Kamis, 28 September 2017

Wanita Iblis Pencabut Nyawa ( Toat Beng Mo Li) 1

Wanita Iblis Pencabut Nyawa ( Toat Beng Mo Li) 1 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Wanita Iblis Pencabut Nyawa ( Toat Beng Mo Li) 1
kumpulan cerita silat cersil online
-
Tembok besar, laksaan li panjangnya
Megah, kokoh kuat, agung dan jaya
Usaha besar Kaisar nan Mulia!
Lambang kekuatan Negara dan Bangsa!
Kawan-kawan, kau yang tewas dalam usaha
Pengorbananmu takkan sia-sia
Kaulah sebuah di antara jutaan batu
Kecil bentuknya namun besar jasanya
Di dalam tembok kau lenyap tak nampak oleh mata,
Namamu tak pernah disebut-sebut, orang telah lupa,
Namun tembok ini menjadi saksi utama
Bahwa kaulah yang berjasa!
Bab 01.....
Sungai Yang-ce yang amat terkenal sebagai sungai terbesar dan terpanjang sesudah Huang-ho
di Tiongkok, mendapat tambahan air dari banyak anak sungai yang cukup besar. Di antara
anak sungai yang mengalir masuk ke induk sungai Yang-ce ini, yang terbanyak terdapat di
propinsi Secuan selatan, di sebelah barat kota Cungking.
Memang tak terhitung banyaknya anak-anak sungai yang mengalir masuk dan membonceng
aliran sungai Yang-ce untuk bergerak maju ke tujuan terakhir yakni laut luas di sebelah timur
daratan Tiongkok. Akan tetapi yang penting untuk disebutkan di sini hanyalah yang besarbesar
saja, seperti Bu Kiang, Beng Kiang dan Cialing.
Sungai Cialing inilah yang paling menarik, dan sebelum memasuki sungai induk Yang-ce,
sungai inipun telah menerima aliran sungai-sungai kecil lain. Sumber dari sungai Cialing ini
datang dari Beng-san.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 2
Amat indah tamasya alam di sepanjang lembah sungai Cialing, sungai yang mengalir
berlenggak-lenggok laksana ular melalui gunung-gunung ini. Sungai Cialing banyak melalui
hutan-hutan dan gunung-gunung yang masih liar, tempat-tempat yang masih bersih daripada
sentuhan kaki manusia yang kotor.
Lembah sungai Cialing diperbatasan propinsi Secuan dan Shensi amat subur tanahnya, maka
tidak mengherankan apabila di sekitar lembah itu banyak terdapat desa-desa yang padat oleh
penduduk yang hidup bertani. Banyak pula yang mengandalkan makan sehari-hari dengan
pekerjaan nelayan, karena memang sudah terkenal bahwa sungai Cialing mengandung banyak
sekali ikan yang besar-besar dan enak dimakan.
Dusun Tai-kun-an terpencil dan berada di ujung utara dari dusun-dusun lain, akan tetapi
dusun ini terkenal paling ramai dan tanahnya paling subur. Banyak sekali orang-orang dari
dusun-dusun lain di sebelah selatan datang berdagang di dusun ini. Hanya di sebelah selatan
Tai-kun-an saja terdapat dusun-dusun lain. Oleh karena di bagian utara, tidak terdapat tempat
tinggal manusia lain.
Bagian utara dusun itu penuh dengan hutan-hutan belukar yang amat liar dan penuh binatang
jahat. Orang-orang dusun yang mempunyai keperluan di hutan itu, mencari kayu bakar atau
buah-buahan, ataupun memburu binatang, hanya berani masuk sejauh satu dua li di dalam
hutan itu. Inipun kalau mereka berkawan, karena seorang diri saja memasuki hutan itu,
biarpun hanya satu li jauhnya, merupakan bahaya besar dan perbuatan yang amat bodoh.
Pada masa itu, yang menjadi kaisar di Tiongkok adalah kaisar Yang Te, putera dari mendiang
kaisar Bun Te. Kaisar Yang Te terkenal sebagai seorang kaisar lalim yang amat kejam, akan
tetapi yang pandai menyembunyikan kejahatan wataknya itu dibalik kata-kata halus, puji
sanjung kepada para pembesar kaki tangannya, dan biarpun kaisar Yang Te telah melakukan
perbuatan-perbuatan yang amat mencekik rakyat jelata, namun ia didipuji-puji sebagai
seorang kaisar yang cerdik pandai.
Hanya “orang dalam” saja yang mengetahui betapa kaisar Yang Te adalah seorang yang
selalu dimabok kesenangan, pelesir dengan wanita cantik, dan yang tidak segan-segan untuk
melakukan perbuatan terkutuk demi untuk mencapai kepuasan hawa nafsunya. Sekali saja
matanya yang berminyak itu melirik wajah seorang wanita cantik yang mendebarkan
jantungnya yang penuh nafsu berahi, maka tidak peduli wanita itu puteri seorang bangsawan,
ataupun isteri seorang pejabat tinggi, sepuluh bagian (seratus persen) wanita itu pada
keesokan harinya pasti telah berada di dalam haremnya (tempat ia mengumpulkan wanitawanita).
Kasihanlah wanita-wanita itu, baik ia masih gadis maupun sudah bersuami bahkan telah
menjadi ibu, karena sekali ia telah masuk ke dalam kamar yang indah sekali itu, jangan harap
ia akan dapat keluar lagi sebelum sang kaisar merasa bosan mempermainkannya. Kalau sang
kaisar sudah bosan, ia boleh pergi, persetan, dan yang lebih hebat lagi, ia akan dioperkan
kepada para perajurit pengawal pribadi kaisar sebagai hadiah, seakan-akan seorang tuan
melemparkan tulang-tulang yang sudah digerogoti habis daging-dagingnya kepada anjinganjing
penjaga rumah dan hartanya.
Akan tetapi, lebih kasihan lagi adalah orang-orang tua, suami dan anak-anak yang
ditinggalkan oleh wanita-wanita itu. Mereka hanya dapat menangis, itupun tidak berani kerasToat-
Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 3
keras, menyesali nasib sendiri karena secara kebetulan orang-orang yang mereka cintai itu
telah menjadi pilihan “Putera Tuhan”.
Memang, Yang Te ataupun kaisar-kaisar yang sebelum dia menjadi dipertuan, dianggap
sebagai manusia penjelmaan dewata agung yang menjadi pilihan Tuhan sendiri. Oleh karena
itu, benar atau salah, seorang putera Tuhan tak boleh dipersalahkan. Seolah-olah bahwa
tindakan kaisar Yang Te telah mendapat “persetujuan sepenuhnya” daripada Thian yang
Maha Kuasa.
Tidak akan ada habisnya apabila sepak terjang daripada kaisar lalim ini dituturkan.Pendeknya,
kaisar ini adalah seorang yang mata keranjang, tukang pelesir, pandai bicara untuk menutupi
kejahatannya, dan tidak ragu-ragu untuk melakukan penindasan kepada rakyat jelata demi
memuaskan nafsu hatinya. Di sini perlu diceritakan usaha-usahanya yang mencekik leher
rakyat, akan tetapi yang karena pandainya membuat namanya menjadi terkenal sebagai
seorang kaisar yang agung dan cakap.
Ia memerintahkan pembangunan kota Lok Yang, mendatangkan pekerja-pekerja paksa yang
ratusan ribu banyaknya. Orang-orang yang bernasib malang ini diambil dengan paksa oleh
para serdadu-serdadunya, dan dipaksa bekerja sampai mati.
Setiap hari, nampak kereta-kereta yang penuh dengan mayat-mayat para pekerja itu didorong
pergi oleh serdadu-serdadu di atas jalan-jalan raya di sekitar Lok Yang. Juga kaisar Yang Te
memerintahkan untuk menggali dan memperdalam saluran air besar bahkan menyambungnya
sampai beratus li panjangnya. Untuk pekerjaan ini, menurut catatan ahli sejarah, lebih dari
dua juta orang rakyat dikerahkan dan entah berapa puluh ribu orang yang mati dalam
melakukan tugas ini.
Juga jutaan manusia dipekerjakan seperti kerbau, bahkan lebih hebat dari pada kerbau, untuk
memperbaiki Tembok Besar. Kalau orang mempergunakan kerbau untuk bekerja, sedikitnya
orang itu masih ingat untuk memberi rumput kepada binatang ini.
Akan tetapi kaisar Yang Te memaksa orang-orang yang jutaan banyaknya itu untuk bekerja
tanpa mau mengeluarkan uang atau ransom untuk memberi makan mereka. Satu-satunya
hiburan bagi para pekerja adalah kata-kata muluk yang diumumkan oleh Kaisar Yang Te,
bahkan semua pekerjaan itu tidaklah sia-sia, bahwa tenaga rakyat itu dipekerjakan untuk
maksud mulia, untuk pembangunan, untuk pertahanan Negara, dan lain-lain bujukan halus
lagi.
Dikatakan dalam maklumat kaisar, bahwa para pekerja yang ikut menyumbangkan tenaganya
itu, dianggap sebagai patriot yang berjasa dan kelak apabila telah meninggal dunia, tentu akan
terbuka pintu sorga untuknya.
Selain pekerjaan-pekerjaan yang hebat ini, juga kaisar Yang Te paling doyan perang, atau
lebih tegas lagi, paling suka menyerang negara-negara tetangga. Ketika kaisar ini menyerang
Korea, ia telah memaksa pula kepada rakyat jelata untuk membantu, membangun ribuan
kapal, mengangkut perlengkapan dan lain-lain sehingga tidak terhitunglah jumlahnya rakyat
yang mati karena pekerjaan yang maha berat ini.
Untuk semua pekerjaan in, makin lama karena banyaknya rakyat yang tewas, maka
kekurangan tenagalah balatentara kaisar yang mau tahu enaknya saja itu. Pekerjaan-pekerjaan
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 4
berat harus dilakukan oleh rakyat, dan semboyan para serdadu ini ialah bahwa mereka ini
berjuang untuk rakyat, maka sudah sepatutnyalah kalau rakyat membantu mereka
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan “kasar” itu.
Akan tetapi, apakah bukti kebecusan serdadu-serdadu yang sudah ketularan mulut manis dari
kaisar Yang Te ini? Telah berkali-kali Korea diserang, namun selalu balatentara Kaisar
dipukul mundur.
Karena makin lama makin banyak dibutuhkan pekerja-pekerja paksa, maka dibentuklah
barisan-barisan “pengumpul tenaga rakyat” yang mempunyai cabang dimana-mana. Tentu
saja yang mengerjakan pengumpulan ini adalah serdadu-serdadu kaisar.
Dan di dalam pekerjaan ini, kembali para serdadu itu mendapat kesempatan yang amat baik
untuk memuaskan nafsu jahat ataupun mengisi penuh kantong sendiri. Mudah saja akal
mereka. Melihat perempuan cantik dan hati tertarik ? Ah, mudah saja.
Kalau perempuan itu masih gadis, ayahnya lalu didatangi dan ditakut-takuti untuk ditarik
sebagai pekerja paksa, dan tentu saja kalau si ayah mau menyerahkan anak gadisnya, ayah ini
akan bebas.
Bagaimana kalau wanita itu sudah bersuami? Ah, masih ada jalan. Suaminyalah yang
diancam akan ditarik, dan bukan hal yang tidak mungkin apabila si isteri ini rela berkurban
asalkan suaminya jangan dibawa. Suami dibawa berarti perpisahan selama hidup. Bagaimana
si suami?
Ingin mengisi kantong sepadat-padatnya? Lebih mudah lagi. Datangi saja hartawan-hartawan
dan dengan ancaman “kerja paksa”, hartawan-hartawan akan mengurangi simpanan emas dan
peraknya untuk dipergunakan sebagai uang sogok. Siapa yang celaka ?
Rakyat jelatalah. Terutama mereka yang tidak punya apa-apa kecuali sepasang lengan dan
sepasang kaki yang kuat, karena bagaikan kerbau-kerbau hutan mereka ini akan ditangkap,
diikat hidungnya dan diseret ke tempat “pembangunan besar” Tangis dan keluh kesah rakyat
membubung tinggi dan nama para dewata disebut-sebut, akan tetapi agaknya para dewata
sudah pula terkena pengaruh kaisar itu, karena buktinya mereka diam saja tidak menaruh hati
kasihan kepada manusia-manusia sial itu.
Dan kalau orang dapat menengok kepada kamar-kamar indah dari istana kaisar. Dia akan
melihat betapa kaisar Yang Te, biang keladi dan sebab semua kesengsaraan itu, tengah hidup
mewah dan bersenang-senang, dikelilingi oleh sekian puluh puteri-puteri cantik jelita yang
menjadi penghibur-penghiburnya.
Suara musik tiada hentinya dibunyikan oleh jari-jari tangan yang lentik dan meruncing halus,
nyanyian-nyanyian merdu keluar dari mulut yang munggil dan harum, cumbu rayu keluar dari
bibir-bibir yang manis menggiurkan, dan belaian-belaian mesra akan terasa membuat kaisar
itu merem-melek bagaikan seekor babi tidur kekenyangan.
Tangan-tangan panjang dari barisan pengumpul tenaga rakyat ini menjangkau sampai jauh
sekali. Bagaikan tangan-tangan dari binatang cumi-cumi, mereka ini merembes sampai di
daerah-daerah yang jauh dari kota raja. Lembah sungai Cialing tidak terlewat pula.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 5
Pada suatu hari serombongan serdadu dari barisan pengumpul tenaga rakyat ini tiba di dusun
Tai-kun-an. Mereka ini terdiri dari empat puluh orang serdadu, dikepalai oleh seorang
komandan bernama Cong Hwat yang bertubuh gemuk, pendek, berkepala bundar dengan
muka penuh tahi lalat.
Cong Hwat ini bertenaga kuat dan memiliki ilmu silat yang cukup menakutkan orang,
bersenjata sebatang golok yang besar, berat dan tajam. Tugas mereka adalah mengumpulkan
tenaga-tenaga rakyat yang harus dikirimkan ke kota Kong-goan di sebelah selatan Tai-kun-an,
di mana terdapat markas besar barisan pengumpul tenaga rakyat ini.
Seperti biasa, begitu barisan kecil ini memasuki dusun Tai-kun-an, maka dusun yang tadinya
makmur penuh dengan tawa dan senyum para pekerja, berobahlah menjadi neraka penuh
dengan tangis dan keluh kesah. Terdengar elahan napas dan keluh kesah orang-orang lelaki,
diselingi jerit pekik mengerikan karena ketakutan dari wanita-wanita yang terganggu oleh
serdadu-serdadu iblis ini.
Dan kembali empat puluh orang serdadu itu dibawah pimpinan Cong Hwat yang terkenal
amat rakus akan wanita-wanita cantik, berpesta pora di dusun itu. Sebentar saja, di dalam
waktu tiga hari, mereka telah dapat mengumpulkan seratus lima puluh orang laki-laki tua
muda, mengantongi banyak sekali emas dan perak yang tak terhitung banyaknya, dan telah
mengganggu entah berapa banyak wanita.
Hanya wanita-wanita yang kebetulan menjadi puteri atau isteri hartawan yang mempunyai
banyak uang sogok sajalah yang selamat tidak terganggu. Seperti biasa pula, akibat dari
keganasan ini disusul dengan mengambangnya mayat wanita-wanita yang membunuh diri
karena diganggu oleh orang-orang biadab itu, menggantungnya mayat orang-orang lelaki
yang putus asa dan lain-lain pemandangan yang mengerikan pula.
Di dalam dusun Tai-kun-an itu hidup sepasang suami isteri she Kwee yang merupakan
pendatang baru. Kwee Siong, suami yang masih muda itu, beserta isterinya datang dari
selatan dn baru beberapa bulan tiba di dusun itu untuk mencoba peruntungan mereka. Kwee
siong orangnya tampan dan halus dan di dusun itu ia membuka sebuah rumah sekolah, di
mana ia mengajar anak-anak dusun itu membaca dan menulis dengan menerima sedikit uang
sokongan.
Isterinya bernama Liem Sui Giok, cantik sekali dan pandai pula membuat sulaman-sulaman
yang indah. Isteri yang baru mengandung tiga bulan ini membantu suaminya dengan membuat
barang-barang sulaman untuk dijual di dusun itu.
Ketika barisan pengumpul tenaga rakyat tiba di dusun itu, Kwee Siong yang sudah mendengar
tentang keganasan dan kejahatan mereka, segera mengajak isterinya untuk mengungsi ke
dalam hutan di sebelah utara dusun itu. Akan tetapi, karena hutan itupun amat liarnya dan
kedua suami isteri itu adalah orang-orang lemah, mereka tidak berani terlalu dalam dan hanya
masuk sejauh satu li saja.
Mereka telah merasa aman karena tidak terlihat dari luar hutan dan Kwee Siong lalu membuat
sebuah gubuk dari bambu, dibantu oleh isterinya. Akan tetapi, jangan orang mengira bahwa
kalau saja ia tidak berbuat jahat, ia akan terhindar daripada malapetaka dunia dan tidak ada
orang yang membencinya.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 6
Kalau ia berpikir demikian, maka orang ini berpandangan keliru dan ia belum mengenal betul
kepalsuan manusia, makhluk yang katanya sepandai-pandai dan semulia-mulianya makhluk di
permukaan bumi ini. Demikian pun halnya dengan Kwee Siong dan isterinya.
Ketika baru-baru mereka tiba di dusun Tai-kun-an, seorang hartawan muda she Tan yang
terkenal sebagai seorang mata keranjang dan gila wanita, telah melihat kecantikan Liem Sui
Giok yang jauh berbeda dengan kecantikan wanita-wanita dusun itu. Liem Sui Giok adalah
seorang wanita yang halus budi pekertinya, sopan santun, pandai membawa diri, terpelajar
dan memang cantik jelita berkulit halus putih seperti susu dan berambut hitam lemas, dengan
sepasang mata yang tajam menggunting kalbu setiap laki-laki.
Seperti biasa seorang hartawan yang tak tahu diri dan yang menganggap uang sebagai
kekuasaan yang tiada taranya, Tan-wangwe (hartawan Tan) ini mencoba untuk membujuk
nyonya Kwee dengan cara yang amat tak tahu malu. Seorang wanita tua yang menjadi kaki
tangannya mendatangi nyonya muda yang elok itu, dengan mulut manis membujuk-bujuknya
agar supaya suka melayani Tan-wangwe di waktu suaminya sedang mengajar di sekolah.
Akan tetapi, tentu saja Sui Giok menjadi marah sekali dan mengusirnya, bahkan ketika
suaminya datang, ia lalu menceritakan hal ini agar suaminya suka berhati-hati terhadap
seorang buaya darat she Tan di dusun itu.
Demikanlah, Tan-wangwe yang tidak kesampaian maksudnya ini, menaruh dendam kepada
suami isteri itu. Ketika rombongan pengumpul tenaga rakyat datang, dengan mudah Tanwangwe
dapat menggunakan uangnya untuk menyogok para petugas itu sehingga ia terhindar
daripada bahaya terbawa sebagai pekerja paksa.
Bahkan, dalam usahanya untuk “mencari muka” dan menjilat pantat, ia mendekati Cong Hwat
komandan barisan itu dan memberikan seorang di antara selirnya yang tercantik sebagai
“Hadiah”. Tentu saja Cong Hwat merasa girang sekali dan hubungan mereka menjadi erat.
Tan-wangwe mendengar tentang larinya Kwee Siong bersama isterinya ke dalam hutan. Maka
ia segera mendapatkan Cong Hwat dan berkata,
“Cong-ciangkun,” ia selalu menyebut orang she Cong itu dengan sebutan ciangkun (perwira)
untuk membuat komandan itu menjadi senang, “aku tahu akan sepasang suami isteri yang
bersembunyi. Akan kuberitahukan tempat persembunyiannya itu kepadamu. Suaminya masih
muda dan kuat bahkan pandai menulis sehingga patut sekali membantu perjuangan. Akan
tetapi ....... “ Sampai disini, Tan-wangwe tersenyum-senyum penuh arti.
Muka Cong Hwat yang bulat seperti bal karet itu tersenyum dan matanya yang sipit mengecil
hingga hanya merupakan dua garis kecil karena mata itu tidak berbulu mata sama sekali.
“Akan tetapi apa, saudara Tan ......?” tanyanya.
“Isterinya ..... sudah lama aku merindukannya, kalau ciangkun berhasil mendapatkan mereka,
suaminya untuk ciangkun bawa dan isterinya harap ditinggalkan padaku.”
“Ha, ha, ha! Bagaimana kalau ia terlalu cantik sehingga hatiku tidak rela meninggalkannya
kepadamu?”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 7
Tan-wangwe tersenyum sambil menggeleng kepala. “Tidak ada artinya bagimu, ciangkun.
Isterinya itu memang cantik, kalau tidak masa aku orang she Tan sampai tertarik ? Akan
tetapi ia berada dalam keadaan mengandung. Bagiku, aku dapat menanti sampai ia melahirkan
dan sementara itu, akan kurawat dia baik-baik. Akan tetapi bagimu yang banyak melakukan
perjalanan, bukankah hal itu akan membuat kau repot saja ?”
Pemimpin serdadu-serdadu itu mengangguk-angguk. “Baik, baik, mendapatkan suaminya pun
sudah cukup baik, berarti penambahan tenaga untuk pembangunan negara!” Kata-katanya ini
cocok sekali dengan ucapan kaisar yang menjadi semacam firman.
Demikianlah, setelah mendapat petunjuk dari Tan-wangwe, Cong Hwat lalu membawa lima
belas orang anak buahnya memasuki hutan itu. Alangkah girangnya ketika di dalam hutan itu
baru saja ia masuk belum jauh, ia telah melihat belasan orang kampung yang bersembunyi di
situ.
Ada delapan orang laki-laki dan empat orang wanita muda yang berwajah lumayan. Serta
merta orang-orang itu ditangkap, terdengar yang laki-laki mengeluh dan yang perempuan
menjerit-jerit ketika mereka diseret keluar dari tempat persembunyian mereka. Setelah para
tawanan ini dibawa pergi, Cong Hwat membawa sepuluh orang serdadu memasuki hutan itu.
Pada saat itu, Liem Sui Giok sedang memasak sayur dan Kwee Siong sedang mencoba
membuat sebuah bangku kayu dengan sebatang parang. Ketika keduanya melihat seorang
komandan membawa sepuluh orang serdadu yang berwajah galak, mereka menjadi kaget
sekali seolah-olah semangat mereka telah meninggalkan tubuh.
“Ha, ha, ha!” Cong Hwat tertawa mengejek sambil memandang ke arah Sui Giok yang dalam
pandangannya nampak cantik luar biasa. “Kalian mencoba menyembunyikan diri, ya ? Kalian
ini benar-benar orang rendah yang tidak mengenal artinya cinta tanah air dan negara. Negara
sedang membutuhkan bantuan rakyat, akan tetapi kau tidak membantu bahkan
menyembunyikan diri. Hayo ikut kami keluar dari sini !”
Sambil berkata demikian, Cong Hwat dengan senyum menyeringai menghampiri Sui Giok
dan mengulur tangannya menjamah ke arah dada nyonya muda itu dengan tingkah laku tengik
sekali.
“Hm, kau cantik sekali, sayang perutmu besar!”
Sui Giok terkejut, marah, dan malu sekali. Ia cepat melangkah mundur, menghindarkan diri
dari sentuhan tangan yang keji itu. Akan tetapi, dengan menggerakkan tangannya, mudah saja
Cong Hwat menangkap lengan tangan nyonya muda itu. “Hm, kau mau lari dari aku? Tidak
mudah, manis!”
“Lepaskan isteriku, kau bedebah!” Kwee Siong yang marah sekali melompat maju dengan
parang diangkat tinggi-tinggi. “Kau seorang pemimpin barisan mengapa bertingkag seperti
seorang bajingan rendah?”
Bukan main marahnya Cong Hwat mendengar makian ini. Belum pernah ada orang berani
memakinya seperti itu, dan biasanya ia hanya mendengar sanjung dan pujian dari para rakyat
jelata. Matanya yang sipit mengeluarkan cahaya berapi dan bibirnya yang tipis itu digigitnya
dengan giginya yang jarang dan kuning.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 8
“Bangsat rendah! Orang macam kau ini tidak perlu membantu bekerja, patutnya dibikin
mampus di sini agar bangkaimu dimakan oleh binatang buas !” Akan tetapi, seorang di antara
anak buahnya yang berpikir bahwa kalau orang ini dibunuh, maka akan menakutkan hati
penduduk kampung di situ, lalu berkata, “Terlalu enak baginya kalau mampus begitu saja,
lebih baik ditangkap dan dikirim sekarang juga untuk memikul batu di tembok besar!”
Ucapan ini mengingatkan Cong Hwat dan ia lalu menubruk maju sambil mengayun kepalan
tangannya yang besar dan kuat. Kwee Siong mencoba untuk menangkis dengan parangnya
akan tetapi dengan gerakan tangan yang cepat sekali, Cong Hwat dapat memukul pergelangan
tangan Kwee Siong sehingga parang yang dipegangnya itu terlepas. Sebuah sapuan dengan
kaki membuat Kwee Siong terguling.
“Sui Giok ....... cepat kau larilah ....!” Kwee Siong masih sempat menengok kepada isterinya.
Bukan main gelisah, takut, dan sedihnya hati Sui Giok melihat keadaan suaminya, akan tetapi
ketika ia hendak menubruk suaminya ia mendengar seruan ini dan teringatlah ia akan bahaya
yang lebih hebat lagi mengancamnya. Kalau ia sampai jatuh ke tangan orang-orang ini, akan
celakalah dia! Maka ia lalu lari ke dalam hutan.
“Kejar !” seru Cong Hwat lalu memimpin orang-orangnya mengejar Sui Giok. Adapun
seorang serdadu lalu melepas ikat kepala Kwee Siong dan membelenggu kedua tangan orang
muda itu erat-erat.
Perasaan takut yang hebat dapat mendatangkan hal yang aneh-aneh pada orang. Ada sebagian
orang yang kalau merasa ketakutan lalu kedua kakinya terasa lumpuh dan tidak dapat lari
sama sekali, akan tetapi ada pula sebagian yang di dalam ketakutan hebat kedua kakinya
menjadi ringan dan dapat berlari cepat sekali seperti seorang jago lari.
Sui Giok tergolong pada orang-orang kedua ini. Di dalam ketakutan yang hebat, tiba-tiba ia
menjadi gesit sekali dan kedua kakinya dapat berlari amat cepatnya. Ia tidak merasa sakit lagi
ketika ia menyusup-nyusup ke dalam semak belukar, duri-duri diterjangnya sehingga
pakaiannya robek-robek, kulitnya pecah-pecah mengeluarkan darah, telapak kakinya terluka
dan berdarah pula karena sepatunya yang tipis telah rusak oleh batu-batu karang dan duri.
Dengan membuta ia lalu lari secepat mungkin memasuki hutan yang gelap dan yang tadinya
selalu menimbulkan kengerian di dalam hatinya. Andaikata di depannya berdiri lima ekor
harimau, agaknya Sui Giok akan menerjangnya pula tanpa takut sedikit jugapun.
Rasa takutnya terhadap para serdadu itu lebih hebat daripada segala rasa takut yang mungkin
dapat dirasakannya. Ia membayangkan bahaya yang jauh lebih hebat apabila ia terjatuh ke
dalam tangan para serdadu itu. Oleh karena pikiran inilah maka Sui Giok berlari makin cepat
memasuki hutan yang gelap tanpa ragu-ragu sedikitpun.
Beberapa kali Sui Giok jatuh dan satu kali hampir saja tubuhnya terguling ke dalam jurang.
Akan tetapi sambil menahan isak dan dengan napas terengah-engah, ia bangun lagi dan berlari
terus, mata terbelalak, wajah pucat bagaikan seekor anak kelinci yang dikejar harimau.
Untung baginya bahwa tidak hanya dia yang jatuh bangun, akan tetapi para pengejarnyapun
tidak dapat melalui jalan yang amat sukar itu dengan cepat. Hutan itu amat liar dan semak
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 9
belukar yang diterjang oleh Sui Giok amat padat penuh duri-duri tajam sehingga biarpun
Cong Hwat dan para anak buahnya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian dan
kekuatan, tetap saja tidak mudah bagi mereka untuk bergerak cepat.
Berbeda dengan Sui Giok yang nekat dan tidak merasakan tusukan duri, Cong Hwat dan
kawan-kawannya tentu saja tidak mau menjadi kurban duri-duri yang tajam, dan sambil
mengejar mereka menggunakan golok untuk membabat semak-semak berduri yang
menghalangi pengejaran mereka.
“Kepung dia !” seru Cong Hwat penasaran setelah mereka mengejar sampai tiga li jauhnya
belum juga dapat menangkap kurban mereka itu. “Kepung dari tiga jurusan!”
Mendengar perintah ini, anak buahnya lalu berpencar. Lima orang mengambil jalan dari
kanan yang tidak begitu penuh semak belukar, sedangkan empat orang mengambil jalan dari
kiri memanjat batu-batu karang yang tinggi.
Kini keadaan Sui Giok benar-benar terancam. Biarpun jalan yang ditempuhnya selalu melalui
semak-semak berduri sehingga Cong Hwat yang mengejarnya tak dapat bergerak cepat,
namun para pengejar dari kanan kiri yang mengambil jalan lain itu dapat mengejar dan
mendahuluinya. Kini para pengejar dari kanan kiri itu mulai mencari jalan untuk memotong
perjalanannya dan untuk mengurungnya.
Sui Giok sudah makin ketakutan saja dan menjadi bingung. Ia melihat di belakangnya perwira
pendek gemuk itu masih mengejarnya dengan mukanya yang kemerah-merahan dihias oleh
tahi-tahi lalat yang hitam dan besar, nampak mengerikan sekali. Di kanan kirinya, sebelah
depan, para serdadu itu telah mulai mendekatinya. Di depannya nampak jurang yang amat
dalam.
Ke mana ia dapat melarikan diri ? Hanya ada dua jalan agaknya untuk dapat melepaskan diri
dari para pengejarnya, yakni terbang ke langit atau melemparkan diri ke dalam jurang itu. Dan
oleh karena ia tidak mungkin dapat terbang ke atas maka agaknya jalan satu-satunya baginya
adalah melemparkan diri ke dalam jurang itu.
Sui Giok berdiri di pinggir jurang dengan muka pucat. Air mata mengalir turun dari kedua
matanya yang biasanya bening dan tajam bagaikan bintang pagi itu, membasahi kedua
pipinya. Ia memandang ke bawah, ke dalam jurang yang agaknya tidak bertepi. Bibirnya
berbisik perlahan,
“Suamiku ....... selamat tinggal ......... biarlah aku yang mendahuluimu meninggalkan dunia
yang kotor ini ......” Ia telah siap untuk mengayun kakinya, melompat ke dalam jurang.
Matanya dimeramkan.
Tiba-tiba ia tersentak kaget oleh bunyi pekik yang panjang dan mengerikan sekali. Pekik ini
datangnya dari arah kiri. Dengan terkejut Sui Giok sadar dari pada keadaannya yang seperti
dalam mimpi itu dan ia menengok ke kiri.
Alangkah ngeri dan terkejutnya ketika ia melihat empat orang serdadu yang menghampirinya
dari kiri itu, ketika turun dari batu karang, mereka disergap oleh belasan ekor harimau besar.
Harimau-harimau itu menggereng dengan suaranya yang menggetarkan seluruh hutan.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 10
Percuma saja empat orang serdadu itu melakukan perlawanan. Golok-golok mereka yang
biasanya amat ganas dan telah mengalirkan banyak darah manusia lemah, kini tidak ada
artinya sama sekali menghadapi belasan ekor harimau besar itu.
Agaknya kulit harimau-harimau itu sudah kebal dan amat kuatnya sehingga bacokan golok
tidak melukai mereka, bahkan golok-golok itu terpental dari pegangan tangan para serdadu.
Kemudian harimau-harimau itu menubruk dan rebahlah empat orang serdadu itu dengan
tubuh koyak-koyak. Mereka tewas sambil mengeluarkan pekik yang dahsyat dan mengerikan.
Bab 02.....
Peluh memenuhi muka Sui Giok, bercampur dengan air matanya ketika ia berdiri terbelalak
menyaksikan peristiwa yang hebat ini. Belum hilang kagetnya dan belum kembali
ketenangannya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh pekik yang lebih mengerikan lagi dari arah
kanannya.
Ketika ia cepat menengok, wajahnya yang sudah pucat itu kini memperlihatkan kengerian
yang lebih hebat lagi sehingga Sui Giok seakan-akan telah menjadi mayat. Mulutnya agak
terbuka, bibirnya menjadi kebiruan saking hebatnya debaran jantungnya menyaksikan
pemandangan yang lebih mengerikan lagi.
Lima orang serdadu pengejarnya yang dengan girang sekali berlari-lari ke arahnya untuk
berlomba menangkap dan memeluk perempuan elok itu, tanpa mereka menyangka sesuatu
yang buruk. Mereka telah berlari cepat di atas lapangan rumput yang penuh dengan rumput
hijau berwarna indah dan segar.
Akan tetapi apakah yang terjadi? Ketika mereka menginjak rumput-rumput itu, tiba-tiba kaki
mereka terjeblos ke bawah dan ternyata bahwa rumput-rumput itu tumbuh di atas rawa yang
berlumpur. Inilah semacam rawa maut yang suka menghisap binatang yang kurang hati-hati.
Memang amat berbahaya rawa maut macam ini.
Dari luar nampaknya seperti pada rumput yang amat indah, akan tetapi tidak tahunya di
bawah rumput itu bukanlah tanah keras, melainkan tanah bercampur air, merupakan lumpur
lembut yang sekali menangkap kaki binatang atau makhluk hidup betapapun juga kuatnya,
takkan dilepaskan lagi. Para serdadu itu meronta-ronta, akan tetapi makin kuat mereka
bergerak mencoba melepaskan diri, makin kuat pula lumpur itu menyedot dan menarik
mereka ke bawah.
Ketika lumpur itu sudah sampai di leher mereka, maka memekiklah mereka dengan pekik
maut yang amat mengerikan. Tak lama kemudian, lenyaplah kepala mereka di bawah lumpur
dan yang nampak hanyalah sepuluh lengan tangan dengan jari-jari tangan terbuka merupakan
cakar setan yang perlahan-lahan akan tetapi tentu mulai amblas pula ke bawah.
Peristiwa ini terjadi amat cepatnya sehingga Cong Hwat yang berdiri memandang, tak dapat
berbuat sesuatu, hanya berdiri bagaikan patung dengan muka berubah pucat sekali. Ia
memandang ke kanan kiri dan melihat nasib anak buahnya yang tinggal sembilan orang itu,
gentarlah hatinya.
“Hutan iblis ........!” bisiknya dan tanpa menoleh kepada Sui Giok lagi, komandan ini lalu
membalikkan tubuh dan lari lintang pukang bagaikan dikejar setan.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 11
Adapun Sui Giok yang terpaksa menjadi saksi dari pada segala kengerian ini, tak kuat
menahan lagi lalu menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya. Kemudian ia
menjadi limbung dan lemas dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terhuyung lalu terguling ke
dalam jurang.
Oleh karena Sui Giok jatuh pingsan ketika terguling, maka ia tidak tahu bahwa pada saat itu,
berkelebatlah bayangan orang yang bertubuh bongkok dan sebuah tangan yang kuat
mencengkeram pundaknya, mencegahnya dari kebinasaan di dalam jurang. Kalau Sui Giok
melihat orang yang menolongnya, mungkin ia akan menjerit dan roboh pingsan pula, karena
sesungguhnya orang yang menolongnya ini tidak menyerupai orang lagi, lebih patut disebut
seorang iblis yang amat jahat.
Sukar untuk mengatakan apakah orang ini wanita ataukah pria. Tubuhnya kurus kering dan
bongkok, punggungnya seperti batang bambu yang patah. Kulitnya penuh keriput dan
berwarna hitam, merupakan kulit tua pembungkus tulang. Jari-jari tangannya panjang-panjang
dan kalau dilihat sepintas lalu, seperti jari-jari tangan kerangka saja, karena kulit yang tua dan
tipis itu agaknya telah lengket dengan tulang-tulangnya.
Kedua kakinya telanjang dan kaki itupun panjang sekali dengan jari-jari terbuka bagaikan
kaki seekor bebek. Lehernya panjang dan kecil, tertutup oleh rambutnya yang panjang awutawutan,
rambut yang sudah berwarna dua. Kepalanya kecil dan mukanya benar-benar
menyeramkan sekali.
Muka itu hampir tidak menyerupai muka lagi karena penuh dengan keriput yang
menghilangkan garis-garis muka seorang manusia. Mulutnya yang kecil itu hampir tertutup
oleh keriput-keriput yang dalam sehingga sukar membedakan mana mulut mana keriput.
Hidungnya pesek dan hampir tidak kelihatan, tersembunyi di antara tulang pipinya yang
menonjol saking kurusnya. Matanya juga kecil seperti mata monyet, akan tetapi dari dalam
pelupuk mata ini seakan-akan ada dua sinar kilat bercahaya, menyambar keluar bagaikan mata
harimau di dalam gelap.
Untuk sesaat, manusia yang seperti siluman ini memandangi muka Sui Giok, kemudian tanpa
mengeluarkan sedikitpun suara, ia lalu memondong tubuh nyonya muda itu dibawa lari
secepat terbang menuju ke pinggir sungai Cialing. Di bagian lembah sungai yang penuh batu
karang dan penuh dengan gua-gua besar kecil, terdapatlah sebuah gua besar sekali dan inilah
agaknya yang menjadi tempat tinggal siluman ini, karena ia memasuki gua ini membawa
tubuh, Sui Giok yang masih pingsan.
Ketika Sui Giok siuman dari pingsannya dan membuka matanya, ia memandang ke
sekelilingnya dengan batu panjang yang berbentuk pembaringan, dan batu ini ditutup dengan
rumput-rumput kering yang tebal sehingga empuk dan enak ditiduri. Dinding di sekelilingnya
ternyata adalah batu-batu karang yang berwarna putih bersih dan di sana sini terdapat batubatu
halus yang cukup besar untuk diduduki orang.
Ruang kamar di mana ia berada itu cukup lebar, kurang lebih tiga atau empat tombak,
berbentuk bulat. Ketika kedua matanya sudah biasa dengan keadaan yang remang-remang itu
karena yang menyinari dan menerangi tempat itu hanyalah cahaya matahari yang masuk dari
luar, ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak di ujung ruangan itu.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 12
Tadinya ia tidak melihatnya karena bayangan yang bergerak-gerak itu mengenakan pakaian
yang hitam sama sekali. Akan tetapi kini ia melihat dengan nyata bahwa bayangan itu adalah
seorang tua sekali yang duduk di atas batu dan sedang memandangnya.
Ketika ia telah melihat jelas, Sui Giok tidak ragu-ragu lagi bahwa ia tentu telah mati dan
bayangan itu tentulah sebangsa malaikat penghukum yang dahsyat seperti yang pernah
didengar dan dilihat gambarnya ketika ia masih kecil. Penunggu-penunggu neraka dan
penyiksa-penyiksa jiwa berdosa nampaknya memang mengerikan.
Oleh karena mengira bahwa ia telah mati, Sui Giok tidak merasa takut lagi dan ia lalu bangkit
dan duduk di atas batu itu. Ia merasa betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan perih, juga
kedua kakinya. Heranlah ia mengapa ia masih dapat merasa sakit, bukankah orang yang sudah
mati terhindar dari pada rasa sakit?
Ia masih teringat betapa ia dikejar-kejar oleh para serdadu dan berlari menyusup semaksemak
berduri, betapa tubuhnya berdarah, dan luka-luka, akan tetapi setelah ia mati, masihkah
ia merasa semua itu? Ia memandang ke arah tubuhnya dan melihat sehelai selimut kuning
menutupi tubuhnya, ia lalu membuka selimut itu.
Alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa tubuhnya sama sekali tidak mengenakan
sepotongpun pakaian. Ia memandang lebih teliti dan mendapat kenyataan bahwa tentu kulitkulit
tubuhnya yang tadinya terluka telah dibersihkan dan dicuci orang karena kulitnya sampai
ke kaki-kakinya bersih sekali.
Nampak olehnya betapa kulit tubuhnya yang putih kuning dan halus itu, kini banyak terdapat
tanda-tanda merah, luka-luka kecil bekas tusukan duri. Cepat-cepat Sui Giok menutupkan
selimut tadi pada tubuhnya karena ia teringat akan bayangan “malaikat” tadi. Heran sekali,
pikirnya, kalau aku sudah mati, mengapa aku masih merasa malu karena berhadapan dengan
seorang malaikat dalam keadaan telanjang? Bukankah orang mati itu memang kembali
telanjang seperti ketika dilahirkan?
Tiba-tiba bayangan “malaikat” itu bangkit berdiri dan ketika melihat tubuhnya yang bongkok,
agak ngerilah hati Sui Giok. Belum pernah ia mendengar seorang malaikat yang bertubuh
seperti itu. Orang atau malaikat itu datang menghampirinya dan terdengarlah ia berkata
dengan suara yang tinggi kecil.
“Anak baik, kau tidur dan mengasolah. Hatimu telah menderita banyak ketegangan dan
pikiranmu tergoncang. Juga tubuhmu banyak menderita kelelahan di samping luka-luka
tusukan duri pada kulitmu. Kau harus beristirahat agar kandunganmu tidak terpengaruh oleh
semua penderitaan itu.”
Tersentak bangunlah Sui Giok mendengar ucapan ini. Kalau saja orang ini tidak
mengeluarkan ucapan sesuatu, tentu ia akan merasa ngeri dan takut sekali karena kini ia dapat
melihat wajahnya dengan nyata. Akan tetapi ucapan orang itu meyakinkannya bahwa ia
berhadapan dengan seorang manusia, bahwa ia sebenarnya belum mati!
Perasaan wanitanya membisikkan pemberitahuan bahwa orang yang seperti siluman ini
tentulah seorang wanita, baik didengar dari suaranya maupun dari gerak-geriknya. Maka
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 13
legalah hatinya, karena kalau yang menelanjanginya, yang mengobati seluruh luka-lukanya
itu, adalah seorang laki-laki, alangkah malu dan hebatnya penghinaan itu.
“Pehbo (uwa), di manakah aku? Dan siapakah kau ini? Bagaimana aku bisa berada di tempat
ini?” tanya Sui Giok sambil merebahkan tubuhnya kembali.
Wnita tua itu menghampirinya, menutupkan selimut itu baik-baik dengan gerakan yang amat
mesra dan penuh kasih sayang, kemudian ia berkata,
Jangan sebut aku pehbo, aku seorang pelayan dan cukup kau sebut namaku saja, Bu Lam Nio.
Semenjak kecil aku dipanggil orang Lam Nio, maka kau pun harus menyebutku demikian,
nyonya.” Setelah berkata demikian, nenek tua ini tertawa girang sekali dan dari sepasang
matanya yang kecil itu mengalir air mata.
Sui Giok menjadi terharu sekali, dan ia menduga bahwa wanita tua ini tentu mempunyai
riwayat yang amat menyedihkan. Maka dia mengulurkan tangannya, memegang lengan
tangan nenek itu dan berkata menghibur,
“Lam Nio, jangan kau terlalu berduka, mungkin kesedihanku jauh lebih besar dari pada
kedukaanmu ?”
Mendengar hiburan ini, nenek itu lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan batu itu
dan menangis tersedu-sedu sambil memegangi lengan tangan Sui Giok. Nyonya muda ini
mendengar tangis yang demikian mengharukan. Teringat akan keadaannya sendiri, maka
iapun lalu menangis terisak-isak.
Aneh sekali, ketika mendengar tangis Sui Giok, tiba-tiba nenek itu berhenti menangis, lalu
berkata, “Ah, toanio, maafkanlah Lam Nio yang menimbulkan kesedihan dihatimu.
Maafkanlah daku .......”
Sui Giok makin terheran-heran melihat dan mendengar ucapan nenek yang amat sopan santun
ini, jauh sekali bedanya dengan keadaan wajah dan tubuhnya yang demikian mengerikan.
Setalah tangisnya mereda, nenek itu lalu berkata, “Toanio, kau berbaringlah yang enak dan
dengarlah ceritaku ini.” Maka dengan singkat berceritalah nenek itu, menceritakan riwayatnya
yang amat menyedihkan hati.
******
Kurang lebih enam puluh tahun yang lalu, pemberontak Ke Yung memimpin kurang lebih
sejuta orang yang terdiri dari petani-petani dan rakyat kecil, melakukan pemberontakan untuk
menggulingkan kedudukan raja yang lalim dan tidak adil. Dengan cepat barisan pemberontak
ini telah menguasai sebagian besar dari Propinsi Hopak dan Honan, dan kemudian menuju
Lok-yang untuk menghancurkan pembesar-pembesar yang lalim.
Akan tetapi, ia telah didahului oleh lain pemberontakan yang dipimpin oleh seorang yang
bernama Ercu Yang yang datang dari barat dan Lokyang terjatuh dalam tangan pemberontak
ini. Ercu yang membasmi banyak sekali pembesar-pembesar dan kekuasaannya besar sekali.
Kemudian, melihat datangnya balatentara pemberontak yang dipimpin oleh Ke Yung, Ercu
Yang lalu menyerang barisan ini dan berhasil mengalahkan Ke Yung.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 14
Ercu Yang dapat berhasil usahanya karena bantuan banyak orang gagah bangsa Han sendiri,
di antaranya seorang jenderal yang bernama Kao Hoan. Setelah Ercu Yang meninggal dunia,
jenderal Kao Hoan mengangkat seorang keturunan kaisar lama menjadi kaisar.
Hal ini menimbulkan banyak pertentangan, dan di antara penentangnya yang terbesar adalah
seorang panglima besar yang sudah amat berjasa dalam pemberontakan itu, yakni panglima
Kam Kok Han yang gagah perkasa. Menurut Kam Kok Han, tidak selayaknya mengangkat
seorang keturunan kaisar lama menjadi menjadi pemimpin baru, dan lebih baik mengangkat
seorang yang dipilih oleh rakyat jelata.
Pertentangan ini menghebat, akan tetapi akhirnya Kam Kok Han terpaksa mengakui kelebihan
pengaruh jenderal Kao Hoan sehingga ia kemudian melarikan diri bersama keluarganya,
dikejar-kejar oleh barisan atas perintah jenderal Kao Hoan, Kao Hoan maklum bahwa Kam
Kok Han yang menaruh dendam ini akan merupakan bahaya di kemudian hari, maka
pengejaran dilakukan terus.
Akan tetapi, Kam Kok Han bukanlah merupakan orang buruan yang lunak dan mudah
dikalahkan. Keluarga Kam itu terdiri dari orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi, oleh
karena keluarga ini mempunyai semacam kepandaian ilmu silat keturunan keluarga Kam.
Seluruh keluarga, baik laki-laki maupun wanita, bahkan kanak-kanaknya telah berlatih ilmu
silat ini semenjak kecil.
Bahkan panglima yang gagah perkasa ini telah melatih dan memilih pelayan-pelayannya, baik
laki-laki maupun wanita, di antara orang-orang yang ada bakat dan melatih mereka ilmu silat
pula. Tidak mengherankan apabila barisan yang mengejar mereka itu mendapat perlawanan
yang gigih dan banyak sekali anggauta pasukan yang tewas di bawah amukan keluarga Kam
ini.
Betapun juga, kekuatan barisan jenderal Kao Hoan jauh lebih besar dari pada kekuatan
keluarga Kam yang tidak seberapa banyak jumlahnya itu. Bahkan akhirnya jenderal Kao
Hoan maju sendiri sambil mengerahkan para perwira-perwiranya yang pilihan untuk
menggempur keluarga Kam yang sudah di cap sebagai pemberontak-pemberontak ini.
Kam Kok Han memimpin orang-orangnya untuk melakukan perlawanan mati-matian, akan
tetapi oleh karena mereka harus melakukan perjalanan sehingga keadaan mereka lelah, lapar,
dan juga serangan datang terus menerus. Akhirnya seorang demi seorang anggauta keluarga
Kam itu dapat dibinasakan.
Sekeluarga Kam habis musnah, hanya tinggal seorang pelayan wanita, yakni Bu Lam Nio,
pelayan yang amat disayang oleh keluarga itu oleh karena semenjak kecil telah menjadi
pelayan mereka. Juga Bu Lam Nio ini amat berbakat sehingga ilmu silatnya paling tinggi di
antara para semua pelayan.
Panglima Kam Kok Han sendiri amat suka kepada pelayan yang berbakat, cantik, dan pandai
ini sehingga dengan persetujuan isteri-isterinya, pelayan ini diangkat menjadi bini mudanya.
Tentu saja makin tinggilah ilmu silat Bu lam Nio, karena kini Kam Kok Han tidak ragu-ragu
untuk menurunkan ilmu silatnya kepada bini muda yang tercinta ini.
Namun nasib Lam Nio memang buruk, karena belum juga sebulan ia menjadi “nyonya
muda”, datanglah malapetaka itu sehingga kini ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 15
untuk membantu keluarga Kam. Di dalam pertempuran yang amat dahsyat, tubuh Lam Nio
telah penuh dengan luka. Beberapa bacokan senjata musuh telah membuat mukanya tidak
keruan dan sekali pukulan ruyung telah mematahkan tulang belakangnya.
Akan tetapi, ia masih sanggup mendekati Kam Kok Han yang sudah bergelimpang di dalam
genangan darahnya sendiri, sedangkan semua keluarga masih bertahan mati-matian. Kam Kok
Han membuka matanya dan dapat memberi pesan terakhir kepada Lam Nio untuk menyimpan
sebuah kitab yang amat tua.
Setelah itu meninggallah panglima yang gagah berani ini. Lam Nio mengambil kitab itu dari
saku baju Kam Kok Han, memasukkan kitab itu ke dalam kutangnya dan iapun roboh pingsan
dalam keadaan mandi darah.
Habislah semua orang dalam keluarga Kam berikut pelayan-pelayannya. Mayat mereka
ditinggalkan begitu saja oleh jenderal Kao Hoan, ia hanya memesan kepada para penduduk
tempat itu untuk mengubur dan mengurus mayat-mayat itu.
Pada waktu itu, rakyat amat tertindas dan rata-rata mereka itu merasa benci kepada orangorang
berpangkat. Dalam keadaan perut lapar, mana mereka mau melakukan pekerjaan
mengubur mayat-mayat ini dengan hati rela? Mereka membuat lobang yang dangkal saja,
menyeret semua mayat itu dan memasukkan mayat-mayat itu di dalam lobang lalu menutupi
dengan tanah. Sesudah itu, mereka lalu pergi.
Pada malam harinya, serombongan anjing kelaparan datang di tempat penguburan mayat itu
dan mulailah mereka menggunakan kaki depan untuk membongkar tumpukan tanah itu.
Alangkah mengerikan keadaan diwaktu itu. Anjing-anjing itu mulai makan daging mayatmayat
itu. Dan di dalam keadaan yang mengerikan inilah Bu Lam Nio siuman dari
pingsannya.
Ia tadi dikira telah mati pula maka ikut dikubur hidup-hidup. Untung baginya bahwa tanah itu
hanya ditutupkan begitu saja sehingga ia tidak mati terkubur dan ketika anjing-anjing itu
menggerumuti mayat-mayat dan menjilat-jilat darah yang masih basah, Lam Nio lalu
merangkak pergi dari situ.
Hanya kemauannya yang amat keras dan luar biasa saja yang mendorongnya dan memberinya
kekuatan untuk menyingkir dari tempat itu dengan hati hancur lebur. Ia melihat betapa mayat
orang-orang yang dicintainya dimakan anjing, tanpa dapat mencegah sama sekali. Tubuhnya
lemas, punggungnya sakit sekali, tenaganya habis. Untuk menyeret tubuh sendiri saja sudah
setengah mati, apalagi untuk mengusir anjing-anjing yang kelaparan itu.
“Demikianlah, toanio,” Bu Lam Nio melanjutkan ceritanya dengan suara sedih, “aku terus
melarikan diri, hidup dengan sengsara dan terlunta-lunta. Hanya kehendak Thian saja yang
membuat aku masih dapat hidup terus sampai hari ini. Di mana saja aku tiba, orang-orang
menjauhkan diri, menganggap aku gila, merasa jijik dan ngeri melihat keadaan wajah dan
tubuhku.
Sampai enam puluh tahun aku masih dikurniai umur panjang sampai sekarang. Telah puluhan
tahun aku tinggal di tempat ini, jauh dari manusia, jauh dari dunia ramai. Kau dapat
membayangkan sendiri betapa sengsara penderitaanku.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 16
Sui Giok mendengar cerita ini dan tak dapat menahan mengalir air matanya karena terharu
dan kasihan.
“Ah, Lam Nio, maafkan aku. Setelah mendengar riwayatmu, maka malapetaka yang menimpa
pada diriku ternyata tidak berarti apa-apa. Aku hanya dipisahkan dari suamiku saja, dan masih
besar harapan suamiku akan tertolong nyawanya. Akan tetapi kau ...... !”
Kemudian Sui Giok lalu menceritakan pengalamannya dan mendengar ini, Bu lam Nio
mengepal tangannya dan mukanya menjadi beringas menakutkan.
“Keparat! Setelah berpuluh-puluh tahun, ternyata yang menjadi kaisar masih saja orang-orang
lalim dan jahat. Kalau kaisarnya lalim, pembesar-pembesar dan serdadu-serdadunya tentu
juga penjahat-penjahat keji. Toanio aku telah menanti sampai enam puluh tahun lamanya,
untuk memenuhi pesanan panglima Kam Kok Han. Dia meninggalkan kitab itu kepadaku
bukan dengan percuma saja. Maksudnya tentu agar supaya aku memilih seorang murid untuk
mempelajari isi kitab itu. Aku sendiri buta huruf dan tak dapat membaca isi kitab itu, toanio.
Maka kaulah agaknya orang yang akan mewarisi kepandaian dari Kam Kok Han junjungan
dan juga suamiku. Kitab itu adalah kitab yang bernama Kim-gan-liong-kiam-cian-si, yakni
kitab pelajaran ilmu pedang Kim-gan-liong kiam-sut.”
“Akan tetapi, aku adalah seorang wanita yang lemah, bagaimana aku dapat mempelajari ilmu
silat dan mainkan pedang ?”
“Toanio, apakah kau tidak ingin memiliki kepandaian untuk membasmi orang-orang jahat itu,
untuk menolong suamimu?” tanya Bu Lam Nio.
Berserilah wajah Sui Giok yang cantik. “Betul katamu, Lam Nio! Baiklah, aku akan
mempelajari ilmu silat darimu. Aku mau menerima warisan panglima besar Kam Kok Han!”
“Nah, kalau begitu, kau bersumpahlah pada kitab ini. Kau bukan menjadi muridku, aku tetap
pelayan, bahkan sekarang aku menjadi pelayanmu oleh karena itu kuanggap sebagai ahli
waris keluarga Kam. Kau adalah murid mendiang Kam Kok Han!” Bu Lam Nio lalu
mengeluarkan sebuah kitab yang sudah kuning dan lapuk.
Dengan semangat bernyala dan hati sungguh-sungguh, Sui Giok lalu menutupi tubuhnya
dengan selimut itu, bangun duduk di atas pembaringan dalam keadaan berlutut, memegang
kitab itu di atas kepalanya lalu mengucapkan sumpahnya,
“Guru besar Kam Kok Han, teecu Liem Sui Giok, dengan disaksikan oleh Bu Lam Nio dan
kitab peninggalan sucouw (guru besar) ini, teecu bersumpah bahwa teecu akan mempelajari
isi kitab ini .......” ia berhenti sebentar karena teringat bahwa belum tentu ia akan dapat
mempelajarinya dengan baik, maka segera disambungnya, “dan akan memberi pelajaran pula
kepada keturunan teecu, dan teecu bersama anak teecu akan mempergunakan isi kitab ini
untuk membasmi kejahatan dan menolong mereka yang tertindas seperti keadaan keluarga
sucouw dan keadaan teecu sendiri.
“Bagus!” kata Bu Lam Nio sambil mengambil kembali kitab itu. “Sekarang kau harus
beristirahat dan memulihkan tenagamu kembali. Tentu saja sebelum kau melahirkan, kau
tidak boleh berlatih silat dan sementara itu, aku hanya akan memberi petunjuk tentang
teorinya dan dasar-dasarnya saja agar kelak kau dapat berlatih lebih cepat dan lancar.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 17
Demikianlah, dengan amat teliti dan penuh kasih sayang, Bu Lam Nio merawat Sui Giok,
memberi petunjuk-petunjuk dan pelajaran teori ilmu silat dari permulaan, menerangkan caracara
bersamadhi mengumpulkan tenaga dalam dan berlatih pernapasan untuk memperkuat
lweekang. Latihan ini dapat dimulai oleh Sui Giok, sungguhpun hanya kadang-kadang saja
karena ia tidak boleh memaksa diri dalam keadaan mengandung itu.
Enam bulan kemudian, di tempat yang sunyi dan terasing itu, di lembah sungai Cialing yang
deras airnya, terlahirlah seorang bayi perempuan. Hanya Bu Lam Nio seorang yang menolong
Sui Giok melahirkan, akan tetapi oleh karena Bu Lam Nio dahulu semenjak kecil bekerja
sebagai pelayan, maka ia amat cekatan dan pengertiannya amat luas.
Oleh Sui Giok dan dengan persetujuan Bu Lam Nio, anak perempuan itu diberi nama Kwee
Li Ling dan disebut Ling Ling. Nama ini untuk mengingatkan anak itu bahwa ia terlahir di
lembah sungai Cialing.
Setelah melahirkan dan kesehatannya pulih kembali, mulailah Sui Giok berlatih ilmu silat.
Mula-mula ia berlatih ilmu silat keluarga Kam, berlatih dari permulaan dan karena
sebelumnya ia telah mempelajari teorinya, maka ia dapat menguasai ilmu ilmu silat itu
dengan amat lancar.
Bu Lam Nio merasa gembira oleh karena melihat bahwa biarpun Sui Giok tidak berbakat
amat baik, namun untuk menguasai ilmu silat keluarga Kam ia masih dapat.
Akan tetapi, ketika Bu Lam Nio memberikan buku pelajaran ilmu pedang yang bernama Kimgan-
liong–kiam-coan-si dan Sui Giok membukanya. Nyonya muda ini merasa terkejut sekali
oleh karena kitab ini bukanlah pelajaran yang amat mudah.
Gerakan-gerakan pedang yang diajarkan di situ amatlah sukarnya dan oleh karena memang ia
tidak memiliki bakat amat baik, maka sukarlah baginya untuk mempelajarinya dengan
sempurna. Bu Lam Nio yang hanya mendengar dia membaca saja, telah dapat mengambil
sedikit inti sari kitab itu dan tidak kalah oleh Sui Giok sendiri yang dapat membaca.
Adapun Ling Ling, mulai kecil sudah digembleng oleh Bu Lam Nio dan Sui Giok dan
alangkah girang hati mereka bahwa gadis cilik ini ternyata memiliki bakat yang luar biasa
sekali. Agaknya semenjak kecil, Ling Ling sudah amat suka bermain silat.
Di dalam kehidupan barunya, Sui Giok tak pernah melupakan suaminya yang entah
bagaimana nasibnya itu, juga ia sama sekali tak pernah melupakan bayangan Cong Hwat,
perwira yang gemuk itu. Ia tidak pula melupakan Tan-wangwe dan selalu menanti
kesempatan baik untuk memberi hajaran kepada orang-orang ini.
******
Semenjak mendengar berita tentang tewasnya sembilan orang serdadu secara mengerikan
sekali di dalam hutan itu, para penduduk di sepanjang lembah sungai Cialing, terutama sekali
penduduk dusun Tai-kun-an yang terdekat dengan hutan itu, makin merasa takut dan seram.
Tak seorangpun berani mendekati hutan itu, dan kalau dulu masih ada orang yang berani
masuk sampai satu atau dua li, sekarang mendekati hutan itupun tidak seorangpun berani.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 18
Orang-orang menganggap hutan itu sebagai tempat berhantu atau yang ditempati oleh
siluman-siluman ganas.
Kepercayaan itu bukan tahyul semata, karena semenjak serdadu-serdadu itu tewas di dalam
hutan, maka seringkali muncul siluman yang mengganggu dusun Tai-ku-an. Anehnya yang
diganggu adalah orang-orang hartawan, dan siluman itu mencuri pakaian, makanan, dan lain
barang berharga.
Pernah ada yang melihat berkelebatnya bayangan siluman yang bertubuh bongkok dan
berwajah menakutkan, akan tetapi dalam sekejap mata saja siluman itu lenyap dari pandangan
mata. Para penduduk menganggap bahwa itu tentulah siluman penghuni hutan yang menjadi
marah karena para serdadu itu telah mengganggunya.
Anehnya yang dicuri itu, baik pakaian maupun barang-barang, adalah pakaian dan barangbarang
yang dibutuhkan oleh wanita, maka semua orang lalu mempunyai anggapan bahwa
siluman itu tentulah siluman wanita. Dan oleh karena hutan itu terletak di lembah sungai
Cialing, maka orang lalu memberi julukan Cialing Mo-li (Siluman wanita Sungai Cialing).
Sesungguhnya, semua ini adalah perbuatan Bu Lam Nio. Wanita pelayan ini tadinya sama
sekali tidak mau mengganggu orang dan bersembunyi dari orang dan masyarakat ramai.
Akan tetapi, semenjak Sui Giok tinggal di situ, setelah ia mendengar betapa orang-orang
hartawan mempergunakan uangnya untuk menyogok para serdadu bahkan mendengar tentang
kejahatan seorang hartawan she Tan terhadap Sui Giok, ia tidak segan-segan lagi untuk
mengganggu orang-orang hartawan, mencuri pakaian dan makanan untuk keperluan Sui Giok
dan puterinya. Bahkan beberapa kali ia menyatakan hendak memberi hajaran kepada Tanwangwe,
akan tetapi Sui Giok selalu mencegahnya, menyatakan bahwa ia sendiri yang kelak
hendak membalas, setelah ia memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
Bab 03.....
Demikianlah, sepuluh tahun kemudian, pada suatu hari ketika Tan-wangwe sedang duduk
makan angin di kebun belakang, bersenang-senang dengan perempuan-perempuan
peliharaannya, dijaga oleh tukang-tukang pukulnya, tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit
sekali dan tahu-tahu dihadapan hartawan itu berdiri seorang wanita yang cantik jelita.
Bukan main kagetnya Tan-wangwe melihat kejadian ini dan ia merasa seakan-akan sedang
mimpi. Adapun perempuan-perempuan yang berada di situ, segera berteriak-teriak , “Setan ...
! Setan ... !”
Perempuan cantik yang bukan lain adalah Liem Sui Giok sendiri itu, tersenyum manis akan
tetapi sepasang matanya yang bening dan tajam itu memandang dengan sinar bernyala penuh
kebencian kepada Tan-wangwe.
“Memang, memang aku setan yang datang hendak mencabut nyawamu!” Suaranya merdu dan
halus. Akan tetapi Tan-wangwe merasa betapa seluruh tubuhnya menggigil. Kemudian Tanwangwe
yang pernah belajar ilmu silat dan selalu membawa-bawa sebatang pedang pada
pinggangnya, memberanikan diri dan berseru,
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 19
“Penjaga! Serbu siluman ini!” Dan ia sendiri mencabut pedangnya, pedang yang tajam dan
cukup indah karena gagangnya dihias dengan emas dan permata.
Memang para penjaga di luar kebun itu tidak melihat gerakan Sui Giok yang melompat ke
dalam pekarangan, karena Sui Giok kini telah memiliki ginkang yang luar biasa tingginya,
berkat latihan yang ia pelajari dari Bu Lam Nio. Mendengar seruan majikan mereka, enam
orang penjaga lalu melompat masuk sambil menghunus golok. Mereka berdiri bengong dan
tidak mengerti karena mereka tidak tahu manakah siluman yang disebut oleh majikan mereka.
Adanya Sui Giok di situ tidak mengherankan mereka, oleh karena perempuan yang masih
belum tua lagi amat cantiknya ini memang patut menjadi alat penghibur majikan mereka yang
mata keranjang. Disangkanya bahwa Sui Giok adalah seorang di antara wanita-wanita yang
dibawa ke dalam tempat itu.
Akan tetapi ketika Tan-wangwe melihat enam orang penjaganya, nyalinya menjadi besar dan
sambil berseru keras ia lalu menubruk dan membacokkan pedangnya ke leher Sui Giok.
Nyonya muda ini sambil tersenyum melihat betapa gerakan ini lambat dan lemah sekali, maka
kedua tangannya lalu bergerak dengan tipu Kwan-im siu-kiam (Dewi Kwan-im Mencabut
Pedang). Tangan kirinya menyambar ke arah pergelangan tangan kanan Tan-wangwe
sedangkan tangan kanannya dengan amat cepatnya mendahului serangan lawan mengirim
totokan ke arah lambung lawan.
Tan-wangwe tidak sempat menjerit karena tahu-tahu ia merasa betapa lambungnya sakit
sekali dan tubuhnya menjadi lemas. Tanpa dapat dicegah lagi, tangan kiri Sui Giok telah
berhasil merampas pedangnya. Tan-wangwe limbung dan roboh ke atas tanah bagaikan
sehelai kain lapuk.
Barulah keenam orang penjaga itu terkejut. Sementara itu, para bini muda Tan-wangwe
dengan tubuh gemetar lalu berlutut dan berseru, “Siluman wanita ...... dia ..... dia adalah
Cialing Mo-li !”
Enam penjaga itu merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Mereka pernah mendengar
tentang Cialing Mo-li ini sebagai seorang siluman yang amat mengerikan dan buruk rupa, dan
pula belum pernah siluman itu muncul di siang hari. Mana ada siluman berani muncul di
tengah hari? Akan tetapi, siapa tahu kalau-kalau siluman yang mengerikan itu telah berganti
rupa, karena bukankah siluman-siluman pandai sekali pian-hoa (berganti bentuk)? Dengan
serentak mereka lalu menerjang maju dengan golok mereka.
Akan tetapi, tingkat ilmu silat Sui Giok sudah amat tinggi dan sudah terang sekali jauh lebih
tinggi dari pada para penjaga yang kasar ini. Apalagi ia sekarang telah memegang sebatang
pedang dan biarpun masih jauh daripada sempurna, baru paling banyak dua bagian saja, akan
tetapi ia telah melatih ilmu pedang Kim-gan-liong Kiam-sut, maka begitu ia menggerakkan
pedang itu, bergulunglah sinar putih yang menutup seluruh tubuhnya.
Melihat gerakan ini, bukan main takutnya para penjaga itu. Bagaimana orang dapat
menghilang di balik gulungan sinar pedang? Belum pernah mereka menyaksikan hal seaneh
ini, maka tentu saja mereka menyerang dengan lutut lemas dan kaki menggigil.
Dengan amat mudahnya ketika Sui Giok menggerakkan pedangnya, terdengar suara keras dan
enam batang golok terlempar jauh. Sui Giok menggerakkan tangan kirinya dan robohlah para
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 20
penjaga itu seorang demi seorang. Tiga orang roboh karena tamparan tangan kiri Sui Giok,
adapun yang tiga orang lagi roboh karena ketakutan dan lemas kakinya.
Saking girangnya melihat hasil jerih payahnya selama sepuluh tahun mempelajari ilmu silat,
dan saking puasnya dapat membalas dendamnya kepada hartawan yang mata keranjang itu,
Sui Giok lalu tertawa. Suara ketawanya ini bebas dan lepas sehingga terdengar merdu akan
tetapi nyaring sekali menyakitkan anak telinga. Karena tanpa disadarinya, ia telah
mengerahkan khikangnya ketika tertawa sehingga terdengar keras sekali, bahkan dapat
terdengar oleh orang-orang yang berada di tempat agak jauh sehingga banyak orang di saat itu
berdiri bengong dan saling pandang dengan terheran-heran.
Sui Giok lalu menjambak rambut Tan-wangwe dan sekali ia melompat, ia telah berada di atas
genteng lalu lenyap membawa tubuh hartawan Tan itu. Gegerlah keadaan di pekarangan Tanwangwe.
Perempuan-perempuan itu menjerit-jerit dengan tubuh gemetar dan masih berlutut, menangis
dan menyebut-nyebut nama Thian untuk mengusir siluman jahat itu. Orang-orang datang
melawat dan ketika mereka mendengar bahwa Tan-wangwe dibawa pergi oleh siluman
wanita, mereka menjadi gempar.
Sebelum melakukan serangan terhadap Tan-wangwe, Sui Giok telah mendengar dari Bu Lam
Nio bahwa yang mengkhianati Sui Giok dan suaminya dahulu memang Tan-Wangwe adanya.
Hal ini dapat didengar oleh Bu Lam Nio dalam pekerjaannya mencuri harta benda para
hartawan di malam hari. Oleh karena itu, bukan main sakit hatinya Sui Giok terhadap Tanwangwe.
Memang tadinya ia telah menaruh curiga, karena tanpa diberitahu oleh orang lain, bagaimana
rombongan serdadu itu bisa mencari ke dalam hutan? Kalau saja ia tidak mendengar hal ini
dari Bu Lam Nio, ia pasti tidak akan mengganggu nyawa Tan-wangwe dan cukup memberi
hajaran pedas saja. Kini sakit hatinya terlampau besar dan Tan-wangwe dianggap menjadi
biang keladi nomor satu dari penderitaannya.
Pada senja harinya, ketika empat puluh lebih penduduk laki-laki dari Tai-kun-an yang
dipimpin oleh kepala kampung menyusul ke pinggir hutan, mereka ini melihat tubuh seorang
laki-laki tergantung pada pohon dengan kaki di atas dan kepala di bawah. Ketika mereka
mendekat, ternyata bahwa laki-laki ini bukan lain adalah Tan-wangwe, akan tetapi muka dan
kepalanya telah tidak keruan macamnya, rusak dan hancur bekas cakaran dan gigitan. Dan di
bawah pohon itu nampak jejak-jejak kaki harimau yang terbenam di dalam tanah lumpur.
Memang, Sui Giok sengaja menggantung Tan-wangwe pada kakinya di atas pohon dan
meninggalkannya begitu saja. Seekor harimau yang kelaparan melihat seorang manusia
tergantung, lalu melompat dan berusaha untuk menangkapnya.
Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Tan-wangwe yang ketakutan. Harimau itu tidak
dapat mencapai korbannya yang digantung terlampau tinggi, akan tetapi kedua kaki depannya
masih juga berhasil merobek muka dan kepala Tan-wangwe sampai hancur dan nyawanya
melayang.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 21
Dengan wajah pucat, orang-orang kampung itu lalu menurunkan jenazah Tan-wangwe dan
membawanya pulang ke dusun. Orang-orang yang tua lalu berlutut ke arah hutan itu dan
berkatalah seorang yang tertua di antara mereka,
“Toat-beng Mo-li (iblis Wanita Pencabut Nyawa), mohon Mo-li sudi mengampuni kami
sekalian dan harap sudah puas dengan korban yang seorang ini. Kami akan membakar dupa
wangi setiap malam untuk menghormat Mo-li!”
Semenjak peristiwa ini, sebutan untuk “siluman” di dalam hutan itu menjadi dua, pertama
Cialing Mo-li (Iblis Wanita Sungai Cialing) dan kedua Toat-beng Mo-li (Iblis Wanita
Pencabut Nyawa). Sebutan yang kedua ini adalah karena Sui Giok menyatakan hendak
mencabut nyawa Tan-wangwe ketika ia bertemu dengan hartawan itu dan karena banyak
orang yang mendengar ucapannya, maka lalu julukan kedua itu timbul.
Benar saja, semenjak para penduduk membakar dupa wangi setiap malam, tak pernah ada
gangguan lagi. Hal ini adalah karena Sui Giok melarang kepada Bu Lam Nio untuk mencuri
barang-barang para hartawan di dusun itu.
“Mencuri adalah perbuatan yang memalukan,” kata Sui Giok kepada Lam Nio. “Biarpun yang
dicuri itu adalah barang-barang para hartawan pelit dan kejam. Aku dan anakku tidak suka
memakai barang-barang curian.”
Bu Lam Nio memang seorang yang pernah tinggal dengan orang-orang bangsawan, maka
tentu saja ia tidak membantah dan bahkan di dalam hati mengakui kebenaran ucapan ini. Pada
suatu hari, secara kebetulan Sui Giok mendapatkan banyak mutiara di antara tumpukan kulit
kerang di pinggir sungai. Bukan main girangnya karena ia tahu bahwa mutiara-mutiara ini
amat mahal harganya.
Ia lalu mencoba membawa beberapa butir mutiara ke kota Kong-goan, dan betul saja, orang
berani membayar mahal untuk sebutir mutiara. Padahal yang ia dapatkan itu tidak kurang dari
seratus butir. Semenjak saat itu, Bu Lam Nio tidak perlu mencuri lagi karena dengan
persediaan mutiara sebanyak itu, mereka dapat membeli apa saja yang mereka kehendaki.
Biarpun Ling Ling tinggal di tengah hutan yang sunyi, akan tetapi ia tidak terasing sama
sekali dari dunia ramai. Sui Giok mengerti bahwa hal ini tidak baik bagi puterinya, maka
sedikitnya sepekan sekali ia tentu mengajak Ling Ling ke dusun atau kota yang agak jauh dari
tempat itu. Tentu saja ia tidak berani mengajak puterinya ke dusun Tai-kun-an, karena ia telah
dikenal oleh penduduk di situ sebagai Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li.
Akan tetapi, setelah Ling Ling berusia delapan tahun, anak ini merasa kurang puas dengan
ajakan ibunya yang hanya kadang-kadang itu. Anak ini rindu akan kawan-kawan bermain dan
ibunya serta Bu Lam Nio yang disebut “nenek Lam” mulai percaya kepadanya dan
membolehkan dia bermain di dalam hutan seorang diri.
Menurut pendapat Sui Giok dan Lam Nio, kini Ling Ling telah memiliki kepandaian yang
cukup untuk menjaga diri dari serangan binatang buas. Memang, gadis yang amat berbakat ini
baru saja berusia delapan tahun telah memiliki gerakan yang luar biasa gesitnya, memiliki
ginkang yang amat mengagumkan.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 22
Oleh karena rasa rindunya akan kawan-kawan bermain tak dapat ditahan lagi, maka tidak
heran apabila pada suatu pagi, ketika belasan orang anak-anak dusun Tai-kun-an sedang
bermain-main, tiba-tiba mereka melihat seorang anak perempuan yang cantik dan manis
berada ditengah-tengah mereka. Anak perempuan ini rambutnya dikuncir dua dan kuncirkuncirnya
diberi pita warna merah, wajahnya segar dan munggil, selalu tersenyum-senyum
dan sepasang matanya cemerlang bagaikan bintang pagi. Pakaiannyapun berbeda dengan
anak-anak dusun, bersih dan dari sutera berwarna indah.
Tentu saja anak-anak itu menjadi terheran-heran. Mereka memandang kepada anak
perempuan yang tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah mereka itu. Seorang anak laki-laki di
antara mereka bertanya, “Eh, kau siapakah?”
“Aku?” Ling Ling menjawab sambil bibirnya tersenyum manis dan matanya memandang
penuh seri kegembiraan. “Namaku Ling Ling !”
Dia amat senang mendengar suara anak-anak ini dan melihat wajah mereka. Inilah yang
dikehendakinya selama ini, inilah yang dirindukannya. Ia sudah merasa bosan berada di
tempat yang sunyi, hidup hanya dengan ibu dan neneknya itu.
“Nama yang bagus !” kata seorang anak perempuan memuji.
“Pitanya lebih bagus !” kata lain orang anak perempuan sambil memegang-megang pita itu.
“Kau mau ini?” tanya Ling Ling yang segera melepaskan dua pita rambutnya. “Ambillah!” Ia
memberikan sehelai pita merah kepada anak itu dan yang sehelai lagi ia berikan kepada
seorang anak perempuan lain. Karena pitanya diambil, maka kini rambut Ling Ling menjadi
terurai dan rambut itu memang amat bagus, lemas, hitam dan panjang.
“Kau anak dari manakah?” tanya lagi anak laki-laki tadi memandang kagum dan juga heran.
“Kami tidak pernah melihatmu. Di mana rumahmu?”
“Di sana!” kata Ling Ling sambil menunjuk ke arah hutan di luar dusun. Anak-anak itu hanya
mengira bahwa rumah Ling Ling di jurusan yang ditunjuk, yakni di ujung dusun sebelah
utara.
Tiba-tiba terdengar anak perempuan yang tadi diberi pita oleh Ling Ling menangis. “Pitaku
....! Jangan ambil pitaku ...! Kembalikan!”
Ling Ling cepat menengok dan ternyata bahwa pita yang tadi diberikan kepada anak
perempuan itu telah dirampas oleh seorang anak laki-laki yang usianya sudah lebih dari
sepuluh tahun. Anak perempuan yang paling banyak berusia enam tahun itu menangis dan
menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis.
“Eh, kau!” tiba-tiba Ling Ling berseru keras sekali sehingga mengejutkan semua anak-anak
itu. “Kembalikan padanya!”
Anak laki-laki yang merampas pita itupun terkejut, akan tetapi ketika ia menengok dan
memandang kepada Ling Ling, ia menghampiri sambil tertawa menyeringai. “Ha, ha, ha! Kau
seperti pemain sandiwara yang kutonton dulu itu. Galak dan berlagak seperti permaisuri raja.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 23
Kau anak baru hendak memerintah aku? Hm, kalau kau laki-laki tentu sudah ku jotos
hidungmu!”
Bukan main marahnya Ling Ling mendengar ucapan itu dan kini sepasang matanya yang
indah dan bening itu mengeluarkan cahaya berapi sehingga tidak saja semua anak-anak
menjadi tercengang, bahkan anak laki-laki itu sendiripun melangkah mundur dua langkah.
“Kau ....... kau siapa? Matamu sungguh tidak sedap hatiku melihatnya. Seperti ...... seperti
mata setan!”
“Plak!” Tangan kanan Ling Ling dengan cepatnya menyambar dan menampar pipi anak lakilaki
itu.
“Aduuuuhhh .....!!” Sungguh mengherankan semua anak-anak yang berada di situ, karena
anak lelaki itu telah terkenal sebagai “jagoan” di antara semua anak-anak dusun Tai-kun-an,
mengapa kini ditampar sekali saja lalu mengaduh-aduh dan berjingkrak-jingkrak sambil
memegangi pipinya?
Memang, anak laki-laki itu merasa sakit bukan main terkena tamparan tadi, pipinya terasa
panas dan pedas sampai menembus ke dalam mulut. Setelah mengusap-usap pipinya dan
menahan sakit sampai air matanya mengucur keluar ia menjadi marah sekali.
“Anak anjing! Kau berani memukul aku?” Setelah berkata demikian, anak laki-laki ini lalu
menyerang Ling Ling dengan pukulan ke arah kepala Ling Ling.
Ling Ling semenjak baru bisa berjalan sudah menerima latihan-latihan silat tinggi di bawah
bimbingan ibu dan neneknya, maka tentu anak lelaki itu bukan lawannya. Sekali mengangkat
tangan menyaut, lengan tangan anak laki-laki itu telah ditangkapnya dan dengan gerakan amat
cepatnya sehingga sukar diikuti oleh mata, tahu-tahu lengan tangan kanan anak itu telah
ditekuk ke belakang sehingga anak laki-laki itu meringis kesakitan.
“Hayo, cepat kembalikan pita itu kepadanya!” Ling Ling membentak dan kini semua anak
melihat betapa sikap gadis cilik ini luar biasa keren dan gagahnya. Anak laki-laki itu hendak
membangkang, akan tetapi ketika Ling Ling menguntir lengannya, ia berkaok-kaok kesakitan
dan cepat mengembalikan pita yang masih berada ditangan kirinya kepada anak perempuan
itu.
“Hayo kau berlutut dan minta ampun kepadanya!” kembali Ling Ling membentak sambil
mendorong tubuh anak laki-laki itu yang terguling roboh di depan anak perempuan kecil yang
diganggunya tadi. Akan tetapi tentu saja anak laki-laki itu tidak sudi minta ampun dan begitu
ia berdiri, dengan geramnya ia hendak menyerang Ling Ling lagi.
Ia masih merasa penasaran sekali. Masa ia harus mengaku kalah terhadap seorang anak
perempuan yang masih kecil ini? Namun kini Ling Ling menjadi marah sekali. Sebelum anak
laki-laki itu dapat mengenainya dengan pukulan, Ling Ling telah mendahuluinya dengan
sebuah tendangan yang mengenai perutnya. Baiknya Ling Ling tidak bermaksud
mencelakainya, karena kalau tendangan ini dilakukan sekuat tenaga, mungkin sekali anak itu
akan mati.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 24
Biarpun tendangan ini perlahan saja, akan tetapi anak itu menjerit-jerit sambil memegangi
perutnya, bergulingan di atas tanah bagaikan seekor cacing terkena abu panas.
“Hayo berlutut dan minta ampun kepadanya! Lekas!” teriak pula Ling Ling.
Karena tidak dapat menahan sakitnya lagi, anak laki-laki itu lalu merangkak dan berlutut di
depan anak perempuan yang tadi diganggunya.
“Awas, jangan kau berani mengganggu anak-anak lain lagi, kalau aku melihat hal itu atau
mendengar dari orang lain, aku akan mencabut nyawamu !” kata Ling Ling dengan sikap yang
bengis sekali.
Kebetulan sekali pada saat itu ada seorang petani yang lewat di situ dan melihat anak-anak
yang berkerumun, ia tertarik hatinya. Ia merasa terheran-heran melihat betapa anak laki-laki
yang terbesar kini sambil menangis dengan muka pucat, sedang berlutut dihadapan seorang
anak perempuan terkecil sedangkan semua anak memandang kepada seorang gadis cilik
dengan mata terbelalak heran dan kagum.
Petani ini sudah mengenal semua anak-anak di dusun itu, akan tetapi gadis cilik yang manis
ini belum pernah dilihatnya. Ketika ia mendengar ucapan Ling Ling tentang “mencabut
nyawa”, tiba-tiba ia terbelalak dan mukanya berobah pucat. Melihat sekelebatan saja, petani
ini maklum bahwa anak laki-laki yang besar itu tentu telah kalah oleh anak perempuan yang
aneh dan berpakaian indah itu.
“Toat-beng Mo-li ...... (Iblis Wanita Pencabut Nyawa)..... !” katanya perlahan sambil
memandang kepada Ling Ling dengan mata terbelalak.
Ketika anak-anak perempuan mendengar ucapan ini, maka menjerit-jerit dan terutama anak
laki-laki yang tadi diberi hajaran, kini memandang kepada Ling Ling lalu berlari terbirit-birit.
Ling Ling telah mendengar dari ibunya betapa ibu dan neneknya dianggap iblis wanita. Hal
ini amat menyebalkan hati Ling Ling dan menganggap sebutan itu sebagai hinaan.
Kemarahannya timbul, akan tetapi ia tersenyum girang ketika melihat betapa anak perempuan
kecil yang dibelanya tadi tidak ikut lari meninggalkannya. Anak perempuan itu bahkan
mendekatinya dan sambil memegang tangannya, anak itu berkata,
“Enci Ling Ling, aku tidak percaya bahwa kau adalah seorang siluman!”
Ling Ling memandangnya dan tak terasa pula ia memeluk dan menciumi anak itu. Dia belum
pernah merasakan bagaimana senangnya mempunyai seorang kawan, dan kini melihat anak
ini ia merasa suka sekali.
“Kau tidak takut kepadaku?” tanyanya.
Anak itu menggelengkan kepalanya. “Mengapa mesti takut? Kau cantik dan baik, tidak
seperti anak-anak lain yang suka menggangguku.”
Pada saat itu, dari sebelah selatan datang serombongan orang dan ternyata mereka itu adalah
orang-orang lelaki yang datang karena diberitahu oleh petani tadi bahwa di situ terdapat Toat-
Beng Mo-li. Semua orang berlari-lari karena mengira bahwa Toat-beng Mo-li hendak
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 25
mengganggu anak-anak mereka, akan tetapi ketika melihat bahwa di situ hanya terdapat
seorang anak perempuan yang cantik mungil, mereka berhenti dan memandang heran.
“Itulah dia, anak perempuan yang cantik itu!” kata petani tadi sambil menuding ke arah Ling
Ling.
Semua orang memandang dengan mata tidak percaya dan ayah anak perempuan yang masih
bergandengan dengan Ling Ling itu segera melangkah maju dan berkata kepada anaknya,
“A-cui, kau kesinilah !”
Anak perempuan itu memandang kepada Ling Ling dn berkata, “Dia adalah ayahku, enci Ling
Ling.”
Sementara itu Ling Ling sudah timbul lagi amarahnya melihat orang-orang itu
memandangnya dengan muka aneh. Ia merasa sebal sekali, maka ia menjawab kasar, “Jangan
pergi kepadanya!”
Mendengar suara Ling Ling yang nyaring, makin takutlah orang-orang itu, terutama sekali
ayah A-cui, ia segera menjatuhkan diri berlutut dan dari jauh ia memberi hormat kepada Ling
Ling sambil berkata, “Harap jangan mengganggu anakku, biarlah aku akan bersembahyang
tiap malam untuk menghormatimu!”
Ling Ling tentu saja tidak mengerti apakah arti kata-kata ini, maka ia hanya memandang
dengan masih marah. Sementara itu, ketika A-cui melihat kemarahan Ling Ling dan melihat
pandang matanya yang memancarkan cahaya berapi-api, ia mulai menjadi takut dan berkata,
“Enci Ling Ling, aku mau pergi kepada ayahku!” Dan larilah A-cui kepada ayahnya.
Ling Ling mengulurkan tangan hendak menangkap A-cui, akan tetapi orang-orang lelaki yang
berdiri kurang lebih lima tombak darinya, ketika melihat ia mengulurkan tangan seakan-akan
hendak menangkap A-cui, segera menyerbu dengan senjata tajam di tangan.
Menurut kehendak hatinya yang marah, Ling Ling hendak melawan orang-orang ini, akan
tetapi ia pernah mendengar pesanan ibunya bahwa ia dilarang berkelahi dengan orang-orang
dusun, dan pernah pula mendengar neneknya berkata bahwa orang-orang dusun adalah orangorang
bodoh. Sebutan mereka yang dianggap iblis wanita oleh orang-orang kampung itu
bukanlah penghinaan, melainkan sebutan yang timbul dari kepercayaan bodoh dan tahyul.
Sungguhpun Ling Ling tak dapat mengerti jelas keterangan neneknya ini, namun melihat
orang-orang kampung itu, dan melihat A-cui, Ling Ling merasa kasihan juga. Maka dengan
hati mendongkol, kecewa, dan marah yang ditahan-tahan, ia lalu menggerakkan tubuhnya dan
sekali ia melompat tubuhnya telah berkelebat jauh dan sebentar saja lenyap di antara pohonpohon.
Melihat gerakan ini, percayalah kini semua orang dusun itu dan terdengar seruan-seruan,
“Toat-beng Mo-li .....” Beberapa orang di antara mereka bahkan sudah menjatuhkan diri
berlutut dengan mulut berkemak-kemik membaca doa.
Semenjak saat itu, semua penduduk Tai-kun-an percaya bahwa Toat-beng Mo-li adalah iblis
wanita yang amat sakti dan pandai pian-hoa, sebentar menjadi iblis yang buruk rupa dan tua
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 26
sekali sebentar berobah menjadi seorang wanita yang cantik jelita seperti bidadari, kadangkadang
menjelma menjadi seorang anak perempuan yang manis dan mungil.
Akan tetapi ketika mendengar penuturan A-cui, mereka berpendapat bahwa “iblis wanita” itu
bukanlah iblis yang jahat dan agaknya tidak mau mengganggu orang, kecuali orang yang
jahat. Sepanjang pengetahuan mereka, yang pernah diganggu adalah Tan-wangwe dan
tukang-tukang pukulnya dan semua orang sudah tahu akan kejahatan dan kekejaman hartawan
ini beserta kaki tangannya.
Orang kedua yang mengalami hajaran adalah anak laki-laki yang telah mengganggu A-cui.
Maka, kini nama Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li dipergunakan oleh mereka untuk
menakut-nakuti orang yang hendak berbuat jahat. Berkat ketahyulan inilah maka orang-orang
yang berwatak jahat di dusun itu menjadi ketakutan dan mereka jarang berani melakukan
kejahatan lagi.
Sementara itu, Ling Ling kembali ketempat tinggal orang tuanya di dalam hutan sambil
cemberut dan mendongkol sekali. Ketika ibunya melihatnya, ia ditegurnya,
“Ling Ling, kau datang dari manakah dan mengapa kau nampak marah?”
Ditanya demikian, Ling Ling lalu menangis dan menjatuhkan diri di atas pangkuan ibunya.
Sui Giok terkejut sekali dan dengan penuh kasih sayang ia mengelus-elus rambut Ling Ling.
Terlihat olehnya betapa rambut anaknya yang bagus itu terurai tanpa ikatan pita merah seperti
biasa.
“Eh, kenapa kau menangis dan ke mana pula perginya pita rambutmu?”
Ling Ling lalu menceritakan pengalamannya yang didengar oleh ibunya dengan kening
berkerut dan beberapa kali terdengar ia menarik napas panjang.
“Itulah sebabnya maka aku selalu melarang kau pergi ke dusun Tai-kun-an, anakku.
Penduduk di situ menganggap kita sebagai iblis wanita, akan tetapi hal ini tidak perlu
diributkan. Mereka adalah orang-orang bodoh yang patut dikasihani. Mereka sebetulnya
tidaklah jahat.”
“Ibu, aku sudah bosan tinggal di dalam hutan yang sunyi sepi ini. Mengapa ibu tidak pindah
saja ke tempat ramai di mana aku bisa bermain-main dengan anak-anak lain?”
Sui Giok mencium pipi anaknya. “Belum waktunya, Ling Ling. Kau belajarlah dengan rajin
dan apabila kepandaianmu sudah cukup, tentu aku takkan selamanya menahanmu di sini,
bahkan kalau kau sudah cukup pandai, kita akan bersama keluar dari sini, pergi kekota-kota
besar dan kau akan gembira dan senang. Tunggulah sampai kau dewasa dan pandai, nanti kita
akan pergi mencari ayahmu.”
Mendengar disebutnya ayah, Ling Ling lalu bangkit dan duduk di depan ibunya. Ia menyusut
air matanya dan dengan sepasang matanya yang bening itu dipandangnya muka ibunya.
“Ibu, dimanakah adanya ayah sekarang? Mengapa ia meninggalkan kita?” Ia teringat akan
ayah dari A-cui yang demikian menyinta anaknya.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 27
Sui Giok menghela napas. Memang ia belum menceritakan riwayatnya kepada Ling Ling,
hanya memberitahukan tiap kali anaknya menanyakan ayahnya, bahwa ayahnya itu sedang
pergi jauh dan bahwa kelak mereka akan menyusulnya.
“Ling Ling sudah berkali-kali kukatakan bahwa kalau kau sudah pandai dan sudah dewasa,
tentu akan kuceritakan semua hal itu. Sekarang belum waktunya, nak, kau berjanjilah kepada
ibumu untuk belajar ilmu kepandaian dengan tekun. Kau harus lebih memperdalam ilmu
membaca agar kau dapat membaca kitab Kim-gan-liong-kiam-coan-si dan melatih ilmu
pelajaran yang terdapat di dalam kitab itu.”
Ling Ling adalah seorang anak yang berhati keras dan berotak cerdik, akan tetapi terhadap
ibunya ia amat penurut dan berbakti, maka mendengar ucapan ini, ia sudah merasa puas dan
tidak mau mendesak lagi. Semenjak saat itu, ia belajar makin giat dan tekun dan mulailah ia
mempelajari kitab ilmu pedang itu bersama-sama ibunya.
Bab 04.....
Seperti pernah dituturkan di bagian depan, Ling Ling mempunyai bakat yang luar biasa sekali
dalam hal ilmu silat. Kitab Kim-gan-liong-kiam-coan-si yang sukar sekali dipelajari oleh
ibunya itu, setelah Ling Ling pandai membaca atas ajaran ibunya, maka anak ini dapat
menangkap inti sari ilmu pedang ini dan dapat mempelajari dan memainkannya jauh lebih
cepat dan mudah daripada ibunya.
Pedang Tan-wngwe yang dulu dirampas oleh ibunya itu dipergunakan untuk berlatih ilmu
pedang Kim-gan-liong-kiam-sut. Bukan main girangnya hati Sui Giok dan Bu Lam Nio. Ilmu
pedang itu dapat dimainkan oleh Ling Ling sedemikian hebatnya sehingga ketika Sui Giok
dan Bu Lam Nio mencoba untuk mengeroyok gadis itu, kedua orang tua ini tidak dapat
bertahan lebih dari lima puluh jurus.
Kitab Kim-gan-liong-kiam-coan-si selain memuat pelajaran ilmu pedang, juga di bagian
terakhir dimuat pula pelajaran yang disebut “mempersatukan pedang dengan diri”, yakni
bagian pelajaran yang paling sukar dan sulit. Pelajaran ini berdasarkan latihan lweekang yang
amat tinggi dan disertai latihan siulan (samadhi) dan latihan napas.
Apabila tenaga lweekang yang khusus telah dimiliki oleh orang yang belajar dari kitab ini,
maka barulah ia akan dapat memperoleh ilmu mempersatukan pedang dengan dirinya.
Dengan ilmu ini, maka pedang yang dipegang di tangannya dan dimainkannya, baginya
seakan-akan bukan merupakan pedang lagi, melainkan merupakan sebagian dari tubuhnya,
merupakan anggauta tubuh seperti tangan atau kaki.
Dengan penyaluran tenaga lweekang sampai ke ujung pedang, maka gerakan pedang lebih
hebat dan tepat, serta tiap serangan atau tangkisan pedang mengandung tenaga lweekang
sepenuhnya seakan-akan bukan pedang, melainkan lengan tangan yang menyerang atau
menangkis.
Sui Giok sendiri sudah bertahun-tahun mencoba untuk memahami bagian terakhir ini, namun
tetap saja ia tidak berhasil. Hal ini tidak mengherankan oleh karena untuk dapat memiliki
bagian terakhir ini, tidak saja dibutuhkan bakat yang luar biasa, namun juga dibutuhkan otak
yang cerdas, pikiran yang tenang, dan ketekunan yang luar biasa.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 28
Bagi Sui Giok, semua syarat ini ada walaupun tidak berapa kuat, akan tetapi tentang
ketekunan dan ketenangan, bagaimana ia bisa tenang kalau hatinya selalu risau dan amat
rindu kepada suaminya? Ia tidak tahu bagaimana nasib suaminya, dan sebagai seorang isteri
muda yang baru setahun lebih menikah dan berkumpul dengan suaminya, tentu saja ia merasa
amat rindu.
Kegelisahannya memuncak apabila ia teringat akan nasib suaminya yang tercinta itu. Inilah
yang menjadi penghalang besar baginya untuk dapat mencapai kemajuan ilmu pedang seperti
yang telah dicapai oleh Ling Ling.
Selama sembilan tahun, tiada hentinya Ling Ling belajar. Ibunya sendiri kadang-kadang
sampai berkhawatir melihat betapa gadis itu kadang-kadang berlatih ilmu pedang sampai
sehari penuh, melakuan siulan sampai semalam penuh belum juga “sadar” kembali dan lainlain
kegiatan yang benar-benar mengagumkan.sekali.
Sembilan tahun lewat dengan cepatnya dan pada saat ini, kepandaian ilmu silat Ling Ling
sudah jauh sekali melampaui kepandaian ibu dan neneknya, bahkan menurut pendapat Bu
Lam Nio ilmu kepandaian pedang Ling Ling sudah melampaui kepandaian Panglima Kam
Kok Han.
******
Kerajaan Sui, yakni kerajaan yang dipimpin oleh kaisar Yang-te, demikian buruk keadaannya
dan demikian kejam terhadap rakyat jelata cara pemerintahannya sehingga di sana-sini
timbullah kesatuan-kesatuan orang-orang gagah yang sikapnya menentang alat-alat
pemerintah. Mereka ini, yakni orang-orang kalangan kang-ouw dan liok-lim, melakukan
bermacam-macam usaha untuk mengurangi penderitaan rakyat.
Ada yang bergerak perseorangan, merupakan hiapkek-hiapkek (pendekar-pendekar) penolong
rakyat dan dengan mengandalkan ilmu kepandaiannya memusuhi pembesar-pembesar jahat.
Ada yang bergerak merupakan persatuan-persatuan dan ada pula yang bergerak di bidang
kebatinan untuk memberi hiburan dan penerangan kepada rakyat.
Perkumpulan agama Pek-sim-kauw (Agama Hati Putih) sudah amat terkenal dan mempunyai
banyak sekali anggautanya. Cabang-cabangnya dibuka sampai jauh ke kota-kota dan dusundusun.
Pendeta-pendeta Pek-sim-kauw berpakaian seperti tosu (pendeta penganut Agama To), yakni
dengan jubah panjang dan lebar berwarna kuning dengan sulaman gambar hati berwarna putih
di dada. Rambutnya dipelihara panjang, digelung di atas kepala dengan tusuk konde perak.
Sepatunya berwarna hitam kaos kaki hitam pula.
Yang membuat Pek-sim-kauw amat terkenal adalah sepak terjang mereka. Para pendeta Peksim-
kauw terkenal amat gagah berani dan berkepandaian tinggi. Hal ini tidak mengherankan
oleh karena ketua Pek-sim-kauw yang bernama Liang Gi Cinjin, adalah seorang tokoh
persilatan dari pegunungan Kunlun-san.
Dia adalah sute dari ketua Kunlun-pai dan ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang amat
tinggi. Untuk memajukan dan menjaga nama baik Pek-simkauw, Liang Gi Cinjin telah
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 29
menciptakan semacam ilmu silat yang disebutnya ilmu silat Pek-sim-ciang-hoat (Ilmu
Pukulan Hati Putih) yang sesungguhnya masih berdasarkan Kunlun-kun-hoat.
Semua pendeta yang menjadi pengurus Pek-sim-kauw, mempelajari ilmu silat ini dan mereka
ini mempunyai kedudukan yang disesuaikan dengan tingkat kepandaian dan pengetahuan
mereka tentang ilmu silat dan kebatinan.
Oleh karena Pek-sim-kauw menganut semacam agama yang sesungguhnya hanya pelaksanaan
dari pada ajaran-ajaran To-kauw, maka perkumpulan ini mendapat banyak pendukung.
Terutama sekali karena memang dalam kenyataannya, para pendeta Pek-sim-kauw adalah
orang-orang yang gagah perkasa dan penolong-penolong rakyat jelata, maka perkumpulan ini
makin dihormati dan disegani. Tentu saja semua ini terutama sekali karena kekuatan
perkumpulan ini.
Semua orang kangouw maklum akan kelihaian para pendeta Pek-sim-kauw dan tidak
sembarang orang jahat berani mencoba-coba menentangnya. Bahkan di mana saja Pek-simkauw
membuka cabangnya, tentu para penjahat di tempat itu cepat-cepat pergi dan pindah ke
tempat lain yang lebih aman bagi mereka.
Saking banyaknya pendukung, di dalam waktu beberapa tahun saja, jumlah pendeta Pek-simkauw
telah mencapai seratus orang lebih. Untuk membedakan tingkat mereka, maka diadakan
perbedaan dalam warna tusuk konde mereka.
Pendeta-pendeta tingkat satu, yakni anak murid Liang Gi Cinjin sendiri yang jumlahnya ada
lima orang, memakai tusuk konde berwarna putih terbuat dari perak. Pendeta-pendeta tingkat
dua memakai tusuk konde berwarna kuning terbuat daripada gading, dan pendeta-pendeta
tingkat ketiga, yakni tingkat terendah bagi pendeta-pendeta Pek-sim-kauw, memakai tusuk
konde berwarna hitam terbuat dari pada kayu hitam.
Pakaian mereka semua sama, tiada perbedaan sama sekali. Untuk memperkembangkan agama
Pek-sim-kauw, para pendetanya lalu mendirikan cabangnya di kota Kong-goan dan seperti
juga dilain tempat, sebentar saja perkumpulan ini telah melakukan banyak sekali hal-hal yang
patut dipuji.
Membasmi penjahat-penjahat, mempergunakan pengaruhnya untuk mengancam para
pembesar yang suka berlaku sewenang-wenang, membujuk para hartawan dengan
pengetahuan keagamaan untuk membuat para hartawan itu suka mengulurkan tangan
menolong rakyat miskin, dan mengusahakan derma dan sumbangan untuk para penderita
kemiskinan dan kelaparan.
Tak lama kemudian, cabang di Kong-goan yang dipimpin oleh lima orang pendeta tingkat dua
ini membuka pula ranting-rantingnya, di antaranya di dusun Tai-kun-an. Pendeta yang
bertugas di dusun ini adalah seorang pendeta tingkat tiga bernama Pek Kin Cu.
Seperti semua pendeta Pek-sim-kauw, iapun menggunakan she (nama keturunan) Pek. Pek
Kin Cu sudah berusia lima puluh tahun, ilmu silatnya tinggi dan ilmu pengetahuannya tentang
agama Pek-sim-kauw sudah cukup dalam. Hanya sedikit disayangkan bahwa Pek Kin Cu ini
berhati lemah dan kurang cerdik sehingga ia amat mudah terpengaruh oleh kata-kata manis
dan mudah sekali tergerak hatinya apabila melihat orang bermuram durja di depannya.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 30
Para penduduk Tai-kun-an sudah seringkali mendengar tentang kegagahan pendeta-pendeta
Pek-sim-kauw, maka kedatangan Pek Kin Cu tentu saja mereka sambut dengan girang sekali.
Yang paling girang hatinya adalah keluarga hartawan Tan yang dulu terbunuh oleh Cialing
Mo-li.
Mereka ini diam-diam menaruh hati dendam dan ingin sekali membasmi siluman itu, akan
tetapi sudah belasan tahun mereka tidak berdaya karena siapakah yang berani melawan
siluman? Sudah beberapa kali mereka mencari orang-orang gagah, akan tetapi tidak ada orang
gagah yang berani mencoba-coba mengganggu siluman di dalam hutan yang demikian liar
dan angkernya.
Baru beberapa hari setelah pendeta Pek Kin Cu membuka cabang agamanya di Tai-kun-an,
datanglah janda Tan-wangwe bersama beberapa orang keluarganya menghadap Pek Kin Cu.
Dengan menangis mereka menceritakan tentang gangguan Iblis Wanita Sungai Cialing itu
kepada pendeta ini dan minta bantuannya untuk mengusir atau kalau mungkin membinasakan
iblis itu.
Pek Kin Cu mengerutkan kening dan mengurut-urut jenggotnya yang panjang. “Apa ? Iblis
wanita yang disebut Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li ? Sungguh aneh. Benar-benarkah ada
siluman yang berani membunuh manusia di siang hari pula ? Belum pernah aku mendengar
keanehan seperti ini.”
Akan tetapi, ketika pendeta itu mencari keterangan di seluruh dusun, tak seorang pun yang
menyangkal kebenaran cerita itu. Semua orang menyatakan bahwa memang di dalam hutan
sebelah utara itu, di Lembah Sungai Cialing, terdapat iblis wanita yang disebut Toat-beng
Mo-li (Iblis Wanita Pencabut Nyawa) dan Cialing Mo-li (Iblis Wanita Sungai Cialing).
Tentu saja Pek Kin Cu percaya akan adanya siluman atau iblis. Ia percaya penuh akan
kekuasaan Tao (kekuasaan tertinggi yang dipercaya oleh kaum agama Tao). Apakah sukarnya
bagi Tao yang maha kuasa untuk menciptakan mahluk seperti siluman?
Tao yang berkuasa menggerakkan bulan dan matahari, yang berkuasa menghidupkan ikanikan
di air, menerbangkan burung-burung di udara, menghidupkan mahluk-mahluk laksaan
macamnya dipermukaan bumi, tentu saja mungkin sekali mengadakan mahluk-mahluk halus
seperti iblis dan siluman. Tidak ada yang tidak mungkin bagi kekuasaan Tao.
Betapapun juga, siluman itu harus dibasmi, harus dilenyapkan agar jangan mengganggu
manusia lagi. Iblis wanita yang sudah membunuh Tan-wangwe, merupakan bahaya besar bagi
penduduk Tai-kun-an.
Demikianlah, dengan hati bulat dan penuh kemauan menolong penduduk Tai-kun-an, pek Kin
Cu pada suatu pagi memasuki hutan di sebelah utara dusun itu. Hutan itu memang amat liar
dan penuh semak-semak belukar. Akan tetapi, yakin akan kepandaiannya, Pek Kin Cu tidak
merasa gentar sedikitpun juga.
Pendeta ini mencabut pedangnya dan bersiap sedia menghadapi serangan iblis itu sambil
berlari cepat, mempergunakan ilmu ginkangnya yang sudah tinggi. Pohon-pohon kecil dan
tumbuhan berduri yang menghalang perjalanannya, dibabatnya dengan pedang itu. Ia berlari
terus di sepanjang pantai sungai Cialing.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 31
Matahari telah naik tinggi ketika ia tiba di dekat tempat tinggal Bu Lam Nio, Liem Sui Giok
dan Ling Ling. Ketika ia tiba di bawah sebatang pohon pek yang besar sekali, tiba-tiba ia
merasa ada angin menyambar dari atas. Cepat sekali pendeta ini melompat mundur dan
memalangkan pedangnya di depan dada sambil berdongak memandang ke atas.
Tak terasa lagi Pek Kin Cu mengucapkan doa dan mantera ketika ia menyaksikan mahluk
yang melompat turun dari atas pohon itu. Tak salah lagi, pikirnya. Inilah siluman wanita itu.
Ia melihat seorang yang tua sekali, berpakaian hitam, mukanya tidak karuan dan
menyeramkan, tidak menyerupai manusia, melayang turun dengan gerakan yang luar biasa.
Sesungguhnya, yang melompat turun itu adalah Bu Lam Nio, wanita tua yang berwajah
buruk. Ia tadi tengah memetik buah ketika mendengar tindakan kaki pendeta itu datang dari
jauh. Cepat Bu Lam Nio melompat naik ke dalam pohon Pek yang besar itu dan mengintai.
Ketika melihat seorang pendeta dengan pedang di tangan mendatangi cepat sekali, ia lalu
keluar dari tempat persembunyiannya. Ia tidak suka ada orang lain memasuki hutan itu dan
melihat Sui Giok dan puterinya. Hatinya masih penuh kecurigaan kalau-kalau orang ini adalah
suruhan dari kaisar menangkap Sui Giok.
“Kaukah siluman yang suka mengganggu penduduk dusun?” tosu itu membentak setelah
dapat menenangkan hatinya yang tadi berdebar keras.
Disebut siluman, Bu Lam Nio tertawa bergelak. Suara ketawanya keras, nyaring dan bergema
di seluruh hutan, menyeramkan sekali. Akan tetapi ia tidak menjawab, hanya memandang
kepada pendeta itu dengan matanya yang hampir tertutup oleh keriput mukanya.
“Eh, iblis wanita !” Pek Kin Cu berseru keras untuk melawan suara ketawa yang
menggetarkan hatinya itu. “Kau tentu iblis yang disebut Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li.
Jangan kau berlagak di depan Pek Kin Cu. Seorang pendeta Pek-sim-kauw tidak boleh dibuat
permainan dan tidak takut menghadapi segala macam siluman jahat seperti kau.”
Mendengar ucapan-ucapan yang dianggapnya tidak karuan itu, Bu Lam Nio berkata dengan
suaranya yang parau karena ia sudah tua sekali.
“Kau boleh sebut aku apa saja, akan tetapi sekarang juga kau harus pergi dari sini. Pergi!”
Wanita itu menggerak-gerakan tangannya mengusir Pek Kin Cu.
“Aku tidak takut kepadamu dan tidak akan pergi. Aku memang sengaja datang untuk
mengusir dan mengirimkan kau kembali ke neraka. Di nerakalah tempatmu, bukan di atas
bumi tempat tinggal manusia. Kau telah membunuh seorang she Tan di dusun Tai-kun-an, dan
karenanya kau harus menerima hukuman di bawah pedangku!”
Kalau Pek Kin Cu tidak menyebutkan nama Tan-wangwe, mungkin keadaannya akan masih
baik baginya, akan tetapi sekali ia menyebut nama ini, marahlah Bu Lam Nio. Ia mengira
bahwa pendeta ini tentulah seorang jagoan yang datang untuk membalaskan dendam Tanwangwe.
“Keparat!” teriaknya marah sekali. “Kau tadi menyebutku Iblis Wanita Pencabut Nyawa,
memang aku akan mencabut nyawamu yang jahat!” Sambil memekik seram ia lalu
menyerang tosu itu.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 32
Pek Kin Cu sudah siap sedia dan begitu melihat tubuh wanita itu bergerak, ia segera memapak
dengan bacokan pedangnya. Akan tetapi, dengan gesit sekali Bu Lam Nio mengelak ke kiri
dan mengirim pukulan dengan tangan kanannya.
Pek Kin Cu terkejut bukan main ketika merasa betapa angin pukulan itu telah mendahului
tangan iblis itu, menyambar ke arah lambungnya dengan kekuatan yang mengherankan sekali.
Ia cepat melompat ke belakang dan tahulah ia bahwa siluman ini benar-benar lihai sekali,
memiliki kegesitan dan tenaga lweekang yang tinggi. Ia lalu memutar pedangnya dan
mengeluarkan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang amat diandalkan.
Perlu diketahui bahwa murid-murid Pek-sim-kauw yang belum menguasai sedikitnya lima
puluh bagian dari pada ilmu silat Pek-sim-ciang-hoat dan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat,
tidak boleh mengaku sebagai murid Pek-sim-kauw dan tidak boleh pula di dalam pertempuran
mempergunakan ilmu silat ini.
Pendeknya mereka ini belum diakui sebagai murid. Kalau sudah menguasai lima puluh bagian
atau setengahnya dari ilmu silat keluaran Pek-sim-kauw, barulah ia akan diaku sebagai murid
dan mendapat tingkat ketiga.
Oleh karena itu, biarpun tingkatnya hanya tingkat tiga, namun ilmu silat dan ilmu pedang Pek
Kin Cu sudah hebat sekali. Kalau hanya ahli silat kebanyakan saja jangan harap akan dapat
melawan pendeta ini.
Bu Lam Nio maklum akan kelihaian Pek Kin Cu. Ilmu silat dan ilmu pedang pendeta itu
memang amat tangguh dan hampir saja Bu Lam Nio sendiri sukar menghadapinya. Akan
tetapi, dalam hal ginkang dan lweekang, Bu Lam Nio masih menang setingkat dan inipun
kalau wanita tua ini belum pernah mempelajari Kim-gan-liong-kiam-sut biarpun baru sedikit,
agaknya iapun takkan dapat menang.
Berkat pengetahuannya tentang Kim-gan-liong-kiam-sut yang benar-benar merupakan raja
ilmu pedang itu, ia dapat mengikuti gerakan pedang lawannya dan dengan ginkangnya yang
tinggi, ia dapat mengelak dan membalas dengan serangan-serangan maut.
Memang hebat sekali pertempuran ini. Kalau pedang Pek Kin Cu boleh diumpamakan seekor
naga, maka tubuh Bu Lam Nio merupakan segulung awan hitam yang mengelilingi naga itu.
Telah lima puluh jurus lebih Pek Kin Cu menyerang, akan tetapi belum pernah ujung
pedangnya dapat menyentuh baju Bu Lam Nio yang hitam. Sebaliknya, sudah beberapa kali
pendeta ini terkena dorongan angin pukulan Bu Lam Nio sehingga terhuyung-huyung.
“Siluman wanita, kau jahat sekali!” Pek Kin Cu membentak sambil memperhebat
gerakkannya.
“Tosu palsu, kaulah yang jahat!” Bu lam Nio juga bergerak makin cepat dan mendesak
lawannya dengan pukulan-pukulan dari ilmu silat keturunan keluarga Kam. Di dalam
gebrakan selanjutnya, tiba-tiba terdengar Pek Kin Cu berteriak keras dan tubuhnya terkena
pukulan Bu Lam Nio sehingga terpental jauh dan jatuh dalam keadaan pingsan.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 33
Pendeta ini telah terkena pukulan di bagian dadanya dan masih untung bahwa lweekangnya
cukup tinggi dan tadi melihat sambaran pukulan tangan Bu Lam Nio yang istimewa, ia masih
dapat cepat-cepat menutup jalan darah dan menahan napasnya yang dikumpulkan di dada
untuk melindungi jantung dan paru-parunya, maka ia hanya jatuh pingsan karena kerasnya
pukulan membuat kepalanya tergoncang hebat.
Bu Lam Nio tertawa nyaring sekali sehingga suara ketawanya sekali ini bergema lebih keras
lagi. Kemudian ia melompat mendekati pendeta itu, mengambil pedang yang terlepas dari
tangan Pek Kin Cu, mengangkatnya ke atas hendak dipancungkan ke arah leher pendeta itu.
“Nenek Lam, jangan bunuh orang!” tiba-tiba terdengar seruan halus dan nyaring sekali dan
belum hilang gema suara itu, bayangan orangnya telah berkelebat cepat dan berdiri di
belakang Bu Lam Nio. Ternyata ia adalah seorang gadis yang luar biasa cantiknya, akan tetapi
wajahnya nampak agung dan angkuh.
Sekali saja gadis ini mengulur tangannya, pedang di tangan Bu Lam Nio telah dapat
dirampasnya. Dapat dibayangkan betapa lihainya gadis ini yang dapat merampas pedang dari
tangan nenek itu demikian mudahnya.
Bu Lam Nio menengok dan berkata menegur, “Ling Ling ! Mengapa kau mencegahku?
Pendeta ini datang hendak mencelakakan kita, patut dibunuh!”
“Jangan, nenek Lam. Membunuh orang tanpa sebab yang kuat dan beralasan adalah dosa yang
besar. Sudah cukup merobohkan dia dan mengirim dia kembali ke luar hutan. Ibu akan
menjadi marah kalau melihat nenek membunuh orang.”
“Ayaaa ....! Orang lemah!” nenek tua itu mencela, akan tetapi ia tidak berani membantah lagi.
Dengan ringan dan mudah sekali ia lalu menangkap leher pendeta itu, mengempit tubuh itu
dengan lengan kirinya dan berlari secepat terbang keluar dari hutan. Ling Ling mengikuti
nenek itu dengan gerakannya yang ringan dan cepat, bagaikan bayangan nenek yang
menyeramkan itu.
Di luar hutan terdapat banyak sekali penduduk Tai-kun-an yang menanti kembalinya Pek Kin
Cu, mereka itu semua menaruh kepercayaan penuh kepada pendeta Pek-sim-kauw yang pergi
hendak membasmi siluman wanita itu. Sambil menanti, mereka duduk di atas rumput dan
bercakap-cakap, membicarakan perkumpulan Pek-sim-kauw yang terkenal dengan pendetapendetanya
yang berilmu tinggi.
Sudah menjadi kebiasaan manusia bahwa dalam percakapan seperti itu, orang selalu
menambah-nambahkan dan melebih-lebihkan apa yang mereka pernah dengar dan
menceritakan keanehan-keanehan pendeta Pek-sim-kauw seakan-akan mereka pernah
menyaksikannya sendiri.
Seorang di antara mereka bahkan menceritakan betapa Liang Gi Cinjin, ketua dari Pek-simkauw,
pernah menyelam ke dalam laut selama sepekan untuk mengadakan perundingan
dengan Hai-liong-ong (Raja Naga Laut Pengatur Hujan) dan untuk menolong daerah timur
yang kekurangan air. Setelah Liang Gi Cinjin keluar dari laut, maka segera turun hujan lebat
di daerah yang kekurangan air itu.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 34
Ada pula yang bercerita betapa pendeta-pendeta Pek-sim-kauw telah mengusir silumansiluman
dengan ilmu gaib mereka. Masih banyak sekali dongeng-dongeng tentang
perkumpulan agama Pek-sim-kauw sehingga hati mereka menjadi besar dan makin percayalah
mereka kepada Pek Kin Cu yang masih berada di dalam hutan untuk mengusir Toat-beng Moli
atai Cialing Mo-li, siluman yang telah bertahun-tahun merupakan gangguan dan yang
mereka amat takutkan itu.
“Pek Totiang tentu akan dapat menangkap Cialing Mo-li,” kata seorang di antara mereka,
“dan akan membawanya ke sini.”
“Asal saja Toat-beng Mo-li tidak sedang menjelma menjadi anak kecil,” kata orang kedua,
“sungguh tidak enak melihat seorang anak kecil tertangkap dan hendak dibunuh.”
Ramailah kini mereka bicara tentang Toat-beng Mo-li, iblis wanita pencabut nyawa yang
menyeramkan itu. Tiba-tiba terdengar suara di atas pohon besar tak jauh dari tempat mereka
berkumpul sehingga semua orang menjadi terkejut dan ketakutan.
Suara berkeresekan di pohon itu, lalu disusul oleh melayangnya tubuh orang yang yang jatuh
di depan mereka. Alangkah kagetnya orang-orang ini ketika melihat bahwa yang dilemparkan
ke arah mereka itu bukan lain adalah tubuh Pek Kin Cu, pendeta yang menjadi jagoan mereka
yang kini menggeletak dalam keadaan pingsan.
Ributlah orang-orang itu menolong Pek Kin Cu. Setelah kepalanya disiram air dan siuman
dari pingsannya, pendeta itu menjawab pertanyaan orang-orang dusun dengan gelengan
kepala dan suaranya amat sedih ketika ia berkata perlahan, “Sungguh berbahaya. Iblis wanita
itu sungguh lihai sekali ......”
Bukan main kecewa rasanya hati orang-orang itu dan dengan lemas mereka lalu kembali ke
Tai-kun-an. Setelah tiba di kampung, barulah Pek Kin Cu menceritakan pengalamannya,
bahwa ia tidak kuat menghadapi iblis wanita yang benar-benar kuat sekali itu.
“Akan tetapi harap kalian jangan khawatir,” katanya menghibur orang-orang itu,
“perkumpulan Pek-sim-kauw takkan membiarkan kejahatan merajalela, biarpun yang
melakukan pengacauan adalah seorang iblis atau siluman, kami pasti akan bertindak untuk
menolong kalian. Memang betul bahwa aku sendiri tidak dapat menangkap siluman itu, akan
tetapi hari ini juga aku akan minta bantuan suheng-suhengku di kota Kong-goan.”
Legalah hati semua penduduk Tai-kun-an mendengar ucapan ini, karena tadinya mereka
merasa amat takut kalau-kalau iblis wanita itu akan menaruh dendam dan marah kepada
mereka karena pendeta Pek-sim-kauw itu telah berani mengganggunya di hutan.
******
Pada keesokan harinya, nampak empat orang pendeta Pek-sim-kauw berjalan dengan ilmu
silat cepat menuju ke dalam hutan itu. Mereka ini datang dari Kong-goan dan melihat dari
tusukkonde mereka, dapat diketahui bahwa tiga orang yang memakai tusuk konde gading
adalah pendeta-pendeta tingkat dua, sedangkan yang seorang lagi adalah Pek Kin Cu.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 35
Setelah dikalahkan oleh “siluman wanita” itu, Pek Kin Cu cepat-cepat pergi ke kota Konggoan
dan menceritakan pengalamannya kepada suheng-suhengnya yang menjadi pemimpin
cabang Pek-sim-kauw di kota itu.
Pemimpin yang bertugas menyebar agama Pek-sim-kauw di kota Kong-goan ada lima orang
banyaknya, semua pendeta-pendeta tingkat dua, dibantu oleh banyak pendeta-pendeta tingkat
tiga yang datang berangsur-angsur dari pusat. Setelah lima orang pemimpin ini mendengar
cerita Pek Kin Cu, mereka merasa marah sekali.
“Memang siluman itu harus dibasmi,” kata Pek Sui Cu yang tertua dan yang menjadi kepala
cabang di Kong-goan. “Ji-sute, Sam-sute dan Si-sute (adik kedua, ketiga, dan keempat) harap
suka membereskan soal ini. Menurut pendapatku, iblis yang mengalahkan Pek Kin Cu
bukanlah iblis tulen, melainkan seorang yang jahat atau seorang yang tidak waras otaknya,
yang telah lama menyembunyikan diri di dalam hutan. Oleh karena itu, oleh karena dia tidak
membunuh Pek Kin Cu kalau dapat tangkaplah saja dia, jangan dibunuh.”
“Akan tetapi, twa-suheng (kakak terbesar), iblis itu telah membunuh seorang penduduk dusun
Tai-kun-an yang bernama Tan-wangwe dan beberapa orang penjaganya. Ia berbahaya sekali
dan kalau tidak dibunuh, akan mendatangkan banyak malapetaka pada rakyat kampung di
sekitar hutan itu.”
“Jangan, jangan sembarangan membunuh orang. Kalian berempat masa tidak mampu
menangkapnya dan membawanya ke sini? Kalau memang kalian tidak dapat menangkap,
barulah kalian boleh turun tangan,” berkata Pek Sui Cu.
Demikianlah, sambil membawa senjata masing-masing, empat orang pendeta Pek-sim-kauw
itu lalu berangkat dengan cepat memasuki hutan di sebelah utara dusun Tai-kun-an itu.
Kepandaian tiga orang pendeta tingkat dua ini tentu saja lebih tinggi dari pada kepandaian
Pek Kin Cu, karena mereka ini pernah mendapat latihan langsung dari Liang Gi Cinjin.
Berbeda dengan pendeta-pendeta tingkat tiga seperti Pek Kin Cu yang hanya mendapat
latihan dari pendeta tingkat satu dan dua. Baru melihat cara mereka berlari saja, jelas sudah
bahwa kepandaian ginkang dari Pek Kin Cu kalah jauh, akan tetapi oleh karena dia yang
menjadi penunjuk jalan, maka ketiga orang suhengnya itu sengaja memperlambat larinya agar
mereka dapat maju berbareng.
Pada saat itu, Liem Sui Giok bersama puterinya Ling Ling, sedang bercakap-cakap di dalam
gua tempat tinggal mereka. Bu Lam Nio tidak kelihatan di situ oleh karena seperti biasa,
nyonya tua itu telah sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, mencuci pakaian, memasak nasi dan
lain-lain.
Sungguh amat mengharukan betapa nenek tua ini amat bersetia kepada Sui Giok dan Ling
Ling. Dan biarpun Sui Giok sudah berkali-kali melarangnya melakukan semua pekerjaan itu,
namun tetap saja ia berkeras, karena ia masih selalu menganggap diri sendiri sebagai seorang
pelayan.
“Aku tidak akan merasa senang apabila aku tidak bekerja sebagai pelayan,” bantah nenek itu,
“dengan pekerjaan-pekerjaan ini, aku dapat mengenang masa lalu yang penuh keindahan.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 36
Bab 05.....
Pada hari itu, Sui Giok sedang menghadapi Ling Ling yang semenjak beberapa hari ini selalu
rewel dan mendesaknya untuk memberi ijin. Gadis ini ingin sekali keluar dari hutan itu dan
pergi ke dunia ramai.
“Ibu,” katanya setelah mendesak berkali-kali, “semenjak dahulu, aku sudah merasa amat
bosan tinggal di dalam hutan yang sunyi ini, jauh dari kawan-kawan, jauh dari manusia
lainnya. Dulu ibu menyatakan bahwa kalau aku sudah dewasa dan sudah memiliki
kepandaian, ibu akan memperkenankan aku keluar dari hutan ini. Nah, bukankah sekarang
aku sudah dewasa dan tentang kepandaian .... apakah ibu masih menganggap kurang ?”
Dengan air mata berlinang, Sui Giok memeluk anaknya.
“Ling Ling, tidak ada keinginan yang lebih besar di dalam hati ibumu selain melihat kau
hidup seperti gadis-gadis lain di dunia ramai. Akan tetapi, aku tidak tega dan selalu akan
merasa gelisah kalau kau merantau seorang diri, anakku. Bagaimana kalau kau sampai
mendapat bencana di jalan? Dunia ini penuh dengan orang-orang jahat, Ling Ling.”
“Ibu, mengapa susah-susah? kalau ibu tidak tega, marilah kita pergi berdua. Dengan
kepandaian kita, apakah yang kita takutkan? Ibu, aku ingin sekali mencari ayah. Menurut
penuturan ibu, ayah dahulu dibawah oleh para serdadu untuk bekerja paksa, mengapa kita
tidak menyusul dan mencarinya? Alangkah akan bahagianya kalau kita dapat bertemu dengan
ayah!”
Makin deras air mata mengalir dari mata Sui Giok mendengar disebutnya suaminya ini.
Kemudian ia menggeleng kepala dan berkata perlahan,
“Ling Ling, hal ini tidak mungkin. Kalau kita pergi berdua, bagaimana dengan nenekmu? Dia
adalah penolong ibumu, tanpa adanya nenek Lam, ibumu pasti sudah tewas dan kau takkan
ada di muka bumi ini. Bagaimana aku bisa tinggalkan dia seorang diri di tempat ini?”
Belum sempat Ling Ling menjawab, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh bunyi pekik yang amat
nyaring, seperti pekik seekor binatang buas yang dilukai.
“Nenenk Lam ...... !!” Ling Ling berseru keras dan wajahnya tegang. “Dia marah sekali!”
Akan tetapi Sui Giok sudah melompat berdiri dan menarik tangannya. “Hayo cepat, nenekmu
berada dalam bahaya!” Keduanya lalu melompat dan berlari cepat sekali ke arah datangnya
suara itu.
Ternyata bahwa Bu Lam Nio telah bertemu di dalam hutan dengan empat orang pendeta Peksim-
kauw itu. Melihat pendeta-pendeta itu, Bu Lam Nio mengenal Pek Kin Cu yang kemaren
telah dirobohkan, maka meluaplah amarahnya. “Pendeta-pendeta busuk, kalian sudah bosan
hidup !” teriaknya dan langsung ia menyerang mereka dengan sebatang ranting pohon.
“Siluman jahat! Kau benar-benar ganas dan harus dibasmi!” teriak Pek Kin Cu sambil
memutar pedangnya. Juga tiga orang pendeta tingkat dua dari Pek-sim-kauw lalu mencabut
pedang dan mengeroyok.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 37
Akan tetapi kebencian Bu Lam Nio telah ditumpahkan kepada Pek Kin Cu membuat nenek ini
menyerang dengan hebat sekali kepada pendeta ini. Desakkannya bukan main dahsyatnya dan
ia melakukan serangan bertubi-tubi dengan ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut yang baru
sedikit dipelajarinya.
Namun ini sudah cukup. Biarpun Pek Kin cu berusaha menangkis dan ketiga orang suhengnya
menyerang hebat untuk menolongnya, tetap saja ujung ranting di tangan Bu lam Nio dengan
tepat telah menusuk jalan darah pada lehernya.
Pek Kin Cu terhuyung dan roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi karena jalan darah
pada lehernya telah pecah, membuat ia tak dapat bersuara dan tak dapat bernapas lagi. Ia
tewas pada saat itu juga. Demikianlah kehebatan ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut.
Bukan main terkejut dan marahnya tiga orang pendeta Pek-sim-kauw tingkat dua itu.
“Iblis wanita, kau benar-benar ganas dan kejam!” teriak mereka dan bergulung-gulunglah
sinar pedang ketiga pedang ketiga pendeta ini ketika mereka mengeroyok dengan seranganserangan
maut kepada Bu Lam Nio. Bu Lam Nio sudah amat tua dan matanya sudah agak
lamur, biarpun ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang mengherankan, akan tetapi
menghadapi tiga orang lawan yang amat tangguh ini, ia menjadi sibuk juga. Dari tangkisan
pedang mereka, ia maklum bahwa ketiga orang lawan ini bukanlah lawan yang empuk seperti
Pek Kin Cu, dan jangankan dikeroyok tiga, baru menghadapi seorang di antara mereka saja,
agaknya ia takkan mudah merobohkannya.
Ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang dimainkan oleh tiga orang pendeta ini memang lihai.
Kepandaian mereka sudah mencapai tujuh puluh bagian sehingga ketika pedang mereka
berkelebat, terdengarlah bunyi mengaung seperti ribuan lebah pulang ke sarang.
Sebentar saja Bu Lam Nio terkurung rapat oleh sinar pedang mereka dan tidak mempunyai
jalan keluar lagi. Akan tetapi, Bu Lam Nio tidak menjadi gentar bahkan lalu memutar
rantingnya makin cepat sambil melakukan serangan balasan membabi buta.
Ranting kecil di tangan nenek ini jangan dipandang ringan oleh karena biarpun hanya kecil
dan terbuat daripada kayu kering saja, namun bahayanya tidak kalah oleh sebatang pedang
atau tongkat baja. Ujung ranting ini menyambar-nyambar dan mengancam setiap jalan darah
lawan dan sekali saja ujungnya dapat menotok jalan darah, pasti lawannya akan terjungkal.
Akan tetapi yang dihadapinya sekarang adalah murid-murid Liang Gi Cinjin sendiri, maka
setelah melawan mati-matian sampai tiga puluh jurus, dengan gerakan berbareng pendetapendeta
itu menyerang dari tiga jurusan. Bu Lam Nio masih mencoba untuk menangkis dan
mengandalkan ginkangnya mengelak namun sebatang pedang yang menyerangnya dari kiri
dengan tepat telah menusuk lambungnya.
Nenek ini mengerahkan lweekangnya untuk menahan dan memperkeras lambungnya, namun
tenaga lweekang penusuknya juga kuat sekali sehingga tanpa dapat dicegah lagi, pedang itu
telah menancap pada lambungnya sampai setengahnya lebih.
Bu Lam Nio mengeluarkan pekik dahsyat dan mengerikan sekali. Pekik yang bukan seperti
pekik manusia ini dikeluarkan karena marah dan sakit. Dan pekik inilah yang terdengar oleh
Sui Giok dan Ling Ling.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 38
Dengan tenaga yang luar biasa sekali, biarpun ia telah terluka parah, Bu Lam Nio masih dapat
menubruk maju dan kalau saja pendeta yang menusuknya tadi tidak cepat-cepat menarik
kembali pedangnya dan melompat, pasti ia akan kena ditangkap dan kalau terjadi demikian,
jangan harap ia akan dapat hidup lagi. Ketika tubrukannya luput, Bu Lam Nio terjerumus ke
depan dan terguling, menggeletak di dalam genangan darahnya sendiri.
Pada saat itu, datanglah Sui Giok dan Ling Ling.
“Nenek ... !!” Ling Ling menjerit ngeri melihat keadaan neneknya ini dan tanpa banyak cakap
ia lalu mencabut pedangnya, yakni pedang yang dulu dirampas oleh Sui Giok dari tangan
Tan-wangwe, lalu ia menyerbu kepada tiga pendeta Pek-sim-kauw itu.
Bukan main hebatnya serangan ini. Pedang ditangannya itu nampak bagaikan halilintar
menyambar-nyambar dan sukar diduga bagian mana yang hendak diserang. Ketiga orang
pendeta itu tadinya berdiri tercengang ketika melihat datangnya dua orang wanita yang
cantik-cantik.
Tak mungkin mereka ini siluman, pikir mereka mulailah mereka merasa gelisah dan menyesal
telah membunuh Bu Lam Nio. Kini melihat datangnya serangan gadis muda yang cantik
sekali ini, kegelisahan mereka berubah menjadi kekagetan yang besar.
Mereka cepat menangkis dan terdengar bunyi nyaring sekali. Dua orang pendeta masih dapat
menahan, akan tetapi orang ketiga tak dapat menahan getaran tangannya sehingga pedangnya
yang dipakai menangkis telah terpental jauh.
Sui Giok melompat maju dan menerima pedang pendeta yang melayang ini, kemudian tanpa
banyak cakap lagi iapun menyerbu dengan hati marah sekali. Pendeta yang pedangnya kena
dipentalkan oleh Ling Ling tadi memiliki hati yang penakut dan pengecut. Melihat betapa
pedangnya dengan mudah terampas dan kini berada di tangan wanita cantik itu ia tidak
mempunyai nafsu untuk melawan lagi.
Apalagi ketika dilihatnya betapa dua orang kawannya dalam segebrakan saja terkurung dan
terdesak hebat. Tanpa banyak pikir lagi, ia lalu membalikkan tubuhnya dan berlari sifat
kuping (cepat sekali).
Memang, kedua orang pendeta Pek-sim-kauw tingkat dua ini sama sekali bukan lawan Ling
Ling, karena begitu bergerak, Ling Ling sudah dapat mendesaknya sehingga lawan ini sama
sekali tak berdaya membalas, hanya menangkis dan mengelak saja.
Gerakan Ling Ling terlampau gesit dan sukar diduga, sedangkan ilmu pedangnyapun amat
luar biasa. Kalau yang menghadapi Ling Ling bukan pendeta Pek-sim-kauw yang sudah
mewarisi tujuh puluh bagian dari Pek-sim-kiam-hoat, jangan harap ia akan dapat melayani
Ling Ling lebih dari sepuluh jurus. Kini biarpun pendeta itu mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaian, namun dalam jurus keempat belas, pedang Ling Ling dengan cepat sekali
menyambar lehernya.
Ketika pendeta itu menangkis, secepat kilat pedang Ling Ling dirobah gerakkannya dan kini
bukan merupakan sabetan lagi, melainkan ditusukkan ke arah dada pendeta itu. Hal ini sama
sekali tak pernah disangka oleh tosu dari Pek-sim-kauw ini. Ia berusaha mengelak sudah tidak
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 39
keburu, untuk menangkis apalagi, maka terpaksa ia lalu mengumpulkan hawa di dadanya,
untuk mencoba menahan tusukan ini.
Ilmu lweekang dari tosu-tosu Pek-sim-kauw memang tinggi dan Liang Gi Cinjin sendiri
terkenal seorang ahli lweekeh yang jarang tandingannya. Pendeta yang menghadapi Ling Ling
ini sudah melatih Pi-ki-hu-hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) dan sudah melatih
ilmu kebal yang disebut Thiat-po-san (Baju Mustika Besi).
Akan tetapi kini dia bukan menghadapi lawan sembarangan. Mungkin juga kalau yang
menusuk dadanya itu seorang yang ilmu silatnya masih rendah, kulit dadanya akan berhasil
menahan dan tidak terluka.
Akan tetapi, Ling Ling selalu menggerakkan pedangnya menurut petunjuk dari kitab Kimgan-
liong-kiam-coan-si dan selalu disertai getaran-getaran yang disalurkan oleh tenaga
lweekangnya. Pedang itu kini sudah merupakan sebagian daripada tangannya dan seakan-akan
ujung pedang itu dapat “memilih” jalan masuk ke dalam rongga dada.
“Cepp ....!” Tosu itu berseru keras, memukulkan tangan kiri ke depan dengan tenaga terakhir
untuk membalas lawannya. Akan tetapi, Ling Ling tidak saja dapat menahan angin pukulan
ini, bahkan menambah dengan sebuah tendangan ke arah perut lawannya yang segera
terpental tubuhnya sampai dua tombak lebih dalam keadaan mati.
Ketika Ling Ling menengok keadaan ibunya, ternyata Sui Giok juga sedang mendesak hebat
pendeta lawannya, ilmu kepandaian Sui Giok tidak sehebat Ling Ling, karena memang
puterinya ini jauh lebih berbakat dan berlatih silat semenjak kecil. Bagi Sui Giok yang
berlatih silat setelah ia mempunyai anak, tentu saja gerakannya tidak selemas Ling Ling
walaupun kecerdikan dan ketekunannya membuat Sui Giok kini memiliki kepandaian yang
jarang dimiliki oleh ahli silat lain.
Dalam hal tenaga dan kegesitan, keadaan Sui Giok boleh dibilang berimbang dengan
lawannya, akan tetapi ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut memperlihatkan keunggulannya.
Dengan ilmu pedang ini, Sui Giok berhasil mendesak lawannya yang kini makin menjadi
gelisah itu. Ling Ling tidak mau membantu ibunya karena maklum bahwa tak lama lagi
ibunya akan berhasil merobohkan lawannya.
Benar saja, setelah bertempur tiga puluh lima jurus, akhirnya dengan gerak tipu Kim-ganliong-
sin-yau (Naga Mata Emas Mengulur Pinggang), Sui Giok berhasil menipu dan
memancing lawannya. Tubuhnya membelakangi lawannya dengan gerakan yang lemas dan
indah dan melihat kesempatan serta lowongan ini, pendeta itu segera menusuk dari belakang.
Ini hanya pancingan belaka untuk dapat mematahkan kekuatan pertahanan tosu itu. Bagi
setiap ahli ilmu silat tentu maklum bahwa serangan dan pertahanan adalah dua gerakan yang
berlawanan. Apabila orang menyerang maka berarti bahwa pertahanannya tentu berkurang
satu bagian kekuatannya, sebaliknya di waktu bertahan, juga daya serangnya berkurang.
Ketika tosu itu menusukkan pedangnya ke arah dada kiri Sui Giok, tiba-tiba nyonya ini
berseru keras, membalikkan tubuh, membuka lengan kiri sehingga pedang lawan meluncur di
bawah pangkal lengan kirinya, kemudian pedang di tangan kanannya tak dapat dicegah lagi
telah memasuki dada lawannya.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 40
Pendeta Pek-sim-kauw ini menjerit dan ketika Sui Giok mencabut pedangnya sambil
melompat kebelakang, tubuh pendeta itu terguling roboh tak bernyawa lagi.
Kedua anak dan ibu ini segera menghampiri Bu Lam Nio yang masih rebah mandi darah.
Ketika Sui Giok merobohkan pendeta lawannya, Ling Ling sudah berlutut dan memangku
kepala neneknya maka kini keduanya hanya menangis sedih.
Keadaan Bu Lam Nio sudah jelas, tak dapat diobati lagi. Kulit lambungnya telah terbuka dan
isi perutnya bahkan ada yang menonjol keluar. Darah membasahi rumput dan pakaiannya.
Wajahnya pucat dan makin mengerikan, akan tetapi Ling Ling dan ibunya tiada hentinya
menciumi muka nenek itu sambil memanggil-manggil namanya.
Bagaikan dipanggil kembali nyawa nenek itu oleh tangisan Ling Ling dan Sui Giok, tiba-tiba
mata yang telah tertutup rapat itu terbuka kembali dan melihat Ling Ling memangkunya, Bu
Lam Nio tersenyum. Bibirnya berbisik-bisik akan tetapi suara yang keluar sukar sekali
ditangkap oleh telinga karena amat perlahan. Ling Ling dan Sui Giok lalu mendekatkan
telinga mereka untuk mendengar pesan terakhir itu.
“Oei-hong-kiam (Pedang Tawon Kuning) dari suamiku telah dirampas oleh pembunuhnya
...... carilah pemegang Oei-hong-kiam dan ... bunuh dia untuk membalas sakit hati Kamciangkun
(Panglima Kam)......” Setelah berkata demikian, leher Bu Lam Nio menjadi lemas
dan melayanglah nyawa nenek yang malang hidupnya ini meninggalkan raganya yang sudah
rusak.
Dengan hati sedih, Sui Giok dan Ling Ling mengubur jenazah Bu Lam Nio, juga ketiga
jenazah pendeta-pendeta Pek-sim-kauw itu mereka kubur baik-baik. Hal ini menandakan
bahwa budi pekerti Sui Giok memang halus dan baik. Nyonya ini bersama anaknya masih
merasa heran mengapa pendeta-pendeta yang jubahnya memakai gambar hati putih ini
memusuhi Bu Lam Nio.
“Mereka ini tentulah pendeta-pendeta yang jahat, sebagaimana seringkali ibu menceritakan
kepadaku!” kata Ling Ling. “Maka kelak kalau kita bertemu dengan pendeta berpakaian
seperti ini, kita harus membasmi mereka!” Memang pada waktu itu kedudukan para tosu dan
hwesio dirusak dan dicemarkan oleh orang-orang jahat yang sengaja menjadi “orang suci”
untuk menutupi perbuatan mereka yang jahat.
Dengan jubah pendeta, mereka ini lebih leluasa membodohi rakyat dan melakukan hal-hal
yang amat mengecewakan. Hal ini diketahui oleh Sui Giok maka seringkali ia memberi
nasehat kepada anaknya agar berhati-hati menghadapi orang-orang yang berjubah pendeta,
karena kalau mereka itu berhati jahat, sukarlah bagi kita untuk menyangkanya.
“Ibu, setelah kini nenek tidak ada, tentu ibu tidak berkeberatan untuk mengawani aku keluar
dari tempat ini. Marilah kita pindah ke tempat ramai, ibu, dan hidup seperti orang-orang biasa.
Ling Ling membujuk dua hari kemudian setelah peristiwa itu terjadi.
“Baiklah, Ling Ling. Akan tetapi aku masih merasa tidak tega meninggalkan makam
nenekmu. Biarlah kita tinggal lagi di sini sampai sembilan hari, baru kita tinggalkan tempat
ini.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 41
Akan tetapi tujuh hari kemudian, terjadilah peristiwa hebat yang memaksa ibu dan anak itu
pergi dari situ sebelum waktu yang mereka tetapkan. Pada hari itu, pagi-pagi sekali,
serombongan pendeta mendarat di hutan itu.
Mereka ini datang dengan perahu dan ternyata bahwa mereka adalah pendeta-pendeta Peksim-
kauw sebanyak tiga belas orang. Melihat tusuk konde mereka, ternyata bahwa mereka ini
adalah pendeta-pendeta Pek-sim-kauw yang berkepandaian tinggi. Sepuluh orang bertingkat
dua dan yang tiga orang adalah pendeta-pendeta Pek-sim-kauw tingkat satu.
Bagaimanakah begitu banyak pendeta Pek-sim-kauw dapat menyerbu ke sini? Sebagaimana
telah dituturkan di bagian depan, seorang pendeta dapat melarikan diri dari hutan itu dan
langsung berlari ke kota Kong-goan.
Kebetulan sekali pada waktu itu, Pek Sui Cu, pendeta dari cabang Pek-sim-kauw di Konggoan,
didatangi oleh beberapa orang pendeta tingkat dua lain yang sengaja datang hendak
merundingkan tentang keadaan perkumpulan mereka, ketika mereka ini mendengar tentang
tewasnya Pek Kin Cu dan tangguhnya siluman-siluman di dalam hutan itu, bukan main marah
dan terkejut mereka,
“Celaka, twa-suheng,” kata pendeta itu dengan muka pucat, “Ji-suheng dan sam-suheng entah
bagaimana nasibnya. Siluman-siluman wanita itu bukan main tangguh dan gagahnya.” Ia lalu
menceritakan betapa dengan sekali tangkis saja “siluman wanita” yang paling muda telah
berhasil membuat pedangnya terampas.
Pek Sui Cu dan kawan-kawannya lalu merundingkan hal ini,
“Terang bahwa mereka itu tentulah wanita-wanita jahat yang menyembunyikan diri dan
berkepandaian tinggi. Kita harus minta bantuan dari pusat, dan sebaiknya kita berlaku hatihati.
Sedapat mungkin kita harus minta bantuan dari suheng-suheng kita yang bertingkat satu.
Jangan sampai kita menyerbu dan gagal lagi.”
Demikianlah, setelah menanti dua hari ternyata dua orang kawan mereka tidak kembali, lalu
seorang pendeta disuruh memberi laporan ke pusat minta bantuan.
Pusat Pek-sim-kauw berada di kota besar Ceng-tu di sebelah selatan. Liang Gi Cinjin sendiri
jarang sekali berada di pusat, kesukaannya pergi merantau, mengunjungi sahabat-sahabatnya
di puncak gunung-gunung seperti Kunlun-san, Gobi-san, dan lain-lain.
Orang tua yang sakti ini memang sudah bosan untuk mengurus semua persoalan dunia dan
lebih suka ia mengunjungi ketua Kunlun-pai atau Gobi-pai untuk bermain catur, bercakapcakap
dan bertukar pikiran tentang ilmu batin dan ilmu alam. Apabila dia sedang pergi, maka
seluruh urusan Pek-sim-kauw diserahkan kepada murid-muridnya yang sudah bertingkat satu.
Jumlah muridnya ini hanya lima orang, masing-masing bernama Pek Im Ji, Pek Hong Ji, Pek
Yang Ji, Pek Thian Ji, dan Pek Te Ji. Kesemuanya adalah pendeta-pendeta yang sudah berusia
lima puluh tahun lebih dan selain telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi karena telah
mewarisi delapan puluh bagian lebih dari Pek-sim-ciang-hoat dan Pek-sim-kiam-hoat,
merekapun telah mendapat pengertian yang mendalam tentang kebatinan. Tidak
mengherankan apabila sikap mereka halus dan lemah lembut serta memiliki sifat penuh welas
asih.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 42
Ketika ke lima orang murid Liang Gi Cinjin mendengar tentang siluman yang membunuh
anak murid Pek-sim-kauw, mereka menjadi terkejut dan juga terheran-heran.
“Bagaimana bisa terjadi hal sehebat itu?” tanya Pek Im Ji, pendeta tertua atau murid kesatu
daripada Liang Gi Cinjin yang juga mewakili suhunya.
“Kesalahan apakah yang sudah diperbuat oleh orang-orang kita sehingga mendapat marah
dari orang gagah yang menyembunyikan diri di dalam hutan?” Pek Im Ji tanpa ragu-ragu lagi
mengetahui bahwa yang disebut siluman itu tentulah orang gagah yang pandai ilmu silat.
Pendeta pesuruh dari Kong-goan itu lalu menceritakan awal mulanya, “Penduduk dusun Taikun-
an seringkali mendapat gangguan dari siluman wanita yang disebut Toat-beng Mo-li atau
Cialing Mo-li bahkan seorang she Tan dari dusun itu bersama beberapa orang pengawalnya
telah terbunuh mati. Ketika sute Pek Kin Cu mendengar laporan para penduduk dusun itu,
segera dia mendatangi hutan tempat tinggal siluman tadi dan dalam pertempuran, ternyata
sute Pek Kin Cu tidak dapat melawan seorang wanita tua yang seperti siluman mukanya. Sute
Pek Kin Cu terkena pukulan, dan menjadi pingsan. Ketika siuman kembali, ia telah berada di
luar hutan. Kemudian sute Pek Kin Cu minta bantuan ke Kong-goan. Bersama tiga orang
saudara dari Kong-goan, ia lalu mendatangi dan menyerbu hutan itu. Tidak tahunya, siluman
wanita tua itu masih mempunyai dua orang kawan, seorang wanita dan seorang gadis yang
memiliki ilmu silat luar biasa sekali. Sute Pek Kin Cu tewas dalam pertempuran, dan ketika
tiga orang saudara dari Kong-goan berhasil merobohkan siluman tua, datanglah dua orang
wanita tadi. Saudara-saudara kita itu terdesak hebat, seorang saudara dapat melarikan diri,
akan tetapi yang dua lagi agaknya tewas pula, karena sehingga kini belum kembali. Mohon
bantuan dari twa-suhu!”
Pesuruh ini memang terhitung murid dari kelima pendeta kepala itu maka ia menyebut Pek Im
Ji sebagai twa-suhu.
Pek Im Ji menghela napas panjang. “Terlalu gegabah!” celanya. Pek Kin Cu terlalu sembrono.
Ia agaknya terpengaruh oleh dongeng orang-orang dusun yang tahyul dan mengira bahwa
orang gagah itu benar-benar siluman. Celaka, kita telah menanam permusuhan dengan
mereka. Sungguhpun pihak kita telah tewas tiga orang, namun pihak mereka juga tewas
seorang. Kalau diselidiki secara adil, tak dapat kita menyalahkan pihak mereka. Kalau pihak
kita tidak mengganggu dan kalau Pek Kin Cu tidak menyerbu ke dalam hutan, tak mungkin
terjadi peristiwa ini.”
“Akan tetapi, twa-suhu,” pesuruh itu membela saudara-saudaranya, “siluman itu telah
membunuh orang-orang dusun Tai-kun-an, apakah kita harus diam saja?” Pek Im Ji
mengerutkan keningnya. “Hm, pertanyaan bodoh yang kau ajukan ini. Apakah kau belum
mengerti betul tentang hukum sebab dan akibat? Kalau memang orang-orang gagah di dalam
hutan itu benar-benar siluman, mengapa mereka tidak membunuh semua penduduk?
Pembunuhan terhadap orang she Tan itu hanyalah akibat dan seperti juga semua akibat yang
terjadi di dunia ini, pasti ia bersebab. Apakah mendiang Pek Kin Cu sudah menyelidiki
sebabnya? Tahukah dia mengapa orang she Tan itu sampai terbunuh oleh orang gagah yang
disebut siluman?”
Pesuruh itu tidak dapat menjawab dan tidak berani membantah pula, hanya berkata perlahan,
“Terserah kepada kebijaksanaan twa-suhu, karena teecu sekalian memang tak berdaya.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 43
Pek Im Ji biarpun mulutnya menyatakan demikian, namun di dalam hatinya merasa penasaran
juga. Sungguh hal yang amat memalukan nama Pek-sim-kauw. Tiga orang pendeta tingkat
dua dan seorang pendeta tingkat tiga tidak berdaya sama sekali menghadapi orang atau
siluman yang hanya merupakan tiga orang wanita saja bahkan menurut cerita pesuruh ini,
yang seorang hanya seorang gadis muda.
“Sam-sute, Si-sute, dan Ngo-sute, harap suka membereskan urusan ini. Ketemuilah orangorang
gagah di dalam hutan dekat Tai-kun-an itu dan tanyakanlah mengapa sampai terjadi
pertumpahan darah dan pembunuhan yang tidak perlu.
Kalau memang pihak kita yang salah, mintakan maaf atas nama Pek-sim-kauw. Akan tetapi
kalau ternyata mereka itu orang-orang dari golongan hek-to (jalan hitam, orang-orang jahat),
jangan sembarangan membunuh, akan tetapi usahakan agar mereka itu dapat ditangkap. Kita
akan menanti keputusan suhu kalau dia sudah pulang.”
Saudara ketiga, keempat dan kelima dari lima orang murid Liang Gi Cinjin itu segera
menyatakan kesanggupannya dan berangkatlah mereka ke Kong-goan. Mereka ini adalah Pek
Yang Ji, Pek Thian Ji, dan Pek Te Ji, tiga orang dari kelima saudara seperguruan yang juga
dijuluki Pek-sim Ngo-lojin (Lima Kakek Hati Putih).
Lima orang murid Liang Gi Cinjin ini bukanlah orang-orang sembarangan dan kelimanya
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Tiga orang
pendeta yang menjadi murid ketiga, keempat dan kelima inipun memiliki ilmu kepandaian
yang luar biasa.
Tidak saja ilmu Pek-sim-ciang-hoat dan Pek-sim-kiam-hoat telah mereka pelajari sampai
delapan puluh bagian, akan tetapi Pek Yang Ji memiliki tenaga lweekang yang disebut Tailek-
kim-kong-jiu (Pukulan Halilintar). Pukulan ini bukan main dahsyatnya dan dari jarak jauh
saja ia dapat merobohkan seorang lawan.
Pek Thian Ji, murid keempat memiliki keistimewaan dalam kepandaian ginkang, sehingga
tubuhnya dapat bergerak lebih cepat daripada angin. Kalau berkelana seorang diri, ia dijuluki
Bu-eng-cu (Tanpa Bayangan) karena demikian cepat gerakan tubuhnya sehingga jangankan
melihat orangnya, melihat bayangannya pun sukar sekali.
Murid kelima, yakni Pek Te Ji, memiliki kepandaian ilmu menotok yang disebut Im-yangtiam-
hoat. Cara menotoknya berbeda dengan ahli silat biasa, dan cara yang khusus ini
membuat totokannya tak dapat dilawan oleh ilmu kekebalan yang bagaimanapun juga.
Ketika ketiga orang pendeta sakti ini tiba di rumah perkumpulan Pek-sim-kauw di Konggoan,
ternyata bahwa di situ telah berkumpul sepuluh orang pendeta tingkat dua, yakni
kawan-kawan Pek Sui Cu yang telah mendengar tentang siluman itu dan datang untuk
mencari kabar. Mereka ini tadinya bertugas di dusun-dusun dan kota-kota yang berada di
sekitar Kong-goan.
Semua pendeta segera menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang kakek dari Ceng-tu ini,
karena mereka ini boleh dibilang masih terhitung guru mereka sendiri. Biarpun pendetapendeta
tingkat dua itu adalah murid-murid Liang Gi Cinjin juga, akan tetapi ilmu silat
mereka sebagian besar terlatih oleh kelima Pek-sim-ngo-lojin, sedangkan Liang Gi Cinjin
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 44
hanya sewaktu-waktu menguji mereka saja untuk mengetahui sampai di mana tingkat dan
kemajuan mereka.
Ketika mendengar bahwa ketiga orang kakek ini hendak mencari siluman di hutan sebelah
utara Tai-kun-an, serentak sepuluh orang pendeta tingkat dua ini lalu menyatakan hendak ikut
dan melihat dengan kedua mata sendiri macamnya siluman-siluman wanita yang telah
membunuh saudara-saudara mereka.
Di antara Pek-sim Ngo-lojin, sesungguhnya hanya Pek Im Ji saja yang amat keras dan
berdisiplin. Kalau kiranya Pek Im Ji yang hendak mencari siluman-siluman wanita itu, tentu
dia akan melarang anak buahnya ikut, akan tetapi ketiga orang pendeta tingkat satu ini tidak
melarang mereka, maka berangkatlah tiga belas orang pendeta itu beramai-ramai memasuki
hutan di sebelah utara Tai-kun-an dengan perahu yang di dayung sepanjang sungai Cialing.
Ketika mereka telah mendarat dan menuju ke tempat tinggal Bu Lam Nio dengan diantar oleh
seorang pendeta tingkat dua, yakni pendeta yang melarikan diri dulu itu sebagai petunjuk
jalan, tiba-tiba mereka mendengar suara orang-orang perempuan menangis. Mereka cepat
menghampiri tempat itu dan melihat dua orang wanita tengah berlutut di depan sebuah
makam baru sambil menangis.
Mereka ini adalah Sui Giok dan Ling Ling yang tiap hari tentu mengunjungi makam Bu Lam
Nio dan menangis sedih. Ibu dan anak ini memang amat menyinta nenek yang telah berjasa
besar terhadap mereka itu. Tanpa adanya Bu Lam Nio, takkan ada mereka pula.
Bab 06.....
Mendengar suara kaki mendatangi, Ling Ling dan ibunya lalu menengok dan melompatlah
mereka ketika melihat bahwa yang datang adalah pendeta-pendeta itu lagi. Sinar kemarahan
bernyala-nyala di dalam mata ibu dan anak itu. Inilah pendeta-pendeta yang telah merenggut
nyawa Bu Lam Nio.
Sementara itu, pendeta yang pernah bertanding dengan mereka, lalu berkata kepada Pek Yang
Ji, “Sam-suhu, inilah dia dua orang siluman yang telah membunuh kawan-kawan kita.”
Pek Yang Ji cepat mengangkat kedua tangannya memberi hormat, diturut oleh semua kawankawannya.
Dengan senyum seorang alim ia lalu berkata,
“Toanio (nyonya) dan siocia (nona), maafkanlah kami apabila kami datang mengganggu.
Kami adalah pendeta-pendeta dari perkumpulan Pek-sim-kauw dan pinto (aku) sebagai
pemimpin rombongan ini bernama Pek Yang Ji. Bolehkah kiranya kami mengetahui nama
toanio dan siocia yang terhormat?”
Melihat sikap dan mendengar ucapan yang menghormat ini, Sui Giok sudah menjadi agak
sabar, akan tetapi tetap saja suaranya terdengar kaku ketika ia menjawab,
“Kami ibu dan anak selama hidup tidak pernah mempunyai urusan dengan segala macam
pendeta, maka kedatangan cuwi (tuan-tuan sekalian) ini tak ada artinya bagi kami. Kami tak
perlu tahu nama dan tidak perlu memperkenalkan nama.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 45
Pek Yang Ji masih sabar dan tersenyumlah ia mendengar jawaban ini, “Toanio, agaknya kau
masih marah kepada kami, kemarahan yang sesungguhnya tidak kami mengerti sebabnya.
Apakah Toanio dan siocia ini yang disebut Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li?”
Marahlah hati Ling Ling mendengar pertanyaan ini. Ia melangkah maju dan menuding dengan
jarinya yang runcing dan kecil sambil membentak, “Kalau kami betul-betul siluman-siluman
pencabut nyawa dan siluman sungai Cialing, kalian mau apakah? Jangan banyak cakap dan
pergilah, kami tak ingin diganggu!”
Pek Yang Ji adalah pendeta yang paling sabar di antara mereka, karena yang lain-lain sudah
menjadi merah mukanya karena marah melihat dua orang wanita yang telah membunuh
kawan-kawan mereka dan yang bersikap kasar ini. Bahkan Pek Yang Ji sendiri ketika melihat
betapa sikap kedua orang wanita itu benar-benar sikap bermusuh dan menghina sekali, mulai
berkurang senyumnya.
“Hm, jiwi agaknya tidak dapat menerima penghormatan kami. Baiklah, kami datang hanya
untuk bertanya tentang kawan-kawan kami yang datang di sini tujuh hari yang lalu. Mereka
itu adalah anggauta-anggauta Pek-sim-kauw, dimanakah adanya mereka sekarang?”
Sui Giok menggerakkan lengan tangannya, menunjuk ke arah kiri di mana terdapat gundukan
tanah tiga gunduk sambil berkata,
“Jadi tiga orang penjahat berkedok pendeta yang datang mengacau tempat tinggal kami itu
adalah kawan-kawan cuwi? Mereka sudah mati, kematian yang sudah sepatutnya dan yang
mereka cari sendiri.”
Semua pendeta memandang dengan mata marah, akan tetapi Pek Yang Ji masih berlaku
tenang, “Toanio, ketahuilah bahwa kami pendeta-pendeta Pek-sim-kauw bukanlah pendetapendeta
jahat dan palsu. Perkumpulan agama kami mengutuk perbuatan-perbuatan jahat dan
musuh-musuh kami hanyalah orang-orang jahat dan suka mengganggu orang lain!”
“Omong kosong!” Tiba-tiba Ling Ling membentak keras. “Kalau pendeta baik-baik mengapa
datang mengganggu kami, bahkan telah membunuh nenekku? Siapa dapat percaya omongan
itu?”
“Nona, kau agaknya tidak ingat bahwa kalian berdua juga telah membunuh tiga orang pendeta
Pek-sim-kauw!” kata Pek Yang Ji memperingatkan.
“Tentu saja! Siapa yang membunuh lebih dulu? Orang-orangmu membunuh nenekku, apakah
aku harus diam saja?”
“Pihakmu hanya seorang yang tewas, sedangkan pihak kami tiga orang, maka kiranya tidak
perlu nona masih marah dan merasa penasaran.”
“Enak saja kau bicara!” Ling Ling membentak lagi. “Kau kira nyawa nenekku cukup diganti
oleh tiga orang pendeta palsu? Ketahuilah biar ditambah dengan tiga belas nyawa anjing
kalian, aku masih belum puas!”
Melihat kemarahan puterinya, Sui Giok maju memegang tangan Ling Ling, berusaha
menyabarkannya.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 46
Adapun pendeta-pendeta Pek-sim-kauw itu menjadi marah sekali mendengar ucapan Ling
Ling ini dan di antaranya sudah ada yang mencabut pedangnya. Akan tetapi Pek Yang Ji
mengangkat tangannya mencegah anak buahnya bergerak. Ia menjura kepada Sui Giok dan
berkata,
“Toanio, agaknya nona ini amat keras hati, sesuai dengan kemudaannya, maka lebih baik
pinto bicara denganmu. Seperti telah pinto katakan tadi, di dalam peristiwa ini, seorang dari
pihakmu tewas dan tiga orang dari pihak kami meninggal. Memang dipandang dengan
sepintas lalu, seakan-akan pihak kami yang bersalah karena telah berani masuk ke sini
mengganggu kalian. Akan tetapi, kedatangan kami ini dengan maksud menanyakan tentang
gangguanmu terhadap orang-orang yang bertempat tinggal di dusun Tai-kun-an. Saudarasaudara
kami yang datang di sini bukan semata-mata mengganggu toanio kalau tidak bersalah
dan kalau tidak berdasarkan menolong orang-orang yang kalian ganggu. Oleh karena itu,
harap toanio sudi menjelaskan mengapa beberapa tahun yang lalu toanio telah membunuh
orang, penduduk she Tan di dusun Tai-kun-an dan membunuh beberapa orang pengawalnya
pula?”
Sui Giok menjadi merah mukanya ketika nama Tan-wangwe disebut-sebut. “Hal ini tak perlu
orang lain mengetahuinya. Cukup kukatakan bahwa keparat she Tan itu sudah patut menerima
hukumannnya!”
“Mengapa? Apa salahnya terhadap Toanio?” Pek Yang Ji mendesak.
“Totiang, kau sebagai seorang pendeta, mengapa mencampuri urusan pribadi orang lain?”
“Pembunuhan kejam bukanlah urusan pribadi lain. Kami pendeta-pendeta Pek-sim-kauw
memang berkewajiban untuk membereskan urusan kejahatan dan pembunuhan adalah soal
kejahatan besar,” jawab Pek Yang Ji tenang.
“Kalau kami menolak untuk memberi penjelasan?” kata Sui Giok.
“Terpaksa kami anggap bahwa kalian yang bersalah dalam pertikaian dengan kami ini.”
“Hm, kalau kalian sudah menganggap kami bersalah, lalu bagaimana?” Ling Ling mendahului
ibunya.
“Terpaksa kalian berdua harus ikut dengan kami untuk berhadapan dengan ketua kami dan
menanti keputusan beliau!”
“Siapakah ketua kalian itu?” Sui Giok yang sudah menjadi marah juga bertanya sambil
memegang tangan anaknya agar gadis itu tidak berlaku lancang.
“Ketua kami atau suhu kami adalah Liang Gi Cinjin.”
“Kalau kami tidak mau ikut?” tantang pula Sui Giok.
“Kami akan melakukan kekerasan!” akhirnya Pek Yang Ji menegaskan.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 47
Bagaikan mendapat komando, semua pendeta kini telah menghunuskan senjata masingmasing.
Sui Giok dan Ling Ling saling pandang, kemudian mereka lalu melompat mundur
kira-kira setombak dan telah mencabut pedang mereka. Sui Giok mencabut pedang yang dulu
dirampasnya dari Tan-wangwe, sedangkan Ling Ling mencabut pedang yang dirampasnya
dari pendeta Pek-sim-kauw itu.
“Bagus, hendak kami lihat bagaimana kalian akan menangkap kami dengan kekerasan!” seru
Ling Ling sambil maju menerjang dengan pedangnya.
“Semua jangan bergerak, biarkan pinto dan kedua sute menghadapi mereka!” kata Pek Yang
Ji yang mencegah anak buahnya melakukan pengeroyokan. Iapun lalu menghadapi serbuan
Ling Ling dengan pedangnya.
“Trang!” Dua batang pedang beradu keras sekali dan diam-diam Pek Yang Ji merasa kagum
dan terheran betapa gadis cantik yang masih amat muda itu telah memiliki tenaga lweekang
yang amat hebat sehingga ketika tadi ia menangkis sambil mengerahkan tenaga, ternyata ia
tidak mampu membuat pedang lawan terpental. Kekejutannya makin menjadi ketika Ling
Ling melanjutkan serangannya dengan amat cepatnya dan dengan gerakan yang luar biasa
sehingga pedang itu merupakan sinar yang menyambar bagaikan kilat.
Sementara itu, Sui Giok telah maju pula, disambut oleh Pek Thian Ji, orang keempat dari Peksim
Ngo-lojin. Pertempuran berjalan amat serunya. Pertempuran antara Sui Giok dan Pek
Thian Ji masih dapat dikatakan seimbang, sungguhpun pendeta ini merasa bingung juga
menghadapi permainan pedang dari nyonya itu.
Akan tetapi Ling Ling dengan cepat mendesak hebat lawannya sehingga dalam dua puluh
jurus saja, Pek Yang Ji terdesak tak dapat membalas serangan lawannya. Tidak saja pendeta
ini merasa terkejut sekali, bahkan lain-lain pendeta juga memandang dengan mata terbelalak.
Tak pernah mereka sangka sama sekali bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang lebih
tinggi dari pada nyonya yang lihai itu, bahkan agaknya Pek Yang Ji tokoh ketiga dari Pek-sim
Ngo-lojin yang lihai ini, takkan dapat menang.
Hal ini dimaklumi pula oleh Pek Yang Ji. Ia merasa penasaran dan juga malu. Masa dia,
seorang tokoh besar yang jarang sekali menderita kekalahan dalam pertempuran, kini harus
mengaku kalah terhadap seorang gadis yang belum ada dua puluh tahun usianya? Ia telah
memandang dengan penuh perhatian untuk mengenal ilmu pedang lawannya, akan tetapi
sungguhpun ilmu pedang gadis itu mirip dengan Kun-lun Kiam-hoat, namun banyak sekali
perbedaannya.
Ilmu pedang itu amat luar biasa dan memiliki perobahan-perobahan gerakan yang aneh dan
sulit diduga. Juga pedang di tangan gadis itu dapat melakukan gerakan-gerakan yang amat
sukar dan seakan-akan tidak mungkin, seperti juga pedang itu telah menjadi hidup dan
menjadi anggauta tubuh penyambung tangan.
“Sam-suheng, biar aku membantumu menangkap gadis liar ini!” Pek Te Ji yang semenjak tadi
telah “gatal tangan”, menggerakkan pedangnya hendak mengeroyok.
“Jangan dulu, ngo-sute, biarlah aku menangkapnya sendiri!” kata Pek Yang Ji. Tosu ini
merasa malu untuk melakukan pengeroyokan dan kini ia hendak mengeluarkan ilmu silatnya
yang paling ampuh dan lihai, yakni pukulan Tai-lek-kim-kong-jiu.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 48
Ketika mendapat kesempatan baik setelah ia berhasil membentur pedang lawannya, ia lalu
melangkah ke belakang cepat sekali sejauh tiga tindak, kemudian ia merendahkan tubuhnya,
mengerahkan lweekangnya, lalu berseru keras. Lengan tangan kirinya diayun dari kiri menuju
ke depan, mengirim pukulan Tai-lek-Kim-Kong-Jiu yang hebat itu.
Sebelum angin pukulan yang keras itu datang menyambar, Ling Ling yang berlaku waspada
dapat menduga bahwa lawannya akan melakukan serangan dari jauh maka cepat gadis inipun
menggerakkan tangan kiri dan begitu angin pukulan Tai-lek-Kim-Kong-Jiu menyambar
dengan kerasnya, Ling Ling melakukan gerakan menyampok dari kiri. Dua tenaga raksasa
bertemu sebelum kedua tangan itu bertemu dan akibatnya membuat kedua orang itu
terhuyung mundur karena kembalinya tenaga pukulan sendiri.
Bukan main kaget dan herannya hati Pek Yang Ji. Bagaimanakah boca ini dapat menahan
pukulannya Tai-lek-Kim-Kong-Jiu? Padahal, ia pernah mengalahkan banyak sekali tokohtokoh
persilatan yang tinggi tingkat kepandaiannya. Tidak saja gadis cilik ini dapat menahan,
bahkan dapat pula membentur hawa pukulannya sedemikian rupa.
Sementara itu, Ling Ling dapat membereskan kuda-kudanya kembali dan tertawalah gadis itu
dengan suara ketawanya yang merdu dan nyaring. “Hm, serangan semacam itu, di tempat ini
hanya dapat dilakukan oleh ekor buaya sungai Cialing!”
Ucapan ini sesungguhnya tidak disengaja oleh Ling Ling dan hanya diucapkan untuk
menghina dan menyindir lawannya, karena memang gerakan tangan kiri Pek Yang Ji yang
memukul tadi seperti gerakan ekor buaya.. Akan tetapi Pek Yang Ji yang mendengar ucapan
ini, menjadi pucat sekali.
Tak disangka-sangkanya bahwa gadis itu telah dapat menebak sumber ilmu pukulannya itu.
Memang sesungguhnya, ilmu pukulan Tai-lek-Kim-Kong-Jiu yang dimiliki ini bersumber dari
gerakan ekor buaya apabila sedang memukul ke depan.
Oleh karena itu, ketika ia hendak memukul tadi, ia merendahkan tubuh dan mengayun
lengannya dari belakang ke muka, memperlipat ganda tenaga lweekang dalam pukulan itu
ketika diayunkan. Ucapan gadis itu membuat ia berpikir bahwa gadis ini tentu berkepandaian
tinggi sekali sehingga dapat melihat dasar ilmu pukulannya.
Adapun Pek Tek Ji ketika melihat betapa pukulan suhengnya tidak saja tidak berhasil bahkan
suhengnya terhuyung mundur lebih jauh daripada lawannya, maklum bahwa suhengnya
takkan dapat menang. Maka tanpa berkata sesuatu lagi ia menyerbu dengan pedangnya.
Ling Ling menyambutnya dengan tangkisan keras dan serangan balasan yang membuat Pek
Tek Ji terpaksa bergerak sambil mundur. Baru segebrakan saja pendeta yang tadinya
memandang rendah ini telah terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya.
Untung baginya, Pek Yang Ji telah melompat maju kembali dan menahan desakan Ling Ling.
Gadis ini benar-benar gagah dan tabah sekali, biarpun dikeroyok dua, ia masih berhasil
mendesak lawannya dengan permainan pedang yang selain indah, juga amat membingungkan
kedua lawannya.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 49
Biarpun Pek yang Ji mempunyai keahlian dalam pukulan Tai-lek Kim-kong-jiu, dan Pek Tek
Ji memiliki ilmu totok Im-yang-tiam-hoat, namun kedua orang pendeta ini sama sekali tidak
diberi kesempatan untuk mempergunakan kepandaian mereka.
Adapun Sui Giok, biarpun ilmu pedangnya masih kalah jauh apabila dibandingkan dengan
puterinya, namun gerakannya cukup gesit dan gulungan sinar pedangnya cukup lebar dan kuat
sehingga perlahan akan tetapi pasti, Pek Thian Ji mulai terdesak seperti keadaan kedua
saudaranya, merasa penasaran sekali. Dia yang telah mendapat julukan Bu-eng-cu (Tanpa
Bayangan) dan memiliki ginkang yang sempurna, ternyata kini menemukan tandingan yang
setimpal.
Dalam hal ginkang, nyonya cantik ini ternyata tidak berada di sebelah bawah tingkatnya.
Tentang ilmu pedang, diam-diam Pek Thian Ji harus mengaku bahwa ilmu pedang yang
dimainkan oleh nyonya ini benar-benar belum pernah disaksikan seumur hidupnya dan jauh
lebih kuat dan ganas daripada ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang dimainkannya.
Sepuluh orang pendeta tingkat dua yang tadinya dilarang oleh Pek Yang Ji untuk membantu,
dan tinggal berdiri menonton saja, menjadi amat gelisah. Mereka ini memiliki ilmu
kepandaian yang hanya kalah sedikit saja oleh ketiga kawan mereka, paling banyak hanya
kalah dua puluh bagian, maka mereka dapat melihat betapa ketiga orang pendeta tingkat satu
itu terdesak hebat dan terancam jiwanya.
Sesungguhnya, biarpun tadi Pek Yang Ji melarang kawan-kawan dari tingkat dua ini maju
membantu, kini ia merasa gelisah juga. Pendeta-pendeta kelas satu dari Pek-sim-kauw ini
sama sekali tidak takut terluka atau terbunuh dalam pertempuran ini. Yang paling mereka
takutkan hanyalah kejatuhan nama mereka.
Alangkah akan merosotnya keagungan nama Pek-sim-kauw apabila orang-orang kang-ouw
mendengar bahwa tiga orang tokoh Pek-sim-kauw yang tertinggi kedudukannya, harus
menyerah kalah terhadap dua orang wanita, bahkan yang seorang di antaranya masih
merupakan gadis kecil. Satu hal yang amat merendahkan nama dan memalukan sekali.
Oleh karena itulah, maka ketika sepuluh orang pendeta kelas dua itu serentak maju
menyerang dan membantu, mereka tidak mengeluarkan suara sesuatu. Bahkan Pek Yang Ji
sendiri tidak melarang, sebaliknya menarik napas lega karena ia percaya bahwa dapat
mengalahkan dua orang siluman wanita ini.
Memang amat berat bagi Ling Ling dan Sui Giok. Menghadapi tiga orang pendeta tingkat satu
itu saja sudah merupakan lawan yang harus dihadapi dengan hati-hati, apalagi setelah sepuluh
orang pendeta tingkat dua itu maju mengeroyok. Pedang para pendeta itu berkelebat-kelebat
menyambar bagaikan hujan lebat dan terpaksa Sui Giok dan Ling Ling memutar pedang
mereka untuk melindungi tubuh. Mereka kini terdesak dan sama sekali tidak mendapat
kesempatan membalas serangan para pendeta itu.
“Jangan bunuh mereka, tangkap !” Pek Yang Ji masih sempat berseru memperingatkan
kawan-kawannya. Memang dia tidak ingin melihat kedua orang wanita itu sampai terbunuh,
hanya ingin menangkap mereka dan menyeret mereka di depan suhunya untuk menanti
keputusan.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 50
Akan tetapi, hal ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, karena menangkap dua orang
wanita ini lebih sukar daripada menangkap dua ekor naga sakti. Agaknya hanya dengan
kepala terpisah dari tubuh atau dengan pedang menancap di dada saja kedua orang wanita
gagah ini akan menyerah.
Setelah pihaknya lebih kuat dan mendesak, Pek Tek Ji mendapat kesempatan untuk
mengeluarkan kepandaiannya, yakni Im-yang-tiam-hoat, juga Pek Yang ji berusaha untuk
memukul dengan Tai-lek Kim-kong-jiu untuk menghantam tangan lawan agar pedang mereka
terlepas. Repot juga Ling Ling dan Sui Giok menjaga diri, terutama sekali Sui Giok yang
memang kalah jauh dari puterinya.
Pada saat yang baik, Pek Tek Ji berhasil mengirim serangan secara gelap, yakni dari belakang
Sui Giok. Ia menotok punggung nyonya itu dan dengan tepat jari tengah dan
telunjuknyamenjepit urat dan menotok jalan darah thian-hu-hiat. Sui Giok tak dapat mengelak
dan sambil mengeluh nyonya ini melepaskan pedangnya dan roboh dengan tubuhnya lemas,
sama sekali tak berdaya lagi.
Bukan main terkejutnya dan marahnya hati Ling Ling melihat betapa ibunya telah
dirobohkan.
“Pengecut!” serunya marah dan ia cepat mempergunakan tangan kirinya untuk menepuk
pundak ibunya yang menggeletak di atas tanah. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia
tidak berhasil memunahkan totokan itu.
Ibunya tetap berbaring lemas dan totokan itu tidak dapat dibebaskan. Padahal Ling Ling
sudah mempelajari ilmu tiam-hoat cukup sempurna dan agaknya amat mustahil bahwa ia
tidak dapat membebaskan seseorang dari pada pengaruh totokan.
Terdengar Pek Te Ji tertawa mengejek melihat usaha Ling Ling yang tidak berhasil ini.
Tahulah Ling Ling bahwa pendeta itu memiliki kepandaian istimewa dalam ilmu tiam-hoat,
maka selain pendeta itu, agaknya sukarlah untuk membebaskan ibunya.
Ia berseru keras dan nyaring sekali dan belum juga habis suara ketawa Pek Te Ji, tahu-tahu ia
telah kena dicengkeram pundaknya oleh tangan kiri Ling Ling. Gerakan ini luar biasa
cepatnya sehingga dua belas orang pendeta yang lain tidak menyangka-nyangkanya dan tidak
dapat menolong Pek Te Ji.
Ling Ling telah mempergunakan sejurus ilmu silat Kim-gan-liong Ciang-hoat yang lihai
untuk menangkap Pek Te Ji dalam saat orang-orang menertawakannya dan sebelum semua
pendeta sadar. Kini Pek Te Ji telah dicengkeram pundaknya dengan tangan kiri dan pedang di
tangan kanan Ling Ling sudah menempel pada lehernya.
“Mundur semua!” teriak gadis gagah perkasa ini. “Kalau tidak, kepala pendeta palsu ini akan
menggelinding di kaki kalian!”
Melihat hal ini, bukan main kagetnya Pek Yang Ji. Ia maklum bahwa gadis seperti lawannya
ini tidak akan bicara main-main dan akan sanggup membuktikan ancamannya, maka ia cepat
berseru,
“Kawan-kawan, mundur semua!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 51
Ling Ling lalu berkata kepada pendeta yang telah berada di dalam cengkeramannya itu.
“Lekas kau bebaskan ibuku dari totokanmu kalau kau ingin hidup terus!”
Pek Yang Ji berkata kepada Ling Ling. “Nona, apakah kami dapat mempercayai
omonganmu? Kalau ibumu telah dibebaskan suteku itu?”
Ling Ling memandang dengan mata melotot. “Kau kira aku ini orang macam kalian? Sekali
aku berjanji, aku takkan melanggarnya. Kalau ibuku sudah bebas, kami berdua akan pergi dari
sini, dan tunggulah, paling lama setahun aku akan mencari suhumu yang bernama Liang Gi
Cinjin untuk membuat perhitungan!”
Pek Yang Ji lalu berkata kepada sutenya itu, “Ngo-sute, lakukanlah seperti apa yang
dimintanya. Tak perlu kita melanjutkan pertempuran yang berbahaya ini. Kalau dilanjutkan,
tentu akan jatuh korban di kedua pihak.”
Pek Te Ji lalu dilepaskan oleh Ling Ling dan dengan beberapa kali totokan dan urutan, Sui
Giok dapat dibebaskan. Nyonya ini mengambil kembali pedangnya dan tanpa banyak cakap
lagi ibu dan anak ini lalu meninggalkan tempat itu setelah mengambil buntalan masingmasing
dari dalam goa.
Di dalam bungkusan keduanya terdapat penuh batu mutiara yang amat berharga, yang sengaja
mereka kumpulkan untuk bekal. Para pendeta memandang bayangan mereka sampai lenyap
dari situ. Kemudian mereka lalu bersembahyang di depan makam ketiga pendeta Pek-simkauw
yang telah menjadi korban di tangan Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li.
“Sungguh lihai dan berbahaya!” Pek Yang Ji berkata sambil menghela napas dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Entah setan mana yang telah memberi pelajaran ilmu silat
kepada mereka. Akan tetapi harus diakui bahwa ilmu pedang mereka tidak kalah hebatnya
dengan ilmu pedang kita.”
Maka pulanglah para pendeta itu beramai ke tempat masing-masing, dan ketika Liang Gi
Cinjin pulang dari perantauannya lalu mendengar peristiwa ini, kakek sakti ini mengerutkan
kening dan menggeleng kepalanya yang sudah penuh dengan rambut putih seperti benang
perak.
“Salah, salah, kalian telah berlaku semberono sekali, menuruti hati dan perasaan. Sudah
berkali-kali kukatakan bahwa untuk mengurus sesuatu, pergunakanlah otak dan jangan terlalu
menuruti kata hati.
Betapapun marah dan tersinggungnya hati seseorang, apabila ia masih dapat mempergunakan
otaknya secara dingin dan sehat, ia akan menang juga akhirnya dalam sesuatu perselisihan,
dan takkan sampai perselisihan itu menjadi pertempuran. Kalian ini mudah sekali
menurunkan tangan, apakah kau kira bahwa ilmu silat kita ini yang tertinggi di dunia?”
Sampai di sini Liang Gi Cinjin menarik napas panjang dan para pendeta yang menjadi
muridnya dan yang duduk dihadapannya, tak berani bergerak sedikitpun, hanya menundukkan
kepala.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 52
“Kalian keliru kalau mengira bahwa Pek-sim-kiam-hoat adalah ilmu pedang yang nomor satu
di dunia. Apakah yang tertinggi di dunia ini? Di antara gunung-gunung yang menjulang
tinggi, masih ada gunung Thai-san yang paling tinggi. Akan tetapi, di atas gunung Thai-san
masih ada langit, dan di atas langit yang nampak oleh mata masih ada ruang lain yang tak
terlihat oleh kita. Di antara sungai yang dalam, masih ada lautan yang paling dalam. Akan
tetapi, di bawah lautan ini masih ada dasarnya dan di dalam dasar itu masih ada pula isinya
yang lebhi dalam. Nah jangan sekali-kali kalian mengagulkan kepandaian sendiri, karena
sesungguhnya kepandaian itu tiada batasnya. Mulai sekarang harap kalian berlaku hati-hati,
jangan sekali-kali menyerang orang apabila tidak diserang. Boleh kita mempergunakan
kepandaian hanya untuk menjaga diri, bukan untuk menyerang orang lain!”
Demikianlah, kakek sakti ini telah memberi banyak nasehat kepada murid-muridnya dan ia
merasa amat menyesal bahwa murid-muridnya telah menanam bibit permusuhan dengan
wanita-wanita yang mereka sebut Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li.
******
Telah lama sekali, semenjak pada permulaan cerita ini, kita tidak mengetahui bagaimana
dengan nasib Kwee Siong, suami dari Liem Sui Giok. Sebagaimana telah dituturkan di bagian
depan, Kwee Siong telah ditangkap oleh Cong Hwat, komandan pasukan pengumpul tenaga
rakyat dan langsung dikirim ke utara untuk dipaksa menjadi pekerja dalam usaha besar, yakni
memperbaiki dan memperkuat tembok besar di tapal batas Tiongkok Utara.
Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Kwee Siong dalam pekerjaan kasar ini. Ia
diharuskan membantu para pekerja dan termasuk dalam rombongan kuli kasar, mengangkut
batu-batu, menggunakan pemukul besi memecah batu-batu besar, dan lain-lain pekerjaan
kasar lagi.
Kwee Siong adalah seorang pelajar, selama hidupnya semenjak kecil yang dipegangnya
hanyalah buku-buku dan pit (alat tulis), sehingga tubuhnya lemah dan tenaganya tidak besar,
bagaimana ia dapat melakukan pekerjaan ini dengan baik. Telapak tangannya yang berkulit
halus dan tipis itu telah pecah-pecah, seluruh urat tubuhnya terasa sakit-sakit.
Penderitaan ini masih ditambah lagi dengan adanya mandor-mandor yang berupa serdaduserdadu
yang kejam sekali. Sedikit saja pekerja-pekerja “patriot” ini melakukan kesalahan
atau nampak malas, ujung cambuk akan membuatnya menari-nari kesakitan. Darah akan
mengucur dari luka-luka cambukan di punggung mereka.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, Kwee Siong menjadi biasa, tenaganya timbul dan ia
tidak merasa terlalu menderita lagi. Hanya apabila ia teringat kepada isterinya, diam-diam ia
mengucurkan airmata yang turun mengalir melalui sepanjang pipinya untuk bercampur
dengan peluhnya yang membasahi seluruh tubuhnya.
Kwee Siong adalah seorang yang beriman teguh, tidak mudah putus asa, tidak mudah
menyerah kepada nasib. Sebagai seorang pelajar dan orang yang berdarah seni, di dalam
kepahitan penderitaan hidup ini, jiwanya mencari-cari sesuatu yang indah. Kehausan jiwanya
akan keindahan membuat ia dapat pula melihat dan mendapatkan keindahan dalam pekerjaan
itu.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 53
Ia melihat betapa hebatnya tenaga manusia dalam pekerjaan ini. Mau tak mau, lepas daripada
persoalan paksa atau tidak, diam-diam ia memuji kaisar yang telah sanggup melakukan
pekerjaan besar ini. Kagum ia menyaksikan tembok besar itu dan hatinya memuji kebesaran
para kaisar yang dahulu membuat bangunan ini.
Untuk apakah tembok besar yang amat panjang itu dibangun oleh jutaan tangan manusia,
sehingga pekerjaan besar itu telah mengorbankan ribuan, bahkan laksaan jiwa manusia?
Untuk kepentingan kaisar yang memerintahkan pembangunan ini? Mungkin sebagian kecil
saja, untuk melindungi kaisar.
Akan tetapi kaisar telah meninggal dunia dan tembok besar itu masih tetap berdiri kokoh kuat.
Kwee Siong adalah seorang yang berjiwa patriot, ia keturunan dari orang-orang penting, di
antaranya keturunan dari Kwee Lo Seng yang terkenal sekali karena kesetiaannya kepada
negara, seorang pembesar tinggi yang mengorbankan nyawa demi kepentingan negara ketika
terjadi pemberontakan puluhan tahun yang lalu.
Bab 07.....
Dalam pandangan Kwee Siong, betapapun juga, pembangunan tembok besar itu adalah suatu
usaha untuk tanah air dan bangsa. Tidak hanya istana kaisar yang terlindung karena adanya
tembok besar ini, tidak hanya rumah-rumah gedung para hartawan atau bangsawan, akan
tetapi juga keselamatan rakyat jelata terlindung. Dengan adanya tembok besar ini maka pihak
asing di daerah utara tidak mudah menyerbu masuk, tidak mudah menyerang Tiongkok.
Karena pikiran ini, tergeraklah hati Kwee Siong untuk menulis sajak mengenai tembok besar
itu. Dan karena setiap hari ia melihat kawan-kawan sekerjanya tewas dalam pekerjaan itu,
baik karena kelelahan, karena sakit, karena siksaan mandor-mandor atau hal-hal lain maka
tentu saja ia tidak lupa untuk memasukkan mereka ini ke dalam sajaknya, bahkan kawankawannya
yang sudah gugur inilah yang menjadi pokok utama dalam sajaknya.
Tembok besar, laksaan li panjangnya
Megah, kokoh kuat, agung dan jaya
Usaha besar Kaisar nan Mulia!
Lambang kekuatan Negara dan Bangsa!
Kawan-kawan, kau yang tewas dalam usaha
Pengorbananmu takkan sia-sia
Kaulah sebuah di antara jutaan batu
Kecil bentuknya namun besar jasanya
Di dalam tembok kau lenyap tak nampak oleh mata,
Namamu tak pernah disebut-sebut, orang telah lupa,
Namun tembok ini menjadi saksi utama
Bahwa kaulah yang berjasa!
Seorang serdadu penjaga ketika menemukan tulisan ini di dalam saku bajunya, menjadi marah
sekali dan hampir saja Kwee Siong disiksa sampai mati. Ia dipukul, ditendang dan dicambuki
oleh serdadu itu.
Sesungguhnya, serdadu itu adalah seorang setengah buta huruf yang tidak mengerti betul akan
arti sajak itu, dan disangkanya bahwa Kwee Siong hendak “memberontak”, sebuah istilah
yang sudah populer sekali di waktu itu untuk mencelakakan seseorang yang agak
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 54
membangkang. Pada masa itu, jangankan memperlihatkan sikap menentang pembangunan
atau politik pemerintahan, baru menyatakan pendapat sejujurnya dan berdasarkan kenyataan
saja, apabila pernyataan yang berdasarkan kenyataan itu merugikan nama pemerintahan, ia
akan dicap “pemberontak” dan masih baik kalau dia sendiri yang masuk penjara atau
dipenggal lehernya. Banyak para “pemberontak” seperti ini menerima hukuman mengerikan,
yakni seluruh keluarganya, sampai pada bayi-bayinya sekalipun, dijatuhi hukuman mati.
Untung saja bagi Kwee Siong bahwa pada saat ia dihujani cambukan, seorang perwira datang
melakukan pemeriksaan. Perwira itu segera bertanya mengapa Kwee Siong dihukum.
Biasanya perwira ini tidak memperdulikan pekerja-pekerja yang mendapat siksaan karena ia
merasa pasti bahwa pekerja-pekerja yang dihukum itu tentu melakukan pelanggaran.
Tidak jarang ada pekerja yang mencuri, berkelahi dengan kawan-kawannya, memukul yang
lemah, tidak mentaati perintah dan lain-lain. Akan tetapi melihat wajah Kwee Siong yang
tampan, dan melihat betapa Kwee Siong bergulingan di atas tanah tanpa mau mengeluh
sedikitpun juga itu, timbul rasa kasihan dalam hati perwira ini.
Serdadu itu dengan bangga lalu mengeluarkan surat bersajak yang dirampasnya dari saku baju
Kwee Siong dan memperlihatkannya kepada perwira itu. Setelah membaca sajak itu berkalikali,
perwira ini lalu menghampiri serdadu itu dengan muka marah, kemudian ia bertanya,
“Mengapa kau pukul dia?”
“Karena dialah penulis sajak gila ini!” jawab serdadu itu.
Tiba-tiba perwira itu memberikan surat bersajak itu kepada serdadu ini sambil bertanya lagi,
“Kau pandai membaca?”
Untuk memamerkan kepandaiannya, serdadu itu menjawab sambil menyeringai, “Tentu saja
dapat, ciangkun!”
“Nah, coba kaubacakan sajak ini untukku!”
Wajah serdadu ini menjadi pucat. Tak disangka-sangkanya sama sekali bahwa ia disuruh
membaca sajak itu. Ia memandang kepada kertas itu dengan mata terbelalak dan mukanya
sebentar pucat sebentar merah.
“Hayo, bacalah !” teriak perwira tadi sambil memandang tajam.
Terpaksalah serdadu itu membacanya, akan tetapi yang terbaca hanya beberapa huruf saja,
yang lain dilewati saja karena memang tidak dikenal. Sedikit huruf yang dapat dibacanya
itupun dikeluarkan dengan susah payah, dan banyak yang keliru dibacanya.
“Bangsat, kaulah yang gila, bukan orang lain!” Sambil berkata demikian, perwira itu
mengayun kepalan tangannya.
“Buk!” Dada serdadu itu terkena pukulan keras sekali karena perwira ini adalah seorang ahli
gwakang, sehingga tubuh serdadu itu terlempar jauh dan jatuh bergulingan dalam keadaan
pingsan. Sementara itu, ketika memukul tadi, perwira ini telah merampas kembali kertas
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 55
bersajak itu, kemudian ia lalu memberi perintah kepada para serdadu lainnya untuk
mengangkut tubuh Kwee Siong yang sudah setengah mati.
Ketika sadar dari pingsannya, Kwee Siong mendapatkan dirinya berada di atas pembaringan
di dalam kamar perwira tadi dan telah dirawat oleh ahli pengobatan yang ada di dalam
markas. Perwira muda itu duduk di situ dan segera menegurnya dengan manis ketika melihat
Kwee Siong siuman.
“Saudara yang baik, bagaimana kau yang demikian terpelajar sampai berada di tempat seperti
itu?”
Kwee Siong terheran dan merasa seakan-akan sedang mimpi. Sudah matikah dia disiksa oleh
serdadu-serdadu tadi? Sampai lama ia tidak menjawab, hanya memandang wajah perwira
yang tidak dikenalnya itu, wajah yang tampan dan gagah sekali.
“Aku bernama Liem Siang Hong,” perwira muda itu memperkenalkan diri. “Ketika tadi
melihat kau disiksa oleh serdadu gila itu, aku lalu mencegahnya dan membawamu ke tempat
ini.”
Kwee Siong menghela napas panjang. Tubuhnya masih terasa sakit-sakit namun ia
memaksakan diri bangkit dan duduk di atas pembaringan itu.
“Saudara yang gagah,” katanya setelah menghela napas, “dari pakaianmu aku dapat menduga
bahwa kau seorang perwira. Mengapa kau menolong aku, Kwee Siong yang bernasib celaka,
dari jurang kematian? Pertolonganmu hanya mendatangkan dua hal yang selalu membuat
hatiku menyesal.” Ia menghela napas kembali.
Liem-ciangkun (perwira Liem) atau Liem Siang Hong itu terkejut dan merasa heran
mendengar ucapan ini. “Apakah maksudmu, saudara Kwee? Mengapa kau seakan-akan sudah
bosan hidup dan merasa menyesal karena tertolong dari maut?”
“Pertama, karena biarpun sekarang aku terlepas dari bahaya maut, tetap saja aku akan kembali
ke sana dan tentu serdadu itu akan memukulku lagi sampai mati, mungkin dengan siksaan
yang lebih hebat. Kedua, dengan pertolonganmu, berarti aku telah hutang budi kepadamu, dan
dalam keadaanku seperti sekarang ini, bagaimana aku dapat membalas budi? Mati dengan
hutang budi jauh lebih buruk daripada mati dengan melepas banyak budi.”
Liem Siang Hong tertawa, suara ketawa seorang yang bebas lepas dan gembira.
“Saudara Kwee, kekhawatiranmu itu tidak berdasar sama sekali. Dan aku dapat membebaskan
kau dari dua macam kekhawatiran itu. Pertama, kau takkan kembali ke tempat itu. Orang
seperti kau, yang pandai menulis sajak demikian indahnya, tidak pantas menjadi pekerja
kasar, lebih-lebih tidak patut tewas di ujung cambuk seorang serdadu yang tak bertanggung
jawab.
Kedua, tentang budi, tak perlu kau memikirkannya, karena aku menolongmu bukan dengan
maksud melepas budi. Tidak ada hutang piutang dalam hal ini. Sebagai seorang yang
mengutamakan kegagahan, aku tidak dapat berpeluk tangan saja menyaksikan peristiwa yang
tidak adil. Betapapun juga, kalau kau berkeras hendak membalas budi, dapat saja!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 56
Mendengar ucapan perwira yang gagah ini, terharulah hati Kwee Siong. Ia segera turun dari
pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan perwira itu. Tak dapat dicegah lagi air
mata mengalir disepanjang pipinya ketika ia berkata, “Ah, sungguh tak pernah kusangka.
Awan yang gelap dan tebal menutupi seluruh langit, akan tetapi masih dapat muncul bintang
terang seperti kau, ciangkun. Katakanlah, bagaimana aku dapat membalas budimu?”
Liem Siang Hong cepat-cepat memegang kedua pundak Kwee Siong dan menariknya bangun,
lalu menuntunnya duduk di atas pembaringan itu.
“Sabarlah, saudaraku yang baik, dan jangan berlaku seperti anak kecil. Tentu saja kau dapat
membalas budi, yakni dengan kepandaianmu tulis menulis itu. Aku mempunyai seorang
putera yang baru berusia dua tahun, dan aku mengharap kelak kau dapat mendidiknya dalam
ilmu sastera.”
Makin terharulah hati Kwee Siong. Ia maklum bahwa ucapan ini hanya merupakan hiburan
saja, agar ia tidak merasa berhutang budi pula. Mana ada seorang ayah yang telah mencarikan
guru sastera untuk seorang puteranya yang baru berusia dua tahun? Akan tetapi ia menjawab
juga dengan sepenuh hati,
“Tentu saja, Liem-ciangkun, aku bersedia mendidik puteramu itu.”
Demikianlah, kedua orang itu bercakap-cakap sampai jauh malam dan makin lama mereka
merasa makin cocok satu kepada yang lain. Biarpun yang seorang ahli sastra, dan orang kedua
ahli silat, namun jiwa dan watak mereka tak jauh berbeda. Mereka menjunjung tinggi
keadilan, kebajikan, dan kegagahan dalam cara masing-masing. Dengan suara mengharukan,
Kwee Siong menuturkan riwayatnya. Ia telah setahun lebih berada di tempat itu, bekerja
sebagai pekerja kasar, meninggalkan isterinya yang kini entah bagaimana nasibnya.
Mendengar penuturan ini, Liem Siang Hong merasa marah sekali. Ia mengepal-ngepal
tinjunya dan berkata, “Sayang sekali kau tidak kenal siapa adanya komandan pasukan
pengumpul tenaga pekerja itu, kalau kau tahu, tentu aku akan mencarinya dan memukul pecah
kepalanya.”
Kemudian ia menarik napas panjang. “Akan tetapi, sesungguhnya hal semacam ini telah lama
kudengar, dan aku merasa amat menyesal. Memang banyak sekali orang-orang jahat
mempergunakan kesempatan, baik untuk memeras rakyat dan memperkaya diri sendiri,
bagaikan anjing-anjing rendah yang memuaskan mulutnya dengan daging manusia yang
gugur berserakan di dalam peperangan. Jangan khawatir, saudaraku, aku akan mencari
isterimu itu agar kau dapat bertemu kembali dengan dia.”
Saking terharu dan girangnya, Kwee Siong lalu menubruk dan memeluk Liem Siang Hong
sambil mengalirkan air matanya. Entah mengapa, hati Liem Siang Hong yang tadinya keras
itu kini menjadi luluh dan ia merasa amat suka dan kasihan kepada orang muda yang tampan
ini.
Bahkan, mereka lalu menanyakan usia masing-masing dan mengangkat saudara pada malam
hari itu juga. Liem Siang Hong ternyata lebih tua empat tahun sehingga Kwee Siong lalu
menyebutnya Liem-twako dan Liem Siang Hong menyebutnya Kwee-te (adik Kwee).
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 57
Atas usaha Liem Siang Hong, diselidikilah leadaan isteri Kwee Siong di dusun Tai-kun-an,
akan tetapi alangkah sedih dan terkejutlah hati Kwee Siong ketika ia mendengar berita bahwa
isterinya, yakni Sui Giok, dikabarkan telah tewas di dalam hutan bersama dengan para
serdadu, menjadi korban Toat-beng Mo-li yang marah dari dalam hutan yang menyeramkan
itu.
Kwee Siong roboh pingsan ketika mendengar berita ini dan setelah ia siuman kembali, ia
dihibur oleh Liem Siang Hong.
“Adikku, percayalah, aku sendiri merasa amat berduka karena adanya berita ini. Setelah aku
tahu bahwa isterimu adalah seorang she Liem juga, maka makin eratlah perasaan hatiku
terhadapmu. Anggaplah saja aku sebagai kakak isterimu sendiri, dan jangan kau terlalu
berduka sehingga membahayakan kesehatan tubuhmu. Sekarang lebih baik kau turut
kepadaku saja dan tinggal bersamaku di kota Tai-goan.”
Sambil terisak-isak Kwee Siong berkata, “Tidak, Liem-twako, aku sudah terlampau banyak
berhutang budi kepadamu. Aku tidak dapat mengganggumu lagi dengan menumpangkan
diriku yang amat sial dan selalu dirundung malang ini. Biarlah aku pergi merantau, entah ke
mana saja, karena akhirnya aku toh akan mati juga. Lebih cepat lebih baik, karena hanya
kematian saja yang akan membawa aku kepada isteriku......”
Tiba-tiba Liem Siang Hong berseru keras. “Apakah kau ingin menjadi seorang yang Bong-impwe-
gi (manusia tak kenal budi)??”
Biarpun ia sedang menangis sedih, mendengar tuduhan ini Kwee Siong mengangkat mukanya
dan memandang wajah kakak angkatnya itu dengan heran dan penasaran.
“Kau sudah berkali-kali menyatakan berhutang budi kepadaku dan hendak membayar budi itu
dengan mendidik puteraku, mengapa sekarang ikut tinggal di rumahku saja kau tidak mau?”
Biarpun ucapan Liem Siang Hong ini seperti orang marah dan terdengar kasar, akan tetapi
Kwee Siong maklum sedalam-dalamnya bahwa itu adalah akal yang dipergunakan oleh
perwira itu untuk menolongnya dan memaksanya tinggal di rumahnya.
Makin terharulah hatinya dan tangisnya makin menjadi, sehingga ia tidak dapat mengeluarkan
kata-kata lain dan hanya menutupi mukanya dengan kedua tangan. Akhirnya dapat juga Kwee
Siong berkata.
“Thian Yang Maha Kuasa tahu betapa besar rasa terima kasihku kepadamu, Liem-twako, dan
biarlah aku bersumpah bahwa semenjak saat ini, aku Kwee Siong akan selalu menurut segala
kata-katamu.”
Diam-diam Liem Siang Hong tersenyum puas dan demikianlah, perwira muda yang baik hati
ini membawa Kwee Siong ke rumahnya, sebuah rumah gedung di kota Tai-goan, kota terbesar
di propinsi Shansi.
Dalam usahanya untuk membahagiakan Kwee Siong dan membangun kembali rumah tangga
yang telah roboh serta menghibur hatinya daripada kedukaan karena kematian isterinya yang
tercinta, Liem Siang Hong diam-diam lalu menghubungi sahabat-sahabatnya yang bekerja
dekat dengan kaisar.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 58
Ia memperlihatkan sajak buatan Kwee Siong dulu itu dan semua orang bangsawan yang
membaca sajak itu, menjadi kagum sekali. Akhirnya, beberapa bulan kemudian, berhasillah
Liem-ciangkun untuk menghaturkan sajak itu kehadapan Kaisar, setelah ia menghubungi
pembesar-pembesar tinggi di kota raja.
Kaisar amat suka membaca sajak itu, bukan karena di dalamnya terdapat pujian untuk kaisar,
akan tetapi karena sajak ini dapat dipergunakan untuk membangkitkan semangat rakyat dan
untuk menggembirakan para pekerja yang tenaganya amat dibutuhkan. Sajak itu lalu dibuat
banyak sekali untuk ditempel-tempelkan di tempat kerja yang sedang dilakukan seperti pada
tembok-tembok besar yang sedang dibangun kembali, di saluran besar, di tempat pembuatan
kapal dan lain-lain.
Alangkah heran dan kagetnya hati Kwee Siong ketika pada suatu hari, Liem Siang Hong
masuk ke dalam kamarnya sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan seperti seorang anak kecil
mendapat hadiah yang amat menyenangkan. Kwee Siong hanya memandang dengan mulut
celangap dan mata melongo. Gilakah kakak angkatnya ini?
“Adikku yang baik, kionghi, kionghi (selamat, selamat)!” kata perwira muda itu dengan wajah
girang sekali.
“Eh, eh, kau ini kenapakah, Liem-twako?” tanya Kwee Siong sambil menggaruk-garuk
kepalanya.
“Aku? Bukan aku, akan tetapi kaulah yang kenapa-kenapa. Kau telah menjadi pembesar
negeri, adik Kwee. Kau diangkat oleh kaisar menjadi kepala kantor cabang di kota ini, kepala
kantor urusan pengumpulan tenaga pekerja pembangunan.”
Bukan main kaget dan herannya hati Kwee Siong mendengar ucapan ini. “Eh, Liem-twako,
harap kau jangan main-main!”
“Siapa main-main? Hayo, kau buktikanlah sendiri!” Sambil berkata demikian, Liem-ciangkun
lalu memegang tangan Kwee Siong dan ditariknya Kwee Siong keluar dari kamar, menuju ke
ruang depan.
Ketika melihat bahwa di dalam ruang tamu itu duduk seorang pembesar yang membawa
lengki (bendera tanda pesuruh kaisar), Kwee Siong merasa bulu tengkuknya berdiri dan cepat
ia bersama Liem Siang Hong menjatuhkan diri berlutut. Berhadapan dengan seorang
pembesar pembawa lengki, sama halnya dengan berhadapan dengan kaisar sendiri, oleh
karena pesuruh itu merupakan wakil kaisar. Dengan suaranya yang parau, pesuruh tua itu lalu
membacakan firman kaisar tentang pengangkatan Kwee Siong itu.
Liem Siang Hong menjamu pembesar pesuruh itu, lalu memberi bekal banyak barang
berharga sambil mengantarkan orang itu keluar untuk pulang ke kota raja. Dan semenjak saat
itu, Kwee Siong telah menjadi pembesar. Pakaian kebesaran dan cap kebesaran telah berada
di atas meja dalam kamarnya.
*******
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 59
Kwee Siong mendapatkan kembali kegembiraan hidupnya setelah ia diangkat menjadi kepala
bagian pengumpulan tenaga rakyat, dan menjadi pembesar di kota Tai-goan. Semenjak dia
yang memegang jabatan itu, banyak terjadi perobahan.
Ia melarang keras menggunakan tenaga rakyat secara paksa dan serampangan saja. Ia
mengharuskan para serdadu memilih orang-orang muda yang kuat, mengerjakan orang-orang
tua dan orang-orang lemah di bagian yang ringan. Ia seringkali mengadakan gerakan
mengumpulkan sumbangan dari para hartawan dan dermawan, dan sumbangan ini
dipergunakan untuk menghibur para pekerja.
Ia mengadakan pemeriksaan dan membentuk barisan pemeriksa terdiri atas perwira-perwira
pilihan Liem Siang Hong, perwira-perwira yang benar-benar gagah perkasa dan jujur, untuk
memberantas segala kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang tak bertanggung jawab.
Uang-uang sogokan, ancaman, yang biasa diderita oleh rakyat, dihapuskan.
Tentu saja ini hanya meliputi daerah Tai-goan saja, karena daerah lain berada di bawah
kekuasaan pembesar lain. Tidak mengherankan apabila nama Kwee Siong sebentar saja jadi
amat terkenal dan ia dihormati oleh rakyat jelata.
Para pembesar lain, biarpun ada yang merasa iri hati dan dengki terhadap Kwee Siong, namun
seorangpun tidak ada yang berani mengganggu. Mereka tahu bahwa Kwee Siong mempunyai
hubungan erat sekali dengan perwira Liem Siang Hong yang gagah perkasa, maka tidak ada
yang berani mencoba-coba untuk main-main.
Hubungan antara Kwee Siong dengan Liem Siang Hong amat eratnya. Setiap hari mereka
tentu bertemu, bercakap-cakap dan Kwee Siong memenuhi janjinya, yakni ia mendidik putera
Liem Siang Hong. Semenjak anak itu berusia lima tahun, mulailah Kwee Siong mendidiknya
dengan sungguh hati.
Anak itu bernama Liem Sian Lun, putera tunggal dari perwira Liem. Oleh karena Kwee Siong
merasa amat sayang kepada anak itu, maka Sian Lun juga amat kasih kepada pamannya ini.
Boleh dibilang anak itu lebih banyak berdiam di dalam gedung Kwee Siong dari pada di
dalam rumah ayahnya sendiri.
Dalam hal pendidikan, ternyata Kwee Siong lebih pandai dari pada Liem Siang Hong, karena
perwira ini betapapun juga, memiliki kekerasan hati sebagai seorang perwira. Berbeda sekali
dengan Kwee Siong yang adatnya lemah lembut dan memperlakukan anak itu dengan sabar
dan manis budi. Terhadap ayahnya, Sian Lun merasa takut, akan tetapi terhadap Kwee Siong,
ia merasa sayang dan menghormat.
Berkali-kali Siang Hong membujuk Kwee Siong untuk menikah lagi.
“Adikku yang baik,” katanya untuk kesekian kalinya, “Kau masih muda dan sudah
mempunyai kedudukan baik. Mengapa kau menyiksa diri dan hidup dalam kesepian? Kau
harus sayang masa mudamu, dan apakah kau tidak ingin mempunyai keturunan? Siapakah
kelak yang akan melanjutkan riwayat keluarga Kwee? Kau katakan saja dan percayalah, aku
yang akan mencarikan seorang jodoh yang cantik lahir bathin untuk menjadi isterimu.”
Akan tetapi Kwee Siong menggeleng-geleng kepala lalu berkata sedih,
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 60
“Tidak bisa, twako. Aku tidak dapat melupakan Sui Giok, isteriku, dan aku tidak sampai hati
untuk mendekati lain wanita.”
“Mengapa kau berpandangan demikian sempit dan bodoh, adik Kwee? Isterimu telah kembali
ke alam baka, dan kalau memang benar dia amat menyintamu, aku yakin bahwa isterimu
sekarang sedang bersedih dan kecewa pula melihat kau tidak mempunyai keturunan. Apakah
kau kirah roh seorang isteri setia dan menyinta akan merasa suka melihat suaminya hidup
sengsara, kesepian, dan kelak meninggalkan dunia tanpa ada keturunan ? Pikirlah dengan otak
yang sehat, adikku.”
Akan tetapi, sukarlah membujuk Kwee Siong yang amat mencinta isterinya. Lima tahun
kemudian, setelah merasa yakin bahwa isterinya yang tiada kabar beritanya itu tentu telah
tewas, barulah Kwee Siong menerima bujukan kakak angkatnya dan menikahlah ia dengan
seorang gadis cantik dari keluarga bangsawan she Liok. Ketika Kwee Siong menikah dengan
gadis she Liok ini, maka sepuluh tahun telah berlalu semenjak ia meninggalkan Sui Giok
dengan terpaksa itu.
Setahun kemudian, isterinya melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Kwee Cun.
Makin berbahagialah hati Kwee Siong dan akhirnya ia berhasil melupakan Sui Giok, isteri
pertama yang dianggapnya telah mati itu. Memang Kwee Siong sedang bernasib baik karena
iapun telah menerima kenaikan pangkat dan dipindahkan ke kota raja.
Biarpun kini Kwee Siong telah bertempat tinggal di kota raja, namun hubungannya dengan
Liem Siang Hong tetap baik. Mereka seringkali kunjung mengunjungi, dan putera tunggal
Siang Hong, yakni Liem Sian Lun, semenjak berusia delapan tahun oleh ayahnya telah
dikirim kepada suhunya, yakni pendeta Tao dari Kun-lun-san yang untuk sementara tinggal di
dalam sebuah gua di atas bukit di Pegunungan Luliang yang tak jauh dari Tai-goan letaknya.
Guru dari Liem Siang Hong ini bernama Beng Kui Tosu, seorang tokoh Kun-lun-pai yang
berkepandaian tinggi sekali. Tosu ini amat suka melihat Sian Lun dan berkatalah dia kepada
muridnya itu setelah menatap seluruh tubuh Sian Lun, “Muridku Siang Hong, kau beruntung
sekali. Puteramu ini memiliki tubuh seorang sin-tong (anak ajaib), bakatnya luar biasa sekali.”
Tentu saja Liem Siang Hong merasa girang dan bangga maka ia meninggalkan Sian Lun di
pegunungan itu dengan hati besar. Juga Kwee Siong ketika mendengar bahwa Sian Lun telah
mulai belajar silat pada seorang berilmu tinggi, merasa amat girang.
Ia telah menganggap Sian Lun sebagai anaknya sendiri. Dan oleh karena kini Sian Lun berada
di atas gunung dan jarang sekali dapat bertemu dengannya, mulailah Kwee Siong merasa
kesepian sekali sehingga akhirnya sebagaimana dituturkan di atas, ia menerima bujukan Liem
Siang Hong dan menikah dengan Liok-siocia (nona Liok).
Waktu berjalan amat pesatnya dan delapan tahun semenjak Kwee Siong menikah, telah lewat
tanpa terasa. Kini Kwee Cun telah berusia tujuh tahun. Anak ini cerdik dan lemah lembut
seperti ayahnya. Kwee Siong hanya mempunyai seorang anak ini karena isterinya tidak
melahirkan anak lagi.
Hal ini mungkin karena kesehatan isterinya itu seringkali terganggu. Akan tetapi, boleh
dibilang bahwa hidup Kwee Siong beserta keluarganya amatlah bahagia.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 61
Adapun Sian Lun yang tadinya berguru kepada Beng Kui Tosu, telah menamatkan pelajaran
ilmu silatnya selama lima tahun dan melihat bakatnya yang luar biasa, Beng Kui Tosu, atas
persetujuan Siang Hong, lalu mengirimkan anak muda itu ke puncak Kun-lun-san untuk
berguru kepada guru besar Kun-lun-pai, yakni Beng To Siansu.
Kakek sakti ini adalah tokoh tertinggi dari Kun-lun-pai dan masih terhitung susiok (paman
guru) dari Beng Kui Tosu, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan tingginya ilmu
kepandaiannya. Ketika itu, Sian Lun telah berusia sembilan belas tahun dan telah menjadi
seorang pemuda yang tampan, gagah dan berkepandaian tinggi, bahkan masih lebih tinggi
dari pada kepandaian Beng Kui Tosu, bekas gurunya.
******
Pada suatu hari, di puncak pegunungan Kun-lun-san, tempat kediaman Beng To Siansu,
datanglah seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua. Sungguhpun usia kakek ini
sudah amat tinggi, dan agaknya tubuhnya sudah lemah tinggal menanti maut datang
menjemput nyawanya, namun ternyata ia masih amat kuat. Bukan hanya kuat, akan tetapi
bahkan luar biasa sekali. Ia mendaki gunung itu bagaikan terbang saja, biarpun kedua kakinya
bergerak perlahan, namun ia maju dengan amat cepatnya, jurang-jurang lebar dilompatinya
begitu saja.
Kakek ini bukan lain adalah Liang Gi Cinjin, pencipta dan pendiri Pek-sim-kauw, tosu yang
tinggi sekali ilmu silatnya, terutama sekali ilmu pedangnya. Seperti biasa, kakek ini
melakukan perantauan dan datang mengunjungi Beng To Siansu yang menjadi sahabat baik
dalam bercakap-cakap atau menjadi musuh besar dalam pertandingan catur.
Telah hampir sepuluh tahun Liang Gi Cinjin tidak mengunjungi Kun-lun-san, maka ia merasa
amat rindu untuk bercakap-cakap atau main catur dengan ketua dari Kun-lun-pai itu. Beng To
Siansu yang memiliki pendengaran luar biasa tajamnya, biarpun ia tengah duduk dalam
guanya, sebelum tamunya kelihatan, ia telah tertawa dan menyambut dari dalam gua dengan
kata-kata gembira,
“Liang Gi Cinjin, setan catur. Apakah kau sudah berlatih cukup banyak untuk datang
menghadapi papan catur dengan aku?”
Liang Gi Cinjin berdiri di depan goa dan tertawa bergelak, kedua tangan bertolak pinggang
dan mukanya didongakkan ke atas.
“Beng To Siansu, setan tua! Orang yang selalu menyekap dirinya di dalam goa yang sempit
seperti kau, bagaimana bisa sehat ? Heran, orang seperti kau masih bisa panjang usia!”
Belum habis Liang Gi Cinjin bicara, dari dalam goa itu keluarlah seorang kakek lain yang
bertubuh tinggi besar dan rambutnya juga putih semua seperti rambut Liang Gi Cinjin. Usia
kedua orang kakek ini memang sebaya, dan sukarlah dikatakan siapa yang lebih sehat di
antara keduanya, karena muka mereka masih nampak merah dan segar sekali.
“Liang Gi Cinjin, biarpun aku tinggal di dalam gua yang sempit, namun hawa yang masuk di
dalam gua adalah hawa pegunungan yang bersih, tidak seperti kau yang setiap hari mengisap
hawa kota yang kotor, mengandung debu tahi kuda!” Beng To Siansu menjawab sambil
tertawa juga.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 62
Sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa, kedua orang kakek ini lalu duduk bersila di depan
gua, di atas rumput yang bersih. Mereka menghadapi sebuah papan catur dan mulai bermain
catur. Kepandaian mereka dalam permainan ini seimbang dan juga dalam ilmu silat,
kepandaian mereka setingkat.
Pernah mereka memperbincangkan tentang ilmu silat dan pernah pula pibu (mengadu
kepandaian) akan tetapi ternyata mereka tak dapat saling mengalahkan lawan. Sesungguhnya,
Liang Gi Cinjin masih terhitung adik seperguruan, akan tetapi kakek ini cepat sekali
memperoleh kemajuan sehingga tingkat mereka menjadi seimbang dan perhubungan mereka
yang amat erat itu melenyapkan sebutan suheng dan sute.
Bab 08.....
Ketika bicara tentang keadaan negara, Liang Gi Cinjin menarik napas panjang dan
menggelengkan kepalanya.
“Beng To Siansu, ramalanmu dahulu itu tepat sekali. Pemerintahan Sui yang sekarang ini
memang telah mendekati keruntuhannya. Kaisar terlalu tamak dan tidak mengingat akan
keadaan rakyat jelata. Baru saja rakyat diperas tenaganya untuk pembangunan besar-besaran,
kini tentara kerajaan mulai dikerahkan untuk menyerang daerah timur (Korea).
Ketika aku menuju ke sini, aku mendengar tentang pemberontakan-pemberontakan yang
mulai timbul, mula-mula di pegunungan Cangpai di propinsi Santung. Entah bagaimana nanti
jadinya dengan pemerintah ini.”
“Biarlah, tak usah kita pikirkan urusan seperti itu,” jawab Beng To Siansu, “kalau sudah tiba
masanya, di mana muncul calon pemimpin yang bijaksana, barulah kita memerintah anak
murid kita untuk membantu pergerakan mulia itu.”
Tak lama kemudian mereka menghentikan percakapan karena seluruh perhatian mereka
tertuju kepada biji-biji catur yang mulai saling mengurung dan pertandingan berjalan seru
sekali.
Telah dua kali mereka bermain dan hasilnya satu-satu. Matahari telah condong ke barat ketika
mereka hendak mulai dengan permainan ketiga. Akan tetapi, pada saat itu, berkelebatlah
bayangan orang yang gesit sekali dan tak lama kemudian seorang pemuda yang cakap dan
gagah berdiri di depan mereka.
Pemuda itu memegang seekor ular besar yang ia gulung bagaikan sehelai tambang, dipegang
pada leher dan ekornya. Dalam keadaan tergulung tubuhnya dan leher serta ekor terpegang
oleh jari-jari tangan yang kuat itu, ular ini tidak berdaya sama sekali.
“Suhu, teecu telah kembali!” kata pemuda itu sambil menjatuhkan diri berlutut di depan Beng
To Siansu.
Beng To Siansu menengok dan berkata girang, “Hm, Sian Lun, agaknya kau telah berhasil
menangkap pengacau itu.”
“Inilah dia, suhu. Sukar juga menangkapnya, karena ia kuat dan ganas sekali.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 63
“Coba ceritakan bagaimana kau dapat menangkapnya, akan tetapi sebelumnya beri hormatlah
dulu kepada susiokmu ini.”
Pemuda yang bukan lain adalah Sian Lun putera perwira Liem Siang Hong itu, cepat memberi
hormat sambil berlutut kepada Liang Gi Cinjin, “Maaf susiok, teecu tidak tahu sehingga telah
berlaku kurang hormat.”
“Anak baik, kauceritakanlah dari mana kau berhasil menangkap daging enak ini!” kata Liang
Gi Cinjin sambil memandang wajah pemuda yang tampan dan gagah itu.
Sian Lun lalu menuturkan pengalamannya. Sebuah dusun di kaki gunung Kun-lun telah
berkali-kali diserang oleh seekor ular yang besar, ganas dan jahat. Banyak sudah hewan
piaraan para penduduk ditelan oleh ular itu dan ketika diserang, dua orang dusun telah tewas
karena digigit dan disabet dengan ekornya.
Beng To Siansu yang mendengar akan hal ini, lalu menyuruh muridnya menangkap ular itu.
Sian Lun lalu berangkat turun gunung dan ketika ia berhasil mendapatkan ular itu melingkar
di atas pohon, ia segera melompat dan menarik ekornya sehingga ular itu tertarik lalu jatuh ke
bawah.
Akan tetapi ular itu ternyata kuat dan galak sekali. Ia tidak menyerah dengan mudah, tiap kali
dapat tercekik lehernya, ekornya lalu memukul dengan kuatnya dan ia mencoba untuk
membelit leher pemuda itu. Berkali-kali Sian Lun terpaksa melepaskan kembali cekikan itu,
karena ular itu benar-benar berbahaya.
Sudah bergulat mati-matian, akhirnya ia berhasil mengirim totokan di belakang kepala ular itu
yang merasa sakit dan setengah lumpuh. Barulah Sian Lun dapat menangkap ular itu dan
membawanya ke atas bukit.
Mendengar penuturan itu dan melihat potongan tubuh pemuda ini, Liang Gi Cinjin menghela
napas panjang dan berkata kepada Beng To Siansu,
“Memang, agaknya karena setiap hari kau bertapa, maka peruntunganmu lebih bagus dari
padaku. Ilmu pedangku Pek-sim kiam-hoat yang buruk itu saja belum ada yang cukup
berharga untuk mewarisinya.
Murid-muridku tidak ada yang dapat bertahan menghadapi seranganku Pek-sim Ciang-hoat
lebih dari dua puluh jurus, mana mereka mampu mempelajari Pek-sim Kiam-hoat dengan
baik?”
Kakek ini menghela napas lagi. “Agaknya selama hidupku aku takkan dapat bertemu dengan
seorang murid seperti muridmu ini dan Pek-sim Kiam-hoat akhirnya akan lenyap dari muka
bumi tanpa meninggalkan nama.”
Mendengar pujian ini, Liem Sian Lun menjadi merah mukanya karena jengah. Ia segera
menganggukkan kepala dan berkata,
“Susiok, harap kau orang tua jangan terlalu memuji, teecu takut akan menjadi sombong
dan.....”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 64
“Anak Goblok!” tiba-tiba suhunya membentak. “Hayo, kau lekas menghaturkan terima
kasihmu kepada susiokmu yang hendak menurunkan Pek-sim Kiam-hoat kepadamu.
Sian Lun merasa terkejut, akan tetapi otaknya yang cerdas membuat ia maklum akan
kehendak suhunya. Iapun merasa girang sekali karena dari ucapan ini ternyata bahwa suhunya
tidak merasa keberatan kalau ia menerima pelajaran dari orang lain. Ia cepat-cepat
menganggukan kepalanya di depan susioknya dan berkata,
“Banyak terima kasih teecu haturkan atas kemurahan hati susiok yang sudi memberi petunjuk
kepada teecu yang bodoh.”
Liang Gi Cinjin tertawa bergelak. “Ha, ha, ha, memang si tua bangka yang pintar memancing
ikan di air keruh. Anak muda, seperti kukatakan tadi, yang mampu mempelajari Pek-sim
Kiam-hoat adalah orang yang mampu menghadapi seranganku selama dua puluh jurus lebih.
Apakah kau berani menghadapi Pek-sim Ciang-hoat sampai lebih dari dua puluh jurus?”
Hampir saja Sian Lun menyatakan tidak berani, karena sebagai seorang terpelajar dan sopan,
mana ia berani menantang susioknya? Akan tetapi suhunya membentak lagi,
“Gagukah kau, Sian Lun? Apakah kau hendak membikin malu suhumu yang telah melatihmu
bertahun-tahun? Tentu saja kau berani, bukan?
Sian Lun menjadi serba salah. Untuk menyatakan berani, ia takut kalau menyinggung
perasaan susioknya yang tentu merasa seakan-akan ditantang, sebaliknya menyatakan tidak
berani, ia takut suhunya akan marah. Maka ia diam saja dan akhirnya tanpa berani
memandang kepada suhu atau susioknya, ia berkata,
“Teecu akan mencoba kebodohan sendiri menghadapi serangan itu sampai dua puluh jurus.”
Beng To Siansu melompat berdiri dan bertepuk tangan gembira. Ia merenggutkan ular itu dari
tangan muridnya dan sekali ia mengetukkan jarinya pada leher ular, ia lalu melepaskan ular
itu di atas tanah.
Ular itu dapat melepaskan tubuhnya yang tadi digulung oleh Sian Lun, akan tetapi ketika
hendak menggerakkan tubuh untuk pergi, ternyata bahwa lehernya tak dapat bergerak. Tentu
saja, tanpa dapat menggerakkan leher, ular itu tidak dapat bergerak maju lagi.
“Hayo, kau layani susiokmu sampai dua puluh jurus lebih, Sian Lun!” kata Beng To Siansu.
Adapun Liang Gi Cinjin menudingkan telunjuknya kepada kakek itu sambil berkata,
“Apakah kau kira aku seorang yang suka melanggar janji sehingga hal ini perlu dibuktikan
sekarang juga?”
“Siapa takut kau melanggar janji? Dunia boleh jadi kiamat akan tetapi tak boleh jadi Liang Gi
Cinjin melanggar janji. Aku hanya khawatir kalau-kalau kau lupa. Orang tua sudah pikun,
takkan melanggar janji akan tetapi dapat lupa.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 65
“Ha, ha, ha! Kau tuan rumah yang tidak tahu aturan, tamu datang-datang tidak diberi
hidangan, bahkan dimintai sesuatu. Awas, kalau nanti sesudah aku mencoba muridmu ini kau
tidak menghidangkan daging ular yang gemuk itu, selama hidupku aku akan menganggap kau
seorang tuan rumah yang pelit dan jahat sekali.”
Untuk sejenak Beng To Siansu diam saja, kemudian ia menjawab sambil menghela napas,
“Baiklah, manusia rakus! Sian Lun, setelah kau melayani susiokmu, jangan lupa, lekas potong
ular itu dan panggang dagingnya untuk susiokmu.”
Legalah hati Liang Gi Cinjin mendengar jawaban ini. Dari jawaban ini, ia mengerti bahwa
kakek tokoh Kun-lun-pai itu sudah merasa rela serarus persen bahwa pemuda itu menerima
pelajaran ilmu pedangnya. Ia tahu bahwa kakek Kun-lun-san ini adalah seorang yang pantang
makan daging, maka apabila kini memperbolehklan ular itu dipotong dan dimakan dagingnya,
itu menandakan bahwa ia sudah rela sekali.
Hanya Sian Lun yang mendengarkan percakapan kedua orang tua itu dengan terheran-heran
dan ia tidak mengerti artinya. Baginya, kedua orang kakek itu bicara seperti anak kecil yang
suka bermain-main dan bertengkar mulut.
Iapun maklum akan pantangan makan barang berjiwa yang dilakukan oleh suhunya amat
keras sehingga ia sendiripun diharuskan cia-cai (makan sayur, tidak boleh makan daging).
Akan tetapi mengapa sekarang suhunya menyuruhnya memanggang daging ular yang
mengerikan ini ?”
Akan tetapi Liang Gi Cinjin yang nampak gembira sekali itu tidak memberi kesempatan
kepadanya untuk banyak melamun.
“Hayo, Sian Lun, bangunlah dan mari kita main-main sebentar. Jagalah dirimu sampai dua
puluh jurus dan berlakulah hati-hati. Di dunia ini, hanya sedikit saja orang yang sanggup
menahan seranganku sampai dua puluh jurus !”
Sian Lun lalu memberi hormat kepada Liang Gi Cinjin dan setelah berkata, “Maaf, teecu
berlaku kurang hormat!” ia lalu memasang kuda-kuda dengan teguhnya.
Sebagai seorang pemuda yang sopan dan berotak cerdik, Sian Lun memasang kuda-kuda yang
disebut Kera Sakti Menerima Buah, tubuhnya merendah, muka ditundukkan dengan kedua
tangan di bawah dada, sepasang matanya ditujukan ke arah kedua pundak kakek itu dengan
sikap menghormat.
Benar saja, menyaksikan sikap kuda-kuda ini, Liang Gi Cinjin merasa senang dan memuji
pemuda yang pandai membawa diri ini. Memang benar, ujar-ujar kuno yang menyatakan
bahwa untuk dapat mencapai hasil gemilang dalam pengejaran cita-cita hidup, senjata yang
terutama adalah kerendahan hati dan penyesuaian sikap dengan keadaan yang dihadapinya.
Dengan sikapnya ini, tanpa terasa lagi Sian Lun telah dapat menyenangkan hati Liang Gi
Cinjin.
Akan tetapi Liang Gi Cinjin tidak nanti mau memberikan ilmu pedangnya begitu saja kepada
sembarang orang. Ia harus mencoba dulu sampai di mana bakat pemuda ini.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 66
Biarpun dengan ketajaman matanya ia telah dapat melihat kebagusan tubuh pemuda ini dan ia
percaya bahwa pemuda ini memiliki bakat yang luar biasa, namun untuk dapat mempelajari
ilmu pedang Pek-sim Kiam-hoat dengan sempurna sehingga dapat menguasai seluruhnya,
orang harus memiliki dasar kepandaian yang cukup. Melihat pemuda itu telah memasang
kuda-kuda dan siap, ia lalu tersenyum dan berkata,
“Awas seranganku!” Tubuhnya yang sudah tua itu ternyata dapat bergerak luar biasa
cepatnya. Sekali kakinya bergerak, tubuhnya telah menerjang maju dengan cepat
mengagetkan.
Sian Lun berlaku waspada dan cepat mengelakkan diri dari sebuah tamparan, akan tetapi
dalam jurus pertama itu ternyata Liang Gi Cinjin telah menyerangnya dengan tiga macam
pukulan dari kedua tangan kiri dan kaki kiri. Bukan main cepatnya datangnya serangan ini
sehingga pemuda itu harus berlaku hati-hati dan cepat sekali. Kalau tidak memiliki
ketenangan, kecepatan dan ketajaman mata sukarlah menghadapi serangan yang sambung
menyambung dan susul menyusul itu.
Ilmu silatnya sendiri tidak berbahaya bagi Sian Lun yang sudah berkepandaian tinggi, akan
tetapi yang hebat adalah gerakan dan tenaga kakek ini. Ginkang dan lweekang dari Liang Gi
Cinjin memang tinggi sekali, dan biarpun Sian Lun telah melatih diri dengan hebat dalam
kepandaian ini, didorong oleh bakatnya yang luar biasa, namun harus ia akui bahwa ia masih
kalah setingkat.
Menurut pendapatnya, ginkang dan lweekang dari kakek ini hanya kalah sedikit saja dari
suhunya, Beng To Siansu. Akan tetapi diam-diam ia merasa lega, oleh karena kalau saja
kakek ini melanjutkan serangannya dengan ilmu silat Pek-sim Ciang-hoat yang ternyata tidak
berapa berbahaya ini baginya, pasti ia akan dapat menghadapinya sampai dua puluh jurus
lebih.
Akan tetapi, setelah sepuluh jurus lewat dengan selamat, gerakan serangannya. Sian Lun
menjadi terkejut bukan main karena daya serangan kali ini luar biasa hebatnya.
Hawa pukulan yang keluar dari sepasang tangan kakek ini amat ganjil, tarik menarik dan
tangan kiri amat berlainan dengan tangan kanan, bahkan boleh dibilang bertentangan. Pemuda
itu tiba-tiba merasa seakan-akan menghadapi dua orang lawan yang berlainan caranya
bersilat, merupakan dua macam Liang Gi Cinjin, yang seorang bergaya lemas dan penuh
keindahan, yang kedua bergaya kasar dan cepat bagaikan seekor iblis mengamuk.
Sian Lun memang tidak mengenal ilmu silat Pek-sim-ciang-hoat, dan tentu saja tidak tahu
bahwa kakek yang menjadi lawannya ini sedang mengeluarkan ilmu silat itu di bagian Imyang–
sin-ciang-hoat, bagian yang amat sukar dipelajari karena memerlukan latihan tenaga
lweekang dan gwakang yang dipergunakan berbareng.
Akan tetapi Beng To Siansu yang pernah berpibu dengan kakek itu, tahu akan hal ini dan
melihat betapa muridnya menjadi sibuk sekali dan gugup. Beng To Siansu mengerutkan
kening. Sesungguhnya, kalau saja Sian Lun tahu akan rahasia ilmu silat ini tak perlu pemuda
itu menjadi gugup dan bingung. Maka ia lalu berkata keras seperti orang bernyanyi.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 67
“Im dan Yang selalu bertentangan, tarik menarik. Kalau orang dapat berada di tengah-tengah,
tidak terpengaruh oleh tarikan kanan kiri, bebas dari Im Yang, itu barulah yang disebut Tiongyong.”
Kata-kata ini sesungguhnya adalah petikan dari ujar kuno, akan tetapi tepat sekali
dipergunakan untuk memecahkan serangan Liang Gi Cinjin itu. Tiong-yong berarti jejak,
lurus, tidak condong ke sana ke mari, tidak terpengaruh oleh sesuatu, iman tetap tenang di
tengah-tengah.
Mendengar ucapan suhunya ini, tiba-tiba Sian Lun menjadi sadar. Memang otak pemuda ini
cerdik sekali dan dapat menangkap maksud dan arti dari sesuatu hal yang ditunjukkan
kepadanya. Tadipun ia telah memutar otak untuk mencari tahu rahasia penyerangan aneh ini,
dan begitu mendengar ucapan suhunya tentang Im dan Yang, hampir ia berseru saking
girangnya.
Ia lalu bersilat dengan gerakan yang disebut Pai-bun-twi-hong (Mengatur Bintang Menolak
Angin). Kini ia tidak mengelak dengan gugup dan bingung lagi, tidak mau dipengaruhi oleh
hawa pukulan lawan, akan tetapi hanya menjaga diri dengan waspada, dengan kuda-kuda
yang kuat dan begitu pukulan datang, ia lalu menangkis dengan pengerahan tenaga lweekang
atau gwakang, sesuai dengan datangnya serangan lawan.
Sampai lima jurus, serangan dengan Im-yang-sin-ciang-hoat dari Liang Gi Cinjin ini dapat
digagalkan. Kakek itu tertawa bergelak dan berkata,
“Setan sayur (untuk menyindir Beng To Siansu yang selalu makan sayur), kau sungguh terlalu
membela muridmu.”
Setelah berkata demikian, Liang Gi Cinjin lalu merobah lagi serangannya, tidak lagi mainkan
Im-yang-sin-ciang-hoat, melainkan menggunakan ginkangnya yang luar biasa, bergerak cepat
bagaikan seekor burung garuda menyambar mengelilingi Sian Lun. Lagi-lagi Beng To Siansu
berkata seperti orang bernyanyi.
“Kalau Toa-su-siang-hong-wi (kedudukan empat penjuru) dijaga baik-baik, maling yang
bagaimana pandaipun takkan dapat masuk.”
Memang tadinya Sian Lun selalu mengikuti gerakan lawannya, mengerahkan ginkangnya.
Akan tetapi oleh karena Liang Gi Cinjin kedudukannya di luar dan dia di dalam, maka dia
harus berputar lebih cepat lagi dan karenanya kedudukannya menjadi lemah dan kepalanya
pening.
Mendengar ucapan suhunya ini, Sian Lun lalu teringat akan penjagaan diri yang amat praktis,
yakni ia menjaga kedudukan empat penjuru, dengan demikian, tanpa bersusah payah
memutar-mutar diri mengikuti gerakan penyerang, ia dapat menjaga diri dengan baik
sehingga ketika jurus ke dua puluh lewat, ia tetap dapat berdiri tak terkalahkan.
Liang Gi Cinjin melompat keluar dari kalangan pertandingan, lalu menuding ke arah Beng To
Siansu dan berkata sambil tertawa,
“Kakek curang! Kau telah membela muridmu!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 68
Beng To Siansu tersenyum, “Aku ingin sekali Sian Lun menerima warisanmu mempelajari
Pek-sim Kiam-hoat yang luar biasa, maka aku khawatir kalau-kalau kau lupa diri dan
merobohkannya. Bukankah sayang sekali?”
Liang Gi Cinjin tertawa bergelak. “Dasar pemakan rumput! Lupakah kau bahwa orang yang
menguji kekauatan cawan araknya takkan membanting sampai hancur cawannya itu? Aku
suka anak ini dan tanpa kau membelanya, aku tak sampai hati untuk mengalahkannya. Ha, ha,
ha, aku gembira sekali, kini aku dapat mati dengan mata meram, ilmu pedangku yang buruk
sudah ada ahli warisnya, dan kalau toh kelak dicemarkan, yang rusak namanya bukan aku,
melainkan Beng To Siansu. Ha, ha!”
Akan tetapi ketawanya lenyap seketika setelah ia melihat Sian Lun menjatuhkan diri berlutut
di depan kakinya, sambil berkata, “Suhu teecu berterima kasih atas budimu yang besar.”
“Apa....... ? Siapa yang menjadi suhumu? Siapa yang menerimamu menjadi muridku?”
Tiba-tiba terdengar suara ketawa keras dan kini Beng To Siansu yang tertawa besar. “Ha, ha,
ha! Coba sekarang kau bilang, apakah kau masih bisa melepaskan tanggung jawabmu?
Bukankah Sian Lun telah menjadi muridmu? Ha, ha, ha!”
Dengan mata terbelalak, Liang Gi Cinjin membanting-banting kakinya. “Dasar guru dan
muridnya sama, sudah bersekongkol. Sudahlah, Sian Lun, lekas kau panggang daging ular itu
baik-baik. Jangan dibuang kepalanya, aku paling suka itu. Dan ekornya untuk kau, mengerti
?”
Sian Lun menjadi bingung. Telah bertahun-tahun ia tidak makan daging seperti suhunya,
bagaimana sekarang ia harus makan. Akan tetapi keheranannya lenyap dan ia bahkan merasa
girang dan lega ketika Beng To Siansu berkata,
“Ketahuilah, Sian Lun. Ular ini bukanlah ular sembarangan, akan tetapi ular pohon yang
jarang terdapat. Daging ular ini mengandung daya yang luar biasa sekali baik untuk
membersihkan darah, menghangatkan perut dan menguatkan jantung. Daging ular ini
dimakan orang yang mengerti bukan karena enak, akan tetapi dimakan sebagai semacam obat
kuat.
Kepalanya amat baik untuk orang tua sehingga Liang Gi Cinjin gurumu ini makan kepalanya
mungkin dengan maksud agar usianya menjadi sepanjang mungkin. Adapun ekornya itu
adalah semacam obat kuat yang keras sekali, baik untuk orang-orang muda!”
Tahulah kini Sian Lun mengapa suhunya suka ikut makan, karena suhunya dulu pernah
berkata ketika melarang ia makan daging.
“Sesungguhnya makan daging mahluk bernyawa dengan maksud hanya untuk memuaskan
selera mulut, termasuk perbuatan yang tidak sesuai dengan alam. Lain lagi halnya tubuh,
sehingga kita memakannya bukan dengan maksud memuaskan lidah akan tetapi dengan
maksud yang lebih luas dan baik dari pada itu.”
Sehabis makan Liang Gi Cinjin lalu berkata dengan wajah sungguh-sungguh, “Sian Lun,
karena kau telah mengangkat aku sebagai gurumu yang kedua, maka kau harus menurut
segala peraturan yang kuadakan.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 69
“Memang demikianlah seharusnya,” Beng To Siansu menyambung sambil bangkit berdiri.
“Nah, Sian Lun, sekarang aku serahkan kau kepada sahabat baikku ini untuk dididik.
Belajarlah baik-baik, dan jangan menyia-nyiakan waktu.” Kakek ini lalu masuk ke dalam goa
untuk bersamadhi, meninggalkan mereka berdua di luar goa.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru