Senin, 07 Agustus 2017

Cersil Kho Ping Hoo : Sepasang Pedang Iblis 5

 Cersil Kho Ping Hoo : Sepasang Pedang Iblis 5 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf  Cersil Kho Ping Hoo : Sepasang Pedang Iblis 5
kumpulan cerita silat cersil online
-
"Gak Bun Beng, secara kebetulan sekali engkaulah orangnya yang menemukan sepasang pedang itu.
Sepasang Pedang Iblis yang dijadikan rebutan dunia kang-ouw. Akan tetapi sebatang di antaranya, Lammo-
kiam, dirampas orang dari tanganmu pula. Karena itu, setelah engkau berhasil sembuh, menjadi
kewajibanmulah untuk menjaga agar jangan sampai pedang itu dipergunakan orang untuk menimbulkan
kekacauan di dunia ini. Sepasang Pedang Iblis itu adalah sepasang pedang yang amat ampuh, jarang
dapat dicari tandingnya di dunia ini. Syukur bahwa yang sebatang telah kau berikan kepada Kwi Hong.
Hanya Hok-mo-kiam sajalah yang kiranya akan dapat menandingi Sepasang Pedang Iblis. Sayang bahwa
Hok-mo-kiam terampas oleh Tan Ki yang gila dan gurunya yang lihai itu."
"Suma-taihiap, saya berjanji bahwa jika saya dapat sembuh, saya akan mengerahkan seluruh akal dan
tenaga untuk merampas kembali Hok-mo-kiam, untuk membasmi Tan-siucai dan gurunya yang jahat, dan
tentu saja untuk membalas dendam atas kematian Suhu Siauw Lam Hwesio."
"Hemm, cita-cita hidupmu di masa depan penuh dengan bahaya dan permusuhan. Semoga engkau akan
dapat mengatasi itu semua, Bun Beng. Nah, berangkatlah!"
Setelah memberi hormat kepada pendekar sakti itu dan keponakannya dari atas perahu, Bun Beng
mendayung perahunya ke tengah. Setelah angin bertiup membuat layarnya berkembang, perahu melaju
cepat dan dua orang yang memandangnya dari pantai itu hanya tampak seperti dua buah titik yang
akhirnya lenyap pula.
Bun Beng memeriksa peta yang ia terima dari Pendekar Siluman. Sungai lebar di mana perahunya
sekarang berada akan bertemu dengan Sungai Huang-ho, melewati Terusan Besar untuk kemudian
menuju ke laut. Ada petunjuk dan tanda-tanda di peta itu mengenai letak Pulau Neraka, jauh di utara,
bahkan ada penjelasan bahwa dia akan melalui lautan yang banyak terdapat gunung-gunung es
mengapung dan merupakan tempat berbahaya sekali.
Bun Beng teringat akan tokoh-tokoh Pulau Neraka yang amat aneh dan lihai, juga kejam. Teringat akan
pemuda tampan dari Pulau Neraka, hatinya penuh dengan rasa benci dan tak senang. Akan tetapi kalau ia
teringat akan kakek muka kuning yang lucu aneh dan agak miring otaknya itu, yang dua kali ia temui ketika
kakek itu menolong dia dan Milana di atas perahu, kemudian ketika kakek itu menolongnya pula di atas
layang-layang raksasa, dia tersenyum sendiri.
Betapa pun anehnya, betapa pun tersohor jahatnya Pulau Neraka, dia tidak bisa membenci kakek muka
kuning itu, biar pun dia tahu bahwa kakek itu adalah seorang tokoh besar dari sana! Dia rasa, kakek itu
akan suka menolongnya dan memberi tetumbuhan obat anti racun. Ataukah... jangan-jangan kakek muka
kuning itulah Majikan Pulau Neraka? Ah, tidak mungkin. Bukankah pemuda tampan itu putera Majikan
Pulau Neraka? Pemuda itu selain tampan juga pesolek, pakaiannya indah-indah, dan kakek muka kuning
itu seperti orang gila, pakaiannya tidak karuan dan tak bersepatu. Betapa pun juga, kakek muka kuning itu
tentu bukan tokoh sembarangan dari Pulau Neraka.
Dua hari dua malam lamanya Bun Beng berlayar dan akhirnya perahunya memasuki Sungai Huang-ho. Dia
merasa berterima kasih sekali kepada Pendekar Super Sakti karena setelah diobati oleh pendekar itu,
kedua kakinya yang lumpuh mulai dapat ia gerakkan dan kedua lututnya sudah hampir bersambung lagi,
tidak begitu nyeri rasanya, juga dadanya tidak sesak lagi. Akan tetapi, selama dua hari itu, dia berpikir dan
mengambil keputusan bulat untuk tidak pergi ke Pulau Neraka.
Dia benci harus bertemu dengan pemuda Pulau Neraka itu yang dianggapnya amat sombong. Dia tidak
sudi merengek minta obat ke sana, membayangkan betapa pemuda tampan itu akan memandangnya
penuh ejekan dan hinaan. Hanya sedikit sekali harapan untuk bisa mendapatkan obat dari Pulau Neraka.
Bukankah ia mendengar desas-desus bahwa Pulau Neraka tidak bersahabat dengan Pulau Es? Bukankah
ketika ada pertemuan di pulau tengah Sungai Huang-ho dahulu, terjadi pula pertentangan dan persaingan
antara Pulau Neraka, Thian-liong-pang dan Pulau Es?
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau memang racun di dalam darahnya akan membuatnya mati, dia seratus kali lebih rela mati di mana
saja dari pada di Pulau Neraka, lebih dahulu harus mengalami penderitaan batin kalau dihina dan diejek
orang-orang Pulau Neraka. Yang lebih hebat lagi, kalau surat dari Pendekar Super Sakti itu mereka tolak
atau tidak mereka sambut dengan baik, betapa akan menyakitkan hatinya! Dan dia tentu takkan banyak
berdaya terhadap penghuni-penghuni Pulau Neraka yang demikian lihainya.
Tidak, dia tidak mau ke Pulau Neraka dan teringat akan Sungai Huang-ho, dia tahu ke mana dia harus
pergi. Ke tempat di mana dia menemukan Sepasang Pedang Iblis! Ke tempat di mana terdapat sahabatsahabatnya
terbaik selama ini, yaitu sekumpulan kera baboon dengan siapa ia pernah hidup selama
berbulan-bulan lamanya! Tempat itulah yang menjadi tempat seorang manusia sakti, gurunya yang tak
pernah dikenalnya, yang telah meninggalkan Sepasang Pedang Iblis itu dan kitab pelajaran ilmu silat tinggi
kepadanya. Kalau dia kembali ke sana dan mati di sana, hanya sekumpulan kera baboon itu saja yang
akan mengetahuinya, tiada seorang pun manusia lain yang akan melihat keadaannya.
Tiada seorang pun manusia pernah datang ke tempat itu, karena tidak ada yang tahu bagaimana caranya.
Hanya dia seoranglah yang tahu. Caranya mudah sekali biar pun penuh bahaya maut, mempertaruhkan
nyawa. Biasa saja, hanya terjun ke dalam pusaran maut, membiarkan pusaran itu yang menyeret tubuhnya
ke bawah dan ia akan sampai di tempat itu. Tentu saja kalau Tuhan menghendaki, kalau tidak, sekali
dibenturkan pada batu-batu di bawah air oleh tenaga pusaran air, tubuhnya akan remuk. Apa bedanya?
Dia toh akan mati juga. Selama paling banyak setengah tahun, kata Pendekar Super Sakti!
Dengan keputusan hati yang bulat ini, Bun Beng berlayar menuju ke pulau di tengah muara Sungai Huangho.
Sepekan lamanya setelah perahunya masuk sungai itu, sampailah dia dekat pulau dan langsung ia
mengemudikan perahu menuju ke sebelah selatan pulau di mana terdapat pusaran maut.
"Haiiii...! Orang muda, jangan ke sana... berbahaya...!" Beberapa orang nelayan dari perahu masingmasing
berteriak-teriak memperingatkan Bun Beng.
Akan tetapi pemuda ini malah tersenyum geli melihat tingkah para nelayan itu yang memperingatkan dia
agar jangan mendekati pusaran maut. Justeru pusaran air itulah tujuannya, tentu saja menggelikan sekali
melihat mereka memperingatkan dia jangan mendekati tempat itu. Dia malah menurunkan layar dan
mendayung perahunya cepat-cepat menuju ke pusaran air, diikuti pandang mata terbelalak dan muka
pucat oleh para nelayan yang tentu saja sudah mengenal tempat itu yang amat ditakuti semua nelayan.
Mereka berteriak-teriak kaget dan kasihan ketika melihat perahu dengan orang muda itu dicengkeram
pusaran air, perahunya berputar-putar dan tiba-tiba pemuda itu terlempar ke tengah pusaran sedangkan
perahunya pecah berantakan mengeluarkan suara keras. Perahu itu hancur berkeping-keping dan tubuh
pemuda itu lenyap ditelan pusaran air! Semua nelayan menahan napas, kemudian hanya menggelenggeleng
kepala melanjutkan pekerjaan mereka, diam-diam mencatat bahwa pusaran maut itu kembali telah
menelan nyawa seorang manusia yang agaknya masih asing dengan daerah itu dan tidak tahu bahwa di
situ terdapat pusaran air yang amat berbahaya.
Dalam keadaan setengah pingsan, setelah terjun dan menyelam, tubuh Bun Beng terbawa oleh pusaran air
yang menyedotnya ke bawah. Ia merasa tubuhnya dihanyutkan oleh kekuatan yang amat dahsyat, yang
membuat tubuhnya terpusing cepat sekali, ia merasa tubuhnya sakit-sakit akan tetapi sedikit pun dia tidak
mau melawan karena dia maklum bahwa melawan berarti mati. Tenaga yang demikian dahsyatnya hanya
dapat dihadapi dengan penyerahan total, tanpa perlawanan sedikit pun sehingga tubuhnya seperti sehelai
daun yang menurut saja.
Dalam keadaan pingsan, Bun Beng terus disedot ke bawah, dihanyutkan dan ketika ia siuman kembali,
seperti dahulu ketika ia masih kecil terjun ke tempat ini, tahu-tahu ia mendapatkan dirinya telah berada di
mulut sebuah goa. Tubuhnya terasa sakit-sakit dan pakaiannya robek-robek, kulitnya babak bundas,
berdarah di sana-sini, agaknya karena terbentur dan tergurat batu-batu ketika pusaran air itu
menghanyutkan tubuhnya. Sambil mengeluh Bun Beng bangkit duduk, memandang ke sekelilingnya yang
hanya batu-batuan belaka, dalam cuaca yang remang-remang dan ternyata dia berada di mulut goa yang
amat besar dan di sebelah kirinya terdapat air mancur yang mengeluarkan bunyi gemuruh.
Ia menarik napas lega. Dua kali ia memasuki pusaran maut, dan dua kali secara mukjizat dia selamat!
Dengan penuh harapan dan penuh rindu ia memandang ke kanan kiri, menanti munculnya kera-kera
baboon yang dahulu pernah mengeroyoknya kemudian menjadi sahabat-sahabatnya selama lebih dari
setengah tahun. Akan tetapi sunyi saja di situ, tidak tampak seekor pun kera dan suara apa-apa kecuali
bunyi air terjun yang bergemuruh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika ia memandang penuh perhatian, ia merasa heran karena tempat di mana ia pertama kali didaratkan
oleh pusaran air tidaklah seperti sekarang ini. Dahulu tidak ada air terjun yang demikian besar, dan ia
dahulu didaratkan oleh gelombang air sungai yang mengalir di dalam gunung batu. Sekarang, tidak tampak
air mengalir di depannya yang ada hanya air terjun itulah. Melihat letak dia mendarat, dia dapat menduga
bahwa tentu dia tadi terbawa oleh air itu dan terjatuh ke bawah bersama air terjun itu. Ia bergidik. Benarbenar
aneh. Kalau dia terjatuh bersama air itu, dengan kepala lebih dulu, tentu kepalanya akan pecah!
Tidak salah lagi. Bukan ini tempat dia dahulu pertama kali dihanyutkan pusaran air itu. Ini adalah tempat
lain lagi. Ia mencoba untuk menggerakkan kedua kakinya. Sudah dapat digerakkan, akan tetapi masih
terlalu lemah untuk dipakai berdiri. Ia merangkak dengan hati-hati memasuki goa itu yang ternyata amat
dalam dan setelah merangkak sejauh dua mil lebih, tibalah ia di tempat terbuka, penuh batu-batu liar dan
matahari menyinari tempat terbuka yang luas itu. Sunyi sekali keadaan di situ, yang ada hanya batu-batu
besar tanpa ada tetumbuhan atau pohon sebatang pun. Batu-batu yang agak basah dan licin. Tiba-tiba
Bun Beng berhenti bergerak ketika ia melihat sebuah meja di tengah tempat terbuka itu!
Meja kecil dari kayu, sebuah tempat lilin dekat meja dan di atas meja terdapat sebuah kitab! Tentu ada
manusianya, karena lilin itu menyala, menyorotkan sinarnya ke atas meja yang tertutup bayangan batu
dinding tinggi! Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dari sebelah kiri, Bun Beng menahan napas ketika
melihat bahwa orang itu adalah seorang wanita yang berkerudung mukanya. Ketua Thian-liong-pang!
Celaka, pikirnya. Kiranya tempat ini adalah tempat rahasia, agaknya menjadi tempat persembunyian Ketua
Thian-liong-pang!
Wanita itu agaknya yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain, maka dengan tenang ia membuka
kerudung mukanya. Jantung Bun Beng berdebar tegang. Ia segera mengenal wanita cantik ibu Milana
yang pernah dilihatnya ketika wanita ini bertemu dengan Pendekar Super Sakti, memperebutkan anak
mereka, Milana! Hatinya diliputi keheranan besar. Wanita itu amat cantik jelita, seperti Milana dan kelihatan
masih muda. Mukanya berkulit putih halus, agaknya karena jarang terkena sinar matahari, dan sepasang
matanya tajam luar biasa.
"Singgg...!" Wanita itu mencabut sebatang pedang, kemudian menghampiri meja dan membalik-balik
lembaran kitab yang berada di atas meja.
Agaknya dia mencari-cari dan setelah bertemu dengan halaman yang dicarinya, kitab itu dibiarkan terbuka,
dibaca sebentar dengan alis berkerut, kemudian membuat gerakan dengan pedang perlahan-lahan seperti
seorang mempelajari sebuah jurus ilmu pedang. Jurus yang aneh sekali dan biar pun digerakkan perlahan,
pedang itu mengeluarkan bunyi berdesing-desing, naik turun suaranya ketika gerakan-gerakannya berubah
sehingga seperti suling ditiup melagu! Kemudian wanita itu melangkah ke belakang tiga tindak dan
mainkan jurus dengan cepat. Bukan main!
Pandang mata Bun Beng menjadi silau karena pedang itu lenyap menjadi segulung sinar putih seperti kilat
yang mengeluarkan bunyi berdesing-desing aneh. Akan tetapi, yang membuat dia terheran-heran adalah
persamaan jurus itu dengan jurus dari ilmu silat dalam kitab yang ditemukannya dahulu, dalam Sam-po-cinkeng!
Tiba-tiba dia melihat hal yang aneh terjadi pada diri wanita itu. Setelah bersilat pedang beberapa lamanya,
mengulang-ulang jurus aneh itu, tiba-tiba wanita itu terhuyung ke depan dan terdengar suaranya penuh
penyesalan. "Keparat! Selalu terserang pusing dan sesak bernapas setiap mainkan jurus ini! Apanya yang
kurang?" Saking marah dan penasaran, tiba-tiba wanita itu sambil menahan keseimbangan tubuhnya,
melontarkan pedang itu ke belakang tanpa menengok, melalui kepalanya.
"Wuuuttt... singggg...!" Pedang terbang melayang ke arah Bun Beng!
"Ceppp!" Pedang itu menancap pada batu yang berada di depan Bun Beng, menancap sampai tembus,
dan ujungnya hampir mengenai pelipis kiri Bun Beng, hanya kurang beberapa sentimeter lagi!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati pemuda itu yang cepat melemparkan tubuh ke belakang,
terlentang dan tak berani bernapas, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Ia hanya terlentang tanpa
berani berkutik, memandang ke arah ujung pedang itu. Terdengar olehnya langkah kaki agak diseret. Tentu
wanita itu masih belum pulih keadaannya yang secara aneh seperti orang terserang dari dalam tubuh
sendiri dan membuatnya tadi terhuyung.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sratttttt!" Ujung pedang yang tampak oleh Bun Beng itu lenyap, tanda bahwa pedangnya telah dicabut
orang dari batu itu, kemudian terdengar suara wanita itu penuh penasaran dan kecewa.
"Kitab yang mengandung ilmu iblis! Cara berlatih sinkang telah kupelajari, gerakan pedangku pun menurut
petunjuk dan sudah benar, mengapa kepalaku menjadi pening dan napas sesak seperti terpukul ketika
mainkan jurus ketiga belas itu? Mengapa tidak ada petunjuk cara mengatur napas? Gila benar! Setahun
lebih mempelajarinya, macet pada jurus ketiga belas!"
Dengan jantung masih berdebar tegang, Bun Beng bangkit lagi, mengintai dari celah-celah batu karang.
Untung bahwa suara air terjun yang jauhnya dua mil lebih itu agaknya menerobos terowongan goa dan
menimbulkan suara gemuruh sehingga gerakannya tidak dapat terdengar oleh wanita lihai itu. Kini ia
melihat wanita itu menyimpan kembali pedangnya, memakai kerudung penutup kepala, kemudian dengan
langkah perlahan dan lesu wanita itu meniup padam lilin, dan berjalan menuju ke sebuah pintu besi yang
tertutup oleh beberapa buah batu besar. Wanita itu mendorong sebuah batu di ujung kanan dan terbukalah
daun pintu itu. Wanita itu masuk dan daun pintu tertutup kembali.
Namun, sampai sejam lebih, Bun Beng belum berani keluar dari tempat sembunyinya, khawatir kalau-kalau
wanita itu tiba-tiba muncul kembali. Tak dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi kalau dia bertemu
dengan wanita itu. Mungkin dia dibunuhnya mungkin disiksanya, siapa yang dapat menduga apa yang
akan dilakukan oleh wanita cantik jelita yang berwatak seperti setan itu.....?
Setelah hampir dua jam menanti dan merasa yakin bahwa wanita itu tidak akan muncul, Bun Beng
merangkak keluar dari belakang batu menghampiri meja. Lututnya sudah tak terasa nyeri, hanya masih
lemah, maka dengan berpegang pada meja, ia dapat mengangkat tubuh berdiri. Dengan tangan kiri
menahan, menekan ujung meja, tangan kanannya memeriksa kitab yang terletak di atas meja itu. Kitab
yang tidak berjudul, akan tetapi di dalamnya terkandung pelajaran semedhi menghimpun sinkang yang
aneh, dan di bagian belakangnya terdapat pelajaran ilmu silat pedang yang gerakan-gerakannya mirip
dengan gerakan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng.
Bun Beng tertarik sekali. Tanpa disengaja ia tiba di tempat itu, dan tidak ada jalan keluar baginya, berarti
bahwa agaknya dia harus tinggal di situ sampai kematian merenggutnya. Dari pada termenung memikirkan
nasib, sebagai seorang penggemar ilmu silat tentu saja kitab itu merupakan hiburan besar baginya, untuk
mengisi kekosongan. Mulailah ia membaca bagian pertama, bagian berlatih sinkang.
Dia sudah banyak melatih sinkang dengan cara semedhi yang berlainan, yang ia pelajari dari mendiang
gurunya, Siauw Lam Hwesio, dan dari Siauw-lim-pai, di mana dia menerima tuntunan dari Ketua Siauw-limpai
sendiri, yaitu Ceng Jin Hosiang. Kemudian ia pun mempelajari cara semedhi dan melatih sinkang dari
pelajaran yang dulu ia baca dari Kitab Sam-po-cin-keng. Kini, pelajaran dari kitab kuno itu mempunyai cara
tersendiri, sungguh pun mirip dengan cara yang diajarkan di Sam-po-cin-keng, namun terdapat perbedaan
cara perkembangannya.
Setelah membaca dan menghafal bagian terdepan, yaitu cara bersemedhi, ia berhenti dan membuka kitab
itu pada halaman seperti tadi sebelum dibacanya, yaitu halaman dua puluh, karena perutnya terasa lapar
sekali. Dia mulai merasa bingung. Apa yang akan dimakannya untuk mengisi perutnya? Tidak ada
sebatang pun pohon di situ, dan agaknya tidak ada seekor pun binatang. Dia mulai merangkak di antara
batu-batu, dan mencari-cari. Akhirnya, di bagian yang tertutup bayangan, yang agak gelap dan hanya
kadang-kadang saja terkena sinar matahari, dia menemukan banyak jamur yang bentuknya seperti
payung, warnanya agak kemerahan dan baunya amis seperti darah.
Bun Beng memetik sebuah kepala jamur dan membawanya ke tempat terang. Jamur itu warnanya merah
dan bersih, kelihatan enak sekali, akan tetapi begitu ia dekatkan ke mulut, bau amis membuat ia muak dan
dia tidak jadi memakannya. Kemudian ia teringat akan ucapan mendiang suhu-nya mengenai manusia, di
antaranya tentang cara manusia makan. Terngiang di telinganya suara gurunya itu,
"Bun Beng, manusia pada umumnya menderita dalam hidupnya, terjadi pertentangan dalam batinnya
sendiri karena seluruh gerak-geriknya dikuasai dan dikendalikan oleh nafsunya. Penggunaan panca
indrianya sudah tidak pada tempatnya lagi. Lihat saja kalau manusia makan. Apakah sebetulnya maksud
dari makan? Apakah manfaat dan kegunaannya?"
"Agar perut yang lapar menjadi kenyang, agar dia tidak mati kelaparan Suhu," jawabnya dahulu, ketika ia
baru berusia belasan tahun.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Benar, dan agaknya semua manusia mengerti akan hal itu. Akan tetapi pengertian itu hanya menjadi
hafalan kosong belaka, karena tidak demikianlah prakteknya dalam hidup. Manusia makan bukan untuk
perut lagi, melainkan untuk mulut! Karena itu, bukan sang perut yang diingat di waktu makan, melainkan
sang mulut! Bukan manfaatnya bagi sang perut lagi yang dipentingkan melainkan kelezatan bagi sang
mulut sehingga hilanglah arti sesungguhnya dari pada makan. Maka timbullah bermacam pertentangan
batin, timbullah keinginan untuk mendapatkan yang enak-enak bagi sang mulut. Manusia tidak peduli lagi
akan arti makan bagi perut, melainkan mencurahkan perhatiannya untuk mendapatkan makan yang enak
bagi mulut, tidak menghiraukan lagi apakah makanan itu baik bagi perut atau tidak."
Sekarang dia baru mengerti akan tepatnya ucapan suhu-nya itu, dan ia mengingat akan wejangan
selanjutnya.
"Seperti juga dengan mulut, manusia menyalah gunakan mata, telinga, hidung dan semua panca indrianya.
Lupa lagi akan tugas sesungguhnya dari pada semua anggota yang menjadi alat hidup itu sehingga
semuanya dikuasai oleh nafsu ingin nikmat, ingin senang tanpa menjenguk faedahnya. Maka selalu
mencari pemandangan yang indah-indah dan merangsang, yang enak bagi nafsu. Telinga selalu mencari
pendengaran yang indah bagi nafsu, hidung pun ingin selalu mencium yang sedap-sedap bagi nafsu, tanpa
mengingat lagi akan kemanfaatannya. Dengan demikian, hidup ini menjadi kosong dan tidak berarti, hanya
menjadi gerak pemuasan sang nafsu, menjadi budak pengabdi keinginan nafsu belaka!"
Teringat akan ini, di tempat sunyi itu, dalam menghadapi maut, pikiran Bun Beng menjadi jernih dan dapat
menangkap arti dari pada ucapan suhu-nya itu, baru terbuka mata batinnya. Ia memandang lagi jamur di
tangannya, kemudian dengan menekan nafsu yang menguasai hidupnya, lenyaplah bau amis dan lenyap
pula kemuakannya, dan dimakanlah jamur itu. Dia tidak mempedulikan lagi rasanya karena tidak mau lagi
dikuasai nafsu, yang diperhatikan hanyalah perutnya yang butuh isi.
Setelah menghabiskan tiga buah jamur, perutnya menjadi kenyang. Akan tetapi tiba-tiba perutnya terasa
sakit seperti diremas-remas. Dia pergi sampai ke sudut dan membuang air besar di antara batu-batu
basah, demikian hebat perutnya terkuras sampai dia jatuh pingsan, diam-diam dia mengeluh bahwa jamur
yang dimakannya itu tentulah mengandung racun yang akan membunuhnya. Akan tetapi dia tidak merasa
menyesal, juga tidak takut karena memang dia tahu bahwa dia sedang menghadapi kematian. Mati
sekarang atau beberapa bulan lagi, apa bedanya?
Bun Beng siuman kembali. Sebelum membuka mata, dia mendengar suara mengiang-ngiang diseling
suara berdetak seperti tambur dipukul, ataukah kepalanya yang dipukuli dengan irama teratur? Dia
membuka matanya. Tidak ada siapa-siapa di situ, dan kepalanya tidak dipukuli orang. Akan tetapi suara itu
masih terus berbunyi, mengiang-ngiang dan berdetak-detak. Ketika ia memperhatikan, kiranya yang
terdengar mengiang-ngiang adalah desir darahnya sendiri dan suara berdetak adalah denyut jantungnya!
Wah, racun jamur bekerja dan aku akan mati, pikirnya.
Akan tetapi, biar pun dia menanti datangnya maut sampai berjam-jam, maut tidak datang menjemput,
bahkan suara itu makin lama makin melemah akhirnya lenyap. Jalan darahnya normal kembali. Ia bangkit
duduk dan aneh, lututnya tidak selemas tadi! Perutnya tidak nyeri lagi, dan masih terasa kenyang.
Wajah pemuda itu berseri gembira. Ia teringat akan kata-kata suhu-nya lagi, dan dia tidak peduli. Karena
yang ada hanya jamur, jamur pulalah yang akan dimakannya kalau perutnya membutuhkan. Dia tidak perlu
khawatir akan kebutuhan air. Di banyak tempat terdapat air bertitik, bahkan ada yang mengucur kecil dari
celah-celah batu. Dan jamur merah banyak sekali terdapat di situ, tidak akan habis dimakan bertahuntahun
karena tentu akan tumbuh lagi. Yang jelas, jamur itu mengenyangkan perutnya.
Makin giranglah hatinya setelah mendapat kenyataan bahwa kini perutnya tidak mulas lagi, hanya ia selalu
mesti buang air setelah makan jamur, dan kedua lututnya cepat sekali sembuh, tenaganya pulih.
Pada hari ketiga, Bun Beng mulai melatih diri dengan semedhi seperti yang diajarkan di dalam kitab kuno
di atas meja itu. Untuk menjaga agar dia dapat bersembunyi dan mengetahui kalau wanita itu muncul, dia
menumpuk beberapa batu sebesar kepalan tangan di depan pintu rahasia. Kalau wanita itu muncul,
tumpukan batu itu tentu akan runtuh dan mengeluarkan bunyi yang dapat membuat dia cepat bersembunyi.
Kekuasaan Tuhan memang tak dapat terlawan oleh kekuasaan apa pun juga. Kalau Tuhan belum
menghendaki seseorang mati, ada saja jalan yang ditempuh orang itu tanpa disadarinya. Demikianlah pula
dengan keadaan Bun Beng. Pemuda ini sudah jelas keracunan darahnya, dan Pendekar Sakti Suma Han
dunia-kangouw.blogspot.com
sendiri sudah memeriksa dan menyatakan bahwa kalau tidak mendapatkan obat, pemuda itu hanya akan
dapat hidup paling lama setengah tahun saja!
Akan tetapi, karena terpaksa, tidak ada makanan lain kecuali jamur merah, dan karena sadar akan
wejangan mendiang suhu-nya, Bun Beng nekat makan jamur, sama sekali tidak tahu bahwa jamur itu
mengandung racun yang amat kuat. Racun terhisap oleh darahnya dan bertemu dengan racun di dalam
darahnya akibat perbuatan Pendeta Maharya. Betapa ajaibnya, kedua racun itu adalah racun yang sifatnya
bertentangan sehingga saling membunuh! Andai kata Bun Beng tidak keracunan darahnya, tentu dia akan
mati oleh racun jamur. Kini, racun jamur itu malah menjadi ‘obat’ yang menghilangkan ancaman maut oleh
racun yang berada dalam darahnya. Tentu saja Bun Beng tidak tahu akan hal ini, hanya dia merasa betapa
kesehatannya pulih kembali dengan cepat.
Dengan hati-hati sekali ia menjaga diri agar jangan sampai ketahuan oleh Ketua Thian-liong-pang yang
ternyata datang ke tempat itu kurang lebih sebulan sekali. Setiap kali datang melalui pintu rahasia itu, Bun
Beng cepat bersembunyi dan mengintai, dan dia kembali menyaksikan betapa wanita sakti itu selalu macet
kalau berlatih ilmu pedang sampai ke jurus tiga belas! Selalu terhuyung-huyung dan mukanya menjadi
pucat, napasnya menjadi sesak.
Dengan tekun Bun Beng melatih sinkang menurut petunjuk kitab itu. Tiga bulan kemudian pelajaran ini
selesai dilatihnya dan dengan girang sekali ia mendapat kenyataan bahwa tenaga sinkang-nya meningkat
secara luar biasa sekali, beberapa kali lipat lebih kuat dari pada sebelum ia berlatih. Yang lebih
menggirangkan hatinya lagi, setelah melatih diri dengan sinkang menurut petunjuk kitab itu, dia kini mampu
melakukan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng dengan ringan dan mudah, bahkan dia dapat melakukan gerakan
dengan cara ilmu memindahkan tenaga dengan tepat sekali.
Untuk ilmu memindahkan tenaga ini ia berlatih dengan batu besar yang ia lontarkan ke atas. Ketika batu itu
meluncur ke arah tubuhnya, ia mengikuti gerakan batu itu, serta mengerahkan sinkang ke ujung tangan
yang berlawanan kemudian ia memindahkan tenaga luncuran batu itu ditambah sinkang-nya sendiri
menghantam dari samping, membuat batu itu pecah berantakan!
Setelah selesai melatih sinkang, mulailah ia mempelajari ilmu pedang yang terdapat dalam kitab itu.
Kembali ia tercengang. Ilmu pedang itu memiliki gerakan yang hampir sama dengan Sam-po-cin-keng
sehingga dengan mudah ia dapat melatih diri, menggunakan pedang-pedangan batu yang ia buat dari batu
karang yang banyak terdapat di tempat itu. Ilmu pedang ini terdiri dari tiga puluh enam jurus dan dia
melatih setiap jurus dengan teliti dan hati-hati sekali dan betapa herannya ketika ilmu pedang yang hampir
serupa dengan Sam-po-cin-keng itu ternyata setiap jurusnya merupakan lawan dari jurus-jurus Sam-po-cinkeng!
Agaknya ilmu pedang ini memang sengaja dicipta orang sakti untuk menandingi Sam-po-cin-keng!
Untuk setiap jurus ia latih sampai selama tiga hari, dan makin mendekati jurus ketiga belas, dia makin
berhati-hati. Akan tetapi ketika tiba saatnya ia melatih jurus ketiga belas ini, dia dapat mainkan jurus itu
dengan baik dan tidak terjadi sesuatu dengan dirinya seperti yang diderita oleh Ketua Thian-liong-pang!
Bun Beng jadi tercengang dan termenung setelah selesai melatih jurus ketiga belas ini. Mengapa dia bisa
mainkan dengan baik sedangkan Ketua Thian-liong-pang yang jauh lebih lihai dari pada dia itu tidak
mampu?
Pemuda ini tidak tahu bahwa kini ilmu sinkang-nya sudah amat tinggi, hampir menandingi sinkang Ketua
itu, dan tidak tahu bahwa Ketua itu gagal karena tidak menguasai peraturan pernapasan ketika
mempelajari jurus ketiga belas itu! Ada pun Bun Beng sendiri, biar pun tidak mempelajari pernapasannya
karena kitab itu tidak lengkap, namun dia telah mempelajari pengaturan napas ketika mainkan Sam-po-cinkeng
sedangkan ilmu pedang itu dasarnya sama dengan Sam-po-cin-keng, bahkan menjadi imbangannya.
Dengan girang sekali Bu Beng mendapat kenyataan bahwa telah lima bulan lebih ia berada di tempat itu,
dan kesehatannya terasa makin baik! Dia telah sembuh! Secara aneh dia telah sembuh! Kalau tidak, tentu
dia sekarang telah mati seperti yang dikatakan Pendekar Super Sakti. Pendekar itu tidak mungkin
membohonginya. Jamur itu! Kini ia dapat menduga bahwa tentu jamur-jamur itu yang menyembuhkannya,
maka diam-diam ia menjadi girang dan bersyukur sekali.
Sampai tiga bulan lebih ia mempelajari ilmu pedang dan akhirnya ia dapat mainkan semua jurus ilmu
pedang itu dengan baiknya. Dia sendiri tidak sadar bahwa ketika ia mainkan batu kecil panjang seperti
pedang itu, terdengar suara nyaring melengking dan tampak sinar berkelebatan yang mengandung hawa
sebentar panas sebentar dingin!
dunia-kangouw.blogspot.com
Selama itu, dia selalu bersembunyi kalau Si Ketua Thian-liong-pang muncul. Dia kini telah selesai melatih
diri, dan penyakitnya pasti telah sembuh, maka timbullah keinginan hatinya untuk keluar dari tempat itu.
Tak mungkin dia selamanya akan tinggal di tempat itu setelah kini dia tidak terancam maut. Akan tetapi
bagaimana mungkin dia dapat keluar dari situ?
Dia bersikap sabar dan karena kini dia menduga bahwa jamur-jamur yang setiap hari dimakannya itu
mengandung obat yang menyembuhkannya, maka kini dia mulai mencoba jamur lain karena selain jamur
merah, di situ terdapat jamur putih, biru, hijau dan lain-lain. Selama ini yang dimakannya hanyalah jamur
merah yang amis karena ternyata bahwa jamur itu selain mengenyangkan perut, juga dapat menahan dia
sehingga tidak kelaparan. Kini setelah sembuh, timbul keinginan hatinya untuk mencoba jamur yang lain.
Pertama-tama dia mencoba jamur yang putih. Jamur ini kepalanya berbentuk segi lima ujungnya
meruncing seperti topi seorang petani, baunya tidak amis akan tetapi rasanya agak pahit. Begitu dia makan
tiga buah, dia merasa mengantuk sekali, Bun Beng duduk bersandar batu karang dan merasa betapa
selain mengantuk, juga tubuhnya makin lama makin terasa panas! Mula-mula rasa panas hangat-hangat ini
nyaman sekali, dan ada perasaan girang luar biasa di dalam hatinya.
Akan tetapi makin lama, terdapat perasaan yang amat aneh, yang membuat seluruh urat-urat syaraf
menegang dan dia menjadi gelisah bukan main. Dorongan hasrat nafsu birahi yang amat hebat membakar
tubuhnya, membuat dia menderita hebat sekali, gelisah dan bingung, mengerang-ngerang seperti orang
dibakar perlahan-lahan, bergulingan ke sana-sini untuk melawan dan menekan hasrat yang meluap-luap
itu. Terbayanglah di depan mata, di dalam otak dan di hatinya, wajah-wajah jelita dari Milana, Kwi Hong
dan Siok Bi, puteri Ketua Bu-tong-pai yang manis itu. Terbayang olehnya betapa mereka itu berganti-ganti
tersenyum, bersikap manis dan bergema di telinganya suara mereka yang seperti merayunya.
"Aduhhhh... gila! Aku sudah gila...!" Ia menjambak rambutnya, menampari dahinya, namun tetap saja
bayangan tiga orang dara jelita itu berganti-ganti menggodanya, membuat nafsu birahinya makan
memuncak.
Semalam suntuk Bun Beng mengalami penderitaan yang selama hidupnya belum pernah dia alami. Dia
merasa tersiksa sekali, tetapi juga diam-diam merasa beruntung bahwa pada saat itu dia berada seorang
diri. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya, apa yang akan terjadi andai kata di
waktu itu ada seorang di antara tiga orang gadis itu yang berada di dekatnya! Dia tak dapat bertahan lagi!
Setelah matahari terbit pada keesokan harinya, barulah dia terbebas dari pada siksaan menggila itu.
Seluruh tubuhnya terasa lemah dan lelah sekali, akan tetapi tubuhnya tidak panas dan denyut jantungnya
normal kembali. Ia cepat mandi di bawah air terjun di depan goa, membiarkan air terjun menyiram kepala
dan seluruh tubuhnya sehingga dia kembali merasa segar.
Ketika dia kembali ke dalam, dia bergidik melihat jamur putih dan berjanji tidak akan mencoba-coba lagi
makan jamur setan itu! Diam-diam ia merasa heran mengapa jamur-jamur di situ mengandung daya yang
demikian mukjizat.
Ia kini melirik ke arah jamur biru dan jamur hijau. Akan dicobanya jugakah jamur-jamur ini? Bagaimana
kalau mengandung racun yang lebih mengerikan lagi? Betapa pun juga, hatinya takkan pernah merasa
puas sebelum ia mencobanya. Dia telah makan jamur merah selama setengah tahun di tempat itu dan
akibatnya justru menguntungkan dirinya. Dia telah pula mencoba jamur putih yang biar pun membuat dia
tersiksa hebat semalam suntuk, namun pengalaman itu pun tidak merugikannya. Apa salahnya kalau dia
mencoba jamur yang lain?
Dengan hati-hati ia makan sebuah jamur biru, sebuah saja karena dia sudah kapok, tidak berani makan
banyak sehingga andai kata jamur itu beracun pula, pengaruh racunnya tidak terlalu hebat. Dan jamur ini
lezat rasanya! Tidak berbau, dan rasanya gurih seperti digarami!
Dengan jantung berdebar dia duduk bersandar batu karang, menanti akibat dari jamur biru itu. Suara air
terjun bergemuruh terdengar dari situ. Tiba-tiba ia terbelalak, lalu memejamkan matanya. Apakah ini?
Mabokkah dia? Suara air bergemuruh itu kini lain sekali didengarnya. Seperti berubah menjadi berlagu dan
berirama! Begitu indahnya, seolah-olah bukan suara air terjun, melainkan selosin macam alat musik
ditabuh oleh tangan orang-orang ahli! Seperti dalam mimpi, Bun Beng membiarkan pikirannya melayanglayang
terbuai dan seolah-olah diayun dan dibawa terbang oleh suara air terjun yang berubah menjadi
musik merdu itu.
"Aihh, jangan-jangan aku telah menjadi gila sekarang," pikirnya dan ia cepat membuka matanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia terbelalak dan mulutnya ternganga melihat cahaya matahari yang sekarang menjadi berwarna-warni,
seperti pelangi! Dan batu-batu itu, begitu indah bentuknya dan begitu penuh rasa seni! Benarkah semua
ini? Tempat itu dalam pandang matanya seolah-olah menjadi amat berbeda, menjadi seperti... ah, agaknya
sorga begitulah macamnya! Dia menggerakkan kaki tangannya dan hampir dia berteriak. Dia seperti
melayang-layang! Dia masih duduk di situ, akan tetapi merasa seolah-olah tubuhnya melayang, terbang di
antara sinar matahari yang berwarna-warni indah sekali. Seperti dewa-dewa kalau terbang di antara megamega
di angkasa.
Di antara keadaan sadar dan tidak sadar, Bun Beng mengalami hal yang benar-benar menakjubkan, indah
luar biasa, dan nikmat rasanya. Dia tidak sadar lagi akan keadaan sekitarnya, semua nampak indah,
bahkan dia tidak kaget atau tidak takut ketika melihat pintu rahasia itu terbuka dan seorang wanita
berkerudung meloncat keluar dari pintu, dan terdengar wanita itu berseru kaget dan meloncat cepat, tahutahu
telah berdiri di depannya. Bun Beng memandangnya dengan tersenyum manis dan ramah, senyum
sewajarnya seolah-olah dia bertemu dengan seorang sahabat lama, atau seorang bidadari kahyangan.
Memang pantasnya bidadari! Bentuk tubuh yang amat indah, dan biar pun kepalanya ditutupi kerudung,
namun kelihatannya pantas dan serasi dengan tubuhnya!
"Kau...? Gak Bun Beng...?" Ketua Thian-liong-pang itu membentak, penuh keheranan, kekagetan dan juga
kemarahan.
Bun Beng tersenyum lebar, bangkit berdiri dan memberi hormat. Suaranya penuh kegirangan dan kejujuran
ketika ia berkata, "Benar, Locianpwe, saya Gak Bun Beng. Selamat bertemu dan semoga Locianpwe selalu
bahagia dan sehat seperti saya!"
Agaknya jawaban ini membuat Ketua Thian-liong-pang sedemikian herannya sehingga lupa akan
kemarahannya. "Bagaimana kau bisa berada di sini?"
"Saya? Saya terbang... heh-heh, saya... saya hanyut oleh air sorga, sampai di sini, senang sekali,
Locianpwe. Betapa indahnya sorga ini... heh-heh..."
Sepasang mata di balik kerudung itu berkilat dan Nirahai, wanita berkerudung itu, mengerutkan alisnya.
Heran sekali, pikirnya, bagaimana bocah ini bisa masuk ke sini? Dia melihat sikap dan mendengar
bicaranya, agaknya anak ini telah menjadi gila!
Pada dasarnya, Nirahai bukanlah seorang yang kejam. Sama sekali tidak. Dia dahulu adalah puteri Kaisar
yang sejak kecil telah mempelajari segala macam dasar kebajikan dari kitab-kitab kesusastraan kuno yang
penuh filsafat di samping ilmu silat yang tinggi. Memang wataknya keras dan berdisiplin karena dialah
dahulu menjadi panglima kerajaan ayahnya, memimpin pasukan pembasmi kaum pemberontak yang amat
disegani.
Memang wataknya berubah menjadi dingin karena tekanan batin setelah dia berpisah dari suaminya,
Pendekar Super Sakti, dan rasa sakit hati karena merasa disia-siakan suaminya yang tercinta itu membuat
dia menjadi makin keras dan dingin, namun hal ini sama sekali bukan mengubahnya menjadi seorang yang
berwatak kejam. Dia tadinya bermaksud membunuh Bun Beng, karena pemuda ini selain telah
mengacaukan Thian-liong-pang dan telah membunuh orang-orangnya, juga telah mengetahui rahasianya
bahwa Ketua Thian-liong-pang yang selalu menyembunyikan keadaan dirinya di balik kerudung,
sebetulnya adalah isteri Pendekar Super Sakti.
Di samping itu, karena tahu pula bahwa pemuda ini adalah anak haram dari datuk sesat Gak Liat, maka
dianggapnya bahwa anak itu pun keturunan seorang jahat yang berwatak rendah dan jahat pula. Tetapi
ketika tanpa disangka-sangkanya pemuda itu tahu-tahu muncul di dalam tempat rahasianya ini dalam
keadaan seperti orang gila, dia menjadi tak tega untuk membunuhnya dan merasa kasihan di samping
keheranannya bahwa pemuda itu yang tadinya ia lihat lumpuh dan terluka hebat, masih belum mati,
bahkan tidak lumpuh lagi.
"Bocah gila, berapa lama engkau berada di sini?"
"Ha-ha-ha, Lociapwe baru tahu sekarang, ya? Saya sudah lama sekali di sini, sudah setengah tahun. Haha...
sudah habis kitab itu saya pelajari...!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Apa...? Kau...!" Nirahai meloncat ke depan, tangannya bergerak mencengkeram ke arah pundak Bun
Beng.
"Wuuutttt... heeeiiihhh!"
Dengan gerakan yang ringan dan mudah saja Bun Beng miringkan tubuhnya dan Nirahai berturut-turut
melanjutkan cengkeramannya sampai tiga kali, tetap saja ia mencengkeram angin dan pemuda itu dapat
mengelaknya dengan mudah. Diam-diam ia terkejut menyaksikan gerakan yang luar biasa ringan dan
gesitnya itu.
"Heii, tahan dulu, Locianpwe! Jangan main-main dengan pukulan berbahaya!" Bun Beng mengangkat
tangan, sikapnya riang dan wajahnya berseri, tubuhnya bergoyang-goyang, karena terasa amat ringan,
seolah-olah melayang-layang. Sedikitnya tidak ada pikiran takut, khawatir atau apa saja karena pikiran itu
kosong, pandang matanya menjadi terang, pikirannya terang dan ia merasa seolah-olah dunia, semua
benda, dirinya dan juga Ketua Thian-liong-pang itu telah berubah sama sekali, semua kelihatan
menyenangkan hati!
Inilah akibat dia makan jamur biru yang ternyata mengandung racun yang hebat dan luar biasa, lebih hebat
dari pada racun dan ganja dan madat! Racun jamur biru ini mempengaruhi sistem syaraf di dalam otak,
membuat dia tidak memikirkan, tidak membayangkan sesuatu.
Segala rasa khawatir, takut, marah dan lain-lain timbul dari pikiran dan ingatan. Pikiran menggambarkan
rasa takut, khawatir, iri, dengki dan lain-lain. Maka setelah pengaruh racun itu melenyapkan bayangan ini,
dalam keadaan kosong dan bersih pikiran mereka jadi terang, pandang mata pun tidak dipengaruhi nafsu
yang timbul dari pikiran. Itulah sebabnya maka segala hal tampak, terdengar, dan terasa amat indah oleh
Bun Beng, karena jauh berbeda dari pada biasa. Pikiran yang dibebani segala macam kekhawatiran,
ketakutan dan macam-macam perasaan lain mengeruhkan pandangan dan pendengaran, seperti yang
diderita oleh semua manusia. Namun dalam keadaan istimewa itu, Bun Beng menghadapi kenyataan yang
lain dari pada biasanya.
"Locianpwe, saya telah mempelajari semua isi kitab dengan baik. Bukankah itu menyenangkan sekali?"
Nirahai yang sudah mengangkat tangan itu menurunkan lagi tangannya, memandang tajam penuh
keraguan. Jelas bahwa bocah ini lebih gesit dari pada dahulu ketika membuat kekacauan di Thian-liongpang,
pikirnya. Melihat sikap dan bicaranya, seperti orang yang miring otaknya. Mana mungkin dia berada
di sini selama setengah tahun tanpa dia ketahui? Apa lagi mempelajari seluruh isi kitab. Akan tetapi, siapa
tahu?
"Kau sudah mempelajari semua isi kitab dengan hasil baik? Juga ilmu pedangnya?" Ia bertanya, tertarik
karena selama setahun lebih dia masih belum berhasil melatih ilmu pedang dari kitab itu, selalu gagal
dalam jurus ketiga belas dan seterusnya!
"Heh-heh, tentu saja, Locianpwe selalu gagal dan tersandung dalam jurus ketiga belas dan ke empat
belas."
"Apa...?!" Mata Nirahai terbelalak dan kini dia mencurahkan perhatiannya. Kalau anak ini dapat tahu akan
hal itu, berarti belum tentu dia membohong bahwa dia telah lama berada di sini dan telah mempelajari isi
kitab!
"Dan engkau mengatakan telah berhasil mempelajari semua ilmu pedang itu? Ahhh, siapa mau percaya
omonganmu? Kulihat, sebatang pedang pun engkau tidak punya."
"Saya mempergunakan pedang ini, Locianpwe." Bun Beng memungut batu kecil panjang menyerupai
bentuk pedang dan mengangkat ke atas sambil tersenyum lebar.
"Gak Bun Beng, kalau benar engkau telah dapat menguasai Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut..."
"Aihh, namanya Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit)? Bukan main! Locianpwe tentu ingin
mengetahui bagaimana saya mainkan ilmu itu, bukan?"
Nirahai mengangguk, kagum akan kecerdikan pemuda yang seperti gila itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Terutama jurus ketiga belas dan seterusnya, bukan?"
Kembali Nirahai mengangguk, kini kekagumannya bercampur keheranan. Pemuda itu seolah-olah dapat
membaca isi hati dan pikirannya. Memang demikianlah, dalam keadaan terpengaruh racun jamur biru itu,
ketika pikiran Bun Beng kosong bersih, pandang matanya menjadi tajam luar biasa.
"Nah, lihatlah, Locianpwe!"
Pemuda itu lalu menggerakkan pedang batunya, bersilat pedang mulai dari jurus ketiga belas. Gerakannya
demikian gesit dan sempurna sehingga Nirahai memandang bengong, penuh keheranan dan iri hati karena
dia mendapat kenyataan betapa Bun Beng benar-benar dapat mainkan jurus-jurus itu, ketiga belas sampai
terakhir, dengan lancar, sempurna, dan sama sekali tidak membawa akibat buruk seperti yang telah
dialaminya. Pedang batu itu mengeluarkan bunyi berdesing, melengking seperti suling ditiup, dan terasalah
olehnya hawa dingin dan panas silih berganti keluar dari angin pedang batu itu!
"Hebat...! Luar biasa...!" Nirahai berseru setelah Bun Beng menyelesaikan ilmu silat pedangnya dan
melempar pedang batu ke bawah sambil tersenyum lebar.
Tiba-tiba wanita itu meloncat ke depan dan secepat kilat tangannya bergerak menotok Bun Beng yang
merasa seperti melayang-layang itu, agaknya tidak menyangka buruk sama sekali sehingga dia tidak
mengelak mau pun menangkis.
"Cussss!" Sebuah totokan yang amat tepat mengenai jalan darah di pundak kanannya dan robohlah
pemuda itu dalam keadaan lemas dan lumpuh. Ia roboh terlentang akan tetapi masih memandang ke arah
wanita itu dengan senyum menghias bibir, seolah-olah keadaan tertotok itu mendatangkan rasa senang
yang luar biasa!
Setelah menotok Bun Beng, Nirahai lalu mencabut pedangnya, kemudian dia yang sudah menghafal jurusjurus
ilmu pedang itu lalu bermain silat pedang, mulai dari jurus ketiga belas. Pemuda itu bisa
memainkannya, masa dia tidak? Tingkat kepandaiannya tentu jauh lebih tinggi dari pada pemuda itu,
buktinya pemuda itu dapat dirobohkannya sekali totok. Mungkin karena dia takut-takut, maka dia tidak
pernah berhasil. Kini dia harus nekat, tidak menghentikan gerakannya kalau ada kepeningan dan sesak
dada menyerangnya.
Dalam keadaan terpengaruh jamur biru itu, pandangan Bun Beng menjadi terang dan kini ia dapat melihat
di mana letak kesalahan Ketua Thian-liong-pang itu, ialah di bagian pengaturan napas. Dia melihat dan
mengetahui ini, akan tetapi karena dia kagum akan keindahan yang dilihatnya dalam keadaan terpengaruh
dan mabok itu, dia diam saja, hanya memandang dengan mulut tersenyum.
Nirahai bersilat dengan gerakan cepat dan kuat. Alisnya berkerut, kepalanya terasa pening dan dadanya
sesak, akan tetapi dia tetap nekat melanjutkannya dengan jurus ke empat belas. Dia agak terhuyung,
napasnya terengah, namun dia masih dapat bermain sampai jurus kedua puluh dan tiba-tiba ia
mengeluarkan keluhan pajang, pedangnya terlepas, tubuhnya roboh dan wanita ini pingsan!
Bun Beng mengeluh perlahan. Pemandangan yang indah itu mulai berubah dan akhirnya ia sadar. Tanpa
disengaja oleh Nirahai, totokan itu telah membuyarkan pengaruh racun jamur biru. Makin sadar, makin
terkejutlah Bun Beng teringat akan semua yang telah terjadi tadi. Teringat pula dia akan keadaannya
setelah makan jamur biru dan dia menjadi bengong. Bagaimana dia bisa begitu berubah? Mengapa dia
berani bersikap seperti mempermainkan Ketua Thian-liong-pang dan sama sekali tidak menjadi takut? Kini
timbul rasa takut dan ia cepat mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya. Tak lama kemudian ia berhasil
membobol totokan dan jalan darahnya kembali normal kembali. Cepat ia meloncat dan menghampiri Ketua
Thian-liong-pang yang masih rebah miring dalam keadaan pingsan.
Ah, inilah kesempatan yang ditunggu-tunggunya, ia berpikir cepat. Dia ingin keluar dari tempat ini dan
sekaranglah saatnya! Dia memutar otak sebentar, membayangkan kemungkinan dan bahaya-bahayanya.
Setelah mencari akal, ia cepat melepaskan kerudung penutup muka Ketua Thian-liong-pang itu, juga
menanggalkan jubah luar seperti mantel yang besar, agaknya dipakai oleh Ketua itu sebagai penahan
dingin, tidak lupa mengambil pedang dan sarungnya, kemudian ia meloncat meninggalkan tubuh Ketua
yang pingsan itu, menghampiri pintu rahasia.
Dia sudah tahu akan alat rahasia pembuka pintu itu. Diputarnya batu di sudut dan pintu itu terbuka. Bun
Beng cepat mengenakan kerudung menutupi kepalanya, mengenakan jubah luar yang lebar dan
dunia-kangouw.blogspot.com
menyarungkan pedang Si Ketua yang telah diambilnya. Kemudian dengan tekad bulat ia memasuki pintu
rahasia. Ketika ia menengok ke arah tubuh yang masih belum bergerak, kemudian memandang ke arah
jamur-jamur di sebelah kiri utuk penghabisan kali, dia bergidik.
Jamur-jamur merah telah menolongnya, jamur putih membuat dia terangsang birahi hebat, dan jamur biru...
ah, dia bergidik kalau mengingatnya. Hampir saja dia celaka oleh jamur itu, ataukah sebaliknya?
Bagaimana andakata dia dalam keadaan normal bertemu dengan Ketua Thian-liong-pang? Agaknya,
menurutkan akal waras, dia akan membela diri mati-matian, dan besar kemungkinan dia akan terbunuh.
Kalau begitu, belum tentu jamur biru itu mencelakakannya, bahkan sebaliknya, telah menolongnya
sehingga akibatnya Si Ketua tidak membunuhnya, roboh pingsan dan membuka kesempatan baginya
untuk menyelamatkan diri keluar dari tempat itu.
Pintu rahasia itu bersambung dengan sebuah lorong di bawah tanah yang amat panjang, ada kalanya naik
ada kalanya turun, terbuat dari anak tangga batu. Setelah berjalan cepat lebih dari satu jam, lorong itu
mulai naik melalui tangga batu dan terus naik. Ketika ia keluar dari pintu terakhir, kiranya lorong itu
menembus di sebuah lubang kuburan yang sudah terbuka! Sebuah kuburan tua di tengah-tengah tanah
pekuburan.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika di kanan kiri lobang kuburan itu berdiri belasan orang tokoh
Thian-liong-pang tingkat tertinggi! Untung ia masih ingat akan penyamarannya, maka dia bersikap tenang.
Satu-satunya masalah yang akan dapat menggagalkan penyamarannya adalah suaranya. Akan tetapi,
mengingat betapa anehnya watak Ketua Thian-liong-pang, dia dapat diam saja tanpa mengeluarkan suara
dan siapakah di antara mereka yang berani bertanya akan hal ini? Dia akan menutup mulut, tidak
mengeluarkan kata-kata, seolah-olah Ketua Thian-liong-pang sedang berduka, marah, atau sedang
bertapa... bisu!
Melihat Ketua mereka muncul dari lubang, orang-orang Thian-liong-pang itu segera memberi hormat
dengan membongkok, kemudian mereka mengangkat sebuah peti mati yang berada di situ, dimasukkan
lagi ke dalam lubang, kemudian menutup papan besi yang atasnya penuh tanah dan rumput, ditutupkan
lagi sehingga kini kuburan itu kelihatan seperti kuburan biasa.
Melihat Ketua mereka diam saja dan hanya memandang dengan sinar mata tajam melalui lubang
kerudung, Sai-cu Lo-mo mewakili temannya menjura dan berkata,
"Harap Pangcu sudi memaafkan kami yang tanpa diperintah berani menanti keluarnya Pangcu dari tempat
terlarang. Hal ini kami lakukan dengan amat terpaksa, karena tempat kita kedatangan tamu-tamu dari
Pulau Neraka."
"Apa...?" Bun Beng meniru suara Nirahai yang karena dalam pertemuannya dengan wanita itu, sampai
beberapa kali Nirahai berseru seperti itu. Dengan meniru sebuah kata-kata saja, dengan suara ditinggikan,
Bun Beng tidak melihat adanya bahaya dikenal perbedaannya.
"Mereka berjumlah lima orang dari tingkat teratas, melihat dari warna muka mereka yang berwarna terang.
Agaknya mereka tidak mengandung maksud baik, memaksa hendak berjumpa dengan Pangcu sendiri.
Sekarang mereka berada di dalam ruangan tamu dan dihadapi oleh Tang-kouwnio."
Bun Beng mengerti siapa yang dimaksudkan dengan Tang-kouwnio itu, tentulah Tang Wi Siang yang lihai,
kepala pelayan dan orang kepercayaan Ketua Thian-liong-pang. Timbul kekhawatiran di dalam hatinya,
khawatir akan keselamatan Milana. Maka dia hanya mengangguk, kemudian menggerakkan kepalanya dan
tangannya sebagai perintah agar mereka mengantarkan ke tempat tamu.
Sikap ini agak mengherankan para tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi mereka hanya mengira bahwa
Ketua mereka amat marah mendengar berita itu, dan tentu saja hendak muncul menemui tamu dengan
sikap garang, dikawal dan diantar oleh para pembantunya. Maka Sai-cu Lo-mo lalu membuka jalan dan
diikuti oleh Bun Beng yang sesungguhnya tidak tahu ke mana harus menuju karena dia tidak mengenal
tanah kuburan ini. Kalau dia sudah sampai di dalam markas Thian-liong-pang yang terletak di lembah
Sungai Huang-ho itu, tentu saja dia dapat mengenalnya karena dia pernah berada di situ sebagai ‘tamu’
kemudian sebagai tawanan.
Ketika tiba di ruangan tamu, Bun Beng tanpa bicara menghampiri kursi ketua yang kosong dan duduk
dengan tenang. Lima orang yang mukanya berwarna aneh, hijau pupus, ungu muda, dan merah muda,
dunia-kangouw.blogspot.com
bangkit berdiri dari tempat duduknya, menjura ke arah ‘Sang Ketua’ dan seorang di antara mereka yang
bermuka merah muda dan berkepala gundul kelimis seperti lilin, berkata,
"Kami dari Pulau Neraka, sebagai utusan Tocu (Majikan Pulau) menghaturkan hormat kepada Thian-liongpangcu."
Bun Beng hanya mengangguk, membiarkan mereka duduk kembali dan dia menggapai kepada Tang Wi
Siang yang cepat menghampiri Ketuanya dan memberi hormat. Bun Beng tidak berkata-kata, hanya
menggerakkan tangan menunjuk kepada para tamu dan menggerakan kepalanya diangkat sedikit, sebagai
isyarat agar Tang Wi Siang yang mewakilinya bicara dengan para tamu itu.
Tang Wi Siang menganggap bahwa Ketuanya merasa terlalu tinggi untuk bicara dengan tamu-tamu Pulau
Neraka yang hanya utusan-utusan itu, maka dia sebagai wanita yang cerdik sekali dia berdiri di belakang
Ketuanya lalu berkata nyaring.
"Ketua kami yang mulia telah datang dan kalau kalian berlima dari Pulau Neraka masih dibiarkan duduk
sebagai tamu, hal itu berarti bahwa Ketua kami sudah cukup murah hati dan menerima kedatangan kalian.
Sekarang, harap kalian suka bicara setelah menghadap Ketua kami, apa keperluan kalian datang
mengunjungi Thian-liong-pang!"
Lima orang Pulau Neraka itu mengerutkan alis dan diam-diam merasa mendongkol sekali. Mereka adalah
orang-orang tingkat tinggi dari Pulau Neraka, pula mereka adalah utusan pribadi Ketua atau Majikan
mereka, akan tetapi Ketua Thian-liong-pang menerima mereka tanpa mengucapkan sepatah kata, berarti
memandang sangat rendah!
Si Kepala Gundul muka merah muda yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, gemuk pendek, segera
berkata, "Saya Kong To Tek bersama Sute Chi Song." Dia menuding ke arah orang muka merah muda
kedua yang tubuhnya gendut tinggi besar kepalanya kecil, kemudian melanjutkan, "ditemani tiga orang
para sute yang satu dua tingkat lebih rendah sebagai utusan Tocu kami, selain datang menghaturkan
hormat kepada Ketua Thian-liong-pang, juga kami mendengar bahwa Thian-liong-pangcu telah
mempelajari semua ilmu yang ada di dunia ini. Karena itu, Tocu kami mohon agar Pangcu suka memberi
petunjuk, mengalahkan kami dengan ilmu kami sendiri. Kalau ternyata Thian-liong-pangcu dapat
melakukan hal ini, Tocu menawarkan kerja sama untuk menghadapi Pulau Es, akan tetapi kalau tidak,
berarti benar bahwa Thian-liong-pangcu hanya mencuri ilmu-ilmu itu dari mereka yang telah diculik, maka
tidak dapat mengalahkan kami dengan ilmu kami sendiri karena pihak kami belum pernah ada yang dapat
diculik."
Keadaan menjadi hening dan orang-orang Thian-liong-pang memandang marah. Yang hadir di ruangan
tamu itu hanyalah orang-orang tingkat tinggi dari Thian-liong-pang, Sang Ketua, Tang Wi Siang, Sai-cu Lomo
Bhok Toan Kok, Lui-hong Sin-ciang Chi Kang, dan beberapa orang lagi yang kepandaiannya sudah
tinggi. Mereka memandang ke arah Ketua mereka, menduga bahwa tentu Sang Ketua akan marah dan
menghajar lima orang Pulau Neraka yang telah berani mengeluarkan kata-kata lancang itu.
Akan tetapi, Bun Beng hanya menggerakkan tangan ke arah para pembantu Thian-liong-pang, kemudian
menuding ke arah lima tamu itu. Jelas maksudnya bahwa ‘Sang Ketua’ yang tiba-tiba menjadi ‘pendiam’ itu
memerintahkan agar para tokoh Thian-liong-pang mewakilinya menghadapi para tamu yang menantangnya
berpibu.
"Ngo-wi (Tuan Berlima) dari Pulau Neraka!" kata pula Tang Wi Siang dengan suara nyaring. "Andai kata
Tocu dari Pulau Neraka sendiri yang datang, belum tentu Ketua kami yang mulia merasa cukup pantas
untuk dilayaninya sendiri. Apa lagi hanya utusan-utusan yang tingkatnya rendahan! Kalau memang Pulau
Neraka berniat baik, mengapa mesti menantang? Kalau kalian sudah menantang, di sini cukup tersedia
tenaga untuk melayani kalian, tidak perlu Ketua kami turun tangan, kami para pembantunya sudah cukup
untuk membuka mata kalian bahwa Thian-liong-pang tidak boleh dibuat main-main!"
Bun Beng mengangguk-angguk tanda setuju dan Tan Wi Siang menjadi girang, maka dilanjutkannya,
"Silakan mengajukan jago dari Pulau Neraka, kami akan menandingi!"
Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka yang gundul itu, mengangkat kedua alisnya dan berkata, "Aahhh, Thianliong-
pangcu merasa terlalu tinggi untuk melawan kami? Cukup mengajukan anak buahnya? Baiklah, biar
kita coba-coba sebentar agar Pangcu dari Thian-liong-pang menyaksikan sendiri bahwa kami dari Pulau
Neraka sudah cukup berharga untuk ditandingi sendiri oleh Thian-liong-pangcu. Karena kedatangan kami
dunia-kangouw.blogspot.com
sebagai utusan majikan kami untuk mencoba kepandaian Thian-liong-pangcu, bukan untuk mengadakan
pibu (pertandingan silat), maka biarlah kami hanya mengajukan dua orang jago, yaitu Sute Chi Song dan
saya sendiri. Sute, majulah dan perlihatkan bahwa kita cukup berharga untuk menerima petunjuk Thianliong-
pangcu sendiri."
Laki-laki gendut tinggi besar itu mengangguk lalu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah maju ke
tengah ruangan. Dia menghadapi ‘Ketua’ Thian-liong-pang dan menjura sambil berkata, "Thian-liongpangcu,
saya Chi Song, orang dari kalangan tingkat tiga di Pulau Neraka, mohon petunjuk darimu."
Tang Wi Siang tentu saja tidak berani lancang mengajukan jago, maka dia menoleh ke arah Ketuanya
sambil bertanya, "Harap Pangcu suka menunjuk seorang di antara kami untuk meghadapinya."
Seingat Bun Beng, orang paling lihai di dalam perkumpulan itu sesudah Ketua Thian-liong-pang, adalah
Tang Wi Siang sendiri, kemudian mungkin sekali Paman kakeknya, Sai-cu Lo-mo. Tokoh Pulau Neraka
yang tinggi besar ini, sebagai sute Si Gundul, tentu tidak selihai Si Gundul, maka sebaiknya kalau Chi Song
ini dilawan oleh Sai-cu Lo-mo, sedang nanti Kong To Tek dilawan oleh Tang Wi Siang.
Ia mengharapkan agar kedua orang ‘pembantunya’ itu akan memperoleh kemenangan sehingga dia sendiri
tidak usah maju turun tangan, karena kalau dua orang itu kalah, apa lagi dia sendiri! Dan kalau dia turun
tangan, tentu akan terbuka rahasianya. Hal ini akan menimbulkan keributan. Sebaliknya kalau dua orang
tokoh Thian-liong-pang itu dapat ‘membereskan’ kedua orang Pulau Neraka itu, tentu urusan menjadi
selesai dan dengan mudah dia akan cepat meninggalkan tempat berbahaya itu. Kalau sampai berlamalama,
kemudian muncul Milana, apa lagi kalau sampai muncul ibu Milana sendiri yang tadi pingsan di
dalam tempat rahasia, wah, tentu celaka dia!
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, dia lalu menudingkan telunjuknya ke arah Sai-cu Lo-mo. Kakek
berusia enam puluh tahun lebih yang mukanya menyeramkan seperti muka singa ini, yang pakaiannya
sederhana, rambutnya putih semua, tadinya duduk dan kelihatan lenggat-lenggut mengantuk setelah dia
tadi mengantarkan Sang Ketua ke ruangan itu. Kini tiba-tiba ia meloncat bangun dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha! Terima kasih, Pangcu. Memang sudah saya sangka bahwa tentu Pangcu akan memilih saya
untuk memberi hadiah beberapa gebukan kepada Si Muka Merah ini!" Dia melangkah lebar ke tengah
ruangan menghampiri Chi Song dan setelah berhadapan, keduanya saling pandang dengan sinar mata
tajam menyelidik, seperti tingkah dua ekor ayam yang hendak bertanding.
Chi Song memandang kakek itu dari atas ke bawah, kemudian berkata, "Kalau tidak salah dugaanku,
engkau ini tentulah Sai-cu Lo-mo yang amat terkenal itu!"
"Ha-ha-ha! Kalau sudah mengenal namanya, inilah orangnya dan kalau takut lebih baik lekas berlutut minta
ampun kepada Pangcu kami dan cepat melingkarkan buntutmu lalu angkat kaki dari sini!"
Chi Song bukanlah seorang yang mudah dibikin marah oleh ejekan dan kata-kata menghina. Dia adalah
seorang tokoh yang cukup tinggi tingkatnya di Pulau Neraka, apa lagi bersama suheng-nya saat itu
menjadi utusan Majikannya. Tentu saja dia maklum bahwa kakek muka singa itu mengeluarkan kata-kata
memancing panasnya hati karena kemarahan merupakan langkah awal yang keliru dan merugikan dalam
menghadapi pertandingan melawan orang yang tak boleh dipandang ringan. Ia tersenyum dan berkata,
"Kebetulan sekali, Sai-cu Lo-mo. Biar pun saya tidak berkesempatan, atau mungkin belum berhasil
menerima petunjuk Pangcu kalian, kini berhadapan denganmu, seorang tokoh Thian-liong-pang yang
terkenal, merupakan kehormatan besar sekali. Hanya aku khawatir, kalau sampai engkau kalah oleh
seorang tak terkenal seperti Chi Song ini, hal itu tentu akan menimbulkan malu besar!"
"Ha-ha-ha, engkau boleh juga!" Sai-cu Lo-mo tertawa, maklum bahwa dia tak berhasil memanaskan hati
lawan. "Nah, aku telah siap, majulah!"
Chi Song tersenyum menyeringai dan mukanya yang berwarna merah muda itu kelihatan berkilau. "Engkau
lebih tua dari pada aku, Sai-cu Lo-mo, sepatutnya aku mengalah. Mulailah!"
"Apa? Biar pun engkau lebih muda, akan tetapi engkau seorang tamu, sebagai pihak tuan rumah
selayaknya kalau aku mengalah. Nah, seranglah!" Kedua orang ini memang cerdik dan tahu bahwa
lawannya adalah orang yang berilmu tinggi, maka mereka segan untuk menyerang lebih dulu. Bagi
seorang ahli silat kelas tinggi, menyerang lebih dulu tidak menguntungkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Baik, sambutlah!" Chi Song Si Muka Merah Muda itu membentak.
Tiba-tiba seluruh tubuhnya tergetar dan kedua tangannya bergerak perlahan. Tadinya kedua tangan
dirangkap di depan dada seperti orang memuja dewa, kemudian kedua telapak tangan saling membesut,
yang kiri terus bergerak lurus ke atas, sampai tegak di atas kepala, yang kanan terus bergerak lurus ke
bawah sampai menunjuk tanah di bawah perut, warna mukanya yang tadinya merah muda berubah agak
tua, sepasang matanya mengeluarkan cahaya berapi dan perlahan-lahan terdengar suara berkerotokan
dari buku-buku tulang tokoh Pulau Neraka ini.
Melihat ini, Sai-cu Lo-mo terkejut, maklum bahwa lawan ini sedang mengerahkan sinkang yang mukjizat
dan mengingat bahwa dia seorang tokoh Pulau Neraka, tidak akan anehlah kalau sinkang lawannya itu
mengandung hawa beracun yang dahsyat. Maka dia cepat memasang kuda-kuda, pandang matanya tak
pernah meninggalkan gerakan lawan, siap menghadapi terjangan pertama dan karena maklum akan
kelihaian lawan, kakek ini sudah memasang kuda-kuda dari ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari
Ketuanya, yaitu gabungan dari Ilmu Silat Pat-mo-kun-hoat dan Pat-sian-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Iblis
dan Ilmu Silat Sakti Delapan Dewa).
Kedua kakinya terpentang lebar, tidak bergerak sama sekali, akan tetapi tubuhnya dari lutut ke atas
membuat gerakan-gerakan, kadang-kadang naik turun dengan lutut ditekuk, juga berputar ke kanan kiri,
namun matanya tak pernah meninggalkan lawan. Keadaan menjadi tegang sekali karena semua orang
maklum bahwa dua orang kakek itu sedang saling mencari sasaran.
"Haiiiitttt...ttt!" Chi Song mengeluarkan teriakan nyaring dan panjang, tubuhnya sudah menerjang maju,
kedua tangannya melakukan pukulan-pukulan dengan jari terbuka, menyambar atas dan bawah bertubitubi
dan mengikuti arah tubuh lawan mengelak.
"Hiaaaahhhh!" Sai-cu Lo-mo juga melengking nyaring, tubuhnya mengelak ke kanan kiri, kedua kakinya
mulai membuat gerakan melingkar menurutkan garis pat-kwa (segi delapan), kedua tangannya juga
menangkis dengan pengerahan sinkang, yaitu menangkis hawa pukulan lawan dengan hawa pukulan
tangannya sendiri karena dia maklum betapa bahayanya pukulan itu, melihat betapa kedua tangan lawan
ternyata mengeluarkan bau amis dan mengeluarkan uap tipis berwarna hitam!
Bun Beng terbelalak kagum menyaksikan pertandingan itu. Baginya, gerakan kedua orang itu kurang
cepat, akan tetapi tenaga sinkang yang terkandung dalam pukulan-pukulan mereka membuat ia bergidik.
Dia sendiri tidak tahu bahwa tenaga sinkang-nya kini telah meningkat sangat hebat, dan mengira bahwa
dia tidak akan sanggup menghadapi pukulan dengan tenaga sinkang seperti yang dilakukan oleh Chi Song
atau paman kakeknya.
Pertandingan berjalan seru bukan main setelah kini Sai-cu Lo-mo membalas serangan lawan dengan
totokan jari tangan yang dia ambil dari Ilmu Sin-coa-kun, juga hasil ajaran ketuanya. Ilmu-ilmu yang
diajarkan oleh Nirahai kepada para pembantunya adalah ilmu silat lama yang dahulu menjadi ilmunya
pendekar wanita sakti Mutiara Hitam. Namun, berkat pengertian Nirahai akan banyak sekali ilmu silat
tinggi, Ketua Thian-liong-pang ini telah mengubah ilmu-ilmu itu, disisipkan jurus yang diambilnya dari ilmu
lain untuk memperlihai ilmu silat tua itu, dan mengurangi bagian-bagian yang tidak perlu. Dengan
sendirinya, dibandingkan dengan kehebatan ilmu itu ketika dimainkan oleh Mutiara Hitam dahulu, kini lebih
dahsyat lagi!
"Plak-plak-dukkkk!"
Kedua orang itu terlempar ke belakang ketika dua kali lengan mereka beradu dan disusul tumbukan tangan
mereka saling mendorong. Sai-cu Lo-mo cepat menjatuhkan diri dan bergulingan kemudian meloncat
bangun kembali, tepat pada saat lawannya yang tadi terlempar membuat gerakan berjungkir balik ke
belakang sampai lima kali dan kini juga sudah berdiri kembali. Mereka berdiri tegak, saling pandang dalam
jarak hampir sepuluh meter!
Chi Song menjadi penasaran sekali. Ia telah menggunakan pukulan yang mengandung hawa beracun,
akan tetapi kakek bermuka singa itu mampu menangkisnya dengan tenaga yang amat besar, sama
besarnya dan agaknya kakek itu tidak terpengaruh oleh hawa beracun yang keluar dari tangannya! Hal ini
tidak mengherankan karena kakek bermuka singa itu ketika mengadu lengan dan tangan, menggunakan
tenaga Khong-in-ban-kin, tenaga selaksa kati yang kosong sehingga tidak dapat terpengaruh oleh hawa
pukulan beracun, namun yang memiliki kekuatan dahsyat sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha-ha, orang Pulau Neraka, kepandaianmu hebat seperti iblis. Engkau memang patut tinggal di
neraka!" Sai-cu Lo-mo mengejek.
"Heaaaaaahhhhhhtt!" Tiba-tiba tubuh Chi Song meloncat ke atas, menerjang dari atas dengan tendangan
kedua kakinya ke arah dada kakek muka singa.
Inilah keistimewaannya Si Tinggi Besar muka merah muda itu, yaitu tendangan terbang! Sai-cu Lo-mo
terkejut sekali, cepat mengelak, namun tendangan dari udara yang berantai itu tetap saja menyerempet
pundaknya. Betapa pun juga, kakek ini masih sempat menangkap kaki kiri dan membetot ke bawah
sehingga biar pun dia terhuyung oleh tendangan itu, tubuh lawannya terbanting ke atas tanah sampai
berdebuk dan kalau saja Chi Song tidak memiliki kekebalan tentu tubuhnya akan remuk. Chi Song
menggelundung dan meloncat lagi, hampir berbareng dengan Sai-cu Lo-mo yang sudah dapat mengatur
keseimbangan tubuhnya.
"Ha-ha-ha, tendangannya luar biasa sekali. Ahhh, orang-orang Pulau Neraka memang hebat. Kalau tenaga
Thian-liong-pang dan Pulau Neraka digabung untuk menghantam Pulau Es, tentu Pulau Es akan dapat
dihancurkan!" Sai-cu Lo-mo berkata memuji.
"Uhhh, kau pun hebat, Sai-cu Lo-mo, dan ucapanmu itu tepat sekali. Sayang Ketuamu tidak mau mencoba
kepandaianku agar dapat kami lihat apakah dia patut bekerja sama dengan Tocu kami!"
Hati Bun Beng mendongkol sekali. Mana sudi dia diajak bersekongkol dengan Pulau Neraka untuk
menyerang Pulau Es? Gila! lebih baik dia memusuhi keduanya ini dari pada harus memusuhi Pendekar
Siluman, Majikan Pulau Es! Karena marah, ia sudah meloncat dari atas kursinya. Dia hampir berteriak
karena loncatannya itu luar biasa cepat dan ringannya, sehingga hampir saja jaraknya terlewat kalau dia
tidak cepat berjungkir balik sehingga dia dapat kembali dan turun tepat di depan Chi Song!
Gerakannya amat indahnya, juga amat cepatnya, sehingga Chi Song mengeluarkan seruan kaget. Sai-cu
Lo-mo sendiri girang melihat Ketuanya turun tangan, karena diam-diam dia mengharapkan agar mereka
dapat bekerja sama dengan Pulau Neraka yang mempunyai banyak orang pandai, untuk menyerang Pulau
Es yang amat mereka segani dan takuti.
"Bagus, Pangcu menganggap saya cukup berharga untuk dilayani oleh Pangcu sendiri? Apakah Pangcu
hendak mengalahkan saya dengan ilmu kami sendiri?"
Bun Beng hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara.
Karena sikap ini dianggap memandang rendah, Chi Song marah sekali. Dia berteriak keras dan cepat
menubruk maju, menyerang dengan tangan kanan terbuka ke arah kepala yang berkerudung itu. Bun Beng
teringat akan ilmu memindahkan tenaga, maka dengan tenang dia menarik kepalanya ke belakang. Begitu
tangan lawan menyambar dekat, dia mendahului dengan sampokan tangan kiri ke arah lengan lawan,
namun dia tidak menggunakan tenaga sepenuhnya.
"Dukkk...!"
Tubuh Chi Song terputar-putar seperti gasing. Pukulan itu seperti mendorongnya dari belakang,
mendorong tenaganya yang ia pergunakan untuk memukul tadi, maka ia tak dapat menahan lagi tubuhnya
terputar-putar terbawa oleh tenaganya sendiri ditambah tenaga amat dahsyat dari ‘Ketua’ Thian-liong-pang.
"Ehhhh..., bukankah itu ilmu dari Suheng Ngo Bouw Ek?" Si Kepala Gundul berseru dengan mata
terbelalak.
Chi Song sudah dapat berdiri tegak, meraba-raba lengannya yang seperti remuk rasanya. "Tidak salah
lagi," katanya heran. "Itulah ilmu memindahkan tenaga dan di antara kami hanya Ngo-suheng Kwi-bun Lomo
saja yang dapat melakukannya!"
Bun Beng menjadi girang sekali karena ilmunya itu berhasil. Dia tidak menjawab, hanya berdiri tegak, dan
tidak peduli akan pandang mata pembantu Ketua Thian-liong-pang yang terheran-heran karena mereka itu
pun tak pernah mendengar bahwa Ketua mereka telah berhasil memiliki sebuah ilmu yang ampuh dari
Pulau Neraka!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aku masih penasaran, Thian-liong-pangcu!" Tiba-tiba Chi Song berkata lagi dan dia sudah melompat ke
atas, hendak menggunakan ilmu yang diandalkannya, yaitu tendangan terbang! Melihat ini, Bun Beng juga
meloncat dan sengaja membuang diri ke belakang ketika tendangan kedua kaki tiba, kemudian dari
samping dengan cara memindahkan tenaga lawan, dia menendang betis kanan Chi Song.
"Plakk! Aduhhhh...!" tubuh Chi Song terbanting ke atas tanah, lalu terpincang-pincang dia menghampiri
kursinya, menjatuhkan diri duduk di atas kursi, menyeringai kesakitan, dan mengangkat kaki kanannya,
dipijit-pijitnya, karena selain tulang betisnya patah, juga urat-uratnya rusak sehingga terasa nyeri bukan
main, menusuk-nusuk sampai ke jantung!
Kong To Tek meloncat turun dari kursinya, menghampiri Bun Beng dan menjura, "Pangcu benar-benar
hebat sekali, telah mengalahkan Sute dengan menggunakan ilmu memindahkan tenaga yang merupakan
ilmu simpanan dan hanya diketahui oleh Tocu kami dan Ngo-suheng saja. Patut mendapat penghormatan
kami!"
Bun Beng kaget ketika tiba-tiba dari kedua kepalan tangan yang dirangkap dan diangkat ke depan dada itu
menyambar hawa pukulan yang panas sekali! Akan tetapi, teringat bahwa dia adalah seorang ‘ketua’ di
saat itu, amatlah tidak baik kalau dia memperlihatkan kegugupan, maka dengan nekat ia lalu mengerahkan
sinkang yang dilatihnya selama enam bulan di dalam tempat rahasia Ketua Thian-liong-pang,
menyalurkannya ke dada dan menerima hantaman tenaga sinkang dari kedua tangan lawan itu.
Kong To Tek terkejut bukan main. Pukulan jarak jauhnya sama sekali tidak terasa oleh lawan, bahkan
hawa pukulannya membalik dengan cepatnya, membuat dia agak terengah dan dadanya sesak!
Bun Beng tak berani membuka mulut, maka dia hanya mengibaskan lengan bajunya disertai tenaga
sinkang dan... Si Gundul dari Pulau Neraka itu terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Diam-diam Bun
Beng merasa kaget dan heran sendiri, hampir dia tidak percaya bahwa sinkang-nya telah meningkat
sedemikian hebatnya! Dengan mukanya yang merah muda itu menjadi pucat, hampir putih, Kong To Tek
mengatur keseimbangan tubuhnya dan memandang Ketua Thian-liong-pang dengan mata terbelalak.
Adu tenaga sinkang ini tentu saja dapat dilihat para tokoh Thian-liong-pang dan para anggota Pulau
Neraka. Melihat betapa serangan Kong To Tek membalik, dan dengan kibasan lengan baju saja membuat
Si Gundul itu terhuyung, Tang Wi Siang yang marah menyaksikan Si Gundul itu bertindak curang, cepat
melangkah maju dan berkata,
"Pangcu, serahkan setan gundul ini kepada saya. Kalau saya tidak dapat mengalahkan dia, barulah
Pangcu maju. Untuk memukul seekor anjing kecil, perlukah menggunakan pentungan besar?" Ucapan
terakhir ini bermaksud bahwa untuk menghajar seorang lawan tingkat rendah, tidak perlu kalau pangcu-nya
yang bertingkat jauh lebih tinggi itu turun tangan sendiri.
Bun Beng mengangguk dan kini dia yang sudah yakin akan kemajuannya, sengaja mendemonstrasikan
sinkang-nya. Tidak tertampak kakinya bergerak, hanya lengan bajunya dikebutkan dan... tubuhnya
melayang seperti terbang cepatnya, tahu-tahu telah duduk kembali ke atas kursi Ketua!
Melihat ini, para anggota Pulau Neraka menjadi giris hatinya, bahkan Tang Wi Siang dan yang lain-lain
melongo karena mereka mendapat kenyataan betapa gerakan Ketua mereka menjadi lebih lihai dari pada
biasanya! Mereka girang dan mengira bahwa Ketua mereka tentu mendapatkan ilmu di tempat rahasia,
melalui lorong yang pintu masuknya adalah kuburan tua itu.
Tang Wi Siang kini menghadapi Si Gundul dari Pulau Neraka, menudingkan telunjuknya dan memaki.
"Setan gundul! Kau datang dengan omongan manis, akan tetapi kenyataannya engkau curang, berani
engkau lancang menyerang Pangcu kami dengan serangan gelap! Pangcu kami tadi sudah mengampuni
nyawa tak berharga sutemu itu!" Dia menuding ke arah Chi Song yang duduk di kursi dengan muka
cemberut dan kaki kanan diangkat-angkat karena masih nyeri. "Akan tetapi agaknya aku tidak akan dapat
mengampunimu!"
Si Gundul itu tersenyum lebar dan menjura. "Aih, maaf, karena kami memang sengaja hendak mohon
petunjuk Pangcu kalian, maka tadi aku sengaja menyerangnya. Pangcu-mu hebat bukan main, namun
sayang, dia menghadapi seranganku dengan ilmu lain, bukan ilmu dari kami seperti ketika dia
mengalahkan Sute. Kalau engkau hendak mewakili Pangcu-mu, silakan. Akan tetapi jangan marah kalau
aku sampai kesalahan tangan!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Cihhh, sombongnya! Kau kira akan mampu mengalahkan Tang Wi Siang, kepala pelayan Pangcu Thianliong-
pang? Majulah dan terima kematianmu!"
Si Gendut Gundul cemberut dan tampaknya tidak puas. "Aih, celaka sekali! Hari ini aku benar-benar
menerima penghinaan besar sekali. Jauh-jauh datang hanya dihadapkan seorang pelayan. Kalau tidak bisa
menang, memang aku tidak layak hidup lagi! Kouwnio, terimalah seranganku!"
Tiba-tiba Si Gundul ini menerjang dengan gerakan yang cepat sekali. Sungguh tak disangka-sangka bahwa
orang yang gendut pendek sehingga kelihatan seperti seekor katak itu memiliki gerakan kaki tangan amat
cepat sehingga dilihat begitu saja, kedua pasang tangan dan kakinya seolah-olah telah menjadi masingmasing
tiga pasang!
Namun, kalau hanya menghadapi kecepatan gerak, wanita setengah tua yang masih cantik dan bertubuh
ramping itu sama sekali tidak gentar dan dalam hal ginkang, kiranya Si Gundul itu kini bertemu gurunya!
Justru dalam hal ginkang inilah Wi Siang menerima gemblengan Nirahai karena memang dia mempunyai
bakat. Oleh Ketua Thian-liong-pang yang sakti itu, Wi Siang diberi ilmu Yan-cu Sin-kun, ilmu silat yang
mengandalkan ginkang sehingga tubuhnya dapat berkelebatan seperti seekor burung terbang, sesuai
dengan nama ilmu itu, ialah Yan-cu Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Burung Walet).
Maka keceliklah Kong To Tek ketika tiba-tiba bayangan lawannya berkelebat dan lenyap! Hanya ada angin
bertiup melalui atas kepalanya ke belakang, maka cepat ia memutar tubuh dan benar saja, lawannya telah
berada di belakangnya. Ia terkejut dan tidak mau lagi mengandalkan kecepatannya karena maklum bahwa
lawannya adalah seorang ahli ginkang yang jauh lihai dari padanya.
Kini dia melakukan serangan dengan kaki tangannya, tidak mengandalkan kecepatan lagi, melainkan
mengandalkan tenaga sinkang-nya. Baik hantaman tangan mau pun tendangan kakinya didahului angin
yang mengeluarkan bunyi mencicit seperti sebatang golok atau pedang yang memecah angin! Hebat
bukan main tenaga Si Gundul ini, Wi Siang juga maklum bahwa mungkin dia lebih cepat, juga ilmu silatnya
lebih tinggi, namun belum tentu dia dapat menandingi kekuatan sinkang Si Gundul yang benar-benar kuat
itu.
"Hehhh!"
Kong To Tek mengirim pukulan dengan tangan terbuka miring ke arah lambung kiri Wi Siang. Wanita ini
cepat mengelak dengan menggeser kaki ke belakang, akan tetapi tangan kiri orang gundul itu sudah
menonjok atau mendorong dengan telapak kanannya ke arah dada! Wi Siang kembali mengandalkan
kecepatan mengelak dengan miringkan tubuh, akan tetapi angin pukulan yang menyerempet pundaknya
masih saja membuat dia terhuyung ke samping. Marahlah wanita ini.
"Haiiikkk!" Ia mengeluarkan suara melengking.
Tubuhnya mencelat ke atas, melampaui kepala Si Gundul itu. Ketika Kong To Tek memutar tubuh, Wi
Siang sudah membalas serangannya dengan pukulan Touw-sim-ciang (Pukulan Menembus Jantung) yang
bukan main ampuhnya.
"Hehhh!" Kembali Si Gundul membentak dan menangkis dengan lengannya.
"Dukk!" Tubuh Tang Wi Siang terhuyung, juga Si Gundul menjadi miring kuda-kudanya.
"Keparat!" Wi Siang membentak marah sekali dan kini ia mainkan ilmu silatnya dengan gerak cepat Yangcu
Sin-kun, mengirim pukulan Touw-sim-ciang yang kalau mengenai tubuh lawan dengan tepat, tentu akan
merenggut nyawanya.
Menghadapi kecepatan yang luar biasa dari Wi Siang, Si Gundul kewalahan, apa lagi karena dia pun
maklum kalau dadanya sampai terkena pukulan itu, kekebalannya takkan dapat melindunginya. Maka dia
mulai terdesak hebat dan Bun Beng dapat melihat bahwa tak lama lagi Si Gundul itu akan roboh oleh
‘pelayannya’ yang benar-benar amat tangkas dan lihai itu.
Ketika Wi Siang yang sudah mendesak itu melancarkan pukulan-pukulan bertubi-tubi, tiba-tiba tubuh Si
Gundul yang pendek itu merendah, seperti merangkak sehingga kedudukannya seperti seekor katak
berkaki empat karena kedua tangannya menapak tanah, dan dari perutnya keluar suara melalui
kerongkongan.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kok-kok-kok!"
Tiba-tiba dari mulut Si Gundul yang terbuka itu keluar uap tebal berwarna putih kehitaman, lingkaranlingkaran
uap yang menyerang ke atas ke arah tubuh Wi Siang! Wanita ini kaget sekali. Dia mengelak,
akan tetapi celana pada betis kanannya terkena uap dan terasa olehnya betapa kulit betisnya panas, perih
dan gatal-gatal yang luar biasa, membuat dia ingin sekali menggaruk.
Pada saat itu, kedua tangan Si Gundul yang menapak tanah itu tiba-tiba diangkat ke atas dan dua kali
tangan itu digerakkan mendorong ke tubuh lawan dengan bunyi "kok-kok!" maka menyambarlah angin
pukulan yang dahsyat bukan main ke arah Wi Siang! Wanita ini kembali menjadi kaget, mengelak dengan
cara melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik beberapa kali. Dia dapat menghindarkan pukulan
maut itu, akan tetapi kembali Si Gundul telah menyerangnya dengan tubuh merangkak seperti katak,
mulutnya terus-menerus menyemburkan uap kehitaman dan kerongkongannya mengeluarkan bunyi seperti
katak besar.
Diserang seperti ini, Wi Siang menjadi repot. Dia mengandalkan ginkang-nya untuk melesat ke sana-sini,
namun karena dia maklum akan bahayanya uap itu, dia tidak berani mendekat dan terpaksa harus
mengelak terus tanpa dapat balas menyerang, sedangkan lawannya itu menyelingi semburan uapnya
dengan pukulan-pukulan dari bawah yang mengandung tenaga mukjizat!
Bun Beng sendiri menjadi terkejut menyaksikan perubahan ini. Si Gundul itu benar-benar amat berbahaya,
pikirnya dan dia tidak tega menyaksikan Wi Siang dengan muka gelisah harus meloncat ke sana ke mari
menghindarkan diri dari uap-uap itu dan pukulan-pukulan maut yang dilancarkan oleh manusia seperti
katak itu. Maka sekali lagi dia mencelat dari atas kursinya dan pada saat itu Wi Siang sedang meloncat
pula ke atas menghindarkan sebuah pukulan.
Betapa pun cepat gerakan Wi Siang, namun bagi Bun Beng kelihatannya biasa saja. Ketika tubuhnya dekat
dengan tubuh Wi Siang di udara, ia cepat menyambar lengan ‘pembantunya’ itu dan sekali sentak tubuh Wi
Siang terlempar melayang ke tempatnya tadi di mana Wi Siang turun dan cepat-cepat merobek celana
bagian betisnya. Ternyata kulit betisnya telah ‘termakan’ racun dalam uap tadi, kelihatan merah totol-totol.
Cepat ia mengambil obat anti racun dan menggosok betisnya dengan obat itu. Namun rasa gatal, panas
dan perih masih belum lenyap.
Ketika Kong To Tek melihat Si Ketua turun tangan sendiri, dia tidak mau membuang waktu. Ketika Bun
Beng meloncat turun, ia sudah menyambut dengan serangan uap dari mulutnya. Tubuhnya merangkak
maju dengan ‘empat kaki’, dari kerongkongannya keluar suara berkokok seperti katak buduk, dan uap
kehitaman menyerang Bun Beng. Namun pemuda ini, mengingat akan niat orang-orang Pulau Neraka agar
dikalahkan dengan ilmunya sendiri, cepat merendahkan diri seperti merangkak pula, mengerahkan seluruh
tenaga sinkang-nya dan dia meniup ke arah uap yang melingkar-lingkar itu.
"Kok-kok-kok...!" Si Gendut berkokok.
"Wush-wushhh-wushhh!" Bun Beng meniup dan uap kehitaman itu segera terdorong, kembali ke arah
penyerangnya!
Tentu saja Kong To Tek sudah memakai obat penolak racunnya sendiri maka uap itu tidak mempengaruhi
kulit tubuhnya, namun dia menjadi gelagapan ketika uap-uap itu membuyar dan menghantam mukanya
sendiri. Cepat ia mengangkat kedua tangannya, melakukan pukulan ke depan mendorong dengan tenaga
mukjizat.
Bun Beng juga mendorongkan kedua tangannya, akan tetapi terkejutlah dia ketika mendapat kenyataan
bahwa tenaga dorongan kakek gundul itu bukan mengandung sinkang sewajarnya dan selain amat kuat
juga mengandung hawa beracun yang mukjizat pula. Tentu merupakan latihan sinkang yang disertai
penggunaan racun yang banyak terdapat di Pulau Neraka, pikirnya. Maka ketika Bun Beng merasa betapa
dorongan kakek itu dapat membahayakan, cepat ia membuang diri ke samping, menggunakan ilmu
memindahkan tenaga. Ketika hawa dorongan lewat ia cepat membarengi dengan kibasan lengannya yang
sudah menjadi berganda tenaganya itu ke arah muka Si Gendut Gundul.
"Kok-kok!" Si Kakek Gundul mengangkat mukanya sehingga pundaknya yang terkena hantaman ujung
lengan baju Bun Beng.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Plakkk!"
Kembali Bun Beng terkejut. Hantaman lengan bajunya yang disertai tenaga sinkang berganda itu ketika
mengenai pundak lawan yang mengeluarkan bunyi seperti katak, terasa seperti membentur benteng baja
dan membalik! Sementara itu, Si Kakek Gundul yang merasa terlindung oleh ilmu kataknya yang mukjizat,
mempercepat bunyi berkokok di tenggorokannya dan siap menyerang lagi. Akan tetapi tiba-tiba Bun Beng
berkelebat dan lenyap, tahu-tahu tubuh ‘ketua’ ini sudah melayang turun ke atas punggung lawan yang
sedang merangkak sambil berkokok itu.
"Kok-kok-kok... ngekkkk! Brooottt!"
Kakek gundul itu yang tadinya mengeluarkan bunyi seperti katak, ketika kedua kaki Bun Beng menginjak
punggung disertai tenaga sinkang yang membuat tubuhnya seperti menjadi laksaan kati beratnya, tak
dapat menahan sehingga terdengar suara ‘ngek!’ dan tiba-tiba disambung suara memberobot amat keras
dari tubuh belakangnya!
Kiranya Bun Beng dapat menaksir di mana letak kelemahan manusia yang berlagak katak ini, maka begitu
punggung terinjak kuat, hawa sakti yang membuat kakek itu berkokok dan menghembuskan uap, terpencet
keluar tanpa dapat ditahannya lagi dan hawa itu menerobos melalui mulut belakang. Terdengar suara di
sana-sini dan semua orang menutupi hidungnya, kecuali orang-orang Pulau Neraka, karena hawa yang
keluar dari ‘mulut belakang’ kakek itu benar-benar amat hebat... baunya! Akibat racun yang terkandung di
dalamnya sehingga bau itu memenuhi ruangan tamu.
Kakek gundul itu sudah roboh menelungkup dalam keadaan pingsan, kini digotong oleh teman-temannya
ke pinggir, sedangkan Bun Beng sudah meloncat kembali ke kursinya dan duduk dengan tenang. Diamdiam
ia merasa girang sekali dan kini yakinlah dia bahwa penderitaannya selama setengah tahun di dalam
tempat rahasia itu telah menyembuhkan luka-lukanya sama sekali, juga telah membuat dia memperoleh
kemajuan yang amat hebat, baik dalam ginkang, sinkang, dan ilmu silat! Maka tenanglah hatinya karena
kini dia merasa dapat menjaga diri terhadap siapa pun juga.
Chi Song terpincang-pincang menghampiri ‘ketua’ dan dengan kaki kanan berjinjit ia menjura. "Banyak
terima kasih atas petunjuk yang diberikan oleh Thian-liong-pangcu. Biarlah kami kembali melaporkan
semua peristiwa ini kepada Tocu kami."
Setelah memberi hormat sekali lagi, terpincang-pincang Chi Song memimpin tiga orang temannya yang
menggotong tubuh suheng-nya yang masih pingsan. Tetapi baru saja mereka itu tiba di pintu ruangan,
tampak berkelebat bayangan orang dan terdengar bentakan halus nyaring.
"Setan-setan Pulau Neraka berani mengacau di sini?"
Terdengar suara hiruk pikuk dan tiga orang yang menggotong tubuh Kong To Tek tadi terpelanting ke
kanan kiri sehingga tubuh Si Gundul itu terlempar pula, akan tetapi malah membuatnya siuman dan ia
mengeluh panjang. Chi Song yang melihat munculnya seorang dara yang amat cantik jelita dan yang
datang-datang menerjang dan merobohkan orang-orangnya, menjadi kaget, apa lagi ketika dara itu telah
menerjang maju dan menonjok ke arah dadanya dengan pukulan yang cepatnya sukar diikuti pandang
mata. Dia mengelak, namun karena kakinya pincang dan gerakan dara itu cepat sekali, bahunya terkena
pukulan dan ia terpelanting. Melihat betapa orang-orang Pulau Neraka itu telah bangkit kembali dan tidak
tewas oleh pukulan-pukulannya dara itu menjadi marah.
"Srattt!" Dara itu sudah mencabut pedangnya akan tetapi tiba-tiba lengannya diraba orang dan tahu-tahu
Bun Beng sudah berada di situ, menyentuh lengannya untuk mencegahnya turun tangan membunuh
orang-orang Pulau Neraka.
Bun Beng terpaksa turun tangan mencegah ketika melihat betapa Milana, dara jelita itu, hendak melakukan
pembunuhan-pembunuhan terhadap para tamu yang tentu dianggap oleh dara itu mengacau di Thianliong-
pang, apa lagi karena dara itu pernah bertanding dengan orang-orang Pulau Neraka ketika
menggendongnya dahulu.
Melihat sentuhan pada lengannya, Milana menoleh.
"Ibu...!" Ia berkata dan menyarungkan pedangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kesempatan ini dipergunakan oleh lima orang Pulau Neraka untuk melarikan diri, pergi dari situ
secepatnya.
Bun Beng cepat kembali ke kursinya dengan jantung berdebar. Milana telah muncul! Dia harus cepat-cepat
pergi dari situ tanpa menimbulkan keributan. Akan tetapi terlambat. Milana yang terheran-heran
menyaksikan sikap ibunya, cepat menghampiri, memandang ke arah sepasang mata di balik lubang
kerudung kepala itu dan tiba-tiba ia berseru hampir menjerit.
"Engkau... engkau bukan Ibuku!" Dara ini menjadi pucat mukanya, dan semua tokoh Thian-liong-pang
mencelat bangun dari tempat duduknya masing-masing.
"Jubah itu jubah Ibuku, dan kerudung itu pun sebuah di antara kerudung Ibuku. Akan tetapi engkau bukan
Ibuku! Siapa engkau? Dan... ohhh... di mana Ibu? Kau apakan dia...?"
Milana mencabut pedangnya dan terdengarlah suara berdesing ketika para tokoh Thian-liong-pang
mencabut senjata masing-masing. Bahkan Tang Wi Siang lalu mengeluarkan suara bersuit keras sebagai
tanda bahaya dan segera tempat itu dikurung oleh puluhan orang anggota Thian-liong-pang yang masih
bingung dan tidak mengerti mengapa Tang-kouwnio memberi tanda bahaya sedangkan tamu-tamu dari
Pulau Neraka telah dikalahkan dan telah melarikan diri keluar dari Thian-liong-pang. Lebih-lebih lagi kaget
dan heran hati mereka ketika melihat Milana dan para tokoh itu dengan senjata di tangan mengurung Sang
Ketua sendiri!
"Buka kerudungmu!" Milana membentak lagi.
"Hayo perlihatkan mukamu, manusia bosan hidup yang berani memalsukan Pangcu kami!" Tang Wi Siang
membentak dan barulah para anak buah Thian-liong-pang dapat mengerti dengan hati penuh kaget dan
heran bahwa orang yang berkerudung seperti Ketua mereka itu kiranya adalah orang palsu!
"Nona, maafkan aku...!" Bun Beng berkata sambil melepaskan kerudung yang menutupi kepalanya.
"Kau...?!" Milana berseru kaget sekali.
Dia girang melihat Bun Beng yang disangkanya tentu telah mati oleh luka-lukanya biar pun ketika terjatuh
dari menara ditolong oleh Pendekar Super Sakti, kini masih hidup! Dahulu ibunya cepat-cepat
menyambarnya dan membawanya pergi ketika melihat betapa Bun Beng yang terjatuh itu disambar oleh
Pendekar Super Sakti.
"Aku tdak mau bertemu dengannya di sini. Tidak mau!" Ibunya berbisik penuh duka dan marah ketika
Milana berusaha menahan ibunya agar suka bertemu dengan ayah kandungnya itu, dan ibunya terus
membawanya lari secepat kilat tanpa diketahui oleh Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es itu.
Dan kini, Bun Beng berada di situ bahkan menyamar sebagai ibunya! Di samping rasa girang yang amat
besar ini, timbul kekhawatirannya dan ia bertanya, "Engkau...? Bagai mana ini...? Di mana Ibu?"
"Maaf, Nona. Ibumu pingsan ketika berlatih silat di tempat rahasia di bawah sana. Karena ingin
membebaskan diri, terpaksa aku memakai kerudung dan jubah ini..., maafkan aku..."
Akan tetapi Milana sudah tidak menjawab lagi dan dia meloncat hendak mencari ibunya yang pingsan di
tempat rahasia. Dia sudah tahu akan tempat rahasia itu dan sudah tahu jalannya sungguh pun dia dan
siapa pun juga dilarang dan tidak pernah pergi ke sana. Sementara itu, para tokoh Thian-liong-pang yang
kini mengenal Bun Beng menjadi marah dan segera menyerangnya, karena dia dianggap sebagai musuh
Thian-liong-pang, seorang pengacau dan bekas tahanan yang dapat lolos.
Tentu saja hanya Sai-cu Lo-mo yang tidak bergerak dan memandang bengong kepada cucu
keponakannya itu. Selain dia tidak mau membunuh cucu keponakan, satu-satunya keturunannya biar pun
hanya cucu luar, juga dia kagum bukan main, teringat betapa tadi Bun Beng dapat mengalahkan tokohtokoh
lihai dari Pulau Neraka secara demikian mudahnya! Padahal, hanya kurang lebih setahun yang lalu,
pemuda itu masih belum sedemikian hebat ilmu kepandaiannya!
Lui-hong Sin-ciang Chie Kang yang menggunakan pukulan badainya, Tang Wi Siang yang bersenjata
pedang, dan dua orang tokoh lain yang bersenjata golok sudah menerjang Bun Beng dengan seranganserangan
maut yang amat dahsyat. Bun Beng yang menghadapi pengeroyokan ini cepat menggerakkan
dunia-kangouw.blogspot.com
kaki tangannya, berkelebat ke sana-sini dan tangannya bergerak menangkis atau mendorong dan... empat
orang pengeroyok itu terjengkang semuanya, ada yang terguling, ada pula yang terhuyung seperti pohonpohon
disapu angin ribut!
Bun Beng terkejut sendiri melihat akibat tangkisan dan dorongannya. Dia gunakan kesempatan ini untuk
loncat ke atas, melalui kepala orang-orang yang mengepungnya, menendangi senjata-senjata yang
ditujukan ke arahnya dan terus melesat ke luar dari ruangan itu melalui jendela.
"Kejar!" Tang Wi Siang berseru dan mereka bergerak mengejar keluar.
"Berhenti! Tahan senjata!" terdengar seruan melengking disusul masuknya seorang wanita berkerudung
yang bukan lain adalah Ketua Thian-liong-pang sendiri, bersama Milana yang menggandeng tangan
ibunya. "Jangan kejar dia, biarkan dia pergi... ahhh...!" Nirahai terhuyung dan cepat dibimbing oleh
puterinya menuju ke kursinya.
Semua tokoh Thian-liong-pang menghentikan gerakan mereka, menghadap Ketua mereka dan
memandang penuh kekhawatiran karena melihat tanda-tanda bahwa Ketua mereka mengalami luka dan
kelihatan lemah.
"Jangan memusuhinya! Betapa pun dia telah menimbulkan kekacauan, harus kalian akui bahwa di telah
menyelamatkan nama baik Thian-liong-pang sehingga kita tidak sampai mengalami penghinaan dari Pulau
Neraka!"
Bun Beng yang sudah berada di luar, ketika mendengar ucapan Ketua Thian-liong-pang itu, merasa malu
sendiri. Dia lalu meloncat kembali memasuki ruangan itu, menjura di depan Nirahai sambil berkata,
"Teecu mohon maaf sebesarnya telah berlaku lancang, berani memalsukan Locianpwe karena keadaan
terpaksa. Teecu tidak mempunyai niat buruk kecuali ingin bebas dari dalam... neraka di bawah sana."
Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. "Tidak apa, Bun Beng. Semua kesalahanmu kulupakan,
mengingat engkau telah membela nama baikku dan nama baik Thian-liong-pang. Bahkan untuk jasamu itu,
aku akan menghadiahkan apa pun yang kau minta. Ajukanlah permintaanmu, kalau engkau suka, dan aku
akan berusaha memenuhinya."
Berdebar jantung Bun Beng mendengar ini. Dia telah dapat melenyapkan rasa permusuhan dari hati wanita
aneh ini, Ibu Milana. Hal itu saja sudah merupakan suatu hadiah yang amat besar artinya baginya. Akan
tetapi ia teringat akan keadaan para tokoh kang-ouw yang terculik, terutama sekali teringat akan Ang-lojin
atau Ang Thian Pa, Ketua Bu-tong-pai, ayah dari Ang Siok Bi. Maka segera ia berkata,
"Terima kasih atas kepercayaan dan kebaikan hati Locianpwe. Sebenarnya teecu tidak menginginkan
sesuatu untuk teecu sendiri, melainkan... jika Locianpwe tak keberatan, teecu mohon sudilah Locianpwe
membebaskan para tokoh kang-ouw yang menjadi tamu di sini."
Kembali Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. "Permintaanmu cukup pantas, bahkan cocok dengan
keinginan hatiku sediri. Aku sudah bosan mempelajari ilmu lain yang pada hakekatnya sama dasarnya, dan
sekarang tinggal beberapa saja yang masih menjadi tamu kami. Wi Siang, bebaskan mereka dan biarkan
mereka pulang sekarang juga, masing-masing beri kuda dan perbekalan secukupnya. Bun Beng,
bangkitlah dan saksikanlah sendiri terpenuhinya permintaanmu."
Dengan hati girang bukan main Bun Beng bangkit dan berdiri, tak lama kemudian dia sudah keluar lagi
mengiringkan lima orang ‘tamu’, di antaranya Ang Thian Pa. Mereka ini adalah orang-orang yang selalu
memperlihatkan sifat menentang sehingga masih belum dibebaskan oleh Thian-liong-pang. Akan tetapi
setelah kini mereka dibebaskan, bahkan disertai perlengkapan dan kuda, mereka merasa lega dan
berterima kasih kepada Ketua Thian-liong-pang yang selama ini memperlakukan mereka dengan baik
sungguh pun mereka itu merupakan tamu yang terpaksa!
Seorang demi seorang menjura dengan hormat kepada Nirahai sambil berpamit dan mengucapkan terima
kasih. Ketika tiba giliran Ang Thian Pa sebagai orang terakhir, kakek ini menjura dan berkata, "Selama
berbulan-bulan saya menerima kebaikan Thian-liong-pangcu, mudah-mudahan di lain kesempatan Butong-
pai dapat membalas kebaikan-kebaikan itu."
"Kami yang minta maaf kepadamu, Ang-lojin," kata Nirahai.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Ang Thian Pa melihat Bun Beng dan mukanya berubah merah, alisnya berkerut dan dia berkata
kepada pemuda itu, "Dahulu kusangka seorang taihiap yang budiman, berani menentang kejahatan dan
membela yang tertindas. Kiranya engkau adalah seorang di antara tokoh Thian-liong-pang agaknya.
Hemm, benar-benar aku telah salah lihat...!" Ia menghela napas panjang penuh kekecewaan dan
penasaran.
Wajah Bun Beng menjadi merah sekali, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa.
"Ang-lojin, memang engkau telah salah lihat dan salah menduga. Gak Bun Beng bukanlah orang Thianliong-
pang dan ketahuilah bahwa atas permintaannyalah maka saat ini engkau kami bebaskan."
Kakek itu terkejut, lalu menghampiri Bun Beng dan menjura penuh hormat. "Ahhh, maafkanlah mataku
yang benar-benar telah lamur, Taihiap. Dan untuk menebus kebodohanku yang tak dapat menghargai
kebaikan orang, biarlah kusampaikan apa-apa yang menjadi idaman hatiku semenjak aku berada di sini.
Yaitu... jika kiranya Taihiap belum berkeluarga dan sudi menerima, aku... ingin menyerahkan puteri
tunggalku sebagai jodoh Taihiap!"
Hampir saja Bun Beng mencelat dari tempat ia berdiri saking kagetnya mendengar ini. Mukanya menjadi
makin merah dan terbayanglah wajah Siok Bi yang cantik manis. Dia dijodohkan dengan dara yang manis
itu! Begitu saja! Akan tetapi, sambil menahan debaran jantungnya dia balas menjura dan berkata,
"Ang-locianpwe... banyak terima kasih atas kebaikan Locianpwe... akan tetapi soal itu... hemm... soal
jodoh... ehhh, belum terpikir olehku, karenanya, bukan aku menolak, hanya... tak mungkin aku dapat
menerima hal yang amat penting bagi hidupku itu. Aku akan menganggap saja bahwa tadi Locianpwe tidak
pernah bicara apa-apa tentang perjodohan."
Kakek itu menghela napas panjang. "Memang anakku tidak cukup berharga untuk seorang seperti engkau,
Taihiap. Hanya aku masih menaruh harapan besar, kalau memang berjodoh kelak tentu akan terjadi. Aku
dan anakku akan selalu menanti kunjunganmu, Taihiap." Setelah berkata demikian, sekali lagi kakek itu
menjura kepada Nirahai lalu meninggalkan ruangan itu.
"Aku pun mohon diri, Locianpwe. Nona Milana, selamat tinggal. Banyak terima kasih atas semua kebaikan
Locianpwe dan nona yang telah dilimpahkan kepada diriku, semoga kelak aku dapat membalas itu semua."
Tergesa-gesa Bun Beng meloncat keluar dari tempat itu karena dia merasa tidak enak sekali akan
‘pinangan’ Ketua Bu-tong-pai tadi yang disampaikan di depan banyak orang, terutama di depan Milana!
Nirahai yang masih belum sembuh benar akibat salah latihan segera membubarkan anak buahnya dan
masuk ke dalam ruangan dalam digandeng oleh Milana yang merasa khawatir akan keadaan ibunya.
Bubarlah para anggota Thian-liong-pang dan mereka membicarakan Bun Beng dengan penuh kagum dan
keheranan. Terutama sekali Sai-cu Lo-mo, termenung dengan hati tegang dan penuh kegembiraan saat
mendapat kenyataan betapa cucu keponakannya telah menjadi seorang yang amat lihai, dan betapa
Ketuanya suka mengampunkan pemuda itu.
Timbul pula pikirannya bahwa mengingat akan perlindungan dan pembelaan Milana terhadap cucu
keponakannya itu seperti yang ia dengar dari para anak buah Thian-liong-pang yang melakukan
pengejaran terhadap Bun Beng yang dipimpin oleh kedua orang saudara kembar Su Kak Liong dan Su Kak
Houw, alangkah baiknya kalau cucu luarnya itu dijodohkan dengan puteri Pangcu! Biar pun dengan hati
takut-takut dan berdebar tegang, beberapa hari kemudian dia memberanikan hatinya menghadap Nirahai
menyampaikan niatnya itu, yaitu meminang Milana untuk cucu keponakannya Gak Bun Beng!
Sampai lama Ketua Thian-liong-pang itu tidak bergerak dari kursinya, sedangkan Sai-cu Lo-mo yang
menanti jawaban duduk menundukkan muka dengan hati berdebar. Dia tidak dapat menduga apa yang
akan menjadi jawaban Sang Ketua yang wataknya aneh sekali itu, bahkan dia tidak akan merasa heran
kalau sebagai jawaban, wanita berkerudung itu melancarkan serangan dan membunuhnya! Akhirnya
terdengar wanita itu menjawab, suaranya halus akan tetapi dingin, membuat Sai-cu Lo-mo yang
mendengarnya terasa sakit seperti tertusuk dan menjadi beku.
"Sai-cu Lo-mo, sudah kau pikir masak-masak pinanganmu ini? Kalau mengingat akan dirimu, dan akan
keponakanmu, mendiang Bhok Kim, seorang di antara Kang-lam Sam-eng tokoh Siauw-lim-pai yang
terkenal, memang tidak mengecewakan dan patut dipertimbangkan pinanganmu itu. Akan tetapi, apakah
dunia-kangouw.blogspot.com
kau sengaja atau pura-pura lupa bahwa Gak Bun Beng adalah keturunan Si Setan Botak, datuk kaum
sesat Gak Liat yang merupakan manusia iblis? Yang lebih dari itu pula, apakah kau pura-pura lupa bahwa
Gak Bun Beng terlahir sebagai anak yang tidak syah, terlahir dari perbuatan keji, yaitu pemerkosaan yang
dilakukan Gak Liat terhadap Bhok Khim? Dan engkau masih berani mengajukan lamaran untuk pemuda
itu, melamar anakku?"
"Maafkan kelancangan saya, Pangcu..." Sai-cu Lo-mo berkata, suaranya gemetar, bukan karena takut,
melainkan karena kedukaan hatinya. Bukan saja lamarannya ditolak, bahkan ia diingatkan akan keadaan
Bun Beng yang dianggap hina dan rendah. Di dalam hatinya ia memberontak. Apakah kesalahan cucu
keponakannya itu dalam hal pemerkosaan dan kelahiran tidak syah? Apa hubungannya dengan seorang
ayah seperti Gak Liat? Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani membantah.
Nirahai dapat mengerti kedukaan hati pembantunya ini, maka dia berkata lagi, "Lo-mo, engkau hanya
mengenal aku sebagai Ketuamu, hanya mengenal aku sebagai puteri Kaisar. Kalau engkau tahu siapa
Ayah puteriku, engkau akan berpikir seribu kali sebelum mengajukan lamaran itu. Nah, mundurlah!"
Jantung Sai-cu Lo-mo berdebar. Sering kali dia menduga-duga siapa sebenarnya suami Ketuanya ini. Dia
memberi hormat dan mengundurkan diri keluar dari ruangan itu, dan hatinya terasa berat sekali. Sepanjang
pengetahuannya, Puteri Nirahai yang dahulu amat terkenal itu belum pernah menikah! Akan tetapi
dikabarkan secara bisik-bisik bahwa puteri itu melarikan diri dari istana bersama Pendekar Super Sakti!
Apakah Milana puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai? Ia bergidik, ngeri memikirkan bahwa dia
telah berani meminang anak dari Panglima Puteri Nirahai, puteri Kaisar, dan anak dari Ketua Pulau Es,
Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti! Tentu saja dia tidak akan berani melakukan pinangan itu
sekiranya dia tahu bahwa Ketuanya masih merasa dirinya sebagai puteri Kaisar, dan sekiranya dia tahu
bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti!
Baik Nirahai sendiri mau pun Sai-cu Lo-mo tidak tahu bahwa percakapan mereka tadi terdengar oleh
Milana. Dara ini tadinya hendak mengunjungi ibunya, dan dia berhenti mendengarkan dari luar ketika
melihat Sai-cu Lo-mo menghadap ibunya. Ketika ia mendengar jawaban ibunya, Milana merasa jantungnya
seperti ditusuk. Cepat-cepat dia meninggalkan tempat itu, kembali ke kamarnya dan menghapus beberapa
titik air mata yang membasahi pipinya.
Dia menganggap ibunya terlalu menghina Bun Beng! Tidak ingatkah ibunya bahwa Gak Bun Beng tidak
pernah minta untuk dilahirkan sebagai keturunan Gak Liat, sama seperti dia yang tidak pernah minta untuk
dilahirkan sebagai puteri Pendekar Super Sakti dan cucu Kaisar? Mengapa ibunya masih juga memandang
keturunan dan kedudukan, setelah kesengsaraannya yang dialami ibunya karena kedudukannya sebagai
puteri Kaisar?
Milana tidak kecewa karena penolakan ibunya. Dia tidak terlalu ingin, bahkan tidak ada keinginan sama
sekali menjadi isteri siapa pun juga, tidak ingin menjadi isteri Bun Beng. Juga dia tidak tahu apakah dia
cinta kepada pemuda itu atau tidak. Yang jelas, dia suka kepada Bun Beng dan merasa kasihan
kepadanya. Apa lagi kini ibunya sendiri menghina pemuda itu, dia merasa penasaran sekali dan rasa
kasihan di dalam hatinya makin mendalam.
Melihat hati ibunya yang rela menderita dan memaksa memisahkan diri dari ayahnya, Pendekar Super
Sakti, melihat sepak terjang Thian-liong-pang menculiki tokoh-tokoh kang-ouw sungguh pun kini usaha itu
telah dihentikan ibunya dan semua tokoh telah dibebaskan, Milana merasa bosan tinggal di situ dan dia
ingin sekali bertemu dengan Bun Beng, melakukan perjalanan bersama pemuda itu. Tiba-tiba ia teringat
akan musuh-musuh Bun Beng, teringat pula betapa pedang Hok-mo-kiam terampas oleh Tan-siucai dan
Maharya, teringat pedang Lam-mo-kiam yang terampas oleh putera Pulau Neraka. Betapa banyak tugas
yang dihadapi Bun Beng. Akan senang sekali kalau ia dapat membantu pemuda itu.
Pada keesokan harinya, Nirahai tak melihat puterinya. Milana telah pergi dari situ tanpa pamit dan biar pun
Nirahai menyebar anak buahnya untuk mencari, usahanya sia-sia belaka, Milana tetap lenyap tanpa
memberi tahu ke mana perginya dan apa tujuannya. Nirahai hanya dapat menarik napas panjang dan
menyesali sikapnya yang terlalu memanjakan anak itu. Hanya dia tidak khawatir karena maklum bahwa
tingkat kepandaian puterinya itu sudah cukup tinggi sehingga takkan mudah diganggu orang jahat.
Mengapa puterinya tidak berterus terang saja kalau ingin merantau? Tanpa pamit begini, sedikit banyak
membuat dia tidak tenang.
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Pendekar Super Sakti Suma Han dan Giam Kwi Hong keponakannya juga muridnya, berdiri di pantai laut.
Sebuah perahu layar putih, perahu Pulau Es yang menjemput mereka, telah menanti.
"Kwi Hong, pedang itu tidak patut kau bawa-bawa. Engkau tidak layak memegang senjata laknat seperti
itu." Pendekar Super Sakti berkata halus sambil memandang pedang Lam-mo-kiam yang tergantung di
punggung keponakannya.
Kwi Hong mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, bukankah seluruh tokoh kang-ouw mencari Sepasang
Pedang Iblis? Bahkan Paman sendiri dahulu pernah menyatakan kepadaku akan mencari Sepasang
Pedang Iblis sampai dapat? Setelah sekarang sebatang di antaranya berada di tanganku, mengapa Paman
berkata demikian? Harap beri penjelasan karena saya tidak mengerti."
Pendekar Super Sakti menarik napas panjang dan berdiri menekan tongkatnya.
"Memang semua pendekar, baik dari golongan bersih mau pun kotor, ingin sekali memperoleh sepasang
pedang yang ampuh dan mukjizat itu, tentu saja dengan maksud agar sepasang pedang itu dapat
membantu mereka mengangkat nama, mengandalkan keampuhannya. Akan tetapi aku mencari pedang itu
dengan maksud untuk kulenyapkan selama-lamanya agar tidak menimbulkan keributan lagi di dunia."
Tangan kanan Kwi Hong mengelus sarung pedangnya, alisnya berkerut. "Mengapa, Paman? Mengapa
hendak dilenyapkan?"
"Engkau tidak mengerti. Riwayat Sepasang Pedang Iblis itu busuk sekali. Sungguh pun yang membuatnya
adalah atas perintah mendiang pendekar wanita Mutiara Hitam, namun sepasang pedang itu telah
dimasuki pengaruh roh jahat dari pembuat-pembuatnya berdasarkan ilmu hitam sehingga sepasang murid
Mutiara Hitam pun menjadi korban saling bunuh. Akulah yang mula-mula menemukan mereka saling
bunuh, kasihan mereka..." Suma Han termenung, teringat akan masa lalu di waktu dia masih kecil dan
mendapatkan Sepasang Pedang Iblis (baca cerita Pendekar Super Sakti).
Akan tetapi bukan kakek dan nenek murid Mutiara Hitam yang terbayang olehnya, melainkan wajah Lulu,
adik angkatnya, juga wanita yang paling dicintanya, yang kini menjadi Majikan Pulau Neraka. Dia lalu
menghela napas panjang. "Aku menguburkan jenazah mereka berikut Sepasang Pedang Iblis. Kemudian
sepasang pedang itu lenyap dan kini yang sebatang terjatuh di tanganmu. Bagaimana hatiku akan tenang
kalau engkau bersenjata pedang jahat itu?"
"Akan tetapi, Paman, bukankah Paman pernah mengatakan bahwa tidak ada ilmu yang baik atau jahat?
Saya rasa demikian pula dengan senjata. Baik atau jahatnya tergantung dari pada si pemakai, bukankah
demikian? Kalau pedang ini dipergunakan untuk kejahatan, maka jahatlah dia, kalau dipergunakan untuk
kebaikan, apakah juga jahat namanya? Maaf, Paman, bukan sekali-kali saya hendak membantah
kehendak Paman. Jika Paman menghendaki, saya akan menanggalkan pedang ini dan terserah hendak
Paman apakan pedang ini. Tetapi, pedang ini adalah pemberian Bun Beng, dan..." Gadis itu tidak
melanjutkan kata-katanya dan menundukkan mukanya.
Suma Han memandang tajam, kemudian menarik napas panjang dan berkata, "Ah, hampir aku lupa bahwa
engkau bukan kanak-kanak lagi, Kwi Hong. Engkau telah dewasa, sudah terlalu dewasa malah. Anak baik,
apakah engkau mencinta Bun Beng?"
Kwi Hong tidak menjawab, mukanya merah sekali, kemudian ia mengangkat muka, berkata tanpa berani
menentang pandang mata pamannya, "Saya tidak tahu, Paman. Hanya... saya pikir... tidak baik kalau
menyia-nyiakan pemberian orang, apa lagi kalau dilenyapkan begitu saja... dan dia... sudah begitu baik
kepada saya ketika bertemu dengan Tan-siucai dan Maharya, rela mengorbankan diri terluka hebat. Aihhh,
mungkin sekarang dia... dia... dia telah... mati..."
"Jangan khawatir. Mati hidup manusia berada di tangan Tuhan. Kalau dia sampai di Pulau Neraka dan
menyerahkan suratku, aku yakin dia akan tertolong. Nah, biarlah sementara ini kau bawa pedang itu, apa
lagi engkau harus menjaga keamanan Pulau Es. Aku hendak pergi mencari Tan-siucai dan Maharya, perlu
kuambil kembali Hok-mo-kiam, sebab kalau ada pedang itu padaku, aku tak khawatir lagi kalau-kalau
Sepasang Pedang Iblis akan menimbulkan bencana. Nah, berangkatlah dan hati-hati menjaga pulau."
Kwi Hong berangkat naik perahu dan setelah perahu itu berlayar menuju ke utara sampai jauh sekali dan
hanya tampak sebagai sebuah titik yang kadang-kadang lenyap oleh naik turunnya ombak, Pendekar
Super Sakti lalu membalikkan tubuhnya dan melesat pergi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam dia mengambil keputusan untuk menjodohkan Kwi Hong dengan Bun Beng. Dia melihat anak
keturunan Gak Liat itu mempunyai watak yang baik sekali. Dia tidak mengingat akan keburukan watak
ayah Bun Beng, karena bukankah ayah Kwi Hong sendiri, perwira Mancu, Giam Cu, tidak lebih baik dari
pada Si Setan Botak Gak Liat? Akan tetapi, ia tahu bahwa pikiran itu terlalu jauh melayang karena keadaan
Bun Beng sendiri belum diketahui bagaimana keadaannya, sedangkan lukanya amat berbahaya.
********************
Pada waktu itu, Kerajaan Mancu yang mendirikan Wangsa Ceng mengalami kemajuan amat pesatnya,
menjadi sebuah negara besar yang amat kuat. Bintang Kerajaan Mancu ini mulai naik dengan pesat,
menjadi cemerlang ketika pemerintahannya berada di tangan Kaisar Kang Hsi (1663-1722). Kaisar ini
ternyata adalah seorang yang berbakat dan ahli untuk menjadi pemimpin. Dia seorang jenderal perang
yang amat pandai mempergunakan tenaga-tenaga ahli, sehingga semua perlawanan rakyat, baik dari
kaum patriot yang mempertahankan tanah air dari penjajahan bangsa Mancu, sampai gerombolangerombolan
bersenjata yang sebetulnya hanyalah perampok-perampok yang berdalih perjuangan, dapat
dihancurkan satu demi satu. Daerah Se-cuan yang dipertahankan oleh Bu Sam Kwi yang gigih melawan
bangsa Mancu, juga dapat direbut dan semua perlawanan dipatahkan dalam tahun 1681. Setelah Se-cuan
jatuh, maka kerajaan Mancu boleh dibilang menguasai seluruh Tiongkok, bahkan jauh lebih luas lagi dari
pada wangsa yang sudah-sudah.
Bangsa Mongol yang dahulu membantu penyerbuan bangsa Mancu ke selatan merasa kecewa oleh politik
Bangsa Mancu dan merasa kurang diberi bagian keuntungan, lalu memberontak. Namun, pemberontakanpemberontakan
yang amat gigih dan kuat itu pun dapat dihancurkan oleh pemerintah Ceng di bawah
Kaisar Kang Hsi dan akibat perang ini seluruh Mongolia jatuh dan dikuasai bangsa Mancu. Bahkan dalam
mengejar sisa-sisa pasukan Mongol, bala tentara Mancu memasuki daerah Tibet dan menguasai pula.
Makin luaslah daerah kekuasaan Kerajaan Ceng. Batas-batasnya sampai di seluruh Mancuria, Mongolia
luar, Sin-kiang, Tibet dan seluruh daerah selatan Tiongkok. Bahkan di dalam perang-perang perbatasan
yang mendatang, Kerajaan Ceng ini telah menaklukkan negara-negara tetangga, di antaranya Afganistan,
Kasmir, Nepal, Birma, Muangthai, Malaysia, Vietnam dan Kamboja. Negara-negara ini mengakui
kekuasaan Kerajaan Ceng di Tiongkok dan menyatakannya dengan membayar upeti!
Kaisar Kang Hsi bukan hanya pandai dalam hal kemiliteran, juga dalam urusan politik dan sipil dia ternyata
seorang ahli. Kaum koruptor diberantas hingga pemerintahannya bersih dari perbuatan korupsi dan
penyuapan, hal yang telah berlangsung ratusan tahun lamanya, yang tak pernah dapat diberantas oleh
kerajaan-kerajaan yang lain. Pemerintahan yang sehat dan jujur disusun, kaum penjilat dienyahkan,
hukuman-hukuman berat dikenakan kepada orang-orang yang melakukan perbuatan jahat.
Di samping ini, Kaisar Kang Hsi menghargai kebudayaan Tiongkok. Kebudayaan itu diperkembang
luaskan, bahkan dia mengundang sastrawan-sastrawan dan ahli-ahli pikir untuk menduduki jabatan-jabatan
penting dalam pemerintahannya. Tentu saja undangan dan sikap Kaisar ini mendapat sambutan yang
hangat dari kaum terpelajar, dan sekaligus merubah pandangan mereka yang tadinya benci akan
penjajahan terhadap bangsa Mancu ini.
Membanjirlah kaum sastrawan dari pelbagai daerah ke Peking yang menjadi kota raja. Mereka diterima
oleh Kaisar Kang Hsi, diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian masing-masing. Bukan hanya kaum
sastrawan yang mendapat kedudukan, juga Kaisar yang bijaksana ini memberi kesempatan kepada kaum
kang-ouw, kepada ahli-ahli silat yang pandai, untuk membantu pemerintahannya, menerima mereka serta
memberi kedudukan-kedudukan yang menjamin kemewahan dan kecukupan hidup bagi mereka. Inilah
sebabnya mengapa Kaisar ini mempunyai barisan yang amat kuat, yang bukan hanya terdiri dari pasukanpasukan
Mancu yang sudah tergembleng oleh perang, juga dibantu oleh orang-orang pandai dari dunia
kang-ouw.
Setelah keadaan dalam negeri menjadi aman, semua pemberontak telah ditumpas dan orang-orang kangouw
banyak menggabung dan mengabdi kepada kerajaan baru ini, mulailah Kaisar Kang Hsi
memperhatikan persoalan dalam istana. Sudah lama dia merasa tak senang dengan hilangnya puterinya,
yaitu Nirahai yang pernah berjasa besar ketika Kerajaan Mancu sedang berhadapan dengan banyak orang
pandai yang memberontak. Dan semua itu adalah gara-gara seorang pendekar bernama Suma Han yang
terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti, juga dikenal sebagai Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah Pulau Formosa dikalahkan dan diduduki oleh Kerajaan Ceng, Kang Hsi mulai memikirkan hal ini
dan berkeinginan hendak mengirim pasukan menyerbu Pulau Es, menangkap Suma Han yang dianggap
telah memperkosa dan mencemarkan nama dan kehormatan Kerajaan Ceng, dan menarik kembali Puteri
Nirahai ke lingkungan istana. Selain ini, Kaisar yang mempunyai banyak sekali pembantu terdiri dari orangorang
berilmu tinggi ini mendengar akan kitab-kitab pusaka peninggalan Bu Kek Siansu dan Koai-lojin,
yang kabarnya berada di Pulau Es.
Pada suatu hari, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, yaitu orang yang diangkat menjadi koksu dalam urusan
pengumpulan orang-orang kang-ouw, menghadap Kaisar bersama dua orang tamu. Bhong Ji Kun ini
adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi kurus dan berkepala botak, seorang peranakan India yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dialah yang menjadi ‘orang pertama’ di antara jagoan istana, bahwa
dia pula yang membentuk barisan pengawal kaisar istana. Koksu ini mempunyai dua orang pembantu yang
lihai pula, yaitu Thian The Lama dan Thian Li Lama, dua orang pendeta Lama dari Tibet yang jarang dapat
menemukan tanding.
Ketika Kaisar menerima kunjungan Koksu-nya, Kaisar memandang dengan wajah tertarik kepada dua
orang yang datang bersama Bong Ji Kun itu. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan, berwajah
tampan dan bersikap halus berpakaian sebagai sastrawan, bersama seorang kakek India yang berpakaian
sederhana, seperti biasa kaum pertapa India, hanya kain panjang yang dibelit-belitkan tubuh, bertelanjang
kaki, dan bersorban.
Ketika Kaisar mendengar bahwa kakek India itu yang bernama Maharya adalah paman guru Sang Koksu
sendiri, bukan main girang hati Kaisar ini dan segera memerintahkan Bhong Ji Kun untuk menerima
Maharya sebagai tamu agung dan memberi segala pelayanan, juga apabila dikehendaki mengangkatnya
sebagai penasehat dalam urusan keamanan. Juga murid pendeta itu yang diperkenalkan sebagai Tan Ki,
seorang siucai yang selain ahli dalam hal ilmu silat, juga ahli sastra, diberi kedudukan, mencatat dan
mengurus keperluan semua pasukan pengawal. Tentu saja guru dan murid ini merasa girang sekali dan
berlutut menyembah menghaturkan terima kasih.
Dengan masuknya Maharya menjadi pembantu kerajaan, tentu saja kedudukan kerajaan menjadi makin
kuat, apa lagi selain Maharya dan Tan-siucai, banyak pula orang pandai dari pelbagai aliran dan golongan
masuk menjadi pengawal-pengawal dan panglima-panglima pengawal.
Setelah mendapat bantuan Maharya, Bhong Ji Kun baru merasa besar hatinya dan dia menerima perintah
Kaisar dengan penuh kepercayaan, untuk menyerbu Pulau Es. Tadinya dia selalu menangguhkan niat
Kaisar ini dengan alasan bahwa Pendekar Siluman dari Pulau Es amatlah saktinya dan pelayaran menuju
ke pulau itu berbahaya sekali. Namun, kini dengan bantuan paman gurunya yang dalam ilmu kepandaian
bahkan lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan dia sendiri, dia menyanggupi perintah itu, lalu
mempersiapkan pasukan yang amat kuat, terdiri dari pengawal-pengawal pilihan, dikepalai panglimapanglima
pilihan pula. Dari barisan armada lautan, koksu menerima beberapa buah kapal yang cukup
besar dan kuat, ditangani oleh anak buah yang ahli dalam pelayaran.
Berangkatlah pasukan yang terdiri dari tiga ratus orang itu, selain dipimpin oleh para panglima pilihan, juga
dikepalai sendiri oleh Bhong Ji Kun, Maharya, Tan-siucai, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan beberapa
orang pandai yang menjadi pembantu koksu itu. Lima buah kapal besar melayarkan mereka menuju ke
utara, seolah-olah sebuah armada yang hendak menyerbu daerah musuh! Perintah Kaisar adalah,
menawan Pendekar Super Sakti Suma Han berikut semua anak buahnya, atau membunuh kalau mereka
melawan, menduduki Pulau Es, dan merampas semua pusaka yang berada di pulau itu!
Tidaklah mudah bagi kapal-kapal perang Ceng itu untuk dapat menemukan Pulau Es, akan tetapi anak
buah kapal-kapal itu dipimpin oleh nakhoda kapal yang berpengalaman, dan kapal-kapal itu menjelajah ke
utara, di antara pulau-pulau yang banyak terdapat di sana. Mereka tidak tahu bahwa mereka telah terlalu
jauh ke utara sehingga di utara pulau-pulau itu terdapat Pulau Neraka yang namanya menggetarkan dunia
orang gagah!
Pulau Neraka hanya kelihatan sebagai sebuah pulau menghitam yang menyeramkan, dengan batu-batu
karang menonjol di permukaan laut sekitar pulau sehingga amat berbahaya bagi kapal atau perahu yang
berani mendekatinya. Namun, karena yang mereka cari adalah Pulau Es, maka lima kapal itu tidak
memperhatikan pulau-pulau lain, mereka hanya meneliti kalau-kalau terdapat pulau yang berwarna putih,
yang permukaannya tertutup es dan salju.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah hilir mudik sampai tiga pekan lamanya, pada suatu malam, sewaktu kapal-kapal itu terpaksa
membuang jangkar dan melewatkan malam yang dingin di bawah sinar bulan purnama, tiba-tiba terdengar
teriakan dari atas tiang di mana terdapat penjaga-penjaga yang mempergunakan teropong. Pada waktu itu
teropong merupakan barang baru yang telah dimiliki oleh pasukan Kerajaan Ceng.
Mendengar teriakan ini panglima pengawal Bhe Ti Kong yang kebetulan malam itu mengepalai penjagaan,
cepat meloncat dan memanjat tangga tali menuju ke atas.
"Apa yang kau lihat?" tanyanya.
"Ciangkun, harap periksa di sebelah timur itu!" si penjaga berkata sambil menyerahkan teropongnya.
Bhe Ti Kong menerima teropong dan mengarahkan alat itu ke timur. Dia berseru kaget dan heran! "Lekas
beritahu kepada Koksu!"
Penjaga itu cepat menuruni tangga tali dan melapor kepada Bhong Ji Kun yang sedang duduk makan
minum dan bercakap-cakap dengan para pembantunya di ruangan kapal besar.
"Hamba melapor kepada Taijin bahwa di sebelah timur kelihatan benda mencorong yang aneh sekali.
Hamba diutus Bhe-ciangkun untuk melapor kepada Taijin."
Mendengar ini, Im-kan Seng-jin, diikuti oleh Maharya, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Tan-siucai
segera keluar menghampiri tiang besar yang ujung atasnya digunakan untuk tempat penjaga memeriksa
keadaan dengan teropong.
Bergantian Bhong Ji Kun, Maharya, dan kedua orang Lama meloncat dan melayang ke atas untuk
memeriksa benda aneh di timur itu dengan teropong, sedangkan Tan-siucai terpaksa naik seperti yang
dilakukan Bhe Ti Kong tadi, yaitu dengan melalui tangga tali. Hanya bedanya, kalau Bhe Ti Kong memanjat
biasa, adalah siucai itu naik cepat sekali, seperti berloncatan dibantu oleh tangga itu.
"Ahh, tidak salah lagi. Tentu itulah Pulau Es!" kata Im-kan Seng-jin setelah turun kembali.
Benda yang tampak oleh mereka itu adalah benda besar panjang yang mencorong tertimpa sinar bulan,
berkilauan putih seperti kaca. Hanya pulau yang tertutup es sajalah yang dapat mengeluarkan pantulan
sinar bulan seperti itu. Kalau siang tidak tampak karena sinar matahari terlalu terang. Akan tetapi, sinar
bulan yang lembut membuat cuaca remang-remang dan karena itu pantulan sinar bulan dapat tampak.
"Besok pagi kita menuju ke sana. Kalau memang benar di sana letak Pulau Es, setelah mendekati, lima
kapal harus dipencar dan mengurung pulau. Pasukan dibagi dan dari sekarang kita harus mengatur
rencana," kata Bhong Ji Kun.
Dia segera mengumpulkan semua pembantu dan para panglima pemimpin pasukan. Malam itu juga dia
membagi pasukan menjadi lima bagian dipimpin oleh komandan masing-masing, juga masing-masing
pembantunya mengepalai pasukan sekapal. Kapal pertama dipimpin oleh koksu sendiri, kedua oleh
Maharya, ketiga dan ke empat oleh kedua orang Lama, sedangkan kapal terakhir oleh Tan-siucai. Malam
itu juga, mereka yang ditugaskan pindah ke kapal masing-masing dan semua pasukan mempersiapkan diri,
yang tidak tugas jaga diperbolehkan tidur agar besok menjadi segar jika menghadapi pertempuran.
********************
Kwi Hong yang berlayar di atas perahunya mengaso di dalam bilik perahu, membiarkan perahu-perahu itu
dilayarkan oleh lima orang anak buah Pulau Es. Ketika perahu itu tiba di tepi pantai, sebuah perahu kecil
meluncur cepat menyambutnya. Perahu ini didayung oleh seorang pemuda tampan bertubuh tinggi besar,
dan di dalam perahu penuh dengan ikan besar.
Pemuda ini adalah Thung Ki Lok, putera dari Thung Sik Lun tokoh Pulau Es, sute dari Yap Sun. Usianya
sudah dua puluh lima tahun, tampan dan gagah perkasa, mewarisi ilmu kepandaian ayahnya. Di
punggungnya tergantung sebatang golok besar yang tajam mengkilap, dan tangannya memegang sebuah
jala ikan. Melihat perahu itu dan melihat Kwi Hong berdiri di kepala perahu, dia melempar jala di atas ikanikannya,
kemudian mendayung perahunya cepat sekali menyambut.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika perahu besar yang ditumpangi Kwi Hong menempel di darat, pemuda itu meloncat ke atas perahu,
membawa seekor ikan yang besarnya sepaha orang, ikan yang kulitnya keemasan dan amat gemuk
sehingga dalam keadaan mentah saja sudah kelihatan enak!
"Selamat datang, Nona. Sungguh besar sekali untungmu, begitu pulang aku berhasil mendapatkan seekor
kakap merah yang sangat lezat. Nah, kupersembahkan ikan ini kepadamu, Nona!" kata Thung Ki Lok
sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi yang kuat dan bersih.
Hati Kwi Hong sedang kesal karena selalu memikirkan Bun Beng yang dikhawatirkan keadaannya. Dia
menjadi makin sebal melihat penyambutan yang amat ramah ini. Dia tahu bahwa sudah bertahun-tahun
pemuda putera pembantu pamannya ini menaruh hati kepadanya. Sungguh pun Ki Lok tidak pernah
membuka rahasia hatinya dengan kata-kata, namun dari gerak-geriknya, dari pandang matanya, dari
suaranya, jelas menyatakan bahwa pemuda tinggi besar dan gagah perkasa ini jatuh cinta kepadanya.
Anehnya, hal ini membuat Kwi Hong selalu merasa jengkel dan tidak senang!
"Terima kasih, Lok-ko. Aku lelah dan ingin mengaso, malas untuk masak-masak," dia berkata sambil
melompat ke darat.
Sejenak Ki Lok melongo, namun dengan senyum yang tak pernah meninggalkan mukanya, dia meloncat
pula mengikuti dan menghadang di depan Kwi Hong sambil berkata, "Biarkan kumasakkan untukmu, Nona.
Engkau suka ikan panggang, bukan? Akan kupanggang untukmu, kuberi bumbu yang enak. Harap kau
jangan makan dulu, tunggu sampai ikan ini matang dan..."
"Sudahlah, Lok-ko, kau makan sendiri ikan yang dengan susah payah kau tangkap itu, kau makan bersama
ayahmu. Aku tiada nafsu makan. Terima kasih!" Kwi Hong lalu meloncat ke depan dan berlari ke tengah
pulau.
Tinggal Ki Lok yang berdiri dengan ikan di tangan, dipondong di atas kedua lengannya, dan berdiri
melongo memandang bayangan gadis itu yang lenyap di antara pohon-pohon.
"Thung-kongcu, wanita itu seperti burung dara, kalau didiamkan mendekat, kalau didekati terbang
menjauh. Lihatlah..." Seorang di antara anak buah Pulau Es menuding ke arah pulau.
Ki Lok sadar, mukanya menjadi merah dan ia menengok ke tengah pulau itu. Musim ini, di mana banyak
sinar matahari, pulau itu ditumbuhi beberapa macam pohon sehingga kelihatannya lebih hidup dari pada di
musim dingin yang membuat pulau itu gundul sama sekali.
Di antara pohon-pohon ia melihat Kwi Hong sedang berhadapan dengan seorang pemuda, bercakapcakap.
Ki Lok membalikkan tubuhnya, meloncat ke dalam perahu, melempar ikan kakap merah di antara
tumpukan ikan-ikan lain lalu mendayung perahunya menjauhi perahu yang baru tiba. Lima orang tukang
perahu itu hanya menghela napas panjang karena mereka pun maklum bahwa seolah-olah terjadi
perebutan antara Thung Ki Lok dan Kwee Sui, seorang pemuda tampan anak keluarga Pulau Es yang
diambil murid oleh Phoa-toanio, yaitu Phoa Ciok Lin wakil majikan Pulau Es untuk urusan dalam. Namun
semua orang maklum bahwa terhadap kedua orang muda yang seolah-olah bersaing memperebutkan cinta
gadis cantik murid Pulau Es itu, Kwi Hong bersikap acuh tak acuh, bahkan kadang-kadang memperlihatkan
dengan jelas bahwa dia tidak senang menghadapi rayuan mereka.
Pemuda yang kini menyambut kedatangan Kwi Hong itu adalah Kwee Sui. Dia berusia dua puluh enam
tahun, tubuhnya tidak tinggi besar seperti Ki Lok, akan tetapi sedang dan wajahnya tampan sekali, juga
dalam hal bicara dan mengambil hati, dia lebih pandai dari pada saingannya yang agak kaku. Memang sifat
kedua orang pemuda itu jauh berlainan, sungguh pun keduanya sama tampan dan sama gagah.
Semenjak kecil Ki Lok suka bekerja di luar, yaitu mencari ikan menentang panasnya matahari dan
melawan serangan ombak laut, berjuang melawan alam di samping mempelajari ilmu silat dari ayahnya.
Wataknya terbuka dan jujur, pemberani dan agak kaku. Sebaliknya, Kwee Sui yang menjadi murid Phoa
Ciok Lin dapat mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi karena gurunya adalah wakil Pendekar Super Sakti,
bahkan Phoa Ciok Lin adalah murid dari iblis betina Toat-beng Ciu-sian-li yang pernah menggemparkan
dunia kang-ouw. Di samping ilmu silat, Kwee Sui juga suka belajar ilmu sastra dan ia selalu mengenakan
pakaian bersih dengan potongan seorang sastrawan.
"Hong-moi, engkau baru pulang? Dan di mana Pamanmu, Suma-taihiap, mengapa tidak ikut pulang?"
demikian Kwee Sui menyambut dengan sikap ramah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebagai murid Phoa Ciok Lin, dia lebih dekat dalam pergaulannya dengan Kwi Hong dan menyebutnya
moi-moi (adik), tidak seperti Ki Lok yang menyebutnya nona. Ada pun semua anggota Pulau Es menyebut
taihiap (pendekat besar) kepada Suma Han yang tak pernah suka disebut Pangcu (ketua perkumpulan)
atau Tocu (majikan pulau).
"Paman masih banyak urusan, aku disuruh pulang lebih dulu."
"Ahh, engkau tentu lelah. Biar kusuruh koki menyediakan makanan yang paling kau sukai, Hong-moi.
Apakah kau juga ingin mandi air hangat? Biarlah kusuruh pelayan menyediakan..."
"Terima kasih, Sui-ko, tidak usah repot-repot. Jikalau aku perlu, aku akan menyuruh sendiri," jawab Kwi
Hong singkat, mulai tak senang hatinya. Datang-datang dia disambut oleh rayuan-rayuan kedua orang
pemuda itu, betapa menyebalkan!
"Eh, engkau mendapatkan pedang baru, Hong-moi? Bukan main indahnya sarung pedang itu... ihhh,
bolehkah aku melihatnya?"
Kwi Hong meraba gagang pedangnya dan menghunusnya separuh.
"Ayaaaa...!" Kwee Sui meloncat ke belakang sampai tiga meter lebih dan mukanya berubah.
Matanya silau ketika tadi melihat pedang yang baru dihunus setengahnya, dan ia bergidik setelah Kwi
Hong menyarungkan kembali pedangnya. Gadis itu tersenyum, setidaknya dia girang betapa pemuda itu
terkejut dan kagum bukan main melihat Li-mo-kiam. Dia merasa bangga akan pedang itu.
"Bukan main, Hong-moi. Pedang pusaka apakah itu? Luar biasa sekali, baru sinarnya saja agaknya sudah
dapat membunuh orang!"
"Hemm, tentu saja ampuh. Pedang ini adalah Li-mo-kiam, sebuah di antara Siang-mo-kiam."
"Sepasang Pedang Iblis...?" Kwee Sui terbelalak dan matanya lebar memandang ke arah pedang yang
tergantung dalam sarung pedang di pinggang Kwi Hong. "Yang sebatang lagi mana, Hong-moi? Apakah
dibawa Taihiap?"
Kwi Hong hanya menggeleng kepala. "Tidak perlu banyak bertanya, Sui-ko. Sudahlah, aku ingin bertemu
Bibi Phoa kemudian beristirahat." Gadis itu lalu meninggalkan Kwee Sui yang masih berdiri terlongong.
"Sepasang Pedang Iblis..." Pemuda itu berbisik dan bergidik, tetapi hatinya ingin sekali melihat dan
memegang pedang yang amat terkenal dan yang ia dengar diperebutkan oleh seluruh orang gagah di
dunia kang-ouw itu.
Setelah bertemu dengan Phoa Ciok Lin, Kwi Hong berkata, "Bibi, dalam pelayaranku pulang, aku melihat
dari jauh lima buah kapal perang, tentu milik pemerintah dan entah apa yang mereka cari di daerah ini.
Harap Bibi suka perintahkan anak buah melakukan penjagaan lebih ketat, aku amat lelah dan ingin
beristirahat."
Phoa Ciok Lin mengerutkan alisnya mendengar penuturan ini. "Lima buah kapal perang pemerintah? Apa
gerangan yang dicarinya di daerah ini?"
"Subo, biarlah teecu pergi menyelidiki!" Tiba-tiba terdengar suara Kwee Sui yang ternyata menyusul masuk
dan mendengar percakapan gurunya dengan Kwi Hong itu.
"Baiklah, lakukan penyelidikan dan usahakan untuk mengetahui apa kehendak mereka mendatangi daerah
ini. Akan tetapi, jangan kau lancang memancing keributan dengan mereka. Taihiap tidak menghendaki kita
terlibat dalam permusuhan dengan pihak mana pun juga."
"Baik, Subo, teecu mengerti."
Setelah Kwee Sui berangkat, Phoa Ciok Lin lalu mengumpulkan tokoh-tokoh Pulau Es, terutama sekali Yap
Sun dan Thung Sik Lun, juga Thung Ki Lok, untuk mengatur penjagaan yang lebih ketat menjaga di sekitar
pulau, kalau-kalau ada pihak musuh yang akan mendarat. Maka sibuklah semua penduduk Pulau Es,
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka melakukan penjagaan dan siap menghadapi segala kemungkinan selagi majikan mereka tidak
berada di pulau.
Sementara itu, Kwee Sui seorang diri mendayung perahu kecil, meninggalkan pulau melalui celah-celah
rahasia yang hanya diketahui oleh penghuni Pulau Es. Biar pun pemuda ini tidak sepandai Ki Lok dalam
hal mendayung perahu, namun karena semenjak kecil dia berada di atas pulau yang dikelilingi lautan dan
karena tenaga sinkang-nya amat kuat, maka perahu itu meluncur cepat sekali ketika ia menggerakkan
dayungnya. Dia tidak melihat adanya perahu besar atau kapal di situ, maka setelah mengelilingi pulau
sehingga malam tiba, Kwee Sui mendayung perahunya ke pinggir, kemudian turun ke laut sebelah barat
yang sunyi lalu tertidur dalam perlindungan dua buah batu besar.
Kwee Sui pulas dan mimpi bertemu dengan Kwi Hong yang dalam mimpi itu suka menyambut rayuan cinta
kasihnya. Hal ini terjadi karena sebelum tidur hatinya penuh kekecewaan akan sikap gadis itu yang belum
pernah sedikit pun mau menghargai sikap manisnya. Kadang-kadang timbul iri hatinya karena mengira
bahwa dia kalah bersaing dengan Ki Lok, tetapi ketika tadi ia dalam persembunyiannya menyaksikan
betapa sikap Kwi Hong juga dingin saja bahkan menolak mentah-mentah pemberian ikan oleh pemuda itu,
hatinya menjadi lega dan harapannya timbul kembali.
Kwee Sui enak mimpi sehingga dia tidak tahu bahwa malam telah terganti pagi, dan tidak tahu pula bahwa
di depannya telah berdiri seorang pendeta berkepala gundul dan bertubuh gendut bundar. Pendeta ini
bukan lain adalah Thian Tok Lama yang amat lihai. Dia mendapat tugas memimpin kapal yang mendekati
Pulau Es di pagi hari itu dari sebelah barat dan berkat kepandaiannya yang tinggi, dengan dua potong
papan diikatkan di bawah sepatunya, pendeta sakti ini dapat mendarat tanpa diketahui oleh seorang pun
penjaga Pulau Es!
Para penjaga hanya melihat betapa lima buah kapal itu mendekati dan mengurung pulau, akan tetapi tidak
berani mendarat. Tentu saja tak seorang pun di antara mereka menyangka ada orang dari kapal yang
dapat ‘berjalan’ di atas air seperti yang dilakukan Thian Tok Lama dengan bantuan dua potong papan di
bawah kakinya. Apa lagi pendeta Lama ini mendarat ketika cuaca masih gelap.
Melihat seorang pemuda tidur pulas di pantai dan sebuah perahu kecil terikat di situ, Thian Tok Lama
merasa girang sekali. Ia memang ingin menangkap seorang penghuni Pulau Es untuk ditanyai keterangan
dan dipaksa menjadi petunjuk jalan, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu menotok jalan darah di
belakang leher Kwee Sui. Pemuda ini terkejut, terbangun, akan tetapi tidak dapat bergerak lagi karena
kedua pasang kaki tangannya lumpuh dan dia tidak dapat mengeluarkan suara!
Thian Tok Lama memanggul tubuh pemuda itu kemudian meloncat ke air dan meluncur dengan ayunan
tubuhnya sehingga kedua potong papan di kakinya itu seperti dua buah perahu kecil yang diinjaknya.
Tenaga ayunan kedua lengannya yang digerakkan amat kuat sehingga dia meluncur cepat, kalau dilihat
dari jauh tentu membuat orang menduga bahwa pendeta ini berlari di atas air!
Kwee Sui sendiri terbelalak penuh keheranan menyaksikan kepandaian pendeta yang amat luar biasa ini.
Jantungnya berdebar dan otaknya yang cerdik segera bekerja. Ia dapat menduga bahwa tentu pendeta ini
datang dari kapal-kapal itu, tentu seorang tokoh kerajaan yang berilmu tinggi. Kalau yang datang itu adalah
musuh dan memiliki orang-orang yang begini sakti, tentu akan celakalah penghuni Pulau Es, pikirnya. Apa
lagi pada waktu itu, Pendekar Super Sakti tidak berada di atas pulau. Dia harus berlaku cerdik dan akan
menyaksikan dulu bagaimana perkembangannya karena itu ia masih belum mengerti mengapa pendeta
lihai ini menawannya.
Setelah tiba di atas salah satu di antara lima kapal yang mengepung Pulau Es, Thian Tok Lama membawa
Kwee Sui langsung kepada Im-kan Seng-jin Bong Ji Kun. Ketika Kwee Sui melihat koksu yang berpakaian
indah gemerlapan, melihat para panglima pengawal dan pasukan pengawal di kapal besar yang bertopi
besi berpakaian perang dan bersenjata lengkap, hatinya menjadi gentar.
Biar pun ilmu kepandaiannya cukup tinggi, namun pemuda ini belum ada pengalaman bertempur, pula,
melihat kepandaian Thian Tok Lama, dia sudah menjadi ketakutan. Kalau sebuah kapal saja sudah
mempunyai pasukan yang lebih dari lima puluh orang jumlahnya, dan ada orang-orang yang berilmu begitu
tinggi, apa lagi kalau lima buah kapal itu datang menyerang semua. Dapat dipastikan bahwa Pulau Es akan
hancur!
Koksu menggerakkan tangan dan hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan menyambar ke arah
pundak Kwee Sui dan... pemuda ini merasa betapa totokan di tubuhnya terbebas. Bukan main kagetnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ilmu semacam ini, gurunya sendiri pun tidak mampu melakukannya, kecuali barangkali Pendekar Super
Sakti. Tahulah dia bahwa pembesar yang berpengaruh dan berwibawa ini tentu memiliki kepandaian lebih
tinggi lagi dari pada Si Pendeta yang menghormat ketika menceritakan betapa di pantai barat itu sunyi
tidak tampak penjaga, dan hanya bertemu dengan pemuda yang sedang tidur lalu ditangkapnya itu.
"Berlututlah engkau!" Seorang pengawal membentak dan menodongkan tombaknya di punggung Kwee
Sui. "Engkau berhadapan dengan Koksu Pemerintah yang Mulia!"
Sebagai seorang terpelajar, tentu saja Kwee Sui mengerti apa artinya kedudukan koksu ini. Seorang yang
amat berkuasa, boleh dibilang nomor dua sesudah raja di bidang keamanan, tentu saja seorang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali! Maka tanpa ragu-ragu ia lalu menjatuhkan diri berlutut. Pemuda ini
banyak membaca tentang sejarah dan kesusastraan, diam-diam dia ingin sekali menggunakan
kepandaiannya untuk mencari kedudukan dan kemuliaan, menjadi seorang berpangkat yang dihormati
ribuan orang, hidup serba mewah dan penuh kesenangan! Maka, begitu kini berhadapan dengan Koksu
Negara, tentu saja dia hersikap hormat sekali.
"Harap Taijin sudi mengampunkan hamba yang entah telah melakukan kesalahan apa sehingga
dihadapkan kepada Taijin," katanya dengan bahasa yang teratur baik.
"Ha-ha-ha-ha!" Bhong Ji Kun mengelus jenggotnya dan ketika kepalanya bergerak naik turun, botaknya
yang kelimis itu mengkilap tersinar cahaya matahari yang masuk melalui jendela di ruangan kapal itu.
"Tadinya kusangka bahwa penghuni-penghuni Pulau Es adalah manusia-manusia setengah liar, atau
seperti siluman-siluman sehingga pemimpinnya dijuluki Pendekar Siluman. Kiranya orang muda ini cukup
tampan, berpakaian baik dan bersikap sopan dengan bahasa yang terpelajar. Eh, orang muda, engkau
siapakah dan apa kedudukanmu di Pulau Es?"
"Nama hamba Kwee Sui, hamba hanyalah seorang biasa saja yang kebetulan mendapat kehormatan
menjadi murid dari Subo Phoa Ciok Lin, wakil Taihiap untuk urusan pulau."
"Eh, kiranya engkau orang penting juga! Tentu kepandaianmu cukup hebat kalau engkau murid kuasa
pulau. Akan tetapi mengapa ketika ditangkap engkau tidak melawan?" Bhong Ji Kun membentak curiga.
"Hamba memang telah mempelajari sedikit ilmu, akan tetapi mana mungkin hamba dapat melawan Losuhu
yang lihai ini? Selain hamba sedang tidur sehingga dapat ditotoknya, juga andai kata hamba tahu bahwa
Losuhu adalah utusan Taijin, bagaimana hamba berani melawan?"
"Hemm, engkau pandai bicara. Katakan, mengapa engkau tidak berani melawan utusanku?"
"Setelah mengetahui bahwa Taijin adalah Koksu Negara, sampai mati pun hamba tidak akan berani
melawan. Untuk apa hamba mempelajari sedikit kepandaian? Bukan lain hanya untuk memenuhi idamidaman
hati hamba, yaitu apabila ada kesempatan, hamba ingin mengabdikan diri kepada pemerintah."
Bhong Ji Kun membuka lebar matanya, kemudian mengangguk-angguk. "Hemm, demikiankah
sesungguhnya? Nah, tentang kedudukan untukmu boleh kita bicarakan kemudian, sekarang yang
terpenting, hendak kulihat apakah engkau benar-benar ingin mengabdikan diri. Apakah Pendekar Siluman
berada di pulau?"
"Tidak, Taijin. Taihiap sedang bepergian, entah ke mana."
Wajah Koksu itu kelihatan girang. Tanpa adanya Pendekar Super Sakti yang ditakuti, tentu mudah
menaklukkan penghuni pulau itu. Kelak, menghadapi Pendekar Siluman sendirian saja tanpa anak buah,
tentu akan lebih mudah. Dan pemuda ini kelihatannya amat ingin memperoleh kedudukan, maka tentu
akan dapat membantunya dengan baik.
"Siapa yang sekarang berada di Pulau Es? Siapa tokoh-tokohnya yang menjaga keamanan di sana dan
berapa banyak penghuninya?"
"Selain Subo Phoa Ciok Lin, juga tentu saja di sana terdapat Paman Yap Sun, Paman Thung Sik Lun,
puteranya yaitu Thung Ki Lok, dan terutama sekali, di sana ada juga murid Taihiap, atau keponakannya
sendiri, Nona Giam Kwi Hong. Hanya merekalah yang menjadi tokoh-tokoh terpandai di Pulau Es,
selebihnya hanyalah anak buah yang jumlahnya laki perempuan dan tua muda kurang lebih seratus orang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Belasan orang di antara mereka adalah saudara-saudara seperguruan dari Subo dahulu sebelum menjadi
penghuni Pulau Es, yaitu menurut Subo, adalah murid-murid Toat-beng Ciu-sian-li."
"Ah-ah! Murid-murid In-kok-san yang memberontak?" kata Koksu dengan kaget.
"Benar, Taijin. Akan tetapi sekarang, tidak ada sedikit pun niat memberontak dalam hati para penghuni
Pulau Es. Bolehkah hamba mengetahui, mengapa Taijin membawa pasukan ke Pulau Es?"
Bhong Ji Kun memandang tajam kepada pemuda itu. Sekarang ujian terakhir bagi Kwee Sui dan Koksu itu
sudah siap untuk mengirim pukulan apabila pemuda itu memperlihatkan sikap memberontak. "Kami hendak
menangkap Pendekar Siluman dan pembantu-pembantunya, dan kami hendak menduduki Pulau Es."
"Ahhhh...!" Kwee Sui terkejut bukan main, dan kalau saja dia tidak sangat cerdik, tentu dia sudah
mengamuk. Akan tetapi, pemuda ini hanya memperlihatkan kekagetan, kemudian bertanya, hati-hati.
"Maaf, Taijin. Akan tetapi... apakah kesalahan kami? Apakah dosa para penghuni Pulau Es?"
"Tak perlu kau tahu, ini adalah perintah Kaisar! Kalau mereka melawan, akan dibunuh! Bagaimana
pendapatmu?"
"Taijin, hamba kira tidak akan ada yang melawan, kecuali kalau Taihiap berada di Pulau. Kalau sampai
mereka melawan... aihhh, hamba tidak dapat membayangkan akibatnya. Subo memiliki ilmu kepandaian
yang sangat tinggi, juga kedua Paman Yap Sun dan Thung Sik Lun amat lihai, belum lagi belasan orang
saudara seperguruan Subo. Dan terutama sekali Nona Kwi Hong... ahhh, Taijin tidak tahu, dia luar biasa
lihainya, telah mewarisi ilmu dari Suma-taihiap. Lebih lagi, baru-baru ini dia telah memperoleh Li-mo-kiam
sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis."
"Sepasang Pedang Iblis?" Hampir semua tokoh yang hadir dalam kapal itu berseru, yaitu yang berada di
kapal koksu itu adalah Sang Koksu sendiri, Thian Tok Lama yang menghadap, dan para panglima.
"Bagus sekali! Kami akan menundukkan atau membunuh mereka, pedang itu dan semua pusaka di Pulau
Es harus dirampas untuk kerajaan!"
Tiba-tiba Kwee Sui memberi hormat dan berkata, "Mohon Koksu sudi mempercayai hamba. Hamba
sanggup membantu, sehingga pasukan-pasukan pemerintah tidak mengalami kesukaran memasuki Pulau
Es yang tidak mudah diserbu, dan hamba akan mencuri Li-mo-kiam dari tangan Nona Giam Kwi Hong,
kemudian membantu Taijin menghadapi mereka yang melawan, dan akan membujuk agar mereka tidak
melawan dan menyerah saja, akan tetapi hamba mohon janji Taijin."
"Ha-ha-ha, orang muda. Aku mengerti, jangan khawatir, kalau berhasil penyerbuan ini dan jasamu besar,
tentu aku akan melapor kepada Kaisar dan engkau akan memperoleh anugerah pangkat sesuai dengan
kepandaianmu."
"Hamba percaya akan hal itu, Taijin, akan tetapi ada satu hal yang hamba minta kepada Taijin sebelum
Taijin mengerahkan pasukan menyerbu Pulau Es..."
"Hemmm, apa permintaanmu? Katakanlah, akan kami pertimbangkan."
"Hamba... hamba mencinta Giam Kwi Hong, karena itu... harap dia jangan dilukai apa lagi dibunuh... jika
menjadi tawanan supaya diserahkan kepada hamba... hamba akan berterima kasih sekali dan selamanya
akan menyerahkan jiwa raga hamba mengabdi kepada pemerintah di bawah pimpinan Taijin."
Koksu itu tertawa bergelak dan tanpa banyak tanya lagi dia mengerti akan isi hati pemuda itu. Tak salah
lagi, pikirnya, tentu cinta pemuda ini ditolak oleh murid Pendekar Siluman. Sungguh kebetulan sekali dan
amat menguntungkan terlaksananya tugasnya karena andai kata tidak ada persoalan itu, belum tentu
pemuda ini mau membantunya demikian mudah.
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dari bawah kapal dan seorang pemuda tinggi besar yang
pakaiannya basah semua, dengan sebatang golok besar di tangan kanan, telah berdiri di situ memandang
ke arah Kwee Sui dengan mata terbelalak marah, kemudian menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka
Kwee Sui sambil membentak.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Manusia she Kwee yang berbudi rendah! Seekor anjing yang setiap hari diberi makan dan dipelihara,
masih memiliki kesetiaan. Akan tetapi engkau ini manusia lebih hina dari pada anjing, setelah segala
kebaikan yang kau terima dari Majikan Pulau Es, sekarang pada kesempatan pertama hendak
mengkhianatinya! Bedebah!"
Para pengawal sudah mengurung pemuda itu, dan Thian Tok Lama sudah melangkah maju, akan tetapi
Im-kan Seng-ji Bhong Ji Kun berseru, "Tahan dan jangan serang dia!" Lalu Koksu ini menoleh kepada
Kwee Sui, "Kwee-sicu, siapakah dia itu dan kenapa dia marah-marah kepadamu?"
Muka Kwee Sui sudah merah sekali saking malu dan marahnya. Tak disangkanya bahwa saingannya itu
berada di sini dan mendengarkan ucapannya tadi. Sudah kepalang, pikirnya. Tentu saingannya menyelidiki
kapal dengan jalan berenang karena memang dia seorang ahli renang yang luar biasa.
"Taijin, dia itulah Thung Ki Lok putera Paman Thung Sik Lun. Dia memang membenci hamba karena dia
pun jatuh cinta kepada Giam Kwi Hong."
"Ha-ha-ha!" Bhong Ji Kun tertawa bergelak, di dalam hatinya dia mengejek Pendekar Siluman. Kiranya
Pulau Es hanya dihuni oleh pemuda-pemuda macam ini, karena tergila-gila kepada seorang wanita, telah
melakukan hal-hal yang bodoh, pikirnya. "Kwee-sicu, setelah engkau berjanji untuk membuat jasa kepada
kerajaan. Nah, kuperintahkan engkau menghadapi dia!"
Kwee Sui melompat berdiri dan Thian Tok Lama menyerahkan pedangnya yang tadi dirampas oleh
pendeta Lama itu. Dengan pedang di tangan, Kwee Sui menghampiri Ki Lok dan berkata, "Ki Lok, engkau
memang sudah bosan hidup. Telah lama ingin sekali aku memenggal batang lehermu, akan tetapi karena
di pulau, tidak ada kesempatan bagi kita mengadu nyawa. Sekarang, kita hanya berdua di sini, mari kita
tentukan siapa di antara kita yang hendak hidup!"
"Hemm, manusia hina! Karena engkau telah menjadi anjing penjilat musuh, maka berani bicara besar! Apa
kau kira aku takut menghadapi macammu dan para majikan barumu?"
"Tutup mulutmu yang busuk!" Kwee Sui marah sekali dan sudah menerjang dengan pedangnya. Ki Lok
menangkis dengan goloknya.
"Tranggggg...!"
Tangan Kwee Sui tergetar dan memang dia maklum akan besarnya tenaga yang dimiliki Ki Lok, namun dia
tidak gentar karena dia memiliki gerakan yang lebih cepat dan gesit. Segera ia menyerang lagi,
menggerakkan pedangnya dengan kecepatan luar biasa sehingga pedangnya berubah menjadi segulung
sinar yang melingkar-lingkar dan menyerang Ki Lok.
Karena Kwee Sui digembleng oleh Phoa Ciok Lin yang lihai, tentu saja ilmu silatnya lebih lihai dari pada Ki
Lok. Tingkatnya lebih tinggi, terutama sekali ginkang-nya. Akan tetapi Ki Lok memiliki keberanian yang luar
biasa, membuatnya selalu tenang dan biar pun gerakan goloknya tidak secepat gerakan pedang di tangan
lawan, namun karena dia menggerakkannya dengan tenang dan dengan tenaga yang besar maka dia
dapat melindungi tubuhnya dengan baik.
Bhong Ji Kun menonton pertandingan ini dengan hati girang. Dia mendapat kenyataan bahwa Kwee Sui
memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, lebih tinggi kalau dibandingkan dengan kepandaian para
panglimanya, bahkan lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Panglima Bhe Ti Kong yang dipercayanya.
Boleh juga, pikirnya. Pemuda ini akan merupakan pembantu yang boleh diandalkan, hampir setingkat
dengan kepandaian Tan-siucai! Dan pertandingan ini merupakan ujian terakhir bagi pemuda itu! Kalau
pemuda she Kwee itu benar-benar bertekad bulat untuk menghambakan diri kepada kerajaan, tentu tidak
akan segan-segan membunuh kawannya sendiri, kawan sepulau!
Pertandingan berlangsung mati-matian dan seru karena Ki Lok juga berusaha untuk membunuh Kwee Sui,
bukan semata-mata karena memperebutkan Kwi Hong, sama sekali tidak. Demi nona itu yang
diperebutkan cintanya, dia tidak akan begitu rendah untuk mengadu nyawa dengan Kwee Sui. Kalau dia
sekarang berusaha membunuhnya adalah karena melihat kenyataan bahwa Kwee Sui hendak
mengkhianati Pulau Es. Seratus jurus telah lewat dengan cepatnya dan mulailah Ki Lok terdesak oleh sinar
pedang Kwee Sui, dan ia hanya dapat menangkis dan mengelak tanpa dapat balas menyerang. Ki Lok
mundur terus sampai di pinggir kapal, kakinya tersangkut tali dan ia terjengkang. Saat itu, dua kali sinar
pedang berkelebat.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Crat-crat!"
Darah mengucur keluar dari pangkal lengan kanan dan dada kiri Ki Lok. Pemuda ini terjengkang ke
belakang, goloknya terpental dan tubuhnya tarlempar keluar kapal. Air muncrat ke atas dan tubuh pemuda
tinggi besar itu tenggelam dan lenyap. Yang tampak hanya sedikit air laut yang berwarna merah oleh
darahnya.
Sejenak Kwee Sui memandang ke air, sambil menyimpan kembali pedangnya. Ketika mendengar suara
Bhong Ji Kun tertawa, dia membalik dan menjatuhkan diri lagi berlutut di depan koksu itu.
"Bagus! Kepandaianmu lumayan dan engkau telah membuktikan kesetiaanmu. Nah, sekarang bagaimana
baiknya menurut rencanamu agar kami dapat mendarat?"
"Perkenankan hamba kembali ke pulau. Hamba akan memberi tanda-tanda dengan sobekan-sobekan kain
putih yang menunjukkan jalan masuk yang aman, bebas dari jebakan-jebakan. Akan hamba coba untuk
membujuk mereka agar menyerah, akan tetapi kalau mereka tidak mau, terserah kalau Taijin hendak
membunuh mereka yang melawan. Hamba akan berusaha mencuri Li-mo-kiam dan harap Taijin jangan
lupa agar jangan membunuh Nona Kwi Hong andai kata dia nekat melawan."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Kalau dia melawan akan kami tawan dia untukmu. Akan tetapi selain pedang
Li-mo-kiam, kau harus mengumpulkan pusaka-pusaka Pulau Es agar jangan sampai mereka sembunyikan
atau hancurkan. Kelak engkau akan diberi anugerah besar dan kedudukan yang cukup tinggi."
"Baik, Taijin. Hamba mohon sebuah perahu kecil agar hamba dapat mendarat lebih dulu."
"Kau beri tanda dari lima penjuru, agar pasukan-pasukan kami yang terbagi lima dapat menyerbu dengan
aman."
"Baik!"
Kwee Sui lalu meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang sudah diturunkan oleh pasukan, kemudian
mendayung perahu itu ke darat dengan jantung berdebar. Biar pun dia telah berhasil membunuh Ki Lok,
namun hatinya merasa tidak enak sekali. Dia telah bermain dengan api, dan kalau dia teringat kepada
Pendekar Super Sakti, dia bergidik.
Tidak apa, pikirnya, menghibur diri sendiri. Kalau serbuan itu berhasil dan dia tinggal di kota raja,
membantu koksu yang memiliki banyak orang pandai, dia tentu aman dari pembalasan Pendekar Super
Sakti. Dan Kwi Hong, si cantik manis yang membuatnya tergila-gila itu, setelah ditawan dan diserahkan
kepadanya, hemm... sudah pasti dia akan memaksanya menjadi isterinya, mau atau tidak! Kalau dia sudah
mendapatkan kedudukan tinggi, aman dan terjamin keselamatannya, sudah memperoleh diri Kwi Hong
yang dicintanya, mau apa lagi? Jauh lebih baik dari pada ‘mati kering’ di tempat dingin itu, di Pulau Es,
hanya dapat memandang Kwi Hong dengan penuh rindu hati yang menyiksa perasaan.
Setelah mendapatkan perahunya, Kwee Sui cepat memasang tanda-tanda kain putih di tempat-tempat
tertentu sebagai petunjuk jalan masuk pulau sebagaimana yang telah ia janjikan kepada Koksu. Sambil
memasang kain putih dia memasuki pulau dan langsung menghadapi gurunya yang masih berunding
dengan Kwi Hong, bagaimana sebaiknya menghalau musuh kalau memang kapal-kapal yang mendekati
pulau itu benar-benar musuh yang berniat buruk.
"Wah, lama benar engkau melakukan penyelidikan, sampai aku menyuruh Ki Lok pergi menyusulmu. Di
mana Ki Lok?" Begitu dia datang, gurunya menegurnya.
"Celaka sekali, Subo." Tiba-tiba Kwee Sui menjatuhkan diri berlutut dan mengusap air matanya.
"Eh, ada apakah?" Phoa Ciok Lin membentak marah melihat muridnya begitu cengeng. "Lekas ceritakan!"
"Lok-te telah tewas mereka bunuh...!"
"Apa...?!" Seruan ini keluar dari mulut Thung Sik Lun, ayah Ki Lok yang tentu menjadi terkejut sekali
mendengar bahwa putera tunggalnya telah tewas dibunuh orang. "Bagaimana terjadinya?" Suaranya
dunia-kangouw.blogspot.com
gemetar, akan tetapi kakek yang gagah perkasa ini sudah dapat menekan batinnya, hanya mukanya saja
yang pucat sekali dan pandang matanya mengeluarkan kilat.
Karena khawatir kalau-kalau kebohongannya dapat dilihat oleh ayah Ki Lok, Kwee Sui kembali
menghadapi gurunya sambil melirik ke arah Kwi Hong yang terbelalak kaget sampai tidak bisa bicara apaapa
ketika mendengar betapa pemuda yang menjadi sahabatnya sejak kecil itu telah terbunuh musuh.
"Teecu dapat mendekati sebuah di antara kapal mereka dan semalam suntuk teecu bersembunyi sambil
berpegang pada rantai jangkar. Baru pagi tadi teecu dapat merayap naik dan selagi teecu hendak mencuri
pembicaraan mereka, tiba-tiba tampak Lok-te meloncat naik ke kapal, dan mencaci-maki, mengusir kapalkapal
itu supaya menjauhi Pulau Es."
"Ahhh... dia selalu keras hati dan terlalu berani...!" Terdengar Thung Sik Lun mengeluh sambil
menggunakan kepalan tangannya mengusap dua titik air mata.
"Ahhh, kasihan Lok-ko. Kita harus membalas dendam atas kematiannya!" Kwi Hong mengepal tinju,
suaranya nyaring penuh kemarahan dan sakit hati.
"Lanjutkan ceritamu. Mereka itu siapakah?" Phoa Ciok Lin mendesak muridnya.
"Celaka sekali, Subo. Lima buah kapal itu adalah kapal pemerintah dan dipimpin sendiri oleh Koksu Negara
yang amat sakti! Dia membawa tentara yang banyak sekali, ada tiga ratus orang-orang lihai sekali. Teecu
menyaksikan sendiri betapa dalam satu jurus saja Lok-te telah roboh dan terlempar ke laut! Dari kata-kata
Koksu itu kepada Lok-te teecu mendengar sendiri akan ancamannya untuk menduduki Pulau Es dan akan
membunuh semua penghuninya apabila berani melawan. Maka teecu mengharap kebijaksanaan Subo dan
Hong-moi agar mempertimbangkan, apakah perlu melawan pasukan besar yang dipimpin orang-orang
sakti itu."
"Pengecut!" Phoa Ciok Lin membentak marah. "Kau sebagai muridku mengusulkan agar kita menakluk
saja dan menyerahkan Pulau Es tanpa perlawanan?"
"Oh, tidak... tidak... mana teecu berani? Teecu cuma menyampaikan hasil penyelidikan teecu dan mohon
pertimbangan Subo. Segala keputusan Subo dan Hong-moi tentu saja teecu taati dan teecu siap
membantu dengan taruhan nyawa teecu!"
Phoa Ciok Lin hilang kemarahannya dan ia percaya kepada muridnya itu. Ia menoleh kepada Kwi Hong
sambil bertanya, "Hong-ji (Anak Hong), karena Taihiap tidak ada di sini, bagaimana pendapatmu?"
Kwi Hong mengerutkan alis dan meraba gagang pedang Li-mo-kiam. "Bagaimana pendapatku? Adakah
pendapat lain lagi setelah Lok-ko mereka bunuh, Bibi? Pendapat kita satu-satunya hanyalah
mempertahankan pulau, melawan mati-matian! Bagaimana Paman Yap Sun dan Paman Thung?"
Dua orang kakek itu mengangguk. "Tidak ada jalan lain lagi," jawab Yap Sun.
"Saya siap untuk mengorbankan nyawa demi membela pulau kita, seperti yang telah dilakukan anakku!"
kata Thung Sik Lun terharu.
"Bagus, kita harus mengatur persiapan dan kuserahkan kepada Bibi!" kata Kwi Hong penuh semangat.
Phoa Ciok Lin yang lebih berpengalaman dari pada Kwi Hong karena dia adalah seorang bekas pejuang,
cepat berkata, "Kita bagi anak buah menjadi empat. Aku sendiri memimpin anak buah menjaga pantai
barat, engkau memimpin anak buah menjaga pantai timur, Hong-ji. Kau Sui-ji (Anak Sui), memimpin
penjagaan di utara, Paman Thung memimpin penjagaan di selatan, ada pun Paman Yap memimpin sisa
anak buah untuk menghadapi serbuan kapal ke lima, dari mana pun datangnya. Kebetulan kita di sini
berlima, jadi tepat untuk memimpin anak buah menghadapi lima buah kapal itu yang agaknya telah
mengurung pulau. Mari kita berjuang membela pulau sampai titik darah terakhir!"
Mereka lalu keluar dari Istana Pulau Es dan mengumpulkan anak buah, membagi menjadi lima dan segera
berangkat ke tempat penjagaan masing-masing. Ketika Kwi Hong sedang sibuk mengatur pasukannya,
tiba-tiba Kwee Sui mendekatinya dan berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hong-moi, maafkan segala kesalahanku yang sudah-sudah. Saat ini kita menghadapi musuh yang kuat
dan entah kita akan dapat saling berjumpa lagi atau tidak. Maka sebagai ucapan selamat berpisah dan
selamat berjuang, aku lebih dulu mohon kau suka memaafkan semua kesalahanku."
Kwi Hong tersenyum. Hatinya lega. Baru sekali ini pemuda itu tidak mengeluarkan kata-kata merayu dan
mengambil hatinya, dan agaknya dalam ancaman bahaya ini Kwee Sui bersikap sungguh-sungguh, maka
dia berkata halus, "Sui-ko, mengapa engkau berkata demikian? Tentu saja aku suka memaafkan kalau
engkau bersalah, akan tetapi kau tidak bersalah apa-apa. Pula, siapa bilang bahwa kita akan kalah? Lihat
saja, kita akan hancurkan mereka semua!"
"Mudah bagimu, Moi-moi, karena engkau memiliki ilmu kepandaian setinggi langit. Juga mudah bagi Subo
dan kedua Paman. Akan tetapi aku? Ah, tingkat kepandaianku masih amat rendah. Sedangkan, Lok-te saja
demikian mudah terbunuh apa lagi aku? Kalau saja aku mempunyai pusaka seperti pedangmu itu, Hongmoi,
agaknya aku akan dapat mengamuk dan tidak akan mudah dikalahkan musuh!"
"Hemm, yang penting adalah orangnya, bukan pedangnya, Sui-ko."
"Kalau begitu, apakah engkau sudi meminjamkan pedangmu itu kepadaku? Percayalah aku akan
menjaganya dengan nyawaku, dan dengan pedang itu di tangan, aku tidak takut menghadapi koksu sendiri
sekali pun!" Kwee Sui berkata penuh semangat. "Pula, engkau telah memiliki Pek-kong-kiam pemberian
Taihiap."
Kwi Hong ragu-ragu sejenak, akan tetapi karena dia menganggap ucapan pemuda itu tak dapat disangkal
kebenarannya, dengan ramah ia lalu melepaskan sarung pedang Li-mo-kiam dan menyerahkannya kepada
Kwee Sui.
"Demi mempertahankan pulau, aku rela meminjamkan pedang ini kepadamu, Sui-ko. Akan tetapi hatihatilah
terampas musuh. Aku percaya, dengan pedang yang ampuh dan mukjizat ini, kelihaianmu akan
menjadi lipat ganda."
"Terima kasih... terima kasih, engkau baik sekali, Hong-moi. Selamat berpisah, mudah-mudahan kita akan
saling dapat berjumpa pula." Kwee Sui menerima Li-mo-kiam lalu lari menghampiri pasukannya dan
dipimpinnya pasukan itu menuju ke pantai utara seperti yang ditugaskan subonya. Diam-diam ia tersenyum
lega. Pasti kita akan saling berjumpa lagi, Moi-moi, berjumpa sebagai suami isteri baik engkau mau atau
tidak!
Setelah membawa pasukannya ke utara dan menyuruh mereka berjaga sambil bersembunyi, Kwee Sui
diam-diam meloloskan diri dan mulai sibuk bekerja memberi tanda kain putih di pantai itu, kemudian ia
menyusup ke timur dan ke selatan untuk memberi tanda-tanda robekan kain putih.
"Haiiii...!" Tiba-tiba muncul dua orang anak buah Pulau Es dari tempat sembunyinya dan ketika mereka
melihat bahwa orang yang mereka tegur itu adalah Kwee Sui, mereka terheran-heran.
"Kwee-kongcu... apa yang sedang kau lakukan itu?" Salah seorang di antara mereka menegur.
Kwee Sui terkejut dan ketika ia menoleh ke sana-sini dan tidak melihat adanya orang lain, secepat kilat dia
mencabut pedang Li-mo-kiam. Dua orang itu tak sempat berteriak karena sinar pedang itu saja sudah
membuat mereka menggigil dan bergidik, tak dapat berkutik lagi. Di lain saat sinar kilat berkelebat dan
kepala mereka menggelinding putus dari leher, terbabat Li-mo-kiam!
Pedang yang sudah sekian lamanya tidak minum darah itu kini mulai melepaskan dahaganya dan ketika
Kwee Sui memandang pedang itu dengan hati penuh kebanggaan, ia melihat pedang itu lebih bersinarsinar
lagi setelah mencium darah manusia. Hebatnya, pedang yang telah membabat putus dua leher
manusia itu sedikit pun tidak ternoda merah, seolah-olah darah telah mencucinya lebih cemerlang dan
bersih.
"Li-mo-kiam... hebat...!" Kwee Sui mencium pedang itu lalu menyarungkannya kembali, kemudian menyeret
dua orang itu ke balik batu dan menguruk mayat mereka berikut dua buah kepala mereka dengan salju.
Noda darah di atas tanah bersalju ia hapus dengan injakan kakinya, kemudian ia melanjutkan
pekerjaannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Baru saja ia selesai memberi tanda-tanda di semua jurusan, tiba-tiba terdengar sorak-sorai disambut
teriakan-teriakan gegap gempita dan tahulah dia bahwa pasukan-pasukan pemerintah telah mulai
menyerbu! Memang koksu telah mengabarkan kepada pimpinan kapal masing-masing bahwa di darat telah
ada pembantu mereka yang memasang tanda kain-kain putih yang harus dijadikan petunjuk untuk
menyerbu ke pulau itu.
Terjadilah perang yang hebat dan di lima penjuru pulau itu! Para pasukan pemerintah dapat menyerbu
pulau itu dengan mudah karena mereka terbebas dari tempat-tempat yang dipasangi jebakan dan alat
rahasia berkat petunjuk robekan kain-kain putih yang dipasang oleh Kwee Sui. Melihat ini, para penghuni
Pulau Es terpaksa menyambut mereka dengan senjata dan terjadi perang yang mati-matian. Biar pun
jumlah penghuni pulau kalah banyak dan ilmu silat para pasukan pengawal itu lebih tinggi, namun para
penghuni menang kuat dalam tenaga sinkang.
Selama tinggal di pulau, mereka terbiasa oleh hawa dingin dan melatih sinkang dengan menghimpun Imkang
sehingga tenaga mereka mengandung hawa dingin yang lebih kuat dari pada para penyerbu. Para
penyerbu rata-rata menggigil kedinginan, bukan hanya oleh hawa yang keluar dari bumi Pulau Es, akan
tetapi juga karena benturan senjata dengan para penghuni Pulau Es itu dilandasi Im-kang yang membuat
para lawan selalu terserang hawa dingin yang menusuk tulang.
Serangan serentak dari lima buah kapal itu membuat para tokoh Pulau Es tidak dapat saling membantu
karena mereka menghadapi musuh masing-masing yang menyerbu dari lima jurusan. Bahkan Yap Sun
sendiri kini bersama pasukannya telah menghadapi serbuan pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Tan
Ki atau Tan-siucai.
"Ha-ha-ha, kakek tua bangka. Mengapa engkau tidak mau menakluk saja dan berani melawan pasukan
pemerintah?"
"Selamanya Pulau Es tak pernah mengganggu pemerintah, kalau sekarang pemerintah menyerang kami,
terpaksa kami akan mempertahankan pulau mati-matian!" jawab kakek Yap Sun dengan suara kereng.
"Ha-ha-ha! Kalian anak buah Pulau Es memang tidak berdosa terhadap pemerintah akan tetapi majikan
kalian berdosa besar sekali, karena itu kalian pun ikut berdosa kalau melawan."
"Orang muda, engkau berpakaian seperti sastrawan, namun memimpin pasukan! Terang bahwa engkau
tergolong penjilat penjajah. Tak perlu banyak cakap lagi, siapa takut kepada engkau dan pasukanmu?
Anak-anak, serang mereka!" Kakek Yap Sun memberi aba-aba dan berloncatan keluarlah anak buahnya
yang berjumlah hanya tiga puluh orang menghadapi lawan yang jumlahnya dua kali lipat banyaknya. Dia
sendiri sudah menerjang maju dengan tangan kosong menyerang pemuda berpakaian sastrawan itu.
Tan-siucai terkejut ketika merasakan hawa panas sekali menyambar dari kedua tangan kakek itu. Memang
Yap Sun telah diberi Ilmu Pukulan Hwi-yang Sin-ciang oleh Pendekar Super Sakti. Hwi-yang Sin-ciang
(Tangan Sakti Inti Api) merupakan ilmu pukulan sakti yang amat hebat, karena di dalam tenaga ini
terkandung hawa sakti yang melebihi api panasnya, dapat menghanguskan lawan yang tidak kuat
menerimanya.
"Bagus!" Tan-siucai berseru dan sekali tangan kanan bergerak, dia telah mencabut sebatang pedang yang
berwarna hitam. Inilah senjatanya yang dibuat oleh gurunya sendiri, Pendeta Maharya, sebatang pedang
yang ampuh karena diberi racun yang merendam pedang itu sampai bertahun-tahun sehingga pedang itu
berwarna hitam!
Sambil mencelat ke samping mengelak dari pukulan ampuh kakek itu, Tan Ki mengelebatkan pedangnya.
Sinar hitam menyambar ke arah Yap Sun. Kakek ini pun maklum akan berbahayanya pedang itu yang
mengeluarkan bau amis, namun dia tidak gentar. Dorongan tangan kirinya dengan jari terbuka
mengeluarkan hawa pukulan yang dapat menangkis dan mendorong mundur sinar pedang itu sehingga
Tan Ki terpaksa meloncat lagi dan menyerang dari lain jurusan. Sementara itu, pasukan kedua pihak sudah
saling serang dengan hebat dan terjadilah perang tanding mati-matian di mana setiap orang anak buah
Pulau Es dikeroyok dua orang lawan.
Ternyata hanyalah Kakek Yap Sun seorang dari pihak Pulau Es yang kebetulan bertemu lawan yang
seimbang. Kawan-kawannya ternyata bertemu lawan berat dan keadaan mereka terdesak hebat. Phoa
Ciok Lin, yang merupakan orang kedua setelah Kwi Hong dalam hal kelihaian ilmu silatnya, bertemu
dengan pasukan yang dipimpin oleh Thai Li Lama, pendeta Lama kurus yang lihainya luar biasa itu. Phoa
dunia-kangouw.blogspot.com
Ciok Lin terpaksa harus mengeluarkan semua ilmunya, mengeluarkan seluruh ginkang dan ilmu silatnya
untuk menghadapi lawan yang memiliki ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek, semacam ilmu pukulan yang
mengandung campuran hawa mukjizat dari ilmu hitam.
Berkali-kali Thai Li Lama mengeluarkan bentakan-bentakan yang amat berwibawa, membuat wanita sakti
itu kewalahan dan hampir celaka karena hampir saja dia tidak dapat menahan pengaruh bentakanbentakan
yang mengandung ilmu hitam I-hun-to-hoat itu. Untung bahwa sebagai pembantu istimewa yang
telah digembleng oleh Pendekar Siluman, dia memiliki batin yang kuat sehingga dengan segala kekuatan
batinnya dia masih berhasil mempertahankan diri. Namun jelas bahwa dia terdesak hebat, seperti juga
anak buahnya yang terdesak oleh serbuan anak buah Thai Li Lama.
Thung Sik Lun, tokoh Pulau Es yang bertubuh kurus dan yang memiliki keistimewaan gerak cepat, lebih
payah lagi karena dia bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh pendeta India, Kakek Maharya yang
tentu saja jauh lebih lihai dari pada dia! Begitu kakek ini mendarat, Thung Sik Lun menyerangnya dengan
pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang yang dapat membikin beku darah di tubuh lawan. Namun Kakek
Maharya menerima pukulannya dengan enak saja dan begitu tangan kiri Thung Sik Lun mendarat di dada
yang kerempeng itu, tangan Thung Sik Lun tak dapat ditarik kembali, melekat dan tersedot oleh dada
kerempeng itu! Thung Sik Lun terkejut, cepat menggerakkan tangan kanannya dengan pengerahan Imkang
sekuatnya memukul ke pusar.
"Desss!" Kembali tangannya melekat di kulit keriput perut Maharya, tak dapat ditarik kembali.
"Heh-heh-heh!" Maharya terkekeh, sekali tangan kirinya bergerak, dia telah menjambak rambut di ubunubun
kepala Thung Sik Lun, mencengkeram dan begitu dia mencabut, kepala itu berikut kulit dan tulang
kepala bagian ubun-ubun copot!
Otak dan darah mengucur keluar dan Maharya membuka mulutnya menerima dan menggelogok darah
campur otak segar itu seperti orang kehausan menerima air sejuk! Setelah darah berhenti mengucur dan
Maharya melepaskan sinkang-nya, tubuh Thung Sik Lun yang sudah tak bernyawa lagi itu terguling!
Tentu saja robohnya pimpinan ini membikin kacau para anak buah Pulau Es. Di antara mereka banyak
yang roboh dan mereka bergidik ngeri menyaksikan kematian pimpinan mereka, maka mereka cepat
mengundurkan diri ke tengah pulau sambil menahan majunya musuh-musuh dengan senjata rahasia
mereka yang ampuh, yaitu butiran-butiran es yang dingin sekali, yang dapat mereka kumpulkan dan gali
dari lorong bawah tanah di belakang Istana Pulau Es! Hujan butiran es yang dingin ini sedikit banyak
menghambat kemajuan para penyerang dan memungkinkan mereka untuk mundur dan mengatur
pertahanan lagi tanpa pimpinan.
Thian Tok Lama yang memimpin pasukannya disambut oleh anak buah Kwee Sui. Akan tetapi ketika anak
buah Pulau Es melihat Kwee Sui menyambut kedatangan pendeta gundul itu tertawa-tawa dan mereka
berdua itu bercakap-cakap sambil berjalan ke darat, mereka menjadi kacau. Apa lagi ketika Kwee Sui
berseru.
"Kita tidak boleh melawan pasukan pemerintah! Kita bukan pemberontak! Lebih baik menyerah saja, tentu
diampuni!"
Mendengar ini, anak buah Pulau Es menjadi bingung. Akan tetapi mereka semua adalah orang-orang yang
setia, bahkan di antara mereka banyak terdapat bekas pejuang yang menentang penjajahan Mancu, maka
mendengar seruan ini, maklumlah mereka bahwa Kwee Sui menjadi pengkhianat. Maka mereka segera
melawan sambil mundur ke tengah pulau, juga mempertahankan diri dengan serangan butiran-butiran es
dingin.
Yang berat seperti keadaan Thung Sik Lun adalah Kwi Hong sendiri. Gadis perkasa yang penuh semangat
ini bertemu dengan induk pasukan musuh yang dipimpin oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun sendiri! Biar
pun Bhong Ji Kun masih kalah sedikit kalau dibandingkan dengan kelihaian paman gurunya, Maharya,
namun bagi Kwi Hong dia telah merupakan lawan yang amat berat, apa lagi tentu saja pasukan yang
dipimpin Koksu ini adalah pasukan pengawal yang paling kuat!
Kwi Hong juga terkejut ketika berhadapan dengan orang tinggi kurus berkepala botak yang memakai
pakaian indah dan mentereng ini, dan dapat menduga bahwa tentu inilah orangnya yang disebut koksu
oleh Kwee Sui. Cepat dia mencabut Pek-kong-kiam sehingga tampak sinar putih menyilaukan mata dari
pedang yang berlapis perak ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bhong Ji Kun tertawa bergelak. "Hemm, agaknya engkaukah murid Pendekar Siluman, Nona? Pantas...
pantas... banyak pemuda yang tergila-gila kepadamu. Kiranya engkau benar-benar cantik jelita, sungguh
tidak disangka di pulau kosong seperti ini dapat tumbuh setangkai mawar yang begini cantik..."
"Keparat, tutup mulutmu yang busuk!" Kwi Hong marah sekali, segera pedangnya menyambar menjadi
sinar yang panjang dan besar.
"Hehhh...!"
Bhong Ji Kun terpaksa mengelak cepat karena tak disangkanya bahwa nona itu dapat menggerakkan
pedang sedemikian cepatnya. Baru ia teringat bahwa dara yang jelita ini adalah murid Pendekar Super
Sakti. Dia sendiri merasa jeri terhadap pendekar itu, yang menurut pendapat paman gurunya memang
memiliki kesaktian sukar dilawan. Kalau gurunya sedemikian hebatnya, tentulah muridnya tak dapat
dipandang ringan, sungguh pun muridnya merupakan seorang gadis muda yang manis dan kelihatan
lemah.
Maka ia pun cepat memerintahkan anak buahnya untuk menyerbu anak buah Pulau Es, dan dia sendiri
sudah mengeluarkan sebuah di antara senjata-senjatanya yang aneh, yaitu sebatang pecut kuda yang
berwarna merah dan panjangnya ada tiga meter, gagangnya terbuat dari emas dihias permata! Koksu ini di
waktu kecilnya, di India, pernah bekerja sebagai seorang penggembala kuda, maka dia suka sekali
mempergunakan cambuk kuda, apa lagi di waktu dia menyiksa lawan.
Sebetulnya dia memiliki banyak senjata yang ia keluarkan sesuai dengan keadaan lawan. Melihat Kwi
Hong cukup lincah dan lihai memegang pedang pusaka, maka dia pun mengeluarkan cambuknya. Cambuk
ini digulung di dekat gagang dan jika perlu dapat dipergunakan menyerang lawan yang tiga meter jauhnya,
juga amat cocok untuk menghadapi senjata tajam, untuk melibat dan merampas.
"Tar-tar-tar!" Cambuknya meledak-ledak di atas kepala dan meluncur turun, mengirim totokan-totokan
berantai ke arah jalan darah di leher, tengkuk dan kedua pundak Kwi Hong.
"Haiiiittt!" Kwi Hong melengking nyaring.
Pedangnya diputar cepat di atas kepala, membentuk sinar seperti payung melindungi tubuh atasnya, dan
tangan kirinya sudah menyodok ke depan, mengirim pukulan jarak jauh ke arah uluhati lawan. Bukan main
kagetnya hati koksu itu. Gerakan pedang gadis itu benar-benar membendung serangan cambuknya, dan
kini pukulan tangan kiri itu mengandung hawa dingin yang terasa menghantam dadanya, terus menyerang
ke jantung!
"Hehhhh!" Ia mengerahkan sinkang, mengeraskan perut dan dada, menahan pukulan jarak jauh itu sambil
menarik pecutnya, dan sekali pergelangan tangannya bergerak, ujung pecutnya menyambar dari bawah
hendak melibat kaki Kwi Hong.
Gadis ini melocat ke atas, cepat mainkan pedangnya yang merupakan pecahan dari Siang-mo Kiam-sut
seperti yang diajarkan pamannya, dan tangan kirinya tidak lupa mengirimkan pukulan-pukulan Hwi-yang
Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara bergantian.
Koksu itu makin terheran-heran dan kagum. Bukan main gadis ini, pikirnya. Belum pernah ia menghadapi
lawan seorang muda yang begini lihai. Yang membuatnya kagum sekali bukan hanya kegesitan dara itu,
melainkan terutama sekali sinkang-nya yang kuat dan aneh. Betapa mungkin gadis semuda ini sudah
dapat membagi kedua lengannya dengan saluran hawa Im-kang dan Yang-kang? Kalau tangan kanannya
melancarkan pukulan berhawa dingin, pedangnya terasa mengeluarkan hawa panas. Sebaliknya kalau dari
tangan kiri menyambar hawa panas, pedangnya menjadi dingin luar biasa!
Timbul dalam pikiran koksu ini rasa sayang untuk membunuh gadis itu. Dia akan menawannya hiduphidup,
bukan hanya untuk memenuhi permintaan Kwee Sui yang telah berjasa, akan tetapi juga kalau dia
dapat membujuk gadis itu membantu pemerintah tentu kaisar akan senang sekali! Soal Kwee Sui, mudah
diselesaikan, karena baginya, gadis ini lebih berharga sepuluh kali dari pemuda itu!
Akan tetapi, pikiran untuk menawan gadis itu hidup-hidup jauh lebih mudah dari pada melaksanakannya.
Tingkat kepandaian Kwi Hong sudah amat tinggi dan menghadapi Koksu itu, dia hanya kalah matang dan
kalah pengalaman. Namun, gadis ini telah mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang sebetulnya kalau
dunia-kangouw.blogspot.com
sudah dilatih sematang koksu itu, tidak akan mampu ditandingi oleh Bhong Ji Kun! Biar pun koksu itu jauh
lebih berpengalaman dan lebih matang, namun dia harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya
untuk tidak roboh di tangan gadis ini, apa lagi untuk menawannya hidup-hidup! Kwi Hong yang kini percaya
akan laporan Kwee Sui bahwa kepandaian para penyerang benar-benar amat hebat, bersilat dengan hatihati
sekali.
Diam-diam dia agak menyesal mengapa dia tadi menyerahkan Li-mo-kiam kepada Kwee Sui. Kalau dia
menggunakan pedang mukjizat itu, agaknya dia masih akan mampu mengalahkan lawan yang jauh lebih
berpengalaman ini. Akan tetapi dia lalu teringat akan keadaan pemuda itu sendiri, dan keadaan bibinya,
dan kedua orang pamannya. Kalau mereka itu pun menghadapi lawan seberat ini, akan celakalah Pulau
Es. Maka dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya agar dapat mengalahkan koksu ini dan
dapat membantu kawan-kawannya. Namun, tidaklah mudah, karena sesungguhnya, tingkatnya masih
kalah sedikit oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun.
Pada saat Pulau Es diserbu dan semua tokohnya mengalami ancaman bahaya itu, bahkan Thung Sik Lun
telah tewas secara mengerikan, tak jauh dari pantai, tampak sebuah perahu kecil yang dijalankan dengan
pesat, didayung oleh seorang pemuda tampan yang memandang ke arah Pulau Es penuh takjub,
kemudian memandang ke arah kapal-kapal besar itu dengan alis berkerut. Pemuda ini bukan lain adalah
Gak Bun Beng.
Setelah Bun Beng meninggalkan Thian-liong-pang, dia mengambil keputusan untuk mencari Pulau Neraka.
Kini dia telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk menghadapi siapa pun juga. Oleh karena itu, dia
tidak takut pergi ke Pulau Neraka untuk mencari pemuda putera Majikan Pulau Neraka dan minta kembali
pedang Lam-mo-kiam yang dahulu dirampasnya. Surat dan peta yang ia terima dari Pendekar Super Sakti
telah lenyap ketika ia terjun ke pusaran maut, akan tetapi ia masih ingat sedikit gambaran itu. Pokoknya, di
sebelah utara melewati sekelompok pulau kecil yang berjajar seperti baris!
Demikianlah, karena sama sekali tidak ada pengalaman berlayar, tanpa disadarinya pada siang hari itu
layar perahunya yang terbawa angin membuat perahunya melaju cepat membawanya sampai ke dekat
Pulau Es! Melihat pulau yang putih itu dan melihat kapal-kapal besar, dia terheran-heran dan menggulung
layar, lalu mendayung perahunya dengan hati-hati mendekati pulau.
"Tolongggg...!"
Tiba-tiba teriakan ini mengagetkan Bun Beng yang segera menoleh ke kiri dan menahan perahunya.
Dilihatnya seorang laki-laki dengan susah payah berenang menuju ke perahunya. Ketika Bun Beng melihat
bahwa orang itu ternyata luka parah, cepat ia mendayung perahunya mendekat, lalu menyambar baju di
punggungnya dan menariknya ke atas perahu. Ternyata orang itu adalah Thung Ki Lok yang hampir saja
tidak kuat lagi, lukanya oleh pedang Kwee Sui hebat dan ia telah kehilangan banyak darah. Ia memandang
dengan napas terengah-engah kepada Bun Beng, lalu berkata.
"Sahabat, siapa pun adanya engkau... tolonglah... tolonglah cari Taihiap..."
"Taihiap siapa? Dan engkau siapa?"
"Taihiap... Tocu Pulau Es... katakan... ahhhh, katakan... Pulau Es... diserbu pasukan pemerintah... Koksu
Negara... dan si pengkhianat Kwee Sui... pulau kami terancam... aaahhhh..." Pemuda yang gagah perkasa
itu menghembuskan napas terakhir, tidak melihat betapa kagetnya Bun Beng mendengar ucapan tadi.
Bun Beng merebahkan kepala yang tadi dipangkunya, kemudian mengangkat muka memandang ke pulau
itu. Itukah Pulau Es? Dan kapal-kapal itu milik pemerintah yang menyerbu Pulau Es di waktu Pendekar
Super Sakti tidak ada? Dan Koksu Negara. Si laknat Bhong Ji Kun!
Bun Beng cepat mendayung perahunya dengan pengerahan tenaga sehingga perahunya meluncur cepat
sekali ke pulau itu. Ia kini mendengar suara hiruk-pikuk di atas pulau, suara orang bertempur. Ketika ia
melihat tanda robekan kain yang diikatkan pada tetumbuhan di pantai, ia lalu mendarat. Tentu itu
merupakan tanda penunjuk jalan, pikirnya.
Setelah mengikatkan perahu dan meninggalkan perahu di mana menggeletak mayat Ki Lok, Bun Beng
melompat ke darat dan berlari cepat ke tengah pulau. Tepat seperti diduganya, ia melihat kain-kain putih
dan segera memasuki pulau melalui jalan kecil di mana ada tanda-tanda kain putih itu sehingga sebentar
saja dia telah berada di tengah pulau. Ia melihat pertempuran hebat, dan melihat betapa prajurit-prajurit
dunia-kangouw.blogspot.com
seragam yang tentu adalah pasukan pemerintah mendesak dan mengejar penghuni pulau yang
mengundurkan diri ke tengah pulau.
Pada saat itu, Kwi Hong telah tertawan. Ketika gadis ini bertanding mati-matian melawan Bhong Ji Kun,
tiba-tiba muncul Thian Tok Lama dan Kwee Sui. Melihat betapa gadis itu mengadakan perlawanan yang
hebat terhadap koksu, Thian Tok Lama segera meloncat dan membantu. Dikeroyok dua oleh koksu dan
Lama itu, tentu saja Kwi Hong terdesak hebat. Tiba-tiba ia melihat Kwee Sui yang datang bersama Thian
Tok Lama.
"Sui-ko, bantu aku...!" teriaknya, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri menonton sambil tersenyum.
Seketika mengertilah Kwi Hong bahwa pemuda tampan ini telah berkhianat dan tadi sengaja meminjam
pedang Li-mo-kiam. Maka kemarahannya memuncak, dan setelah memutar pedangnya membuat kedua
orang lawannya mundur, ia lalu melompat ke arah Kwee Sui sambil memaki. "Engkau pengkhianat hina!"
Akan tetapi, tiba-tiba pecut di tangan Bhong Ji Kun berkelebat membelit lengannya yang memegang
pedang dan sebelum Kwi Hong dapat membalikkan tubuh, Thian Tok Lama telah memukulnya dari
belakang dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang.
"Desss!"
Angin pukulan yang membawa uap hitam itu mengenai punggung Kwi Hong, membuat gadis itu langsung
roboh pingsan dan pedangnya terampas oleh ujung pecut koksu. Dia memandang rendah Thian Tok Lama
sehingga kena terpukul, tidak tahu bahwa ilmu kepandaian Lama itu setingkat dengan kepandaian Bhong
Ji Kun.
"Ha-ha-ha, bawalah Nona pengantinmu ke kapal, jaga jangan sampai dia lolos," kata Bhong Ji Kun kepada
Kwee Sui, "Dan pedang Li-mo-kiam...?"
"Sudah di sini!" jawab Kwee Sui, menepuk pedang di pinggangnya.
"Baik, bawa ke kapal, jangan sampai dia lolos dan jangan sampai pedang itu hilang."
Kwee Sui girang sekali, cepat memondong tubuh Kwi Hong yang pingsan itu dan membawanya lari ke
pantai, di mana terdapat perahunya, lalu ia membawa tubuh itu ke atas kapal besar.
Setelah Kwi Hong kena ditawan, anak buahnya mundur ke tengah pulau, dikejar oleh pasukan pemerintah.
Yap Sun yang mengamuk dan menghadapi Tan-siucai dengan gigih, terpaksa roboh pula ketika tiba-tiba
muncul Kakek Maharya yang telah mengejar sampai ke situ. Tampak Maharya marah sekali melihat betapa
muridnya belum mampu merobohkan kakek itu.
"Bodoh, kenapa tidak mempergunakan Hok-mo-kiam?" teriaknya sambil menonton pertandingan itu, tidak
mau membantu muridnya.
Tan Ki yang mendengar seruan gurunya itu tertawa, tangan kirinya mencabut pedang di pinggangnya.
Sinar kilat berkelebat dan Kakek Yap Sun berteriak mengerikan ketika berbareng dengan sinar kilat pedang
itu yang menangkis tangannya, lengannya sebatas siku menjadi buntung! Kakek itu menggigit bibir,
menggunakan tangan kirinya menerjang terus, dan kembali sinar kilat berkelebat dan lengan kirinya juga
terbabat buntung! Pedang mukjizat itu berkelebat lagi, terdengar teriakan ngeri dan tubuh Yap Sun
terjengkang ke belakang, dadanya tembus oleh pedang Hok-mo-kiam dan nyawanya melayang!
Tan Ki menyimpan pedang Hok-mo-kiam dan pedang hitamnya, menoleh kepada suhu-nya, "Saya
memang sengaja mengajaknya berlatih, dia merupakan lawan yang boleh juga."
"Sudah, mari kita membantu Thai Li Lama yang masih belum mampu mengalahkan lawannya. Kulihat
wanita itu lihai juga."
Memang, hanya tinggal Phoa Ciok Lin seorang yang masih mengadakan perlawanan terhadap Thai Li
Lama, bahkan wanita yang marah sekali ini mengamuk, mendesak pendeta itu dengan pedang yang sudah
sejak tadi ia pergunakan karena dia tidak mampu mengalahkan lawan dengan tangan kosong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba muncul Maharya dan Tan Ki. Tan Ki yang melihat bahwa Phoa Ciok Lin yang setengah tua itu
masih cantik, segera meloncat maju. "Eh, manis, kenapa engkau nekat? Menyerahlah saja, hidup di kota
raja tentu senang!"
Phoa Ciok Lin tidak menjawab, melainkan mengamuk lebih hebat, menangkis sinar pedang hitam yang
dipergunakan Tan Ki.
"Tranggg!" Pedang Ciok Lin patah ujungnya, akan tetapi Tan Ki terhuyung ke belakang dan seluruh lengan
kanannya tergetar.
"Wah, lihai juga...!" serunya.
"Hemmm...!" Maharya meloncat maju, tangan kirinya bergerak menampar dan angin pukulan yang kuat
berhembus ke arah wanita itu. Ciok Lin menjerit dan terlempar ke belakang. Cepat ia menjatuhkan diri
bergulingan, lalu meloncat bangun lagi dan mengambil keputusan nekat untuk melawan musuh-musuh lihai
itu sampai napas terakhir.
Maharya memukul lagi, "Wuuuuttt! Plakkkk! Aahhh!" Maharya terhuyung ke belakang, memandang
terbelalak kepada seorang pemuda tampan yang telah menangkis tamparannya itu dengan tangan. Hampir
dia tidak dapat percaya bahwa ada seorang pemuda yang sanggup menangkis tamparannya dan membuat
ia terhuyung ke belakang. Kalau yang menangkisnya itu Pendekar Siluman, dia tidak akan heran. Tadi pun
ia mengira, bahwa Pendekar Siluman muncul, kiranya seorang pemuda yang bertangan kosong!
"Toanio, harap lekas tarik mundur anak buahmu, biar aku yang melawannya!" kata Bun Beng.
"Eh, dia pemuda yang menemukan Sepasang Pedang Iblis!" Tiba-tiba Tan Ki berseru kaget.
Maharya menjadi bengong. Dahulu pemuda ini tidaklah sedemikian hebat tenaganya, mengapa sekarang
begini lihai? Dengan penuh hati penasaran, dia menerjang lagi, kini mengirim dorongan dengan telapak
tangan terbuka ke arah dada Bun Beng. Pemuda ini yang sudah percaya penuh akan kekuatan sendiri,
kembali menyambut telapak tangan itu dengan dorongan telapak tangan pula.
"Plakkkk!"
Dua telapak tangan bertemu, asap mengepul dari pertemuan telapak tangan itu yang seolah-olah melekat.
Maharya berseru keras sebelah tangannya memukul lagi akan tetapi tiba-tiba tubuh Bun Beng lenyap.
Demikian cepat gerakan pemuda ini yang sudah meloncat ke atas dan ujung sepatunya menotok ke arah
ubun-ubun kepala Maharya.
"Aeeehhhh...!" Maharya cepat melempar tubuhnya ke atas dan bergulingan, wajahnya yang berkulit hitam
itu menjadi agak pucat, keringat dingin mengucur karena dia maklum bahwa hampir saja nyawanya
melayang!
"Serbu...!" Tan Ki berseru dan kini dia bersama Maharya dan Thai Li Lama menerjang maju.
Phoa Ciok Lin kini juga maju membantu Bun Beng yang belum ia kenal siapa adanya itu, sungguh pun
wajah pemuda tampan itu seperti pernah dilihatnya. Tentu saja dia pernah melihat Bun Beng, yaitu ketika
terjadi pertempuran di pulau muara Huang-ho. Akan tetapi ketika itu Bun Beng masih kecil sehingga dia
tidak mengenalnya lagi. Sebaliknya Bun Beng masih mengenal Ciok Lin maka serunya.
"Phoa-toanio, mundurlah. Anak buahmu terdesak, bantulah mereka!"
Ciok Lin melongo, dan tiba-tiba ia teringat. Ini adalah bocah yang dahulu diperebutkan di pulau muara
Huang-ho, bocah yang oleh Pendekar Siluman akan dirampas dan dibawa ke Pulau Es. Gak Bun Beng,
putera Gak Liat dan Bi-kiam Bhok Khim. Mendengar ucapan itu, dia menengok dan benar saja anak
buahnya terdesak sehingga kocar-kacir dan banyak yang sudah roboh. Juga ia melihat betapa anak buah
dari pantai lain telah mundur ke tengah pulau, mendekati Istana Pulau Es, dikejar pasukan pemerintah.
Maka dia lalu meninggalkan Bun Beng dan mengamuk, membantu anak buahnya merobohkan banyak
tentara pengawal pemerintah.
"Hancurkan mereka, serbu Istana Pulau Es!" teriak Maharya. "Biar aku melayani bocah sombong ini!"
Sambil berkata demikian, Maharya yang merasa bahwa pemuda itu tidak akan dapat ia kalahkan
dunia-kangouw.blogspot.com
mengandalkan tenaga sinkang, sudah mencabut keluar sebuah senjata yang aneh. Senjatanya itu
bergagang pendek, dan berbentuk bulan sabit yang pinggirnya tajam sekali dan kedua ujungnya yang
melengkung amat runcing.
"Sing-singg-singgg...!" Tampak sinar kilat menyambar-nyambar ketika senjata itu dia pergunakan untuk
menyerang.
Namun Bun Beng dapat mengelak dengan tenang, bahkan dapat membalas dengan pukulan-pukulan maut
karena dia telah mainkan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng yang mukjizat. Berkali-kali Maharya mengeluarkan
seruan kaget dan heran. Pemuda itu benar-benar lincah dan memiliki ilmu silat yang amat ajaib, yang dia
kenal mempunyai dasar-dasar ilmu silat golongan kaum sesat! Sementara itu, Bun Beng yang melihat
betapa Thai Li Lama, Tan Ki bahkan ada Thian Tok Lama, dan Bhong Ji Kun mulai memimpin pasukan
membakari rumah-rumah pondok sederhana tempat tinggal para anak buah Pulau Es yang kewalahan,
menjadi khawatir sekali.
"Orang muda, engkau kini merasa takut, lumpuh, hayo berlutut!" Tiba-tiba Maharya membentak,
menggunakan kesempatan selagi perhatian Bun Beng terpecah karena mengkhawatirkan keadaan Pulau
Es.
Bun Beng otomatis jatuh berlutut dan dia merasa heran sekali. Baru ia teringat ketika kakek India
membacok ke arah kepalanya dengan senjatanya yang aneh. Untung pada detik terakhir Bun Beng teringat
lagi. Dia telah mengerahkan sinkang dan menghimpun tenaga batin, cepat ia melempar tubuh ke belakang
sehingga bacokan itu luput.
"Dar! Dar! Blengggg...!"
Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan keras, tampak tanah muncrat dan asap hitam bergulung-gulung.
Beberapa orang prajurit pemerintah roboh, bahkan Maharya sendiri cepat meloncat ke belakang ketika ada
sebuah benda hitam menyambar kepalanya. Sambaran itu luput dan benda itu menghantam tanah,
meledak dan mengeluarkan asap hitam.
Bun Beng meloncat bangun. Keadaan menjadi gelap karena asap hitam itu. Dia cepat berlari ke arah
Istana Pulau Es dan di sepanjang jalan, terjadi ledakan-ledakan yang merobohkan prajurit pemerintah.
Pasukan pemerintah menjadi kacau balau, ada yang lari bersembunyi, ada yang bertiarap. Bahkan Koksu
dan rombongannya, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Tan Ki, diserang oleh benda-benda hitam yang
dapat meledak sehingga mereka sibuk mengelak ke sana sini.
Bun Beng mengerti bahwa ada bantuan datang. Entah siapa, hanya dia mengenal alat-alat ledak itu seperti
yang biasa dipergunakan oleh tokoh-tokoh Pulau Neraka! Dia tidak peduli dan cepat menghampiri
rombongan anak buah Pulau Es yang dipimpin oleh Phoa Ciok Lin. Mereka ini sama sekali tidak diserang
alat-alat peledak sehingga mudah diduga bahwa memang yang melempar-lemparkan alat peledak itu
bermaksud membantu anak buah Pulau Es.
"Phoa-toanio...! Cepat bawa anak buah bersembunyi. Ada orang pandai membantu kita. Di mana adanya
Kwi Hong?"
"Ahhh, menurut laporan anak buahnya, dia... tertawan, dikhianati orang kita sendiri dan dibawa ke kapal di
sebelah timur pulau."
"Kwee Sui...?" Bun Beng bertanya, teringat akan cerita pemuda di perahunya tadi.
"Eh, bagaimana engkau tahu? Engkau... Gak Bun Beng, bukan?"
"Benar, Toanio, lekas bawa anak buahmu bersembunyi, kalau tidak ada lain jalan, bawa keluar dari pulau
ini. Aku akan berusaha menolong Nona Kwi Hong!" Baru saja habis ucapannya, tubuhnya berkelebat dan
lenyap dari situ.
Phoa Ciok Lin melongo saking kagum dan herannya, akan tetapi dia segera membawa anak buahnya
memasuki istana dan bersembunyi di lorong bawah tanah istana. Dia sendiri bersama orang yang dapat
diandalkan menjaga di depan, melihat betapa pasukan musuh kocar-kacir oleh ledakan-ledakan yang
asapnya mengandung racun itu sehingga banyak anggota pasukan yang roboh tewas. Akhirnya Bhong Ji
Kun terpaksa menarik mundur pasukannya dan memerintahkan kembali ke kapal masing-masing agar
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak jatuh lebih banyak korban sedangkan musuh yang melepas bahan-bahan ledakan itu tidak tampak
sama sekali.
Bhong Ji Kun mengajak paman gurunya, Maharya, ke kapalnya untuk diajak berunding membicarakan
munculnya Gak Bu Beng dan pelempar peledak yang asapnya hitam beracun itu. Begitu naik ke kapal dia
menjenguk ke ruangan bawah, lega melihat betapa Kwi Hong telah terikat pada tiang, duduk di atas
bangku dengan wajah muram, sedangkan Kwee Sui menjaga di situ bersama selusin orang prajurit. Gadis
itu memaki-maki Kwee Sui, akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja dan berusaha membujuknya
dengan suara manis. Melihat ini Bhong Ji Kun naik lagi dan berunding dengan Maharya di geladak kapal.
Senja telah datang akan tetapi sinar keemasan matahari masih menerangi geladak kapal. Mereka duduk
dan bicara dengan serius.
"Bocah itu hebat juga," terdengar Maharya berkata. "Sungguh mengherankan sekali, belum ada setahun
aku melawan dia, kepandaiannya masih belum begitu hebat, bahkan aku telah melukainya, mestinya
dalam waktu tiga bulan dia mampus. Bagai mana sekarang dia masih dalam keadaan sehat dan
kepandaiannya malah demikian hebat?"
"Hemmm, mungkin dia menerima latihan dari Pendekar Siluman," jawab Bhong Ji Kun sambil mengelus
jenggotnya. "Akan tetapi yang aneh adalah pelempar peluru peledak yang mengandung asap beracun itu.
Apakah dia Pendekar Siluman sendiri? Dia tentu lihai bukan main."
"Ah, Pendekar Super Sakti tidak mungkin mau melakukan penyerangan gelap seperti itu," jawab Maharya.
"Benar, dan sepanjang pendengaranku, yang biasa menggunakan senjata rahasia macam itu adalah orang
Pulau Neraka."
"Akan tetapi, tidak mungkin," bantah Maharya. "Bukankah Pulau Neraka itu selalu bertentangan dengan
Pulau Es?"
Selagi dua orang ini bercakap-cakap, Bun Beng telah berhasil meluncurkan perahunya dan terjun ke air,
berenang lalu bergantung kepada rantai jangkar. Dia merayap naik, akan tetapi melihat Maharya dan
Bhong Ji Kun berada di situ, di atas geladak, dia tidak berani naik. Melihat musuh-musuh besarnya ini,
ingin sekali ia meloncat dan membuat perhitungan.
Bhong Ji Kun dulu sudah membunuh gurunya, dan dengan Maharya dia mempunyai perhitungan lain. Akan
tetapi, kedatangannya ini adalah untuk menolong Kwi Hong, jika dia meloncat dan menerjang kedua orang
yang dia tahu amat lihai itu, harapannya untuk menolong Kwi Hong tentu akan buyar. Maka dia menanti
kesempatan baik dan bersembunyi di rantai jangkar, mepet di badan kapal.
"Sebaiknya besok pagi kita sendiri bersama dua orang Lama turun ke pulau melakukan penyelidikan," kata
Maharya. "Kita harus mengetahui siapa orang yang begitu berani menyerang kita dengan peluru-peluru
peledak itu."
"Kebakaran...!" terdengar teriakan bersama dengan datangnya ledakan yang tiba di atas bilik kapal dan
tampak api berkobar. Maharya dan Bhong Ji Kun terkejut, apa lagi ketika mendengar suara dari atas.
"Akulah yang melepaskan alat-alat peledak, kalian manusia-manusia busuk mau apa?"
Keduanya meloncat bangun dan ketika memandang ke atas, jauh di atas, di tali-temali layar dekat tiang
besar, tampaklah tubuh seorang wanita yang bergantung pada tali, bergantung dengan kedua kaki
sedangkan kepalanya tergantung di bawah, rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin. Di bawah sinar
matahari senja, wanita berpakaian hitam yang bermuka putih sekali itu benar-benar amat menyeramkan,
apa lagi kehadirannya dengan cara bergantung terbalik seperti itu!
Baik Maharya mau pun Bhong Ji Kun terkejut, bukan oleh kehadiran wanita yang bergantung seperti itu,
yang hanya memperlihatkan kemahiran ginkang luar biasa yang mampu mereka lakukan juga. Yang
mengejutkan mereka adalah kehadiran wanita itu yang tidak mereka ketahui sama sekali! Siapakah wanita
itu?
Dia bukan lain adalah Majikan Pulau Neraka. Dia adalah Lulu, adik angkat Pendekar Super Sakti (baca
cerita Pendekar Super Sakti)! Bagaimana Lulu yang menjadi majikan Pulau Neraka dapat hadir di situ
dunia-kangouw.blogspot.com
membantu anak buah Pulau Es yang diserbu pasukan pemerintah? Untuk mengetahui hal ini, sebaiknya
kita meninjau keadaan Pulau Neraka di mana telah terjadi perubahan besar sekali.
********************
Putera Lulu bernama Wan Keng In telah menjadi seorang pemuda berusia tujuh belas atau delapan belas
tahun, tampan dan tinggi ilmunya karena sejak kecil digembleng oleh ibunya sendiri. Lulu terlalu
memanjakan puteranya itu, apalagi setelah mendengar bahwa ayah puteranya itu, Wan Sin Kiat, sengaja
membunuh diri dalam perjuangan menentang pemerintah Mancu.
Pada suatu hari, Keng In pulang dari perantauannya. Anak itu sering kali keluar dari Pulau Neraka
menunggang burung rajawali dan biar pun berkali-kali Lulu memarahinya namun anak yang amat manja itu
selalu melanggar larangannya. Ketika Keng In pulang, dia menghampiri ibunya dan tertawa-tawa bangga,
lalu menepuk pinggangnya di mana tergantung sebatang pedang bersarung indah sambil berkata,
"Ibu, coba terka pusaka apa yang kudapatkan dalam perantauanku sekarang ini. Ibu selalu melarang aku
merantau, kalau aku tidak merantau, mana mungkin mendapatkan pusaka ini?"
Lulu mengerutkan alisnya, lalu memandang. "Hemm, engkau mendapatkan sebatang pedang baru.
Pedang apakah yang kau banggakan itu?"
"Lihat, Ibu!"
"Singggg...!"
"Aihhhh...!" Lulu terkejut sekali menyaksikan sinar kilat keluar ketika pedang itu dicabut, dan ada hawa
yang menyeramkan langsung keluar dari sinar pedang itu. "Itu... itu... seperti Sepasang Pedang Iblis!"
"Ha-ha-ha! Pandangan Ibu tajam bukan main. Memang inilah Lam-mo-kian, pedang jantan, sebatang di
antara sepasang Pedang Iblis yang berhasil kurampas!"
"Siang-mo-kiam...!" Lulu menghampiri anaknya, merampas pedang itu, lalu mendekap pedang itu dan
menangis.
"Han-koko...! Ah, Han-koko... kita dahulu menemukan pedang-pedang itu... Sepasang Pedang Iblis...!"
Keng In menarik napas panjang. "Kenapa Ibu menangis? Dan kenapa menyebut dia? Aku muak
mendengarnya. Ibu selalu menyebut-nyebut nama Han-koko! Hemmm, tentu Si Pendekar Siluman yang
bernama Suma Han itu, bukan? Dia telah banyak membuat Ibu menderita. Teringat olehku betapa dahulu,
ketika aku masih kecil, Ibu sering mimpi dan menyebut-nyebut namanya. Aku telah mendapatkan pedang
Lam-mo-kiam, aku akan mencari dia dan akan kubunuh dia dengan pedang ini agar tidak menyusahkan
hati Ibu pula!"
"Keng In...!"
"Aku tahu, Ibu mencinta Suma Han. Akan tetapi laki-laki macam apa dia itu? Kakinya buntung, rambutnya
putih seperti kakek-kakek. Dan kalau dia mencinta Ibu, mengapa dia membiarkan Ibu merana di sini? Dan
mengapa pula Ibu sering kali menyatakan ingin memperdalam ilmu, ingin memperkuat Pulau Neraka agar
kelak dapat menyerbu Pulau Es? Bagaimanakah sebenarnya Ibu ini? Mencinta ataukah membenci dia?
Betapa pun juga, Pendekar Siluman dari Pulau Es itu sudah banyak membikin Ibu menderita, oleh karena
itu, pada suatu hari aku pasti akan menantangnya dan akan membunuhnya dengan pedang ini."
"Keng In... kau... kau tidak mengerti... jangan kau bicara demikian. Tak perlu engkau mencampuri urusan
pribadiku dengan dia. Pula mudah saja kau bicara. Sedangkan kepandaianku sendiri masih belum ada
setengahnya, apa lagi engkau. Kau kira akan mudah saja mengalahkan Pendekar Super Sakti?"
Terdengar oleh telinga Keng In yang sedang marah itu betapa dalam menyebut nama Pendekar Super
Sakti dan mengucapkan kalimat terakhir itu, terdengar nada bangga sekali dalam suara ibunya. Hati
pemuda ini makin panas dan dia cepat menjawab, "Harap Ibu tidak memuji lawan merendahkan diri.
Mungkin Ibu masih belum mampu menandingi dia, akan tetapi lihatlah Ibu, lihatlah ilmu pedang anakmu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Singggg... cuit...!" Tampak sinar kilat menyilaukan mata dan Keng In sudah mencabut Lam-mo-kiam, lalu
dia bermain pedang dengan gerakan yang luar biasa hebat dan dahsyatnya.
Tubuhnya lenyap dan yang tampak hanya sinar pedang yang kadang-kadang mencuat ke udara, kadang
bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran yang saling menyambung, indah dan hebat bukan
main sampai membuat Lulu melongo keheranan. Dia tidak mengenal ilmu pedang itu dan harus diakuinya
bahwa ilmu pedang yang dimainkan puteranya itu betul-betul dahsyat sekali. Setelah Keng In
menghentikan permainannya dan menyimpan kembali Lam-mo-kiam, dengan napas biasa dan wajahnya
yang tampan berseri dia menghadapi ibunya dan bertanya,
"Bagaimana pendapat Ibu? Apakah ilmuku tidak cukup untuk menghadapi Pendekar Siluman itu?"
Lulu masih terbelalak memandang wajah puteranya. "Keng In, anakku..., dari mana engkau mempelajari
ilmu pedang itu?"
Keng In tertawa, lalu berkata, "Bukan hanya ilmu pedang itu, Ibu, melainkan masih banyak lagi. Di
antaranya ini, harap Ibu lihat!" Tiba-tiba tubuhnya melesat ke atas, tinggi sekali dan berjungkir balik
beberapa kali di udara. Ketika ia melayang turun dengan kecepatan kilat, kedua tangannya telah
menangkap dua ekor burung walet kecil yang terkenal cepat terbangnya itu. Keng In tertawa-tawa,
melepas lagi burung-burung itu, kemudian ia menghampiri sebatang pohon sambil berkata, "Dan Ibu
saksikanlah pukulan ini!" Setelah berkata demikian, ia menggunakan tangan menampar batang pohon itu.
"Prakkkk!"
Pohon itu tidak tampak terguncang, akan tetapi tak lama kemudian, biar pun hanya ada angin kecil bersilir,
daun-daun pohon itu rontok semua sehingga tinggal batang dan cabang-cabang serta ranting-rantingnya
yang gundul tanpa sehelai daun pun!
Lulu terkejut bukan main. Ginkang yang diperlihatkan puteranya tadi sudah hampir melalui tingkatnya, atau
setidaknya sudah setingkat, sedangkan pukulan tadi adalah semacam pukulan ganas sekali, akan tetapi
juga amat dahsyat, membuktikan adanya sinkang yang mengandung hawa beracun jahat!
"Keng In! Dari mana engkau mempelajari semua itu? Hayo katakan!"
Keng In duduk di atas batu depan rumah mereka dan berkata, "Ibu, sebetulnya aku harus merahasiakan
ini, akan tetapi karena dalam penasaran tadi aku telah memperlihatkan ilmu-ilmuku kepadamu, terpaksa
aku membuka rahasia. Ibu, telah beberapa tahun ini aku menjadi murid Cui-beng Koai-ong."
"Siapakah Cui-beng Koai-ong (Raja Aneh Pengejar Roh)?"
Keng In tertawa. "Ha-ha-ha, Ibu menjadi Ketua Pulau Neraka, akan tetapi tidak tahu siapa sebenarnya
yang menjadi raja dari Pulau Neraka. Ibu, para kakek muka kuning termasuk Kakek Kui-bun Lo-mo Ngo
Bouw Ek yang ibu kalahkan itu hanyalah tokoh-tokoh tingkat ketiga saja dari Pulau Neraka. Masih ada dua
orang lagi yang memiliki kesaktian luar biasa, melebihi dewa! Mereka berdua itulah yang sebenarnya
menjadi tokoh-tokoh pertama dan kedua dari Pulau Neraka, akan tetapi mereka itu adalah orang-orang
aneh yang tidak pernah mau memperebutkan kedudukan, bahkan jarang berada di pulau, tak seorang pun
melihat mereka."
"Hehh...? Benarkah kata-katamu ini?" Lulu bertanya, penasaran dan heran. Dia telah menundukkan orangorang
Pulau Neraka dan diangkat menjadi pemimpin selama bertahun-tahun, mengapa dia tidak pernah
mendengar tentang dua orang itu? "Siapa mereka dan di mana mereka sekarang?"
"Ibu, mereka itu adalah dua orang saudara tua dari kakek yang bermuka kuning. Yang pertama adalah Cuibeng
Koai-ong yang menjadi saudara tertua, dan kebetulan sekali aku bertemu dengan dia di tempat
sembunyinya ketika beberapa tahun yang lalu dia kembali ke Pulau Neraka. Aku diangkat menjadi
muridnya sehingga memperoleh kemajuan besar."
"Dan yang kedua?"
"Menurut Suhu, orang kedua itu adalah sute-nya, seorang kakek yang aneh sekali, seperti orang gila, akan
tetapi suka merantau dan bahkan jarang sekali muncul di Pulau Neraka. Suhu berpesan agar aku berhatihati
kalau bertemu dengan Susiok itu, julukannya Bu-tek Siauw-jin (Orang Rendah Tanpa Tanding)! Kata
dunia-kangouw.blogspot.com
Suhu, wataknya aneh dan angin-anginan sehingga mungkin saja dia menentang Pulau Neraka hanya
untuk mengumbar wataknya yang ugal-ugalan dan suka berkelahi!"
Lulu menjadi makin penasaran. "Di mana mereka? Aku ingin mencoba kepandaian mereka. Sebagai
Majikan Pulau Neraka, aku harus mengalahkan semua tokoh Pulau Neraka."
"Jangan, Ibu. Ibu akan kalah, dan pula, tak mungkin Ibu dapat menjumpai mereka. Selain itu, bukankah
mereka tidak mengganggu Ibu?"
"Ya, mengapa demikian? Kalau mereka berilmu tinggi, sebagai tokoh-tokoh pertama Pulau Neraka,
mengapa mereka membiarkan saja aku berkuasa di sini?"
"Ha-ha-ha! Mereka itu tidak takut terhadap setan atau dewa, apa lagi terhadap manusia lain, kecuali... eh,
terhadap Pendekar Super Sakti! Mereka sengaja membiarkan Ibu memimpin Pulau Neraka dan kelak kalau
Ibu menyerang ke sana, tentu mereka akan turun tangan membantu. Mereka hendak mempergunakan
permusuhan Ibu dengan Pulau Es untuk menantang Pendekar Siluman!"
"Ohhhh!" Lulu menjadi pucat wajahnya.
Dia merasa tidak senang sekali bahwa urusan pribadinya dengan Suma Han diperalat oleh orang-orang
lain. Dia sebetulnya bukan hendak memusuhi Suma Han. Betapa mungkin? Betapa mungkin dia memusuhi
dan membenci orang yang ia cintai itu? Tidak. Kalau dia menghimpun kekuatan dan memperdalam ilmu,
semua itu ia lakukan demi cintanya kepada Suma Han! Hendak ia perlihatkan kepada bekas kakak
angkatnya yang tercinta itu bahwa dia bukanlah seorang wanita sembarangan, bahkan sudah patut untuk
memperoleh perhatian dan cinta kasih seorang pendekar besar seperti Suma Han. Apa lagi setelah ia
mendengar bahwa Suma Han menjadi suami Nirahai, dia ingin memperlihatkan bahwa dia lebih hebat dari
pada Nirahai!
Sekarang ternyata tokoh-tokoh yang utama dan sesungguhnya dari Pulau Neraka malah hendak
memperalatnya dan puteranya, putera tunggal yang dia cinta dan manjakan, ternyata telah menjadi murid
dari tokoh pertama Pulau Neraka! Tidak, dia tidak sudi diperalat tokoh-tokoh Pulau Neraka, yang
menganggapnya sebagai boneka saja! Dia harus datang sendiri ke Pulau Es dan terang-terangan
menantang Suma Han, seorang diri, tidak perlu mengandalkan orang-orang Pulau Neraka. Suma Han
harus memilih, membunuh dia atau menerimanya sebagai isteri!
Dengan hati penuh duka dan penasaran, Lulu diam-diam meninggalkan Pulau Neraka tanpa memberi tahu
siapa juga, bahkan puteranya sendiri pun tidak diberi tahu. Dengan sebuah perahu hitam kecil, Lulu yang
menjadi Ketua Pulau Neraka, yang kini berwajah putih dan berpakaian hitam, melakukan pelayaran
mencari Pulau Es di mana dahulu di waktu kecil dia pernah tinggal berdua dengan Suma Han (baca cerita
Pendekar Super Sakti).
Kedatangannya di Pulau Es bertepatan dengan penyerbuan pasukan pemerintah terhadap pulau itu.
Kemarahan dan rasa penasaran di hati Lulu terhadap Suma Han lenyap terganti oleh kemarahan terhadap
para penyerbu yang mendahuluinya, yang dianggapnya pengecut, melakukan penyerbuan terhadap
sebuah pulau yang sedang ditinggal majikannya. Maka dia lalu diam-diam membantu anak buah Pulau Es,
melepas senjata rahasia peledak yang berhasil mengundurkan para penyerbu. Bahkan dengan hati penuh
kemarahan diam-diam Lulu menyelundup naik ke atas kapal, melepas senjata rahasia pembakar dan
memberitahukan kehadirannya dengan bergantung pada tali layar dengan tubuh berjungkir kepada Koksu
Bhong Ji Kun dan Maharya.
"Wanita iblis...!" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berseru marah.
Maharya sudah menggerakkan tangan kanannya dan meluncurlah sebuah senjata rahasia berbentuk
gelang yang berputar cepat ke arah kepala wanita yang menggantung di atas itu.
"Wiirrr... singggg...!"
Senjata rahasia yang dilepas oleh Maharya ini hanyalah gelang biasa berwarna putih, akan tetapi karena
pelemparnya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka berbahaya sekali. Gelang ini
seperti peluru terkendali, kalau luput dapat berputar kembali dan menyerang lawan seperti benda hidup!
Juga suaranya yang berdesing, mengaung seperti gasing berlubang itu dapat mendatangkan panik kepada
lawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Menghadapi serangan senjata rahasia gelang ini, Lulu tidak bergerak dan seolah-olah tidak melihatnya.
Akan tetapi ketika gelang itu sudah menyambar dekat, tiba-tiba ujung rambutnya yang riap-riapan itu
seperti hidup, seperti ujung cambuk yang bergerak ke bawah menerima gelang itu, terus melibatnya
sehingga gelang itu berhenti gerak luncurnya. Tiba-tiba kepala Lulu bergerak sedikit dan gelang itu
menyambar dengan kecepatan kilat ke bawah, ke arah Maharya! Pendeta India ini terkejut bukan karena
diserang oleh senjatanya sendiri karena dengan mudah ia dapat mengelak sehingga gelang itu mengenai
papan geladak dan amblas ke bawah, melainkan dia terkejut menyaksikan betapa lihainya wanita yang
muncul secara aneh itu.
"Toanio, siapakah engkau?" Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menegur. Pembesar ini pun maklum
bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan, maka dia mengambil siasat halus. "Dan mengapa pula
Toanio membela Pulau Es dan menentang kami dari pemerintah?"
Lulu tersenyum. Wajahnya memang cantik sekali dan senyumnya amat manis sungguh pun usianya sudah
hampir empat puluh tahun. Akan tetapi karena keadaannya seperti itu dan mukanya berwarna putih sekali,
maka dia seperti mayat tersenyum, menimbulkan rasa ngeri kepada mereka yang memandang dari bawah.
"Aku siapa tidak menjadi soal, yang penting kalian telah mengganggu ketenteraman daerah ini, berlaku
curang menyerang tempat yang sedang ditinggal pergi pemiliknya!"
"Wanita sombong! Bukankah engkau datang dari Pulau Neraka?" Maharya membentak marah.
Lulu tidak menjadi heran akan dugaan yang tepat ini. Tentu saja orang telah mengenal senjata rahasianya.
"Kalau benar demikian, engkau mau apa, Pendeta asing yang buruk?"
"Tak mungkin!" Bhong Ji Kun yang mendahului pendeta itu menjawab. "Pulau Neraka tak pernah saling
bantu dengan Pulau Es, bahkan semenjak pertemuan di pulau muara Huang-ho telah saling bertentangan.
Tidak mungkin kalau Toanio dari Pulau Neraka dan mau membantu penghuni Pulau Es!"
"Mengapa tidak? Jika kalian berhasil menduduki Pulau Es, tentu kelak akan menyerbu pula Pulau Neraka!"
Mendengar ini, marahlah koksu itu. "Perempuan pemberontak! Berani kau menentang pemerintah? Semua
pulau di sini, termasuk Pulau Es dan Pulau Neraka adalah wilayah kekuasaan kerajaan! Tangkap
pemberontak!"
Para panglima dan pasukan yang berada di geladak segera mengepung tiang itu, dan terdengar Lulu
tertawa mengejek, tubuhnya yang bergantung di atas tiba-tiba melayang turun seperti seekor burung
menyambar. Para anak buah pasukan menggerakkan senjata, akan tetapi tiba-tiba mereka menjerit dan
robohlah empat orang, tombak mereka patah-patah!
"Tar-tar-tar!" Cambuk di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar dengan serangan dahsyat, bahkan
Maharya juga menyusul dengan serangan-serangan yang luar biasa, yaitu senjata aneh bulan sabit yang
bergagang pendek.
"Siuuuuttt... singgg!"
Lulu bergerak cepat, berkelebat menghindar dan kakinya menendang roboh seorang perwira di
belakangnya sehingga tubuh perwira itu terlempar. Ketika menendang, lengan kiri Lulu menjepit tombak
perwira itu, kini tombak itu ia lontarkan menembus perut tubuh perwira yang masih melayang di udara!
Semua prajurit menjadi gentar menyaksikan kelihaian wanita itu. Akan tetapi Bhong Ji Kun dan Maharya
sudah menerjang lagi dengan hebatnya. Seorang perwira cepat memberi isyarat kepada kapal-kapal lain
untuk datang membantu, maka bergeraklah dua buah kapal yang berdekatan, mendekati kapal yang
sedang terbakar itu. Sebagian para prajurit sibuk memadamkan api yang membakar bilik kapal.
Cuaca sudah mulai gelap dan Lulu mengamuk. Dia maklum akan kehebatan cambuk di tangan Koksu dan
senjata bulan sabit milik kakek India, maka ia selalu menghindar dengan gerakan lincah sekali,
merobohkan banyak prajurit dengan pukulan dan tendangan. Ketika koksu kembali melancarkan serangan
dengan cambuknya, Lulu berhasil menangkap ujung cambuk. Koksu malah melangkah dekat,
dunia-kangouw.blogspot.com
menghantamkan tangan kirinya dengan pengerahan sinkang yang diterima Lulu dengan ilmu sakti Toatbeng-
bian-kun.
"Cessss!" Dua tangan bertemu dan dengan kaget Koksu merasa betapa telapak tangan kirinya bertemu
dengan tangan yang lunak sekali sehingga semua tenaganya amblas seperti tenggelam. Lulu telah
melepaskan ujung cambuk dan tangan kirinya melayang ke arah pelipis kanan lawan.
Koksu terkejut sekali, dan untung baginya bahwa pada saat itu Maharya telah datang menolong,
membacok punggung Lulu dari samping. Sambaran angin senjata ini membuat Lulu terpaksa membatalkan
pukulannya dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke belakang, kemudian dia terus berloncatan dan sekali
melayang dari pinggir kapal, dia telah berada di kapal kedua yang datang mendekat.
"Dar-darrrrr...!" Dua buah senjata rahasia yang dilepasnya mengenai bilik kapal kedua sehingga
menimbulkan kebakaran.
Kapal kedua ini dipimpin oleh Thian Tok Lama. Pendeta ini menyambut kedatangan Lulu dengan serangan
maut, sekaligus memukul dengan Ilmu Hek-in-hwi-hong-ciang. Tubuhnya merendah dan perutnya
mengeluarkan bunyi. Lulu baru saja melontarkan senjata-senjata rahasianya, terkejut sekali dan cepat
menangkis. Akan tetapi, karena dia kalah dulu, tangkisannya kurang tepat dan tubuhnya terhuyung,
dadanya terasa agak sakit. Marahlah wanita ini dan dia menghadapi Lama itu dengan Ilmu Hong-in-bunhoat
yang amat lihai.
Ilmu ini adalah ciptaan Bu Kek Siansu, amat indah seperti orang menulis di udara, sesuai dengan
namanya, Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastra Angin dan Awan). Tetapi setiap coretan merupakan gerak
tangkisan mau pun serangan yang mengandung tenaga sinkang mukjizat. Thian Tok Lama segera
terdesak dan kalau saja tidak cepat datang Maharya dan Bhong Ji Kun yang melompat ke kapal itu, tentu
dia terancam bahaya hebat.
Kini munculnya dua orang itu membuat Lulu yang terdesak dan kembali wanita ini mempergunakan
kelincahan tubuhnya untuk mencelat ke sana-sini menyelinap di antara para pasukan dan merobohkan
mereka. Adanya pasukan yang mengepungnya ini malah merupakan rintangan bagi tiga orang sakti itu,
karena andai kata tidak ada anak buah pasukan, tentu Lulu akan dapat mereka kejar, kepung dan
robohkan dengan pengeroyokan mereka bertiga.
Selagi pertandingan kacau-balau untuk mengejar dan mengepung Majikan Pulau Neraka itu terjadi di
geladak tiga buah kapal di mana Lulu berpindah-pindah dengan loncatannya dan kini yang mengeroyoknya
ditambah lagi dengan Thai Li Lama, di ruangan bawah kapal induk pimpinan Bhong Ji Kun terjadi hal lain
yang mendatangkan kegemparan baru.
Para prajurit yang selosin orang banyaknya, dipimpin oleh Kwee Sui, telah menerima perintah untuk tidak
meninggalkan ruangan itu, melainkan menjaga Kwi Hong yang dianggap seorang tawanan penting. Kwee
Sui dan para penjaga yang selosin orang banyaknya itu tenang-tenang saja sungguh pun di geladak terjadi
keributan, apa lagi ketika mendengar bahwa yang mengacau hanyalah seorang wanita. Betapa pun
lihainya musuh itu, dia percaya takkan mampu menandingi koksu yang dibantu orang-orang sakti dan pula
di atas terdapat banyak sekali pasukan. Maka dia enak-enak saja menjaga dan maki-makian Kwi Hong
dilayani sambil tertawa saja.
"Pengkhianat Kwee Sui! Ingatlah kau, begitu ada kesempatan, kepalamu yang lebih dulu akan
kuhancurkan!" Kwi Hong memaki-maki.
"Hong-moi, manisku, mengapa engkau masih marah-marah terus? Kalau tidak ada aku, apa kau kira masih
dapat hidup sampai sekarang ini? Kurasa semua tokoh Pulau Es sekarang telah menjadi mayat! Ingatlah,
kita tidak mungkin melawan pemerintah, itu namanya pemberontakan! Tenanglah, dan mari kita bersama
menikmati hidup di kota raja, di mana aku akan menjadi seorang pembesar dan engkau menjadi isteriku,
menjadi nyonya besar yang terhormat dan kucinta, Manis."
"Keparat! Lebih baik mati dari pada menjadi isteri seorang pengkhianat rendah macam engkau!"
Kwee Sui tertawa, "Ha-ha-ha! Mau atau tidak, engkau akan menjadi isteriku!"
"Anjing, pengkhianat hina!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Kwee Sui tidak mau melayaninya lagi, bahkan dia lalu merebahkan diri dengan senang hati,
membayangkan kemuliaan dan kesenangan yang akan didapatnya, membayangkan betapa dia akan
memperisteri gadis cantik yang dirindukannya itu, baik dengan jalan halus mau pun dengan kekerasan.
Selosin orang prajurit yang berjaga juga mengantuk. Mereka itu lelah sekali setelah bertempur sejak pagi
dan kini masih harus menjaga untuk semalam suntuk. Kelelahan membuat mereka mengantuk dan mereka
itu duduk melenggut, ada yang bersandar pada tombak yang mereka peluk, ada pula yang meletakkan
kepala di atas meja. Sebentar saja di antara mereka telah ada yang mendengkur, bahkan Kwee Sui juga
mendengkur dengan enaknya.
Melihat para penjaganya melenggut dan tertidur, Kwi Hong yang tubuhnya masih lemas akibat totokan,
mulai berusaha melepaskan ikatan kedua lengannya yang ditelikung ke belakang. Namun selain ikatan itu
kuat sekali, juga tenaganya belum pulih sehingga sia-sia saja ia meronta. Tiba-tiba Kwi Hong
menghentikan usahanya ketika mendengar suara. Matanya terbelalak memandang papan ruangan itu yang
bergerak. Penutup lubang papan itu yang menghubungkan ruangan ini dengan ruangan paling bawah
bergerak-gerak dan tak lama kemudian terbuka dari bawah. Muncullah sebuah kepala orang. Hampir saja
Kwi Hong berteriak kaget. Di bawah sinar lampu yang tergantung di situ, dia mengenal wajah Bun Beng!
"Sssttttt...!" Bun Beng memberi tanda dengan telunjuk di depan mulutnya, menyuruh gadis itu diam.
Ketika terjadi keributan di kapal, Bun Beng terkejut, akan tetapi juga girang sekali. Dia dapat menduga
bahwa pembantu anak buah Pulau Es yang melepas senjata rahasia peledak itu muncul lagi dan membikin
kacau di atas geladak. Kesempatan yang baik, pikirnya. Dia lalu menggunakan tenaganya, memecah
papan di tubuh kapal, di atas permukaan air, dan setelah ia berhasil membongkar papan itu, dia
merangkak masuk.
Dia tiba di ruangan paling bawah yang sunyi, tak seorang pun tampak manusia di sini. Ruangan bawah itu
penuh dengan bahan-bahan makan dan air minum, kiranya dijadikan tempat persediaan ransum pasukan
itu. Melalui anak tangga, dia berjalan naik, kemudian membuka penutup papan dari bawah. Ketika ia
melihat Kwi Hong, hatinya girang sekali. Dia tiba di tempat yang tepat, karena memang dia bermaksud
untuk menolong gadis itu.
Kwi Hong menggerakkan mukanya, dengan dagunya menunjuk ke arah Kwee Sui yang tidur mendengkur.
Bun Beng memandang dan melihat pakaian Kwee Sui seperti bukan seorang prajurit atau panglima.
Segera dia dapat menduga, agaknya orang inilah yang mengkhianati Pulau Es.
Dia meloncat dan pada saat itu, karena lupa menutup kembali penutup papan, penutup itu menutup
kembali, menimbulkan suara keras. Para penjaga terbangun gelagapan, dan ketika mereka melihat
seorang pemuda tak dikenal di situ, mereka cepat meloncat bangun dan siap dengan tombak di tangan.
Kwee Sui juga melompat bangun. Siapa kau...?" bentaknya. "Tangkap dia!"
Dua orang penjaga menubruk dengan tangan, mengira bahwa pemuda itu orang biasa saja. Bun Beng
menggerakkan kedua tangannya dan dua orang prajurit itu roboh tanpa dapat berkutik lagi karena telah
tewas! Penjaga-penjaga yang lain menjadi marah, dan baru mengerti bahwa pemuda itu seorang yang
lihai, maka segera mereka gedebag-gedebug menyerang dengan tombak mereka. Akan tetapi, sekali ini
tubuh Bun Beng berkelebatan dan langsung terdengar pekik berturut-turut bersama robohnya empat orang
prajurit terdepan.
"Keparat!" Kwee Sui memaki dan....
"Singgg...!" dia telah menghunus Li-mo-kiam!
Para prajurit sendiri terkejut menyaksikan cahaya kilat ini, dan Bun Beng berseru kaget, "Li-mo-kiam!"
"Betul, dia merampasnya dari tanganku dengan tipuan rendah!" Kwi Hong berseru.
Mendengar ini, Bun Beng merobohkan lagi dua orang prajurit dan menerjang maju ke arah Kwee Sui.
Pemuda ini sudah marah sekali. Biar pun dia tahu bahwa pemuda itu yang muncul secara tak terduga ini
lihai, namun dia tidak takut. Dia adalah seorang murid Pulau Es yang berkepandaian tinggi, apa lagi dia
memegang sebatang pedang mukjizat. Cepat dia menyambut terjangan Bun Beng dengan bacokan
pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat dan suara berdesing nyaring.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bun Beng cepat mengelak. Walau pun Kwee Sui memiliki ilmu silat tinggi, namun berhadapan dengan Bun
Beng dia bukan apa-apa. Bun Beng tidak takut menghadapi ilmu kepandaian Kwee Sui, akan tetapi dia
ngeri menyaksikan sinar kilat pedang Li-mo-kiam itu, sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang
mempunyai wibawa menyeramkan.
Melihat lawannya mengelak cepat seperti orang jeri, Kwee Sui tertawa dan merasa bangga, cepat ia
menubruk maju lagi. Bun Beng kembali mengelak dan tiba-tiba dia tersandung mayat seorang prajurit,
roboh terjengkang. Kwi Hong mengerti akan siasat ini, pandang matanya yang tajam dapat membedakan
roboh buatan dan roboh sungguh-sungguh. Akan tetapi untuk membantu berhasilnya siasat Bun Beng, dia
sengaja menjerit. Kwee Sui girang sekali, cepat menubruk.
"Ceppp... auggghhh...!"
Pedang Li-mo-kiam kembali minum darah sepuasnya, kini darah dari dalam dada dan jantung Kwee Sui!
Ketika Kwee Sui menubruk dan menusukkan pedangnya, Bun Beng yang pura-pura jatuh tadi cepat
miringkan tubuh kemudian kakinya melayang dari samping tepat mengenai lengan kanan Kwee Sui yang
memegang pedang sehingga pedang itu terpental membalik dan masuk ke dalam dada Kwee Sui sampai
menembus ke punggung!
Bun Beng cepat-cepat meloncat bangun. Sebelum tubuh Kwee Sui roboh dia sudah menyambar gagang
pedang dan mencabutnya. Darah mengucur seperti pancuran dari dada dan punggung Kwee Sui. Matanya
terbelalak memandang ke arah Kwi Hong, kemudian robohlah pemuda yang khianat ini dengan mata masih
terbelalak sungguh pun nyawanya telah melayang.
Bun Beng menggerakkan pedang itu. Sinar kilat yang lebih menyilaukan dari pada ketika Kwee Sui
menggerakkannya tampak dan sisa para penjaga yang tinggal empat orang itu roboh dengan tubuh putus
menjadi dua potong. Tanpa membuang waktu lagi Bun Beng segera meloncat mendekati Kwi Hong,
membabat putus belenggunya, kemudian melihat keadaan gadis yang lemas itu dia lalu menotok dua jalan
darah di punggung dan pundak. Seketika Kwi Hong pulih kembali tenaganya dan segera dia... menubruk
Bun Beng sambil menangis!
Bun Beng gelagapan, terpaksa memeluk pundak gadis itu dan tanpa disadarinya, jari tangannya mengelus
rambut yang halus itu, yang berada di dadanya. Ia merasa betapa air mata gadis itu membasahi baju dan
menembus ke dada.
"Tenanglah, Kwi Hong. Mengapa menangis?"
"Pulau kami... ahhh... bagaimana nasib mereka...?" Kwi Hong terisak.
Tiba-tiba dia tersadar betapa lengan pemuda itu memeluknya dan betapa tangan itu membelai dan
mengusap rambutnya dengan mesra. Teringat akan hal ini, cepat ia merenggutkan tubuhnya dari atas
dada Bun Beng, melompat ke belakang kemudian memandang Bun Beng dengan mata terbelalak penuh
kemarahan!
"Kenapa... kenapa kau memelukku...?"
"Ehhh...!"
"Kenapa kau membelai rambutku?"
"Ohhh...!"
"Gak Bun Beng, kau... hendak kurang ajar padaku, ya?"
Bun Beng hanya melongo, memandang muka gadis itu dengan muka bodoh.
"Hayo jawab!"
"Ehhh... ohhh... Kwi Hong, bagaimana ini? Kau... kau menangis dan aku... aku merasa bingung, ikut
berduka dan terharu... kenapa kau menuduhku kurang ajar?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Kwi Hong memandang ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan, dan ia sadar kembali. Tadi
kedukaan dan kebingungan yang menyusul kegelisahannya, bercampur dengan rasa kaget dan girang
melihat kenyataan bahwa Bun Beng yang disangkanya mati ternyata masih hidup, bahkan lebih dari itu,
telah menolongnya dan kelihatan begitu lihai. Semua perasaan ini teraduk menjadi satu, membuat dia
bingung dan ketika merasa betapa pemuda itu memeluk dan membelai rambutnya, ia menjadi marahmarah
tidak karuan. Setelah sadar ia mengeluh. "Ohhhh...," lalu menangis lagi.
"Sudahlah, Kwi Hong. Ini pedangmu, dan mari kita cepat keluar dari sini sebelum mereka turun. Agaknya di
atas geladak terjadi keributan, kurasa orang yang menolong anak buahmu di pulau sekarang telah turun
tangan lagi membikin kacau di atas kapal-kapal ini."
"Yang menolong anak buah Pulau Es? Siapa...?"
"Nanti kuceritakan, mari ikut denganku." Bun Beng lalu menyambar tangannya setelah menyerahkan
pedang Li-mo-kiam, lalu mengajak gadis itu melarikan diri melalui penutup papan ruangan itu ke bawah.
Kali ini Kwi Hong menurut saja, bahkan dia berbisik, "Bun Beng, harap kau maafkan kelakuanku tadi..."
Mereka turun ke ruangan bawah, kemudian keluar melalui lubang di badan kapal dan meloncat ke perahu
kecil Bun Beng. Untung bahwa para pasukan yang berada di atas tiga buah kapal itu, dibantu oleh pasukan
dari dua kapal lain yang sudah datang, sedang sibuk memadamkan kebakaran dan malam itu gelap
sehingga Bun Beng dan Kwi Hong dapat mendayung perahu menuju ke pulau tanpa terlihat mereka.
Agaknya mereka itu sibuk memadamkan kebakaran, akan tetapi tidak tampak lagi adanya pertempuran.
Ketika Bun Beng dan Kwi Hong mendarat di pulau, dan meloncat ke darat lalu berlari cepat, dari sebuah
perahu hitam kecil tampak Lulu memandang mereka. Wanita ini menghela napas lalu mendayung
perahunya meninggalkan perairan itu, kembali ke Pulau Neraka.
Ketika mendengar penuturan Bun Beng tentang tewasnya Ki Lok yang jenazahnya ditinggalkan di pantai
oleh Bun Beng, Kwi Hong menangis lagi. Gadis ini menjadi makin berduka ketika bertemu dengan Phoa
Ciok Lin yang terluka sedikit pundaknya, mendengar betapa Yap Sun, Thung Sik Lun, dan banyak lagi
paman-pamannya telah tewas dalam pertempuran. Anak buah Pulau Es yang tadinya berjumlah seratus
orang lebih hanya tinggal lima puluh orang, termasuk anak-anak.
"Biarkan mereka datang lagi! Kita akan melawan mati-matian!" Kwi Hong berkata dengan air mata
membasahi kedua pipinya, mengepal tinju dengan sebelah kiri dan pedang Li-mo-kiam berkilauan di
tangan kanan.
"Kurasa tidak bijaksana kalau begitu, Kwi Hong. Keadaan mereka kuat sekali, dan mereka dipimpin oleh
orang-orang pandai."
"Apa kau takut? Kami mau mengharapkan bantuanmu, siapa kira engkau malah takut menghadapi
mereka!" Kwi Hong sudah marah-marah lagi, lupa bahwa kalau tidak ada pertolongan Bun Beng entah
bagaimana jadinya dengan anak buah Pulau Es, dan terutama dengan dia sendiri.
"Hong-ji, jangan begitu!" Phoa Ciok Lin berkata. "Bun Beng telah berbuat banyak sekali untuk kita, dan
kurasa kata-katanya memang benar. Kalau kita melawan, biar pun dibantu Bun Beng yang ternyata
memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu berarti akan mengorbankan semua sisa anak buah Pulau Es. Kita
bertiga agaknya dapat melindungi diri sendiri, akan tetapi bagaimana dengan anak buah kita? Apakah
masih kurang banyak jatuhnya korban di pihak kita? Lebih baik kita melarikan diri meninggalkan pulau ini
sambil menanti kembalinya Taihiap."
"Lari...? Dan Istana...?"
"Kita bawa lari semua pusaka istana," kata pula Ciok Lin.
"Memang itu benar sekali, Kwi Hong." Bun Beng berkata tenang. "Kalau kita melawan, selain anak buah
Pulau Es dapat terbunuh semua oleh mereka tanpa kita dapat banyak melindungi karena kita sendiri tentu
berhadapan dengan lawan-lawan tangguh, juga pusaka-pusaka Istana Pulau Es akan terampas oleh
mereka. Agaknya itulah yang menyebabkan Koksu membawa pasukan datang menyerbu Pulau Es."
dunia-kangouw.blogspot.com
Menghadapi bantahan dua orang itu, Kwi Hong terpaksa menurut. Dia pun tidak ingin kelak dipersalahkan
pamannya kalau sampai terjadi pusaka-pusaka dirampas pasukan pemerintah dan semua anak buah
tewas. Maka, di bawah pimpinan Phoa Ciok Lin pergilah semua sisa penghuni Pulau Es, menggunakan
semua perahu kecil yang tersembunyi. Mereka lari dengan perahu-perahu itu melalui utara, semua
berjumlah sepuluh buah perahu kecil.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru