Senin, 18 September 2017

Kho Ping Hoo Si Bangau Merah 1

Kho Ping Hoo Si Bangau Merah 1 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Kho Ping Hoo Si Bangau Merah 1
kumpulan cerita silat cersil online
-Hujan pertama yang turun tadi malam amat lebat, deras dan merata sampai puluhan li jauhnya. Hujan yang
melegakan hati para petani, melegakan tanah kering yang sudah berbulan-bulan merindukan air. Pagi hari
ini udara sangat cerah, seolah matahari lebih berseri dari pada biasanya, seperti wajah seorang kanakkanak
tersenyum dan tertawa sehabis menangis. Kewajaran yang indah tak ternilai.
Seluruh permukaan bumi segar berseri seperti seorang puteri jelita baru keluar dari danau sehabis mandi
bersih. Daun-daunan nampak hijau segar dan basah, demikian pula bunga-bunga, walau pun tidak tegak
lagi melainkan lebih banyak menunduk karena hembusan air dan angin semalam. Tanah yang barusan
disiram air selagi kehausan itu mengeluarkan uapan bau tanah yang sedap, bau yang mengingatkan orang
pada masa kanak-kanak ketika dia bermain-main dengan lumpur yang mengasyikkan.
Burung-burung pun lebih lincah pagi itu. Suasana yang menakutkan mereka semalam, hujan dan angin
ribut, merupakan bahaya mala petaka yang sudah lewat dan mereka menyambut munculnya matahari pagi
dengan kicau saling sahut, dan mereka siap-siap berangkat bekerja mencari makan. Kegembiraan nampak
pada wajah para petani yang memanggul cangkul, berangkat ke sawah ladang yang sekarang kembali
menjadi subur menumbuhkan harapan hasil panen yang baik.
Segala sesuatu di dunia ini nampak indah selama kita tidak menyimpan kenangan masa lalu. Kenangan
hanyalah menimbulkan perbandingan dan perbandingan menghilangkan keindahan saat ini.
"Yo Han, engkau ini bagaimana? Aku dan suhu-mu bersungguh-sungguh mengajarkan dasar-dasar ilmu
silat kepadamu, akan tetapi engkau selalu acuh menerimanya, bahkan tidak mau berlatih."
Suara wanita yang mengomel ini pun merupakan sebagian dari keindahan pagi itu kalau tidak dinilai.
Perusak keindahan adalah penilaian dan perbandingan.
Anak laki-laki itu berusia dua belas tahun. Dia berdiri dengan sikap hormat, akan tetapi pandang matanya
sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut kepada wanita yang menegurnya, wanita yang duduk di atas
bangku di depannya. Mereka berada di kebun yang terletak di belakang rumah, di mana tadi anak laki-laki
itu menyapu kebun yang penuh dengan daun-daun yang berguguran semalam.
Wanita itu adalah Kao Hong Li atau Nyonya Tan Sin Hong. Suami isteri pendekar ini sejak menikah lima
tahun yang lalu, tinggal di kota Ta-tung, di sebelah barat kota raja Peking, di mana mereka membuka
sebuah toko rempah-rempah serta hasil pertanian dan perkebunan.
Tan Sin Hong adalah seorang pendekar yang terkenal, walau pun kini dia hidup dengan tenang dan
tenteram di kota Ta-tung, tak lagi bertualang di dunia persilatan. Dia pernah terkenal sekali dengan
julukannya Pendekar Bangau Putih atau Si Bangau Putih.
Julukannya ini adalah karena dia merupakan satu-satunya pendekar yang menguasai ilmu silat Pek-ho Sinkun
(Silat Sakti Bangau Putih) ciptaan dari mendiang tiga orang sakti yang menggabungkan ilmu-ilmu
mereka, yaitu mendiang Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir, isterinya Wan Ceng, dan Tiong Khi
Hwesio atau Wan Tek Hoat yang pernah terkenal dengan julukan Si Jari Maut!
Si Bangau Putih Tan Sin Hong pernah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu-ilmunya yang
dahsyat. Akan tetapi setelah menikah, dia hidup dengan tenang tenteram bersama isterinya di kota Tatung,
walau pun usianya masih sangat muda, yaitu baru dua puluh tujuh tahun. Kesukaannya akan pakaian
berwarna putih membuat dia lebih dikenal sebagai Si Bangau Putih.
Tan Sin Hong seorang pria yang nampaknya biasa dan sederhana saja, sikapnya selalu lembut dan ramah.
Hanya pada matanya sajalah nampak bahwa dia bukanlah orang sembarangan. Matanya itu kadang
mencorong penuh kekuatan dan kewibawaan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Isterinya yang kini duduk di kebun itu bernama Kao Hong Li, berusia dua puluh enam tahun. Isteri Si
Bangau Putih itu pun bukan wanita sembarangan. Ia puteri pendekar Kao Cin Liong, bahkan cucu
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak mengherankan kalau nyonya muda ini pun memiliki ilmu silat
yang hebat, walau pun tidak sehebat suaminya. Sukarlah mencari seorang yang cukup lihai untuk mampu
menandingi Kao Hong Li.
Kao Hong Li ialah seorang wanita yang cantik. Wajahnya bulat telur dan kecantikannya terutama terletak
kepada sepasang matanya yang lebar dan jeli. Sikapnya lincah, gagah dan juga galak. Ia seorang wanita
yang cerdik, pandai bicara. Seperti juga Tan Sin Hong yang pernah menikah dengan wanita lain kemudian
bercerai, Kao Hong Li juga seorang janda muda ketika menikah dengan Sin Hong.
Meski dua orang pendekar ini saling mencinta ketika mereka masih perjaka dan gadis, namun keadaan
membuat mereka tidak berjodoh dan menikah dengan orang lain. Tan Sin Hong pernah menikah dengan
Bhe Siang Cun, puteri guru silat Ngo-heng Bu-koan, sedangkan Kao Hong Li menikah dengan Thio Hui
Kong, putera seorang jaksa di kota Pao-teng.
Namun, karena pernikahan ini tidak dilandasi cinta, sebentar saja terjadi keretakan dan akhirnya keduanya
bercerai dari isteri dan suami masing-masing. Saat dalam keadaan menjadi duda dan menjadi janda inilah
mereka saling berjumpa kembali dan kegagalan perjodohan mereka masing-masing itu semakin
mendekatkan dua hati yang memang sejak dahulu sudah saling mencinta itu. Dan mereka pun menjadi
suami isteri.
Suami isteri yang saling mencinta itu hidup cukup berbahagia, dan setahun setelah pernikahan mereka,
mereka dikaruniai seorang puteri yang mereka beri nama Tan Sian Li, yang kini telah berusia empat tahun.
Ada pun anak laki-laki berusia dua belas tahun yang sepagi itu telah menerima teguran Kao Hong Li,
adalah murid suami isteri itu. Namanya Yo Han dan sejak lima tahun yang lalu dia sudah diambil murid
oleh Tan Sin Hong. Yo Han adalah seorang anak yatim piatu. Ayah ibunya telah tewas di tangan tokohtokoh
sesat.
Ayah Yo Han seorang petani yang jujur dan sama sekali tidak pandai ilmu silat, akan tetapi dia memiliki
watak yang gagah perkasa melebihi seorang pendekar silat! Ibu anak itu seorang tokoh kang-ouw yang
amat terkenal, bahkan dahulunya sebelum menikah dengan Yo Jin, yaitu ayah Yo Han, wanita itu
merupakan seorang tokoh sesat yang ditakuti orang. Namanya Ciong Siu Kwi dan ia dijuluki Bi Kwi (Setan
Cantik) karena biar pun wajahnya cantik jelita, namun ia jahat seperti setan!
Setelah bertemu Yo Jin dan menikah dengan pemuda dusun yang sama sekali tidak mampu bermain silat
itu, wataknya lantas berubah sama sekali. Ia menyadari semua kesalahannya dan ia hidup sebagai
seorang isteri yang baik, bahkan setelah melahirkan Yo Han, ia menjadi seorang ibu yang sangat baik.
Akan tetapi, agaknya latar belakang kehidupannya mendatangkan mala petaka.
Pohon yang ditanamnya dahulu itu berbuah sudah dan ia pula yang harus memetik dan makan buahnya.
Meski ia sudah berusaha untuk menjauhkan diri dari dunia kang-ouw, bahkan dari dunia persilatan, namun
tetap saja musuh-musuh mencarinya! Melibatkan suami dan puteranya pula sehingga untuk
menyelamatkan anak dan suami, terpaksa Bi Kwi Ciong Siu Kwi mencabut kembali pedangnya!
Dan akibatnya, ia dan suaminya tewas di tangan tokoh-tokoh sesat. Masih baik bagi anaknya bahwa dia,
yaitu Yo Han, dapat tertolong oleh Tan Sin Hong yang kemudian mengambilnya sebagai murid.
Demikianlah riwayat singkat Yo Han dan kedua orang gurunya.
Dan semenjak gurunya, Tan Sin Hong, menikah dengan Kao Hong Li dan tinggal di kota Ta-tung, Yo Han
bekerja dengan rajin sekali. Walau pun gurunya telah berhasil dalam usaha perdagangannya, dan sudah
mampu menggaji pelayan, namun tetap saja Yo Han membantu semua pekerjaan dari menyapu kebun,
membersihkan perabot rumah dan sebagainya. Tidak ada yang menyuruhnya, melainkan karena dia suka
bekerja, dia suka mengerjakan kaki tangannya.
Sejak menjadi murid Sin Hong, pendekar ini mengajarkan ilmu silat dasar kepada Yo Han. Akan tetapi
sungguh mengherankan sekali, anak itu tidak suka belajar silat. Dia lebih tekun belajar membaca dan
menulis sehingga dalam usia dua belas tahun, dia telah mampu membaca kitab-kitab sastra dan filsafat
yang berat-berat seperti Su-si Ngo-keng! Dia pandai pula menulis sajak, pandai bermain suling dan pandai
bernyanyi! Akan tetapi, selama lima tahun menjadi murid Si Bangau Putih Tan Sin Hong, dia belum mampu
melakukan gerakan menendang atau memukul yang benar!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tan Sin Hong dapat memaklumi keadaan muridnya itu. Dia teringat betapa dahulu, ayah dan ibu anak ini
selalu menjaga agar putera mereka tidak mengenal ilmu silat. Mereka mengajarkan ilmu baca-tulis kepada
putera mereka, akan tetapi Yo Han sama sekali tidak diperkenalkan dengan ilmu silat. Hal ini dikehendaki
oleh Yo Jin, dan Bi Kwi juga menyetujui karena suami isteri ini melihat kenyataan betapa dunia persilatan
penuh dengan kekerasan, dendam dan permusuhan.
Bahkan Bi-kwi sendiri benar-benar meninggalkan dunia persilatan, hanya hidup sebagai seorang isteri dan
ibu di dusun, sebagai petani yang hidup sederhana namun tenteram penuh damai. Karena memaklumi
bahwa pendidikan ayah ibu ini ikut pula membentuk watak dan kepribadian Yo Han, maka biar pun dia
melihat betapa Yo Han sama sekali tidak suka mempelajari ilmu silat, dia pun tidak pernah menegur.
Akan tetapi, yang suka mengomel dan merasa penasaran adalah isterinya, Kao Hong Li. Wanita ini
memiliki watak yang lincah, gagah dan juga galak. Ia merasa penasaran bukan main melihat Yo Han tidak
pernah memperhatikan pelajaran ilmu silat, bahkan mengacuhkannya sama sekali. Padahal, mereka,
terutama suaminya, sudah berusaha sedapatnya untuk menjadi seorang guru yang baik bagi Yo Han.
Apa akan kata orang dunia persilatan kalau melihat Yo Han menjadi seorang yang sama sekali tidak tahu
ilmu silat, padahal dia adalah murid ia dan suaminya? Yang tidak tahu tentu mengira bahwa mereka suami
isteri memang tidak bersungguh hati mengajarkan silat kepada Yo Han, bahkan tentu disangkanya
membenci anak itu.
Padahal ia dan suaminya amat menyayang Yo Han. Anak itu mereka anggap sebagai anak sendiri, atau
adik sendiri. Apa lagi Yo Han adalah seorang anak yang tahu diri, amat pandai membawa diri, rajin bekerja,
juga amat cerdik. Mempelajari segala macam kepandaian, dia cerdik luar biasa, akan tetapi hanya satu hal
dia tidak peduli, yaitu ilmu silat.
Pagi hari itu, karena telah merasa kesal sekali melihat Yo Han hanya bekerja di kebun, sama sekali tidak
mau berlatih silat, Kao Hong Li tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi dan ia pun menegur muridnya.
"Nah, hayo jawab. Kenapa engkau tak mau melatih ilmu-ilmu silat yang sudah diajarkan oleh suhu-mu dan
aku? Sudah berapa banyak ilmu silat yang kami ajarkan kepadamu, yang semua teorinya engkau sudah
hafal, akan tetapi belum pernah aku melihat engkau mau melatihnya! Hayo jawab sekarang, Yo Han,
jawablah sejujurnya, mengapa engkau tidak mau berlatih silat?"
Sejak tadi anak itu menatap wajah subo-nya (ibu gurunya), dengan sikap tenang dan pandang mata
lembut, wajah tersenyum seperti seorang tua melihat seorang anak kecil yang marah-marah!
"Benarkah Subo menghendaki teecu (murid) bicara terus terang sejujurnya, dan Subo tidak akan menjadi
marah, apa pun yang menjadi jawaban teecu?"
"Kenapa mesti marah? Dengar baik-baik, Yo Han. Pernahkah aku atau suhu-mu marah-marah jika engkau
memang bertindak benar? Selama ini, kami harus mengakui bahwa engkau seorang anak yang baik dan
seorang murid yang patuh, juga rajin bekerja dan semua ilmu pengetahuan dapat kau kuasai dengan baik
dan kau pelajari dengan tekun. Kecuali ilmu silat! Kalau memang jawaban dan keteranganmu sejujurnya
dan benar, mengapa aku harus marah? Kalau aku ini menegurmu karena engkau tidak mau berlatih silat,
bukanlah untuk kepetinganku, melainkan demi masa depanmu sendiri.”
Anak itu memandang kepada subo-nya dengan mata membayangkan keharuan hatinya. Setelah gurunya
selesai bicara, dia pun menarik napas panjang.
"Subo, teecu tahu benar betapa Subo dan Suhu amat sayang kepada teecu, amat baik kepada teecu.
Teecu tak habis merasa bersyukur dan berterima kasih atas segala budi kebaikan Subo dan Suhu, Dan
maafkanlah kalau tanpa sengaja teecu telah membuat Subo dan Suhu kecewa, menyesal dan marah.
Sekarang, teecu hendak menjawab secara terus terang saja, sebelumnya mohon Subo memaafkan teecu."
Diam-diam Kao Hong Li memandang kagum. Sering ia merasa kagum kepada anak ini. Bicaranya
demikian lembut, sopan, teratur seperti seorang dewasa saja, yang terpelajar tinggi pula!
"Katakanlah jawabanmu kenapa engkau tidak suka berlatih silat. Aku tak akan marah," katanya, kini
suaranya tidak keras penuh teguran lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Subo, teecu suka mempelajari ilmu silat karena di situ teecu menemukan keindahan seni tari, juga teecu
menemukan olah raga yang menyehatkan dan menguatkan badan, memperbesar daya tahan terhadap
penyakit dan kelemahan. Akan tetapi, teecu tidak suka melatihnya karena teecu melihat bahwa di dalam
ilmu silat terdapat kekerasan pula. Karena itu, maka ilmu silat itu jahat!"
Sepasang mata Kao Hong Li yang memang lebar dan jeli itu terbelalak semakin lebar. "Jahat...?!"
"Ya, tentu jahat, Subo. Ilmu silat adalah ilmu memukul orang, bahkan membunuh orang lain. Apa ini tidak
jahat namanya?"
"Wah, pendapatmu itu terbalik sama sekali, Yo Han! Justru ilmu silat membuat kita dapat membela diri
terhadap kejahatan, juga dapat kita pergunakan untuk membasmi kejahatan. Kalau ilmu silat dipergunakan
untuk kejahatan, tentu saja tidak benar. Akan tetapi ilmu silat dapat dipergunakan untuk menentang
kejahatan, seperti yang dilakukan para pendekar. Ilmu silat adalah ilmu bela diri, baik dari serangan orang
jahat mau pun binatang buas. Yang jahat itu bukan ilmu silatnya, seperti juga segala macam ilmu di dunia
ini. Jahat atau tidaknya, baik atau tidaknya, tergantung dari manusianya, bukan dari ilmunya. Ilmu silat atau
ilmu apa pun tidak akan ada artinya tanpa Si Manusia yang mempergunakannya."
Yo Han mengangguk-angguk. “Teecu mengerti, Subo. Semua yang Subo katakan itu memang kenyataan
dan benar adanya. Baik atau buruk tergantung pada orang yang menguasainya. Seperti Suhu dan Subo,
walau pun ahli-ahli ilmu silat, namun sama sekali tidak jahat. Yang membuat teecu tidak mau melatih diri
dengan ilmu silat adalah karena melihat sifat dari ilmu silat itu. Sifatnya adalah kekerasan, perkelahian,
saling bermusuhan. Itulah yang membuat teecu tidak suka menguasainya.”
Kao Hong Li sudah mulai merasa perutnya panas. Ia memang galak dan teguh dalam pendiriannya. "Yo
Han, lupakah engkau bahwa kalau tidak ada ilmu silat, engkau sudah mati sekarang ketika engkau terjatuh
ke tangan para tokoh sesat?"
"Maaf, Subo. Nyawa kita berada di tangan Tuhan! Kalau Tuhan belum menghendaki teecu mati, biar
diancam bahaya bagaimana pun juga, ada saja jalannya bagi teecu untuk terhindar dari kematian.
Sebaliknya, kalau Tuhan sudah menghendaki seseorang mati, biar dia memiliki kesaktian setinggi langit
sedalam lautan, tetap saja dia tidak akan mampu menghindarkan diri dari kematian. Bukankah begitu,
Subo?"
Diam-diam Kao Hong Li terkejut. Dari mana anak ini dapat pengertian seperti itu?
"Anak baik, biar nyawa berada di tangan Tuhan, akan tetapi sudah menjadi kewajiban setiap orang
manusia untuk menjaga diri, untuk selalu berusaha menyelamatkan diri dari segala ancaman. Dan ilmu
silat dapat menjamin kita untuk menyelamatkan diri dari ancaman orang jahat atau binatang buas."
"Subo, maafkan kalau teecu berterus terang. Teecu selalu ingat betapa Ayah dan Ibu tewas, karena Ibu
pernah berkecimpung di dunia persilatan. Ibu sudah terlalu banyak menanam permusuhan, sudah terlalu
banyak bergelimangan kekerasan, maka akhirnya Ibu tewas dalam kekerasan pula, bahkan membawa
Ayah menjadi korban. Selain itu, sudah banyak teecu mendengar kisah yang dituturkan oleh Subo dan
Suhu, kisah para pendekar sakti. Mereka itu hampir semua tewas dalam perkelahian, dalam kekerasan."
"Kau keliru, Yo Han. Memang benar bahwa banyak pendekar tewas dalam perkelahian, seperti juga
sebagian besar prajurit tewas dalam pertempuran. Akan tetapi, justru itu adalah kematian terhormat bagi
seorang pendekar. Tewas dalam melaksanakan tugas menentang kejahatan adalah kematian yang
terhormat!"
"Membunuh atau terbunuh merupakan kematian terhormat, Subo? Ahh, teecu tak dapat menerimanya.
Semua kepandaian yang dimiliki manusia didapatkan karena kekuasaan dan kemurahan Tuhan. Juga ilmu
silat. Akan tetapi sungguh sayang bahwa kemurahan dan kekuasaan Tuhan itu diselewengkan oleh
manusia untuk saling bunuh. Tidak, Subo. Teecu tidak mau membunuh orang! Teecu tidak mau belajar
ilmu silat, ilmu memukul dan membunuh orang."
Kao Hong Li menjadi semakin marah. "Bagaimana kalau engkau sekali waktu diancam oleh orang jahat
untuk dibunuh?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tentu teecu akan berusaha untuk menyelamatkan diri, melindungi diri dengan segala kekuatan dan
kemampuan yang ada, akan tetapi bukan berarti teecu akan berusaha membunuhnya. Jika teecu sudah
berusaha sekuatnya untuk melindungi diri, cukuplah."
"Hemm, bagaimana engkau akan mampu melindungi dirimu dari serangan orang jahat yang hendak
membunuhmu kalau engkau tidak pandai ilmu silat?"
"Teecu serahkan saja kepada Tuhan! Sudah teecu katakan tadi bahwa nyawa berada di tangan Tuhan.
Kalau Tuhan belum menghendaki teecu mati di tangan penjahat itu, tentu teecu akan dapat menghindarkan
diri."
Kao Hong Li sudah kehilangan kesabarannya. Dia bangkit berdiri dan menatap wajah anak itu. "Yo Han,
aku khawatir bahwa engkau sudah dihinggapi kesombongan besar yang tolol!"
"Maafkan teecu, Subo," kata Yo Han sambil menundukkan mukanya.
"Bocah sombong! Kalau engkau tidak mau belajar silat, kalau engkau menganggap bahwa belajar silat itu
salah, lalu engkau mau belajar apa? Engkau menjadi murid suami isteri pendekar, kalau tidak mau belajar
silat dari kami, lalu mau belajar apa?"
"Teecu ingin belajar hidup yang benar dan sehat, belajar untuk menjadi manusia yang berguna, baik bagi
diri sendiri, bagi orang lain, dan bagi Tuhan. Teecu akan mempelajari segala ilmu yang berguna dan indah,
sastra, seni apa saja, asalkan bukan ilmu yang merusak..."
"Sombong!" Kao Hong Li membentak, kini ia sudah marah. "Kau mau bilang bahwa ilmu silat adalah ilmu
yang merusak?"
Pada saat itu, muncullah Tan Sin Hong. Sejak tadi dia sudah mendengar percakapan antara isterinya dan
murid mereka. Dia tidak menyalahkan isterinya yang marah-marah. Dia sendiri pun tentu akan marah kalau
saja dia tidak teringat akan keadaan Yo Han di waktu kecilnya.
"Aihh, ada apakah ini sepagi ini sudah ribut-ribut?" Sin Hong menegur sambil tersenyum tenang.
Melihat suaminya datang, Kao Hong Li segera menuding kepada Yo Han.
"Coba lihat muridmu ini! Dia menjadi murid kita tentu kita beri pelajaran ilmu silat. Ehh, dia malah
menganggap bahwa ilmu silat itu ilmu yang jahat, ilmu yang merusak! Apa tidak membikin panas perut?"
"Sudahlah, nanti kita bicarakan lagi hal itu," Sin Hong menghibur isterinya, lalu bertanya kepada Yo Han.
"Yo Han, apakah engkau lupa bahwa hari lusa adalah suatu hari yang bahagia? Nah, ada peristiwa
bahagia apakah hari lusa itu?"
Yo Han mengangkat mukanya dan wajahnya berseri-seri memandang kepada suhu-nya yang telah
mengalihkan percakapan yang membuat hatinya merasa tidak enak terhadap subo-nya tadi.
"Teecu tahu, Suhu. Besok lusa adalah hari ulang tahun yang ke empat dari Sian Li."
"Ha, jadi engkau ingat? Dan sudahkah engkau mempersiapkan hadiahmu untuk adikmu itu?"
Yo Han menggeleng kepala. "Belum, Suhu."
Yo Han amat mencinta adiknya, puteri kedua orang gurunya itu. Bahkan sejak Sian Li bisa merangkak, Yo
Han lah yang selalu mengasuhnya dan mengajaknya bermain-main sehingga Sian Li juga amat sayang
kepadanya.
Sin Hong mengeluarkan uang dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada Yo Han. "Nah, ini uang
boleh kau pakai untuk membelikan hadiahmu untuk Sian Li."
Akan tetapi Yo Han menggeleng kepalanya, "Suhu, teecu ingin memberi hadiah sesuatu yang merupakan
hasil pekerjaan tangan teecu sendiri kepada adik Sian Li."
"Hemm..." Sin Hong menyimpan kembali uangnya. "Dan sudah kau buatkan itu?
dunia-kangouw.blogspot.com
"Belum, Suhu!"
"Kalau begitu, mulai hari ini kau boleh mulai mengerjakannya. Jangan bantu pekerjaan tukang kebun dan
pelayan, tapi selesaikan membuat hadiahmu untuk adikmu."
Berseri wajah Yo Han. Memang dua orang gurunya tidak pernah menyuruh dia bekerja, akan tetapi dia
sendiri yang merasa tidak enak kalau harus menganggur. Selalu ada saja yang dia kerjakan. Sekarang
gurunya memberi dia kesempatan sepenuhnya untuk membuatkan hadiah untuk Sian Li.
"Baik, terima kasih, Suhu. Sekarang pun teecu hendak mulai membuatkan hadiah itu!" Dan dia pun pergi
meninggalkan kebun itu, menuju ke sungai kecil yang mengalir di sebelah selatan rumah itu.
Setelah Yo Han pergi, baru Sin Hong bicara dengan isterinya. "Sudahlah, kalau dia tidak mau berlatih silat,
kita tidak perlu memaksanya. Kita sudah mengajarkan ilmu-ilmu kita yang paling baik, dan dia sudah
menghafalkan semua teorinya. Tinggal terserah kepada dia sendiri hendak melatihnya atau tidak."
"Akan tetapi, dia adalah murid kita. Kalau kelak dunia persilatan tahu bahwa dia murid kita akan tetapi
lemah dan tidak pandai memainkan ilmu silat, bukankah kita yang akan menjadi bahan tertawaan?"
Sin Hong menggelengkan kepala. "Belum tentu demikian. Aku melihat bahwa dia bukan anak
sembarangan. Dia pemberani dan tabah, juga sangat cerdik. Dan dia mempunyai kasih sayang kepada
sesamanya. Lihat saja. Dia tidak pernah menjadi jagoan, akan tetapi semua anak di kota ini mengenalnya
dan bersikap sangat baik kepadanya. Dia disukai dan disegani, bukan saja oleh anak-anak, bahkan juga
orang-orang tua tetangga kita selalu memujinya karena sikapnya yang sopan dan baik budi."
"Bagaimana pun juga, aku khawatir bila terjadi serangan orang jahat terhadap dirinya..."
"Tidak perlu khawatir, Li-moi. Biarkan saja dia tumbuh sewajarnya, menurut apa yang disukainya dan kita
lihat saja. Yang paling penting, dia tidak melakukan sesuatu yang menyimpang dari kebenaran. Apa lagi,
dia amat sayang kepada Sian Li."
Hong Li mengangguk. "Memang, Sian Li juga sayang sekali kepadanya. Justru inilah yang kadang
merisaukan hatiku."
"Ehh? Engkau risau karena anak kita menyayang Yo Han?"
"Yo Han bagaikan kakak bagi Sian Li dan kelak, tentu Sian Li akan mencontoh segala peri laku Yo Han.
Kalau Yo Han membenci ilmu silat, menganggapnya jahat, bagaimana kalau dia mempengaruhi Sian Li
dan anak kita juga tidak suka berlatih silat?"
Sin Hong mengangguk-angguk. "Aku akan bicara dengan Yo Han tentang itu dan minta supaya dia jangan
menanamkan pendapatnya itu kepada Sian Li, bahkan agar dia bisa membujuk Sian Li supaya suka
mempelajari dan berlatih ilmu silat."
Mendengar ucapan suaminya itu, baru legalah rasa hati Hong Li.
"Sungguh seorang anak yang aneh sekali Yo Han itu," katanya menarik napas panjang.
Ia sendiri amat suka kepada Yo Han. Siapa yang takkan suka kepada anak yang pandai membawa diri dan
rajin itu? Wajahnya tak pernah muram, terang dan amat ramah, juga berhati lembut…..
********************
Memang tidak berlebihan kalau wanita pendekar itu mengatakan bahwa Yo Han adalah seorang anak yang
aneh sekali. Memang nampaknya saja Yo Han seorang anak biasa yang tiada bedanya dengan anak-anak
lainnya. Akan tetapi memang terdapat sesuatu yang luar biasa pada diri anak ini, yang membuat Kao Hong
Li dan juga suaminya mengetahui bahwa Yo Han bukanlah anak biasa.
Sikap anak itu demikian dewasa, pandangannya luas dan kadang-kadang aneh dan tak pantas dimiliki
seorang anak berusia dua belas tahun. Wajahnya memang tampan, akan tetapi itu pun tidak aneh. Dan
wataknya sederhana. Pakaian pun amat sederhana walau pun selalu bersih dan rapi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Meski pun kedua orang gurunya amat sayang kepadanya dan selalu berusaha agar dia senang dan tidak
kekurangan sesuatu, tapi Yo Han tidak pernah minta apa-apa, hanya menerima saja apa pun yang
diberikan kepadanya tanpa memilih. Yang membuat suami isteri itu sering kali kagum adalah
kecerdikannya. Dia seolah mampu membaca pikiran orang!
Terutama sekali dalam pelajaran sastra, kecerdasan anak itu sangat menonjol. Dalam usia dua belas
tahun, dia sudah mampu membaca kitab-kitab yang berat-berat. Bukan saja kitab-kitab sejarah, juga kitabkitab
agama dan filsafat. Kitab-kitab Su-si Ngo-keng sudah hafal olehnya, dan andai kata dia mau, dalam
usia dua belas tahun itu bukan tidak mungkin dia akan lulus dalam ujian kenegaraan bagi para siu-cai
(semacam gelar sarjana).
Tan Sin Hong sendiri adalah seorang yang suka membaca dan dia memiliki kumpulan kitab-kitab kuno di
dalam kamar perpustakaannya. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa kalau sedang membersihkan
kamar itu, Yo Han tenggelam ke dalam kitab-kitab itu, membaca kitab-kitab yang kadang masih terasa
sukar bagi Sin Hong sendiri!
Banyak hal yang dibacanya, baik dalam kitab sejarah mau pun kitab keagamaan, yang kemudian
mempengaruhi batin Yo Han yang aneh, yang membuat ia ngeri menghadapi kekerasan, membuat dia
merasa ngeri melihat kenyataan betapa kehidupan manusia bergelimang kekerasan.
Di samping itu, ada sesuatu yang amat luar biasa pada diri Yo Han, yang sering kali membuat dia sendiri
merasa heran. Sering dia merasa seakan-akan ada kekuatan yang melindunginya, kekuatan yang kadangkadang
bekerja di dalam dan di luar dirinya, yang bekerja di luar kehendaknya, bahkan di luar
pengertiannya. Suatu tenaga mukjijat, suatu kekuatan yang bekerja di luar hati dan akal pikirannya.
Hal ini tadinya tak diketahuinya. Akan tetapi karena beberapa kali telah terjadi hal yang tadinya dianggap
suatu ‘kebetulan’ saja, mulailah dia menyadari bahwa hal itu bukanlah suatu kebetulan belaka.
Mula-mula keanehan itu terjadi saat dia membaca sebuah kitab agama kuno yang berisi dongeng-dongeng
yang mengandung makna-makna terpendam. Amat sukar dimengerti oleh orang dewasa yang sudah
banyak membaca kitab agama sekali pun.
Yo Han menemukan kitab ini di dalam kamar perpustakaan suhu-nya. Dia membacanya dan segera
menemukan kesulitan. Banyak huruf kuno yang tidak dikenalnya, dan lebih banyak pula kalimat yang tidak
dimengerti maknanya. Karena dia memang seorang kutu buku, dia tidak putus asa dan terus membaca.
Makin dia berusaha untuk mengerti isi kitab, makin sukarlah baginya dan makin bingung dan ruwetlah
pikirannya. Akhirnya, karena kelelahan, bukan karena jengkel, dia pun lalu tertidur. Tidur sambil duduk dan
kitab itu masih terbuka di atas meja di depannya.
Ketika setengah jam kemudian dia terbangun, dia melihat lagi kitab itu dan... dia dapat membaca dengan
lancar, bahkan dapat mengerti apa arti isi kitab itu. Hal yang tadinya dianggap sukar, setelah dia bangun
tidur, menjadi mudah, yang gelap menjadi terang. Hal itu terjadi dengan sendirinya, bukan hasil pemerasan
pikiran, seperti secara wajar dan otomatis saja.
Demikianlah, banyak hal seperti itu terjadi selama kurang lebih dua tahun ini. Yo Han mulai mengerti
bahwa kekuatan mukjijat itu terjadi kalau dia pasrah kepada Tuhan, kalau dia tidak mempergunakan daya
hati dan akal pikirannya. Seperti telah diatur saja oleh tenaga mukjijat.
Setelah gurunya memberi ijin kepadanya untuk segera membuatkan hadiah untuk Sian Li, Yo Han segera
pergi ke sungai yang letaknya kurang lebih satu li saja dari rumah gurunya. Dia tahu bahwa bahan yang
dibutuhkannya untuk membuat hadiah itu berada di tepi sungai. Bahan itu hanya tanah liat, lain tidak!
Ia ingin membuatkan patung kecil atau boneka dari tanah liat, buatan tangannya sendiri, untuk Sian Li! Dia
tahu bahwa ia dapat membuat sebuah boneka yang indah dari tanah, liat. Sudah sering ia bermain-main
dengan tanah liat dan ia mendapat kenyataan betapa tanah liat itu demikian penurut dalam remasan jarijari
tangannya, demikian mudahnya dibentuk menjadi apa saja yang dikehendakinya.
Dia dapat membuat segala macam patung binatang dari tanah liat. Rasanya seperti jika dia melukis.
Dengan goresan, dia pun dapat membentuk apa saja yang dilihatnya, baik yang dilihatnya dalam
kenyataan mau pun yang dilihatnya dalam bayangan khayal.
dunia-kangouw.blogspot.com
Yo Han tiba di tepi sungai dan dia segera menuju ke bagian di mana terdapat tanah liat yang baik. Bagian
ini sunyi sekali. Hanya dia dan beberapa orang kawannya bermain, tetangga gurunya, yang mengetahui
tempat ini. Kini dia berada di situ seorang diri dan segera dia turun ke tepian sungai dan mengambil tanah
liat dengan kedua tangannya. Mudah saja menggali tanah liat yang lunak dan basah itu, lalu
dikumpulkannya sampai cukup banyak, dan dibawanya tanah liat segumpal besar itu ke bawah sebatang
pohon besar di tepi sungai.
Ketika baru saja dia menurunkan tanah liat yang dibawanya, saat dia duduk di atas akar pohon yang
menonjol keluar dari tanah, tanpa disengaja kakinya menginjak seekor ular! Bagian ekornya yang
diinjaknya itu.
Ular itu terkejut, dan juga marah. Tubuhnya membalik, kemudian kepalanya meluncur dan menyerang ke
arah leher Yo Han yang sudah duduk. Tangan kanan Yo Han cepat bergerak dan tahu-tahu leher ular itu
telah terjepit di antara jari-jari tangannya. Dia telah dapat menangkap leher ular itu!
Tak jauh dari situ, Sin Hong memandang terbelalak! Tadi pun dia melihat serangan ular yang amat
mendadak itu dan wajahnya menjadi pucat. Terlalu jauh baginya untuk dapat menolong dan
menyelamatkan muridnya, juga gerakan ular itu terlalu cepat. Dia sudah membayangkan betapa leher itu
pasti akan dipatuk ular. Bukan ular biasa, melainkan ular hijau yang racunnya amat jahat!
Akan tetapi, apa yang dilihatnya? Yo Han telah dapat menangkap leher ular itu, hanya sedikit selisihnya
karena moncong ular itu tinggal sejengkal lagi dari leher Yo Han! Dia sendiri, kalau diserang ular secara
tiba-tiba seperti itu, masih meragukan apakah berani menghindarkan diri dengan cara menangkap leher
ular itu!
Perbuatan ini amat berbahaya karena sekali meleset dan leher terpatuk ular beracun itu, akan amat hebat
akibatnya. Kalau kaki yang terpatuk ular, masih banyak harapan untuk diobati, akan tetapi leher terletak
demikian dekat dengan kepala dan jantung. Dia hanya terbelalak memandang dan semakin bengonglah
dia ketika melihat apa yang terjadi.
Yo Han sendiri terbelalak ketika melihat bahwa yang ditangkap tangannya itu adalah seekor ular hijau yang
dia tahu beracun! Dia merasa heran karena sungguh dia tidak menyadari, apa yang dilakukan tangannya
tadi, seolah-olah tangan itu bergerak sendiri dengan amat cepatnya menangkap leher ular! Akan tetapi, dia
memang seorang anak yang memiliki keberanian luar biasa.
Setelah kini dia melihat kepala ular itu, dengan mata yang nampaknya begitu putus asa dan ketakutan,
lidah yang terjulur keluar masuk, tubuh yang menggeliat-geliat melibat lengannya tanpa daya karena dia
merasa betapa lengannya diisi tenaga yang membuat lengannya itu seperti berubah menjadi baja, timbul
perasaan kasihan di dalam hatinya.
"Ular hijau, kenapa engkau hendak mematukku? Kalau seandainya aku menyentuh atau menginjak tanpa
kusengaja, sepatutnya engkau memaafkan aku. Engkau yang sengaja hendak mematukku pun dapat
kumaafkan. Kita sepatutnya bermaaf-maafan sesudah sama-sama diciptakan hidup di dunia ini. Bukankah
begitu, ular hijau?"
Sin Hong terbelalak, tak pernah berkedip ketika melihat betapa kini ekor ular yang tadi membelit-belit
lengan muridnya itu melepaskan belitannya, dan melihat betapa Yo Han dengan lembut melepaskan leher
yang ditangkap tangannya itu, membiarkan ular itu ke atas tanah. Dan ular itu sama sekali tidak nampak
buas lagi, tidak menyerang! Juga tidak melarikan diri ketakutan.
Sekarang ular itu perlahan-lahan menghampiri Yo Han yang sudah duduk di atas akar, mengelilingi anak
itu, perlahan-lahan, kadang-kadang mendekat dan menyentuh kaki Yo Han dengan tubuhnya, bagai
tingkah seekor kucing manja yang mengusapkan tubuhnya ke kaki majikannya.
Yo Han sudah tidak mempedulikan ular itu lagi, melainkan asyik dengan pekerjaannya. Dua tangannya
mulai bekerja dengan cekatan, meremas-remas tanah liat itu sehingga menjadi lunak dan liat, dan mulai
membentuk patung yang hendak dibuatnya. Sampai beberapa lamanya, ular hijau itu bergerak di sekitar
Yo Han mengusapkan tubuhnya ke kaki anak itu, kadang menggunakan lidahnya menjilat. Yo Han yang
tenggelam dalam pekerjaannya seperti sudah melupakan binatang itu dan akhirnya, ular itu pun pergi
dengan tenang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Beberapa kali, dalam pengintaian itu Sin Hong menelan ludah. Dia merasa bagai dalam mimpi. Yo Han
demikian mudahnya menangkap leher ular yang sedang menyerangnya, ular beracun yang terkenal amat
ganas. Kemudian, lebih aneh lagi, dengan ucapan dan sikapnya, dia mampu membuat seekor ular berbisa
yang ganas berubah menjadi seekor binatang yang jinak dan manja seperti kucing. Apa artinya semua ini?
Tentu saja Sin Hong menjadi penasaran bukan main. Dia adalah guru anak itu. Dan semenjak berusia
tujuh tahun, Yo Han selalu ikut dengan dia. Akan tetapi bagaimana sampai saat ini dia sama sekali tidak
mengenal muridnya itu? Tidak tahu akan keadaan muridnya yang aneh?
Muridnya itu tak pernah mau melatih ilmu silat yang diajarkan, akan tetapi kini buktinya, anak itu
sedemikian lihainya! Kapankah belajarnya? Dari siapa? Gerakan tangan ketika menangkap ular berbisa
tadi tidak dikenalnya. Sangat mirip dengan jurus Bangau Putih Mematuk Ular. Akan tetapi hanya mirip.
Jauh bedanya.
Jurus dari ilmu silat Pek-ho Sin-kun itu menggunakan jari tangan untuk mencengkeram tubuh ular dan
memang yang dimaksud lehernya, sedang dalam ilmu silat menghadapi manusia dipergunakan untuk
menangkap lengan lawan yang menyerang. Akan tetapi gerakan Yo Han tadi begitu cepat, akan tetapi
begitu lembut sehingga ketika leher ular tertangkap, ular itu tidak mampu melepaskan diri, akan tetapi juga
tidak tersiksa dan tidak luka. Gerakan apa itu?
Dan sikapnya kemudian terhadap ular berbisa itu, sungguh tidak dimengertinya! Kenapa Yo Han bersikap
seaneh itu dan bagaimana pula ular itu berubah menjadi sejinak itu? Apakah artinya semua itu? Ilmu
apakah yang dikuasai Yo Han?
Sin Hong adalah seorang pendekar yang gagah dan jujur, tentu saja tidak suka akan hal-hal yang
dirahasiakan, tidak suka akan kepura-puraan. Di depannya, Yo Han tidak pernah berlatih silat, sehingga
dia dan isterinya menganggap dia lemah dan tidak dapat bersilat. Akan tetapi apa kenyataannya sekarang?
Serangan ular tadi sangat cepat dan berbahaya. Hanya seorang ahli silat tingkat tinggi saja yang mampu
menghindarkan bahaya maut itu dengan cara menangkap leher ular yang sedang menyerang dalam jarak
sedemikian dekatnya. Dan tadi Yo Han mampu melakukannya. Hal ini membuktikan bahwa anak itu sama
sekali bukan lemah, hanya berlagak lemah saja. Apakah diam-diam dia telah mempelajari dan melatih ilmu
silat lain? Atau mempunyai seorang guru lain? Dia harus membongkar semua rahasia ini, dia tidak mau
dipermainkan lagi.
Sekali melompat, Sin Hong sudah berada di dekat Yo Han. Anehnya, anak itu sama sekali tidak kelihatan
kaget atau gugup, dan kini teringatlah Sin Hong bahwa muridnya itu memang tidak pernah gugup apa lagi
kaget atau takut. Selalu tenang saja seperti air telaga yang dalam.
"Suhu...!" kata Yo Han memberi hormat dengan membungkuk karena kedua tangannya berlepotan lumpur
tanah liat.
Sejak tadi Sin Hong mengamati wajah Yo Han. Kini melihat wajah muridnya itu wajar dan biasa-biasa saja,
dia melirik ke arah bongkahan tanah liat di tangan anak itu dan dia terkejut, juga kagum. Dalam waktu
sesingkat itu, jari-jari tangan anak itu telah mampu membentuk sebuah boneka anak-anak yang ukurannya
demikian sempurna. Kepala, kaki, tangan sudah terbentuk dan demikian serasi. Hanya wajah kepala itu
yang belum dibuat.
"Suhu, ada apakah Suhu mencari teecu?" tanya Yo Han.
Suara dan sikap yang amat wajar itu membuat Sin Hong menjadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
"Apa yang kau bikin itu?" akhirnya dia bertanya.
"Boneka tanah, Suhu, hadiah teecu untuk adik Sian Li," kata Yo Han.
Keharuan menyelinap di hati Sin Hong, Juga sedikit iri hati. Tidak ada hadiah yang lebih indah dan
memuaskan hati melebihi benda buatan tangan sendiri. Jika saja dia mampu membuat boneka tanah
seindah yang sedang dibuat Yo Han, dia pun akan senang membuatkan sebuah untuk puterinya!
Akan tetapi, renungan Sin Hong buyar seketika karena dia teringat lagi akan ular tadi. Suatu kesempatan
yang amat baik untuk menguji muridnya, untuk mengetahui rahasia yang menyelimuti diri muridnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendadak saja, dengan tenaga terukur, kecepatan yang hampir menyamai kecepatan gerakan ular tadi,
tangannya meluncur dan jari tangannya lantas menotok ke arah leher muridnya, seperti ular yang mematuk
tadi, dari arah yang sama pula dengan gerakan ular tadi. Gerakannya ini pun tiba-tiba selagi Yo Han tak
mengira, kiranya persis seperti keadaannya ketika diserang ular hijau tadi.
Dan satu-satunya gerakan yang dilakukan Yo Han adalah gerak refleks atau reaksi yang umum. Dia
terkejut dan menarik kepalanya sedikit ke belakang. Tentu saja serangan itu akan dapat mengenai leher Yo
Han kalau Sin Hong menghendaki.
Sin Hong merasa kecelik. Kenapa Yo Han sama sekali tidak menangkis atau mengelak, sama sekali tidak
ada gerakan seorang ahli silat yang mahir? Kalau dia bersikap seperti itu tadi ketika dipatuk ular, tentu dia
sudah celaka, mungkin sekarang sudah tewas oleh racun ular!
Ataukah Yo Han sudah tahu bahwa dia sedang diuji dan sengaja tidak mau menangkis atau mengelak
untuk mengelabui gurunya? Ahh, tidak mungkin! Seorang ahli silat tinggi memang dapat menangkap
gerakan serangan dengan cepat, akan tetapi tidak mungkin bisa menduga secepat itu. Serangannya tadi
terlalu cepat untuk diterima dan dirancang pikiran. Jadi jelas bahwa muridnya ini memang tidak tahu ilmu
silat sama sekali. Akan tetapi ular tadi?
"Apakah maksud gerakan Suhu tadi?" tanya Yo Han dengan sikap masih tetap tenang seolah tidak terjadi
sesuatu. Kekagetannya ketika diserang tadi pun hanya merupakan reaksi saja, bukan kaget lalu disusul
rasa takut. Ini saja sudah amat mengagumkan hati Sin Hong.
"Yo Han, engkau ini muridku, bukan?" tiba-tiba Sin Hong bertanya dan dia pun duduk di atas akar pohon, di
sebelah Yo Han.
Anak itu menoleh dan memandang wajah suhu-nya dengan sinar mata mengandung penuh pertanyaan.
"Tentu saja, kenapa Suhu bertanya?"
"Dan sejak lima tahun yang lalu, sejak engkau kehilangan orang tuamu, engkau hidup dengan aku,
bukan?"
Sepasang mata anak itu bertemu dengan pandang mata Sin Hong dan pendekar ini merasa seolah sinar
mata anak itu menembus dan menjenguk isi hatinya! Dia tahu bahwa muridnya memiliki mata yang tajam
dan lembut, akan tetapi baru sekarang dia merasa betapa sinar mata itu seperti menjenguk ke dalam lubuk
hatinya.
"Teecu tahu dan teecu selalu ingat akan kebaikan Suhu dan Subo. Selama hidup, teecu akan ingat
kebaikan itu, Suhu, dan Suhu bersama Subo, bagi teecu bukan hanya guru, akan tetapi juga pengganti
orang tua teecu."
Sin Hong terheran. Anak ini luar biasa, karena memang itulah yang dipikirkannya tadi. Dia merasa
penasaran karena anak itu dianggapnya seperti anak sendiri, namun masih menyimpan rahasia dirinya dan
masih berpura-pura lagi!
"Nah, karena itu, Yo Han. Hubungan antara murid dan guru, atau antara anak dan orang tua, sebaiknya
tidak menyimpan rahasia, bukan?"
"Memang benar, Suhu. Apakah Suhu mengira teecu menyimpan rahasia? Dugaan itu tidak benar, Suhu.
Teecu tidak pernah menyimpan rahasia terhadap Suhu atau Subo."
Anak seperti Yo Han ini tidak mungkin dibohongi, pikir Sin Hong kaget. Lebih baik dia berterus terang.
"Yo Han, memang terus terang saja, aku dan subo-mu merasa heran melihat sikap dan pendirianmu.
Engkau menjadi murid kami akan tetapi tidak mau berlatih silat. Lalu apa artinya kami menjadi gurumu?"
"Bukan hanya ilmu silat yang telah diajarkan Suhu dan Subo kepada teecu. Teecu telah menerima
pelajaran sifat yang gagah berani, adil dan menjauhi perbuatan jahat dari Suhu dan Subo. Juga selama ini
banyak yang telah teecu pelajari. Sastra, seni, dan banyak lagi. Terima kasih atas semua bimbingan itu,
Suhu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Engkau benar-benar tidak dapat bermain silat sama sekali, Yo Han?" pertanyaan ini tiba-tiba saja karena
Sin Hong memang bermaksud hendak bertanya secara terbuka.
Yo Han menggeleng kepala, sikapnya tenang saja dan wajahnya tidak membayangkan kebohongan.
"Yo Han, aku tadi sempat melihat betapa engkau dapat menghindarkan ancaman maut ketika engkau
menangkap leher ular yang mematukmu dengan cepat. Ular hijau yang berbisa, mematukmu secara tibatiba
dan engkau mampu menangkapnya. Gerakan apa itu kalau bukan gerakan silat?"
"Ahhh...? Itukah yang Suhu maksudkan? Ular itu tadi? Teecu juga tak tahu sama sekali bahwa teecu
diserang ular, dan teecu juga tidak menggerakkan tangan teecu. Tangan itu yang bergerak sendiri
menangkap ular, Suhu."
Sin Hong mengerutkan alisnya, hatinya bimbang. Jika orang lain yang bicara demikian, tentu akan
dihardiknya dan dikatakan bohong. Akan tetapi, sulit membayangkan bahwa Yo Han membohong!
"Engkau tidak mempelajari ilmu silat lain kecuali yang kami ajarkan?"
Sin Hong menatap tajam wajah Yo Han, dan anak itu membalas tatapan mata gurunya dengan tenang. Dia
tidak menjawab, melainkan menggeleng kepala. Gelengan kepala yang amat mantap dan jelas
menyatakan penyangkalannya.
"Engkau tidak mempunyai seorang guru silat lain kecuali kami?"
Kembali Yo Han tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala.
"Lalu... gerakan tangan menangkap ular tadi?"
"Bukan teecu yang menggerakkan. Maksud teecu, teecu tidak sengaja dan tangan itu bergerak sendiri."
"Ahhhhh...!" Ingin dia menghardik dan mengatakan bohong, akan tetapi sikap anak itu demikian
meyakinkan.
"Coba... kau ulangi gerakan tanganmu ketika menangkap leher ular itu, Yo Han. Anggap saja lengan
tanganku ini ular itu tadi." Dan Sin Hong menggerakkan tangannya seperti ular mematuk.
Akan tetapi Yo Han hanya menggelengkan kepalanya.
"Teecu tidak dapat, Suhu. Sama sekali teecu tidak ingat lagi, karena ketika tangan teecu bergerak, teecu
sama sekali tak memperhatikan dan tahu-tahu ular itu telah tertangkap oleh tangan teecu."
"Hemmm...!" Sin Hong mengamati wajah muridnya dengan pandangan mata tajam dan menyelidik. Namun
muridnya itu tidak berbohong!
"Pernahkah engkau mengalami hal-hal sepertl itu? Ada gerakan yang tidak kau sadari dan yang
membantumu?"
Di luar dugaan Sin Hong, anak itu mengangguk! Tentu saja Sin Hong menjadi tertarik sekali. "Ehhh? Apa
saja? Coba kau ceritakan kepadaku, Yo Han."
"Sering kali teecu merasa terbimbing, tahu-tahu sudah bisa saja. Misalnya kalau teecu membaca kitab,
menghafal dan sebagainya. Kalau teecu merasa kesukaran kemudian menghentikan semua usaha,
bahkan tertidur, begitu bangun teecu sudah bisa! Padahal sebelumnya teecu mengalami kesulitan besar."
"Kau merasa seperti... seperti ada sesuatu yang membimbingmu, melindungimu?"
Ragu-ragu Yo Han mengangguk perlahan, alisnya berkerut karena dia sendiri tidak tahu dengan jelas.
"Kurang lebih begitulah, Suhu. Teecu hanya bisa bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan."
Sin Hong mengerutkan alisnya, pikirannya diputar. Kalau anak ini memiliki sinkang, yaitu hawa murni yang
membangkitkan tenaga sakti, dia tidak merasa heran karena tenaga sakti itu juga melindungi tubuh, walau
dunia-kangouw.blogspot.com
pun perlindungan itu hanya dapat bangkit kalau dikehendaki. Tetapi tenaga mukjijat yang melindungi Yo
Han ini lain lagi. Lebih dahsyat, lebih hebat karena bergerak atau bekerja justru kalau tidak ada kehendak!
Semacam nalurikah? Atau kekuasaan Tuhan yang ada pada setiap apa saja di dunia ini, terutama di dalam
diri manusia, dan pada diri Yo Han kekuasaan itu bekerja dengan sepenuhnya? Dia tidak tahu, juga Yo
Han tidak tahu! Bagaimana pun juga, dia tahu bahwa muridnya ini mendapatkan berkah yang luar biasa
dari Tuhan Yang Maha Kuasa, maka diam-diam dia memandang muridnya dengan hati penuh kagum dan
juga segan.
Seorang manusia, meski pun masih bocah, yang telah menerima anugerah sedemikian besarnya dari
Tuhan patut dikagumi dan disegani. Pantas saja kadang-kadang anak ini mengeluarkan kata-kata yang
sebenarnya terlampau tinggi bagi seorang kanak-kanak. Kiranya bila sedang demikian itu, yang bekerja di
dalam dirinya bukan lagi hati dan akal pikirannya yang dikemudikan nafsu badan, melainkan badan, hati
dan akal pikiran yang digerakkan oleh kekuasaan Tuhan!
Ada pula pikiran lain menyelinap dalam benak Sin Hong. Apakah bimbingan gaib yang dirasakan oleh Yo
Han itu datang dari... roh ayah dan ibunya? Dia tak dapat menjawab. Apa pun dapat saja terjadi pada
seorang anak yang telah bisa mencapai tingkat seperti itu, kebersihan batin dari kekerasan!
Sin Hong tidak mau mengganggu muridnya membentuk boneka yang sedang dibuatnya. Di sini pun dia
dibuat tertegun. Pernah dia melihat ahli-ahli pembuat patung di kota raja, baik ahli-ahli memahat patung,
maupun juga ahli pembuat patung dari tanah liat. Mereka adalah orang-orang yang sudah belajar kesenian
itu selama bertahun-tahun, di bawah pimpinan guru-guru yang ahli. Keahlian mereka setidaknya masih
terpengaruh oleh ilmu pengetahuan, oleh latihan dan belajar.
Akan tetapi, Yo Han tidak pernah mempelajari seni membuat patung. Dan lihat! Jari-jari tangan itu demikian
trampil, demikian cekatan dan pembentukan patung itu seolah-olah tanpa disengaja. Akan tetapi pada
patung boneka tanah liat itu dia mulai melihat bentuk muka puterinya, Sian Li! Diam-diam dia bergidik.
Bocah macam apakah muridnya ini? Sungguh tidak wajar, tidak umum! Dia pun meninggalkan muridnya
dengan perasaan yang bercampur aduk. Ada kagum, ada heran, ada pula ngeri!
Setibanya di rumah, dia menceritakan apa yang didengarnya dari jawaban Yo Han, juga tentang
pembuatan patung boneka, kepada isterinya yang mendengarkan dengan alis berkerut. Akan tetapi Kao
Hong Li diam saja, walau pun hatinya merasa gelisah pula. Gelisah mengingat akan puterinya, karena
hubungan puterinya dengan Yo Han amat dekatnya. Puterinya amat sayang kepada Yo Han, dan ibu ini
khawatir kalau-kalau kelak anaknya akan meniru segala kelakuan Yo Han yang aneh-aneh dan tidak wajar.
Ketika hari ulang tahun ke empat dari Tan Sian Li tiba, ulang tahun itu dirayakan dengan sederhana. Hanya
keluarga dari empat orang itu, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, murid dan puteri mereka Yo Han dan Tan
Sian Li, ditambah dengan tiga orang pembantu rumah tangga yang merayakan pesta kecil yang mereka
adakan.
Pada waktu Yo Han menyerahkan hadiahnya yang dibungkus rapi, Tan Sian Li bersorak gembira. Apa lagi
ketika bungkusan itu dibuka dan isinya sebuah patung tanah liat yang indah, anak kecil itu tertawa-tawa
gembira. Ia tidak tahu betapa ayah ibunya, juga tiga orang pembantu rumah tangga itu, menjadi bengong
melihat sebuah patung tanah liat yang berupa seorang anak perempuan kecil dengan wajah persis Tan
Sian Li! Demikian halus buatan patung itu sehingga nampak seperti hidup saja!
Suami isteri itu saling pandang dan kembali Kao Hong Li merasa tak enak sekali. Makin jelas buktinya
bahwa Yo Han bukan orang biasa, bukan anak biasa. Mana mungkin ada anak berusia dua belas tahun
yang tidak pernah mempelajari seni membuat patung dapat membuat patung sedemikian indahnya, dan
mirip sekali dengan wajah Sian Li? Diam-diam dia bergidik ngeri, seperti juga suaminya. Akan tetapi tiga
orang pembantu rumah tangga itu memuji-muji penuh kagum.
Selain patung kanak-kanak itu, yang membuat Sian Li gembira sekali adalah pakaian yang dipakainya,
hadiah dari ibunya. Pakaian berwarna serba merah! Dasarnya merah muda, kembang-kembangnya merah
tua. Indah sekali. Memberi pakaian serba merah kepada anak yang dirayakan ulang tahunnya, merupakan
hal yang wajar dan lajim.
Namun, tidak demikian halnya dengan Sian Li. Semenjak ia menerima hadiah pakaian serba merah itu,
sejak dipakainya pakaian merah itu, ia tidak membiarkan lagi pakaian itu dilepas! Ia tidak mau memakai
dunia-kangouw.blogspot.com
pakaian lain yang tidak berwarna merah! Dan ketika dipaksa, ia menangis terus, dan tangisnya baru
terhenti jika Yo Han menggendongnya, akan tetapi ia masih merengek.
"Baju merah... huuu, baju merah...!"
Tan Sin Hong dan Kao Hong Li menjadi bingung. Anak mereka itu memang agak manja dan kalau sudah
menangis sukar dihentikan, kecuali oleh Yo Han. Kini, biar pun tidak menangis setelah dipondong Yo Han,
tetap saja merengek minta pakaian merah!
"Suhu dan Subo, kasihanilah Adik Sian Li. Beri ia pakaian merah, karena warna itulah yang menjadi warna
pilihan dan kesukaannya. Dalam pakaian merah, baru akan merasa tenang, tenteram dan senang! Tadi
ketika Subo memberinya pakaian serba merah, dan ketika ia memakainya, ia merasakan kesenangan yang
luar biasa, maka kini ia tidak mau lagi diberi pakaian yang tidak berwarna merah."
Suami isteri itu saling pandang. Karena mereka tahu bahwa ucapan Yo Han itu bukan ucapan anak-anak
begitu saja, mempunyai makna yang lebih mendalam, maka mereka lalu terpaksa membelikan pakaianpakaian
serba merah untuk Sian Li. Dan benar saja. Begitu ia memakai pakaian merah, ia nampak gembira
dan bahagia sekali! Dan sejak hari itu, Sian Li tidak pernah lagi memakai pakaian yang tidak berwarna
merah…..
********************
Malam itu kembali hujan lebat. Hawa udara amat dinginnya. Sian Li sudah tidur nyenyak dan suasana
sunyi bukan main. Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, masih belum tidur. Lilin di atas meja di dalam
kamar mereka masih menyala karena mereka masih bercakap-cakap. Hong Li duduk di atas pembaringan
dan suaminya duduk di atas kursi dalam kamar itu.
Mereka biasanya bersikap hati-hati, apa lagi malam itu mereka membicarakan tentang murid mereka, Yo
Han. Akan tetapi, karena murid mereka sudah masuk kamar, biar pun andai kata belum pulas juga tidak
mungkin dapat mendengarkan percakapan mereka. Hujan di luar kamar amat derasnya. Takkan ada orang
lain yang dapat mendengarkan percakapan mereka dari luar kamar.
"Bagaimana pun juga, aku merasa tidak enak sekali," kata Hong Li setelah beberapa lamanya mereka
berdiam diri. "Sian Li begitu dekat dengannya. Sulit untuk mencegah anak kita itu tidak mengikuti jejak Yo
Han. Tidak mungkin pula kita menjauhkan anak kita dari Yo Han karena Sian Li sudah menjadi manja
sekali dan paling suka kalau bermain-main dengan Yo Han. Bagaimana jadinya kalau anak kita itu kelak
tidak mau belajar ilmu silat, dan mengikuti jejak Yo Han menjadi anak... aneh, anak ajaib tidak seperti
manusia! Ih, aku merasa ngeri membayangkan anak kita kelak menjadi seperti Yo Han!"
"Hemm, tentu saja aku pun menginginkan anak kita menjadi seorang manusia biasa, dan terutama menjadi
seorang pendekar wanita seperti engkau, ibunya. Akan tetapi bagaimana caranya untuk menjauhkannya
dari Yo Han?" kata Sin Hong.
"Tidak ada cara lain kecuali memisahkan mereka!” kata Hong Li.
“Memisahkan?" Sin Hong berkata dengan suara mengandung kekagetan. "Akan tetapi, bagaimana? Yo
Han adalah seorang yatim piatu yang tidak mempunyai sanak keluarga lagi, dan dia juga murid kita!"
“Soalnya hanya ini. Kita lebih sayang Sian Li ataukah lebih sayang Yo Han. Keduanya memang kita
sayang, akan tetapi mana yang lebih berat bagi kita?"
Sin Hong menarik napas panjang. Isterinya mengajukan pertanyaan yang jawabannya hanya satu. "Tentu
saja kita lebih memberatkan Sian Li. Bagaimana pun juga, ia adalah anak kita, darah daging kita. Akan
tetapi aku pun tidak ingin melihat Yo Han terlantar, aku tidak mau menyia-nyiakan anak yang tidak
mempunyai kesalahan apa pun itu."
"Tentu saja! Kita bukannya orang-orang jahat dan kejam yang demi kepentingan anak sendiri lalu
membikin sengsara orang lain. Sama sekali tidak. Maksudku, bagaimana jika kita mencarikan tempat baru
untuk Yo Han? Memberi dia kesempatan untuk mendapat guru yang baru, atau melihat bakatnya,
bagaimana kalau kita menitipkan dia di kuil, di mana terdapat orang-orang pandai dan saleh? Tentu saja
kita dapat membayar biaya pendidikannya setiap bulan atau setiap tahun."
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin Hong mengangguk-angguk. Dia pun tahu bahwa isterinya cukup bijaksana. Isterinya adalah seorang
pendekar wanita tulen, cucu dari Naga Sakti Gurun Pasir! Ayahnya putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan
ibunya cucu Pendekar Super Sakti! Ia pun setuju dengan usul isterinya itu.
Memang, jalan terbaik ialah memisahkan Yo Han dari Sian Li, dan cara pemisahan yang sebaiknya adalah
menyingkirkan Yo Han dari rumah mereka dengan memberi jaminan terhadap kehidupan Yo Han
selanjutnya. Paling baik jika dititipkan di kuil agar dia dapat belajar lebih lanjut. Siapa tahu dibawah
pimpinan para pendeta kuil, ketidak wajarannya itu akan berubah dan Yo Han akan menjadi seorang anak
yang biasa. Kalau sudah begitu tentu tidak ada halangannya bagi Yo Han untuk kembali kepada mereka.
"Ahhh, aku teringat sekarang! Bagaimana kalau kita minta tolong kepada Thian Sun Totiang?" dia berkata.
"Maksudmu, kepala kuil di lereng Pegunungan Heng-san itu? Bukankah Thian Sun Tosu itu seorang tokoh
Kun-lun-pai?" kata Hong Li mengingat-ingat.
"Benar sekali. Selain ilmu silatnya tinggi juga beliau adalah seorang pendeta yang hidup saleh. Tentu dia
dapat membimbing Yo Han dalam ilmu kerohanian. Juga beliau adalah sahabatku. Tentu saja kita dapat
memberi sumbangan untuk kuilnya sebagai pengganti biaya yang dikeluarkan untuk keperluan Yo Han."
"Bagus, aku pun setuju sekali!" kata Hong Li. Keduanya merasa lega dengan keputusan itu dan Sin Hong
meniup padam lilln di atas meja, tanda bahwa keduanya akan tidur.
Di dalam hujan yang lebat, dalam udara yang amat dingin itu. Yo Han keluar dari dalam kamarnya. Dia
sendiri tidak mengerti mengapa dia keluar dari dalam kamarnya. Akan tetapi dia tidak peduli dan hanya
menyerah kepada dorongan yang membuat kakinya berjalan keluar dari dalam kamar, keluar melalui pintu
belakang ke dalam hujan! Tentu saja rambut dan pakaiannya basah kuyup, namun dia tidak peduli karena
kakinya terus melangkah. Bahkan hawa dingin itu tidak dirasakannya sama sekali, kalau pun ada perasaan
di tubuhnya, maka yang ada bahkan perasaan sejuk segar dan nikmat!
Seperti dituntun, kedua kakinya menuju ke jendela kamar suhu-nya! Jejak kakinya tentu akan terdengar
oleh suhu dan subo-nya kalau saja malam itu tidak ada hujan. Suara hujan jatuh ke atas genteng dan
tanah, juga ke atas daun-daun pohon, jauh lebih berisik dari pada jejak kakinya, maka walau pun andai
kata suami isteri pendekar itu memiliki ketajaman pendengaran sepuluh kali lipat, belum tentu akan mampu
mengetahui bahwa ada orang melangkah di luar jendela kamar mereka.
Yo Han mendengar semua percakapan mengenai dirinya itu! Ia memejamkan matanya, dan setelah lilin
dalam kamar itu tertiup padam, dia pun kembali ke kamarnya dengan tubuh terasa lemas. Dia mendengar
percakapan suhu dan subo-nya. Dia tidak sengaja ingin mendengarkan percakapan mereka.
Entah bagaimana kedua kakinya bergerak membawa dia ke dalam hujan dan mendekati kamar mereka
sehingga dia mendengar percakapan mereka. Suhu dan subo-nya tidak menghendaki dia untuk tinggal
lebih lama di rumah mereka! Mereka ingin memisahkan dia dari Sian Li! Dia akan dititipkan di sebuah kuil!
Setelah memasuki kamarnya, dia duduk di atas kursi bagaikan patung. Pakaian dan rambutnya yang
basah kuyup tidak dipedulikannya. Dia merasa sedih bukan main. Dia harus meninggalkan mereka yang
dia kasihi. Harus meninggalkan Sian Li!
Tanpa terasa, dua titik air mata turun ke atas pipinya, mencair dan menjadi satu dengan kebasahan air
hujan. Tidak, dia tidak boleh menangis! Menangis tiada gunanya, bahkan hanya membuat hatinya menjadi
semakin sedih! Pada waktu mendengar kematian ayah bundanya dulu, lima tahun yang lalu, dia pun
mengeraskan hatinya, tidak membiarkan diri menangis berlarut-larut.
Pada keesokan harinya, dengan muka agak pucat dan rambut agak kusut, pagi-pagi sekali Yo Han sudah
memondong Sian Li yang sudah dimandikan ibunya.
"Subo, teecu hendak mengajak adik Sian Li bermain di kebun," kata Yo Han kepada subo-nya yang sudah
keluar dari dalam kamar bersama suhu-nya.
Kedua orang suami isteri itu saling pandang. Mereka merasa tidak tega untuk sepagi itu menyatakan
keinginan mereka menitipkan Yo Han ke kuil. Biarkan anak itu bermain-main dulu dengan Sian Li.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ajaklah ia bermain-main, akan tetapi nanti kalau waktu sarapan pagi, ajak ia pulang," kata Hong Li dan Sin
Hong mengangguk setuju.
“Baik, Subo,” kata Yo Han.
Dia menurunkan Sian Li, menggandeng tangan anak itu dan keduanya lalu berlari-lari meninggalkan
rumah, menuju ke belakang rumah. Melihat betapa gembiranya Sian Li diajak bermain-main oleh Yo Han,
suami isteri itu saling pandang lagi dan keduanya menghela napas panjang. Mereka maklum betapa
mereka semua, terutama sekali Sian Li, akan merasa kehilangan Yo Han kalau anak itu pergi
meninggalkan rumah mereka. Akan tetapi apa boleh buat. Demi kebaikan Sian Li, mereka harus
melegakan hati, Yo Han harus dipisahkan dari anak mereka!
Biasanya, pagi-pagi sekali Yo Han sudah rajin bekerja. Bekerja pagi-pagi saat matahari belum terbit
menjadi kesukaannya. Bekerja apa saja, menyapu halaman, membersihkan jendela-jendela rumah dari
luar. Bekerja apa saja asal berada di luar rumah karena yang dinikmatinya bukan hanya pekerjaan itu,
melainkan terutama sekali adalah suasana di pagi hari.
Baginya pagi hari merupakan saat yang paling indah. Munculnya matahari seolah-olah membangkitkan
semangat, gairah dan tenaga kepada segala makluk di permukaan bumi. Akan tetapi, pagi hari itu dia ingin
sekali mengajak Sian Li bermain-main. Dia sudah mengambil keputusan untuk pergi, seperti yang
dikehendaki suhu dan subo-nya. Dia mengerti betapa beratnya bagi mereka untuk menyuruh dia pergi.
Maka dia harus membantu mereka. Dialah yang akan berpamit sehingga tak memberatkan hati mereka.
Pula, dia tidak mau kalau dititipkan di kuil mana pun juga. Kalau dia harus berpisah dari suhu dan subonya,
juga dari Sian Li yang dikasihinya, lebih baik dia berkelana dengan bebas dari pada harus berdiam di
dalam kuil seperti seekor burung dalam sangkar. Dan sebelum pergi, dia ingin sekali mengajak Sian Li
bermain-main, ingin menyenangkan hati adiknya itu untuk yang terakhir kalinya.
Dia mengajak Sian Li ke tepi sungai, tempat yang paling disenanginya karena tempat itu memang indah
sekali. Sunyi dan tenang. Mendengarkan burung berkicau dan air sungai berdendang dengan riak kecil,
sungguh amat merdu dan menyejukkan hati. Duduk di atas rumput di tepi sungai, menatap langit yang
sangat indah, langit di timur yang mulai kemerahan, serta mutiara-mutiara embun di setiap ujung daun. Tak
dapat digambarkan indahnya.
Dia duduk dan memangku Sian Li yang memandang ke arah air di sungai dengan wajah berseri. Dia
menunduk, mencium kepala anak itu. Betapa dia amat menyayang adiknya. Dicium kepalanya, Sian Li
memandang dan merangkulkan kedua lengannya yang kecil di leher Yo Han. Semenjak kecil ia diajar
menyebut suheng (kakak seperguruan) kepada Yo Han. Melihat kakaknya itu memandang kepadanya
dengan sepasang mata penuh kasih sayang, anak itu tersenyum.
“Aku sayang suheng...,” katanya lucu.
Yo Han mencium pipinya. “Aku pun sayang kepadamu, adikku...”
Hatinya terharu sekali karena dia dapat merasakan kasih sayang di antara mereka yang menggetarkan
hatinya. Dia harus berpisah dari anak ini! Bahkan karena adiknya inilah dia harus meninggalkan rumah
suhu-nya! Suhu dan subo-nya tidak ingin kelak Sian Li mencontoh sikap dan wataknya! Begitu burukkah
sikap dan wataknya?
Dia mengerti bahwa guru dan subo-nya amat kecewa karena dia tidak suka berlatih silat. Dan
membayangkan betapa adik yang bersih ini kelak menjadi seorang gadis yang perkasa, seperti ibunya
dulu, hidupnya penuh bahaya dan acaman musuh, hidup selalu waspada, membunuh atau dibunuh, ingin
dia menangis.
Adiknya ini akan menjadi pembunuh! Akan memenggal leher orang dengan pedangnya, atau menusukkan
pedang menembus dada dan jantung orang. Atau sebaliknya, disiksa dan dibunuh orang!
“Ihhh, Suheng... menangis?” anak itu memandang ketika dua titik air mata turun ke atas pipi kakaknya, dan
tangannya menyentuh air mata di pipi itu sehingga runtuh. Sentuhan lembut yang menggetarkan hati Yo
Han.
“Sian Li...” Dia merangkul, menyembunyikan mukanya di atas kepala anak itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suheng, Ayah dan Ibu melarang kita menangis...,” kata anak itu lagi. “Apakah Suheng menangis?”
Suaranya masih belum jelas dan terdengar lucu, tapi justru mengharukan sekali.
Yo Han mengeraskan hatinya dan diam-diam dia mengusap air matanya, kemudian dia membiarkan
adiknya dapat memandang mukanya yang tadi disembunyikan di rambut kepala Sian Li. Dia menggeleng.
“Aku tidak menangis, sayang.”
Anak itu tertawa dan alangkah manis dan lucunya kalau ia tertawa.
“Hore… Suheng tidak menangis. Suheng gagah perkasa!”
Yo Han merasa jantungnya seperti ditusuk. Anak sekecil ini sudah menghargai kegagah perkasaan! Anak
sekecil ini telah menjadi calon pendekar wanita, seorang calon hamba kekerasan! Sudah terbayang
olehnya kelak Sian Li menjadi seorang gadis yang selalu membawa pedang di belakang punggungnya.
Ia cepat dapat menguasai kesedihan dan keharuannya, dan teringat bahwa ia mengajak adiknya pagi ini ke
tepi sungai untuk bermain-main dan menyenangkan hati adiknya.
“Sian Li, sekarang katakan, engkau ingin apa? Katakan apa yang kau inginkan dan aku pasti akan
mengambilnya untukmu. Katakan, adikku sayang.” Yo Han membelai rambut kepala adiknya.
Sian Li berloncatan girang dan bertepuk tangan.
“Betul, Suheng? Engkau mau mengambilkan yang kuingini? Aku ingin itu, Suheng...” Ia menunjuk ke arah
pohon yang tumbuh dekat situ.
“Itu apa?” Yo Han memandang ke arah pohon itu. Pohon itu tidak berbunga. Apa yang diminta oleh Sian
Li? Daun?
“Itu yang merah ekornya...”
“Hee? Merah ekornya? Apa...?”
“Burung itu, Suheng. Cepat, nanti dia terbang lagi. Aku ingin memiliki burung itu...”
Yo Han menggaruk-garuk kepalanya. Bagaimana mungkin dia bisa menangkap burung yang berada di
pohon? Sebelum ditangkap, burung itu akan terbang.
“Aku tidak bisa, Sian Li. Burung itu punya sayap, pandai terbang, sedangkan aku... lihat, aku tak bersayap!”
Yo Han melucu sambil berdiri dan mengembangkan dua lengannya, seperti hendak terbang.
“Uhhh! Kalau Ayah atau Ibu, mudah saja menangkap burung di pohon. Suheng kan muridnya, masa tidak
bisa?”
Yo Han merangkul adiknya. “Sian Li, terang saja aku tidak bisa, dan juga, untuk apa burung ditangkap?
Biarkan dia terbang bebas. Kasihan kalau ditangkap lalu dimasukkan sangkar. Itu menyiksa namanya,
kejam. Kita tidak boleh menyiksa makhluk lain, adikku sayang...”
“Uuuuh... Suheng...! Kalau begitu, ambilkan saja itu yang mudah. Itu tuh, yang kuning dan biru...”
Yo Han mengerutkan alisnya melihat adiknya menunjuk ke arah serumpun bunga yang berwarna merah.
Yang diminta, yang berwarna kuning dan biru. Itu bukan warna bunga, tetapi warna beberapa ekor kupukupu
yang beterbangan di sekeliling rumpun bunga itu. Adiknya minta dia menangkapkan seekor kupu
kuning dan seekor kupu biru!
Memang mudah, akan tetapi dia pun tidak suka melakukan itu. Dia tidak suka menyiksa manusia mau pun
binatang, apa lagi kupu-kupu, binatang yang demikian indah dan tak pernah melakukan kesalahan apa
pun. Akan tetapi, untuk menolak lagi permintaan Sian Li, dia pun tidak tega. Maka dia pun pura-pura
mengejar kupu-kupu yang beterbangan dengan panik, pura-pura mencoba untuk menangkap dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
kedua tangannya namun tidak berhasil, dan sebagai gantinya, dia memetik beberapa tangkai bunga merah
dan memberikan itu kepada adiknya.
“Wah, kupu-kupunya terbang. Ini saja gantinya, Sian Li. Kembang ini indah sekali. Kalau dipasang di
rambutmu, engkau akan bertambah manis.”
“Tidak mau...! Aku tidak mau kembang. Aku ingin burung dan kupu-kupu. Aihh... Suheng nakal. Aku mau
kupu-kupu dan burung...” Sian Li lalu membanting-banting kaki dengan manja dan mulai menangis.
Yo Han menjatuhkan diri berlutut dan merangkul adiknya. “Dengarlah baik-baik, adikku sayang. Apakah
engkau mau dikurung dalam kurungan, dan apakah engkau mau kalau kaki tanganmu dibuntungi?”
Mendengar ini, Sian Li terheran. Dengan pipi basah air mata ia memandang kakaknya, tidak mengerti.
“Kau tentu tidak mau bukan?”
Sian Li menggelengkan kepala, masih terheran-heran kenapa kakaknya yang biasanya sangat sayang
kepadanya dan memanjakannya, kini hendak mengurung dan bahkan membuntungi kaki tangannya!
“Bagus kalau engkau tidak mau! Nah, sama saja, adikku sayang. Engkau tidak mau ditangkap dan
dikurung, burung itu pun akan susah sekali kalau kau tangkap dan kau masukkan sangkar, dikurung dan
tidak boleh terbang bermain-main dengan teman-temannya. Engkau tidak mau dibuntungi kaki tanganmu,
juga kupu-kupu itu tidak suka dan merasa kesakitan dan susah kalau sayapnya dipatahkan, kakinya
dibuntungi. Kita tidak boleh menyiksa binatang yang tidak bersalah apa-apa, adikku sayang. Kubikinkan
boneka tanah liat saja, ya?”
Akan tetapi Sian Li yang manja masih membanting-banting kaki dan mulutnya cemberut, walau pun tidak
menangis lagi. “Suheng, katanya engkau mau... mau memenuhi semua permintaanku, ternyata semua
permintaanku kau tolak...”
Pada saat itulah nampak berkelebat bayangan merah, dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang
wanita yang pakaiannya serba merah! Pakaian berwarna merah ini segera menarik perhatian Yo Han
karena adiknya pun sejak hari ulang tahun ke empat itu setiap hari juga memakai pakaian merah! Jadi di
situ sekarang berada seorang anak perempuan empat tahun yang pakaiannya serba merah, beserta
seorang wanita cantik yang juga pakaiannya berwarna merah. Yo Han memandang penuh perhatian.
Ia seorang wanita yang berwajah cantik. Tubuhnya tinggi semampai, dengan pinggang yang kecil dan
pinggul besar seperti tubuh seekor kumbang. Usianya kurang lebih tiga puluh tahun kalau melihat wajah
dan bentuk badannya, pada hal sesungguhnya dia sudah berusia empat puluh tahun!
Wajahnya bundar dan putih dilapisi bedak, pemerah bibir dan pipi, juga penghitam alis. Rambutnya
digelung ke atas model gelung para puteri bangsawan. Pakaiannya yang serba merah itu terbuat dari
sutera yang mahal dan halus dan selain pesolek, wanita itu pun rapi dan bersih, bahkan sepatunya yang
terbuat dari kulit merah itu pun mengkilap. Di punggungnya nampak sebatang pedang dengan sarung
berukir indah dengan ronce-ronce biru yang menyolok karena warna pakaiannya yang merah.
“Heii, anak baju merah, engkau manis sekali!” Wanita itu berseru dan suaranya merdu. “Engkau minta
burung dan kupu-kupu? Mudah sekali, aku akan menangkapkan burung dan kupu-kupu untukmu. Lihat!”
Wanita itu melihat ke atas. Ada beberapa ekor burung terbang meninggalkan pohon besar dan ada yang
lewat di atas kepalanya. Wanita itu menggerakkan tangan kiri ke arah burung yang terbang lewat, seperti
menggapai dan... burung itu mengeluarkan teriakan lalu jatuh seperti sebuah batu ke bawah, disambut oleh
tangan kiri wanita itu.
“Nah, ini burung yang kau inginkan, bukan?” Ia memberikan burung berekor merah yang kecil itu kepada
Sian Li yang menerimanya dengan gembira sekali.
Yo Han mengerutkan alisnya ketika mendekat dan ikut melihat burung kecil yang berada di tangan adiknya.
Kini burung itu tidak dapat terbang lagi, dan ketika mencoba untuk menggerak-gerakkan kedua sayap
kecilnya, kedua sayap itu seperti lumpuh dan ada sedikit darah. Tahulah dia bahwa sayap burung itu
terluka entah oleh apa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini dia menoleh dan melihat wanita itu menggerakkan kedua tangannya ke arah dua ekor kupu-kupu yang
beterbangan. Ada angin menyambar dari kedua telapak tangan itu dan dua ekor kupu-kupu itu bagai
disedot dan ditangkap oleh dua tangan itu, kemudian diberikan pula kepada Sian Li.
“Nah, ini dua ekor kupu-kupu yang kau inginkan, bukan?”
Sian Li girang sekali. “Kupu-kupu indah! Burung cantik...!” Ia sudah sibuk dengan seekor burung dan dua
ekor kupu-kupu yang dipegangnya.
“Adik Sian Li, mari kita pergi dari sini!” kata Yo Han tak senang.
Dia hendak menggandeng lengan adiknya. Akan tetapi, mendadak tubuh Sian Li seperti terbang ke atas
dan tahu-tahu sudah berada di dalam pondongan wanita itu. Sian Li terpekik gembira ketika tubuhnya
melayang ke atas.
“Suheng, aku dapat terbang...!” teriaknya gembira.
Wanita berpakaian merah itu tersenyum dan wajahnya nampak semakin muda ketika ia tersenyum. “Ya,
engkau ikut saja dengan aku, anak manis, dan aku akan mengajarmu terbang, juga menangkap banyak
burung dan kupu-kupu. Engkau suka, bukan?”
“Aku suka! Aku senang...!”
“Sian Li, turun dan mari kita pulang,” Yo Han berkata lagi.
“Tidak, aku ingin ikut bibi ini, menangkap burung dan kupu-kupu, juga belajar terbang!”
“Sian Li...”
Wanita itu mengeluarkan suara ketawa mengejek. “Anak yang baik, jadi namamu Sian Li (Dewi)? Nah, mari
kita terbang seperti bidadari-bidadari baju merah, hi-hi-hik!”
Yang nampak oleh Yo Han hanyalah bayangan merah berkelebat, dan yang tertinggal hanya suara ketawa
merdu wanita itu yang bergema dan kemudian lenyap pula. Wanita berpakaian merah itu bersama Sian Li
telah lenyap dari depannya, seolah-olah mereka benar-benar telah terbang melayang, atau menghilang
dengan amat cepatnya.
“Sian Li...! Bibi baju merah, kembalikan Sian Li kepadaku!”
Yo Han berlari ke sana-sini, berteriak-teriak, akan tetapi adiknya tetap tak kembali, juga wanita yang
melarikannya itu tak kembali. Terpaksa Yo Han lalu cepat berlari kencang, sekuat tenaga, pulang ke rumah
gurunya.
Sin Hong dan Hong Li terkejut melihat murid mereka itu berlari-lari pulang tanpa Sian Li dan dari wajahnya,
nampak betapa murid mereka itu dalam keadaan amat tegang dan napasnya terengah-engah karena dia
telah berlari-lari secepatnya.
“Yo Han, ada apakah?” Sin Hong menagur muridnya.
“Yo Han, di mana Sian Li?” Hong Li bertanya dengan mata dibuka lebar, mata seorang ibu yang gelisah
mengkhawatirkan anaknya.
“Suhu, Subo... adik Sian Li... ia dilarikan seorang wanita berpakaian merah...,” kata Yo Han dengan napas
masih terengah-engah.
Suami isteri itu sekali bergerak sudah meloncat dan memegang lengan Yo Han dari kanan kiri.
“Apa? Apa yang terjadi? Ceritakan, cepat!” bentak Sin Hong.
“Teecu sedang bermain-main dengan adik Sian Li di tepi sungai ketika tiba-tiba muncul seorang wanita
berpakaian merah. Ia menangkapkan burung dan kupu-kupu untuk Sian Li, kemudian ia memondong adik
Sian Li dan menghilang begitu saja.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Seperti apa wajah wanita itu? Berapa usianya?” tanya Hong Li, wajahnya berubah dan matanya
menyinarkan kemarahan.
“Ia berusia kurang lebih tiga puluh tahun, Subo. Semua pakaiannya berwarna merah, sampai sepatunya.
Wajahnya cantik pesolek, di punggungnya nampak pedang dengan ronce biru...”
“Ke mana larinya?” tanya Sin Hong.
“Teecu tidak tahu, Suhu. Setelah memondong adik Sian Li, dia lalu menghilang begitu saja, teecu tidak
tahu ke arah mana dia lari...”
“Inilah jadinya kalau punya murid tolol!” Tiba-tiba Hong Li berteriak marah. “Lima tahun menjadi murid,
sedikit pun tidak ada gunanya. Kalau engkau berlatih silat dengan baik, sedikitnya engkau tentu akan dapat
melindungi Sian Li dan anakku tidak diculik orang. Anak bodoh, sombong...!”
”Suhu dan Subo, teecu pasti bertanggung jawab! Teecu akan mencari adik Sian Li dan membawanya
pulang. Teecu tidak akan kembali sebelum berhasil menemukan dan membawa pulang adik Sian Li!” Yo
Han berseru, menahan air matanya dan mengepal kedua tangannya.
Akan tetapi Sin Hong sudah berseru kepada isterinya, “Tidak perlu ribut, mari kita cepat pergi mengejar
penculik itu!” Seruan ini disusul berkelebatnya dua orang suami isteri pendekar itu dan dalam sekejap mata
saja mereka lenyap dari depan Yo Han.
Yo Han tertegun sejenak, kemudian sambil menahan isaknya, dia pun lari keluar dari rumah. Dia tidak tahu
harus mengejar ke mana, akan tetapi dia tidak peduli dan dia membiarkan kedua kakinya yang berlari
cepat itu membawa dirinya pergi keluar kota Ta-tung, entah ke mana!
Sin Hong dan Hong Li berlari cepat menuju ke tepi sungai, kemudian mereka mencari-cari, menyusuri
sungai. Namun, usaha mereka tak berhasil. Anak mereka lenyap tanpa meninggalkan jejak! Tentu saja
mereka merasa gelisah sekali.
“Bocah sial itu harus diajak ke sini agar dia menunjukkan ke mana larinya penculik itu dan di mana
peristiwa itu terjadi. Kau mencari dulu di sini, aku mau mengajak Yo Han ke sini!” kata Hong Li dan ia pun
sudah meninggalkan suaminya, pulang ke rumah untuk mengajak Yo Han ke tepi sungai.
Akan tetapi setelah tiba di rumah, ia tidak lagi melihat Yo Han! Dicari dan dipanggilnya murid itu, namun Yo
Han tidak ada dan nyonya muda ini pun teringat akan teriakan Yo Han yang akan bertanggung jawab dan
akan mencari Sian Li sampai dapat! Terpaksa Hong Li kembali lagi ke tepi sungai.
“Dia... dia tidak ada di rumah...!” katanya.
Sin Hong mengangguk-angguk. “Sudah kuduga. Tentu dia sudah pergi untuk memenuhi janjinya tadi. Dan
dia pasti tidak akan pernah datang kembali sebelum menemukan dan mengajak Sian Li pulang.”
“Uhh, dia mau bisa apa?” Hong Li berseru, marah dan gelisah. “Bagaimana dia akan mampu mengejar
penculik yang berilmu tinggi, apa lagi merampas kembali anak kita?” Wanita itu mengeluh dan hampir
menangis. “Sian Li... ahhh, di mana kau...?”
“Mari kita cari lagi!” kata Sin Hong, tidak mau membiarkan isterinya dilanda kegelisahan dan kedukaan.
Mereka lalu mencari-cari di sekitar daerah itu, mencari jejak, namun sia-sia belaka. Anak mereka lenyap
tanpa meninggalkan jejak dan semua orang yang mereka jumpai dan mereka tanyai, tidak ada seorang
pun yang melihat anak mereka atau wanita berpakaian serba merah seperti yang diceritakan Yo Han tadi.
Setelah hari larut malam mereka terpaksa pulang. Sampai di rumah Hong Li menangis, dan suaminya
hanya dapat menghiburnya.
“Tenangkan hatimu. Kurasa penculik itu tidak berniat mengganggu anak kita. Kalau wanita penculik itu
musuh kita dan ingin membalas dendam, tentu ia sudah membunuh anak kita di waktu itu juga. Akan
tetapi, ia membawanya pergi dan menurut keterangan Yo Han, ia bahkan bersikap baik, menangkapkan
burung dan kupu-kupu untuk Sian Li.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dihibur demikian, Hong Li menyusut air matanya dan memandang kepada suaminya. “Kau kira siapakah
wanita berpakaian merah itu?”
Sin Hong menggeleng kepalanya. “Sudah kupikirkan dan kuingat-ingat, tetapi rasanya belum pernah aku
mempunyai musuh seorang wanita berpakaian serba merah. Apa lagi usianya baru sekitar tiga puluh
tahun. Engkau tahu sendiri, tokoh wanita sesat di dunia kang-ouw yang pernah menjadi musuhku, bahkan
yang tewas di tanganku, hanyalah Sin-kiam Mo-li. Tentu ia seorang tokoh baru dalam dunia kang-ouw,
bahkan kita tidak tahu apakah dia termasuk tokoh sesat ataukah seorang pendekar yang merasa suka
kepada anak kita.”
“Tak mungkin seorang pendekar wanita menculik anak orang!” Hong Li berkata. “Hemm, terkutuk orang itu.
Kalau sampai kutemukan dia, akan kuhancurkan kepalanya! Ehhh, jangan-jangan bekas isterimu yang
melakukan itu...“
Sin Hong memandang isterinya. Dia tahu bahwa pertanyaan itu bukan terdorong oleh cemburu, tetapi oleh
kegelisahan yang membuat jalan pikiran isterinya menjadi kacau. Dia menikah dengan Hong Li sebagai
seorang duda, akan tetapi juga Hong Li seorang janda. Mereka telah mengetahui keadaan masing-masing,
dan mereka pun sudah saling menceritakan riwayat mereka dan nasib buruk mereka dalam pernikahan
pertama itu.
“Tidak mungkin Bhe Siang Cun yang melakukannya,” kata Sin Hong sambil menggeleng kepala. “Usianya
sekarang baru kurang lebih dua puluh empat tahun, dan juga ia tidak berpakaian merah. Pula, ia tidak akan
berani melakukan hal itu. Ia bukan penjahat dan tidak ada alasan baginya untuk mengganggu kita. Tidak,
dugaan itu menyimpang jauh. Coba kau ingat baik-baik, mungkin pernah engkau dahulu bermusuhan
dengan seorang tokoh sesat yang berpakaian merah?”
Hong Li mengingat-ingat. Bekas suaminya jelas tak dapat dicurigai. Bekas suaminya itu, Thio Hui Kong,
adalah putera seorang jaksa yang adil dan jujur. Juga tiada alasan bagi Thio Hui Kong untuk
mengganggunya. Mereka telah bercerai.
Tokoh jahat berpakaian merah? Rasanya ia belum pernah menemui wanita berpakaian merah dalam
semua pengalamannya ketika masih sebagai seorang pendekar wanita. Pakaian merah?
Tiba-tiba ia meloncat berdiri. “Ahh...!” Ia teringat.
“Engkau ingat sesuatu?” Suaminya bertanya.
“Memang ada tokoh sesat berpakaian merah, akan tetapi bukan wanita. Kau ingat Ang-I Mo-pang
(Perkumpulan Iblis Baju Merah)? Tokoh yang terakhir, Ang-I Siauw-mo (Iblis Kecil Baju Merah) tewas di
tanganku!”
Sin Hong mengerutkan alisnya. “Hemmm... Ang-I Mo-pang? Bukankah dulu sarangnya berada di luar kota
Kunming, di Propinsi Hu-nan? Tapi, Ang-I Mo-pang sudah hancur dan rasanya tidak ada tokohnya yang
wanita dan yang lihai...”
“Betapa pun juga, itu sudah merupakan suatu petunjuk. Dari pada kita meraba-raba di dalam gelap. Aku
akan pergi ke Kunming, menyelidiki mereka. Siapa tahu penculik itu datang dari sana. Ang-I Mo-pang
memang beralasan cukup kuat untuk memusuhiku dan mendendam kepadaku. Aku akan berangkat besok
pagi-pagi!”
“Nanti dulu, Li-moi. Jangan tergesa-gesa. Kemungkinannya kecil saja, walau pun aku juga setuju kalau kita
menyelidik ke sana. Akan tetapi kita tunggu dulu beberapa hari. Kita menanti kembalinya Yo Han. Siapa
tahu dia berhasil...“
“Bocah sombong itu? Mana mungkin? Kalau kita berdua tidak berhasil, bagaimana anak tolol itu akan
berhasil? Dialah biang keladinya sehingga anak kita diculik orang!”
“Li-moi, tenanglah dan di mana kebijaksanaanmu? Bagaimana pun juga, kita tidak dapat menyalahkan Yo
Han. Andai kata dia telah menguasai ilmu silat, kepandaiannya itu pun belum matang. Apa artinya seorang
anak berusia dua belas tahun menghadapi seorang penculik yang lihai? Andai kata Yo Han pernah latihan
ilmu silat, tetap saja dia tidak akan mampu melindungi Sian Li.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Akan tetapi, apa perlunya kita menunggu beberapa hari? Dia tidak akan berhasil, dan penculik itu akan
semakin jauh...”
“Kita lihat saja, Li-moi. Lupakah engkau betapa banyak hal-hal aneh dilakukan Yo Han? Kita tunggu
sampai tiga hari. Kalau dia belum pulang maka kita akan segera berangkat ke Kunming, menyelidiki ke
sana. Bahkan kalau di sana pun kita gagal, kita terus akan melakukan pelacakan. Akan kutanyakan pada
semua tokoh kang-ouw tentang seorang wanita yang berpakaian merah seperti yang digambarkan Yo Han
tadi.”
Akhirnya, dengan air mata berlinang di kedua matanya, Hong Li menyetujui keinginan suaminya. Akan
tetapi, jelas bahwa semalaman itu mereka tidak mampu tidur pulas.
********************
“Tidak mau! Aku ingin pulang... aku ingin Ayah dan Ibu, aku ingin pulang...!” Anak itu merengek-rengek dan
suara rengekannya keluar dari dalam kuil tua di lereng bukit yang sunyi itu.
Wanita berpakaian merah itu mengelus kepala Sian Li. “Sian Li, engkau bidadari kecil berpakaian merah
yang manis, tidak patut kalau engkau menangis...”
“Aku tidak menangis!” Anak itu membantah. Dan memang tidak ada air mata keluar dari matanya. Ia hanya
merengek, membanting kaki dan cemberut. “Aku ingin pulang, aku ingin tidur di kamarku sendiri, tidak di
tempat jelek ini. Baunya tidak enak!”
“Bukankah engkau senang ikut denganku, Sian Li? Tadi engkau gembira sekali! Kenapa sekarang minta
pulang?” Wanita itu mencoba untuk membujuk.
“Aku ingin ikut sebentar saja, bukan sampai malam. Aku ingin dekat Ayah dan Ibu. Mari antarkan aku
pulang, Bibi.”
“Hemm, baiklah. Nanti kuantar, sini duduk di pangkuan Bibi, sayang. Engkau anak baik, engkau anak
manis, engkau bidadari kecil merah...“
Ketika wanita itu meraih Sian Li dan dipangkunya, jari tangannya menekan tengkuk dan anak itu pun
terkulai, seketika pingsan atau tertidur. Wanita itu lalu merebahkan Sian Li di atas lantai yang bertilamkan
daun-daun kering dan memandang wajah anak itu yang tertimpa sinar api unggun yang dibuatnya. Dia pun
tersenyum.
“Anak manis... ahh, pantas sekali menjadi anakku atau muridku... aku berbahagia sekali mendapatkanmu,
sayang...”
Siapakah wanita berpakaian merah ini? Di daerah Propinsi Hu-nan, namanya sudah dikenal oleh seluruh
dunia kang-ouw, terutama golongan sesatnya. Selama beberapa tahun ini, ia merupakan seorang tokoh
kang-ouw yang baru muncul, namun namanya segera tersohor karena kelihaiannya.
Orang-orang di dunia persilatan mengenal nama julukannya saja, yaitu Ang-I Moli (Iblis Wanita Baju
Merah). Namanya yang tak pernah dikenal orang adalah Tee Kui Cu dan ia tidaklah semuda nampaknya.
Usianya sudah empat puluh tahun!
Ia memang cantik manis, ditambah pesolek dengan riasan muka yang tebal, maka ia nampak berusia tiga
puluh tahun. Wajahnya selalu putih karena bedak, bibir dan pipinya merah karena yan-ci, dan alis mata,
juga bulu mata, hitam karena penghitam rambut.
Dugaan Kao Hong Li tentang Ang-I Mo-pang yang hanya merupakan dugaan raba-raba itu memang tepat.
Ada hubungan dekat sekali antara Ang-I Moli Tee Kui Cu dengan Ang-I Mo-pang, perkumpulan yang
pernah dibasmi oleh Kao Hong Li dan para pendekar itu. Wanita berpakaian serba merah ini adalah adik
dari mendiang Tee Kok, yang dulu pernah menjadi ketua Ang-I Mo-pang.
Ketika Ang-I Mo-pang terbasmi oleh para pendekar, Tee Kui Cu dapat lolos dan ia pun mencari guru-guru
yang pandai. Ia berhasil menyusup dan menjadi tokoh Pek-lian-kauw di mana ia mempelajari banyak
macam ilmu silat, ilmu tentang racun dan obat, juga mempelajari ilmu sihir yang dikuasai oleh para tokoh
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek-lian-kauw. Setelah merasa dirinya memperoleh ilmu yang cukup tinggi, ia meninggalkan Pek-lian-kauw
dan ia pun kembali ke Kunming, mengumpulkan para bekas anggota Ang-I Mo-pang yang masih hidup, Ia
lalu membangun tempat perkumpulan itu, dia mengangkat diri sendiri menjadi ketua!
Demikianlah riwayat singkat Ang-I Moli Tee Kui Cu. Ia terkenal sebagai seorang ketua yang pandai
menyenangkan hati para anak buahnya, memimpin kurang lebih lima puluh orang anggota Ang-I Mo-pang,
dan hidup sebagai seorang ketua yang kaya.
Dia pun gemar sekali merantau, meninggalkan perkumpulan dalam pengurusan para pembantunya, dan ia
sendiri berkelana sampai jauh, bukan hanya mencari pengalaman, melainkan juga untuk bertualang,
mencari harta, mencari pria karena dia merupakan seorang wanita yang selalu haus oleh nafsu-nafsunya.
Dan pada pagi hari itu, tanpa disengaja dia melihat Sian Li. Melihat anak perempuan berusia empat tahun
yang mungil dan manis itu, dan terutama sekali melihat anak itu mengenakan pakaian serba merah, yaitu
warna kesukaannya dan bahkan warna yang menjadi lambang dari perkumpulannya, hatinya tertarik dan
suka sekali. Ia lalu menculik Sian Li dengan niat mengambil anak perempuan itu sebagai anaknya,
sekaligus juga muridnya.
Dengan sikap menyayang ia mengeluarkan selimut dan menyelimuti tubuh Sian Li yang sudah pulas atau
pingsan oleh tekanan jarinya, pada jalan darah di tengkuk anak itu. Kemudian ia menambahkan kayu bakar
pada api unggun yang dibuatnya di dalam kuil tua kosong itu, api unggun yang perlu sekali untuk mengusir
nyamuk dan hawa dingin.
Mendadak, pendengarannya yang tajam terlatih menangkap sesuatu. Ia pun melompat bangun. Sebagai
seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, ia tabah sekali dan tidak tergesa mengeluarkan
pedangnya sebelum diketahui benar siapa yang datang memasuki kuil pada waktu itu.
Sesosok bayangan muncul, memasuki ruang kuil di mana Ang-I Moli berada. Bayangan itu tidak berindapindap,
melainkan langsung saja melangkah dengan langkah kaki berat menghampiri ruangan. Ketika
bayangan itu muncul, ternyata dia adalah Yo Han yang memasuki ruangan dengan langkah gontai agak
terhuyung karena kelelahan!
“Ahh, kiranya engkau...!” Ang-I Moli berkata dengan hati lega.
Akan tetapi ia juga memandang heran. Bagaimana anak laki-laki ini bisa menyusulnya? Bagaimana dapat
membayanginya dan tahu bahwa ia berada di kuil tua itu?
Yo Han sendiri tidak mengerti dan tidak mampu menjawab kalau pertanyaan itu diajukan kepadanya.
Ketika dia lari meninggalkan rumah suhu-nya, dia tidak mempunyai tujuan. Dia tidak tahu ke mana harus
mencari penculik Sian Li. Maka dia pun membiarkan dirinya terbawa oleh sepasang kakinya yang berlari.
Dia tidak sadar lagi bahwa dia bukan berlari menuju ke tepi sungai di mana adiknya tadi diculik orang,
bahkan dia lari keluar dari kota Ta-tung dengan arah yang berlawanan dengan tepi sungai itu! Dia berlari
terus sampai akhirnya dia tiba di tepi sungai lagi, akan tetapi bukan di tempat tadi Sian Li diculik orang.
Dan dia berlari terus, menyusuri sepanjang tepi sungai, ke atas. Setelah matahari naik tinggi, dia pun
terguling ke atas lapangan rumput di tepi sungai dan langsung saja dia tertidur. Tubuhnya tidak kuat
menahan karena dia berlari terus sejak tadi tanpa berhenti.
Setelah dia terbangun, matahari sudah condong ke barat. Dan begitu bangun, dia ingat bahwa dia harus
mencari Sian Li. Dia bangkit lagi dan kembali kedua kakinya berlari, tanpa tujuan akan tetapi makin
mendekati sebuah bukit yang berada jauh di depan.
Dia tidak peduli ke mana kakinya membawa dirinya. Kesadarannya hanya satu, yakni bahwa dia harus
dapat menemukan kembali Sian Li dan yang teringat olehnya hanyalah bahwa jika Tuhan memang
menghendaki, ia pasti akan dapat mengajak Sian Li pulang! Keyakinan ini timbul semenjak dia kecil, sejak
dia dapat membaca dan mengenal akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan melalui bacaan.
Yang ada hanya kewaspadaan, yang ada hanya kepasrahan. Tiada aku yang waspada, tiada aku yang
pasrah. Selama ada ‘aku’, kewaspadaan dan kepasrahan itu hanyalah suatu cara untuk memperoleh
sesuatu. Aku adalah ingatan, aku adalah nafsu dan aku selamanya berkeinginan, berpamrih.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau nafsu yang memegang kemudi, apa pun yang kita lakukan hanya merupakan cara mencapai sesuatu
yang kita inginkan, dan karenanya mendatangkan pertentangan dan kesengsaraan. Senang susah bersilih
ganti, puas kecewa saling berkejaran, rasa takut atau khawatir selalu membayangi hidup. Takut
kehilangan, takut gagal, takut menderita takut sakit, takut mati. Kegelisahan menghantui pikiran.
Kepasrahan yang wajar, bukan dibuat-buat oleh si-aku, kepasrahan akan segala yang sudah, sedang dan
akan terjadi, menyerah dengan tawakal sabar dan ikhlas terhadap kekuasaan Tuhan, berarti kembali
kepada kodratnya.
Yo Han terus berjalan, kadang berlari mendaki bukit dan ketika dia tiba di lereng bukit, malam pun tiba. Dia
melihat kuil tua itu, dan ketika dia menghampiri, dia melihat pula sinar api unggun dari dalam kuil. Ia
memasuki ruangan itu dan... ia melihat Sian Li dan wanita berpakaian merah. Sian Li sudah tidur
berselimut, dan wanita berpakaian merah itu berdiri dan menatapnya dengan sinar mata tajam!
Sejenak mereka berpandangan dan wanita itu terkekeh geli. “Ah, kiranya engkau? Bagai mana engkau
dapat menyusulku ke sini? Dan mau apa engkau mengejar aku?”
Yo Han menarik napas panjang, terasa amat lega hatinya. Begitu dia dapat menemukan Sian Li, seolah dia
baru bangun dari tidur yang penuh mimpi. Baru sekarang dia merasa betapa dingin dan lelah tubuhnya.
Dengan kedua kaki lemas dia pun menjatuhkan diri, duduk di atas rumput kering, dekat api unggun.
“Bibi yang baik, kenapa engkau melakukan ini? Apa yang kau lakukan ini sungguh tidak baik,
menyengsarakan orang lain dan juga amat membahayakan diri Bibi sendiri,” kata-katanya lirih namun jelas
dan dia memandang ke arah api unggun, di mana lidah-lidah api merah kuning menari-nari dan menjilatjilat.
Ang-I Moli juga duduk lagi bersila dekat api unggun, menatap wajah anak laki-laki itu dengan penuh
keheranan dan keinginan tahu, juga kagum karena anak itu bersikap demikian tenang dan dewasa, bahkan
begitu datang mengeluarkan ucapan lembut yang seperti menegur dan menggurui!
“Bocah aneh, apa maksud kata-katamu itu?” tanyanya, ingin sekali tahu selanjutnya apa yang akan
dikatakan anak yang bersikap demikian tenang saja.
Bagaimana ia tidak akan merasa heran melihat seorang anak belasan tahun berani menghadapinya
setenang itu, padahal anak itu mengejar ia yang melarikan adiknya? Orang dewasa pun, bahkan orang
yang memiliki kepandaian pun, akan gemetar kalau berhadapan dengannya. Akan tetapi anak ini tenang
saja, bahkan menegurnya.
“Bibi, kenapa engkau melarikan adikku Sian Li ini? Itu namanya menculik, dan itu tidak baik sama sekali.
Bibi membikin susah ayah dan ibu anak ini, juga menyengsarakan aku yang menerima teguran. Apakah
Bibi sudah berpikir baik-baik bahwa perbuatan Bibi ini sungguh keliru sekali?”
Tokoh kang-ouw yang di juluki Iblis Betina (Moli) itu bengong! Akan tetapi juga kagum akan keberanian
anak ini, dan juga merasa geli. Alangkah lucunya kalau di situ hadir orang-orang kang-ouw mendengar ia
ditegur dan diwejangi oleh seorang anak laki-laki yang berusia paling banyak dua belas tahun! Ia menahan
kegelian hati yang membuat ia ingin tertawa terpingkal-pingkal, lalu bertanya lagi,
“Dan apa yang kau maksudkan dengan perbuatanku ini membahayakan diriku sendiri?”
“Bibi yang baik, engkau tidak tahu siapa anak yang kau larikan ini. Ayah dan ibunya kini mencari-carimu, ke
mana pun engkau pergi, akhirnya mereka akan dapat menemukan dirimu dan kalau sudah begitu, siapa
yang berani menanggung keselematanmu?”
Ang-I Moli tidak dapat menahan geli hatinya lagi. Dia tertawa terkekeh-kekeh sampai kedua matanya
menjadi basah air mata. “Hi-hi-he-he-heh! Kau berani menggertak dan menakut-nakuti aku? Aku suka
kepada Sian Li, aku mau mengambil sebagai anakku, sebagai muridku Aku tidak takut menghadapi siapa
pun juga. Lalu engkau menyusulku ke sini mau apa?”
“Bibi, untuk apa membawa Sian Li yang masih kecil ini? Hanya akan merepotkanmu saja. Ia manja, bengal
dan bandel, tentu hanya akan membuat Bibi repot dan banyak jengkel. Kalau Bibi membutuhkan seorang
yang dapat membantu Bibi dalam pekerjaan rumah tangga atau mau mengambil murid, biarlah kugantikan
saja. Jangan Sian Li yang masih terlalu kecil. Sebagai pengganti Sian Li, saya akan mengerjakan apa saja
yang Bibi perintahkan. Akan tetapi Sian Li harus dikembalikan kepada Suhu dan Subo.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Oooo, jadi ayah ibu anak ini adalah suhu dan subo-mu? Sian Li bukan adikmu sendiri?”
“Ia adalah sumoi-ku (adik seperguruan), Bibi.”
“Hemm, menurut engkau, jika suhu dan subo-mu dapat mengejarku, aku berada dalam bahaya.
Begitukah?” Ia tersenyum mengejek. Tentu saja ia tidak takut akan ancaman orang tua anak perempuan
yang diculiknya.
“Aku tidak menakut-nakutimu, Bibi. Suhu dan Subo adalah dua orang yang mempunyai kepandaian silat
tinggi, merupakan suami isteri pendekar yang sakti!”
“Ehhh? Dan engkau murid mereka, menangkap kupu-kupu saja tidak becus? Hi-hi-hik!” Wanita itu tertawa
geli.
Yo Han tidak merasa malu, hanya memandang dengan sikap sungguh-sungguh. “Aku memang tidak
belajar silat dari mereka, melainkan kepandaian lain yang lebih berguna. Tetapi aku tidak berbohong.
Mereka sangat lihai, Bibi, dan engkau bukanlah tandingan mereka.”
Ang-I Moli menjadi marah bukan main. Ucapan yang terakhir itu langsung menyinggung keangkuhannya
dan dianggap merendahkan, bahkan amat menghina. Sekali bergerak, ia sudah berada di dekat Yo Han
dan mencengkeram pundak anak itu.
Yo Han merasa pundaknya nyeri sekali, akan tetapi sedikit pun dia tidak mengeluh atau menggerakkan
tubuhnya, seolah cengkeraman itu tidak terasa sama sekali.
“Bocah sombong! Sekali aku menggerakkan tangan ini, lehermu dapat kupatahkan dan nyawamu akan
melayang!”
Wanita berpakaian serba merah itu diam-diam merasa heran bukan main. Anak yang pundaknya telah
dicengkeramnya itu sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut. Masih tenang-tenang saja seperti tak
terjadi apa-apa, bahkan suaranya pun masih tenang dan penuh teguran dan nasehat.
“Nyawaku berada di tangan Tuhan, Bibi. Engkau berhasil membunuhku atau tidak, kalau engkau tak
mengembalikan Sian Li, sama saja. Engkau akan mengalami kehancuran di tangan Suhu dan Subo.
Sebaliknya jika engkau mengembalikan Sian Li, kemudian mau menerima aku sebagai gantinya, maka aku
dapat minta kepada Suhu dan Subo untuk menghabiskan perkara penculikan Sian Li.”
Ang-I Moli yang telah menjadi marah dan tersinggung, hendak menggunakan tangannya mencengkerem
leher anak itu dan membunuhnya. Akan tetapi pada waktu tangannya mencengkeram pundak, ia
merasakan sesuatu yang aneh. Ada getaran dalam pundak itu, getaran yang lembut akan tetapi
mengandung kekuatan dahsyat yang membuat ia merasa seluruh tubuhnya tergetar pula.
Ia merasa heran, lalu menggunakan jari-jari tangannya untuk memeriksa tubuh anak itu. Dirabanya leher,
pundak, dada dan punggung dan ia semakin terheran-heran. Anak ini memiliki tulang yang kokoh kuat dan
jalan darahnya demikian sempurna. Inilah seorang anak yang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Belum
tentu dalam sepuluh ribu orang anak menemukan seorang saja seperti ini!
Tubuh yang agaknya memang khusus diciptakan untuk menjadi seorang ahli silat yang hebat. Dan
wataknya demikian teguh, tenang dan penuh keberanian. Akan tetapi anak ini mengaku tidak mempelajari
ilmu silat!
Walau pun demikian, anak ini mengatakan bahwa suhu dan subo-nya adalah dua orang sakti! Kiranya
bukan bualan kosong saja karena hanya orang orang sakti yang dapat memilih seorang murid dengan
bentuk tulang, jalan darah dan sikap sehebat anak ini.
“Brrttt...!”
Sekali menggerakkan kedua tangan, baju yang dipakai anak itu robek dan direnggutnya lepas dari badan.
Kini Yo Han bertelanjang dada. Ang-I Moli bukan hanya meraba-raba, kini juga melihat bentuk dada itu.
Dan ia terpesona. Bukan main!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia tadi sudah memeriksa keadaan tubuh Sian Li. Memang seorang anak yang memiliki tubuh baik pula,
bertulang baik berdarah bersih. Akan tetapi dibandingkan anak laki-laki ini, jauh bedanya, tidak ada artinya
lagi!
“Anak yang aneh,” katanya sambil tangannya masih meraba-raba dada dan punggung yang telanjang itu.
“Siapa namamu?”
“Aku she Yo, namaku Han.”
“Yo Han...? Siapa orang tuamu?”
“Aku yatim piatu. Pengganti orang tuaku adalah Suhu dan Subo.”
“Siapa sih suhu dan subo-mu yang kau puji setinggi langit itu.”
“Aku bukan sekedar memuji kosong apa lagi membual, Bibi. Suhu-ku bernama Tan Sin Hong dan berjuluk
Pendekar Bangau Putih, dan Subo-ku bernama Kao Hong Li, cucu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir.”
Ang-I Moli menelan ludah! Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa anak yang diculiknya
adalah puteri dari suami isteri pendekar sakti itu! Tentu saja dia pernah mendengar akan nama mereka.
Bahkan mereka adalah dua di antara para pendekar yang pernah membasmi Ang-I Mo-pang!
Mereka termasuk musuh-musuh lama dari kakaknya, dari Ang-I Mo-pang. Akan tetapi ia pun tidak begitu
tolol untuk memusuhi mereka. Biar pun ia sendiri belum pernah menguji sampai di mana kehebatan ilmu
mereka, namun tentu saja jauh lebih aman untuk tidak mencari permusuhan baru dengan mereka.
Melihat wanita berpakaian merah itu diam saja, Yo Han melanjutkan. “Nah, engkau tahu bahwa aku bukan
menggertak belaka. Tentu engkau pernah mendengar nama mereka. Sekarang, bagaimana kalau engkau
mengembalikan Sian Li kepada mereka, Bibi?”
Ang-I Moli mengamati wajah Yo Han dengan penuh perhatian.
“Kalau aku mengembalikan Sian Li, engkau mau ikut bersamaku dan menjadi muridku?”
“Sudah kukatakan bahwa aku suka menggantikan Sian Li. Bagiku yang terpenting aku harus dapat
mengajak Sian Li pulang ke rumah Suhu dan Subo. Setelah aku mengantar ia pulang, aku akan ikut
bersamamu.”
“Hemm, kau kira aku begitu goblok? Jika aku membiarkan engkau mengajak ia pulang, tentu engkau tidak
akan kembali kepadaku. Yang datang kepadaku tentu suami isteri itu untuk memusuhiku.”
Yo Han mengerutkan alis, memandang kepada wanita itu. Ang-I Moli terkejut. Sepasang mata anak itu
mencorong seperti mata harimau di tempat gelap tertimpa sinar!
“Bibi, aku tidak sudi melanggar janjiku sendiri! Juga, hal itu akan membikin Suhu dan Subo marah
kepadaku. Kami bukan orang-orang yang suka menyalahi janji.”
“Baik, mari, sekarang juga kita bawa Sian Li kembali ke rumah orang tuanya.”
Biar pun tubuhnya sudah terlalu penat untuk melakukan perjalanan lagi, namun Yo Han menyambut ajakan
ini dengan gembira. “Baik, dan terima kasih, Bibi. Ternyata engkau bijaksana juga.”
Ang-I Moli memondong tubuh Sian Li. “Mari kau ikuti aku.”
Melihat wanita itu lari keluar kuil, Yo Han cepat mengikutinya. Akan tetapi, Ang-I Moli hendak menguji Yo
Han, apakah benar anak ini tidak pandai ilmu silat. Ia berlari cepat dan sebentar saja Yo Han tertinggal
jauh.
“Bibi, jangan cepat-cepat. Aku akan sesat jalan. Tunggulah!”
Ang-I Moli menanti, diam-diam merasa sangat heran. Kalau anak itu murid suami isteri pendekar yang
namanya amat terkenal itu, bagaimana begitu lemah? Menangkap kupu-kupu saja tidak mampu, dan diajak
dunia-kangouw.blogspot.com
berlari cepat sedikit saja sudah tertinggal jauh. Padahal, anak itu memiliki tubuh yang amat baik. Kelak ia
akan menyelidiki hal itu.
Ketika ia memeriksa tubuh Yo Han tadi, bukan saja ia mendapatkan kenyataan bahwa anak itu bisa
menjadi seorang ahli silat yang hebat, juga mendapat kenyataan lain yang mengguncangkan hatinya. Anak
itu memiliki darah yang amat bersih dan kalau ia dapat menghisap hawa murni serta darah anak laki-laki itu
melalui hubungan badan, dia akan mendapatkan obat kuat dan obat awet muda yang amat ampuh!
Tidak lama mereka berjalan karena Ang-I Moli membawa mereka ke tepi sungai, lalu ia mengeluarkan
sebuah perahu yang tadinya ia sembunyikan di dalam semak belukar di tepi sungai.
“Kita naik perahu supaya dapat cepat tiba di Ta-tung,” kata Ang-I Moli dan ia menyeret perahu ke tepi
sungai, dibantu oleh Yo Han.
Tidak lama kemudian, mereka pun sudah naik ke perahu yang meluncur cepat terbawa arus air sungai dan
didayung pula oleh Yo Han, dikemudikan oleh dayung di tangan wanita pakaian merah itu. Sian Li masih
pulas, rebah miring di dalam perahu.
Melalui air, perjalanan tentu saja tidak melelahkan, apa lagi karena mereka mengikuti aliran air sungai,
bahkan jauh lebih cepat dibandingkan perjalanan melalui darat. Maka, pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali mereka sudah mendarat di tempat di mana kemarin Ang-I Moli bertemu dengan Yo Han dan Sian Li.
“Nah, bawalah ia pulang, dan kau cepatlah kembali ke sini. Kutunggu,” kata Ang-I Moli kepada Yo Han. Ia
lalu menotok punggung Sian Li dan anak ini pun sadar, seperti baru terbangun dari tidur.
Sian Li amat girang melihat Yo Han berada di situ dan Yo Han segera memondongnya, menatap wajah
wanita itu dan berkata, “Engkau percaya kepadaku, Bibi?”
Ang-I Moli tersenyum. “Tentu saja. Kalau engkau membohongiku sekali pun, engkau tak akan dapat lolos
dari tanganku!”
“Aku takkan bohong!” kata Yo Han.
Dia pun membawa Sian Li keluar dari perahu, lalu berjalan secepatnya menuju pulang. Hatinya merasa
lega dan gembira bukan main karena dia telah berhasil membawa Sian Li pulang seperti telah
dijanjikannya kepada suhu dan subo-nya. Dia telah bertanggung jawab atas kehilangan adiknya itu, dan
sekarang dia telah memenuhi janji dan tanggung jawabnya…..
********************
Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, semalaman tadi tak dapat pulas sejenak pun dan pagi-pagi
sekali mereka sudah bangun. Dengan wajah muram dan rambut kusut mereka duduk di beranda depan
seperti orang-orang yang sedang menantikan sesuatu. Memang mereka menanti pulangnya Yo Han, dan
kalau mungkin bersama Sian Li yang diculik orang. Hong Li menganggap hal ini tidak mungkin, hanya
harapan kosong belaka dan sia-sia. Akan tetapi suaminya berkeras hendak menanti kembalinya Yo Han
sampai tiga hari!
“Yo Han...” Tiba-tiba Sin Hong berseru.
Hong Li yang sedang menunduk terkejut, mengangkat mukanya dan wajahnya seketika berseri-seri.
Matanya bersinar-sinar, seperti matahari yang baru muncul dari balik awan hitam.
“Sian Li...!” Ia pun meloncat dan berlari menyambut Yo Han yang datang memondong adiknya itu.
“Ibu...! Ayah...!” Sian Li bersorak girang dan dia merasa terheran-heran ketika ibunya merenggutnya dari
pondongan Yo Han, lalu mendekap dan menciuminya dengan kedua mata basah air mata!
“Ibu... menangis? Tidak boleh menangis, Ibu tidak boleh cengeng dan lemah!” Sian Li menirukan kata-kata
ayah dan ibunya kalau ia menangis.
Ibunya yang masih basah kedua matanya itu tersenyum.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak, ibu tidak menangis. Ibu bergembira...!”
Sin Hong sudah menyambut Yo Han dan memegang tangan murid itu, menatapnya sejenak lalu berkata,
“Mari masuk dan kita bicara di dalam.”
Mereka duduk di ruangan dalam, mengelilingi meja. Sian Li dipangku oleh ibunya yang memeluknya
seperti takut akan kehilangan lagi.
“Nah, ceritakan bagaimana engkau dapat mengajak pulang adikmu, Yo Han,” kata Sin Hong.
Hong Li memandang dengan penuh kagum, heran dan juga bersyukur bahwa muridnya itu benar-benar
telah mampu mengembalikan Sian Li kepadanya. Padahal ia sendiri dan suaminya sudah mencari-cari
sampai seharian penuh tanpa hasil, bahkan tidak dapat menemukan jejak Sian Li dan penculiknya.
“Suhu dan Subo, ketika teecu pergi hendak mencari adik Sian Li, teecu segera berlari ke luar kota, melalui
pintu gerbang selatan. Sehari kemarin teecu berlari dan berjalan terus dan pada malam hari tadi, teecu tiba
di lereng sebuah bukit. Teecu melihat sebuah kuil dan ada sinar api unggun dari dalam kuil. Teecu
memasuki kuil tua yang kosong itu dan di situlah teecu melihat Adik Sian Li tidur dijaga oleh wanita pakaian
merah itu.”
“Akan tetapi, Yo Han. Bagaimana engkau bisa tahu bahwa adikmu dibawa ke tempat itu oleh penculiknya?”
Hong Li bertanya dengan heran.
“Teecu juga tidak tahu bagaimana Adik Sian Li bisa berada di dalam kuil itu, Subo...”
“Aku diajak naik perahu oleh Bibi baju merah. Ia baik sekali, Ibu. Kami menangkap ikan dan Bibi memasak
ikan untukku. Enak sekali! Setelah turun dari perahu, kami berjalan-jalan ke lereng bukit dan memasuki kuil
tua itu, Setelah malam menjadi gelap, aku ingin pulang, mengajaknya pulang dan... dan... aku lupa lagi,
tertidur.”
Sin Hong bertukar pandang dengan isterinya. Pantas usaha mereka mencari jejak telah gagal. Kiranya
anak mereka dibawa naik perahu oleh penculiknya.
“Yo Han, kalau engkau tidak tahu bahwa Sian Li dibawa ke kuil tua itu, lalu bagaimana engkau dapat
langsung pergi ke sana?” Sin Hong mendesak, memandang tajam penuh selidik.
Yo Han menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Teecu tidak tahu Suhu. Teecu membiarkan
kaki berjalan tanpa tujuan, ke mana saja untuk mencari adik Sian Li. Dan tahu-tahu teecu tiba di sana dan
menemukan mereka.”
“Tetapi, bagaimana penculik itu membiarkan engkau mengajak Sian Li pulang? Bagai mana engkau dapat
menundukkannya?” Hong Li bertanya, semakin heran dan merasa bulu tengkuknya meremang karena ia
mulai merasa bahwa ada ‘sesuatu’ yang ajaib telah terjadi pada diri muridnya itu.
Yo Han tersenyum memandang subo-nya, lalu memandang kepada suhu-nya. “Teecu membujuknya untuk
membiarkan teecu membawa adik Sian Li pulang. Dia tidak tahu bahwa adik Sian Li adalah puteri Suhu
dan Subo. Teecu memberi tahu kepadanya dan mengatakan bahwa kalau ia tidak mengembalikan Sian Li,
tentu Suhu dan Subo akan dapat menemukannya dan ia pasti akan celaka. Teecu mengatakan bahwa
kalau ia mau menyerahkan kembali Sian Li, teecu-lah yang akan menggantikan adik Sian Li menjadi
muridnya, menjadi pelayannya, dan ikut dengannya. Nah, ia setuju dan teecu membawa adik Sian Li
pulang. Tetapi teecu harus segera kembali kepadanya. Ia masih menunggu teecu di tepi sungai...”
“Yo Han! Engkau hendak ikut dengan penculik itu? Ahhh, aku tidak akan membiarkan! Menjadi murid
seorang penculik jahat? Tidak boleh!” kata Hong Li marah. “Aku bahkan akan menghajar iblis itu!”
Kao Hong Li sudah meloncat dengan marah, akan tetapi gerakannya terhenti ketika terdengar Yo Han
berseru, ”Subo, jangan!”
“Hah?! Iblis itu menculik anakku, kemudian menukarnya dengan engkau untuk dibawa pergi. Dan engkau
melarang aku untuk menghajar iblis itu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Maaf, Subo. Apakah Subo ingin melihat murid Subo menjadi seorang rendah yang melanggar janjinya
sendiri, menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut?”
“Ehhh...? Apa maksudmu?”
“Subo, bagaimana pun juga, teecu (murid) adalah murid Subo. Teecu sudah berjanji kepada wanita
berpakaian merah itu bahwa setelah teecu mengantar Sian Li pulang, teecu akan kembali kepadanya dan
menjadi muridnya, pergi ikut dengannya. Kalau teecu sudah berjanji, lalu sekarang teecu tidak kembali
kepadanya, bahkan Subo akan menghajarnya, bukankah berarti teecu melanggar janji sendiri?”
“Aku tidak peduli akan janjimu itu! Engkau tidak perlu melanggar janji, engkau pergilah kepadanya. Akan
tetapi aku tetap saja akan menemuinya dan menghajarnya!” berkata Hong Li dengan marah.
“Subo!” kata pula Yo Han dan suaranya tegas. “Kenapa Subo hendak menghajar wanita itu? Kalau Subo
melakukan itu, berarti Subo jahat!”
“Ehhh?” Hong Li terbelalak memandang kepada anak itu.
“Yo Han!” kata pula Sin Hong. “Subo-mu hendak menghajar penculik, mengapa engkau malah katakan
jahat?” Dia bertanya hanya karena ingin tahu isi hati anak itu yang amat dikaguminya sejak dia tadi
mendengarkan kata-kata anak itu kepada isterinya.
“Suhu, wanita berpakaian merah itu memang benar tadinya hendak melarikan Sian Li, akan tetapi ia
bersikap sangat baik terhadap Sian Li, dan ia melarikannya karena ingin mengambilnya sebagai murid. Ia
sayang kepada Sian Li. Lalu, teecu menemukannya dan teecu membujuk supaya ia mengembalikan Sian
Li. Dan ia sudah memperbolehkan Sian Li teecu bawa pulang. Teecu sendiri yang berjanji untuk ikut pergi
dengannya. Jika sekarang Subo dan Suhu menghajarnya, bukankah itu sama sekali tidak benar?”
Sin Hong memberi isyarat dengan pandang mata kepada isterinya, lalu menarik napas panjang dan
berkata kepada muridnya itu. “Baiklah kalau begitu, Yo Han. Kami tentu saja tak menghendaki engkau
menjadi seorang yang melanggar janjimu sendiri. Engkau sudah yakin ingin menjadi murid wanita itu?
Kalau engkau ingin memperoleh guru yang baik, tempat tinggal yang lain, kami sanggup mencarikannya
yang amat baik untukmu.”
Yo Han menggeleng kepalanya. “Tidak Suhu. Teecu akan ikut dengan wanita itu seperti yang telah teecu
janjikan. Teecu akan berangkat sekarang juga supaya ia tidak terlalu lama menunggu.”
Dia lalu pergi ke dalam kamarnya, mengambil buntalan pakaian yang memang telah dia persiapkan
semenjak tadi malam. Memang semalam ia telah merencanakan untuk pergi meninggalkan rumah itu, akan
tetapi karena hatinya terasa berat meninggalkan Sian Li, maka pagi itu ia ingin menyenangkan Sian Li
dengan mengajaknya bermain-main di tepi sungai sebelum dia pergi.
Suami isteri itu juga merasa heran melihat demikian cepatnya Yo Han mengumpulkan pakaiannya karena
sebentar saja anak itu sudah menghadap mereka kembali. Yo Han menjatuhkan diri berlutut di depan
kedua orang gurunya.
“Suhu dan Subo, teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan yang telah dilimpahkan
kepada teecu, terima kasih atas kasih sayang yang telah dicurahkan kepada teecu. Dan teecu mohon maaf
apa bila selama ini teecu melakukan banyak kesalahan dan membuat Suhu dan Subo menjadi kecewa.
Teecu mohon diri, Suhu dan Subo” Suaranya tegas dan sikapnya tenang, sama sekali tidak nampak dia
berduka, tidak hanyut oleh perasaan haru.
“Baiklah, Yo Han. Kalau memang ini kehendakmu. Dan berhati-hatilah engkau menjaga dirimu,” kata Sin
Hong.
“Setiap waktu kalau engkau menghendaki, kami akan menerimamu kembali dengan hati dan tangan
terbuka, Yo Han,” kata pula Kao Hong Li, dengan hati terharu. Terasa benar ia betapa ia menyayang murid
itu seperti kepada adik atau anak sendiri.
“Terima kasih, Suhu dan Subo.” Yo Han membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suheng, aku ikut...!” Tiba-tiba Sian Li yang sejak tadi melihat dan mendengarkan saja tanpa mengerti
benar apa yang mereka bicarakan, kini turun dari pangkuan ibunya dan berlari menghampiri Yo Han.
Yo Han memondong anak itu, mencium kedua pipi dan dahinya, lalu menurunkannya kembali. “Sian Li, aku
mau pergi dulu, engkau tidak boleh ikut. Engkau bersama ayah dan ibumu di sini. Kelak kita akan bertemu
kembali, adikku.” Dan dengan cepat Yo Han lari meninggalkan anak itu, tidak tega mendengar ratap
tangisnya dan melihat wajahnya.
“Suheng! Aku ikut... aku ikut...!” Anak itu lantas merengek walau pun tidak menangis, dan terpaksa Sin
Hong memondongnya karena anak itu hendak lari mengejar Yo Han.
“Hemm, aku mau melihat siapa iblis betina itu!” Hong Li sudah meloncat keluar dan Sin Hong
yang memondong anaknya hanya menggeleng kepala, lalu melangkah keluar pula dengan Sian Li di
pondongannya.
Yo Han berlari-lari menuju sungai. Dia tidak ingin wanita berpakaian merah itu mengira dia melanggar janji.
Dan benar saja, ketika dia tiba di tepi sungai, wanita itu tidak lagi berada di dalam perahu, melainkan sudah
duduk di tepi sungai dengan wajah tidak sabar. Perahunya berada di tepi sungai pula, agaknya sudah
ditariknya ke darat.
Melihat Yo Han datang berlari sambil membawa buntalan, wajah yang tadinya cemberut itu tersenyum.
“Hemm, kusangka engkau membohongiku! Kiranya engkau datang pula!”
Yo Han juga cemberut ketika dia sudah berdiri di depan wanita itu. “Sudah kukatakan, aku bukan seorang
yang suka melanggar janji. Aku harus berpamit dulu kepada Suhu dan Subo-ku, dan mengambil pakaianku
ini.”
“Andai kata engkau menipuku sekali pun engkau tak akan terlepas dari tanganku. Hayo kita berangkat!”
kata Ang-I Moli Tee Kui Cu.
“Tahan dulu...!”
Bentakan yang merdu dan nyaring ini mengandung getaran dan wibawa yang amat kuat sehingga Ang-I
Moli terkejut sekali dan cepat-cepat ia membalikkan tubuh. Kiranya di depannya telah berdiri seorang
wanita cantik dan gagah, berusia kurang lebih dua puluh enam tahun. Wajahnya bulat telur, matanya lebar
dan indah jeli, sinar matanya tajam menembus.
“Subo...!” Yo Han berseru melihat wanita cantik itu.
“Diam kau!” Kao Hong Li membentak muridnya.
Matanya tidak pernah melepaskan wajah wanita berpakaian merah itu. Ia belum pernah melihat wanita itu
dan memperhatikannya dengan seksama. Wajah yang cantik itu putih dengan bantuan bedak tebal,
nampak cantik seperti gambar oleh bantuan pemerah bibir dan pipi, dan penghitam alis. Pakaiannya yang
serba merah ketat itu menempel tubuh yang ramping dan seksi, dengan pinggulnya yang bulat besar.
Mendengar Yo Han menyebut subo kepada wanita muda ini. Ang-I Moli terkejut. Tidak disangkanya subo
dari anak itu masih sedemikian mudanya. Jadi inikah cucu dari Naga Sakti Gurun Pasir, pikirnya.
“Hemmm, siapakah engkau dan mengapa engkau menahan kami?” Ang-I Moli bertanya, senyumnya
mengandung ejekan dan memandang rendah.
“Aku Kao Hong Li, ibu dari anak perempuan yang telah kau culik!” jawab Hong Li, juga sikapnya tenang,
akan tetapi sepasang mata yang tajam itu bersinar marah. “Siapakah engkau ini iblis betina yang berani
mencoba mencoba untuk menculik anakku kemudian membujuk murid kami untuk ikut denganmu? Jawab,
dan jangan mati tanpa nama!”
Sikap garang Kao Hong Li sedikit banyak menguncupkan hati Ang-I Moli. Ia seorang tokoh sesat yang tidak
mengenal takut dan memandang rendah orang lain, akan tetapi ia teringat akan ancaman Yo Han tadi
bahwa wanita ini adalah cucu Naga Sakti Gurun Pasir, bahkan suaminya adalah Si Bangau Putih yang
namanya amat terkenal itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemmm, bocah sombong. Jangan kau mengira bahwa aku Ang-I Moli takut mendengar gertakanmu.” Ia
membesarkan hatinya sendiri. “Aku tidak menculik puterimu, tapi hanya mengajaknya bermain-main. Dan
tentang bocah ini, dia sendiri yang ingin ikut aku untuk menjadi muridku. Kalau tidak percaya, tanya saja
kepada anak itu.”
“Subo, memang benar teecu sendiri yang ingin ikut dengan Bibi ini. Harap Subo jangan mengganggunya!”
Hong Li menarik napas panjang. Kalau sudah begitu, memang tidak ada alasan baginya untuk menghajar
wanita berpakaian merah itu, apa lagi membunuhnya. Anaknya sendiri tadi pun mengatakan bahwa wanita
ini bersikap baik kepada Sian Li, dan kini Yo Han mengatakan bahwa memang dia sendiri yang ingin
menjadi muridnya.
“Baiklah, aku tidak akan membunuhnya. Akan tetapi, setidaknya aku harus tahu apakah ia cukup pantas
untuk menjadi gurumu, Yo Han. Aku tidak rela menyerahkan muridku dalam asuhan orang yang tidak
memiliki kepandaian, apa lagi kalau orang itu pengecut. Kuharap saja engkau tidak terlalu pengecut untuk
menolak tantanganku menguji ilmu kepandaianmu, Ang-I Moli.”
Kulit muka yang ditutup riasan tebal itu masih nampak berubah kemerahan. Tentu saja Ang-I Moli marah
sekali dikatakan bahwa ia seorang pengecut.
“Kao Hong Li, engkau bocah sombong. Kau kira aku takut kepadamu?”
“Bagus kalau tidak takut! Nah, kau sambutlah seranganku ini. Haiiittt!”
Hong Li langsung menerjang maju setelah memberi peringatan, dan karena ia memang ingin menguji
sampai di mana kelihaian wanita baju merah itu, maka begitu menyerang ia sudah memainkan jurus dari
ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang sangat dahsyat, apa lagi karena dalam
memainkan ilmu silat ini ia menggunakan tenaga Hui-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) dari ibunya.
Hong Li telah menggabung dua ilmu yang hebat itu. Sin-liong Ciang-hoat adalah ilmu yang berasal dari
Istana Gurun Pasir, sedangkan tenaga Hui-yang Sinkang adalah ilmu yang berasal dari Istana Pulau Es,
yang ia pelajari dari ayah dan ibunya.
“Wuuuuttt... plak! Plak!”
Tubuh Ang-I Moli terhuyung ke belakang dan dia terkejut bukan main. Ketika tadi dia menangkis sampai
beberapa kali, lengannya bertemu dengan hawa panas yang luar biasa kuatnya sehingga kalau ia tidak
membiarkan dirinya mundur, tentu ia akan celaka. Sebagai seorang tokoh sesat yang sudah mengangkat
diri menjadi seorang pangcu (ketua) tentu saja Ang-I Moli merasa penasaran sekali.
Ia lalu membalas dengan serangan ampuh. Setelah mengerahkan tenaga dalam yang telah dilatihnya dari
para pimpinan Pek-lian-kauw, ia mengeluarkan suara melengking dan ketika dua tangannya menyerang,
dari kedua telapak tangan itu mengepul uap atau asap hitam dan angin pukulannya membawa asap hitam
itu menyambar ke arah muka Kao Hong Li.
Pendekar wanita ini mengenal pukulan beracun yang ampuh, maka ia pun melangkah mundur dan
mengerahkan tenaga sinkang mendorong dengan kedua tangan terbuka pula. Dua tenaga dahsyat
bertemu di udara dan akibatnya, asap hitam itu membalik dan Ang-I Moli kini merasakan hawa yang amat
dingin sehingga kembali ia terkejut. Itulah tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Inti Salju), juga ilmu yang
berasal dari Istana Pulau Es!
Ang-I Moli terpaksa mundur kembali dan kemarahannya memuncak. Dua kali mengadu tenaga itu
membuat dia sadar bahwa lawannya memang lihai bukan main. Dalam hal tenaga sinkang, jelas dia kalah
kuat.
“Manusia sombong, kau sambut pedangku!” bentaknya, lalu mulutnya berkemak-kemik dan dia pun
berseru sambil membuat gerakan laksana melontarkan sesuatu ke udara, “Pedang terbangku menyambar
lehermu!”
Kao Hong Li terbelalak ketika dia melihat sinar terang dan bayangan sebatang pedang meluncur dari udara
ke arah dirinya! Padahal ia tak melihat wanita itu mencabut pedang. Inilah ilmu sihir, pikirnya dan ia pun
cepat mencabut pedangnya dan melindungi dirinya dengan putaran pedang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hentikan perkelahian! Hentikan...!” terdengar Yo Han berseru.
Begitu anak ini melangkah ke depan, sinar pedang itu pun lenyap secara tiba-tiba dan Hong Li mendapat
kenyataan bahwa ia tadi telah ‘bertempur’ melawan bayang-bayang.
Sementara itu, Ang-I Moli juga terkejut karena tiba-tiba pengaruh sihirnya lenyap begitu saja. Pada saat itu,
ia melihat pula munculnya seorang laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun yang memiliki sinar mata lembut
tetapi mencorong memondong anak perempuan baju merah tadi. Tahulah dia bahwa tentu laki-laki gagah
perkasa ini ayah Sian Li yang berjuluk Si Bangau Putih. Ang-I Moli menduga bahwa tentu pendekar inilah
yang tadi melenyapkan pengaruh sihirnya, maka ia menjadi semakin jeri.
Memang tadinya dia merasa suka sekali kepada Sian Li, kemudian melihat bakat yang luar biasa pada diri
Yo Han, dia pun rela menukarkan Sian Li yang suka rewel dan tidak mau ikut dengan suka rela itu dengan
Yo Han yang suka ikut dengannya. Akan tetapi melihat betapa suami isteri yang amat lihai itu sekarang
berada di depannya dan dia tahu bahwa melawan mereka berdua sama dengan mencari penyakit, Ang-I
Moli lalu meloncat ke arah perahunya sambil memaki Yo Han.
“Anak pengkhianat!” Ia mendorong perahunya ke air, lalu perahu itu diluncurkannya ke tengah sungai.
“Tunggu kau, iblis betina!” Hong Li yang masih marah itu berteriak dan kini ia pun sudah mengamangkan
pedangnya. Akan tetapi Yo Han cepat berdiri di depan subo-nya.
“Subo, harap jangan kejar dan serang dia lagi! Dia adalah guruku yang baru!” Setelah berkata demikian, Yo
Han lantas meloncat ke air, dan berenang mengejar perahu itu. “Bibi... ehhh, Subo (Ibu Guru), tunggulah
aku...!”
Melihat ini, Ang-I Moli memandang heran sekali. Anak itu ternyata sama sekali bukan pengkhianat, bukan
pelanggar janji! Ia pun terkekeh senang dan menahan perahunya. Ketika Yo Han telah tiba di pinggir
perahu, ia mengulurkan tangan dan menarik anak itu naik ke dalam perahunya.
“Anak baik, ternyata engkau setia kepadaku. Hi-hi-hik, aku senang sekali!”
Dari pantai, Hong Li masih mengamangkan pedangnya. “Yo Han, lekas kembali ke sini engkau! Engkau
akan rusak dan celaka kalau engkau ikut dengan perempuan iblis itu!”
“Subo, maafkan teecu. Teecu sudah berjanji kepada Bibi ini, dan lagi pula, teecu harus meninggalkan Suhu
dan Subo, teecu harus meninggalkan... adik Sian Li. Bukankah itu yang Subo kehendaki? Teecu harus
dipisahkan dari adik Sian Li. Nah, setelah sekarang teecu menentukan jalan sendiri, mengapa Subo
hendak menghalangi? Sudahlah, Subo, maafkan teecu dan… selamat tinggal.” Yo Han lalu mengambil
dayung dan mendayung perahu itu.
Hong Li masih penasaran saja dan hendak mengejar, akan tetapi ada sentuhan lembut tangan suaminya
pada lengannya. Ia menoleh dan melihat suaminya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
“Suheng, aku ikut...!” Tiba-tiba Sian Li yang melihat Yo Han mendayung perahu yang mulai meluncur
menjauh, berteriak dan meronta dalam pondongan ayahnya.
Hong Li menyimpan kembali pedangnya dan memondong puterinya. “Jangan ikut, Sian Li. Suheng-mu
sedang pergi menuntut ilmu. Kelak engkau pasti akan bertemu kembali dengan dia.” Ia memeluk anaknya
dan menciuminya, menghibur sehingga Sian Li tidak berteriak-teriak lagi.
Suami isteri itu berdiri di tepi sungai dan mengikuti perahu yang menjauh itu dengan pandang mata
mereka.
“Aku tetap khawatir,” bisik Hong Li. “Wanita itu jelas tokoh sesat. Julukannya Ang-I Moli. Aku khawatir Yo
Han akan menjadi tersesat kelak.”
Suaminya menggeleng kepala. “Jangan khawatir. Yo Han bukanlah anak yang berbakat jahat. Aku melihat
hal yang aneh lagi tadi. Ketika engkau diserang dengan sihir, kulihat engkau terkejut dan wanita itu berdiri
mengacungkan tangan dan berkemak-kemik, ada sinar menyambar ke arahmu...”
“Memang benar. Aku pun terkejut akan tetapi tiba-tiba sinar itu menghilang.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Itulah! Begitu Yo Han melompat ke depan dan menghentikan perkelahian, sinar itu lenyap dan kulihat
wanita berpakaian merah itu terkejut dan ketakutan. Aku menduga bahwa kekuatan sihirnya itu punah dan
lenyap oleh teriakan Yo Han! Nah, karena itu, biarkanlah dia pergi. Aku yakin dia tidak akan dapat terseret
ke dalam jalan sesat.”
Mereka lalu pulang membawa Sian Li yang sudah tidur di dalam pondongan ibunya. Berbagai perasaan
mengaduk hati kedua orang suami isteri itu. Ada perasaan menyesal dan mereka merasa kehilangan Yo
Han, ada pula perasaan lega karena kini puteri mereka dapat dipisahkan dari Yo Han tanpa mereka harus
memaksa Yo Han keluar dari rumah mereka, ada pula perasaan khawatir akan nasib Yo Han yang dibawa
pergi oleh seorang tokoh sesat.
Segala macam perasaan duka, khawatir dan sebagainya tidak terbawa datang bersama peristiwa yang
terjadi menimpa diri kita, melainkan timbul sebagai akibat dari cara kita menerima dan menghadapi segala
peristiwa itu. Pikiran yang penuh dengan ingatan pengalaman masa lalu membentuk sebuah sumber di
dalam diri kita, sumber berupa bayangan tentang diri pribadi yang disebut aku, dan dari sumber inilah
segala kegiatan hidup terdorong.
Karena si-aku ini diciptakan pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah, maka segala kegiatan, segala
perbuatan pun selalu didasari pada kepentingan si-aku. Jika sang aku dirugikan, maka timbullah kecewa,
timbullah iba diri dan duka. Jika sang aku terancam dirugikan, maka timbul rasa takut dan khawatir. Si-aku
ini selalu menghendaki jaminan keamanan menghendaki kesenangan dan menghindari kesusahan.
Si-aku ini mendatangkan penilaian baik buruk, tentu saja didasari untung-rugi bagi diri sendiri. Baik buruk
timbul karena adanya penilaian, dan penilaian adalah pilihan si-aku, karenanya penilaian selalu didasari
nafsu daya rendah yang selalu mementingkan diri sendiri. Kalau sesuatu menguntungkan, maka dinilai
baik, sebaliknya kalau merugikan, dinilai buruk.
Sebagai contoh, kita mengambil hujan. Baik atau burukkah hujan turun? Hujan adalah suatu kewajaran,
suatu kenyataan dan setiap kenyataan adalah wajar karena hal itu sudah menjadi kodrat, menjadi
kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hujan baru disebut baik atau buruk bila sudah ada penilaian. Yang
menilai adalah kita, didasari nafsu daya rendah yang mengaku diri sebagai sang aku.
Bagi orang yang membutuhkan air hujan, maka hujan di sambut dengan gembira dan dianggap baik,
karena menguntungkan dirinya, misalnya bagi para petani yang sedang membutuhkan air untuk sawah
ladangnya. Sebaliknya, bagi orang-orang yang merasa dirugikan dengan turunnya hujan, maka hujan itu
tentu saja dianggap buruk! Padahal, hujan tetap hujan, wajar, tidak baik tidak buruk.
Demikian pula dengan segala macam peristiwa atau segala macam yang kita hadapi. Selalu kita nilai,
tanpa kita sadari bahwa penilaian itu berdasarkan nafsu mementingkan diri sendiri. Kalau ada seseorang
berbuat menguntungkan kepada kita, kita menilai dia sebagai orang baik, sebaliknya kalau merugikan, kita
menilainya sebagai orang jahat. Jelaslah bahwa penilaian adalah sesuatu hal yang pada hakekatnya
menyimpang dari kebenaran. Yang kita nilai baik belum tentu baik bagi orang lain, dan sebaliknya.
Penilaian mendatangkan reaksi, mempengaruhi sikap dan perbuatan kita selanjutnya. Perbuatan yang
didasari hasil penilaian ini jelas tidak sehat. Dapatkah kita menghadapi segala sesuatu tanpa menilai, tapi
menghadapi seperti apa adanya? Kalau tindakan kita tidak lagi dipengaruhi hasil penilaian, maka tindakan
itu terjadi dengan spontan dipimpin kebijaksanaan.
Permainan pikiran yang mengingat masa lalu dan membayangkan masa depan hanya mendatangkan duka
dan khawatir, seperti yang pada saat itu dialami oleh Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li…..
********************
“Jangan bohong kau!” Ang-I Moli membentak.
Yo Han yang berdiri di depannya memandang dengan sinar mata marah. “Subo, sudah berulang kali aku
mengatakan bahwa aku tidak pernah dan tidak akan mau berbohong!” jawabnya dengan tegas.
Mereka berada di dalam sebuah ruangan kuil tua di lereng bukit. Kuil ini belum rusak benar. Baru setahun
ditinggalkan penghuninya, yaitu seorang pertapa tosu dan agaknya tidak ada yang mau mengurus kuil
yang berada di tempat terpencil ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hanya kuil yang berada di daerah pedusunan yang makmurlah baru bisa berkembang dengan baik.
Banyak pengunjung datang bersembahyang dan banyak dana pula datang membanjir sehingga berlebihan
untuk pembiayaan kuil. Akan tetapi sebuah kuil tua di lereng bukit yang sunyi? Jauh dari dusun jauh dari
masyarakat? Siapa yang mau hidup sengsara dan serba kekurangan di situ?
Kuil itu sekarang kosong dan dalam perjalanannya pulang, saat melewati tempat ini dan kemalaman, Ang-I
Moli mengajak Yo Han untuk melewatkan malam di tempat sunyi itu. Wanita itu masih terkenang akan
kelihaian Kao Hong Li. Wanita cucu Naga Sakti Gurun Pasir itu demikian lihainya. Dan suaminya, Si
Bangau Putih, tentu lebih lihai pula.
Ia sendiri yang ditakuti banyak orang di dunia kang-ouw, sekarang merasa ngeri kalau membayangkan
bahaya maut yang mengancamnya ketika ia berhadapan dengan suami isteri pendekar itu. Kalau suhu dan
subo-nya sedemikian saktinya, tentu muridnya juga telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi, demikian
pendapatnya. Oleh karena itu, ketika ia bertanya kepada Yo Han tentang ilmu silat, berapa banyak ilmu
kedua orang gurunya yang telah dikuasainya, Yo Han menjawab bahwa dia tidak pandai ilmu silat dan
tentu saja Ang-I Moli menduga dia berbohong.
“Bagaimana mungkin, sebagai murid suami isteri yang lihai itu engkau tidak menguasai sedikit pun ilmu
silat? Sudah berapa lama engkau menjadi murid mereka, Yo Han?”
“Sudah lima tahun, Subo.”
“Hemm, apa lagi sudah begitu lama. Bagaimana mungkin engkau tidak pandai ilmu silat? Bukankah
engkau menerima pelajaran ilmu silat dari mereka?”
“Aku tidak pernah berlatih, Subo. Aku tidak suka ilmu silat.”
Mata wanita cantik itu terbelalak, lalu ia memandang penuh perhatian kepada Yo Han dengan alis berkerut.
“Engkau tidak suka ilmu silat?” Ang-I Moli tertawa terkekeh-kekeh karena merasa geli hatinya. “Kao Hong
Li dan Tan Sin Hong adalah sepasang suami isteri pendekar yang sakti, dan murid tunggalnya tidak pandai
dan tidak suka ilmu silat?” Ia tertawa-tawa lagi sampai keluar air matanya.”Habis, apa saja yang kau
pelajari dari mereka selama lima tahun itu?”
“Subo, kenapa Subo mentertawakan hal itu? Aku memang tidak suka ilmu silat, dan yang kupelajari dari
Suhu dan Subo-ku itu adalah ilmu membaca dan menulis, membuat sajak, bernyanyi dan meniup suling,
pengetahuan mengenai kebudayaan dan filsafat hidup, mempelajari kitab-kitab sejarah kuno...”
Dia terpaksa berhenti bicara karena Ang-I Moli sudah tertawa lagi terkekeh-kekeh. Yo Han hanya berdiri
memandang dengan alis berkerut dan mata bersinar-sinar marah.
Setelah menghentikan tawanya, wanita itu mengusap air mata dari kedua matanya, lalu memandang
kepada pemuda remaja itu. “Anak baik, aku mengambilmu sebagai murid dan aku akan mengajarkan ilmu
silat pula kepadamu. Bagaimana?”
Yo Han menggeleng kepalanya. “Percuma saja, Subo. Aku tidak akan menolak segala yang kau ajarkan
kepadaku, akan tetapi aku takkan suka berlatih silat sehingga semua pengertian ilmu silat yang kau berikan
kepadaku tidak akan ada gunanya.”
Ang-I Moli teringat sesuatu. “Yo Han, kalau engkau memang sama sekali tidak pandai ilmu silat, mengapa
engkau begini tabah dan berani? Padahal engkau tidak mempunyai kemampuan untuk membela diri apa
bila diserang lawan. Bagaimana engkau menjadi begini berani?”
“Aku tidak suka kekerasan, mengapa mesti takut, Subo? Orang yang tidak melakukan kejahatan, tidak
merugikan orang lain, tidak membenci orang lain, kenapa mesti takut? Aku tidak pernah takut, Subo,
karena tidak pernah membenci orang lain.”
“Yo Han, kalau engkau tidak mau belajar ilmu silat dariku, lalu kenapa engkau mau ikut dengan aku?”
Wanita itu akhirnya bertanya heran.
“Subo lupa. Bukan aku yang ingin ikut Subo, melainkan Subo yang mengajakku dan aku ikut Subo sebagai
penukaran atas diri Sian Li.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Wanita itu menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala dan memandang dengan heran. Sungguh
seorang anak laki-laki yang aneh sekali. Begitu tabah, sedikit pun tidak mengenal takut, begitu teguh
memegang janji, sikapnya demikian gagah perkasa seperti seorang pendekar tulen, akan tetapi, sedikit pun
tidak pandai ilmu silat bahkan tak suka ilmu silat!
Akan tetapi, melihat wajah yang tampan gagah itu, ia lalu teringat akan keadaan tubuh pemuda remaja itu.
Wajah Ang-I Moli segera berseri, mulutnya tersenyum dan pandang matanya menjadi genit sekali.
“Tidak suka berlatih silat pun tidak mengapalah, Yo Han, asal engkau mentaati semua perintahku dan
menuruti semua permintaanku.” Ia lalu menggapai. “Engkau duduklah di sini, dekat aku, Yo Han.”
Tanpa prasangka buruk, Yo Han mendekat, lalu duduk di atas lantai yang tadi sudah dia bersihkan dan
diberi tilam rumput kering yang dicarinya di ruangan belakang kuil tua itu, sebagai persiapan tempat
mereka nanti tidur melewatkan malam. Akan tetapi, suaranya tegas ketika dia berkata,
“Subo, aku akan selalu mentaati perintahmu selama perintah itu tidak menyimpang dari kebenaran. Namun
kalau Subo memerintahkan aku melakukan hal yang tidak benar, maaf, terpaksa akan kutolak!”
“Hi-hik, tidak ada yang tidak benar, muridku yang baik. Engkau tahu, aku amat sayang kepadamu, Yo Han.
Engkau anak yang amat baik, dan aku senang sekali mempunyai murid seperti engkau.” Wanita itu
memegang tangan Yo Han dan membelai tangan itu.
Merasa betapa jari-jari tangan yang berkulit halus itu dengan lembut membelai-belai tangannya, kemudian
bagaikan laba-laba jari-jari tangan itu merayap naik di sepanjang lengannya, Yo Han merasa geli dan juga
aneh. Jantungnya lalu berdebar tegang dan dengan gerakan lembut dia pun menarik lengannya yang
dibelai itu.
“Subo, apakah Subo tidak lapar?” Mendadak dia bertanya dan pertanyaan itu sudah cukup untuk
membuyarkan gairah yang mulai membayang di dalam benak Ang-I Moli. Ia pun terkekeh genit.
“Hi-hik, bilang saja perutmu lapar, sayang. Nah, buka buntalanku itu, di situ masih ada roti kering dan
daging kering, juga seguci arak.”
Mendapatkan kesempatan untuk melepaskan diri dari belaian gurunya yang baru itu, Yo Han cepat-cepat
bangkit dan mengambil buntalan pakaian gurunya, lalu mengeluarkan bungkusan roti dan daging kering,
beserta seguci arak yang baunya keras sekali. Dia menaruh semua itu di depan Ang-I Moli dan ketika
merasakan betapa roti dan daging kering itu keras dan dingin, dia pun berkata,
“Subo, aku hendak mencari kayu bakar dan air.”
“Ehh? Untuk apa? Makanan sudah ada, minuman juga sudah ada.”
“Akan tetapi roti dan daging itu keras dan dingin, Subo. Kalau dipanaskan dengan uap air tentu akan
menjadi hangat dan lunak. Juga aku lebih suka minum air dari pada arak. Ini aku membawa panci untuk
masak air, Subo,” katanya sambil mengeluarkan sebuah panci dari dalam buntalan pakaiannya.
Ang-I Moli memandang dan tersenyum. Ia semakin tertarik kepada Yo Han dan ia harus bersikap manis
untuk bisa menundukkan hati perjaka remaja itu. Pemuda ini tidak mau menjadi muridnya dalam arti yang
sesungguhnya. Maka ia harus dapat memanfaatkan pemuda itu bagi kesenangan dan keuntungan dirinya
sendiri.
Seorang perjaka remaja yang memiliki tubuh sebaik itu akan menguntungkan sekali bagi kewanitaannya.
Akan membuat ia awet muda dan kuat, juga hawa murni di tubuh muda itu akan dapat dihisapnya dan
dapat menambah kekuatan tenaga dalam di tubuhnya. Selain itu, cita-citanya untuk menguasai sebuah
ilmu rahasia yang selama ini ditunda-tundanya, kini akan dapat diraihnya dengan mudah!
Untuk dapat menguasai ilmu rahasia itu, ia harus dapat menghisap darah murni selosin orang perjaka yang
memiliki darah yang bersih dan badan yang sempurna. Kini ia telah mendapatkan Yo Han dan anak ini
sudah lebih dari cukup, bahkan jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan selosin orang pemuda remaja
biasa!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Baiklah, engkau boleh pergi mencari air dan kayu bakar. Akan tetapi cepat kembali. Hari telah sore dan
sebentar lagi akan gelap,” katanya halus dan ramah.
“Baik, Subo.”
Yo Han berlari keluar dari kuil itu. Dia tidak tahu bahwa Ang-I Moli membayanginya dari jauh. Wanita ini
tidak ingin kehilangan Yo Han, maka begitu anak itu berlari keluar, dia pun menggunakan ilmu
kepandaiannya dan mengikutinya tanpa diketahui oleh Yo Han. Bagi seorang seperti Ang-I Moli Tee Kui
Cu, tidak mungkin ada orang di dunia ini yang benar-benar jujur dan setia sehingga dapat dipercaya
sepenuhnya!
Sejak kecil wanita ini hidup di dalam lingkungan dunia hitam, berkecimpung di dalam kesesatan, di dalam
suatu masyarakat di mana kata jujur dan setia sudah tidak dikenal lagi, di mana segala cara dihalalkan
demi keuntungan dan kepentingan diri sendiri. Oleh karena itu, ia pun tidak dapat percaya sepenuhnya
kepada Yo Han.
Ia tidak ingin kehilangan Yo Han yang baginya sekarang menjadi amat penting. Ia takut kehilangan
pemuda itu, takut pemuda itu melarikan diri atau dilindungi orang lain. Juga ia hendak menguji sampai di
mana pemuda itu mampu mempertahankan kejujuran dan kesetiaannya.
Ang-I Moli tidak tahu bahwa sesungguhnya ia telah menemukan seorang pemuda yang luar biasa, yang
berbeda dengan pemuda-pemuda lain. Di dalam batin Yo Han belum pernah terdapat pamrih yang
bermacam-macam, bahkan dia tidak mengenal itu.
Yo Han menghadapi segala sesuatu yang terjadi sebagai apa adanya, tidak pernah dia membuat gagasan
atau rekaan macam-macam. Dia hanya melihat kenyataan yang ada untuk dihadapinya secara spontan,
dia tidak pernah membuat rencana dan akal demi kepentingan diri sendiri.
Ia melihat kenyataan bahwa suhu dan subo-nya tak menghendaki dia di rumah mereka, dengan alasan
agar puteri mereka jangan sampai kelak meniru sikap dan pendiriannya. Dia tahu bahwa demi kebaikan
keluarga suhu-nya, dia harus menyingkir, menjauhkan diri dari mereka. Oleh karena itulah dia mengambil
keputusan untuk pergi meninggalkan mereka yang sesungguhnya amat dia sayangi.
Kemudian, karena ia harus menyelamatkan Sian Li, ia telah berjanji kepada Ang-I Moli untuk mengikuti
wanita itu sebagai muridnya. Janjinya itu akan dipegangnya dengan teguh. Dia tidak akan melarikan diri
karena dia pun sama sekali tidak pernah merasa takut kepada Ang-I Moli. Dia belum mengenal benar
orang macam apa adanya Ang-I Moli, gurunya yang baru itu.
Bukan main senang dan lega rasa hati Ang-I Moli yang membayangi Yo Han, ketika melihat bahwa sedikit
pun anak itu tidak memperlihatkan sikap ingin melarikan diri. Dia mengumpulkan kayu bakar, kemudian
menemukan sumber air dan mengisi pancinya penuh air, setelah itu dia kembali ke kuil tanpa ragu-ragu.
Ketika Yo Han memasuki kuil, Ang-I Moli tentu saja sudah lebih dahulu berada di tempat semula, duduk
bersila sambil tersenyum manis.
“Aihh, cepat juga engkau mendapatkan air dan mengumpulkan kayu kering, Yo Han,” pujinya, kemudian
dia membantu muridnya membuat api unggun dan memasak air di panci.
Setelah roti dan daging kering dipanasi dengan uap air, mereka lalu makan roti dan daging yang sudah
menjadi lunak dan juga hangat itu, yang memang terasa jauh lebih enak dari pada kalaμ dimakan keras
dan dingin. Dengan gembira sekali Ang-I Moli makan roti dan daging kering sambil sesekali minum arak,
sedangkan Yo Han hanya minum air yang sudah dimatangkan.
Setelah makan kenyang, mereka duduk-duduk dekat api unggun. Sementara itu, malam telah tiba. Api
unggun itu sangat menolong mereka mengusir nyamuk dan hawa dingin.
Setelah duduk termenung di dekat api unggun, Yo Han mengeluh. Sambil mengangkat muka memandang
wajah subo-nya yang sejak tadi memperhatikannya tanpa bicara, dia berkata, “Subo, sekarang aku merasa
betapa aku kehilangan kitab-kitab itu. Biasanya, di waktu malam begini aku tentu membaca kitab. Akan
tetapi sekarang, kitab-kitab itu jauh di rumah Suhu dan Subo, dan di sini aku tidak dapat membaca apaapa.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Wanita itu tersenyum. “Jangan kau khawatir, Yo Han. Setelah tiba di rumah, aku akan mencarikan kitab
bacaan untukmu.”
“Subo juga mempunyai kitab-kitab bacaan?” Yo Han memandang dengan sinar mata gembira.
“Akan aku carikan untukmu. Apa sih sukarnya mencari kitab-kitab itu? Akan aku carikan sebanyaknya
untukmu. Aku sayang padamu Yo Han, dan kuharap engkau pun sayang kepadaku dan akan menuruti
semua keinginanku.”
“Subo baik kepadaku, mengapa aku tidak sayang? Dan tentu saja aku akan menuruti semua keinginan
Subo. Subo, bolehkah aku tidur dulu? Perjalanan hari ini yang tidak melalui air lagi, berjalan kaki sehari
penuh, amat melelahkan badan dan aku ingin tidur.” Yo Han lalu merebahkan dirinya miring di sudut
ruangan itu, di seberang api unggun, terpisah dari subo-nya.
Ang-I Moli tersenyum. “Yo Han, jangan lupa lagi. Apa yang harus kau lakukan sebelum tidur?”
Yo Han juga tersenyum, lalu bangkit dan membawa air ke bagian belakang kuil untuk membersihkan
mulutnya. Pada malam pertama mereka melakukan perjalanan, masih berperahu, subo-nya yang baru ini
telah memberi sebuah pelajaran tentang kebersihan kepadanya, yaitu keharusan membersihkan mulut
sewaktu akan tidur.
”Lihat gigiku ini,” demikian kata subo-nya sambil memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih dan
rapi. “Belum ada sebuah pun yang rusak atau tanggal, padahal banyak orang seusiaku sudah hampir
kehabisan giginya. Ini hasil menjaga kebersihan. Bukan saja hasilnya gigi menjadi bersih dan utuh, juga
kesehatanku menjadi amat baik karena hampir semua penyakit datangnya lewat mulut. Cara
membersihkan mulut dan gigi yang paling baik adalah membersihkannya setiap kali kita hendak tidur. Hal
ini harus menjadi kebiasaanmu semenjak malam ini, Yo Han!” Demikianlah Ang-I Moli memberi pelajaran
tentang kesehatan dan kalau dia terlupa, seperti pada malam ini, Ang-I Moli selalu memperingatkannya.
Pelajaran kesehatan yang agaknya amat sederhana ini sesungguhnya menguntungkan sekali dan
alangkah baiknya bagi Yo Han. Biasanya orang meremehkannya. Padahal, kebiasaan membersihkan
mulut di waktu hendak tidur merupakan satu di antara usaha penjagaan kesehatan yang paling baik dan
paling mudah!
Tidak lama kemudian, Yo Han sudah tidur pulas di atas rumput kering. Dia tidak tahu bahwa semenjak tadi
Ang-I Moli sudah berpindah tempat di dekatnya dan kini wanita itu duduk bersila di sebelahnya, tiada
hentinya mengamati wajahnya yang tidur nyenyak, di bawah sinar api unggun yang membuat wajahnya
menjadi kemerahan.
Aku harus mulai sekarang juga, pikir wanita itu. Lebih cepat ia dapat menguasai Yo Han, lebih baik.
Dengan lembut tangannya meraba wajah pemuda itu, membelai dagu dan leher, lalu membelai semua
tubuh Yo Han. Pemuda remaja itu menggeliat dalam tidurnya dan Ang-I Moli menarik tangannya.
Anak ini amat luar biasa, pikirnya sambil menahan gairah yang sudah mulai membakar dirinya. Mungkin
saja dia akan menolak keras, bahkan melawan dan tak mau menyerah biar diancam bagaimana pun juga.
Keberaniannya memang luar biasa. Kalau terjadi hal seperti itu, tentu amat merugikan dirinya. Kalau ia
menggunakan paksaan, anak ini akan dapat mati sebelum ia memperoleh hasil yang memuaskan.
Ia harus dapat menghisap kemurnian anak ini sedikit demi sedikit, tidak terasa oleh Yo Han. Ia akan
memberi makanan dan minuman yang mengandung obat penguat badan dan akhirnya, semua hawa murni
dan darah murni itu akan berpindah ke tubuhnya tanpa diketahui oleh pemuda remaja itu, atau kelak
diketahui kalau sudah terlambat dan pemuda yang kehabisan darah dan hawa murni itu akan tewas pula.
Dan ia akan mampu melatih diri dengan ilmu rahasia itu! Ia akan menjadi seorang yang sukar dicari
tandingnya! Ia akan dapat merajai dunia persilatan dengan ilmunya itu.
Kembali ia mengamati wajah Yo Han yang masih tidur nyenyak. Ahh, mengapa ia begitu bodoh? Kalau
membujuk anak ini, agaknya ia akan gagal total. Anak ini bukan seorang anak yang mudah dibodohi atau
dibujuk halus, atau pun yang mudah ditundukkan dengan ancaman atau siksaan. Padahal, ia menghendaki
agar dia menyerahkan diri dengan suka rela! Dengan demikian maka hasilnya akan lebih baik lagi bagi
dirinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan satu-satunya jalan adalah menggunakan kekuatan sihirnya! Mengapa ia lupa akan kepandaiannya itu?
Ia pernah mempelajari ilmu sihir dari Pek-lian-kauw dan kini ilmu sihirnya sudah lebih dari kuat untuk
mempengaruhi seorang bocah! Orang dewasa pun kalau tidak memiliki sinkang yang kuat akan mudah ia
tundukkan dengan kekuatan sihirnya. Apa lagi pemuda remaja yang lemah ini!
Ang-I Moli yang duduk bersila menghadapi Yo Han itu lalu membuat guratan-guratan dengan telunjuk
kanannya, kemudian mulutnya berkemak-kemik, matanya terpejam. Ia membaca semacam mantera untuk
mulai mempergunakan ilmu sihirnya untuk menyihir dan menguasai semangat Yo Han yang masih tidur
nyenyak.
Setelah membaca mantera, ia lalu membuka kedua matanya yang mengeluarkan sinar aneh menatap
wajah Yo Han. Juga kedua tangannya kini digerakkan dengan aneh, jari tangannya terbuka seperti cakar,
dan jari-jari tangan itu bergerak-gerak, kedua tangan itu diputar-putar sekitar kepala dan tubuh Yo Han.
Kembali mulutnya berkemak-kemik, kini mengeluarkan bisikan yang mendesis-desis.
“Yo Han, engkau telah berada dalam kekuasaanku, seluruh semangat dan kemauanmu tunduk padaku.
Jika nanti engkau kusuruh bangun, engkau akan tunduk dan menyerah padaku penuh kepasrahan, engkau
akan menganggap aku sebagai wanita paling cantik yang kau kasihi, engkau akan dibakar gairah birahi
dan engkau akan menuruti segala kehendakku dengan gembira. Kemauanmu akan lemah dan lembut
bagaikan domba, gairah birahimu akan bangkit setangkas harimau. Engkau akan selalu berusaha untuk
menyenangkan hatiku, dengan mentaati semua perintahku, hanya aku satu-satunya orang yang kau kasihi,
kau taati...” Ia lalu menutup bisikan mendesis itu dengan tiupan dari mulutnya ke arah muka Yo Han tiga
kali.
“Yo Han... Yo Han... Yo Han... bangunlah engkau, sayang!” Dia mengguncang pundak pemuda itu,
menggugahnya.
Yo Han adalah seorang anak yang memiliki kepekaan luar biasa. Sejak kecil, di waktu dia tidur, jika ada
sesuatu yang tidak wajar, sedikit suara saja sudah cukup menggugah dirinya dari tidur pulas. Maka begitu
Ang-I Moli menyentuh pundaknya ia pun terbangun, membuka kedua matanya, tetapi tidak seperti
biasanya, dia tidak segera bangkit duduk, namun memandang kosong ke depan, seperti orang melamun,
seperti melihat sesuatu yang amat menarik hati.
Dan memang dia merasa melihat sesuatu yang amat aneh. Dia merasa seolah kaki dan tangannya
terbelenggu, juga suaranya lenyap bagaikan gagu, dan dirinya hanyut oleh gelombang samudera, semakin
ke tengah dalam keadaan tidak berdaya sama sekali. Kemudian ia merasa ada kekuatan yang menariknya
ke tepi, bahkan ia seperti sedang menunggang gelombang, makin dekat ke tepi, lalu kaki tangannya yang
tadinya seperti terbelenggu itu terlepas bebas, dan mulutnya dapat bersuara lagi. Dia berenang sekuat
tenaga ke tepi, dan berhasil mendarat di pantai.
“Apa... apa yang terjadi padaku? Ya Tuhan, apa yang terjadi...?”
Suara ini pun seperti keluar dengan sendirinya, dari balik perasaan hatinya yang diliputi keheranan. Dan
begitu dia menyebut nama Tuhan. Semua itu pun lenyap dan seperti orang bangkit dari mimpi buruk, dia
kini duduk dan melihat bahwa di depannya duduk Ang-I Moli yang bersila.
Melihat pemuda remaja itu telah bangun duduk, Ang-I Moli tersenyum manis, merasa yakin bahwa sihirnya
telah mengena dan telah menguasai anak itu, walau pun ketika Yo Han menyebut Tuhan tadi hatinya
merasa amat tidak enak.
“Yo Han, engkau sayang padaku, bukan?” Ia menguji.
Yo Han memandang wajah subo-nya dengan heran, lalu menjawab lirih, “Tentu saja aku sayang padamu,
Subo. Kenapa Subo menanyakan hal itu dan membangunkan aku?”
“Hemmm, anak tampan. Aku ingin engkau membuktikan kasih sayangmu padaku. Nah, kesinilah, Yo Han,
peluklah aku… ciumlah aku,” katanya dengan senyum memikat dan nada suara memerintah.
Akan tetapi, kini terjadi hal yang mengejutkan dan mengherankan hatinya! Anak itu tidak bergerak menuruti
perintahnya, bahkan memandang kepadanya dengan alis berkerut dan mata bersinar marah!
“Subo, apa artinya ini? Subo menyuruh aku melakukan sesuatu yang tidak patut!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja Ang-I Moli terkejut. Bukankah sihirnya tadi sangat kuat dan anak ini sudah berada di dalam
cengkeraman ilmu sihirnya? Kenapa sekarang dia berani membantah dan menolak perintahnya?
“Yo Han! Aku sayang padamu dan engkau pun sayang padaku. Apa salahnya kalau engkau memelukku
dan menciumku untuk menyatakan kasih sayangmu itu?”
“Tapi aku bukan anak kecil lagi yang pantas dipeluk cium, Subo! Aku seorang pemuda yang sudah berusia
dua belas tahun, menuju ke masa remaja!”
Sekarang Ang-I Moli merasa penasaran bukan main. Semua ucapan Yo Han itu tidak menunjukkan bahwa
dia berada di bawah pengaruh sihir! Semua jawaban Yo Han itu mengandung perlawanan, bukan ketaatan.
Ia pun menguji lagi dan dengan suara nyaring mengandung perintah dia berseru, “Yo Han, bangkitlah
berdiri!”
Dan anak itu pun segera bangkit berdiri. Begitu taat!
“Tambahkan kayu pada api unggun!” perintahnya pula.
Tanpa menjawab, dan sedikit pun tidak membantah, Yo Han menghampiri api unggun, memilih beberapa
potong kayu bakar, kemudian menambahkannya kepada api unggun sehingga api kini membesar.
“Yo Han, sekarang duduklah kembali ke sini, di depanku!”
Sekali lagi Yo Han mentaati perintah itu dan menghampiri subo-nya, lalu duduk di depan subo-nya. Begitu
taat dan sedikit pun tidak membantah. Mereka duduk bersila saling berhadapan, dekat sekali sehingga Yo
Han dapat mencium bau harum minyak bunga yang semerbak dari pakaian dan rambut wanita itu.
Melihat betapa Yo Han selalu taat, Ang-I Moli menjadi semakin heran dan penasaran. Kenapa sekarang
anak itu begitu taat seolah sihirnya termakan olehnya?
“Yo Han…, kau rabalah kedua pipiku dan daguku dengan kedua tanganmu,” kembali ia memerintah.
Yo Han hanya memandang heran saja, akan tetapi kedua tangannya bergerak dan dia pun meraba-raba
kedua pipi yang halus dan dagu meruncing itu.
“Teruskan, raba leher dan dadaku...,” kata pula Ang-I Moli, kini suaranya mulai gemetar oleh bangkitnya
kembali gairahnya.
Akan tetapi sekarang, kedua tangan itu bukan turun ke leher dan dadanya, melainkan turun kembali ke
atas pangkuan Yo Han. Anak itu sama sekali tidak melaksanakan perintahnya.
“Yo Han, aku perintahkan, cepat kau raba dan belai leher dan dadaku dengan kedua tanganmu!” ia
membentak, mengisi suaranya dengan kekuatan sihir sepenuhnya.
Tetapi, jangankan anak itu melaksanakan perintahnya, bahkan kini Yo Han memandang kepadanya
dengan sinar mata yang aneh, heran dan juga penasaran.
“Subo, kenapa Subo mengeluarkan perintah yang aneh-aneh? Maaf, aku tidak dapat memenuhi perintah
itu.”
Barulah kini Ang-I Moli terkejut. Jelas bahwa anak ini tidak berada di bawah pengaruh sihirnya! Tidak
pernah! Kalau tadi nampak dia mentaati hanya karena taat yang wajar, bukan pengaruh sihir sama sekali.
Ia pun menjadi marah.
“Yo Han, bukankah engkau sudah berjanji akan mentaati semua perintahku? Mengapa sekarang engkau
membantah dan tak memenuhi perintahku yang amat sederhana dan mudah ini?”
“Subo, sudah kukatakan bahwa semua perintah Subo akan kutaati, kecuali bila perintah itu untuk
melakukan sesuatu yang jahat dan tidak benar. Perintah Subo itu tidak baik, karenanya maka aku tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
mau melaksanakannya. Perintahkan aku mengerjakan yang pantas, betapa berat pun pasti akan kutaati,
Subo.”
“Yo Han,” kini Ang-I Moli hendak mendapatkan kepastian dan ia tidak mau membuang waktu sia-sia
dengan membawa anak itu jauh-jauh ke tempat tinggalnya untuk kelak tidak tercapai pula maksudnya.
“Engkau harus mentaati semua perintahku, kalau tidak, untuk apa aku mempunyai murid yang membandel
dan membantah?”
“Untuk perintah yang tidak pantas, terpaksa aku menolak, Subo.”
Wanita yang sudah terbakar oleh gairah nafsunya sendiri itu, sama sekali tidak tahu bahwa Yo Han adalah
seorang anak yang aneh, memiliki sesuatu dalam dirinya yang oleh manusia pada umumnya akan
dianggap aneh.
Dia tidak pernah mempelajari ilmu silat dengan latihan, kecuali hanya menghafal semua teorinya saja, dan
dia pun tidak pernah belajar ilmu sihir. Namun, kekuatan sihir yang digunakan Ang-I Moli terhadap dirinya,
sama sekali tidak mempan, sama sekali tidak mempengaruhinya, hanya mendatangkan mimpi bahwa dia
hampir dihanyutkan ombak samudera. Kekuatan sihir Ang-I Moli bagaikan arus air sungai yang menerjang
batu, mengguncang sedikit saja lalu lewat tanpa mampu menghanyutkan batu itu.
Karena kini merasa yakin bahwa anak itu tidak lagi dapat dipengaruhinya dengan sihir, Ang-I Moli menjadi
penasaran dan tak sabar lagi. Ia lalu menanggalkan pakaian luarnya, begitu saja di depan mata Yo Han.
Anak ini mula-mula memandang dengan mata terbelalak heran. Akan tetapi pandang matanya lalu
menunduk ketika dia melihat tubuh subo-nya hanyalah terbungkus pakaian dalam yang tipis dan tembus
pandang.
Melihat betapa agaknya anak itu tidak dapat dipengaruhi oleh kecantikan dan keindahan tubuhnya, maklum
karena usianya pun baru dua belas tahun, belum dewasa, Ang-I Moli lalu merangkul dan menciumi Yo
Han. Diterkamnya anak itu bagaikan seekor harimau menerkam kelinci!
“Subo, apa yang Subo lakukan ini?! Subo, lepaskan aku! Ini tidak boleh, tidak benar, tidak baik...!”
Akan tetapi betapa pun dia meronta, tetap saja dia tidak berdaya menghindarkan diri. Yo Han kalah tenaga
dan tak mampu bergerak lagi saat wanita itu menerkamnya sehingga dia terguling dan dia lalu ditindih,
digeluti, didekap dan diciumi. Yo Han hanya dapat memejamkan matanya dan mulutnya berkemak-kemik
dengan sendirinya.
“Ya Tuhan... ya Tuhan...” Dia hanya menyebut Tuhan berulang-ulang.
Semenjak Yo Han mengenal akan kekuasaan Yang Maha Kuasa melalui bacaan dalam kitab-kitab, dia
yakin benar bahwa sumber segala kekuatan dan kekuasaan adalah satu, tunggal dan Maha Kuasa.
Keyakinan ini yang selalu membuat Yo Han secara otomatis menyebut Tuhan setiap kali terjadi sesuatu
menimpa dirinya. Hal ini mungkin karena dia sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi sehingga dia dapat
menyerahkan diri sepenuhnya dan seikhlasnya kepada Tuhan.
Ang-I Moli menjadi penasaran dan marah bukan main. Anak laki-laki itu sama sekali tak melawan lagi,
sama sekali tidak bergerak sehingga seolah-olah dia sedang menggumuli sebuah batu saja. Dan bisikanbisikan
yang menyebut Tuhan berulang-ulang itu sangat mengganggunya, bahkan api gairah birahi yang
tadi membakar dirinya perlahan-lahan menjadi dingin. Api gairah itu hampir padam.
“Engkau... engkau tidak mau melayani hasratku...?” tanya Ang-I Moli dengan suaranya yang terengahengah.
Yo Han tidak menjawab, tubuhnya telentang sedangkan pakaiannya awut-awutan. Dia menggeleng dengan
tegas.
“Biar pun dengan ancaman mati? Engkau tetap tidak mau?”
“Mati di tangan Tuhan. Aku tidak mau melakukan hal yang tidak benar!” Jawab Yo Han, suaranya lirih
namun tegas dan sepasang matanya bersinar-sinar.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Plak! Plak!”
Dua kali Ang-I Moli menampar kedua pipi Yo Han sehingga kepala anak itu terdorong ke kanan kiri dan
kedua pipinya menjadi merah. Ang-I Moli tidak ingin membunuhnya maka tamparan tadi pun menggunakan
tenaga biasa saja, namun cukup mendatangkan rasa nyeri dan panas. Namun Yo Han tetap memandang
dengan tabah, sedikit pun tidak memperlihatkan perasaan takut.
“Hemmm, hendak kulihat sekarang! Karena engkau harus dipaksa, maka engkau akan menderita. Salahmu
sendiri! Nah, sekali lagi aku memberi kesempatan. Kalau engkau menuruti semua kehendakku, engkau
akan hidup senang. Sebaliknya, bila engkau tetap menolak, aku juga bisa memaksamu dengan obat
perangsang dan racun, dan akhirnya engkau pun akan menyerahkan diri kepadaku, hanya saja, engkau
akan menderita dan mati!”
“Subo, dengan ancaman siksaan apa pun Subo tidak dapat memaksaku melakukan hal yang tidak benar.
Aku tidak takut mati karena kematian berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki aku harus mati,
aku pun akan menyerah dengan rela...”
“Cukup! Tidak perlu berkhotbah! Engkau mau atau tidak?”
“Subo, kuperingatkan Subo. Perbuatan Subo ini tidak benar dan berdosa. Kelak Subo akan menerima
hukuman dari Tuhan!”
“Tutup mulutmu!”
Tangan Ang-I Moli bergerak, lalu jari-jari tangannya menotok jalan darah di pundak dan pinggang Yo Han.
Tubuh Yo Han terkulai, tidak mampu bergerak lagi. Hanya kedua matanya yang masih terbelalak
memandang wajah wanita itu dengan penuh teguran.
“Subo dan aku adalah guru dan murid, tidak sepatutnya...”
“Tukkk!”
Kembali wanita itu menotok leher dan suara Yo Han menghilang. Dia tidak mampu lagi mengeluarkan
suara.
“Hi-hik, bocah cerewet!” Wanita itu kini terkekeh-kekeh dan dalam pandangan Yo Han wanita itu telah
berubah sama sekali.
Tadinya dia melihat wanita itu sebagai seorang wanita yang berwajah cantik, bersuara lembut dan
peramah. Akan tetapi kini, sepasang mata itu berubah laksana mata iblis, juga senyumnya menyeringai
mengerikan, suaranya agak parau dan mendesis, sedang wajahnya yang berbedak tebal itu seperti topeng.
“Hi-hi-hik, kita bukan guru dan murid lagi, melainkan seorang wanita dan seorang pria! Dan engkau, mau
tidak mau, harus menyerahkan hawa dan darah murnimu kepadaku. Sampai tetes yang terakhir! Dan
engkau akan menjadi seperti seekor lalat yang dihisap habis oleh laba-laba, sedikit demi sedikit darahmu
akan kuhisap sampai tinggal tubuh yang mengering tanpa darah. He-he-heh!” Mulutnya berliur
membayangkan kenikmatan dan keuntungan yang akan diperolehnya dari anak ini.
Kalau saja Yo Han mau menuruti semua kehendaknya, atau kalau saja anak itu dapat dikuasainya dengan
sihir, tentu ia akan dapat memperoleh kenikmatan yang lebih lama. Ia akan menghisap darah murni anak
itu sedikit demi sedikit, menikmatinya dari sedikit sampai akhirnya darah murni itu habis.
Sekarang terpaksa ia harus menggunakan paksaan dengan racun perangsang. Ia akan menghisap darah
itu dengan paksa. Mungkin anak itu hanya akan bertahan dua tiga hari saja. Ia akan menghisapnya sampai
habis dan akan tinggal sampai dia menyelesaikan pekerjaan itu di dalam kuil tua ini. Paling lama tiga hari
lagi dan ia akan berhasil. Ia akan siap untuk melatih diri dengan ilmu rahasia itu!
Melihat api unggun mulai mengecil karena kehabisan kayu bakar, Moli lalu menambah kayu, dan api
unggun membesar kembali. Sambil menyeringai dan bersenandung kecil menyatakan kegembiraan
hatinya, wanita itu lalu mengambil sebuah bungkusan kain dari dalam buntalan pakaiannya, lalu membuka
dunia-kangouw.blogspot.com
bungkusan itu dan mengeluarkan tiga butir pel dari dalam botol hijau. Ia duduk dekat api unggun saat
memilih isi bungkusan. Sisa obat itu dia bungkus kembali dan tiga butir pel berada di tangannya.
Yo Han mengikuti semua gerakan wanita itu dengan pandang matanya. Dia tahu bahwa dirinya terancam
bahaya, maka seperti biasanya dia lakukan, dalam keadaan seperti itu, penyerahan dirinya kepada
kekuasaan Tuhan menjadi semakin kuat.
Dia merasa yakin bahwa segala sesuatu sudah diatur oleh kekuasaan Tuhan! Kalau memang Tuhan
menghendaki bahwa dia harus mati di tangan wanita ini, apa boleh buat. Dia hanya dapat menerimanya
dengan pasrah karena maklum sedalamnya bahwa segalanya adalah milik Tuhan, berasal dari Tuhan dan
kembali kepada Tuhan. Karena kepasrahan yang mutlak ini, sedikit pun tidak ada rasa takut.
Rasa takut adalah perkembangan dari si-aku yang diciptakan oleh pengalaman masa lalu melalui pikiran.
Si-aku yang merasa terancam menimbulkan rasa takut. Takut kalau kesenangan yang sudah berada di
tangan itu terlepas dan hilang. Takut jika kesusahan akan menimpa dirinya, takut sakit, takut mati.
Si-aku ingin selalu di atas, ingin selalu menonjol, ingin selalu menjadi yang terpenting, terbesar, terbaik.
Rasa takut akan timbul jika si-aku merasa terancam kepentingannya, terancam keadaannya, takut kalau
dirinya akan kehilangan arti, takut, kalau dirinya akan lenyap oleh kematian, takut kehilangan segala yang
dimilikinya, yang menjadikan dirinya penting dan berarti. Takut akan kehilangan harta, kedudukan,
kehormatan, nama, takut kehilangan orang-orang yang dikasihi karena mereka yang dikasihinya itu
menimbulkan kesenangan. Pada hakekatnya, si-aku yang sesungguhnya hanyalah khayalan dari sang
pikiran yang menimbulkan rasa takut.
Yo Han dalam keadaan terancam bahaya maut, terancam siksa dan derita, tetap tidak mengenal rasa takut
sebab ia sudah menyerahkan segalanya, dengan sebulat batinnya, kepada kekuasaan Tuhan! Si aku
dalam dirinya tidak memegang peran lagi dan sebagai gantinya, semua diri seutuhnya, badan mau pun
batin, telah diserahkan kepada Tuhan dan karenanya, kekuasaan Tuhan sajalah yang membimbingnya dan
menjaganya.
Moli memasukkan tiga butir pel kehijauan itu ke dalam cawan araknya, lalu mengambil guci dan hendak
menuang isi guci ke dalam cawan itu. Akan tetapi segera ditahannya.
“Heh-heh, aku lupa! Engkau tidak suka arak. Kalau dicampur arak akan sukar memasuki perutmu.
Sebaiknya dengan air saja. Bukankah begitu, Yo Han?”
Akan tetapi anak itu tidak menjawab. Pada saat itu, semua panca indranya juga bekerja sendiri, tidak lagi
dikemudikan oleh hati dan akal pikiran. Karena itu, dia mendengar dan melihat tanpa penilaian, tanpa
pendapat. Hanya mendengar dan melihat saja seperti apa adanya, dan karena pikirannya tidak bekerja
menimbang-nimbang lagi, maka dia tidak merasa takut. Dia bagaikan seorang bayi di dalam gendongan
ibunya, tidak takut apa-apa dan merasa aman!
Demikianlah keadaan seorang yang berada dalam ‘gendongan’ kekuasaan Tuhan yang meliputi seluruh
alam maya pada ini, meliputi luar dan dalam, segenap penjuru dan di dalam apa saja yang nampak dan
tidak nampak, di dalam atau pun di luar dunia, di mana saja yang terjangkau pikiran mau pun yang tak
terjangkau. Jika sudah terbimbing oleh kekuasaan seperti itu, berada dalam gendongan kekuasaan seperti
itu, apa lagi yang dapat menimbulkan rasa takut?
“Heh-heh-heh-heh!” Moli menuangkan air ke dalam cawan, lalu menggunakan sumpit untuk
menghancurkan tiga butir pel di dalam cawan, melarutkannya sampai rata betul. Sambil terkekeh ia lalu
mendekati Yo Han yang masih memandang dengan sinar mata yang terang dan tenang.
“Hi-hi-hik, Yo Han. Dengar baik-baik. Tiga butir ini mengandung tiga macam racun yang amat kuat.
Pertama, racun perampas ingatan! Begitu meminumnya, engkau akan lupa segala. Semua ingatan tentang
masa lampau akan lenyap dan terlupakan. Enak sekali, bukan? Racun kedua mengandung racun
perangsang. Begitu meminumnya, engkau lantas menjadi seekor kuda jantan dalam birahi! Hi-hi-hik,
menyenangkan aku benar! Engkau tak akan pernah mengenal puas dan engkau harus menyalurkan terusmenerus
hasrat kejantananmu itu sampai tubuhmu yang tidak kuat lagi. Dan racun ke tiga adalah obat
kuat, agar tubuhmu kuat melakukan penyaluran hasratmu itu sampai habis, hi-hik! Sampai darah murnimu
terhisap habis olehku, hawa murni di dalam tubuhmu tersedot habis dan menjadi milikku, hi-hi-hik!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Yo Han tidak merasa ngeri mendengar semua itu. Yang ada hanya keheranan mengapa Ang-I Moli kini
berubah seperti ini! Seperti bukan manusia lagi. Sekarang baru dia tahu mengapa wanita ini dijuluki Ang-I
Moli (Iblis Betina Berpakaian Merah). Kiranya memang wataknya bagai iblis betina, seperti bukan manusia
lagi, penuh kelicikan dan kekejaman luar biasa.
“Bukalah mulutmu, sayang. Biar kutuangkan minuman yang sedap ini ke dalam perutmu melalui mulut.
Bukalah mulutmu,” kata Moli dengan suara manis merayu.
Tentu saja Yo Han tak mau membuka mulutnya. Ia memang masih bisa menggerakkan mulut karena yang
tak dapat digerakkan hanya kedua kaki dan tangan saja. Akan tetapi dia tidak sudi menuruti perintah
manusia yang sudah menjadi iblis itu.
“Buka mulutmu kataku!” Sekarang Moli membentak marah, akan tetapi Yo Han hanya memandang dengan
mata melotot, bahkan dia merapatkan kedua bibirnya.
“Anak bandel!” Moli berkata, lalu tangan kirinya menangkap rahang Yo Han dan sekali jari-jari tangannya
menekan, mulut Yo Han terbuka lebar tanpa dapat ditahannya lagi. Bahkan kini yang memegang rahang
Yo Han hanya tiga jari karena jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri Moli sudah di julurkan ke atas dan
menekan lubang hidung Yo Han.
Anak itu terpaksa menarik napas dari mulut karena hidungnya tertutup dan ketika Moli menuangkan air
dalam cawan yang sudah bercampur tiga butir pil yang sudah larut, dia tidak dapat memuntahkannya
keluar dan cairan itu pun tertelan dan masuk ke dalam perutnya.
“Hi-hi-hik, racun itu sudah masuk perutmu, Yo Han. Engkau akan segera tertidur karena pengaruh racun
perampas ingatan, akan tetapi besok pagi-pagi bila engkau terbangun, engkau akan jinak dan penurut
seperti domba, akan tetapi juga tangkas dan kuat seperti harimau. Hi-hik, sungguh akan menyenangkan
sekali. Sekarang, kau tidurlah, sayang...” berkata demikian, Moli membebaskan totokan jalan darah Yo Han
sehingga anak itu mampu bergerak kembali.
Yo Han menggerak-gerakkan kaki tangannya yang terasa kaku dan nyeri-nyeri, lalu bangkit duduk
memandang kepada Moli dengan sinar mata penuh teguran.
“Bibi, engkau sendiri yang tadi mengatakan bahwa kita bukan guru dan murid lagi, maka aku tidak akan
menyebutmu subo lagi. Bibi, engkau seorang manusia, mengapa engkau melakukan perbuatan yang lebih
pantas dilakukan iblis? Ingatlah, Bibi, perbuatan yang jahat akan menghasilkan akibat yang buruk bagi
dirimu sendiri…” Yo Han menghentikan ucapannya karena tiba-tiba saja dia merasa kantuk menyerangnya
dengan hebat sekali. Tak tahan dia untuk tidak menguap.
Ang-I Moli terkekeh genit. “Memang orang menyebutku iblis, Yo Han. Orang menjuluki aku Ang-I Moli,
kalau aku tidak bertindak seperti iblis, berarti julukanku itu tidak ada harganya dan kosong belaka, heh-hehheh!
Engkau sudah mulai mengantuk? Tidurlah sayang, tidurlah...!”
Wanita itu terkekeh-kekeh melihat Yo Han kini merebahkan diri miring di atas rumput kering dan segera
pulas. Ia pun menambahkan lagi kayu bakar di perapian, dan turut merebahkan diri di dekat Yo Han,
memeluk pemuda remaja itu dengan mesra. Ia sudah siap. Begitu Yo Han terbangun pada keesokan
harinya dan racun-racun itu bekerja, ia sudah siap.
Karena ia pun lelah dan mengantuk, sebentar saja Moli pulas juga. Ia tidak tahu bahwa tidak lama
kemudian api unggun itu padam dan hawa dingin menyusup tulang. Ia tidak terbangun, hanya merangkul
lebih erat. Yo Han juga tidak pernah terbangun karena dia agaknya sudah terpengaruh oleh racun yang
mulai bekerja di tubuhnya…..
********************
Karena sangat kecapaian dan tidur pulas sekali, Moli yang merangkul bahkan seperti menyelimuti tubuh Yo
Han dengan tubuhnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa lewat tengah malam, ada sesosok bayangan
hitam perlahan-lahan memasuki kuil tua yang kosong itu.
Bayangan itu ternyata seorang wanita yang berpakaian longgar, pakaian sutera kuning dengan kepala juga
dikerudungi sutera kuning. Karena penerangan hanya datang dari bulan yang muncul lambat sekali, bulan
dunia-kangouw.blogspot.com
yang tinggal sepotong, maka tidak dapat dilihat jelas wajah wanita berkerudung itu. Namun gerak-geriknya
halus walau pun ringan dan cekatan.
Langkahnya tidak menimbulkan suara ketika ia memasuki kuil. Tangannya memegang sebatang kayu
kering yang membara ujungnya. Ia mengayun kayu itu dan bara itu pun menyala kecil, cukup untuk
menerangi sekelilingnya sejauh tiga empat meter. Akan tetapi ia menggunakan tangan kiri menutupi
mukanya agar pandang matanya tidak silau oleh nyala api di ujung kayu itu. Dia memilih tempat, mencari
bagian yang kering dan bersih, agaknya untuk melewatkan malam.
Bagian depan dan tengah kuil itu agaknya tidak memuaskan hatinya karena memang selain lantainya tidak
begitu bersih, juga di bagian depan itu orang akan terserang angin karena terbuka. Di bagian dalam
memang terlindung dari angin, akan tetapi tempat itu agak lembab.
Ia lalu mengayun lagi kayu yang nyalanya telah padam dan hanya tinggal membara. Sekali ayun, bara itu
menyala kembali dan ia melangkah ke belakang. Diangkatnya kayu itu tinggi di atas kepala dan sekilas ia
melihat dua orang laki-laki dan perempuan yang saling berpelukan itu, si perempuan hanya mengenakan
pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang, si laki-laki yang masih remaja juga pakaiannya awutawutan.
Mereka itu tertidur nyenyak, perempuan merangkul laki-laki itu dengan erat sekali.
Ia menurunkan kayu dan nyala di ujung kayu itu pun padam. Ia lalu membalikkan tubuh dan kembali ke
ruangan depan, bahkan tak mau tinggal di ruangan dalam karena terlalu dekat dengan ruangan belakang.
Dinyalakannya kembali ujung kayu itu dengan ayunan tangannya, lantas dia pun mengumpulkan rumput
kering dan menaburkannya di sudut ruangan depan itu. Setelah itu, ia memadamkan kembali nyala api dan
duduk bersila.
Walau pun angin bertiup dan hawa dingin sekali, ia tidak kelihatan kedinginan. Bahkan nyamuk yang
banyak beterbangan di situ hanya beterbangan di sekitarnya dan agaknya tidak ada yang mencoba untuk
hinggap di mukanya, satu-satunya bagian tubuh yang nampak dan dapat digigit.
Entah apa yang menyebabkan nyamuk-nyamuk tidak berani hinggap di pipi atau leher itu. Agaknya harum
cendana yang keluar dari tubuh itulah yang membuat nyamuk tidak berani mendekat. Atau mungkin juga
bau hio berasap yang dibakar oleh wanita itu. Sebatang saja hio (dupa biting) yang nampaknya awet
sekali, mengeluarkan asap yang harum.
Wanita itu duduk bersila dan memejamkan matanya setelah mulutnya mengomel lirih. “Omitohud...
alangkah tega menodai tempat suci ini, sungguh pun kuil ini sudah tidak terpakai. Apakah mereka tidak
dapat mencari tempat lain yang lebih baik dan tepat untuk bermain cinta? Omitohud...”
Akan tetapi, ia segera melupakan apa yang terlihat olehnya tadi dan sudah tenggelam dalam semedhi yang
mendalam. Siapakah wanita ini?
Ia seorang wanita yang tidak muda lagi walau pun masih nampak cantik. Usianya sudah empat puluh tujuh
tahun, rambutnya sudah berwarna dua. Akan tetapi rambut yang tidak tersisir rapi dan awut-awutan karena
perjalanan jauh dan hembusan angin itu halus dan panjang, berkilau tanda sehat.
Rambut itu digelung secara aneh, tak mirip gelung orang daerah, lalu kepala itu ditutup kerudung sutera
kuning. Wajahnya masih belum diganggu keriput walau pun garis-garis di antara kedua matanya
menunjukkan bahwa ia seorang yang telah banyak mengalami pahit getir kehidupan di dunia. Sepasang
matanya jeli dan tajam, lebar dan berwibawa.
Di antara dua alisnya terdapat titik merah, suatu kebiasaan di negerinya karena wanita ini berasal dari
negara Bhutan, sebuah kerajaan kecil yang terletak di sebelah selatan Tibet. Tubuhnya masih padat dan
ramping, tanda bahwa selain sehat, juga wanita ini memiliki tubuh yang kuat dan terlatih.
Kalau ada orang Bhutan yang melihatnya, tentu orang itu akan bersikap amat hormat padanya. Hiasan
rambutnya yang berbentuk burung merak dan pakaiannya yang seperti pakaian pendeta itu menunjukkan
kedudukannya yang cukup tinggi di Kerajaan Bhutan. Ia adalah seorang puteri! Seorang wanita ningrat
keluarga dekat dari raja Bhutan.
Memang sesungguhnya demikianlah. Wanita cantik ini bernama Gangga Dewi, seorang puteri dari
Kerajaan Bhutan, atau lebih tepat lagi, ia masih cucu raja tua di Bhutan. Ibu Gangga Dewi adalah Puteri
Syanti Dewi, puteri raja, sedang ayahnya adalah seorang pendekar yang amat terkenal, dahulu berjuluk Si
dunia-kangouw.blogspot.com
Jari Maut dan bernama Wan Tek Hoat, atau kemudian setelah menjadi duda dan sudah tua lalu menjadi
seorang pendeta dan berjuluk Tiong Khi Hwesio.
Gangga Dewi lahir di Bhutan. Dia dilahirkan sesudah lebih dari sepuluh tahun ayahnya menikah dengan
ibunya, lalu dia hidup sebagai seorang puteri di kerajaan itu. Ayahnya menjadi seorang panglima atau
seorang penasehat perang. Sejak kecil dia pun menjadi gemblengan dari ayahnya, sampai dia dewasa dan
kemudian menikah dengan seorang panglima muda Bhutan yang telah banyak membuat jasa.
Gangga Dewi hidup berbahagia dengan suaminya dan ia melahirkan dua orang anak. Akan tetapi, saat dua
orang anaknya berusia belasan tahun, ibunya, yaitu Puteri Syanti Dewi, meninggal dunia karena penyakit
tua. Ayahnya, Wan Tek Hoat, seperti berubah ingatan ketika Puteri Syanti Dewi yang amat dicintanya itu
meninggal dunia.
Bagaikan orang gila Wan Tek Hoat tidak mau pulang dan tinggal dalam gubuk di dekat makam isterinya,
seolah-olah dia ingin menemani isterinya yang sudah berada di dalam kuburan. Akhirnya seorang pendeta
tua yang bijaksana dapat menyadarkan Wan Tek Hoat sehingga dia dapat menyadari kebodohannya,
menggunduli kepala, mengenakan jubah pendeta dan mempelajari keagamaan, menjadi seorang hwesio
(pendeta Buddhis berjuluk Tiong Khi Hwesio.
Kemudian ia meninggalkan Bhutan karena setelah isterinya meninggal dunia ia merasa terasing di Bhutan.
Puteri tunggalnya, Gangga Dewi, telah menikah dan hidup bahagia dengan suaminya, yaitu seorang
Bhutan asli. Maka dia pun pergi ke timur, kembali ke Tiongkok dan akhirnya berkunjung ke Istana Gurun
Pasir sampai meninggal di sana bersama saudaranya seayah berlainan ibu, yaitu nenek Wan Ceng dan
suaminya, Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu. Kisah itu dapat dibaca secara lengkap dalam cerita SI
BANGAU PUTIH.
Sepeninggal ayahnya, Gangga Dewi tetap hidup dalam keadaan tenteram dan bahagia. Bahkan dua orang
anaknya, seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan, sudah pula menikah dan hidup penuh kemuliaan
sebagai keluarga keturunan raja.
Akan tetapi, kehidupan manusia tidak mungkin tanpa perubahan. Nasib manusia selalu berputar, ada
kalanya terang juga ada kalanya gelap seperti keadaan cuaca. Lima tahun yang lalu, terjadilah perang di
perbatasan antara negara kecil Bhutan melawan negara tetangganya, yaitu Kerajaan Nepal. Sebagai
seorang panglima kerajaan, suami Gangga Dewi memimpin pasukan Bhutan yang turut berperang
melawan pasukan Nepal. Dalam pertempuran ini, suami Gangga Dewi tewas.
Walau pun di waktu masih hidup suami Gangga Dewi bukan merupakan seorang suami yang lembut,
bahkan merupakan seorang militer yang kasar dan bahkan keras, seorang yang terlalu jantan, tapi ketika
suaminya tewas, Gangga Dewi merasa kehilangan sekali dan ia pun tenggelam dalam duka yang
mendalam.
Agaknya ia mewarisi watak ayahnya. Dahulu Wan Tek Hoat ketika kehilangan isterinya juga dilanda
kedukaan yang hampir membuatnya gila. Kini Gangga Dewi demikian pula. Hidupnya seolah kosong dan
merana. Bahkan kehadiran cucu-cucunya dari dua orang anaknya tidak mampu menghibur hatinya.
Sesudah membiarkan dirinya merana sampai hampir lima tahun lamanya, akhirnya dia mengambil
keputusan untuk pergi ke timur, mencari ayahnya yang sekian lamanya tiada kabar berita dan tidak pernah
pulang pula.
Biar pun perjalanan itu amat sukar, melalui pegunungan yang tinggi, daerah sunyi yang penuh dengan
hutan, melalui pula padang tandus, serta banyak pula ancaman datang dari binatang buas dan penjahatpenjahat
yang suka merampok, namun Gangga Dewi selalu dapat menyelamatkan dirinya.
Kadang dia menggabungkan diri dengan khafilah yang melakukan perjalanan jauh, juga kadang
menyendiri. Namun, ia adalah seorang wanita yang tidak asing akan kehidupan yang keras. Ia mempunyai
ilmu kepandaian tinggi, pernah pula digembleng oleh ayah kandungnya sendiri. Dan ia pernah menjadi
isteri seorang panglima perang.
Selain itu, sikapnya berwibawa, kecantikannya agung sehingga jarang ada orang berani iseng
mengganggunya. Padahal, meski pun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, sebagai wanita dia
masih memiliki daya tarik yang kuat sekali, baik dengan wajahnya yang masih cantik jelita mau pun dengan
tubuhnya yang ramping dan berisi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah, pada malam hari itu Gangga Dewi tiba di bukit itu dan melihat kuil tua, ia pun memasukinya,
sama sekali tak mengira akan melihat pemandangan yang membuat dirinya merasa rikuh dan tidak enak
hati. Bukan karena melihat seorang wanita tidur berpelukan dengan seorang pria yang membuat ia merasa
tidak enak, namun melihat bahwa mereka melakukannya di dalam sebuah kuil, walau pun kuil kosong,
membuat ia merasa penasaran.
Bagaimana pun juga, manusia terikat oleh hukum adat, hukum umum, sopan santun dan tata susila, juga
hukum agama. Hukum-hukum inilah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya.
Seorang manusia yang sopan, yang tahu akan peradaban, mengenal tata-susila, sudah sepatutnya
menghargai sebuah kuil atau sebuah tempat pemujaan, dari golongan atau agama apa pun. Di negaranya,
Kerajaan Bhutan, agama amat dihormati, dan biar pun di sana terdapat berbagai agama, di antaranya
Agama Kristen, Hindu, Buddhis dan lain-lainnya, akan tetapi di antara agama terdapat saling menghormati
dan saling pengertian.
Kerukunan agama mendatangkan kerukunan dan ketenteraman kehidupan rakyat. Jika ada pertentanganpertentangan
kecil, maka pemuka agama dapat menenteramkannya kembali. Bagaimana pun juga inti
pelajaran semua agama adalah hidup rukun di antara manusia, saling mengasihi, saling menolong. Hidup
saleh dengan cara tidak melakukan perbuatan jahat, selalu memupuk perbuatan baik dan saling menolong.
Hidup beribadat dengan cara memuja Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta, sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing-masing. Kalau pun ada pertentangan, maka yang bertentangan adalah manusianya
dan pertentangan atau permusuhan itu merupakan pekerjaan nafsu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi ketika sinar matahari telah membakar ufuk timur dan kepadatan malam
gelap sudah memudar sehingga cuaca menjadi remang-remang, saat burung-burung ramai berkicau, sibuk
mempersiapkan pekerjaan mereka yang berulang setiap hari, yaitu mencari makan, Ang-I Moli terjaga dari
tidurnya. Ia menggeliat seperti seekor kucing, akan tetapi segera ia teringat dan membuka matanya,
kemudian bangkit duduk dan memandang kepada Yo Han yang masih tidur nyenyak. Dia tersenyum, lalu
merangkul dan mencium pemuda remaja itu.
“Bangunlah, sayang. Bangunlah dan peluklah aku...”
Yo Han membuka matanya. Seketika dia tersentak kaget ketika mendapatkan dirinya didekap wanita itu
dan mukanya diciumi. Bagaikan orang dipagut ular, dia meronta dan bangkit berdiri. Mukanya berubah
merah sekali, sepasang matanya terbelalak dan cepat dua tangannya sibuk membereskan letak
pakaiannya yang awut-awutan dan setengah telanjang.
“Apa... apa yang kau lakukan ini, Bibi?” bentaknya marah.
Wanita itu memandang heran sekali, hampir tidak percaya akan apa yang dilihat dan didengarnya. Menurut
penglihatan dan pendengarannya barusan, Yo Han sama sekali tidak berubah! Tidak hilang ingatannya,
tidak terangsang sama sekali! Ini tidak mungkin! Biar seorang laki-laki dewasa yang kuat sekali pun, tentu
akan terpengaruh oleh pel-pel itu! Apa lagi Yo Han yang masih remaja, masih boleh dibilang kanak-kanak.
“Yo Han, kau... kau... ke sinilah, sayang.” Ia mencoba untuk meraih. Akan tetapi Yo Han menghindarkan
diri dengan langkah ke belakang.
“Bibi, apakah engkau sudah menjadi gila?” Suara Yo Han lantang dan penuh teguran. “Ingatlah,
perbuatanmu ini amat kotor, hina dan jahat! Sadarlah, Bibi.”
“Yo Han, ke sinilah, sayang. Engkau sayang kepadaku, bukan? Marilah kita menikmati hidup ini...” Kembali
wanita itu meraih dan kini, biar pun Yo Han mengelak, tetap saja pergelangan tangannya tertangkap oleh
wanita itu.
Yo Han meronta, akan tetapi apa artinya tenaganya dibandingkan wanita yang sakti itu? “Lepaskan aku!
Engkau perempuan jahat, lepaskan aku! Aku tidak akan sudi menuruti kehendakmu yang keji dan hina!
Walau kau siksa, kau bunuh sekali pun, aku tidak sudi! Lepaskan aku, perempuan tak tahu malu!”
“Plakk!”
Sebuah tamparan dengan telak mengenai pipi Yo Han, membuat anak itu terpelanting dan di lain detik, dia
telah tertotok dan tidak mampu bergerak lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ang-I Moli menyeringai. Gairah birahinya sudah menghilang, terganti kemarahan karena ia dimaki-maki
tadi.
“Anak tolol! Diberi kenikmatan tidak mau malah memilih siksaan! Kau kira kalau engkau telah menolakku,
engkau akan bebas dan aku takkan berhasil menghisap semua darah dan hawa murni dari tubuhmu?
Hemm, terpaksa aku akan menghisapmu sampai habis hari ini juga. Darahmu akan kuminum sampai
habis. Tulang-tulangmu akan kukeluarkan kemudian sumsumnya kuhisap sampai kering. Dan engkau akan
lebih dahulu mampus kehabisan darah!”
Wanita itu tertawa-tawa seperti orang gila dan bagaimana pun juga Yo Han merasa ngeri. Bukan takut
akan ancaman itu, akan tetapi ngeri melihat wajah wanita itu dan mendengar suaranya. Dia merasa seperti
berhadapan dengan iblis, bukan manusia lagi.
“Sratttt...!”
Tangan wanita itu menyambar dan kuku jarinya yang tajam dan keras seperti pisau itu telah menyayat
leher di dekat pundak. Kulit dan daging tersayat, dan darah mengucur. Wanita itu lalu menempelkan
mulutnya pada luka itu dan menghisap darah yang keluar!
Pada saat yang amat gawat bagi Yo Han itu, yang hanya terbelalak ngeri namun tidak mampu bergerak,
terdengar suara lembut namun mengandung getaran kuat.
“Omitohud... hentikan perbuatanmu yang amat keji dan jahat itu, perempuan sesat!”
Ada hawa pukulan mendorong dari samping dan dengan terkejut Ang-I Moli meloncat berdiri dan
membalikkan tubuhnya. Bibirnya masih berlepotan darah sehingga nampak mengerikan sekali. Seperti
seekor binatang buas, lidahnya menjilati darah yang berada di bibir. Matanya liar memandang kepada
wanita berkerudung yang berdiri di depannya dengan sikap anggun dan berwibawa.
“Keparat! Siapa engkau berani mencampuri urusan pribadiku?” Ang-I Moli membentak dengan marah
sekali, matanya mencorong menatap wajah Gangga Dewi.
Ang-I Moli sama sekali tidak mengenal wanita yang berpakaian longgar serba kuning, dengan kepala
berkerudung sutera kuning pula itu, namun dari logat bicaranya, ia dapat menduga bahwa wanita ini datang
dari barat dan bukan berbangsa Han.
Gangga Dewi tidak menjawab. Semenjak tadi ia memandang kepada anak laki-laki yang masih
menggeletak di atas lantai. Tangan kirinya lalu bergerak dan nampak sinar putih menyambar ke arah tubuh
Yo Han. Kiranya itu adalah sehelai sabuk sutera putih yang meluncur bagaikan tombak dan begitu
mengenai pundak dan pinggang Yo Han dua kali, anak itu dapat menggerakkan kembali tubuhnya.
Yo Han seorang anak yang sangat cerdik. Begitu tubuhnya dapat bergerak, dia segera menggelindingkan
tubuh, bergulingan ke arah wanita berkerudung itu, lantas melompat bangun dan berdiri di belakangnya
berlindung di belakang Gangga Dewi.
“Terima kasih, Locianpwe (Orang Tua Sakti),” katanya.
Gangga Dewi melihat betapa darah masih mengucur dari luka di leher anak ltu, luka yang tadi sempat
dihisap oleh wanita berpakaian serba merah. Ia mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dan
memberikannya kepada Yo Han.
“Kau obati luka di lehermu dengan bubuk dalam bungkusan ini agar darahnya berhenti mengucur.”
“Heiii, keparat busuk! Siapakah engkau ini? Katakan namamu sebelum aku mencabut nyawamu!”
Meski pun sikapnya masih lembut, namun pandang mata Gangga Dewi kini berubah keras. Dengan
perlahan kepalanya tegak ke belakang, dadanya membusung dan dia nampak lebih tinggi dari biasanya,
anggun dan angkuh, juga mengandung kegagahan yang tersembunyi di balik kelembutannya.
“Perempuan sesat, tidak ada hubungan apa pun di antara kita dan aku pun tidak ingin berkenalan
denganmu. Akan tetapi, kekejaman dan kejahatan yang sudah kau lakukan terhadap anak ini tak mungkin
dunia-kangouw.blogspot.com
kudiamkan saja. Masih baik bahwa aku belum terlambat dan anak ini masih hidup. Maka, cepatlah pergi
dan bertobatlah. Masih belum terlambat bagimu untuk menebus dosamu dengan perbuatan baik dan
bertobat!”
“Keparat sombong! Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau sedang berhadapan? Aku adalah Ang-I
Moli dan tidak ada orang bisa hidup terus jika ia berani menentangku. Lekas kembalikan anak itu
kepadaku, kemudian buntungi lengan kirimu, baru aku akan mengampunimu!”
Mendadak Yo Han meloncat ke depan Gangga Dewi menghadapi Ang-I Moli dan dia marah sekali.
Telunjuk kanannya menuding ke arah wanita berpakaian merah itu dan suaranya lantang penuh teguran.
“Ang-I Moli! Tidak boleh kau lakukan itu! Bibi ini tidak berdosa, kenapa engkau begitu kejam menyuruh ia
untuk membuntungi lengannya sendiri? Engkau boleh menyiksaku, membunuhku, akan tetapi tidak boleh
mencelakai orang lain hanya karena diriku.” Dia menoleh kepada Gangga Dewi dan berkata, “Locianpwe,
harap cepat pergi dan jangan mengorbankan diri hanya karena aku!”
Gangga Dewi terbelalak kagum memandang kepada Yo Han. Bukan main anak ini, pikirnya. Ingin sekali ia
mengenal Yo Han lebih dekat dan mengetahui mengapa anak ini sampai terjatuh ke tangan wanita jahat
itu.
“Anak baik, ke sinilah engkau!” Tangan wanita berkerudung itu bergerak ke depan dan Yo Han merasa
dirinya tertarik kembali ke belakang wanita itu.
Gangga Dewi kini memandang kepada Ang-I Moli, lalu mengangguk-angguk. “Kini aku tidak merasa heran.
Kiranya engkau memang bukan manusia, melainkan iblis betina (Moli). Pantas engkau melakukan
kekejaman seperti itu. Ang-I Moli, engkau sepatutnya berguru kepada anak ini dan belajar tentang
kebajikan dari dia.”
“Engkau memang sudah bosan hidup!” Ang-I Moli membentak.
Dan tiba-tiba saja bagaikan seekor harimau yang marah, ia sudah menerjang dengan tubrukan ke arah
Gangga Dewi. Dari mulutnya terdengar suara melengking nyaring, tubuhnya seperti terbang meluncur dan
kedua lengannya dikembangkan, kedua tangan terbuka membentuk cakar hendak mencengkeram ke arah
leher Gangga Dewi.
Wanita Bhutan ini mengenal gerakan dahsyat dari serangan yang berbahaya itu, maka ia pun menggeser
kaki ke kiri sambil tangannya menyambar lengan tangan kiri Yo Han yang berdiri di belakangnya dan tubuh
anak itu terlempar sampai lima meter ke arah kiri. Yo Han terkejut dan dia pun terbanting jatuh, akan tetapi
kini berada di tempat aman, di bawah pohon di luar kuil karena lemparan tadi membuat tubuhnya melayang
keluar dari jendela ruangan belakang kuil itu.
Gangga Dewi sendiri setelah mengelak, lalu meloncat keluar dari ruangan. Ia merasa tidak leluasa untuk
menghadapi iblis betina yang ganas itu di dalam ruangan.
“Jangan lari kau, keparat!”
Ang-I Moli marah sekali ketika terjangannya hanya mengenai tempat kosong. Ia meraih ke arah pakaian
luarnya yang ditinggalkannya semalam, mengambil kantung jarum, juga menyambar pedangnya, mencabut
senjata itu dan melemparkan sarung pedangnya, kemudian ia melompat keluar melakukan pengejaran.
Akan tetapi orang yang dikejarnya itu sama sekali tidak lari, melainkan menanti diluar, di tempat yang
terbuka. Matahari pagi mulai menerangi dunia sebelah sini, sinarnya yang kemerahan membakar dan
menghalau sisa kegelapan malam.
Yo Han berdiri di belakang sebatang pohon sambil menonton dengan penuh perhatian. Tadi, setelah dia
bergulingan akibat ditampar oleh Gangga Dewi, dia bangkit berdiri. Dia melihat bayangan kuning
berkelebat dan wanita berambut kelabu itu sudah berada di dekatnya.
“Anak baik, engkau berlindunglah di balik pohon itu. Iblis betina itu berbahaya. sekali.”
Yo Han hanya mengangguk dan dia lalu berlindung di belakang pohon untuk melihat apa yang akan terjadi.
Sekarang dia tidak mengkhawatirkan lagi, maklum bahwa wanita berkerudung itu bukan orang
dunia-kangouw.blogspot.com
sembarangan dan berkepandaian tinggi. Betapa pun juga, dia masih merasa tegang, tidak rela kalau
sampai ada orang menderita celaka apa lagi sampai tewas karena membela dia.
“Bersiaplah untuk segera mampus, engkau perempuan asing yang lancang!” Ang-I Moli membentak lagi.
Sekarang ia menyerang dengan pedangnya, menusuk dengan gerakan kilat. Pedang di tangannya
meluncur dengan sinar menyilaukan mata karena tertimpa cahaya matahari pagi. Namun, ternyata
lawannya juga memiliki gerakan yang amat ringan dan tangkas.
Tidak begitu sulit bagi Gangga Dewi menghindarkan diri dari tusukan pedang itu dengan menggerakkan
kaki kirinya, melangkah ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Dari bawah samping, tangannya diputar
untuk menotok ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang.
“Syuuuttt...!”
Ang-I Moli terkejut bukan main dan cepat-cepat dia menarik kembali pedangnya, lalu melompat ke
belakang. Ia tadi melihat lawannya menggunakan jari telunjuk menotok ke arah pergelangan tangannya,
gerakannya aneh, cepat dan dari jari telunjuk itu datang angin yang amat dingin.
Tahulah ia bahwa lawannya ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, maka ia lalu memutar
pedangnya dan menyerang lebih ganas lagi. Pedang diputar sedemikian cepatnya sehingga bentuk
pedang itu lenyap dan berubah menjadi gulungan sinar yang mendesing-desing. Dari gulungan sinar itu
kadang mencuat sinar yang menyambar ke arah Gangga Dewi, merupakan serangan bacokan atau
tusukan.
Gangga Dewi terpaksa mengerahkan ginkang-nya dan berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri
dari sambaran pedang. Gerakan senjata lawan itu demikian cepat sehingga ia sama sekali tidak
mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang.
Ang-I Moli yang merasa penasaran itu terus mendesak dan mempercepat gerakannya. Ia tahu bahwa
sebelum ia merobohkan dan membunuh wanita berkerudung ini, tidak mungkin ia bisa menguasai Yo Han.
Padahal, tadi ia sudah mencicipi darah pemuda itu. Segar dan manis menyegarkan, dan menguatkan
badan rasanya!
Gangga Dewi terus saja mengelak dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya. Gerakannya
demikian lincah dan indah, seperti sedang menari saja sehingga Yo Han merasa kagum. Dia teringat
kepada subo-nya, Kao Hong Li, yang kalau sedang bersilat juga nampak memiliki gerakan yang indah,
seperti menari saja!
Dia menemukan tiga daya guna dalam ilmu silat. Pertama seni tari yang disukainya, ke dua seni olah raga
juga disetujuinya, dan ke tiga seni bela diri dan inilah yang membuat ia tak suka belajar silat. Bela diri ini
mengandung kekerasan sehingga akibatnya bukan sekedar menyelamatkan diri semata, tetapi balas
menyerang dan merobohkan lawan. Memukul roboh lawan, bahkan kalau salah tangan dapat membunuh
lawan! Kini, dia melihat betapa segi seni-tari menonjol sekali dalam gerakan wanita berkerudung yang
menolongnya, dan dia pun kagum.
Akan tetapi, setelah lewat belasan jurus, maklumlah Gangga Dewi bahwa tidak mungkin baginya untuk
hanya terus menerus mengelak saja. Kalau hal itu terus dilanjutkan akan membahayakan keselamatan
dirinya. Ia tahu bahwa lawannya lihai, dan selisih tingkat kepandaian antara mereka tidak banyak.
Ketika kembali pedang lawan mendesaknya sehingga ia harus berloncatan ke belakang, tiba-tiba ia
membuat lompatan agak jauh ke belakang dan dalam loncatan ke belakang itu ia bersalto sampai lima kali
dan ketika tubuhnya turun ke atas tanah, tangannya telah memegang segulung sabuk sutera putih yang
tadi ia lolos dari pinggang pada waktu ia berjungkir balik di udara. Hampir saja Yo Han bertepuk tangan
memuji, bukan memuji kehebatan ginkang itu, melainkan memuji keindahan gerakan tadi.
“Engkau iblis betina yang haus darah. Sudah sepatutnya kalau engkau dihajar!” kata Gangga Dewi dan
sekali tangan kanannya bergerak, gulungan sinar putih itu meluncur ke depan dan menegang, menjadi
seperti batang tombak yang kaku.
Pada saat itu, Ang-I Moli sudah menyerang lagi dengan bacokan pedangnya. Gangga Dewi menggerakkan
sabuk sutera putih itu menangkis.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Takkk!”
Dan pedang itu terpental, seolah bertemu dengan sebatang tombak besi atau kayu yang kaku dan kuat!
Akan tetapi melihat ini, tentu saja Yo Han tidak merasa kaget atau heran. Bagaimana pun juga, dia pernah
tinggal bersama sepasang suami isteri yang memiliki kepandaian silat tinggi dan dia pun sudah banyak
mempelajari ilmu silat walau pun hanya mengerti dan dihafalkannya saja. Dia tahu bahwa sabuk sutera di
tangan wanita berkerudung itu menjadi kaku karena pemegangnya mempergunakan tenaga sinkang yang
tersalur lewat telapak tangan ke sabuk itu. Dia hanya kagum karena gerakan silat wanita itu selain aneh,
juga amat indahnya.
Kini terjadilah pertandingan yang amat seru, tidak berat sebelah seperti tadi ketika Gangga Dewi hanya
terus-terusan mengelak. Kini dua orang wanita yang lihai itu saling serang dan diam-diam Ang-I Moli
mengeluh.
Sabuk sutera putih itu memang hebat. Pedangnya sudah digerakkan sekuatnya untuk dapat membabat
putus sabuk sutera itu, namun semua usahanya sia-sia belaka. Setiap kali terbacok, tiba-tiba sabuk itu
menjadi lemas dan tentu saja tidak dapat dibacok putus, bahkan ujung sabuk itu beberapa kali sempat
menggetarkan tubuhnya karena totokan yang hampir saja mengenai jalan darah dan membuat ia roboh.
“Haiiittt...!”
Mendadak Ang-I Moli mengeluarkan suara melengking, mengikuti gerakan pedangnya yang membabat ke
arah leher lawan.
Gambar BKS-14A
Gangga Dewi merendahkan tubuhnya, membiarkan pedang itu lewat di atas kepalanya dan dari bawah ia
hendak menotok dengan sabuk sutera yang sudah menegang. Tetapi tiba-tiba tangan kiri Ang-I Moli
bergerak dan ada sinar kecil-kecil merah menyambar ke arah tubuh Gangga Dewi.
“Uhhhhh...!”
Gangga Dewi terkejut, maklum bahwa ia diserang senjata rahasia yang lembut. Cepat ia melompat ke
belakang sambil memutar sabuknya yang membentuk payung di depan dirinya. Beberapa batang jarum
kecil merah runtuh.
“Keji...!” bentak Gangga Dewi.
Dan kini sabuk suteranya meluncur ke depan, menotok ke arah ubun-ubun kepala Ang-I Moli. Gerakannya
amat cepat karena dia tidak ingin memberi kesempatan lagi kepada lawan untuk menggunakan senjata
rahasia secara curang. Ang-I Moli melihat datangnya serangan yang amat berbahaya itu. Ia pun
mengerahkan tenaganya untuk menangkis dengan pedang.
“Plakkk!”
Pedang bertemu sabuk sutera yang segera berubah lemas dan melibat pedang. Bukan hanya melibat, juga
ujung sabuk itu masih terus ke depan menotok pergelangan tangan.
“Tukkk!”
Ang-I Moli mengeluarkan teriakan kaget karena tiba-tiba saja lengan kanannya menjadi kehilangan tenaga
dan di lain saat, sekali renggut Gangga Dewi telah dapat merampas pedang itu melalui libatan sabuk
suteranya! Dan sekali ia membuat gerakan mengebut, pedang yang terlibat ujung sabuk itu melayang jauh
dan lenyap di antara semak-semak.
Wajah Ang-I Moli langsung menjadi pucat saking marahnya. ”Keparat jahanam engkau! Hayo mengaku
siapa namamu sebelum kita mengadu nyawa!”
Gangga Dewi tersenyum dan menggelengkan kepalanya, “Aku tidak ingin berkenalan dengan iblis betina
kejam seperti engkau. Pergilah dan jangan ganggu lagi anak itu, dan semoga Yang Maha Kasih
dunia-kangouw.blogspot.com
mengampuni semua dosamu.” Sambil berkata demikian, Gangga Dewi telah menyimpan kembali sabuk
suteranya, dililitkan ke pinggangnya yang ramping.
Akan tetapi Ang-I Moli terlalu marah untuk mengalah begitu saja.
“Biar kukirim engkau ke neraka!” bentaknya.
Kini ia pun sudah menyerang lagi, mengeluarkan ilmu silat tangan kosong yang amat dahsyat, yaitu Peklian
Tok-ciang (Tangan Beracun Teratai Putih). Ilmu ini merupakan ilmu pukulan beracun yang bercampur
dengan kekuatan sihir, yang didapatkannya dari Pek-lian-kauw.
Melihat betapa kedua tangan lawan berubah menjadi putih pucat dan mengeluarkan bau harum-harum
keras menyengat hidung, Gangga Dewi mengerutkan alisnya.
“Omitohud, kiranya engkau iblis dari Pek-lian-kauw?”
Akan tetapi, Gangga Dewi tak merasa gentar. Ketika melihat lawan menyerang dengan kedua tangan yang
putih pucat itu melakukan gerakan mendorong, ia pun merendahkan tubuhnya dan menangkis dari
samping dengan memutar lengannya.
“Dukkk!”
Tubuh Gangga Dewi tergetar dan pada saat itu, secara curang sekali kaki Ang-I Moli melayang ke arah
selangkangan Gangga Dewi.
“Uhhh...!” Gangga Dewi berseru dan cepat merapatkan kedua kakinya dan miringkan tubuh. Namun, tetap
saja pahanya tersentuh dan terdorong oleh kaki Ang-I Moli yang melapisi sepatunya dengan besi di bagian
bawahnya, Gangga Dewi terpelanting roboh!
Melihat lawannya roboh miring, Ang-I Moli girang sekali, “Mampuslah!” Ia berseru dan menubruk ke depan
untuk mengirimkan pukulan yang terakhir, pukulan maut yang akan menewaskan lawan yang sudah roboh
itu.
“Moli, jangan...!” Yo Han masih sempat berteriak ketika melihat Ang-I Moli menyusulkan pukulan maut
kepada wanita berkerudung yang sudah roboh miring.
Akan tetapi tentu saja Ang-I Moli sama sekali tidak peduli akan teriakannya itu dan tetap melanjutkan
pukulannya dengan telapak putih pucat dari ilmu Pek-lian Tok-ciang!
Tetapi, saat ia tertendang dan terpelanting, Gangga Dewi memang sengaja membiarkan dirinya terjatuh
miring. Ia sengaja pula bersikap lambat sehingga memberi kesempatan kepada lawannya untuk mengirim
pukulan terakhir itu. Padahal, setelah kaki tangannya menempel pada tanah, diam-diam ia mengerahkan
ilmu simpanan yang dahulu pernah dipelajarinya dari ayahnya. Maka, begitu lawan mengirim pukulan maut,
ia pun segera mengangkat kedua tangannya, dengan telapak tangan terbuka ia menyambut pukulan itu.
“Dessss...!”
Hebat bukan main pertemuan antara dua tenaga itu. Tubuh Ang-I Moli terlempar ke atas seperti layanglayang
putus talinya dan ia pun terpelanting jatuh ke atas tanah! Bukan main kagetnya Ang-I Moli! Ia tidak
tahu ilmu apa yang dipergunakan wanita berkerudung itu.
Ia tidak tahu bahwa itulah Tenaga Inti Bumi! Dan masih untung baginya bahwa tenaga rahasia yang dimiliki
atau dikuasai Gangga Dewi belum mencapai puncaknya. Kalau demikian halnya, ia bukan hanya akan
terlempar dan terbanting jatuh, juga mungkin ia akan tewas seketika karena guncangan hebat akan
meremukan isi dada dan perutnya.
Ang-I Moli bangkit dan wajahnya pucat, matanya terbelalak. Ia merasa gentar sekali, akan tetapi melihat Yo
Han keluar dari balik pohon, ia merasa penasaran dan menyesal bahwa ia tidak bisa memiliki pemuda itu.
Kekecewaan ini menimbulkan kemarahan dan kebencian hebat.
“Mampuslah!” bentaknya dan ketika tangan kirinya bergerak, sinar merah menyambar ke arah Yo Han.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Awas...!” Gangga Dewi berteriak.
Ia cepat meloncat ke arah Yo Han untuk menyelamatkan anak itu. Namun terlambat. Yo Han mengeluh
dan roboh terjengkang ketika dadanya disambar sinar merah kecil-kecil itu.
Gangga Dewi tidak mempedulikan lagi Ang-I Moli yang melarikan diri sambil terkekeh-kekeh. Ia cepat
berlutut dan membuka kancing baju Yo Han. Anak itu roboh telentang dengan muka pucat dan napas yang
terengah-engah, matanya terpejam dan agaknya ia pingsan.
Ketika Gangga Dewi menyentuh dadanya, ia terkejut. Bukan main panasnya dada itu, seperti dibakar. Dan
ada lima bintik merah di dada anak itu. Ketika ia meraba, tahulah ia bahwa ada lima batang jarum masuk
ke dalam dada, masuk seluruhnya dan hanya tinggal ujungnya saja nampak terbenam di kulit. Jarum-jarum
itu kecil, tidak merusak isi dada, akan tetapi tentu mengandung racun jahat. Dan racun itu tentu menodai
darah anak ini, padahal letaknya demikian dekat dengan jantung! Sungguh berbahaya sekali.
“Anak yang malang...!” katanya.
Ia pun bersila di dekat tubuh Yo Han, lalu menghimpun tenaga sakti, menggosok kedua telapak tangannya,
kemudian ia menggunakan telapak tangan kanannya ditempelkan di dada Yo Han, menutupi lima bintik
merah itu. Ia mengerahkan sinkang-nya, menyedot dan setelah dahinya basah oleh keringat, juga dari balik
kerudung kepalanya mengepul uap putih, akhirnya ia berhasil. Lima batang jarum itu kini nampak
tersembul keluar.
Gangga Dewi menggunakan sapu tangan sutera, mencabuti kelima batang jarum yang amat lembut itu,
jarum yang merah kehitaman warnanya. Jelas jarum-jarum itu beracun, pikirnya.
“Iblis betina kejam...!” katanya lirih, kemudian setelah membuang jarum-jarum itu, ia memeriksa luka bekas
jarum.
“Omitohud...!” Serunya kaget dan heran.
Ia melihat darah merah kehitaman keluar dari lima luka kecil itu, seakan-akan darah beracun itu didorong
dari dalam! Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki sinkang yang sudah amat kuat.
Mungkinkah anak ini memiliki sinkang yang sedemikian kuatnya sehingga tenaga sakti dari dalam tubuh itu
dapat dikerahkan untuk mendorong keluar darah beracun dari luka-luka sekecil itu?
Akan tetapi, andai kata benar demikian, hal itu pun sama sekali tidak mungkin. Anak ini jelas dalam
keadaan pingsan! Tidak mungkin dia mampu mengerahkan sinkang-nya dalam keadaan pingsan. Kalau
bukan tenaga sinkang, lalu tenaga apa yang demikian hebatnya, yang dapat bekerja selagi orangnya
pingsan, yang mampu mendorong keluar racun dari dalam tubuh?
“Omitohud...!” kembali lagi wanita itu memuji kebesaran Yang Maha Kasih dan matanya terbelalak
mengamati dada itu.
Kini darah yang keluar dari kelima luka kecil itu sudah berwarna merah bersih, berarti bahwa racunnya
sudah terdorong keluar semua. Darah merah itu menetes-netes. Ketika ia merabanya, dada itu tidak panas
lagi, napas anak itu tidak terengah lagi, dan agaknya dia tidur pulas!
“Omitohud...!” Gangga Dewi terheran-heran dan kagum.
Dia lalu mengeluarkan obat dari bungkusan yang dilihatnya berada di dekat anak itu, bungkusan obat
bubuk yang tadi ia berikan kepadanya. Ditaburkannya bubuk obat luka itu pada lima luka kecil dan darah
pun berhenti menetes. Ia mengenakan lagi baju anak itu yang tadi ia buka, dan diam-diam ia merasa aneh.
Kalau menurut perhitungannya, orang yang terkena luka batang jarum beracun seperti itu, di dadanya, kecil
sekali harapannya untuk bisa diselamatkan nyawanya. Akan tetapi anak ini, tanpa pengobatan, hanya ia
bantu supaya jarum-jarum itu keluar, telah dapat sembuh dengan sendirinya. Racun berbahaya itu dapat
keluar dengan sendirinya, tanpa disengaja, karena anak itu pun masih dalam keadaan pingsan!
Sungguh selama hidupnya belum pernah Gangga Dewi melihat hal seperti ini, bahkan mendengar pun
belum pernah. Ilmu apa yang dimiliki anak ini sehingga ada kekuatan mukjijat yang melindunginya?
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah mengenakan kembali pakaian Yo Han, jari telunjuk Gangga Dewi lalu menekan tengah-tengah di
bawah hidung, sedikit di atas bibir. Yo Han mengeluh dan membuka matanya. Pada saat melihat wajah
wanita berkerudung itu, Yo Han segera teringat akan semua yang terjadi dan dia pun bangkit duduk.
“Di mana wanita jahat itu?”
“Tenanglah, anak yang baik. Ia sudah pergi melarikan diri.”
“Aahhhh... jadi Locianpwe berhasil mengusirnya?” kata Yo Han dengan hati lega. “Aku tadinya sudah
khawatir sekali melihat Locianpwe roboh...”
Gangga Dewi tersenyum dan menarik napas panjang. Pahanya yang tadi kena tendang masih berdenyut
nyeri.
“Ia memang licik dan lihai sekali, akan tetapi untunglah aku berhasil mengusirnya. Bagai mana dengan
lehermu?” Gangga Dewi sengaja tak menyinggung dulu soal luka di dada.
Yo Han meraba luka di lehernya yang tadi dihisap darahnya oleh Ang-I Moli. “Sudah kering berkat obat
Locianpwe yang amat manjur. Ihhh, wanita itu sungguh mengerikan. Ia... ia menghisap darahku!”
“Dan bagaimana dengan dadamu?”
“Dadaku? Kenapa dadaku, Locianpwe?”
Gangga Dewi menatap tajam wajah anak itu, penuh selidik. “Tidak tahukah engkau bahwa dadamu terluka
oleh jarum-jarum beracun?”
“Ahhh...?” Yo Han amat terkejut. “Aku tidak tahu, Locianpwe.” Dia meraba dadanya dan menggigit bibir.
“Sakitkah?”
“Perih sedikit.”
“Coba bernapas yang dalam dan rasakan, apakah terasa nyeri di sebelah dalam?”
Yo Han menarik napas panjang dan merasakan, lalu menggeleng kepalanya. “Tidak ada yang sakit,
Locianpwe.”
Gangga Dewi terheran-heran. Ia masih duduk bersila dan anak itu pun kini duduk di atas rumput. Mereka
saling pandang sejenak dan Yo Han lalu berkata,
“Locianpwe sudah menolong dan menyelamatkan aku dari ancaman wanita jahat itu. Terima kasih,
Locianpwe. Semoga Tuhan berkenan memberi kesempatan padaku untuk membalas budi kebaikan
Locianpwe ini.”
Gangga Dewi semakin kagum mendengar ucapan Yo Han. Seorang bocah yang luar biasa sekali. “Anak
yang baik, siapakah engkau? Siapa namamu dan dari mana engkau datang?”
“Namaku Yo Han, Locianpwe. Aku hidup sebatang kara, yatim piatu dan aku sedang dalam perjalanan
mengikuti Ang-I Moli.”
“Omitohud, anak yang patut dikasihani. Engkau sebatang kara? Akan tetapi bagaimana engkau dapat
bersama-sama seorang iblis betina seperti Ang-I Moli?”
“Aku tidak tahu bahwa ia sedemikian jahatnya, Locianpwe. Aku... aku menjadi muridnya dan sedang ia ajak
pergi ke tempat tinggalnya, entah di mana. Setelah sampai di sini, ternyata ia berubah mengerikan dan
hendak membunuhku, menghisap darahku..., ihh, mengerikan sekali. Ia seperti bukan manusia lagi.”
“Omitohud! Sudah menjadi kehendak Yang Maha Kasih bahwa kebetulan sekali aku pun datang ke kuil ini
untuk bermalam. Yo Han, sudah berapa lama engkau menjadi murid Ang-I Moli?”
“Baru kurang lebih dua minggu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ehhh? Jadi, engkau belum belum belajar ilmu silat darinya?”
“Sama sekali belum dan juga tidak. Aku tidak suka belajar ilmu silat, Locianpwe.”
“Apakah selama ini engkau belum pernah mempelajari ilmu silat?”
“Aku belum pernah latihan ilmu silat,” kata Yo Han.
Dia tidak mau berbohong. Memang sudah banyak dia mempelajari ilmu silat dari suhu dan subo-nya di
Tatung, akan tetapi ia hanya menghafal saja, dan tak pernah berlatih. Dia tidak mau membawa-bawa nama
suhu dan subo-nya, maka dia mengatakan saja bahwa dia belum pernah latihan silat, dan ini memang
benar.
Tentu saja jawaban Yo Han membuat Gangga Dewi menjadi makin terkejut dan heran. Selamanya belum
pernah latihan silat. Tetapi, lima batang jarum memasuki dadanya dan dia selamat! Dan anak yang tidak
bisa silat ini begitu berani dan tabahnya, berani menentang seorang iblis betina seperti Ang-I Moli!
Padahal, sekali pukul saja iblis itu dapat membunuhnya! Anak apakah ini?
“Yo Han, keteranganmu sungguh membuat aku menjadi bingung. Engkau tidak suka belajar ilmu silat.
Engkau seorang anak yang baik dan tidak suka akan kejahatan. Akan tetapi engkau melakukan perjalanan
bersama Ang-I Moli sebagai muridnya! Bagaimana ini? Keadaanmu serba bertolak belakang. Kenapa
engkau bisa menjadi murid seorang seperti Ang-I Moli dan apa yang hendak kau pelajari darinya kalau
bukan ilmu silat?”
Yo Han menarik napas panjang. Di antara segala macam kepalsuan yang dilihatnya sering dilakukan
manusia adalah membohong. Dia tidak suka berbohong. Akan tetapi dia pun tidak suka bicara tentang
suhu dan subo-nya.
“Begini, Locianpwe. Aku terpaksa menjadi muridnya meski aku tidak akan mau belajar ilmu silat darinya.”
“Engkau dipaksa menjadi muridnya dengan ancaman?”
“Tidak, akan tetapi aku sudah berjanji kepadanya. Ketika itu, dua pekan yang lalu, dia menculik seorang
anak perempuan. Aku lalu membujuknya untuk mengembalikan anak itu kepada orang tuanya. Ia mau
mengembalikan anak itu asal aku mau menukarnya dengan diriku. Jadi anak itu akan dibebaskan, akan
tetapi aku harus ikut dengannya, menjadi muridnya. Karena aku ingin anak itu dikembalikan kepada orang
tuanya, maka aku menyanggupi. Demikianlah, anak itu selamat dan aku pun ikut dengannya sampai ke
sini.”
“Bukan main! Luar biasa! Omitohud... belum pernah aku mendengar hal seperti ini...!” kata Gangga Dewi
dan ia pun tertegun.
Bocah ini, bocah yang usianya baru dua belas tahunan, telah mengorbankan diri untuk menolong seorang
anak lain! Dan bocah ini sama sekali tidak pernah belajar silat, akan tetapi memiliki keberanian seperti
seorang pendekar sejati! Lebih lagi, bocah ini tidak tewas biar pun terkena lima batang jarum di dadanya,
jarum-jarum beracun yang ia tahu sangat jahat dan mematikan karena dilepas oleh seorang iblis betina
seperti Ang-I Moli! Anak apakah ini?
“Ahhh, Locianpwe. Apanya yang bukan main dan luar biasa? Locianpwe sendiri sama sekali tak
mengenalku, akan tetapi Locianpwe telah turun tangan menolongku sehingga aku terhindar dari bahaya
maut di tangan iblis itu. Saling bantu di antara manusia sudah merupakan suatu kewajiban, bukan?”
“Omitohud... engkau benar sekali, Yo Han. Sekarang aku mulai mengerti mengapa iblis itu ingin sekali
menghisap darahmu. Engkau bagaikan Tong Sam Cong, sang perjaka saleh yang melakukan perjalanan
ke barat itu. Dalam cerita See-yu, perjaka Tong Sam Cong yang melakukan perjalanan ke barat untuk
memperdalam agama dan mencari kitab-kitab suci, juga dihadang oleh segala macam iblis dan siluman
yang ingin sekali menghisap darahnya.”
Yo Han tertawa dan kembali Gangga Dewi menjadi terkejut.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha, Locianpwe sungguh lucu. Kalau aku dianggap Tong Sam Cong, lalu siapa yang menjadi Sun
Go Kong, See Ceng dan Ti Pat Kay?”
“Engkau tahu pula akan cerita See-yu-ki?”
“Locianpwe, aku ini adalah seorang kutu buku. Hampir semua kitab kuno telah kubaca habis. Dongengdongeng
seperti See-yu-ki, Hong-sin-pong, Sie Jin Kui, Sam Kok dan yang lain telah saya baca semua!”
“Omitohud... engkau memang anak ajaib! Anak yatim piatu, sebatang kara, dalam usia dua belas tahun
sudah membaca semua dongeng kuno yang mengandung filsafat itu! Engkau sudah pula membaca Su-si
Ngo-keng?”
Dapat dibayangkan betapa Gangga Dewi melongo ketika melihat anak itu mengangguk dan menjawab
dengan sikap bersahaja, “Juga banyak kitab Agama Buddha dan kitab sejarah yang penuh kekerasan.”
Setelah sejenak tidak mampu bicara saking kagum dan herannya, Gangga Dewi lalu bertanya, “Yo Han,
setelah kini engkau terbebas dari Ang-I Moli, engkau hendak ke mana? Apa yang akan kau lakukan?”
“Locianpwe, aku seperti burung yang bebas terbang di udara. Aku tidak terikat oleh apa pun juga. Melihat
kejahatan Ang-I Moli yang sudah tak mengakui aku sebagai muridnya lagi, andai kata tidak ada Locianpwe
yang menolongku, tentu aku pun tidak suka lagi bersamanya. Kini aku bebas, aku hendak pergi ke mana
saja kakiku membawaku. Akan tetapi kalau mungkin, aku ingin sekali melihat kota Ceng-tu di Propinsi
Secuan.”
Untuk ke sekian kalinya Gangga Dewi tertegun. Anak ini penuh kejutan, pikirnya. Masih sekecil ini sudah
bicara tentang Propinsi Se-cuan, jauh di barat.
“Kota Ceng-tu di Se-cuan? Pernahkah engkau ke sana?”
Yo Han menggelengkan kepalanya. “Akan tetapi aku tahu di mana letaknya, Locianpwe. Pernah aku
mempelajari ilmu bumi dari kitab. Letaknya di barat, bukan? Kalau dari sini, menuju ke barat daya, melalui
Propinsi-propinsi San-si, Shen-si, barulah masuk Propinsi Se-cuan.”
Gangga Dewi yang baru saja melewati propinsi-propinsi itu pada saat ia meninggalkan Bhutan, tersenyum.
Keanehan anak ini demikian luar biasa sehingga terdengar lucu!
“Anak baik, kalau boleh aku mengetahui, ada keperluan apakah maka engkau hendak ke Ceng-tu di Secuan?”
“Locianpwe, baru-baru ini aku membaca kitab sejarah dan aku ingin sekali melihat batu monumen yang
didirikan oleh Chang Sian Cung.”
“Ahhh? Batu monumen terkutuk itu? Engkau tahu tentang batu monumen itu?”
“Aku sudah membaca sejarahnya, Locianpwe. Bukankah di batu monumen itu terdapat satu huruf saja,
yaitu huruf yang berbunyi BUNUH? Aku ingin melihatnya sendiri.”
“Yo Han, engkau tidak suka akan kejahatan dan kekerasan, tapi kenapa engkau ingin melihat batu
monumen terkutuk, lambang kekejaman dan pembunuhan itu?”
“Kisah itu amat mengesankan hatiku, Locianpwe. Kekejaman Chang Sian Cung itulah yang telah
menggerakkan hatiku sehingga aku tidak suka mempelajari ilmu silat, tidak suka menggunakan kekerasan
untuk mencelakai orang.”
Gangga Dewi bergidik membayangkan kekejaman yang terjadi seratus tahun lebih yang lalu di Propinsi Secuan.
Ia pun sudah mendengar akan kisah itu.
Lebih dari seratus tahun yang lalu, pada tahun 1649, yang berkuasa di Se-cuan adalah seorang penguasa
yang bernama Chang Sian Cung. Ketika itu bangsa Mancu baru saja menguasai Tiongkok dan dalam
masa peralihan itu, di mana-mana timbul pengingkaran terhadap kerajaan yang sedang diancam runtuh
oleh penyerangan bangsa Mancu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Banyak raja-raja muda dan penguasa-penguasa daerah merasa kehilangan pegangan, dan saat melihat
betapa kota raja terancam, mereka pun mengumumkan pengangkatan diri mereka sebagai penguasa yang
berdaulat penuh, tidak lagi menjadi hamba atau pamong praja yang bekerja di bawah pemerintahan
Kerajaan Beng-tiauw.
Chang Sian Cung adalah seorang penguasa di Se-cuan yang memiliki watak demikian kejamnya sehingga
mendekati tidak normal atau gila! Siapa pun orangnya yang tidak berkenan di hati, akan dibunuhnya!
Bahkan pernah dia memerintahkan para prajuritnya untuk membunuh isteri mereka masing-masing, hanya
disebabkan dia tak ingin melihat pengeluaran terlalu besar kalau para prajuritnya diikuti isteri-isteri mereka!
Yang tidak mentaati perintah ini, dibunuh sendiri!
Chang Sian Cung mengangkat diri menjadi bagaikan seorang raja, didukung oleh anak buahnya. Dia
begitu takut jika sampai kedudukannya diganggu orang, maka setiap ada orang yang nampak kuat, lalu
disuruhnya bunuh. Maka dalam waktu beberapa bulan saja, hampir semua laki-laki di daerah itu yang
bertubuh kuat dan dianggap berbahaya telah dibunuh tanpa dosa!
“Omitohud... mengapa engkau malah ingin melihat batu monumen yang melambangkan kekejaman yang
tiada taranya itu? Ketahuilah bahwa hampir semua orang di daerah itu, terutama kaum prianya yang
bertubuh kuat, dibunuh oleh Chang Sian Cung sehingga kini lebih banyak pendatang dari Propinsi Hu-pei
dan Shen-si yang tinggal di Se-cuan dibandingkan penduduk aslinya yang tinggal sedikit.”
“Aku telah membaca pula tentang hal itu, Locianpwe. Menurut catatan sejarah, Chang Sian Cung
mendirikan batu monumen dengan huruf tunggal berbunyi BUNUH itu untuk menakut-nakuti rakyat.
Setelah dia meninggal, batu monumen itu oleh rakyat kemudian dibalikkan agar huruf itu tak dapat dilihat.
Kabarnya, kalau batu monumen ini dibalikkan lagi sehingga huruf itu dapat terbaca, maka Chang Sian
Cung akan lahir kembali untuk melanjutkan kekejamannya di dunia.”
Gangga Dewi mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Memang benar demikian, akan tetapi yang terakhir
itu hanya dongeng dan tahyul belaka, Yo Han. Kehidupan manusia hanya selewatan saja, betapa pun baik
mau pun buruknya. Semua itu lewat dan takkan pernah kembali. Tidak mungkin Chang Sian Cung yang
sudah mati itu dapat kembali melanjutkan kebiadabannya, kecuali sebagai manusia lain, di tempat lain dan
dengan jalan hidup yang berlainan pula. Semua perbuatan manusia hakekatnya hanya akan menjadi
pengalaman yang lewat dan menjadi contoh mereka yang hidup kemudian. Dan perjalanan ke Se-cuan
bukan perjalanan yang dekat dan mudah. Apa lagi sekarang di wilayah Barat sudah mulai tidak aman,
banyak pergolakan dan pembesar daerah mulai memperlihatkan sikap menentang terhadap pemerintah
bangsa Mancu di timur.”
“Locianpwe, aku tak takut menghadapi kesukaran, dan aku juga tidak takut menghadapi pergolakan.”
Gangga Dewi tersenyum. Jika ia tidak berhadapan sendiri, tidak melihat dan mendengar sendiri, kalau
hanya diceritakan oleh orang lain, tentu ia tidak akan percaya ada seorang anak berusia dua belas tahun
seperti ini! Seorang anak yatim piatu, lemah dan miskin, namun memiliki keberanian yang sepantasnya
hanya dimiliki seorang pendekar sakti!
Anak seperti ini memiliki harga diri yang tinggi. Kalau ia menawarkan diri untuk menjadi guru anak ini,
belum tentu dia mau menerimanya. Kalau tadinya dia suka menjadi murid seorang wanita iblis semacam
Ang-I Moli, hal itu adalah karena dia hendak menolong seorang anak perempuan yang diculik iblis betina
itu.
Anak ini keras hati, namun lembut dan rendah hati, siap untuk menolong siapa saja. Ia harus pandai
mengambil hatinya kalau ia ingin menuruti dorongan hatinya yang amat sangat, yaitu mengangkat anak ini
sebagai muridnya.
“Yo Han, biar hanya sedikit, aku telah mendengar tentang riwayatmu. Engkau sebatang kara, yatim
piatu tidak mempunyai keluarga, hidup seorang diri saja di dunia ini, bukan? Nah, engkau boleh pula
mengenalku. Namaku Gangga Dewi, aku berasal dari Bhutan, ibuku seorang puteri Bhutan dan ayahku
seorang pendekar bangsa Han. Aku pun hidup seorang diri dan aku sedang melakukan perjalanan ke timur
untuk mencari ayahku yang sudah lama sekali meninggalkan Bhutan.”
“Locianpwe seorang yang pandai dan berilmu tinggi, tentu akan dapat berhasil dalam usaha Locianpwe
itu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Gangga Dewi menghela napas panjang. “Agaknya tidak akan semudah itu, anak yang baik. Semenjak
dewasa aku tak pernah berkunjung ke timur. Oleh karena itu aku sudah lupa lagi dan daerah timur
merupakan tempat yang asing bagiku. Jika saja engkau suka menolongku, Yo Han.”
“Menolong Locianpwe?” Aku...? Aihh, bagaimana seorang anak bodoh seperti aku akan dapat
menolongmu, Locianpwe?” Yo Han bertanya dengan heran. Sepasang mata yang jernih itu menatap wajah
wanita setengah tua yang memiliki raut muka yang lembut dan cantik akan tetapi pandang mata dan
sikapnya mengandung kekerasan itu.
“Yo Han, aku seorang asing di tempat ini. Aku tak tahu ke mana harus mencari ayahku. Aku hampir putus
asa mencarinya tanpa hasil. Aku sudah melakukan perjalanan amat jauh dan lama, dari Bhutan tapi
sampai kini tidak berhasil. Maukah engkau menolongku, Yo Han, menemani dan membantuku mencari
keterangan tentang ayahku itu? Karena engkau seorang bocah bangsa Han, kukira akan lebih mudah
mencari keterangan dan tidak akan dicurigai orang, tidak seperti kalau aku yang bertanya-tanya.”
Dua pasang mata itu bertemu. Yo Han melihat betapa mata wanita itu memandangnya penuh harap, penuh
permintaan. Ia merasa kasihan, dan juga baru saja ia diselamatkan oleh wanita ini, bahkan mungkin
diselamatkan dari ancaman maut yang mengerikan.
Baru saja orang ini menolongnya, menyelamatkan jiwanya. Jika sekarang penolongnya ini minta
bantuannya untuk mencarikan ayahnya, bagaimana ia akan mampu menolak? Kalau dia menolak, berarti
dia merupakan orang yang paling bo-ceng-li (tak tahu aturan) dan tidak mengerti budi.
Dengan tegas dia mengangguk. “Tentu saja aku suka menolongmu, Locianpwe. Akan tetapi kalau engkau
tidak tahu di mana adanya ayahmu itu, setidaknya lebih dulu aku harus mengetahui siapa namanya,
bagaimana rupanya, dan berapa usianya sehingga aku dapat bertanya-tanya kepada orang lain.”
“Ah, terima kasih, Yo Han. Sudah kuduga bahwa engkau tentu akan suka menolongku, anak yang baik.”
“Bukan menolong, Locianpwe, tapi hanya sekedar membantu mencari keterangan saja. Siapakah nama
ayahmu itu?”
“Ayahku bernama Wan Tek Hoat, dahulu di waktu mudanya terkenal dengan julukan Si Jari Maut. Usianya
sekarang delapan puluh tahun lebih dan dia telah menjadi hwesio (pendeta Buddha) dengan nama Tiong
Khi Hwesio...”
“Ahhh... Tiong Khi Hwesio...?” Yo Han berseru kaget dan memandang wanita itu dengan mata terbelalak.
“Ya, kenapa, Yo Han?” tanya Gangga Dewi. Anak ini memang penuh kejutan. “Apakah engkau mengenal
nama itu?”
“Tentu saja, karena beliau adalah seorang di antara guru-guru dari suhu-ku.”
“Ehhh?”
Untuk kesekian kalinya Gangga Dewi terkejut. Anak ini penuh kejutan yang aneh dan sama sekali tidak
disangka-sangka, seolah tidak ada habisnya segala macam keanehan terdapat pada diri anak ini.
“Bukankah gurumu Ang-I Moli tadi?”
“Sebelum aku ikut dengan dia untuk menyelamatkan seorang anak perempuan, sejak aku kehilangan
orang tua, aku sudah dipelihara oleh suhu dan subo-ku yang pertama, Locianpwe. Mereka itu adalah suhu
dan subo-ku, juga pengganti orang tuaku. Mereka adalah orang-orang sakti, keturunan dari keluarga Istana
Pulau Es dan keluarga Istana Gurun Pasir.”
“Wahh... Omitohud... engkau sungguh seorang anak yang luar biasa, Yo Han. Siapakah suhu dan subo-mu
itu? Katakan, siapa nama mereka?”
“Suhu bernama Tan Sin Hong, dan subo bernama Kao Hong Li. Apakah Locianpwe mengenal mereka?”
Gangga Dewi menggelengkan kepalanya. “Dan kau katakan tadi bahwa suhu-mu yang bernama Tan Sin
Hong itu adalah murid dari ayahku Tiong Khi Hwesio?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, Locianpwe. Suhu pernah bercerita bahwa dia mempunyai tiga orang guru, yaitu Tiong Khi Hwesio,
kemudian suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu dan Wan Ceng...”
“Ahhh...! Wan Ceng itu adalah bibiku saudara seayah dengan ayahku yang ketika muda bernama Wan Tek
Hoat! Omitohud... kenapa bisa begini kebetulan? Yo Han, ternyata di antara kita masih ada hubungan
dekat sekali melalui gurumu! Anak baik, coba ceritakan lebih jelas tentang suhu-mu dan subo-mu itu.”
“Suhu-ku tidak pernah bercerita tentang orang tuanya, hanya bahwa dia juga yatim piatu seperti aku dan
sejak kecil dia dirawat dan dijadikan murid tiga orang sakti yang telah kuceritakan tadi.”
“Kalau begitu, suhu-mu itu terhitung sute-ku (adik seperguruanku) sendiri, jadi engkau masih murid
keponakanku sendiri! Dan subo-mu? Siapa namanya tadi? Kao Hong Li? She Kao...”
“Subo juga amat lihai. Ayahnya adalah putera dari Istana Gurun Pasir...”
“Ahh, kalau begitu, ayah subo-mu itu masih saudara sepupuku sendiri! Tentu dia putera Bibi Wan Ceng!”
“Sedangkan ibu dari subo adalah seorang wanita dari keluarga Pulau Es.”
“She Suma...?”
“Ya, kalau tidak keliru, nama ibu dari subo adalah Suma Hui...”
“Omitohud...! Ibu dari subo-mu itu puteri Paman Suma Kian Lee! Ahh, ahh, jadi engkau murid dari suami
isteri yang demikian hebatnya? Engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari Istana Gurun Pasir dan dari Istana
Pulau Es. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahku juga? Hebat! Tapi... tapi... kau katakan tadi bahwa engkau tidak
bisa ilmu silat, tidak suka ilmu silat? Bagaimana ini?”
“Aku adalah seorang murid yang tidak baik, Locianpwe...”
“Wah, jangan engkau menyebut aku locianpwe lagi. Kita masih terikat hubungan yang amat dekat, Yo Han.
Kalau dihitung dari suhu-mu Tan Sin Hong itu, maka aku adalah bibi gurumu. Kalau dihitung dari subo-mu
Kao Hong Li yang masih cucu dari Bibi Wan Ceng, maka aku adalah nenek gurumu karena subo-mu itu
terhitung keponakanku sendiri! Kau sebut, saja aku Bibi Gangga Dewi.”
”Baiklah, Bibi. Seperti telah kukatakan tadi, aku adalah seorang murid yang buruk. Suhu dan Subo adalah
pendekar-pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi aku... aku tidak pernah mau berlatih silat sebab aku
melihat kekerasan dalam ilmu silat yang tidak cocok dengan bakat dan watakku.”
Gangga Dewi mengerutkan alisnya. Anak ini aneh, akan tetapi dalam hal ilmu silat, dia memiliki pandangan
yang sempit, mendekati sombong malah!
“Tapi mereka berdua itu mengajarkan ilmu silat kepadamu?”
“Tentu saja, Bibi. Selama lima tahun, Suhu dan Subo menggembleng dan mengajarkan ilmu-ilmu silat
mereka. Akan tetapi, meski pun aku menghafal semua ilmu itu, aku tidak pernah mau berlatih.”
“Kenapa?”
“Karena aku tidak melihat manfaatnya berlatih silat. Hasilnya hanya akan menanamkan kekerasan dan
kekejaman dalam hatiku. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga, tidak ingin berkelahi dengan
siapa pun juga, dan tidak ingin menang dari siapa pun. Untuk apa berlatih silat?”
Sombongnya, pikir Gangga Dewi. Kalau saja yang bicara itu seorang dewasa, tentu dia akan marah. Tetapi
Yo Han masih begitu kecil, masih mentah, sehingga ia menganggap bahwa pandangan dan pendapat itu
hanya pendapat anak kecil yang belum matang.
“Lalu, kalau suhu dan subo-mu telah menjadi pengganti orang tuamu, mengapa engkau meninggalkan
mereka dan mengikuti seorang jahat macam Ang-I Moli?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sudah kuceritakan bahwa untuk menyelamatkan seorang anak perempuan yang diculik Ang-I Moli, aku
menggantikannya dan terpaksa ikut dengannya sesuai yang kujanjikan.”
“Tapi, kenapa tidak kau laporkan pada suhu dan subo-mu? Tentu mereka akan mampu mengusir Ang-I
Moli dan menolong anak perempuan itu. Kenapa engkau meninggalkan keluarga yang amat baik itu?”
Yo Han diam sejenak, kemudian sambil menentang mata wanita itu, dia bertanya, “Bibi tentu tidak ingin
kalau aku membohong, bukan?”
“Tentu saja tidak!”
“Nah, kalau begitu, harap Bibi jangan bertanya tentang kenapa aku pergi meninggalkan Suhu dan Subo.
Yang penting sekarang adalah aku membantu Bibi untuk mencari tahu di mana adanya ayah Bibi, yaitu
Sukong (Kakek Guru) Tiong Khi Hwesio, bukan?”
Gangga Dewi memandang dengan mata terbelalak. Anak ini memang aneh sekali. Akan tetapi keras hati,
jujur, dan pemberani. “Baiklah, Yo Han. Sekarang bawa aku ke rumah suhu dan subo-mu itu, karena
mereka pasti tahu di mana adanya ayahku sekarang.”
Yo Han tahu bahwa memang yang paling mudah adalah membawa wanita peranakan Bhutan ini ke rumah
suhu dan subo-nya. Pertama, rumah mereka tidak begitu jauh dari situ, dan ke dua, tentu saja suhu-nya
merupakan orang yang paling dekat dengan Tiong Khi Hwesio dan tentu akan dapat mengatakan di mana
bibi Gangga Dewi akan dapat menemui ayahnya.
Tetapi, tidak mungkin dia kembali ke rumah suhu dan subo-nya. Dia telah meninggalkan mereka karena
kehadirannya di rumah itu tak dikehendaki suhu dan subo-nya, terutama subo-nya. Mereka ingin
menjauhkan Sian Li darinya. Kalau dia kembali ke sana, tentu suhu dan subo-nya akan menitipkan dia ke
dalam kuil dan dia tidak ingin hal itu terjadi. Dia tidak mau tinggal di kuil, dan dia tidak mau menyusahkan
suhu dan subo-nya.
“Aku tidak dapat pulang ke rumah mereka, Bibi. Akan tetapi aku dapat membawa Bibi kepada seseorang
yang tentu akan dapat pula memberi tahu ke mana Bibi harus pergi untuk menemui ayah Bibi itu.”
“Hemm, siapakah orang itu, Yo Han? Dan di mana tempatnya?”
“Dia adalah seorang tua gagah yang kini mengasingkan diri dan bertapa di Pegunungan Tapa-san. Aku
pernah dititipkan Suhu kepadanya, Bibi. Dan aku yakin dia akan dapat menerangkan di mana adanya ayah
Bibi. Dan dia juga anggota keluarga Istana Pulau Es, namanya Suma Ciang Bun, masih paman dari Subo
karena ibu dari Subo adalah kakak dari Kakek Suma Ciang Bun.”
“Suma... Ciang... Bun...?”
Sepasang mata itu terbelalak, bibir itu gemetar dan wajah itu berubah pucat sekali, lalu menjadi merah.
Gangga Dewi merasa betapa jantungnya tergetar hebat, akan tetapi dia cepat menguasai perasaannya.
“Dia... putera Paman Suma Kian Lee. Baik, mari kita pergi mencarinya, Yo Han.”
Pergilah mereka meninggalkan kuil itu. Diam-diam Gangga Dewi merasa girang sekali. Ia amat tertarik
pada anak ini dan ingin mengetahui lebih banyak, bahkan kalau mungkin ia ingin menariknya menjadi
muridnya. Apa lagi setelah kini terdapat kenyataan bahwa anak ini masih terhitung murid keponakan atau
juga cucu muridnya sendiri.
Dan pertemuannya dengan Yo Han ternyata juga memudahkan ia menemukan ayahnya yang sudah lama
ia rindukan. Yo Han sendiri tidak tahu dan tidak pernah mendengar dari suhu-nya bahwa tiga orang guru
dari suhu-nya itu telah meninggal dunia semua.
Di lain pihak, Yo Han juga sangat kagum kepada Gangga Dewi. Wanita ini selain gagah perkasa dan
tangkas, juga memiliki watak yang tegas. Wanita ini tidak cengeng dan tidak mendesaknya untuk bercerita
banyak tentang dirinya, bahkan ketika dia tidak mau menceritakan tentang sebab dia meninggalkan suhu
dan subo-nya, Gangga Dewi sama sekali tidak tersinggung dan tidak mau bertanya lebih jauh mengenai
hal itu. Wanita ini pendiam dan tidak cerewet…..
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Kaisar Kian Liong sudah berusia enam puluh tahun lebih. Kelak dalam sejarah dia akan dikenal sebagai
Kaisar yang berhasil dalam tugasnya memimpin Kerajaan Mancu, yaitu Wangsa Ceng. Dialah Kaisar ke
dua dari bangsa Mancu yang menjadi Kaisar semenjak muda sampai lanjut sekali.
Sejak berusia sembilan belas tahun ia telah menjadi Kaisar, dan kini sudah empat puluh empat tahun dia
memegang tampuk kerajaan tetapi belum nampak tanda-tanda bahwa ia akan meninggalkan singgasana.
Bahkan dalam usia enam puluh tiga tahun, ia masih nampak penuh semangat.
Harus diakui dalam sejarah bahwa selama ia berkuasa (1736-1796), yaitu selama enam puluh tahun,
pemerintahannya memperoleh kemajuan pesat. Bahkan Kaisar Kian Liong yang dibantu banyak orang
pandai berhasil memadamkan api pemberontakan di mana-mana. Juga di daerah barat, pemberontakan
dapat dia tundukkan dan daerah barat itu kemudian diberi nama Sinkiang (Daerah Baru).
Bala tentara di bawah Kaisar Kian Liong sangat besar dan kuat. Ketika di Tibet timbul kerusuhan, yaitu
ketika bangsa Gurkha dari Nepal menyerbu ke daerah itu, Kaisar Kian Liong mengirimkan pasukan yang
kuat ke Tibet untuk mengusir penyerbu itu. Bahkan ketika orang-orang Gurkha dari Nepal itu dipukul
mundur dan melarikan diri kembali ke negaranya, pasukan Mancu melakukan pengejaran, melintasi
Pegunungan Himalaya dan memasuki Nepal.
Bala tentara bantuan dikerahkan dari kota raja, dan dengan kekuatan penuh pasukan-pasukan Mancu
menyerang bagai gelombang yang dahsyat dan menggetarkan seluruh daerah barat. Perjalanan yang jauh
dari pasukan itu, melintasi daerah yang amat sulit di Pegunungan Himalaya, telah membuktikan kehebatan
pemerintahan Kaisar Kian Liong. Akhirnya pasukan itu berhasil menaklukkan bangsa Gurkha dan juga
memaksa mereka mengakui kekuasaan yang dipertuan Kerajaan Ceng-tiauw di Cina.
Bukan hanya ke barat bala tentara Kaisar Kian Liong memperlihatkan ketangguhannya. Juga ketika terjadi
kekacauan di selatan, yaitu saat bangsa Birma mengacau di Propinsi Yunan bagian barat daya, Kaisar
Kian Liong segera mengirimkan pasukan pilihan untuk mengamankan daerah itu. Pasukan ini lalu memukul
mundur bangsa Birma kembali ke negara mereka, bahkan terus menyerbu ke Birma.
Meski sampai dua kali pasukan Mancu menyerbu Birma dan rakyat Birma mati-matian mempertahankan
diri sehingga tidak dapat ditundukkan, tetapi Kaisar Kian Liong sudah cukup puas telah dapat memberi
‘pelajaran’ dan akhirnya bangsa Birma juga mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng di Cina. Demikian pula
dengan negeri An-nam yang pada jaman pemerintahan bangsa Mongol sudah ditundukkan, lalu sempat
memberontak dan oleh pasukan Mancu dapat ditundukkan kembali.
Bagi rakyat, seorang Kaisar dianggap sebagai orang ‘pilihan Tuhan’ bahkan ada yang menyebutnya wakil
Tuhan atau putera Tuhan! Demikian tingginya pandangan rakyat jelata terhadap Kaisarnya sehingga
seorang Kaisar selalu didewa-dewakan dan tidak dianggap sebagai manusia lumrah!
Padahal, bila ada yang dapat menjenguk ke dalam istana dan mengikuti cara hidup dan keadaan seorang
Kaisar, seperti Kaisar Kian Liong sekali pun, akan terbuka matanya melihat kenyataan bahwa seorang
Kaisar pun hanya seorang manusia biasa! Seorang manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan
pribadi, seperti juga halnya manusia-manusia lain di dunia ini, seorang manusia yang pada hakekatnya
bertubuh lemah, tidak kebal terhadap penyakit dan kematian. Seorang manusia yang berbatin lemah, tidak
kebal terhadap nafsu-nafsu yang menggodanya, yang selalu menjadi korban permainan suka-duka dan
puas-kecewa.
Ketika itu tahun 1780, dan Kaisar Kian Liong sudah berusia enam puluh tiga tahun. Permaisurinya sudah
meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Namun Kaisar Kian Liong tidak merasa kesepian dengan
meninggalnya sang permaisuri itu. Apa lagi sudah lama dia selalu dilayani dan didampingi selirnya yang
paling dia kasihi, yaitu Puteri Harum yang setelah menjadi isterinya dikenal dengan sebutan Siang Honghouw
(Permaisuri Harum).
Selir yang kini menjadi pengganti permaisuri ini adalah seorang puteri tawanan. Kaisar Kian Liong memang
terkenal sebagai seorang Kaisar yang bijaksana sejak ia pangeran, memiliki pergaulan yang luas dengan
para pendekar dan dikenal sebagai seorang yang pandai bergaul, pandai mengambil hati bawahan,
bahkan disukai oleh rakyat jelata. Akan tetapi ia pun terkenal sebagai seorang laki-laki yang mudah tergilagila
oleh wanita cantik dan tak pernah berhenti mengejar wanita-wanita cantik.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah dia menjadi Kaisar, di samping mengurus kerajaan dengan tekun dan bijaksana, dia tidak pula
melepaskan kesukaannya mengumpulkan wanita-wanita cantik. Namun, seperti halnya nafsu-nafsu
lainnya, nafsu birahi pun seperti api, makin diberi umpan, semakin lapar! Nafsu tidak pernah mengenal arti
puas dan cukup, yang dikenalnya hanyalah bosan akan yang lama dan haus akan yang baru, tiada
hentinya mencari dan mencari demi kehausannya yang tak kunjung habis.
Ketika seorang panglimanya bercerita akan kecantikan seorang puteri di daerah barat, yaitu di Sinkiang,
Kaisar Kian Liong tertarik sekali. Hati pria mana yang tidak akan tertarik kalau mendengar betapa puteri
bangsa Uighur itu, cantik seperti bidadari, akan tetapi juga terkenal sekali karena tubuhnya selalu
mengeluarkan keharuman yang dapat memabokkan setiap orang pria. Biar pun puteri itu, anak seorang
kepala suku bernama Ho-couw, sudah menikah dengan seorang kepala suku beragama Islam, akan tetapi
di seluruh Sinkiang ia terkenal dengan sebutan Puteri Harum!
Mendengar berita mengenai wanita ini, Kaisar Kian Liong menjadi tergila-gila! Belum pernah selama
hidupnya dia mendapatkan seorang wanita yang keringatnya berbau harum! Keharuman pada tubuh
wanita-wanita yang menjadi selirnya adalah keharuman buatan, bahkan untuk menutupi bau keringat yang
tidak sedap!
Kebetulan pada waktu itu banyak di antara kepala suku yang memperlihatkan sikap tidak taat kepada
kekuasaan Kaisar, maka pasukan besar lalu dikirim ke Sinkiang dan panglima pasukan operasi itu,
Jenderal Cao Hui, sudah mendapat pesan khusus dari Sribaginda Kaisar agar dia dapat menawan sang
puteri itu dan membawanya ke istana dalam keadaan sehat dan selamat.
Operasi itu berjalan baik. Keluarga Puteri Harum, juga suaminya, terbunuh dan sang puteri dibawa ke
Istana Peking sebagai seorang tawanan perang istimewa. Pada waktu Jenderal Cao Hui menghadapkan
sang puteri di depan Kaisar Kian Liong, Kaisar ini menjadi sangat terpesona menghadapi wanita yang
memiliki kecantikan yang khas itu. Dia merasa seperti dalam mimpi, bertemu seorang dewi dari barat.
Tubuhnya begitu halus mulus, dengan kulit yang putih bersih kemerahan, dengan lekuk lengkung
sempurna, bibirnya merah basah tanpa alat, matanya kebiruan seperti langit jernih, bulu matanya panjang
melengkung ke atas, dan yang lebih dari segalanya dari tubuh yang nampak lelah karena melakukan
perjalanan amat jauh itu tersiar keharuman yang aneh namun amat sedap bagi hidung dan nyaman bagi
perasaan.
Ia pasti seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan, demikian kata hati Kaisar itu dan segera
mengangkatnya menjadi selir terkemuka, bahkan kemudian menjulukinya Siang Hong-houw atau
Permaisuri Harum.
Pada bulan-bulan pertama kediamannya di istana Kaisar Mancu itu, Puteri Harum selalu berduka dan tidak
mau melayani Sang Kaisar yang sudah tergila-gila. Ia teringat akan keluarganya, teringat akan negaranya
dan keadaan lingkungan yang amat berbeda.
Kaisar Kian Liong yang sudah tergila-gila itu menjadi bingung. Dan atas saran dari para penasehatnya, dia
lalu memerintahkan membangun sebuah istana mungil yang diberi nama Istana Bulan Purnama, dibuat
secara khas dan khusus untuk Puteri Harum, juga di situ dibangun sebuah tempat mandi khas Turki yang
diberi nama Ruang Mandi Para Bidadari.
Bahkan Kian Liong memerintahkan para ahlinya untuk membangun sebuah masjid dan bangunanbangunan
khas model Uighur di sekeliling Istana Bulan Purnama itu. Dengan demikian, sang puteri dapat
melakukan kebiasaannya seperti ketika masih di Uighur, dan dapat melihat semua bangunan itu dari loteng
istananya sehingga dapat mengatasi kedukaan dan kerinduannya akan kampung halaman.
Mendapat perhatian dan kasih sayang yang berlimpah-limpah itu, Puteri Harum merasa terharu dan
dengan suka rela ia lalu menyerah dalam pelukan Kaisar Kian Liong dan mulai berusaha untuk membalas
kasih sayangnya. Hal ini tidak begitu sulit karena sang waktu membantu Puteri Harum untuk melupakan
keluarganya yang telah terbasmi, apa lagi ditambah pula memang Kaisar Kian Liong adalah seorang pria
yang tampan dan menarik, juga berpengalaman dan pandai mengambil hati wanita.
Sebagai seorang wanita yang pandai menunggang kuda dan mempergunakan anak panah, Siang Honghouw
sering kali diajak oleh Kaisar Kian Liong kalau Kaisar ini pergi berburu ke Yehol, yaitu suatu daerah
di Mongolia Dalam. Demikianlah, sejak saat itu, boleh dibilang Kaisar Kian Liong menghentikan semua
dunia-kangouw.blogspot.com
kegemarannya mengumpulkan wanita-wanita cantik yang baru. Di dalam diri Siang Hong-houw dia
menemukan segala-galanya yang dibutuhkan untuk memuaskan nafsu birahinya.
Ketika dia berusia enam puluh tiga tahun, Siang Hong-houw tidak muda lagi, sudah sekitar empat puluh
tahun usianya. Akan tetapi wanita ini masih cantik menarik penuh pesona, dan keringatnya masih juga
berbau harum. Dan ternyata, keharuman keringat Siang Hong-houw memang dari dalam, walau pun bukan
tanpa usaha.
Sejak kecil, wanita ini minum ramuan akar wangi dan sari bunga-bunga harum seperti mawar, bahkan
kalau mandi selalu tentu menggunakan air yang diharumkan dengan cendana dan bermacam sari
kembang yang harum. Bahkan makannya juga tersendiri, tidak mau makan makanan yang dapat
mendatangkan bau tidak enak, melainkan sayur-sayuran dan buah-buahan yang mendatangkan bau
sedap!
Daya tahan tubuh manusia itu sangat terbatas dan mempunyai ukuran tertentu. Kaisar Kian Liong sejak
mudanya sering menghamburkan tenaganya untuk memuaskan nafsu birahinya, bahkan kadang-kadang
dia juga mempergunakan ramuan obat-obatan untuk memperkuat tubuhnya.
Hal ini baru terasa akibat buruknya setelah dia berusia enam puluh tahun lebih. Kini dia merasa betapa
tubuhnya lemah, bahkan hampir kehilangan gairahnya. Makin jarang saja ia menyuruh Siang Hong-houw
menemaninya, bahkan lebih sering ia menjauhkan diri dari wanita, menyendiri di dalam kamarnya, lebih
suka membaca kitab dari pada bermesraan dengan permaisuri yang dicintanya itu.
Kerenggangan sebagai akibat dari kemunduran keadaan kesehatan Kaisar itu memberi banyak waktu
luang pada Permaisuri Harum dan menumbuhkan kembali kerinduannya kepada suku bangsanya sendiri.
Meski Sribaginda Kaisar tidak melarang ia menunaikan ibadahnya sebagai seorang yang beragama Islam,
tapi permaisuri ini merasa kesepian dan ia pun merindukan lingkungan yang lain, lingkungan yang terasa
lebih akrab karena persamaan kepercayaan.
Oleh karena kerenggangannya dari Kaisar yang kini lebih banyak mengurus negara dan membaca kitab,
Siang Hong-houw menjadi makin akrab dengan seorang thai-kam yang bernama Mo Si Lim. Laki-laki yang
dikebiri ini sebetulnya masih terhitung sanak dengan sang permaisuri. Dia seorang peranakan Uighur yang
beragama Islam pula. Bahkan namanya merupakan perubahan dari nama kecilnya, yaitu Muslim yang
diberikan oleh ayahnya untuk menandakan bahwa dia seorang muslim, seorang yang beragama Islam.
Bahkan Siang Hong-houw pula yang mengusulkan kepada Kaisar agar bisa mempunyai seorang pelayan
berbangsa Uighur. Maka belasan tahun yang lalu, pemuda Mo Si Lim dijadikan thai-kam. Dengan adanya
Mo Si Lim, maka kerinduan Siang Hong-houw pada bangsanya dapat terhibur. Mo Si Lim melayaninya dan
mereka dapat bercakap dalam bahasa mereka, membicarakan tentang keadaan di Sinkiang.
Akan tetapi, beberapa tahun akhir-akhir ini, secara diam-diam Mo Si Lim mengadakan hubungan dengan
orang-orang dari perkumpulan rahasia yang memiliki cita-cita untuk mengusir penjajah Mancu dari Cina.
Tentu saja mudah bagi orang Uighur ini untuk tertarik dengan cita-cita perjuangan itu, mengingat betapa
bangsanya juga tertekan oleh penjajah Mancu, dan banyak kawannya sudah tewas ketika daerah barat
diserbu oleh pasukan Mancu.
Mo Si Lim adalah anak buah mendiang suami Puteri Harum. Kesetiaannya jugalah yang membuat dia rela
dijadikan thai-kam, supaya dia dapat mendekati dan melayani Puteri Harum.
Sore hari itu Siang Hong-houw duduk sendiri di ruangan duduk dengan santai. Baru saja dia melakukan
sholat atau sembahyang maghrib di dalam ruangan sembahyang yang khusus dibuat untuknya. Pada
waktu dayang kepercayaannya memasuki ruangan itu, ia memerintahkan dayangnya untuk memanggil Mo
Si Lim.
"Suruh dia masuk menghadapku, kemudian engkau berjaga di luar pintu dan melarang siapa saja masuk
ruangan ini tanpa kupanggil."
Dayang itu, seorang peranakan Uighur pula, menyembah lalu keluar dari ruangan itu, memanggil Mo Si
Lim, thai-kam (laki-laki kebiri) yang bertugas jaga di bagian depan istana puteri itu. Setelah dayang itu
pergi, Siang Hong-houw duduk di atas kursi panjang yang nyaman. Ia masih amat cantik walau pun
usianya sudah empat puluh tahun lebih.
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah yang putih kemerahan itu masih halus tanpa dibayangi keriput. Hanya beberapa garis lembut di tepi
mata dan antara alisnya sajalah yang menjadi bukti bahwa ia bukan gadis muda lagi, melainkan seorang
wanita yang sudah matang. Tubuhnya masih padat dengan lekuk lengkung yang sempurna, tidak dirusak
oleh kelahiran anak. Dari jarak dua meter orang akan dapat mencium keharuman semerbak yang keluar
dari tubuhnya.
Ia seorang wanita yang tidak menghambakan diri kepada nafsu birahi. Ketika dipisahkan dengan paksa
dari suaminya, maka bersama dengan kematian suaminya, mati pulalah gairah birahinya. Jika ia melayani
Kaisar Kian Liong, hal itu hanya dilakukan karena rasa kasihan kepada Kaisar yang sangat menyayangnya.
Dan sekarang, setelah suaminya itu, Kaisar Kian Liong, jarang menggaulinya, Siang Hong-houw merasa
lebih enak dan senang.
Ketukan pada pintu ruangan duduk yang luas itu membuyarkan lamunannya. Ketukan tiga kali, pelan keras
pelan. Itu adalah ketukan Mo Si Lim.
"Masuklah, Muslim!" kata puteri itu dalam bahasa Uighur.
Thaikam itu membuka daun pintu, lalu masuk dan menutupkan kembali daun pintu. Dia menjatuhkan diri
berlutut menghadap sang permaisuri.
"Bangkit dan duduklah. Aku ingin mendengar laporanmu tentang keadaan di luar istana, terutama sekali
tentang Thian-li-pang. Bukankah engkau telah menyelidiki Thian-li-pang seperti yang kuperintahkan?"
Mo Si Lim menyembah, bangkit lalu duduk di atas sebuah bangku pendek, sedangkan Siang Hong-houw
kini duduk di atas kursi gading yang ukirannya sangat indah. Mereka berhadapan dalam jarak dua meter,
terhalang meja kecil sehingga orang kebiri itu dapat menikmati keharuman semerbak dari depannya.
"Kebetulan sekali, hamba memang sedang menunggu perintah dan panggilan Paduka, Puteri. Untuk
langsung menghadap, hamba tidak berani karena khawatir menimbulkan kecurigaan. Hamba
membawakan sepucuk surat permohonan dari Ketua Thian-li-pang sendiri untuk dihaturkan kepada
Paduka."
"Surat Ketua Thian-li-pang? Cepat berikan kepadaku, Muslim!" kata Siang Hong-houw dan sikapnya
berubah, cekatan sekali dan penuh gairah kegembiraan.
Mo Si Lim mengeluarkan sampul surat dari saku dalam bajunya. Setelah menyembah, dia menyerahkan
sampul surat itu kepada sang puteri. Siang Hong-houw cepat merobek sampulnya, lalu mengeluarkan
sehelai kertas yang memuat huruf-huruf yang coretannya indah. Lalu dia mulai membacanya. Beberapa
kali sepasang alis itu berkerut ketika dia membacanya.
"Muslim, apakah engkau juga sudah mengetahui akan isi surat ini?" tanya Sang Puteri setelah dua kali
membaca isi surat.
Muslim atau Mo Si Lim menyembah. "Hamba tidak tahu, Puteri. Hanya utusan ketua itu mengatakan bahwa
Thian-li-pang ingin mengajukan permohonan pada Paduka melalui surat yang harus hamba sampaikan ini."
"Muslim, permintaan mereka yang pertama masih wajar, tetapi yang ke dua sungguh berat untuk dapat
kusetujui. Cepat kau nyalakan api di tungku perapian itu dulu, surat ini harus dibakar lebih dahulu baru kita
bicara."
Mo Si Lim melaksanakan perintah itu tanpa bicara, dan setelah api bernyala, Siang Hong-houw sendiri
yang melemparkan surat dan sampulnya ke dalam api yang segera membakarnya habis menjadi abu dan
tidak ada bekasnya lagi. Mereka lalu duduk lagi berhadapan seperti tadi.
"Ketahuilah, Muslim. Pertama Ketua Thian-li-pang memohon kepadaku agar aku suka memberi
sumbangan untuk membantu pembiayaan Thian-li-pang. Ke dua, dan ini yang tak dapat kusetujui, mereka
mohon perkenan dan persetujuanku agar supaya aku suka membantu mereka dalam usaha mereka
membunuh Sribaginda Kaisar."
Tidak nampak perubahan apa pun pada wajah thai-kam itu. Dia merupakan seorang mata-mata yang
pandai bersandiwara. Bahkan suaranya datar saja tanpa dipengaruhi perasaan ketika dia bertanya, "Yang
mulia, mengapa pula mereka hendak melakukan pembunuhan? Apakah mereka menjelaskan alasannya?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mereka bukan saja berniat untuk membunuh Sribaginda, akan tetapi juga Pangeran Cia Cing dan
Pangeran Tao Kuang. Alasan mereka, bila tidak dibunuh sekarang, beberapa tahun lagi tentu Sribaginda
mengundurkan diri dan akan menyerahkan tahta kerajaan kepada seorang di antara kedua pangeran itu.
Dan seperti kau ketahui, kedua pangeran itu adalah orang-orang Mancu asli karena ibu mereka pun wanita
Mancu. Kalau mereka bertiga itu tidak ada lagi, tentu tahta kerajaan akan terjatuh ke tangan Pangeran Kian
Ban Kok yang ibunya orang Kin. Dengan demikian, maka ada darah Han yang menjadi Kaisar, dan mereka
akan mendukung pangeran itu."
Mo Si Lim mengangguk-angguk. "Sekarang, jawaban apa yang akan Paduka berikan dan yang harus saya
sampaikan kepada mereka?"
Puteri Harum bangkit dari tempat duduknya, berjalan menghampiri sebuah almari dan mengeluarkan
sebuah kotak hitam, lalu duduk kembali. Ia menaruh kotak kecil hitam itu di atas meja di depannya lalu
membukanya. Isinya perhiasan yang gemerlapan.
"Ini perhiasan berharga yang tak pernah kupakai, bawaanku sendiri dari Sinkiang dulu. Berikan kepada
Thian-li-pang sebagai sumbangan dariku yang mendukung perjuangan mereka menentang pemerintah
penjajah. Mengenai permintaan mereka yang ke dua, sekarang aku masih belum dapat menyetujuinya.
Bagaimana pun juga, aku adalah isteri Sribaginda dan merupakan dosa besar bagiku kalau aku bersekutu
dengan siapa pun untuk membunuh suami sendiri. Allah akan mengutukku. Jika mereka berkeras hendak
melakukannya juga, aku tidak ikut campur. Nah, sampaikan semua itu kepada mereka, dan kalau tidak
teramat penting, aku tidak mau lagi diganggu mereka walau pun aku mendukung perjuangan mereka."
Mo Si Lim menyembah, lalu mengambil peti hitam kecil itu, memasukkannya ke dalam saku jubahnya
bagian dalam, menyembah lagi kemudian mengundurkan diri, keluar dari kamar atau ruang duduk itu.
Siang Hong-Houw yang ditinggalkan seorang diri bertepuk tangan memanggil dayangnya. Ia pun
memasuki kamarnya untuk membuat persiapan karena tadi sudah ada isyarat dari Sribaginda Kaisar
bahwa malam ini Sribaginda akan tidur di kamar permaisurinya yang tersayang ini.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mo Si Lim sudah meninggalkan istana tanpa ada yang menaruh
curiga. Padahal, di balik jubahnya, thai-kam ini membawa sebuah peti kecil yang isinya amat berharga. Dia
berjalan dengan hati-hati dan berkeliling kota. Setelah merasa yakin bahwa dirinya tidak dibayangi orang
lain, dia lalu menyelinap masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah besar dan kuno yang berdiri di sudut
kota raja.
Sebelum bangsa Mancu datang menjajah, rumah ini dahulu adalah sebuah istana milik seorang pangeran.
Kini rumah itu terjatuh ke tangan penduduk biasa yang cukup kaya dan dijadikan sebagai tempat
peristirahatan. Namun, karena rumah itu besar dan kuno juga tidak begitu terawat maka kelihatan
menyeramkan. Apa lagi keluarga yang memiliki rumah besar itu jarang menempatinya, maka rumah itu
nampak angker dan didesas-desuskan sebagai rumah yang ada hantunya.
Agaknya Mo Si Lim tidak asing lagi dengan rumah ini. Dia tidak menuju ke pintu depan, tapi mengambil
jalan samping dan memasuki pintu samping yang kecil dan menembus kebun di samping rumah. Dia
lenyap bagaikan ditelan raksasa ketika memasuki rumah itu melalui pintu samping.
Rumah itu nampak kosong, akan tetapi ketika Mo Si Lim tiba di ruangan belakang, tiba-tiba muncul
sesosok bayangan dan seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depannya. Mo Si Lim berhenti melangkah
dan memandang kepada laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun itu. Dia tidak mengenal
orang itu, maka dengan hati-hati dia berkata kepada orang itu,
"Selamat pagi, Sobat... saya hendak bertemu dengan Saudara Ciang Sun. Apakah dia berada di sini?"
Akan tetapi tidak terdengar jawaban, bahkan tujuh orang laki-laki lain bermunculan dan delapan orang itu
mengepung Mo Si Lim. Mereka itu berusia antara dua puluh sampai empat puluh tahun, rata-rata nampak
gagah dan kuat.
"Siapa engkau?" Si Tinggi Besar membentak.
Mo Si Lim adalah seorang yang cerdik. Dia belum tahu siapa adanya delapan orang ini. Pembawa surat
Ketua Thian-li-pang adalah Ciang Sun, dan Ciang Sun sudah berjanji akan menantinya di rumah gedung
itu seperti biasanya. Akan tetapi pagi hari ini, saat yang sangat penting karena dia membawa sumbangan
dunia-kangouw.blogspot.com
dan pesan Siang Hong-houw, Ciang Sun tidak muncul, dan sebaliknya muncul delapan orang yang tak
dikenalnya ini dengan sikap mengancam. Dia pun segera bersikap angkuh dan hendak mengandalkan
kedudukannya untuk menggertak mereka dan menyelamatkan diri.
"Aku adalah kepala thaikam di istana Permaisuri, namaku Mo Si Lim dan harap kalian cepat memanggil
Ciang Sun agar menghadap di sini."
"Hemmm, engkau tentu adalah seorang mata-mata yang hendak berhubungan dengan Thian-li-pang! Hayo
mengaku saja!" bentak Si Tinggi Besar. Namun, Mo Si Lim tidak kalah gertak.
"Siapakah kalian? Jangan menuduh sembarangan. Aku seorang petugas di istana dan aku tidak mengenal
apa itu Thian-li-pang. Aku hendak bertemu Ciang Sun untuk urusan jual beli perhiasan. Kalau kalian tidak
tahu di mana Ciang Sun berada, harap mundur dan jangan menghalangi aku. Ataukah aku harus
mengerahkan pasukan keamanan untuk menangkap kalian?"
Pada saat itu muncul seorang laki-laki yang tinggi kurus dan orang itu berseru, "Saudara Mo Si Lim,
selamat datang! Maafkan kawan-kawanku. Mereka ingin mengujimu, apakah engkau dapat menyimpan
rahasia kami!"
Mo Si Lim mengerutkan alisnya dan memandang Si Tinggi Kurus. "Ah, Saudara Ciang Sun, apakah sampai
sekarang engkau masih belum percaya kepadaku? Kalau tidak ada saling kepercayaan, antara kita lebih
baik tak ada hubungan saja! Bukankah aku hanya akan membantu Thian-li-pang?”
"Sekali lagi maafkan, Sobat. Nah, duduklah dan bagaimana hasil dan jawaban surat dari pangcu (ketua)
kami?" tanya Ciang Sun.
Si Tinggi Kurus ini menjadi orang kepercayaan Thian-li-pang untuk melakukan operasi penting itu, yaitu
mencari dana bagi perkumpulan orang-orang gagah yang hendak menentang pemerintah penjajah itu, dan
mengatur rencana untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Kaisar Kian Liong. Dia mendapat
kepercayaan ini karena Ciang Sun adalah seorang di antara pembantu-pembantu utama yang mempunyai
kepandaian silat tinggi di samping kecerdikan dan keberanian.
Mo Si Lim duduk di kursi, berhadapan dengan Ciang Sun, sedangkan delapan orang anggota Thian-li-pang
berdiri di sudut-sudut ruangan itu, berjaga-jaga dengan sikap gagah. Dengan hati masih merasa
mendongkol atas penyambutan tadi, Mo Si Lim lalu mengambil sikap angkuh.
"Saudara Ciang Sun, surat dari ketua kalian telah berkenan diterima oleh Yang Mulia Puteri Siang Honghouw
kemarin sore."
"Kenapa baru kemarin sore? Bukankah surat itu telah kami serahkan kepadamu lima hari yang lalu?" Ciang
Sun bertanya, nada suaranya menegur.
"Hemmm, kalian ingin mudah dan enaknya saja. Menghadap Siang Hong-houw dengan membawa surat
rahasia seperti itu tentu saja butuh ketelitian dan kewaspadaan. Kalau sampai diketahui orang lain, berarti
hukuman mati bagiku, sedangkan kalian enak-enak saja berada di luar dan tidak terancam bahaya."
"Baiklah, kami dapat mengerti, Saudara Mo Si Lim. Lalu bagaimana jawaban dari Siang Hong-houw?"
Mo Si Lim memandang kepada Ciang Sun, lalu kepada para anggota Thian-li-pang yang berdiri bagai
patung dan dengan suara mengandung kebanggaan ia pun berkata, "Yang Mulia Siang Hong-houw
mendukung perjuangan yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Yang Mulia
merasa gembira mendengar bahwa Thian-li-pang berjuang demi kemerdekaan, dan untuk menyatakan
dukungannya, maka permohonan Thian-li-pang untuk diberi sumbangan, telah menggerakkan hati Yang
Mulia dan beliau mengirimkan ini sebagai sumbangan untuk Thian-li-pang."
Ia mengeluarkan kotak hitam kecil dari dalam jubahnya dan meletakkan kotak itu di atas meja, lalu
membuka tutupnya. Semua mata memandang ke arah peti dan orang-orang Thian-li-pang itu merasa
gembira dan kagum. Sekali pandang saja tahulah Cia Sun bahwa isi peti itu merupakan harta yang bernilai
cukup besar dan akan banyak membantu kebutuhan Thian-li-pang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, bagi Ciang Sun sumbangan ini bukan merupakan tugas utama yang paling penting. "Dan
bagaimana dengan rencana besar kami? Apakah Yang Mulia menyetujui dan sudi membantu kami agar
tugas kami itu dapat terlaksana dengan lancar?"
Mo Si Lim menarik napas panjang. Orang-orang ini memang hanya mau enaknya saja. Disangkanya
membunuh seorang Kaisar, putera Kaisar yaitu Pangeran Cia Cing, dan cucu Kaisar Pangeran Tao Kuang,
merupakan pekerjaan yang mudah!
Pangeran Cia Cing merupakan seorang pangeran mahkota yang kedudukannya kuat dan memiliki banyak
pendukung, sedangkan Pangeran Tao Kuang, tentu saja dengan sendirinya merupakan calon kalau
ayahnya gagal terpilih. Pangeran Cia Cing berusia empat puluh tahun, sedangkan puteranya, Pangeran
Tao Kuang berusia dua puluh tahun.
Sedangkan Pangeran Kian Ban Kok yang diusulkan oleh Thian-li-pang untuk menjadi calon Kaisar itu
adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang terkenal royal, mata keranjang dan hanya mengejar
kesenangan belaka, sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan tidak pantas untuk dijadikan calon
Kaisar! Agaknya Thian-li-pang justru memilih pangeran itu yang selain berdarah Han dari ibunya, juga
merupakan seorang yang kelak tentu akan mudah dipengaruhi dan dijadikan Kaisar boneka.
"Sayang sekali untuk permohonan Thian-li-pang yang ke dua itu, Yang Mulia Siang Hong-houw belum
berkenan menyetujui."
"Ahh! Justru itulah yang terpenting bagi kami! Jika usaha itu berhasil, berarti perjuangan kami pun berhasil.
Bagaimana mungkin Sang Permaisuri tidak menyetujui kalau beliau mendukung perjuangan kami?"
"Hemmm, hendaknya kalian suka mengingat bahwa Yang Mulia Permaisuri adalah isteri dari Sribaginda
Kaisar... Isteri mana yang merelakan suaminya dibunuh begitu saja? Bagi kami, orang-orang yang
beribadat, yang takut akan kemurkaan Allah, tidak akan berani melakukannya. Yang Mulia telah bersikap
tepat dan benar dalam hal ini dan kalian tidak dapat memaksa beliau!"
"Tetapi... beliau hanya kami minta persetujuannya dan beliau tidak perlu ikut campur, hanya memberikan
kesempatan kepada kami untuk bisa menyelundup ke dalam istana tanpa dicurigai dan tanpa dilarang,
begitu saja!"
"Apa pun yang kalian katakan, tetap saja Yang Mulia Permaisuri tidak menyetujui niat pembunuhan itu!" Mo
Si Lim berkeras.
"Kalau begitu, kita akan menggunakan siasat yang ke dua!" teriak Ciang Sun kepada kawan-kawannya
sebagai isyarat. "Apa boleh buat, Sobat Mo Si Lim, demi perjuangan dan demi berhasilnya rencana kami,
terpaksa engkau kami korbankan! Salahnya Siang Hong-houw yang tak menyetujui rencana kami!" Dan
tiba-tiba saja Ciang Sun mencabut pedang dan menyerang Mo Si Lim!
"Ahhhh!"
Mo Si Lim melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik. Kursi yang didudukinya menjadi korban
bacokan pedang di tangan Ciang Sun dan terbelah menjadi dua. Sambil bergulingan Mo Si Lim yang juga
mempunyai ilmu silat yang lumayan, telah mencabut pedangnya pula. Akan tetapi pada saat itu, delapan
orang anggota Thian-li-pang sudah mengeroyok dan menghujankan serangan kepada thaikam itu, juga
Ciang Sun yang lihai sekali sudah menyerang lagi dengan pedangnya.
Mo Si Lim memutar pedangnya membela diri. Namun, melawan Ciang Sun seorang saja dia takkan
menang, apa lagi dikeroyok sembilan orang. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia pun roboh mandi
darah dengan tubuh penuh luka dan tewas seketika!
Dan pada siang hari itu, gegerlah di istana ketika ada seorang gagah melapor kepada pasukan pengawal
istana bahwa dia telah menangkap dan membunuh seorang pencuri yang membawa perhiasan dari dalam
istana. Orang gagah itu bukan lain adalah Ciang Sun yang membawa kepala Mo Si Lim dalam buntalan,
bersama peti hitam kecil berisi perhiasan yang amat berharga. Kiranya setelah membunuh Mo Si Lim,
Ciang Sun lalu memberi tahu kepada anak buahnya bahwa kini terbukalah kesempatan baginya untuk
menyelundup ke dalam istana, dengan bertindak sebagai pembunuh pencuri perhiasan itu dan
mengembalikan perhiasan itu kepada istana.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Perhiasan ini memang mahal harganya dan merupakan sumbangan yang besar bagi kita, akan tetapi
kematian Kaisar Mancu itu jauh lebih penting. Aku sendiri yang akan mengembalikan perhiasan ini. Kalian
boleh berangkat ke pusat dan melaporkan kepada Pangcu kita!"
Demikianlah, dengan hati penuh semangat kepatriotan, Ciang Sun membawa kepala dan peti hitam kecil
itu ke istana. Tentu saja laporannya menggegerkan panglima pasukan pengawal yang langsung
menghadap Kaisar dan melaporkan bahwa ada orang datang mengaku telah membunuh pencuri perhiasan
milik Siang Hong-houw!
Tentu saja Kaisar Kian Liong terkejut mendengar ini. Dia segera memerintahkan agar pembunuh pencuri
itu dibawa menghadap kepadanya, juga dia memerintahkan agar Siang Hong-houw datang pula ketika
mendengar bahwa yang dicuri adalah perhiasan milik permaisurinya itu.
Biar pun dia dilucuti dan pedangnya ditahan sebelum menghadap Kaisar, Ciang Sun tetap berjalan dengan
gagah dan sedikit pun tidak merasa gentar. Ciang Sun adalah seorang pendekar yang sudah digembleng
menjadi seorang patriot yang gagah berani, yang rela mengorbankan apa saja demi cita-citanya, yaitu
mengusir penjajah dari tanah air. Semangat ini pun bukan tanpa dorongan penyebab yang membuat dia
menyimpan dendam dalam hatinya, yang membuat dia membenci pemerintah Mancu.
Ayah dan ibunya tewas dalam bentrokan antara ayahnya dan seorang pembesar tinggi bangsa Mancu.
Dendam ini membuat dia membenci semua orang Mancu. Apa lagi melihat betapa bangsanya diperlakukan
dengan tidak adil oleh para penguasa bangsa Mancu, kebenciannya bertambah.
Dia semenjak muda membantu gerakan pemberontakan di mana-mana. Namun semua usaha
pemberontakan itu selalu gagal karena pasukan Mancu terlampau kuat, bahkan di antara pasukan itu
terdapat jago-jago silat yang amat lihai, baik orang Mancu sendiri atau orang-orang Han yang telah
diperalat oleh pemerintah Mancu. Saking bencinya, Ciang Sun bahkan sudah bersumpah tak akan
menikah sebelum penjajah Mancu dapat dihancurkan.
Kaisar sudah duduk di singgasana, didampingi Siang Hong-houw ketika Ciang Sun yang dikawal pasukan
pengawal dalam, berlutut menghadap Sribaginda. Kaisar Kian Liong memandang pria yang tinggi kurus itu,
lalu memandang ke arah buntalan kain kuning dan buntalan kain merah yang dibawa Ciang Sun.
Setelah mengucapkan penghormatannya dengan ucapan ‘ban-ban-swe’ (panjang usia), Ciang Sun tetap
berlutut dan menanti perintah.
"Kami telah mendengar laporan tentang dirimu. Namamu Ciang Sun dan engkau telah membunuh seorang
pencuri yang membawa sekotak perhiasan milik Hong-houw?"
"Benar sekali laporan itu, Sribaginda."
"Bagaimana engkau tahu bahwa dia pencuri dan yang dicurinya adalah perhiasan milik Siang Honghouw?"
tanya pula Kaisar Kian Liong.
"Pencuri itu sendiri yang menawarkan barang perhiasannya kepada hamba, dan ia pula yang mengaku
bahwa perhiasan itu milik Yang Mulia Siang Hong-houw. Karena hamba ingin berbakti kepada Paduka,
maka hamba kemudian menyerangnya, membunuhnya, membawa kepalanya sebagai bukti dan hendak
mengembalikan kotak terisi perhiasan ini kepada Yang Mulia Siang Hong-houw!" kata Ciang Sun dengan
penuh semangat.
Kaisar Kian Liong mengangguk-angguk dan menoleh pada permaisurinya. Wanita cantik itu mengerutkan
alisnya, sejak tadi matanya tidak pernah meninggalkan buntalan kuning yang bulat itu.
Kaisar memberi isyarat kepada pengawal pribadinya. "Bawa peti itu mendekat sini dan buka agar kami
dapat melihat isinya. Siang Hong-houw tentu akan mengenal apakah benar peti berisi perhiasan itu
miliknya."
Pengawal memberi hormat, lalu mengambil buntalan kain merah yang ditaruh di atas lantai di depan Ciang
Sun, membawanya mendekat dan membuka buntalan itu. Siang Hong-houw tentu saja segera mengenal
peti hitam kecil miliknya dan tahulah ia apa yang terjadi. Tentu pembantunya yang setia itu telah terbunuh
dan ia bergidik melirik ke arah buntalan kain kuning.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan ia pun segera dapat menggunakan kacerdikannya untuk menduga apa yang terjadi. Penolakannya
untuk menyetujui rencana pembunuhan atas Kaisar itulah yang menjadi sebabnya. Tentu Mo Si Lim
dibunuh untuk dijadikan korban, supaya seorang pembunuh dapat menyelundup masuk!
Ia melirik ke arah Ciang Sun yang kebetulan juga sedang melirik kepadanya, kemudian dia menangkap
sinar mata berkilat dari orang kurus itu ke arah Kaisar. Dia pun dapat menduga. Orang ini pembunuh
kejam! Kaisar terancam.
"Buka peti itu," kata Kaisar dan pengawal membukanya.
Nampaklah isi peti itu. Perhiasan yang berkilauan dan gemerlapan.
"Hong-houw, milikmukah perhiasan itu?" tanya Kaisar Kian Liong.
Siang Hong-houw mengangguk. Kaisar Kian Liong mengerutkan alis dan marah kepada pencuri yang
berani mengambil barang perhiasan permaisurinya yang tercinta.
"Buka buntalan itu. Kami ingin melihat siapa yang berani mencurinya!"
Pengawal lalu menghampiri buntalan kuning dan membukanya. Nampaklah kepala Mo Si Lim dengan mata
melotot. Siang Hong-houw mengeluarkan seruan tertahan.
"Dia... Muslim, thai-kam yang setia!" teriaknya. "Sribaginda, orang ini tentu pembunuh yang berbahaya!
Memang hamba sudah menyuruh Muslim untuk menjual perhiasan itu, perhiasan yang dulu hamba bawa
dari Sinkiang, untuk diberikan kepada fakir miskin di Sinkiang karena hamba mendengar mereka hidup
sangat sengsara. Sama sekali bukan perhiasan yang pernah hamba dapatkan dari Paduka, melainkan
milik hamba pribadi. Akan tetapi, Muslim dibunuh... orang ini tentu penjahat. Mungkin dia mempunyai niat
jahat terhadap Paduka!"
Tiba-tiba Siang Hong-houw telah meloncat ke dekat Sribaginda. Ia seorang wanita yang pernah belajar
ilmu silat dan cepat ia sudah mencabut pedang yang tergantung di dekat kursi singgasana Kaisar.
Ciang Sun marah sekali ketika mendengar betapa Siang Hong-houw yang tadinya amat diharapkan akan
membantunya, dan bahkan sudah menyatakan dukungannya terhadap Thian-li-pang, kini tiba-tiba
membuka rahasianya dan menggagalkan kesempatan yang diperolehnya untuk menyelundup ke dalam
istana Kaisar agar dapat membunuh Kaisar. Dia maklum bahwa saatnya hanya sekarang. Kalau dia tidak
bertindak sekarang, akan terlambat karena dia tentu akan ditangkap dan dihukum.
"Hidup Thian-li-pang! Mampuslah Kaisar penjajah Mancu!"
Teriakan ini melengking nyaring, mengejutkan semua orang sehingga para pengawal tertegun dan tidak
bergerak ketika Ciang Sun melompat ke arah Sribaginda Kaisar. Biar pun dia bertangan kosong, namun
dengan nekat dia meloncat dan menyerang ke arah Kaisar.
Akan tetapi, Siang Hong-houw sudah memutar pedangnya, merupakan perisai di depan Kaisar sehingga
serangan Ciang Sun itu tentu saja tidak berhasil, bahkan terpaksa dia meloncat ke samping. Pada waktu
dia hendak menyerang Hong-houw untuk merampas pedang, para pengawal sudah menyerbu dan
mengeroyoknya.
"Bunuh penjahat itu!" Siang Hong-houw berseru dan ia lalu menggandeng Kaisar, cepat-cepat dilarikan
masuk ke dalam.
Ciang Sun mengamuk. Akan tetapi, yang mengeroyoknya adalah para pengawal dalam yang rata-rata
memiliki kepandaian tinggi, bahkan di antara mereka terdapat panglima-panglima yang menjadi jagoan
istana, maka dalam waktu singkat saja dia telah roboh dan tewas! Cepat para pengawal menyingkirkan
mayatnya, juga menyingkirkan kepala Mo Si Lim, dan ada yang menyimpan peti hitam kecil untuk kelak
disampaikan kepada Siang Hong-houw.
Tentu saja peristiwa itu lantas menggagalkan rencana orang-orang Thian-li-pang untuk membunuh Kaisar,
bahkan menggagalkan pula usaha mereka mendapat sumbangan dari Siang Hong-houw. Dan di lain pihak,
Puteri Harum berjasa besar dan Kaisar makin percaya kepadanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi peristiwa itu pun diam-diam membuat Siang Hong-houw menjadi bersedih sekali. Bukan saja
bersedih karena kehilangan pembantunya yang setia, Muslim, akan tetapi juga bersedih karena dia
terpaksa harus melakukan dua hal yang bertentangan dan meresahkan batinnya sendiri.
Di satu pihak, ia mendukung Thian-li-pang yang ia tahu merupakan perkumpulan para patriot yang hendak
mengusir penjajah Mancu, bangsa yang juga telah membasmi suku bangsanya sendiri, bahkan yang telah
membunuh ayahnya dan suaminya. Akan tetapi di lain pihak, ia bersetia kepada Kaisar Kian Liong yang
telah menjadi suaminya dan yang secara pribadi bersikap amat baik dan penuh kasih sayang kepadanya.
Peristiwa ini sudah demikian mengguncang hati Sang Puteri sehingga sejak terjadinya peristiwa itu, ia tak
pernah sehat lagi, selalu sakit-sakitan. Ia hidup dengan batin merana sampai kurang lebih delapan tahun
kemudian, dan dalam tahun 1788 meninggal dunia karena penyakit akibat penderitaan batin ini, dalam usia
yang belum tua benar.
Demikianlah keadaan kota raja dan istana Kaisar Kian Liong pada waktu itu. Dalam usia tuanya,
pemerintahan Kaisar Kian Liong mengalami kemunduran dan pemberontakan-pemberontakan timbul di
daerah-daerah perbatasan. Biar pun demikian, dia merupakan satu di antara kaisar-kaisar di Cina yang
paling lama memegang tampuk kerajaan, yaitu selama enam puluh tahun (1736-1796)…..
********************
"Betapa indahnya pemandangan alam di pegunungan ini, Yo Han!” seru Gangga Dewi.
Yo Han yang berhenti melangkah pula, memandang kepada wanita itu. Seorang wanita yang nampak
gagah berdiri dengan perkasa, cantik dan agung, wajah berseri dan kedua pipi kemerahan tanda sehat.
Angin pegunungan bersilir mempermainkan rambut halus yang terlepas dari ikatan dan bermain di depan
dahi. Mulut wanita itu tersenyum cerah dan pandang matanya membelai tamasya alam yang terbentang
luas di depan mereka, di bawah sana.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Yo Han diselamatkan dari tangan Ang-I Moli oleh Gangga Dewi,
dan kini Yo Han melakukan perjalanan bersama Gangga Dewi, membantu wanita Bhutan ini untuk mencari
Suma Ciang Bun karena Yo Han merasa yakin bahwa Suma Ciang Bun akan dapat memberi tahu kepada
Gangga Dewi di mana ayah wanita itu berada.
Yo Han ikut melayangkan pandang matanya ke bawah sana. Bagaikan sebuah lukisan mukjijat, tamasya
alam itu terbentang luas di hadapan kakinya. Lereng bukit itu seperti dilukis dengan indahnya. Memang
indah sekali, tetapi Yo Han merasa heran mengapa Gangga Dewi begitu kagum melihat keindahan alam
itu.
Bagi dia, di mana-mana terdapat keindahan alam itu. Meski keadaannya berbeda-beda, namun dia selalu
menemukan keindahan di mana pun, seperti melihat seribu macam bunga, bentuk dan warnanya berbedabeda,
namun setiap tangkai bunga mengandung keindahan agung!
“Aku telah mendengar bahwa Pegunungan Tapa-san memiliki tamasya alam yang amat indah. Baru
sekarang aku menyaksikan kebenaran berita itu. Betapa bahagianya Suma Ciang Bun itu hidup di tempat
yang memiliki lingkungan seindah ini.”
Keindahan yang ditemukan oleh nafsu yang bersembunyi di dalam pandang mata tiada lain hanyalah
kesenangan. Dan segala macam bentuk kesenangan hanyalah permainan nafsu dan akhirnya selalu
membosankan. Nafsu tak pernah mengenal batas, tak pernah mengenal kepuasan yang mutlak, selalu
hendak meraih dan menjangkau yang belum dicengkeramnya.
Oleh karena itu, kita cenderung untuk mengagumi dan menikmati sesuatu yang baru kita dapatkan. Namun
kalau sesuatu yang baru itu menjadi sesuatu yang lama, akan pudarlah keindahannya sehingga kita tidak
mampu menikmatinya lagi. Itulah sebabnya mengapa orang kota dapat menikmati keindahan di alam
pegunungan, sebaliknya orang dusun di pegunungan dapat menikmati keindahan kota!
Orang kota akan bosan dengan keadaan di kota, sebaliknya orang dusun juga bosan akan keadaan di
dusun. Baik orang kota mau pun orang dusun selalu mengejar yang tidak mereka miliki. Pengejaran ini
memang menjadi sifat dari nafsu daya rendah. Dan pengejaran inilah sumber penyebab kesengsaraan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau tidak tercapai apa yang kita kejar, kecewa dan duka menindih batin kita. Kalau tercapai apa yang kita
kejar, hanya sebentar saja kita menikmatinya, kemudian kita merasa bosan atau juga kecewa karena yang
kita capai itu ternyata tidaklah seindah yang kita bayangkan semula ketika kita masih mengejarnya.
Karena itu, orang bijaksana tidak akan mengejar sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak menginginkan
sesuatu yang bukan miliknya. Kalau sudah begitu, dia akan menikmati segala yang dimilikinya sebagai
yang terindah dan terbaik.
Segala keindahan terletak di dalam keadaan batin kita sendiri, bukan terletak di luar badan. Sepiring
masakan termahal, akan terasa hambar di mulut kalau batin sedang keruh, sebaliknya sebungkus nasi
dengan kecap termurah akan terasa nikmat di mulut kalau batin sedang jernih.
Hal-hal yang paling sederhana pun akan terasa nikmat dan indah bagi panca-indra kita kalau batin kita
dalam keadaan jernih. Dan batin yang jernih adalah suatu keadaan, bukan hasil buatan pikiran. Keadaan
batin yang jernih timbul oleh kekuasaan Tuhan, dan kita hanya dapat menyerah dan pasrah dengan penuh
keikhlasan dan ketawakalan kepada Tuhan Yang Maha Kasih.
Kalau sudah begitu, apa pun yang terjadi kepada diri kita, kita terima dengan penuh rasa syukur dan
dengan penuh keyakinan bahwa semua itu sudah dikehendaki Tuhan dan Tuhan tahu apa yang baik bagi
kita! Tidak mabok oleh keadaan yang kita anggap menyenangkan, tidak mengeluh oleh keadaan yang kita
anggap tidak menyenangkan.
Penyerahan total kepada Tuhan menimbulkan kewaspadaan dan kebijaksanaan hingga kita bisa melihat
bahwa di dalam segala peristiwa terkandung kekuasaan Tuhan hingga sebaliknya dari mabok kesenangan
dan mengeluh kesusahan, kita akan meneliti untuk menemukan hikmahnya dalam setiap peristiwa.
Setelah sesaat berdiri bagai patung menikmati keindahan alam di sekelilingnya, Gangga Dewi menarik
napas panjang, sepanjang mungkin hingga tubuhnya dapat menampung hawa udara yang bersih dan
segar sejuk. Beberapa lamanya dia berlatih pernapasan untuk membuang semua hawa kotor dari dalam
tubuh, menggantikannya dengan hawa udara yang jernih dan mengandung kekuatan mukjijat itu.
Tiba-tiba Gangga Dewi menangkap pundak Yo Han dan menariknya sambil meloncat ke belakang.
"Singgg...!" Sebuah benda mengkilat menyambar lewat.
"Ada apakah, Bibi?" tanya Yo Han.
Gangga Dewi melepaskan Yo Han di belakangnya dan dia pun melangkah ke depan, menjauhi tebing. Yo
Han mengikuti dari belakang dan kini dia tidak bertanya lagi karena dia telah melihat pula munculnya tiga
orang itu. Seorang di antara mereka adalah Ang-I Moli, hal ini dapat dilihat dengan jelas walau pun mereka
itu masih agak jauh, karena pakaiannya yang serba merah.
"Itu mereka!" teriak Ang-I Moli yang tadi telah menyambitkan senjata rahasianya yang berupa jarum
beracun dan yang telah dielakkan oleh Gangga Dewi. "Akhirnya kita dapat menemukan mereka!"
Kini tiga orang itu sudah tiba di depan Gangga Dewi yang seolah melindungi Yo Han yang berada di
belakangnya. Melihat cara mereka berlari mendaki dengan amat cepat itu, tahulah Gangga Dewi bahwa
dua orang yang datang bersama Ang-I Moli itu pun bukan orang-orang lemah. Ia memandang dengan
penuh perhatian.
Dua orang itu adalah laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun. Yang seorang bertubuh gendut
dengan perut seperti perut kerbau dan mukanya bulat, sedangkan yang kedua bertubuh kecil katai seperti
anak berusia belasan tahun, tetapi mukanya penuh keriput dan kelihatan jauh lebih tua dari pada usia
sebenarnya. Mereka berdua itu mengenakan jubah pendeta dengan rambut digelung ke atas seperti
kebiasaan yang dilakukan para tosu (pendeta To).
Tosu yang gendut dengan muka seperti kanak-kanak dan selalu tersenyum cerah akan tetapi sinar
matanya kejam itu tertawa.
"Ha-ha-ha, Moli! Engkau sudah mengganggu ketenangan kami, mengajak kami berlari-lari mengejar,
kiranya yang kau cari hanya seorang bocah seperti itu, yang dapat kita temukan ratusan orang banyaknya
di pasar, tinggal pilih. Kenapa susah-susah?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hemmm, engkau mana tahu? Sudahlah, anak itu urusanku, aku mengajak kalian untuk menghadapi
perempuan asing ini!" kata Ang-I Moli.
"Moli, engkau bilang bahwa engkau tidak mampu mengalahkan perempuan ini? Aneh sekali! Apa sih
keahliannya?" berkata pula tosu yang katai kecil memandang rendah Gangga Dewi.
Gangga Dewi menegakkan kepala. Sepasang matanya mencorong penuh kemarahan, memandang
kepada tiga orang itu dengan sikap angkuh.
"Ang-I Moli, engkau sungguh seorang iblis betina yang tak tahu malu! Anak ini tidak sudi ikut denganmu
karena engkau jahat, cabul dan keji, dan engkau hendak memakannya, hendak membunuhnya dengan
minum darahnya. Aku mencegah terjadinya kekejaman itu dan hanya menghajarmu agar engkau
menyadari kesesatanmu. Kiranya kini engkau datang mengajak dua orang kawanmu! Hemmm, agaknya
memang sudah sepantasnya orang macam engkau yang berwatak iblis ini dibasmi dari permukaan bumi!"
"Kwan Suheng dan Kui Suheng, kalian hadapi perempuan asing itu, biar aku yang akan menangkap bocah
itu!" Ang-I Moli berseru.
"Heh-heh-heh, Moli Sumoi (Adik Seperguruan) yang baik. Kenapa harus repot-repot? Biar kami
menundukkan mereka agar mereka menyerah dengan suka rela, tidak perlu merepotkan dan melelahkan
badan," kata tosu gendut.
"Benar, kami akan tundukkan mereka dengan sihir!" kata tosu katai.
Dua orang tosu itu adalah suheng (kakak seperguruan) Ang-I Moli dalam perkumpulan Pek-lian-kauw, yang
gendut bernama Kwan Thian-cu, yang katai bernama Kui Thian-cu. Kini keduanya melepas ikatan rambut
sehingga rambut mereka riap-riapan, dan Kwan Thian-cu mencabut golok, Kui hian-cu mencabut pedang.
Akan tetapi mereka tidak menggunakan senjata itu untuk menyerang, melainkan mereka memegang
senjata itu lurus di depan muka seperti mencium senjata itu. Mata mereka terpejam, mulut berkemak kemik
membaca doa, sedang tangan kiri membuat gerakan melingkar-lingkar di depan dada, kemudian telunjuk
kiri membuat coret-coret di udara seperti sedang melukis atau menuliskan sesuatu. Kemudian dengan
senjata mereka di kedua tangan, mereka membuat gerakan menyembah ke atas, lalu ke bawah, lalu ke
empat penjuru. Barulah mereka membuka mata memandang kepada Gangga Dewi dan Yo Han, dan kini
Si Katai mengeluarkan suara yang terdengar penuh wibawa.
"Dengar dan lihatlah, perempuan berkerudung kuning, dan juga engkau anak laki-laki! Semua kekuatan
hitam di empat penjuru membantu kami! Kekuasaan langit dan bumi melindungi kami! Kalian berdua akan
tunduk dan menurut kepada kami, melakukan apa saja yang kami perintahkan! Sanggupkah kalian?"
Gangga Dewi terkejut bukan main. Ia merasa betapa bulu tengkuknya meremang, tanda bahwa ada hawa
atau kekuatan yang tidak wajar sedang menyerang dan berusaha mempengaruhinya. Kata-kata yang
keluar dari mulut Si Katai itu menembus hatinya. Ia tahu bahwa kedua orang tosu itu adalah orang-orang
Pek-lian-kauw yang lihai dan ia pernah melatih diri dengan menghimpun kekuatan batin untuk menolak
pengaruh sihir. Ia sudah mengerahkan tenaga itu, akan tetapi ada dorongan yang amat kuat membuat ia
terpaksa membuka mulut.
"Aku sang... sang..." Ia mengerahkan seluruh tenaga untuk menghentikan pengaruh itu agar ia tidak
mengatakan ‘sanggup’.
Pada saat ia bersitegang melawan pengaruh yang semakin kuat itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa di
belakangnya.
"Ha-ha-heh-heh, lihat, Bibi Gangga Dewi! Dua orang tosu itu sungguh lucu. Apa yang sedang mereka
lakukan itu? Apakah mereka itu dua orang anak wayang yang sedang membadut?"
Mendengar suara ketawa dan ucapan Yo Han itu, seketika lenyaplah pengaruh sihir yang hampir
menguasai dirinya dan lenyap pula ‘hawa’ yang membangkitkan bulu roma tadi.
Dua orang tosu itu terbelalak memandang ke arah Yo Han. Ketika anak itu tertawa lalu bicara, mereka
berdua merasa betapa kekuatan sihir mereka yang mereka kerahkan itu membalik seperti gelombang
dunia-kangouw.blogspot.com
melanda diri mereka sendiri sehingga mereka menjadi sesak napas dan terpaksa menghentikan ilmu sihir
itu!
Ang-I Moli juga melihat semua ini dan ia berkata, "Nah, sudah kukatakan bahwa anak itu bukan anak
sembarangan. Dia terkena jarum-jarumku akan tetapi tidak mati, dan segala kekuatan sihir tidak bisa
mempengaruhinya. Sekarang baru kalian percaya? Hayo kalian bunuh perempuan asing itu dan aku yang
akan menangkap anak itu!"
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru