang dugaannya tidak meleset karena
banyak orang pandai yang mencari pusaka itu sehingga beberapa pusaka palsu itu sempat dirampas
orang. Akan tetapi pusaka yang asli tetap di dalam kekuasaannya, disimpan di tempat aman dan rahasia,
dan hanya diketahui oleh dia sendiri dan seorang puteranya yang sengaja dia singkirkan jauh-jauh dan tak
diakuinya sebagai anak secara terbuka agar jangan ada yang tahu bahwa Gu Toan mempunyai seorang
anak laki-laki! Semua ini dilakukan untuk menjaga keselamatan anaknya berikut pusaka-pusaka itu.
Dan akhirnya, seperti yang telah dikhawatirkannya pula, Gu Toan tewas di tangan seorang di antara
mereka yang memperebutkan pusaka itu. Akan tetapi pusaka Suling Emas yang aslinya selamat bersama
anaknya yang juga menyembunyikan diri, bahkan tidak berani mengaku she Gu!
Mendengar penuturan sampai di sini, Kian Lee terbelalak dan mukanya menjadi merah. Ibunya yang dulu
bernama Lulu, ternyata telah ‘mewarisi’ kitab-kitab Suling Emas yang palsu! Kitab-kitab itu diambilnya dari
kuburan keluarga Suling Emas seperti yang ditunjukkan oleh Gu Toan sendiri ketika kakek bongkok ini
diserang orang yang lihai. Jadi kiranya ibunya itu pun hanya memperoleh yang palsu saja, dan agaknya hal
itu disengaja Gu Toan untuk mengalihkan perhatian orang-orang yang memperebutkan pusaka itu ke arah
lain.
Dan juga ibu tirinya, Puteri Nirahai yang meminjam senjata pusaka suling emas dari kakek Gu Toan, hanya
menerima suling yang palsu saja, biar pun benar-benar terbuat dari emas! Ah, kiranya ibu kandungnya dan
ibu tirinya, dua orang wanita perkasa yang memiliki kesaktian hebat, isteri-isteri dari ayahnya, Pendekar
Super Sakti, ternyata telah dikelabui oleh kakek Gu Toan, bekas pelayan Menteri Kam Liong itu!
"Betapa berat tugas nenek moyang kami..." Sin-siauw Sengjin kemudian melanjutkan penuturannya dan
kakek ini kelihatan lelah sekali. "Bukan hanya karena kami tidak lagi menggunakan nama keturunan kami
she Gu agar jangan dikejar-kejar orang, juga kami harus menjaga pusaka itu dengan taruhan nyawa,
mempelajari kitab-kitab yang amat sukar itu..." Kembali dia kelihatan lelah sekali dan menarik napas
panjang. "Itu masih belum berapa sukar. Yang lebih sukar lagi, menjaga dan mengikuti perkembangan
keturunan dari Pendekar Suling Emas, keturunan she Kam dan meneliti kalau-kalau lahir seorang anak
laki-laki yang berbakat dalam keluarga Kam itu agar kami dapat mengembalikan pusaka kepadanya."
Kian Lee yang mempunyai dugaan bahwa Siauw Hong mempunyai hubungan erat dengan urusan itu,
mengerling dan dia melihat Siauw Hong duduk seperti arca sambil menundukkan kepalanya, hanya
mendengarkan tanpa berani memandang kepada kakek Sin-siauw Sengjin atau kepada gurunya, Sai-cu
Kai-ong.
"Sungguh amat luar biasa dan amat menyukarkan kami selama beberapa keturunan ketika ternyata bahwa
keturunan keluarga Kam tidak ada yang berbakat dalam ilmu silat! Kami tak boleh memaksa, dan kami
harus meneliti bakat mereka tanpa membuka rahasia mereka. Akan tetapi selama beberapa keturunan ini,
keluarga she Kam hanya menjadi sastrawan, petani, atau pedagang. Tidak ada seorang pun yang memiliki
bakat baik dalam ilmu silat. Kesukaran kami ini, juga rahasia kami sebagai keturunan she Gu yang
melanjutkan tugas nenek moyang kami Gu Toan sebagai pelayan setia keluarga Kam, tidak diketahui oleh
lain orang, kecuali oleh keluarga Yu inilah yang selalu membantu kami, dan keluarga Yu sudah kami
percaya sepenuhnya sebagai keturunan dari tokoh-tokoh Khong-sim Kai-pang, seorang sahabat baik dari
keturunan keluarga Kam, semenjak jaman Menteri Kam Liong, yaitu Locianpwe Yu Siang Ki." Kakek tua itu
berhenti sebentar, kemudian dia mengerling kepada Siauw Hong yang masih terus mendengarkan sambil
menundukkan mukanya.
"Kam-kongcu, bolehkah saya melanjutkan?" tanyanya kepada pemuda itu dengan sikap hormat.
Semua orang terkejut mendengar ini. Kian Lee memandang tajam wajah pemuda yang pernah menjadi
‘rekannya’ ketika dia menyamar dan memasuki sayembara sehingga terpilih menjadi pengawal Gubernur
Ho-nan dalam usahanya menyelidiki Pangeran Yung Hwa tempo hari. Kiranya pemuda ini she Kam,
keturunan dari pendekar sakti Suling Emas! Dia melihat Siauw Hong bangkit dan menjura ke arah Sinsiauw
Sengjin dan Sai-cu Kai-ong, lalu dia berkata dengan suara lantang dan tenang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Budi keluarga Gu yang dilimpahkan kepada keluarga saya sudah setinggi langit dan sedalam lautan,
demikian pula dengan budi dari Suhu. Oleh karena itu, saya hanya menyerahkan kepada kebijaksanaan
Locianpwe dan Suhu saja." Setelah memberi hormat dia lalu duduk kembali dengan tubuh tegak.
Kini Kian Lee dapat melihat bahwa wajah pemuda itu memang selain tampan juga mengandung
kegagahan yang mengagumkan, yang terselimut dan tersembunyi di dalam kesederhanaannya. Maka dia
merasa kagum sekali.
Sin-siauw Sengjin lalu melanjutkan penuturannya dengan suara tenang dan lambat, "Setelah menanti
sampai beberapa keturunan dengan sia-sia, akhirnya saya dapat menemukan bakat itu di dalam diri Kam
Siauw Hong, Kongcu ini. Dialah yang berhak untuk mewarisi seluruh ilmu dari nenek moyangnya. Karena
saya sendiri masih terikat sumpah tidak akan turun gunung selama belum berhasil menyempurnakan ilmuilmu
dari keluarga Suling Emas, dan agar Kam-kongcu memperoleh kesempatan meluaskan
pengetahuannya, maka untuk memberi pelajaran dasar ilmu-ilmu silat tinggi, saya mempercayakannya
kepada sahabat saya yang telah saya percaya penuh, yaitu Sai-cu Kai-ong. Dan bagi engkau juga, Kamkongcu,
sekarang hendak saya bukakan rahasia yang selama ini tidak Kongcu ketahui. Kai-ong, harap kau
lanjutkan ceritaku tentang pertunangan itu…"
Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang, kemudian memandang muridnya. "Siauw Hong, betapa pun juga
engkau harus bersyukur bahwa keturunan keluarga Gu amat setia kepada keluargamu sehingga dahulu
timbul akal mereka untuk menyerahkan engkau kepadaku karena memang banyak tokoh kang-ouw yang
selalu menyelidiki pusaka Suling Emas dan tentu akan mengganggumu kalau ada yang tahu bahwa
engkau keturunannya. Ketahuilah, ketika engkau masih kecil, sebelum dititipkan kepadaku untuk menjadi
muridku, dengan persetujuan kami berdua, telah diikat tali perjodohan antara engkau dan cucuku, yaitu Yu
Hwi yang kutitipkan kepada Sin-siauw Sengjin agar dididik dengan dasar ilmu-ilmu silat tinggi pula. Engkau
tahu bahwa semenjak kecil, ayah bundamu telah meninggal dunia karena sakit, engkau hidup
sebatangkara dan karena itu kami berdua berani mengambil keputusan tentang tali perjodohan itu agar
hubungan baik antara keluarga Kam dan keluarga Yu menjadi makin erat dan berubah menjadi keluarga."
Kakek berpakaian sederhana itu menarik napas panjang.
Siauw Hong mengerutkan alisnya, memandang ke arah gurunya dan kepada Sin-siauw Sengjin,
nampaknya dia terkejut bukan main. Di luar tahunya, dia sudah dijodohkan dengan seorang gadis
semenjak dia masih kecil dan belum tahu apa-apa. Akan tetapi, karena memang dia sudah tidak
berkeluarga dan sejak kecil dia menerima budi kedua orang tua itu, maka dia tidak berkata apa-apa, lalu
menunduk kembali.
Sai-cu Kai-ong dapat meraba isi hati pemuda itu, maka dia berkata lagi, "Maafkan kami, muridku.
Percayalah bahwa kami melakukan hal itu demi kebaikanmu dan demi memperkuat tali perhubungan
antara keturunan keluarga Kam dan Yu. Tunanganmu itu, ialah cucuku yang bernama Yu Hwi, sejak kecil
sekali kuserahkan kepada Sin-siauw Sengjin untuk dididik. Akan tetapi, seperti yang telah dia ceritakan
tadi, terjadi mala petaka. Dia diculik orang dan sampai sekarang belum diketahui berada di mana, masih
hidup ataukah sudah mati..." Kakek itu berhenti sebentar, mukanya menjadi pucat.
"Kai-ong, harap kau maafkan aku..." Sin-siauw Sengjin berkata pilu.
Lalu dia berkata kepada Siauw Hong, "Kam-kongcu, sekarang tibalah saatnya engkau harus
menggembleng diri dengan ilmu-ilmu peninggalan nenek moyangmu, dan saya sendiri akan menurunkan
semua ilmu itu. Setelah Kongcu mempelajarinya dan mudah mudahan Kongcu lebih cocok sehingga dapat
menguasainya dengan sempurna, tidak seperti saya yang bodoh, maka sudah menjadi kewajiban Kongcu
untuk pergi mencari tunangan Kongcu itu sampai dapat. Kalau tidak demikian, maka selama hidup kita
akan berhutang kepada keluarga Yu..."
Melihat wajah Sai-cu Kai-ong yang pucat, dan melihat kedukaan Sin-siauw Sengjin, bangkit semangat
Siauw Hong. Dia maklum bahwa mereka berdua itu selalu berusaha demi kebaikannya, maka ikatan jodoh
itu pun dia terima dengan hati rela. "Baiklah, Locianpwe. Saya akan mengerahkan seluruh semangat saya
untuk mempelajari ilmu ilmu itu. Suhu, harap jangan khawatir, teecu kelak akan mencari Yu Hwi sampai
dapat! Teecu bersumpah!"
Sepasang mata kakek itu menjadi basah, akan tetapi mulutnya tersenyum. "Manusia boleh saja berusaha,
namun Tuhan yang kuasa, muridku. Kalau memang Yu Hwi masih hidup, tentu dia sewaktu-waktu akan
dapat bertemu dengan kita. Dan kalau toh sudah meninggal dunia, kita harus dapat menemukan
dunia-kangouw.blogspot.com
kuburannya agar tali perjodohan itu bisa membebaskan dirimu dan engkau berhak untuk berjodoh dengan
orang lain."
"Tidak! Saya merasa yakin bahwa dia tidak akan dibunuh oleh penculiknya. Kalau memang penculik itu
menghendaki nyawanya, mengapa tidak dibunuhnya dia seketika itu juga?" Sin-siauw Sengjin berkata
hampir berteriak.
Melihat ini, Ceng Ceng lalu berkata, "Saya berjanji akan bantu mencarinya. Namanya Yu Hwi, apakah dia
mempunyai ciri-ciri yang khas?"
"Saya juga berjanji akan bantu mencarinya!" Kian Lee berkata pula.
Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, walau pun di dalam hatinya juga merasa kasihan, namun
diam saja karena mereka maklum bahwa tidak mungkin mereka akan dapat membantu, karena mereka
sendiri masih bingung kehilangan seluruh keluarga mereka yang diculik orang. Bahkan mantunya, seperti
telah diceritakan oleh mantunya kepadanya, telah kehilangan puteranya yang juga diculik orang, akan
tetapi sekarang mantunya menjanjikan bantuannya untuk ikut mencari Yu Hwi. Dia mengenal watak
mantunya, seorang pendekar wanita yang sakti, maka dia hanya mendengarkan dengan kagum.
Sin-siauw Sengjin dan Sai-cu Kai-ong serentak menjura kepada Kian Lee dan Ceng Ceng. "Terima kasih
atas kebaikan Ji-wi," kata Sin-siauw Sengjin.
"Di dagu Yu Hwi, sebelah kiri, terdapat sebintik tahi lalat hitam, itulah cirinya yang paling mudah untuk
dikenal," kata Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Sengjin mengangguk tanda membenarkan.
"Kalau begitu, adikku Kai-ong, perkenankan saya pergi dan mengajak Kam-kongcu agar dia dapat cepat
mewarisi ilmu-ilmu keturunan keluarganya," tiba-tiba Sin-siauw Sengjin berkata sambil bangkit berdiri.
"Memang sebaiknya begitulah, kakakku yang baik. Aku sendiri pun segera berusaha mencari cucuku yang
hilang," jawab Sai-cu Kai-ong. "Siauw Hong, kau ikutlah bersama Sin-siauw Sengjin dan berbahagialah
muridku, karena engkau akan mewarisi ilmu dari keluargamu yang mukjijat, yang semenjak ratusan tahun
selalu dicari dan diperebutkan oleh seluruh dunia persilatan."
Siauw Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek pengemis itu.
"Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas segala budi kebaikan yang sudah Suhu limpahkan kepada
teecu."
Sai-cu Kai-ong tersenyum dan mengangkat bangun muridnya. "Berlatihlah baik-baik, muridku, agar kelak
aku boleh berbangga hati bahwa engkau pernah menjadi muridku."
Siauw Hong kemudian memberi hormat kepada semua orang dan pergilah orang muda keturunan Suling
Emas ini mengikuti Sin-siauw Sengjin, bersama rombongan murid muridnya yang mengikuti dari belakang.
Setelah Suling Sakti dan para muridnya itu pergi, Ceng Ceng kemudian menceritakan pertemuannya
dengan Syanti Dewi kepada Kian Lee, didengarkan pula oleh Jenderal Kao dan dua orang puteranya, dan
juga oleh Sai-cu Kai-ong. "Sungguh kasihan sekali Enci Syanti," kata Ceng Ceng. "Entah bagaimana
nasibnya demikian terlunta-lunta selalu, setelah dia baik-baik kembali ke istana orang tuanya di Bhutan,
tahu-tahu kini dia berada di sini pula, dan bahkan dia telah diculik seorang yang belum kuketahui siapa.”
Dia lalu menceritakan pertempurannya melawan See-thian Hoat-su di dalam gelap, pertempuran yang
terjadi karena salah pengertian dan selagi mereka bertempur, Syanti Dewi lenyap dibawa orang.
Kian Bu mendengarkan dan dia terkejut bukan main, seakan-akan tersentuh kembali bekas luka di hatinya
mendengar itu. Mengapa Syanti Dewi berada di daerah ini? Dan siapa yang menculiknya? Bagaimana
dengan Ang Tek Hoat? Teringatlah Kian Bu akan ibu kandung Tek Hoat yang terbunuh oleh perwira
Bhutan. Apakah ada hubungannya dengan kepergian Syanti Dewi meninggalkan Kerajaan Bhutan? Kian
Bu kemudian menghampiri sebuah meja, membuat coretan-coretan dengan alat tulis di atas kertas,
meninggalkan kertas tulisannya itu di atas meja, kemudian dia menyelinap pergi dengan diam-diam.
Setelah bercakap-cakap dan menceritakan pengalaman masing-masing, mereka lalu mengambil
keputusan untuk pergi meninggalkan tempat itu di hari itu juga.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Lee yang melihat bahwa sin-siauw Sengjin tidak ada lagi di situ akan tetapi adiknya belum juga
muncul, segera mencarinya. Akan tetapi, ternyata Kian Bu tidak ada lagi di ruangan itu dan dia hanya
menemukan sehelai suratnya.
Lee-ko,
Banyak sekali tugas menanti kita. Karena banyaknya, sebaiknya kalau kita berpisah dan masing-masing
melaksanakan satu tugas. Aku lebih dulu akan pergi menyelidiki dan mencari Syanti Dewi.
Adikmu,
KIAN BU
Kian Lee menyimpan surat itu di dalam saku bajunya dan menarlk napas panjang. Dia merasa kasihan
sekali kepada adiknya itu dan maklumlah dia bahwa diam-diam Kian Bu masih belum dapat melupakan
Syanti Dewi. Karena itu, tidaklah mengherankan apa bila Kian Bu yang agaknya tadi mendengar penuturan
Ceng Ceng, lalu diam-diam cepat pergi untuk mencari dan menolong puteri itu!
Mereka semua lalu pergi. Ceng Ceng pergi bersama ayah mertuanya dan dua orang adik iparnya,
meninggalkan tempat itu untuk pergi ke kota Pao-ting di mana dia sudah berjanji akan bertemu dengan
suaminya yang mencari-cari jejak anak mereka dari lain jurusan.
Kian Lee juga pergi dan karena dia tidak tahu ke mana perginya Kian Bu, maka dia teringat akan wanita
yang mencuri pusaka-pusaka dari Sin-siauw Sengjin, yang agaknya tentu pusaka-pusaka palsu pula
mengingat akan penuturan Sin-siauw Sengjin sendiri betapa nenek moyangnya banyak memalsukan
pusaka-pusaka itu untuk mencegah yang asli dicuri orang.
Bukankah Kian Bu telah berjanji akan mendatangi tempat gadis pencuri itu di pantai Po-hai? Sebaiknya
kalau dia mewakili adiknya mencari gadis pencuri itu di pantai Po-hai, di teluk sebelah utara. Siapa tahu,
kalau-kalau Kian Bu juga pergi ke sana. Tadinya dia ingin mernbantu Jenderal Kao, akan tetapi setelah ada
Ceng Ceng dan suaminya, yang dia tahu amat sakti, tidak perlu lagi dia membantu dan kalau dia tidak
berhasil bertemu dengan adiknya, dia akan terus mencari atau akan kembali ke Pulau Es melapor pada
ayahnya.
Sai-cu Kai-ong juga pergi meninggalkan tempat tinggalnya untuk mulai mencari cucunya yang hilang pula.
Biar pun Ceng Ceng dan Kian Lee sudah berjanji untuk membantu mencari cucunya, dia tidak puas kalau
dia sendiri tidak ikut mencari. Dia tahu betapa sukarnya mencari seseorang tanpa mengetahui di mana
adanya cucunya itu, yang sama sekali tidak meninggalkan jejak dan hilangnya sudah lima belas tahun
yang lalu. Hemmm, agaknya lagi musim penculikan…..
********************
"Ayah, ke manakah kita pergi? Apakah akan kembali ke Pulau Neraka?" tanya Hwee Li kepada ayahnya
ketika mereka dibawa terbang di atas punggung garudanya.
"Tidak, Hwee Li. Pulau Neraka terlalu jauh dan aku sudah tidak suka tinggal di tempat buruk itu. Aku malah
tidak mau kembali lagi ke sana."
"Kalau begitu, kita pergi ke mana?"
"Ke tempatku yang baru."
"Di mana itu, Ayah?"
"Ha-ha, kau sudah pernah mengunjunginya. Di lembah Huang-ho."
"Lembah Huang-ho?" Dara itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. "Maksudmu di sarang Huang-ho Kuiliong-
pang?"
"Ha-ha-ha, engkau memang anakku yang amat cerdik. Benar di sana. Tempat indah itu menjadi tempat
tinggal kita yang baru."
"Ehh, bukankah di sana tinggal ketua Kui-liong-pang, musuh besar Ayah sendiri, yaitu Hek-hwa Lo-kwi?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hemmm, dalam hal ini engkau masih bodoh dan tidak mengerti, anakku. Ada waktunya menjadi musuh,
ada pula waktunya menjadi sahabat, semua disesuaikan dengan waktu dan keadaan. Ha-ha-ha!"
Hwee Li paling tidak suka melihat ayahnya tertawa. Kalau ayahnya bersikap biasa, maka ayahnya
kelihatan sebagai seorang raksasa yang berwibawa. Akan tetapi kalau sudah tertawa dan kelihatan gigi
yang bertaring itu, dia merasa jijik dan malu. Kalau tertawa, ayahnya amat menyeramkan seperti iblis saja,
atau seperti seekor binatang buas!
"Kenapa Ayah tinggal di tempat orang 1ain!"
"Hek-hwa Lo-kwi bukan orang lain, anakku. Dia seorang sekutu!"
"Hemmm, agaknya Ayah sudah main-main lagi dengan persekutuan. Apakah Ayah tidak jera setelah
mengalami kegagalan ketika Ayah dulu membantu pemberontak she Liong itu? Hampir saja Ayah celaka
dan kehilangan banyak anak buah."
"Hemmmm, sekali ini lain lagi persoalannya, anakku. Bukan pemberontak biasa yang kubantu, melainkan
seorang pangeran tulen, dari kerajaan besar Nepal."
"Ahhh... Ayah maksudkan orang she Liong itu? Peranakan Nepal dan putera mendiang Pangeran Liong Khi
Ong itu?"
"Benar, murid dari Ban Hwa Sengjin, Koksu Nepal yang sakti. Dia seorang muda yang amat pandai,
seorang calon kaisar yang amat hebat, heh-heh-heh!"
"Dan aku amat benci padanya!" tiba-tiba Hwee Li berkata.
"Ehhh, mengapa, anakku?"
"Kulitnya hitam coklat..."
"Menambah manis dan jantan!"
"Hidungnya melengkung..."
"Tanda dia bernafsu besar dan kuat, heh-heh!"
"Matanya cekung..."
"Itu menunjukkan bahwa dia memiliki kecerdikan..."
"Ah, pendeknya aku tidak suka kepadanya. Pandang matanya cabul dan genit, Ayah. Aku sudah ingin
menamparnya ketika kami bertemu di sana dan dia memandangku dengan mata seolah-olah hendak
menelanjangiku. Huh!"
"Ha-ha-ha, begitulah kalau seorang pria sudah jatuh cinta! Dan pria mana yang tidak akan tergila-gila
kepada anakku yang cantik jelita dan manis ini? Haha-ha!"
"Ahhh, aku tidak suka kalau Ayah bicara seperti itu!" Hwee Li bersungut-sungut dan menjambak bulu di
leher garudanya sehingga garuda itu memekik kesakitan dan terbang makin cepat lagi. Ayahnya hanya
tertawa-tawa akan tetapi tidak bicara lagi karena maklum bahwa puterinya masih marah-marah.
Benarkah ucapan Hek-tiauw Lo-mo, ayah Hwee Li itu, bahwa dia kini telah menjadi sekutu dari Hek-hwa
Lo-kwi ketua Huang-ho Kui-liong-pang di lembah Huang-ho? Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali
telah dituturkan betapa dahulu, Hek-tiauw Lo-mo pernah bermusuhan secara hebat dengan Hek-hwa Lokwi.
Hek-hwa Lo-kwi dahulu bernama Thio Sek, seorang pelayan dari manusia dewa yang amat terkenal
sebagai penghuni Istana Gurun Pasir dan dikenal sebagai Go-bi Bu Beng Lojin atau juga Si Dewa
Bongkok. Sebagai pelayan manusia sakti ini, sudah tentu saja Hek-hwa Lo-kwi juga memiliki kepandaian
tinggi. Pada suatu hari, muncullah Hek-tiauw Lo-mo untuk mencuri kitab pusaka milik Si Dewa Bongkok.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan bekerja sama bersama Thio Sek, berhasillah dua orang ini mencuri sebuah kitab pusaka tentang
ilmu pukulan beracun. Keduanya lalu melarikan kitab itu, tetapi di tengah jalan mereka bercekcok dan
saling memperebutkan kitab. Mereka bertanding dan karena keduanya memiliki tingkat kepandaian yang
seimbang, akhirnya mereka menguasai seorang separoh dari kitab yang terobek dalam perebutan itu.
Mereka mempelajari bagian masing-masing dan sampai bertahun-tahun menjadi musuh, akan tetapi
keadaan mereka selalu seimbang. Dua orang yang tadinya menjadi kawan ketika maling kitab, berubah
menjadi musuh.
Akan tetapi sekarang, dengan munculnya Liong Bian Cu, Pangeran Nepal yang pandai menarik hati orangorang
kang-ouw itu, mereka menjadi sekutu lagi. Kali ini keduanya yang sudah merasa tua ingin sekali
memperoleh kedudukan, mengandalkan kedudukan Pangeran Nepal itu, agar mereka kelak akan
mengakhiri kehidupan mereka sebagai pembesar-pembesar terhormat!
Ketika Hek-tiauw Lo-mo mengunjungi lembah itu, tadinya dengan maksud menentang Hek-hwa Lo-kwi, dia
bertemu dengan Liong Bian Cu, Ban Hwa Sengjin dan para pembantu pangeran itu. Liong Bian Cu berhasil
membujuk Hek-tiauw Lo-mo dan akhirnya Hok-tiauw Lo-mo terpikat pula, bahkan lalu masuk dalam
persekutuan itu, apa lagi ketika dia melihat betapa keadaan Liong Bian Cu sebagai pangeran dan sebagai
murid Koksu Nepal, amatlah kuatnya.
Dia mendengar bahwa puterinya telah mewakilinya dia mengunjungi lembah itu, dan giranglah hatinya
ketika dalam pembicaraannya dengan Pangeran Nepal itu, dia mendengar bahwa pangeran itu ternyata
amat tertarik dan agaknya jatuh hati kepada puterinya! Kalau saja dia dapat menjadi mertua dari Pangeran
Nepal ini. Dan kelak, kalau pangeran ini menjadi Raja Nepal, dia menjadi mertua raja! Apa lagi kalau
pangeran ini berhasil menjadi kaisar, dia menjadi mertua kaisar. Pangkat dan kemuliaan apa lagi yang
dapat lebih tinggi lagi dari pada itu? Maka dia lalu berpamit dari lembah dan pergi untuk mencari puterinya,
dengan satu tujuan di dalam benaknya, yaitu dengan cara apa pun dia akan menyerahkan puterinya
kepada Liong Bian Cu sebagai Isterinya! Beberapa orang anak buahnya membantunya mencari Hwee Li!
dan akhirnya dia menemukan puterinya itu di tempat tinggal Sai-cu Kai-ong.
Atas petunjuk Hek-tiauw Lo-mo, Hwee Li menyuruh garudanya menukik turun. Dari atas dia sudah melihat
lembah itu dan dia memandang heran. Lembah yang dikenalnya sebagai tempat tinggal atau sarang Hekhwa
Lo-kwi itu kini telah berubah. Masih sukar untuk didatangi dari darat tanpa melalui jalan rahasia, akan
tetapi kini dari atas nampak betapa lembah itu telah dikurung air!
Ternyata bahwa air yang meluap dan membanjiri lembah akibat ledakan-ledakan alat peledak Siluman
Kucing dahulu itu, telah membentuk genangan air seperti telaga di sekitar lembah dan oleh Hek-hwa Lokwi,
air itu malah dipergunakan untuk memperkuat bentengnya. Dengan adanya air yang mengurung
lembah itu, maka makin sukarlah bagi orang luar untuk dapat menyerbu ke lembah. Mereka harus lebih
dulu menyeberangi air yang lebarnya lebih dari dua puluh tombak itu, air yang cukup dalam karena oleh
Hek-hwa Lo-kwi telah digali dan diperdalam dan tidak ada jembatan yang menghubungkan lembah dengan
seberang air seperti sungai atau telaga itu.
Garuda itu menukik turun dan akhirnya hinggap di atas tanah di depan bangunan besar yang menjadi
tempat tinggal Hek-hwa Lo-kwi. Dari atas sudah nampak banyak orang berdiri di luar bangunan itu
menyambut kedatangan ayah dan anak yang aneh itu. Ketika Hwee Li dan ayahnya meloncat dari atas
punggung garuda, dara ini memutar tubuh dan memandang. Alisnya berkerut ketika wajah pertama yang
dilihatnya justeru adalah wajah yang amat dibencinya, wajah Liong Bian Cu sendiri! Laki-laki yang tinggi
tegap ini memakai pakaian indah, dan dia sudah menjura dengan hormatnya dan tersenyum penuh
keramahan kepada Hwee Li.
"Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, sungguh mengagumkan sekali betapa dalam waktu singkat Locianpwe dapat
menemukan puterimu!" katanya kepada Hek-tiauw lo-mo yang tertawa bergelak penuh kebanggaan.
"Nona Hwee Li, selamat datang di lembah dan mudah-mudahan engkau tadi menikmati perjalanan
menyenangkan sekali," katanya kepada Hwee Li sambil tersenyum. Giginya putih dan rata, hidungnya yang
agak melengkung itu bergerak-gerak.
Sesungguhnya pria ini cukup tampan dan juga gagah sekali, tetapi entah mengapa, Hwee Li merasa tidak
suka kepadanya. Agaknya hal itu ditimbulkan oleh pandang mata yang memang jalang dan menembus itu,
yang terpancar dari sepasang mata yang cekung dan tajam bukan main.
"Hemmm...!" Hwee Li hanya mengeluarkan suara dari hidungnya tanpa menjawab.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hwee Li, kau sedang diajak bicara oleh Pangeran. Jawablah, jangan membikin malu Ayahmu seolah-olah
engkau tidak pernah dididik kesopanan!" kata Hek-tiauw Lo-mo kepada puterinya.
Makin dalam kerut pada alis dara itu. Dia merasa makin tidak senang dan juga terheran heran. Sejak
kapankah ayahnya menjadi seorang penjilat dan seorang yang mengenal kesopanan? Biasanya, dahulu
dia yang sering kali merasa malu karena ayahnya adalah seorang yang sama sekali tidak mempedulikan
tata susila atau sopan santun! Karena di situ terdapat banyak orang, dan tentu saja dia tidak mau membikin
malu ayahnya, maka dia lalu balas menjura kepada pangeran itu dan berkata dengan suara kaku, "Terima
kasih, Ayahku memaksa aku berkunjung ke sini, mudah-mudahan tidak mengganggu siapa pun!" Sambil
berkata demikian, dia melirik kepada Hek-hwa Lo-kwi yang dia tahu adalah tuan rumahnya.
Kembali ia terheran-heran sebab Hek-hwa Lo-kwi hanya mengangguk sambil tersenyum saja sedangkan
yang menjawabnya adalah pangeran itu, "Ha-ha-ha... tidak sama sekali, Nona! Saya percaya bahwa Hekhwa
Lo-kwi locianpwe bahkan akan merasa terhormat dan girang dengan kunjunganmu ini. Siapa yang tak
kan merasa terhormat dan gembira menerima kunjungan seorang seperti engkau, Nona? Nona tentu telah
merasa lelah sekali, maka silakan Nona beristirahat di kamar yang telah kami sediakan, menyegarkan diri
baru kemudian kita makan dalam pesta yang kami selenggarakan untuk menyambut kedatangan
Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo dan Nona Kim Hwee Li!" Pangeran itu lalu bertepuk tangan dan muncullah
empat orang pelayan wanita yang cantik-cantik. Mereka menjatuhkan diri berlutut di depan pangeran itu.
"Kalian antar Nona Hwee Li ke kamarnya dan layani baik-baik!" perintah pangeran itu.
"Silakan, Siocia...," seorang pelayan memberi hormat kepada Hwee Li.
Dara ini tadinya hendak menolak. Tidak biasa dia diperlakukan seperti seorang puteri dan dilayani orang,
tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan mata ayahnya, dia melihat ayahnya menganggukkan
kepala dan pandang matanya ayahnya itu seperti dia memaksanya. Dengan gerakan marah dia memutar
tubuh lalu mengikuti para pelayan itu memasuki gedung yang besar dan akhirnya dipersilakan masuk ke
sebuah kamar yang amat indah. Begitu masuk, Hwee Li terpesona. Hebat bukan main kamar ini. Selain
besar dan luas, juga dihias seperti kamar seorang puteri istana saja layaknya.
Dia berdiri dan memandang ke kanan kiri. Sebuah dipan berada di tengah kamar, dipan yang terbuat dari
kayu indah terukir dan terhias emas dan permata, terletak di atas permadani merah yang tebal dan
berbulu, permadani yang terhampar memenuhi kamar itu. Di dekat pembaringan terdapat meja dengan
empat kursinya dari kayu ukir-ukiran dan halus mengkilap amat indahnya, merupakan hasil seni ukir yang
menakjubkan.
Pot-pot bunga berukiran gambar naga dan burung dewata menghias sudut-sudut kamar dan di sebelah kiri
nampak meja rias yang mungil, dengan piring cermin dari perak mengkilap tergantung di dinding, dan di
atas meja itu nampak lengkap alat-alat rias seperti bedak, yan-ci (pemerah pipi), gincu, sisir, tusuk konde
emas, minyak wangi dan sebagainya. Dan dari pintu kecil di belakang yang menyambung dengan kamar
itu, yang daun pintunya terbuka sedikit, nampak kolam mandi dari batu pualam! Sebuah kamar yang amat
indah dan mewah dan dari jendela yang bentuknya seperti bulan purnama dan terhias pot-pot bunga itu dia
dapat melihat sebuah kamar kecil yang indah pula di luar kamar. Benar-benar merupakan kamar seorang
puteri raja!
"Siocia, mari kami bantu Siocia menanggalkan pakaian..."
"Biar kami membantu Siocia mandi..."
"Rambut Siocia kusut dan agak kotor terkena debu, perlu dikeramasi lalu disikat..."
Keempat orang pelayan itu lalu menghampiri Hwee Li dan mengulurkan tangan hendak membantu dara itu
agar menanggalkan pakaian untuk mandi. Hwee Li membelalakkan matanya dan mengepal tinju, lalu
menghardik, "Pergi kalian dari sini!"
Empat orang pelayan itu terkejut, akan tetapi mereka telah menerima perintah dari majikan mereka untuk
melayani nona ini sebaiknya, "Siocia, kami..."
"Cukup! Cepat kalian menggelinding keluar dari kamar ini, kalau tidak, kalian akan kulemparkan satu demi
satu!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Siocia..." Mereka masih nekat.
Mereka adalah empat orang di antara para pelayan Pangeran Nepal itu dan mereka adalah pelayanpelayan
terlatih yang menguasai ilmu silat dan ilmu gulat, maka ancaman Hwee Li tidak membuat mereka
takut. Mereka sudah terlatih dan sudah biasa menghadapi dara cantik jelita yang dipersiapkan untuk
melayani majikan mereka. Dan biar pun mereka sudah mendengar bahwa puteri Hek-tiauw Lo-mo ini
memiliki ilmu kepandaian tinggi, mereka tidak khawatlr karena mereka mengira bahwa sepandai pandainya
seorang dara remaja seperti ini, mana mungkin dapat mengalahkan mereka berempat?
Apa lagi mereka melihat bahwa Hwee Li begitu cantik dan masih begitu muda, dan mereka dapat melihat
dari sikap Pangeran Liong Bian Cu bahwa pangeran itu benar benar jatuh cinta kepada dara ini sehingga
sebelum dara ini tiba pun kamar yang amat indah itu telah dipersiapkan olehnya! Maka, mereka berempat
tentu saja tidak mau meninggalkan Hwee Li, karena kalau mereka mampu membujuk sehingga dara ini
dengan hati terbuka mau melayani majikan mereka, mau menerima cintanya, tentu mereka akan menerima
ganjaran besar!
"Siocia, kami hanya membantu..."
"Cerewet!" bentak Hwee Li, dan dia menggerakkan tangan kirinya untuk mendorong.
Akan tetapi, dengan cepat wanita itu mengelak ke kanan dan tiba-tiba saja tangannya telah menangkap
pergelangan tangan kiri Hwee Li. Itulah gerakan seorang ahli gulat yang amat cekatan dan biar pun
pelayan itu berlaku hati-hati sehingga tangkapannya tidak akan menyakitkan orang, namun jelas bahwa di
bawah kulit telapak tangannya terkandung getaran tenaga yang kuat sehingga tangkapan itu pun erat
sekali!
"Kalian mencari mampus!" Hwee Li berseru ketika tiga orang pelayan yang lain juga sudah memegangnya
dari kanan kiri dan belakang.
Mendadak Hwee Li mengguncang tubuhnya sambil mengerahkan sinkang-nya. Tentu saja empat orang
pelayan itu sama sekali bukan lawan puteri majikan Pulau Neraka ini. Mereka terguncang dan pegangan
mereka terlepas semua, kemudian sebelum mereka tahu apa yang menimpa mereka, tubuh mereka satu
demi satu melayang keluar dari pintu kamar mewah itu. Terdengar suara hiruk-pikuk ketika tubuh empat
orang pelayan itu terbanting di luar kamar, diiringi keluhan dan rintihan mereka.
Tiba-tiba di luar pintu itu muncul Liong Bian Cu, diiringi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek raksasa itu
memandang kepada puterinya dan menegur, "Ehhh, Hwee Li, apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan
tadi?"
Kembali Hwee Li merasa terheran karena jelas bahwa di dalam pertanyaan ayahnya itu mengandung
penyesalan terhadapnya dan terkandung rasa sungkan terhadap Sang Pangeran Nepal itu! Diam-diam dia
merasa muak dan marah. Mengapa ayahnya tiba tiba menjadi seorang penjilat? Mana kegagahan ketua
Pulau Neraka?
"Mereka memang layak dihajar!" katanya tak acuh dan sama sekali tidak merasa takut menghadapi
Pangeran Nepal itu.
Liong Bian Cu tersenyum lebar dan menjura, sikapnya halus memikat. "Maaf, Nona. Apakah empat orang
pelayan itu bersikap kurang ajar kepadamu? Apakah mereka tidak menyenangkan hatimu? Kalau begitu,
katakanlah dan aku akan membunuh mereka atau menyiksa mereka di depan kakimu sekarang juga!"
Hwee Li cemberut. Sikap ayahnyalah yang membuat dia marah, bukan sikap pangeran itu. Jika saja
ayahnya tak bersikap seperti itu, berubah sama sekali dari pada biasanya, agaknya sikap pangeran ini
akan menyenangkan hatinya juga. Maka kemarahannya lalu dia lontarkan kepada pangeran itu. Dengan
kaku dan kasar dia menjawab, "Mereka adalah orang-orangmu. Mau siksa atau mau bunuh terserah, tiada
sangkut-pautnya dengan aku!" Lalu dia membuang muka, kedua pipinya merah dan terasa panas karena
marahnya.
"Hwee Li!" Ayahnya membentak marah. "Pangeran telah bersikap demikian hormat dan ramah kepadamu,
pantaskah sikap dan jawabanmu ini?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Hwee Li menoleh kepada ayahnya. Mereka saling pandang dan baru sekarang Hwee Li melihat pandang
mata ayahnya kepadanya demikian penuh kemarahan. Selamanya, pandang mata ayahnya kepadanya
selalu lembut dan penuh kasih sayang, akan tetapi kini ayahnya memandangnya dengan mata melotot
marah. Hal ini amat menyakitkan hatinya dan tak terasa lagi dua titik air mata membasahi matanya!
"Sudahlah, Locianpwe, jangan marah kepadanya. Nona Hwee Li, kalau para pelayanku tidak
menyenangkan hatimu, biarlah aku yang minta maaf kepadamu!" Sambil berkata demikian, pangaran itu
benar-benar menjura kepada Hwee Li!
Diam-diam gadis ini terkejut dan merasa heran juga. Pangeran ini ternyata seorang yang amat hormat
kepadanya, sungguh pun pandang matanya amat menjijikkan dan membuat dia merasa seperti telanjang
bulat kalau berhadapan dengan pangeran itu. Melihat sikap yang amat hormat ini, juga amat merendah,
padahal pemuda berusia tiga puluhan tahun ini benar-benar seorang pangeran yang kaya raya dan
berpengaruh, pula melihat betapa ayahnya marah-marah kepadanya, maka kemendongkolan hatinya
agaknya mereda. Biar pun sikapnya masih acuh tak acuh, namun suaranya tidaklah sekaku dan sekasar
tadi ketika dia berkata kepada Liong Bian Cu.
"Mereka tidak apa-apa, hanya aku tidak senang dilayani, aku ingin tinggal sendirian di kamar ini."
"Eh, begitukah? Baiklah, Nona." Dia lalu menoleh kepada empat orang pelayan wanita yang sudah berlutut
di situ dengan muka pucat dan sikap ketakutan.
Hwee Li percaya bahwa sekali dia bilang ‘mati’, agaknya tanpa dapat diragukan lagi pangeran itu tentu
akan membunuh mereka berempat!.
"Hei, dengarkan baik-baik kalian berempat! Kalian sama sekali tidak boleh masuk ke dalam kamar ini,
melainkan siap di luar kamar dan baru masuk kalau Siocia memanggil dan membutuhkanmu. Mengerti?"
Empat orang itu lalu memberi hormat dengan dahi menyentuh lantai.
"Nah, beristirahatlah, Nona Hwee Li. Sebentar lagi kita bertemu lagi di ruang dalam, di mana akan
diadakan pesta perjamuan makan untuk menyambut kedatanganmu." Pangeran itu menjura lagi lalu pergi,
diikuti oleh Hek-tiauw Lo-mo yang melirik penuh desakan kepada puterinya.
Setelah mereka pergi, dan melihat empat orang pelayan itu masih berlutut di situ, Hwee Li menutupkan
daun pintu keras-keras dengan hati mengkal. Lalu dia menjatuhkan diri di atas pembaringan. Kasur itu
lantas bergoyang-goyang naik turun, mengayun-ayun tubuhnya. Ternyata pembaringan itu selain berkasur
tebal juga dipasangi per sehingga amat enak di tiduri.
Hwee Li memejamkan matanya, kemudian membukanya lagi, termenung. Dia sungguh merasa penasaran
dan heran melihat perubahan pada watak ayahnya. Akan tetapi, ayahnya adalah seorang yang dikenalnya
sebagai orang yang amat cerdik. Tidak mungkin ayahnya menjadi penjilat. Tentu ada apa-apa di balik
semua sikap ayahnya itu.
Ayahnya sedang bersiasat! Pikiran ini mengusir rasa penasaran di hatinya, dan tak lama kemudian wajah
yang cantik itu telah berseri kembali. Sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia duduk di depan meja rias
dan memandangi wajahnya sendiri. Dia membuat berbagai gerakan dengan lehernya, menggerakkan
kepalanya miring ke kanan dan ke kiri, lalu menggerak-gerakkan alisnya, matanya, hidungnya dan
mulutnya. Dia merasa puas. Dia cantik memang! Dan timbul rasa bangga di hatinya.
Pangeran hidung betet itu agaknya tergila-gila kepadanya! Kini baru terasa olehnya betapa mesra pandang
mata pangeran itu, betapa halus dan hormat sikapnya. Bahkan pangeran itu tidak segan-segan untuk
menjura dan minta maaf kepadanya untuk urusan kecil tadi!
Hwee Li adalah seorang gadis yang mempunyai watak lincah jenaka dan gembira, maka dia tidak bisa
lama-lama berada dalam keadaan marah atau berduka. Sesaat kemudian dia sudah merendam tubuhnya
di kolam mandi dan terdengar mulutnya bersenandung! Setelah merasa tubuhnya segar sekali, dia baru
keluar dari kolam, mengeringkan tubuhnya dengan kain bersih yang tersedia di situ, kemudian keluar dari
kamar mandi, kembali ke dalam kamar dalam keadaan telanjang bulat.
Seperti seekor kijang muda dia lalu melangkah kecil-kecil menuju ke depan meja rias, memutar-mutar
tubuhnya yang telanjang di depan cermin perak, mengagumi bentuk tubuhnya sendiri yang padat dengan
lekuk lengkung sempurna itu, kulitnya yang putih halus, mengagumi dadanya yang sebagian tertutup oleh
dunia-kangouw.blogspot.com
rambutnya yang hitam halus, membayangkan bukit-bukit dadanya dan timbul kebanggaan di dalam
hatinya. Dia bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar, bagaikan sebutir buah yang sedang meranum.
Kesadaran bahwa dia cantik dan memiliki tubuh yang indah, mendatangkan kebanggaan dan dia berjanji
dalam hati tidak akan menyerahkan dirinya secara murah kepada siapa pun, apa lagi kepada pangeran
berhidung betet itu!
Ketika Hwee Li mengambil pakaiannya yang tadi ditanggalkannya dan ditumpuknya di atas pembaringan,
alisnya berkerut. Tubuhnya sudah segar dan bersih, akan tetapi pakaiannya itu sudah kusut dan kotor! Dia
teringat akan lemari yang berdiri di sudut kamar. Dihampirinya lemari itu dan dibukanya. Penuh dengan
pakaian! Pakaian wanita, serba indah dan semua terbuat dari pada kain sutera yang mahal! Dipilihya
pakaian dalam beserta celananya yang terbuat dari kain tipis licin berwarna merah muda, didekatkan
kepada tubuhnya. Ukurannya persis!
Dia terheran-heran. Milik siapakah pakaian-pakaian ini? Kenapa semua masih baru dan belum ada yang
bekas? Dan kenapa pula ukuran tubuh pemilik pakaian itu sama benar dengan ukuran tubuhnya?
Dipakainya pakaian dalam itu. Dan dugaannya memang benar. Persis betul seperti memang sengaja
dibuat untuk dia! Dipilihnya baju dan celana berwarna biru. Dia paling suka memakai pakaian hitam, akan
tetapi pakaian selemari itu tiada yang hitam, maka dia memilih yang biru tua, satu-satunya warna yang
mendekati warna hitam. Lalu dipakainya pula.
Ketika dia sedang menyisir rambutnya di depan kaca rias, daun pintunya terketuk dari luar. Hwee Li
mencelat kaget. Dia merasa ‘berdosa’ karena telah memakai pakaian orang lain dan tiba-tiba daun pintu
terketuk, maka tentu saja dia kaget bukan main.
"Siapa?" bentaknya, karena dia mengira bahwa yang mengetuk pintu tentulah pangeran ceriwis itu, maka
disambutnya lebih dulu dengan suara ketus.
"Hwee Li, bukalah pintunya. Aku mau bicara denganmu."
Suara ayahnya! Hwee Li kemudian menghampiri pintu dan sebelum membukanya dia bertanya, "Ayah
datang dengan siapa? Kalau sendirian baru aku mau membuka pintu."
"Ha-ha-ha, anak bodoh. Tentu saja aku datang sendirian. Bukalah!"
Hwee Li membuka pintu dan ayahnya masuk ke dalam kamar sambil membelalakkan matanya, hidungnya
yang besar berkembang-kempis dan dia memandang puterinya dengan sinar mata penuh kagum.
"Hemmm, harumnya! Dan kau begini segar, dan pakaian biru itu pantas sekali bagimu!"
"Ayah, aku lebih senang pakaian hitamku sendiri. Akan tetapi pakaianku kotor dan aku pinjam pakaian
orang yang berada di dalam lemari itu..." Dia menuding ke arah lemari di sudut.
"Pakaian orang? Ha-ha-ha, anak bodoh, itu adalah pakaianmu semua! Dan hal itu membuktikan kebaikan
hati Pangeran Liong Bian Cu kepadamu, kepada kita! Sungguh, selama hidupku belum pernah aku
bertemu orang sebaik dia. Selain kamar ini yang sudah dipersiapkan sebelum kau datang, juga pakaianpakaian
itu telah disuruhnya buat untukmu, Hwee Li."
"Ahhh...!" Hwee Li terkejut sekali. "Dia membuatkan pakaian untukku? Bagaimana bisa, begini pas
ukurannya?"
"Ha-ha-ha, tentu saja aku yang memberi tahu."
"Ayah! Kenapa Ayah begitu... merendah kepadanya? Kalau ini pakaian yang sengaja dia buatkan untukku,
maka biarlah aku memakai pakaianku sendiri!" Hwee Li sudah memegang bajunya seperti orang hendak
menanggalkannya.
"Eh, eh... jangan begitu Hwee Li. Kau tidak tahu! Duduklah dan dengarkan kata-kataku."
Hwee Li menjadi sangat girang. Tepat dugaannya. Tentu ada apa-apanya di balik sikap ayahnya yang
seperti menjilat-jilat pangeran itu. Maka dia segera duduk menghadapi ayahnya, terhalang oleh meja
berukir indah itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau tidak tahu siapa Pangeran Liong Bian Cu. Dia adalah putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong dan
ibunya adalah Puteri dari Nepal, maka dia adalah cucu Raja Nepal sendiri! Dan siapa gurunya? Gurunya
adalah seorang manusia sakti yang tingkat kepandaiannya tinggi sekali, mungkin tidak kalah olehku, dan
gurunya itu adalah koksu dari Nepal!"
"Hemmm, aku sudah mendengar akan hal itu, Ayah. Lalu apa artinya bagi kita?" Hwee Li menjawab dan
bibirnya berjebi, memandang rendah pangeran itu.
"Artinya? Anak bodoh! Artinya, pangeran itu kelak mempunyai kesempatan besar untuk menjadi Raja
Nepal! Bukan itu saja, dia amat cerdik dan pandai, dengan mudahnya dia telah dapat menguasai Gubernur
Ho-nan. Dia mempunyai banyak pembantu yang amat lihai sehingga aku tidak ragu-ragu bahwa kelak dia
akan berhasil menguasai daratan Tiongkok dan menjadi seorang kaisar!"
Hwee Li masih tersenyum mengejek. "Hemmm, habis mengapa? Dia boleh jadi raja neraka sekali pun, apa
hubungannya dengan kita?"
Ayahnya membelalakkan matanya sampai lebar sekali. "Oooh-ho-ho-ho-ho! Engkau sungguh bodoh dan
polos, tidak tahu apa-apa, anakku!"
"Tidak, Ayah. Aku tahu semuanya. Aku tahu bahwa Ayah menjilat-jilat karena Ayah ingin memperolah
kedudukan kelak di dekat pangeran itu. Bukan begitu?"
Hek-tiauw Lo-mo mengepal tinjunya. "Kau kira aku orang seperti apa yang suka menjilat dan merendahkan
diri begitu saja? Akan tetapi, aku makin tua, Hwee Li, dan selama ini aku hidup dalam dunia yang keras
dan penuh dengan kesukaran, penuh kemiskinan dan kehinaan. Aku sudah tua. Aku ingin mati sebagai
seorang yang terhormat dan mulia, seseorang yang berkedudukan tinggi. Aku tidak ingin kelak mati
sebagai seorang liar dari Pulau Neraka. Tidak! Aku ingin mati meninggalkan nama sebagai seorang mulia,
seorang bangsawan tinggi!"
"Hemmm, terserah pada Ayah. Akan tetapi aku tidak sudi menjilat pangeran itu karena aku tidak
menghendaki apa-apa darinya, Ayah. Bahkan pakaian ini pun tidak!" Berkata demikian, Hwee Li
menyambar pakaian hitamnya sendiri dan lari ke dalam kamar mandi. Hek-tiauw Lo-mo mendengar suara
kain dirobek-robek.
"Hwee Li, jangan begitu...! Jangan kau menyia-nyiakan kebaikan orang lain..."
"Peduli!" Hwee Li menjawab dengan marah dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi dari kamar mandi,
kini mengenakan pakaian hitamnya sendiri sedangkan pakaian bagus berwarna biru dan pakaian dalam
berwarna merah muda sudah robek-robek dan berserakan di kamar mandi.
Wajah kakek raksasa itu menjadi merah dan dia bangkit berdiri, memandang kepada puterinya yang juga
berdiri di depannya dan menentang pandang mata ayahnya dengan berani. "Hwee Li, engkau adalah
puteriku! Apakah engkau tak mau menaati perintahku? Apakah engkau hendak menjadi anak yang tidak
berbakti?"
Hwee Li mengerutkan alisnya. "Ayah, aku tidak melarang Ayah menghambakan diri kepada pangeran itu,
aku tidak menentang Ayah. Akan tetapi aku sendiri tidak mau ikut campur dan aku hendak pergi dari sini
sekarang juga agar jangan berhutang budi kepada pangeran atau kepada siapa pun juga."
"Tidak boleh! Engkau harus berada di sini, Hwee Li, membantu usahaku!"
"Akan tetapi aku tidak butuh bantuan pangeran."
"Aku butuh! Dan aku ingin menjadi mertuanya, maka engkau tidak boleh pergi!"
Ucapan itu seolah-olah kilat yang menyambar kepala Hwee Li. Seketika wajahnya menjadi pucat sekali,
lalu berubah merah dan matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika dia memandang ayahnya.
"Apa kata Ayah? Menjadi mertuanya? Jadi aku... aku...!"
"Engkau akan menjadi isterinya, menjadi permaisurinya. Dia amat mencintamu, Hwee Li. Dia berterus
terang kepadaku bahwa dia telah jatuh hati kepadamu ketika untuk pertama kali bertemu denganmu di
dunia-kangouw.blogspot.com
tempat ini. Ingat? Dan lihat betapa dia telah menyediakan segala-galanya untukmu. Engkau akan menjadi
isteri pangeran, dan kelak menjadi Permaisuri Nepal, kemudian mungkin menjadi permaisuri kaisar! Dan
aku mertua kaisar! Ha-ha, bukankah hebat sekali kedudukan kita kelak, anakku?”
Akan tetapi Hwee Li sudah tidak mendengarkan kata-kata ayahnya lagi karena tiba-tiba tubuhnya sudah
mencelat keluar dari situ.
"Hwee Li...!" Ayahnya mengejar.
"Ayah, aku mau pergi dari sini!" terdengar dara itu menjawab.
"Apa kau ingin Ayahmu menggunakan kekerasan?" bentak ayahnya sambil mengejar.
Jantung Hwee Li berdebar keras! Baru sekarang selama hidupnya dia diancam oleh ayahnya sendiri!
Ayahnya yang dulu selalu memanjakannya, yang tak pernah bersikap keras padanya sungguh pun dia tahu
ayahnya amat keras kepada orang lain. Ia terisak dan melanjutkan larinya. Dia tidak mempedulikan orangorang
yang memandangnya dengan heran di dalam gedung itu dan dia terus lari keluar dengan cepat, siap
untuk menyerang siapa saja yang akan menghalangi larinya. Akan tetapi tidak ada orang yang
menghalanginya, kecuali ayahnya yang mengejarnya dari belakang.
Sejak dia menjadi murid Ceng Ceng dan juga menerima petunjuk dari suami subo-nya itu, Hwee Li telah
memperoleh kemajuan hebat sehingga ginkang-nya juga meningkat dengan luar biasa. Maka dia dapat
melarikan diri dengan cepat sekali meninggalkan ayahnya. Banyak sekali para anggota Huang-ho Kuiliong-
pang yang melihat gadis ini berlari-lari dikejar ayahnya, akan tetapi mereka hanya memandang dan
tidak berani mencampuri. Juga anak buah Liong Bian Cu hanya menonton. Bahkan di dalam larinya, Hwee
Li melihat Hek-hwa Lo-kwi duduk di bawah sebatang pohon sambil tersenyum melihat Hek-tiauw Lo-mo
mengejar-ngejar puterinya.
Hwee Li berlari cepat sampai di lembah dan bukan main kagetnya ketika dia melihat telaga atau sungai
menghadang di depannya. Dia berlari terus di sepanjang tepi sungai itu, akan tetapi sungai itu terus saja
tiada putusnya karena air itu mengitari lembah! Teringatlah Hwee Li akan pemandangan lembah itu dari
atas ketika dia datang bersama ayahnya menunggang garuda, maka tahulah dia bahwa tempat itu
memang sudah dikelilingi air yang amat luas.
Melihat bahwa bayangan ayahnya sudah tidak mengejarnya lagi, mendadak Hwee Li mengeluarkan suara
melengking nyaring, memanggil burung garudanya. Beberapa kali dia melengking nyaring, akan tetapi
garudanya tidak kunjung datang. Padahal biasanya, sekali saja dia memanggil, betapa pun jauhnya garuda
itu terbang, dia akan mendengar dan akan datang, atau setidaknya menjawab dengan lengking yang sama.
Kembali dia melengking nyaring dan sekali ini ada jawaban, akan tetapi jawaban itu membuat Hwee Li
terkejut. Jawaban yang nyaring itu terdengar dari dalam gedung! Dan yang lebih menggelisahkan hatinya
lagi, jawaban itu terdengar mengandung keluhan yang membuat dia mengerti bahwa garudanya berada
dalam keadaan tidak berdaya untuk datang ke situ. Jelas bahwa garuda itu tentu telah diikat atau dikurung
sehingga percuma saja dia memanggilnya!
"Hwee Li jangan pergi...!"
Hwee Li meloncat dan lari lagi ketika mendengar suara ayahnya itu. Kini dia lari sambil meneliti dan tibatiba
hatinya girang melihat sebuah perahu di tepi pantai. Cepat dia menghampiri perahu itu, menyambar
dayungnya, lalu mengempit perahu itu sambil mengerahkan tenaganya dan membawanya lari ke air. Dia
melontarkan perahu itu ke atas air, lalu meloncat ke dalamnya dan mendayung secepatnya ke tengah!
Hatinya sudah merasa lega dan girang karena dia mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri dari
tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main. Begitu terkena air, perahu itu pecah-pecah dan
sambungannya terlepas! Tentu saja tanpa dapat dicegah lagi, dia tercebur ke dalam air! Padahal sungai itu
amat luas dan dia baru saja meninggalkan pantai lembah. Untuk berenang menyeberangi sungai itu sama
dengan membunuh diri, karena dia bukan ahli, biar pun dia dapat berenang sekedar untuk mencegah agar
dia tidak tenggelam saja. Maka terpaksa dia menggerakkan kaki tangannya berenang kembali ke pantai,
pantai lembah, bukan pantai di seberang!
Ketika dengan pakaian dan rambut basah kuyup, dengan mulut menyumpah-nyumpah dia merangkak
keluar dari air, dia disambut oleh suara ketawa ayahnya yang sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang
dunia-kangouw.blogspot.com
lebar dan kedua tangan bersedakap. Begitu mendongkol hati Hwee Li sehingga kalau saja bukan ayahnya
yang mentertawakan, tentu orang itu akan diserangnya atau dimakinya habis-habisan. Dia hanya berdiri
melotot memandang kepada ayahnya, penuh kemarahan.
"Ayah, kau... kau kejam!" akhirnya dia berkata dan menangis terisak-isak.
Ayahnya menghampirinya. "Hwee Li, siapa bilang aku kejam? Engkaulah yang terlalu, tidak mau mentaati
perintah Ayahmu. Aku ingin mengangkat dirimu menjadi seorang yang mulia dan terhormat, akan tetapi
engkau malah hendak menghancurkan rencana hidup Ayahmu. Jangan kira kau akan dapat pergi dari sini,
anakku. Mau atau tidak mau, engkau harus menjadi isteri pangeran yang cinta kepadamu."
Watak Hwee Li memang keras. Begitu mendengar kata-kata ‘harus’, dadanya diangkat, kepalanya
ditegakkan, dan dia bertanya dengan air matanya bercampur dengan air sungai yang mengalir turun dari
rambutnya, "Kalau aku tidak sudi?"
"Kau akan dipaksa! Nah, boleh kau pilih. Engkau menjadi isterinya secara terhormat atau menjadi isterinya
dengan lebih dulu dipaksa, seperti seekor kuda betina liar yang dijinakkan!"
Hwee Li membelalakkan kedua matanya, hampir tidak dapat percaya akan kata-kata ayahnya. Tidak
mungkin ayahnya akan berbuat sekeji, itu. "Ayah! Kau... kau...," dia tak dapat melanjutkan, hanya
menangis keras.
"Tiada gunanya engkau menangis, Hwee Li. Jika engkau mentaati permintaanku, berarti engkau menjadi
puteriku tersayang, akan tetapi kalau kau menentang kehendakku, berarti engkau adalah musuhku! Dan
engkau tentu tahu apa jadinya dengan musuh Hek-tiauw Lo-mo!"
"Biar sampai mati aku tidak sudi! Aku mau melihat siapa berani memaksaku!" Tiba-tiba Hwee Li berdiri
tegak, kedua tangannya terkepal, pakaiannya basah kuyup sehingga menempel ketat di tubuhnya,
membuat lekuk-lengkung tubuhnya nampak nyata.
"Hemmm, engkau tidak akan mati, akan tetapi aku yang akan menundukkanmu, anak bandel!" bentak Hektiauw
Lo-mo.
"Aku adalah anakmu, aku tidak akan melawan Ayahku sendiri, tetapi kalau aku hendak kau umpankan
kepadanya, seperti mengumpankan kelinci untuk dimakan serigala, aku akan melawan!" kata Hwee Li.
"Huh, agaknya gurumu telah mendidikmu untuk menjadi anak yang durhaka terhadap ayahnya. Nah, cobacobalah
kau lawan aku!" Hek-tiauw Lo-mo lalu menubruknya dan mencengkeram pundak puterinya.
Hwee Li cepat mengelak dan balas menyerang dengan dahsyat hingga ayah dan anak itu lalu saling
serang dengan hebat dan serunya di tepi sungai itu! Hwee Li maklum bahwa kalau dia tidak dapat
menangkan ayahnya, harapannya untuk lari habis sama sekali, dan entah apa yang akan menimpa dirinya,
maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dia tahu bahwa dia
tidak boleh menggunakan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya, karena hal itu akan percuma
saja karena tentu ayahnya lebih mahir.
Maka dia pun selalu bergerak menurut petunjuk Ceng Ceng dan suami subo-nya itu. Sebetulnya, dari Ceng
Ceng, seperti pernah dijanjikan oleh subo-nya itu dahulu, dara ini hanya diberi pelajaran tentang racunracun
yang paling hebat dan penolaknya. Akan tetapi karena Ceng Ceng merasa suka kepada muridnya
yang lincah jenaka ini, dia juga mengajarkan Ilmu Pukulan Sin-liong-kun, yaitu semacam ilmu silat yang
diciptakannya dengan bantuan suaminya, yang disaring dari ilmu-ilmu silat yang telah dikenalnya, lalu
ditambah pula dengan beberapa gerakan yang mengambil dari ilmu mukjijat Sin-liong ciang-hoat, ilmu yang
hanya dapat dipelajari dan dikuasai oleh seorang yang buntung lengannya seperti Kao Kok Cu. (baca
cerita Kisah Sepasang Rajawali)
Akan tetapi betapa pun lihainya Hwee Li, tentu saja dia masih belum mampu untuk menandingi Hek-tiauw
Lo-mo! Beberapa kali dia sudah kena ditampar oleh ayahnya, yang tidak ingin melukai puterinya, maka
yang ditamparnya hanya bagian tubuh yang tidak berbahaya seperti di bahu dan pundak, akan tetapi yang
cukup membuat tubuh Hwee Li terpelanting dan terguling-guling. Tetapi, setiap kali roboh, Hwee Li
meloncat bangun kembali dan menyerang dengan ganas! Dia sudah nekat dan ingin mati di tangan
ayahnya sendiri dari pada harus menyerahkan dirinya kepada Pangeran Liong Bian Cu!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hyaaaaattttt...!" Tiba-tiba dia melengking nyaring.
Tubuhnya meloncat dan meluncur lurus ke depan, kedua tangannya menusuk seperti pedang selagi
tubuhnya masih melayang di udara. Inilah jurus yang sangat hebat dari Sin-long-kun, yang mengandung
unsur ilmu mukjijat Sin-liong hok-te dari Kao Kok Cu!
"Ihhh...!" Hek-tiauw Lo-mo terkejut bukan main.
Dari serangan Hwee Li ini menyambar hawa dahsyat yang membuat dia terjengkang. Akan tetapi, sebagai
seorang ahli ilmu silat tinggi yang mengenal pukulan mukjijat, dia tidak berani menangkis dan cepat dia
melempar tubuh ke belakang terus bergulingan. Dia meloncat bangun dan mukanya berubah. Nyaris dia
roboh oleh pukulan mukjijat itu.
"Bocah durhaka!" Dia membentak dan menubruk maju begitu melihat Hwee Li melayang turun, tubrukan
dari belakang yang dahsyat. Hwee Li bergerak ke samping, kakinya melayang untuk menyambut serangan
ayahnya dengan tendangan.
"Plakkk!"
Ayahnya menangkis, demikian keras tangkisannya sehingga tubuh Hwee Li terhuyung. Kembali gadis itu
melempengkan kedua lengan, untuk mengulangi serangannya yang hampir berhasil tadi. Akan tetapi tibatiba
ayahnya sudah menyerang lagi, menyerang dari bawah ke arah kedua kakinya. Melihat hebatnya
serangan kaki ayahnya yang menyerampang ini, dia berteriak keras dan tubuhnya mencelat ke atas.
"Wuuuuuttttt...!"
Hwee Li terkejut. Hendak mengelak namun terlambat, dan tubuhnya sudah tercakup oleh sinar hitam yang
ternyata adalah jala tipis yang tadi dipergunakan oleh Hek-tiauw Lo-mo selagi tubuh Hwee Li meloncat ke
atas.
"Cukup, Locianpwe!"
Mendadak terdengar seruan nyaring dan tahu-tahu di situ telah berdiri Liong Bian Cu dengan sikapnya
yang ramah. Pangeran ini berkata, "Andai kata bukan Locianpwe yang melakukan hal ini terhadap Nona
Hwee Li, tentu akan berhadapan dengan aku dan aku belum puas kalau belum menyiksanya!"
Hek-tiauw Lo-mo membungkuk, "Anak ini tidak bisa dibujuk dengan halus, Pangeran. Terpaksa saya
sebagai orang tuanya menundukkannya. Sekarang kuserahkan kepada Pangeran untuk menjinakkan dia.
Ha-ha-ha!" Hek-tiauw Lo-mo menyerahkan tali jala itu kepada Pangeran Nepal itu.
Liong Bian Cu menerima tali itu, lalu menghampiri Hwee Li yang masih rebah miring di dalam jala. "Marilah,
Nona, biar aku merawatmu, Nona..." Dia membungkuk dan hendak memondong tubuh itu.
Hwee Li yang kini mengalihkan kemarahan dan kebenciannya kepada pangeran ini yang dianggapnya
sebagai biang keladi perubahan sikap ayahnya, diam-diam menanti dan begitu pangeran itu membungkuk,
tiba-tiba dia menggerakkan tangan kanannya menghantam sekuat tenaga! Akan tetapi, dia merasa
pundaknya ditekan dan tenaganya lenyap, pukulannya tidak dapat dilakukan dan terhenti setengah jalan.
"Tenanglah, Nona, percayalah bahwa aku tidak tega untuk menyakitimu," kata pangeran itu dengan tenang
dan tiba-tiba Hwee Li merasa tubuhnya diangkat dan dipondong oleh pangeran itu, dibawa ke arah gedung.
Semua orang yang melihat dan bertemu di jalan membungkuk dengan penuh hormat kepada pangeran itu
yang bersikap seolah-olah tidak melihat mereka, sikap angkuh seorang pangeran! Hwee Li tidak dapat
meronta lagi, kedua tangannya seperti lumpuh dan tahulah dia bahwa pangeran yang kelihatan lemah
lembut ini memang lihai sekali sehingga dia telah ditotoknya sebelum dapat menyerang. Dia pernah
melihat pangeran ini dalam pertemuan dengan para tokoh dan yang dahulu pernah mendemonstrasikan
kepandaiannya yang hebat.
Dara ini maklum bahwa menggunakan kekerasan akan percuma saja, karena selain pangeran ini sendiri
amat lihai, juga di situ terdapat ayahnya yang agaknya siap untuk menggunakan kekerasan terhadap
dirinya untuk memaksanya menjadi isteri pangeran ini. Belum lagi diperhitungkan adanya Hek-hwa Lo-kwi
di situ, dan banyak anak buah Kui-liong-pang dan anak buah pangeran itu sendiri. Juga, biar pun belum
dunia-kangouw.blogspot.com
dijumpainya, dia mendengar bahwa di situ terdapat pula guru pangeran ini, koksu dari Nepal yang menurut
ayahnya memiliki kepandaian yang amat hebat, mungkin melebihi kepandaian ayahnya dan Hek-hwa Lokwi.
Jelas bahwa mengandalkan kepandaian silatnya akan sia-sia belaka, maka dia harus berlaku cerdik.
Pangeran itu memondongnya dengan hati-hati dan membawanya kembali ke dalam kamarnya yang
mewah. Dengan gerakan lembut dia merebahkan Hwee Li di atas pembaringan setelah melepaskan jala
tipis itu. Sejenak dia berdiri di tepi pembaringan memandang wajah Hwee Li yang rebah terlentang. Dara
itu gelisah sekali. Dia masih belum mampu menggerakkan kaki tangannya dan dia tidak akan dapat
melawan kalau pangeran itu melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap dirinya. Sepasang mata yang
cekung dan tajam itu bersinar-sinar ketika menjelajahi tubuh Hwee Li dari rambut sampai ke kakinya. Dan
tubuh yang terbungkus pakaian basah itu kelihatan bagaikan telanjang saja.
"Ah, betapa kejam ayahmu, Nona... sungguh kasihan engkau...," kata pangeran itu dengan sikap
menyayang sekali dan tangannya lalu memeriksa leher, pipi, dan pundak Hwee Li yang babak bundas
karena dibanting-banting tadi. "Aku akan mengobatimu. Ahhh, kalau lain kali dia berani menyakitimu lagi,
tentu akan kuhukum dia!"
Hwee Li memandang dengan mata terbelalak. Hatinya lega. Biar pun dia masih muda sekali, namun
sebagai seorang wanita, Hwee Li dapat merasakan bahwa pangeran ini sungguh mencinta dia. Sikapnya
demikian lembut, cintanya demikian halus sehingga agaknya tidak perlu dikhawatirkan bahwa pangeran ini
akan melakukan kekerasan terhadap dirinya. Akan tetapi, biar pun dia amat cerdik, dalam hal seperti ini,
mengenai urusan cinta, dia masih asing sama sekali sehinga dia tidak tahu benar bagaimana dia harus
bersikap terhadap musuh yang jatuh cinta kepadanya ini. Dia tahu bahwa dari orang berkulit kehitaman ini
mengancam bahaya yang amat hebat terhadap dirinya, namun perasaan wanitanya juga tahu bahwa pria
ini amat mencintanya dan tidak akan suka melihat dia sengsara.
"Pangeran... harap... harap kau suka membebaskan aku... dan biarkan aku pergi dari sini. Aku akan
berterima kasih sekali kepadamu dan selamanya engkau akan kuanggap sebagai seorang yang amat
baik."
Liong Bian Cu tersenyum, memandang mesra dan menggeleng kepala. "Janganlah kita bicara tentang itu.
Engkau perlu kuobati, akan tetapi pakaianmu basah. Engkau harus berganti pakaian lebih dulu. Ah, betapa
kejamnya ayahmu... sakit hatiku melihat engkau disiksa. Aku sangat cinta kepadamu, Nona Hwee Li, dan
kalau bukan ayahmu yang melakukan ini, pasti dia sudah kubunuh. Biar aku membantumu berganti
pakaian..."
Jari-jari tangan pangeran itu menyentuh kancing-kancing di depan dadanya. Meski pun pangeran itu tetap
bersikap lembut dan sopan, namun Hwee Li terbelalak dan hampir menjerit. Sayang kaki tangannya masih
belum dapat digerakkan, kalau tidak demikian, tentu dia sudah meronta dan meloncat turun dari atas
pembaringan.
"Jangan...! Tidak... jangan buka pakaianku...!" dia meratap.
Jari-jari tangan yang baru berhasil membuka dua buah kancing itu berhenti dan mata yang cekung itu
menatap tajam, mulutnya tersenyum dingin. "Mengapa, Nona? Engkau basah kuyup dan dapat jatuh sakit.
Pakaianmu yang basah harus diganti dengan yang kering, baru luka-lukamu akan kuobati sendiri..."
Hwee Li melihat sinar gembira di mata pangeran itu dan tiba-tiba jantungnya memukul keras. Agaknya di
balik kelembutan, di balik keramahan dan kesopanannya, pangeran ini memiliki watak aneh yang sangat
kejam. Agaknya pangeran ini akan bergembira melihat dia digerogoti rasa malu, tersiksa batinnya kalau
ditelanjangi.
Hwee Li tiba-tiba menekan perasaannya dan mukanya tidak lagi memperlihatkan rasa ngeri dan takut
seperti tadi. Suaranya dingin dan tenang ketika dia berkata, "Pangeran, baru saja engkau mengatakan
bahwa engkau amat mencintaku, akan tetapi sekarang engkau hendak melakukan penghinaan. Kalau
perbuatanmu ini kau lanjutkan, aku akan merasa amat benci kepadamu!"
"Benci?" Pangeran itu mengerutkan alisnya. "Tidak bisa engkau membenciku, Nona, karena engkau akan
menjadi isteriku yang terkasih. Aku hendak menolongmu, mengapa engkau membenciku?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Di luar banyak terdapat pelayan, mengapa kemudian engkau hendak mengganti sendiri pakaianku? Hal itu
menandakan bahwa engkau sengaja hendak menghinaku, tidak memandang aku sebagai seorang gadis
yang terhormat, yang tentu saja tidak sudi dilihat telanjang oleh seorang laki-laki."
Tangan itu meninggalkan baju Hwee Li dan pangeran itu tersenyum, mengangguk angguk. "Sikapmu ini
menambah besar cintaku, Nona. Engkau memang seorang gadis terhormat dan agung, patut menjadi
calon isteriku." Pangeran itu bertepuk tangan dan masuklah empat orang pelayan tadi.
"Kalian bantu Nona Hwee Li berganti pakaian kering. Ehhh, Nona, engkau memilih pakaian yang berwarna
apa?" Pangeran itu bertanya kepada Hwee Li, sikapnya ramah dan biasa seolah-olah gadis itu sedang
dalam keadaan biasa, tidak tertotok seperti itu.
"Aku selamanya selalu memakai pakaian hitam," jawab Hwee Li yang ingin mencegah pakaiannya diganti.
"Hei, kau! Cepat kau suruh penjahit membuatkan pakaian dari sutera hitam beberapa stel dan dengan cara
kilat. Harus jadi sekarang juga!" Pangeran Liong Bian Cu berkata dan pelayan yang diperintahkannya itu
cepat pergi. Lalu dia berpaling kepada Hwee Li. "Karena yang hitam sedang dibikin, harap kau suka
memakai yang lain untuk sementara saja, Nona." Setelah berkata demikian, pangeran itu menggerakkan
kakinya menuju ke pintu.
"Pangeran...!" Hwee Li tiba-tiba memanggil.
Liong Bian Cu membalikkan tubuhnya dan memandang dengan wajah berseri. "Apa lagi yang dapat
kulakukan untukmu, Nona Hwee Li? Bukankah kau bilang bahwa engkau merasa terhina kalau... terlihat
olehku? Aku tahu engkau malu, biarlah aku keluar dulu dan nanti baru kuobati engkau..."
"Pangeran, engkau tentu maklum bahwa aku tidak akan dapat lolos dari sini. Di sana ada ayahku, ada Hekhwa
Lo-kwi, ada orang-orangmu, dan tempat ini terkurung air. Aku tidak akan mampu lolos dan hal ini aku
tahu benar, maka aku pun tidak begitu tolol untuk mencoba melarikan diri."
Pangeran itu mengangguk-angguk. Engkau memang cerdik sekali, Nona. Kecerdikanmu makin
mengagumkan hatiku dan makin memperdalam cintaku."
Hwee Li merasa malu sekali melihat pangeran ini mengaku cinta begitu saja di depan tiga orang pelayan
yang masih berlutut di atas lantai, maka cepat-cepat dia berkata, "Kalau engkau sudah tahu bahwa aku
tidak akan lolos atau melarikan diri, mengapa engkau masih menotokku? Apakah kau memang sengaja
ingin menyiksaku, Pangeran? Bebaskan totokan ini..."
Pangeran itu melangkah menghampiri pembaringan. "Dan engkau berjanji tidak akan memukul pelayan,
tidak akan memberontak?"
"Aku bukan seorang tolol. Memberontak pun apa gunanya? Para pelayan ini tidak salah dan tidak tahu
apa-apa. Tidak, aku tidak akan memukul mereka atau memberontak."
"Bagus, aku percaya kepadamu, Nona." Pangeran itu kemudian menggerakkan tangan kanannya menotok
kedua pundak Hwee Li dan seketika dara itu dapat menggerakkan kembali kedua lengannya. Ketika
pangeran itu menotok pula punggungnya dan kedua kakinya juga dapat digerakkan, hatinya lega bukan
main. Kaki dan tangannya masih terasa penat dan sakit, maka dia bangkit duduk perlahan-lahan,
memandang kepada pangeran yang diam-diam telah siap kalau-kalau dia akan memberontak.
Melihat ini, Hwee Li tersenyum. "Terima kasih, Pangeran. Dan sekarang harap engkau suka keluar, aku
hendak ganti pakaian. Dan kalian bertiga juga keluarlah saja, nanti kalau aku perlu bantuan kalian akan
kupanggil."
Tiga orang pelayan itu memandang kepada Liong Bian Cu, ragu-ragu apakah mereka harus mentaati
perintah gadis itu. Liong Bian Cu tersenyum dan mengangguk, maka mereka pun pergilah meninggalkan
kamar itu bersama Liong Bian Cu. Pangeran itu menutupkan pintunya sambil menjenguk ke dalam dan
tersenyum.
"Kalau sudah selesai, beritahulah aku, Nona." Hwee Li mengangguk dan daun pintu itu ditutup dari luar
oleh Liong Bian Cu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah mereka semua keluar, Hwee Li cepat menggerak-gerakkan kaki tangannya agar jalan darahnya
lancar kembali. Diam-diam dia menyumpah di dalam hatinya dan panaslah rongga dadanya teringat akan
perlakukan ayahnya kepadanya. Dia duduk kembali dan memutar otaknya. Keinginan besar untuk
melarikan diri ditekannya. Tidak, dia tidak boleh sembrono lagi.
Lari dalam keadaan sekarang ini tidak akan ada gunanya, dan dia tentu akan tertawan kembali. Dan kalau
sampai dia mencoba lari dan tertawan kembali, tentu pangeran itu tidak akan bersikap demikian baik lagi.
Celaka kalau sampai dia ditotok terus atau dibelenggu. Lebih celaka lagi kalau dalam kemarahannya
pangeran itu akan melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap dirinya. Lebih baik dia berlaku cerdik,
bersikap halus dan mempergunakan cinta kasih pangeran terhadapnya untuk melindungi dirinya.
Hwee Li memilih pakaian hijau dari lemari, karena yang biru sudah dirobek-robeknya. Dia memindahkan
dua benda seperti gulungan tali hitam dan segulung kecil tali merah dari saku pakaian hitamnya ke dalam
saku baju dalamnya yang baru. Tiga benda yang kelihatan seperti gulungan tali itu sebetulnya adalah tiga
ekor ular! Kemudian dia menyisir rambutnya, memakai sedikit bedak di meja rias dan mengganti pula
sepatunya yang basah dengan sepatu baru yang berjajar beberapa pasang di bawah lemari.
"Aku sudah selesai, Pangeran!" katanya sambil duduk di atas kursi.
Daun pintu itu segera terbuka, tanda bahwa pangeran itu sejak tadi sudah siap dengan tangan tak pernah
melepaskan daun pintu. Wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar memandang
Hwee Li yang bangkit berdiri. Penuh kagum!
"Bukan main...!" Engkau... engkau sungguh cantik seperti bidadari, Nona Hwee Li! Aihh, rambutmu yang
masih agak kusut itu, anak rambut yang melihgkar di dahi dan depan telinga, sungguh seperti lukisan saja!
Marilah, Nona, mari kuobati semua luka-lukamu." Pangeran itu mengeluarkan sebuah botol terisi obat
kuning dari dalam sakunya.
"Terima kasih, Pangeran. Kurasa tidak perlu karena sudah kuobati sendiri dan luka-luka ini tidak ada
artinya." Dia memperlihatkan leher dan tangannya yang tadi lecet-lecet, dan yang kini sudah menjadi
kering.
"Ahhh, engkau lihai, ilmu silatmu tinggi, juga engkau memiliki keberanian hebat, engkau cantik jelita dan
cerdik. Sungguh, semua keindahan dan kebaikan terkumpul menjadi satu di dalam dirimu, Nona Hwee Li."
"Hanya luka di pundakku ini masih terasa nyeri. Aku khawatir kalau-kalau ada tulangnya yang retak..."
Hwee Li meringis ketika tangannya menyentuh pundak kirinya.
"Ahhh...! Benarkah? Celaka! Sungguh kejam Hek-tiauw Lo-mo. Coba kuperiksa dahulu pundakmu, Nona.
Jangan khawatir, jangankan baru retak, biar sudah remuk sekali pun, aku akan dapat mengobati dan
menyembuhkannya!" Pangeran itu datang mendekat.
Dengan hati-hati, sambil kadang-kadang meringis kesakitan, Hwee Li membuka kancing bajunya bagian
atas sehingga nampak baju dalamnya yang tipis. Disingkapnya baju di bagian pundak kiri dengan tangan
kanannya sehingga nampak kulit pundaknya yang putih halus dan memang di atas pundak itu terdapat
warna kebiruan. Ketika melihat pundak kiri setengah telanjang yang berkulit putih halus itu bernoda biru,
pangeran itu lalu berseru, "Ahhh, sungguh kejam...!" Tangannya lalu memeriksa dan dengan halus
menyentuh pundak itu.
Saat inilah yang ditunggu-tunggu oleh Hwee Li. Sudah diperhitungkannya semenjak dia melihat pangeran
itu masuk kamarnya. Dara ini tadi sudah mengambil keputusan untuk membunuh pangeran ini. Dia tidak
mungkin melarikan diri, akan tetapi dia tahu bahwa yang menyebabkan ayahnya bersikap seperti itu
kepadanya adalah pangeran ini. Pangeran inilah biang keladinya, maka kalau pangeran ini dibunuhnya,
tentu ayahnya akan bersikap lain. Dan kalau ayahnya tidak lagi mengharapkan bantuan pangeran yang
mati untuk meraih kedudukan tinggi, tentu akan lain lagi sikap ayahnya, tentu akan pulih seperti dahulu dan
kalau sudah begitu, dia dan ayahnya tentu akan dapat saling bantu untuk meloloskan diri dari tempat itu.
Kini, melihat pangeran itu memeriksa pundak kirinya dan agaknya tenggelam dalam pekerjaannya itu,
diam-diam Hwee Li mengeluarkan ular merahnya. Ular itu kecil sekali, sebesar kelingking jari tangannya,
panjangnya hanya dua jengkal, kulitnya merah seperti darah, matanya juga merah dan lidahnya hitam.
Inilah Hiat-coa (Ular Darah) dari Gurun Pasir Go-bi yang merupakan binatang yang sukar sekali dilihat
orang, seekor ular tanah yang amat berbahaya dan racunnya amat hebat.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ssssshhh...!"
Liong Bian Cu terkejut sekali dan cepat dia meloncat mundur ketika dia melihat sinar merah meluncur ke
arah mukanya. Matanya terbelalak, dia berusaha menghindarkan diri, akan tetapi gerakan ular itu lebih
hebat dan cepat lagi, seolah-olah burung terbang dan tahu-tahu pundak pangeran itu telah kena digigitnya.
Liong Bian Cu mengeluarkan suara melengking nyaring, jeritan maut yang amat lantang, lalu tubuhnya
terhuyung dan roboh ke atas lantai.
Melihat ini, Hwee Li girang sekali. Cepat dia meloncat ke arah jendela kamar itu. Akan tetapi, begitu dia
meloncat, dari jendela itu muncul dua orang penjaga yang memegang pedang. Hwee Li menggunakan
kakinya menendang dari samping untuk menangkis sambaran pedang. Kini tangan kirinya bergerak dan
sinar hitam panjang bergerak ke depan. Ular hitam panjang itu mematuk dan dua orang penjaga roboh
seketika.
"Bocah setan, berani engkau mengacau lagi?" Tiba-tiba terdengar suara bentakan dan Hek-hwa Lo-kwi
muncul bersama Hek-tiauw Lo-mo!
"Ayah, aku sudah membunuh Liong Bian Cu!" teriak Hwee Li. "Mari kita cepat pergi dari sini!"
"Apa? Anak durhaka, engkau sungguh patut dihukum!” Hek-tiauw Lo-mo berseru marah.
Hek-hwa Lo-kwi segera meloncat memasuki jendela dan cepat kakek ini memondong tubuh Pangeran
Liong Bian Cu yang sudah menjadi biru mukanya. Hek-hwa Lo-kwi adalah ahli racun yang telah kebagian
kitab yang dicuri bersama Hek-tiauw Lo-mo dari Si Dewa Bongkok, bagian tentang racun dan
pengobatannya, maka sekarang dia cepat membawa pergi Liong Bian Cu untuk diobati.
Sementara itu, melihat ayahnya sudah menyerangnya, Hwee Li menjadi marah juga. "Ayah, apa engkau
sudah gila?" Dia nemaki sambil mengelak dari sambaran pedang yang amat mengerikan, pedang yang
mendatangkan hawa mukjijat. Itulah pedang Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Nyawa) yang amat mukjijat.
Pedang ini dahulu adalah milik Cui-beng Koai-ong, tokoh nomor satu dari Pulau Neraka, dan akhirnya
pedang itu tadinya terjatuh ke tangan Ang Tek Hoat dan kemudian, ketika Tek Hoat tertawan, pedang itu
terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo sampai sekarang.
Sambil mengelak, Hwee Li yang sudah marah sekali itu memaki, "Aku adalah anakmu, apakah Ayah
hendak membunuhku?" (baca Kisah Sepasang Rajawali)
"Bocah keparat, anak durhaka!" Hek-tiauw Lo-mo yang sudah marah sekali kembali menyerangnya dengan
dahsyat.
"Baik! Ayah membela musuh dan melawan anak sendiri! Ayah memaksa aku untuk melawan!" Hwee Li
juga mengeluarkan dua ekor ularnya yang panjang itu dan balas menyerang. Bertempurlah anak dan ayah
ini untuk kedua kalinya, kini lebih seru dan hebat karena Hwee Li benar-benar melakukan perlawanan matimatian.
Setelah dara itu melakukan perlawanan nekat dengan menggunakan dua ekor ularnya yang amat
berbahaya, Hek-tiauw Lo-mo bergerak dengan hati-hati. Dia maklum bahwa anaknya itu telah menguasai
banyak ilmu yang aneh dan hebat. Beberapa kali dia menggerakkan pedangnya untuk membunuh ular-ular
itu, akan tetapi dua ekor ular itu adalah mahluk hidup, selain memiliki gerakan sendiri untuk mengelak, juga
digerakkan oleh tangan Hwee Li yang mahir. Bahkan beberapa kali hampir saja tangan Hek-tiauw Lo-mo
terpatuk oleh ular-ular itu.
"Hemmm, inikah anakmu, Hek-tiauw Lo-mo? Sungguh ganas dan liar dia!" Mendadak terdengar suara
besar yang berwibawa dan muncullah dua orang kakek.
Yang seorang adalah kakek tinggi besar, sama tinggi besarnya dengan Hek-tiauw Lo-mo, seperti seorang
raksasa yang kepalanya botak, pakaiannya indah dan mewah dengan mantel merah, sepatunya pakai lapis
baja dan sepasang matanya besar sekali. Usianya tentu sudah hampir enam puluh tahun, akan tetapi
wajahnya masih segar dan kemerahan. Sikapnya amat berwibawa dan di belakangnya berdiri seorang
kakek lain yang bersorban, berkulit hitam, jenggotnya panjang sampai ke perut, tangan kirinya memegang
tongkat cendana dan wajahnya seperti topeng, sama sekali tidak pernah bergerak seolah-olah mati.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat munculnya dua orang kakek ini, Hek-tiauw Lo-mo menjadi terkejut. Itulah Ban Hwa Sengjin, koksu
dari Nepal, dan kakek Nepal bersorban itu adalah Gitananda, pembantunya yang lihai dan pandai sihir.
"Maafkan, Sengjin, anakku kurang ajar dan perlu saya hukum!" teriak Hek-tiauw Lo-mo dan pedang Cuibeng-
kiam diputarnya cepat.
Melihat ini, Hwee Li menarik kedua ekor ularnya karena tidak ingin ular-ularnya menjadi korban pedang
ayahnya. Akan tetapi, pada saat itu, tendangan kaki Hek-tiauw Lo-mo yang amat cepat datangnya tak
dapat dielakkan oleh Hwee Li. Pahanya tertendang dan dara ini hanya dapat mengerahkan sinkang untuk
melindungi pahanya.
"Desss...!" Dia terlempar dan terbanting, bergulingan.
"Mampus kau!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak dan pedangnya menyambar.
Hwee Li terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa ayahnya benar-benar hendak membunuhnya.
Pedang itu menyambar dengan ganas dan merupakan serangan maut. Terpaksa dia menggunakan dua
ekor ularnya untuk balas menyerang. Dua ekor ular itu meluncur dan kalau pedang Hek-tiauw Lo-mo
dilanjutkan untuk membacok tubuh dara itu, tentu dua ekor ular itu akan berhasil pula menggigitnya.
Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo mengubah gerakan pedangnya, dibabatkan ke samping dua kali.
"Crok! Crokkk!"
"Ihhhhh... kau membunuh ular-ularku...?" Hwee Li menjerit dengan isak tertahan dan dia berlaku nekat,
menubruk ayahnya dengan kedua tangan kosong sambil melancarkan pukulan-pukulan beracun.
"Anak setan!" Hek-tiauw Lo-mo menyambutnya dengan tusukan Cui-beng-kiam dan kali ini, tak mungkin
Hwee Li dapat menghindarkan diri dari tusukan maut itu.
Tiba-tiba nampak sinar menyambar.
"Trangg...!"
Pedang Cui-beng-kiam tergetar di tangan Hek-tiauw Lo-mo. Kakek itu amat terkejut dan melompat ke
belakang. Kiranya Ban Hwa Sengjin sudah turun tangan menggunakan sebutir kerikil memukul ke arah
pedangnya itu dengan sambitannya.
"Dia ini adalah calon isteri Pangeran, bagaimana kau begitu berani mencoba untuk membunuhnya?!" teriak
Koksu Nepal itu. "Gitananda, tangkap Nona itu!"
Gitananda membungkuk dan sekali dia menggerakkan kedua kakinya, dia sudah meloncat ke depan Hwee
Li. Tiba-tiba tangan kiri kakek Nepal ini mengeluarkan sesuatu dan ada cahaya menyorot ke muka kakek
itu.
Hwee Li tentu saja tak mengerti apa yang terjadi. Melihat ada cahaya menyorot ke muka kakek itu, dia
memandang. Kiranya kakek itu memegang sebuah cermin dan pantulan sinar matahari menyorot ke
mukanya sendiri. Melihat wajah yang berkilauan terkena cahaya itu, Hwee Li memandang terbelalak. Dia
seperti melihat wajah yang aneh, wajah dalam dongeng tentang dewa-dewa! Betapa pun dia ingin
mengalihkan pandangannya, dia tak dapat! Dia tidak dapat menguasai pandang matanya sendiri yang
terus menatap wajah kehitaman dengan mata yang tajam berpengaruh itu.
Tongkat Gitananda menyambar dan dengan perlahan mengetuk tengkuk Hwee Li. Gadis itu sama sekali
tidak mampu bergerak untuk mengelak, seolah-olah pandang matanya yang melekat pada wajah
menyeramkan itu membuat seluruh tubuhnya lumpuh. Ketika tongkat mengenai tengkuknya, dia mengeluh
memejamkan matanya dan roboh terguling, pingsan…..
********************
Kesadaran perlahan-lahan menyusupi dirinya. Mula-mula hanya pendengarannya yang bekerja. Dia
mendengar suara beberapa orang bercakap-cakap, makin lama makin jelas dan perhatiannya tertuju
kepada suara-suara itu karena di antara suara-suara itu dia mendengar suara ayahnya. Matanya masih
dunia-kangouw.blogspot.com
tetap dipejamkan dan dia masih belum mempunyai keinginan untuk melihat di mana adanya dia dan dalam
keadaan bagai mana. Dia masih terlampau lemah untuk itu dan kini dia hanya tinggal diam dengan tenang,
hanya membuka telinga mendengarkan.
"Kalau Paduka suka menggunakan obat hamba tentu mudahlah menundukkan dia. Dia akan jatuh cinta
kepada Paduka, dan akan mentaati semua perintah Paduka," terdengar suara parau dan asing, suara yang
tidak dikenalnya, namun dapat diduganya bahwa agaknya itu adalah suara orang Nepal yang memegang
tongkat itu.
"Ahhh, Gitananda, aku sudah tahu akan kepandaianmu dan aku juga percaya bahwa menggunakan obat
dan sihirmu, dia akan tunduk kepadaku. Akan tetapi aku tahu pula bahwa kekuatan sihir dan obat itu hanya
sementara saja. Dan aku menghendaki agar selama hidupnya dia mau tunduk dan membalas cintaku!"
terdengar suara yang amat dikenalnya, suara halus dan sopan, suara Liong Bian Cu.
Ahhh, jadi pangeran itu belum mampus, pikirnya dengan perasaan menyesal. Biar pun sudah terkena
gigitan ular darah, tapi masih hidup. Hemmm, tentu Hek-hwa Lo-kwi yang mengobatinya. Dia tahu bahwa
kakek itu juga seorang ahli racun yang jempolan!
"Dia memang keras kepala!" Tiba-tiba terdengar suara ayahnya. "Anak itu keras kepala dan keras hati,
seperti ibunya! Sebaiknya kalau Pangeran menggunakan kekerasan menundukkan dia, seperti
menjinakkan seekor kuda betina yang liar. Hanya kalau dia sudah satu kali menjadi milik Pangeran, dia
akan terpatahkan kekerasannya, dia akan tunduk, seperti yang terjadi pula dengan ibunya dahulu.
Percayalah kepada saya, Pangeran. Itu satu-satunya cara untuk menjinakkan dia. Paksa saja dia menjadi
milik Pangeran malam ini juga, dan besok atau lusa, dia sudah akan menjadi jinak, untuk selama-lamanya!"
Hwee Li hampir menjerit. Dia mengepal tinju dan berniat untuk meloncat turun. Akan tetapi alangkah
kagetnya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa dia tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya.
Dia tidak tertotok, kaki tangannya dapat bergerak, akan tetapi tidak dapat dipindahkan dari tempatnya.
Cepat dia membuka matanya dan dia makin terkejut. Dia rebah terlentang di atas pembaringannya, kedua
kakinya terpentang dan setiap kaki terbelenggu pada ujung pembaringan, demikian pun dengan kedua
lengannya, terpentang dan pergelangan lengan terbelenggu dengan rantai baja pada ujung pembaringan.
Dia seperti seekor lembu atau domba yang terikat dan siap untuk disembelih!
Dia berada di dalam kamar mewah itu dan orang-orang yang suaranya didengarnya itu bercakap-cakap di
luar kamar. Dia mendengarkan lagi. Dan kini dia mendengar suara Hek-hwa Lo-kwi.
"Agaknya memang tepat apa yang diusulkan oleh Lo-mo, Pangeran. Anak itu amat keras hati,
membujuknya akan sia-sia saja. Dan kekerasan yang tidak dapat diluluhkan oleh kelembutan, dapat
dikalahkan oleh kekerasan pula."
"Akan tetapi... ahh, aku sungguh cinta kepadanya, dan aku ingin sekali agar dia dapat membalas cinta
kasihku dengan sewajarnya.” Pangeran itu membantah dan mengeluh. "Menggunakan kekerasan?
Memperkosanya? Ah, betapa hal itu akan menyiksa hatiku, aku tidak ingin melihat dia berduka..."
"Hemmm, pada mulanya memang dia akan menangis dan berduka, akan membencimu, akan tetapi
lambat-laun kebencian itu akan berubah menjadi cinta. Dia persis ibunya...," terdengar Hek-tiauw Lo-mo
berkata pula.
"Akan tetapi, melihat dia dibelenggu terus..."
"Hal itu tidak perlu lagi setelah Paduka dapat memaksa dan memilikinya, Pangeran," kata Hek-hwa Lo-kwi.
"Dan jangan khawatir ia akan dapat melarikan diri. Dia akan saya beri obat beracun dan racun itu akan
mengeram di dalam dirinya, akan membunuhnya dalam waktu satu tahun. Sedangkan obat penawarnya
berada di tangan Paduka."
Hening sejenak. Lalu terdengar lagi suara ayahnya, suara yang mulai mendatangkan kebencian di hati
Hwee Li. "Dia amat cerdik dan banyak akalnya, Pangeran. Selama dia belum menjadi milikmu, dia tentu
akan menggunakan segala akalnya dan hal itu dapat menimbulkan kesukaran. Akan tetapi kalau malam ini
Paduka berhasil memilikinya, semua daya lawannya akan patah dan luluh. Percayalah."
"Sudahlah, tinggalkan kami berdua. Akan kupikirkan usul-usul kalian."
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar langkah kaki tiga orang kakek itu pergi dan tak lama kemudian, daun pintu kamar itu terbuka
dan muncullah Liong Bian Cu. Melihat pangeran itu, Hwee Li segera membuang muka. Pangeran itu
menghampiri dan duduk di dekat pembaringan, di atas sebuah kursi. Sejenak dia diam saja, hanya
menatap wajah yang miring itu. Kemudian dia menarik napas panjang.
"Ahhh, betapa sedih hatiku melihat engkau terbelenggu kaki tanganmu seperti ini, Nona Hwee Li. Betapa
perih hatiku yang mencintamu melihat bahwa hal ini terpaksa harus dilakukan karena engkau ternyata tega
hendak membunuhku. Nyaris saja aku tewas oleh gigitan ular merahmu itu. Kalau tidak ada Hek-hwa Lokwi,
tentu segera tercapai maksudmu dan aku sudah mati. Akan tetapi tentu engkau pun tidak akan
terhindar dari maut."
Hwee Li tidak menjawab dan tidak menoleh. Masih terlalu ngeri hatinya mendengar percakapan tadi.
Jantungnya berdebar keras. Mau apakah pangeran ini? Apakah benar benar hendak melakukan usul-usul
tadi? Hampir dia pingsan kembali membayangkan hal itu! Ingin dia menangis, ingin dia minta-minta ampun
agar dibebaskan saking ngeri dan takutnya, akan tetapi wataknya yang keras dan gagah melarangnya
berbuat seperti itu. Dia hendak memperlihatkan, terutama kepada ayahnya, bahwa sampai mati dia tidak
takut menghadapi apa pun! Akan tetapi, dia tidak boleh nekat begitu saja. Selama dia masih hidup, dia
harus berusaha menggunakan kecerdikannya untuk meloloskan diri dari bahaya penghinaan hebat itu!
"Aku memang hendak membunuhmu. Maka sebaiknya kau bunuh saja aku sekarang!" akhirnya dia berkata
sambil memutar otaknya mencari akal. Dia masih belum berani memandang, sebab dia khawatir jika sinar
mata yang tajam itu akan dapat menjenguk isi hatinya.
Pangeran itu menyentuh lengan tangan Hwee Li, dan membelai lengan yang berkulit halus itu. Hwee Li
memejamkan matanya. Rabaan jari-jari tangan pada lengannya itu menimbulkan perasaan jijik dan geli,
juga gelisah dan ngeri.
"Ahhh, bagaimana mungkin aku membunuhmu, sayang? Tidak tahukah bahwa aku cinta kepadamu,
Nona?"
"Aku sudah berdosa hendak membunuhmu, dan aku kelak akan membunuhmu kalau kau tidak
membunuhku sekarang!" Hwee Li memancing.
"Tidak... tidak...! Engkau masih muda, belum tahu betapa aku amat mencintaimu. Kalau kau tahu, engkau
akan menyesal, Hwee Li. Perbuatanmu itu amat kejam, sedangkan aku... ahhh, tanpa engkau sebagai
isteriku, hidup rasanya akan menjadi hampa..."
"Hemmm, bagus, ya? Siapa sudi percaya obrolanmu tentang cinta? Kalau engkau benar mencintaku,
mengapa pula engkau membiarkan aku dibelenggu seperti ini? Beginikah perlakuan orang yang
mencinta?" Hwee Li kini memandang dan menjebikan bibirnya yang merah.
Pangeran itu mengerutkan alisnya dan matanya menjadi sayu, berduka. Sekarang dia melepaskan lengan
Hwee Li dan kini jari-jari tangannya meraba kaki dara itu, mengelus betis yang nampak karena pipa celana
kanannya tertarik ke atas. Betis yang berkulit putih mulus kemerahan itu, yang kulitnya kelihatan demikian
tipis dan halus sehingga urat-uratnya membayang, dirabanya dengan penuh kemesraan dan kegairahan.
Kini Hwee Li menggigil. Seluruh bulu di tubuhnya bangkit berdiri, meremang saking ngerinya. Ingin dia
menjerit, ingin dia memaki agar pangeran itu jangan mengusap dan membelai betis kakinya. Akan tetapi
semua perasaan ini ditahannya.
"Sudah kukatakan tadi, sayang. Hatiku berduka, jantungku berdarah melihat kakimu yang indah dan
tanganmu yang halus itu dirantai seperti ini. Akan tetapi, mengapa engkau memperlihatkan kekerasan dan
tidak sudi menerima cintaku? Tentu saja, kalau engkau mau menerima dan membalas cintaku engkau tidak
akan dibelenggu, bahkan engkau akan menjadi orang paling terhormat dan paling mulia di sini, di seluruh
Nepal, dan di seluruh dunia! Engkau akan menjadi permaisuri, menjadi ratu yang disembah sembah!
Mengapa engkau tidak mau menjadi kekasihku, sayang? Aku Liong Bian Cu dapat menciptakan sorga
untukmu, engkau dapat bergelimang dalam kemewahan, kemuliaan dan kehormatan."
"Hemmm, janjimu terlalu muluk, Pangeran. Bagaimana kalau aku berjanji untuk tidak melawan dan untuk...
hemmm, belajar mempertimbangkan cintamu dan mungkin kelak dapat menerima dan membalas cintamu
itu?" kata Hwee Li hati-hati. "Apakah dengan janjiku itu engkau mau membebaskan aku sekarang juga?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tentu saja! Tentu saja akan kubebaskan sekarang juga!" kata pangeran itu penuh gairah kegembiraan.
Dapat dibayangkan betapa tegang dan gembira hati Hwee Li mendengar ini dan dia merasa betapa tangan
pangeran itu telah meraba-raba belenggu kedua kakinya. Akan tetapi, timbul kekecewaannya karena jarijari
tangan pangeran itu kembali meninggalkan belenggu dan terdengar pangeran itu berkata, "Nona, aku
sungguh amat mencinta dan kasihan kepadamu. Akan tetapi, bagaimana aku dapat mempercayai janjimu.
Betapa aku ingin kita dapat saling percaya dan saling mencinta, akan tetapi apa yang baru saja kau
lakukan terhadapku sungguh membuat hatiku meragu. Dan engkau belum berjanji."
Dengan jantung berdebar Hwee Li berkata, "Aku berjanji, Pangeran! Aku berjanji bahwa aku akan
mempertimbangkan cintamu dan aku akan belajar membalas cintamu!"
Mulut pangeran itu tersenyum lebar, matanya yang cekung bersinar-sinar, akan tetapi dia belum bergerak
membuka belenggu kaki dan tangan Hwee Li. "Dan kau berani bersumpah?" tanyanya perlahan.
"Aku bersumpah!" jawab Hwee Li sedangkan di dalam hatinya dia mengejek. Apa artinya sumpah baginya?
Apa lagi bersumpah di depan orang Nepal yang dibencinya ini!
"Ahhh, sumpah dan janji harus disertai bukti, Nona Manis."
"Bukti? Bukti bagaimana maksudmu?" Hwee Li bertanya, penasaran dan kecewa.
"Jika benar engkau mempunyai maksud hati yang baik dan tidak hendak berlaku curang kepadaku, kalau
benar engkau jujur dalam janjimu, engkau tentu mau memperlihatkan kebaikanmu itu untuk menciumku."
Pangeran itu tersenyum dan memandang tajam.
Hwee Li merasa betapa wajahnya panas sekali. Dia tidak tahu betapa kedua pipinya menjadi merah seperti
udang direbus mendengar permintaan pangeran itu. Ingin dia menjerit, memaki dengan segala macam
makian kotor yang pernah didengarnya. Akan tetapi dara yang cerdik ini menekan perasaannya dan dia
lalu berkata, "Aku mau..."
Sepasang mata yang cekung itu langsung berkilat. "Benarkah? Aihhh, Nona Hwee Li, kekasihku...,
benarkah engkau mau menciumku? Ah, betapa bahagia hatiku dan kalau benar, aku pasti akan
mempercayaimu sepenuh hatiku. Nah, kau ciumlah aku, sayang." Pangeran itu lalu berlutut di dekat
pembaringan dan mendekatkan mukanya pada muka dara itu.
Ketika muka itu mendekati mukanya, Hwee Li merasa ngeri bukan main. Tercium bau wangi yang aneh,
agaknya pangeran itu memakai minyak wangi yang asing, bercampur bau badan pria yang mungkin keluar
dari keringat, seperti bau binatang liar, dan napas pangeran itu menyapu pipinya, panas dan tersendatsendat.
Hwee Li memejamkan matanya dan dengan cepat menggerakkan mukanya sehingga hidungnya
menyapu pipi pangeran itu.
"Ngokkk!"
Pertemuan antara ujung hidung dan sebagian bibirnya dengan pipi yang panas kasar itu membuat Hwee Li
mengkirik dan bulu tengkuknya meremang.
"Terima kasih... ha-ha, ciumanmu seperti ciuman seorang anak kecil. Nona, karena kita kelak akan menjadi
suami isteri, maka tiada buruknya kalau kita saling mencium. Dan mengingat betapa Nona adalah seorang
dara yang masih murni dari hijau, biarlah saya memberi contoh bagaimana jika mencium kekasih." Setelah
berkata demikian, tiba-tiba pangeran itu merangkul Hwee Li dan sebelum gadis itu dapat membuang muka,
tahu tahu bibirnya telah dicium oleh pangeran itu.
Ketika merasa betapa sepasang bibirnya tertawan dalam ciuman mulut yang panas itu, hampir saja Hwee
Li menjadi pingsan. Dia cepat menggerak-gerakkan kepalanya agar bibirnya terlepas dari ciuman, akan
tetapi mulut pangeran itu menempel pada mulutnya seperti seekor lintah yang tidak mau lepas lagi. Setelah
napas mereka terengah-engah, barulah pangeran itu melepaskannya.
Wajah Hwee Li menjadi pucat, matanya terbelalak penuh kemarahan dan dua titik air mata meloncat ke
luar dari sepasang matanya. Akan tetapi wajah pangeran itu menjadi kemerahan, napasnya tersendatsendat,
tanda bahwa nafsu birahi telah naik ke kepala pangeran itu. Dia memandangi wajah dan tubuh
Hwee Li dengan mata merah.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Benar. Hemmm, benar usul mereka...," katanya lirih dan kini tangannya meraba baju Hwee Li.
Dara itu memandang dengan mata terbelalak. Dia tadi telah mendengar usul-usul yang dikeluarkan oleh
suara ayahnya sendiri dan suara Hek-hwa Lo-kwi, maka tahulah dia apa yang akan dliakukan oleh
pangeran itu.
"Jangan..." bisiknya dengan muka semakin pucat. "Lepaskan aku...!" Dia meronta, akan tetapi karena kaki
dan tangannya terikat, ia hanya dapat menggerak-gerakkan pinggang dan lehernya saja.
"Brettttt...!" Sekali renggut saja robeklah baju Hwee Li sehingga tubuhnya bagian atas hanya tertutup
pakaian dalam yang tipis.
"Jangan...! Aku akan bunuh diri kalau kau lanjutkan... aku akan menggigit putus lidahku sendiri...!"
Pangeran yang sedang dikuasai nafsu birahi itu amat terkejut, secepat kilat tangannya bergerak ke arah
leher Hwee Li, menotok ke bawah telinga dan seketika gadis itu tidak mampu lagi menggerakkan dagunya,
apa lagi untuk menggigit!
"Hwee Li, aku terlalu cinta padamu, aku ingin engkau dapat membalas cintaku, maka aku juga tidak segansegan
mempergunakan segala cara...," katanya terengah-engah dan kembali dia sudah menubruk gadis itu
penuh nafsu birahi yang berkobar-kobar.
Hwee Li merasa takut sekali. Dia teringat akan jalan satu-satunya untuk membunuh diri. Maka dia
melupakan segalanya, menutup ingatannya dan menahan napasnya.
Pangeran itu sudah meraba pakaian dalamnya pada saat melihat wajah Hwee Li. Dia terkejut sekali.
"Ahhhhh..."
Dan cepat dia turun dari atas tubuh Hwee Li yang sudah ditindihnya, sekarang dia mengguncangguncangkan
pundak dara itu dengan muka pucat. "Hwee LI...! Hwee Li... jangan... jangan... aihhh, Hwee Li,
aku tidak akan memaksamu... jangan begitu nekat...!"
Dia mempergunakan tangannya untuk mengurut leher dan ulu hati gadis itu. Dalam keadaan panik dan
khawatir itu dia tidak lagi merasakan betapa tangannya tanpa disengaja menyentuh dua buah bukit dada
yang sedang mekar itu. Lenyap sama sekali nafsu birahinya karena sama sekali dia tidak ingat lagi akan
hal-hal yang berhubungan dengan itu. Kini pikirannya penuh dengan kekhawatiran melihat betapa wajah
dara itu kebiruan dan napasnya sama sekali terhenti, dadanya mekar penuh dengan hawa yang ditahantahan
dan tidak dikeluarkan.
"Hwee Li...!" Dia mengeluh dengan suara seperti orang menangis.
Akhirnya, oleh karena dipaksa oleh pijatan dan urutan tangan Liong Bian Cu, Hwee Li bernapas lagi,
terengah-engah dan terbatuk-batuk. Dia sadar kembali dan membuka matanya. Melihat bahwa tubuhnya
masih tertutup pakaian dalam, tahulah dia bahwa dia belum ternoda. Dia melihat pangeran itu berlutut dan
ada air mata di kedua pipi pemuda itu!
"Hwee Li... ahh, Hwee Li, apa yang akan kulakukan tadi? Kau ampunkan aku, Hwee Li, percayalah padaku,
semua yang kulakukan kepadamu terdorong oleh rasa cintaku yang besar..." Liong Bian Cu meratap.
"Hemmm, kau tahu sekarang bahwa setiap saat aku dapat membunuh diri dan kau sama sekali tidak akan
mampu mencegahku? Aku sudah berjanji, dan kau ternyata hendak melanggar, padahal kau pun berjanji
akan membebaskan aku."
"Akan kubebaskan... sekarang juga, tetapi kau pun harus berjanji tidak akan membunuh diri..."
Hwee Li tersenyum. "Aku tidak akan begitu bodoh untuk membunuh diri, Pangeran. Akan tetapi, kau tidak
boleh menyentuhku, tidak boleh menciumku seperti tadi, apa lagi menggunakan kekerasan untuk
memperkosa. Kalau kau melakukan satu kali saja, aku akan mencoba untuk membunuhmu, dan kalau aku
gagal, aku akan membunuh diri sendiri. Kau boleh memiliki tubuhku sebagai mayat!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak..., tidak..., kau maafkanlah aku, sayang. Nah, lihat, aku akan membebaskanmu sekarang juga." Dia
meraba belenggu, akan tetapi berhenti lagi. Diam-diam Hwee Li gemas bukan main. Pangeran ini amat
berbahaya, juga amat besar curiga dan hati-hati, amat licin dan cerdik!
"Tetapi, kau benar-benar mau menjadi isteriku, bukan? Jawablah, Hwee Li, sekarang juga. Karena kalau
kau suka berjanji untuk menjadi isteriku, apa pun akan kulakukan demi engkau, sayang. Sebaliknya, aku
tidak mau disiksa menantikan sesuatu yang tidak akan terjadi, tidak mau disiksa dengan harapan kosong
yang tidak akan terpenuhi. Kalau kau tidak mau, katakan saja tidak mau. Aku tidak akan memaksamu, aku
terlalu cinta padamu untuk melihat engkau menderita di bawah tanganku, akan tetapi... hemmm, kalau
tidak mau, aku akan hadiahkan engkau kepada anak buahku!"
Hwee Li merasa ngeri. Dia maklum bahwa gertakan pangeran ini bisa saja dilaksanakan kalau dia
membuat pangeran ini putus harapan dan marah. "Aku berjanji, Pangeran. Akan tetapi aku bukanlah
seorang wanita sembarangan saja. Aku hanya mau menjadi isterimu dalam pernikahan yang syah,
pernikahan yang dirayakan secara meriah dan disaksikan oleh banyak tamu di dunia kang-ouw. Sebelum
itu, sekali saja engkau menyentuhku, aku akan membunuh diri! Kehormatanku jauh lebih penting dari pada
nyawaku. Nah, aku sudah berjanji, terserah kepadamu!"
Bukan main girangnya hati Liong Bian Cu. Dia mengeluarkan kunci dari dalam saku bajunya dan segera
membuka kunci belenggu kaki tangan Hwee Li. Dara itu bangkit duduk di atas pembaringan, bergantian
menggosok-gosok pergelangan tangan dan kakinya untuk melancarkan jalan darah yang tadi terganggu
oleh himpitan belenggu. Tiba-tiba dia teringat akan peristiwa tadi, betapa mulutnya dicium dengan
lahapnya oleh mulut Liong Bian Cu. Teringat akan ini, tiba-tiba saja Hwee Li muntah-muntah!
"Ahhh, kau sakit...! Kalau pusing, engkau rebahlah, Hwee Li..." Liong Bian Cu terkejut sekali melihat gadis
itu muntah-muntah di atas lantai dekat pembaringan, lalu mendekati untuk memijat-mijat tengkuk gadis itu.
"Sudah, aku tidak apa-apa!" Hwee Li berkata sambil melepaskan tangan yang memijit mijit tengkuknya. Dia
menggunakan lengan baju untuk mengusap mulutnya, diusapnya keras-keras karena dia bukan hanya mau
menghapus bekas muntah tadi, melainkan hendak menghapus bekas ciuman dari kedua bibirnya.
"Sungguh engkau tidak apa-apa, Moimoi (Dinda)...?" tanya Liong Bian Cu, suaranya penuh kasih sayang
dan dia bertepuk tangan memanggil pelayan.
Pelayan datang dan segera disuruh membersihkan lantai. Pelayan itu langsung disuruh keluar lagi setelah
selesai mengerjakan perintah itu.
"Bekas belenggu itu menyakitkan tanganmu, Hwee Li?" Dia merayu lagi dan mendekati, membantu gadis
itu menggosok-gosok pergelangan tangannya. "Biar kulancarkan jalan darahnya dengan urutan tangan
dan...!"
Tiba-tiba pangeran itu menghentikan kata-katanya, karena dia merasa betapa tangan yang kecil halus
akan tetapi mengandung tenaga yang amat kuat itu sekarang telah mencengkeram jalan darah di dekat ulu
hatinya, jalan darah kematian!
"Jangan bergerak atau kau akan mampus!" Hwee Li menghardik.
"Aihhh, apa yang hendak kau lakukan ini, Moi-moi...?" Pangeran itu mengeluh, tidak berani bergerak
karena sekali saja dara itu mengerahkan sinkang dan mencengkeram, tidak ada yang dapat menolong
nyawanya lagi.
"Dengar kau, Liong Bian Cu! Engkau tadi telah menghinaku, dan untuk... ciuman itu saja engkau sudah
layak mampus. Apa lagi penghinaan lainnya tadi! Hayo, cepat kau antar aku keluar dari lembah ini, kalau
tidak, engkau akan mampus sekarang juga."
"Ahhh, Hwee Li, apa kau kira aku takut mati? Akan tetapi, bukan kematianku yang kutakutkan, melainkan
nasibmu. Kalau kau membunuhku, apa kau kira akan dapat lolos dari kematian? Engkau yang masih begini
muda remaja, cantik jelita, pasti tidak akan lolos dari kematian di tangan Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw
Lo-mo dan semua anak buahku dan anak buah Kui-Liong-pang. Aku mati, akan tetapi engkau juga mati,
apa bedanya bagiku? Kita akan berkumpul juga di alam baka! Mati di tangan seorang yang kucinta seperti
engkau adalah kematian yang menyenangkan, Hwee Li. Nah, cepat kau bunuhlah dan aku akan
menantimu di sana karena aku yakin engkau akan menyusulku cepat, dalam hari ini juga."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bohong!" bentak Hwee Li. "Kalau kau mampus, ayah tentu tidak melihat kegunaannya lagi berada di sini
dan mengorbankan aku. Ayah tentu akan membantuku melarikan diri. Betapa pun juga, dia adalah ayah
kandungku sendiri!"
Tiba-tiba pangeran itu tertawa dan Hwee Li memperkuat cengkeramannya sehingga kuku-kuku jarinya
sudah mulai terbenam sedikit ke dalam baju dan menyentuh kulit di dada Liong Bian Cu.
"Ha-ha-ha-ha! Ayah kandungmu? Hwee Li, kalau dia ayah kandungmu, mana mungkin dia sengaja
menyerahkan engkau kepadaku, bahkan dia telah memberiku nasehat buat memperkosamu? Kalau dia
ayah kandung yang mencinta puterinya, mana mungkin dia tega melakukan hal itu? Sedangkan aku saja,
seorang pria muda yang mencintamu, masih tidak tega memperkosamu seperti yang kau lihat sendiri tadi.
Dia bukan ayah kandungmu, Hwee Li, engkau adalah anak pungut dari Hek Tiauw Lo-mo!"
"Bohong...!" Hwee Li menjerit dan dia lupa dengan ancamannya, sekarang tangannya bergerak menampar.
"Plakkk!"
Pipi Liong Bian Cu ditamparnya dan tubuh pemuda bangsawan itu terhuyung-huyung ke belakang. Akan
tetapi dia hanya tersenyum dan mengelus pipinya yang menjadi merah sekali oleh tamparan tadi.
"Bohong kau...! Bohong...!" bentak Hwee Li, wajahnya pucat dan air matanya menitik turun.
"Tidak, Hwee Li, aku tidak bohong. Ayahmu sendiri yang akan menceritakan kepadamu, dan kau boleh
bertanya kepadanya. Semua peristiwa itu diketahui Hek-hwa Lo-kwi, dulu sahabat ayahmu, dan aku
mendengar dari Hek-hwa Lo-kwi. Hek-tiauw Lo-mo tidak pernah punyak anak, dan engkau bukan
puterinya."
Mata yang indah itu terbelalak, kedua kakinya menggigil. "Bohong...! Bohong...!" Dara itu meloncat ke luar
dari kamar dan berlari sambil menutupi mukanya dan menangis terisak-isak.
Malam telah tiba. Di luar sudah gelap. Akan tetapi tidak terlalu gelap karena bulan telah muncul di angkasa
timur. Biar pun bukan bulan purnama, akan tetapi bulan yang tiga perempat itu cukup mengusir kegelapan
dan menimbulkan cahaya remang-remang yang sejuk dan kehijauan.
Hwee Li berlari terus sambil menangis dan akhirnya dia baru berhenti ketika tiba di tepi sungai yang
mengurung lembah. Dia menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis sejadi-jadinya. Ia mengingat akan
semua pengalamannya dengan ayahnya, waktu yang belasan tahun itu seperti membayang semua di
benaknya.
Ayahnya selalu memanjakannya, selalu mencintanya, dan baru akhir-akhir ini berubah. Dan dia mendengar
ucapan ayahnya ketika bercakap-cakap di luar kamar tadi. Apa kata ayahnya ke pada Pangeran Liong Bian
Cu? Terngiang di telinganya sebagian dari kata kata ayahnya yang sukar dia lupakan, "Hanya kalau dia
satu kali sudah menjadi milik pangeran, dia akan terpatahkan kekerasannya, dia akan tunduk, seperti yang
terjadi pula dengan ibunya dahulu."
Ah, ayahnya hanya bilang bahwa ibunya telah meninggal dunia ketika dia masih kecil. Dia sama sekali
sudah tidak ingat lagi kepada ibunya. Dan dia percaya! Siapakah ibunya? Siapa pula ayahnya? Apa yang
terjadi dengan mereka? Dan bagaimana dia bisa menjadi anak Hek-tiauw Lo-mo dan tinggal di Pulau
Neraka?
Hwee Li masih menangis, akan tetapi sekarang pikirannya bekerja. Kalau benar bahwa Hek-tiauw Lo-mo
bukan ayahnya, tentu dia tak bisa mengharapkan bantuan dari kakek itu. Dia sendirian saja dikurung di
dalam lembah itu, bahkan ayahnya itu juga membantu Pangeran Liong Bian Cu. Dia tidak bisa
mengandalkan siapa-siapa, dan kalau dia ingin selamat, dia harus mengandalkan dirinya! Akan tetapi,
kepandaiannya masih jauh dari pada cukup untuk menghadapi orang-orang seperti mereka, yang amat
lihai itu.
Satu-satunya yang boleh diminta tolong dan diandalkannya hanyalah otaknya sendiri, kecerdikannya. Dia
harus cerdik, kalau dia tidak ingin terhina dan mati konyol. Dan dia tidak ingin mati. Dia harus mencari akal!
"Moi-moi...!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Hwee Li tahu siapa yang datang dan dia menangis makin keras. Dia terisak-isak sambil berlutut di atas
rumput, akan tetapi kini tangisnya berbeda dengan tadi. Kalau tadi, dia menangis sepenuhnya terdorong
oleh rasa penasaran, marah, kecewa dan duka. Akan tetapi kini tangisnya sebagian besar terkendali oleh
kecerdikannya.
"Hwee Li, kau maafkanlah aku. Aku tidak sengaja melukai hatimu. Tetapi percayalah, bahwa satu-satunya
orang di dunia ini hanya aku yang dapat kau percaya, hanya aku yang mencintamu. Jangan kau
memikirkan lagi ayah angkatmu itu. Akulah yang akan membahagiakan hidupmu, Moi-moi."
Hwee Li masih terus menangis, kemudian ketika dia merasa ada tangan menyentuh pundaknya, sentuhan
penuh kasih sayang, dia mendorong perlahan tangan itu, bangkit berdiri dan menghadapi pangeran itu
dengan muka basah air mata.
"Pangeran, betapa sedih hatiku mendengar bahwa dia bukan ayah kandungku. Dan aku tahu akan
kebaikanmu, tetapi engkau pun tahu bahwa aku tidak sudi untuk dijadikan perempuan sembarangan. Kalau
kau berlaku sopan, kalau kau dapat menghormati dan menghargai aku sebagai gadis baik-baik, mungkin
akan lebih mudah bagiku untuk kelak menjadi jodohmu."
Tiba-tiba pangeran yang sudah tergila-gila dan benar-benar jatuh cinta kepada dara itu menjatuhkan
dirinya berlutut. "Lihat, kekasihku, lihat. Aku Pangeran Liong Bian Cu yang biasa disembah-sembah orang.
Aku tidak malu-malu untuk berlutut di depan kakimu. Aku bersumpah akan memenuhi janjiku, takkan
mengganggumu sebelum kita menikah dan menjadi suami isteri yang syah. Engkau tahu bahwa aku
mempunyai cita-cita yang maha besar, dan agaknya, tanpa engkau di sampingku, aku merasa tidak cukup
kuat untuk melaksanakan tugas berat itu. Akan tetapi, Moi-moi, dengan adanya engkau di sampingku, aku
sanggup untuk menaklukkan seluruh dunia!"
"Baiklah, Pangeran. Aku percaya kepadamu, dan kuharap mulai sekarang aku boleh bebas di tempat ini."
"Tentu saja kekasihku. Akan tetapi, kuharap engkau jangan mencoba untuk melarikan diri karena engkau
tahu bahwa hal itu selain tidak mungkin terjadi, juga ketahuilah bahwa aku telah terlanjur menusukkan
jarum beracun pemberian Hek-hwa Lo-kwi itu di tubuhmu sehingga kini racun itu telah berada di dalam
tubuhmu. Racun itu tidak akan bekerja sebelum satu tahun, tetapi dalam satu tahun, racun itu akan dapat
mematikan, Moi-moi. Akan tetapi, jangan khawatir, obat penawarnya selalu berada di tanganku."
Pangeran itu bangkit berdiri dan tersenyum. “Jadi jelas bahwa mencoba untuk melarikan diri, selain tidak
mungkin, juga berarti engkau kelak akan tewas dalam keadaan tersiksa sekali. Maka, kuharap engkau
tidak sebodoh itu."
Demikianlah, dalam keadaan tersudut, Hwee Li yang cerdik itu lalu bermain sandiwara, pura-pura
menerima kehendak sang pangeran untuk memperisterinya. Setiap hari dia hidup dengan bebas di lembah
itu, dihormati semua orang yang tahu bahwa dara cantik jelita ini adalah tunangan Pangeran Nepal itu.
Akan tetapi penjagaan terhadap dirinya sungguh amat ketat, apa lagi di situ selalu ada Hek-hwa Lo-kwi
atau Hek-tiauw Lo-mo yang membayanginya. Selain itu, juga semua perahu selalu dijaga sehingga tanpa
memiliki perahu, tidak mungkin dia dapat menyeberangi sungai.
Ada pun sikap pangeran itu terhadapnya kini tak begitu merisaukan hati Hwee Li karena pangeran yang
amat mencintanya itu benar-benar tidak pernah mau mengganggunya. Sikapnya amat manis, ramah dan
mesra dan pangeran itu jelas berusaha keras untuk menundukkan hatinya dengan memupuk segala
macam kebaikan dan keramahan. Hwee Li mengimbanginya dengan sikap manis sambil selalu mengincar
kesempatan untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu. Bahkan dia pandai menyimpan penasaran hatinya
sehingga dia pun tidak melontarkan rasa penasaran itu secara kasar kepada Hek-tiauw Lo-mo.
Ketika beberapa hari kemudian Liong Bian Cu mengundang makan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi
di taman bunga untuk menikmati bulan purnama bersama Hwee Li, barulah dara ini dengan hati-hati
mengajukan pertanyaan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Mereka telah selesai makan dan Hek-tiauw Lo-mo telah
minum banyak sekali arak pada malam hari itu.
"Ayah, jangan Ayah merasa heran bahwa aku telah mendengar bahwa sesungguhnya Ayah bukanlah ayah
kandungku."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ehhh?" Hek-tiauw Lo-mo menoleh kepada Hek-hwa Lo-kwi dengan alis berkerut, akan tetapi kakek muka
tengkorak yang tinggi kurus itu tidak perduli dan tenang-tenang saja makan manisan angco.
"Sayalah yang menceritakan kepadanya, Locianpwe," tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu berkata. "Untuk
melenyapkan rasa penasaran di hatinya."
Hek-tiauw Lo-mo memandang kepada pangeran itu, tetapi lalu mengangguk-angguk dan minum arak dari
cawannya, kemudian meletakkan cawan kosong dan memandang kepada Hwee Li sambil tersenyum lebar.
"Bagus kalau engkau sudah tahu. Kalau pun Pangeran tidak memberi tahu, sebetulnya aku pun hendak
memberitahukan kepadamu, Hwee Li. Engkau sudah dewasa dan sudah waktunya mengetahui
riwayatmu."
"Ayah," kata Hwee Li tenang sambil memandang tajam.
Dia memaksa diri menyebut ayah, padahal di dalam hatinya dia tidak sudi lagi menyebut kakek yang kejam
ini sebagai ayahnya. Semenjak dia bukan kanak-kanak lagi dan sudah mengerti dan dapat membedakan
antara baik dan buruk, dia memang sudah merasa kecewa dan tak senang kepada ayahnya. Sikap
ayahnya itulah yang membuat dia tidak kerasan berdekatan dengan ayahnya itu.
"Ayah telah memeliharaku sejak kecil dan untuk itu, aku berterima kasih sekali. Akan tetapi, aku berhak
untuk mengetahui siapa orang tuaku yang sebenarnya dan di mana adanya mereka." Hwee Li
menggunakan kekuatan batinnya untuk menekan perasaan dan dia menelan kembali keinginannya untuk
menangis. Kemudian dia menambahkan, "Kurasa Ayah adalah seorang tokoh yang terlalu terkenal dan
gagah untuk tidak menyembunyikan semua perbuatan yang Ayah lakukan terhadap orang tuaku itu."
"Ha-ha-ha! Kim Hwee Li, engkau tentu sudah cukup mengenal watakku. Aku bukanlah orang yang suka
menyesalkan semua perbuatanku sendiri, dan aku bukan orang yang suka mengingkari perbuatan sendiri.
Aku berani berbuat dan berani pula bertanggung jawab. Ha-ha-ha! Sekarang dengarlah penuturanku dan
setelah kau mendengarnya, terserah apa yang akan kau pikirkan terhadap diriku."
Dengan wajah tenang namun hatinya penuh dengan segala macam perasaan, Hwee Li mendengarkan
penuturan kakek itu…..
Belasan tahun yang lalu, dalam perantauannya setelah menemukan dan menundukkan orang-orang di
Pulau Neraka dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua Pulau Neraka, pada suatu hari Hek-tiauw Lo-mo
singgah di benteng yang dipimpin oleh Panglima Kim Bouw Sin yang terkenal sebagai seorang panglima
yang suka berhubungan dengan orang-orang berilmu tinggi di dunia kang-ouw. Karena tertarik akan berita
bahwa Kim Bouw Sin amat menghormati orang-orang kang-ouw, maka Hek-tiauw Lo-mo singgah di
benteng itu. Benar saja, Panglima Kim Bouw Sin menyambutnya penuh penghormatan, bahkan lalu
mengadakan pesta untuk menyambut tamu agung ini. Di dalam pesta itu, Panglima Kim Bouw Sin
berkenan untuk menghibur tamunya dengan tari-tarian yang dilakukan oleh seorang selirnya yang terkasih.
Selir ini cantik sekali dan masih muda belia, seorang ahli menari yang amat pandai.
Sebenarnya, Hek-tiauw Lo-mo pelarian dari Korea itu, biar pun pernah menjadi raja orang-orang liar,
bahkan pernah mempunyai kebiasaan makan daging manusia, amat kejam dan membunuh orang seperti
membunuh lalat saja, dia bukan termasuk seorang laki-laki yang lemah terhadap nafsu birahi. Akan tetapi,
dalam keadaan setengah mabuk melihat selir panglima itu menari-nari dengan tubuh yang lemah gemulai,
dengan dada montok penuh karena wanita muda ini mempunyai anak yang baru tiga bulan usianya, Hektiauw
Lo-mo menjadi tergila-gila, dan pada malam hari itu, tanpa pamit, lenyaplah Hek-tiauw Lo-mo dari
dalam kamar itu, dan bersama dia lenyap pula selir cantik itu bersama anaknya yang baru berusia tiga
bulan!
Panglima Kim Bouw Sin terkejut sekali, akan tetapi melihat betapa tamunya yang seperti raksasa itu dapat
menculik selir dan anaknya, melarikan diri dari sebuah benteng yang terjaga ketat, tahulah dia bahwa
tamunya itu lihai sekali. Dan sebagai seorang panglima yang bercita-cita besar, yang ingin mengambil hati
orang-orang berilmu di dunia kangouw, Panglima Kim Bouw Sin tidak mau ribut-ribut tentang penculikan
ini, sungguh pun diam-diam dia menggerakkan orang-orangnya untuk mencari tanpa hasil.
Selir muda yang cantik itu menangis ketika dibawa masuk ke rumah Hek-tiauw Lo-mo di Pulau Neraka.
Mula-mula dia menolak semua bujuk rayu raksasa itu, dan memilih mati. Tetapi, ketika Hek-tiauw Lo-mo
menangkap anaknya, menempelkan golok gergajinya di leher anak yang baru berusia tiga bulan itu, wanita
muda ini menyerah! Demi menjaga nyawa anaknya, dia mau menyerahkan diri setelah Hek-tiauw Lo-mo
dunia-kangouw.blogspot.com
berjanji tidak akan mengganggu dan tidak akan membunuh anak itu, bahkan mengambil anak itu sebagai
anaknya sendiri. Barulah wanita muda itu menyerahkan diri, penyerahan yang dilakukan dengan terpaksa
dan dengan hati hancur. Hek-tiauw Lo-mo, raksasa yang kasar itu, mempermainkan wanita itu di luar batas
kekuatan si wanita sehingga dalam waktu tiga bulan saja, wanita itu tidak kuat bertahan dan tewas!
Walau pun dia seorang liar dan kejam, namun Hek-tiauw Lo-mo merasa sebagai orang gagah, maka dia
pantang untuk menjilat janjinya sendiri. Setelah wanita itu meninggal dunia, dia benar tidak membunuh
anak itu dan memeliharanya sebagai anak sendiri. Makin besar anak itu, makin sayanglah dia, apa lagi
setelah anak perempuan itu memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia kelak akan menjadi seorang wanita
yang cantik jelita seperti ibunya!
"Ha-ha-ha, dan engkaulah anak itu, Hwee Li!" Hek-tiauw Lo-mo menutup ceritanya yang dilakukan terangterangan
tanpa menyembunyikan sesuatu apa pun untuk membuktikan ‘kegagahannya’.
"Melihat engkau menjadi dewasa dan persis ibumu, tadinya aku mempunyai keinginan untuk menarik
engkau di sampingku sebagai pengganti ibumu yang kucinta sungguh. Akan tetapi, setelah aku menjadi
makin tua, aku kehilangan gairah terhadap wanita, apa lagi setelah berjumpa dengan Pangeran Liong, aku
lantas mengambil keputusan untuk menyerahkan engkau kepadanya demi kebahagiaanmu, anakku! Haha-
ha-ha-ha!"
Dapat dibayangkan betapa muak, benci dan sakitnya hati Hwee Li mendengar semua itu. Meski ayahnya
mengaku cinta kepada ibunya, tetapi dia tahu bahwa akibat paksaan ayah angkat atau ayah tirinya inilah
maka ibunya sampai tewas. Dan sesungguhnya, orang ini sama sekali tidak pantas dia sebut ayah, bahkan
sebagai ayah tiri sekali pun, karena ibunya menjadi isteri orang ini tidak secara suka rela dan tidak syah,
melainkan diculik dan dipaksa! Orang ini sama sekali bukan ayahnya, bukan ayah angkat atau ayah tirinya,
melainkan musuh besarnya, pembunuh ibunya!
Panglima Kim Bouw Sin? Dia teringat akan peristiwa pemberontakan lima enam tahun yang lalu. Ketika itu,
usianya baru kurang lebih sebelas tahun, akan tetapi dia sudah tahu akan apa yang telah terjadi. Dia
mendengar nama Panglima Kim Bouw Sin ini. Bukankah itu panglima pembantu Jenderal Kao Liang yang
kemudian memberontak dan bersekutu dengan Pangeran Liong Khi Ong dan akhirnya panglima itu
terbunuh? Jadi ibunya dan ayahnya yang sebenarnya, ayah ibu kandungnya, semua telah mati?
Dia masih penasaran dan bertanya dengan suara kering, "Dan ayah kandungku...?"
"Panglima Kim Bouw Sin? Ha-haha, tentunya dia sekeluarga telah dihukum mati karena memberontak.
Jadi akhirnya engkau malah harus berterima kasih kepadaku, Hwee Li. Karena andai kata aku tidak
melarikan ibumu dan engkau ikut, tentu engkau dan ibumu juga akan mengalami nasib yang sama,
dihukum mati sebagai salah seorang anggota keluarga pemberontak," kata Hek-tiauw Lo-mo.
Dengan muka pucat akan tetapi tidak begitu kentara karena taman itu hanya diterangi oleh sinar bulan
purnama yang sudah membuat segala sesuatu nampak pucat, Hwee Li berkata lirih, "Kalau begitu, engkau
bukan ayahku, Hek-tiauw Lo-mo..."
Pangeran Liong Bian Cu menyentuh tangan Hwee Li dan berkata, "Moi-moi, jangan bilang begitu. Betapa
pun juga, Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo adalah ayah tirimu dan dia sudah memeliharamu sejak kecil,
mendidikmu dengan segala macam ilmu. Aku akan selalu menganggap dia sebagai ayahmu."
Pikiran Hwee Li bekerja. Dia melihat Hek-tiauw Lo-mo memandang tajam kepadanya dan di balik pandang
matanya itu terdapat ancaman hebat. Dia tahu bahwa kakek itu melakukan semua ini dengan harapan
untuk membonceng kemuliaannya kalau dia kelak menjadi isteri Liong Bian Cu. Tentu saja kalau tidak
diaku sebagai ayah, harapan kakek itu menjadi hancur dan mungkin saja dia melakukan sesuatu yang
akan merugikan dirinya. Selagi dia masih berada di lembah itu, selagi dia masih mencari-cari kesempatan
untuk lolos, tidak baik kalau dia menanamkan kebencian dan ancaman baru dalam diri Hek-tiauw Lo-mo.
"Tentu saja, Pangeran. Aku tidak dapat melupakan segala kebaikan Ayah,” katanya sambil minum araknya
beberapa teguk. Dia lalu melirik ke arah Hek-tiauw Lo-mo dan melihat kakek ini tertawa-tawa senang
mendengar ucapannya itu…..
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah, Hwee Li yang bagaikan seekor burung telah terkurung dalam sangkar emas itu, terjaga ketat
dan sama sekali tidak melihat kesempatan sedikit pun untuk melarikan diri, mulai menggunakan
kecerdikannya. Tiap saat dia waspada dan mencari lubang, dan hanya kecerdikannya saja yang membuat
dia dapat menahan segala kekhawatirannya dan bersikap biasa, bahkan ramah terhadap Pangeran Liong
Bian Cu, seolah-olah dia mulai setuju untuk menjadi isteri Pangeran Nepal ini.
Sering Hwee Li termenung dan hatinya diliputi kedukaan dan kemarahan. Dia merasa benci sekali kepada
Hek-tiauw Lo-mo yang ternyata adalah seorang musuh besar. Kini lenyaplah harapannya untuk dapat
tertolong oleh kakek itu. Semua orang yang berada di lembah ini adalah musuh-musuhnya, dan Hek-tiauw
Lo-mo merupakan musuh utama malah, di samping Pangeran Liong Bian Cu.
"Ingatlah, Moi-moi, engkau adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin dan engkau sudah tahu betapa
ayah kandungmu itu dahulu juga bersekutu dengan ayahku dan membantu ayahku, Pangeran Liong Khi
Ong. Maka, kalau sekarang engkau menjadi isteriku dan membantuku, sungguh sudah tepat sekali. Orang
tua kita bersahabat, dan sekarang kita berjodoh, bukankah itu baik sekali?" Demikian antara lain bujukan
dari Pangeran Liong Bian Cu.
Akan tetapi biar pun dia tidak mau membantah, di dalam hatinya dia sangat tidak senang. Ayahnya adalah
seorang pemberontak dan karena perbuatannya itu, seluruh keluarga ayahnya binasa. Dia mengerti bahwa
perbuatan ayahnya itu tidak benar, dan tentu saja dia tidak sudi mengulang perbuatan yang salah itu, apa
lagi ditambah dengan pengorbanan dirinya menjadi isteri dari Liong Bian Cu yang dibencinya.
Akan tetapi, kesempatan yang dinanti-nantinya itu tidak kunjung datang. Penjagaan terlalu ketat dan dia
sama sekali tidak melihat kernungkinan untuk dapat meloloskan diri melalui penyeberangan sungai. Satusatunya
jalan untuk dapat lolos hanyalah dengan bantuan garudanya, tetapi kini garuda itu telah dikurung,
dijaga ketat dan kurungannya dikunci.
Hwee Li sudah menggunakan akal untuk terus bersikap ramah kepada Liong Bian Cu sehingga pergaulan
di antara mereka sudah kelihatan akrab dan tidak asing lagi. Bahkan dengan keramahannya itu, Hwee Li
mengajak dia bercakap-cakap dan dengan gembira Hwee Li menceritakan tentang kesenangannya
menunggang burung garuda melayang-layang di angkasa.
Mendengar ini dan melihat sikap Hwee Li, Liong Bian Cu berkata, "Jangan khawatir, kekasihku. Kelak
kalau kita sudah menikah, aku pasti akan mengajakmu berpesiar naik garuda itu."
"Ahhh, mana mungkin? Burungku itu tentu akan dibawa pergi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Sekarang pun telah
dikurungnya, aku khawatir burung itu akan sakit dan mati."
"Ha-ha-ha, kau tidak perlu khawatir. Ayahmu telah menyerahkan burung itu kepadaku dan ini kunci
kurungan itu selalu berada di tanganku. Dan aku sudah menyuruh para pemelihara burung itu baik-baik,
memberi makan dan minum secukupnya."
lnilah yang ingin diketahui oleh Hwee Li dan dara ini cepat mengalihkan percakapan. Dia kini sudah tahu
bahwa kunci kurungan berada di tangan pangeran ini! Cukuplah itu! Terbuka lagi jalan baginya untuk
meloloskan diri. Kalau saja dia dapat merobohkan Liong Bian Cu, merampas kunci itu dan membebaskan
garudanya, tentu dia akan dapat lolos dari situ menunggang garudanya!
Liong Bian Cu benar-benar jatuh cinta kepada Hwee Li. Sikapnya baik sekali, dan pemuda ini tidak pernah
lagi memperlihatkan kekerasan, sungguh pun sikapnya mesra sekali. Namun, dia sudah puas untuk
menggandeng tangan Hwee Li, atau paling jauh dia hanya mencium tangan dara itu, tidak berani bertindak
lebih. Akan tetapi, Hwee Li makin gelisah ketika hari yang ditentukan telah makin mendekat. Liong Bian Cu
sudah menentukan hari pernikahan mereka, dan tanpa disadari, dia telah hampir sebulan berada di situ
sehingga waktu pernikahan tinggal satu bulan lagi!
Pada suatu senja, Liong Bian Cu sibuk mencari-cari Hwee Li. Dara ini memang diberi kebebasan untuk
pergi ke mana saja di dalam lembah itu, karena Liong Bian Cu merasa yakin bahwa tidak mungkin Hwee Li
dapat meloloskan diri. Selain lembah itu terkurung sungai lebar, juga terdapat banyak sekali penjaga di tepi
sungai sehingga andai kata Hwee Li hendak nekat menyeberang, dia akan ketahuan pula.
"Hwee Li...!"
"Moi-moi, di mana kau...?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Liong Bian Cu mencari-cari ke sana-sini sambil berteriak-teriak memanggil. Hatinya merasa agak gelisah.
Biar pun dia merasa yakin bahwa tidak mungkin dara itu dapat meloloskan diri, namun setelah agak lama
mencari-cari tanpa hasil, dia merasa khawatir juga, khawatir kehilangan dara yang dicintanya itu. Akan
tetapi hatinya merasa lega ketika seorang pengawal memberi tahu bahwa dara yang dicari-carinya itu tadi
pergi ke sumber air di tempat yang agak tinggi di sebelah belakang lembah…..
Liong Bian Cu cepat pergi ke tempat itu. Dia tahu bahwa dara itu memang suka pergi ke sana dan bahkan
suka mandi di sumber air mancur itu, sungguh pun di dalam kamarnya telah tersedia kamar mandi dan
kolam. Membayangkan kekasihnya mandi di tempat sunyi itu, jantungnya berdebar keras. Betapa sering
dia harus menahan gelora nafsunya kalau berhadapan dengan Hwee Li.
Nafsunya mendorong untuk menubruk dan memeluk dara itu, seperti seekor harimau kelaparan menubruk
seekor domba muda. Akan tetapi cinta kasihnya melarangnya, karena dia ingin menikmati penyerahan diri
Hwee Li sebulatnya, dengan suka rela dan dengan sikap yang membalas perasaan cintanya. Hampir tiap
malam dia mimpi bermain cinta dengan tunangannya itu.
Kini, membayangkan Hwee Li mandi di sumber air, menimbulkan keinginan besar di hatinya untuk
mengintai dan melihat kekasihnya itu mandi. Setidaknya tentu dara itu akan menanggalkan pakaian
luarnya! Dengan hati-hati pangeran ini lalu menghampiri sumber air, lalu menyelinap di antara pohonpohon
dan semak-semak. Jantungnya berdebar makin tegang ketika dia mendengar suara kekasihnya
bersenandung dan mendengar suara air berkecipakan!
Sementara itu, Hwee Li sejak tadi memang menanti munculnya Liong Bian Cu. Sudah berhari-hari dia
mengatur siasat ini. Siasat itu timbul ketika dia lewat di lorong kecil yang menuju ke sumber air itu dan
sebuah batu runtuh dari tebing di sebelah kiri lorong dan hampir menimpanya. Dia melihat bahwa tebing itu
hampir longsor, tanahnya sudah retak-retak dan di atas tebing terdapat sebongkah batu sebesar kepala
gajah! Untung hanya batu sebesar kepala manusia saja yang runtuh dan hampir menimpanya. Kalau batu
besar itu yang runtuh, tentu akan membawa semua batu yang berada di atas dan tepi tebing, dan dia akan
teruruk oleh batu-batu besar karena lorong di tempat itu terhimpit tebing dan sempit sekali.
Peristiwa itu menimbulkan siasat kepada Hwee Li yang amat cerdik. Berhari-hari dia mempelajari keadaan
tebing dan batu besar itu. Ternyata bahwa yang menahan batu besar itu tidak sampai longsor ke bawah
adalah sebatang pohon kecil yang tumbuh di tebing, juga ada beberapa buah batu yang tidak begitu besar
merupakan pengganjal. Kalau pohon itu diambil, atau batu-batu kecil itu runtuh, tentu pohon itu tidak kuat
menahan dan batu besar itu akan runtuh ke bawah.
Dia mencari akal dan mulailah dengan diam-diam dia menggali dan melubangi tanah di atas tebing, tepat di
bawah batu besar itu, menyingkirkan beberapa batu pengganjal dengan hati-hati sekali. Pekerjaan ini
dilakukannya secara diam-diam selama beberapa hari. Kemarin, ketika seorang pegawal melihatnya
dengan heran di situ, Hwee Li cepat menangkap seekor jengkerik dan bermain-main dengan binatang itu
sehingga pengawal yang melihatnya di situ mengira bahwa dara remaja tunangan pangeran itu mencari
jengkerik dan bermain-main seperti seorang anak-anak saja. Dan memang dara remaja itu masih bersikap
lincah seperti anak kecil!
Setelah membuat persiapan secara menyakinkan, Hwee Li lalu mengikatkan tali pada batang pohon kecil
yang kini seolah-olah merupakan pengganjal utama bagi batu besar tadi, serta menyembunyikan tali
panjang itu melalui belakang batu-batu besar, terus menurun dan disembunyikan di dekat sumber air. Dan
pada senja hari itu, dia sengaja mandi di situ. Meski dia mendengar teriakan-teriakan suara Liong Bian Cu
memanggil manggilnya, dia sengaja tidak menjawab dan membiarkan pangeran itu mendatangi sumber air.
Liong Bian Cu juga bukan seorang yang bodoh. Begitu dia tiba di luar lorong dan mengintai dari jauh, dia
melihat dara itu duduk di bawah pancuran air dan benar saja hanya memakai pakaian dalam, akan tetapi
dara itu kelihatan tegang dan tidak mandi! Dan dara itu bersenandung sambil matanya diarahkan ke bawah
sumber air, seolah olah menanti kedatangannya! Dia teringat bahwa dia tadi telah menggunakan khikang
ketika memanggil-manggil. Mustahil kalau gadis itu tidak mendengar panggilannya. Akan tetapi gadis itu
tidak pernah menjawab. Dan kini Hwee Li seolah-olah menantinya, kedua tangannya disembunyikan di
dalam air yang membentuk kolam jernih di bawah pancuran. Air terjun kecil itu datang dari sumber air dari
batu-batu di atas pancuran. Apa yang akan dilakukan gadis itu? Agaknya akan menyerangnya lagi, pikir
pemuda itu. Demikian mencurigakan sikapnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa sepasang mata yang tajam sekali dari Hwee Li telah dapat melihatnya
ketika dia menyelinap di balik pohon dan mengintai. Hwee Li juga maklum akan kecerdikan Liong Bian Cu.
Mengapa pemuda itu tidak terus naik melalui lorong? Tentu timbul kecurigaannya, pikirnya. Tidak ada
gunanya membujuk Bian Cu untuk naik. Satu-satunya jalan adalah memancingnya naik melalui lorong itu
dan dia tahu umpan terbaik untuk memancingnya, yaitu bukan lain adalah tubuhnya sendiri.
Maka, dengan sikap biasa, setelah pura-pura menengok ke sana-sini untuk meyakinkan bahwa di sekitar
tempat itu tidak ada orang, Hwee Li lalu mulai menanggalkan pakaian dalamnya dengan berdiri
membelakangi tempat di mana Bian Cu mengintai. Nampaklah tubuh belakangnya yang mulus.
Melihat adegan strip-tease (tarian menanggalkan pakaian) yang terjadi di alam terbuka ini, Liong Bian Cu
berkali-kali menelan ludahnya dan matanya tidak pernah berkedip satu kali pun, pandang matanya melotot
seolah-olah dia hendak menelan tubuh itu bulat-bulat dengan sinar matanya! Liong Bian Cu bukanlah
seorang pemuda hijau.
Tidak, dia adalah seorang pangeran dan di Nepal sudah biasa bagi seorang pangeran untuk mengambil
selir sebanyak mungkin. Dia sudah banyak bergaul dengan wanita wanita cantik, akan tetapi belum pernah
dia jatuh cinta seperti yang dirasakannya sekarang terhadap Hwee Li. Kini melihat dara yang dicintanya itu,
yang dirindukannya siang malam, melepas busana di depan matanya, tentu saja membuat dia menjadi
seperti cacing terkena abu panas!
Lebih-lebih lagi ketika dengan gerakan tanpa disengaja Hwee Li miringkan tubuhnya sehingga nampak dari
samping sebagian dari bukit dadanya, darah Bian Cu tersirap dan seperti terkena pesona, terkena sihir
yang amat kuat. Dengan semangat seperti terbang meninggalkan tubuhnya, kedua kakinya melangkah ke
dalam lorong dan matanya masih tanpa berkedip memandang ke arah tubuh itu. Dia seperti terbetot oleh
kekuatan rahasia, kekuatan yang mengandung semberani, yang membuat kedua kakinya bergerak dan
berjalan memasuki lorong menuju ke tempat Hwee Li.
Hwee Li yang memutar tubuh miring tadi melirik dan ketika melihat Bian Gu memasuki lorong, dia merasa
betapa jantungnya berdebar keras sekali. Dia menanti sampai pangeran itu tiba tepat di bawah batu besar,
kemudian tiba-tiba dia menarik tali yang dipegangnya sejak tadi, mengerahkan seluruh tenaganya.
“Braakkk... bruuuuukkkkk...!”
Suara ini disusul suara hiruk-pikuk saat batu sebesar gajah itu menggelinding menuruni tebing, membawa
batu-batu lainnya ikut pula runtuh dan longsor! Pohon kecil itu tadi digerakkan oleh tali dan jebol, tidak kuat
lagi menahan batu besar dan karena sebelah bawah batu sudah digerowongi, maka tanpa dapat dicegah
lagi batu itu menggelinding turun.
Liong Bian Cu terkejut bukan main, berteriak keras dan berusaha untuk menyingkir. Akan tetapi, dia tidak
mungkin dapat meloncat ke kanan atau kiri yang merupakan tebing tinggi, maka jalan satu-satunya baginya
hanya meloncat ke belakang. Namun, gerakannya kurang cepat dan biar pun dia berhasil menghindarkan
diri dari tindihan batu sebesar gajah itu, dia tidak dapat terhindar dari hantaman batu-batu kecil lainnya
yang datang bagaikan hujan. Dia berteriak lagi, terpelanting dan tubuhnya ditimpa banyak batu yang
menguruknya. Debu mengebul tinggi dan suara hiruk-pikuk dari batu batu yang runtuh itu terdengar sampai
jauh.
Sementara itu, dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Hwee Li sudah cepat mengenakan kembali
pakaiannya dan dia lalu berloncatan menghampiri tumpukan batu. Dia melihat sebelah kaki dan sebelah
tangan Bian Cu tersembul dari tumpukan batu. Dia bergidik ngeri, mengira bahwa tentu pemuda ini telah
tewas.
Dan memang demikianlah perhitungannya. Kalau Bian Cu mati, dia tidak lagi terancam bahaya untuk
dipaksa menjadi isterinya. Dan banyak kemungkinan dia akan selamat. Pertama, orang-orang tidak akan
tahu bahwa kematian Bian Cu disebabkan oleh dia. Kedua, kalau dia dapat membebaskan garuda, dia
akan dapat meloloskan diri dari tempat itu. Ketiga, andai kata dia tidak dapat membebaskan garuda,
setelah pangeran itu mati, orang-orang di lembah itu tentu tidak membutuhkan lagi dia dan mungkin saja
dia dibiarkan lolos dari situ. Semua kemungkinan itu tidak mungkin ada selama Liong Bian Cu masih hidup!
Cepat dia berusaha mencari kunci kurungan garuda yang menurut pemuda itu berada di sakunya. Akan
tetapi pada saat itu terdengar bentakan, “Apa yang terjadi? Minggir kau!” dan tubuh Hwee Li terdorong ke
samping.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dara ini terkejut sekali melihat seorang kakek bermantel merah sudah berada di situ. Dorongan dari jarak
jauh yang dilakukan oleh Ban-hwa Sengjin, kakek itu, amat hebat sehingga Hwee Li terdorong mundur.
Kini, dengan kecepatan dan tenaga yang luar biasa, kakek itu membongkar batu dan melempar-lemparkan
batu yang menindih tubuh muridnya. Tubuh itu penuh dengan luka-luka dan berdarah.
Ban Hwa Sengjin memondong tubuh muridnya dan lari cepat sekali menuju ke gedung di tengah lembah.
Hwee Li berdiri bingung. Kunci itu belum berhasil dia temukan. Akan tetapi, selagi semua orang sibuk
mengurus Liong Bian Cu, sebaiknya dia berusaha untuk membebaskan garudanya. Maka berlarilah dia
menuju ke taman di belakang gedung untuk menuju ke tempat di mana garuda itu dikurung, sebab selama
ini dia telah menyelidiki dan tahu bahwa burung itu dikurung di sudut taman di belakang gedung.
Tetapi, baru saja dia muncul, bukan pengawal-pengawal yang menyambutnya dan yang sudah dia
rencanakan untuk dirobohkan semua baru dia akan berusaha membebaskan burungnya. Yang berdiri di
situ adalah Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi! Hwee Li maklum bahwa terhadap dua orang kakek ini,
percuma saja kalau dia melawan. Maka dengan suara dibuat gugup dia bertanya, “Bagaimana keadaan
Pangeran...?”
Akan tetapi sebagai jawaban, dua orang kakek itu tiba-tiba menerjangnya!
Hwee Li terkejut dan berusaha untuk mengelak dan membela diri, namun diserang oleh dua orang sakti itu
secara berbareng, tentu saja dia tak mungkin dapat menyelamatkan diri dan sebuah totokan mengenai
pundaknya, membuat dia roboh terguling, Hek-tiauw Lo-mo mengempit tubuhnya dan membawanya masuk
ke dalam gedung.
Dapat dibayangkan betapa kaget, kecewa, dan penasaran rasa hati Hwee Li ketika dia dibawa masuk ke
dalam kamar besar mewah itu, dilempar ke atas kursi oleh Hek-tiauw Lo-mo dan dia melihat Liong Bian Cu
sedang duduk di atas pembaringan dengan muka pucat dan masih nampak obat kuning di atas luka-luka di
seluruh tubuhnya. Akan tetapi dia telah memakai baju bersih dan sinar matanya memandang lembut
kepada Hwee Li sedangkan mulutnya tersenyum.
“Kau... kau...?” Hwee Li menggagap, tetapi melihat senyum itu melebar dia melanjutkan, “Kau tidak apaapa,
Pangeran...?”
Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo membentaknya, “Dasar anak durhaka! Engkau hampir saja membunuhnya dan
untung Ban Hwa Sengjin masih sempat menyelamatkannya karena beliau kebetulan datang! Kalau tidak,
dan Pangeran sampai meninggal dunia, tentu kau sudah kami bunuh sejak tadi!”
“Locianpwe, jangan bicara begitu...!” Mendadak pangeran itu berkata, suaranya lemah menandakan bahwa
peristiwa tersebut benar-benar sangat berbahaya baginya dan membuatnya menderita, sungguh pun tidak
sampai berbahaya bagi nyawanya. “Hwee Li tidak bersalah!”
“Muridku, Pangeran yang mulia. Saya sendiri melihat dia berada di sana ketika Paduka tertindih batu-batu
itu, bagaimana Paduka dapat mengatakan bahwa dia tak bersalah?” Terdengar Ban Hwa Sengjin yang
duduk di dalam kamar itu pula menegur, mata kakek ini dengan tajamnya menatap wajah Hwee Li.
“Tidak, Suhu. Dia tidak bersalah dan aku perintahkan agar dia dibebaskan dari totokan. Hek-tiauw Lo-mo
locianpwe, bebaskan dia!”
Tiga orang kakek itu saling pandang, kemudian Hek-tiauw Lo-mo menghampiri dara itu dan membebaskan
totokannya. Hwee Li cepat menghampiri pangeran itu dan duduk di tepi pembaringan, wajahnya pucat dan
matanya terbelalak. Dia maklum bahwa dengan satu gerakan saja dari pangeran itu, tiga orang kakek sakti
itu tentu akan turun tangan membunuhnya.
“Pangeran, maafkan saya. Akan tetapi saya melihat tali mengikat pohon kecil itu. Tentu ada yang menarik
tali itu merobohkannya sehingga batu besar itu menggelinding turun!” kata Hek-hwa Lo-kwi.
“Pangeran, harap Paduka tidak membahayakan diri sendiri dan melindungi orang yang berdosa,” Ban Hwa
Sengjin juga memperingatkan.
Liong Bian Cu memandang wajah dara itu dan tersenyum, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan
menggoyang-goyangnya, akan tetapi dia menyeringai karena lengan kirinya terasa nyeri sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jangan gerakkan lengan kiri Paduka dulu, baru saja sambungan tulang pundak saya benarkan,” kata Ban
Hwa Sengjin.
“Sam-wi (Anda Bertiga) harap jangan salah sangka. Sungguh peristiwa itu terjadi karena kesalahan saya
sendiri. Tali itu adalah saya sendiri yang mengikatnya. Saya melihat tempat itu dapat menjadi perangkap
yang baik, perangkap rahasia untuk melindungi diri kalau-kalau ada musuh berani datang. Hwee Li cerdik
sekali, dia membantuku dan kami sedang mengatur perangkap itu. Akan tetapi, ketika aku mendaki di
bawah tebing untuk mencarikan tempat rahasia untuk menaruh tali, dan berpegang pada pohon itu, pohon
itu tidak kuat, jebol dan aku jatuh ke bawah, lalu batu-batu itu menimpa turun.”
“Ah, tapi...“ Ban Hwa Sengjin hendak membantah.
Liong Bian Cu mengangkat tangan kanan ke atas menyetopnya. “Sudahlah, Koksu, aku sudah bicara.
Peristiwa itu hanya kecelakaan dan aku melarang siapa pun untuk menggangu kekasihku dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang itu. Sekarang, harap kau ceritakan tentang perkembangan usaha kita.”
Kakek bermantel merah itu kembali menoleh ke arah Hwee Li, menarik napas panjang dan berkata,
“Baiklah, Pangeran. Saya baru saja mengunjungi Gubernur Ho-nan dan dia sudah menyanggupi untuk
melindungi tempat ini dan dia pun setuju kalau tempat ini dijadikan sebagai markas untuk sementara.
Selain itu, sesuai dengan perintah Paduka, Gitananda sedang pergi menjemput tawanan itu untuk
dipindahkan ke sini.”
“Bagus! Memang sebaiknya puteri itu berada di sini. Di sini dia lebih aman dan terjaga, selain itu, juga dia
dapat menjadi teman tunanganku. Betapa pun juga, dialah orangnya yang dapat mengajarkan kepada
Hwee Li tentang tata susila kerajaan dan hal-hal lain yang patut diketahui oleh seorang calon puteri
kerajaan.”
Hwee Li tidak turut bicara sungguh pun semua percakapan tidak ada yang terlewat oleh perhatiannya. Dia
masih merasa tegang dan terkejut, dan diam-diam dia merasa heran sekali mengapa pangeran ini
menolongnya, padahal sudah jelas pangeran ini tentu tahu bahwa peristiwa itu sama sekali bukan
kecelakaan, namun usahanya untuk membunuh Liong Bian Cu.
Setelah percakapan itu selesai, Liong Bian Cu lalu berkata, “Sekarang harap Sam-wi meninggalkan kamar
ini. Aku lelah dan ingin beristirahat, biar Hwee Li menemaniku.”
Kembali tiga orang itu bangkit dan memandang dengan ragu-ragu. “Maaf, Pangeran. Apakah itu
bijaksana?” tanya Ban Hwa Sengjin.
“Berbahaya sekali membiarkan dia di sini sendiri bersama Paduka!” berkata Hek-tiauw Lo-mo sambil
memandang ke arah dara itu dengan mata melotot. Agaknya dia masih marah sekali atas perbuatan ‘bekas
anaknya’ itu.
Akan tetapi pandang mata Liong Bian Cu menjadi keras. “Siapa pun tidak boleh menilai calon isteriku!
Pergilah kalian!” bentaknya.
Ban Hwa Sengjin dan dua orang kakek itu lalu menjura dan pergi. Biar pun Ban Hwa Sengjin itu seorang
Koksu Nepal, seorang yang berkedudukan tinggi, dan juga guru dari Liong Bian Cu, akan tetapi betapa pun
juga, terhadap pemuda itu dia adalah seorang petugas terhadap atasannya, maka sikapnya selalu
menghormat dan taat.
Setelah mereka pergi dan pintu kamar ditutupkan dari luar dengan amat hati-hati oleh seorang pelayan
yang atas isyarat Pangeran Liong Bian Cu lalu ke luar lagi, mereka kini tinggal berdua saja di dalam kamar
itu. Hwee Li lalu mundur dan duduk di atas bangku, agak jauh dari pembaringan di mana Liong Bian Cu
duduk. Gadis itu mengangkat muka dan memandang Bian Cu. Pemuda ini kelihatan pucat, mukanya
hampir penuh dengan warna-warna kuning, yaitu obat cair yang dipergunakan oleh Ban Hwa Sengjin untuk
mengobati luka-lukanya. Sepertinya obat itu manjur bukan main karena luka-luka itu kelihatan sudah
mengering.
Liong Bian Cu juga memandang kepadanya, kemudian mulutnya tersenyum dan dia mengejapkan sebelah
matanya, seolah-olah memberi tanda kepada seorang sekutunya. Melihat sikap ini, Hwee Li merasa makin
heran. “Pangeran, mengapa engkau malah menolongku?” tanyanya, tidak tahan dia melihat sikap itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau pangeran itu marah-marah tentu dia akan menerimanya dengan tenang saja, akan tetapi melihat
pangeran itu bersikap demikian baik terhadap perbuatannya yang hampir saja mengakibatkan pangeran ini
tewas, benar-benar sukar dapat diterimanya.
“Kenapa? Tentu saja karena aku cinta padamu, Hwee Li! Dan mengapa engkau tadi bermaksud
membunuhku?”
“Perlukah kujawab itu?”
“Tentu saja. Karena aku merasa penasaran kalau tidak mendengar sebabnya.”
“Karena aku membencimu, Pangeran.”
“Ahhh! Engkau membenciku karena aku mencintamu?”
Hwee Li menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku belum segila itu. Akan tetapi aku benci kepadamu oleh
karena engkau memaksa aku untuk menjadi isterimu, karena engkau mengurung aku di sini, karena biar
pun engkau bersikap ramah dan baik, akan tetapi pada hakekatnya engkau melakukan penekanan dan
paksaan kepadaku.”
“Hemmm, semua itu kulakukan demi cintaku padamu, Hwee Li. Tahukah engkau bahwa sebagai seorang
pangeran, belum pernah ada wanita yang bagaimana pun menolak cintaku? Dan engkau tidak saja
menolak, bahkan sudah beberapa kali engkau nyaris membunuhku!”
“Dan aku akan masih terus berusaha membunuhmu!” kata Hwee Li terus terang.
“Ha-ha-ha, sikapmu inilah yang membuat aku semakin tergila-gila dan semakin cinta kepadamu, sayang.
Kalau saja engkau menangis merengek-rengek minta ampun, atau engkau merayuku, agaknya cintaku
akan menipis. Akan tetapi tidak, engkau melawan, engkau menggunakan kecerdikan, engkau tabah,
berani, cerdik dan gagah. Itulah sebabnya maka aku mau mengorbankan apa saja demi untuk
mendapatkan cintamu.”
“Aku tidak akan mencintamu, Pangeran.”
“Ha-ha-ha, kita sama lihat saja nanti. Dengan cintaku yang murni, dengan kebaikan kebaikan yang
kulimpahkan, pada suatu hari aku berharap akan dapat mencairkan kekerasan hatimu, dewiku, dan aku
akan mengecap kenikmatan dan kebahagiaan itu sebagai hasil jeri payahku selama ini.”
“Aku akan berusaha untuk minggat!”
Pangeran itu menggeleng kepalanya. “Tidak mungkin, Hwee Li. Dan bukankah engkau senang tinggal di
sini? Bukankah di sini semua orang mentaati perintahmu dan segala keinginanmu dapat terpenuhi? Bukan
itu saja, engkau bahkan akan memperoleh seorang kawan yang tentu akan menyenangkan hatimu,
seorang puteri yang cantik jelita dan terkenal. Dia akan diantar oleh Gitananda ke sini.”
“Siapakah dia?”
“Dia adalah Puteri Syanti Dewi, Puteri Bhutan.”
Diam-diam Hwee Li menjadi terkejut sekali mendengar nama ini. Biar pun dia sendiri tidak pernah
mengenal puteri itu, namun nama puteri itu sudah kerap kali didengarnya. Gurunya, Nyonya Kao Kok Cu
yang dulu bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng itu, sering kali menceritakan tentang Puteri Syanti Dewi ini
yang menjadi kakak angkat gurunya. Akan tetapi di depan Pangeran Nepal itu, dia bersikap tenang saja.
“Apakah dia itu tamumu?” tanyanya.
“Bukan, dia adalah tawanan kami. Dia secara kebetulan dapat tertawan oleh Gitananda, selama ini
disembunyikan karena banyak orang pandai mencarinya, dan kini atas perintahku, puteri itu di bawa ke sini
untuk menemanimu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dia kau tawan pula? Pangeran, memang tepatlah kalau dia yang menjadi jodohmu. Engkau pangeran dan
dia puteri. Pula, bukankah Nepal dan Bhutan itu bertetangga?”
“Ha-ha-ha, mana mungkin begitu? Aku cinta padamu, Hwee Li. Dari kenyataan bahwa Puteri Bhutan itu
kutawan, jelas membuktikan bahwa Bhutan dan Nepal bukanlah sahabat. Mungkin saja kelak dia akan
menjadi selirku, tapi ahh, sementara ini, aku tidak ingin memandang atau membicarakan wanita lain kecuali
dirimu, sayang.”
Sejak peristiwa itu, biar pun sikap pangeran itu masih biasa, masih ramah kepadanya, namun Hwee Li
maklum bahwa penjagaan terhadap dirinya makin diperkuat. Dia selalu dibayangi, kalau tidak oleh Hektiauw
Lo-mo tentu oleh Hek-hwa Lo-kwi atau para pembantu lain. Dia merasa penasaran dan
kebenciannya terhadap Liong Bian Cu tidak berkurang. Biar pun dia telah mencela dirinya sendiri sebagai
orang kurang mengenal budi, mengakui sendiri bahwa pangeran itu benar-benar cinta kepadanya, tidak
sakit hati biar pun nyaris tewas oleh perbuatannya, namun tetap saja dia tidak mempunyai sedikit pun
perasaan cinta kepada pangeran itu. Bahkan dia merasa makin gemas karena dia menuduh pangeran itu
sengaja hendak ‘melepas budi’ agar dia merasa berhutang budi kepadanya.
Dan memang dia merasa canggung sekali, sukar baginya kini untuk memperlihatkan sikap kasar terhadap
pangeran yang selalu baik kepadanya itu. Dan ini berbahaya, dia tahu akan hal itu. Merasa betapa
kebenciannya makin mengendur, Hwee Li menjadi takut dan dia memperkuat pula perasaan benci itu
sambil mengingat satu hal pokok, yaitu bahwa kemerdekaannya dihalangi oleh Liong Bian Cu.
Pada keesokan harinya, benar saja Gitananda muncul bersama Syanti Dewi. Seperti telah kita ketahui,
Gitananda berhasil menculik Syanti Dewi ketika terjadi perebutan antara Ceng Ceng dan See-thian Hoat-su
karena salah duga sehingga Syanti Dewi tidak terlindung dan mudah diculik dan dilarikan oleh Gitananda.
Karena maklum bahwa banyak orang pandai yang akan mengejarnya untuk merampas kembali Syanti
Dewi, maka Gitananda lalu menyembunyikan puteri itu di suatu tempat dalam hutan besar, menyuruh anak
buahnya menjaga dengan ketat dan dia hanya melaporkan saja kepada koksu, yaitu atasannya. Kemudian
koksu menceritakan hal itu kepada muridnya, yaitu Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya Liong Bian Cu
memerintahkan agar puteri itu dipindahkan saja ke lembah Sungai Huang-ho itu, selain untuk dapat
menjaganya lebih kuat, juga puteri itu dapat menemani tunangannya.
Setelah Syanti Dewi yang kelihatan kurus dan agak pucat itu disambut oleh Liong Bian Cu dengan sikap
hormat dan disuruh antar ke kamarnya, Liong Bian Cu lalu mengajak gurunya berunding. Sementara itu,
Hwee Li yang sepintas lalu melihat puteri itu, diam diam merasa kagum sekali. Benar cerita gurunya. Puteri
Syanti Dewi amat cantik jelita, sikapnya agung dan tenang. Menurut penuturan gurunya, puteri itu tentu
sudah berusia dua puluh tiga tahun lebih, akan tetapi kelihatan seperti dara remaja belasan tahun saja.
Hanya sikapnya, pandang mata dan gerak-geriknya yang lemah lembut membayangkan bahwa puteri itu
adalah seorang wanita yang sudah matang, tenang, dan memiliki kepribadian yang amat kuat.
Hwee Li lalu mengunjungi kamar itu. Para penjaga yang berdiri di luar kamar dengan senjata di tangan,
cepat memberi hormat dan tak ada seorang pun berani menghalangi Hwee Li memasuki kamar itu. Hwee
Li dianggap sebagai tunangan pangeran dan tidak ada seorang pun yang berani menentangnya, sungguh
pun tidak akan ada pula yang berani membantunya andai kata Hwee Li minta mereka membantu dia lolos
dari tempat itu. Mereka tahu bahwa sekali saja nona ini mengadu kepada pangeran, tentu pangeran tak
akan segan-segan untuk menghukum orang yang diadukan, atau mungkin langsung membunuhnya
seketika!
Hwee Li memasuki kamar dan melihat puteri itu rebah telentang, menatap langit-langit kamar dengan sikap
termenung. Ada dua orang pelayan wanita duduk bersimpuh di atas lantai. Melihat Hwee Li, dua orang
pelayan itu cepat memberi hormat.
“Keluarlah kalian berdua dan jangan masuk kalau tidak kami panggil!” kata Hwee Li dengan sikap kereng.
Dua orang pelayan itu menghormat, lalu keluar dari dalam kamar. Mereka bersama para penjaga
berkelompok di luar pintu, bingung dan khawatir. Mereka diperintahkan untuk menjaga sang puteri, akan
tetapi mereka disuruh keluar oleh tunangan pangeran dan mereka tidak berani membantah karena sudah
berkali-kali ditekankan oleh pangeran dan para pembantunya, bahwa tunangan pangeran itu harus ditaati
dan jangan sampai marah. Pula, mereka semua tahu bahwa tunangan pangeran itu adalah seorang dara
yang memiliki tangan baja, memiliki kepandaian tinggi dan sekali pukul saja dapat menghancurkan kepala
mereka!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bibi Syanti Dewi...!” Hwee Li melangkah maju dan menjura ke arah wanita yang masih rebah dan
menyambut kedatangannya dengan pandang mata penuh selidik itu.
Syanti Dewi mengerutkan alisnya dan bangkit duduk. Dia tidak pernah diganggu selama diculik oleh
Gitananda, dan dia tahu bahwa Gitananda adalah kaki tangan Kerajaan Nepal, bahwa dia terjatuh ke
tangan musuh negaranya. Maka, biar pun dia merasa berduka karena putus harapannya bertemu dengan
kekasihnya, Ang Tek Hoat, namun dia tahu bahwa dia aman berada di tangan orang-orang Nepal ini.
Hanya karena terlalu berduka memikirkan Tek Hoat, maka dia tidak suka makan, kurang tidur sehingga
badannya lemah dan mukanya pucat.
Kini, setelah disambut oleh Pangeran Liong Bian Cu yang dia dengar adalah cucu Raja Nepal, dia tahu
bahwa dia akan dijadikan sandera. Maka tentu saja dia terkejut dan terheran-heran melihat munculnya
seorang dara remaja yang sangat cantik dan yang menyebutnya bibi ini. Melihat sikap dara cantik ini
terhadap para pelayan, dan melihat betapa para pelayan mentaati perintahnya, dia maklum bahwa dara ini
tentu orang penting yang besar kekuasaannya di tempat itu. Ditatapnya wajah Hwee Li dengan tajam dan
penuh selidik.
“Engkau siapakah, Nona?” tanyanya sambil bangkit duduk.
“Namaku Hwee Li,” jawab Hwee Li sambil tersenyum dan duduk di atas pembaringan di dekat Puteri
Bhutan itu. “Engkau tentu tak mengenalku dan merasa heran mengapa aku menyebutmu bibi. Ketahuilah,
Bibi Syanti Dewi, bahwa guruku adalah adik angkatmu yang bernama Lu Ceng atau Candra Dewi.”
Dari subo-nya, dara ini memang sudah mendengar banyak tentang riwayat subo-nya bersama Syanti Dewi.
Candra Dewi adalah nama yang diberikan oleh Puteri Bhutan ini kepada Ceng Ceng yang menjadi adik
angkatnya. (baca Kisah Sepasang Rajawali)
Mendengar disebutnya nama Ceng Ceng, Syanti Dewi terkejut dan gembira bukan main. Wajahnya berseri
dan dia meloncat turun dan berdiri di depan Hwee Li, langsung saja memegang lengan dara itu dan
bertanya, “Di mana dia? Di mana Candra Dewi? Dan bagaimana engkau dapat berada di sini?”
Hwee Li merasa kasihan melihat kegembiraan dan sinar mata penuh harapan dari puteri itu. Dia menarik
napas panjang dan menjawab lirih, “Aku tidak tahu di mana adanya Subo sekarang ini, Bibi. Dan aku
sendiri pun menjadi seorang tawanan di sini.”
“Ahhhhh...!”
Syanti Dewi masih memegang tangan Hwee Li, tetapi dia kini duduk kembali di samping dara itu,
memandang dengan sinar mata khawatir. Seketika dia sudah melupakan keadaan dirinya sendiri karena
semua perhatiannya tercurah kepada dara murid adik angkatnya itu, mengkhawatirkan keadaan Hwee Li
yang menjadi tawanan. Demikianlah memang watak Puteri Bhutan ini, mudah melupakan penderitaan
sendiri akan tetapi selalu peka terhadap penderitaan orang lain.
Hwee Li kemidian menceritakan keadaannya dan bagaimana dia bisa menjadi seorang tawanan di tempat
itu, sungguh pun dia, kelihatan sebagai seorang tamu agung yang dihormati dan ditaati oleh para pengawal
dan pelayan. Ketika Syanti Dewi mendengar bahwa dara remaja yang cantik jelita ini akan dijadikan isteri
oleh Liong Bian Cu, dia terkejut bukan main. Terkejut, heran dan juga kagum. Tentu ada puluhan, bahkan
ratusan ribu gadis yang ingin menjadi isteri Pangeran Nepal itu, yang akan menyambut pinangan pangeran
itu dengan penuh kebanggaan dan kegirangan hati. Akan tetapi, dara remaja murid Ceng Ceng ini
kelihatan sama sekali tidak gembira!
“Aku benci dia, Bibi! Aku ingin membunuhnya dan nyaris aku berhasil, akan tetapi dia memang lihai sekali,
apa lagi dia dibantu oleh Hek-hwa Lo-kwi yang sakti, belum lagi gurunya yang amat lihai, Ban Hwa Sengjin
yang mempunyai banyak pembantu. Bahkan ayahku sendiri kini juga menjadi pembantunya.”
“Ayahmu?” Syanti Dewi bertanya heran. Bagaimana ayah seorang dara yang tidak suka dipaksa menjadi
jodoh pangeran itu malah menjadi pembantu pangeran itu?
“Ya, ayahku adalah Hek-tiauw Lo-mo...!”
“Ahhhhh...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Bukan main terkejutnya hati Syanti Dewi mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah mendengar dan
mengenal baik nama ini, raksasa jahat yang banyak mengambil peran dalam keributan pemberontakan dua
orang Pangeran Liong dulu. Dara cantik jelita ini, yang menjadi murid Ceng Ceng, adalah puteri dari
majikan Pulau Neraka itu? Sungguh mengherankan dan mengejutkan sekali. Dan mendengar bahwa dara
ini adalah puteri iblis itu, otomatis Syanti Dewi segera melepaskan pegangan tangannya dan duduk agak
menjauh. (baca Kisah Sepasang Rajawali)
Gerakan Syanti Dewi ini tidak terlepas dari pandang mata Hwee Li. Dara itu menarik napas panjang, lalu
cepat berkata, “Harap Bibi jangan kaget. Hek-tiauw Lo-mo memang kini menjadi pembantu utama dari
Pangeran Nepal itu, dan Hek-tiauw Lo-mo juga memaksaku untuk menjadi isteri Pangeran Liong. Justeru
itulah yang dikejarnya. Agar aku menjadi isteri Liong Bian Cu dan dia dapat membonceng kedudukanku
dan menjadi seorang yang mulia dan terhormat. Akan tetapi, aku tidak sudi...“
Syanti Dewi mengerutkan alisnya yang berbentuk indah itu, lalu kembali mendekat dan memegang tangan
Hwee Li. Makin besar rasa iba di dalam hatinya terhadap dara yang malang ini. Betapa banyaknya dara di
dunia ini yang dipaksa oleh ayah mereka dalam urusan perjodohan! Bukan hanya Hwee Li ini, juga dia
sendiri malah! Bukankah dia sudah memilih Tek Hoat sebagai calon jodohnya, akan tetapi juga kini gagal
karena ayahnya yang tidak menyetujui pemuda pilihannya itu menjadi mantu?
Betapa banyak gadis dari yang paling miskin sampai yang paling kaya, dari yang paling rendah sampai
yang paling tinggi kedudukannya, harus tunduk kepada ayah mereka dalam urusan memilih jodoh! Dan
betapa banyaknya hati yang hancur karena paksaan harus menikah dengan orang lain. Dalam hal
perjodohan, meski pun berlainan sifatnya, dia merasa senasib dengan Hwee Li, maka timbullah rasa
sayang di dalam hatinya terhadap murid adik angkatnya ini.
“Hwee Li, sungguh engkau patut dikasihani! Aku merasa heran sekali mengapa ayahmu sampai hati
memaksamu? Padahal, aku tahu bahwa ayahmu bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh besar
yang amat terkenal dan berilmu tinggi...“
“Akan tetapi dia jahat, Bibi. Jahat sekali dan aku sangat benci padanya! Aku pun ingin membunuhnya kalau
bisa!” Hwee Li mengepal tinju dan matanya mengeluarkan sinar berkilat.
Syanti Dewi mengerutkan alisnya. “Hwee Li,” katanya dengan suara kereng. “Engkau adalah murid adikku
Candra Dewi, oleh karena itu engkau patut mendengarkan kata kataku pula. Engkau telah menyeleweng
dari kebenaran! Mana boleh seorang anak membenci ayahnya sendiri, bahkan hendak membunuhnya?”
“Dia bukan ayahku! Dia bukan ayah kandungku! Dia malah musuh besarku!” Hwee Li berseru dan
sepasang mata itu menjadi merah.
“Ehhh, bagaimana pula ini, Hwee Li?” Syanti Dewi bertanya dan tiba-tiba saja Hwee Li menangis tersedusedu.
Syanti Dewi terkejut. Dia cepat memeluk dara itu dan Hwee Li menangis di atas dada puteri itu. Hwee Li
adalah seorang dara yang berhati keras seperti baja. Penderitaan batin yang dideritanya selama ini, apa
lagi ketika mendengar bahwa Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya, dan betapa seluruh keluarganya, yaitu
keluarga Kim, telah binasa, membuat batinnya tertekan oleh duka yang amat besar. Namun, di depan
orang-orang yang dibencinya di lembah itu, dia menggunakan kekuatan batinnya, menggunakan kekerasan
hatinya, untuk menahan tekanan batin itu.
Kini, berhadapan dengan Syanti Dewi yang lemah lembut, yang bersikap begitu baik dan penuh perasaan
kepadanya, apa lagi mengingat bahwa puteri ini adalah bibi gurunya, Hwee Li merasa seolah-olah
menemukan tempat penumpahan segala derita batinnya dan setelah kini bendungan itu dibuka,
menangislah dia, sewajarnya tangis yang amat memilukan hati sehingga Syanti Dewi yang lembut hati itu
pun tidak dapat pula menahan air matanya dan dia mengusap-usap rambut kepala Hwee Li penuh rasa
sayang dan iba.
Dia membiarkan dara remaja itu menangis sepuasnya. Syanti Dewi sendiri bukanlah seorang wanita tua,
sama sekali bukan. Usianya baru dua puluh dua tahun, akan tetapi pengalaman dan penderitaan hidup
telah menggemblengnya sehingga kini menghadapi Hwee Li yang baru berusia tujuh belas tahun ini, dia
merasa seolah-olah menjadi bibi atau ibu dara remaja ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah tangisnya mereda dan hatinya terasa ringan sekali setelah dia menangis sepuasnya, Hwee Li lalu
menceritakan apa yang didengarnya tentang Hek-tiauw Lo-mo yang ternyata bukan ayahnya, bukan apaapanya
itu, dan tentang keluarganya yang terbasmi karena dianggap sebagai keluarga pemberontak.
Syanti Dewi mengangguk-angguk. “Aku telah mendengar tentang keluargamu itu. Aku mendengar bahwa
ayah kandungmu yang sesungguhnya, Panglima Kim Bouw Sin itu, memang telah memberontak terhadap
kerajaan. Betapa pun juga, sikapnya itu tentu ada alasannya, dan biar pun oleh kerajaan dia dianggap
berdosa, namun sebagai manusia dia tidaklah sejahat seperti halnya Hek-tiauw Lo-mo yang terkenal
sebagai seorang manusia iblis itu. Tadi aku sudah merasa heran bagaimana seorang dara seperti engkau,
murid adik angkatku, juga dapat menjadi puteri iblis Hek-tiauw Lo-mo. Kiranya engkau bukan puterinya!
Hwee Li, engkau memiliki kepandaian, engkau harus berusaha untuk meloloskan diri dari tempat
berbahaya ini!”
“Ahhh, tidak mudah, Bibi.” Hwee Li lalu menceritakan keadaan lembah itu dan betapa semua daya
upayanya gagal. “Malah Liong Bian Cu sudah bersiap-siap, pernikahan akan diadakan beberapa pekan
lagi. Aku khawatir, Bibi, apa lagi melihat Bibi ditawan pula. Aku harus dapat menolong Bibi dari tempat ini!”
“Tak perlu engkau mengkhawatirkan diriku, Hwee Li. Pangeran Liong Bian Cu, sebagai cucu Raja Nepal,
adalah musuh dari negaraku. Dia menawanku tentu dengan maksud menjadikan aku sebagai sandera
untuk memukul negaraku. Tetapi engkau…, engkau menghadapi bahaya langsung yang sudah makin
dekat saatnya, maka kau harus dapat lolos dari sini.”
Demikianlah, dua orang wanita itu sekarang menjadi akrab sekali dan bercakap-cakap mencari jalan untuk
dapat lolos dari tempat itu. Akan tetapi, mereka akhirnya maklum bahwa jalan untuk lolos sama sekali
buntu. Agaknya, tanpa ada bantuan dari luar, tidak mungkin bagi mereka untuk meloloskan diri. Akan tetapi
Hwee Li tidak putus harapan. Dia masih mempunyai harapan untuk lolos, yaitu pada saat pernikahan di
mana dia percaya tentu banyak hadir tokoh kangouw yang lihai. Siapa tahu, di antara mereka itu terdapat
orang-orang yang mau membantunya, dan dia percaya pula bahwa orang orang seperti suhu-nya dan
subo-nya, seperti Suma Kian Bu si Siluman Kecil, Suma Kian Lee, dan orang-orang gagah lainnya tidak
akan tinggal diam kalau mendengar bahwa dia dipaksa menikah dengan Pangeran Liong Bian Cu!
********************
Kita tinggalkan dulu Syanti Dewi dan Hwee Li, dua orang wanita muda yang tertawan di dalam lembah dan
sama sekali tidak berdaya untuk meloloskan diri itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Jenderal Kao Liang
bersama dua orang puteranya yaitu Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han, yang bersama-sama dengan Ceng
Ceng pergi menuju ke kota Pao-ting. Seperti yang diceritakan oleh Ceng Ceng kepada ayah mertuanya,
dia sudah berjanji untuk saling bertemu di Pao-ting bersama suaminya setelah dia dan suaminya berpisah
dan melakukan penyelidikan untuk mencari putera mereka secara berpencar.
Mereka tiba di kota Pao-ting pada waktu senja. Menurut perjanjian antara suami isteri itu, pertemuan di
antara mereka di kota ini akan dilakukan esok hari. Karena itu, Ceng Ceng kemudian mengajak ayah,
mertua dan adik-adik iparnya untuk mencari rumah penginapan.
Akan tetapi, tiba-tiba seorang anak kecil, anak laki-laki yang usianya kurang lebih dua belas tahun, seorang
anak yang berpakaian pengemis, menghampiri mereka yang sedang berjalan perlahan di atas jalan raya itu
dan berbisik kepada Ceng Ceng. Ceng Ceng dan rombongannya mengira bahwa anak itu tentu hendak
mengemis, akan tetapi betapa kaget hati Ceng Ceng ketika mendengar anak itu berbisik, “Apakah Toanio
mengenal Topeng Setan?”
Tentu saja Ceng Ceng kaget karena Topeng Setan adalah nama julukan suaminya dulu ketika suaminya
belum menikah dengan dia dan suka menggunakan topeng buruk menutupi wajahnya yang tampan. “Anak
baik, kau membawa berita apa dari Topeng Setan?” tanyanya, berbisik dan membungkuk. (baca Kisah
Sepasang Rajawali)
“Saya disuruh menyerahkan surat ini,” jawab anak itu, mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya
yang butut.
“Ah, terima kasih!” Ceng Ceng berseru, menerima surat itu dan mengeluarkan beberapa potong uang kecil.
“Ini hadiah untukmu.”
“Tidak, Toanio. Saya sudah menerima hadiah cukup dari pengirim surat ini.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah berkata demikian, bocah itu lari meninggalkan Ceng Ceng dan rombongannya. Ceng Ceng lalu
menoleh kepada ayah mertuanya dan berkata, “Ayah, lihatlah, seorang anak jembel pun mempunyai
kejujuran.”
Jenderal Kao Liang mengangguk dan menghela napas panjang. “Justeru kejujuran biasanya ditemukan
pada orang-orang bodoh dan miskin, sebaliknya orang-orang yang mengaku dirinya terpelajar dan pandai,
agaknya tidak mengenal lagi kejujuran yang mereka anggap semacam kebodohan.”
Ceng Ceng membuka sampul surat dari suaminya itu dan melihat tulisan suaminya di atas kertas, tulisan
yang amat dikenalnya.
‘Isteriku, harap ajak ayah dan adik-adik ke kuil kosong di sudut barat kota.’
Ceng Ceng memperlihatkan surat itu kepada ayah mertuanya. Hati bekas jenderal ini girang bukan main
dan diam-diam dia kagum kepada putera sulungnya itu yang ternyata telah dapat mengetahui bahwa dia
dan dua orang puteranya datang bersama menantunya. Dia membenarkan sikap putera sulungnya yang
berhati-hati dan tidak menghendaki pertemuan di tempat terbuka.
“Mari kita pergi ke sana,” katanya kepada Ceng Ceng dan mereka berempat lalu menuju ke barat. Malam
telah tiba dan mereka menghampiri kuil yang tua, kosong dan gelap itu.
“Ayah...!” Kao Kok Cu menyambut kedatangan ayahnya dengan memberi hormat sambil berlutut di atas
lantai ruangan kuil itu. Ruangan itu luas dan sebagian dindingnya sudah runtuh, atapnya juga sebagian
banyak terbuka. Di atas meja butut terdapat dua batang lilin yang dinyalakan oleh pendekar itu dan
lantainya dibersihkan.
Bekas jenderal itu mengangkat bangun putera sulungnya dan memandang dengan penuh perhatian dan
penuh selidik. Kao Kok Cu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian sederhana. Tubuhnya tinggi
dan padat, dan kelihatan agak kurus. Wajahnya yang tampan itu kelihatan agak muram. Lengan kirinya
yang buntung tertutup lengan baju yang tergantung lepas. Inilah dia Naga Sakti dari Gurun Pasir, pendekar
sakti yang berilmu tinggi, akan tetapi yang kini bersama isterinya merana dan berduka, mencari putera
mereka yang hilang.
“Saya melihat Ceng Ceng muncul bersama Ayah dan adik-adik, maka saya menyuruh anak pengemis
mengirim surat,” katanya setelah bangkit berdiri, memandang ayahnya yang kelihatan demikian muram dan
berduka, bahkan sepasang mata kakek itu basah. Melihat ini, Kao Kok Cu bertanya khawatir, “Ada apakah
Ayah? Apa yang terjadi?”
“Twako...!” Dua orang adiknya berseru dan kini dua orang muda itu menangis sambil merangkul kakak
mereka.
“Ehh, ehhh, Adik Tiong dan Han! Ada apakah?” Kok Cu bertanya, semakin kaget dan khawatir. “Mari kita
duduk di lantai dan bicara!”
Mereka berlima duduk di atas lantai membentuk lingkaran dan berceritalah Jenderal Kao Liang tentang
semua peristiwa yang terjadi, tentang malapetaka yang menimpa keluarganya. Semua dia ceritakan
dengan jelas, melewati hal-hal yang dianggapnya kurang penting. Sebagai penutup, dia menghela napas
panjang dan berkata, suaranya gemetar, “Kami bertiga masih bingung dan tertekan oleh peristiwa hebat itu
dan engkau dapat membayangkan betapa gelisah hatiku. Akan tetapi, kemudian kami bertemu dengan
isterimu dan mendengar bahwa cucuku juga hilang! Aihhh, Kok Cu, apa yang dapat kita lakukan
sekarang?” Ayah itu mengusap ke arah bawah matanya untuk menghapus dua tetes air matanya.
Si Naga Sakti dari Gurun Pasir tidak menjawab, tangan kanannya dikepal, sepasang matanya mencorong
seperti mengeluarkan api, seperti mata naga ketika tertimpa sinar dua batang lilin yang lemah. Mendengar
betapa ibunya, iparnya, bibinya, keponakan keponakannya diculik orang, betapa keluarga ayahnya,
tertimpa malapetaka yang hebat itu, dia menjadi marah bukan main. Anaknya sendiri lenyap dan kini
ibunya dan semua keluarganya diculik orang.
Melihat keadaan pendekar itu, ayahnya dan dua orang adiknya memandang dengan kaget dan gentar juga.
Memang hebat sekali melihat sepasang mata yang mencorong itu. Menakutkan! Mereka hanya menanti
ketika melihat Kok Cu diam saja, wajahnya seperti topeng, keras dan kaku, hanya matanya yang
dunia-kangouw.blogspot.com
mencorong itulah yang hidup, bergerak seperti mata naga mencari mustikanya. Melihat ini, mengertilah
Ceng Ceng bahwa suaminya menderita himpitan batin yang hebat dan betapa suaminya sedang
mengerahkan sinkang untuk menghadapi penderitaan itu. Tahulah dia betapa suaminya marah dan andai
kata orang-orang yang menyebabkan malapetaka itu berada di situ, berapa pun banyaknya, betapa pun
kuatnya, tentu akan mengalami saat kiamat di tangan suaminya!
“Suamiku, kemarahan adalah sia-sia, hanya melemahkan batin dan mengeruhkan plkiran,” katanya dengan
suara halus, tangannya meraba lengan suaminya. Kata-kata itu adalah kata-kata suaminya sendiri yang
sekarang dia pergunakan untuk membantu suaminya sadar akan keadaan dirinya.
Perlahan-lahan wajah yang kaku itu bergerak dan hidup kembali. Kok Cu menghela napas panjang dan
matanya, biar pun masih mencorong, namun tidak liar seperti tadi ketika dia menoleh dan memandang
isterinya. Dia tidak menjawab, akan tetapi jari-jari tangannya memegang tangan isterinya, tergetar dan
Ceng Ceng dapat menerima rasa syukur dan terima kasih yang terpancar melalui getaran jari-jari tangan
dan pandang mata suaminya itu. Dia merasa terharu dan dua titik air mata membasahi kedua matanya. Dia
menunduk dan dua titik air mata itu menetes turun.
“Ayah, tidak mungkin semua peristiwa ini terjadi secara kebetulan saja. Ayah dipecat tanpa kesalahan,
kemudian perjalanan Ayah ke kampung diganggu, keluarga kita diculik dan harta yang dikumpulkan secara
jujur, hasil pengabdian Ayah selama puluhan tahun dicuri, dan bukan itu saja, juga cucu Ayah diculik orang.
Aku dan Ceng Ceng sudah melakukan penyelidikan, mencari-cari Cin Liong, dan kami sependapat bahwa
Cin Liong bukan pergi dan tersesat begitu saja, melainkan tentu ada yang membawanya pergi. Semua ini
kurasa ada hubungannya, saling kait-mengait. Bukankah menurut cerita Ayah tadi, di antara para
penghadang yang kemudian saling bertempur sendiri, di antara mayat mereka terdapat pengawalpengawal
istana?”
Bekas jenderal itu mengangguk. “Aku sendiri memang sudah menduga demikian, Kok Cu. Akan tetapi,
sungguh aneh sekali kalau begitu. Apa perlunya kaisar melakukan semua kekejian itu terhadap kita? Dan
siapa yang melaksanakannya? Tadinya kami mengira keluarga Suma, akan tetapi ternyata bukan.”
“Memang bukan. Aku sudah berjumpa dengan kedua orang Paman Suma, dan mereka itu sama sekali
tidak tahu, bahkan mereka berjanji akan membantu kita untuk menyelidiki,” kata Ceng Ceng yang percaya
sepenuhnya kepada dua orang pamannya dari Pulau Es itu.
“Aku sendiri tidak akan percaya kalau keluarga Pulau Es mencampuri urusan yang keji ini, akan tetapi kita
tidak bisa mengandalkan orang lain. Kita harus menyelidiki sendiri. Karena awal peristiwa ini dimulai
dengan pemecatan Ayah di kota raja, maka kurasa semua rahasia ini bisa didapatkan di kota raja. Aku
bersama isteriku akan melakukan penyelidikan ke kota raja, Ayah. Sekali kita mengetahui rahasianya,
kiranya tidak akan sukar mencari di mana mereka itu menyembunyikan keluarga kita dan anakku.“
“Akan tetapi... ahhh, bagaimana kalau sampai terlambat? Kalau sampai anakku Cin Liong...?” Ceng Ceng
tak dapat melanjutkan kata-katanya dan mukanya menjadi pucat.
“Tidak mungkin!” Tiba-tiba Kok Cu berseru nyaring sekali, mengejutkan Jenderal Kao dan dua orang
puteranya. “Kalau terjadi apa-apa dengan anakku dan keluarga kita, mereka semua, siapa pun adanya
mereka itu, bahkan kaisar sendiri sekali pun, tidak akan dapat terlepas dari tanganku!” Hebat bukan main
ancaman ini dan hati Jenderal Kao Liang yang semenjak nenek moyangnya amat setia kepada kaisar,
seperti tertusuk. Akan tetapi ayah yang bijaksana ini tidak berkata sesuatu, karena maklum bahwa dalam
keadaan seperti itu, dilanda oleh kegelisahan dan kemarahan, tidak baik kalau menentang putera
sulungnya.
“Baiklah, Kok Cu. Engkau pergilah bersama isterimu menyelidiki ke kota raja. Engkau tentu mengerti
bahwa tidak mungkin bagi ayahmu untuk kembali ke sana, setelah ayahmu dipecat. Kami bertiga akan
melakukan penyelidikan dengan cermat sekali lagi di tempat peristiwa kehilangan itu terjadi. Siapa tahu
kami akan bisa menemukan jejak.”
Malam itu mereka tidak tidur, tidak meninggalkan ruangan itu, melainkan bercakap cakap saling
menceritakan perjalanan mereka lebih jauh. Pertemuan yang sangat mengharukan dari keluarga seorang
jenderal yang pernah menjadi panglima besar, yang kini mengadakan pertemuan di kuil kosong, sunyi dan
kotor. Biar pun keadaannya demikian, agaknya pertemuan itu tentu akan berlangsung penuh kegembiraan
kalau saja tidak terjadi peristiwa-peristiwa hebat yang menimpa keluarga mereka. Tetapi kini, pertemuan itu
menjadi pertemuan yang amat mengharukan dan menyedihkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Kok Cu dan Ceng Ceng sudah berlutut di depan kaki Jenderal
Kao Liang dan bermohon diri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja di mana mereka akan
menyelidiki rahasia malapetaka yang menimpa keluarga mereka. Jenderal Kao Liang mengelus kepala
mereka seperti memberi berkah, kemudian Kok Cu merangkul kedua orang adiknya. Pergilah suami isteri
pendekar ini meninggalkan kuil tua dalam cuaca yang masih gelap.
Jenderal Kao Liang sendiri bersama putera-puteranya lalu meninggalkan kota Pao-ting, menuju ke daerah
lembah Huang-ho di mana keluarga mereka lenyap dan mereka pun hendak melakukan penyelidikan yang
lebih cermat setelah kini mereka tahu bahwa bukan keluarga Suma yang melakukan semua kejahatan
terhadap keluarga mereka itu.
Pada suatu siang, tibalah mereka di tempat itu, di mana dahulu mereka meninggalkan keluarga mereka
yang kemudian lenyap. Mereka berhenti di celah tebing di mana rombongan mereka diserang dan banyak
yang mati keracunan oleh balok-balok yang menghadang jalan. Mereka termenung berdiri di situ. Peristiwa
yang telah lalu itu seperti baru terjadi dan masih terbayang di mata mereka.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara derap kaki kuda. Mereka cepat menoleh dan dari belakang mereka
datang sepasukan orang berkuda yang jumlahnya ada dua puluh orang lebih.
“Hati-hati, dan jangan sembarangan turun tangan,” bisik Jenderal Kao Liang kepada dua orang puteranya.
Mereka berdiri di tepi jalan dan memandang pasukan yang datang semakin dekat itu. Mereka mengira
bahwa rombongan yang ternyata bukan pasukan kerajaan, melainkan pasukan yang memakai pakaian
aneh, bukan seperti tentara namun memakai seragam berwarna biru gelap, akan lewat. Akan tetapi,
ternyata mereka itu menghentikan kuda mereka ketika tiba di situ dan kini mereka melihat sulaman gambar
naga di dada baju orang-orang itu! Seorang di antara mereka, yang tinggi kurus, melompat turun dari atas
kudanya dan berdiri di depan Jenderal Kao Liang sambil tersenyum lebar.
Ayah dan anak ini sangat terkejut ketika mengenal orang ini. Inilah orang yang berjuluk Hoa-gu-ji (Kerbau
Belang), seorang tokoh dari Kui-liong-pang dan tahulah mereka kini bahwa mereka berhadapan dengan
orang-orang Kui-liong-pang, salah satu di antara gerombolan-gerombolan yang memperebutkan harta
benda mereka! Jenderal Kao Liang maklum bahwa orang ini lihai, akan tetapi dia bersikap tenang, walau
pun dia dan dua orang puteranya sudah siap untuk menghadapi perkelahian.
Akan tetapi, setelah tertawa, Hoa-gu-ji sama sekali tidak menyerang atau memberi isyarat untuk
menyerang. Sebaliknya malah, dia memberi hormat dan menjura kepada Jenderal Kao Liang sambil
berkata, “Kao-goanswe, maafkan kalau kami mengganggu. Kami sengaja menemui Kao-goanswe untuk
menyerahkan bungkusan ini, harap kau suka menerima dan memeriksa isinya.”
Hoa-gu-ji mengeluarkan sebuah bungkusan kecil berwarna kuning. Walau pun meragu, Jenderal Kao Liang
menerimanya juga.
“Siapa yang menyuruhmu?” tanyanya.
“Bukalah, dan engkau akan mengetahuinya sendiri, Kao-goanswe,” jawab Hoa-gu-ji.
Jenderal Kao Liang membuka bungkusan itu, dengan hati-hati karena dia tentu saja tidak percaya kepada
orang seperti tokoh Kui-liong-pang ini. Akan tetapi, begitu isi bungkusan itu nampak, Kok Tiong yang
bersama Kok Han ikut pula memperhatikan, berseru kaget.
“Ini tusuk konde isteriku!” teriaknya.
Jenderal Kao Liang mengangguk dan memeriksa sebuah cincin bermata biru, cincin milik isterinya!
Ternyata orang telah mengirim dua buah benda itu yang cukup menjadi bukti bahwa keluarga Kao berada
di tangan mereka!
“Keparat, kau apakan mereka? Di mana mereka?” Kok Tiong sudah mencabut pedang diikuti oleh Kok
Han, akan tetapi Jenderal Kao Liang cepat mencegah mereka dan menyuruh mereka mundur dan
menyimpan pedang mereka kembali. Sementara itu, Hoa-gu-ji yang akan diserang itu hanya memandang
sambil tersenyum lebar saja.
dunia-kangouw.blogspot.com
Jenderal Kao Liang membuka sampul surat yang berada di dalam bungkusan bersama dua buah benda
perhiasan wanita itu.
Jenderal Kao Liang,
Kalau engkau ingin bertemu dengan keluargamu, ikutlah bersama utusan kami dan taati semua
perintahnya.
Surat itu tanpa tanda tangan, tetapi maksudnya sudah cukup dan jelas bagi Jenderal Kao Liang. Dengan
adanya tusuk konde menantunya dan cincin isterinya, jelas bahwa keluarganya berada dalam
cengkeraman pengirim surat ini dan kalau dia menghendaki dapat bertemu kembali dengan mereka,
bahkan demi keselamatan mereka, dia dan dua orang puteranya harus menyerah!
“Baiklah, kami akan ikut bersama kalian,” kata Jenderal Kao, lalu kepada Kok Han dia berkata, “Kao Han,
engkau susul twako-mu ke kota raja.”
“Baik, Ayah,” kata Kok Han yang tadi juga sudah ikut membaca surat itu. Dia menjura kepada ayahnya,
memeluk kakaknya, lalu berlari pergi dengan cepat.
Hoa-gu-ji tidak mencegahnya karena menurut perintah, dia hanya disuruh menangkap Jenderal Kao Liang
saja. Dia lalu melucuti pedang Jenderal Kao dan Kok Tiong, kemudian mereka berdua dibelenggu dan
disuruh naik ke atas punggung kuda, kemudian keduanya dibawa pergi dengan mata ditutup kain hitam.
Ayah dan anak ini tak pernah melepaskan perhatian dalam perjalanan itu. Akan tetapi, mereka tahu bahwa
tidak mungkin mereka dapat melalui bukit-bukit dan hutan-hutan yang dapat mereka ketahui dari jalan yang
naik turun dan dari hawa dan suara angin di antara banyak pohon, suara burung dan binatang hutan.
Malam itu mata mereka dibuka ketika rombongan berhenti di dalam sebuah hutan yang gelap, dan mereka
diberi makan yang cukup baik, diperlakukan dengan sikap yang hormat biar pun Hoa-gu-ji dan seluruh
anggota rombongan tidak pernah bicara.
Pada keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan dan kembali mata mereka ditutup. Ketika hari telah panas,
mereka berhenti, ayah dan anak ini lalu diturunkan dari punggung kuda, dibawa masuk ke dalam rumah
yang luas dan ke dalam ruangan. Mata mereka dibuka dan mereka memandang silau.
Ruangan itu luas dan di situ terdapat banyak pintu. Di tengah ruangan terdapat meja besar dan di belakang
meja duduk beberapa orang. Ketika Jenderal Kao Liang mengenal Hek-tiauw Lo-mo yang duduk pula di
dalam ruangan itu, dia terkejut, akan tetapi dia diam saja, pura-pura tidak mengenalnya. Dengan adanya
Hek-tiauw Lo-mo di situ, tahulah dia bahwa dia terjatuh ke tangan gerombolan orang dari dunia hitam,
orang-orang yang berniat memberontak terhadap kerajaan, karena Hek-tiauw Lo-mo dahulu juga bersekutu
dengan pemberontak.
Diam-diam dia memperhatikan, demikian pula puteranya. Di antara semua orang yang berada di kursi-kursi
belakang meja itu, yang paling menarik perhatiannya adalah seorang laki-laki muda yang kelihatan
berwibawa, berkulit kehitaman dengan hidung melengkung dan mata cekung, gagah dan tampan namun
juga aneh dan asing, rambutnya coklat dan pakaiannya indah dan mewah. Dia duduk di tengah-tengah dan
di sebelah kanannya duduk seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun bertubuh seperti
raksasa, kepalanya botak dan bermantel merah. Pemuda yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan
kakek botak itulah yang agaknya menjadi orang-orang terpenting di situ, maka Jenderal Kao Liang
menujukan pandang matanya kepada mereka.
Dugaannya benar. Pemuda itu lalu bangkit berdiri dan menyambutnya dengan mata bersinar dan mulut
tersenyum lebar. “Ah, sungguh merupakan kebahagiaan besar dapat bertemu muka dengan Jenderal Kao
Liang yang namanya pernah menggetarkan dunia! Haaii, Hoa-gu-ji, hayo cepat buka belenggu mereka!”
Hoa-gu-ji memberi hormat dan dibantu oleh beberapa orang, dia membuka belenggu tangan Jenderal Kao
Liang dan puteranya. Mereka lalu mundur kembali dan kini pemuda berkulit kehitaman itu berkata lagi,
“Jenderal Kao Liang, silakan kau duduk bersama puteramu dan menikmati hidangan kami sebagai
penyambutan!”
Jenderal Kao Liang melangkah maju mendekati meja, menjura sebagai balasan penghormatan lalu
berkata, “Kita tidak perlu berpura-pura lagi. Aku dan puteraku bukanlah tamu undangan, melainkan
tawanan. Oleh karena itu, harap segera memberi penjelasan. Apakah sebabnya engkau menawan
keluarga kami dan siapakah engkau?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha, sungguh hebat dan tegas!” Tiba-tlba kakek botak itu berkata dan matanya memandang penuh
kagum. “Memang tepat menjadi seorang jenderal yang pandai!”
“Suhu, tidak percuma dia pernah menjadi panglima besar,” kata pula orang muda itu, lalu dia berkata lagi
kepada Jenderal Kao Liang. “Memang engkau benar, Jenderal Kao. Kita tidak perlu berpura-pura lagi.
Memang, kami yang telah menawan keluargamu. Akan tetapi kami tidak berniat buruk, melainkan hendak
mengajak engkau untuk bekerja sama dengan kami.”
Jantung Kao Liang berdebar tegang. Jadi, keluarganya masih hidup? Semua selamat? Akan tetapi,
mendengar betapa orang muda asing ini mengajak dia bekerja sama, dia merasa curiga sekali. Kerja sama
dalam hal apa? Betapa pun juga, Kao Liang adalah bekas panglima besar dan dia sudah sering kali
menghadapi urusan-urusan besar, sungguh pun belum pernah dia menghadapi ancaman hebat bagi
seluruh keluarganya seperti sekarang ini yang membuat hatinya tegang luar biasa. Sebelum melanjutkan
percakapan, dia harus melihat buktinya lebih dulu, bukti bahwa keluarganya dalam keadaan selamat
semua.
Dengan sikap tenang dan air muka sama sekali tidak berubah, bekas jenderal itu lalu berkata dengan sikap
hormat pula, “Soal kerja sama dan yang lain-lain baru bisa dibicarakan dengan hati terbuka kalau kami
sudah diperbolehkan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa keluarga kami berada di sini dalam
keadaan selamat. Sebelum itu, engkau tentu mengerti bahwa kami tidak mungkin dapat melakukan
percakapan dengan hati terbuka.”
Kembali Liong Bian Cu tertawa. “Benar sekali kata-katanya itu, bukan, Suhu?”
Ban Hwa Sengjin mengangguk. “Dia memang laki-laki sejati!”
“Suhu, harap suka membawa mereka melihat-lihat keluarga mereka. Akan tetapi hanya melihat saja karena
belum sampai saatnya mereka diperkenankan bicara dan bertemu dengan keluarga mereka.”
Ban Hwa Sengjin kembali mengangguk, lalu bangkit berdiri dan ditemani oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hekhwa
Lo-kwi, dia lalu menghampiri Jenderal Kao Liang dan puteranya.
“Goanswe dan Sicu, mari silakan ikut bersama kami.”
Dengan jantung berdebar tegang Kao Liang dan Kok Tiong mengikuti tiga orang kakek itu. Ban Hwa
Sengjin berjalan di depan, diiringkan oleh Kao Liang dan Kok Tiong sedangkan dua orang kakek iblis itu
mengikuti dari belakang. Mereka melalui lorong berlika-liku di dalam gedung besar itu dan akhirnya Ban
Hwa Sengjin berhenti dan memberi isyarat kepada dua orang itu untuk berhenti. Mereka tiba di sebuah
ruangan kecil dan tidak jauh di depan terdapat sebuah pintu yang lebar dan di depan pintu ini berdiri enam
orang penjaga yang memegang senjata. Melihat kedatangan Ban Hwa Sengjin, mereka lalu cepat memberi
hormat.
“Buka daun pintu kayu itu lebar-lebar agar kami dapat melihat mereka yang berada di dalam!” kata Ban
Hwa Sengjin kepada kepala penjaga.
Perintah ini cepat ditaati, rantai pintu itu dibuka dan pintu itu didorong ke samping. Ternyata di balik pintu
kayu itu terdapat pula ruji-ruji besi seperti kerangkeng dan di belakang ruji-ruji ini terdapat sebuah kamar
yang besar sekali, dengan beberapa buah pembaringan, meja dan kursi-kursi. Dan di dalam kamar besar
yang ditutup ruji dan dijaga ketat itu terdapat beberapa orang wanita dan anak-anak, ada yang sedang
berbaring, ada yang duduk membaca, ada pula yang menyulam, ada yang sedang bercakap-cakap.
Melihat mereka itu, Kao Liang dan Kao Tiong memandang dengan mata terbelalak. Mereka itulah keluarga
yang hilang! Dan tidak ada seorang pun yang kurang. Masih lengkap dan kelihatannya memang sehat,
sungguh pun di antara mereka ada yang kelihatan pucat dan kurus. Dan biar pun tidak ada yang kelihatan
gembira, namun harus diakui bahwa mereka itu selamat dan agaknya kamar besar itu cukup baik, mereka
cukup terjamin.
“Ayah...!” Tiba-tiba seorang anak laki-laki berseru dan menuding ke arah Kok Tiong.
Semua orang dalam kamar itu menengok dan terjadilah pemandangan yang amat memilukan. Para wanita
itu sejenak memandang dengan mata terbelalak ke arah Kao Liang dan Kao Tiong, seolah-olah tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
percaya, kemudian terdengarlah seruan-seruan mereka memanggil dan tangis mereka riuh-rendah.
Mereka semua lari ke ruji-ruji besi, seperti tawanan-tawanan yang melihat keluarga datang berkunjung.
Ban Hwa Sengjin mengembangkan kedua lengannya ketika melihat Kao Liang dan Kok Tiong bergerak
hendak maju, sambil berkata, “Cukup sudah untuk membuktikan bahwa keluargamu dalam keadaan
selamat, Kao-goanswe.” Lalu dia memerintahkan kepada para penjaga, “Tutup kembali pintunya!”
Kao Liang dan Kok Tiong berdiri tegak dengan muka pucat dan mata terbelalak, melihat betapa wajahwajah
orang yang mereka cinta itu lenyap kembali di pintu kayu dan tangis mereka masih terdengar lapatlapat.
Seperti ditusuk-tusuk rasa jantung Kok Tiong mendengar putera sulungnya yang baru berusia empat
tahun itu memanggil manggilnya dari balik daun pintu. Ingin dia memberontak dan memecahkan daun pintu
itu, akan tetapi dia maklum bahwa itu bukanlah cara yang baik dan selamat, maka dia menekan
perasaannya dan ketika tangan ayahnya menjamah lengannya, dia memutar tubuh dan bersama ayahnya
mengikuti kakek botak kembali ke ruangan tadi di mana pemuda berkulit kehitaman itu masih menanti
mereka sambil tersenyum-senyum.
Begitu tiba di ruangan itu, Kao Liang lalu menghadapi pemuda asing itu dan berkata dengan suara tegas,
“Orang muda, apakah artinya semua ini? Lekas katakan, siapakah engkau dan kerja sama yang
bagaimana yang kau minta dariku?”
“Kao-goanswe, dan Kao-sicu, duduklah kalian agar kita dapat bicara dengan baik,” kata Liong Bian Cu
sambil memberi isyarat kepada pelayan.
Segera pelayan datang membawa cawan dan meletakkan cawan dan mangkok di depan ayah dan anak
itu, kemudian hidangan dikeluarkan, hidangan yang masih panas. Liong Bian Cu lalu menuangkan sendiri
arak ke dalam dua cawan di depan ayah dan anak itu, mempersilakan mereka untuk minum.
“Maaf, orang muda. Sebelum kami mengenal siapa engkau dan mengetahui apa maksudmu menawan
keluarga kami, bagaimana kita dapat minum dan makan seperti antara sahabat?” Kao Liang berkata lagi
dan tidak menyentuh cawan arak itu. Juga Kok Tiong duduk tegak dengan mata menatap wajah pemuda
berkulit kehitaman itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Liong Bian Cu tersenyum melihat penolakan ayah dan anak itu. Dia minum araknya dari cawan, lalu
meletakkan cawan itu di atas meja dan berkatalah dia sambil menatap tajam wajah bekas jenderal itu,
“Kao-goanswe, saya bernama Liong Bian Cu dan biar pun engkau belum pernah bertemu dengan saya dan
belum mengenal saya, akan tetapi saya kira engkau tentu sudah mengenal baik mendiang ayah saya.”
Kao Liang mengerutkan alisnya. “She Liong...?” dia berkata lirih dan mengingat-ingat karena setahunya,
yang she Liong adalah pangeran-pangeran dari Kerajaan Ceng!
“Benar, Goanswe, mendiang ayah saya adalah Pangeran Liong Khi Ong!”
“Ahhh...!” Bukan main kagetnya Kao Liang mendengar ini, juga Kok Tiong terkejut dan timbul kekhawatiran
besar di dalam hatinya. Mendiang Liong Khi Ong adalah seorang pemberontak besar dan ayahnya adalah
bekas panglima yang telah membasmi kaum pemberontak. Kenyataan ini saja sudah amat jelas berbicara
mengapa keluarga Kao diculik dan ditawan!
“Antara mendiang Pangeran Liong Khi Ong dan saya memang terdapat pertentangan,” akhirnya Kao Liang
berkata dengan suara berat, “Akan tetapi itu bukan merupakan permusuhan pribadi, melainkan dalam
kedudukan saya sebagai panglima perang abdi negara. Maka saya tidak melihat dasar-dasar yang kuat
mengapa Kongcu mengambil tindakan terhadap keluarga saya yang tidak tahu-menahu tentang
pertentangan antara mendiang ayahmu dan saya itu.”
Liong Bian Cu tersenyum lebar. “Tenanglah, Goanswe. Sudah kukatakan tadi bahwa kami menawan
keluargamu sama sekali bukan dengan niat yang buruk! Dan saya sama sekali tidak menaruh dendam
pribadi kepadamu. Saya bukanlah seperti orang biasa yang mabuk oleh dendam dan sakit hati pribadi.
Saya adalah seorang pangeran, cucu dari raja besar di Nepal.”
Kao Liang rnengangguk-angguk dan mendengar bahwa putera Pangeran Liong Khi Ong ini juga
merupakan cucu Raja Nepal, tahulah dia dan teringatlah dia bahwa Pangeran Liong Khi Ong memang
mempunyai seorang selir, yaitu puteri Raja Nepal. Jadi pemuda inikah keturunannya dari puteri Nepal itu?
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia lalu memandang kepada kakek botak dan kedua kakek lain yaitu Hek-tiauw Lo-mo yang seperti
raksasa menyeramkan, dan kakek muka tengkorak yang tidak kalah mengerikan itu.
“Dan saya memperkenalkan Locianpwe ini adalah guru saya, juga beliau adalah koksu dari Nepal, berjuluk
Ban Hwa Sengjin,” Liong Bian Cu berkata dan kakek botak itu bangkit berdiri.
Kao Liang makin kaget dan cepat dia bangkit berdiri memberi hormat yang dibalas oleh kakek botak itu.
Kiranya Pangeran Nepal ini berada di situ bersama Koksu Nepal! Tentu ada apa-apa di balik ini semua,
ada sesuatu yang amat penting! Akan tetapi dia menekan keheranannya dan tetap bersikap tenang.
“Mereka berdua ini adalah dua di antara pembantu-pembantu kami, Goanswe. Beliau ini adalah Locianpwe
Hek-hwa Lo-kwi, dan Locianpwe ini adalah Hek-tiauw Lo-mo.”
“Ha-ha-ha, Jenderal Kao Liang sudah mengenalku!” berkata Hek-tiauw Lo-mo sambil tertawa dan minum
araknya.
“Kiranya Kongcu adalah pangeran dari Nepal dan lengkap dengan para pembantu yang amat lihai. Akan
tetapi apa hubungannya itu dengan keluarga saya? Kerja sama apa yang dapat saya lakukan untuk
Kongcu?”
“Kami tahu bahwa Goanswe adalah seorang ahli dalam ilmu perang. Mungkin untuk seluruh Tiongkok pada
waktu ini, Goanswe adalah orang yang paling pandai! Kami amat membutuhkan bantuanmu, Kaogoanswe.
Kami ingin agar engkau suka memimpin orang-orang kami, menjadikan tempat ini, lembah ini
sebagai benteng yang amat kuat. Terus terang saja, kami berniat untuk menentang kaisar, dan kami sudah
menerima janji bantuan dari Gubernur Ho-nan dan banyak pula pembesar lain, baik sipil mau pun militer.”
Berubah wajah bekas jenderal itu. Keluarga Kao sejak turun-temurun adalah pahlawan pahlawan yang
setia! Dan sekarang, Pangeran Nepal ini mengajak dia bersekutu untuk memberontak terhadap kerajaan!
Hampir saja tangan Kao Liang menghantam meja di depannya saking marahnya, matanya mendelik dan
kumisnya seolah-olah berdiri. Dia tidak mampu bicara saking marahnya.
“Engkau berjanji akan membantu kami, Kao-goanswe, dan kami pun akan berjanji untuk menjamin
keselamatan jiwa raga keluargamu. Bukankah itu sudah adil sekali?” Liong Bian Cu kembali berkata
dengan suaranya yang tenang dan halus.
“Tidak...! Tidak sudi aku...!” Tiba-tiba Jenderal Kao berteriak dan cepat bangkit berdiri, mengepal tinjunya,
mukanya merah dan matanya mendelik.
“Ayah...!” Kok Tiong berkata lirih, suaranya penuh kegelisahan. “Ayah, harap Ayah sudi menyelamatkan
dua orang cucumu!” Muka orang muda ini pucat sekali karena dia maklum bahwa nyawa seluruh keluarga
yang dikurung di sana tadi berada di telapak tangan ayahnya!
“Tidak...! Seribu kali lebih baik kita mati semua!” kembali Kao Liang berseru keras dan pada saat itu
terdengar jerit tertahan dari balik sebuah pintu.
“Gihu (Ayah Angkat)...!” Dan muncullah Syanti Dewi bersama Hwee Li dari balik pintu itu. Syanti Dewi lari
menghampiri Kao Liang. Bekas jenderal ini terkejut, menoleh dan segera memeluk Syanti Dewi yang sudah
merangkulnya dan menangis di atas dadanya yang bidang.
“Kau...? Dewi...? Kau... juga di sini?” bekas jenderal itu berkata heran dan juga bingung, penuh
kekhawatiran.
“Gihu, saya menjadi... tawanan perang di sini. Baru hari ini saya mendengar bahwa keluarga Gihu semua
juga menjadi tawanan di sini... harap Gihu tidak menggunakan kekerasan dan bersikap bijaksana untuk
menyelamatkan keluarga Gihu...!”
“Syanti Dewi, biar pun kami memberi kebebasan kepadamu, akan tetapi perbuatanmu ini lancang sekali
dan tidak tahu tata susila. Harap kau suka meninggalkan ruangan ini,” kata Liong Bian Cu dengan sikap
halus.
Syanti Dewi segera melepaskan pelukan ayah angkatnya dan mundur dengan kedua pipi kemerahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Semua ini tentu gara-gara Hwee Li!” Hek-tiauw Lo-mo membentak, lalu berkata kepada dara itu dengan
nyaring, “Hwee Li, hayo kau ajak Sang Puteri pergi dari ruangan ini!”
Dara cantik jelita yang barusan datang bersama Puteri Bhutan itu berdiri tegak, bertolak pinggang
menghadapi Hek-tiauw Lo-mo kemudian berkata, “Memang benar aku yang mengajaknya ke sini! Habis,
kau mau apa?” Sikapnya menantang sekali, mengherankan Kao Liang dan puteranya. Alangkah beraninya
sikap dara cantik jelita ini, dan anehnya, Hek-tiauw Lo-mo yang biasanya sangat angkuh itu, kejam dan
ganas, sekali ini tidak menjawab apa-apa atas tantangan itu!
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru