Sabtu, 30 September 2017

Pendekar Sakti 2 Kho Ping Hoo

Pendekar Sakti 2 Khh Ping Hoo Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Pendekar Sakti 2 Kho Ping Hoo
kumpulan cerita silat cersil online
--
“Ehh, tua bangka kecil, kau lupa menyebutkan iblis dari utara!” kata Ang-bin Sin-kai.
“Ha-ha-ha!” Jeng-kin-jiu tertawa. “Memaki orang lain memang mudah, mana bisa memaki diri sendiri?”
Disindir oleh dua orang kakek itu, Siangkoan Hai hanya tersenyum-senyum saja, lalu dia menghampiri peti
mati di mana tersimpan jenazah Hek-mo-ong. Empat orang yang lain segera memandang dengan penuh
perhatian dan kecurigaan. Pak-lo-sian Siangkoan Hai memandang peti mati itu, lalu berkata lagi,
“Ingin aku melihat orang yang mendapat kehormatan demikian besar!” sambil berkata demikian, dua
tangannya bergerak ke arah peti dan tiba-tiba sambil mengeluarkan suara keras, tutup peti itu telah
dibukanya!
Semua keluarga yang mati berseru keras dan lari berserabutan ke belakang dan keluar, cepat-cepat pergi
dari tempat itu. Mereka ketakutan setengah mati karena kedatangan lima orang yang seperti iblis-iblis
berkeliaran itu.
Pemandangan yang nampak di dalam peti memang mengerikan sekali. Tadinya, karena pengaruh racun
jahat yang memasuki perut Hek-mo-ong, muka orang ini sudah menjadi hitam kebiruan. Akan tetapi
sekarang, kepalanya telah pecah sedangkan di ulu hatinya menancap jarum hitam! Inilah akibat dari
pukulan lweekang dari Kiu-bwe Coa-li yang tadi meraba-raba peti dan serangan jarum hitam dari Hek-i Huimo!
“Siancai, siancai...!” Pak-lo-sian menyebut sambil cepat-cepat menutupkan peti kembali. “Benar-benar Hekmo-
ong telah mampus. Bahkan tiga kali mampus.”
Bun Sui Ceng, murid Kiu-bwe Coa-li, dan kedua orang murid Pak-lo-sian, segera berdiri menonton semua
itu. Mereka bertiga sama sekali tidak takut melihat pemandangan yang mengerikan itu. Bahkan Sui Ceng
dengan senyuman yang membuat pipi kirinya dekik, melirik ke arah The Kun Beng dan Gouw Swi Kiat, lalu
berkata,
“Guru kalian itu bertubuh kecil, akan tetapi berkepala besar. Orang sombong seperti dia mana bisa
mendapatkan kitab?”
Mendengar ucapan ini, Gouw Swi Kiat yang berdarah panas lalu menjawab, “Kau bocah ingusan tahu apa?
Lihat betapa suhu kami akan merampas kitab itu!”
“Huh! Sebelum dia menyentuh kitab, kepalanya akan hancur seperti kepala Hek-mo-ong oleh tangan
guruku!” kata Sui Ceng sambil menjebikan bibirnya yang merah.
“Betulkah?” seru Swi Kiat penasaran. “Atau kepalamu yang akan pecah terlebih dulu oleh tanganku?”
Sikapnya mengancam dan dia seakan-akan hendak menyerang nona cilik itu.
“Suheng, kenapa mencari perkara? Tiada salahnya dia ini membela dan memenangkan gurunya sendiri.
Kita lihat sajalah buktinya nanti.” The Kun Beng mencegah suheng-nya.
Mendengar ini, Sui Ceng melirik ke arah Kun Beng dan diam-diam di dalam hatinya Sui Ceng merasa jauh
lebih suka kepada Kun Beng dari pada Swi Kiat.
Sementara itu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang tak mau membuang-buang banyak waktu untuk menanti
sambil memandangi kitab yang amat diinginkannya itu, tiba-tiba melompat dan sekali sambar saja dia
sudah mengambil kitab itu. Akibatnya hebat sekali. Serentak empat orang tokoh yang lain bangun dan
bergerak menyerang.
“Lepaskan kitab itu!” seru Kiu-bwe Coa-li yang lebih dulu menyerang dengan cambuknya.
Siangkoan Hai cepat mengelak, akan tetapi dia disambut oleh serangan bertubi-tubi dari Hek-i Hui-mo,
dunia-kangouw.blogspot.com
Jeng-kin-jiu, dan Ang-bin Sin-kai! Serangan-serangan tiga orang ini tentu saja tak bisa dipandang ringan,
sebab kepandaian mereka setingkat dengan kepandaian Siangkoan Hai.
Dengan kaget Siangkoan Hai mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya melompat ke belakang
secepatnya, namun masih saja sebuah pukulan dari jauh yang dilancarkan oleh Ang-bin Sin-kai mengenai
pundaknya sehingga dia menjadi terhuyung-huyung!
Pada saat itu, Kiu-bwe Coa-li telah menubruk lagi dan sekali renggut, dengan gerak tipu Dewi Kwan Im
Merampas Bunga, kitab di tangan Siangkoan Hai itu telah dapat dirampas olehnya!
Kiu-bwe Coa-li yang sudah dapat merampas kitab hendak melompat ke arah muridnya dan hendak
melarikan diri sambil membawa muridnya itu. Akan tetapi sebelum ia tiba di depan Sui Ceng, di depannya
telah menghadang Hek-i Hui-mo!
“Enak saja kau mau membawa pergi kitab itu? Lepaskan!” kata Iblis Terbang Baju Hitam ini dan tasbihnya
di tangan kiri menyambar ke arah dada Kiu-bwe Coa-li!
Serangan hebat ini dapat mendatangkan maut, karena meski pun hanya berupa tasbih, namun senjata
aneh ini bukan main lihainya, merupakan segundukan cahaya putih yang bulatan tasbih itu menghantam ke
arah jalan darah di dada.
Kiu-bwe Coa-li cepat menggerakkan pecutnya menangkis. Terdengar suara keras sekali dan bunga api
berpijar ketika dua senjata aneh ini bertemu. Keduanya tergetar mundur dan sebelum Kiu-bwe Coa-li
sadar, ia hanya merasa kitab itu dibetot orang dan terlepas dari pegangannya!
Ketika ia menoleh, ternyata bahwa kitab itu telah berpindah ke dalam tangan Ang-bin Sin-kai! Kakek
pengemis ini tertawa-tawa sambil memegang kitab itu tinggi-tinggi, seperti sikap seorang kanak-kanak
yang menggoda kawan-kawannya.
“Jembel tua, kau serahkan kitab itu kepadaku!” seru Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil mengulur tangan
hendak merampas. Tangan kirinya diulur hendak merampas, ada pun tangan kanannya menonjok dada
pengemis tua itu!
Pada saat yang sama Hek-i Hui-mo, Kiu-bwe Coa-li, dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga tidak tinggal diam
dan sebentar saja Ang-bin Sin-kai telah dikeroyok empat!
Ang-bin Sin-kai maklum bahwa dia tak mungkin dapat melawan empat orang lihai ini, dan walau pun dia
melarikan diri, ilmu lari cepat mereka pun tidak kalah olehnya. Maka dia cepat berseru, “Tahan serangan!”
Berkata begini, dia melempar kitab ke atas meja sembahyang kembali.
Empat orang yang menyerangnya tertegun dan tidak jadi menyerang, karena serangan mereka itu pun
hanya berdasarkan ingin merampas kitab, sedangkan kini kitab sudah berada di atas meja lagi, untuk apa
menyerang lawan yang sama lihainya itu?
“Hayo, siapa berani mengambil kitab itu, dialah jagoan sejati!” Ang-bin Sin-kai tertawa dan kembali
menduduki bangkunya yang tadi.
Empat orang yang lain merasa ragu-ragu dan akhirnya mereka pun menduduki bangku dan duduk lagi
mengelilingi meja sembahyang di mana terdapat kitab itu. Semua orang maklum bahwa apa bila dia
memberanikan diri mengambil kitab itu, tentu akan langsung diserang oleh empat orang lainnya dan hal ini
tidak mungkin, karena bahayanya terlalu besar. Akhirnya, tak seorang pun di antara mereka berani turun
tangan mengambil kitab, dan kelima orang ini hanya saling pandang dan tertawa ha-ha-hi-hi-hi, tertawa
masam!
Terdengar suara ketawa kanak-kanak dan yang tertawa adalah Sui Ceng dan Kun Beng. Dua orang anak
ini merasa geli karena pemandangan itu benar-benar terlihat lucu sekali! Sebaliknya, Gouw Swi Kiat yang
berdarah panas itu merasa mendongkol sekali. Benar suhu-nya tidak mampu mengambil kitab itu dan kini
gurunya, seperti yang lain-lain, hanya duduk saja menghadapi meja sembahyang seperti patung.
Dari sikap mereka ini saja sudah dapat dilihat bahwa Sui Ceng dan Kun Beng memiliki sifat periang yang
sama, ada pun Swi Kiat mempunyai sifat pemarah dan keras.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suhu, apa sih sukarnya mengambil kitab? Ambil dan lawan mereka, masa Suhu akan kalah?” seru Swi
Kiat kepada suhu-nya.
“Hush, diam kau. Tahu apa kau tentang urusan ini?” bentak suhu-nya dan Swi Kiat makin mendongkol.
“Sayang kepandaianku masih belum sempurna. Kalau tidak, aku sama sekali tidak takut menghadapi
mereka!” ia mengomel.
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.
“Pak-lo-sian, muridmu yang itu benar-benar keras seperti batu. Tidak seperti muridmu yang ke dua itu,
yang lunak seperti air!” katanya.
Keluarga dari Hek-mo-ong yang melihat betapa lima orang itu bertempur tak karuan rupa, kemudian kini
duduk lagi mengelilingi meja sembahyang, menjadi terheran-heran, takut, dan juga cemas. Akhirnya, isteri
Hek-mo-ong memberikan diri maju sambil membungkuk-bungkuk.
“Mau apa kau?” Kiu-bwe Coa-li membentak sehingga nyonya itu menjadi pucat.
“Kami bermaksud hendak mengubur jenazah tiga orang keluarga kami ini, apakah tidak boleh?” tanya
nyonya itu dengan suara gemetar.
Di antara kelima orang tokoh yang aneh serta menyeramkan itu, Ang-bin Sin-kai boleh dibilang memiliki
watak yang paling lembut. Ia menaruh kasih kepada nyonya ini, maka sambil menggerakkan tangan dia
berkata, “Uruslah jenazah itu baik-baik dan bawa pergi dari sini. Akan tetapi, jangan sekali-kali berani
menyentuh meja sembahyang kalau kalian sayang kepada nyawa sendiri.”
Setelah mendengar kata-kata ini, nyonya Hek-mo-ong lalu segera memberi tanda kepada keluarganya dan
beramai-ramai akan tetapi hati-hati sekali supaya jangan mengganggu lima orang aneh itu, mereka lalu
mengangkat tiga buah peti mati itu untuk dikuburkan.
Akan tetapi, lima orang itu tetap saja duduk mengelilingi meja sembahyang tanpa berani turun tangan,
akan tetapi juga tidak sudi mengalah dan tidak mau meninggalkan tempat itu!
Hari sudah mulai senja. Tiba-tiba Sui Ceng yang merasa kesal berkata kepada gurunya, “Suthai, perutku
lapar, hidangan di meja sembahyang itu tidak diperlukan, bukan? Lebih baik berikan kepada teecu!”
Kiu-bwe Coa-li boleh jadi seorang wanita sakti yang berhati baja dan terkenal ganas, akan tetapi terhadap
muridnya ini, ia menaruh hati kasih sayang yang besar. Mendengar kata-kata muridnya ini, ia lalu bangkit
dari tempat duduknya dan menggerakkan pecutnya yang berbulu sembilan itu ke arah meja. Secara luar
biasa sekali dua helai bulu pecutnya melibat pinggir piring sebelah bawah dan mengangkat piring itu yang
terus dilontarkan ke belakang di mana muridnya berdiri!
Hebat sekali demonstrasi tenaga lweekang ini, karena piring yang penuh kue mangkok itu melayang tanpa
kuenya jatuh sama sekali! Sui Ceng menyambut piring ini dengan kedua tangannya dan ternyata selama
ikut dengan gurunya, anak perempuan ini sudah memiliki kepandaian yang lumayan juga karena ia dapat
menyambut piring itu tanpa ada kue yang jatuh.
Bocah ini lalu mengambil sebuah mangkok dan makan kue dengan enaknya. Pada saat makan kue, dia
melirik ke arah Kun Beng dan tiba-tiba saja dia menyodorkan piring kue mangkok itu kepada Kun Beng.
Anak laki-laki ini tersenyum dan mengambil sebuah kue mangkok, lalu dimakannya tanpa mengeluarkan
sepatah pun kata. Sui Ceng juga menyodorkan piringnya kepada Swi Kiat, akan tetapi Swi Kiat membuang
muka kemudian berjalan ke dalam rumah untuk minta makanan dari tuan rumah yang segera melayaninya
dengan ramah karena takut kepada gurunya. Benar-benar keras hati anak ini.
Akan tetapi Sui Ceng tidak menghiraukannya, bahkan lantas mencela kepada Kun Beng, “Suheng-mu itu
kepala batu. Aku tidak suka kepadanya!”
Sebaliknya Kun Beng memuji nona kecil ini, “Kau baik hati, aku suka kepadamu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hm, memberi kue bukan berarti bahwa aku suka kepadamu!” jawab Sui Ceng merengut. “Hanya karena
aku tadi mendengar suara perutmu berkeruyuk!”
Dia menyodorkan lagi piringnya dan tanpa sungkan-sungkan Kun Beng lalu mengambil sebuah kue lagi.
Keduanya saling pandang dan tertawa. Diam-diam kedua anak kecil ini telah mendapat kecocokan dalam
pertemuan yang aneh ini.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa melihat ini. “Eh, Ular Betina Buntut Sembilan (Kiu-bwe Coa-li)! Muridmu
itu baik sekali, tidak seperti engkau! Kelak kalau ada jodoh, aku akan menemuimu untuk membicarakan
urusan mereka berdua itu!”
Akan tetapi Kiu-bwe Coa-li diam saja, bahkan memperlihatkan muka yang tidak senang. “Kalian ini orangorang
lelaki sungguh menjemukan dan menggemaskan sekali!” katanya sambil membanting kaki kirinya.
“Masa kita harus duduk diam saja dan menjadi patung di sini? Baik diatur begini saja. Aku hendak
menantang kalian maju melawan aku seorang demi seorang, jangan main keroyokan! Kalau ada yang
dapat mengalahkan cambukku ini, biarlah aku mengalah dan tidak mengharapkan kitab itu lagi. Hayo,
siapa berani maju lebih dulu?”
Sambil berkata demikian, wanita sakti ini kemudian bangkit berdiri dan mengayun-ayun cambuknya dengan
sikap menantang sekali. “Akan kuhancurkan kepala kalian empat orang laki-laki tolol.”
Melihat sikap gurunya, Sui Ceng merasa girang dan bangga sekali. Ia menoleh kepada Kun Beng dan Swi
Kiat lalu berkata, “Lihat, guruku lebih gagah perkasa. Mana orang seperti gurumu dapat melawan dan
mengalahkannya?”
Karena kata-kata ini diucapkan dengan keras, maka terdengar pula oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang
menjadi panas perutnya juga. Ia melompat bangun dari bangkunya menghadapi Kiu-bwe Coa-li. Memang
watak dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini sombong dan dalam hal ilmu silat, dia tidak pernah mau mengalah
terhadap siapa pun juga.
“Kiu-bwe Coa-li, siapa sih yang takut menghadapi cambukmu sembilan ekor itu? Mari kita main-main
sebentar!” Sambil berkata demikian, orang pendek kecil ini lalu mengeluarkan sepasang kipas.
Inilah senjata yang amat lihai dari Siangkoan Hai, yakni sepasang kipas warna hitam dan putih. Ia
mempunyai ilmu silat kipas yang disebut Im-yang San-hoat, yang permainannya membutuhkan tenaga
lweekang dan gwakang yang dimainkan berbareng.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai mempunyai dua macam ilmu silat yang tinggi dan lihai, yakni ilmu kipas ini dan
ilmu tombak. Selain dua macam ilmu silat dengan senjata yang amat lihai ini, juga dia mempunyai ilmu silat
tangan kosong yang jarang ada bandingannya di dunia ini. Sekarang, karena dia menghadapi Kiu-bwe
Coa-li yang memegang sebuah cambuk, yakni senjata yang lemas, dia merasa rugi kalau harus
menghadapinya dengan tombak, maka dia memilih sepasang kipasnya untuk menghadapinya.
Dua orang sakti itu telah saling berhadapan dan agaknya tidak lama lagi mereka akan bergebrak ramai.
“Nanti dulu!” berkata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil melompat maju dan tubuhnya yang bulat itu
seakan-akan menggelundung maju dan tahu-tahu telah berada di tengah, di antara kedua jago tua yang
hendak bertanding. “Harus diadakan perjanjian lebih dulu yang adil!”
“Apa maksudmu, keledai gundul?” Kiu-bwe Coa-li memandang tajam.
“Kalau dalam pertandingan ini ada yang kalah dan sampai mampus, itu lebih baik lagi. Akan tetapi kalau
tidak sampai mati dan dia sudah dirobohkan, dia harus pergi dan tidak berhak lagi menginginkan kitab Imyang
Bu-tek Cin-keng! Yang menanglah yang akan menghadapi lawan ke dua!” Jeng-kin-jiu Kak Thong
Taisu menerangkan.
Ang-bin Sin-kai maklum dalam pertandingan antara orang-orang lihai ini, sukar dibilang bahwa yang kalah
masih dapat hidup, maka dia segera melompat maju juga dan sambil tertawa-tawa dia mengacungacungkan
tangannya seperti yang hendak mengusulkan sesuatu dalam rapat!
“Nanti dulu, aku pun mau mengajukan saran yang adil! Kata-kata si gundul gendut ini ada betulnya, akan
tetapi masih kurang adil.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Cecak kering, bagaimana kau bilang masih kurang adil?” Jeng-kin-jiu bertanya sambil tertawa lebar.
“Kalau dibiarkan dua orang berhantam, biar pun ada yang menang, tentu si pemenang itu sudah empasempis
napasnya dan sudah habis tenaganya, maka bagaimana dia harus menghadapi lawan ke dua? Ini
tidak adil, karena tentu dia akan kalah oleh tenaga baru! Lebih baik kalau dalam tiap pertandingan dibatasi,
yakni dengan pembakaran hio pendek yang kering. Begitu pertempuran dimulai, hio dinyalakan dan setelah
hio terbakar habis, pertempuran harus dihentikan.”
“Hmm, hio akan terbakar habis setelah ilmu silat dimainkan tiga puluh jurus kurang lebih. Bagaimana kalau
tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang?” tanya Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Ang-bin Sin-kai menggaruk-garuk kepalanya. “Kalau tidak ada yang kalah, dapat diulang kembali untuk
kedua kalinya.”
Semua orang menyatakan setuju, maka Ang-bin Sin-kai cepat-cepat menyalakan hio dan ditancapkan di
tempat hio yang berada diatas meja sembahyang.
“Mulai!” kata Ang-bin Sin-kai sambil mengangkat tangan ke atas seperti seorang wasit pertandingan!
“Lihat senjata!” Kiu-bwe Coa-li berseru dan menggerakkan pecut menyerang lawannya.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai menangkis dengan kipas di tangan kiri yang berwarna putih. Inilah kipas yang
dimainkan dengan tenaga lweekang dan yang cepat sekali digunakan untuk menangkis.
Seperti diketahui, ujung pecut adalah benda lemas, maka walau pun oleh pemegangnya digerakkan
dengan pengerahan tenaga dalam, saat tertangkis oleh kipas yang mengebut akan bertolak kembali. Akan
tetapi, Siangkoan Hai tidak berani berlaku lambat. Cepat dia membalas serangan lawan dengan kipas
kanan yang berwarna hitam sambil kerahkan tenaga gwakang.
Wanita sakti itu cepat mengelak. Ketika ia mengayun cambuknya, kembali sembilan helai bulu cambuk
bergerak-gerak bagaikan sembilan ekor ular yang hidup dan mengancam nyawa lawan!
“Satu jurus!” seru Ang-bin Sin-kai menghitung, seakan-akan anak kecil yang bergembira melihat dua orang
kawan berhantam!
Serangan Kiu-bwe Coa-li benar-benar lihai. Cambuknya itu walau pun hanya bergagang satu, akan tetapi
karena ujungnya memiliki sembilan helai bulu panjang yang bergerak masing-masing dari segala jurusan,
maka merupakan sembilan senjata yang amat lihai.
Namun Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga bukan orang sembarangan. Sepasang kipasnya bisa digerakkan
hingga menimbulkan angin berputar. Dari mana pun juga bulu-bulu pecut itu menyerang, selalu dia dapat
mengebut senjata lawannya sehingga dia terhindar dari bahaya maut. Ada pun kipas hitamnya juga berkalikali
menyerang yang semuanya dapat pula dihindarkan oleh Kiu-bwe Coa-li.
“Guruku pasti menang!” kata Sui Ceng sambil mulutnya terus bergerak-gerak makan kue mangkok. Dalam
ketegangannya, tak terasa pula makin cepat ia makan kue itu sehingga mulutnya yang kecil itu bergerakgerak
lucu.
“Tak mungkin! Guruku yang akan membikin mampus gurumu!” kata Swi Kiat.
Sui Ceng mendelikkan matanya. “Siapa bilang? Kalau gurumu sampai terkena cambukan guruku,
nyawanya tentu melayang ke akhirat!”
“Ssttt...! Jangan ribut-ribut!” Kun Beng mencela kedua orang anak itu. “Kita lihat saja siapa yang yang akan
menang.”
Pertempuran itu benar-benar hebat sekali. Bahkan Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Angbin
Sin-kai, mau tidak mau harus memuji kelihaian dua orang itu. Ang-bin Sin-kai yang merasa gembira
sampai seperti anak kecil dan menghitung terus.
“Dua puluh delapan jurus! Dua puluh sembilan…! Ahh, cukup! Hio-nya sudah padam lagi. Tahan!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar ini Kiu-bwe Coa-li dan Siangkoan Hai lalu melompat mundur sambil menahan senjata masingmasing.
Nampak bayangan kecewa di muka Kiu-bwe Coa-li, sedangkan Siangkoan Hai juga merasa
penasaran sekali karena tak dapat mengalahkan lawannya.
“Kau hebat, Ular Betina! Benar-benar aku kagum sekali!” katanya.
“Dalam babak ke dua nanti kau pasti akan kurobohkan, Pak-lo-sian,” kata Kiu-bwe Coa-li dengan muka
merah. “Sekarang siapakah yang akan melawan aku?” tantangnya.
“Hee, kau jangan begitu bernafsu dan serakah, Kiu-bwe Coa-li!” Ang-bin Sin-kai mencela, “Sekarang giliran
orang-orang lain, jangan main borong semua.”
Hek-i Hui-mo dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sudah melompat dan saling berhadapan sehingga Kiu-bwe
Coa-li terpaksa mengundurkan diri, duduk di tempatnya yang tadi.
“Eh, ehh, aku dulu!” Ang-bin Sin-kai berkata kebingungan setelah melihat dua orang yang sama gundul,
sama bundar bulat itu saling berhadapan. “Siapa nanti lawanku?”
“Cecak kurus, kau minggirlah dan nyalakan lain hio!” Kak Thong Taisu berkata, “Hek-i Hui-mo Si Setan
Hitam patut menjadi lawanku!”
Ketika Ang-bin Sin-kai menyalakan lain hio, terdengar suara gelak terbahak yang merdu dan nyaring.
Ternyata Sui Ceng dan Kun Beng tertawa bergelak sambil menudingkan jari tangan ke arah Jeng-kin-kiu
dan Hek-i Hui-mo.
Memang lucu sekali dua orang ini. Keduanya gendut sekali dan kelihatannya seperti dua ekor babi kebiri
yang gemuk sedang berhadapan. Wajah Hek-i Hui-mo kelihatan seram dan galak, sedangkan Kak Thong
Taisu memang selalu kelihatan tertawa-tawa. Mereka ini tiada ubahnya seperti dua orang pelawak yang
beraksi.
Akan tetapi, ketika keduanya sudah bergerak saling serang, hebatnya bukan main. Meja sembahyang yang
terkena sambaran pukulan mereka sampai bergerak-gerak, juga lantai sampai tergetar dan beberapa
macam barang yang letaknya terlalu tinggi dan berada di atas meja, roboh terguling!
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mainkan sebuah toya besar yang berat. Memang hwesio tokoh selatan ini
adalah seorang ahli gwakang yang memiliki tenaga seperti gajah, maka toya yang berat itu di tangannya
hanya merupakan ranting yang ringan saja dan ketika diputarnya, merupakan segulungan sinar yang
mendatangkan angin ribut!
Sebaliknya, Hek-i Hui-mo juga memiliki tenaga besar, sedangkan Tongkat Kepala Naga (Liong-thouw-tung)
pada tangan kanannya, ditambah pula dengan tasbih di tangan kiri, merupakan sepasang senjata aneh
yang dapat mengimbangi ancaman toya Jeng-kin-jiu.
“Tang! Tung! Tang! Tung!” berkali-kali terdengar suara dibarengi bunga api berpencaran ke sana ke mari
kalau senjata-senjata itu bertemu dengan kerasnya.
Menghadapi pertandingan yang dilakukan dengan tenaga kasar dan nampak dahsyat sekali ini, Sui Ceng,
Kun Beng, dan Swi Kiat sampai berdiri melongo saking tertarik dan juga merasa ngeri. Mereka yang
semenjak kecil telah terdidik ilmu dapat membayangkan kehebatan sambaran-sambaran senjata itu yang
akan dapat meremukkan batu karang, apa lagi kepala manusia yang gundul-gundul seperti Jeng-kin-jiu dan
Hek-i Hui-mo itu! Tentu akan pecah berantakan.
“Cukup! Hio sudah padam!” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.
Pertandingan kali ini lebih cepat habisnya. Hal ini oleh karena sambaran senjata mereka yang digerakkan
tenaga luar biasa itu mendatangkan angin dan membuat nyala api hio makin membesar dan cepat
menghabiskan hio itu.
Kedua orang hwesio itu ‘menggelundung’ mundur dan saling menjura.
“Omitohud! Jeng-kin-jiu benar-benar bertenaga besar. Pinceng merasa amat kewalahan menghadapimu,”
dunia-kangouw.blogspot.com
kata Hek-i Hui-mo.
“Omitohud! Apa bila dibandingkan, tasbihmu itu benar-benar lebih lihai sepuluh kali lipat dari pada
tongkatku.” Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu memuji.
Sesudah duduk kembali Ang-bin Sin-kai nampak termenung dan diam saja, agaknya dia sedang memutar
otaknya.
“Ehh, pengemis bangkotan. Hayo kau maju melawan aku!” kata Siangkoan Hai dengan gembira.
Memang kelima orang ini adalah jago-jago tua yang berkepandaian tinggi. Dan di dalam dunia ini tidak ada
kesukaan yang melebihi kesukaan mereka bertempur dan mengadu ilmu.
Akan tetapi Ang-bin Sin-kai diam saja dan keningnya nampak berkerut tanda dia sedang berpikir keras.
Akhirnya dia mengangkat muka dan berkata dengan suara bersungguh-sungguh, “Kita semua sudah
melakukan kebodohan besar! Benar-benar kita sudah tolol sekali, berebut mangkok butut yang kosong.
Apa artinya kitab itu? Ambillah siapa saja yang suka mengambil. Aku tidak butuh lagi.”
Semua orang memandang heran.
“Ehh, apa maksudmu, Ang-bin Sin-kai? Apa kau takut menghadapi pertempuran?” tanya Kiu-bwe Coa-li.
Ang-bin Sin-kai menggeleng-gelengkan kepala. “Pertempuran adalah bagus sekali untuk menambah
semangat di dalam kepala kita yang sudah tua. Akan tetapi untuk apa? Apa artinya kitab itu tanpa
penterjemah? Di dunia ini hanya Gui Tin siucai seorang yang dapat menterjemahkan. Sekarang dia sudah
mati, untuk apa kita berebut kitab itu? Sekarang kitab itu tiada gunanya lagi!”
Mendengar ucapan ini, bengonglah semua orang itu. Pikiran mereka baru terbuka dan mereka pun saling
pandang dengan tertegun.
Sambil tertawa bergelak Ang-bin Sin-kai menghampiri meja dan berkata, “Nah, inilah. Kalian lihat sendiri,
siapa di antara kita yang dapat membaca kitab kuno ini? Kalian tahu, aku seorang ahli sastra pula, dan aku
tahu bahwa kitab ini usianya masih lebih tua dari pada usia nenek moyang kita ratusan tahun yang lalu!”
Ia lalu mengambil kitab itu dan yang lain-lain tidak bergerak untuk mencegah lagi. Sambil membuka kitab
itu Ang-bin Sin-kai memperlihatkannya kepada semua orang, dan benar saja. Tulisan pada kitab itu tidak
karuan macamnya dan tidak dapat dibaca sama sekali. Hanya pada halaman terdepan ditulis dengan huruf
besar dan jelas ‘IM-YANG BU-TEK CIN-KENG’, akan tetapi selanjutnya tak ada satu huruf pun yang dapat
mereka baca.
“Ha-ha-ha!” Ang-bin Sin-kai tertawa lagi sambil menuding ke arah huruf pertama. “Siapa di antara kita yang
dapat membaca huruf pertama ini?”
Semua orang memandang.
“Huruf BENG!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.
“Bukan, gundul! Huruf BENG di depannya pakai huruf JIT, akan tetapi ini pakai huruf GO!” Ang-bin Sin-kai
membantah. “Huruf macam ini tidak terdapat dalam kata-kata kita. Siapa yang akan dapat menterjemahkan
kecuali mendiang Gui-suicai?”
Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melemparkan kitab itu ke atas meja, karena setelah membukabuka
lagi, mereka hanya melihat tulisan-tulisan yang bentuknya seperti gambar yang tidak karuan, ada
gambar udang, gambar kepiting, gambar muka orang dan lain-lain yang tak dapat diartikan sama sekali.
“Aku tahu! Anak kecil itu…” kata Kiu-bwe Coa-li. Lalu ia menengok kepada muridnya dan berkata, “Sui
Ceng, siapa namanya anak laki-laki murid Gui-suicai itu?”
“Namanya Lu Kwan Cu!” kata Sui Ceng
Muka Ang-bin Sin-kai berubah, “Anak kecil itu mana mengerti?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Belum tentu!” kata Hek-i Hui-mo. “Kita harus tangkap dia dan tanya dia, siapa tahu dia sudah mempelajari
dari gurunya!”
Kembali mereka bersitegang dan kini timbul harapan baru, maka mereka saling pandang dengan penuh
kecurigaan dan tak seorang pun berani mencoba untuk mengambil kitab itu lagi!
Ang-bin Sin-kai mengangguk. “Baik! Sekarang diatur begini saja. Di sini ada tiga orang anak murid Kiu-bwe
Coa-li dan Pak-lo-sian. Biarlah mereka membawa meja ini dan kita berjalan di belakang, lalu kita mencari
Lu Kwan Cu. Kalau dia bisa menterjemahkan, kita lanjutkan pertandingan ini.”
Demikianlah The Kun Beng, Gouw Swi Kiat, dan Bun Sui Ceng lalu mengangkat meja sembahyang itu
bertiga, diangkat tinggi-tinggi. Kecuali kitab itu yang berada di tengah-tengah, semua barang di atas meja
itu telah dilemparkan. Lalu berangkatlah mereka.
Benar-benar lucu sekali rombongan ini. Yang di depan tiga orang anak kecil. Kun Beng dan Swi Kiat
memegang kaki meja berjalan di depan. Sui Ceng kaki meja di belakang. Dan di belakang ‘meja berjalan’
ini berjalanlah lima orang tua yang aneh!
“Hee, kenapa meja ini menjadi berat?” Swi Kiat berkata dan ketika menoleh, dia segera membentak,
“Bocah setan, jangan main-main!”
Kun Beng yang juga menengok, terdengar tertawa. Ternyata bahwa Sui Ceng yang nakal itu, kini tidak lagi
ikut memanggul meja, melainkan dia bergantung pada kaki meja yang dipegangnya itu! Karena tubuhnya
paling pendek, maka dia dapat begantung sehingga boleh dibilang dia dipikul oleh Kun Beng dan Swi Kiat.
Setelah Swi Kiat membentaknya, barulah Sui Ceng menurunkan kakinya dan ikut memanggul lagi. Benarbenar
seperti tiga orang anak kecil memanggul patung toapekong dari kelenteng yang diarak…..
********************
Kita ikuti perjalanan Lu Kwan Cu, anak gundul yang hidupnya selalu dirundung malang. Meski pun dia telah
memiliki kekuatan batin yang timbul dari pembawaannya yang aneh, dan diperkuat pula dengan latihanlatihan
semedhi semenjak dilatih oleh Loan Eng dan kemudian dilanjutkan menurut petunjuk dari kitab Imyang
Bu-tek Cin-keng yang sudah diterjemahkan oleh suhu-nya, yakni Gui Tin, namun menghadapi
keadaan hidupnya, dia merasa bersedih juga. Ia merasa amat kesunyian.
Tadinya, sesudah bertemu dengan Pek-cilan Thio Loan Eng, dia telah merasa bahagia, dan merasa suka
sekali ikut pendekar wanita itu. Kemudian sesudah dia berpisah dari Loan Eng dan bertemu dengan Gui
Tin si sastrawan, dia merasakan kebahagiaan lagi karena dia merasa ada orang yang harus dijaganya,
yang dapat dikasihinya dan juga mencintainya. Maka dapatlah dibayangkan betapa sakit hatinya ketika dia
menyaksikan kematian Gui Tin.
Ketika dia melakukan perjalanan seorang diri, pada suatu senja dia tiba di sebuah kaki gunung dan di luar
sebuah dusun dia melihat ada sebuah rumah pondok yang reot dan kosong. Ia merasa girang dan
memasuki rumah ini.
Perutnya terasa lapar sekali dan kantong uang yang dia dapat dari kakek angkatnya, yakni Menteri Lu Pin,
dia taruh di atas lantai dalam rumah itu. Malam itu bulan purnama dan cahayanya terang sekali! Akan
tetapi bagi Kwan Cu, bulan yang bundar itu bahkan menimbulkan rasa sunyi yang hampir tak tertahankan.
Kalau saja dia tidak mempunyai hati yang luar biasa kuatnya, tentu dia telah menangis tersedu-sedu. Akan
tetapi Kwan Cu tidak mau menangis. Dia keluar dari rumah pondok reot itu dan duduk di luar rumah di atas
sebuah batu. Ketika memandang ke arah bulan yang bundar dan putih kekuningan, dia melihat bulan itu
seakan-akan berubah menjadi wajah Loan Eng yang peramah dan sebentar kemudian berubah lagi
menjadi wajah Gui Tin yang sayang kepadanya.
Ia membuang muka dan tak berani memandang lagi. Di belakangnya terdapat sebatang pohon yang
semua daunnya sudah rontok, tinggal cabang-cabangnya saja dan membuat keadaan menjadi makin
sunyi.
Lu Kwan Cu duduk dengan tangan kiri menunjang dagunya. Dia duduk termenung, tidak bergerak seakanakan
dia telah menjadi patung batu. Kepalanya yang gundul kelimis itu tertimpa cahaya bulan sehingga
mengkilap dan wajahnya yang tampan itu nampak sunyi dan sedih.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Memang betul kata suhu Gui Tin,” pikirnya, “ilmu silat tak dapat dibilang buruk dan jahat. Tergantung dari
orang yang menggunakannya. Thio-toanio bukanlah seorang yang jahat dan ilmu silatnya dia pergunakan
untuk menolong orang. Kalau aku mengerti ilmu silat, tentu tak akan sampai begini keadaanku. Suhu Gui
Tin takkan sampai tersiksa sehingga meninggal dunia. Ia pesan supaya aku dapat menemukan kitab Imyang
Bu-tek Cin-keng yang asli dan mempelajari isinya. Akan tetapi di mana aku harus mencarinya? Aku
harus menemukan petinya lebih dulu agar aku dapat mencari pula kitab itu di dalam buku peta dan
sejarah.”
Selagi dia duduk termenung, mendadak dia melihat bayangan banyak orang mendatangi dari depan.
“Itu dia…!” Ia mendengar suara seorang anak perempuan. “Hei… Kwan Cu...!”
Kwan Cu mengenal suara ini. Ia berdiri dan menanti datangnya rombongan itu.
“Adik Ceng...!” teriaknya girang.
Di dalam kesunyian seperti itu, melihat orang yang di kenalnya, tentu saja mendatangkan rasa girang.
Akan tetapi, dia segera menjadi terheran-heran karena melihat betapa Sui Ceng sedang memanggul
sebuah meja bersama dua orang anak laki-laki yang segera dikenalnya pula sebagai dua orang anak lakilaki
yang dahulu pernah mempermainkan dirinya, yakni murid-murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Lebihlebih
herannya ketika dia melihat di antara rombongan itu terdapat pula Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu
Kak Thong Taisu, dua orang kakek yang telah dikenalnya baik-baik.
“Anak baik! Kau sudah berada di tempat ini?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan suara girang.
“He, Kwan Cu! Kau masih ingat kepada pinceng, bukan?” berkata Jeng-kin-jiu kak Thong Taisu dengan
suara gembira pula.
Kiu-bwe Coa-li, Hek-i Hui-mo, dan Pak-lo-sian juga mendekati Kwan Cu sehingga anak ini terkurung di
tengah-tengah. Juga tiga orang tokoh ini mengeluarkan suara memuji dan manis.
Kwan Cu adalah seorang anak yang mempunyai otak cerdik sekali. Melihat orang-orang itu bersikap
manis, dia melirik ke arah meja yang kini sudah diturunkan oleh tiga orang anak-anak itu. Pada saat
melihat kitab di atas meja, tahulah dia bahwa tentu mereka ini membutuhkan pertolongannya untuk
membaca buku itu!
“Cu-wi sekalian datang mengejar teecu apakah hendak bertanya sesuatu tentang kitab Im-yang Bu-tek Cinkeng
itu?” tanyanya sambil menuding ke arah kitab di atas meja.
“Benar-benar! Kau benar-benar seorang anak yang cerdas!” kata lima orang itu hampir berbareng.
“Kau tentu dapat membacanya, bukan?” tanya Ang-bin Sin-kai.
“Kwan Cu, kau telah menjadi murid Gui Tin, tentu gurumu telah mengajarkan membaca huruf-huruf aneh di
dalam kitab itu, bukan?” Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu berkata penuh gairah.
“Bagaimana isinya? Tentang ilmu silatkah?” tanya Kiu-bwe Coa-li.
“Lekas kau baca agar kami mendengarnya, anak baik!” kata Pak-lo-sian.
Hanya Hek-i Hui-mo seorang yang tidak berbicara apa-apa, namun seluruh perhatiannya dicurahkan ke
arah Kwan Cu dan kitab itu. Berbeda dengan empat orang lainnya, tokoh barat dari Tibet ini tidak khawatir
takkan mendapatkan membaca kitab itu tanpa bantuan Gui Tin. Di Tibet terdapat sekumpulan buku-buku
kamus di dalam gudang kesusastraan lama dan apa bila perlu, dia dapat mencuri kamus atau buku-buku
tentang bahasa yang dipergunakan dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu.
“Tidak ada gunanya bagi Ngo-wi (Tuan Berlima) untuk bersusah payah membaca kitab itu. Tidak tahukah
Ngo-wi bahwa kitab itu adalah kitab palsu?” berkata Kwan Cu sambil menggelengkan kepala, kemudian
memandang kepada lima orang itu dengan sinar mata menyatakan kasihan!
Terdengar seruan-seruan keras dan lima orang itu melompat mengelilingi Kwan Cu lebih dekat dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
sinar mata mengancam.
“Apa katamu?”
“Jangan bohong bocah!”
“Kuhancurkan kepalamu yang gundul kalau kau menipu kami!”
Kwan Cu menggeleng-geleng kepalanya yang gundul, yang tak mau tumbuh rambut lagi semenjak dia
dijejali buah coa-ko oleh Tauw-cai-houw dahulu itu. Biar pun menghadapi ancaman, dia tetap tenangtenang
saja.
“Apa gunanya aku membohong? Teecu mendengar dari suhu Gui Tin bahwa kitab ini betul-betul palsu,
bukan Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aslinya.”
Di antara lima tokoh besar itu, Ang-bin Sin-kai yang paling sayang kepada Kwan Cu. Pengemis Sakti Muka
Merah ini mendekati Kwan Cu dan dengan suara halus dia lalu berkata, “Lu Kwan Cu, jangan kau bicara
sembarangan. Kau tidak tahu betapa besar arti ucapanmu tadi untuk kami. Dengar, kau menghadapi lima
orang ahli silat terbesar di seluruh penjuru pada saat ini, maka jangan main-main. Sekali saja seorang di
antara kami timbul hati marah, nyawamu tak akan dapat dipertahankan lagi. Kau bilang kitab ini palsu?
Kwan Cu, buktikan. Beri alasannya yang masuk akal!”
Kwan Cu memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan sinar mata tajam. Heran sekali hatinya, setelah
pengemis tua ini bicara dengan halus, dia melihat persamaan yang amat mengherankan antara pengemis
ini dengan Menteri Lu Pin kakek angkatnya!
“Locianpwe, selain suhu Gui Tin pernah menceritakan kepada teecu, juga teecu sudah mempelajari sedikit
ilmu sejarah.” Kemudian dengan sepasang matanya yang lebar dan jeli, anak ini memandang kepada lima
orang tokoh besar itu seorang demi seorang, lalu katanya, “Tentu Ngo-wi pernah mempelajari sejarah pula,
bukan? Tahukah Ngo-wi, kitab ini ditulis jaman apa?”
Lima orang tua itu saling pandang.
“Aku tahu,” kata Ang-bin Sin-kai cepat-cepat, “ditulis dalam jaman Kerajaan Shia, bukan begitu?”
“Pinceng pun tahu, memang betul ditulis dalam jaman Kerajaan Shia, ribuan tahun yang lalu,” kata Jengkin-
jiu Kak Thong Taisu.
“Tidak salah lagi, pinceng juga tahu sedikit tentang sejarah,” menyambung Hek-i Hui-mo yang semenjak
tadi berdiam diri saja. “Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng memang ditulis pada jaman Kerajaan Shia.”
Berseri wajah Kwan Cu. “Ehh, ternyata Ngo-wi adalah orang-orang terpelajar!” serunya. “Sayangnya
kurang lengkap pengetahuan Ngo-wi. Kalau Ngo-wi tahu bahwa kitab ini di tulis di dalam jaman Shia, tentu
Ngo-wi akan tahu pula bahwa kitab ini palsu!”
“Mengapa demikian?” suara Kiu-bwe Coa-li mengguntur.
“Oleh karena pada jaman Shia belum ada kertas! Menurut guruku Gui Tin, kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng
yang tulen ditulis di atas sutera. Oleh karena itulah maka teecu berani katakan bahwa kitab ini palsu!”
Lima orang tua itu saling pandang dan menarik sekali untuk melihat keadaan air muka mereka yang tibatiba
menjadi amat kecewa.
“Tar! Tarr!”
Tiba-tiba terdengar bunyi suara dan pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li bergerak melayang-layang, lalu sehelai
bulu pecut itu menyambar ke arah leher Kwan Cu dan membelitnya!
“Hayo katakan, pelajaran apa saja yang tertulis di dalam kitab yang dianggap palsu ini! Katakan terus
terang kalau tidak pecutku akan memanggang lehermu!”
Kwan Cu merasa bahwa bulu pecut itu melilit lehernya bagaikan ular hidup terasa dingin mencekik. Ia
dunia-kangouw.blogspot.com
cepat mengerahkan tenaga dalam dan mengatur napasnya sesuai dengan pelajaran yang dia latih dari
kitab itu, dan lenyaplah rasa dingin, juga kini tidak terasa amat mencekik lagi.
“Aku tidak tahu.” Kata Kwan Cu.
“Bohong!” bentak Kiu-bwe Coa-li.
Ia menggetarkan tangannya yang memegang cambuk sehingga lilitan makin erat. Akan tetapi alangkah
terkejutnya ketika ia merasa telapak tangannya agak kesemutan, tanda bahwa dari leher anak gundul itu
keluar getaran tenaga perlawanan yang aneh!
Kekagetannya ini belum lenyap ketika tiba-tiba dia merasa bulu pecutnya mengendur dan ternyata Ang-bin
Sin-kai dengan perlahan memegang bulu pecut yang melilit leher anak itu sambil berkata,
“Kiu-bwe Coa-li, kita semua memerlukan anak ini, jangan dia diganggu!” sambil berkata demikian, dengan
pengerahan tenaga lweekang, dia lalu memencet bulu pecut itu dan memunahkan serangan Kiu-bwe Coa-li
pada Kwan Cu dan otomatis lilitan itu terlepas lagi.
Kiu-bwe Coa-li mendelikkan matanya kepada Ang-bin Sin-kai, akan tetapi dia pun melihat betapa tiga
orang tua yang lainnya sudah mendekatinya dengan sikap mengancam pula seperti ketika ia hendak
mengambil kitab itu dulu. Ternyata bahwa kini anak gundul inilah yang diperebutkan!
“Di mana kitab aslinya?!” Kiu-bwe Coa-li membentak sambil memandang kepada Kwan Cu. “Awas, jangan
membohong!”
“Siapa yang perlu membohong. Kalian ini orang-orang tua benar-benar aneh sekali. Kitab lapuk itu untuk
apakah?” Kwan Cu berkata jengkel. “Guruku Gui Tin pernah mengatakan bahwa memang ada kitab asli
Im-yang Bu-tek Cin-keng, akan tetapi tidak menerangkan di mana, hanya samar dikatakan bahwa kitab itu
berada di dalam sebuah pulau kosong yang sangat berbahaya di luar timur Tiongkok. Nah, aku sudah
bicara terus terang, biar kalian akan membunuhku pun, aku tak dapat bicara lain dan habis perkara!”
Memang hebat sekali kalau dilihat. Lima orang tua itu sudah aneh sekali wataknya, tapi melihat ketabahan
serta keberanian Kwan Cu menghadapi mereka, sungguh luar biasa sekali. Melihat sikap Kwan Cu, Sui
Ceng menjadi kagum sekali dan anak perempuan ini mendekatinya.
“Kau hebat, Kwan Cu...,” katanya.
Kwan Cu hanya memandang dan tersenyum sedih kepadanya. “Apanya yang hebat, adik Ceng? Aku
hanya menimbulkan keributan belaka...”
Pada saat itu, bulan yang tadinya bercahaya gemilang, tiba-tiba tertutup oleh datangnya awan hitam yang
terbawa angin. Keadaan menjadi gelap gulita dan tiba-tiba menyambar bayangan Hek-i Hui-mo ke arah
meja. Disambarnya kitab itu dari atas meja kemudian melompat pergi!
“Bangsat tua bangka curang!” teriak Kiu-bwe Coa-li dan pecutnya menyambar.
Hebat sekali serangan ini karena bulu pecut itu memang panjang, kalau diulur terus ada sepuluh kaki.
Sembilan helai bulu pecut lantas meluncur ke arah bayangan Hek-i Hui-mo dengan kecepatan luar biasa.
Namun, Hek-i Hui-mo bukanlah seorang yang lemah. Ia masih tetap berlari pergi, namun dia telah
menggerakkan tasbihnya di belakang tubuh, diputar sedemikian rupa sehingga tasbih ini merupakan
segulungan sinar bundar yang menjadi perisai.
“Trang! Traaang!” terdengar suara nyaring dan rantaslah tasbih itu saat terhantam pecut Kiu-bwe Coa-li,
sehingga untaiannya terputus dan biji-biji tasbihnya berserakan ke sana ke mari.
Hal ini dapat terjadi karena dalam larinya Hek-i Hui-mo tidak dapat mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Sebaliknya, dalam kemarahannya Kiu-bwe Coa-li melakukan serangan sepenuh tenaga.
Hek-i Hui-mo tidak mempedulikan kehilangan senjata tasbih dan terus berlari. Mendadak menyambar angin
besar dan tahu-tahu sebuah batu sebesar kerbau menimpanya dari atas. Cepat Hek-i Hui-mo
mengerahkan ginkang-nya dan melompat jauh ke kiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar suara keras karena ketika batu besar itu jatuh menimpa, dua batang pohon menjadi tumbang.
Ternyata bahwa batu besar itu tadi dilemparkan oleh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu untuk menghalangi
larinya Hek-i Hui-mo.
Tentu saja Setan Terbang Baju Hitam ini mengeluarkan keringat dingin, karena biar pun dia lihai, kalau
sampai tertimpa batu besar tadi, tubuhnya akan menjadi gepeng! Baru saja dia berlari beberapa langkah
lagi, belasan sinar putih meluncur ke tubuhnya sambil mengeluarkan suara mengaung-ngaung bagai
belasan ekor tawon. Inilah senjata rahasia Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang berbahaya.
Hek-i Hui-mo cepat mengelak sambil berloncatan, akan tetapi tetap saja sebatang paku menancap di
pundaknya. Dia mengeluh dan menggigit bibirnya, kemudian mempercepat larinya.
Ia di juluki orang Hui-mo atau Iblis Terbang, maka tentu saja ilmu lari cepatnya luar biasa sekali. Apa lagi
pada saat itu bulan tertutup awan hitam sehingga keadaan menjadi gelap sekali dan sebentar saja dia telah
lenyap dari pandang mata. Empat orang tokoh besar tidak mengejar, karena untuk apa memperebutkan
kitab palsu?
Apa lagi Ang-bin Sin-kai, kakek ini tertawa bergelak dan berkata, “Biarlah dia mempelajari kitab itu sampai
ubanan, dengan ilmu yang tidak asli, aku takut apakah? Hayo Kwan Cu, kau turut aku!” Sambil berkata
demikian, Ang-bin Sin-kai menarik tangan anak gundul itu.
“Ang-bin Sin-kai, nanti dulu!” berkata Kiu-bwe Coa-li. “Kau mau membawa ke mana anak itu?”
“Dia? Dia adalah seorang anak yang sudah semenjak dulu kuanggap sebagai muridku!” jawab Ang-bin Sinkai.
“Kiu-bwe Coa-li, kulihat kau sudah mempunyai murid yang baik. Juga Pak-lo-sian Siangkoan Hai sudah
mempunyai dua orang murid yang baik. Hanya Jeng-kin-jiu saja kulihat belum mempunyai murid.”
“Siapa bilang? Muridku masih kurahasiakan, tetapi kelak murid-murid kalian akan kalah olehnya. Ha-haha!”
kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.
“Bagus!” kata Ang-bin Sin-kai. “Kalau begitu, sekarang aku mengambil anak ini sebagai muridku. Kita
sama-sama lihat saja sepuluh tahun lagi, siapa di antara kita yang akan berhasil mengajar kepada murid
masing-masing.”
Dia hendak membawa pergi Kwan Cu, namun Kiu-bwe Coa-li kembali mencegah dengan kata-katanya
yang tajam dan mengancam, “Ang-bin Sin-kai! Aku tidak sudi mencampuri urusanmu mengambil murid,
dan aku pun tak butuh dengan anak gundul ini. Akan tetapi, aku masih curiga kepadanya. Bagaimana
kalau dia tahu di mana adanya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli? Dan siapa tahu kalau kau hanya
pura-pura mengambil murid padanya akan tetapi sebenarnya hendak mencari kitab itu? Aku kenal
kecurangan lelaki macam kau!”
“Habis, kau mau apa?” tanya Ang-bin Sin-kai.
“Anak ini harus dibunuh! Dengan demikian barulah adil namanya jika kita saling berlomba mencari kitab itu
tanpa bantuan siapa pun juga.”
“Betul, betul!” kata Siangkoan Hai.
Akan tetapi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak setuju dengan rencana ini. “Betapa pun juga, pinceng juga
termasuk orang yang pernah menolong nyawa anak ini, bagaimana sekarang pinceng tega hati melihat
nyawanya hendak direnggut orang? Apa lagi pinceng yang memberi nama kepadanya. Eh, Kiu-bwe Coa-li
dan Pak-lo-sian, kalau kalian akan berkeras membunuh anak ini, tentu aku berdiri di pihak Ang-bin Sin-kai
untuk membela dan melindunginya. Sebaiknya diatur begini saja. Percayakah kalian akan sumpah dari
Ang-bin Sin-kai si bangsawan jembel ini?”
“Aku percaya!” kata Siangkoan Hai dengan suara tegas.
“Aku pun percaya!” kata Kiu-bwe Coa-li ragu-ragu, “akan tetapi apa maksudmu?”
“Biar dia bersumpah bahwa dia tak akan mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng dari kitab yang didapatkan
atas pertolongan anak gundul ini,” kata Kak Thong Taisu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagus, kalau begitu aku setuju!” kata Kiu-bwe Coa-li dan Siangkoan Hai.
Akan tetapi Ang-bin Sin-kai menjadi makin merah mukanya. “Aku tidak sudi bersumpah! Kalian boleh
percaya kepadaku atau tidak, habis perkara. Pendeknya aku berjanji takkan mempergunakan Kwan Cu
untuk mencari kitab itu.”
Tiba-tiba Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Ang-bin Sin-kai. Anak ini, dalam semua
percakapan di dalam pertemuan itu, dapat menarik kesimpulan bahwa dia paling cocok dan suka kepada
kakek jambel yang mukanya seperti kakek angkatnya itu, maka dia telah mengambil keputusan untuk
berguru kepadanya.
“Suhu, teecu pun baru mau mau menjadi muridmu kalau Suhu suka bersumpah seperti yang diminta oleh
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tadi.”
Ang-bin Sin-kai membelalakkan sepasang matanya dan memandang kepada Kwan Cu. “Ehh, bocah aneh.
Bukankah dulu kau tidak sudi mempelajari ilmu memukul orang?”
“Sekarang teecu sudah berubah pikiran. Bukankah para nabi mengajarkan bahwa orang harus setiap hari
berubah pikiran-pikirannya yang tadinya tidak benar dan sesat?” jawab Kwan Cu.
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Boleh, boleh, biarlah aku bersumpah bahwa kalau aku menggunakan
Kwan Cu untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, aku si pengemis jembel akan mampus seperti
seekor anjing dan kelak nyawaku dilempar ke dalam neraka jahanam!” Kemudian ucapannya ini
disambungnya dengan suara menyindir, “Andai kata orang lain mendapatkan kitab itu, apanya sih yang
harus ditakuti?”
Kiu-bwe Coa-li menjadi girang sekali dan tertawa nyaring, kemudian ia melompat ke arah Sui Ceng,
memegang tangan muridnya dan sekali berkelebat saja ia dan muridnya telah lenyap dari situ. Siangkoan
Hai juga mengajak dua orang muridnya pergi, demikian pula Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, sambil tertawatawa
dia ‘menggelundung’ pergi dari situ.
“Hayo kita pergi, Kwan Cu,” kata Ang-bin Sin-kai acuh tak acuh.
“Nanti dulu, Suhu. Teecu meninggalkan sesuatu di dalam pondok itu.” Anak itu berlari-lari ke dalam pondok
mengambil kantongnya yang penuh uang emas pemberian dari kakek angkatnya.
“Apa itu?” tanya gurunya.
“Uang emas, Suhu.”
Ang-bin Sin-kai membuka kantong itu dan kedua matanya terbelalak melihat uang emas sebanyak itu.
“Ehh, dari mana kau dapatkan uang ini?”
“Dari Kongkong (Kakek)!”
Mendengar jawaban ini, Ang-bin Sin-kai jadi semakin tertegun. “Bocah aneh, siapa pula kongkong-mu itu?
Bukankah nenek moyangmu hanya samudera luas saja?”
Lu Kwan Cu tersenyum. “Ini mungkin salah Suhu sendiri. Suhu memberi she Lu kepada teecu dan
sekarang Menteri Lu Pin mengangkat teecu sebagai cucunya!”
Ia lalu menceritakan pengalamannya bertemu dengan Menteri Lu Pin! Tentu saja Ang-bin Sin-kai yang
sebenarnya bernama Lu Sin dan menjadi kakak dari Lu Pin, terkejut dan juga terharu sekali.
“Buang saja uang itu, untuk apa sih? Memberatkan dan mengotorkan saja.”
“Mengapa dibuang, Suhu? Bukankah bisa dipakai untuk membeli makanan kita?”
Kakek itu melototkan matanya. “Jadi kau termasuk orang-orang yang meributkan soal makan? Buang
saja!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sayang, Suhu.”
“Eh, bocah gundul! Baru pada saat pertama kau sudah berani membantah suhu-mu?”
“Rakyat banyak sekali yang menderita dan sengsara. Dari pada dibuang di sini, dan bila ditemukan orang
hanya akan membuat orang itu menjadi tersesat hidupnya. bukankah lebih baik dibagi-bagikan kepada
orang-orang yang membutuhkannya?”
Ang-bin Sin-kai menarik napas panjang. “Kau lebih terikat dengan dunia dari padaku. Sesukamulah.”
Maka berjalanlah Ang-bin Sin-kai, mula-mula lambat-lambat, akan tetapi ketika ia melihat betapa muridnya
yang gundul itu sanggup mengikutinya, dia mempercepat jalannya. Dan walau pun terlihat gurunya hanya
berjalan lambat-lambat saja, bagi Kwan Cu, dia harus mengerahkan seluruh ginkang-nya untuk berlari
cepat agar bisa mengimbangi kecepatan suhu-nya…..
********************
Di pinggiran sebuah hutan yang liar, menghadap sebuah anak gunung yang merupakan batu karang besar,
nampak pemandangan yang sangat aneh dan menyeramkan sekali. Seorang anak lelaki berkepala gundul
tergantung pada cabang pohon besar, tergantung dengan kaki terikat di atas dan kepala serta kedua
tangannya bergantungan di bawah!
Baju anak itu yang sudah lapuk terbuka dan ikut bergantungan hingga nampak perutnya yang kecil,
dadanya yang kurus dengan tulang-tulang iga menonjol. Anak ini diam tidak bergerak dan kelihatan seperti
mayat saja, kedua matanya meram, akan tetapi wajahnya kelihatan berseri!
Ada pun di bawah pohon, seorang kakek pengemis berpakaian tambal-tambalan duduk bersandarkan batu.
Tubuh pengemis itu pun kurus kering seperti orang yang menderita kelaparan. Apa lagi kalau melihat apa
yang dia lakukan pada saat itu, tentu orang akan menganggapnya sudah kelaparan dan miring otaknya.
Ia memegang seekor ular hidup. Tangan kanannya mencekik leher ular, ada pun tangan kirinya memegang
tubuh ular dekat ekornya, kemudian dia menggigit perut ular itu! Ular itu membuka mulutnya. Dan dari
dalam mulut ular ini keluarlah suara mendesis-desis dan mengebulkan uap putih yang keruh. Siapakah
mereka ini?
Anak itu bukan lain adalah Kwan Cu, ada pun kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai! Apakah kakek ini sudah
menjadi gila, menggantung tubuh muridnya secara terbalik dan makan ular beracun pula? Tidak
demikianlah halnya.
Sesudah membagi-bagi habis uang emas pemberian Menteri Lu Pin, kedua orang guru dan murid ini
melanjutkan perantauan mereka. Atas permintaan Kwan Cu, mereka lalu menuju ke bukit Liang-san.
Bagi Ang-bin Sin-kai, ke mana saja mereka pergi, dia tidak ambil peduli. Maka, dia pun tidak mau banyak
bertanya kepada Kwan Cu, apa perlunya muridnya itu mengajaknya ke Liang-san. Akan tetapi dengan
keras dia mulai mengajarkan ilmu silat kepada Kwan Cu.
“Dari mana kau dapat mempelajari lweekang dan ginkang yang aneh dan serba terbalik itu?” tanyanya.
“Teecu pertama-tama menerima pelajaran dari Pek-cilan Thio Loan Eng Toanio.”
“Hemm, seorang wanita yang baik dan gagah,” Ang-bin Sin-kai memuji.
“Kemudian, teecu menurut pada petunjuk dari kitab palsu yang dibawa pergi oleh Hek-i Hui-mo, yakni
setelah diterjemahkan oleh suhu Gui Tin.”
Kali ini Ang-bin Sin-kai mengerutkan keningnya. “Kau sudah membaca semua isi kitab palsu itu?”
Kwan Cu mengangguk. “Akan tetapi hanya sebagian siulian dan pengaturan napas saja yang teecu
pelajari.”
“Coba kau tidur terlentang,” gurunya memerintah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwan Cu menurut dan anak ini lalu membaringkan tubuhnya telentang.
Ang-bin Sin-kai menekan pusar muridnya, sambil berkata, “Kerahkan tenagamu yang kau dapat dari
pelajaran kitab palsu.”
Kwan Cu mengerahkan tenaganya dengan cara pengaturan napas yang terbalik, yakni menyedot napas
dengan mengembungkan perut dan mengempiskan dada! Dia merasa dadanya sakit, maka dia lalu
melepaskan tenaganya itu.
Sebaliknya, Ang-bin Sin-kai merasa betapa ada tenaga yang aneh tersembul keluar dari pusar anak itu.
“Sakitkah dadamu?”
Kwan Cu mengangguk.
“Celaka sekali! Latihan itu telah merusak paru-parumu sendiri! Ahh, benar-benar kitab itu palsu. Akan tetapi
jika ilmu ini dipelajari secara mendalam, benar-benar akan merupakan ilmu yang aneh dan juga dahsyat.
Baru yang palsu saja begini hebat, apa lagi aslinya. Kwan Cu, kau sudah mempelajari ilmu yang salah,
karena itu kau harus menurut segala petunjukku. Pertama-tama kau harus dapat mengusir tenaga yang
salah itu dari dalam tubuhmu. Kau harus belajar menderita jasmani karena mesti melakukan latihan napas
semedhi secara terbalik.”
Kemudian, sejak hari itu kedua kaki Kwan Cu diikat, kemudian ikatan itu digantungkan pada cabang pohon
sehingga anak itu tergantung seperti seekor kalong!
“Dengan begini, pernapasanmu selalu akan berada di paru-paru dan akan menyehatkan paru-parumu yang
sudah terluka. Perutmu akan selalu kempis dan kosong. Pusatkan perhatianmu dan tutup semua panca
inderamu, jangan rasakan siksaan dari perjalanan darah yang secara terbalik ini akan terasa tidak enak
sekali. Kulihat kau sudah pandai menutup hawa, tutuplah hawa di bagian kepalamu supaya aliran darahmu
tidak merusak otak. Hati-hati, latihan ini bisa membuat kau menjadi gila karena banyaknya aliran darah di
bagian otak. Akan tetapi kalau kau tekun dan berhasil, hanya inilah jalan satu-satunya untuk membersihkan
tubuhmu dari tenaga palsu itu!”
Demikianlah, dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan Kwan Cu karena harus berlatih secara ini.
Lebih hebat lagi, sering kali suhu-nya agaknya lupa untuk memberi makan kepadanya sehingga pernah
selama dua hari dua malam Kwan Cu tergantung saja secara terbalik tanpa makan, hanya hidup dari hawa
udara saja! Akan tetapi yang lebih aneh dan hebat lagi, anak ini tak pernah mengeluh dan tak pernah minta
makan!
Akhirnya, beberapa bulan kemudian, dia telah dapat melakukan siulian (semedhi) secara tergantung
kakinya ini selama tiga hari tiga malam tanpa makan! Juga pernapasannya menjadi normal kembali. Meski
pun dalam keadaan tergantung, dia telah dapat bernapas dengan teratur, bahkan dia dapat mendesak isi
perutnya supaya jangan tergantung dan tetap tinggal di dalam perut. Tubuhnya terasa ringan sekali dan
jalan pikirannya terang.
Kini dia telah mendapatkan kepandaian yang istimewa. Bila dia hendak berlatih, gurunya tidak lagi
membantu. Dia melompat ke atas sebatang cabang pohon sambil membawa kain pengikat kakinya, lalu
mengikat kedua kakinya pada cabang itu dan menggantung dirinya!
Pada pagi hari itu, ketika mereka sampai di pinggir hutan yang telah disebutkan di atas, seperti biasa Kwan
Cu menggantungkan dirinya secara terbalik pada cabang pohon dan gurunya duduk di bawah pohon.
Sebentar saja Ang-bin Sin-kai sudah tidur mendengkur ada pun Kwan Cu sebentar saja juga sudah dapat
mempersatukan panca inderanya dan mengheningkan cipta.
Baik guru mau pun murid ini sama sekali tidak tahu akan adanya bahaya yang mengintai dari atas pohon,
yang merupakan seekor ular kecil panjang yang bermata dan berlidah merah! Inilah seekor ular beracun
yang jahat sekali!
Walau pun gerakan ular yang merayap di antara ranting dan cabang pohon itu perlahan sekali, namun
kalau saja Ang-bin Sin-kai tidak sedang tertidur dan Kwan Cu tidak sedang bersemedhi dan menutup
panca indera, tubuh ular yang melanggar daun itu tentu akan terdengar oleh mereka, karena Kwan Cu
sendiri pun kini telah mempunyai pendengaran yang amat tajam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba terdengar Kwan Cu menjerit. “Suhu...!”
Ang-bin Sin-kai melompat bangun dan betapa terkejutnya ketika dia melihat seekor ular melingkar di tali
pengikat kaki Kwan Cu dan mulut ular itu menggigit kaki kanan muridnya itu!
“Kwan Cu...!” Ang-bin Sin-kai melompat ke atas dan sekali renggut, dia telah menangkap ular itu pada
lehernya.
Sambil duduk di atas cabang itu, Ang-bin Sin-kai menggunakan tangan kirinya untuk meraba tubuh
muridnya. Bukan main kagetnya, karena tubuh itu panas bukan main! Dia tahu bahwa muridnya telah
terkena racun gigitan ular!
Ia tidak berani menurunkan muridnya, karena kalau Kwan Cu diturunkan, mungkin aliran darahnya akan
kacau dan menyebabkan racun itu merangsang ke arah jantungnya yang berarti anak itu takkan dapat
ditolong lagi.
“Mudah-mudahan tadi dia masih mengerahkan tenaga dan menyimpan hawa murni di dalam pusarnya,”
pikir kakek ini yang segera melompat turun lagi sambil membawa ular itu.
Cara satu-satunya untuk menolak hawa racun ular itu, dia harus dapat mengambil darah ular yang
menggigitnya ini. Akan tetapi di sana tidak ada mangkok atau apa saja untuk menadahi darah ular, juga
sukar untuk memberi minum darah kepada Kwan Cu yang masih dalam keadaan tergantung dengan
kepala di bawah. Satu-satunya cara adalah dia harus dapat menyimpan darah ular itu di dalam mulutnya,
lalu dia akan menyemburkan darah itu dari mulutnya ke mulut Kwan Cu!
Demikianlah, maka terlihat pemandangan yang menyeramkan tadi. Kwan Cu tergantung bagaikan mayat,
dan kakek itu duduk sambil menggigit perut ular! Ular itu berkelojotan, meronta-ronta dan Ang-bin Sin-kai
tidak menggigit terlalu keras, sekedar untuk mencari lobang guna menyedot darah ular itu.
Lidahnya merasai darah yang asin manis dan amis sekali, juga terasa panas dan pedas pada lidahnya.
Akan tetapi dia terus menyedot hingga darah ular itu terkumpul ke dalam mulutnya. Kedua pipinya yang
kurus itu menggembung, karena mulutnya penuh dengan darah ular. Beberapa tetes darah mengalir turun
ke dagunya, membuat kakek itu nampak menyeramkan sekali.
Gerakan ular itu makin lama makin lemah dan setelah darahnya habis, dia mati lemas. Ang-bin Sin-kai
melemparkan bangkai ular, kemudian melompat lagi ke atas cabang. Dia menggantungkan dua kakinya
pada cabang seperti keadaan Kwan Cu sehingga dengan membungkukkan punggungnya, mukanya
berdekatan dengan muka muridnya.
Pada waktu dia mengulur tangan membukakan mulut muridnya, kakek ini terheran-heran karena melihat
muka muridnya itu tersenyum-senyum dan mata anak itu sudah terbuka lagi! Akan tetapi dia tidak mau
banyak membuang waktu, segera dia membuka mulut muridnya dan menempelkan mulut sendiri ke mulut
muridnya yang terbuka, kemudian dia mengerahkan hawa dari dalam perutnya untuk menyemburkan darah
itu ke dalam perut muridnya!
Kwan Cu yang sudah siuman itu maklum pula akan maksud suhu-nya, maka dia lalu menerima darah ular
itu dan menelannya. “Lekas salurkan semua darah ke arah kaki yang luka!” seru Ang-bin Sin-kai setelah
mulutnya kosong karena darah ular semua telah berpindah ke mulut dan perut muridnya. “Tahan napas
kemudian biarkan darah ular itu memerangi racun yang mengalir dari luka di kakimu!”
Kwan Cu menurut pada petunjuk suhu-nya dan sebentar saja, dia merasa panas yang menyerang
tubuhnya mulai hilang. Ang-bin Sin-kai lalu menaruh telapak tangannya pada pusar muridnya dan dari
telapak tangan itu dia mengalirkan hawa murni untuk membantu kekuatan muridnya melawan racun ular
tadi.
Setengah hari guru dan murid itu berada dalam keadaan tergantung dan akhirnya setelah mendapat
kenyataan bahwa tubuh muridnya sudah tidak panas lagi, Ang-bin Sin-kai baru menurunkan tubuh
muridnya.
“Kau selamat!” katanya dengan lega. “Akan tetapi aneh sekali kenapa kau tidak muntah. Biasanya, kalau
racun ular itu sudah dapat dikalahkan oleh darah ular, orang yang digigit ular tentu akan muntahkan darah
ular beracun itu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. “Mohon diampunkan atas kelalaian teecu sehingga
merepotkan kepada Suhu. Sungguh aneh sekali, Suhu. Sekarang teecu merasa bahwa tubuh teecu sangat
nyaman dan ringan. Agaknya darah dan racun ular itu ada khasiatnya yang lihai.”
“Mana mungkin?” Gurunya menggeleng kepala. “Kecuali kalau kau sudah makan coa-ko (buah ular).”
“Teecu sudah makan coa-ko, Suhu!”
“Hushh! Kau kira mudah mendapat coa-ko? Aku yang sudah tua ini pun semenjak dulu mencari belum juga
dapat.”
“Akan tetapi teecu tidak membohong, Suhu.”
Lalu Kwan Cu menuturkan betapa dia dulu diculik oleh Tauw-cai-houw dan dijejali sebutir buah ular.
Gurunya girang sekali, akan tetapi tidak menyatakan kegirangannya itu. Hanya diam-diam dia berpikir
bahwa Kwan Cu benar-benar seorang anak ajaib yang bernasib baik sekali.
“Hm, kalau aku tahu bahwa kau sudah makan buah coa-ko, tadi aku tidak akan begitu kebingungan seperti
orang kebakaran jenggot. Dengan buah itu di dalam tubuhmu, kau takkan dapat tewas oleh racun ular yang
mana pun juga!”
Maka, setelah melihat betapa tubuh Kwan Cu sudah bersih dari tenaga yang didapatnya dari latihan
menurut kitab pelajaran palsu, Ang-bin Sin-kai lalu mulai melatih muridnya ini dengan ilmu-ilmu silat dari
dia sendiri. Pengemis Sakti Muka Merah ini merupakan tokoh terbesar dari timur, maka tentu saja dia
memiliki kepandaian silat yang luar biasa dan mempunyai keistimewaan dalam ilmu silat tangan kosong…..
********************
Agar pembaca tidak menjadi bingung melihat Bun Sui Ceng, yaitu anak perempuan dari Pek-cilan Thio
Loan Eng itu tiba-tiba saja muncul menjadi murid Kiu-bwe Coa-li, baiklah kita menengok keadaan Thio
Loan Eng dan mengikuti perjalanannya semenjak dia pergi meninggalkan rumahnya karena puterinya
diangkat menjadi ketua oleh para anggota Sin-to-pang atau Perkumpulan Golok Sakti.
Seperti sudah dituturkan di bagian depan, Thio Loan Eng meninggalkan dusun Tun-hang bersama Bun Sui
Ceng, puterinya. Nyonya muda pendekar ini merasa amat gelisah dan khawatir memikirkan nasib puterinya
kelak, karena itu timbul di dalam pikirannya untuk mengunjungi rumah seorang sahabat baiknya yang
bernama Ong Kiat.
Ketika masih kecil, Ong Kiat ini merupakan kawan main dari Loan Eng karena orang tua mereka menjadi
tetangga dan di antara dua orang anak kecil ini timbul rasa saling suka dan cocok. Akan tetapi, Loan Eng
oleh orang tuanya dijodohkan dengan Bun Liok Si dan berpisahlah mereka.
Dengan terharu Loan Eng mendengar betapa Ong Kiat jatuh sakit hebat sampai hampir mati ketika dia
menikah dengan Bun Liok Si. Diam-diam dia maklum bahwa pemuda she Ong itu cinta kepadanya.
Ong Kiat yang sejak kecil juga belajar ilmu silat, kemudian menjauhkan diri dari dunia ramai dan naik ke
Pegunungan Thian-san, menjadi murid dari tokoh-tokoh Thian-san-pai. Selama itu mereka tidak pernah
saling bertemu lagi.
Baru setelah Loan Eng membunuh suaminya sendiri karena cemburu dan nyonya janda muda ini sering
merantau, terjadi pertemuan antara dua orang bekas sahabat di waktu kecil ini secara kebetulan sekali.
Ketika itu, seperti biasanya, Loan Eng meninggalkan puterinya yang masih kecil dalam asuhan para
pelayan-pelayannya, dan ia sendiri pergi merantau di dunia kang-ouw untuk melakukan tugas sebagai
seorang lihiap (pendekar wanita).
Memang sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Loan Eng untuk pergi merantau dan mempergunakan
kepandaiannya guna menolong orang-orang yang tertindas sehingga namanya amat terkenal sebagai
pendekar wanita berbudi yang berjuluk Pek-cilan (Bunga Cilan Putih). Ia sering kali berpakaian warna putih
dan karena kecantikannya disamakan dengan bunga cilan yang harum, maka ia pun mendapat julukan ini.
Selain itu, Loan Eng memang suka kepada bunga cilan dan sering kali rambutnya dihias oleh setangkai
bunga cilan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seorang diri Loan Eng menuju sebuah bukit kecil yang penuh dengan rimba raya. Inilah Bukit Lek-san yang
berada di selatan kota Hak-keng. Loan Eng sengaja mendatangi bukit ini karena ia mendengar kabar
bahwa di atas bukit ini bersarang sekawanan orang jahat yang baru-baru ini mengacau dusun-dusun dan
kota-kota, dan bahkan sekawanan orang jahat ini lihai sekali.
Pek-cilan Thio Loan Eng memang tidak mengenal akan arti kata takut. Selain lihai ilmu pedangnya, juga
nyonya janda muda yang cantik ini perkasa dan bernyali besar. Selama dalam perantauannya, entah
sudah berapa banyak penjahat roboh dalam tangannya dan biar pun ia sudah sering kali menghadapi
orang-orang jahat serta bahaya maut, namun berkat kegagahannya, ia selalu terhindar dan selamat.
Setelah Loan Eng mulai naik Bukit Lek-san, mulai kelihatanlah ketidak amanan daerah ini. Banyak dusun
yang sudah kosong ditinggalkan begitu saja oleh para penghuninya. Makin ke atas mendaki puncak bukit
menjadi makin sunyilah kedaannya dan hutan-hutan yang berada di atas bukit menjadi makin liar dan gelap
saja.
Namun, Loan Eng tetap tabah dan melanjutkan perjalanannya menuju ke atas. Dia ingin sekali mendatangi
sarang gerombolan itu dan hendak membasmi gerombolan itu sampai bersih!
Loan Eng tidak mengetahui bahwa banyak pasang mata manusia mulai memandang dan mengintai dirinya
dari balik pohon-pohon, mata banyak orang laki-laki yang nampak buas dan kejam. Bibir-bibir tebal dan
kotor menyeringai penuh gairah pada waktu mata mereka memandang wajah Loan Eng yang cantik jelita
dan potongan tubuhnya yang langsing.
Setelah Loan Eng tiba di tempat terbuka di dalam hutan yang liar itu, tiba-tiba terdengar suitan keras sekali
dan segera tampak berlompatan keluar anggota-anggota gerombolan yang jumlahnya dua puluh orang
lebih diketuai oleh dua orang laki-laki muda bertubuh tinggi besar dan bermata liar. Inilah gerombolan yang
belum lama ini bersarang di Bukit Lek-san, gerombolan yang amat ganas, yang sudah banyak merampok,
menculik wanita, dan membakar rumah penduduk. Dua orang muda tinggi besar itu adalah kakak beradik
bernama Sin Sai (Singa Sakti) dan Sin Houw (Harimau Sakti).
“Nona elok dan gagah siapakah yang bernyali demikian besar memasuki wilayah kami?” tanya Sin Sai
sambil memandang kagum, ada pun Sin Houw adiknya juga memandang dengan mata penuh gairah.
“Namaku tak perlu diketahui oleh gerombolan perampok keji. Lebih baik kalian mengaku, apakah kalian ini
yang suka mengganggu penduduk sekitar daerah ini? Jika betul, cepat berlututlah kalian semua agar
menerima kematian tanpa menderita sakit lagi.”
Semua orang tertegun, karena mereka tidak mengira seorang wanita cantik akan berani mengucapkan
kata-kata seperti itu. Sin Houw berkata kepada Sin Sai.
“Sai-ko, dia ini tentu mata-mata dari keparat she Ong itu, lebih baik tangkap saja!” sambil berkata demikian,
dia menggerakkan golok besarnya untuk mengancam Loan Eng, lalu dengan mulut menyeringai dia
berkata, “Nona manis, walau pun kau bersikap sombong, namun sikapmu tidak mengurangi rasa sukaku
kepadamu. Marilah kau ikut saja dengan aku dan aku bersumpah bahwa kalau kau suka menjadi biniku,
aku tidak akan mau lagi mengganggu lain wanita lagi!”
Sepasang mata Loan Eng yang jeli dan bagus lantas bernyala. Sekali dia menggerakkan tangannya,
pedangnya yang mengkilat itu telah terhunus dan berada di tangan kanan.
“Bagus sekali, kau memilih kematian yang menyiksa dirimu. Hari ini, apa bila tidak dapat membasmi kalian
anjing-anjing hina-dina ini, jangan sebut aku Pek-cilan lagi!” Sebagai penutup kata-katanya, Loan Eng lalu
melompat maju dan menyambar ke arah leher Sin Houw!
Melihat sinar pedang yang mengkilat dan cepat ini, Sin Houw tidak berani memandang ringan. Dari
gerakan ini dia maklum bahwa pendekar wanita di depannya itu mempunyai kepandaian tinggi, apa lagi
nama julukan Pek-cilan bukan tidak terkenal dan dia pernah mendengar nama ini dipuji-puji orang.
Cepat dia menangkis sambil mengerahkan tenaganya, dengan maksud hendak membuat pedang
lawannya terpental dan terlepas. Akan tetapi ternyata bahwa pedang Loan Eng sama sekali tidak terpental,
bahkan telapak tangan kepala rampok muda ini yang terasa sakit!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia berseru keras dan merasa terkejut sekali, akan tetapi tidak kehilangan kesigapannya karena goloknya
juga terbuat dari baja yang amat baik maka tidak rusak. Ketika goloknya terpental oleh pedang lawan, dia
lalu mengayun golok itu ke bawah dan menyerampang kedua kaki Loan Eng menggunakan gerak tipu
Hong-sauw Pai-hio (Angin Menyapu Daun Rontok), sebuah gerak tipu serangan yang amat hebat dan
berbahaya.
Diam-diam Loan Eng harus mengakui bahwa kepandaian kepala rampok muda ini tidak jelek, maka cepat
ia memutar pedangnya berubah yang menjadi segundukkan sinar putih yang lihai sekali. Kepala rampok itu
juga menahan dengan mengeluarkan ilmu goloknya yang ternyata adalah ilmu golok Go-bi-pai. Akan tetapi
ilmu goloknya masih jauh untuk menandingi pedang di tangan Loan Eng sehingga dalam beberapa jurus
saja Sin Houw sudah terdesak hebat.
Sin Sai berseru keras dan kepala rampok nomor satu ini lalu menerjang dengan goloknya yang ternyata
masih lebih tinggi dan lebih lihai dari pada kepandaian adiknya. Juga para perampok diberi tanda sehingga
sebentar saja Loan Eng dikeroyok hebat.
Pendekar wanita ini tidak menjadi gentar karenanya, bahkan ia makin gembira mainkan pedangnya. Tak
lama kemudian, terdengarlah pekik-pekik kesakitan dan tubuh beberapa orang anak buah perampok roboh
terguling terkena sambaran pedang di tangan nyonya janda yang cantik dan gagah itu.
“Mundur...!” teriak Sin Sai ketika melihat sudah lima orang anak buahnya roboh.
“Kita tangkap dia hidup-hidup!” seru Sin Houw pula.
Mereka lantas berkelahi sambil mundur. Belasan batang golok merupakan perisai dan menangkis
serangan-serangan pedang Loan Eng yang bergerak cepat.
Akhirnya mereka sampai di depan sebuah rumah yang besar sekali. Loan Eng menjadi terheran-heran,
mengapa dalam hutan yang liar itu bisa terdapat sebuah rumah gedung ini? Tiba-tiba semua lawannya
melompat masuk ke dalam rumah itu dan pintu depannya tertutup dengan mengeluarkan suara keras!
Pek-cilan Thio Loan Eng ragu-ragu. Dia memandang bangunan di depannya yang kini nampak senyap.
Tidak salah lagi, rumah ini tentu dulunya adalah sebuah kelenteng tua, pikirnya. Bagaimana kini bisa
menjadi sarang penyamun?
Dia tidak tahu bahwa kelenteng ini memang sudah lama ditinggalkan para hwesio yang mendapat
gangguan perampok-perampok ini, dan bahwa perampok lalu memperbaikinya dan menggunakan sebagai
sarang mereka. Juga para wanita yang diculik, semua berada di dalam gedung yang besar dan memiliki
pekarangan belakang yang luas sekali ini.
“Hemm, mereka pasti akan menjebakku,” pikir Pek-cilan Thio Loan Eng.
Sebagai seorang pendekar wanita yang banyak merantau dan sudah sering menghadapi penjahatpenjahat,
tentu saja dia banyak pengalaman dan berlaku hati-hati. Akan tetapi, keberaniannya luar biasa
sekali dan biar pun dia sudah bercuriga dan menyangka akan adanya perangkap yang dipasang, Loan Eng
tak merasa takut. Dihampirinya pintu rumah gedung itu dan beberapa kali bacok saja, sambil
mengeluarkan suara gaduh, daun pintu itu pecah dan roboh!
“Syuuut-syuuuut! Syuuuuut!”
Banyak sekali anak panah menyambar ke arah pintu itu dari depan kanan dan kiri. Kalau saja Loan Eng
tadi terus menerjang masuk ke dalam, tentu ia akan terancam oleh anak panah ini. Akan tetapi pendekar
wanita ini sudah berlaku hati-hati sekali, dan setelah tadi merobohkan pintu, dia melompat ke samping
sehingga semua anak panah itu mengenai tempat kosong.
Setelah semua anak panah yang terlepas dari tempat-tempat rahasia itu habis, barulah Loan Eng
menerjang masuk sambil memutar pedangnya, memasuki pintu yang sudah tidak berdaun lagi itu. Dia
melihat keadaan dalam rumah sunyi saja, dan tidak nampak seorang pun manusia.
Akan tetapi, baru saja ia melangkah beberapa tindak dengan amat hati-hati, tiba-tiba dari arah belakang
gedung itu terdengar suara ribut-ribut dan di antara suara-suara manusia itu Loan Eng mendengar seruanseruan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tangkap penjahat! Padamkan api...!”
Loan Eng diam-diam tersenyum dan juga terheran. Pasti ada orang lain yang menyerbu sarang
gerombolan ini. Akan tetapi dia tidak tertarik, malah ingin terus menerjang masuk untuk membasmi
gerombolan penjahat itu. Tiba-tiba terdengar isak tangis dan dia dapat memastikan bahwa di sebelah
kanannya di mana nampak sebuah daun pintu kamar, ada seorang wanita yang sedang menangis sedih
sekali.
“Siapa dia? Kenapa menangis? Ah, tentu seorang wanita yang diculik oleh gerombolan,” pikir Loan Eng.
“Aku harus menolong dia.” Setelah berpikir demikian, ia tidak jadi menuju ke ruang belakang, melainkan
menghampiri daun pintu kamar itu.
Suara tangis itu makin mengeras dan tanpa banyak ragu-ragu lagi, Loan Eng membacok kedua pinggiran
daun pintu hingga terlepaslah daun pintu itu dari tiangnya. Seperti juga tadi, Loan Eng tidak langsung
menerjang masuk, bahkan mudur dua tindak ke belakang sambil memandang tajam.
Ia tak melihat apa-apa di dalam kamar itu, kosong melompong dan juga tidak kelihatan orang. Suara tangis
wanita yang tadi kini sudah pindah ke belakang kamar itu. Loan Eng melihat bahwa di dalam kamar itu
terdapat sebuah pintu lain yang agaknya menembus ke ruang tengah, maka ia lalu masuk ke dalam kamar
ini.
Baru saja ia melangkah lima tindak di dalam kamar ini dengan hati-hati sekali, tiba-tiba ia merasa ada
angin menyambar sebuah toya dari belakang. Pendekar wanita yang gagah ini tanpa menengok kemudian
menggerakkan pedangnya ke belakang, diayun dari kanan sambil memutar tubuhnya. Akan tetapi
anehnya, toya itu tidak dipegang oleh siapa pun juga dan kini sisanya tinggal sepotong masih tergantung di
atas.
Ketika Loan Eng berdongak ke atas, ia tersenyum sindir. Ia tahu bahwa itulah sebuah senjata rahasia yang
di gerakkan oleh alat-alat per dan yang otomatis bergerak memukul apa bila ada orang memasuki kamar
dan alat penggeraknya kena terinjak. Tetapi ia tidak takut dan melangkah terus!
Baru dua tindak dia melangkah, agaknya ia kena menginjak alat-alat penggerak lagi yang dipasang di
bawah permadani, karena mendadak terdengar suara keras dan tiga macam senjata menyerangnya dari
tiga jurusan! Sebatang golok melayang keluar dari tembok dan menyambar ke arah kakinya dengan
gerakan membabat, sebatang tombak yang runcing tiba-tiba saja keluar dari tembok sebelah depan dan
menusuk ke arah perutnya, ada pun senjata ketiga adalah sebuah ruyung besar yang menyambar
kepalanya dengan kecepatan kilat. Jadi, sekaligus Loan Eng diserang kaki, perut dan kepalanya!
Namun, Pek-cilan tidak gentar sedikit pun juga.
“Perampok busuk, siapa takut dengan senjata-senjatamu?” bentaknya.
Cepat dia merendahkan tubuh untuk menghindarkan kepala dari sambaran ruyung dan golok yang
menyambar ke arah kakinya itu dapat di tendangnya secara luar biasa sekali! Memang Loan Eng memiliki
ilmu tendang yang hebat sehingga nyonya muda ini berani menghadapi senjata musuh yang tajam atau
runcing dengan kedua kakinya! Ada pun tombak yang menusuk ke arah perutnya dapat di babat putus
dengan pedangnya.
“Gerombolan perampok, hari ini aku harus dapat membasmi kalian semua!” Loan Eng berseru dan hendak
menerjang pintu yang berada di kamar itu.
Akan tetapi, tiba-tiba saja dari langit-langit kamar menyambar turun semacam jala yang lebarnya
memenuhi kamar itu. Loan Eng terkejut sekali dan hendak melompat keluar dari kamar itu, namun tidak
keburu. Sebelum ia tiba di pintu tadi, jala itu sudah menerkamnya dan ternyata bahwa itu bukanlah jala
biasa melainkan jala yang terbuat dari kawat-kawat baja yang lemas akan tetapi kuat sekali!
Untuk beberapa lamanya, Loan Eng menjadi bingung dan gelagapan. Dia meronta-ronta ke sana ke mari di
dalam jala, seperti seekor ikan emas di dalam jala seorang nelayan. Makin keras Loan Eng meronta, makin
erat pula jala baja itu menekan tubuhnya!
Pendekar wanita ini lalu diam tak bergerak. Otaknya yang cerdik bekerja keras. Dia tidak boleh gugup
dunia-kangouw.blogspot.com
menghadapi bahaya ini, kemudian ia menggunakan pedangnya, digosokkan pada kawat jala seperti orang
orang menggergaji.
Dengan pengerahan tenaga lweekang-nya, dia berhasil membuat kawat itu putus! Loan Eng girang sekali
dan bekerja terus. Tak lama kemudian, ia telah dapat membikin putus beberapa helai kawat jala dan kini ia
akan mudah saja dapat menerobos keluar dari jala yang sudah bocor itu. Akan tetapi dia tidak mau keluar,
bahkan memegangi bagian jala yang sudah rantas, karena ia mendengar suara orang mendatangi.
Muncullah dari pintu depan dengan seorang anggota gerombolan yang tertawa-tawa.
“Ha-ha-ha, aku dapat menangkap seekor ikan duyung!” serunya girang. “Aduh cantiknya! Manis, kalau kau
berjanji mau menjadi biniku, segera aku akan melepaskan kau dari jala itu. Ha-ha-ha!”
Akan tetapi mendadak dia menjadi pucat dan selanjutnya dia takkan dapat tertawa atau menangis lagi
karena pada saat dia tertawa tadi, Loan Eng sudah menerobos keluar dan sekali pedangnya berkelebat,
tubuh anggota gerombolan ini sudah putus menjadi dua pada bagian pinggangnya!
Dengan marah sekali Loan Eng lantas menendang pintu dalam kamar itu yang menjadi pecah dan terbuka.
Di situ ia melihat pemandangan yang bikin alisnya terangkat naik dan giginya digigitkan.
Ternyata di balik pintu itu adalah sebuah ruangan yang cukup luas dan di seberang sana dia melihat
seorang wanita yang pakaiannya cobak-cabik sedang di seret-seret oleh Sin Houw, kepala perampok ke
dua. Wanita itu masih muda sekali, mukanya pucat dan air matanya mengalir membasahi pipinya.
Rambutnya yang hitam panjang itu terurai dan kini dijambak oleh Sin Houw yang menyeretnya ke arah lain.
“Jahanam keparat!” Loan Eng memaki dan cepat ia berlari mengejar.
Akan tetapi, celaka sekali baginya! Tak tahunya bahwa Sin Houw sengaja berlaku kejam kepada wanita itu,
yakni seorang di antara banyak wanita yang diculik oleh gerombolan, hanya dengan maksud agar Loan
Eng menjadi marah, menjadi kurang hati-hati dan terus mengejarnya.
Pada waktu pendekar wanita ini berlari mengejar sampai di tengah-tengah ruangan itu, tiba-tiba saja
permadani yang diinjaknya menyeplos ke bawah! Di situ tidak ada lantainya sama sekali dan merupakan
lobang yang bentuknya segi empat, besarnya ada sepuluh kaki dan dalam sekali, hanya luarnya ditutupi
dengan permadani tebal. Tentu saja kalau diinjak lalu nyeplos ke bawah berikut permadaninya!
Bukan main kagetnya hati Loan Eng, bukan karena kejatuhan itu, melainkan karena yang menerima
tubuhnya di bawah adalah air yang dingin! Ia masih berusaha berpegang pada permadani yang tebal dan
lebar itu, akan tetapi permadani itu berat sekali dan sesudah terkena air, terus saja tenggelam!
Loan Eng terpaksa cepat-cepat melepaskan pegangannya dan merasa betapa tubuhnya akan tenggelam
terus. Bukan main dalamnya sumur yang lebar sekali ini, sedangkan dia tidak pandai berenang!
Pada saat itu air bergolak dan permadani yang tadinya sudah tenggelam, kini tersembul kembali dengan
cepatnya. Air muncrat tinggi dan pucatlah muka Loan Eng ketika melihat ujung ekor ikan yang besar!
Ternyata bahwa di dalam sumur lebar itu hidup seekor ikan yang besar dan tadi menjadi marah karena
permadani itu tenggelam. Kini ikan itu mulai mengamuk dan menyerang permadani tadi. Terdengarlah
suara kain robek dan sebentar saja permadani itu sudah cobak-cabik.
Ketika Loan Eng merasa tubuhnya hampir tenggelam, pendekar wanita ini menendang-nendangkan kedua
kakinya ke bawah sehingga dia bisa mumbul kembali. Cepat-cepat ia mengerahkan tenaganya menusuk
dinding sumur dengan pedangnya yang tidak pernah lepas dari tangannya. Biar pun dinding sumur itu
berbatu dan keras, namun pedang Loan Eng dengan mudah menancap sampai setengahnya.
Kini nyonya muda itu mempunyai pegangan, yakni gagang pedangnya dan karena tubuh di dalam air
menjadi ringan sekali, maka ia dapat mengambang sambil berpegang pada pedangnya. Akan tetapi,
setelah bahaya tenggelam tertolong, kini datang bahaya yang lebih hebat lagi, yaitu ikan itu!
Beberapa kali kepala ikan tersembul dan ngeri sekali hati Loan Eng melihatnya. Ikan itu di depan mulutnya
memiliki sebatang senjata runcing seperti tombak dan tahulah Loan Eng bahwa itu ikan cucut yang jahat
dan suka makan orang!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Celaka,” pikirnya dengan hati berdebar.
Apa bila dia berada di darat, biar pun ada sepuluh ekor binatang macam ini, dia takkan merasa jeri. Akan
tetapi, karena dia tidak berdaya dan di dalam air kepandaiannya tiada gunanya lagi, tentu saja bahaya
yang kini dia hadapi adalah bahaya maut yang sukar dielakkan lagi.
“Betapa pun juga, aku harus dapat melawannya,” pikir Loan Eng dengan gemas.
Cepat-cepat nyonya muda ini mengerahkan tenaga lweekang-nya dan dengan tangan kiri berpegang pada
gagang pedang, jari-jari tangan kanannya ditusukkan kepada dinding sumur. Hebat juga tenaga lweekang
nyonya ini karena biar pun ia merasa ujung jari-jari tangannya sakit, namun dia berhasil mencengkeram
dinding itu dan membuat lobang di mana ia bisa memegang atau menjadikan sebagai tempat tangannya
berpegang pada lekukan lobang. Lalu ia cepat mencabut pedang dengan tangan kanan karena ia melihat
air berombak dan ikan itu muncul lagi!
Bukan main dahsyatnya ikan itu. Panjangnya ada empat kaki dan kini ia menjadi marah sekali. Ketika ia
melihat seorang manusia terapung, ia lalu menyerang dengan tombak di depan mulutnya dengan
kecepatan luar biasa!
Loan Eng sudah bersiap sedia. Segera ia menggerakkan pedangnya menangkis tombak itu. Ia merasa
seluruh lengannya kaku tergetar saking kuatnya ikan itu menyerang. Akan tetapi dia tidak menyangka
bahwa ikan itu benar-benar cerdik, karena berbareng dengan memutarnya tubuhnya karena tangkisan tadi,
ekornya menyabet ke depan!
Sebetulnya bagi Loan Eng serangan ini tidak hebat sekali, yang celaka adalah air yang muncrat ke arah
mukanya sehingga dia sukar membuka mata! Akan tetapi nyonya ini masih sempat menggerakkan pedang,
diputar di depannya dan ketika ekor itu menyabet, terlukalah tubuh ikan itu oleh ujung pedang yang runcing
tajam.
Akan tetapi, berbareng dengan tubuh ikan yang meronta kesakitan, terdengar suara kain yang memberebet
dan pecahlah ujung lengan baju Loan Eng terkena sambaran ekor ikan. Hebat sekali karena ujung lengan
baju itu membelit pada ekor sehingga ketika ikan itu meluncur pergi, terdengar suara kain terobek dan
tahu-tahu semua pakaian Loan Eng bagian atas sudah robek!
Pendekar wanita ini bingung sekali. Bajunya terlepas dan terobek dari tubuhnya, terbawa oleh ikan itu
sehingga bagian atas tubuhnya hanya tertutup dengan pakaian dalam yang sempit dan tipis sehingga dia
kini dalam keadaan setengah telanjang.
“Bedebah! Kau harus mampus!” seru Loan Eng dengan marah sekali.
Akan tetapi berbareng ia pun menjadi merah mukanya saking malu dan jengah. Andai kata ia tertolong dan
dapat keluar dari sumur ini, bagaimana ia berani bertemu dengan orang?
Ikan itu kini tidak berani menyerang, tubuhnya berputar-putar karena ekornya terasa sakit sekali. Air sumur
itu mulai menjadi kemerahan karena darahnya dan Loan Eng hampir menjadi pingsan oleh bau amis yang
memuakkan perutnya.
Dia mengincar dan bersiap-siap. Ketika ikan itu berenang berputaran dan berada dekat dengan dia, cepat
sekali pedangnya dia gerakkan ke arah perut, menusuk kuat-kuat lalu menggerakkan pedang ke belakang
tubuh ikan sehingga perut itu terbelah! Ikan itu lalu meronta-ronta hebat sekali, air muncrat sehingga tubuh
Loan Eng bergerak-gerak karena gelombang air. Akan tetapi hanya sebentar saja karena perut ikan itu
sudah terbuka dan isi perutnya berhamburan keluar. Matilah binantang itu.
Akan tetapi, air menjadi semakin merah dan bau amis tak tertahankan lagi. Ia mengeluh dan pegangannya
pada lobang di dinding sumur makin mengendur. Ia masih ingat untuk menancapkan pedang pada dinding
sekuatnya dan kini ia dapat berpegang pada gagang pedang lagi. Demikianlah, pendekar wanita ini
bergantung pada gagang pedang dalam keadaan setengah pingsan. Dia mulai putus asa karena tidak
melihat jalan keluar sama sekali. Tubuhnya terasa kedinginan, karena dalam keadaan setengah telanjang
itu, air yang dingin bagaikan menyusup ke dalam tulang-tulangnya.
Pada saat yang sangat berbahaya ini, tiba-tiba dari atas sumur terayun sehelai tambang dan terdengar
dunia-kangouw.blogspot.com
suara orang.
“He, kawan yang berada di bawah. Lekas berpegang pada tambang!”
Pikiran Loan Eng sudah nanar dan pening. Ia tidak teringat akan apa-apa lagi, tidak ingat akan keadaan
tubuhnya yang setengah telanjang. Melihat tambang terayun di dekatnya, ia cepat menyambar, mencabut
pedangnya dan bergantung pada tambang itu. Bau amis membuat dia muak dan lemah sehingga tak kuasa
lagi untuk merayap melalui tambang.
Perlahan-lahan tambang itu ditarik orang ke atas dan setibanya di lantai dalam ruang di mana dia tadi
terjeblos, Loan Eng yang sudah pening sekali masih sempat melihat wajah seorang pemuda yang tampan.
Ia berusaha mempertahankan rasa muaknya, akan tetapi tak tertahankan lagi dan ia muntah-muntah lalu
tak sadarkan diri.
Akan tetapi tidak lama ia jatuh pingsan. Ketika kembali membuka mata, dia cepat-cepat melompat dan
pada saat dia melompat itu, terbukalah sehelai baju panjang yang tadinya menutupi bagian atas tubuhnya.
Dengan terkejut Loan Eng melihat betapa bagian atas tubuhnya itu setengah telanjang! Bukan main
kagetnya dan cepat-cepat dia menyambar baju panjang itu dan dikerobongkan pada tubuhnya kembali. Ia
menengok dan melihat seorang lelaki berdiri tak jauh dari situ sambil memandangnya dengan senyum!
“Loan Eng, baiknya kau lekas sadar kembali. Aku sudah khawatir karena mereka masih mengancam
keselamatan kita.”
“Ohhh...” Loan Eng terkejut sekali dan mukanya menjadi merah seperti kepiting di rebus. “Kau… Ong
Kiat...? Bagaimana kau bisa berada di sini...?”
Orang muda itu tersenyum lagi, wajahnya tampan dan bagi Loan Eng, tak ada perubahan pada wajah yang
dikenalnya baik-baik semenjak masa kanak-kanak itu.
“Tiada waktu bicara sekarang, Loan Eng. Lekas kau pakailah pakaian kering ini dan kita bersiap-siap
menghadapi mereka!” Sambil berkata demikian, Ong Kiat lalu melemparkan segulung pakaian wanita
kepada Loan Eng, lalu membalikkan tubuhnya, membelakangi Loan Eng.
Makin merah muka Loan Eng. Kalau bukan Ong Kiat yang sudah dipercaya penuh, dia tidak sudi berganti
pakaian di dekat orang laki-laki, sungguh pun laki-laki itu telah berdiri membelakanginya. Akan tetapi dia
harus berganti pakaian, karena kalau nanti bertempur melawan gerombolan, bagaimana ia dapat bergerak
dengan baju panjang mengerobongi tubuhnya yang setengah telanjang itu? Cepat-cepat ia membuka
semua pakaiannya dan apa bila pada waktu itu ada perlombaan berganti pakaian, pasti Loan Eng akan
menjadi juaranya. Demikian cepatnya ia berganti pakaian!
“Jadi kaukah orang yang menolongku dari sumur tadi?” tanyanya perlahan.
“Tiada harganya untuk disebut-sebut, Loan Eng. Kau tahu bahwa aku selalu siap sedia untuk membelamu
dengan taruhan nyawa sekali pun!”
Berdebar jantung janda muda itu. Dia memeras rambutnya, lalu di gelungnya.
“Punyamukah jubah panjang ini, Ong Kiat?”
“Ya, aku melihat kau... kau kedinginan, maka aku kerobongkan baju luarku.”
Dengan muka terasa panas biar pun masih basah oleh air, Loan Eng mengerling ke arah punggung orang
muda itu. “Dan… kau... kau melihat...”
“Apa, Loan Eng?”
“...tidak apa-apa! Aku sudah selesai berpakaian, Ong Kiat!”
Orang muda itu memutar tubuhnya dan mereka saling pandang.
“Ahh, kau tidak berubah, Loan Eng. Masih seperti dulu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapa bilang tidak berubah? Aku sekarang sudah tua.”
“Kau keliru! Setiap orang pasti akan mengatakan bahwa kau tidak ada ubahnya seorang gadis berusia
tujuh belas tahun saja. Sungguh, kau tidak berubah, Loan Eng.”
“Kau pun tidak berubah, Ong Kiat, yakni... watakmu, masih baik seperti dulu.”
“Jadi keadaan jasmaniku berubah dalam pandanganmu?”
“Hanya pakaianmu!”
Ong Kiat tertawa dan biar pun usianya sudah hampir tiga puluh tahun, ketika tertawa dia nampak masih
muda sekali.
“Memang aku telah menjadi piauwsu (pengantar dan pengawal barang kiriman) dan aku tinggal di kota
Hak-keng, tidak jauh dari sini.”
Percakapan mereka terhenti karena terdengar suara orang dan dan tindakan kaki.
“Akan kubasmi semua gerombolan anjing itu!” kata Loan Eng perlahan dan tanpa berjanji dulu, kedua
orang ini lalu melompat menerjang ke arah pintu, keluar dari ruangan itu.
Alangkah kagetnya Sin Sai dan Sin Houw yang memimpin orang-orangnya ketika melihat dua orang itu.
Mereka tidak mengira bahwa Loan Eng sudah dapat keluar dari sumur itu. Namun Loan Eng dan Ong Kiat
tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka untuk berheran-heran lebih lama lagi karena Loan Eng
sudah lantas menggerakkan pedangnya dan menerjang dengan hebat sekali. Juga Ong Kiat telah
menerjang dengan goloknya yang terkenal karena dia adalah anak murid Thian-san-pai yang
berkepandaian tinggi.
Hebat sekali sepak terjang dua orang muda yang marah ini. Terutama sekali Loan Eng. Pendekar wanita
ini mengarahkan serangannya khusus kepada Sin Sai dan Sin Houw yang mengeroyoknya, sedangkan
Ong Kiat dengan enaknya membabati para anak buah gerombolan yang segera roboh sambil menjerit
kesakitan.
Hanya dalam waktu tiga puluh jurus saja, berturut-turut Sin Sai dan Sin Houw roboh dan tewas di ujung
pedang Loan Eng. Kemudian berdua Ong Kiat ia membasmi semua anak buah gerombolan. Tak seorang
pun dapat melarikan diri.
Ong Kiat lalu mengajak Loan Eng menyerbu ke dalam gedung itu. Mereka membebaskan orang-orang
wanita yang tadinya diculik oleh gerombolan itu dan jumlah mereka semua adalah sembilan orang,
penduduk dusun-dusun dan juga ada dua orang berasal dari kota Hak-keng.
Ong Kiat segera mengumpulkan barang-barang kawalannya yang tadinya dirampok oleh gerombolan itu. Ia
tak mau mengambil lain barang berharga untuk keperluannya sendiri, bahkan lalu membagi-bagikan
barang-barang lainnya kepada sembilan orang wanita itu yang berlutut di depan Loan Eng dan Ong Kiat
sambil menghaturkan terima kasih.
Mereka membakar gedung sarang gerombolan itu, lalu kedua orang gagah ini mengantar sembilan orang
wanita itu menuju Hak-keng. Kiranya tidak perlu diceritakan betapa dua orang muda pendekar ini disambut
dengan penuh kegembiraan dan rasa terima kasih oleh keluarga para korban itu. Terutama sekali Ong Kiat
yang memang sudah terkenal di kota Hak-keng sebagai seorang pendekar yang budiman, mendapat
sambutan hangat, bahkan kepala daerah di Hak-keng memberi gelar Hak-keng Taihiap kepadanya.
Kemudian, di ruang tamu di rumah Ong Kiat, dua orang pendekar itu duduk menghadap arak. Loan Eng
merasa terharu melihat betapa keadaan rumah bekas kawannya ini sunyi saja, hanya ada dua orang
pelayan wanita tua yang mengurus rumah tangga.
“Ong Kiat, di mana orang tuamu?”
Ong Kiat menarik napas panjang. “Mereka sudah meninggal dunia ketika wabah penyakit mengamuk di
kota ini.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dan kau hidup sebatang kara?”
Ong Kiat mengangguk.
“Apakah kau tidak… tidak beristri?”
Mendengar pertanyaan ini, seketika merahlah wajah Ong Kiat dan dia menjawab agak kasar, “Loan Eng,
kau kira aku laki-laki macam apakah? Selama hidup, aku tidak akan melanggar sumpahku!”
Kini Loan Eng menghela napas sambil menundukkan mukanya. Ia masih ingat baik-baik akan sumpah Ong
Kiat, bahwa pemuda ini tidak akan menikah dengan lain orang wanita kecuali dengan Thio Loan Eng yang
sudah di jodohkan oleh orang tuanya kepada Bun Liok Si!
“Loan Eng, kau baik-baik saja selama ini? Bahagiakah hidupmu?”
“Ahh, Ong Kiat. Kau tidak tahu. Aku adalah seorang yang paling berdosa, seorang istri yang tidak baik.
Aku... aku telah membunuh suamiku sendiri.”
Akan tetapi Ong Kiat tidak heran mendengar ini. “Aku sudah tahu, Loan Eng. Aku sudah mendengar
tentang semua keadaanmu.” Kemudian untuk menggembirakan suasana, dia bertanya. “Ahh, ya,
bagaimana dengan puterimu? Sudah besarkah?”
Berseri wajah Loan Eng. “Kalau tidak ada puteriku, agaknya aku takkan ada di dunia ini.” Setelah berhenti
sebentar, Loan Eng lalu mengubah percakapan yang tak enak itu. “Ong Kiat, bagaimana kau bisa berada
di sarang gerombolan itu dan kebetulan sekali dapat menolongku keluar dari dalam sumur?”
Ong Kiat lalu bercerita. Telah beberapa tahun dia menjadi piauwsu dan karena gagahnya dan jujurnya,
maka dia dipercaya penuh oleh banyak pedagang dan bangsawan. Pada suatu hari, pembantupembantunya
mengantarkan barang-barang berharga dari seorang bangsawan dan barang-barang itu
harus diantarkan ke kota raja. Pada waktu itu, Ong Kiat tidak berada di Hak-keng karena piauwsu muda ini
sedang mengantarkan sebuah keluarga yang melakukan perjalanan jauh. Ketika dia datang di Hak-keng
kembali, dia mendengar bahwa barang kiriman itu dirampok oleh gerombolan di dalam hutan itu.
Marahlah Ong Kiat dan seorang diri saja dia kemudian membawa goloknya melakukan penyelidikan.
Melihat gerombolan itu terdiri dari dua puluh orang lebih, ia lalu melakukan pembakaran di bagian belakang
gedung itu, tidak tahu bahwa Loan Eng sudah menyerbu masuk ke dalam. Ong Kiat maklum akan kelihaian
gerombolan ini, karena dia pun tahu bahwa bekas kelenteng ini memang mempunyai banyak bagianbagian
rahasia.
Dia lantas merobohkan beberapa orang anggota gerombolan dan menyerbu ke dalam. Ia datang pada saat
yang tepat karena dia melihat empat orang gerombolan mengintai dari pintu sebuah ruangan besar, di
mana terdapat sumur rahasia itu. Dia dapat merobohkan dua orang anggota gerombolan dan yang dua lagi
lari keluar.
Maka waktu kedatangannya tepat sekali dan dia masih sempat menolong Loan Eng dari bahaya maut. Ia
tadinya tidak tahu bahwa orang yang terjebak adalah Loan Eng, wanita satu-satunya di dunia ini yang
menjadi pujaan kalbunya.
Melihat keadaan Loan Eng cepat Ong Kiat mengerobongi tubuh wanita yang dikasihinya ini dengan baju
luarnya, kemudian dia menyerbu ke dalam kamar belakang dan meminta sesetel pakaian dari seorang
wanita tawanan untuk diberikan kepada Loan Eng setelah pendekar manita ini siuman kembali.
Mendengar penuturan Ong Kiat ini, Loan Eng lalu berkata kagum, “Tak kusangka bahwa kepandaianmu
telah maju demikian hebatnya, Ong Kiat.”
“Ahh, mana bisa dibandingkan dengan ilmu pedangmu?” jawab Ong Kiat merendah, lalu dengan wajah
bersungguh-sungguh ia berkata, “Loan Eng, setelah kau sekarang menjadi janda, hanya hidup berdua saja
dengan puterimu, kiranya adakah harapan bagiku untuk membantumu mendidik puterimu itu? Aku akan
menganggap dia sebagai anakku sendiri, Loan Eng.” Sambil berkata demikian, dia menatap wajah bekas
kawannya itu dengan penuh harapan.
Loan Eng tertegun dan menundukkan mukanya yang menjadi merah! Terus terang saja, dahulu sebelum
dunia-kangouw.blogspot.com
dijodohkan dengan Bun Liok Si, diam-diam ia juga merasa suka kepada Ong Kiat, kawan mainnya
semenjak ia kecil. Setelah mulai dewasa rasa suka ini menjadi perasaan cinta kasih yang terpendam.
Akan tetapi, setelah menjadi istri Bun Liok Si, perasaan terhadap Ong Kiat ini diusirnya jauh-jauh, dan tidak
pernah dipikirkannya lagi. Sebagai seorang istri, ia harus mencinta suaminya dan harus bersetia lahir dan
batin! Biar pun suaminya telah meninggal dunia, namun andai kata ia tidak bertemu Ong Kiat, agaknya
selama hidupnya ia pun tidak akan mengingat lagi kepada bekas kawan itu.
Akan tetapi, nasib agaknya menghendaki lain, karena dalam keadaan yang sangat tidak tersangka-sangka,
ia bertemu dengan pemuda ini. Dan lebih hebat lagi, ternyata bahwa Ong Kiat masih tetap setia dan tidak
mau menikah dengan wanita lain, bahkan sekarang mengajukan pinangan kepadanya! Dapat dibayangkan
betapa gelisah serta bingungnya hati Loan Eng menghadapi pinangan pemuda ini.
Ia maklum akan kemuliaan hati dan kebaikan watak Ong Kiat, dan ia berani memastikan bahwa andai kata
ia meneriman pinangan ini, ia akan dapat hidup beruntung. Dan juga puterinya, Sui Ceng, pasti akan
menemukan seorang ayah tiri yang jauh lebih baik adat wataknya dari pada ayahnya sendiri yang sudah
meninggal! Akan tetapi... hatinya masih terasa berat untuk menerima pinangan ini. Memang, pada masa
itu di Tiongkok, adalah merupakan suatu hal yang langka dan tidak mungkin bagi seorang janda, apa lagi
sudah mempunyai anak, untuk bisa menikah lagi.
Melihat sampai sekian lamanya Loan Eng tidak menjawab dan menunduk saja dengan muka sebentar
merah sebentar pucat, Ong Kiat lalu bertanya dengan nada mendesak. “Loan Eng, bagaimana jawabmu?
Apakah masih juga aku tidak mempunyai harapan?”
Loan Eng mengangkat mukanya memandang dan Ong Kiat melihat betapa sepasang mata yang bening itu
menjadi basah.
“Ong Kiat, bagaimana aku harus menjawabmu? Aku tidak ingin menyakitimu, tidak ingin
mengecewakanmu, kau begitu baik... Sedangkan aku...”
“Hushh Loan Eng, jangan ucapkan kata-kata seperti itu. Aku bukan seorang anak-anak lagi. Marilah kita
bicara dengan tenang, tidak baik kalau orang-orang yang sudah banyak menderita seperti kita ini masih
dapat dikuasai oleh nafsu.”
Mendengar ucapan ini, legalah Loan Eng. Ia mengangkat mukanya lagi dan sekarang ia memandang
dengan berani. Pandangan matanya penuh kekaguman.
“Loan Eng, aku dapat menduga isi hatimu. Kau tentu suka sekali menerima pinanganku, akan tetapi kau
merasa tidak enak, sebagai seorang janda muda menikah lagi, bukan?”
Loan Eng mengangguk, “Bukan cuma itu saja, Ong Kiat. Aku sudah membunuh suamiku sendiri karena dia
menyeleweng, karena cemburu. Apa bila sekarang aku menikah lagi dengan kau, apakah orang lain tidak
akan mengatakan bahwa aku sengaja membunuh suamiku untuk dapat menikah lagi dengan orang lain?”
Ong Kiat mengerutkan keningnya. Beralasan juga kata-kata wanita yang dicintainya ini. “Akan tetapi, Loan
Eng. Dalam hal pembentukan rumah tangga, suara orang luar selalu hanya mendatangkan kerusakan
belaka. Apa sangkut pautnya orang lain dengan kita? Pula, hendak kulihat siapa orang-orangnya yang
berani mencacimu? Pendeknya begini, Loan Eng. Kau pulanglah dan pikirkanlah masak-masak. Aku tak
terburu-buru dan masih tetap bersabar, karena sudah bertahun-tahun aku menanti, bahkan aku telah
mengambil keputusan tak akan menikah dengan orang lain. Masa aku tidak dapat bersabar menanti
sampai kau dapat mengambil keputusan? Ingatlah selalu, bahwa di Hak-keng, aku selalu menanti
kedatanganmu dan anakmu.”
Demikianlah, Loan Eng lalu pulang ke Tun-hang dengan berat hati dan ragu-ragu untuk mengambil
keputusan. Dan dalam perjalanan pulang inilah ia bertemu dan menolong Lu Kwan Cu dari tangan Tauwcai-
houw sebagaimana sudah dituturkan pada bagian depan.
Kemudian terjadilah peristiwa penculikan Sui Ceng oleh para anak buah suaminya, yakni anggota-anggota
Sin-to-pang. Melihat keadaan ini, hati Loan Eng merasa ngeri. Dia takut kalau-kalau puterinya yang hanya
satu-satunya dan sangat dikasihinya itu benar-benar akan menjadi ketua dari Sin-to-pang! Karena itu ia
kemudian membawa pergi puterinya, meninggalkan Lu Kwan Cu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ke manakah perginya Loan Eng dan Sui Ceng. Mudah diduga. Ke mana lagi kalau tidak ke Hak-keng, ke
tempat tinggal Ong Kiat, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi harapan Loan Eng. Bukan demi rasa
cintanya kepada Ong Kiat maka ia datang kepada piauwsu muda itu, melainkan karena ia bingung
bagaimana harus mendidik Sui Ceng tanpa ayah. Ia tahu bahwa di samping Ong Kiat, ia akan merasa kuat
dan tabah, dan Sui Ceng akan mendapatkan rumah tangga yang kokoh kuat dan berbahagia.
Ong Kiat menerima mereka dengan gembira bukan main. Pernikahan lalu dilangsungkan secara amat
sederhana. Ong Kiat cuma mengundang teman-teman dan kenalan-kenalan yang dekat, dan upacara
pernikahan hanya cukup dengan sembahyang dan disaksikan oleh para tamu. Akan tetapi, dalam upacara
ini, terjadilah hal yang sangat hebat sekali.
Selagi para tamu bergembira-ria minum arak dan makan hidangan, sedangkan Loan Eng telah kembali ke
kamarnya, tiba-tiba dari luar datang seorang tokouw (pendekar wanita) yang tua akan tetapi berwajah
kereng sekali. Pendeta wanita ini memegang sebatang cambuk berbulu sembilan. Dia bukan lain adalah
Kiu-bwe Coa-li, tokoh besar ke dua dari selatan!
Pada saat itu Loan Eng tengah memeluk puterinya sambil menangis terisak-isak. Selama dilakukan
upacara pernikahan, Sui Ceng marah-marah dan menangis saja. Anak ini tidak mau keluar dari kamar.
“Ibu, kau terlalu! Mengapa menikah dengan Paman Ong Kiat?” demikian berkali-kali anak kecil ini menegur
ibunya dengan muka cemberut.
“Ssttt, anakku. Bukankah paman Ong sangat baik? Dia akan menjadi ayahmu yang baik sekali.”
“Ahh, aku tidak suka, Ibu. Ayahku ketua dari Sin-to-pang, baik mati atau hidup dia tetap ayahku!”
Mendengar ucapan ini, Loan Eng memeluk puterinya dan menangis. Ia tidak tahu harus berbuat dan
berkata bagaimana. Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di bagian luar.
Suaminya masih melayani tamu di depan, maka mendengar suara ribut-ribut itu, Loan Eng cepat-cepat
melepaskan penutup kepalanya, dan memang ia berpakaian sederhana. Kemudian dia segera bertindak
keluar, meninggalkan puterinya yang masih berbaring menangis di atas tempat tidur.
Ketika Loan Eng tiba di luar, ia terkejut sekali. Ia melihat seorang tokouw dikelilingi oleh banyak tamu dan
suaminya menghadapi tokouw itu dengan marah-marah.
“Suthai, kau terlalu sekali! Bagaimana kau bisa minta begitu saja anak orang. Harap kau jangan
mengganggu kami, Suthai. Kesalahan apakah yang telah kami lakukan sehingga kau datang-datang
hendak mengacau?”
Mendengar ucapan suaminya, Loan Eng terkejut sekali dan ia berseru keras, “Ong Kiat, jangan kurang
ajar...!”
Semua orang menjadi terkejut dan lebih-lebih heran mereka ketika melihat betapa Loan Eng lalu berlari
dan sesudah tiba di hadapan tokouw itu, Loan Eng lalu menjatuhkan diri berlutut di depannya dan
mengangguk-anggukkan kepala.
“Teecu mengaku salah, harap Locianpwe sudi memberi maaf kepada teecu sekalian...,” katanya dengan
suara amat menghormat.
Kiu-bwe Coa-li tersenyum dan lenyaplah kekakuan pada mukanya.
“Hemm, Loang Eng, kau masih muda, tentu saja kau ingin berumah tangga lagi. Pinni datang bukan
hendak mengganggu, hanya untuk meminta anakmu, karena bukankah dia hanya mengganggu
kebahagianmu saja?”
Pada saat itu Sui Ceng sudah muncul pula, karena anak ini tadi mengejar ibunya. Melihat tokouw itu, Sui
Ceng tertegun. Mengapa ibunya berlutut di depan tokouw aneh ini?
Sementara itu ketika melihat Sui Ceng, Kiu-bwe Coa-li lalu menggerakkan cambuknya. Dua helai bulu
cambuknya itu melayang dan tahu-tahu sudah melibat tubuh Sui Ceng. Dengan sekali betot saja, tubuh
anak itu sudah melayang ke arahnya dan diterima terus dipondong oleh pendeta wanita itu. Sui Ceng
dunia-kangouw.blogspot.com
bersorak girang.
“Hebat, hebat! Kau lihai sekali, Suthai,” kata Sui Ceng.
Kiu-bwe Coa-li tertawa. “Mau kau turut aku belajar silat? Di sini kau hanya mengganggu ibumu yang
sedang bersenang-senang!”
Sui Ceng memandang kepada ibunya yang masih berlutut, kemudian memandangi Ong Kiat yang berdiri di
dekat situ, lalu dia memandang kembali kepada Kiu-bwe Coa-li dan menganggukkan kepalanya.
“Aku ingin belajar silat, karena aku adalah ketua dari Sin-to-pang. Aku harus lihai!”
“Bagus, hayo kau ikut aku pergi!” Sambil berkata demikian, Kiu-bwe Coa-li membawa Sui Ceng.
“Sui Ceng...!” Loan Eng mengeluh akan tetapi tidak berani mengejar.
Tokouw itu menengok dan berkata dengan suara kereng, “Loan Eng, apa kau tidak rela memberikan
anakmu sebagai muridku?”
“Bukan tidak rela, hanya teecu berat berpisah dari dia...,” jawab ibu ini.
Kiu-bwe Coa-li tertawa mengejek. “Bukankah kau sudah mendapatkan suami baru? Dia yang akan
menghiburmu dan kau akan lupa kepada anakmu!”
“Suthai, kau terlalu sekali!” Ong Kiat membentak. “Kembalikan Sui Ceng kepada kami!” Piauwsu muda ini
lalu melompat mengejar dan menubruk, hendak marampas Sui Ceng.
“Ong Kiat, jangan…!” Loan Eng memberi peringatan, namun terlambat.
Begitu Kiu-bwe Coa-li menggerakkan tangannya, tubuh Ong Kiat terpental ke belakang bagaikan tertiup
angin puyuh.
“Hemm, kalau tidak ingat kau seorang pengantin baru, tentu kau sudah menggeletak tak bernyawa pula!”
berkata Kiu-bwe Coa-li dan sekali ia menggerakkan tubuhnya, lenyaplah bayangan bersama Sui-Ceng.
Loan Eng menangis, dipeluk dan dihibur oleh suaminya yang masih saja terheran-heran bagaimana dia
tadi sampai terpental ke belakang, karena dia tak dapat melihat tangkisan atau serangan wanita tua yang
lihai itu.
“Sudahlah, Loan Eng. Tak perlu kita bersedih terus. Bukankah Sui Ceng berada dalam tangan orang sakti?
Ia akan menerima latihan ilmu silat yang luar biasa. Guru-guruku sendiri di Thian-san tidak mungkin dapat
menandingi kelihaian nenek tadi. Siapakah dia itu?”
Sesudah menyusut air matanya dan dapat menentramkan hatinya, Loan Eng berkata, ”Tidak tahukah kau
siapa dia? Dia adalah Kiu-bwe Coa-li!”
“Ayaaa...! Pantas saja ia demikian lihai dan aneh. Baiknya ia masih tidak berlaku kejam padaku, kalau tidak
demikian, bagaimana aku masih bisa hidup?” kata Ong Kiat.
“Dia telah beberapa kali menolongku dan aku percaya bahwa anakku tentu akan aman di dalam
pendidikannya, akan tetapi, bagaimana aku bisa senang ditinggal oleh anakku?” Loan Eng mengeluh
sedih.
Ong Kiat menghiburnya dengan penuh cinta kasih dan perhatian sehingga lambat laun dapat juga Loan
Eng mengatasi kedukaannya.
Demikianlah keadaan dan pengalaman Loan Eng sehingga Kiu-bwe Coa-li dapat muncul memperebutkan
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng bersama Bun Sui Ceng yang kini telah menjadi muridnya. Sekarang baik
kita mengikuti pengalaman dan perjalanan Lu Kwan Cu lebih lanjut…..
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Sambil melakukan perjalanan menuju ke Gunung Liang-san untuk mencari peninggalan buku-buku dari Gui
Tin, Lu Kwan Cu mulai menerima pelajaran ilmu silat dari gurunya, yakni Ang-bin Sin-kai Lu Sin.
Ang-bin Sin-kai melihat bakat yang amat baik dalam diri muridnya, maka dia tidak berlaku kepalang
tanggung dalam melatih ilmu silat. Dia melatih bhesi dan gerakan kaki dengan amat cermat, sehingga
dalam beberapa bulan, dia masih belum memberi pelajaran ilmu pukulan, melainkan ilmu pelajaran pasang
kuda-kuda kaki dan mengatur tenaga dalam kedudukan badan.
Selain itu, dia memberi pelajaran cara bersiulian dan mengatur napas. Biar pun pelajaran ini menjemukan
dan tidak menarik hati, akan tetapi Kwan Cu mempelajari dan melatih diri dengan amat tekun. Tubuhnya
telah kehilangan tenaga lweekang yang dahulu dilatihnya menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng
yang palsu, maka boleh dibilang bahwa dia mulai melatih diri dari tingkat bawah lagi.
Akan tetapi, dalam hal latihan ginkang dan ilmu berlari cepat, Kwan Cu sungguh-sungguh mendapat
kemajuan pesat sekali. Hal ini adalah karena perjalanan itu sendiri merupakan latihan yang terus menerus
baginya. Tanpa memberi tahu kepada muridnya, makin lama Ang-bin Sin-kai semakin cepat menggerakkan
kedua kakinya sehingga secara otomatis, ilmu lari cepat Kwan Cu maju pesat sekali.
Kadang kala, pada waktu melompati jurang-jurang kecil, kakek ini tidak membantu Kwan Cu ketika
melompati jurang-jurang. Karena itu, makin lama semakin hebat dan semakin lebarlah jurang yang dapat
dilompatinya.
Pada suatu hari mereka mengaso di dalam sebuah hutan. Ang-bin Sin-kai langsung tidur mendengkur
sambil bersandar pada sebatang pohon besar. Kwan Cu berjalan di dalam hutan mencari bahan makan
siang. Ia tahu bahwa suhu-nya doyan sekali makan daging kelinci panggang, maka dia mencari-cari
binatang itu untuk ditangkapnya.
Setelah mencari beberapa lama, akhirnya dia melihat seekor kelinci gemuk yang sedang menggerakgerakkan
dua telinganya dengan lagak lucu sekali. Kelinci itu pun mendengar kedatangannya, dan cepat
sekali binatang ini melompat ke dalam semak-semak. Kwan Cu mengejarnya sambil mengambil beberapa
potong batu kecil. Di goyang-goyangnya rumpun di mana kelinci itu bersembunyi.
Binatang ini menjadi ketakutan dan melompat keluar lalu berlari cepat. Akan tetapi Kwan Cu lebih cepat
gerakannya dan tangannya menyambar. Sebuah batu kecil meluncur ke arah binatang itu.
Kwan Cu merasa yakin bahwa sambitannya pasti akan mengenai sasaran, karena dia sudah mempelajari
Pek-po Coan-yang (Ilmu Timpuk Tepat Dalam Jarak Seratus Kaki). Akan tetapi, ketika batu itu sudah
menyambar dekat dengan tubuh kelinci, tiba-tiba dari lain jurusan menyambar sebutir batu bundar yang
meluncur cepat sekali dan membentur batu yang disambitkan Kwan Cu.
Kwan Cu terkejut dan juga heran sekali. Ia menoleh ke sana ke mari namun tidak melihat orang. Kelinci itu
sudah berlari pergi dan sebentar saja lenyap.
“Binatang yang begitu lucu mengapa harus dibunuh?” terdengar suara nyaring menegur.
Mendadak melompatlah bayangan seorang anak kecil keluar dari balik sebatang pohon besar. Ketika Kwan
Cu memandang, ternyata bahwa anak itu adalah The Kun Beng, murid kedua dari Pak-lo-sian Siangkoan
Hai! Kun Beng keluar sambil tersenyum-senyum ramah dan wajahnya yang tampan tampak menarik sekali.
Kwan Cu tidak menjadi marah kehilangan kelincinya.
“Maksudku bukan untuk membunuh, akan tetapi makan dagingnya,” bantahnya sambil tersenyum juga.
Kun Beng membelalakkan kedua matanya. “Apa bedanya? Bukankah makan dagingnya berarti membunuh
juga?”
Dengan wajah sungguh-sungguh, Kwan Cu menggelengkan kepalanya. “Bedanya sangat jauh! Membunuh
karena marah dan mata gelap, itu bodoh namanya. Membunuh untuk memuaskan hati dan
memperlihatkan keunggulan, itu kejam namanya. Tapi membunuh untuk mengisi perut karena lapar, itu lain
lagi, bukan membunuh lagi namanya!”
Kun Beng tertegun. “Ahh, lidahmu lemas sekali, Kawan. Ucapanmu itu benar-benar aku tidak mengerti
maksudnya. Cara kau bicara seperti suhu saja, membingungkan. Bukan bicara anak-anak dan aku tak
dunia-kangouw.blogspot.com
suka. Lebih baik kita main gundu, lebih menggembirakan.”
“Main gundu?” kini Kwan Cu yang terheran-heran.
Anak aneh, datang-datang dan bertemu di tengah hutan mengajak main gundu! Pula, dia tidak bisa main
gundu. Kun Beng mengeluarkan kelereng yang dipegangnya. Semua ada tujuh butir, terbuat dari pada
batu-batu hitam yang keras.
“Sebetulnya harus delapan butir, akan tetapi yang sebutir tadi kupakai menolong nyawa kelinci,” kata Kun
Beng sambil tertawa. “Akan tetapi tidak mengapa, pakai tujuh butir pun sudah cukup.”
“Bagaimana cara memainkannya?” tanya Kwan Cu yang ikut pula berjongkok seperti Kun Beng.
“Kau lihatlah baik-baik! Yang enam butir kulemparkan di atas tanah dan berpencaran, kemudian dengan
sebutir ini aku akan membidik sehingga berganti-ganti dapat mengenai enam butir kelerang itu.” Sambil
berkata demikian, Kun Beng lalu membidikkan sebutir kelereng dari jarak lima kaki.
Kelereng itu meluncur dari tangannya dan menggelinding, dengan jitu sekali mengenai kelereng pertama,
terus mental kepada kelereng kedua, ketiga dan seterusnya sampai enam butir kelereng itu itu terkena
benturan semua!
“Bagus!” kata Kwan Cu memuji, “Kau pandai sekali!”
“Nah, yang berhasil membenturkan kelereng jagonya sampai mengenai enam yang lain, boleh main terus.
Kalau tidak kena, baru kau boleh dapat giliran.”
Demikianlah, dua orang anak-anak ini sambil berjongkok bermain gundu di tengah hutan! Akan tetapi
karena tidak terlatih, tentu saja Kwan Cu selalu kalah.
“Kau benar-benar pandai. Siapa sih namamu?’
“Namaku The Kun Beng. Aku sudah tahu namamu, Lu Kwan Cu, bukan?”
Kwan Cu mengangguk. “Suhu-mu itu amat lihai dan terkenal. Suhu-ku sering kali memuji namanya. Dan
suheng-mu yang galak itu, siapa namanya?’
“Suheng bernama Gouw Swi Kiat, meski pun galak akan tetapi hatinya baik dan dia lihai mainkan
sepasang kipas.”
“Kau pun tentu lihai main kipas.”
Kun Beng menggelengkan kepalanya. “Aku lebih suka memainkan tombak dan pedang, terutama sekali
tombak. Kau sendiri belajar apakah dari suhu-mu?”
Kwan Cu menggelengkan kepalanya yang gundul. “Tidak belajar apa-apa, hanya belajar gerakan kaki saja.
Eh, Kun Beng, kau kenapa bisa berada di tempat ini? Mana suhu-mu dan suheng-mu?”
“Mereka masih di belakang. Aku mendahului mereka masuk ke dalam hutan. Aku paling senang berada di
dalam hutan, dikelilingi oleh pohon-pohon besar dan daun-daun. Nah, itu dia suheng-ku datang.”
Benar saja, Swi Kiat muncul dan datang-datang ia menegur sute-nya.
“Sute, kau terlalu sekali. Suhu menyuruh aku mencarimu di mana-mana hingga kucari sampai berputaran
di dalam hutan ini. Ehhh, bukankah ini Lu Kwan Cu, bocah yang mengacaukan urusan kitab Im-yang Butek
Cin-keng itu?” tanyanya sambil memandang tajam kepada Kwan Cu.
“Suheng, Kwan Cu kalah main kelereng denganku!” kata Kun Beng.
“Main kelereng? Ahh, kau seperti anak kecil saja. Mengapa tidak mengalahkan dalam dia main silat?”
“Kwan Cu belum belajar silat, Suheng. Bagaimana bisa minta dia untuk pibu (mengadu kepandaian silat)?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dia bohong! Mana bisa murid Ang-bin Sin-kai tidak mengerti ilmu silat? Hm, orang yang suka
menyembunyikan kepandaiannya, dia tentu memiliki hati curang dan licik. Ehh, Lu Kwan Cu, beranikah kau
mengadu kepandaian dengan aku?” Gouw Swi Kiat menantang dengan sikap sombong.
“Berani sih tentu saja berani. Takut atau tidak berani hanya bersarang dalam hati orang yang bersalah,
sedangkan aku tidak bersalah sesuatu terhadapmu. Akan tetapi, tentang mengadu kepandaian denganmu,
apanya yang harus diadu? Aku tak punya kepandaian apa-apa,” jawab Kwan Cu sejujurnya.
Memang, semenjak suhu-nya mengeluarkan semua tenaga yang dipelajarinya dari kitab palsu, sekarang
dia tidak mempunyai kepandaian silat sama sekali, kecuali ginkang dan lweekang yang masih dimiliki tanpa
disadarinya.
“Mulutmu lemas sekali bagaikan perempuan! Kau hanya mempergunakan lidahmu untuk mencari alasan,
padahal sesungguhnya kau takut padaku. Hayo bilang saja kau takut!” Swi Kiat membentak sambil
mengejek.
“Aku tidak takut!” jawab Kwan Cu menggelengkan kepala.
“Bagus, kalau begitu marilah kita mengukur kepandaian!” Dan sebelum Kwan Cu sempat menjawab, Swi
Kiat sudah menyerang dengan pukulan tangan kiri ke arah dada!
Walau pun belum menerima latihan ilmu pukulan dari suhu-nya, namun Kwan Cu sudah mempelajari cara
pergerakan kaki serta kedudukan tubuh, maka dia memiliki kegesitan dan gerakan otomatis dari seorang
ahli silat tinggi. Menghadapi pukulan ini, dia miringkan tubuh dan menarik kaki yang berada di depan
sehingga pukulan itu mengenai angin! Swi Kiat menjadi penasaran dan menyerang bertubi-tubi!
Swi Kiat adalah murid pertama yang berbakat dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Tentu saja ilmu silatnya
sudah baik dan tinggi. Seorang pria dewasa saja, dalam satu dua gebrakan tentu akan roboh olehnya.
Usianya sebaya dengan Kwan Cu dan dalam hal ilmu silat, dia masih menang jauh. Karena itu, setelah
dapat mengelak beberapa jurus, akhirnya kepala Kwan Cu yang gundul itu terkena pukulan tangan kiri Swi
Kiat.
“Bukkk!”
Tubuh Kwan Cu berputaran saking kerasnya pukulan Swi Kiat. Untuk sejenak kepalanya terasa pening dan
seolah-olah kepalanya terasa bengkak membesar. Akan tetapi hanya sebentar saja, karena di dalam darah
Kwan Cu telah mengalir darah ular dan sari buah coa-ko, ditambah pula latihan lweekang yang tanpa
disadarinya sudah mencapai tingkat tinggi juga.
“Suheng, jangan pukul dia! Dia betul-betul tidak mempunyai kepandaian silat!” Kwan Cu mendengar suara
Kun Beng mencegah suheng-nya.
Akan tetapi sambil bertolak pinggang Swi Kiat berkata kepada Kwan Cu, “Hayo lekas kau mengaku kalah
padaku!”
“Kita tidak berkelahi, bagaimana aku dapat mengaku kalah?” Kwan Cu berkata sambil menggelengkan
kepalanya.
“Ehh, gilakah kau? Bukankah baru saja kau kuserang dan kepalamu terpukul?”
“Memang kau menyerangku, akan tetapi tidak berkelahi!”
“Suheng, dia benar! Dia sama sekali tidak membalas seranganmu, bagaimana disebut berkelahi?”
“Kalau begitu, sekarang aku akan memaksa dia supaya berkelahi dengan aku!” seru Swi Kiat yang segera
menyerang pula. Akan tetapi, tiba-tiba Kun Beng melompat menangkis serangan suheng-nya itu.
“Ehh, Kun Beng. Apa kau sudah gila?”
“Tidak segila engkau, Suheng! Seorang gagah tidak akan menyerang orang yang tidak mau membalas!”
jawab Kun Beng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Swi Kiat ragu-ragu. Ia harus akui bahwa tingkat kepandaian sute-nya tidak kalah olehnya, kalau tidak mau
dibilang lebih tinggi dan lebih maju. Pula, dia sayang kepada sute-nya ini dan tentu saja tidak mau cekcok
dengan sute-nya hanya karena Kwan Cu, bocah gundul itu.
“Kau pergilah!” bentaknya kepada Kwan Cu yang memandang semua itu dengan mata yang bersinar-sinar.
Mendengar bentakan ini, sebetulnya kalau menurut wataknya yang keras dan tidak mau tunduk, Kwan Cu
tidak mau mengambil perhatian. Akan tetapi Kun Beng berkata halus,
“Kwan Cu, lebih baik kau tinggalkan kami saja. Untuk apa mencari keributan?”
Kwan Cu mengangguk dan berjalanlah dia untuk kembali kepada suhu-nya. Di tengah jalan, dia berhasil
menimpuk mati seekor kelinci dan dengan girang dibawanya kelinci itu kepada suhu-nya. Ia mendapatkan
gurunya telah bangun dari tidurnya dan kini gurunya itu duduk bersandar pada pohon dan memandangnya.
“Suhu, teecu mendapatkan seekor kelinci!” kata anak itu girang.
Akan tetapi gurunya tidak ikut bergembira, bahkan menegurnya.
“Kwan Cu, kau membikin malu kepadaku! Kau hanya berani menyerang seekor kelinci, akan tetapi tidak
berani membalas serangan seorang lawan yang menghinamu! Kenapa kau biarkan kepalamu yang gundul
itu dijadikan permainan pukulan murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Bukankah itu amat memalukan dan
merendahkan nama guru?”
Kwan Cu tertegun. Gurunya tadi masih tidur pulas di bawah pohon, bagaimana suhu-nya ini tahu akan
peristiwa yang terjadi antara dia dan Swi Kiat?
“Suhu, teecu tidak berniat untuk berkelahi. Untuk apakah berkelahi dengan orang? Tidak ada alasan bagi
teecu untuk membalas serangannya. Dan pula, bagaimana teecu dapat membalas? Dia lihai sekali.”
Merah muka Ang-bin Sin-kai yang memang sudah merah itu, “Murid goblok! Kalau tiada hujan tiada angin
kau mengamuk dan memukul orang, itu memang tidak baik dan tidak beralasan. Akan tetapi kau dihina dan
dipukul. Itu sudah merupakan alasan kuat sekali bagimu untuk balas memukulnya!”
“Akan tetapi, Suhu...”
“Tidak ada tapi! Lekas kau kembali dan membalas pukulannya!”
“Dia lihai, Suhu...”
“Ehh, kau takut?”
Mata bocah gundul itu bersinar penasaran, “Takut?! Siapa takut, Suhu? Biar kepada iblis sekali pun teecu
tidak takut!”
“Kalau begitu, kau lekas kembali kepadanya. Tanya apakah dia masih mau memukulmu, kalau dia
menyerang, balas!”
“Teecu belum pernah suhu ajari ilmu pukulan.”
“Untuk apa kedua tangan dan kakimu? Belajar atau tidak, memukul dan menendang tak bisa lain harus
menggunakan kaki tangan. Dan kaki tanganmu masih ada, bukan?”
Kwan Cu mengaku kalah dan segera dia kembali mencari Swi Kiat! Di dalam hutan, dia melihat Swi Kiat
dan Kun Beng sedang duduk di bawah pohon bersama gurunya, yakni Pak-lo-sian Siangkoan Hai!
Keder juga hati Kwan Cu melihat orang tua yang bertubuh pendek kecil itu, akan tetapi memang dia
seorang anak yang tidak mengenal arti takut. Pendiriannya sungguh teguh, seteguh batu karang di pinggir
laut, bahwa apa bila tidak bersalah dia tidak boleh takut kepada siapa pun juga!
“Ehh, Swi Kiat. Apakah kau masih juga mau memukulku seperti tadi?” tanyanya sambil menghampiri Swi
Kiat yang memandangnya dengan mata terheran.
dunia-kangouw.blogspot.com
Juga Kun Beng merasa heran sekali sehingga tidak dapat lagi mengeluarkan kata-kata. Ada pun
Siangkoan Hai memandang dengan mata penuh perhatian, lalu berkata, “Ahh, bukankah bocah gundul itu
murid Gui Tin?”
“Teecu sekarang murid Ang-bin Sin-kai, Locianpwe,” Kwan Cu menjawab dengan suara tenang.
Siangkoan Hai tertawa bergelak. “Bersemangat juga anak ini. Ehh, Swi Kiat, dia datang menegurmu
hendak apakah?”
“Tadinya teecu telah menghajar dia, agaknya dia masih kurang dan minta tambah lagi,” kata Swi Kiat
sambil bangun berdiri, “Kwan Cu, apakah kau datang karena hendak minta digebuk kepalamu yang gundul
itu lagi? Jangan kurang ajar, lekaslah pergi dari sini!”
“Aku datang hendak menyatakan bahwa kalau kau menyerangku, sekarang aku akan membalasmu!”
Swi Kiat tertawa geli, bahkan Kun Beng juga tertawa. Akan tetapi murid kedua dari Siangkoan Hai ini lalu
berkata, “Kwan Cu, jangan berlaku bodoh. Kau bukan tandingan Suheng, untuk apa mencari penyakit?”
“Aku tidak ingin menyerangnya. Akan tetapi kalau dia berani memukulku, pasti kali ini aku akan
membalasnya,” kata Kwan Cu masih tetap tenang.
“Kalau begitu aku akan memukulmu!” kata Swi Kiat sambil bersiap-siap menyerang Kwan Cu.
Sikap bocah gundul ini tidak seperti tadi, sekarang dia pun bersiap-siap dan memasang kuda-kuda.
Melihat sikap Kwan Cu ini, Pak-lo-sian tertawa bergelak. “Ehh, bocah gundul, apakah kau benar-benar
murid Ang-bin Sin-kai? Apa bila benar kau murid Ang-bin Sin-kai, kau biasa mempelajari ilmu senjata apa
sajakah?”
Kini Kwan Cu mengerti bahwa tinggi rendahnya nama suhu-nya tergantung dari sikap dan sepak
terjangnya, maka kini dia hendak menebus kesalahannya yang tadi membuat malu nama gurunya. Ia
melihat sebatang ranting pohon di depan kakinya, maka ranting itu dipungutnya dan dia menjawab, “Apa
pun juga yang berada di tangan suhu, menjadi senjatanya yang ampuh. Kalau Lociapwe bertanya tentang
senjata, pada waktu ini teecu memegang ranting dan inilah pula senjataku!”
“Bagus! Eh, Kun Beng kau lawan bocah gundul ini. Kau pun boleh menggunakan ranting pohon!”
Kun Beng tertegun, akan tetapi dia pikir bagi Kwan Cu lebih baik melawan dia dari pada menghadapi
suheng-nya, “Kwan Cu, sekarang kita mengukur kepandaian, jika kau roboh berarti kau kalah!”
“Sesukamulah!” kata Kwan Cu karena baginya, bertanding dengan siapa pun sama juga, asal dia sudah
dapat menebus nama baik suhu-nya dengan melawan. “Siapa saja yang memukul dan menyerangku, tentu
kubalas.”
Kun Beng menggerakkan rantingnya seperti kalau dia bermain tombak. Memang sejak kecil Kun Beng
lebih suka mempelajari ilmu tombak, dan berbeda dengan suheng-nya, dia mewarisi ilmu tombak dari Paklo-
sian Siangkoan Hai.
“Awas senjata!” serunya.
Kwan Cu bingung sekali melihat betapa setelah ranting itu digerakkan oleh tangan Kun Beng, ujung ranting
seolah-olah berubah menjadi banyak sekali yang semuanya serentak menyerang tubuhnya dengan hebat!
Dia kemudian menggerakkan rantingnya menangkis sejadi-jadinya, namun karena tenaga lweekang-nya
memang sudah boleh juga, dia pun berhasil menyampok ranting di tangan Kun Beng.
Akan tetapi, ilmu tombak yang dipelajari oleh Kun Beng termasuk ilmu silat tinggi yang jarang
bandingannya. Sebab itu, begitu terkena tangkisan, ranting itu meluncur turun dan tanpa dapat dicegah
lagi, kaki Kwan Cu kena dikait dan terjungkallah bocah gundul itu!
“Ha-ha-ha! Pukul kepalanya yang gundul, Sute, biar dia tahu rasa!” kata Swi Kiat tertawa gembira.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebaliknya, Siangkoan Hai lantas melongo. Bagaimana Ang-bin Sin-kai dapat mengambil seorang murid
yang begini tolol? Dia akui bahwa memang si gundul ini bertulang baik, akan tetapi agaknya otaknya tidak
genap!
Watak Kwan Cu memang bandel dan juga tubuhnya sudah kuat sekali. Begitu terjungkal dia segera
bangun lagi dan siap sedia bertempur lagi.
“Ehh, Kwan Cu. Kau sudah kalah, mengakulah,” kata Kun Beng. Murid kedua Siangkoan Hai ini memang
memiliki perasaan yang halus dan dia tidak tega untuk melawan Kwan Cu lagi yang terang-terangan tidak
mempunyai kepandaian silat.
“Menyerah kalah tak mungkin. Tapi kalau kau menyerang lagi, aku tetap akan melawan!” Kwan Cu
membandel.
Kun Beng tidak mau menyerang lagi, bahkan melempar rantingnya ke atas tanah. “Suhu, dia tidak bisa
ilmu silat, bagaimana teecu dapat melawannya?”
Tiba-tiba Swi Kiat melompat maju. “Anak ini memang bandel sekali dan dia tidak akan tahu kelihaian ilmu
Suhu kalau belum diberi hajaran. Ehh, Kwan Cu, apakah kau berani menghadapiku?”
“Mengapa tidak berani?” jawab Kwan Cu tenang.
“Kau boleh menggunakan rantingmu, biarlah aku menyerangmu dengan tangan kosong!” kata Swi Kiat.
“Aku bukan pengecut yang menghadapi orang bertangan kosong dengan senjata,” Kwan Cu juga
membuang rantingnya.
Diam-diam Siangkoan Hai memuji. “Hemm, anak gundul ini benar-benar mempunyai sifat gagah, sayang
sekali otaknya agak miring. Mana bisa dia belajar silat? Sungguh kali ini Ang-bin Sin-kai menggelikan
sekali.”
Swi Kiat sudah maju menyerang. Kwan Cu segera mengelak dan menangkis. Dalam hal mempertahankan
diri, dia boleh juga dan beberapa jurus lewat tanpa ada pukulan atau tendangan Swi Kiat yang mengenai
tubuh Kwan Cu. Namun Kwan Cu hanya membalas dengan pukulan-pukulan ngawur saja, asal pukul dan
asal menendang.
Ketika dia menendang, Swi Kiat menangkap tumitnya dan sekali mendorong ke depan, tubuh Kwan Cu
terlempar ke belakang lantas dengan suara keras tubuhnya menyusur tanah! Namun dia bangkit kembali
dan sebelum dia dapat memperbaiki kedudukannya kembali Swi Kiat menyerbu dengan pukulannya yang
membuat Kwan Cu untuk kedua kalinya jatuh tersungkur.
“Kau masih belum mengaku kalah?” bentak Swi Kiat.
Kekerasan hati Kwan Cu memang luar biasa sekali. Ia menggeleng kepala dan mencoba untuk merayap
bangun lagi, akan tetapi sebuah tendangan membuatnya terguling-guling. Sampai lima kali dia mencoba
bangun dan terpaksa harus mencium tanah lagi, bahkan pukulan yang kelima kalinya membuat bibirnya
pecah dan berdarah. Namun pukulan itu seperti tidak terasa olehnya karena sedikit pun dia tidak mengeluh
dan begitu roboh, dia merayap bangun kembali.
“Cukup, Suheng!” kata Kun Beng.
“Diam kau, Sute. Di dalam pibu, yang kalah harus mengaku kalah!” jawab Swi Kiat yang mengejar Kwan
Cu lagi.
Sementara itu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai hanya tertawa-tawa saja. Kakek ini merasa bangga sekali dan
diam-diam dia pun mengakui kekuatan Kwan Cu. Jangankan seorang anak-anak, biar pun orang dewasa
menghadapi pukulan bertubi-tubi dari Swi Kiat yang sudah memiliki tenaga lweekang lumayan itu, pasti
akan terluka hebat. Bagaimana bocah gundul ini tubuhnya seakan-akan terbuat dari pada baja dan tidak
pernah merasa sakit?
Bila saja dia melihat bocah gundul itu terluka, tentu segera dia akan mencegah Swi Kiat melanjutkan
serangannya. Akan tetapi karena ia tahu betul bahwa Kwan Cu tidak terluka di dalam tubuhnya, maka dia
dunia-kangouw.blogspot.com
hanya menonton saja.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa, disusul oleh kata-kata, “Bagus sekali! Memang orang yang kalah
dalam pibu harus mengakui kebodohannya. Hayo Kwan Cu, kau harus mengakui kekalahan dan
kelemahanmu!”
Muncullah Ang-bin Sin-kai sambil tertawa-tawa. Melihat kakek ini, Swi Kiat melompat ke belakang dan tidak
melanjutkan serangannya lagi. Ada pun Kwan Cu setelah mendengar kata-kata suhu-nya ini, merahlah
mukanya.
Ingin dia menangis keras, akan tetapi semangat serta kekerasan hatinya melarang air matanya mengucur
keluar. Ia amat taat kepada suhu-nya, maka sambil menghadapi Swi Kiat yang berdiri dengan dada
terangkat, dia berkata, “Swi Kiat, aku mengaku kalah.”
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak dan berkata keras-keras. “Kwan Cu, dengan pengakuan ini, kau berarti
menang! Orang yang menangkan orang lain, belum boleh disebut gagah. Hanya orang yang sudah bisa
mengalahkan kesombongan dan nafsunya sendirilah yang patut disebut gagah! Orang menangkan orang
lain tak akan kekal, akan datang masanya dia dikalahkan oleh orang lain. Tetapi kau telah dapat mengakui
kelemahan, kebodohan dan kekalahanmu, inilah yang penting sekali. Kelak kau akan berlaku berhati-hati
dan tidak akan terkalahkan untuk kedua kalinya. Ha-ha-ha!”
“Bagus, bagus!” Siangkoan Hai bertepuk tangan memuji dengan kagum. “Tak kusangka bahwa jembel tua
ini benar-benar pandai menjadi guru. Ehh, Swi Kiat dan Kun Beng, kau perhatikan baik-baik ajaran tadi.
Memang bagus dan tepat sekali!”
Sambil tersenyum Ang-bin Sin-kai menghampiri Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan bertanya, “Ehh, jago tua
utara! Kenapa kau bisa tersesat sampai di sini?”
“Kau kira aku akan membiarkan Hek-i Hui-mo berlaku kurang ajar begitu saja? Meski pun kitab itu palsu,
aku harus mengejarnya dan memberi hajaran padanya!” kata Siangkoan Hai.
“Hemm, kau sudah tua akan tetapi masih berkepala batu. Kau hendak menyusulnya ke Tibet?”
“Biar ke neraka sekali pun pasti akan kususul! Mana bisa orang merampas sesuatu dari depan hidungku
begitu saja?”
Kembali Ang-bin Sin-kai tertawa. “Kau benar-benar orang tua sombong sekali. Pantas muridmu juga
memiliki sifat tidak baik itu.”
“Bukan muridku yang sombong, tetapi muridmu yang terlalu bodoh. Ehh, Ang-bin Sin-kai, kenapa kau
memilih murid seorang bocah gendeng yang pikirannya miring?” Siangkoan Hai memandang ke arah Kwan
Cu yang diam saja mendengarkan percakapan antara dua orang tokoh besar ini, sama sekali tidak
bergerak, hanya hatinya saja terasa panas sekali. Ia tidak berdarah lagi pada bibirnya, karena luka di bibir
itu telah rapat kembali.
“Biarlah dia bodoh, dan biar kau menganggap miring otaknya. Akan tetapi coba saja kau lihat lima tahun
lagi. Kukira dua orang muridmu ini tak akan mampu mempermainkannya seperti tadi.”
“Begitukah? Berani kau bertaruh, Ang-bin Sin-kai?” tantang Siangkoan Hai. “Lima tahun lagi kita adukan
mereka, guru yang kalah harus memberi hadiah semacam ilmu pukulan kepada murid yang menang!
Setujukah?”
Berseri muka Ang-bin Sin-kai. Dia tahu bahwa di antara para tokoh besar, Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini
termasuk seorang yang baik hatinya, akan tetapi dia sombong sekali.
“Jadi bila muridku kalah, aku harus memberi hadiah ilmu pukulan kepada murid-muridmu, sebaliknya kalau
muridku menang, kau akan memberi padanya semacam ilmu pukulan?” tanya Ang-bin Sin-kai Lu Sin
kepadanya.
“Benar, benar begitu. Bukankah adil sekali namanya?”
“Baik. Kelak, lima tahun kemudian, aku akan membawa muridku mencarimu!” Siangkoan Hai lalu memberi
dunia-kangouw.blogspot.com
tanda kepada murid-muridnya. “Hayo kita pergi, Hek-i Hui-mo tak akan jauh dari tempat ini!” tanpa berpamit
dan tanpa menoleh lagi, Siangkoan Hai dan kedua muridnya lalu pergi dari dalam hutan itu.
Ang-bin Sin-kai menoleh kepada Kwan Cu yang menundukkan mukanya.
“Suhu, apakah kekalahanku tadi membikin malu nama Suhu?” tanyanya perlahan.
“Bukan memalukan aku, melainkan kuharap akan dapat membuka kedua matamu bahwa ilmu silat itu
bukan tidak perlu sama sekali seperti yang kau kira. Coba kau dahulu tidak membenci ilmu silat, bukankah
kau sudah mampu membela diri dan belum tentu begitu mudah dipermainkan orang.”
“Mulai sekarang teecu akan belajar ilmu pukulan dengan baik-baik, Suhu.”
“Hemm, tidak mudah. Kau mempunyai watak tidak mau menyakiti orang lain. Ini sukar sekali. Apa bila kau
belum mempunyai kekerasan hati dan ketegaan untuk memukul dan merobohkan orang, bagaimana kau
dapat mempelajari ilmu pukulan? Kau harus berlatih ketabahan lebih dulu, baru ilmu pukulan ada gunanya.
Hayo kau ikut aku!”
Ang-bin Sin-kai melompat dan berlari pergi. Kwan Cu cepat mengejar suhu-nya. Sampai malam tiba, Angbin
Sin-kai masih terus berlari, tanpa berhenti untuk makan, sedikit pun tidak pernah bicara.
Diam-diam Kwan Cu mengerti bahwa gurunya ini marah dan kecewa kepadanya, karena kalau dia pikirpikir,
peristiwa dengan murid-murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai tadi, tentu saja amat memalukan gurunya!
“Aku harus belajar ilmu silat, aku harus dapat mengalahkan mereka,” demikian Kwan Cu berpikir sambil
berlari di belakang suhu-nya.
Setelah memasuki sebuah hutan besar, hari sudah malam dan Ang-bin Sin-kai berhenti lalu mengaso di
bawah pohon.
“Kau lihat ini baik-baik!” kata kakek jembel itu.
Setelah memasang kuda-kuda, dia lalu menggerakkan kedua kakinya. Terdengar suara keras dan tahutahu
dua batang pohon yang besarnya setubuh orang menjadi tumbang!
Semenjak tadi Kwan Cu memasang mata baik-baik dan dia mencatat di dalam otaknya bagaimana tadi
suhu-nya menggerakkan kedua tangan, bagaimana menggeser kaki dan cara memukul ke depan dan
kanan kiri!
“Nah, kau latih gerakan pukulan Sam-hoan-ciang (Pukulan Tiga Lingkaran) tadi!”
“Teecu sudah melihat Suhu.”
“Coba kau tiru gerakan Sam-hoan-ciang.”
Kwan Cu memasang kuda-kuda seperti gurunya tadi, kemudian sambil mengerjakan otak mengingat
bagaimana tadi suhu-nya bergerak, dia lalu memukul dengan kedua tangan dan menggeserkan kakinya,
kemudian mainkan tiga jurus Sam-hoan-ciang seperti yang dimainkan oleh Ang-bin Sin-kai tadi. Dari
sepasang kepalan tangannya yang kecil lantas menyambar angin yang membuat daun-daun pohon kecil
bergoyang-goyang!
Ang-bin Sin-kai mengangguk sesudah Kwan Cu menyelesaikan gerakan tadi. “Gerakan tanganmu sudah
baik, hanya saja tenaga pukulan jangan kau buyarkan. Tenaga dalam pukulan Sam-hoan-ciang harus
dikumpulkan, ditujukan kepada bagian tubuh yang lemah dan jalan darah yang penting, ketika tangan
kanan memukul, mulut harus mengeluarkan suara ‘hah!’ dan kalau tangan kiri memukul harus berbunyi
‘heh!’ Ingat, Sam-hoan-ciang dilakukan tiga jurus, jurus pertama pukulan tangan kanan, jurus kedua
pukulan tangan kiri, dan jurus ke tiga pukulan kedua tangan dibarengkan, mendorong ke depan, dengan
agak jongkok dan tenaga dari pusar disalurkan kepada kedua lengan. Mengertikah?”
Kwan Cu mengangguk. “Mengerti, Suhu.”
“Coba lagi! Sekarang anggap aku sebagai lawanmu dan lakukan tiga macam pukulan itu terhadap tubuhku!
dunia-kangouw.blogspot.com
Mulai!”
Demikianlah, dalam keadaan yang remang-remang di dalam hutan itu, dan dengan perut kosong, Ang-bin
Sin-kai mulai melatih muridnya. Kwan Cu memasang kuda-kuda, lalu mulai menggerakkan dua kakinya,
dan melihat suhu-nya berdiri di depannya, ia lalu mulai menyerang dengan jurus pertama. Dia menyalurkan
seluruh tenaganya di ujung tangan kanannya, menyerang ke arah ulu hati gurunya sambil membentak,
“Hah!”
Dengan sedikit gerakan saja Ang-bin Sin-kai bisa mengelak dari pukulan muridnya. Kwan Cu lalu menyusul
dengan jurus serangan kedua. Tangan kirinya yang sudah diisi dengan tenaga lweekang yang dipindah
dari tangan kanan, segera menyambar dengan pukulan dahsyat ke arah lambung suhu-nya dan mulutnya
berbunyi, “Heh!”
Kembali Ang-bin Sin-kai mengelak lagi, lalu kakek jembel ini sengaja berdiri tegak untuk menanti
datangnya pukulan ketiga dari muridnya. Kwan Cu lantas menyerangnya dengan jurus ketiga dari ilmu
Sam-hoan-ciang. Sekarang anak ini memukul dengan dua tangan, mengerahkan tenaga dan mendorong
ke arah tubuh suhu-nya bagian bawah.
Kali ini Ang-bin Sin-kai tidak mengelak, namun mengulur kedua tangan pula menyambut dorongan
muridnya. Dua pasang tangan bertemu dan Kwan Cu terlempar ke belakang, bergulingan sampai beberapa
kaki jauhnya! Dia menjadi agak nanar, akan tetapi cepat bangkit kembali dan menjatuhkan diri berlutut di
depan gurunya.
“Mohon Suhu memberi petunjuk tentang bagian yang salah dari gerakan teecu,” katanya.
“Kakimu yang salah, jika tidak masa kau akan jatuh berguling-guling? Kau menghabiskan seluruh
tenagamu pada lengan, sama sekali tidak mempedulikan kedudukan kaki. Kalau kau bertemu dengan
lawan yang tenaganya kecil, itu masih tidak mengapa. Akan tetapi kalau kau menyerang orang yang
tenaganya lebih besar, tentu kedua kakimu tidak kuasa menahan pertemuan tenaga dan kau akan
terpelanting seperti tadi! Lupakah kau kenapa aku selama ini hanya mengajarmu dengan gerakan kaki dan
pemasangan kuda-kuda? Karena pokok dasar ilmu silat terletak pada keteguhan pemasangan kuda-kuda,
seperti bangunan berdasar pada tiang-tiang yang kuat. Nah, berlatihlah lagi, dan kini perhatikan gerakan
kaki, aku hanya akan memberi contoh sekali lagi.”
Ang-bin Sin-kai kembali melakukan gerakan Sam-hoan-ciang. Kwan Cu memperhatikan dengan mata yang
tak pernah berkedip. Setelah kakek jembel ini melakukan gerakannya, kembali dua batang pohon besar
menjadi tumbang!
Kwan Cu merasa kagum bukan main. Dan setelah memberi contoh untuk kedua kalinya, Ang-bin Sin-kai
lalu duduk menyandar di pohon dan sebentar saja dia sudah tidur pulas! Sudah dua malam kakek ini tidak
makan, namun dia dapat tidur begitu mudah, sungguh membuktikan adatnya aneh.
Akan tetapi, Kwan Cu lebih aneh lagi. Kekerasan hatinya serta ketekunan hatinya boleh dipuji. Sebenarnya
dia merasa sangat lapar, akan tetapi pelajaran baru ini membuat dia lupa akan keperihan perutnya. Dia
terus berlatih ilmu pukulan Sam-hoan-ciang. Ia ulangi dan ulangi lagi dan mempergunakan batang pohon
sebagai lawan!
Makin lama tenaganya bukan makin lemah, bahkan karena menghadapi kekuatan pohon, dia makin dapat
mengatur tenaganya sedemikain rupa sehingga lambat laun dapatlah dia mengerahkan tenaga sampai
pada titik yang tepat! Bila tadinya pukulannya pada pohon membuat kulit kepalan tangannya merah-merah
sampai akhirnya lecet-lecet, menjelang fajar, dia telah dapat memukul pohon itu sampai menjadi doyong!
Ketika Ang-bin Sin-kai pada keesokan harinya membuka matanya, kakek ini amat girang dan kagum
melihat muridnya masih berlatih diri dan melihat betapa gerakan Kwan Cu kini tidak kaku lagi!
“Cukup! Jangan menghabiskan tenagamu!” serunya.
Kwan Cu berhenti bersilat. Barulah dia merasa letih bukan main sehingga untuk berdiri saja kedua kakinya
gemetar dan terpaksa dia menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Akan tetapi kepalanya yang gundul dan
mukanya yang berkilau karena peluh itu berseri-seri ketika suhu-nya memujinya.
“Bagus, Kwan Cu, kau telah maju banyak sekali.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Masih jauh, Suhu. Tanpa menyentuh pohon Suhu sudah bisa merobohkan pohon-pohon dalam jarak lima
kaki lebih. Sedangkan teecu, sampai rusak kulit tangan, tetap saja tidak dapat merobohkan sebatang
pohon juga.”
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Bocah bodoh. Kau lihat pohon ini, bukankah biar pun luarnya lecet
kulitnya, akan tetapi dalamnya telah menderita pukulanmu yang bertubi-tubi itu? Kau lihat!”
Setelah berkata demikian, kakek ini lalu mendorong pohon tadi dan sambil mengeluarkan suara keras,
pohon itu tumbang. Ternyata bahwa di bagian dalamnya telah banyak yang remuk menjadi bubuk seperti
dimakan kutu. Kwan Cu lantas meleletkan lidahnya melihat kehebatan akibat pukulan-pukulannya yang
telah membuat tangan-tangannya lecet-lecet malam tadi!
“Harus kau ketahui bahwa ilmu pukulan Sam-hoan-ciang (Pukulan Tiga Lingkaran) mesti mengandalkan
tenaga lweekang. Jika malam tadi kau memukul dengan tenaga gwakang dan mengandalkan kekerasan
kulit tangan, kulitmu tak akan lecet sedang pohon ini pun hanya akan rusak luarnya saja. Akan tetapi
karena kau menggunakan tenga lweekang, kulit tanganmu yang tak terjaga oleh tenaga gwakang menjadi
rusak, sebaliknya pohon ini terluka pada bagian dalamnya! Oleh karena itu, penggunaan tenaga lweekang
tidak boleh dilakukan secara membabi buta, harus sekali pukul dengan tepat seperti contoh ini. Lihat!”
Ang-bin Sin-kai lalu melakukan pukulan jurus kedua dari Sam-hoan-ciang dengan tangan kirinya, diarahkan
pada pohon yang terpisah beberapa kaki dari tempat dia berdiri dan…
“Krakkk...!” pohon itu roboh!
Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut. “Terima kasih atas petunjuk yang amat berharga dari Suhu.”
“Bangunlah,” kata Ang-bin Sin-kai sambil tertawa. “Kau seperti anak kecil yang mendapat permainan baru.
Ketahuilah, ilmu pukulan Sam-hoan-ciang ini hanya merupakan pukulan pertama saja, dan kalau sudah
mempelajari semua ilmu-ilmu silat dari aku, maka pukulan Sam-hoan-ciang ini belum ada seperseratusnya!
Apa artinya mempunyai ilmu menyerang jika tidak dapat mempertahankan diri? Di dalam ilmu silat,
kepandaian harus dibagi dua. Mempertahankan diri dan menyerang, dan seorang ahli silat yang baik,
mengisi dirinya dengan enam puluh bagian ilmu menjaga diri dan hanya empat puluh bagian ilmu untuk
menyerang lawan. Dalam setiap gerakan menjaga diri tersembunyi gerakan menyerang, sebaliknya kalau
kau menyerang, berarti kau membuka kesempatan bagi lawan untuk membobolkan pertahananmu. Maka
berlatihlah yang giat, karena ilmu silat bukanlah ilmu yang semudah orang kira!”
Demikianlah, Ang-bin Sin-kai mulai membuka rahasia ilmu silat kepada muridnya dan semua kata-kata
suhu-nya itu masuk ke dalam kepala yang gundul itu.
“Apa kau tidak merasa lapar?” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai bertanya.
Mendengar ini, perut Kwan Cu berkeruyuk, mendahului mulutnya menjawab pertanyaan suhu-nya.
Merahlah wajah Kwan Cu dan mengharap mudah-mudahan suara perutnya itu tak terdengar oleh suhunya.
Akan tetapi Ang-bin Sin-kai mempunyai pendengaran yang amat tajam. Jangankan suara perut
berkeruyuk, biar sehelai daun yang jatuh ke tanah saja dia akan mendengarnya. Maka tertawalah kakek
itu.
“Setelah latihan yang menggunakan banyak tenaga lweekang, tiada daging yang lebih baik melebihi daging
ular besar. Hayo kita mencari daging ular. Di hutan depan banyak ular-ular besar!” Kakek ini lalu berlari ke
hutan yang nampak kehijau-hijauan, dan Kwan Cu cepat menyusul gurunya.
Ang-bin Sin-kai memasuki sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar sekali sehingga Kwan Cu
yang berjalan di belakang gurunya itu merasa betapa dirinya sangat kecil tak berarti di bawah pohon-pohon
raksasa itu. Ketika mereka sudah tiba di tengah hutan, Ang-bin Sin-kai menunjuk ke depan dan berkata,
"Nah, itu dia calon daging untuk perut kita. Kau tangkaplah yang paling gemuk!" Setelah berkata demikian,
Ang-bin Sin-kai lalu duduk bersandar pada sebatang pohon.
Kwan Cu berdiri terpaku untuk beberapa lama. Di tempat itu, dia melihat beberapa ekor ular yang amat
besar. Yang paling kecil saja ukuran perutnya sama dengan pahanya dan panjangnya sekitar tujuh atau
delapan kaki! Tubuh ular itu berwarna kekuning-kuningan, lidahnya panjang warna merah, demikian pula
dunia-kangouw.blogspot.com
matanya, ada pun mulutnya lebar sekali.
Berdebar juga hati Kwan Cu saking ngerinya sungguh pun dia tidak merasa takut sama sekali. Untuk
menangkap yang paling kecil saja, agaknya sangat sukar dan mengerikan, apa lagi suhu-nya minta dia
menangkap yang paling gemuk, yang berarti ular yang paling besar!
Akan tetapi Kwan Cu tidak merasa jeri. Apa lagi ada gurunya di situ, apakah yang perlu ditakutkan lagi?
Sebagian besar ular-ular itu membelitkan tubuhnya pada cabang-cabang pohon, dengan kepala
bergantung, atau kepala mereka tersembunyi dalam lilitan tubuh.
Pada waktu Kwan Cu mencari-cari dengan matanya untuk memilih, dia melihat seekor di antara ular-ular
itu yang melingkar di bawah pohon. Ular ini besar sekali lagi amat gemuk. Agaknya lebih mudah
menangkap yang melingkar di bawah ini karena dia sedang tidur, sedikit pun tidak bergerak, seakan-akan
ular mati yang tidak bernapas sama sekali.
"Suhu, teecu akan menangkap yang itu!" katanya sambil menunjuk ke arah ular terbesar yang melingkar di
bawah pohon.
"Bagus, kau tangkaplah, hitung-hitung latihan bagimu. Jangan takut, ular itu tak berbisa. Makin besar,
semakin tidak berbahaya. Hanya dia kuat sekali, dan kalau sampai tergigit, sukar untuk melepaskan diri
dari gigi-giginya yang doyong ke sebelah dalam itu," berkata Ang-bin Sin-kai dengan suara tenang.
Suara suhu-nya ini mendatangkan semangat dan keberanian dalam hati Kwan Cu, maka anak ini dengan
hati-hati lalu mendekati ular besar itu.
Biar pun tadinya kelihatan seperti mati atau tidur, namun ketika Kwan Cu sudah sangat dekat, ular itu mulai
hidup. Ia mengangkat kepalanya dan sepasang matanya yang merah itu ditujukan kepada Kwan Cu. Tibatiba
dia mengeluarkan suara mendesis. Mengebullah uap putih dari mulutnya yang terbuka lebar-lebar. Kini
kelihatan betapa lebar mulutnya dan betapa mengerikan gigi-gigi yang runcing dan doyong ke dalam itu.
Lidahnya yang panjang menjulur keluar dan bergerak-gerak keluar masuk cepat sekali.
Kwan Cu tidak mau membuang waktu lagi. Melihat ular itu sudah mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, dia
segera melangkah maju dan melakukan serangan dengan ilmu pukulan Sam-hoan-ciang, karena untuk
bertindak dengan ilmu silat lain dia masih belum bisa. Ia melakukan jurus kedua, yakni tangan kiri bergerak
maju, hanya mengubah sedikit. Kalau biasanya gerakan ini dilakukan dengan tangan terkepal untuk
memukul, dia membuka jari tangannya dan kini menggunakan tangan kirinya untuk menerkam leher ular!
Ular itu gesit sekali. Melihat tangan bocah gundul ini bergerak ke arah leher, dia cepat mengelak ke kiri.
Namun Kwan Cu adalah anak yang amat cerdik. Walau pun dia baru mempelajari Sam-hoan-ciang, akan
tetapi kecerdikannya membuat dia dapat memecah gerakan-gerakan ini sehingga jurus ke dua yang dia
pergunakan tadi sebenarnya adalah semacam pancingan belaka!
Dia tidak melanjutkan serangan, bahkan segera menarik kembali serangannya dan kini disusul cepat
dengan jurus ketiga, yakni kedua tangannya maju berbareng dan tubuhnya agak berjongkok. Dan gerakan
ini berhasil. Ia berhasil menangkap leher ular itu dengan kedua tangannya dan mencekiknya sekuat
tenaganya.
Ular itu marah bukan main. Beberapa kali ia menggerakkan kepala dan menggoyangkan lehernya,
meronta-ronta untuk melepaskan dirinya. Akan tetapi Kwan Cu mencengkeram semakin keras karena
merasa betapa ular itu licin sekali.
Tiba-tiba ular itu berganti siasat dan seluruh tubuhnya bergerak, terus melilit tubuh Kwan Cu dengan
ekornya. Sebentar saja tubuh bocah gundul ini sudah dililit sedemikian rupa sehingga dari paha sampai
dada tidak kelihatan lagi.
Kwan Cu terkejut sekali dan sedapat mungkin dia mempertahankan kedua kakinya. Akan tetapi aneh
sekali, tenaga ular itu makin lama semakin hebat dan lilitannya makin lama makin erat. Ketika ular itu
menggoyang-goyang tubuhnya, dia tidak dapat bertahan lebih lama dan tergulinglah Kwan Cu! Betapa pun
juga, dia masih dapat mengatur jatuhnya dan dia hanya jatuh duduk dengan tubuh masih dibelit-belit ular
yang licin, dingin dan kuat. Ia memperkuat cekikannya, mengerahkan seluruh tenaga yang disalurkan
kepada lengan tangannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, tiba-tiba Kwan Cu merasa betapa perut dan dadanya terhimpit keras sekali sehingga dia sukar
untuk bernapas! Dengan menekan napas ke arah perut, dia membuat perut dan dadanya mengembung
dan sanggup menahan himpitan ular, akan tetapi oleh karena itu, tenaga pada kedua lengannya berkurang.
Sementara itu, ular tadi menjadi makin penasaran dan marah. Biasanya, kalau ia sudah mengerahkan
tenaga dalam lilitannya, seekor kijang pun akan remuk-remuk tulangnya! Mengapa bocah gundul ini dari
perut dan dadanya keluar hawa panas sekali? Apa lagi, cekikan pada lehernya itu pun mendatangkan rasa
sakit.
Sambil mendesis hebat, ular itu membuka lebar-lebar mulutnya yang bergerak di depan muka Kwan Cu
dan bergerak hendak menggigit kepala gundul itu. Kalau gigitannya ini berhasil, agaknya kepala Kwan Cu
yang gundul itu akan masuk ke dalam mulutnya!
Kwan Cu terkejut dan menahan dengan kedua tanganya, akan tetapi tiba-tiba dia merasa kepalanya yang
gundul itu gatal-gatal. Dia mengerti bahwa ini tentulah akibat dari pada semburan uap yang keluar dari
mulut ular itu. Tadi ketika ular itu menyemburkan uap putih yang mengarah ke mukanya, dia menundukkan
kepala untuk melindungi mukanya, maka kepalanya yang gundul itulah yang terkena uap putih dan kini
gatal-gatal.
Rasa gatalnya tidak tertahankan lagi, maka terpaksa dia melepaskan tangan kanan yang mencekik leher
ular untuk digunakan menggaruk kepala gundulnya yang gatal setengah mati itu! Ular tadi setelah kini
merasa bahwa yang mencekik lehernya hanya satu tangan saja, cepat memberontak sehingga cekikan
tangan kiri Kwan Cu terlepas! Ular itu segera menggerakkan lehernya dan dengan kecepatan luar biasa
sekali mulutnya yang lebar itu menyerang kepala Kwan Cu.
Akan tetapi Kwan Cu tidak berkurang waspada. Bocah gundul ini cepat mengelak ke kiri sehingga mulut itu
hanya meluncur lewat di samping telinga kanannya. Cepat Kwan Cu menggerakkan kedua tangan
mencekik lagi dan kembali terjadi pergulatan mati-matian.
Kwan Cu mencekik sekuatnya, ada pun ular itu melilit perut serta dada Kwan Cu sambil meronta-ronta
hendak melepaskan diri dari cekikan. Jari-jari tangan Kwan Cu tidak cukup panjang untuk mencengkeram
leher ular yang besarnya seperti betis kakinya sendiri itu, maka beberapa kali terpaksa dia melepaskan
cekikannya dari kulit leher yang amat licin itu dan beberapa kali pula ular itu menyerang kepalanya yang
dapat dihindarkan dengan elakan-elakan cepat.
Tak dapat terus-terusan begini, pikir Kwan Cu. Dadanya terasa sesak dan tenaga kedua tangannya makin
lama makin lemah. Ia memutar otak di dalam kepalanya yang gundul itu, mencari-cari akal. Akhirnya ia
mendapat akal.
Sambil mencekik leher ular dengan kedua tangan, dia menggelundung ke kiri di mana dia melihat
beberapa potong batu karang. Sesudah mengambil sepotong batu karang yang sebesar kepalanya dan
yang tajam runcing pinggirnya, dia lalu melepaskan cekikannya.
Ular itu menyerang lagi dengan mulut terbuka dan Kwan Cu secepat kilat memasukkan batu itu ke dalam
mulut ular! Karena dia memasukkan dengan tenaga kuat dan gigi-gigi ular itu mendoyong ke dalam, maka
sesudah batu karang ini memasuki mulut sampai di belakang gigi-gigi ular, batu itu tidak dapat keluar
kembali akibat terganjal oleh gigi atas dan bawah!
"Bagus, Kwan Cu!" Ang-bin Sin-kai tertawa-tawa memuji.
Mendengar pujian guru ini, besarlah hati Kwan Cu. Ia tidak takut akan gigitan ular itu lagi. Kini ular itu pun
menjadi bingung sekali, terus menggerak-gerakkan kepalanya berusaha hendak melepaskan benda aneh
yang mengganjal mulutnya. Saking bingungnya, lilitan pada tubuh Kwan Cu yang untuk sesaat luar biasa
eratnya, makin lama semakin kendor dan akhirnya dia melepaskan tubuh yang dililitnya. Ular itu
menggeliat-geliat, memukul-mukulkan kepalanya pada tanah dan Kwan Cu segera bertindak. Ia mengambil
sepotong batu lagi dan sekali pukul saja pecahlah kepala ular itu!
"Hemm, bagus! Lekas bikin api dan panggang sebelum darahnya kering. Jangan terlalu lama, dibikin
setengah matang saja!" Ang-bin Sin-kai berkata dengan air liur memenuhi mulutnya dan beberapa kali
menelan ludah.
Setelah daging ular matang dan merasai daging itu, Kwan Cu harus mengakui kebenaran kata-kata suhudunia-
kangouw.blogspot.com
nya. Daging itu terasa manis dan gurih sekali biar pun dipanggang tanpa diberi bumbu dan garam, hanya
saja setelah memasuki tubuh, membuat perut dan dada terasa panas dan darah mengalir lebih cepat dari
biasanya.
Setelah makan kenyang. Ang-bin Sin-kai berkata kepada Kwan Cu.
"Perkelahianmu dengan ular tadi merupakan pengalaman baik sekali. Kau sekarang tahu bahwa ular itu
mempunyai tenaga lemas. Kelihatannya saja ia lambat dan lemah, namun lilitannya makin lama makin kuat
karena ia mempergunakan tenaga dalam yang mengalir di dalam tubuhnya. Menghadapi lawan yang
memiliki tenaga lweekang (tenaga dalam), memang kita harus melayani dengan kelicikan pula. Kalau kau
mempergunakan tenaga kasar, kau akan kalah. Maka baik sekali kau tadi mengerahkan ambekan
(pernapasan) untuk menghadapi lilitan tubuh ular. Kalau kau menggunakan kekerasan, tentu akan ada
tulangmu yang patah dan uratmu tergelincir dari tempatnya. Lain kali biar kau melatih diri menghadapi
binatang yang selalu mempergunakan tenaga kasar, yakni harimau.”
Terbelalak sepasang mata Kwan Cu memandang suhu-nya.
"Waaah, Suhu. Bagaimana teecu menghadapi seekor harimau? Binatang itu galak sekali dan telah terkenal
sebagai raja hutan. Apakah teecu kiranya akan sanggup mengalahkan harimau?"
"Kau baru saja mempunyai kepandaian ilmu pukulan Sam-hoan-ciang, tentu saja masih berat. Biar
sekarang aku melatihmu dengan ilmu mempertahankan diri yang di sebut Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to
(Mengatur Pintu Menghadapi Ratusan Golok). Kalau kau sudah bisa mainkan ilmu silat ini, agaknya tak
akan mudah kau diserang lawan."
Dengan girang Kwan Cu kemudian mulai mempelajari Pai-bun Tui-pek-to, yang dilakukan mengandalkan
ginkang yang sangat tinggi. Isinya hanya ilmu-ilmu untuk mengelak dan menangkis serangan lawan serta
melindungi diri mempergunakan kecepatan tubuh dan mengatur pada saat bagaimana mempergunakan
tenaga lweekang dan saat bagaimana pula mempergunakan gwakang. Terlalu panjang untuk dituturkan
sejelasnya, pendeknya ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to ini sangat baik untuk seorang ahli silat tangan kosong
kalau menghadapi lawan-lawan yang bersenjata.
Beberapa bulan berlalu tanpa terasa dan Kwan Cu sudah memperoleh kemajuan pesat. Belum boleh
dikata bahwa dia sudah menyempurnakan ilmu Pai-bun Tui-pek-to, karena tak seperti Sam-hoan-ciang
yang hanya mempunyai tiga jurus, ilmu mempertahankan diri ini meski pun hanya mempunyai delapan
belas macam jurus, namun setiap jurus dapat dipecah-pecah menjadi puluhan bagian. Semua tergantung
dari pada kedudukan lawan menyerang.
Kini Ang-bin Sin-kai menurut kehendak muridnya lagi, yaitu mencari Bukit Liang-san yang masih amat jauh.
Pada saat mereka tiba di kota Thiat-ang-bun, kota kecil yang berpintu gerbang besi berwarna merah,
mereka berhenti selama tiga hari.
Di dalam kota kecil itu banyak terdapat pemandangan indah, bahkan di sebelah selatan kota itu terdapat
telaga kecil yang airnya sangat biru serta dikelilingi pohon-pohon dan kembang-kembang. Ang-bin Sin-kai
senang sekali pelesir di daerah ini, maka dia sengaja bermalas-malasan untuk pergi meninggalkannya.
Pada hari ketiga, pada waktu Kwan Cu dan gurunya tengah berjalan di dekat telaga itu, tanpa sengaja
mereka melihat berkelebatnya seorang Tartar yang wajahnya tampan dan berpakaian perwira.
Ang-bin Sin-kai tak mengenal orang ini, akan tetapi Kwan Cu mengenalnya dengan baik. Apa lagi, sejak
mereka memasuki kota Thiat-ang-bun, Kwan Cu yang selalu mengambil perhatian pada apa yang berada
di sekitarnya, melihat orang ini beberapa kali sehingga timbul pikirannya bahwa orang ini tentulah sedang
menyelidiki keadaan dia dan gurunya. Dan orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari Panglima An Lu
Shan.
Akan tetapi An Lu Kui seperti yang tidak mengenal lagi kepada Kwan Cu dan anak ini pun tidak
mempedulikannya. Ia tidak mempunyai hubungan lagi dengan perwira ini, tidak ada sangkut-pautnya lagi.
Kwan Cu tidak tahu bahwa sebetulnya, setelah bertemu dengan dia dan gurunya, An Lu Kui diam-diam
melakukan penyelidikan dan selalu mengikutinya. Siapa tahu kalau-kalau anak aneh ini hendak mengambil
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tulen. Sedangkan kakek jembel yang bersama dengan bocah itu, Lu
Kui tidak mengenalnya sama sekali. Bila saja dia tahu bahwa kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai, agaknya
dunia-kangouw.blogspot.com
siang-siang dia telah angkat kaki dan kabur.
"Suhu, ada orang mengikuti kita," kata Kwan Cu perlahan kepada suhu-nya.
"Mana dia?"
"Entah, dia sudah pergi lagi, Suhu. Akan tetapi, telah beberapa kali teecu melihatnya dan agaknya dia
memperhatikan kita."
"Siapa sih orangnya?"
"Dia adalah penculik yang dahulu membawa teecu dan Gui-siucai ke markas Panglima An Lu Shan, yaitu
adik dari panglima itu sendiri yang bernama An Lu Kui."
"Hemm, dia mau apa?"
"Entahlah, Suhu. Akan tetapi, lebih baik kalau Suhu mengetahuinya, karena dia lihai juga. Dulu pernah
teecu melihat dia mendorong roboh sebatang pohon besar, sungguh pun dia tidak berdaya menghadang
Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan kedua orang muridnya."
Kwan Cu lalu menuturkan pengalamannya ketika diculik oleh An Lu Kui dahulu. Gurunya tersenyum dan
berkata gembira,
"Bagus, kalu begitu, biarlah dia menjadi pengujimu."
"Penguji bagaimana, Suhu?"
"Kau sudah mempelajari ilmu mempertahankan diri Pai-bun Tui-pek-to, coba kau hadapi dia, hitung-hitung
untuk berlatih. Kalau dia muncul lagi, kau pancing dia ke luar kota, ke tempat sunyi."
Kwan Cu mengangguk, dan hatinya berdebar. Ia tahu bahwa An Lu Kui murid mendiang Li Kong Hoat-ong
itu tak boleh dibuat main-main. Ia adalah seorang perwira yang pandai dan gagah perkasa, lalu bagaimana
dia yang baru melatih ilmu silat beberapa bulan saja sanggup menghadapinya? Akan tetapi karena dia
bersama suhu-nya dan perlawanannya adalah atas perintah suhu-nya, hatinya menjadi besar.
Tidak lama kemudian, benar saja dia melihat An Lu Kui muncul lagi, berjalan di sebelah belakang. Kwan
Cu menengok dan sengaja memperlihatkan muka ketakutan, kemudian menggandeng tangan suhu-nya
dibawa berjalan menuju ke pegunungan kecil yang tidak jauh dari sana letaknya. Pancingannya berhasil
karena melihat wajah Kwan Cu nampak ketakutan dan bergesa-gesa ke bukit kecil, An Lu Kui lalu
mengejar!
Sesudah berada di tempat yang sunyi di bukit kecil itu, Kwan Cu berhenti dan bersama suhu-nya
menengok ke belakang. Tampak An Lu Kui berlari cepat menghampiri mereka dan setelah berhadapan, dia
menegur.
"Ehh, tidak tahunya kau Kwan Cu bocah itu! Kau hendak pergi ke manakah?"
Kwan Cu memang telah mendapat perintah dari gurunya untuk mencoba kepandaiannya dengan perwira
ini, maka dia memancing keributan dengan meniru jawaban Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu ketika dahulu
bertemu dengan dia di pintu gerbang kota raja, maka dia menjawab, "Aku datang dari belakang dan
menuju ke depan. Ada urusan apakah kau menyusulku, An-sianseng?"
Mendengar jawaban yang kurang ajar ini tentu saja An Lu Kui mendelikkan matanya.
"Bocah gundul! Ketika dahulu menjadi murid Gui-suicai, kau masih mengerti aturan dan bersikap sopan,
sekarang kau telah menjadi seorang berandalan. Jawab yang betul, kau hendak pergi ke mana?"
"Ke mana pun aku pergi, tidak ada sangkut-pautnya dengan kau!" kata Kwan Cu dengan sengaja agar
perwira ini marah dan menyerangnya sehingga dia dapat mempraktekkan ilmu silatnya Pai-bun Tui-pek-to.
"Setan cilik! Bukankah kau hendak pergi ke tempat disembunyikan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Hayo
jawab yang betul, kalau tidak, akan kukemplang kepalamu yang gundul itu sampai pecah!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba saja terdengar suara meledak dari Ang-bin Sin-kai. "Ha-ha-ha! Agaknya semua orang sudah
tergila-gila kepada kitab tiada guna itu! Eh, Kwan Cu, kenapa kau meladeni badut ini? Kait saja kakinya,
biar dia menggelundung ke bawah!"
Bukan main marahnya An Lu Kui mendengar ejekan ini. "Bangsat tua bangka! Apakah matamu buta dan
tak mengenal orang? Kau sedang berhadapan dengan An Lu Kui, adik dari panglima besar An Lu Shan!
Berlutut kau!"
Kwan Cu melangkah maju. "Orang she An, jangan kau menghina guruku!"
"Kau setan gundul mau apa?" bentak An Lu Kui yang cepat menampar dengan tangan kanannya ke arah
kepala Kwan Cu yang gundul.
Akan tetapi dengan sedikit menundukkan kepala saja, Kwan Cu sudah dapat mengelak dari pukulan ini. An
Lu Kui menjadi penasaran dan marah sekali. Oleh karena itu, sambil menggereng bagaikan seekor
harimau buas, dia menubruk maju dan mengirim pukulan bertubi-tubi, diselingi dengan tendangan kakinya!
Akan tetapi, sebentar saja dia menjadi tertegun ketika melihat betapa dengan gerakan amat lincah, Kwan
Cu dapat mengelak dari semua pukulan dan tendangannya itu. Bukan main! Baru beberapa bulan
berselang, bocah gundul ini masih belum memiliki gerakan demikian lincah.
Ahh, jangan-jangan gurunya yang seperti pengemis jembel itu berkepandaian tinggi pula, pikirnya. Maka
dia mempercepat serangannya dan kini dia menggunakan ilmu silatnya disertai pengerahan tenaga
lweekang!
Kwan Cu baru saja belajar beberapa bulan. Ada pun An Lu Kui telah memiliki kepandaian tinggi, karena itu
menghadapi serangan-serangan hebat ini, tentu saja Kwan Cu menjadi repot sekali. Memang betul bahwa
dengan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to, dia masih dapat mengelak mau pun menangkis, akan tetapi dia tidak
dapat membalas sama sekali dan seakan-akan untuk bernapas pun tiada kesempatan!
"Kau menyia-nyiakan banyak kesempatan baik!" kata Ang-bin Sin-kai mencela muridnya. "Campur Pai-bun
Tui-pek-to dengan Sam-hoan-ciang!"
Kwan Cu maklum akan maksud suhu-nya. Namun karena kurang pengalaman tetap saja dia tidak dapat
membalas serangan-serangan An Lu Kui yang mengamuk semakin hebat itu.
An Lu Kui kali ini benar-benar penasaran dan marah sekali. Sudah dua puluh jurus lebih dia menyerang,
namun tetap saja belum pernah dia dapat menempiling kepala lawannya si bocah gundul ini. Kini
mendengar ucapan kakek itu, mengertilah dia bahwa kakek ini memang benar-benar lihai dan terang
bahwa si bocah gundul mendapat latihan dari dia.
Celaka, keluh An Lu Kui, bila aku tidak lekas-lekas mengalahkan setan cilik ini, aku bisa dipermainkan oleh
setan besar itu. Maka, dia lalu mencabut sepasang siang-kek (senjata tombak bercagak) dari punggungnya
dan lantas memutar dua senjata ini bagaikan kitiran cepatnya.
"Kwan Cu kau melompatlah ke punggungku dan lihat baik-baik cara aku mainkan Pai-bun Tui-pek-to dan
Sam-hoan-ciang!" kata Ang-bin Sin-kai.
Kwan Cu tertawa gembira dan sekali dia mengenjotkan kedua kakinya, bagaikan seekor monyet dia telah
melompat ke atas punggung suhu-nya. An Lu Kui merasa kepalang dan dia sudah merasa malu serta
marah dijadikan permainan oleh Kwan Cu, maka kini dia menyerang kakek jembel itu dengan ilmu silatnya
yang lihai dan berbahaya.
Kwan Cu melihat gerakan tubuh suhu-nya dengan penuh perhatian. Dengan digendong di punggung suhunya,
dia merasa seakan-akan dia sendiri yang menghadapi An Lu Kui dan dia mengintai dari balik
punggung gurunya itu kepada semua gerakan An Lu Kui dan gerakan suhu-nya. Benar saja, gurunya
menghadapi sepasang tombak cagak An Lu Kui dengan ilmu mempertahankan diri Pai-bun Tui-pek-to!
Melihat betapa gerakan gurunya amat sederhana, namun dapat dengan tepat dan tenang menghindarkan
semua serangan sepasang tombak cagak di tangan An Lu Kui, Kwan Cu menjadi kagum sekali. Kini
terbukalah matanya dan tahulah dia bahwa tadi pada waktu menghadapi serangan An Lu Kui ia terlalu
dunia-kangouw.blogspot.com
gugup dan terlalu banyak membuang gerakan sendiri. Sebenarnya, kalau dia bisa tenang seperti suhu-nya,
tidak usah terlalu banyak bergerak dan hanya bergerak seperlunya saja, Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to
sudah dapat menyelamatkan diri dari serangan lawan.
"Kau lihat lowongan-lowongan itu?" kata Ang-bin Sin-kai pada muridnya. "Buka matamu baik-baik, setiap
kali dia melakukan serangan, tentu terbuka sebuah pintu! Mengertikah kau? Coba sekarang kau mencari
dan menemukan pintu yang terbuka dan kau gunakan tanganmu menyerang pintu terbuka itu!"
Kwan Cu mengerti. Yang dimaksud oleh gurunya mengenai pintu terbuka adalah bagian-bagian tubuh yang
terbuka atau tidak terlindung dari lawan dan sekarang setelah berada di punggung suhu-nya dan tidak
gugup karena dia sendiri tidak menghadapi serangan, memang matanya terbuka dan dia bisa melihat
betapa setiap kali menyerang, An Lu Kui membuka sebagian tubuhnya yang tidak terlindung sama sekali.
Mendengar perintah suhu-nya ini, maka mulailah Kwan Cu menyerang dengan pukulan Sam-hoan-ciang!
Tiap kali An Lu Kui menyerang, tentu terbuka sebuah pintu di dadanya, lambungnya, pundaknya, lehernya,
dan lain-lain bagian tubuh lagi. Kwan Cu tidak ingin menyia-nyiakan waktu baik ini dan tiap kali serangan
datang, suhu-nya mengelak dan dia menghantam dengan tangannya.
“Bak! Buk! Bak! Buk!” terdengar suara ketika tubuh An Lu Kui terpukul secara tepat oleh tangan Kwan Cu
yang kecil!
An Lu Kui menyumpah-nyumpah, Ang-bin Sin-kai tertawa tergelak-gelak dan Kwan Cu bersorak girang.
Bocah gundul itu kini duduk di punggung gurunya dengan tangan kanan terangkat, siap untuk
menempiling, menampar, dan menghantam dan menyodok ke arah ‘pintu terbuka’ dari lawannya!
Ada pun bagi An Lu Kui, Ang-bin Sin-kai seakan-akan merupakan manusia asap saja. Ke mana pun
sepasang tombaknya menyerang, selalu tidak mampu mengenai tubuh kakek aneh itu. Ia mulai menjadi
gentar dan tamparan-tamparan tangan Kwan Cu biar pun tidak bisa melukainya, akan tetapi terasa cukup
pedas dan memanaskan kulit, terutama sekali memanaskan hatinya.
"Orang Tartar, kau masih belum cukup?" tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.
Entah dengan gerakan apa, karena Kwan Cu sendiri tidak mengenal gerakan gurunya ini, tahu-tahu
sepasang tombak cagak di tangan An Lu Kui itu telah pindah tangan. Ang-bin Sin-kai menggerakkan kedua
tombak itu dan…
“Krakk!” terdengar suara dan patahlah dua batang tombak itu menjadi empat batang!
Sambil tersenyum Ang-bin Sin-kai melemparkan potongan-potongan tombak itu ke dalam jurang, kemudian
berkata kepada An Lu Kui yang berdiri dengan muka merah dan hati terheran-heran.
"Tidak patut sekali seorang perwira seperti engkau ini menghina seorang bocah kecil. Pergilah!"
An Lu Kui menjadi malu sekali. Ia menjura sambil berkata, "Mohon banyak maaf siauwte tidak mengenal
orang pandai. Siauwte An Lu Kui hendak mohon tanya, siapakah nama Lo-enghiong yang terhormat?"
Ang-bin Sin-kai tidak mau melayaninya, bahkan lalu menggerakkan kedua kakinya dan melompatlah dia
turun dari bukit.
"An-sian-seng (tuan An), suhu-ku itu adalah Ang-bin Sin-kai!" berkata Kwan Cu yang lalu cepat-cepat
berlari turun gunung mengikuti suhu-nya.
An Lu Kui tertinggal di bukit itu, berdiri tak bergerak bagaikan patung. Celaka tiga belas, pikirnya. Mengapa
aku selalu bertemu dengan setan-setan itu? Dia lantas teringat akan pengalamannya dengan Pak-lo-sian
Siangkoan Hai, dan belum lagi sakit hatinya karena terhina oleh kakek itu terbalas, sekarang dia
mengalami hinaan pula dari Ang-bin Sin-kai!
Ahhh, alangkah banyak orang Han yang hebat dan luar biasa sekali, keluhnya. Baiknya mereka itu tidak
ambil peduli tentang kedudukan dan keadaan pemerintah. Kalau kaisar tidak demikian bodoh dan dapat
menghargai orang-orang seperti itu, negara manakah di dunia ini yang dapat menandingi Tiongkok?
Dengan hati mengkal sekali, An Lu Kui lalu turun dari bukit itu untuk kembali ke markas besar kakaknya di
dunia-kangouw.blogspot.com
mana dia melatih diri dalam ilmu silat dan ilmu perang dengan sangat tekunnya. Dalam hal ilmu perang,
barisan yang dipimpin oleh An Lu Shan benar-benar mendapat kemajuan yang hebat sekali, berkat
petunjuk dan pelajaran dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng palsu yang diterjemahkan Gui Tin atau Guisiucai
itu…..
********************
Ada pun Kwan Cu lalu melanjutkan perjalanannya dengan Ang-bin Sin-kai, dan semenjak itu, Kwan Cu
makin tekun mempelajari ilmu silat, karena kini terlihatlah olehnya kegunaan dari pada ilmu ini. Akan tetapi,
jika dibandingkan dengan murid-murid tokoh lain, dia tetap saja terhitung yang paling bodoh.
Terhitung beberapa bulan yang lalu, ketika menghadapi kedua orang murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dia
masih dipermainkan dan beberapa hari kemudian semenjak bertemu dengan An Lu Kui, terjadilah peristiwa
lain yang di samping menunjukkan bahwa ia masih kalah jauh oleh murid tokoh lain, juga membikin tubuh
dan hatinya sakit sekali.
Hal itu terjadi ketika mereka sudah sampai di kaki bukit Liang-san. Ketika itu, Kwan Cu sedang hendak
bertanya keterangan pada penduduk dusun tentang mendiang gurunya yang dahulu di tempat ini terkenal
dengan sebutan Gui-lokai (pengemis tua she Gui). Tiba-tiba terdengar suara ketawa seperti gembreng
dipukul dan disusul oleh suara yang keras.
"Lu Thong, lihat ini adalah saudara misanmu!"
Di depan Kwan Cu muncullah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, hwesio gundul yang bundar seperti bal
tubuhnya itu, tokoh utama dari selatan! Dan di sampingnya berjalan seorang anak laki-laki yang dikenal
baik oleh Kwan Cu sebagai putera bangsawan yang dahulu menghina Gui Tin dan yang memerintah
anjingnya untuk mengeroyok Gui-suicai!
Memang benar, anak itu adalah putera dari Lu Seng Hok, atau cucu dari Menteri Lu Pin! Seperti biasanya,
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu melakukan perantauannya, kali ini diikuti oleh muridnya.
Semenjak menjadi murid Kak Thong Taisu, sikap Lu Thong benar-benar berubah sekali. Dia mempelajari
ilmu silat dengan amat tekunnya dan menurut segala nasehat suhu-nya. Di luarnya, anak ini bersikap baik
sekali, pendiam dan tidak jahat atau sombong seperti dahulu. Bahkan pakaiannya, menurut petunjuk dari
suhu-nya, tidak mewah seperti dulu pula, melainkan pakaian sederhana saja.
Biar pun dia dibawa merantau dan hidup sengsara, dia tidak pernah mengeluh, bahkan tidak menolak
ketika suhu-nya menyuruh dia mengemis makanan! Lu Thong mempunyai kekerasan hati dan ketekunan
luar biasa sekali sehingga segala keinginan dan nafsunya dapat dia tekan sedemikian rupa hingga seolah
dia merupakan seorang murid yang baik sekali. Tentu saja gurunya amat sayang kepadanya dan
menurunkan ilmu-ilmu silat yang tinggi sehingga sebentar saja Lu Thong memperoleh kemajuan pesat
sekali etika melihat Kwan Cu dan Ang-bin Sin-kai, tentu saja Jeng-kin-jiu menjadi girang sekali dan
diam-diam dia mengandung hati iri terhadap Ang-bin Sin-kai. Sesungguhnya, adalah pengharapannya
untuk menurunkan kepandaiannya bersama Ang-bin Sin-kai di tepi Laut Po-hai itu.
etika melihat Kwan Cu dan Ang-bin Sin-kai, tentu saja Jeng-kin-jiu menjadi girang sekali dan diam-diam
dia mengandung hati iri terhadap Ang-bin Sin-kai. Sesungguhnya, adalah pengharapannya untuk
menurunkan kepandaiannya bersama Ang-bin Sin-kai di tepi Laut Po-hai itu.
etika melihat Kwan Cu dan Ang-bin Sin-kai, tentu saja Jeng-kin-jiu menjadi girang sekali dan diam-diam
dia mengandung hati iri terhadap Ang-bin Sin-kai. Sesungguhnya, adalah pengharapannya untuk
menurunkan kepandaiannya bersama Ang-bin Sin-kai di tepi Laut Po-hai itu.
Sebaliknya, Lu Thong mengenal Kwan Cu sebagai bocah jembel yang dahulu menolong jembel tua di
halaman rumahnya, maka diam-diam dia menjadi gemas sekali. Dulu dia mudah ditakut-takuti oleh bocah
gundul ini, akan tetapi sekarang, sesudah dia merasa mempunyai kepandaian ilmu silat, dia tidak takut lagi
dan bahkan ingin dia membalasnya! Tetapi dia tidak kenal kepada Ang-bin Sin-kai, yang sesungguhnya
masih kongkong-nya sendiri, karena ayahnya adalah keponakan dari pengemis tua ini.
"Gundul bangkotan! Kau di sini?" Ang-bin Sin-kai menegur dengan muka girang.
Di antara para tokoh persilatan, dia lebih suka hwesio gemuk ini yang selain lucu, juga mempunyai
kejujuran dan berhati baik. Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Lucu, lucu sekali. Ha-ha-ha! Sekeluarga bertemu di sini, ha-ha-ha! Dan alangkah hebat dan lucunya
keluarga ini. Ehh, pengemis kelaparan, kau tahu siapa anak yang menjadi muridku ini?"
Ang-bin Sin-kai memandang, akan tetapi dia tidak mengenal cucunya sendiri. Tadi ketika Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu memanggil Lu Thong, dia tidak memperhatikan. Maka dia lalu menggelengkan kepalanya.
"Kenalkah kau kepada pengemis kelaparan ini?" Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu bertanya kepada muridnya.
Juga Lu Thong menggelengkan kepala sesudah memandang tajam. "Teecu tidak kenal, Suhu."
"Lu Thong, inilah Kongkong-mu yang tidak mau mengajarkan ilmu silat kepadamu!" kata Kak Thong Taisu.
Terbelalak mata Lu Thong.
"Ang-bin Sin-kai...?" katanya perlahan.
"Ya, ya! Dialah Ang-bin Sin-kai Lu Sin, Twa-pek (Uwa) dari ayahmu!"
Ada pun Ang-bin Sin-kai juga terkejut mendengar kata-kata ini.
"Gundul jahat! Apakah muridmu ini putera Lu Seng Hok?"
Lu Thong sekarang telah dapat mengubah sikapnya dan dia pun sangat cerdik. Dia tahu bahwa Ang-bin
Sin-kai ini merupakan seorang tokoh yang pandai, maka dia cepat-cepat menjatuhkan dirinya berlutut di
depan pengemis tua itu.
"Kongkong, harap maafkan cucumu yang tidak tahu adat!" katanya sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Diam-diam Kwan Cu merasa heran sekali mengapa anak yang begitu jahat seperti ketika dilihatnya di
depan gedung itu, kini dapat bersikap sopan santun dan baik.
Walau pun Ang-bin Sin-kai Lu Sin tidak setuju dengan pendirian adiknya Lu Pin yang bekerja membantu
kaisar yang dianggapnya lemah dan tidak baik, akan tetapi melihat cucunya ini, timbul juga rasa terharu
dalam hatinya.
"Baguslah kalau kau menjadi murid Jeng-kin-jiu, belajarlah baik-baik," berkata Ang-bin Sin-kai sambil
mengelus-elus kepala Lu Thong yang berambut hitam panjang itu.
"Kongkong, biar pun cucumu ini menjadi murid dari Suhu Kak Thong Taisu, namun masih amat
mengharapkan semacam ilmu silat dari Kongkong sebagai warisan sehingga kelak jangan ada yang
mengatakan bahwa sebagai cucu Ang-bin Sin-kai yang terkenal, namun cucumu ini tidak tahu sama sekali
tentang kepandaian Kongkong-nya sendiri. Bukankah itu amat tidak baik bagi keluarga kita?"
Semua orang termasuk Kwan Cu, tertegun mendengar ini. Ucapan itu selain tepat, juga cerdik sekali. Jengkin-
jiu menegur muridnya.
"Ehh, Lu Thong. Apakah kau tidak puas dengan pelajaran yang kau dapat dari pinceng?"
Buru-buru Lu Thong memberi hormat kepada suhu-nya. "Tidak sama sekali, Suhu. Teecu merasa girang
dan puas menerima pelajaran yang amat berharga dari Suhu. Hanya saja, teecu minta tanda mata sebagai
warisan dari Kongkong, apakah ini salah?"
Terdengar Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.
"Tidak mengecewakan kau menjadi cucunya Lu Pin, karena kau mempunyai kecerdikan. Ha-ha-ha! Jangan
bicara tentang kekeluargaan, sebab aku Lu Sin telah menjadi keluarga dari bumi dan langit. Tak ada
manusia yang bukan keluargaku, karena bukankah semua manusia di seluruh dunia ini bersaudara
belaka? Betapa pun juga, untuk kecerdikanmu itu, biarlah aku menurunkan ilmu silat keturunanku, yakni
Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Merenggut Nyawa)! He, hwesio gundul, kau
terimalah Kong-jiu Toat-beng untuk diajarkan kepada muridmu ini, akan tetapi bersumpahlah bahwa
selama hidupmu kau tak akan mempergunakan ilmu ini!" katanya kemudian kepada Kak Thong Taisu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kak Thong Taisu tertawa bergelak. "Pengemis kelaparan! Apa kau kira aku sudah begitu rakus untuk
mengambil ilmu silatmu? Tanpa meniru aku pun tak dapat kau kalahkan. Aku bersumpah!" dia mengangkat
kedua tangan di depan dada seperti menghormat kepada Buddha.
Ang-bin Sin-kai mengangguk puas, lalu kakek ini segera bersilat tangan kosong. Dalam pandangan Lu
Thong dan Kwan Cu, kakek ini bergerak luar biasa cepatnya bagai orang menari-nari dengan jari-jari
tangan terbuka. Tetapi sesudah Ang-bin Sin-kai mengulangi sampai dua kali ilmu silat tangan kosong yang
seluruhnya terdiri dari dua puluh empat jurus itu, Jeng-kin-jiu sudah dapat menghafalnya!
"Hebat, hebat! Pinceng sudah hafal semua," kata hwesio gemuk itu.
Ang-bin Sin-kai tertawa lagi. "Eh, Thong-ji (anak Thong), sekarang coba kau menghadapi Kwan Cu,
hendak kulihat hwesio bundar ini sampai seberapa jauhnya memberi pelajaran kepadamu!" Kemudian Angbin
Sin-kai menoleh kepada Kwan Cu. "Coba kau layani Lu Thong, hitung-hitung berlatih!"
Kwan Cu baru saja mempelajari dua macam ilmu silat, yakni ilmu mempertahankan diri Pai-bun Tui-pek-to
dan ilmu menyerang Sam-hoan-ciang. Mendengar ucapan suhu-nya, dengan taat dia lalu berdiri
menghadapi Lu Thong sambil memasang kuda-kuda.
"Lu Thong, kau hadapi dia dengan Lam-hai Kong-jiu (Tangan kosong Dari Laut Selatan)!" kata Jeng-kin-jiu
sambil tertawa-tawa gembira.
Bagi dia dan juga Ang-bin Sin-kai, tidak ada kesenangan yang lebih menggembirakan dari pada
pertandingan silat, bagaikan dua orang kakek yang sudah ‘nyandu’ adu ayam melihat dua jago berlaga.
Berbeda dengan Kwan Cu, Lu Thong sudah banyak mempelajari ilmu silat dari gurunya. Juga dalam hal
tingkat kepandaian silat, Lu Thong juga cerdik dan berbakat, terutama sekali karena Kwan Cu baru-baru ini
saja mulai mempelajari ilmu pukulan dari Ang-bin Sin-kai, juga baru saja anak ini mulai suka mempelajari
ilmu silat yang tadinya dianggap sebagai ilmu memukul orang yang tiada gunanya.
Akan tetapi, kalau dilihat dari isinya, dasar dalam diri Kwan Cu jauh lebih kuat. Bocah gundul ini memiliki
tubuh yang kuat, di tambah pula oleh nasibnya yang baik sehingga dia tanpa sengaja telah makan coa-ko
(buah ular), kemudian Ang-bin Sin-kai yang memang sengaja terus-menerus melatihnya kuda-kuda
sehingga memiliki dasar kuat sekali.
Begitu Lu Thong sudah siap, cucu menteri ini serentak melancarkan serangan-serangan hebat dengan
kedua kepalan tangannya. Kwan Cu cepat memainkan Pai-bun Tui-pek-to, ilmu silat mempertahankan diri
yang baru saja dipelajarinya. Pada saat lengan tangannya beradu dengan lengan tangan Lu Thong, dia
merasa kulit lengannya amat pedas, maka tahulah dia bahwa Lu Thong memiliki tenaga gwakang yang
lihai sekali.
Memang, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu merupakan seorang ahli gwakang yang memiliki tenaga hebat.
Semenjak belajar kepadanya, dia telah melatih kedua tangan muridnya ini secara tekun dan
menggembleng tangan Lu Thong melalui latihan-latihan memukul pasir panas. Meski pun usianya masih
delapan tahun, akan tetapi Lu Thong kini sudah berani mempergunakan lengannya untuk menangkis
serangan tongkat!
Kwan Cu berlaku sangat hati-hati dan dalam menghadapi serangan lawannya, dia selalu menggunakan
tenaga lweekang. Dia tidak mau mengadu kekerasan, dan hanya menolak lengan lawan dengan meminjam
tenaga.
Kagetlah Lu Thong ketika dia merasa betapa kedua tangan Kwan Cu seperti karet saja, amat lunak dan
setiap pukulannya dapat ditangkis dengan tak banyak tenaga. Ia menjadi penasaran, kemudian
mengeluarkan ilmu silatnya, menyerang dengan Ilmu Silat Lam-hai Kong-jiu yang ganasnya seperti
gelombang Laut Selatan mengamuk.
Kwan Cu terdesak hebat dan payah juga. Biar pun ilmu silatnya Pai-bun Tui-pek-to dapat digunakan untuk
menghindarkan semua serangan lawan, dan meski dia melihat adanya pintu-pintu terbuka dalam
kedudukan Lu Thong, akan tetapi dia tidak sempat membalas serangan lawan. Dia belum memahami
benar cara mengombinasikan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to dan Sam-hoan-ciang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Namun dengan sekuat tenaga dia melakukan perlawanan. Beberapa kali kepalan tangan Lu Thong sudah
mengenai tubuhnya, namun berkat tenaga lweekang, pukulan itu tidak sampai membuat dia terjungkal.
Menarik sekali kalau dilihat sikap kedua orang kakek yang menonton murid-murid mereka bertempur. Angbin
Sin-kai duduk di atas tanah, bersandar kepada pohon dan menonton dengan mata merem melek,
sedikit pun tak mengeluarkan suara dan tidak pula bergerak.
Akan tetapi sebaliknya, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tak mau diam, seperti orang melihat ayamnya diadu.
Dia berjingkrak-jingkrak, sebentar-sebentar berseru "ah!", "bagus!" atau mencela "salah!" sambil
memperhatikan semua gerakan muridnya. Kaki tangannya juga bergerak-gerak seakan-akan dia sendiri
yang bertempur.
"Untuk apa kau sudah mempelajari tendangan Liong-jiauw-twi (Tendangan Kaki Naga)?" tiba-tiba dia
berkata seperti mencela muridnya.
Padahal ucapan ini merupakan petunjuk dan mendengar ini, Lu Thong lalu menambah serangannya
dengan tendangan yang datangnya bertubi-tubi dan cepatnya bukan main. Menghadapi serangan ini Kwan
Cu tak berdaya dan sebuah tendangan dengan kerasnya mengenai pahanya sehingga tubuhnya terlempar
jauh dan jatuh berduduk ke atas tanah!
"Ha-ha-ha! Ang-bin Sin-kai, muridmu kalah!"
Kwan Cu menjadi merah mukanya dan teringat akan nasehat suhu-nya, dia lalu menjura kepada Lu Thong
dan berkata, "Kepandaianmu hebat. Aku mengaku kalah!"
Lu Thong lalu mengangkat dadanya dan memandang bangga. Gurunya menepuk-nepuk pundaknya
dengan gembira. Ang-bin Sin-kai segera bangkit berdiri dan pada wajahnya terbayang sinar kegembiraan
pula. Ia merasa gembira melihat jalannya pertandingan tadi, karena dia maklum bahwa dasar dari kedua
orang anak itu sudah terlihat nyata.
Kwan Cu jauh lebih kuat. Kalau saja anak gundul itu sudah mempelajari ilmu menyerang yang hebat, sekali
terkena pukulannya Lu Thong tentu tak akan dapat bangun kembali tanpa menderita luka hebat.
Sedangkan Kwan Cu yang berkali-kali mengalami pukulan dan sekali tendangan hebat, sama sekali tidak
terluka! Pula, dia pun senang melihat cara muridnya mengaku kalah.
"Hwesio gendut. Yang baik-baik kau melatih Lu Thong agar kelak tidak mengecewakan. Sepuluh tahun dari
saat ini, kita bertemu lagi dan kita akan mengadu murid-murid kita. Beranikah kau?"
"Ha-ha-ha! Pengemis kurus, tentu saja aku berani. Boleh, boleh! Sepuluh tahun dari saat ini kita bertaruh
dalam pibu murid-murid kita."
"Bagus! Taruhanku begini. Kalau muridku menang kau harus memberi hadiah semacam ilmu silat,
sebaliknya kalau Lu Thong menang aku akan menambah dengan semacam ilmu silat pula kepadanya.
Bagaimana?"
"Ha-ha-ha! Kau memang pengemis kelaparan yang licik! Bagimu, menambah pelajaran kepada muridku tak
ada ruginya karena dia adalah cucumu sendiri. Akan tetapi bolehlah, aku pun sudah berjanji ingin menjadi
guru dari bocah gundul goblok ini!"
Ang-bin Sin-kai lalu mengajak muridnya pergi, akan tetapi sebelum pergi, dia menoleh kepada Lu Thong
dan memandang dengan tajam sambil berkata, "Thong-ji, karena kau adalah cucu dari Lu Pin, maka aku
hendak memberi nasehat. Hilangkanlah semua sifat kesombonganmu, karena apa bila kau pelihara sifat
itu, kelak kau tentu akan mengalami kekecewan karena kesombonganmu."
Ketika mengangkat muka memandang, Lu Thong merasa terkejut sekali melihat sinar mata kakek itu
demikian tajam dan seakan-akan menembus sampai menjenguk ke dalam lubuk hatinya! Ia buru-buru
menundukkan mukanya dan belakang lehernya terasa dingin.
“Baik, Kongkong," katanya perlahan.
Ang-bin Sin-kai lalu pergi bersama Kwan Cu. Bocah gundul ini merasa penasaran dan tidak hanya
tubuhnya merasa sakit sekali. Begitu bertemu, gurunya sudah menurunkan ilmu silat yang hebat kepada Lu
dunia-kangouw.blogspot.com
Thong seperti yang dilihatnya tadi. Sedangkan dia hanya menerima ilmu-ilmu silat yang digunakan untuk
menahan serangan Lu Thong saja masih tidak sanggup! Akan tetapi, dasar dia memang anak yang taat
dan penerima, dia tak mau berkata apa-apa dan diam-diam dia mengambil keputusan bahwa kelak dia
akan mencari ilmu silat sendiri yang membuat dia tidak terkalahkan…..
********************
Setelah berhasil menggondol pergi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, Hek-i Hui-mo (Iblis Tebang Baju Hitam)
lantas melarikan diri secepatnya. Dia tidak percaya akan keterangan Kwan Cu bocah gundul itu, bahwa
kitab itu palsu, karena kalau palsu, kenapa Panglima An Lu Shan begitu mau bersusah payah untuk
menterjemahkannya?
Hek-i Hui-mo adalah seorang pendeta Tibet yang selain berkepandaian tinggi sekali, juga di Tibet dia
membentuk sebuah perkumpulan agama yang memisahkan diri dari Lama atau juga dari aliran pendeta
Buddha jubah kuning. Semua murid-muridnya atau anak buahnya mengenakan jubah hitam seperti dia
pula.
Hwesio ini mempunyai cita-cita untuk menguasai daerah Tibet dan untuk keperluan ini, perlu sekali
menterjemahkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, selain untuk mempertinggi ilmu silat, juga untuk melatih
ilmu perang kepada murid-muridnya. Kalau tokoh besar lain menganggap kitab itu tidak ada gunanya lagi,
selain dianggap palsu juga dianggap tidak ada orang yang mampu menterjemahkannya, Hek-i Hui-mo
beranggapan lain.
Dia tahu bahwa di Tiongkok tidak hanya Gui Tin yang pandai tentang sastra kuno. Dia mengenal pula
nama dua orang sastrawan yang kepandaiannya mungkin tak kalah oleh Gui Tin. Yang seorang adalah Li
Po, dan orang ke dua adalah Tu Fu.
Tidak ada harapan untuk minta bantuan Li Po karena sastrawan besar ini orangnya aneh dan keras. Maka
ia hendak mencoba untuk minta bantuan sastrawan besar Tu Fu karena kebetulan sekali dia tahu di mana
adanya sastrawan perantau ini pada waktu itu.
Di samping Li Po, Tu Fu merupakan seorang sastrawan yang amat pandai dan terkenal. (Bahkan sampai
jaman atom ini hasil-hasil karyanya masih terkenal). Dia adalah seorang dari keluarga terpelajar dan
berpangkat. Ia masih keturunan dari Tu Yu, seorang jenderal besar yang gagah perkasa dan terkenal
sekali dari Kerajaan Cin barat.
Kakeknya juga seorang sastrawan besar yang ternama, bernama Tu Shen Yan, ada pun ayahnya pernah
menjadi seorang jaksa. Namun Tu Fu berwatak jujur dan berjiwa patriot. Ia amat mencinta nusa bangsanya
dan melihat keadaan pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang korup, ia tidak mau menduduki
pangkat dan bahkan rela hidup sebagai perantau yang miskin, seperti halnya mendiang Gui Tin yang
semasa hidupnya dia kenal baik.
Hek-i Hui-mo maklum bahwa selain Gui Tin yang sudah tewas, orang-orang yang kiranya dapat
menterjemahkan kitab kuno yang telah berada di tangannya, hanya Tu Fu dan Li Po, akan tetapi yang
dapat dia mintai tolong hanya Tu Fu seorang. Maka pergilah dia ke Ho-nan di mana dia tahu sastrawan
muda itu berada pada waktu itu. Memang kini Tu Fu sudah menjadi seorang perantau yang menjelajah di
propinsi-propinsi Kiang-su, Ce-king, Ho-nan, dan Shan-tung.
Di kota Kai-feng sebelah timur ibukota Ceng-cou, di dekat pintu gerbang sebelah timur, terdapat sebuah
rumah bobrok, bentuknya laksana kelenteng. Memang rumah ini adalah bekas kelenteng yang telah rusak
dan yang gentingnya sudah hampir tidak ada sehingga kalau hujan, tempat itu menjadi basah semua
sedangkan di waktu panas tidak terlindung sama sekali.
Agaknya yang sanggup hidup di tempat rusak dan kotor ini hanya ayam dan babi belaka. Akan tetapi, pada
waktu itu di sebelah dalam kelenteng ini ada seorang manusia yang tinggal.
Orang ini belum tua benar, usianya kurang lebih tiga puluh tiga tahun atau tidak lebih dari tiga puluh lima
tahun. Melihat potongan pakaiannya, meski pun kain bajunya sudah lapuk dan penuh tambalan, jelas dapat
dilihat bahwa dia seorang terpelajar. Pakaiannya seperti pakaian pendeta, panjang sampai ke kaki, dengan
ikat pinggang terbuat dari tali hitam.
Kumisnya hitam serta panjang, menggantung di kanan kiri mulutnya. Jenggotnya sedikit saja, di tengahdunia-
kangouw.blogspot.com
tengah dagu dan tergantung sepanjang lehernya. Kepalanya tertutup oleh sebuah topi butut, topi
sastrawan pula. Tubuhnya kecil kurus, tulang-tulang pipinya agak menonjol. Sepasang matanya lebar dan
bersinar tajam, sedangkan dahinya lebar sekali.
Inilah dia Tu Fu, sastrawan yang rela hidup dalam kemiskinan karena dia tidak suka pada pemerintah
sekarang yang dipimpin oleh orang-orang tidak jujur. Ia rela menderita seperti bangsanya, yakni rakyat
kecil yang banyak sekali menderita seperti dia pula.
Di dalam kehidupannya yang miskin, kelaparan, dia berduka sekali dan menangis, bukan hanya karena
kehilangan puteranya, terutama sekali karena penderitaan keluarganya ini mengingatkan dia akan keadaan
para petani miskin, rakyat kecil yang banyak menderita kelaparan seperti keluarganya!
Sejak itu dia pergi merantau, membuat sajak-sajak yang isinya selain memuji alam indah permai
sebagaimana menjadi kesukaan para sastrawan, juga dia membuat sajak-sajak keluhan dan protes
terhadap pemerintah yang lalim! Betapa pun miskinnya Tu Fu, kalau orang menjenguk ke dalam kelenteng
bobrok itu, dia akan melihat bahwa sastrawan ini tidak pernah berpisah dari alat tulisnya, yakni pena bulu,
kertas, dan tinta!
Pada waktu itu, matahari telah condong ke barat dan keadaan di dalam kelenteng sudah mulai remangremang.
Akan tetapi, Tu Fu seperti tidak merasai ini semua dan dia masih saja duduk termenung seperti
orang sedang bersemedhi, tangkai pena di tangan kanan dan sebuah kipas bobrok di tangan kiri.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang hwesio berpakaian
hitam yang tubuhnya amat gendut, kulit mukanya hitam dan misainya panjang. Hwesio itu merangkapkan
kedua tangan di depan dadanya dan berkata,
"Omitohud! Tu-siucai benar-benar rajin sekali. Untuk apakah kau bekerja begitu keras?" tanya hwesio ini
yang bukan lain adalah Hek-i Hui-mo adanya.
Bagaikan dalam mimpi, Tu Fu menjawab, "Aku takkan berhenti bekerja sebelum berhasil menuliskan
sesuatu yang berguna!"
"Tu-siucai bersusah payah menulis sajak, untuk apakah gerangan?" bertanya pula Hek-i Hui-mo.
"Untuk siapa?" Tu Fu mengerutkan kening. "Tentu saja untuk rakyat sebagai penambah semangat dan
untuk negara sebagai obat pahit yang manjur!" Sambil berkata demikian, Tu Fu bangkit berdiri.
Baru sekarang dia memandang kepada pengunjungnya dengan mata terbelalak karena dia heran sekali
siapa adanya pendeta yang tak dikenalnya ini. Namun, sebagai seorang terpelajar dan sopan, dia memberi
hormat lalu bertanya,
"Siapakah Losuhu ini? Dan mengapa datang mengunjungi siauwte yang miskin? Harap dimaafkan, di sini
siauwte tak mampu mengeluarkan air teh atau arak untuk disuguhkan."
Hek-i Hui-mo tertawa bergelak. "Mengapa Siucai memikirkan keadaan orang lain? Bagi pinceng tidak
membutuhkan makan minum, tetapi sebaliknya kaulah yang memerlukan makan dan minum. Lihat,
pinceng membawa sedikit daging dan arak untukmu!" Sambil berkata demikian, Hek-I Hui-mo
mengeluarkan seguci arak wangi dan sebungkus daging panggang dari saku bajunya yang lebar.
To Fu menerima pemberian ini sambil menghela napas, "Apa artinya haus dan lapar? Kadang-kadang
sampai sepuluh hari aku tidak makan minum dan bajuku mempunyai tambalan lebih seratus jumlahnya,
akan tetapi, apakah artinya bila dibandingkan dengan penderitaan rakyat kecil? Jika mengingat
penderitaan mereka itu, perutku terasa kenyang sendiri dan bajuku telah terlampau baik! Ah, Losuhu,
agaknya hidupmu sebagai pendeta lebih bahagia dari pada hidupku sebagai seorang sastrawan!"
"Keliru, keliru! Tu-siucai keliru sekali!" jawab Hek-i Hui-mo sambil menggoyang-goyang dua tangannya.
"Suka dan duka timbul karena hati dan pikiran diri sendiri. Kebahagiaan berada di dalam hati kita sendiri,
demikian pula keadaan. Kebahagiaan dapat diusahakan secara mudah, mengapa kau masih saja duduk
merenung menyusahkan keadaan orang lain? Jika kau suka menerima jabatan, apa lagi yang
menyusahkanmu? Kau mempunyai kepandaian tinggi."
"Cukup!" tiba-tiba Tu Fu membentak dan suaranya keras saking marahnya. "Siapa sudi membantu orangdunia-
kangouw.blogspot.com
orang yang hidup seperti lintah menghisap darah petani miskin? Tidak! Lebih baik mati!" Kemudian,
teringat bahwa dia sudah bersikap kasar terhadap seorang suci, dia lalu memberi hormat dan berkata
dengan sikap halus, "Maaf, Losuhu. Kalau tadi siauwte dikuasai oleh nafsu amarah. Siapakah sebenarnya
Losuhu?" ulangnya, karena pertanyaannya tadi belum terjawab.
"Nama pinceng Thian Seng Hwesio dan pinceng datang dari Tibet," jawab Hek-i Hui-mo. Memang
sebenarnya dia bernama Thian Seng Hwesio, dan di kalangan kang-ouw saja dia disebut Hek-i Hui-mo.
Mendengar keterangan ini, Tu Fu memandang dengan mata lebar. "Dari barat? Ahhh, Losuhu melakukan
perjalanan begitu jauh menjumpai siauwte, ada keperluan apakah?"
"Tu-siucai, pinceng tak mempedulikan perjalanan ribuan li jauhnya dengan maksud ingin memohon sedikit
pertolongan darimu, maka pinceng mengharap kemurahan hatimu dan mengharap Tu-siucai takkan
menolak."
Biar pun terkenal kejam dan ganas, namun Hek-i Hui-mo juga seorang cerdik dan banyak pengalaman.
Menghadapi seorang sastrawan seperti Tu Fu yang meski kepandaiannya tinggi tapi tidak mau menduduki
jabatan dan rela hidup menderita, maka dia tahu bahwa orang ini memiliki kekerasan hati yang luar biasa,
dan seperti juga Gui Tin, tiada gunanya menghadapi orang seperti ini menggunakan kekerasan.
Andai kata ia menggunakan kekerasan kemudian memaksa sastrawan ini membantunya menterjemahkan
kitab, hati sastrawan ini hanya akan tersinggung saja dan kalau sampai terjadi demikian, maka agaknya
walau pun dia akan memukul sampai mati, sastrawan muda ini takkan sudi membantunya! Oleh karena
itulah maka Hek-i Hui-mo menjalankan siasat licin dan bersikap halus dan manis budi.
Berbeda dengan Gui Tin yang lebih tua dan sudah banyak bertemu dengan orang-orang kang-ouw, Tu Fu
tidak mengenal tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, maka dia tidak mengenal Hek-i Hui-mo dan
keganasannya. Ia memang seorang yang berhati mulia dan suka menolong, apa lagi menolong seorang
hwesio yang lajimnya menuntut kehidupan beribadat suci, tentu saja dia bersiap sedia untuk menolong.
"Tu-siucai tak perlu tergesa-gesa. Silakan makan terlebih dahulu, baru nanti kita bicara kembali," kata Hek-i
Hui-mo.
Tu Fu tidak berlaku sungkan-sungkan dan sastrawan muda ini lalu makan habis daging dan minum arak itu
sampai setengah guci.
Setelah Tu Fu selesai makan, barulah Hek-i Hui-mo mengeluarkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dari
saku bajunya. Sambil memperlihatkan kitab itu kepada Tu Fu, dia berkata, "Pertama-tama pinceng ingin
sekali mengetahui pendapat Tu-siucai mengenai kitab ini. Pinceng mendapat kitab kuno ini, akan tetapi
tidak dapat mengerti huruf-hurufnya yang kuno dan sukar dibaca. Dan karena kitab ini bagi pinceng penting
sekali, maka harap Siucai sudi menerangkan apakah kitab ini palsu atau bukan?"
Tu Fu menerima kitab itu seperti seorang kelaparan menerima sepotong kue.
Sastrawan mana yang tidak tertarik dan penuh gairah melihat sejilid kitab? Ia menerima kitab itu dengan
penuh khidmat, lalu mulai membuka lembaran-lembaran pertamanya.
"Hmm, sebuah kitab kuno yang menarik hati sekali," katanya perlahan, didengarkan oleh Hek-i Hui-mo
dengan penuh perhatian. "Usianya sudah ribuan tahun dan ditulis dengan bahasa dalam jaman Kerajaan
Couw Timur!"
Hek-i Hui-mo tertegun. "Pinceng mendengar bahwa kitab ini ditulis pada jaman Shia!"
Tu Fu menggelengkan kepalanya. "Tak mungkin! Sudah pasti sekali ditulis dalam bahasa Couw Timur,
Losuhu, siauwte tahu betul akan hal ini."
"Kalau begitu, apakah kitab ini palsu?"
"Bagaimana orang dapat menyatakan palsu bila tidak melihat aslinya? Orang baru dapat mengenal
kejahatan jika sudah mengenal kebaikan, maka orang pun baru bisa mengenal barang palsu apa bila
sudah melihat barang tulennya. Siauwte tidak dapat mengatakan bahwa kitab ini palsu atau asli, namun
kitab ini benar-benar amat menarik hati. Siauwte mengenal seorang yang benar-benar ahli dalam bahasa
dunia-kangouw.blogspot.com
yang ditulis dalam kitab ini, yaitu Gui-siucai."
Kembali Hek-i Hui-mo tertegun. "Pinceng mendengar bahwa Giu-suicai sudah meninggal dunia, akan
tetapi, pinceng lebih suka mohon pertolongan kepadamu, Tu-siucai. Harap kau suka menterjemahkan kitab
ini untuk pinceng."
Tu Fu tidak menjawab, melainkan membuka lembaran kitab itu dan membacanya. Baru membaca dan
membalik-balikkan beberapa lembaran kitab itu, berkerutlah keningnya.
"Aneh sekali! Kitab ini bernama Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebuah kitab pelajaran yang luar biasa anehnya.
Akan tetapi yang lebih aneh lagi adalah kau, Losuhu. Kitab ini adalah pelajaran tentang ilmu silat dan ilmu
perang, bagaimana seorang hwesio yang menuntut penghidupan suci seperti Losuhu ingin mempelajari isi
kitab ini? Apakah gunanya untuk Losuhu?"
Hek-i Hui-mo merasa muaknya panas. Kalau saja kulit mukanya tidak begitu hitam, tentu akan terlihat
betapa mukanya menjadi merah. Ia merasa mendongkol dan marah sekali. Hemm, pikirnya, kalau saja aku
tidak membutuhkan pertolongan cacing buku ini, kuketok kepalanya sampai pecah! Ia menarik muka
sungguh-sungguh ketika menjawab.
"Tu-siucai, harap jangan salah mengerti. Kitab ini seperti kau katakan tadi adalah kitab ilmu silat dan ilmu
perang. Untuk pinceng pribadi memang tidak ada gunanya, sungguh pun harus pinceng akui bahwa
semenjak kecil pinceng paling suka mempelajari ilmu silat. Akan tetapi tidakkah kau lihat betapa buruknya
keadaan negara? Jika pinceng bisa mempelajari ilmu silat dari dalam kitab ini yang juga belum tentu hebat,
bukankah kelak pinceng dapat menurunkan ilmu kepandaian itu kepada para orang gagah sehingga bisa
dipergunakan untuk membela negara?"
Pada saat Tu Fu hendak menjawab, mendadak terdengar suara ketawa nyaring dari luar kelenteng, disusul
dengan suara seorang wanita berkata, "Bangsat gundul menjemukan! Kau kira dapat melarikan diri dariku?
Kembalikan kitab itu!"
Hek-i Hui-mo terkejut sekali dan sekali dia melompat, dia sudah berada di luar kelenteng menghadapi Kiubwe
Coa-li yang datang bersama muridnya, Sui Ceng! Hati Tu Fu kaget bukan main pada waktu melihat
betapa hwesio gendut itu seakan-akan menghilang dari depannya.
"Aduh..., setankah dia?" katanya perlahan.
Kemudian dia mendengar suara gaduh di luar kelenteng. Tu Fu segera memburu keluar dan bukan main
heran dan terkejutnya ketika dia melihat dua bayangan orang bertempur di halaman kelenteng seperti iblis
sedang menari-nari!
Memang Hek-i Hui-mo tak membuang waktu lagi. Begitu dia melihat bahwa yang datang adalah Kiu-bwe
Coa-li, tanpa banyak cakap lagi dia kemudian mengeluarkan tasbih dan Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala
Naga) dan cepat menyerang dengan amat hebatnya. Kiu-bwe Coa-li tertawa mengejek dan wanita sakti ini
pun lalu menggerakkan pecutnya yang bernama Kiu-bwe Sin-pian (Ruyung Lemas Berekor Sembilan).
Pertempuran kali ini bukan main dahsyatnya. Satu lawan satu, tanpa khawatir ada tokoh lain yang
mengganggu mereka. Bun Sui Ceng berdiri di pinggir menonton pertempuran antara gurunya dan Hek-i
Hui-mo dengan penuh perhatian. Mukanya yang manis serta elok itu sama sekali tidak nampak gelisah,
karena anak ini selain mempunyai hati yang tabah, juga percaya penuh bahwa gurunya pasti akan
menang.
"Kiu-bwe Coa-li, kau manusia usilan mengganggu saja!" seru Hek-i Hui-mo dan Tongkat Kepala Naga di
tangan kanannya menyambar bagaikan halilintar ke arah kepala wanita itu.
"Pendeta busuk, kau pencuri tidak tahu malu!" balas memaki Kiu-bwe Coa-li.
Sedikit miringkan kepala saja, serangan lawan dapat digagalkan. Pecut berekor sembilan di tangannya
tidak tinggal menganggur, cepat melakukan serangan balasan, merupakan sembilan ekor ular yang
bergerak dari segala jurusan, menyerang sembilan jalan darah di tubuh lawannya!
Hek-i Hui-mo terkejut sekali melihat serangan hebat ini. Ia maklum akan kelihaian lawan dan telah
mendengar pula tentang keganasan Kiu-bwe Coa-li, yang terkenal sekali turun tangan tentu akan
dunia-kangouw.blogspot.com
menewaskan lawan. Maka tanpa ayal lagi dia segera menggerakkan tasbihnya diputar sedemikian rupa
dibantu oleh Tongkat kepala Naga untuk melindungi tubuhnya.
“Tar! Tar! Tar! Tar!” beberapa kali terdengar suara dari pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li, sungguh membikin
hati menjadi ngeri.
Makin lama pertempuran berjalan makin seru dan gerakan mereka menjadi makin cepat. Tiga macam
senjata berubah menjadi gulungan sinar dan yang paling menarik dan indah dipandang adalah gerakan
cambuk di tangan Kiu-bwe Coa-li. Cambuk yang berujung sembilan itu merupakan segundukan sinar yang
bertangan sembilan, seperti seekor ikan gurita yang berjari sembilan. Setiap ujung cambuk ini merupakan
perenggut nyawa yang lihai sekali.
Namun ilmu silat Hek-i Hui-mo juga tidak kalah hebatnya. Dia adalah seorang tokoh barat yang pernah
menggemparkan Tibet, yang sudah menjatuhkan jago-jago dan tokoh-tokoh dari barat dan boleh dibilang,
selama dia melakukan perantauannya di dunia kang-ouw, Hek-i Hui-mo tidak pernah terkalahkan. Entah
sudah berapa ratus orang lawan terpaksa mengakui kehebatan ilmu silatnya dan sudah berapa puluh
lawan binasa di tangannya!
Tasbihnya berputar menjadi segundukan sinar bundar bagaikan mustika naga sakti. Ada pun tongkatnya
yang merupakan naganya sehingga sepasang senjata di tangannya itu bergerak-gerak bagaikan seekor
naga mengejar mustikanya!
Sukarlah untuk dikatakan siapakah yang lebih lihai di antara dua orang tokoh besar ini. Masing-masing
memiliki keistimewaan sendiri dan keduanya mengaku bahwa selamanya baru kali ini mereka menghadapi
tandingan yang benar-benar seimbang dan amat berat. Agaknya pertempuran ini akan menjadi sebuah
pertandingan mati hidup yang berjalan lama sekali sebelum seorang di antara mereka menggeletak tak
bernyawa lagi di depan kaki lawannya.
Pecut Kiu-bwe Coa-li menyambar, saking kerasnya, sampai terdengar angin bersiutan. Oleh karena
sembilan ekor bulu pecut itu menyambarnya dari berbagai jurusan dengan kecepatan yang tidak sama,
maka suara angin itu terdengar aneh sekali, bagai sembilan buah suling ditiup berbareng.
Hek-i Hui-mo menangkis dengan tongkat yang disapukan dan sehelai dari pada ujung pecut Kiu-bwe Coa-li
menyambar dan melibat kaki meja sembahyang yang sudah berdiri miring. Tenaga wanita sakti ini hebat
luar biasa, karena meja itu melayang ke atas dan bagaikan disambitkan, meja itu menimpa tempat di mana
Sui Ceng berdiri.
Melihat hal itu, Tu Fu menjerit. Akan tetapi dia membelalakkan sepasang matanya saking kagum dan heran
melihat anak perempuan yang manis itu menampar dengan tangan kirinya yang kecil.
"Brakkk!" meja itu pecah berkeping-keping!
Sekarang tongkat Liong-thouw-tung di tangan kanan Hek-i Hui-mo menyambar pinggang Kiu-bwe Coa-li.
Serangan ini dilakukan sekuat tenaga sehingga wanita sakti itu tak berani menangkis. Tubuhnya melompat
ke atas dan mundur.
Akan tetapi Hek-i Hui-mo tak mau memberi hati dan terus melangkah maju lalu menyapu lagi dengan
tongkatnya, dibarengi memukul kepala lawan dengan tasbihnya! Kiu-bwe Coa-li segera mengelak dan
tongkat yang kuat itu menyambar tiang kelenteng di bagian depan.
"Kraaaakk... bruuuk...!" Tiang itu patah dan mengeluarkan suara hiruk-pikuk!
"Aduh, tahan...! Tahan…! Apa-apaan sih semua ini? Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) tidak malu? Orang-orang
tua bertingkah bagaikan anak-anak kecil berebut kembang gula. Ada urusan dapat diurus, mohon
mendengar kata-kata siauwte," Tu Fu berseru berkali-kali sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.
Kalau saja mereka tidak mengingat bahwa Tu Fu adalah orang yang bisa dimintai tolong menterjemahkan
kitab yang tidak dapat mereka baca sendiri itu, mana dua orang tokoh lihai ini mau mendengarkan ucapan
seorang sastrawan lemah seperti Tu Fu? Keduanya melompat kebelakang dan saling pandang bagaikan
dua ekor harimau sedang marah.
"Tu-siucai, kau menahan kami mau apakah?" tanya Kiu-bwe Coa-li dengan suara dingin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba saja Tu Fu merasa bulu tengkuknya berdiri. Bukan main hebatnya wanita ini, pikirnya, sudah
bukan merupakan manusia lagi!
"Harap Suthai suka bersabar, dan demikian pula Losuhu. Sebetulnya, mengapa Ji-wi bertempur matimatian
seakan-akan di dunia ini tidak ada pekerjaan lain yang lebih baik dari pada saling gempur dan
saling mencoba untuk membunuh?"
Hek-i Hui-mo menarik napas panjang. "Tak lain karena kitab itulah. Kami berebut Kitab Im-yang Bu-tek Cinkeng!"
Tu Fu masih membawa kitab itu. Kini dia mengangkat kitab itu tinggi-tinggi dan berkata, "Memperebutkan
kitab ini? Alangkah lucunya. Dan untuk dapat membaca dan mengerti isinya saja, Ji-wi tidak bisa dan
sengaja datang untuk minta siauwte menterjemahkan isi buku ini?"
Kiu-bwe Coa-li mengangguk dan berkata tegas, "Orang she Tu, tak usah direntang lebih panjang lagi.
Memang kami membutuhkan isi kitab itu. Akan tetapi karena di sini kami dua orang, terpaksa kami harus
melenyapkan salah seorang lebih dulu, barulah nanti kau yang bekerja, menterjemahkan kitab itu. Hayo,
Hek-i Hui-mo, kita lanjutkan pertempuran kita!"
"Baik, Kiu-bwe Coa-li. Awaslah kau!"
Dua orang jago tua ini sudah bersiap-siap lagi untuk bertempur mati-matian. Akan tetapi Tu Fu segera
mencegah mereka. Sastrawan ini, seperti juga Gui Tin dan Li Po atau pun sastrawan dan senimanseniman
lainnya, tidak suka akan kekerasan dan amat mencinta kedamaian, maka tentu saja Tu Fu tidak
mau melihat dua orang aneh itu saling gempur mati-matian seperti tadi.
"Tahan!" katanya keras. "Kalau Ji-wi berkeras hendak saling bunuh, aku Tu Fu tak akan mau
menterjemahkan kitab ini. Walau Ji-wi memaksa dan membunuhku, aku takkan mau menterjemahkannya."
Mendengar ini, kedua orang tokoh kang-ouw itu tertegun dan saling pandang. Mereka amat maklum bahwa
sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman sama anehnya dengan orang-orang kang-ouw, bahkan
mereka itu lebih hebat pula. Biar pun mereka itu memiliki jasmani yang lemah, namun mereka berhati keras
dan tidak takut mati.
Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo percaya dan tahu bahwa ucapan yang keluar dari mulut sastrawan ini
menyatakan tidak mau membantu, biar dia dibunuh atau disiksa sekali pun, tetap dia tidak akan mau
menterjemahkan isi kitab itu. Dan apa artinya kitab itu tanpa ada penterjemahnya? Tiada beda dengan
kertas-kertas pembungkus belaka!
"Habis, kalau di sini ada kami berdua, bagaimana Tu-siucai hendak mengaturnya?" tanya Hek-i Hui-mo
dengan suara minta pertimbangan.
Tu Fu mempersilakan mereka duduk di atas lantai di depan kelenteng. Kemudian dia melambaikan tangan
kepada Sui Ceng yang tanpa ragu-ragu datang menghampiri.
"Anak baik, kau benar-benar hidup dalam alam yang aneh," kata sastrawan itu sambil mengelus-elus
rambut Sui Ceng yang hitam, halus, dan panjang, kemudian sastrawan ini berkata kepada kedua orang
tokoh dunia kang-ouw itu. "Harap Ji-wi dengarkan baik-baik keputusanku yang tidak mungkin dapat diubah
lagi. Siauwte sanggup membantu serta menterjemahkan isi kitab ini, akan tetapi hanya dengan syarat.
Pertama, siauwte hanya akan menterjemahkan dengan cara membacanya saja dan Ji-wi harap
mendengarkan dengan penuh perhatian dan mengingatnya baik-baik. Kedua, sehabis membaca semua isi
kitab, kitab ini harus dibakar di depan siauwte, supaya kelak tidak menjadi perebutan mati-matian kembali.
Hanya dengan dua macam syarat ini siauwte mau menolong, kalau tidak, meski Ji-wi akan membunuh
siauwte, tak nanti siauwte mau menterjemahkannya. Bagaimana?"
Kedua orang tokoh kang-ouw itu saling pandang. Celaka, pikir mereka, bagaimana dapat menghafal isi
kitab dengan sekali mendengar saja? Akan tetapi kalau mereka tidak mau menerima, selain sastrawan
aneh ini tidak mungkin dipaksa, juga mereka masih saling berhadapan dan untuk mendapatkan kitab itu
harus bertempur mati-matian dulu.
Andai kata menang, bagaimana pula isi kitab dapat diterjemahkan? Apa lagi jika sampai terdengar oleh tiga
dunia-kangouw.blogspot.com
orang tokoh besar yang lainnya dan mereka datang pula, tentu akan makin berabe saja!
"Aku setuju!" kata Kiu-bwe Coa-li. "Hanya aku minta supaya pembacaan dilakukan dua kali!"
Kiu-bwe Coa-li memang amat cerdik. Ia datang bersama muridnya dan dia percaya akan kecerdikan otak
Sui Ceng. Tentu muridnya akan dapat membantu dan mengingat-ingat bunyi isi kitab itu.
Hek-i Hui-mo tidak dapat mencari jalan lain. Ia pun tahu bahwa fihak Kiu-bwe Coa-li lebih untung dengan
adanya Sui Ceng, maka dia merasa ragu-ragu, lalu berkata, "Tidak adil sekali. Kau dibantu oleh muridmu
sedangkan aku hanya seorang diri!"
"Kau boleh mencari seorang pembantu pula," jawab Kiu-bwe Coa-li.
Tu Fu mengerti akan maksud pembicaraan dua orang itu, akan tetapi dia pun tidak dapat memecahkan
persoalan ini. Kebetulan sekali pada saat itu, terdengar tindakan kaki dan muncullah seorang anak laki-laki
berusia kurang lebih delapan tahun.
"Tu-sianseng, hakseng (murid) datang membawa makanan," kata anak lelaki itu sambil memandang
kepada tamu-tamu gurunya dengan mata terheran.
"Ehh, Tu-siucai, siapakah anak ini?" tanya Hek-i Hui-mo yang memandang tajam kepada anak laki-laki
yang berwajah tampan dan jujur ini. Biar pun anak ini bertubuh kurus dan tinggi, namun dia memiliki bakat
yang baik juga untuk belajar silat.
"Dia adalah Li Siang Pok, seorang anak dari kota Kai-feng. Ayahnya seorang sastrawan pula dan dia
datang ke sini untuk belajar kesusastraan dari siauwte."
"Hemm, jadi dia boleh dibilang muridmu?"
Tu Fu mengangguk membenarkan.
"Bagus! Pinceng hendak mengambil dia sebagai pembantuku! Dengan adanya dia yang membantu
pinceng, mengingat-ingat isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka keadaan pinceng dan Kiu-bwe Coa-li
menjadi berimbang. Ini baru adil namanya!"
Tu Fu ragu-ragu, kemudian bertanya kepada Siang Pok, "Siang Pok, Losuhu ini minta bantuanmu untuk
mengingat-ingat bunyi isi kitab kuno yang akan kubacakan. Maukah kau?"
Siang Pok adalah seorang anak yang suka sekali akan kesusastraan. Mendengar akan dibacanya kitab
kuno, tentu saja tanpa berpikir panjang lagi dan tanpa bertanya lebih jelas, dia menganggukkan kepalanya.
"Hakseng bersedia, Sianseng!"
Demikianlah, mereka semua duduk bersila di atas kelenteng sebelah luar. Keadaan di situ sunyi dan ketika
Tu Fu mulai membacakan isi kitab, suaranya terdengar lantang dan jelas. Empat orang yang duduk
mengelilinginya, yakni Hek-i Hui-mo, Kiu-bwe Coa-li, Sui Ceng, dan Siang Pok, mendengarkan dengan
penuh perhatian.
Kitab itu tidak terlalu tebal sehingga isinya pun tidak begitu banyak, karena seperti juga kitab-kitab kuno
lainnya, yang ditulis hanya garis besarnya saja. Sebagaimana diketahui, kitab itu isinya dibagi menjadi dua
soal, yakni tentang ilmu silat dan tentang ilmu perang. Dalam hal bahasa kuno, kepandaian Tu Fu ini tidak
kalah oleh mendiang Gui Tin, maka dia dapat membacanya dengan amat lancar.
Kiu-bwe Coa-li dan Sui Ceng, tidak mendengarkan atau lebih tepat, tidak memperhatikan sama sekali akan
bunyi ilmu perang yang dibaca oleh Tu Fu. Guru dan murid ini hanya mencurahkan seluruh perhatiannya
kepada bunyi ilmu silat saja. Sebaliknya, karena tidak diberi tahu terlebih dahulu, anak laki-laki yang
bernama Lai Siang Pok itu mendengarkan seluruh isi kitab, yaitu bagian ilmu silat dan bagian ilmu
perangnya. Demikian pula, Hek-i Hui-mo, karena dia mempunyai cita-cita pemberontakan, dia juga
memperhatikan kedua bagian ini.
Hampir satu hari lamanya Tu Fu membaca habis kitab itu untuk kedua kalinya dan semua fihak merasa
puas. Karena mengerahkan seluruh ingatan untuk mengingat-ingat kembali apa yang telah mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
dengarkan tadi, kini Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo melihat saja dan tidak mempedulikan lagi ketika Tu
Fu menggunakan api membakar kitab itu di depan mereka!
Setelah melihat kitab itu habis terbakar, Hek-i Hui-mo tertawa bergelak dan dengan cepat sekali dia
melompat lalu mengempit Lai Siang Pok, terus di bawa lari!
"He, Losuhu! Lepaskan muridku!" Tu Fu berteriak-teriak, akan tetapi hanya suara ketawa dari jauh sana
menjawabnya.
Ada pun Kiu-bwe Coa-li yang tidak mau terganggu pikirannya yang sedang menghafal itu lalu
menggandeng tangan Sui Ceng dan pergi pula dari situ.
Tu Fu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata seorang diri. "Benar-benar aneh sekali orangorang
itu. Apa sih gunanya segala macam ilmu kekerasan yang kasar itu? Aneh... aneh...!" Sastrawan ini
pun beberapa hari kemudian tidak kelihatan lagi di tempat itu, telah melanjutkan perantauannya…..
********************
Ketika sudah berada di tempat sunyi, Kiu-bwe Coa-li segera bertanya kepada muridnya. “Sui Ceng, coba
kau ulangi kata-kata di dalam kitab yang dibaca oleh Tu-siucai tadi.”
Sui Ceng kemudian mengulangi kata-kata yang masih diingatnya. Kiu-bwe Coa-li tidak mempedulikan
tentang peraturan latihan lweekang dan ginkang, yang paling diperhatikan hanya gerakan-gerakan ilmu
silat yang terdapat di dalam kitab itu.
Semua ada tiga puluh enam pokok gerakan yang perkembangannya dapat timbul sendiri tergantung dari
bakat dan kecerdikan masing-masing pelajar. Karena gerakan-gerakan itu hanya ditulis dan tidak
digambar, maka dapat dibayangkan betapa sukarnya.
Setelah dia mendengarkan apa yang yang masih diingat oleh Sui Ceng dan dikumpulkan dengan
ingatannya sendiri, Kiu-bwe Coa-li ternyata hanya mampu mengumpulkan empat belas gerakan saja! Akan
tetapi, empat belas jurus pokok gerakan silat Im-yang Bu-tek Cin-keng ini baginya sudah cukup berharga.
Memang dia seorang yang ahli dalam ilmu silat dan ternyata olehnya betapa hebat, lihai, dan aneh isi
gerakan-gerakan ini.
Segera ia lalu mempelajari gerakan-gerakan ini dan disesuaikan dengan kepandaiannya sendiri. Selama
tiga bulan Kiu-bwe Coa-li seakan-akan lupa makan dan lupa tidur, setiap hari hanya berlatih ilmu silat baru
yang sesungguhnya dia ciptakan sendiri berdasarkan apa yang ia dengar dari kitab itu. Dan terciptalah ilmu
silat baru yang benar-benar luar biasa sekali. Kiu-bwe Coa-li menjadi girang dan berbareng ia pun lalu
melatih muridnya dengan sungguh-sungguh.
“Sui Ceng, ilmu silat yang kita dapatkan ini entah Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli atau bukan, namun
kau harus tahu bahwa ini memang benar-benar ilmu silat yang aneh dan hebat sekali. Setelah kuperbaiki
semua yang kita berdua ingat, kurasa ilmu silat yang kuciptakan berdasarkan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng
ini, takkan mudah dikalahkan oleh lain orang. Mari kita mencari seorang di antara mereka, hendak kucoba
sampai di mana kegunaan ilmu silat baru ini!”
Maka berangkatlah Kiu-bwe Coa-li bersama muridnya, untuk mencari seorang di antara empat besar, yakni
Hek-i Hui-mo, Jeng-kin Jiu Kak Thong Taisu, Ang-bin Sin-kai atau juga Pak-lo-sian Siangkoan Hai untuk
mengadu ilmu silatnya yang baru! Perjalanan ini dilakukan lambat sekali karena sepanjang hari Kiu-bwe
Coa-li terus melatih diri dengan ilmu silat baru ini, dan juga berbareng memberikan latihan-latihan ilmu silat
tinggi kepada muridnya.
Pada suatu hari mereka pun tiba di kota Cin-leng yang cukup besar dan ramai. Berbeda dengan tokohtokoh
kang-ouw lainnya, Kiu-bwe Coa-li paling teliti dalam memilih makan dan tempat menginap. Ia selalu
memilih rumah penginapan yang terbersih dan memilih makanan dari restoran yang besar. Oleh karena itu,
pakaian yang dipakai oleh Sui Ceng pun selalu bersih dan baik dan anak perempuan ini dibelikan pakaian
beberapa stel yang dibungkus dengan kain kuning dan selalu buntalan itu digendong di atas punggungnya.
Di kota Cin-leng, begitu telah memasuki sebuah rumah penginapan yang besar, Kiu-bwe Coa-li terus saja
berdiam dalam kamarnya, duduk di atas pembaringan dan bersemedhi. Sebaliknya, Sui Ceng yang ketika
memasuki kota tadi melihat bangunan-bangunan indah dan keadaan kota yang ramai, lalu keluar dari hotel
dunia-kangouw.blogspot.com
itu dan pergi berjalan-jalan.
Ketika tiba di depan sebuah restoran, perhatian Sui Ceng tertarik pada tujuh orang yang sedang makan di
ruangan depan restoran itu. Mereka ini nampaknya seperti orang-orang gagah dan dari pakaian mereka,
tahulah Sui Ceng bahwa mereka adalah serombongan piauwsu (pengawal kiriman barang berharga). Dari
wajah mereka yang kelihatan muram dan percakapan mereka yang hangat, Sui Ceng dapat menduga
bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat.
Oleh gurunya, Sui Ceng selalu dibekali uang, karena Kiu-bwe Coa-li berwatak terlalu angkuh untuk
membiarkan muridnya mencuri atau mengemis makanan. Maka Sui Ceng lalu bertindak memasuki
restoran itu dan mengambil tempat duduk tidak jauh dari para piauwsu yang sedang bercakap-cakap itu.
Tentu saja ada beberapa orang yang memandang padanya dengan heran, karena jarang terjadi seorang
anak perempuan berusia kurang lebih tujuh tahun memasuki restoran seorang diri. Akan tetapi selanjutnya
tidak ada lagi yang menaruh perhatian, karena dia disangka puteri seorang kaya raya yang suka jajan!
Sui Ceng tertarik sekali ketika mendengar seorang di antara para piauwsu itu berkata, “Jalan satu-satunya
bagi kita untuk menolong mereka, tidak lain kita harus minta bantuan dari Bin Kong Siansu ketua Kim-pansai.
Selain orang tua itu, agaknya siluman itu takkan dapat di lawan.”
Pada saat itu terdengar suara banyak orang mendatangi di luar restoran. Ketika Sui Ceng melirik, yang
datang itu adalah belasan orang laki-laki yang kelihatan gagah dan yang pada saat itu nampak marah
sekali.
“Hee, pengecut-pengecut dari Hui-to Piauwkiok (Perusahaan Expedisi Golok Terbang)! Keluarlah untuk
terima binasa!” teriak seorang di antara para pendatang itu.
“Hemm, menyebalkan sekali orang-orang Sin-to-pang itu!” kata seorang piauwsu sambil mencabut
goloknya, lalu berjalan keluar diikuti oleh kawan-kawannya.
Sementara itu, ketika mendengar bahwa orang-orang yang datang adalah para anggota Sin-to-pang
(Perkumpilan Golok Sakti), Sui Ceng terkejut sekali dan cepat berdiri lalu melihat dengan penuh perhatian.
“Kalian ini orang-orang Sin-to-pang mau apakah? Ketua kami dan isterinya mengalami bencana, namun
kalian ini sebagai orang-orang yang menganggap diri gagah bukannya membantu bahkan mencari
masalah!” kata piauwsu tadi sambil bersiap dengan golok di tanganya.
Seorang di antara anggota-anggota Sin-to-pang, yang semuanya juga memegang golok, menudingkan
goloknya sambil memaki, “Orang-orang rendah! Kalau tidak ketua kalian si pemikat she Ong itu membujuk
Thio-toanio, tidak nanti akan terjadi Thio-toanio sampai tertangkap oleh Toat-beng Hui-houw (Macan
Terbang Pencabut Nyawa)! Sekarang mau atau tidak mau kalian harus menebus kesalahan ketuamu itu,
baru kami akan menolong Thio-toanio.”
“Manusia-manusia sombong dan bodoh!” para piauwsu itu berseru.
Terjadilah perang tanding antara belasan anggota Sin-to-pang dan tujuh orang paiuwsu itu. Semua
menggunakan golok dan pertempuran terjadi ramai sekali. Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu
menjadi ketakutan dan cepat-cepat melarikan diri.
Akan tetapi, pada saat itu, sesosok bayangan yang kecil melompat ke tengah medan pertandingan dan
terdengar seruan nyaring, “Tahan semua senjata!”
Bayangan ini adalah Sui Ceng yang tadi bergerak dengan tubuh ringan dan cepat, juga suaranya
dikeluarkan dengan mengerahkan tenaga khikang sehingga terdengar nyaring dan berpengaruh. Beberapa
orang segera menahan senjata mereka dan mundur, akan tetapi ada tiga orang anggota Sin-to-pang dan
dua orang piauwsu yang berangasan dan masih saja bertanding dengan hebatnya.
“Tahan kataku!” teriak Sui Ceng. Sekali saja dia menggerakkan tangannya dan tubuhnya menyambar,
terdengar suara berkerontangan dan empat batang golok telah terlepas dari pegangan dan terlempar ke
atas tanah mengenai batu-batu.
Orang-orang itu kaget bukan main karena ternyata bahwa yang membuat tangan mereka lumpuh untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
sesaat tadi hanyalah seorang anak perempuan! Sui Ceng memang telah menggunakan gerakan jari-jari
tangan untuk menotok urat-urat nadi mereka, kemudian mengandalkan ginkang-nya yang sudah tinggi, dia
dapat melakukan serangan-serangan ini dengan amat mudah!
“Siauw-pangcu (ketua cilik)!!” para anggota-anggota Sin-to-pang berseru ketika mereka melihat Sui Ceng.
Serta-merta orang-orang ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Sui Ceng!
Para piauwsu yang melihat hal ini menjadi tertegun dan kini dua orang di antara mereka mengenal pula Sui
Ceng yang dulu pernah ikut ibunya, ketika ibunya menikah dengan Ong Kiat pemimpin mereka.
“Ah, tidak tahunya Siocia yang datang!” kata mereka sambil memberi hormat.
Menghadapi semua penghormatan ini, Sui Ceng sama sekali tidak merasa kikuk atau sungkan. Ia berdiri
tegak, lalu berkata, “Mengapa di antara orang-orang sendiri sampai menimbulkan keributan yang tidak
perlu? Ada urusan dapat diurus, ada persoalan dapat diselesaikan. Sebenarnya, apakah yang telah
terjadi?”
Karena kini orang-orang datang lagi berduyun-duyun untuk mendengarkan pembicaraan mereka, para
piauwsu itu mempersilakan Sui Ceng dan anggota-anggota Sin-to-pang untuk memasuki restoran. Mereka
mengambil tempat di ruang atas dan di situ Sui Ceng duduk dikelilingi oleh orang-orang Sin-to-pang dan
para piauwsu dari Hui-to Piauwkiok.
Maka berceritalah mereka tentang bencana yang menimpa Ong Kiat dan isterinya, yakni Thio Loan Eng.
Bencana itu baru terjadi dua hari yang lalu. Pada saat itu, Ong Kiat yang menjadi ketua dari Hui-to
Piauwkiok mengawal sendiri barang kiriman dari Hak-keng ke kota raja. Terpaksa dia turun tangan sendiri
karena barang yang dikirim itu adalah barang berharga, yaitu sumbangan hartawan-hartawan di Hak-keng
untuk para pembesar di kota raja.
Memang pada masa itu, di Tiongkok lajim terjadi pengiriman barang-barang ‘upeti’ yang amat mahal dari
para hartawan kepada pembesar-pembesar tertentu sampai ke kaisar, akan tetapi tak seorang pun berani
menyatakan bahwa kiriman itu merupakan ‘sogokan’.
Perjalanan dari Hak-keng ke kota raja harus melalui kota Cin-leng, dan sampai di kota ini rombongan yang
terdiri dari dua gerobak kuda berisi barang kiriman dan dikawal oleh Ong Kiat beserta tujuh orang anak
buahnya, tidak mengalami gangguan sesuatu. Para petualang di dunia liok-lim tidak ada yang berani
mengganggu rombongan ini pada saat mereka melihat dua macam bendera yang tertancap di atas
gerobak.
Yang pertama bendera berlukiskan sebuah golok terbang sebagai lambang dari Hui-to Piauwkiok
(Perusahaan Expedisi Golok Terbang), dan bendera kedua adalah bendera kuning bertuliskan merah
ONG, tanda bahwa Ong Kiat sendiri mengawal barang-barang berharga itu. Rombongan itu kemudian
bermalam di kota Cin-leng.
Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan ke kota raja. Akan tetapi perjalanan kali ini amat sukar,
karena dari Cin-leng ke kota raja harus melalui hutan-hutan belukar yang amat liar dan di sana tidak
terdapat jalan besar yang dapat dilalui gerobak dengan mudah. Terpaksa memperlebar jalan kecil di dalam
hutan dengan membabat rumput dan pepohonan.
Baru saja mereka memasuki hutan kedua, kira-kira tiga puluh li dari kota Cin-leng di sebelah utara, senja
telah tiba. Selagi Ong Kiat dan tujuh orang anak buahnya membabat alang-alang, tiba-tiba terdengar suara
ketawa yang keras dan menyeramkan sekali dan dari atas sebatang pohon besar menyambar turun
bayangan orang yang tak dapat dilihat dengan jelas oleh karena cepatnya gerakan orang ini. Orang itu
hanya melompat ke atas gerobak di depan dan menghilang lagi, meninggalkan gema ketawa yang
menyeramkan.
“Ibliskah dia...?” tanya seorang anak buah, kawan Ong Kiat.
“Ssttt, jangan sembarangan bicara,” Ong Kiat mencela. “Apa kalian tak tahu bahwa orang itu sengaja
mempermainkan kita? Lihat!” Ong Kiat menunjuk ke atas gerobak pertama dan ketika tujuh orang anak
buahnya menengok, mereka menjadi pucat sekali.
Ternyata bahwa dua buah bendera yang tadinya tertancap di atas gerobak dan berkibar kibar tertiup angin,
dunia-kangouw.blogspot.com
sekarang sudah lenyap tak meninggalkan bekas! Alangkah hebatnya kepandaian bayangan tadi, sekali
melompat saja sudah dapat merampas dua bendera tanpa dapat mereka lihat sedikit pun juga.
Ong Kiat sendiri tidak dapat melihat gerakan orang tadi dengan jelas, akan tetapi karena ilmu silatnya lebih
tinggi dari pada kawan-kawannya, dia masih dapat mengikuti ke mana bayangan tadi melayang sehingga
dia juga sempat melihat lenyapnya dua benderanya. Ong Kiat lalu menghadap ke arah bayangan tadi
menghilang, kemudian menjura sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan
dan berkata,
“Siauwte Ong Kiat mengharap supaya sahabat yang di depan jangan mempermainkan kami dan sukalah
memberi maaf apa bila kami tidak menyambut kedatanganmu karena tidak tahu. Apa bila sahabat berlaku
murah, kami Hui-to Piauwkiok bukanlah orang-orang yang tak kenal budi dan tentu akan memenuhi
permintaan yang pantas dari padamu.”
Setelah Ong Kiat mengakhiri kata-katanya, keadaan sunyi sekali. Semua orang menahan napas dan yang
terdengar hanya berkereseknya daun-daun pohon dipermainkan oleh angin lalu. Tiba-tiba terdengar lagi
suara ketawa yang menyeramkan seperti tadi dan dari jurusan depan, menyambar dua benda merupakan
sinar kuning dan putih yang meluncur mengarah dada dan leher Ong Kiat!
Piauwsu ini bukan seorang lemah. Ia tahu bahwa dia diserang dengan senjata rahasia yang aneh, maka
cepat dia miringkan tubuhnya ke kiri. Ketika dua tangannya bergerak dari samping, dia telah menangkap
dua benda kuning dan putih itu.
Alangkah mendongkolnya ketika dia melihat bahwa benda-benda itu bukan lain adalah dua buah
benderanya yang tadi dicabut orang! Akan tetapi, diam-diam dia terkejut sekali karena ketika dia
menyambut bendera-bendera tadi, kedua tangannya tergetar. Bukan main hebatnya tenaga yang
menyambitkan dua bendera bergagang kayu itu.
“Ong Kiat, manusia lancang!” terdengar suara yang parau dan kasar. “Kau sudah berani sekali mengambil
Pek-cilan sebagai isterimu, padahal dia telah dipastikan akan mampus di dalam tanganku. Akan tetapi aku
masih mau mengampuni jiwamu dan hanya akan menghukummu dengan merampas dua gerobak barang
ini. Kau dan anak buahmu lekas pergi dari sini dan tinggalkan dua gerobak barang ini di sini!”
Wajah Ong Kiat sebentar berubah pucat sebentar merah saking marah dan dongkolnya mendengar katakata
yang sangat menghina ini. Dia adalah seorang gagah, walau pun pekerjaannya sebagai piauwsu
mengharuskannya untuk bersikap baik terhadap para perampok agar jangan banyak dimusuhi orang, akan
tetapi kalau orang terlalu menghina, dia pasti akan melawan!
“Sahabat manakah yang begitu sombong? Harap keluar memperkenalkan diri. Aku Ong Kiat bukanlah
orang yang lantas menjadi ketakutan oleh gertak kosong belaka!” Sambil berkata demikian, dia mencabut
goloknya yang tajam mengkilap.
Tujuh orang kawannya juga sudah mencabut goloknya masing-masing. Ong Kiat terkenal sebagai seorang
ahli golok yang lihai, seorang murid Thian-san-pai yang tak boleh dibuat permainan. Juga tujuh orang
kawannya telah mempelajari ilmu golok sehingga rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tangguh.
Kembali terdengar suara ketawa dan kali ini disertai ejekan. “Kalian sudah bosan hidup, jangan bilang aku
berlaku kejam!”
Sehabis ucapan ini, dari belakang rumpun menyambar keluar tubuh seorang kakek yang betul-betul
menyeramkan. Bajunya yang berlengan lebar berwarna biru muda, celananya biru tua dan kakinya
telanjang. Hidungnya bengkok dan besar, ada pun mulutnya tertutup oleh cambang dan jenggot putih.
Kepalanya botak kelimis, hanya pada kanan kirinya terdapat rambut hitam yang kaku dan berdiri. Yang
hebat adalah jari-jari tangannya, karena sepuluh jari tangannya itu berkuku panjang dan runcing bagaikan
kuku harimau! Ketika dia melompat keluar, kedua kakinya tidak mengeluarkan suara sedikit pun, seperti
kaki harimau saja.
“Kau tidak mengenal aku? Ha-ha-ha!” Kakek yang menyeramkan ini mengeluarkan suara ketawa seperti
auman harimau.
Ong Kiat memandang takjub. Melihat keadaan kakek ini, dia teringat akan seorang tokoh hek-to (jalan
dunia-kangouw.blogspot.com
hitam, dunia orang jahat) yang di juluki orang Toat-beng Hui-houw (Harimau Terbang Pencabut Nyawa).
Akan tetapi, Toat-beng Hui-houw kabarnya sudah lenyap dari dunia dan sudah puluhan tahun tak pernah
memperlihatkan diri lagi.
Ong Kiat segera memberi hormat. “Siauwte bermata buta, tidak mengenal siapa adanya Locianpwe yang
terhormat.”
Toat-beng Hui-houw sejak mudanya berwatak keras dan sombong sekali, maka begitu mendengar orang
tidak mengenal namanya, dia menjadi makin marah. “Buka telingamu dan matamu lebar-lebar, Ongpiauwsu!
Aku adalah Toat-beng Hui-houw, dan kau tentu sudah tahu bahwa siapa pun juga yang tidak mau
mentaati perintah Toat-beng Hui-houw, berarti harus mati!” Sesudah berkata demikian, secepat kilat
tangannya yang berkuku panjang itu menyambar ke arah kepala Ong Kiat!
Piauwsu muda ini terkejut sekali, tidak hanya karena nama itu, akan tetapi juga karena serangan yang
datangnya tiba-tiba dan hebat bukan main ini. Cepat dia menggerakkan goloknya menangkis sekuat
tenaga, bermaksud membabat putus kuku-kuku panjang dari lawannya itu.
“Traaang...!”
Ong Kiat berseru kaget. Cepat-cepat dia melompat ke belakang karena merasa betapa goloknya beradu
dengan benda yang luar biasa keras dan kuatnya sehingga kalau dia tidak buru-buru menarik kembali
goloknya dan melompat mundur, tentu golok itu akan terlepas dari pegangannya! Baiknya golok yang
dipegangnya adalah golok pusaka yang ampuh dan kuat, kalau tidak demikian, agaknya golok itu sudah
menjadi rusak pada saat bertemu dengan kuku-kuku yang demikian kerasnya!
“Ha-ha-ha! Kau harus mampus! Kau juga!” kata-kata ini diulangi terus.
Tubuhnya bergerak maju sambil menyerang dengan sepasang tangannya yang berkuku runcing dan
panjang.
“Tranggg! Tranggg!”
Terdengar suara beberapa kali dan golok di tangan ketujuh orang kawan Ong Kiat itu terbang terlepas dari
tangan, ada yang retak dan ada pula yang terpotong menjadi dua! Kemudian disusul jeritan-jeritan ngeri
ketika kuku-kuku yang panjang itu mengenai tubuh mereka. Ada yang lehernya hampir putus, kulit perutnya
robek dan sebentar saja tujuh orang piauwsu itu tergeletak tumpang tindih dalam keadaan yang amat
mengerikan!
Keadaan mereka ini tiada bedanya dengan orang-orang yang telah diserang oleh seekor harimau yang
ganas. Akan tetapi, Toat-beng Hui-houw sengaja hanya melukai pundak salah seorang di antara ketujuh
kawan Ong Kiat itu yang kini duduk merintih-rintih dan memegangi pundak kanannya yang berlumur darah.
Ong Kiat menjadi marah sekali. Dengan nekat dia lalu menyerang dengan goloknya. Serangannya tidak
boleh dibuat permainan, oleh karena dia mempergunakan ilmu golok Thian-san-pai yang lihai.
Toat-beng Hui-houw maklum akan hal ini. Karena itu dia pun tidak berani sembarangan menangkis,
melainkan mempergunakan ginkang-nya yang istimewa untuk mengelak ke sana kemari. Orang sudah
tahu akan kegesitan seekor harimau, akan tetapi Toat-beng Hui-houw (Harimau Terbang) karena
gerakannya itu seakan-akan seekor harimau yang bersayap!
Tidak saja dia pandai dan cepat sekali mengelak ke sana ke mari, bahkan kadang kala dia melompat tinggi
seperti terbang saja. Selain mengelak atau menangkis serangan Ong Kiat yang mengamuk seperti gila
karena sudah nekat sekali, juga Toat-beng Hui-houw membalas dengan serangan-serangan kukunya yang
berbahaya.
Betapa pun pandainya Ong Kiat mainkan goloknya, namun menghadapi kakek yang luar biasa sekali ini dia
hanya dapat betahan sampai tiga puluh jurus saja. Agaknya kalau Toat-beng Hui-houw menghendaki
kematiannya, dalam sepuluh jurus juga Ong Kiat akan roboh binasa.
Tetapi kakek ini hendak menawannya hidup-hidup, maka dia hanya berusaha merampas golok. Akhirnya,
ketika golok itu diputar dan menyerang lehernya, kakek itu berseru keras sekali dan kedua tangannya
bergerak. Tangan kanan mendahului golok mencengkeram ke arah lambung lawan dan tangan kiri
dunia-kangouw.blogspot.com
menyusul untuk merampas golok!
Ong Kiat tak berdaya. Kalau dia membiarkan lambungnya dicengkeram, tentu dia akan binasa dan
goloknya yang datangnya kalah cepat belum tentu akan mengenai lawan. Terpaksa dia melompat ke
belakang dan menarik pulang goloknya, namun terlambat. Golok itu telah kena dicengkeram dan sekali
renggut saja sudah pindah tangan!
Toat-beng Hui-houw mendesak terus dan akhirnya jalan darah di pundak Ong Kiat telah kena dicengkeram
oleh jari-jari itu. Kulit pundaknya pecah, lantas Ong Kiat roboh dalam keadaan lumpuh tak berdaya lagi!
“Ha-ha-ha! Baru kalian tahu betapa lihainya Toat-beng Hui-houw!”
Dia lalu mempergunakan kakinya yang telanjang itu untuk menendang bangun anggota piauwsu yang
terluka pundaknya tadi. “Hei, kau!” Aku sengaja tidak membikin mampus padamu agar kau dapat
memanggil Pek-cilan, datang ke sini! Katakan bahwa selambat-lambatnya besok pagi ia harus datang di
sini, bila tidak, suaminya akan kucekik mampus dan dia pun akan kucari ke rumahnya. Pakai kuda itu!”
Piauwsu itu tidak berdaya. Terpaksa dia menangkap kembali kudanya dan mengaburkan kuda itu kembali
ke Hak-keng. Dia melakukan perjalanan cepat sekali tanpa berhenti, sedangkan luka dipundaknya tidak
dirawat, maka ketika dia tiba di depan Thio Loan Eng, dia roboh pingsan!
Dapat diduga betapa hebat kemarahan dan kekagetan hati Loan Eng mendengar tentang keadaan
suaminya. Tanpa banyak cakap lagi, dia lalu cepat melarikan kuda menuju ke tempat itu, diikuti oleh semua
anggota piauwkok, yakni piauwsu-piauwsu yang kebetulan berada di kota yang jumlahnya ada sepuluh
orang. Begitu sampai di tempat yang dituju, Loan Eng mencabut pedangnya dan berseru dengan suara
keras,
“Toat-beng Hui-houw siluman buas, kau keluarlah untuk terima binasa!”
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari Toat-beng Hui-houw, lalu tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia
telah berdiri di hadapan Loan Eng. Pendekar wanita ini pun belum pernah bertemu dengan kakek ini, maka
seperti juga Ong Kiat, dia terkejut sekali menyaksikan keseraman kakek ini. Akan tetapi ia tidak pernah
mengenal takut, dan karena itu sambil menudingkan pedangnya ke muka orang, ia pun berkata,
“Toat-beng Hui-houw, antara kita tidak pernah terjadi permusuhan, mengapa kau berlaku begitu kejam,
membunuh kawan-kawan kami dan bahkan menawan suamiku?”
Kakek yang menyeramkan itu tertawa bergelak dengan suara mengejek lalu dia berkata, “Pek-cilan, kau
terlalu mengandalkan kegagahan sendiri dan sama sekali tidak melihat orang! Kau telah membunuh suteku
Tauw-cai-houw, maka sekarang aku datang untuk menagih hutang!”
Terkejut hati Loan Eng mendengar ini. Ahhh, tidak tahunya kakek mengerikan ini adalah suheng (kakak
seperguruan) dari Tauw-cai-houw, manusia gila yang dulu menculik dan hendak memanggang Kwan Cu
hidup-hidup dan yang telah terbunuh olehnya dalam satu pertempuran. Tauw-cai-houw saja sudah amat
lihai, apa lagi suheng-nya ini!
Akan tetapi Loan Eng tidak menjadi jeri. Ia tersenyum mengejek dan berkata, “Toat-beng Hui-houw, kau
mau menang sendiri saja. Sute-mu (adik seperguruanmu) Tauw-cai-houw itu adalah orang gila. Aku
melihat jelas dia menangkap seorang anak kecil yang hendak dipanggang dan dimakan dagingnya.
Apakah aku harus berpeluk tangan saja dan tidak mencegahnya? Kau tentu maklum bahwa kejahatan
seperti itu tidak dapat diampunkan lagi. Sute-mu bertempur dengan aku dan dia binasa, mengapa hal ini
kau jadikan alasan untuk membunuh orang-orangku dan menawan suamiku?”
“Tolol! Sute-ku sedang meyakinkan Ilmu Hoat-lek Kim-ciong-ko (Ilmu Kebal Berdasarkan Ilmu Gaib) dan
untuk itu dia membutuhkan daging serta darah seorang anak sin-tong (anak ajaib)! Kau datang
mengganggu dan bahkan membunuhnya. Sekarang aku yang akan mengambil darahmu untuk dijadikan
obat panjang usia, ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, Toat-beng Hui-houw lalu menubruk dengan kukukuku
tangannya yang sangat panjang dan runcing.
Loan Eng maklum bahwa dia menghadapi seorang kakek yang selain lihai sekali, juga agaknya pun miring
otaknya, maka ia lantas berlaku hati-hati sekali. Pedangnya diputar cepat sehingga berubah menjadi
gulungan sinar putih yang menyilaukan mata.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau dibandingkan dengan ilmu golok Ong Kiat, ilmu pedang Loan Eng ini ternyata lebih ganas dan
berbahaya. Akan tetapi kini Toat-beng Hui-houw bergerak cepat sekali dan kakek ini mengerahkan seluruh
kepandaiannya.
Pandangan mata Loan Eng menjadi kabur dan gelap saking cepatnya gerakan kakek itu, apa lagi kini dari
kedua tangan kakek itu menyambar hawa dingin yang berbau sangat amis. Diam-diam Loan Eng bergidik.
Dia pernah mendengar akan kehebatan kakek ini, dan mendengar pula bahwa kuku-kuku yang panjang itu
sewaktu-waktu apa bila menghadapi lawan tangguh, direndam dalam air obat terisi racun yang sangat
jahat. Ia tahu bahwa sekali saja ia terkena kuku yang runcing seperti pisau itu, tentu ia akan terkena bisa
dan celaka.
Akan tetapi Loan Eng memang terkenal seorang keras hati yang tak mau menyerah dan pantang mundur.
Ia menyerang terus, mengerahkan tenaga dan seluruh kepandaiannya, menggerakkan pedangnya dalam
tipu-tipu yang paling diandalkan.
Pertandingan terjadi luar biasa hebatnya, jauh lebih hebat dibandingkan ketika Toat-beng Hui-houw
menghadapi Ong Kiat. Sepuluh orang piauwsu yang ikut datang bersama Loan Eng menjadi bingung
karena tidak tahu harus berbuat apa. Ingin membantu, akan tetapi maklum akan kekurangan sendiri dan
baru melihat pertandingan itu saja mereka telah menjadi pening dan tak dapat membedakan mana kawan
dan lawan karena gerakan dua orang yang bertempur luar biasa cepatnya.
Baru kali ini Loan Eng merasa mendapat lawan yang amat tangguh. Toat-beng Hui-houw benar-benar jauh
lebih tangguh dari pada Tauw-cai-houw dan setelah melawan sampai empat puluh jurus lebih, akhirnya ia
pun harus menyerah kalah. Sepuluh buah kuku yang runcing itu berhasil mencengkeram pedangnya dan
tanpa dapat ditahan lagi, pedangnya terlepas dari tangannya. Kemudian Toat-beng Hui-houw menubruk
maju, disambut oleh tendangan kaki Loan Eng yang menggunakan ilmu tendang Soan-hong-twi.
Namun, alangkah kagetnya ketika kaki kirinya dapat tertangkap pula! Sebelum ia sempat memukul,
pundaknya dapat dicengkeram dan matanya menjadi gelap. Loan Eng roboh pingsan!
Melihat hal ini, sepuluh orang piauwsu yang berada di sana menjadi terkejut dan marah sekali. Dengan
golok di tangan mereka menyerbu Toat-beng Hui-houw. Kakek yang amat mengerikan ini hanya tertawa
bergelak. Begitu tubuhnya bergerak didahului oleh kedua tangannya yang berkuku panjang, tiga orang
piauwsu roboh tak bernyawa pula!
Melihat kehebatan ini, tujuh orang piauwsu yang lain lalu melompat ke atas kuda mereka dan melarikan diri
dari situ! Kemudian mereka mengadakan perundingan dalam restoran untuk mencari jalan guna menolong
Ong Kiat beserta Loan Eng dan kemudian datang rombongan anggota Sin-to-pang sehingga terjadi
pertempuran sebagaimana yang sudah dituturkan di bagian depan.
Ada pun orang-orang Sin-to-pang kemudian menuturkan bahwa mereka mendengar pula mengenai
bencana yang menimpa Loan Eng. Mereka menjadi marah sekali. Semenjak mendengar bahwa Loan Eng
menikah dengan Ong Kiat, semua anggota Sin-to-pang ini sudah merasa sakit hati dan tidak senang
kepada Hui-to Piauwkiok. Dan kini, mendengar bahwa Loan Eng mendapat bencana, mereka menganggap
bahwa itu adalah kesalahan Ong Kiat. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa justru Toat-beng Hui-houw
turun gunung mengganggu Ong Kiat karena Ong Kiat memperisteri Loan Eng dan karena Loan Eng telah
membinasakan Tauw-cai-houw, sute dari Toat-beng Hui-houw!
Demikianlah, dua rombongan dari Sin-to-pang dan Hui-to Piauwkiok saling menuturkan apa yang mereka
ketahui kepada Sui Ceng dan baru sekarang rombongan Sin-to-pang mengetahui duduk perkara yang
sesungguhnya.
“Hanya ada dua jalan,” kata para piauwsu itu menutup penuturan mereka. “Pertama, kita minta bantuan Bin
Kong Siansu dari Kim-san-pai, dan ke dua, kita harus minta bantuan Thian-san-pai untuk menghadapi
Toat-beng Hui-houw yang lihai.”
Sementara itu, untuk beberapa lama Sui Ceng tidak dapat berkata-kata saking marahnya mendengar
penuturan tentang bencana yang menimpa diri ibunya. Kini ia berseru keras dan mencela kata-kata mereka
itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Banyak cakap tanpa kerja tiada gunanya. Hayo kalian tunjukkan kepadaku di mana Ibu ditawan.
Menghadapi siluman tua itu saja, kenapa mesti ribut-ribut minta bantuan orang lain?”
“Siauw-pangcu berkata benar! Sin-to-pang tak boleh memperlihatkan kelemahan. Hayo, kawan-kawan dari
Hui-to Piauwkiok, marilah kita mengantar Pangcu ke tempat itu dan kita keroyok siluman itu!” kata orangorang
Sin-to-pang.
Akan tetapi, para piauwsu yang sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan kelihaian Toat-beng
Hui-houw, menjadi geli melihat sikap Sui Ceng dan para anggota Sin-to-pang. Ong Kiat dan Loan Eng
sendiri dibantu oleh beberapa orang piauwsu yang tangguh, masih tidak berdaya menghadapi siluman tua
itu, apa lagi anak kecil ini?
Melihat keraguan orang-orang Hui-to Piauwkiok, Sui Ceng membentak,
“Apakah kalian takut? Hemm, kalau aku berhasil menolong ayah tiriku, akan kuceritakan kepadanya
bagaimana sikap kalian yang pengecut ini!”
Naik darah para piauwsu itu mendengar ejekan anak kecil ini.
“Siapa bilang kami takut? Hayo kita berangkat sekarang juga!” kata mereka.
Diam-diam Sui Ceng tersenyum karena dia telah berhasil membangunkan lagi semangat mereka. Orangorang
ini masih belum percaya kepadanya dan perlu dia memperlihatkan kepandaian agar mereka itu
menjadi tenang dan bersemangat.
“Kalian boleh naik kuda dan maju secepatnya. Aku sendiri akan berlari cepat.”
Kembali diam-diam para piauwsu itu mentertawakan Sui Ceng.
“Hemm, anak ini sungguh sombong sekali dan keras seperti ibunya,” pikir mereka. Akan tetapi, karena
rombongan Sin-to-pang yang datang berkuda itu pun telah mengaburkan kuda mereka, para piauwsu itu
juga segera naik ke atas kuda dan menjalankan kuda mereka cepat sekali.
Pada saat mereka telah keluar dari kota Cin-leng, bukan main heran hati mereka ketika melihat seorang
anak perempuan telah berlari-lari di depan kuda mereka. Ketika mereka memandang dengan penuh
perhatian, tak salah lagi, anak kecil itu adalah Bun Sui Ceng adanya! Melihat kehebatan ilmu lari cepat dari
ketua mereka, orang-orang Sin-to-pang bersorak,
“Hidup Siauw-pangcu!”
Ada pun orang-orang Hui-to Piauwkiok amat kagum dan diam-diam mereka pun menaruh harapan mudahmudahan
ketua mereka dan isterinya akan tertolong dari tangan siluman tua itu oleh anak perempuan yang
ajaib ini. Ada pun Sui Ceng yang di depan, segera memberi tanda kepada orang-orang dari Hui-to
Piauwkiok untuk menjadi penunjuk jalan karena dia sendiri belum tahu di mana adanya sarang Toat-beng
Hui-houw.
Diam-diam Sui Ceng merasa agak khawatir juga. Bukan khawatir atau takut menghadapi Toat-beng Huihouw,
sama sekali tidak. Anak ini keberaniannya malah melebihi ibunya! Yang ia khawatirkan adalah
gurunya. Ia tadi pergi tidak memberitahukan kepada Kiu-bwe Coa-li, dan takut kalau-kalau gurunya kelak
akan menegur dan memarahinya.
Ketika tiba di tempat di mana kemarin harinya Loan Eng bertempur melawan Toat-beng Hui-houw, mereka
semua kemudian berhenti dan turun dari kuda. Di situ masih nampak bekas-bekas pertempuran, bahkan
mayat para piauwsu yang tidak keburu diambil oleh kawan-kawannya masih bergelimpangan di situ.
Kemudian Sui Ceng berseru menantang, “Toat-beng Hui-houw, lekas keluar! Marilah kita bertempur seribu
jurus!”
Akan tetapi, biar pun berkali-kali ia berteriak, bahkan dibantu oleh para piauwsu bersama anggota Sin-topang
yang memaki-maki, tidak terdengar jawaban dari iblis tua itu. Hanya gema suara mereka saja
terdengar dari kanan dan kiri sehingga membuat burung-burung hutan beterbangan serta binatangbinatang
kecil berlarian menyembunyikan diri di dalam semak-semak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ke mana perginya Toat-beng Hui-houw? Dan bagaimana nasib Loan Eng dan Ong Kiat? Tak jauh dari
tempat Sui Ceng bersama kawan-kawannya berseru menantang, terdapat sebuah goa besar sekali di bukit
batu karang. Goa inilah tempat sembunyi atau sarang Toat-beng Hui-houw dan ke dalam goa ini pula dia
membawa Loan Eng dan Ong Kiat.
Pada saat itu, bukan dia tidak mendengar seruan-seruan yang ramai dari hutan itu, akan tetapi dia tengah
asyik dengan perbuatannya yang amat terkutuk dan bukan merupakan perbuatan manusia lagi. Di dalam
ruangan sebelah kiri goa itu, Loan Eng rebah di atas pembaringan batu dalam keadaan lumpuh dan tak
dapat menggerakkan kaki tangannya karena jalan darahnya sudah dipukul dengan tiam-hoat (ilmu
menotok) oleh iblis tua itu.
Biar pun ia tak dapat menggerakkan kaki tangannya, namun Loan Eng masih sadar dan tahu bahwa dia
berada dalam cengkeraman seorang iblis yang jahat sekali. Beberapa kali dia melirik ke dalam ruangan
yang suram-suram itu karena mendapat penerangan cahaya matahari yang masuk melalui mulut goa.
Akan tetapi dia tidak melihat suaminya, dan dia diam-diam mengeluh.
Mendadak terdengar suara terkekeh-kekeh dan masuklah tubuh Toat-beng Hui-houw di dalam ruangan itu.
Loan Eng mengerahkan seluruh tenaga untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, akan tetapi sia-sia
belaka, bahkan usahanya ini melemaskan seluruh tubuhnya dan membuat luka di pundaknya terasa sakit
sekali, hampir tak tertahankan.
“Ha-ha-ha! He-he-he! Pek-cilan, kau telah membunuh sute-ku dan sekarang kau sudah terjatuh ke dalam
tanganku! Ha-ha-ha, kau benar-benar seperti bunga cilan putih. Cantik dan bersih. He-he-he! Darahmu
tentu segar dan bersih pula, dan dapat membikin aku muda kembali!”
Sambil tertawa-tawa, kakek botak berkuku panjang ini menghampiri pembaringan batu di mana Loan Eng
terlentang tak berdaya. Lebih dahulu kakek ini meraba kaki tangan Loan Eng, untuk melihat bahwa
korbannya benar-benar masih berada dalam keadaan lumpuh tertotok sehingga tidak akan dapat
melakukan serangan yang tiba-tiba.
Kemudian, dia mendekatkan mukanya pada muka Loan Eng yang tentu saja merasa jijik sekali. Akan tetapi
apa dayanya? Dia menahan tekanan hatinya dan ingin melihat apa yang akan diperbuat oleh manusia iblis
ini terhadap dirinya. Masih banyak waktu untuk membalas dendam, pikirnya. Tunggu saja kalau aku
sampai terbebas.
Akan tetapi, perbuatan yang kemudian dilakukan oleh Toat-beng Hui-houw benar-benar di luar dugaannya.
Belum pernah ada seorang manusia, betapa gilanya pun, melakukan perbuatan keji seperti itu. Ketika dia
sudah mendekatkan mukanya dengan muka Loan Eng, ternyata dia tidak berbuat kurang ajar, bahkan kini
mukanya diarahkan pada leher Loan Eng yang berkulit halus.
Tiba-tiba Loan Eng merasa betapa mulut kakek itu menempel pada lehernya, membuat ia merasa ngeri
dan membuat bulu tengkuknya berdiri. Ia mengira bahwa kakek ini hanya ingin mencium lehernya saja.
Akan tetapi, tidak tahunya, kakek ini tidak mau melepaskan lehernya lagi dan sampai lama, mulut kakek itu
masih menempel pada lehernya.
Pelan-pelan Loan Eng merasa betapa kakek itu menggunakan giginya untuk menggigit lehernya yang
terasa perih, kemudian ia merasa betapa mulut kakek itu mulai menghisap darah dari luka di leher bekas
gigitan! Bukan main ngerinya hati Loan Eng menghadapi perbuatan kakek siluman ini sehingga kepalanya
menjadi makin pening, tubuhnya makin lemas dan tak lama kemudian, nyonya muda ini menjadi pingsan!
Toat-beng Hui-houw ternyata membuktikan ancamannya. Dia hendak menghisap darah pembunuh sutenya
ini, bukan saja dengan maksud membalas dendam, akan tetapi juga untuk suatu maksud, yakni dia
hendak ‘mengoper’ darah wanita muda yang cantik jelita itu agar supaya dia akan menjadi awet muda!
Pikiran dari seorang yang telah lenyap peri kemanusiaannya, seorang yang telah berubah menjadi iblis
jahat!
Sesudah kenyang menghisap darah Loan Eng, Toat-beng Hui-houw tertawa-tawa girang dan melompatlompat
keluar. Ia merasa telah menjadi muda kembali! Sebetulnya bukan karena isapan darah yang
dilakukan seperti seorang iblis keji itu, melainkan disebabkan perasaan dan pikirannya yang sudah tidak
normal lagi itulah yang membuat dia merasa seolah-olah menjadi muda kembali! Ia pun keluar dari goa dan
kini dia mendengar suara tantangan yang keluar dari hutan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha, segala tikus busuk! Toat-beng Hui-houw berada disini, kalian mau apa?”
Suara ini dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang sepenuhnya hingga terdengar sampai jauh.
Seperti tokoh-tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, Toat-beng Hui-houw juga pandai Ilmu
Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), maka tentu saja suaranya ini bergema jauh dan terdengar
baik-baik oleh Sui Ceng dan kawan-kawannya.
Mendengar suara ini, Sui Ceng lalu melompat dan berlari cepat menuju ke arah suara itu, diikuti oleh
kawan-kawannya yang segera tertinggal jauh. Dengan berkuda saja piauwsu dan anggota Sin-to-pang
masih tidak dapat menandingi ilmu lari cepat Sui Ceng, apa lagi sekarang mereka berlari biasa!
Pada saat tiba di depan goa, Sui Ceng melihat seorang kakek yang mengerikan sedang menari-nari,
berlompat-lompatan dan bernyanyi!
“Aku menjadi muda kembali, muda kembali...! Ha-ha-ha…! Toat-beng Hui-houw menjadi muda kembali!”
Untuk sesaat, Sui Ceng tertegun. Yang berada di hadapannya itu seperti bukan manusia lagi, melainkan
seorang iblis yang mengerikan. Akan tetapi, Sui Ceng yang baru berusia delapan tahun itu tidak merasa
takut sedikit pun juga. Dia bahkan melangkah maju dan menghadapi iblis tua itu dengan sikap tenang dan
tabah.
“Ehh, kakek tua miring otak!”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru