Senin, 04 September 2017

KhoPingHoo Kisah Si Bangau Putih 6

KhoPingHoo Kisah Si Bangau Putih 6 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf KhoPingHoo Kisah Si Bangau Putih 6
kumpulan cerita silat cersil online
-
"Hemmm, bagus! Ada saja alasanmu untuk membantu pemerintah penjajah Mancu. Nah, sekarang
bersiaplah untuk menandingi aku!" kata Ouwyang Sianseng yang juga mengeluarkan sebuah kipas dengan
tangan kirinya untuk mengipasi badan, sedangkan tangan kanannya menghunus sebatang pedang!
Ouwyang Sianseng tidak tahu bahwa sejak tadi Kam Hong telah siap siaga. Sikapnya berdiri tegak dengan
kipas terpentang mengipasi leher ini adalah gerak pembukaan dari ilmu silat Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas
Pengacau Lautan). Namun bagaimana pun juga, hati Ouwyang Sianseng sudah merasa gentar, apa lagi
ketika melihat betapa di luar telah terjadi pertempuran antara pasukan pemerintah dan pasukan
pemberontak.
Maka dia pun tidak mau membuang waktu lagi. Walau pun mulutnya menantang agar lawan bersiap,
namun pedangnya sudah menyambar, diikuti serangan kipasnya yang tidak kalah dahsyatnya
dibandingkan dengan gerakan pedangnya.
Namun Kam Hong dengan gerakan tenang mengebutkan kipasnya. Angin yang aneh berputaran meniup
ke arah lawan, dan disusul gulungan sinar emas yang mengeluarkan suara melengking bagai suling ditiup
dan dimainkan seorang ahli. Dari gulungan sinar keemasan itu mencuat sinar yang menyambar ke arah
Ouwyang Sianseng, sedangkan putaran kipas tadi merupakan perisai putih yang telah menangkis dua
serangan bekas pembesar di Birma itu.
Terjadilah perkelahian yang amat hebat antara dua orang tua itu. Hebat dan aneh, dan biar pun mereka
bergerak kadang-kadang amat lambat, akan tetapi angin pukulan yang keluar dari kedua buah kipas,
sebatang pedang dan sebatang suling itu amat kuatnya sehingga orang-orang lain tidak berani mendekati
dua orang jago tua itu.
Melihat betapa Thian Kek Sianjin amat repot menghadapi pengeroyokan Gu Hong Beng dan Suma Lian,
maka Thian Kok Cinjin cepat bergerak maju dengan tongkatnya. Suma Lian menyambut kakek ini dan
membiarkan Gu Hong Beng menghadapi Thian Kek Sengjin. Maka terjadilah perkelahian yang seru antara
gadis perkasa itu dengan ketua Pat-kwa-pai, tidak jauh dari perkelahian antara Hong Beng dan tokoh Peklian-
pai, yaitu Thian Kek Sengjin.
Sementara itu, melihat Sin-kiam Mo-li, Kao Hong Li sudah tidak sabar lagi. Itulah iblis betina yang dahulu
melakukan penyerbuan ke Istana Gurun Pasir dan bersama kawan-kawannya menyebabkan kematian
kakek dan neneknya.
"Sin-kiam Mo-li, lihat baik-baik, siapa aku! Akulah yang akan mencabut nyawamu agar engkau dapat
bertemu dengan roh kakek dan nenekku di sana!" bentaknya sambil melompat ke depan wanita itu.
Sin-kiam Mo-li memandang tajam dan ia mengenal Hong Li sebagai gadis yang pernah dikeroyoknya
bersama Toat-beng Kiam-ong dan kawan-kawannya, akan tetapi mereka kemudian terpaksa melarikan diri
saat muncul Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Akan tetapi, mendengar bentakan Hong Li, ia
memandang lebih teliti.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku adalah Kao Hong Li, lupakah engkau kepadaku, iblis busuk?" Hong Li kembali membentak.
"Ahhh...!" Sin-kiam Mo-li terkejut dan baru ia mengenal gadis itu.
Pada waktu Hong Li masih berusia tiga belas tahun, pernah dia menculik gadis ini dan mengambilnya
sebagai murid, bahkan ia mulai merasa suka dan sayang kepada gadis itu. Sekarang gadis itu telah
dewasa dan bahkan harus berhadapan dengannya sebagai seorang musuh.
Ia tidak sempat banyak bicara karena Hong Li telah menyerangnya dengan sepasang pedang. Untuk
penyerbuan itu dan menghadapi musuh-musuh yang tangguh, Hong Li sudah mempersiapkan diri dan kini
membawa sepasang pedang, langsung menyerang lawan tangguh itu dengan permainan ilmu Siang-mo
Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang dipelajari dari ibunya.
Sin-kiam Mo-li sudah maklum akan kelihaian gadis ini, maka dia pun cepat mencabut pedang dan
kebutannya, menangkis serangan Hong Li dan balas menyerang dengan ganasnya. Segera terjadi
perkelahian sengit antara kedua orang wanita ini.
Seperti halnya Ouwyang Sianseng, Siangkoan Lohan juga bingung melihat penyerbuan pasukan
pemerintah secara mendadak dan pihaknya harus berhadapan dengan banyak pendekar yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi. Kini ia dihadapi oleh Suma Ceng Liong, keluarga Pulau Es paling lihai pada jaman
itu.
Pendekar ini maklum bahwa di antara para pimpinan pemberontak itu, yang paling lihai adalah Ouwyang
Sianseng dan Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang. Oleh karena Ouwyang Sianseng kini sudah dilawan
oleh ayah mertuanya, maka dia pun cepat maju menghadapi Siangkoan Lohan yang segera menyerang
dengan hun-cwe emasnya.
Sin Hong juga tak mau tinggal diam. Melihat betapa kedua orang pimpinan pemberontak yang paling lihai
itu sudah dihadapi dua orang locianpwe yang dia tahu amat sakti, dia pun segera menerjang Siangkoan
Liong, orang ke tiga yang paling lihai di antara pihak musuh.
Siangkoan Liong menyambut serangan Sin Hong dengan pedangnya, dan putera ketua Tiat-liong-pang
yang juga adalah murid tunggal Ouwyang Sianseng ini berusaha keras untuk merobohkan lawan dengan
pedangnya. Akan tetapi biar pun bertangan kosong, ternyata Sin Hong merupakan lawan yang sangat
tangguh sehingga perkelahian antara mereka tak kalah serunya dengan perkelahian lain yang terjadi di
tempat itu.
Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek mendapatkan lawan yang amat berat baginya, yaitu nenek Bu Ci Sian
yang mempergunakan sebatang suling emas, persis seperti yang kini sedang dimainkan oleh suaminya,
Kam Hong, hanya ukurannya yang lebih kecil sedikit.
Hok Yang Cu, tokoh Pat-kwa-pai yang pendek botak dan menggunakan senjata sabuk yang ujungnya
dipasangi pisau beracun, senjata yang baru dibuatnya karena yang lama telah putus ketika dia
mengeroyok Sin Hong dan Hong Li, kini dihadapi oleh seorang lawan yang juga sangat berat baginya, yaitu
Kam Bi Eng yang juga seperti ayah dan ibunya, mempergunakan senjata sebatang suling emas!
Nenek Hek-sim Kui-bo, seorang di antara kaki tangan pemberontak yang lihai, dihadapi oleh Pouw Li Sian.
Gadis ini baru saja dibebaskan oleh Sin Hong dan telah merampas sebatang pedang dari para penjaga
yang mereka robohkan. Kini gadis itu dengan sengit menyerang nenek bongkok kurus hitam itu, yang
segera menangkis dengan tongkatnya dan membalas pula dengan tak kalah serunya.
Ada pun Cu Kun Tek, ketika dibebaskan mendengar dari Sin Hong bahwa Ci Hwa tewas karena lukalukanya
yang diperoleh ketika gadis itu bertempur melawan Ciu Hok Kwi yang berjuluk Tiat-liong Kiam-eng,
yang juga pernah menjadi piauwsu, murid utama dari Siangkoan Lohan. Kini Kun Tek telah menerjang
dengan sengitnya, menyerang Ciu Hok Kwi. Tadi pendekar ini juga merampas pedang dari seorang
penjaga karena pedangnya sendiri yaitu Koai-liong Po-kiam, telah dirampas oleh Ouwyang Sianseng.
Masih banyak sekali tokoh-tokoh sesat yang menjadi kaki tangan pemberontak dan kini dihadapi oleh para
pendekar. Bahkan sekarang para pendekar yang tadinya menanti kesempatan di beberapa tempat
persembunyian di daerah itu, setelah mendengar ribut-ribut penyerbuan pasukan ke sarang Tiat-liong-pang
dunia-kangouw.blogspot.com
sudah berdatangan dan membantu pasukan menggempur para pemberontak. Di antara mereka terdapat
pula Ciok Heng, putera Ciok Kim Bouw dengan banyak anggota Cin-sa-pang yang dipimpinnya.
Pertempuran antara para tokoh sesat melawan para pendekar ini seru bukan main, mati-matian dan satu
lawan satu, tidak seperti pertempuran yang terjadi di luar sarang. Pertempuran di luar itu adalah perang
antara pasukan pemerintah melawan pasukan pemberontak yang terdiri dari pasukan Mongol pimpinan
Agakai sebanyak lima ratus orang lebih, anak buah Tiat-liong-pang sendiri tidak kurang dari tiga ratus
orang, anak buah Ang-I Mo-pang antara lima puluh orang dan anak buah para tokoh sesat yang juga
membantu pemberontak.
Akan tetapi, jumlah mereka tidak lebih dari seribu orang, sedangkan Liu Tai-ciangkun sudah mengerahkan
pasukan yang jumlahnya tidak kurang dari tiga ribu orang! Tentu saja gelombang besar pasukan penyerbu
yang melakukan serangan tiba-tiba dan sama sekali tidak pernah diduga oleh pasukan pemberontak,
membuat para pemberontak itu kewalahan dan mereka terus didesak mundur dan terhimpit karena sarang
pemberontak itu sudah dikepung dari empat penjuru oleh pasukan pemerintah.
Apa lagi para pimpinan pemberontak sendiri sibuk di sebelah dalam sarang menghadapi penyerbuan para
pendekar yang berilmu tinggi sehingga mereka tidak sempat lagi untuk memimpin pasukan mereka. Hal ini
tentu saja membuat pasukan pemberontak menjadi semakin panik akibat kehilangan komando.
Pada setiap pertempuran antara para pendekar melawan para tokoh sesat juga jelas memperlihatkan
bahwa pihak para pendekar rata-rata mulai bisa mendesak musuhnya. Hanya Kao Hong Li yang belum
mampu mendesak Sin-kiam Mo-li. Memang wanita iblis itu lihai bukan main dengan pedang di tangan
kanan dan kebutan di tangan kirinya.
Masih untung bagi Kao Hong Li bahwa ia berhasil merampas sepasang pedang dari penjaga sehingga kini
ia dapat menghadapi Sin-kiam Mo-li dengan permainan Siang-mo Kiam-sut. Akan tetapi, sepasang
pedangnya adalah pedang biasa, maka gadis ini yang dapat menduga bahwa pedang di tangan Sin-kiam
Mo-li tentulah pedang pusaka, tidak berani mengadu pedang secara langsung, khawatir kalau pedangnya
akan rusak atau patah.
Dan kebutan di tangan kiri wanita iblis itu amat berbahaya, menyambar-nyambar ganas dengan setiap bulu
kebutan yang mengandung racun jahat. Maka dari itu, Hong Li sama sekali tidak mampu mendesak Sinkiam
Mo-li dan untuk melindungi tubuhnya, gadis itu memainkan Siang-mo Kiam-sut sebaik mungkin,
mengerahkan pada bagian pertahanan dengan memutar dua pedangnya bersilang yang merupakan
benteng kuat atau perisai yang melindungi tubuhnya dengan ketat. Tak mudah bagi pedang dan kebutan
Sin-kiam Mo-li membobol gulungan sinar kedua pedang yang menjadi perisai itu.
Siangkoan Liong repot sekali menghadapi Sin Hong. Meski dia menggunakan sebatang pedang dan
lawannya itu bertangan kosong, namun tingkat kepandaian Sin Hong masih jauh berada di atasnya
sehingga biar hanya bertangan kosong, Sin Hong selalu dalam posisi mendesaknya. Serangan pedang
Siangkoan Liong selalu bisa dielakkan oleh Sin Hong dengan baiknya, bahkan beberapa kali hampir saja
pedang itu dapat dirampas.
Dengan ilmu silatnya yang bermacam-macam dan kesemuanya adalah ilmu silat tingkat tinggi, Sin Hong
terus mendesak Siangkoan Liong. Sepasang tangan kosong Sin Hong tiada bedanya dengan dua buah
senjata yang ampuh. Dengan tamparan-tamparannya yang mendatangkan angin pukulan dahsyat, Sin
Hong terus membuat Siangkoan Liong hanya dapat mengelak sambil berlompatan mundur, dan
mengelebatkan pedang untuk mencoba membacok lengan Sin Hong. Akhirnya sebuah tendangan dari Sin
Hong yang ditujukan ke arah perut dan dielakkan oleh Siangkoan Liong, masih mengenai pinggir
pinggangnya, membuat tubuh Siangkoan Liong terpelanting keras!
Sin Hong yang teringat akan sikap Ci Hwa sebelum gadis itu meninggal, betapa gadis itu memaki
Siangkoan Liong yang telah menodainya, kini menerjang ke depan. Orang seperti pemuda itu berbahaya
sekali, pikirnya, amat jahat, maka sudah sepatutnya kalau diakhiri saja hidupnya. Melihat lawannya
terpelanting, Sin Hong berniat untuk mengirim pukulan susulan yang mematikan.
Akan tetapi tiba-tiba nampak sinar terang dan terdengar bunyi seperti auman binatang buas. Sinar itu
menyambar ke arah Sin Hong bagaikan seekor naga yang menubruk. Sin Hong terkejut sekali dan
berjungkir balik ke belakang untuk menghindarkan diri dari tusukan pedang yang luar biasa ampuhnya itu.
Dia tidak tahu bahwa itulah pedang Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) milik Cu Kun Tek
yang dirampas oleh Ouwyang Sianseng dan telah diberikan kepada muridnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dalam saat yang amat gawat bagi keselamatan dirinya, setelah terpelanting, Siangkoan Liong lalu
mencabut pedang pusaka rampasan itu dan menusuk dari bawah. Berkat keampuhan Koai-liong Po-kiam,
maka terhindarlah dirinya dari bahaya maut karena Sin Hong yang terkejut mengurungkan serangannya
dan berjungkir balik ke belakang.
Pada saat itu terjadi perubahan menarik pada pertempuran antara Ouwyang Sianseng dan Kam Hong.
Mereka berdua kini lebih mengandalkan tenaga sakti mereka. Maklum, keduanya adalah tokoh-tokoh tua.
Usia Ouwyang Sianseng telah mendekati tujuh puluh tahun, demikian pula dengan Kam Hong.
Betapa pun lihai dan kuatnya seseorang, tubuhnya hanya terbuat dari darah dan daging diperkuat oleh
tulang belaka. Tulang-tulang tua dapat rapuh, daging pun mengendur, dan tubuh tak terhindarkan dari
kelemahan dimakan usia dari dalam. Maka, jika orang-orang seusia mereka hendak mengandalkan tenaga,
tentu mereka tidak akan mampu bertahan lama.
Mereka bertanding dengan gerakan yang lambat, tapi setiap gerakan itu mengandung tenaga dalam, tidak
menggunakan tenaga luar yang dibutuhkan untuk bergerak cepat. Dan dalam hal tenaga dalam ini,
ternyata tingkat mereka seimbang!
Jika keduanya masih muda, tentu kakek Kam Hong akan bisa mengalahkan lawannya tanpa banyak
kesulitan, mengandalkan ilmunya yang sulit dicari bandingannya di dunia ini. Mungkin hanya ilmu-ilmu dari
Pulau Es dan Istana Gurun Pasir sajalah yang dapat menandingi tingkat ilmu suling dan kipas dari
Pendekar Suling Emas itu.
Betapa pun juga, karena memang kalah tinggi ilmunya, ketika kedua kipas bertemu di udara terdengar
suara keras dan kipas di tangan Ouwyang Sianseng robek! Kam Hong mempergunakan kesempatan ini
untuk mendesak. Sulingnya menyambar, menotok ke arah pelipis, dan kipasnya juga menyambar,
gagangnya menotok ke lambung.
Ouwyang Sianseng yang masih terkejut karena robeknya senjata kipas di tangannya, cepat mundur sambil
mengelebatkan pedangnya untuk membalas, ditusukkan ke arah kipas lawan untuk membuat kipas itu
robek. Akan tetapi, pada saat itu, sinar kuning emas menyambar dari atas, menghantam pedangnya.
"Tranggggg...!"
Keras sekali hantaman suling emas itu, membuat tangan Ouwyang Sianseng tergetar dan ujung
pedangnya patah! Kakek itu terkejut sekali, lalu mencabut sebatang pedang dari balik jubahnya. Begitu
pedang itu dicabut, Kam Hong terbelalak, lalu bergidik. Dia mengenal sebatang pedang yang ampuhnya
menggiriskan hati. Baru hawanya saja sudah membuat orang menggigil, dan begitu pedang dicabut, dan
digerakkan, tercium bau yang dapat membuat orang muntah. Pedang itu pun mengeluarkan sinar abu-abu
kehitaman, sinar maut! Itulah pedang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun)!
Seperti diketahui, ketika menyerbu ke Istana Gurun Pasir, Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya berhasil
menewaskan tiga orang tua sakti di sana, walau pun mereka sendiri hampir habis terbasmi. Hanya Sinkiam
Mo-li, Thian Kong Cinjin, dan Thian Kek Sianjin saja yang masih hidup walau pun menderita lukaluka.
Dan Sin-kiam Mo-li yang cerdik dapat menyita dua batang pedang pusaka dari Istana Gurun Pasir,
yaitu Cui-beng-kiam dan Ban-tok-kiam.
Ketika ia dan kawan-kawannya bergabung dengan para pemberontak, melihat kesaktian Ouwyang
Sianseng, Sin-kiam Mo-li lalu menyerahkan sebatang di antara dua batang pedang rampasan itu, yaitu
Ban-tok-kiam. Ada pun pedang yang ke dua, Cui-beng-kiam, kemudian disimpannya sendiri.
Ouwyang Sianseng adalah orang yang amat cerdik, juga memiliki ambisi besar. Begitu melihat betapa dia
dan kawan-kawannya tertipu, dan pasukan yang datang bukanlah pasukan pemerintah yang bersekutu
melainkan pasukan yang menyerang dalam jumlah yang amat besar, dan melihat pula munculnya para
pendekar yang sebagian memiliki kesaktian hebat, dia pun maklum bahwa dia sudah kalah dalam
permainannya sendiri. Kini, yang terpenting adalah menyelamatkan dirinya sendiri.
Karena itu, melihat betapa kakek Kam Hong yang membuatnya jeri itu nampak gentar melihat dia
mengeluarkan Ban-tok-kiam, Ouwyang Sianseng segera memutar pedang itu dan meloncat ke belakang,
menyelinap di antara para anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang membantu para tokoh sesat
menghadapi para pendekar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kam Hong tidak mengejarnya dan hanya menarik napas panjang. Dia masih tertegun melihat pedang tadi.
Pendekar ini pun teringat akan pedang yang disebut Ban-tok-kiam, sebuah di antara pusaka Istana Gurun
Pasir dan dia kagum bukan main, juga ngeri membayangkan kehebatan pedang itu.
Pada saat Ouwyang Sianseng melompat ke belakang dan melarikan diri menyelinap di antara para
anggota Pek-lian-pai itulah yang menarik perhatian Siangkoan Liong. Pada saat itu, Sin Hong tengah
berjungkir balik ke belakang sebab terkejut sekali menghadapi serangan pedang Koai-liong Po-kiam.
Siangkoan Liong tidak mendesak Sin Hong lebih jauh karena bagaimana pun juga, dia sudah merasa jeri
menghadapi pemuda berpakaian putih itu. Sekarang melihat gurunya melarikan diri, tanpa berpikir dua kali
Siangkoan Liong juga melompat ke belakang dan menyelinap di antara para anggota Pat-kwa-pai dan
menghilang.
Sin Hong juga tidak mengejar karena di situ terdapat banyak lawan. Dia menoleh ke arah Kao Hong Li
yang bertanding melawan Sin-kiam Mo-li dan terkejutlah pemuda ini. Tadinya dia tidak khawatir akan
keselamatan Hong Li melihat gadis ini cukup lihai untuk mengimbangi permainan Sin-kiam Mo-li. Akan
tetapi kini Hong Li terdesak hebat sekali, bahkan sepasang pedangnya rusak-rusak, sedangkan Sin-kiam
Mo-li dengan senyum menyeringai terus mendesak dengan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar
yang sangat menyeramkan.
Itulah pedang pusaka Cui-beng-kiam! Pedang ini, seperti juga Ban-tok-kiam merupakan pusaka Istana
Gurun Pasir dan sudah puluhan tahun tidak pernah dipergunakan orang. Sekarang, di tangan Sin-kiam Moli,
pedang itu menjadi senjata iblis yang haus darah! Gulungan sinarnya mengandung hawa yang mukjijat,
dan jelas nampak betapa Hong Li merasa ngeri dan jeri menghadapi desakan pedang yang tadi telah
merusak sepasang pedangnya itu. Gadis ini terus main mundur sambil memutar kedua pedangnya sekuat
tenaga untuk melindungi tubuhnya dari ancaman Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) yang
menggiriskan itu.
"Kembalikan pedang itu!" Tiba-tiba Sin Hong membentak.
Tubuh Sin Hong sudah melesat ke depan, langsung saja dia menyerang Sin-kiam Mo-li dengan jurus
ampuh dari Pek-ho Sin-kun. Tenaga yang terkandung dalam sambaran tangan Sin Hong itu hebat bukan
main, membuat Sin-kiam Mo-li menjadi gugup dan memaksa wanita ini menangkis dengan kebutannya.
"Plak! Pyarrr...!"
Kebutan itu rontok bulunya hingga berhamburan dan tubuh Sin-kiam Mo-li terjengkang. Namun, ia
bergulingan dan memutar pedang Cui-beng-kiam. Pedang ini mengeluarkan sinar kilat bergulung-gulung
sehingga Sin Hong tidak berani mendesak. Kesempatan ini kemudian digunakan oleh Sin-kiam Mo-li untuk
cepat-cepat meloncat dan menyelinap di antara kawan-kawannya yang sedang berkelahi melawan para
pendekar.
Sin Hong mencoba untuk mengejar, akan tetapi wanita itu sudah lenyap dan dia yang mengkhawatirkan
keselamatan Hong Li segera mendekati gadis itu.
"Bagaimana denganmu? Engkau tidak terluka, bukan?"
Hong Li menggeleng kepala dan tersenyum. Bukan main gadis ini, pikir Sin Hong, baru saja terlepas dari
ancaman maut, bahkan wajahnya masih basah dengan keringat, akan tetapi sudah mampu tersenyum
demikian manisnya!
"Tidak, berkat pertolonganmu, Susiok."
Mereka tak sempat bicara banyak karena perkelahian masih berlangsung, lalu mereka segera terjun ke
dalam kancah pertempuran, membantu para pendekar. Kini keadaan menjadi semakin berat sebelah
setelah tiga orang terpenting di antara para pimpinan pemberontak itu melarikan diri.
Pertama-tama Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek yang mendapat lawan berat sekali, yaitu nenek Bu Ci
Sian. Tingkat kepandaian si raja pedang ini jauh berada di bawah tingkat kepandaian nenek itu. Sejak
semula, dengan suling emasnya, nenek itu sudah menekan dan mengurung, membuat si raja pedang itu
tidak mampu mengembangkan permainan pedangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akhirnya, kaki kiri nenek itu sempat menyentuh lututnya, membuat Toat-beng Kiam-ong setengah berlutut.
Sebelum dia mampu bangkit kembali, ujung suling sudah mengetuk ubun-ubun kepalanya dan dia pun
roboh tewas seketika karena isi kepalanya tergetar dan batok kepalanya retak!
Sungguh sayang sekali. Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek sebenarnya bukan seorang penjahat. Tadinya
dia pun pernah terkenal sebagai seorang pendekar yang lihai, pernah menjadi murid Bu-tong-pai yang
patuh. Akan tetapi, dia mempunyai satu kelemahan, yaitu terhadap wanita cantik. Inilah yang
menjerumuskannya ke lembah hitam.
Karena dia tergila-gila kepada wanita cantik dan selalu mengejar kesenangan ini, maka dia pun terjerumus,
tidak pantang lagi melakukan kejahatan dan kekejaman demi untuk memenuhi keinginan hatinya. Makin
lama dia pun semakin dalam terjerumus, apa lagi pergaulannya dengan para tokoh sesat makin
menyelewengkannya dan akhirnya dia harus tewas secara menyedihkan.
Melihat betapa Suma Lian yang tengah memutar suling emasnya itu belum juga mampu menandingi
kelihaian Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-pai yang memang bukan main lihai itu, Hong Li tidak
membuang banyak waktu. Segera ia terjun dan sepasang pedangnya lalu menyambar-nyambar dengan
dahsyatnya, merupakan sinar maut yang menyambar ke arah Thian Kong Cinjin.
Bukan main kagetnya kakek ini. Tadinya ia merasa lega bahwa ia hanya dilawan oleh seorang gadis muda
yang biar pun lihai dengan suling emasnya, akan tetapi dalam hal pengalaman jauh kalah olehnya. Ketua
Pat-kwa-pai ini sudah berusia tua sekali, hampir delapan puluh tahun. Akan tetapi sebagai seorang wakil
ketua Pat-kwa-pai, tentu saja ilmu kepandaiannya tinggi.
Sebetulnya, kalau dibuat perbandingan, Suma Lian lebih lihai dari pada kakek ini, apa lagi mengingat
bahwa kakek yang menjadi lawannya itu sudah tua sekali. Sepandai-pandainya orang, dan sekuat-kuatnya
orang, takkan mungkin dapat melawan usianya sendiri. Usia tua akan menggerogotinya dari dalam,
menghabiskan semua tenaga dan kesaktiannya.
Demikian pula keadaan Thian Kong Cinjin. Sesungguhnya lawan yang muda itu berat sekali baginya. Akan
tetapi, berkat pengalamannya yang banyak, dia masih mampu bertahan, bahkan dengan permainan
tongkatnya yang luar biasa dia tidak membiarkan gadis itu mendesaknya.
Begitu Kao Hong Li turut terjun membantu Suma Lian dengan permainan sepasang pedangnya yang
hebat, tentu saja kakek Thian Kong Cinjin menjadi repot bukan main. Mengalahkan seorang Suma Lian
saja dia belum juga mampu, kini ditambah lawan yang juga merupakan seorang gadis yang amat lihai,
yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es dan Gurun Pasir!
Permainan tongkatnya menjadi kacau dan ia tidak mampu menghindarkan diri lagi saat suling di tangan
Suma Lian menyambar dan menotok dadanya. Dia berteriak keras dan tubuhnya terpelanting roboh,
namun dia masih cukup kuat walau pun dadanya terasa nyeri dan napasnya terengah-engah. Pada waktu
dia bergerak hendak meloncat bangun dengan muka pucat dan dada sesak, sinar pedang di tangan Hong
Li menyambar dan tusukan pedangnya tepat menembus leher kakek wakil ketua Pat-kwa-pai itu.
Mata Thian Kong Cinjin melotot. Tongkatnya menyambar ke arah Hong Li dari bawah, dan ketika gadis itu
dengan cekatan melompat ke belakang untuk mengelak, tongkat itu terus menyambar ke arah kepala
kakek itu sendiri. Terdengar suara keras dan kakek itu pun roboh dan tak berkutik lagi, kepalanya pecah
karena dipukulnya sendiri. Agaknya dia memilih mati di tangan sendiri dari pada di tangan lawan, setelah
menderita luka parah karena totokan suling di dadanya dan tusukan pedang yang menembus lehernya.
Melihat lawannya telah tewas, Suma Lian dan Kao Hong Li mengamuk terus, membantu kawan-kawan
lainnya menghadapi para tokoh sesat yang membantu pemberontakan. Terutama sekali mereka berdua
menghadapi para anggota Pek-lian-pai karena mereka itulah yang merupakan lawan-lawan lihai dari para
pendekar.
Sementara itu, Sin Hong juga sudah membantu Gu Hong Beng yang nampak terdesak pula oleh Thian Kek
Sengjin, tokoh Pek-lian-pai yang amat lihai itu. Memang Hong Beng belum kalah, akan tetapi pemuda itu
kerepotan juga menghadapi tongkat naga hitam dari tokoh Pek-lian-pai itu.
Begitu Sin Hong berkelebat masuk ke dalam gelanggang pertempuran membantu Hong Beng, kakek itu
cepat menyambutnya dengan pukulan tongkat naga hitam, mengarah kepala Sin Hong. Dia maklum akan
dunia-kangouw.blogspot.com
kehebatan pemuda ini, maka begitu menyerang, dia lantas mengerahkan segenap tenaganya. Tongkat
berbentuk naga hitam itu berkelebat dan lenyap bentuknya, berubah menjadi seberkas gulungan sinar
hitam panjang yang mengeluarkan bunyi desir angin.
Namun Sin Hong tidak mengelak, bahkan mengangkat lengan kanannya ke atas untuk menangkis tongkat
hitam, sedangkan tangan kirinya membentuk moncong bangau, lalu menotok ke depan sambil
melangkahkan kaki maju mendekati lawan. Moncong bangau itu menotok ke arah ulu hati lawan.
"Takkk!"
Lengan pemuda itu bertemu tongkat, dan Thian Kek Sengjin merasa betapa lengannya tergetar hebat.
Pemuda itu telah menangkis tongkat dengan lengan begitu saja, dan membuat tongkatnya terpental serta
lengannya tergetar dan telapak tangannya terasa panas.
Pada saat itu Hong Beng telah menyerang dari samping dengan sepasang pedangnya. Pedang kiri
membacok kepala dan pedang kanan menyusul cepat menusuk dari bawah menuju lambung! Thian Kek
Sengjin yang masih merasa amat kaget dan getaran akibat benturan lengan Sin Hong tadi masih belum
lenyap, menggerakkan tongkatnya hendak menangkis sinar pedang yang membacok kepalanya, tapi dia
terlambat menghindarkan diri dari tusukan pedang dari bawah.
Pedang di tangan Hong Beng itu menembus lambungnya. Darah muncrat dan kakek itu pun roboh dan
tewas. Seperti juga Suma Lian dan Kao Hong Li, setelah melihat betapa tokoh Pat-kwa-pai itu roboh, Sin
Hong dan Hong Beng lalu melanjutkan amukan mereka dengan membantu para pendekar menghadapi
para tokoh sesat lainnya.
Perkelahian antara para pendekar dan para tokoh sesat kini tak berlangsung lama. Hok Yang Cu yang
pendek botak itu mendapatkan lawan yang terlalu berat baginya yaitu pendekar wanita Kam Bi Eng yang
sangat lihai ilmu silatnya dengan suling emasnya. Nyonya Suma Ceng Liong ini tanpa mengalami banyak
kesulitan akhirnya merobohkan dan menewaskan Hok Yang Cu dengan totokan ujung suling emasnya
pada beberapa jalan darah yang mematikan.
Juga nenek iblis Hek-sim Kui-bo tidak kuat melawan Pouw Li Sian. Gadis yang perkasa ini menggunakan
senjata pedang rampasannya, mendesak terus dan akhirnya sebuah tusukan pada dada nenek itu
membuat Hek-sim Kui-bo roboh dan tewas.
Perkelahian antara Cu Kun Tek dan Tiat-liong Kiam-eng Ciu Hok Kwi berjalan dengan seru dan seimbang.
Tidak percuma Ciu Hok Kwi menjadi murid pertama Siangkoan Lohan dan berjuluk Tiat-liong Kiam-eng
(Pendekar Pedang Naga Besi), karena ilmu pedangnya memang hebat dan tenaganya juga kuat sekali.
Akan tetapi, walau pun dia tidak dapat dirobohkan oleh Cu Kun Tek, dia sendiri pun mengalami kesukaran
untuk mengalahkan pemuda tinggi besar yang gagah perkasa, pendekar muda dari Lembah Naga Siluman
ini.
Cu Kun Tek memang sudah kehilangan pedang pusakanya, yaitu Koai-long Po-kiam yang dirampas oleh
Siangkoan Liong. Tetapi ia tidak kehilangan ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut, dan biar pun dia hanya
mempergunakan sebatang pedang rampasan, namun permainan pedangnya masih sangat hebat dan
membuat Ciu Hok Kwi terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk dapat
mengimbangi permainan pedang lawan.
Selagi kedua orang ini saling serang dengan hebatnya, tiba-tiba nampak berkelebatnya bayangan putih
dan tahu-tahu Sin Hong telah berdiri di antara mereka.
"Saudara Cu Kun Tek, harap berikan orang ini kepadaku, dia adalah musuh besarku!" kata Sin Hong.
Mendengar ini, Cu Kun Tek yang tadi bersama Pouw Li Sian dibebaskan oleh Sin Hong, mengangguk dan
dia pun menggunakan pedangnya untuk membantu para pendekar lain, mengamuk di antara para tokoh
sesat.
Ada pun Sin Hong kini berhadapan dengan Ciu Hok Kwi. Keduanya saling pandang dan sinar mata Sin
Hong mengeluarkan sinar berkilat. Dia memang marah sekali, bukan hanya karena orang ini yang telah
membunuh ayah kandungnya, melainkan terutama sekali karena dia juga telah membunuh pula Kwee Ci
Hwa.’
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia tahu bahwa orang ini hanya kaki tangan Tiat-liong-pang. Akan tetapi orang seperti Ciu Hok Kwi ini amat
jahat dan berbahaya sekali karena pandai bersandiwara sehingga mendiang ayahnya sendiri kena
dikelabui. Bahkan dia sendiri pun kena ditipu dan telah sempat menaruh kepercayaan kepada bekas
‘pembantu’ ayah kandungnya ini.
"Ciu Hok Kwi, sekarang engkau hendak berkata apa lagi? Kiranya semua pembunuhan itu engkaulah yang
melakukannya, terhadap ayah kandungku, terhadap orang she Lay, dan juga Kwee Ci Hwa."
Mendengar ini, Ciu Hok Kwi yang sudah tahu bahwa dia pun tidak akan dapat melarikan diri dan terpaksa
harus melawan sampai mati, tersenyum mengejek kemudian berkata, "Engkau baru tahu? Alangkah
bodohnya! Memang aku yang telah mengatur semua itu, demi perjuangan Tiat-liongpang, membunuh
ayahmu, anak buahnya, dan orang she Lay yang berkhianat. Akulah yang... ha-ha-ha, mempermainkan
Kwee Ci Hwa sepuas hatiku lalu membunuhnya! Habis, engkau mau apa?"
Keterangan tambahan dari Ciu Hok Kwi bahwa dia pun telah mempermainkan Ci Hwa, menambah api
yang waktu itu sedang berkobar di kepala Sin Hong. Kiranya sebelum membunuhnya, orang ini telah
mempermainkan Ci Hwa! Kini baru dia mengerti.
Ci Hwa telah mengorbankan diri, dalam usahanya menyelamatkan Gu Hong Beng, Cu Kun Tek dan Pouw
Li Sian. Gadis itu telah berhasil merayu Ciu Hok Kwi, menyerahkan diri, agaknya demikian melihat
pengakuan Ciu Hok Kwi tadi, dan berhasil mencuri kunci dan membebaskan tiga orang tawanan itu
sebelum ia kembali ke kamar dan berusaha membunuh Ciu Hok Kwi akan tetapi malah terluka parah dan
biar pun akhirnya dapat dibebaskan, tetap saja tewas karena luka-luka itu.
"Jahanam, engkau memang jahat sekali!" kata Sin Hong.
Ia pun menerjang ke depan dengan kedua tangan digerakkan bagai leher dan moncong burung bangau.
Dalam kemarahannya, begitu menyerang dia telah mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu silat tangan
kosong Pek-ho Sin-kun! Dari kedua tangannya itu menyambar angin pukulan yang dahsyat bukan main.
Melihat ini, Ciu Hok Kwi cepat mengelebatkan pedangnya membacok ke arah lengan yang meluncur ke
depan itu. Sin Hong sama sekali tidak menarik tangannya, bahkan sengaja menerima bacokan pedang itu
dengan lengannya.
"Takkk!"
Bukan lengan itu yang putus, melainkan pedang itu yang terpental bahkan terlepas dari pegangan tangan
Ciu Hok Kwi saking kerasnya pertemuan antara pedang dan lengan yang mengandung tenaga sinkang
yang amat hebat itu!
Dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga sinkang dari pemuda berpakaian putih ini kalau diingat betapa
mendiang kakek Kao Kok Cu, nenek Wan Ceng, dan kakek Tiong Khi Hwesio telah mengoperkan tenaga
mereka kepadanya dan ia telah memiliki tenaga gabungan dari tiga orang sakti yang semuanya terkandung
di dalam gerakan silat sakti Bangau Putih!
Ciu Hok Kwi terkejut bukan main, akan tetapi sebelum dia sempat mengelak, sebuah tendangan dari kaki
Sin Hong mengenai pahanya. Tubuhnya terpelanting sampai empat lima meter jauhnya dan kebetulan
sekali jatuh di dekat kaki Gu Hong Beng.
Melihat orang yang amat dibencinya ini terbanting keras dan merangkak hendak bangun Hong Beng
mengelebatkan pedangnya dan leher Ciu Hok Kwi yang sedang merangkak seperti anjing itu terbabat
pedang! Leher itu putus seketika dan kepalanya terpental, menggelinding sampai jauh.
Kini banyak di antara para pendekar yang melihat betapa para tokoh sesat yang terlihai sudah roboh,
berdiri menonton perkelahian yang berlangsung dengan amat hebatnya dan amat menarik, yaitu
perkelahian antara Suma Ceng Liong dan Siangkoan Lohan! Memang hebat sekali perkelahian antara dua
orang gagah perkasa ini!
Siangkoan Lohan atau yang bernama Siangkoan Tek, ketua Tiat-long-pang memang seorang yang amat
gagah perkasa. Tubuhnya tinggi kurus akan tetapi mukanya merah dengan jenggot panjang sampai ke
dada dan matanya mencorong seperti mata naga. Dia memiliki tenaga raksasa, bukan saja tenaga luar
dengan otot-ototnya, melainkan juga memiliki sinkang yang amat kuat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Banyak ilmu silat aneh dan lihai dikuasainya, bahkan dia menguasai pula ilmu gulat dari utara. Tendangan
mautnya Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa Kati) amat berbahaya, dan dia juga mempunyai ilmu silat Tiat-wi
Liong-kun (Silat Naga Ekor Besi) yang dimainkan dengan menggunakan tenaga dalam Liong-jiauw-kang
(Tangan Cakar Naga) yang amat dahsyat. Semua ini masih ditambah lagi dengan Kim-hun-cwe (Pipa
Tembakau Emas) sebagai senjata, maka lengkaplah Siangkoan Lohan sebagai seorang lawan yang amat
tangguh. Dia pun memiliki pengalaman berkelahi yang sudah puluhun tahun.
Akan tetapi, lawannya bukan pula orang sembarangan. Sungguh sial sekali bagi ketua Tiat-liong-pang itu
bahwa sekali ini dia mendapatkan lawan seorang pendekar besar, yaitu Suma Ceng Liong! Pendekar ini
adalah seorang cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, cucu yang paling pandai di antara semua cucu
pendekar sakti itu.
Sejak kecilnya, Suma Ceng Liong berbakat sekali dan selain ilmu-ilmu yang tinggi dari keluarga Pulau Es,
juga dia menguasai dengan amat baiknya beberapa macam ilmu aneh, di antaranya Coan-kut-ci (Jari
Penembus Tulang) semacam ilmu totokan yang amat dahsyat dari mendiang Hek I Mo-ong, seorang datuk
sesat yang pernah menjadi gurunya. Juga dia mahir ilmu sihir yang dipelajarinya dari ibunya.
Karena telah memiliki ilmu-ilmu yang demikian tingginya, juga karena seluruh tubuhnya telah dilindungi
tenaga sinkang yang membuatnya kebal, Suma Ceng Liong melawan Siangkoan Lohan hanya dengan
kedua tangan kosong saja!
Perkelahian antara kedua orang ini merupakan pertandingan yang paling menarik dan hebat. Semua
pendekar yang tak merasa perlu lagi membantu kawan-kawannya yang sedang membabat sisa orangorang
sesat, kini menonton dan tidak seorang pun di antara mereka berani membantu Suma Ceng Liong.
Sebagai seorang pendekar besar, tentu Suma Ceng Liong akan merasa tersinggung kalau perkelahiannya
melawan ketua Tiat-liong-pang ini dibantu orang lain.
Sin Hong sendiri yang sudah merasa gatal tangan untuk menghajar dan menundukkan ketua Tiat-liongpang
yang menjadi biang keladi semua kerusuhan ini, bahkan yang menjadi biang keladi kehancuran
keluarga ayahnya, juga hanya menonton saja seperti yang lain. Apa lagi dia, bahkan Kam Hong dan Bu Ci
Sian sendiri, sepasang suami isteri sakti yang menjadi mertua dari Suma Ceng Liong, juga hanya
menonton, demikian pula isterinya, Kam Bi Eng.
Ketika melihat betapa tempat itu dikelilingi para pendekar yang menonton, diam-diam hal ini mengecilkan
hati Siangkoan Lohan. Kalau para pendekar itu sudah duduk enak-enakan menonton, hal itu hanya berarti
bahwa semua pembantunya telah gagal dan telah roboh.
Dia tadi sudah merasa marah dan penasaran, juga menyesal dan kecewa melihat betapa Ouwyang
Sianseng melarikan diri, demikian pula Sin-kiam Mo-li dan puteranya sendiri. Diam-diam dia memaki
mereka sebagai pengecut-pengecut yang curang, yang ingin mendapatkan enaknya saja, dan tidak
bertanggung jawab kalau ada mala petaka menimpa, tidak setia kawan. Perasan ini, ditambah perasaan
gentar menghadapi para pendekar yang sudah mengurung tempat itu, setidaknya mempengaruhi
permainan kaki tangan ketua Tiat-liong-pang ini.
“Haiiiiittttt...!”
Melihat betapa semua pembantu utamanya telah roboh, Siangkoan Lohan yang sudah hampir putus asa
kini mengirim hantaman dengan hun-cwe mautnya. Dia menggunakan seluruh tenaganya karena dia ingin
mengakhiri perkelahian itu secepatnya, kalah atau menang, maka dia hendak mengadu tenaganya. Huncwe
menyambar menjadi sinar keemasan ke arah kepala Suma Ceng Liong.
Suma Ceng Liong juga percaya akan kekuatan sendiri, akan tetapi dia belum nekat seperti lawannya.
Kalau dia mengadu tenaga secara langsung, belum tentu dia kalah kuat, akan tetapi karena dia pun tahu
bahwa lawannya bertenaga besar, maka kalah menang akan membawa akibat yang merugikan dirinya,
setidaknya dia akan terguncang hebat.
Dia tidak sebodoh itu, maka dia pun menangkis sambaran hun-cwe itu bukan secara langsung dari depan,
melainkan dari samping sehingga mereka tidak mengadu tenaga dengan langsung. Pada saat itu, tangan
kiri ketua Tiat-liong-pang itu memukul dengan telapak tangan terbuka. Melihat hal ini, terpaksa Suma Ceng
Liong menyambut dengan telapak tangan kanannya sambil mendorong.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dukkk! Plakkk!”
Pertemuan telapak tangan itu membuat keduanya terpental ke belakang dan mereka berdiri berhadapan
dalam jarak yang cukup jauh. Tiba-tiba Siangkoan Lohan kembali mengeluarkan pekik dahsyat dan
tubuhnya lalu meloncat tinggi ke depan. Dari atas dia lalu menyerang dengan hun-cwe dan tangan kirinya.
Inilah jurus terakhir dari kakek itu setelah tadi berkali-kali dia menggunakan tendangan Ban-kin-twi tanpa
hasil apa pun karena lawannya selalu dapat mengelak, bahkan kalau menangkis dari samping, kakinya
terasa nyeri dan tergetar hebat. Kini dia mengerahkan seluruh tenaganya dalam satu serangan saja sambil
meloncat setengah terbang ini.
Suma Ceng Liong menyambutnya dengan loncatan yang sama, dan pendekar ini tanpa ragu-ragu lagi
mempergunakan ilmu Coan-kut-ci dari mendiang Hek I Mo-ong, ilmu yang amat dahsyat dan mengerikan.
Begitu dia meloncat dan menggerakkan kedua tangan dengan jari-jari terpentang lurus ke depan, segera
terdengar suara bercuitan.
Orang-orang hanya melihat betapa dua tubuh yang meloncat itu seperti saling terkam, dan melihat betapa
kedua orang gagah perkasa itu dapat meloncat turun pula ke atas tanah, saling membelakangi. Kalau
Suma Ceng Liong dengan cepat membalikkan tubuh menghadap lawan, adalah tubuh Siangkoan Lohan
yang diam saja, tetap membelakangi lawan.
Kam Bi Eng melihat betapa baju di dada suaminya terobek dan nampak ada tanda menghitam pada dada
itu, maka cepat dia menghampiri suaminya. Suma Ceng Liong tersenyum menggeleng kepala tanda bahwa
luka di dadanya tidak berbahaya sehingga Kam Bi Eng menjadi lega, lalu mereka menoleh dan
memandang kepada Siangkoan Lohan.
Semua mata kini ditujukan kepada ketua Tiat-liong-pang itu. Tubuhnya masih berdiri tegak, dan kini
perlahan-lahan tubuh itu membalik kaku. Semua orang melihat betapa kakek itu masih memegang senjata
hun-cwe emasnya, tubuhnya tidak nampak terluka, akan tetapi dari bawah kain penutup rambut itu
menetes darah yang berjatuhan ke atas dahi, pipi dan dagunya!
Dia memandang kepada Suma Ceng Liong, kemudian terdengar dia berkata, “Mereka, pengecut-pengecut
itu berada di rumah Ouwyang Sianseng di lereng di balik bukit ini.”
Setelah berkata demikian, tubuhnya lalu jatuh kaku seperti sebatang balok dan ketika diperiksa, ternyata
dia telah tewas karena luka-luka di kepalanya, di balik kain penutup kepala! Kiranya, ilmu Coan-kut-ci (Jari.
Penembus Tulang) dari Suma Ceng Liong tadi telah membuat jari-jari tangan pendekar itu menembus
kepala!
Mendengar ucapan ketua Tiat-liong-pang sebelum tewas, Sin Hong maklum siapa yang dimaksudkan oleh
Siangkoan Lohan.
“Ban-tok-kiam, bahkan Koai-liong Po-kiam mereka bawa, aku harus mengejar mereka!” katanya kepada
Kao Hong Li dan dia pun cepat melompat dan lari.
“Susiok, tunggu, aku akan membantumu!” teriak Hong Li yang melompat mengejar pula.
Dia maklum pula bahwa susiok-nya itu akan mengejar Ouwyang Sianseng, Siangkoan Liong, dan Sin-kiam
Mo-li, tiga orang yang lolos dari situ dan yang melarikan pusaka-pusaka dari Istana Gurun Pasir, juga
pusaka dari Lembah Naga Siluman yang mereka rampas dari tangan Cu Kun Tek.
“Ahhh, berbahaya sekali membiarkan mereka berdua menghadapi Ouwyang Sianseng yang amat lihai,”
kata Kam Hong dan dia pun mengejar ke arah balik puncak bukit itu.
Ketika mereka tiba di luar sarang Tiat-liong-pang, ternyata pertempuran juga sudah tinggal sedikit. Semua
pasukan pemberontak dapat dirobohkan, tewas atau terluka, dan sisanya hanya melawan untuk
mempertahankan diri saja. Jumlah pasukan pemerintah memang jauh lebih banyak sehingga perlawanan
pasukan yang terdiri dari anak buah Tiat-liong-pang, pasukan Mongol, anggota Ang-I Mo-pang beserta
anak buah beberapa orang tokoh sesat itu tidak ada artinya sama sekali…..
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Rumah itu merupakan sebuah gedung yang tidak berapa besar akan tetapi kokoh kuat dan nampak
menyeramkan, dilindungi oleh pohon-pohon dan hampir tidak nampak dari luar. Sin Hong dan para
pendekar lainnya berdiri di depan rumah itu, di pekarangan depan, memandang ke arah pintu dan jendela
yang tertutup. Cuaca senja itu muram, seolah-olah sang matahari lebih siang menyembunyikan diri di balik
awan tebal karena merasa ngeri menyaksikan ulah manusia yang saling bunuh di bukit itu.
Beberapa kali Sin Hong berteriak sambil mengerahkan khikang-nya sehingga suaranya bergema sampai
jauh, memanggil nama-nama Ouwyang Sianseng, Siangkoan Liong, dan Sin-kiam Mo-li yang ditantangnya
keluar. Akan tetapi, tidak ada jawaban dari dalam rumah itu.
“Biar aku menerjang masuk!” kata Sin Hong.
Tetapi sebelum dia bergerak, Kam Hong mencegahnya. “Berbahaya sekali memasuki sarang seorang
seperti Ouwyang Sianseng. Rumah itu pasti penuh dengan alat rahasia dan jebakan. Dia licik dan curang,
sebaiknya memaksa mereka keluar dengan api.”
Sin Hong mengangguk kagum. “Pendapat Locianpwe benar sekali, terima kasih!”
Dia melinat betapa di bagian belakang rumah itu terdapat bagian kecil, mungkin dapur atau gudang, yang
atapnya terbuat dari daun kering. Dia lalu membuat api, menyalakan sebatang ranting kayu kering dan
dengan pengerahan tenaga dia melemparkan kayu yang menyala itu ke atas atap daun kering di bagian
belakang rumah itu.
Api itu cepat sekali menyambar daun kering dan sebentar saja atap itu pun terbakar. Api menyala dengan
cepatnya, menjadi semakin besar dan mulai membakar rumah induk. Para pendekar sudah siap dan
mereka pun tanpa berunding dulu sudah mengepung rumah itu agar mereka yang berada di dalam rumah
itu tidak mampu melarikan diri, atau setidaknya akan ketahuan ke arah mana larinya.
Akan tetapi, ternyata mereka yang berada di dalam rumah itu dapat melihat pula bahwa melarikan diri
agaknya tidak mungkin lagi, maka tiba-tiba saja pintu depan terbuka dari dalam. Belum nampak ada orang
muncul keluar, akan tetapi dengan jelas terdengar suara Ouwyang Sianseng yang tenang dan dingin.
“Heiii, anjing-anjing Mancu! Kami akan keluar, hendak kami lihat apakah kalian cukup berani untuk
menghadapi kami satu lawan satu, tidak keroyokan macam segerombolan anjing peliharaan orang Mancu!”
Mendengar ucapan ini, semua orang memandang marah dan muka mereka berubah merah. Sungguh keji
ucapan itu, juga amat memanaskan hati, terutama sekali Cu Kun Tek yang memang berdarah panas.
“Keparat!” bentaknya nyaring. “Kalian yang pengecut seperti anjing-anjing takut digebuk, berani
membalikkan kenyataan dan memaki kami!”
Pendekar ini marah sekali mengingat betapa pedang pusakanya dirampas dan dilarikan mereka yang
berada di rumah itu. Kam Hong yang tahu bagaimana untuk menghadapi seorang tokoh jahat, lihai dan
cerdik macam Ouwyang Sianseng, berkedip kepada Kun Tek agar pemuda ini bersabar dan menahan diri
tidak bicara lagi. Melihat sikap Li Sian, Kun Tek cepat mengangguk patuh!
“Ouwyang Sianseng,” terdengar kini suara Kam Hong, juga tenang dan perlahan saja, namun suaranya
terdengar jelas sekali dari dalam rumah itu. “Keluarlah kalian dan kami siap untuk menghadapi kalian satu
lawan satu seperti lajimnya pertandingan di antara orang-orang gagah!”
Mendengar jawaban Kam Hong ini, muncullah tiga orang dari pintu depan itu. Mereka itu bukan lain adalah
Ouwyang Sianseng, Siangkoan Liong, dan Sin-kiam Mo-li! Ouwyang Sianseng nampak tenang-tenang
saja, bahkan mulutnya terhias senyuman, seakan-akan dia merasa bangga dan gagah, akan tetapi
Siangkoan Liong dan Sin-kiam Mo-li jelas nampak gugup dan gelisah melihat demikian banyaknya
pendekar sudah menanti di pekarangan.
Karena ia pun tahu bahwa tiada jalan keluar lagi kecuali melawan mati-matian, Sin-kiam Mo-li sudah
mendahului Ouwyang Sianseng. Dia melompat ke depan menghadapi para pendekar, kemudian berteriak
dengan suara dibikin gagah dan penuh keberanian untuk menutupi keadaan hatinya yang terguncang
takut.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tan Sin Hong, aku tantang padamu untuk maju mengadu ilmu dan nyawa dengan aku! Engkaulah biang
keladi semua kegagalan kami!”
Memang di dalam hatinya, wanita iblis ini merasa marah sekali kepada Sin Hong. Telah beberapa kali
pemuda itu menjadi penghalang baginya, dan dia masih tetap merasa menyesal mengapa ketika dia dan
kawan-kawannya dahulu menyerbu Istana Gurun Pasir, dibiarkannya pemuda itu terlepas dan selamat dari
cengkeramannya. Padahal, ketika itu, Sin Hong sama sekali tidak berdaya dan belum memiliki ilmu
kepandaian sehebat sekarang ini.
Setelah berteriak seperti itu, Sin-kiam Mo-li lantas mengeluarkan sepasang senjata yang menyeramkan,
yaitu pedang pusaka Cui-beng-kiam dan kebutan merah yang tadi dia peroleh dari dalam rumah Ouwyang
Sianseng. Pedang Cui-beng-kiam (Pengejar Arwah) itulah yang mendatangkan pengaruh amat
menyeramkan.
Sin Hong mengenal pedang pusaka Istana Gurun Pasir ini dan dia pun maklum bahwa sekali kena gurat
saja oleh pedang Cui-beng-kiam atau Ban-tok-kiam, sudah cukup untuk membuat seorang yang betapa
pun kuat tubuhnya, roboh dan mungkin tewas seketika atau menderita luka beracun yang sukar dicarikan
obat penawarnya.
Untung bahwa kakek dan nenek sakti penghuni Istana Gurun Pasir sudah memberi tahu dengan jelas
tentang asal-usul kedua pedang pusaka itu, bahkan juga memberi tahu rahasia penawar racun-racun yang
terkandung dalam pedang-pedang pusaka itu. Oleh karena itu, tadi ketika melakukan pengejaran, dia
sudah bersiap-sedia, sudah menelan tiga butir pil putih yang menjadi obat penawar racun pedang Cuibeng-
kiam.
Kini menghadapi Sin-kiam Mo-li yang menggunakan Cui-beng-kiam, tentu saja dia tidak merasa gentar.
Pedang itu dahulu adalah milik seorang di antara ketiga orang gurunya, yaitu Tiong Khi Hwesio, dan
bahkan obat pil putih itu juga pemberian Tiong Khi Hwesio kepadanya, dan dia pun sudah mempelajari
cara pembuatannya.
“Sin-kiam Mo-li, agaknya takaran kejahatan yang kau lakukan sudah melampaui batas sehingga sekarang
ini saatnya engkau harus menebus semua kejahatanmu itu. Lekas majulah!” tantangnya dan dengan
tangan kosong saja Sin Hong melangkah maju.
“Susiok, kau pakailah pedang ini!” tiba-tiba Hong Li berseru sambil kedua tangannya menyodorkan
sepasang pedangnya, pedang rampasan yang cukup baik, bahkan tadi ia gunakan untuk melawan iblis
betina itu. Sin Hong menoleh dan tersenyum kepadanya sambil menggelengkan kepala.
Pada saat itu, Hong Li menahan jeritnya dan semua orang pun menahan napas ketika melihat betapa
selagi Sin Hong menoleh kepada Hong Li, Sin-kiam Mo-li telah dengan amat cepatnya menyerang dengan
tusukan pedang Cui-beng-kiam!
Memang pedang ini hebat sekali. Ketika ditusukkan, bukan saja mengeluarkan suara mengaung yang
aneh, namun juga mendatangkan hawa dingin yang membuat orang bergidik karena seram. Tusukan Cuibeng-
kiam itu masih disusul dengan totokan maut yang dilakukan dengan kebutan merah yang beracun itu!
Namun, Sin Hong bukan seorang pemuda yang ceroboh atau lengah. Biar pun tadi dia menanggapi usul
Hong Li dan menolak pemberian pedang sambil menoleh ke arah Hong Li, tetapi seluruh perhatiannya
masih tertuju kepada calon lawannya sehingga tentu saja serangan dahsyat itu telah dapat diketahuinya.
Cepat sekali tubuhnya sudah bergerak dengan amat lincahnya, membuat langkah-langkah gesit yang
aneh, tubuhnya meliuk ke sana sini dan dia pun sudah dapat mengelak dari semua serangan pedang dan
cambuk itu.
Sin Hong bukan saja mampu menghindarkan semua serangan lawan, bahkan dia juga mampu membalas
dengan dahsyat. Perlu diketahui bahwa pada saat itu Sin Hong telah menguasai banyak sekali ilmu silat
yang tinggi, dan tingkatnya tidak kalah oleh para pendekar lainnya. Bahkan mungkin orang seperti
Ouwyang Sianseng takkan mampu mengalahkannya dengan mudah. Ilmu-ilmunya bahkan lebih tinggi dari
pada Ouwyang Sianseng, hanya tentu saja masih belum matang dibandingkan orang tua ini.
Dari tiga orang gurunya yang sakti, Sin Hong sudah mempelajari ilmu-ilmu yang hebat. Dari mendiang
Tiong Khi Hwesio atau ketika mudanya terkenal dengan nama Wan Tek Hoat berjuluk Si Jari Maut, dia
telah mempelajari Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa), Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) yang
dunia-kangouw.blogspot.com
digabung dengan Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa), juga melatih diri untuk menghimpun
sinkang dengan ilmu Tenaga Inti Bumi.
Dari Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, dia menerima ilmu hebat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu
Pukulan Naga Sakti), dan dari nenek Wan Ceng dia pun mempelajari Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa
Racun) dan ilmu pedang Ban-tok-kiamsut. Bahkan lebih dari itu, tiga orang tua sakti itu lalu
menggabungkan ilmu-ilmu mereka dan mengambil inti sarinya untuk dimasukkan ke dalam sebuah ilmu
silat tangan kosong yang mereka ciptakan bersama yang mereka beri nama Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti
Bangau Putih).
Ilmu inilah yang sekarang digunakan oleh Sin Hong untuk menghadapi Sin-kiam Mo-li yang amat lihai
dengan senjata cambuk beracun dan pedang pusaka Cui-beng-kiam!
Sin-kiam Mo-li adalah seorang datuk sesat yang sudah mempunyai tingkat kepandaian tinggi. Wanita ini
demikian lihainya sehingga dengan bantuan belasan orang datuk dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, ia
berhasil menyerbu ke Istana Gurun Pasir dan berhasil menewaskan kakek dan nenek sakti penghuni istana
tua itu dan juga Tiong Khi Hwesio yang tinggal bersama mereka, walau pun untuk itu ia harus kehilangan
belasan orang kawan, bahkan yang hidup hanya ia sendiri, Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin yang
juga masih menderita luka-luka yang cukup berat.
Kebutannya amat terkenal kehebatannya, dengan gagangnya yang terbuat dari emas, dan bulu kebutan
yang mengandung racun jahat. Juga ilmu pedangnya cukup tinggi, ditambah lagi dengan kuku-kuku jari
tangannya yang beracun kalau ia sudah mainkan ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam).
Namun, sekali ini kembali Sin-kiam Mo-li harus mengakui keunggulan lawannya yang biar pun masih
muda, namun telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa itu. Biar pun bertangan kosong, namun kedua
lengan tangan Sin Hong merupakan dua benda yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata
mana pun juga, bahkan lebih hidup dan mempunyai banyak perubahan, baik pada tekukan siku,
pergelangan tangan, mau pun jari-jarinya, tidak seperti senjata tajam yang kaku dan mati.
Kedua lengan itu bergerak-gerak seperti hidup, kadang-kadang membentuk leher dan kepala bangau,
kadang-kadang bergerak seperti menjadi sepasang sayap, dan jari-jari tangan itu dapat membentuk
moncong bangau yang panjang runcing. Selain itu, dari kedua tangan itu keluar hawa pukulan yang amat
kuat! Kedua lengan pemuda itu tidak hanya menjadi hidup dengan perubahan aneh-aneh, akan tetapi
bahkan kadang-kadang dapat digunakan untuk menangkis kebutan dan lengan itu berubah keras kaku
seperti baja!
Hanya terhadap Cui-beng-kiam pemuda itu tidak berani menangkis langsung dengan tangannya karena dia
cukup mengenal pedang pusaka ampuh itu, dan kalau pedang itu menyambar, dia hanya mengelak atau
kadang-kadang menangkis dari samping dengan jalan menyampok sehingga lengannya atau tangannya
tidak beradu langsung dengan mata pedang.
Perkelahian itu berlangsung dengan seru dan mati-matian, Sin-kiam Mo-li yang sudah maklum bahwa ia
tidak akan mampu lolos dari situ kecuali mengadu nyawa, menjadi nekat dan karena kenekatannya ini,
maka gerakannya menjadi liar dan buas, amat berbahaya karena ia mencurahkan seluruh daya dan
tenaganya untuk menyerang dan merobohkan lawan!
Sebaliknya, tentu saja Sin Hong tidak ingin mengadu nyawa dan tidak nekat seperti lawannya. Dia
memakai perhitungan dan membagi perhatiannya antara menyerang dan membela diri. Biar pun demikian,
karena Sin Hong menang segala-galanya, perlahan-lahan dia mulai mendesak iblis betina itu.
Pada suatu kesempatan yang baik, sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Sin Hong menyambut
sambaran kebutan dengan pukulan tangannya yang lalu dilanjutkan dengan cengkeraman! Hebat sekali
sambutannya ini terhadap kebutan karena seketika nampak bulu kebutan berhamburan. Ternyata bulu-bulu
kebutan itu telah rontok semua, tinggal gagangnya saja yang masih berada di tangan Sin-kiam Mo-li.
Wanita ini terkejut bukan main, apa lagi ketika Sin Hong mendesaknya dengan totokan-totokan tangan
kanannya, sedangkan tangan kiri pemuda itu melakukan cengkeraman ke arah pergelangan tangan Sinkiam
Mo-li untuk merampas pedang Cui-beng-kiam! Sin-kiam Mo-li yang sudah menjadi semakin gentar
karena kebutannya rontok, memutar pedangnya untuk melindungi diri, akan tetapi ia terhuyung dan terus
mundur.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat yang amat berbahaya bagi Sin-kiam Mo-li itu, tiba-tiba nampak sinar amat menyeramkan
meluncur dan pedang Ban-tok-kiam yang sinarnya kehitaman itu sudah menusuk ke arah dada Sin Hong!
“Curang, keparat!” teriak Kao Hong Li.
Semua orang memandang kaget, melihat betapa Sin Hong diserang secara mendadak oleh Ouwyang
Sianseng dengan menggunakan Ban-tok-kiam untuk menolong Sin-kiam Mo-li. Sin Hong berusaha untuk
mengelak dengan membuang diri ke samping.
Tetapi Ouwyang Sianseng memang lihai bukan main. Meski lawannya sudah mengelak cepat, dia masih
sempat membalikkan pedang yang luput sasaran itu dan pundak kiri Sin Hong terserempet pedang Bantok-
kiam! Pemuda itu mengaduh dan tubuhnya lalu roboh terguling!
“Siancai...! Sungguh tak tahu malu engkau, Ouwyang Sianseng!” Kam Hong membentak dan kakek ini
sudah mencabut suling emas beserta kipasnya, lalu menyerang Ouwyang Sianseng yang bersenjata kipas
pula di tangan kiri dan pedang Ban-tok-kiam di tangan kanan!
“Jangan sentuh aku...!” Sin Hong berseru mencegah ketika Hong Li hendak menubruk dan menolongnya.
Hong Li terkejut dan menghentikan gerakannya. Sebagai cucu dari pasangan kakek dan nenek penghuni
Istana Gurun Pasir, tentu saja ia telah pernah mendengar dari ayahnya tentang kehebatan Ban-tok-kiam.
Sekali saja kena goresan pedang pusaka itu, jangan harap akan dapat bertahan untuk hidup terus!
Racunnya amat jahat, sesuai dengan namanya. Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun). Memang
berbahaya sekali, bahkan seorang nenek sakti seperti Teng Siang In, yaitu ibu kandung Suma Ceng Liong,
mantu dari Pendekar Super Sakti Pulau Es, begitu terluka oleh Ban-tok-kiam yang pada waktu itu terjatuh
ke tangan Sai-cu Lama yang jahat, tidak dapat tertolong nyawanya dan tewas!
Dan sekarang Sin Hong terkena pedang itu, bukan sekedar tergores, melainkan terluka pundaknya! Tentu
saja Hong Li memandang dengan hati khawatir sekali.
Akan tetapi dengan sikap tenang sekali, Sin Hong mencengkeram tanah, membongkar permukaan tanah
sampai dia memperoleh tanah bersih yang lembut, mencengkeram tanah itu dengan tangan kanannya,
merobek baju bagian pundak kiri lalu menggosok-gosok luka di pundak itu dengan tanah! Beberapa kali dia
menggosok dengan keras sampai luka itu mulai mengucurkan darah merah yang sehat, barulah dia
berhenti, lalu sekali melompat, dia sudah menghadapi Sin-kiam Mo-li lagi sambil tersenyum.
“Sin-kiam Mo-li, mari kita lanjutkan perkelahian kita!” kata Sin Hong.
Tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menjawab, dia sudah menyerang lagi dengan hebatnya.
Sin-kiam Mo-li terpaksa memutar Cui-beng-kiam untuk melindungi tubuhnya.
Melihat betapa Sin Hong seolah-olah tidak merasakan lukanya, hati Hong Li merasa tenang kembali walau
pun dia masih amat khawatir. Tentu saja dia tidak tahu bahwa satu-satunya obat penawar racun Ban-tokkiam
memang hanya tanah itulah! Tentu saja hal ini tadinya menjadi rahasia penghuni Istana Gurun Pasir
dan hanya diberi tahukan kepada Sin Hong sebagai murid terakhir mereka. Bahkan Kao Cin Liong sendiri
tidak tahu akan hal ini!
Sementara itu, melihat betapa ayah mertuanya sudah menghadapi Ouwyang Sianseng dan Sin Hong
sudah pula menyerang Sin-kiam Mo-li, Suma Ceng Liong lalu melompat ke depan menghadapi Siangkoan
Liong. Dia tahu bahwa pemuda ini sangat lihai pula, dan kini memegang pedang Koai-liong-kiam, maka
dari pada membiarkan seorang di antara para pendekar terancam bahaya kalau menghadapinya, ia pun
sudah lebih dulu maju menantangnya.
“Siangkoan Liong, majulah dan mari kita tentukan siapa yang lebih unggul antara kita, dari pada engkau
nanti bertindak curang seperti Ouwyang Sianseng yang melakukan pengeroyokan dan serangan gelap!
Atau, jika engkau takut menghadapi aku, berlututlah agar kami menangkapmu sebagai pimpinan
pemberontak dan menyerahkanmu kepada pemerintah!”
Tentu saja Siangkoan Liong yang berhati angkuh itu tidak sudi untuk menyerah. Tanpa banyak cakap lagi
dia pun telah menerjang maju, menyerang Suma Ceng Liong dengan sengitnya. Pedang Koai-liong-kiam di
dunia-kangouw.blogspot.com
tangannya diputar dengan cepat dan terdengarlah suara mengaung yang mengerikan, seolah-olah dari
pedang itu keluar auman binatang buas dan pedang itu mengeluarkan sinar berkilauan.
Cu Kun Tek yang juga ikut nonton di situ merasa tidak enak sekali. Pedang yang berada di tangan pemuda
itu adalah pedang pusaka keluarganya. Sepatutnya dia yang harus maju melawan Siangkoan Liong untuk
merampas pedangnya kembali. Akan tetapi dia pun maklum betapa lihainya Siangkoan Liong dan bahwa
kalau dia yang maju, kecil sekali harapannya pedang pusaka Koai-liong-kiam itu akan dapat dirampasnya
kembali, bahkan bukan tidak mungkin dia sendiri akan roboh menjadi korban pedang pusaka milik
keluarganya itu! Maka, melihat Suma Ceng Liong yang maju, dia pun diam saja, karena dia sudah tahu
siapa adanya pendekar itu, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es!
Seperti juga Sin Hong yang menghadapi Sin-kiam Mo-li dengan tangan kosong, Suma Ceng Liong juga
menghadapi Siangkoan Liong dengan tangan kosong pula!
Kini terjadilah pertempuran yang amat seru. Ouwyang Sianseng, seperti juga dua orang anak buahnya itu,
maklum bahwa dia sudah terkurung dan terhimpit, maka satu-satunya jalan hanyalah melawan dengan
nekat, kalau perlu mengadu nyawa dengan lawannya. Apa lagi yang dilawannya adalah Pendekar Suling
Emas yang dia tahu amat tinggi ilmu kepandaiannya.
Sekali ini dia sama sekali tidak dapat mengandalkan ilmu silatnya, karena dia seolah-olah bertemu dengan
gurunya! Dia kalah dalam segala hal, baik keaslian ilmu silat, kecepatan gerak mau pun kekuatan tenaga
sakti. Satu-satunya yang diandalkan hanya kenekatannya. Maka dari itu dia pun menyerang dengan
membabi buta, mengandalkan kenekatan dan kehebatan pedang Ban-tok-kiam.
Kakek Kam Hong maklum pula akan kelihaian lawan. Diam-diam dia merasa menyesal dan sayang sekali
mengapa seorang laki-laki yang demikian pandai seperti Ouwyang Sianseng sampai terperosok ke dalam
kehidupan sesat. Orang she Ouwyang ini selain tinggi ilmu silatnya, juga ahli pedang dan ahli dalam
kesusastraan, memiliki kecerdikan pula.
Akan tetapi ternyata nafsu dan ambisinya jauh lebih besar dari semua hal itu sehingga menyeretnya untuk
melakukan perbuatan sesat demi tercapainya keinginan hati untuk mengejar kesenangan. Dan dia tahu
bahwa orang seperti ini memang berbahaya sekali jika dibiarkan berkeliaran. Tentu dia akan berusaha
kembali untuk melakukan kegiatan pemberontakan pula, atau akan menghimpun orang-orang sesat lagi
untuk mencapai ambisinya, yaitu kekuasaan dan kesenangan.
Biar pun sudah puluhan tahun lamanya pendekar sakti ini lebih banyak mengasingkan diri dan hidup
tenteram, tidak pernah lagi membunuh orang, namun sekali ini terpaksa dia mengambil keputusan untuk
menyingkirkan Ouwyang Sianseng, demi keamanan kehidupan banyak manusia yang tidak berdosa. Kalau
orang she Ouwyang ini dapat bebas dan membuat keonaran, yang banyak menjadi korban adalah rakyat
jelata yang tidak berdosa sama sekali. Berpikir demikian Kam Hong lalu mempercepat gerakannya dan
mengerahkan sebagian besar tenaganya untuk mendesak lawan.
Ouwyang Sianseng yang semenjak tadi memang sudah mengeluarkan semua ilmunya namun selalu tak
mampu mengimbangi permainan lawan, begitu didesak menjadi repot sekali. Sinar emas yang bergulunggulung,
yang diikuti suara melengking tinggi rendah seperti suling ditiup itu, amat mengacaukan pikirannya.
Suara itu mengandung tenaga mukjijat yang membuat permainan pedangnya kacau dan suatu saat,
kipasnya bertemu dengan kipas lawan.
“Desss...! Prakkk...!”
Kipas di tangan kiri Ouwyang Sianseng hancur berkeping-keping. Dia marah sekali dan pedang Ban-tokkiam
di tangannya segera berubah menjadi gulungan sinar hitam yang mendirikan bulu roma karena
mengandung hawa yang kuat, dingin dan menyeramkan.
Namun kakek Kam Hong yang sudah melindungi diri lahir batin dengan sinkang, tidak terpengaruh. Dia
bahkan menggerakkan suling emasnya lebih cepat lagi. Kini gulungan sinar kuning emas itu berpusing
sedemikian cepatnya, juga sinarnya panjang dan lebar.
Perlahan-lahan sinar kuning emas itu mulai menggulung dan melibat sinar hitam hingga pedang di tangan
Ouwyang Sianseng itu kini hanya mampu bergerak dalam lingkungan gulungan sinar kuning emas! Ruang
gerak pedang Ban-tok-kiam semakin lama semakin sempit, dan selagi Ouwyang Sianseng kerepotan
setengah mati, gagang kipas di tangan kakek Kam Hong meluncur dan menotok pangkal tengkuknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tukkk...!”
Tubuh Ouwyang Sianseng terhuyung, lantas dia terpelanting jatuh. Separuh badannya yang sebelah kiri
lumpuh tanpa mampu digerakkan. Sesudah melihat keadaan dirinya, pedang Ban-tok-kiam di tangan
kanannya bergerak ke arah leher sendiri dan sebelum dapat dicegah, pedang itu telah membacok batang
lehernya!
Anehnya, biar pun leher itu hampir setengahnya terbacok, hanya sedikit darah mengalir dan seketika,
wajah mayat Ouwyang Sianseng menjadi menghitam dan perlahan-lahan warna hitam itu menjalar di
seluruh tubuhnya. Itulah kehebatan racun Ban-tok-kiam!
Kakek Kam Hong mengambil pedang yang terlepas dari tangan Ouwyang Sianseng itu, mengamati pedang
itu dan menggeleng-geleng kepala penuh kagum dan ngeri melihat kehebatan Ban-tok-kiam yang menjadi
pusaka dari Istana Gurun Pasir itu.
Setelah melihat Ouwyang Sianseng roboh dan tewas, Sin-kiam Mo-li serta Siangkoan Liong merasa
terkejut bukan main. Wajah mereka berubah pucat dan tentu saja nyali mereka menjadi kecil, semangat
mereka terbang sebagian sehingga permainan pedang mereka menjadi kacau!
Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Hong untuk mendesak lawannya dan akhirnya dia berhasil
‘mematuk’ pergelangan tangan kanan Sin-kiam Mo-li dengan tangan kirinya yang membentuk moncong
atau patuk burung bangau. Terkena patukan ini, seketika tangan kanan itu lumpuh dan di lain detik, Cuibeng-
kiam sudah berpindah ke tangan kanan Sin Hong!
Nenek itu sungguh tidak tahu diri atau memang sudah mata gelap dan nekat. Biar pun kini dia bertangan
kosong, dia masih nekat menubruk maju untuk menyerang Sin Hong dengan Hek-tok-ciang, yaitu pukulan
yang lebih mirip cengkeraman dan mengandalkan kuku-kuku jari tangan yang mengandung racun!
“Cappp!”
Sin Hong menyambut dengan tusukan Cui-beng-kiam. Pedang itu hanya kurang lebih satu dim saja
memasuki dada Sin-kiam Mo-li lalu dicabutnya, namun cukup membuat nenek itu terjengkang dan tewas
seketika karena keampuhan pedang Cui-beng-kiam! Ia tewas tanpa sempat mengeluh lagi dan setelah
tewas, wajahnya nampak jauh lebih tua dari pada ketika masih hidup. Hal ini adalah karena kecantikannya
ketika masih hidup tidak wajar, mengandalkan polesan bedak dan gincu.
Siangkoan Liong semakin panik melihat robohnya Sin-kiam Mo-li. Agaknya dalam hati Suma Ceng Liong
timbul perasaan ragu untuk merobohkan pemuda itu. Ia merasa tak pantas baginya yang tingkat,
kedudukan mau pun usianya lebih tinggi dari pada lawan untuk menekan dan merobohkan lawannya.
Bagaimana pun juga, dia menyayangkan kemudaan dan ketampanan Siangkoan Liong yang telah
mempunyai kepandaian cukup tinggi itu.
Melihat sikap ini, Sin Hong dapat menyelami isi hati Suma Ceng Liong, maka dengan Cui-beng-kiam di
tangan, dia melompat maju dan berkata dengan nyaring, “Locianpwe Suma Ceng Liong, harap suka
memberikan Siangkoan Liong ini kepada saya!”
Lega hati Suma Ceng Liong melihat ada orang yang menggantikannya, apa lagi orang itu adalah Sin Hong
yang dia ketahui kelihaiannya dan masih sama mudanya dengan Siangkoan Liong pula. Ia pun cepat
meloncat ke belakang, membiarkan Sin Hong yang menghadapi Siangkoan Liong.
Kedua orang muda itu berdiri tegak, berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata tajam.
“Siangkoan Liong, selagi masih sempat kenanglah semua perbuatanmu yang penuh dosa!” kata Sin Hong
dan dia membayangkan wajah Kwee Ci Hwa.
Siangkoan Liong tersenyum mengejek, “Tak ada perbuatanku yang pantas kusesalkan, Tan Sin Hong.
Selama ini aku sudah berjuang untuk membebaskan negara dan bangsa dari cengkeraman penjajah,
sebaliknya engkau menjadi anjing penjajah Mancu!”
Sin Hong memandang dengan mata mencorong. “Masih ingatkah apa yang telah kau lakukan terhadap
mendiang Kwee Ci Hwa dan para wanita lain yang menjadi korban kebuasanmu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ditegur seperti itu, wajah Siangkoan Liong berubah pucat, lalu menjadi merah sekali, merah karena malu
dan marah. Ia melirik ke arah Li Sian yang memandang kepadanya dengan mata mencorong dan kedua
tangan terkepal, dan tahulah dia bahwa tidak ada jalan keluar baginya.
“Sin Hong, tutup mulutmu dan mari kita bertanding seperti laki-laki sejati!”
“Hemmm, orang macam engkau masih hendak bicara tentang laki-laki sejati?”
Sin Hong terpaksa menghentikan kata-katanya karena nampak sinar pedang berkilauan meluncur
dibarengi suara mengaum. Itulah Koai-liong Po-kiam yang sudah digerakkan oleh Siangkoan Liong untuk
menyerangnya. Namun dengan tenang saja Sin Hong juga menggerakkan Cui-beng-kiam untuk menangkis
dan dia pun membalas serangan lawan dengan tidak kalah dahsyatnya.
Terjadilah perkelahian tunggal yang seru dan mati-matian serta disaksikan oleh semua orang yang hadir di
situ. Menghadapi Sin Hong, Siangkoan Liong juga tidak berdaya, karena seperti ketika menghadapi Suma
Ceng Liong tadi, dia kalah segala-galanya.
Kalau tadi Suma Ceng Liong seperti mempermainkannya saja, dengan tangan kosong melawan dia yang
bersenjata pedang pusaka, sekarang Sin Hong sama sekali tidak main-main, tidak mengalah, bahkan di
tangan Sin Hong terdapat pedang yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan Koai-liong-kiam! Maka,
setelah lewat dua puluh jurus saja, Siangkoan Liong mulai terdesak hebat dan dia selalu main mundur,
hanya mampu mengelak atau menangkis saja tanpa sempat membalas serangan sama sekali.
Sin Hong mendesak terus dan menggunakan Cui-beng-kiam untuk memainkan ilmu pedang Ban-tok-kiamsut.
Meski pun ilmu pedang ini biasa dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam, tapi dengan Cui-beng-kiam
sekali pun Sin Hong dapat memainkan ilmu pedang itu dengan baik.
Siangkoan Liong berusaha untuk membela diri sebaik mungkin, namun di dalam suatu perkelahian, tidak
mungkin orang hanya selalu menangkis dan mengelak terus tanpa mampu membalas serangan. Dan
akhirnya, tanpa dapat dihindarkan lagi, ujung pedang Cui-beng-kiam melukai paha kanannya.
Seketika kaki kanan itu menjadi lumpuh dan seluruh tubuh terasa dingin sekali. Kaki itu pun membengkak
dan Siangkoan Liong yang langsung melompat ke belakang melihat bahwa keadaan dirinya takkan mampu
tertolong lagi. Dia pun menggerakkan Koai-long Po-kiam dan di lain saat, lehernya telah terbabat putus
oleh pedang Koai-liong Po-kiam!
Kun Tek cepat menyambar pedang Koai-liong-kiam dari tangan Siangkoan Liong serta membawanya
menjauh, sedangkan Sin Hong menarik napas panjang, lalu mengambil sarung pedang Cui-beng-kiam
yang masih terselip di pinggang Sin-kiam Mo-li. Ketika Kam Hong menyerahkan Ban-tok-kiam kepadanya,
Sin Hong lalu mengambil sarung pedang di punggung mayat Ouwyang Sianseng.
Setelah tiga orang tokoh pimpinan pemberontak ini tewas, selesai sudah pertempuran itu. Para pendekar
tidak kembali ke sarang Tiat-liong-pang, di mana masih berlangsung pertempuran berat sebelah antara
sisa pasukan kaum pemberontak melawan pasukan pemerintah.
Sebenarnya tiada seorang pun di antara para pendekar yang ingin membantu pasukan pemerintah. Jika
tadi mereka menentang pemberontakan Tiat-liong-pang adalah karena Tiat-liong-pang bukan
memberontak demi kepentingan bangsa, namun dengan pamrih untuk berkuasa. Dan selain itu, Tiat-liongpang
juga tidak segan-segan untuk bersekutu dengan para tokoh sesat.
Setelah kemenangan itu, para pendekar lalu berkumpul dan saling memperkenalkan diri, kemudian mereka
saling berpisah untuk kembali ke tempat asal masing-masing.
Cu Kun Tek dapat membujuk Pouw Li Sian untuk ikut bersama dia pulang ke Lembah Naga Siluman di
barat, di mana dia akan memperkenalkan Pouw Li Sian sebagai calon isterinya kepada orang tuanya.
Pouw Li Sian yang sudah membalas cinta kasih yang tulus dari Kun Tek, yang tetap mencintanya walau
pun ia sudah berterus terang bahwa dirinya sudah ternoda oleh Siangkoan Liong, kini menaruh
kepercayaan sepenuhnya kepada pemuda yang tinggi besar dan gagah perkasa itu. Setelah kakak
kandungnya yang merupakan sisa keluarganya terakhir tewas, gadis ini tidak mempunyai seorang pun
anggota keluarga, hidup sebatang kara di dunia ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Lian, Gu Hong Beng, Sin Hong dan Kao Hong Li melakukan perjalanan bersama ke Tapa-san untuk
pergi ke tempat pertapaan Suma Ciang Bun, di mana Sin Hong menitipkan Yo Han.
Gu Hong Beng dan Suma Lian menghadap pendekar itu untuk melaporkan semua hasil pembasmian
gerombolan sesat itu dan juga Hong Beng hendak minta dukungan gurunya untuk membicarakan urusan
perjodohannya dengan Suma Lian, karena gadis itu kini agaknya tidak akan keberatan lagi terhadap ikatan
perjodohan yang dahulu telah dipesankan mendiang nenek Teng Siang In.
Suma Ciang Bun gembira bukan main menyambut empat orang muda itu, mendengar akan hasil yang baik
dari usaha para pendekar menumpas gerombolan pemberontak, terutama sekali mendengar permintaan
Hong Beng agar dia suka membicarakan urusan perjodohan antara Hong Beng dan Suma Lian dengan
orang tua gadis itu. Pada hari itu juga, Suma Ciang Bun pergi mengunjungi rumah adik sepupunya, yaitu
Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun di luar kota Cin-an.
Yo Han yang kini dijemput oleh Sin Hong, juga merasa gembira walau pun dia juga menyesal harus
berpisah dari Suma Ciang Bun yang bersikap amat baik kepadanya, bahkan telah mengajarkan dasardasar
teori persilatan tinggi kepadanya. Sin Hong lalu mengajak Yo Han bersama dengan Kao Hong Li
pergi berkunjung ke rumah gadis itu, yaitu rumah Kao Cin Liong ayah gadis itu di Pao-teng di sebelah
selatan kota raja…..
********************
Kao Cin Liong dan isterinya juga menyambut pulangnya puteri mereka dengan gembira, apa lagi
mendengar betapa para pendekar telah berhasil menumpas para tokoh sesat yang bersekutu dengan
gerombolan pemberontak. Kao Cin Liong berterima kasih sekali kepada Sin Hong yang telah berhasil
mendapatkan kembali kedua buah senjata pusaka itu, terutama Ban-tok-kiam yang memang menjadi
pusaka ibunya. Pada saat Sin Hong menyerahkan kedua buah pedang pusaka itu, Kao Cin Liong hanya
menerima pedang Ban-tok-kiam saja.
“Biarlah kami menyimpan Ban-tok-kiam sebagai peninggalan ibuku,” katanya kepada Sin Hong, “Engkau
boleh menyimpan Cui-beng-kiam itu, Sute, karena pusaka itu adalah milik mendiang locianpwe Tiong Khi
Hwesio yang menjadi suhu-mu pula.”
Sin Hong menghaturkan rasa terima kasihnya kepada Kao Cin Liong, kemudian dia pun berpamit dari
keluarga itu. Walau pun sudah berusaha, Kao Cin Liong dan Suma Hui, isterinya, tidak berhasil
menahannya.
Sin Hong menggandeng tangan Yo Han, mengajaknya keluar dari rumah pendekar Kao Cin Liong yang
masih terhitung suheng-nya itu. Ketika tiba di luar, di pekarangan rumah itu, dia mendengar langkah kaki
ringan dan dia menoleh.
Kao Hong Li berdiri di depannya dan dia melihat betapa kedua mata gadis itu basah oleh air mata dan
agak kemerahan, tanda bahwa gadis itu menahan-nahan tangisnya. Dia pun menatap tajam, diam-diam dia
menyelidiki isi hati gadis itu dan Sin Hong dapat merasakan getaran yang sama mendebarkan jantungnya
ketika pandang mata mereka saling bertemu dan bertaut.
“Kau... kau… hendak pergi… Su... siok?” Suara Hong Li lirih dan gemetar.
Sin Hong menarik napas panjang untuk menenteramkan hatinya yang terguncang, lalu dia mengangguk.
“Benar, Hong Li. Aku harus pergi bersama Yo Han karena akulah yang bertanggung jawab atas anak ini
dan harus mendidiknya.”
“Tapi... engkau akan pergi ke manakah?” Gadis ini tahu benar bahwa keadaan Sin Hong tiada bedanya
dengan Yo Han, yaitu sebatang kara, tiada seorang pun keluarga, tidak mempunyai tempat tinggal yang
tetap!
Ditanya demikian, Sin Hong tersenyum, senyum bebas, seperti bebasnya hatinya sebab dia sama sekali
tidak memikirkan hal itu, sama sekali tidak merasa khawatir.
“Ke mana sajalah, Hong Li. Bukankah dunia ini cukup luas dan amat indahnya? Kami berdua akan
menyongsong matahari pagi yang muncul dari timur, kemudian mengikuti tenggelamnya matahari senja di
barat, atau menempuh semilirnya angin dari utara atau selatan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tapi... tapi engkau tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Bagaimana jika engkau... dan Yo Han tinggal
saja di sini? Akan kuminta kepada ayah dan ibuku untuk dapat menerima kalian...”
Diam-diam Sin Hong merasa terharu. Dia pun merasa betapa sangat menggirangkan hatinya dan betapa
ingin dia menyambut penawaran itu dengan baik, betapa ingin dia dapat tinggal terus berdekatan dengan
gadis yang gagah perkasa ini. Akan tetapi tidak mungkin! Betapa dia akan merasa rendah diri! Menumpang
tinggal di situ, makan dan segala keperluannya bersandar pada keluarga Kao. Dan dia masih membawa
seorang murid lagi!
“Terima kasih, Hong Li. Engkau... sungguh baik sekali. Percayalah, aku akan merasa berbahagia sekali
kalau tinggal di sini. Akan tetapi, bagaimana mungkin? Aku seorang laki-laki, dan aku bahkan memiliki
seorang murid, aku tentu akan merasa rendah diri. Biarlah aku merantau dulu, mencari pengalaman hidup,
mencari kedudukan yang cukup pantas agar aku dapat mempunyai tempat tinggal yang tetap...“
“Tapi... tapi... kapankah kita dapat saling bertemu kembali, Susiok? Dan ke mana aku harus mencarimu
kalau... kalau aku ingin mengunjungimu?” Dalam suara ini terkandung tangis yang ditahan-tahan sehingga
Yo Han sendiri yang baru berusia tujuh tahun itu sudah dapat merasakannya.
Jika Yo Han yang sekecil itu sudah dapat mengerti akan perasaan Hong Li, tentu saja Sin Hong pun bisa
merasakan isi hati gadis itu melalui getaran-getaran yang terkandung di balik ucapan dan isak tangis yang
tertahan itu. Namun pemuda ini segera sadar dan ingat akan keadaan dirinya, karena itu dia hanya
menjawab sesuai keadaannya itu pula.
“Terus terang saja, sampai saat ini aku belum tahu ke mana aku akan pergi bersama Yo Han. Akan tetapi,
di bumi yang begitu lebar ini, aku tidak percaya kalau kami sampai tak kebagian tempat untuk dapat
sekedar berpijak dan berteduh. Kami akan pergi ke mana pun kaki ini ingin melangkah, Hong Li…”
“Ahh, Susiok…, lalu kapan… kapan kita akan bertemu lagi?” Hong Li bertanya di tengah air matanya yang
kini mulai dibiarkannya turun.
Gadis ini sudah tahu bahwa saat perpisahan telah diambang waktu. Karena itu tanpa malu-malu lagi dia
melepaskan tangisnya di depan Sin Hong, sebab dia memang tidak akan mampu lagi menahan air mata itu
lebih lama.
“Entahlah, Hong Li… entahlah…”
Itulah kata-kata terakhir yang terdengar oleh Hong Li, kata-kata yang keluar dari bibir Sin Hong dengan lirih
sekali, sebab setelah itu Sin Hong menggandeng tangan Yo Han dan berlalu dengan langkah gontai, tanpa
tahu tujuan perginya…..
********************
Sambil tetap menggandeng tangan Yo Han, Sin Hong terus melangkah tanpa menoleh sampai mereka
keluar dari Pao-teng. Pemuda ini tidak ingin melihat cucuran air mata di pipi murid keponakannya yang
nampak penuh duka. Tanpa perlu sepatah kata pun, dia sudah mengerti isi hati puteri suheng-nya itu.
“Ahh, langkah kita berbeda dan jalan kita pun tak sama…, tidak mungkin kita bisa sama-sama melangkah
beriringan….,” bisik hatinya.
Sin Hong benar-benar berjalan tanpa tujuan dan hanya menurutkan kemauan kakinya melangkah saja,
yang penting baginya adalah meninggalkan Pao-teng secepatnya. Yo Han berjalan mengikuti suhu-nya,
mengiringi sedikit di belakangnya sebab begitu keluar dari batas dusun Pao-teng tangannya sudah
dilepaskan oleh Sin Hong. Karena itulah, dan disebabkan pula pemuda ini sudah terbiasa berkelana
seorang diri, maka Sin Hong tidak menyadari lagi akan keberadaan Yo Han. Pikirannya mengembara
mengenangkan dua wajah yang sama cantik jelita.
Pertama terbayang di benaknya wajah Suma Lian, puteri dari Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng.
Selama hidupnya dapat dikatakan bahwa dara lincah jenaka ini merupakan gadis pertama yang dekat
dengannya. Sekian lama mereka melakukan perjalanan bersama, bercakap-cakap dan saling bersenda
gurau, sehingga hubungan keduanya sudah bagaikan sahabat lama.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lalu muncul wajah gadis yang kedua, wajah Kao Hong Li yang cantik manis dan gagah perkasa, puteri dari
Kao Cin Liong dengan Suma Hui. Walau pun dia mengenal gadis itu belum sedekat seperti dengan Suma
Lian, namun secara hubungan justru Hong Li lebih dekat dengannya. Dara ini adalah puteri suheng-nya,
cucu dari dua di antara tiga orang gurunya, atau dengan kata lain murid keponakannya sendiri.
Alangkah mudah bagi dirinya untuk jatuh cinta kepada salah satu di antara dua gadis itu. Keduanya sama
cantik jelita dan berwatak gagah, sama memperlakukannya dengan sangat baik dan manis budi, juga
sama-sama keturunan pendekar sakti paling terkenal pada jamannya, yang satu keturunan Pulau Es, yang
satunya lagi bahkan keturunan Istana Gurun Pasir, tempat di mana dia mempelajari semua
kepandaiannya.
Lalu dia membandingkan dengan dirinya sendiri yang hanya seorang pemuda yatim piatu, bahkan
sebatang kara sama sekali, tanpa sanak tiada saudara, hanya putera dari seorang piauwsu yang tak
terkenal, dan sekarang hidup berkelana tanpa memiliki apa pun. Ahhh…
Apa lagi sudah jelas bahwa sejak kecil Suma Lian sudah ditunangkan, telah dijodohkan oleh neneknya
dengan Gu Hong Beng, suheng-nya sendiri, seorang pendekar tampan yang gagah perkasa. Keadaan
Hong Li bahkan lebih parah lagi. Dara ini adalah puteri dari suheng-nya, cucu dari dua di antara gurugurunya
di Istana Gurun Pasir, yang berarti masih terhitung sebagai murid keponakannya sendiri!
“Suhu, kita hendak ke mana?” Yo Han yang berjalan di belakangnya, tiba-tiba bertanya.
Suara anak itu menyeret Sin Hong kembali ke alam nyata.
“Ehhh… ohhh… ke… luar kota!” katanya agak gagap karena pertanyaan itu demikian tiba-tiba. “Kita
merantau kemana pun kaki kita membawa kita, Yo Han. Aku tak memiliki tempat tinggal tetap, aku miskin
tiada rumah tiada harta, tidak ada pekerjaan. Apakah engkau berani ikut dengan aku dalam keadaan tidak
punya apa-apa begini, menempuh kehidupan yang melarat dan sukar?”
“Mengapa tidak berani, Suhu? Kalau Suhu berani, aku pun berani!” jawabnya dengan gagah dan Sin Hong
tersenyum. Mereka melanjutkan perjalanan, kini keluar dari dusun itu menuju ke selatan, sampai lama tidak
berkata-kata.
“Suhu, kenapa Suhu menolak ajakan enci Hong Li tadi? Ia baik sekali dan ia pun amat sayang kepada
Suhu.”
Sin Hong terkejut dan menghentikan langkahnya, menunduk dan menatap wajah anak itu. Wajah yang
tampan dan sinar mata itu demikian gagah, juga terbuka.
“Yo Han, bagaimana engkau tahu bahwa ia sayang kepadaku?”
“Jelas sekali, Suhu. Ia menangis ketika berpisah, itu tandanya cinta, tandanya berat untuk berpisah.
Kenapa Suhu tidak mau menerima ajakannya dan tinggal saja di sana sehingga Suhu selalu dapat dekat
dengan enci Hong Li?”
Sin Hong mengerutkan alisnya. “Hemm, apakah engkau ingin tinggal di sana?”
Yo Han menggeleng kepala. “Aku bicara untuk Suhu. Aku sendiri, aku akan tinggal di mana pun menurut
perintah Suhu, dan sebaiknya kalau aku tinggal bersama Suhu.”
“Tidur di dalam hutan? Di bawah pohon? Di alam terbuka?”
“Biar di bawah jembatan pun aku suka, asal bersama Suhu.”
Sin Hong tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, anak baik. Kalau begitu mari kita songsong hidup baru! Tinggalkan
semua kehidupan lama, lupakan semua masa lalu! Hatiku menjadi semakin besar dan tabah karena ada
engkau di sampingku! Hayo kita hadapi segala tantangan dan rintangan dalam hidup ini, muridku!”
“Baik, Suhu, teecu (murid) siap!” berkata Yo Han dan keduanya melanjutkan perjalanan, melangkah
dengan tegap dan dengan wajah cerah memandang jauh ke depan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah tiba di tempat sunyi, Sin Hong menyuruh muridnya berhenti. “Kita berhenti sebentar di sini.
Duduklah, Yo Han, ada sesuatu yang akan kukatakan kepadamu.”
Melihat sikap suhu-nya yang serius, Yo Han lalu duduk di atas rumput di bawah pohon, sedangkan Sin
Hong ikut duduk di atas akar pohon itu. Sejenak dia memandang wajah muridnya, hatinya penuh rasa iba.
Dia telah mengambil keputusan untuk menceritakan semuanya kepada anak ini supaya dia tidak perlu
menyimpan rahasia lagi. Dia percaya seorang anak seperti Yo Han akan mampu menerima keadaan yang
bagaimana pahit pun.
“Yo Han, engkau tahu, untuk apakah engkau menjadi muridku dan hendak mempelajari ilmu silat?”
“Untuk menjadi seorang yang gagah, seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, Suhu.”
“Hemm, tahukah engkau bahwa seorang gagah pertama-tama harus bisa mengalahkan kelemahan hati
sendiri? Bahwa seorang gagah berani menghadapi segala hal sulit, dan tidak membiarkan dirinya
tenggelam dalam duka dan putus asa?”
Anak itu mengangguk, matanya yang jeli dan tajam memandang wajah gurunya penuh selidik. “Aku tahu,
Suhu. Agaknya Suhu akan bicara mengenai ayah dan ibuku! Apakah mereka telah tewas?”
Bukan main anak ini, pikir Sin Hong. Cerdik bukan main! Dia pun mengangguk. “Mereka tewas sebagai
pendekar-pendekar perkasa, muridku!”
Dengan singkat dia menceritakan betapa ayah dan ibu anak itu tewas di tangan para pimpinan
pemberontak dan betapa para pembunuh itu pun kini telah terbasmi habis. Setelah dia selesai bercerita,
dia melihat betapa wajah anak itu merah sekali dan kedua matanya mencorong.
“Muridku, seorang pendekar memang tidak seharusnya hanyut dalam kedukaan, akan tetapi melepaskan
perasaan duka melalui tangis tidak dilarang!”
Baru saja Sin Hong berkata demikian, Yo Han menubruk kaki gurunya dan menangis tersedu-sedu. Sin
Hong membiarkannya saja, hanya mengelus kepala muridnya sambil tersenyum. Tidak lama kemudian, dia
sudah membimbing tangan muridnya dan mereka melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata.
Pada suatu hari, Sin Hong dan Yo Han memasuki sebuah kota di Propinsi An-hui. Kota ini adalah kota Lujiang.
Sebuah telaga kecil berada di dekat kota ini, dan sebuah sungai mengalir menuju ke selatan di mana
sungai itu akan menumpahkan airnya ke dalam Sungai Yang-ce yang besar.
Sin Hong tertarik melihat keindahan pemandangan di luar kota ini, di daerah perbukitan yang merupakan
bagian terbelakang dari perbukitan lembah Sungai Yang-ce. Apa lagi ketika melihat sebuah kuil tua yang
sudah tidak dipergunakan lagi, sebuah kuil yang berdiri di atas bukit kecil di luar kota Lujiang, dengan
sebuah menara kecil tinggi. Dia merasa tertarik dan mengambil keputusan untuk berhenti di tempat itu
untuk beberapa lamanya. Kadang-kadang ia membutuhkan tempat yang baik untuk memberi pendidikan
dan pelajaran ilmu silat kepada muridnya.
Selama perantauannya bersama Yo Han, hari, pekan dan bulan lewat dengan cepat sekali dan tahu-tahu
kini Yo Han sudah berumur kurang lebih sembilan tahun. Sudah hampir dua tahun mereka merantau dan
belum juga dia memperoleh sebuah tempat yang dianggap cukup menyenangkan untuk dijadikan tempat
tinggal dan belum juga dia dapat memutuskan pekerjaan apakah yang akan dilakukan.
Karena dia bukanlah orang yang memiliki banyak uang, maka mereka harus berhemat. Ada kalanya
mereka bekerja membantu di kuil-kuil hanya sekedar mendapatkan makan, dan bahkan pakaian mereka
pun sudah mulai ditambal-tambal!
Sin Hong membiarkan keadaan mereka seperti itu sebab hal ini merupakan gemblengan batin bagi
muridnya, dan ternyata Yo Han sama sekali tidak pernah mengeluh, biar pun pakaiannya sudah bertambaltambal
dan kadang-kadang Sin Hong sengaja mengajak muridnya itu makan sehari sekali saja, bahkan
pernah mereka berpuasa sampai dua hari dua malam! Melihat sikap Yo Han yang tabah, tak pernah
mengeluh, hati Sin Hong merasa semakin suka kepada anak itu.
Mereka memasuki kuil tua dan memilih tempat yang tidak bocor dan tidak begitu kotor, di ruangan samping
kiri. Tanpa diperintah Yo Han kemudian membersihkan tempat itu, menyapu dengan daun-daun kering dan
dunia-kangouw.blogspot.com
mengumpulkan jerami untuk menjadi tilam agar lantai itu tidak terlalu lembab untuk diduduki atau pun
ditiduri.
Sin Hong mengeluarkan beberapa potong uang kecil dan menyerahkan uang itu kepada muridnya. “Yo
Han, pergilah ke kota dan beli makanan serta sedikit arak.”
“Baik, Suhu, akan tetapi teecu (murid) hendak membuat api unggun dan memasak air lebih dulu untuk
dibuat air teh. Bukankah Suhu sudah merasa haus?”
Sin Hong tersenyum. Sama sekali tidak rugi mempunyai seorang murid seperti Yo Han. Anak itu selalu
memperhatikan keperluannya dan amat berbakti kepadanya. Tak pernah sedikit pun dia merasa bahwa
kehadiran Yo Han dalam kehidupannya menjadi beban. Bahkan sebaliknya, dalam diri anak itu dia
menemukan seorang murid, seorang kawan, seorang pembantu, bahkan seorang penghibur sebab anak
itu amat pandai memancing kegembiraannya.
Yo Han lincah dan kadang-kadang jenaka dan nakal, akan tetapi tak pernah membikin marah dan selalu
siap melayani gurunya.
“Biarlah aku sendiri yang akan membuat air teh, Yo Han. Sejak kemarin engkau belum makan, tentu sudah
lapar. Belilah roti kering dan dendeng, seguci kecil arak dan kalau engkau ingin membeli buah-buahan
segar untukmu, belilah. Boleh kau habiskan uang itu membeli makanan.”
Yo Han mengangguk dan mengantungi beberapa keping uang itu, lalu berpamit dan pergilah dia dengan
cepat, setengah berlari, menuju ke kota yang temboknya sudah nampak dari sana. Kuil itu berada di atas
bukit kecil dan dari sana dapat nampak kota Lu-jiang. Sin Hong mengikuti muridnya dengan pandang
matanya sambil tersenyum.
Yo Han tentu saja merasa lapar. Sejak kemarin siang dia belum makan, hanya minum air sumber saja
karena suhu-nya mengajak dia berjalan terus. Dia bukan anak bodoh. Dia tahu bahwa suhu-nya amat
sayang padanya dan bahwa suhu-nya adalah seorang pendekar yang budiman. Jika suhu-nya membiarkan
dia kurang makan, bahkan kadang-kadang berpuasa, hal itu bukan karena gurunya itu hendak
menganiayanya.
Suhu-nya sendiri pun sama-sama tidak makan, dan dia tahu bahwa suhu-nya menahan lapar hanya untuk
kepentingannya! Untuk menggemblengnya! Maka dia merasa makin berterima kasih kepada gurunya itu,
satu-satunya orang di dunia ini yang baik padanya, pengganti ayah ibunya, pengganti keluarganya!
Mengingat kebaikan gurunya ini, hatinya menjadi gembira dan dia berloncatan menuju ke kota,
membayangkan apa yang akan dibelinya. Dia sama sekali tidak mengingat akan kesukaan dirinya sendiri.
Tidak! Dia akan membeli roti kering dan dendeng serta arak, kemudian sisa uang itu akan dibelikan buah
jeruk yang manis, kesukaan gurunya!
Ketika berloncatan dan berlarian, dia melihat tiga orang anak yang usianya sebaya atau hanya lebih tua
dua tiga tahun darinya sedang bermain-main di tepi jalan. Dia tidak memperhatikan karena dia sedang
melamun tentang apa yang akan dibelinya untuk menyenangkan hati gurunya dan baru dia terkejut bukan
main ketika terdengar suara anjing menyalak dan seekor anjing berbulu putih telah menggigit kakinya!
Yo Han sudah mulai dilatih oleh gurunya, berlatih kuda-kuda, pengerahan tenaga, dan langkah-langkah
kaki yang menjadi dasar ilmu silat. Sekarang ketika dia merasa betapa kakinya menjadi sasaran moncong
anjing yang terbuka, dia cepat menarik kaki kiri yang hendak digigit, lalu kaki kanannya menendang ke
arah perut anjing yang tidak berapa besar itu.
“Hukkk! Kaing... kaing...!”
Anjing itu terlempar bergulingan dan menguik-nguik kesakitan. Saat itu barulah Yo Han tahu bahwa yang
ditendangnya itu hanyalah seekor anak anjing yang bulunya putih dan bagus sekali!
“Keparat kejam! Kau kurang ajar sekali, berani menendang anjing kesayangan kami yang tidak bersalah!”
Yo Han menengok dan ternyata tiga orang anak laki-laki yang tadi bermain-main di tepi jalan, kini sudah
berdiri menghadapinya dengan sikap marah sekali. Kiranya anjing itu milik mereka, pikirnya dengan hati
menyesal.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tapi... tapi... ia tadi akan menggigit kakiku...,“ dia membela diri.
“Menggigit? Huh, anak anjing kecil itu hanya mengajakmu bermain-main. Ia tak pernah menggigit, kalau
menggigit pun hanya main-main, tidak sakit. Akan tetapi dengan kejam engkau telah menendangnya!” kata
seorang di antara mereka yang terkecil, yang kini telah memondong anjing yang kelihatan ketakutan itu
sambil mengelus-elus kepalanya dengan penuh kasih sayang. Yo Han merasa semakin menyesal.
“Maaf... aku... aku tadi terkejut sekali, melihat ada anjing hendak menggigit kakiku sambil menyalak, aku
tidak melihat bahwa anjing itu hanya anak anjing. Karena kaget aku lalu menendangnya. Maafkanlah aku.”
Dia teringat akan nasehat gurunya bahwa kalau dia melakukan suatu kesalahan, biar terhadap seorang
anak kecil sekali pun, dia harus berani menyatakan penyesalannya dan minta maaf.
“Enak saja minta maaf! Apakah kalau sudah minta maaf, anjing kami itu lalu sudah tidak merasa nyeri lagi
oleh tendanganmu tadi? Huh, engkau tentu anak jembel yang datang dari luar kota maka tidak mengenal
kami dan berani berbuat kurang ajar!” seorang di antara mereka yang paling besar membentak sambil
bertolak pinggang, usianya kurang lebih dua belas tahun.
Kini, Yo Han melihat bahwa tiga orang anak itu bersikap gagah dan pakaian mereka ringkas seperti
pakaian yang biasa dipergunakan untuk berlatih silat. Kembali Yo Han meminta maaf, sekali ini dia
merangkap kedua tangan di depan dada untuk memberi hormat.
“Saya merasa bersalah dan saya menyesal sekali sudah lengah dan terburu nafsu, menendang anjing kecil
yang tidak bersalah itu. Harap kalian suka memaafkan saya.” Dia mengatur kata-katanya dengan sopan
dan merendahkan diri.
“Orang yang melakukan kesalahan harus dihukum!” bentak orang ke dua yang usianya sebaya dengan Yo
Han. “Kau layak dipukul!”
Yo Han menarik napas panjang. Nasib, pikirnya. Akan tetapi, semua nasehat gurunya masih bergema di
telinganya, maka dia pun mengangguk dan pasrah.
“Kalau kalian masih merasa penasaran dan sakit hati, nah, tamparlah mukaku sebagai hukuman atas
kesalahanku menendang anjing kalian tadi. Silakan!” Dia memanjangkan leher, memberikan mukanya
untuk ditampar.
“Bagus kalau kau tahu diri! Memang kami ingin memukulmu!” kata anak terbesar. “Mari, Sute, kita hajar
anak jembel ini sampai dia bertobat!”
Yo Han yang sudah mengambil keputusan untuk menyerahkan mukanya untuk ditampar sebagai penebus
kesalahannya, memejamkan kedua matanya dan bersiap menerima tamparan yang bagaimana keras pun
pada mukanya.
“Plakkk! Dukkk! Desss...!”
Tubuh Yo Han terpelanting ke atas tanah dan dia membuka mata, menggoyang-goyang kepalanya yang
terasa pening, mengelus dada dan perut. Dia tidak hanya mendapatkan satu kali tamparan, akan tetapi
juga dadanya dipukul dan perutnya ditendang!
Yo Han merasa penasaran sekali. Mereka itu sangat keterlaluan, pikirnya. Sekali maju tiga orang
menyerangnya dan memukul dengan keras, sungguh tidak sepadan dengan kesalahannya tadi. Akan
tetapi karena teringat akan kesalahannya, dia pun menahan kemarahannya dan mengusap bibirnya yang
berdarah karena ujung bibir itu pecah terkena tamparan yang amat keras, lalu dia bangkit berdiri.
“Aku sudah menerima hukuman. Kesalahanku sudah terbayar lunas sekarang,” katanya.
Dia hendak melanjutkan perjalanannya ke kota untuk membeli makanan dan minuman seperti yang
dipesan gurunya. Akan tetapi tiba-tiba anak terbesar menarik bajunya, di sentakkan ke belakang sehingga
Yo Han hampir jatuh.
“Hemmm, kau hendak lari ke mana? Tak boleh pergi sebelum kami selesai denganmu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sepasang alis Yo Han yang hitam dan tebal itu berkerut, sepasang mata itu mencorong penuh selidik
ketika Yo Han menatap wajah anak laki-laki yang tubuhnya gempal itu. “Bukankah kalian sudah memukul
aku sebagai hukuman atas kesalahanku? Kalian mau apa lagi dan mengapa menahan aku?”
“Kesalahanmu ada dua macam. Pertama, engkau menendang anjing kami dan untuk itu memang kami tadi
sudah menghukum kamu dengan pukulan. Akan tetapi kesalahan kedua belum lunas, dan harus dibayar
sekarang.”
“Kesalahan yang mana lagi?” Yo Han bertanya penasaran.
“Engkau tak menghargai kami, tidak menghormati kami. Ketahuilah bahwa kami adalah murid-murid Ngoheng
Bu-koan, dan kau sudah bersikap kurang ajar kepada kami. Inilah kesalahanmu ke dua dan untuk ini,
engkau harus berlutut dan menyebut kami tuan-tuan muda dan minta maaf atas sikapmu yang kurang ajar
itu.”
Wajah Yo Han berubah merah. Suhu-nya selalu menekankan bahwa dia harus rendah hati dan mengalah,
akan tetapi tidak boleh rendah diri dan pengecut. Tiga orang anak ini jelas hendak menghinanya dan kalau
dia mentaati perintah mereka, berlutut minta maaf, berarti dia rendah diri dan penakut. Mereka itu
sewenang-wenang dan sombong, maka tidak perlu dihormati, bahkan layak kalau ditentang.
“Aku tidak mengenal siapa kalian, dan andai kata sudah mengenal sekali pun, aku tak biasa menjilat orang
yang kedudukannya lebih tinggi. Aku tak merasa bersalah dengan sikapku, maka sudahlah, aku masih
banyak urusan dan harus pergi sehingga tak dapat melayani kalian lebih lama lagi!” Berkata demikian Yo
Han lalu membalikkan tubuh dan hendak pergi.
“Jembel sombong! Engkau memang harus dipukul sampai setengah mati baru tahu rasa!” bentak anak
terbesar.
Yo Han maklum bahwa dirinya diserang. Dia membalik dan mencoba untuk mengelak, akan tetapi pukulan
anak itu cepat dan tepat. Elakannya kurang cepat dan pundaknya kena tonjokan yang membuat tubuhnya
terjengkang! Akan tetapi kali ini Yo Han sudah marah sekali. Dia cepat meloncat bangun dan melihat
seorang di antara mereka sudah menerjangnya lagi, dia pun menyambut dengan tendangan.
“Uukkk!”
Anak itu kena ditendang pahanya dan terpelanting. Dua orang kawannya segera maju mengeroyok dan
anak yang tertendang itu pun sudah bangkit lagi dan ikut mengeroyok.
Yo Han dikeroyok tiga! Kasihan anak ini. Tiga orang lawannya sudah pandai bermain silat, sedangkan dia
baru mempelajari langkah-langkah dasar saja. Melawan mereka satu lawan satu saja belum tentu dia bisa
menang, apa lagi dikeroyok tiga. Tubuhnya menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan mereka.
Akan tetapi Yo Han memiliki keberanian luar biasa dan tahan uji benar-benar. Biar pun sudah puluhan kali
dia jatuh bangun, tubuhnya memar dan babak belur, pakaiannya robek-robek, dia tidak pernah
mengeluarkan keluhan dan setiap kali jatuh, dia bangun kembali, meloncat dan melawan lagi mati-matian!
Hal ini membuat ketiga orang lawannya menjadi bingung dan sedikit gentar. Mereka mengira bahwa
dengan beberapa kali dirobohkan saja, anak jembel itu akan berlutut minta ampun. Akan tetapi siapa kira,
sudah puluhan kali jatuh, anak itu tetap melawan. Apa lagi minta ampun, mengeluh pun tidak pernah!
Karena gentar, mereka agak lengah dan begitu Yo Han berhasil mencengkeram dan menjambak rambut
seorang di antara mereka, dia membanting anak itu, menggumulnya dengan kedua tangan menjambak
rambut dan dia membentur-benturkan kepala anak itu di atas tanah! Dia tidak peduli akan pukulan bertubitubi
yang dilakukan dua orang anak lain pada tubuhnya. Ia tetap menunggangi anak yang dijambaknya,
dan kepalanya terus dibentur-benturkannya di atas tanah.
Tiba-tiba anak terbesar menolong sute-nya dengan merangkul leher Yo Han dengan lengannya dan
menjepitnya. Karena lehernya terjepit dan dia tidak dapat bernapas, Yo Han gelagapan dan terpaksa
melepaskan anak yang dijambaknya tadi. Anak itu sudah mulai menangis dan daun telinganya robek dan
berdarah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Yo Han meronta-ronta, lalu berhasil membalikkan kepalanya, lalu dia membuka mulut dan menggigit
pergelangan tangan anak yang memitingnya! Digigitnya sekuat tenaga. Mulutnya merasakan darah yang
asin, gigitannya semakin kuat dan anak terbesar itu berteriak-teriak, mengaduh kesakitan. Gigitan Yo Han
baru terlepas sesudah anak yang ketiga menghantam pelipisnya sehingga membuatnya pening.
Anak yang digigit pergelangan tangannya tadi meloncat bangun dan menangis sambil memegang lengan
yang tadi digigit. Tangisnya bukan hanya karena rasa nyeri, tetapi karena khawatir melihat betapa dari
pergelangan tangan yang tergigit itu bercucuran darah yang banyak sekali! Dua orang sute-nya juga
bingung dan takut, lalu mereka bertiga melarikan diri ke kota, diikuti anjing bulu putih.
Yo Han berusaha membereskan pakaiannya, akan tetapi tidak dapat dibereskan lagi karena pakaian yang
tua itu memang sudah compang-camping, maka akhirnya dia hanya mengebut-ngebutkan bagian yang
kotor oleh tanah dan debu saja.
Akan tetapi, tiba-tiba wajahnya berubah agak khawatir ketika tangannya merogoh saku baju dan tidak
menemukan beberapa keping uang kecil pemberian gurunya! Kantung itu telah robek dan uangnya entah
jatuh ke mana. Dia mulai mencari-cari di sekitar tempat itu, namun sia-sia. Karena tidak berhasil
menemukan uang itu, akhirnya terpaksa dia kembali ke bukit di mana suhu-nya menanti di kuil tua.
Sin Hong sedang membuat minuman teh ketika melihat munculnya Yo Han. Dia merasa heran karena
alangkah cepatnya anak itu kembali. Akan tetapi keheranannya berubah menjadi kekagetan melihat anak
itu tidak membawa apa-apa, pakaiannya robek-robek dan mukanya penuh benjolan biru, tubuhnya babakbelur.
Akan tetapi, Sin Hong tetap bersikap tenang-tenang saja ketika dia bertanya, “Yo Han, apakah yang telah
terjadi denganmu?”
Yo Han duduk di atas lantai, tepat di hadapan gurunya. “Maaf, Suhu, uang pemberian Suhu hilang
sehingga teecu tidak dapat membeli apa-apa.”
“Hemmm, dan pakaianmu robek-robek, tubuhmu babak-belur...“
“Teecu... telah berkelahi, Suhu.”
Sin Hong memandang muridnya dengan alis berkerut. Dia merasa yakin bahwa kalau sampai muridnya itu
terpaksa berkelahi, sudah pasti muridnya itu tidak berada di pihak yang salah. Akan tetapi, dia telah
berulang kali memberi nasehat supaya muridnya itu menjauhkan diri dari perkelahian dan permusuhan,
maka kini dia bersikap kereng.
“Ceritakan semua!”
“Sebelum tiba di pintu gerbang kota, teecu melihat ada tiga orang anak sebaya teecu bermain-main di tepi
jalan. Mendadak ada anjing menyalak dan akan menggigit kaki teecu. Karena terkejut dan takut digigit,
teecu menendang perut anjing itu. Baru ternyata kemudian bahwa anjing itu hanyalah seekor anak anjing
dan tiga orang anak itu adalah pemiliknya. Mereka adalah murid-murid Ngo-heng Bu-koan. Mereka lalu
marah. Teecu sudah minta maaf dan teecu mempersilakan mereka menghukum teecu. Mereka bertiga
memukul teecu satu kali sampai teecu roboh. Teecu sudah menerima hukuman yang keterlaluan itu dan
hendak pergi, akan tetapi mereka melarang. Mereka mengatakan bahwa teecu mempunyai satu kesalahan
lagi, yaitu tidak menghormati mereka sebagai murid-murid Ngo-heng Bu-koan. Mereka mengharuskan
teecu berlutut minta ampun. Teecu tidak sudi dan hendak pergi, kemudian mereka menyerang dan
memukuli teecu. Terpaksa teecu melawan.”
“Dan kau kalah?”
“Mereka bertiga itu pandai silat, Suhu, sedangkan teecu belum bisa. Teecu dihujani pukulan dan
tendangan, sampai roboh puluhan kali, akan tetapi karena teecu tidak merasa bersalah, teecu melawan
terus. Akhirnya teecu dapat menghajar mereka, dan mereka melarikan diri sambil menangis.”
Sin Hong terbelalak, memandang tidak percaya. “Mereka lari sambil menangis? Bagai mana engkau
menghajar mereka?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Teecu dapat menjambak rambut seorang di antara mereka dan membentur-benturkan di atas tanah.
Ketika datang seorang lagi memiting leher teecu, teecu dapat menggigit pergelangan tangannya. Darahnya
keluar banyak sekali dan mereka lalu melarikan diri, yang dua orang itu menangis. Akan tetapi, uang itu
hilang dan harap Suhu maafkan teecu.”
Sin Hong menahan ketawanya. Dia teringat akan sikap mendiang ayah Yo Han. Ayah Yo Han yang
bernama Yo Jin itu sungguh-sungguh merupakan seorang pria yang amat mengagumkan. Seorang petani
dusun sederhana, sedikit pun tidak pandai ilmu silat, akan tetapi memiliki ketabahan melebihi seorang
pendekar yang pandai silat! Kalau membela kebenaran, Yo Jin ini tidak berkedip sedikit pun juga biar pun
diancam maut! Dan agaknya kenekatan dan ketabahan itu kini menurun kepada Yo Han.
“Anak bodoh! Sudah berapa kali kukatakan bahwa engkau tidak boleh berkelahi?”
Dibentak demikian, Yo Han cepat menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. “Harap Suhu maafkan teecu.
Teecu bersalah dan bersedia menerima hukuman!”
Sin Hong tersenyum dalam hatinya. Anak ini memang hebat, pikirnya.
“Sudahlah, Yo Han. Engkau memang hanya membela diri, akan tetapi bela diri seperti itu adalah konyol.
Untung engkau tidak dipukuli sampai mati. Jika tadi engkau melarikan diri kembali ke sini, aku tidak akan
menganggap engkau penakut. Orang berani harus memakai perhitungan, kalau hanya berani dan nekat
tanpa perhitungan, orang itu akan mati konyol. Kalau orang melarikan diri dari bahaya yang tidak dapat
ditentang dengan kepandaiannya, bukan berarti dia pengecut, namun dia menggunakan kecerdikannya.
Berani membuta bukanlah gagah namanya, melainkan bodoh dan konyol.”
“Maaf, Suhu. Teecu memang bersalah dan teecu tadi pun bingung dan ragu karena teecu tidak pernah
melupakan nasehat Suhu. Akan tetapi, bayangkan saja Suhu, andai kata teecu tidak melawan dan
melarikan diri, bukankah teecu akan dianggap takut? Padahal, teecu adalah murid Suhu yang memiliki
kesaktian, bukankah kalau teecu lari, berarti teecu membikin malu kepada Suhu?”
Sin Hong tersenyum. “Membanggakan kepandaian guru atau kepandaian sendiri hanya merupakan
kesombongan, Yo Han. Sudahlah, jangan kau kira aku pelit dan tidak suka mengajarkan silat kepadamu.
Selama ini, aku menggembleng tubuhmu agar memiliki kekuatan. Kalau engkau tidak memiliki kekuatan,
bagaimana mungkin engkau dapat bertahan dipukuli oleh tiga orang yang lebih pandai darimu, sampai
puluhan kali jatuh bangun akan tetapi tetap dapat melawan? Apa artinya memiliki kepandaian silat tinggi
jika tubuhnya lemah? Nah, sekarang engkau mengerti mengapa sampai kini aku belum mengajarkan ilmu
silat, hanya penggemblengan kekuatan tubuh dan daya tahan, juga dasar langkah-langkah ilmu silat. Mulai
hari ini, aku akan mengajarkan ilmu pukulan dan tendangan.”
Bukan main girang hati Yo Han. Dia cepat memberi hormat sampai delapan kali untuk menyatakan terima
kasihnya.
Pada saat itu, terdengar suara orang di luar kuil. “Kau yakin bahwa dia masuk ke dalam kuil ini?” demikian
terdengar suara seorang wanita.
“Benar, Suci (Kakak Seperguruan). Sudah kutanya-tanyakan, dia berada di dalam kuil tua ini,” terdengar
jawaban seorang anak-anak.
“Heiii, jembel busuk, keluarlah engkau!” Suara anak-anak itu berteriak.
“Wah, itu adalah suara anak yang teecu gigit pergelangan tangannya, Suhu,” kata Yo Han kepada gurunya,
akan tetapi dia sama sekali tidak merasa takut.
“Hemmm, mau apa dia datang? Dan dengan siapa?” Sin Hong mengangkat cawannya dan minum air teh
yang masih panas. Mereka, guru dan murid itu, selalu membawa perabot masak dalam buntalan pakaian
mereka, juga mangkok, cawan dan sumpit.
“Entahlah, Suhu. Mungkin dia minta digigit sebelah lengannya yang lain!” kata Yo Han gemas. Gurunya
mengerutkan alisnya, dan Yo Han lalu bangkit berdiri. “Suhu, biarlah teecu menghadapi mereka.”
“Tunggu, Yo Han. Jangan engkau membuat urusan menjadi semakin parah. Mari kita keluar bersama, kita
lihat apa yang mereka kehendaki.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin Hong bangkit dan bersama muridnya dia keluar dari ruangan samping itu, menuju ke depan di mana
dia melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga belas tahun bersama seorang gadis yang
bertubuh ramping padat.
Gadis itu berusia kurang lebih sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas seperti pakaian seorang ahli silat.
Rambutnya yang hitam digelung ke atas dan dihias oleh bunga emas. Pakaian berwarna hijau muda yang
berpotongan ringkas itu membuat tubuhnya nampak menggairahkan. Akan tetapi melihat sepintas saja
mudah diduga bahwa dia seorang gadis yang gagah. Wajahnya manis dengan dagu runcing, mulut kecil
dan sepasang mata yang jeli dan tajam. Seorang gadis yang gagah dan cantik.
Dengan hati yang merasa agak tidak enak karena dia harus menghadapi seorang gadis cantik yang
agaknya sedang marah, Sin Hong menghampiri mereka.
Begitu melihat Yo Han, anak itu yang kini lengannya dibalut, berseru, “Itulah dia, Suci! Itulah jembel busuk
itu!”
Gadis itu hanya sebentar saja memandang kepada Yo Han. Diam-diam ia mendongkol sekali mengingat
betapa tiga orang murid Ngo-heng Bu-koan dikalahkan oleh seorang anak laki-laki yang pakaiannya
tambal-tambalan dan compang-camping, yang usianya dua tiga tahun lebih muda dari sute-nya ini!
Memalukan sekali, pikirnya.
Dia lalu memandang kepada Sin Hong, memperhatikan pemuda itu. Seorang pemuda yang usianya kurang
lebih dua puluh empat tahun, berpakaian serba putih, bersih, tapi juga ada tambalannya. Wajah pemuda itu
biasa saja, tidak terlalu menarik, juga tidak buruk, namun sinar matanya lembut dan mulutnya tersenyum
ramah membayangkan kehalusan watak.
Sin Hong mendahului gadis itu, mengangkat dua tangan ke depan dada untuk memberi hormat.
Perbuatannya ini diturut oleh muridnya sehingga gadis itu kembali terheran melihat betapa kedua orang
jembel itu bersikap demikian sopan.
“Maafkan kami, Nona. Apakah Ji-wi (Kalian berdua) datang untuk mencari kami?” Sin Hong bertanya
dengan sikap yang halus dan sopan.
Gadis itu memandang bingung. Kalau yang menggigit dan menjambak para murid kecil perguruan ayahnya
hanya seorang bocah berusia kurang lebih sembilan tahun, tentu saja ia tidak bisa turun tangan
menghajarnya! Bagaimana mungkin ia harus menyerang seorang bocah?
Dia adalah Bhe Siang Cun, puteri dari ketua atau kauwsu (guru silat) perguruan silat Ngo-heng Bu-koan!
Bahkan kini dialah yang setiap hari membimbing dan mengajar para murid perguruan silat itu mewakili
ayahnya. Memalukan sekali kalau ia harus berkelahi melawan seorang anak kecil berusia sembilan tahun!
Dia lalu mengalihkan pandang matanya dan memperhatikan Sin Hong tanpa membalas penghormatan
pemuda itu. “Aku mencari bocah bengal ini. Apamukah dia?”
Ia melirik kepada Yo Han yang menahan dirinya untuk diam saja sebab ia takut kepada gurunya. Akan
tetapi ia membalas pandang mata gadis itu dengan berani dan sikapnya tenang sekali. Ia merasa tidak
bersalah, maka sedikit pun tidak merasa takut.
“Dia ini adalah muridku, Nona. Kalau dia melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan hatimu, harap
Nona suka memaafkan anak yang masih kecil ini.”
Mendengar bahwa pemuda itu adalah guru dari anak nakal itu, legalah rasa hati Siang Cun. Setidaknya ia
akan dapat berurusan dengan gurunya, bukan dengan bocah itu.
“Bagus!” katanya. “Engkau adalah gurunya maka harus engkau pula yang bertanggung jawab atas
kejahatannya! Biar pun dia masih kecil, akan tetapi dia jahat sekali. Lihat apa yang telah dilakukannya
terhadap sute-ku ini. Dia ini sute-ku, akan tetapi akulah yang membimbing mereka, maka aku dapat juga
disebut guru mereka. Ketiga orang sute-ku ini telah luka-luka karena perbuatan muridmu yang jahat ini.
Lihat pergelangan tangan sute-ku yang ini digigit sampai terluka parah dan banyak darah terbuang.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin Hong menahan senyumnya. Gadis itu lincah dan galak, menunjukkan sikap yang mengandung
kegagahan biar pun ada keangkuhan membayanginya. “Sekali lagi maaf. Muridku telah bercerita kepadaku
tentang perkelahian antara dia dan tiga orang anak-anak yang usianya lebih tua darinya. Menurut dia, dia
telah dihina dan dikeroyok oleh tiga orang anak itu, maka dia membela diri...”
“Dia telah menendang anjing peliharaan dan kesayangan kami!” Gadis itu memotong. “Sudah sepatutnya
jika dia dihajar atas perbuatannya itu! Dan kalau ia melawan secara gagah dan benar, kami pun tidak akan
ribut lagi. Kalau ketiga orang sute-ku kalah oleh ilmu silatnya, aku hanya akan menegur murid-murid ini.
Akan tetapi muridmu ini jahat, menggunakan kecurangan, menggigit dan mencakar!”
Sin Hong kini tersenyum. “Muridku ini sudah mengakui kesalahannya menendang anak anjing itu karena
kaget ketika diserbu oleh anjing itu, akan tetapi ketiga orang anak itu mengeroyoknya. Muridku ini tidak
pandai silat, mana mungkin menggunakan ilmu silat untuk membela diri? Ia hanya bisa menggigit,
mencakar, hanya untuk membela dirinya yang dipukuli tiga orang anak. Harap Nona suka memaafkan kami
dan menyudahi saja urusan antara anak-anak kecil ini. Lihat, muridku juga sudah babak belur. Tentu dia
lebih banyak menerima pukulan dari pada para sute-mu, dan dia lebih banyak menderita kesakitan.”
Diam-diam Sin Hong merasa bangga melihat kenyataan betapa muridnya itu, biar pun lebih banyak
menerima hantaman, tapi tetap tenang dan tabah, tidak seperti anak yang lengannya dibalut itu, kelihatan
cengeng.
“Tidak bisa!” Siang Cun membantah. “Jika tidak ada gurunya, aku hanya akan menegur bocah bengal ini.
Namun setelah ada gurunya yang bertanggung jawab, maka engkau sebagai gurunya harus berani
menghadapi akibat perbuatan muridmu dan bertanggung jawab sepenuhnya!”
Sin Hong mengerutkan alisnya. Gadis ini terlalu mendesak dan mau menang sendiri saja, pikirnya. Akan
tetapi dia masih tersenyum.
“Lalu apa yang harus kulakukan untuk mempertanggung jawabkan perbuatan muridku, Nona? Tentu saja
aku suka bertanggung jawab.”
“Para sute-ku atau juga murid-muridku berkelahi dengan muridmu yang menggunakan kecurangan. Kini,
kita sama-sama guru atau pelatih masing-masing harus menentukan siapa di antara kita yang lebih unggul!
Aku tantang kamu untuk mengadu ilmu silat secara adil dan jujur, tidak menggunakan kecurangan.”
Setelah berkata demikian, Siang Cun sudah mengambil sikap, memasang kuda-kuda ilmu silat perguruan
ayahnya.
Ayahnya adalah seorang ahli ilmu silat Ngo-heng-kun, dan ilmu silat tangan kosong ini memiliki banyak
sekali perkembangan sehingga dapat dipergunakan untuk memainkan senjata apa pun juga. Sesuai
namanya, Ngo-heng-kun (Silat Lima Unsur) memiliki lima macam sifat yang paling berlawanan dan juga
saling membantu.
Ayah Siang Cun yang bernama Bhe Gun Ek adalah seorang pendekar yang menguasai ilmu-ilmu silat
Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai. Penggabungan kedua aliran inilah yang menciptakan Ngo-heng-kun seperti
yang dimilikinya sekarang, yang berbeda dengan Ngo-heng-kun dari Siauw-lim-pai mau pun Bu-tong-pai,
akan tetapi yang mengandung bagian-bagian terindah dan terlihai dari keduanya.
Ketika memasang kuda-kuda ilmu silat Ngo-heng-kun, Siang Cun berdiri dengan kedua kaki terpentang,
yang kiri di depan, yang kanan di belakang, ditekuk agak menyerong. Tubuhnya tegak, kedua lengannya
melingkar di depan dada, membentuk tanda Im-yang karena Im-yang merupakan inti dari Ngo-heng.
Sikapnya gagah dan kuda-kuda itu amat indah, membuat Sin Hong kagum dan tertarik.
Tentu saja sama sekali dia tidak berniat untuk berkelahi apa lagi bermusuhan dengan gadis itu atau siapa
saja hanya karena perkelahian anak-anak maka dia pun tidak mau melayani gadis itu.
“Nona, maafkanlah kami. Aku tidak ingin berkelahi dan biarlah sebelum berkelahi aku mengaku kalah
padamu!”
Mendengar ini, diam-diam Yo Han merasa penasaran sekali. Dia menganggap gurunya orang yang amat
gagah perkasa, sakti dan tak mengenal takut. Akan tetapi mengapa gurunya menerima saja sikap gadis ini
yang demikian angkuh dan memandang rendah? Dia tidak berani menegur gurunya, akan tetapi anak yang
dunia-kangouw.blogspot.com
banyak akalnya ini mengambil keputusan untuk menambah minyak pada api yang membakar dada gadis
itu agar gadis itu benar-benar dapat bertanding melawan gurunya!
“Bibi yang baik...“ Dia berkata sambil melangkah maju mendekati Siang Cun.
“Aku bukan bibimu!” bentak gadis itu, semakin marah karena ia merasa tidak pantas seorang anak berusia
sembilan atau sepuluh tahun menyebut ia bibi, padahal ia baru berusia sembilan belas tahun.
Yo Han yang memang sengaja, segera melanjutkan. “Ah, Enci yang baik, harap jangan melanjutkan sikap
Enci menantang Suhu-ku. Tidak tahukah Enci bahwa Suhu bersikap mengalah kepadamu? Kalau Suhu
menanggapi dan menyambut tantanganmu, dalam beberapa jurus saja Enci tentu akan kalah...“
“Yo Han...!” Sin Hong berseru, alisnya berkerut. Ia terkejut mendengar ucapan muridnya itu yang demikian
menyombongkan diri.
Yo Han membungkam dan melangkah mundur, tetapi sudah cukup baginya. Akalnya itu berhasil, karena
wajah Siang Cun menjadi merah padam dan gadis itu sudah menjadi marah sekali.
“Bagus, kalian adalah orang-orang sombong! Nah, sambutlah seranganku, hendak aku lihat apakah benar
dalam beberapa jurus engkau mampu mengalahkan aku!” Berkata demikian, tanpa memberi kesempatan
kepada Sin Hong untuk membantah lagi, Siang Cun sudah menyerang dengan cepatnya. Serangannya itu
cepat bertubi-tubi datangnya, dan setiap tamparan, tonjokan atau tendangan mendatangkan angin yang
kuat, tanda bahwa gadis ini memiliki kekuatan sinkang yang sudah lumayan hebatnya.
“Plak-plak! Wuuuuuttt...! Plak-wuuut-wuuuttt!”
Lima kali berturut-turut Siang Cun mengirim serangan yang cukup dahsyat. Sin Hong yang didesak itu
hanya main mundur, menangkis atau mengelak. Ketika menangkis, dia menyimpan tenaganya karena tidak
ingin mencelakai gadis itu.
Akan tetapi dia kagum ketika mendapat kenyataan bahwa kekhawatirannya itu tidak beralasan karena
gadis itu ternyata memiliki sinkang yang kuat! Dan setiap serangan yang dilakukan gadis itu pun dahsyat,
cepat dan amat kuat sehingga dalam gebrakan pertama saja tahulah Sin Hong bahwa gadis ini bukan
seorang ahli silat sembarangan saja, melainkan seorang yang telah mewarisi ilmu silat tingkat tinggi.
Di lain pihak, Siang Cun juga terkejut bukan main. Tadinya dia memandang rendah pemuda berpakaian
putih itu. Muridnya hanya pandai mencakar dan menggigit, tentu gurunya juga hanya mempunyai ilmu silat
pasaran saja. Tetapi, sungguh mengherankan sekali betapa serangkaian serangannya yang termasuk
jurus-jurus cukup ampuh dapat dihindarkan pemuda itu dengan tangkisan dan elakan yang cukup lincah!
Dan biar pun ia tidak merasakan adanya tenaga yang kuat ketika pemuda itu menangkis, namun pemuda
itu pun tidak nampak terhuyung atau terdorong mundur.
Ia menjadi amat penasaran. Sekarang Bhe Siang Cun mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan
serangkaian jurus-jurus simpanan dari Ngo-heng-kun untuk merobohkan atau mengalahkan lawannya!
Sin Hong semakin kagum. Kiranya gadis ini memang lihai sekali. Ilmu silatnya itu hebat, selain cepat dan
kuat, juga memiliki gaya yang indah dan daya serang yang berbahaya. Terpaksa dia mulai menggunakan
sinkang-nya jika dia tidak ingin celaka atau benar-benar roboh di tangan gadis ini!
Kini Sin Hong mulai memainkan ilmu silat gabungan antara Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa)
yang dipelajarinya dari seorang di antara tiga orang gurunya di Istana Gurun Pasir, yaitu Tiong Khi Hwesio.
Dia tidak memainkan Pek-ho Sin-kun, karena ilmu ini terlalu hebat untuk dipakai main-main, dan hanya dia
pergunakan kalau terpaksa sekali menghadapi lawan yang amat tangguh.
Begitu dia mainkan gabungan kedua ilmu silat sakti ini dan mengerahkan sinkang-nya, beberapa kali Siang
Cun mengeluarkan seruan kaget. Barulah ia tahu bahwa pemuda berpakaian putih ini benar-benar lihai
sekali dan ia pun kini merasa betapa pemuda itu sejak tadi banyak mengalah dan jarang membalas
serangannya, bahkan main mundur saja. Padahal, setiap kali beradu lengan, ia merasa lengannya
kesemutan dan seperti hampir lumpuh disebabkan getaran hebat yang terkandung dalam lengan pemuda
itu. Mulailah ia merasa kagum, heran dan menduga-duga siapa adanya pemuda yang amat lihai ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, melihat betapa gurunya selalu menangkis, mengelak, dan selalu main mundur, diam-diam
Yo Han merasa khawatir juga. Dia percaya penuh kepada suhu-nya, yakin akan kelihaian suhu-nya. Akan
tetapi agaknya suhu-nya tidak mau bersungguh-sungguh melawan gadis ini dan hal inilah yang
membuatnya khawatir.
Ada pun anak laki-laki yang dibalut lengannya, yang tadi digigitnya, kelihatan gembira sekali. Anak itu lalu
mendekati Yo Han dan berkata dengan nada suara sombong.
“Gurumu itu sebentar lagi tentu akan dipukul roboh oleh Suci!”
Yo Han mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada bekas lawan itu. “Belum tentu! Suhu-ku
bukan orang yang mudah dikalahkan!”
“Hemmm, kita lihat saja! Suci-ku adalah puteri dari suhu, ketua dari Ngo-heng Bu-koan yang telah terkenal
di seluruh dunia. Suci-ku gagah perkasa dan tak pernah terkalahkan seperti seekor Naga Betina!”
Diam-diam Yo Han mendongkol. Mana ada manusia dibandingkan naga? Bohong dan membual saja, akan
tetapi karena marah dia pun tidak mau kalah. “Apa anehnya Naga Betina? Suhu-ku sama dengan Naga
Emas!”
Mendengar Yo Han menyebut Kim-liong (Naga Emas), tiba-tiba anak itu terbelalak dan wajahnya berubah
kaget dan agak pucat. “Dia... dia... dari Kim-liong?”
Tentu saja Yo Han tidak mengerti apa yang dimaksudkan anak itu, akan tetapi karena sudah terlanjur
membual, dia pun mengangguk. “Tentu saja dia adalah Kim-liong. Kau kira siapa?”
Sungguh mengherankan sekali. Mendengar ini, anak itu lalu lari menghampiri suci-nya yang sedang
bertanding dan dia pun berteriak, “Suci, awas! Dia itu dari Kim-liong-pang!”
Mendengar ini, Siang Cun juga nampak terkejut dan ia pun cepat mencabut sepasang pedang yang
semenjak tadi tergantung di punggungnya. Dara ini memang tadi ingin mengadu ilmu dengan Sin Hong,
akan tetapi hal itu terdorong oleh rasa penasaran saja. Ia tidak ingin bermusuhan pula, maka tidak pernah
menggunakan senjata.
Akan tetapi kini, begitu mendengar disebutnya Kim-liong-pang, ia menjadi marah dan kaget, lalu seketika
mencabut sepasang pedangnya dan membentak. “Keparat, kiranya engkau jahanam dari Kim-liong-pang!”
Dan tanpa memberi kesempatan kepada Sin Hong untuk membantah, Siang Cun kini sudah memutar
sepasang pedangnya dan menyerang dengan hebat! Gadis ini memang mempunyai keahlian memainkan
sepasang pedang. Ilmu pedangnya masih merupakan perkembangan dari Ngo-heng-kun. Dengan bantuan
ayahnya yang ahli, gadis ini telah berhasil menciptakan ilmu pedangnya sendiri yang diberi nama Ngoheng-
kiam-hoat (Ilmu Pedang Lima Unsur) yang hebat.
Sin Hong terkejut sekali. Dia hendak menyangkal bahwa dia dari Kim-liong-pang, karena memang ia sama
sekali tidak tahu menahu tentang Kim-liong-pang. Akan tetapi melihat permainan sepasang pedang yang
indah dan ampuh itu, dia pun tertarik.
Seperti para pendekar pada umumnya, ilmu silat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan Sin Hong. Ilmu silat merupakan kesukaannya, olah raganya, keseniannya, bahkan pelindung
dirinya. Maka, tiap kali mendapat kesempatan bertemu tanding, hal ini merupakan suatu kegembiraan
tersendiri. Apa lagi kalau melihat ilmu silat lawan yang indah dan ampuh, tentu timbul keinginan hatinya
untuk menguji ilmu itu, atau juga untuk menguji kepandaian sendiri, apakah akan mampu melawan orang
yang memiliki ilmu yang indah dan ampuh itu.
Karena itu, begitu melihat gadis itu memainkan sepasang pedangnya, timbul keinginan hati Sin Hong untuk
menguji ilmu itu dan dia pun segera memainkan Pek-ho Sin-kun!
Terjadilah perkelahian yang amat indah ditonton, akan tetapi juga menegangkan karena nampaknya amat
berbahaya bagi Sin Hong. Dua gulungan sinar pedang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, dibarengi
suara berdesing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tubuh Sin Hong lenyap, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara dua gulungan sinar
pedang. Sin Hong memainkan Pek-ho Sin-kun dengan cekatan sekali. Kedua lengan ditelusuri tenaga
sinkang yang amat hebat, yaitu sinkang gabungan yang diterimanya dari ketiga orang gurunya, manusiamanusia
sakti di Istana Gurun Pasir.
Dengan tangan dan lengan telanjang, pemuda ini sekarang berani menangkis pedang atau senjata apa
pun tanpa takut kalau kulit lengannya lecet! Kedua tangan itu kadang-kadang membentuk moncong atau
paruh burung bangau putih, lengan menjadi leher yang panjang dan paruh itu dapat mematuk-matuk
berupa totokan-totokan pada jalan darah di tubuh lawan, bahkan lengan yang menjadi leher itu juga dapat
menangkis dan membelit senjata, mencoba merampasnya.
Kadang-kadang kedua lengan itu menjadi seperti sepasang sayap burung dan gerakan tubuh pemuda itu
indah bukan main. Kadang-kadang, kedua kakinya membuat langkah yang lebar, kadang-kadang pula
geseran kakinya halus dan pendek-pendek, dan ada kalanya tubuhnya itu meloncat tinggi seperti bangau
terbang, dan dalam keadaan tubuh melayang ini keempat buah kaki dan tangannya dapat melakukan
serangan yang amat dahsyat dari atas!
Akan tetapi, seperti juga tadi, Sin Hong yang hanya ingin menguji ilmu pedang gadis itu tidak bertindak
sungguh-sungguh dalam serangannya, lebih banyak membela diri saja. Jika dia menghendaki, mengingat
bahwa tingkat ilmu kepandaiannya masih jauh di atas Siang Cun, tentu dalam waktu yang tidak terlalu lama
dia akan dapat merobohkan gadis itu, atau setidaknya merampas sepasang pedangnya.
Namun, dia tidak mau melakukan hal itu, karena kalau dia berbuat demikian, tentu akan semakin besar
kemarahan dan dendam gadis itu kepadanya dan permusuhan antara mereka tentu akan menjadi-jadi. Dia
kini dapat menduga bahwa selain marah karena para sute-nya tadi dijambak dan digigit Yo Han, juga
dalam urusan antara dia dan gadis ini timbul suatu kesalah pahaman mengenai Kim-liong-pang yang
belum dikenalnya.
Sementara itu, Bhe Siang Cun kini benar-benar terkejut. Bukan hanya karena seruan sute-nya yang
mengatakan bahwa pemuda berpakaian putih ini dari Kim-liong-pang, akan tetapi kenyataan bahwa betapa
dengan kedua tangan kosong, pemuda itu mampu menghindarkan semua serangannya! Dan hebatnya,
pemuda itu berani menangkis dua pedangnya dengan tangan dan lengan begitu saja tanpa terluka atau
lecet sedikit pun!
Tak disangkanya bahwa lawan ini demikian lihainya dan ia pun mulai merasa khawatir. Jika lawannya ini
dari Kim-liong-pang, maka ia tak mungkin bisa keluar dari perkelahian itu dalam keadaan hidup! Tinggal
dua pilihan, yaitu membunuh atau terbunuh! Maka ia pun semakin nekat memutar pedangnya dengan
cepat dan mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh.
Melihat kenekatan gadis itu, Sin Hong merasa semakin khawatir. Perkelahian ini harus dihentikan
secepatnya, pikirnya. Maka, ketika pedang kanan dari gadis itu menyambar dari atas ke bawah, dia
menggeser kaki mundur dan ketika pedang itu lewat, tangan kanannya menyambar bagaikan paruh
bangau putih, dan tahu-tahu dua jari tangannya ditekuk, yaitu telunjuk dan jari tengah, dan dua jari itu telah
menjepit pedang itu!
Bhe Siang Cun sekuat tenaga menarik pedangnya, namun sia-sia. Pedang itu seperti terjepit catut baja
yang amat kuat!
“Sudahlah, Nona. Hentikan pertandingan ini dan mari kita bicara!”
“Tutup mulutmu! Aku tidak takut mati dan aku tidak sudi berunding dengan orang-orang Kim-liong-pang!”
Gadis itu menarik-narik lagi tanpa hasil.
“Nona, aku bukan orang Kim-liong-pang!”
“Tak perlu berbohong!”
Siang Cun merasa gemas sekali karena pedangnya dijepit dua jari dan ia tidak mampu menarik kembali,
merasa terhina dan dipermainkan. Hampir tidak masuk di akal kalau pedangnya dapat dijepit dua buah jari
lawan tanpa ia mampu melepaskannya kembali! Ia dianggap anak kecil yang tidak berdaya saja! Sambil
membentak, kini pedang di tangan kirinya membuat gerakan memutar dan membacok ke arah kepala Sin
Hong.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tranggg...!”
Gadis itu terkejut karena pedang kirinya tertangkis oleh pedang kanannya sendiri, yang terbawa oleh dua
buah jari tangan yang membetotnya! Beberapa kali pedang kirinya coba membacok, selalu ditangkis oleh
pedangnya sendiri. Ia demikian jengkel dan malu sehingga mukanya merah dan matanya panas. Hampir ia
menangis!
Tiba-tiba terdengar lagi suara anak yang dibalut lengannya itu berseru, “Suhu, dia orang Kim-liong-pang!”
Dan pria yang baru datang itu, yang bukan lain adalah Bhe Gun Ek, melihat betapa puterinya dipermainkan
oleh seorang pemuda yang amat lihai. Melihat betapa dengan sepasang pedang di tangan Siang Cun
masih dapat dipermainkan, tahulah dia bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi.
“Orang Kim-liong-pang banyak lagak!” serunya dan dia pun meloncat ke dekat dua orang yang sedang tarik
menarik pedang itu, dan dengan kedua tangan didorongkan, Bhe-kauwsu (guru silat Bhe) menyerang Sin
Hong.
Sin Hong mendengar suara angin pukulan itu dan terkejut sekali. Itulah pukulan yang mengandung tenaga
sakti amat kuat dan amat berbahaya. Terpaksa dia lalu mendorong sehingga tubuh Siang Cun terhuyung
ke belakang, dan dia pun cepat-cepat menyambut dorongan kedua tangan lawan baru itu dengan kedua
tangannya sendiri. Namun karena dia tidak bermaksud untuk mencari musuh, maka dia tidak mau
menyambut dengan perlawanan keras, melainkan menyambut dan mengatur tenaganya untuk menyedot
dan melumpuhkan tenaga dorongan lawan.
“Wuuuuuttt...! Plak! Ahhh...!”
Bhe Gun Ek terkejut bukan main sehingga mengeluarkan seruan sambil melompat jauh ke samping ketika
dia merasa betapa kedua telapak tangannya bertemu dengan dua telapak tangan lawan yang lembut, dan
merasa betapa tenaga sinkang-nya bagaikan amblas masuk atau bertemu dengan benda yang lembut. Dia
merasa khawatir kalau sekali pukul dia mencelakai lawan yang belum dikenalnya siapa, walau pun tadi
anak itu mengatakan dia dari Kim-liong-pang, dan untuk menarik kembali pukulannya sudah tak mungkin,
maka jalan satu-satunya adalah melompat jauh ke samping sehingga hal ini akan mengurangi daya
pukulannya.
Namun, alangkah terkejut dan herannya ketika dia melihat pemuda itu tidak apa-apa, bergeming sedikit
pun tidak, masih berdiri tegak bahkan tersenyum kepadanya. Dia pun tahu bahwa pemuda itu memang
lihai, maka dia lalu menghampiri.
“Orang muda dari Kim-liong-pang, katakan dulu siapa namamu sebelum kita bertanding mati-matian di
tempat ini!” tantangnya.
Sin Hong memandang penuh perhatian. Seorang laki-laki yang gagah, berusia sekitar empat puluh lima
tahun. Tubuhnya sedang namun kokoh kuat membayangkan adanya tenaga besar. Pakaiannya sederhana
saja, seperti umumnya pakaian seorang guru silat yang ringkas. Di pinggangnya nampak sebuah sabuk
rantai dari baja sehingga Sin Hong dapat menduga bahwa tentu orang ini ahli pula memainkan rantai baja
yang dipakai sebagai sabuk itu sebagai sebuah senjata yang ampuh. Ia lalu menjura dengan hormat.
“Harap Paman suka memaafkan saya. Sesungguhnya, saya sama sekali bukan orang Kim-liong-pang,
bahkan nama perkumpulan itu pun baru sekali ini saya dengar. Saya adalah seorang perantau yang
kebetulan saja hari ini tiba di sini dan memilih kuil tua ini sebagai tempat tinggal sementara.”
Melihat sikap sopan pemuda itu dan mendengar kata-katanya, Bhe Gun Ek menjadi heran. Dia pun
menoleh kepada puterinya. “Benarkah dia seorang dari Kim-liong-pang?” tanyanya.
“Ayah, aku pun hanya mendengar dari Ceng Ki!” jawab gadis itu sambil menoleh kepada sute-nya yang
lengannya dibalut. Kini Bhe Gun Ek memandang muridnya itu dengan sikap kereng.
“Ceng Ki, bagaimana engkau berani mengatakan bahwa dia ini orang Kim-liong-pang?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Anak itu nampak ketakutan berhadapan dengan Bhe Kauwsu yang memang terkenal galak terhadap para
muridnya dan mengharuskan para muridnya memegang peraturan dan tidak melanggar. Dia lalu
menjatuhkan dirinya berlutut dan menjawab pertanyaan gurunya.
“Teecu... teecu hanya mendengar keterangan muridnya itu...“
Sekarang Sin Hong yang menjadi terkejut. “Yo Han, keterangan apakah yang telah kau berikan?” tanyanya
kereng.
“Teecu tidak memberi keterangan bahwa Suhu adalah orang Kim-liong-pang,” Yo Han membantah sambil
memandang kepada Ceng Ki dengan mata melotot marah, “tadi dia mengatakan bahwa suci-nya adalah
Naga Betina, dan karena tak mau kalah teecu lalu mengatakan bahwa Suhu tak akan kalah karena Suhu
adalah Kim Liong (Naga Emas). Teecu tidak tahu mengapa mereka lalu menganggap Suhu orang dari Kimliong-
pang!”
Mendengar ini, Sin Hong dan Bhe Gun Ek saling pandang. Guru silat itu mengangguk-angguk, menarik
napas panjang dan bertanya kepada puterinya. “Nah, engkau sudah mendengar sendiri, semua ini hanya
kesalah pahaman saja karena mulut anak-anak. Lalu kenapa engkau menyerangnya mati-matian?”
“Begini, Ayah. Mula-mula, aku melihat Ceng Ki dan dua orang sute-nya pulang dalam keadaan luka-luka.
Ada yang kepalanya benjol-benjol karena dibentur-benturkan tanah, dan Ceng Ki sendiri pergelangan
tangannya luka karena digigit sehingga harus diobati dan dibalut untuk menghentikan darah yang banyak
keluar. Dan menurut cerita mereka, mereka baru berkelahi dengan seorang anak jahat yang menjambak
dan menggigit. Aku segera bersama Ceng Ki mencari anak itu dan ternyata dia berada di sini dan anak itu
adalah murid orang ini. Kami berdebat, berselisih dan berkelahi.”
Bhe Gun Ek mengerutkan alisnya. “Hemmm, hanya karena perkelahian anak-anak lalu engkau membela
sampai berkelahi dengan orang? Siang Cun, bukanlah itu keterlaluan namanya?”
“Aku menjadi marah melihat para sute itu, apa lagi Ceng Ki yang luka tergigit. Kalau mereka berkelahi
biasa saja dan kalah pandai, aku pun tidak ambil peduli. Akan tetapi digigit!”
Sin Hong melangkah maju dan memberi hormat. “Maaf, Paman, sesungguhnya urusan ini kecil saja dan
harap dihabiskan saja. Murid saya ini sudah minta maaf dan menyadari kesalahannya, juga saya minta
maaf untuk dia. Kami hanya dua orang perantau yang tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun, karena
itu, sekali lagi, harap urusan kecil ini dihabiskan sampai di sini.”
Bhe Gun Ek tadi sudah melihat betapa pemuda berpakaian putih ini mempunyai ilmu kepandaian yang
amat hebat. Dengan tangan kosong ia mampu menghadapi sepasang pedang puterinya, bahkan dia juga
melihat betapa kedua pedang itu tidak berdaya sama sekali, yang sebatang dijepit dua buah jari dan
dipakai menangkisi pedang yang lain!
Bukan itu saja. Dia sendiri tadi menyerang dengan pukulan tenaga sakti, tetapi secara aneh dan
mengejutkan dapat disambut oleh pemuda itu sebab tenaga pukulannya bagai mengenai benda lunak yang
membuat pukulan itu kehilangan kekuatannya.
Mendengar semua keterangan itu, dia pun cepat membalas penghormatan Sin Hong.
“Orang muda yang gagah, harap jangan terlalu merendahkan diri. Sepatutnya, kami dari Ngo-heng Bukoan
yang harus meminta maaf. Sikap murid-murid kecil kami, juga puteri kami tadi terhadap engkau dan
muridmu sungguh tidak patut. Maafkanlah, orang muda, dan tentu saja dengan senang hati kami
menghabiskan urusan kecil itu sampai di sini saja. Bahkan, perkenankan kami mengundang Ji-wi untuk
berkunjung ke rumah kami agar perkenalan ini dapat dipererat. Saya Bhe Gun Ek, juga puteri kami ini, Bhe
Siang Cun, dan semua murid Ngo-heng Bu-koan mengundang Ji-wi untuk makan bersama di tempat kami.”
Sin Hong merasa rikuh sekali. Dia memang menghargai sikap guru silat itu, akan tetapi tentu saja dia
merasa malu untuk hadir sebagai tamu, untuk dijamu makan, mengingat bahwa dia dan muridnya tidak
mempunyai pakaian yang pantas untuk bertamu.
Akan tetapi sebelum dia menolak dengan halus, tiba-tiba Yo Han berkata, “Wah, Suhu. Bhe-kauwsu yang
terhormat ini sungguh gagah perkasa dan baik hati sekali, cocok seperti yang Suhu nasehatkan kepada
teecu bahwa seorang gagah lebih dahulu akan mencari kesalahan diri sendiri sebelum menyalahkan orang
dunia-kangouw.blogspot.com
lain! Dan bersikap ramah terhadap siapa pun juga tanpa memandang kedudukan atau harta benda. Suhu,
teecu senang sekali berkenalan dengan orang-orang gagah dari Ngo-heng Bu-koan!”
Mendengar ucapan yang lantang dan keluar dari mulut seorang bocah berusia sembilan tahun, Bhe Gun
Ek memandang kagum dan tahulah dia mengapa bocah yang kabarnya tadi hanya mampu menampar dan
menggigit, bisa menjadi murid seorang pemuda yang berilmu setinggi ini. Kiranya bocah ini baru menerima
gemblengan batin yang lebih dulu ditanamkan oleh gurunya sehingga sekecil itu sudah mempunyai jiwa
yang amat gagah perkasa!
Sedangkan Sin Hong diam-diam mendongkol, tetapi juga hatinya merasa geli terhadap muridnya. Dia tahu
bahwa Yo Han kegirangan diundang makan, karena anak itu masih menyesal sesudah menghilangkan
uang dari gurunya tadi, dan kini gurunya diundang makan, maka dia pun girang sekali. Gurunya sejak
kemarin belum makan dan dia pun demikian pula, dan perutnya sudah lapar sekali!
Bhe Gun Ek tersenyum girang. “Wah, sungguh kami merasa berbahagia sekali, ternyata Ji-wi guru dan
murid merupakan orang-orang gagah yang mengagumkan.” Lalu kepada puterinya dan Ceng Ki ia berkata,
“Hayo Siang Cun, engkau minta maaf kepada Taihiap (Pendekar Besar) ini, dan kau Ceng Ki, minta maaf
kepada saudara kecil yang gagah ini!”
Siang Cun memang sudah tidak marah lagi setelah mendengar bahwa lawannya itu sama sekali tak ada
sangkut pautnya dengan Kim-liong-pang, bahkan ia merasa kagum bukan main. Selama hidupnya, baru
sekali ini ia bertemu tanding seorang pemuda yang selihai ini. Maka, mendengar ucapan ayahnya, ia pun
cepat memberi hormat kepada Sin Hong.
“Saudara yang gagah, harap maafkan kesalahanku tadi karena kurang pengertian.”
Sin Hong cepat membalas penghormatan itu.
“Akan tetapi, engkau sudah mengenal nama kami semua sedangkan kami sama sekali belum mengenal
namamu dan muridmu,” kata Siang Cun.
Sin Hong tersenyum. “Nona, aku dan muridku hanyalah orang-orang pengembara yang tidak tentu tempat
tinggalnya, nama kami pun sama sekali tidak terkenal.”
“Enci yang gagah, jangan percaya kata-kata Suhu. Dia dijuluki orang Pek-ho Enghiong (Pendekar Bangau
Putih)...“
“Yo Han! Berapa kali kularang engkau menyombongkan diri?” Sin Hong membentak dengan muka merah.
Muridnya itu memang kadang-kadang nakal sekali, dan dia cepat menjura kepada Bhe Gun Ek dan Bhe
Siang Cun, berkata dengan sikap merendah. “Namaku Tan Sin Hong, dan muridku yang bodoh dan bandel
ini bernama Yo Han.”
Sementara itu, ketika Ceng Ki memberi hormat dan minta maaf kepadanya, Yo Han cepat berkata,
“Sudahlah, jangan meminta maaf kepadaku, akan tetapi mintalah maaf kepada suhu-mu karena engkau
telah melanggar ajarannya yang baik.”
Kemudian, kontan Yo Han berlutut di depan suhu-nya sendiri dan berkata, “Harap Suhu sudi memaafkan
kenakalan dan kebandelan teecu.”
Yo Han memang cerdik sekali. Dia maklum bahwa dia telah membuat gurunya rikuh, maka kini setelah
memberi nasehat kepada Ceng Ki, dia pun cepat mendahului minta maaf kepada gurunya sendiri.
Mendengar ucapan Yo Han tadi, dan melihat anak itu minta maaf kepada gurunya, tentu saja Ceng Ki
merasa malu dan cepat-cepat dia pun menjatuhkan dirinya di depan kaki gurunya dan mohon maaf atas
kesalahannya. “Harap Suhu sudi memaafkan teecu yang telah membuat keributan.”
Melihat ini, Bhe Gun Ek tertawa bergelak dengan girang sekali. “Ha-ha-ha-ha! Memang banyak untungnya
bergaul dengan orang-orang bijaksana. Tan Taihiap, kami merasa amat gembira dan beruntung sekali
dapat bertemu dan berkenalan dengan engkau dan muridmu. Yo Han, terima kasih atas pelajaran yang
telah kau berikan kepada Ceng Ki! Marilah, Tan Taihiap, mari kita bercakap-cakap di rumah kami agar
lebih leluasa!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin Hong tidak dapat menolak lagi dan dia berjalan seiring dengan Bhe Gun Ek dan puterinya. Yo Han
mengiringkan di belakangnya, bersama Ceng Ki yang kini bersikap manis kepadanya.
Sin Hong dan muridnya disambut sebagai seorang tamu kehormatan. Pihak tuan rumah, dari Bhe Kauwsu,
puterinya sampai para murid utama yang ikut menyambut, bersikap hormat kepada Sin Hong dan muridnya
walau pun pakaian guru dan murid ini dihias tambalan. Hal ini membuat Sin Hong amat tertarik dan juga
kagum. Tahulah dia bahwa dia berada di antara orang gagah sehingga hatinya merasa senang.
Dalam perjamuan yang meriah, ketika mereka makan minum bersama di sebuah meja besar yang terbuat
dari meja disambung-sambung, yang duduk mengelilingi meja itu ada belasan orang banyaknya termasuk
murid-murid kepala, Sin Hong bertanya kepada tuan rumah tentang Kim-liong-pang.
“Bhe Kauwsu, aku masih merasa heran sekali ketika disangka aku adalah orang dari Kim-liong-pang. Aku
menduga agaknya ada permusuhan antara Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang itu. Perkumpulan
apakah Kim-liong-pang itu dan jika boleh aku bertanya, mengapa terjadi permusuhan?”
Ditanya demikian, wajah tuan rumah dan para muridnya mendadak menjadi muram. Setelah beberapa kali
menarik napas panjang, Bhe Gun Ek lalu berkata, “Kalau dipikir memang membuat orang menjadi
penasaran dan sakit hati, Tan Taihiap. Bayangkan saja, Kim-liong-pang yang sarangnya berada di puncak
bukit Kim-liong-san di luar kota Lu-jiang ini, di pimpin oleh seorang sahabat baik, bahkan puteranya
menjadi tunangan puteriku Siang Cun ini. Akan tetapi, kini kami kedua pihak telah menjadi musuh besar
dan terjadi perkelahian yang mengorbankan banyak murid-murid kami dan para anggota Kim-liong-pang
sendiri.”
Tiba-tiba seorang di antara para murid kepala bangkit berdiri dan sambil mengepal tinju dia berkata, “Suhu,
maafkan teecu! Membicarakan Kim-liong-pang telah membuat teecu kehilangan nafsu makan dan
sebaiknya kalau teecu tidak ikut mendengarkan. Maka dari itu, perkenankan teecu mengundurkan diri,
Suhu!”
Bhe Kauwsu memandang kepada murid itu dan menarik napas panjang. “Aku dapat mengerti perasaanmu,
Hok Ci. Kuperkenankan engkau mengundurkan diri.”
Murid Ngo-heng Bu-koan itu kemudian menjura ke arah Sin Hong. “Tan Taihiap, harap maafkan saya.” Dan
dia lalu meninggalkan ruangan itu dengan langkah lebar.
Sin Hong memperhatikan murid itu. Seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Tubuhnya
sedang saja namun nampak kuat dan gesit. Wajahnya tampan namun ia melihat keganasan membayang
pada pandang matanya, sedangkan mulutnya selalu tersenyum agak sinis.
“Kasihan dia...!” kata Bhe Kauwsu. “Harap maafkan dia, Tan Taihiap. Di antara kami, mungkin dia yang
paling menderita akibat permusuhan dengan Kim-liong-pang. Bahkan dialah yang mula-mula kehilangan
seorang tunangannya yang mati terbunuh oleh pihak Kim-liong-pang.”
Sin Hong memandang tajam penuh selidik. “Apakah Kim-liong-pang perkumpulan orang jahat?”
“Sama sekali tidak. Bahkan ketuanya, Ciok Kam Heng adalah bekas sahabat baikku, seorang gagah yang
selalu menjunjung tinggi kebenaran. Puteranya, Ciok Lim, tadinya bahkan bertunangan dengan puteri kami
Siang Cun. Sekarang tentu saja pertunangan itu putus dan mereka menjadi musuh besar kami.”
“Tapi... mengapa begitu?” Sin Hong penasaran.
“Engkau sudah kami anggap sebagai seorang sahabat baik, Tan Taihiap, maka kami takkan menyimpan
rahasia. Baiklah, kami akan bercerita mengenai permusuhan itu.”
Bhe Gun Ek lalu bercerita dengan singkat namun jelas. Dia adalah seorang ahli silat yang banyak
mempelajari ilmu silat dari Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai, bahkan berhasil menggabungkan ilmu kedua
partai persilatan itu dan menciptakan beberapa macam ilmu silat sendiri, di antaranya yang paling hebat
adalah Ngo-heng-kun.
Pada saat dia membuka rumah perguruan silat, dia memakai nama Ngo-heng Bu-koan karena memang inti
pelajaran yang dia berikan adalah Ngo-heng-kun. Bhe Gun Ek dan isterinya hanya memiliki seorang anak,
dunia-kangouw.blogspot.com
yaitu Bhe Siang Cun yang sudah mewarisi ilmu ilmunya, bahkan gadis ini sudah membantu para suhengnya,
yaitu murid-murid tertua dan utama dari ayahnya, untuk membimbing kepada para murid muda.
Pada waktu Siang Cun berusia delapan belas tahun, setahun yang lalu, Bhe Gun Ek menerima pinangan
seorang sahabatnya, yaitu Ciok Kam Heng, ketua Kim-liong-pang di puncak bukit Kim-liong-san yang
nampak dari kota Lu-jiang. Sudah lama dia bersahabat dengan Ciok Kam Heng sehingga pinangan itu lalu
diterima dengan senang hati. Juga Siang Cu tidak membantah.
Putera tunggal ketua Kim-liong-pang itu bernama Ciok Lim, kini berusia dua puluh lima tahun. Dia seorang
pemuda yang cukup ganteng dan memiliki ilmu silat yang tinggi pula, bahkan dalam suatu pesta tahun
baru, iseng-iseng kedua orang tua mereka menguji ilmu kepandaian pemuda dan gadis ini.
Mereka yang sudah ditunangkan itu mengadu ilmu, dan harus diakui oleh Siang Cun bahwa tingkat
kepandaian tunangannya itu sedikit lebih tinggi darinya. Hal ini membuat hatinya senang, apa lagi dalam
adu ilmu itu, Ciok Lim selalu mengalah sehingga tidak membikin malu padanya.
Akan tetapi, pada suatu malam, ketika Ciok Lim yang dijamu oleh Bhe-kauwsu pulang dalam keadaan
setengah mabuk, terjadilah hal yang amat mengerikan. Seorang murid perempuan dari Ngo-heng Bu-koan
yang bernama Bong Siok Cin, seorang gadis manis berusia tujuh belas tahun, kedapatan tewas dalam
keadaan telanjang bulat di dalam hutan kecil di kaki bukit Kim-liong-san! Jelas bahwa gadis itu telah
diperkosa orang lalu dibunuh! Dan di antara pakaiannya yang berserakan akibat direnggut dengan paksa
dan robek-robek, para murid Ngo-heng Bu-koan menemukan sebuah topi merah. Topi yang biasa dipakai
oleh Ciok Lim!
Tentu saja terjadi geger di kalangan murid Ngo-heng Bu-koan! Yang paling berduka dan marah adalah
Phoa Hok Ci, sebab Bong Siok Cin yang terbunuh dalam keadaan terhina dan menyedihkan itu bukan lain
adalah tunangannya! Meski Bhe Kauwsu membujuknya supaya bersabar dan kematian murid itu perlu
diselidiki dengan seksama, namun Phoa Hok Ci tidak dapat menahan dendam sakit hatinya. Bersama tiga
orang sute yang ikut berbela sungkawa dan bersetia kawan ia kemudian pergi ke Kim-liong-san,
mendatangi perkumpulan Kim-liong-pang dan lantas menantang Ciok Lim yang dituduhnya sebagai
pemerkosa dan pembunuh!
Ciok Lim yang keluar menemui empat orang murid Ngo-heng Bu-koan itu terkejut bukan main dan tentu
saja dia menyangkal keras.
Akan tetapi, dengan sikap menantang dan dengan senyumnya yang sinis, Phoa Hok Ci yang menaruh
dendam hebat atas kematian tunangannya itu, segera bertanya. “Ciok Lim, kami tidak menuduh membutatuli!
Coba katakan, ke mana semalam engkau pergi sampai larut malam?”
Ciok Lim mengerutkan alisnya. Tentu saja dia mengenal Phoa Hok Ci, sebagai suheng dari tunangannya,
yaitu puteri Bhe Kauwsu. “Kukira semua murid Ngo-heng Bu-koan tadi malam juga melihatku. Aku
mendapat kehormatan dijamu minum arak oleh calon ayah mertuaku, yaitu guru kalian. Menjelang tengah
malam, aku pulang.”
“Dalam keadaan mabuk, bukan?” Phoa Hok Ci mendesak.
“Aku tidak pernah mabuk, dalam arti kata sampai tidak sadar. Memang aku telah minum banyak, akan
tetapi aku masih sadar dan dapat pulang, setibanya di rumah langsung tidur.”
“Hemmm, bagus sekali cerita karanganmu itu! Engkau dalam keadaan setengah mabuk, bertemu dengan
sumoi Bong Siok Cin di jalan. Engkau menggodanya dan tentu saja ia bukan lawanmu. Engkau lalu
menangkapnya dan membawanya sampai ke hutan di kaki bukit Kim-liong-san, kemudian engkau
memperkosanya! Dan oleh karena takut gadis itu membuka rahasia kejahatanmu, engkau lalu
membunuhnya!”
“Tidak benar! Itu fitnah belaka!” bantah Ciok Lim dan ketika itu sudah banyak anggota Kim-liong-pang yang
keluar menyaksikan percekcokan itu. “Aku tidak bertemu siapa pun dan dan tidak melakukan perbuatan
terkutuk seperti yang kau tuduhkan.”
“Ciok Lim, tidak perlu engkau menyangkal lagi. Semua bukti-bukti telah lengkap, maka aku nasehatkan
engkau supaya menyerah saja untuk kami tangkap dan kami bawa menghadap suhu kami!” kata pula Phoa
Hok Ci dengan muka merah dan mencorong marah.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak! Apa buktinya bahwa aku melakukan perbuatan jahat itu?” tantang Ciok Lim.
“Hemmm, engkau masih hendak menyangkal dan mau melihat buktinya?” Phoa Hok Ci mengeluarkan
sebuah topi merah yang sejak tadi disimpannya di dalam saku bajunya. Itulah topi yang ditemukan di
antara pakaian Bong Siok Cin yang berserakan. “Nah, lihat, topi siapakah ini?”
Sepasang mata Ciok Lim terbelalak memandang kepada topi di tangan murid Ngo-heng Bu-koan itu, dan
wajahnya berubah. “Itu... itu memang topiku... semalam aku kehilangan topiku itu! Ah, aku berada dalam
keadaan setengah mabuk akibat terlalu banyak minum sehingga aku lupa lagi di mana kutaruh topiku.
Akan tetapi... bagaimana topiku itu dapat berada di tanganmu?”
Mulut Phoa Hok Ci semakin sinis menyeringai. “Hemmm, pandai berpura-pura pula! Ciok Lim, tidak perlu
engkau menyangkal lagi. Topi ini kami temukan di dekat mayat sumoi Bong Siok Cin!”
“Suheng, tangkap saja dia. Untuk apa banyak cakap lagi terhadap seorang pemerkosa dan pembunuh
yang amat keji?” teriak seorang murid Ngo-heng Bu-koan.
Phoa Hok Ci lalu maju menyerang dengan pedangnya. Ciok Lim terpaksa membela diri dan mencabut
pedang pula. Ketika tiga orang murid Ngo-heng Bu-koan maju, mereka disambut oleh banyak murid atau
anggota Kim-liong-pang.
Terjadilah perkelahian dengan kekalahan di pihak empat orang murid-murid Ngo-heng Bu-koan! Mereka
terpaksa melarikan diri dalam keadaan luka-luka dan sambil mengeluh mereka mengadu kepada guru
mereka.
Bhe Kauwsu menjadi bingung. Memang murid perempuan dari perguruannya diperkosa dan dibunuh
orang, akan tetapi dia masih meragukan apakah benar calon menantunya yang melakukan perbuatan keji
itu. Bagaimana pun juga, topi merah itu ditemukan di antara pakaian mendiang Siok Cin yang berserakan,
dan semalam, ketika dia menjamu minum arak kepada calon mantunya ltu, memang Ciok Lim memakai
topi merah itu.
Pada saat Bhe Gun Ek yang cukup bijaksana mengambil keputusan untuk mengunjungi Kim-liong-pang
dan akan mengadakan perundingan yang penuh kekeluargaan dengan sahabatnya merangkap calon
besannya, walau pun puterinya sendiri dan para muridnya menyatakan tidak setuju, tiba-tiba muncul
belasan orang anggota Kim-liong-pang yang datang marah-marah serta memaki-maki Ngo-heng Bu-koan
yang katanya merupakan pembunuh curang! Bhe Gun Ek melarang puterinya dan para muridnya yang
hendak keluar menghajar orang-orang Kim-liong-pang, dan dia sendiri lalu keluar, diikuti oleh Siang Cun
dan banyak murid kepala yang masih merasa penasaran.
Para anggota Kim-liong-pang itu biasanya bersikap hormat kepada Bhe Kauwsu karena guru silat ini
adalah calon besan dari ketua mereka. Tetapi sekarang mereka bersikap lain sama sekali. Mereka tetap
berdiri tegak dan bertolak pinggang biar pun Bhe Gun Ek sudah muncul dan berdiri di depan mereka!
Melihat sikap ini, Bhe Kauwsu mengerutkan alisnya, namun dia menahan sabar karena maklum bahwa
sikap mereka itu pasti ada sebabnya.
“Bukankah Cu-wi para anggota Kim-liong-pang? Ada keperluan apakah Cu-wi datang berkunjung? Apakah
diutus oleh Ciok Pangcu (Ketua Pangcu)?” Bhe Kauwsu bertanya dengan suara ramah.
“Bhe Kauwsu, kami datang untuk menuntut balas atas kematian seorang sute kami yang tidak berdosa!
Sute kami dibunuh oleh seorang murid dari Kauwsu, maka sebaiknya jika murid yang jahat itu diserahkan
kepada kami!” kata seorang di antara mereka, mewakili teman-temannya, dengan nada suara penuh
kemarahan.
Bhe Kauwsu mengerutkan alisnya lebih dalam lagi dan setelah menarik napas panjang dia berkata, “Aih,
apa lagi ini? Terbunuhnya seorang murid perempuan dari perguruan kami belum juga diselesaikan, dan
sekarang muncul tuduhan bahwa seorang anggota Kim-liong-pang terbunuh oleh seorang muridku?”
“Bhe Kauwsu! Kongcu kami sama sekali tak merasa melakukan pembunuhan terhadap murid perempuan
perguruan sini. Kongcu berani bersumpah...“
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sumpah palsu! Siapa pun juga dapat bersumpah palsu!” bentak Siang Cun. Gadis ini sekarang amat
membenci tunangannya dan hal inilah yang membuat para murid dari Ngo-heng Bu-koan semakin
bersemangat memusuhi pihak Kim-liong-pang.
“Sebaiknya jika Kauwsu menyelidiki yang benar. Bukan kongcu kami yang membunuh. Akan tetapi
sekarang murid-muridmu telah membunuh seorang sute kami dengan amat kejamnya! Mungkin sute
dikeroyok, melihat betapa tubuhnya hancur dicacah-cacah oleh bacokan senjata tajam. Sungguh-sungguh
pembunuhan yang kejam dan sama sekali tidak mengenal peri kemanusiaan!”
“Huhh! Apakah pembunuhan terhadap sumoi Bong Siok Cin itu berperi kemanusiaan? Sebelum dibunuh
diperkosa lebih dulu! Perbuatan itu biadab dan lebih kejam lagi. Kalau sampai ada seorang saudara
seperguruanku membalas dendam dan membunuh salah seorang anggota Kim-liong-pang, hal itu sudah
sepantasnya!”
“Hok Ci, diam kau! Dan Siang Cun, jangan kau mencampuri percakapan kami! Kalian dengarkan saja!” Bhe
Kauwsu membentak karena suara para muridnya itu hanya akan memanaskan suasana saja.
Ia lalu menghadapi orang-orang Kim-liong-pang itu dan berkata, “Cuwi menuduh bahwa murid-murid kami
sudah melakukan pengeroyokan dan pembunuhan terhadap seorang anggota Kim-liong-pang. Apa
buktinya bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh murid dari perguruan kami?”
“Jenazah sute diketemukan di luar tembok kota Lu-jiang, tubuhnya hancur dan di dekat jenazahnya kami
menemukan ini!” berkata anggota Kim-liong-pang sambil menyerahkan sebuah bungkusan kain kuning
panjang.
Bhe Kauwsu menerima bungkusan itu yang berisi sebuah pedang panjang yang patah menjadi dua. Dan di
gagang pedang patah itu, jelas dapat dilihatnya ukiran dua huruf berbunyi Ngo Heng, ukiran yang terdapat
pada semua senjata di perguruannya, senjata-senjata yang disediakan di lian-bu-thia (ruangan berlatih
silat) untuk latihan!
Jelas bahwa pedang itu adalah pedang milik Ngo-heng Bu-koan, dan siapa lagi yang mempergunakannya
kalau bukan seorang di antara para muridnya. Pedang itu agaknya patah ketika dipakai berkelahi, maka
dibuang begitu saja dan ditemukan sebagai tanda bukti bahwa pembunuh anggota Kim-liong-pang adalah
orang Ngo-heng Bu-koan!
Bhe Kauwsu menoleh kepada para muridnya, wajahnya berubah merah. Dengan suara yang mengandung
wibawa dia bertanya, “Siapa di antara kalian yang mempergunakan pedang ini? Hayo mengaku sebagai
seorang gagah yang selalu siap mempertanggung jawabkan perbuatannya!”
Akan tetapi tak seorang pun di antara murid-muridnya yang menjawab atau mengaku. Semuanya berdiam
diri. Kemudian Siang Cun berkata dengan suara mencela. “Ayah, apakah Ayah perlu mendengarkan fitnah
yang mereka lontarkan kepada kita?”
Pimpinan anggota Kim-liong-pang berkata dengan nada suaranya mengejek, “Hemmm, Bhe Kauwsu, tiada
muridmu yang berani mengaku. Mereka itu pengecut, sudah berani berbuat tidak berani bertanggung
jawab.”
“Tutup mulutmu yang bau busuk!” Tiba-tiba Siang Cun meloncat ke depan, menghadapi anggota pimpinan
Kim-liong-pang itu dengan marah sekali. “Tuan mudamu sudah jelas memperkosa dan membunuh saudara
kami, dan ada bukti topinya yang ketinggalan, akan tetapi dia menyangkal. Dialah yang pengecut besar!
Dan kini kalian membalikkan kenyataan? Lagi pula andai kata ada di antara kami yang membunuh sutemu,
hal itu sudah tepat, karena orang-orang macam kalian ini memang patut dibasmi!”
“Siang Cun...!” Ayahnya mencegah, akan tetapi percuma karena kedua pihak sudah saling terjang dan
saling serang.
Terjadilah pertempuran antara belasan orang anggota Kim-liong-pang melawan para murid Ngo-heng Bukoan
yang jumlahnya jauh lebih banyak! Bhe Kauwsu tidak dapat mencegah lagi, maklum bahwa orangorang
muda kedua pihak itu sudah dibakar oleh kemarahan dan sakit hati. Dia merasa sedih sekali, akan
tetapi mengambil keputusan untuk tidak campur tangan sendiri, maka dia lalu mengundurkan diri dan
masuk ke dalam kamarnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Perkelahian keroyokan yang berat sebelah itu tentu saja berakhir dengan kekalahan pihak Kim-liong-pang
yang jauh lebih sedikit jumlahnya. Apa lagi pada pihak Ngo-heng Bu-koan terdapat Siang Cun yang
sungguh amat lihai. Akhirnya, belasan orang anggota Kim-liong-pang itu terpaksa melarikan diri sambil
membawa lari teman-teman mereka yang terluka parah. Masih untung Siang Cun melarang temantemannya
yang hendak melakukan pengejaran.
“Biarkan mereka pergi!” teriaknya. “Ketika sebagian dari kalian datang ke sana, kalian dikalahkan akan
tetapi tidak ada seorang pun di antara kalian yang terbunuh. Biarlah kali ini kita membalas kekalahan itu
dan biarkan mereka pulang melapor kepada ketua mereka!”
Sin Hong dan Yo Han mendengarkan cerita dari Bhe Gun Ek dengan hati tertarik sekali. Bhe Gun Ek
menarik napas panjang berulang kali, wajahnya nampak berduka dan dia pun melanjutkan.
“Demikianlah, Tan Taihiap. Sejak penyerbuan itu, terjadi permusuhan di antara Bu-koan kami dan Kimliong-
pang. Beberapa kali aku hendak menghubungi Ciok Pangcu, akan tetapi selalu para murid kedua
pihak yang mencegah, mereka sudah dibakar emosi, bahkan sejak itu, sudah berulang kali terjadi
perkelahian, bahkan sudah belasan orang dari masing-masing pihak jatuh tewas sebagai korban
perkelahian terbuka mau pun pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan secara diam-diam karena
dendam.”
“Hemmm, jadi itulah kiranya yang menyebabkan kesalah pahaman antara aku dan nona Bhe Siang Cun?
Aku sudah disangka seorang dari Kim-liong-pang dan karenanya harus dibunuh?”
Wajah gadis itu menjadi kemerahan. “Ada berita bahwa pihak Kim-liong-pang sedang mengundang jagoan
lihai untuk menghadapi kami, karena itulah aku mudah menaruh curiga kepada seorang asing.”
“Akan tetapi, Bhe Kauwsu, apakah semenjak peristiwa pertama, yaitu kematian murid perempuan dari
perguruanmu itu, engkau tak pernah mengadakan hubungan langsung dengan Ciok Pangcu?”
Guru silat itu menarik napas panjang. “Itulah salahnya. Bagaimana pun harus kuakui bahwa ada rasa sakit
di dasar hatiku akibat perkosaan dan pembunuhan terhadap salah seorang muridku, dan karena pelaku
kejahatan itu ialah putera Ciok Pangcu, yang juga telah menjadi calon menantuku, tentu saja aku merasa
amat tidak enak untuk menemui dan membicarakannya. Ditambah lagi dengan sikap bermusuhan yang
berlarut-larut dari anggota dan murid kedua pihak, maka sekarang sudah tidak mungkin lagi bagiku untuk
mengadakan pertemuan secara damai dengan Ciok Pangcu. Bahkan akhir-akhir ini ada berita bahwa pihak
Kim-liong-pang hendak mengundang jagoan yang lihai, kemudian akan menantang kami untuk
mengadakan pertempuran secara terbuka.” Guru silat itu kelihatan penasaran dan berduka.
Sin Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ah, jika keadaan sudah demikian parah, sukar untuk dicari
jalan damai.”
Tiba-tiba Yo Han bangkit berdiri. “Suhu, ada kemungkinan ke tiga dalam urusan ini yang agaknya
dilupakan orang...”
“Hushhh! Yo Han engkau anak kecil tahu apa? Jangan ikut campur!” bentak Sin Hong terkejut. Dia rikuh
sekali melihat betapa muridnya demikian lancang untuk mencampuri urusan yang demikian besarnya.
Mendengar bentakan gurunya, Yo Han diam dan duduk kembali. Tetapi Bhe Kiauwsu merasa amat tertarik
mendengar ucapan Yo Han tadi. Pemuda yang menjadi tamunya itu seorang yang berilmu tinggi, tentu
muridnya juga bukan anak sembarangan. Sikap bocah itu saja sudah menunjukkan bahwa dia cerdas
sekali.
“Aih, Tan Taihiap, agaknya muridmu mempunyai pandangan yang amat penting sekali. Biarkanlah dia
bicara. Anak baik, apakah kemungkinan ke tiga yang agaknya telah kami lupakan itu? Katakanlah.”
Yo Han melirik ke arah suhu-nya. “Suhu, bolehkah teecu bicara?”
Sin Hong menahan senyumnya. Dia tahu bahwa muridnya itu, walau pun usianya baru sembilan tahun,
namun mempunyai kecerdikan luar biasa, bahkan dapat mengikuti jalan pikiran orang dewasa. Dia tahu
bahwa pandangan anak itu kadang-kadang tajam dan tidak ngawur. Kalau tadi dia terkejut dan rikuh
adalah karena muridnya itu dianggapnya lancang mencampuri urusan orang lain, apa lagi urusan
dunia-kangouw.blogspot.com
permusuhan yang demikian pentingnya, yang sudah mengorbankan banyak nyawa dan yang membuat
tuan rumah berduka sekali.
“Yo Han, benarkah apa yang akan kau katakan itu penting sekali? Kalau tidak penting jangan bicara!”
“Suhu, teecu tidak berani main-main. Teecu tahu ada waktu untuk main-main dan ada waktu untuk
bersungguh-sungguh, dan apa yang akan teecu katakan ini menurut teecu penting sekali,” kata Yo Han
sambil bangkit berdiri lagi.
“Kalau begitu, bicaralah,” kata Sin Hong, percaya sepenuhnya kepada murid yang baru berusia sembilan
tahun lebih itu.
Semua mata ditujukan kepada Yo Han dengan penuh perhatian, namun anak itu sama sekali tak nampak
gugup walau pun yang memandangnya adalah orang-orang dewasa.
“Begini, Suhu dan para Paman yang terhormat, juga engkau, enci Siang Cun. Aku telah mendengarkan
semua percakapan tadi dan aku membayangkan adanya hal-hal aneh dalam peristiwa ini. Menurut nalar,
kalau Ngo-heng Bu-koan tadinya bersahabat erat dengan Kim-liong-pang, bahkan ada pengikatan
perjodohan, hal itu dapat dianggap bahwa tentu Kim-liong-pang adalah perkumpulan orang gagah pula,
bukan perkumpulan penjahat. Maka, andai kata benar bahwa putera ketua Kim-liong-pang yang melakukan
perkosaan dan pembunuhan itu, tidak mungkin orang tuanya dan juga perkumpulannya yang menjunjung
tinggi kegagahan akan membelanya! Kalau mereka membela mati-matian sampai mengorbankan nyawa,
tentu mereka merasa yakin bahwa mereka itu benar! Seperti halnya Ngo-heng Bu-koan sendiri yang
menyangkal keras ketika dituduh telah membunuh seorang anggota Kim-liong-pang dan ada pedang Ngoheng
Bu-koan ditemukan di dekat mayat anggota Kim-liong-pang itu.”
“Tapi itu fitnah!” Siang Cun berseru.
“Akan tetapi ada bukti pedang...,“ Yo Han berkata dengan maksud memancing.
“Ahh, pedang itu bukan bukti mutlak. Bisa saja pedang kami dicuri orang dan dijadikan bukti palsu!” Gadis
itu membantah lagi.
“Nah, justru ini yang menjadi maksudku, enci Siang Cun. Fitnah dan bukti palsu! Kalau pedang Ngo-heng
Bu-koan dapat dicuri orang dan dijadikan bukti palsu, bukankah topi dari putera Kim-liong Pangcu itu pun
dapat dicuri orang dan dijadikan bukti palsu pula? Nah, kemungkinan ke tiga yang kumaksudkan adalah
fitnah dan bukti palsu itu! Siapa tahu, ada orang ke tiga yang bermain curang di sini, yaitu menjatuhkan
fitnah kepada putera Ciok Pangcu, kemudian menjatuhkan fitnah sana dan fitnah sini untuk mengadu
domba...“
“Tidak mungkin!” seorang murid Ngo-heng Bu-koan bangkit berdiri dan membantah dengan suara keras.
“Siapa orang yang mau melakukan perbuatan gila itu dan apa maksudnya?”
“Itulah yang harus diselidiki,” kata Yo Han dengan sikap serius. “Aku tadi hanya mengatakan kemungkinan
ke tiga, mungkin terjadi demikian mungkin juga tidak.”
“Luar biasa...!” Tiba-tiba Bhe Kauwsu berseru, matanya terbelalak memandang kepada Yo Han. “Tan
Taihiap, muridmu ini sungguh seorang anak yang luar biasa cerdiknya! Kemungkinan itu memang ada!
Bagaimana tak pernah terpikirkan oleh aku yang sudah setua ini?”
“Ah, Bhe Kauwsu terlalu memuji!” kata Sin Hong merendah walau pun di dalam hatinya dia merasa bangga
dan juga kagum karena dia melihat adanya kemungkinan besar dalam ucapan muridnya tadi. “Yo Han
hanya ngawur saja.”
“Tidak, tidak! Kemungkinan ke tiga itu memang ada! Ahh, kenapa aku tidak menduga akan hal itu dan
siang-siang mengadakan perundingan dengan Kim-liong-pang? Harus segera diadakan perundingan itu
untuk bersama-sama melakukan penyelidikan akan adanya kemungkinan ketiga itu!”
“Akan tetapi, Suhu. Keadaan sudah begini meruncing, kedua pihak sudah kehilangan banyak anggota yang
roboh tewas, dan sakit hati telah semakin bertumpuk, bagaimana mungkin Suhu dapat mengadakan
perundingan dengan pihak Kim-liong-pang? Teecu kira mereka tidak akan mau menerima uluran tangan
Suhu.” kata pula murid Ngo-heng Bu-koan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bhe Kauwsu mengangguk-angguk. “Engkau benar juga, memang sekarang sudah amat terlambat. Sayang
baru sekarang ada anak cerdik ini yang mengingatkan, kalau dulu sebelum jatuh banyak korban...“
“Bhe Kauwsu, dalam keadaan seperti ini, memang tidak baik bahkan berbahaya kalau engkau sendiri yang
pergi ke sana, mungkin akan menambah panasnya suasana dan menimbulkan kesalah pahaman kedua
pihak. Biarlah saya yang akan mewakilimu pergi menghadapi pimpinan Kim-liong-pang untuk
membicarakan kemungkinan ke tiga itu, menawarkan perdamaian dan kerja sama untuk menyelidiki
persoalan ini.”
“Ahh, kalau Taihiap suka, sungguh kami merasa beruntung dan berterima kasih sekali!” kata guru silat Bhe
dengan girang.
“Akan tetapi, Suhu. Apakah hal itu tidak akan merendahkan nama dan kehormatan Suhu khususnya dan
para murid Ngo-heng Bu-koan pada umumnya? Mereka yang lebih dahulu memulai permusuhan dan
penghinaan yang teramat besar, memperkosa murid perguruan kita dan membunuhnya. Sudah patutkah
kalau sekarang pihak kita yang melakukan pendekatan untuk berdamai? Kita akan dianggap takut!” yang
bicara ini adalah seorang murid kepala lain dari Ngo-heng Bu-koan dan semua murid yang hadir dalam
perjamuan makan itu mengangguk-angguk menyatakan setuju. Kini yang mereka bela bukan hanya
kebenaran, melainkan juga nama dan kehormatan perguruan mereka.
Mendengar ucapan murid kepala ini, Bhe Kauwsu mengerutkan alisnya dan dia pun mengangguk-angguk.
Dia menjadi ragu! Jika dipikirkan, yang memulai permusuhan itu memang adalah pihak Kim-liong-pang,
maka kalau kini pihak Ngo-heng Bu-koan yang membuat langkah pertama ke arah perdamaian, seolaholah
pihak Ngo-heng Bu-koan merasa takut! Dia memandang kepada Sin Hong dengan sinar mata raguragu.
“Ucapan murid kami itu memang benar, Tan Taihiap. Permusuhan antara perguruan kami dan Kim-liongpang
sudah terlampau berlarut-larut. Sudah banyak korban kedua pihak berjatuhan. Kalau sekarang tibatiba
Taihiap muncul sebagai utusan kami untuk mengajak damai, sungguh, hal itu dapat disalah artikan,
disangka bahwa kita takut atau lebih celaka, kita disangka benar-benar bersalah.”
Sin Hong mengangguk-angguk, di dalam hati bisa membenarkan pendapat itu. Memang serba salah.
Didiamkan, maka permusuhan itu akan semakin menghebat, tapi kalau dia mendamaikan, maka akan
tersinggung kehormatan dan nama Ngo-heng Bu-koan.
Tiba-tiba terdengar suara Yo Han, nyaring dan bersungguh-sungguh.
“Ada jalan yang baik!”
Kembali semua orang memandang kagum, hanya Sin Hong yang mengerutkan alisnya, menganggap
muridnya itu terlalu lancang walau pun di dalam hati ia makin mengagumi muridnya itu yang ternyata diamdiam
memperhatikan percakapan dan bahkan turut memikirkan dan mencari jalan keluar! Akan tetapi
sebelum dia menegurnya, Bhe Gun Ek sudah menanggapi.
“Anak yang baik, ada akal apa lagikah di dalam kepalamu yang luar biasa cerdik itu? Katakanlah!”
Yo Han mengerling kepada suhu-nya dan memandang dengan sinar mata seolah-olah minta perkenan!
Sin Hong tersenyum melihat ini. Bagaimana pun juga, muridnya yang lancang ini sama sekali tidak
bermaksud menyombongkan dirinya, bahkan selalu minta persetujuannya. Dia pun mengangguk dan
berkata, “Kalau engkau memang ada pendapat yang baik, katakanlah.”
Yo Han lalu bangkit berdiri. Dengan wajah bersungguh-sungguh dia berkata, “Pendapat Bhe Kauwsu
memang benar. Permusuhan itu sudah terlalu meruncing sehingga kalau yang mendamaikan itu anggota
atau utusan dari salah satu pihak, tentu mendatangkan perasaan rendah diri. Akan tetapi jika Suhu
bertindak atas nama sendiri, sebagai orang luar yang berusaha mendamaikan antara kedua sahabat yang
kini bermusuhan, saya kira tidak akan mendatangkan perasaan tidak enak. Dan saya yakin kalau Suhu
mau turun tangan mendamaikan, tentu akan membuat pihak Kim-liong-pang dapat menerima alasan dan
juga mau bekerja sama untuk melakukan penyelidikan akan kemungkinan adanya pihak ketiga itu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Bhe Gun Ek bertepuk tangan dengan hati girang dan mereka yang hadir tersenyum dan menganggukangguk.
Juga Bhe Siang Cun segera berkata, “Adik Yo Han memang luar biasa sekali, entah gurunya akan
mau melaksanakan usulnya ataukah tidak,” berkata demikian, gadis itu melirik ke arah Sin Hong.
Wajah Sin Hong berubah kemerahan. Diam-diam ia mendongkol juga kepada muridnya sebab pendapat
muridnya itu seolah-olah telah mendesak dan mendorongnya ke sudut. Sekali ini dia tidak mungkin
mundur, karena kalau dia menolak, seolah-olah dia enggan untuk mendamaikan kedua pihak. Akan tetapi
kalau dia maju, berarti dia bertindak atas nama sendiri dan hal ini mengandung bahaya bahwa dia akan
diterima sebagai musuh oleh pihak Kim-liong-pang.
Yo Han agaknya dapat melihat isi hati gurunya melalui sinar mata dan wajah gurunya yang berubah
kemerahan. Dengan suara takut-takut dia pun berkata kepada gurunya, “Suhu selalu mengajarkan kepada
teecu bahwa seorang gagah pantang mundur untuk melakukan pekerjaan yang dianggap benar, adil dan
baik. Dan teecu yakin sekali bahwa mendamaikan Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liongpang adalah pekerjaan
yang benar dan adil.”
Mau tidak mau Sin Hong tersenyum. Muridnya ini memiliki kelihaian dalam bicara. Dia merasa seolah-olah
sudah ditodong dan tidak mampu mengelak lagi. Secara halus anak kecil ini menyudutkannya dan
menyerangnya dengan pelajaran yang telah diajarkannya sendiri kepada murid itu.
“Hemmm, Yo Han. Bagus engkau masih ingat akan pelajaran itu. Dengan demikian, bagaimana kalau
sekarang aku menyuruh engkau yang menjadi orang yang berusaha mendamaikan kedua pihak yang
bermusuhan itu? Maukah engkau menemui pimpinan Kim-liong-pang dan bicara dengan mereka, lalu
berusaha mendamaikan permusuhan mereka dengan pihak Ngo-heng Bu-koan?”
Semua orang, termasuk Bhe Gun Ek dan puterinya, terkejut dan heran mendengar ini. Seorang anak kecil
berusia sembilan tahun lebih disuruh menjadi juru damai antara Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang?
Sungguh tidak mungkin! Mana mungkin pihak Kim-liong-pang akan sudi mendengarkan omongan seorang
bocah? Ngo-heng Bu-koan sendiri tidak akan mau bicara mengenai permusuhan mereka dengan seorang
bocah seperti Yo Han kalau dia bukan murid Tan Sin Hong!
Akan tetapi dengan suara lantang dan sikap gagah, Yo Han lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh,
“Tentu saja teecu mau, Suhu! Kalau Suhu memerintahkan, sekarang juga teecu akan suka menemui ketua
Kim-liong-pang!”
Mendengar jawaban ini, Bhe Gun Ek, Bhe Siang Cun dan para murid-murid Ngo-heng Bu-koan tertegun,
bahkan ada juga yang tersenyum geli dan menganggap jawaban itu merupakan suatu kesombongan
kanak-kanak saja. Akan tetapi Sin Hong tahu benar bahwa muridnya itu tidak akan berlagak, melainkan
akan sungguh-sungguh berangkat kalau dia memerintahkannya.
Diam-diam Sin Hong bersyukur. Muridnya ini bukan hanya mengemukakan pendapat, melainkan juga
berani mempertanggung jawabkannya.
“Baiklah, Yo Han. Engkau pergi menemui Kim-liong-pang dan aku akan menemanimu.”
Yo Han bersorak girang. “Kalau Suhu menemani tecu, semua akan beres!”
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar dan beberapa orang murid yang dipimpin oleh Phoa Hok Ci masuk
sambil menggotong sesosok mayat yang masih berlumuran darah! Ketika semua orang bangkit, Bhe Gun
Ek meloncat dekat mayat itu dan berseru kaget.
“Ciang Lun...!” Dan dia menoleh kepada Phoa Hok Ci, bertanya dengan suara gemetar. “Apa yang telah
terjadi dengan dia?”
Phoa Hok Ci menjatuhkan diri berlutut di depan kaki guru silat itu dan berkata dengan suara terkandung
isak tangis, “Suhu ketika teecu keluar kampung, teecu melihat dari jauh sute Ciang Lun sedang berkelahi,
dikeroyok oleh dua orang murid Kim-liong-pang. Teecu tidak dapat melihat jelas muka mereka, akan tetapi
teecu mengenal baju yang ada lambang perkumpulan itu. Ketika melihat teecu lari menuju ke tempat itu,
mereka lalu melarikan diri, meninggalkan sute Ciang Lun yang sudah terluka parah. Ketika teecu
membawa sute pulang, di tengah perjalanan dia tewas. Ah, Suhu sendiri maklum betapa dekatnya teecu
dengan sute Ciang Lun, dia seperti adik teecu sendiri dan kini... ahhh, terkutuk orang-orang Kim-liongpang!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Phoa Hok Ci bangkit berdiri, mukanya pucat dan basah air mata. Dia mengepal tinju dan matanya menjadi
beringas. Agaknya, kalau di situ terdapat orang Kim-liong-pang, tidak akan ada yang mampu mencegahnya
mengamuk dan menyerang musuh besar itu.
“Tidak ada damai dengan anjing-anjing Kim-liong-pang!” Tiba-tiba Phoa Hok Ci berteriak dan para murid
Ngo-heng Bu-koan menyambut dengan teriakan setuju.
Pada waktu mengeluarkan teriakan itu, Phoa Hok Ci memandang ke arah Sin Hong dengan mata melotot,
seolah-olah Sin Hong yang ingin mendamaikan permusuhan itu merupakan seorang anggota Kim-liongpang
yang harus dimusuhinya! Melihat ini guru silat Bhe segera berkata kepada muridnya itu.
“Sudahlah, lekas rawat baik-baik jenazah sute-mu ini. Carikan peti yang baik dan kita lakukan upacara
sembahyang di ruangan depan.”
Phoa Hok Ci dan teman-temannya mengangkat jenazah itu keluar dari ruangan itu, dan Bhe Gun Ek
berkata kepada Sin Hong, “Taihiap, sekarang urusan menjadi semakin kacau! Kau lihat sendiri betapa
kejamnya orang-orang Kim-liong-pang. Aku tidak dapat menyalahkan Hok Ci atas kemarahannya karena
Ciang Lun yang menjadi korban itu memang amat dekat dengan dia, seperti adik kandung saja. Dia
kehilangan kekasihnya yang diperkosa dan dibunuh, kemudian sekarang kehilangan sute yang
disayangnya, dan keduanya terbunuh oleh orang-orang Kim-liong-pang atau begitu menurut dugaan.
Bahkan pembunuh sute-nya dilihatnya dari jauh sebagai dua orang yang mengenakan pakaian Kim-liongpang.
Tentu saja dia merasa sakit hati dan amat mendendam kepada Kim-liong-pang. Setelah peristiwa ini,
agaknya… hemmm, rencana kita tadi terpaksa harus ditunda dulu, Taihiap.”
Sin Hong menarik napas panjang dan bangkit dari tempat duduknya.
“Aku mengerti, Bhe Kauwsu. Sebaiknya kami mohon diri untuk melanjutkan perjalanan. Kehadiran kami
hanya mengganggu saja.”
“Ahhh, sama sekali tidak, Taihiap. Bahkan tadinya kami sangat mengharapkan bantuan Taihiap untuk
mendamaikan urusan ini, tetapi kini para murid sedang marah-marahnya, dan saya sendiri tentu saja juga
penasaran karena kembali kehilangan seorang murid yang baik.”
Sin Hong lalu menggandeng tangan Yo Han meninggalkan rumah perguruan silat yang besar itu, bahkan
lalu keluar dari kota Lu-jiang. Setiba mereka di luar kota, hari telah mulai gelap, senja telah mendatang.
“Suhu, apa yang akan kita lakukan sekarang?” Yo Han bertanya.
Sin Hong menoleh dan memandang muridnya sambil tersenyum. “Apa yang akan kita lakukan?
Melanjutkan perjalanan, apa lagi?"
“Tapi permusuhan antara Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang itu...“
“Ah, itu bukan urusan kita, Yo Han. Perlu apa kita mencampuri urusan orang lain?” Sin Hong mencela
muridnya.
Hening sejenak dan kedua orang itu melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata. Yo Han berjalan dan
sambil menundukkan mukanya, tiba-tiba dia bertanya, “Suhu, kalau teecu melihat dua orang berkelahi dan
berusaha mati-matian untuk saling bunuh, apakah yang harus teecu lakukan?”
“Hemmm, tentu engkau harus melerai dan berusaha untuk mendamaikan mereka, atau kalau kau tahu
bahwa seorang di antara mereka jahat dan hendak menekan, kau harus membantu yang lemah tertindas.”
“Suhu, bukankah kalau teecu mencampuri berarti teecu juga mencampuri urusan orang lain?”
Mendengar nada suara muridnya, Sin Hong menoleh. Ia pun tersenyum dan mengerti apa yang
dimaksudkan oleh muridnya yang cerdik itu, lalu ia menarik napas panjang. “Baiklah, Yo Han. Aku pun
sedang memikirkan bagaimana cara dapat menghentikan permusuhan antara Ngo-heng Bu-koan dan Kimliong-
pang. Karena dua pihak berkeras kepala, maka aku tidak ingin lagi ikut mencampuri. Jangan-jangan
malah akan dimusuhi kedua pihak.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suhu telah berkenalan dengan pihak Bu-koan dan tahu akan isi hati Bhe-kauwsu, akan tetapi belum
mengenal pihak Kim-liong-pang. Kalau Suhu juga berkunjung ke sana dan berkenalan, teecu kita tidak
akan sukar mencari jalan tengah ke arah perdamaian.”
“Usulmu baik sekali. Baiklah, mari kita pergi ke bukit Kim-liong-san itu, setidaknya kita dapat menyelidiki
bagaimana sesungguhnya keadaan pihak yang bermusuhan dengan Ngo-heng Bu-koan itu.”
Yo Han merasa girang sekali, tetapi dia hanya mengangguk dan mengikuti suhu-nya menuju ke bukit yang
nampak dari situ walau pun cuaca sudah mulai remang-remang. Tiba-tiba Sin Hong menarik lengan
muridnya dan menyelinap ke dalam semak-semak. Dia melihat bayangan orang.
Yo Han juga mengintai dari balik semak-semak dan dia pun melihat dua orang laki-laki sedang
menggotong tubuh seorang laki-laki lain yang agaknya telah tewas. Oleh karena cuaca remang-remang,
maka Sin Hong tidak dapat mengenal wajah kedua orang itu.
“Engkau tunggu saja di sini, aku akan membayangi mereka,” bisiknya kepada Yo Han.
Anak ini mengangguk, maklum bahwa kalau dia ikut, hanya akan merepotkan saja dan mungkin akan
menggagalkan usaha gurunya yang akan melakukan penyelidikan. Sin Hong berkelebat dan lenyap dari
depan muridnya, membuat Yo Han terbelalak kagum.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, mudah saja bagi Sin Hong untuk membayangi dua orang itu sampai
dekat tanpa mereka melihat atau pun mendengar gerakannya. Dengan jantung berdebar Sin Hong dapat
mengenal seorang di antara mereka, yaitu Phoa Hok Ci, murid kepala Ngo-heng Bu-koan yang paling
mendendam kepada Kim-liong-pang itu.
Dari Bhe Kauwsu dia mendengar betapa korban pertama di pihak Ngo-heng Bu-koan adalah seorang
murid perempuan dan gadis yang diperkosa lalu dibunuh itu adalah kekasih Hok Ci dan korban terakhlr
adalah seorang sute yang paling dekat dengan Hok Ci.
Sekarang dua orang yang menggotong sesosok mayat itu masuk hutan kecil di lereng Kim-liong-pang dan
mereka berhenti. Sin Hong cepat menyelinap ke belakang sebatang pohon terdekat. Ia mengintai dan
mendengarkan dengan hati-hati karena merasa curiga akan sikap mereka.
“Suheng, kita apakan mayat itu? Kita kubur di sini?” Orang ke dua bertanya dan tahulah Sin Hong bahwa
dia seorang murid Ngo-heng Bu-koan pula, adik seperguruannya Phoa Hok Ci.
“Kita kubur di sini? Huh, enaknya! Kita biarkan dia di sini agar besok pagi ada orang Kim-liong-pang yang
melihatnya. Tinggalkan saja golokmu itu di tubuhnya, atau biarlah kutusukkan golok itu di tubuh mayat ini!”
Phoa Hok Ci menerima golok dari tangan sute-nya, dan sekali bergerak goloknya itu menancap sampai
dalam di dada mayat. Tidak ada darah keluar, tanda bahwa mayat itu sudah sejak tadi tewas.
“Tapi... Suheng, golok itu ada tanda perguruan kita.”
“Bagus, memang itu yang kukehendaki. Biar mereka tahu bahwa putera ketua mereka dibunuh oleh orangorang
Ngo-heng Bu-koan!”
“Aihhh, bagaimana Suheng ini? Bukankah suhu sedang berusaha untuk mengadakan perdamaian dengan
pihak Kim-liong-pang? Perbuatan Suheng kali ini akan menambah besar dendam dan permusuhan! Aku
tadi sudah sangsi ketika Suheng mengajak aku mengeroyok Ciok Lim, walau pun aku juga tidak suka
kepadanya, apa lagi mengingat bahwa dia tersangka utama dalam perkosaan dan pembunuhan sumoi
kita.”
Phoa Hok Ci mengambil pedang milik Ciok Lim yang sudah menjadi mayat itu. Pedang itu tadinya masih
terselip di sarung pedang yang tergantung di punggung, hal ini saja menunjukkan bahwa pemuda putera
ketua Kim-liong-pang ini agaknya dibunuh secara mendadak sehingga dia tidak sempat membela diri.
“Aku memang menghendaki agar kedua belah pihak bermusuhan! Biarlah kedua pihak hancur, kecuali Bhe
Siang Cun! Ia seorang yang harus hidup dan menjadi isteriku!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suheng... apa... apa pula maksudmu...?” Orang kedua itu agaknya terkejut bukan main mendengar
ucapan Phoa Hok Ci itu.
“Sudah sejak dulu kurindukan Siang Cun, dan kujelaskan niatku memperisteri gadis itu, akan tetapi suhu
dengan halus menolak, bahkan lalu hendak menjodohkan aku dengan Cin-sumoi. Aku merasa sangat
penasaran, dan lebih sakit hatiku ketika suhu menerima pinangan Ciok Lim ini! Tidak ada jalan lain bagiku
kecuali menggagalkan perjodohan itu dan untuk itu, Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan harus menjadi
musuh besar yang saling bermusuhan! Aku tidak mencinta Cin-sumoi, cintaku hanya untuk Bhe Siang Cun,
maka biarlah Cin-sumoi menjadi korban pertama untuk membuka permusuhan antara kedua pihak, dan
aku berhasil... ha-ha-ha, aku berhasil! Apa lagi malam ini, Ciok Lim, telah tewas dan untuk kematian ini,
pihak Kim-liong-pang pasti akan membalas dendam dan tiada kekuatan lain di dunia ini yang akan mampu
menghapus dendam di antara mereka!”
“Suheng...! Kau... kau gila...!”
“Ha-ha-ha, memang aku gila, tergila-gila kepada Siang Cun dan apa pun yang akan terjadi, ia harus
menjadi milikku. Kau dengar, Sute? Ia harus menjadi milikku, aih, Siang Cun jantung hatiku...!”
“Suheng, jadi kalau begitu, Cin-sumoi bukan terbunuh oleh Ciok Lim, melainkan oleh Suheng sendiri? Dan
Suheng yang memperkosanya lalu membunuhnya?”
“Hemmm, hanya orang tolol seperti engkau yang tidak mengerti! Aku memperkosa dan membunuhnya
agar api kebencian dan permusuhan mulai bernyala...”
“Suheng mencuri topi milik Ciok Lim dan meninggalkannya di dekat mayat Cin-sumoi?”
“Benar!”
“Dan pembunuhan-pembunuhan yang lain itu... pembunuhan terhadap murid perguruan kita yang tidak
diakui oleh pihak Kim-liong-pang, kemudian pembunuhan terhadap murid Kim-liong-pang yang tidak kita
akui, semua itu adalah perbuatanmu pula?”
“Benar.”
“Dan kematian sute sore tadi... juga engkau yang membunuhnya?”
“Benar!”
“Suheng! Engkau telah gila, dan kenapa... kenapa kau ceritakan semua ini kepadaku? Mengapa engkau
berani mengakui semua itu kepadaku?”
“Karena engkau takkan mampu membuka mulut lagi!”
Tiba-tiba pedang di tangan Hok Ci menyambar dan pedang itu telah menembus dada dan jantung murid
Ngo-heng Bu-koan itu. Dia roboh terjengkang, matanya terbelalak, mulutnya mengeluarkan suara jerit
tertahan dan ia pun tewas seketika, roboh terlentang dengan pedang masih menancap di dadanya dan
agaknya memang dibiarkan tinggal di dada itu oleh Hok Ci.
Sin Hong terkejut bukan main dan merasa menyesal. Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa Phoa
Hok Ci akan membunuh sute-nya sehingga dia pun tak menyangka sesuatu dan tidak keburu mencegah
pembunuhan yang terjadi di depan matanya ini. Tak disangkanya pula bahwa permusuhan hebat antara
Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan itu terjadi karena perbuatan Phoa Hok Ci yang agaknya sudah gila!
Orang ini tergila-gila kepada Bhe Siang Cun. Karena pinangannya ditolak, juga karena besarnya nafsu
menguasai dirinya untuk dapat memiliki Siang Cun, dia tak segan-segan melakukan segala perbuatan yang
amat kejam.
Dia memperkosa mendiang Bong Siok Cin, sumoi-nya sendiri, lalu membunuhnya, dan di dekat mayat
sumoi-nya itu dia meninggalkan topi milik putera ketua Kim-liong-pang yang dicurinya. Ia pun masih
memperbesar permusuhan dan dendam antara dua pihak dengan melakukan pembunuhan-pembunuhan
lagi, baik terhadap murid Kim-liong-pang yang dibunuhnya, mau pun murid Ngo-heng Bu-koan sendiri!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan siang tadi dia membunuh sute-nya yang paling dekat dengan dia, mungkin selain untuk memperbesar
dendam, juga karena sute-nya itu mengetahui atau mencium bau akibat perbuatannya yang jahat.
Pembunuhan terhadap sute-nya ini dilakukan dengan dua tujuan, pertama supaya sute-nya ini tidak dapat
menceritakan hal-hal yang kiranya mencurigakan, dan kedua agar ada bukti bahwa kematian putera ketua
Kim-liong-pang adalah karena perbuatan sute itu, murid Ngo-heng Bu-koan! Dia membunuh sute-nya agar
kelihatan bahwa mereka berdua itu tewas bersama dalam suatu perkelahian.
Bukan main kaget dan marahnya hati Sin Hong dan diam-diam dia kagum sekali kepada muridnya.
Ternyata dugaan Yo Han benar dan tepat! Kemungkinan ketiga itu kini bukan kemungkinan lagi, melainkan
sudah menjadi kenyataan! Ada orang ke tiga yang sengaja mengadu domba antara Kim-liong-pang dan
Ngo-heng Bu-koan demi kepentingan diri sendiri! Dan orang itu bukan laan adalah Phoa Hok Ci, murid
utama yang dipercaya oleh Bhe Kauwsu.
Satu-satunya kebodohan dan kelemahan manusia adalah membiarkan si aku merajalela dalam diri kita
masing-masing. Kalau si aku sudah merajalela dalam diri, menguasai diri sepenuhnya, maka celakalah
hidup ini.
Segala mala petaka dan kesengsaraan, bersumber dari si aku ini yang mendorong kita untuk mengejar
segala macam kesenangan dengan menggunakan segala macam cara untuk mencapai hasil pengejaran
itu. Si aku ini yang mendatangkan loba, tamak, dengki, iri, marah, benci takut dan sebagainya. Si aku
mengotori dan merusak batin.
Si aku bagaikan setan yang menjadi raja dalam batin kita masing-masing dan selama setan itu masih
bertahta dalam batin maka hidup ini penuh konflik, penuh permusuhan, dendam, kebencian dan karenanya
terciptalah rasa takut dan kesengsaraan. Jika setan ini tidak lagi bercokol di dalam batin, maka sinar cinta
kasih akan menerangi batin, dan kekuasaan Tuhan sendiri akan memenuhi batin.
Sin Hong cepat meloncat keluar sambil membentak. “Phoa Hok Ci, kiranya engkaulah biang keladi semua
permusuhan ini!”
Phoa Hok Ci terkejut bukan main, akan tetapi tangan kirinya bergerak ke arah Sin Hong. Pendekar ini
cepat melompat ke samping untuk menghindarkan diri dari sambaran pasir hitam yang mengandung racun
itu! Akan tetapi tiba-tiba tangan kanan murid Ngo-heng Bu-koan itu bergerak dan segera asap hitam
bergumpal-gumpal membuat penglihatan Sin Hong tertutup. Pada waktu pendekar ini meloncat lagi ke
samping agak jauh dan memandang, ternyata Phoa Hok Ci telah lari jauh sekali!
Sin Hong terkejut. Dia mengenal ilmu dari golongan hitam dan biasanya hanya orang-orang seperti para
tokoh Pek-lian-kauw yang memiliki senjata rahasia seperti itu. Bagai mana mungkin seorang murid Ngoheng
Bu-koan dapat menggunakan senjata rahasia dari golongan sesat? Tentu orang itu diam-diam sudah
berguru kepada tokoh sesat, pikirnya. Akan tetapi Sin Hong cepat meloncat dan melakukan pengejaran.
Kembali dia terkejut. Kiranya Phoa Hok Ci memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mampu berlari cepat sekali!
Sin Hong menemui kesulitan karena cuaca sudah mulai gelap dan ia tidak mengenal lapangan. Tidak
seperti Phoa Hok Ci yang agaknya telah hafal benar akan keadaan di wilayah itu sehingga Sin Hong belum
juga mampu menyusul orang yang melarikan diri, walau pun dia masih belum kehilangan jejaknya.
Phoa Hok Ci berlari cepat. Dia merasa jeri untuk melawan Sin Hong, karena dia tahu benar betapa lihainya
pemuda yang pernah menjadi tamu di Ngo-heng Bu-koan itu. Dan yang amat mengecilkan hatinya adalah
semua rahasianya. Ia harus bertindak cepat jika tidak ingin menemui kegagalan dalam akhir rencananya
yang sudah berjalan demikian baiknya. Tanpa disadarinya, dia lari melalui dekat tempat di mana Yo Han
bersembunyi menanti gurunya.
Yo Han terkejut melihat orang lari berkelebat di dekat tempat persembunyiannya. Dan dia mengenal orang
itu sebagai Phoa Hok Ci! Selagi dia bangkit berdiri dan memandang keheranan ke arah larinya orang itu,
tiba-tiba saja gurunya telah berada di dekatnya.
“Kau melihat orang yang lari tadi?” tanya gurunya.
“Phoa Hok Ci?”
“Benar! Kau melihat dia?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dia lari ke sana, Suhu!” Yo Han menunjuk ke arah selatan.
“Kau tunggu di sini, aku akan mengejarnya! Dialah orang ke tiga itu!” Berkata demikian, Sin Hong
berkelebat dan lenyap ditelan kegelapan malam.
Yo Han berdiri termangu-mangu. Ternyata dugaannya benar. Dua pihak itu telah diadu domba oleh murid
Ngo-heng Bu-koan sendiri. Dia tidak tahu apa sebabnya dan dia merasa menyesal mengapa dia tidak
memiliki kepandaian sehingga tidak mampu ikut pula mengejar. Akan tetapi, menanti di situ seorang diri
saja juga amat tidak enak, maka dia pun lalu melangkah meninggalkan tempat persembunyiannya, menuju
ke selatan, ke arah larinya Phoa Hok Ci yang dikejar suhu-nya.
Oleh karena malam itu gelap, langit hanya dipenuhi bintang-bintang yang mengeluarkan cahaya remangremang,
dan dia sama sekali tak mengenal jalan. Yo Han harus berjalan dengan hati-hati agar jangan
sampai terjeblos ke dalam jurang. Dia meraba-raba, akan tetapi terus menuju ke selatan.
Sementara itu, Sin Hong juga menghadapi kesukaran untuk dapat menangkap orang yang dikejarnya.
Kegelapan malam dan asingnya tempat itu baginya membuat dia jauh kalah cepat bergerak dibandingkan
Phoa Hok Ci, meski kalau mereka berdua berlomba lari cepat, tentu Sin Hong akan menang. Bahkan
setelah memasuki sebuah hutan yang keadaannya lebih gelap lagi, dia kehilangan jejak murid Ngo-heng
Bu-koan itu.
Akan tetapi tiba-tiba ia melihat dinding putih agak jauh di depan. Agaknya ada bangunan di depan dan
kebetulan bangunan itu berada di tempat terbuka sehingga dindingnya dapat nampak keputihan di bawah
sinar ribuan bintang di langit. Sin Hong cepat menuju ke dinding putih itu dan tak lama kemudian tibalah dia
di depan sebuah kuil!
Sebuah kuil tua di tengah hutan. Siapa tahu orang yang dikejarnya bersembunyi di kuil itu, pikirnya dan
dengan tenang namun hati-hati sekali Sin Hong menghampiri kuil dan masuk ke pekarangan kuil itu.
Sebelum ia masuk ke ruangan depan, ia memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sunyi saja di tempat itu,
akan tetapi tiba-tiba ia berhenti dan pendengarannya yang amat tajam itu dapat menangkap gerakan lirih di
sebelah dalam kuil tua. Kemudian, pada saat ia menunduk sambil mendengarkan, matanya dapat melihat
pula beberapa batang kayu kering berserakan.
Ini hanya dapat terjadi, jika ada orang di dalam kuil itu yang mengumpulkan kayu kering dan membawanya
ke dalam kuil karena di tempat dia berdiri, yaitu di pekarangan depan kuil itu, tidak ada pohon sehingga
ranting kayu itu tentu dibawa orang ke situ.
Dia semakin waspada. Ada orang di dalam kuil, pikirnya, atau kalau suara tadi bukan gerakan orang
melainkan tikus atau binatang setidaknya kuil itu pernah didatangi orang dan orang itu mengumpulkan kayu
kering untuk membuat api unggun!
Sin Hong melangkah masuk ruangan depan dan hidungnya lalu berkembang kempis. Penciumannya juga
sangat tajam dan dia mencium bau hangus, bau api unggun yang baru saja dipadamkan. Mungkin kalau
cuaca tidak begitu gelap, akan dapat nampak asapnya.
Dia semakin waspada dan tiba-tiba saja dia melempar tubuh ke samping. Untung dia bergerak cepat
karena dari depan dan belakangnya ada pedang dan tombak yang menyambar amat ganas dan cepatnya.
Kalau dia tidak melempar tubuh ke samping, satu di antara dua buah senjata itu pasti akan mengenai
tubuhnya. Dia menjatuhkan diri dan bergulingan, lalu melompat bangun.
Ketika dia bergulingan tadi, dia sengaja berguling ke luar sehingga kini dia berdiri di pekarangan kembali.
Dan dari ruangan depan yang gelap itu berloncatan dua orang. Yang seorang memegang sebatang
pedang dan dia itu bukan lain adalah Phoa Hok Ci! Ada pun orang yang memegang tombak adalah
seorang kakek yang berumur enam puluh tahun, berambut riap-riapan panjang, mukanya seperti seekor
singa, pakaiannya seperti jubah pertapa yang tebal dan matanya mencorong.
“Heh-heh-heh, inikah pendekar muda sombong yang mengancammu itu, Hok Ci?”
“Benar, Suhu, dia berbahaya sekali, dan dia bukan hanya mengancam aku, akan tetapi juga Suhu dan
rencana kita akan gagal sama sekali kalau dia dibiarkan hidup lebih lama lagi.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha, jangan khawatir. Serahkan saja dia padaku, akan kuhabiskan dia sekarang juga!” Kakek
bermuka singa itu tertawa sambil menancapkan tombaknya di salah satu dinding. “Kau pasang saja lampu
penerangan agar lebih mudah aku membunuh dia!”
Agaknya kakek itu tinggi hati sekali dan dia sudah dapat memastikan bahwa dia akan mampu membunuh
pemuda yang mengejar muridnya itu. Bahkan dia berlaku demikian sombongnya untuk menyimpan
tombaknya dan menghadapi Sin Hong dengan tangan kosong! Akan tetapi begitu dia menyerang dengan
kedua lengan dipentang dan tangan yang berbentuk cakar itu menerkam dari kanan kiri, maklumlah Sin
Hong bahwa orang ini sombong bukan hanya lagak belaka, melainkan karena memang dia amat lihai.
Kakek bermuka singa ini memang bukanlah orang sembarangan. Dia adalah seorang pertapa yang
memiliki kesaktian dan berjuluk Hoan Saikong, dan baru beberapa tahun saja dia meninggalkan tempat
pertapaannya di Pegunungan Thai-san di mana selama puluhan tahun dia bertapa dan mematangkan ilmuilmunya.
Dia turun gunung dan hidup sebagai seorang pertapa yang mengharapkan makanan dari sedekah
para dermawan.
Tapi agaknya puluhan tahun bertapa itu sama sekali tidak mengubah dasar wataknya, dan ternyata setelah
berada di dunia ramai, sebentar saja dia sudah kembali menjadi hamba nafsu-nafsunya seperti sebelum
dia bertapa. Memang pada waktu muda dahulu Hoan Saikong terkenal sebagai seorang perampok tunggal
yang amat kejam.
Phoa Hok Ci secara kebetulan saja bertemu dengan Hoan Saikong empat tahun yang lalu. Dia melihat
betapa saktinya kakek ini, maka segera didekatinya dan dengan royal dia memberi pakaian dan makan
minum kepada kakek itu, bahkan melihat betapa kakek itu tidak pantang bermain dengan wanita, Phoa Hok
Ci lalu mencarikan gadis panggilan untuk menyenangkan hatinya.
Hoan Saikong merasa senang dan dia mau menerima Phoa Hok Ci sebagai muridnya, asal Phoa Hok Ci
dapat mencukupi semua kebutuhannya. Kemudian, setelah pergaulan mereka sebagai guru dan murid
semakin akrab, mereka merencanakan sesuatu yang akan mendatangkan keuntungan bagi keduanya.
Phoa Hok Ci tergila-gila kepada Siang Cun, puteri gurunya sendiri, akan tetapi gurunya tidak suka
menerimanya sebagai calon mantu, bahkan sudah menerima pinangan pihak Kim-liong-pang. Hal ini
membuat Phoa Hok Ci penasaran dan dia lalu berunding dengan gurunya yang baru, gurunya yang dia
rahasiakan dari siapa pun juga.
Di dalam perundingan inilah keduanya merencanakan siasat mereka mengadu domba antara Kim-liongpang
dan Ngo-heng Bu-koan. Kalau mereka berhasil, maka pertalian jodoh antara Siang Cun dan Ciok Lim
akan putus, dan ada harapan Siang Cun akan menjadi isteri Phoa Hok Ci. Dan harapan lain bagi Hoan
Saikong adalah untuk merebut dan menguasai Kim-liong-pang di mana dia akan menjadi ketua yang baru
sehingga namanya akan terangkat tinggi dan dia akan menjadi seorang pangcu yang terhormat.
Hal ini tidak akan sukar dilakukan kalau Kim-liong-pang sudah menjadi lemah karena permusuhannya
dengan Ngo-heng Bu-koan. Tentu saja dengan bantuan Hoan Saikong yang lihai, mudah bagi Phoa Hok Ci
untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan pada ke dua pihak dan mengadu domba mereka. Dan
sebagai awal siasat keji itu, dengan kejam sekali dia memperkosa dan membunuh sumoi-nya sendiri, Bong
Siok Cin, setelah berhasil mencuri topi dari Ciok Lim yang baru saja dijamu oleh calon mertuanya sampai
setengah mabuk. Dalam keadaan setengah mabuk itu, mudah saja bagi Phoa Hok Ci dan Hoan Saikong
untuk mencuri topinya tanpa dia ketahui.
Demikianlah sedikit mengenai Hoan Saikong yang kini berhadapan dengan Sin Hong. Ketika Phoa Hok Ci
melihat bahwa Sin Hong mendengarkan percakapannya dengan sute-nya sebelum sute itu dibunuhnya, dia
menjadi kaget dan juga khawatir sekali. Maka dia pun teringat kepada gurunya itu dan dia sengaja
memancing Sin Hong ke kuil tua itu di mana terdapat Hoan Saikong yang segera siap untuk membantu
muridnya.
Kini, dia berhadapan dengan Sin Hong, dan karena kesombongannya, dia menghadapi Sin Hong dengan
tangan kosong, mengira bahwa dengan mudah saja dia akan dapat membunuh lawan yang agaknya
ditakuti muridnya itu.
Namun dia kecelik! Tubrukan dengan kedua lengan mencengkeram dari kanan kiri itu hanya mengenai
angin saja. Tiba-tiba kaki Sin Hong menggeser ke samping dan tangan kirinya cepat menotok ke arah
lambung lawan. Gerakan pemuda itu demikian cepatnya, merupakan serangan balasan yang serentak
dunia-kangouw.blogspot.com
sehingga Hoan Saikong juga cepat-cepat harus menarik tangannya dan menangkis sambil mencoba untuk
mencengkeram lengan Sin Hong.
“Dukkk!”
Tangkisan itu membuat tubuh Hoan Saikong tergetar hebat dan tentu saja dia tidak jadi mencengkeram
karena lengannya sendiri sudah ditarik saking kagetnya melihat betapa lawan yang amat muda itu memiliki
tenaga yang luar biasa kuatnya. Dari pertemuan lengan itu Hoan Saikong dapat menduga bahwa meski
lawannya itu masih amat muda, akan tetapi tidak seperti yang diduganya, bukan seorang lawan yang boleh
dipandang ringan.
Hoan Saikong kemudian mengeluarkan suara menggereng seperti harimau dan kini dia menyerang lagi
dengan dahsyat, sambil mengerahkan semua tenaganya. Dan tahulah Sin Hong ketika melihat gerakan
kaki tangan lawan bahwa kakek itu adalah seorang ahli silat dengan gaya harimau. Akan tetapi bukan
sembarang Hauw-kun (Silat Harimau).
Memang banyak macamnya silat harimau diciptakan oleh perguruan silat yang berbeda aliran, walau pun
pada dasarnya ada persamaan yaitu dengan meniru ketangkasan dan kegesitan harimau. Akan tetapi gaya
silat harimau yang dimainkan oleh kakek bermuka singa ini sungguh dahsyat sekali, bahkan jauh lebih
berbahaya dari pada melawan seekor harimau tulen!
Kedua tangan kakek itu membentuk cakar harimau yang amat kuat, dan walau pun kuku-kuku jari
tangannya tidak panjang melengkung dan kokoh seperti kuku harimau, namun jari-jari tangannya itu
mengandung sinkang kuat sekali dan cengkeraman kedua tangannya dapat menembus batang pohon,
bahkan batu karang. Dapat dibayangkan betapa kulit daging akan koyak-koyak, tulang akan remuk kalau
terkena cengkeraman kedua tangan yang membentuk cakar itu!
Akan tetapi sekali lagi kakek itu kecelik. Yang dilawannya sekarang bukanlah seorang pendekar biasa,
melainkan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi yang sudah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian
dari para penghuni Istana Gurun Pasir!
Ketika Sin Hong melihat betapa lawannya menggunakan ilmu silat harimau yang sangat dahsyat, yang
sambaran angin dari kedua tangan itu saja sudah mendatangkan hawa panas dan sangat berbahaya, dia
pun maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang sakti. Maka, dia pun cepat-cepat mengerahkan
tenaga dan memainkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun, yaitu ilmu gabungan dari ketiga orang gurunya.
Ilmu silat ini memang hebat bukan main, bukannya seperti ilmu-ilmu silat Ho-kun (Silat Bangau) biasa saja.
Biar pun gaya dasarnya meniru gerakan burung bangau putih yang indah dan lemas di samping kekuatan
dan kecepatan burung itu, akan tetapi intinya mengandung perasan dari ilmu-ilmu yang dikuasai tiga orang
tua sakti itu! Bahkan untuk mempelajari ilmu silat sakti ini, Sin Hong terlebih dahulu menerima pengoperan
sinkang gabungan dari tiga orang gurunya, dan untuk bisa berhasil menguasai ilmu itu dengan sempurna,
dia bahkan harus bertapa selama setahun, tidak boleh mengerahkan tenaga sedikit pun karena hal ini akan
dapat menewaskannya.
Begitu Sin Hong menghadapi Houw-kun yang amat hebat dari kakek itu dengan Pek-ho Sin-kun, kakek itu
kembali terkejut. Gerakan dua lengan pemuda itu yang mirip dengan gerakan leher dan kepala burung
bangau, mengandung hawa pukulan yang kuat sekali. Setiap kali mereka beradu lengan, Hoan Saikong
lantas terdorong ke belakang seperti diserang angin taufan!
“Haaauuuwww...!”
Tiba-tiba Hoan Saikong mengeluarkan suara gerengan yang sangat dahsyat. Gerengan ini mengandung
khikang yang kuat dan kalau lawannya bukan Sin Hong, sedikit banyak tentu akan terpengaruh oleh
getaran suara menggereng ini. Dan sambil menggereng, kakek itu menubruk ke depan, cakar kanannya
mencakar ke arah ubun-ubun kepala Sin Hong, cakar kiri dari samping mencakar perut. Gerakannya cepat
dan amat kuat, kedua cakar itu ketika menyambar mendatangkan angin keras.
Sin Hong maklum akan bahayanya serangan ini, maka dia pun melangkah ke belakang. Tubuhnya ditarik
ke belakang dan kedua tangannya menyambut serangan itu dengan tangkisan kedua lengan yang
dikembangkan dari tengah, yang kiri mendorong ke atas dan yang kanan mendorong ke bawah.
“Dukkk! Dukkk!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua pasang lengan bertemu dan kembali tubuh kakek itu terdorong ke belakang. Tetapi dengan cepat
Hoan Saikong kini menubruk ke depan, bukan hanya kedua tangan yang bergerak seperti sepasang kaki
depan harimau untuk mencakar, juga mulutnya dibuka lebar seperti harimau yang hendak menggigit.
Namun kakek ini tidak menggigit karena giginya pun sudah banyak yang ompong, melainkan
menggunakan kepalanya untuk menyeruduk ke arah dada lawan! Serangan kedua tangan dan kepala ini
memang lebih dahsyat dari pada tadi, dan tubuhnya meluncur seperti harimau meloncat.
Dengan ringan sekali, tiba-tiba tubuh Sin Hong meloncat ke atas seperti seekor burung terbang. Tubrukan
Hoan Saikong lewat di bawahnya dan kini tubuh Sin Hong berjungkir balik membuat salto, kemudian
dengan kepala di bawah, tubuhnya meluncur ke bawah, tangannya membentuk paruh burung yang
menotok ke arah tengkuk dan pundak Hoan Saikong!
Hoan Saikong mengeluarkan seruan kaget. Tak disangkanya bahwa serangannya yang dilakukan dengan
seluruh tenaganya itu selain gagal sama sekali, juga berbalik, bahkan kini lawan yang menyerangnya dari
atas. Dan serangan dua totokan dari atas itu hebat bukan main. Hoan Saikong melempar tubuhnya ke atas
lantai dan bergulingan menjauh sehingga serangan Sin Hong itu pun luput.
Ketika melihat lawannya menyambar tombak dan kini menyerangnya dengan tombak, Sin Hong cepat
mengatur langkah dan mengelak ke sana-sini dengan ringannya. Kedua kakinya bagai kaki burung
bangau, melangkah ringan tanpa mengeluarkan suara namun selalu dapat menghindarkan sambaran
ujung mata tombak yang berkelebatan.
Namun kini Phoa Hok Ci sudah maju mengeroyok dengan menggunakan pedangnya. Sebagai murid
pertama dari Ngo-heng Bu-koan, apa lagi telah menerima gemblengan selama empat tahun dari Hoan
Saikong, tingkat kepandaian Phoa Hok Ci ini tidak boleh dipandang ringan dan begitu dia maju
mengeroyok, Sin Hong dihujani serangan tombak dan pedang.
Jika saja Si Bangau Putih, demikian julukan Sin Hong, menghendaki, agaknya dia akan mampu
merobohkan dua orang pengeroyoknya itu dengan ilmunya yang tinggi. Namun, dia tidak bermaksud
membunuh mereka, bahkan dia harus dapat menangkap Phoa Hok Ci hidup-hidup, oleh karena orang
inilah yang dapat dijadikan kunci perdamaian antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan dan
melenyapkan kesalah pahaman yang timbul karena fitnah yang disebarkan oleh Phoa Hok Ci. Karena
hendak menangkap Phoa Hok Ci, maka Sin Hong tidak mau melakukan serangan mautnya. Ia menunggu
kesempatan untuk dapat menangkap pengkhianat itu.
Setelah menghadapi serangan dua orang bersenjata itu dengan hanya mengandalkan kelincahan
gerakannya, sambil menunggu kesempatan baik, akhirnya Sin Hong melihat terbukanya kesempatan. Dia
berhasil menangkap tombak di tangan Hoan Saikong, lalu mengerahkan tenaga menarik sehingga
lawannya itu ikut tertarik, dan dengan gagang tombak yang masih dipegangnya itu, Sin Hong menangkis
pedang Phoa Hok Ci yang menyambar, berbareng dia mengirim tendangan kilat ke arah lutut kaki kiri Phoa
Hok Ci.
Orang ini terkejut, namun masih sempat meloncat ke samping sehingga yang terkena tendangan hanya
betisnya, namun cukup membuat dia terpelanting dan Sin Hong yang menarik tombak, lalu membalikkan
tubuhnya sambil tangan kirinya menampar ke arah kepala Saikong itu.
Hoan Saikong cepat memutar tombaknya terlepas dari pegangan Sin Hong, dan sambil mengelak dengan
merendahkan tubuhnya dan menggeser kaki ke kiri, Hoan Saikong menggerakkan tombaknya untuk
menusuk perut lawannya! Tusukan yang sangat cepat datangnya itu dielakkan oleh Sin Hong yang
memiringkan tubuhnya dan ketika tombak meluncur lewat dekat pinggang, dia mengerahkan tenaga dan
memukul dengan tangan miring ke arah gagang tombak.
“Krekkk!” Tombak itu pun patah menjadi dua potong!
Hoan Saikong terkejut dan melompat ke dalam kuil, menyusul muridnya yang sudah lebih dulu melarikan
diri setelah tadi betisnya kena ditendang oleh Sin Hong.
“Phoa Hok Ci, hendak lari ke mana kau?” Sin Hong membentak dan cepat melompat ke dalam kuil
melakukan pengejaran.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah mencari-cari, dia melihat Hoan Saikong berdiri menantinya di ruang belakang, sebuah ruangan
kecil yang cukup terang karena di sudut dinding tergantung sebuah lampu dinding yang cukup terang.
Melihat ini, Sin Hong merasa curiga. Dia bukan orang bodoh.
Jika musuh yang telah melarikan diri dan dikejarnya kini menantinya di sebuah ruangan yang diterangi
lampu, maka hal ini patut dicurigakan. Mungkin ada sebuah perangkap, pikirnya, maka dia pun melangkah
masuk dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan. Mungkin Phoa Hok Ci yang tidak nampak akan
menyerangnya dengan senjata rahasia.
Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu ketika dia melangkah masuk dan dia pun berkata kepada kakek itu,
“Locianpwe, di antara kita tidak ada permusuhan. Aku tidak mengenal Locianpwe dan sebaliknya
Locianpwe pun tidak mengenalku. Aku hanya ingin mengajak Phoa Hok Ci untuk pulang ke Ngo-heng Bukoan
untuk membuat pengakuan tentang semua perbuatannya mengadu domba antara Kim-liong-pang
dan Ngo-heng Bu-koan. Serahkan Phoa Hok Ci dan aku akan pergi dari sini, tidak akan mengganggu
Locianpwe lebih lama lagi.”
Akan tetapi, sebagai jawaban, Hoan Saikong mengelebatkan pedangnya dan langsung menyerang Sin
Hong dengan permainan pedang yang amat dahsyat dan cepat. Kiranya kakek ini tadi melarikan diri karena
tombaknya patah, dan kini sudah berganti senjata pedang yang juga dapat dimainkannya dengan cepat
sekali.
Sin Hong menjadi amat penasaran dan marah. Orang ini agaknya hendak mati-matian membela muridnya
yang jelas telah melakukan perbuatan yang amat keji! Kalau dia tidak lebih dulu merobohkan orang ini
dengan cepat, tentu akan sukar untuk menangkap Phoa Hok Ci.
Karena itu, begitu lawan menyerangnya, Sin Hong menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya, mengelak
sambil membalas dengan cepat dan dahsyat sekali. Totokan demi totokan yang amat cepat dia lancarkan
ke arah lengan yang memegang pedang dan bagian anggota lain sehingga Hoan Saikong yang
menggunakan pedang itu sebaliknya malah terdesak hebat oleh Sin Hong. Dan karena selama perkelahian
itu tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan, tidak ada senjata rahasia dilepaskan dari temat gelap, maka
Sin Hong menjadi agak lengah dan kecurigaannya tadi menipis.
Pada saat dia mendesak terus dan perkelahian itu terjadi dengan sengitnya di tengah ruangan yang tidak
luas itu, mendadak Hoan Saikong mengeluarkan teriakan nyaring sekali, tetapi teriakan ini bukan untuk
melakukan serangan, melainkan untuk melompat pergi dari ruangan itu! Dan teriakan itu juga merupakan
isyarat kepada Phoa Hok Ci untuk bertindak karena tiba-tiba saja lantai ruangan yang diinjak oleh kaki Sin
Hong terbuka ke bawah!
Sin Hong terkejut sekali. Cepat tangannya meraih dan dia masih dapat menangkap kaki Hoan Saikong
yang hendak meloncat pergi dari ruangan itu. Kalau saja Hoan Saikong melanjutkan loncatannya, tentu dia
dan juga Sin Hong akan dapat keluar dari ruangan itu.
Akan tetapi, Hoan Saikong agaknya terkejut dan tidak menyangka bahwa pemuda yang menjadi lawannya
itu masih sempat menangkap kakinya. Dengan marah dia kemudian menusukkan pedangnya ke arah leher
Sin Hong. Melihat ini, Sin Hong mengerahkan sinkang pada tangan kirinya dan dengan tangan miring dia
menyampok dan memukul ke arah pedang yang melakukan serangan maut itu.
“Plakkk!”
Pedang itu terlepas dari pegangan Hoan Saikong, akan tetapi karena gerakan-gerakan itu, loncatannya
kehilangan tenaga dan tubuh mereka berdua tanpa dapat dicegah lagi meluncur jatuh ke dalam lubang di
ruangan itu!
Melihat betapa dia bersama lawannya terjeblos ke bawah, Sin Hong cepat melepaskan pegangannya pada
kaki lawan. Dia pun segera mengerahkan seluruh tenaganya untuk meringankan tubuhnya. Biar pun Hoan
Saikong juga melakukan ini, namun karena dia nampak ketakutan sekali, maka ginkang (ilmu meringankan
tubuh) yang dikerahkannya menjadi berantakan dan tubuhnya meluncur lebih cepat dari pada Sin Hong ke
dalam lubang yang dalam dan gelap itu.
Diam-diam Sin Hong merasa kaget juga melihat betapa lamanya dia tiba di dasar lubang jebakan itu, tanda
bahwa lubang itu cukup dalam! Terdengar jerit mengerikan dari Hoan Saikong di sebelah bawah ketika
tubuh kakek itu lebih dulu tiba di dasar lubang, teriakan kematian!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin Hong mengerahkan ginkang-nya dan ia memandang ke bawah, melihat garis bentuk tubuh Hoan
Saikong rebah meringkuk ke bawah. Dengan hati-hati sekali Sin Hong lalu mengarahkan kedua kakinya
menginjak tubuh itu. Untung dia melakukan hal ini karena ternyata bahwa dasar lubang yang sempit itu
penuh dengan tombak-tombak runcing yang siap menerima tubuhnya! Tubuh mayat Hoan Saikong telah
menyelamatkannya! Dia dapat hinggap di atas tubuh itu dan terbebas dari tusukan tombak-tombak itu.
Pantas saja Hoan Saikong tadi mengeluarkan teriakan ketakutan saat terjatuh. Agaknya dia sudah tahu
akan keadaan sumur maut ini, dan begitu terjatuh, tubuhnya diterima tombak-tombak itu hingga tewas
seketika.
Sin Hong meraba ke kanan kiri. Kedua tangannya menyentuh dinding sumur yang licin sekali, penuh lumut.
Tidak mungkin merangkak ke atas menggunakan sinkang karena dinding itu licin bukan main. Meloncat ke
atas? Sama sekali tidak mungkin!
Ketika dia melihat ke atas, nampak lubang itu, lubang di tengah ruangan yang nampak samar-samar
diterangi lampu di dinding ruangan itu. Lalu nampak kepala orang di tepi sumur. Dari bawah pun dia dapat
melihat bahwa itu adalah kepala Phoa Hok Ci!
Dia menahan napas dan tidak bergerak. Biarlah dia disangka mati seperti kakek itu, karena kalau Phoa
Hok Ci mengetahui bahwa dia masih hidup, mungkin orang itu akan menyerangnya dengan melemparkan
sesuatu dan hal ini berbahaya sekali. Kemudian, dia mendengar suara Phoa Hok Ci tertawa. Agaknya
orang itu girang dan mengira dia telah mati. Murid itu agaknya sama sekali tidak merasa berduka biar pun
gurunya juga mati di dalam lubang jebakan ini. Hal ini saja menunjukkan betapa buruknya watak laki-laki
itu. Kepala Phoa Hok Ci lenyap dan penerangan di atas padam. Suasana kembali menjadi gelap gulita.
Sin Hong masih berdiri di atas mayat Hoan Saikong yang tertusuk tombak-tombak itu. Meloncat ke atas
tidak mungkin. Merayap melalui dinding lubang itu pun tidak mungkin. Tanpa bantuan orang dari atas, tidak
mungkin dia naik ke atas! Dalam keadaan gelap gulita itu, menyelidiki keadaan di dasar lubang itu pun
tidak mungkin. Tidak ada jalan lain baginya kecuali menanti sampai malam itu lewat dan ada sinar matahari
menerangi dasar lubang itu agar dia bisa menyelidiki dan mencari jalan keluar. Terpaksa dia harus
menanti.
“Locianpwe, maafkan aku.” bisiknya kepada mayat di bawahnya dan dia pun dengan hati-hati duduk bersila
di atas tubuh mayat yang masih hangat itu…..
********************
Sementara itu, Yo Han mencari-cari gurunya. Setelah keluar masuk hutan kecil, dia menjadi bingung. Dia
tidak tahu ke mana harus mencari gurunya, dan untuk kembali ke tempat tadi dia pun tidak mampu lagi.
Malam terlalu gelap dan dia tidak mengenal daerah itu.
Biar pun hatinya bingung sekali namun Yo Han tidak berani memanggil nama gurunya. Dia tahu bahwa
gurunya sedang mengejar orang, dan mungkin orang itu bersembunyi dan gurunya sedang mencari-cari.
Kalau dia membuat gaduh, mungkin akan dapat menggagalkan usaha gurunya itu. Dia mencari terus,
keluar masuk hutan dan semalam suntuk dia tidak pernah berhenti.
Sampai keesokan harinya, setelah sinar matahari mengusir kegelapan malam, Yo Han memasuki sebuah
hutan dan dia melihat sebuah kuil tua. Dimasukinya pekarangan kuil itu. Anak yang cerdik ini melihat
adanya jejak-jejak kaki di tanah pekarangan. Hatinya menjadi tegang, apa lagi pada waktu dia tiba di
ruangan depan kuil tua itu dan melihat lantainya. Jelas di tempat itu ada tanda-tanda bahwa baru saja
terjadi perkelahian di situ.
Dengan hati-hati dia masuk ke dalam. Kuil itu sunyi dan tidak nampak seorang pun, juga tak terdengar ada
suara orang. Hatinya terasa kecut dan mulailah ia khawatir. Gurunya sudah semalam suntuk mengejar
orang, kenapa belum juga kembali? Ataukah mungkin sudah kembali dan tidak bertemu dengan dia? Ah,
bagaimana kalau sampai dia tersesat dan tidak akan berjumpa kembali dengan gurunya? Mungkin
sekarang gurunya, seperti dia, juga sedang mencari-cari dia.
“Suhuuuuu...!“ Akhirnya dia tidak dapat menahan kegelisahan hatinya lagi dan berteriak memanggil
gurunya sambil menjenguk ke dalam kuil. Suaranya nyaring dan karena kuil itu merupakan bangunan yang
cukup besar dan kosong, suaranya bergema.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suhuuuuu...!” Sekali lagi dia memanggil, lebih kuat karena dia seperti mendapat firasat bahwa gurunya
berada di sekitar tempat itu.
Tiba-tiba terdengar jawaban yang membuat Yo Han hampir meloncat saking kaget dan girangnya. “Yo
Han...! Engkaukah itu...?”
Suara ini jelas sekali, akan tetapi terdengar dengan bunyi gaung yang aneh sehingga dia tak mengenal
apakah itu suara gurunya atau bukan dan datangnya dari arah dalam kuil!
“Suhuuuuu...! Suhu, di manakah engkau?” Yo Han masuk ke dalam kuil itu sampai ke ruangan dalam.
“Di ruangan belakang, Yo Han. Masuklah terus ke belakang sampai ada ruangan yang lantainya terbuka.
Hati-hati, jangan sampai terjatuh ke bawah. Aku terjebak di bawah sini!”
Yo Han merasa girang bukan main menemukan gurunya. Cepat ia maju dan ketika tiba di ruangan yang
dimaksudkan, ia melihat betapa lantai ruangan ini memang terbuka ke bawah. Ia mendekat sampai di tepi
lubang dan melongok ke dalam. Akan tetapi karena ruangan itu terang dengan cahaya matahari
sedangkan lubang itu sempit dan dalam, yang nampak hanyalah kegelapan menghitam saja.
Akan tetapi Sin Hong dapat melihat kepala muridnya dan hatinya girang bukan main. Girang dan juga
kagum. Bagaimana anak itu bisa menemukannya? Dia sejak tadi sudah mencari-cari jalan keluar, akan
tetapi agaknya tidak ada jalan keluar dari tempat itu kecuali kalau ada yang datang menolongnya! Dan kuil
tua itu tentu jarang didatangi orang, dalam sebuah hutan sunyi lagi. Diam-diam dia bergidik. Haruskah dia
mati di tempat itu? Dan, sebelum mati, dia akan tersiksa oleh bau mayat membusuk!
“Suhu, apakah Suhu berada di bawah sana?” Yo Han berteriak. Dia berusaha keras menggunakan
penglihatannya menembus kegelapan di bawah.
“Yo Han, dengarkan baik-baik. Aku terjeblos di sini dan tidak akan dapat naik tanpa bantuanmu. Kau
pergilah cari tali yang panjangnya paling sedikit lima belas tombak. Kumpulkan akar-akar gantung dan
sambung-sambung sampai panjang, lalu turunkan ke sini. Cepat!”
“Baik, Suhu. Teecu pergi mencari!” kata Yo Han.
Anak yang cerdik ini tak mau banyak cakap lagi, kemudian keluar dari ruangan itu dan sebelum mencari
keluar kuil untuk mengumpulkan akar gantung, dia lebih dulu mencari-cari di dalam kuil dan di belakang.
Usahanya berhasil. Dia menemukan tali yang panjangnya ada lima tombak. Karena permintaan suhu-nya
harus yang panjangnya paling sedikit lima belas tombak, Yo Han lalu keluar dan mulai mengumpulkan akar
gantung dari pohon-pohon besar.
Untunglah bahwa selama menjadi murid Sin Hong, biar pun dia belum dilatih ilmu silat, namun jasmaninya
sudah digembleng sehingga dia memiliki tubuh yang kuat, tenaga besar dan juga tahan uji sehingga biar
pun pekerjaan ini amat berat bagi seorang anak kecil seperti dia, akan tetapi akhirnya setelah matahari
naik tinggi, berhasillah Yo Han menyambung-nyambung akar gantung yang kuat sampai sepanjang lima
belas tombak lebih.
Sementara itu, dapat dibayangkan betapa tegang rasa hati Sin Hong. Setelah melihat munculnya Yo Han
yang akan menolongnya, hati tegang bukan main, jauh lebih tegang dan bahkan mulai khawatir kalau-kalau
muridnya itu gagal menolongnya. Akan tetapi dia percaya kepada Yo Han.
Anak itu cerdik sekali, dan andai kata dia sendiri tidak mampu menolong, tentu Yo Han akan memperoleh
akal untuk minta bantuan orang-orang dusun. Kepercayaan ini dapat menenteramkan hatinya.
Dia sudah merasa tidak enak sekali harus duduk bersila di atas tubuh mayat itu. Setelah ada cahaya
terang remang-remang memasuki lubang, dia mendapat kenyataan bahwa lubang yang di bagian dasarnya
sempit ini memang tidak ada tempat baginya untuk berdiri atau duduk!
Dasar itu penuh dengan tombak-tombak runcing yang ditanam dengan ujung runcingnya menghadap ke
atas! Maka boleh dikatakan bahwa Hoan Saikong telah menyelamatkan dirinya! Kalau tidak ada mayat
dunia-kangouw.blogspot.com
Hoan Saikong di atas tombak-tombak itu, entah bagai mana dia akan dapat terbebas dari maut di dasar
lubang jebakan ini!
Terkutuk Phoa Hok Ci yang kejam. Teringat akan orang itu tiba-tiba Sin Hong merasa khawatir sekali.
Orang itu telah ketahuan rahasianya. Walau pun menyangka dia tentu telah tewas di dalam lubang
jebakan, mungkin orang itu akan melakukan rencananya yang terakhir! Menghancurkan kedua
perkumpulan itu dan merampas Bhe Siang Cun sebagai isterinya! Dan orang itu sudah berkeliaran selama
semalam dan setengah hari ini!
“Suhuuuuu...!”
Panggilan itu membuat Sin Hong yang sedang melamun tersentak dan dia memandang ke atas. Nampak
kepala muridnya di sana.
“Yo Han, apakan engkau sudah mendapatkan tali itu?”
“Sudah, Suhu, akan teecu turunkan perlahan-lahan!”
“Baik, muridku. Turunkanlah dan ikatkan ujung yang di atas pada tiang yang kuat.”
Yo Han sudah mengikatkan ujung tali itu pada tiang yang kokoh dan sekarang dia menurunkan ujung yang
lain perlahan-lahan ke bawah. Perkiraan Sin Hong memang tepat. Ujung tali itu menyentuhnya dan hanya
kelebihan panjang satu meter saja! Sin Hong mencoba kekuatan tali itu dengan menarik-nariknya dari
bawah. Tahulah dia bahwa tali itu memang kokoh kuat dan dia semakin kagum saja kepada Yo Han.
“Sudah habis, Suhu! Apakah ujungnya sampai di sana?”
“Sudah. Aku siap untuk memanjat naik, Yo Han!”
Sin Hong lalu memanjat tali itu dengan mudahnya dan akhirnya dia meloncat naik. Yo Han girang sekali
dan memegang lengan suhu-nya, sebaliknya Sin Hong merangkulnya.
“Untung engkau datang, Yo Han. Sekarang mari, jangan membuang waktu di sini. Kita tidak tahu apa yang
akan dilakukan oleh Phoa Hok Ci yang jahat itu!” berkata Sin Hong dan dia pun melongok ke dalam lubang
sambil berkata, “Locianpwe, terima kasih atas pertolongan jenazahmu, beristirahatlah dengan tenang!”
Sin Hong kemudian memondong tubuh Yo Han. Digendongnya anak itu dan dia pun menggunakan ilmunya
berlari cepat meninggalkan kuil. Di sepanjang perjalanan dengan singkat Sin Hong menceritakan apa yang
telah terjadi sejak dia meninggalkan muridnya. Mendengar cerita suhu-nya, Yo Han terkejut.
“Wah, kiranya Phoa Hok Ci itu jahat sekali dan dialah orang ke tiga yang mengadu domba. Wah, kalau
Suhu terlambat, mungkin terjadi mala petaka di kedua pihak.”
“Karena itu, kita harus cepat berkunjung ke Ngo-heng Bu-koan di kota Lu-jiang!”
Yo Han tak berkata-kata lagi. Ia memuji kelihaian dan kecerdikan suhu-nya. Pantas tadi setelah keluar dari
lubang jebakan itu, gurunya membawa tali yang menyelamatkannya dan membuang tali itu di dalam jurang
di tengah perjalanan. Hal itu memang perlu. Phoa Hok Ci tentu menyangka bahwa gurunya sudah tewas di
dalam lubang jebakan, maka tempat itu mungkin sekali akan menjadi tempat persembunyiannya kelak, dan
kalau tali itu nampak di situ, tentu Phoa Hok Ci dapat mengetahui bahwa Sin Hong telah lolos.
Apa yang dikhawatirkan Sin Hong dan Yo Han memang terjadi. Pagi hari tadi, para murid Kim-liong-pang
menemukan mayat Ciok Lim, putera ketua mereka yang dadanya masih tertusuk golok yang pada
gagangnya ada ukiran Ngo-heng Bu-koan, sedangkan di sisinya menggeletak mayat seorang murid Ngoheng
Bu-koan yang tewas dengan pedang milik Ciok Lim menembus dadanya! Kedua orang itu agaknya
sudah berkelahi dan akhirnya mati bersama!
Melihat puteranya tewas, tentu saja Kim-liong-Pangcu Ciok Kam Heng menjadi marah sekali. Kalau
permusuhan antara murid-muridnya dengan para murid Ngo-heng Bu-koan masih ditahannya dengan
sabar mengingat bahwa sebetulnya antara dia pribadi dan Bhe Gun Ek terdapat tali persahabatan yang
baik, sekarang dia tidak dapat menahan kemarahannya lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Putera kandungnya, putera tunggalnya, tewas dan tak mungkin dia tinggal diam saja. Ditulisnya selembar
surat tantangan kepada Bhe Gun Ek untuk membereskan semua perhitungan dengan mengadu nyawa di
Bukit Bambu!
Ketika Sin Hong yang menggendong Yo Han tiba di luar kota Lu-jiang, seorang murid Ngo-heng Bu-koan
yang baru keluar dari pintu gerbang kota mengenalnya dan berseru, “Tan Taihiap!”
Sin Hong berhenti dan murid itu dengan sikap gugup berkata, “Suhu sedang menuju ke Bukit Bambu di
sana untuk memenuhi tantangan Kim-liong Pangcu.”
Sin Hong terkejut. “Di mana?”
“Di bukit itu, di puncaknya terdapat hutan bambu.”
Mendengar hal ini, tanpa membuang waktu lagi, Sin Hong membalikkan tubuhnya dan berlari cepat sekali
menuju ke bukit itu. Mudah-mudahan belum terlambat, pikirnya dengan hati tegang.
Akan tetapi, ketika dia tiba di puncak bukit itu, di atas padang rumput di tengah hutan bambu, dia melihat
perkelahian sudah dimulai antara Bhe Gun Ek dan seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun
yang bertubuh sedang dan bermata sipit. Dia dapat menduga bahwa orang ini tentulah Ciok Kam Heng,
ketua Kim-liong-pang yang bersenjatakan sebatang pedang, sedang mati-matian saling serang dengan
Bhe Gun Ek yang bersenjata sebatang sabuk rantai baja.
Ada belasan orang murid dari kedua pihak berdiri tegak saling berhadapan, akan tetapi agaknya guru
masing-masing pihak melarang mereka mencampuri perkelahian mati-matian adu nyawa untuk
mempertahankan kebenaran dan kehormatan masing-masing itu! Akan tetapi Sin Hong maklum bahwa
kalau satu di antara dua orang itu roboh, tentu akan terjadi pertempuran mati-matian antara kedua pihak.
Permainan sabuk rantai baja di tangan Bhe Gun Ek yang beberapa tahun lebih muda dari lawannya itu
memang hebat. Sabuk rantai diputar sedemikian rupa sehingga nampak gulungan sinar putih yang
mengeluarkan suara berdesing. Namun agaknya dia menemui tanding yang setingkat. Pedang di tangan
ketua Kim-liong-pang itu pun cepat dan kuat sekali sehingga berkali-kali terdengar suara berdenting disusul
berpijarnya bunga api kalau kedua senjata itu bertemu.
Keduanya saling serang dan keadaan mereka masih seimbang. Akan tetapi Sin Hong maklum bahwa
justru karena mereka seimbang, maka akhirnya tentu akan ada seorang di antara mereka yang roboh
tewas. Tanpa mengeluarkan serangan-serangan maut, tidak mungkin di antara mereka ada yang akan
keluar sebagai pemenang.
Sin Hong menyuruh Yo Han meloncat turun dan dia pun cepat meloncat ke depan, langsung memasuki
medan perkelahian antara kedua orang pimpinan perkumpulan itu sambil berseru, “Kedua Loenghiong
harap berhenti dulu!”
Ciok Kam Heng, pangcu dari Kim-liong-pang masih belum mengenal Sin Hong. Karena itu dia
menganggap bahwa pemuda ini tentulah orang Ngo-heng Bu-koan yang hendak membantu Bhe Gun Ek,
maka dia tidak peduli akan ucapan itu, bahkan pedangnya menyambar ke arah dada Sin Hong! Melihat ini,
Bhe Kauwsu juga menggerakkan rantai bajanya menyerang lawannya!
Sin Hong miringkan tubuhnya dan dengan tangan kanan dia menangkap pedang yang menusuk tubuhnya
itu dari samping, sedangkan tangan kirinya menangkap pula rantai baja yang menyambar ke arah tubuh
ketua Kim-liong-pang! Ciok Kam Heng terkejut dan berusaha menarik pedangnya yang dicengkeram Sin
Hong, namun dia gagal. Pedang itu seperti dicengkeram penjepit baja yang amat kuat!
“Harap Ji-wi suka berhenti dulu, aku mau bicara penting sekali, mengenai permusuhan Ji-wi yang menjadi
akibat adu domba dan fitnah!”
Mendengar ucapan ini, kedua orang itu terkejut. Ketika Sin Hong melepaskan senjata mereka, keduanya
meloncat ke belakang dan memandang kepada Sin Hong dengan mata terbelalak penuh pertanyaan.
“Tan Taihiap, apa yang kau maksudkan?” Bhe Gun Ek bertanya kaget dan heran.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, Ciok Kam Heng memandang dengan alis berkerut. Dia melihat bahwa lawannya telah
mengenal baik pemuda pakaian putih yang amat lihai itu.
“Orang muda, siapakah engkau dan mengapa engkau mencampuri urusan kami? Apa pula maksudmu
dengan fitnah dan adu domba tadi?” tanyanya dengan suara kereng.
Sin Hong menghadapi ketua Kim-liong-pang dan sekelebatan saja dia dapat melihat bahwa orang ini
memiliki sikap gagah dan juga matanya menyinarkan kejujuran.
“Maaf, Pangcu. Aku bernama Tan Sin Hong dan kebetulan saja aku berkenalan dengan pihak Ngo-heng
Bu-koan serta mendengar pula akan permusuhan yang timbul di antara perkumpulan Ji-wi.”
“Hemmm! Sudah lama terjadi permusunan dan aku masih menahan sabar. Akan tetapi semalam, puteraku,
anakku satu-satunya, tewas pula di tangan Ngo-heng Bu-koan. Bagaimana mungkin aku mendiamkan
saja? Hari ini aku harus mengadu jiwa dengan Bhe Gun Ek. Dia atau aku yang akan mati di sini demi
mempertahankan kehormatan Kim-liong-pang dan membalas kematian anakku!”
“Aku mengerti, Ciok Pangcu. Aku mengerti akan semua hal itu, bahkan aku menjadi saksi utama dan
pertama ketika puteramu dibunuh orang!”
“Apa? Tan Taihiap! Putera Ciok Pangcu mati dalam perkelahian melawan salah seorang muridku, dan
mereka berdua itu berkelahi sampai keduanya tewas!” Bhe Kauwsu membantah.
Sin Hong tersenyum. “Tidak, Bhe Kauwsu. Mereka tidak berkelahi sampai keduanya tewas, akan tetapi
mereka berdua itu dibunuh orang secara keji dan orang itulah yang mengatur agar mereka kelihatan
seperti berkelahi sampai keduanya mati bersama. Aku menyaksikannya dalam hutan itu! Dan bukan hanya
itu, juga semua pembunuhan yang bukan merupakan perkelahian terbuka antara kedua pihak, dilakukan
oleh orang yang sama! Semenjak semula, orang itu yang telah mengatur supaya terjadi pembunuhanpembunuhan
di kedua pihak dan membuat kedua pihak saling bermusuhan, tepat seperti yang diduga oleh
muridku, Yo Han. Ada orang ketiga yang mengadu domba dan melempar fitnah.”
“Ahhh...!” Ciok Pangcu berseru.
“Apa... apa maksudmu?” Bhe Kauwsu juga berseru kaget. “Dan… peristiwa pertama kali itu, ketika seorang
murid perempuan perguruan kami diperkosa dan dibunuh, ketika Bong Siok Cin mati dalam keadaan
menyedihkan...”
“Itu pun dilakukan oleh orang yang sama, Bhe Kauwsu! Ketika itu, mendiang Ciok Lim engkau jamu makan
minum, bukan? Nah, dalam keadaan setengah mabuk ketika dia pulang, dia tidak tahu bahwa topinya
dicuri orang. Pencuri topi itulah yang memperkosa dan membunuh muridmu itu, lalu sengaja meninggalkan
topi Ciok Lim untuk melempar fitnah.”
“Juga atas semua pembunuhan yang dilakukan terhadap murid-murid kami?” tanya Ciok Pangcu.
“Dan juga semua pembunuhan terhadap murid Ngo-heng Bu-koan?” Bhe Kauwsu juga bertanya, hampir
tidak percaya.
Sin Hong mengangguk. “Benar, semua itu dilakukan oleh orang yang sama. Aku sudah mendengar sendiri
pengakuannya kepada muridmu yang akhirnya mati bersama putera Ciok Pangcu itu, Bhe Kauwsu.”
“Tapi... siapakah orang terkutuk itu?” tanya Bhe Kauwsu.
“Ya, siapa dia? Kalau memang benar seperti yang kau katakan, Tan Taihiap, kami akan mengerahkan
semua kekuatan kami untuk membekuk dan menghukumnya!” teriak Ciok Pangcu pula.
Kini Sin Hong menghadapi Bhe Kauwsu dan dengan senyum sedih pemuda berpakaian putih ini berkata,
suaranya lantang terdengar semua orang yang berada di situ.
“Bhe Kauwsu, bersiap-siaplah dan jangan terkejut. Orang ke tiga itu, yang melakukan pembunuhan dan
menyebar fitnah untuk mengadu domba Ngo-heng Bu-koan dengan Kim-liong-pang, bukan lain adalah
Phoa Hok Ci!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahhhh...!” Bhe Kauwsu berseru, juga para murid Ngo-heng Bu-koan berseru kaget dan tidak percaya.
“Dia... dia... ahhh, betapa mungkin...”
“Bhe Kauwsu, aku melihat dengan mata sendiri dan mendengar dengan telinga sendiri. Bahkan semalam,
setelah dia membunuh putera Ciok Pangcu dan muridmu, aku lalu mengejarnya. Akan tetapi di sebuah kuil
tua, dia lalu dibantu oleh seorang kakek yang disebut gurunya. Kakek itu lihai sekali, dan ketika aku
berkelahi dengan gurunya itu, aku terjebak ke dalam lubang bersama gurunya itu. Gurunya tewas dan aku
pun nyaris tewas kalau tidak muncul Yo Han yang menolongku. Bhe Kauwsu, Phoa Hok Ci yang menjadi
muridmu itu telah berkhianat dan menjadi ular berkepala dua yang berbahaya sekali.”
“Tapi... tapi… sungguh sukar dapat dipercaya. Dia selalu baik sekali, dan mengapa... mengapa dia
melakukan hal terkutuk itu?” Bhe Kauwsu berseru.
“Biarlah lain kali saja kuceritakan, Bhe Kauwsu. Sekarang yang paling penting kita cepat kembali ke
perguruan Ngo-heng Bu-koan untuk mencari dan menangkapnya!” kata Sin Hong.
“Engkau benar! Aku sendiri yang akan membekuk batang leher keparat itu, dan akan kudengar sendiri
pengakuannya!” bentak Bhe Kauwsu dengan muka merah sekali.
“Aku pun akan ikut menangkap jahanam itu!” bentak Ciok Pangcu.
Kedua orang ketua itu saling pandang, akan tetapi kini permusuhan sudah lenyap dari pandang mata
mereka.
“Sebaiknya kita pergi bersama-sama dan menangkap orang itu beramai-ramai, akan tetapi kuminta agar
jangan ada yang membunuhnya. Kita membutuhkan pengakuannya sendiri agar permusuhan antara kedua
pihak dapat dibersihkan,” kata Sin Hong.
Mereka pun berlari-lari menuju ke kota Lu-jiang. Kembali Yo Han digendong oleh Sin Hong dan sekarang
belasan orang Kim-liong-pang itu berlari-lari bersama belasan murid kepala Ngo-heng Bu-koan seolah-olah
mereka adalah sekutu yang hendak menyerbu musuh mereka bersama.
Tentu saja para penduduk kota Lu-jiang menjadi heran dan kaget melihat banyak orang berlarian itu. Apa
lagi ketika mereka mengenal orang-orang Ngo-heng Bu-koan dan orang-orang Kim-liong-pang yang
tadinya bermusuhan, tetapi kini berlari bersama-sama menuju ke Ngo-heng Bu-koan.
Di perguruan silat ini, Bhe Kauwsu disambut oleh para murid yang nampak bingung dan cemas. “Celaka,
Suhu! Phoa Hok Ci mengamuk, menawan Nona Bhe dan ketika kami mencegah, dia mengamuk. Dua
orang murid tewas oleh pedangnya dan kini dia telah melarikan puteri Suhu...!”
Tentu saja semua terkejut bukan main dan kini yakinlah sudah hati Bhe Kauwsu bahwa muridnya yang
bernama Phoa Hok Ci itu memang jahat dan keji, bukan saja melakukan pembunuhan-pembunuhan keji
dan melempar fitnah mengadu domba, bahkan kini telah menangkap dan melarikan puterinya!
“Keparat jahanam! Dia lari ke mana?” bentaknya.
“Kami... kami tidak tahu, Suhu. Dia memondong Nona Bhe yang agaknya tertotok atau pingsan, dan dia lari
dengan cepat tanpa kami mampu mencegah atau mengejarnya.”
“Celaka! Keparat jahanam itu... Sungguh celaka puteriku...!” Bhe Kauwsu nampak amat kebingungan. “Ke
mana aku harus mengejar jahanam itu?”
Yo Han menyentuh lengan suhu-nya. “Suhu, kalau tidak salah dugaanku, dia pasti lari ke sana...“
Sin Hong mengangguk. “Kau benar, Yo Han, aku pun menduga demikian. Bhe Kauwsu, aku yakin bahwa
keparat itu tentu melarikan puterimu ke kuil tua itu. Biar Yo Han tinggal di sini, aku akan mengejarnya!”
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban lagi, Sin Hong meloncat keluar dan sebentar saja
bayangannya lenyap dari situ.
“Aku pun ingin mengejarnya!” kata Ciok Pangcu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nanti dulu, Pangcu. Engkau takkan dapat menyusul Tan Taihiap. Marilah kita bersama mencari kuil itu.
Anak baik, engkau sudah pernah ke sana, tentu engkau tahu di mana kuil tua itu, bukan?”
Yo Han mengangguk. “Di dalam sebuah hutan, di bukit nomor lima dari kiri di antara jajaran bukit di luar
kota itu, kalau aku tidak keliru.”
“Mari kita mengejar ke sana!”
Bhe Kauwsu kemudian menyuruh para muridnya menyediakan kuda dan mereka pun berangkat
melakukan pengejaran. Ciok Pangcu bersama sebelas orang murid kepala, juga Bhe Kauwsu dengan
belasan orang murid kepala, sedang Yo Han membonceng Bhe Kauwsu dan dia menjadi penunjuk jalan
menuju ke kuil dalam hutan di atas bukit itu…..
********************
Memang sikap Phoa Hok Ci hari itu sangat mengejutkan dan mengherankan bagi para murid Ngo-heng Bukoan.
Pada saat Bhe Kauwsu menerima surat tantangan dari ketua Kim-liong-pang, ia tidak berada di
perguruan sehingga ia tidak ikut dengan rombongan Bhe Gun Ek yang pergi menyambut tantangan musuh
besar itu bersama belasan orang murid kepala. Dan Bhe Kauwsu melarang puterinya untuk ikut, karena
guru silat ini maklum bahwa kalau puterinya ikut, tentu puterinya itu tidak akan mau tinggal diam saja kalau
dia mulai mengadu kepandaian melawan Ciok Pangcu.
“Engkau tinggallah di rumah dan menjaga keamanan di sini,” demikian katanya kepada Siang Cun. “Kalau
kita pergi semua kemudian terjadi sesuatu di sini, siapa yang akan mewakili aku?”
Demikianlah, Siang Cun tetap tinggal di perguruan ketika ayahnya dan para suheng-nya berangkat. Tak
lama kemudian, muncul Phoa Hok Ci. Ketika dia mendengar dari para murid bahwa suhu-nya menerima
surat tantangan dari ketua Kim-liong-pang dan bahwa suhu-nya pergi menyambut tantangan itu bersama
semua murid kepala, Phoa Hok Ci segera mendatangi Siang Cun.
“Sumoi, suhu serta para suheng dan sute pergi menghadapi musuh besar kita, kenapa engkau malah
tenang saja tinggal di sini? Kenapa engkau tidak ikut membantu suhu?” Sambil berkata demikian,
sepasang matanya yang ganas dan tajam itu memandang wajah yang cantik manis dari sumoi-nya.
Siang Cun mengerutkan alisnya dan menjawab sambil cemberut, “Tadi aku pun ingin sekali ikut dan
menghadapi orang-orang Kim-liong-pang, Phoa-suheng, akan tetapi ayah melarangku dan menyuruh aku
menjaga keamanan rumah.”
Sepasang mata Phoa Hok Ci semakin terpikat melihat mulut gadis cantik itu cemberut dan sekarang
pandang matanya seperti meraba-raba seluruh tubuh yang telah selama bertahun-tahun menjadi idaman
hatinya, membuatnya tergila-gila itu.
“Hemmm, katakan saja bahwa engkau takut, Sumoi!”
Siang Cun terbelalak dan mukanya berubah merah, alisnya berkerut. “Phoa Suheng! Bagaimana kau
berani mengeluarkan kata-kata seperti itu? Aku tidak berani? Aku takut? Jangan kau menghinaku,
Suheng!”
Phoa Hok Ci yang selalu tersenyum sinis itu, kini memperlebar senyumnya sehingga mulutnya
menyeringai. “Hehheh-heh, kalau engkau tidak takut, tentu kau sudah berada di sana! Kalau engkau tidak
takut, mari bersama aku menyusul ke sana dan membantu suhu!”
Siang Cun bangkit berdiri dan memandang suheng-nya dengan mata berapi.
“Phoa-suheng, mengapa engkau bersikap begini? Mulutmu lancang sekali dan sikapmu mengejek. Apakah
engkau sudah gila?” Memang di samping kemarahannya ia merasa heran bukan main melihat sikap Phoa
Hok Ci dan mendengar kata-katanya, karena biasanya suheng-nya bersikap sopan dan ramah.
“Ha-ha-ha, mungkin aku sudah gila oleh kecantikanmu, Sumoi. Marilah, mari kau ikut dengan aku pergi
menyusul suhu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak! Kalau aku akan menyusul, aku pergi sendiri, bukan karena kau suruh. Sudah, pergilah sebelum aku
habis kesabaranku!”
“Sumoi, mau tidak engkau harus ikut denganku sekarang juga!” Dan tiba-tiba saja Phoa Hok Ci menubruk
dan mengirim serangan dahsyat dengan cengkeraman ke arah muka Siang Cun!
Gadis ini terkejut bukan main, sama sekali tidak pernah mengira bahwa suheng-nya ini akan
menyerangnya sehebat itu, serangan yang dahsyat dan berbahaya. Suheng-nya itu tentu telah mendadak
menjadi gila.
Sebetulnya, dalam ilmu silat, selisih antara tingkat mereka tidak banyak, mungkin Siang Cun hanya kalah
matang saja. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa diam-diam Hok Ci telah mempelajari ilmu silat harimau dari
Hoan Saikong yang membuat pemuda itu kini jauh lebih lihai darinya!
Dia cepat mengelak sambil membuang diri ke samping untuk menghindarkan mukanya dari cengkeraman
itu! Akan tetapi, tetap saja lengannya yang hendak menangkis kena dicengkeram. Siang Cun
mengeluarkan seruan kaget dan kesakitan ketika dia merasa betapa lengannya seperti dicengkeram benda
tajam dan pada saat itu, pundaknya sudah ditotok oleh Hok Ci dan seketika ia menjadi lemas! Sambil
tertawa, Hok Ci lalu memanggul tubuh gadis itu.
Pada saat itu, belasan orang murid Ngo-heng Bu-koan menyerbu masuk dan mereka terkejut sekali melihat
betapa puteri guru mereka dirobohkan Hok Ci dan kini ditotok dan dipanggul. Mereka tadi menyerbu masuk
mendengar suara ribut-ribut dan kini mereka mengepung Hok Ci.
“Suheng, apa yang kau lakukan ini? Lepaskan Nona Bhe!” bentak beberapa orang di antara mereka sambil
mengepung dan siap untuk mengeroyoknya.
Sepasang mata itu dengan ganas menyapu mereka. “Kalian mundurlah, atau terpaksa aku akan
membunuh kalian!” Berkata demikian, Hok Ci lalu mencabut pedang dengan tangan kanan, sedangkan
tangan kirinya memanggul tubuh Siang Cun yang tak mampu bergerak itu.
Akan tetapi, para murid Ngo-heng Bu-koan tetap tidak mau pergi dan ingin membela puteri guru mereka.
Hok Ci mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau dan dia pun mengamuk. Pedangnya
berkelebatan dan para murid itu cepat melawan dengan menyambar senjata yang ada.
Akan tetapi mereka hanya murid-murid tingkat dua, sebentar saja dua orang di antara mereka telah roboh
mandi darah dan tewas oleh sambaran pedang Hok Ci. Lalu dengan kecepatan gerakannya, Hok Ci
meloncat dan melarikan diri sambil memondong tubuh Siang Cun!
Hok Ci yang mengenal baik kota Lu-jiang, mengambil jalan yang sunyi untuk melarikan diri, bahkan
berloncatan ke atas genteng-genteng rumah orang. Dia berhasil membawa tubuh gadis yang membuatnya
tergila-gila itu keluar dari kota Lu-jiang, terus menuju ke kuil tua yang menjadi tempat tinggal Hoan
Saikong.
Satu-satunya lawan yang ditakutinya hanyalah Tan Sin Hong, akan tetapi pemuda yang berpakaian putih
itu telah terjerumus ke dalam lubang jebakan di ruangan belakang dan tentu sudah mampus. Orang-orang
lainnya, baik dari Ngo-heng Bu-koan mau pun dari Kim-liong-pang, dipandang rendah olehnya.
Kini gurunya, Hoan Saikong, sudah mati pula bersama Sin Hong di dalam sumur lubang jebakan. Dia
memang tak ingin merampas Kim-liong-pang mau pun Ngo-heng Bu-koan. Yang penting baginya hanyalah
mendapatkan diri Bhe Siang Cwi yang membuatnya tergila-gila dan kini gadis itu telah berada di dalam
pondongannya! Tiada seorang pun yang akan dapat mencegahnya memaksa gadis itu menjadi isterinya.
Pula, selain Tan Sin Hong, tidak ada seorang pun dari kedua perkumpulan itu yang tahu akan tempat
persembunyiannya dalam kuil tua di hutan ini.
“Lepaskan aku...! Ahhh, lepaskan aku...!” Siang Cun berseru dengan mata terbelalak penuh kengerian,
namun ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya yang masih lumpuh tertotok.
Pria yang biasanya dikenalnya sebagai seorang suheng yang pendiam dan bersikap baik itu kini tersenyum
sinis, lalu membawa masuk gadis itu ke dalam kuil. Di dalam kuil tua itu terdapat dua buah kamar yang
bersih dan terawat karena itu merupakan kamar mendiang Hoan Saikong dan kamarnya sendiri, yang
dipergunakan di waktu dia berada di situ.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia memasuki kamarnya sendiri, sebuah kamar yang hanya terisi sebuah pembaringan kayu dan sebuah
meja serta dua buah kursi kayu yang sederhana. Dengan sikap lembut dia merebahkan tubuh sumoi-nya di
atas pembaringan.
“Lepaskan aku Phoa-suheng, lepaskan aku! Aku adalah sumoi-mu, ingatkah? Jangan kau ganggu aku dan
lepaskan aku, Suheng.“ Siang Cun kembali berseru dengan suara membujuk dan mata yang terbelalak
penuh kengerian. Ia masih saja menyangka bahwa suheng-nya ini mendadak menjadi gila dan tidak sadar
apa yang dilakukannya.
Hok Ci duduk di tepi pembaringan, senyumnya menyeringai menakutkan hati gadis itu, apa lagi ketika dia
menunduk dan mencium pipi dan bibir Siang Cun yang sama sekali tak dapat mengelak. Gadis itu hanya
memejamkan mata dan bergidik ngeri dicium oleh orang yang disangkanya gila.
“Bhe Siang Cun, aku akan melepaskanmu jika engkau menyatakan bahwa engkau cinta padaku dan
bersedia menjadi isteriku.”
Mata yang ketakutan itu semakin terbelalak dan muka yang manis itu berubah merah. “Suheng, kau... kau
telah gila...”
Hok Ci membelai dagu gadis itu, lalu membelai lehernya sehingga gadis itu merasa betapa bulu
tengkuknya meremang.
“Siang Cun, kekasihku, memang aku telah gila, tergila-gila kepadamu. Apakah kau pura-pura tidak tahu
betapa sejak dulu aku mencintamu? Ah, apa saja akan kulakukan untuk mendapatkan dirimu, Cun-moi.
Selama ini... ahh, betapa segala jerih payah kulakukan, membunuhi mereka semua, seorang demi
seorang, supaya antara kedua pihak terjadi permusuhan dan ikatan perjodohanmu dengan Ciok Lim
terputus. Sengaja kutanamkan bibit permusuhan sampai mendalam, kulakukan semua itu demi
mendapatkan dirimu, kekasihku. Dan sekarang, engkau telah berada di tanganku, engkau menjadi isteriku.
Ya, kita hari ini akan menjadi pengantin, kita bersenang-senang di sini, sebagai suami isteri, Siang Cun.”
Wajah gadis itu tiba-tiba menjadi pucat. Dengan mata terbelalak tanpa berkedip sejak tadi ia memandang
wajah suheng-nya itu, mendengarkan semua ucapannya.
“Kau... kau yang melakukan semua pembunuhan itu? Jadi engkaulah yang mengatur semua itu,
membunuh dan melempar fitnah, sengaja hendak mengadu domba?”
Kini Hok Ci tertawa geli. “Benar, Cun-moi, benar. Semua itu akulah yang mengatur dan melakukannya.
Cerdik sekali, bukan? Mereka saling serang, saling bunuh, dan bahkan sekarang di antara kedua ketua itu
sudah saling serang, ha-ha-ha, semua itu karena kecerdikanku. Dan engkau akan menjadi isteriku
sekarang...!”
Kedua tangan Hok Ci mulai menggerayangi tubuh Siang Cun yang menjadi semakin ketakutan. Karena
belum dapat menggerakkan tubuh untuk mengelak atau melawan, ia hanya mengeluarkan kata-kata untuk
mengalihkan perhatian orang itu.
“Suheng, jadi engkau yang melakukan semua pembunuhan di kedua pihak itu? Dan bagaimana dengan
sumoi Bong Siok Cin yang diperkosa itu? Ia diperkosa dan dibunuh oleh Ciok Lim, bukan?”
“Ha-ha-ha, semua orang tolol itu memang mengira demikian. Akulah yang mengaturnya sehingga Ciok Lim
yang disangka, agar permusuhan itu mulai berkobar.”
“Ahhh, jadi engkau pula yang memperkosa Siok Cin lalu membunuhnya, menjatuhkan fitnah atas diri Ciok
Lim?”
“Ha-ha-ha, benar sekali, manisku. Cerdik sekali, bukan?”
Sekarang tahulah Siang Cun bahwa suheng-nya ini tidak gila. Sama sekali tidak gila, melainkan jahat dan
keji bukan main! Dan ia kini telah terjatuh ke dalam tangan manusia iblis ini!
“Siang Cun, sekarang kita menjadi pengantin, engkau menjadi isteriku...“ Tangan pria itu mulai merenggut
ke arah pakaian Siang Cun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bukan main takutnya hati Siang Cun. Ia hendak meronta, hendak melawan, namun ia belum mampu
menggerakkan kaki tangannya.
“Jangan... ahh, jangan... lebih baik kau bunuh saja aku...“
“Membunuh engkau? Ha-ha-ha, kau kira aku sudah gila? Bertahun-tahun lamanya aku merindukannya,
mencintamu, dan kini engkau menjadi milikku. Ah, kau kekasihku... aku cinta padamu...“
Seperti orang gila atau seperti seekor harimau kelaparan melihat seekor domba muda yang lunak
dagingnya, Hok Ci menubruk dan menciumi muka gadis itu, menggigiti bibir dan leher itu seperti orang gila.
Siang Cun memejamkan mata. Ia hampir pingsan saking takut, ngeri dan jijiknya. Apa lagi ketika tangan
Hok Ci merenggut lepas pakaiannya satu demi satu. Ia hanya dapat merintih dan mengeluh minta dibunuh
saja.
Dalam keadaan yang amat berbahaya itu, saat kehormatan Siang Cun sudah terancam noda yang akan
menghancurkan hidupnya, nyaris seperti sepotong daging yang sudah berada di depan mulut seekor
serigala buas yang siap mengunyah dan menelannya, dan Siang Cun sudah memejamkan mata dengan
hati hancur, tiba-tiba pintu kamar itu tertendang roboh dari luar!
“Brakkkkk!” Daun pintu roboh dan muncullah Sin Hong!
“Phoa Hok Ci, manusia iblis jahat!” bentak Sin Hong dengan marah sekali saat melihat keadaan di dalam
kamar itu.
Siang Cun rebah terlentang di atas pembaringan dengan pakaian sudah lepas semua dari tubuhnya, dan
Hok Ci merangkul dan menciuminya, siap untuk memperkosa gadis itu yang nampak tak berdaya, tidak
mampu bergerak karena tertotok jalan darahnya.
Hok Ci terkejut dan marah bukan main. Dia tadi baru saja membuka bajunya, mulai satu demi satu
melepaskan kancing bajunya yang kini telah menjadi setengah terbuka ketika terjadi gangguan itu. Ketika
dia meloncat bangkit berdiri sambil membalikkan tubuh dan mengenal Sin Hong, matanya terbelalak. Dia
merasa heran dan terkejut bukan main.
Bukankah Si Bangau Putih ini sudah mampus di dasar lubang sumur jebakan? Bagai mana tiba-tiba dapat
muncul di sini, pikirnya. Dia cerdik dan maklum akan bahaya yang mengancam dirinya.
Dia sudah mengenal baik betapa lihainya Pendekar Bangau Putih ini, bahkan gurunya sendiri, Hoan
Saikong dan dia pernah mengeroyoknya, akan tetapi mereka berdua pun terdesak hebat. Apa lagi kini ia
harus menghadapinya seorang diri saja. Tetapi ia tidak melihat jalan lain kecuali melawan. Tanpa
membuang waktu lagi, dia pun menyambar pedangnya dan menerjangnya dengan serangan ganas dan
dahsyat.
Namun, Sin Hong sudah bersiap siaga dan dengan mudah saja dia mengelak dengan loncatan ke kiri dan
dari sudut samping dia menotok ke arah pundak lawan. Totokan itu cepat sekali datangnya. dan nyaris
pundak Hok Ci terkena totokan.
Akan tetapi Hok Ci dengan cepat memutar tubuh dan pedangnya ikut pula berputar lalu membuat lingkaran
dan menyerang pula ke arah leher Sin Hong! Gerakan ini cepat, namun sesungguhnya, Hok Ci terkejut dan
jeri karena sekali gebrakan saja pundaknya hampir tertotok yang kalau tadi mengenai sasaran tentu akan
membuat dia roboh tak berdaya!
Menghadapi sambaran pedang ke lehernya, Sin Hong merendahkan tubuhnya dan tiba-tiba kakinya
mencuat dengan ujung sepatunya menendang ke arah lutut Hok Ci! Ini pun merupakan serangan yang
sangat berbahaya karena sedikit saja sambungan lututnya tersentuh ujung sepatu, cukup untuk membuat
Hok Ci terguling.
Namun Hok Ci menarik kakinya dan bukan lutut yang tertendang, melainkan pahanya yang tercium ujung
sepatu. Ia tidak roboh, akan tetapi tetap saja terhuyung dan cepat ia memutar pedangnya yang berubah
menjadi gulungan sinar yang melindunginya. Akan tetapi, tendangan yang mengenai tepi pahanya tadi
sudah cukup membuat Hok Ci jeri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sambil memutar pedangnya, tiba-tiba saja tangan kirinya bergerak dan sinar hitam kecil menyambar,
bukan ke arah Sin Hong melainkan ke arah tubuh gadis yang kini rebah telanjang di atas pembaringan!
Otak Hok Ci yang cerdik dan licik sudah menemukan akal bagaimana dia akan dapat melepaskan diri dari
tangan Sin Hong yang terlalu lihai baginya itu. Dia menyerang Siang Cun dengan jarum hitam, jarum yang
mengandung racun! Dan mudah saja dia mengenai sasaran yang tidak mampu bergerak itu.
Terdengar Siang Cun mengeluarkan rintihan ketika pahanya terkena jarum hitam yang menyambar cepat
tanpa ia mampu mengelak. Sin Hong terkejut sekali dan terpaksa dia tidak mengejar ketika Hok Ci
melompat keluar dari kamar itu untuk melarikan diri. Sin Hong tahu bahwa jarum yang melukai Siang Cun
adalah jarum beracun dan kalau tidak ditolong gadis itu dapat terancam maut. Tentu saja jauh lebih penting
menolong Siang Cun dari pada mengejar Hok Ci, apa lagi karena Siang Cun terancam bahaya maut.
Memang di sini membuktikan kelicikan dan kecerdikan Hok Ci yang dapat melepaskan diri dari tangan Sin
Hong yang dia tahu bukan lawannya karena pendekar baju putih itu memiliki tingkat kepandaian yang jauh
lebih tinggi dari kepandaiannya.
Sin Hong melompat ke dekat pembaringan. Siang Cun yang membuka mata melihat betapa Sin Hong
mendekatinya, dan teringat akan keadaannya yang telanjang bulat itu. Segala bagian tubuhnya nampak
jelas oleh pemuda itu dan hal ini membuatnya malu bukan main. Mula-mula wajahnya berubah merah
sekali, lalu pucat dan merah kembali dan perlahan-lahan kedua matanya menjadi basah air mata.
Akan tetapi Sin Hong tak peduli akan keadaan gadis itu, tidak melihat ketelanjangannya karena seluruh
perhatiannya sedang tertarik pada bintik hitam di paha kiri gadis itu. Dia memeriksa dengan teliti sekali,
tanpa banyak cakap dia meraba paha itu dan memijat bagian yang ada bintik hitamnya.
“Aduhhhhh...!” Siang Cun menjerit karena bagian yang dipijat itulah yang terasa nyeri terkena jarum tadi.
Yakinlah Sin Hong bahwa bintik hitam itulah akibat luka oleh jarum. Apa lagi dia melihat betapa di sekeliling
bintik itu sudah ada tanda merah kebiruan tanda bahwa racun jarum itu mulai berjalan.
Oleh karena maklum akan bahaya yang mengancam diri Siang Cun, Sin Hong lupa akan sopan santun
lagi. Yang penting baginya adalah menyelamatkan nyawa gadis itu. Maka, tanpa membuang waktu dia lalu
menunduk, menempelkan mulutnya pada bintik hitam di paha, dan mengerahkan tenaga lalu menyedot!
Dua kali dia menyedot barulah jarum itu keluar, digigitnya lalu dicabutnya dari daging paha, dibuangnya ke
sudut kamar, lalu dia menempelkan lagi bibirnya pada luka kecil itu dan menghisap sampai ada darah
hitam yang keluar. Diulanginya lagi sampai akhirnya darah merah yang keluar dan paha itu bebas dari
racun jarum.
Legalah hatinya dan baru Sin Hong sadar akan keadaan pada gadis itu yang telanjang bulat, maka tiba-tiba
saja mukanya berubah merah dan dia mundur beberapa langkah sambil menyentuh pundak gadis itu untuk
membebaskan totokannya, kemudian cepat ia membalikkan tubuhnya sambil berkata, “Harap maafkan
aku, Nona.”
Begitu totokannya bebas, Siang Cun cepat-cepat menyambar pakaiannya, mengenakan semua
pakaiannya sambil tak dapat lagi menahan air matanya yang turun bercucuran. Ia menangis tersedu-sedu,
karena bermacam perasaan mengaduk hatinya.
Rasa haru dan terima kasih bahwa dia yang sudah berada di ambang pintu kehancuran dan kehinaan itu
terbebas dari bahaya itu. Rasa malu setengah mati karena Sin Hong telah melihatnya dalam keadaan
telanjang bulat dengan tubuh telentang, dan lebih malu lagi ketika ia mengingat kembali betapa Sin Hong
telah mengecup dan menyedot luka di pahanya, paha kiri bagian atas dekat perut! Malu yang amat hebat,
malu dan hina walau pun ia tahu bahwa Sin Hong melakukan hal itu untuk menyelamatkan nyawanya!
Rasa terima kasih, malu, dan penasaran mengaduk hatinya. Rasanya ia tidak ada muka lagi untuk melihat
wajah Sin Hong, untuk bertemu dengan manusia lain! Bagaimana jika mereka itu tahu akan keadaannya
tadi?
“Phoa Hok Ci... jahanam keparat busuk... kubunuh engkau... manusia iblis...“ Mulutnya mendesiskan
ancaman ini ketika ia mengenakan pakaiannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar disebutnya nama Phoa Hok Ci, baru Sin Hong teringat kembali akan orang itu. Tadinya dia
masih merasa ‘nanar’ karena teringat akan ketelanjangan Siang Cun, teringat betapa dia tadi sudah
mengecup paha itu. Betapa janggalnya keadaan itu tadi sehingga dia lupa keadaan yang lain. Kini, teringat
kepada Hok Ci yang melarikan diri, dia cepat meloncat keluar.
“Akan kutangkap dia!” katanya dan beberapa kali loncatan saja dia sudah lenyap dari kuil.
Siang Cun membereskan pakaiannya dan rambutnya, kemudian dengan hati tak karuan rasanya ia pun lari
keluar untuk mencari musuh besarnya itu.
Sementara itu, sambil berlari cepat meninggalkan kuil, Hok Ci tersenyum lega. Untung dia memiliki akal
yang amat cerdik, melukai Siang Cun dengan jarum beracun sehingga Sin Hong tidak sempat mengejar
dan menangkapnya. Dia harus berlari cepat, harus meninggalkan daerah itu jauh-jauh kalau dia ingin
selamat.
Dia akan meninggalkan kehidupannya sebagai murid Ngo-heng Bu-koan, sebagai murid Hoan Saikong
yang sudah mati, dan dia akan memulai hidup baru, di tempat baru dan melupakan Siang Cun yang
terpaksa harus dia tinggalkan. Masih menyesal sekali kalau dia membayangkan betapa daging lunak yang
sudah berada di ujung lidah itu terlepas pada saat terakhir! Dalam hati ia memaki-maki Si Bangau Putih
yang menggagalkan ia memiliki gadis yang sudah lama membuat dia tergila-gila itu.
Mendadak terdengar bentakan-bentakan nyaring, dan ketika dia memandang, wajahnya seketika menjadi
pucat! Dirinya sudah dikepung oleh puluhan orang anggota Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang yang
dipimpin sendiri oleh Bhe Kauwsu dan Ciok Pangcu!
Dia sama sekali tidak takut menghadapi dua orang ketua itu. Akan tetapi kalau harus melawan puluhan
orang, tentu saja dia merasa gentar sekali! Belum lagi kalau dihitung datangnya bahaya pengejaran dari Si
Bangau Putih!
“Phoa Hok Ci, murid murtad, jahanam keparat! Di mana anakku Siang Cun?” bentak Bhe Kauwsu yang
marah bukan main dan juga khawatir karena ia tak melihat puterinya bersama penjahat itu.
Dalam keadaan panik terkepung itu, Hok Ci masih hendak menggunakan akal liciknya. “Ia... ia di kuil tua,
diperkosa oleh Si Bangau Putih...! Cepat Suhu ke sana, kalau tidak, akan terlambat...”
Mendengar ucapan ini, Bhe Gun Ek, guru silat Ngo-heng Bu-koan itu tertegun. Tapi Yo Han segera
berteriak lantang. “Harap Bhe Kauwsu jangan percaya omongan manusia iblis ini! Suhu tidak mungkin
melakukan hal yang terkutuk itu! Sebaiknya manusia iblis ini segera ditangkap dulu, baru nanti dicari di
mana adanya enci Siang Cun!”
Mendengar kata-kata Yo Han ini, sadarlah Bhe Kauwsu. Tanpa dikomando lagi, semua orang yang
mengepung pemuda itu, termasuk Ciok Pangcu, menggerakkan senjata dan berloncatan turun dari atas
kuda mengeroyok Phoa Hok Ci! Puluhan orang mengepung dan mengeroyoknya, dan Phoa Hok Ci
mencoba untuk memutar pedangnya membela diri.
“Jangan bunuh dia! Tangkap hidup-hidup!” Berkali-kali Bhe Gun Ek dan Ciok Pangcu berteriak karena
kedua orang pemimpin perkumpulan ini ingin mendengar pengakuan Hok Ci tentang semua perbuatannya
yang amat keji, membunuh banyak orang di kedua pihak untuk mengadu domba antara Ngo-heng Bu-koan
dan Kim-liong-pang.
Betapa pun lihainya Hok Ci, tapi menghadapi pengeroyokan puluhan orang yang semua menaruh dendam
padanya, akhirnya ia roboh dengan luka-luka di tubuhnya. Pedangnya dirampas dan dengan kedua lengan
lumpuh karena patah tulangnya, dia diringkus dan dibelenggu kaki tangannya.
Ciok Kam Heng yang merasa amat sakit hati karena kehilangan puteranya itu, segera menjambak
rambutnya sambil membentak, “Manusia iblis! Sekarang ceritakan apa yang telah kau lakukan selama ini
untuk menjatuhkan fitnah kepada Kim-liong-pang!”
Hok Ci maklum bahwa tiada harapan lagi baginya untuk hidup. Rasa takut, penasaran dan sesal
membuatnya kehilangan keseimbangan batinnya dan mendadak dia tertawa bergelak. Suara ketawanya
membuat semua orang bergidik ngeri karena itu jelas bukan suara ketawa orang yang waras otaknya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan orang adalah suatu tanda bahwa pada saat dia
melakukannya, keadaan batinnya memang tidak sehat, tidak waras! Batin yang dikuasai oleh nafsu apa
pun, batin yang diperhamba nafsu, merupakan batin yang tidak sehat, yang sudah gelap seperti buta
sehingga segala yang dilakukan oleh jasmaninya hanya untuk menuruti dorongan nafsu itu semata.
Belajar untuk menjadi ‘orang baik’ tidak ada gunanya selama batin masih lemah, masih mudah
dicengkeram oleh nafsu, mudah diperhamba nafsu. Yang penting bukan ingin menjadi orang baik,
melainkan membuka mata batin, menyadarkan batin supaya tidak sesat, tidak lemah, waspada selalu akan
keadaan diri sendiri, selalu dalam keadaan waspada sehingga tidak lengah dan tidak mudah dininabobokkan
oleh nafsu.
“Ha-ha-ha-he-he-heh! Kalian manusia-manusia tolol! Memang aku yang melakukan itu semua, aku yang
memperkosa dan membunuh Bong Siok Cin, membunuhi para murid Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liongpang.
Aku yang mengadu domba antara kalian! Untuk apa? Agar ikatan perjodohan antara Bhe Siang Cun
dan Ciok Lim terputus karena Siang Cun harus menjadi isteriku! Ha-ha-ha-ha, hanya akulah yang pantas
memiliki diri Siang Cun yang molek, ha-ha-ha-ha!”
“Keparat! Di mana anakku Siang Cun sekarang?” bentak Bhe Kauwsu dengan marah. Tangannya sudah
gemetar sebab menurutkan kemarahannya ingin ia membunuh murid murtad itu.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru