Rabu, 30 Agustus 2017

Cerita Silat Suling Siluman 8 Kho Ping Hoo

Cerita Silat Suling Siluman 8 Kho Ping Hoo Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cerita Silat Suling Siluman 8 Kho Ping Hoo
kumpulan cerita silat cersil online
-
Akan tetapi sebagai seorang pendekar yang banyak pengalamannya dan selalu bersikap teliti dan
waspada, Siang In tidak membiarkan dirinya terpikat oleh keterangan sepihak. “Baiklah, kita lihat saja nanti,
Thio-wangwe. Kuda itu adalah kuda kami, hal ini aku yakin sekali, karena tidak akan ada lain kuda betina
yang serupa benar dengan Hek-liong-ma kami. Kalau memang benar seperti ceritamu bahwa wanita she
Lui itu pencuri kuda dan ia telah berani mencuri kuda kami, ia akan tahu rasa! Dan kalau benar orang she
Bouw itu sewenang-wenang dan jahat, kami juga sekalian akan memberi hajaran kepadanya! Akan tetapi,
kuharap saja engkau tidak memberi keterangan yang palsu, Thio-wangwe.” Ucapan terakhir ini
mengandung ancaman halus.
Thio-wangwe tertawa dan mengangkat cawan araknya. “Kalau aku berbohong, biarlah aku menerima
hajaran dari Sam-wi yang gagah perkasa.” Setelah berkata demikian, dia menuangkan arak cawannya ke
dalam perut melalui mulutnya.
Tiga orang tamu itu mendapatkan dua kamar yang mewah di dalam rumah besar itu. Akan tetapi Siang In
dan Ci Sian tidak mau tinggal diam. Mereka tidak mau bertindak sembrono membela orang yang belum
mereka ketahui benar bagaimana keadaannya. Mereka tidak mau hanya mendengarkan keterangan
sepihak saja. Oleh karena itu, mereka berpamit dari Kian Bu untuk melakukan penyelidikan berdua.
Keluarlah mereka dari rumah gedung itu, meninggalkan Kian Bu yang kelihatan tidak acuh dan yang
hendak beritirahat di dalam kamarnya.
Hari telah menjelang senja. Dua orang wanita itu mulai melakukan penyelidikan mereka dan bertanyatanya
kepada orang-orang di sepanjang perjalanan tentang Thio-wangwe. Dan hati mereka puas karena
setiap orang, dari anak kecil sampai kakek-kakek yang mereka tanyai, semua memberikan jawaban yang
memuaskan, bahwa Thio-wangwe adalah seorang hartawan yang amat dermawan dan tidak pernah
bertindak sewenang-wenang.
Namun mereka masih belum puas dan pergilah mereka keluar kota ke dusun-dusun yang tanahnya
menjadi milik hartawan ini. Kepada para buruh petani mereka bertanya dan melihat keadaan rumah tangga
mereka. Memang, seperti biasa kaum tani di situ pun miskin, rumah mereka gubuk dan pakaian mereka
sederhana, namun mereka itu sehat-sehat tanda tidak kurang makan dan wajah mereka juga gembira.
Pada senja hari itu, anak-anak para petani bermain-main di pekarangan luar dengan gembira, ini saja
sudah menunjukkan bahwa kehidupan mereka cukup baik, tidak kekurangan makan dan tidak dicekam
rasa takut akan hari depan. Setelah menerima keterangan yang membuktikan adanya dugaan mereka,
kedua orang wanita ini merasa puas dan yakin bahwa mereka benar-benar membela orang yang memang
patut dibela.
“Cici, sebaiknya kalau kita menyelidiki sekalian orang she Bouw itu,” kata Ci Sian ketika Siang In
mengajaknya kembali.
“Ehh, beberapa kali kukatakan agar engkau menyebut Bibi kepadaku, Ci Sian. Usiamu baru tujuh belas
tahun dan aku sudah tiga puluh empat tahun. Aku lebih patut menjadi Bibimu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aihh, engkau masih nampak begini muda, sungguh tidak patut dan tidak enak sekali menyebut Bibi
kepadamu, Enci Siang In,” kata Ci Sian tertawa. “Pula, engkau belum mempunyai anak, belum pantas
disebut Bibi....“
Tiba-tiba wajah yang tadinya cerah dan berseri gembira itu menjadi muram, bahkan kata-kata yang
mengandung kelakar dari Ci Sian itu seperti menusuk jantung dirasakan oleh Siang In sehingga pendekar
wanita ini memejamkan matanya dan berdiri agak terhuyung. Ci Sian terkejut dan merangkulnya.
“Cici! Engkau kenapakah....?” Dan terkejutlah Ci Sian karena orang yang dirangkulnya itu tiba-tiba saja
menangis! Mereka berada di luar dusun, di tempat yang sunyi sehingga peristiwa itu tidak nampak oleh
orang lain.
Siang In tidak menjawab, melainkan terisak menangis di atas pundak Ci Sian. Sampai beberapa lama ia
menangis, dan akhirnya ia dapat menguasai perasaannya. “Maafkan, Ci Sian.... ahhh, baru sekarang aku
dapat menangis, seolah-olah aku bertemu seorang adik, seorang saudara yang dapat kucurahkan
kesedihanku.... aku.... aku sungguh lemah....“
“Ahhh, tidak mengapa, Cici. Anggaplah aku adikmu sendiri. Akan tetapi mengapakah engkau bersedih?
Sungguh sukar untuk dipercaya, orang seperti engkau ini, isteri dari Pendekar Siluman Kecil Sakti dan
tidak kekurangan apa-apa, dapat bersedih.”
“Ci Sian, kata-katamu tadi bahwa aku.... aku belum memiliki anak itulah yang menusuk perasaanku dan
membongkar kesedihan yang sudah lama bertumpuk di dalam hatiku.”
“Ohh.... kalau begitu maafkanlah aku, Cici, aku.... aku tidak sengaja hendak menyakiti hatimu....”
“Tidak mengapa, Adikku, tidak mengapa. Memang aku seorang wanita malang, seorang isteri yang bodoh.
Engkau tahu, kami berdua, suamiku dan aku meninggalkan Pulau Es hanya karena kebodohanku inilah,
karena kami tidak punya anak. Sudah belasan tahun menikah.... belum juga aku mempunyai anak. Aku
sampai merasa malu sekali kepada kedua orang ibu mertuaku. Aku sudah membujuk suamiku agar dia
mau mengambil selir, akan tetapi dia tidak mau. Akhirnya, kami berdua pergi, merantau sampai di tempat
ini, hanya dengan maksud untuk dapat memperoleh keturunan.”
“Kasihan engkau, Cici...., kalau saja aku dapat membantumu....“
“Tidak ada seorang pun di dunia ini dapat membantu kami, Adikku. Kecuali.... kalau engkau tahu di mana
adanya ular naga hijau, karena katanya, hanya Jeng-liong-cu (Mustika Naga Hijau) saja yang dapat
memberikan keturunan kepada suami-isteri.”
“Jeng-liong-cu....? Di mana kita bisa mendapatkan itu?” Ci Sian bertanya heran.
“Kabar angin yang kami tangkap, katanya ular naga hijau itu berada di daerah ini, dan karena itulah kami
tiba di tempat ini, Ci Sian. Ah, baru sekarang selama hidupku aku merasa kecewa dan sengsara!” Nyonya
yang masih cantik jelita itu menarik napas panjang dan bersama napasnya tedengar suara rintihan lirih.
Ci Sian termenung, melamun dengan penuh keheranan. Melihat kenyataan itu dia pun menjadi bengong,
kemudian termenung memikirkan nasibnya sendiri. Akhirnya dia pun mengeluarkan kata-kata bersama
tarikan napas panjang. “Aihhh....siapa kira....“
Siang In mencoba untuk memandang wajah gadis itu melalui keremangan senja. “Apa maksudmu, Ci
Sian?”
“Sungguh keadaan dan penjelasan Cici tadi membuat aku terheran-heran bukan main. Kukira hanya aku
seorang saja yang dirundung duka. Tadinya kusangka bahwa di dunia ini tidak ada wanita yang lebih
kebingungan dan berduka dari pada aku. Apalagi Cici yang nampak hidup demikian bahagia, di samping
suami yang mencinta, berkepandaian tinggi dan menjadi isteri dari putera majikan Pulau Es yang amat
ternama. Setelah mendengar penuturanmu, Enci Siang In, aku menjadi semakin bingung. Apakah hidup ini
hanya terisi oleh kekecewaan-kekecewaan belaka?”
Memang demikianlah pandangan setiap orang yang sedang dilanda kekecewaan dan kedukaan. Kecewa
menimbulkan iba diri dan melahirkan duka. Dan orang yang sedang dilanda duka selalu beranggapan
dunia-kangouw.blogspot.com
bahwa di dunia ini, dialah yang paling sengsara, yang paling buruk nasibnya, paling malang, paling celaka.
Inilah sebabnya mengapa orang yang sedang dilanda duka merasa terhibur apabila melihat orang lain
menderita duka, apalagi kalau penderitaan orang lain itu lebih besar dari pada yang dideritanya sendiri.
Orang yang dilanda duka selalu berusaha untuk menghindarkan rasa duka itu dengan berbagai macam
hiburan berupa kesenangan mau pun hiburan, baik hiburan berupa kesenangan mau pun hiburan berupa
pelarian diri kepada filsafat-filsafat atau petuah-petuah yang menghibur. Atau ada pula yang menyerah dan
takluk membiarkan dirinya tenggelam ke dalam duka sampai menjadi putus asa, membunuh diri, menjadi
gila dan sebagainya.
Namun, segala macam pelarian tidak mungkin membebaskan kita dari duka. Mengapa? Karena duka
adalah kita sendiri. Duka adalah kita, yang ingin melarikan diri itu pula. Duka tidak terpisah dari kita sendiri,
takkan dapat kita tinggalkan, ke mana pun kita melarikan diri. Jika kita menutupinya dengan berbagai
hiburan, baik hiburan badaniah mau pun batiniah, maka penutupan itu hanya sementara saja. Si duka
masih ada, kadang-kadang menyelinap ke bawah sadar dan selalu menghantui kehidupan kita.
Lalu bagaimana agar kita benar-benar terbebas dari pada duka? Terbebas dari pada kecewa? Tanpa
menyerah dan takluk? Pertanyaan ini perlu kita ajukan kepada diri kita masing-masing, karena tanpa
menyelidiki hal ini sedalam-dalamnya, kehidupan kita akan selalu penuh dengan kecewa dan duka
sepanjang hidup, hanya dengan adanya kesenangan sekilas lintas sebagai selingan lemah saja.
Kecewa bukanlah akibat dari peristiwa di luar diri, melainkan seuatu proses dari penilaian pikiran atau si
aku. Pikiran membentuk suatu gambaran tentang diri sendiri, yaitu si aku yang selalu menginginkan hal-hal
yang menyenangkan. Keinginan-keinginan untuk senang ini kalau tidak tercapai akan menimbulkan
kekecewaan. Keinginan-keinginan itu dapat juga dinamakan harapan-harapan berlangsungnya sesuatu
yang telah terjadi. Pikiran atau gambaran si aku ini tak terpisahkan dari kenang-kenangan akan
kesenangan yang menimbulkan ikatan kuat sekali.
Si aku terikat erat dengan kesenangan, baik kesenangan badani mau pun rohani, dan kalau ikatan itu
putus, akan menimbulkan rasa sakit. Kalau kesenangan dijauhkan dari si aku, maka si aku merasa sakit,
kecewa, dan duka. Lalu si aku pula yang menilai bahwa duka amat tidak enak, maka si aku pula yang
berusaha melarikan diri dari kecewa dan duka itu, dengan berbagai macam hiburan lahir mau pun batin.
Padahal, sang suka itu ya si aku itu juga, yang agar tidak ingin duka. Dengan begini, tercipta lagi suatu
keinginan lain, yaitu ingin tidak duka! Betapa berbelit-belitnya pikiran ini bekerja, betapa licinnya.
Kita akan menjadi permainannya, diombang-ambingkan oleh permainan pikiran yang membentuk si aku. Si
aku selalu mengejar senang, selalu menjauhkan yang tidak enak. Mula-mula menginginkan kesenangan,
lalu tidak tercapai, lalu kecewa dan duka, lalu menganggap kecewa dan duka tidak enak, lalu ingin lari dari
itu pula, bukan lain karena ingin agar senang, agar terlepas dari keadaan yang tidak enak itu. Dan
demikian seterusnya. Padahal, justru keinginan untuk lari dari duka inilah yang memberi pupuk dan
memperkuat adanya duka! Karena memperkuat si aku, maka menambah subur keinginan-keinginan si aku.
Habis bagaimana? Kalau tidak melarikan diri dari duka, kalau tidak mencari hiburan dari duka lalu apakah
kita harus menerima begitu saja, membiarkan duka menenggelamkan kita? Sama sekali tidak demikian,
karena sikap ‘menerima nasib’ ini hanya akan mendatangkan kelemahan jiwa, membuat orang menjadi
frustasi dan apatis, menjadi masa bodoh! Ini mendatangkan kemalasan dan mengurangi semangat atau
gairah hidup!
Kalau datang kecewa? Kalau datang rasa duka? Pernahkah kita MENGHADAPINYA? Bukan membiarkan
pikiran sibuk sendiri, memikirkan hal-hal yang menimbulkan kecewa dan duka itu, melainkan menghadapi
dan mengamati perasaan kecewa atau duka itu dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan dan tidak
lari dari padanya? Beranikah kita mengamati diri sendiri ketika kecewa atau duka datang, mengamati tanpa
penilaian baik atau buruk, tanpa keinginan melenyapkannya, melainkan hanya pengamatan saja yang ada?
Bukan si aku yang mengamati duka, karena jika begitu, tentu akan timbul penilaian dan tanggapan dari si
aku dan kita kembali terseret ke dalam lingkaran setan dari permainan si aku lagi. Yang ada hanya
kewaspadaan saja, pengamatan penuh perhatian, tanpa pamrih apa pun melainkan hanya kewaspadaan.
Maukah dan beranikah kita mencoba? Mungkin hanya inilah rahasia pemecahannya, tanpa teori melainkan
harus dihayati oleh diri masing-masing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini Ci Sian yang merenungkan keadaan dirinya, sudah tenggelam dalam renungan itu, tenggelam dalam
kesedihannya sendiri. Wajah gadis ini lesu, pandang matanya layu, merenung dan menerawang ke tempat
jauh tanpa melihat sesuatu kecuali isi lamunan dan kesenangannya sendiri saja.
Sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya. Tangan Siang In. “Adikku, Ci Sian, mengapakah
engkau yang semuda ini dirundung duka? Pada saat aku sebaya denganmu, hidup ini rasanya penuh
kegembiraan bagiku, akan tetapi engkau yang muda remaja ini mengapa sudah dilanda duka?”
“Ahh, Enci, aku sungguh bingung sekali....“ Kemudian, karena merasa betapa wanita isteri pendekar
Siluman Kecil itu amat akrab kepadanya, bahkah telah membuka rahasia hatinya, Ci Sian yang selama
ditinggal Kam Hong merasa berduka dan bingung, kini seperti memperoleh tempat pencurahan isi hatinya.
Dengan sedih dia menceritakan semua pengalamannya, sejak dia diajak oleh kakeknya dan pertemuannya
yang pertama sekali dengan Kam Hong, sampai pengalamannya bersama Kam Hong yang amat
berbahaya, sehingga akhirnya mereka berdua secara kebetulan menemukan jenazah kuno yang
mengandung rahasia ilmu silat sehingga mereka menjadi suheng dan sumoi. Kemudian tentang
penyerbuan mereka berdua ke sarang Hek-i-mo, betapa mereka berdua mengobrak-abrik sarang
gerombolan jahat itu. Betapa kemudian ia melawan Hek-i Mo-ong dan munculnya Sim Hong Bu yang lalu
membantunya.
“Dan pada saat itu, Kam-suheng telah pergi meninggalkan aku, Cici! Tanpa ada alasan sama sekali,
meninggalkan aku begitu saja sendirian di dunia ini....” Ci Sian mengakhiri ceritanya dengan suara sedih.
“Dia tidak memberi tahu hendak ke mana dan di mana aku dapat bertemu dengan dia. Aku tidak
mempunyai keluarga.... aku tidak mau lagi mengenal Ayahku.... dan aku tidak tahu harus pergi ke mana.
Aku mencarinya, tapi aku pun tidak tahu harus mencari ke mana....“
“Hemm.... Kam Hong, meninggalkanmu setelah pemuda bernama Sim Hong Bu itu muncul?” tanya Siang
In.
“Benar, Cici. Aku sendiri pun tidak tahu mengapa.”
“Bagaimana keadaan Sim Hong Bu itu? Pemuda yang baikkah dia?”
“Dia seorang pemuda yang mewarisi ilmu dan pedang Koai-liong-kiam, kepandaiannya tinggi sekali dan
dia.... dia seorang pemuda yang gagah dan baik.”
“Usianya sebaya denganmu?”
“Ya, begitulah, mungkin hanya selisih dua tiga tahun....”
“Dan Kam Hong? Berapa usianya?” Siang In mengingat-ingat dan menjawab sendiri. “Kalau tidak salah,
dia itu sudah sebaya denganku, tentu sudah tiga puluh tahun lebih.”
“Cici, mengapa engkau bertanya-tanya tentang usia?”
“Jawab dulu pertanyaanku, apakah engkau dan Kam Hong saling mencinta?”
“Tentu saja, kami adalah Suheng dan Sumoi, dan lebih dari itu, kami sudah banyak menghadapi banyak
hal-hal yang hebat bersama, menghadapi maut dan kesengsaraan, ancaman bahaya....“
“Bukan begitu maksudku, tapi mencinta sebagai seorang pria dan wanita.”
Ditanya demikian, sampai lama Ci Sian menundukkan mukanya. Pertanyaan seperti ini memang pernah
memasuki hatinya, akan tetapi setiap kali ia segera menghindarinya, karena merasa sukar menerima
pertanyaan itu. Akan tetapi, karena pertanyaan itu keluar dari mulut orang lain, maka ia memikirkannya
secara mendalam dan akhirnya ia menjawab sejujurnya.
“Entahlah, Enci Siang In. Aku sendiri tak tahu, karena kami tidak pernah menyatakannya dengan kata-kata.
Akan tetapi, Kam-suheng amat baik kepadaku dan aku.... ah, setelah berpisah darinya, aku merasa betapa
aku kehilangan dia, betapa hidupku kesepian dan tiada kegembiraan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, itu artinya engkau cinta padanya, Ci Sian. Dan aku yakin bahwa dia pun tentu jatuh cinta
kepadamu.”
“Tapi, kalau benar demikian, Cici, kenapa dia malah meninggalkan aku?”
“Ya, cinta memang kadang-kadang mendatangkan hal-hal yang aneh-aneh,” kata Siang In yang merenung
dan mengenangkan pengalaman-pengalamannya sendiri ketika dia bercinta dengan Suma Kian Bu yang
kini menjadi suaminya. “Jika dia meninggalkanmu, hanya ada dua kemungkinan, Ci Sian. Pertama, karena
dia cemburu....”
“Cemburu....? Dia, Kam-suheng cemburu....?” Ci Sian berseru dengan pandang mata terbelalak
keheranan.
“Mungkin sekali! Bukankah dia meninggalkanmu setelah munculnya pemuda gagah perkasa Sim Hong Bu
itu? Mungkin dia melihat sesuatu antara engkau dan pemuda itu, atau barangkali menduga sesuatu....”
“Ah, jangan-jangan demikian adanya! Sim Hong Bu itu kutinggalkan karena dia.... dia menyatakan cintanya
kepadaku!”
“Nah, itulah! Dia tentu melihat tanda-tanda bahwa pemuda yang lain itu jatuh cinta padamu dan merasa
cemburu, mengira engkau juga tertarik kepada Sim Hong Bu itu.”
“Akan tetapi, tidak mungkin. Kam-suheng sama sekali tidak memiliki watak seperti itu! Dia seorang
pendekar tulen, tidak mungkin sedangkal itu jalan pikiran atau perasaan hatinya!”
”Kalau tidak demikian, maka besar kemungkinan adalah karena hal yang kedua.”
“Apakah itu, Enci Siang In?”
“Karena dia jauh lebih tua darimu, sepatutnya menjadi pamanmu, maka mungkin saja dia sengaja
mengundurkan diri setelah melihat bahwa engkau lebih pantas dengan pemuda Sim yang lebih muda dan
yang sebaya denganmu itu. Mungkin dia merasa bahwa engkau lebih cocok dengan pemuda yang sebaya,
dan melihat bahwa pemuda itu mencintamu, maka dia sengaja mundur. Banyak terdapat pendekar berhati
mulia yang sengaja mau berkorban diri demi orang yang dicintanya.”
“Ah, Kam-suheng....!” Dan Ci Sian menangis! Hatinya terharu sekali karena ia pun kini melihat
kemungkinan ini.
Kini Siang In yang merangkul dara yang menangis itu, membiarkan Ci Sian menangis dan setelah agak
reda tangis dara itu, ia menghibur, “Sudahlah, Ci Sian. Jangan berduka, dan jangan putus asa. Kalau
memang dia mencintamu, tentu dia tidak akan membiarkan engkau begitu saja. Dan kalau memang
engkau berjodoh padanya, tentu akan tiba saatnya engkau bertemu kembali dengannya. Agaknya memang
orang yang jatuh cinta harus selalu mengalami banyak suka duka, seperti aku dahulu.”
Akhirnya, setelah Ci Sian terhibur dan menghentikan tangisnya, dua orang wanita perkasa ini lalu
melanjutkan perjalanan mereka menuju ke utara untuk mendatangi rumah keluarga Bouw, yaitu tuan tanah
yang memiliki daerah kekuasaan di sebelah utara dari wilayah kekuasaan Thio-thicu. Batas tanah antara
mereka itu ditandai dengan pagar kawat yang tinggi, akan tetapi tidak sukar bagi Ci Sian dan Siang In
untuk melompati pagar dan memasuki wilayah kekuasaan Bouw-thicu. Mereka sebelumnya memang
sudah menyelidiki tempat tinggal Bouw-thicu ini, maka kini dengan mudah mereka mengunjungi
perkampungan Bouw-thicu yang cukup ramai, tak kalah ramainya dengan perkampungan tempat tinggal
Thio-thicu.
Bagaikan bayangan burung-burung raksasa saja dua orang wanita ini berkelebatan di atas gentenggenteng
rumah para penghuni perkampungan itu sampai akhirnya mereka tiba di atas wuwungan yang
tinggi dari rumah berloteng milik Bouw-thicu.
Tiba-tiba sekali Ci Sian memegang dengan Siang In dan berbisik. “Ssttt....!”
Siang In kagum sekali akan ketajaman pendengaran dan penglihatan dara itu, dan cepat ia menengok.
Benar saja, dari arah barat nampak bayangan orang berkelebatan di atas genteng-genteng rumah orang,
dunia-kangouw.blogspot.com
dan gerakannya memang cepat bukan main. Dan melihat bentuk tubuh bayangan itu, walau pun dari jauh
sudah mudah diduga bahwa bayangan itu adalah seorang wanita.
Mereka berdua cepat mendekam di balik wuwungan yang tinggi dan menanti. Dan memang dugaan
mereka benar karena bayangan yang bertubuh ramping itu ternyata datang ke jurusan mereka, atau lebih
tepat lagi ke jurusan rumah gedung bertingkat tempat tinggal Bouw-thicu. Dan melihat cara bayangan itu
melompat dari genteng tingkat pertama ke atas genteng loteng, dapatlah dimengerti oleh dua orang
pendekar wanita itu bahwa bayangan itu memiliki ginkang yang cukup tinggi, bahkan ketika kaki bayangan
itu hinggap di atas genteng loteng, sama sekali tidak terdengar jejak kakinya.
“Tentu ia malingnya....,“ bisik Ci Sian dan dara ini sudah hendak bergerak.
Siang In merasakan gerakan ini. Cepat ia memegang lengan Ci Sian dan menggeleng kepala, “Jangan....”
Ci Sian sadar akan kesembronoannya. Kalau ia bergerak, berarti menggagalkan segala-galanya. Padahal,
menurut percakapan antara suami istri pendekar itu, dia mengerti bahwa mereka berdua itu bukan sematamata
ingin merampas kembali kuda dan menundukkan orang she Bouw, akan tetapi juga berusaha untuk
mengatasi dan mendamaikan pertentangan antara para tuan tanah di daerah Sin-kiang itu. Maka dia
mengangguk dan keduanya membiarkan bayangan itu menyelinap dan melayang turun di bagian belakang
bangunan itu.
Setelah memberi waktu beberapa lama dan keadaannya sunyi benar, barulah keduanya dengan hati-hati
meloncat turun ke belakang bangunan, kemudian melalui taman bunga mereka berindap-indap memasuki
bangunan dari tembok belakang yang dapat dengan mudah mereka lompati.
Tidak lama kemudian kedua orang wanita sakti itu telah mengintai ke dalam sebuah ruangan belakang di
gedung itu dan mereka menemukan wanita yang tadi melayang masuk sedang bercakap-cakap dengan
seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam. Dari percakapan itu, tahulah mereka bahwa laki-laki tinggi
besar itu bukan lain adalah Bouw-thicu, ditemani oleh empat orang pembantunya yang semuanya nampak
garang dan bertenaga kuat, sedangkan wanita itu tentulah Lui Shi yang telah mereka dengar.
Memang seorang wanita yang cantik, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun akan tetapi nampak masih
cantik dengan muka dirias tebal, sikapnya genit, dan pakaiannya serba ringkas namun wanita ini pesolek
sekali. Dan mendengar percakapan mereka, tahulah Siang In dan Ci Sian bahwa Lui Shi ini pun baru
pulang dari penyelidikannya ke tempat tinggal Thio-thicu!
“Bagaimana, Nona Lui, benarkah berita angin itu bahwa orang she Thio itu memperoleh seekor kuda hebat
yang dapat menyaingi kuda kita?” antara lain Bouw-thicu bertanya.
Mendengar pertanyaan ini, diam-diam Siang In dan Ci Sian kagum juga akan cara kerjanya para anak
buah orang ini sehingga tentang kuda Hek-liong-ma yang akan membantu Thio-thicu dalam perlombaan,
sudah didengar oleh orang she Bouw ini.
“Memang benar, Bouw-loya,” jawab wanita yang masih disebut nona itu, menunjukkan bahwa wanita ini
masih belum menikah. “Akan tetapi Lo-ya tidak usah khawatir, karena biar pun kuda hitam mereka itu pun
baik sekali, akan tetapi kuda itu hanyalah seekor kuda jantan. Maka dalam perlombaan, tidak mungkin
kuda jantan itu mau melampaui kuda hitamku yang betina. Dan andai kata demikian pun, saya masih
mempunyai akal untuk menundukkan kuda lawan itu agar jangan melanggar atau mendahului.”
“Hemm, perlombaan kuda itu penting sekali, Nona Lui, dan bagaimana pun juga, pihak kita sekali-kali tak
boleh kalah. Jika memang orang she Thio itu betul-betul menemukan kuda jempolan dan dalam
perlombaan dapat mengalahkan kudamu, lalu bagaimana?”
“Jangan khawatir, saya mempunyai jampe untuk menahan kuda itu, dan kalau jampe itu gagal, masih ada
jarum-jarum saya untuk merobohkannya kalau perlu agar kuda kita tidak terkalahkan.”
Mendengar ini, Bouw-thicu tertawa girang. “Bagus, bagus.... akalmu sungguh bagus sekali, Nona. Kalau
kuda kita benar-benar menang, jangan khawatir, hadiahnya besar sekali untukmu!” Terdengar mereka
tertawa-tawa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siang In lalu menarik lengan Ci Sian untuk meninggalkan tempat itu. Dengan hati-hati mereka pergi dan
meloncat naik ke atas genteng, lalu mempergunakan ilmu berlari cepat untuk kembali ke perkampungan
Thio-thicu.
“Si Genit itu! Ingin sekali kutampar mukanya yang dipulas itu!” Di tengah jalan Ci Sian mengomel. “Ia mau
menjampe kuda dan menyerang dengan jarum! Si keparat!”
“Kita harus sabar dan menanti sampai perlombaan diadakan. Tentang jampe, jangan khawatir, Hek-liongma
tentu masih lebih taat kepada suamiku, dan tentang serangan jarumnya....”
“Serahkan saja jarum-jarum itu kepadaku, Enci Siang In! Kalau benar-benar ia berani menyerang dengan
jarum, awas Si Genit itu!” Ci Sian mengepal tinju.
Ketika dua orang pendekar wanita ini tiba kembali di rumah Thio-thicu, ternyata Suma Kian Bu masih
menanti di luar kamar. Pendekar ini dengan tersenyum mendengarkan cerita isterinya tentang hasil
penyelidikannya. Malam itu mereka mengaso dan tidak terjadi hal-hal yang luar biasa, kecuali antara Kian
Bu dan isterinya. Luar biasa…..
********************
Lapangan rumput itu sangat luas dan sepotong tanah ini merupakan wilayah milik pemerintah, jadi
merupakan daerah netral bagi para tuan tanah yang pada pagi hari itu berkumpul di situ. Suasana amat
meriah, seperti dalam pesta. Dan memang pesta itu diadakan tiap tahun dan diprakarsai oleh pejabat
pemerintah di Sin-kiang, dalam usahanya untuk mengalihkan permusuhan antara para tuan tanah itu
menjadi semacam perlombaan yang sehat. Dan yang populer adalah lomba kuda itulah.
Pembesar yang paling tinggi, yaitu semacam gubernur atau kepala Propinsi Sin-kiang, sudah hadir
bersama para pembesar bawahannya yang lain, dan sepasukan tentara pengawal berbaris rapi di seputar
panggung kehormatan yang dibangun untuk para pembesar ini, di luar arena perlombaan kuda. Dari
tempat yang tinggi di panggung ini, para pembesar dapat melihat pemandangan yang indah dan aneh,
yaitu kelompok-kelompok orang yang mudah dibedakan dari atas dengan melihat warna tenda, pakaian
pasukan pengawal, dan bendera mereka.
Setiap tuan tanah datang bukan hanya membawa kuda jagoan mereka, akan tetapi juga para
pembantunya dan sepasukan pengawal masing-masing yang berpakaian seragam. Bermacam-macam
warna pakaian pasukan pengawal ini, tetapi semuanya berbeda! Dan lucunya, tenda yang mereka dirikan,
untuk Sang Tuan Tanah dan keluarganya tentu saja, agar terlindung dari panas dan dapat menyaksikan
balapan itu dengan santai, tenda-tenda itu pun tidak ada yang sama warnanya! Karena perbedaan warna
inilah maka pemandangan dari atas panggung para pembesar itu nampak indah dan aneh. Tenda-tenda
para tuan tanah itu didirikan di sekitar luar arena perlombaan yang amat luas itu, masing-masing memilih
tempat yang agak tinggi agar mudah mengikuti perlombaan kuda.
Rombongan Thio-thicu berada di tempat yang tidak jauh dari panggung, tempat para pembesar duduk.
Seperti para tuan tanah yang lain, juga di tempat ini didirikan sebuah tenda besar tempat Thio-thicu
berlindung dari sengatan matahari siang nanti. Akan tetapi tidak seperti yang lain, Thio-thicu tidak
membawa pasukan pengawal, melainkan hanya beberapa orang pengawal saja yang juga bertindak
sebagai pelayan. Thio-thicu bahkan tidak membawa keluarganya. Pihak tuan tanah Thio ini hanya
membawa seekor kuda saja, yang ditutupi selimut kuda sehingga tidak nampak jelas dari luar apa warna
kuda itu dan bagaimana macamnya karena muka kuda itu pun tertutup selimut.
Suma Kian Bu dan dua orang pendekar wanita itu datang bersama Thio-thicu. Karena ia akan
menunggang Hek-liong-ma ikut berlomba, Ci Sian mengenakan pakaian ringkas warna kuning, rambutnya
diikat dengan kain sutera merah. Akan tetapi ia telah memberi tahu kepada Thio-thicu bahwa ia hanya
akan keluar bersama kudanya kalau semua peserta telah berkumpul. Sejak tadi, banyak sudah peserta
yang memasuki gelanggang, menunggangi kuda masing-masing dan menjalankan kuda mereka berkeliling
sebagai pemanasan dan juga untuk berlagak. Setiap kuda dengan penunggangnya mempunyai pendukung
sendiri-sendiri, tentu saja kawan-kawannya para pembantu majikan masing-masing.
Kali ini, yang mengikuti perlombaan hanya ada sembilan orang thicu, sungguh pun hampir semua thicu
yang jumlahnya sekitar dua puluh orang lebih itu datang untuk menyaksikan perlombaan itu, juga untuk
bertaruh dengan taruhan-taruhan yang besar sekali nilainya. Hal ini adalah karena para thicu yang
tanggung-tanggung saja sudah mengundurkan diri, tidak berani mengikuti perlombaan, apalagi setelah
dunia-kangouw.blogspot.com
mendengar akan adanya kuda hitam milik Bouw-thicu yang dapat lari seperti terbang itu. Yang mengikuti
perlombaan hanyalah para thicu yang tergolong besar, dalam arti luas daerahnya dan kekayaannya.
Namun semua orang sudah mendengar bahwa yang agaknya akan mampu menandingi kuda hitam milik
Bouw-thicu hanyalah kuda Thio-thicu. Menurut kabar angin, Thio-thicu memiliki kuda ‘simpanan’ yang
belum pernah dilihat orang, akan tetapi yang kabarnya akan mampu menandingi kuda hitam milik Bouwthicu
itu. Maka, tujuan orang-orang di situ, termasuk para pembesar, hanyalah kepada dua orang tuan
tanah ini. Dan terjadilah taruhan-taruhan besar di antara para thicu yang tidak ikut berlomba, bahkan yang
ikut berlomba dengan menurunkan seekor kuda pun kemudian ikut bertaruh antara dua thicu terkemuka ini.
Sudah ada tujuh ekor kuda yang memasuki arena. Tujuh ekor kuda pilihan yang besar dan kuat, dengan
penunggang yang semuanya adalah pria-pria muda yang tubuhnya kerempeng. Memang sebaiknya kalau
penunggang kuda balap dipilih orang bertubuh kecil dan ringan, demikian pendapat para pemilik kuda
balap.
Tujuh ekor kuda itu dengan para penunggangnya berjalan dengan gagah berputaran di sekitar tempat
permulaan, atau garis start di mana telah berkumpul pula para petugas yang mengatur perlombaan. Di
tempat pemberangkatan itu telah dipasang sembilan tempat kuda, agar para kuda itu dapat bersiap dengan
tenang dan baru bergerak kalau aba-aba dan pintu tempat itu sudah diberikan dan dibuka. Akan tetapi
karena para pengikut belum lengkap, maka para penunggang kuda belum memasuki tempat masingmasing,
masih memperagakan kebolehan mereka menunggang kuda dan keindahan kuda tunggangan
mereka.
Agaknya Lui Shi, wanita pembantu Bouw-thicu itu memang sengaja menanti dan hendak melihat seperti
apa macamnya kuda yang akan diajukan oleh Thio-thicu. Oleh karena itu, ia pun menanti dan belum juga
keluar bersama kudanya. Akhirnya setelah menanti dan belum juga kuda jagoan Thio-thicu muncul, dan
para penonton yang sudah tidak sabar lagi berteriak-teriak menuntut agar Bouw-thicu yang sudah dinantinanti
orang itu suka mengeluarkan kudanya, Bouw-thicu menyuruh Lui Shi untuk memasuki arena. Maka
muncullah wanita cantik ini di atas kudanya yang hitam, dengan amat gagahnya memasuki arena itu.
Kuda hitamnya memang amat indah. Besar dan bertubuh kuat sekali, bulunya hitam mengkilap seperti
dicat, bulu surinya riap-riapan amat rapinya dan bulu ekornya juga subur dan indah. Wanita itu sendiri
nampak cantik dan gagah, perkasa, apalagi karena wajahnya yang dirias tebal, dari jauh nampak amat
cantik, jelita. Pakaiannya dari sutera putih dan merah muda itu serasi benar dengan bulu kuda yang hitam
kelam, maka ketika kudanya memasuki arena, dan angin membuat bulu suri dan ekor kuda juga baju
sutera putih dan merah muda itu berkibar-kibar, para penonton menyambutnya dengan sorak-sorai dan
tepuk tangan.
Pada pagi hari itu, boleh dibilang seluruh penduduk di sekitar daerah itu berkumpul di tempat itu, terutama
kaum prianya. Sorak-sorai yang menggegap-gempita menyambut munculnya Lui Shi ini membuat kuda
hitam yang ditungganginya terkejut dan berdiri di atas dua kaki belakang. Semua orang terkejut dan
khawatir, akan tetapi Lui Shi dapat duduk di atas punggung kuda yang berdiri itu dengan enaknya, bahkan
mengangkat tangan kiri melambai-lambai ke segala jurusan dengan gaya memikat.
Ketika kuda hitam itu sudah menurunkan kembali kedua kaki depannya, tiba-tiba wanita itu sendiri
meloncat dan tubuhnya yang tadinya duduk itu kini berdiri di atas punggung kuda, dan ia melarikan
kudanya berputar-putar di situ seperti seorang akrobat pemain sirkus kuda yang mahir. Kembali para
penonton menyambutnya dengan tepuk sorak gembira. Lui Shi sengaja lewat di depan panggung, memberi
hormat kepada para pembesar kemudian lewat pula di depan rombongan Thio-thicu dengan lagak
mengejek. Ketika Lui Shi lewat di situ, Suma Kian Bu dan Siang ln sengaja tidak memperlihatkan diri.
Ci Sian melihat bahwa calon lawannya sudah muncul, lalu membuka penutup dan pelindung tubuh
kudanya, meloncat ke atas pungung kuda itu dan setelah mengangguk kepada Siang In dan Kian Bu, dia
pun lalu menggerakkan kudanya memasuki arena perlombaan.
Semua penonton memang sudah sejak tadi menanti munculnya kuda dari Thio-thicu, terutama mereka
yang berpihak kepada tuan tanah ini dan telah mempertaruhkan banyak uang untuk kuda Thio-thicu. Kini,
melihat munculnya seekor kuda hitam yang serupa benar dengan kuda hitam milik Bouw-thicu, hanya
bedanya kuda hitam ini jantan sedangkan kuda hitam milih Bouw-thicu betina, semua orang terheranheran.
Apalagi ketika melihat bahwa yang menunggang kuda hitam itu adalah seorang dara remaja yang
berpakaian serba kuning, seorang dara yang biar pun tidak memakai riasan muka seperti Lui Shi akan
dunia-kangouw.blogspot.com
tetapi yang memiliki kecantikan seperti bidadari dan sikapnya amat gagah, pecahlah ledakan sorak-sorai
dan tepuk tangan.
Semua orang memang sudah mendengar berita angin bahwa Thio-thicu juga telah mendapatkan seekor
kuda pilihan yang kabarnya akan mampu menandingi kuda hitam milik Bouw-thicu. Akan tetapi tidak ada
yang mengira bahwa kuda itu pun adalah seekor kuda hitam yang sama benar, bahkan agak lebih tinggi
dibandingkan dengan kuda milik Bouw-thicu. Dan yang membuat mereka gembira dan terheran-heran
karena sama sekali lebih tidak mereka sangka lagi adalah bahwa penunggangnya juga seorang wanita,
bahkan seorang dara remaja yang demikian cantik dan gagahnya!
Biar pun dari jauh Lui Shi nampak cantik sekali, akan tetapi semua orang tahu bahwa kecantikan wanita
yang lebih tua itu banyak dibantu oleh bedak dan gincu, sedangkan kecantikan dara remaja itu adalah
kecantikan asli. Maka, kenyataan bahwa kuda kedua orang tuan tanah yang saling bersaing itu serupa, dan
juga penunggangnya sama wanita cantik, tentu saja para penonton menjadi gembira sekali dan suasana
menjadi tegang, apalagi mereka yang bertaruh. Sibuklah mereka ini untuk menambah atau merubah
taruhan mereka setelah kedua ‘jago’ itu keluar.
Sementara itu, melaLui wakil masing-masing, terjadi pertaruhan yang luar biasa antara Bouw-thicu dan
Thio-thicu. Mereka itu saling mempertaruhkan tanah di perbatasan antara wilayah mereka, tanah yang
luasnya lebih dari separoh milik mereka, masih ditambah lagi dengan sejumlah perak dan emas yang
membuat salah satu di antara mereka rudin kalau kalah! Dan pertaruhan besar ini disyahkan dan
disaksikan oleh kepala daerah sendiri!
Ci Sian tidak berlagak seperti yang diperlihatkan Lui Shi tadi. Akan tetapi tanpa berlagak sekali pun dara ini
sudah nampak gagah sekali. Hek-liong-ma berlari congklang dan Ci Sian langsung melarikan kudanya ke
dalam tempat berkotak yang diperuntukkan para pembalap itu. Ia membawa kudanya memasuki tempat
yang bertuliskan huruf Thio.
Sementara itu, semua kuda sudah memasuki kotak masing-masing sebab para petugas perlombaan sudah
mengibarkan bendera, pertanda bahwa perlombaan akan dimulai dan semua kuda harus bersiap-siap di
dalam kotak masing-masing. Semua pembalap memandang ke arah petugas yang memegang sebuah
bendera merah dan yang berdiri di tempat yang agak tinggi. Petugas inilah yang akan memberi tanda
dimulainya balap kuda itu. Kalau bendera yang diangkatnya tinggi itu sudah dikelebatkan turun, itulah
tandanya.
Dan Si Petugas itu pun masih memegang tangkai bendera dengan kedua tangannya dan dia sejak tadi
memandang ke atas panggung, ke arah kepala daerah. Karena kalau para pembalap itu menanti tanda dari
dia, maka dia pun menanti tanda dari pembesar itu. Hanya kepala daerah saja yang berhak memberi tanda
bahwa perlombaan boleh dimulai.
Agaknya kepala daerah itu sedang menerima laporan-laporan dari para petugas dan penyelidikannya
bahwa segala sesuatunya berjalan beres, tidak ada apa apa yang mencurigakan dan tidak ada permainan
curang dilakukan orang dalam perlombaan itu. Maka, setelah merasa yakin bahwa tidak ada hal yang patut
dicurigai, kepala daerah itu lalu bangkit dari tempat duduknya, lalu mengangkat tangan ke kanan, ke atas
dan menggerakkan tangan itu tiba-tiba ke bawah. Inilah tanda bahwa perlombaan boleh dimulai, yang
merupakan isyarat bagi Si Petugas pemegang bendera merah.
Semua mata penonton hampir tak pernah berkedip memandang ke arah kotak-kotak itu, menanti dengan
hati berdebar saat dimulainya perlombaan yang menegangkan hati itu, terutama yang akan terjadi di antara
dua penunggang kuda wanita itu. Akan tetapi, di dalam ketegangan ini ada saja penonton yang berkelakar
mengatakan bahwa jangan-jangan yang dinanti-nanti dengan tegang, yaitu dua orang pembalap wanita itu,
ternyata akan menjadi pemenang dari belakang!
“Bagaimana pun juga, mereka hanyalah wanita-wanita!” tambahnya.
Kelakar ini mengurangi ketegangan dan terdengar suara ketawa. Bagaimana pun juga, kelakar itu masuk di
akal dan bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi seperti yang diramalkan oleh orang itu. Dan betapa
akan lucunya kalau kedua penunggang kuda wanita itu, yang kini dikagumi dan dijadikan pusat pertaruhan
yang amat ramai, di akhir perlombaan itu akan menjadi juara dari belakang, yaitu nomor satu dan nomor
dua paling akhir!
dunia-kangouw.blogspot.com
Begitu kepala daerah itu menggerakkan tangannya, petugas yang memegang bendera merah pun berseru
dengan suara nyaring, suara yang sudah dinanti-nanti oleh para peserta perlombaan.
“Perlombaan dimulaiiiii!” Dan bendera merah itu pun berkelebat turun dari atas.
Para pembalap itu menggebrak kuda masing-masing pada saat para petugas menarik palang yang
menutup kotak-kotak itu dan mulailah terdengar derap kaki kuda yang diiringi tepuk tangan dan sorak-sorai
para penonton. Binatang-binatang itu seperti mendapatkan semangat tambahan, atau memang ketakutan
mendengar sorak-sorai itu dan mereka pun lari semakin kencang.
Menurut peraturan perlombaan, para pembalap harus mengelilingi arena balap itu sebanyak tiga kali
putaran, dan setelah memutar lapangan itu tiga kali, lalu membelok ke depan panggung para pembesar di
mana telah disediakan seikat bunga dengan pita merah yang digantungkan. Peserta yang paling dulu
meraih dan mengambil seikat bunga inilah yang dinyatakan sebagai pemenang pertama. Adapula di situ
digantungkan ikatan bunga untuk diambil oleh pemenang ke dua dan ke tiga. Dan di sepanjang arena
perlombaan itu, di tengah jalan diadakan rintangan-rintangan seperti pagar dan parit yang mesti dilompati
oleh kuda peserta. Jadi, yang diperlombakan bukan sekedar hanya kecepatan, melainkan juga
ketangkasan dan kemahiran si penunggang kuda.
Pada tengah putaran pertama, sembilan ekor kuda itu masih kelihatan sama cepatnya. Mereka lari
kencang berdampingan seolah-olah mereka itu sudah bersepakat untuk lari bersama, tidak saling
mendahului. Akan tetapi begitu mereka tiba di rintangan-rintangan di mana mereka harus mengerahkan
kekuatan kaki dan kemahiran penunggang kuda masing-masing untuk melompat agar tidak sampai
tersandung pagar atau jatuh ke dalam parit lumpur, mulailah nampak keunggulan Lui Shi. Wanita ini
mengeluarkan teriakan melengking dan agaknya ini merupakan tanda bagi kuda hitamnya untuk meloncati
parit dengan loncatan yang amat indah dan tinggi, jauh melampaui para saingannya dan ketika tiba di
seberang parit, kuda itu lalu lari membalap dengan cepat sekali seolah-olah keempat kakinya tidak lagi
menyentuh bumi!
Sorak-sorai meledak dari para penonton di luar arena balap itu, terutama sekali dari anak buah Bouw-thicu
dan dari mereka yang berpihak dan bertaruh atas kuda hitam milik Bouw-thicu. Dan seolah-olah didorong
oleh suara sorak-sorai ini, kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi makin membalap sehingga jauh
meninggalkan para saingannya.
Sedangkan Hek-liong-ma yang ditunggangi Ci Sian masih bersama-sama dengan para pembalap lain,
hanya berada paling depan saja. Makin cepat juga kuda hitam Lui Shi meluncur sehingga ketika putaran
pertama habis, ia telah meninggalkan para lawan sejauh hampir seperempat putaran! Tentu saja para
penonton menjadi gegap-gempita, bersorak-sorak dan mencemooh kuda lain, terutama Ci Sian yang
tadinya diharapkan akan dapat mengimbangi kecepatan kuda milik Bouw-thicu itu. Hal ini membuat Lui Shi
timbul kesombongannya dan mulailah ia berlagak.
Ia berloncatan di atas punggung kudanya, berjungkir-balik, berjongkok dan menari-nari di atas punggung
kudanya yang berlari kencang itu. Memang harus diakui bahwa wanita ini pandai sekali menunggang kuda.
Berdiri di atas punggung kudanya yang berlari kencang itu agaknya bagi wanita itu tiada bedanya dengan
berdiri di atas tanah saja!
Para penonton tentu saja menjadi semakin gembira, ada yang tertawa dan bertepuk tangan riuh, bahkan
mereka yang berpihak kepada kuda lain pun mau tidak mau harus mengagumi kepandaian wanita itu dan
kecepatan lari kuda hitam yang ditungganginya. Mereka semua tahu bahwa apa yang dipertontonkan
wanita itu bukanlah main-main, berbeda dengan pertunjukan komedi kuda di mana kudanya tidak berlari
sekencang itu dan bukan sedang dalam suatu perlombaan besar. Sekali saja salah perhitungan dan wanita
itu terjatuh dari punggung kuda, akibatnya maut!
Thio-thicu memandang semua itu dan wajahnya berubah agak lesu. Dia adalah seorang yang sudah sering
mengadakan perlombaan kuda dan setelah melihat betapa dalam putaran pertama, jadi sepertiga jarak
perlombaan, pihak musuh sudah mendahului dengan seperempat putaran, harapannya sudah menipis. Tak
mungkin ada kuda yang akan dapat menyusul ketinggalan sejauh itu. Dan diam-diam dia pun harus
mengakui bahwa kuda hitam milik orang she Bouw itu memang luar biasa sekali. Belum pernah dia melihat
ada kuda dapat berlari secepat itu, juga belum pernah melihat penunggang kuda sepandai wanita yang
bekerja untuk lawan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maka dia pun menoleh ke arah Suma Kian Bu dan Teng Siang In yang duduk di sebelah kirinya dan dia
terheran-heran. Suami isteri pendekar ini nampak tenang-tenang saja! Hal ini membuat dia penasaran,
maka dia pun tak dapat menahan hatinya bertanya kepada Siang In yang duduknya paling dekat
dengannya, “Bagaimana pendapat Toanio? Kuda kita agaknya akan kalah....”
Betapa herannya hati tuan tanah itu ketika mendengar jawaban pendekar wanita itu dengan suara tenang,
“Ia tidak akan kalah. Adik Ci Sian adalah seorang penunggang kuda yang baik dan mencinta kudanya. Ia
tidak mau menguras tenaga kudanya, tetapi menanti saat baik. Lihatlah....!”
Tuan tanah itu menengok, apalagi karena tepat pada saat itu terdengar sorak-sorai yang riuh-rendah, dan
tepuk tangan gegap-gempita. Ketika dia menoleh ke arah perlombaan, wajahnya segera berubah, kalau
tadinya lesu kini menjadi berseri-seri dan saking lupa diri dia sampai bangkit berdiri dari tempat duduknya.
Dia melihat kuda hitam yang ditunggangi Ci Sian mulai ‘terbang’! Ya, memang lebih pantas disebut terbang
karena kuda hitam itu berlompatan atau berlari seperti terbang saja, meninggalkan kelompok temantemannya
yang tadinya tertinggal jauh oleh kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi!
Lui Shi tadinya masih enak-enakan, masih mengira bahwa semua tepuk sorak itu adalah untuknya.
Memang dia sudah yakin akan kemenangannya dan memandang rendah kepada semua lawannya.
Bukankah ia sudah menang seperempat putaran dan dua putaran lagi ia akan meninggalkan mereka lebih
jauh lagi!
Akan tetapi ketika dia iseng-iseng menoleh ke arah panggung dan melihat betapa rombongan Thio-thicu
juga bersorak-sorak, bahkan Thio-thicu sendiri yang gendut itu bangkit berdiri dan berjingkrak-jingkrak, dia
terkejut dan heran sekali. Cepat Lui Shi menoleh dan ketika ia melihat seekor kuda hitam meluncur cepat
sekali dari belakang, tahulah ia bahwa kuda hitam yang ditunggangi dara remaja itu, milik Thio-thicu, telah
mulai berusaha untuk mengejar dan menyusulnya!
“Setan!” Ia memaki.
Kalau tadinya ia enak-enakan jongkok di atas punggung kudanya, kini ia turun lagi dan duduk di atas
punggung, lalu membedal kudanya agar berlari lebih cepat lagi. Kuda hitam tunggangannya itu bukan lain
adalah kuda hitam milik suami isteri dari Pulau Es itu, dan kuda ini memiliki ketangkasan yang seimbang
dengan Hek-liong-ma. Maka begitu dibedal, kuda ini meringkik dan me-luncur ke depan lebih cepat lagi.
Terjadilah kejar-mengejar antara dua ekor kuda hitam ini. Kejar-mengejar dalam putaran yang kedua dan
pada saat menghadapi rintangan, mereka berlompatan dengan amat cekatan. Karena kuda hitam Lui Shi
dibedal sekuatnya, maka kembali Hek-liong-ma tidak dapat menyusulnya dan jarak di antara mereka masih
cukup jauh, sungguh pun Hek-liong-ma juga sudah jauh sekali meninggalkan para lawan yang lain! Dan
ketika putaran kedua habis, jarak antara mereka masih ada sedikitnya lima puluh meter!
Tentu saja kejar-kejaran ini membuat para penonton panas dingin rasanya, apalagi di pihak Bouw-thicu
dan Thio-thicu. Mereka dari kedua rombongan ini sudah bangkit berdiri semua dan tiada yang tidak
menggerakkan kaki tangan dan mulut mereka untuk memberi dorongan semangat. Seolah-olah nampak
semangat mereka beterbangan ke arah dua kuda jagoan masing-masing dan semangat itu ikut mendorong
pantat kuda agar lebih cepat lagi!
Tinggal satu putaran lagi dan di sinilah letak keuntungan Ci Sian. Kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi
telah lebih dulu diperas tenaganya, dipaksa berlari sekencangnya dan pada putaran terakhir ini, nampak
betapa kuda itu menjadi lemah. Mulutnya mulai berbuih dan hidungnya mendengus-dengus, tanda bahwa
kuda itu mulai kelelahan. Tidak demikian dengan Hek-liong-ma yang kelihatan semakin gembira untuk
mengejar kuda di depan itu.
Lomba itu kini seolah-olah hanya dilakukan oleh dua ekor kuda hitam itu. Yang lain-lain sudah tidak masuk
hitungan lagi. Bahkan para thicu yang memiliki kuda lain itu sama sekali tidak lagi memperhatikan kuda
mereka sendiri yang jauh tertinggal di belakang, melainkan menujukan perhatian mereka kepada dua ekor
kuda yang berlari secepat terbang itu. Dan para petaruh mulai berteriak-teriak untuk menambah taruhan
mereka.
Kini, lambat namun jelas sekali, Hek-liong-ma mulai dapat mengurangi jaraknya dari kuda hitam di depan.
Dan Lui Shi yang sejak tadi sering menoleh ke belakang, melihat pula akan hal ini. Telinganya dapat
menangkap derap kaki kuda di belakangnya itu, yang merupakan suara seperti ancaman setan, makin
lama semakin jelas.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekarang mereka berdua tiba di tempat di mana ada rintangan-rintangan pagar dan parit dan mulailah kini
Hek-liong-ma memperlihatkan ketangkasannya. Lompatan demi lompatan dilakukannya dan perlahanlahan
kuda ini mulai dapat menyusul kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi! Ketika semua rintangan dapat
dilompati oleh dua ekor kuda itu, kini dua ekor kuda itu sudah hampir sejajar, dan Hek-liong-ma hanya
kalah setengah badan saja!
Sekarang Lui Shi dapat melihat wajah Ci Sian yang tersenyum tenang, wajah yang menimbulkan benci dan
iri dalam hati Lui Shi. Tiba-tiba Lui Shi mengeluarkan suara nyaring yang bunyinya seperti ringkikan kuda.
“Hiiii-yehh.... hiii-yehhh....!”
Dan akibatnya memang hebat. Hek-liong-ma mengurangi kecepatan gerakan kakinya dan berlari di
belakang kuda hitam betina itu! Mereka kini sudah melalui separuh dari putaran terakhir!
Ci Sian terkejut sekali dan ia teringat bahwa wanita ini adalah seorang penjinak kuda. Tentu teriakannya
tadi merupakan teriakan yang khas, yang merupakan bahasa kuda yang agaknya menahan Hek-liong-ma!
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara lain di dekat mereka. Suara ini seolah-olah berada dekat sekali
dengan dua orang wanita itu, dan seperti suara setan yang tidak nampak.
“Hek-liong-ma.... ckk, ckk.... hyaaakkk....!”
Mendengar suara ini, Hek-liong-ma tiba-tiba meloncat ke depan dan dengan beberapa kali loncatan saja
kuda ini sudah dapat menyamai lagi sehingga lari berendeng dengan kuda hitam! Penonton seperti gila,
berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan menyaksikan peristiwa ini, kejar-mengejar yang
mendebarkan dan menegangkan hati ini. Ada beberapa orang petaruh yang jantungnya lemah sudah jatuh
pingsan di tempat dia berdiri!
Melihat ini, Lui Shi terkejut bukan main dan beberapa kali ia berusaha untuk menguasai Hek-liong-ma
dengan teriakan-teriakan aneh. Akan tetapi selalu ada suara lain yang menentangnya dan agaknya Hekliong-
ma lebih taat kepada suara tanpa rupa ini. Diam-diam Ci Sian kagum bukan main dan tahulah dia
bahwa suara itu tentulah suara Pendekar Siluman Kecil yang mempergunakan khikang yang amat kuat,
mengirim suara dari jauh untuk menguasai Hek-liong-ma.
Melihat betapa Hek-liong-ma kini malah telah menang setengah badan dibandingkan dengan kudanya, Lui
Shi marah bukan main. Tangan kirinya mengambil sesuatu dari balik bajunya dan tangan itu bergerak.
Sinar lembut menyambar ke arah belakang kuda Hek-liong-ma.
Akan tetapi, sejak tadi Ci Sian tidak pernah lengah. Ia tahu akan kecurangan lawan, maka sejak tadi pun ia
sudah bersiap. Melihat tangan kiri lawan merogoh saku saja ia sudah curiga, maka begitu tangan kiri itu
bergerak dan jarum-jarum meluncur ke arah belakang tubuh Hek-liong-ma, cepat dara ini mencondongkan
tubuhnya ke belakang.
Dengan tangan kiri ia mengebut dan mengerahkan tenaga khikang sehingga jarum-jarum itu runtuh, akan
tetapi dia masih sempat menyambar dan menangkap beberapa batang jarum dengan tangan kirinya, lalu
langsung menyambit dan jarum-jarum itu terbang kembali kepada pemiliknya. Akan tetapi berbeda dengan
Lui Shi, Ci Sian tidak menyerang kuda, melainkan langsung menyambitkan jarum-jarum itu ke arah tubuh
Lui Shi!
Lui Shi kaget bukan main. Tak disangka bahwa dara remaja yang menjadi penunggang kuda hitam itu
ternyata adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali! Disangkanya hanya seorang
penunggang kuda yang mahir ilmu menunggang kuda saja. Siapa tahu, dengan kebasan tangannya, bukan
saja dara itu mampu meruntuhkan jarum-jarumnya, bahkan dapat menangkap jarum-jarumnya dan kini
sambitan cepat seperti kilat menyambar! Wanita ini mengeluarkan seruan kaget dan mendadak saja
tubuhnya lenyap dari atas kuda.
“Ehhh....?!” Ci Sian terkejut, akan tetapi ia menjadi kagum ketika wanita itu muncul kembali dan ternyata
tadi ketika mengelak dari serangan jarumnya, wanita itu telah menjatuhkan dirinya ke bawah perut kuda
dengan kedua kaki tetap mengait tubuh kuda itu. Sungguh merupakan ilmu menunggang kuda yang hebat,
yang hanya dimiliki oleh ahli-ahli pemain sirkus yang amat mahir.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini mereka terus membalapkan kuda mereka dan dua ekor kuda itu masih terus lari berendeng, sungguh
pun Hek-liong-ma menang setengah badan. Sorak-sorai masih menggegap-gempita di kalangan penonton,
bahkan para pembesar yang juga ikut-ikutan merasa tegang, sudah berdiri semua di atas panggung dan
ikut bertepuk-tangan.
Kini putaran terakhir hampir habis! Melihat kudanya akan kalah begini terus, tiba-tiba Lui Shi mengeluarkan
sesuatu dari sakunya dan menaburkan benda putih di atas pinggul dan ekor kudanya. Tiba-tiba Hek-liongma
mengeluarkan suara meringkik aneh dan.... kuda ini menahan larinya, lalu berlari di belakang kuda
hitam itu sambil mendengus-dengus!
Ci Sian menjadi terkejut dan juga bingung. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Ia tidak tahu bahwa Lui Shi
yang ahli itu telah menaburkan obat yang membuat kuda-kuda jantan seolah-olah menganggap kuda
betina itu sedang dalam waktu birahi! Dan hal ini merangsang kuda Hek-liong-ma yang sudah mengenal
kuda hitam itu sebagai kawan lamanya, lalu lari di belakangnya, tidak mau mendahului.
Tentu saja para penonton bersorak-sorak lagi melihat ramainya perlombaan itu, melihat betapa kini kembali
kuda tuan tanah Thio tertinggal di belakang, kalah satu badan! Bahkan Suma Kian Bu dan isterinya juga
berdiri saling pandang dengan bingung, tidak tahu apa yang telah terjadi dan tidak tahu pula harus berbuat
apa. Pendekar Siluman Kecil telah mengirim aba-aba kepada Hek-liong-ma, akan tetapi tetap saja kuda ini
tidak mau mendahului kuda betina.
Putaran terakhir sudah habis dan kini tinggal membelok untuk merebutkan ikatan bunga dengan pita merah
sebagai tanda pemenang atau juara pertama! Dan Hek-liong-ma masih ketinggalan satu badan! Pada saat
terakhir itu, saking penasarannya, tiba-tiba Ci Sian mengeluarkan suling emasnya, meniup suling itu
dengan nada yang begitu tinggi sehingga tidak terdengar oleh telinga manusia. Akan tetapi karena dia
mengerahkan khikang dan menujukan suara suling dengan ilmu yang dipelajarinya bersama Kam Hong,
menujukan suara itu menyerang kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi, tiba-tiba saja kuda hitam yang
ditunggangi Lui Shi itu meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depannya ke atas dan tentu saja
otomatis larinya terhenti!
Kuda itu telah terserang pendengarannya oleh suara lengkingan tinggi yang menggetar dan seolah-olah
menusuk kedua telinganya, membuat binatang itu meringkik kesakitan dan juga amat terkejut. Tentu saja
kesempatan baik ini tidak disia-siakan oleh Ci Sian. Ia membedal kudanya, Hek-liong-ma meloncat ke
depan dan sebelum Lui Shi mampu menguasai kembali kuda hitamnya yang ketakutan, dengan mudahnya
Ci Sian sudah meraih dan menyambar ikatan bunga dengan pita merah sebagai tanda bahwa ia keluar
sebagai juara.
Sorak-sorai dan tepuk tangan riuh memenuhi lapangan itu dan Lui Shi yang akhirnya berhasil menguasai
kembali kudanya karena kini tidak ada lagi suara suling yang membikin takut kuda itu, baru dapat melihat
ketika mendengar sorak-sorai itu bahwa kejuaraan telah direbut oleh Ci Sian dan kuda hitamnya.
“Keparat....!” ia mengutuk dan membalapkan kudanya ke depan dengan muka merah penuh geram.
Ia tahu bahwa dara remaja itu tentu telah melakukan sesuatu yang membuat kudanya tadi ketakutan. Ia
pun tadi melihat dara itu meniup suling yang mengkilap, dan biar pun telinganya tidak menangkap suara
apa-apa, namun getaran yang halus sekali terasa olehnya maka tahulah ia bahwa dara itu menggunakan
siasat untuk membuat kudanya ketakutan dan berjingkrak tadi. Maka ia menjadi marah sekali sehingga ia
tidak ingat lagi bahwa di samping hadiah sebagai juara pertama, masih ada juara ke dua dan ke tiga. Ia
membalapkan kudanya untuk mengejar Ci Sian yang sudah mengambil ikatan kembang dengan pita merah
itu.
“Iblis curang!” bentak Lui Shi sambil mengejar.
Melihat sikap wanita ini, Ci Sian maklum bahwa ia terancam serangan, maka cepat ia melemparkan ikatan
bunga sebagai tanda juara itu ke arah Thio-thicu karena ia sudah tiba di depan rombongan itu, lalu ia pun
meloncat turun ke atas tanah, dan membiarkan Hek-liong-ma dirawat oleh beberapa orang tukang kuda
pembantu Thio-thicu yang segera menyelimuti kuda itu dengan selimut bulu dan menyeka keringat kuda
itu.
Melihat betapa Ci Sian sudah menantinya dengan berdiri tegak, Lui Shi menjadi makin marah, merasa
kalau ditantang. Maka ia pun meloncat turun dari atas kudanya ke depan Ci Sian.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lui Shi.... ambil juara ke dua!” terdengar Bouw-thicu dan anak buahnya berteriak.
Akan tetapi Lui Shi seperti tidak mendengar seruan-seruan itu, dan Ci Sian yang diam-diam merasa marah
kepada wanita curang ini, sengaja mengejek agar Bouw-thicu kehilangan semua kejuaraan.
“Hemm, wanita tak tahu malu. Engkau sudah kalah, masih banyak lagak mau apakah?” Setelah berkata
demikian, sambil tersenyum mengejek Ci Sian lalu meloncat ke atas panggung.
Panggung itu memang memanjang ke depan, tempat para petugas tadi menyampaikan pengumuman dan
lain-lain, dan kini ditinggalkan kosong karena semua pembesar dan petugas sudah duduk di kursi masingmasing.
Dan Ci Sian melompat ke tempat ini dengan sengaja, untuk memancing Lui Shi menjauhi
kejuaraan yang ke dua dan ke tiga, dan juga agar mereka berdua dapat nampak oleh semua orang yang
berada di bawah, terutama sekali oleh para pembesar yang duduk di atas panggung.
Diejek oleh Ci Sian, kemarahan Lui Shi meluap, membuatnya menjadi mata gelap dan tanpa peduli apaapa
lagi, melihat lawannya itu melompat naik ke atas panggung, ia pun lalu menggunakan ginkang-nya
meloncat ke atas panggung. Semua ini dapat dilihat dengan jelas oleh para penonton, juga oleh para
pembesar dan tentu saja semua orang tertarik dan tegang. Kini semua mata memandang ke arah dua
orang wanita itu yang sudah saling berhadapan di ujung panggung, dan agaknya tidak ada seorang pun
yang mempedulikan jalannya perlombaan lagi. Ada pertunjukan yang lebih menarik dan menegangkan di
atas panggung.
“Eh, engkau berani mengejarku?” Ci Sian terus menggoda dan mengejek. “Sudah kalah tidak mau
menyadari kebodohan sendiri, malah mengamuk-ngamuk. Sungguh engkau ini nenek-nenek tak tahu malu,
tebal muka....!” Ci Sian terus menggoda.
Sepasang mata wanita itu mendelik dan kini wajahnya tidak kelihatan terlalu cantik lagi. Bahkan mengarah
buruk, karena keringatnya membasahi dahi, membuat pupur tebal itu luntur dan kulit mukanya yang
tertutup bedak tidak rata itu malah menjadi coreng-moreng.
“Keparat, kubunuh engkau.... kubunuh engkau....” Lui Shi berkata, suaranya mendesis dan napasnya agak
memburu saking marahnya.
“Aha, begitu mudahkah? Benarkah engkau akan mampu?” Ci Sian tetap saja mengejek.
Ucapan dan sikap dara remaja ini bagaikan angin yang mengipasi api kemarahan Lui Shi, maka wanita ini
menjadi lupa diri. Ia lupa bahwa ia berada di tempat yang gawat, di depan para pembesar dan pejabat
setempat, bahkan di depan kepala daerah Propinsi Sin-kiang! Dengan mata gelap ia sudah melolos keluar
senjatanya, yaitu sebatang pedang lemas yang dapat digulungnya dan disembunyikannya di balik bajunya,
dan dengan pedang di tangan ini ia menerjang maju, mulutnya mendesis, “Kucincang engkau.... kucincang
dan kupenggal kepalamu....!”
Akan tetapi ia terlalu memandang rendah kepada Ci Sian, terkecoh oleh keadaan dara remaja itu. Meski
dalam pandangan orang-orang lain yang menyaksikannya, serangan pedang dari Lui Shi itu amat cepat
dan kuat serta amat berbahaya, namun dalam pandangan Ci Sian tidaklah demikian. Ia dapat mengikuti
gerakan pedang itu dengan baik, dan dengan mudahnya ia mengelak sampai tujuh kali beruntun ketika
pedang itu menyerang bertubi-tubi.
Tenaga manusia itu terbatas dan tidak mungkin serangan dilanjutkan terus tanpa henti, karena si
penyerang perlu memulihkan tenaga dan mengatur napas. Ketika pedang itu berhenti bergerak menyerang
setelah semua bacokan dan tusukannya mengenai angin belaka, detik ini dimanfaatkan oleh Ci Sian.
Tangan kirinya menyambar dan biar pun Lui Shi juga seorang wanita yang gesit, namun sehabis
menyerang bertubi-tubi itu, ia belum mampu menjaga diri, maka dengan kecepatan sekejap mata, tahutahu
pipinya telah berkenalan dengan telapak tangan Ci Sian yang menyambar.
“Plakkk....!”
Telapak tangan Ci Sian itu halus lembut dan hangat, telapak tangan seorang dara yang terpelihara dan
terawat baik-baik, yang tidak pernah atau jarang bekerja berat. Akan tetapi karena tangan itu terlatih,
mengandung kekuatan sinkang yang amat hebat, maka biar pun tamparan itu dilakukan oleh Ci Sian
dengan perlahan saja, bukan dengan niat membunuh, tidak urung tubuh Lui Shi terputar seperti disambar
halilintar, dan setelah berjungkir balik dan memutar pedang mengatur keseimbangan, barulah ia terhindar
dunia-kangouw.blogspot.com
dari keadaan terpelanting dan roboh. Seluruh mukanya terasa berdenyut-denyut dan panas sekali, dan
ternyata pipi kanannya telah membengkak dan merah, sedangkan ujung bibirnya pecah berdarah! Sejenak
ia terbelalak, saking terkejut, heran dan penasaran. Akan tetapi segera semua itu ditelan oleh
kemarahannya yang berkobar-kobar.
Orang marah sama dengan orang mabuk. Dalam keadaan marah, kewaspadaan kita tertutup, seolah-olah
tertutup oleh asap dari api kemarahan, membuat kita buta dan tidak dapat melihat kenyataan dengan
terang. Kemarahan membutakan mata menulikan telinga. Dalam keadaan mabuk seperti itu, orang dapat
melakukan apa saja, terutama melakukan hal-hal yang kejam, karena satu-satunya tujuan hanyalah
melampiaskan kemarahan yang hanya dapat terlaksana dengan membalas dendam kepada orang yang
menimbulkan kemarahan itu. Kemarahan merupakan penghamburan energi batin yang amat besar dan
amat kuat sehingga banyaknya kemarahan akan mempengaruhi jasmani, menjadi lekas lapuk dan tua.
Dalam kemarahannya, Lui Shi seperti tidak melihat apa-apa lagi kecuali wajah dara remaja yang
dianggapnya seperti setan yang amat dibencinya itu. Ia mengeluarkan pekik melengking tinggi yang
menyeramkan dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Dari tangan kiri itu menyambar sinar yang sama ketika
ia menyerang kuda, dan tahulah Ci Sian bahwa lawannya yang curang ini kembali mempergunakan senjata
rahasia jarum-jarum halus.
Namun, senjata rahasia seperti itu tentu saja merupakan permainan kanak-kanak bagi pendekar wanita
remaja yang telah memiliki kesaktian ini. Dengan kebutan tangan kirinya, Ci Sian membuat semua jarum
itu runtuh, sedangkan yang melesat dan sempat mengenai kulit tubuhnya setelah menembus pakaian,
hanya bertemu dengan kulit yang dilindungi sinkang amat kuat sehingga tidak terasa sama sekali! Ci Sian
mencabuti empat lima batang jarum yang menancap di pakaiannya, dan membuangnya ke atas lantai
seperti membuang kutu busuk.
Lui Shi terbelalak. Kalau saja tidak dimabokkan oleh kemarahan yang berkobar, semua kenyataan ini saja
tentu telah menyadarkannya bahwa dara remaja itu bukan lawannya, terlalu tangguh baginya. Namun ia
sudah mabok dan ia sudah menubruk lagi dengan pedangnya, menyerang dengan tusukan kilat ke arah
dada Ci Sian.
Kini Ci Sian tidak mau memberi hati lagi. Ia miringkan tubuh, tangan kirinya mengikuti gerakan lawan
menusuk dengan jari tangan ke arah lambung. Tusukan ini amat cepat dan berbahaya, mengeluarkan
angin bersuit mengejutkan Lui Shi yang cepat menarik pedang dan hendak membacok tangan yang
menusuk itu. Akan tetapi tiba-tiba saja tangan Ci Sian Sian menyambar dan tanpa dapat dihindarkan lagi,
untuk kedua kalinya pipi Lui Shi ditampar. Sekali ini pipi kiri.
“Plakkk!”
Tamparan yang keras sekali, membuat tubuh itu terputar dan terpelanting, dan ketika Lui Shi mampu
bergulingan untuk mematahkan kejatuhan tubuhnya dan ia melompat bangun, pipi kirinya bengkak lebih
besar dari pada pipi kanannya dan ujung mulut kirinya juga berdarah. Mukanya menjadi buruk sekali
setelah kedua pipinya bengkak itu, bahkan bengkak-bengkak itu sampai membuat kedua matanya nampak
sipit dan lucu, dan hidungnya terjepit antara dua bukit membengkak dari kedua pipinya.
“Anak setan....!” Ia memaki dan menerjang lagi.
Ci Sian memapaki dengan tendangan hingga akhirnya Lui Shi terjengkang. Akan tetapi kembali wanita itu
bangkit dan menyerang. Kembali Ci Sian menendang dan sekali ini ia mengerahkan lebih banyak tenaga.
“Dessss....!”
Tubuh Lui Shi terlempar dan terguling-guling sampai ke depan kursi kepala daerah yang sudah menjadi
marah sekali. Semua orang melihat betapa Lui Shi yang mulai lebih dulu berkelahi itu. Lui Shi yang
melakukan penyerangan-penyerangan sedangkan Ci Sian hanya melindungi diri saja. Maka kepala daerah
itu lalu membentak.
“Tangkap perempuan pengacau ini!”
Lui Shi bukanlah wanita sembarangan. Ialah yang menghubungkan Bouw-thicu dengan para pemberontak
Mongol. Kini melihat bahwa dirinya hendak ditangkap, kemarahannya yang sudah meluap itu membuat ia
dunia-kangouw.blogspot.com
meloncat berdiri dan hendak menyerang pembesar itu! Akan tetapi tiba-tiba dua bayangan berkelebat dan
tahu-tahu Suma Kian Bu dan Teng Siang In telah berdiri di depannya!
Lui Shi mengenal suami isteri yang menjadi pemilik kuda yang dicurinya. Akan tetapi ia tidak mengenal
mereka ini siapa dan belum tahu bahwa pemilik kuda itu adalah sepasang suami isteri yang kepandaiannya
malah lebih tinggi dari pada kepandaian gurunya sekali pun! Maka ia tidak takut.
“Maling kuda, engkau menyerahlah!” Kian Bu berkata.
“Huh! Mampuslah!” kata Lui Shi dan ia pun menubruk dengan tusukan pedangnya.
“Takkkk!”
Pedang itu dengan tepat mengenai dada pendekar berambut putih itu, akan tetapi pedang itu melengkung!
Pedang lemas, akan tetapi kalau dipergunakan oleh Lui Shi dengan pengerahan sinkang, pedang itu dapat
menjadi keras atau lemas. Kini, dia menggunakan tenaga keras dan ternyata ketika mengenai dada orang,
pedangnya melengkung seperti sebatang daun saja! Dan tahu-tahu pedangnya itu telah dijepit oleh dua jari
tangan pria itu.
Lui Shi mengerahkan tenaga untuk mencabut pedangnya terlepas dari jepitan ibu jari dan telunjuk tangan
kiri pendekar itu, namun hasilnya sia-sia belaka, pedangnya itu seolah-olah sudah berakar pada kedua jari
itu! Bukan main kagetnya hati Lui Shi. Baru sekarang ia tahu bahwa pemilik kuda yang memiliki wajah
tampan gagah namun amat menyeramkan ini kiranya memiliki kepandaian lebih hebat lagi! Kian Bu
mengerahkan tenaga pada jari-jari tangannya, membuat gerakan menekuk dan memuntir.
“Krekkkk!” Pedang itu patah menjadi dua!
Pucatlah wajah Lui Shi. Pedangnya itu adalah sebuah pedang pusaka yang terbuat dari baja pilihan, yang
mampu membabat putus besi dan baja biasa. Akan tetapi kini pedang itu patah oleh tekukan dua jari
tangan orang ini! Tubuhnya mulai gemetaran karena tahulah ia bahwa ia sedang berhadapan dengan
seorang sakti!
“Maling busuk, sebaiknya engkau menyerah,” kata lagi Suma Kian Bu.
“Aku.... aku tak mencuri apa-apa....” Dalam gugupnya Lui Shi mencoba untuk membela diri.
“Bagus! Sudah mencuri, membohong pula!” Siang In mencibir. “Sungguh pengecut tak tahu malu. Kuda
hitam betina itu adalah kuda milik kami yang sudah kau curi dari kami, menggunakan kepandaianmu
menjinakkan kuda. Dan kini engkau masih berani hendak menyangkal?”
Tiba-tiba dari samping terdengar suara orang, suara yang berat dan berwibawa, “Harap jangan ada fitnahfitnah
yang tidak sehat di sini! Kuda hitam itu adalah milik kami, dan kami menerimanya dari Lui Shi dengan
syah. Kuda itu sejak dahulu adalah milik Lui Shi, bagaimana kini tiba-tiba ada orang menuduhnya
mencuri?”
Suara ini adalah suara Bouw-thicu yang sudah tiba di tempat itu bersama beberapa orang pengawal
pribadinya. Tuan tanah yang bertubuh tinggi besar ini naik ke panggung dan setelah memberi hormat
kepada para pembesar, terutama kepala daerah yang dikenalnya dengan baik, lalu mengeluarkan teguran
itu kepada Suma Kian Bu dan Teng Siang In.
Mendengar teguran tuan tanah yang tinggi besar itu, Kian Bu berkata, “Bouw-thicu, mungkin engkau sendiri
juga tertipu oleh wanita ini. Akan tetapi kuda hitam itu benar milik kami. Kuda kami adalah sepasang, dan
yang betina hilang dalam perjalanan kami, dan ternyata di curi oleh wanita ini.”
“Bohong....!” Lui Shi berkata dengan suara teriakan, sikapnya sudah pulih karena ia dibela oleh Bouw-thicu.
Kini ia kelihatan marah dan penasaran, “Kuda itu sejak kecil kukenal dan kupelihara, bagaimana tiba-tiba
ada orang mengakuinya?”
“Taijin, kami mohon keadilan!” Bouw-thicu berkata kepada Kepala Daerah Propinsi Sin-Kiang yang
langsung menghadapi pertikaian ini.
Kepala daerah itu tersenyum dan memandang kepada Suma Kian Bu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalau ada dua pihak mengakui seekor kuda sebagai miliknya, maka jalan satu-satunya hanyalah agar
kedua pihak memperlihatkan bukti akan kebenaran pengakuan masing-masing. Kalau ada bukti, barulah
benar bahwa dia pemiliknya.“
Bouw-thicu tersenyum. Biar pun dia tadi kecewa karena kekalahan Lui Shi, bahkan kejuaraan kedua dan
ketiga telah direnggut peserta lain, namun kini agaknya terbuka kesempatan baginya untuk menjatuhkan
nama Thio-thicu, atau setidaknya orangnya tuan tanah lawan itu, di hadapan semua pembesar dan semua
penonton. Biar pun dia kalah bertaruh, kekalahannya yang amat besar, baik dalam hal tanah yang luas
mau pun jumlah uang yang amat banyak, namun dia akan menang muka.
“Nah, pihak kami telah dapat membuktikan, lalu apakah bukti pihak lain yang mengaku-ngaku kuda hitam
itu sebagai kudanya?”
Ucapan ini jelas ditujukan kepada pihak Thio-thicu yang juga sudah naik ke atas panggung itu, dan Thiothicu
tentu saja hanya dapat menoleh kepada Suma Kian Bu dan menyerahkan jawabannya kepada
pendekar ini. Suma Kian Bu bersikap tenang saja, dan mengangguk-angguk.
“Memang adil sekali, pemiliknya yang asli harus dapat menunjukkan bahwa kuda itu taat kepadanya, dan
itu dapat menjadi bukti. Nah, untuk membuktikan hal itu, aku akan menyuruh kuda itu melemparkan siapa
pun juga yang berani menungganginya!” kata pendekar itu dengan tenang.
“Baik, aku akan menungganginya!” Tiba-tiba Lui Shi sudah berseru dengan cepat dan wajahnya berseriseri.
Di dalam hidupnya, selama ini Lui Shi tidak pernah terpisah dari kuda yang menjadi kegemarannya, juga
memang keahliannya adalah menunggang kuda. Selain itu, dia merasa yakin bahwa ia telah benar-benar
menguasai kuda hitam itu yang tentu takkan pernah mau membangkang terhadap perintahnya. Maka ia
menerima tantangan ini. “Biarlah masing-masing pihak membuktikan bahwa ia pemilik sejati. Siapa yang
mampu menungganginya selama terbakarnya sebatang hio maka dialah pemiliknya!”
“Itu sudah adil!” Siang In berseru pula.
Kepala daerah itu merasa gembira dan minta kepada para pembantunya membuat pengumuman di ujung
panggung itu akan adanya pertunjukan yang cukup menarik ini, untuk membuktikan siapa pemilik asli dari
kuda hitam itu. Seorang petugas dengan suaranya yang nyaring segera membuat pengumuman dan para
penonton menjadi gembira sekali karena setelah perlombaan yang sangat menarik dan ramai itu, kini
terdapat lagi sebuah pertunjukan yang akan cukup menegangkan.
Dan kembali ramailah orang saling bertaruh, yaitu bertaruh untuk siapa yang akan keluar sebagai
pemenang. Dan seperti juga tadi, kini banyak yang berani menjagoi Lui Shi, setelah mereka tadi melihat
ketangkasan wanita ini dalam menunggangi kudanya. Mereka, para penonton ini, tidak peduli siapa
sesungguhnya pemilik kuda hitam itu, maka mereka bertaruh untuk siapa yang akan menang dalam
menundukkan kuda itu dan tetap dapat menungganginya selama terbakarnya sebatang hio.
“Biarlah aku yang akan menungganginya,” bisik Ci Sian kepada suami isteri itu.
Akan tetapi sekali ini Siang In menggeleng kepala. “Jangan Ci Sian. Aku sendiri pun tidak berani untuk
melayaninya menunggang kuda. Satu-satunya yang akan dapat mengalahkannya hanyalah suamiku.”
Mendengar bisikan kembali dari Siang In ini, Ci Sian tidak banyak cakap karena dia percaya penuh kepada
suami isteri ini. Apalagi karena memang kuda itu adalah milik mereka.
Apa yang diucapkan oleh Siang In memang tepat sekali. Mereka mempunyai dua ekor kuda, yang
keduanya sama benar, sama-sama hitam dan merupakan sepasang kuda yang sukar dicari bandingnya
dan merupakan binatang-binatang yang luar biasa. Yang jantan mereka sebut Twa-liong, sedangkan yang
betina mereka sebut Siauw-liong (Naga Kecil), dan keduanya merupakan jenis kuda Hek-liong-ma (Kuda
Naga Hitam) yang dahulu pernah dimonopoli oleh keluarga Kerajaan Mongol pada saat berkuasa di
Tiongkok.
Di jaman itu, boleh dibilang Hek-liong-ma hanya dimiliki oleh keluarga Raja dan orang lain tidak
diperbolehkan memilikinya. Kalau ada yang memilikinya tentu dirampas. Setelah Kerajaan Goan (Mongol)
dunia-kangouw.blogspot.com
roboh dan hancur, diperkirakan orang bahwa keluarga Raja itu pun membasmi kuda-kuda Hek-liong-ma.
Dan memang kenyataannya juga demikian, akan tetapi ternyata ada beberapa ekor kuda yang dapat lolos
dan dua ekor kuda yang dimiliki oleh pendekar penghuni Pulau Es dan isterinya itu adalah keturunan dari
kuda-kuda Hek-liong-ma yang lolos itu.
Twa-liong (Naga Besar) yang jantan menjadi tunggangan Siang In, sedangkan Siauw-liong menjadi
tunggangan Suma Kian Bu. Oleh karena itulah, maka biar pun Siauw-liong juga tidak asing dengan Siang
In, namun nyonya ini maklum bahwa kuda itu akan lebih akrab dan mudah mengenal bau badan orang lain.
Pula, dengan membiarkan suaminya yang menunggangi kudanya itu, ia sendiri dapat berjaga-jaga untuk
menolak pengaruh ilmu sihir atau ilmu hitam, kalau-kalau pihak lawan mempergunakannya untuk mencapai
kemenangan.
“Untuk menentukan siapa yang lebih dulu harus mencoba menunggangi kuda itu, akan diadakan undian,”
kata seorang petugas yang telah ditugaskan oleh pembesar Kepala Daerah untuk mengurus pertandingan
ini dan Sang Petugas ini memang ahli dalam mengurus segala macam perlombaan atau pertandingan.
“Tidak adil!” kata Lui Shi. “Dialah yang menuduhku maling kuda dan dia yang mengakui kudaku ini sebagai
kudanya, maka dia yang harus lebih dulu membuktikan kebenaran omongannya bahwa kuda ini akan taat
kepadanya!”
Petugas itu hendak membantah karena peraturan perlombaan tidak peduli akan semua alasan. Yang
penting, para peserta perlombaan harus mentaati peraturan dan berlaku bagi semua peserta, itu barulah
adil namanya.
Akan tetapi Kian Bu segera berkata, “Baiklah, biar aku yang menunggangi kudaku itu lebih dulu!”
Karena pihak yang lain sudah setuju, maka petugas itu pun tidak banyak ribut lagi dan wajah Lui Shi
berseri, walau pun wajah itu kini tidak dapat nampak manis lagi setelah bedak dan gincunya luntur dan
bengkak-bengkak bekas tamparan Ci Sian tadi. Memang wanita ini amat cerdik.
Ia memang sudah yakin akan kemampuannya sendiri yang membuat ia percaya bahwa ia tidak mungkin
dapat terjatuh dari punggung kuda hitam itu untuk selama terbakarnya sebatang hio (dupa) saja. Akan
tetapi ia belum tahu sampai di mana kemahiran lawan menunggang kuda. Kalau lawan ini pun berhasil
bertahan sampai selama itu, bukankah hal itu masih belum membuat ia keluar sebagai pemenang?
Oleh karena itu, ia mencari jalan untuk memaksa lawan lebih dulu menunggang kuda dan ia akan
menggunakan semua kepandaiannya untuk membuat lawan ini tidak dapat bertahan sampai habisnya hio
itu terbakar. Kalau lawan gagal, barulah ia dengan enak akan dapat memetik kemenangan itu! Sebaliknya,
andai kata lawannya berhasil, ia pun dapat mempelajari rahasia apa yang dimilikinya atas kuda itu
sehingga ia akan dapat menguasai rahasia itu pula! Memang ia seorang wanita cerdik! Setidaknya, ia
sendiri menganggap dirinya amat cerdik.
Karena perlombaan balap kuda sudah selesai, maka kini para penontan tanpa dapat dicegah lagi telah
mendesak maju mengerumuni panggung dan para pasukan penjaga hanya dapat mencegah mereka
terlalu mendekat panggung dan memberi arena pertandingan menunggang kuda yang cukup luas di bawah
panggung. Para pembesar sudah berpindah duduk, kini di tepi panggung itu agar dapat menyaksikan
dengan jelas pertandingan kemahiran menunggang kuda yang akan berlangsung antara dua orang wakil
dari Thio-thicu dan Bouw-thicu itu.
Biar pun persoalannya kini tidak ada sangkut-pautnya dengan kedua orang tuan tanah itu, melainkan lebih
merupakan persoalan pribadi antara Lui Shi dan Suma Kian Bu, akan tetapi karena mereka berada di pihak
dua orang tuan tanah itu, maka umum menganggap bahwa pertandingan ini merupakan kelanjutan dari
pada balap kuda tadi.
Untuk memberi kesempatan kedua orang itu memperlihatkan bukti bahwa seorang di antara mereka
adalah pemilik kuda yang sah, maka ketika yang seorang menunggang kuda, pihak lain diperbolehkan
memberi aba-aba kepada kuda itu, akan tetapi harus dengan duduk di pinggiran dan tidak boleh mendekati
kuda untuk mengganggunya dengan gerakan. Aba-aba saja sudah merupakan bukti cukup, kepada orang
yang mana kuda itu akan lebih taat.
Seorang petugas yang ahli tentang kuda telah memeriksa kuda hitam itu dan tidak menemukan sesuatu
yang mencurigakan, yang mengkhawatirkan dipasangkan kepada kuda itu. Ia memegangi kendali kuda dan
dunia-kangouw.blogspot.com
mengelus kuda itu, menanti seorang rekannya membuat persiapan menyalakan sebatang dupa. Setelah
dari atas panggung, pembesar kepala daerah yang bertindak sebagai juri itu memberi tanda dengan
tangannya, maka petugas yang memegang dupa lalu menyalakannya dan Suma Kian Bu diberi tanda
untuk mulai menunggang kuda yang diperebutkan itu.
Kian Bu menghampiri kuda hitam, merangkulnya dan berbisik lirlh, “Siauw-ma....!”
Kuda itu mendengus-dengus, kemudian seperti mengenal bau badan pendekar itu dan kegirangan, kuda
itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, membuat petugas yang memegang kendali kuda
menjadi kewalahan dan terpaksa melepaskan kendali kuda. Kian Bu girang sekali dan karena petugas
sudah memberi isyarat kepadanya untuk mulai menunggang, sedangkan hio sudah dinyalakan, dia pun lalu
melompat dengan gerakan ringan sekali ke atas punggung Siauw-ma.
Tiba-tiba, dari tempat duduknya Lui Shi mengeluarkan suara aneh, teriakan parau seperti yang biasa
dipergunakan oleh bangsa Tibet kalau membentak binatang yak mereka. Mendengar suara ini, Siauw-ma
nampak terkejut dan mengangkat kedua kaki depannya, akan tetapi Kian Bu masih duduk dengan tenang
di atas punggung kuda itu dan membisikkan suaranya memanggil nama kuda itu dan menepuk-nepuk
lehernya.
Kuda itu tenang kembali walau pun matanya masih terbelalak. Suara Kian Bu telah dikenalnya benar, dan
bukan hanya suaranya, juga bau badannya dan bahkan cara pendekar itu duduk di atas punggungnya
telah dikenalnya kembali dan membuat kuda itu menjadi jinak dan taat. Dengan tenang Kian Bu
menjalankan kudanya berputaran di depan panggung itu, namun dia tidak menjadi lengah dan diam-diam
dia memperhatikan kepada lawannya, yaitu Lui Shi yang menjadi mulai penasaran karena kuda hitam itu
tidak mau mentaati perintahnya.
Kembali ia mengeluarkan bentakan-bentakan aneh, yaitu perintah-perintah kepada kuda itu untuk
melemparkan penunggangnya dari atas punggungnya. Perintah-perintah ini memang ada pengaruhnya
terhadap Siauw-ma, bahkan sebuah perintah membuat kuda itu sempat bertekuk lutut kedua kaki ke
depannya dan membuat kuda itu mendekam! Akan tetapi, Pendekar Siluman Kecil itu masih saja enakenak
duduk di atas punggung kuda, dan dengan suara halus Kian Bu memerintahkan kudanya bangkit
kembali dan Siauw-ma juga menurut!
Bertubi-tubi Lui Shi membentakkan perintahnya dan mengeluarkan semua keahliannya untuk menjinakkan
dan menaklukkan kuda itu, namun selalu kuda itu menjadi tenang kembali setelah mendengar suara Kian
Bu. Sementara itu, dupa yang dinyalakan terus menyala dan sudah hampir habis, tanda bahwa sepuluh
menit sudah hampir dilewati. Lui Shi menjadi semakin penasaran dan tiba-tiba saja ia mengeluarkan suara
mendesis-desis seperti datangnya ratusan ekor ular!
Mendengar suara ini, Siauw-ma menjadi terkejut sekali, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan
meringkik-ringkik, matanya liar terbelalak dan nampaknya ketakutan sekali. Akan tetapi kuda itu tetap tidak
mampu membuat Kian Bu terlempar dari punggungnya. Pendekar itu lalu merangkul leher kuda,
mendekatkan mulutnya ke telinga kuda itu dan berbisik-bisik serta membujuk-bujuk dengan lemah-lembut.
Akhirnya, perlahan-lahan Siauw-ma menjadi tenang kembali dan menurunkan lagi kedua kaki ke depan,
walau pun binatang itu masih nampak takut-takut dan tubuhnya masih gemetar.
Sementara itu, hio telah terbakar habis dan petugas memberi tanda. Kian Bu tersenyum dan di bawah
tepuk sorak mereka yang menjagoi pihak Thio-thicu, dia pun meloncat turun dari atas kudanya.
Kini tibalah giliran Lui Shi untuk memperlihatkan kemahirannya berkuda, dan terutama untuk
memperlihatkan sebagai bukti bahwa kuda itu akan taat kepadanya dan ia akan dapat bertahan di atas
punggungnya selama terbakarnya sebatang hio. Dengan penuh keyakinan akan kemampuannya sendiri,
wanita ini pun menghampiri kuda itu. Dengan lagak yang genit ia merangkul leher kuda lalu mencium muka
kuda itu.
Akan tetapi ketika wanita itu meloncat ke atas punggung kuda, pandang mata yang tajam dari Kian Bu dan
yang selalu waspada itu telah dapat melihat betapa wanita itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam
saku baju dalamnya. Dia tidak tahu benda apakah itu, akan tetapi dapat menduga bahwa tentu wanita itu
akan menggunakan kecurangan dan dia menduga bahwa benda itu tentu semacam alat atau obat untuk
membuat Siauw-ma menjadi penurut dan seperti lumpuh sehingga akan kehilangan semangat dan mau
saja diperlakukan apa pun oleh wanita itu. Inilah agaknya yang membuat kuda itu dahulu dengan mudah
dapat dicurinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang dugaan Kian Bu itu benar. Lui Shi sudah melihat tadi betapa pria berambut panjang putih itu
memiliki kepandaian hebat dan juga benar-benar memiliki pengaruh yang besar terhadap kuda hitam itu.
Agaknya, dalam soal mempengaruhi kuda itu, ia akan kalah. Tadi pun ia tidak berhasil membuat kuda itu
mengamuk dan menjatuhkan penunggangnya.
Biar pun ia percaya akan ketrampilannya sendiri dalam hal menunggang kuda, akan tetapi tidak dapat
dibayangkan apa yang akan terjadi melihat betapa kuda itu begitu taat kepada pemiliknya. Untuk
mencegah terjadinya kemungkinan yang akan membuat ia kalah, maka ia telah mengeluarkan akar
pembius kuda. Dengan akar ini, ia akan dapat menundukkan kuda hitam dan membuatnya terbius
sehingga tidak memiliki semangat dan kemauan lagi.
Caranya, selain membiarkan kuda itu mencium akar itu, juga menotok beberapa jalan darah di belakang
telinga dan menusukkan jarumnya di atas kepala di antara kedua matanya. Hal itu akan dapat
dilakukannya dengan mudah saja, akan tetapi ia baru akan melakukan kalau benar-benar ia nanti tidak
dapat lagi menguasai kuda itu dan terancam bahaya dipaksa turun dari punggungnya.
Tiba-tiba wanita itu terkejut bukan main. Ada suara di dekat telinganya, seolah-olah ada orang bicara di
dekatnya, dekat sekali dengan telinganya sehingga biarpun suara itu seperti bisikan saja, namun terdengar
jelas satu-satu.
“Kalau engkau pergunakan benda itu terhadap Siauw-ma, sebelumnya engkau akan roboh dan binasa!”
Lui Shi terkejut bukan main dan cepat menengok ke arah Suma Kian Bu. Pada saat itu ia melihat pendekar
itu menggerakkan tangan kanannya dengan telunjuk menuding ke arahnya sambil terdengar pendekar itu
berkata, “Jangan bermain curang!”
Bagi orang lain, agaknya pendekar itu hanya menuding dan memperingatkannya agar lawan tidak bermain
curang. Akan tetapi bagi Lui Shi berbeda sekali akibatnya. Dia merasakan adanya sambaran tenaga yang
amat kuat dari telunjuk pendekar itu dan mendadak saja ia merasakan dekat tenggorokannya tersentuh
sesuatu! Maklumlah ia bahwa kalau pendekar itu menghendaki, dari jarak jauh pendekar itu akan mampu
membunuhnya! Mukanya berubah pucat dan dengan cepat ia sudah mengantongi kembali benda akar
yang tadinya hendak dipergunakan untuk membius kuda hitam! Dan ia melihat pendekar itu tersenyum!
Lui Shi menenangkan hatinya yang terguncang. Ia maklum bahwa dalam menghadapi pendekar ini, dia
harus hati-hati sekali dan tidak boleh sembrono. Kalau dia nekat menggunakan akal curang, tentu
pendekar itu akan turun tangan dan agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan diri. Tetapi ia
masih percaya akan kemampuannya menunggang kuda. Jangankan kuda hitam itu yang sudah terbiasa
dengannya, biar pun seekor kuda liar yang belum pernah dikenalnya sekali pun, tentu dia akan mampu
menungganginya! Maka, dengan penuh kepercayaan akan kemampuannya sendiri, ia pun membalas
senyuman itu, dengan senyum mengejek.
Dengan lagak yang genit Lui Shi menjalankan kudanya berputaran di depan panggung seperti yang
dilakukan oleh Kian Bu tadi. Tiba-tiba terdengar suara Kian Bu, terdengar oleh semua orang, akan tetapi
dengan khikang-nya, Kian Bu dapat membuat suaranya itu langsung terdengar oleh Siauw-ma dengan
jelas sekali. Ketika kuda itu masih berada padanya, memang Kian Bu mengajarnya dengan aba-aba yang
biasa saja sehingga kuda itu dapat mengenal baik suara dan maksud kata-kata Kian Bu, tentu saja katakata
tertentu yang sudah biasa didengarnya ketika kuda itu dilatih.
“Siauw-ma, lemparkan penunggangmu dari punggungmu!”
Dan reaksi yang menjadi tanggapan kuda itu memang seketika. Binatang itu meringkik dan mula-mula ia
mengangkat kedua kaki depan ke atas, kemudian berloncatan ke kanan kiri sambil menggoyang-goyang
tubuhnya. Dan para penonton bersorak-sorak karena melihat pemandangan yang mendebarkan. Kuda itu
membuat segala macam gerakan aneh dan kuat untuk melemparkan penunggangnya dari atas punggung.
Mula-mula Lui Shi berusaha menenangkan kuda itu dengan belaian-belaian tangan pada leher, dengan
bisikan-bisikan, dengan bentakan-bentakan dan dengan tendangan-tendangan kakinya pada perut dan
tubuh kuda. Akan tetapi, segera dia memperoleh kenyataan bahwa kuda itu sama sekali tidak mau
mentaati semua perintah lawannya yang menyuruh binatang itu melemparkannya dari punggungnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Setan hitam! Bagaimana pun engkau tidak akan mungkin dapat melemparkan aku!” Akhirnya ia berseru
marah dan menempel di punggung kudanya seperti seekor lintah menempel di perut kerbau!
Kuda itu berjingkrak-jingkrak, menggoyang-goyang tubuhnya dan berusaha menggigit ke arah
penunggangnya. Namun dengan kemahirannya yang mengagumkan, Lui Shi tetap dapat bertahan terus.
Tubuh wanita itu terguncang-guncang, miring ke kanan kiri, depan belakang, namun ia tetap dapat
bertahan di atas punggung Siauw-ma.
Diam-diam Suma Kian Bu, Teng Siang In dan Ci Sian harus mengakui bahwa memang wanita itu memiliki
kemahiran menunggang kuda yang hebat! Sukar dicari orang lain yang akan mampu bertahan setelah
kuda hitam itu membuat usaha mati-matian seperti itu, untuk melemparkan penunggangnya! Dan dupa itu
pun terbakar perlahan-lahan, mendekat gagangnya. Sebentar lagi akan habis, namun Lui Shi tetap dapat
bertahan di atas punggung Siauw-ma. Melihat ini, Pendekar Siluman Kecil mengangguk-angguk.
“Keras kepala!” gumamnya dan tiba-tiba terdengar lagi suaranya yang sangat nyaring. “Siauw-ma,
bergulinglah engkau!”
Lui Shi terkejut sekali. Tak disangkanya pendekar itu pernah mengajarkan Siauw-ma untuk bergulingan!
Maka ketika kuda itu menjatuhkan diri, ia berusaha menahannya dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Namun ia tidak dapat menahan dan ketika kuda itu akhirnya rebah miring dan hendak bergulingan, tentu
saja Lui Shi tidak mau tubuhnya terhimpit oleh badan kuda itu. Akan remuk-remuk tulangnya kalau terjadi
hal itu! Maka ia pun meloncat ke atas tanah sebelum kuda itu bergulingan dan dengan demikian ia pun
kalah! Dupa itu belum habis terbakar dan ia sudah turun dari atas punggung kuda!
Sorak-sorak dan tepuk tangan yang riuh menyambut kemenangan pihak Thio-thicu ini dan wajah Bouwthicu
menjadi merah sekali. Habislah sudah dia! Balapan kuda kalah, dan untuk itu dia telah kalah taruhan
yang amat banyak, lebih dari setengah hartanya. Dan sekarang, dalam lomba ketangkasan kuda yang
sekaligus juga menentukan siapa pemilik kuda dan siapa pencurinya, dia pun kalah. Hal ini berarti bahwa
namanya akan tercemar sebagai orang yang memelihara pencuri kuda! Kekecewaan demi kekecewaan
membuat dia menjadi marah sekali dan diam-diam dia telah mempersiapkan para tukang pukulnya yang
berkepandaian tinggi.
“Orang asing ini mempergunakan ilmu siluman! Dia orang asing yang datang untuk mengacau di Sinkang.
Bunuh dia!” teriaknya.
Dan lebih dari dua puluh orang tukang pukulnya dengan senjata di tangan sudah menerjang kepada Suma
Kian Bu! Akan tetapi pada saat itu, Ci Sian dan Teng Siang In sudah berloncatan, demikian pula Suma
Kian Bu sendiri sudah menyambut serangan orang-orang itu dengan tangkas sekali. Semua penonton yang
tadinya menjadi panik dan ketakutan, kini berdiri melongo dan kagum sekali melihat betapa pendekar dan
dua orang wanita cantik itu dengan mudahnya merobohkan semua pengeroyok!
Bagaikan tiga ekor naga sakti mengamuk, mereka itu bergerak ke sana-sini di antara kilatan senjata para
pengeroyok dan ke mana pun tiga orang ini bergerak menyambar, tentu ada seorang pengeroyok yang
roboh! Dalam waktu singkat saja, lebih dari dua puluh orang itu roboh semua. Lui Shi yang tadinya juga ikut
mengeroyok, hendak melarikan diri, demikian pun Bouw-thicu. Akan tetapi Siang In sudah meloncat
dengan cepat menghadang Lui Shi.
“Engkau ini hanya tikus busuk, bisanya hanya merayap lari, sekarang hendak merayap ke manakah?”
Terjadilah keanehan yang luar biasa. Lui Shi sejenak terbelalak, kemudian.... wanita ini pun kemudian
menurunkan kedua lengannya dan.... merangkak-rangkak dan hendak melarikan diri dengan merangkak
seperti seekor tikus besar! Tentu saja semua orang terheran-heran melihat ini, bahkan ada yang tertawa
geli.
Di lain saat, Siang In yang tadinya menguasai wanita itu dengan kekuatan sihir, sudah menotok
pundaknya, membuat Lui Shi roboh dan tak mampu bergerak lagi. Sementara itu, Bouw-thicu juga
dihadang oleh Suma Kian Bu. Tuan tanah yang tinggi besar itu ternyata bukanlah orang lemah. Melihat
bahwa segala usahanya gagal, dia menjadi nekat. Sambil berteriak memberi aba-aba kepada semua
orangnya untuk menyerang, dia sudah menyerang Kian Bu. Akan tetapi, sekali tangkis dan sekali totok
saja, Kian Bu membuatnya terjungkal dan ketika anak buah tuan tanah ini hendak bergerak maju, tiba-tiba
pasukan pemerintah sudah bergerak dan mengepung mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pembesar kepala daerah yang sudah berdiri di tepi panggung lalu berkata dengan suara nyaring, dan
karena keadaan amat menegangkan sedangkan baru sekarang Kepala Daerah mengeluarkan suara, maka
suaranya terdengar dengan jelas dan menjadi perhatian semua orang.
“Perhatian para tamu dan penonton! Suami-isteri pendekar yang memiliki kuda hitam ini adalah adik
kandung dari Panglima Puteri Milana! Sudah terbukti bahwa Thio-thicu memenangkan perlombaan balapan
kuda, dan bahkan kuda hitam yang dikeluarkan Bouw-thicu ternyata adalah milik Suma-taihiap ini! Bouwthicu
sudah sengaja membuat keributan dan dia akan diadili. Kalau ada yang berani berbuat keributan,
mereka akan dianggap pemberontak dan akan ditumpas!”
Tentu saja semua orang terkejut sekali mendengar pengumuman pembesar ini. Bahkan Thio-thicu sendiri
menjadi terkejut. Tak pernah disangkanya bahwa tamunya itu adalah adik kandung Panglima Puteri Milana
yang amat terkenal itu. Siang In dan Ci Sian sendiri juga terkejut dan mengertilah mereka bahwa semalam,
ketika mereka pergi menyelidiki keadaan Bouw-thicu, diam-diam pendekar itu telah pergi menghubungi
pembesar Kepala Daerah dan menceritakan segala hal tentang dirinya dan tentang Bouw-thicu.
Bouw-thicu dan Lui Shi ditangkap, demikian pula para pengawal Bouw-thicu yang tadi membikin ribut
dengan menyerang Kian Bu dan akhirnya semua roboh oleh Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian. Setelah
pembesar Kepala Daerah membagi-bagi semua hadiah kejuaraan, pertemuan itu dibubarkan dan semua
penonton pulang ke rumah masing-masing dengan hati puas karena banyak hai yang dapat mereka saling
bicarakan dan ceritakan kepada orang lain, yang telah terjadi di padang rumput tempat perlombaan itu.
Malam hari itu, Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian diundang dan dijamu makan oleh Pembesar Kepala Daerah!
Dalam pesta ini diundang pula Thio-thicu dan semua tuan tanah yang telah ikut perlombaan. Memang
Pembesar Kepala Daerah Sin-kiang itu cukup cerdik.
Setelah malam tadi Kian Bu menjumpainya dan memperkenalkan diri, diam-diam dia terkejut sekali dan
khawatir kalau-kalau pendekar ini adalah utusan dari kerajaan untuk menyelidiki hasil pekerjaan atau
tugasnya di Sin-kiang. Oleh karena itulah maka dia siang tadi bersikap keras terhadap Bouw-thicu,
sungguh pun tuan tanah ini merupakan seorang di antara para sahabatnya, bahkan yang paling royal
terhadap dirinya.
Dan pada malam hari ini, selain mengundang pendekar itu dan keluarganya sebagai penghormatan, juga
sekalian memanggil atau mengundang semua tuan tanah karena kesempatan ini hendak dipergunakan
untuk dua hal. Pertama, agar pendekar itu, kalau benar utusan pemerintah pusat, dapat melihat betapa
para tuan tanah sudah dapat dipersatukannya, dan kedua, kehadiran pendekar itu hendak
dipergunakannya untuk mempengaruhi para tuan tanah agar mereka tidak lagi menimbulkan keributan satu
sama lain.
Pesta itu berlangsung meriah dan dalam kesempatan ini Suma Kian Bu juga mencari keterangan tentang
berita angin adanya ular naga hijau di daerah itu.
Mendengar pertanyaan pendekar ini, Sang Kepala Daerah terbelalak dan berkata, “Ah, memang ada ular
raksasa itu, Suma-taihiap! Bukan hanya dongeng dan berita bohong belaka. Bahkan kami sendiri pernah
mengirim pasukan untuk membasminya, akan tetapi sebaliknya kami malah kehilangan belasan orang
yang tewas oleh amukan ular naga itu!”
Suma Kian Bu, Teng Siang In dan Ci Sian tertarik sekali. Apalagi suami isteri itu yang memiliki kepentingan
pribadi dengan ular naga itu.
“Bagaimana ceritanya Taijin?” tanya Kian Bu.
“Dua tahun yang lalu, ketika baru-baru kami dipindahkan ke sini, kami mendengar akan adanya ular naga
hijau yang sering kali makan manusia. Mula-mula kami tidak percaya akan adanya berita itu dan hanya
mengira bahwa yang dikabarkan itu tentulah seekor ular besar biasa saja dan sangat boleh jadi kalau ada
ular besar makan manusia yang kebetulan lewat di dekatnya. Tetapi karena semakin banyak orang yang
mengabarkan akan hal itu, sebagai seorang pembesar baru kami kemudian mengirim pasukan untuk
menyelidiki dan kalau memang benar, membasmi ular itu. Dan akibatnya, belasan orang anggota pasukan
kami tewas dalam keadaan mengerikan.” Pembesar itu berhenti sebentar dan menarik napas panjang.
“Apakah yang terjadi dengan mereka, Taijin?” tanya Siang In, tertarik sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia dan suaminya telah datang dari tempat yang demikian jauh ke Sin-kiang ini. Selain merantau juga
terutama sekali tertarik oleh cerita atau dongeng tentang naga hijau itu, dan kini mendengar keterangan
yang demikian jelas dari pembesar kepala daerah, tentu saja ia merasa amat tertarik. Kiranya dongeng itu
memang ada sungguh-sungguh!
Kembali pembesar itu menarik napas panjang dan untuk menenteramkan hatinya, dia minum arak dari
cawannya. “Mengerikan sekali dan sampai sekarang kami tidak lagi berani mengirim pasukan, hanya
menganjurkan agar orang-orang di daerah itu jangan sekali-kali berani melewati daerah hutan itu, agar
mengambil jalan memutar saja karena ular naga itu benar-benar amat berbahaya dan agaknya memang
siluman yang bertapa. Bayangkan saja, semua jenis senjata tajam dari pasukan kami tidak ada yang dapat
melukainya sedikit pun juga! Dan semburan dari mulutnya, bahkan suaranya saja cukup membuat banyak
prajurit kami pingsan! Dan yang lebih mengerikan, ular itu setiap kali memperoleh korban manusia, yang
dimakan hanya kepalanya saja. Jadi belasan orang prajurit kami itu tewas dengan kepala lenyap dan
badan masih utuh!”
Semua orang, juga para tuan tanah yang mendengar cerita ini bergidik. Mereka memang sudah
mendengar akan semua hal itu, dan sudah lama tidak ada orang berani bercerita tentang ular naga itu,
karena didesas-desuskan bahwa kalau disebut-sebut, maka malamnya siluman ular itu akan datang dan
mencelakakan orang yang menyebut namanya.
Diam-diam Suma Kian Bu dan isterinya girang sekali mendengar bahwa dongeng tentang ular naga itu
ternyata benar-benar terjadi dan ular naga itu memang benar ada! “Taijin, kami ingin sekali melihat ular
naga hijau itu dan kalau perlu kami akan mencoba untuk menundukkannya agar ia tidak lagi mengganggu
rakyat. Bagaimana kami dapat menemukannya?”
Semua orang merasa tegang dan juga gembira mendengar bahwa pendekar yang masih adik kandung
Panglima Puteri Milana yang terkenal itu hendak membasmi ular naga siluman itu.
“Ular naga itu tempatnya di daerah Pegunungan Kun-lun-san, di bagian selatan yang jarang dilalui orang,
sudah termasuk wilayah Tibet. Dan jalan menuju ke sana bukan mudah, dan kiranya, tanpa penunjuk jalan
akan sukarlah bagi Taihiap untuk dapat menemukannya. Akan tetapi, siapakah yang akan berani menjadi
penunjuk jalan?” kata pembesar itu.
“Tidak perlu penunjuk jalan, Taijin. Asal kami mendapatkan gambaran dan peta yang jelas menuju ke
tempat itu, kami akan dapat mencarinya sendiri,” jawab Kian Bu penuh semangat.
“Itu mudah diatur. Komandan pasukan dua tahun yang lalu itu masih ada dan dia tentu dapat membuatkan
gambaran dan peta menuju ke tempat itu. Ya, dialah satu-satunya orang yang akan dapat membuatkan
peta itu untukmu.”
Dan memang demikianlah. Setelah komandan pasukan itu ditemui, komandan tua ini dapat bercerita
banyak dan juga dapat membuatkan peta yang cukup jelas menuju ke tempat yang baginya sangat
mengerikan itu. Kian Bu membuat gambar dan catatan-catatan, sementara itu Siang In terus
mendengarkan penuh harapan dan Ci Sian juga mendengarkan penuh perhatian karena hatinya merasa
amat tertarik.
Setelah mereka bertiga berada di ruangan istirahat, Ci Sian berkata kepada Siang In, “Enci In, biarlah aku
ikut dengan kalian dan membantu kalian menaklukkan ular naga hijau itu!”
Suami isteri pendekar itu memandang kepadanya dan nampak kaget. “Tapi, Nona.... perjalanan ini
berbahaya sekali....,” kata Suma Kian Bu sambil mengerutkan alisnya.
“Benar, Adik Sian. Engkau sudah mendengar sendiri betapa dahsyat dan berbahayanya ular itu. Sungguh
kami akan merasa menyesal bukan main kalau sampai terjadi apa-apa denganmu....,” sambung Siang In.
Ci Sian mengerutkan alisnya dan memandang kepada suami isteri itu bergantian. Kemudian ia berkata,
suaranya tegas, “Harap Taihiap dan Enci menenangkan hati. Aku hendak pergi ikut atas kehendakku
sendiri dan bukan karena bujukan kalian, jadi kalau terjadi apa-apa denganku, tidak akan ada seorang pun
di dunia ini yang akan menyalahkan kalian. Setelah melakukan perjalanan seorang diri dan bertemu
dengan kalian, dan setelah apa yang kita alami bersama di sini, bagaimana mungkin aku meninggalkan
kalian begitu saja? Akan tetapi, kalau kalian tidak menghendaki aku ikut, kalau aku hanya merupakan
dunia-kangouw.blogspot.com
gangguan bagi kalian berdua, biarlah aku pergi sendiri mencari ular itu, untuk mencoba menandinginya.
Siapa tahu aku dapat melenyapkan suatu bahaya bagi rakyat....”
Mendengar ini dan melihat sikap Ci Sian yang mukanya merah seperti mau menangis itu, Siang In lalu
merangkulnya. Ia tahu akan isi hati dara yang keras wataknya ini. Ia tahu bahwa Ci Sian merasa amat
cocok dengan ia dan suaminya, maka dara itu masih ingin bekerja sama dengan mereka dan agaknya
merasa enggan berpisah. Apalagi karena dara itu sedang kesepian dan menderita batinnya ditinggalkan
suheng-nya.
“Adikku yang baik, sama sekali bukan karena kami menolakmu. Kami sendiri pun sangat suka bersamamu
akan tetapi.... engkau tahu bahwa kami pergi mencari ular itu untuk kepentingan kami pribadi.... jadi, kalau
sampai.... terjadi apa-apa denganmu....”
Ci Sian balas merangkul. “Enci Siang In, kau kira aku ini orang macam apa? Setelah lama mempelajari
ilmu, apakah aku terlalu menyayangi nyawa? Mati dan hidup bukan urusan manusia, kenapa takut kalau
sudah berani hidup? Aku ingin membantu kalian.... aku.... aku kesepian....”
“Baiklah, dan tentu saja, dengan bantuanmu, kami merasa lebih yakin akan dapat menaklukkan ular naga
hijau itu!”
Ci Sian merasa girang sekali dan Suma Kian Bu hanya menarik napas panjang saja dan tidak membantah
lagi. Dia mengerti bahwa antara dua orang wanita itu tentu ada ikatan yang lebih mendalam, dan kalau dia
berkeras menolak, bukan hanya dara itu yang akan merasa sedih dan kecewa, akan tetapi juga dia akan
menyinggung hati isterinya.
Pada keesokan harinya, berangkatlah tiga orang itu meninggalkan rumah Thio-thicu. Siang In menunggang
Hek-liong-ma sedangkan Kian Bu menunggang seekor kuda yang baik pula, pemberian Thio-thicu. Biar
pun Siang In menyuruh Ci Sian agar tetap menunggangi Hek-liong-ma, dara ini menolak dengan halus dan
mengatakan bahwa kuda itu adalah milik suami isteri pendekar ini dan jika ia menunggangi, ia akan
merasa seperti menunggang sesuatu yang bukan haknya.
Dengan diantar oleh Thio-thicu dan para anak buahnya sampai keluar perkampungan mereka, ketiga orang
pendekar ini meninggalkan tempat itu dengan hati puas karena mereka telah melakukan sesuatu yang
sangat berguna untuk kesejahteraan rakyat setempat. Mereka percaya bahwa selanjutnya, para thicu itu
tidak lagi akan menurutkan hati dendam untuk saling gempur.
Ular hijau yang amat besar itu dikabarkan orang yang suka tahyul sebagai seekor ular siluman yang sudah
bertapa ratusan tahun. Sudah lajim terjadi di antara manusia di dunia ini yang suka sekali akan hal yang
aneh-aneh dan menambah sesuatu yang mereka tidak mengerti menjadi semakin aneh dengan dugaandugaan
dan reka-rekaan mereka sendiri yang kemudian menjadi semacam tahyul.
Menurut dongeng atau berita angin itu, ular yang sangat besar itu kabarnya memiliki mustika di dalam
kepalanya yang kalau malam gelap mencorong. Bahkan ada orang berani bersumpah mengatakan bahwa
pada suatu malam dia melihat ular itu terbang ke angkasa dan dari mulutnya keluar mustika yang bernyalanyala.
Tentu saja cerita orang ini mirip dengan dongeng tentang naga yang beterbangan di angkasa,
seperti yang dimainkan orang pada hari-hari pesta, yaitu naga dengan mustikanya.
Tentu saja semua itu hanyalah khayalan orang-orang yang dihantui oleh rasa takut yang amat sangat. Ular
itu memang ada, dan memang merupakan seekor ular yang amat besar. Jarang ada orang dapat
menjumpai ular sebesar itu. Perutnya melebihi besarnya paha manusia yang gemuk sekali pun, dan kalau
binatang itu sudah menelan korban perutnya menggembung sebesar tubuh korban yang ditelannya.
Panjangnya tidak lebih dari lima belas meter!
Ular ini kulitnya kehijauan dan saking tuanya, kulitnya itu gelap menghitam dan amat keras. Entah sudah
berapa kali ular ini berganti kulit. Ular ini semenjak lama sekali, entah berapa tahun atau belas atau berapa
ratus tahun tak seorang pun tahu, berdiam dari pohon besar ke pohon besar lainnya dalam sebuah hutan
lebat di Pegunungan Kun-lun-san. Dan setiap kali berdiam di sebatang pohon besar, binatang ini seperti
bertapa bertahun-tahun lamanya.
Akan tetapi ada sesuatu keanehan pada binatang yang sudah amat tua ini. Kalau ada binatang lain seperti
kijang, kelinci atau bahkan harimau sekali pun, dan kebetulan perutnya lapar, tentu dia langsung
menyambar binatang itu dari atas pohon. Dengan melibatkan ekornya pada cabang besar di atas,
dunia-kangouw.blogspot.com
kepalanya bergantung di bawah, ular yang amat besar itu menyambar korbannya yang sama sekali tidak
menduga karena tidak mendengar sesuatu dan tidak dapat mencium bau ular yang berada di atasnya itu.
Ada kalanya, kalau yang disambarnya itu binatang besar lain seperti harimau dan lain-lain yang lebih buas,
maka korban itu tentu saja melakukan perlawanan. Dan kalau sudah begini, ular itu akan melepaskan
ekornya yang melilit cabang sehingga tubuhnya meluncur ke bawah, lalu ekornya melilit tubuh korbannya,
melilit dengan tenaga raksasa dan binatang yang betapa kuatnya akan patah-patah tulangnya kalau dililit
oleh ekor dan tubuh ular yang amat kuat ini.
Biasanya, perlawanan para korban itu tidak akan berjalan lama karena selain memiliki tenaga lilitan yang
amat kuat, juga ular itu dapat menyemburkan uap yang membius dan beracun, juga gigitannya amat kuat
dengan taring yang mengerikan dan mengandung racun pula. Keanehan ular itu adalah, kalau korbannya
binatang lain, maka setelah melilitnya dan membuat tulang-tulang tubuh korban itu patah-patah lalu korban
itu ditelannya dan tubuh yang tulangnya sudah patah-patah itu menjadi lemas dan dapat melalui
kerongkongannya yang tidak begitu besar.
Akan tetapi, kalau korbannya manusia, maka ia hanya mencaplok kepala orang itu saja, menggigit putus
lehernya dan menelan kepalanya, sedangkan badan para korban manusia itu dibiarkannya membusuk
begitu saja! Dengan adanya tulang-tulang manusia tanpa kepala di bawah pohon-pohon besar yang
pernah dijadikan tempatnya bertapa, maka dapat diketahui bahwa banyak sudah manusia-manusia yang
menjadi korban ular ini.
Jangan dikira bahwa hanya pasukan yang dikirim Pembesar Kepala Daerah Sin-kiang itu saja yang
merupakan manusia-manusia yang menjadi korbannya. Banyak sudah manusia yang kepalanya telah
masuk ke dalam perut ular ini. Para pemburu yang belum tahu akan adanya ular ini, juga orang-orang yang
tidak tahu dan kebetulan lewat di hutan itu. Selain mereka ini yang tidak tahu akan adanya ular itu dan
menjadi setan penasaran, banyak pula seperti para anggota pasukan itu yang tewas ketika sengaja datang
untuk melawan ular itu. Mereka ini adalah para pendekar yang sengaja datang di tempat itu untuk
membasmi ular ini, akan tetapi akhirnya bahkan mereka sendiri yang tewas dalam keadaan mengerikan,
yaitu kepala mereka lenyap ke dalam perut ular dan tubuh mereka membusuk sampai tinggal rangkanya
saja di bawah pohon tanpa ada yang berani mengurusnya.
Bahkan ada beberapa orang pertapa di Kun-lun-san, ada pula beberapa orang pendekar Kun-lun-pai
sendiri yang pernah mencoba untuk menaklukkan ular itu, namun akibatnya payah, ada yang tewas, ada
pula yang luka-luka dan masih untung bagi mereka yang dapat menyelamatkan dirinya dan hanya
menderita luka-luka yang cukup parah.
Semenjak kegagalan para pendekar Kun-lun-pai, maka Ketua Kun-lun-pai lalu membuat pengumuman
kepada rekan-rekan di dunia kang-ouw agar jangan mengganggu ular itu yang dianggap sebagai ular
keramat tak terkalahkan, bahkan ada yang menyebutnya siluman ular yang bertapa. Sebetulnya bukan
karena ular itu sakti, ular dewa, atau ular siluman, ular itu memang kuat sekali dan hal ini tidaklah
mengherankan. Sedangkan ular sebesar lengan saja sudah amat kuat, apalagi sebesar dan sepanjang itu!
Dan harus diingat bahwa ular ini sudah tua sekali, kulitnya demikian kerasnya sehingga kebal terhadap
senjata tajam, melebihi kerasnya kulit buaya tua. Dan karena kulit ular itu merupakan sisik yang bertumpuk,
maka sukar ditembusi senjata tajam. Orang-orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi itu sudah berusaha
membunuhnya, namun tidak ada senjata yang mampu menembus kulitnya dan hal inilah yang membuat
ular itu sukar dikalahkan. Selain itu, ternyata ular ini mempunyai racun sehingga dapat mengeluarkan hawa
beracun melalui semburan dan juga gigitannya mengandung racun yang amat kuat.
Perjalanan menuju ke hutan di mana ular hijau itu berada merupakan sebuah perjalanan yang tidak mudah.
Apalagi karena hutan yang dimaksudkan itu berada di dekat puncak, yang kini terkenal dengan nama
Puncak Naga Hijau, sebuah di antara puncak-puncak yang tinggi dari Pegunungan Kun-lun-san yang
terkenal itu. Mereka bertiga melakukan perjalanan berpekan-pekan, dan akhirnya mereka tiba di dusun
terakhir yang berada di lereng bawah puncak.
Dari dusun itu ke atas, selain tidak ada dusun lagi karena orang-orang tidak berani tinggal terlalu dekat
dengan hutan itu, perjalanan amatlah sukarnya melalui jalan setapak yang kadang-kadang harus melalui
jurang dan bergantungan pada akar-akar pohon dan batu-batu, maka terpaksa tiga ekor kuda itu mereka
titipkan pada kepala dusun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dusun itu kecil dan sederhana sekali, jauh dari pada tempat ramai, bahkan jauh dari peradaban kota
sehingga kepala daerahnya pun merupakan orang yang diangkat oleh kelompok dusun itu sendiri, bukan
merupakan seorang pejabat pemerintah. Dan dusun itu hanya dihuni oleh beberapa puluh keluarga yang
miskin, yang hidup dengan jalan bertani dan berburu. Tentu saja kedatangan tiga orang yang berpakaian
indah menurut mereka itu, merupakan hal yang luar biasa sehingga tiga orang pendekar ini disambut
dengan gembira.
Kepala Dusun itu merupakan satu-satunya orang yang sudah pernah hidup di kota dan lebih beradab
dibandingkan dengan yang lain-lainnya, dan Kepala Dusun inilah yang menyambut Kian Bu dan dua orang
wanita itu.
“Sungguh luar biasa sekali kami dapat menerima kunjungan Sam-wi,” katanya setelah mempersilakan
mereka duduk di atas bangku-bangku kayu yang kasar buatannya, di ruangan depan yang terbuka dan
keadaannya miskin sekali di mana para penduduk dusun itu berkerumun dan mendengarkan percakapan
mereka. “Bertahun-tahun sudah tidak ada orang asing yang datang ke dusun ini. Sam-wi hendak pergi ke
manakah maka sampai di tempat terpencil ini?”
Suma Kian Bu maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang dusun yang jauh dari dunia ramai, dan
biasanya, orang-orang di dalam dusun yang terpencil seperti ini jauh pula dari kebiasaan orang-orang kota
yang suka berpalsu-palsu, dan biasanya orang-orang seperti ini adalah terbuka dan polos, jujur. Oleh
karena itu, dia pun tidak merasa perlu untuk menyembunyikan maksud kunjungannya.
“Lopek, kami jauh-jauh datang dengan hanya satu tujuan, yaitu menuju ke Puncak Naga Hijau itu. Karena
perjalanan ke atas puncak menurut keterangan yang kami peroleh amat sukar dan tak bisa dilakukan
dengan berkuda, maka kami bermaksud untuk selain beristirahat sehari di sini melewatkan malam, juga
untuk menitipkan tiga ekor kuda kami di sini.”
Para penduduk dusun itu, yang mendengarkan kata terjemahan dari seorang laki-laki tua yang mengerti
bahasa Han, satu-satunya orang yang tahu bahasa itu di samping kepala dusun, yang tadinya berisik, tibatiba
berhenti bicara dan semua mata kemudian memandang kepada Suma Kian Bu dengan terbelalak dan
wajah mereka berubah, kini penuh ketegangan!
Kepala Dusun itu sendiri pun mengerutkan alisnya dan pandang matanya kepada Kian Bu kehilangan
keramahannya, namun mulutnya masih bicara dengan ramah, “Tentu saja Sam-wi boleh menitipkan tiga
ekor kuda itu di sini dan kami akan merawatnya dengan baik. Tetapi belum pernah ada orang naik ke
puncak itu. Apakah keperluan Sam-wi hendak mendaki puncak?”
“Kami bertiga bermaksud untuk mencari ular naga hijau dan membasminya,” kata Suma Kian Bu dengan
terus terang karena dia merasa yakin bahwa penduduk dusun ini, yang berada di lereng puncak di mana
terdapat hutan tempat tinggal ular itu, tentu sudah tahu akan ular besar itu.
Akan tetapi, akibatnya sungguh membuat tiga orang pendekar itu terkejut bukan main. Kepala Dusun itu
mengeluarkan teriakan panjang, wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak dan terdengar bentakanbentakan
keras ketika semua penduduk dusun yang mendengarkan terjemahan ucapan Suma Kian Bu itu
serentak bangkit dan maju dengan senjata perburuan mereka siap di tangan, jelas hendak mengeroyok
Suma Kian Bu dan dua orang wanita pendekar itu!
Dengan mengeluarkan teriakan-teriakan aneh, puluhan orang yang memenuhi tempat itu serentak maju
menerjang. Melihat ini, Suma Kian Bu, Siang In dan Ci Sian terkejut sekali dan tentu saja mereka pun
cepat meloncat dari bangku mereka.
“Jangan lukai orang!” Kian Bu berseru cepat kepada isterinya dan dara itu, karena dia menduga bahwa
tentu ada kesalah pahaman dalam hal ini.
Tiga orang pendekar ini menghadapi para penyerang dengan tangan kosong saja, akan tetapi para
penyerang yang terdepan segera berteriak-teriak kaget, senjata mereka terampas dan tubuh mereka
sendiri terlempar ke belakang menimpa teman-temannya yang berada di belakang. Suma Kian Bu sendiri
sudah menangkap lengan tangan kepala dusun itu, menjatuhkan golok yang dipegangnya, kemudian
menekuk lengan kepala kampung itu ke belakang dan cepat dia berseru dengan suara nyaring sekali,
menggetarkan seluruh tempat itu karena dia mengerahkan khikang-nya.
“Tahan semua, atau pemimpin kalian akan mati!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Meski ucapannya tidak diterjemahkan, namun mudah saja menangkap artinya, apalagi melihat betapa
lengan Kepala Dusun itu sudah ditekuk ke belakang sehingga dia tidak berdaya!
“Hayo, ceritakan, apa artinya semua ini?!” bentak Suma Kian Bu kepada Kepala Dusun itu. “Mengapa
engkau dan orangmu mendadak mengeroyok kami?”
Kepala Dusun itu menyeringai kesakitan, akan tetapi dengan suara tegas dia berkata, “Kau bunuhlah aku,
kau bunuhlah kami, karena kalau tidak kau bunuh sekali pun, kami semua akan mati! Dan lebih baik mati di
tanganmu, seorang manusia, dari pada mati di tangannya....“
Kian Bu makin heran. “Sungguh aneh, apa sih maksudmu, Lopek? Harap kau menyuruh teman-teman
mundur dulu dan jelaskan pada kami kenapa kalian tiba-tiba mengeroyok kami, dan mengapa pula engkau
begini putus asa dan minta mati. Kesalahan apakah yang telah kami lakukan?”
Dengan wajahnya yang masih bersungut-sungut, setelah dilepaskan oleh Kian Bu dan semua penghuni
dusun sudah agak tenang walau pun mereka masih mengurung dan sikap mereka masih marah dan
bermusuhan, kepala dusun itu berkata, “Kalian bertiga hendak mengganggu dewa ular, hal itu berarti sama
saja dengan hendak membunuh kami orang sedusun!”
“Dewa ular....? Membunuh kalian sedusun? Lopek, jelaskan, apa maksudmu dengan kata-kata itu?” Kian
Bu mendesak.
“Dengan susah payah selama bertahun-tahun kami orang-orang sedusun meredakan kemarahan dewa
ular, bahkan kami rela mengorbankan seorang di antara kami setiap tahun untuk menjadi korban. Semua
itu adalah untuk melindungi kehidupan kami agar tidak sampai terancam. Akan tetapi, hari ini kalian datang
untuk mengganggunya dan sudah pasti bahwa kami semua yang akan menerima hukuman akibat
kemarahannya.”
Tentu saja tiga orang pendekar itu menjadi terkejut bukan main. “Apa katamu, Lopek? Kalian memberikan
korban setiap tahun?”
“Ya.... bahkan.... tahun lalu.... seorang di antara anak-anakku perempuan kurelakan.... dan tahun ini, telah
tiba saatnya, kami masih bingung untuk memilih siapa lagi yang harus kami korbankan. Dan kalian datang
untuk mengganggunya, berarti kami semua akan mati....“
Suma Kian Bu mengepal tinjunya, tiba-tiba dia marah sekali kepada ular itu. Tahulah dia bahwa saking
tangguhnya, ular itu mendatangkan rasa takut sedemikian rupa kepada para penghuni dusun ini sehingga
mereka menganggapnya sebagai dewa yang akan mendatangkan mala petaka kalau tidak diberi korban
seorang manusia setiap tahun. Kepala Dusun ini bahkan telah menyerahkan anak perempuannya untuk
korban!
“Lopek, dan Saudara-saudara semua. Janganlah khawatir, kali ini kami datang untuk membasminya, untuk
membunuhnya agar kalian semua terbebas dari pada ancaman binatang laknat itu!”
“Ahhh, tiada guna.... entah sudah berapa banyak orang sombong yang bersumbar sebelum bertemu
dengan dewa ular, dan akhirnya mereka itu tewas satu demi satu! Kalian pun akan tewas dan sesudah itu,
karena gangguan kalian, maka ular itu akan mengamuk dan akan menghabiskan kami semua!” Kembali
Kepala Dusun itu nampak marah dan penasaran.
Melihat betapa orang-orang itu sukar sekali diberi penjelasan, akhirnya Suma Kian Bu memperoleh akal.
“Engkau tadi mengatakan bahwa untuk tahun ini belum ada korban yang dipilih? Kapankah biasanya
diadakan korban?”
“Setiap setahun sekali, pada permulaan musim rontok. Pada saat itu dewa ular akan meninggalkan pohon
yang mulai rontok daunnya, dan pada saat itu pulalah kami harus menyerahkan seorang korban. Kalau
tidak, dewa ular tentu akan mendatangi dusun untuk mencari korban sendiri dan kalau sudah begitu, kami
akan dihukum sehingga sedikitnya dia akan mengambil dua tiga orang korban!”
“Kapankah hari penyerahan korban itu?”
“Dua hari lagi, tepat pada saat bulan purnama,” jawab Si Kepala Dusun.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagus! Kalau begitu, sekali ini kalian bukan menyerahkan seorang korban, melainkan tiga orang korban,
yaitu kami bertiga. Biar dia kekenyangan dan puas sehingga tidak akan menganggu kalian lagi!” kata Suma
Kian Bu.
Aneh, mendengar ucapan ini yang segera diterjemahkan, semua orang memandang dengan wajah berseri
kepada Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian. Sinar mata mereka penuh dengan harapan dan rasa syukur. Kalau
begini lain lagi soalnya, pikir mereka. Kalau tiga orang itu mengatakan hendak membasmi dewa ular, hal itu
sungguh tak masuk di akal dan selain tiga orang itu akhirnya akan tewas, yang lebih celaka lagi ular itu
akan menimpakan kutuk dan pembalasannya kepada mereka sedusun. Sebaliknya kalau tiga orang itu
mau menjadi korban, tentu saja hal ini melepaskan mereka dari pada bahaya amukan ular itu, setidaknya
untuk waktu setahun dan mereka tak perlu bingung-bingung mencari dengan hati berat, anak siapa yang
akan dikorbankan!
Akan tetapi, Kepala Dusun itu masih memandang penuh keraguan. “Benarkah kalian bertiga mau menjadi
korban untuk dewa?”
“Benar, Lopek. Kami bertiga bersedia untuk dikorbankan demi menyelamatkan dusun ini dari
ancamannya,” jawab Kian Bu dengan suara tegas.
“Tapi.... biasanya para korban itu dibelenggu kaki tangannya, dan direbahkan dalam goa sebelum dewa
ular pindah dari pohon ke dalam goa....”
Mendengar ini wajah Siang In menjadi merah dan hampir saja nyonya ini menjadi marah karena
dianggapnya sebagai penghinaan kalau ia harus membiarkan dirinya dibelenggu kaki tangannya! Akan
tetapi suaminya memandang kepadanya dan isteri yang sudah mengenal dengan baik segala pandang
mata suaminya ini dapat menerima isyarat suaminya yang kemudian menjawab.
“Kalau begitu, biarlah kalian boleh mengikat dan membelenggu kaki tangan kami dan merebahkan kami di
dalam goa itu.”
Mendengar ini, lenyap semua keraguan dari pandang mata Kepala Dusun itu, terganti dengan ketakjuban
dan kegirangan. “Ahh, sungguh hampir tak dapat dipercaya. Kalian bertiga seperti utusan dewa yang
datang untuk menolong kami saja!” serunya.
Dari percakapan dan sikap mereka itu, Suma Kian Bu yang amat cerdik itu sudah dapat menangkap
keadaan dan watak mereka. Dia tahu bahwa orang-orang ini adalah orang-orang dusun yang jujur dan
polos, bodoh dan amat tahyul. Oleh karena itu, dengan suara garang dengan pengerahan khikang
sehingga suaranya bergema di ruangan itu dan amat mengejutkan semua orang dia berkata, “Kalian
sangka siapa kami ini? Kami memang utusan dewa untuk datang ke dusun ini dan menyelamatkan kalian!”
Siang In juga sudah dapat menanggapi kata-kata suaminya. Maka selagi semua orang terbelalak
mendengar terjemahan kata-kata Kian Bu tadi, dan kepala dusun itu tengah memandang dengan muka
pucat saking kagetnya, mendadak nyonya yang cantik ini mengeluarkan suara melengking tinggi,
menggetarkan jantung semua pendengarnya. Kemudian dengan suara yang amat berpengaruh karena
disertai kekuatan sihirnya, dengan pandang mata mencorong ketika semua orang menoleh dan
memandangnya, tertarik oleh lengkingan tinggi tadi, ia berkata. “Apakah kalian semua sudah buta? Lihat
baik-baik! Kami adalah utusan dari Kwan Im Pouwsat sendiri! Aku adalah Dewi Api, lihat tubuhku
mengeluarkan api bernyala! Lihat baik-baik!”
Dan terdengar semua orang yang terbelalak itu tiba-tiba berteriak-teriak ketakutan ketika mereka melihat
betapa tubuh nyonya yang cantik itu tiba-tiba berkobar-kobar di tengah-tengah api! Bahkan Ci Sian sendiri
juga terkena pengaruh sihir itu dan ia kaget sekali melihat tubuh Siang In terbakar. Akan tetapi, ia segera
mengerahkan sinkang-nya dan mengusir pengaruh itu sehingga ia melihat betapa nyonya itu tetap berdiri
biasa saja, sama sekali tidak ada api keluar dari tubuhnya!
Akan tetapi kini semua penduduk dusun itu, dipimpin oleh Kepala Dusun mereka, sudah menjatuhkan diri
berlutut menghadap tiga orang itu!
“Ampunkan hamba sekalian.... hamba tidak tahu bahwa Paduka bertiga adalah para dewa-dewa....“
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Bu merasa kasihan dan tidak tega untuk mempermainkan orang-orang yang jujur dan bodoh ini. Dia
tersenyum dan mengangkat kedua tangannya. “Bangkitlah kalian dan jangan berlutut. Ketahuilah bahwa
biar pun kami ini utusan pada dewa, akan tetapi pada saat ini, kami memakai tubuh manusia biasa, maka
kalian juga harus memperlakukan kami sebagai manusia biasa. Nah, kami sudah siap untuk menjadi
korban. Kapan hal itu dapat dilaksanakan?”
“Biasanya yang kami lakukan setiap tahun, pada hari bulan purnama penuh. Siangnya korban dibawa ke
goa dan ditinggalkan, karena pada malam harinya dewa ular akan datang, pindah dari pohon yang mulai
rontok daunnya ke dalam goa itu. Dan tahun ini, bulan purnama penuh akan muncul dua hari lagi.”
“Baiklah, kami bertiga boleh kalian bawa ke goa itu pada besok lusa siang, agar malamnya kami dapat
bertemu dengan dewa ular itu,” kata Kian Bu.
Sebetulnya, setelah para penghuni dusun itu dapat ditundukkan oleh ilmu sihir Siang In, mereka semua itu
sudah percaya dan tentu saja mau membantu. Akan tetapi Kian Bu berpikir lain.
Menghadapi ular yang lihai itu tidak perlu bantuan orang-orang dusun yang sudah ketakutan itu, karena
selain mereka itu tiada gunanya, juga bahkan di antara mereka mungkin saja akan tewas dan hal ini tidak
dikehendakinya. Selain itu, ular yang sudah amat tua itu agaknya jauh lebih cerdik dari pada ular-ular
biasa.
Dia khawatir kalau-kalau ular itu mencari tempat lain dan tidak akan datang ke goa kalau tidak disediakan
korban, yaitu calon mangsanya yang mudah. Dan menghadapi ular itu di tempat terbuka jauh lebih
menguntungkan dari pada menghadapinya di dalam goa. Atau kalau ular itu datang, sebelum memasuki
goa, mereka bertiga dapat lebih dulu menyambutnya di depan goa, di tempat terbuka dengan diterangi oleh
sinar bulan purnama, dan mereka bertiga akan siap untuk memegang obor di tempat itu. Mengenai
belenggu kaki tangan itu, tentu saja bukan merupakan persoalan bagi mereka bertiga.
Kini para penduduk dusun itu amat menghormati mereka bertiga yang dianggap selain utusan dewa, juga
merupakan penolong mereka. Baru mau menjadi pengganti korban saja sudah membuat mereka bersyukur
dan berterima kasih! Maka, kini ketiga orang pendekar itu dijamu oleh para penduduk dan dilayani dengan
sikap hormat sekali.
Pada dua hari berikutnya, setelah matahari condong ke barat, Suma Kian Bu, Sian In dan Ci Sian sudah
siap. Semua penghuni dusun, laki-laki perempuan tua muda, sudah berkumpul di depan rumah Kepada
Dusun. Dengan dibantu oleh beberapa orang dan disaksikan oleh semua penghuni, Kepala Dusun mulai
mengikatkan tali-tali yang kuat pada kaki tangan tiga orang pendekar itu. Tiga orang pendekar itu sudah
makan sore dan sudah mandi bersih, suatu keharusan bagi para calon korban, memakai pakaian bersih
dan lalu pengikatan kaki tangan mereka dilakukan dengan penuh khidmat oleh Kepala Dusun dan para
pembantunya.
“Lihatlah, agar kalian semua yakin bahwa kami adalah utusan para dewa!” kata Suma Kian Bu untuk
memberikan kesan terakhir. Dia menggerakkan kedua lengannya dan….
“Kreekkk....!” Putuslah tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya, dan sekali dia menggerakkan
kedua kakinya, putus pula belenggu kedua kakinya!
Semua orang terkejut sekali dan wajah Kepala Dusun menjadi pucat. Akan tetapi Kian Bu sudah
memasangkan kembali kaki tangannya untuk diikat kembali dengan tali-tali baru.
Setelah mengikatkan kaki tangan itu selesai, Kian Bu berkata, “Dengar baik-baik pesan kami. Setelah
menaruh kami di mulut goa, harap kalian semua pergi dan bersembunyi di rumah masing-masing. Kalau
ada suara apa pun jangan sekali-kali keluar dan biarkan kami bertiga menghadapi ular itu. Dan jangan
lupa, sediakan obor, minyak dan lilin bernyala di goa.”
Kepala Dusun mengangguk-angguk dan tidak lama kemudian, tiga orang pendekar itu yang kaki tangannya
terbelenggu, sudah digotong di atas tandu seperti yang setiap tahun biasa terjadi. Akan tetapi kalau
biasanya yang digotong hanya seorang korban saja, kini ada tiga orang calon korban yang digotong ramairamai.
Dan seperti biasanya, para penghuni dusun itu dengan dipimpin seorang pendeta yang menganut
agama campuran antara Bhudis dan Taoism, menyanyikan lagu-lagu pujaan untuk para dewa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian duduk di atas tandu dengan kaki tangan terbelenggu, akan tetapi mereka
tersenyum-senyum dan merasa bagaikan menjadi pengantin saja karena mereka berpakaian baru, diberi
kalungan bunga, dipikul di dalam tandu, dan diiringkan oleh banyak orang yang bernyanyi-nyanyi dipimpin
oleh pendeta satu-satunya yang berada di dusun itu.
Iring-iringan mengantar calon korban untuk dewa ular ini tiap tahun biasanya dilakukan dengan iringan air
mata keluarga Si Korban. Akan tetapi sekali ini, suasananya gembira dan semua wajah orang dusun itu
cerah dan berseri. Hal ini bukan hanya karena di antara mereka tidak ada yang kehilangan sanak keluarga,
akan tetapi juga karena ada harapan dalam hati mereka untuk dapat terbebas selamanya dari pada rasa
takut terhadap Si Dewa Ular. Akan tetapi di antara harapan dan kegembiraan ini, ada pula kekhawatiran
menyelinap di dalam hati mereka. Bagaimana kalau tiga utusan dewa itu gagal? Dan andai kata mereka
berhasil dan dewa ular dapat dienyahkan, bukankah hal itu berarti bahwa berkah dari dewa ular untuk
mereka pun akan ikut lenyap?
Kepercayaan tahyul seperti yang dimiliki oleh para penduduk dusun di dekat Puncak Naga Hijau di
Pegunungan Kun-lun-san itu bukan hanya merupakan peristiwa yang dapat terjadi dan menimpa
sekelompok manusia yang masih terbelakang atau yang peradabannya belum tinggi.
Kalau kita mau mengamati keadaan sekeliling kita, mau mengamati kehidupan kita sendiri, bahkan di
jaman modern ini sekali pun, kita masih terikat dan terbelenggu oleh berbagai kepercayaan dan
ketahyulan! Kelompok ini percaya akan ini dan tidak percaya akan itu. Golongan lain percaya akan itu dan
tidak percaya akan hal yang dipercaya oleh kelompok pertama ini. Bahkan kepercayaan-kepercayaan yang
merupakan adat pusaka keturunan nenek moyang itu dapat menjadi bahan untuk saling bertentangan dan
bermusuhan!
Kepercayaan akan hal-hal yang di luar jangkauan pikiran merupakan ketahyulan yang lama-lama lalu
berubah menjadi tradisi. Dan biasanya, hal-hal seperti itu hanya untuk dipercaya saja, bukan untuk
dimengerti! Dan kita pun takut untuk melanggarnya atau meninggalkannya dari batin kita. Tentu saja rasa
takut ini timbul oleh suatu kepercayaan pula bahwa memegang teguh tradisi kepercayaan tahyul itu
mendatangkan selamat, berkah, yang pada pokoknya adalah menyenangkan atau menguntungkan.
Sebaliknya kalau kita menanggalkan atau membuangnya, maka kita akan kehilangan apa yang kita
namakan selamat, berkah atau hal-hal yang menyenangkan itu. Kita takut akan dilanda kesusahan
karenanya. Inilah sumber rasa takut menanggalkan atau membuangnya.
Lalu bagaimanakah timbulnya kepercayaan akan tahyul yang menjadi tradisi itu? Semua kepercayaan, jika
kita mau merenungkannya dengan penuh kebebasan dan perhatian, timbul karena kebodohan, karena
ketidak mengertian. Kepercayaan itu pasti timbul oleh karena kita tidak mengerti, tidak tahu, lalu kita
mendengar pengertian itu dari mulut orang yang kita hormati, kita kagumi, kita anggap lebih tahu dari pada
kita, atau dari kitab yang ditulis oleh orang yang kita muliakan, maka kita pun lalu percayalah! Kalau ketidak
mengertian kita tentang sesuatu itu diterangkan oleh orang yang tidak kita agungkan, tidak kita hormati
atau kagumi, maka kita pun kemudian tidak percaya! Jadi, percaya atau tidak percaya itu timbul dari
sumber yang sama, yaitu dari kebodohan atau ketidak mengertian.
Sebagai contoh misalnya, kita belum pernah melihat sendiri, belum pernah membaca, belum pernah
mendengar, pendeknya kita tidak mengerti sama sekali tentang Kutub Utara. Lalu datanglah seseorang
yang menulis atau bercerita kepada kita tentang Kutub Utara, tentang keanehan-keanehannya, keajaibankeajaibannya
dan sebagainya. Nah, di sinilah asal mula timbulnya percaya atau tidak percaya.
Karena kita sendiri tak mengerti, maka kita lalu mendengarkan orang itu dan tanggapan kita tentu saja
dipengaruhi oleh perasaan kita terhadap orang itu. Kalau orang itu kita agungkan, kita akan percaya, dan
kalau sebaliknya kita tidak mengagungkannya, kita tidak percaya! Dan kepercayaan atau ketidak
percayaan ini kita turunkan kepada murid-murid atau anak-anak keturunan, dan selanjutnya menjadi
kepercayaan turun temurun.
Sebaliknya kalau orang itu, atau siapa pun juga adanya, datang lalu bercerita atau menulis tentang sesuatu
yang sudah kita mengerti atau ketahui, sudah tentu tidak akan timbul percaya atau tidak percaya lagi. Yang
ada hanyalah kenyataan bahwa apa yang diceritakan itu benar atau bohong. Kalau ada orang mengatakan
bahwa darah manusia itu hijau warnanya atau matahari itu timbul dari barat, maka di sini tidak ada percaya
atau tidak percaya, karena kita sudah tahu dan mengerti benar bahwa keterangan orang itu bohong!
Sebaliknya, kalau ada orang mengatakan bahwa pohon besar itu dihuni setan atau dewa, maka
keterangan ini menimbulkan percaya atau tidak percaya, karena kita tidak mengerti dan tidak mengetahui
benar akan hal itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maka, dapatkah kita hidup bebas dari segala macam kepercayaan dan ketahyulan ini? Beranikah kita
mengakui dengan rendah hati bahwa kalau timbul pertanyaan akan sesuatu yang tidak kita mengerti, yang
tidak terjangkau oleh akal budi pikiran kita, lalu kita menjawab bahwa kita TIDAK TAHU? Biasanya, kita
takut atau malu untuk mengakui bahwa kita tidak tahu. Kita selalu ingin mengaku bahwa kita tahu
segalanya, padahal sebagian besar dari hal-hal yang kita katakan kita tahu itu sebenarnya hanyalah
pengetahuan mati yang kita dengar dari keterangan orang lain, yang tidak kita hayati sendiri.
Karena, sesungguhnya hanya orang yang tidak tahu sajalah yang dapat membuka mata, yang dapat
menyelidiki, dapat menyelami, dapat mempelajari dengan otak dan hati kosong sehingga penyelidikan itu
dapat dilakukan seteliti-telitinya, tidak dipengaruhi oleh pengetahuan-pengetahuan mati yang hanya akan
menjadi batu penghalang bagi penyelidikannya akan hal-hal yang baru. Sayang bahwa mereka yang tidak
tahu itu begitu ingin untuk dianggap tahu sehingga dengan mudah mereka menerima segala pengetahuan
dari orang lain melalui kepercayaan.
Setelah tiba di depan goa, semua penghuni dusun nampak ketakutan dan sejak mendekati tempat itu tadi
pun sudah tidak ada lagi yang berani mengeluarkan suara. Suasana memang amat menyeramkan karena
tempat itu terpencil, jauh dari dusun, jauh dari manusia dan tidak nampak bekas-bekas tangan manusia di
situ dan selama dalam perjalanan mereka itu, mereka tidak melihat tapak seorang pun manusia.
Tiga buah joli atau tandu itu diturunkan dan tiga orang pendekar digotong dengan hati-hati dan dengan
sikap penuh hormat, lalu satu demi satu direbahkan di mulut goa yang gelap. Kepala Dusun lalu
menyalakan sebatang lilin di sudut goa, obor-obor yang belum dinyalakan ditinggalkan di sudut pula, yaitu
obor yang sudah diberi minyak pembakar. Kemudian, setelah mereka semua memberi hormat ke arah tiga
orang pendekar yang rebah di mulut goa, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Kepala Dusun itu lalu
mengajak orang-orangnya untuk pergi meninggalkan goa seperti yang telah dipesankan oleh Suma Kian
Bu kemarin.
Setelah semua orang pergi, Kian Bu, Siang In dan Ci Sian lalu memutuskan semua tali yang membelenggu
kaki tangan mereka.
“Akan tetapi, kita harus tetap tinggal di sini,” kata Kian Bu kepada dua orang wanita itu. “Jangan lengah dan
harus tetap waspada. Biar pun aku sendiri tidak percaya bahwa ular itu adalah siluman, iblis atau dewa,
akan tetapi dia tentu seekor binatang yang sudah tua, kebal, dan cerdik sekali. Maka, biarlah kita tinggal
rebah agar tidak membuat dia curiga, dan siap untuk menyerbu kalau dia sudah berada di depan goa.
Sebelum aku menyerangnya, harap kalian jangan bergerak dulu. Kita belum tahu sampai di mana
kelihaiannya, maka kita tidak boleh sembrono.”
Karena memang sudah mendengar betapa banyaknya orang-orang lihai menjadi korban ular itu, maka
Siang In dan Ci Sian mengangguk. Tadi pun dua orang wanita ini merasa agak ngeri saat melihat adanya
rangka-rangka manusia di dalam goa. Tentu itu adalah rangka-rangka para korban, karena rangka-rangka
itu hanya merupakan tulang-tulang tubuh manusia, semua tanpa kepala!
Menanti merupakan pekerjaan yang amat berat. Dalam menanti, sang waktu seolah-olah menjadi luar
biasanya lambannya, seperti gerakan maju seekor keong. Mereka bertiga ditinggalkan di tempat itu
menjelang senja dan kini mereka menanti datangnya sang malam yang dirasakan amat lambatnya. Akan
tetapi akhirnya cuaca menjadi gelap, malam mulai datang menyelubungi bumi, mengusir lenyap sinar-sinar
matahari. Kegelapan menyelubungi hutan dan satu-satunya sinar hanyalah lilin yang bernyala di dalam
goa.
Mereka yang berada di dalam goa itu menanti dengan hati tegang. Belum ada tanda pergerakan yang luar
biasa, dan yang terdengar hanyalah bunyi belalang dan binatang malam, jauh di dalam hutan. Nyamuknyamuk
mulai berdatangan dan mengganggu mereka, tertarik oleh nyala lilin. Tapi berkat ilmu kepandaian
mereka yang sudah tinggi, gangguan itu tidak menyiksa benar. Dengan kibasan tangan saja mereka telah
mampu meruntuhkan nyamuk-nyamuk yang berani menyerang mereka. Gangguan itu lebih dirasakan oleh
mengiangnya nyamuk di dekat telinga dari pada penyerangan sengatan mereka.
Bulan purnama mulai menyinari bumi pada saat mereka mulai merasakan datangnya ancaman yang sejak
tadi dinanti-nanti itu. Ada bau amis yang aneh yang memasuki hidung mereka. Apalagi kalau ada angin
bersilir, bau itu makin tercium keras sekali, membuat Ci Sian merasa muak sekali.
“Awas.... agaknya dia mulai datang....,” kata Kian Bu dengan suara berbisik.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pendekar ini adalah putera Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es, dan pendekar ini memiliki ilmu
kesaktian hebat, telah mengalami segala macam pertempuran dan bahaya yang hebat-hebat. Akan tetapi
malam itu dia merasakan ketegangan luar biasa juga. Demikian pula dengan Siang In. Terutama sekali, Ci
Sian yang belum begitu banyak pengalaman hidupnya. Dara ini merasakan jantungnya berdebar penuh
ketegangan dan keringat dingin membasahi lehernya.
Andai kata ia berada di situ seorang diri saja, tentu ia sudah meninggalkan tempat yang menyeramkan itu.
Tetapi adanya Pendekar Siluman Kecil dan isterinya membesarkan hatinya dan dara ini memandang
keluar goa dengan penuh perhatian, siap menghadapi segala kemungkinan.
Bau amis bercampur harum aneh yang keras itu makin terasa. Tak lama kemudian, terdengar bunyi
kresek-kresek dan tumbangnya sebatang pohon seperti dilanda sesuatu yang berat.
“Kalau aku menyerangnya, kalian cepat nyalakan obor itu dan menancapkan obor-obor itu di luar goa, di
empat penjuru agar kita dapat menghadapinya dengan baik,” bisik Kian Bu kepada dua orang wanita itu
yang hanya mengangguk tanda mengerti. Dua orang wanita ini seperti kehilangan suara saking tegangnya.
Kian Bu memandang keluar goa dengan penuh perhatian. Cahaya bulan cemerlang menerangi keadaan di
luar goa, dan sesungguhnya, tanpa obor sekali pun cuaca sudah cukup terang. Akan tetapi Kian Bu
menyuruh menyalakan obor bukan hanya agar cuaca menjadi terang, akan tetapi untuk berjaga-jaga saja,
kalau-kalau ada awan yang akan menutupi bulan dan membuat tempat itu menjadi gelap. Sangatlah
berbahaya kalau bertanding melawan ular ganas di tempat gelap. Jadi obor-obor yang disuruhnya untuk
dinyalakan itu hanya bertugas sebagai cadangan kalau-kalau sang bulan tertutup awan.
Akhirnya tibalah saat yang ditunggu-tunggu, yang menimbulkan ketegangan luar biasa itu! Mula-mula
hanya nampak bayangan panjang menggeleser di atas tanah, membuat rumput-rumput tersibak. Saat tiba
di depan goa, tiba-tiba ular itu mengangkat kepalanya, dan lehernya terangkat, kepalanya naik sampai satu
meter di atas tanah. Nampaklah mukanya yang mengerikan itu!
Mukanya memang seperti muka ular biasa, hanya lebih besar dan yang mengerikan sekali adalah
mulutnya yang mengeluarkan suara mendesis dibarengi hawa seperti uap putih mengepul. Sepasang
cabang lidahnya bergerak-gerak keluar, lidah yang merah kehitaman. Sepasang mata yang besar itu
mencorong seperti mengeluarkan api, dan kepalanya yang tertimpa sedikit cahaya bulan itu nampak
berkilauan. inilah agaknya yang menimbulkan dongeng bahwa kepalanya mencorong padahal sebenarnya
karena kulit kepalanya mengkilap seperti berminyak, tentu saja nampak berkilauan.
Betapa pun juga, Suma Kian Bu yang sudah banyak mengalami hal-hal yang luar biasa itu diam-diam
terkejut dan harus mengakui di dalam hatinya bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat ular yang
demikian besar dan panjangnya, dan juga yang kelihatan ganas dan menyeramkan. Akan tetapi, karena
dia pun tahu bahwa binatang ini bukanlah sebangsa siluman atau dewa, juga bukan seekor naga seperti
yang sering terdapat dalam dongeng, yang bisa terbang dan memiliki kesaktian lain, maka dia pun tidak
menjadi gentar.
Agaknya ular besar itu memang sudah biasa pindah ke dalam goa di awal musim rontok seperti yang
diceritakan oleh Kepala Dusun, juga agaknya telah terbiasa memperoleh mangsa yang mudah di dalam
goa itu. Maka sekarang pun binatang ini berhenti di depan goa dan mengangkat kepalanya, agaknya untuk
menjenguk lebih tinggi agar dapat melihat jelas apakah sudah tersedia mangsa baginya kali ini.
Sejak tadi Kian Bu memang sudah bersiap sedia. Seluruh urat syaraf di dalam tubuhnya telah menegang,
terisi oleh pengerahan sinkang untuk menghadapi lawan yang tangguh dan berbahaya.
“Nyalakan obor!” tiiba-tiba Kian Bu berseru.
Dan belum juga gema suaranya itu lenyap, dia sudah meloncat keluar dari dalam mulut goa itu dan
langsung saja dia menerjang ke arah kepala ular yang diangkat tinggi itu. Pendekar Siluman Kecil ini
memiliki sebuah senjata yang luar biasa, yaitu sebatang tongkat sakti yang terbuat dari akar pohon yang
hanya terdapat di sebuah pulau tak jauh dari Pulau Neraka. Akar kayu ini amat keras dan ulet, tidak rusak
oleh baja yang tajam sekali pun, dan lebih peka untuk disaluri tenaga sinkang dari pada logam lainnya.
Biasanya, hampir tidak pernah pendekar ini menghadapi lawan dengan senjatanya ini yang lebih pantas
dipergunakan untuk pegangan atau iseng saja. Hal ini adalah karena dengan dua pasang kaki dan tangan
dunia-kangouw.blogspot.com
saja dia sudah lebih dari kuat menghadapi lawan. Kedua tangannya itu lebih dahsyat dari pada senjata
lawan yang bagaimana pun.
“Dukkkk!”
Tongkat yang dipukulkan ke arah kepala ular itu tepat mengenai sasarannya, tetapi Kian Bu kaget sekali
karena tongkatnya terpental dan seluruh lengan kanannya tergetar hebat. Ia memang sengaja hendak
mengukur sampai di mana kekuatan dan kekebalan ular itu dan akibatnya dia terkejut.
Tiba-tiba, sebagai balasan serangan itu, ular itu menggerakkan kepalanya dan mulutnya terbuka.
Terdengarlah bunyi mendesis nyaring dan Kian Bu harus meloncat jauh ke kiri untuk menghindarkan diri
ketika dia merasakan sambaran angin dahsyat yang panas dan berbau amis! Pada saat itu, Ci Sian dan
Siang In sudah menyalakan obor pada nyala lilin dan meloncat keluar, tepat pada saat ular itu menyembur
kepada Kian Bu. Dua orang wanita ini terkejut karena tiba-tiba ada angin keras yang menyambar dan
membuat obor mereka itu bergoyang-goyang apinya dan hampir padam, juga mereka merasakan hawa
panas terkandung dalam angin itu, di samping bau amis yang memuakkan.
“Taruh obor itu agak jauh!” Kian Bu berseru lagi.
Kini pendekar ini yang sudah merasakan kekuatan ular yang amat besar itu meloncat maju sambil
menggerakkan tongkatnya, kini menusuk ke arah mata kanan ular. Dia terkejut dan heran karena ular itu
sama sekali tidak mengelak! Tetapi kegirangannya lenyap pada saat ujung tongkatnya bertemu dengan
benda yang amat keras dan licin sehingga tusukannya meleset!
Kiranya, tanpa menggerakkan kepala, ular itu mampu membuat gerakan sedikit yang cukup untuk
membuat ujung tongkat itu mengenai pinggiran mata yang sama kuatnya dengan kulit kepala mau pun
badannya. Kulit bersisik itu amat keras dan licin, sehingga ketika tusukan tongkatnya meleset, Kian Bu
terdorong ke depan. Dan pada saat itu dia merasa adanya angin pukulan yang amat kuatnya menimpanya
dari arah kiri. Cepat Kian Bu mengerahkan ginkang-nya dan meloncat. Untung dia dapat bergerak cepat
karena begitu dia menghindar, ekor ular yang besar dan berat itu, dengan kekuatan dahsyat yang ratusan
kati beratnya, menimpanya dan karena luput, ekor itu menimpa batu yang pecah berantakan seperti
dipukul palu godam yang amat berat!
Seperti juga tadi, begitu diserang ular itu membalas dengan cepatnya, maka kini Kian Bu bersikap hati-hati
sekali. Dia sudah mencoba tongkatnya untuk memukul dan menusuk, dan akibatnya, bahkan serangan
balasan ular itu tidak kalah hebatnya dan berbahayanya. Dan begitu serangannya luput, ular itu tidak
melanjutkan serangan, tapi menanti seperti tadi, dengan kepala diangkat dan sepasang matanya yang
mencorong memantulkan sinar obor-obor yang dipasang oleh Ci Sian dan Siang In di sekitar tempat itu.
Dua orang wanita itu kini mendekat dan mengepung ular. Siang In sudah memegang senjatanya yang
istimewa, yaitu sebatang payung yang berujung runcing, sedangkan Ci Sian sudah memegang suling
emasnya.
“Ci Sian, kita serang dari kanan kiri! Tujukan serangan ke arah matanya!” kata Siang In yang tadi sudah
melihat betapa dua kali serangan suaminya gagal.
Wanita perkasa ini maklum bahwa kulit ular itu benar-benar sangat kebal sehingga menyerang kulitnya
akan sia-sia belaka, bahkan amat berbahaya, maka dengan cerdik ia menganjurkan Ci Sian untuk
melakukan serangan berbareng ke arah kedua mata binatang itu dari kanan kiri.
Ci Sian mengangguk dan dua orang wanita itu seperti berlomba cepat, menerjang dari kanan kiri. Ci Sian
lalu menusukkan sulingnya ke arah mata kiri, sedangkan Siang In menusukkan ujung payungnya ke arah
mata kanan.
Akan tetapi, tiba-tiba ular itu menurunkan kepalanya dan menyembunyikan kepala itu di bawah perut dan
tiba-tiba saja ekornya sudah datang menimpa dengan kecepatan dan kekuatan yang mengerikan.
“Awas....!” Suma Kian Bu berseru.
Dua orang wanita itu sudah meloncat pergi dengan cepat. Akan tetapi, angin pukulan yang amat kuat
masih mendorongnya dan membuat mereka berdua terbanting dan bergulingan sampai jauh. Tentu saja
mereka terkejut bukan main pada saat melompat berdiri lagi. Pada saat itu, Kian Bu sudah meloncat
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan kecepatan kilat sehingga yang nampak hanya bayangannya saja dan tahu-tahu dia sudah
mendekati kepala ular itu dan memukul dengan kepalan tangan kirinya.
“Dessss....!”
Pukulan itu dahsyat bukan main, mengandung tenaga Swat-im Sinkang dari Pulau Es, maka dapat
dibayangkan betapa hebatnya. Karena tahu bahwa ular itu sungguh kebal dan tidak dapat dilukai oleh
senjata, maka Kian Bu kini mempergunakan tenaga Swat-im Sinkang, yaitu tenaga dalam yang dingin,
berkat latihan di Pulau Es. Biar pun tangannya tidak akan dapat melukai kulit binatang itu, namun dia
mengharapkan bahwa getaran tenaga pukulannya akan dapat melukai sebelah dalam kepala binatang itu.
Dan memang agaknya harapannya ini tidak sia-sia, karena ular itu ternyata menderita berat oleh
pukulannya yang mengguncangkan isi kepalanya. Ekor ular itu membelit dan menghantam sehingga Kian
Bu terpaksa menangkis dengan tangan kanannya yang memegang tongkat!
“Dessss....!”
Tubuh Kian Bu terlempar dan tongkatnya terlepas dari tangannya! Pendekar ini tidak terluka, hanya
terlempar saking besarnya tenaga pukulan ekor ular itu. Begitu meloncat bangun, Kian Bu sudah
menerjang lagi, meloncat dan memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sinkang di tangan kiri, dan
tenaga Hwi-yang Sinkang di tangan kanan.
Kedua pukulan yang mengandalkan tenaga sinkang yang berlawanan ini, yaitu dingin dan panas,
dilakukannya berganti-ganti. Dan serangan-serangan ini memang hebat sekali. Satu kali pukulan tangan
kanan atau tangan kiri pendekar itu sudah cukup untuk merobohkan, bahkan menewaskan seorang lawan
tangguh. Biar pun berkali-kali terkena pukulan, namun nampaknya ia tak merasakan nyeri, bahkan kini ia
mulai mengeluarkan teriakan-teriakan yang menyeramkan. Teriakannya itu seperti teriakan seekor burung
gagak yang nyaring, parau dan menyeramkan sekali. Agaknya ia marah bukan main terkena pukulanpukulan
yang mendatangkan rasa nyeri itu.
Melihat betapa suaminya sudah mulai menyerang dengan bertubi-tubi, Siang In segera membantunya
dengan menggerakkan payungnya, menerjang dan menusukkan ujung payungnya, kembali mengarah
mata ular itu. Sedangkan Ci Sian juga membarenginya dan menghantamkan suling ke belakang kepala
ular itu sambil mengerahkan semua tenaga dalamnya.
Kian Bu yang sudah menyerang bertubi-tubi itu berada dekat dengan ular dan dia tahu betapa ular itu tibatiba
menggerakkan ekornya.
“Awas! Mundur....!” Dia berteriak, akan tetapi agaknya isterinya serta Ci Sian tidak menghiraukannya
karena kedua orang wanita itu memang hendak membantunya dan tentu saja tidak tega melihat dia sendiri
saja melawan ular yang amat tangguh itu. Melihat dua orang wanita itu tidak menghiraukannya, Kian Bu
yang maklum akan dahsyatnya sambaran ekor ular, sudah meloncat dan menggunakan kedua lengannya
untuk menangkis sambaran ular yang tadinya menghantam ke arah dua orang wanita itu.
“Dessss....!”
Hebat sekali pertemuan antara ekor ular dan kedua lengan Kian Bu. Pendekar ini merasa seolah-olah
seluruh tulangnya remuk dan tak dapat bertahan lagi, terpelanting, sedangkan dua orang wanita itu
terdorong oleh hawa pukulan yang dahsyat ini, kembali bergulingan. Sedangkan tusukan suling dan ujung
payung itu pun tidak melukai ular, bahkan membuatnya menjadi semakin marah. Ular itu merasakan
ekornya nyeri sekali, maka kemarahannya dipusatkan kepada Kian Bu yang telah banyak mendatangkan
rasa nyeri kepadanya. Sebelum Kian Bu sempat meloncat, ular itu sudah menubruk dan tahu-tahu tubuh
Kian Bu telah terkena libatan ekornya!
Pendekar itu terkejut, mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang, memberontak. Tenaga ini besar sekali.
Belenggu baja saja kiranya akan patah-patah oleh tenaga Hwi-yang Sinkang yang panas ini. Akan tetapi,
tubuh ular itu jauh lebih kuat dari pada baja, karena tubuh itu dapat melentur seperti karet, namun
mengandung kekuatan libatan yang amat luar biasa.
Betapa pun juga, karena Kian Bu memberontak itu, libatannya berkurang kekuatannya dan Kian Bu
berhasil menarik kedua lengannya keluar dari libatan sehingga hanya pinggangnya ke bawah saja yang
terlibat. Dia merasa betapa tenaga libatan itu makin kuat saja, seperti ada tenaga dalam yang makin lama
dunia-kangouw.blogspot.com
makin besar hendak meremukkan tulang-tulangnya dengan tekanan yang dahsyat. Dan kini kepala ular itu
membalik dan dengan moncong terbuka lebar ular itu hendak mencaplok kepala Kian Bu!
“Dessss....!” Kian Bu memapaki kepala itu dengan pukulan tangan kanannya.
“Plakkk!” tangan kirinya juga menampar.
Ular itu terkejut dan kesakitan, kembali menggeluarkan teriakan parau yang nyaring sekali. Kian Bu merasa
seolah-olah telinganya ditusuk-tusuk, maka ia pun mengerahkan khikang-nya dan melengking nyaring. Ular
itu terkejut dan terdiam, akan tetapi tidak melepaskan lilitannya.
Siang In dan Ci Sian terkejut bukan main melihat Kian Bu terlilit ular dan tidak mampu melepaskan diri.
Wajah Siang In menjadi pucat dan dengan nekat wanita ini lantas menyerang dengan senjata payungnya.
Terjangannya hebat sekali dan ujung payung itu seperti kilat cepatnya menyambar ke arah kedua mata
binatang itu. Dan Ci Sian pun cepat membantunya, memukul-mukulkan sulingnya dengan pengerahan
khikang-nya yang amat kuat itu ke arah moncong ular, maksudnya andai kata tidak dapat melukai ular pun
ia akan mencegah ular itu menggigit Kian Bu.
“Tak-tak....!” Ujung payung itu mengenai kulit yang keras ketika ular itu menggerakkan kepalanya sehingga
tusukan-tusukan itu meleset, tidak mengenai mata melainkan mengenai bagian muka yang tertutup kulit
keras.
“Trakkk!” Hantaman suling di tangan Ci Sian bertemu dengan gigi dan ada sebuah gigi ular itu yang patah
terkena pukulan suling.
Kembali ular itu berteriak parau dan keras dan Kian Bu merasa betapa lilitan tubuh ular itu menjadi makin
kuat. Dia pun menggunakan kedua tangannya untuk memukuli tubuh ular yang melilitnya, menggunakan
pukulan-pukulan tangan miring seperti membacok-bacok. Tenaganya yang luar biasa kuatnya itu pun tidak
dapat membuat kulit ular itu rusak, akan tetapi setidaknya tenaga pukulannya mendatangkan rasa nyeri
yang luar biasa sehingga ular itu berteriak-teriak atau mengeluarkan suara parau dan serak. Lilitannya
menjadi semakin kuat.
Karena maklum bahwa dia tidak mampu melepaskan diri dari belitan maut itu, dan bahwa isterinya mau
pun Ci Sian bisa terancam bahaya, maka Kian Bu cepat berteriak, “Mundurlah.... jangan dekat-dekat....!”
Tetapi, sebagai seorang isteri yang amat mencinta suaminya, tentu saja Siang In tidak mau meninggalkan
suaminya yang sedang dibelit ular dan dalam keadaan terancam hebat itu. Pendekar wanita ini pun sudah
menjadi panik penuh kekhawatiran, maka dengan muka pucat ia sudah menyerang lagi sambil membentak
nyaring, “Lepaskan suamiku....!”
Payungnya menyambar seperti kilat, kembali menyerang ke arah mata kanan ular itu. Ular itu memang luar
biasa sekali. Dia tidak mengelak, melainkan mempergunakan kepalanya untuk menangkis.
“Dessss....!”
Tubuh Siang In terlempar sampai beberapa meter jauhnya karena ditumbuk oleh kepala yang amat kuat
itu. Siang In tidak terbanting hebat karena ia cepat menggulingkan tubuhnya, akan tetapi kepalanya agak
pening juga oleh benturan keras itu. Sementara itu, Ci Sian melihat dengan penuh kengerian ketika ular itu
kini mengangkat tinggi kepalanya dan mulutnya terbuka lebar, siap untuk mencaplok kepala Suma Kian Bu
yang masih meronta-ronta seperti seekor lalat dalam perangkap sarang laba-laba itu. Agaknya tidak akan
ada apa pun yang dapat menyelamatkan nyawa pendekar sakti itu.
“Mundurlah.... biarkan aku....” kata pula Kian Bu yang terkejut menyaksikan isterinya terlempar tadi.
Akan tetapi Siang In menjadi semakin nekat. Biar pun kepalanya masih pening dan tubuhnya sakit-sakit,
terutama sekali pundak kirinya yang terkena hantaman langsung oleh kepala ular itu, namun
kekhawatirannya akan keselamatan suaminya membuat ia lupa akan diri sendiri. Ia sudah hendak
menyerbu lagi ketika tiba-tiba lengannya dipegang oleh tangan Ci Sian Sian.
“Enci, biarkan aku mencoba ini....”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siang In menahan gerakannya dan memandang Ci Sian yang sudah menempelkan suling emasnya di
depan mulut dan terdengarlah suara suling yang aneh dan suara itu melengking tinggi mengalun dan
mengandung getaran yang amat halus namun amat kuat.
Ternyata dara ini teringat akan pelajaran tiupan sulingnya, dan menurut suheng-nya, tiupan suling itu
mengandung suara yang penuh dengan kekuatan khikang, dan menurut suheng-nya, suara itu selain dapat
mengusir pengaruh gaib atau juga segala macam kekuatan sihir dari lawan, dapat dipergunakan untuk
menyerang atau mempengaruhi lawan pula. Dan Ci Sian juga teringat akan pelajaran dari gurunya, yaitu Si
Raja Ular See-thian Coa-ong tentang kelemahan ular.
Dia sendiri dapat memanggil ular-ular dengan getaran suara meninggi dalam nada tertentu, yaitu ilmu yang
didapatnya dari See-thian Coa-ong. Dengan menggabungkan ilmunya meniup suling dan ilmunya
menguasai ular itu, ia ingin mencoba kepandaiannya untuk mempengaruhi dan menundukkan ular raksasa
ini. Tentu saja Ci Sian belum yakin akan hasilnya, sebab pelajaran menaklukkan ular dari suhu-nya, yaitu
See-thian Coa-ong itu, hanya ditujukan terhadap ular-ular biasa, terutama ular beracun. Belum pernah
selama hidupnya dia melihat ular seperti yang mereka lawan ini. Ular yang menyelamatkannya ketika
terjatuh dari tebing dahulu, yaitu ular peliharaan See-thian Coa-ong, tidak ada setengahnya dibandingkan
dengan besar ular raksasa ini!
Dengan senjata payung di tangan, siap untuk menerjang, dan sepasang matanya tak pernah berkedip
memandang ke arah ular yang melilit tubuh suaminya, Siang In berdiri memandang. Pendekar wanita ini
sendiri bergetar mendengar suara suling melengking tinggi ini, sehingga ia harus mengerahkan sinkang
untuk melindungi jantungnya yang seperti ikut tergetar.
“Bagus, teruskan.... teruskan....!” Tiba-tiba terdengar Kian Bu berkata girang.
Terjadilah keanehan. Mendengar suara melengking tinggi yang beralun itu, ular yang tadinya sudah
membuka mulut, dengan marah sekali hendak mencaplok kepala Kian Bu, tiba-tiba menghentikan gerakan
kepalanya dan mengangkat kepala tinggi-tinggi, diam tak bergerak, seolah-olah terpesona! Kemudian,
mulailah kepala itu bergerak-gerak ke kanan kiri, mulutnya masih terbuka dan kadang-kadang ular itu
menyemburkan uap yang panas dan berbau amis!
Giranglah hati Ci Sian ketika melihat hasil tiupan sulingnya ini. Ia pun cepat meniupkan nada-nada suara
yang telah dipelajarinya dari See-thian Coa-ong untuk membuat ular itu berlutut atau mendekam di depan
kakinya. Ada bermacam-macam perintah yang dapat dilakukannya terhadap ular, sesuai dengan yang
diajarkan See-thian Coa-ong, melalui nada suara tertentu yang biasanya dikeluarkan dari
kerongkongannya dengan pengerahan khikang. Akan tetapi, kini dengan tiupan sulingnya, tentu saja
kekuatan itu lebih hebat lagi.
Namun Ci Sian terkejut dan juga bingung. Ular raksasa itu tidak mentaati perintah melalui sulingnya, tetapi
nampak panik dan bingung, juga seperti ketakutan. Agaknya, suara melengking yang langsung ditujukan
kepadanya oleh dara perkasa itu amat mengganggu telinganya, membuat kepalanya rasanya seperti
ditusuk-tusuk dari dalam! Ular itu kebingungan, ketakutan, dan membuka mulutnya lebar-lebar, mendesisdesis
dan menggeliat-geliat, menggerakkan kepala seperti menari-nari, akan tetapi tarian yang tidak
teratur, tarian kebingungan!
Ci Sian melanjutkan tiupannya, menduga bahwa agaknya ‘alat penerima’ ular raksasa ini sudah berbeda
dengan ular-ular pada umumnya. Akan tetapi, melihat betapa tubuh ular itu menggeliat dan karenanya
lilitannya juga mengendur, ia terus meniup sulingnya, bahkan menggunakan nada yang makin meninggi
sampai tidak dapat ditangkap oleh anak telinga lagi! Dan ular itu semakin tersiksa!
Dalam keadaan kebingungan itu, ular raksasa ini agaknya melupakan Kian Bu sehingga lilitannya
mengendur dan ketika memperoleh kesempatan baik, Kian Bu berhasil meloloskan diri, sekali meloncat
sudah terbebas dari lilitan ular. Akan tetapi ketika kedua kakinya tiba di atas tanah dekat isterinya, dia
terhuyung dan tentu akan terpelanting kalau tidak dipeluk isterinya. Kiranya pendekar ini tadi terlalu banyak
mengerahkan tenaga untuk berusaha melepaskan diri dari lilitan ular itu, dan juga untuk menjaga agar
tulang-tulangnya tidak remuk terhimpit.
Setelah mengatur napas sebentar dan keadaannya pulih kembali, Suma Kian Bu lalu mengambil payung
isterinya, matanya tak pernah terlepas memandang ular itu. Ketika tadi ular itu membuka mulut lebar-lebar
hendak mencaplok kepalanya, dia melihat betapa bagian dalam dari mulut ular itu merupakan daging yang
kemerahan, dan dia percaya bahwa tidak mungkin daging di sebelah dalam rongga mulut itu kebal. Di
dunia-kangouw.blogspot.com
situlah agaknya kelemahan ular ini, pikirnya. Di bagian luar tubuhnya, ular itu kebal, terlindung sisik yang
amat tebal dan kuat. Akan tetapi kalau mulutnya terbuka, maka di dalam rongga mulutnya itu merupakan
bagian yang lemah dan tidak terlindung.
Mulut ular itu masih ternganga lebar dan menyembur-nyemburkan uap, kebingungan dan kegelisahan
sekali. Mendadak nampak bayangan berkelebat dan Kian Bu telah mempergunakan ilmu ginkang-nya yang
luar biasa, melayang ke depan dan secepat kilat. Sebelum ular itu tahu bahwa dirinya diserang, pendekar
ini sudah menusukkan payungnya dari bawah, memasuki mulut itu dan ujung payung yang seperti pedang
itu menusuk dan menembus rongga mulut bagian atas, memasuki otak di kepala ular dan menembus
sampai keluar di antara kedua mata ular itu.
“Mundur....!” Kian Bu berteriak nyaring sambil meloncat jauh meninggalkan ular itu.
Sementara itu, Ci Sian dan Siang In juga berloncatan ke belakang. Untung bahwa mereka melakukan ini
karena tiba-tiba saja ular yang telah terluka parah itu mengamuk! Bukan main dahsyatnya amukan ular ini.
Kepalanya yang sekarang sudah berlubang dan mengucurkan darah yang banyak sekali itu menyambarnyambar
ke sana sini dan apa saja yang ditemukan, baik batu mau pun batang pohon, tentu digigitnya
sampai hancur! Ekornya juga menyambar ke kanan kiri hingga batu-batu besar pecah-pecah terkena
hantaman ekornya. Debu mengepul tinggi dan semua hiruk-pikuk itu ditambah lagi dengan teriakanteriakannya
yang menyayat hati.
Teriakan-teriakan ini terdengar sampai ke dusun dan semua orang dusun, semenjak mendengar suara ular
itu memekik-mekik tadi, sudah menjatuhkan diri berlutut di rumah masing-masing dengan muka pucat dan
tubuh menggigil ketakutan. Mereka mengira bahwa tentu tiga orang pendekar itu telah tewas semua dan
sekarang Dewa Ular itu marah-marah dan akan mengamuk ke dusun itu!
Akan tetapi, biar pun luka yang diderita oleh ular raksasa itu hanyalah luka kecil saja yang diakibatkan oleh
tusukan ujung payung yang seperti pedang, namun luka itu menembus kepala dan merusak otak, pusat
segala-galanya. Maka amukan itu hanya berlangsung beberapa menit saja dan akhirnya ular itu tergolek
mati di depan goa!
Tiga orang pendekar itu menanti sampai beberapa lama, sampai akhirnya mereka yakin benar bahwa
binatang itu telah mati. Barulah Kian Bu mendahului mereka, meloncat ke dekat ular itu dan menggerakgerakkan
kepala ular itu dengan kakinya. Namun, kepala itu terangkat dan terkulai lemas, tanda bahwa ular
itu benar-benar telah tewas. Maka dia pun memberi isyarat kepada kedua orang wanita pendekar itu yang
lalu segera maju menghampiri. Ngeri juga hati mereka melihat besarnya ular ini. Bahkan Ci Sian sendiri
yang memiliki ilmu menaklukkan ular dan sudah dapat disebut ahli ular atau pawang ular, bergidik melihat
ular yang luar biasa ini.
Pendekar Siluman Kecil yang melihat bahwa ular itu telah benar-benar tewas, menoleh kepada Ci Sian dan
berkata, “Nona, engkau telah menyelamatkan nyawaku.”
Siang In juga merangkul dara itu dan berkata, “Kalau tidak ada engkau, Adikku, entah apa akibatnya yang
menimpa kami berdua.”
Ci Sian tersenyum, balas merangkul Siang In dan berkata kepada Kian Bu, “Suma-taihiap, harap engkau
jangan bersikap sungkan. Di antara kita, mana ada istilah saling menolong atau menyelamatkan? Kita maju
bertiga menghadapi ular itu, jadi tidak ada yang ditolong atau menolong.”
Kian Bu mengangguk. “Baik, engkau masih muda akan tetapi pandai membawa diri, Nona. Tunggu, aku
Suma Kian Bu bukan orang yang tidak pandai membalas budi.”
Setelah berkata demikian, pendekar ini menggunakan ujung payung isterinya untuk menggurat kepala ular
yang sudah terluka itu. Anehnya, setelah ular itu mati, biar pun kulit kepalanya masih keras, tetapi tak
begitu sukar bagi pendekar untuk membelahnya dengan hati-hati. Kepala itu terbelah dan nampak isinya
ketika dikuakkan dan dapat dibayangkan betapa girang rasa hati suami isteri yang dipenuhi harapan itu
ketika di dalam kepala itu mereka menemukan sebuah benda bulat sebesar ibu jari, berwarna kehijauan,
macamnya seperti sebutir mutiara yang berkilauan, akan tetapi agak lunak. Itulah agaknya dongeng
tentang mustika naga itu!
Dengan hati-hati sekali Siang In menyimpan benda itu, dibungkusnya dengan sehelai sapu tangan bersih.
Sedangkan Kian Bu berkata, “Nona Bu Si Cian....“
dunia-kangouw.blogspot.com
Ci Sian terkejut dan memandang dengan mata terheran-heran, akan tetapi kemudian ia dapat menduga
dan menoleh kepada Siang In.
“Memang aku telah menceritakan riwayatmu kepada suamiku, Ci Sian.”
“Benar Nona. Aku sudah mendengar bahwa Nona adalah puteri dari Bu Seng Kin atau yang terkenal
dengan sebutan Bu-taihiap itu. Aku sendiri belum pernah berjumpa dengan orangnya, namun namanya
sudah terkenal lama di dunia kang-ouw. Nona, kami berdua sudah melihat bahwa Nona adalah orang yang
patut menjadi sahabat baik atau bahkan keluarga kami sendiri. Oleh karena itu, kalau sekiranya Nona
suka, aku ingin menurunkan semacam ilmu kepadamu yang akan menambah kepandaianmu dan
memperhebat ilmu silatmu. Kami akan tinggal di sini selama beberapa bulan, dan kalau engkau mau, aku
akan dapat mengajarkan ilmu itu kepadamu di sini.”
Siang In yang masih merangkulnya itu segera berkata, “Adikku, kesempatan baik sekali bagimu untuk
memperdalam ilmumu! Percayalah, suamiku tidak pernah bicara main-main. Kau temanilah kami di sini
mempelajari ilmu itu, karena bukankah engkau pun tidak mempunyai tujuan tertentu hendak ke mana?
Kalau ilmumu sudah lebih sempurna, tentu akan lebih mudah bagimu untuk merantau dan.... mencari
Suheng-mu.”
Ci Sian termenung sejenak. Ia tahu akan kelihaian pendekar ini dan sebagai seorang pendekar wanita
muda, tentu saja ia pun masih haus akan ilmu-ilmu yang hebat. Dan ia pun merasa amat cocok dengan
Siang In. Akhirnya ia menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Kian Bu dan berkata, “Terima kasih atas
kebaikan Taihiap.”
Siang In cepat membangunkan Ci Sian dan suaminya berkata, “Ah, mengapa sekarang engkau yang
bersikap sungkan, Nona? Aku hendak menurunkan ilmu yang paling diandalkan keluarga Pulau Es, yaitu
gabungan Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa aku lalu
menjadi gurumu atau melepas budi kepadamu! Aku hanya melihat bahwa engkau adalah orang yang
pantas memiliki ilmu keluarga kami itu.”
Tiba-tiba terdengar suara banyak orang datang ke tempat itu dan dari jauh saja sudah nampak obor-obor
yang mereka bawa. Kiranya mereka itu adalah para penghuni dusun yang dipimpin oleh kepala dusun.
Tadinya, orang-orang itu ketakutan setengah mati mendengar suara pekik-pekik yang dahsyat dari ular
raksasa. Akan tetapi setelah suara itu berhenti, mereka lalu bermunculan dari rumah masing-masing dan
dengan pimpinan Kepala Dusun, akhirnya mereka memberanikan diri untuk menuju ke goa.
“Kalau Dewa Ular mau mengampuni kita, itu baik sekali,” kata Kepala Dusun itu kepada semua orang.
“Akan tetapi kalau beliau marah dan hendak membasmi kita semua, dari pada mati konyol, lebih baik kita
melawan sampai mati! Lebih baik mati sebagai manusia yang pandai membela diri dari pada mati sebagai
tikus-tikus yang penakut!”
Ucapan penuh semangat ini, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kedatangan tiga ‘utusan dewa’ itu,
membakar semangat para penghuni dusun dan akhirnya, mereka pun mengumpulkan senjata seadanya,
membawa obor dan berbondong-bondong datang ke arah goa. Dari jauh mereka pun sudah melihat obor
yang dipasang di sekitar goa.
Dengan jantung berdebar-debar, mereka terus melangkah maju dan akhirnya mereka semua berdiri
terbelalak memandang ke depan goa, di mana berdiri tiga orang ‘utusan dewa’ itu dan di depan tiga orang
itu menggeletak tubuh ular besar yang tak bergerak-gerak! Ketika mereka semua melihat ke arah kepala
ular itu, tahulah mereka bahwa ular itu telah mati. Serentak mereka bersorak gembira dan mereka dipimpin
oleh Kepala Dusun untuk menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah tiga orang ‘utusan dewa’ itu!
Kian Bu menghadapi mereka dan berkata, suaranya nyaring dan penuh wibawa, “Saudara sekalian,
bangkitlah dan tidak perlu kalian terlalu memuja kami. Ketahuilah, kami sama sekali bukan utusan dewa.
Kami adalah manusia-manusia biasa yang menentang kejahatan, juga yang selalu siap menolong mereka
yang tertindas atau terancam. Kami datang untuk membasmi ular raksasa ini dan kami telah berhasil. Kami
tidak minta balasan apa-apa, hanya kami ingin tinggal untuk beberapa bulan di tempat ini, harap Saudara
sekalian tidak menaruh hati keberatan.”
Tentu saja Kepala Dusun dan para penghuni dusun itu sama sekali tidak keberatan, bahkan mereka
merasa girang dan bangga sekali. Berkat bantuan Kepala Dusun dan para penghuni dusun itu,
dunia-kangouw.blogspot.com
dibangunlah dua buah pondok kecil untuk suami isteri itu dan untuk Ci Sian dan mulai hari itu, tiga orang
pendekar itu tinggal di tepi hutan, di dekat goa. Bangkai ular itu atas anjuran Kian Bu lalu dikuliti oleh para
penghuni dusun, dagingnya dibagi-bagi dan dimasak. Kulit ular itu dijemur dan dijadikan semacam
‘lambang’ dusun itu, dipentang dan dipasang di dinding ruangan besar tempat tinggal Kepala Dusun, dan
dengan resmi mereka menyebut dusun mereka itu sebagai dusun Naga Hijau!
Kian Bu, juga mencari daun-daun dan akar-akar obat sebagai campuran Jeng-liong-cu (Mustika Naga
Hijau) itu, dimasak dan diminum oleh dia dan isterinya. Ramuan obat aneh ini setiap hari direbus dan
airnya diminum oleh mereka dengan penuh harapan.
Sementara itu, mulailah Kian Bu menurunkan ilmu pusaka dari Pulau Es, yaitu ilmu gabungan dua tenaga
sakti Hwi-yang Sinkang (Inti Api) Swat-im Sinkang (Inti Es). Ilmu ini adalah ilmu menghimpun tenaga dalam
yang harus dilatih setiap hari oleh Ci Sian dengan cara bersemedhi. Kadang-kadang dara ini dilatih
bersemedhi di dalam goa di mana dinyalakan api unggun besar sehingga udara di dalam goa itu pengap
dan panas bukan main. Namun, berkat latihan dan petunjuk Kian Bu, Ci Sian mampu bertahan bertapa di
dalam goa api ini sampai sehari penuh! Dan kadang-kadang dia diharuskan bersemedhi di puncak gunung
di tengah malam yang amat dingin, bahkan duduk bersemedhi dengan merendam tubuhnya di dalam
sumber air di hutan itu.
Karena memang Ci Sian berbakat baik dan juga amat, tekun, maka dengan cepat ia dapat menguasai
sinkang itu, bahkan lewat beberapa pekan kemudian ia telah mulai latihan menyalurkan tenaga gabungan
itu ke dalam gerak tangan, baik melalui pukulan tangan kosong atau pun melalui senjata suling emasnya.
Tiga bulan lewat dengan cepatnya. Selama itu, tiga orang pendekar ini dilayani oleh para penghuni dusun.
Mereka bertiga tidak kekurangan bahan makanan, karena sedikitnya sepekan sekali Kepala Dusun dengan
beberapa orang wakil penduduk tentu datang membawa bahan-bahan makanan hasil sawah ladang
mereka.
Sementara itu, Ci Sian telah berhasil menguasai ilmu dari keluarga Pulau Es. Tentu saja penguasaan ilmu
ini membuat ia menjadi semakin lihai, karena kini ilmu pedang yang dimainkan dengan sulingnya, yaitu
Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya bersama Kam Hong, bertambah kehebatannya.
Tadinya, ilmu itu sudah hebat sekali. Selain memiliki gerakan yang amat aneh dan lihai, juga gerakan
suling itu mengandung tenaga khikang yang sangat kuat, di samping ditambah lagi suara suling
melengking yang juga dapat melumpuhkan lawan. Semua kehebatan Kim-siauw Kiam-sut itu kini ditambah
lagi dengan penyaluran sinkang yang dapat diatur menurut kehendaknya, bisa dingin seperti es, bisa
panas seperti api!
Pada pagi hari itu, setelah semalam suntuk berlatih semedhi dengan hasil yang baik sekali, Ci Sian pergi
ke sumber air dan mencuci mukanya untuk mengusir kantuk yang mulai menyerangnya. Setelah mencuci
muka dan mengeringkan mukanya, ia lalu duduk di tepi air kolam di tepi sumber di mana airnya tergenang
penuh dan jernih sekali, juga air itu diam hanya bergerak sedikit sekali, seperti sebuah cermin ketika sinar
matahari menyinarinya.
Ia pun lalu mengurai rambut, menyisiri rambutnya yang panjang hitam dan halus itu. Baru kemarin ia
mencuci rambutnya itu dengan getah daun semacam daun lidah buaya dan rambut itu kini nampak halus
mengkilap dan bersih, berbau sedap karena ketika digelungnya, ia menaruh kembang mawar hutan di
rambutnya. Sambil bersisir, Ci Sian menjenguk ke dalam air, di mana ia melihat wajahnya terpantul dengan
jelasnya. Seraut wajah yang segar dan cantik manis, berbentuk bulat seperti bulan purnama. Karena raut
wajahnya itulah maka ia disebut Siauw Goat (Bulan Kecil) oleh kakeknya dahulu.
Teringat akan ini, terbayanglah semua pengalamannya dan teringatlah ia kembali pada Kam Hong,
suheng-nya. Dara itu menarik napas panjang dan sekali lagi ia menjenguk dan memandang wajahnya. Ia
menyeringai, lalu menjebirkan bibirnya kepada bayangan itu. Kemudian, melihat wajahnya yang lucu di
dalam air, ia geli dan tersenyum sendiri. Dan betapa manisnya ketika ia tersenyum.
“Ci Sian, engkau lebih bahagia ketika masih menjadi Siauw Goat dahulu,” katanya lirih, seolah-olah
bayangan di dalam air itu adalah orang lain yang dapat diajaknya bercakap-cakap. “Ketika itu, engkau
hidup bahagia dan selalu gembira di samping kakek, dimanja dan dicinta semua orang. Tapi sekarang?
Uhh, Suheng-mu yang paling kau sayang pun meninggalkanmu!” Tiba-tiba saja Ci Sian menangis!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sampai sekarang pun dia masih belum dapat menentukan perasaan apakah yang mengganggu hatinya ini.
Ia memang mencinta suheng-nya itu, akan tetapi apakah ini cinta kasih antara sumoi terhadap suheng,
antara seorang dara yang haus akan kasih sayang ayah bunda sehingga suheng-nya itu dianggapnya
sebagai pengganti ayah bundanya, kasih seorang murid terhadap gurunya, atau kasih sayang antara
sahabat yang dikaguminya dan dipujanya, ataukah ini kasih sayang seorang wanita terhadap seorang pria?
Ia tidak tahu!
Cinta kasih! Apakah itu sesungguhnya? Sudah sering kali pengarang mengajak para pembaca untuk
merenungkan dan mempelajari kenyataan hidup yang amat mukjijat ini, dan tiada bosannya pengarang
mengajak pembaca untuk merenungkannya kembali. Cinta kasih, apakah itu sesungguhnya? Betapa
halusnya!
Setiap orang merasakan keadaannya, tapi sekali mencoba untuk mengukurnya dengan pikiran-pikiran,
dengan kata-kata, maka kita kehabisan kata-kata untuk menyelaminya, kehabisan akal untuk dapat
menguraikannya. Kita terbiasa untuk membagi-bagi cinta kasih, karena kehabisan akal itu, membagibaginya
dengan cinta kasih antara anak dan orang tua, antara sahabat, antara warga dan negaranya,
antara suami dan isteri, pria dan wanita dan sebagainya.
Bahkan, saking bingungnya kita, saking dangkalnya pikiran ini untuk dipakai mengukur cinta kasih,
timbullah kata-kata untung-untungan bahwa cinta kasih itu buta, cinta kasih itu sorga, cinta kasih itu
sengsara, dan sebagainya! Akan tetapi, semua anggapan itu hanyalah menjadi pengetahuan mati
berdasarkan pengalaman masing-masing orang. Kalau orang merasa sengsara karena cinta, maka
dikutuknyalah cinta, dan kalau orang merasa bahagia, maka di pujanyalah.
Cinta kasih tidak pernah terpecah belah. Yang memecah belah adalah sang pikiran atau si aku yang selalu
mengambil kesimpulan senang susah, untung rugi.
Cinta kasih tak mungkin dapat diuraikan, karena bukan merupakan sesuatu yang mati, sesuatu yang sudah
pasti dan tidak berubah lagi, karena pikiranlah yang selalu berubah sesuai dengan keadaan diri pribadi.
Dengan pikiran kita yang dangkal, pikiran yang bukan lain hanya merupakan barang lapuk dan mati,
tumpukan hal-hal yang sudah lalu, pikiran yang tak mungkin dapat mengenal hal-hal yang baru, mana
mungkin kita dapat menentukan apakah sesungguhnya cinta kasih itu? Ratusan, bahkan ribuan orang yang
dinamakan kaum cerdik pandai boleh mengatakan bahwa cinta kasih adalah begini atau begitu, ini atau itu.
Namun, sampai sekarang, cinta kasih masih saja merupakan hal yang tidak kita mengerti benar.
Cinta kasih tidak mungkin dapat disentuh melalui pikiran yang lapuk dan usang. Cinta kasih adalah sesuatu
yang selalu baru, sesuatu yang terlalu agung untuk dapat diraba oleh panca indera dan pikiran. Oleh
karena itu, agaknya hanya ada satu jalan untuk menyentuhnya, yaitu kita harus membebaskan diri dari
pada yang lapuk-lapuk itu, kita membiarkan diri kosong dari pada segala pengetahuan tentang cinta kasih
yang selalu didasari untung rugi si aku ini.
Kita membiarkan diri bersih dari pada segala yang BUKAN CINTA KASIH. Yang bukan cinta kasih itu tentu
saja adalah pementingan diri sendiri, kemarahan, kebencian, permusuhan, iri hati, dan segala hal yang
menimbulkan konflik antara kita dengan orang lain, bahkan antara kita dengan kita sendiri, dengan pikiran
sendiri. Dalam keadaan kosong itu, kosong tanpa dibuat-buat, dalam keadaan bebas itu, dalam keadaan
bersih itu, seperti kaca yang sudah bersih dari pada debu, mungkin saja sinar cinta kasih akan dapat
menembus masuk! Dan kalau sinar cinta kasih sudah menembus masuk, kiranya tidak ada lagi persoalan,
tidak ada lagi pemecah-belahan.
Ci Sian merupakan seorang manusia, satu di antara kita yang menjadi bingung oleh perasaan sendiri, oleh
karena pikirannya sendiri. Ia hidup selama beberapa bulan di dekat sepasang suami isteri, dan memang
semenjak tinggal di situ, antara suami isteri itu nampak kemesraan yang lebih dari pada yang sudah-sudah.
Menyaksikan suami isteri yang hidup saling mencinta, penuh kasih sayang dan kemesraan ini, tentu saja
menimbulkan semacam perbandingan dalam hati Ci Sian.
Ia membandingkan keadaannya dengan keadaan Siang In, seorang wanita lain, dan timbullah rasa iba diri
dan mungkin juga rasa iri hati ini. Rasa iba diri ini membuat ia merasa sengsara dan tidak bahagia, bahkan
menimbulkan rasa rindunya kepada Kam Hong, satu-satunya pria yang selama ini dekat dengan hatinya!
Ci Sian sudah berhenti menangis, dara ini memang tidak pernah dapat lama menangis. Hatinya yang keras
membuat ia mudah menguasai hatinya kalau sedang dirundung kedukaan. Ia menjenguk ke air lagi, makin
dunia-kangouw.blogspot.com
mengkal hatinya melihat matanya menjadi merah. Ditamparnya air di depannya itu dan tanpa disengaja dia
mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang sehingga ada butiran-butiran air yang membeku menjadi es!
Dengan bersungut-sungut, mulutnya yang berbibir merah itu cemberut, karena hatinya yang tadi berduka
itu sekarang menjadi jengkel. Ia lalu menggelung rambutnya dengan sembarangan saja. Tiba-tiba ia
meloncat kaget. Telinganya yang berpendengaran tajam itu dapat menangkap suara yang tidak wajar.
Begitu meloncat ia sudah membalikkan tubuhnya sambil membentak, “Siapa di situ?”
Dari balik semak-semak belukar muncullah dua orang pria. Pakaian mereka sederhana, seperti pakaian
pertapa atau pendeta, dan kepala mereka tertutup topi tosu berwarna kuning. Usia mereka antara tiga
puluh sampai empat puluh tahun. Begitu mereka muncul dari balik semak-semak, kedua orang pria ini
berdiri dengan bengong seperti patung memandang kepada Ci Sian.
Memang hebat bukan main dara ini di pagi hari itu. Hebat saking cantik dan manisnya! Kecantikan asli,
seperti keindahan alam, seperti setangkai bunga bermandikan embun, seperti ujung ranting berdaun
dibelai angin, seperti segumpal awan berarak di angkasa. Cantik jelita dan indah mempesona! Pakaian
dara itu sederhana saja, namun tidak dapat menyembunyikan kepadatan tubuhnya dengan lekuk-lengkung
yang sempurna.
Rambutnya yang hitam halus dan lebat itu digelung sembarangan saja, anak rambut atau sinom di jidatnya
berjuntai dan melingkar-lingkar. Leher yang panjang itu seperti leher anak angsa, nampak kulit leher yang
putih halus, wajahnya yang bulat seperti bulan purnama itu manis. Sepasang mata yang sedang merah itu
mengeluarkan sinar mencorong dan sungguh pun agak merah karena habis menangis, akan tetapi tidak
mengurangi kejelitaannya. Hidung yang kecil mancung itu agar merah, masih ada bekas tangis di ujung
hidung yang kemerahan. Sedangkan mulut yang kecil mungil itu masih cemberut, namun tidak membuat
wajah itu kehilangan kemanisannya. Dagunya runcing agak berlekuk, dan biar pun dara itu sedang marah,
namun tekukan bibirnya membuat lesung pipit di pipi kiri, dekat mulut, nampak membayang sudah.
Pokoknya wuihhh…..
Orang termuda dari dua tosu itu menahan napas, kemudian menarik napas panjang dan dengan mata
yang tak pernah dapat berkedip itu, sepasang mata yang lebar sekali, memandang wajah Ci Sian bagaikan
hendak ditelannya bulat-bulat dengan pandang matanya, tosu ini berkata, “Siancai....! Bidadarikah?
Silumankah....?”
Kalau saja ia berada dalam keadaan biasa, tentu Ci Sian akan menilai ucapan ini sebagai kekagetan biasa
saja dan mungkin ia akan merasa geli dan menurutkan wataknya yang kadang-kadang kekanak-kanakan
dan nakal, mungkin saja dia akan menggoda dua orang ini yang membayangkannya bidadari atau siluman.
Akan tetapi, pada saat itu hatinya sedang mengkal, sedang jengkel karena duka. Oleh karena itu, sikap
dan ucapan tosu itu dianggapnya sebagai ejekan, sebagai kekurang ajaran, atau bahkan sebagai
penghinaan yang membuatnya marah sekali!
Memang demikianlah kenyataan yang dapat kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita menjadi
jengkel, kita menjadi marah, kita menjadi sakit hati, semua ini sama sekali bukan disebabkan oleh keadaan
di luar diri kita. Sebab utamanya adalah terletak dalam diri kita sendiri. Keadaan di luar itu merupakan
suatu fakta dan yang memegang peran penting adalah tanggapan pikiran kita terhadap fakta di luar diri itu.
Dan tanggapan ini sendiri terpengaruh kuat sekali oleh keadaan hati.
Tanggapan-tanggapan terhadap keadaan di luar ini selalu berubah. Akan berbeda sekali tanggapan kita
dalam keadaan hati senang dibandingkan dengan tanggapan di waktu hati sedang mengkal. Jadi,
kemarahan adalah buatan kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari sebab kemarahan di luar diri kita,
kita menyalahkan orang lain atau benda atau keadaan di luar diri kita, tidak mau menjenguk ke dalam
sehingga kita tidak melihat bahwa kemarahan adalah buatan kita sendiri, disebabkan oleh tanggapan kita
sendiri.
“Kalian berdua ini tikus-tikus dari mana berani menghinaku? Apakah kalian sudah bosan hidup?” demikian
Ci Sian yang merasa dipermainkan atau dihina ini membentak sambil melangkah maju dan bertolak
pinggang.
Dua orang tosu yang tadinya terpesona oleh kecantikan asli seorang dara remaja di tengah-tengah hutan
sunyi itu, benar-benar terpesona dan sama sekali tidak bermaksud untuk kurang ajar, kini terkejut. Yang
tadi mengeluarkan suara adalah seorang tosu, akan tetapi betapa pun juga, dia adalah seorang laki-laki
yang masih muda, baru kurang lebih tiga puluh lima tahun usianya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bagi seorang laki-laki yang usianya sebegitu, tidak anehlah kalau daya tarik kecantikan wanita masih
sangat kuat baginya sehingga ucapannya tadi terpancing keluar dari mulutnya langsung dari hati yang
terpikat, untuk menyatakan pujiannya. Kini, melihat sikap dan mendengar ucapan Ci Sian, mereka terkejut
sekaligus juga tidak senang, mengerutkan alis. Bagi dua orang tosu ini, tidak pantaslah kalau seorang dara
remaja demikian keras kata-katanya.
Karena dimaki tikus yang bosan hidup, tosu ke dua yang hidungnya bengkok, menjadi penasaran dan
marah. Tosu ini usianya sudah mendekati empat puluh tahun. “Sute, ia sudah pasti bukan bidadari.
Mendengar kata-katanya, ia lebih pantas kalau seorang siluman!”
Ucapan ini bagaikan minyak bakar yang disiramkan kepada api kemarahan Ci Sian. Sepasang alisnya
bergerak naik dan matanya menjadi makin mencorong mengeluarkan sinar kilat. “Bagus, bedebah keparat,
kalian patut dihajar!” bentaknya dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah meluncur ke depan dengan kecepatan
yang luar biasa, dua tangannya sudah bergerak menampar ke arah muka dua orang tosu itu.
“Siancai....!” Tosu bermata lebar itu berseru, terkejut menyaksikan gerakan dara itu yang benar-benar amat
cepat, apalagi ketika merasa betapa dari tangan yang menampar itu keluar hawa pukulan dahsyat yang
terasa amat dingin!
“Plak! Plak!”
Dua orang tosu itu menangkis dan akibatnya mereka terdorong ke belakang dan hampir saja terjengkang.
Namun mereka dapat berjungkir balik dan ternyata mereka memiliki gerakan yang tangkas juga. Akan
tetapi muka mereka merah sekali oleh kenyataan betapa tamparan seorang dara remaja belasan tahun
saja sudah membuat mereka hampir jatuh. Hal ini mendatangkan rasa penasaran dan marah.
“Ehhh, bocah galak dan kurang ajar! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau sedang berhadapan!” kata
tosu hidungnya bengkok.
“Tentu saja aku tahu!” teriak Ci Sian yang sudah marah sekali. “Kalian adalah dua orang hidung kerbau!”
Kedua orang itu menjadi marah. “Bagus, agaknya karena mengandalkan sedikit ilmu silat, engkau bocah
setan menjadi kurang ajar!” teriak tosu mata lebar dan dia pun sudah menubruk maju, menggerakkan
kedua tangannya. Dengan cara yang cepat dan bertubi-tubi kedua tangan itu telah melakukan serangan,
yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dari atas, sedangkan yang kanan sudah menusuk
lambung dengan tangan miring.
“Huh, kerbau busuk!” Ci Sian memaki lagi dan ia sama sekali tidak mau mengelak, akan tetapi kedua
tangannya bergerak menangkis dan sekali ini dikerahkannya tenaga gabungan yang selama tiga bulan ini
dilatihnya di bawah petunjuk Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu.
“Desss....!”
Tangkisan itu hebat sekali dan karena Ci Sian sendiri belum dapat mengukur sampai di mana kehebatan
tenaga sinkang yang baru saja dilatihnya itu, ia telah mengerahkan tenaga lebih dari setengah bagian dan
akibatnya, tosu bermata lebar itu terlempar ke belakang seperti sebuah layang-layang putus talinya dan
jatuh terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Dari mulutnya mengalir darah segar! Tentu saja
temannya menjadi kaget bukan main. Tosu berhidung bengkok ini tidak seceroboh sute-nya. Dia tahu dari
tangkisan tadi bahwa nona itu memiliki kepandaian yang hebat, dan kini melihat sute-nya sekali tangkis
saja roboh pingsan, dia pun tahu bahwa dia bukan tandingan nona itu.
“Siancai...., sungguh ganas dan kejam....!” katanya dan dia pun lalu memondong tubuh sute-nya,
dipanggulnya dan larilah tosu itu dari tempat itu.
Ci Sian sendiri juga terkejut menyaksikan akibat dari pada tangkisannya tadi dan diam-diam ia pun merasa
menyesal. Betapa pun juga, tosu-tosu itu hanya mengeluarkan kata-kata pujian karena terkejut dan heran
mendapatkan seorang nona muda seperti dirinya di dalam hutan itu, maka tidak semestinya kalau hanya
untuk kesalahan seperti itu ia menurunkan tangan ganas. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan karena
ingin tahu siapa adanya mereka dan dari mana mereka datang, Ci Sian lalu membayangi tosu berhidung
bengkok yang memanggul tubuh sute-nya yang pingsan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tosu berhidung bengkok itu dapat lari cepat sekali dan hal ini saja menunjukkan bahwa dia bukan orang
sembarangan. Untung bagi Ci Sian bahwa dara ini pun sekarang telah memiliki ilmu kepandaian yang amat
tinggi sehingga dengan mudah ia dapat terus membayangi ke mana perginya tosu itu.
Sesungguhnya, dua orang tosu itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah murid-murid tingkat
pertengahan dari perkumpulan atau partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal itu! Di dalam dunia
persilatan, di samping Siauw-lim-pai dan beberapa buah partai lain, maka Kun-lun-pai juga termasuk partai
yang terbesar dan mernpunyai banyak murid-murid yang pandai dan menonjol di dunia kang-ouw. Kun-lunpai
berpusat di Pegunungan Kun-lun-san dan pusat itu letaknya di balik puncak, tidak begitu jauh dari
dusun yang kini bernama dusun Naga Hijau itu.
Tentu saja orang-orang Kun-lun-pai tahu akan adanya ular hijau yang amat berbahaya itu. Karena ular itu
pun tidak pernah mengganggu manusia dan berada di tempat yang jauh dari tempat kediaman manusia,
maka para tosu Kun-lun-pai yang menganggap ular itu bukan binatang sembarangan saja, tidak mau
mengganggunya. Sebagian besar para pimpinan Kun-lun-pai adalah pertapa-pertapa yang menganut
Agama To dan dalam agama ini memang terdapat kepercayaan akan keajaiban-keajaiban alam dan hal-hal
gaib yang tidak dapat diukur oleh pikiran manusia. Maka, para pimpinan Kun-lun-pai sendiri yang melarang
murid-muridnya untuk mengganggu ular hijau itu.
Bagi para tosu yang suka berfilsafat itu, binatang di hutan jauh lebih bersih dari pada manusia di kota.
Binatang hutan memang ada yang menerkam dan makan lain binatang, akan tetapi hal itu dilakukannya
tanpa ada kebencian, melainkan karena dorongan perut lapar. Bahkan jarang ada binatang akan
menyerang manusia kalau tidak diganggu terlebih dahulu. Berbeda dengan manusia yang saling benci,
saling bunuh dan saling tipu hanya disebabkan karena ingin hidup sendiri, ingin senang sendiri.
Sebagai sebuah partai persilatan yang besar, Kun-lun-pai juga menjaga nama dan tidak sembarangan
mencampuri urusan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai, bahkan tidak pernah mau
mencampuri urusan dunia kang-ouw. Sebagian besar di antara para pendekarnya berjiwa pahlawan dan
walau pun jarang di antara mereka yang menjadi prajurit atau panglima, namun mereka tidak pernah
memberontak dan selalu berpihak kepada pemerintah dan selain menentang para penjahat, mereka pun
menentang pemberontakan.
Berita tentang terbunuhnya ular hijau itu sampai juga ke Kun-lun-pai. Para tosu yang menjadi pimpinan
Kun-lun-pai, mendengar hal ini dan ada perasaan tidak senang di dalam hati mereka mendengar ada orang
luar yang datang membunuh ular hijau itu. Akan tetapi, mereka tidak menganggap hal itu sebagai urusan
besar, maka mereka hanya mengutus dua orang murid pertengahan itu untuk melakukan penyelidikan dan
menanyakan siapa gerangan pendekar yang mampu membunuh ular hijau yang amat berbahaya dan
tangguh itu.
Dua orang tosu itu adalah Lim-cu dan San-cu, yaitu Si Hidung Bengkok dan Si Mata Lebar. Mereka
mendatangi dusun Naga Hijau dan saat mereka mendengar bahwa yang membunuh ular hijau adalah
seorang pendekar bersama dua orang wanita, mereka tertarik sekali. Apalagi mendengar bahwa tiga orang
pendekar itu masih tinggal di tempat di mana mereka membunuh ular, dengan mendirikan pondok-pondok
sederhana dan seperti melakukan tapa, dua orang tosu itu segera pergi menyelidiki dan mereka bertemu
dengan Ci Sian. Malang bagi mereka, kekaguman mereka itu diterima dengan salah oleh Ci Sian sehingga
terjadi perkelahian yang mengakibatkan San-cu terluka cukup parah.
Pada waktu itu, yang menjadi Ketua Kun-lun-pai adalah Thian Heng Tosu, seorang kakek berusia enam
puluh tahun yang jarang keluar dari tempat pertapaannya. Urusan perkumpulan dipegang oleh seorang
wakilnya, yang menjadi sute-nya sendiri, yaitu Thian Kong Tosu, seorang tosu yang usianya juga sudah
enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan bersikap lembut karena selain ahli ilmu silat tinggi, juga Thian
Kong Tosu ini seorang sastrawan yang pandai.
Memang para anggota Kun-lun-pai tidak pernah ada yang menjadi pemberontak dan tiada pula yang
menjadi pembesar atau prajurit pemerintah, akan tetapi dari ketuanya sampai para muridnya, mereka
adalah patriot-patriot sejati yang mencinta tanah air dan bangsa. Oleh karena itu, tentu saja dengan
adanya penjajahan bangsa Mancu terhadap Tiongkok, diam-diam mereka semua merasa sedih sekali dan
hal ini pula yang membuat Thian Heng Tosu seperti enggan berurusan dengan dunia.
Ketika bangsa Mancu mulai menyerbu Tiongkok, para pendekar Kun-lun-pai ikut pula berjuang menghalau
musuh, namun kekuatan Mancu tak dapat dibendung dan akhirnya bangsa Mancu berhasil menguasai
Tiongkok. Semua adalah karena kelemahan Kaisar sendiri. Bangsa Mancu yang pandai itu makin
dunia-kangouw.blogspot.com
memperkuat diri sehingga cengkeraman mereka di bumi Tiongkok amat kokoh kuatnya dan semua usaha
para patriot untuk memberontak dan menentang penjajah ini gagal belaka. Hal inilah yang membuat hati
Thian Heng Tosu menjadi tertekan dan ia selalu menyembunyikan diri dalam pertapaan dan memesan
kepada semua murid agar jangan lancang dan ceroboh menentang pemerintah yang amat kuatnya itu.
Biar pun dia selalu menyembunyikan diri, bukan berarti bahwa Thian Heng Tosu tidak memperhatikan
keadaan perkumpulannya. Dia setiap sepekan sekali menerima laporan dari sute-nya, yaitu Thian Kong
Tosu tentang keadaan di luar, dan mendengar betapa kaisar yang sekarang ini sewenang-wenang, bahkan
membakar Kuil Siauw-lim-si dan sebagai seorang bekas murid Siauw-lim-pai telah murtad terhadap
perguruan itu, Thian Heng Tosu menjadi semakin prihatin.
Dan selain tetap memperhatikan perkumpulannya, juga siang malam tiada hentinya dia menurunkan ilmuilmunya
dan menggembleng seorang murid yang paling disayangnya, yaitu seorang pemuda yang
bernama Cia Han Beng. Walau pun pemuda itu baru berusia dua puluh satu tahun, namun dia hampir
dapat menguasai semua ilmu yang dimiliki gurunya, yaitu Ketua Kun-lun-pai yang sakti itu.
Demikianlah keadaan Kun-lun-pai secara singkat dan kita ikuti kembali Ci Sian yang membayangi dua
orang tosu Kun-lun-pai itu. Setelah melewati puncak yang tertutup salju, akhirnya Ci Sian melihat tosu
berhidung bengkok itu membawa sute-nya yang dipanggul ke dalam sebuah kumpulan bangunan dikelilingi
pagar tembok. Dari atas puncak, nampak oleh Ci Sian bahwa bangunan itu sudah kuno dan amat
sederhana namun kuat, dan di tengah-tengah kelompok bangunan itu terdapat bangunan seperti kuil.
Wuwungan atap kuil itu dihias dengan ukiran sepasang naga berebut mustika.
Ia tidak berani sembarangan memasuki tempat yang tampak sunyi itu, karena melihat betapa tosu
berhidung bengkok itu mampu memanggul sute-nya dan berlari tanpa berhenti sampai demikian jauhnya,
ia tahu bahwa tosu itu lihai dan tentu di tempat itu terdapat banyak orang pandai. Ci Sian berindap-indap
menghampiri sebelah depan pagar tembok dan dari jauh saja sudah nampak olehnya huruf-huruf yang
ditulis dengan gaya yang amat gagah, tertulis di atas papan depan pintu gerbang. Yang nampak paling
besar dan mengejutkan hatinya adalah tulisan tiga huruf yang berbunyi : KUN LUN PAI.
Jantungnya berdebar tegang. inikah pusat perkumpulan Kun-lun-pai yang kabarnya merupakan partai
persilatan besar yang memiliki banyak pendekar yang pandai itu? Tentu saja ia sudah sering mendengar
tentang Kun-lun-pai yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Alisnya berkerut. Ia mendengar bahwa Kunlun-
pai adalah sebuah perkumpulan besar yang melahirkan pendekar-pendekar sakti. Akan tetapi mengapa
dua orang tosu itu demikian kurang ajar dan biar pun mereka memiliki kepandaian yang lumayan, akan
tetapi masih tidak cukup tinggi seperti yang pernah didengarnya tentang Kun-lun-pai?
Nama perkumpulan ini membuat ia bersikap hati-hati dan membuat ia mengenang kembali apa yang terjadi
tadi. Setelah menggunakan pikiran yang dingin, tidak terbakar oleh perasaan marah, diam-diam dara ini
harus mengakui bahwa dua orang tosu itu sesungguhnya belum dapat dikatakan kurang ajar. Wajarlah
kalau dua orang tosu itu terkejut melihatnya, wajar pula kalau seorang di antara mereka memuji
kecantikannya. Ia sendiri yang terburu nafsu dan marah-marah, malah memaki dua orang tosu itu. Betapa
pun juga, setelah membayangi sampai di sini, ia harus memasuki tempat itu dan melihat apakah benar
bahwa dua orang tosu itu adalah orang-orang Kun-lun-pai. Kalau memang benar, masih belum terlambat
baginya untuk minta maaf.
Melihat keadaan yang sunyi, timbul keberanian hati Ci Sian dan dengan gerakan ringan sekali ia sudah
meloncat ke atas pagar tembok itu dan sejenak diamatinya sebelah dalam. Juga sunyi dan tidak nampak
seorang pun manusia, maka ia menjadi penasaran dan meloncatlah ia ke dalam. Kemudian, karena ia
merasa bahwa mengintai dari atas genteng merupakan keadaan yang paling aman karena dari situ ia
dapat melihat ke sekelilingnya, dara ini lalu meloncat lagi ke atas genteng yang paling rendah, tanpa
mengeluarkan sedikit pun suara. Dari sini ia berloncatan ke atas genteng dari bangunan yang paling besar
yang terletak di belakang kuil.
Dari atas genteng, ia mengintai dengan menggeser dua buah genteng. Ia melihat sebuah ruangan yang
cukup luas di bawah bangunan itu dan sungguh mengherankan sekali. Kalau tempat tadi amat sunyi
seolah-olah tidak ada penghuninya, ternyata di dalam ruangan itu terdapat banyak orang. Mereka semua
terdiri dari tosu-tosu yang kebanyakan sudah berusia lima puluh tahun lebih, duduk bersila membuat
lingkaran lebar di atas lantai yang beralaskan tikar. Dan di antara belasan orang tosu ini, nampak seorang
tosu yang usianya sudah enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, sikapnya tenang dan wajahnya
lembut dan ramah. Di depan tosu ini nampak tosu hidung betet berlutut dan tosu mata lebar yang terpukul
pingsan tadi rebah telentang di depan tosu tua.
dunia-kangouw.blogspot.com
Biar pun mereka itu belasan orang jumlahnya, namun semua diam tak mengeluarkan suara, bahkan tidak
bergerak, duduk bersila seperti orang dalam semedhi. Hanya tosu tua itulah yang menggerakkan jari
tangannya menotok beberapa kali setelah memeriksa tubuh tosu bermata lebar yang sudah siuman akan
tetapi masih nampak menyeringai kesakitan itu.
“Nah, engkau sudah sembuh, boleh bangkit sekarang,” kata tosu tua itu dengan halus. Dan tosu mata lebar
lalu bangkit dan benar saja, dia tidak lagi merasa nyeri dan cepat dia berlutut menghaturkan terima kasih.
“Sekarang, ceritakan apa yang telah terjadi,” katanya kemudian.
Tosu berhidung bengkok yang menjadi suheng dari tosu yang pingsan tadi segera menceritakan
pengalamannya bersama sute-nya ketika mereka berdua melakukan penyelidikan ke dusun Naga Hijau
tentang berita dibunuhnya naga hijau itu.
“Teecu berdua menyelidiki ke dalam dusun itu dan dari para penduduk dusun teecu mendengar bahwa
yang membunuh ular itu adalah seorang pria gagah perkasa bersama isterinya dan seorang dara muda.
Menurut cerita mereka, tiga orang itu memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Karena teecu mendengar
bahwa tiga orang itu masih berada di dalam hutan, bahkan membuat dua pondok dan tinggal di situ
melakukan semedhi, teecu berdua lalu melakukan penyelidikan ke sana.”
Semua tosu mendengarkan penuturan itu dengan hati tertarik, bahkan Ci Sian sendiri juga ikut
mendengarkan dan ia ingin tahu apa yang akan diceritakan oleh dua orang ini tentang dirinya.
“Teecu berdua melakukan penyelidikan ke dalam hutan dan kami terkejut bukan main ketika bertemu
dengan seorang dara muda yang cantik seorang diri di hutan itu….” Kemudian Lim-cu, tosu hidung
bengkok itu menceritakan pengalamannya bersama sute-nya ketika menegur dara itu sehingga timbul
percekcokan yang disusul dengan perkelahian. Segala yang terjadi diceritakannya tanpa ada yang ditutupi.
Mereka menceritakan betapa dara itu menjadi marah ketika mereka mengucapkan kata-kata kagum, dan
betapa dara itu menyerang lebih dulu kemudian memaki-maki mereka dengan kata-kata menghina
sehingga timbul perkelahian. Betapa dara itu amat lihainya sehingga sute-nya roboh pingsan. Mendengar
cerita tosu itu yang demikian jelas tanpa ditutup-tutupi, tanpa menyembunyikan kesalahan diri sendiri atau
membela diri sendiri, wajah Ci Sian berubah merah.
Mendengar penuturan yang jelas itu, ia melihat kembali segala yang terjadi dan merasa betapa ia sudah
bersikap keterlaluan karena salah sangka. Ia mengira bahwa tosu-tosu itu mata keranjang dan kurang ajar,
dan tanpa penyelidikan lebih dulu ia sudah marah-marah. Kini nampaklah ia betapa tanpa adanya Kam
Hong di sampingnya, ia memang merupakan seorang muda yang pemarah dan ceroboh sekali. Namun ia
mendengarkan terus, ingin tahu tanggapan para tosu di situ, terutama tosu tua yang halus dan amat
berwibawa itu.
“Siancai.... tidak ada akibat tanpa sebab, dan sebab itu selalu berada di dalam diri sendiri. Lim-cu dan Sancu,
kalau kalian mau mengamati diri sendiri, akan nampak jelaslah bahwa walau pun kalian tidak
mempunyai niat buruk, namun kalian telah bersikap sembrono dan mengeluarkan kata-kata tanpa diteliti
dan sembarangan saja sehingga kalian menimbulkan kemarahan nona itu. Dan nona itu pun agaknya
terlalu mengandalkan kepandaiannya hingga ia menjadi ringan tangan, mudah saja memukul orang.
Biarlah hal ini menjadi pelajaran bagi kalian agar lain kali bersikap tenang, jangan sampai menimbulkan
perkiraan orang bahwa kalian adalah tosu-tosu yang kurang ajar.” Kakek itu menarik napas panjang. “Ini
adalah akibat keadaan, ahhh, betapa banyaknya orang-orang yang berpakaian pendeta, yang bersikap
seperti orang suci, ternyata masih menyimpan kecabulan di dalam hatinya....“
Kemudian tosu itu mengangkat mukanya ke atas, ke arah tempat Ci Sian mengintai, dan dara itu terkejut
bukan main melihat sepasang mata yang seolah-olah mencorong dan sinarnya seperti menembus
genteng! “Nona, sejak tadi Nona sudah mengintai dan mendengarkan segalanya. Kami tidak menyimpan
rahasia, maka kalau ingin bicara, silakan turun!”
Ci Sian terkejut sekali dan merasa malu. Ia ingin lari dari situ, akan tetapi ketika ia bangkit berdiri dan
menengok, ternyata tempat yang tadinya sunyi itu kini penuh dengan tosu yang berbaris rapi, menjaga dan
mengurung tempat itu seperti pagar manusia yang berdiri diam seperti patung! Bangunan di mana ia
mengintai di atas itu terkurung oleh belasan tosu, dan di atas pagar tembok juga nampak beberapa orang
tosu berdiri, dan pintu gerbang juga dijaga ketat. Tahulah ia sekarang bahwa tempat itu sama sekali bukan
dunia-kangouw.blogspot.com
sunyi, dan juga sama sekali Kun-lun-pai bukan perkumpulan yang lengah, melainkan ia sengaja dibiarkan
masuk dan setelah ia masuk, barulah jalan keluarnya tertutup!
Ci Sian menjadi marah dan ada dorongan hatinya untuk keluar dan mengamuk, akan tetapi ia teringat
bahwa ia bukanlah seorang pencuri, bahwa kedatangannya hanya ingin tahu lebih banyak tentang dua
orang tosu tadi. Sudah kepalang basah, pikirnya. Lebih baik menyelam sekali! Dan dia pun lalu membuka
genteng dan meloncat ke dalam ruangan itu dengan gerakan yang amat ringan sehingga pada waktu
kedua kakinya menyentuh lantai ruangan itu, tidak terdengar sedikit pun suara. Begitu Ci Sian turun, para
tosu itu menggeser diri dan mundur, namun masih duduk bersila seperti tadi dan wajah mereka nampak
tenang saja.
Thian Kong Tosu bangkit berdiri dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya, memandang dengan
wajah berseri dan sepasang mata kagum. “Sungguh tak dapat pinto menyalahkan murid-murid Kun-lun-pai
yang mengeluarkan kata-kata pujian pada Nona. Memang Nona adalah seorang nona muda yang selain
cantik, juga memiliki kegagahan luar biasa, dan mengingat betapa Nona masih begini muda sudah memiliki
ilmu kepandaian tinggi, sungguh membuat orang merasa kagum sekali.”
Wajah Ci Sian berubah merah. Kini baru ia merasa betapa bodohnya ketika ia marah-marah mendengar
pujian dua orang tosu itu. Ia tidak dapat membedakan antara pujian setulusnya dan pujian yang bersifat
menjilat atau pujian orang yang mata keranjang. Pujian yang dikeluarkan dari mulut dua orang tosu tadi
tidak ada bedanya dengan pujian tosu tua ini. Akan tetapi, Ci Sian memang memiliki watak keras dan
pantang mundur. Ia memang merasa salah, akan tetapi ia merasa malu kalau hanya minta maaf begitu
saja. Kalau ia salah, biarlah ia dihukum dan hukumannya sesuai dengan kesalahannya tadi!
Maka ia pun cepat menjura kepada tosu tua itu dan berkata, suaranya lantang sekali dan sedikit pun tidak
memperlihatkan rasa takut, “Totiang, telah lama sekali saya mendengar tentang Kun-lun-pai, bahwa Kunlun-
pai adalah sebuah partai persilatan besar yang para anggotanya terdiri dari pendekar-pendekar yang
lihai! Saya telah salah paham mengira dua orang tosu Kun-lun-pai sebagai orang-orang kurang ajar dan
saya sudah kesalahan turun tangan. Oleh karena itu, setelah saya berada di sini, maka saya ingin sekali
memperoleh pelajaran dari Ketua Kun-lun-pai sendiri. Apakah Totiang ini Ketua Kun-lun-pai?”
Bukan main ucapan itu, merupakan tantangan halus kepada Ketua Kun-lun-pai. Semua tosu yang hadir di
situ adalah tosu-tosu kaum atasan dari Kun-lun-pai, dari tingkat tiga ke atas. Mendengar ucapan ini, semua
mata ditujukan kepada Ci Sian dan semua alis dikerutkan. Jarang sekali, bahkan belum pernah ada orang
berani menantang Ketua Kun-lun-pai, walau pun tantangan itu disembunyikan di balik kata-kata minta
pelajaran.
“Siancai....! Sungguh seorang dara yang bersemangat baja! Mengagumkan sekali. Nona yang merasa
salah ingin menembus kesalahannya dengan membiarkan diri dihajar oleh Ketua Kun-lun-pai! Sungguh
membayangkan ketabahan yang luar biasa sekali!” Ucapan itu baru menyadarkan semua tosu dan kini
mereka memandang kagum. Ci Sian sendiri terkejut karena rahasia hatinya ternyata dapat dilihat
sedemikian mudahnya oleh tosu tua ini.
“Apakah Totiang yang terhormat Ketua Kun-lun-pai?” tanyanya, memandang tajam. Ingin ia mencoba
kepandaian tosu tua yang bermata tajam mencorong ini.
Thian Kong Tosu menggeleng kepala sambil tersenyum. “Bukan, Nona, pinto bukanlah Ketua Kun-lunpai....”
“Totiang, nama saya Ci Sian. Harap Totiang suka memberi tahu siapa ketua di sini dan suka
menyampaikan permintaan saya untuk menerima pelajaran darinya!” Ucapan ini pun membayangkan
keterbukaan dara itu yang memperkenalkan namanya lebih dulu dan menyampaikan keinginannya tanpa
banyak bunga kata-kata lagi.
Thian Kong Tosu tertawa dan mengelus jenggotnya, “Siancai...., sungguh membuat hati tua ini menjadi
kagum. Nona, pinto adalah Thian Kong Tosu yang mewakili suheng Thian Heng Tosu mengurus
perkumpulan ini. Ketua kami adalah Thian Heng Tosu, akan tetapi sejak lama beliau tidak pernah keluar
dari tempat semedhinya. Untuk urusan apa pun beliau tidak pernah mau keluar, apalagi untuk melayani
Nona yang ingin menguji kepandaiannya. Harap Nona maklum dan tidak mendesak kami.”
Ci Sian mengerutkan alisnya. Penolakan tantangan pi-bu secara halus ini hanya dapat disebabkan oleh
dua hal. Pertama, yang ditantang takut menghadapinya, dan ke dua, yang ditantang memandang rendah
dunia-kangouw.blogspot.com
padanya sehingga merasa tidak perlu melayaninya. Dan tidaklah mungkin jika Ketua Kun-lun-pai takut
kepadanya, maka ia pun mengambil kesimpulan bahwa pihak Kun-lun-pai memang memandang rendah
padanya sehingga mempergunakan alasan itu karena memandang tidak perlu melayani tantangan seorang
muda seperti dirinya!
“Totiang, kalau Ketua Kun-lun-pai merasa terlalu tinggi untuk melayani saya, biarlah beliau mewakilkan
kepada jagoan Kun-lun-pai yang terpandai untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada saya, sebagai
tanggung jawab saya yang tadi telah melukai seorang murid Kun-lun-pai!”
Thian Kong Tosu tersenyum maklum. “Tidak ada yang mendendam atas peristiwa tadi, Nona, tidak ada
yang menganggap ringan kepadamu....”
“Totiang! Saya tidak akan merasa puas sebelum menerima petunjuk dari Kun-lun-pai!”
“Nona, sudah lama Kun-lun-pai tidak pernah bentrok dengan pihak mana pun juga. Kalau Nona memaksa,
sungguh kami merasa tidak enak sekali kepada perguruan Nona. Tidak patutlah kalau kami pihak yang
lebih tua menghina Nona yang begini muda...., kami tentu tidak ada muka untuk berhadapan dengan
perguruanmu, Nona.”
“Jangan khawatir, Totiang. Tidak akan ada orang dari perguruan saya yang menuntut. Ketahuilah, saya
tidak mempunyai guru, hanya seorang suheng. Kami berdua adalah keturunan yang mewarisi ilmu dari
Suling Emas! Nah, inilah sulingku dan saya mohon petunjuk dari tokoh Kun-lun-pai!” Sambil berkata
demikan, dara itu sudah mencabut suling emasnya.
Melihat cara dara itu mengeluarkan suling dan begitu suling dicabut terdengar suara melengking nyaring
dari lubang suling, dan mendengar bahwa dara ini mengaku sebagai ahli waris Suling Emas, tentu saja
Thian Kong Tosu menjadi terkejut bukan main. Sebagai seorang tokoh tua di dunia persilatan, tentu saja
dia pernah mendengar nama besar Pendekar Suling Emas yang hidup di jaman beberapa ratus tahun yang
lalu. Akan tetapi nama itu kemudian menjadi seperti dalam dongeng saja karena tidak pernah nama itu
muncul lagi di dunia kang-ouw, walau pun para tokoh kang-ouw masih sering mencoba untuk mencari
peninggalan pendekar sakti itu. Dan kini, tiba-tiba saja muncul gadis ini, seorang dara muda jelita yang
mengaku sebagai ahli waris Pendekar Suling Emas!
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun demikian jelasnya terdengar oleh semua orang
di dalam ruangan itu, “Siancai...., kesempatan yang hanya timbul sekali dalam seratus tahun! Sute,
persilakan ahli waris Pendekar Suling Emas untuk memasuki lian-buthia, kami akan menanti di sana.”
Mendengar suara ini, semua tosu yang berada di situ menjatuhkan diri berlutut, dan Thian Kong Tosu
sendiri cepat menjura dan menjawab, “Baik, Suheng.”
Wajah tosu ini berseri. Baru sekarang suheng-nya, Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai, berkenan keluar
dari tempat pertapaannya, karena tertarik pula oleh sebutan Pendekar Suling Emas itu. Siapa orangnya
yang takkan tertarik?
“Nona Ci Sian, engkau sungguh beruntung sekali, berhasil menarik hati ketua kami untuk keluar dan
menemuimu. Silakan, Nona, kita pergi menghadap suheng Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai yang Nona
cari-cari tadi, ke lian-bu-thia!”
“Baik dan terima kasih, Totiang,” jawab Ci Sian yang merasa jantungnya berdebar juga.
Suara lirih yang amat jelas tadi saja sudah menunjukkan betapa saktinya orang yang mengeluarkannya. Ia
pun mengikuti Thian Kong Tosu dan para tosu lainnya menuju ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang
berada di bagian belakang dari bangunan itu.
Semua tosu menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek yang duduk bersila itu, kecuali Thian Kong Tosu
yang menjura lalu juga duduk bersila tidak jauh dari situ. Ci Sian memandang dengan mata tajam
menyelidik. Kakek itu juga seorang tosu, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, akan tetapi wajahnya sama
sekali tidak menyeramkan seperti tubuhnya, karena wajah itu membayangkan kehalusan budi dan
keramahan. Biar pun usianya sebaya dengan sute-nya, namun tosu ini kelihatan lebih tua, seolah-olah ada
kedukaan membayang pada wajahnya yang halus itu. Juga rambutnya sudah hampir putih semua padahal
sute-nya baru separuh rambutnya yang putih. Ketika Ci Sian menjura kepadanya, tosu yang
memandangnya itu mengangguk dan tersenyum ramah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ci Sian melihat bahwa yang berada di ruangan lian-bu-thia yang luas itu bukan hanya Ketua Kun-lun-pai
ini, melainkan juga seorang pemuda dan ia tertarik sekali. Pemuda ini berbeda dengan semua yang hadir
di situ, tidak memakai pakaian tosu walau pun rambutnya yang hitam lebat itu pun digelung ke atas seperti
model gelung rambut tosu. Seorang pemuda yang berperawakan sedang, berwajah tampan dan terutama
sekali sepasang alisnya itu menimbulkan kagum di hati Ci Sian. Sepasang alis itu nampak hitam sekali
seperti dilukis dan membuat wajahnya nampak lebih bersih dan putih, dan bentuk alis itu seperti sepasang
golok telentang.
Pemuda itu menundukkan muka, kedua matanya sedikit pun tidak bergerak, seolah-olah dia berada dalam
semedhi yang hening. Ci Sian merasa agak mendongkol juga. Semua orang kagum kepadanya, akan
tetapi pemuda ini, melirik pun tidak. Sombong! Ia pun membuang muka, tidak mau lagi memandang
kepada pemuda itu.
“Nona, siapakah she (nama keturunan) Nona?” terdengar tosu tinggi besar itu bertanya, suaranya halus
dan pertanyaannya singkat.
Semenjak bertemu dengan ayah kandungnya dan melihat keadaan ayah kendungnya yang dianggap
sebagai seorang pria mata keranjang, Ci Sian pun merasa malu untuk mengaku sebagai puteri Bu Seng
Kin yang lebih terkenal dengan julukan Bu-taihiap. Akan tetapi, berhadapan dengan para tokoh Kun-lunpai,
orang-orang tua yang begini penuh wibawa, Ci Sian merasa tidak enak hati kalau membohong, maka
ia pun menjawab dengan sikap horrnat, “Locianpwe, she saya adalah Bu.”
“She Bu? Adakah hubungannya dengan Bu-taihiap?”
Terkejutlah Ci Sian mendengar pertanyaan ini, pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangkasangkanya.
Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan sangkalan yang keras, “Tidak! Dia tidak ada
hubungannya denganku!”
“Siancai...., mungkin Bu-taihiap telah melukai hati banyak wanita, akan tetapi tak dapat disangkal lagi
bahwa dia seorang pendekar besar. Baiklah, Nona Bu. Pinto tadi sempat mendengar bahwa Nona datang
ke Kun-lun-pai untuk menantang pi-bu kepada Ketua Kun-lun-pai?”
Ditodong langsung dengan pertanyaan ini, Ci Sian menjadi gugup juga. “Aku...., aku hanya mohon petunjuk
dari Locianpwe, karena aku merasa telah bersalah terhadap Kun-lun-pai....”
“Ha-ha-ha, bagaimana pendapatmu, Sute? Nona ini sungguh bersemangat sekali,” kata Ketua Kun-lun-pai
itu kepada sute-nya dan Thian Kong Tosu juga tersenyum.
“Nona tadi berkata bahwa Nona adalah ahli-waris dari Pendekar Suling Emas? Apakah buktinya?” Ketua
Kun-lun-pai itu kembali bertanya.
Ci Sian mencabut keluar sulingnya yang tadi sudah disimpannya kembali. Sekali lagi terdengar bunyi suling
melengking ketika dicabutnya dan baru sekaranglah pemuda yang duduk bersila di sebelah kiri Thian Heng
Tosu itu mengangkat muka memandang. Bukan memandang kepada Ci Sian melainkan kepada suling
emas kecil yang berada di tangan dara itu.
“Itukah suling peninggalan Pendekar Suling Emas? Coba pinto pinjam sebentar!” Berkata demikian tibatiba
Thian Heng Tosu menggerakkan tangan kanannya ke arah Ci Sian.
Dara ini terkejut bukan main karena mendadak sulingnya seperti hidup dan terbang terlepas dari pegangan
tangannya, melayang ke arah kakek itu. Maklumlah ia bahwa kakek itu telah mempergunakan sinkang
yang kuat sekali untuk mengambil sulingnya dari jarak jauh tanpa menyentuhnya. Ia menjadi marah, cepat
ia mengerahkan sinkang yang baru saja dilatihnya dari Pendekar Siluman Kecil, dan ia pun menggerakkan
tubuh dan tangannya di dorongkan ke depan, mulutnya melengking nyaring.
“Heiiittt....!” Dan.... suling yang tadinya sudah meluncur kembali ke tangannya!
“Maaf, Locianpwe. Suling ini menjadi kawan penghibur dan pelindungku, siapa pun juga tidak boleh
merampasnya, kecuali kalau aku sudah roboh tanpa nyawa!” kata Ci Sian sambil tersenyum.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu terbelalak, lalu mengangguk-angguk. “Bagus sekali, memang bukan omong kosong belaka! Akan
tetapi, bukankah suling itu terlalu kecil untuk menjadi pusaka peninggalan Pendekar Suling Emas, Nona
Bu?”
“Memang kini pusaka itu berada di tangan suheng-ku, akan tetapi kami berdua telah mewarisi ilmunya,”
jawabnya singkat.
“Siancai....! Jadi engkau masih ingin untuk menguji kepandaian tua bangka seperti pinto ini, Nona?”
“Aku.... aku mohon petunjuk Locianpwe.”
“Ahh, pinto akan ditertawai orang sedunia kalau turun tangan menghadapi seorang dara yang pantasnya
menjadi cucuku. Biarlah, pinto wakilkan kepada murid pinto ini. Maukah Nona menghadapinya untuk
sekedar belajar kenal dengan ilmu masing-masing?” Kakek itu menuding ke arah pemuda yang masih
bersila di sebelah kirinya.
Ci Sian memandang. Hemm, pemuda yang sombong itu, katanya dalam hati sambil memandang rendah.
“Kalau Locianpwe menganggap dia sudah patut melawanku, boleh saja,” jawabnya dan sengaja dia
mengeluarkan kata-kata yang sifatnya memandang rendah ini.
“Han Beng, kau memperoleh kesempatan yang baik sekali hari ini. Selama ini engkau hanya tekun berlatih,
nah, hari ini engkau memperoleh kesempatan untuk membuktikan sampai di mana kemajuanmu dalam
latihan. Kau layanilah Nona ini. Ingat, engkau mewakili gurumu dan juga mewakili Kun-lun-pai!”
Mendengar ucapan suhu-nya itu, pemuda yang sejak tadi diam saja, mulai bergerak melepaskan kakinya
dan duduk bersila, lalu berlutut di depan kakek itu sambil berkata, “Teecu mentaati perintah Suhu.”
“Untuk dapat menikmati kepandaian ahli waris Pendekar Suling Emas harus melihat permainan sulingnya
sebagai senjata. Han Beng, engkau pergunakanlah pedang kayu untuk latihan itu. Pertandingan ini hanya
merupakan perkenalan saja, maka pedang kayu cukuplah,” kata lagi kakek itu, dan sikapnya gembira
bukan main.
Kakek yang menjadi Ketua Kun-lun-pai ini memang mengharapkan pemuda ini yang dapat mewarisi ilmuilmunya.
Kini mendapat kesempatan mencoba tingkat kepandaian muridnya, maka tentu saja dia merasa
gembira sekali. Apalagi dia tadi sudah menguji kepandaian dara itu ketika dia meminjam sulingnya dan dia
merasa kagum kepada dara yang memiliki kepandaian tinggi, yang lincah bersemangat dan cantik jelita itu.
Diam-diam dia membandingkan muridnya dengan dara itu. Nampaknya serasi benar.
Pemuda itu bernama Cia Han Beng, seorang pemuda yatim piatu yang hidupnya ditekan dan dikuasai oleh
rasa dendam yang mendalam. Ayahnya seorang pendekar Kun-lun-pai pula, menjadi seorang di antara
korban-korban kekejaman Kaisar Yung Ceng. Ayahnya terbunuh oleh Kaisar itu, dan ibunya, seorang
wanita cantik, kini menjadi selir Kaisar!
Dalam keadaan menderita batin karena dendam, pemuda ini akhirnya diangkat sebagai murid oleh Ketua
Kun-lun-pai dan bukan hanya menerima warisan ilmu-ilmu yang tinggi dari gurunya, melainkan juga
menerima petunjuk-petunjuk sehingga cengkeraman nafsu dendam telah lama meninggalkan batinnya.
Memang di lubuk hatinya terdapat perasaan menentang pemerintah, seperti juga gurunya dan semua
murid Kun-lun-pai, akan tetapi bukan disebabkan oleh dendam pribadi, melainkan disebabkan oleh
keadaan tanah air yang dijajah oleh bangsa Mancu itu.
Seperti yang terdapat dalam batin setiap orang pendekar yang gagah di Tiongkok pada waktu itu, Cia Han
Beng diam-diam juga menanti kesempatan untuk menyumbangkan tenaganya demi kebebasan tanah air
dan bangsanya dari pada penjajahan bangsa Mancu. Mungkin disebabkan latar belakang kehidupan
keluarga ayahnya yang tertimpa mala petaka itu dan yang membuatnya hidup sebatang kara, biar pun api
dendam pribadi di dalam batinnya telah padam, membuat pemuda yang gagah itu bersikap pendiam dan
selalu seperti berada dalam awan gelap, seolah-olah tidak ada kegairahan dan kegembiraan lagi dalam
hidupnya.
Mendengar ucapan suhu-nya, Han Beng kembali memberi hormat, lalu dia menghampiri rak senjata di
mana terdapat segala macam senjata untuk permainan silat dan dia mengambil sebatang pedang kayu
yang biasa dipakai untuk latihan. Setelah itu, dengan sikap senang sekali dia menghadapi Ci Sian, menjura
dunia-kangouw.blogspot.com
seperti sikap seorang pemain silat memberi penghormatan kepada calon lawannya dan berkata, “Nona,
silakan....!” Dan dia pun lalu mundur ke tengah ruangan lian-bu-thia itu.
Diam-diam Ci Sian merasa mendongkol sekali. Tadinya ia yang memandang rendah kepada pemuda yang
dianggapnya sombong itu, dan ia hendak mengejeknya, akan tetapi kini terjadi kebalikannya. Pemuda itu
malah disuruh mempergunakan sebatang pedang kayu oleh gurunya. Suling emasnya yang merupakan
senjata pusaka yang ampuh sekali itu kini akan dihadapi hanya dengan sebatang pedang kayu! Tentu saja
hal ini merupakan ejekan baginya dan membuat mukanya menjadi merah sekali.
Akan tetapi, karena Ketua Kun-lun-pai tadi mengatakan bahwa untuk membuktikan bahwa dia benar ahli
waris Suling Emas dia harus memainkan suling itu, maka dia mengambil keputusan untuk mengalahkan
pemuda itu secepat mungkin! Maka tanpa banyak cakap lagi ia pun meloncat ke depan pemuda itu. Kini
mereka berhadapan.
Pemuda itu memasang kuda-kuda, gerakannya lambat dan gagah ketika ia mengangkat kaki kirinya ke
atas, menempel di lutut kanan, tangan kiri miring di depan dada dan pedang kayu itu ditudingkan ke atas,
gagangnya menempel dahi.
Melihat pasangan kuda-kuda yang memang indah dan gagah ini, Ci Sian menjebirkan bibirnya. Huh,
aksinya, ia mengejek dalam hati dan tiba-tiba ia berseru.
“Lihat serangan!”
Dan tanpa banyak lagak lagi ia pun sudah menyerang dan menggerakkan sulingnya, menusuk ke
tenggorokan lawan dan suling yang digerakkannya itu mengeluarkan bunyi seperti ditiup.
Han Beng merubah kedudukan tubuhnya, tangannya bergerak dan pedang kayunya menangkis. Dari
gerakan suling yang berkelebat dan membentuk sinar menyilaukan mata itu. Dan dari suara melengking
yang keluar dari suling itu, dia tahu bahwa dara itu mempergunakan tenaga khikang yang amat kuat, maka
ketika menangkis, dia pun telah mengerahkan sinkang pada pedang kayunya, dan memang keduanya
sengaja hendak mengukur tenaga masing-masing dalam benturan senjata yang pertama itu.
“Tringggg....!”
Suara emas terpukul kayu dengan kerasnya menimbulkan suara berdencing nyaring dan keduanya terkejut
sekali ketika betapa seluruh lengan mereka tergetar hebat, membuat keduanya cepat melangkah ke
belakang untuk mengatur kedudukan tubuh masing-masing. Mereka sejenak berdiri saling pandang, seperti
dua ekor ayam jago yang sedang berlagak, seperti hendak mengukur kekuatan masing-masing melalui
pandang mata. Keduanya memandang kagum.
Han Beng tak pernah menyangka bahwa seorang dara muda seperti itu dapat memiliki tenaga yang
demikian kuatnya, juga sebaliknya Ci Sian tidak mengira bahwa pemuda pendiam yang dianggapnya
sombong ini ternyata bertenaga dahsyat pula. Sementara itu, dua orang tokoh besar Kun-lun-pai yang
melihat pertemuan dua tenaga dahsyat itu memandang dengan wajah berseri. Memang setanding, pikir
mereka.
Akan tetapi, Ci Sian yang berwatak panas itu merasa penasaran sekali. Dia segera mengeluarkan seruan
nyaring. Sulingnya sudah digerakkan, lenyap bentuknya berubah menjadi segulungan sinar yang
melengking-lengking dengan nada suara naik turun seperti ditiup dengan mulut saja! Juga gulungan sinar
kuning emas itu menyilaukan mata, mendatangkan angin menyambar dahsyat sekali. Han Beng terkejut
dan pemuda itu pun cepat memutar pedang kayunya dengan pengerahan tenaga sinkang sekuatnya.
Nampaklah sinar kehijauan dan juga pedang kayu itu mendatangkan angin yang kuat.
Ci Sian mulai menyerang, gerakannya aneh dan amat cepat, juga dahsyat sekali, sukar diduga ke mana
suling itu akan menyerang. Han Beng berusaha mengimbangi, namun pemuda yang sudah memiliki ilmu
silat yang tinggi-tinggi dari Kun-lun-pai ini diam-diam terkejut karena sekali ini dia benar-benar menjadi
sibuk sekali menghadapi serangan-serangan yang demikian aneh dan cepatnya.
Bukan hanya pemuda ini, bahkan Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu juga turut memandang dengan
mata terbelalak dan mulut mereka mengeluarkan seruan-seruan kagum dan heran. Belum pernah selama
hidup mereka yang telah menjelajahi dunia kang-ouw ini mereka menyaksikan ilmu pedang yang
dimainkan dengan suling sehebat ini! Bukan hanya tusukan-tusukan suling itu yang merupakan totokandunia-
kangouw.blogspot.com
totokan indah dan berbahaya sekali, juga bacokan gerakan pedang yang dirubah menjadi pukulan-pukulan
suling itu, amatlah kuatnya, ditambah lagi suara melengking-lengking yang membikin bingung lawan
karena suara ini menyembunyikan desir senjata yang biasanya dapat dikenal dan ditangkap telinga
sehingga mudah diikuti gerakannya.
Han Beng cepat-cepat mainkan Kun-lun Kiam-sut (ilmu Pedang Kun-lun) yang menjadi andalan para
pendekar Kun-lun-pai, dan pemuda yang cerdik ini pun mengerahkan seluruh gerakannya kepada daya
tahan untuk melindungi dirinya. Dengan demikian, barulah dia terhindar dari sambaran sinar kuning emas
itu, walau pun tetap saja dia terdesak hebat karena sukar baginya untuk balas menyerang. Sekali dia
berani balas menyerang, berarti daya tahannya akan berkurang dan hal ini amat berbahaya karena
desakan suling itu benar-benar amat hebat!
Thian Heng Tosu menarik napas panjang beberapa kali. “Ah, kita ini seperti katak dalam tempurung saja!”
katanya kepada sute-nya. “Lihat, beberapa tahun saja kita tidak keluar, di dunia telah muncul ilmu pedang
yang dimainkan suling sedemikian hebatnya.”
“Akan tetapi, Suheng, saya mendengar bahwa ilmu-ilmu yang diwariskan oleh Pendekar Suling Emas biar
pun hebat, akan tetapi rasanya menurut berita yang kudengar, tidak ada yang seperti ini.... kabarnya yang
paling hebat adalah Hong-in Bun-hoat, akan tetapi ini....”
“Hemm, kalau Han Beng lebih unggul dalam hal sinkang, agaknya dia akan dapat mengatasi kedahsyatan
ilmu suling itu. Akan tetapi tenaga mereka agak seimbang. Kita sendiri pun, tanpa mengandalkan sinkang,
kiranya akan sukar mengalahkan ilmu suling itu....,“ kata pula Ketua Kun-lun-pai. “Nampaknya ilmu yang
kuno sekali, akan tetapi mengandung kemukjijatan....”
“Dan lihat, bukankah ilmu sinkang dara itu pun luar biasa hebatnya? Melihat kerepotan Han Beng pada
saat mengadu tenaga, agaknya Nona itu memiliki sinkang yang sama anehnya dengan ilmu sulingnya.”
Dan memang benar apa yang dikatakan oleh Thian Kong Tosu. Ketika dia sudah mendesak lawannya
dengan mati-matian namun pemuda itu dengan pertahanannya yang kokoh kuat seperti benteng baja
dapat menutup diri sehingga semua serangannya gagal, Ci Sian menjadi semakin penasaran. Ia tidak mau
mempergunakan khikang dan mengalahkan lawan dengan tiupan suling, karena ilmu itu merupakan ilmu
simpanan dan menurut pesan suheng-nya, ia tidak boleh sembarangan mengeluarkannya kalau tidak
terpaksa benar.
Maka, dia lalu mengerahkan tenaga sinkang yang baru saja dilatihnya dari Suma Kian Bu, dan kini
serangan-serangannya itu mengandung penggabungan dua tenaga yang berlawanan, sebentar panas
sebentar dingin sekali. Han Beng yang merasakan hawa panas dan dingin silih berganti ini melalui pedang
kayu yang dipakai untuk menangkis, menjadi terkejut, bingung dan terdesak semakin hebat. Akhirnya,
karena pertahanannya kacau oleh tenaga yang silih berganti itu, ada lubang dalam pertahanannya dan
cepat dimasuki oleh sinar suling.
“Tukkk....!”
Pundaknya terkena totokan dan biar pun dia sudah miringkan tubuh sehingga totokan itu tidak tepat
mengenai sasaran, namun hawa dingin itu telah menyerang masuk dan membuat Han Beng menggigil, lalu
pemuda ini menjatuhkan dirinya bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan lanjutan. Ci Sian yang
masih merasa penasaran itu mengejar.
“Tahan....!” Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali, seperti petir menyambar
dan tahu-tahu sebatang tongkat menahan suling di tangan Ci Sian.
Ci Sian marah dan hendak menggerakkan suling menyerang orang ini, akan tetapi ketika ia melihat bahwa
yang menghalangnya adalah Suma Kian Bu sendiri, mukanya berubah merah dan ia pun bersungutsungut.
“Kenapa engkau malah membantu lawan?” Ci Sian menegur sambil menyimpan kembali sulingnya.
“Ci Sian, Kun-lun-pai adalah partai besar yang selamanya menjadi sahabat, jangan engkau membikin
kacau di sini,” kata Suma Kian Bu dan segera muncul Siang In yang segera memegang lengan Ci Sian.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Wah, kami mencari-carimu setengah mati, kiranya engkau membikin ribut di rumah orang.” Siang In
merangkulnya dan lenyaplah kemarahan Ci Sian.
Sementara itu, semua tosu terkejut melihat masuknya pria berambut putih riap-riapan bersama seorang
wanita cantik ini. Tak seorang pun di antara mereka mengenal pria ini, akan tetapi Suma Kian Bu sudah
memberi hormat dengan sikap sopan sekali kepada dua orang tosu tua pemimpin Kun-lun-pai itu.
“Mohon Locianpwe sudi memberi maaf kepada kami. Kalau saya tidak salah, Ji-wi Locianpwe tentu adalah
Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu, dua orang pimpinan Kun-lun-pai, benarkah?”
Thian Heng Tosu hanya mengangguk, dan sekarang, seperti biasa, Thian Kong Tosu yang mewakili
suheng-nya menyambut tamu. “Penglihatan Sicu memang tepat sekali. Kalau boleh pinto mengetahui,
siapakah Sicu dan apakah maksud kunjungan Sicu yang tiba-tiba ini dan apa hubungan sicu dengan Busiocia?”
“Nama saya Suma Kian Bu....“
“Siancai....! She Suma? Apa hubungannya dengan Suma-taihiap, Suma Han Pendekar Super Sakti
penghuni Pulau Es yang namanya terkenal di seluruh kolong jagat itu?” kata Thian Kong Tosu, sedangkan
suheng-nya juga memandang tajam penuh selidik kepada Kian Bu.
“Beliau adalah ayah kandung saya.”
“Ah, sungguh hebat peristiwa yang terjadi hari ini!” Tiba-tiba Thian Heng Tosu berkata, “Agaknya memang
sudah digariskan bahwa kita akan memperoleh bantuan Suma-taihiap. Mari kita duduk di dalam dan bicara.
Nona Bu, kami mengaku bahwa muridku telah kalah olehmu. Setelah ternyata bahwa kita adalah orangorang
sendiri, biarlah pinto yang mintakan maaf atas kesalahan murid-murid kami kepadamu.”
Tidak enak juga rasa hati Ci Sian melihat betapa Ketua Kun-lun-pai sendiri sampai minta maaf kepadanya.
“Ahh, Locianpwe, sesungguhnya sayalah yang terburu nafsu, saya yang minta maaf kepadamu,” jawabnya.
Kini pemuda murid Ketua Kun-lun-pai itu menjura ke arah Ci Sian dan pandang mata serta suaranya penuh
kejujuran dan kekaguman ketika dia berkata, “Bu-siocia, saya mengaku kalah padamu.”
“Ahh, dengan mempergunakan pedang kayu, berarti engkau telah mengalah,” jawab Ci Sian, merasa tidak
enak terhadap Suma Kian Bu dan Siang In yang melihat betapa ia yang datang mengacau Kun-lun-pai,
malah dipuji-puji orang.
Ketua Kun-lun-pai yang nampak berseri wajahnya itu, bersama sute-nya, mengajak tiga orang tamunya
menuju ke ruangan dalam, diikuti pula oleh Han Beng.
Hanya enam orang itulah yang memasuki ruangan ini, sedangkan murid-murid lain tidak ada yang diajak
masuk. Setelah mengambil tempat duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang besar, Thian Kong Tosu
berkata sambil mengangkat kedua tangan di depan dada.
“Ah, kiranya yang membunuh ular itu adalah pendekar dari Pulau Es! Pantaslah kalau demikian dan kami
tidak merasa penasaran lagi.”
“Kami melakukan perjalanan dan mendengar bahwa ada ular hijau yang sudah banyak menjatuhkan
korban. Ketika kami melihat dusun yang setiap tahun menyerahkan korban manusia hidup-hidup kepada
ular yang mereka dewa-dewakan, maka kami mengambil keputusan untuk membasminya. Ular itu sungguh
berbahaya sekali dan hanya karena nasib sajalah kami berhasil membunuhnya,” kata Kian Bu, lalu
disambungnya, “Dan sekiranya Nona Ci Sian ini yang menjadi sahabat seperjalanan kami melakukan
sesuatu pelanggaran terhadap Kun-lun-pai, biarlah Locianpwe memandang muka kami untuk
memaafkannya.”
“Ah, sama sekali tidak! Hanya terjadi kesalah pahaman saja!” kata wakil ketua itu. “Dua orang murid Kunlun-
pai kami utus untuk menyelidiki tentang berita dibunuhnya ular. Mereka bertemu dengan Nona Bu dan
terjadi kesalah pahaman sehingga Nona Bu memberi hajaran kepada mereka, bahkan lalu mengejar
sampai ke Kun-lun-pai. Mata kami yang tua terbuka menyaksikan ilmu yang luar biasa dari Nona Bu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, Locianpwe harap jangan terlalu memuji, membuat saya merasa malu saja,” Ci Sian berkata dan
memang wajahnya menjadi merah karena merasa malu terhadap Pendekar Siluman Kecil.
Kian Bu tersenyum. “Sudahlah, baik sekali engkau barusan bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai yang
bijaksana, kalau dengan golongan lain tentu berakibat tidak enak.”
“Suma-taihiap, setelah Taihiap datang, harap kami diperkenalkan dengan Li-hiap ini...., menurut berita,
Taihiap datang bersama isteri Taihiap....,“ kata pula Thian Kong Tosu.
“Benar, ia adalah isteri saya, Locianpwe,” kata pendekar itu dan Siang In lalu memberi hormat sambil
tersenyum manis. Ci Sian melihat betapa wajah isteri pendekar itu kini semakin cantik saja, seperti ada
sinar yang segar berseri dan wajahnya yang manis.
“Sungguh satu kehormatan besar menerima Sam-wi yang gagah perkasa sebagai tamu,” tiba-tiba Ketua
Kun-lunpai berkata. “Dan sungguh kebetulan sekali karena kami sedang menghadapi suatu urusan yang
amat penting dan besar, yang tentu akan menarik juga perhatian Sam-wi.”
“Urusan apakah itu, Locianpwe?” tanya Kian Bu.
“Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat baik kami dari kota Pao-ci di Shan-si datang dan membawa
berita yang amat mengejutkan, yaitu bahwa Pangeran Mahkota Kian Liong telah lenyap!”
Tentu saja Kian Bu terkejut sekali mendengar ini. “Lenyap? Bagaimana bisa lenyap?!”
“Seperti biasa, Pangeran Kian Liong melakukan perjalanan merantau sendirian dan seperti biasa pula,
diam-diam banyak pendekar yang membayangi dan melindunginya secara diam-diam karena kalau dilihat
atau diketahui oleh Sang Pangeran, beliau tentu akan merasa tidak senang. Dan pada suatu hari, setelah
Sang Pangeran memasuki sebuah kuil, beliau lenyap tanpa meninggalkan jejak!”
“Hemm, lalu bagaimana, Locianpwe?” tanya Kian Bu tertarik, akan tetapi merasa bahwa hal itu tidak ada
sangkutannya dengan dia.
“Tentu saja menjadi geger, walau pun tidak ada yang berani menceritakan hal ini secara terang-terangan.
Hanya menjadi desas-desus dan berita angin di dunia kang-ouw saja bahwa para pendekar kini seperti
berlomba mencari pangeran. Timbul kekhawatiran besar bahwa para pendukung dan bekas anak buah
mendiang Sam-thaihouw yang melakukan penculikan sehingga keselamatan Sang Pangeran
dikhawatirkan.”
“Ahhh, sudah lama sekali saya tidak pernah mendengar tentang keluarga istana...., apakah yang telah
terjadi dengan Sam-thaihouw, Locianpwe?” Tentu saja Kian Bu mengenal siapa adanya nenek yang
berpengaruh itu, karena sesungguhnya, menurut kakak kandungnya, yaitu Puteri Milana, nenek yang amat
berpengaruh terhadap Kaisar itu membencinya, bahkan membenci seluruh keluarga Pulau Es!
Ketua Kun-lun-pai itu memandang tajam, akan tetapi sute-nya yang mengajukan pertanyaan kepada Kian
Bu, “Harap Suma-taihiap suka memaafkan pertanyaan pinto. Akan tetapi.... bukankah Taihiap masih
mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Kaisar? Kalau pinto tidak salah, ibu kandung Taihiap adalah
Puteri Nirahai yang amat terkenal....”
Kian Bu menggerakkan tangannya dengan tidak sabar. “Ahhh, itu sih dahulu, harap Locianpwe jangan
sebut-sebut lagi. Kami sekarang adalah keluarga Pulau Es, bukan lagi keluarga istana. Apa yang telah
terjadi dengan Sam-thaihouw?”
“Taihiap belum mendengar berita yang menggemparkan itu? Semua orang bahkan telah mendengarnya!”
Lalu Thian Kong Tosu menceritakan tentang kematian Sam-thaihouw yang menurut desas-desus adalah
dikarenakan rahasianya diketahui Kaisar bahwa sesungguhnya Sam-thaihouw merupakan seorang
berbahaya yang selain mempengaruhi Kaisar dan seluruh istana, juga mengumpulkan tokoh-tokoh dunia
sesat. Mendengar berita ini, diam-diam Kian Bu merasa bersyukur dalam hati. Terbebaslah kini Kaisar dari
pengaruh yang amat jahat.
“Akan tetapi, para pengikut dan kaki tangan Sam-thaihouw masih berkeliaran!” Tosu itu menyambung.
“Terutama sekali Im-kan Ngo-ok yang tadinya menjadi kaki tangannya, juga bisa melarikan diri. Oleh
dunia-kangouw.blogspot.com
karena itu, lenyapnya Pangeran ini tentu saja dihubungkan dengan kaki tangan Sam-thaihouw, siapa tahu
mereka itu ingin membalas dendam karena kejatuhan Sam-thaihouw adalah karena Sang Pangeran yang
membongkar rahasianya.”
Kian Bu mengangguk-angguk. Cerita itu memang menarik, akan tetapi masih belum cukup membangkitkan
semangatnya untuk mencampuri. Ayahnya, Pendekar Super Sakti, selalu menasehatkan putera-puteranya
agar jangan mencampuri urusan istana.
“Urusan istana, urusan perebutan kekuasaan, urusan pemberontakan, sesungguhnya hanyalah perebutan
kedudukan dan kekuasaan, dan untuk kepentingan itu mereka menggerakkan rakyat. Rakyatlah yang
selalu disuruh maju sebagai pendobrak, sebagai senjata dan perisai, dengan dalih perjuangan demi tanah
air, bangsa, dan lain-lain yang serba muluk-muluk sehingga rakyat menjadi buta, tidak tahu bahwa
sebenarnya mereka itu hanya diperalat oleh beberapa gelintir orang yang memperebutkan kedudukan.
Kalau pendobrakan dan perebutan itu berhasil, beberapa gelintir orang itulah yang akan menempati
kedudukan mulia dan bukan hanya mereka itu melupakan rakyat, bahkan mereka menjadi penindaspenindas
yang baru terhadap rakyat. Tentu saja dalam perebutan itu, rakyat yang maju itulah yang menjadi
korban, sedangkan beberapa gelintir orang itu hanya bersembunyi di dalam gedung-gedung dilindungi
pasukan pengawal, siap untuk meraih hasil kemenangan kalau menang dan siap untuk melarikan diri
mengungsi kalau kalah. Karena itu, jangan bodoh. Bertindaklah kalau melihat rakyat tertindas atau melihat
kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa atau kuat terhadap si lemah, akan
tetapi jangan melibatkan diri ke dalam perebutan kekuasaan di istana.”
Nasehat ayahnya itu selalu menjadi pegangan Kian Bu, maka kini mendengar akan urusan yang
diceritakan oleh ketua dan wakil Ketua Kun-lun-pai, dia tidak tergerak untuk ikut-ikut, walau pun dia merasa
tertarik. Dia pun tahu bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pangeran muda yang bijaksana dan
menghargai orang-orang gagah, bahkan yang dicinta oleh banyak pendekar karena mereka mengharapkan
Pangeran ini kelak akan menjadi seorang kaisar yang bijaksana.
“Locianpwe membicarakan urusan Pangeran dengan maksud bagaimanakah?” Akhirnya Kian Bu bertanya
secara langsung sambil memandang tajam.
Kini Ketua Kun-lun-pai yang agak pendiam itu yang berkata, “Mendengar akan bahaya yang mengancam
diri Sang Pangeran, kami tak dapat tinggal diam saja, Suma-taihiap. Yang dapat kami andalkan hanyalah
murid pinto Cia Han Beng ini. Betapa pun juga, pinto masih sangsi apakah dia akan cukup mampu
melaksanakan tugas seberat itu, mengingat bahwa pihak lawan terdapat orang-orang sakti seperti Ngo-ok
dan lain-lain. Maka, melihat kemunculan Sam-wi yang mempunyai kepandaian hebat, maka pinto akan
merasa gembira mendengar kalau saja Sam-wi tertarik dan dapat bekerja sama dengan Han Beng untuk
menyelamatkan Pangeran.”
Mendengar ucapan ini, Suma Kian Bu menarik napas panjang, “Harap Ji-wi Locianpwe suka memaafkan
kami dan tidak menjadi kecewa. Hendaknya diketahui bahwa kami mempunyai urusan pribadi yang
penting, yang mengharuskan kami kembali ke Pulau Es, maka kami tidak akan dapat mencampuri urusan
kehilangan Sang Pangeran itu.”
Melihat kekecewaan membayang di wajah Ketua Kun-lun-pai itu, Ci Sian ikut bicara, “Akan tetapi harap
Locianpwe tidak terlalu merendahkan diri sendiri. Kulihat bahwa dia telah memiliki ilmu kepandaian yang
amat hebat!” Dia menuding ke arah Cia Han Beng yang cepat menundukkan mukanya yang berubah
merah.
“Kami tidak ingin terlibat dalam urusan golongan atas!” kata pula Siang In.
“Siancai...., Sam-wi tentu memiliki alasan kuat sendiri maka berpendirian demikian. Maafkanlah kami yang
telah berani membujuk Sam-wi.”
Percakapan dilanjutkan dalam suasana yang kurang enak karena penolakan ini dan tak lama kemudian
Kian Bu berpamit dan meninggalkan Kun-lun-pai bersama isterinya dan Ci Sian. Setelah mereka tiba jauh
dari tembok perkampungan Kun-lun-pai itu, Ci Sian yang sejak tadi merasa penasaran bertanya, “Mengapa
kalian menolak? Bukankah kalian adalah pendekar-pendekar yang sudah sepatutnya melindungi Sang
Pangeran yang terancam bahaya?”
Kian Bu dan isterinya tersenyum. “Ci Sian, engkau tidak tahu. Memang harus kami akui bahwa Pangeran
Kian Liong adalah seorang pangeran yang bijaksana dan dicinta oleh para pendekar. Akan tetapi kita
dunia-kangouw.blogspot.com
belum tahu siapakah yang menentangnya. Kalau yang menentangnya itu orang-orang dari golongan hitam
seperti Ngo-ok dan kawan-kawannya, memang sudah sepatutnya kalau kita turun tangan melindungi
beliau. Akan tetapi, engkau pun tahu bahwa Pangeran itu adalah seorang Pangeran Mancu, dari istana
Kaisar penjajah. Bagaimana kalau yang menentang itu adalah kaum patriot yang menghendaki
terbebasnya rakyat dari cengkeraman penjajah?”
Ci Sian memandang dengan mata terbelalak heran. Ia sudah amat akrab dengan Kian Bu dan isterinya,
maka tidak ada lagi perasaan sungkan di dalam hatinya dan langsung saja ia berkata, “Tapi.... tapi.....
Taihiap, bukankah ibumu sendiri seorang puteri istana dan bukankah itu berarti bahwa engkau sendiri
masih terhitung keluarga Kaisar?”
Kian Bu lalu menghela napas panjang. “Tidak salah. Ibuku seorang puteri Mancu, tetapi ayahku seorang
pendekar. Betapa pun juga, lebih banyak darah Han mengalir di dalam tubuhku, dan betapa pun juga,
sebagai seorang pendekar aku tidak setuju dengan penjajahan. Maka terus terang saja, agaknya tidak
mungkin jika aku harus menentang para patriot.”
“Tapi.... tapi...., bukankah keluarga Pulau Es terkenal sekali dalam membasmi para pemberontak? Namanama
seperti Puteri Nirahai, dan Puteri Milana amat terkenal....“
“Engkau harus dapat membedakan antara pemberontak yang bergerak demi merebut kekuasaan untuk
kepentingan diri sendiri, dan pemberontakan rakyat yang tertindas dan yang ingin menghalau penjajah.
Kukatakan tadi, andai kata yang menentang Kaisar itu golongan hitam, tentu aku akan turun tangan
membela Pangeran. Sudahlah, Ci Sian, sebenarnya bukan itu yang mendorong kami untuk menolak
tawaran Ketua Kun-lun-pai dan yang memaksa kami harus cepat pulang ke Pulau Es.”
“Apakah itu....?” Ci Sian bertanya.
Tiba-tiba saja Siang In merangkulnya. Nyonya ini tertawa dan mukanya menjadi merah sekali, akan tetapi
sepasang matanya berseri-seri. Dirangkulnya dara itu dan dibisikinya. Mendengar bisikan ini, Ci Sian
terlonjak kegirangan dan ia pun merangkul leher Siang In dan mencium pipinya.
“Benarkah, Enci? Ahh, kionghi...., kionghi....! Sungguh aku merasa ikut gembira sekali, Enci Siang In!”
“Terima kasih, Adikku, dan terima kasih pula atas bantuanmu ketika kami menundukkan ular naga hijau
itu.... karena tanpa bantuanmu....”
“Ahh, mudah-mudahan kelak puteramu gagah perkasa seperti naga, Enci!”
“Hushh....! Bagaimana kau tahu dia bakal laki-laki?” Siang In mencela dan mereka pun tertawa gembira.
Akan tetapi, kegembiraan hati Ci Sian hanya sebentar karena segera wajahnya yang cantik menjadi muram
ketika Kian Bu dan Siang ln memberi tahu kepadanya bahwa hari itu juga suami isteri ini akan
meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Pulau Es. Karena Siang In sudah mengandung, hampir dua
bulan kandungannya, maka tidak baik kalau mereka terus merantau, dan Siang In harus tenang tinggal di
rumah.
“Kita berpisah di sini, Ci Sian. Yang baik-baiklah engkau menjaga diri. Kepandaianmu sudah cukup tinggi
dan kiranya engkau sudah dapat menjaga diri sendiri dengan cukup kuat, akan tetapi hanya satu hal yang
harus kau ingat benar, yaitu kurangilah watak kerasmu itu,” demikian Kian Bu meninggalkan pesan setelah
mereka tiba di dalam pondok dan suami isteri itu sudah mempersiapkan diri untuk berangkat.
Saking terharunya, Ci Sian hanya bisa mengangguk, kemudian ketika Siang In hendak berpamit
kepadanya, Ci Sian merangkul dan keduanya saling peluk sambil menangis! Aneh memang melihat dua
orang wanita yang sama-sama memiliki kepandaian amat tinggi dan kegagahan luar biasa itu kini saling
rangkul sambil menangis. Betapa pun juga, mereka itu adalah wanita-wanita yang tentu saja lebih halus
perasaannya kalau dibandingkan pria.
Akhirnya, suami isteri itu pergi meninggalkan Ci Sian. Mereka singgah di dusun Naga Hijau untuk pamit
kepada para penghuni dusun. Setelah ditinggalkan oleh dua orang itu, Ci Sian juga tidak tahan tinggal lebih
lama lagi di pondok dalam hutan itu. Ia mengemas barang-barangnya dan dia pun segera pergi dari situ
tanpa pamit lagi kepada para penghuni dusun. Sebentar saja sudah pergi jauh meninggalkan dusun itu,
dunia-kangouw.blogspot.com
menuju ke timur dan setelah senja mendatang, barulah ia menghentikan perjalanannya, beristirahat di
bawah pohon besar di sebuah lereng gunung.
Ketika ia duduk di bawah pohon besar itu, memandang ke kanan kiri yang amat sunyi, merasa benar
betapa ia hidup seorang diri saja di dunia ini, tiba-tiba saja rasa kesepian menyelinap di dalam hatinya dan
tak dapat ditahannya lagi, air matanya jatuh berderai di atas kedua pipinya. Ci Sian menangis karena
sedih, karena merasa kesepian. Dia merasa ngeri, merasa asing, merasa kehilangan dan ditinggalkan.
Rasa kesepian, merasa sendiri saja tanpa teman, merasa terasing dan tidak ada yang mempedulikan,
perasaan ini tentunya sangat ditakuti oleh semua orang. Perasaan ini mendatangkan iba diri dan
kesedihan. Karena takut akan rasa kesepian inilah maka semua orang mudah sekali terikat, bahkan suka
mengikatkan diri dengan sesuatu. Kita merasa ngeri kalau harus menderita kesepian, maka kita
mengikatkan diri dengan isteri, keluarga, sahabat, bangsa, suku kelompok, atau kita mengikatkan diri
dengan gagasan-gagasan sehingga kita merasa aman dan merasa ‘tidak sendirian’.
Rasa ngeri membayangkan harus bersendirian inilah agaknya yang membuat kita merasa ngeri akan
kematian. Bagaimana kalau kita mati? Kita akan sendirian, akan kehilangan segala-galanya! Inilah yang
mendatangkan kengerian, dan karena ini pula maka kita mengikatkan diri dengan segala macam agama
atau kepercayaan, sebagai penghibur diri di waktu masih hidup bahwa kalau kita mati kelak, kita akan
terbebas dari pada ‘sendirian’ itu.
Akan tetapi, benarkah bahwa kesunyian, keheningan, di mana kita berada seorang diri, baik jasmani mau
pun rohani, sendiri tanpa siapa pun juga, mendatangkan kengerian? Siapakah itu yang merasa ngeri?
Bukankah yang merasa takut itu adalah pikiran yang membayangkan segala keadaan, mengharapkan
yang menyenangkan dan menghindar dari yang tidak menyenangkan? Pernahkah kita menghadapi
kesunyian ini, kesepian ini, rasa bersendirian ini, menghadapinya, mengamatinya tanpa penilaian, tanpa
pendapat dan gagasan tentang kesepian itu? Maukah kita mencoba untuk menyelami kesepian ini,
memandangnya tanpa ide-ide tentang kesepian sehingga antara kesepian dan kita tidak ada jarak pemisah
lagi? Sehingga kita merupakan sebagian dari pada keheningan itu?
Proses badaniah yang menjadi tua, lapuk lalu mati, merupakan hal yang wajar. Kita tidak merasa takut atau
ngeri akan hal itu. Yang kita takutkan adalah bagaimana nanti jadinya dengan ‘kita’! Bagaimana nanti
dengan keluarga kita, orang-orang yang kita cinta, dengan harta benda kita, dengan nama kita, kedudukan
kita dan sebagainya lagi.
Semua ikatan-ikatan itulah yang membuat kita merasa ngeri untuk mati, ngeri untuk berpisah dari semua
itu. Kita merasa ngeri karena dengan kehilangan semua itu, kita ini BUKAN APA-APA lagi. Kita
membayangkan, apakah jadinya dengan kita kalau kita tidak punya keluarga lagi, tiada teman, tiada harta
benda, tiada segala yang kesemuanya mendatangkan kesenangan itu? Itulah sebabnya mengapa kita
takut akan kematian, takut akan kesepian.
Pikiran yang membentuk si aku yang selalu ingin senang dan selalu menjauhi ketidak senangan, pikiran
inilah yang merasa ngeri karena membayangkan bahwa semua kesenangan itu akan berpisah dari kita.
Akan tetapi, kita dapat merasakan keadaan mati ini selagi kita masih hidup. Jasmani kita masih hidup, akan
tetapi kalau batin kita dapat terbebas dari segala ikatan, maka rasa takut akan kehilangan ikatan-ikatan itu
tidak ada. Dan tanpa adanya rasa takut ini, maka keheningan atau kesunyian akan merupakan sesuatu
yang lain sama sekali!
Bukankah berarti bahwa kita lalu menjadi seperti patung hidup? Sama sekali tidak. Kita masih hidup di
dalam dunia ramai dengan segala aneka ragam, namun batin kita bebas dari pada ikatan, sehingga kalau
sewaktu-waktu kita harus berpisah, kita tidak akan merasa takut atau ngeri, kita tidak akan merasa
berduka. Ikatan selalu menimbulkan rasa takut akan kehilangan dan rasa duka kalau kehilangan. Makin
kuat ikatan itu, semakin besar rasa takut dan semakin besar kedukaan. Sebuah benda saja dapat
nenimbulkan ikatan yang demikian kuat sehingga kalau kita kehilangan benda itu, akan menimbulkan rasa
duka yang amat sangat. Dapatkah kita terbebas dari ikatan dengan kesemuanya itu?
Ada yang bertanya bahwa kalau kita bebas dari pada ikatan dengan keluarga, bukankah itu berarti bahwa
kita tidak mencinta keluarga kita lagi? Sama sekali bukan demikian. Cinta kasih sama sekali bukanlah
ikatan! Kalau kita mencinta anak kita, benar-benar mencintanya, hal itu bukan berarti bahwa kita harus
terikat dengan anak kita itu. Yang ada hanya bahwa kita ingin melihat anak kita berbahagia hidupnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebaliknya, ikatan menimbulkan keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, karena memang ikatan
diciptakan oleh si aku yang ingin senang tadi. Cinta yang mengandung ikatan bukanlah cinta kasih
namanya, melainkan keinginan untuk memuaskan dan menyenangkan diri sendiri. Cinta yang mengikat
kepada anak menimbulkan keinginan untuk menguasai anak itu, untuk memperoleh kesenangan batin
melalui si anak, dan terasa berat kalau berpisah, karena si aku merasa dipisahkan dengan sumber yang
menyenangkan diri. Tidakkah demikian? Demikian pula dengan isteri atau suami atau keluarga atau benda,
atau juga gagasan. Semua itu hanya merupakan alat untuk menyenangkan diri sendiri dan karenanya
menimbulkan ikatan.
Cinta kasih baru ada kalau tidak terdapat keinginan untuk menyenangkan diri sendiri. Dan tanpa adanya
cinta kasih, tidak mungkin ada kebaikan atau kebajikan, karena tanpa adanya cinta kasih, segala yang
nampak baik itu adalah semu, berpamrih, dan segala macam pamrih itu sumbernya adalah pada si aku
yang ingin senang.
Setelah menumpahkan semua rasa dukanya melalui runtuhnya air mata, akhirnya timbul semacam
kelegaan di dalam hati Ci Sian. Ia termenung dan dalam renungannya ini ia lupa segala, lupa akan
kedukaannya, lupa akan keadaannya yang kesepian.
Ia memandang ke depan dan melihat angkasa sedemikian indah dan agungnya, penuh dengan tata warna
yang tak bisa dilukiskan indahnya. Ada warna merah yang beraneka macam, dari merah yang jingga
sampai yang jambon dan kekuning-kuningan, ada warna biru yang belum pernah dapat dibandingkannya
dengan warna biru di bumi. Dan awan-awan kelabu membentuk makhluk-makhluk yang aneh, raksasa
yang perkasa, binatang buas yang luar biasa.
Senja kala menciptakan keindahan yang demikian agung dan besarnya, yang sekaligus mengusir atau
membuat lupa segala kedukaannya yang tadi menyelimuti hati Ci Sian. Hal ini adalah karena segala
pikiran, batin dan segala indera dara itu dicurahkan kepada keindahan di angkasa itu. Dan kalau sudah
begini, maka segala sesuatu nampak indah. Bahkan pohon yang berdiri terpencil di depan itu, pohon yang
sebagian batangnya rusak oleh ketuaan, yang beberapa cabangnya gundul dan kering, nampak menonjol
dan hidup, merupakan sebagian yang tak terpisahkan dari segala yang indah. Juga dirinya terlebur menjadi
satu kesatuan dari pada keindahan dan keheningan itu, tidak terpisah-pisah. Pada saat itulah Ci Sian
mengalami apa yang dinamakan kematian.
Akan tetapi, gerengan seekor binatang buas membuyarkan kesatuan itu dan begitu pikiran Ci Sian bekerja,
ia pun sudah kembali lagi kepada dirinya sendiri, dirinya yang kesepian, dirinya yang penuh dengan iba
diri. Dan Ci Sian melewatkan malam yang menggelisahkan…..
********************
Apakah yang telah terjadi dengan diri Pangeran Kiang Liong? Seperti telah kita ketahui dari bagian depan
cerita ini, Pangeran yang bijaksana ini telah bertentangan dengan Sam-thaihouw, dan dengan bantuan
keluarga pendekar Kao Kok Cu, isterinya Wan Ceng dan puteranya, Jenderal Muda Kao Cin Liong,
akhirnya Pangeran membuka rahasia Sam-thaihouw, membuat nenek tua ini terserang penyakit jantung
dan tewas. Setelah Sam-thaihouw dan kini kaki tangannya dibasmi dari istana, hati Pangeran itu merasa
lega dan gembira bukan main.
Akan tetapi, Pangeran yang semenjak muda sekali sudah suka sekali berkelana ini, tidak dapat tinggal
diam terlalu lama di istana. Pada suatu hari, dia sudah lolos lagi dari istana dan mengembara ke barat,
menyamar sebagai seorang pemuda biasa saja. Kesukaannya mengembara ini selain didorong oleh
keinginannya untuk mengenal rakyat lebih dekat, juga karena dia ingin mempelajari dan mendengar suara
rakyat agar kelak kalau dia menggantikan ayahnya memerintah, dia akan dapat mengambil sikap dan
keputusan yang sesuai dengan selera rakyat terbanyak.
Di samping ini, pemuda bangsawan ini pun suka bergaul dengan para sastrawan dan para pendekar dan
hanya dengan menyamar sebagai seorang biasa sajalah maka pergaulannya itu dapat berjalan dengan
perasaan bebas, tidak seperti kalau mereka itu menghadapnya sebagai seorang pangeran di mana harus
dilakukan banyak peraturan dan peradatan.
Seperti biasa, biar pun Pangeran ini tidak memperkenankan pasukan pengawal untuk mengawal
perjalanannya, namun ada pengawal-pengawal istana rahasia yang diam-diam membayanginya, di
samping beberapa orang pendekar yang mendengar akan perjalanan ini lalu membayanginya untuk
melindunginya secara diam-diam. Pangeran Kian Liong juga maklum akan hal ini. Sebenarnya dia pun
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak merasa senang dilindungi secara diam-diam seperti ini, akan tetapi karena yang melindunginya tidak
menampakkan dirinya, tentu saja dia pun tidak dapat berbuat sesuatu untuk mencegah mereka.
Para hwesio yang menerima kedatangan Pangeran itu menyambutnya sebagai seorang pemuda yang
dermawan. Pemuda ini telah memberi sumbangan yang cukup besar dan ketika pemuda itu menyatakan
bahwa dia ingin memperoleh kamar dan bermalam di kuil itu, maka para hwesio segera menyambutnya
dan menyediakan sebuah kamar yang sederhana di sebelah belakang bangunan kuil. Karena dia merasa
amat tertarik oleh bangunan kuno kuil itu dan ingin menenangkan hatinya di dalam kuil maka Pangeran
Kian Liong ingin bermalam di situ dan tidak bermalam di rumah penginapan seperti biasa. Hal ini
menyulitkan para pelindungnya.
Kalau Pangeran itu bermalam di rumah penginapan, para pelindung itu dapat pula menyewa kamar di
rumah penginapan itu untuk mengamat-amati Sang Pangeran. Akan tetapi sekali ini Sang Pangeran
bermalam di kuil, tentu saja tidak mungkin bagi mereka untuk bermalam di kuil itu juga. Maka mereka
berpencaran dan ada juga yang bermalam di tempat terbuka di belakang kuil, atau di rumah penduduk di
sekitar kuil itu.
Pada hari kedatangan Sang Pangeran di Kuil Hok-te-kong itu, seperti biasa banyak pula orang datang
bersembahyang. Memang kuil itu amat terkenal ‘manjur’, yaitu banyak permintaan para pemujanya tercapai
setelah bersembahyang di kuil itu! Dan setelah tercapai apa yang diminta mereka lalu membayar ‘kaul’,
yaitu semacam janji untuk membalas jasa atau untuk menyatakan terima kasih apabila permintaan mereka
telah terkabul. Kaul ini berupa sembahyang besar-besaran, membakar segala macam harta kekayaan
berupa tiruan dari kertas yang dimaksudkan agar “di sananya” dapat menjadi barang berharga sungguhsungguh
untuk memberi sumbangan kepada yang telah mengabulkan permintaan mereka!
Bahkan sampai jaman sekarang pun masih ada kepercayaan semacam itu! Tentu saja dengan bermacam
cara, sesuai dengan tradisi dan agama masing-masing. Dan semua ini jelas memperlihatkan betapa
lemahnya kita manusia ini. Melihat betapa diri sendiri ini kosong dan lemah, tiada apa-apanya, melihat pula
akan kehidupan yang menimbulkan rasa takut, serta didorong pula oleh keinginan-keinginan untuk
mengejar kesenangan-kesenangan baik kesenangan jasmani mau pun rohani, maka kita yang merasa
tidak berdaya ini lalu mencari pegangan!
Kita lalu membayangkan bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi. Itulah yang kita jadikan sasaran untuk
membantu dan menolong kita, baik dalam mencapai kesenangan lahiriah mau pun batiniah. Pikiran
kemudian mereka-reka menurut kepercayaan masing-masing, menurut tradisi ribuan tahun lamanya.
Dibuatlah arca-arca, patung-patung, benda-benda keramat kemudian dipujanya sebagai tempat yang
dihuni oleh sesuatu yang kita anggap lebih tinggi dari pada kita itu. Timbul sebutan dewa-dewa, malaikatmalaikat,
roh-roh suci, dan sebagainya lagi. Kita bukan hanya sekedar memujanya karena rasa takut,
karena ingin selamat, ingin terlindung dan sebagainya, akan tetapi juga kita memuja untuk meminta
sesuatu, minta bantuan agar sukses dalam usaha perdagangan, agar dapat jodoh, agar dapat anak, agar
menang perkara, agar manjur kutuk kita terhadap musuh, dan sebagainya lagi.
Dan ‘jika ‘kebetulan’ apa yang kita minta itu terkabul, kepercayaan kita menjadi semakin tebal dan kita
kemudian membalas budi dengan cara masing-masing. Demikianlah keadaannya. Kalau kita mengamati itu
semua, bukankah kita ini sungguh lemah dan bodoh sekali? Kalau kita melihat dengan sungguh-sungguh
bahwa semua itu adalah palsu dan timbul dari rasa takut kita, dari keinginan kita memperoleh segala
macam kesenangan, beranikah kita untuk menanggalkan itu semua? Kalau tidak berani, berarti kita belum
melihat kenyataan akan kepalsuan itu.
Di antara para tamu yang datang bersembahyang, terdapat seorang laki-laki setengah tua. Usianya sudah
mendekati lima puluh tahun, tetapi dia masih nampak gagah dan tampan. Pakaiannya sederhana namun
bersih dan rapi. Wajahnya yang tampan gagah itu selalu berseri dan mulutnya selalu membayangkan
senyuman sehingga orang-orang suka melihatnya. Tamu ini tidak ikut sembahyang, hanya mengamati
tempat itu dan orang-orang yang bersembahyang dengan sinar mata tajam.
Seorang hwesio tua menyambut pria gagah ini dan pria itu menjura sambil bertanya, “Apakah Ciong suhu
ada di dalam?”
“Dia telah sejak tadi menantimu, Taihiap. Silakan masuk ke ruangan tamu di sebelah kanan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pria itu mengangguk dan berjalan masuk. Ketika dia memasuki ruangan tamu sebelah kanan, seorang
hwesio tua yang bertahi lalat di dahinya, yaitu Ciong-hwesio yang menjadi ketua kuil itu, cepat-cepat
menyambutnya dan segera mereka bercakap-cakap dengan suara lirih.
“Baik sekali engkau cepat datang, Bu-taihiap,” kata Ciong-hwesio dengan wajah berseri. “Pinceng sudah
khawatir sekali karena menurut beberapa orang penyelidik, Ngo-ok sudah nampak berada di kota ini pula.”
Pria gagah itu memang bukan lain adalah Bu Seng Kin atau Bu-taihiap, pendekar terkenal itu. Kita sudah
mengenal pendekar ini sebagai ayah kandung Ci Sian, dan juga sebagai seorang pendekar yang
mempunyai banyak isteri. Seperti telah diceritakan dalam bagian depan, Bu Seng Kin dan keluarganya
merasa terpukul batinnya dan merasa malu ketika pinangan mereka untuk menjodohkan puteri Bu Seng
Kin dan Nandini, yaitu Bu Siok Lan, dengan Kao Cin Liong, ditolak mentah-mentah dan secara yang kasar
oleh keluarga Kao. Penolakan ini tentu saja mendatangkan perasaan marah dan dendam di pihak keluarga
Bu, akan tetapi pada saat terjadi penolakan, tentu saja Bu Seng Kin tidak berani untuk memperlihatkan
kemarahannya.
Penolakan ini pula yang menambah perasaan anti di dalam hati keluarga Bu terhadap istana. Memang
sejak dahulu mereka itu tidak suka kepada kerajaan penjajah, apalagi kini mereka merasa dihina oleh
seorang jenderal muda dan keluarganya, maka sikap mereka yang tidak suka terhadap Kerajaan Mancu
makin menebal. Apalagi di situ terdapat Nandini, Puteri Nepal yang pernah menjadi Panglima Nepal dan
dikalahkan oleh pasukan-pasukan kerajaan.
Puteri ini membujuk-bujuk suaminya untuk tidak tinggal diam dan membangkitkan jiwa patriot Bu Seng Kin
untuk menentang pemerintah penjajah. Inilah sebabnya maka Bu Seng Kin atau Bu-taihiap diam-diam
bergabung dengan para pendekar yang diam-diam menentang dan memusuhi Kerajaan Mancu. Dan dalam
hal ini, Bu-taihiap memperoleh teman-teman yang baik, yaitu dari golongan Siauw-lim-pai yang kini secara
terang-terangan dimusuhi oleh Kaisar Yung Ceng.
Para hwesio pengurus Kuil Hok-te-kong adalah hwesio-hwesio yang condong berpihak kepada Siauw-limpai
dan hal ini tidaklah aneh karena Ciong-hwesio yang menjadi ketua kuil itu adalah anak murid Siauw-limpai
pula. Maka terjadilah pertemuan antara Bu-taihiap dan Ciong-hwesio itu, yang dilakukan dengan
rahasia.
“Hemm, mereka sudah muncul? Tentu mereka tidak berani turun tangan di siang hari. Malam nanti aku
akan siap menghadapi mereka, harap Ciong-suhu jangan khawatir. Bahkan peristiwa ini amat kebetulan
sekali. Kalau di sini terjadi penyerangan dari luar, dan ketika kami menghadapi mereka, maka dengan
mudah Ciong-suhu akan dapat melarikan Pangeran tanpa ada yang menduga kalau Ciong-suhu yang
melakukannya.”
Mereka lalu bicara bisik-bisik mengatur siasat dan rencana selanjutnya. Mereka sama sekali tidak tahu
bahwa di antara para tamu yang bersembahyang itu terdapat seorang nenek bongkok yang juga
bersembahyang dan mulutnya berkemak-kemik minta berkah. Sambil terbongkok-bongkok nenek itu
membakar kertas dan berjalan masuk ke ruangan dalam kuil sambil menengok ke kanan kiri seolah
mencari sesuatu.
Seorang hwesio segera menghampiri dan menegur, “Hei, Nenek, engkau hendak ke manakah? Tidak
diperkenankan masuk ke dalam....“
“Ah, Siauw-suhu, aku ingin bertemu ketua kuil...., aku ingin menghaturkan terima kasih karena cucuku telah
terkabul permintaannya dan memperoleh seorang anak laki-laki. Aku ingin Ciong-hwesio memilihkan nama
untuk cucu buyutku itu....” Dan nenek itu memaksa masuk terus.
“Tapi.... Ciong-suhu sedang sibuk....”
“Ahh, apa sukarnya memberikan nama saja? Biarlah aku mengganggu sebentar, beliau tentu tidak akan
marah. Di manakah beliau?”
“Tidak boleh, nanti pinceng mendapat marah....“ Hwesio muda itu hendak menghalang, akan tetapi dia
merasa tidak enak juga untuk berkeras terhadap seorang nenek dan nenek itu kini sudah mendekati
ruangan tamu di mana Ciong-hwesio masih bercakap-cakap dengan Bu Seng Kin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar suara ribut-ribut di luar kamar tamu itu, Ciong-hwesio memberi isyarat pada Bu-taihiap, lalu
membuka pintu dan berteriak. “Ada apakah ribut-ribut di situ?”
Dan diam-diam dia merasa terkejut dan curiga melihat seorang nenek tua renta sedang berbantahan
dengan seorang hwesio, agaknya Si Nenek hendak memaksa masuk.
“Maaf, Suhu, nenek ini nekat saja hendak menghadap Suhu, katanya hendak minta diberi nama untuk cucu
buyutnya.”
Melihat Ciong-hwesio, nenek itu cepat menghampiri dan menjatuhkan dirinya berlutut, “Mohon kemurahan
hati Losuhu.... karena kami sekeluarga sudah berjanji, maka setelah cucu saya melahirkan, kami
sekeluarga mengharap agar Losuhu memberikan sebuah nama untuk anak itu.”
“Amithaba.... kiranya demikian?” Hwesio tua itu berkata halus, menarik napas panjang, lalu melanjutkan,
“Beri saja nama Tiong Gi.”
“Terima kasih, terima kasih, Losuhu...,” kata nenek itu dengan gembira sambil memberi hormat dan
matanya mengerling ke arah pintu kamar tamu dari mana ia dapat melihat Bu-taihiap yang duduk di bangku
dan memandang keluar dengan sikap tidak sabar karena gangguan itu.
Setelah menghaturkan terima kasih berkali-kali, dan matanya yang tua itu kembali memandang ke kanan
kiri seperti biasa sikap orang tua yang pikun dan ingin tahu segala, nenek itu lalu melangkah ke dalam!
Hwesio muda itu cepat menghadang. “Ehh, engkau hendak ke mana, Nek?”
“Mau keluar, ke mana lagi....?” tanya nenek itu dengan sikap pikun dan ia terus saja berjalan tanpa
mempedulikan orang lain sehingga ia sampai di pintu tembusan dan menjenguk ke dalam.
Akan tetapi kali ini Ciong-hwesio sendiri yang melangkah maju dan memegang lengan nenek itu. Lengan
yang lemah tanpa tenaga, pikirnya dan dia melepaskan kembali pegangannya.
“Nek, jalan keluar bukan ke sana!”
Hwesio muda itu lalu memberi petunjuk dan sekali ini nenek itu keluar dari dalam kuil, dengan terbongkokbongkok
berjalan ke jalan raya, sedangkan mulutnya berkali-kali membisikkan nama, “Tiong Gi....!”
Akan tetapi ketika nenek itu telah tiba di tempat yang jauh dari kuil itu dan ia sudah merasa yakin bahwa
tidak ada seorang pun yang memperhatikannya, ia lalu memasuki sebuah rumah kecil dan sikapnya
menjadi berbeda sama sekali. Gerakannya sigap ketika dia masuk ke dalam rumah itu dan ketika ia
disambut oleh seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, ia lalu mengeluh, “Ahhh, sampai lelah
punggungku harus kutekuk terus! Jelas, orang she Bu itu berada di sana, sedang berunding dengan ketua
kuil!”
“Dan engkau tidak melihat bayangan Pangeran?” tanya laki-laki tinggi besar itu.
“Tidak ada, akan tetapi aku yakin dia berada di dalam sebuah kamar. Tidak ada jalan lain, kita harus
berusaha memasukinya malam ini.”
Laki-laki tinggi besar itu mengangguk. “Memang kupikir juga begitu. Malam ini akan terjadi keributan di
kuil.”
Tak lama kemudian, laki-laki tinggi besar dan seorang wanita yang cantik keluar dari rumah itu dan
memanggil pemilik rumah yang mereka sewa selama dua hari. Nenek itu tidak nampak lagi. Dan setelah
mereka berdua pergi, seorang hwesio datang ke situ dan bertanya-tanya tentang seorang nenek. Akan
tetapi tidak ada seorang pun yang tahu dan pemilik rumah itu hanya memberi tahu bahwa yang menyewa
rumahnya adalah seorang laki-laki tinggi besar dan isterinya yang cantik.
Tentu saja hwesio itu segera memberi laporan kepada ketuanya, dan Ciong-hwesio mengerutkan alisnya.
Dia memang sudah merasa curiga kepada nenek tadi, akan tetapi karena nenek itu sudah hilang dan tidak
ada yang mengetahuinya, dia pun hanya memesan kepada anak buahnya agar malam itu mereka berjagajaga
dengan penuh kewaspadaan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Peristiwa bermalamnya Pangeran di kuil itu memang merupakan hal yang kebetulan dan sama sekali tidak
diduga-duga orang. Semenjak orang-orang kang-ouw mendengar bahwa Pangeran Mahkota pergi seorang
diri, banyak yang membayanginya. Banyak pihak hendak mengganggunya, tapi ada pula yang
melindunginya sehingga pihak yang hendak mengganggunya masih ragu-ragu. Akan tetapi, seperti seekor
lalat memasuki sarang laba-laba, Pangeran itu dengan kehendak sendiri masuk ke dalam kuil bahkan
minta bermalam di situ, tidak tahu bahwa kuil itu adalah sarang dari orang-orang yang tidak suka kepada
kerajaan ayahnya! Bahkan orang-orang Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang banyak menaruh dendam
kepada ayahnya.
Juga para pelindungnya tiada yang mengira bahwa ketua kuil itu adalah bekas murid Siauw-lim-pai pula
sehingga mereka enak-enak saja dan mengira bahwa Pangeran itu berada di tempat yang aman. Padahal,
sesungguhnya Pangeran itu seperti seekor anak domba yang memasuki goa serigala!
Malam itu tidak terang bulan. Malam yang cerah dan indah sekali, seolah-olah tak akan pernah terjadi halhal
yang buruk. Lewat senja, tidak seperti biasanya, Kuil Hok-te-kong telah menutupkan pintunya. Baru
saja pintu itu ditutup, terdengar ketukan pada pintu itu.
Setelah ketukan-ketukan itu diulang, seorang hwesio berkata dari balik pintu, “Malam ini kami tidak
menerima tamu, karena kami sedang mengadakan upacara sembahyang yang penting. Harap suka
kembali besok saja!”
Akan tetapi, dari luar pintu terdengar suara yang besar dan parau, “Saudara, pinceng bukanlah tamu
hendak bersembahyang, melainkan dua orang saudara yang mohon ingin bertemu dengan Ciong-losuhu.”
Mendengar ucapan ini, lubang di tengah-tengah pintu itu terbuka dan sebuah mata, mata hwesio penjaga,
mengintai dari dalam. Ketika mata itu melihat bahwa yang berdiri di depan pintu itu adalah dua orang
hwesio, yang seorang lagi agak kecil, dia merasa heran. “Ji-wi siapakah dan dari mana? Ada keperluan
apakah malam-malam hendak menghadap Ciong-suhu?”
Hwesio yang tinggi besar itu memandang ke kanan kiri dan belakang, lalu menjawab dengan suara
berbisik, “Kami adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang dikejar-kejar, mohon perlindungan!”
“Amithaba....!” Mata di balik lubang itu terbelalak, “Sebentar, pinceng harus melaporkan dulu kepada
Suhu!”
Tidak lama kemudian, pintu itu terbuka dan Ciong-hwesio sendiri yang menyambut mereka. Kedua orang
hwesio itu memberi hormat kepada Ciong-hwesio yang dibalas oleh ketua kuil Hok-te-kong itu. “Mari
silakan, mari kita bicara di lian-bu-thia.”
Setelah tiba di ruangan berlatih silat, dua orang hwesio ini melihat betapa di situ telah berkumpul banyak
hwesio dan mereka semua memandang dengan mata penuh selidik. Ciong-hwesio sendiri juga
memandang penuh selidik. Dia memang jarang pergi ke Siauw-lim-pai dan tentu saja tidak banyak
mengenal hwesio Siauw-lim-pai, akan tetapi kalau memang benar mereka ini hwesio-hwesio Siauw-lim-pai
yang dikejar-kejar tentara pemerintah, tentu saja dia harus membantu mereka.
Hwesio tinggi besar itu bermuka hitam sekali dengan mata lebar, nampak gagah sekali, sedangkan hwesio
yang lebih kecil bermuka kuning dan kasar sehingga ketampanannya lenyap oleh kekasaran mukanya,
juga matanya agak juling.
“Kalian berdua dari kuil mana? Dan mengapa malam-malam tiba di kota ini?” tanya Ciong-hwesio dengan
penuh curiga.
“Kami adalah anak murid Siauw-lim-pai yang datang dari Kuil Siauw-lim-pai yang dibakar oleh Kaisar lalim.
Kami dikejar-kejar dan berhasil melarikan diri sampai di sini. Mendengar bahwa Ciong-suhu adalah bekas
anak murid Siauw-lim-pai pula, maka kami mohon perlindungan dan mengharap agar dapat diterima di kuil
sini,” kata hwesio yang bertubuh kecil dengan suara mohon dikasihani.
“Amithaba...., sudah tentu saja pinceng tidak akan menolak. Tetapi, di dalam keadaan genting seperti ini
kita harus bersikap hati-hati! Coba Ji-wi perlihatkan beberapa jurus Siauw-lim-pai agar pinceng tidak raguragu
lagi bahwa Ji-wi adalah benar-benar murid Siauw-lim-pai.”
Hwesio bertubuh kecil itu lalu memandang hwesio tinggi besar muka hitam, “Silakan Suheng.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Baik, saya akan mainkan Pek-ho-kun dari Siauw-lim-pai!” katanya dan segera hwesio muka hitam ini
bersilat.
Ternyata gerakannya cukup gesit dan mantap, dan karena tubuhnya memang tinggi besar, maka dia
nampak gagah. Melihat gerakan ini, diam-diam Ketua Hok-te-kong itu girang sekali. Orang ini merupakan
tenaga bantuan yang boleh diandalkan, pikirnya. Setelah selesai bersilat, hwesio muka hitam itu berhenti
dan tidak nampak dia terengah-engah, tanda bahwa dia sudah menguasai pula ilmu pernapasan dengan
baik.
“Sekarang saya hendak mainkan Lo-han-kun!” kata hwesio bertubuh kecil dan dia pun cepat bergerak dan
bersilat.
Kembali Ciong-hwesio gembira sekali. Si Kecil ini gerakannya luar biasa gesitnya, dan pukulan-pukulannya
sudah sangat matang, padahal Lo-han-kun bukan ilmu silat yang sembarangan saja. Ternyata kedua orang
ini adalah benar-benar murid Siauw-lim-pai yang tergolong baik ilmu silatnya, agaknya tidak selisih banyak
dengan kepandaiannya sendiri.
“Bagus! Ji-wi memang murid-murid Siauw-lim-pai. Nah, dengarlah. Adanya kami tadi bercuriga dan
bersikap hati-hati adalah karena kita semua menghadapi urusan yang besar sekali. Mari, mari kita bicara di
dalam dan pinceng mengharapkan bantuan Ji-wi untuk melakukan penjagaan.”
Hwesio tua itu mengajak kedua orang tamunya masuk ke dalam dan memberi tahukan segala urusannya
dengan suara bisik-bisik. Kedua hwesio pendatang baru itu nampak mengangguk-angguk dan serius
sekali. Mereka adalah musuh-musuh kerajaan, tentu saja mereka bersiap-siaga untuk membantu teman
seperjuangan, apalagi mengenai urusan yang demikian pentingnya.
“Akan tetapi, Ciong-losuhu, kalau memang ada musuh-musuh Pangeran yang hendak membunuh
Pangeran itu, mengapa pula pendekar yang membantu kita itu.... siapa namanya, Bu-taihiap? Kenapa dia
harus menentang musuh-musuh Pangeran itu?” tanya hwesio kecil yang bernama Tan Tek Hosiang.
“Amithaba...., memang sebaiknya kalau pinceng beri tahu. Pertama, kalau sampai Pangeran terbunuh di
sini, tentu kita semua akan celaka, apalagi kalau ketahuan bahwa pinceng adalah murid Siauw-lim-pai. Ke
dua, Pangeran ini bukan orang jahat, melainkan seorang yang bijaksana sekali, walau pun dia adalah
seorang Pangeran Mancu. Ke tiga, dengan adanya penyerbuan kaum sesat itu, terbuka pula kesempatan
bagi kita untuk turut menculik Pangeran itu dan tuduhan tentu akan jatuh kepada kaum sesat yang
melakukan penyerbuan untuk membunuh Pangeran.”
“Untuk apa kita menculik Pangeran penjajah itu?” tanya Lim Kun Hosiang, Si Tinggi Besar muka hitam.
“Jika untuk membalas kematian saudara-saudara kita yang dibunuh Kaisar, kenapa kita tidak membunuh
saja dia?”
“Amithaba.... semoga Sang Buddha memberi penerangan pada batinmu yang gelap oleh dendam pribadi!”
kata hwesio tua itu dengan alis berkerut. “Bukan urusan kita para hwesio soal bunuh-membunuh itu! Pula,
kita ingin menahan Sang Pangeran sebagai sandera untuk memaksa Kaisar agar menghentikan
permusuhan kepada Siauw-lim-pai, dan agar membebaskan para pendekar yang ditahan.”
Dua orang hwesio itu mengangguk-angguk. “Baiklah, kami berdua akan membantu dan malam ini kami
akan menjaga dengan penuh kewaspadaan agar jangan sampai ada yang dapat mengganggu Sang
Pangeran.”
Malam ini amatlah sunyi di Kuil Hok-te-kong. Nampaknya saja sunyi, tetapi sebetulnya semua hwesio
dikerahkan untuk melakukan penjagaan, terutama sekali di sekitar kamar di mana Pangeran tinggal. Dua
orang hwesio tamu juga berjaga-jaga di sekitar kamar itu dan melihat silat kedua orang ini, Ciong-hwesio
bahkan memberi tugas kepada mereka berdua untuk melakukan penculikan terhadap Sang Pangeran itu
dengan dalih untuk menyelamatkannya dan melarikannya ke luar kuil di mana sudah menanti kuda di
belakang kuil. Sedangkan hwesio-hwesio lain hanya membantu Bu-taihiap, kalau-kalau pendekar itu akan
kewalahan menghadapi pihak lawan yang diperkirakan akan kuat sekali, apalagi melihat hadirnya Ngo-ok
di kota itu.
Anehnya, yang tidak sunyi malah di dalam kamar Pangeran Kian Liong! Pangeran ini menemukan kitab
syair kuno di dalam kamar tamu itu, syair tulisan Li Po yang termasyhur. Kini dengan suara merdu, dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
penuh perasaan Pangeran muda itu membaca syair kuno dengan tenangnya, suaranya memecahkan
kesunyian malam itu! Sungguh aneh, kuil yang biasanya kalau malam selalu terdengar suara orang
membaca liam-keng (nyanyi pujaan keagamaan) diiringi ketukan kayu yang nyaring, kini tidak terdengar,
dan sebaliknya terdengar suara orang membaca sajak. Semua orang berhati tegang, dan orang yang
menjadi pusat perhatian dan ketegangan itu malah enak-enak dengan tenangnya membaca sajak!
Akan tetapi, kalau para hwesio itu sempat mengintai ke dalam kamar itu, tentu mereka akan terkejut dan
terheran-heran. Mereka telah mendapat perintah untuk berjaga tanpa mengeluarkan suara, maka tidak ada
seorang pun di antara mereka yang berani pergi meninggalkan pos penjagaan, apalagi untuk mengintai
kamar Pangeran yang dijaga ketat itu.
Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh kedua orang hwesio pendatang baru itu dan sungguh perbuatan
mereka amat luar biasa! Dengan gerakan amat hati-hati, seperti dua bayangan setan saja, mereka itu
menyelinap dan memasuki kamar Pangeran itu melalui atas genteng di mana mereka memang bertugas
jaga. Mereka sebagai orang penting dalam urusan penculikan Pangeran ini memang berjaga di atas,
sedangkan semua hwesio lainnya disuruhnya berjaga di bawah.
Melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu ada dua orang memasuki kamarnya, tentu saja Sang
Pangeran terkejut bukan main dan sebelum dia sempat mengeluarkan suara, orang tinggi besar itu telah
menekan pundaknya, membuat tubuhnya lemas dan dia tidak mampu bersuara, sedangkan orang yang
tubuhnya kecil terus menyambar kitab syair kuno itu dan melanjutkan pembacaan sajak!
Pangeran Kian Liong memandang bengong. Hwesio bertubuh kecil itu dapat membaca sajak itu dengan
suara yang walau tidak persis sekali, tapi mirip sekali dengan suaranya sendiri, dan malah lebih lantang!
Sementara itu, hwesio yang tinggi besar itu sudah mendekatkan mulutnya kepada telinganya dan berbisik,
membuat Pangeran itu menjadi semakin terheran-heran.
“Tenanglah, Pangeran.... Paduka terancam bahaya maut.... kami berdua datang untuk menyelamatkan
Paduka. Hwesio-hwesio itu hendak menculik Paduka, dan ada banyak penjahat-penjahat hendak
membunuh Paduka.... Hamba tak dapat bicara banyak, akan tetapi harap Paduka menurut saja.
Mengertikan dan percayakah Paduka kepada kami?”
Biar pun terbelalak dan terheran-heran memandang kepada dua orang hwesio aneh ini, namun Pangeran
Kian Liong yang sudah banyak mengalami hal aneh dan banyak bertemu dengan orang-orang kang-ouw
yang wataknya luar biasa, mengangguk. Tentu saja dia percaya, karena kalau tidak percaya, mau apa
lagi? Dua orang ini kalau hendak berniat buruk, tentu tak akan banyak bicara lagi dan akan langsung saja
membunuhnya. Perlu apa mereka ini membohonginya?
“Bagus,” kata atau bisik hwesio tinggi besar muka hitam itu dengan lirih, sedemikian lirihnya sehingga
tertutup sama sekali oleh suara rekannya yang membaca sajak dengan suara Sang Pangeran dengan
lantangnya itu, “Harap Paduka dengar baik-baik. Teman hamba ini akan menyamar menjadi Paduka, dan
Paduka akan dirias agar berubah menjadi dia, paduka dan dia bertukar tempat, jadi yang diculik nanti
adalah dia, bukan Paduka. Selanjutnya Paduka ikut dan menurut saja semua permintaan hamba.
Mengertikah?”
Kembali Sang Pangeran mengangguk dan tersenyum, karena dia mulai merasa tertarik dan gembira
menghadapi pengalaman baru yang aneh ini. Dan kini giliran kedua orang hwesio itulah yang terheranheran,
juga kagum. Pangeran ini, dalam keadaan bahaya, setelah diberi tahu akan keadaannya, malah
tersenyum dan nampak gembira! Dan terjadilah kini hal yang lebih aneh lagi. Setelah menerima bisikan Si
Tinggi Besar itu yang membebaskan totokannya, kini hwesio kecil itu menyerahkan kitab syair kepada
Pangeran dan atas isyarat hwesio tinggi besar, Pangeran itu melanjutkan bacaan sajak hwesio bertubuh
ramping itu dengan suara gembira dan lantang!
Dan kini dia melihat hal yang aneh. Hwesio bertubuh kecil itu meraba-raba kepalanya dan.... gundulnya
tanggal dan di bawah topeng gundul itu nampak rambut seorang wanita yang hitam halus! Kiranya hwesio
bertubuh ramping yang amat pandai meniru suaranya dan pandai membaca sajak itu adalah seorang
wanita yang menyamar!
Pangeran ini merasa semakin heran pada saat wanita itu meraba-raba mukanya dan kembali ada topeng
seperti kulit yang copot dari muka itu dan.... nampaklah wajah yang kulitnya putih kemerahan, wajah
seorang wanita cantik! Dan mata itu kini tidak lagi juling!
dunia-kangouw.blogspot.com
Wanita itu mendekatinya sambil berbisik, “Maaf, Pangeran!” dan mulailah wanita itu mendadaninya.
Pangeran Kian Liong hanya mencium bau harum keluar dari rambut wanita itu ketika wanita itu
memakaikan topeng kepala gundul dan wajah hwesio itu.
“Sayang....,” kata wanita itu lirih, “Paduka tentu tidak dapat membuat mata Paduka juling....”
Tanpa menghentikan suara bacaan sajaknya, Pangeran Kian Liong lantas mencoba menjulingkan
matanya, dan wanita cantik itu tersenyum geli, nampak giginya yang putih seperti mutiara.
“Lumayan juga,” katanya, “Akan tetapi malam ini tak perlu Paduka menjulingkan mata, hanya kalau perlu
saja. Dan ada teman hamba ini yang akan melindungi Paduka.”
Tidak lama kemudian, selesailah Pangeran itu didandani dan biar pun dalam keadaan tergesa-gesa itu dia
tidak persis sekali, namun memang mirip dengan hwesio juling tadi!
“Sekarang maafkan hamba, terpaksa hamba harus mengganti pakaian Paduka.”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru