Cersil Online Toatbengmoli 2 Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf Cersil Online Toatbengmoli 2
- Wanita Iblis Pencabut Nyawa ( Toat Beng Mo Li) 1
- Cersil Heboh Pendekar Bongkok 6 Tamat
- Pendekar Bongkok Ke 5
- Pendekar Bongkok 4 Cersil Top
- Pendekar Bongkok 3 Super Cersil
- Pendekar Bongkok 2 Kho Ping Hoo
- Cersil Kho Ping Hoo Pendekar Bongkok 1
- Pusaka Pulau Es 4 Tamat Cersil Hangat Anget
- Pusaka Pulau Es 3 Cersil Best Seller
- Pusaka Pulau Es 2 Komik Terhot Kho Ping Hoo
- Pusaka Pulau Es 1 Kho Ping Hoo Cersil Terlaris
- Cersil Si Tangan Sakti 4 Kho Ping Hoo Terbaik
- Cerita Silat Keren Si Tangan Sakti 3
- Cersil Laris Si Tangan Sakti 2 Kho Ping Hoo
- Si Tangan Sakti 1 Komik Kho Ping Hoo Terbaru
- Cersil Hangat Tamat Si Bangau Merah Kho Ping Hoo
- Si Bangau Merah 5 Kho Ping Hoo Bersilat Mandarin
- Cerita Silat KPH Si Bangau Merah 4
- Cersil Sip Si Bangau Merah 3
- Si Bangau Merah 2 Cersil Kho Ping Hoo Mantab
- Kho Ping Hoo Si Bangau Merah 1
- Cersil Kisah Bangau Putih Tamat Kho Ping Hoo
- KhoPingHoo Kisah Si Bangau Putih 6
- Kopinghuo Kisah Si Bangau Putih 5
- Kopinghoo Kisah Bangau Putih 4
- Ko Ping Ho Kisah Bangau Putih 3
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan
Liang Gi Cinjin lalu menceritakan tentang Pek-sim-kauw dan bahwa sesungguhnya ia tidak
mau menerima seorang murid yang tidak menjadi pendeta Pek-sim-kauw. Akan tetapi oleh
karena ia tidak bisa mendapatkan seorang pendeta yang berbakat baik, maka kini ia memilih
Sian Lun sebagai ahli warisnya.
“Aku telah mendengar dari Beng To Siansu bahwa kau adalah putera seorang perwira yang
gagah dan jujur. Tentu saja kau tidak bisa menjadi pendeta, kau tidak berbakat untuk menjadi
seorang pendeta Pek-sim-kauw. Akan tetapi, di dalam sepak terjangmu, kau harus selalu ingat
kepada hati putih, yakni hatimu sendiri.
Putih berarti bersih dan apabila kau selalu menjaga kebersihan hatimu, maka jalan hidupmu
takkan tersesat. Para pendeta Pek-sim-kauw, biarpun ilmu silatnya lebih rendah daripada
tingkatmu, tetap harus kau anggap sebagai saudara-saudara tua.
Kau mempunyai lima orang suheng (kakak seperguruan), dan biarpun kau lebih pandai dalam
hal ilmu silat, namun tentang kebatinan, kau boleh mendengar dan mentaati nasehat mereka.”
Demikianlah, Liang Gi Cinjin lalu memperkenalkan nama-nama kelima orang muridnya,
pendeta-pendeta tingkat satu dari Pek-sim-kauw.
Kemudian ia mulai menurunkan ilmu pedang Pek-sim Kiam-hoat dan pokok-pokok atau
dasar-dasar ilmu silat Pek-sim Ciang-hoat kepada muridnya ini. Sian Lun mempelajari dengan
penuh ketekunan dan perhatian. Ia memang mempunyai kecerdasan dan bakat yang amat
baik, maka sebentar saja sesuatu gerakan dapat dipelajari dan dilakukan baik-baik. Hal ini
membuat Liang Gi Cinjin menjadi girang sekali.
“Kalau kau melatih dirimu setahun saja dengan serajin ini, aku yakin ilmu pedang Pek-sim
Kiam-hoat akan dapat kau miliki sepenuhnya.”
Sampai dua bulan penuh ketua Pek-sim-kauw ini melatih dan menurunkan semua
kepandaiannya kepada Sian Lun. Pemuda ini menghafal semua gerakan dan jurus-jurus ilmu
silat itu di luar kepala dan setelah dua bulan lewat, ia telah hafal betul-betul jalannya Pek-sim
Kiam-hoat dan Pek-sim Ciang-hoat, tinggal melatih dan menyempurnakan gerakangerakannya
saja.
Setelah itu, Liang Gi Cinjin lalu berpamit kepada Beng To Siansu. “Aku harus turun gunung,”
katanya kepada sahabat baik ini, “siapa tahu kalau-kalau terjadi perobahan hebat di dunia
ramai. Setan sayur, terima kasih atas segala kebaikanmu, terutama sekali atas kerelaanmu
memberi kesempatan kepadaku untuk meninggalkan sedikit kepandaianku kepada orang yang
patut menerimanya.”
Dan kepada Sian Lun ia berkata, “Sian Lun, muridku, kau berlatih baik-baik sampai setahun,
setelah itu kau kunanti di Cengtu. Jalan masuk untuk bertemu dengan aku dijaga oleh kelima
orang muridku, maka sebagai ujian, jangan kau mundur menghadapi segala rintangan untuk
bertemu dengan aku.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 70
Setelah berkata demikian, pergilah Liang Gi Cinjin turun dari Kun-lun-san, Sian Lun berlatih
dengan amat rajinnya, bahkan Beng To Siansu yang amat menyinta murid tunggalnya inipun
membantunya memberi petunjuk-petunjuk.
******
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah Liang Gi Cinjin tiba kembali di kota
Ceng-tu, yakni pusat perkumpulan Pek-sim-kauw, ia mendengar tentang permusuhan antara
pendeta-pendeta Pek-sim-kauw dengan dua orang iblis wanita yang disebut Toat-beng Mo-li.
Kakek sakti ini merasa menyesal sekali dan menegur murid-muridnya. Kemudian ia berpesan
kepada para muridnya untuk menjaga tempat perkumpulan itu baik-baik dan apabila ada
orang muda yang hendak bertemu dengan dia, supaya pemuda itu dicoba dulu kepandaiannya
tanpa banyak cakap.
“Akan tetapi jangan main keroyok,” ia berpesan, “sungguh amat memalukan kalau muridmuridku
mengeroyok lawan seperti yang kalian telah lakukan terhadap dua orang wanita dari
hutan itu!”
Merahlah wajah Pek-sim Ngo-lojin mendengar teguran mereka ini. Liang Gi Cinjin
sebenarnya menantikan datangnya Sian Lun, muridnya yang baru, dan mempersiapkan lima
orang pendeta itu untuk menguji kepandaian Sian Lun.
Akan tetapi kelima orang pendeta tingkat satu itu berpikir lain. Mereka berjaga-jaga untuk
menanti kedatangan Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li yang dulu sudah berjanji hendak
datang bertemu dengan ketua Pek-sim-kauw. Dan memang benar mereka ini, yang pertamatama
datang bukanlah seorang pemuda, melainkan Ling Ling dan ibunya.
Bab 09.....
Pada suatu hari, baru saja matahari muncul di balik pohon-pohon dan baru saja kelima Peksim
Ngo-lojin duduk di dalam gardu penjagaan masing-masing, masuklah dua orang wanita
cantik dari pintu gerbang luar. Mereka ini bukan lain adalah Liem Sui Giok dan puterinya
Kwee Ling Ling atau yang sudah biasa disebut Ling Ling saja.
Penjagaan yang dilakukan oleh kelima murid Liang Gi Cinjin ini dimulai dengan gardu
pertama di mana Pek Te Ji duduk bersamadhi sambil berjaga. Gardu kedua dijaga oleh Pek
Thian Ji, gardu ketiga oleh Pek Yang Ji, yang keempat oleh Pek Hong Ji dan yang terakhir
atau yang kelima, di depan ruangan di mana Liang Gi Cinjin tinggal, dijaga oleh murid
pertama, yakni Pek Im Ji.
Dengan demikian, maka penjagaan itu diatur makin ke dalam makin kuat. Pendeta-pendeta
tingkat dua dan tiga yang banyak tinggal di rumah perkumpulan amat besar dan luas itu, telah
dipesan bahwa apabila terjadi pertempuran, mereka dilarang mengeroyok, hanya diharuskan
memberitahukan kepada gardu-gardu penjagaan lain agar dapat bersiap siaga.
Sebelum memasuki rumah perkumpulan agama Pek-sim-kauw ini Sui Giok telah memesan
kepada Ling Ling agar supaya jangan sampai membunuh orang.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 71
“Anakku,” katanya, “biarpun nenekmu telah tewas dalam tangan seorang pendeta Pek-simkauw,
akan tetapi pembunuhnya telah pula kita tewaskan. Nyawa nenekmu telah ditebus oleh
tiga orang musuh, ini berarti bahwa hutang telah terbayar lunas. Tak perlu kita membunuh
orang-orang lain dan kedatangan kita ini hanya untuk memenuhi janji, satu persoalan
kehormatan. Pendeta-pendeta ini memang jahat, akan tetapi sebelum kita membuktikan
kejahatan mereka, tak perlu kita membunuh orang.”
Demikianlah, ketika Ling Ling dan Sui Giok berdiri di gerbang pertama di mana terdapat
sebuah gardu tempat penjagaan, mereka melihat Pek Te Ji duduk di situ, bersila sambil
meramkan matanya. Sungguhpun matanya meram, Pek Te Ji telah mengetahui akan
kedatangan dua orang wanita ini, karena ia memiliki pendengaran yang amat terlatih dan
tajam.
“He, orang Pek-sim-kauw!” Ling Ling berseru nyaring sambil mengerahkan khikangnya
sehingga suaranya itu bergema sampai ke dalam gedung besar itu. “Kami telah datang,
keluarkanlah ketuamu untuk bicara dan membereskan urusan lama, jangan berlaku pengecut
main keroyokan!”
Setelah mendengar ini, barulah Pek Te Ji melompat keluar dan ia berdiri dihadapan Ling Ling
dan Sui Giok dengan gagah.
“Kalian ini dua iblis wanita sungai Cialing datang ke sini mau apakah?” tanyanya dengan
suara lantang.
“Pendeta palsu, kami telah berjanji hendak datang bertemu dengan Liang Gi Cinjin, ketuamu
maka hari ini kami datang memenuhi janji. Minggirlah dan tunjukkanlah di mana adanya
gurumu itu!” kata Ling Ling.
“Sukar!” kata pendeta itu sambil menggelengkan kepala. “Jalan untuk menemui suhu
memang melalui tempat ini, akan tetapi aku telah berada di sini dan tak mungkin kau dapat
masuk sebelum Pek Te Ji kau kalahkan.”
“Bagus,” teriak Ling Ling marah. “Kau mau main keroyok lagi? Tidak malukah Liang Gi
Cinjin mendengar murid-muridnya yang gagah mengeroyok wanita-wanita?”
“Jangan sembarangan membuka mulut!” kata Pek Te Ji. “Siapa yang mau mengeroyokmu?
Asal saja kau menurut aturan, kami takkan mengeroyokmu. Ketahuilah bahwa jalan masuk ke
tempat suhu terjaga oleh kami lima saudara, dan kau harus dapat mengalahkan kami dulu
seorang demi seorang dan menurut syarat-syarat yang kami tentukan dalam pertandingan.”
“Boleh, boleh ! Siapa takut menghadapai pendeta palsu ?” tantang Ling Ling dengan tabah.
“Pertama-tama, kau atau ibumu lawanlah aku, tanpa senjata! Kalau aku kalah dalam cianghoat
(ilmu pukulan), barulah kau boleh masuk untuk menghadapi suhengku.”
“Hm, begitukah?” Ling Ling tersenyum kepada ibunya, “Ibu, ternyata pendeta-pendeta Peksim-
kauw tidak securang yang kita duga!” Kemudian ia berkata kepada Pek Te Ji.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 72
“Pek Te Ji, ada aku anaknya di sini, bagaimana aku dapat membiarkan ibuku melelahkan diri
turun tangan? Hayo, coba kauperlihatkan tiam-hoatmu (ilmu menotokmu) yang kau pamerkan
kepada ibu dahulu itu!”
Memang Ling Ling masih ingat betapa ibunya dulu pernah menjadi korban totokan pendeta
ini dan teringat pula bahwa totokan itu lihai sekali dan istimewa sehingga ia dahulu tidak
dapat membebaskan ibunya dari pengaruh totokan. Agaknya kini pendeta ini hendak
mengandalkan totokannya yang lihai.
Mendengar sindiran Ling Ling, Pek Te Ji merah mukanya. Ia menggulung lengan bajunya,
lalu berkata, “Kalau kau dapat menghadapi Im-yang-tiam-hoat, barulah aku takluk
kepadamu!” Tiba-tiba ia lalu menyerang dengan tangan kanannya, di susul oleh tangan
kirinya. Melihat betapa tangan pendeta itu menyerang dengan jari-jari terkepal, kecuali jari
telunjuk yang dibuka lurus ke depan untuk menotok, Ling Ling berlaku hati-hati sekali.
Ia tahu bahwa itu adalah semacam It-ci-sian (ilmu totoksatu jari) yang lihai sekali. Juga angin
serangan dari kedua tangan pendeta itu amat berlainan, kalau yang kanan menotok dengan
keras, yang kiri begitu lambat dan perlahan gerakannya dan demikian sebaliknya. Ia maklum
akan bahayanya ilmu totokan macam ini.
Dengan cara yang berubah-ubah itu kadang-kadang dengan tenaga lemas lalu disusul totokan
tenaga kasar, tidak memungkinkan orang untuk menerima totokan itu sambil mengerahkan
ilmu menutup jalan darah. Tak mungkin mengerahkan tenaga yang berlawanan sama sekali
secara bergantian demikian cepatnya, dan sekali terkena totokan pendeta ini, akan celakalah
dia.
Untuk menghadapi Im-yang-tiam-hoat ini, Ling Ling lalu memperlihatkan kegesitan
tubuhnya, mengerahkan ginkangnya yang memang luar biasa tinggi tingkatnya, kemudian
iapun membalas dengan serangan tiam-hoat pula. Di dalam ilmu silat keturunan keluarga
Kam, memang terdapat ilmu totok yang cukup lihai, semacam Coat-meh-hoat (ilmu totokan
cabang Bu-tong-pai) yang dilakukan dengan dua jari tangan, yakni telunjuk dan jari tengah.
Tingkat kepandaian Pek te Ji barang kali sama tingginya dengan tingkat kepandaian Liem Sui
Giok, maka kalau dibandingkan dengan Ling Ling, ia masih kalah jauh. Hal ini harus
diakuinya ketika baru beberapa kali gebrakan saja ia sudah menjadi pening karena tubuh gadis
cantik itu seakan-akan merupakan seekor burung walet yang gesit sekali, yang berterbangan
mengelilinginya.
Bagaimana ia dapat mengirim totokan yang jitu ? Tubuh lawannya sukar diikuti dengan
pandangan mata, dan ilmu totokannya adalah semacam tiam-hwe-louw yang membutuhkan
ketepatan karena harus dilancarkan kepada jalan-jalan darah tertentu. Belum juga dua puluh
jurus Pek Te Ji sudah mandi peluh dan pandang matanya menjadi kabur.
“Sudah cukup?” Ling Ling mengejek. “Nah, kau rebahlah!”
Secepat kilat tangan kiri gadis itu meluncur dan menotok jalan darah tai-twi-hiat lawannya.
Pek Te Ji, seorang ahli tiam-hoat, tentu saja tahu akan bahayanya totokan ini, yang apabila
mengenai tepat akan membuat seluruh tubuhnya menjadi kaku. Cepat ia mengerahkan
khikangnya dan menutup jalan darah ini dengan tenaga Yang, karena totokan membuat kaku
pada jalan darah tai-twi-hiat ini termasuk serangan Yang.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 73
Akan tetapi, sungguh tidak diduga sama sekali karena begitu jari tangan kiri Ling Ling
tertolak oleh tenaga khikangnya, jari tangan kanan gadis itu dengan kecepatan yang tak
terduga-duga telah menotok pundaknya dengan mengambil jalan darah thian-hu-hiat. Inilah
serangan dengan tenaga Im dan seketika itu juga tubuhnya menjadi lemas, ia tidak kuat berdiri
lagi dan robohlah ia ke bawah dengan lemas bagaikan sehelai kain.
Ternyata bahwa Pek Te Ji telah menjadi korban dari totokan yang menggunakan siasat Im dan
Yang, menjadi korban ilmu totok yang timbul dari kecerdikan Ling Ling. Gadis ini
memperhatikan ilmu totokan dari lawannya dan dengan cerdik ia lalu dapat
mempergunakannya untuk merobohkan lawan.
Ia maklum bahwa sebagai ahli totok, tentu saja Pek Te Ji mahir sekali akan penolakan segala
macam serangan “tiam-hoat”, maka ia lalu meniru lawannya itu dan melakukan serangan
yang berlawanan pada saat yang sama. Berkat kecepatan gerakannya, maka ia dapat menipu
Pek Te Ji yang kini rebah di tanah tanpa dapat bergerak, hanya kedua matanya saja
memandang dengan penuh penyesalan atas kebodohannya sendiri.
Setelah berhasil merobohkan Pek Te Ji, Ling Ling bersama ibunya lalu maju terus, menuju ke
dalam. Pada gardu penjagaan kedua telah berdiri Pek Thian Ji menantikan kedatangan
mereka. Melihat keadaan pendeta ini, Ling Ling dan ibunya saling pandang sambil tersenyum
karena mereka mengenal pendeta ini yang dulu pernah pula bertempur dengan mereka.
Akan tetapi ibu dan anak itu merasa heran melihat cara pendeta itu berdiri. Pek Thian Ji telah
memasang patok-patok bambu yang runcing ujungnya di depan gardu penjagaannya,
sebanyak tiga puluh enam buah. Patok-patok itu ditancapkan di atas tanah, agaknya secara
sembarangan saja, akan tetapi apabila diperhatikan, patok-patok ini merupakan barisan yang
berbentuk pat-kwa dan dipasang menurut perhitungan yang masak.
Betapapun juga, jarak antara satu dan lain patok sama lebarnya, yakni tiga kaki, tepat untuk
pergerakan atau peralihan kaki dalam bersilat secara melompat-lompat. Melihat kecilnya
patok dan ujungnya yang runcing, dapat dibayangkan bahwa untuk dapat bersilat di atas
patok-patok ini, maka dibutuhkan ilmu ginkang yang tinggi.
Pek Thian Ji yang terkenal sebagai ahli ginkang yang luar biasa, telah berdiri dengan satu kaki
di atas patok, kaki kanan diangkat lurus ke depan dan kedua tangannya bertolak pinggang. Ia
menyambut kedatangan Ling Ling dan ibunya dengan kata-kata tidak ramah.
“Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li! Sungguhpun kalian tidak mau mengaku nama, akan
tetapi aku yakin bahwa tentulah kalian yang disebut sebagai dua iblis wanita yang jahat itu.
Kalian telah dapat sampai ke sini, berarti bahwa kalian telah dapat melalui suteku. Nah,
jangan banyak membuang waktu lagi, kalau ada kepandaian, naiklah ke sini dan kalahkan
aku!”
Ling Ling dan ibunya sudah tahu akan kelihaian ilmu ginkang dari pendeta ini dan Ling Ling
maklum bahwa pendeta ini secara licik hendak mempergunakan pengetahuannya tentang
patok-patok itu untuk mengalahkannya. Akan tetapi, gadis ini telah memiliki ginkang yang
tidak kalah tingginya oleh pendeta ini dan dalam hal ketabahan, ia lebih menang beberapa kali
lipat. Tentu saja ia tidak takut menghadapi pendeta itu di atas patok.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 74
Akan tetapi ibunya lebih hati-hati. Betapapun tinggi kepandaian Ling Ling, akan tetapi oleh
karena patok-patok itu yang memasang adalah pihak lawan, maka tentu saja pendeta itu lebih
hafal. Sui Giok lalu membisikkan sesuatu kepada Ling Ling dan puterinya itu tersenyum
manis.
Ling Ling lalu melompat sambil berkata, “Pendeta sombong, siapa takut menghadapi patokpatokmu
yang bobrok ini?” Akan tetapi, sesuai dengan bisikan ibunya, ia sengaja melompat
ke atas patok kedua, mempergunakan ilmunya memberatkan tubuh yang disebut tenaga Jiankin-
cui (Tenaga Seribu Kati) sehingga ketika patok itu terinjak oleh kaki kirinya, patok
bambu ini melesak ke bawah sampai rata dengan tanah. Dari sini ia melompat ke patok
keempat, membuatnya rata dengan tanah, lalu keenam dan seterusnya, melompati sebatang
patok sehingga akhirnya patok-patok di situ tinggal delapan belas saja, berdiri pada jarak
enam kaki.
“Ah, patok-patokmu ternyata terlampau lemah!” Ling Ling berkata dan sebagai lanjutan katakata
ini, ia mulai menyerang dengan sebuah lompatan tinggi. Kedua tangannya diulur kearah
pundak Pek Thian Ji yang cepat melompat ke patok lain. Kini keduanya harus mengerahkan
tenaga ginkang seluruhnya karena untuk bertempur sambil berlompatan dari patok ke patok
yang jauhnya enam kaki, bukan hal yang amat mudah dilakukan.
Pek Thian Ji menjadi marah sekali. Ia maklum bahwa gadis muda yang cantik jelita ini lihai
sekali. Demonstrasi tenaga Jian-kin-cui tadi saja sudah menunjukkan betapa hebatnya tenaga
lweekang dari gadis itu dan kini setelah patok-patoknya diratakan tinggal separohnya, maka
rencananya barisan patok ini menjadi gagal.
Mereka kini berdiri di atas patok-patok yang sama sekali asing bagi keduanya dan boleh
dibilang keadaan mereka menjadi sama, hanya mengandalkan kepandaian dan ginkang. Akan
tetapi Pek Thian Ji tidak takut dan ia membalas dengan serangan hebat pula. Pertandingan ini
benar-benar seru dan indah ditonton.
Mereka tak dapat menyerang sambil berdiri di atas patok karena jarak mereka satu dengan
yang lain terlalu jauh. Maka untuk melakukan serangan, mereka melompat dan saling serang
di tengah udara, pada saat mereka belum turun kembali ke atas patok lain. Demikianlah
mereka saling sambar bagaikan sepasang burung berkelahi, mengandalkan ginkang
sepenuhnya, karena sekali saja kaki meleset menginjak patok, berarti yang terpeleset ini akan
dianggap kalah.
Ilmu silat Ling Ling masih lebih tinggi dari pada Pek Thian Ji sungguhpun ginkang mereka
hampir sama. Sedikit saja bedanya, yakni bahwa Ling Ling lebih lincah dan gesit, hal ini
karena memang tubuhnya lebih lemas dan ringan. Ling Ling mengeluarkan ilmu silat Kimgan-
liong-na-hoat, yakni ilmu serangan yang dilakukan dengan pukulan, cengkeraman, dan
tangkapan.
Pada saat Pek Thian Ji melompat dan menerkamnya, Ling Ling membarenginya dan
melompat pula. Dua tubuh bertemu di udara, dan Ling Ling berhasil mencengkeram
pergelangan tangan Pek Thian Ji yang memukul tadi. Pendeta itu merasa betapa lengannya
sakit sekali dan ketika ia mengerahkan tenaga untuk membetot lengannya, Ling Ling sudah
mendahuluinya turun dan berdiri di atas sebuah patok, kemudian gadis ini berseru keras
sambil melontarkan tubuh pendeta yang tangannya masih dipegangnya itu keluar dari
lingkungan patok.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 75
Saking beratnya tubuh pendeta yang mengerahkan lweekangnya, maka patok yang diinjak
oleh Ling Ling sampai melesak ke dalam dan rata dengan tanah, akan tetapi tubuh pendeta itu
terlempar ke atas dan agaknya akan jatuh di atas tanah. Bukan main hebatnya kepandaian
meringankan tubuh dari Pek Thian Ji.
Biarpun tubuhnya sudah terlempar dan melayang ke atas, namun terdengar ia memekik keras
dan tahu-tahu tubuhnya itu sudah berpoksai (berjungkir balik) di udara dan dengan gerakan
kaki tangannya yang dikembangkan seperti sayap burung, ia dapat mengatur tubuhnya dan
kini ia melayang kembali ke bawah, tepat di atas patok yang paling pinggir.
Kalau Pek Thian Ji merasa amat terkejut dan keringat dingin membasahi jidatnya, adalah Ling
Ling sampai mengeluarkan seruan memuji saking kagumnya menyaksikan pertunjukkan
ginkang yang benar-benar hebat ini. Diam-diam ia mengakui bahwa ilmu ginkang dari Pek
Thian Ji ini hebat sekali.
Akan tetapi, gadis ini tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya dan sebelum pendeta
itu dapat melompat ke tengah, ia telah mendahuluinya dan menyerang sambil mengeluarkan
serangan-serangan yang paling lihai dari Kim-gan-liong-na-hoat. Pek Thian Ji berdiri di patok
paling pinggir, tentu saja sukar baginya untuk mempertahankan diri lagi menghadapi serangan
hebat ini dan untuk menjaga dirinya agar jangan sampai terkena cengkeram gadis yang lihai
seperti iblis ini, terpaksa ia melompat ke belakang, turun di atas tanah dan dengan jujur ia
mengaku sambil menjura.
“Kau lihai sekali, nona. Silakan terus masuk ke dalam!”
Ling Ling menjadi lega dan bersama ibunya ia berjalan masuk ke dalam. Ia mulai merasa
khawatir dan diam-diam ia mengakui kelihaian para pendeta Pek-sim-kauw ini. Baru dua
orang saja sudah sedemikian sukar dirobohkan, apalagi masih ada tiga orang lain yang tingkat
kepandaiannya lebih tinggi.
Pek Yang Ji, murid ketiga dari Liang Gi Cinjin, pernah menghadapi Ling Ling, maka ahli
lweekang ini maklum bahwa dalam hal ilmu silat atau ilmu pedang, sukarlah baginya untuk
dapat menangkan iblis wanita ini. Oleh karena itu, ia telah bersiap menghadapi gadis itu
dalam pertandingan tenaga lweekang.
Ia telah berdiri di atas sebuah batu besar yang berat dan keras, sedangkan pada jarak satu
tombak di depannya, terdapat sebuah batu yang sama besarnya. Ia menyambut kedatangan
Ling Ling sambil tersenyum dan berkata langsung.
“Nona, aku telah tahu betapa kau mengalahkan kedua suteku. Karena semenjak dulu aku tidak
suka bertempur yang membahayakan jiwa orang, maka marilah kau mencoba mendorongku
roboh dari batu ini. Kita saling memukul dengan hawa pukulan saja dan siapa yang turun dari
batu, ia terhitung kalah!”
Ling Ling dan ibunya maklum akan kelihaian pendeta ini, karena pernah Ling Ling
merasakan pukulan Thai-lek-kim-kong-jiu dari Pek Yang Ji. Ia maklum bahwa pendeta ini
tentu akan mempergunakan ilmu pukulannya ini untuk merobohkannya dari atas batu.
Pukulan Thai-lek-kim-kong-jiu yang mengandung tenaga lweekang luar biasa besarnya itu
tidak perlu memukul dari dekat.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 76
Tak usah kepalan tangan mengenai tubuh orang, baru mendorong dengan angin pukulan saja
sudah dapat melukai tubuh orang bagian dalam. Maka dapat dibayangkan betapa
berbahayanya menghadapi angin pukulan ini dari jarak satu tombak, dengan berdiri di atas
sebuah batu. Akan tetapi, sebagai seorang gadis gagah, Ling Ling tidak mungkin mundur atau
menolak.
“Ling Ling, biarlah aku yang maju menghadapinya!” kata Sui Giok kepada puterinya, karena
nyonya ini khawatir kalau-kalau puterinya akan terluka oleh pukulan lawan yang lihai. Dalam
hal ilmu silat dan ilmu pedang, memang Sui Giok sudah tertinggal jauh oleh puterinya, juga
dalam hal ginkang, ia sudah kalah setingkat. Akan tetapi, tenaga lweekang nyonya ini
agaknya tidak berada di sebelah bawah tingkat Ling Ling.
Betapapun juga, tentu saja hati Ling Ling tidak mengijinkan ibunya yang menghadapi lawan
tangguh ini, akan tetapi, untuk menyatakan kekhawatirannya dihadapan lawan, ia merasa
malu. Ia lalu mendekati ibunya dan berbisik perlahan.
“Ibu, aku takut kau akan terpukul dan luka!”
Akan tetapi Sui Giok tersenyum dan berbisik kembali, “Jangan khawatir, aku mempunyai
akal untuk mengalahkannya!”
Sebelum Ling Ling dapat membantah, nyonya yang cantik itu telah melompat ke atas batu
menghadapi Pek Yang Ji. Pendeta ini tertawa bergelak dan bertanya,
“Tidak tahu apakah toanio ini Toat-beng Mo-li ataukah Cialing Mo-li?”
“Apa sajapun boleh! Bagiku lebih baik disebut iblis daripada disebut seorang yang hanya
kedoknya saja nampak sebagai pendeta namun hatinya busuk. Nah, silahkan kau mencoba
untuk menurunkan aku dari batu ini!”
Pek Yang Ji tertawa mengejek, lalu ia menggerak-gerakkan kedua lengannya ke atas dan ke
bawah, mengumpulkan tenaga lweekang. Tulang-tulangnya sampai berbunyi berkerotokan
dan kedua lengannya nampak berkilat penuh peluh, tanda bahwa seluruh tenaga telah
berkumpul di kedua lengannya. Kemudian, ia memandang dengan mata mencorong ke arah
Sui Giok, lalu mendorongkan kedua lengannya dengan sekuat tenaga, memukul dengan
tenaga Thai-lek-kim-kong-jiu.
Hawa pukulan yang luar biasa kuatnya menyambar ke arah dada Sui Giok, akan tetapi nyonya
ini cepat berjongkok di atas batu dan berbareng mengirim dorongan dengan kedua lengannya
ke arah lawan itu. Ia bergerak dengan ilmu pukulan “Dewi Mendorong Batang pohon”,
mengumpulkan tenaga lweekangnya untuk mendorong roboh lawannya. Inilah yang ia
katakan sebagai akalnya untuk mengalahkan lawan.
Benar-benar Pek Yang Ji tidak mengira akan kecerdikan nyonya ini dan hampir saja ia
terkena tipuan ini. Hawa pukulannya sendiri tidak mengenai sasaran, sebaliknya pukulan Sui
Giok dengan tepat menyambar dari bawah ke arah lambungnya. Akan tetapi, ahli lweekeh ini
mengerahkan tenaganya dan ketika hawa pukulan menyambar, tubuhnya hanya menjadi
miring saja, tidak sampai terdorong roboh.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 77
Sui Giok terkejut sekali. Tadinya ia merasa girang karena akalnya telah berhasil, akan tetapi
siapa kira lawannya demikian kuat sehingga dapat mempertahankan pukulannya yang dapat
merobohkan sebatang pohon tadi. Kembali Pek Yang Ji memukul, kini ke arah perut Sui Giok
sehingga nyonya ini cepat melompat ke atas menghindarkan angin pukulan dan membalas
dengan pukulan dari atas.
Berkali-kali mereka main pukulan, dan kalau Sui Giok selalu berusaha mengelak, adalah
pendeta itu dengan beraninya menerima hawa pukulan lawan tanpa terpukul roboh. Bahkan ia
lalu mengirimkan serangan pukulan bertubi-tubi sehingga sukar bagi Sui Giok untuk
mengelak di atas batu yang tidak berapa luas itu. Hampir saja nyonya ini terpukul roboh dan
hanya masih dapat menjaga keseimbangan badannya dengan melancarkan hawa pukulan dari
samping untuk menolak dan mengurangi tenaga pukulan lawan.
Ling Ling memandang pertandingan ini dengan wajah pucat. Ia merasa pasti bahwa kali ini
ibunya akan kalah, maka ia memandang dengan jidat berkerut dan hati berdebar. Akan tetapi,
Sui Giok adalah seorang yang cerdik sekali dan telah banyak mempelajari ilmu dari Bu Lam
Nio, di samping kesukaannya membaca buku-buku ketika dulu ia masih berada dengan
suaminya. Banyak buku-buku ilmu perang dibacanya sehingga ia menjadi cerdik dan penuh
akal.
Kini ia memutar otaknya untuk mencari jalan mengalahkan lawannya yang benar-benar
tangguh ini. Tenaga lweekangnya sudah mulai lemah karena banyak dipergunakan dan kini
peluh telah memenuhi jidatnya.
Tiba-tiba ia mendapat akal dan dengan keras sekali ia berseru.
“Pendeta busuk, kau rebahlah!” Sambil berkata demikian, ia cepat mendorong dengan gerak
tipu “Dewi Mendorong Batang Pohon” lawannya seperti tadi, akan tetapi pukulkannya ini
bukan ditujukan ke arah tubuh pendeta itu melainkan ke arah batu besar yang diinjak Pek
Yang Ji.
Sui Giok telah mengerahkan tenaga terakhir dan batu yang berat itu terkena dorongannya tak
dapat bertahan dan bergerak lalu menggelundung ke belakang. Serangan seperti ini sama
sekali tak pernah terduga oleh Pek Yang Ji sehingga pendeta ini terkejut sekali. Terpaksa ia
lalu melompat turun kalau tidak mau ikut menggelinding dan jatuh terjengkang.
Merahlah mukanya dan dengan tersenyum pahit ia lalu menjurah ke arah Sui Giok sambil
berkata, “Toanio, otakmu yang cerdik telah membuat aku yang tolol tertipu! Aku mengaku
kalah.”
Akan tetapi Sui Giok tidak dapat membalas penghormatan ini karena nyonya ini telah
menggunakan terlalu banyak tenaga dan setelah akalnya berhasil, ia berdiri sambil
memeramkan mata dan menghatur napas. Setelah ia membuka mata kembali, ternyata pendeta
itu telah mengundurkan diri ke dalam pos penjagaannya dan Ling Ling telah membimbing
tangannya.
“Ibu, kau hebat sekali!” gadis itu memuji, “Kalau tadi aku yang maju, belum tentu aku dapat
mengalahkan pendeta yang kuat itu.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 78
Sementara itu, seorang pendeta tingkat dua dari Pek-sim-kauw menghadap Liang Gi Cinjin
dangan wajah pucat.
“Sucouw, celaka, orang yang datang telah mengalahkan Sam-suhu, Si-suhu, dan Ngo-suhu!”
Akan tetapi Liang Gi Cinjin yang mendengar laporan ini tersenyum saja. Ia melambaikan
tangannya menyuruh murid itu pergi sambil berkata, “”Pergilah keluar dan biarkan orang
yang menang sampai ke sini!” Kakek yang sakti ini lalu duduk bersila dan dengan hati
gembira ia mengira bahwa “orang yang datang” itu tentulah Liem Sian Lun, muridnya yang
baru.
Kini Ling Ling dan ibunya telah berhadapan dengan penjaga keempat, yakni Pek Hong Ji.
Murid kedua dari Liang Gi Cinjin ani adalah ahli senjata rahasia dan ia memiliki kepandaian
melepas senjata rahasia yang disebut Pek-lian-ci (Bijih Teratai Putih). Begitu berhadapan
dengan Ling Ling dan Sui Giok, pendeta ini menantang.
“Kalian baru boleh masuk menemui suhu apabila dapat menghadapi senjata rahasiaku!”
Ling Ling dan Sui Giok terkejut sekali. Mereka belum pernah mempelajari tentang senjata
rahasia, dan biarpun mereka tidak takut akan serangan senjata rahasia akan tetapi bagaimana
mereka akan dapat mengalahkan lawan ini apabila mereka tidak mempunyai senjata rahasia?
Mungkin dengan ginkang dan gerakan mereka yang gesit, mereka dapat menghindarkan diri,
akan tetapi itu bukan berarti menang.
Sui Giok yang banyak akal lalu berkata dengan suara penuh ejekan. “Totiang, senjata rahasia
hanya dipergunakan oleh penjahat-penjahat dan manusia-manusia curang, maka kata-katamu
tadi amat mengherankan hatiku. Bagaimana seorang pendeta dengan hatinya yang putih tega
hati untuk melakukan serangan kepada orang lain secara menggelap? Bukankah itu perbuatan
curang yang termasuk perbuatan hitam, tidak sesuai dengan hati yang putih?”
Merahlah wajah Pek Hong Ji mendengar ejekan ini. Belum pernah ada orang mengejeknya
tentang penggunaan senjata rahasianya, maka ia bertanya menyindir.
“Apakah kalian takut menghadapi Pek-lian-ci di tanganku?”
Kini Ling Ling yang melangkah maju dan menjawab, “Siapa takut menghadapi senjata
rahasiamu? Aku tidak mengharapkan pendeta palsu seperti kau untuk berlaku jujur. Majulah
dan berbuatlah curang dengan senjata gelapmu, aku akan menghadapimu dengan kaki dan
kepalan tangan. Terus terang saja, aku tidak bisa menggunakan senjata gelap seperti kau. Aku
tidak sudi berlaku seperti monyet yang tidak berani melawan manusia secara jujur, melainkan
naik ke atas pohon dan melempari manusia dengan buah busuk! Hayo, majulah!”
Bukan main sakit hatinya Pek Hong Ji mendengar ucapan gadis muda yang cantik ini.
“Bocah bermulut jahat!” teriaknya sambil melempar kantong Pek-lian-ci ke atas tanah. “Apa
kau kira aku tidak dapat merobohkan kau dengan sepasang kepalanku?” Setelah berkata
demikian, ia lalu menyerang dengan tangan kosong.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 79
Ling Ling menjadi girang melihat sindiran mereka berhasil dan dengan waspada ia lalu
menghadapi dan menyambut serangan itu. Ia tidak tahu bagaimana ia harus menghadapi
lawan ini apabila pendeta ini benar-benar mempergunakan senjata rahasianya.
Bab 10…..
Dengan sengit sekali Pek Hong Ji lalu menyerang dan mengeluarkan ilmu silatnya Pek-simciang-
hoat yang lihai. Kalau saja ia sudah mewarisi ilmu silat ini sepenuhnya, agaknya takkan
mudah bagi Ling Ling untuk mendapat kemenangan. Akan tetapi seperti juga empat orang
saudaranya, pendeta ini baru mewarisi delapan bagian saja dari Pek-sim-ciang-hoat.
Betapapun juga, ilmu silatnya sudah lebih masak dari pada kepandaian Pek Yang Ji dan dua
adik seperguruannya yang lain dan setiap pukulannya mendatangkan angin berdesir
sedangkan gerakannya cepat sekali. Juga di dalam tiap pukulan, ia mempunyai variasi lebih
banyak dari pada adik-adiknya.
Pendeta ini biarpun bertangan kosong, akan tetapi ia seperti memiliki empat lengan. Tidak
hanya sepasang kepalannya yang menyerang, akan tetapi juga dua ujung lengan bajunya ikut
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Kalau Sui Giok yang menghadapi Pek Hong Ji, nyonya ini tentu takkan dapat menang. Hal ini
diketahui baik oleh Sui Giok yang menonton pertandingan itu dengan hati berdebar. Akan
tetapi, menghadapi Ling Ling, Pek Hong Ji mendapatkan lawan yang amat berat. Ilmu silat
keturunan dari keluarga Kam sudah merupakan ilmu silat yang luar biasa kuatnya, apalagi
ilmu silat Kim-gan-liong-ciang-hoat, bukan main hebatnya. Gerakan-gerakan dua tangan Ling
Ling sedemikian cepatnya sehingga nampak seakan-akan gadis ini mempunyai enam buah
tangan.
Bagaimanapun juga, setelah bertempur selama lima puluh jurus, barulah Ling Ling berhasil
mendesak lawannya. Pada saat itu, Pek Hong Ji menyerang dengan gerak tipu “Harimau Sakti
Menubruk Bulan”, kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menyerang ke arah kepala Ling
Ling, sedangkan dua ujung lengan bajunya yang panjang meluncur ke arah leher gadis itu,
melakukan totokan dari kanan kiri.
Bukan main berbahayanya serangan ini yang merupakan serangan maut. Akan tetapi Ling
Ling yang bersikap tenang, memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa. Ia merendahkan
tubuhnya sehingga serangan kedua tangan itu tidak mengenai kepalanya dan dengan gerak
cepat, kedua tangannya bergerak ke depan mencengkeram ke arah ujung lengan baju itu.”
“Brett!!” ketika Pek Hong ji yang serangannya gagal itu melompat ke belakang, ternyata
bahwa ujung lengan bajunya telah terobek oleh cengkeraman tangan Ling Ling dan kini
robekan baju itu berada di tangan gadis itu.
“Hebat, hebat!” kata pendeta itu sambil menghela napas. “Kau cukup pandai untuk
menghadapi twa-suheng, nona!” Pendeta ini diam-diam berterima kasih atas kemurahan hati
Ling Ling, oleh karena kalau gadis itu mau, bukan ujung lengan bajunya yang robek, akan
tetapi bagian lain yang berbahaya dari tubuhnya.
Ling Ling sudah nampak lelah sekali, dan ibunya mengetahui akan hal ini.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 80
“Ling Ling, biarlah rintangan terakhir ini aku yang menghadapinya. Kau perlu
mengumpulkan tenaga untuk menghadapi Liang Gi Cinjin, ketua mereka!”
Ling Ling dapat menyetujui pendapat ibunya ini, akan tetapi ia merasa khawatir oleh karena
dapat menduga bahwa ilmu kepandaian murid pertama itu tentulah lebih lihai lagi. Pada saat
itu mereka telah maju sampai di pintu ruangan dalam dan di situ telah menanti Pek Im Ji yang
berdiri dengan gagah sambil memegang pedang.
“Totiang,” kata Sui Giok sambil maju menghadapi tosu itu, “belum cukupkah kami
mengalahkan empat orang saudaramu? Lebih baik kau mempersilahkan gurumu keluar agar
dapat bertemu dengan kami.”
Pek Im Ji terkenal paling sabar di antara semua saudaranya. Ia tersenyum dan memandang
kagum.
“Sungguh sukar dapat dipercaya bahwa kalian dua orang wanita lemah ini dapat mengalahkan
empat orang suteku. Ketahuilah bahwa kami telah diberi tugas oleh suhu untuk menjaga di
sini, maka sebelum kau mengalahkan pedangku ini, jangan harap akan dapat bertemu dengan
suhu. Aku telah mendengar bahwa kalian orang-orang yang dijuluki iblis wanita di lembah
sungai Cialing, dan mengapakah kalian masih mendesak terus kepada kami? Suhu telah
menganggap habis urusan dengan kalian berdua, mengapa kalian datang mencari penyakit?
Seandainya kalian bisa menangkan aku, apakah kalian dapat melawan suhu?”
Mendengar ucapan ini, Sui Giok lalu berkata, “Totiang, kau keliru. Kami datang bukan
hendak berlaku kurang ajar terhadap Liang Gi Cinjin, kecuali kalau orang tua itu masih
merasa penasaran atas kematian murid-muridnya dan hendak menyerang kami, terpaksa kami
takkan mundur demi membela kebenaran.
Ketahuilah bahwa sampai saat inipun, kami tidak merasa salah dan bahkan kami hendak
mengadukan perbuatan para pendeta Pek-sim-kauw kepada orang tua itu untuk minta
pertimbangan yang adil. Kamipun bukan orang-orang yang mencari permusuhan, dan kami
takkan mengganggu apabila tidak diganggu lebih dulu. Maka, kau mundurlah dan biarkan
kami bertemu dengan suhumu.”
“Enak saja kau bicara! Apakah kau suruh aku melalaikan kewajibanku menjaga di sini? Tidak
bisa, kalian harus mencoba dulu pedangku!” pendeta itu berkeras.
“Baiklah, kau yang mencari perkara, bukan aku!” Sui Giok lalu mencabut pedangnya dan
sebentar kemudian kedua orang ini bertempur dengan sengit.
Pada saat itu, seorang pendeta tingkat dua, kembali melaporkan kepada Liang Gi Cinjin,
“Sucouw, celaka, Ji suhu juga telah kalah dan sekarang iblis-iblis wanita itu bertempur
melawan twa-suhu!”
Terbelalak mata kakek itu ketika mendengar disebutnya “iblis wanita”, “Apa katamu? Siapa
yang datang?”
“Mereka adalah dua orang iblis wanita itu, sucouw.”
“Yang disebut Cialing Mo-li dan Toat-beng Mo-li?”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 81
“Benar sucouw. Mereka mengamuk hebat!”
Mendengar ini, Liang Gi Cinjin lalu bertindak keluar dan benar saja, ia melihat betapa
muridnya yang tertua, yakni Pek Im Ji, sedang terdesak hebat oleh ilmu pedang yang
dimainkan secara luar biasa sekali oleh seorang gadis muda yang cantik jelita.
Tadi ketika melihat gerakan Pek Im Ji, Ling Ling maklum bahwa ibunya takkan dapat
menang, maka ia lalu mencabut pedangnya dan berseru. “Ibu, silakan mundur, biar anak yang
memberi rasa kepada pendeta ini!”
Sui Giok memang merasa betapa tangguhnya lawan ini, maka terpaksa ia melompat mundur,
digantikan oleh anaknya. Setelah Ling Ling maju dan mainkan pedangnya Pek Im Ji merasa
terkejut sekali.
Ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis ini masih sama dengan ilmu pedang yang dimainkan
oleh nyonya cantik itu, akan tetapi jauh lebih cepat, lebih kuat, dan lebih aneh gerakannya.
Sebentar saja ia terdesak hebat dan terkurung oleh sinar pedang di tangan Ling Ling.
Melihat gerakan ilmu pedang gadis itu, Liang Gi Cinjin berdiri dengan mulut sedikit terbuka.
Hampir ia tidak percaya kepada pandangan matanya sendiri. Ia memandang dengan penuh
perhatian, dan mengikuti setiap gerakan ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-hoat dengan
kening berkerut. Tidak salahkah penglihatannya?
Dalam jurus keempat puluh dengan gerakan “cam” (melibat) dan dilanjutkan dengan gerakan
“coan” (memutar), Ling Ling berhasil mengurung pedang lawan dan sekali ia berseru keras
sambil menyontek dengan pedangnya, Pek Im Ji berseru keras dan melompat mundur
sedangkan pedangnya terpental ke atas udara.
“Bagus sekali!” Liang Gi Cinjin berseru dengan heran dan girang. Kakek ini menyambut
pedang Pek Im Ji yang melayang turun kembali, kemudian sambil memegang pedang itu ia
menyerang Ling Ling sambil berkata, “Hayo ulangi lagi gerakan Kim-gan-liong-jio-cu (Naga
Mata Emas merebut Mustika) tadi!”
Ling Ling terkejut sekali ketika kakek tua berambut putih ini menyebut nama gerakannya
yang telah dipergunakan untuk mengalahkan Pek Im Ji tadi. Melihat gerakan serangan pedang
kakek ini, ia dapat menduga bahwa ini tentulah Liang Gi Cinjin. Gerakan pedangnya
demikian hebat dan kuat.
Akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Biarpun menurut suara di kalangan
kang-ouw ketika ia dan ibunya keluar dari hutan, nama Liang Gi Cinjin dianggap sebagai
tokoh tinggi dalam dunia persilatan, termasuk kaum locianpwe, namun kini kakek itu telah
menyerangnya.
Ling Ling lalu mempergunakan ilmu gerakan Kim-gan-liong-jio-cu dan seperti tadi, ia
berusaha menempel pedang lawan, melakukan gerakan memutar, lalu mengerahkan
lweekangnya untuk membuat pedang lawannya terpental. Akan tetapi, sungguh luar biasa
sekali, biarpun dengan cara yang berbeda.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 82
Ling Ling merasa betapa kakek itupun melakukan gerakan yang sama, menempel, memutar
dan mengerahkan tenaga. Dua tenaga bertemu, getaran pedang secara luar biasa beradu dan
terdengar suara nyaring sekali.
“Traaang.....! Krek!!” Pedang di tangan kakek itu patah menjadi dua potong, akan tetapi
pedang di tangan Ling Ling patah menjadi tiga potong.
“Ha, ha, ha!” Liang Gi Cinjin tertawa. “Tak salah lagi......! Eh, nona, apakah kau seorang she
Kam?”
“Bukan,” jawab Ling Ling, “teecu she Kwee. Apakah teecu berhadapan dengan Liang Gi
Cinjin yang terhormat?”
Kembali Liang Gi Cinjin tertawa. “Aneh, aneh, kau she Kwee, akan tetapi telah mewarisi
ilmu pedang dari Kam-ciangkun (Panglima she Kam). Mari kalian masuklah ke dalam, aku
ada pembicaraan penting sekali!”
Tanpa ragu-ragu lagi Liang Gi Cinjin lalu memegang tangan Ling Ling dan membawa gadis
itu bersama ibunya masuk ke ruang dalam. Kakek itu berjalan sambil tertawa-tawa senang
seakan-akan bertemu dengan seorang kawan lama.
Tentu saja para pendeta memandang peristiwa itu dengan melongo. Juga Ling Ling merasa
heran, sedangkan Sui Giok diam sambil mengerutkan kening. Kelakuan kakek ini benar-benar
aneh baginya.
Setelah berada di dalam, Liang Gi Cinjin mengubah sikapnya dan kini nampak keras dan
marah,
“Hayo, katakan dari mana kalian mencuri ilmu pedang Kim-gan-liong Kiam-hoat, pusaka dari
sahabat baikku Kam Kok Han itu!”
Mendengar bahwa kakek ini adalah sahabat baik Panglima Besar Kam Kok Han, suami dari
Bu Lam Nio, Sui Giok lalu memegang tangan Ling Ling dan menjatuhkan diri berlutut di
depan Liang Gi Cinjin.
“Memang teecu dua beranak telah mewarisi ilmu silat dari keluarga Kam, akan tetapi sekalikali
bukan dengan jalan mencuri.” Sui Giok lalu menuturkan bahwa dia dan puterinya
menerima pelajaran dari Bu Lam Nio, pelayan dan juga bini muda Panglima Kam Kok Han.
Liang Gi Cinjin mengangguk-angguk, kemudian ia berkata, “Jadi demikianlah kalian dapat
mewarisi kepandaian itu? Hm, aku sudah menduga bahwa kitab rahasia kawanku yang
bernasib malang itu tentu dilarikan oleh seorang pelayannya yang setia. Syukurlah, kau
mempunyai bakat baik sekali, nona kecil, dan patut menjadi ahli waris sahabatku Kam Kok
Han yang malang. Dan di manakah adanya bini muda sahabatku itu? Apakah dia masih
hidup?”
Mendengar pertanyaan ini, Sui Giok lalu menangis, teringat kepada Bu Lam Nio yang
dikasihinya. Ling Ling memeluk ibunya dan menghiburnya.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 83
“Locianpwe,” kata Ling Ling, “sungguh mengherankan sekali kalau locianpwe tidak
mengetahui hal itu. Yang disebut iblis wanita dan yang dibunuh oleh anak murid locianpwe,
sesungguhnya adalah Bu Lam Nio itulah!”
“Apa......!” Liang Gi Cinjin merasa lemas tubuhnya dan ia menjatuhkan diri duduk di atas
bangkunya. Ia merasa menyesal sekali dan hendak marah kepada anak muridnya, akan tetapi
apa hendak dikata? Hal itu terjadi dan sesungguhnya bukan salah pihak murid-muridnya.
“Coba ceritakan tentang Bu Lam Nio itu, mengapa ia menjadi begitu galak dan menyeramkan
keadaannya?”
Sui Giok lalu menceritakan tentang kesengsaraan Bu Lam Nio dan kakek itu menganggukangguk
sambil mengelus-elus jenggotnya. “Kasihan sekali wanita itu,” katanya, “akan tetapi
sudahlah. Sesungguhnya semua peristiwa itu terjadi karena salah mengerti. Akan tetapi, yang
amat mengecewakan hatiku adalah keadaanmu, terutama sekali puterimu yang masih muda
ini. Ilmu silat keluarga Kam adalah ilmu silat dari keluarga patriot, dari keluarga pendekar
besar yang rela mengorbankan nyawa demi nusa dan bangsa. Akan tetapi, sungguh harus
disesalkan bahwa ilmu silat itu akhirnya jatuh kepada orang yang tidak tahu sama sekali
tentang kepahlawanan. Kalian menuntut penghidupan liar di dalam hutan, sehingga oleh
orang-orang disebut iblis-iblis wanita, bukankah ini amat merendahkan nama baik keluarga
Kam? Negara sedang kacau balau, rakyat sedang sengsara mengalami penindasan dari kaisar
yang lalim. Mengapa kau tidak mau membela rakyat? Rakyat di mana-mana sedang bergerak
untuk maksud yang mulia, mengapa kalian bahkan menakut-nakuti rakyat? Ah, sayang sekali,
kalau ilmu silat itu masih berada di tangan Kam Kok Han, tentu ia dapat berbuat banyak
untuk kepentingan rakyat. Sayang ilmu itu berada di tangan seorang bocah perempuan yang
masih hijau, bodoh dan bisanya hanya marah-marah saja.”
Bukan main panasnya hati Ling Ling mendengar ucapan ini. Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan
berkata dengan mata terbelalak,
“Liang Gi Cinjin! Aku bersikap hormat terhadapmu, akan tetapi sebaliknya kau memakimakiku
sesuka hatimu! Kau kira aku ini orang macam apakah? Apa kau kira hanya orangorang
laki seperti kau saja yang bisa berjasa terhadap tanah air dan bangsa? Apakah kau kira
hanya kalian saja yang telah merasai kesengsaraan akibat kelaliman kaisar? Aku sendiri,
bersama ibuku ini, telah menjadi korban “kelaliman kaisar”! Aku sendiri akan mengambil
kepala kaisar! Kau dengar ini? Aku akan mengambil kepala kaisar! Dan kau harus menarik
kembali omonganmu tadi, kalau tidak, aku akan menganggap kau sebagai musuh besarku dan
pada suatu hari aku pasti akan membuat perhitungan denganmu!”
Aneh sekali, melihat gadis itu marah dengan muka merah dan mata terbelalak berdiri dengan
mengangkat dada dan mengedikkan kepala sehingga Sui Giok menjadi kaget, malu, dan tidak
enak hati, kakek itu bahkan menjadi terharu sekali. Akan tetapi, ia tersenyum puas dan dari
kedua matanya menitik air mata.
“Kau? Kau hendak mengambil kepala kaisar? Ha, ha! Kau hanya bisa membuka mulut besar!
Menarik kembali omonganku? Gampang saja kau buktikan dulu kesombonganmu tadi! Kalau
sudah terbukti bahwa kau adalah seorang dara perkasa yang benar-benar pendekar, barulah
aku orang tua pikun hendak menarik kembali omongan tadi! Ha, ha, ha!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 84
Kakek ini lalu berjalan ke arah sebuah peti, mengeluarkan sebatang pedang berikut
sarungnya, lalu berkata.
“Aku tidak main-main, benar-benar aku menantangmu untuk memenuhi ucapanmu yang
sombong tadi. Kau hendak mengambil kepala kaisar? Nah, terimalah pedang ini. Aku mau
bukti, bukan omongan besar yang kosong melompong! Pedang ini bernama Pek-hong-kiam,
dulu menjadi saudara dari pedang Oei-hong-kiam yang dipegang oleh Kam Kok Han dan
yang lenyap entah di mana adanya! Buktikan omonganmu tadi, dan baru aku percaya kalau
tercium olehku darah kaisar pada pedang ini!”
Baik Sui Giok maupun Ling Ling terkejut dan terharu sekali mendengar bahwa pedang itu
adalah pedang yang sejajar dengan Oei-hong-kiam, pedang yang dirampas oleh pembunuh
Kam Kok Han sebagaimana yang dipesankan oleh Bu Lam Nio. Nenek itu dulu berpesan agar
supaya Ling Ling mencari pemegang pedang Oei-hong-kiam, karena pedang ini adalah
pedang Kam Kok Han yang dirampas oleh pembunuhnya sehingga siapa saja yang memegang
pedang Oei-hong-kiam tentu mempunyai hubungan dengan pembunuh Panglima Kam itu.
Ling Ling masih marah sekali, akan tetapi ia menerima pedang itu berkata, “Baiklah kita
sama lihat saja. Setelah selesai tugasku, aku akan mengembalikan pedang ini sebagai bukti,
dan kau orang tua harus menarik kembali omonganmu yang amat menghina!” Setelah berkata
demikian, Ling Ling memegang tangan ibunya dan membawanya lari keluar dari tempat itu.
Kembali para pendeta memandang dengan melongo ketika melihat dua orang wanita ini
berlari cepat sekali dari ruang Liang Gi Cinjin.
Adapun kakek itu, setelah Ling Ling dan ibunya pergi, berkata seorang diri, “Mudahmudahan
ia berhasil! Ia seorang murid yang amat baik, bahkan ...... belum tentu kalah baik
oleh Sian Lun!” Tiba-tiba wajahnya berseri karena ia teringat akan sesuatu. “alangkah
baiknya, alangkah cocoknya! Benar, bagus sekali! Ah, semoga keduanya akan dapat melewati
masa kacau ini dengan selamat sehingga akan tercapai maksudku!” Ucapan ini adalah akibat
dari pikiran kakek itu yang melihat betapa baiknya apabila terikat tali perjodohan antara gadis
tadi dengan Sian Lun.
******
Memang benar sebagaimana yang terdengar dalam percakapan antara Liang Gi Cinjin dan
Beng To Siansu, kaisar Yang Te yang lalim dan hanya mengingat untuk melampiaskan
nafsunya sendiri itu, telah membuat rakyat amat tergencet dan sengsara.
Mulailah timbul pemberontakan-pemberontakan di mana-mana. Pertama-tama pemberontakan
timbul di propinsi Santung dan Hopak, setelah kaisar memimpin balatentara menyerang
Korea. Seorang patriot besar bernama Wang Po telah menulis sajak yang membongkar semua
keburukan pemerintah Sui, dan ia lalu memimpin barisan pemberontak yang terdiri dari para
petani di pegunungan Cingpai di propinsi Santung.
Juga di sepanjang lembah Yang-ce-kiang dan sungai kuning, timbullah pemberontakan yang
besar jumlahnya. Makin lama barisan pemberontak ini makin meluas sehingga mereka mulai
menduduki kota-kota dan dusun-dusun.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 85
Seorang pemimpin pemberontak lain bernama Li Mi memimpin barisan pemberontak di
Honan. Memang tadinya para pemberontak yang terpisah-pisah dan berkelompok-kelompok
ini seringkali kena pukul mundur oleh tentara kerajaan Sui akan tetapi mereka ini makin lama
makin besar jumlahnya dan mulai bersatu dengan barisan lain.
Ketika tentara kerajaan dari utara hendak menyerang barisan pemberontak yang dipimpin oleh
Li Mi, seorang pemimpin lain yang bernama Tou Cian Tek memimpin pasukan pemberontak
yang besar bergerak dari Santung ke Hopak dan memotong pasukan kerajaan yang hendak
menyerang barisan pemberontak Li Mi. Demikianlah, mulai ada kerja sama antara barisan
pemberontak sehingga tentara kerajaan dapat dipukul di sana sini.
Seorang pemimpin pemberontak lain yang penting untuk disebut adalah Tu Fu Wi, yang
memimpin barisannya di sebelah selatan sungai Huai dan yang menyerang tentara Sui di
Yangkou. Masih banyak lagi jumlahnya barisan-barisan pemberontak yang dipimpin oleh
orang-orang gagah dan pandai, semua dengan tujuan sama, yakni menumbangkan pemerintah
korup dari kerajaan Sui di bawah pimpinan kaisar Yang Te yang lalim.
Akhirnya, seorang jenderal besar yang amat gagah perkasa dan terkenal, yakni jenderal
kerajaan Sui yang bernama Li Goan, yang sudah lama merasa tidak suka dengan
pemerintahan Kaisar Yang Te, memberontak pula. Jenderal ini berkedudukan di Taigoan dan
ia memimpin ratusan ribu tentara menyerang dan menduduki Tiang-an. Hal ini terjadi pada
tahun 617 (Masehi).
Sebelum Jenderal Li Goan memberontak, terjadilah peristiwa yang hebat di kota Taigoan.
Liem Siang Hong, panglima yang berkepandaian tinggi dan gagah perkasa itu, adalah seorang
panglima kepercayaan Li Goan.
Biarpun Liem Siang Hong menjadi orang bawahan jenderal Li Goan, akan tetapi perhubungan
mereka seperti sahabat-sahabat baik saja. Mereka saling kunjung-mengunjungi dan dalam
segala hal mereka sependapat.
Juga Kwee Siong, yang kini telah pindah ke kota raja, kenal baik dengan jenderal Li Goan
dan panglima ini amat suka kepada Kwee Siong yang berotak cerdas dan berpemandangan
luas.
Pada suatu hari, beberapa bulan sebelum Li Goan memberontak, jenderal ini memanggil
Panglima Liem Siang Hong untuk mengadakan perundingan penting. Ketika Liem Siang
Hong sudah tiba, jenderal Li Goan membawanya ke kamar kerjanya dan menutup semua
pintu dan jendela. Liem Siang Hong merasa heran melihat sikap rahasia ini, dan ia tidak
merasa heran lagi ketika mendengar jenderal itu berbicara.
“Saudara Liem, kau tentu sudah mendengar tentang keadaan yang makin buruk dari
pemerintah Sui. Sungguh menggemaskan mengapa kaisar masih saja menulikan telinga
terhadap semua nasehat para tiong-sin (menteri setia dan jujur), sebaliknya bahkan
mendengarkan hasutan-hasutan para kan-sin (menteri durna)! Tenaga rakyat diperas habishabisan,
dan selagi keadaan negara masih kalut dan lemah, bahkan melakukan penyerangan
mati-matian ke utara!”
Liem Siang Hong menarik napas panjang. “Memang hal ini amat buruk dan patut disesalkan,
Goanswe (bapak jenderal). Akan tetapi apakah yang harus dan dapat dilakukan oleh orangToat-
Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 86
orang militer seperti kita? Kita hanya menanti perintah, dan para menteri dorna yang lemah
itu bahkan berkuasa untuk memegang kendali pemerintahan, mengatur segala urusan dengan
maksud memenuhi kantong sendiri. Sungguh menyebalkan!”
“Kau, keliru, Liem ciangkun! Dalam keadaan seperti ini, biarpun kita tidak memegang jabatan
sebagai pengurus-pengurus negara, namun kita harus menghadapi kenyataan dengan pikiran
tenang dan matra waspada. Kalau negara terancam oleh barisan tentara asing, serahkanlah
kepada kita yang akan menghancurkan mereka atau mengorbankan nyawa dalam perang.
Akan tetapi, jangan menyuruh aku melakukan penyembelian terhadap tentara pemberontak
yang sesungguhnya adalah rakyat jelata yang sudah tidak sudi lagi dijadikan landasan kaki
para menteri dorna berikut kaisar yang lalim. Aku masih cukup setia dan selama ini aku
mengendalikan nafsu agar jangan ikut memberontak. Akan tetapi, aku sekarang hendak
menghadap kaisar dan memberi nasihat terakhir. Kalau beliau tidak menurut nasehatku,
menarik mundur barisan dari timur dan memperbaiki keadaan rakyat yang sengsara, aku akan
memihak kepada pemberontak!”
Liem Siang Hong mengerutkan alisnya. “Berbahaya sekali tindakan ini, goanswe. Untuk
memberi nasehat kepada kaisar, rasanya tidak perlu goanswe berangkat sendiri. Biarlah aku
yang mewakili goanswe dan membawa surat untuk disampaikan kepada kaisar.”
Jenderal itu memandang dengan mata tajam kepada Liem Siang Hong, “Saudaraku, tahukah
kau betapa bahayanya tugas ini?”
“Tentu saja aku tahu!” jawab panglima itu dengan gagah. “Akan tetapi, perasaan takut
merupakan pantangan besar bagi seorang perajurit seperti aku!”
“Bagus! Ketahuilah, memang terkandung maksud dalam hatiku menyuruh seorang
mewakiliku menghadap kaisar, dan kalau ada orang itu, hanya engkaulah, saudaraku! Bukan
aku tidak berani menghadap sendiri, akan tetapi kalau sampai di kota raja aku terkena
malapetaka dari para dorna, habis siapakah yang akan dapat memimpin pasukan-pasukan
untuk menyerbu dan meruntuhkan kerajaan yang sudah bobrok itu? Kau berangkatlah,
bawalah surat nasehatku kepada kaisar dan jangan khawatir, aku telah siap dengan seluruh
anak buahku. Kalau ada yang berani mengganggu selembar rambutmu di kotaraja, aku
bersumpah untuk mengganti kerugian dengan menduduki Tiang-an dan membasmi para
dorna!”
Demikianlah, setelah menerima surat dari jenderal itu, Liem Siang Hong lalu pulang ke
rumahnya. Ia tidak berani menceritakan tugasnya yang penting dan rahasia ini kepada
isterinya, akan tetapi ia merasa terharu juga.
Pertemuan dengan isterinya ini mungkin sekali untuk yang terakhir. Ia merasa rindu kepada
puteranya yang masih berada di Kun-lun-san belajar ilmu kepada Beng To Siansu.
“Isteriku!” katanya pada malam hari itu, “besok pagi aku akan pergi melakukan tugas
pekerjaanku. Tak usah kau tahu ke mana, karena memang belum ada ketentuan. Akan tetapi
mungkin sekali agak lama. Keadaan negara sedang kalut seperti ini dan siapa tahu kalau di
kota inipun akan ada huru-hara yang besar. Pesanku kepadamu, kalau sampai terjadi sesuatu
dan aku belum kembali, kau mintalah tolong kepada jenderal Li Goan dan apabila kelak kau
berada dalam keadaan yang membutuhkan pertolongan, kau dan putera kita berlindunglah
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 87
kepada saudara kita Kwee Siong. Hanya dia seoranglah yang akan dapat menerima kau dan
anakmu sebagai keluarga sendiri!”
Isterinya memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan suaranya gemetar ketika
bertanya. “Suamiku, mengapa kau berkata demikian? Seakan-akan kau berpamit untuk pulang
ke alam baka saja. Apakah yang terjadi, dan kau hendak pergi kemanakah?”
Melihat wajah isterinya menjadi pucat, Liem Siang Hong lalu menghiburnya dan tersenyum
untuk membikin tenang hati isterinya. “Soal mati hidup, siapa yang tahu? Aku hanya bicara
sebagai penjagaan dan persiapan saja. Siapa yang akan tahu perkembangan keadaan yang
makin lama makin panas ini. Aku bukan maksudkan kalau aku mati, akan tetapi misalnya
kalau perjalananku ini menjadi terputus oleh kerusuhan dan pemberontakan sehingga kita
terpisah jauh. Nah, kepada Kwee Siong dan jenderal Li Goan saja kau boleh dan dapat
berlindung.”
Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali, di antar oleh lima orang perwira, berangkatlah
Liem Siang Hong ke kota raja. Panglima yang gagah berani ini telah berhasil menghadap
kaisar dan menyampaikan surat dari jenderal Li Goan yang isinya mengecam pedas kepada
Kaisar, mengajukan tuntutan-tuntutan agar supaya kaisar suka insaf dan jangan menuruti
bujukan dan hasutan para pembesar dorna.
Sebelum menghadap kepada kaisar, Liem Siang Hong menyuruh kelima orang perwira yang
mengawaninya itu untuk bersembunyi di rumah gedung Kwee Siong dan kepada adik
angkatnya ini ia memberi surat.
Kwee Siong menerima lima orang perwira dari Tai-goan yang sudah dikenalnya itu dan
alangkah kagetnya ketika ia membaca surat Liem Siang Hong yang berbunyi singkat.
Adikku Kwee Siong yang baik,
Aku sengaja tidak berhenti di rumahmu agar kau jangan ikut terbawa-bawa dalam perkara ini.
Aku sedang menjalankan tugas membawa surat Jenderal Li Goan kepada kaisar dan karena isi
surat ini merupakan kecaman dan nasehat, tidak terlalu dilebihkan apabila aku mungkin
takkan kembali dengan selamat dari dalam istana.
Hanya satu pesanku, apabila aku benar-benar sampai binasa oleh kaisar dan para pembesar
dorna, kau peliharalah baik-baik isteriku dan puteraku.
Selamat Tinggal.
Kakakmu,
Liem Siang Hong
Bukan main sedihnya hati Kwee Siong. Ia maklum dan telah yakin akan nasib kakak
angkatnya itu, oleh karena pada masa itu, “menasehati” kaisar merupakan pantangan besar
bagi mereka yang masih ingin hidup. Telah banyak para pembesar jujur yang menasehati
kaisar dan mereka ini dicap sebagai pemberontak dan hanya satulah hukuman bagi mereka
yang berani lancang menasehati kaisar, yakni hukuman mati.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 88
Kwee Siong lalu berkemas dan ia memerintahkan seorang perwira pengiring Liem Siang
Hong untuk diam-diam membawa isteri dan puteranya, yakni Kwee Cun yang baru berusia
sembilan tahun, untuk diam-diam melarikan diri ke Tai-goan.
Bab 11…..
Benar saja, tak lama sesudah Liem Siang Hong menyerahkan surat itu kepada kaisar, kaisar
ini dan beberapa orang menteri dornanya menjadi marah sekali dan pada saat itu juga Liem
Siang Hong ditangkap dan dihukum penggal kepala.
Empat orang perwira pengikut Liem-ciangkun, ketika mendengar akan hal ini, bersama Kwee
Siong lalu melarikan diri secepatnya keluar dari kotaraja, kembali ke Tai-goan. Ketika
mendengar bahwa Kwee Siong melarikan diri, kaisar menjadi marah sekli dan menyuruh para
pengawal mengejarnya, akan tetapi Kwee Siong dan empat orang perwira itu telah jatuh dan
tidak dapat dikejar lagi.
Jenderal Li Goan mengepal-ngepal tinju, menggigit-gigit bibir dan air matanya tak tertahan
lagi, terutama setelah mendengar laporan tentang dibunuhnya Liem Siang Hong.
“Kaisar lalim, pembesar-pembesar dorna! Kalian benar-benar telah buta dan telah
kemasukkan iblis. Saudaraku Liem Siang Hong, jangan mati penasaran, lihat saja betapa tak
lama lagi aku akan menghancur leburkan Tiang-an!”
Jenderal besar ini lalu menghimpun seluruh balatentaranya, ditambah pula dengan rakyat
jelata yang menyokong pemberontakannya dan segera memimpin ratusan ribu balatentara
menyerbu Tiang-an.
******
Kita tinggalkan dulu barisan Jenderal Li Goan yang mengamuk dan berusaha menggulingkan
pemerintahan kaisar yang lalim itu, dan marilah kita mengikuti perjalanan Liem Sian Lun,
putera tunggal dari Liem Siang Hong yang gugur sebagai seorang patriot bangsa yang gagah
perkasa itu.
Setelah setahun melatih diri, dengan tekunnya dan telah dapat menguasai ilmu silat yang
diajarkan oleh Liang Gi Cinjin dengan sempurna, Liem Sian Lun mendapat izin dari Beng To
Siansu untuk turun gunung.
“Muridku, pertama-tama kau harus pergi menghadap suhumu Liang Gi Cinjin sebagaimana
telah ia pesan dulu. Kemudian, kau harus membuka matamu baik-baik dan melihat keadaan
dunia di sekelilingmu. Kalau aku tidak salah tafsir, kerajaan yang sekarang telah mendekati
keruntuhannya dan sepanjang pendengaranku, di mana-mana telah timbul pemberontakan
hebat. Ayahmu adalah seorang panglima, maka kau harus dapat mempertimbangkan keadaan
ayahmu. Kemudian sudah menjadi tugasmu pula untuk membantu perjuangan, hanya harus
kau berhati-hati dan dapat memilih pihak yang benar! Nah, kau berangkatlah.
Setelah menerima banyak nasehat dari gurunya, Sian Lun lalu turun dari Kun-lun-san dan
langsung menuju ke kota Ceng-tu. Tidak sukar baginya untuk mencari rumah perkumpulan
Pek-sim-kauw, karena rumah ini merupakan sekelompok bangunan yang besar dan banyak,
terkurung pagar tembok warna kuning yang tinggi.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 89
Sian Lun maklum bahwa ia akan menghadapi ujian suhunya, akan tetapi ia tidak takut karena
selama ini ia telah melatih diri dengan rajin dan sepanjang ingatannya semua pelajaran ilmu
silat dan ilmu pedang dari Liang Gi Cinjin telah dipelajari dan dilatihnya dengan baik.
Dengan tabah ia melangkah memasuki pintu gerbang di depan dan ia melihat banyak sekali
pendeta yang berpakaian dengan gambar hati putih di dada, akan tetapi semua pendeta ini
seakan-akan tidak melihatnya sehingga ia menjadi heran dan melangkah terus.
Ketika ia tiba di tengah halaman yang luas itu, tiba-tiba dari dalam keluar lima orang pendeta
tua yang berwajah angker. Pendeta-pendeta ini menghadang di tengah jalan, lalu seorang di
antara mereka bertanya garang.
“Saudara siapakah dan ada keperluan apakah masuk ke dalam rumah kami?”
Melihat lima orang pendeta yang memakai tusuk konde perak ini, Sian Lun yang sudah
mendapat keterangan dari Beng To Siansu, dapat menduga bahwa mereka ini tentulah lima
orang murid suhunya yang disebut Pek-sim Ngo-lojin. Ia cepat memberi hormat dan
menjawab,
“Siauwte adalah Liem Sian Lun dan siauwte datang mohon bertemu dengan suhu Liang Gi
Cinjin.”
Lima orang pendeta itu memang Pek-sim Ngo-lojin. Mereka ini masih merasa amat penasaran
dan marah karena telah dikalahkan oleh Ling Ling dan ibunya pada tiga hari yang lalu.
Mereka masih merasa mendongkol terhadap suhu mereka karena mereka telah mendapat
marah dan teguran, akan tetapi suhu mereka masih memesan agar supaya mereka menjaga di
tempat penjagaan masing-masing dan menyerang orang yang ingin menghadap Liang Gi
Cinjin.
“Kalau ada orang datang mencariku, kalian harus mencoba dan menguji ilmu kepandaiannya,
akan tetapi berhati-hatilah. Jangan sampai melukai orang itu sehingga kalian menanam
permusuhan lagi dengan orang lain. Aku hanya ingin kalian menguji kepandaiannya saja.”
Kini datanglah orang muda ini yang ingin bertemu dengan Liang Gi Cinjin. Lima orang
pendeta itu baru tiga hari yang lalu telah menderita kekalahan, maka kini setelah saling
pandang dengan kawan-kawan sendiri, serentak mereka mencabut pedang dan berkatalah Pek
Thian Ji yang galak.
“Mau bertemu dengan guru kami! Tidak mudah, anak muda. Kalau kau tidak dapat
mengalahkan pedang kami, kau lebih baik pergi saja dan jangan mencoba untuk mengganggu
suhu!”
Sian Lun tidak merasa heran mendengar ini dan ia memang telah bersiap untuk menghadapi
ujian ini. Hanya ia merasa heran pendeta-pendeta yang menjadi murid gurunya ini nampak
galak dan agaknya hendak maju semua mengeroyoknya. Ia lalu mencabut keluar pedang
pemberian Beng To Siansu dan sambil memalangkan pedang di depan dada, ia berkata.
“Kalau ngo-wi hendak menghalangiku, terpaksa siauwte akan berlaku kurang ajar!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 90
Lima orang pendeta Pek-sim-kauw itu lalu maju mengepungnya dan berytempurlah mereka
dengan ramai. Akan tetapi baru saja mereka bertempur sepuluh jurus, bukan main kaget dan
herannya Pek-sim Ngo-lojin ketika melihat bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh pemuda
tampan ini bukan lain adalah ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat.
Kalau saja kelima orang pendeta itu menghadapi Sian Lun dengan ilmu silat lain, mungkin
pemuda itu akan repot juga menghadapi keroyokan lima orang pendeta yang lihai itu. Akan
tetapi Pek-sim Ngo-lojin menyerangnya dengan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang baru
mereka miliki delapan bagian, sedangkan pemuda itu sudah mewarisi sepenuhnya, maka tentu
saja Sian Lun dapat melayani mereka dengan baik sekali.
Bahkan ketika ia mainkan bagian akhir dari ilmu pedang itu, yang paling sulit dan paling lihai
sehingga pedangnya berkelebatan bagaikan segulung awan putih menyelimuti tubuh kelima
pengeroyoknya, murid-murid Liang Gi Cinjin ini menjadi terkejut dan bingung sekali.
Pada jurus ke dua puluh dengan gerak tipu Halilintar Menyambar Ombak, Sian Lun
memperhebat gerakan pedangnya dengan sepenuh tenaga. Terengar suara nyaring dan keras
sekali dan tahu-tahu lima batang pedang dari pendeta-pendeta itu terlepas dari pegangan dan
terlempar jauh.
Tentu saja lima orang pendeta itu berdiri dengan melongo saking herannya. Hanya suhu
mereka saja yang dapat mainkan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat sedemikian hebatnya.
“Dari manakah kau mencuri ilmu pedang kami?” Pek Im Ji berseru sambil memandang tajam.
Akan tetapi, Sian Lun tidak menjawab, hanya lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke
kiri sambil berseru,
“Suhu ......!”
Lima orang pendeta itu terkejut dan cepat menengok ke kiri dan benar saja, Liang Gi Cinjin
telah berdiri di situ sambil tersenyum. Hal ini menunjukkan pula betapa tajam pemandangan
mata dan pendengaran pemuda ini, jauh lebih lihai dari pada mereka yang tidak mengetahui
bahwa suhu mereka telah berada di situ. Cepat mereka lalu menjatuhkan diri berlutut pula
dihadapan Liang Gi Cinjin.
“Kembali kalian berlima telah menurutkan nafsu untuk maju mengeroyok pemuda ini.
Baiknya kalian ketahui bahwa tiada baiknya mempergunakan kekerasan karena di dunia ini
masih banyak orang yang lebih pandai dari pada kita. Ketahuilah bahwa pemuda ini adalah
muridku sendiri, atau juga sute (adik seperguruan) kalian yang jauh lebih berhasil dalam
mempelajari ilmu silat daripada kalian berlima.”
Sian Lun lalu berpaling kepada suheng-suhengnya dan berkata,
“Mohon suheng sekalian sudi memberi maaf kepadaku yang kurang ajar!”
“Tidak apa, sute, bukan salahmu karena kami berlimalah yang menyerangmu lebih dulu.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 91
Liang Gi Cinjin menjadi girang sekali melihat kemajuan Sian Lun. Ia benar-benar merasa
puas dan tidak sia-sialah ia mewariskan ilmu kepandaiannya kepada pemuda ini. Ia lalu
mengajak semua muridnya masuk ke dalam dan berkatalah Liang Gi Cinjin kepada Sian Lun,
“Muridku, menururt berita yang sampai di sini, di kotamu, yakni Tai-goan, telah mulai ada
pergelokan. Agaknya jenderal Li Goan telah bergerak pula dan menurut pendengaranku,
jenderal ini adalah seorang bijaksana dan gagah perkasa. Kau pulanglah dan coba kau
perhatikan sepak terjang para pejuang itu dari dekat. Kalau aku tidak salah, Li Goan inilah
orangnya yang patut kita bantu.”
Kemudian ia memberi perintah kepada Pek-sim Ngo-lojin untuk memberitahukan semua
anggauta Pek-sim-kauw agar supaya di manapun juga cabang mereka berada, suka membantu
pergerakan untuk menumbangkan kekuasaan kaisar dan kaki tangannya yang lalim dan
kejam.
Maka setelah kakek sakti ini selesai memberi wejangan, bubarlah enam orang muridnya itu.
Sian Lun langsung melanjutkan perjalanan ke Tai-goan, sedangkan kelima orang pendeta itu
lalu berpencar untuk menghubungi anak buah mereka di berbagai kota.
Kemudian ternyata bahwa bantuan para pendeta Pek-sim-kauw ini merupakan dorongan yang
besar sekali, dan tenaga mereka benar-benar amat berjasa dalam perjuangan menumbangkan
pemerintah Sui yang sudah tak disukai rakyat lagi.
Adapun Liem Sian Lun segera keluar dari kota Ceng-tu dan menuju ke timur. Akan tetapi,
baru saja ia keluar dari kota, tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu
Liang Gi Cinjin telah berada di sampingnya. Sian Lun cepat memberi hormat kepada gurunya
ini sambil memandang heran.
“Sian Lun, sesungguhnya dalam keadaan kacau seperti ini, tidak semestinya aku
memberitahukan ini. Akan tetapi sukarlah bagiku untuk menahan keinginan hatiku ini. Aku
telah bertemu dengan seorang gadis yang ilmu kepandaiannya luar biasa sekali dan ia adalah
ahli waris dari seorang yang dulu amat kuhormati. Ia telah mewarisi ilmu silat dari sahabatku,
Panglima Besar Kam Kok Han dan tentang ilmu pedangnya, mungkin hanya dia yang akan
dapat menghadapi Pek-sim-kiam-hoat. Melihat keadaan gadis itu, sebelum kau datang, telah
timbul niat dalam hatiku untuk menjodohkan kau dengan dia. Hal ini tentu saja terserah
kepadamu dan kepada orang tuamu, akan tetapi aku yakin bahwa kalau ayahmu mendengar
bahwa gadis itu adalah ahli waris Panglima Kam Kok Han yang besar dan terkenal, pasti ia
akan setuju juga. Nah, puaslah hatiku telah menyampaikan hal ini kepadamu, muridku.
Ketahuilah bahwa aku telah memberikan pedangku Pek-hong-kiam kepadanya, maka mudah
saja kau mengenalnya apabila kau melihat pedangnya.”
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Sian Lun, kakek itu berkelebat pergi.
Sampai beberapa lama Sian Lun berdiri dengan muka merah, dan ia heran sekali melihat sikap
suhunya ini. Benar-benar orang-orang tua di dunia kang-ouw ini mempunyai watak yang luar
biasa anehnya.
Kemudian Sian Lun melanjutkan perjalanan. Ia melihat berbondong-bondong rakyat
mempersatukan diri dan ikut dalam perjuangan menyerang tentara Sui yang berada di daerah
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 92
mereka. Di mana-mana orang memegang pedang dan tombak sehingga suasana menjadi panas
sekali.
Hal ini membuat Sian Lun makin ingin lekas-lekas tiba di rumah dan ia mempercepat
perjalanannya. Apalagi setelah ia tiba di daerah Tai-goan dan mendengar bahwa kini Tai-goan
sudah bergolak dan Jenderal Li Goan sudah mengumpulkan balatentara untuk menyerang kota
raja.
Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika ia tiba di depan pintu rumah keluarganya, ia melihat
di depan tergantung kain putih dan di ruangan depan nampak duduk banyak sekali tamu.
Ibunya sedang bersembahyang, menyembayangi meja tanpa ada peti matinya. Sian Lun
melompat maju dan memeluk ibunya.
“Ibu....., ada apakah....? Siapa.... siapa yang ....?” Nyonya yang sedang menangis itu
menengok dan melihat Sian Lun, ia menubruk puteranya sambil menangis tersedu-sedu. Di
antara tangis dan sedu sedan, nyonya Liem menceritakan kepada anaknya betapa Liem Siang
Hong telah dihukum mati oleh kaisar.
Bukan main seduh dan marahnya hati Sian Lun mendengar ini. Dengan air mata bercucuran ia
berlutut di depan meja sembahyang itu dan tanpa memperdulikan pandangan semua mata
yang berada di situ, ia bersumpah keras-keras.
“Ayah, aku bersumpah untuk membalaskan sakit hati ini, untuk membantu perjuangan
menumbangkan pemerintahan yang lalim dan untuk mencari serta membunuh kaisar jahat
itu.”
“Anak muda, bangunlah! Berlakulah tenang. Ucapanmu tadi lebih mudah dikeluarkan dari
mulut dari pada dilaksanakan!” terdengar suara yang berpengaruh dan sebuah tangan yang
amat kuat memegang pundaknya.
Sian Lun merasa terkejut sekali karena merasa betapa tangan ini telah mengerahkan tenaga
menekan pundaknya dengan kekuatan yang sedikitnya ada delapan ratus kati beratnya. Ia
cepat mengumpulkan lweekang untuk menahan tekanan ini dan dengan gerakan pundak yang
gesit ia berhasil melepaskan pundaknya lalu bangun berdiri.
Ternyata di depannya telah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar
dan bersikap gagah sekali. Orang ini berpakaian sebagai seorang panglima, seperti pakaian
ayahnya dan untuk beberapa lama Sian Lun tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa.
“Sian Lun, berilah hormat kepada Li-goanswe (Jenderal Li),” kata ibunya.
Mendengar ucapan ini, teringatlah Sian Lun bahwa ia sedang berhadapan dengan Jenderal Li
Goan pemimpin besar yang gagah perkasa dan namanya telah terkenal di seluruh daratan
Tiongkok itu. Cepat-cepat ia memberi hormat dan mengusap air matanya, karena dihadapan
seorang gagah, ia merasa malu untuk mengeluarkan air mata.
Jenderal itu lalu menarik tangan Sian Lun, diajak bicara di ruang dalam, diikuti oleh Nyonya
Liem Siang Hong yang menggandeng tangan puteranya. Ketika mereka berada di dalam,
ternyata di ruang itu telah penuh dengan para orang-orang terkemuka, yakni pemimpin
daripada pemberontakan yang dikepalai oleh jenderal Li Goan.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 93
Ketika Sian Lun datang, di dalam ruang itu sedang diadakan pertemuan yang merundingkan
tentang pergerakan mereka. Di antara mereka terdapat juga Kwee Siong, yang segera
menyambut dan memeluk Sian Lun sambil mengeluarkan airmata juga. Sian Lun amat terharu
dan girang melihat pamannya yang amat dikasihinya itu berada pula di tempat itu.
“Kebetulan sekali putera mendiang saudara Liem Siang Hong telah datang dan melihat
keadaannya, aku percaya bahwa di antara kita semua, dia seoranglah yang paling boleh
dihandalkan tenaganya!” kata jenderal itu kepada semua orang yang hadir. “Kita amat
membutuhkan tenaga seperti Liem Sian Lun ini dan alangkah bahagia rasa hatiku bisa
mendapat bantuannya?”
“Aku akan membantu sekuat tenaga!” kata Liem Sian Lun dengan penuh semangat. “Kalau
perlu, sekarang juga hamba bersedia untuk menyerbu!” sambungnya sambil menghadapi
jenderal yang gagah itu.
Jenderal Li Goan lalu melanjutkan siasat dan rencananya yang tadi tertunda oleh kedatangan
Sian Lun. Dengan singkat ia menceritakan tentang tugas yang dilakukan oleh mendiang
panglima Liem Siang Hong dan betapa panglima itu tewas karena dihukum oleh kaisar.
“Sekaranglah waktunya bagi kita untuk bergerak dan menggempur Tiang-an,” katanya.
“Balatentara kaisar sedang dikerahkan ke berbagai daerah untuk membendung barisan-barisan
petani yang sedang membanjir dari segala jurusan. Kalau kita melakukan serangan tiba-tiba,
tidak akan sukar bagi kita untuk merebut dan menguasai Tiang-an.
Jenderal yang pandai dan telah banyak pengalamannya tentang siasat peperangan ini lalu
memecah barisannya menjadi dua rombongan dan mengatur siasat untuk menyerbu Tiang-an
dari dua jurusan, yakni dari selatan dan barat. Barisan yang menyerbu dari selatan akan
dipimpin sendiri, adapun yang dari barat akan diserahkan kepada Liem Sian Lun untuk
dipimpin.
Pengangkatan-pengangkatan diadakan, dan Kwee Siong dipilih sebagai penasehat dan sebagai
hakim tertinggi yang memeriksa dan menjatuhkan hukuman kepada para tawanan. Orang she
Kwee ini yang memiliki sifat lemah lembut dan jujur, dipercayai untuk membujuk para
tawanan sehingga mereka itu mau tunduk dan membantu perjuangan mereka.
Kalau tidak perlu, maka pertumpahan darah antara bangsa sendiri akan dicegah. Juga Kwee
Siong mendapat tugas untuk memeriksa dan mengadili anggauta-anggauta sendiri yang
menyeleweng. Pendeknya Kwee Siong mendapat kekuasaan penuh sebagai hakim tertinggi.
“Bahkan aku sendiri kalau dianggap menyeleweng dan tidak benar, saudara Kwee berhak
untuk menangkap dan mengadili!” kata Jenderal Li yang gagah itu. Semua orang setuju sekali
dan demikianlah, pada keesokan harinya barisan yang ratusan ribu orang jumlahnya itu
dikerahkan, lalu bagaikan air bah barisan ini menuju Tiang-an.
Makin dekat dengan Tiang-an, dua barisan yang bergerak dari selatan dan barat ini makin
bertambah jumlahnya karena banyaknya rakyat yang menjadi suka rela dan membantu
perjuangan ini. Dengan girang Sian Lun melihat betapa di antara para sukarelawan ini banyak
terdapat pendeta-pendeta Pek-sim-kauw.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 94
Kwee Siong ikut pula dalam barisan Sian Lun, karena Kwee Siong ingin berjuang dekat
dengan keponakannya yang tercinta ini. Ketika kedua orang ini berangkat, mereka di antar
oleh keluarga mereka, yakni nyonya Liem Siang Hong, nyonya Kwee Siong, dan Kwee Cun
yang masih kecil.
“Kalau aku sudah besar, aku akan membantu engko Sian Lun bertempur!” kata Kwee Cun
dengan gagah. Sian Lun memondong anak itu dan berkata,
“Kelak kau akan menjadi seorang yang lebih gagah dari pada semua pahlawan!”
Sian Lun memesan kepada ibunya agar baik-baik menjaga diri, sedangkan Kwee Siong yang
sudah meninggalkan rumahnya di kotaraja, berpesan kepada isterinya agar isteri dan anaknya
tinggal bersama dengan nyonya Liem Siang Hong.
Tepat sebagaimana telah diperhitungkan oleh Jenderal Li Goan, pertahanan barisan kerajaan
di kota raja tidak kuat, karena balatentara kerajaan telah dipecah-pecah untuk memadamkan
pemberontakan yang timbul di mana-mana. Hanya pasukan-pasukan yang kecil jumlahnya
saja yang melakukan perlawanan terhadap barisan yang dipimpin oleh Jenderal Li Goan dan
oleh Liem Sian Lun. Pasukan-pasukan kerajaan ini dengan mudah dihancurkan, sebagian
besar ditawan dan bahkan ada yang menyerah dan menggabungkan diri dengan barisan
pemberontak.
Liem Siang Hong memimpin pasukannya menyerbu kota raja dari barat, ketika sudah tiba di
luar tembok kota, barisannya dihadang oleh sepasukan tentara kerajaan yang besar juga
jumlahnya dan nampak kuat, teratur baik, dan dikepalai oleh seorang panglima berkuda putih
yang tinggi besar. Panglima yang bertubuh seperti seorang raksasa itu duduk di atas kudanya
dan suaranya seperti geluduk ketika ia menantang,
“Barisan pemberontak! Apakah kalian sudah bosan hidup dan berani menghadapi tentara
dibawah pimpinanku?” Sambil berkata demikian, ia mencabut pedangnya dan memutar
pedang itu di atas kepala sehingga nampaklah sinar yang kekuningan dan terdengar suara
nyaring ketika pedang itu memecahkan hawa disekitarnya.
Melhat lagak panglima barisan kerajaan Sui ini, Sian Lun diam-diam kagum. Pamglima itu
benar-benar gagah dan amat pantas dalam pakaian perangnya.
“Siapakah dia, Kwee-siokhu (paman Kwee) ?” tanyanya kepada Kwee Siong yang duduk di
atas kuda, di sebelahnya.
“Dia adalah seorang jenderal muda yang amat gagah perkasa, bernama Kwan Sun Giok. Ia
dulu mengepalai barisan penjaga tapal batas di sebelah selatan. Hati-hatilah, Sian Lun. Ia
amat gagah dan berkepandaian tinggi,” jawab Kwee Siong sambil mengerutkan kening.
Memang ia sudah mendengar nama jenderal muda ini yang benar-benar amat terkenal gagah
perkasa tak terlawan.
Sementara itu, jenderal muda Kwan Sun Giok sudah melihat Kwee Siong, maka ia
menudingkan pedangnya dan membentak keras.
“Orang she Kwee! Kau benar-benar anjing tak mengenal budi! Kaisar telah memberi
anugerah kepadamu, akan tetapi siapa kira kau sekarang bahkan menggabungkan diri dengan
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 95
pemberontak. Mana anjing tua Li Goan? Suruh dia maju dan lekas berlutut minta ampun
untuk ku bawa menghadap kepada kaisar!”
“Kwan Sun Giok!” Sian Lun berseru marah sambil menggerakkan kudanya, maju
menghadapi panglima itu. “Alangkah besar mulutmu! Kaisar yang lalim dan membikin
sengsara rakyat tidak patut memegang pemerintahan lagi, dan kau orang yang tolol dan buta
agaknya hanya mabok oleh kesenangan dan harta benda kotor yang diberikan oleh kaisar
kepadamu. Tahukah kau harta benda siapa yang menyenangkan hidupmu? Keringat dan darah
rakyatlah yang kaupergunakan untuk berfoya-foya setiap hari bersama seluruh pembesarpembesar
jahat. Untuk menghadapi orang macam kau, tidak perlu Li goanswe yang maju,
cukup dengan pedangku saja!”
Bukan main marahnya Kwan Sun Giok mendengar ini. Ia membuka lebar-lebar kedua
matanya dan memandang kepada Sian Lun.
“Siapa kau?” tanyanya dengan suara keras sehingga mengejutkan kuda yang ditungganggi
oleh Sian Lun. “Aku tidak sudi berusan dan bicara dengan segala serdadu pemberontak. Suruh
pemimpin barisan ini maju!”
“Akulah pemimpinnya,” jawab pemuda itu.
“Kau.......!?? Kwan Sun Giok membelalakan matanya dan kemudian sambil berdongak, ia
tertawa terbahak-bahak, memegangi perutnya yang besar penuh arak. “Ha, ha, ha, ha!
Agaknya anjing tua Li Goan sudah kehabisan panglima! Ia takut menghadapi aku dan
menyuruh bocah ini mengantarkan nyawa. Ha, ha!”
“Sian Lun, jangan layani dia dan berilah perintah kepada barisan untuk menyerbu saja!” kata
Kwee Siong perlahan, karena orang tua ini khawatir kalau-kalau Sian Lun tidak dapat
menandingi perwira yang tangguh ini. Akan tetapi Sian Lun tidak mau memperlihatkan
kelemahannya dan bahkan menantang.
“Kwan Sun Giok, tak perlu banyak bertingkah dan menjual kesombongan. Kalau kau
memang gagah, marilah kita bertempur mengadu kepandaian, disaksikan oleh barisan kita!”
“Baik, baik! Kalau kau dapat menangkan aku, biarlah semua tentaraku kau anggap kalah
saja!” jenderal itu menantang sambil melompat turun dari atas kudanya.
Sian Lun juga melompat turun dari kudanya dan mencabut pedangnya. Setelah berdiri di atas
tanah, nampaklah oleh Sian Lun betapa panglima musuh itu benar-benar tinggi besar. Akan
tetapi sedikitpun pemuda ini tidak merasa jerih dan berpesan kepada Kwee Siong agar supaya
jangan menggerakkan tentara lebih dulu sebelum selesai pertandingan ini.
“Bocah yang masih ingusan!” Jenderal Kwan membentak sambil memutar pedangnya.
“Bersiaplah untuk terima binasa!” Kemudian ia maju menyerbu dan mengirim bacokan
dengan pedangnya.
Sian Lun melihat gulungan sinar kuning menyambar ke arahnya dan ia maklum bahwa selain
pedang di tangan lawannya ini amat tajam dan berbahaya, juga tenaga lawannya benar-benar
hebat. Ia cepat mengelak ke kiri, lalu membalas dengan tusukan pedangnya ke arah perut
lawannya.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 96
Kwan Sun Giok tercengang juga melihat kegesitan lawannya yang masih muda ini, maka ia
cepat menggerakkan pedang dengan sekuat tenaga untuk menangkis pedang lawan. Akan
tetapi Sian Lun bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Ia maklum akan tajamnya pedang
lawan yang mengeluarkan sinar kuning itu, maka tentu saja ia tidak mau mengadu senjata.
Ia menarik kembali pedangnya dan cepat mengirim serangan-serangan lagi secara bertubitubi.
Pedangnya berobah menjadi segulungan sinar putih yang amat kuat, lebar dan cepat
gerakannya, berputar-putar bagaikan seekor elang mengitari dan menyambar kurbannya.
Makin heran dan terkejutlah Kwan Sun Giok menyaksikan kehebatan ilmu pedang lawan. Tak
disangkanya sama sekali bahwa panglima pemberontak yang muda ini memiliki ilmu pedang
yang demikian tingginya. Panglima kerajaan Sui ini lalu membentak nyaring dan mainkan
ilmu-ilmu pedang yang banyak dipelajarinya.
Jenderal muda ini memang amat tangkas, bertenaga besar dan telah mempelajari banyak
macam ilmu pedang., di antaranya dari Go-bi-pai, Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai. Sayang
sekali, bahwa biarpun pengertiannya amat banyak, namun tidak sebuahpun dari pada ilmuilmu
pedang itu ia pelajari sampai sempurna.
Betapapun juga, tidak mudah bagi Sian Lun untuk mengalahkan lawannya dalam waktu
singkat. Tidak saja gerakan jenderal itu cukup gesit dan tenaganya amat besar, akan tetapi
terutama sekali karena ia tidak berani mencoba mengadu pedangnya dengan pokiam (pedang
mustika) lawan.
Sian Lun hanya mengerahkan ginkangnya dan bergerak cepat sekali, mengirim seranganserangan
dengan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat, dan kadang-kadang juga mengeluarkan
ilmu pedang dari Kun-lun-pai yang dipelajarinya dari Beng To Siansu. Akan tetapi ternyata
bahwa jenderal itupun mengenal ilmu pedang Kun-lun Kiam-hoat, maka dapat
mengimbanginya. Terpaksa Sian Lun lalu mengerahkan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang
benar-benar hebat dan belum dikenal oleh jenderal ini.
Setelah bertempur lima puluh jurus belum juga berhasil mengalahkan Sian Lun, Jenderal
Kwan Sun Giok lalu membentak sambil menahan pedangnya.
“Tunggu dulu, aku tidak suka bertempur melawan orang yang tidak bernama! Melihat ilmu
pedangmu, kau tentu seorang murid dari guru yang pandai. Siapa namamu dan siapa pula
gurumu?”
Sian Lun tersenyum mengejek. “Butakah matamu bahwa aku tadi mainkan ilmu pedang Peksim-
kiam-hoat? Kalau kau mengenal Pek-sim-kiam-hoat, tentu kau tahu bahwa aku adalah
murid dari Liang Gi Cinjin, namaku Liem Sian Lun!”
Bab 12…..
Terkejut juga jenderal Kwan mendengar bahwa pemuda ini adalah murid dari Liang Gi
Cinjin, maka ia cepat berkata,
“Kalau begitu, kau adalah suteku (adik seperguruan). Aku adalah murid dari Liang Hwat
Cinjin yang menjadi suheng dari gurumu!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 97
Liang Gi Cinjin tidak pernah bercerita kepada Sian Lun bahwa kakek sakti itu mempunyai
seorang suheng, maka Sian Lun belum pernah mendengar nama Liang Hwat Cinjin. Akan
tetapi, ia tidak berani menuduh jenderal itu membohong, hanya menjawab keras,
“Hubungan itu tidak menghalangi untuk aku memusuhimu, karena jalan kita berselisih. Kalau
kau dan pasukanmu suka menyerah dan menggabung untuk bersama-sama melenyapkan
kaisar lalim dan menolong rakyat jelata, tidak keberatan bagiku untuk mempercayai
omonganmu tadi.”
Jenderal Kwan Sun Giok menjadi marah sekali. Ia memberi aba-aba untuk menyerbu kepada
semua perwira pembantu dan barisannya. Kemudian ia sendiri menyerang lagi kepada Sian
Lun dengan sekuat tenaga.
Sian Lun juga memberi tanda kepada Kwee Siong yang segera memberi perintah kepada para
perajurit untuk menyerbu, sedangkan serangan Kwan Sun Giok yang hebat sekali itu terpaksa
ditangkis oleh Sian Lun dengan pedangnya. Akan tetapi akibatnya membuat Sian Lun merasa
terkejut sekali karena terdengar bunyi keras dan tahu-tahu pedang di tangannya telah putus
menjadi dua.
“Ha, ha, ha! Mampuslah kau!” Sun Giok tertawa bergelak, akan tetapi suara ketawanya ini
ditutup oleh pekik mengerikan ketika Sian Lun menyerbu dengan gerak tipu Raja Monyet
Merebut Mahkota, sebuah tipu gerakan dari ilmu silat Kun-lun-pai yang paling tinggi.
Gerakannya yang amat cepat itu tidak tersangka sama sekali oleh lawannya sehingga tahutahu
tangan kirinya telah merampas pedang lawan sedangkan tangan kanannya mengirim
pukulan yang tepat mengenai ulu hati Jenderal Kwan Sun Giok. Pedang berpindah tangan dan
tubuh Kwan Sun Giok yang tinggi besar itu terhuyung-huyung ke belakang, kemudian jatuh
terjengkang dalam keadaan mati dan dari mulutnya mengalir darah merah.
Sementara itu, kedua pihak telah bertempur hebat sekali dan banyak nampak jatuh korban.
Tentara di bawah pimpinan Kwan Sun Giok ini adalah tentara pilihan yang rata-rata memiliki
ilmu kepandaian cukup terlatih. Melihat ini, Sian Lun lalu mempergunakan pedang
rampasannya tadi mengamuk bagaikan naga sakti menyambar. Baru segebrakan saja, lima
orang perwira musuh telah ronoh mandi darah.
Sepak terjang yang gagah dari Sian Lun ini membangunkan semangat anak buahnya dan
melemahkan semangat lawannya. Apalagi ketika pemuda itu melompat ke atas sebuah tempat
yang tinggi, lalu menggerak-gerakkan pedang rampasannya sambil berseru keras.
“Dengarlah, para perajurit dari kerajaan Sui! Kalian sebagai anggauta rakyat jelata, tentu
sudah maklum akan kelaliman raja! Kami datang bukan untuk memusuhi kalian, melainkan
untuk membebaskan rakyat dari penindasan, untuk menumbangkan kekuasaan raja yang
sewenang-wenang! Menyerahlah dan mari kita bersama menjadi pembela rakyat! Yang
menyerah akan dianggap kawan, akan tetapi yang tetap berkeras kepala membela raja lalim
pasti akan mampus di ujung pedangku!”
Ketika mengeluarkan ucapan ini, Sian Lun mengerahkan khikangnya dan suaranya terdengar
keras sekali, menimbulkan gema yang terdengar sampai jauh. Ucapan ini amat berpengaruh,
karena pihak musuh menjadi ragu-ragu untuk melanjutkan perlawanan mereka.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 98
Kalau jenderal Kwan Sun Giok yang demikian gagah perkasa masih roboh di tangan pemuda
yang hebat itu, apalagi mereka. Setelah melihat pihak-pihaknya banyak yang roboh, sebagian
besar daripada tentara kerajaan itu lalu melepaskan senjata dan berlutut menyerah.
Dengan mendapat kemenangan besar serta dapat merampas sebatang pedang pusaka yang
ampuh, Sian Lun lalu memimpin barisannya menyerbu kota raja yang tidak begitu kuat lagi
penjagaannya.
Kalau barisan yang dipimpin oleh Sian Lun hanya menghadapi perlawanan yang ringan, dan
hanya Jenderal Kwan Sun Giok saja yang merupakan penghalang yang disebut kuat, adalah
barisan yang dipimpin oleh Jenderal Besar Li Goan mengalami perlawanan yang amat gigih
daripada tentara kerajaan.
Barisan pemberontak ini yang bergerak dari selatan, jauh sebelum tiba di pintu gerbang kota
raja, telah mengalami perlawanan yang amat hebat dari tiga jurusan, yakni barisan-barisan
kerajaan di bawah pimpinan panglima-panglima Song, Cia, dan Wong. Tiga pasukan yang
besar jumlahnya ini baru saja kembali dari tugas pembersihan di bagian timur dan melihat
pergerakan barisan pemberontak dari Tai-goan, segera mengepung dan menyerangnya.
Panglima-panglima yang bernama Song Kian Hi, Cia Soan Kun, dan Wong Pak ini adalah
panglima-panglima besar yang berkepandaian tinggi, baik dalam ilmu silat maupun dalam
ilmu kemiliteran, mengatur barisan.
Jenderal besar Li Goan menjadi agak kewalahan menghadapi kepungan musuh ini, terutama
sekali tiga orang panglima itu mengamuk dengan amat dahsyatnya, sukar sekali ditahan.
Banyak perwira pembantu Jenderal Li Goan tewas dibawah amukan tiga orang panglima
musuh itu.
Jenderal Li Goan sendiri maju dan hanya dia seorang yang masih berhasil menahan desakan
tiga orang lawan ini. Song Kian Hi bersenjata tombak panjang, gerakan tombaknya luar biasa
kuatnya. Cia Soan Kun adalah ahli main golok yang tangguh sekali, sedangkan Wong Pak
memiliki toyanya yang amat berbahaya karena ia pandai main ilmu toya Raja Kera Puti.
Dibantu oleh dua orang perwira lain, Li Goan bertempur hebat menghadapi tiga orang
panglima kaisar ini, sedangkan barisannya yang terkepung dari tiga penjuru itupun
mengadakan perlawanan mati-matian. Tiba-tiba dua orang perwiranya yang menghadapi Cia
Soan Kun dan Wong Pak berseru keras dan roboh mandi darah menjadi korban senjata lawan.
Kini Li Goan dikeroyok tiga oleh tiga orang panglima kosen itu. Untung sekali bahwa
Jenderal Li Goan adalah seorang peperangan kawakan yang tinggi ilmu silatnya. Ia memutar
pedangnya sedemikian rupa sehingga seluruh tubuhnya terlindung oleh gulungan sinar pedang
dan tidak mudahlah bagi tiga orang pengeroyoknya untuk merobohkan jenderal besar ini.
Pada saat itu, terdengar teriakan-teriakan ngeri dan beberapa orang tentara kerajaan roboh
bagaikan rumput dibabat. Ternyata dua orang wanita telah mengamuk menggerakkan pedang
dan menyerbu masuk. Dua orang wanita ini adalah Sui Giok dan Ling Ling. Yang lebih
menyeramkan adalah Ling Ling, karena dengan Pek-hong-kiam di tangan, ia merupakan
halilintar yang menyambar-nyambar tanpa mengenal ampun lagi.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 99
Akhirnya mereka berdua tiba di tempat Jenderal Li Goan dikeroyok. Melihat pakaian tiga
orang panglima itu, tahulah Sui Giok bahwa pengeroyok-pengeroyok itu adalah panglimapanglima
tinggi dari kaisar, maka ia lalu berseru kepada anaknya.
“Kita basmi tiga orang panglima kaisar lalim itu!”
Sui Giok dan Ling Ling segera maju menolong jenderal yang sedang terdesak hebat itu, dan
membuat tiga orang panglima itu marah sekali.
“Pemberontak rendah, kau sudah bosan hidup!” teriak Song Kian Hi sambil menyambut
serbuan Ling Ling, Cia Soan Kun bertempur dengan Sui Giok dan kini Jenderal Li Goan
hanya menghadapi serangan Wong Pak seorang. Pertempuran menjadi lebih ramai lagi, akan
tetapi kini keadaannya menjadi terbalik.
Betapapun hebat permainan tombak Song Kian Hi, orang terkuat di antara ketiga panglima
itu, namun menghadapi permainan pedang dari Ling Ling, ia tidak berdaya. Belum juga dua
puluh jurus mereka bertempur, ujung pedang Ling Ling telah berhasil membabat putus ujung
tombaknya dan dengan gerakan yang amat aneh, cepat dan tak terduga, pedang Pek-hongkiam
telah menembus dada panglima she Song itu.
Hampir berbareng dengan robohnya Song Kian Hi, panglima ke tiga Wong Pak juga roboh
terkena tendangan yang berat dari Jenderal Li Goan. Sui Giok tidak mau kalah dan ia
mempercepat gerakan pedangnya, maka tak lama kemudian, Cia Soan Kun juga memekik
keras dan tubuhnya terhuyung roboh dengan pundak kiri terbabat putus.
“Terima kasih, jiwi lihiap!” kata jenderal Li Goan dengan singkat oleh karena ketiganya harus
bergerak pula mainkan senjata menghadapi perwira-perwira lawan. Akan tetapi kini
perlawanan pihak tentara kerajaan tidak bersemangat lagi. Kemudian nampak Jenderal Li
Goan dengan gagahnya melompat ke tempat tinggi sambil memegang rambut dari tiga kepala
orang yang sudah putus lehernya.
“Lihat kepala siapa ini! Siapa menyerah akan diampuni nyawanya!” teriakannya keras sekali
karena ia mempergunakan tenaga khikang dari dalam perut. Ketika balatentara kerajaan
berikut para perwiranya melihat bahwa kepala yang kini tergantung pada tangan jenderal
besar itu adalah kepala tiga orang panglima, pemimpin mereka, semua orang menjadi
ketakutan. Ada yang melarikan diri, ada yang berlutut sambil melepaskan senjata.
Dengan demikian, Li Goan mendapat kemenangan besar dan segera memberi perintah untuk
menyerbu masuk ke dalam kota raja. Ketika jenderal ini memandang ke sana ke mari hendak
mencari dua orang wanita yang tadi membantunya, ternyata bahwa kedua orang wanita gagah
itu telah lenyap tak nampak bayangannya lagi.
Akan tetapi oleh karena perjuangan masih belum selesai dan jenderal Li Goan masih sibuk
menghadapi penyerbuan ke dalam kota raja, maka ia tidak dapat mencurahkan perhatiannya
kepada dua orang wanita gagah yang membantunya itu. Ia memimpin tentaranya masuk ke
dalam kota raja, setelah menyerbu para penjaga tembok benteng dan mendobrak pintu
gerbangnya.
Pada saat hampir bersamaan, balatentara pemberontak yang dipimpin oleh Liem Sian Lun
juga berhasil membobol pertahanan para penjaga benteng dan dengan sorak sorai yang ramai
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 100
sekali barisan ini menyerbu masuk dari lain jurusan. Dengan mudahnya barisan penjaga kaisar
dipukul hancur dan Li Goan memimpin pasukannya menyerbu istana kaisar. Akan tetapi
ternyata bahwa siang-siang kaisar telah melarikan diri dan mengungsi ke Yang-kouw.
Liem Sian Lun bertemu dengan Jenderal Li Goan yang merasa girang dan memuji pemuda itu
atas hasil serbuannya dan menyerahkan pedang rampasannya yang dapat dirampas dari tangan
Panglima Sui yang bernama Kwan Sun Giok. Ketika Li Goan menerima dan memeriksa
pedang itu, terkejutlah dia,
“Aah.......! Inilah pedang Oei Hong Kiam! Pedang ini adalah milik Panglima Besar Kam Kok
Han yang gagah perkasa dan yang kemudian dibunuh secara mengecewakan. Pedang ini patut
sekali dipergunakan sebagai pedang pusaka kerajaan baru, karena ia menjadi lambang
kegagahan dan kepahlawanan seorang patriot besar.
Dengan pedang ini pula menteri-menteri dorna yang telah mengacaukan negara dan memeras
rakyat akan kupenggal lehernya!” Sambil berkata demikian, Jenderal Li Goan lalu
menggerak-gerakkan pedang itu sehingga nampaklah gulungan sinar kuning yang
menyilaukan mata.
Sian Lun memandang kagum. Jenderal itu nampak agung, gagah, dan berpengaruh sekali
memegang pedang yang sakti itu. Sebagai ganti jasa atas kemenangan Sian Lun, pemuda itu
lalu menerima pengangkatan sebagai panglima muda dan menerima pula sebilah pedang
pusaka, yakni pedang Gi-tiang-kiam, pedang mustika yang diwariskan turun-temurun oleh
nenek moyang Jenderal Li Goan.
Jenderal Li Goan lalu mengumpulkan semua pemimpin barisan yang kini telah diangkatnya
menjadi perwira-perwira, dan dengan kata-kata keras ia memberi perintah,
“Cuwi-ciangkun! Berkat kerja sama dan semangat kepahlawanan seluruh barisan, akhirnya
kita berhasil menggulingkan tahta kerajaan Kaisar Yang Te dan menduduki Tiang-an!
Sungguhpun kaisar sendiri berhasil mengungsi, akan tetapi kerajaan dan singgasana telah
berada di tangan kita. Sekarang kita harus bertindak tegas, membuktikan kemauan kita yang
baik dan perjuangan kita yang suci. Para pembesar yang kini masih berada di kota, tangkap
dan tahan semua, akan tetapi jangan sekali-kali melakukan tindak hukum sendiri-sendiri.
Semua tawanan baru harus diserahkan kepada Hakim Agung kita, saudara Kwee Siong.
Hanya dialah seorang yang berhak memutuskan hukuman atau pembebasan seorang tawanan.
Juga awaslah terhadap penyelewengan-penyelewengan para perajurit!”
Pada saat Jenderal Li Goan sedang berunding dengan para perwira, tiba-tiba datanglah
seorang perwira yang bicara dengan gugup.
“Celaka, tai-goanswe! Di sebelah barat jalan raya terdapat orang mengamuk. Banyak perajurit
dia tewaskan dan kepandaiannya amat tinggi!”
Mendengar ini, Sian Lun lalu melangkah maju dan berkata,
“Biarlah hamba diberi ijin menangkap perusuh itu!”
Li Goan memberi persetujuan dan berangkatlah Sian Lun keluar dari istana itu sambil
membawa pedangnya Gi-tiang-kiam. Sebetulnya apakah yang terjadi di tempat keributan itu?
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 101
Orang yang mengamuk itu bukan lain adalah Ling Ling bersama ibunya. Kedua orang wanita
gagah ini, terutama sekali Ling Ling, sedang mengamuk hebat, dikeroyok oleh sepuluh orang
perajurit dan sudah banyak yang roboh tewas di bawah pedang Ling Ling yang digerakkan
sedemikian rupa sehingga yang nampak hanya sinar merah yang menyilaukan saja.
Mengapa Ling Ling menjadi begitu marah dan mengamuk? Hal ini diakibatkan oleh
penyelewengan para perajurit. Memang tidak mengherankan apabila di dalam suatu
peperangan, pihak yang menang selalu tergoda oleh setan angkara murka dan bertindak
sewenang-wenang. Demikianlah, maka banyak juga anggauta tentara dari barisan Jenderal Li
Goan yang menang perang itu, setelah memasuki kota, lalu melakukan perampokan dan
penculikan terhadap kaum wanita.
Serombongan tentara terdiri dari tujuh orang dengan kurang ajar sekali melakukan
perampokan dan menyeret keluar orang-orang wanita, keluarga dari para bangsawan. Pekik
orang-orang yang terbunuh, jerit wanita-wanita yang diculik keluar dari rumah, menarik
perhatian Ling Ling dan ibunya yang juga diam-diam sudah ikut masuk ke dalam kota yang
diduduki oleh barisan Jenderal Li Goan itu.
Ketika Ling Ling melihat tujuh orang perajurit merampok dan mengganggu wanita, ia
menjadi marah sekali.
“Kurang ajar! Beginikah macamnya orang-orang yang menyebut dirinya sebagai patriotpatriot?”
bentaknya dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah menjambak rambut kepala
seorang tentara yang sedang menyeret seorang gadis bangsawan dan begitu ia mengerahkan
tenaga, perajurit yang nyeleweng itu terlempar jauh, menjerit ketakutan dan ketika jatuh ke
atas tanah ia tak dapat bergerak lagi. Ling Ling yang dibantu pula oleh ibunya lalu bergerak
cepat dan tujuh orang perajurit yang berlaku sewenang-wenang itu sebentar saja menggeletak
semua dalam keadaan terluka hebat.
Tentu saja para anggauta tentara lainnya yang melihat kawan-kawan mereka dihajar oleh dua
orang wanita itu, lalu beramai-ramai menyerbu dan mengeroyok. Sebagian besar di antara
mereka berlumba untuk dapat menangkap Ling Ling yang demikian cantik jelita.
Akan tetapi mereka itu kecele, karena gadis manis ini bukanlah sembarangan orang yang
dapat ditangkap begitu saja. Belum juga mereka dapat mengulur tangan, tubuh mereka telah
roboh kena pukulan atau tendangan Ling Ling dan ibunya yang mengamuk bagaikan dua ekor
naga betina yang marah.
Sudah menjadi lazim bahwa di antara anggauta tentara terdapat rasa setia kawan yang amat
besar. Mereka tentu saja selalu membantu kawan-kawan mereka tanpa memeriksa dulu
apakah kawan-kawan itu bertindak salah atau bertindak benar.
Demikianlah, makin banyaklah perajurit-perajurit yang mengurung dan mengeroyok Ling
Ling dan ibunya, bahkan kini mereka itu telah mencabut senjata dan kini tak seorangpun yang
ingin menangkap dan memeluk Ling Ling, melainkan menyerang dengan maksud membunuh.
Ling Ling dan ibunya sudah terlampau banyak merobohkan kawan-kawan mereka, melukai
bahkan membunuh. Kini mereka mengamuk dan mengeroyok dua orang wanita itu untuk
dibunuh.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 102
Akan tetapi, keroyokan yang sungguh-sungguh ini bahkan membuat Ling Ling dan ibunya
makin menjadi marah. Kini Ling Ling dan tidak ragu-ragu lagi untuk mencabut pedangnya
dan berkelebatlah sinar merah mengamuk dengan hebat sekali.
Para perwira yang mendengar keributan itu mulai tertarik dan datang ke tempat itu. Akan
tetapi mereka juga tidak berdaya menghadapi Ling Ling yang sudah menjadi amat marah itu.
“Tidak tahunya pemberontak-pemberontak yang menggulingkan pemerintahan lama adalah
perampok-perampok jahat!” seru Ling Ling di antara amukannya. “Sama halnya dengan
mengusir harimau mendatangkan srigala! Ibu, mari kita basmi mereka semua ini!”
“Ling Ling!” teriak Sui Giok sambil memutar pedangnya, “jangan sembarangan membunuh!
Cukup asal kau menjatuhkan mereka dengan melukai kaki mereka saja. Tak perlu kita
melakukan pembunuhan. Lebih baik kita melaporkan kepada panglima yang berkuasa!”
Betapapun juga, Sui Giok masih lebih sabar dan dapat menduga bahwa tidak semua perajurit
berlaku sewenang-wenang terhadap penduduk kota itu yang sebagian besar terdiri dari para
bangsawan. Akan tetapi mana Ling Ling mau menaruh hati kasihan kepada para
pengeroyoknya?
Pada saat itu, terdengar bentakan keras, “Semua perajurit, mundur!” Dan berkelebatlah
bayangan yang gesit sekali menghadapi Ling Ling dan Sui Giok. Perajurit-perajurit yang
tadinya mengeroyok dua orang wanita itu, ketika melihat siapa orangnya yang datang,
menjadi lega dan cepat melakukan perintah itu, dan melompat mundur menjauhi kedua orang
wanita itu.
Ling Ling dan Sui Giok memandang dan mereka melihat seorang pemuda dengan pedang
bersinar gemilang di tangan kanan berdiri dengan gagahnya. Adapun Sian Lun ketika melihat
Ling Ling, ia menjadi kagum sekali dan untuk beberapa lama tak dapat mengeluarkan suara.
Tak terasa lagi mereka berdua saling pandang sampai lama sekali dan akhirnya Sian Lun
menjadi merah mukanya.
Bagaimana ia bisa tertarik kepada seorang gadis yang agaknya membantu kaisar dan telah
merobohkan banyak sekali anak buahnya. Akan tetapi, untuk menegur gadis itu, hatinya
merasa berat sekali.
Ketika melihat wanita kedua, seorang nyonya setengah tua yang juga cantik sekali, ia lalu
menegur,
“Toanio, mengapakah kau dan kawanmu mengamuk dan membunuh banyak perajurit?
Apakah kalian ini menjadi pembela-pembela kaisar lalim?”
Akan tetapi sebelum Sui Giok sempat menjawab, Ling Ling sudah mendahului ibunya dan
membentak.
“Kaukah yang mengepalai semua bangsat-bangsat perampok ini? Bagus, kalau begitu rasakan
tajamnya pedangku!” Sambil berkata demikian, Ling Ling lalu maju menyerang dengan
pedangnya yang bersinar merah.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 103
Sian Lun menjadi mendongkol dan marah sekali. Nona ini ternyata amat galak dan telah
berani memaki perajurit-perajuritnya sebagai bangsat perampok. Tanpa banyak cakap iapun
menangkis serangan itu dengan pedang Gi-tiang-kiam dan membalas dengan serangan yang
tak kalah hebatnya.
Terkejutlah keduanya ketika pedang mereka bertemu, karena mereka merasa betapa telapak
tangan mereka pedas dan tergetar, sedangkan kedua pedang itu mengeluarkan titik bunga api.
Pertempuran dilanjutkan dengan hebat dan makin lama keduanya menjadi makin heran,
kagum dan kaget. Ilmu pedang lawan benar-benar kuat dan tinggi sekali. Mereka sama gesit,
sama kuat dan sama pandai.
Betapun juga, lambat laun Ling Ling merasa betapa ilmu pedang pemuda itu benar-benar
amat mengagumkan dan gerakannya lebih tenang dan kuat dari pada gerakan pedangnya
sendiri. Memang, sesungguhnya Sian Lun masih menang sedikit ilmu pedangnya, karena
selain ia telah menerima gemblengan dari suhunya, Beng To Siansu, iapun telah mewarisi
ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat dari Liang Gi Cinjin.
Seratus jurus telah lewat akan tetapi kedua orang muda itu masih saling serang dengan
hebatnya. Biarpun dalam keadaan terdesak, gadis yang tabah itu tidak menjadi gentar, bahkan
ia lalu mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk merobohkan lawan. Bagi Sian
Lun, ia makin tertarik kepada gadis ini dan hatinya tidak tega untuk melukainya. Maka ia
berlaku hati-hati dan tidak mau melakukan serangan-serangan maut, sehingga keadaan
mereka tetap berimbang.
Sui Giok merasa gelisah sekali. Ia maklum bahwa kalau dilanjutkan, puterinya akan kalah.
Akan tetapi, bagaimana ia dapat membantu?
“Ling Ling, hayo kita pergi dari sini!” teriaknya berulang-ulang karena kini para perwira
lainnya telah mengurung tempat itu dan keadaan mereka amat terancam.
“Tidak, ibu. Sebelum aku berhasil merobohkan cacing tanah ini, aku tidak mau pergi?” jawab
Ling Ling yang merasa penasaran sekali.
Beberapa orang perwira hendak maju membantu Sian Lun, akan tetapi begitu Sui Giok
memutar pedangnya menghadapi mereka, senjata tiga orang perwira telah terpental dan tubuh
mereka kena disapu oleh kaki Sui Giok sehingga terguling-guling. Melihat kehebatan nyonya
ini, terkejutlah semua perwira dan mereka tidak berani lagi maju mendekati.
Pada saat itu, berkelebat bayangan orang tinggi besar dan terdengarlah seruannya yang
menggeledek dan berpengaruh sekali.
“Sian Lun, tahan! Nona pedang merah, harap kau bersabar dulu!”
Mendengar seruan ini, Sian Lun lalu melompat mundur, karena yang datang adalah Jenderal
Li Goan sendiri. Juga Ling Ling ketika melihat jenderal besar ini, menahan pedangnya. Akan
tetapi ia berdiri tegak dan memandang kepada jenderal itu dengan pandangan mata tajam.
“Kau mau apa, goanswe?” tanyanya angkuh.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 104
Li Goan tersenyum dan berkata, “Kau dan panglimaku ini bertempur bagaikan dua ekor naga
sakti saja! Sungguh hebat, sungguh indah dilihat, akan tetapi amat berbahaya!” Kemudian ia
berpaling kepada Sui Giok dan mengangkat tangan memberi hormat, lalu berkata kepada ibu
dan anak itu.
“Jiwi lihiap, baru kemaren jiwi membantu barisanku mengalahkan barisan kaisar, akan tetapi
mengapa hari ini jiwi telah melakukan hal sebaliknya? Mengapa jiwi menyerang para
perajuritku dan bahkan menyerang panglimaku? Sungguh aneh sekali jiwi ini, kemaren
menjadi pembantu sekarang menjadi lawan!”
Jenderal ini bicara dengan suara yang jelas, tenang dan muka terang sehingga Sui Giok
merasa malu. Akan tetapi Ling Ling menudingkan pedangnya kepada semua perajurit yang
menggeletak di situ sambil berkata keras.
“Kemaren yang kami bantu adalah barisan orang-orang gagah yang berjuang menumbangkan
kekuasaan raja lalim. Akan tetapi hari ini kami menyerang barisan perampok yang berlaku
sewenang-wenang, merampok, membunuh, dan menculik wanita. Apanya yang aneh dalam
perbuatan kami? Kaulah orangnya yang aneh, goanswe! Kemaren kau memimpin pasukan
pejuang, apakah hari ini kau hendak membela dan memimpin perampok-perampok jahat
macam ini?”
Mendengar ucapan ini, bukan main malu dan marahnya jenderal itu. Mukanya yang gagah itu
menjadi merah sampai ke telinganya. Tanpa menjawab kata-kata Ling Ling, ia memandang
kepada seorang perajurit yang terluka, menghampirinya lalu menjambak rambutnya, dipaksa
berdiri.
“Siapa yang memimpin perampokan ini?” tanyanya dengan suara bagaikan harimau
mengaum.
Perajurit yang terluka pahanya oleh pedang Ling Ling itu, menjadi pucat dan dengan bibir
gemetar dan tubuh menggigil ia menjawab.
“Hamba......, hamba hanya terbawa-bawa, yang menjadi biang keladinya adalah Ciu-twako
itu.........” Ia menuding ke arah seorang perajurit yang patah tulang pundaknya dan rebah
merintih-rintih di atas tanah.
Jenderal Li Goan melepaskan jambakannya, akan tetapi ia menendang tubuh perajurit itu
sehingga tubuh itu terpental jauh dalam keadaan tak bernyawa lagi. Kemudian menghampiri
perajurit she Ciu yang kini memandang dengan mata terbelalak takut.
Semua orang, termasuk Ling Ling, Sui Giok, dan Sian Lun, memandang dengan diam tak
mengeluarkan sedikitpun suara. Demikian pula para perajurit dan perwira. Keadaan menjadi
sunyi sekali.
“Kau mengaku telah membawa kawan-kawanmu merampok dan menculik wanita-wanita?”
tanyanya dengan suara mengguntur.
Perajurit itu tidak berani mengeluarkan suara, bahkan tidak berani pula menatap pandang
mata pemimpin besar itu. Ia menundukkan kepalanya dan tubuhnya menggigil seperti orang
kedinginan.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 105
“Jawab!” Jenderal Li Goan membentak.
“Hamba..... hamba hanya merampok...... bangsawan-bangsawan ....... kaki tangan kaisar........”
“Bagaimana bunyi larangan ketiga dan kelima?” suara Jenderal Li mengguntur lagi.
“Ketiga..... tidak boleh merampok......, kelima .... tidak boleh mengganggu wanita.....”
“Bedebah, kau masih ingat larangannya, namun tetap kau langgar!” Srrrrt! Pedang yang
mengeluarkan cahaya kuning tercabut dari pinggang jenderal itu dan sekali ia ayunkan
pedangnya, putuslah leher perajurit yang menyeleweng tadi.
Jenderal Li Goan lalu mengangkat pedang Oei Hong Kiam tinggi-tinggi, dan berkata dengan
suara keras terhadap semua perwira dan perajurit.
“Dengarlah semua, hai patriot-patriot bangsa sejati. Kalian telah mencucurkan peluh,
mengeluarkan darah, mempertaruhkan nyawa untuk membela bangsa dan mengusir penindas
rakyat. Perjuanganmu itu baru disebut suci dan bermanfaat apabila tidak kalian kotori dan
nodai sendiri dengan perbuatan-perbuatan jahat seperti yang telah dilakukan oleh manusiamanusia
ini. Jangan menjadi pelindung rakyat hanya di mulut saja, akan tetapi dihati selalu
mencari kesempatan untuk memeras rakyat jelata. Contohnya perajurit yang kupenggal
lehernya ini, siapa saja yang berani melakukan pelanggaran seperti dia, pedangku ini akan
memenggal lehernya.”
Bab 13…..
Setelah berkata demikian, Jenderal Li Goan hendak memberi hormat kepada Sui Giok dan
Ling Ling, akan tetapi ibu dan anak itu memandangnya dengan mata terbelalak. Pandangan
mata Ling Ling dan Sui Giok sebenarnya bukan tertuju kepada wajah jenderal itu melainkan
kepada pedang Oei Hong Kiam yang diangkat tinggi-tinggi oleh Jenderal Li Goan.
“Oei Hong Kiam ......!” berseru Ling Ling dan ibunya hampir berbareng dan tiba-tiba wajah
mereka menjadi beringas. Inilah pedang peninggalan Panglima Kam Kok Han yang telah
dirampas oleh pembunuhnya. Sebelum menarik napas terakhir, Bu Lam Nio telah berpesan
agar mereka berdua mencari dan membunuh pemegang pedang Oei Hong Kiam!
Bagaikan mendapat komando, serentak Ling Ling dan Sui Giok menubruk maju dengan
pedang mereka, menyerang Jenderal Li Goan yang sama sekali tidak menyangkanya. Baiknya
jenderal besar ini memiliki ilmu silat tinggi, maka ketika dua pedang itu menyambarnya, ia
masih dapat menangkis pedang Sui Giok dan mengelakkan diri dari tusukan pedang merah di
tangan Ling Ling yang menyambar lehernya. Namun gerakan Ling Ling amat cepatnya
sehingga biarpun jenderal itu berhasil menyelamatkan nyawanya masih saja ujung pundaknya
terbabat sehingga baju dan kulit pundaknya terobek oleh ujung pedang.
“Eh, gilakah kalian?” Jenderal Li Goan masih sempat berseru kaget, dan Sian Lun lalu
menyerbu ke depan menghadapi amukan Ling Ling yang amat berbahaya ilmu pedangnya itu.
Juga semua perwira mengurung maju sambil berteriak-teriak.
“Tangkap pemberontak wanita! Bunuh mereka!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 106
Ada pula yang berseru, “Mereka adalah siluman kejam! Bunuh!”
Ling Ling tertawa bergelak dan dengan suara yang menyeramkan ia berseru,
“Hayo, majulah! Keroyoklah Cialing Mo-li dan Toat-beng Mo-li! Kami tidak takut!
Pemegang Oei Hong Kiam harus mampus di tangan kami!” Ia terus mengejar Jenderal Li
Goan, akan tetapi oleh karena Sian Lun menghalanginya, dengan sengit dan marah sekali ia
lalu menyerang Sian Lun sehingga kembali ia bertempur dengan hebatnya menghadapi
pemuda kosen itu.
Nama Cialing Mo-li dan Toat-beng Mo-li sudah terkenal sekali, karena nama ini telah banyak
diceritakan orang. Maka mendengar nama ini, terkejutlah semua orang, termasuk Sian Lun
dan Jenderal Li Goan.
Akan tetapi jenderal yang berpengalaman ini tidak mau melihat wanita gagah itu terbunuh,
karena ia pikir tentu ada apa-apanya di belakang yang mereka hendak membunuhnya. Apalagi
ucapan Ling Ling yang terakhir, yang menyatakan bahwa pemegang pedang Oei Hong Kiam
harus mati di tangan mereka, amat menarik hatinya.
“Sian Lun, jangan bunuh mereka! Tangkap mereka hidup-hidup! Ini merupakan perintah!”
katanya keras sehingga terdengar oleh semua perwira yang beramai-ramai mengurung ibu dan
anak itu.
Para perwira ketika mendengar perintah ini lalu mengambil tambang dan jala, dan beramairamai
mereka melemparkan jala dan tambang ke arah kedua orang wanita yang mengamuk
bagaikan kerbau gila itu. Dikeroyok demikian banyak orang, terutama sekali menghadapi
pedang Sian Lun yang luar biasa, akhirnya Ling Ling dan Sui Giok dapat tertutup oleh jala.
Mereka memberontak dan dengan pedang mereka, banyak jala yang putus-putus dan banyak
pula perwira yang terkena bacokan sehingga terluka. Akan tetapi, selagi mereka merontaronta
di dalam jala, Sian Lun lalu menghampiri Ling Ling dan dengan cepat sekali lalu
menotok pundak gadis itu di jalan darah tai-hwi-hiat sehingga lemaslah tubuh Ling Ling.
Jenderal Li Goan juga melompat ke dekat Sui Giok dan jenderal yang berkepandaian tinggi
ini menyontoh tindakan Sian Lun dengan tiam-hoatnya yang dipelajarinya dari ilmu totokan
Siauw-lim-pai, maka robohlah Sui Giok dengan tubuh lemas pula.
“Tahan mereka dan hadapkan kepada pengadilan tertinggi untuk diperiksa!” jenderal itu
memerintahkan kepada para perwiranya. “Akan tetapi harus memperlakukan mereka baikbaik!”
Setelah berkata demikian, ia mengajak Sian Lun masuk ke dalam istana untuk melanjutkan
usaha perkembangan selanjutnya agar pemerintahan yang baru dapat berjalan lancar.
******
Pada keesokan harinya, Kwee Siong dengan pakaian kebesaran telah duduk di belakang meja
besar di dalam istana di ruang lebar bagian persidangan pengadilan kaisar. Pembantupembantunya
telah menduduki tempat masing-masing dan di kanan kiri siap menjaga empat
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 107
belas orang perwira yang berpakaian indah dan bersikap gagah. Empat orang algojo yang
bertubuh tinggi besar bagaikan raksasa berdiri di kanan kiri pula, diam tak bergerak bagaikan
patung.
Suasana di ruang pengadilan sepi sunyi, tidak ada seorangpun berani mengeluarkan suara.
Memang Kwee Siong terkenal amat memegang aturan dan melarang orang-orang membuat
gaduh apabila ia sedang mengadakan pemeriksaan terhadap para pesakitan.
Ia amat manis budi akan tetapi memegang disiplin teguh sekali. Di dalam pemeriksaan, ia
amat jujur dan adil, pandai sekali memancing omongan pesakitan. Pandai pula ia mengangkat
dan menyanjung-nyanjung pesakitan untuk kemudian dibantingnya sehingga banyaklah para
pesakitan yang tadinya mati-matian menyangkal perbuatannya, terkena bujuk dan masuk
dalam perangkap sehingga tanpa diminta lagi mereka itu dengan sukarela telah mengakui
semua perbuatannya.
Di dalam pekerjaan ini, sistim yang dipergunakan oleh Kwee Siong jauh berbeda dengan
sistim pengadilan di masa itu. Biasanya, seorang hakim mengandalkan alat penyiksaan untuk
memaksa pesakitan mengakui perbuatannya.
Pendapat Kwee Siong lain lagi, karena menurut pendapatnya, pemeriksaan mengandalkan alat
penyiksaan ini banyak sekali membuat orang-orang yang tidak bersalah terpaksa mengakui
perbuatan pelanggaran yang sebenarnya tidak dilakukan, semata-mata karena tidak tahan
terhadap siksaan-siksaan tadi. Dengan demikian terkenal di zaman itu banyak sekali orang
tidak berdosa terpaksa menjalani hukuman, karena terpaksa mengakui perbuatan kejahatan
yang tidak dilakukannya, dipaksa oleh alat-alat penyiksa tadi.
Algojo-algojo atau tukang-tukang penyiksa yang seperti raksasa itu diadakan di situ oleh
Kwee Siong hanya untuk menakut-nakuti saja, dan mereka berempat ini jarang sekali turun
tangan.
Setelah memeriksa surat-surat tuduhan dan laporan dari para pesakitan yang banyak sekali
jumlahnya, Kwee Siong lalu memanggil nama seorang pesakitan. Dengan amat lancar
dilakukan tanya jawab dan pemeriksaan terhadap para pesakitan, seorang demi seorang.
Cara memutuskan sesuatu perkara amat bijaksana dan kadang-kadang membuat para
pembantunya diam-diam saling pandang dengan terheran-heran. Sebagai contoh dari pada
kebijaksanaan pemeriksaan dan keputusan Kwee Siong yang dianggap aneh oleh para
pendengarnya, adalah dua hal sebagai berikut.
Seorang bangsawan tua yang dekat dengan keluarga kaisar, ketika dibawa menghadap di
ruangan itu, tidak mau berlutut di depan meja pengadilan.
“Berlutut!” bentak seorang algojo sambil memaksanya untuk berlutut. Karena tenaga algojo
itu amat kuat, maka bangsawan tua itu terpaksa berlutut. Akan tetapi, begitu ia berlutut dan
tangan algojo yang menekan pundaknya dilepaskan, ia berdiri lagi dengan tegak dan
memandang kepada Kwee Siong dengan mata menentang.
“Tua bangka kurang ajar! Kau harus berlutut!” Alagojo itu berseru lagi dan mengangkat
tangannya untuk mengancam bangsawan itu, akan tetapi terdengar Kwee Siong berkata.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 108
“Biarkan saja!” Kemudian ia memandang kepada bangsawan itu dengan sabar, dan ia
mengenal bangsawan itu yang bukan lain adalah Cin Kui Ong, seorang yang berpangkat
kepala urusan kebudayaan di zaman pemerintah Sui.
“Kiranya Cin Kui Ong taijin yang berdiri dihadapanku,” hakim ini berkata tenang, “kerajaan
Sui telah musnah, apakah kau masih saja berkeras kepala dan hendak melakukan perlawanan
dengan sikapmu yang angkuh?”
Cin Kui Ong meludah ke atas tanah dengan sikap yang menghina sekali. “Cih! Kerajaan boleh
musnah, akan tetapi kesetiaanku takkan musnah, biarpun kau akan memenggal leherku. Aku
Cin Kui Ong tidak boleh dipersamakan dengan segala siauwjin (orang rendah) she Kwee yang
tidak ingat budi. Kau dulu mendapat anugerah kaisar dan sekarang kau berbalik memihak
pemberontak. Apakah kau tidak malu menghadapi nenek moyangmu?”
Seorang algojo hendak turun tangan membungkam mulut yang amat menghina itu, akan tetapi
Kwee Siong memberi tanda agar bangsawan itu dibiarkan saja bicara.
“Orang she Kwee!” Cin Kui Ong melanjutkan bicaranya dengan semangat membubung tinggi
dan muka merah. “Telah beberapa keturunan aku orang she Cin mengabdi kepada kaisar,
mengalami jatuh bangunnya kerajaan, akan tetapi belum pernah keluargaku berlaku khianat.
Kami adalah orang-orang setia yang tidak akan takut menerima datangnya hukuman dari
pihak pemberontak keji. Bagi kami, lebih baik mati sebagai seorang pahlawan terhadap
kaisar!”
“Bagus, Cin Kui Ong! Kau masih bisa bicara tentang kepahlawanan dan kegagahan. Memang
tepat sekali ucapanmu bahwa orang harus menjunjung tinggi kesetiaan, akan tetapi lupakah
kau bahwa diatasnya kesetiaan masih terdapat kebajikan, prikemanusiaan, dan keadilan?
Apakah benar-benar kau tidak melihat betapa Kaisar Yang Te berlaku amat lalim dan tidak
memperdulikan keadaan rakyat jelata? Lupakah kau betapa ratusan laksa jiwa rakyat kecil
dikorbankan hanya untuk kesenangan dan nafsu dari kaisar yang angkara murka itu? Tidak
tahu pulakah kau betapa pembesar-pembesar tinggi berlaku korup, memeras rakyat,
menggendutkan kantongnya dan perutnya sendiri tanpa memperdulikan keluh kesah dan
penderitaan rakyat?”
“Tak usah kau memberi petuah kepadaku, Kwee Siong! Dalam hal ini, kau yang masih muda
mana dapat melampaui pengalamanku. Aku tahu, tidak buta mataku, aku tahu akan semua itu,
akan tetapi aku orang she Cin tidak pernah melakukan hal-hal semacam itu. Betapapun juga,
kami adalah orang-orang yang patuh akan kewajiban, tidak sudi memeras rakyat, tidak sudi
berlaku korup, patuh dan setia dengan setulusnya hati!”
Kwee Siong tertawa, “Kesetiaan membuta, ketulusan yang timbul dari hati lemah. Eh, orang
she Cin, pernahkah kau yang melihat segala ketidak adilan itu menegur kaisar? Pernahkah kau
turun tangan menghalangi kawan-kawan sejawatmu yang melakukan pekerjaan terkutuk itu?”
Untuk pertanyaan ini, Cin Kui Ong tak dapat menjawab. Akhirnya ia membela diri. “Urusan
orang lain bukanlah urusanku. Kewajibanku telah kuselesaikan dengan hati bersih. Perduli
apa dengan urusan orang lain. Thian tidak buta dan semua orang yang berbuat jahat pasti akan
mendapat hukumannya sendiri.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 109
“Nah, itulah kelemahanmu, Cin-taijin! Kegagahan tanpa disertai keadilan dan kebajikan akan
menjadi kegagahan yang merusak. Kesetiaan tanpa disertai pertimbangan dan prikemanusiaan
akan menjadi kesetiaan yang palsu. Setialah orang-orang yang berani menegur dan
memperingatkan junjungannya dari pada kesesatan. Setialah orang-orang yang berani
melakukan hal itu, tanpa memperdulikan nasib sendiri, tidak takut menghadapi murka raja.
Rakyat menderita hebat, yang makmur hanyalah orang-orang yang memegang pangkat, akan
tetapi kau membutakan mata terhadap nasib rakyat jelata. Aku dapat melihat hal itu dan aku
membantu perjuangan rakyat yang memang sudah seadil-adilnya. Pemimpin yang tidak
pandai membawa rakyat ke arah kemakmuran sudah tak layak lagi disebut pemimpin. Kaisar
diangkat bukan untuk menyenangkan diri sendiri, melainkan untuk berusaha ke arah
kemakmuran rakyatnya, kekuatan negaranya!”
Mendengar uraian ini, diam-diam Cin Kui Ong menjadi kagum sekali. Terbukalah matanya
bahwa kesetiaannya terhadap pemerintah Sui itu sama halnya dengan mendorong dan
membela kejahatan merajalela. Akan tetapi, ia tetap mengangkat dada dan berkata.
“Kalau begitu, biarlah aku mengaku bahwa pemerintah Sui memang buruk. Dan sebagai
seorang pembesar dari pemerintah yang buruk, aku siap untuk dihukum mati. Biarlah aku
membayar kesalahan kerajaan Sui dengan kesetiaan dan nyawaku!”
Kwee Siong tersenyum girang. Ia memberi tanda kepada penjaga dan berkata, “Bebaskan dia!
Kembalikan gedungnya yang disita dan bebaskan pula semua keluarganya!”
“Kwee Siong, kau menghinaku!” Cin Kui Ong berkata marah. “Lebih senang hatiku kalau kau
menjatuhi hukuman mati kepadaku!”
Akan tetapi Kwee Siong menggelengkan kepalanya. “Tidak, Cin-taijin. Orang-orang
bersemangat kesatria dan berjiwa pahlawan seperti kau amat dibutuhkan oleh rakyat yang
perlu dipimpin. Pemerintahan baru membutuhkan tenagamu, dan kalau kau memang mencinta
nusa dan bangsa, tentu kau akan suka menyumbangkan tenagamu!”
Demikianlah, Cin Kui Ong yang terheran-heran itu didorong keluar dari ruang sidang itu dan
disuruh pulang. Hal ini amat mengherankan semua orang, akan tetapi perhitungan Kwee
Siong memang tepat.
Sebelumnya ia memang telah tahu bahwa pembesar ini termasuk di antara para pembesar
yang jujur dan adil, dan setelah kini dikeluarkan, ternyata kelak Cin Kui Ong akan merupakan
seorang pembesar yang amat baik dan membantu lancarnya roda pemerintahan yang baru.
Keputusan kedua yang dijatuhkan kepada seorang pembesar muda bernama Oei Lok Cun juga
mengherankan semua orang. Pembesar ini usianya baru tiga puluh tahun lebih dan tadinya ia
berpangkat kepala bagian perbendaharaan.
Seperti juga Cin Kui Ong, ia ditawan sebelum sempat melarikan diri, karena ia tidak dapat
pergi meninggalkan gedungnya yang penuh dengan harta bendanya. Sebelum melakukan
pemeriksaan, Kwee Siong sudah membuat catatan riwayat hidup dan keadaan seorang
pesakitan, maka ia tahu bahwa pembesar muda she Oei ini dulunya terkenal sebagai seorang
pembesar tukang korupsi. Betapapun juga, ia hendak melihat sikapnya dulu, baru mengambil
keputusan.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 110
Begitu dihadapkan dengan Kwee Siong, Oei Lok Cun lalu menjatuhkan diri berlutut tanpa
berani mengangkat mukanya.
Atas pertanyaan Kwee Siong, Oei Lok Cun menjawab bahwa dia adalah seorang bekas
pembesar bagian perbendaharaan, mempunyai seorang putera dan tidak ikut mengungsi
dengan kaisar karena katanya ia hendak tunduk terhadap pemerintah yang baru.
“Oei Lok Cun!” Kwee Siong membentak dengan suara keras. “Kau kini menyatakan hendak
tunduk terhadap pemerintahan yang baru, apakah kau tahu siapakah para pemberontak yang
kini menggulingkan kaisar?”
“Hamba tahu, hamba tahu!” jawab Oei Lok Cun cepat-cepat. “Yang menggulingkan kaisar
adalah Jenderal Li Goan yang gagah perkasa dan adil.”
Marahlah Kwee Siong mendengar jawaban ini. “Bodoh! Tidak terbukalah matamu bahwa Ligoanswe
hanya menjadi pemimpin yang terpilih oleh rakyat? Rakyat jelatalah yang
menggulingkan pemerintah kaisar lalim. Tahukah kau? Rakyat jelata yang telah lama terinjakinjak
dan tercekik yang bangkit menggulingkan kaisar!”
“Betul..... betul......” kata Oei Lok Cun gagap. “Hamba tadi lupa, rakyat jelatalah yang gagah
berani yang memberontak dan menggulingkan raja lalim!”
Kwee Siong tersenyum menyindir. Manusia yang tak dapat dipercaya, makinya di dalam hati.
Anjing penjilat yang berbahaya.
“Hm, sekarang kau menyebut rakyat jelata yang gagah berani? Akan tetapi berapa banyak
sudah uang suapan yang kau terima pada waktu rakyat diperas dan dipaksa menjadi pekerja
paksa?”
Pucatlah muka Oei Lok Cun mendengar tuduhan ini. Dengan bibir gemetar dan tubuh
menggigil, ia berkata, “Itu..... itu..... hamba terpaksa......, taijin!”
“Terpaksa bagaimana?”
“Hamba..... hamba hanya menurut perintah kaisar...... hamba ...... hamba tidak memakai uang
itu...... kalau taijin kehendaki, sekarang juga hamba akan kembalikan semua uang itu.....
sungguh mati, hamba tidak menggunakan uang itu, hamba mau menyerahkan kembali kepada
taijin.....”
“Tutup mulutmu!” Kwee Siong membentak marah karena merasa ia akan diberi suapan secara
demikian berterang dan tak tahu malu. “Kau kira aku semacam engkau? Kau bilang bahwa
kau sekarang hendak menurut dan tunduk kepada pemerintah baru? Betul-betul kau
bersumpah bahwa kau akan membantu kami?”
Gembiralah wajah Oei Lok Cun karena mendapat harapan baru.
“Tentu saja, taijin! Hamba bersumpah untuk membela dan bersetia, hamba suka membantu
dengan jiwa raga hamba!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 111
Hampir saja Kwee Siong tertawa bergelak mendengar omong kosong ini. “Nah, bagus kalau
begitu,” katanya menahan senyum, “sekarang kaisar telah melarikan diri dan kami
membutuhkan tentara untuk mengejar dan menawannya. Kau harus membantu dan berjuang
di garis depan, menghadapi tentara penjaga kaisar.”
Bukan main terkejutnya Oei Lok Cun mendengar ucapan ini.
“Ampun, taijin! Hamba seorang yang lemah, tak pernah memegang senjata! Biarlah hamba
membantu dengan harta benda hamba saja, untuk membeli ransum. Hamba....... hamba
bersedia berjuang di garis paling belakang saja!”
Habislah kesabaran Kwee Siong. Ia memberi tanda kepada penjaga dan memutuskan,
“Masukkan pengecut dan penjilat ini ke dalam penjara. Hukumannya sepuluh tahun, harta
bendanya disita, ditinggalkan sepuluh bagian untuk putera dan keluarganya!”
Oei Lok Cun menangis dan mengeluh panjang pendek ketika ia diseret keluar. Seorang
pembantu Kwee Siong yang duduk di sebelah kiri hakim itu dan yang tergerak hatinya oleh
keluh kesah bekas pembesar kerajaan Sui itu memandang kepada Kwee Siong dengan mata
memohon penjelasan.
“Orang macam itu,” kata Kwee Siong dengan sabar, “adalah orang yang amat berbahaya.
Dalam keadaan negara aman, ia selalu berusaha untuk mengumpulkan kekayaan, tak perduli
dengan jalan korupsi atau memeras rakyat. Kalau negara berada dalam bahaya, ia
menyembunyikan diri, dalam persiapan perang ia selalu melepaskan diri mempergunakan
uangnya.
Kalau peperangan selesai, ia akan gembar gembor menonjolkan diri sebagai pahlawan
terbesar dan menuntut jasa. Ia pengecut dan penjilat, berusaha menyuap pembesar atasannya
dan mencekik pekerja bawahannya.”
Penjelasan ini membuat semua orang menahan napas karena kagum dan takut. Kalau ada di
antara para pembantu itu yang bercita-cita seburuk kelakuan Oei Lok Cun, akan lenyaplah
cita-cita itu bagaikan asap tertiup angin.
Demikianlah, Kwee Siong memeriksa semua tawanan dan pesakitan dengan caranya sendiri,
penuh kebijaksanaan, kewaspadaan, dan keadilan. Banyak yang dibebaskan, ada pula yang
dihukum mati atau dihukum sampai bertahun-tahun.
Ketika tiba giliran dua orang pesakitan wanita yang di dalam laporan disebut sebagai Toatbeng
Mo-li dan Cialing Mo-li, ia mengerutkan keningnya. Disangkanya bahwa kedua orang
wanita itu tentulah perampok-perampok jahat yang mempergunakan kesempatan dalam
peperangan itu untuk melakukan kejahatan, Akan tetapi ketika ia membaca laporan itu
mendapat kenyataan bahwa dua orang wanita itu menyerang dan melukai Jenderal Li Goan, ia
menjadi terkejut sekali.
“Bawa ke sini seorang demi seorang!” perintahnya.
Tak lama kemudian dari luar terdengar suara ribut-ribut dan seorang gadis muda yang cantik
jelita diseret masuk. Gadis ini adalah Ling Ling yang diikat kedua kaki tangannya akan tetapi
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 112
gadis itu masih berusaha meronta-ronta. Kalau saja ia tidak dalam keadaan tertotok maka ia
akan dapat membuat tali-tali yang mengikat kaki tangannya itu akan putus semua.
“Hati-hatilah, jahanam-jahanam biadab!” desisnya dengan suaranya yang merdu dan nyaring
sekali. “Kalau aku dapat bebas, aku akan patahkan lehermu seorang demi seorang.”
Ketika ia diseret di depan Kwee Siong, Ling Ling berdiri tegak dan memandang kepada
pembesar ini dengan mata tajam dan penuh kebencian. Akan tetapi Kwee Siong
memandangnya dengan senyum ramah dan pandang mata lembut, sehingga Ling Ling merasa
heran dan juga jengah. Dengan heran ia merasa betapa kemarahannya mencair menghadapi
wajah pembesar yang bermata tajam dan bermuka ramah itu.
Pada saat itu, seorang perwira datang dan menyerahkan sepucuk surat kepada Kwee Siong.
Ketika Kwee Siong membaca surat itu, ternyata itu adalah surat dari Li Goan yang minta agar
supaya Kwee Siong menyelidiki keadaan kedua orang wanita yang mengamuk itu dengan
seksama dan teliti. Dalam suratnya ini, Li Goan menceritakan betapa di dalam perjalanannya
menyerbu kota raja, kedua orang wanita itu telah membantunya mati-matian dan jasa mereka
amat besar.
“Nona, siapakah namamu?” tanyanya setelah membaca surat itu.
“Perlu apa bertanya lagi. Aku disebut Iblis Wanita dan aku sudah kalah karena keroyokan
yang pengecut sekali. Aku sudah tertangkap, mau bunuh boleh bunuh, buat apa banyak
tanya?”
“Kau gagah berani sekali, nona. Sayang sekali seorang gadis yang masih muda seperti kau,
seorang yang masih banyak harapan di hari depan, yang seharusnya menjadi seorang calon
ibu yang bijaksana, seorang berkepandaian tinggi yang seharusnya menjadi pejuang yang
amat dibutuhkan oleh rakyat, kau ternyata telah tersesat sedemikian jauhnya. Sungguh sayang
sekali kau menerima pelajaran ilmu kepandaian setinggi itu, kalau hanya kau pergunakan
untuk membunuh Jenderal Li Goan, pemimpin besar dari rakyat jelata!”
Kata-kata pertama yang dikeluarkan oleh Kwee Siong mengharukan hati Ling Ling sehingga
hampir saja ia mengeluarkan air matanya. Akan tetapi ucapan terakhir itu memanaskan
hatinya sehingga ia menjawab marah,
“Kau ini siapakah maka berani bicara tentang kegagahan? Siapa yang tersesat? Aku
selamanya membela rakyat dan membenci kaisar lalim dan pembesar terkutuk. Aku
mengamuk dan membunuh perajurit-perajuritmu karena mereka merampok dan menculik
wanita!”
Kwee Siong tersenyum dan mengangguk-angguk. “Aku sudah tahu, nona. Aku sudah tahu
pula betapa kau dan kawanmu yang seorang lagi telah membantu perjuangan Jenderal Li
Goan. Akan tetapi, mengapa kau tiba-tiba menyerang Jenderal Li Goan? Mengapa kau dan
kawanmu tiba-tiba berbalik pikiran dan berusaha mati-matian untuk membunuhnya?”
“Karena ia musuh besar Kam Kok Han! Karena dia yang memegang Oei Hong Kiam!”
“Apa maksudmu?” tanya Kwee Siong dengan heran sekali.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 113
“Tak perlu aku banyak bicara. Pendeknya siapa saja yang menjadi ahli waris pedang Oei
Hong Kiam, orang itu harus kubunuh!”
Tertarik sekali hati Kwee Siong mendengar ini. Ia sudah hampir dapat membuka tabir rahasia
tentang penyerangan itu. Ia mendesak dan membujuk, akan tetapi benar saja, Ling Ling tidak
mau menjawab lagi. Ia tidak mau membuka rahasia Bu Lam Nio, dan hanya menyatakan
bahwa ia harus membunuh Jenderal Li Goan, karena jenderal itu membawa pedang Oei Hong
Kiam.
Kwee Siong menjadi kewalahan menghadapi gadis yang keras kepala ini.
“Bawa yang seorang lagi ke sini!” perintahnya kepada penjaga.
Berbeda dengan Ling Ling, Sui Giok masuk ke dalam ruangan itu dengan patuh dan tidak
banyak memberontak. Ketika ia dihadapkan kepada Kwee Siong, Sui Giok mengangkat
mukanya dan memandang, juga Kwee Siong memandang tajam. Dan..... keduanya menjadi
pucat sekali. Baik Sui Giok maupun Kwee Siong seakan-akan melihat setan di siang hari,
mata mereka terbelalak, mulut celangap, bibir gemetar dan tubuh menggigil.
“Siapa namamu?” tanya Kwee Siong menahan getaran hatinya, akan tetapi tetap saja suaranya
terdengar parau dan menggigil sehingga semua orang memandangnya dengan khawatir.
“Hamba bernama Liem Sui Giok, taijin.....” menjawab Sui Giok sambil menundukkan
mukanya untuk menahan keluarnya air mata dari sepasang matanya. Ling Ling hampir saja
berteriak saking herannya melihat sikap ibunya ini. Belum pernah ia melihat ibunya bersikap
demikian lemah lembut dan tunduk.
“Dan........ dan ini........ ini anakmu......?” Wajah Kwee Siong makin pucat dan suaranya makin
perlahan.
“Betul, inilah Ling Ling, puteri hamba....”
Terdengar teriakan keras dan ributlah semua orang di situ melihat betapa Kwee Siong roboh
pingsan di atas bangkunya dengan kepala terkulai di atas meja. Dan yang amat mengherankan
hati Ling Ling, ibunya berlutut sambil menundukkan muka dan menangis.
Dalam keadaan ribut-ribut, ibu dan anak ini dibawa kembali ke kamar tahanan, sedangkan
Kwee Siong lalu digotong masuk ke dalam istana. Ia pingsan sampai lama sekali dan ketika
siuman, ia menderita demam panas yang hebat. Ia menderita pukulan batin yang hebat sekali
ketika ia melihat isteri dan puterinya telah menjadi orang-orang yang disebut siluman-siluman
wanita.
Begitu siuman, ia berteriak-teriak dan kemudian jatuh pingsan lagi. Jenderal Li Goan cepat
mencari ahli obat untuk memeriksanya dan memberinya obat. Semua orang berpendapat
bahwa Kwee Siong terlampau lemah dan setelah ikut dalam peperangan yang melelahkan,
sekarang kelelahan membuatnya jatuh sakit berat.
Bab 14.....
Malam hari itu, Sian Lun dipanggil oleh Jenderal Li Goan.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 114
“Kau pergilah ke tempat tahanan dan sedapat mungkin lanjutkan pemeriksaan pamanmu
(Kwee Siong) atas diri dua orang wanita itu. Coba kau tanya dengan jelas, mengapa mereka
itu membenci orang yang memegang pedang Peihk ini!” Jenderal ini sudah mendengar
tentang hasil pemeriksaan itu dan hatinya ingin tahu sekali.
Kemudian Jenderal Li Goan lalu berpesan kepada Sian Lun agar supaya membebaskan kedua
orang itu. “Mengaku atau tidak, kau harus bebaskan mereka. Biarlah mereka datang lagi kalau
masih penasaran hendak membunuhku!” Jenderal ini tertawa. “Aku sudah siap menantinya.”
Demikianlah, malam hari itu sambil membawa surat perintah, Sian Lun menuju ke tempat
tahanan. Sebelum ia tiba di tempat itu, Ling Ling dan ibunya bicara dengan asyik sekali.
Berkali-kali Ling Ling membujuk ibunya agar suka menceritakan sikapnya yang aneh tadi,
akan tetapi ibunya hanya menarik napas panjang.
“Tidak ada apa-apa, anakku, hanya bahwa dahulu aku pernah berkenalan dengan pembesar
itu. Dia adalah kawan baik ayahmu dan....... agaknya ia terharu melihat keadaan kita.
Sudahlah, tak perlu kau tahu lebih banyak akan hal ini dan tak perlu pula kau bicara dengan
siapapun juga. Biar aku yang akan menyelesaikan sendiri urusan ini apabila dia sudah dapat
memeriksa lagi.”
Ling Ling tak dapat mendesak ibunya yang nampak sedih dan selalu menangis itu. Dan pada
saat itu, Sian Lun telah memperlihatkan surat kuasa kepada kepala penjaga, karena tanpa
adanya surat kuasa dari Jenderal Li Goan, biarpun Sian Lun cukup dikenal sebagai panglima
muda, tak mungkin ia diperkenankan masuk untuk bercakap-cakap dengan para tawanan.
Demikianlah disiplin yang amat baik dan keras dari Jenderal Li Goan.
Ketika melihat ada orang berjalan mendekati kamar tahanan mereka, Sui Giok menghentikan
tangisnya dan Ling Ling memandang dengan marah ketika melihat bahwa yang datang adalah
pemuda lihai yang kemarin bertempur dengan dia.
“Mau apa kau datang?” ia menegur dengan marah sekali dan seluruh mukanya berobah
merah.
Akan tetapi Sian Lun ketika melihat betapa kedua orang itu dibelenggu dan keadaan mereka
masih lemah bekas totokannya dan totokan jenderal Li Goan, merasa amat kasihan. Ia cepat
membuka pintu kamar tahanan itu dan membuka pula belenggu kaki tangan mereka.
Bahkan tanpa ragu-ragu lagi ia lalu membuka totokan dengan menepuk dan menotok kedua
pundak gadis dan ibunya itu. Sesungguhnya totokan yang kemarin dilakukan olehnya dan
oleh jenderal Li Goan telah lenyap pengaruhnya dalam waktu seperempat hari saja, akan
tetapi kalau lenyapnya bukan karena dibuka dengan totokan lain, pengaruhnya masih ada dan
masih membuat tubuh terasa lemas.
Bukan main herannya hati Ling Ling dan Sui Giok ketika mereka melihat perbuatan pemuda
bekas lawan ini. Lebih-lebih lagi rasa heran mereka ketika Sian Lun mengeluarkan dua batang
pedang dari dalam mantelnya, yakni pedang Ling Ling dan pedang Sui Giok yang kemaren
telah dirampas.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 115
“Apa maksudmu dengan semua ini?” tanya Ling Ling masih ketus dan galak. “Apakah kau
hendak menyombongkan keberanianmu dan menantangku melanjutkan pertempuran kita satu
lawan satu tanpa adanya pengeroyokan yang pengecut?” Sambil berkata demikian, gadis ini
sudah siap dan mencabut pedangnya. Akan tetapi ia dicegah oleh ibunya yang segera bertanya
kepada Sian Lun,
“Orang muda, sesungguhnya mengapa kau melepaskan kami? Apakah kehendakmu?”
“Aku diperintah oleh Jenderal Li Goan untuk melepaskan kalian karena beliau menganggap
kalian telah membantu perjuangan dan berjasa kepadanya.”
Ucapan ini benar-benar di luar persangkaan kedua anak dan ibu itu. Tadinya mereka mengira
bahwa Sian Lun sendiri yang mempunyai maksud menolong mereka, akan tetapi Jenderal Li
Goan? Bukankah mereka telah menyerang dan hendak membunuhnya, bahkan Ling Ling
telah berhasil melukai pundaknya?
Sian Lun dapat menduga apa yang mereka pikirkan, maka ia lalu berkata lagi.
“Sesungguhnya, Jenderal Li Goan merasa amat penasaran mengapa kalian hendak
membunuhnya hanya karena kebetulan sekali ia memegang pedang Oei Hong Kiam. Padahal,
ia memiliki pedang itu adalah atas pemberianku!”
Mendengar ucapan ini, baik Ling Ling maupun Sui Giok melompat bangun dan memandang
kepada Sian Lun dengan mata tajam mengancam.
“Jadi tadinya pedang itu adalah milikmu??” tanya Sui Giok yang tiba-tiba berobah suaranya
menjadi keren sekali sehingga Sian Lun merasa amat terkejut.
Kemudian ...............
“Memang Jenderal Li menerima pedang itu dariku,” kata pula Sian Lun sambil memandang
tajam.
“Kalau begitu kau harus mampus ditanganku!” seru Ling Ling dan ibunya hampir berbareng.
Sian Lun makin terkejut dan cepat-cepat ia mengangkat kedua tangannya. “Harap sabar dulu
toanio, dan kau juga nona. Pedang itu bukanlah pedang yang kuwarisi dari nenek moyangku.
Aku hanya kebetulan saja mendapatkan pedang itu!”
Sui Giok menunda serangannya dan memandang tajam penuh perhatian. “Coba kau ceritakan
bagaimana kau mendapatkan pedang itu? Siapa pemiliknya sebelum terjatuh ke dalam
tanganmu?”
Melihat ketegangan pada muka kedua orang wanita itu, Sian Lun dapat menduga bahwa
pedang Oei Hong Kiam itu tentu mempunyai riwayat yang hebat sekali. Dengan singkat ia
lalu menuturkan betapa ia mendapatkan pedang itu dari tangan seorang Panglima lawan,
yakni Jenderal Kwan Sun Giok yang menjadi murid dari Liang Hoat Cinjin.
Mendengar penuturan ini, Sui Giok menarik napas panjang dan berkata kepada Ling Ling.
“Ah, mengapa buruk benar nasib kita? Jenderal Li Goan yang gagah perkasa hampir saja kita
bunuh karena kecerobohanku. Anak muda, tolong kau sampaikan pernyataan maafku kepada
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 116
Jenderal Li Goan, dan juga terima kasih kami bahwa dia telah begitu baik hati untuk
melepaskan kembali kami, ibu dan anak yang berdosa.”
Bangga hati Sian Lun mendengar ucapan ini dan pemuda yang tadinya merasa gelisah ini, kini
dapat tersenyum kembali. Dengan mata berseri, ia memandang kepada Ling Ling dan ibunya
lalu berkata,
“Jenderal Li Goan adalah seorang pemimpin besar yang bijaksana. Kalau saja jiwi sudi
bertemu dengan dia dan menyatakan hendak bekerja sama menggulingkan kaisar lalim yang
kini masih belum tewas, tentu dia akan menerima dengan kedua tangan terbuka.”
Sui Giok menggelengkan kepalanya. “Kami bukanlah orang-orang yang haus akan kedudukan
dan pangkat.”
“Betapapun juga, kaisar lalim itu akhirnya pasti akan mampus di ujung pedangku!” Ling Ling
menyambung kata-kata penolakan ibunya.
“Orang muda, sebelum kami pergi, dapatkah kau menerangkan padaku, siapakah gerangan
hakim yang memeriksa kami siang tadi?”
Sian Lun tersenyum gembira ketika menjawab, “Ah, dia? Dia adalah pamanku sendiri,
bernama Kwee Siong, orang termulia di atas dunia ini!”
Wajah Sui Giok menjadi pucat sekali dan bibirnya gemetar. Untuk menyembunyikan
kebingungan dan keharuan hatinya, ia berkata gagap. “Jadi kau keponakannya, bukan
anaknya.....?” Pertanyaan ini sebetulnya merupakan ucapan penutup keharuannya, asal keluar
saja, akan tetapi dijawab oleh Sian Lun yang tidak menduga sesuatu.
“Bukan toanio. Aku bukan anaknya. Pamanku Kwee hanya mempunyai seorang putera yang
bernama Kwee Cun, baru delapan tahun usianya.”
Belum habis pemuda itu mengeluarkan ucapan ini, Sui Giok telah memegang tangan Ling
Ling dan menariknya keluar. “Hayo kita pergi!”
Tentu saja Sian Lun menjadi heran sekali. Akan tetapi ketika ia menyusul keluar, ibu dan
anak yang aneh itu telah lenyap ditelan malam gelap. Terpaksa ia kembali ke tempat tinggal
Kwee Siong dengan hati menduga-duga.
Adapun Ling Ling yang semenjak kecil belum diberitahu oleh ibunya akan nama ayahnya,
juga sama sekali tidak pernah mengira bahwa hakim itu adalah ayahnya sendiri. Tadinya Sui
Giok menanti dengan hati penuh harapan ketika ia melihat betapa hakim itu adalah suaminya
sendiri, akan tetapi dapat dibayangkan betapa hancur hatinya ketika mendengar dari Sian Lun
bahwa suaminya yang kini telah menduduki pangkat tinggi itu ternyata telah menikah lagi dan
telah mempunyai seorang putera.
Ia menyembunyikan hal ini dari Ling Ling, karena ia maklum akan kekerasan hati puterinya
ini. Ia tidak dapat menyalahkan pernikahan suaminya itu, karena sebagai seorang bijaksana,
Sui Giok dapat mempertimbangkan keadaan suaminya yang tadinya seakan-akan
menghidupkan jiwanya yang telah mati, kini api harapan itu padam lagi dan membuat ia
merasa betapa kosongnya dunia ini.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 117
Sementara itu, ketika siuman kembali dari pingsannya, Kwee Siong memandang ke kanan
kiri, kemudian terdengar ia mengeluh.
“Mana........ mana mereka........??” bisiknya berkali-kali dengan tubuh terasa panas bagaikan
dibakar.
Seorang tinggi besar mendekatinya dan memegang tangannya.
“Saudara Kwee, kau kenapakah?” suara ini halus sekali sungguhpun terdengar besar dan
dalam.
Kwee Siong memandang kepada wajah Jenderal Li Goan, dan tiba-tiba ia bangun dan duduk.
“Goanswe.... tolonglah..... keluarkan mereka. Ah, mereka itu adalah isteriku dan puteriku! Sui
Giok..... isteriku ternyata masih hidup dengan anaknya .... anakku ..... Ling Ling!”
Tentu saja Li Goan menjadi terharu dan menggeleng-gelengkan kepala, mengira bahwa hakim
ini telah menjadi kacau pikirannya karena terserang demam.
“Beristirahatlah, saudara Kwee, kau terserang penyakit panas. Mungkin kau terlalu lelah,”
katanya lemah lembut sambil mendorong perlahan pundak Kwee Siong supaya berbaring lagi.
Akan tetapi, dengan mata terbelalak Kwee Siong memegang tangannya dan berkata,
“Tidak, Goanswe, tidak! Dua orang wanita itu..... yang katanya menyerangmu, mereka itu
benar-benar isteri dan puteriku yang kukira tewas belasan tahun yang lalu!”
Barulah Jenderal Li Goan terkejut mendengar ucapan ini. Ia lalu duduk di pinggir
pembaringan Kwee Siong yang menceritakan riwayatnya ketika ia dibawa pergi oleh pasukan
pengumpul tenaga rakyat untuk dipaksa bekerja. Ia menuturkan pula bahwa telah beberapa
kali ia menyuruh orang menyelidiki keadaan isteri dan anaknya, dan mendengar bahwa
mereka itu tidak kelihatan bekas-bekasnya lagi, kemungkinan besar sudah tewas di dalam
hutan.
“Dan sekarang mereka muncul..... mereka berada di sini! Ah, tolonglah Goanswe, bebaskan
mereka, biar mereka datang ke sini!”
Li Goan terkejut sekali dan cepat ia pergi keluar untuk memberi kabar kepada Sian Lun. Akan
tetapi ia mendengar dari pemuda ini bahwa kedua ibu dan anak itu telah pergi, entah ke mana.
Pemuda ini menuturkan pengalamannya dan dengan wajah lesu jenderal ini lalu masuk
kembali ke kamar di mana Kwee Siong berbaring dengan penuh harapan.
Alangkah terkejut dan menyesalnya hati Kwee Siong ketika ia mendengar Li Goan berkata,
“Mereka sudah pergi, agaknya isterimu tidak mau bertemu dengan kau.” Ia lalu menuturkan
kembali apa yang ia dengar dari Sian Lun tadi.
Kwee Siong menutup mukanya dengan kedua tangan dan ia menangis terisak-isak seperti
anak kecil.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 118
“Ah, Sui Giok..... Sui Giok...... tentu kau marah dan membenciku..... aku telah berdosa besar
kepadamu! Sui Giok, mengapa kau tidak mau kembali kepadaku.....?”
Dalam keadaan sakit keras Kwee Siong lalu diangkat pulang ke rumah sendiri. Atas
permintaannya, peristiwa itu dirahasiakan, hanya Kwee Siong dan Li Goan sendiri yang
mengetahuinya. Bahkan Sian Lun sendiri tidak diberi tahu bahwa ibu dan anak yang
menyerang Li Goan itu sebenarnya adalah isteri dan puteri dari Kwee Siong.
Nyonya Kwee Siong dari keluarga Liok adalah seorang yang terpelajar. Melihat keadaan
suaminya dan mendengar betapa di dalam sakitnya, suaminya mengingau dan memanggilmanggil
nama Sui Giok, ia menjadi curiga.
Ia telah diberitahu oleh suaminya bahwa suaminya dulu pernah menikah dengan orang yang
bernama Sui Giok dan yang dikabarkan telah tewas, maka ketika ia melihat suaminya sudah
menjadi agak sembuh, dengan halus ia mendesak dan membujuk kepada Kwee Siong untuk
menceritakan keadaannya. Kwee Siong maklum akan kebaikan hati isterinya, maka ia lalu
berterus terang, menceritakan apa yang telah terjadi.
Nyonya Kwee menjadi sangat terharu dan dengan setulus hatinya ia mengucurkan air mata.
“Aduh, kasihan sekali mereka! Suamiku, mengapa pada saat kau bertemu dengan mereka, kau
tidak mengajak mereka pulang ke sini? Mereka berhak duduk di sampingmu dan hidup
bersama kita serumah. Dia adalah ibu dari anakmu yang sulung dan aku adalah ibu dari
anakmu yang bungsu. Kami dapat menjadi enci-adik dan hidup rukun di sini.”
Kwee Siong menghela napas berulang berkali dengan penuh kemenyesalan.
“Aku berdosa besar ..... aku berdosa besar kepada mereka......” hanya inilah yang diucapkan
berkali-kali dan hatinya penuh dengan pertanyaan bagaimana Sui Giok yang lemah lembut itu
kini telah menjelma menjadi seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian hebat
dan mengerikan. Akan tetapi siapakah dapat menjawab pertanyaan ini? Puterinya, Ling Ling
yang dulu masih berada dalam kandungan Sui Giok ketika mereka terpaksa berpisah, ternyata
demikian cantik jelita, demikian gagah berani, ah........
Tiada habisnya penyesalan menggerogoti hati Kwee Siong sehingga dalam beberapa bulan
saja rambut kepalanya banyak yang menjadi putih, sikapnya makin pendiam dan seringkali ia
duduk melamun. Sungguhpun ia masih melakukan tugas pekerjaannya seperti biasa, namun ia
tak pernah lagi nampak gembira seperti biasa. Tentu saja isterinya juga ikut menjadi sedih.
Berkali-kali isteri yang bijaksana ini menghiburnya.
“Suamiku, kau tidak berdosa, sama sekali tidak berdosa. Kau bukan sengaja meninggalkan
enci Sui Giok, dan kau menikah dengan aku karena mengira bahwa enci Sui Giok sudah
meninggal dunia. Nasiblah yang menjadikan enci Sui Giok seperti itu dan yang telah
merusakkan kebahagiaan rumah tanggamu bersama enci Sui Giok. Ada ujar-ujar kuno yang
menyatakan bahwa perbuatan salah yang dilakukan tanpa disadarinya dan tanpa disengaja
bukanlah perbuatan dosa. Lebih baik kita berusaha mencari mereka dan membawa mereka itu
ke sini.”
Terhibur jugalah jati Kwee Siong oleh ucapan isterinya yang bijaksana ini dan ia mulai
menyuruh orang-orangnya untuk mencari di mana adanya ibu dan anak itu.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 119
******
Jenderal Li Goan ternyata adalah seorang yang tidak saja pandai mainkan senjata dan
memimpin barisan, akan tetapi ternyata ia pandai pula menghatur pemerintahan. Ia mulai
mengatur pemerintahan, mengangkat pembesar-pembesar, membagi-bagi tugas dan mulai
mengatur pekerjaan, melanjutkan ketatanegaraan dengan adil dan baik. Disamping ini, ia
masih mengerahkan pasukan-pasukannya untuk terus mengejar kaisar dan sisa balatentaranya.
Sementara itu, di mana-mana masih saja berkobar api pemberontakan. Sebagian besar para
pasukan pemberontak yang bergerak menyendiri, dapat dibujuk dan dapat digabungkan
dengan barisan di bawah pimpinan Jenderal Li.
Akan tetapi ada pula pemberontak-pemberontak yang mempunyai cita-cita sendiri dan yang
bahkan memerangi pasukan Jenderal Li, oleh karena ini dipimpin oleh orang-orang yang
sesungguhnya menginginkan kedudukan kaisar. Oleh karena ini, di mana-mana terjadi
pertempuran antara pasukan kaisar melawan para pemberontak dan antara pasukan-pasukan
Jenderal Li melawan pemberontak-pemberontak yang tidak mau menggabungkan diri.
Keadaan negara menjadi rusuh sekali, pertempuran kacau balau terjadi di mana-mana.
Kedudukan Kaisar Yang Te makin lemah, sungguhpun kaisar ini masih melakukan
perlawanan mati-matian. Pemberontak-pemberontak yang paling hebat menggempur barisan
Kaisar Yang Te adalah sepasukan pemberontak baru yang terdiri dari pendeta-pendeta dan
anak buah perkumpulan agama Pek-sim-kauw.
Mereka ini berjuang tanpa maksud untuk keuntungan diri sendiri. Mereka hanya bergerak
untuk menumbangkan kekuasaan Kaisar Yang Te yang amat dibenci karena kelalimannya.
Tadinya anggauta-anggauta Pek-sim-kauw ini bangun dan menggabungkan diri dengan para
pemberontak setempat, tidak memilih pihak mana dan siapa yang memimpin pemberontakan
itu.
Akan tetapi, akhirnya terbuka mata mereka dan yang merasa bahwa barisan pemberontak di
mana mereka menggabung diselewengkan pemimpinnya yang memberontak dengan maksud
untuk menjadi kaisar, lalu keluar dari pasukan itu. Akhirnya para anggauta Pek-sim-kauw ini
agaknya mendapatkan seorang pemimpin baru dan mereka bersatu merupakan sebuah
pasukan Pek-sim-kauw yang luar biasa kuatnya.
Tiap kali terjadi pertempuran antara barisan Pek-sim-kauw melawan barisan pelindung kaisar
banyaklah perwira-perwira gagah perkasa dari kaisar yang roboh tewas oleh pasukan yang
kuat ini. Sesungguhnya pasukan Pek-sim-kauw ini tidak seberapa banyak jumlahnya, akan
tetapi mereka rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi. Apalagi pemimpin mereka yang baru,
ternyata bahwa pemimpin ini amat tangguh dan tiap kali pasukan Pek-sim-kauw menghadapi
perlawanan yang dipimpin oleh seorang perwira lihai selalu pemimpin Pek-sim-kauw inilah
yang merobohkan perwira itu.
Siapakah pemimpn Pek-sim-kauw yang lihai ini? Bukan lain adalah Ling Ling dan ibunya,
Sui Giok. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ibu dan anak ini melarikan diri dari
tempat tahanan setelah dilepaskan oleh Sian Lun. Karena Sui Giok merasa hancur hatinya dan
habis binasa pengharapannya ketika mendengar bahwa suaminya yang kini telah menjadi
seorang pembesar tinggi ternyata telah menikah lagi dan telah mempunyai seorang putera.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 120
Kalau dulu di dalam setiap tindakan, Sui Giok selalu menjadi kemudi dan selalu mencegah
puterinya berlaku ganas, adalah kini nyonya mempunyai sepak terjang mengerikan sekali. Di
dalam setiap pertempuran, Sui Giok mengamuk bagaikan kerbau luka, menghancurkan tentara
musuh yang berani menghadapinya.
Ia berlaku nekad dan tidak memperdulikan lagi bahaya yang mengancamnya, seakan-akan ia
tidak perduli lagi akan hidup matinya. Memang nyonya ini telah putus harapan dan di dalam
dadanya terdapat kedukaan besar sekali yang selalu disembunyikan dari mata orang lain,
bahkan dari mata puterinya sendiri.
Ling Ling dan Sui Giok diangkat menjadi pemimpin oleh pasukan Pek-sim-kauw, ketika pada
suatu hari serombongan pendeta Pek-sim-kauw terdiri dari belasan orang telah dikurung oleh
sepasukan tentara kaisar di dalam sebuah hutan. Belasan pendeta Pek-sim-kauw ini melawan
mati-matian, akan tetapi karena pihak lawan amat banyak jumlahnya dan dipimpin oleh lima
orang perwira kelas satu, agaknya rombongan pendeta Pek-sim-kauw itu tidak akan menang
dan tidak mempunyai jalan keluar pula.
Tiba-tiba terdengar bentakan merdu dan nyaring dan dua bayangan orang yang luar biasa
sekali gerakannya menyerbu masuk, mengocar-ngacirkan barisan kaisar ini dan dalam
beberapa jurus saja telah berhasil merobohkan lima orang perwira kaisar. Barisan kaisar
menjadi kacau balau dan ketika melihat betapa pemimpin-pemimpin mereka gugur, mereka
lalu melarikan diri.
“Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li!” tiba-tiba terdengar seruan heran dan ketika kedua orang
wanita yang telah membantu mereka itu menengok, Ling Ling dan Sui Giok mengenal bahwa
di antara para pendeta itu, terdapat dua orang pendeta yang mereka kenal baik, yakni Pek
Hong Ji dan Pek Thian Ji dua orang di antara Pek-sim Ngo-lojin di Cengtu.
Demikianlah, Ling Ling dan ibunya lalu diangkat menjadi pemimpin mereka dan ketika
ditanya, Pek Hong Ji dan adiknya memberitahukan bahwa tiga orang di antara kelima kakek
gagah itu, yakni Pek Im Ji, Pek Yang Ji, dan Pek Te Ji, telah gugur di dalam pertempuranpertempuran
yang lalu.
Dengan adanya pasukan Pek-sim-kauw ini, maka para anggauta dan pendeta Pek-sim-kauw
yang tersebar di mana-mana lalu datang menggabungkan diri sehingga pasukan ini menjadi
makin besar dan kuat. Pasukan ini bermarkas di dalam sebuah hutan di luar kota Yang-kouw
di mana Kaisar Yang Te membangun benteng sebagai tempat pertahanan terakhir.
Memang, karena dikejar-kejar dan sebagian besar barisannya telah dapat dipukul mundur
hancur, Kaisar Yang Te dengan para pengikut dan pasukannya yang masih bersetia
kepadanya, lalu bersembunyi di dalam kota Yang-kouw. Sisa-sisa barisan dikumpulkan dan
dipusatkan di tempat ini, membuat pertahanan yang cukup kuat. Beberapa kali pasukanpasukan
pemberontak datang menggempur, akan tetapi pertahanan kaisar ini berhasil
memukul mundur barisan penyerang sehingga sampai hampir setahun kaisar itu masih hidup
selamat di kota Yang-kouw ini.
Pada suatu hari, ketika Ling Ling dan Sui Giok sedang duduk beristirahat di bawah sebatang
pohon pek yang besar, datanglah seorang pendeta Pek-sim-kauw dan setelah dekat, ternyata
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 121
bahwa yang datang itu adalah pendeta Pek Hong Ji. Napasnya terengah-engah tanda bahwa
pendeta yang sudah tua ini telah berlari-lari dari tempat jauh dalam keadaan yang tegang.
“Ada apakah, totiang?” tanya Ling Ling sambil bangun berdiri.
“Siocia, toanio, pertempuran besar telah dimulai! Penyerbuan besar-besaran telah terjadi,
dilakukan oleh barisan Jenderal Li dari Tiang-an. Inilah saatnya benteng Yang-kouw
dihancurkan.”
Seakan-akan menjadi bukti dari laporan pendeta Pek Hong Ji ini, tiba-tiba terdengar sorak
sorai yang riuh sekali dari jurusan kota Yang-kouw.
“Bagus, kita harus cepat menyerbu, membantu barisan Jenderal Li!” dengan sigap Ling Ling
memberi perintah. “Kumpulkan kawan-kawan kita dan kita menyerbu dari belakang kota.
Biarkan barisan Tiang-an yang besar jumlahnya menggempur dari depan dan selagi para
tentara kaisar mempertahankan dan mengumpulkan kekuatan di benteng depan, kita
menyerbu dari belakang dan memasuki kota!”
Ketika pasukan mereka sudah berkumpul dan hendak berangkat, Sui Giok berkata kepada
Ling Ling dan kepada kedua pendeta Pek-sim-kauw, yakni Pek Hong Ji dan Pek Thian Ji.
Kalau kita sudah berhasil menyerbu masuk, jangan mengganggu kaisar, dia adalah bagianku
dan pedang ini yang akan menamatkan riwayatnya!”
Pek Thian Ji tersenyum. “Aduh, toanio bersemangat benar?! Jangan kuatir, toanio, kami
takkan mendahului.”
Berangkatlah pasukan istimewa ini keluar dari dalam hutan, berlari dengan cepat sekali tanpa
mengeluarkan suara. Mereka ini rata-rata memiliki ilmu lari cepat yang cukup baik. Ketika
mereka telah keluar dari hutan, suara sorak sorai peperangan makin terdengar ramai.
Ternyata bahwa barisan dari Tiang-an telah mulai menyerbu dan peperangan telah terjadi
dengan hebatnya. Pasukan dari Tiang-an ini mempergunakan anak panah yang menghujani
tempat-tempat penjagaan di atas tembok benteng, sedangkan dari dalam benteng juga keluar
anak panah dan batu dari atas tembok bagaikan hujan.
Ling Ling dan Sui Giok memimpin pasukan mereka ke belakang kota dan menghampiri
tembok kota. Akan tetapi ternyata perhitungan mereka meleset. Serbuan balatentara dari
Tiang-an yang amat besar jumlahnya dan amat kuat itu, membuat kaisar menjadi ketakutan
sehingga kaisar ini bersiap-siap untuk lari mengungsi lagi.
Oleh karena itu, ketika pasukan Pek-sim-kauw tiba di luar benteng sebelah belakang dan
hendak mendobrak pintu itu, tiba-tiba dari atas tembok yang nampaknya tak terjaga itu
turunlah batu-batu dan anak panah bagaikan hujan lebatnya. Dan selagi mereka menjadi
terkejut dan kacau balau serta banyak anak buah yang menjadi korban hujan batu dan anak
panah, tiba-tiba pintu benteng terbuka lebar-lebar dan sepasukan perwira istimewa, yakni
barisan pelindung kaisar yang berkepandaian tinggi sekali, menerjang dan membabat mereka.
Ling Ling dan Sui Giok menjadi marah sekali. Dengan nekad kedua ibu dan anak ini lalu
menyerbu dan menghadapi keroyokan para perwira dengan gagahnya. Akan tetapi, para
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 122
perwira itu benar-benar tangguh sehingga ibu dan anak ini tidak dapat mencegah ketika kaisar
dapat melarikan diri dengan sebuah kendaraan, dikawal oleh sepasukan pelindung yang
nampak gagah dan kuat.
Ling Ling dan Sui Giok tidak dapat mengejar, karena para pengeroyok mereka amat banyak
dan amat tangguh. Adapun para pendeta Pek-sim-kauw juga sibuk menghadapi serbuan
perajurit-perajurit bayangkari.
Sui Giok menjadi sengit sekali. Ia memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga robohlah
seorang lawan, kemudian ia berteriak keras, “Tahan anjing-anjing ini! Aku hendak mengejar
kaisar jahanam itu!”
Ia lalu melompat pergi, mengejar ke arah rombongan kaisar sambil menjerit-jerit. “Kaisar
lalim! Tunggulah pembalasanku! Kau telah menghancurkan hidupku, sekaranglah saatnya aku
membalas dendam!!”
Jeritan ini disertai isak tangis sehingga Ling Ling menjadi terharu dan terkejut juga. Amat
berbahayalah kalau ibunya menyerbu rombongan kaisar itu seorang diri. Ia maklum bahwa di
antara rombongan kaisar itu terdapat banyak sekali pelindung yang ilmu silatnya tinggi. Maka
ia lalu menyerbu cepat, merobohkan dua orang pengeroyok dan berkata kepada Pek Hong Ji.
“Totiang, aku hendak menyusul ibu.” Ia lalu melompat cepat, menyusul ibunya.
Alangkah kagetnya ketika akhirnya ia dapat menyusul ibunya yang sedang dikeroyok oleh
dua orang perwira yang amat gagah perkasa. Rombongan kaisar tidak kelihatan lagi, agaknya
telah melarikan diri ke atas bukit yang nampak dari situ, dan ibunya telah dilawan oleh dua
orang perwira yang berkepandaian tinggi.
“Kaisar jahanam, tunggu ku penggal lehermu!” Sui Giok masih menjerit-jerit sambil memutar
pedangnya.
“Perempuan gila, kau ingin mampus!” seru seorang di antara kedua perwira yang mengeroyok
dan dengan sebuah sabetan hebat goloknya berhasil merobohkan Sui Giok.
“Ibu.......!” Ling Ling yang tak keburu mencegah peristiwa itu melompat menerjang dengan
hebat dan begitu pedangnya berkelebat, ia telah membabat kepala perwira yang bergolok itu
bersama goloknya yang juga terbabat putus. Tanpa dapat mengeluarkan suara, perwira itu
roboh dengan kepala pecah.
Bab 15.....
Ling Ling menjadi marah sekali. Perwira kedua yang bersenjata tombak hendak lari melihat
kehebatan sepak terjang gadis ini, akan tetapi belum sepuluh langkah ia lari, tiba-tiba ia
merasa ada sambaran angin dari belakangnya.
Cepat ia membalikkan tubuh dan memutar tombaknya, akan tetapi terdengar suara keras dan
tombaknya terbabat putus oleh pedang Pek-hong-kiam di tangan Ling Ling. Sebuah tusukan
dengan gerak tipu Burung Hong Mematuk Jantung dan robohlah perwira bertombak itu
dengan dada tertembus pedang.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 123
Dalam kemarahannya, Ling Ling hendak mengejar terus ke atas bukit, akan tetapi tiba-tiba ia
mendengar keluhan ibunya yang memanggil namanya. Ia cepat menghampiri ibunya dan
berlutut lalu memeluk kepala ibunya. Ternyata bahwa sebelum menerima bacokan golok tadi,
Sui Giok telah menderita banyak luka dalam pertempurannya dengan dua orang perwira tadi.
“Ibu......!” Sui Giok membuka matanya mendengar panggilan anaknya ini dan ia merangkul
leher Ling Ling, menarik kepala puterinya itu, mendekat dan menciumi muka anaknya. Ketika
ia melepaskan pelukannya, muka Ling Ling penuh darah, darah yang mengalir keluar dari
jidat ibunya.
“Ling Ling....... dengarlah, hakim itu....... pembesar yang bernama Kwee Siong, hakim yang
memeriksa kita itu....... dia adalah suamiku, dia adalah ayahmu!”
“Ibu.........”
“Dia benar ayahmu, Ling Ling, ayahmu yang dulu dipaksa berpisah dariku, sewaktu kau
masih dalam kandunganku.......... sekarang dia telah menjadi pembesar tinggi.......” wajah Sui
Giok berseri sebentar, “dan ...... dia sudah menikah lagi, sudah berputera.......”
“Aku hendak mencari dan membunuhnya, ibu! Dia telah menyakiti hatimu!”
“Jangan, Ling Ling, dia ayahmu........”
“Aku tidak perduli! Kalau dia ayahku, mengapa dia melupakan ibu? Mengapa dia kawin lagi
dan membiarkan ibu hidup sengsara? Aku harus membunuhnya!”
Wajah Sui Giok yang sudah pucat itu menjadi makin pucat. Inilah yang ia takutkan selama
ini. “Ling Ling, dengar..... aku terluka parah dan takkan lama lagi hidup.......”
“Ibu, jangan kau berkata demikian. Akan kubawa kau kepada Pek Hong Ji Totiang. Dia bisa
mengobatimu.” Ling Ling mengangkat tubuh ibunya, memondongnya dan hendak
membawanya kembali ke tempat pertempuran tadi, di luar pintu belakang benteng.
“Ling Ling......... aku tak kuat lagi, nak..... perhatikanlah kata-kataku terakhir. Jangan kau
membunuh ayahmu, dia tidak bersalah. Dia mengira aku telah mati, Ling-ji, bersumpahlah
bahwa kau takkan membunuh ayahmu! Yang berdosa dan bersalah besar adalah kaisar......”
“Aku akan bunuh mereka....... akan kubunuh mereka semua.......” kata Ling Ling bagaikan
mabok sambil membawa lari tubuh ibunya.
“Ling-ji........” suara ibunya melemah dan tiba-tiba bagaikan tersentak kaget, Ling Ling
menahan kakinya dan berdiri bagaikan patung. Ia memandang ke depan, tidak berani
memandang kepada ibunya, akan tetapi wajahnya menjadi pucat sekali. Ia merasa betapa di
dalam pondongannya, tubuh ibunya menegang sebentar lalu tiba-tiba menjadi lemas dan
dingin.....!
“Ibu......” bisiknya perlahan tanpa berani memandang ke bawah.
“Ibu.......!” panggilannya mengeras. Tiada jawaban.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 124
“Ibu......!!” kini ia memandang kepada wajah ibunya yang masih berada di dalam
pondongannya. Mata Ling Ling terbelalak, wajahnya makin pucat sekali, kedua kakinya
menggigil sehingga ia jatuh berlutut dengan tubuh ibunya masih dipondongnya.
Ibu......!!!” ia menjerit keras sambil memeluk tubuh ibunya yang sudah menjadi mayat.
“Ibu, bicaralah, bukalah matamu, ibu........” Bagaikan gila, Ling Ling membuka-buka pelupuk
mata ibunya yang sudah tertutup, melihat betapa bola mata ibunya diam tak bergerak,
menciumi mulut dan mata ibunya, memohon supaya ibunya hidup kembali. Akhirnya gadis
yang malang ini roboh pingsan sambil memeluk tubuh ibunya.
Ketika siuman kembali, ternyata Ling Ling telah ditolong Pek Hong Ji dan kawan-kawannya.
Dengan penuh penghormatan jenazah Sui Giok lalu dikubur, diiringi tangis dan ratap Ling
Ling yang memilukan. Dari Pek Hong Ji, Ling Ling mendengar betapa kota Yang-kouw telah
terjatuh ke dalam tangan balatentara Jenderal Li Goan dan bahwa pasukan-pasukan kaisar
telah dapat dihancurkan.