Rabu, 27 September 2017

Cerita Silat Keren Si Tangan Sakti 3

Cerita Silat Keren Si Tangan Sakti 3 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cerita Silat Keren Si Tangan Sakti 3
kumpulan cerita silat cersil online
-
Pada saat melihat bahwa tempat itu telah terkepung pasukan pemerintah, Sui Lan yang tadinya hendak
melarikan diri, menjadi girang sekali. Ia lalu menyatakan bahwa ia ingin membantu pasukan pemerintah
menghancurkan Pao-beng-pai. Ia mengatakan bahwa tanpa petunjuk jalan yang mengenal tempat itu,
penyerbuan akan menghadapi kesulitan karena di sekeliling Ban-kwi-kok dipasangi jebakan-jebakan yang
amat berbahaya.
Usulnya diterima dan demikianlah, berkat petunjuk wanita yang menjadi pengkhianat karena sakit hati itu,
pasukan pemerintah dapat naik dengan mudah sampai mengurung sarang Pao-beng-pai. Sekarang,
setelah berhasil menyusup dengan diam-diam, mereka melakukan penyerbuan serentak sehingga
menggegerkan para anggota Pao-beng-pai.
Sui Lan menjadi petunjuk jalan bagi para perwira untuk mencari pemimpin pemberontak dan sempat
melihat pemimpin pemberontak itu baru saja merobohkan isterinya sendiri. Dan melihat Sui Lan tiba-tiba
menyerang Siangkoan Kok, para perwira tentu saja amat terkejut dan khawatir karena mereka semua
sudah mendengar betapa lihainya ketua Pao-beng-pai itu. Mereka serentak maju, namun terlambat.
Ketika Sui Lan menyerang Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai ini demikian marahnya sehingga dia
langsung menyambut bekas murid dan juga bekas kekasih paksaannya itu dengan pedangnya. Sambutan
yang dahsyat dan penuh keberanian hingga pedangnya seperti kilat menyambar.
"Tranggg... crakkk!"
Pedang di tangan Tio Sui Lan terlempar jauh, disusul tubuhnya yang roboh mandi darah karena pedang di
tangan Siangkoan Kok sudah menembus ke dadanya! Wanita yang malang itu tewas seketika karena
pedang ketua Pao-beng-pai itu beracun, juga pedang itu menembus jantungnya.
Belasan orang perwira cepat menerjang dan mengeroyoknya. Mereka adalah jagoan-jagoan dari kota raja.
Biar pun kalau maju seorang demi seorang, mereka bukan lawan Siangkoan Kok, namun karena mereka
maju bersama, tentu saja ketua Pao-beng-pai itu menjadi kewalahan dan repot sekali.
Apa lagi melihat keadaan di luar rumah yang amat gaduh. Ia ingin melihat keadaan para anggotanya, maka
dia pun meloncat ke belakang dan menghilang melalui sebuah pintu yang segera tertutup sendiri ketika
belasan orang perwira itu hendak mengejar.
"Itu isterinya, kita basmi saja sekalian!" teriak seorang perwira.
Ketika itu Lauw Cu Si sudah siuman dari pingsannya dan ia sudah bangkit duduk lalu berdiri sambil
memegang pedangnya yang tadi terlepas pada waktu ia roboh tertendang suaminya. Saat melihat belasan
orang perwira itu mengepungnya, ia pun melintangkan pedang di depan dada.
"Hemmm, bunuhlah aku. Aku memang telah terperosok, bodoh sekali menjadi isteri Siangkoan Kok!"
katanya dengan sikap gagah walau pun tubuhnya sudah luka-luka oleh pedang suaminya dan terutama
sekali, tendangan tadi masih terasa dan melemahkan tubuhnya.
"Bunuh dia!" teriak para perwira dan siap hendak mengeroyok.
"Tahan, jangan serang!" mendadak terdengar seruan nyaring.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika para perwira menoleh, mereka terkejut dan heran mengenal Pangeran Cia Sun sudah berada di situ
dengan pedang di tangan.
"Lebih baik kalian cepat mengejar ketua Pao-beng-pai dan membasmi anak buahnya!" Cia Sun
memberikan perintahnya.
Belasan orang perwira itu meragu, “Tapi... tapi... ia bisa berbahaya bagi Paduka...," kata seorang perwira
sambil menunjuk ke arah wanita itu.
"Tidak! Aku mengenalnya, ia tidak jahat. Kalian pergilah!"
Para perwira memberi hormat, lalu segera berloncatan keluar dari ruangan itu, untuk memimpin anak buah
mereka yang ketika itu sedang bertempur melawan para anggota Pao-beng-pai.
"Bibi...!" kata Cia Sun. "Di mana Eng-moi...?"
Wanita itu hanya menggeleng kepala. Ia hendak menggerakkan kakinya, akan tetapi ia terhuyung dan
tentu sudah roboh kalau tidak cepat dirangkul Cia Sun.
"Bibi... menderita luka-luka...? Oleh para perwira itu?"
Wanita itu menggeleng, hendak bicara, akan tetapi tiba-tiba ia muntah darah. Melihat ini, terkejutlah Cia
Sun, maklum bahwa wanita itu terluka parah. Dipondongnya Lauw Cu Si yang setengah pingsan itu dan
terpaksa dia melangkahi mayat Tio Sui Lan yang tadinya membuat dia terkejut bukan main ketika pertama
kali memasuki ruangan itu, mengira itu mayat kekasihnya. Dia merebahkan tubuh Lauw Cu Si ke atas
sebuah bangku panjang.
Sekarang Lauw Cu Si dapat bicara, biar pun terengah-engah dan menahan rasa nyeri. "Jahanam itu...
Siangkoan Kok... yang memukulku..."
Tentu saja Cia Sun merasa heran sekali. "Bibi, di mana Eng-moi?"
"Ia sudah pergi kemarin, tanpa pamit. Itu yang membuat Siangkoan Kok marah..."
"Tapi kenapa Eng-moi pergi?"
"Ketika Siangkoan Kok tahu bahwa Eng Eng membebaskanmu, dia menghajar Eng Eng dan hendak
membunuhnya. Aku mencegahnya dan membuka rahasia bahwa dia tidak berhak membunuh Eng Eng
yang bukan anaknya..."
"Bukan puterinya?" Tentu saja Cia Sun terkejut dan heran.
"Ketika aku menjadi isterinya, aku membawa Eng Eng yang sudah berusia dua tahun lebih..."
"Ahhh, kalau begitu Eng-moi puteri Bibi dengan suami lain?"
Wanita itu kembali menggelengkan kepala, hendak bicara akan tetapi kembali ia batuk-batuk dan muntah
darah. Tendangan yang mengenai dadanya itu memang hebat sekali, membuat ia menderita luka dalam
yang parah. Sejenak ia terngengah-engah, wajahnya pucat sekali.
Cia Sun sudah merasa bingung sekali mendengar bahwa Eng Eng yang ternyata bukan puteri kandung
ketua Pao-beng-pai itu sudah pergi tanpa pamit. Dia tidak tahu harus berbuat apa terhadap ibu Eng Eng
yang keadaannya payah itu.
"Engkau... benar... seorang pangeran?"
Cia Sun mengangguk. "Aku memang Pangeran Cia Sun, Bibi, akan tetapi aku mencinta Eng-moi."
"Kalau begitu, dengar baik-baik...," suaranya makin lemah seperti berbisik.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aku... aku tidak dapat bertahan lama, aku akan mati... dan inilah saatnya aku membuka rahasia..., dan
engkau tepat orangnya yang kuberi tahu... dengar, Eng Eng bukan puteri Siangkoan Kok juga bukan
anakku..."
"Ehhh? Lalu... dia anak siapa, Bibi?"
"Ayah ibunya adalah orang-orang yang selalu dimusuhi oleh golongan kami... golongan Beng-kauw... aku
amat membenci ayah ibunya, terutama ayahnya, karena itulah... aku... menculik Eng Eng ketika ia berusia
tiga tahun. Akan tetapi, aku... aku amat mencintanya seperti anakku sendiri... juga Siangkoan Kok
menyayangnya sampai engkau muncul..."
"Ahhh...!"
Bermacam perasaan mengaduk hati pangeran itu. Ada perasaan kaget, heran, namun juga kasihan dan
bahkan ada perasaan girang. Girang bahwa kekasihnya itu bukanlah anak kandung ketua Pao-beng-pai
dan isterinya!
"Akan tetapi... ke mana aku harus mencarinya, Bibi? Aku harus mencari dia sampai menemukannya. Aku
mencintanya dan akan mengambilnya sebagai isteriku!"
Cia Sun terkejut melihat wanita itu napasnya sudah empas-empis, dan agaknya sudah tidak mampu
menjawabnya, matanya sudah terpejam.
"Bibi...! Bibi...! Katakanlah, di mana Eng-moi?" Cia Sun mengguncang-guncang pundak wanita yang sudah
sekarat itu.
Wanita itu membuka matanya yang sudah sayu dan suaranya hanya bisik-bisik saja. "Suling Naga... itulah
ayah kandungnya... dia tinggal di Lok-yang...cari... cari ke sana..." Leher itu terkulai, mata itu terpejam dan
wanita itu pun mati.
Cia Sun bangkit berdiri, termenung. Sebutan ‘Suling Naga’ terngiang di telinganya. Dan dia tertegun. Dia
pernah mendengar nama besar Pendekar Suling Naga yang tinggal di Lok-yang. Kalau dia tak salah ingat,
namanya Sim Houw, seorang pendekar yang sakti, terkenal dengan ilmu pedangnya yang hebat luar biasa,
pedang yang berbentuk suling, pedang suling, atau suling pedang.
Jadi Eng Eng adalah puteri pendekar sakti itu! Ketika masih kecil diculik oleh Lauw Cu Si karena wanita itu
sebagai orang Beng-kauw menganggap pendekar itu sebagai musuh besar.
"Ahhh...!!" tiba-tiba dia terbelalak.
Dia teringat pada Yo Han. Bukankah Yo Han mencari puteri pendekar itu yang hilang? Kalau begitu, anak
yang dicari oleh Yo Han itu bukan lain adalah Eng Eng! Dia lalu mengingat-ingat. Yo Han, yang telah
menjadi saudara angkatnya ketika mereka berdua dikurung sebagai tahanan di sarang Pao-beng-pai,
pernah menceritakan bahwa anak yang dicari itu mempunyai ciri-ciri yang khas, dan ada noda merah
sebesar ibu jari kaki di tapak kaki kanannya.
Mendengar suara pertempuran di luar, Cia Sun khawatir kalau-kalau gadis itu kembali dan ikut pula
bertempur membela Pao-beng-pai melawan pasukan pemerintah. Cepat ia menyelinap keluar dan
mencari-cari.
Pertempuran sudah hampir usai. Pihak pemberontak tidak mampu menandingi pasukan yang jauh lebih
besar jumlahnya, apa lagi dipimpin oleh para jagoan istana. Bahkan Siangkoan Kok juga tidak nampak dan
ketika dia tanyakan kepada para perwira, mereka pun tidak tahu ke mana perginya ketua pemberontak itu.
Ternyata Siangkoan Kok telah meloloskan diri, tidak mempedulikan anak buahnya yang dibantai pasukan.
Setelah mencari keterangan dan merasa yakin bahwa Eng Eng tidak pernah kembali dan tidak terlibat
dalam pertempuran itu, Cia Sun segera meninggalkan tempat itu untuk pergi mencari kekasihnya. Banyak
anggota Pao-beng-pai yang tewas, sisanya ditawan. Gagallah gerakan Pao-beng-pai, seperti yang dialami
oleh banyak kelompok-kelompok pemberontak terdahulu…..
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Gadis itu berdiri termenung di lereng itu. Dia memandang lurus ke depan, ke arah bukit menghitam yang
disebut orang Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan). Memang nampak menyeramkan dari lereng itu,
seolah-olah lembah itu memang sepantasnya dihuni oleh setan dan iblis.
Para penduduk dusun di sekitar kaki Bukit Setan itu menganggap Ban-kwi-kok sebagai lembah yang
keramat sehingga tiada seorang pun berani mendaki ke sana. Akan tetapi, menurut keterangan para
penghuni dusun, baru sebulan yang silam lembah itu diserbu pasukan pemerintah yang besar jumlahnya.
Kabar itu mengatakan bahwa terjadi pertempuran besar, kemudian pasukan pemerintah turun dan
membawa banyak tawanan, kemudian lembah itu nampak terbakar. Biar pun desas-desus mengatakan
bahwa gerombolan yang bersembunyi di lembah itu sudah terbasmi habis, dan lembah itu telah kosong,
perkampungan gerombolan pemberontak telah dibakar, namun masih saja tidak ada seorang pun yang
berani naik ke sana.
Gadis itu masih amat muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya. Cantik manis dan nampak gagah
dengan pakaiannya yang sederhana namun serasi dengan bentuk tubuhnya yang padat dan ramping, dan
pakaian itu bersih.
Wajahnya yang manis, dengan sepasang matanya yang indah dan bersinar tajam, juga sederhana, tanpa
dipoles bedak dan gincu. Akan tetapi, kulit mukanya memang sudah halus dan putih, dan kedua pipinya
kemerahan karena sehat, demikian pula sepasang bibirnya merah tanpa gincu.
Biar pun dia muda dan cantik manis, namun di sepanjang perjalanan tidak pernah atau jarang sekali ada
pria yang berani mengganggunya. Hal ini karena penampilannya yang pendiam dan gagah, dengan
sebatang pedang di punggungnya sehingga mudah diduga bahwa ia bukan wanita sembarangan yang
boleh diganggu begitu saja, tetapi seorang wanita kang-ouw, seorang pendekar wanita.
Dan memang dugaan itu benar. Gadis muda ini adalah Cu Kim Giok, puteri tunggal dari pendekar Cu Kun
Tek dan Pouw Li Sian.
Cu Kun Tek adalah pendekar yang merupakan keturunan para pendekar Cu, majikan Lembah Naga
Siluman. Cu Kun Tek terkenal mewarisi ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman).
Juga ilmu tangan kosongnya Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) dan Pat-hong Sin-kun
(Ilmu Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) hebat sekali.
Ada pun ibu gadis itu, yang bernama Pouw Li Sian, bahkan lebih lihai bila dibandingkan suaminya. Pouw Li
Sian ini adalah murid mendiang Bu Beng Lokai yang sakti.
Ketika Cu Kim Giok diajak oleh ayah ibunya menghadiri ulang tahun dan pertemuan tiga keluarga besar di
rumah Suma Ceng Liong, gadis ini merasa gembira bukan main. Dan bangkitlah keinginannya untuk
memperluas pengalaman dan pengetahuan dengan jalan merantau seperti yang dilakukan para pendekar.
Ayah ibunya tidak merasa keberatan. Mereka sendiri adalah pendekar-pendekar yang dahulu di waktu
mudanya sudah biasa melakukan penjalanan merantau memperluas pengalaman. Pula, puteri mereka
sudah mewarisi ilmu kepandaian mereka dan tingkat kepandaian gadis itu hanya sedikit selisihnya dengan
tingkat mereka sehingga Kim Giok telah memiliki bekal yang cukup untuk melindungi dan menjaga diri
sendiri.
Tentu saja Kim Giok juga sangat tertarik dengan peristiwa yang terjadi di rumah Suma Ceng Liong, yaitu
munculnya seorang gadis cantik lihai yang mengaku sebagai seorang puteri tokoh Pao-beng-pai yang
memusuhi tiga keluarga besar. Oleh karena itulah, pada siang hari itu, ia tiba di Kwi-san dan sekarang
termangu berdiri di lereng itu setelah ia mendengar keterangan penduduk tentang penyerbuan pasukan
pemerintah yang sudah membasmi gerombolan Pao-beng-pai di Lembah Selaksa Setan.
Ahh, pikirnya, sayang aku datang terlambat. Andai kata tidak terlambat, tentu akan bisa menyaksikan
terbasminya gerombolan itu, dan kalau perlu ia akan membantu pasukan.
Bukan semata karena ia ingin membantu pemerintah. Ayah ibunya berpesan supaya ia tidak melibatkan
diri dengan pemerintah Mancu. Akan tetapi, ia dapat mempergunakan kesempatan selagi gerombolan itu
dunia-kangouw.blogspot.com
ditumpas, untuk bisa membalas sikap sombong dara gadis Pao-beng-pai itu terhadap tiga keluarga besar.
Ia lalu menduga-duga, bagaimana dengan nasib gadis cantik itu? Apakah ikut terbunuh? Atau tertawan?
Tidak ada gunanya lagi mendaki ke lembah yang sudah hancur itu. Tentu tidak ada lagi orang di sana. Cu
Kim Giok membalikkan tubuhnya hendak pergi meninggalkan lereng itu. Akan tetapi baru belasan langkah
ia berjalan, tiba-tiba pendengarannya yang tajam terlatih mendengar gerakan orang.
Ia berhenti melangkah dan memandang ke sekeliling penuh kewaspadaan dan tiba-tiba bermunculan lima
orang laki-laki yang nampak bengis. Mereka itu berloncatan dari balik semak belukar. Melihat bahwa
mereka berhadapan dengan seorang gadis yang cantik manis, mereka cengar-cengir dan menyeringai
dengan sikap kurang ajar, dengan mata yang liar dan bengis.
Kim Giok bersikap tenang, akan tetapi matanya yang indah tajam itu menyapu mereka. Lima orang itu
berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Tubuh mereka rata-rata kekar dan kuat. Pakaian
mereka butut dan kotor, tentu sudah lama tidak pernah berganti pakaian.
Melihat pakaian kotor itu seperti seragam abu-abu, teringatlah ia akan beberapa orang lelaki yang ikut
datang mengawal gadis Pao-beng-pai yang berkunjung ke rumah Suma Ceng Liong tempo hari. Agaknya
mereka ini sisa anggota Pao-beng-pai, pikir gadis yang cukup cerdik ini. Dan memang dugaannya benar.
Lima orang itu adalah mereka yang berhasil lolos dari penyerbuan pasukan pemerintah. Karena takut
muncul di tempat umum, lima orang ini bersembunyi saja di Kwi-san, tidak jauh dari bekas sarang Paobeng-
pai.
Mereka mengharapkan dapat bertemu dengan seorang di antara para pimpinan mereka karena mereka
tahu bahwa ketua mereka tidak tewas, juga tidak ikut tertawan. Hanya nyonya ketua mereka yang tewas.
Bahkan nona puteri ketua juga tidak ikut tertawan.
Ketika dari tempat persembunyian mereka nampak ada gadis yang datang ke tempat itu, mereka tadinya
mengira bahwa gadis itu tentulah Siangkoan Eng sehingga mereka merasa girang sekali. Akan tetapi
setelah mereka muncul, mereka melihat bahwa gadis itu sama sekali bukan puteri ketua mereka,
melainkan seorang gadis lain yang asing sama sekali, akan tetapi gadis itu cantik manis dan menarik.
Seorang di antara mereka, yang berhidung besar dan bermata lebar, agaknya menjadi pimpinan mereka,
melangkah maju sambil tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu nampak karena bajunya kehilangan
kancing dan terbuka. Perut itu terguncang-guncang naik turun ketika dia tertawa.
"Ha-ha-ha-ha-ha, kawan-kawan, alangkah beruntungnya kita hari ini! Kita kedatangan seorang bidadari
yang cantik jelita, yang agaknya menaruh iba kepada kita dan datang untuk menghibur kita. Ha-ha-ha-haha!"
Teman-temannya ikut pula tertawa. Selama sebulan lebih mereka dicekam ketakutan, kekurangan dan
kedukaan. Dan hari ini, tiba-tiba saja, tanpa disangka-sangka, mereka berhadapan dengan seorang gadis
cantik! Tentu saja mereka bergembira.
Anak buah Pao-beng-pai terdiri dari bermacam-macam orang, akan tetapi kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang yang berjiwa sesat. Kalau membutuhkan, mereka tidak segan untuk melakukan perampokan
dan berbagai kejahatan lainnya. Dan kini, melihat seorang gadis seorang diri di tempat sunyi itu, tentu saja
timbul gairah mereka, seperti lima ekor harimau kelaparan melihat munculnya seekor domba seorang diri.
"He-he-heh-heh, Nona manis, siapakah engkau, siapa namamu dan mengapa engkau berada di sini
seorang diri? Apakah engkau sengaja datang hendak menghibur kami berlima? Ha-ha-ha!" Si hidung besar
kembali berkata dan kini mereka berlima, sambil tersenyum menyeringai, sudah mengambil posisi
mengepung gadis itu agar tidak dapat melarikan diri.
Akan tetapi, sebetulnya lima orang itu harus tahu bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang
bukan gadis sembarangan saja. Hal ini sebetulnya dapat dilihat dari sikap Kim Giok. Biar pun sudah
dikepung lima orang itu, ia bersikap tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada sesuatu yang mengancam
dirinya, tidak ada sesuatu yang perlu ditakuti.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aneh... aneh sekali..." Kim Giok tidak menjawab pertanyaan, bahkan bergumam sambil menggelengkan
kepalanya.
"Apanya yang aneh, Nona manis? Kami bukan orang-orang aneh, kami adalah laki-laki sejati dan engkau
sebentar lagi akan membuktikannya sendiri, heh-heh!" kata si hidung besar sambil melangkah maju
mendekat.
"Aneh, kenapa masih ada sisa anak buah Pao-beng-pai? Kenapa kalian tidak mampus atau tertawan?"
kata Kim Giok, masih tenang saja.
Mendengar ucapan gadis itu, lima orang bekas anak buah Pao-beng-pai nampak sangat terkejut. Mereka
saling pandang dan kini mengepung lebih ketat dengan sikap bengis dan mengancam.
"Nona, siapakah engkau sebenarnya dan mau apa engkau datang ke tempat ini?" Suara si hidung besar
kini galak dan mengandung ancaman, tidak lagi menggoda seperti tadi.
"Namaku tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian. Juga aku tidak mempunyai sangkut paut dengan
pembasmian Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah. Aku hanya heran mengapa kalian tidak ikut mampus
atau tertawan. Nah, karena di antara kita tidak ada urusan, minggirlah dan biarkan aku lewat!" kata Kim
Giok.
Dia memang tidak ingin mencari keributan dengan bekas anak buah Pao-beng-pai yang sudah hancur itu.
Tapi kalau ia bertemu dengan gadis tokoh Pao-beng-pai yang pernah mengacau di rumah Suma Ceng
Liong, tentu akan lain lagi sikapnya.
Akan tetapi, ketika ia mulai melangkah, lima orang itu cepat menghadangnya dan tetap mengepungnya.
Bahkan kini sikap mereka kembali seperti tadi, dengan pandang mata yang tidak sopan.
"Hemmm, engkau tak boleh pergi sebelum menghibur kami, Nona manis!" Dan si hidung besar cepat
menggerakkan kedua lengannya yang panjang, jari-jari tangan yang besar panjang itu hendak merangkul.
"Wuuut... plakkk! Aughhh...!"
Tubuh tinggi besar si hidung besar itu terjengkang. Ternyata ketika kedua tangannya sudah hampir
menyentuh kedua pundak gadis itu untuk merangkul, gadis itu dengan gerakan cepat sekali menyelinap ke
samping sehingga tubrukan itu luput dan sekali Kim Giok menggerakkan tangan kiri menampar, leher di
bawah telinga si hidung besar kena ditampar dan orang itu pun terjengkang dan terbanting, melotot dan
meraba lehernya dengan mata terbelalak dan mulut mengaduh-aduh.
Empat orang temannya menjadi kaget dan marah. Mereka berempat cepat menyerbu, seolah-olah hendak
berlomba untuk lebih dulu dapat meringkus gadis manis itu. Namun, sekali ini mereka membentur karang.
Gerakan Kim Giok cepat bukan main, tangan dan kakinya menyambar-nyambar dan dalam segebrakan
saja, empat orang itu pun sudah terpelanting dan roboh oleh tamparan tangan atau tendangan kakinya!
Kelima orang itu mengaduh-ngaduh dan menyumpah-nyumpah. Dasar golongan kasar yang tidak tahu diri
dan yang selalu merasa diri mereka paling pandai, lima orang itu tidak melihat kenyataan bahwa mereka
sama sekali bukanlah lawan gadis manis yang mereka sangka domba itu. Mereka tidak menyadari bahwa
yang disangka domba itu sesungguhnya seekor singa betina yang amat tangguh!
Mereka merasa penasaran. Sekarang nafsu birahi mereka terbang lenyap, terganti oleh nafsu amarah
yang hanya bisa diredakan dengan darah! Mereka cepat mencabut golok mereka dan berloncatan berdiri.
Kim Giok sudah dapat menilai sampai di mana kemampuan lima orang lawannya, maka dia pun tidak mau
mencabut pedangnya, hanya berdiri tegak sambil tersenyum manis. Kelima orang itu sudah menggerakkan
golok mereka. Bagaikan binatang-binatang yang haus darah, mereka sudah menyerang Kim Giok,
serangan maut yang dimaksudkan untuk membunuh!
Akan tetapi, pandangan mata mereka menjadi kabur ketika gadis itu bergerak cepat dan lenyap bentuk
tubuhnya, hanya nampak bayangannya berkelebat menyambar-nyambar bagaikan seekor capung. Itulah
Pat-hong Sin-kun yang membuat tubuh gadis itu seolah-olah bergerak dari delapan penjuru angin!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan ketika kelima orang itu membacok-bacok secara membabi-buta ke arah bayangan tubuh gadis itu
tanpa hasil, Kim Giok kembali membagi tamparan dan tendangan. Kini ia menambah tenaganya hingga
lima orang lawan yang terkena tamparan atau tendangan, roboh untuk tidak dapat bangkit dengan cepat,
hanya mengaduh-aduh, ada yang patah tulang, ada yang nanar dan ada pula yang mendadak mulas
perutnya!
Kim Giok berdiri sambil bertolak pinggang, memandang kelima orang lawan yang masih mengeluh
kesakitan itu.
"Hemmm, pantas saja Pao-beng-pai terbasmi oleh pasukan pemerintah. Kiranya kalian ini hanya mengaku
sebagai pejuang, akan tetapi sesungguhnya hanyalah segerombolan penjahat kecil yang tidak tahu malu.
Perampok dan pengganggu wanita. Orang-orang macam kalian ini berani mengaku pejuang?"
"Nona, ucapanmu itu lancang sekali!" tiba-tiba terdengar suara yang lantang dan dalam, juga amat
berwibawa karena Kim Giok merasa betapa isi dadanya tergetar oleh suara itu.
Ia terkejut dan cepat menoleh ke kanan, ke arah datangnya suara dan semakin kagetlah ia ketika melihat
bayangan mendaki lereng itu dari arah kanan. Kalau orang itu yang tadi mengeluarkan suara, alangkah
kuatnya khikang dari orang itu. Jelas bahwa dia mampu mengirim suara dari jauh dengan demikian
kuatnya, dan hal ini menunjukkan bahwa dia akan berhadapan dengan seorang yang amat lihai.
Gerakan orang itu pun cepat bukan main. Sebentar saja dia telah berada di situ, berdiri tegak berhadapan
dengan Kim Giok. Gadis ini memang penuh perhatian.
Seorang pria jantan berusia lima puluh lima tahun yang sangat gagah. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh
kuat bagaikan batu karang. Mukanya persegi merah dan jenggotnya terpelihara rapi, di punggungnya
nampak gagang pedang dengan ronce merah.
"Pangcu...!" lima orang itu segera memaksa diri untuk memberi hormat dengan berlutut kepada orang yang
baru tiba ini.
Tahulah Kim Giok bahwa pria ini adalah ketua Pao-beng-pai! Tentu orang ini ayah dari gadis lihai yang
dulu pernah mengacau pesta pertemuan keluarga di rumah Suma Ceng Liong! Biar pun maklum bahwa ia
berhadapan dengan seorang yang amat lihai, namun puteri dari sepasang pendekar Lembah Naga
Siluman ini sedikit pun tak merasa gentar. Hanya ia bersikap waspada.
Pria itu menengok ke arah lima orang anggota Pao-beng-pai itu dan mendengus marah, lalu dia
menghadapi Kim Giok lagi. Pandang matanya yang sangat tajam mencorong itu mengamati Kim Giok
penuh selidik, dari kepala sampai ke kakinya.
Seperti sudah diceriterakan di bagian depan, pada waktu Pao-beng-pai diserbu pasukan pemerintah,
Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai ini, telah dikepung oleh belasan orang jagoan istana yang datang
bersama muridnya, Tio Sui Lan, murid utama yang kemudian dia paksa menjadi isterinya setelah dia
bercekcok dengan isterinya, Lauw Cu Si.
Dia berhasil membunuh Sui Lan dan melukai Cu Si, akan tetapi ketika dia menghadapi pengeroyokan
belasan orang jagoan istana yang membuatnya amat terdesak, kemudian mendengar keributan di luar
dengan adanya penyerbuan pasukan pemerintah, dia cepat meninggalkan para pengeroyoknya. Setelah
tiba di luar, dia melihat betapa tempat itu diserbu oleh pasukan yang besar sekali jumlahnya. Tahulah ia
bahwa semua usahanya telah gagal, gerakannya hancur.
Karena maklum bahwa melawan pasukan itu pun tidak akan ada gunanya dan akhirnya bahkan hanya
akan membahayakan diri sendiri, dia pun meninggalkan Ban-kwi-kok! Dia melarikan diri bukan karena
takut, melainkan karena maklum betapa akan sia-sianya melakukan perlawanan terus.
Sebagai seorang yang amat cerdik dan licik, dia tidak mau berlaku nekat yang akhirnya mengorbankan
dirinya sendiri. Tidak, demi cita-citanya, biar pun sekali ini kelompoknya dihancurkan, apa bila dia masih
hidup, dia dapat membentuk dan membangun kembali Pao-beng-pai, berjuang terus sampai dapat
menjatuhkan kerajaan Ceng, serta mengusir orang-orang Mancu dari tanah air!
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena dia ingin mengetahui keadaan bekas markas Pao-beng-pai yang telah dibasmi dan dibakar, maka
siang hari itu dia mendaki Kwi-san dan kebetulan dia melihat dan mendengar apa yang terjadi di lereng itu
biar pun dia masih jauh.
"Nona, siapakah engkau yang begitu lancang memaki dan menghina Pao-beng-pai?" bentaknya dengan
alis berkerut dan wajah bengis.
Kim Giok adalah seorang gadis yang sejak kecil telah dilatih ayah ibunya sendiri. Bukan hanya ilmu silat
tinggi, akan tetapi juga kebudayaan sehingga dia tahu sopan santun. Menghadapi seorang yang
kedudukannya tinggi seperti ketua Pao-beng-pai, ia memang ada menaruh hormat. Akan tetapi mengingat
betapa puteri orang ini pernah menghina dan mengacau dalam pertemuan tiga keluarga besar, ia merasa
tidak senang dan ia pun tidak memberi hormat.
"Kalau aku tidak salah duga, tentulah engkau ini ketua Pao-beng-pai yang telah dibasmi pasukan
pemerintah!" katanya, dan dia pun menentang pandang mata pria itu dengan penuh keberanian.
"Benar, akulah Siangkoan Kok. Sekarang katakan, siapa engkau dan kenapa engkau menghina Pao-bengpai!"
"Maaf, Pangcu. Aku sama sekali tak berniat menghina Pao-beng-pai. Bahkan aku akan menghormati Paobeng-
pai jika memang perkumpulan itu sungguh-sungguh merupakan perkumpulan para orang gagah yang
berjuang menentang penjajah Mancu. Akan tetapi, aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya saja. Aku
mendengar tentang penyerbuan pasukan pemerintah terhadap Pao-beng-pai dan aku ingin melihat
keadaan di sini. Aku, Cu Kim Giok, ingin meluaskan pengalaman dan kesempatan ini tidak kulewatkan
begitu saja. Akan tetapi, apa yang kudapatkan? Lima orang itu muncul dan mengaku sebagai anggota Paobeng-
pai. Mereka bersikap sebagai penjahat-penjahat kecil yang hendak merampok dan mengganggu
wanita. Kalau memang para anggota Pao-beng-pai seperti itu, lalu apa yang harus kukatakan terhadap
Pao-beng-pai?"
Siangkoan Kok melirik ke arah anak buahnya yang kini telah bangkit berdiri bergerombol sambil
memandang penuh harapan, ingin melihat ketua mereka menundukkan gadis yang sudah menghajar
mereka itu. Lalu dia berkata, "Tidak sembarang orang boleh menilai kami. Nona, aku ingin melihat lebih
dulu sampai di mana kepandaianmu, baru aku akan mengambil keputusan, apa yang harus kulakukan
terhadap dirimu."
"Pangcu, kalau engkau membela mereka itu, aku berani mengatakan bahwa memang Pao-beng-pai
dipimpin oleh orang yang tidak baik!" kata Kim Giok berani.
"Kita bicara lagi setelah kita mengadu kepandaian. Nah, sambutlah seranganku ini!"
Setelah berkata demikian, Siangkoan Kok menggerakkan tangannya menampar ke arah kepala gadis itu.
Angin yang dahsyat menyambar, disusul angin yang menyambar dari samping karena tangannya yang
kedua sudah mengikuti serangan pertama itu dengan mencengkeram ke arah perut.
Kim Giok memang kurang pengalaman bertanding, namun dia sudah digembleng oleh ayah bundanya
sejak kecil, maka ia segera mengenal serangan yang berbahaya. Cepat dia pun mengerahkan ginkang-nya
dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang untuk mengelak sehingga serangan kedua tangan Siangkoan
Kok yang beruntun itu luput.
Diam-diam Siangkoan Kok maklum bahwa gadis ini meski pun masih muda, memang cukup berisi,
agaknya tak kalah jika dibandingkan dengan mendiang Tio Sui Lan, murid pertamanya. Ia kembali
mendesak dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin berpusing.
Kembali Kim Giok menggunakan ginkang dan mengelak dengan gerakan cepat sekali, membuat tubuhnya
hanya merupakan bayangan yang berkelebatan mengelak di antara hujan serangan lawan. Oleh karena
maklum bahwa lawannya benar-benar tangguh, Kim Giok cepat mencabut pedangnya. Nampaklah sinar
berkilat dan terdengar bunyi desing yang aneh, seperti gerengan binatang buas, bagaikan auman harimau.
Itulah Koai-liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman), pedang milik ayahnya yang diberikan padanya
agar gadis itu dapat melindungi diri dengan baik.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat sinar pedang dan dengungnya yang menyeramkan itu, diam-diam Siangkoan Kok terkejut dan
kagum bukan main.
"Ahhh, po-kiam (pedang pusaka) yang hebat!" teriaknya.
Begitu Kim Giok memainkan pedangnya, dia pun semakin kaget dan cepat mencabut pedangnya sendiri.
Dia kaget karena dia maklum bahwa walau pun dia memiliki tingkat kepandaian tinggi, namun terlalu
berbahaya baginya kalau menghadapi pedang seperti itu dengan tangan kosong saja. Apa lagi gerakan
ilmu pedang gadis itu pun hebat dan dahsyat, bagaikan seekor naga yang mengamuk.
Segera terjadi pertandingan pedang yang amat seru.
Setelah lewat belasan jurus, mendadak Siangkoan Kok meloncat jauh ke belakang dan berseru, "Tahan
dulu!"
Kim Giok berdiri tegak, pedang juga tegak lurus di depan dadanya.
"Nona, bukankah itu Koai-liong Kiamsut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang barusan kau mainkan? Dan
tentu pedang itu Koai-liong Pokiam! Apa hubunganmu dengan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman?"
Kim Giok tersenyum. "Namaku Cu Kim Giok, tentu engkau bisa menduganya, Pangcu."
"Ahh, benar! Engkau tentu keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman! Sudah lama aku mendengar
tentang keluarga Cu yang gagah perkasa. Ah, sungguh beruntung hari ini dapat menguji kepandaian
seorang keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman. Nah, kini sambutlah seranganku ini dan
keluarkan seluruh ilmu pedang Naga Siluman itu, Nona!"
Setelah berkata demikian, Siangkoan Kok menerjang ke depan dengan dahsyat karena dia tahu betapa
lihainya pedang dan ilmu pedang gadis muda itu. Dia memang sejak dahulu ingin sekali menguasai semua
ilmu silat tinggi di seluruh dunia, maka dia sejak dahulu memancing para tokoh persilatan untuk mengadu
ilmu dan dengan cara itu, dia dapat mempelajari ilmu mereka.
Kini, berhadapan dengan seorang keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman, tentu saja dia tidak
mau melewatkan kesempatan baik itu untuk memaksa Kim Giok memainkan ilmu pedang itu. Justru
kelihaian Siangkoan Kok terletak kepada kekuatan ingatannya sehingga sekali melihat, dia sudah hampir
dapat mengingat dan menguasai gerakan itu. Karena pengetahuannya yang luas tentang ilmu-ilmu dari
para tokoh besar, maka dia pun tentu saja menjadi lihai bukan main.
Karena didesak lawan yang lihai, tentu saja terpaksa Kim Giok memainkan Kaoi-liong Kiam-sut
sepenuhnya, bahkan ia mengerahkan seluruh tenaganya. Hebat memang ilmu pedang gadis ini.
Pedangnya langsung berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan mengeluarkan suara mengaung,
seolah-olah ada naga yang melayang-layang dan mengamuk.
Melihat hal ini, lima orang anak buah Pao-beng-pai itu diam-diam memaki diri mereka sendiri. Mereka
seperti buta, tak melihat bahwa gadis itu adalah seorang yang demikian lihainya. Bergidik mereka
membayangkan betapa tadi mereka berani hendak kurang ajar kepada gadis itu. Apa bila tadi gadis itu
mencabut pedangnya, mungkin sekarang mereka telah menjadi setan-setan tanpa kepala!
Betapa pun hebatnya ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut, namun ketangguhan seseorang bukan hanya
bergantung sepenuhnya pada ilmu silatnya, melainkan lebih banyak pada keadaan orang itu sendiri. Jika
dibandingkan Siangkoan Kok, tentu saja Kim Giok kalah segala-galanya, walau pun mungkin ilmu
pedangnya tidak kalah bila dibandingkan ilmu pedang lawan. Ia kalah tenaga, kalah pengalaman
bertanding, juga jauh kalah matang dalam gerakan ilmu pedang.
Setelah lewat seratus jurus, karena ditekan terus sehingga ia harus berulang-ulang kali memainkan ilmu
pedangnya, dia sudah mandi keringat dan napasnya mulai tersengal. Tahulah gadis ini bahwa kalau
dilanjutkan, akhirnya ia akan roboh oleh pedang lawan.
Namun, ia sudah dilatih ayah ibunya untuk tidak mengenal takut dan pantang menyerah kepada orang
yang jahat. Lebih baik mati dengan pedang di tangan dari pada menyerah kepada pada seorang yang jahat
dan yang tentu akan membuat ia lebih menderita dari pada kalau ia roboh dan tewas. Baru lima orang anak
dunia-kangouw.blogspot.com
buahnya saja sudah seperti itu, apa lagi ketuanya! Maka, ia pun terus menggerakkan pedangnya dengan
nekat, walau pun tenaganya sudah banyak berkurang.
Makin lama, semakin repotlah Kim Giok, hanya mampu mengelak dan menangkis saja, itu pun setiap kali
menangkis, pedangnya terpental dan lengannya tergetar hebat. Pada saat itu terdengar suara tertawa yang
aneh, tawa mengejek yang mengandung getaran yang membuat dua orang yang sedang bertanding itu
terpaksa menghentikan gerakan mereka karena mereka merasa betapa jantung mereka terguncang.
Menggunakan kesempatan terlepas dari desakan karena lawan menghentikan gerakan pedangnya, Kim
Giok segera melompat ke belakang dan menengok ke arah orang yang tertawa itu. Juga Siangkoan Kok
menoleh.
Yang tertawa itu adalah seorang laki-laki muda yang usianya sekitar dua puluh tiga tahun, gagah dan
tampan sekali. Alisnya hitam tebal dan panjang, matanya mencorong. Hidungnya mancung dan mulutnya
yang tersenyum itu manis. Dagunya juga kokoh dan mukanya bersih. Tubuhnya tegap berisi otot yang
membuat dia nampak gagah. Pakaian yang dikenakan pemuda itu tidak mewah, namun rapi dan bersih.
Pemuda itu sudah menghentikan tawanya dan kebetulan dia memandang kepada Kim Giok. Dua pasang
mata bertemu pandang, melekat, kemudian wajah Kim Giok berubah kemerahan dan ia pun menundukkan
mukanya. Hatinya berdebar aneh dan harus diakui bahwa ia merasa amat tertarik kepada pemuda yang
tampan dan gagah itu.
Akan tetapi, sebaliknya Siangkoan Kok mengerutkan alisnya, matanya melotot marah. Tentu saja dia
memandang rendah kepada pemuda yang tidak dikenalnya itu, yang berarti tidak terkenal pula.
"Heh siapa engkau berani mentertawakan aku dan mencampuri urusanku?"
Pemuda tampan itu bukan lain adalah Ouw Seng Bu yang belum lama ini telah berhasil menguasai Thianli-
pang dan menjadi ketuanya. Dia mendengar mengenai kehancuran Pao-beng-pai oleh pasukan
pemerintah. Dia ingin sekali melihat bagaimana keadaan Pao-beng-pai sekarang karena dia ingin
memperkuat Thian-li-pang dengan bersekutu dan bekerja sama dengan para perkumpulan lainnya yang
besar seperti Pek-lian-kauw, Pat-kwa-pai, dan Pao-beng-pai.
Biar pun dia sendiri belum pernah melihat Siangkoan Kok, namun dia sudah menyelidiki dan mendengar
bagaimana keadaan ketua Pao-beng-pai itu. Maka, ketika melihat pria setengah tua yang gagah perkasa
itu bertanding melawan seorang gadis yang juga lihai, akan tetapi gadis itu terdesak, Ouw Seng sengaja
mengeluarkan suara tawa yang dilakukan dengan pengerahan khikang sehingga kedua orang yang sedang
bertanding itu terkejut dan menghentikan pertandingan mereka.
Mendengar teguran dari Siangkoan Kok, Seng Bu yang datang untuk mencari kawan, tersenyum.
"Bukankah kini aku tengah berhadapan dengan Siangkoan Kok, pangcu dari Pao-beng-pai?" tanyanya, kini
sikapnya sopan dan ramah.
Siangkoan Kok mengamati pemuda itu. Dia seorang yang berpengalaman. Dari suara tawa pemuda itu tadi
saja, dia pun dapat menduga bahwa pemuda ini bukanlah orang lemah. Akan tetapi karena dia tidak
mengenalnya, maka dia memandang rendah.
"Engkau sudah tahu namaku, mengapa masih berani lancang mencampuri urusanku?!" bentaknya. "Siapa
engkau?!"
"Namaku Ouw Seng Bu dan seperti juga engkau, aku seorang pengcu (ketua) pula. Aku adalah pangcu
dari Thian-li-pang."
"Bohong!" Siangkoan Kok membentak marah.
Sementara itu, kelima orang bekas anak buahnya kini sudah memegang golok mereka masing-masing dan
siap untuk membantu ketua mereka kalau diperintahkan. Ada pun Kim Giok, walau pun tidak mengenal
siapa pemuda itu, akan tetapi di dalam hatinya ia sudah condong untuk berpihak kepadanya sehingga
kalau sampai pemuda itu terancam bahaya, tanpa diminta pun ia pasti akan membantunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha-ha, orang muda. Jangan engkau mencoba untuk membohongi aku. Kau kira aku tidak tahu siapa
ketua Thian-li-pang? Ketuanya adalah Lauw Kang Hui, dan pemimpin besarnya adalah Sin-ciang Taihiap
Yo Han. Bukankah begitu? Dan engkau ini, orang bernama Ouw Seng Bu tidak pernah dikenal sebagai
ketua Thian-li-pang!"
Seng Bu tersenyum dan menggeleng kepala. "Itu menandakan bahwa Pao-beng-pai yang telah hancur tak
lagi pandai meneliti keadaan di dunia kang-ouw. Engkau agaknya tidak tahu, Pangcu, bahwa Lauw Pangcu
dari Thian-li-pang telah tewas dan akulah yang menjadi penggantinya. Ada pun Yo Han, ahh, dia bukan
orang Thian-li-pang dan dia tak mempunyai urusan apa pun dengan Thian-li-pang."
Siangkoan Kok masih sangsi, akan tetapi karena dia memang tidak tahu perkembangan di dunia kangouw,
maka dia tidak membantah lagi.
"Walau engkau benar ketua Thian-li-pang, itu pun tidak memberi hak kepadamu untuk mencampuri
urusanku! Nah, mau apa engkau datang ke sini?"
"Pangcu, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai diserbu pasukan pemerintah. Begitulah jadinya kalau kita
tidak mau bekerja sama antara perkumpulan pejuang. Aku datang hendak mengulurkan tangan kepadamu,
mengajakmu bekerja sama. Thian-li-pang sejak dahulu terkenal sebagai perkumpulan pejuang yang gigih.
Beberapa kali kami sudah menyusup ke istana dan biar pun belum berhasil, namun nama kami cukup
ditakuti. Akan tetapi setelah tiba di sini, markas Pao-beng-pai sudah hancur, dan aku melihat Pangcu
bahkan sedang bertanding melawan seorang gadis muda. Siapakah Nona ini dan mengapa pula
bertanding melawan Pangcu?"
"Huh, dia berani berkeliaran di sini dan memukul anak buahku!" kata Siangkoan Kok dengan singkat
karena dia tidak menghendaki orang luar mencampuri urusannya.
Akan tetapi Seng Bu yang amat tertarik kepada gadis cantik manis yang juga lihai ilmu pedangnya itu, kini
sudah menghadapi Kim Giok lalu mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat.
"Nona telah mengenal namaku. Aku Ouw Seng Bu, ketua Thian-li-pang dan kalau boleh aku bertanya,
siapakah Nona dan mengapa engkau bertanding melawan Pangcu dari Pao-beng-pai yang amat lihai?"
Kim Giok cepat membalas penghormatan itu dengan senyum ramah, lalu ia menjawab, "Namaku Cu Kim
Giok dan aku sedang merantau untuk meluaskan pengalaman. Ketika tiba di sini aku mendengar bahwa
Pao-beng-pai dibasmi pasukan pemerintah, maka aku sengaja hendak melihat bekas-bekasnya di sini.
Tiba-tiba muncul lima orang itu yang hendak merampok dan bersikap kurang ajar kepadaku. Aku
menghajar mereka. Lalu muncul Pangcu dari Pao-beng-pai ini yang memaksaku untuk bertanding."
Mendengar ini, Seng Bu kembali menghadapi Siangkoan Kok, "Aih, Pangcu semestinya malu terhadap Cusiocia
(nona Cu) ini. Anak buahmu yang bersalah, dan sepantasnya engkau yang minta maaf kepadanya
dan menghukum anak-anak buahmu, bukan malah menantang Cu-siocia untuk bertanding." katanya
mencela.
Wajah ketua Pao-beng-pai menjadi merah sekali dan matanya mencorong tajam. "Ouw Seng Bu, engkau
ini siapa berani berkata seperti itu kepadaku? Kalau engkau memang mengulurkan tangan ingin bekerja
sama dengan aku, setidaknya aku tentu harus tahu orang macam apa engkau ini dan apakah engkau
pantas duduk sejajar dengan aku!"
"Hemmm, sudah kudengar bahwa Siangkoan Kok adalah orang yang berwatak angkuh dan selalu
memandang rendah orang lain. Baiklah, akan tetapi bagaimana kalau aku mampu menandingi ilmu
silatmu?"
"Ouw Seng Bu, jika memang engkau dapat mengalahkan aku, barulah aku mau menjadi sekutumu, bahkan
aku akan membantu Thian-li-pang. Akan tetapi, kalau engkau tidak mampu menandingi aku, engkau harus
cepat berlutut minta ampun kepadaku dan tidak mencampuri urusanku lagi. Kalau engkau bukan ketua
Thian-li-pang, tentu engkau akan kubunuh."
"Bagus! Nah, aku sudah siap, Siangkoan Pangcu. Tetapi karena aku ingin bersahabat denganmu, bukan
bermusuhan, maka sebaiknya kita bertanding dengan tangan kosong saja."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Baik, sambutlah seranganku ini, orang she Ouw!"
Setelah berkata begitu, Siangkoan Kok yang sudah menyimpan pedangnya, menerjang dengan
pukulannya yang mengandung tenaga sinkang yang dahsyat. Karena dia ingin cepat-cepat mengalahkan
lawannya, maka dia mengerahkan tenaganya yang disebut Kang-kin Tiat-kut (Otot Baja Tulang Besi) dan
begitu kedua tangan kakinya bergerak menggunakan ilmu ini, terdengar suara berkerotokan pada bukubuku
tulangnya!
Walau pun masih menderita nyeri, lima orang anak buah Pao-beng-pai kini memandang dengan wajah
gembira. Mereka merasa yakin sekali bahwa ketua mereka yang sakti akan dapat mengalahkan pemuda
itu pula.
Akan tetapi, Kim Giok memandang dengan sinar mata penuh khawatir. Pemuda itu jelas muncul dan
membantunya, bahkan dia berani menegur bekas ketua Pao-beng-pai untuk membelanya. Dan ia tahu
betapa lihainya Siangkoan Kok, apa lagi kini mengeluarkan ilmu yang demikian mengerikan.
Dia tidak dapat maju membantu, karena satu di antara pesan yang ditekankan ayah dan bundanya adalah
supaya dia menjadi seorang yang gagah dan pantang untuk bertindak curang. Dan maju melakukan
pengeroyokan merupakan suatu perbuatan yang curang dan ia tak mau melakukannya. Maka ia hanya
menjadi penonton yang risau, dan hanya siap untuk melindungi kalau pemuda she Ouw itu terancam maut.
Menghadapi serangan yang sangat dahsyat dari Siangkoan Kok, Ouw Seng Bu juga maklum bahwa kalau
dia mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Lauw Kang Hui saja, dia tak akan menang. Bahkan
mendiang gurunya itu, Lauw Kang Hui, masih kalah setingkat dibandingkan bekas ketua Pao-beng-pai ini.
Akan tetapi dia sama sekali tidak merasa gentar. Dia sudah cepat mengeluarkan ilmu rahasianya, yaitu Bukek
Hoat-keng! Begitu kedua tangannya bergerak, terdengar bunyi aneh bersiutan dan angin pukulan dari
dua tangannya mendatangkan angin berpusing. Dengan mudah saja dia menangkis lima kali pukulan
lawan yang datang beruntun susul menyusul, kemudian dia pun membalas dengan cepat dan tak kalah
dahsyatnya!
Siangkoan Kok terkejut bukan main. Sedikit banyak, dia sudah mengenal ilmu andalan dari Lauw Kang Hui.
Walau pun dia belum dapat menirukan, namun dia sudah banyak mendengar dua ilmu andalan Thian-lipang,
yaitu Tok-jiauw-kang dan Kiam-ciang.
Dia sudah mengenali kedua ilmu ini. Dan karena mengenal, setidaknya dia akan lebih mudah menghadapi
dan melawannya. Akan tetapi, gerakan pemuda ini sama sekali tak dikenalnya! Dia hanya merasa ada
angin berpusing datang menyambar dan dia harus mengerahkan seluruh tenaga untuk menyambutnya.
"Plak! Desss...!!"
Siangkoan Kok berjungkir balik ke belakang, dan setelah membuat salto tiga kali baru dia terbebas dari
dorongan tenaga yang tentu akan membuatnya terjengkang kalau saja dia tidak membuat salto tadi.
Seng Bu sendiri terkejut dan kagum melihat ginkang yang diperlihatkan lawan. Akan tetapi dia menyerang
terus dan sekali ini, Siangkoan Kok yang maklum bahwa lawan memiliki tenaga yang mukjijat, tidak mau
mengadu tenaga secara langsung, melainkan menggunakan kecepatan gerakan untuk menghindar
kemudian membalas serangan itu dengan sepenuh tenaga.
Terjadilah perkelahian yang amat hebat! Beberapa kali bila kedua tangan mereka saling bertemu,
keduanya terdorong mundur. Tanpa diketahui orang lain, terjadilah perubahan pada diri Seng Bu, seperti
biasa kalau dia memainkan ilmunya itu. Sepasang matanya berubah liar, senyumnya menjadi dingin
mengerikan dan beberapa kali ia mengeluarkan suara tawa yang aneh.
"Siangkoan Kok, engkau takkan menang melawanku!" beberapa kali dia mengeluarkan ucapan ini yang
didahului dan diakhiri suara tawa ha-ha-hi-hi-hi seperti orang gila.
Hal ini membuat Siangkoan Kok merasa amat penasaran dan semakin marah. Dia telah mengerahkan
semua jurus yang menjadi andalannya, tapi dia tidak mampu menembus benteng pertahanan lawan, meski
pun lawannya juga belum mampu merobohkan atau mendesaknya. Mereka memiliki tingkat yang
seimbang!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ouw Seng Bu, marilah kita bertanding dengan senjata!" bentaknya sambil meloncat ke belakang dan
mencabut pedangnya.
Seng Bu hanya terkekeh dan melihat pemuda itu agaknya tidak membawa senjata, Kim Giok cepat
menghampiri dan menyodorkan pedangnya.
"Kau pergunakanlah pedangku ini!"
Ouw Seng Bu memandang gadis itu dengan matanya yang mencorong liar hingga Kim Giok terkejut. Akan
tetapi pemuda itu menerima juga Koai-liong-kiam, lalu menghadap Siangkoan Kok sambil tertawa.
"He-he-heh, Siangkoan Kok. Apakah perlu diteruskan? Kalau aku membiarkan saja pun engkau akan
mampus. Lihat baik-baik kedua telapak tanganmu."
Mendengar ini, Siangkoan Kok cepat-cepat memeriksa kedua tangannya dan wajahnya berubah pucat.
Kedua telapak tangannya berwarna menghitam dan terasa panas bukan main!
"Kau...! Aku... keracunan...!" katanya.
"Ha-ha-ha, dalam waktu beberapa jam saja, kalau tidak kusedot kembali hawa beracun itu, engkau akan
mati. Perlukah dilanjutkan? Atau engkau mengaku kalah?"
Siangkoan Kok menarik napas panjang dan kembali menyarungkan pedangnya. Dia harus mengaku kalah,
kalau ingin hidup!
"Baiklah, Ouw-pangcu. Aku mengaku kalah. Akan tetapi sebelum kita bicara, punahkan dulu racun dari
kedua tanganku."
"Baik, duduklah bersila, Siangkoan Pangcu, dan acungkan kedua telapak tanganmu ke atas, menghadap
ke belakang," kata Seng Bu.
Siangkoan Kok duduk bersila, mengangkat kedua tangan ke atas dan menghadapkan kedua telapak
tangan yang menghitam itu ke belakang! Seng Bu yang telah menguasai Bu-kek Hoat-keng secara keliru,
memang telah mendapatkan suatu ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun.
Jika Siangkoan Kok tidak memiliki sinkang yang amat kuat, tentu ia telah tewas dengan tubuh hangus.
Untung bahwa ketua Pao-beng-pai itu mempunyai sinkang kuat sehingga hawa beracun itu hanya berhenti
sampai di pergelangan tangannya saja, dihambat oleh sinkang-nya.
Sekarang Seng Bu menjulurkan kedua tangannya dan ditempelkan pada kedua tangan Siangkoan Kok.
Sampai beberapa menit lamanya dia terus mengerahkan sinkang-nya sehingga tubuh kedua orang itu
menggigil. Perlahan-lahan, warna menghitam di kedua tangan Siangkoan Kok menjadi hilang, tersedot ke
dalam kedua tangan Seng Bu!
Setelah Seng Bu melepaskan kedua tangannya dan meloncat ke belakang, Siangkoan Kok memeriksa
kedua tangannya dan ternyata kedua telapak tangannya sudah bersih. Dia lalu memandang kepada Seng
Bu dengan kagum.
"Ouw-pangcu, sekarang aku percaya. Engkau masih muda akan tetapi lihai bukan main, dan aku akan
suka menjadi sekutumu. Karena Pao-beng-pai sudah terbasmi pasukan pemerintah penjajah, maka biarlah
aku membantumu untuk memperkuat Thian-li-pang dan kita bersama akan menjatuhkan pemerintah
kerajaan Mancu!"
"Nanti dulu, Siangkoan Pangcu. Urusan di sini harus dibereskan dulu. Sebaiknya kalau engkau minta maaf
kepada Nona Cu, dan memberi hukuman kepada lima orang bekas anak buahmu."
Siangkoan Kok menghela napas panjang. Dia maklum bahwa pemuda yang mengaku ketua Thian-li-pang
itu lihai bukan main, mempunyai ilmu pukulan yang amat aneh dan berbahaya. Dia akan melihat dulu
keadaan di Thian-li-pang. Kalau memang pantas dia bantu, apa salahnya? Baginya, yang penting adalah
dunia-kangouw.blogspot.com
menggulingkan pemerintah Mancu! Dan memang tidak menguntungkan kalau dia bermusuhan dengan
keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman.
"Nona Cu, maafkan sikapku tadi." Dia menjura kepada gadis itu. Tentu saja Kim Giok segera membalas
penghormatan ketua Pao-beng-pai itu.
"Tidak mengapa, Pangcu, hanya kesalah pahaman saja," katanya.
Sekarang Siangkoan Kok menoleh ke arah lima orang anak buahnya yang menyeringai. Ketika dia
melangkah maju menghampiri mereka, lima orang itu memandang dengan wajah pucat dan mata
ketakutan. Melihat sikap ketua mereka yang sudah amat mereka kenal, mereka ketakutan dan maklum
bahwa ketua mereka itu marah kepada mereka. Dengan kaki menggigil, mereka lalu menjatuhkan diri
berlutut.
Akan tetapi, Siangkoan Kok menggerakkan tangan kirinya lima kali dan lima orang itu pun terjengkang dan
tewas seketika! Melihat ini, terkejutlah Kim Giok. Lima orang itu memang jahat dan patut dihajar, akan
tetapi hukuman mati itu ia anggap terlalu keras. Akan tetapi karena yang membunuh adalah ketua mereka
sendiri, ia pun tidak dapat mencampuri.
Sementara itu, Seng Bu merasa sangat senang dan puas melihat cara Siangkoan Kok membuktikan
kesungguhan niat kerja sama dengan dia. Dia kini menghadapi Kim Giok dan berkata, sikapnya pun sudah
pulih, ramah dan sopan.
"Nona Cu, secara kebetulan kita saling bertemu dan berkenalan di sini. Mendengar tadi Nona berkata
bahwa Nona sedang merantau untuk meluaskan pengalaman, sudikah Nona menerima undanganku untuk
berkunjung ke Thian-li-pang bersama Siangkoan Pangcu ini? Pasti Nona akan mendapat pengalaman dan
pengetahuan lebih luas."
Karena memang merasa tertarik dan kagum sekali melihat pemuda yang ternyata mampu menundukkan
Siangkoan Kok, lagi pula ia pun tahu bahwa tanpa bantuan Ouw Seng Bu, mungkin ia sudah menderita
celaka di tangan ketua Pao-beng-pai dan anak buahnya, maka Kim Giok mengangguk dan mengucapkan
terima kasihnya.
Tetapi, Siangkoan Kok agaknya merasa tidak enak kalau harus melakukan perjalanan bersama mereka.
"Ouw-pangcu, aku bukan seorang yang suka mengingkari janji. Aku pasti akan datang berkunjung ke
Thian-li-pang, karena bukan hanya engkau yang membutuhkan bantuan dariku, tetapi juga aku sendiri
amat membutuhkan kerja sama dengan orang sepertimu. Memang engkau benar, tanpa adanya kerja
sama antara kekuatan-kekuatan yang ada, perjuangan kita menentang penjajah tidak akan berhasil. Nah,
silakan engkau dan Nona Cu pergi dulu, Ouw-pangcu, aku akan segera menyusul berkunjung ke sana."
Ketua Thian-li-pang itu setuju dan demikianlah, dia mengajak Cu Kim Giok untuk pergi lebih dahulu.
Setelah mereka pergi, Siangkoan Kok menjatuhkan diri duduk di atas batu, termenung memandang ke
arah mayat lima orang anak buahnya yang terbaring malang melintang. Dia mengerutkan alisnya.
Terpaksa dia membunuh mereka, untuk memuaskan hati Ouw Seng Bu.
Kini hatinya panas bukan main. Ketua Thian-li-pang itu memaksanya membunuh anak buahnya sendiri.
Dia, Siangkoan Kok, adalah keturunan kaisar kerajaan Beng, berdarah bangsawan tinggi. Bagaimana
mungkin dia begitu direndahkan untuk menjadi pembantu saja dari seorang pemuda ingusan macam Ouw
Seng Bu, betapa pun lihainya pemuda itu karena menguasai ilmu pukulan beracun yang hebat?
Tidak, dia harus menjadi kepala, dia harus menjadi pemimpin, dia harus menjadi yang nomor satu. Dia
akan mencari akal untuk mengalahkan dan menjatuhkan Ouw Seng Bu. Dia mengepal tinju, kemudian dia
melempar-lemparkan lima buah mayat itu ke dalam jurang yang dalam agar tidak kelihatan terlantar di
tempat itu…..
********************
Siangkoan Kok menuruni lembah Bukit Setan. Tiba di lembah terakhir dia berhenti dan memutar tubuhnya,
lalu memandang ke arah Ban-kwi-kok yang nampak menghitam dari situ. Selama bertahun-tahun ia
dunia-kangouw.blogspot.com
membangun kekuatan di tempat itu. Dan terpaksa kini ia harus meninggalkan tempat itu yang sudah
kosong dan hancur. Selama belasan tahun dia menghimpun tenaga para anak buahnya, hanya untuk
hancur dalam waktu sehari saja!
Dia merasa berduka dan menyesal sekali, maklum bahwa dia memang telah bersikap sangat bodoh. Dia
terlalu mengandalkan kekuatan perkumpulannya. Perkumpulan yang menentang pemerintah harusnya
menyembunyikan diri, menghimpun kekuatan secara diam-diam pula, tidak boleh memamerkan kekuatan
sehingga terbasmi sebelum sempat memberontak.
Ia harus mulai lagi dari permulaan, menghimpun pembantu-pembantu yang lebih cakap dari pada yang
sudah. Akan tetapi dia tahu betapa sukarnya hal itu tercapai. Yang jelas, dahulu dia dibantu oleh isterinya,
Lauw Cu Si yang selain setia juga amat lihai ilmunya, sebagai keturunan para pimpinan Beng-kauw. Tidak
mudah mencari seorang pengganti isteri seperti Lauw Cu Si yang pandai dan lihai.
Kemudian dia berhasil menggembleng Eng Eng yang dianggapnya seperti anak sendiri sehingga Eng Eng
yang tinggal bersamanya sejak berusia dua setengah tahun, menjadi seorang gadis yang mempunyai
kelihaian melebihi ibunya! Dua orang wanita itu tadinya merupakan pembantu-pembantu yang amat boleh
diandalkan, terutama Eng Eng.
Akan tetapi sekarang, semuanya telah hancur. Bahkan isterinya telah tewas, dan Eng Eng sudah lari. Dan
dia tahu bahwa sekarang Eng Eng bukan lagi anaknya, melainkan musuhnya! Dan semua pembantu yang
telah dididiknya, juga murid-muridnya, kini telah habis, entah tewas entah ditawan pasukan pemerintah. Dia
hanya seorang diri di dunia ini. Bahkan lima orang bekas anak buahnya tadi pun terpaksa dibunuhnya.
"Aku tak boleh putus asa," bisik Siangkoan Kok kepada dirinya sendiri sambil mengepal tinju. "Aku harus
mencari lagi pembantu-pembantu yang lebih kuat lagi."
Seandainya saja orang-orang seperti Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok tadi dapat menjadi pembantupembantunya!
Jika tadi Ouw-pangcu tidak muncul, mungkin dia sudah dapat membujuk atau memaksa Cu
Kim Giok menjadi pembantunya yang baru, atau menjadi selirnya! Dia bukan tergila-gila karena kecantikan
dan kemudaan Kim Giok, melainkan ingin memiliki gadis itu agar dapat menjadi pembantunya yang setia.
Dengan keputusan hati yang penuh harapan, penuh semangat, kemudian pria perkasa ini melanjutkan
perjalanan, dengan langkah lebar dia menuruni lereng terakhir. Di dalam sakunya masih terdapat banyak
emas permata untuk bekal perjalanannya, walau pun hal ini tidak dipentingkan benar karena kalau dia
membutuhkan biaya, tak sukar baginya untuk mengambil dari rumah orang yang mana pun.
Ketika dia memasuki sebuah dusun yang cukup ramai di kaki Kwi-san, matahari telah condong ke barat
dan cuaca sudah mulai remang-remang. Karena itu Siangkoan Kok mengambil keputusan untuk
melewatkan malam di dusun itu.
Meski pun dia bekas ketua Pao-beng-pai yang bermarkas di Lembah Selaksa Setan, di lereng Bukit Setan
itu, namun penduduk dusun di kaki bukit ini tidak pernah melihatnya. Oleh karena itu, tak seorang pun
mengenal pria tinggi besar gagah perkasa yang pada senja hari itu memasuki dusun.
Akan tetapi, walau pun dia sendiri belum pernah memasuki dusun itu, Siangkoan Kok sudah mendengar
dari anak buahnya bahwa dusun itu cukup ramai, penduduknya hidup cukup makmur karena sawah dan
ladang di daerah itu amat subur, juga bahwa kepala dusunnya kaya raya.
So-chungcu (Kepala dusun So) bersama isterinya dan puterinya yang pada sore hari itu sedang duduk di
serambi depan, tidak menduga buruk ketika melihat seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun,
bertubuh tinggi besar, berpakaian cukup pantas seperti seorang kota yang pakaiannya dari kain sutera,
memasuki pekarangan rumah mereka. Bahkan Lurah So segera bangkit berdiri sambil memandang penuh
perhatian ketika orang itu datang menghampiri mereka. Akan tetapi dia merasa heran karena merasa tidak
mengenal tamu yang datang itu. Kalau seorang pejabat dari kota, kenapa datang tanpa pengawal?
Sekarang mereka berdiri berhadapan. Juga isteri Lurah So dan puterinya yang berusia delapan belas
tahun, bangkit berdiri dan memandang pada tamu itu. Oleh karena tamu pria itu sudah setengah tua, maka
dua orang wanita itu tidak merasa sungkan. Andai kata yang datang itu seorang laki-laki muda, tentu So
Biauw Hwa, puteri lurah itu, akan masuk ke dalam bersama ibunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Apakah engkau kepala dusun di sini?" kata tamu itu tiba-tiba, mendahului tuan rumah. Suaranya
menggelegar dan sikapnya berwibawa, namun sikapnya ini tidak menghormat si kepala dusun seperti sikap
penduduk dusun di situ pada umumnya.
Akan tetapi, So-chungcu tidak marah karena dia menduga bahwa tentu tamu ini seorang dari kota,
mungkin seorang pejabat atau pedagang. Dia hanya memandang sejenak lalu mengangguk. "Benar, saya
adalah kepala dusun di sini. Siapakah Saudara serta dari mana dan hendak ke mana? Ada keperluan apa
Saudara berkunjung ke rumah kami?"
Siangkoan Kok mengamati lurah itu. Seorang laki-laki yang sebaya dengannya, tinggi kurus. Isterinya
berusia empat puluhan tahun, masih cantik, dan puterinya yang berusia delapan belas tahun itu berwajah
manis dan matanya lebar indah seperti mata kelinci. Ruangan depan itu pun memiliki prabot rumah yang
cukup mewah, tanda bahwa lurah ini memang cukup keadaannya.
"Saya hanyalah orang yang kebetulan lewat di dusun ini dan karena kemalaman, saya ingin melewatkan
malam di sini, di rumah ini," kata Siangkoan Kok dengan sikap acuh, seolah-olah dia sudah merasa yakin
bahwa permintaannya itu pasti dikabulkan.
Mulailah Lurah So mengerutkan alisnya, juga isteri dan puterinya memandang dengan alis berkerut. Tamu
ini sungguh tidak sopan, dan permintaannya agak keterlaluan. Tidak mengenalkan nama, tidak
menceritakan maksud kedatangannya, namun datang-datang menyatakan ingin menginap di rumah itu,
bahkan tidak memohon agar diterima!
"Hemmm, kalau ada tamu kemalaman di sini, kami sudah menyediakan tempat umum untuk bermalam,
yaitu di balai dusun. Tetapi setiap tamu harus mendaftarkan namanya, tempat tinggalnya, supaya kami
tahu siapa yang datang bermalam. Nah, Saudara boleh pergi ke balai dusun, itu di sebelah kiri, rumah
ketiga dari sini, dan di sana sudah ada petugas yang akan melayanimu. Silakan!" kata tuan rumah itu,
mengusir dengan nada halus.
Tetapi, jawaban yang diberikan tamu itu sungguh membuat keluarga lurah itu menjadi terbelalak.
Siangkoan Kok berkata dengan nada suara marah.
"Lurah So, tak perlu banyak cakap lagi. Cepat sediakan sebuah kamar terbaik di rumah ini untukku!
Sediakan air hangat untuk mandi. Setelah itu, aku ingin makan malam yang enak. Karena itu sediakan
masakan yang lengkap, sembelih ayam dan bebek, dan aku ingin makan dilayanioleh wanita yang mudamuda
dan cantik-cantik!" berkata demikian, Siangkoan Kok mengerling ke arah isteri dan puteri lurah itu.
Dia bukan seorang mata keranjang, tapi dia hanya ingin memperlihatkan kekuasaannya, ingin dihormati
secara berlebihan. Kalau pun dia pernah memaksa muridnya, mendiang Tio Sui Lan, karena dia marah
kepada isterinya dan ingin mendapatkan ganti isterinya. Dan Sui Lan pada saat itu yang paling dekat
dengannya, maka dia mengambil murid itu sebagai isteri secara paksa.
Sebelum peristiwa itu, dia tidak pernah mengganggu wanita lain. Curahan nafsu dalam diri Siangkoan Kok
bukan kepada wanita cantik, tetapi kepada pengejaran cita-citanya, yaitu membangun kembali kerajaan
Beng dan dia yang menjadi kaisar!
Tentu saja Lurah So marah bukan main mendengar permintaan kurang ajar seperti itu. Seorang pejabat
tinggi dari kota pun tentu tidak akan mengajukan permintaan seperti itu secara langsung, seolah-olah dia
merupakan abdi dari orang itu!
Lurah So tidak mau banyak cakap lagi, lalu bertepuk tangan tiga kali dan muncullah lima orang dari
samping rumah, membawa seekor anjing yang dirantai. Anjing itu besar dan nampaknya menyeramkan.
Lima orang itu adalah penjaga atau peronda yang malam itu akan bertugas jaga di dusun itu, melakukan
perondaan dan memang rumah samping Lurah So menjadi pusat penjagaan.
"Usir orang yang tidak sopan ini keluar dari dusun!" perintah Lurah So dengan geram sambil menunjuk ke
arah Siangkoan Kok.
Lima orang itu segera menghampiri dengan sikap bengis. Para petugas ronda di dusun itu memang dipilih
warga dusun yang bertubuh kuat dan masih muda. Biar pun mereka bukan tukang pukul, akan tetapi lima
orang itu yang merasa mendapat wewenang, lalu menghampiri Siangkoan Kok dengan sikap bengis
dunia-kangouw.blogspot.com
mengancam. Sementara itu, isteri dan puteri Lurah So yang merasa ketakutan, sudah lari masuk ke dalam
rumah.
"Hayo engkau cepat pergi dari sini!" kata seorang penjaga.
"Kalau tidak cepat pergi, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan!" bentak orang kedua.
Siangkoan Kok memandang kepada mereka dengan senyum mengejek. "Aku tidak mau pergi dan hendak
kulihat, kekerasan macam apa yang hendak kalian lakukan terhadap diriku!"
Mendengar kata-kata serta melihat sikap yang penuh tantangan ini, lima orang penjaga menjadi marah.
Mereka berlima maju dan mengulur tangan hendak menangkap orang setengah tua itu. Akan tetapi, begitu
Siangkoan Kok menggerakkan kedua tangannya, lima orang itu terdorong dan terjengkang, lalu tergulingguling
sampai beberapa meter jauhnya!
Anjing yang tadinya dipegang ujung rantainya oleh seorang dari mereka, kini terlepas. Dan anjing itu
menggonggong, lalu menubruk ke arah Siangkoan Kok dengan moncong dibuka lebar, memperlihatkan
gigi bertaring yang runcing.
Melihat serangan anjing besar itu, Siangkoan Kok menjadi marah. Dengan jari terbuka tangan kirinya
menyambut tubrukan anjing itu, menyambar dari samping ke arah kepala anjing.
"Krekkk!" Anjing itu terbanting roboh dan berkelojotan dengan kepala pecah.
Lima orang penjaga itu terkejut. Mereka sudah mencabut golok masing-masing sambil berloncatan berdiri.
Akan tetapi, saat Siangkoan Kok menggerakkan kakinya, tubuhnya berkelebat ke depan, kakinya dan
tangannya bergerak, maka segera lima batang golok itu beterbangan lepas dari tangan pemegangnya.
"Apakah kalian ingin mampus seperti anjing itu?!" bentaknya dan sekali tangan kirinya meraih, dia sudah
mencengkeram baju di tengkuk Lurah So.
"Kalau permintaanku yang pantas itu tidak dituruti, aku akan membunuh Lurah So serta keluarganya dan
membakar rumah ini. Jika ada penghuni dusun ini berani melawanku, akan kubunuh mereka semua!"
Dia melepaskan lagi cengkeramannya, dan Lurah So dengan muka pucat lalu menyuruh para penjaga itu
mundur. Lurah So kemudian membungkuk dan memberi hormat pada Siangkoan Kok.
"Maafkan kami... karena tidak tahu kami telah berani membangkang perintah Taihiap (Pendekar Besar)."
"Cukup sudah! Cepat sediakan yang kupinta tadi. Kamar terbaik, mandi air hangat, lalu makan malam yang
meriah dilayani wanita-wanita muda dan cantik!"
"Silakan, Taihiap... silakan, biar Taihiap mempergunakan kamar kami sendiri. Silakan!"
Dengan langkah lebar Siangkoan Kok memasuki rumah lurah itu, diiringkan Lurah So yang masih
ketakutan. Lima orang penjaga membawa pergi bangkai anjing dan dengan ketakutan mereka
menceritakan apa yang terjadi di rumah Lurah So kepada penghuni dusun. Semua orang dusun dicekam
ketakutan, akan tetapi mereka tidak berdaya, takut untuk melakukan sesuatu karena keselamatan keluarga
Lurah So telah dicengkeram oleh tamu aneh itu.
Terpaksa Lurah So melayani tamunya, memberikan kamarnya sendiri untuk Siangkoan Kok, menyuruh
pelayan menyediakan air hangat untuk mandi dan memerintahkan juru masak untuk menyembelih ayam
dan bebek, membuat masakan dan mempersiapkan makan malam sebaik mungkin untuk tamu aneh yang
amat ditakuti itu. Diam-diam dia menyuruh puterinya pergi meninggalkan rumah, mengungsi ke mana saja
agar jangan sampai diganggu tamu itu.
Sementara itu, pada sore hari itu juga, seorang gadis berusia delapan belas tahun lebih juga menuruni
lereng Kwi-san. Gadis ini cantik jelita, dengan wajahnya yang bulat telur dan kulit putih kemerahan.
Matanya lebar dengan sinar tajam, hidungnya mancung dan mulutnya selalu terhias senyum yang sangat
manis karena ujung bibirnya dimeriahkan lesung pipit.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dari pakaiannya yang serba merah, mudah diduga siapa adanya gadis jelita ini, apa lagi kalau nampak
sebatang suling berselaput emas terselip di pinggangnya. Dia adalah Si Bangau Merah Tan Sian Li!
Seperti telah kita ketahui, gadis perkasa ini hadir pula bersama ayah ibunya di dalam pesta ulang tahun
dan pertemuan keluarga di rumah Suma Ceng Liong. Diam-diam ia kecewa karena tidak melihat Yo Han di
sana, apa lagi kemudian terjadi pengacauan yang dilakukan Eng Eng dari Pao-beng-pai.
Hal ini dijadikan alasan oleh Sian Li untuk meninggalkan ayah ibunya dengan diam-diam di rumah Suma
Ceng Liong. Ia hanya meninggalkan surat untuk ayah ibunya bahwa dia pergi untuk membantu Yo Han
mencari puteri Sim Houw, yaitu Sim Hui Eng, dan juga untuk menyelidiki Pao-beng-pai yang memusuhi tiga
keluarga besar.
Karena tidak tahu ke mana Yo Han pergi, maka Sian Li mencari tanpa tujuan tertentu. Ke mana pun dia
pergi, dia bertanya-tanya mengenai pendekar yang berjuluk Sin-ciang Taihiap (Pendekar Tangan Sakti),
namun tidak pernah menemukan orang yang dapat menunjukkan di mana adanya pendekar yang dicarinya
itu.
Akhirnya, dia menuju ke Bukit Setan untuk menyelidiki Pao-beng-pai. Dalam perjalanan menuju ke sana
itulah dia mendengar akan penyerbuan pasukan pemerintah terhadap gerombolan pemberontak itu,
mendengar betapa Pao-beng-pai dibasmi oleh pasukan pemerintah. Namun ia tetap pergi ke sana dan
berhasil naik sampai ke Lembah Selaksa Setan, melihat betapa bekas sarang Pao-beng-pai telah menjadi
puing karena dibakar oleh pasukan pemerintah.
Sian Li sama sekali tidak tahu bahwa pada saat dia meninggalkan lembah itu, di lembah sebelah bawah
tengah terjadi perkelahian antara Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok yang kemudian dibantu oleh Ouw Seng
Bu. Hanya beberapa jam selisihnya ketika ia melewati lembah itu. Ia terus menuruni lembah dan ketika tiba
di kaki bukit, ia lantas menuju ke dusun yang tadi dilihatnya dari lembah terakhir.
Pada saat dia memasuki hutan kecil yang berada di kaki bukit, untuk menuju ke dusun di seberang hutan,
tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya.
"Nona Tan Sian Li...!"
Sian Li terkejut. Ia menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya memandang. Segera ia
mengenal pemuda yang datang berlari-lari menghampirinya itu.
"Twako (Kakak) Gak Ciang Hun...!" serunya girang dan juga heran sekali.
Terakhir ia berjumpa dengan pemuda itu di rumah Suma Ceng Liong ketika diadakan pertemuan antara
tiga keluarga besar. "Bagaimana engkau dapat berada di sini?"
Dengan wajah berseri-seri karena gembira dapat menemukan gadis itu, Ciang Hun lalu menjawab, "Aku
memang menyusul dan mencarimu setelah kami semua mengetahui kepergianmu."
Sian Li mengerutkan alisnya. "Kenapa, Gak-twako? Mau apa engkau menyusul dan mencariku?"
Ciang Hun menyadari kesalahannya. Hampir saja dia membuka rahasia hatinya. Tentu saja dia menyusul
Sian Li karena mengkhawatirkan gadis itu dan ingin membantunya. Semua ini terdorong oleh perasaan
cintanya kepada Sian Li! Akan tetapi, dia tidak berani menceritakan itu.
"Aku... aku pun ingin ikut mencari puteri paman Sim Houw yang hilang sejak kecil, aku ingin pula ikut
menyelidiki Pao-beng-pai. Aku sudah mendapat perkenan ibu, maka aku cepat-cepat pergi menyusulmu,
Nona. Kurasa, dengan tenaga kita berdua, akan lebih kuat dan..."
"Gak-twako, jangan menyebut aku nona. Engkau membuat aku merasa sungkan saja. Bagaimana pun
juga, di antara kita masih ada hubungan, baik hubungan keluarga atau perguruan. Nah, kalau aku
menyebutmu kakak, sudah sepatutnya kau menyebut aku adik, bukan?"
Wajah Ciang Hun menjadi kemerahan dan dia pun salah tingkah. Memang pemuda ini, walau pun sudah
berusia dua puluh sembilan tahun, akan tetapi belum berpengalaman dalam pergaulan dengan wanita,
maka dia merasa canggung dan rikuh.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Baiklah, Siauw-moi. Aku memang mencarimu ke Kwi-san, karena engkau ingin pula menyelidiki Pao-bengpai.
Akan tetapi aku menjadi bingung ketika mendengar bahwa Pao-beng-pai telah dibasmi oleh pasukan
pemerintah. Maka aku hanya berkeliaran di sekitar kaki bukit sampai tadi kebetulan sekali aku melihatmu,
maka aku mengejarmu."
Siang Li yang merasa lelah, tidak begitu senang bila membayangkan dirinya melakukan perjalanan berdua
saja dengan Ciang Hun. Bukan Ciang Hun yang diharapkannya, tapi Yo Han! Dan dia mendapat kesan
bahwa pandang mata Gak Ciang Hun terhadapnya begitu penuh kagum, begitu mesra. Dan ini hanya
berarti bahwa pemuda perkasa ini agaknya menaruh hati kepadanya, hal yang sama sekali tidak ia
harapkan!
Sian Li adalah seorang gadis yang berwatak tegas dan keras. Ia lalu duduk di atas batu, di bawah pohon
yang rindang. Matahari sudah condong ke barat, namun sinarnya masih cukup panas dan duduk di tempat
teduh itu terasa sangat nyaman, apa lagi karena ia sudah melakukan perjalanan melelahkan menuruni
Lembah Selaksa Setan tadi.
"Gak-twako, sesungguhnya, perjalananku meninggalkan ayah ibu tempo hari terutama sekali untuk
mencari kanda Yo Han." Ia berkata dengan tekanan suara kepada nama pemuda itu, dan matanya
memandang tajam.
Ciang Hun mengerutkan alisnya. "Yo Han? Kau maksudkan, Pendekar Tangan Sakti?"
Sian Li mengangguk dan ia semakin yakin akan dugaannya melihat betapa sinar mata pemuda itu
menunduk dan alisnya berkerut, jelas nampak kalau dia terpukul. Sebaiknya aku berterus terang saja, pikir
gadis itu, dari pada membiarkan dia berlarut-larut hanyut dalam khayal.
"Benar, Gak-twako. Aku ingin mencari Han-koko. Dia bertekad untuk menemukan puteri Paman Sim Houw
yang hilang, maka aku akan mencarinya karena aku tidak ingin ikut ayah dan ibu ke kota raja."
Ciang Hun sudah dapat menguasai kekecewaan mendengar betapa gadis yang sejak pertemuannya
pertama kali sudah merampas semangatnya ini mencari-cari Yo Han. Dia menduga bahwa tentu ada
perhatian khusus dari gadis ini terhadap pendekar itu. Untuk mengalihkan perhatiannya sendiri, dia
bertanya, "Kenapa engkau tidak ingin ikut dengan orang tuamu ke kota raja, Nona... ehh, Siauw-moi?"
"Hemmm, orang tuaku hendak mengajak aku ke kota raja untuk membicarakan urusan perjodohanku. Aku
tidak suka itu. Aku hendak dijodohkan dengan putera Pangeran Cia Yan, bahkan ikatan itu sudah dilakukan
semenjak dahulu dan kini orang tuaku hendak mematangkan urusan itu. Aku tidak suka menjadi calon
mantu pangeran!"
Ciang Hun memandang wajah gadis itu yang nampak cemberut, namun tak mengurangi kecantikannya.
"Akan tetapi, kenapa, Siauw-moi? Bukankah menjadi mantu pangeran merupakan suatu penghormatan
yang besar? Engkau akan hidup mulia dan terhormat, dan kurasa putera pangeran itu pun seorang
pemuda yang baik maka sampai diterima oleh ayah ibumu..."
"Tidak peduli bagaimana pun baiknya, aku tidak sudi! Ah, Twako, kurasa tidak perlu lagi aku merahasiakan.
Hanya ada seorang saja pria yang aku inginkan menjadi suamiku, pria yang kucinta sejak dahulu, dia
adalah Han-koko..."
"Sin-ciang Taihiap Yo Han?" Ciang Hun bertanya. Dia tidak merasa heran karena hal ini sudah diduganya.
Gadis itu mengangguk, merasa puas karena ia memang ingin berterus terang agar Gak Ciang Hun tidak
lagi mengharapkannya.
"Ia memang seorang pendekar yang gagah perkasa. Aku pun kagum dan menghormati dia. Pilihan hatimu
tidak keliru, Siauw-moi. Akan tetapi bagaimana dengan pilihan orang tuamu, pangeran itu...?"
"Aku tidak mau! Ayah dan ibu harus dapat mengerti. Aku hanya mencinta Han-ko, aku akan mencarinya."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kalau begitu, aku akan membantumu, Siauw-moi. Aku akan membantumu mencari sampai kita dapat
menemukan Yo Han!" kata Ciang Hun penuh semangat.
Ciang Hun memang berjiwa pendekar. Meski pun baru saja harapannya hancur lebur, bahwa cintanya
kepada Sian Li tak akan mungkin terbalas, bahwa dia hanya bertepuk tangan sebelah, akan tetapi dia tidak
menjadi patah hati. Tidak, dia dapat menerima dan menghadapi kenyataan. Apa lagi mendengar bahwa
pilihan hati Sian Li adalah Yo Han, pendekar yang dia kagumi, dan dia tahu bahwa Yo Han jauh lebih baik
dari dirinya sendiri!
Dia tahu bahwa dia bukan jodoh Sian Li, akan tetapi hal ini bukan berarti dia membenci Sian Li. Tidak, dia
tetap menyayangnya, karena bagaimana pun juga, di antara mereka masih ada hubungan dan ikatan
antara tiga keluarga besar. Dia harus membantu gadis itu menemukan kekasihnya, calon suaminya,
menemukan kebahagiaannya.
Sian Li mengangkat muka memandang wajah yang menunduk itu. Diam-diam ia merasa terharu, dan juga
kagum. Seorang pria yang hebat, pikirnya. Betapa akan mudahnya jatuh cinta kepada pria ini, sekiranya di
sana tidak ada Yo Han! Ia mengulur tangan dan menyentuh lengan Ciang Hun.
"Benarkah, Twako? Aihhh, engkau memang baik hati sekali. Engkau dan ibumu selalu berbuat baik. Terima
kasih, Twako!"
Ciang Hun mengangkat muka dan tersenyum melihat Sian Li begitu gembira. Begitu kekanak-kenakan!
"Mari kita lanjutkan perjalanan, matahari sudah condong ke barat. Sebentar lagi gelap, dan kita harus dapat
melintasi hutan ini sebelum malam tiba."
"Marilah, Gak-twako. Tadi kulihat dari atas bahwa di seberang hutan kecil ini terdapat sebuah dusun. Kita
ke sana sebelum malam tiba, Twako."
Mereka memasuki hutan itu dengan langkah cepat. Akan tetapi ketika mereka hampir tiba di seberang,
mereka mendengar isak tangis seorang wanita. Mereka terkejut dan heran, bahkan sempat bulu tengkuk
mereka meremang karena di waktu senja ketika cuaca sudah hampir gelap, terdengar isak tangis di hutan.
Siapa lagi kalau bukan siluman atau iblis yang mengeluarkan suara seperti itu untuk menakut-nakuti
mereka? Memang mereka merasa ngeri, akan tetapi mereka adalah dua orang pendekar yang tidak mudah
lari ketakutan. Mereka menghentikan langkah dan memperhatikan. Suara tangis wanita itu ditanggapi
suara seorang wanita lain.
"Sudahlah jangan menangis. Tidak ada yang tahu bahwa kita bersembunyi di sini..."
Orang yang menangis itu berkata dengan suara ketakutan, "Tetapi... Ibu... bagaimana dengan ayah?
Bagaimana kalau dia dipukul atau dibunuh iblis jahat itu...?"
Mendengar percakapan ini, Sian Li cepat menghampiri, diikuti oleh Ciang Hun. Kedua orang wanita yang
sedang duduk di dalam gubuk kecil tempat para pemburu beristirahat itu, menahan jerit mereka ketika
mendadak muncul dua bayangan orang dalam cuaca yang sudah remang-remang itu. Akan tetapi mereka
tidak jadi menjerit ketika melihat bahwa yang muncul adalah seorang gadis cantik bersama seorang
pemuda tampan.
"Jangan takut, Bibi dan Cici, kami bukan orang jahat. Namaku Tan Sian Li dan ini kakak Gak Ciang Hun.
Kami kebetulan lewat di sini dan tadi mendengar percakapan kalian. Mengapa kalian bersembunyi di sini
dan siapa yang mengancam keselamatan suami Bibi?"
Melihat sikap Sian Li yang gagah, juga pemuda di dekatnya itu bersikap gagah, wanita itu lalu memberi
hormat dan berkata, "Aku adalah isteri Lurah So di dusun sana, dan ini So Biauw Hwa puteri kami. Baru
saja rumah kami didatangi seorang laki-laki yang amat kasar dan jahat. Dia dengan paksa hendak
bermalam di rumah kami, minta disediakan kamar terbaik, mandi air hangat, dan pesta-pesta, minta
dilayani wanita-wanita cantik. Dia memukul para penjaga, dan membunuh anjing kami. Dia menakutkan
sekali. Karena takut kalau anakku diganggu, maka ia kuajak melarikan diri dan bersembunyi di sini."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hemmm, apakah orang itu perampok dan mempunyai banyak teman?" tanya Sian Li penasaran dan
sudah marah kepada para perampok yang bertindak sewenang-wenang.
Akan tetapi nyonya itu menggeleng kepala. "Dia hanya seorang diri, dan lagaknya tidak seperti perampok.
Pakaiannya pantas, hanya sikapnya yang seperti raja memerintah kami. Ahh, kami takut sekali, khawatir
kalau sampai suamiku dicelakakan olehnya..."
"Siauw-moi, mari kita ke sana!" kata Gak Ciang Hun yang juga sudah marah mendengar kelakuan tamu
yang demikian kurang ajar.
"Mari, Bibi dan Cici, mari antar kami ke rumah kalian. Kami akan hajar dan usir tamu tak tahu diri itu!" kata
Sian Li.
Melihat sikap pemuda dan pemudi itu, ibu dan anak ini menjadi berani dan timbul pula harapan mereka
agar cepat terbebas dari ancaman tamu yang jahat itu.
Hari telah menjadi gelap pada saat mereka berempat memasuki dusun. Suasana dusun yang tadinya
ramai itu sekarang mendadak menjadi sepi sekali karena semua rumah menutupkan pintu dan jendelanya.
Tiada seorang pun berani menampakkan diri di luar rumah, mereka semua telah mendengar akan
munculnya seorang manusia yang jahat dan amat lihai di rumah kepala dusun.
Ketika mereka berempat tiba di rumah Lurah So, dari luar mereka sudah mendengar ribut-ribut. Suara itu
datangnya dari ruangan makan seperti yang diberi tahukan ibu dan anak itu, dan mereka semua langsung
menuju ke ruangan makan di sebelah belakang. Mereka melihat betapa laki-laki setengah tua yang tinggi
besar itu sedang bertanding melawan seorang gadis yang bersenjatakan siang-kiam (sepasang pedang).
Gadis itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun, wajahnya bulat dengan dagu runcing dan rambutnya yang
hitam itu lebat dan panjang sekali, digelung dua di belakang kepala. Matanya bersinar lembut dan mulutnya
amat indah, dengan bibir yang kemerahan dan lekuknya amat menggairahkan. Tubuhnya ramping dan
gadis ini memang cantik manis. Juga ilmu sepasang pedangnya cukup lumayan. Jelas bahwa ia sedang
marah sekali, menyerang pria itu dengan mati-matian.
Akan tetapi, Ciang Hun dan Sian Li melihat betapa pria itu memang lihai bukan main, Biar pun hanya
menggunakan tangan kosong, namun pria itu sama sekali tidak terdesak oleh sepasang pedang lawannya,
bahkan dia menggulung lengan baju dan dengan lengan telanjang dia berani menangkis pedang, seolaholah
lengannya terbuat dari baja saja!
Sian Li dan Ciang Hun tidak mengenal wanita cantik manis yang meski pun melihat kehebatan lawan,
namun tidak nampak gentar dan terus menyerang itu. Karena mereka tidak tahu siapa gadis itu, juga ibu
dan anak itu tidak mengenalnya, maka Sian Li dan Ciang Hun meragu untuk turun tangan.
Gadis yang mulutnya menggairahkan itu adalah Gan Bi Kim! Para pembaca kisah Si Bangau Merah akan
mengenal Gan Bi Kim. Dia adalah puteri seorang pejabat tinggi, yaitu kepala gudang pusaka kerajaan dan
tinggal di kota raja, bernama Gan Seng.
Saat Yo Han telah tamat belajar ilmu silat dari kakek yang buntung lengan dan kakinya, yaitu mendiang Ciu
Lam Hok, sebelum mati kakek itu memesan kepada muridnya agar suka berkunjung kepada cici-nya yang
tinggal di kota raja. Cici dari kakek Ciu Lam Hok adalah nenek Ciu Cing, yaitu ibu kandung Gan Seng ayah
Bi Kim.
Ketika Yo Han berkunjung ke sana, nenek Ciu Cing menangisi kematian adiknya Ciu Lam Hok dan ketika
menyembahyangi arwah adiknya, di depan meja sembahyang itu nenek itu menjodohkan cucunya, Gan Bi
Kim, dengan murid adiknya, yaitu Yo Han. Dan kebetulan sekali Bi Kim jatuh cinta pula kepada Yo Han,
walau pun Yo Han sendiri tidak mencintanya karena semenjak remaja, Yo Han telah jatuh cinta kepada
Tan Sian Li, Si Bangau Merah!
Yo Han meninggalkan keluarga Gan di kota raja. Bi Kim merasa amat penasaran karena belum
mendapatkan kepastian dari Yo Han, maka ia pun lalu mendesak ayahnya untuk mengundang jagoanjagoan
istana dan mengajarkan ilmu silat kepadanya. Ternyata ia berbakat dan terutama sekali ia pandai
memainkan sepasang pedang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah ditunggu-tunggu tidak juga Yo Han datang, bahkan tidak ada berita, Gan Bi Kim merasa
penasaran. Dia merasa bahwa dia telah menguasai ilmu pedang dan pandai menjaga diri, maka pada
suatu hari, dia pun lolos dari gedung ayahnya, meninggalkan sepucuk surat dan menyatakan kepada ayah
ibunya bahwa dia pergi untuk mencari tunangannya, yaitu Yo Han!
Pada sore hari itu, kebetulan sekali ia pun tiba di dusun itu. Ia sudah lelah dan ingin bermalam di dusun itu.
Akan tetapi betapa herannya melihat semua rumah di dusun itu tertutup pintu dan jendelanya, bahkan di
jalan pun tidak nampak seorang pun manusia!
Akan tetapi, dia tahu benar bahwa dusun itu bukan dusun kosong. Pekarangan rumah bersih terpelihara,
juga sawah ladang dan tanaman di sekeliling perumahan dusun. Dan lebih dari itu, ia pun dapat
mendengar gerakan orang-orang di dalam rumah-rumah yang tertutup rapat dan yang tidak dipasangi
lampu walau pun senja telah mendatang.
Karena merasa heran dan penasaran, ketika mendengar tangis anak kecil dari sebuah rumah dan tangis
itu berhenti tiba-tiba seolah-olah mulut anak yang menangis itu sudah didekap tangan, ia tidak sabar lagi
dan mengetuk daun pintu rumah itu.
"Paman atau bibi, bukalah pintunya. Aku bukan orang jahat. Aku seorang gadis yang kebetulan kemalaman
dan ingin bermalam di dusun ini. Biarkan aku menginap semalam di rumah kalian, nanti akan kuberi
pengganti kerugian!"
Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan berteriak, akhirnya terdengar juga jawaban seorang wanita dari
dalam, tanpa membuka pintu. "Nona, maafkan kami... tempat kami penuh sesak... ehh, kalau Nona ingin
bermalam... datanglah ke rumah kepala dusun, di sebelah itu, sepuluh rumah dari sini."
Terpaksa Bi Kim meninggalkan rumah itu, menuju ke kanan sampai ia tiba di depan rumah kepala dusun.
Mudah saja menemukan rumah itu karena jauh lebih besar bila dibandingkan rumah-rumah lain. Dan
memang hanya rumah besar ini saja yang daun pintu sebelah depan terbuka, dan di dalam rumah itu
dipasangi lampu penerangan yang cukup banyak. Ketika Bi Kim memasuki pekarangan, beberapa orang
bermunculan dari tempat gelap, agaknya mereka ini pun ketakutan.
"Nona mencari siapakah?" seorang setengah tua bertanya dengan suara gemetar, juga tiga orang
temannya nampak ketakutan.
"Aku seorang yang kebetulan lewat dan kemalaman di dusun ini, aku hendak minta pertolongan lurah agar
suka menerimaku semalam ini."
Empat orang itu saling pandang, kemudian menengok ke arah dalam rumah dan orang setengah tua tadi
berbisik, "Nona, pergilah dari sini. Di rumah ini kedatangan seorang penjahat yang menakutkan. Dia
sedang memaksa lurah untuk menjamunya dengan pesta. Dia jahat sekali!"
Mendengar ini, Gan Bi Kim tersenyum dan meraba gagang siang-kiam yang tergantung di punggungnya,
"Aku tidak takut, bahkan kalau ada penjahat mengganggu rumah ini, aku akan mengusirnya."
Kembali empat orang itu saling pandang. "Kalau begitu, masuklah, pergilah ke ruangan belakang, ruangan
makan. Akan tetapi, kami tidak berani mengantarmu, Nona." kata mereka dan kembali mereka menyelinap
ke dalam bayangan-bayangan yang gelap.
Tentu saja Bi Kim merasa heran dan penasaran. Dengan langkah lebar ia memasuki rumah itu. Sunyi saja,
agaknya semua orang, seperti empat orang pria tadi, sudah lari menyingkir dan bersembunyi ketakutan.
Namun terdengar suara di ruangan belakang dan dia pun menuju ke sana.
Ruangan itu luas dan terang sekali. Sebuah meja makan besar penuh hidangan yang masih mengepulkan
uap berada di tengah ruangan. Seorang pria tinggi besar duduk makan minum seorang diri, dilayani oleh
tiga orang wanita muda. Seorang laki-laki lain berusia lima puluh tahun lebih, tinggi kurus, berdiri di sudut,
memandang dengan sikap takut-takut.
Mendengar langkah kaki, pria yang sedang makan itu menoleh dan ketika melihat Bi Kim, wajahnya
berseri, matanya memandang penuh selidik dan dengan suaranya yang parau berwibawa dia bertanya,
"Siapa kau? Mau apa kau masuk ke sini?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena tidak tahu mana lurah yang dia cari, Bi Kim memandang kepada pria yang sedang makan itu,
bertanya, "Aku ingin bertemu dengan lurah dusun ini. Mana dia?"
"Aku... akulah Lurah So dari dusun ini, Nona..." Lurah So berkata dengan gagap.
Kini Bi Kim menoleh kepada pria tinggi besar yang bukan lain adalah Siangkoan Kok itu. "Hemmm, jadi
orang inikah yang datang mengacau?" Bi Kim bertanya sambil menoleh kepada Lurah So.
Akan tetapi lurah ini tidak berani mengeluarkan suara, bahkan menunduk karena takut membuat marah
tamunya. Juga tiga orang wanita muda itu tidak berani bergerak.
"Ha-ha-ha, engkau cantik manis, Nona. Engkau jauh lebih cantik dari pada tiga orang perempuan dusun ini.
Sayang puteri lurah ini telah melarikan diri. Biar engkau menjadi penggantinya menemaniku makan minum.
Mari, Nona, duduklah di sini, makan minum sepuasnya!"
"Hemmm, kiranya engkau ini jahanam busuk, manusia tak tahu diri, begitu datang ke rumah orang
bertindak sewenang-wenang. Setelah aku datang, jangan harap engkau akan dapat menjual lagak lagi.
Hayo pergilah cepat meninggalkan rumah ini, tinggalkan dusun ini, atau sepasang pedangku akan
membuat engkau menjadi setan tanpa kepala!" Berkata demikian, untuk menggertak, Bi Kim mencabut
sepasang pedangnya.
Sepasang pedang yang baik karena ayahnya mencarikan sepasang pedang pilihan untuk puterinya.
Nampak kilat menyambar pada waktu gadis itu mencabut sepasang pedangnya.
Akan tetapi, Siangkoan Kok tertawa dan sama sekali tidak kelihatan gentar.
"Ha-ha-ha, bagus sekali. Aku memang lebih senang kalau gadis cantik yang menemani aku makan minum
bukan seorang wanita lemah. Nah, sekarang kita bertaruh, Nona. Kalau aku kalah olehmu, biarlah aku
pergi tanpa banyak cakap lagi. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menemani aku makan
minum sampai mabuk. Bagai mana?"
Wajah Bi Kim berubah merah sekali, matanya mencorong penuh kemarahan. "Jahanam busuk!" katanya
melihat orang itu bangkit dan menghampirinya. "Engkau memang layak dibasmi!" Dan sepasang
pedangnya sudah menyambar ganas.
Akan tetapi Siangkoan Kok dapat mengelak dengan mudah dan dia segera mengenal bahwa ilmu pedang
nona ini bukan ilmu sembarangan, melainkan ilmu pedang yang tinggi nilainya. Hal ini tidak mengherankan
sebab Bi Kim telah dilatih oleh jagoan-jagoan istana yang lihai.
Maka, timbul penyakit lama Siangkoan Kok. Dia tidak segera mengalahkan gadis yang tingkatnya masih
jauh di bawahnya itu, bahkan dia menggulung kedua lengan bajunya agar tidak sampai robek,
menggunakan dua lengan untuk menangkis serangan pedang sambil memperhatikan jurus-jurus ilmu
pedang itu untuk menambah pengetahuannya yang sudah banyak.
Tentu saja Lurah So dan tiga orang gadis dusun yang dipaksa menjadi pelayan tadi merasa ketakutan. Apa
lagi melihat betapa tamu yang ditakuti itu mampu melawan si gadis yang berpedang hanya dengan tangan
kosong saja.
Juga Bi Kim sendiri terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa penjahat ini memang luar biasa, memiliki
kesaktian. Apa lagi dia, bahkan guru-gurunya belum tentu mampu menandingi kakek ini!
Pada saat pertandingan itu berlangsung, muncullah Sian Li dan Ciang Hun. Akan tetapi karena kedua
orang pendekar ini tidak mengenal Bi Kim, tentu saja mereka tidak dapat turun tangan membantu. Mereka
tidak tahu apa yang terjadi, siapa gadis ber-siang-kiam itu dan mengapa pula berkelahi melawan kakek
yang amat lihai itu.
Seperti yang mereka duga, kakek itu hanya mempermainkan lawannya dan setelah dia mengenal benar
ilmu pedang berpasangan dari Bi Kim, tiba-tiba saja Siangkoan Kok membentak nyaring dan tahu-tahu
sepasang pedang itu sudah berpindah tangan! Dia menyeringai ketika Bi Kim meloncat ke belakang
dengan kaget.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha-ha, engkau telah kalah, Nona. Nah, engkau harus menemani aku makan minum sampai mabuk!"
"Tidak sudi! Sebelum mati aku tidak akan mengaku kalah!" bentak Bi Kim dan ia pun menerjang lagi, kini
dengan tangan kosong.
Kini Sian Li dan Ciang Hun tidak ragu-ragu lagi. Jelas bahwa gadis itu merupakan orang yang menentang
penjahat lihai itu, maka keduanya sudah melompat ke depan untuk mencegah Bi Kim bertindak nekat.
Dengan sepasang pedang saja bukan lawan kakek itu, apa lagi bertangan kosong.
"Tahan...!" kata Sian Li dan dari samping dia sudah menangkap pergelangan tangan Bi Kim dan
menariknya ke samping.
Bi Kim yang tertangkap pergelangan tangannya, merasa tenaganya lumpuh, maka ia terkejut sekali dan
menurut saja ditarik ke samping.
Siangkoan Kok mengerutkan alisnya, memandang pada Sian Li yang berpakaian merah dan Ciang Hun
yang gagah.
"Huh, siapa lagi kalian ini yang datang mengganggu kesenanganku!" katanya sambil melemparkan
sepasang pedang rampasan dari Bi Kim.
Biar pun hanya dilempar sambil lalu saja, namun sepasang pedang itu meluncur bagai anak panah ke arah
Sian Li dan Ciang Hun! Jelas bahwa kakek yang lihai itu sengaja hendak menguji kepandaian dua orang
muda yang baru muncul!
Dengan tenang Sian Li menangkap pedang yang meluncur ke arahnya dari samping, dengan jalan
menjepitnya di antara telunjuk dan ibu jarinya, persis seperti anak-anak menangkap capung pada ekornya.
Sedangkan Ciang Hun lebih repot lagi, mengelak ke samping lalu memutar tubuh dan menangkap pedang
itu pada gagangnya dari belakang! Dari cara menangkap pedang ini saja sudah dapat dinilai bahwa tingkat
kepandaian Si Bangau Merah lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Gak Ciang Hun!
Siangkoan Kok agak terkejut. Kiranya dua orang muda ini amat hebat! Sama sekali tidak boleh dipandang
ringan, tidak dapat disamakan dengan kepandaian Bi Kim.
Ciang Hun dan Sian Li menyerahkan sepasang pedang itu kembali kepada Bi Kim, kemudian Sian Li
menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Siangkoan Kok.
"Engkau ini orang tua yang kelihatan gagah perkasa, juga mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Sungguh
menjijikkan sikapmu di dusun ini, bertindak seperti perampok kecil saja!"
Wajah Siangkoan Kok berubah kemerahan.
"Bocah bermulut lancang!" Setelah berkata demikian, dia menubruk ke arah Sian Li dan mengirim
serangan kilat.
Namun, nampak bayangan merah berkelebat dan Sian Li sudah dapat mengelak dari serangan dahsyat itu.
Ketika tubuhnya turun di depan kakek itu, dia sudah memegang sebatang suling berselaput emas,
sikapnya gagah dan tenang sekali.
Siangkoan Kok terkejut sekali, apa lagi ketika melihat suling emas itu. Alisnya berkerut mengingat-ingat.
Pakaian merah! Tentu saja!
"Hemmm, apakah engkau ini yang berjuluk Si Bangau Merah?" tanya Siangkoan Kok sambil memandang
penuh selidik.
Sian Li menggerakkan sulingnya. Terdengar suara berdesing, disusul ucapannya yang lantang, "Memang
benar aku yang dijuluki Si Bangau Merah."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bagus! Ha-ha-ha, hari ini aku sungguh beruntung, dapat bertemu dengan tokoh-tokoh muda dunia kangouw.
Dan engkau siapa orang muda?" tanyanya. "Tidak perlu engkau menjawab, biarkan aku menebak
siapa engkau!"
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat. Tangannya mendorong dengan telapak tangan terbuka ke
arah dada Ciang Hun. Pemuda ini sama sekali tidak menduga akan diserang, maka dia tidak sempat
mengelak lagi, lalu mengerahkan tenaga sinkang-nya dan menggerakkan kedua tangan terbuka
menyambut.
"Dukkkkk!" Keduanya terdorong ke belakang.
Ciang Hun sudah berjongkok dan berlutut dengan sebelah kakinya. Kedua tangannya di depan dada,
dengan kedua telapak tangannya menghadap ke atas.
Siangkoan Kok terbelalak. "Wah, apakah engkau memiliki sinkang yang disebut Tenaga Inti Bumi? Engkau
mengambil tenaga dari tanah?"
Diam-diam Gak Ciang Hun tertegun dan kagum. Sekali beradu tenaga yang membuat dia tadi terlempar
dan terpaksa memasang kuda-kuda Dewa Menyangga Bumi untuk memulihkan tenaga dan siap
menghadapi serangan lanjutan lawan, dan kakek itu sudah mengenal dasar ilmunya.
Memang dia tadi telah menggunakan tenaga yang menjadi ilmu warisan keluarga Gak. Bahkan mendiang
kakeknya, Bu-beng Lo-kai atau dahulu bernama Gak Bun Beng, sebelum meninggal dunia sudah
mengoperkan tenaga kepadanya sehingga meski pun bakatnya tidak sangat baik, namun dia telah dapat
menghimpun tenaga sinkang itu.
"Orang muda, apakah hubunganmu dengan mendiang Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Bengsan)?"
tanyanya lagi.
Ciang Hun tak ingin menyombongkan dirinya, akan tetapi dia pun bangga dengan nama besar kedua
ayahnya. "Mereka adalah ayah kandungku!" jawabnya gagah, sama sekali tidak merasa sungkan mengaku
bahwa dia memiliki dua orang ayah kandung!
Memang suatu hal yang aneh dalam keluarga itu. Ayahnya adalah sepasang pendekar kembar yang
mencintai seorang wanita, maka keduanya menjadi suami wanita itu dan lahirlah Ciang Hun, anak dari
seorang ibu dan dua orang ayah.
"Ha-ha-ha-ha, pantas kalian berani mengganggu kesenanganku. Nah, mengingat bahwa kalian keturunan
orang-orang pandai, mari kuundang kalian makan minum denganku, Bangau Merah dari orang muda she
Gak! Dan engkau juga, Nona. Tadi permainan siang-kiam (sepasang pedang) darimu cukup lumayan,
membuktikan bahwa engkau pun sudah dilatih oleh guru yang pandai. Ha-ha-ha, marilah orang-orang
muda, kita mempererat perkenalan dengan makan minum!"
Siangkoan Kok tidak berpura-pura dengan keramahan ajakannya ini. Tadinya dia adalah majikan yang
dihormati bagai seorang raja kecil. Akan tetapi sekarang semua kemuliaan itu habislah sudah.
Anak buahnya dibasmi pasukan pemerintah, Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) telah diobrak-abrik,
seluruh hartanya habis. Habislah sudah semuanya, bahkan ia kehilangan anak yang disayangnya walau
pun hanya anak tiri, juga kehilangan isteri yang dia bunuh sendiri, serta kehilangan murid tersayang yang
diambilnya secara paksa menjadi isteri, juga murid ini dia bunuh.
Sekarang dia sebatang kara, tidak memiliki apa-apa lagi. Karena itu, melihat tiga orang muda ini, yang
gagah perkasa dan juga dua orang di antaranya adalah gadis-gadis perkasa yang cantik, timbul keinginan
hatinya untuk bersahabat dengan mereka. Siapa tahu dia dapat menguasai mereka dan dengan bantuan
tiga orang muda seperti ini dia tentu akan mampu membangun lagi perkumpulannya yang terbasmi dan dia
akan jaya kembali.
Semenjak tadi Sian Li memperhatikan pria yang tinggi besar, gagah dan berwibawa itu. Pada waktu ia
melakukan perjalanan untuk menyelidiki Pao-beng-pai, ia telah mencari keterangan tentang perkumpulan
itu, tentang ketuanya dan tentang puteri ketua yang pernah datang mengacau pertemuan tiga keluarga
dunia-kangouw.blogspot.com
besar. Pao-beng-pai telah terbasmi dan di tempat yang tidak jauh dari bekas sarang Pao-beng-pai,
terdapat kakek yang lihai ini.
"Bukankah engkau yang bernama Siangkoan Kok, majikan di Ban-kwi-kok dan ketua Pao-beng-pai yang
telah hancur?"
Pertanyaan yang dilontarkan Sian Li ini sungguh amat mengejutkan hati semua orang. Bukan hanya Gak
Ciang Hun dan Bi Kim yang terkejut, juga Lurah So dan semua orang yang tadi sibuk melayani kakek
itu…..
Lurah So dan para pembantunya menjadi pucat mendengar bahwa kakek itu ternyata adalah ketua Paobeng-
pai, perkumpulan yang mereka takuti. Mereka semua sudah mendengar akan Pao-beng-pai. Juga
ketuanya, yaitu Siangkoan Kok majikan Lembah Selaksa Setan. Akan tetapi hanya namanya saja yang
mereka ketahui, belum pernah melihat orangnya.
"Ha-ha-ha, engkau hebat, Si Bangau Merah! Tidak percuma engkau mendapat julukan itu karena engkau
memang cerdik, lihai dan bermata tajam. Aku memang Siangkoan Kok!"
"Bagus! Kiranya benar engkaulah ketua Pao-beng-pai! Dan gadis siluman yang berani menantang keluarga
kami itu adalah puterimu. Suruh dia keluar untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya!" Sian Li
membentak.
"Sian-moi, kiranya tidak perlu bicara lagi dengan iblis seperti ini!" kata Ciang Hun yang sudah mencabut
pedangnya.
"Benar, jahanam ini iblis yang kejam dan jahat yang harus dibasmi!" kata pula Gan Bi Kim yang sudah siap
dengan sepasang pedangnya pula.
"Ha-ha-ha, kiranya kalian semua hanya pendekar-pendekar muda yang menjadi antek penjajah Mancu!"
bekas ketua Pao-beng-pai itu berkata dengan nada mengejek sambil menertawakan mereka.
Wajah Sian Li berubah merah. "Jahanam busuk! Kalau kami menentangmu, hal itu tidak ada sangkut
pautnya dengan pemerintah. Bagi kami, engkau bukanlah pejuang, tetapi penjahat busuk yang suka
mengganggu rakyat. Kini bersiaplah untuk mampus!"
Sian Li sudah menerjang dengan senjata sulingnya. Ciang Hun dan Bi Kim juga cepat menggerakkan
senjata mereka, mengeroyok.
Siangkoan Kok adalah seorang datuk yang lihai sekali. Akan tetapi, kini dia menghadapi pengeroyokan tiga
orang muda yang tangguh, terutama sekali Si Bangau Merah dan Gak Ciang Hun. Dua orang muda ini
adalah keturunan pendekar-pendekar lihai, maka dia tak berani memandang rendah dan kakek itu sudah
mencabut pedangnya, memutar senjata itu menyambut serangan para pengeroyoknya.
Apa bila ketiga orang muda itu menyerang dengan pengerahan seluruh kepandaian dan tenaga mereka,
menyerang dengan semangat besar, sebaliknya Siangkoan Kok hanya melindungi diri dengan gulungan
sinar pedang. Dia tidak bersemangat untuk berkelahi. Apa lagi mengingat bahwa dua orang di antara para
pengeroyoknya adalah keturunan keluarga pendekar yang tangguh.
Dia tidak ingin menambah lagi jumlah musuhnya di luar pasukan pemerintah yang telah membasmi
perkumpulannya. Bahkan mungkin dia ingin bekerja sama dengan kelompok lain untuk membalas dendam
kepada pemerintah penjajah Mancu, seperti yang sudah ia janjikan kepada ketua Thian-li-pang di Bukit
Setan. Selain itu, dia juga merasa gentar kalau-kalau Pendekar Bangau Putih, ayah Si Bangau Merah ini,
dan juga Pendekar Tangan Sakti Yo Han akan muncul.
Maka, setelah memutar pedangnya dengan dahsyat, membuat tiga orang pengeroyok itu dengan hati-hati
mundur menjaga jarak, mendadak saja Siangkoan Kok meloncat ke kiri. Dan sebelum tiga orang muda
yang mengeroyoknya sempat mencegah, dia sudah mencengkeram leher baju Lurah So serta
menempelkan pedangnya di leher lurah yang menjadi pucat ketakutan itu.
"Kalau ada yang menyerangku, terlebih dahulu aku akan menyembelih lurah ini!" bentak Siangkoan Kok
sambil mendorong tubuh lurah itu di depannya dan terus mendorongnya keluar rumah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ciang Hun, Sian Li, dan Bi Kim tentu saja tidak berani menyerang lagi. Bagaimana pun juga, mereka tidak
mau mengorbankan nyawa lurah yang tak berdosa itu. Mereka hanya mampu memandang ketika lurah itu
didorong keluar oleh Siangkoan Kok. Sian Li hanya dapat mengancam ketua Pao-beng-pai itu.
"Siangkoan Kok, kalau engkau membunuhnya, aku bersumpah untuk mengejarmu dan tidak akan berhenti
sampai aku dapat membunuhmu!"
Ketua Pao-beng-pai itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, aku sedang malas bertanding, Nona manis, dan
kini aku menangkap dia hanya untuk mencegah kalian mendesakku, bukan untuk membunuhnya. Lurah ini
telah begitu baik untuk melayaniku makan minum, tentu aku tidak akan membunuhnya."
Setelah tiba di luar rumah, Siangkoan Kok berlompatan jauh sambil tetap menggandeng Lurah So, dan
setelah tiba di tepi sebuah hutan dia baru melepaskan lurah itu kemudian menghilang ke dalam hutan. Sian
Li dan yang lain juga tidak mau mengejar, mengejar seorang seperti Siangkoan Kok yang melarikan diri ke
dalam hutan amatlah berbahaya.
Melihat tiga orang muda yang berhasil mengusir ketua Pao-beng-pai itu, Lurah So yang dilepaskan oleh
kakek itu tanpa dilukai sama sekali, segera menghampiri dan memberi hormat, menghaturkan terima kasih
kepada mereka dan memohon supaya malam itu mereka suka bermalam di rumahnya.
"Pertama, supaya kami sekeluarga sempat menghaturkan terima kasih kepada Sam-wi (Kalian Bertiga),
dan kedua, supaya hati kami sekeluarga merasa aman dan tenteram. Kalau Sam-wi pergi sekarang,
malam ini pasti kami tidak dapat tidur dan ketakutan membayangkan iblis itu kembali datang ke rumah
kami." Demikian antara lain Lurah So membujuk mereka. Karena alasan itu masuk akal juga, akhirnya
Ciang Hun, Sian Li dan Bi Kim menerima undangan itu.
Seluruh penghuni dusun itu bersuka ria karena lurah mereka telah bebas dari gangguan ketua Pao-bengpai
yang mereka takuti. Para penghuni itu ramai memuji-muji pemuda dan dua orang gadis perkasa itu.
Keluarga Lurah So juga menghaturkan terima kasih dan mengadakan pesta kecil untuk menyambut
mereka.
Sehabis makan minum, akhirnya tiga orang muda-mudi itu mendapat kesempatan untuk bicara bertiga saja
di ruangan belakang rumah Lurah So. Tiada anggota keluarga yang berani mengganggu mereka bertiga
yang sedang bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini, Gan Bi Kim berkenalan dengan Gak Ciang Hun dan
Tan Sian Li.
"Aku berterima kasih sekali kepada Taihiap (Pendekar Besar) dan Lihiap (Pendekar Wanita)," kata Gan Bi
Kim. "Aku sungguh tidak tahu diri, dengan ilmu silatku yang masih rendah aku berani menentang ketua
Pao-beng-pai yang lihai itu. Kalau Ji-wi (Anda Berdua) tidak datang, entah bagaimana jadinya dengan
diriku," kata Bi Kim.
"Aihh, Nona, harap jangan merendahkan diri. Ilmu pedangmu sudah cukup hebat, hanya ilmu kepandaian
ketua Pao-beng-pai itu memang luar biasa. Hanya setelah kita bertiga maju bersama, barulah kita dapat
mengusirnya," kata Ciang Hun.
"Benar, Enci, di antara kita tidak perlu sungkan, kita adalah dari golongan yang sama, yaitu menentang
perbuatan jahat. Siapakah engkau, Enci, dan bagaimana engkau dapat tiba di tempat ini dan berkelahi
dengan ketua Pao-beng-pai itu?"
Gan Bi Kim menghela napas panjang. "Aku hanya orang biasa saja, adik yang gagah, tidak seperti engkau
yang berjulukan Si Bangau Merah dan kakak ini yang keturunan orang-orang sakti. Ketua Pao-beng-pai itu
sampai mengenal kalian dan merasa gentar. Aku bernama Gan Bi Kim, berasal dari kota raja dan aku
sedang melakukan perjalanan mengembara untuk meluaskan pengalaman setelah aku mempelajari sedikit
ilmu silat dari para guru di kota raja sebagai bekal untuk membela diri. Pada saat tiba di sini, aku
mendengar akan kejahatan kakek tadi yang menguasai rumah keluarga Lurah So, maka aku datang untuk
menegur dan mengusirnya, tidak tahu bahwa kakek itu adalah ketua Pao-beng-pai yang sangat lihai. Nah,
sekarang aku mengharapkan keterangan tentang kalian, karena aku hanya mendengar julukanmu, tidak
tahu siapa namamu dan nama kakak ini."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Namaku Tan Sian Li, enci Kim," kata Sian Li yang segera merasa akrab dengan gadis kota raja yang dari
sikapnya saja telah dapat diduga bahwa ia seorang gadis terpelajar, bahkan ada sikap agung dan anggun
seperti gadis pingitan atau gadis bangsawan.
"Dan namaku Gak Ciang Hun, nona Gan," Ciang Hun memperkenalkan diri.
Dia bagaikan terpesona memandang gadis itu. Ada sesuatu yang amat menarik hatinya pada gadis itu,
entah sinar matanya yang lembut, atau pun mulutnya yang memiliki bibir yang mempesonakan.
"Aihh, Gan-toako, kita orang segolongan dan aku sudah merasa akrab dengan enci Kim. Kiranya tidak
perlu bersungkan-sungkan menyebut ia nona segala!" kata Sian Li yang wataknya terbuka dan jujur.
Bi Kim tersenyum sambil memandang kepada pemuda itu. "Li-moi tadi berkata benar, Gak-toako. Aku pun
merasa seolah-olah aku sudah mengenal kalian selama bertahun-tahun."
Ciang Hun tersenyum girang. "Baiklah, Kim-moi (adik Kim)."
"Enci Kim, engkau seorang gadis kota raja, lembut dan pandai, kenapa bersusah payah bertualang seperti
gadis kang-ouw? Aku sendiri tentu lain lagi, karena memang aku dari keluarga petualang, aku seorang
gadis kang-ouw yang sudah biasa hidup berkelana. Tapi engkau..."
Bi Kim tersenyum dan memegang lengan Sian Li. "Aihh, janganlah berkata seperti itu, Li-moi. Engkau lebih
dalam segala-galanya dibandingkan aku, mengapa mesti memuji-muji aku? Engkau lebih lihai, engkau
lebih cantik, lebih muda! Aku mendengar dari para guruku di kota raja tentang dunia persilatan yang luas,
mendengar tentang tokoh-tokoh dunia persilatan, bahkan aku juga pernah mendengar nama besar Si
Bangau Putih dan puterinya, Si Bangau Merah. Sebab itu, aku tertarik dan ingin meluaskan pengalamanku
dengan merantau."
Tentu saja Bi Kim tidak mau menceritakan bahwa kepergiannya adalah untuk mencari Yo Han, pemuda
idamannya yang sudah ditunangkan dengannya oleh neneknya. "Dan engkau sendiri, dari mana hendak ke
mana, Li-moi? Dan juga engkau, Gak-toako?"
"Panjang ceritanya," kata Sian Li. "Beberapa pekan yang lalu, diadakan pertemuan dari tiga keluarga besar
Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga Siluman. Aku pun hadir dan dalam pertemuan itu, muncul puteri
ketua Pao-beng-pai yang menantang kami. Dia dapat dikalahkan dan kemudian pergi. Aku sendiri menjadi
sangat penasaran dan pergi hendak menyelidiki Pao-beng-pai..."
"Dan karena aku mengkhawatirkan keselamatan siauw-moi Tan Sian Li, maka aku lalu mengejarnya dan
berhasil, maka kami melakukan perjalanan bersama," sambung Ciang Hun.
"Tapi aku pernah mendengar berita bahwa Pao-beng-pai sudah dibasmi oleh pasukan pemerintah," kata Bi
Kim.
"Benar, kami terlambat dan kami tidak dapat bertemu dengan gadis iblis itu, tapi malah bertemu dengan
ayahnya di sini."
"Jadi kalian berdua saja berani datang untuk mencari puteri ketua Pao-beng-pai? Itu berbahaya sekali!
Baru ketuanya saja tadi sudah selihai itu. Apa lagi kalau perkumpulan itu belum terbasmi dan terdapat
banyak anak buahnya," kata Gan Bi Kim kagum akan keberanian dua orang itu.
"Aku bukan hanya hendak menyelidiki Pao-beng-pai, enci Kim. Sebetulnya, penyelidikan terhadap Paobeng-
pai hanya sambil lalu saja, yang terutama sekali kepergianku adalah untuk mencari Han-koko..." Sian
Li berhenti sebentar sambil memandang kepada Gak Ciang Hun yang nampak tenang saja karena pemuda
ini sudah mendengar pengakuan Si Bangau Merah.
"Han-koko? Siapa itu Han-koko?" tanya Bi Kim, tersenyum.
Sian Li baru ingat bahwa Bi Kim sama sekali tak mengenal kekasihnya itu, dan sebagai seorang gadis
yang tidak merasa perlu untuk merahasiakan hubungannya dengan Yo Han terhadap seorang sahabat
yang dipercayanya, dia pun tertawa.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aihh, aku sampai lupa bahwa engkau belum mengenal Han-ko, enci Kim. Dia berjuluk Sin-ciang Taihiap
(Pendekar Tangan Sakti) bernama Yo Han... ehhh, engkau kelihatan terkejut, apakah engkau sudah
mengenalnya, Enci?"
"Tentu saja aku terkejut," Bi Kim tersenyum, menahan debaran jantungnya, "Siapa yang tidak pernah
mendengar akan nama besar Sin-ciang Taihiap? Dan engkau menyebut dia Han-koko? Agaknya engkau
mempunyai hubungan yang erat dengan dia. Masih ada hubungan keluargakah, Li-moi?"
Sian Li tersenyum dan tiba-tiba saja kedua pipinya berubah menjadi kemerahan. Sambil menundukkan
mukanya dan dengan tersipu ia berkata, "Boleh dibilang begitulah karena dia... dan aku... kami saling
mencinta dan mengharapkan kelak menjadi suami isteri."
Karena mukanya ditundukkan ketika mengatakan itu, Sian Li tidak melihat betapa mata Bi Kim tiba-tiba
terbelalak, mukanya pucat dan napasnya terengah sejenak. Bahkan dia kemudian menunduk dan
mengusapkan tangannya ke arah kedua matanya untuk cepat mengusir dua titik air matanya.
Akan tetapi Ciang Hun yang semenjak tadi mengamatinya, dapat melihat perubahan ini. Diam-diam dia pun
merasa amat terkejut dan heran. Hatinya lalu menduga-duga.
Ketika Sian Li kembali mengangkat muka memandang kepada sahabat barunya itu, Bi Kim telah dapat
menguasai perasaan hatinya. Baru saja ia mengalami guncangan batin yang sangat hebat. Siapa orangnya
yang tidak merasa seperti ditikam jantungnya ketika mendengar pengakuan seorang gadis yang
dikaguminya bahwa gadis itu ternyata saling mencinta dengan laki-laki yang selama ini dicari dan
dirindukannya karena laki-laki itu adalah tunangannya!
Menurut gejolak hatinya, ingin sekali dia marah-marah kepada Sian Li. Tetapi dia lalu mengingat-ingat
kembali, membayangkan sikap Yo Han terhadap dirinya. Pemuda yang ditunangkan dengannya oleh
neneknya itu belum pernah menyatakan cinta kepadanya, bahkan minta waktu untuk dapat memberi
jawaban dan mengambil keputusan tentang niat neneknya menjodohkan mereka.
"Kau kenapakah, enci Kim? Engkau kelihatan termenung..." kata Sian Li.
Bi Kim mengangkat muka memandang kepadanya dan tersenyum manis! Kemudian dia menggelengkan
kepalanya.
"Tidak apa-apa, adik manis. Aku hanya merasa terharu mendengar bahwa pendekar wanita Bangau Merah
saling mencinta dengan Pendekar Tangan Sakti. Li-moi, melihat usiamu yang masih amat muda, tentu
belum lama engkau berkenalan dengan Pendekar Tangan Sakti."
Sian Li memandang Bi Kim dengan lucu dan tertawa terkekeh. "Hi-hi-hik, engkau keliru sama sekali, enci
Kim. Usiaku memang baru delapan belas tahun, akan tetapi aku telah berkenalan dan akrab dengan Hanko
sejak aku berusia empat tahun!"
Bi Kim terbelalak, memandang kepada Gak Ciang Hun, lalu menatap lagi wajah Sian Li. "Aku... aku tidak
mengerti..." katanya bingung.
Sian Li tersenyum dan memegang lengan Bi Kim. "Engkau tidak perlu heran, enci Kim. Ketahuilah, ketika
aku berusia empat tahun, Han-ko ikut orang tuaku, bahkan menjadi murid ayah dan ibu. Kemudian kami
berpisah dan baru belasan tahun kemudian kami kembali saling bertemu dan langsung kami saling jatuh
cinta kembali, maksudku... sejak kanak-kanak pun kami sudah saling mencinta, walau pun sifat cinta itu
berubah..."
Kembali sepasang pipi itu menjadi merah sekali, semerah warna pakaiannya.
Setelah mendengar semua keterangan itu, tahulah Bi Kim bahwa tidak mungkin ia dapat mengharapkan Yo
Han untuk menjadi calon jodohnya. Bukan Sian Li yang merampas tunangannya. Gadis ini dan Yo Han
sudah saling mencinta, bahkan sejak kecil! Kalau ia berkeras mempertahankan usul neneknya mengenai
perjodohan itu, berarti dialah yang merampas kekasih orang!
dunia-kangouw.blogspot.com
Keangkuhan yang timbul dari harga dirinya sebagai seorang dari keluarga bangsawan, membuat Bi Kim
dapat menekan perasaannya dan saat itu juga ia sudah mematahkan hubungan batinnya dengan Yo Han.
Dia tidak boleh dan tidak akan suka mencinta Yo Han yang telah menjadi kekasih si Bangau Merah!
Untuk mengalihkan perhatian dan melupakan rasa nyeri seperti ada pisau menikam ulu hatinya, Bi Kim lalu
bertanya dengan suara heran, "Adik manis, kenapa engkau mencari kekasihmu itu? Dan kenapa pula dia
meninggalkanmu?"
Pertanyaan yang wajar saja dari seorang gadis kepada gadis lain, meski sesungguhnya pertanyaan itu
mengandung keinginan untuk mengetahui lebih jelas tentang hubungan antara Sian Li dan Yo Han.
"Ahhh, banyak sekali yang menyebabkannya, Enci, dan sebenarnya hal ini merupakan rahasiaku..."
"Siauw-moi, aku mulai merasa lelah dan mengantuk. Bagaimana kalau engkau lanjutkan percakapanmu
dengan adik Bi Kim saja, dan aku beristirahat lebih dahulu?" kata Ciang Hun yang merasa tidak enak hati
karena agaknya kehadirannya hanya akan membuat canggung dua orang gadis itu bercakap-cakap secara
akrab.
Sian Li tersenyum dan mengangguk. Diam-diam dia merasa terharu dan juga senang karena pemuda itu
sungguh tahu diri dan dapat memaklumi keadaan dirinya. Dia selalu merasa tidak enak kepada Ciang Hun
kalau di depan pemuda itu harus menceritakan segala hal mengenai Yo Han, padahal Ciang Hun
mencintanya.
"Gak-toako ini seorang pemuda yang bijaksana dan baik sekali. Aku amat kagum dan menghormatinya,
apa lagi di antara dia dan aku masih ada hubungan kekeluargaan. Maksudku, dia masih keturunan
keluarga dari perguruan Pulau Es, sedangkan kakekku keturunan keluarga Gurun Pasir dan nenekku
keluarga Pulau Es," kata Sian Li kepada Bi Kim setelah mereka tinggal berdua saja.
"Aku pun kagum kepadanya. Dia seorang pemuda yang lihai, pendiam dan sopan," kata Bi Kim. "Akan
tetapi, kalau engkau enggan menceritakan tentang dirimu dan kekasihmu, aku pun tidak akan
memaksamu, Li-moi."
"Ahh, tidak sama sekali, Enci. Kepadamu aku tidak merasa sungkan atau enggan untuk menceritakan,
hanya kalau ada Gak-toako..., aku jadi tidak tega untuk banyak bercerita tentang Han-koko dan aku..."
"Tidak tega?" Bi Kim memandang penuh selidik, terheran-heran, "Kenapa tidak tega?"
"Karena dia mencintaku, enci Kim. Dan aku tentu saja tidak dapat membalas cintanya, walau pun aku suka
dan hormat sekali kepadanya. Aku sudah menceritakan mengenai hubunganku dengan Han-koko, dan
Gak-twako dapat menerima kenyataan itu dengan hati lapang. Dia bijaksana sekali! Dan aku tidak ingin
menyinggung perasaannya kalau banyak bercerita tentang Han-ko di depannya."
Bi Kim semakin terheran-heran dan kagum. Dara ini sungguh luar biasa, pikirnya. Begitu jujur, begitu
terbuka! "Aih, kasihan dia kalau begitu, Li-moi. Pahit sekali memang kalau orang bertepuk sebelah tangan
dalam soal asmara. Nah, sekarang ceritakan, kenapa engkau saling berpisah dengan kekasihmu?"
Sian Li lalu bercerita. Tanpa tedeng aling-aling lagi. Diceritakannya tentang ayah ibunya yang agaknya
tidak menyetujui hubungan cintanya dengan Yo Han, bahkan ayah ibunya telah memilihkan jodoh
untuknya, yaitu seorang pangeran!
"Akan tetapi aku tidak mau, Enci. Aku tidak sudi dijodohkan dengan pangeran itu, walau pun pangeran itu
terkenal gagah dan tampan, kabarnya pandai ilmu silat juga."
"Siapakah pangeran itu? Mungkin aku sudah tahu."
"Dia Pangeran Cia Sun."
Diam-diam Bi Kim semakin heran dan terkejut. Tentu saja dia tahu siapa pangeran itu. Seorang pangeran
yang menjadi pujaan hampir semua gadis di kota raja. Setiap orang gadis merindukannya dan
mengharapkan menjadi isterinya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Bahkan dia sendiri, sebelum ditunangkan dengan Yo Han, pernah beberapa kali melihat pangeran itu dan
dia sendiri pun merasa terpikat! Dan gadis ini... Si Bangau Merah ini, malah menolak dijodohkan dengan
Pangeran Cia Sun. Bukan main!
"Hemm, menurut penilaianku, dia seorang pangeran yang baik sekali, berbeda dengan para pangeran
lainnya. Dia tidak congkak, manis budi dan dekat dengan rakyat."
"Biar seratus kali lebih baik dari itu, aku tetap tidak sudi, Enci. Aku hanya mau berjodoh dengan Han-ko!
Nah, pada waktu ayah dan ibu mengajakku menghadiri pertemuan tiga keluarga besar, aku mengharapkan
dapat bertemu dengan Han-koko di sana. Namun ternyata dia tidak ada. Lalu muncul puteri ketua Paobeng-
pai membuat kekacauan dan menantang-nantang kami. Setelah ia dapat diusir pergi, aku lalu
meninggalkan ayah ibu secara diam-diam karena aku ingin mencari Han-koko dan menyelidiki Pao-bengpai.
Sebetulnya aku ingin membatalkan niat ayah dan ibu mempertemukan aku dengan pangeran itu di
kota raja, dan mencari Han-koko sampai dapat."
"Ke mana sih perginya kekasihmu itu, Li-moi?" tanya Bi Kim, diam-diam merasa heran dan geli juga melihat
betapa ada persamaan antara ia dan Si Bangau Merah ini.
Ia pun sedang mencari-cari Yo Han seperti yang dilakukan Sian Li. Hanya bedanya, ia mencari pemuda itu
sebagai tunangan, sedangkan Sian Li sebagai kekasih! Amat besar bedanya memang, dan kenyataan ini
menikam hatinya. Pertunangannya belum resmi itu atas kehendak neneknya, sedangkan saling mencinta
tentu saja atas kehendak mereka yang bersangkutan!
"Han-koko menerima tugas berat, yaitu mencari puteri Pendekar Suling Naga Sim Houw yang hilang diculik
orang sejak anak itu masih kecil sekali, baru dua tiga tahun usianya. Hingga kini, dua puluh tahun lebih
sudah berlalu dan tak pernah ada berita tentang anak itu. Semua usaha yang dilakukan oleh Pendekar
Suling Naga dan isterinya tak berhasil. Bahkan andai kata anak itu ditemukan juga, anak itu sudah tidak
mengenal orang tua kandungnya, dan sebaliknya suami isteri itu pun takkan dapat mengenal puteri
mereka. Dan Han-koko bertugas mencari anak yang hilang itu!"
"Aih, betapa sukarnya tugas itu. Bagaimana mungkin bisa mencarinya jika tidak pernah melihat anak yang
kini tentu telah menjadi seorang gadis dewasa itu?" kata Bi Kim.
Dia merasa ikut merasa prihatin mendengar betapa tunangannya, pria yang dicintanya akan tetapi yang
mencinta gadis lain itu dibebani tugas yang demikian sulitnya. Andai kata dapat menemukan gadis itu,
bagaimana dapat yakin bahwa dia adalah anak yang hilang itu?
"Memang ada ciri khasnya, Enci. Menurut keterangan orang tuanya, anak itu memiliki dua buah tanda yang
khas, yaitu sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya dan sebuah noda merah di telapak kaki kanannya.
Nah, kurasa di dunia ini tidak ada dua orang yang memiliki tanda-tanda yang serupa seperti itu!"
"Aku akan ingat ciri itu, Li-moi, agar aku dapat membantu mencarinya."
"Terima kasih, enci Kim. Engkau baik sekali. Kini aku merasa bingung harus ke mana mencari kekasihku
itu. Aku sangat merindukannya, Enci, dan dia tentu akan berbahagia sekali kalau dapat mencari gadis itu
bersamaku."
Tanpa disadari oleh Sian Li, ucapan itu menikam ulu hati Bi Kim yang segera berpamit untuk beristirahat di
kamarnya. Mereka bertiga mendapat masing-masing sebuah kamar di rumah keluarga Lurah So yang amat
menghormati tiga orang pendekar itu…..
********************
Bi Kim rebah di atas pembaringan kamarnya, menelungkup dan menangis menahan isak supaya jangan
sampai suara tangisnya terdengar oleh orang lain di luar kamar. Dia merasa hatinya bagai diremas-remas,
pedih dan perih bukan main rasanya. Ingatannya melayang-layang pada segala peristiwa yang lalu, ketika
untuk pertama kali ia bertemu dengan Yo Han.
Pertama kali Yo Han datang berkunjung ke rumah keluarga ayahnya sebagai murid dari mendiang paman
kakeknya Ciu Lam Hok. Ketika itu keluarga ayahnya sedang dilanda mala petaka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ayahnya yang menjadi penanggung jawab gedung pusaka kerajaan, diancam hukuman berat karena
banyak benda pusaka penting hilang dicuri orang. Yo Han menyelidiki dan ternyata yang melakukan
pencurian adalah Coan-ciangkun yang sengaja melakukan hal itu untuk memaksa keluarga Gan
menyerahkan ia untuk menjadi isteri panglima itu. Yo Han berhasil menyelamatkan Gan Seng, ayahnya.
Dan dalam keadaan berbahagia itu, neneknya yang bersembahyang di depan meja sembahyang paman
kakeknya, tiba-tiba menetapkan perjodohannya dengan Yo Han!
Semua itu terbayang kembali olehnya. Ikatan pertunangan itu pula yang mendorongnya untuk dengan
tekun tanpa mengenal waktu, melatih diri dengan ilmu silat dari guru-guru silat yang pandai dari istana atas
bantuan ayahnya, sehingga kini dia menguasai ilmu kepandaian silat yang lumayan.
Semua itu dilakukannya demi cintanya kepada Yo Han yang dianggap calon suaminya. Calon suaminya
seorang pendekar besar, maka akan janggallah kalau ia tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Kemudian,
karena merasa rindu kepada tunangannya itu yang tidak kunjung datang, dia lalu meninggalkan rumah
orang tuanya dan pergi mencari Yo Han!
Dan sekarang, Si Bangau Merah Tan Sian Li yang mengagumkan hatinya itu mengaku terus terang bahwa
Sian Li saling mencinta dengan Yo Han, bahkan hubungan mereka jauh lebih dahulu dari pada
pertemuannya dengan pemuda itu. Pantas saja Yo Han belum dapat menerima usul perjodohan yang
diajukan oleh neneknya! Kiranya pemuda itu telah mempunyai seorang kekasih!
Bi Kim terpaksa mendekap mukanya dengan bantal karena tangisnya semakin menjadi-jadi. Nafasnya
sampai terasa sesak karena dia menahan-nahan sekuatnya agar jangan sampai terdengar suara
tangisnya.
Segala macam perasaan yang mengandung susah dan senang ialah permainan nafsu. Nafsu memang
selalu memiliki satu arah tujuan, yaitu kesenangan yang dinikmati tubuh melalui panca indera. Jika
penyebab kesenangan itu lepas dari tangan, kesenangan itu dalam sekejap mata dapat berubah menjadi
kebalikannya, yaitu kesusahan.
Cinta asmara antara pria dan wanita merupakan suatu perasaan manusia yang paling rumit dan aneh.
Dalam perasaan yang ada pada tiap diri seorang manusia yang normal ini, yang agaknya memang telah
menjadi anugerah atau yang disertakan pada manusia sejak manusia itu dilahirkan, terkandung banyak
hal.
Ada pengaruh naluri daya tarik antara lawan jenis yang alami, naluri yang ada pada tiap makhluk ciptaan
Tuhan, yang bergerak mau pun yang tidak, daya tarik yang merupakan syarat mutlak bagi pengembang
biakan makhluk itu. Daya tarik alami ini yang membuat lawan jenis kelamin saling tertarik, lalu saling
mendekati sehingga terjadilah penyatuan yang melahirkan makhluk baru sebagai proses penciptaan yang
amat indah dan suci.
Di samping naluri yang sifatnya suci dan alami, masuk pula pengaruhi nafsu dan dalam cinta asmara,
nafsu memainkan peran sepenuhnya sehingga memberikan kesenangan selengkapnya kepada manusia
yang dilanda cinta. Kenikmatan akan dirasakan manusia melalui kesenangan yang terkandung dalam
panca indera. Bila orang sedang bercinta, mata akan melihat keindahan pada orang yang dicinta, telinga
mendengar kemerduan, hidung mencium keharuman. Segala macam perasaan, sentuhan dan apa saja
menjadi terasa teramat indah!
Namun, karena nafsu memegang peran yang begitu besarnya, maka seperti akibat dari pada permainan
nafsu, semua kesenangan itu setiap saat dapat saja berubah menjadi kesusahan. Tidak ada kesenangan
melebihi senangnya orang bercinta, dan tidak ada kesusahan hati melebihi orang gagal dalam bercinta!
Dunia seakan kiamat, harapan seakan-akan hancur lebur, hidup seakan-akan tiada artinya lagi!
Dalam saat seperti itu, betapa banyaknya orang yang kurang tabah dan kurang sadar lalu melakukan
perbuatan dungu seperti membunuh diri, atau membunuh orang yang menggagalkan cintanya termasuk
orang yang dicintanya itu sendiri! Dalam mabuk cinta, kita lupa bahwa segala kesenangan itu ada
batasnya, dan tidak abadi!
Jelas bahwa nafsu yang bermain-main di dalam cinta kasih tidak abadi pula. Yang abadi adalah sesuatu
yang datangnya bukan dari nafsu yang menggelimangi hati akal pikiran. Yang asli dan abadi adalah cinta
dunia-kangouw.blogspot.com
yang tidak dikotori nafsu dan cinta inilah yang menjadi dasar dari segala perasaan yang baik. Cinta ini yang
mungkin biasa kita namakan kasih sayang!
Kasih ini terdapat di dalam sinar matahari, di dalam titik-titik air hujan, dalam gelombang samudera, dalam
bersilirnya angin semilir, dalam merekahnya dan harumnya bunga-bunga, dalam senyum ranum dan
matangnya buah-buahan, di dalam air mata seorang ibu, di dalam belaian tangannya, di dalam pandang
mata seorang ayah, di dalam tangis seorang bayi dan masih banyak lagi.
Gan Bi Kim menjadi korban dari ulah nafsu itu. Ia merasa seolah-olah hidupnya hancur lebur. Dalam
keadaan seperti itu, ia tidak tahu bahwa kesusahan, seperti juga dengan kesenangan, tidak abadi, bahkan
tidak akan panjang umurnya, walau pun dibandingkan kesenangan, kesusahan lebih lama dirasakan
manusia.
Tidak mungkin senang terus tanpa kesusahan, seperti tidak mungkinnya susah terus tanpa ada
kesenangan. Bahkan di waktu siang hari pun tidak selalu terang benderang, kadang-kadang digelapkan
awan mendung, dan malam gelap gulita pun kadang-kadang diterangi bulan atau bintang-bintang!
Dalam keadaan senang, orang lupa bahwa kesusahan sudah berada di ambang pintu. Dalam keadaan
susah, seseorang seolah-olah merasa bahwa tak ada harapan lagi dan selalu dia akan menderita susah,
seperti sakit yang tak mungkin dapat diobati lagi!
Bi Kim merasa semakin tidak tahan. Berduka di dalam kamar yang asing, seorang diri digerogoti kenangan
lama, membuat ia merasa sumpek dan pengap. Malam telah tiba dan suasana sunyi. Ia membuka daun
pintu dan melangkah keluar, melalui gang masuk ke dalam taman bunga milik keluarga lurah itu. Agak lega
rasanya ketika ia berada di luar, di udara terbuka.
Ia melangkah terus. Malam tidak gelap benar karena ada banyak sekali bintang di langit, tidak terhitung
banyaknya karena langit cerah tanpa mendung sehingga hampir semua bintang bermunculan, ada yang
tersenyum, ada yang berkedip-kedip.
Bunga-bunga di taman itu banyak yang mekar indah, karena memang waktu itu musim bunga telah
berumur dua bulan sehingga suasana taman itu indah sekali, bermandikan cahaya bintang yang kehijauan.
Ditambah lagi suara jangkerik dan belalang laksana sekumpulan musik yang mendendangkan lagu malam
dalam irama yang bebas namun tidak kacau, bahkan serasi.
Tiba-tiba suasana itu, yang pada mulanya menghibur, sekarang bagaikan menyentuh perasaannya,
mendatangkan keharuan yang mendalam hingga ia terhuyung, menutupi muka dengan tangannya dan
menangis. Kini ia berada di luar rumah dan ia tidak begitu menahan isak tangisnya, dan terdengar rintihan
kalbunya keluar melalui mulutnya dalam bentuk tangis lirih dan sedu sedan.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa Gak Ciang Hun yang semenjak tadi duduk melamun seorang diri di dekat
kolam ikan, kini bangkit dan memandang kepadanya dari sebelah kiri. Pemuda itu menghela napas
panjang, dan alisnya berkerut.
Dia sudah melihat perubahan sikap gadis itu sejak Sian Li mengaku bahwa ia dan Yo Han saling mencinta.
Dia melihat betapa Gan Bi Kim terbelalak dengan muka pucat dan napasnya terengah-engah ketika
mendengar pengakuan Sian Li itu dan betapa gadis itu berusaha untuk menenangkan diri secepatnya. Dia
menduga-duga, akan tetapi dia tidak menemukan jawabannya.
Dan kini, selagi dia melamun seorang diri di dalam taman mengenangkan nasib dirinya yang menderita
penolakan cintanya terhadap Sian Li, atau lebih tepat lagi menderita putusnya cinta dikarenakan Sian Li
mengaku bahwa gadis itu hanya mencinta Yo Han, tiba-tiba saja dia melihat Bi Kim menangis sedih
seorang diri di dalam taman! Karena merasa terharu dan iba, bagaikan terkena pesona dan seperti tidak
disadarinya, Ciang Hun melangkah perlahan menghampiri. Setelah dekat, dia berkata lirih.
"Adik Bi Kim..."
Bi Kim tersentak kaget, seperti diseret dari dunia lamunan kembali ke dunia kenyataan yang pahit dan
membingungkan. Segera ia menghapus air mata dengan tangannya dan mengucek-ucek kedua matanya,
memaksa bibirnya tersenyum.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aihh, kiranya Gak-toako... kaget sekali aku karena tidak mengira di sini ada orang lain."
Hati Ciang Hun makin terharu. Gadis ini jelas sedang menderita batin yang membuatnya berduka, akan
tetapi masih berusaha untuk bersikap wajar yang sangat canggung. Dia pun tidak berpura-pura lagi karena
dia merasa kasihan dan ingin sekali dapat membantu gadis itu, kalau memang gadis itu membutuhkan
bantuan.
"Kim-moi, sejak tadi aku berada di sini, ingin menikmati malam musim bunga yang indah ini. Malam sangat
cerah, langit bersih terhias bintang-bintang. Mengapa engkau malah berduka dan menangis, Kim-moi?"
"Aku... aku tidak berduka, tidak menangis..." Bi Kim cepat membantah, tetapi suaranya membuktikan
bahwa ia memang habis menangis, bahkan masih terkandung sisa tangis di dalam getaran suaranya.
"Ahh, Kim-moi, biar pun kita baru berkenalan hari ini, akan tetapi tentu engkau juga telah merasakan
seperti yang kami rasakan, yaitu bahwa kita berasal dari satu golongan dan seperti keluarga sendiri. Di
antara saudara atau sahabat baik, kalau ada seorang yang mengalami kesulitan, sudah sepantasnya kalau
yang lain membantu, bukan? Andai kata aku yang mengalami kesusahan, apakah engkau tidak bersedia
untuk menolongku, Kim-moi?"
"Tentu saja, Toako! Engkau sendiri dan Li-moi tadi pun telah menolongku dari ancaman ketua Pao-bengpai.
Tentu aku pun akan mengulurkan tangan membantumu kalau aku bisa."
"Nah, begitu pula dengan aku, Kim-moi. Kini aku mengulurkan tangan dan aku bersedia membantu dirimu
mengatasi kesusahanmu. Nah, maukah engkau menceritakan kenapa engkau begini bersedih?"
Ditanya orang lain tentang kesedihannya dengan suara yang demikian penuh perhatian dan seakan turut
merasakan, keharuan memenuhi hati Bi Kim dan tak tertahankan lagi air matanya bercucuran. Akan tetapi
ia menggigit bibir dan tak mau mengeluarkan suara tangis. Ia menggelengkan kepala dan menghapus air
matanya dengan sapu tangannya yang sudah basah.
"Engkau... engkau atau siapa pun di dunia ini tidak akan dapat menolongku, Toako... memang sudah
ditakdirkan bahwa nasibku amat buruk..." kembali ia mengusapkan sapu tangan ke arah kedua matanya.
"Siauw-moi, tidak ada nasib buruk itu! Segala sesuatu yang terjadi menimpa diri kita sudah sewajarnya,
dan ada sebab akibatnya. Bukan nasib buruk, karena nasib buruk itu hanya pandangan orang yang kecil
hati dan tidak tabah menghadapi kenyataan hidup. Kenyataan hidup memang tidak selalu putih, ada
kalanya hitam, tidak selalu manis, ada kalanya pahit. Akan tetapi, manis atau pun pahit, kalau kita dapat
menerimanya sebagai suatu kenyataan hidup yang tidak terlepas dari hukum alam, maka kita akan mampu
menghadapinya dengan tabah. Tidak ada masalah yang tidak dapat diatasi, asalkan kita tabah, tidak
meninggalkan daya ikhtiar dan didasari penyerahan kepada Yang Maha Kuasa, Kim-moi. Aku tadi sudah
melihat perubahan pada sikapmu. Pada waktu Li-moi bercerita dengan terus terang, memang wataknya
terbuka dan jujur, bahwa ia dan Yo Han saling mencinta, aku melihat engkau terbelalak kaget dan mukamu
pucat sekali. Kim-moi, aku yakin bahwa kedukaanmu tentu ada hubungannya dengan cerita Li-moi itu, atau
setidaknya, ada hubungannya dengan Yo Han. Benarkah dugaanku?"
Bi Kim menundukkan mukanya. Sampai lama ia tidak menjawab, hanya menarik napas panjang berulang
kali. Ia tahu bahwa ia tidak dapat mengelak lagi, dan kalau sampai Sian Li mengetahui hal ini, sungguh
amat tidak enak. Pemuda ini dapat dipercaya, dan dengan bantuan pemuda ini ia akan lebih mudah
menyembunyikan rahasianya dari Sian Li.
"Gak-toako," katanya sambil memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata tajam, "Kalau aku
berterus terang kepadamu, maukah engkau berjanji untuk merahasiakan ini dari adik Sian Li?"
"Aku berjanji demi kehormatanku, Kim-moi."
"Ketahuilah, Toako, bahwa guru dari Sin-ciang Taihiap Yo Han adalah adiknya nenekku. Pada suatu hari,
Yo-toako datang berkunjung ke kota raja dan dia berhasil menolong ayahku yang terancam mala petaka
karena lenyapnya beberapa buah pusaka istana, padahal ayahku menjabat sebagai pengatur gedung
pusaka itu. Karena rasa bersyukur, di depan meja sembahyang paman kakekku itu, nenekku lalu
menjodohkan aku dengan Yo-toako."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ahhh, begitukah...?" Gak Ciang Hun menggumam lirih.
"Ya begitulah, Toako. Biar pun perjodohan itu belum diresmikan, akan tetapi sejak saat itu, aku sudah
menganggap diriku sebagai calon isteri Yo Han. Dan tentu dapat kau bayangkan betapa kaget rasa hatiku
ketika tadi aku mendengar bahwa adik Tan Sian Li saling mencinta dengan Yo Han."
Ciang Hun mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya. "Apakah Yo Han juga sudah menyetujui ikatan
jodoh itu?"
Gadis itu menggeleng. "Belum, Toako. Bahkan dia minta supaya urusan perjodohan itu ditangguhkan
sampai dia menyelesaikan tugas-tugasnya. Usul perjodohan itu datang dari nenek, dan dia belum
menyatakan setuju atau tidak setuju."
"Akan tetapi... maafkan pertanyaanku ini, apakah kalian sudah saling mencinta?"
Gadis itu menarik napas panjang. Wajahnya nampak memelas sekali walau pun tidak kelihatan jelas di
bawah sinar ribuan bintang yang lembut, akan tetapi tarikan muka itu membuat Ciang Hun maklum bahwa
pertanyaannya mendatangkan kepedihan hati.
"Terus terang saja, Toako, aku amat kagum padanya dan selama ini aku menganggap bahwa aku cinta
padanya. Akan tetapi... ahh, cinta sepihak tidak mungkin, bukan? Dia sudah saling mencinta dengan adik
Sian Li... aku akan memberi tahu kepada nenekku dan orang tuaku bahwa aku tidak mungkin berjodoh
dengannya."
Hening sejenak, kemudian Bi Kim tercengang melihat pemuda itu tertawa, akan tetapi suara tawanya
sumbang. "Haha-ha-heh-heh, alangkah lucunya! Betapa lucunya...!!"
Tentu saja Bi Kim mengerutkan alisnya. Wajahnya berubah merah, pandang matanya bersinar tajam
karena marah. Ia mengira bahwa pemuda itu mengejeknya! Padahal, ia telah mempercayainya dan
menceritakan rahasia hatinya yang sebetulnya tidak harus diceritakan kepada siapa pun.
"Toako, kau... kau mentertawakan aku...?!" bentaknya marah.
Ciang Hun menyadari sikapnya yang dapat menimbulkan kesalah pahaman itu, maka ia menghentikan
tawanya dan cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada meminta maaf.
"Maafkan aku, Siauw-moi. Aku sama sekali bukan mentertawakan engkau, melainkan mentertawakan
diriku sendiri karena sungguh amat lucu keadaan kita berdua!" Kembali dia tertawa, akan tetapi menahan
sehingga tawanya tidak bersuara.
Bi Kim masih mengerutkan alisnya. "Hemmm, apanya yang lucu dengan ceritaku tadi?"
"Dengarlah, Kim-moi. Sudah lama aku pun jatuh cinta kepada adik Tan Sian Li! Dan kau tahu, sebelum aku
sempat menyatakan cintaku padanya, ia mengaku kepadaku seperti yang diceritakan kepadamu tadi, yaitu
bahwa dia mencinta Yo Han dan hanya mau berjodoh dengan Yo Han. Kau tentu mengerti betapa
hancurnya perasaan hatiku, tetapi aku dapat menerima kenyataan pahit itu. Sama sekali tidak aku duga
bahwa engkau mengalami hal yang sama benar dengan aku, dan kita berdua sama-sama mendengar
keputusan yang menghancurkan itu dari mulut Li-moi. Hanya bedanya di antara kita, engkau mencinta
yang laki-laki, aku mencinta yang perempuan. Ha-ha-ha, bukankah lucu sekali?"
Ciang Hun tertawa-tawa lagi dan sekali ini, Bi Kim juga tertawa. Mereka berdua tertawa-tawa, akan tetapi
tawa mereka terasa sumbang dan semakin lama, suara tawa mereka semakin sumbang hingga akhirnya Bi
Kim menangis dan Ciang Hun juga mengeluh dan menahan tangisnya!
Dalam keadaan seperti itu keduanya dapat saling merasakan betapa sedih dan perihnya hati yang hampa
karena cinta sepihak. Perasaan yang mendatangkan iba diri karena diri serasa tiada harganya, tidak ada
yang menyayang! Dan timbullah perasaan iba yang mendalam satu lama lain.
"Kim-moi, kita harus dapat menerima kenyataan... Sudahlah, Kim-moi, jangan bersedih lagi..." karena
merasa iba sekali, Ciang Hun mendekat dan menyentuh lengan gadis itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bagaikan tanggul penahan air bah yang bobol, bendungan itu kini pecah dan setengah menjerit Bi Kim
menangis dan merangkul Ciang Hun, menangis di dada pemuda itu sampai mengguguk. Semua perasaan
pedih, perih dan duka yang semenjak tadi selalu ditahan-tahannya di dalam hati, sekarang dilepaskannya
semua melalui tangisnya yang meledak-ledak.
Ciang Hun mengelus rambut itu. Dia pun berdongak memandang langit yang dipenuhi bintang-bintang, dua
matanya sendiri basah. Dia maklum sekali bahwa gadis itu sedang ditekan perasaan yang amat berat,
maka jalan terbaik adalah membiarkannya menangis melarutkan semua tekanan batin yang dapat
menimbulkan penyakit luar dan dalam.
Setelah tangisnya itu agak mereda, bagai badai yang mereda, Ciang Hun berkata, "Ehh, Kim-moi, lihatlah
betapa bodohnya kita. Apakah dengan gagalnya cinta kasih kita, lalu dunia ini akan kiamat? Lihat di langit
itu, jutaan bintang mentertawakan kita yang lemah. Kita bukanlah orang lemah, kita harus mampu
menanggulangi semua tantangan hidup. Kegagalan hanya akan memperkuat batin kita, mematangkan kita.
Sama sekali keliru kalau kita putus asa dan membiarkan diri tenggelam dalam kecewa dan duka."
Bi Kim sadar dan ia pun seperti baru menyadari bahwa ia telah menangis di atas dada Ciang Hun. Ia
melepaskan rangkulannya dan tersipu. Ia menghapus sisa air matanya, memandang kepada pemuda itu,
mencoba untuk tersenyum.
"Engkau benar, Toako. Maafkan atas kelemahanku, dan maafkan kelakuanku tadi yang tidak pantas."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Siauw-moi, tidak ada yang tidak pantas. Aku mengerti perasaanmu dan
aku dapat merasakan pula kepahitan yang melanda hatimu. Bukankah kita sama-sama mengalaminya?
Akan tetapi, sama-sama pula kita dapat mengatasinya, bukan?"
"Terima kasih, Gak-toako."
Ciang Hun lalu menasehati agar gadis itu kembali ke kamarnya karena akan kurang baik dugaan orang
kalau ada yang melihat mereka berada di taman berdua saja pada waktu malam seperti itu. Bi Kim
menyetujui. Ia pun kembali ke kamarnya, meninggalkan Ciang Hun yang masih termenung seorang diri di
taman itu.
Mulai saat itu, tumbuhlah perasaan aneh di dalam hati kedua orang itu. Mereka saling merasa kasihan, dan
perasaan ini menumbuhkan suatu perasaan baru dari cinta kasih, ingin saling menghibur, ingin saling
membahagiakan!
Pohon cinta memang bisa tumbuh dengan perantaraan belas kasihan, atau kekaguman, senasib,
kesamaan pandangan, kesamaan selera dan banyak perasaan lain lagi. Dan sekali orang jatuh cinta, maka
segala yang ada pada diri orang yang dicintai nampak indah, segala yang dilakukan orang yang dicinta
selalu menyenangkan hati. Maka tidak terlalu berlebihan bila orang mengatakan bahwa cemberut seorang
yang dicinta menjadi pemanis, sebaliknya senyum seorang yang dibenci makin menyebalkan!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Li sudah bangun dan mandi. Ketika dia keluar dari dalam
kamarnya dengan mengenakan pakaian bersihnya, dan seperti biasa pakaiannya serba merah sehingga ia
nampak segar dan jelita seperti setangkai bunga mawar merah di waktu pagi hari, masih segar membasah
bermandikan embun pagi, ia melihat Gan Bi Kim dan Gak Ciang Hun juga sudah mandi. Mereka kemudian
duduk di ruangan dalam di luar kamar mereka.
Setelah mereka duduk bertiga, Sian Li lantas berkata. "Pagi ini aku akan melanjutkan perjalananku, dan
sebelum aku bertemu dengan Han-ko, aku tidak akan pulang."
"Memang, sebaiknya kalau kita bertiga pergi dari sini," kata Ciang Hun.
"Tidak enak kalau mengganggu keluarga Lurah So terlalu lama."
"Adik Sian Li, aku akan mencoba untuk membantumu, ikut mencarikan anak yang hilang itu. Siapa tahu
aku akan bertemu dengan gadis yang mempunyai tanda-tanda di pundak kiri dan kaki kanan itu. Siapa
namanya?"
"Namanya Sim Hui Eng," jawab Sian Li.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aku pun akan membantumu mencari Yo Han, kalau jumpa akan kuberi tahu bahwa engkau mencarinya.
Paling lambat pada hari Sin-cia (Tahun Baru Imlek), berhasil atau tidak, aku akan memberi kabar
kepadamu, di rumah orang tuamu di Ta-tung," berkata Ciang Hun.
Sian Li tersenyum memandang kepada dua orang sahabatnya itu. "Terima kasih, kalian baik sekali. Karena
kita bertiga mencari orang, maka akan lebih besar harapannya akan berhasil kalau kita berpencar. Kita
mencari dengan berpencar dan berjanji saling jumpa lagi pada hari Sin-cia. Bagaimana pendapat kalian?"
"Setuju!" kata Ciang Hun. "Pada hari Sin-cia, aku akan berkunjung ke rumahmu, Li-moi.”
“Dan bagaimana dengan kau, Kim-cici? Di mana kita akan bertemu hari Sin-cia nanti?"
"Aku setuju dengan pendapat Gak-toako. Aku pun akan berkunjung ke rumahmu pada hari Sin-cia, Li-moi."
"Bagus! Aku akan menanti kunjungan kalian dengan hati gembira. Ayah dan ibu pasti juga akan
bergembira sekali bila menerima kunjungan kalian. Nah, mari sekarang kita berangkat!"
Tiga orang muda perkasa itu lalu berpamitan kepada Lurah So sekeluarga, kemudian meninggalkan rumah
dan dusun itu. Setelah tiba di perempatan jalan, mereka berpisah. Sian Li menuju ke utara, Ciang Hun ke
selatan dan Bi Kim ke timur…..
********************
Gadis itu duduk di bawah pohon, agak jauh dari jalan raya dan tidak nampak dari jalan karena tempat itu
agak tertutup oleh hutan kecil yang berada di luar tembok kota raja. Gadis yang usianya sekitar dua puluh
tiga tahun itu anggun dan cantik jelita.
Pakaiannya indah. Rambutnya digelung tinggi dan dihias tiara kecil. Melihat pakaiannya pantasnya ia
adalah seorang puteri bangsawan yang kaya raya. Namun sungguh aneh, ia berada seorang diri di tempat
sunyi itu, bahkan lebih aneh lagi, ia duduk termenung dengan air mata mengalir menuruni kedua pipinya.
Bila orang mengetahui sikap gadis itu, dia tentu akan semakin terheran-heran. Gadis itu adalah puteri
ketua Pao-beng-pai yang ketika itu disebut Sang Puteri atau Nona Dewi. Oleh semua anggota Pao-bengpai
dan bahkan di dunia kang-ouw, dia dikenal sebagai puteri ketua Pao-beng-pai Siangkoan Kok, dan
nama gadis itu adalah Siangkoan Eng atau biasa dipanggil ayah ibunya Eng Eng saja.
Akan tetapi, sudah terjadi peristiwa hebat yang mendatangkan perubahan besar dan yang membuat Eng
Eng kini duduk termenung di bawah pohon itu sambil mencucurkan air mata! Padahal, dahulu sebagai
puteri ketua Pao-beng-pai ia dikenal sebagai seorang wanita perkasa yang dingin dan keras, belum pernah
menangis! Jika orang yang pernah mengenalnya melihat ia kini duduk menangis, tentu orang itu akan
merasa terkejut dan heran bukan main.
Bagaimana ia tidak akan menangis? Setabah-tabahnya, sekeras-keras hatinya, saat itu Eng Eng dilanda
perasaan yang hancur lebur. Ia berduka, kecewa, penuh penasaran dan dendam. Karena membebaskan
Yo Han dan Cia Sun, ia hampir dibunuh ayahnya. Kemudian ayahnya menyakiti hati ibunya dengan
memaksa Tio Sui Lan, murid ayahnya dan sahabat baiknya, menjadi isteri pengganti ibunya. Sui Lan
diperkosa ayahnya tanpa ia dan ibunya dapat berbuat sesuatu!
Dan setelah dia terluka parah oleh pukulan ayahnya, terjadi hal yang lebih hebat lagi, yaitu ibunya
membuka rahasia bahwa ayahnya itu, Siangkoan Kok, sebetulnya hanyalah ayah tirinya! Dan pada saat ia
bertanya kepada ibunya, siapa ayah kandungnya, ibunya marah-marah dan mengatakan bahwa ibunya itu
amat membenci ayah kandungnya.
Semua peristiwa itu membuat dirinya merasa sedih bukan main. Orang yang selama ini dianggap ayahnya
sendiri, ternyata orang lain dan sangat kejam terhadap ibunya dan terhadap dirinya sendiri. Kemudian,
ibunya malah sangat membenci ayah kandungnya dan tidak mau memberi tahukan siapa nama ayah
kandungnya, masih hidup ataukah sudah mati.
Semua ini menghancurkan hatinya dan ia pun malam itu juga melarikan diri dari rumah, meninggalkan Paobeng-
pai dan bersembunyi di sebuah goa yang banyak terdapat di Ban-kwi-kok. Di Lembah Selaksa Setan
dunia-kangouw.blogspot.com
ini terdapat goa-goa besar yang ditakuti orang, yang menurut tahyul dijadikan tempat tinggal para setan
dan iblis. Karena itu, jangankan rakyat biasa, bahkan para anggota Ban-kwi-kok sendiri jarang ada yang
berani datang, apa lagi bermalam di goa-goa itu.
Dalam kedukaannya, Eng Eng tidak mengenal takut. Ia bersembunyi di sebuah goa dan setiap hari dan
malam dia hanya duduk bersemedhi, menghimpun tenaga sakti untuk mengobati luka dalam yang diderita
akibat pukulan ayah tirinya! Ayah tirinya amat jahat, hampir membunuhnya, memperkosa Sui Lan, dan
menurut ibunya, ayah kandungnya juga amat jahat sehingga dibenci ibunya. Dunia seperti hancur rasanya
bagi Eng Eng.
Pada keesokan hatinya, selagi bersemedhi, dia mendengar suara ribut-ribut. Agaknya terjadi pertempuran
di Ban-kwi-kok! Kalau saja ia tidak terluka, dan kalau saja ia belum bentrok dengan ayah tirinya, tentu ia
akan membela Pao-beng-pai dengan taruhan nyawa. Akan tetapi, sekali ini ia diam saja, tidak bergerak
dan tetap duduk bersila.
Ia masih belum pulih. Kalau ia bertempur melawan musuh yang agak tangguh saja, ia akan celaka. Selain
itu, ia tidak sudi membantu ayah tirinya lagi. Bahkan hatinya kini condong untuk menentang dan melawan!
Kalau saja ia tidak ingat betapa sejak kecil ia dididik dan digembleng oleh ayah tirinya yang ia tahu sayang
kepadanya, tentu kini dia sudah menganggap ayah tiri itu musuhnya!
Karena perasaan itu, dia pun diam saja dan tidak keluar dari dalam goa. Akan tetapi setelah pertempuran
itu berhenti, baru dia teringat akan ibunya! Betapa pun dia marah kepada ibunya yang mengatakan
membenci ayah kandungnya, tetap saja sekarang dia mengkhawatirkan ibunya.
Ayah kandungnya sakti, juga ibunya mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sehingga mereka akan
mampu membela diri dengan baik. Akan tetapi, dia tidak tahu siapa yang melakukan penyerbuan ke Paobeng-
pai. Dia harus melihat bagaimana keadaan ibunya, agar supaya hatinya menjadi lega.
Karena keadaan sangat sunyi, maka dia pun keluar dari dalam goa dan pergi ke sarang Pao-beng-pai.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat para anggota Pao-beng-pai banyak yang tewas, sisanya
entah lari ke mana. Yang lebih mengejutkan hatinya lagi adalah ketika ia menemukan mayat ibunya dan
mayat Sui Lan!
Ia lalu menubruk dan menangisi mayat ibunya. Ketika dua orang anggota Pao-beng-pai yang melihat
munculnya nona mereka keluar dari tempat persembunyian mereka, Eng Eng bertanya apa yang telah
terjadi.
Dua orang anggota Pao-beng-pai itu lalu bercerita bahwa pasukan pemerintah datang menyerbu Paobeng-
pai. Tanpa bertanya lagi Eng Eng dengan sendirinya menganggap bahwa Sui Lan dan ibunya tewas
di tangan para penyerbu!
"Dan di mana Pangcu (Ketua)?" Ia tidak mau menyebut ayah.
"Kami tidak tahu, Nona. Melihat bahwa tidak ada jenazah Pangcu di sini, tentu beliau telah berhasil
menyelamatkan diri."
"Bagaimana pasukan pemerintah mampu naik ke tempat ini dan melalui semua jebakan rahasia?"
tanyanya penasaran.
"Kami sempat melihat bayangan Cia Ceng Sun yang pernah menjadi tawanan di sini, Nona. Tentu dialah
yang menjadi penunjuk jalan."
Eng Eng terkejut, bangkit berdiri dan dengan muka pucat dia mengepal tinju. Hatinya berteriak memaki Cia
Sun. Tahulah ia. Tentu pangeran Mancu itu yang telah membawa pasukan datang menyerbu! Pangeran itu
tentu dahulu datang sebagai mata-mata.
Laki-laki berhati palsu! Kelak aku akan membuat perhitungan denganmu, geramnya di dalam hati. Dibantu
dua orang anggota Pao-beng-pai itu, Eng Eng kemudian mengubur jenazah ibunya dan Sui Lan, di lereng
sebuah bukit yang bersih.
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah, kini ia berada di luar kota raja, bersembunyi di hutan itu dan menangis. Ia bukan seorang
wanita cengeng yang menangisi kematian ibunya berulang kali. Sudah cukup ia menangisi di depan
jenazah dan di depan makam sederhana ibunya. Kini ia mencucurkan air mata bukan karena teringat
kematian ibunya.
Ia menangis karena teringat akan Cia Sun! Ia akan mencari, menangkap dan menyiksa, lalu membunuh
Cia Sun! Akan tetapi, sukar membayangkan bagaimana ia akan dapat melakukan itu. Ia amat mencinta
pangeran itu! Mengenangkan sikap manis dan mesra pangeran itu, bagaimana mungkin tangan ini akan
mampu melukainya, menyakitinya, apa lagi membunuhnya? Inilah yang membuat ia bercucuran air mata
menangis!
Senja datang dan suasana semakin sepi. Eng Eng mengepal kedua tangannya.
"Cengeng! Lemah!" Ia memaki diri sendiri.
Bagaimana pun juga, dia adalah musuh besar. Dialah yang menyebabkan Pao-beng-pai runtuh dan habis
terbasmi, bahkan ia pula yang menyebabkan ibunya tewas! Dia bukan membalas dendam untuk Pao-bengpai,
bukan pula membalas dendam bagi Siangkoan Kok, tetapi ia harus membalas dendamnya atas
kematian Sui Lan dan ibunya, terutama ibunya. Pangeran Cia Sun harus membayar lunas hutangnya!
Sesudah menghapus air matanya dan mengeraskan hatinya, Eng Eng memasuki pintu gerbang kota raja
sebelah selatan. Karena ia nampak seperti seorang gadis bangsawan atau hartawan, tidak pula membawa
senjata sebab senjata istimewanya, yaitu sebatang hud-tim (kebutan) terselip di pinggang, di balik baju,
maka para penjaga di pintu gerbang hanya memandang kagum, tidak mengganggunya.
Malam itu gelap. Udara mendung. Gelap dan dingin karena angin malam meniupkan hawa yang lembab.
Karena gelap dan dingin, orang-orang lebih suka tinggal di dalam rumah mereka yang lebih hangat
dibandingkan hawa di luar.
Apa lagi di rumah kaum bangsawan dan hartawan, di mana terdapat perapian yang bisa mendatangkan
hawa hangat. Kalau tidak mempunyai keperluan yang penting sekali, tak ada yang mau meninggalkan
rumah. Sebab itu jalan-jalan raya juga sepi dari lalu lintas.
Kesepian itu amat membantu Eng Eng yang sudah mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya
digelung dan diikat ke belakang, tidak disanggul rapi seperti biasa, juga tak dihias tiara. Pakaiannya yang
serba hitam dan ringkas itu membuat gerakannya yang cepat sukar diikuti pandang mata.
Senjata kebutan yang berbulu merah dan bergagang emas terselip di pinggang depan, dengan bulunya
sudah digulung rapi, sedangkan pedang beronce merah tergantung di punggung. Sekuntum jarum hitam
juga tergantung di pinggang. Eng Eng kini membekali diri dengan senjata lengkap karena ia hendak
menangkap Pangeran Cia Sun di rumah gedung keluarga pangeran itu.
Sore tadi setelah memasuki kota raja, ia telah melakukan penyelidikan dan tidak sukar untuk mendapat
keterangan tentang rumah tinggal Pangeran Cia Sun. Sebuah gedung besar dan megah berdiri di sudut
kanan kota raja. Itulah tempat tinggal Pangeran Cia Sun dengan keluarga ayahnya, yaitu Pangeran Cia
Yan seorang di antara putera-putera Kaisar Kian Liong (1736 - 1796).
Seperti telah kita ketahui, biar pun secara resmi Pangeran Cia Yan adalah anak angkat Kaisar Kian Liong,
yaitu seorang keponakan yang diangkat menjadi putera, akan tetapi sesungguhnya, Pangeran Cia Yan
adalah putera kaisar itu sendiri, hasil hubungan gelap dengan kakak iparnya. Oleh karena itu, biar pun
resminya pangeran akuan, atau anak angkat, namun Kaisar Kian Liong menyayangnya seperti anaknya
sendiri. Pangeran Cia Yan tidak dapat diangkat menjadi putera mahkota, akan tetapi dia merupakan
seorang di antara para pangeran yang disayang oleh kaisar.
Malam itu, di sekitar gedung milik Pangeran Cia Yan juga sunyi. Karena dia sendiri tidak memegang
jabatan penting, juga tak merasa mempunyai musuh, maka gedung tempat tinggal keluarga Pangeran Cia
Yan ini tidak dijaga ketat seperti tempat kediaman para pangeran lain. Hanya ada enam orang yang
berjaga malam dan melakukan perondaan di sekitar gedung besar itu untuk menjaga keamanan.
Tentu saja amat mudah bagi Eng Eng untuk menyusup masuk dengan melompati pagar tembok tanpa
diketahui para penjaga. Ia melompat pagar tembok belakang dan masuk ke taman bunga yang terpelihara
dunia-kangouw.blogspot.com
rapi. Sambil menyelinap di antara pohon dan semak bunga, ia menghampiri bangunan besar dan beberapa
menit kemudian, ia sudah dapat meloncat ke atas genteng dan melakukan pengintaian dari atas.
Lampu-lampu di luar genteng sudah banyak yang dipadamkan sehingga gerakan Eng Eng tidak dapat
terlihat ketika ia berkelebatan di atas genteng. Dengan cara mengintai dari atas, akhirnya dia mendengar
percakapan di bawah yang dilakukan dengan suara keras. Jantungnya berdebar tegang saat ia mendengar
suara Pangeran Cia Sun! Suara yang lembut namun kuat.
"Ayah dan Ibu, sekali lagi saya mohon maaf, bukan sekali-kali saya ingin membantah dan tidak mau
mentaati perintah Ayah dan Ibu. Bukan sekali-kali saya menolak karena menganggap pilihan Ayah dan Ibu
itu kurang baik untuk saya. Sama sekali tidak! Saya sudah mendengar tentang Si Bangau Merah,
mendengar bahwa dia seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi, berwatak gagah perkasa serta
berbudi baik. Juga ia cantik jelita, keturunan keluarga pendekar sakti yang terkenal."
"Nah, kau mau apa lagi? Engkau sendiri bilang, ia keturunan pendekar besar, ia gagah perkasa, berbudi
baik dan cantik jelita. Apakah semua hal itu belum memenuhi syarat bagimu untuk menjadi isterimu?"
terdengar suara Pangeran Cia Yan, ayah pemuda itu, membentak.
"Benar sekali kata Ayahmu, anakku. Selain gadis itu amat baik bagimu, juga kami telah mengikat janji
dengan orang tuanya, yaitu Pendekar Bangau Putih dan isterinya. Masih kurang apakah Si Bangau Merah
itu, anakku?"
Kalau tadinya Eng Eng yang mendengar semua itu sudah merasa gemas dan ingin segera menangkap
orang yang menyebabkan kehancuran Pao-beng-pai dan terutama kematian ibunya, kini mendengar apa
yang dipercakapkan, dia tertarik sekali dan ingin ia mendengar apa yang akan dikatakan pangeran itu
tentang ikatan jodoh.
Ia sendiri tentu saja tadinya mencinta pangeran itu dan mengharapkan dapat menjadi isterinya, dan tentu ia
akan marah sekali kalau mendengar pangeran itu akan menikah dengan orang lain. Akan tetapi sekarang
keadaannya sudah berbeda. Ia tidak mungkin menjadi isteri Cia Sun, dan tidak semestinya mencintanya,
bahkan sudah sepatutnya ia membencinya karena pria yang tadinya menjadi kekasihnya itu sekarang telah
menjadi musuh besarnya.
Meski ia tidak peduli lagi apakah pangeran itu akan menikah dengan gadis lain ataukah tidak, tetap saja ia
tidak dapat membohongi hatinya sendiri. Ia ingin sekali mengetahui apa jawaban pangeran itu dan
bagaimana isi hatinya! Maka, dia pun mendengarkan dengan jantung berdebar tegang.
"Sebagai seorang gadis, memang harus saya akui bahwa Si Bangau Merah itu baik dan tidak ada
kekurangannya, Ayah dan Ibu. Akan tetapi untuk menjadi isteriku, ia memiliki kekurangan yang amat besar
artinya, yaitu ia tak memiliki cinta! Saya tidak mencintanya dan ia pun tidak mencintaku. Dan saya hanya
mau menikah dengan gadis yang saya cinta!"
Eng Eng merasa betapa kedua kakinya gemetar. Ia cepat mengerahkan tenaga untuk melawannya karena
ia tidak ingin gerakan tubuhnya terdengar orang. Ucapan pangeran itu terasa begitu nyaman di hatinya,
seolah-olah hatinya dibelai oleh tangan yang amat lembut. Dia musuh besarku, aku benci dia, demikian
dengan pengerahan tenaga Eng Eng melawan perasaan hatinya sendiri dan mendengarkan terus.
"Omong kosong!" kata sang ayah. "Kalau nanti kalian sudah saling bertemu dan saling bergaul, cinta itu
akan datang dengan sendirinya. Ia cantik dan engkau tampan, kalian sama-sama suka ilmu silat, kalau
kalian saling bergaul, pasti kalian akan saling jatuh cinta."
"Itu mungkin saja kalau saya belum jatuh cinta kepada orang lain, Ayah. Akan tetapi saya telah mencinta
seorang gadis lain, dan saya hanya mau menikah dengan gadis yang saya cinta itu."
Kini kedua kaki Eng Eng menggigil dan hampir saja dia tak mampu bertahan lagi. Dia memejamkan mata,
menahan napas dan dengan susah payah baru berhasil menguasai jantungnya yang melonjak-lonjak
mendengar pengakuan itu.
"Dia musuhku, aku benci padanya, dia musuhku!" demikian berulang-ulang dia melawan gejolak hatinya
sendiri. Dan dia mendengarkan terus.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Jika engkau jatuh cinta kepada gadis lain, hal itu pun tidak menjadi persoalan. Engkau menikah dengan Si
Bangau Merah, dan gadis yang kau cinta itu menjadi selirmu..." kata sang ibu.
"Maaf, Ibu. Saya tidak mau mempunyai selir!"
"Hemmm, apa salahnya dengan hal itu?" bantah ayahnya. "Engkau seorang pangeran, sudah sepatutnya
mempunyai selir. Semua pangeran di sini memiliki selir, tidak hanya seorang malah."
"Akan tetapi saya berbeda, Ayah. Saya hanya mencinta gadis itu, dan saya tidak mau menikah dengan
wanita lain." Pangeran itu berkeras.
"Aihhh, engkau keras kepala, Cia Sun. Siapa sih gadis yang telah menjatuhkan hatimu seperti ini? Siapa
namanya?" tanya sang ibu.
Di atas genteng, di luar kehendaknya sendiri, Eng Eng menerawang. Matanya setengah terpejam,
mulutnya tersenyum simpul, hatinya senang sekali. Semua ucapan pangeran itu terdengar olehnya
bagaikan sebuah lagu yang amat merdu. Dan dia mendengarkan terus, siap untuk mengembangkan
senyum mendengar ibu pangeran itu menanyakan namanya!
"Ibu, gadis yang saya cinta itu, yang saya pilih untuk menjadi calon isteri saya, ia she (bermarga) Sim dan
namanya Hui Eng..."
Terdengar gerakan di atas genteng. Cia Sun dapat mendengar suara itu, akan tetapi dia mengira itu suara
kucing.
Saat mendengar disebutnya nama itu, seketika wajah Eng Eng yang tadinya tersenyum itu menjadi pucat.
Mulutnya yang tersenyum berubah menjadi ternganga, dan matanya terbelalak. Kemudian wajah yang
pucat itu berubah kemerahan ketika kedua tangannya dikepal.
"Jahanam keparat kau!" bentaknya di dalam hatinya. Kini kebenciannya terhadap Cia Sun memuncak.
"Engkau membohongi aku, engkau merayu dan menipuku!"
Sekarang dia pun mengerti. Cia Sun telah menyelundup ke dalam Pao-beng-pai untuk menyelidiki keadaan
perkumpulan itu. Ketika orang-orang mulai mencurigainya, dengan ketampanan dan kehalusan budinya,
pangeran itu merayunya dan menjatuhkan hatinya. Semua itu palsu! Semua itu hanya untuk berhasil dalam
tugasnya sebagai mata-mata. Pangeran itu telah mempunyai seorang kekasih yang akan dijadikan
isterinya. Namanya Sim Hui Eng! Keparat! Dan dia masih berani berpura-pura meminangku!
"Jahanam kau!"
Eng Eng tidak dapat menahan lagi kemarahannya dan beberapa kali loncatan membuat ia berada di luar
jendela ruangan di mana pangeran dan ayah ibunya bercakap-cakap. Ia mengerahkan tenaga dan
menerjang daun jendela.
"Brakkk...!"
Daun jendela pecah berantakan dan Eng Eng sudah berdiri di depan pangeran itu yang terbelalak
memandang kepadanya.
"Kau...!" seru Cia Sun.
Akan tetapi pada saat itu, dari jarak dekat sekali, selagi pangeran itu tertegun karena sama sekali tidak
pernah menyangka akan bertemu dalam keadaan seperti itu dengan kekasihnya, Eng Eng menggerakkan
tangan kirinya. Dua batang jarum hitam langsung menyambar cepat, mengenai kedua pundak Cia Sun.
"Ahhhhh...!" Pemuda itu mengeluh dan roboh terpelanting.
Sebelum tubuhnya terbanting, dengan cepat Eng Eng sudah menggerakkan tubuhnya. Lengan kirinya
mengempit tubuh Cia Sun yang terkulai lemas dan sekali meloncat, dia sudah keluar dari rongga jendela
yang berlubang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suami isteri yang tadinya terbelalak itu, baru sempat berteriak-teriak melihat betapa putera mereka diculik
seorang wanita yang cantik dan berpakaian serba hitam.
"Tolong...! Pangeran diculik...!" teriak isteri Pangeran Cia Yan.
"Tangkap penculik! Tangkap penjahat!" Pangeran Cia Yan juga berteriak-teriak. Suami isteri itu mencoba
untuk mengejar lewat pintu.
Akan tetapi, dua orang penjaga yang mencoba untuk menghalangi bayangan hitam yang mengempit tubuh
Pangeran Cia Sun, roboh oleh tendangan Eng Eng dan gadis itu pun menghilang di dalam kegelapan
malam.
Karena malam itu sunyi, gelap dan dingin, maka tidak sukar bagi Eng Eng untuk dapat melarikan Cia Sun
dari rumahnya. Sejenak pemuda itu sendiri tertegun dan bingung. Kedua pundaknya terasa panas sekali
dan tubuhnya lemas. Akan tetapi dia menahan rasa nyeri itu dan setelah gadis itu tidak berlari lagi, dia
berkata dengan heran.
"Bukankah engkau Eng-moi? Eng-moi, kenapa kau lakukan ini kepadaku?"
Eng Eng diam saja, tidak menjawab, ia sedang memikirkan bagaimana dapat membawa pangeran ini
keluar dari kota raja. Sebentar lagi, kota raja tentu akan penuh dengan pasukan yang melakukan
pengejaran dan pencarian. Untuk keluar begitu saja dari pintu gerbang sambil mengempit tubuh Pangeran
Cia Sun, tentu menimbulkan kecurigaan dan ia akan segera dikepung prajurit.
Sementara itu, Pangeran Cia Sun berpkir, apa yang membuat orang yang dicintainya dan yang dia tahu
juga amat mencintanya kini bersikap seperti ini, bahkan tega untuk melukainya dan menculiknya. Dan dia
pun teringat.
Ketika terjadi penyerbuan ke Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah, dia pun nampak di antara para
penyerbu. Tentu Eng Eng mengira bahwa dia yang membawa pasukan itu melakukan penyerbuan.
"Eng-moi, kini engkau hendak membalas dendam atas penyerbuan ke Pao-beng-pai? Eng-moi, bukan...
bukan aku yang melakukan. Engkau salah duga. Marilah kita bicara baik-baik dan kau dengarkan semua
keteranganku."
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Eng Eng mendapat akal untuk dapat membawa keluar pangeran ini dari
kota raja tanpa kesulitan. Dia harus dapat membawa pangeran ini keluar. Ia akan menyiksanya,
memaksanya mengakui dosanya dan ia akan membunuh pangeran ini di depan makam ibunya!
"Aku memang ingin bicara denganmu, tapi di luar kota raja. Kalau engkau membawaku keluar dari pintu
gerbang, aku mau berbicara denganmu di sana. Kalau tidak, aku akan membunuhmu di sini juga tanpa
banyak cakap lagi."
Cia Sun bergidik. Dia tidak takut mati. Meski dia seorang pangeran, namun dia berjiwa pendekar dan
kematian bukan sesuatu yang menakutkan baginya. Yang membuat dia merasa ngeri adalah sikap dan
suara gadis yang dicintanya itu. Begitu tak wajar, begitu dingin dan penuh ancaman maut! Dia dapat
menduga bahwa gadis itu tentu sedang dibakar api dendam dan kebencian.
"Baiklah, Eng-moi. Bebaskan totokanmu dan hentikan kenyerian ini agar tidak ada orang curiga. Aku akan
mencari dua ekor kuda untuk kita."
"Jangan mengira engkau akan dapat lari dariku. Sebelum kau lari, aku akan membunuh dirimu!" kata Eng
Eng.
Setelah membebaskan totokannya Eng Eng kemudian memberi sebuah pil merah untuk ditelan oleh Cia
Sun. Dan sesudah menelan pil itu, Cia Sun tidak begitu menderita lagi.
Kebetulan nampak serombongan penjaga keamanan kota terdiri dari enam orang yang menunggang kuda
sedang datang dari depan. Cia Sun segera memberi isyarat kepada rombongan berkuda. Pada waktu
mereka telah dekat dan melihat siapa yang menahan mereka, enam orang itu terkejut, lalu turun dari atas
kuda dan memberi hormat kepada Pangeran Cia Sun.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kami membutuhkan dua ekor kuda, berikan dua ekor yang terbaik," kata pangeran itu.
Enam orang itu tergopoh memilihkan dua ekor kuda. Cia Sun segera mengajak Eng Eng untuk
menunggang kuda itu dan segera melarikan kuda ke pintu gerbang selatan seperti yang dikehendaki oleh
Eng Eng.
Satu jam kemudian, kota raja geger karena Pangeran Cia Yan minta bantuan pasukan keamanan untuk
menangkap penculik yang melarikan Pangeran Cia Sun. Terjadilah geger dan kekacauan, apa lagi ketika
ada prajurit yang melapor bahwa Pangeran Cia Sun tidak diculik, melainkan pergi dengan suka rela
bersama seorang yang berpakaian hitam. Bahkan pangeran itu sendiri yang meminta dua ekor kuda
kepada rombongan prajurit dan kemudian menunggang kuda keluar dari pintu gerbang selatan.
Tentu saja berita ini membuat para perwira yang memimpin pengejaran itu menjadi ragu dan bingung.
Bagaimana kalau Pangeran Cia Sun tidak diculik, melainkan pergi dengan suka rela? Tentu pangeran itu
akan marah kalau pasukan melakukan pengejaran.
Akibat kebingungan inilah maka pengejaran dilakukan setengah hati. Andai kata mereka dapat bertemu
Pangeran Cia Sun, tentu mereka tidak akan berani lancang menangkap gadis berpakaian hitam seperti
diperintahkan Pangeran Cia Yan. Mereka tentu akan melihat lebih dahulu bagaimana sikap Pangeran
Muda Cia Sun.
Karena memang sudah merencanakan lebih dulu, tanpa ragu-ragu Eng Eng mengajak pangeran itu
memasuki hutan kecil di mana tadi ia menangis. Mereka lalu turun dari atas kuda, menambatkan kuda dan
membiarkan saja dua ekor kuda itu makan rumput.
Karena tubuhnya masih terasa sakit akibat tusukan dua batang jarum di pundaknya, jarum-jarum hitam
yang mengandung racun, Cia Sun lalu menjatuhkan diri di atas rumput, memandang kepada gadis itu yang
berdiri memandangnya dengan sinar mata yang bernyala-nyala. Walau pun tempat itu gelap, namun Cia
Sun seakan-akan dapat melihat sepasang mata yang sedang memandang marah itu.
Malam masih teramat dingin, akan tetapi mendung telah tersapu angin dan langit kini nampak bersih
dengan sinar bulan sepotong sehingga mereka dapat saling melihat, biar pun hanya remang-remang.
"Nah, katakanlah, Eng-moi, apakah artinya semua ini? Benarkah dugaanku tadi bahwa engkau marah
kepadaku karena menyangka akulah yang memimpin pasukan menyerbu Pao-beng-pai?"
Sejak tadi Eng Eng menahan kemarahannya, terutama kemarahan karena mendengar percakapan antara
pangeran itu dan orang tuanya tadi. Kini, kemarahannya meledak!
"Engkau manusia paling busuk di dunia! Engkau manusia palsu, jahanam keparat yang berbudi rendah!"
"Silakan memaki dan mencaci, bahkan engkau boleh saja membunuhku, Eng-moi, akan tetapi, setidaknya
jelaskan dahulu mengapa engkau begini marah kepadaku, agar andai kata engkau membunuhku, aku tidak
akan mati penasaran.”
"Huh, tidak perlu engkau merayuku lagi dengan omonganmu yang seperti madu berbisa! Engkaulah yang
membuat banyak orang mati penasaran, termasuk ibuku dan Tio Sui Lan! Engkau menyamar, kemudian
menyelundup ke Pao-beng-pai untuk memata-matai Pao-beng-pai. Engkau bahkan merayuku sehingga
aku terbujuk dan membebaskanmu, mengkhianati Pao-beng-pai sendiri. Ternyata semua perbuatanmu
hanya palsu. Engkau mempermainkan aku, engkau memimpin pasukan membasmi Pao-beng-pai,
membunuh keluargaku! Engkau sungguh keji, kejam dan curang!" Suara Eng Eng terkandung isak tangis.
"Hemmm, kalau begitu tepat dugaanku. Engkau marah kepadaku karena mengira aku yang memimpin
pasukan menyerbu Pao-beng-pai. Semua itu tidak benar, Eng-moi! Aku tidak memimpin pasukan itu! Baru
sebentar aku pergi, bagaimana caranya aku dapat mengumpulkan pasukan besar untuk menyerbu Paobeng-
pai? Tidak, bukan aku yang mengerahkan pasukan itu. Aku mendengar bahwa ada pasukan yang
pergi menyerbu Pao-beng-pai, karena tempatnya telah diketahui. Pada saat Pao-beng-pai mengadakan
pertemuan itu, di antara para tamu terdapat orang-orang yang menentang. Merekalah yang memberi
laporan kepada pemerintah. Panglima Ciong yang memimpin pasukan itu menyerbu, dan aku cepat-cepat
menyusul untuk menyelamatkan engkau dan ibumu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Omong kosong! Rayuan gombal! Siapa yang dapat percaya? Jika bukan engkau yang menjadi penunjuk
jalan, bagaimana mungkin pasukan itu dapat naik ke Lembah Selaksa Setan, dapat melampaui semua
jebakan dan membasmi Pao-beng-pai? Tidak perlu lagi engkau mencoba untuk membohongi aku!" Saking
marahnya, tubuh Eng Eng bergerak, tangannya menyambar ke arah dada Cia Sun.
"Bukkk!"
Pukulan tangan terbuka itu keras sekali sehingga tubuh Cia Sun langsung terjengkang dan terguling-guling.
Eng Eng lari mengejar dan kembali tangannya menampar ke arah kepala orang yang sudah rebah di atas
tanah itu. Akan tetapi tangan itu hanya tertahan di udara, tidak jadi memukul.
Cia Sun terbatuk-batuk, dadanya terasa sesak. Akan tetapi dia masih tersenyum ketika mengangkat kepala
memandang. "Kenapa tidak kau lanjutkan, Eng-moi? Pukullah, hajar dan siksalah aku, bunuhlah kalau hal
itu akan dapat meredakan kemarahanmu."
"Kenapa... kenapa engkau tidak melawan? Tidak mengelak atau menangkis?!” Bentak Eng Eng.
"Untuk apa? Aku rela mati di tanganmu kalau engkau menghendaki itu, Eng-moi. Hanya kuminta, sebelum
engkau membunuhku, dengarlah dulu keteranganku..."
"Huh, keterangan bohong! Penuh tipuan!"
"Andai kata benar aku berbohong sekali pun, kumohon padamu, lebih dahulu dengarlah kebohonganku
sebelum engkau membunuhku. Setelah aku memberi keterangan, nah, engkau boleh percaya atau tidak,
boleh membunuhku atau tidak, terserah padamu."
"Bohong! Kau penipu! Ahh, untuk kebohongan itu saja, aku dapat membunuhmu seratus kali!"
Dan kini Eng Eng kembali menampar, menendang dan menampar lagi sampai Cia Sun terguling-guling dan
tidak mampu bergerak lagi. Pingsan! Pada waktu Eng Eng hendak memberi pukulan terakhir, ia teringat
akan niat semula, yaitu membunuh pemuda itu di depan makam ibunya, maka ia pun menahan diri.
"Biar aku bersabar sampai besok. Engkau pasti akan mampus di depan makam ibuku, bedebah!" katanya.
Dia pun duduk di bawah pohon untuk bersemedhi. Akan tetapi, semedhinya tak pernah berhasil. Ia bahkan
amat gelisah dan beberapa kali mendekati Cia Sun, untuk mendapat kepastian bahwa pemuda itu belum
tewas.
Malam terganti pagi. Pagi yang amat indah. Sinar matahari pagi agaknya telah mengusir semua kegelapan,
kegelapan alam yang berpengaruh terhadap keadaan hati tiap insan. Sinar matahari mendatangkan
kehidupan. Burung-burung berkicau, sibuk menyiapkan diri untuk bekerja. Ayam jantan berkeruyuk saling
sahut. Semua nampak cerah gembira, bahkan daun-daun nampak berseri.
Seluruh makhluk seolah-olah menyambut munculnya sinar kehidupan dengan puja-puji kepada Yang Maha
Kasih. Sang Maha Pencipta melalui keharuman, melalui keindahan, melalui suara. Keharuman rumput dan
tanah basah, daun dan bunga, keharuman udara itu sendiri.
Eng Eng juga terpengaruh oleh semua keindahan itu. Sekarang hatinya terasa ringan dan perasaan
marahnya tidak terasa lagi olehnya. Namun, ketika ia menengok ke arah Pangeran Cia Sun, ia teringat
segalanya dan ia pun segera bangkit menghampiri.
Cia Sun sudah siuman, namun seluruh tubuhnya masih terasa nyeri. Melihat gadis itu menghampiri, dia
pun bangkit duduk, memandang kepada gadis itu dengan senyum sedih! Senyum itu seperti pisau
menusuk kalbu bagi Eng Eng.
"Eng-moi, kenapa bekerja kepalang tanggung? Mengapa engkau tidak membunuh aku semalam?" tanya
Cia Sun.
Eng Eng hampir tidak percaya. Pemuda bangsawan ini masih bersikap demikian manis kepadanya. Bukan,
bukan sikap yang terdorong rasa takut, namun sikap yang demikian wajar. Masih tersenyum, dan pandang
dunia-kangouw.blogspot.com
mata kepadanya itu demikian lembut dan mesra, jelas nampak sinar kasih sayang di dalamnya. Padahal,
dia sudah menyiksanya sampai pingsan, bahkan nyaris membunuhnya!
"Aku akan membunuhmu di depan makam ibuku!" katanya singkat.
"Eng-moi, arwah ibumu akan berduka jika engkau melakukan itu. Aku bukan pembunuh ibumu, aku bahkan
berusaha berusaha menyelamatkannya, dan ia meninggal dunia di dalam rangkulanku."
"Bohong!!"
"Eng-moi, untuk apa pula aku berbohong? Aku tidak takut mati, bahkan aku tidak akan penasaran mati di
tanganmu. Aku hanya tidak ingin melihat engkau salah tindakan dan menyesal di kemudian hari. aku hanya
ingin supaya engkau mengetahui dengan betul siapa sebetulnya dirimu. Aku telah mengetahui rahasia
besar tentang dirimu, Eng-moi, dan aku akan menceritakan semua itu, kalau engkau bersedia
mendengarkan. Memang semua akan kedengaran sangat aneh bagimu, dan mungkin engkau akan
menganggap aku berbohong, akan tetapi demi Tuhan, aku tidak berbohong."
Agaknya sinar matahari memang berpengaruh besar terhadap hati manusia, setidaknya terhadap Eng Eng.
Gadis itu merasa agak tenang dan ia bisa melihat kenyataan bahwa tidak ada ruginya mendengarkan apa
yang akan diceritakan oleh pemuda itu. Bohong atau tidak, pemuda itu memang berhak untuk membela
diri.
Dan melihat wajah yang tampan dan yang tadinya amat disayangnya itu agak bengkak-bengkak oleh
tamparannya semalam, timbul juga perasaan iba di dalam hatinya.
"Bicaralah, tapi aku tetap tak akan percaya padamu," katanya dengan sikap ketus yang dipaksakan.
Eng Eng bahkan tidak menatap langsung wajah yang bengkak-bengkak itu. Dia merasa tidak enak,
mengingatkan ia betapa ia telah bertindak kejam terhadap satu-satunya pria di dunia ini yang dicintanya.
Lega rasa hati Cia Sun. Dia sama sekali tidak akan menyesal kalau dia dibunuh wanita yang dicintanya ini,
hanya dia akan merasa menyesal karena perbuatan itu merupakan suatu perbuatan yang berdosa bagi
Eng Eng. Dia tidak ingin melihat kekasihnya ini menjadi seorang yang jahat.
"Eng-moi, setelah engkau membebaskan aku, aku lalu cepat pulang ke kota raja. Akan tetapi, setelah tiba
di sana, aku mendengar bahwa Panglima Ciong memimpin pasukan untuk menyerbu Pao-beng-pai. Aku
terkejut dan cepat aku kembali lagi ke sana untuk menyusul pasukan itu karena aku mengkhawatirkan
keselamatanmu dan keselamatan ibumu. Namun aku terlambat. Setelah tiba di Ban-kwi-kok, pasukan telah
menyerbu ke perkampungan Pao-beng-pai..."
"Tanpa adanya penunjuk jalan, tidak mungkin pasukan akan mudah memasuki daerah Pao-beng-pai yang
dipasangi banyak jebakan rahasia!" Eng Eng memotong dan kini sepasang matanya mengamati wajah
pemuda itu penuh selidik dan hatinya menuduh bahwa tentu pemuda itu yang menjadi penunjuk jalan.
"Dugaanmu memang benar, Eng-moi. Hal ini pun kuketahui kemudian dari perwira yang memimpin
penyerbuan itu. Memang ada penunjuk jalan yang memungkinkan pasukan itu dapat menyerbu dengan
mudah..."
"Engkaulah penunjuk jalan itu!" bentak Eng Eng.
Cia Sun tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Bukan, Eng-moi, bukan aku. Penunjuk jalan itu adalah
seorang gadis, murid Pao-beng-pai sendiri, bernama Tio Sui Lan..."
"Bohong! Tidak mungkin...!" teriak Eng Eng.
Akan tetapi teriakan mulutnya ini tidak sesuai dengan perasaan hatinya yang menjadi bimbang. Setelah
apa yang dilakukan Siangkoan Kok terhadap Sui Lan, memaksanya menjadi isteri dan memperkosanya,
bukan hal yang tidak mungkin kalau Sui Lan lalu berkhianat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pula, Sui Lan tentu saja mengenal semua jalan rahasia naik ke sarang Pao-beng-pai, sedangkan Cia Sun
tidak akan mengetahui banyak tentang jebakan-jebakan itu. Kalau Sui Lan yang menjadi penunjuk jalan,
tentu saja pasukan itu akan dapat menyerbu naik dengan mudah.
"Engkau mau percaya atau tidak, terserah kepadamu, Eng-moi. Aku hanya mendengar keterangan para
perwira. Ketika pasukan tiba di kaki bukit dan mulai mendaki, tiba-tiba muncul gadis itu yang kemudian
menawarkan diri menjadi penunjuk jalan. Saat pasukan menyerbu, Siangkoan Kok sedang berkelahi
dengan isterinya dan ibumu telah terdesak. Gadis yang mengkhianati gurunya itu kemudian menyerang
Siangkoan Kok, akan tetapi dengan mudah ia dirobohkan dan tewas di tangan gurunya sendiri!"
"Tapi ibuku...! Tentu ia terbunuh oleh pasukan pemerintah!" kata Eng Eng, mulai tertarik karena apa yang
diceritakan Cia Sun itu agaknya memang masuk akal. Ia sudah melihat mayat Sui Lan dan luka yang
mengakibatkan kematiannya memang luka beracun yang dikenalnya sebagai racun dari pedang Siangkoan
Kok!
Dengan sikap tenang Cia Sun menggeleng kepala. Kini senyumnya menghilang dan dia mengerutkan
alisnya, mengenang kembali peristiwa menyedihkan itu.
"Sudah kuceritakan tadi, ketika pasukan menyerbu, aku cepat ikut di barisan depan karena aku ingin
mencegah agar engkau dan ibumu tidak sampai ikut diserang. Ketika kami tiba di sana, kami melihat ibumu
berkelahi dengan ayahmu dan ibumu lalu roboh tertendang ayahmu. Aku cepat mencegah ketika pasukan
hendak menyerang ibumu yang sudah roboh, dan memerintahkan mereka mengejar ayahmu yang
melarikan diri. Aku kemudian memondong tubuh ibumu yang pingsan dan ternyata ia telah menderita lukaluka
parah, tentu ketika berkelahi melawan ayahmu…." Cia Sun berhenti sebentar untuk mengamati wajah
Eng Eng dan melihat bagaimana tanggapan dan sikap gadis itu terhadap ceritanya.
"Terus, lalu bagaimana?" Eng Eng mulai tertarik dan pada saat seperti itu, ia lupa akan kemarahan dan
kebenciannya terhadap Cia Sun.
"Aku membawa ibumu ke dalam rumah, kemudian kurebahkan di bangku panjang. Aku telah mencoba
untuk merawatnya, akan tetapi sia-sia. Ibumu hanya siuman untuk bicara sedikit kepadaku, meninggalkan
pesan-pesan dan akhirnya dia meninggal dunia dalam rangkulanku."
"Ibuku..., bagaimana aku bisa mempercayaimu? Engkau berbohong. Pada saat engkau merayuku, engkau
hanya pura-pura..."
"Tidak, Eng-moi. Langit dan Bumi menjadi saksi bahwa aku sungguh mencintamu, sejak pertama kali kita
bertemu, sampai sekarang..."
"Bohong! Pendusta!" Eng Eng kembali marah karena ia ingat akan percakapan antara pemuda ini dan
orang tuanya, tentang pengakuan Cia Sun kepada ayah ibunya bahwa pemuda itu telah mencinta seorang
gadis lain.
"Eng-moi, mengapa engkau tidak percaya kepadaku dan menuduhku berbohong?" Cia Sun bertanya.
Dia merasa kepalanya pening sekali, bumi seperti berputaran. Itu adalah akibat racun dari jarum Eng Eng,
juga karena dia mengalami tamparan-tamparan malam tadi. Tetapi dia mempertahankan diri agar tidak
jatuh pingsan lagi. Ia memandang gadis itu dengan sinar mata penuh permohonan.
Eng Eng melompat berdiri dan bertolak pinggang, memandang kepada pangeran itu dengan sinar mata
membakar. Makin diingat tentang percakapan keluarga pangeran itu, semakin panaslah hatinya.
"Bagaimana aku dapat percaya omongan perayu busuk macam engkau? Engkau telah mencinta seorang
gadis yang lain dan masih engkau berani mengatakan bahwa engkau mencintaku?"
Biar pun kepalanya sudah pening sekali, akan tetapi mendengar ucapan itu, Cia Sun membelalakkan
matanya dan berkata dengan suara mengandung penasaran. "Sekali ini, engkau yang berbohong, Engmoi!
Aku tidak pernah dan tidak akan mencinta gadis lain kecuali engkau seorang!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Pendusta besar! Kedua telingaku sendiri mendengar pengakuanmu kepada ayah dan ibumu bahwa
engkau mencinta gadis lain yang bernama Sim Hui Eng! Hayo sangkal kalau engkau berani! Kuhancurkan
mulutmu kalau engkau berdusta!"
Cia Sun mencoba untuk tersenyum, akan tetapi karena rasa nyeri berdenyut-denyut di kepalanya,
membuat kepalanya seperti akan pecah rasanya, senyumnya menjadi pahit sekali.
"Aku tidak berdusta, Eng-moi. Memang benarlah, aku mencinta Sim Hui Eng, semenjak pertama kali jumpa
sampai sekarang dan aku akan tetap mencintanya karena Sim Hui Eng adalah engkau sendiri, Eng-moi...
ahhh..." Cia Sun tidak dapat menahan lagi rasa nyeri di dada dan kepalanya. Dia pingsan lagi.
Cia Sun tidak tahu betapa Eng Eng memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Sampai lama Eng Eng mengamati wajah Cia Sun, pandang matanya meragu.
Ia bernama Sim Hui Eng? Apa pula artinya ini? Benarkah semua yang diceritakan Cia Sun? Dia harus tahu
apa artinya semua itu. Cia Sun mengaku kepada orang tuanya bahwa dia hanya mencinta gadis yang
bernama Sim Hui Eng, dan kini dia menjelaskan bahwa Sim Hui Eng adalah ia sendiri! Bagaimana pula ini?
Namanya seperti dikenal Cia Sun adalah Siangkoan Eng. Kemudian karena ibunya membuka rahasia
bahwa ia bukan puteri kandung Siangkoan Kok, ia pun tidak sudi lagi memakai nama keluarga Siangkoan,
lebih memilih marga ibunya, yaitu Lauw. Dan kini, tiba-tiba saja Pangeran Cia Sun mengatakan bahwa ia
she Sim, dan nama lengkapnya Hui Eng!
Jangan-jangan pangeran ini tidak bohong dan sudah mengenal ayah kandungnya. Ayah kandungnya!
Ibunya amat membenci ayah kandungnya. Benarkah ayah kandungnya she Sim? Benarkah semua cerita
Cia Sun? Sayang bahwa pemuda ini keburu jatuh pingsan sehingga tidak dapat melanjutkan
keterangannya.
Eng Eng berlutut di dekat tubuh Cia Sun. Hatinya sempat berdegup ketika dia berada begitu dekat dengan
pangeran itu, dan keharuan mulai menggigit perasaannya ketika ia melihat wajah yang tampan itu
bengkak-bengkak. Ia cepat mengeluarkan sebutir pil, lalu menggunakan bekal air minumnya untuk
memasukkan pil itu ke dalam mulut Cia Sun yang dibukanya dengan penekanan kepada rahang pemuda
itu.
Pil itu sukar ditelan, maka terpaksa dia mendekatkan mulutnya dan meniup ke dalam mulut pemuda itu
sehingga pil itu dapat tertelan karena ia telah menotok beberapa jalan darah, membuat pemuda itu hanya
setengah pingsan. Kemudian ia mengurut sana sini, mengobati luka-luka memar itu dengan semacam obat
gosok yang selalu dibawanya sebagai bekal. Lalu, ia menempelkan tangan kirinya ke dada pemuda itu,
menyalurkan sinkang untuk membantu pemuda itu terbebas dari luka di sebelah dalam tubuhnya.
Akhirnya Cia Sun membuka matanya dan dia tersenyum melihat gadis itu bersimpuh di dekatnya sedang
menempelkan telapak tangan ke dadanya. Terasa betapa lembutnya telapak tangan yang mengeluarkan
hawa panas itu.
"Ah, Eng-moi, engkau masih mau mengobati dan menolongku? Terima kasih..." katanya lembut dan wajah
yang kini hanya tinggal membiru karena bengkaknya sudah hilang itu tersenyum!
Senyum itulah yang menikam jantung Eng Eng. Kalau pangeran itu marah-marah dan memaki-makinya,
kiranya hatinya tak akan sesakit itu. Sejak ditangkapnya tadi, sampai disiksanya, pangeran itu tidak pernah
marah, bahkan selalu berbicara lembut, pandang matanya penuh kasih dan mulutnya tersenyum.
"Aku mengobatimu hanya supaya engkau tidak mampus sekarang," katanya, suaranya diketus-ketuskan.
"Hayo katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu tadi bahwa aku bernama Sim Hui Eng! Jangan
mempermainkan aku kalau kau tidak ingin kusiksa lebih berat lagi!"
"Sejak tadi aku tidak pernah mempermainkanmu, tak pernah berdusta, Eng-moi. Engkau yang kurang
sabar mendengarkan keteranganku. Nah, sekarang aku lanjutkan ceritaku tadi. Sebelum ibumu meninggal
dunia dalam rangkulanku, ia sempat menceritakan satu rahasia yang amat mengejutkan hatiku, juga tentu
akan mengejutkan hatimu sehingga mungkin engkau semakin tak percaya kepadaku. Nah, sekarang sudah
siapkah engkau mendengarkan ceritaku tentang pengakuan ibumu?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Eng Eng merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kini ia hampir yakin bahwa pangeran ini
tidak pernah berbohong kepadanya! Tidak pernah berbohong dan ia sudah menculiknya, menyiksanya dan
bahkan nyaris membunuhnya. Kemungkinan ini membuat darahnya berdesir meninggalkan mukanya,
membuat wajahnya menjadi pucat sekali.
"Ceritakan semua!" perintahnya.
"Rahasia yang dibuka oleh bibi Lauw Cu Si ini seluruhnya mengenai dirimu, Eng-moi. Pertama-tama,
engkau bukanlah anak kandung Siangkoan Kok ketua Pao-beng-pai!"
Cia Sun mengira bahwa gadis itu akan terkejut sekali mendengar ini. Akan tetapi dia kecelik. Gadis itu
sedikit pun tidak kelihatan kaget atau heran, bahkan mulutnya seperti membentuk senyum mengejek.
"Aku sudah tahu. Dia adalah ayah tiriku," katanya pendek.
Cia Sun menggeleng kepalanya. "Bukan, Eng-moi. Sama sekali bukan ayah tirimu. Dia bukan apa-apamu."
Eng Eng terbelalak. "Apa... apa maksudmu? Aku dibawa ibu ketika masih kecil, berusia dua tiga tahun
ketika ibuku menikah dengan Siangkoan Kok! Kenapa kau katakan dia bukan ayah tiriku?"
"Inilah rahasia besar yang dibuka ibumu kepadaku, Eng-moi. Memang benar ketika bibi Lauw Cu Si itu
menikah dengan Siangkoan Kok, dia membawa seorang anak kecil dan anak itu adalah engkau, Eng-moi.
Akan tetapi, engkau bukan anak kandung bibi Lauw Cu Si!"
"Ehhh...?!!" Eng Eng berseru setengah menjerit. "Apa… apa maksudmu...?!" Tangan gadis itu menangkap
lengan Cia Sun kemudian mencengkeramnya, seluruh tubuhnya gemetar dan wajahnya semakin pucat.
"Aku mendengar dari Nyonya Siangkoan Kok, yaitu bibi Lauw Cu Si, Eng-moi. Agaknya karena tahu bahwa
dia akan tewas, maka dia membuka rahasia itu kepadaku. Engkau bukan anak kandungnya, engkau telah
dia culik dari orang tuamu ketika engkau masih kecil, kemudian diakui sebagai anaknya sendiri."
"Tapi... tidak mungkin! Apa buktinya? Bagaimana aku dapat mengetahui benar tidaknya ceritamu ini?"
"Sabar dan tenanglah, Eng-moi. Aku pun tadinya terkejut dan kalau bukan bibi Lauw Cu Si sendiri yang
bercerita, aku pun pasti tidak akan percaya. Akan tetapi, aku lalu teringat kepada Yo-toako! Engkau ingat
Sin-ciang Taihiap Yo Han?"
Eng Eng mengerutkan alisnya. Tentu saja dia teringat kepada pendekar yang amat lihai itu. "Apa
hubungannya dia dengan ceritamu itu?"
"Eng-moi, masih ingatkah engkau akan pengakuan Yo-toako bahwa dia sedang mencari seorang gadis
yang diculik orang semenjak kecil? Gadis itu bernama Sim Hui Eng dan Yo-toako bertugas untuk
mencarinya. Bahkan dia kemudian ditipu Siangkoan Kok yang menyuruh mendiang Tio Sui Lan untuk
memancingnya ke dalam goa lalu menjebak dan menangkapnya. Nah, gadis yang dicari-carinya itu adalah
engkau, Eng-moi. Engkaulah gadis yang ketika kecil diculik itu, dan penculiknya adalah bibi Lauw Cu Si
yang selama ini kau anggap sebagai ibumu sendiri."
Eng Eng masih terbelalak dan seperti berubah menjadi patung. Tentu saja dia masih diombang-ambingkan
kebimbangan.
"Tapi... tapi apa buktinya bahwa... ibuku meninggalkan pesan itu kepadamu, dan apa buktinya bahwa aku
benar-benar gadis yang bernama Sim Hui Eng itu? Tanpa bukti, bagaimana mungkin aku dapat
mempercayai ceritamu?"
Cia Sun menghela napas panjang. "Tentu saja aku tidak dapat membuktikan bahwa mendiang bibi Lauw
Cu Si membuka rahasia itu kepadaku, juga ketika kami bicara, tidak ada seorang pun saksinya. Dan dia
sudah meninggal dunia, jadi tidak mungkin lagi ditanyai. Akan tetapi, aku mempunyai suatu tanda rahasia
yang ada pada dirimu, seperti yang diceritakan Yo-toako kepadaku. Ketika Yo-toako menerima tugas
mencari anak yang hilang diculik itu, orang tua anak itu memberi tahukan kepadanya adanya dua tanda
rahasia di badan anak itu yang merupakan ciri-ciri khas atau tanda sejak lahir. Jika aku katakan tandadunia-
kangouw.blogspot.com
tanda itu dan kemudian ternyata cocok dengan keadaan dirimu, apakah engkau masih akan menganggap
aku pendusta yang patut kau siksa dan kau bunuh di depan makam bibi Lauw Cu Si?"
Tentu saja Eng Eng menjadi sangat bingung dan salah tingkah. Ia merasa ngeri kalau membayangkan
bahwa pangeran itu benar dan sama sekali tidak berdusta, sama sekali tidak menipunya, dan ia telah
menyiksanya seperti itu!
"Katakanlah, tanda-tanda apa yang terdapat pada anak yang diculik itu?" tanyanya, suaranya jelas
terdengar gemetar.
"Yo-toako hanya berpegang pada tanda-tanda itu saja untuk mencari anak yang hilang terculik itu, maka
tentu saja amat sukar karena tanda-tanda itu terdapat di bagian tubuh yang selalu tertutup..."
"Katakan cepat, tanda-tanda apa itu?" tanya Eng Eng dengan suara nyaring karena ia sudah tidak sabar
sekali.
"Pertama, anak itu mempunyai sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya, dan ke dua, ia pun mempunyai
sebuah noda merah sebesar ibu jari kaki di telapak kaki kanannya."
Eng Eng meloncat ke belakang. Matanya terbelalak dan seluruh tubuhnya menggigil…..
Melihat ini, Cia Sun menguatkan tubuhnya dan bangkit berdiri, menghampiri dengan pandang mata
khawatir.
"Kenapa, Eng-moi... dan be... benarkah ada tanda-tanda itu pada dirimu...? Benarkah bahwa engkau ini
Sim Hui Eng?" Suara pangeran itu juga gemetar karena dia merasa tegang, khawatir kalau-kalau gadis ini
bukan Sim Hui Eng seperti yang disangkanya.
Sampai lama Eng Eng tidak mampu bicara. Mukanya yang pucat kelihatan seperti mau menangis dan
ketika ia bertanya, suaranya hampir tidak dapat didengar, "Bagaimana... perasaanmu terhadap aku kalau
aku tidak mempunyai tanda-tanda itu, kalau aku bukan Sim Hui Eng?"
"Eng-moi, masihkah engkau meragukan cintaku kepadamu? Ketika aku jatuh cinta dan meminangmu,
engkau adalah puteri ketua Pao-beng-pai, bukan? Engkau tetap engkau bagiku, satu-satunya gadis yang
kucinta, baik engkau mempunyai tanda atau tidak, baik engkau puteri Siangkoan Kok atau bukan, atau
puteri siapa pun juga. Aku tetap cinta padamu, Eng-moi, biar engkau akan membunuhku sekali pun. Tapi...
untuk meyakinkan, benarkah engkau memiliki tanda-tanda itu?"
Tiba-tiba Eng Eng menjatuhkan diri berlutut kemudian menangis terisak-isak. Tentu saja pangeran itu
terkejut dan khawatir, lalu dia pun berlutut di depan gadis itu.
"Eng-moi, kenapa, Eng-moi...? Ahhh, maafkan jika aku sudah membuat hatimu berduka, Eng-moi. Lebih
baik aku melihat engkau marah-marah kepadaku seperti tadi dari pada melihat engkau bersedih seperti ini,
Eng-moi."
Ucapan itu membuat Eng Eng semakin mengguguk. Cia Sun merasa hatinya bagaikan ditusuk-tusuk
melihat keadaan kekasihnya itu dan dia pun menyentuh pundak gadis itu dengan lembut.
"Eng-moi, ada apakah...?"
Akhirnya Eng Eng dapat bicara tanpa menurunkan kedua tangannya dari muka, dan air mata mengalir
melalui celah-celah jari kedua tangannya.
"Kau... kau lihat sendiri... apakah... ada tanda-tanda itu..."
Ia lalu menyingkap baju di bagian pundak kiri dan melepas sepatu serta kaos kakinya yang kanan. Cia Sun
memandang pundak yang berkulit putih mulus itu dan di sana, jelas sekali nampak sebuah titik hitam,
sebuah tahi lalat. Dan pada telapak kaki yang putih kemerahan itu nampak pula noda merah.
"Kau... kau benar-benar Sim Hui Eng...!" serunya seperti bersorak gembira.
dunia-kangouw.blogspot.com
Eng Eng kini merangkul ke arah kaki Cia Sun, "Pangeran..., ampunkan aku... aku telah berbuat kejam dan
tidak adil padamu... aku... aku layak kau pukul. Balaslah, Pangeran, pukullah aku, siksalah aku, bunuhlah
aku... huuu-huhuuuuu...!"
Gadis itu tersedu-sedu, menangis dengan perasaan menyesal, malu, dan juga marah terhadap dirinya
sendiri dan sangat iba kepada pria yang dicintanya namun yang telah disiksanya tanpa salah itu. Bahkan
pangeran itu telah mencegah pasukan membunuh Lauw Cu Si sehingga ia merupakan satu-satunya orang
yang telah menemukan rahasia dirinya.
Pangeran ini telah berjasa kepadanya. Sebaliknya, ia menuduhnya sebagai pembunuh. Ia telah
menyiksanya dengan kata-kata, dengan perbuatan. Ingin ia menciumi sepatu pangeran itu untuk
menyatakan penyesalannya.
Melihat betapa gadis yang dicintanya itu merangkul kakinya dan mencium sepatunya, Cia Sun cepat-cepat
merangkul, menarik dan mendekap kepala itu, seolah-olah hendak membenamkannya ke dadanya untuk
disimpan di dalam dada dan tak akan dilepaskan lagi selamanya. Dia sendiri pun membenamkan mukanya
yang basah air mata ke dalam rambut itu.
Sampai beberapa lamanya mereka berpelukan dan bertangisan. Beberapa kali Eng Eng mengusap dan
membelai muka yang masih ada bekas-bekas tamparan tangannya itu dengan jari-jari gemetar.
Setelah gelora keharuan hati mereka mereda, Cia Sun membiarkan Eng Eng duduk bersandar di dadanya.
Dia membelai rambut yang kusut itu dan berbisik, "Sudahlah, Eng-moi, sudah cukup engkau menyesali diri.
Aku tidak akan menyalahkanmu. Memang batinmu mengalami guncangan yang hebat. Akhirnya semua
kegelapan lewat dan kini kita berdua tinggal menyongsong sinar kebahagiaan."
"Pangeran..."
Cia Sun menghentikan kata-kata itu dengan sentuhan bibirnya pada bibir Eng Eng. "Hushhh..., kalau kau
menyebutku pangeran, lalu apa bedanya dengan seluruh wanita yang menjadi kawula dan menyebutku
seperti itu. Engkau adalah calon isteriku, engkau tunanganku, engkau kekasihku, ingat?"
Eng Eng tersipu, akan tetapi tersenyum penuh bahagia. "Kakanda... Cia Sun..." Betapa merdunya
panggilan itu.
"Adinda Hui Eng..." Sang pangeran berbisik dan sebutan nama yang terdengar asing baginya itu
mengingatkan Eng Eng akan keadaan dirinya.
"Kakanda Pangeran, dengan hati berdebar penuh ketegangan, sekarang aku menunggu engkau memberi
tahu kepadaku, siapa sebenarnya orang tuaku? Apakah ayah ibuku masih hidup?"
"Engkau akan terkejut, berbahagia dan bangga sekali jika mendengar siapa ayah ibumu, Eng-moi. Pada
saat engkau masih kuanggap sebagai puteri Siangkoan Kok, aku sudah kagum dan cinta padamu. Ketika
aku mendengar dari bibi Lauw Cu Si siapa ayah dan ibumu, kekagumanku padamu bertambah-tambah.
Ketahuilah bahwa ayahmu bernama Sim Houw dan ibumu bernama Can Bi Lan. Ehhh, kenapa kau, Engmoi
(adinda Eng)?"
Mendengar disebutnya kedua nama itu sebagai ayah ibunya, Eng Eng sudah meloncat berdiri sehingga
terlepas dari rangkulan pangeran itu. Ia berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Ayahku... Pendekar Suling Naga dan ibuku Si Setan Kecil...! Aihhhh... Kakanda... sekali ini celakalah
aku..."
Cia Sun cepat bangkit dan merangkul gadis itu. "Tenanglah, Moi-moi, kenapa engkau berkata begitu?
Bukankah sepatutnya engkau berbangga? Ayah ibumu adalah suami isteri pendekar yang sakti dan nama
mereka terkenal sekali di dunia persilatan!"
"Aihh, engkau tidak tahu, Koko! Ahh, betapa malunya aku berhadapan dengan mereka. Ketahuilah, aku
pernah mewakili Pao-beng-pai mendatangi tiga keluarga besar para pendekar itu dan menantang mereka
mengadu kepandaian. Bahkan dalam peristiwa itu, Siauw-kwi Can Bi Lan, ibu kandungku itu maju untuk
menandingiku. Akan tetapi aku, si tinggi hati tak tahu diri ini, aku bahkan menghinanya dan menantang
dunia-kangouw.blogspot.com
Pendekar Suling Naga, ayahku sendiri untuk maju menandingiku! Aku telah bersikap sangat angkuh dan
menghina tiga keluarga besar, dan ternyata Pendekar Suling Naga itu adalah ayahku sendiri. Bagaimana
aku dapat berhadapan dengan mereka, Koko?" Dalam rangkulan Cia Sun, seluruh tubuh Eng Eng gemetar
seperti orang terserang demam.
"Jangan risaukan hal itu, Eng-moi. Engkau tidak dapat disalahkan. Ketika itu engkau mewakili Pao-bengpai
maka tentu saja engkau menganggap para pendekar itu sebagai musuh. Apa lagi engkau hanya
melaksanakan tugas, karena pada waktu itu engkau menganggap bahwa kau adalah puteri ketua Paobeng-
pai. Dan aku mengerti mengapa engkau mendapat tugas itu. Mungkin bibi Lauw Cu Si yang kau
angap sebagai ibumu itulah yang mempunyai peran penting, sengaja membujuk Siangkoan Kok agar
engkau melakukan penghinaan terhadap keluarga besar para pendekar itu."
Gadis itu menatap wajah Cia Sun. "Ehhh, kenapa begitu?"
"Aku sudah melakukan penyelidikan dan mengetahui siapa sebetulnya mendiang bibi Lauw Cu Si itu. Ia
adalah seorang keturunan pimpinan Beng-kauw yang telah hancur. Karena ia seorang tokoh sesat, tentu
saja ia memusuhi keluarga besar dari Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Siluman. Itu pula yang
menyebabkan ia menculikmu, yaitu untuk membalas dendam terhadap Pendekar Suling Naga dan isterinya
yang terkenal sebagai pendekar-pendekar yang menentang golongan sesat. Dengan mengadu dirimu
melawan keluarga pendekar itu, melawan golongan orang tuamu sendiri, agaknya bibi Lauw Cu Si
menemukan kepuasan tersendiri."
"Akan tetapi, Koko. Kalau orang tuaku itu Pendekar Suling Naga dan isterinya yang merupakan sepasang
suami isteri pendekar yang sakti, mengapa aku sampai dapat terculik? Dan kenapa pula mereka tidak
mencari si penculik dan merampasku kembali?"
"Pertanyaan seperti itu juga kuajukan kepada Yo-toako ketika kami membicarakan anak hilang itu. Menurut
keterangan Yo-toako, Pendekar Suling Naga dan isterinya sudah sejak kehilangan puteri mereka itu
berusaha sampai bertahun-tahun untuk menemukan anak mereka kembali. Akan tetapi semua usaha itu
sia-sia belaka. Agaknya si penculik, yaitu bibi Lauw Cu Si, dengan cerdik sekali sudah menghilang, yaitu
menjadi isteri Siangkoan Kok sehingga tidak seorang pun mengira bahwa engkau adalah anak yang diculik
itu. Semua orang, bahkan Siangkoan Kok sendiri, menganggap engkau adalah puteri bibi Lauw Cu Si."
Eng Eng mengangguk-angguk, semua rasa penasarannya hilang. Akan tetapi tetap saja ia mengerutkan
alisnya. Jika saja ia mendengar bahwa ayah ibunya adalah orang-orang biasa, bahkan petani miskin sekali
pun, dia tentu akan berbahagia sekali dan merasa rindu untuk segera dapat bertemu dengan orang tuanya
yang asli.
Akan tetapi, Pendekar Suling Naga?! Semua pengalamannya ketika dia menantang tiga keluarga besar itu
terkenang dan makin dikenang, semakin merah wajahnya karena ia merasa malu bukan main.
"Koko, aku... aku takut untuk bertemu dengan mereka, aku takut dan malu..."
Cia Sun merangkul pundaknya, dan mengajaknya menghampiri kuda mereka. Matahari telah naik tinggi
dan di jalan raya sana lalu lintas sudah mulai ramai.
"Eng-moi, buang saja semua perasaan itu. Percayalah, orang tuamu tak pernah berhenti memikirkanmu,
bahkan sekarang pun masih minta bantuan Yo-toako untuk mencarimu. Mereka tentu akan berbahagia
sekali kalau dapat menemukan anak mereka kembali. Dan mengenai kemunculanmu tempo hari, mereka
tentu akan dapat mengerti. Jangan khawatir, akulah yang akan menemanimu ke sana menghadap mereka,
dan aku yang tanggung bahwa mereka tentu akan menerima dengan bahagia dan tak akan ada yang
menyesalkan tindakanmu dahulu."
"Aihh, aku merasa ngeri sekali bertemu mereka, Koko. Bagaimana kalau aku tidak usah memperlihatkan
diri saja kepada mereka? Biarlah ini menjadi rahasia kita berdua saja. Aku... aku tidak mau membuat suami
isteri pendekar itu mendapat malu besar dan nama baik mereka tercemar karena mempunyai anak seperti
aku ..."
"Hushhhhh, jangan berkata begitu, Moi-moi. Coba jawab apakah engkau mencinta aku seperti aku
mencintamu?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Apakah itu masih perlu ditanyakan lagi, Koko? Aku mencintamu, bahkan kekejamanku terhadapmu tadi
pun karena terdorong cintaku padamu, akibat hatiku panas mendengar engkau mencinta Sim Hui Eng yang
kukira gadis lain. Aku cinta padamu, Koko."
"Bagus, dan karena kita saling mencinta, apakah engkau mau menjadi isteriku?"
Gadis itu mengangguk. Sebagai puteri ketua Pao-beng-pai yang sejak kecil hidup dalam suasana
kekerasan, ia tidak canggung atau malu mengaku tentang perasaan cintanya, "Tentu saja aku mau, koko!"
"Nah, kalau begitu, karena aku seorang pangeran yang tak mungkin meninggalkan tata susila dan adatistiadat,
aku akan melamarmu dengan terhormat dan secara baik-baik. Dan untuk itu, engkau harus
mempunyai wali, mempunyai orang tua. Sekarang, mari kita pergi ke Lok-yang, ke rumah orang tuamu.
Setelah engkau diterima dengan baik, aku akan kembali ke kota raja, kemudian aku akan mengirim utusan
untuk meminangmu secara terhormat."
Gadis itu mengerutkan alis, akan tetapi begitu sinar matanya bertemu dengan pandang mata pangeran itu,
ia pun mengangguk dan menurut saja ketika digandeng ke arah dua ekor kuda mereka yang sedang
makan rumput. Tidak lama kemudian, sepasang orang muda yang berbahagia ini pun sudah melarikan
kuda, menuju ke Lok-yang.
Oleh karena Cia Sun merupakan seorang keluarga kaisar, bahkan cucu kaisar, seorang pangeran yang
pandai bergaul dan terkenal di kalangan para pejabat daerah, maka di sepanjang perjalanan itu dengan
mudah saja dia mendapatkan pelayanan yang penuh penghormatan, mendapat tempat bermalam di rumah
para kepala daerah, dijamu pesta dan dapat menukar kuda-kuda baru sehingga perjalanan ini cukup
menyenangkan bagi Eng Eng…..
********************
Yo Han mendaki lereng bukit itu. Bukit Naga. Thian-li-pang berada di lereng paling atas, dekat puncak.
Sudah hampir setengah tahun dia merantau, mencari Sim Hui Eng, puteri Pendekar Suling Naga. Namun,
usahanya sia-sia. Tak pernah dia berhasil mendengar keterangan tentang penculikan terhadap putri
pendekar sakti itu.
Dia sudah memasuki dunia kang-ouw, bahkan banyak menundukkan tokoh-tokoh sesat, hanya untuk
dimintai keterangan kalau-kalau ada yang mengetahui, siapa yang pernah menculik puteri Pendekar Suling
Naga dua puluh tahun yang lalu. Akan tetapi semua usahanya, dari bujukan halus sampai kekerasan, tidak
ada hasilnya.
Agaknya tidak ada seorang pun tahu siapa gerangan yang menculik puteri pendekar itu. Penculiknya
agaknya lihai dan cerdik bukan main sehingga setelah menculik anak itu, dia seperti menghilang ke dalam
bumi membawa anak culikannya!
Akhirnya Yo Han mengambil kesimpulan bahwa tanpa banyak tenaga pembantu, akan sukarlah
menemukan anak yang hilang itu. Dia teringat kepada Thian-li-pang. Dia telah dianggap sebagai pemimpin
besar Thian-li-pang dan anak buah Thian-li-pang adalah orang-orang yang berpengalaman dan memiliki
hubungan luas dalam dunia kang-ouw.
Mungkin para tokoh kang-ouw yang sudah ditanyainya, merasa enggan untuk membuka rahasia rekan
mereka sendiri yang melakukan penculikan, karena dia dianggap sebagai Pendekar Tangan Sakti, seorang
pendekar yang menentang kejahatan. Bila anak buah Thian-li-pang yang melakukan penyelidikan, mungkin
akan lebih mudah. Orang-orang kang-ouw tentu akan bersikap lebih terbuka di antara golongan sendiri.
Benar sekali, kenapa sejak dahulu dia tidak minta bantuan para anggota Thian-li-pang, pikirnya menyesali
diri sendiri. Paman Lauw Kang Hui tentu akan senang membantunya sehingga lebih besar harapannya
untuk dapat menemukan orang yang pernah menculik puteri Pendekar Suling Naga!
Demikianlah, pada pagi hari itu, Yo Han mendaki lereng Bukit Naga. Dia sama sekali tidak tahu bahwa di
Thian-li-pang telah terjadi perubahan yang amat besar. Tidak tahu bahwa Lauw Kang Hui dan beberapa
orang tokoh Thian-li-pang sudah tewas, terbunuh oleh Ouw Seng Bu, yang kini menjadi ketua Thian-lipang…..
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
Memang Thian-li-pang telah berubah sama sekali semenjak pimpinannya dipegang oleh Ouw Seng Bu.
Pemuda tampan yang telah menemukan ilmu silat yang amat hebat ini membiarkan para anggota Thian-lipang
berbuat apa saja dengan bebasnya. Bahkan dia menjalin hubungan lagi dengan Pek-lian-kauw dan
Pat-kwa-pai, seperti yang dahulu pernah dilakukan Thian-li-pang sebelum muncul Yo Han yang kemudian
membersihkan perkumpulan pejuang itu.
Ouw Seng Bu bahkan memiliki cita-cita untuk mempersatukan semua kelompok pejuang dengan dia yang
menjadi pemimpin besar. Kalau semua kekuatan kelompok pejuang sudah dipersatukan, baik itu dari
golongan pendekar mau pun golongan sesat, dan dia yang menjadi pemimpin besar, tentu perjuangan
untuk mengusir penjajah Mancu akan berhasil. Dan jika sudah berhasil, dia yang menjadi pemimpin besar,
tentu berhak untuk menjadi kaisar kerajaan baru! Besar sekali jangkauan cita-cita pemuda ini.
Setelah secara kebetulan bertemu dengan Cu Kim Giok di dekat Ban-kwi-kok, menolong gadis itu dari
ancaman Siangkoan Kok, dan berhasil pula menundukkan bekas ketua Pao-beng-pai yang lalu berjanji
untuk membantunya, Ouw Seng Bu mengajak, Kim Giok berkunjung ke Bukti Naga.
Kim Giok sudah mendengar tentang perkumpulan Thian-lipang yang di dunia kang-ouw (sungai telaga,
atau persilatan) dikenal sebagai sebuah perkumpulan para patriot yang berjuang untuk menggulingkan
pemerintah penjajah. Itulah sebabnya, ia merasa kagum dan tertarik sekali kepada Ouw Seng Bu, pemuda
tampan dan gagah yang mengaku sebagai ketua Thian-li-pang. Dan di sepanjang perjalanan menuju ke
Bukit Naga, Kim Giok melihat betapa sikap Seng Bu memang sangat baik. Pemuda itu pendiam, juga
sopan dan ramah terhadap dirinya.
Cu Kim Giok merupakan puteri tunggal suami isteri pendekar. Ayahnya, Cu Kun Tek, adalah pendekar
keturunan langsung dari keluarga Cu, majikan Lembah Naga Siluman. Ibunya tidak kalah lihai
dibandingkan ayahnya, karena ibunya adalah murid mendiang Bu Beng Lokai.
Sebagai anak tunggal, tentu saja Kim Giok telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya. Dan biar pun usianya
baru delapan belas tahun lebih, Kim Giok telah menjadi seorang pendekar wanita yang amat lihai.
Akan tetapi tentu saja ia kurang pengalaman karena ini merupakan yang pertama kali ia merantau seorang
diri untuk meluaskan pengalamannya. Meski pun demikian, ia sudah membawa banyak bekal nasehat dan
pesan kedua orang tuanya.
Andai kata Seng Bu bersikap ceriwis terhadapnya, terdapat kegenitan dalam pandang mata atau katakatanya
saja, tentu ia akan menjauhkan diri. Akan tetapi, sikap Seng Bu sungguh baik. Dia nampak seperti
seorang pemuda pendiam yang sopan dan berwatak pendekar sejati! Inilah sebabnya mengapa Kim Giok
merasa tertarik sekali, kagum dan merasa suka.
Rasa kagumnya semakin bertambah ketika Kim Giok dan Seng Bu tiba di Bukit Naga, di pusat
perkampungan Thian-li-pang. Para anggota Thian-li-pang rata-rata terlihat gagah perkasa dengan pakaian
yang rapi serta bersih, baik prianya mau pun wanitanya, dan mereka semua menyambut kedatangan Seng
Bu dengan sikap yang amat menghormat!
Masih begitu muda, akan tetapi telah menjadi ketua sebuah perkumpulan pejuang yang terkenal gagah
perkasa. Dan melihat perkampungan Thian-li-pang itu, Kim Giok dapat menaksir bahwa anggota
perkumpulan itu tidak kurang dari seratus orang banyaknya.
Akan tetapi, hati gadis itu merasa penasaran ketika pada keesokan harinya ia melihat lima orang tamu
yang datang menghadap ketua Thian-li-pang. Dua orang di antara tamu-tamu itu adalah dua orang tosu
(pendeta) berambut panjang yang pada baju di dadanya ada lukisan teratai putih. Orang-orang Pek-liankauw
(Agama Teratai Putih)! Ada lagi tiga orang pendeta lainnya mengenakan gambar pat-kwa (segi
delapan) pada dadanya. Ia pernah mendengar akan nama perkumpulan pemberontak yang namanya tidak
bersih di dunia kang-ouw sebab para anggotanya tidak pantang melakukan segala macam kejahatan!
Setelah kelima orang tamu itu meninggalkan perkampungan Thian-li-pang, barulah Kim Giok
memberanikan diri menemui ketua Thian-li-pang untuk melampiaskan penasaran dalam hatinya. Ia melihat
pemuda itu sedang duduk di ruangan rapat yang luas, sedang memberi perintah kepada belasan orang
pembantunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat ini, Kim Giok yang sudah sampai di ambang pintu, mundur kembali. Akan tetapi Seng Bu telah
melihatnya dan ketua ini berseru dengan ramah.
"Nona Cu, masuk sajalah. Di antara kita orang sendiri tidak ada rahasia. Masuk dan silakan duduk."
Setelah gadis itu memasuki ruangan dan mengambil tempat duduk di sudut, agak jauh dari mereka yang
sedang melakukan perundingan, Seng Bu melanjutkan, "Harap suka menunggu sebentar, Nona,
pembicaraan kami sudah hampir selesai."
Kim Giok mengangguk dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka. Akan tetapi Seng Bu tidak melirihkan
suaranya saat pemuda itu melanjutkan pengarahannya kepada para pembantunya.
"Kalian sudah tahu akan tugas-tugas kalian? Terserah kalian membagi tugas, tapi kalian harus ingat apa
yang terpenting dalam tugas kalian. Yang pertama menghubungi semua kelompok pejuang, membujuk
mereka agar suka bekerja sama dengan mengemukakan alasan seperti yang sudah kujelaskan tadi. Kalau
ada yang tidak bersedia bekerja sama, kalian selidiki keadaan mereka, siapa para pemimpinnya dan
sampai di mana tingkat kepandaian mereka agar aku bisa segera mengambil tindakan. Dan ke dua, selidiki
pula kelemahan-kelemahan yang ada di dalam keluarga kaisar, terutama orang-orang yang dekat
hubungannya dengan kaisar. Sudah mengerti semua?"
Belasan orang itu menyatakan bahwa mereka sudah mengerti, dan Seng Bu kemudian mempersilakan
mereka keluar. Sikap pemuda itu demikian tegas dan berwibawa hingga Kim Giok yang ikut mendengarkan
merasa kagum sekali.
Setelah belasan orang pembantunya keluar, Seng Bu menghampiri Kim Giok dan duduk berhadapan
dengan gadis itu. Sikapnya seperti biasa, amat sopan dan ramah, sangat menghormati gadis yang
dianggap sebagai seorang tamu agung di Thian-li-pang.
"Nona Cu, selamat pagi. Maafkan, bahwa tadi aku meninggalkanmu seorang diri karena kesibukanku
menerima tamu malam tadi dan memberi tugas kepada para pembantuku. Apakah semalam Nona enak
tidur, dan apakah pelayanan kepada Nona tidak ada yang mengecewakan?"
"Terima kasih, Pangcu (Ketua). Pelayanan cukup memuaskan dan aku merasa terlalu disanjung di sini.
Pangcu, aku sengaja datang mencarimu karena aku melihat sesuatu yang membuat hatiku merasa
penasaran sekali dan aku mengharapkan jawaban yang sejujurnya darimu."
Seng Bu menatap wajah gadis itu. Semenjak pertama kali berjumpa, ia telah terpesona. Dia bukanlah
seorang pria yang mudah terpikat kecantikan wanita. Akan tetapi, belum pernah dia bertemu dengan
seorang gadis muda seperti Kim Giok. Gadis ini manis sekali dan terutama yang membuat dia terpesona
adalah sepasang matanya. Mata itu demikian indahnya.
Selain ini, ilmu silat gadis itu pun cukup tinggi, dan sikapnya demikian pendiam dan gagah. Semua ini
ditambah lagi kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri pendekar dari Lembah Naga Siluman! Kiranya sukar
dicari keduanya gadis seperti ini.
Selama ini Seng Bu sibuk menggembleng diri dengan ilmu yang ditemukannya di dalam sumur maut, maka
dia pun tidak sempat memikirkan hal lain. Apa lagi, dia memang bukan tergolong pemuda yang suka
bergaul dengan gadis-gadis cantik. Dan baru sekarang dia merasa kagum dan tertarik kepada seorang
gadis.
"Nona Cu, aku tidak menyembunyikan sesuatu darimu. Kalau ada hal yang membuat engkau merasa
penasaran, tanyakanlah dan aku akan menjawab sejujurnya."
Kim Giok juga menatap tajam sehingga dua pasang mata mereka bertaut, seperti saling menyelidik, hingga
kemudian Kim Giok berkata, "Pangcu, bukan aku sebagai tamu ingin mencampuri urusan tuan rumah.
Akan tetapi, aku suka menjadi tamu di Thian-li-pang karena aku merasa yakin bahwa perkumpulanmu ini
adalah perkumpulan orang-orang gagah yang merupakan pejuang-pejuang sejati, yang selalu menentang
kejahatan dan berpihak kepada kebenaran, seperti yang pernah kudengar dibicarakan orang di dunia kangouw.
Aku percaya itu, apa lagi setelah aku mengenalmu. Akan tetapi apa yang kulihat hari ini membuat aku
merasa penasaran bukan main. Aku melihat para pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai menjadi tamu
dunia-kangouw.blogspot.com
Thian-li-pang! Bagaimana ini? Aku sudah mendengar bahwa kedua perkumpulan itu merupakan
perkumpulan jahat yang banyak ditentang oleh para pendekar!"
Seng Bu tersenyum, dengan berani menentang pandang mata gadis itu tanpa merasa canggung. "Ahh,
kiranya itu yang membuatmu penasaran, Nona. Hal ini membutuhkan penjelasan yang panjang lebar,
Nona. Akan tetapi, apakah Nona tertarik oleh urusan perjuangan? Lika-liku perjuangan amat rumit, Nona.
Dipandang sepintas lalu dari segi kependekaranmu, memang rasanya janggal jika melihat kami juga
berhubungan dengan orang-orang dari golongan yang ditentang oleh para pendekar. Tapi, dalam
perjuangan, kepentingan pribadi dan golongan terpaksa harus dikesampingkan. Yang paling penting
adalah urusan perjuangan, urusan usaha untuk membebaskan bangsa dan negara dari cengkeraman
penjajah Mancu."
"Maksudmu bagaimana, Pangcu?"
"Tentu engkau telah mengetahui, hampir satu setengah abad negara kita dijajah bangsa Mancu, dan
selama satu setengah abad itu semua usaha perjuangan rakyat untuk merebut kembali tanah air selalu
gagal. Mengapa begitu? Karena tidak ada persatuan di antara para kelompok yang berjuang! Bahkan
banyak kelompok perjuangan yang saling gempur sendiri, bersaing dan memperebutkan kebenaran demi
kepentingan pribadi atau golongan. Itulah penyebab utama dari kegagalan perjuangan selama ini, dan kami
dari Thian-li-pang melihat kekeliruan itu, maka kini kami berusaha untuk mengubahnya.”
"Caranya?"
"Mempersatukan semua golongan, tanpa membedakan mana golongan putih mana pula golongan hitam,
mana golongan pendekar atau mana yang dinamakan kaum sesat. Pendeknya, siapa saja, dari golongan
mana pun, apa pun pekerjaannya, bagaimana bentuk sepak terjangnya, asalkan dia itu menentang
pemerintah penjajah Mancu, dia adalah sekutu kita! Dengan cara ini, maka di seluruh negeri akan terdapat
persatuan yang kokoh dan kalau sudah tercapai persatuan itu, maka menggulingkan pemerintah penjajah
bukan merupakan masalah yang sukar lagi."
"Jadi pendirian itukah yang membuat Pangcu tidak memandang bulu dalam memilih sahabat, dan suka
menerima Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai sebagai sahabat pula?"
"Benar, Nona. Kalau misalnya Thian-li-pang, Pek-lian-kauw, bersama Pat-kwa-pai, yang ketiganya
merupakan perkumpulan para pejuang, bisa bersatu padu dan bersama-sama menentang penjajah,
bukankah itu akan jauh lebih kuat dari pada kalau kami berjuang sendiri-sendiri secara terpisah? Apa lagi
kalau seluruh kekuatan yang ada, baik dari golongan hitam mau pun putih, dapat bersatu padu!"
"Kebenaran pendapat itu tidak dapat disangkal, Pangcu. Akan tetapi kita kaum pendekar bagaimana
mungkin bekerja sama dengan kaum sesat? Justru tugas utama kita adalah untuk menentang segala
perbuatan jahat dari kaum sesat, serta membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat tetapi
jahat!”
Ketua yang masih muda itu tersenyum ramah. Dia bicara penuh semangat, akan tetapi tidak terbawa
perasaan, masih tetap tenang dan tersenyum sehingga membuat gadis itu pun tidak terbawa dan terseret
dalam perbantahan yang memperebutkan kebenaran masing-masing.
"Sudah kukatakan tadi bahwa dalam perjuangan, kepentingan pribadi dan kepentingan golongan harus
disingkirkan lebih dahulu. Tanpa sikap seperti itu, bagaimana mungkin muncul persatuan, dan tanpa
persatuan bagaimana mungkin ada kekuatan? Buktinya, semua usaha perjuangan yang lalu selama ini,
baik dari golongan putih mau pun dari golongan hitam, gagal semua. Karena terpecah-pecah! Kalau kita
menuruti kepentingan pribadi dan golongan, misalnya kalau kita tidak mau bersatu dengan golongan sesat
dan memusuhi mereka, maka kita akan terpecah belah dan akibatnya akan melemahkan diri sendiri.
Dengan demikian, yang untung adalah pemerintah penjajah! Sudah mengertikah engkau, Nona?"
Cu Kim Giok bukan seorang gadis yang bodoh. Dia termenung dan menelan ucapan ketua itu dalam
hatinya, dan mulailah ia mengerti akan apa yang dimaksudkan Seng Bu.
"Aku mengerti, Pangcu. Akan tetapi karena sejak kecil orang tuaku menanamkan jiwa kependekaran di
dalam hatiku, rasanya sangat berat bagiku menerima kenyataan dari kebenaran pendapatmu tadi. Kalau
dunia-kangouw.blogspot.com
kita para pendekar tidak menentang golongan sesat, bukankah kehidupan rakyat akan menjadi semakin
parah dan sengsara, tertindas oleh kejahatan tanpa ada yang membela dan melindungi?"
"Tentu saja kita tidak hanya berdiam diri saja kalau terjadi kejahatan di depan mata kita, Nona. Kita wajib
melindungi orang yang menjadi korban kejahatan. Akan tetapi, urusan itu bukan merupakan urusan yang
diutamakan kepentingannya, lebih penting urusan perjuangan sehingga kalau pun kita menentang
kejahatan, harus dicegah agar jangan sampai menimbulkan keretakan persatuan antara golongan.
Ketahuilah, Nona, bahwa peristiwa kejahatan hanyalah merupakan akibat dari tidak sehatnya pemerintah.
Seperti sebuah penyakit, kejahatan, ketidak amanan, ketidak makmuran, bahkan kesengsaraan rakyat
hanya merupakan bintik-bintik kecil akibat penyakit itu. Bla kita memberantas dan mengobati bintikbintiknya
saja tak akan banyak manfaatnya karena bintik-bintik itu akan timbul lagi setelah diobati sebab
penyakit itu masih ada. Kita harus lebih mementingkan pengobatan penyakitnya, sumber penyakit itu
sendiri. Dalam hal ini, sumber penyakitnya terletak pada pemerintahan. Bangsa dan tanah air kita
dicengkeram penjajah Mancu, tentu saja pemerintahnya tidak sehat dan memeras rakyat jelata. Kalau
penjajahan itu dapat kita bongkar dan kita ganti dengan pemerintah bangsa sendiri, maka penyakit itu
sembuh pada sumbernya dan tidak akan timbul bintik-bintik berbahaya. Segala bentuk kejahatan akan
dapat kita tumpas. Penindasan yang dilakukan para penjahat itu tidak ada artinya kalau dibandingkan
dengan penindasan dan penghisapan yang dilakukan penjajah terhadap kita."
Kim Giok tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia kagum sekali dan sekarang ia dapat mengerti
sepenuhnya. "Sekarang aku mengerti, Pangcu, dan aku tidak penasaran lagi melihat Thian-li-pang
bersahabat dengan golongan sesat, jika maksudnya hanya untuk mempersatukan tenaga melawan
penjajah."
Sejak percakapan itu, Kim Giok semakin kagum dan tartarik kepada ketua Thian-li-pang itu, dan sebaliknya
Seng Bu juga telah jatuh hati kepada puteri Lembah Naga Siluman. Ketika Seng Bu minta agar gadis itu
tinggal di Thian-li-pang sebagai tamu kehormatan selama beberapa hari, Kim Giok tidak menolak.
Demikianlah, ketika pada pagi hari itu Yo Han mendaki Bukit Naga, Cu Kim Giok telah tinggal selama lima
hari di perkampungan Thian-li-pang. Hubungannya dengan Seng Bu semakin akrab namun ketua itu masih
tetap bersikap sopan dan tak pernah menyatakan perasaan hatinya.
Kim Giok sudah mendengar banyak dari Seng Bu tentang Thian-li-pang. Dan ia sudah mendengar pula
kisah yang aneh, peristiwa mengerikan yang terjadi beberapa bulan yang lalu, yaitu tentang pembunuhan
terhadap ketua Thian-li-pang yang dilakukan oleh seorang yang tadinya dianggap sebagai pemimpin
Thian-li-pang, yaitu Sin-ciang Taihiap Yo Han.
Ia sudah pernah mendengar nama itu, maka menyatakan keheranannya kepada Seng Bu mengapa Yo
Han yang dianggap sebagai pemimpin besar malah membunuh ketua Thian-li-pang. Dengan cerdik Seng
Bu menceritakan bahwa pembunuhan itu dilakukan Yo Han untuk membalas dendam atas kematian
gurunya yang bernama Ciu Lam Hok. Demikian pandainya Seng Bu bercerita sehingga Kim Giok percaya
dan gadis ini pun merasa tidak senang kepada pendekar yang di juluki Si Tangan Sakti itu…..
********************
Kita kembali kepada Yo Han yang sedang mendaki Bukit Naga dengan santai. Kembali ke tempat ini, di
mana selama bertahun-tahun dia hidup dalam sumur maut bersama gurunya, mendiang kakek Ciu Lam
Hok yang buntung kaki tangannya, mendatangkan segala macam kenangan lama padanya. Bahkan
kenangan itu berkembang sampai akhirnya dia terkenang kepada Tan Sian Li, satu-satunya wanita yang
pernah dicintanya sejak dia masih seorang pemuda remaja.
Akan tetapi, percakapannya dengan Cia Sun, setidaknya kembali menimbulkan harapan baru dalam
hatinya. Ketika dia meninggalkan Sian Li, di rumah orang tua gadis itu yang dulu pernah menjadi suhu dan
subo-nya pertama kali, harapannya sudah hancur luluh. Ia mendengar betapa suhu dan subo-nya hendak
menjodohkan Sian Li dengan seorang pangeran di kota raja!
Tentu saja seorang pangeran jauh lebih pantas menjadi suami seorang gadis seperti Si Bangau Merah itu
dari pada dia! Dia yatim piatu miskin dan papa, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, kebetulan dia bertemu dengan Pangeran Cia Sun, lalu bersahabat, bahkan pernah senasib
sependeritaan yang mendorong mereka mengangkat saudara. Dan dari adik angkatnya yang pangeran ini
dia mendengar bahwa ternyata adik angkatnya itulah pangeran yang hendak dijodohkan dengan Sian Li!
Akan tetapi, di samping berita mengejutkan itu, terdapat kenyataan yang membuat dia tumbuh lagi
semangatnya, timbul pula harapannya, yaitu bahwa Pangeran Cia Sun dan Tan Sian Li tidak saling
mencinta. Pangeran itu bahkan mencinta gadis lain, yaitu puteri ketua Pao-beng-pai!
Dalam perjalanannya menuju ke Thian-li-pang, dia pun sudah mendengar mengenai pembasmian Paobeng-
pai yang dilakukan oleh pasukan pemerintah. Ia mengira bahwa tentu adik angkatnya, Pangeran Cia
Sun, yang melakukan penyerbuan itu, walau pun ada kesangsian di hatinya apakah sang pangeran mau
melakukan hal itu mengingat akan cintanya terhadap Siangkoan Eng.
Tiba-tiba Yo Han menghentikan langkahnya dan mengerutkan alisnya. Dia mendengar suara orang
bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dan suara itu makin mendekat, tanda bahwa mereka yang bercakapcakap
itu sedang berjalan menuruni lereng. Yo Han menyelinap ke balik pohon besar.
Sudah lama dia meninggalkan Thian-li-pang dan dia tidak tahu bagaimana keadaannya. Walau pun dia
percaya sepenuhnya kepada Lauw Kang Hui yang diserahi pimpinan perkumpulan itu, akan tetapi
sebaiknya kalau dia menyelidiki keadaannya karena bagai mana pun juga, kalau sampai terjadi hal-hal
yang tidak benar di Thian-li-pang, dialah yang bertanggung jawab. Gurunya berpesan agar dia
menyelamatkan Thian-li-pang dari penyelewengan, maka biar pun tidak memimpin langsung, dia harus
selalu mengawasi.
Mereka yang tertawa-tawa tadi sekarang telah datang mendekat dan dari balik batang pohon, Yo Han
mengintai. Alisnya terangkat dan kemudian berkerut tidak senang ketika ia melihat dua orang anggota
Thian-li-pang sedang berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan dua orang pendeta muda
yang dari tanda gambar di dadanya bisa diketahuinya sebagai dua orang anggota Pat-kwa-pai!
Ia merasa heran bukan main. Bagaimana mungkin anggota Thian-li-pang bergaul begitu demikian
akrabnya dengan anggota Pat-kwa-pai yang terkenal sebagai golongan sesat yang menggunakan kedok
perjuangan, atau bisa juga dikatakan sebagai pemberontak-pemberontak yang tidak segan-segan
menggunakan kejahatan serta kekejaman dalam pemberontakan mereka?
Yo Han menahan diri, ingin tahu lebih banyak, maka dari jauh dia membayangi empat orang itu. Dia tidak
mengenal para anggota Thian-li-pang. Yang dikenalnya hanyalah Lauw Kang Hui dan pimpinannya,
bahkan dia tidak tahu nama para pimpinan mudanya satu demi satu. Akan tetapi, melihat sikap mereka,
siapa lagi mereka itu kalau bukan anggota Thian-li-pang?
Dan mereka telah berada di wilayah Thian-li-pang, maka kehadiran dua orang anggota Pat-kwa-pai itu
sungguh mencurigakan sekali. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Yo Han untuk
membayangi mereka, kadang malah demikian dekatnya sehingga dia dapat mendengarkan sebagian
percakapan mereka. Setelah mendengar percakapan itu dia pun yakin bahwa dua orang itu adalah
anggota Thian-li-pang.
"Kenapa kalian khawatir?" terdengar seorang di antara dua anggota Thian-li-pang itu berkata kepada dua
orang tosu itu. "Kalau hanya kami berdua yang menghilang dari tempat penjagaan, tidak akan kentara.
Pula siapa sih yang akan berani mendaki Bukit Naga dan mengganggu wilayah Thian-li-pang? Baru
mendengar nama Thian-li-pang saja, nyali mereka sudah terbang melayang!" Mereka tertawa-tawa.
"Pula, berapa lamanya untuk sekedar bersenang-senang dengan kalian di dusun bawah sana? Andai kata
para pimpinan mengetahui kalau kami pergi bersama kalian, tentu kita tidak akan dimarahi. Bukankah
Thian-li-pang kini bersahabat baik dengan Pat-kwa-pai?"
Kembali mereka tertawa-tawa. Mereka tidak tahu betapa Yo Han mengepal tinju ketika mendengarkan
percakapan itu.
Akhirnya empat orang itu tiba di dusun yang berada di kaki Bukit Naga. Di dusun itu terdapat sebuah kedai
arak dan ke sanalah mereka masuk. Yo Han yang memakai caping lebar, duduk pula dengan memilih
tempat jauh di sudut dan capingnya tidak dilepas sehingga mukanya tertutup. Ketika pelayan datang
menghampiri, dia memesan arak dan semangkuk bubur.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar ribut-ribut di meja empat orang itu. Agaknya pemilik kedai arak menghampiri mereka dan
menuntut supaya mereka lebih dahulu mengeluarkan uang untuk membeli makanan dan minuman yang
mereka pesan.
"Sudah terlalu sering teman-teman kalian makan minum di sini tanpa membayar! Aku tidak mau dirugikan
lagi, harap kalian suka membayar lebih dulu," kata pemilik kedai itu, seorang laki-laki berusia lima puluhan
tahun yang kurus agak bongkok.
Seorang anggota Thian-li-pang yang tinggi bermuka kuning bangkit, kemudian bertolak pinggang. "Apa
katamu tadi? Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Kami berdua adalah anggota
Thian-ii-pang dan kedua orang sahabat kami ini adalah anggota Pat-kwa-pai. Kami adalah pejuang! Kami
adalah pahlawan bangsa, pembela rakyat dan tanah air! Masa hanya mengeluarkan sedikit makanan dan
minuman saja bagi kami engkau tidak rela? Kami berjuang dengan taruhan nyawa dan engkau tidak mau
menjamu makan minum kepada kami?"
Seorang di antara dua orang tosu Pat-kwa-pai itu menggebrak meja dan dengan sikap bengis berkata,
"Hayo cepat keluarkan hidangan untuk kami atau engkau ingin kedaimu ini kami hancurkan?!"
"Kalian sungguh kejam!" Pemilik kedai itu membantah dan mempertahankan miliknya. "Jika hanya dua tiga
orang saja yang datang minta makan minum, kami pasti rela, akan tetapi kalau setiap hari datang dan
jumlah kalian sampai puluhan orang selalu minta makan dan minum dengan gratis, kami bisa bangkrut!
Kami pun mempunyai keluarga yang harus hidup dari hasil usaha kami yang kecil ini."
"Jahanam, masih banyak cakap? Engkau memang perlu dihajar!" bentak salah seorang anggota Thian-lipang
bermuka kuning tadi. Sekali kaki kanannya terayun menendang, pemilik kedai itu terpelanting keras.
"Penuhi permintaan kami tanpa banyak cakap lagi atau engkau akan kuhajar sampai mampus!" bentaknya.
"Ayah...!" Dari dalam berlari keluar seorang gadis berusia tujuh belas tahun. Dia segera menubruk ayahnya
yang sudah bangkit duduk sambil menyeringai kesakitan.
Melihat gadis itu, yang cukup manis, seorang di antara dua orang anggota Pat-kwa-pai tersenyum
menyeringai dan segera menangkap lengan gadis itu dan menariknya lalu memaksanya duduk di sebuah
bangku dekat meja mereka.
"Ha-ha-ha, tukang warung! Lekas keluarkan hidangan itu atau kami akan membawa pergi gadismu. Nona,
kau temani kami makan minum di sini dan cepat suruh pelayan mengeluarkan hidangan dan arak terbaik,"
katanya.
Gadis itu tidak berani meronta, bahkan membujuk ayahnya yang sudah bangkit berdiri. "Ayah, turuti saja
permintaan mereka."
Keempat orang itu tertawa bergelak melihat pemilik kedai dengan terhuyung memasuki dapur untuk
menyediakan hidangan bagi empat orang itu.
"Manis, engkau lebih bijaksana dari pada ayahmu. Untung engkau muncul, kalau tidak tentu ayahmu telah
menjadi mayat," kata si muka kuning sambil mencolek dagu gadis itu.
Gadis itu membuang muka dan berkata, "Kami sudah memenuhi permintaan kalian, menyuguhkan
hidangan, harap jangan ganggu aku lagi." Gadis itu bangkit berdiri.
"Duduk saja, engkau tidak boleh pergi," kata seorang tosu Pat-kwa-pai.
"Aku akan membantu ayah mempersiapkan hidangan untuk kalian," bantah gadis itu.
"Dan menaruh racun dalam hidangannya, ya? Ha-ha-ha, kami tidak sebodoh itu, Manis. Kami berempat
makan minum dan engkau harus menemani kami, ikut pula makan minum sehingga kalau hidangan itu
beracun, engkau yang akan lebih dulu keracunan!" Si muka kuning menekan pundak gadis itu sehingga ia
terduduk kembali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba terdengar suara lembut namun nadanya mengejek. "Ini rumah makan macam apa, membiarkan
empat ekor buaya darat mengotorinya! Sungguh mendatangkan bau yang busuk sekali, empat orang
maling kecil mengaku pejuang seperti empat ekor tikus mengaku harimau!"
Jelas sekali makna ucapan itu. Empat orang tadi tentu saja mengerti bahwa merekalah yang dimaki tikus
dan maling! Hampir mereka tidak percaya ada orang berani memaki mereka seperti itu. Mengatakan
mereka maling kecil dan tikus.
Tentu saja mereka terbelalak dan muka mereka berubah kemerahan pada saat mereka menoleh dan
memandang ke arah meja di sudut kanan, di mana duduk seorang laki-laki yang mengenakan sebuah
caping lebar sehingga muka dan kepala orang itu tertutup sama sekali…..
Akan tetapi tidak dapat diragukan lagi. Orang bercaping itulah yang tadi mengeluarkan ucapan menghina
karena ucapannya datang dari arah itu dan di sudut itu tak ada orang lain kecuali dia. Serentak empat
orang itu meninggalkan gadis puteri pemilik kedai dan dengan langkah lebar mereka menghampiri meja di
mana Yo Han duduk.
Yo Han bersikap tenang saja, bahkan kini menuangkan arak ke dalam cawannya yang telah kosong.
"Heiii, kaukah yang tadi mengeluarkan ucapan menghina kami?!" bentak salah seorang di antara mereka.
Yo Han mengangkat cawan araknya dan membawanya ke mulut.
"Heiii, apakah engkau tuli? Kalau benar engkau yang tadi bicara, coba ulangi ucapanmu kalau engkau
berani!" kata si muka kuning yang ingin mendapat kepastian bahwa orang bercaping ini yang tadi bicara.
Apa lagi melihat orang bercaping itu ternyata masih muda, maka dia agak merasa ragu-ragu apakah benar
pemuda itu berani mengeluarkan ucapan seperti itu.
"Kalian berempat memang maling kecil dan tikus-tikus busuk. Pergilah!" kata Yo Han, menahan
kemarahannya mengingat bahwa dua di antara mereka adalah termasuk anak buahnya sendiri, anggota
Thian-li-pang!
"Jahanam!"
"Keparat!"
Empat orang itu marah sekali dan menggerakkan tangan memukul dari depan belakang dan kanan kiri. Yo
Han menggerakkan tangannya yang memegang cawan arak ke arah sekelilingnya dan empat orang itu
berteriak dan terhuyung mundur karena muka mereka disiram arak. Biar pun hanya arak, dan tidak banyak
pula karena isi cawan itu dibagi empat, namun ketika mengenai muka, terutama mata, membuat mereka
sejenak tidak mampu membuka mata dan kulit muka terasa perih.
Setelah menggosok-gosok matanya dan dapat melihat lagi, empat orang itu mencabut golok mereka dan
serentak menyerang sambil memaki dengan kamarahan memuncak. Orang-orang yang sedang makan
minum di situ menjadi ketakutan dan berhamburan lari keluar. Juga pemilik kedai dan puterinya, beserta
para pelayan, sudah bersembunyi di balik meja dengan tubuh gemetar ketakutan.
Yo Han masih tetap duduk, akan tetapi kedua tangannya mengambil sepasang sumpit dan juga dua buah
mangkok yang kosong. Begitu empat orang dengan golok mereka menyerbu mendekat, kembali kedua
tangan Yo Han bergerak.
Dua sumpit menembus pundak kanan dua orang tosu sehingga golok mereka terlepas dan mereka
mengaduh-aduh, sedangkan dua buah mangkok menghantam muka dua orang anggota Thian-li-pang
dengan kerasnya. Dua orang Thian-li-pang itu terjengkang roboh dengan muka berdarah karena mangkok
yang menghantam muka mereka tadi pecah-pecah dan melukai mereka. Memang tidak sampai membunuh
mereka, namun mereka terjengkang roboh dengan muka berlumuran darah dan pingsan!
Dua orang tosu terbelalak dan tidak berani melawan lagi, bahkan melarikan diri keluar dari rumah makan
itu ketika Yo Han dengan sikap sembarangan saja mencengkeram baju di punggung kedua orang anggota
Thian-li-pang itu dan melempar tubuh mereka yang pingsan ke sudut ruangan itu di mana mereka rebah
bertumpuk. Kemudian, dia melanjutkan makan minum seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemilik rumah makan bersama puterinya segera menghampiri Yo Han, mengucapkan terima kasih sambil
membungkuk-bungkuk.
"Terima kasih atas pertolongan Taihiap, akan tetapi... ahhh, bagaimana dengan nasib kami? Tentu mereka
akan datang lagi dan akan menghancurkan rumah kami, bahkan mungkin kami pun akan mereka bunuh..."
"Benar apa yang dikatakan Ayah, Taihiap," berkata gadis itu sambil menangis. "Harap Taihiap suka
melepaskan dua orang itu, karena sudah pasti kami yang akan menderita akibat pembalasan mereka."
"Paman dan Nona, harap jangan khawatir. Aku akan menunggu di sini sampai mereka semua datang. Aku
yang akan menanggung bahwa kalian tidak akan diganggu lagi oleh mereka. Kalian tenang saja. Nanti
akan kuganti semua kerugian karena kerusakan yang diakibatkan keributan ini. Sekarang, tolong
tambahkan arak seguci untukku. Aku akan menanti mereka datang semua."
Biar pun khawatir sekali, ayah anak itu tidak berani membantah lagi. Mereka tadi sudah melihat betapa
mudahnya pemuda bercaping ini mengalahkan empat orang pengacau. Akan tetapi mereka tahu belaka
betapa kuatnya Thian-li-pang dan kalau mereka semua itu datang, apakah pemuda itu akan mampu
menghadapi mereka seorang diri saja?
Dua orang tosu Pat-kwa-pai yang sedang bermain-main ke Thian-li-pang tadi, tentu saja tidak mau tinggal
diam. Mereka terluka dan masing-masing menderita kesakitan dengan sebatang sumpit masih menancap
dan menembusi pundak mematahkan tulang pundak, sedangkan dua orang teman mereka sudah ditawan.
Mereka cepat mendaki lereng Bukit Naga yang menjadi sarang Thian-li-pang dan sambil meringis
kesakitan mereka melapor kepada para anggota Thian-li-pang yang melakukan penjagaan di pintu gerbang
perkampungan perkumpulan itu.
Tentu saja para anggota Thian-li-pang menjadi gempar dan marah mendengar bahwa dua orang kawan
mereka dirobohkan seorang asing di dusun yang berada di kaki bukit. Mereka cepat melapor kepada
kepala jaga. Mereka menganggap urusan itu terlalu kecil untuk dilaporkan kepada ketua, bahkan mereka
tidak ingin ketua mendengar bahwa mereka tidak mampu membereskan urusan kecil itu.
"Di mana jahanam itu sekarang? tanya seorang murid yang tingkatnya lebih tinggi.
"Di dalam kedai arak dusun itu," kata dua orang tosu itu.
Murid yang termasuk tingkat atas dari Thian-li-pang itu lalu mengumpulkan empat orang saudara lain.
"Kalian tetap berjaga saja di sini, kami berlima yang akan menghajarnya," katanya dan lima orang yang
memiliki tingkat tiga di Thian-li-pang itu segera turun dari lereng bukit sambil berlari cepat.
Sekejap saja, lima orang murid Thian-li-pang yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun ini telah tiba di
depan kedai arak itu. Mereka melihat betapa kedai arak itu sepi sekali, dan ada beberapa orang yang
mengitai dari jauh dengan sikap ketakutan.
Dengan sikap gagah kelima orang itu memasuki kedai. Di dalam ruangan kedai yang biasanya penuh tamu
itu, ternyata sekarang kosong. Hanya ada seorang tamu sedang minum-minum seorang diri di sudut dan
mereka melihat orang itu mengenakan caping lebar sehingga tak nampak mukanya. Mereka melihat pula
dua orang adik seperguruan mereka duduk bersandar dinding di lantai sudut itu dengan muka berlumuran
darah!
Pada saat dua orang itu melihat lima orang kakak seperguruan mereka muncul di pintu rumah makan,
mereka segera bangkit.
"Suheng, tolonglah kami...," kata mereka setengah meratap.
Mereka hendak menghampiri kawan-kawan mereka, akan tetap begitu tangan Yo Han bergerak, dua butir
kacang menyambar dan mengenai dada kedua orang itu, membuat mereka mengeluh dan roboh kembali!
Melihat hal itu, lima orang yang baru datang tentu saja menjadi marah sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Jahanam busuk!" bentak salah seorang di antara mereka dan lima orang itu serentak menyerang Yo Han
dari sekelilingnya.
Yo Han masih tetap duduk di atas bangkunya. Kedua tangannya bergerak, juga kedua kakinya menyambar
dan empat orang pengeroyok lalu roboh terpelanting! Orang kelima yang melihat ini, terbelalak kaget dan
dengan jeri dia melangkah mundur.
Empat orang yang roboh itu mencoba untuk mencabut pedang dan kembali menyerang. Akan tetapi
sebelum mereka dapat melakukan serangan, kembali kaki tangan Yo Han bergerak tanpa dia turun dari
bangkunya. Akibatnya, keempat orang itu roboh kembali, pedang mereka terlepas berkerontangan dan
mereka tidak mampu bangkit.
Melihat ini orang ke lima segera meloncat keluar dan melarikan diri ketakutan. Dia tidak tahu bahwa
memang Yo Han sengaja melepasnya, dengan maksud supaya dia melapor kepada pimpinan Thian-lipang.
Dengan tenang ia turun dari bangkunya, lalu tangannya mencengkeram punggung baju mereka dan
melemparkan tubuh mereka satu demi satu ke sudut ruangan sehingga kini di situ berserakan dan
bertumpuk enam orang anggota Thian-li-pang.
Ketika melakukan hal ini, enam orang itu dapat sekilas melihat tampangnya dan dua di antara mereka
terbelalak.
"Sin... ciang... Taihiap..." Mereka berbisik dan jatuh pingsan saking kaget dan takutnya.
Tentu saja mereka sangat ketakutan karena mereka sudah melawan pemimpin besar Thian-li-pang! Apa
lagi mereka juga segera menyadari bahwa mereka sudah melakukan penyelewengan besar dari garis-garis
yang ditentukan pemimpin besar ini, menyadari bahwa Thian-li-pang telah berubah semenjak ketua Lauw
Kang Hui tewas dan pimpinan dipegang oleh Ouw Seng Bu.
Yo Han tidak peduli dan melanjutkan minum seorang diri. Dia harus meluruskan kembali Thian-li-pang
seperti pesan mendiang suhu-nya, yaitu kakek Ciu Lam Hok. Dia sengaja merobohkan para anggota
Thian-li-pang dan menumpuk tubuh mereka di sudut ruangan kedai itu untuk memancing kedatangan para
pimpinan Thian-li-pang ke situ, terutama sekali Lauw Kang Hui.
Dia tidak langsung datang ke Thian-li-pang karena maklum betapa besar bahayanya kalau dia melakukan
itu. Kalau benar para pemimpin Thian-li-pang sudah menyeleweng dan dia dimusuhi, maka mendatangi
pusat Thian-li-pang sama saja dengan menghadapi bahaya besar.
Thian-li-pang mempunyai anggota yang rata-rata kuat, juga para pemimpinnya lihai, di samping tempat itu
pun berbahaya dan penuh rahasia. Ia harus dapat memancing para pemimpinya keluar dan datang ke
rumah makan ini, agar lebih leluasa dia turun tangan menghajar mereka dan memaksa mereka untuk
kembali ke jalan yang benar seperti dikehendaki mendiang Ciu Lam Hok gurunya.
Sementara itu, anggota Thian-li-pang yang ketakutan dan lari pulang, membuat para anggota lainnya
menjadi gempar. Mereka tidak berani menganggap persoalan itu kecil lagi, apa lagi ketika rekan mereka
menceritakan betapa empat kawannya roboh dengan mudah sekali oleh si caping lebar yang aneh. Mereka
lalu berangkat untuk melaporkan peristiwa itu kepada ketua mereka.
Ketika itu, ketua Thian-li-pang yang baru, Ouw Seng Bu, sedang menjamu dua orang tamu yang
dihormatinya, yaitu Cu Kim Giok dan Siangkoan Kok. Seperti diceritakan di bagian depan, Cu Kim Giok
tertarik kepada Ouw Seng Bu dan menganggap pemuda itu seorang ketua perkumpulan besar Thian-lipang
yang amat tampan, gagah perkasa dan berjiwa patriot, membuat ia merasa tunduk dan kagum bukan
main.
Ada pun Siangkoan Kok, bekas ketua Pao-beng-pai, juga dapat ditundukkan Ouw Seng Bu dengan
ilmunya yang luar biasa sehingga kini Siankoan Kok yang perkumpulannya sudah hancur itu mau
menggabungkan diri untuk menentang pemerintah dan mencari kedudukan yang tinggi.
Demikian besar rasa kagum Cu Kim Giok kepada Ouw Seng Bu sehingga dia tidak berkeberatan untuk
makan bersama dua orang tosu wakil Pek-lian-kauw dan dua orang tosu wakil Pat-kwa-pai yang datang
sebagai tamu Thian-li-pang. Padahal, sejak kecil ia telah mendengar dari ayah ibunya bahwa Pek-liankauw
merupakan perkumpulan yang banyak melakukan kejahatan, walau pun perkumpulan itu terkenal
dunia-kangouw.blogspot.com
sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah Mancu. Alasan yang dikemukakan Ouw Seng Bu
bahwa untuk menentang penjajah, semua kekuatan harus bersatu, tanpa membeda-bedakan antar
golongan putih atau hitam, dapat ia terima bahkan membenarkannya.
Demikianlah, pada saat itu, Ouw Seng Bu, sedang makan minum semeja dengan Cu Kim Giok, Siangkoan
Kok, dan empat orang tosu, yaitu dua tokoh Pat-kwa-pai dan dua orang tokoh Pek-lian-kauw.
Wakil Pat-kwa-pai yang tubuhnya tinggi kurus bernama Im Yang Ji, murid kepala ketua Pat-kwa-pai yang
lihai, yang datang bersama bersama adik seperguruannya. Ada pun wakil dari Pek-lian-kauw adalah Kui
Thiancu yang sudah kita kenal ketika dia mewakili Pek-lian-kauw dan hadir dalam pesta yang diadakan
Siangkoan Kok saat masih menjadi ketua Pao-beng-pai, yang datang bersama seorang adik
seperguruannya pula.
Ouw Seng Bu yang merasa bergembira sekali sudah mendapat dua sekutu yang boleh dibanggakan,
Siangkoan Kok yang selain amat lihai juga dapat diharapkan menghimpun banyak orang untuk menjadi
anak buah mereka, dan Cu Kim Giok. Gadis puteri majikan Lembah Naga Siluman ini tentu saja
merupakan seorang sekutu yang sangat besar artinya, karena tentu akan dapat menjadi jembatan agar
para tokoh kang-ouw lainnya suka bergabung dengan Thian-li-pang.
Selain itu, semenjak pertemuan yang pertama kalinya, hati Ouw Seng Bu sudah terjerat. Dia tahu bahwa
dia jatuh cinta kepada gadis yang bermata indah dan amat manis itu.
"Mari kita minum untuk persatuan di antara kita yang kokoh kuat untuk menumbangkan penjajah dan
mengusir mereka dari tanah air tercinta!" dengan penuh semangat Ouw Seng Bu berkata.
Enam orang lainnya yang duduk semeja itu menyambut dengan penuh semangat pula. Bahkan Cu Kim
Giok merasa bangga karena ia merasa yakin bahwa ayah ibunya tentu akan merasa bangga pula melihat
puteri mereka kini bersekutu dengan para pejuang yang hendak menumbangkan pemerintah penjajah
Mancu!
Baru saja mereka mengosongkan cawan, seorang anggota Thian-li-pang dengan sangat tergopoh-gopoh
memasuki ruangan itu. Dia adalah kepala jaga, dan biar pun dalam hal tingkatan, orang ini masih adik
seperguruan Ouw Seng Bu, yaitu murid mendiang Lauw Kang Hui, akan tetapi karena kini Ouw Seng Bu
telah menjadi ketua dan orang itu bukan lain hanya seorang anak buah, ketua Thian-li-pang yang masih
muda itu mengerutkan alisnya dan merasa terganggu.
"Hemmm, ada urusan apa hingga engkau berani datang mengganggu kami?" bentaknya dengan sikap
berwibawa.
"Harap maafkan kelancangan saya, Pangcu. Akan tetapi saya hendak melapor bahwa ada seseorang yang
telah merobohkan dan menawan enam orang anggota kita di kedai arak di dusun bawah sana."
Kerut di antara mata Seng Bu semakin mendalam dan matanya mencorong marah. "Hemmm, muncul
seorang pengacau saja kalian tidak mampu membereskannya sendiri dan masih melapor kepada kami?"
"Maaf, Pangcu. Mula-mula, dua orang anggota kita bersama seorang teman anggota Pat-kwa-pai dan
seorang anggota Pek-lian-kauw minum di kedai itu, bertemu dengan si pengacau yang merobohkan dua
orang anggota kita, akan tetapi hanya melukai dua orang tosu sahabat dan membiarkan mereka pergi. Dua
orang anggota Thian-li-pang itu ditawannya di kedai. Kemudian, lima orang saudara tua kami turun lereng,
bermaksud untuk memberi hajaran. Akan tetapi, empat orang di antara mereka roboh dan ditawan.
Seorang dapat melarikan diri melapor dan menurut laporannya, empat orang saudara tua itu dalam
segebrakan saja roboh oleh pengacau yang bercaping lebar itu."
"Hemmm...!" Ouw Seng Bu diam-diam terkejut.
Yang disebut saudara tua adalah para anggota yang tingkatnya sejajar dengan dirinya, yaitu murid atau
murid keponakan dari mendiang Lauw Kang Hui. Kalau empat orang di antara mereka roboh dengan
mudah oleh pengacau itu, dapat dibayangkan alangkah lihainya orang itu.
"Ahhh, siapa berani melukai anggota Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw?" seru Im Yang Ji, tokoh Pat-kwa-pai
dengan marah. Dia sudah mulai mabuk, maka hatinya mudah sekali panas mendengar bahwa seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
anak buahnya sudah dilukai orang. "Toyu, kita harus menghajar orang itu!" katanya kepada dua orang tosu
Pek-lian-kauw.
Kui Thiancu mengangguk dan bangkit berdiri, memberi hormat kepada Seng Bu sambil berkata, "Pangcu,
biarlah kami berempat yang menghajar orang itu dan menyeretnya ke sini agar Pangcu dapat
menghukumnya. Pangcu tak perlu marah-marah dan terganggu makan minum. Sebaiknya, Pangcu, Nona
dan Siangkoan Locianpwe tetap melanjutkan makan minum. Kami berempat akan segera kembali sambil
menyeret si pengacau itu."
Ouw Seng Bu mengangguk dan bangkit berdiri membalas penghormatan empat orang tosu itu.
"Kalau Cuwi hendak menghajar si pengacau yang telah melukai anggota Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai,
silakan dan harap jangan membunuhnya karena saya ingin melihatnya dan menanyainya mengapa dia
berani memusuhi kita."
Empat orang tosu itu mengangguk dan ke luar dari ruangan itu dengan langkah lebar. Setelah mereka
pergi, Ouw Seng Bu menoleh kepada Cu Kim Giok sambil tersenyum.
"Aihh, ada-ada saja. Sayang sekali masih terdapat orang-orang yang tidak menghargai perjuangan kita
sehingga mereka itu bukan membantu kita, bahkan memusuhi kita dan lebih rela menjadi antek penjajah
Mancu. Siapa yang tidak akan merasa menyesal kalau orang-orang pandai yang termasuk golongan para
pendekar, seperti Sin-ciang Taihiap Yo Han itu, membiarkan dirinya menjadi anjing penjilat dan antek
penjajah Mancu."
"Sangat menyakitkan hati memang!" kata Siangkoan Kok sambil menuangkan arak dari cawan ke dalam
mulutnya. "Bahkan para pendekar dari keluarga pendekar terbesar di dunia persilatan, rela mengekor
kepada penjajah Mancu. Harap maafkan aku, nona Cu. Selama ini aku pun belum pernah mendengar
keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman menjadi antek Mancu, meski hubungan keluargamu dekat sekali
dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Dua keluarga pendekar itulah yang sejak dulu membantu
penjajah Mancu, sungguh mengecewakan sekali. Apakah mereka tak pernah tahu bahwa bangsa Mancu
adalah bangsa liar yang menjajah tanah air dan bangsa kita? Kita berjuang untuk membebaskan bangsa
dari cengkeraman penjajah, namun mereka tidak membantu kita dan malah memusuhi kita!"
Wajah Kim Giok berubah menjadi agak kemerahan. Selain pengaruh arak, juga hatinya tersentuh. Ia telah
jatuh cinta kepada Ouw Seng Bu dan merasa yakin akan kebenaran pemuda itu, akan kemurnian
perjuangan melawan penjajah.
Dia pun tahu bahwa di antara keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir, memang terdapat hubungan yang akrab
dengan kerajaan Mancu, bahkan ada pertalian hubungan darah. Walau pun ayah ibunya tidak pernah
memusuhi kerajaan Mancu secara berterang, akan tetapi juga mereka tidak pernah menjadi pembantu
langsung atau pejabat. Akan tetapi, harus diakui bahwa keluarga orang tuanya sangat dekat dengan
keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir.
Sekarang pandangannya terhadap Siangkoan Kok juga berubah. Kakek tua ini adalah seorang pejuang
sejati, pikirnya, seperti juga Seng Bu, meski kakek ini berwatak keras dan aneh, tidak seperti Seng Bu yang
halus dan tampan.
"Meski keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir tidak memusuhi kita secara terang-terangan, akan tetapi
mereka tidak mau bersatu dengan kita untuk menghancurkan penjajah. Kita harap saja nona Cu akan
dapat membujuk mereka dan membuka mata mereka betapa pentingnya perjuangan menentang penjajah.
Yang kukhawatirkan hanyalah satu orang saja, yaitu Sin-ciang Taihiap..."
"Hemmm, orang itu memang amat berbahaya dan dia pun telah menjadi antek penjajah. Bahkan dia
bergaul akrab sekali dengan seorang pangeran Mancu, yaitu Pangeran Cia Sun," kata Siangkoan Kok.
Dengan singkat Siangkoan Kok lalu menceritakan betapa Yo Han beserta Pangeran Cia Sun pernah
menyelundup ke dalam perkumpulannya, Pao-beng-pai sehingga berakibat perkumpulannya itu
dihancurkan pasukan pemerintah.
"Sudah jelas bahwa pasukan itu dibawa datang oleh Yo Han dan Cia Sun yang bekerja sebagai matamata,"
kata Siangkoan Kok mengakhiri ceritanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Yo Han memang harus dibasmi. Dia pun merupakan ancaman bagi Thian-li-pang pula, karena dulu dia
pernah diangkat oleh mendiang suhu Lauw Kang Hui sebagai pemimpin Thian-li-pang. Sewaktu-waktu dia
bisa muncul di sini, dan kemudian menggunakan hak kekuasaannya untuk mengubah Thian-li-pang dari
suatu perkumpulan pejuang menjadi perkumpulan pengekor kerajaan Mancu," kata Seng Bu penasaran.
"Biarkan saja dia datang, kita akan sambut dia dengan pedang. Aku akan membantumu menundukkannya,
Pangcu," berkata Siangkoan Kok yang masih merasa sakit hati kalau teringat kepada Yo Han dan Cia Sun
yang dianggapnya menjadi penyebab kehancuran Pao-beng-pai.
"Akan tetapi, dia lihai bukan main, paman Siangkoan," kata Seng Bu, "Sebaiknya kalau kita menggunakan
siasat untuk menundukkannya, dan kuharap Paman dan juga nona Cu suka membantuku untuk
menundukkannya kalau dia berani datang di sini."
"Tentu saja aku akan membantumu, Pangcu," kata Kim Giok tanpa ragu lagi.
Sin-ciang Taihiap adalah seorang yang jahat, pikirnya, telah mengkhianati Thian-li-pang, juga membunuh
ketua Thian-li-pang, bahkan dia bergaul dengan Pangeran Cia Sun dari kerajaan Mancu. Yo Han sudah
membunuh banyak tokoh Thian-li-pang dan orang yang sejahat itu memang harus ditentang.
"Kalau perlu, kita minta bantuan tenaga ketua Pek-lian-kauw dan ketua Pat-kwa-pai," kata Siangkoan Kok
yang diam-diam juga merasa jeri terhadap Sin-ciang Taihiap.
"Memang aku sudah mempunyai rencana, dan sudah mengirim surat kepada mereka," kata Seng Bu.
Mereka kemudian melanjutkan makan minum dan merasa yakin bahwa dua orang tosu Pek-lian-kauw
bersama dua orang tosu Pat-kwa-pai tadi akan mampu membereskan kerusuhan dan menyeret
pengacaunya ke markas Thian-li-pang…..
********************
Empat orang tosu itu memasuki rumah makan dengan hati-hati, dan di belakang mereka nampak dua belas
orang anggota Thian-li-pang tingkat tertinggi, siap dengan pedang di tangan. Pada waktu mereka
memasuki pintu depan rumah makan itu, Kui Thiancu tokoh Pek-lian-kauw yang memimpin rombongan,
memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk berhenti.
Tadi dia sudah merundingkan dengan Im Yang Ji serta dua orang tosu lainnya untuk mempermainkan
pengacau yang berada di rumah makan itu dengan mempergunakan kekuatan sihir. Sekarang mereka
berempat mengerahkan kekuatan sihir, menyatukan kekuatan mereka.
Mulut mereka berkemak-kemik membaca mantera, dan mata mereka memandang ke arah caping yang
menutupi kepala dan muka Yo Han, kemudian mereka menudingkan telunjuk kanan ke arah caping itu. Kui
Thiancu yang ditunjuk menjadi juru bicara mereka berempat, segera berkata dengan suara bergema dan
mengandung kekuatan sihir.
"Caping yang berada di atas kepala pengacau, terbanglah ke sini!"
Para anggota Thian-li-pang yang bergerombol di luar pintu rumah makan itu terbelalak heran dan kagum.
Mereka melihat betapa caping yang menutupi kepala orang yang duduk membelakangi mereka di sudut itu
tiba-tiba saja terbang melayang ke atas dan meninggalkan kepala itu.
Empat orang tosu itu sudah siap untuk mentertawakan Yo Han. Tetapi wajah mereka yang tadinya
menyeringai itu seketika berubah ketika caping yang melayang ke atas itu kini menyambar ke arah mereka
seperti peluru yang berputar-putar mengeluarkan suara berdesing! Tentu saja mereka terkejut bukan main
dan mereka cepat mengelak.
Caping itu bagaikan berubah menjadi seekor burung elang yang menyambar-nyambar kepala mereka
sehingga mereka sibuk berloncatan ke sana-sini. Akhirnya, setelah gagal memperoleh korban, caping itu
melayang kembali ke arah kepala pemiliknya, kemudian hinggap di atas kepala seperti burung terbang
kembali ke sarangnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekarang empat orang tosu itu saling pandang. Mereka maklum bahwa pemilik caping itu sudah
mempermainkan mereka dan bahwa kekuatan sihir mereka tadi sama sekali tidak berhasil!
Kui Thiancu melihat betapa ruangan itu terlalu sempit dan banyak terhalang meja serta bangku sehingga
kawan-kawannya takkan dapat leluasa untuk mengeroyok lawan yang agaknya amat lihai ini. Karena itu
dia segera membentak, "Orang bercaping sombong! Engkau berani melukai para anggota Thian-li-pang,
Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw. Jika engkau memang berkepandaian dan bukan seorang pengecut,
keluarlah dan mari kita mengadu kepandaian di luar yang luas! Jika engkau tidak mau keluar, maka kami
akan membakar rumah ini!"
Setelah berkata demikian, Kui Thiancu memberi isyarat dan bersama teman-temannya, dia pun melangkah
keluar dan menanti di luar rumah makan.
Mendengar ucapan yang bernada mengancam itu, pemilik kedai dan puterinya menjadi ketakutan. Mereka
nekat keluar dari persembunyian mereka, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Yo Han.
"Taihiap... tolonglah... harap Taihiap keluar dari sini dan berkelahi diluar saja... jangan sampai rumah kami
dibakar...!"
Juga enam orang anggota Thian-li-pang yang masih meringkuk di sudut ruangan itu dan tetap tidak berani
bergerak, menjadi pucat ketakutan. Mereka sejak tadi takut pergi dari situ, takut kalau dirobohkan kembali
oleh si caping lebar yang amat lihai itu. Akan tetapi sekarang ada ancaman dari tosu tadi, kalau mereka
diam saja di situ, tentu mereka akan ikut terbakar!
Yo Han tentu saja tidak ingin merugikan si pemilik rumah makan. Tanpa menjawab dia pun menyambar
buntalan pakaiannya, menggendong buntalan itu, lantas mengeluarkan sepotong emas dan
melemparkannya ke atas meja.
"Ini untuk menggantikan semua kerugianmu, Paman," katanya sambil melangkah keluar perlahan-lahan.
Tentu saja ayah dan anak itu terkejut dan gembira bukan main. Pemberian itu puluhan kali lebih banyak
dari pada kerugian yang mereka derita.
Sementara itu, pada waktu si caping lebar melangkah lambat-lambat keluar dari rumah makan, empat
orang tosu serta selosin anggota Thian-li-pang memandang dengan hati tegang. Yo Han melangkah
dengan muka ditundukkan sehingga mereka masih belum bisa melihat wajahnya. Setelah sampai di depan
empat orang tosu itu, Yo Han berhenti melangkah.
"Heiii, orang asing!" bentak Kui Thiancu marah. "Siapa engkau dan apa pula sebabnya engkau melukai
para anggota Thian-li-pang, Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw?"
Tanpa mengangkat mukanya yang menunduk dan tertutup caping, Yo Han menjawab, suaranya terdengar
sangat dingin, "Sejak dahulu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw adalah penjahat-penjahat yang berkedok
perjuangan, tidak aneh kalau hari ini mereka kembali melakukan kejahatan. Akan tetapi, Thian-li-pang
adalah perkumpulan pejuang-pejuang sejati, sekarang anak buahnya menyeleweng, patut disesalkan dan
dibuat penasaran!"
"Keparat, enak saja engkau membuka mulut! Perlihatkan mukamu, atau engkau begitu pengecut untuk
memperkenalkan diri?"
"Kui Thiancu, aku bukanlah orang asing bagimu," kata Yo Han dan kini dia mengangkat mukanya sehingga
sekilas nampak wajahnya, akan tetapi dia sudah menunduk kembali. Mereka yang sudah mengenalnya
terkejut, termasuk Kui Thiancu.
"Ahhh, kiranya Sin-ciang Taihiap? Semenjak kapan engkau memusuhi Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw?"
"Kui Thiancu, aku tak memusuhi siapa pun, akan tetapi akan menghajar siapa saja yang berbuat jahat.
Anak buah Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai melakukan kejahatan bersama anak buah Thian-li-pang yang
menyeleweng, maka aku menghajar mereka. Pergilah dan jangan mencampuri urusanku dengan Thian-lipang,
ini merupakan urusan dalam Thian-li-pang sendiri."
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Kui Thiancu sudah marah sekali, apa lagi memang dia tahu bahwa ketua Thian-li-pang,
sekutunya, harus membunuh orang ini yang merupakan ancaman bagi perkumpulan itu.
"Serang dan bunuh dia!" bentaknya.
Ia pun telah menggerakkan pedangnya, diikuti Im Yang Ji dan dua tosu lain yang sudah mencabut pedang.
Kini Yo Han dikeroyok empat orang tosu! Yo Han bergerak cepat, tubuhnya berkelebat dan menyelinap di
antara gulungan sinar empat batang pedang itu.
Sementara itu, selosin anak buah Thian-li-pang tadi terkejut bukan main ketika melihat wajah Yo Han. Akan
tetapi, mereka semua telah menjadi anak buah Ouw Seng Bu dan mereka sudah ikut melakukan
penyelewengan, maka tentu saja kini mereka pun tidak menghendaki Yo Han yang berkuasa di Thian-lipang,
oleh karena hal itu akan berarti hilangnya semua kesenangan yang selama ini mereka peroleh sejak
Seng Bu menjadi ketua. Maka, mereka pun serentak ikut mengeroyok!
Seorang di antara mereka diam-diam sudah berlari naik ke lereng bukit untuk melapor kepada ketuanya.
Ketika dia tiba di pusat Thian-li-pang, Ouw Seng Bu yang menjamu Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok, baru
saja selesai makan minum.
"Celaka, Pangcu. Sin-ciang Taihiap Yo Han telah muncul. Dialah orang yang mengacau tadi!" anggota itu
melapor dengan suara gemetar.
Mendengar ini, Ouw Seng Bu meloncat bangkit. Dia nampak gugup. Akan tetapi, melihat Siangkoan Kok
dan Cu Kim Giok di situ, dia menenangkan diri.
"Di mana dia sekarang?"
"Dia kini berada di luar rumah makan, dikeroyok oleh keempat orang tosu dan sebelas orang anggota kita,
Pangcu. Saya lari pulang untuk melapor kepada Pangcu."
Ouw Seng Bu yang amat cerdik itu bertindak cepat sekali.
"Paman Siangkoan Kok, harap Paman tidak memperlihatkan diri kepada Yo Han dan bersembunyi di
dalam kamar Paman. Nona Cu, harap engkau juga beristirahat di dalam kamar sampai nanti aku memberi
tahukan segalanya kepadamu. Aku akan menghadapi Yo Han dan menerimanya dengan baik-baik untuk
mencegah jatuhnya banyak korban."
Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok mengangguk. Mereka pergi ke kamar masing-masing yang sudah
diberikan kepada mereka sejak mereka tiba di situ.
Ouw Seng Bu segera mengumpulkan anak buahnya dan dengan tegas memesan agar mereka semua
memperlihatkan sikap lunak dan takluk terhadap Yo Han, dan bersikap seperti dulu agar tidak
menimbulkan kecurigaan di dalam hati Pendekar Tangan Sakti. Kemudian, dia menuju ke kamar Cu Kim
Giok dan mengetuk daun pintunya.
Setelah Cu Kim Giok muncul, Ouw Seng Bu pun berkata, "Nona Cu, sekarang saatnya engkau bisa
membantuku. Aku ingin menaklukkan Yo Han tanpa mendatangkan banyak korban, karena itu aku akan
berpura-pura tidak tahu bahwa dia yang sudah menyebar pembunuhan di sini. Engkau bersikaplah sebagai
seorang tamuku, seorang sahabat baikku..."
"Tapi, apa manfaatnya kehadiranku..."
"Banyak sekali, Nona. Engkau akan menimbulkan kepercayaan di hatinya bahwa kita tak mempunyai
maksud tertentu terhadap dirinya. Bila melihat engkau sebagai tamuku, pasti dia akan percaya kepadaku.
Marilah, Nona, aku... sungguh aku membutuhkan pertolonganmu. Ataukah... engkau begitu tega tidak mau
membantuku?"
Ouw Seng Bu sudah dapat melihat selama dia bergaul dengan Kim Giok bahwa gadis itu pun membalas
perasaan hatinya, bahwa gadis itu pun jatuh cinta kepadanya, maka dia mempergunakan sikap lunak dan
menarik rasa iba gadis itu. Dia berhasil, karena Cu Kim Giok mengangguk.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Baiklah, Pangcu. Aku akan membantumu."
"Engkau tidak perlu bicara atau berbuat apa pun, hanya mengaku saja bahwa engkau menjadi sahabatku.
Nah, aku tidak ingin menyuruhmu berbuat jahat atau berbohong bukan?"
Mereka berdua segera berlari cepat menuruni lereng bukit dan ketika mereka memasuki dusun dan tiba di
depan kedai arak, mereka berdua tertegun. Apa yang telah terjadi?
Yo Han dikeroyok oleh empat orang tosu lihai dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, juga oleh sebelas orang
murid Thian-li-pang dari tingkat atas. Para pengeroyok itu semuanya menggunakan pedang, sedangkan Yo
Han bertangan kosong!
Akan tetapi, tubuhnya yang dapat dibuat ringan seperti bayangan itu berkelebatan di atas belasan batang
pedang dan setiap kali terbuka kesempatan, begitu tangan atau kakinya bergerak menyambar, tentu salah
seorang pengeroyok dapat dirobohkan! Dia mengenal gerakan silat orang-orang Thian-li-pang, mengenal
cakar beracun mereka, maka dengan mudah dia dapat mengenal bagian lemah mereka sehingga setiap
kali dia menggerakkan tangan atau kaki, seorang anggota Thian-li-pang terjungkal.
Yo Han tidak mau membunuh mereka, hanya merobohkan dan membuat mereka tak mampu bangkit
kembali karena patah tulang atau menotok mereka sehingga tak mampu bergerak kembali. Akhirnya,
sebelas orang Thian-li-pang itu pun roboh tak dapat bangkit kembali dan tinggal dua orang tosu Pek-liankauw
dan dua orang tosu Pat-kwa-pai saja yang masih terus mengeroyoknya dengan serangan membabi
buta karena sejak tadi serangan pedang mereka tidak pernah mengenai tubuh pemuda itu.
"Orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, kalian pergilah. Aku tak ingin bermusuhan dengan kalian
dan jangan mencampuri urusan kami orang-orang Thian-li-pang!" dua kali Yo Han menegur dan menyuruh
mereka pergi.
Ketika empat orang itu terus mengamuk tanpa mempedulikan kata-katanya, Yo Han menjadi marah.
"Kalian ini orang-orang bandel yang pantas menerima hajaran!"
Dia pun bergerak cepat, menggunakan ilmu silat Bu-kek Hoat-keng. Segera timbul angin berpusing yang
cepat sekali, membuat empat orang tosu itu ikut terputar dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi,
pedang mereka beterbangan lepas dari tangan. Mereka pun seperti dilontarkan oleh tenaga yang sangat
kuat, terlempar dan terbanting sampai beberapa meter jauhnya! Agaknya Si Tangan Sakti itu memang
tidak ingin membunuh mereka sehingga mereka hanya terbanting keras tanpa menderita luka parah.
Pada saat mereka terbanting itulah, Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok menuruni lereng. Ouw Seng Bu
mengenal gerakan Yo Han itu. Dia pun merasa sanggup bergerak hingga menimbulkan angin berpusing
seperti itu seperti yang pernah dia pelajari dalam sumur!
Ketika melihat Seng Bu, empat orang tosu seperti mendapat hati. Mereka dengan muka meringis kesakitan
karena pinggul mereka tadi terbanting keras, bangkit menyongsong kedatangan Seng Bu.
"Pangcu...," kata mereka, akan tetapi Seng Bu mengangkat tangan memberi hormat.
"Harap Totiang berempat suka memaafkan kami dan meninggalkan tempat ini. Biarkan kami
menyelesaikan urusan dalam Thian-li-pang."
Empat orang tosu itu merasa heran, akan tetapi karena mereka sudah maklum bahwa ketua baru itu tentu
akan menggunakan siasat. Mereka pun memberi hormat dan pergi dari tempat itu tanpa banyak cakap lagi.
Kini Seng Bu berdiri berhadapan dengan Yo Han dan keduanya saling pandang.
"Kiranya Sin-ciang Taihiap yang datang! Harap maafkan siauwte bersama para anggota Thian-li-pang yang
tidak tahu akan kedatangan Taihiap dan tidak sempat menyambut seperti mestinya." Dia memberi hormat.
Yo Han mengerutkan alis, memandang penuh selidik. Dia tadi mendengar Kui Thiancu menyebut ‘pangcu’
kepada pemuda tampan ini! Dengan sikap tenang namun suaranya tegas dan menyelidik, Yo Han berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Wajahmu tidak asing bagiku. Bukankah engkau seorang di antara para murid suheng Lauw Kang Hui?
Mengapa tosu tadi menyebutmu sebagai pangcu? Di mana suheng Lauw Kang Hui dan apa yang terjadi
dengan Thian-li-pang? Mengapa Thian-li-pang kini bersahabat dengan orang-orang Pek-lian-kauw dan Patkwa-
pai dan mengapa pula ada murid Thian-li-pang yang dapat melakukan kejahatan di dusun ini?"
Diberondong pertanyaan-pertanyaan itu, Seng Bu merasa laksana dihujani serangan yang berbahaya. Dia
memberi hormat lagi.
"Taihiap, banyak sekali hal-hal yang amat hebat telah terjadi di tempat kita. Suhu... suhu telah... mati
dibunuh orang... dan aku terpaksa untuk sementara mewakili dan diangkat menjadi pangcu karena tidak
ada orang lain lagi yang dapat memegang kedudukan itu sebagai pemimpin sementara. Suhu Lauw Kang
Hui dibunuh orang, demikian pula suci Lauw Sek, suheng Lauw Kin, susiok Su Kian dan susiok Thio Cu.
Semua tewas dibunuh orang..."
"Ahhh?!" Yo Han benar-benar merasa terkejut. "Siapakah yang membunuh mereka?"
"Panjang ceritanya, Taihiap. Marilah kita naik dulu ke tempat kita dan di sana nanti aku menceritakan
semuanya. Banyak sekali rahasia tersembunyi di balik semua peristiwa yang mengerikan itu, Taihiap."
Yo Han masih mengerutkan alisnya, akan tetapi dia mengangguk. Ketika mereka mulai mendaki bukit dan
melihat gadis manis yang datang bersama Ouw Seng Bu ikut pula mendaki, dia berhenti dan bertanya.
"Nanti dulu, siapakah Nona ini?"
"Taihiap, Nona ini adalah nona Cu Kim Giok. Dia seorang sahabat baikku dan sekarang menjadi tamu
terhormat di Thian-li-pang. Dia bukan gadis sembarangan, Taihiap. Aku yakin Taihiap pernah mendengar
tentang keluarga majikan Lembah Naga Siluman, yaitu keluarga Cu. Nah, Nona ini adalah puteri dari
pendekar besar Cu Kun Tek dari Lembah Naga Siluman."
"Ahhh, kiranya Nona dari keluarga yang terkenal itu," berkata Yo Han sambil memberi hormat.
Kim Giok cepat membalas penghormatan itu.
"Harap Yo Taihiap tidak bersikap merendah. Sudah lama aku mendengar tentang nama besar Taihiap.
Sayang dalam pertemuan tiga keluarga besar di rumah Paman Suma Ceng Liong di Hong-cun, Taihiap
tidak ikut hadir."
Yo Han tersenyum. Ia sejenak memandang gadis itu penuh selidik. "Jadi engkau adalah sahabat baik
dari... ehhh, ketua Thian-li-pang ini?"
"Benar, dan baru beberapa hari aku menjadi tamu dari Thian-li-pang."
"Taihiap agaknya sudah lupa kepadaku. Aku murid termuda dari mendiang suhu Lauw Kang Hui, namaku
Ouw Seng Bu," ketua itu memperkenalkan diri.
Yo Han mengangguk-angguk. "Ya, aku sekarang teringat. Jadi semua murid tertua dari suheng Lauw Kang
Hui telah dibunuh orang?"
Diam-diam Cu Kim Giok mengerling dan mengamati wajah pendekar itu. Menurut cerita yang didengarnya
dari Seng Bu, orang inilah yang membunuh Lauw Kang Hui dan para muridnya. Apakah sekarang dia
sedang berpura-pura? Ataukah ada rahasia lain di balik pembunuhan itu dan pembunuhnya bukan Sinciang
Taihiap melainkan orang lain lagi? Sukar diduga apa yang terkandung dalam hati pemilik wajah
tampan dengan sinar mata tajam mencorong itu.
"Taihiap, nanti saja akan kuceritakan semua setelah kita tiba di rumah," kata Seng Bu.
Yo Han mengangguk. Mereka lalu mendaki lereng bukit dan ketika mereka tiba di pintu gerbang
perkampungan Thian-li-pang, dengan sikap meriah dan gembira para murid Thian-li-pang segera
menyambut mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sin-ciang Taihiap datang! Sin-ciang Taihiap sudah datang!" demikian mereka berteriak dan bersorak
sambil memberi hormat.
Yo Han menerima sambutan itu dengan senyum, akan tetapi di dalam hatinya merasa heran bukan main.
Betapa jauh bedanya antara sikap para anggota Thian-li-pang yang berada di perkampungan ini dengan
mereka yang tadi berada di dusun! Seolah-olah tak wajar lagi!
Setelah mereka memasuki ruangan dalam, Seng Bu lalu berkata kepada Cu Kim Giok, "Nona Cu, maafkan
saya, harap Nona suka beristirahat dan meninggalkan kami berdua untuk membicarakan soal perkumpulan
kami."
Cu Kim Giok mengangguk dan meninggalkan ruangan itu. Seng Bu lalu menutup pintu ruangan itu,
kemudian dia pun mempersilakan Yo Han untuk duduk.
Yo Han duduk dan menghela napas panjang. "Nah, sekarang ceritakanlah semua. Apa yang telah terjadi di
sini? Ceritakan semua dengan jelas."
Tiba-tiba Ouw Seng Bu menjatuhkan diri berlutut di depan Yo Han sambil menangis! Yo Han mengerutkan
alisnya dan menegur dengan tegas.
"Ouw Seng Bu, sikapmu ini sungguh memalukan sekali! Engkau telah ditunjuk sebagai ketua, akan tetapi
anak buah Thian-li-pang menyeleweng, Thian-li-pang mengadakan persekutuan dengan partai-partai sesat
seperti Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, bahkan sekarang engkau menangis seperti anak kecil atau seperti
wanita lemah yang cengeng. Engkau tidak patut menjadi ketua Thian-li-pang!"
"Yo Taihiap, harap maafkan dan kasihanilah saya! Saya terpaksa menjadi ketua karena tidak ada orang
lainnya lagi. Hanya sayalah satu-satunya murid mendiang suhu yang dianggap paling kuat. Akan tetapi,
setelah suhu beserta para susiok dan suheng tewas, saya menjadi bingung dan tidak mampu lagi
mengendalikan semua murid, tidak dapat mencegah kalau ada yang melakukan penyelewengan. Mereka
semua condong untuk memberontak dan saya tak berdaya menghadapi mereka. Juga saya tak berani
menolak ketika Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw melakukan pendekatan, takut kalau-kalau mereka akan
memusuhi kami. Sekarang Taihiap telah pulang, maka saya menyerahkan kepada Taihiap untuk mengatur
kembali perkumpulan kita ini."
"Sudahlah, duduklah dan sekarang ceritakan apa yang terjadi dan bagaimana suheng Lauw Kang Hui dan
yang lain-lain sampai dibunuh orang, dan siapa pembunuh mereka itu."
Seng Bu duduk dan menghapus air matanya.
"Peristiwa yang terjadi itu amat mengerikan dan penuh rahasia, Yo Taihiap. Kami hanya melihat ada
bayangan hitam yang menangkap mereka seorang demi seorang kemudian membawa mereka masuk ke
dalam sumur tua itu. Dan setelah mereka dibawa masuk ke dalam sumur, sampai sekarang tidak ada
kabar ceritanya lagi sehingga kami semua menganggap bahwa mereka tentu telah tewas terbunuh."
"Hemmm, siapakah bayangan hitam itu?" Yo Han bertanya, alisnya berkerut, penasaran sekali.
"Itulah yang membuat kami semua penasaran, Taihiap. Tak ada yang dapat melihatnya, hanya melihat
bayangan hitam seperti setan, menangkap mereka dan membawa loncat ke dalam sumur. Tentu saja
peristiwa itu membuat semua anggota menjadi panik dan ketakutan. Karena itu, untuk meredakan
kepanikan mereka, maka terpaksa saya untuk sementara menggantikan kedudukan suhu dan memimpin
mereka."
"Akan tetapi, mengapa kalian tidak memasuki sumur itu untuk menyelidiki apa yang terjadi di sana? Siapa
tahu suheng Lauw Kang Hui dan yang lain-lain belum tewas?"
Seng Bu kelihatan terkejut dan ketakutan. "Maafkan kami, Yo Taihiap. Tentu saja kami juga berpikir
demikian, mengharapkan mereka belum tewas dan sewaktu-waktu akan muncul keluar. Akan tetapi, untuk
menyelidikinya, untuk memasuki sumur tua itu, siapa yang berani?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak berani? Aihh, tak kusangka orang-orang Thian-li-pang berubah menjadi penakut dan pengecut!"
Lalu Yo Han melanjutkan sambil menatap tajam wajah Seng Bu, "Dan engkau sendiri, yang sudah
menerima menjadi ketua, mengapa engkau tidak memasuki sumur itu untuk menyelidikinya?"
Seng Bu menundukkan mukanya. "Maafkan kami semua, Yo Taihiap. Sebetulnya kami ingin sekali, akan
tetapi kami takut. Kalau suhu dan para susiok, suci dan suheng sendiri tak berdaya dibawa masuk ke
sumur oleh bayangan hitam itu, lalu bagaimana mungkin kami akan bisa menandinginya? Memasuki sumur
berarti mati konyol, dan kami semua, tidak berani."
Yo Han menghela napas panjang, teringat akan mendiang kakek Ciu Lam Hok. Gurunya itu adalah
seorang yang gagah perkasa, bahkan dua orang paman gurunya, mendiang Ban-tok Mo-ko dan Thian-te
Tok-ong, biar pun keduanya sudah menyeleweng dari jalan kebenaran, tetap saja mereka berdua adalah
orang-orang yang gagah perkasa. Begitu pula murid mereka, Lauw Kang Hui, memiliki keberanian dan
kegagahan.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru