Minggu, 20 Agustus 2017

Cersil Online Tamat Jodoh Rajawali 12

Cersil Online Jodoh Rajawali 12 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil Online Jodoh Rajawali 12
kumpulan cerita silat cersil online
-
Gadis ini menghapus air matanya, lalu duduk bersandarkan batang pohon, termenung dengan hati sayu
dan sepi. Mulailah Puteri Bhutan ini bertanya-tanya apakah sesungguhnya kebahagiaan hidup! Apakah
yang dapat mendatangkan kebahagiaan? Harta bendakah?
Dia adalah seorang puteri kerajaan yang tentu kaya raya, dan apa pun juga yang diinginkannya dalam
bentuk benda, sudah pasti akan dapat dia peroleh. Dia memiliki harta benda berlimpahan, namun tetap
tidak berbahagia. Jelas bukan dalam harta bendalah letaknya kebahagiaan! Lalu di mana? Apakah dalam
kedudukan dan kemuliaan? Juga tidak, karena sebagai puteri raja yang dimanja, kedudukannya tinggi dan
terhormat, kemuliaan selalu dirasakan semenjak dia kecil, namun semua itu akhirnya, seperti juga pada
harta benda, mendatangkan kebosanan dan dia tetap tidak berbahagia. Apakah dalam petualangan hidup?
Juga tidak. Hal itu pun hanya berlalu begitu saja, yang tinggal hanya kenangan hampa. Ataukah dalam
cinta? Dia saling mencinta dengan Tek Hoat, akan tetapi selama ini lebih banyak dukanya dirasakan dari
cintanya ini dari pada sukanya.
Memang kasihan sekali dara jelita puteri bangsawan ini. Wajahnya pucat dan basah air mata, rambutnya
yang hitam panjang dan halus itu kusut seperti pakaiannya pula, sinar mata yang biasanya bening, jeli dan
tajam itu kini sayu tak bercahaya, dan segala yang nampak oleh sepasang mata itu buruk dan
membosankan belaka, seolah-olah matahari sudah kehilangan cahayanya. Dia terbenam dalam lautan
duka yang makin mendahsyat oleh gelombang iba diri.
Memang kasihanlah Puteri Syanti Dewi atau siapa saja yang menganggap cinta kasih sebagai suatu hal
yang harus menjadi sumber kesenangan menjadi suatu hal yang harus menjadi pemuas keinginan diri
sendiri belaka, karena siapa saja yang beranggapan demikian sudah pasti akan menemui kegagalan dalam
cinta, sudah pasti pada suatu waktu akan kecewa karena cinta kasih yang tadinya dianggap sebagai
sumber kesenangan ternyata tidaklah seperti yang diharapkan semula. Setiap bentuk kesenangan sudah
pasti tak terpisahkan lagi dari rasa takut kehilangan, kekecewaan dan kedukaan, maka jika cinta kasih
disamakan dengan sumber kesenangan sudah pasti tak terpisahkan lagi dari rasa takut kehilangan,
kekecewaan dan kedukaan, maka jika cinta kasih disamakan dengan sumber kesenangan, jelaslah bahwa
hal itu berarti bahwa cinta kasih juga merupakan sumber kekecewaan dan kedukaan! Kesenangan
mempunyai kebalikannya, yaitu kedukaan. Maka, kalau kesenangan terluput, datanglah kekecewaan atau
kedukaan.
Patutkah kalau kita menyamakan cinta kasih dengan kesenangan? Benarkah anggapan sementara orang
bahwa cinta kasih adalah pemuasan birahi belaka? Tepatkah kalau cinta kasih mendatangkan cemburu,
kemarahan, kebencian, dan kedukaan?
Tidaklah mungkin untuk menentukan bahwa cinta kasih adalah begini atau begitu. Cinta kasih bukanlah
benda atau hal mati yang sudah dapat ditentukan sifatnya. Namun jelas bukan cinta kasih kalau
mendatangkan duka! Dan pementingan mendatangkan duka, pengejaran kesenangan mendatangkan
duka, jadi semua itu bukanlah cinta kasih!
Yang menimbulkan suka dan duka bukan cinta kasih. Yang masih dicengkeram suka duka tak mungkin
mengenal bahagia. Cinta kasih atau bahagia tentu jauh lebih tinggi di atas alam suka duka!
Merasa betapa dirinya amat celaka dan bernasib buruk, Syanti Dewi merasa nelangsa dan iba diri.
Semenjak menjadi murid Ouw Yan Hui, sedikit banyak watak dan sifat dingin keras dari tokoh wanita
majikan Pulau Ular Emas itu menular kepadanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tidak, pikirnya sambil mengepal tinju. Aku tidak akan membiarkan diri merendah lebih lama lagi! Dia tidak
akan sudi merendah kepada Tek Hoat, betapa besar pun rasa cintanya kepada pemuda itu. Sudah tiba
saatnya dia bersikap sebagai seorang puteri raja! Kini sudah tiba waktunya bagi Tek Hoat untuk menerima
giliran, bersusah payah mencarinya, menderita karena dia, dan akhirnya bertekuk lutut padanya,
membuktikan cinta kasihnya, kalau memang Tek Hoat benar cinta kepadanya!
Syanti Dewi terbangun dengan kaget karena dia seperti mendengar teriakan-teriakan suara Tek Hoat yang
memanggil-manggilnya. Dia terloncat dan membelalakkan mata, memandang ke kanan kiri namun sunyi
saja. Kiranya dia mimpi! Tanpa disadari, ketika melamun dengan hati penuh duka di bawah pohon tadi, dia
tertidur saking lelahnya. Dan kini matahari telah condong ke barat, keadaan di dalam hutan itu sudah mulai
remang-remang.
Perutnya terasa lapar bukan main. Syanti Dewi meneliti keadaan di sekeliling tempat itu. Hutan yang sunyi,
bahkan suara burung pun tidak didengarnya, padahal pada saat seperti itu biasanya burung-burung
beterbangan kembali ke sarang mereka. Jelas bahwa tempat ini tidak dihuni burung, dan ini berarti pula
bahwa di tempat itu tidak terdapat pohon-pohon yang berbuah. Padahal perutnya amat lapar. Di hutan itu
tidak dapat mengharapkan memperoleh makanan, dan dia pun tidak tahu mana dusun terdekat. Agaknya
dia harus menahan rasa lapar di perutnya sampai lewat malam itu!
“Hemmm, pada hari dan malam pertama saja aku sudah harus menderita lagi karena ulah Tek Hoat!” Dia
menggerutu sambil mengepal tinju dengan hati gemas.
Kalau tidak ada Tek Hoat yang bersikap menyakitkan hatinya, tentu saat itu dia berada di istana ayahnya,
melepas rindunya kepada ayah bundanya dan mereka tentu sedang bercakap-cakap dengan gembira,
menghadapi hidangan-hidangan yang amat lezat dan yang disukainya. Dia berjalan menyusup lebih dalam
ke hutan itu, dengan harapan akan melihat rumah-rumah orang. Kalau ada dusun, dia tentu akan bisa
mendapatkan makanan, baik secara meminta, membeli, atau mencuri sekali pun! Akan tetapi ternyata
hutan itu kecil saja dan setelah dia menembus hutan itu, dia tiba di padang rumput yang luas!
Sialan, pikirnya memandang ke depan, pada padang rumput yang agaknya tidak bertepi itu. Angin senja
ditiup dan permukaan padang rumput itu bergelombang, merupakan lautan hijau kemerahan karena
bermandikan cahaya matahari senja. Bukan main indahnya pemandangan di saat itu, akan tetapi
keindahan itu tidak nampak oleh mata Syanti Dewi karena dia sedang merasa jengkel dan duka, apa lagi
rasa lapar di perutnya amat menyiksa.
Memang demikianlah keadaan hidup kita manusia ini. Keindahan dan kebahagiaan itu SUDAH ADA di
mana pun dan kapan pun. Akan tetapi keindahan itu tidak nampak dan kebahagiaan itu tidak terasa oleh
kita apa bila batin kita penuh dengan masalah masalah kehidupan, penuh dengan pertentangan,
kekhawatiran, kemarahan, keputus asaan, kebencian, yang kesemuanya itu mendatangkan duka.
Jelaslah bahwa keindahan dan kebahagiaan itu tidak dapat dicari DILUAR DIRI KITA, karena sumber dari
segalanya berada di dalam diri kita sendiri. Kalau batin kita sudah bebas dari segala pamrih, bebas dari
segala macam keinginan memperoleh hal-hal yang tidak ada, maka akan nampaklah segala keindahan
yang terbentang di hadapan kita, di mana pun dan bilamana pun, akan terasalah kebahagiaan dan cinta
kasih! Hal hal seperti ini tidak mungkin dapat dimengerti kalau hanya dibicarakan sebagai teori hampa
belaka, melainkan harus dihayati di dalam kehidupan sehari-hari itu sendiri.
Makin besar penderitaannya, makin besar pula Syanti Dewi menimpakan kesalahannya kepada Tek Hoat.
Makin besar pula kemarahannya kepada pemuda itu dan makin besar pula tekadnya untuk membiarkan
Tek Hoat menderita sebelum dia mau ‘mengalah’. Dia sudah membuktikan cintanya terhadap Tek Hoat,
maka kini dia pun menuntut agar pemuda itu membuktikan cintanya pula, dengan cara bersengsara
untuknya! Aihhh, betapa sudah gilanya orang yang tercengkeram oleh cinta! Cinta yang sesungguhnya
bukan lain hanyalah nafsu menyenangkan diri sendiri belaka, melalui orang lain!
Tiba-tiba Syanti Dewi mendengar suara gaduh dan dari depan nampak serombongan orang berlari-lari
ketakutan ke arah hutan dari mana dia muncul.
Ahhh, ada orang! Hati puteri itu menjadi girang. Di mana ada orang tentu ada pula makanan! Akan tetapi
dia segera mengerutkan alisnya ketika melihat orang-orang itu semua dalam keadaan ketakutan dan dari
pakaian mereka, dia dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang dusun. Anehnya, di antara
mereka terdapat pula orang orang yang agaknya memiliki kepandaian lumayan karena dapat berlari cepat
dan gerak-gerik mereka jelas menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang dusun!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika orang-orang itu melihat Syanti Dewi di tepi hutan, mereka memandang dengan terheran-heran
karena sungguh merupakan hal yang aneh melihat seorang dara yang sedemikian cantiknya, lebih mirip
bidadari dari pada manusia, sendirian saja di tepi hutan pada waktu senja seperti itu! Orang-orang yang
memang sedang panik dan ketakutan ini makin menjadi takut, mengira bahwa Syanti Dewi sudah pasti
bukan manusia, karena kalau manusia, seorang gadis secantik jelita itu mana mungkin sendirian saja di
senja hari di tepi hutan! Maka mereka menjadi pucat terbelalak, tidak tahu lagi harus lari ke mana.
Akan tetapi, beberapa orang yang kelihatan gagah perkasa itu, memandang kepada Syanti Dewi dengan
kaget, kemudian mereka berseru girang dan lari menghampiri, terus langsung menjatuhkan diri di depan
kaki dara bangsawan itu.
“Sang Puteri... tak disangka hamba dapat bertemu dengan Paduka di sini..., mari hamba antarkan pulang
dengan segera karena ada bahaya mengancam di dusun sana!”
Syanti Dewi mengerutkan alisnya. Orang-orang ini telah mengenalnya dan hal itu tidak mengherankan
karena daerah ini tidak jauh dari Kota Raja Bhutan.
“Siapakah kalian dan mengapa kalian berlari-lari seperti ini?” tanyanya tenang.
“Hamba berlima adalah pengawal-pengawal yang diutus oleh Panglima Jayin untuk mencari jejak Paduka.
Hamba tadinya merupakan pasukan kecil terdiri dari dua belas orang. Ketika hamba sekalian tiba di dusun
di luar padang rumput ini, hamba melihat serombongan orang kate yang aneh sedang mengacau di dusun.
Sebagai prajurit prajurit Bhutan tentu saja hamba sekalian segera turun tangan menentang gerombolan itu,
akan tetapi sungguh celaka, Sang Puteri...“
Melihat orang yang bercerita itu kelihatan berduka dan empat orang prajurit lainnya kelihatannya takuttakut
dan menoleh ke arah belakang, Syanti Dewi mendesak, “Mengapa? Apa yang terjadi selanjutnya?”
Sementara, itu, orang-orang dusun yang ikut melarikan diri tadi kini pun sudah berlutut menghadap Syanti
Dewi ketika mereka mendengar bahwa dara cantik jelita itu bukan lain adalah Puteri Bhutan yang amat
terkenal itu. Mereka sudah mendengar bahwa sang puteri ini selain cantik jelita seperti bidadari, juga
memiliki kepandaian tinggi, maka begitu melihat munculnya puteri jelita ini secara aneh di tepi hutan, apa
lagi melihat lima orang yang lihai itu demikian menghormatinya, mereka pun menjadi girang dan timbul
harapan dalam hati mereka yang gelisah dan putus asa.
“Sungguh celaka, Sang Puteri, gerombolan orang cebol itu lihai bukan main. Bukan saja hamba sekalian
dipukul mundur, bahkan tujuh orang teman hamba tewas oleh mereka dan hamba berlima tentu akan
tewas pula kalau tidak cepat melarikan diri untuk mencari bantuan. Hamba hendak melapor ke kota raja.”
“Hemmm, siapakah mereka itu? Dan apa yang mereka lakukan di dusun?” Syanti Dewi bertanya dengan
marah.
“Hamba sendiri tidak tahu siapakah mereka. Menurut cerita para penghuni dusun, mula mula yang muncul
hanya seorang kakek cebol yang aneh, yang tinggal di dalam kuil tua di dusun itu. Akan tetapi, munculnya
kakek ini disusul kematian para hwesio di kuil itu yang jumlahnya hanya empat orang dan kuil itu sama
sekali dikuasainya. Kemudian, berturut-turut bermunculan orang-orang cebol yang lihai dan ternyata dusun
itu mereka jadikan semacam tempat pertemuan besar antara orang-orang cebol. Mereka lalu memaksa
penduduk untuk melayani mereka, menyediakan makanan setiap hari untuk mereka, dan selain mereka
menuntut makanan yang mahal-mahal, juga mereka mulai mengganggu wanita...!”
“Keparat!” Syanti Dewi mengepal tinju dengan marah.
“Penduduk dusun tidak ada yang berani melawan. Lalu hamba dua belas orang secara kebetulan lewat di
dusun itu dalam usaha hamba mencari jejak Paduka, dan begitu mendengar laporan mereka, hamba lalu
menyerbu ke kuil dan akibatnya, tujuh orang teman hamba tewas dan orang-orang cebol itu mengamuk,
membunuhi orang-orang dusun karena menuduh penduduk dusun sengaja melapor kepada prajurit-prajurit
kerajaan.”
“Hemmm, kalau begitu kalian boleh minta bantuan ke kota raja, dan aku sendiri akan menghadapi mereka.”
“Akan tetapi, mereka itu lihai bukan main...,“ prajurit itu berkata dengan khawatir.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku tidak takut. Besok pagi-pagi aku akan ke sana, biar diantar oleh beberapa orang penghuni dusun, dan
kalian sekarang juga boleh pergi ke kota raja mencari bala bantuan.”
Lima orang prajurit itu memberi hormat dan segera melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja,
sedangkan Syanti Dewi mengajak para penghuni dusun itu bermalam di hutan sambil mendengarkan
penuturan mereka. Juga dia tidak ragu-ragu untuk minta kepada mereka memasakkan makanan
sekedarnya dari perbekalan mereka. Biar pun masakan yang dihidangkan dari perbekalan mereka itu
adalah masakan sederhana sekali dari para penghuni dusun, namun nyatanya bagi Syanti Dewi, belum
pernah dia makan selezat itu selama ini! Sambil mendengar penuturan orang-orang dusun sebangsanya
itu, dia makan dengan lahap, tanpa mempedulikan tatapan mata penuh kagum dan hormat dari puluhan
pasang mata penghuni dusun yang mengungsi itu.
Siapakah sebenarnya gerombolan orang cebol yang telah mengacau dalam dusun itu? Kakek cebol
pertama yang memasuki dusun itu bukan lain ialah Su-ok Siauw-siang-cu, orang keempat dari Im-kan Ngook
(Si Lima Jahat Dari Akherat)!
Seperti telah kita ketahui, Twa-ok, Ji-ok, Su-ok, dan Ngo-ok telah bertemu dengan Pendekar Super Sakti
dan mereka berempat terdesak mundur. Karena merasa penasaran mereka itu lalu mengajukan tantangan
kepada Pendekar Super Sakti untuk mengadakan pertemuan di gurun pasir yang berada di dataran Bukit
Chang-pai-san dan tantangan itu diterima pula oleh Pendekar Super Sakti!
Tentu saja empat orang datuk kaum sesat itu cepat mengadakan persiapan untuk keluar sebagai
pemenang dalam pertemuan itu, karena mereka maklum betapa lihainya Pendekar Super Sakti yang telah
mengalahkan mereka berempat dan mereka mengambil keputusan untuk dapat menebus kekalahan
dengan persiapan sebaik mungkin. Untuk persiapan inilah maka Su-ok, kakek cebol yang tingginya hanya
satu seperempat meter itu meninggalkan rombongannya, pergi ke barat untuk minta bantuan dari saudarasaudaranya,
yaitu sekumpulan orang cebol yang tinggal di sebuah lembah di lereng Pegunungan
Himalaya, di sebelah timur batas Kerajaan Bhutan! Memang dari sinilah Su-ok berasal, dan di tempat ini
dia mempunyai saudara-saudara seperguruan yang selain lihai-lihai, juga semua bertubuh cebol katai
seperti dia!
Seperti juga Su-ok Siauw-siang-cu yang menjadi datuk kaum sesat, orang-orang cebol lihai yang menjadi
saudara-saudaranya itu pun bukan termasuk golongan orang baik baik. Maka ketika mereka berkumpul di
dusun yang dipilih oleh Su-ok sebagai tempat berkumpul itu, mereka berlaku sewenang-wenang, bukan
hanya memaksa penduduk untuk memasakkan daging dan mencari arak untuk mereka berpesta-pora,
akan tetapi bahkan mereka tak segan-segan untuk memaksa wanita-wanita muda untuk menemani mereka
dan melayani mereka!
Daerah Pegunungan Himalaya memang merupakan daerah yang liar dan penuh rahasia aneh. Banyak
bagian dari daerah ini yang masih belum pernah didatangi manusia karena selain liar dan amat luas, juga
terlampau tinggi, penuh salju dan amat berbahaya dan sukar sekali didaki. Menurut dongeng, banyak
daerah rahasia yang tersembunyi dan tidak pernah dapat dipijak kaki manusia dan di tempat-tempat
rahasia ini tinggal mahluk-mahluk aneh, kabarnya menurut dongeng itu terdapat manusia-manusia salju
yang berbulu putih dan tinggi besar seperti raksasa, ada pula manusia-manusia monyet, yaitu monyetmonyet
besar yang bertubuh manusia atau manusia-manusia raksasa berwajah monyet, dan bahkan di
Himalaya ini pula tempat tinggal para manusia dewa, pertapa-pertapa suci, dan sebagainya yang anehaneh
lagi menurut khayal kelompok dan golongan masing-masing menurut kepercayaan masing-masing
pula.
Dan orang-orang cebol ini merupakan segolongan manusia aneh pula yang bertempat tinggal di sebuah
lereng Pegunungan Himalaya dan yang menjadi kampung halaman Su-ok. Di sini dia mempunyai saudarasaudara
pula dan hampir semua orang cebol ini memiliki ilmu kepandaian yang aneh-aneh, bahkan di
antara mereka ada lima orang yang menjadi sute-sute (adik-adik seperguruan) dari Su-ok, maka dapat
dibayangkan betapa lihainya mereka itu setelah kini berkumpul menjadi satu di dusun itu! Pertemuan ini
selain dimaksudkan oleh Su-ok untuk mencari bantuan saudara-saudaranya, juga merupakan semacam
pertemuan dengan Su-ok yang lama tidak meninjau kampung halaman, dan merupakan pertemuan
gembira yang dirayakan dengan pesta. Akan tetapi celakanya, orang-orang cebol itu yang hidup dalam
keadaan miskin sederhana di lereng mereka, kini berpesta di dalam dusun dan memaksa penghuni dusun
yang lemah untuk melayani mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena khawatir kalau-kalau tidak akan mampu menghadapi Pendekar Super Sakti yang amat lihai, maka
Su-ok bertugas untuk minta bantuan saudara-saudaranya, juga sekalian mengundang Sam-ok atau Koksu
Nepal yang berada di Nepal, tidak begitu jauh dari tempat di mana dia berkumpul dengan saudarasaudaranya
ini.
Sungguh patut dikasihani para penduduk dusun yang didatangi orang-orang cebol itu. Biar pun jumlah
mereka hanya ada belasan orang, dan rata-rata bertubuh kecil pendek pula, namun setiap orang penduduk
dusun yang coba-coba berani menentang, dengan sekali pukul saja roboh muntah darah! Maka, ketika
mereka itu menculik beberapa orang wanita muda, yang menjadi suami wanita itu, atau ayah atau keluarga
mereka, hanya mampu mengutuk dalam hati saja, dengan wajah pucat tangan terkepal mereka hanya
dapat melihat betapa wanita-wanita itu diseret dan dibawa masuk ke dalam rumah-rumah terbesar di dusun
itu yang untuk sementara waktu diduduki oleh para orang cebol.
Su-ok sendiri bersama lima orang sute-nya berpesta-pora dalam kuil, dilayani oleh lima orang gadis
tercantik di dusun itu yang telah dipilih oleh lima orang sute-nya. Su-ok sendiri sudah sejak lama tidak lagi
suka mengganggu wanita, dan hanya membiarkan lima orang sute-nya dan para saudara lain untuk
memuaskan diri di dusun itu, sambil tersenyum melihat betapa wanita-wanita itu menjerit dan menangis,
takut dan juga jijik melihat lagak orang-orang katai yang buas itu.
Akan tetapi, melihat betapa semua laki laki di dalam dusun itu tidak ada yang berani menentang, akhirnya
wanita-wanita yang dipilih oleh gerombolan orang cebol itu terpaksa menerima nasib sambil menangis.
Juga lima orang gadis yang kini melayani Su-ok dan lima orang sute-nya makan minum di dalam kuil, tidak
lagi memperlihatkan sikap melawan, hanya melayani sambil bermuram durja, dengan pakaian dan rambut
kusut, muka pucat dan air mata sudah mengering, kalau sekali-kali digoda oleh mereka dan tubuh mereka
diraba, mereka itu hanya menunduk saja tanpa menolak akan tetapi juga tidak pernah mau tersenyum.
Keadaan lima orang sute dari Su-ok itu juga sama mengerikan seperti keadaan Su-ok Siauw-siang-cu
sendiri. Melihat wajah mereka, jelaslah bahwa mereka itu adalah orang orang yang sudah berusia
sedikitnya empat puluh tahun, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang berwajah menyeramkan,
sungguh pun tidak ada pula yang dapat disebut tampan. Akan tetapi, karena tubuh mereka itu pendek
kecil, mereka itu nampak seperti anak-anak yang sudah tua!
Sebetulnya mereka itu nampak lebih lucu dari pada menakutkan. Akan tetapi karena tindakan mereka
demikian buas, terutama sekali dalam menghadapi para wanita yang mereka tawan, mereka itu demikian
penuh nafsu sehingga sama sekali bukan kanak kanak lagi, maka para wanita itu merasa jijik dan juga
takut. Kelihatannya saja mereka itu bertubuh kecil-kecil, namun kalau sudah menarik wanita-wanita itu ke
kamar masing masing, mereka buas melebihi binatang liar!
Setelah disekap selama dua hari dua malam, lima orang gadis itu kelihatan jinak, akan tetapi sebetulnya
mereka itu bukan jinak, melainkan sudah patah semangat mereka untuk melawan, penderitaan mereka
sudah melampaui batas pertahanan sehingga mereka itu menjadi seperti boneka-boneka hidup yang
berwajah pucat dan bergerak seperti dalam keadaan tidak sadar saja. Mereka menurut saja apa yang
diperintahkan oleh para orang cebol itu, seperti mayat-mayat hidup.
“Ehh, Suheng, apakah engkau sekarang sudah menjadi pertapa betul-betul dan sudah menjauhkan diri dari
wanita?”
“Ha-ha-ha, Suheng agaknya hendak menjadi dewa, maka tidak mau menjamah wanita!”
Mendengar kelakar para sute-nya itu, Su-ok tertawa bergelak. “Siapa mau menjadi pertapa atau dewa? Haha-
ha, aku masih suka akan semua kesenangan dunia, akan tetapi terus terang saja, aku bosan dengan
perempuan, kecuali kalau... ehh, kalau ada seorang perawan yang benar-benar cantik molek. Katakanlah...
ehh, puteri istana. Nah, kalau ada perawan istana, tentu saja aku tidak menampik. Akan tetapi segala
macam perawan dusun? Huh, menghambur-hamburkan sumber tenaga saja! Padahal kita akan
menghadapi lawan tangguh.”
Lima orang sute-nya menyeringai dan tangan kiri mereka segera meraih pinggang ramping dari tawanan
masing-masing dan menarik tubuh wanita-wanita itu sehingga mereka terduduk di atas pangkuan lima
orang cebol itu. Sambil menggunakan tangan kiri untuk menggerayangi tubuh-tubuh wanita itu yang hanya
memejamkan mata dan menggeliat sedikit, lima orang cebol itu melanjutkan makan minum.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha, Suheng mengapa kini menjadi demikian kecil hati? Menghadapi seorang lawan saja, apa sih
beratnya? Biar pun lawan itu mempunyai nama menjulang setinggi langit seperti... apa yang kau katakan
tadi, Pendekar Super Sakti? Biar pun namanya setinggi langit, menghadapi ilmu kami berlima yang baru
kami ciptakan, tanggung dia akan terjungkal!”
“Benar, Suheng, tidak perlu khawatir. Selama Suheng pergi, kami tidak pernah lalai menggembleng diri,
bahkan kami telah berhasil menciptakan kerja sama berlima yang merupakan barisan berlima dan kami
namakan Khai-lo-sin Ngo-heng-tin (Pasukan Lima Unsur Dari Malaikat Pembuka Jalan). Biar seorang
lawan mempunyai kepandaian seperti dewa sekali pun, menghadapi tin kami tentu akan celaka dia!”
Mendengar ucapan para sute-nya itu, agak lega rasa hati Su-ok. Dia tahu bahwa masing-masing sute-nya
ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, hanya setingkat lebih rendah dari pada tingkatnya sendiri, dan
mungkin setingkat dengan kepandaian Ngo-ok, maka kalau mereka berlima ini berhasil menciptakan
barisan seperti itu, agaknya tentu amat lihai. Dia akan dapat membanggakan diri kalau sute-sute-nya ini
berhasil mengalahkan Pendekar Super Sakti, dan siapa tahu, berkat kelihaian para sute-nya,
kedudukannya dalam Im-kan Ngo-ok dapat naik!
“Tapi engkau hanya mau kalau mendapatkan perawan istana, wah, wah, jangkauanmu terlalu tinggi,
Suheng! Puteri istana? Ha-ha-ha, untuk itu engkau harus lebih dulu menghadapi bala tentara kerajaan
yang laksaan orang jumlahnya. Mana mungkin?”
Su-ok hanya tersenyum lebar karena pada saat itu dia memang tidak berselera untuk main-main dengan
wanita. Mereka melanjutkan makan minum dan lima orang sute dari Su-ok itu mulai mabuk, mereka
tertawa-tawa dan mereka makin buas mempermainkan wanita tawanan masing-masing secara terbuka
sehingga lima orang wanita itu makin tersiksa, akan tetapi rintihan dan keluhan mereka hanya lirih saja
karena mereka sudah tahu betapa tangis dan jerit tidak akan menolong keadaan mereka.
Malam makin larut dan tiba-tiba pintu ruangan kuil itu terbuka dari luar dan muncullah seorang cebol yang
masuk dengan muka pucat. “Twako.... celaka... ada seorang musuh menyerbu!” katanya sambil
memandang kepada Su-ok.
Su-ok bangkit berdiri, alisnya berkerut. “Hemmm, hanya ada seorang musuh saja, mengapa engkau begitu
ribut?”
“Tapi... dia.... dia itu lihai bukan main... beberapa orang dari kami telah roboh...“
“Keparat! Siapa dia?” Su-ok marah sekali mendengar di antara saudaranya ada yang roboh.
“Entahlah... dia seorang wanita cantik... dan dia merobohkan A-chui yang berada dalam kamar seorang
wanita... dan dua orang saudara kami lagi roboh ketika mengeroyoknya. Dia kini sedang dikepung, akan
tetapi dia lihai sekali maka aku pergi mencari Twako...“
“Biarkan kami pergi, Suheng!” kata lima orang cebol itu yang sudah berdiri dan melepaskan wanita
tawanan masing-masing. Su-ok mengangguk dan dengan cepat lima orang cebol itu meloncat keluar,
diikuti oleh Su-ok.
Kagetlah hati Su-ok dan lima orang sute-nya ketika mereka tiba di tengah dusun, di pekarangan rumah
kepala dusun yang diterangi oleh beberapa buah lampu gantung besar sehingga keadaan di situ cukup
terang. Mereka melihat belasan orang saudara mereka mengeroyok seorang wanita cantik dan gerakan
wanita itu sungguh membuat mereka terkejut setengah mati karena gerakan itu amat cepatnya seolah-olah
tubuh wanita itu seperti seekor burung terbang saja! Dan sudah ada tiga orang saudara mereka yang roboh
dan merintih kesakitan, tak mampu bangun lagi.
“Tahan...!” bentak seorang di antara lima orang sute dari Su-ok dengan suara nyaring. Dia ini adalah
pimpinan dari lima orang cebol itu, tubuhnya juga kate seperti saudara saudaranya, namun mukanya
penuh brewok, rambutnya juga tebal panjang, tidak seperti yang lain-lain karena sebagian besar dari
orang-orang cebol itu seperti Su-ok, miskin rambut dan banyak yang botak!
Melihat munculnya Su-ok dan lima orang sute-nya, para orang cebol yang sudah kewalahan itu menjadi
girang dan mereka mundur, membiarkan enam orang tokoh jagoan mereka turun tangan. Akan tetapi Suok
yang ingin sekali menyaksikan kehebatan lima orang sute-nya dan yang kini mendapatkan kesempatan
dunia-kangouw.blogspot.com
untuk menguji mereka sudah meloncat ke samping dan memberi isyarat kepada mereka semua untuk
mundur sehingga kini lima orang sute-nya yang mengurung wanita cantik itu.
Dia memperhatikan dan merasa heran karena wanita ini belum pernah dilihatnya, akan tetapi wanita ini
benar-benar amat cantik jelita dan anggun. Sebagai seorang yang bermata tajam dan banyak pengalaman,
dia tahu bahwa wanita ini bukan seorang muda lagi sungguh pun amat cantik dan kelihatan muda, tidak
akan lebih dari dua puluh lima tahun nampaknya, dan jelaslah bahwa wanita ini bukan seorang perawan.
Akan tetapi dia merasa kagum karena tadi dia telah melihat gerakan ginkang yang amat luar biasa, dan
dapat menduga bahwa wanita ini tentu seorang ahli ginkang yang lihai sekali. Selain cantik jelita, juga
wanita itu memakai pakaian yang indah gemerlapan, dari sutera mahal, rambutnya digelung tinggi ke atas
dan dihias dengan taburan permata. Seperti seorang puteri bangsawan saja!
Dugaan Su-ok tidaklah benar, sungguh pun wanita itu memang patut menjadi seorang puteri atau ratu
istana! Dia itu bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, majikan dari Pulau Ular Emas! Tidaklah
mengherankan kalau gerakannya amat cepat luar biasa, karena dia berjuluk Bu-eng-kwi (Setan Tanpa
Bayangan) dan dia telah mewarisi ilmu ginkang yang amat hebat dari Kim Sim Nikouw.
Seperti telah kita ketahui, wanita ini hidup sebagai ratu di Kim-coa-to dan telah pula diceritakan bahwa
selama beberapa bulan lamanya Puteri Bhutan Syanti Dewi tinggal di pulau itu dan menjadi murid wanita
cantik ini dan Syanti Dewi akhirnya melarikan diri karena tidak tahan melihat kebiasaan aneh yang
dianggap mengerikan dan menjijikkan dari gurunya dan juga Maya Dewi, nenek cantik yang memiliki ilmu
mempercantik diri dan membikin wanita awet muda itu. Apa lagi ketika dia pun mulai terancam oleh mereka
itu untuk diajak melakukan perbuatan yang dianggap mengerikan itu, yaitu permainan cinta antara wanita
dengan wanita, maka Syanti Dewi lalu melarikan diri.
Ketika mengetahui bahwa puteri itu melarikan diri, Ouw Yan Hui terkejut bukan main, karena dia sudah
benar-benar jatuh cinta kepada muridnya itu. Dia merasa menyesal telah membikin takut muridnya, dan dia
merasa bahwa kalau dia harus berpisah dari Syanti Dewi, dia tentu akan merasa berduka selalu, maka
wanita ini lalu melakukan pengejaran dan mencari-cari. Karena dia menduga bahwa muridnya itu tentu
kembali ke Bhutan, maka dia pun tidak ragu-ragu melakukan perjalanan jauh sampai ke tapal batas negara
Bhutan dan pada sore hari itu tibalah dia di dusun, di mana gerombolan orang cebol sedang membikin
kekacauan.
Ketika mendengar jerit tangis wanita dari sebuah rumah, Ouw Yan Hui cepat menyerbu rumah itu dan
melihat seorang laki-laki cebol sedang memperkosa seorang wanita, kemarahannya memuncak. Seperti
kita ketahui, Ouw Yan Hui adalah seorang wanita yang membenci pria karena dia pernah dibikin patah hati
oleh pria. Karena inilah maka dia lebih mendekati wanita dan melakukan praktek-praktek perjinahan antara
sesama wanita. Maka, begitu melihat seorang wanita muda menjerit-jerit dan meronta-ronta dalam
terkaman seorang laki-laki cebol yang buas itu, dia segera menerjang maju dan sekali tangkap dan
renggut, dia dapat melepaskan laki-laki cebol itu dari wanita yang diperkosanya, kemudian melemparkan
laki-laki cebol itu keluar.
Sebelum laki-laki itu sempat bangkit, Ouw Yan Hui yang bergerak ringan seperti burung terbang telah
berada di sampingnya dan dengan penuh kebencian wanita ini lalu mengejar laki-laki cebol yang telanjang
bulat itu dengan tendangan-tendangan kakinya. Laki-laki itu berusaha mengelak dan menangkis karena dia
bukanlah orang lemah, namun setiap kali hendak bangkit, dia roboh lagi oleh tendangan-tendangan yang
amat tepat dan amat keras datangnya. Akhirnya, laki-laki itu roboh pingsan setelah muntah darah dan
seluruh tubuhnya penuh luka akibat tendangan-tendangan yang dilakukan dengan penuh kemarahan itu.
Tentu saja peristiwa ini menimbulkan kegemparan besar. Dua orang cebol yang mendengar suara gaduh
itu memburu keluar dan dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati mereka melihat seorang wanita
cantik sedang menyiksa seorang kawan mereka dengan tendangan-tendangan keras yang membuat
kawan mereka terguling guling tanpa mampu melawan sama sekali, bahkan kawan mereka itu terkulai
seperti mati.
“Dari mana datangnya siluman betina ini?” bentak seorang di antara mereka.
“A-khui, bunuh saja dia!” bentak orang kedua.
Dua orang cebol itu sudah menyerang Ouw Yan Hui dari kanan kiri dan wanita ini maklum bahwa orangorang
cebol di situ ternyata memiliki kepandaian yang hebat. Si cebol yang disiksanya tadi pun amat kuat
sehingga tendangan-tendangannya akhirnya hanya membuat dia pingsan setelah muntah darah, tanda
dunia-kangouw.blogspot.com
bahwa orang itu memiliki tenaga dalam yang kuat. Kini, serangan dua orang cebol ini amat hebat pula, biar
pun mereka itu bertubuh kecil pendek, namun gerakan mereka gesit dan pukulan-pukulan mereka
mengandung kekuatan besar.
Dia cepat mengelak dan begitu dia mengerahkan ginkang-nya, dua orang cebol itu berseru kaget karena
mereka kehilangan bayangan lawan. Selagi mereka bingung, tiba tiba seorang dari mereka memekik keras
dan terpelanting karena tengkuknya telah kena dihantam dengan tangan miring oleh Ouw Yan Hui
sehingga dia terbanting dan pingsan seketika. Orang kedua menubruk, akan tetapi dengan lincahnya Ouw
Yan Hui sudah mengelak dan lenyap lagi saking cepatnya gerakan tubuh wanita ini. Untuk kedua kalinya,
wanita ini merobohkan lawan dengan pukulan dari belakang pada saat lawan bingung mencarinya.
Akan tetapi, kini datanglah belasan orang cebol mengeroyoknya! Ouw Yan Hui terkejut. Tak disangkanya di
tempat itu demikian banyak terdapat orang-orang cebol yang lihai. Dia tidak takut, akan tetapi juga tidak
berani memandang ringan, maka dengan mengandalkan ginkang-nya ia mengelak dan berloncatan ke
sana-sini sambil membalas setiap kali terbuka kesempatan. Dia dikeroyok banyak orang yang lihai, namun
karena menang cepat, dia bahkan berhasil mengobrak-abrik mereka dan mendesak para pengeroyok yang
menjadi kebingungan karena sebentar-sebentar wanita di tengah tengah mereka itu lenyap!
Dan pada saat itulah muncul Su-ok dan lima orang sute-nya. Kini lima orang sute dari Su-ok itu telah
mengepung Ouw Yan Hui. Melihat sikap mereka, Ouw Yan Hui dapat menduga bahwa tentu mereka ini
merupakan pimpinan-pimpinan dari orang-orang cebol itu, maka dia bersikap waspada, melihat betapa lima
orang itu mengambil kedudukan di lima penjuru angin.
Si brewok yang mengepalai Khai-lo-sin Ngo-heng-tin itu menghadapi Ouw Yan Hui, memandang dengan
penuh selidik dan diam-diam kagum akan kecantikan wanita yang telah matang ini, yang selain memiliki
wajah yang cantik dan kulit muka yang halus, juga memiliki bentuk tubuh yang padat menggairahkan di
balik pakaian indah itu.
Dia lalu berkata dengan suara angker, “Siapakah nama Toanio dan mengapa Toanio merobohkan tiga
orang saudara kami?”
Pertanyaan ini biasa dilakukan apa bila dua orang atau dua pihak kang-ouw saling jumpa dan sebelum
memulai pertandingan. Tetapi Ouw Yan Hui tersenyum mengejek karena dia masih marah dan jijik melihat
si cebol memperkosa wanita tadi, maka tentu saja dia tidak sudi berkenalan dengan orang-orang ini.
“Siapakah namaku tidak perlu kalian ketahui dan aku pun tidak butuh mengenal nama kalian. Aku
merobohkan orang bukan tanpa sebab. Si cebol jahanam itu memperkosa wanita, masih baik aku belum
keburu bikin mampus binatang itu! Dan dua orang cebol lain roboh karena mereka menyerangku. Kalian
sekarang mau apa?”
Bukan main marahnya lima orang cebol yang menjadi sute Su-ok itu. Mereka memang tidak ternama, tidak
terkenal di dunia kang-ouw, namun suheng mereka adalah seorang di antara Im-kan Ngo-ok yang menurut
suheng mereka merupakan datuk-datuk kaum sesat paling terkenal di dunia, dan wanita ini sama sekali
tidak memandang mata kepada mereka!
“Perempuan sombong! Hayo lekas kau berlutut minta ampun, kemudian melayani kami berlima sampai
kami puas, baru engkau masih ada harapan untuk hidup terus!” bentak si brewok yang mempunyai watak
paling mata keranjang di antara mereka berlima.
Ouw Yan Hui memang pembenci pria, akan tetapi yang paling dibencinya adalah laki laki mata keranjang
yang suka menghina wanita. Kini mendengar ucapan itu, kedua pipinya yang putih halus itu sudah menjadi
merah sekali, matanya mengeluarkan sinar berkilat dan kedua tangannya dikepal. Tiba-tiba dia
mengeluarkan suara melengking nyaring dan tanpa berkata apa-apa lagi, tubuhnya berkelebat dan dia
sudah menyerang si brewok dengan pukulan maut!
Cepat bukan main gerakan Ouw Yan Hui ini, sampai si brewok menjadi terkejut dan tidak melihat gerakan
wanita itu, tahu-tahu tangan wanita itu sudah menusuk ke arah ulu hatinya. Serangan maut! Si brewok
berteriak kaget dan cepat melempar tubuhnya ke belakang karena hanya itulah satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan diri dari cengkeraman maut itu. Dia melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan dan
empat orang saudaranya sudah menyerbu dan menyerang Ouw Yan Hui sehingga wanita ini tidak mampu
untuk terus mendesak si brewok yang sudah berloncatan bangun kembali dengan muka pucat dan keringat
dingin bercucuran. Nyaris nyawanya melayang dalam gebrakan pertama itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini terjadilah perkelahian yang amat seru. Gerakan Ouw Yan Hui memang cepat bukan main, akan tetapi
kini dia menghadapi lima orang yang bergerak secara teratur dan terlatih baik sehingga seolah-olah dia
menghadapi seorang lawan saja yang memiliki lima pasang tangan dan kaki, yang tentu saja dapat
mengimbangi kecepatannya, bahkan mengatasinya! Betapa pun dia mengerahkan ginkang-nya, namun
karena gerakan lima orang lawan itu seperti otomatis, terarah dan senada, payah juga wanita itu
menghadapi penyerangan yang tiada hentinya, susul-menyusul dan sifatnya berubah-ubah itu.
Memang itulah kehebatan Ngo-heng-tin dari lima orang ini. Selain dapat bekerja sama dengan amat
baiknya, saling membantu dan saling melindungi seperti dikemudikan oleh satu otak saja, juga mereka
menggunakan tenaga yang berubah-ubah sesuai dengan sifat lima unsur (ngo-heng) dan karena mereka
itu rata-rata telah memiliki sinkang yang amat kuat, maka mereka merupakan kesatuan lima tenaga yang
amat hebat! Kalau melawan satu demi satu, jelas bahwa mereka berlima ini bukan tandingan Ouw Yan Hui
yang lihai. Andai kata mau dibuat ukuran, tingkat kepandaian Ouw Yan Hui itu kurang lebih setingkat
dengan kepandaian tiga di antara pengeroyoknya disatukan! Jadi, kalau dia dikeroyok tiga, barulah
seimbang.
Dan andai kata lima orang itu tidak memiliki Khai-lo-sin Ngo-heng-tin yang membuat mereka bergerak
seolah-olah dikendalikan oleh satu otak, kiranya juga tidak mungkin dapat mengalahkan Ouw Yan Hui.
Akan tetapi, lima orang itu bergerak sedemikian rupa sehingga seolah-olah lima orang menjadi satu, dan ini
terlalu kuat bagi Ouw Yan Hui. Dalam mengadu tenaga, lima orang itu selalu menyatukan tenaga sehingga
kembali Ouw Yan kewalahan.
Betapa pun juga, berkat ginkang-nya yang memang luar biasa sekali, berkali-kali wanita itu dapat
menghindarkan diri dari ancaman bahaya dan baru setelah lewat dua ratus jurus, akhirnya kakinya kena
ditendang oleh si brewok, tepat mengenai sambungan lutut dan wanita itu jatuh berlutut dengan satu kaki
dan sebelum dia mampu meloncat, lima orang itu telah menubruknya dan menotoknya, kemudian
menelikungnya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi!
Lima orang itu tertawa dan si brewok berkata gemas, “Hemmm, mari kita kerjakan dia beramai-ramai, kita
berpesta dan biar dia yang liar ini menjadi jinak. Ha-ha-ha, ingin aku melihat sikapnya kalau dia sudah kita
paksa melayani kita berlima!” Empat orang saudaranya pun tertawa-tawa dan mereka hendak menyeret
tubuh Ouw Yan Hui yang sudah tak mampu bergerak itu ke dalam kuil.
“Tahan, Sute!” Tiba-tiba Su-ok berseru dan dia meloncat dekat.
Lima orang sute-nya memandang kepadanya dan si brewok segera tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, engkau
tertarik kepadanya, Suheng? Bagus, dia ini agaknya memang puteri istana yang kau rindukan!”
Akan tetapi Su-ok menggeleng kepala. “Tidak, biar pun dia cukup cantik jelita dan pantas menjadi puteri
istana, namun dia sudah terlalu tua dan dia bukan perawan seperti yang kuidamkan. Tidak, aku minta
kepada kalian agar jangan mengganggunya lebih dulu. Kita pergunakan dia sebagai umpan.”
“Sebagai umpan? Apa maksudmu, Suheng?” Lima orang itu bertanya.
“Orang seperti dia yang demikian cantik dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu tidak datang sendiri.
Biar kita tahan dia di kuil dan biarkan teman-temannya datang agar tidak kepalang kita membasmi
mereka.”
Lima orang cebol itu tidak membantah, apa lagi karena mereka juga telah mempunyai wanita tawanan
mereka yang lebih muda, biar pun tentu saja tidak ada yang mampu menandingi kecantikan Ouw Yan Hui
yang luar biasa itu. Maka mereka menyerahkan wanita itu kepada Su-ok yang mengempitnya dan
membawanya ke kuil, sedangkan para orang cebol lainnya segera merawat teman-teman mereka yang
terluka oleh wanita cantik yang lihai itu.
Lima orang sute dari Su-ok kembali ke kamar masing-masing, sedangkan Su-ok sendiri lalu membawa
Ouw Yan Hui ke dalam kuil, kemudian dia mengikat kedua tangan wanita itu kepada sebuah pilar besar di
bagian belakang kuil, mempergunakan rantai yang amat besar dan kokoh kuat. Jangankan dalam keadaan
lemas tertotok seperti itu, andai kata dalam keadaan sehat sekali pun, tidak mungkin bagi Ouw Yan Hui
untuk dapat melepaskan dirinya dari belenggu. Kedua lengannya ditarik ke belakang, melingkari pilar besar
dan kedua pergelangan tangannya dibelenggu rantai besi yang kokoh kuat. Dan tak jauh dari situ
bersembunyi Su-ok pula yang mengintai dan menunggu kalau kalau ada datang kawan-kawan dari wanita
dunia-kangouw.blogspot.com
cantik ini seperti yang disangkanya. Andai kata Ouw Yan Hui melakukan usaha untuk membebaskan diri
sekali pun, sebelum berhasil tentu telah diketahui oleh Su-ok.
Ouw Yan Hui maklum bahwa dia berada dalam bahaya yang mengerikan. Namun, sebagai seorang wanita
gagah, dia memandang bahaya dan kematian sebagai hal yang biasa saja dalam kehidupan, maka sedikit
pun dia tidak merasa cemas atau takut. Dia menanti datangnya maut dengan mata terbuka, dan melihat
bahwa dia dibelenggu di situ, dia masih melihat harapan untuk dapat lolos. Sebelum maut merenggut
nyawanya, dia tidak akan putus asa, sungguh pun pada saat itu dia maklum bahwa dia sama sekali tidak
berdaya melepaskan diri dan apa yang dapat dilakukannya hanya berdiri tegak dan diam, mencoba untuk
mengumpulkan hawa murni lewat hidungnya untuk berusaha membebaskan totokan yang membuat
tubuhnya lemas itu…..
********************
Kakek itu melangkah satu-satu di daerah tandus itu, tubuhnya yang bongkok nampak semakin bongkok
karena mukanya menunduk, seolah-olah dia meneliti setiap batu yang dilalui kakinya, atau seolah-olah dia
menghitung setiap langkahnya. Keadaan kakek itu sungguh menyedihkan, dan janggallah melihat dia
melakukan perjalanan di tempat yang liar dan sukar ini.
Melihat wajahnya, mudah diduga bahwa kakek ini sudah tua renta, dan keadaan tubuhnya yang tua itu
cacat, punggungnya bongkok dan lengan kirinya buntung sebatas pundak! Pantasnya seorang tua renta
yang cacat seperti itu tinggal di rumah saja, dilayani cucu-cucunya. Akan tetapi, kakek ini berjalan seorang
diri di tempat sunyi itu, melangkah satu-satu dengan tubuh bongkok dan tangan tunggalnya, hanya yang
kanan saja itu memegang sebatang tongkat kayu yang agaknya dipergunakan untuk membantu menopang
tubuhnya yang bongkok. Seorang kakek yang cacat dan lemah.
Kakek lemah? Orang akan kaget dan kecelik kalau tahu siapa adanya kakek ini. Sama sekali bukan kakek
lemah sungguh pun nampaknya demikian, karena kakek ini bukan lain adalah Go-bi Bu Beng Lojin (Kakek
Tanpa Nama Dari Go-bi), yaitu Si Dewa Bongkok! Dewa Bongkok sama sekali bukanlah seorang kakek
lemah, sebaliknya malah. Dia adalah penghuni dari Istana Gurun Pasir, dan kesaktiannya sedemikian luar
biasa sehingga dia dijuluki dewa!
Namanya amat terkenal, dan di daerah utara yang liar itu tidak ada seorang pun raja suku bangsa liar yang
berani mengganggunya. Sedangkan di selatan, namanya terkenal sebagai seorang tokoh dongeng karena
memang tidak sembarang orang dapat mengunjungi istana di gurun pasir itu. Namanya sejajar dengan
nama majikan Pulau Es yang juga dikenal sebagai seorang tokoh dongeng. Akan tetapi, nama Go-bi Bu
Beng Lojin masih jauh lebih dulu dikenal dalam dongeng dari pada nama majikan Pulau Es, karena
memang Dewa Bongkok ini jauh lebih tua.
Tentu orang akan merasa heran mengapa kakek sakti yang dikenal sebagai tokoh dongeng dan tidak
pernah menampakkan diri di dunia ramai itu sekarang melakukan perjalanan seorang diri? Apa lagi orang
lain, bahkan kakek itu sendiri pun merasa heran! Hal ini terbukti dari gerutunya di sepanjang perjalanan di
pagi hari itu.
“Hemmm, mana mungkin manusia hidup sendiri? Mana mungkin melepaskan diri dari segala sesuatu di
dunia ini? Membebaskan diri dari pikirannya sendiri saja sudah merupakan hal yang amat sukar, apa lagi
membebaskan diri dari segala sesuatu yang nampak. Uhhhhh, betapa lemahnya manusia... hemmm,
sudah setua ini, setelah puluhan tahun tidak lagi menaruh khawatir sedikit pun juga atas diri sendiri lahir
batin, sekarang mengkhawatirkan orang lain. Huhhh... memang manusia tidak mungkin bisa hidup
sendirian saja. Manusia adalah bagian dari dunia dan kehidupan ini, tak mungkin melarikan diri...“
Tidaklah aneh kalau kakek itu menggerutu. Selama puluhan tahun lamanya dia hidup di Istana Gurun
Pasir, menjauhi kehidupan ramai dan tidak pernah memikirkan tentang persoalan hidup lahiriah. Akan
tetapi, semua itu berubah setelah dia mempunyai cucu! Yaitu, setelah muridnya, murid tunggal yang
bernama Kao Kok Cu, yang berjuluk Naga Sakti Gurun Pasir, bersama isterinya, mempunyai seorang
anak.
Anak dari muridnya itulah yang membuat kakek ini merasa terikat! Timbul rasa kasih sayang yang tidak
sewajarnya dan dia merasa lemah. Apa lagi ketika cucunya itu yang diberi nama Kao Cin Liong, diculik
orang. Dia ikut merasa khawatir. Sudah berbulan bulan muridnya pergi meninggalkan Istana Gurun Pasir
untuk mencari Cin Liong yang lenyap diculik orang dan sampai sekarang tiada kabar beritanya. Akhirnya
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak dapat kakek ini menahan diri lagi dan pergilah dia meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk pergi
menyusul dan ikut mencari cucunya yang hilang!
Hanya kebetulan saja pada saat itu kalau ada orang melihat Dewa Bongkok berjalan seperti seorang kakek
tua renta yang tapa daksa, berjalan melangkah satu-satu dengan lambat sekali. Akan tetapi ada kalanya
dia berlari seperti terbang cepatnya sehingga tidak lagi dapat diikuti oleh pandang mata!
Memang bukan merupakan hal yang wajar kalau manusia ingin mengasingkan diri dan hidup sendirian saja
di tempat sunyi, di puncak gunung, di dalam goa, menjauhi manusia lain dan tidak mempedulikan hal-hal
yang terjadi di dunia! Ini hanya merupakan suatu pelarian saja, suatu pemaksaan diri yang berbahaya dan
juga tidak ada gunanya sama sekali.
Kita tidak mungkin mengatasi dan menanggulangi sesuatu dengan jalan melarikan diri dari sesuatu itu.
Memang kehidupan ini kejam, kadang-kadang membosankan, dan lebih banyak deritanya dari pada
sukanya. Namun, kita tidak mungkin dapat mengakhiri semua itu dengan jalan melarikan diri ke tempat
sunyi! Pelarian diri itu bukan lain hanyalah suatu bentuk pengejaran kesenangan juga!
Mungkin kalimat terakhir itu mengejutkan dan akan ditentang, maka sebaiknya mari kita membuka mata
dan menyelidiki hal itu dengan seksama, jauh dari pendapat pribadi atau golongan, melainkan memandang
keadaannya sebagaimana adanya. Kalau kita mengatakan bahwa kita pergi ‘bertapa’ ke gunung atau ke
goa karena kita sudah tidak menginginkan apa-apa di dunia ini, bahwa kita sudah terbebas dari nafsu
keinginan, benarkah perkataan kita itu?
Kalau memang kita sudah tidak menghendaki apa-apa, lalu mengapa kita bertapa di tempat sunyi?
Bukankah pergi bertapa ke tempat sunyi, menjauhkan diri dari segala keramaian dan manusia lain, itu
sudah merupakan suatu tindakan yang menunjukkan bahwa kita MENGHENDAKI SESUATU? Bahkan kita
bosan dengan dunia ramai dan kita INGIN TENTERAM? Bukankah ini merupakan suatu keinginan pula,
keinginan untuk ketenteraman diri pribadi, untuk kedamaian diri pribadi, yang bukan lain hanyalah
merupakan wajah lain dari pada keinginan untuk KESENANGAN diri pribadi? Bukankah karena kita
membayangkan bahwa tempat sepi, jauh dari manusia lain, itu akan menjauhkan kita dari kepusingan, jadi
berarti mendekatkan kita kepada ketenteraman dan kedamaian yang kita ANGGAP MENYENANGKAN
maka kita melakukan pertapaan itu?
Karena pada hakekatnya hanya merupakan pengejaran kesenangan belaka, biar pun diberi nama yang
lebih agung seperti kesempurnaan, kedamaian, ketenteraman dan sebagainya, maka pada akhirnya, para
pengejar kedamaian melalui tempat-tempat sunyi itu akan KECEWA! Di sana pun, di tempat sunyi, di
puncak gunung, di dalam goa, di tepi pantai, mereka akan ditelan kehampaan!
Mengapa demikian? Karena jelas bahwa SEGALA PENGEJARAN KEINGINAN itu akan menuntun kita
kepada KEHAMPAAN dan kekecewaan, kepada perbandingan dan selalu akan membuka mata kita bahwa
apa yang kita bayang-bayangkan selagi mencari itu ternyata tidaklah seindah seperti yang dibayangkan!
Akan timbul kebosanan, akan timbul keinginan untuk mencari dengan cara lain, yang dianggap lebih
unggul, lebih agung, lebih mendalam dan seterusnya.
Mempelajari tentang hidup tidaklah mungkin tanpa kita terjun ke dalamnya! Dan hidup adalah hubungan
antar manusia, hubungan antara manusia dengan benda-benda, antara manusia dengan pikiranpikirannya.
Segala persoalan yang kita namakan mengandung suka atau duka, bukanlah keluar dari si
peristiwa itu sendiri, melainkan timbul dari pikiran. Pikiranlah yang membanding-bandingkan, pikiranlah
yang menilai, lalu pikiran yang mengambil kesimpulan, memutuskan bahwa peristiwa ini merugikan lahir
atau batin, karenanya mendatangkan duka, dan peristiwa itu menguntungkan lahir atau batin, karena
mendatangkan suka.
Karena semua kesengsaraan timbul dari pikiran kita sendiri, maka benarkah itu kalau kita mencoba
membebaskan diri dari keadaan lahiriah dengan jalan mengasingkan diri? Bukankah batin kita yang
menjadi sumber segalanya? Selama hati dan pikiran (yaitu batin) kita masih sibuk dengan seribu satu
macam persoalan, biar kita sembunyi di puncak gunung tertinggi sekali pun, kita masih akan mempunyai
persoalan-persoalan, baik yang menyenangkan mau pun yang menyedihkan. Sebaliknya, kalau kita sudah
bebas dari pikiran yang menjadi sumber suka-duka, biar pun kita berada di tengah tengah keramaian
dunia, kita akan mengalami keadaan hidup yang lain sama sekali.
Dewa Bongkok adalah seorang pertapa semenjak dia masih muda. Dia sudah terbiasa dengan tempat
sunyi. Akan tetapi, begitu dia mempunyai seorang cucu, demi sang cucu inilah maka dia kini meninggalkan
dunia-kangouw.blogspot.com
tempat pertapaannya dan berkelana di dunia ramai untuk mencari cucunya. Dan kegelisahan mulai
menggerogoti hatinya yang sudah tua.
Manusia memang amat lemah, selalu mengikatkan diri dengan apa yang disenanginya. Kita mengingatkan
diri dengan isteri, anak, keluarga, harta benda, kedudukan, serta kepandaian dan sebagainya. Karena
mengikatkan diri, karena kita merasa MEMILIKI secara batiniah, maka yang kita senangi dan miliki itu
melekat dalam batin, berakar. Dan karena berakar inilah maka setiap kali yang melekat itu diambil, baik
melalui kematian, kehilangan atau pertentangan, batin kita menjadi sakit, dicabutnya sesuatu yang sudah
berakar dalam batin kita itu mendatangkan luka berdarah!
Dapatkah kita hidup tanpa ikatan apa-apa? Dapatkah kita mempunyai, baik keluarga, harta benda dan
sebagainya, dalam arti kata mempunyai secara lahiriah saja, tanpa memilikinya secara batiniah? Bukan
berarti bahwa kita lalu menjadi tak acuh, bukan berarti kita harus tidak peduli. Sebaliknya malah. Cinta
kasih bukan lagi cinta kasih kalau didasari nafsu ingin memiliki, ingin menguasai. Cinta kasih adalah
kebebasan!
Dewa Bongkok melangkah satu-satu sambil termenung. Akan tetapi, ilmu kepandaian yang amat tinggi
sudah mendarah daging pada diri kakek ini, bahkan dia telah memiliki kepekaan yang luar biasa, semacam
indera ke enam yang dimiliki oleh setiap orang ahli apa pun di bidang masing-masing sehingga dia seperti
melihat atau mendengar segala ketidak wajaran yang terjadi di sekelilingnya.
Memang setiap orang yang sudah ahli memiliki indera ke enam ini. Bagi seorang ahli silat tingkat tinggi,
indera ke enam ini berupa kewaspadaan terhadap segala macam bahaya yang mengancam, dari mana
pun datangnya, sehingga indera ke enam ini bisa menjaganya di waktu dia tidur sekali pun! Bagi seorang
pelukis, mungkin dengan indera ke enam itu dia melihat bentuk-bentuk, garis-garis, sifat-sifat dan
perpaduan-perpaduan yang tidak dapat dilihat oleh orang awam, yang lalu dituangkannya di atas kanvas.
Bagi seorang pengarang, mungkin dengan indera ke enam itu dia dapat menangkap segala sesuatu
tentang lika-liku kehidupan manusia dan alam yang kemudian dituangkannya dalam karangannya.
Tiba-tiba Dewa Bongkok nampak seperti orang terkejut, mukanya yang tadi menunduk itu digerakkan
menoleh ke kiri dan sekelebatan nampaklah olehnya bayangan orang amat cepatnya. Dan pada saat itu
juga, Dewa Bongkok menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melesat seperti menghilang saja!
Siapakah bayangan orang yang berkelebat cepat itu? Dia ini juga seorang kakek, dan sungguh pun tidak
setua Dewa Bongkok, namun usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun. Gerakannya gesit seperti
terbang. Kakek ini berwajah menyeramkan, kurus seperti tengkorak, mukanya putih seperti kapur,
tubuhnya tinggi kurus. Biar pun kini dia tidak lagi memakai pakaian hitam karena dia sedang menjadi
buronan pemerintah seperti yang lain, namun orang-orang kang-ouw tentu akan mengenal siapa adanya
kakek ini yang bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi!
Dialah ketua Huang-ho Kui-liong-pang di lembah Huang-ho, sarangnya yang kemudian dijadikan benteng
para pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Liong Bian Cu itu. Setelah benteng itu dihancurkan oleh
pihak pemerintah, dan semua tokohnya melarikan diri, Hek-hwa Lo-kwi juga ikut melarikan diri dan dia
berganti pakaiannya yang biasanya berwarna hitam karena tidak ingin dikenal oleh orang-orang
pemerintah yang dia tahu disebar untuk mencarinya.
Hek-hwa Lo-kwi berada di tempat itu, karena dia sudah berjanji dengan Hek-tiauw Lo-mo untuk saling
bertemu di tempat itu untuk kemudian bersama-sama pergi ke gurun pasir. Mereka telah menerima
undangan Twa-ok untuk membantu Im-kan Ngo-ok menghadapi musuh besar mereka, yaitu Pendekar
Super Sakti. Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa di tempat itu, dia akan bertemu
dengan Dewa Bongkok!
Seperti pernah diceritakan di bagian depan, Hek-hwa Lo-kwi ini dahulunya adalah seorang pelayan yang
terkasih dari Dewa Bongkok, dan ketika itu dia bernama Thio Sek. Karena terbujuk oleh Hek-tiauw Lo-mo,
juga karena dia ingin sekali memperoleh kitab rahasia dari majikannya yang akan menambah tingkat
kepadaiannya, Thio Sek ini lalu melarikan diri bersama Hek-tiauw Lo-mo, setelah mereka berdua berhasil
mencuri sebuah kitab yang akhirnya mereka perebutkan dan seorang memperoleh separuh.
Inilah sebabnya maka begitu dia melihat Dewa Bongkok, dia menjadi terkejut setengah mati. Walau pun
kakek bongkok itu berada di tempat jauh, akan tetapi melihat bekas majikannya itu, Hek-hwa Lo-kwi cepat
melarikan diri. Kalau ada manusia di dunia ini yang ditakutinya, dan padahal dia tidak takut kepada setan
sekali pun, maka manusia itu adalah Dewa Bongkok.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hatinya agak lega ketika dia melarikan diri jauh sekali dan tiba di tepi sebuah hutan. Dia menghentikan
larinya, menarik napas panjang dan menghapus keringat dingin yang membasahi muka dan lehernya.
“Mau apa iblis tua itu di sini...?” tanyanya pada diri sendiri. Untung dia belum ketahuan dan dia dapat cepat
melarikan diri! Kalau sampai berjumpa, hemmm... dia bergidik ketakutan.
Hutan di depan ialah tempat di mana dia telah berjanji untuk bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo. Maka dia
mengibaskan lengan bajunya dan mulai melangkah maju ke depan. Tiba-tiba dia berhenti dan mukanya
yang putih seperti kapur itu menjadi makin pucat sampai kehijauan, matanya terbelalak memandang ke
depan dan kedua kakinya menggigil. Dewa Bongkok sudah berdiri di depannya, agak jauh di depannya,
seolah olah menantinya dengan muka menunduk! Bagaimana mungkin ini? Bukankah tadi dia telah lari
secepatnya dan jelas meninggalkan kakek itu sebelum kakek itu sempat melihatnya?
Akan tetapi dia tidak mau membuang waktu dengan berheran-heran, cepat dia sudah meloncat ke
belakang, jauh, dan lari dari kakek yang mendatangkan rasa takut hebat dalam hatinya itu. Akan tetapi,
begitu dia turun, dia melihat Dewa Bongkok sudah menanti di depannya! Dia cepat menoleh dan ternyata
kakek yang tadi berdiri di tepi hutan sudah tidak ada, dan entah kapan kakek itu bergerak! Hek-hwa Lo-kwi
makin ketakutan dan kembali dia membalikkan tubuh dan lari ke dalam hutan. Akan tetapi, kembali dia
melihat Dewa Bongkok bersandar pada tongkatnya di dalam hutan, hanya kurang lebih dua puluh meter di
depannya, tanpa memandangnya dan hanya menundukkan muka!
Mau rasanya Hek-hwa Lo-kwi menjerit dan menangis ketakutan. Tubuhnya sudah penuh dengan peluh.
Dia akan lebih suka berjumpa dengan raja setan sendiri dari pada dengan bekas majikannya ini! Dengan
menahan napas dia lalu meloncat ke atas pohon, dan berloncatan dari pohon ke pohon. Akan tetapi,
setelah melewati lima batang pohon, terpaksa dia berhenti lagi karena di pohon sebelah depan telah
menanti Dewa Bongkok yang duduk di atas cabang pohon di depannya itu.
Hek-hwa Lo-kwi menjadi makin panik, dan pada saat itu dia sempat melihat bayangan rekannya, Hek-tiauw
Lo-mo, bersembunyi di balik sebatang pohon. Melihat ini, timbul harapannya. Ada kawan di sini dan hal ini
agak membesarkan hatinya. Dia cepat melayang turun ke arah temannya itu. Akan tetapi baru saja kakinya
menyentuh bumi di dekat pohon di mana Hek-tiauw Lo-mo bersembunyi, dia melihat bayangan berkelebat
dan tahu-tahu Dewa Bongkok sudah berdiri tepat di depannya.
“Thio Sek, apakah engkau masih hendak lari lagi? Tiba-tiba Dewa Bongkok menegur dengan suara halus
namun mengandung nada kereng yang membuat jantung Hek-hwa Lo-kwi tergetar hebat. Kedua kakinya
menjadi lemas dan manusia iblis yang biasanya amat ditakuti orang itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki Dewa Bongkok!
“Loya... ampunkan hamba...,“ Hek-hwa Lo-kwi berkata, suaranya gemetar, tubuhnya menggigil. Memang
sungguh aneh sekali kalau ada orang kang-ouw melihat keadaan manusia iblis ini. Seperti tidak masuk
akal kalau orang seperti Hek-hwa Lo-kwi masih bisa ketakutan seperti itu!
Dewa Bongkok tersenyum dan biar pun wajah yang tua itu membayangkan kelembutan, namun sinar
matanya yang mencorong seperti mata naga sakti itu sungguh penuh wibawa dan menyeramkan.
“Thio Sek, tak perlu bicara tentang pengampunan. Di mana adanya kitab yang kau curi itu?” terdengar
Dewa Bongkok berkata dengar suara penuh teguran.
“Hamba... hamba... membagi dua kitab itu dengan Hek-tiauw Lo-mo...“
“Hemmm, lalu di mana sekarang kitab itu?”
“Bagian hamba... sudah hamba bakar karena hamba khawatir kalau sampai terjatuh ke tangan orang lain.
Sedangkan bagian yang ada pada Hek-tiauw Lo-mo... hamba tidak tahu...“
Hek-hwa Lo-kwi mengangkat mukanya dan dia melihat betapa Hek-tiauw Lo-mo yang bersembunyi di balik
batang pohon itu memberi semacam isyarat kepadanya. Dia dapat menangkap isyarat itu. Hek-tiauw Lomo
mengajak dia menyerang Dewa Bongkok secara tiba-tiba dan bersama-sama pula. Jantungnya
berdebar dan memang itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Harap Loya sudi mengampuni hamba... hamba mengaku salah... hamba telah mata gelap karena ingin
memiliki kitab pelajaran yang tinggi...”
Dewa Bongkok adalah seorang manusia yang waspada, maka dia dapat melihat pula sikap tidak wajar dari
bekas pelayannya itu, seperti ada sesuatu yang disembunyikan, maka dia membentak, “Hayo kau
ceritakan semua apa yang akan kau lakukan dan mengapa pula kau berada di sini! Hukumanmu mencuri
kitab itu tergantung dari kejujuranmu dalam menjawab pertanyaanku ini.”
Suara kakek bongkok itu angker dan sungguh menggetarkan perasaan Hek-hwa Lo-kwi yang memang
sudah merasa jeri sekali. Dia merangkak maju lebih dekat, kemudian membenturkan dahinya di atas tanah.
Perbuatan ini seolah-olah membuktikan bahwa dia benar-benar menyesal dan minta ampun, padahal dia
melakukannya untuk dapat lebih mendekati kakek bongkok itu.
“Hamba... hamba memenuhi undangan Im-kan Ngo-ok...“ Dia berhenti, terkejut karena dalam rasa takutnya
dia sampai membuka rahasia rencana Im-kan Ngo-ok.
Akan tetapi dia sudah terlanjur bicara dan apa lagi mengingat akan isyarat Hek-tiauw Lo-mo tadi. Bukankah
semua ini hanya untuk memancing perhatian Dewa Bongkok agar lebih mudah bagi mereka berdua untuk
melancarkan serangan mendadak?
Dan Dewa Bongkok memang tertarik saat mendengar disebutnya nama Im-kan Ngo-ok itu. “Im-kan Ngo-ok
mengundangmu? Ada perlu apakah?”
“Im-kan Ngo-ok mengadakan perjanjian dengan Pendekar Super Sakti untuk bertemu dan kemudian
mengadu kepandaian di gurun pasir yang terletak di daratan Gunung Chang-pai-san. Im-kan Ngo-ok minta
bantuan hamba untuk menghadapi lawan tangguh itu...“
Sekali ini Dewa Bongkok benar-benar terkejut. “Hemmm, kapankah diadakannya pertemuan itu?”
“Pada bulan purnama bulan depan...”
“Dan kau bermaksud membantu mereka menghadapi Pendekar Super Sakti?” bentak Dewa Bongkok.
Pada saat Dewa Bongkok membentak ini, Hek-tiauw Lo-mo dengan langkah hati-hati telah keluar dari balik
batang pohon dan mendekati kakek bongkok itu. Betapa pun tinggi kepandaian seseorang, dan betapa pun
tajam perasaannya, namun seorang manusia tidak mampu membagi-bagi kesibukan batinnya. Selagi dia
bicara dengan marah, tentu saja kewaspadaan Dewa Bongkok berkurang, semua perhatian ditujukan
kepada bekas pelayannya, dan juga ketajaman pendengarannya penuh oleh suara dari kata-katanya
sendiri sehingga dia tidak tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang.
Hek-hwa Lo-kwi melihat ini dan dia mengangkat kedua tangannya menyoja, berkata dengan suara
menyesal, “Ampunkan hamba, Loya... hamba sebetulnya tidak berani akan tetapi...“
Dan pada saat itu, diam-diam Hek-hwa Lo-kwi sedang mengumpulkan tenaganya untuk mengerahkan
ilmunya yang dahsyat, yaitu Pek-hiat-hoat-lek! Kemudian, kedua tangan yang menyoja itu secepat kilat
meluncur ke atas dan menghantam ke arah dada Dewa Bongkok! Pada saat yang sama, Hek-tiauw Lo-mo
juga sudah menggerakkan tangan kanannya, dengan telapak tangan terbuka dia lantas melancarkan
hantaman dengan pengerahan tenaga Hek-coa-tok-ciang.
“Blukkk! Desss...!”
Dua pukulan itu dengan tepatnya mengenai dada dan punggung Dewa Bongkok yang tidak sempat
mengelak lagi karena datangnya pukulan dari depan dan belakang itu sama sekali tak disangkanya
sehingga kakek tua renta ini hanya mampu mengerahkan sinkang-nya untuk menerima kedua pukulan itu.
Akan tetapi, demikian hebatnya tenaga sinkang dari penghuni Istana Gurun Pasir ini sehingga begitu kedua
pukulan itu mengenai punggung dan dadanya, tubuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi terpental
mundur, terjengkang dan mereka tewas dalam keadaan mengerikan, mata mereka membalik dan dari
semua lubang di telinga, mata, hidung dan mulut keluar darah! Ternyata bahwa pukulan mereka itu
terbentur kepada hawa sinkang amat kuat sehingga tenaga mereka terpental, membalik kemudian
menghantam mereka sendiri hingga mengakibatkan mereka tewas seketika!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dewa Bongkok masih kelihatan berdiri tegak di tempat yang tadi, sama sekali tidak bergerak seolah-olah
dua pukulan itu tidak terasa olehnya. Akan tetapi, kalau orang melihat mukanya, akan tahulah dia bahwa
Dewa Bongkok menderita luka hebat. Muka yang tua itu pucat sekali dan di ujung kanan mulutnya nampak
darah mengalir bertetes tetes.
Ternyata kakek sakti ini telah muntah darah! Pukulan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang
dilakukan dari jarak dekat itu terlampau dahsyat dan tidak terduga datangnya. Kalau bukan Dewa Bongkok
yang terkena hantaman seperti itu, betapa pun lihainya, tentu akan tewas seketika.
Setelah berdiri sejenak seperti arca dengan kedua mata terpejam, mengumpulkan hawa murni untuk
memperkuat diri, akhirnya Dewa Bongkok membuka kedua matanya, menarik napas panjang dan menoleh
ke arah mayat dua orang itu. Dengan gerakan perlahan dan menahan nyeri pada dadanya, kakek ini lalu
mengumpulkan dahan-dahan yang cukup banyak, meletakkan dua buah mayat itu di atas dahan-dahan
dan menutupinya dengan banyak dahan dan daun kering, kemudian membakarnya. Dia maklum bahwa
ranting-ranting itu cukup banyak dan akan dapat membakar dua jenazah itu sampai habis. Setelah
memandang sejenak, dia lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi, jalannya agak tersaruk-saruk
dibantu oleh tongkatnya…..
********************
Luka yang diderita oleh Go-bi Bu Beng Lojin atau Dewa Bongkok memang amat parah. Apa lagi ditambah
dengan usianya yang sudah amat tua sehingga tentu saja daya tahan tubuh sudah tidak begitu kuat lagi,
maka akibatnya dua pukulan dahsyat itu membuat kakek ini benar-benar menderita hebat.
Setelah berjalan perlahan-lahan sampai setengah hari meninggalkan hutan itu dan tiba di pegunungan
yang penuh batu-batu dan sukar dijalani, kakek ini merasa tidak dapat menahan lagi dan duduklah dia
bersila di atas batu besar untuk menghimpun kekuatan dan mengumpulkan hawa murni sebanyaknya guna
mengobati luka yang dideritanya.
Dengan merasakan keadaan lukanya, kakek ini maklum bahwa sedikitnya dia harus beristirahat satu bulan
untuk dapat memulihkan kembali kekuatannya, dan paling tidak selama tiga hari tiga malam dia harus
duduk bersemedhi untuk menyelamatkan nyawanya. Dengan penghimpunan hawa murni selama tiga hari
tiga malam terus menerus, barulah ada harapan luka di dalam dadanya itu dapat disembuhkan sehingga
dia hanya tinggal menanti pulihnya kekuatannya saja. Kebetulan sekali tempat itu amat baik, sunyi dan
bersih, hawanya murni sehingga tepat untuk dipakai menjadi tempat bersemedhi.
Dua hari dua malam sudah kakek ini duduk bersila di atas batu tanpa pernah bergerak. Dia seolah-olah
sudah mati, atau sudah berubah menjadi arca batu, menjadi satu dengan batu besar yang didudukinya.
Hanya ujung pakaiannya saja, jenggotnya atau sedikit rambut di sekeliling kepalanya yang kadang-kadang
bergerak kalau ada angin kencang bertiup.
Pada hari ketiga itu, Dewa Bongkok sudah merasa betapa luka-luka di dalam dadanya telah banyak
mendingan. Rasa nyeri di bagian kiri yang tadinya terasa paling hebat telah lenyap dan tinggal sedikit rasa
nyeri di bagian kanan. Dalam sehari semalam ini tentu lukanya ini pun akan lenyap dan dia tinggal
beristirahat saja untuk memulihkan kekuatannya selama sedikitnya sebulan.
Akan tetapi, pagi hari itu terjadi hal di luar perhitungan kakek sakti ini. Ketika dia masih tenggelam ke dalam
semedhi, tiba-tiba muncul seorang wanita cantik yang memiliki gerakan ringan dan wanita ini telah sejak
tadi memperhatikan Dewa Bongkok yang sedang bersemedhi. Wanita ini bukan lain adalah Mauw Siauw
Mo-li Lauw Hong Kui, Siluman Kucing yang cabul dan lihai itu!
Seperti juga suheng-nya, yaitu Hek-tiauw Lo-mo, dia pun telah menerima undangan dari Im-kan Ngo-ok
untuk membantu mereka menghadapi Pendekar Super Sakti dan dia pun berjanji dengan suheng-nya
untuk bertemu di dalam hutan itu. Akan tetapi, dasar Siluman Kucing ini tidak pernah dapat sembuh dari
penyakitnya, yaitu gila laki-laki, di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang pemuda tampan yang
amat menarik hatinya. Dia lalu merayu pemuda ini dan memuaskan nafsunya sehingga dia lupa akan
janjinya dan setelah dia, seperti biasanya, merasa bosan dan meninggalkan pemuda yang telah
dibunuhnya pula itu, dia tiba di dalam hutan yang dijanjikan dalam keadaan terlambat dua hari!
Dan di dalam hutan itu dia menemukan dua jenazah yang sudah menjadi abu, tinggal beberapa potong
tulang saja yang tidak sempat terbakar habis. Dan di situ dia menemukan senjata-senjata dari suheng-nya,
di antara abu mayat dan arang. Tahulah dia bahwa suheng-nya telah tewas dan telah dibakar menjadi abu,
dunia-kangouw.blogspot.com
bersama seorang lain lagi yang diduganya tentu Hek-hwa Lo-kwi karena suheng-nya berjanji akan bertemu
dengannya di hutan itu bersama Hek-hwa Lo-kwi.
Siluman Kucing merasa kaget dan juga terheran-heran. Siapakah orangnya yang demikian lihainya,
mampu membunuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi? Dia bergidik, dan juga penasaran. Betapa pun
juga, Hek-tiauw Lo-mo adalah suheng-nya, dan setelah orang itu tewas, dia teringat akan hubungan
mereka antara kakak dan adik seperguruan, maka timbul rasa penasaran dan marah dalam hatinya
terhadap pembunuh suheng-nya.
Setelah mencari-cari di sekitar hutan itu, akhirnya dia menemukan Dewa Bongkok yang tengah bersemedhi
seorang diri di atas batu besar! Melihat kakek ini, Siluman Kucing memandang dari jauh penuh perhatian.
Dia tidak mengenal kakek ini, akan tetapi sebagai seorang yang berkepandaian tinggi dia dapat menduga
bahwa kakek itu tengah duduk bersemedhi dan melihat pernapasannya yang teratur dan panjang-panjang,
dia pun dapat menduga bahwa kakek itu sedang menghimpun hawa murni. Orang yang melakukan hal
seperti itu hanyalah orang yang sedang mengobati luka di dalam tubuhnya.
Mengingat bahwa di dalam hutan tak jauh dari tempat ini suheng-nya dan Hek-hwa Lo-kwi tewas dan
kakek aneh ini duduk bersemedhi mengobati luka dalam mudahlah bagi Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui
untuk menarik kesimpulan. Sudah hampir boleh dipastikan bahwa suheng-nya dan Hek-hwa lo-kwi tentu
telah bertanding melawan kakek ini dengan akibat tewasnya suheng-nya dan Hek-hwa Lo-kwi, dan kakek
ini pun menderita luka parah dalam pertandingan itu! Maka mulailah sepasang mata yang genit itu
mengeluarkan sinar berapi. Inilah orangnya yang telah membunuh suheng-nya!
Akan tetapi, Lauw Hong Kui bukanlah seorang yang bodoh. Sebaliknya malah, dia amat cerdik. Orang
yang sudah mampu menewaskan suheng-nya dan Hek-hwa Lo-kwi, tentu bukan orang sembarangan dan
memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari padanya. Tetapi sebaliknya, betapa pun saktinya
orang ini, kalau sedang menderita luka dalam yang parah, tentu dia akan mampu merobohkannya tanpa
banyak kesukaran.
Oleh karena itu, dia bersikap hati-hati dan tidak menurunkan nafsu amarah untuk langsung menyerang
kakek yang duduk diam seperti arca itu.
“Locianpwe yang terhormat, kalau boleh saya bertanya, siapakah nama Locianpwe?” Siluman Kucing
bertanya sambil menjura ke arah kakek tua renta yang duduk bersila dengan kedua mata terpejam itu.
Tentu saja kehadiran wanita itu sudah diketahui oleh Dewa Bongkok. Akan tetapi mendengar pertanyaan
itu, Dewa Bongkok sama sekali tidak mau menjawab, bergerak pun tidak. Dia tidak pernah mau
memperkenalkan diri kepada siapa pun, apa lagi kepada seorang wanita yang gerak-geriknya penuh
kecabulan dan kejahatan itu. Maka dia diam saja, dan juga dia memang tidak ingin berurusan dengan
siapa pun di saat itu.
Mauw Siauw Mo-li mengerutkan alisnya. Kakek itu sama sekali tidak mau menjawab, dan dia menduga
bahwa kakek ini tentu seorang tokoh berilmu tinggi yang selama ini menyembunyikan diri. Akan tetapi, dia
cerdik sekali dan dia tahu bagaimana caranya untuk memaksa kakek itu membuka suara! Dia tahu bahwa
kelemahan dari pada locianpwe adalah keangkuhan! Kalau sedikit disentuh keangkuhannya, para
Locianpwe biasanya lalu melakukan tanggapan.
“Locianpwe, di dalam hutan saya melihat Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi telah tewas terbunuh
orang. Siapakah yang telah membunuh mereka?”
Kembali tidak ada jawaban dari kakek itu. Dan suara Mauw Siauw Mo-li yang sengaja dikeluarkan dengan
pengerahan khikang itu bergema di dalam hutan di bawah lereng itu. Setelah gema itu mengaung, sunyi
kembali keadaan di situ.
Siluman Kucing mengerutkan alisnya dan mencari akal. “Saya tadinya menduga bahwa Locianpwe yang
membunuh mereka, akan tetapi melihat Locianpwe diam saja, saya menjadi ragu-ragu. Seorang seperti
Locianpwe, kalau melakukan sesuatu, tentu berani mengaku dan mempertanggung jawabkannya, berbeda
dengan para siauw-jin (orang hina) yang berwatak pengecut dan tidak berani mengakui perbuatannya!”
Memang cerdik sekali Siluman Kucing. Dewa Bongkok bukan termasuk tokoh yang suka mengangkat diri
atau berwatak angkuh, sebaliknya malah dia selalu menyembunyikan dirinya. Akan tetapi ucapan wanita itu
tentu saja menggugah watak gagah yang selalu di junjung tinggi oleh semua kaum pendekar di dunia kangdunia-
kangouw.blogspot.com
ouw. Lebih baik mati dari pada disebut pengecut hina! Seorang pendekar tentu akan selalu berani
mempertanggung jawabkan semua perbuatannya dan berani menghadapi semua akibat perbuatannya!
Maka, mendengar ucapan itu, sepasang mata itu terbuka memandang ke arah Mauw Siauw Mo-li.
“Ihhhhh...!” Mauw Siauw Mo-li undur dua langkah. Dia terkejut dan merasa ngeri melihat betapa sepasang
mata itu mencorong dan seolah-olah mengeluarkan sinar kilat yang menyambar ke arahnya. Belum pernah
dia melihat mata yang mencorong seperti itu, seperti bukan mata manusia!
“Aku tidak membunuh mereka, adalah mereka yang memukulku hingga mereka tewas karena tenaga
mereka sendiri!” Setelah berkata demikian, Dewa Bongkok kembali memejamkan matanya dan tidak mau
berkata apa-apa lagi. Baginya pengakuan ini sudah cukup dan dia tidak mau membicarakan hal itu dengan
wanita ini.
Mendengar ucapan itu, tahulah kini Siluman Kucing bahwa dugaannya tidak keliru. Kakek ini telah
bertanding melawan suheng-nya dan Hek-hwa Lo-kwi sehingga kedua orang itu tewas dan kakek ini sendiri
mengalami luka parah. Dalam keadaan terluka parah dan sedang mengobati lukanya itu, tentu kakek yang
amat sakti ini berkurang banyak kelihaiannya. Namun Mauw Siauw Mo-li tetap bersikap hati-hati dan tidak
mau ceroboh yang akan mengakibatkan kerugian bagi dirinya sendiri. Dia tidak mau langsung menyerang
kakek itu.
“Mengapa Locianpwe memandang rendah sekali kepada saya? Sebaiknya Locianpwe duduk di atas tanah
agar tidak terlalu tinggi hati!” Setelah berkata demikian, Siluman Kucing itu lalu mendorong dengan kedua
tangannya ke arah batu besar yang diduduki oleh Dewa Bongkok.
Dorongan itu mengandung tenaga sinkang yang amat kuat dan hawa pukulan yang dahsyat menyambar
dan mendorong batu itu. Batu itu terguling dan tubuh Dewa Bongkok ikut pula terguling, tanpa kakek itu
dapat mempertahankan diri. Tentu saja jika dia hendak mempertahankan diri, bukanlah hal sukar. Tetapi
dalam keadaannya seperti saat itu, amatlah berbahaya baginya untuk mempergunakan tenaga sinkangnya.
Sekali mengerahkan sinkang, lukanya yang sudah sembuh sebagian itu tentu akan terbuka dan
kambuh kembali, bahkan mungkin akan lebih hebat sehingga dapat mengakibatkan kematiannya. Oleh
karena itulah, ketika batu besar itu terguling, dia pun ikut terguling dan terbanting ke atas tanah. Namun,
kakek ini lalu merangkak bangun dan duduk bersila kembali ke atas tanah.
Melihat ini, Siluman Kucing menjadi heran dan juga girang. Kalau kakek ini sudah dapat membunuh dua
orang seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, jelas bahwa kakek itu tentu seorang yang sakti luar
biasa. Akan tetapi, sekarang, dengan sekali dorong saja batu itu roboh bersama tubuh kakek itu yang
kelihatan sama sekali tidak mampu menjaga diri, dia pun tahu bahwa kakek itu benar-benar telah terluka
parah dan tidak berani mempergunakan sinkang-nya!
“Hi-hi-hi-hi-hik! Kiranya engkau telah terluka parah? Tahukah engkau siapa aku, orang tua buruk? Aku
adalah Lauw Hong Kui, sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo yang telah kau bunuh. Nah, aku datang untuk
membalaskan kematian suheng-ku!” setelah berkata demikian, Siluman Kucing itu menerjang ke depan, ke
arah kakek yang duduk bersila di atas tanah itu.
Dengan pengerahan tenaga sinkang-nya, tangannya menyambar dan menampar ke arah kepala Dewa
Bongkok yang botak.
“Syuuuuuttt... plakkk!”
Dewa Bongkok tentu saja tidak mau menerima kematian secara konyol. Dia tidak berani mengerahkan
sinkang karena hal ini dapat berarti bunuh diri, maka dia pun miringkan kepalanya ketika merasa ada angin
dahsyat menyambar kepalanya. Pukulan itu luput, akan tetapi masih menghantam pundaknya sehingga
untuk kedua kalinya tubuh Dewa Bongkok terguling-guling! Namun dia sudah duduk lagi bersila.
Makin giranglah hati Mauw Siauw Mo-li karena dia yakin bahwa semua dugaannya benar belaka. Biar pun
jelas bahwa kakek itu amat lihai, terbukti bahwa dalam keadaan duduk bersila tanpa melawan tadi kakek
itu telah mampu mengelak sehingga kepalanya terluput dari tamparannya yang sedemikian cepatnya. Akan
tetapi ketika tadi tangannya menampar pundak dia sama sekali tidak merasakan ada hawa sinkang yang
menolak, tanda bahwa benar-benar kakek sakti itu tidak berani mengerahkan sinkang! Kakek itu lebih
mengandalkan kelemasan untuk menerima tamparan tadi, membiarkan tubuhnya terguling sehingga
tamparan itu hanya membuatnya terbanting tanpa mendatangkan luka parah karena dia sama sekali tidak
melawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hi-hi-hik, tua bangka, bersiaplah engkau untuk mampus!” bentaknya dan dia sudah menerjang, maju lagi.
Dewa Bongkok maklum bahwa dia tidak akan mampu melawan dalam keadaan seperti itu. Kalau dia
mengerahkan sinkang, tentu dia akan mampu menewaskan wanita ini dengan mudah, walau pun untuk itu
dia sendiri akan berkorban nyawa. Akan tetapi, kakek ini tidak ingin membunuh orang, apa lagi dalam
keadaan mendekati akhir hidupnya itu. Kalau dua hari yang lalu dia menewaskan Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-hwa Lo-kwi, hal itu terjadi karena dia tidak sengaja, karena dia diserang dengan tiba-tiba sehingga
pengerahan sinkang yang otomatis membuat tenaga pukulan mereka membalik dan mengakibatkan
tewasnya dua orang itu. Kini, dia tidak mau melakukan pembunuhan dan dia hanya menanti datangnya
maut melalui tangan wanita yang tidak dikenalnya ini.
“Wuuuuuttt... plakkk!”
Siluman Kucing memekik kaget dan meloncat mundur. Pukulannya telah ditangkis oleh sinar hitam yang
panjang dan ternyata yang menangkis lengannya itu adalah seekor ular hitam besar dan panjang yang kini
melingkar di lengan dan leher seorang dara cantik jelita berpakaian serba hitam!
“Hwee Li!” bentaknya dengan marah. “Engkau melawan bibi gurumu?”
Dara yang telah menangkis pukulan Siluman Kucing yang menyelamatkan nyawa Dewa Bongkok tadi
memang benar Hwee Li adanya. Seperti kita ketahui, dara ini mengalami guncangan batin yang hebat
pada saat ditinggal kekasihnya yang menyatakan benci padanya karena dia keturunan pemberontak.
Bahkan gurunya sendiri, Ceng Ceng, juga memutuskan hubungan dan tidak mau mengakuinya lagi. Hal ini
amat menyedihkan hatinya, akan tetapi karena memang pada dasarnya Hwee Li berwatak keras, lincah
dan gembira, penderitaan batinnya itu tertutup oleh kelincahannya dan hanya mukanya yang agak pucat itu
saja yang menjadi bukti bahwa di lubuk hatinya, dara ini menderita batin yang amat hebat.
Memang kenyataannya watak Hwee Li jauh sekali bedanya dengan watak Hek-tiauw Lo-mo, orang yang
selama belasan tahun dia anggap ayah kandungnya sendiri. Biar pun semenjak kecil dia dididik oleh
seorang manusia iblis seperti Hek-tiauw Lo-mo sehingga Hwee Li memiliki sifat-sifat liar yang keras, namun
pada lubuk hatinya dia menjunjung tinggi kegagahan dan tidak suka bertindak sewenang-wenang, bahkan
lebih condong untuk melindungi orang-orang lemah tertindas. Apa lagi setelah dia berkenalan dengan
orang-orang gagah, bahkan kemudian dia memperoleh didikan dari Ceng Ceng, sifat kegagahan seorang
pendekar ini menonjol.
Hal ini makin kuat ketika dia menemukan rahasia bahwa dia sesungguhnya bukan anak kandung Hektiauw
Lo-mo. Dia merasa lain dan berbeda dengan golongan Hek-tiauw Lo-mo, bahkan dia menentang
tindakan-tindakan mereka seperti nampak ketika dia menjadi tawanan Pangeran Liong Bian Cu yang
tergila-gila kepadanya. Maka, ketika secara kebetulan dia melihat Mauw Siauw Mo-li hendak menghantam
seorang kakek botak tua renta yang kelihatannya tak berdaya dan tak melawan, bangkit kemarahannya
dan segera dia turun tangan menangkis pukulan itu dengan menggunakan ular hitamnya yang panjang.
Sambil tersenyum dan sepasang matanya menatap wajah Mauw Siauw Mo-li dengan tajam, dia menjawab,
“Sudah tentu, Mauw Siauw Mo-li. Mana mungkin aku membiarkan saja engkau melakukan perbuatan jahat
dan sewenang-wenang, membunuh seorang kakek yang tidak berdaya dan tidak melawan? Seharusnya
engkau merasa malu untuk menyerang seorang kakek tua tidak melawan!”
“Bocah setan! Engkau menyebut namaku begitu saja? Bukankah aku ini bibi gurumu?”
“Aku tidak mempunyai bibi guru seperti engkau! Engkau jahat, kejam dan curang!”
“Ehhh, Hwee Li, berani engkau kurang ajar? Engkau murid murtad! Ingat, aku adalah sumoi dari ayahmu!”
Mauw Siauw Mo-li membentak marah. “Kau tahu apa yang telah terjadi dengan ayahmu? Ayahmu, Hektiauw
Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi telah tewas oleh kakek itu! Hayo kita bunuh dia sebelum dia sembuh
kembali dari lukanya untuk membalas kematian ayahmu!” Setelah berkata demikian, Mauw Siauw Mo-li
melompat dan hendak menerjang Dewa Bongkok.
Akan tetapi nampak bayangan hitam berkelebat dan Hwee Li sudah menghadang di depannya. “Tidak!
Engkau tidak boleh membunuhnya!” katanya dengan wajah keras dan suara tegas.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mauw Siauw Mo-li mengerutkan alisnya dan perlahan-lahan mukanya berubah merah, matanya berapi-api
tanda bahwa wanita ini sudah kehilangan kesabarannya. Kalau tadi dia masih bersikap sabar adalah
karena dia masih mengingat bahwa dara ini adalah murid keponakannya.
“Hwee Li, siapakah kakek ini dan apamukah dia maka engkau hendak melindunginya?”
“Bukan apa-apa. Aku tidak kenal padanya, akan tetapi jelas bahwa dia adalah seorang tua renta yang
sudah terluka dan tidak berdaya, maka kalau engkau berkeras hendak membunuhnya, akulah yang akan
membelanya!”
“Keparat, murid murtad engkau!” bentak Mauw Siauw Mo-li dan dia sudah menerjang ke depan dan
menyerang Hwee Li dengan pukulan maut. Namun, dengan lincahnya Hwee Li mengelak ke kiri dan dari
sini kakinya meluncur dengan tendangan kilat ke arah lambung bibi gurunya!
“Ehhh!” Mauw Siauw Mo-li terkejut dan makin marah. Kiranya murid keponakannya ini benar-benar berani
melawannya.
“Singgg...!”
Sinar hijau nampak dan Siluman Kucing itu telah mencabut sebatang pedang, lalu dia menubruk ke depan
dan menyerang dengan dahsyatnya.
Hwee Li cepat berloncatan menghindarkan diri, kemudian tiba-tiba sinar hitam meluncur dari tangannya
dan ular hitam itu telah digerakkan seperti senjata, menyerang dan mematuk ke arah leher Lauw Hong Kui.
Wanita ini cepat menarik tubuh ke belakang dan mengibaskan pedang untuk membacok putus leher ular
itu. Namun ular itu amat gesit, sudah mengelak dengan leher dilengkungkan, dan pada saat itu, tangan kiri
Hwee Li telah melancarkan pukulan tangan kiri yang mengandung uap berwarna putih. Itulah pukulan
beracun yang berbau harum.
“Ihhhh...!” Untuk kedua kalinya Mauw Siauw Mo-li terkejut dan cepat dia mengelak, lalu dia memutar
pedangnya dengan cepat sehingga lenyaplah bentuk pedang itu, berubah menjadi segulung sinar hijau
yang melingkar-lingkar dan bergerak menyambar ke sana sini dengan hebatnya.
Terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian. Setelah mendapat gemblengan dari Ceng Ceng
dan petunjuk-petunjuk dari suami gurunya itu, yaitu Si Naga Sakti Gurun Pasir, kini tingkat kepandaian
Hwee Li sudah naik tinggi sehingga tidaklah mudah bagi Mauw Siauw Mo-li untuk mengalahkannya.
Sebaliknya, Hwee Li pun merasa sukar untuk mengalahkan bekas bibi gurunya yang lihai ini. Sampai
seratus jurus mereka bertanding, masih belum ada yang nampak terdesak.
Diam-diam Mauw Siauw Mo-li menjadi penasaran sekali. Masa sampai lewat seratus jurus dia masih belum
mampu mengalahkan bekas murid keponakannya? Tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring dan
tangan kirinya melemparkan sebuah benda ke atas tanah. Terdengar ledakan dan nampak asap mengepul
tinggi. Hwee Li maklum akan kelihaian bibi gurunya ini menggunakan bahan-bahan ledak, maka dia pun
cepat meloncat jauh ke kiri. Akan tetapi kembali dia disambut oleh ledakan yang membuat pandang
matanya gelap dan pada saat itu, dia masih melihat sinar hijau meluncur ke arah dadanya. Cepat-cepat dia
melempar tubuh ke belakang dan menggerakkan ular hitamnya untuk menangkis.
“Crakkk!”
Ularnya terbabat putus menjadi dua dan terdengar suara ketawa mengejek dari Siluman Kucing itu, suara
ketawa yang bercampur dengan suara kucing, ciri khas dari wanita ini!
“Setan!” Hwee Li memaki dan membuang bangkai ular itu, kemudian dia mengelak dari sambaran pedang
berikutnya, lalu membalas dengan tamparan tangannya yang juga dapat dielakkan oleh lawan. Melihat
Hwee Li kehilangan senjata ular yang ampuh itu, Mauw Siauw Mo-li tertawa lagi.
“Hwee Li, hayo kau berlutut minta ampun kepada bibi gurumu, baru aku ampuni engkau dan lekas kau
bunuh kakek itu untuk membalas kematian ayahmu!” Dia masih tak ingin membunuh dara cantik itu.
“Siluman betina!” Hwee Li memaki dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, kedua tangannya mengirim
pukulan berantai yang cepat dan kuat. Mauw Siauw Mo-li menjadi marah.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagus, engkau sudah bosan hidup!” bentaknya dan dia memutar pedangnya.
Namun dara itu benar-benar lihai. Meski kini tidak lagi memegang ular sebagai senjata, akan tetapi setiap
serangan pedang dapat dielakkannya dengan mudah, bahkan untuk setiap serangan dia membalas kontan
dengan pukulan atau tendangan yang tidak kalah bahayanya.
Mauw Siauw Mo-li makin gemas. Kembali tangannya melempar sebuah benda, sekali ini benda itu
dilemparkan ke arah Dewa Bongkok! Melihat ini Hwee Li menjerit dan tubuhnya meluncur ke samping,
cepat dia menyambar benda itu sebelum mengenai tanah dan meledak, kemudian dia melontarkan benda
itu ke arah pemiliknya. Terdengar ledakan keras dan asap makin memenuhi tempat itu. Tiba-tiba ada angin
menyambar dari kanan. Hwee Li maklum bahwa bibi gurunya itu menyerang dengan hebat, maka dia
mengelak dan membalas dengan tendangan.
“Singgggg... brettttt!”
Sinar hijau menyambar di antara gumpalan asap dan celana kiri Hwee Li di bagian paha terobek ujung
pedang, berikut kulit dan sedikit dagingnya sehingga paha itu luka dan berdarah.
“Ha-ha-ha, bocah murtad, engkau tidak lekas berlutut?” bentak Mauw Siauw Mo-li sambil tertawa dan
mendesak dengan pedangnya.
Hwee Li terpincang-pincang, namun dara yang berhati baja ini sama sekali tidak mau tunduk, bahkan
sambil mengelak dia masih mencoba untuk balas menyerang. Akan tetapi, karena pahanya sudah terluka
yang membuatnya terpincang, gerakan kakinya menjadi kaku dan tentu saja kegesitannya berkurang
sehingga ia mulai terdesak hebat oleh pedang di tangan Siluman Kucing.
“Serang lambung kirinya!” tiba-tiba Hwee Li mendengar bisikan halus dan dia mengenal suara kakek tua
renta yang bersemedhi itu.
Suara itu demikian halus namun jelas sekali, seperti diucapkan di dekat telinganya saja, maka tahulah dia
bahwa kakek itu telah mempergunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) untuk
membantunya. Karena dia merasa yakin bahwa kakek itu adalah seorang yang amat sakti, maka dengan
membuta dia lalu mengikuti petunjuknya dan tiba-tiba dia menerjang dengan serangan hebat ke arah
lambung kiri Siluman Kucing.
“Ihhh...!” Siluman Kucing menjerit kaget karena pada saat itu memang lambung kirinya ‘terbuka’ dan
merupakan bagian yang paling lemah dari kedudukannya. Dia masih dapat melempar dirinya ke kanan
sehingga terjangan Hwee Li itu luput sungguh pun dia sudah rnerasakan hawa pukulan menyerempet
lambungnya. Kalau saja Hwee Li tadi tidak terheran dan sedikit terlambat, tentu serangannya sudah
mengenai sasaran.
Siluman Kucing tidak tahu bahwa lawannya diberi petunjuk oleh kakek itu. Dia mengira bahwa serangan
Hwee Li tadi hanya kebetulan saja, maka bangkitlah kemarahannya karena dia nyaris celaka. Sambil
mengeluarkan lengking panjang pedangnya menusuk dan membacok kembali dengan bertubi-tubi dan kini
Hwee Li terdesak lagi seperti tadi. Hwee Li terpaksa mengelak ke sana-sini dengan kakinya yang pincang.
Dia merasa menyesal mengapa tadi dia agak terlambat sehingga petunjuk kakek itu tidak mampu
dipergunakan sebaiknya. Kalau dia tidak agak meragu, dia yakin bahwa serangan tadi pasti mengenai
sasaran.
“Tendang lutut kiri dan hantam pundak kanan!” kembali terdengar bisikan.
Kali ini Hwee Li bergerak secara otomatis menurutkan petunjuk itu tanpa mempedulikan hal lain. Dia
mentaati secara membuta dan secara cepat sekali dan hasilnya luar biasa! Terdengar Siluman Kucing
menjerit dan biar pun dia berusaha melempar tubuh ke belakang, namun hantaman ke arah pundaknya itu
tetap saja mengenai sasaran.
“Plakkk...! Aduhhhhh...!”
Pedang di tangan Siluman Kucing terlepas karena begitu pundaknya kena dihantam, lengan kanannya
seperti lumpuh. Tadi dia sangat terkejut melihat tendangan tiba-tiba dari Hwee Li yang ditujukan kepada
lutut kirinya. Tendangan itu memang tepat dan berbahaya sekali sebab pada saat itu, kuda-kudanya dititik
beratkan kepada kaki kirinya yang berada di depan. Maka dia cepat menarik kaki kirinya agar lututnya yang
dunia-kangouw.blogspot.com
dalam keadaan ‘terbuka’ itu jangan kena tendang, akan tetapi siapa kira, gerakannya ini bagai telah dapat
diduga terlebih dulu oleh dara itu yang sudah mengirim pukulan ke arah pundak kanannya pada saat
pundak itu dalam keadaan tak terjaga.
Siluman Kucing terhuyung ke belakang dan merasa jeri. Lama dia tidak bertemu dengan murid
keponakannya ini dan kiranya sekarang telah memiliki kepandaian yang demikian lihai! Melawan Hwee Li
saja dia kewalahan dan hampir roboh, apa lagi kalau kakek itu turun tangan membantu! Maka dia lalu
mengeluarkan teriakan panjang seperti seekor kucing yang terpijak ekornya, dan tubuhnya sudah meloncat
jauh ke belakang dan sebentar saja Siluman Kucing telah lenyap.
Hwee Li cepat mengambil pedang yang ditinggalkan oleh bekas bibi gurunya itu, dan dia menoleh ke arah
Dewa Bongkok. Kakek itu masih duduk bersila di atas tanah, memejamkan kedua matanya. Hwee Li
menarik napas panjang. Benar dugaannya. Kakek ini lihai bukan main akan tetapi berada dalam keadaan
terluka parah. Kalau saja kakek aneh itu tidak membantunya dengan dua kali bisikan dan petunjuk,
agaknya tidak mungkin dia dapat menangkan Mauw Siauw Mo-li yang lihai, apa lagi karena pahanya telah
terluka.
Hwee Li menghampiri kakek itu, sejenak memandang kakek yang masih bersemedhi dengan tekunnya. Dia
tidak mau mengganggu, teringat bahwa kakek itu terluka parah dan sedang mengobati luka sendiri. Hwee
Li lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput, memeriksa pahanya yang terluka dan menaruhkan obat
bubuk kepada lukanya. Dia menyeringai. Perih sekali obat itu, akan tetapi dengan cepat dapat menutup
luka dan menghentikan keluarnya darah. Dengan saputangan yang bersih dibalutnya paha yang terluka itu,
kemudian dia pun duduk bersila tak jauh dari kakek itu. Dia mengambil keputusan untuk menjaga dan
melindungi kakek itu sampai kakek itu sembuh dan dapat membela diri sendiri.
Demikianlah, kini di tempat sunyi itu nampak dua orang duduk bersila dalam semedhi! Setelah memulihkan
tenaganya dan rasa nyeri di pahanya yang terluka berkurang, Hwee Li membuka matanya, lalu bangkit
berdiri. Dia merasa lapar sekali. Kakek itu masih tetap duduk bersila seperti tadi, napasnya panjangpanjang
dan sebagai seorang muda yang terlatih, Hwee Li maklum pula bahwa kakek itu memang benar
sedang berdaya untuk mengobati dirinya sendiri.
Maka dia pun tidak berani mengganggu, dan hanya ingin menunggu sampai kakek itu selesai mengobati
luka di dalam tubuhnya. Pergilah Hwee Li untuk mencari makanan pengisi perutnya yang lapar. Akan tetapi
karena dia tidak berani meninggalkan kakek itu terlampau jauh, dia hanya mencari di sekitar tempat itu dan
akhirnya dia hanya bisa mendapatkan akar-akaran yang dapat dimakan! Tidak ada pohon-pohon buah di
hutan dekat situ dan dia tidak melihat binatang hutan pula. Akan tetapi, akar-akaran itu cukup enak kalau
dibakar.
Maka dia lalu membuat api dan mulai memanggang akar-akaran itu. Dimakannya sebagian dari makanan
itu dan sebagian lagi disisihkannya untuk kakek itu kalau sudah sadar dari semedhinya nanti. Bukan
menjadi kebiasaan Hwee Li untuk mencampuri urusan orang. Akan tetapi dia tidak suka kepada Mauw
Siauw Mo-li yang dia tahu merupakan seorang iblis betina yang selain kejam dan curang, juga cabul itu.
Maka, melihat bekas bibi gurunya itu tadi hendak membunuh kakek ini, dia lalu turun tangan menentang.
Lalu dia mendengar bahwa kakek ini telah membunuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, maka dia
merasa tertarik sekali. Hek-tiauw Lo-mo adalah musuh besarnya, yang telah merusak kehidupan ibu
kandungnya, bahkan hampir saja menjerumuskan dia ke dalam lembah kehinaan dengan ‘menjualnya’
kepada Pangeran Liong Bian Cu. Maka, mendengar bekas ayahnya dan juga musuh besarnya itu terbunuh
oleh kakek ini, dia merasa tertarik sekali untuk bicara dengan kakek ini. Di samping itu, juga dia tidak ingin
melihat kakek ini terancam bahaya dan terbunuh oleh Mauw Siauw Mo-li, maka dia lalu menjaganya dan
menanti sampai kakek itu selesai mengobati dirinya sendiri.
Akan tetapi, sehari penuh dia menanti dan hari telah berganti malam, namun kakek itu masih belum juga
bangun dari semedhinya! Hati Hwee Li mulai menjadi kesal. Dia bukan seorang gadis yang penyabar. Akan
tetapi melihat betapa nyamuk-nyamuk mulai merubung tubuh kakek itu dan tentu merupakan gangguan
bagi semedhinya, timbul pula rasa kasihan di hatinya. Dibuatnya api unggun dan diusirnya nyamuk-nyamuk
itu. Setelah kehangatan api unggun mengusir dingin dan nyamuk, barulah dia duduk di dekat api unggun
dan menoleh kepada kakek itu sambil mengomel.
“Kalau sampai besok pagi engkau belum juga terbangun, jangan salahkan aku kalau terpaksa aku
meninggalkanmu, Kek. Aku masih harus melakukan perjalanan jauh, mencari orang yang entah ke mana
perginya!” Dia menarik napas panjang, kemudian merebahkan diri di atas daun-daun kering yang
dunia-kangouw.blogspot.com
dikumpulkannya di tempat itu, rebah miring menghadapi api dan termenung ke dalam nyala api yang
menjilat-jilat.
Semalam itu Hwee Li hanya dapat tidur ayam, yaitu antara tidur dan sadar, terkantuk kantuk di dekat api
unggun. Biar pun kadang-kadang dia tertidur, namun kesadarannya masih selalu waspada sehingga sedikit
suara saja cukup untuk membangunkannya, juga dia selalu tahu kalau api unggun padam atau mengecil
sehingga cepat dia bangun dan menambah kayu bakar. Berkali-kali, kalau terbangun, dia menengok
kepada kakek itu dan ternyata kakek itu masih saja duduk bersila dan tenggelam dalam semedhi seperti
siang tadi!
Pada keesokan harinya, setelah sinar mentari menerangi tanah, Hwee Li memanggang lagi beberapa
potong akar-akaran untuk dimakan dan sebagian dia letakkan di depan kakek itu bersama pedang yang
ditinggalkan oleh Mauw Siauw Mo-li kemarin.
“Kek, terpaksa aku harus meninggalkanmu. Ini ubi bakar untukmu, dan ini pedang untuk menjaga diri kalau
ada penjahat hendak mengganggumu. Maafkan aku, Kek, aku tidak bisa menjagamu di sini selamanya!”
Hwee Li menatap wajah itu dan tiba-tiba sepasang mata itu terbuka.
“Ihhhhh...!” Hwee Li terkejut dan terlompat mundur.
Kedua mata kakek itu benar-benar mempunyai cahaya yang mengejutkan, mencorong seperti mata
harimau di tempat gelap! Akan tetapi kagetnya segera lenyap ketika dia melihat hetapa sepasang mata itu
biar pun mencorong aneh, namun memandang kepadanya dengan lembut dan mulut tua itu mengulum
senyum. Dia mendekat lagi, duduk di dekat kakek itu sambil memandang wajahnya yang agak pucat.
“Thian Yang Maha Kuasa...,“ terdengar kakek itu berkata halus, “Kalau belum berkenan mencabut nyawa
seorang tua seperti aku, ada saja yang menyelamatkan. Agaknya masih belum cukup hukumanku maka
aku masih diberi usia panjang...“
Mendengar keluhan ini, Hwee Li tersenyum geli. “Kek, orang lain minta umur panjang, mengapa engkau
sebaliknya mengomel diberi umur panjang? Dan tentang menolong tadi, aku tidak tahu siapa menolong
siapa. Kalau tidak ada engkau yang membisiki dua jurus serangan kemarin, mungkin aku yang tidak bisa
berumur panjang!”
Sepasang mata itu berseri dengan pandang matanya memperhatikan Hwee Li penuh selidik. “Namamu
Hwee Li?”
“Benar, Kek.”
“Siapa nama keturunanmu?”
Hwee Li membuang muka, dia merasa sebal. “Uhhh, tidak perlu menyebutkan nama keturunanku, Kek,
hanya akan mendatangkan sial saja kepadaku. Namaku Hwee Li, cukuplah.”
Karena membuang muka, Hwee Li tidak melihat betapa pandang mata kakek itu makin berseri, karena
sikap dara ini amat menarik hatinya dan menimbulkan rasa suka di hatinya.
“Hwee Li, ketika aku diserang oleh wanita itu, mengapa engkau membelaku? Bukankah wanita itu bibi
gurumu? Mengapa engkau berani melawan bibi guru sendiri?”
“Huh, bibi guru macam apa dia? Jangankan bibi guru, biar ayah sendiri, kalau jahat, tentu akan kutentang!”
jawab Hwee Li marah.
Kakek itu makin tertarik. Gadis ini benar-benar luar biasa. Jarang menemukan seorang gadis yang begini
keras namun tegas dan wajar, penuh kepolosan dan keberanian. Mirip watak mantunya, isteri dari
muridnya!
“Bukankah engkau sudah mendengar dari bibi gurumu bahwa ayahmu tewas karena aku? Bukankah Hektiauw
Lo-mo itu ayah kandungmu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sama sekali bukan, Kek!” Hwee Li makin gemas karena dia diingatkan akan keadaan keluarganya yang
hanya mendatangkan kesialan baginya. “Dia adalah musuh besarku!”
“Hemmm... bagaimana pula ini?” Kakek itu bertanya dan tersenyum.
“Sebenarnya aku tidak suka bicara tentang ini, Kek, akan tetapi agar engkau tidak menjadi penasaran dan
bingung, biarlah kuceritakan kepadamu. Memang aku dan semua orang tadinya menganggap Hek-tiauw
Lo-mo itu ayah kandungku. Akan tetapi kini telah terbuka kedoknya. Dia sama sekali bukan ayah
kandungku, bahkan dia musuh besarku yang dulu menculik ibuku dan menjadi sebab kematian ibuku. Ah,
andai kata dia itu ayahku sendiri sekali pun, tetap saja kutentang karena dia jahat.”
Kakek itu memandang dengan penuh perhatian.
“Kau akan menentang ayah kandung sendiri?”
“Tentu!” Hwee Li berkata gemas dan mengepal kedua tinju tangannya, lalu bangkit berdiri dan berdongak
memandang ke udara. “Apa artinya ayah kandung kalau dia jahat? Dia hanya akan melumuri aku dengan
kekotoran namanya! Nama busuk seorang ayah akan diwarisi anaknya yang tidak bersalah, mendatangkan
kesialan, membuat aku dibenci orang, hanya karena orang tua...!” Dan tiba-tiba saja Hwee Li menangis
sambil membanting-banting kakinya.
Sepasang mata kakek itu terbelalak. Dia membiarkan gadis itu menangis sesunggukan sambil menutupi
muka dengan kedua tangan. Akan tetapi tidak lama Hwee Li menangis. Dia tadi menangis karena
mendapat kesempatan menumpahkan rasa penyesalan dan penasaran hatinya, teringat betapa Kian Lee
menyia-nyiakan dan meninggalkannya hanya karena dia keturunan pemberontak! Kekerasan hatinya
membuat tangisnya itu hanya sebentar lalu mereda.
Melihat ini, Dewa Bongkok menarik napas panjang. “Hwee Li, apakah orang tuamu sendiri, ayah
kandungmu, juga seorang jahat seperti Hek-tiauw Lo-mo?”
Hwee Li menggeleng kepala. Dia tidak mengenal kakek ini. Dan karena kakek ini orang asing, orang asing
yang kebetulan saja kini terlibat menjadi orang yang menjadi tempat pencurahan semua rasa penasaran
hatinya, maka dia tidak ragu-ragu untuk bicara tentang dirinya sendiri. “Aku sendiri tidak pernah melihat
ayah kandungku, Kek. Entah dia orang baik atau jahat aku pun tidak tahu. Hanya karena dia dikenal
sebagai seorang pemberontak, maka orang lalu menghinaku, bahkan orang yang paling baik... yang paling
kucinta... telah meninggalkanku. Kek, apa sih salahnya orang yang menjadi anak pemberontak? Ayah
kandungku memberontak ketika aku masih bayi, aku tidak tahu mengapa dan untuk apa dia memberontak.
Akan tetapi mengapa semua orang benci kepadaku?”
Kakek itu menarik napas panjang dan menengadah seolah-olah dia bicara kepada awan yang berarak di
langit, bukan kepada Hwee Li, “Begitulah memang pendapat umum, watak masyarakat yang sudah
membudaya! Manusia dinilai dari keturunannya, dari agamanya, dari kedudukannya, dari harta bendanya,
dari pengetahuannya. Betapa menyedihkan ini. Dan karena penilaian didasarkan atas semua itu, maka
manusia lalu memperebutkan semua itu yang dianggap sebagai syarat untuk dapat hidup mulia! Manusia
dianggap seperti pohon. Pohon yang buahnya masam pasti menghasilkan bibit yang masam pula. Manusia
yang dianggap jahat pasti menurunkan anak yang jahat pula! Betapa menyedihkan anggapan ini! Dan
betapa banyaknya anak-anak yang tidak berdosa menjadi korban nama buruk orang tuanya. Memang tidak
adil! Bahkan menilai seseorang sebagai jahat pun tidak adil. Kehidupan ini selalu berubah. Manusia pun
selalu mengalami perubahan, ada kalanya dia dianggap jahat, ada kalanya dia dianggap baik. Anggapan
itu hanya penilaian belaka, tergantung kepada kepentingan si penilai. Aih, Hwee Li, kalau orang
menganggap engkau rendah dan hina, maka yang jelas dia itulah yang rendah dan hina, karena anggapan
seperti itu sudah rendah namanya. Mengapa engkau hiraukan benar? Jangankan hanya beberapa orang
yang menganggapmu jahat, kalau engkau meneliti diri sendiri dan mendapat kenyataan bahwa engkau
tidak jahat, peduli apa? Biarlah semua orang menilaimu jahat. Hidup bukan tergantung dari pada penilaian
orang lain. Yang penting adalah mengamati diri sendiri. Biar tidak ada seorang pun manusia lain
mengetahuinya, akan tetapi kalau dalam pengamatanmu itu engkau melihat dirimu kotor, haruslah segera
dibersihkan! Jadi, yang penting bukan penilaian orang lain, melainkan pengamatan diri sendiri terhadap diri
sendiri. Mengertikah engkau, Hwee Li?”
Ucapan kakek yang dilakukan dengan suara halus itu meresap ke dalam hati sanubari Hwee Li dan gadis
itu merasa bangkit kembali semangatnya, “Engkau benar, Kek! Terima kasih. Akan tetapi, aku pun tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
akan peduli penilaian orang lain, biar orang sedunia sekali pun, hanya... karena mereka berdua itulah yang
membuat hatiku terasa perih..., penilaian mereka berdua yang kini menjauhiku membuat hatiku merana.”
“Hemmm, mereka berdua itu siapakah? Mengapa justeru mereka berdua yang amat kau hiraukan?”
“Dia... dia... pacarku, Kek. Dan yang seorang guruku...“
Diam-diam kakek itu terharu juga. Dara ini sungguh amat jujur, tidak seperti orang lain yang malu-malu
kucing dan menyembunyikan perasaannya. Dara ini berterus terang, apa adanya, dan amat menarik
hatinya.
“Hemmm, mereka itu tidak bijaksana. Tidak mengherankan kalau pacarmu memiliki pandangan umum
seperti itu karena tentu dia masih muda dan hijau. Akan tetapi gurumu, mengapa dia sepicik itu pula?”
“Guruku pun masih muda, Kek, tidak banyak selisihnya usianya dengan pacarku. Dia pantas menjadi enciku.
Aku amat sayang kepadanya dan dia pun tadinya amat cinta kepadaku, akan tetapi setelah dia tahu
bahwa aku keturunan pemberontak... dia lalu memutuskan hubungan...“ Hwee Li memejamkan mata,
menahan air matanya yang sudah membikin panas kedua matanya lagi.
“Hemmm, gurumu masih begitu muda? Dan kau sudah selihai itu? Tentu gurumu lihai sekali.”
“Tentu saja dia lihai! Suaminya lebih lihai lagi, Kek. Suaminya adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir!”
Karena kakek itu menundukkan mukanya, Hwee Li tidak melihat keheranan yang membayang di kedua
mata kakek itu. Tentu saja kakek itu terkejut dan heran. Kiranya gadis yang amat menarik hatinya ini
adalah murid dari Ceng Ceng, isteri muridnya sendiri! Dia memang pernah mendengar bahwa isteri
muridnya itu mempunyai seorang murid yang selama beberapa bulan pernah pula ikut ke Istana Gurun
Pasir, akan tetapi dia tidak pernah tahu siapa namanya dan tidak pernah pula saling bertemu. Memang
selama itu dia hanya bertapa saja, menyendiri di kamar rahasia dalam istana itu.
Dan tadi ketika melawan Mauw Siauw Mo-li, Hwee Li juga tidak pernah menggunakan jurus dari aliran
Dewa Bongkok maka dia tidak mengenalnya. Kakek ini tidak tahu bahwa sesungguhnya gadis ini menjadi
murid Ceng Ceng hanya dalam hal penggunaan racun dan pukulan-pukulan beracun saja, dan kemudian
mendapat bimbingan untuk mematangkan ilmu-ilmu yang telah dimilikinya, yaitu yang dipelajarinya dari
Hek-tiauw Lo-mo.
Sebaliknya, Hwee Li tentu saja tahu bahwa suami dari gurunya adalah murid seorang manusia dewa yang
berjuluk Si Dewa Bongkok atau Go-bi Bu Beng Lojin, akan tetapi karena belum pernah jumpa, sama sekali
dia tidak pernah mimpi bahwa kakek yang ditolongnya ini adalah kakek gurunya itu! Apa lagi dia
membayangkan kakek guru itu sebagai dewa yang tidak pernah memperlihatkan diri kepada manusia lain.
Hening sampai lama semenjak Hwee Li menyebut nama Naga Sakti Gurun Pasir tadi. Berbagai pikiran
memenuhi kepala Dewa Bongkok dan dia sudah mengambil keputusan mengenai gadis ini.
“Hwee Li, maukah engkau menjadi ahli waris ilmu silat yang akan membuat engkau tidak mudah
dikalahkan orang, apa lagi kalau hanya oleh orang seperti wanita tadi? Maukah engkau mempelajari ilmu
simpananku yang belum lama kuciptakan?!” Tiba-tiba kakek itu bertanya.
“Dan menjadi muridmu, Kek?” Hwee Li mengangkat muka memandang.
Dia merasa pernah melihat sepasang mata mencorong seperti itu, akan tetapi dia lupa lagi entah di mana.
Dia lupa bahwa yang memiliki mata mencorong seperti itu adalah suami gurunya, Si Naga Sakti Gurun
Pasir!
“Akan tetapi, aku belum mengenalmu.”
“Hemmm, tidak perlu mengenal. Engkau tentu sudah tahu bahwa Hek-tiauw Lomo dan Hek-hwa Lo-kwi
tewas karena mereka itu menyerangku dan aku menderita luka parah. Biar pun aku telah menyembuhkan
luka itu, namun aku perlu beristirahat dan mengingat usiaku sudah amat tua, kalau tidak sekarang
kuturunkan kepada seseorang, tentu aku tidak akan sempat lagi mewariskan kepada orang lain. Kau cocok
untuk menjadi ahli warisku, Hwee Li.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalau begitu aku tidak perlu menjadi muridmu?”.
“Murid atau bukan hanya sebutan saja. Aku percaya bahwa di tanganmu, ilmuku tidak akan sia-sia.”
“Baiklah, Kek. Akan tetapi, aku harus melakukan perjalanan jauh menyusul dia...!”
“Pacarmu?”
“Benar. Aku masih penasaran. Dia tidak boleh membawa-bawa aku dalam keburukan nama ayah kandung
yang sama sekali tak pernah kukenal itu. Dia tidak adil dan aku harus menegurnya!”
“Bagus! Memang engkau benar, dan pacarmu itu picik. Dia tentu seorang pemuda tolol, mengapa engkau
memilih pacar macam dia?”
“Uwah! Kakek terlalu memandang rendah dia! Engkau tidak tahu siapa dia, Kek, dia adalah Suma Kian
Lee, putera dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es!”
Kembali kakek itu terkejut bukan main, akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu. “Ahhh, kiranya
begitu? Sungguh kebetulan sekali aku memilihmu sebagai ahli waris ilmuku karena dengan ilmu itu engkau
harus dapat melindungi Pendekar Super Sakti.”
“Ehhh, apa maksudmu, Kek?”
“Menurut pengakuan Hek-hwa Lo-kwi sebelum dia tewas oleh ulahnya sendiri, di gurun pasir di dataran
Bukit Chang-pai-san akan diadakan pertemuan yang pasti akan menjadi pertandingan mati-matian antara
Pendekar Super Sakti dan Im-kan Ngo-ok, maka mereka ini tentu mendatangkan jagoan-jagoan untuk
membantu mereka mengeroyok Pendekar Super Sakti. Kalau tidak sedang terluka, tentu aku akan dapat
mendamaikan mereka dan melindungi Majikan Pulau Es itu. Akan tetapi aku terluka, maka aku sengaja
memilihmu untuk mewarisi ilmuku dan mewakili aku melindungi pendekar sakti itu.”
“Jadi untuk itukah maka engkau hendak menurunkan ilmu itu kepadaku, Kek?”
“Sebagian, yang terutama untuk itu. Akan tetapi juga karena aku suka melihatmu, Hwee Li.”
“Biar pun aku keturunan pemberontak?”
“Hemmm, mereka yang menghinamu karena keturunanmu akan aku tegur kalau aku sempat bertemu
dengan mereka. Mereka itu tolol dan picik!”
Besarlah hati Hwee Li mendengar ini. Kakek ini adalah orang pertama yang bukan saja tidak merendahkan
keturunannya, bahkan hendak membelanya dan lebih dari itu, hendak menurunkan ilmunya kepadanya.
Dan mengingat betapa kakek ini dapat merobohkan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, apa lagi sudah
dapat dia buktikan kesaktiannya ketika memberi petunjuk dia menghadapi Mauw Siauw Mo-li, dia yakin
bahwa ilmu yang akan diturunkan itu tentu hebat bukan main.
“Nah, sekarang bersiaplah, Hwee Li. Engkau harus menghafal kauw-koat (teori silat) lebih dulu, baru kuberi
petunjuk tentang gerakan-gerakannya, yaitu gerakan dasar dan gerakan pokok. Kita hanya memiliki waktu
sebulan lebih lagi, yaitu pada malam bulan purnama bulan depan.”
“Mana mungkin menghafal ilmu yang hebat hanya dalam waktu sesingkat itu?” tanya Hwee Li.
“Ilmu itu hanya terdiri dari delapan jurus, Hwee Li.”
“Delapan jurus? Kalau hanya sedemikian pendeknya, mana bisa disebut hebat?”
“Ah, engkau tidak tahu. Aku telah menghabiskan waktu belasan tahun untuk merangkai ilmu yang
kunamakan Cui-beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Mengejar Arwah) ini. Dan biar pun kauw-koat-nya dapat
kau hafalkan dalam waktu singkat setelah kuberi kunci kuncinya, namun untuk mematangkan ilmu ini, biar
sampai lima puluh tahun sekali pun masih dapat terus ditingkatkan, Hwee Li. Dasar dan pokok gerakan
ilmu yang hanya delapan jurus ini telah mencakup semua dasar ilmu silat dan dapat kau pergunakan untuk
menghadapi ilmu yang bagaimana lihai pun dari lawan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Hwee Li menjulurkan lidahnya karena kaget, kagum dan juga girang. Dia lalu mulai mempelajari Ilmu Silat
Cui-beng Pat-ciang dengan penuh ketekunan. Kakek itu merasa girang karena gadis ini memang cerdas
sekali, dengan mudah dapat mengerti ketika dia memberi penjelasan tentang kunci rahasia ilmu itu,
kemudian menghafal teorinya.
Semua ini mereka lakukan sambil melanjutkan perjalanan perlahan-lahan karena kakek itu harus sering
beristirahat untuk menghimpun tenaganya. Siang malam Hwee Li menghafal dan melatih gerakan-gerakan
pokok dan dasar dari ilmu silat baru itu, dan dengan girang sekali dia memperoleh kenyataan betapa baru
melatih beberapa hari saja, sinkang-nya sudah bertambah kuat. Apa lagi ketika kakek itu memberi petunjuk
kepadanya cara mengumpulkan hawa murni dan menggunakan tenaga dari pusarnya, dia memperoleh
kemajuan hebat dalam waktu beberapa hari saja…..
********************
“Syanti Dewi...!” Dia terhuyung, hampir jatuh, akan tetapi bangun lagi dan terus berlari sambil terhuyunghuyung.
“Dewi... kau ampunkan aku, Dewi...!”
Tek Hoat terus memasuki hutan yang lebat itu, berlari sambil mengeluh dan bersambat, menyebut-nyebut
nama Syanti Dewi seperti orang gila. Pemuda ini setelah ditolong oleh Panglima Jayin dan pasukannya,
dibawa kembali ke dalam istana. Akan tetapi baru dua hari dia dirawat, begitu siuman dia sudah
meloloskan diri lagi, malam-malam dia melarikan diri meninggalkan istana untuk mengejar dan mencari
Syanti Dewi.
Akhirnya, kegelapan malam membuat dia roboh tersungkur menabrak batang pohon dalam hutan yang
gelap itu. Dia merangkak bangun, lalu duduk dan menggunakan kedua tangan memegangi kepalanya yang
terasa pening berdenyut-denyut. Dia belum sembuh benar, tubuhnya masih terasa lemah, kepalanya masih
pening.
“Syanti... kalau engkau tidak mau mengampunkan aku, lebih baik kau bunuh saja aku...“ keluhnya.
Pikirannya melayang-layang ke masa lampau ketika dia merasa betapa sengsaranya rasa hatinya,
ditinggalkan oleh Syanti Dewi yang marah kepadanya. Syanti Dewi tentu benci kepadanya! Ahh, semua ini
tentu merupakan hukuman baginya, hukuman atas semua penyelewengannya, atas semua kejahatan yang
pernah dilakukannya di masa lampau.
Terbayang kembali semua perbuatannya, yang baru sekarang nampak olehnya betapa kejam, jahat dan
terkutuknya. Dia telah banyak melakukan pembunuhan-pembunuhan, perjinahan-perjinahan, perbuatan
yang kejam dan jahat sekali di masa lampau. Kalau dia membayangkan semua perbuatannya itu, di waktu
dia masih muda remaja, maka amatlah tidak patut kalau dia kini dicinta seorang wanita seperti Syanti Dewi!
Hal ini merupakan kenyataan yang luar biasa, terlampau baik baginya. (baca Kisah Sepasang Rajawali)
Syanti Dewi adalah seorang puteri raja yang demikian cantik jelita, demikian berbudi dan mulia. Sedangkan
dia? Hanya seorang bekas penjahat yang terkutuk! Dan dia masih tidak menerima kebahagiaan ini. Dia
menghancurkan sendiri kebahagiaan yang tidak patut dimilikinya itu. Dia bahkan berani memaki, berani
menghina sang puteri yang demikian mulia, yang terlalu mulia baginya. Menjadi pelayan puteri itu saja
masih terlalu mulia baginya. Dia sebenarnya amat tidak berharga, bahkan untuk menggosok sepatu puteri
itu saja dia masih terlalu kotor.
Namun dia terangkat sebagai kekasih, sebagai calon suami puteri itu! Dan puteri itu mencintanya dengan
suci. Puteri itu telah rela hidup sengsara demi untuk dia! Dan dia... dia malah memaki dan menghina puteri
itu! Dituduhnya berjinah, padahal dialah sendiri tukang berjinah di waktu remaja. Dituduhnya memberontak,
padahal dialah yang pernah membantu pemberontak! Dituduhnya keji dan hina, padahal dialah yang jelas
seorang manusia keji dan hina!
“Syanti...!” hatinya menjerit dan dia menjambak-jambak rambutnya sendiri.
“Kau memang layak mampus! Kau layak sengsara!” Dia berteriak-teriak dan menjambak rambutnya, lalu
menghempas-hempaskan dirinya, membentur-benturkan kepalanya ke batang pohon itu sampai kulit
dahinya luka-luka dan pecah-pecah berdarah dan akhirnya dia roboh pula tak sadarkan diri di bawah
dunia-kangouw.blogspot.com
batang pohon itu. Malam itu sunyi sekali, sunyi dan gelap, dan tubuh Tek Hoat membujur di bawah pohon,
pingsan.
Dia bermimpi. Dia terjerumus ke dalam lumpur. Betapa pun dia mengerahkan tenaga untuk melepaskan
diri, selalu tidak berhasil. Lumpur itu menyedot kedua kakinya, makin dia berusaha lolos, makin dalam dia
tersedot sampai akhirnya tubuhnya tersedot sebatas pinggang. Dia meronta, kedua tangannya mencakar
sana-sini dengan sia-sia. Kemudian muncul Dewi Kwan Im yang berwajah Syanti Dewi, dengan ringannya
sang dewi melangkah di atas lumpur tanpa mengotorkan sepatunya yang bersih, lalu sang dewi
mengulurkan tangan, hendak menariknya keluar dari dalam lumpur.
Akan tetapi pada saat itu dia teringat akan hal yang tak pernah dilupakannya sama sekali itu, ialah ketika
Syanti Dewi bercumbu dengan Mohinta, kemudian betapa Syanti Dewi telah berusaha membunuh Raja
Bhutan, ayahnya sendiri. Teringat akan ini semua, tangan yang terulur kepadanya untuk menariknya keluar
dari dalam lumpur itu malah diludahinya! Sang dewi menangis dan melarikan diri sambil terisak-isak. Tek
Hoat yang ditinggalkan di dalam lumpur itu tersedot makin dalam. Lumpur mencapai lehernya, bahkan
masih terus saja tubuhnya tersedot ke bawah, kini lumpur mencapai dagunya. Barulah dia, teringat kepada
Syanti Dewi, betapa dia mencinta dara itu dan dengan napas terengah-engah seperti ikan dilempar ke
darat, dia memanggil-manggil nama Syanti Dewi.
“Syanti Dewi...! Syanti Dewi...!”
Tek Hoat terbangun dengan napas terengah-engah. Dia membuka matanya dengan penuh kegelisahan
dan menjadi semakin bingung ketika dia menemukan dirinya sendiri telah rebah di atas pembaringan
dalam sebuah kamar yang indah, kamarnya di istana Bhutan! Dan terdengar suara yang tenang dan penuh
perasaan iba.
“Tenanglah, Taihiap. Harap engkau suka menguatkan batinmu.”
Tek Hoat menoleh dan ternyata yang bicara itu adalah Panglima Jayin. Dia bangkit duduk dan memegang
tangan panglima itu yang dijulurkan kepadanya. “Panglima apakah yang terjadi dengan Syanti Dewi?”
Panglima itu menggeleng kepalanya. “Tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan beliau, Taihiap.”
“Akan tetapi... dia... dia telah mati dan aku... aku masih bertemu dengannya...“
Panglima Jayin itu tersenyum sedih dan mengira bahwa pemuda ini tentu mengigau. “Taihiap terlalu
mendalam memikirkan beliau. Beliau belum meninggal dunia, dan atas perkenan sri baginda raja saya
akan menceritakan semua kepadamu, Taihiap. Wanita yang kau sangka sang puteri itu, yang datang
bersama pengkhianat Mohinta, kemudian berusaha membunuh sri baginda dan akhirnya tewas,
sebenarnya bukanlah Sang Puteri Syanti Dewi, melainkan seorang wanita lain yang memalsukan beliau.
Sang Puteri Syanti Dewi adalah seorang wanita budiman dan mulia, tidak mungkin melakukan hal rendah
seperti itu.”
Tek Hoat meloncat berdiri, wajahnya berseri biar pun masih amat pucat. “Ahhh, sudah kuduga demikian,
hanya hati yang lemah ini, otak yang tolol ini masih saja meragukan kesuciannya! Aku harus pergi
mencarinya!”
Panglima Jayin memegang lengannya dan dengan lembut menyuruh pemuda itu duduk kembali. “Ketika
engkau menderita luka-luka parah dan rebah tak berdaya, kami tidak berani menceritakan tentang beliau
padamu. Kemudian, kemarin kami tidak melihatmu di dalam kamar dan setelah kami mencari-cari, kami
menemukan Taihiap rebah pingsan di dalam hutan, kemudian kami bawa kembali ke sini. Agaknya Taihiap
mengigau atau mimpi...“
“Tidak, tidak...! Aku tidak mimpi, aku benar-benar bertemu dengan Syanti Dewi. Ah, aku harus segera
mencarinya sebelum dia pergi jauh!”
“Engkau masih lemah, Taihiap.”
“Tidak, biarkan aku menghadap sri baginda, mohon perkenannya. Akan kucari sang puteri sampai dapat!”
Raja Bhutan merasa girang melihat betapa Tek Hoat kelihatan sembuh dan dia pun tidak berkeberatan
mendengar permohonan Tek Hoat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Memang hanya engkaulah yang kiranya akan mampu menemukan kembali anakku itu, Tek Hoat. Engkau
carilah dia, bawa bekal secukupnya, kalau perlu bawa pasukan sebanyaknya, dan jangan kembali ke sini
kalau belum bersama anakku.” Demikian antara lain Raja Bhutan berpesan kepada pemuda yang telah
diakuinya sebagai panglima muda dan juga sebagai calon mantunya itu.
Demikianlah, untuk kedua kalinya Tek Hoat meninggalkan Bhutan. Akan tetapi sekali ini kepergiannya jauh
berbeda dengan yang sudah-sudah. Sekali ini dia pergi dengan doa restu dari Raja Bhutan dan membawa
perbekalan secukupnya. Akan tetapi Tek Hoat tidak mau membawa pasukan dan pergi seorang diri saja.
Dia melakukan pengejaran dan mencari jejak Syanti Dewi yang diketahuinya penuh keyakinan telah datang
menjenguknya, akan tetapi karena ketololannya kembali dia menyakitkan hati puteri itu, sungguh pun tidak
seorang pun di Bhutan percaya bahwa sang puteri benar-benar telah pulang untuk waktu singkat sekali itu.
Penderitaan batin yang timbul akibat cinta asmara memang penanggungannya amatlah berat, karena
orang akan merasa amat kesunyian, amat nelangsa, hidup seakan-akan kosong tidak ada artinya,
lenyaplah semua gairah hidup, lenyap semua kegembiraan, yang terasa hanyalah kelesuan, lemah lunglai
rasanya seluruh tubuh, tanpa semangat membuat orang malas dan tak acuh. Semua ini timbul karena
perasaan iba diri yang amat mendalam.
Tek Hoat melakukan perjalanan seperti boneka hidup, seorang manusia yang sudah kehilangan semangat
dan kegembiraannya. Hanya ada satu saja yang masih membuat dia kuat mempertahankan semua itu,
ialah semangat mencari Syanti Dewi sampai dapat! Dia melakukan perjalanan yang susah payah, tak
pernah berhenti, hanya makan kalau perutnya sudah tidak kuat menahan lagi, hanya tidur kalau matanya
sudah tak dapat dibuka, dan hanya beristirahat kalau kedua kakinya sudah mogok jalan. Berhari hari dia
menjelajahi seluruh hutan di mana dia mengejar Syanti Dewi, kemudian dia melanjutkan perjalanan ke
timur, karena dia merasa yakin bahwa kekasihnya itu tentu pergi ke timur. Ke mana lagi kalau tidak ke
sana? Dan dia akan terus mencari, sampai ke ujung dunia sekali pun!
Tanpa diketahuinya, Tek Hoat sedang menuju ke arah tempat di mana Su-ok dan anak buahnya, yaitu para
orang cebol itu, berkumpul dan menimbulkan kekacauan di dusun. Pagi itu dia berjalan seenaknya
memasuki daerah itu, tidak tahu bahwa gerak-geriknya sudah diintai oleh banyak mata, karena dianggap
sebagai hasil pancingan orang-orang pendek yang mempergunakan Yan Hui sebagai umpan!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ouw Yan Hui yang lihai itu dikeroyok oleh anak buah Su-ok dan
akhirnya tertawan, dibelenggu di belakang kuil sebagai umpan karena Su-ok merasa yakin bahwa wanita
yang lihai itu pasti datang bersama teman temannya. Dan pagi hari itu, muncul seorang pemuda yang dari
jauh saja sudah dikenal oleh Su-ok!
Seperti diketahui, Tek Hoat pernah membantu para pendekar saat terjadi pertandingan di dalam benteng
para pemberontak, dan Su-ok mengenal pemuda ini sebagai Si Jari Maut! Tahulah dia bahwa pemuda ini
memiliki kepandaian tinggi dan terhitung musuh karena bukankah kemudian ternyata bahwa pemuda ini
membantu pihak pendekar yang ikut menyerbu benteng?
Maka diam-diam Su-ok sudah mempersiapkan lima orang sute-nya yang lihai itu, mengikuti gerak-gerik
Tek Hoat. Dan tepat seperti yang dia duga, pemuda itu menuju ke kuil, tentu saja untuk menolong wanita
tawanan mereka itu! Padahal, Tek Hoat sendiri tidak pernah menduga bahwa di belakang kuil itu ada
seorang wanita tertawan, dan kalau dia menuju ke kuil itu adalah karena kakinya telah merasa lelah dan
dia hendak beristirahat di dalam kuil itu. Karena pikirannya banyak termenung, kewaspadaannya banyak
berkurang dan dia tidak tahu bahwa ada beberapa orang mengintai gerak geriknya.
Maka terkejutlah Tek Hoat ketika tiba-tiba saja dari balik pohon-pohon, semak-semak dan batu-batu
berlompatan keluar lima orang cebol yang dengan buasnya serta-merta menerjang dan menyerangnya
tanpa banyak cakap lagi!
“Eh, ehh, ehhh, mau apa kalian ini?” bentaknya sambil mengelak ke kanan kiri.
“Ha-ha-ha, Si Jari Maut, kenapa kelihatan gugup? Hayo kau coba pecahkan Khai-lo-sin Ngo-heng-tin, haha-
ha!”
Mendengar suara orang itu dari atas, Tek Hoat menengok dan segeralah dia mengenal Su-ok Siauw-siangcu,
orang keempat dari Ngo-ok yang lihai. Terkejutlah dia dan tahulah dia bahwa dia telah bertemu orang
jahat, musuh yang tak mungkin dapat diajak bicara lagi. Maka dia pun lalu mencurahkan perhatiannya
dunia-kangouw.blogspot.com
untuk membela diri. Kini dia melihat betapa lima orang cebol itu mulai mengurungnya, melangkah lambatlambat
mengitarinya, wajah mereka yang lucu-lucu dan aneh-aneh itu kelihatan menyeramkan, mata
mereka terbelalak dan seperti mata binatang haus darah. Agaknya gerakan mereka itu dipimpin oleh kakek
cebol yang brewok, karena empat yang lain selalu melirik ke arah si brewok ini. Maka Tek Hoat yang berdiri
tegak di tengah-tengah lingkaran itu juga memperhatikan cebol brewok itu. Dan dugaannya itu memang
tepat. Si brewok ini memang merupakan pimpinan dari Khai-lo-sin Ngo-heng-tin, yaitu barisan lima orang
yang amat lihai dan yang kemarin telah merobohkan Ouw Yan Hui itu.
Tiba-tiba, seperti merupakan aba-aba, si brewok itu mengeluarkan bentakan yang parau seperti suara
singa kelaparan dan tubuhnya yang pendek itu sudah bergerak. Serangan si brewok cebol itu amat
dahsyat, tubuhnya melayang ke atas dan kedua tangannya mencengkeram ke arah mata dan leher Tek
Hoat. Namun, dengan tenang Tek Hoat sudah memutar tubuhnya mengelak dan tangannya sudah siap
untuk merobohkan lawan ini dengan pukulan dari bawah. Akan tetapi, pada saat itu, dari empat penjuru,
empat orang cebol lainnya telah menyerbu dengan gerakan berbareng, dan terpaksa Tek Hoat harus
menghadapi mereka semua itu dengan mengandalkan kelincahan gerakannya untuk mengelak karena
masing-masing lawan yang bertubuh kecil pendek itu ternyata melakukan serangan yang cukup ampuh
dan berbahaya.
Tubuh Tek Hoat masih belum sembuh betul dari kelemahan yang menyerangnya selama berbulan-bulan,
dan selama itu, dia tidak pernah berlatih silat sehingga otot ototnya kaku. Akan tetapi, begitu menghadapi
bahaya, secara otomatis semua syaraf dan otot tubuhnya bekerja dan mulailah dia menggerakkan
tubuhnya dengan penuh tenaga sinkang dan kini dia mulai membalas dengan tamparan, pukulan mau pun
tendangan. Dan setiap tamparannya yang ditangkis lawan tentu membuat lawan itu terdorong, bahkan
angin pukulannya yang kuat membuat beberapa orang cebol mengeluarkan teriakan kaget. Tak mereka
sangka bahwa lawan ini ternyata lebih lihai dari pada wanita cantik itu!
Tek Hoat sama sekali tidak memandang rendah lawan, sungguh pun lima orang cebol yang
mengeroyoknya itu seolah-olah hanya merupakan lima orang anak kecil yang nakal. Dengan hadirnya Suok
di situ, dia dapat menduga bahwa tentu lima orang cebol ini pun berkepandaian tinggi.
Maka dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menggunakan seluruh kepandaian untuk menghadapi lima
orang pengeroyoknya ini. Melihat betapa lima orang itu setiap kali menyerang tentu mengarah kepada
nyawanya, Tek Hoat menjadi marah dan dia pun mengerahkan ilmunya yang ampuh, yaitu Toat-beng-ci
(Jari Pencabut Nyawa), ilmu pukulan dengan jari yang membuat dia dikenal sebagai Si Jari Maut. Jari-jari
tangan ini bukan hanya menotok jalan darah, akan tetapi sekali mengenai lawan akan langsung mencabut
nyawa lawan. Jari-jari itu dapat memutus otot dan tulang, merusak jalan darah, bahkan dapat menusuk
kepala!
Perkelahian yang terjadi ini amat hebat. Gerakan Tek Hoat, tidak begitu cepat karena dia yang cerdik,
maklum bahwa tidak mungkin dia dapat mengandalkan kecepatan melawan lima orang yang memiliki
gerakan teratur dan kerja sama yang amat baik seolah-olah dikemudikan oleh satu kepala saja itu. Dia
bersilat dengan tenang, lambat tapi gerakannya kuat sekali dan setiap bagian tubuhnya selalu terjaga dan
terlindung.
Lima orang itu pun mengeluarkan semua kepandaian mereka. Gerakan mereka teratur dan saling
membantu, saling melindungi, dengan serangan-serangan yang bertubi dan bergiliran secara teratur sekali,
dan serangan mereka itu berubah-ubah dengan tenaga yang berubah-ubah pula sesuai dengan sifat Ngoheng.
Namun, Tek Hoat yang bersikap tenang itu tidak menjadi gugup. Dia bersilat dengan ilmu silat gabungan
Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun, dan dia selalu mengerahkan tenaga Inti Bumi yang amat hebat
sehingga setiap kali beradu lengan dengan seorang lawan, tentu lawan itu terpelanting. Namun begitu
terpelanting, empat orang saudaranya telah melindunginya secara otomatis!
Seratus jurus telah lewat dan barisan Ngo-heng-tin itu belum mampu merobohkan Tek Hoat. Kalau tadinya
Tek Hoat masih bersilat dengan lambat berhubungan dengan kekuatannya yang belum pulih, sekarang
nampak dia mulai bersemangat, gerakan gerakannya lebih dahsyat. Hal ini adalah karena semangat
bertanding Tek Hoat mulai ‘hidup’ lagi. Mengingat bahwa Su-ok merupakan seorang di antara mereka yang
berusaha menawan Syanti Dewi dan mengganti kekasihnya itu dengan wanita palsu, semangatnya bangkit
dan kemarahannya meluap.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagus, kalian semua sudah bosan hidup agaknya!” dia membentak dan kini dari kedua tangan dengan
jari-jari terbuka itu keluar hawa yang mengeluarkan suara bercuitan mengerikan!
Begitu dia memutar tubuh dan kedua lengannya dikembangkan, lima orang lawan itu terkejut, ada yang
meloncat mundur, akan tetapi dua di antara mereka memberanikan hati menangkis.
“Dukkk! Dukkkkk!”
Dua orang itu terpelanting dan mereka berloncatan bangun dengan muka pucat. Lengan mereka terluka,
kulitnya robek berdarah! Memang luka-luka itu tidak berat, akan tetapi setidaknya membuat mereka terkejut
dan jeri sekali terhadap pemuda yang amat lihai ini. Melihat itu, Su-ok marah bukan main.
“Sute semua jangan takut, biar aku membantu kalian merobohkan bocah sombong ini!”
Tubuh yang pendek kecil itu menyambar turun langsung saja menerkam Tek Hoat dengan dahsyatnya.
Namun Tek Hoat sudah siap siaga, dengan cepat dia meloncat mundur, kemudian mengirim tendangan
yang juga dapat dielakkan oleh Su-ok. Lima orang cebol menjadi besar hati dan timbul kembali keberanian
mereka ketika mereka melihat suheng mereka ikut maju mengeroyok, dan sekarang mereka menyerang
dan menghujani Tek Hoat dengan pukulan-pukulan yang dibantu pula oleh berbagai macam senjata!
Tek Hoat mengamuk terus. Tetapi kini dia menghadapi lawan yang amat berat. Su-ok Siauw-siang-cu
adalah seorang datuk kaum sesat yang sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sukar dicari
bandingannya. Melawan kakek cebol ini sendirian saja masih amat sukar bagi Tek Hoat untuk menang,
apa lagi kini Su-ok dibantu oleh lima orang sute-nya, dan dia sendiri baru saja sembuh dari sakit sehingga
betapa pun juga, dia belum dapat menguasai kembali seluruh kelincahan dan tenaganya. Betapa pun juga,
Tek Hoat tidak merasa gentar dan dia terus mengamuk, biar pun kini dia harus lebih banyak berloncatan
dan mengerahkan dan untuk menangkis. Dia tidak mempunyai banyak kesempatan lagi untuk membalas
serangan.
Tiba-tiba Su-ok meloncat ke depan, tubuhnya berjongkok rendah, kedua tangannya digerak-gerakkan
secara aneh dan lima orang sute-nya meloncat ke kanan kiri menjauh! Tiba-tiba Su-ok mendorongkan
kedua tangannya ke arah Tek Hoat dan terdengar dari perutnya keluar bunyi berkokok beberapa kali.
Angin dahsyat menyambar dibarengi bau yang amis ke arah Tek Hoat.
Pemuda ini terkejut bukan main, dapat mengenal ilmu pukulan yang dahsyat dan amat berbahaya, maka
dia sudah meloncat jauh ke kanan di mana dia disambut dan dikurung oleh lima orang kakek cebol lainnya.
Su-ok mengeluarkan pukulan Katak Buduk ini sebagai selingan dan selalu Tek Hoat meloncat jauh, tidak
berani menghadapi pukulan ini dengan langsung, tidak berani menangkis, karena dari sambaran anginnya
saja dia tahu bahwa pukulan itu mengandung hawa beracun yang amat berbahaya.
Dia sendiri pun sudah memiliki tenaga ampuh, dan pukulan-pukulan beracun setelah dia mempelajari kitabkitab
peninggalan para tokoh Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Akan tetapi
karena dia kalah tingkat dan kalah latihan, maka dia tahu bahwa menghadapi pukulan itu secara langsung
amatlah berbahaya. Maka, dia lalu mengamuk dan makin mendesak lima orang sute dari Su-ok itu saja,
dan begitu Su-ok datang menyerangnya, dia meloncat menjauhkan diri.
Sementara itu, setelah melihat bahwa penjaganya, Su-ok yang mengerikan itu, telah pergi dan agaknya
ada suara perkelahian di sebelah depan kuil, Ouw Yan Hui berusaha untuk melepaskan belenggu kedua
tangannya, akan tetapi usahanya itu tidak berhasil. Belenggu dari rantai besi yang kokoh itu terlampau kuat
baginya sehingga dia tidak berhasil mematahkannya, bahkan kedua pergelangan tangannya lecet-lecet
dan terasa nyeri sekali.
Hatinya mulai khawatir. Dia tidak tahu siapa yang datang dan bertanding dengan para orang cebol itu.
Melihat betapa sampai lama orang itu dapat mempertahankan diri, jelas bahwa yang datang adalah orang
yang pandai. Betapa inginnya untuk dapat bebas dan membantu orang itu, siapa pun juga orangnya, untuk
menghajar orang-orang cebol yang kurang ajar itu.
“Hui-ci..., sssttttt...!”
Yan Hui terkejut, menoleh dan wajahnya berseri melihat munculnya orang yang sama sekali tidak
disangka-sangkanya akan muncul di tempat itu. Kiranya yang muncul adalah Syanti Dewi!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Syanti! Cepat... belengguku ini...,” bisiknya kembali.
Syanti Dewi meloncat ke belakang pilar, menggunakan pedangnya untuk mematahkan belenggu yang
mengikat kedua tangan Ouw Yan Hui. Dan setelah bebas, Ouw Yan Hui lalu menggosok-gosok kedua
pergelangan tangannya, memandang kepada Syanti Dewi dengan muka merah.
“Syanti... ahhh, ternyata engkau malah yang rnenolongku! Mari kita bantu orang itu!” Tanpa menanti
jawaban lagi, tubuh Yan Hui mencelat keluar kuil, diikuti oleh Syanti Dewi.
Seperti telah kita ketahui, dalam perjalanannya, Syanti Dewi melihat penduduk dusun diganggu
sekumpulan orang cebol yang sakti menurut penuturan para prajurit Bhutan yang mengenalnya. Dia
menyuruh para prajurit meminta bantuan ke Kota Raja Bhutan, sedangkan dia sendiri kemudian melakukan
penyelidikan pada pagi hari itu. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia tiba di kuil itu dari belakang,
dia melihat Ouw Yan Hui terbelenggu pada pilar besar, sedangkan di bagian depan kuil itu terjadi
perkelahian yang belum dia ketahui siapa orangnya. Tanpa ragu-ragu lagi dia lantas menolong gurunya,
kemudian mengikuti Ouw Yan Hui pada saat gurunya itu meloncat keluar kuil untuk membantu orang
menghadapi para orang cebol yang sakti.
Ketika dua orang wanita cantik ini tiba di depan kuil, pertempuran antara Tek Hoat yang dikeroyok enam
masih berlangsung seru, biar pun kini Tek Hoat hanya mengelak dan menangkis saja, sama sekali tak
mampu lagi membalas serangan. Pemuda itu sungguh hebat, masih dapat mempertahankan diri dan
belum dapat dirobohkan.
“Manusia-manusia cebol terkutuk!” mendadak Ouw Yan Hui membentak nyaring dan tubuhnya melesat ke
depan, terjun ke dalam medan pertempuran.
Semua orang cebol merasa kaget, terutama sekali si brewok yang langsung menerima serangan Ouw Yan
Hui. Datangnya serangan demikian tiba-tiba dan pada saat itu, tubuhnya masih terhuyung oleh tangkisan
Tek Hoat. Maka tanpa dapat dicegah lagi, tendangan Ouw Yan tepat mengenai lambungnya. Si brewok
berteriak dan tubuhnya terlempar, perutnya mendadak menjadi mulas dan dia mengaduh-aduh.
Su-ok adalah seorang yang cerdik, juga licik. Dia tahu bahwa Tek Hoat Si Jari Maut amat berbahaya,
bahkan setelah dibantu oleh lima orang sute-nya, sampai ratusan jurus dia dan para sute-nya belum
mampu mengalahkan pemuda ini. Dan sekarang muncul wanita yang memiliki ginkang amat luar biasa itu.
Munculnya wanita yang terbelenggu itu membuktikan bahwa tentu ada orang sakti lain yang
membebaskannya, maka tentu akan muncul orang-orang sakti lain. Keadaan menjadi berbahaya dan tidak
menguntungkan bagi pihaknya, maka dia lalu mengeluarkan teriakan sebagai isyarat dan cepat dia
meloncat jauh dan melarikan diri, diikuti oleh para sute-nya, si brewok paling belakang karena dia harus
berlari sambil memegangi perutnya yang masih mulas!
Ang Tek Hoat berdiri dengan kepala pening dan terasa berdenyut-denyut. Dia baru saja sembuh, tetapi tadi
dia telah terlalu banyak mengerahkan tenaga sehingga kepalanya kini menjadi pening, dan dia tidak
mengejar mereka yang melarikan diri. Dia tahu bahwa dia telah dibantu orang pandai, maka biar pun
pandang matanya menjadi agak kabur karena kepeningan kepalanya, dia tetap menengok dan
memandang orang yang telah membantunya sehingga musuh melarikan diri. Dia melihat seorang wanita
cantik jelita dan seorang wanita lain agak jauh di belakangnya.
“Dewi...! Ahhh, Syanti Dewi...!” Dia berseru dan seperti orang mabuk dia terhuyung ke depan, menghampiri
Syanti Dewi yang sejak tadi berdiri bengong ketika mendapat kenyataan bahwa orang yang bertanding
dikeroyok banyak orang cebol dan dibantu oleh gurunya itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
“Ahhh, engkau...!” Dia terisak lalu sekali meloncat dia telah melarikan diri.
“Syanti...! Syanti Dewi...! Jangan tinggalkan aku...!” Tek Hoat meloncat dan mengejar akan tetapi
kepalanya terasa makin pening dan dia tersandung, jatuh terguling.
“Syanti, tunggu dulu!” Ouw Yan Hui yang menyaksikan semua itu menjadi bingung, akan tetapi dia lalu
mengejar Syanti Dewi.
Syanti Dewi tidak mau berhenti sehingga Ouw Yan Hui terpaksa terus mengejar sambil mengerahkan
tenaganya karena muridnya itu telah memiliki ilmu berlari cepat yang hebat dan tidak jauh selisihnya
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan ilmunya sendiri. Suara panggilan dari mulut Tek Hoat sudah tidak terdengar lagi ketika akhirnya dia
berhasil menyusul Syanti Dewi.
“Syanti, tunggulah aku ingin bicara denganmu!” kata Ouw Yan Hui.
Syanti Dewi akhirnya berhenti dan mengusap beberapa butir air matanya. Sejenak Ouw Yan Hui berdiri
tertegun di depan muridnya itu. Dia adalah seorang wanita yang sudah banyak pengalaman, dan dia
pernah mendengar penuturan Puteri Bhutan ini tentang riwayatnya.
“Syanti, apakah dia itu tadi yang bernama Ang Tek Hoat itu?”
Syanti Dewi masih menunduk, dan dia hanya mengangguk.
“Aih, Syanti, bagaimana engkau ini? Bukankah engkau dulu mencari-carinya? Bukankah engkau menderita
karena perpisahanmu dengan dia? Dan sekarang, setelah bertemu, mengapa engkau malah menjauhkan
dirimu darinya?”
Diam-diam Ouw Yan Hui harus mengakui bahwa pria yang dicinta oleh muridnya itu adalah seorang
pemuda yang tampan dan memiliki kepandaian tinggi, seorang yang patut menjadi jodoh puteri yang cantik
jelita ini.
Akan tetapi Syanti Dewi hanya menangis. Syanti Dewi teringat akan nasibnya yang dianggapnya amat
buruk. Harapannya yang mulai timbul kembali hancur berantakan. Kehidupannya yang penuh damai di
Pulau Ular di sisi gurunya ini dihancurkan oleh kenyataan keji, oleh kebiasaan gurunya yang menjijikkan
sehingga membuatnya lari ketakutan. Kemudian, pertemuannya dengan Tek Hoat yang menghidupkan
kembali harapan dan cinta kasihnya, dihancurkan oleh kenyataan ketika Tek Hoat memakinya. Kini dia
tidak tahu lagi ke mana harus pergi, dan apa yang harus diperbuat!
Melihat ini, Ouw Yan Hui merasa kasihan kepada Syanti Dewi dan dengan lembut tangannya menyentuh
pundak Syanti Dewi. Akan tetapi, begitu pundak itu tersentuh, puteri itu tersentak kaget dan meloncat ke
belakang, mengelak dan memandang kepada gurunya dengan mata terbelalak, mata yang amat indah,
akan tetapi kini terbuka lebar seperti mata seekor kelinci yang ketakutan.
“Tidak...! Tidak... jangan sentuh aku...!”
Melihat sikap muridnya ini, Ouw Yan Hui memandang dengan muka pucat, kemudian dia menjatuhkan diri
di atas rumput, menutupi mukanya dan menarik napas panjang berkali-kali. “Ahhh, sekarang aku mengerti
mengapa engkau melarikan diri dari pulau... maafkan aku, Syanti, bukan maksudku untuk membuat
engkau terkejut dan ketakutan. Maafkan aku... wanita yang kesepian dan sengsara ini...“ Dan Ouw Yan
Hui, wanita yang angkuh dan bersikap dingin itu kini menangis tersedu-sedu!
Syanti Dewi tertegun. Sejenak dia berdiri seperti patung memandang kepada gurunya, kemudian timbul
rasa iba di hatinya. Betapa pun juga, dia telah berhutang banyak budi kepada gurunya ini, dan harus
diakuinya bahwa gurunya ini merupakan sahabat yang amat baik, yang telah banyak melakukan kebaikan
kepadanya, banyak menghiburnya, banyak pula mendidiknya, bahkan telah menyelamatkan nyawanya
ketika Ouw Yan Hui membawanya lari dari dalam benteng yang terbakar. Akhirnya dia menjatuhkan diri
berlutut di samping gurunya dan memegang lengan gurunya. “Enci... akulah yang harus minta maaf, telah
pergi tanpa pamit.”
Ouw Yan Hui menurunkan kedua tangannya dan memandang melalui air matanya yang memenuhi kelopak
matanya, dan dia mencoba untuk tersenyum, senyum pahit sekali. “Tidak, Syanti, engkau tidak bersalah.
Tentu engkau jijik dan ngeri menyaksikan apa yang waktu itu kulakukan itu bersama bibi Maya Dewi...“ Dia
menarik napas panjang dan mengusap air matanya.
“Tapi... kenapa engkau lakukan perbuatan seperti itu, Enci Hui?”
“Ahhh, engkau tentu tidak mengerti, Syanti. Aku adalah wanita yang telah mengalami kehancuran hati
karena pria, maka, anehkah kalau aku mencari hiburan antara sesama wanita? Memang aku lemah... ah,
akan tetapi... sungguh mati aku tak ingin menyeretmu ke dalam kebiasaan buruk itu. Aku sayang
kepadamu, Syanti, seperti kepada adik sendiri. Aku merasa terkejut dan berduka sekali saat engkau pergi,
aku mencari-carimu untuk minta maaf. Dan siapa yang duga, engkau malah yang tadi telah
menyelamatkan aku...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Itu semua tidak ada artinya, Enci. Engkau pun pernah menyelamatkan aku, bahkan telah melimpahkan
banyak sekali kebaikan.”
“Syanti, kalau engkau memang mencinta pemuda itu, yang kulihat amat baik dan gagah perkasa, mengapa
engkau lari meninggalkannya? Kulihat dia masih amat mencintamu, bahkan agaknya menderita
karenamu...”
“Tidak! Dia keji, dia menyakitkan hati, biar dia menderita sekarang!” Tiba-tiba Syanti Dewi mengepal tinju
dan wajahnya membayangkan kemarahan, biar pun kembali air matanya mengalir keluar. Kemudian dia
pun menceritakan semua yang telah dialaminya dengan Tek Hoat, betapa dia dituduh yang bukan-bukan
oleh Tek Hoat setelah segala pengorbanan yang dilakukannya demi cintanya kepada pemuda itu.
Ouw Yan Hui mendengar dengan penuh perhatian dan akhirnya dia pun mengangguk angguk. “Ahh,
pantas engkau merasa sakit hati. Memang sesungguhnya prialah mahluk berhati lemah, bukan wanita!
Prialah yang suka menyeleweng, yang tidak mempunyai keteguhan hati, tidak mempunyai kesetiaan,
mudah tergoda oleh kesenangan! Memang sepatutnya kalau engkau memberi pelajaran kepadanya,
Syanti. Mari engkau ikut saja bersamaku ke pulau, bersembunyi di sana dan kita hidup bahagia di sana,
jauh dari godaan kaum pria yang mata keranjang dan berhati palsu.”
“Terima kasih, Enci. Memang aku senang sekali tinggal di sana, hanya...“
“Harap kau jangan ulangi lagi hal itu. Kasihanilah aku, Syanti. Aku merasa malu dan menyesal sekali telah
membuatmu ketakutan. Aku berjanji bahwa engkau tidak akan melihat lagi hal seperti itu terjadi di pulau...“
“Akan tetapi... bibi Maya...“
“Jangan khawatir, dia telah pergi dan tidak akan pernah datang lagi ke pulau.”
Syanti Dewi merasa girang dan hatinya terasa lapang. “Aku girang sekali, Enci, akan tetapi aku hanya...
mengganggu kesenanganmu saja...“
“Tidak, kesenangan terkutuk itu memang harus dihentikan. Andai aku menghendaki, aku masih dapat
melakukannya di luar pulau, di luar pengetahuanmu. Sudahlah, Syanti Dewi, mari kita pergi menikmati
hidup berdua di sana.”
“Terima kasih, Enci. Aku pun berjanji tidak akan meninggalkan pulau lagi sampai… sampai datang... dia
yang minta-minta ampun kepadaku.”
“Aku mengerti, dan aku akan membantumu, adikku yang manis.”
Maka pergilah kedua orang wanita itu dengan perjalanan cepat sekali, pulang menuju ke Kim-coa-to (Pulau
Ular Emas) dan dikarenakan memang ada rasa sayang di antara keduanya, sebentar saja mereka telah
akur dan menjadi akrab kembali. Di sepanjang perjalanan, semua orang, terutama yang pria, tentu
memandang mereka dengan sinar mata penuh kagum karena mereka merupakan dua wanita yang luar
biasa cantiknya, dengan pakaian yang mewah pula dan Ouw Yan Hui amat royal mengeluarkan uang di
sepanjang perjalanan. Seperti dua orang puteri istana saja yang sedang melakukan tamasya tanpa
pengawalan…..
********************
Sejauh mata memandang yang nampak hanya pasir dan pasir. Itulah permulaan gurun pasir di luar
Tembok Besar. Jarang ada manusia lewat di tempat yang sunyi dan liar ini, kecuali pada waktu-waktu
tertentu, di musim tenang karena hanya kalau tidak banyak angin bertiup dan panas matahari tidak begitu
menyengat saja maka tempat ini sering dilalui rombongan pedagang yang membawa barang-barang
dagangan ke utara, dan pulangnya membawa kulit-kulit binatang yang berharga dan hasil-hasil lain untuk
dibawa pulang ke selatan.
Hanya keledai-keledai saja yang kuat menyeberangkan manusia melalui padang pasir, kecuali tentu saja
binatang onta. Di musim yang banyak mengandung angin besar, bahkan kadang-kadang angin puyuh,
tidak ada orang berani lewat di daerah ini. Padang pasir itu berubah menjadi lautan pasir, bergelombang,
dunia-kangouw.blogspot.com
membuat orang tak mampu membuka mata, dan kalau angin besar menyerang, terjadilah ‘banjir’ pasir
yang kadang kadang menimbun apa saja sampai puluhan kaki tingginya!
Akan tetapi di dataran Chang-pai-san, pasirnya tidak begitu tebal, bahkan di sana-sini. nampak batu-batu
menonjol keluar dan ada pula tanah yang berpadas. Daerah ini pun sunyi sekali, akan tetapi pada pagi hari
itu nampak dua orang berjalan menyeberangi padang pasir menuju ke Bukit Chang-pai-san yang nampak
menjulang tinggi di depan. Melihat ada dua orang berada di tempat sunyi ini saja sudah merupakan suatu
kejanggalan, apa lagi kalau melihat mereka, karena mereka itu sama sekali bukan orang-orang yang
pantas melakukan perjalanan jauh sampai ke daerah tandus dan sunyi liar ini.
Yang seorang adalah seorang kakek yang sudah tua sekali, sukar ditaksir berapa usianya, tubuhnya
bongkok sekali biar pun agak gemuk, jalannya lambat-lambat malas malasan dan kepalanya botak sampai
licin mengkilap. Sudah tua renta, punggungnya bongkok pula, masih ditambah lengan kirinya buntung!
Sungguh merupakan gambaran seorang tua yang patut dikasihani, yang kelihatan cacat dan lemah, maka
amatlah mengherankan melihat seorang tua renta cacat ini melakukan perjalanan di tempat seliar itu. Dan
temannya? Juga tidak patut menemani seorang tua renta lemah seperti itu karena orang kedua ini adalah
seorang dara yang masih amat muda, cantik jelita dan pakaiannya yang serba hitam itu membuat kulit
leher dan tangannya yang nampak menjadi semakin halus dan putih.
Memang merupakan pasangan yang aneh dan juga janggal karena mereka berdua adalah orang-orang
lemah nampaknya. Akan tetapi kalau orang mengenal siapa adanya mereka, tentu orang tidak akan
merasa heran lagi. Kakek tua renta yang lengan kirinya buntung dan punggungnya bongkok itu bukan lain
adalah Go-bi Bu Beng Lojin atau Si Dewa Bongkok, penghuni atau majikan dari Istana Gurun Pasir!
Seorang datuk besar dalam dunia persilatan dan namanya dihubungkan dengan dongeng-dongeng aneh
karena kakek ini lebih dikenal dalam dongeng dari pada dalam kenyataan yang jarang dijumpai manusia.
Sedangkan dara remaja itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang sudah amat terkenal, baik oleh golongan
pendekar mau pun golongan hitam. Dia adalah Kim Hwee Li, yang pernah dikenal sebagai puteri Hek-tiauw
Lo-mo majikan Pulau Neraka! Nama dara ini bahkan tidak kalah tenarnya dibandingkan nama Hek-tiauw
Lo-mo sendiri.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, dengan gagah berani Hwee Li telah menolong Dewa Bongkok
dari bahaya maut ketika kakek yang telah menderita luka parah itu nyaris dibunuh oleh Mauw Siauw Mo-li.
Hwee Li sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kakek yang ditolongnya dan yang kemudian
menurunkan ilmu-ilmunya yang aneh kepadanya itu sebenarnya adalah kakek gurunya sendiri. Kakek ini
adalah guru dari Kao Kok Cu, suami dari subo-nya! Memang selamanya, biar pun pernah datang ke Istana
Gurun Pasir, Hwee Li belum pernah bertemu dengan kakek sakti ini.
Setelah menolong kakek itu, Hwee Li lalu diajak ke dataran Chang-pai-san oleh Dewa Bongkok yang ingin
menyaksikan pertemuan antara Pendekar Super Sakti dan kelima Ngo-ok yang lihai, juga kakek ini ingin
bicara dengan Pendekar Super Sakti tentang putera pendekar itu yang telah menyusahkan hati Hwee Li! Di
sepanjang perjalanan itu, Hwee Li menerima ilmu-ilmu yang amat hebat, ilmu baru ciptaan kakek itu yang
diberi nama Cui-beng Pat-ciang oleh kakek itu. Sebutan Cui-beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Pengejar
Arwah) ini dipergunakan oleh Dewa Bongkok bukan untuk memberi kesan menyeramkan seperti yang
biasa dilakukan oleh tokoh-tokoh dunia hitam, melainkan untuk memperingatkan muridnya bahwa delapan
jurus pukulan sakti itu sungguh amat ampuh dan sekali dipergunakan, amat berbahaya bagi lawan yang
bagaimana lihai pun sehingga agar muridnya yang baru ini tidak sembarangan mempergunakannya untuk
memukul orang, melainkan lebih condong mempergunakan untuk menjaga diri.
Selain menurunkan Pat-ciang ini, juga Bu Beng Lojin menyempurnakan ilmu-ilmu silat yang telah dikuasai
dara itu dengan menyuruh Hwee Li berlatih silat dan memberi petunjuk-petunjuk dan perbaikan-perbaikan
sehingga dalam ilmu-ilmu ini Hwee Li memperoleh kemajuan amat hebat, menutupi kelemahan-kelemahan
dan menambah daya-daya serangan dalam setiap jurus. Dasar anak ini berotak tajam dan Si Dewa
Bongkok memberi petunjuk secara langsung, maka dalam waktu beberapa bulan saja dalam perjalanan,
Hwee Li telah menguasai semua petunjuk, bahkan telah menguasai pula Cui-beng Pat-ciang dengan baik,
tinggal mematangkan saja dalam latihan.
Selain itu, yang amat mengharukan hati Hwee Li dan membuat dara ini menjadi amat menyayang kakek itu
ialah, ketika pada suatu malam kakek tua renta ini memindahkan tenaga sinkang dari tubuhnya ke dalam
tubuh Hwee Li! Hal ini tentu saja hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang sudah memiliki kesaktian
setingkat dengan kakek bongkok ini. Dewa Bongkok telah mempergunakan ilmu yang disebut Hoan-khikhai-
hiat (Memindahkan Hawa Sakti Membuka Jalan Darah). Tentu saja perbuatan ini sungguh merugikan
dunia-kangouw.blogspot.com
dirinya sendiri, mengurangi banyak sekali tenaga saktinya, akan tetapi di lain pihak amat menguntungkan
Hwee Li karena dara ini mendapat tambahan tenaga sakti yang berlipat ganda.
Pada pagi hari itu tibalah mereka di tempat yang dituju, yaitu di dataran Chang-pai-san. Dari jauh mereka
sudah melihat seorang pria yang bertubuh kurus jangkung, rambutnya putih semua seperti perak, berkibarkibar
tertiup angin, kaki kirinya buntung sebatas paha, berdiri dengan satu kaki ditunjang tongkat bututnya,
tak bergerak seperti patung. Biar pun kakek itu hanya berkaki satu dan menimbulkan belas kasihan, namun
dalam keadaan berdiri tegak seperti patung itu, terdapat sesuatu yang membuat orang merasa jeri dan
kagum.
Saat melihat orang itu dari jauh, Hwee Li merasa bulu tengkuknya meremang dan dia bertanya kepada
Dewa Bongkok dalam bisikan, “Lo-cianpwe...” dia tidak menyebut suhu atau kakek kepada Dewa Bongkok
meski dia telah menerima ilmu-ilmu itu, melainkan menyebutnya locianpwe, “Siapakah orang di sana itu...?”
Biar mulutnya bertanya, namun batinnya menduga hahwa orang itu, pastilah Pendekar Super Sakti,
Majikan Pulau Es, ayah dari Kian Lee! Ketika masih kecil, nama Pendekar Super Sakti dari Pulau Es
merupakan nama dongeng yang menakutkan baginya, seperti juga bagi semua penghuni Pulau Neraka,
bahkan ayahnya sendiri, atau ayah angkat, Hek-tiauw Lo-mo, merasa takut sekali mendengar nama itu.
Dan sekarang, orang itu di sana, begitu menyeramkan, tentu saja hatinya menjadi gentar sekali.
Go-bi Bu Beng Lojin adalah seorang tua renta yang sudah banyak makan asam garam kehidupan, maka
melihat sikap Hwee Li yang jeri itu dia pun sudah dapat menduganya. Tentu anak ini merasa geiisah
bertemu dengan ayah dari kekasihnya, dan tentu anak ini sudah dapat menduga siapa adanya orang itu
karena memang amat mudah mengenal Pendekar Super Sakti, melihat kaki buntung dan rambut putih
seperti benang-benang perak itu. Dia sendiri memandang kagum ketika dia melangkah mendekati dan
diikuti oleh Hwee Li yang agak ketinggalan oleh karena gadis ini merasa betapa jantungnya berdebar
tegang dan kedua kakinya gemetar! Bahkan dia lalu berhenti, membiarkan kakek bongkok itu seorang diri
menghampiri kakek berkaki tunggal.
Dari jauh Hwee Li melihat betapa kakek berambut putih itu memutar tubuhnya yang hanya berkaki satu,
menghadapi kakek bongkok dan keduanya lalu saling memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan
depan dada, entah apa yang mereka ucapkan karena Hwee Li berada terlalu jauh untuk dapat mendengar
kata-kata mereka. Akan tetapi, melihat betapa sikap kedua orang itu amat bersahabat, kelihatan saling
beramah-tamah dan saling menghormat, timbul keberanian di dalam hatinya dan dia pun mendekati
sampai dapat mendengar percakapan mereka, dia berhenti lagi, merasa sungkan untuk makin mendekat
dan dia mendengar kakek bongkok berkata dengan suara halus.
“Pertama-tama, aku telah mendengar bahwa Ngo-ok menantangmu untuk mengadakan pertemuan di sini,
Taihiap. Dan aku merasa khawatir karena orang-orang sesat seperti mereka itu dapat melakukan segala
macam kecurangan, oleh karena itu aku datang untuk menjadi saksi.”
Pendekar Super Sakti menjura dengan hormat, “Banyak terima kasih atas perhatian Locianpwe, akan
tetapi sungguh tidak enak jika sampai menyeret Locianpwe ke dalam urusan pribadi ini, padahal Locianpwe
berada dalam keadaan terluka begitu parah. Biarkanlah saya mengobati Locianpwe...“
“Terima kasih, Taihiap, tidak perlu lagi, sudah terlambat. Memang aku tidak akan dapat membantumu
menghadapi mereka, namun setidaknya, dengan memandang mukaku, mereka tidak akan berani
sembarangan melakukan kecurangan. Dan urusan kedua lebih penting lagi, Taihiap. Aku sengaja
menemuimu untuk membicarakan keadaan puteramu yang bernama Suma Kian Lee.”
Pendekar Super Sakti Suma Han nampak terkejut mendengar disebutnya nama Kian Lee. “Ahh, ada
apakah dengan dia, Locianpwe?”
Kakek itu menarik napas panjang. “Sebetulnya tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, juga tidak
semestinya kalau aku mencampuri, akan tetapi mengingat pemuda itu adalah puteramu, putera seorang
pendekar yang sudah lama amat kukagumi, perlu kiranya aku membicarakannya denganmu, Taihiap.
Suma Kian Lee puteramu itu saling mencinta dengan seorang gadis, akan tetapi akhirnya meninggalkan
gadis ini setelah mendengar bahwa gadis itu adalah puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo dan ternyata anak
tunggal dari mendiang Kim Bouw Sin yang telah memberontak...“
“Ah, sungguh terlalu dia, mau saja terpikat oleh seorang perempuan rendah! Ada berita yang sampai
kepada saya tentang hal itu, Locianpwe, dan saya pun memang hendak mencari dan menegurnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bagaimana pun juga, saya tidak akan membiarkan dia merendahkan diri sedemikian rupa berdekatan
dengan anak seorang penjahat keji seperti Hek-tiauw Lo-mo, apa lagi kalau perempuan itu ternyata anak
kandung seorang pemberontak seperti Kim Bouw Sin! Tindakannya itu benar kalau dia meninggalkan
perempuan itu.” Pendekar Super Sakti bicara penuh perasaan marah dan penasaran.
Dan hal ini tidak aneh karena memang semenjak dia mendengar dari Ngo-ok tentang puteranya yang
tergila-gila kepada puteri Hek-tiauw Lo-mo, hatinya sudah penuh dengan kemarahan terhadap puteranya.
Maka, begitu mendengar kakek itu menyebut tentang puteranya yang berhubungan cinta dengan gadis itu,
kemarahannya berkobar sehingga dia agak lupa diri dan mengeluarkan kata-kata keras.
Si Dewa Bongkok sendiri yang tidak kebagian waktu bicara dan sudah didahului oleh kemarahan Pendekar
Super Sakti sampai melongo dan hanya memandang wajah pendekar itu dengan alis berkerut. Sementara
itu, ketika mendengar ucapan Pendekar Super Sakti, Hwee Li mendadak menjadi pucat mukanya, dia
merasa seolah-olah jantungnya ditusuk pisau berkarat. Dia mengeluh dan membalikkan tubuhnya
kemudian melarikan diri sambil merintih panjang.
Tentu saja hal ini tidak terlepas dari penglihatan Suma Han dan juga Dewa Bongkok. Keduanya
memandang dan selagi Dewa Bongkok hendak memanggil gadis itu, tiba-tiba terdengar suara orang
tertawa mengejek, “Seorang pendekar besar tapi tidak mampu mengurus puteranya sendiri, sungguh amat
menggelikan!”
Suma Han dan Dewa Bongkok menoleh dan melihat munculnya empat orang di antara Ngo-ok. Yang
pertama adalah Ji-ok (Si Jahat Nomor Dua) Kui-bin Nionio, wanita yang mukanya selalu tertutup oleh
topeng tengkorak tulen yang mengerikan itu, tubuhnya kecil ramping seperti tubuh seorang gadis muda,
dari balik mata tengkorak yang berlubang itu mengintai sepasang mata yang amat menyeramkan, mata
yang terbelalak lebar, jernih seperti mata kanak-kanak tetapi tajam bukan main dan selalu bergerak gerak
bola matanya, sedangkan rambutnya sudah putih semua. Di sebelah kanannya berjalan Twa-ok (Si Jahat
Nomor Satu) Su Lo Ti, kakek tinggi besar yang mukanya seperti gorilla itu, pakaiannya sederhana, gerakgeriknya
tenang dan halus.
Di belakang dua orang ini berjalan Su-ok (Si Jahat Nomor Empat) Siauw-siang-cu yang berkepala gundul
seperti hwesio, juga jubahnya seperti jubah hwesio, tubuhnya cebol dan wajahnya selalu menyeringai,
bersama Ngo-ok (Si Jahat Nomor Lima) Toat-beng Siansu, si jangkung kurus yang jubahnya seperti tosu,
juga gelung rambutnya. Hanya Sam-ok (Si Jahat Nomor Tiga) Ban Hwa Sengjin atau Koksu Nepal saja
yang tidak nampak. Akan tetapi Pendekar Super Sakti tidak memandang rendah, karena dia dapat
menduga bahwa belum tentu kalau hanya empat orang ini saja yang datang, dan kemungkinan besar
teman-teman mereka masih bersembunyi. Maka dengan tenang dia lalu menyambut mereka dengan sikap
angkuh.
“Im-kan Ngo-ok datang tepat pada waktunya akan tetapi belum lengkap!”
Ucapan Suma Han ini sekaligus memuji dan juga menantang, seolah-olah dia merasa kecewa mengapa
musuh-musuhnya tidak datang lengkap!
Twa-ok tertawa halus mendengar ini dan dia pun menjura lalu berkata, suaranya ramah tamah seperti
orang yang manis budi bahasanya, “Ah, Pendekar Super Sakti memang gagah perkasa, memenuhi
undangan kami. Akan tetapi agaknya keberanian Majikan Pulau Es yang disohorkan orang itu. terlalu
berlebihan, karena sekarang dia membawa bawa seorang teman yang tidak kepalang tanggung. Bukankah
Locianpwe ini Si Dewa Bongkok, majikan Istana Gurun Pasir?”
Kembali Twa-ok menjura ke arah Dewa Bongkok sambil tersenyum mengejek. Memang orang pertama dari
Im-kan Ngo-ok ini pandai sekali berpura-pura, padahal sejak muncul tadi, hatinya sudah gentar bukan main
ketika melihat Dewa Bongkok berada di situ bersama Pendekar Super Sakti. Biar pun dia belum pernah
bertemu dengan kakek sakti itu, akan tetapi dia dapat menduganya melihat keadaan kakek itu dan
mendengar Pendekar Super Sakti tadi menyebut Locianpwe kepadanya. Betapa pun juga, sebagai
seorang ahli yang pandai dia pun dapat melihat bahwa kakek sakti yang amat ditakuti orang ini sedang
berada dalam keadaan luka hebat sekali, hal yang membuatnya diam diam merasa heran akan tetapi juga
girang. Hilang kekhawatirannya karena dia maklum bahwa kakek sakti ini tidak mungkin ikut maju
membantu Pendekar Super Sakti.
“Im-kan Ngo-ok, jangan mengukur baju orang dengan bentuk tubuh sendiri!” Dewa Bongkok berkata penuh
wibawa. “Aku datang bukan atas ajakan atau undangan Suma taihiap, melainkan secara suka rela karena
dunia-kangouw.blogspot.com
aku ingin menonton pertemuan ini dan akan menjadi saksi agar jangan ada perbuatan pengecut dan
curang dilakukan di sini!”
“Hi-hi-hik, Twako, perlu apa bicara dengan dia? Tidak peduli siapa dia itu, kulihat dia tiada lain hanyalah
seorang kakek tua renta yang sudah menderita luka hebat dan hampir mampus, tapi sombongnya bukan
main!” tiba-tiba Ji-ok Kui-bin Nionio berkata sambil meludah melalui lubang di antara gigi-gigi tengkorak
yang mengerikan itu.
Ji-ok bukanlah seorang perempuan muda yang lancang dan sombong, sama sekali bukan. Dia adalah
seorang wanita yang cerdik sekali, dan kalau dia tidak melihat betapa kakek tua renta itu memang sudah
terluka parah, tentu saja dia akan bersikap lain dan sama sekali tidak berani main-main seperti itu.
Mendengar ucapan wanita bermuka tengkorak itu, Dewa Bongkok hanya menarik napas panjang karena
memang apa yang dikatakan wanita itu bahwa dia terluka parah merupakan kenyataan. Tentu saja kalau
dia mau, sekali dia menggerakkan tubuh dan menyerang dengan ilmunya yang hebat, wanita muka
tengkorak itu akan dapat ditewaskannya seketika, akan tetapi pengerahan tenaga itu pun akan mencabut
nyawa sendiri. Hal ini dia sadari benar, maka dia pun hanya menarik napas panjang.
Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti maklum akan keadaan Dewa Bongkok, maka dia
menggerakkan tangannya, berkata dengan suara lantang, “Kita bukan anak anak kecil yang jauh-jauh
datang untuk mengadu mulut. Mari, silakan duduk dan bicara sepatutnya!” Dia kemudian duduk bersila
dengan sebelah kakinya didahului oleh Dewa Bongkok yang memang perlu banyak beristirahat sambil
duduk bersila.
Melihat kedua orang itu sudah duduk berdampingan, empat orang di antara Im-kan Ngo-ok itu lalu
mengambil tempat duduk pula, duduk di atas tanah berpasir. Twa-ok dan Su-ok di depan mereka, Ji-ok dan
Ngo-ok di kanan kiri. Dewa Bongkok sudah duduk diam, memejamkan mata dan melintangkan lengan
tunggalnya di depan dada.
Keadaan menjadi sunyi menegangkan. Keenam orang itu duduk saling berhadapan membentuk lingkaran
dan Pendekar Super Sakti menatap wajah empat orang lawan itu satu demi satu. Kemudian terdengarlah
suaranya lantang dan suara ini mengandung getaran amat kuat.
“Im-kan Ngo-ok, kalian mengundangku untuk mengadakan pertemuan di tempat ini. Nah, aku sudah
datang, kalau ada persoalan lekas kemukakan, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk melayani kalian!”
Diam-diam Dewa Bongkok kagum. Pendekar Super Sakti adalah seorang tokoh yang jauh lebih muda
dibandingkan dengan dia, namun pendekar ini telah membuat nama besar sehingga namanya
menggetarkan dunia persilatan dan menjadi semacam nama dalam dongeng. Dan ternyata sikap pendekar
ini memang amat berwibawa, sungguh pun tadi dia merasa kecewa akan wawasan Pendekar Super Sakti
tentang hubungan puteranya dengan seorang gadis. Getaran suara penuh wibawa itu juga mempengaruhi
empat orang datuk kaum sesat itu, karena sejenak mereka duduk diam dan tiga orang di antara mereka
memandang kepada Twa-ok karena orang tertua atau pertama inilah yang diharapkan untuk menjadi wakil
pembicara.
Twa-ok dapat merasakan tuntutan saudara-saudaranya ini, dan dia sendiri pun agak gugup. Menghadapi
pendekar yang demikian tenang dan penuh wibawa sikapnya, sungguh mendatangkan kegugupan dan biar
pun dia mengerahkan tenaga batinnya untuk menenangkan diri, tetap saja suaranya terdengar agak
gemetar ketika dia menjawab, “Kami telah lama mendengar bahwa Majikan Pulau Es adalah seorang datuk
yang telah mengundurkan diri dari dunia ramai, selalu tinggal dengan aman tenteram di Pulau Es. Akan
tetapi secara tiba-tiba saja Pendekar Super Sakti muncul lagi di dunia kang-ouw. Hal ini amat
mengherankan dan membuat kami merasa penasaran.”
Suma Han mengerutkan alisnya yang sudah bercampur dengan uban. “Im-kan Ngo-ok, sesungguhnya
bukan berita kosong yang mengabarkan bahwa kami sudah bertahun tahun berada di Pulau Es dan tidak
mau lagi mencampuri urusan dunia yang penuh dengan permusuhan. Akan tetapi kami keluar dari Pulau
Es bukanlah untuk mencari permusuhan, melainkan untuk mencari kedua orang putera kami. Sebaliknya
Im-kan Ngo-ok yang juga terkenal sebagai tokoh-tokoh yang sudah mengundurkan diri dan bertapa, tibatiba
muncul dan bahkan mengacau dunia dengan perbuatan-perbuatan jahat mereka, bahkan membantu
pemberontakan. Andai kata kami mendengar dari Pulau Es, agaknya sudah wajar pula kalau kami lantas
sengaja keluar dari sana untuk menghadapi kalian! Sekarang, kulihat pemberontakan telah dipadamkan,
dunia-kangouw.blogspot.com
dan aku pun tidak mempunyai niat untuk bermusuhan dengan kalian, dan ini bukan berarti bahwa aku takut
kepada kalian. Nah, cukuplah, aku harus pergi mencari anak-anakku.”
“Nanti dulu!” Twa-ok membentak dan sekarang orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini sudah mendapatkan
kembali keberaniannya. “Pendekar Super Sakti, sudah semenjak dahulu kami ingin sekali berkenalan
dengan kelihaianmu, bahkan kami pernah merencanakan untuk mengunjungi Pulau Es, hanya untuk
menguji kepandaianmu. Sekarang setelah kita dapat bertemu di sini, dan memang jalan hidup kita selalu
bersimpangan, maka kami menantangmu untuk melanjutkan pertempuran antara kita beberapa bulan yang
lalu, dan sekali ini kami tidak akan berhenti sebelum satu di antara kita roboh!” Setelah berkata demikian,
Twa-ok meloncat bangun diikuti oleh tiga orang temannya. Mereka berempat sudah memasang kuda-kuda
dan siap maju menerjang.
Agaknya masa untuk menyukai pertempuran bagi Suma Han sudah lewat. Kalau dulu, tentu dia akan
menyambut tantangan ini dengan gembira. Akan tetapi sekarang dia bangkit dengan segan, menarik napas
panjang dan merasa malas untuk berkelahi.
“Tanpa alasan kalian menantang orang berkelahi, sungguh kalian ini orang-orang tua sudah kembali
seperti kanak-kanak.”
“Ha-ha-ha, Pendekar Siluman, bilang saja terus terang engkau tidak berani, ha-ha-ha!” Siauw-siang-cu
atau Su-ok yang pendek cebol itu mentertawakan dengan lagak yang amat mengejek dan dia sudah
memasang kuda-kuda dengan berjongkok, siap untuk melancarkan pukulan Katak Buduk yang amat lihai
itu.
“Majulah, siapa takut kepada kalian?” kata Suma Han, suaranya sama sekali tidak mengandung
kemarahan. Dia tidak mudah terpancing lagi untuk terjerumus ke dalam kemarahan yang hanya akan
melemahkannya.
“Siancai...! Sungguh inilah yang kukhawatirkan!” Mendadak terdengar Dewa Bongkok berkata halus. “Imkan
Ngo-ok, kalian semua termasuk datuk-datuk yang sudah memiliki kedudukan dan ilmu kepandaian
tinggi, kenapa bersikap seperti tukang-tukang pukul bayaran yang muda saja? Dunia kang-ouw selama
puluhan tahun tentu mengetahui hal ini. Kini kalian hendak maju melakukan pengeroyokan, apakah itu
dapat dinamakan gagah perkasa? Apakah kalian ingin merendahkan diri sebagai jagoan-jagoan pasar
saja?”
“Ha-ha-ha!” Su-ok tertawa. “Kalau kau merasa penasaran, majulah, Dewa Bongkok!”
“Su-te, serahkan Si Bongkok itu kepadaku!” Ji-ok menyambung.
Akan tetapi Twa-ok dengan sikap ramah-tamah dan suara halus menjawab, “Locianpwe agaknya tidak tahu
bahwa julukan kami adalah Im-kan Ngo-ok dan kami sudah biasa maju bersama, baik menghadapi seorang
lawan atau seratus orang lawan! Jumlah sudah tidak masuk hitungan lagi. Kalau Pendekar Super Sakti
maju ditemani orang orang lain, kami pun tidak akan menolak. Nah, Pendekar Super Sakti, apakah engkau
berani melawan kami?”
Suma Han berkata kepada Dewa Bongkok, “Harap Locianpwe suka menonton saja di pinggir, saya masih
sanggup menghadapi mereka ini.”
Dewa Bongkok menarik napas panjang. Kalau saja dia tidak terluka, tentu akan mudah saja
menanggulangi golongan sesat ini. Karena dia sendiri tak mampu berbuat sesuatu, maka dia lalu
melangkah ke pinggir dan memandang penuh perhatian karena dia tahu bahwa pertandingan yang akan
terjadi ini adalah pertandingan tingkat tinggi yang tentu amat hebat.
Dan memang sesungguhnya demikianlah. Empat orang Im-kan Ngo-ok itu merupakan tokoh-tokoh tingkat
atas yang telah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dalam perkelahian mereka itu tidak
lagi mengandalkan ketajaman dan kekuatan senjata. Kaki tangan mereka telah menjadi senjata yang amat
ampuh. Hanya orang-orang yang benar-benar sudah mencapai tingkat tinggi saja yang tidak lagi
membutuhkan bantuan senjata.
Twa-ok Su Lo Ti berdiri dengan kedua lengan terpentang lebar, dan sikunya ditekuk dan tangannya
membentuk cakar-cakar, bagai sikap seekor gorilla yang hendak menyerang. Dan memang kakek bermuka
gorilla ini mendasarkan ilmunya kepada gerakan gorilla, hanya bedanya, kalau binatang gorilla atau kera
dunia-kangouw.blogspot.com
raksasa itu mengandalkan kekuatan otot dan tulang, kakek ini mengisi gerakannya dengan tenaga sinkang
yang amat kuatnya, dan bahkan sambaran angin pukulannya saja sudah amat berbahaya bagi lawan, di
samping kekebalan kedua tangannya yang mampu menangkis senjata-senjata tajam.
Ji-ok Kui-bin Nionio amat berbahaya dengan ilmunya yang luar biasa, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang). Jangan
kata tersentuh atau tertusuk oleh jari-jari tangannya, baru terkena hawanya saja sudah dapat melukai
lawan. Su-ok Siauw-siang-cu amat hebat dengan ilmu pukulan Katak Buduk yang berbisa, sedangkan Ngook
Toat-beng Siansu yang tubuhnya jangkung tidak lumrah manusia itu bersilat dengan jungkir balik, dan
memiliki ginkang yang amat tinggi di samping pukulan-pukulan beracun pula. Empat orang itu masingmasing
sudah merupakan lawan yang cukup berat, apa lagi kalau mereka maju berbareng.
Namun, Pendekar Super Sakti Suma Han berdiri tegak dengan sebelah kakinya dengan sikap tenang
sekali, tangan kanan memegang tongkat bututnya, tangan kiri disilangkan di depan dada, sikapnya menanti
gerakan lawan, menanti saat penyerangan lawan. Dan saat yang dinantinya itu pun tibalah.
Cepat bukan main gerakan pertama yang dilakukan oleh Ngo-ok itu. Tubuhnya sudah berjungkir balik dan
tiba-tiba sekali ada dua batang kaki yang panjang dan besar, seperti dua buah cangkul menyerang Suma
Han, mencangkul ke arah kepala dan dada pendekar itu. Kecepatannya sukar diikuti dengan pandang
mata.
“Plak-plak, wuuuttttt!”
Dua batang kaki itu tertangkis oleh tongkat dan cengkeraman tangan Ngo-ok, dari bawah mengarah bawah
pusar itu dihindarkan oleh Suma Han dengan meloncat ke kiri. Akan tetapi, dengan gerakan otomatis, dia
disambut oleh Twa-ok yang mencengkeram dari kanan kiri, akan tetapi sebelum lawan sempat menangkis,
gerakan mencengkeram itu sudah berubah, yang kanan menampar dan yang kiri menotok ke arah
lambung. Sungguh merupakan dua serangan yang amat berbahaya dan satu di antaranya saja mengenai
sasaran akan cukup merenggut nyawa dari tubuh!
Tetapi, Pendekar Super Sakti tidak menjadi gugup, dia cepat memutar tongkatnya yang berubah menjadi
segulung sinar terang, kemudian dia meloncat ke depan sehingga dia terhindar dari serangan itu untuk
menghadapi serangan langsung lagi dari Ji-ok.
Terdengar suara bercuitan pada waktu jari-jari tangan yang kecil runcing itu bergerak menyambar, seperti
ujung-ujung pedang yang menyerang secara bertubi-tubi. Namun, semua tusukan jari tangannya yang
menjadi Kiam-ci ini dapat di tolak oleh kibasan tangan kiri Suma Han. Belum juga jari-jari tangan itu
tertangkis, sudah ada hawa dingin sekali, lebih dingin dari pada hawa Kiam-ci, menolak sehingga tangan
Ji-ok terpental. Kini Su-ok menyerang dari bawah dengan pukulan Katak Buduk. Suma Han mengenal
pukulan beracun, maka dia pun cepat menggunakan kelincahannya untuk meloncat dan menghindar
dengan loncatan tinggi.
Kini, empat orang itu mulai menyerang secara bertubi-tubi, kadang-kadang berbareng dan saling
membantu dan terjadilah pertandingan yang amat luar biasa. Suma Han yang mengenal kelihaian lawan,
kini sudah mempergunakan ilmunya yang membuat dia amat terkenal, yaitu Ilmu Soan-hong-lui-kun, yang
membuat tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan yang menyambar-nyambar, ke kanan ke kiri,
kadang-kadang melesat jauh ke atas, sukar sekali diikuti dan dengan Soan-hong-lui-kun, maka pendekar
ini berhasil menghindarkan diri dari semua serangan lawan. Dia pun membalas dengan tamparan dan
tusukan tongkatnya.
Namun empat orang lawannya itu pun mampu membela diri, apa lagi karena mereka saling bantu sehingga
kedudukan mereka amat kuat. Agaknya, pengalaman bertempur melawan Suma Han tiga bulan yang lalu
membuat mereka berhati-hati dan sudah mengatur siasat untuk menandingi pendekar itu, yaitu dengan
jalan saling bantu dan tidak melakukan penyerangan sendiri-sendiri, melainkan dengan teratur sehingga
saling terlindung oleh kawan.
Sambil duduk bersila di pinggir, Dewa Bongkok menonton pertandingan itu dengan hati tertarik sekali.
Jarang ada kesempatan menyaksikan pertandingan seperti ini, dan dia amat kagum melihat Soan-hong-luikun
yang hanya didengarnya saja akan tetapi baru sekarang ini dapat dinikmatinya. Dari gerakan-gerakan
itu, maklumlah dia bahwa Suma Han telah menemukan suatu ilmu yang hanya mungkin dapat dimainkan
secara sempurna oleh orang yang berkaki tunggal. Orang yang berkaki dua jangan harap akan dapat
menguasai ilmu itu sebaik seperti yang dimiliki oleh Majikan Pulau Es itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam dia tersenyum, mengingat bahwa keadaannya hampir sama dengan Suma Han. Ia pun telah
menemukan suatu ilmu yang khas untuk orang yang hanya berlengan satu seperti dia atau seperti Kao Kok
Cu, muridnya itu, yaitu Ilmu Sin-liong-liok-te dan Sin-hong-ciang-hoat. Orang yang berlengan dua jangan
harap akan dapat mainkan ilmu ini sebaik orang yang berlengan satu! Dia menonton dengan kagum dan
beberapa kali dia memuji kalau melihat gerakan yang amat indah dari Suma Han ketika pendekar ini
menghindarkan diri secara cepat dan tepat sekali menggunakan kelincahan tubuhnya yang dapat melesat
ke sana-sini seperti ada per-nya itu.
Akan tetapi, setelah menyaksikan mereka itu bertempur sampai seratus jurus, Dewa Bongkok dapat
melihat perbedaan antara Ilmu Soan-hong-lui-kun dengan ilmunya, yaitu Sin-liong-ciang-hoat. Ilmu milik
Pendekar Super Sakti itu lebih condong sebagai ilmu untuk membela diri atau menghindarkan diri dari
serangan lawan, kurang sekali daya serangnya, dan pendekar itu membalas serangan dengan pukulan
lain-lain yang tidak sehebat Ilmu Sin-liong-ciang-hoat. Sebaliknya, ilmunya itu lebih banyak menyerang dan
lebih kuat daya serangnya dari pada daya tahannya.
Dengan Soan-hong-lui-kun, biar pun Suma Han tidak sampai terancam bahaya, namun sukar pula bagi
pendekar itu untuk dapat mengalahkan empat orang lawan yang kini dapat bekerja sama dengan amat
baiknya itu. Diam-diam Dewa Bongkok lalu mulai berkemak-kemik, menggunakan Imu Coan-im-jip-bit
untuk memberi petunjuk kepada Suma Han seperti yang dilakukannya ketika dia membantu Hwee Li. Dia
memberi petunjuk megunakan gerakan-gerakan dari Sin-liong-ciang-hoat untuk lebih memperkuat daya
serangan dari pendekar itu.
Diam-diam Suma Han mendengar bisikan-bisikan ini yang memang hanya ditujukan kepadanya. Dia
maklum bahwa kakek itu memiliki ilmu yang tinggi, dan dia tidak malu malu untuk menerima petunjuk ini.
Dan tiba-tiba dia berhenti meloncat, melainkan menggeser ke dalam, memutar tubuh ke kanan kemudian
ke kiri tiga kali dan tahu-tahu dia telah berhadapan langsung dengan Su-ok. Cepat dia memukul dengan
pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang.
“Wusssss...!”
Hawa dingin yang tak tertahankan membuat Su-ok terdorong ke belakang dengan muka pucat. Biar pun
tiga orang temannya sudah menolongnya dan menyerang dari kanan kiri sehingga pukulan Swat-im Sinciang
(Tangan Sakti Inti Salju) itu tidak dapat dilanjutkan karena pendekar itu harus menghindarkan tiga
orang penyerangnya, namun hawa pukulan dingin masih menyerangnya dan membuat Su-ok menggigil!
Kembali Suma Han bergerak aneh, kini meloncat ke kiri, kemudian membalik dan tahu tahu dia sudah
menyerang dari samping kanan ke arah Twa-ok, dan sekali ini dia menggunakan pukulan Hwi-yang Sinciang
yang amat panas. Kakek itu terkejut dan mengerahkan kedua tangannya ke depan dengan tenaga
sinkang sepenuhnya. Tidak urung dia merasa kedua telapak tangannya seperti dibakar dan untung
baginya, pada saat yang amat berbahaya itu tiga orang temannya sudah menerjang lagi sehingga terpaksa
Suma Han kembali menghindar dan tidak mendesaknya. Demikianlah, dengan petunjuk-petunjuk dari
Dewa Bongkok, Suma Han berhasil menyerang dan beberapa kali mendesak empat orang lawannya,
sungguh pun selalu dapat digagalkan oleh kerja sama empat orang itu yang saling membantu.
“Mana Sam-te, mengapa terlambat benar?” Tiba-tiba terdengar Ji-ok berseru nyaring.
“Aku datang... aku datang...!”
Dan bersama dengan suara itu muncullah Sam-ok Ban Hwa Sengjin, koksu atau lebih tepat lagi bekas
koksu dari Nepal itu. Setelah kegagalan-kegagalannya, apa lagi setelah tewasnya Pangeran Liong Bian
Cu, nama koksu ini tidak terkenal lagi di Nepal, bahkan dia dicurigai dan tidak disuka di kalangan istana
Nepal. Dalam keadaan seperti itu, pada saat datang Su-ok menyusulnya dan minta padanya untuk
membantu teman-temannya menghadapi Pendekar Super Sakti, Sam-ok ini lalu meninggalkan Nepal tanpa
pamit lagi, melepaskan jabatan koksu yang dirasakan makin panas dan tidak enak itu.
Kedatangannya agak terlambat, tetapi belum terlambat benar karena teman-temannya belum ada yang
roboh, bahkan kedatangannya tepat sekali di waktu empat orang teman atau saudara segolongannya itu
terancam dan mulai terdesak oleh Suma Han yang dibantu oleh Dewa Bongkok yang memberi petunjuk.
Begitu datang dan melihat Dewa Bongkok berada di situ, Sam-ok terkejut setengah mati, akan tetapi dia
pun lega ketika mendapat kenyataan bahwa kakek sakti ini sudah menderita luka hebat sehingga tidak
mungkin ikut bertanding.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sejenak Sam-ok melihat kedudukan teman-temannya. Dia girang bahwa ternyata empat orang teman itu
dapat menandingi Pendekar Super Sakti, maka dia lalu mengeluarkan suara gerengan seperti beruang
marah dan tubuhnya lalu berputar-putar seperti gasing! Itulah Ilmu Thian-te-hong-i yang hebat, yang
dilakukan dengan tubuh berpusing seperti gasing, dan dari putaran tubuhnya itu kadang-kadang mencuat
pukulan seperti kilat cepatnya yang amat kuat menghantam ke arah Pendekar Super Sakti!
Melawan empat orang itu saja keadaannya sudah seimbang, apa lagi kini dibantu oleh orang seperti Ban
Hwa Sengjin. Kepandaian Sam-ok ini tidak banyak selisihnya kalau dibandingkan dengan kepandaian Twaok
atau pun Ji-ok dan masing-masing memiliki keistimewaan sendiri-sendiri. Memang sebenarnya lima
orang itu sama sekali tidak mempunyai pertalian persaudaraan, baik kekeluargaan mau pun perguruan,
maka ilmu mereka masing-masing jauh berbeda dan memiliki keistimewaan masing-masing. Kalau mereka
bergabung, adalah karena watak dan kesukaan mereka sama, dan tingkat mereka itu ditentukan oleh
pertandingan yang mereka adakan untuk mengukur tingkat masing-masing. Namun selisihnya tidaklah
amat banyak.
Kini Suma Han mulai terdesak lagi, bukan terdesak dalam arti kata terancam. Sama sekali tidak. Dengan
Soan-hong-lui-kun, jangankan hanya lima orang itu, biar ditambah lima orang lagi seperti mereka, kiranya
tidak akan mudah untuk merobohkan Suma Han yang mempergunakan Soan-hong-lui-kun, yang membuat
tubuhnya seperti bersayap dan sukar sekali dipukul itu. Akan tetapi, terdesak di sini berarti bahwa dia tidak
sempat lagi untuk membalas serangan lawan, dan harus selalu menghindarkan diri dari semua serangan.
Tentu saja pertandingan seperti ini menjadi berat sebelah dan Suma Han terus didesak dan dikejar-kejar
oleh lima orang Im-kan Ngo-ok yang lihai-lihai itu.
Dewa Bongkok tak sempat lagi memberi petunjuk saking cepatnya serangan lima orang yang bertubi-tubi
datangnya dan dilakukan dengan gaya ilmu silat yang jauh berlainan itu. Kalau saja dia tidak terluka tentu
dia dapat membantu, dan bersama dengan Suma Han, dalam waktu singkat tentu dia akan mampu
merobohkan lima orang itu. Suma Han di bagian bertahan dan dia di bagian menyerang! Akan tetapi, apa
mau dikata, dia tidak mungkin dapat bergerak mengerahkan sinkang karena hal itu akan berarti
kematiannya.
Suma Han juga harus mengakui bahwa lima orang Im-kan Ngo-ok ini sungguh-sungguh terlalu berat
baginya. Ilmu-ilmu mereka selain tinggi, juga aneh-aneh dan kelimanya mempergunakan ilmu yang
berbeda-beda sehingga sukar juga baginya untuk mengenal dasar atau sifat ilmu mereka, dan hal ini
membuat dia tak mungkin melakukan serangan balasan. Serangan mereka bertubi-tubi dan berganti-ganti
sehingga dia tidak sempat membalas, terpaksa dia harus mengerahkan tenaga menggunakan Soan-honglui-
kun untuk menghindarkan semua serangan. Namun, tidak mungkin berkelahi hanya dengan mengelak
dan menangkis terus-menerus tanpa membalas satu kali pun!
Tiba-tiba Suma Han mengeluarkan suara melengking panjang, diikuti suaranya yang terdengar seolah-olah
dari atas langit kemudian berpencar dan bergema di semua penjuru, “Haiii! Aku di sini!” disusul gemanya,
“Aku di sini! Aku di sini! Aku di sini! Aku di sini!”
Lima orang Im-kan Ngo-ok mengeluarkan seruan kaget dan mereka bergerak dengan kacau-balau sebab
mereka melihat betapa Pendekar Siluman itu telah berubah menjadi iima orang! Lima Pendekar Siluman,
semua memegang tongkat, dan masing-masing kini menghadapi seorang Pendekar Siluman!
Seketika keadaan menjadi berbalik sama sekali! Kini mereka berlima tidak lagi dapat bekerja sama karena
masing-masing menghadapi seorang lawan yang sama kuatnya! Dan kini Pendekar Super Sakti atau
Pendekar Siluman itu mulai menyerang! Repotlah lima orang itu dan segera mereka terdesak mundur!
Dewa Bongkok memandang dan mengangguk-angguk kagum. Dia sendiri tidak sampai terpengaruh oleh
kekuatan sihir itu, tetapi dia dapat menduga bahwa tentu Pendekar Super Sakti yang dia dengar juga
dinamakan Pendekar Siluman karena pandai bermain sihir itu kini telah mempergunakan kekuatan sihirnya
sehingga lima orang lawan itu menjadi kacau-balau gerakan mereka, nampak ketakutan dan kini Pendekar
Super Sakti yang berbalik menyerang mereka satu demi satu, dan lima orang itu kehilangan kerja sama
mereka! Kini Dewa Bongkok tidak merasa ragu lagi bahwa tentu Majikan Pulau Es itu akan keluar sebagai
pemenang dalam pertempuran satu lawan lima itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa mengikik, suara ketawa terkekeh-kekeh yang hanya dapat
dilakukan oleh seorang nenek tua yang sudah ompong! Muncullah seorang nenek tua renta yang
pakaiannya serba hitam. Nenek itu sedemikian tuanya sehingga tubuhnya seperti telah mengerut menjadi
dunia-kangouw.blogspot.com
kecil! Nenek itu adalah nenek bangsa India, kulitnya pun hitam seperti pakaiannya dan mulutnya berkeriput
terkekeh kekeh seperti orang gila.
“Heh-heh-heh, permainan kanak-kanak! Hanya satu orang mana bisa berubah lima?” Nenek itu berkata
sambil mengacungkan tongkat hitamnya ke atas.
Terjadi perubahan pada pertempuran antara Suma Han melawan lima orang Im-kan Ngo-ok itu! Kini lima
orang itu berseru aneh karena lenyaplah empat orang Suma Han yang lain, dan yang ada hanya seorang
saja. Tentu saja mereka menjadi girang dan cepat menubruk dan kembali mengirim serangan bertubi-tubi!
Keadaan menjadi berbalik kembali.
Suma Han terkejut sekali. Tahulah dia bahwa nenek itu amat kuat dalam ilmu sihir dan selama dia belum
dapat menundukkan nenek itu, tentu akan sukar baginya untuk mencapai kemenangan. Tidak disangkanya
bahwa Im-kan Ngo-ok telah bersiap-siap, dibantu oleh seorang nenek ahli sihir.
Padahal Durganini, yaitu nenek India yang pandai ilmu sihir itu, sama sekali bukan datang karena diundang
oleh Im-kan Ngo-ok, melainkan karena kebetulan belaka. Durganini kebetulan lewat di tempat itu dan
nenek ini yang sudah tua dan pikun, begitu melihat orang main sihir terus saja terjun dan menentang
karena gembiranya! Dia menemukan permainan yang amat disukanya, maka tanpa peduli siapa orangnya
dan apa urusannya, tanpa diminta dia terus saja menentang dan melawan Suma Han dengan ilmu sihirnya,
membuyarkan kekuatan sihir Suma Han yang membuat lawannya melihat dia berubah menjadi lima orang
itu!
“Heh-he-he-he-he, orang kaki buntung, hayo kau main-main dengan aku sebentar!” kata nenek itu
terkekeh-kekeh dan dia melemparkan tongkatnya ke atas. “Hadapilah naga api hitamku ini!”
Im-kan Ngo-ok terkejut setengah mati ketika mereka menoleh dan melihat tongkat hitam itu sudah berubah
menjadi seekor naga hitam yang menyemburkan api dari mulutnya! Karena naga hitam itu menubruk dari
atas ke arah Suma Han, tentu saja mereka berlima takut kalau-kalau naga itu salah tubruk, maka otomatis
mereka berloncatan ke belakang sambil menonton dengan mata terbelalak. Sebagai orang-orang sakti
mereka dapat menduga bahwa nenek itu bermain sihir, bahwa naga itu hanyalah hasil kekuatan sihir, akan
tetapi mereka tidak mampu membebaskan diri dari pengaruh sihir itu dan mata mereka melihat betapa
naga itu seperti benar-benar naga hidup yang amat menyeramkan!
“Hemmm... lihatlah naga putih ini!” Suma Han membentak dengan suara mengandung tenaga yang hebat
sekali sambil melontarkan tongkatnya dan... Im-kan Ngo-ok melihat tongkat Pendekar Super Sakti atau
Pendekar Siluman itu pun berubah menjadi seekor naga putih yang terbang melayang dan menyambut
terkaman naga hitam.
Terjadilah pertempuran yang amat aneh dan hebat antara naga putih dan naga hitam itu, ditonton dengan
mata terbelalak oleh lima orang Im-kan Ngo-ok. Mereka tidak mengenal nenek ini, akan tetapi kedatangan
nenek itu sungguh menguntungkan mereka karena mereka tadi sudah merasa bingung dan terdesak oleh
lima orang Pendekar Siluman.
Hanya Dewa Bongkok yang masih duduk bersila dan memandang kagum. Dia tidak terpengaruh oleh sihir
kedua orang itu karena kakek ini memiliki kekuatan batin yang amat tinggi, akan tetapi dia dapat
merasakan getaran-getaran aneh yang keluar dari dua orang yang berdiri berhadapan dalam jarak kurang
lebih lima meter itu. Suma Han berdiri tegak tanpa bergerak, sedangkan nenek hitam itu pun berdiri
membungkuk sambil mengeluarkan suara terkekeh kecil seperti ringkik kuda.
Suma Han merasa terkejut sekali ketika mendapatkan kenyataan betapa kuatnya nenek itu dalam ilmu
sihir. Beberapa kali dia hampir kalah, kekuatan ciptanya menjadi lemah dan dalam pandangan lima orang
Ngo-ok, naga putih itu terdesak dan terus mundur. Suma Han harus mengerahkan seluruh tenaganya dan
barulah dia sedikit demi sedikit mendesak mundur kekuatan nenek itu. Sebetulnya, kekuatan sihir yang
dimiliki oleh Suma Han adalah kekuatan yang timbul secara wajar dan kebetulan saja, melalui proses
kebetulan yang menimpa jasmaninya di waktu dia masih kecil. (baca cerita Pendekar Super Sakti),
Sedangkan Durganini semenjak muda sampai tua mempelajari segala macam ilmu sihir dan ilmu hitam dari
India, maka tentu saja nenek ini jauh lebih kuat kalau dibandingkan dengan Suma Han. Akan tetapi, nenek
ini sudah tua sekali dan sudah pikun, lahir batinnya sudah tua dan lemah maka tentu saja kekuatan
sihirnya juga banyak menurun dan karena ini Suma Han masih dapat mengimbanginya. Bahkan kalau
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Han harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, nenek itu hanya seenaknya saja, karena biar pun
seenaknya dia melawan, hal ini sudah terlalu melelahkannya.
“Kau... kau amat bandel, ya...?” Nenek itu berkata dan kedua naga itu lenyap, berubah menjadi dua tongkat
yang kembali ke tangan masing-masing. “Lihat ini, aku akan membikin kau beku dengan angin dingin!”
Nenek itu mendorongkan kedua tangan ke depan, mulutnya mengeluarkan teriakan panjang melengking
seperti orang merintih dan pada saat itu, Im-kan Ngo-ok merasa ngeri karena bertiup angin yang amat
dinginnya, akan tetapi yang paling terasa adalah Suma Han karena inti dari angin dingin ciptaan ilmu sihir
itu langsung menyerangnya.
“Api panas tidak takut menghadapi dingin, nenek tua!” Suma Han berkata dan dia bersedakap.
Im-kan Ngo-ok terbelalak kagum dan seram melihat betapa sekarang tubuh Pendekar Siluman itu seperti
terbakar, bernyala dan bercahaya, mengandung api panas dan angin dingin itu tidak mempengaruhinya!
Padahal Im-kan Ngo-ok harus mengerahkan sinkang mereka untuk menahan hawa dingin yang menyusup
tulang-tulang mereka itu.
Nenek itu kembali mengeluarkan teriakan panjang dan kini tidak kelihatan apa-apa di antara mereka, akan
tetapi baik nenek itu mau pun Suma Han berdiri dengan kedua lengan diluruskan ke depan seperti sedang
mendorong dan mereka itu seperti patung patung saja, hanya kedua tangan mereka saja yang nampak
agak tergetar. Sampai beberapa puluh menit lamanya kedua orang itu berada dalam keadaan seperti itu,
dan diam-diam Suma Han mengeluh karena nenek itu ternyata keras kepala bukan main dan agaknya
hendak mengadu nyawa! Dia sudah merasa lelah sekali, dan dia maklum bahwa setelah melakukan
pertandingan mengadu kekuatan sihir seperti ini, dia bisa kehabisan tenaga dan semangat, padahal dia
masih menghadapi lima orang lawan tangguh itu!
“Apa-apaan sih mereka itu?” Ji-ok Kui-bin Nionio berseru tak sabar. “Kesempatan baik ini tak boleh
kulepaskan begitu saja!” Dan dia pun lalu melompat ke depan, siap untuk menyerang Suma Han dengan
pukulan Kiam-ci.
“Ji-moi, jangan...!”
Twa-ok Su Lo Ti meloncat, namun tidak keburu karena Ji-ok sudah lebih dulu bergerak, maka dia lalu
mendorongkan kedua tangannya untuk mendorong wanita itu ke samping. Masih untung dorongan Twa-ok
ini amat kuat karena ketika itu terdengar Ji-ok menjerit dan berbareng dengan dorongan Twa-ok, dia
terpelanting keras dan bergulingan lalu bangkit berdiri dengan muka pucat, tangan kirinya hitam seperti
terkena api!
Cepat Twa-ok menghampirinya dan setelah memeriksanya lalu memberi obat. Kiranya ketika Ji-ok
menyerang tadi, baru saja tangannya mendekati antara dua orang yang berdiri dengan kedua lengan
diluruskan itu, dia merasakan adanya getaran hawa yang luar biasa panasnya, akan tetapi bagaikan ada
besi semberaninya yang membetotnya masuk. Kalau tidak didorong oleh hawa pukulan Twa-ok dan dia
sampai terbetot masuk di antara dua orang yang mengadu tenaga sihir itu, tentu tidak hanya lengannya
yang sedikit hangus, melainkan tubuhnya bisa terbakar habis! Dia bergidik ngeri. Wanita bermuka
tengkorak yang biasanya ditakuti orang seperti iblis itu kini bergidik penuh rasa ngeri.
Sementara itu, adu tenaga sihir antara Suma Han dan Durganini masih berlangsung terus. Wajah nenek
yang berkulit hitam itu sekarang nampak pucat, sedangkan wajah Pendekar Super Sakti penuh keringat
dan dari kepalanya mengepul uap putih, seperti juga kepala Durganini.
Celaka, pikir pendekar itu, nenek ini benar-benar kuat bukan main dan hatinya keras seperti baja, tidak
mau mengalah sedikit pun juga. Apakah nenek ini hendak mengadu nyawa? Sungguh terlalu, karena dia
merasa belum pernah bentrok dengan nenek ini. Suma Han makin merasa kelelahan karena getaran yang
terasa olehnya amat hebat dan kuat sehingga dia harus membantu kekuatan sihirnya dengan sinkang-nya
yang tentu saja jauh lebih kuat dibandingkan Durganini.
Memang Durganini semenjak mudanya memiliki kekerasan hati yang luar biasa dan mempunyai watak
yang enggan mundur dan pantang mengaku kalah! Apa lagi setelah dia berubah menjadi nenek tua yang
mulai pikun, kekerasan kepala itu agaknya makin menjadi-jadi. Kini dia merasa penasaran bukan main
mengapa dia belum juga berhasil menundukkan ‘orang muda’ itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba keluar suara gerengan dari dalam dadanya. Dengan bengong Im-kan Ngo-ok melihat betapa dari
uap yang mengepul di atas kepala nenek itu kini bergumpal-gumpal ke atas, membentuk bayangan dan
ternyata nampak bentuk nenek itu yang kecil sudah terbungkus uap atau kabut, meluncur ke atas menuju
ke arah Pendekar Super Sakti!
Inilah puncak dari ilmu sihir itu, yaitu Durganini seolah-olah memisahkan semangat dari tubuhnya dan
‘semangat’ itu kini hendak langsung menyerang Suma Han! Suma Han mengenal ilmu ini dan dia pun
sudah dapat melakukan hal yang sama. Akan tetapi sekali ini, kalau dia meniru perbuatan nenek itu,
tubuhnya menjadi tidak terlindung sama sekali dan kalau ada yang menyerangnya dia tentu akan celaka.
Maka Suma Han menjadi ragu-ragu, bagaimana dia harus menghadapi serangan nenek yang sudah nekat
itu!
“Nini...! Jangan...!”
Tiba-tiba di tempat itu muncul seorang kakek tua renta berpakaian sederhana. Begitu tiba di situ dan
melihat keadaan Durganini, kakek ini lalu duduk bersila di dekat Suma Han dan tak lama kemudian dari
kepalanya juga muncul uap bergulung-gulung yang membentuk bayangan seperti dirinya yang terbungkus
uap dan bayangan kecil ini meluncur naik menyambut bayangan nenek itu. Bayangan kakek itu seperti
membuat gerakan seolah membujuk agar si nenek kembali, akan tetapi bayangan nenek itu justru
menyerangnya dengan hebat!
Siapakah kakek itu? Dia adalah See-thian Hoat-su, suami dari Durganini! Seperti telah diceritakan di
bagian depan, antara kakek dan nenek ini sebetulnya ada hubungan suami isteri yang saling mencinta dan
mesra, akan tetapi karena watak Durganini yang ku-koai (aneh) mereka itu sering cekcok, sering berpisah,
bahkan sering pula berkelahi! Dalam hal ilmu silat, See-thian Hoat-su yang kini menjadi guru Teng Siang In
itu masih menang setingkat, akan tetapi dalam ilmu sihir, Durganini menang setingkat. Seperti biasa, begitu
bertemu dengan bekas suaminya ini, Durganini tidak mau dibujuk, tidak mau mengalah, malah menyerang
mati-matian! Tentu saja See-thian Hoat-su terkejut sekali dan sambil mempertahankan diri, dia berusaha
membujuk.
Suma Han duduk bersila dengan bengong dan terheran-heran. Dia tidak berani lancang mencampuri, apa
lagi melihat betapa kakek itu selalu mengalah biar pun terdesak hebat dan menerima beberapa kali
pukulan yang amat berat. Tetapi tak lama kemudian, dua bayangan itu sama-sama meluncur kembali
kepada ‘raga’ masing-masing. Keduanya mengeluh dan roboh terguling! Semua orang terkejut karena
nenek itu terengah-engah dan memegangi dadanya, sedangkan kakek itu muntah darah, lalu bangkit
terhuyung dan menghampiri nenek itu.
“Durganini... kau... kau kenapakah...?” Pertanyaannya itu diajukan dengan lembut dan penuh cinta kasih.
Kakek itu menjatuhkan dirinya berlutut dan merangkul nenek itu, diangkatnya kepala nenek itu dan
disandarkan ke dadanya.
“Ahhh, kau... kau terluka hebat oleh kekuatanmu sendiri... kenapa engkau selalu keras kepala...?”
Nenek itu masih terengah-engah, dan suaranya seperti orang tertawa. “Hiiiii... kau... kau pun terluka
parah... ahh, suamiku... sakitkah...? Maafkan aku...“
Sungguh aneh, menggelikan dan juga mengharukan melihat kakek dan nenek itu saling berangkulan dan
bersikap mesra, kemudian keduanya terguling dan terdengar Dewa Bongkok mengeluh, “Siancai... siancai,
siancai...!”
Suma Han pun tahu bahwa kakek dan nenek itu keduanya telah tewas. Luka-luka yang diderita kakek oleh
pukulan-pukulan semangat nenek itu terlampau parah, sedangkan nenek itu agaknya telah menggunakan
tenaga terlalu banyak sehingga terpukul sendiri dan keduanya menjadi korban dan tewas, atau boleh jadi
juga karena usia mereka yang sudah terlalu tua sehingga memang sudah tiba saatnya untuk meninggal
dunia. Dia menarik napas panjang lalu bangkit berdiri. Tubuhnya agak lemas, tenaga sinkang-nya banyak
terbuang untuk melawan nenek tadi, dan untuk sementara dia tidak akan dapat menggunakan kekuatan
sihirnya yang seperti dikuras habis tadi.
“Im-kan Ngo-ok, lihat akibat dari desakan kalian untuk mengadu kepandaian. Sudah ada dua orang luar
yang menjadi korban. Sebaiknya kita sudahi saja perkelahian tiada guna ini,” kata Pendekar Super Sakti.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apa?! Mereka ini datang tanpa kita undang, dan mati karena perbuatan sendiri, apa sangkut-pautnya
dengan kami? Kami masih belum kalah!” bentak Sam-ok Ban Hwa Sengjin dan dia sudah bergerak lagi
membuat tubuhnya berpusing lalu menyerang, diikuti oleh empat orang saudaranya.
Terpaksa Suma Han menggerakkan tongkat menjaga diri dan melawan. Sekali ini Suma Han benar-benar
terdesak hebat. Tenaganya sudah banyak berkurang. Tadi pun, biar sudah dibantu dengan petunjuk Dewa
Bongkok, masih sukar baginya untuk menandingi lima orang Im-kan Ngo-ok, dan dia baru dapat mendesak
ketika dia mempergunakan sihir. Kini dia tidak lagi mampu menggunakan sihir seperti tadi dan sinkang-nya
sudah banyak berkurang, maka tentu saja dia hanya mampu mengandalkan Soan-hong-lui-kun untuk
menghindarkan semua serangan. Napasnya mulai memburu karena dia merasa lelah sekali.
Melihat keadaan lawan, Twa-ok girang sekali. Dia lalu berteriak kepada adik-adiknya, “Adu tenaga...!”
Lima orang itu kini menyerang sekaligus, dengan pengerahan tenaga sekuatnya! Suma Han tidak melihat
jalan lain kecuali menangkis dengan dorongan kedua tangannya pula. Terjadilah adu tenaga sinkang tanpa
telapak tangan mereka bertemu, akan tetapi dalam jarak yang kurang dari satu meter. Lima orang itu
mengerahkan tenaga dan terjadilah adu tenaga satu lawan lima!
Andai kata Suma Han tidak berkurang tenaganya karena tadi memeras tenaga melawan Durganini, kiranya
dia dapat menandingi mereka atau setidaknya dapat meloloskan diri dan meloncat untuk menghindar. Akan
tetapi tenaganya sudah berkurang dan dia tidak dapat mengelak lagi, dan kini setelah tenaga mereka
bertemu dan melekat, tidak ada lain jalan kecuali melawan keras sama keras.
Dengan menancapkan tongkatnya di atas tanah, Suma Han lalu menggunakan kedua tangannya untuk
menolak serangan lawan itu. Dia mempergunakan tenaga gabungan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sinkang,
gabungan tenaga yang kuat sekali. Akan tetapi lawannya adalah orang-orang yang amat kuat, dan
kini mereka menggabungkan tenaga, maka terasalah oleh Suma Han betapa pertahan-lahan dia mulai
kalah tenaga dan keadaannya amat berbahaya!
Tiba-tiba dia merasa ada sebuah tangan menempel di pundaknya dan tangan ini menyalurkan tenaga
sinkang yang amat kuat. Pada saat itu, Suma Han sudah berada dalam keadaan berbahaya sekali bagi
nyawanya. Ia tahu bahwa tangan ini menyalurkan tenaga untuk membantunya, akan tetapi karena dia tahu
bahwa penolong itu adalah Dewa Bongkok padahal kakek itu sudah menderita luka parah, maka dia
berseru, “Locianpwe, jangan...!”
Akan tetapi terlambat sudah. Dewa Bongkok sudah mengerahkan tenaganya dan lima orang lawan itu
terjengkang ke belakang dan bergulingan dengan muka pucat. Suma Han terlepas dari bahaya, akan tetapi
dia melihat kakek berlengan buntung itu pun terhuyung, lalu duduk bersila dan tak bergerak lagi.
“Locianpwe...!” Suma Han berteriak dan berlutut di dekat tubuh yang bersila akan tetapi sudah menjadi
mayat itu!
Lima orang lawannya sudah bangkit berdiri lagi. Mereka tidak mengalami luka, akan tetapi hanya terkejut
dan terdorong saja ke belakang sampai terjengkang. Kini mereka memandang kepada Suma Han yang
perlahan-lahan sudah bangkit berdiri menghadapi mereka dengan sinar mata seperti mata naga berapi-api.
“Im-kan Ngo-ok, lihatlah apa yang kalian lakukan! Sungguh terkutuk kalian! Beliau ini adalah Dewa
Bongkok, Penghuni Istana Gurun Pasir, dan sedang menderita luka. Kini, akibat dari perbuatan kalian yang
memaksaku bertanding, beliau sampai menjadi korban! Sekarang, aku Suma Han tidak akan mau
melepaskan kalian lagi!” Dan dengan kemarahan meluap-luap Suma Han lalu menerjang dengan dahsyat
kepada lima orang itu.
Pada saat itu, begitu Suma Han menyebut nama Dewa Bongkok penghuni dari Istana Gurun Pasir,
terdengar jerit seorang wanita dan nampak tubuh berkelebat cepat, lalu wanita itu berlutut dan menangisi
mayat Dewa Bongkok. Wanita ini adalah Hwee Li.
Tadinya, karena merasa sakit hati sekali mendengar ayah dari Kian Lee juga mencaci maki dia sebagai
puteri Hek-tiauw Lo-mo dan anak kandung pemberontak Kim Bouw Sin, Hwee Li melarikan diri sambil
menangis. Akan tetapi dia segera teringat kepada kakek berlengan satu itu. Tidak, dia tidak boleh
meninggalkan kakek yang amat baik kepadanya itu. Dia akan kembali dan mengajak kakek itu pergi
meninggalkan Pendekar Super Sakti yang menyakitkan hatinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika tiba di tempat itu, dia melihat pertempuran hebat antara Pendekar Super Sakti melawan Im-kan
Ngo-ok, kemudian dia melihat betapa gurunya, atau kakek berlengan satu itu membantu Suma Han,
kemudian terhuyung dan duduk bersila kembali. Ketika dia mendengar kata-kata Pendekar Super Sakti
bahwa kakek itu telah tewas dan bahwa kakek itu adalah Dewa Bongkok, Hwee Li terkejut bukan main,
terkejut dan juga amat berduka karena kakek yang ternyata adalah masih terhitung kakek gurunya sendiri
itu, atau mertua guru dari subo-nya, telah meninggal dunia. Maka dia menjatuhkan diri berlutut sambil
menangis dan tersedu-sedan.
Kini, Suma Han yang sudah terdesak lagi oleh lima orang lawannya, menjadi makin repot karena berturutturut
muncul pula lima orang cebol sute dari Su-ok bersama Mauw Siauw Mo-li Siluman Kucing. Mereka itu
datang-datang terus mengeroyok! Tentu saja Suma Han makin terdesak hebat.
Kalau dia mau mempergunakan Ilmu Soan-hong-lui-kun untuk melarikan diri, agaknya pendekar sakti itu
masih akan mampu menyelamatkan diri dan tidak ada di antara lawan-lawannya yang akan mampu
mengejarnya. Akan tetapi, pantanglah bagi seorang pendekar besar seperti Pendekar Super Sakti untuk
lari meninggalkan gelanggang pertempuran. Dia mempertahankan diri sedapatnya, biar pun dia sudah
menerima beberapa kali pukulan dengan tenaga sakti yang membuat tubuhnya terguncang dan tergetar.
Namun dia masih mengamuk terus.
Ketika melihat dara remaja itu menangisi jenazah Dewa Bongkok, pendekar sakti ini masih sempat berkata.
“Nona, lekas kau menyingkir dari sini selagi ada kesempatan! Lekas kau lari menyelamatkan diri, biar aku
menahan mereka!”
Tadinya, hati Hwee Li penuh kemarahan terhadap Pendekar Super Sakti karena sikap dan ucapannya
yang menyakitkan hati, biar pun dia tahu bahwa pendekar itu tidak mengenalnya sehingga kata-katanya di
depan Dewa Bongkok itu tidak dimaksudkan untuk ditujukan padanya. Marah karena mengingat akan sikap
Kian Lee dan sekarang sikap ayahnya yang sama pula. Akan tetapi, begitu mendengar bujukan halus
pendekar itu agar dia melarikan diri dan menyelamatkan diri, dia merasa kagum dan terharu juga. Dia
dapat melihat dengan jelas betapa pendekar itu dikurung hebat dan didesak oleh para musuhnya, tetapi
pendekar itu tidak memikirkan kepentingan diri sendiri melainkan mengkhawatirkan keselamatannya dan
membujuk agar dia yang menyelamatkan diri!
Betapa mengagumkan dan dia teringat akan sikap dan watak Kian Lee yang juga demikian gagah perkasa
dan bijaksana. Hanya terhadap dia dan riwayat keturunannya mereka itu amat tidak bijaksana! Kini, dara
itu bangkit berdiri, sama sekali bukan untuk melarikan diri. Tidak! Orang-orang ini menjadi penyebab
kematian kakek gurunya, atau juga gurunya karena dia telah diwarisi bermacam ilmu silat yang hebat.
Mana mungkin dia melarikan diri? Tidak, sebaliknya malah. Dia harus membasmi orang-orang ini untuk
membalas kematian Dewa Bongkok!
Tiba-tiba terdengar pekik nyaring melengking tinggi dan tubuh Hwee Li sudah bergerak ke depan. Sekali
kedua tangannya bergerak, dua orang cebol yang menjadi sute Su-ok itu terlempar sampai lima meter
jauhnya dan terbanting mati seketika! Dara itu dalam kemarahannya telah mempergunakan satu di antara
delapan jurus Cui-beng Pat-ciang yang baru-baru ini diwarisinya dari Dewa Bongkok. Biar pun latihannya
belum matang benar, namun dengan sekali pukul saja dia dapat membuat dua orang sute Su-ok terlempar
dan tewas, maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya ilmu pukulan itu dan betapa kuatnya sinkang
yang berada dalam diri Hwee Li setelah Dewa Bongkok ‘mengoperkan’ tenaganya kepada dara jelita itu!
Tentu saja tiga orang cebol yang lain terkejut setengah mati, demikian pula Mauw Siauw Mo-li. Terutama
sekali Mauw Siauw Mo-li. Dia mengenal Hwee Li dengan baik karena bukankah dara itu masih keponakan
muridnya sendiri? Melihat dara itu membantu Pendekar Super Sakti, marahlah dia dan bersama tiga orang
cebol yang lain dia sudah menerjang maju, bukan hanya dengan tangan kosong, tetapi menggunakan
pedangnya yang bersinar hijau!
Akan tetapi Hwee Li sudah marah sekali, sepasang matanya mencorong dan hal ini adalah berkat tenaga
sinkang yang diterimanya dari Dewa Bongkok. Begitu melihat sinar pedang hijau menusuk, dia miringkan
tubuhnya. Sekali tangan kirinya menekan ke bawah dan….
“Krekkk!” terdengar bunyi dan pedang di tangan Mauw Siauw Moli telah patah!
Sebelum wanita cabul itu hilang rasa kagetnya, tangan kiri Hwee Li yang mematahkan pedang itu kini
menyampok ke atas, dan….
dunia-kangouw.blogspot.com
“Krekkk! kembali terdengar suara disusul robohnya tubuh Mauw Siauw Mo-li yang telah patah tulang
lehernya dan tewas seketika!”
Bukan main hebatnya gerakan-gerakan dari Hwee Li itu, karena dia tidak ingat lagi akan keganasan
pukulan-pukulan itu saking marahnya. Dia terus menghadapi ketiga orang cebol yang lainnya, kemudian
dia menggerakkan jurus keempat, tubuhnya merunduk ke bawah, kemudian kaki kiri ditarik ke belakang,
tubuhnya seperti hampir bertiarap, akan tetapi kedua tangannya menyambar ke depan. Terdengar
teriakan-teriakan mengerikan dan tiga orang cebol itu terpelanting ke kanan kiri tanpa dapat bangkit
kembali karena ada yang kepalanya retak, ada yang tulang-tulang dadanya remuk terkena sambaran hawa
pukulan jurus mukjijat itu!
Sungguh sukar untuk dipercaya! Dalam tiga jurus saja dara remaja itu telah mampu membunuh lima orang
cebol yang amat lihai itu dan juga menewaskan Mauw Siauw Mo-li yang merupakan seorang tokoh besar
dalam dunia sesat! Bukan hanya Im-kan Ngo-ok yang terkejut setengah mati, juga Suma Han sendiri
memandang dengan penuh keheranan, kekaguman, akan tetapi juga agak ngeri melihat keganasan yang
luar biasa itu.
Kini Hwee Li menerjang maju ke arah lima orang Im-kan Ngo-ok yang masih mengurung dan mendesak
Suma Han yang sudah menderita luka-luka oleh pukulan-pukulan sakti. Melihat ini, Sam-ok alias bekas
Koksu Nepal yang merasa sudah mengenal betul tingkat kepandaian nona muda itu, cepat meloncat maju.
“Eh, Nona, mengapa engkau membela musuh? Hayo kau menyerah sebelum terpaksa aku menangkapmu
dan menyerahkanmu kepada Ngo-ok untuk dipermainkan habis habisan!” Ternyata Sam-ok memandang
rendah kepada nona ini. Memang betul bahwa nona ini telah merobohkan enam orang itu, akan tetapi
Sam-ok pun memandang rendah kepada enam orang itu. Sambil menyeringai dia mementang kedua
lengannya dan melangkah maju, sikapnya menakutkan.
Kemarahan Hwee Li makin memuncak. “Keparat, engkau ini manusia busuk, di mana mana selalu
mendatangkan kejahatan. Engkau harus menebus kematian Locianpwe itu dengan nyawamu yang tak
berharga!”
“Huh, bocah tak tahu diri!” Sam-ok Ban Hwa Sengjin marah sekali dan menubruk ke depan. Gerakannya
cepat bukan main dan ada angin berputar yang mengurung diri Hwee Li hingga dara itu sukar mencari
jalan keluar dari serangan ini. Kedua tangannya yang besar itu mencengkeram dari kanan kiri.
Hwee Li memang tak berniat untuk mengelak. Melihat kedua tangan itu menyambar, dia pun lalu
menyambut dengan kedua lengannya pula, menangkis sambil mengerahkan tenaga dari pusarnya.
“Dukkk! Desss...!”
Hebat sekali benturan antara sepasang lengan yang besarnya melebihi betis Hwee Li sendiri dengan dua
lengan kecil halus dari dara itu. Tubuh Ban Hwa Sengjin terpental sampai empat meter dan dia terbanting
jatuh, debu mengepul dan dia bangkit sambil menyeringai karena tulang lengan kirinya patah!
Melihat ini Twa-ok terkejut dan dia mengeluarkan bentakan nyaring, menubruk ke arah Hwee Li dengan
mengerahkan seluruh tenaganya. Kembali Hwee Li menyambut tanpa mengelak, melainkan tiba-tiba dia
berlutut dengan kaki kiri, tangan kiri menekan tanah dan tangan kanan dipukulkan atau didorongkan ke
depan dengan tangan terbuka. Inilah pukulan dari jurus Cui-beng Pat-ciang, dengan mengandalkan tenaga
yang meminjam tekanan pada bumi.
“Desssss...!”
Tubuh orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu terputar-putar dan dia nyaris terbanting kalau saja dia tidak
cepat meloncat dan membuat salto untuk mematahkan daya luncur tubuhnya. Dia tidak terluka, tetapi
merasa dadanya sesak dan dia memandang dengan mata terbelalak ke arah Hwee Li! Kemudian dia
membalikkan tubuh dan berseru kepada empat orang saudaranya, “Pergi... angin keras!” Itulah tanda
bahwa pihak musuh terlalu kuat dan lima orang Im-kan Ngo-ok itu pun berlari-larian secepatnya dengan
hati jeri.
Suma Han yang menderita luka berdiri sambil memandang dara itu penuh rasa kagum. “Ahh... sungguh
hebat, engkau agaknya telah menerima ilmu-ilmu dari Locianpwe ini, Nona...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Hwee Li hanya mengangguk, sikapnya dingin. Akan tetapi pada saat itu, wajah Suma Han menjadi pucat
dan orang tua ini mengatupkan bibir kuat-kuat menahan nyeri, kemudian tubuhnya bergoyang-goyang.
Hwee Li memandang wajah itu dan teringatlah dia kepada Kian Lee. Betapa miripnya wajah itu dengan
wajah kekasihnya. Timbul rasa kasihan di dalam hatinya.
“Kau... kau terluka, Locianpwe...?”
Suma Han menarik napas panjang. “Sedikit tidak mengapa. Untung ada engkau yang hebat, Nona. Siapa
namamu?”
“Nama saya Kim Hwee Li, Locianpwe.”
Hwee Li menanti dengan jantung berdebar, akan tetapi nama itu tidak mendatangkan pengaruh apa-apa
terhadap pendekar itu sehingga legalah hatinya. Pendekar ini belum pernah mendengar namanya dan
tidak tahu bahwa dialah dara yang tadi dicelanya sebagai puteri penjahat Hek-tiauw Lo-mo dan anak
kandung pemberontak Kim Bouw Sin!
“Sebut saja aku paman, Hwee Li. Dengan kepandaian yang kau miliki, lewat beberapa tahun lagi saja
belum tentu aku akan dapat menandingimu, maka jangan menyebutku locianpwe. Kalau tidak ada engkau
yang agaknya telah mewarisi ilmu-ilmu hebat dari Dewa Bongkok, kiranya sekarang aku sudah mati pula
seperti dia. Ahhh, kasihan, seorang tokoh besar harus tewas dalam kesunyian. Kita harus
menyempumakan semua jenazah itu dan memperabukan mereka.”
“Semua?” Hwee Li bertanya, heran. “Juga jenazah delapan orang itu?”
Suma Han mengangguk, berbalik dia bertanya, “Ya, mengapa tidak?”
“Tentu saja aku hanya ingin menyempumakan jenazah Locianpwe itu saja, Lo... ehhh, Paman. Delapan
jenazah yang lain itu adalah jenazah penjahat-penjahat.”
“Ahh, Hwee Li, jangan kau berpendapat demikian. Betapa pun jahatnya mereka, kini mereka telah mati,
telah menjadi jenazah. Tidak ada jenazah yang jahat, bukan?”
Hwee Li memandang tajam dan Suma Han diam-diam harus mengagumi sepasang mata yang demikian
tajamnya itu. Memang setelah dia mewarisi sinkang dari Dewa Bongkok, sepasang mata dara itu
mencorong seperti sepasang mata seekor naga sakti!
“Jadi kalau begitu kita tidak boleh membenci semua orang yang telah mati, Paman?”
“Ya, begitulah. Yang jahat itu perbuatannya, bukan orangnya.”
“Biar pun pada waktu hidupnya mereka itu amat jahat sekali?”
“Ya, kita tidak boleh membencinya, bahkan harus mengasihani mereka. Hayo kau bantu aku
mempersiapkan pembakaran besar untuk mereka.”
Mereka lalu mengumpulkan kayu-kayu besar yang kering dan ranting-ranting berikut daun-daun kering,
menumpuknya sampai banyak sekali. Kemudian, dibantu oleh dara itu, Suma Han menumpuk jenazah
See-thian Hoat-su, Durganini, Mauw Siauw Mo-li dan lima orang kakek cebol ke atas tumpukan kayu,
sedangkan jenazah Dewa Bongkok diletakkan di atas tumpukan kayu tersendiri oleh Hwee Li yang tetap
berkeras untuk memisahkan jenazah kakek bongkok itu.
“Aku hendak menyimpan abu jenazah beliau, Paman,” katanya sebagai alasan ketika dia hendak
memisahkan pembakaran jenazah itu.
“Ehh, untuk apa?”
“Untuk kuserahkan kepada yang berhak menerima. Menurut... cerita beliau sebelum meninggal dunia,
beliau mempunyai seorang murid yang bernama Kao Kok Cu. Nah, aku ingin mencarinya untuk
menyerahkan abu jenazah beliau kepadanya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Han mengangguk. “Memang benar. Muridnya adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang bernama Kao
Kok Cu. Engkau sungguh berbakti sekali kepada Dewa Bongkok, Hwee Li.”
Mereka lalu membakar tumpukan kayu di mana jenazah-jenazah itu diletakkan. Sambil menanti jenazahjenazah
itu terbakar dan menjadi abu, Suma Han mengajak Hwee Li bercakap-cakap. Dia amat tertarik
kepada gadis ini, seorang gadis yang selain cantik jelita penuh kelembutan juga mengandung kekuatan
hebat, kelincahan, kejujuran dan keberanian dengan hati yang keras, mengingatkan dia pada Lulu isterinya
yang kedua ketika masih muda.
“Engkau berbakti sekali kepada orang tua itu. Apakah engkau muridnya? Melihat bahwa engkau telah
mewarisi ilmu-ilmunya, tentu engkau diambil murid olehnya.”
“Tidak, Lo... eh, Paman. Kami kebetulan saja bertemu ketika dia dalam keadaan terluka dan akan dibunuh
oleh Mauw... eh, wanita yang telah tewas itu.” Dia menuding ke arah tumpukan jenazah yang terbakar.
“Melihat seorang kakek terluka tak berdaya hendak dibunuh, aku lalu melindunginya. Aku tentu kalah oleh
wanita itu kalau tidak diberi petunjuk oleh Dewa Bongkok. Kemudian kami melakukan perjalanan bersama
dan lalu beliau menurunkan ilmu-ilmunya kepadaku.”
“Berapa lama engkau dilatihnya?”
“Kurang lebih tiga bulan.”
“Ahhh! Tiga bulan dan engkau sudah sehebat itu? Tentu sebelumnya engkau telah mempunyai kepandaian
lumayan. Dan engkau mengenal wanita yang kau bunuh itu agaknya?”
Hwee Li mengangguk. “Aku pernah melihatnya, dia berjuluk Mauw Siauw Mo-li, seorang penjahat wanita
yang amat kejam.”
“Bukan main..., Hwee Li, melihat usiamu tentu tidak lebih dari sembilan belas tahun...“
“Baru delapan belas, Paman.”
“Nah, masih amat muda remaja, akan tetapi agaknya pengalamanmu di dunia kang-ouw sudah amat luas
dan engkau memiliki kepandaian begini tinggi! Eh, di manakah tempat tinggalmu dan siapakah orang
tuamu?”
Ditanya demikian, tiba-tiba saja Hwee Li menutupi mukanya dan menangis. Teringat dia betapa dia hidup
sebatang kara, betapa dia tidak mempunyai keluarga sama sekali, bahkan Mauw Siauw Mo-li yang dulu
dianggap sebagai bibi gurunya baru saja mati olehnya. Kekasihnya meninggalkannya, juga subo-nya
agaknya membencinya karena dia keturunan pemberontak. Dan orang yang amat baik kepadanya, kakek
berlengan buntung yang ternyata kakek gurunya juga itu baru saja meninggal dan kini jenazahnya masih
dimakan api.
Siapa tidak akan menjadi sedih mendengar pertanyaan itu? Apa lagi yang mengajukan pertanyaan adalah
orang yang diharapkannya menjadi ayah mertuanya akan tetapi yang tadi mengeluarkan caci maki
kepadanya! Makin diingat, makin sedih hatinya, dan dia menangis sampai mengguguk.
Suma Han memandang dengan wajah berseri. Benar-benar serupa dengan Lulu gadis ini, bukan wajahnya
yang mirip, melainkan wataknya, begitu mudah menangis! Dia merasa kasihan sekali karena dia dapat
menduga bahwa tentu terjadi hal-hal yang hebat atas diri gadis ini, hal-hal yang membuat hatinya merasa
sengsara dan berduka. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau seorang wanita menangis karena duka,
biarkanlah dia menangis, jangan diganggu, jangan dihibur karena selama air matanya belum habis
ditumpahkan, hiburan-hiburan bahkan akan makin memperpanjang kesedihannya.
Setelah tangisnya reda, dan menyusuti air mata, bahkan mengeringkan hidung yang menjadi berair karena
tangis, begitu saja dengan saputangan di depan Suma Han tanpa malu-malu sebagai seorang gadis yang
terbuka dan polos sehingga malah jauh dari pada menimbulkan jijik, Hwee Li lalu berkata, suaranya masih
terisak, “Aku sudah tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai sanak keluarga, tak mempunyai tempat
tinggal lagi, Paman. Dan harap jangan tanya siapa orang tuaku, karena hal itu hanya membikin hatiku
makin sengsara saja.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Han mengangguk-angguk. “Hemm, agaknya hatimu menderita penasaran besar, Hwee Li.
Katakanlah siapa yang sudah membuatmu penasaran, dan aku berjanji akan membantumu, aku akan
berusaha sekuat tenaga untuk memberi penerangan dalam kegelapan hatimu.”
“Ah, benarkah, Paman?” Tiba-tiba dara itu mengangkat mukanya memandang dan ada senyum di bibirnya,
dan mata berseri, biar pun masih ada dua titik air mata yang baru saja turun ke atas pipinya!
Sungguh tiada bedanya dengan Lulu! Suma Han membayangkan Lulu ketika masih muda, persis seperti
dara ini, mudah menangis dan mudah tertawa!
“Mengapa Paman hendak membantuku sekuat tenaga? Apakah untuk membalas bantuanku kepada
Paman tadi ketika Paman dikeroyok orang jahat?”
“Tidak, Hwee Li. Andai kata engkau tidak pernah membantuku sekali pun, aku akan tetap membantumu
dengan sungguh hati.”
“Mengapa, Paman? Mengapa Paman demikian baik kepadaku?” Sepasang mata itu seperti hendak
menembus ke dalam dada dan suaranya penuh desakan.
“Karena aku suka kepadamu, Hwee Li. Engkau mengingatkan aku akan isteriku Lulu di waktu dia masih
semuda engkau.”
“Ahhh...!” Tiba-tiba kedua pipi dara itu menjadi merah sekali dan agaknya dia menjadi gugup, dan untuk
menutupi kegugupannya itu dia berlari mendekati tempat pembakaran jenazah Dewa Bongkok dan
menambah kayu kering pada api yang masih berkobar itu.
Setelah mereka berdua duduk kembali di tempat yang sejuk, cukup jauh dari tempat pembakaran itu agar
jangan terlalu terserang oleh bau yang keras dari jenazah yang terbakar itu, Hwee Li berkata, “Tidak ada
sesuatu yang perlu bantuanmu, Paman. Aku hanya bingung ke mana aku harus mencari murid Dewa
Bongkok untuk menyerahkan abu jenazahnya.”
“Aku akan menemanimu dan membantu mencari Kao Kok Cu, Hwee Li. Setelah apa yang terjadi tadi, dan
selama Ngo-ok masih berkeliaran, tentu akan berbahaya sekali kalau engkau melakukan perjalanan
seorang diri saja. Memang kepandaianmu hebat, tetapi mereka berlima itu merupakan lawan yang amat
tangguh. Dengan kepandaian kita berdua, kukira kita akan dapat menanggulangi mereka. Juga aku perlu
pergi ke selatan lagi untuk mencari dua orang puteraku.”
“Jadi Paman tidak kembali ke Pulau Es?”
Suma Han menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Pulang tanpa disertai putera-puteraku, aku
tentu akan menghadapi dua orang wanita yang marah persis engkau.”
Jantung di dalam dada Hwee Li berdebar tegang. Hampir dia bertanya siapakah Lulu itu? Ibu kandung Kian
Bu atau Kian Lee? Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani bertanya, karena dengan demikian berarti dia
akan membuka rahasia dirinya. Mereka harus menanti sampai sehari penuh dan menjelang malam,
barulah pembakaran jenazah itu selesai. Abu jenazah See-thian Hoat-su, Durganini, Mauw Siauw Mo-li dan
lima orang cebol dikubur di bawah sebatang pohon oleh Suma Han, sedangkan abu jenazah Dewa
Bongkok dibungkus kain oleh Hwee Li, kemudian digendongnya di punggung.
Malam itu juga Suma Han dan Hwee Li melakukan perjalanan menuju ke selatan, melintasi gurun pasir
dalam cuaca terang bulan yang amat indah. Mereka berhenti di dalam hutan di seberang gurun pasir itu,
membuat api unggun dan beristirahat. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hwee Li telah
menghidangkan panggang ayam hutan untuk Suma Han.
Suma Han tersenyum dan mengelus jenggotnya, memandang kepada dara itu dengan sinar mata penuh
kasih sayang. “Terima kasih, anak yang baik, kau makanlah daging ayam itu.”
“Ehh, kenapa, Paman? Aku sengaja menangkap dan memanggangnya untuk Paman. Sejak kemarin
Paman tidak pernah makan, tentu lapar. Nah, silakan, lumayan untuk sarapan pagi, Paman.”
“Terima kasih, engkau memang baik sekali. Akan tetapi sayang, aku tak pernah makan daging lagi selama
beberapa tahun ini, Hwee Li. Kau makanlah sendiri, aku tidak biasa makan daging...“
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahhh...! Kalau begitu, biar kucarikan sayur-sayur untuk Paman.”
Dan sebelum pendekar itu sempat mencegah, dara itu telah meloncat dan lari pergi memasuki hutan.
Sampai lama dia pergi dan akhirnya dia datang kembali membawa banyak sekali buah-buahan dan sayursayuran
yang dapat dimasak.
“Nah, ini buah-buah segar, Paman. Sayang tidak ada tempat untuk memasak sayur sayuran ini...!”
“Tidak apa, buah-buahan ini cukuplah.”
Mereka kemudian makan. Suma Han makan buah-buahan segar dan Hwee Li makan panggang daging
ayam. Mereka makan sambil bercakap-cakap.
“Paman, mengapa Paman tidak makan daging? Apakah karena agama yang Paman anut melarang Paman
makan daging?”
“Tidak, Hwee Li.”
“Lalu mengapa? Apakah Paman menjalani kehidupan suci, sehingga tidak mau makan barang berjiwa?”
Suma Han tersenyum lebar. “Apakah kalau tidak makan barang berjiwa itu lalu menjadi suci? Tidak, Hwee
Li, bukan untuk menjalani kehidupan suci.”
“Lalu untuk apa, Paman?” Gadis ini benar-benar keras hati dan belum puas kalau belum dijawab
pertanyaannya. Persis Lulu!
“Bukan untuk apa-apa, anak baik. Hanya aku melihat bahwa makan sayur dan buah saja lebih baik untuk
diriku lahir batin, karena itulah aku tidak makan daging! Dan sekarang aku telah terlanjur tidak suka, jadi,
aku tidak memaksa diri yang tidak suka. Nah, puas sudah?”
Hwee Li terbelalak, akan tetapi lalu mengerti maksud pendekar kaki buntung itu dan baru dia merasa
bahwa dia terlalu mendesak. “Ahh, maaf, Paman. Aku sudah puas. Paman jujur, tidak seperti orang-orang
yang ingin disebut suci dan pura-pura tidak mau makan daging, padahal kalau melihat orang makan daging
dia mengilar!”
Suma Han tertawa mendengar ucapan ini. Makin lama mereka melakukan perjalanan bersama, makin suka
dia kepada Hwee Li dan di dalam hatinya dia merasa menyesal mengapa putera-puteranya tidak mencari
jodoh seperti dara ini! Mengapa mereka, menurut berita dari mulut Im-kan Ngo-ok, malah tergila-gila
kepada anak seorang pemberontak? Gila benar! Diam-diam dia mengambil keputusan untuk mengambil
dara ini sebagai mantu, entah dijodohkan dengan Kian Bu atau dengan Kian Lee! Akan tetapi sebaiknya
dengan Kian Lee, karena Kian Lee orangnya pendiam dan tenang, cocok kalau mendapatkan seorang
isteri seperti ini lincahnya! Seperti dia dengan Lulu! Kian Bu wataknya keras, kalau bertemu gadis ini, sama
kerasnya, kelak bisa menimbulkan keributan. Ah, bagaimana pun juga, dia harus mengambil dara ini
sebagai mantunya!
Beberapa pekan kemudian mereka melewati Tembok Besar. Bukan hanya Suma Han yang amat tertarik
dan suka kepada dara itu, sebaliknya Hwee Li juga amat kagum kepada pendekar ini. Demikian tenang,
demikian bijaksana, demikian kuat, dan demikian gagah perkasa, penuh pengertian! Akan tetapi, hatinya
masih terasa sakit kalau dia teringat akan pandangan Kian Lee dan juga pendekar sakti ini terhadap dirinya
dengan mengingat keturunan orang tuanya.
Hwee Li dapat menduga bahwa gurunya dan suaminya tentu masih berada di selatan. Setelah suami
gurunya, Kao Kok Cu, yaitu murid dari Dewa Bongkok itu berhasil menyelamatkan keluarga Jenderal Kao
Liang yang tertawan dalam benteng, tentu dia akan mengatur keluarga yang telah ditinggal mati ayahnya
itu. Dan karena kabarnya keluarga itu telah diusir dari kota raja secara halus, maka tidak mungkin kalau
keluarga itu kembali ke kota raja, tentu ke kampung halaman dari mana keluarga Kao berasal. Dan dia
akan mencari ke sana! Akan tetapi semua ini tidak dia beritahukan kepada Pendekar Super Sakti yang
diam-diam juga ingin lebih dulu mencari puteranya untuk... diperkenalkan dengan dara pilihannya ini!
Suatu hari, pagi-pagi sekali mereka tiba di persimpangan jalan. Menurut pengetahuan Hwee Li yang
pernah mendengar penuturan subo-nya tentang kampung halaman keluarga Jenderal Kao, mestinya
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka mengambil jalan yang kanan, yang menuju ke Kang-lam di mana keluarga Kao berasal. Akan
tetapi Suma Han ingin mengambil jalan yang kiri. Karena Hwee Li ingin cepat-cepat menyerahkan abu
jenazah itu kepada suami gurunya, maka dia membantah dan bertanya, “Mengapa Paman hendak
mengambil jalan itu? Apakah Paman sudah mempunyai petunjuk bahwa ke sanalah kita harus mencari
murid Dewa Bongkok?”
Suma Han menarik napas panjang. “Jangan khawatir, Hwee Li. Mencari Kao Kok Cu boleh nanti saja dan
aku serta anak-anakku pasti akan membantumu. Aku ingin lebih dulu menemukan putera-puteraku, baru
kami akan membantumu mencari Si Naga Sakti Gurun Pasir itu.”
“Ahhh, urusan kematian Dewa Bongkok merupakan urusan yang sangat penting bagi muridnya, Paman.
Kenapa Paman tergesa-gesa hendak mencari putera Paman?”
“Karena aku hendak memperkenalkan engkau kepada mereka, anak yang baik.”
Hwee Li terbelalak memandang wajah yang berseri lembut itu. “Ehh? Mengapa? Apa maksudnya Paman
hendak memperkenalkan aku kepada mereka?”
Pendekar itu menarik napas panjang lalu duduk di tepi jalan itu. “Kau duduklah, Hwee Li, dan dengarkan
kata-kataku.”
Gadis itu memandang heran, lalu duduk di depan pendekar itu, di atas sebuah batu bundar.
“Hwee Li, semenjak berkenalan denganmu, bahkan semenjak melihat engkau dengan gagah perkasa
melawan musuh-musuh yang tangguh itu, kemudian setelah melakukan perjalanan bersamamu, terus
terang saja timbul rasa suka yang mendalam di hatiku. Engkau makin mengingatkan aku akan isteriku
ketika dia masih muda. Maka, semenjak beberapa hari ini, aku telah mengambil keputusan hati untuk...
mengambil engkau sebagai mantuku!”
“Ahhhhh...!” Hwee Li terbelalak memandang, jantungnya berdebar tegang.
“Maafkan, Nak, bukan aku ingin lancang dan memandang rendah kepadamu. Akan tetapi mengingat
bahwa engkau tidak mempunyai orang tua atau sanak keluarga lagi, maka aku bicara begini terus terang
kepadamu. Aku yakin bahwa engkau cocok sekali untuk menjadi isteri Kian Lee, puteraku...“
Suma Han tidak melanjutkan kata-katanya karena terkejut melihat dara itu meloncat bangun bagaikan
disengat kelabang pantatnya. Dara itu berdiri dan memandang kepadanya dengan muka merah sekali,
kemudian terdengar dia berkata, “Paman, aku telah mendengar percakapan Paman dengan locianpwe
Dewa Bongkok tempo hari. Bukankah puteramu itu telah mempunyai seorang kekasih?”
Kini Suma Han juga bangkit berdiri dan mengepal tangan kanannya. “Tidak! Aku akan memutuskan
hubungan yang tidak tepat itu!”
“Mengapa... mengapa tidak tepat, Paman?”
Suma Han tidak dapat melihat betapa suara dara itu agak gemetar, karena dia sendiri sedang marah
memikirkan keadaan puteranya.
“Dia harus memutuskan hubungan itu dan menikah denganmu! Aku yakin bahwa aku akan dapat
menyadarkan Kian Lee, bahkan menurut Dewa Bongkok, dia pun sudah sadar dan telah meninggalkan
gadis anak si jahat Hek-tiauw Lo-mo dan keturunan pemberontak rendah itu!” Sepasang mata Majikan
Pulau Es ini bersinar-sinar penuh kemarahan. Dia merasa terhina kalau harus menjadi besan orang-orang
seperti penjahat dan pemberontak itu.
Dan terjadilah hal yang aneh, yang membuat Pendekar Super Sakti berdiri terbelalak memandang gadis
itu. Hwee Li berdiri tegak, kedua tangannya bertolak pinggang, mukanya merah padam dan kedua matanya
basah akan tetapi mengeluarkan sinar kemarahan yang berapi-api, yang ditujukan kepadanya!
“Bagus sekali, Paman! Baru saja beberapa hari yang lalu Paman memberi kuliah kepadaku bahwa kita
tidak boleh membenci orang yang telah mati betapa pun jahatnya dia, dan kini Paman memperlihatkan
kebencian kepada Kim Bouw Sin dan keluarganya yang telah terbasmi dan binasa semua sebagai
keluarga pemberontak! Apakah Paman sendiri di waktu mudanya tidak pernah memberontak? Pemerintah
dunia-kangouw.blogspot.com
Mancu sekarang ini, ketika pertama kali menyerbu ke selatan, bukankah mereka pun pemberontak? Dan
Paman juga membenci Hek-tiauw Lo-mo, karena dia itu ketua Pulau Neraka! Lupakah Paman bahwa isteri
Paman sendiri, Bibi Lulu itu, ibu kandung dari... eh, puteramu Kian Lee itu, pernah pula menjadi
pemberontak dan juga menjadi ketua Pulau Neraka? Apa hubungannya anak dengan kejahatan atau
pemberontakan atau penyelewengan orang tuanya? Mengapa anaknya diikutkan bertanggung jawab dan
kebagian nama buruk yang harus Paman benci pula? Adilkah itu? Benarkah itu? Layakkah itu bagi seorang
pendekar sakti seperti Paman ini mempunyai jalan pikiran yang demikian picik, dangkal dan tidak adil?”
Wajah Suma Han menjadi pucat, kemudian menjadi merah kembali. Tergagap-gagap dia berseru, “Hwee
Li, kau...”
Hwee Li membanting-banting kaki kanannya, demikian kerasnya sampai tanah di sekitar tempat itu
terguncang! “Sudahlah! Aku tidak sudi berjodoh dengan anak Paman yang mulia dan setinggi langit itu!
Aku adalah anak pemberontak, anak penjahat, sebaliknya Paman dan keluarga Paman adalah keluarga
langit! Sudahlah!” Dia terguguk menangis dan melarikan diri secepatnya pergi meninggalkan Suma Han
yang berdiri melongo.
Hati Suma Han mendorong untuk mengejar, akan tetapi dia lalu teringat dan tidak jadi menggerakkan
kakinya. Gadis seperti Hwee Li ini, seperti juga Lulu dulu, tidak mungkin dapat ditundukkan dengan
bujukan atau paksaan. Sudahlah, dia sendiri yang bersalah! Pendekar ini tersenyum. Sudah setua, ini
masih begitu tolol. Tentu saja! Tentu saja Hwee Li adalah gadis yang dicinta oleh Kian Lee itu, gadis anak
angkat Hek-tiauw Lo-mo, puteri kandung mendiang Kim Bouw Sin! Mengapa dia begitu bodoh? Gadis itu
datang bersama Dewa Bongkok, bahkan telah menjadi murid Dewa Bongkok dan locianpwe itu datang
untuk membicarakan urusan perhubungan gadis itu dengan Kian Lee. Pantas saja gadis itu dahulu lari
sambil menangis ketika mendengar dia mencela gadis itu sebagai keturunan penjahat dan pemberontak!
Seperti disambar halilintar, pendekar sakti ini sadar! Dia seperti dihadapkan sebuah cermin besar di mana
dia memandang kepada dirinya sendiri, melihat betapa dia masih dikuasai oleh watak sombong, ingin
mengangkat diri dan keluarga sendiri, mempunyai ‘gambaran’ yang amat agung terhadap keluarga sendiri
yang pada hahekatnya perluasan dari diri sendiri pula, sehingga dia memandang rendah kepada golongan
lain, terutama yang dianggapnya hina seperti penjahat dan pemberontak! Dan gadis dengan
kemarahannya yang khas seperti Lulu itulah yang menyadarkannya!
Sampai berjam-jam lamanya Suma Han berdiri seperti patung di tempat itu, tak pernah bergerak akan
tetapi mata batinnya mengamati dirinya sendiri dan dia merasa malu, malu sekali! Aihhh, betapa Lulu akan
marah sekali kalau mendengar akan sikapnya selama ini! Dan kenapa Kian Lee juga memandang rendah
kepada gadis yang menjadi kekasihnya itu setelah mendengar bahwa gadis itu anak pemberontak?
Mengapa Kian Lee setolol itu? Setolol dia? Apa hubungannya seorang anak dengan penyelewengan orang
tuanya? Mereka adalah manusia-manusia lain yang hanya kebetulan saja dihubungkan sebagai ayah dan
anak. Akan tetapi, bukankah ayah dan anak merupakan dua orang manusia yang memiliki pikiran sendiri,
hati sendiri, kesadaran sendiri, selera sendiri?
Sadarlah kini Suma Han. Sadarlah dia bahwa selama ini, dialah yang kehilangan kewaspadaan sehingga
tanpa disadari dia bersikap yang tidak benar. Sikap dan perbuatan yang tidak benar hanya dilakukan oleh
manusia yang pada saat itu tidak sadar! Apa bila manusia sadar setiap saat, waspada setiap saat
memandang dirinya sendiri, setiap gerak-gerik badan dan batinnya sendiri, tidak mungkin dia melakukan
sesuatu yang tidak benar! Karena, setiap perbuatan yang tidak benar itu pun akan nampak olehnya dan
karenanya tentu tidak akan dilakukannya!
Kewaspadaan bukanlah suatu hal yang boleh dilakukan sekali waktu atau pada waktu waktu tertentu saja.
Kalau dilakukan berselang-seling, maka terjadilah apa yang kita lihat dalam kehidupan manusia ini. Di
waktu tidak waspada, melakukan dosa, setelah sadar dan waspada, menyesal dan minta ampun,
bersumpah tidak akan lagi melakukan perbuatan itu. Kemudian, dalam keadaan tidak sadar lagi,
diulanginya perbuatan itu, lalu sadar dan minta ampun lagi. Demikianlah kita terseret ke dalam lingkaran
setan yang tiada habisnya.
Kewaspadaan harus selalu ada pada kita setiap saat, timbul dari pengamatan setiap saat, timbul dari
perhatian sepenuhnya yang kita curahkan terhadap diri sendiri dalam saat apa pun, selagi melakukan atau
mengatakan atau memikirkan apa pun.
Pengamatan penuh kewaspadaan, penuh perhatian inilah kesadaran! Kalau kita membiarkan diri kosong
tanpa kewaspadaan, maka iblis berupa pikiran yang selalu mengejar kesenangan akan masuk dan
dunia-kangouw.blogspot.com
menyeret kita kepada kesesatan. Waspada dengan pengamatan tanpa pamrih ingin mengubah, waspada
dengan pengamatan tanpa adanya si aku yang mengamati, karena si aku adalah yang diamati pula,
waspada terhadap si aku, pikiranku, kedukaanku, kemarahanku, kebencianku, waspada terhadap semua
ini tanpa ingin mendapatkan apa pun, inilah satu-satunya yang dapat menimbulkan pengertian.
Lebih dari tiga jam pendekar sakti itu berdiri seperti patung. Kemudian dia tersenyum, sama sekali tidak
marah oleh sikap dan kata-kata Hwee Li tadi. Bahkan dia berterima kasih, karena justru dara remaja itulah
yang telah menggugahnya dari mimpi yang membawanya kepada kesesatan. Betapa dia telah memberi
kuliah kepada Hwee Li, seperti dikatakan dara itu, tentang tidak membenci orang jahat sekali pun yang
sudah mati, akan tetapi sikapnya menentang hubungan puteranya karena si gadis itu anak penjahat dan
pemberontak sudah merupakan suatu kebencian pula yang terselubung! Ahhh, betapa mudahnya memberi
nasehat namun betapa sukarnya melaksanakannya sendiri! Ini semua takkan terjadi kalau dia selalu
waspada setiap saat mengamati diri sendiri, sehingga dia akan waspada ketika memberi nasehat, waspada
pula ketika berbuat!
“Akan kucari Kian Lee, akan kubereskan semua yang tidak benar selama ini!” katanya kepada diri sendiri.
Di lain saat pendekar sakti itu telah berkelebat pergi, menggunakan ilmunya untuk berloncatan dan
melakukan perjalanan cepat sekali.
Dugaan Hwee Li memang tepat. Setelah beberapa hari lamanya dia berputar-putar di daerah Kang-lam,
akhirnya dia dapat memperoleh keterangan di mana adanya keluarga Jenderal Kao Liang, yaitu di dusun
Lok-jung di kaki sebuah bukit kecil yang sunyi. Cepat dia menuju ke dusun itu dan dari jauh dia sudah
melihat subo-nya sedang duduk di depan sebuah rumah yang cukup besar, bersama Kao Kok Cu dan juga
Cin Liong. Bukan main girangnya hati Hwee Li, akan tetapi di samping kegirangan ini dia pun merasa
terharu karena dia membawa berita duka, dan juga tegang dan gelisah melihat subo-nya, teringat betapa
subo-nya sudah tidak mau mengakuinya lagi sebagai murid karena dia adalah keturunan pemberontak!
“Enci Hwee Li...!” Cin Liong yang masih mengenal dara yang dulu suka memondongnya dan mengajaknya
bermain-main itu segera lari menyambut kedatangan Hwee Li. Suami isteri perkasa itu pun memandang.
Hwee Li merangkul dan memondong Cin Liong, lalu dia menghampiri suami isteri itu, menurunkan Cin
Liong dan tanpa terasa lagi air mata membasahi pipi Hwee Li. Dia selalu menganggap subo-nya sebagai
pengganti ibu, akan tetapi mengingat betapa wanita di depannya yang amat dihormatinya, dikaguminya
dan juga dicintanya itu kini tidak lagi mau mengakuinya sebagai murid, sungguh membuat hatinya terasa
sedih sekali. Apa lagi kalau dia teringat akan semua pengalamannya yang pahit.
Dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan mereka. Dia tidak berani menyebut subo atau suhu kepada
mereka, mengingat betapa subo-nya telah mematahkan pedang dan menyatakan hubungan mereka
sebagai guru dan murid telah putus. Tidak, dia tak akan mengemis minta diakui lagi sebagai murid, bisik
hatinya yang keras, kedatangannya bukan untuk itu, melainkan untuk menyerahkan abu jenazah!
Sambil berlutut dan dengan muka menunduk dia lalu berkata. “Harap Taihiap dan Lihiap berdua sudi
memaafkan aku kalau aku datang mengganggu.”
Tanpa diketahui oleh Hwee Li, suami isteri itu saling lirik ketika mendengar sebutan lihiap dan taihiap itu,
sebaliknya dari subo dan suhu. Kao Kok Cu tersenyum pahit dan pandang matanya menegur isterinya,
sedangkan Ceng Ceng kelihatan terharu, namun ditahannya dengan hatinya yang keras. Memang dia
sudah menceritakan kepada suaminya bahwa dia memutuskan hubungan dengan Hwee Li karena ternyata
bahwa Hwee Li adalah adik dari musuh mereka, yaitu adik dari Kim Cui Yan yang telah menculik Cin Liong,
atau juga puteri dari mendiang pemberontak Kim Bouw Sin.
Mendengar penuturan isterinya itu, Kao Kok Cu sudah mengingatkan isterinya bahwa tindakan isterinya itu
terburu nafsu dan tidak adil, akan tetapi karena sudah terlanjur maka mereka berdua tak dapat berbuat
apa-apa lagi. Dan kini, dara itu datang dengan sikapnya yang masih amat baik, datang-datang berlutut dan
menyebut mereka taihiap dan lihiap!
Sejenak mereka bertiga merasakan suasana yang sama sekali tidak enak, karena biasanya pertemuan
antara mereka tenntu amat menggembirakan karena Hwee Li adalah seorang dara yang lincah jenaka dan
yang selalu menggembirakan suami istri itu dengan sikapnya yang manja. Kini gadis itu berlutut dan
menitikkan air mata, menyebut mereka dengan sebutan seperti orang asing! Akhirnya Kok Cu
memecahkan kesunyian yang tidak enak itu dengan berkata halus.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hwee Li, tentu saja engkau tidak mengganggu. Kau bangkitlah dan duduklah dan ceritakan dengan tenang
apa keperluanmu datang menemui kami.”
Hwee Li bangkit dan duduk berhadapan dengan dua orang itu, dan ketika dia melirik ke arah wajah Ceng
Ceng, dia melihat nyonya ini menunduk sehingga dia tak tahu apakah nyonya itu masih marah kepadanya
ataukah tidak. Betapa pun juga, suasana ini amat tidak enak terasa olehnya, apa lagi dia harus membawa
berita yang amat tidak baik. Maka sukarlah baginya untuk bicara dan dia hanya mengelus rambut kepala
Cin Liong yang kembali mendekatinya dan anak itu berdiri menyandar kepadanya.
“Enci Hwee Li, kenapa lama tidak datang dan bermain-main dengan aku? Nanti kita latihan silat, aku sudah
mulai dilatih oleh Ayah!”
Melihat sikap Hwee Li, Kok Cu dapat menduga bahwa tentu ada urusan penting, maka dia lalu menyuruh
puteranya itu masuk. Cin Liong tidak membantah perintah ayahnya. Setelah anak itu masuk, Kok Cu
bertanya lagi, “Nah, ceritakanlah keperluanmu, Hwee Li.”
Semenjak tadi Hwee Li sudah menahan air matanya dan hanya beberapa tetes yang terlepas turun, akan
tetapi kini mendengar pertanyaan itu, kembali dia berlutut di depan Kok Cu dan menangis, suaranya
terputus-putus ketika dia bicara sambil menurunkan buntalan dari atas punggungnya.
“Su... Taihiap..., aku... aku datang untuk menghaturkan ini...“ Dia merasa lehernya tercekik dan hanya
mengangkat buntalan itu dengan kedua tangan ke atas kepala sambil menangis. Teringat dia akan semua
kebaikan Dewa Bongkok yang tidak hanya telah menurunkan ilmu-ilmu yang tinggi kepadanya, bahkan
telah mengoperkan sinkang ke dalam tubuhnya.
“Apakah ini? Apakah isinya buntalan ini, Hwee Li? Dan mengapa kau menangis?” tanya Kok Cu dengan
hati merasa tidak enak.
“... abu jenazah...“ Hwee Li berbisik dan kini Ceng Ceng menengok dan memandang penuh perhatian
kepada dara itu dan kepada buntalan yang kini sudah diterima oleh suaminya.
Kok Cu terkejut dan makin merasa tidak enak.
“Abu jenazah? Punya siapa?”
“... abu jenazah Locianpwe... penghuni Istana Gurun Pasir...“
“Ahhhhh!”
Kok Cu meloncat berdiri dan tubuhnya gemetar, buntalan itu masih dipegang tangan kanannya. Wajahnya
agak pucat ketika dia memandang kepada buntalan itu, kemudian bertanya kepada Hwee Li. “Hwee Li,
hayo ceritakan yang jelas!” bentaknya dengan suara mengandung getaran amat kuat. “Tidak salahkah
engkau bahwa ini abu jenazah suhu-ku, Go-bi Bu Beng Lojin atau Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir?”
Hwee Li menentang pandang mata Kok Cu dengan mata basah air mata. “Tidak mungkin salah, karena
aku sendiri melihat beliau tewas, dan aku bersama dengan Pendekar Super Sakti yang menyempurnakan
jenazahnya menjadi abu dan kubawa ke sini untuk kuserahkan kepadamu.”
“Ahhh...!” Kedua kaki Kok Cu menggigil dan dia lalu cepat menaruh buntalan itu di atas meja, kemudian dia
menjatuhkan diri berlutut di depan buntalan abu itu. “Suhu, ampunkan teecu, karena terlalu memikirkan
keluarga sendiri teecu sampai melupakan suhu dan tidak tahu bahwa suhu telah meninggal dunia,
ampunkan teecu...“
Sebuah tangan yang halus menyentuhnya setelah beberapa lama dia berlutut tanpa bergerak dengan hati
yang amat berduka. Dia menoleh dan ternyata isterinya juga sudah berlutut di sampingnya, dengan mata
basah air mata. “Sudahlah, suhu sudah meninggal dengan tenang, tidak baik kalau terlalu disedihkan, lebih
baik kita cepat mengatur meja sembahyang untuk beliau,” kata Ceng Ceng. Sementara itu, Hwee Li juga
sudah berlutut di belakang mereka.
Dengan bantuan beberapa orang anggota keluarga, diaturlah sebuah meja sembahyang dan abu itu lalu
disembahyangi sebagaimana mestinya. Hwee Li juga ikut sembahyang di depan meja abu itu, dan ketika
dunia-kangouw.blogspot.com
berlutut dia berkata dengan suara sayu, “Locianpwe, untuk yang terakhir kalinya aku menghaturkan terima
kasih atas segala kebaikanmu kepadaku.”
Setelah dia bangkit, Kok Cu lalu mempersilakan dia duduk. “Maaf, Taihiap, aku akan terus melanjutkan
perjalanan dan tidak akan mengganggu lebih lama lagi,” katanya sambil mengerling ke arah Ceng Ceng.
Ceng Ceng tahu bahwa muridnya ini masih merasa tidak enak kepadanya, seperti juga dia merasa tidak
enak. Dia pernah menyakitkan hati muridnya ini dan memutuskan hubungan, siapa kira kini anak itu malah
berjasa dengan mengantarkan abu jenazah guru suaminya. Maka dengan suara lirih dia berkata, “Hwee Li,
kau duduklah dulu dan ceritakan tentang kematian suhu.”
“Benar, harap kau tidak kepalang dengan pertolonganmu, Hwee Li. Engkau sudah bersusah payah
mengantar abu jenazah suhu, sekarang ceritakanlah apa yang terjadi, bagaimana engkau dapat bertemu
dengan suhu dan bagaimana pula suhu sampai meninggal dunia, apa pula hubungannya dengan Pendekar
Super Sakti,” kata Kok Cu dan memang suami isteri ini amat tertarik untuk mengetahui semua itu.
Hwee Li menarik napas panjang. Memang dia harus menceritakan itu semua. Sambil menundukkan
mukanya dia mulai bercerita secara singkat, “Mula-mula aku bertemu dengan beliau ketika beliau dalam
keadaan terluka parah sekali akan dibunuh oleh Mauw Siauw Mo-li...“
“Bagaimana beliau bisa terluka parah?” Kok Cu bertanya kaget.
“Beliau kemudian menceritakan bahwa beliau terluka karena secara curang dipukul dari depan dan
belakang oleh Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo. Mereka berdua tewas akan tetapi, beliau sendiri
terluka parah. Melihat beliau yang sudah tidak berdaya dan duduk bersila itu hendak dibunuh oleh Mauw
Siauw Mo-li, aku lalu mencegahnya dan melawan Mauw Siauw Mo-li...“
“Kau melawan bibi gurumu sendiri?” Ceng Ceng bertanya, akan tetapi pandang mata suaminya membuat
dia sadar bahwa dia masih dikuasai oleh kemarahan terhadap dara ini, maka dia lalu diam saja dan
menundukkan muka. Hwee Li melirik ke arah subo-nya itu dan menggigit bibir tanpa menjawab.
“Hwee Li, harap kau suka lanjutkan,” Kok Cu berkata lembut.
“Kami berdua lalu melakukan perjalanan menuju ke gurun pasir di dataran Chang-pai-san untuk
menyaksikan pertemuan antara Pendekar Super Sakti dan Im-kan Ngo-ok. Selama dalam perjalanan itu
beliau bersikap sangat baik kepadaku...“ Sampai di sini Hwee Li berhenti karena dia harus menyusut dua
butir air mata yang kembali mengalir turun.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari luar rumah, “Apakah murid Si Dewa Bongkok berada di
dalam? Keluarlah menemui kami!”
Mendengar suara ini, sekali berkelebat Kok Cu sudah meloncat keluar, diikuti oleh isterinya, dan Hwee Li
juga cepat meloncat keluar. Ternyata di pekarangan rumah itu telah berdiri Twa-ok dan Sam-ok, dua di
antara Im-kan Ngo-ok yang paling lihai! Kao Kok Cu mengenal dua orang ini, apa lagi Sam-ok yang dulu
menjadi Koksu Nepal.
“Heemmm, kalian dua orang manusia iblis mau apakah datang mencari murid penghuni Istana Gurun
Pasir?”
“Bagus, kebetulan sekali engkau berada di sini! Dewa Bongkok telah mati, tetapi dialah yang telah
menggagalkan kami ketika kami sudah hampir berhasil membunuh Pendekar Siluman! Karena itu, engkau
muridnya harus menebus kesalahannya terhadap kami itu!”
“Keparat!” Teriakan ini keluar dari mulut Hwee Li dan dara ini sudah mendahului Kok Cu dan isterinya,
langsung saja dia menerjang dua orang kakek itu dengan pukulan yang dilakukan secara aneh, yaitu kaki
kiri berlutut, tangan kiri di atas tanah dan tangan kanan memukul ke depan, ke arah dua orang kakek sakti
itu.
“Cuiiiiittttt... desss! Desssss!”
Dua orang kakek itu terkejut ketika melihat munculnya dara yang pernah melawan mereka secara aneh
dan hebat membantu Pendekar Super Sakti itu. Tak mereka sangka bahwa gadis luar biasa itu pun sudah
dunia-kangouw.blogspot.com
berada di situ. Gadis itu adalah Hwee Li, bekas tunangan Pangeran Nepal, anak dari Hek-tiauw Lo-mo
yang dulu hanya terbatas saja kepandaiannya, akan tetapi yang kini memiliki kepandaian yang amat luar
biasa.
Kini Twa-ok dan Sam-ok tidak berani memandang rendah, cepat mereka menangkis dan akibatnya tubuh
mereka terdorong mundur sampai terhuyung-huyung! Dan Hwee Li sudah melayang lagi ke arah mereka,
sekarang kedua kakinya bergerak, dengan tumit diangkat, berdiri di atas ujung jari-jari kaki, kedua lengan
diputar sedemikian rupa dan dari kedua tangannya menyambar hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi
berdesingan seperti dua batang pedang diputar. Twa-ok dam Sam-ok terkejut, cepat mereka pun
mengerahkan tenaga dan menangkis sambaran dua hawa pukulan dahsyat itu.
“Wuuuuut, brettt, brettttt...!”
Dua orang kakek itu meloncat jauh ke belakang, muka mereka pucat karena lengan baju mereka telah
robek seperti digurat pedang pusaka, dan biar pun kulit lengan mereka tidak terluka, namun tahulah
mereka bahwa dara itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa dan aneh. Menghadapi
dara itu saja sudah berbahaya, apa lagi kalau Si Naga Sakti Gurun Pasir murid Dewa Bongkok yang lihai
itu maju bersama isterinya yang juga lihai! Maka tanpa banyak cakap lagi keduanya lalu memutar tubuh
dan melarikan diri!
Sejenak Hwee Li memandang dengan berdiri tegak, tidak mengejar, kemudian dia menoleh dan ketika
melihat bekas subo-nya dan suami subo-nya memandang dengan mata terbelalak kepadanya, dia menarik
napas panjang dan berkata lirih, “Sayang aku tidak berhasil membunuh dua manusia iblis itu.”
Kok Cu sudah cepat melangkah maju dan memegang lengan Hwee Li. “Gerakanmu tadi! Tenagamu tadi!
Ah, Hwee Li, aku mengenalnya! Engkau... engkau telah mewarisi ilmu-ilmu itu dari mendiang suhu?”
Hwee Li mengangguk. “Memang beliau amat baik kepadaku, telah menurunkan ilmu ilmu simpanannya dan
juga telah mengoperkan sinkang-nya kepadaku...“
“Kalau begitu, engkau termasuk muridnya, engkau menjadi sumoi-ku!”
Hwee Li menggeleng kepala. “Aku tidak berharga untuk menjadi murid beliau dan aku tidak pernah
diangkat murid, aku tidak berani menjadi sumoi-mu, Taihiap...“
“Kau lanjutkanlah ceritamu tadi,” kata Kok Cu dan mereka kemudian kembali duduk di ruangan depan di
depan meja sembahyang Dewa Bongkok. Ceng Ceng sekarang memandang kepada bekas murid itu
dengan mata kagum.
“Kami berdua tiba di dataran itu dan Pendekar Super Sakti dikeroyok oleh lima orang Im-kan Ngo-ok.
Kemudian muncul pula nenek iblis yang pandai sihir, dan Pendekar Super Sakti terdesak hebat. Dalam
keadaan amat berbahaya itu, Locianpwe Dewa Bongkok agaknya tidak dapat berdiam saja. Dalam
keadaan terluka parah itu beliau lalu membantu Pendekar Super Sakti sehingga pendekar Pulau Es itu
terlepas dari bahaya maut, akan tetapi beliau sendiri... beliau tewas dalam keadaan duduk bersila...“
Kembali Hwee Li mengusap kedua matanya.
“Ahhh, jadi Im-kan Ngo-ok yang menjadi biang keladi kematian suhu. Kalau tadi aku tahu...“ Kok Cu
berkata. “Teruskan, Hwee Li, teruskan ceritamu.”
“Setelah beliau tewas, Pendekar Super Sakti lalu mengamuk, akan tetapi terdesak oleh banyaknya lawan
karena segera muncul Mauw Siauw Mo-li dan lima orang cebol yang lihai. Melihat Locianpwe itu tewas, aku
menjadi marah dan aku lalu maju membantu Pendekar Super Sakti. Aku berhasil membunuh Mauw Siauw
Mo-li dan kelima orang cebol, menggunakan ilmu yang kupelajari dari Locianpwe Dewa Bongkok,
kemudian membantu Pendekar Super Sakti menghadapi lima orang dari Im-kan Ngo-ok sehingga akhirnya
mereka melarikan diri meninggalkan Pendekar Super Sakti yang saat itu telah menderita luka-luka karena
pukulan mereka.”
“Hemmm, dan mereka menyalahkan suhu dalam kegagalan mereka terhadap Pendekar Super Sakti,” kata
Kok Cu. “Dan memang suhulah yang menggagalkan mereka, dengan mewariskan kepandaian suhu
kepadamu, Hwee Li. Kemudian, kau membakar jenazah suhu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pendekar Super Sakti yang melakukannya, aku hanya membantunya, kemudian aku mengumpulkan abu
Locianpwe Dewa Bongkok dan kubawa ke sini untuk kuserahkan kepadamu, Taihiap.”
Kok Cu bangkit berdiri, memandang kepada Hwee Li dengan mata kagum dan berterima kasih. “Hwee Li,
aku amat berterima kasih kepadamu. Tidak keliru suhu memilihmu sebagai ahli waris ilmu yang
dirahasiakan itu, bahkan kepadaku pun dia tak menurunkan ilmu itu. Engkau baik sekali dan engkau patut
menerima kasih sayangnya.”
“Aku pun berterima kasih kepadamu, Hwee Li, dan kau maafkanlah sikapku yang lalu...“
Suara Ceng Ceng ini membuat Hwee Li memutar tubuh dengan cepat. Dia melihat subo-nya telah berdiri
dan memandang kepadanya dengan mata basah. Bukan main lega dan girangnya hati Hwee Li, juga
terharu sekali dan dia seperti mendapatkan kembali seorang ibu! Dia berlari menubruk Ceng Ceng sambil
merintih dan menangis! Ceng Ceng menerimanya dalam pelukan dan sambil menyembunyikan mukanya di
dada subo-nya itu Hwee Li menangis sepuas hatinya sampai sesenggukan.
“Subo... ahhh, Subo... mengapa semua orang membenciku? Mula-mula Subo yang meninggalkan aku
karena aku anak pemberontak, lalu dia... Kian Lee juga menghinaku dan meninggalkan aku... setelah itu
ditambah lagi... Pendekar Super Sakti juga mencaci maki anak pemberontak dan tidak menyetujui
puteranya berjodoh dengan anak pemberontak... hu-hu-huuuh..., Subo, apa salahku...?” Dia merenggutkan
pelukan Ceng Ceng sehingga terlepas, lalu memegang kedua lengan subo-nya itu, mengguncang
guncangnya penuh penasaran, dengan air mata bercucuran. “Apa salahku, Subo? Apa salahku kalau ayah
kandungku seorang pemberontak? Apa salahku kalau orang yang memeliharaku seorang penjahat? Apa
salahku kalau Tuhan menentukan aku lahir dari keluarga pemberontak? Mengapa orang menyalahkan
aku...? Mengapa...? Hu-hu-huuuuuh...!” Tangisnya menjadi-jadi karena dia teringat betapa Kian Lee
meninggalkan dirinya, dan dia kembali sudah berangkulan dengan Ceng Ceng yang juga ikut menangis
bersama muridnya karena dia merasa amat kasihan dan terharu.
Berbagai hal teringat oleh Ceng Ceng. Kian Lee pernah jatuh cinta kepadanya dan cinta kasih itu gagal
karena dia masih terhitung keponakan sendiri dari pemuda itu. Kini pemuda itu mempunyai hubungan kasih
sayang dengan muridnya, dengan Hwee Li, apakah harus putus lagi? Tidak, sekali ini, kalau sampai putus,
maka kesalahannya terletak pada Kian Lee!
Setelah mencium pipi yang basah air mata itu, Ceng Ceng menghibur, “Sudahlah, Hwee Li, tenangkan
hatimu. Aku telah bersalah dan kau maafkanlah aku. Akan tetapi, mereka itu tidak boleh bersikap seperti itu
kepadamu, sama sekali tidak patut! Kalau aku pada waktu itu marah kepadamu dan memutuskan
hubungan, bukan hanya karena aku tidak suka mempunyai murid anak pemberontak, melainkan terdorong
oleh kemarahan hatiku melihat engkau melindungi musuh yang telah menculik puteraku. Akan tetapi
kemudian aku mendengar bahwa mereka semua yang bersalah itu telah tewas, enci tirimu Kim Cui Yan,
bersama suheng-nya, dan juga Pangeran Liong Bian Cu, semua telah tewas karena bentrok sendiri.
Engkau tidak boleh disamakan dengan mereka, dan kalau sampai Paman Kian Lee dan ayahnya
menolakmu karena keturunan atau karena orang tuamu, biarlah aku yang akan menemui mereka dan
menegur mereka!”
Hwee Li memperoleh hiburan batin ketika subo-nya kembali bersikap baik kepadanya. Dia tak menolak
ketika Ceng Ceng menyatakan hendak menyertainya mencari Kian Lee dan memperbaiki kembali
hubungan yang terputus itu. Hwee Li tidak menolak karena dia pun tidak mempunyai orang yang dapat
dipercayanya, dan subo-nya ini dapat bertindak selaku walinya! Dia pun tidak putus harapan akan
hubungannya dengan Kian Lee, karena bukankah Pendekar Super Sakti sendiri telah menyatakan ingin
mengambil dia sebagai mantu untuk menjadi jodoh Kian Lee? Akan tetapi, pemuda itu harus melihat dulu
kesalahannya, dan harus minta ampun kepadanya!
Ceng Ceng minta kepada suaminya agar menanti dia di dusun keluarga Kao itu bersama Cin Liong, karena
dia ingin menyertai Hwee Li mencari Kian Lee. Kalau sudah selesai urusan ini, baru mereka bersama-sama
akan kembali ke Istana Gurun Pasir.
Setelah memberi hormat kepada semua keluarga Kao, Hwee Li berpamit kepada Kok Cu dan berkata,
“Terima kasih atas kebaikan Taihiap...“
“Hushhh, engkau adalah sumoi-ku, mengapa menyebutku taihiap?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kedua pipi Hwee Li menjadi merah karena jengah. “Ahhh, mana patut aku menjadi Sumoi-mu...? Biarlah
aku menjadi murid Subo kembali. Tentu Subo akan sudi menerimaku kembali menjadi murid, bukan?” kata
Hwee Li dengan manja kepada Ceng Ceng yang sudah berkemas untuk berangkat bersamanya.
“Menjadi muridku? Ihhh! Sungguh tidak patut, tidak patut!” Nyonya itu menggeleng geleng kepala sambil
tersenyum.
Hwee Li tahu bahwa subo-nya itu main-main, maka dia pura-pura kaget dan bertanya, “Mangapa tidak
patut menjadi muridmu, Subo?”
“Jangan menyebut subo lagi kepadaku, anak nakal. Apa kau hendak mengejek aku? Tentu saja tidak patut,
sama sekali tidak patut. Pertama, engkau telah menjadi murid suhu suamiku, maka engkau terhitung
sumoi-ku, mana bisa menjadi muridku? Dan tentang kepandaian, engkaulah yang layak mengajar aku ilmu
silat, mana pantas engkau menyebut subo kepadaku? Kemudian, masih ada lagi. Engkau tidak patut
menyebutku subo, bahkan semestinya aku menyebutmu... ehh, calon bibiku.”
“Ehhh...?”
“Ingat, Suma Kian Lee adalah adik sekandung dari mendiang ayahku, jadi dia adalah pamanku, maka apa
yang harus kusebut kepada calon isterinya?”
“Ihhh, Subo...!” Hwee Li mencubit lengan Ceng Ceng dan mereka semua tertawa.
Memang Hwee Li selalu bersikap polos, lincah, jenaka dan tidak pernah mempedulikan tentang ikatan
sopan santun yang kaku sehingga bebas saja baginya untuk bersenda gurau dengan subo-nya yang
usianya tidak terlalu banyak selisihnya dengan usianya sendiri itu.
Maka berangkatlah dua orang wanita itu dengan wajah berseri karena kini, di samping subo-nya, Hwee Li
memperoleh harapan baru. Dia berjalan sambil bercakap-cakap dan dia menceritakan semua
hubungannya dengan Kian Lee dengan selengkapnya, juga tentang sikap Pendekar Super Sakti yang amat
baik padanya, bahkan telah menyatakan ingin mengambilnya sebagai mantu untuk dijodohkan dengan
Kian Lee, dan betapa dia menjadi marah-marah dan meninggalkan pendekar itu ketika pendekar itu
mencaci-maki anak pemberontak!
“Aihhh, kenapa engkau demikian keras kepala dan tidak mengaku saja bahwa engkau adalah gadis itu
kepada beliau?” Subo-nya mengomel.
“Biar, Subo. Biar mereka itu tahu akan kesalahan mereka.”
“Ya, engkau memang pendendam. Akan tetapi memang sebaiknya kalau orang yang keliru itu menyadari
sendiri kekeliruannya, seperti kekeliruan sikapku padamu. Jangan khawatir, aku akan menegurnya dan
kalau memang dia benar-benar mencintamu, tentu dia pun menderita sengsara sekarang ini.”
Mereka melanjutkan perjalanan dengan kepercayaan penuh kepada diri sendiri…..
********************
Dugaan Ceng Ceng memang sama sekali tidak salah. Semenjak berpisah dari Hwee Li, Kian Lee
mengalami penderitaan batin yang parah. Rasanya jauh lebih parah dari pada ketika menderita karena
kegagalan cinta pertamanya terhadap Ceng Ceng dahulu itu. Dia merasa menyesal sekali akan kenyataan
bahwa dara yang dicintanya sepenuh hatinya itu ternyata adalah keturunan dari pemberontak Kim Bouw
Sin!
Betapa tidak akan hancur hatinya. Mana mungkin dia akan dapat berjodoh dengan anak pemberontak?
Keluarganya selalu menentang pemberontak, bahkan kakaknya, Milana adalah seorang puteri yang
menjadi panglima dalam penumpasan pemberontak. Mana mungkin dia, putera dari Majikan Pulau Es,
pendekar yang amat terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang gagah perkasa itu dan terkenal pula
sebagai mantu kaisar sendiri, kini bermenantukan seorang puteri pemberontak? Betapa dunia kang-ouw
akan mentertawakan hal itu, dan sudah pasti keluarganya takkan menyetujui perjodohannya dengan anak
pemberontak. Ahhh, mengapa nasibnya demikian buruk?
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hwee Li...,“ untuk ribuan kalinya dia merintih, menyebut nama dara yang sangat dicintanya itu. Tubuhnya
menjadi kurus karena dia jarang makan dan jarang tidur, merantau tanpa tujuan lagi, tidak ingin pulang ke
Pulau Es, akan tetapi juga tidak tahu ke mana dia harus pergi.
Mengapa Hwee Li tidak menjadi anak orang biasa saja? Atau mengapa dia sendiri tidak menjadi anak
orang biasa saja? Kalau dia anak seorang petani atau nelayan, atau bahkan anak seorang tokoh dunia
hitam, tentu tidak ada halangan baginya untuk berjodoh dengan Hwee Li. Makin diingat, makin terbayangbayang
wajah Hwee Li yang cantik manis, sikapnya yang lincah jenaka dan manja, dan makin perih rasa
hati Kian Lee, membuat dia kehilangan gairah hidup.
Mengapa cinta selalu mendatangkan derita sengsara dalam batin manusia? Mengapa demikian banyaknya
kisah cinta yang berakhir dalam derita? Mengapa banyak terjadi cinta gagal sehingga tidak jarang berakhir
dengan kematian dan kehancuran? Benarkah cinta demikian kejamnya mempermainkan manusia sehingga
cinta itu seperti racun dalam madu yang manis, nampaknya saja membahagiakan namun pada akhirnya
menyeret manusia ke dalam kesengsaraan dan penderitaan batin?
Tidak mungkin! Bukanlah cinta kasih namanya kalau mendatangkan derita sengsara! Yang mendatangkan
derita sengsara adalah keinginan manusia untuk senang! Bukan cinta kasih! Cinta kasih tidak mengandung
pamrih untuk kesenangan atau kepuasan diri pribadi! Kalau mengandung pamrih seperti itu, maka
bukanlah cinta kasih namanya. Jika kita mencinta seseorang, maka sudah tentu kita ingin melihat orang itu
berbahagia, tidak peduli kebahagiaannya itu ada sangkut-pautnya dengan kita atau bukan.
Cinta adalah ingin melihat orang lain bahagia, tanpa pamrih untuk diri sendiri. Cinta adalah belas kasih
terhadap orang lain, tanpa pamrih mendapat imbalan untuk diri sendiri. Dan cinta seperti ini tidak mungkin
mendatangkan derita sengsara! Sebaliknya, kalau kita ingin memperoleh kesenangan dari orang yang kita
cinta, itu namanya bukan mencinta orang itu, melainkan mencinta diri sendiri dan orang yang katanya kita
cinta itu hanya sekedar kita jadikan alat untuk menyenangkan diri kita. Tidakkah demikian?
Karena itulah, kalau orang itu tidak menyenangkan kita, kalau orang itu tidak mau mendekati kita, tidak
mau menjadi milik kita, lenyaplah kegunaannya sebagai alat menyenangkan kita, dan kita kecewa, kita
menderita sengsara, dan tidak jarang cinta kita berubah menjadi kebencian, benci karena orang itu tidak
mau menyenangkan kita, karena orang itu mengecewakan kita! Inikah cinta? Jelas bukan! Namun,
semenjak kecil kita telah dididik dan dibentuk untuk beranggapan bahwa demikianlah cinta itu! Penuh
derita, dapat menjadi sorga mau pun neraka, sumber suka duka, terisi kesenangan dan pemuasan nafsu
yang kita sulap menjadi kebahagiaan!
Bukan berarti bahwa kita harus anti terhadap semua kesenangan, harus anti terhadap sex, terhadap
kemesraan antara pria dan wanita. Sama sekali bukan! Bahkan semua kesenangan, sex, kemesraan dan
sebagainya itu akan mengalami perubahan hebat sekali kalau di situ terdapat cinta kasih. Dengan cinta
kasih, maka segala sesuatu adalah benar dan baik, suci dan bersih! Dan selama manusia menafsirkan
cinta kasih semaunya sendiri, disesuaikan dengan seleranya yang tentu berdasarkan pengejaran
kesenangan menurut versi masing-masing, maka di dunia ini selalu akan ‘gagal’.
Padahal, tidak ada istilah cinta gagal atau berhasil. Cinta adalah cinta! Kapan lagi kita dapat menyadari hal
ini kalau kita tidak mau membuka mata sekarang juga? Menyadari berarti membuka mata memandang dan
mengerti, dan pengertian inilah yang akan membebaskan kita dari lingkaran setan, lingkaran suka duka
akibat cinta seperti yang umum artikan itu!
Dalam keadaan kurus dan sakit lahir batin, lahirnya karena kurang makan dan tidur, batinnya karena selalu
diperas oleh kekecewaan dan iba diri, Kian Lee berjalan tanpa tujuan di lembah bawah pegunungan itu.
Hampir saja timbul niat di hatinya untuk membuang dirinya ke dalam jurang ketika dia melewati lereng
gunung tadi. Namun dia masih ingat bahwa perbuatan itu adalah perbuatan pengecut.
Dia tidak tahu bahwa pada saat itu ada orang yang melihatnya dari puncak bukit, dan kini orang itu
berloncatan seperti terbang mengejarnya. Orang ini bukan lain adalah ayahnya sendiri, Pendekar Super
Sakti Suma Han yang memang sedang mencari carinya. Ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan
pendekar berkaki tunggal itu sudah berdiri di hadapannya, berdiri tegak dengan tongkat di tangan, mereka
saling pandang sejenak dan Suma Kian Lee lalu cepat menubruk ke depan dan menjatuhkan diri berlutut di
depan ayahnya itu. Sungguh kemunculan ayahnya ini merupakan hal yang tak terduga-duga olehnya dan
sekaligus menggugah kesedihan hatinya sehingga tanpa dapat ditahannya lagi dia lalu mengusap
beberapa tetes air mata yang tak dapat dibendung keluar dari matanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat keadaan puteranya ini, Pendekar Super Sakti Suma Han menarik napas panjang dan mengelus
jenggotnya. “Ahhh, betapa kecewa hatiku melihatmu, Kian Lee. Beginikah jadinya anakku yang sudah
demikian lamanya tiada kabar beritanya, berubah menjadi seorang yang berbatin lemah, yang menangis
seperti anak kecil karena iba diri? Bangkitlah, Kian Lee. Berdirilah seperti seorang jantan, dan hapus air
matamu!”
Seperti menerima cambukan, Kian Lee bangkit berdiri dan berhadapan dengan ayahnya. Mereka saling
pandang dan terdorong oleh rasa rindu yang sangat, keduanya lalu saling rangkul!
Akan tetapi Suma Han sudah melepaskan anaknya lagi, mendorongnya perlahan ke belakang. “Nah,
ceritakan mengapa engkau begini menderita lahir batin sampai kurus dan pucat?”
“Ayah...“ Kian Lee tidak berani melanjutkan dan hanya menundukkan muka. Apa yang harus diceritakan
kepada ayahnya?
Diam-diam Suma Han tersenyum haru. Dia tahu bahwa anaknya ini menderita sesuatu seperti yang pernah
dialaminya dahulu. Dan diam-diam dia girang karena keadaan puteranya ini membuktikan bahwa
puteranya ini sungguh amat mencinta Hwee Li! Dia dapat menduga pula bahwa agaknya sukar bagi Kian
Lee yang biasanya pendiam itu untuk bicara tentang rahasia hatinya, maka dia lalu membantunya.
“Bukankah engkau menderita karena seorang wanita yang kau cinta namun terpaksa engkau tinggalkan
karena sesuatu?”
Suma Kian Lee mengangkat mukanya dan memandang kepada ayahnya dengan mata terbelalak kaget
dan heran. “Bagaimana... Ayah bisa tahu tentang hal itu?” tanyanya bingung.
Suma Han tersenyum. “Tak usah kau tahu bagaimana aku dapat mengetahui hal itu, dan tidak perlu lagi
kau memikirkan wanita itu. Aku telah menentukan pilihanku atas diri seorang dara yang amat patut menjadi
isterimu. Tidak ada wanita lain yang lebih cocok dari pada dara itu untuk menjadi jodohmu, Lee-ji.”
“Ayah...!” Kian Lee terkejut bukan main dan sejenak ayah dan anak ini saling mengadu pandang mata,
tetapi akhirnya Kian Lee menunduk. Dalam pandang mata ayahnya itu dia melihat keputusan yang tak
boleh diganggu gugat lagi di balik kasih sayang yang nampak nyata. Maka selain dia tidak berani menolak,
juga dia merasa tidak tega untuk mengecewakan ayahnya yang dia percaya melakukan segala sesuatu
hanyalah demi kebaikannya itu.
“Aku tidak salah pilih, Lee-ji, dan jangan mengira bahwa aku sewenang-wenang hendak memaksakan
kehendakku sendiri untuk menentukan calon teman hidupmu. Dara itu bukanlah orang sembarangan, Kian
Lee. Dia bahkan telah dengan gagah perkasa membela dan membantuku menghadapi Im-kan Ngo-ok,
bahkan dialah yang sudah menyelamatkan nyawaku yang nyaris tewas di tangan Ngo-ok. Dia gagah
perkasa, cantik jelita, dan lincah, jujur, keras hati, seperti ibumu ketika masih muda. Aku akan merasa
bangga kalau engkau dapat berjodoh dengan dia, Kian Lee.”
“Tapi, Ayah... perjodohan haruslah dilakukan dengan dasar saling mencinta.”
“Aku berani tanggung bahwa engkau akan jatuh cinta begitu bertemu dengan dia.”
“Tapi... tapi dia...? Bagaimana kalau tidak cinta kepadaku, Ayah?”
“Kalau begitu, itu salahmu! Engkau harus mencarinya dan mendapatkannya!”
Kian Lee merasa heran bukan main. Biasanya, watak dan sikap ayahnya tidak begini. Begini keras dan
memaksa orang! Apa lagi orang itu adalah anaknya sendiri, dan dalam menghadapi urusan perjodohan
pula! Apa yang telah terjadi dengan ayahnya?
“Ayah, bagaimana aku dapat mencari seseorang yang belum pernah kukenal?”
“Mudah, saja! Cari dia, namanya adalah Kim Hwee Li...”
“Ahhhhh...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah Kian Lee berubah pucat dan matanya terbelalak memandang ayahnya seolah olah dia tidak percaya
bahwa yang berdiri di depannya adalah ayahnya. “Apa... apa Ayah bilang...?“
“Gadis itu bernama Kim Hwee Li! Dan dia adalah anak angkat dari Hek-tiauw Lo-mo, dan dia adalah anak
kandung dari pemberontak Kim Bouw Sin! Ya, ya, benar dia. Dan kau telah menghinanya, dan engkau
telah menghancurkan hatinya, telah menolaknya, telah memutuskan hubungan cinta karena dia anak
pemberontak! Bodoh kau! Kau kira ayahmu ini tidak pernah memberontak? Kau kira keluarga kita adalah
keluarga langit sehingga boleh memandang rendah orang lain? Ayahnya boleh jadi pemberontak, ayah
angkatnya boleh jadi manusia iblis, akan tetapi dia adalah seorang gadis bidadari yang gagah perkasa!”
Tanpa disadarinya Suma Han mengulang sebagian dari kata-kata Hwee Li sendiri.
“Ayah... Ayah...!” Suma Kian Lee megap-megap, sukar bicara dan wajahnya perlahan lahan berubah
kemerahan, sinar matanya yang tadinya layu itu kini penuh semangat, wajahnya berseri, dia seperti ‘hidup’
kembali setelah mengalami kematian semangat hidupnya.
“Mengapa gagap-gugup seperti itu? Hayo lekas berangkat, dan awas, jangan kau berani pulang ke Pulau
Es kalau tidak bersama Kim Hwee Li calon isterimu itu!”
“Baik, Ayah! Baik, Ayah!” Suma Kian Lee menjawab dengan suara lantang, dan sekali dia memutar tubuh
berkelebat, dia telah lari cepat sekali meninggalkan tempat itu!
Pendekar Super Sakti Suma Han berdiri memandang bayangan puteranya sampai lenyap, dan barulah dia
mengejap-ngejapkan kedua matanya untuk mencegah runtuhnya air mata yang membasahi matanya.
Kemudian dia menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala lalu mengayun tongkatnya, berjalan
perlahan menuju ke arah perginya puteranya tadi…..
********************
Pantai laut itu sunyi sekali sungguh pun keramaian orang-orang nampak dari situ, agak jauh di selatan,
yaitu keramaian para nelayan yang baru datang dari mencari ikan dan pantai di selatan itu menjadi
semacam pasar pula, pasar ikan yang cukup ramai karena dikunjungi pula oleh pedagang-pedagang ikan
dari kota-kota di pedalaman. Akan tetapi di pantai agak ke utara itu, amat sunyi dan tidak nampak seorang
pun manusia. Pantai ini amat indah dan bersih karena penuh dengan pasir yang berwarna putih, pagi itu
nampak lebih putih dari biasanya karena sinar matahari pagi yang amat cerah.
Akan tetapi, di tempat sunyi itu kini nampak seorang dara yang berdiri termenung, berdiri seorang diri sejak
tadi dan matanya merenung jauh menyeberangi lautan menuju ke utara. Jauh di sana, sebelah utara, tidak
nampak dari situ, terdapat sekumpulan pulau-pulau dan di antara pulau-pulau itu terdapat dua buah pulau
yang kini terbayang di depan mata dara itu. Pulau Neraka dan Pulau Es!
Dia telah meyakinkan hati Ceng Ceng, bekas subo-nya yang kini tidak lagi mau disebut subo (ibu guru),
melainkan dia harus menyebutnya enci, bahwa dia dapat menjadi penunjuk jalan dan bahwa perahu yang
cukup kuat dapat dia layarkan menuju ke Pulau Es. Memang dia sendiri belum pernah mendarat di Pulau
Es, akan tetapi dia semenjak kecil hidup di Pulau Neraka dan dia bukan hanya dapat mengetahui di mana
letaknya Pulau Es, bahkan sering kali dia dahulu naik perahu dan melihat Pulau Es dari jauh, karena ayah
angkatnya, Hek-tiauw Lo-mo, dulu selalu melarang dia untuk mendekati Pulau Es yang dianggap amat
berbahaya dan menjadi tempat larangan bagi semua orang dari Pulau Neraka.
Ceng Ceng pergi mencari nelayan yang mau menyewakan perahunya atau yang mau menjual perahunya,
dan Hwee Li, dara yang kini berdiri termenung di tepi laut itu, mempergunakan waktu luang itu untuk berdiri
termenung dan memandang ke utara. Menurut pendapat Ceng Ceng, sebaiknya mereka langsung saja
menuju ke Pulau Es untuk menemui keluarga Suma, dari pada susah payah mencari Kian Lee yang belum
jelas ke mana perginya itu. Ceng Ceng menenangkan hati Hwee Li yang gelisah bahwa bekas subo-nya
itulah yang akan sanggup menjadi ‘juru bicara’ nanti di Pulau Es! Dan Hwee Li tidak membantah lagi.
“Hwee Li...!”
Gadis itu memutar tubuh demikian cepatnya seperti disengat kelabang, karena dia memang terkejut bukan
main mendengar suara itu. Suara Kian Lee! Dan memang benarlah. Di depannya telah berdiri Kian Lee!
Agak kurus dan agak pucat, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar membayangkan kebahagiaan
karena pertemuan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang hati Kian Lee merasa bahagia sekali. Dia telah berhasil menemukan jejak Hwee Li dan
keterangan-keterangan yang didapatnya membawa dia ke dusun kecil di tepi pantai itu. Dan betapa girang
hatinya ketika akhirnya dia melihat dara itu seorang diri saja di tepi pantai yang sunyi ini. Dan betapa
cantiknya Hwee Li. Wajahnya segar kemerahan, rambutnya yang dia tahu amat halus dan harum itu agak
kusut karena dibelai angin laut. Pakaiannya yang berwarna serba hitam menempel ketat di tubuhnya
karena tertiup angin pula, mencetak bentuk tubuhnya yang indah.
“Hwee Li...!” Dia berseru kembali, dan di dalam suaranya terdengar bayangan khawatir dan duka melihat
betapa sepasang mata yang amat tajam itu kini mencorong penuh kemarahan.
“Ah, engkau...?” Suara itu tetap merdu seperti biasa, suara yang selalu dirindukan Kian Lee sejak mereka
saling berpisah, akan tetapi kini terdengar demikian dingin dan kaku. “Kebetulan sekali, aku tidak perlu
mencarimu ke Pulau Es!”
“Kau... kau tadinya hendak mencariku ke Pulau Es?” Kian Lee berseru girang.
“Benar, akan tetapi kini tak perlu lagi, di sini pun sama saja. Bersiaplah!”
“Apa?” Mata Kian Lee terbelalak, tidak mengerti. “Apa maksudmu, Hwee Li?”
“Bersiaplah, kita selesaikan perhitungan di tempat sunyi ini, dengan perkelahian!”
“Ah, Hwee Li, mengapa begitu? Bukankah kita... sahabat-sahabat baik? Aku... aku cinta padamu, Hwee
Li...”
“Diam! Lupakah kau bahwa aku keturunan pemberontak! Dan engkau ini putera Majikan Pulau Es, putera
Pendekar Super Sakti, keluarga langit? Sedangkan aku ini apa? Hayo, jangan bilang bahwa engkau takut
menghadapi anak pemberontak macam aku!”
“Hwee Li, jangan... aku... aku...”
Akan tetapi Hwee Li sudah menerjang maju dan memukul ke arah dada Kian Lee. Pukulan itu keras sekali
dan Kian Lee hanya mempergunakan sedikit tenaga untuk menangkis. Dia tahu sampai di mana tingkat
kepandaian dan tenaga dara ini, maka tentu saja dia tidak mau menyakitinya dan hanya menangkis
dengan tenaga terbatas saja.
“Desssss...!”
Dan tubuh Kian Lee terlempar sampai empat meter dan terbanting ke atas tanah. Untung tanah di situ
berpasir sehingga dia tidak menderita nyeri, hanya terkejut setengah mati karena tenaga Hwee Li sama
sekali tidak seperti biasa, amat kuatnya.
“Hayo bangunlah dan lawanlah aku, kalau engkau bukan pengecut rendah!” bentak Hwee Li yang sudah
menghampiri dengan dua tangan dikepal.
“Hwee Li... jangan... aku merasa bersalah kepadamu, kau ampunkanlah aku... ahh, aku telah gila, aku
seperti buta ketika aku merendahkanmu. Aku... semenjak kita berpisah, aku menderita, Hwee Li, baru aku
tahu bahwa aku mencintai engkau, dan engkau adalah Hwee Li, tanpa tambahan lagi, entah anak siapa
pun juga, tidak ada sangkut pautnya dengan pribadimu...”
“Cerewet! Kau bangkit dan lawanlah seperti jantan!” bentak Hwee Li dan ketika Kian Lee bangkit berdiri,
dia sudah menyerang lagi.
Kian Lee cepat mengelak karena serangan Hwee Li itu cepat dan kuat bukan main, angin pukulannya
sampai mengeluarkan suara bersuitan. Dia terkejut sekali dan ketika Hwee Li menyusulkan serangan lain
secara bertubi-tubi, dia terus mengelak. Tentu saja dia ingin mengalah terhadap dara ini. Akan tetapi,
makin lama, serangan Hwee Li makin kuat dan cepat saja. Kian Lee merasa terkejut dan heran bukan
main. Mengapa dalam waktu singkat saja kini dara itu telah memiliki kepandaian yang demikian hebatnya?
Jangankan mengalah, biar dia bersungguh-sungguh sekali pun, belum tentu dia akan menang menghadapi
serangan-serangan yang demikian cepat dan ampuhnya, terutama sekali tenaga gadis itu kini benar-benar
amat mengejutkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hwee Li, dengarlah, tunggu dulu...” Akan tetapi begitu dia bicara, kewaspadaannya berkurang dan sebuah
pukulan keras menyerempet pundaknya, membuat dia terpelanting lagi, ke atas pasir.
Akan tetapi Hwee Li tidak menyusulkan serangan, hanya membentak, “Hayo bangun! Bangun...! Ahhh,
bangun engkau, pengecut!”
Kian Lee mengguncang-guncang kepalanya yang berkunang-kunang, kemudian dia meloncat bangun,
terus meloncat ke belakang. “Hwee Li, hebat kau! Dari mana engkau memperoleh kepandaian seperti ini?
Dengar... aku mengaku kalah, aku mengaku salah...”
“Sambut ini!” Kembali Hwee Li sudah menerjang dengan hebat.
Kian Lee merasa penasaran juga. Tidak mungkin dia mengalah terus karena tingkat kepandaian Hwee Li
benar-benar sudah hebat sekali. Akan tetapi, dia tidak tega untuk mempergunakan pukulan-pukulan
berbahaya terhadap dara yang dicintanya ini, maka dia hanya mengelak dan menangkis sedapat mungkin
terhadap hujan serangan itu. Kini dia harus mengerahkan seluruh perhatiannya karena ilmu silat yang
dimainkan oleh dara itu amat aneh, gerakan-gerakannya masih kaku tanda bahwa kurang latihan, namun
benar-benar hebat gerakan itu dan terutama sekali tenaga yang terkandung dalam setiap pukulan itu
benar-benar amat kuat!
Terjadilah perkelahian yang amat seru di tepi pantai yang sunyi itu. Tubuh mereka berputar-putar,
berkelebatan ke sana-sini dengan cepatnya sampai sukar diikuti dengan pandang mata. Kian Lee tidak
berani bicara lagi karena sekali bicara, dia terancam oleh pukulan yang membutuhkan seluruh
perhatiannya untuk menjaga diri jangan sampai kena terpukul. Dan untuk mematahkan serangan bertubitubi
itu, ia pun kadang-kadang terpaksa membalas dengan pukulan yang tidak berbahaya, akan tetapi yang
cukup membuat dara itu membatalkan serangannya untuk balas menangkis atau mengelak.
Saking serunya mereka bertanding, mereka sampai tidak sadar bahwa sejak tadi, muncul dua orang di
tempat itu. Pertama-tama yang muncul adalah Ceng Ceng dan wanita ini tadinya terkejut menyaksikan
Hwee Li sudah menyerang Kian Lee dengan mati-matian seperti itu dan Kian Lee selalu bersikap
mengalah. Akan tetapi Ceng Ceng membiarkan saja mereka berkelahi karena dia pun ingin memberi
hajaran kepada Kian Lee yang telah menyakitkan hati Hwee Li.
Kemudian muncul pula Pendekar Super Sakti yang tersenyum dan mengelus-elus jenggotnya sambil
menyaksikan perkelahian itu. Pendekar ini sudah mengenal pukulan pukulan aneh dari Hwee Li, dan
sekarang, melihat betapa Kian Lee terus mengalah dan dara itu sebaliknya tidak pernah mengeluarkan
pukulan-pukulan yang luar biasa dan mematikan itu, tahulah dia bahwa gadis itu menyerang hanya karena
dorongan kemarahan saja, tetapi sedikit pun tidak mempunyai niat membunuh atau merobohkan Kian Lee
dengan luka parah. Dia mengangguk-angguk dan menyaksikan dengan wajah berseri. Dia merasa geli,
akan tetapi juga siap dan waspada untuk mencegah kalau sampai timbul bahaya bagi kedua pihak dalam
perkelahian itu.
Sudah lebih dari seratus jurus mereka berkelahi dan beberapa kali Kian Lee terkena pukulan walau pun
tidak telak dan hanya membuat dia terpelanting atau terhuyung saja. Namun selalu Hwee Li menyuruh dia
bangkit lagi dan menyerang lagi.
Kian Lee menjadi bingung. Melawan, hatinya tidak tega, tidak melawan, ternyata dara itu terus
menyerangnya dengan hebat. Akhirnya dia mendapatkan akal. Ketika Hwee Li menyerang lagi, dia
mengerahkan Swat-im Sin-kang, akan tetapi membuat dadanya menjadi lunak dan dia menerima pukulan
itu langsung dengan dadanya.
“Bukkk!” Tubuh Kian Lee terpelanting dan roboh terlentang, tak bergerak lagi!
“Hayo bangun! Bangun dan lawanlah aku!” bentak Hwee Li sambil menghampiri.
Akan tetapi sekali ini pemuda itu tidak bangkit lagi, melainkan rebah terlentang dengan muka pucat
kebiruan dan sedikit pun tidak bergerak, kedua matanya terpejam dan napasnya terhenti.
“Hayo bangun...!” Hwee Li membentak akan tetapi suaranya bercampur keraguan dan kekhawatiran. Lalu
dia membungkuk, wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak, kedua tangan yang terkepal itu kini
terbuka jari-jarinya dan dia meraba sana raba sini, meraba dada dan pergelangan tangan lalu dia menjerit.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kian Lee...!” Dan dia sudah mengguncang-guncang tubuh itu, sambil menangis sejadi jadinya.
“Kian Lee...! Kian Lee...! Bangunlah... ahhh, jangan kau mati... uh-huuuuu, Kian Lee...! Kau... kau... ahhh,
aku… aku telah membunuhmu... telah membunuhmu... huuu-huuu-huuuhhh...!” Dia memeluki tubuh itu,
membasahi muka itu dengan air matanya, mengguncang-guncang dan akhirnya dia menangis mengguguk
di atas dada Kian Lee.
Dengan langkah lebar Ceng Ceng sudah menghampiri tempat itu. “Hwee Li, apa yang telah kau lakukan
ini?” bentaknya dengan kaget bukan main. Sekali pandang saja tahulah dia bahwa Kian Lee telah mati!
Muka pemuda itu pucat kebiruan, napasnya terhenti dan sama sekali tidak lagi membayangkan kehidupan.
“Hwee Li, dia... dia... mati...?”
Hwee Li menoleh dan menubruk Ceng Ceng. “Subo...! Enci Ceng..., kau bunuh saja aku... ahh, kau bunuh
saja aku... huuu-hu-huuuuuh, aku... aku telah memukulnya mati... tidak sengaja, Enci... ahhh, sungguh
celaka... bagaimana, Enci, bagaimana...?” Dara itu menangis lagi, menubruk tubuh Kian Lee, lalu
menubruk lagi Ceng Ceng, bingung dan menangis seperti anak kecil.
Ceng Ceng juga merasa bingung sekali, tak disangkanya perkelahian itu akan berakibat seperti itu. Dia
merasa betapa Hwee Li terlalu ganas dan kejam.
“Hwee Li, mengapa kau lakukan ini? Kenapa kau sampai memukulnya mati? Bukankah engkau... kau cinta
padanya?” Ceng Ceng tidak dapat menahan lagi tangisnya melihat pemuda yang pernah mencintanya itu
kini rebah terlentang tak bernyawa lagi.
“Aku tidak sengaja... sungguh, aku tidak sengaja... dia biasanya demikian kuat... ahhh, Enci biar aku mati
saja, biar aku mati saja! Kau pukullah aku Enci, kau bunuhlah aku...!”
Tetapi tentu saja Ceng Ceng tidak mau melakukan hal itu dan sebaliknya dia malah memeriksa Kian Lee.
Hwee Li menangis tersedu-sedu dan menutupi kedua matanya, mengeluh panjang pendek dan bersambat
minta mati. Ketika Ceng Ceng memeriksa detak nadi di pergelangan tangan Kian Lee, dia tidak merasakan
denyutan sedikit pun juga, dan ketika dia meraba dada pemuda itu, juga dia tidak merasakan apa-apa.
Akan tetapi ketika dia memandang wajah yang pucat kebiruan itu, tiba-tiba saja sepasang mata itu terbuka,
kemudian yang sebelah kiri berkedip kepadanya dan mulut pemuda itu tersenyum, lalu kedua matanya
terpejam lagi!
Hampir saja Ceng Ceng menjerit, kemudian dia hampir tak dapat menahan ketawanya. Kiranya pemuda ini
tidak mati! Sama sekali tidak, hanya entah dengan ilmu apa pemuda itu dapat bersikap seperti benar-benar
mati itu, tanpa detak nadi dan denyut jantung! Bukan main lapang rasa dadanya dan kini dia ingin
menggoda Hwee Li.
“Nah, bagaimana sekarang? Engkau selalu keras kepala sih! Sudah jelas bahwa engkau dan dia saling
mencinta, akan tetapi engkau memaksa dia untuk berkelahi!” dia mengomeli Hwee Li yang masih
menangis.
Tiba-tiba Hwee Li meloncat berdiri dan tahu-tahu dia telah memegang pedang. Ceng Ceng terkejut bukan
main. Dara itu telah dapat mencuri pedangnya tanpa dia merasa sama sekali!
“Hwee Li, jangan...!”
“Lebih baik mati menyusul Kian Lee!” Hwee Li berseru dan menggerakkan pedang untuk menggorok leher
sendiri.
“Plakkk!”
Pedangnya terlepas dari pegangan dan Pendekar Super Sakti Suma Han telah berdiri di situ, memandang
Hwee Li dengan sinar mata penuh teguran. “Membunuh diri hanya tindakan seorang yang rendah dan
pengecut!” bentaknya.
Melihat kakek ini, Hwee Li menjerit dan menangis, lalu menubruk kaki Suma Han dan mengguguk,
kemudian di antara tangisnya terdengar dia merintih, “Paman... tolonglah... tolonglah... atau bunuhlah
aku...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tenanglah, Hwee Li. Apakah engkau benar-benar mencinta Kian Lee sehingga engkau mau mati
untuknya?”
“Aku cinta padanya, Paman, aku cinta padanya melebihi nyawaku sendiri!”
“Aku dapat menolongnya, dia belum mati dan aku dapat menyembuhkannya. Akan tetapi...”
“Ahhh, Paman, sembuhkanlah dia... hidupkanlah dia... aku berjanji akan melakukan apa pun juga
untukmu...!”
Suma Han tersenyum. “Dia itu puteraku sendiri, tentu saja sudah semestinya aku menolongnya. Akan
tetapi dia dan aku sendiri pernah bersalah kepadamu, maka tidak semestinya dia kuhidupkan. Bukankah
dia telah menghinamu, seperti juga aku?”
“Tidak... tidak..., aku sudah memaafkan dia, Paman.”
“Aku hanya mau menghidupkannya, akan tetapi hanya dengan satu syarat...”
“... ya? Apa syaratnya...?” Hwee Li memohon.
“Syaratnya, engkau harus mau menjadi isterinya! Bagaimana?”
“Aku mau! Aku mau...!” Hwee Li menangis. “Ohhh, aku mau...!”
Suma Han tidak tega menggoda terus. Dia kemudian menghampiri Kian Lee, pura-pura menotok sana-sini,
dan meraba sana-sini. Padahal, tidak diapa-apakan pun pemuda itu akan dapat bangkit sendiri! Karena dia
‘mati’ hanya sebagai akal dengan menggunakan sinkang Swat-im Sin-kang yang sudah mencapai
puncaknya sehingga seorang yang lihai seperti Ceng Ceng sendiri pun dapat dikelabui.
Terdengar pemuda itu mengeluh, bergerak dan bangkit duduk. Tanpa mempedulikan orang lain, Hwee Li
menubruk dan memeluk pemuda itu.
“Kian Lee, kau... kau maafkan aku...”
Kian Lee tersenyum dan balas memeluk. “Hwee Li, akulah yang bersalah. Kaulah yang harus memaafkan
aku karena aku pernah mencaci maki padamu...”
Mendengar ini, Hwee Li melepaskan rangkulannya, menjauhkan diri dan cemberut. “Engkau memang
terlalu...,” katanya dengan muka membayangkan kemarahan. Akan tetapi ketika Kian Lee merangkulnya
lagi, dia menangis dan membenamkan muka ke dada pemuda itu!
Mereka berempat lalu mencari sebuah perahu besar yang dibeli oleh Suma Han. Perahu itu cukup besar
dan mempunyai layar yang kuat. Mereka bertiga, Suma Han, Suma Kian Lee, dan Kim Hwee Li adalah
orang-orang yang berasal dari Pulau Es dan Pulau Neraka, tentu saja mereka itu ahli berlayar, dan mereka
bertiga sudah cukuplah untuk melayarkan perahu itu ke Pulau Es. Setelah mengisi perahu dengan
perbekalan, mereka lalu naik ke perahu, diantar oleh Ceng Ceng.
Hwee Li merangkul bekas gurunya dan mencium pipi Ceng Ceng. “Banyak terima kasih atas segala
kebaikanmu dan pertolonganmu, Subo...”
“Hushhh!” Ceng Ceng mencubit dagu dara yang cantik jelita itu. “Aku bukan subo-mu! Kelak aku malah
ingin belajar satu dua macam pukulan darimu. Malu ah mempunyai murid yang lebih pandai dari pada
gurunya.”
“Kalau begitu, selamat berpisah, Enci Ceng...”
“Ihhh! Bagaimana sih ini? Hai, Paman Kian Lee, dengar nih calon isterimu menyebutku enci! Aku sendiri
harus menyebutnya bibi, bagaimana dia boleh menyebutku enci?”
Kini Hwee Li yang mencubit lengan Ceng Ceng dan mukanya menjadi merah. Memang menyulitkan sekali
sebut-menyebut itu. Ceng Ceng sebaya dengan Kian Lee, namun pemuda itu masih terhitung pamannya!
Dan biar pun usianya sendiri tidak begitu banyak selisihnya dengan Ceng Ceng, hanya selisih kurang lebih
dunia-kangouw.blogspot.com
tujuh tahun saja, akan tetapi nyonya muda itu pernah menjadi gurunya! Dan kini dia akan menjadi isteri dari
paman gurunya itu! Lebih dari itu lagi, dia malah masih terhitung sumoi dari suami gurunya, setelah dia
mewarisi ilmu-ilmu dari Dewa Bongkok!
“Enci, kelak engkau harus datang, bersama suamimu dan Cin Liong, kalau aku... aku menikah. Harus lho!”
Hwee Li berkata dan agaknya berat baginya untuk berpisah dengan wanita yang selama ini amat
dikasihinya, sebagai pengganti ibu baginya itu.
“Baik, asal aku dijemput perahu karena untuk pergi ke sana sendiri aku tidak berani!” kata Ceng Ceng.
“Jangan khawatir, Ceng Ceng. Aku akan mengirim perahu untuk menjemputmu,” kata Kian Lee
memandang wanita yang pernah dicintanya itu.
Ceng Ceng memberi hormat kepada Suma Han dan menghaturkan selamat jalan. Dia masih berdiri di
pantai dengan tangan melambai ketika perahu itu mulai bergerak ke tengah. Akan tetapi tiba-tiba terdengar
teriakan dari jauh.
“Haiii, tungguuuuu! Kami ikut...!”
“Bu-te...!” Kian Lee berteriak dan cepat mendayung perahu itu ke pinggir lagi, wajahnya berseri penuh
kegembiraan melihat dua orang yang berlari cepat seperti terbang menuju ke tempat itu. Dari jauh saja dia
sudah mengenal pemuda yang berlari cepat dengan rambut putih panjang berkibar-kibar itu.
“Siang In...!” Hwee Li juga berseru girang mengenal dara cantik yang berlari di samping Kian Bu.
“Kian Bu...?” Suma Han berdiri bengong memandang pemuda rambut putih panjang itu, hatinya seperti
diremas rasanya bertemu dengan puteranya yang sudah enam tujuh tahun tak pernah dijumpainya ini dan
yang tahu-tahu telah menjadi Siluman Kecil, julukan yang sama diberikan orang kepadanya, karena rambut
puteranya itu putih panjang seperti rambutnya pula.
“Ayah...! Lee-ko...!”
Suma Han, Kian Lee, dan Hwee Li berloncatan ke darat kembali dan Kian Bu sudah berlutut di depan kaki
ayahnya sedangkan Kian Lee memeluknya. Kemudian Suma Han menarik Kian Bu bangun, dipandangnya
puteranya itu dari kepala ke kaki dengan mata basah, lalu dirangkulnya.
Setelah agak reda keharuan yang timbul karena pertemuan itu, dengan girang dan bangga Kian Bu lalu
memperkenalkan Siang In yang tadi bercakap-cakap dengan Hwee Li kepada ayahnya, “Ayah, inilah calon
mantu Ayah, calon isteriku, namanya...”
“Teng Sian In! Aku sudah mendengar dari kakakmu, Bu-ji,” kata Suma Han sambil tersenyum memandang
dara cantik jelita itu.
Dengan muka berubah merah sekali, Siang In lalu maju dan memberi hormat kepada Suma Han, tanpa
berani mengangkat mukanya.
“Ah, tidak kusangka bahwa kakek yang menolongku itu adalah suhu-mu, Siang In, dan gurumu itu telah...”
“Aku sudah menceritakan hal itu kepadanya, Paman,” kata Hwee Li.
Siang In hanya menunduk saja. Dengan kuat dara ini dapat menahan kedukaannya mendengar bahwa
gurunya, See-thian Hoat-su, telah tewas sampyuh ketika mengadu sihir dengan Durganini dalam usahanya
mencegah Durganini menyerang Suma Han. Gurunya itu sudah tahu akan hubungan cintanya dengan
Siluman Kecil, maka gurunya tentu melarang bekas isteri yang pikun itu menyerang calon besannya.
“Mendiang suhu sudah sangat tua dan banyak menderita dari bekas isterinya itu. Sekarang beliau telah
tenang dan terima kasih banyak saya haturkan atas budi kebaikan Locianpwe yang telah menyempurnakan
jenazahnya,” katanya kepada Suma Han.
Pendekar ini mengangguk-angguk dengan girang. Dara ini juga lincah jenaka seperti Hwee Li, akan tetapi
memiliki kekuatan batin yang menonjol, agaknya karena telah mempelajari ilmu sihir dari gurunya yang ahli
dunia-kangouw.blogspot.com
sihir itu. Diam-diam pendekar Pulau Es ini merasa bahagia sekali. Dua orang calon mantunya bukan daradara
sembarangan!
“Ahhh, kami akan beramai-ramai pergi ke Pulau Es! Enci Ceng, kenapa kau tidak ikut sekalian?” Hwee Li
yang gembira itu berkata.
Ceng Ceng tersenyum dan menggeleng kepala. “Tempatku di daratan sini, bersama suami dan anakku.
Kelak aku pasti datang menghadiri pesta pernikahan kalian semua.”
Suma Han tertawa dan menghampiri Ceng Ceng. “Sampaikan kepada suamimu bahwa aku sekeluarga
minta bantuannya untuk mengedarkan undangan-undangan kepada handai-taulan kalau sudah tiba
saatnya nanti.”
“Tentu saja, Locianpwe,” kata Ceng Ceng, tidak berani menyebut ‘kakek’ walau pun pendekar itu adalah
suami dari Lulu, nenek kandungnya!
Tak lama kemudian berangkatlah perahu itu, kini dikemudikan oleh kakak beradik Suma Kian Lee dan
Suma Kian Bu, dua orang pemuda dari Pulau Es yang tadinya meninggalkan Pulau Es dalam usia sekitar
enam belas tahun, dan seperti sepasang rajawali perkasa mereka mengarungi daratan besar mengalami
banyak sekali hal-hal yang hebat dalam Kisah Sepasang Rajawali dan Jodoh Rajawali! Dan kini mereka
berlayar kembali ke Pulau Es bersama calon isteri masing-masing. Sepasang Rajawali itu telah
menemukan jodoh masing-masing!
Ceng Ceng terus memandang dari bibir pantai laut sampai akhirnya perahu itu makin menghilang…..
********************
Beberapa bulan kemudian, lima buah perahu besar menjemput para tamu yang telah ramai berkumpul di
dusun tepi laut itu untuk menghadiri pesta pernikahan dua pasang pengantin di Pulau Es! Tentu saja
berbondong orang-orang kang-ouw berdatangan ke tempat itu. Seperti sebuah dongeng saja. Mengunjungi
Pulau Es yang tadinya hanya mereka kenal dalam dongeng saja!
Di antara mereka yang ikut hadir dan ikut dalam perahu-perahu besar itu tentu saja terdapat keluarga dari
Pulau Es sendiri, dan orang-orang terdekat seperti Milana, Gak Bun Beng dan dua orang anak kembar
mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, kemudian Ceng Ceng dan Kao Kok Cu bersama anak mereka
Kao Cin Liong. Nampak pula Pangeran Yung Hwa yang mewakili pemerintah atau keluarga istana, dan
juga hadir Hek-sin Touw-ong, Sai-cu Kai-ong, Sin-siauw Sengjin, dan masih banyak tokoh besar lain,
termasuk wakil-wakil partai persilatan besar yang tentu saja ingin sekali melihat Pulau Es!
Pesta pernikahan itu cukup meriah, apa lagi karena disaksikan oleh banyak tokoh besar di dunia kang-ouw.
Muka-muka lama saling jumpa di situ dan suasana menjadi gembira sekali. Ketika dua pasang pengantin
itu dipertemukan, suasana menjadi cerah dan penuh khidmat, diikuti oleh semua mata para tamu. Sungguh
mengagumkan sekali dua pasang pengantin itu. Kedua mempelai pria tampan dan gagah, Siluman Kecil
nampak garang dan aneh dengan rambutnya yang putih mengkilap dan panjang, sedangkan dua orang
mempelai wanita amatlah cantiknya, sukar dikatakan yang mana lebih cantik karena masing-masing
memiliki kelebihan dan kecantikan yang khas.
Ketika dua pasang mempelai melakukan upacara pai-ciu, yaitu menyuguhkan arak kepada sang mertua
dan orang tua, maka dua pasang mempelai itu berlutut di depan Pendekar Super Sakti Suma Han yang
duduk diapit oleh kedua isterinya, yaitu Nirahai di sebelah kanan dan Lulu di sebelah kirinya. Dua orang
wanita tua itu tidak dapat menahan keharuan hati mereka dan mereka menerima suguhan arak dalam
cawan sambil bercucuran air mata. Suasana menjadi khidmat dan penuh keharuan, bahkan para tamu
wanita banyak pula yang berlinangan air mata, termasuk Ceng Ceng, Milana dan yang lain-lain.
Malamnya indah bukan main. Kebetulan bulan bersinar terang, bulan purnama yang memuntahkan cahaya
keemasan di atas pulau itu. Indah sekali! Para tamu menikmati dan mengagumi keindahan Istana Pulau
Es, lalu beramai-ramai mengelilingi pulau itu diantar oleh Milana dan Gak Bun Beng sebagai penunjuk jalan
mewakili pihak tuan rumah. Sedangkan dua pasang pengantin sudah memasuki kamar masing-masing,
tenggelam ke dalam lautan kemesraan yang hanya dapat dirasakan oleh sepasang pengantin pada malam
pertama!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, diam-diam Ceng Ceng yang ikut pula menikmati keadaan di Pulau Es itu merasa kehilangan
dan kadang-kadang dia menarik napas panjang kalau teringat kepada kakak angkatnya, yaitu sang puteri
dari Bhutan, Syanti Dewi dan Ang Tek Hoat. Apa jadinya dengan dua orang muda itu? Suaminya telah
berusaha keras mencari mereka untuk menyampaikan undangan, namun usaha suaminya gagal! Diamdiam
Ceng Ceng merasa kasihan sekali kepada Syanti Dewi! Apakah yang terjadi dengan puteri itu?
Apakah puteri itu akan dapat bertemu kembali dengan Ang Tek Hoat dan dapat berlangsung perjodohan
mereka?
Juga pertanyaan yang sama tentang Siauw Hong atau Kam Hang, keturunan Pendekar Suling Emas itu,
dengan Yu Hwi atau yang dikenal sebagai Kang Swi Hwa atau Ang-siocia, si gadis pencopet dan tukang
menyamar itu. Apa yang terjadi dengan mereka?
Cerita ini sudah terlampau panjang, oleh karena itu terpaksa pengarang menutupnya, apa lagi karena
Sepasang Rajawali Sakti, yaitu yang diumpamakan bagi diri Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, sekarang
telah menemukan jodohnya, bahkan telah menjadi pengantin. Maka selesailah sudah kisah ini. Ada pun
mengenai nasib Syanti Dewi dan Ang Tek Hoat, juga Kam Hong dan Yu Hwi, dapat anda baca dalam cerita
selanjutnya, yaitu yang berjudul SULING EMAS & NAGA SILUMAN.
>>>>> T A M A T <<<<<
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru