Pendekar Bongkok 3 Super Cersil Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf Pendekar Bongkok 3 Super Cersil
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan
“Enci Hong, apa... apa yang telah terjadi? Siapa yang membunuh cihu?” Dia berlutut dan memeriksa.
Tidak salah lagi. Cihu-nya sudah tewas, tewas seketika melihat pedang itu menembus dada. Melihat
adiknya, Sie Lan Hong menangis semakin mengguguk sambil memeluk mayat suaminya.
“Liong-te... bagaimana pun juga... bagaimana pun jahatnya... aku... aku mencintanya...!” Wanita itu
meratap dan menangis sejadinya.
Semenjak tadi Bi Sian sudah memperhatikan sikap pamannya. Terlalu tenang, pikirnya. Terlalu tenang
sehingga tidak wajar. Akan tetapi, kenapa pamannya masih meragukan kenyataan itu?
Tadi dia telah melihat dengan matanya sendiri. Orang yang menyeret mayat ayahnya itu berpunggung
bongkok! Siapa lagi kalau bukan pamannya? Dan orang itu bertopeng hitam, topeng hitam yang ia
temukan di luar kamar Sie Liong pula!
“Engkaulah pembunuh ayahku!” Tiba-tiba Bi Sian berteriak sambil melompat dekat Sie Liong. Tangannya
sudah menyambar sebatang ranting kayu dan sekarang digenggam di tangannya, telunjuk kirinya
menuding ke arah muka Sie Liong.
Pemuda itu terkejut dan heran. “Apa...?! Apa maksudmu, Bi Sian?” Dia bangkit berdiri.
“Maksudku, Sie Liong, engkaulah yang membunuh ayahku!”
“Ehh?! Apa kau sudah gila? Enci, bagaimana ini? Bagaimana anakmu menuduh aku yang sudah
membunuh suamimu?”
Akan tetapi anehnya, Sie Lan Hong hanya menangis, tidak membantah sedikit pun juga. Memang, di dalam
hatinya, Lan Hong juga menduga bahwa tentu adiknya itu yang telah membunuh suaminya, untuk
membalaskan sakit hati orang tua mereka.
“Liong-te, kenapa engkau begitu kejam membunuhnya? Bagaimana pun juga, dia ayah Bi Sian, dia
suamiku dan aku... aku cinta padanya...”
Mendengar ratap tangis enci-nya ini, Sie Liong terbelalak. Ia merasa bagaikan disambar geledek di hari
terang!
Akan tetapi, Bi Sian yang juga mendengar ucapan ibunya, sudah mengeluarkan suara melengking
panjang. Dia mengeluarkan topeng hitam itu dan melemparkannya ke arah muka Sie Liong yang cepat
menangkapnya.
Melihat bahwa yang dilemparkan itu adalah sebuah topeng hitam tipis, Sie Liong tidak tahu maksudnya.
Akan tetapi pada saat itu, tongkat di tangan Bi Sian sudah menyambar dengan totokan-totokan maut ke
arah muka, tenggorokan dan ulu hatinya. Tiga totokan bertubi yang kesemuanya amat berbahaya!
Tanpa disadari, Sie Liong menyimpan topeng itu ke dalam saku bajunya dan tubuhnya lalu dilempar ke
belakang, berjungkir balik setiap kali ada ujung tongkat menyambar dan setelah tiga kali berjungkir balik,
dia lalu memalangkan kedua lengannya seperti hendak menggunting kalau tongkat yang amat berbahaya
itu menyambar lagi. Akan tetapi kini tongkat itu tidak menusuknya dari depan, melainkan menghantam dari
kanan ke arah lambungnya!
Bukan main cepat dan kuatnya serangan Bi Sian. Kembali Sie Liong menghindarkan diri dengan loncatan
ke atas. Celaka, pikirnya. Bi Sian, dan bahkan juga enci-nya sendiri, agaknya sudah yakin bahwa dia
adalah pembunuh cihu-nya! Agaknya membela diri dan menyangkal tidak ada gunanya pada saat
keduanya sedang emosi itu, dan melawan serangan Bi Sian amat berbahaya. Gadis ini memiliki ilmu
tongkat yang amat ganas dan lihai, dan teringat dia akan ilmu tongkat yang pernah dipertontonkan Koay
Tojin.
“Kalian salah sangka...!” katanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika tongkat itu kembali menyambar dengan totokan maut ke arah pusarnya, Sie Liong melompat ke
pinggir lalu kakinya menyambar untuk menendang pinggang Bi Sian dari samping. Dia mengerahkan
tenaga yang cukup besar sehingga angin tendangan itu menyambar keras.
Bi Sian terkejut dan cepat melompat ke belakang. Inilah yang memang dikehendaki Sie Liong. Dia
mempergunakan kesempatan selagi gadis itu melompat ke belakang, dia pun melompat jauh dan
menghilang di dalam kegelapan malam!
“Pembunuh, hendak lari ke mana kau?” Bi Sian melompat dan melakukan pengejaran.
Akan tetapi, Sie Liong dapat bergerak cepat sekali sehingga bayangannya sudah tidak nampak. Setelah
mengejar ke sana-sini tanpa hasil, dengan hati kesal Bi Sian kembali ke dalam kebun. Ia menemukan
ibunya masih menangisi mayat ayahnya.
“Aku tidak berhasil menyusul pembunuh keparat itu! Akan tetapi, ibu, aku pasti akan mencarinya sampai
dapat!”
“Sudahlah, Bi Sian. Yang terpenting sekarang mengurus jenazah ayahmu,” kata Sie Lan Hong yang
akhirnya dapat menguasai hatinya yang terguncang.
“Tapi, ibu, yang terpenting adalah menangkap pembunuh itu!”
“Hemm, bagaimana pun juga, dia adalah pamanmu, adik ibumu.”
“Apakah kalau adik ibu, lalu dia boleh membunuh ayah sesukanya? Apakah ibu sudah begitu membenci
ayah karena ayah telah berubah selama ini?”
“Bi Sian...!” Sie Lan Hong menangis lagi dan Bi Sian segera menyadari kekeliruannya. Ia berlutut dan
merangkul ibunya.
“Maafkan, ibu. Maafkan aku... ahh, kedukaan membuat aku bersikap kasar kepada ibu.” Gadis itu lalu
mengangkat jenazah ayahnya ke dalam rumah.
Para tetangga dan penduduk kota Sung-jan terkejut mendengar berita kematian Yauw Sun Kok yang
kabarnya terbunuh orang semalam. Banyak orang menduga-duga siapa pembunuhnya. Yauw Sun Kok
mereka kenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, walau pun akhir-akhir ini menjadi gila judi
dan suka bermain perempuan serta mabok-mabokan.
Sie Lan Hong menangis perlahan di dalam kamarnya. Ia tidak mau ditemani puterinya dan terpaksa Bi Sian
duduk bersila di ruangan di mana jenazah ayahnya dibaringkan, ditemani oleh beberapa orang pria tua
tetangga mereka.
Ketika Lan Hong menangis lirih, mendadak daun jendelanya terbuka dari luar. Begitu perlahan jendela itu
terbuka dari luar sehingga Lan Hong tidak mendengar sesuatu. Baru ia terkejut ketika ada bayangan
berkelebat dan tahu-tahu adiknya telah berdiri di dalam kamar itu. Lan Hong memandang terbelalak
kepada adiknya.
“Mau apa... engkau datang? Engkau sudah membunuhnya, tentu engkau sudah puas, bukan? Biarlah aku
yang menderita... hu-huh... sejak dulu, aku yang menderita...!”
“Enci, dengarlah baik-baik. Aku tidak membunuhnya, enci. Aku tidak membunuh cihu...!”
Wanita itu menghentikan tangisnya lalu menarik napas panjang. “Sudahlah, Liong-te. Aku pun tidak dapat
menyalahkanmu. Dulu aku pun hendak membunuhnya dan sudah sepatutnya kalau aku atau engkau
membunuhnya...”
“Enci... apa... apa maksudmu?” Sie Liong bertanya, hatinya berdebar tegang.
“Engkau tentu sudah menduganya, maka engkau membunuhnya, bukan? Nah, baiklah, karena dia sudah
mati, aku ceritakan segalanya kepadamu. Memang, Yauw Sun Kok yang menjadi pembunuh ayah dan ibu
kita, membunuh suheng Kim Cu An, juga dua orang pelayan keluarga kita dan semua binatang peliharaan
kita.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sedikit banyak memang sudah ada dugaan di dalam hati Sie Liong, akan tetapi selalu dibantahnya sendiri
karena bagaimana mungkin enci-nya menjadi isteri pembunuh ayah ibu mereka?
“Tapi... tapi mengapa, enci?”
“Mendiang ayah kita pernah bentrok dengan Yauw Sun Kok ketika dia dan isterinya melakukan
perampokan. Dia dahulu seorang perampok, lalu isterinya tewas di tangan mendiang ayah kita dan dia
terluka. Dia lalu memperdalam ilmu silat dan pada malam hari itu, dia berhasil membasmi keluarga ayah
kita.”
“Tapi... tapi, mengapa enci dan aku sendiri tidak dibunuhnya, dan mengapa pula enci menjadi isterinya...?”
“Itulah selalu aku yang menderita. Dia tertarik kepadaku. Dia hendak memperkosaku dan membunuh kita
berdua kalau aku tidak mau menjadi isterinya. Terpaksa, untuk menyelamatkan engkau yang baru berusia
sepuluh bulan, dan menyelamatkan nyawaku sendiri, aku menerima permintaannya. Aku kemudian
menjadi isterinya dan engkau tak dibunuhnya. Dan ternyata dia sangat baik kepadaku dan kepadamu
sampai terlahir Bi Sian dan aku... aku... anak durhaka dan tidak berbakti ini, aku jatuh cinta kepadanya,
kepada suamiku sendiri dan kepada pembunuh ayah ibuku...” Sie Lan Hong tidak dapat menahan
tangisnya lagi.
Sie Liong mendengarkan dengan bengong. Die merasa kasihan sekali kepada enci-nya.
“Akan tetapi, aku tidak membunuhnya, enci.”
“Sudahlah, siapa mau percaya. Dan aku sekarang tidak lagi menyalahkanmu, Liong-te. Sudah sepatutnya
engkau membunuhnya dan...”
Tiba-tiba pintu kamar itu didorong terbuka dari luar dan Bi Sian meloncat masuk dengan mata terbelalak.
Tangannya memegang sebatang pedang, yaitu pedang Pek-lian-kiam yang telah membunuh ayahnya!
“Pembunuh keparat, berani engkau ke sini?!” bentaknya.
Secepat kilat Bi Sian menyerang dengan pedang itu. Tusukan kilat mengarah dada Sie Liong dan selain
nampak kilatan pedang, juga terdengar bunyi mendesing saking cepat dan kuatnya pedang itu meluncur.
Tapi, dengan cepat Sie Liong menyambar kursi dan melempar kursi itu sebagai perisai. Terdengar suara
nyaring dan kursi itu sudah patah-patah berantakan. Akan tetapi tubuh Sie Liong sudah meloncat ke
jendela.
“Bi Sian, engkau keliru. Aku tidak membunuh ayahmu!” Sie Liong berseru sebelum dia meloncat ke luar
dan melenyapkan diri.
“Jahanam, jangan lari!” Bi Sian hendak mengejar, akan tetapi ibunya telah menubruknya dan memegangi
lengannya sambil menangis.
“Jangan, anakku. Jangan kejar dia...! Biarkan dia pergi...!” tangisnya.
Bi Sian mengerutkan alisnya. Menghela napas panjang. “Hemm, ibu melindungi seorang pembunuh,
pembunuh suami ibu sendiri, walau pun pembunuh itu adik kandung ibu...”
Ia melepaskan diri, akan tetapi tidak mengejar seperti yang diminta ibunya, melainkan dengan bersungutsungut
ia pun kembali ke ruangan di mana jenazah ayahnya sedang dibaringkan.
Ibunya melempar diri di atas pembaringan dan menangis. Bagaimana dia tega untuk merusak hati anaknya
dengan menceritakan semua perbuatan ayahnya?
Tidak, ia tidak akan menceritakan semua peristiwa jahanam dahulu itu kepada Bi Sian agar gadis itu tidak
tahu bahwa ayahnya seorang yang amat jahat. Tidak perlu ia tahu. Biarlah ia sendiri yang menderita,
asalkan Bi Sian tidak menderita! Seperti dahulu ia berkorban demi mempertahankan keselamatan Sie
Liong, kini dia bersedia berkorban perasaan demi menjaga agar batin puterinya tidak sampai menderita
kehancuran.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada keesokan harinya, para tetangga datang melayat dan pagi-pagi sekali Bong Gan sudah tiba di situ.
Maksudnya untuk berkunjung kepada sumoi-nya. Tentu saja dia kaget bukan main melihat peti mati di
ruangan depan.
Bi Sian menyambutnya dengan wajah pucat dan mata merah, bekas tangis dan kurang tidur.
“Sumoi! Apa yang telah terjadi! Siapa pula yang meninggal dunia...?” tanya Bong Gan dengan penuh
kekhawatiran.
“Yang meninggal dunia adalah ayahku, suheng...”
“Ahh...!” Pemuda itu terbelalak memandang ke arah peti mati. “Ayahmu? Tapi kemarin beliau masih segar
bugar...!”
“Malam tadi... dia meninggal...” Gadis itu memejamkan matanya, menahan diri agar tidak menangis di
depan pemuda itu, apa lagi para tetangga mulai berdatangan melayat.
Melihat ini, Bong Gan kemudian menghampiri meja sembahyang, memasang hio untuk memberi hormat
kepada jenazah di dalam peti itu. Kemudian dia kembali menghampiri sumoi-nya.
“Sumoi, kenapa ayahmu meninggal? Apakah sakit?”
“Mari kita masuk, suheng, aku mau bicara denganmu.”
Bong Gan mengikuti sumoi-nya menuju ke ruangan dalam. Setelah berada berdua saja, gadis itu
mempersilakan suheng-nya duduk.
“Suheng, ayahku malam tadi dibunuh orang....”
“Hah...!” Bong Gan meloncat bangkit berdiri dari kursinya, matanya terbelalak. “Dibunuh orang?
Bagaimana... siapa...?”
“Pembunuhnya adalah... pamanku, adik ibu sendiri...”
“Ahh! Pemuda berpunggung... bongkok bernama Sie Liong itu...?”
Bi Sian mengangguk, menarik napas panjang. “Benar, dialah yang membunuh ayahku.”
“Kalau begitu, biar aku mencarinya dan menyeretnya ke depanmu, sumoi!” Bong Gan berseru sambil
mengepal tinju, matanya terbelalak penuh kemarahan.
“Semalam aku sudah menyerang dan mengejarnya, akan tetapi tidak berhasil. Dia tidak boleh dipandang
ringan, suheng. Agaknya ia telah memperoleh kepandaian yang hebat. Ingat, dia itu murid supek Pek-sim
Siansu yang menurut suhu memiliki kesaktian yang sangat hebat. Karena itu, aku akan pergi mencarinya,
suheng, dan harap engkau suka membantuku. Kalau kita maju berdua, tentu dia akan dapat kita kalahkan.”
“Aku siap siaga, sumoi! Tanpa kau minta sekali pun, aku memang hendak mencarinya untuk membalaskan
sakit hatimu ini!”
“Terima kasih, suheng. Hanya engkau seoranglah yang dapat kumintai bantuan, yang dapat kuharapkan.
Nah, sekarang juga kita berangkat untuk mengejar dan mencari Sie Liong!”
“Ehh? Sekarang? Tidak menanti sampai selesai pemakaman ayahmu?”
“Tidak, kalau terlambat, dia akan pergi terlalu jauh. Aku sudah siap sedia, lihatlah, ini buntalan sebagai
bekal perjalanan sudah kusiapkan. Marilah kita berangkat sekarang juga!”
Pemuda itu masih bingung karena kepergian itu demikian mendadak, walau pun hatinya merasa girang
sekali bahwa dia akan berdua lagi dengan sumoi-nya, berdua melakukan perjalanan!
“Kau... aku tidak berpamit kepada ibumu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Gadis itu menggeleng kepalanya dengan wajah duka. “Tidak, ibu melindungi adiknya. Lebih baik aku tidak
menemuinya dahulu sebelum aku dapat membalas dendam kepada pembunuh ayahku!”
Berkata demikian, gadis itu lalu pergi, diikuti Bong Gan, keluar meninggalkan rumah itu dari pintu samping
sehingga tidak kelihatan oleh para tetangga yang datang berlayat.
Ketika Sie Lan Hong mendengar bahwa puterinya lenyap bersama suheng-nya, pergi tanpa pamit, dia pun
jatuh pingsan. Tidak kuat dia menahan pukulan batin yang datang bertubi-tubi itu. Yang terutama sekali
memberatkan hati nyonya ini adalah karena dia bisa menduga ke mana perginya puterinya itu. Tentu
puterinya ini hendak pergi mencari Sie Liong untuk menuntut balas dendam!
Maka kini ia pun merasa menyesal sekali mengapa ia tidak segera menceritakan saja sebab-sebab yang
mendorong Sie Liong membunuh Yauw Sun Kok. Kalau dia sudah menceritakan, tentu Bi Sian akan
mengerti dan dapat memaklumi mengapa pamannya itu membunuh ayahnya, karena memang ayahnya
amatlah jahat!
Setelah suaminya tewas dan dimakamkan, Sie Lan Hong lalu hidup seorang diri dalam keadaan
sederhana. Ia berdagang dengan modal seadanya. Setiap hari ia berprihatin, bersembahyang dan
memohon kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk melindungi puterinya dan untuk mencegah agar
puterinya jangan sampai membunuh Sie Liong.
Kalau hal ini sampai terjadi, habislah hidupnya. Ia tidak akan berani melanjutkan hidup lagi. Kehidupannya
penuh dengan penyesalan jika sampai puterinya itu membunuh Sie Liong.
Sie Lan Hong sama sekali tidak khawatir kalau puterinya akan terbunuh oleh Sie Liong. Ia telah mengenal
benar watak adiknya yang bongkok itu. Sampai bagaimana pun juga, Sie Liong tidak akan membunuh Bi
Sian.
Hal ini ia yakin, sama yakinnya bahwa di dasar hatinya, adiknya itu amat mencinta dan menyayang Bi
Sian…..
********************
Wanita itu berusia kurang lebih dua puluh empat tahun. Ia seorang wanita yang mempunyai daya tarik
besar sekali. Wajahnya yang berbentuk lonjong itu berkulit putih mulus kemerahan. Matanya jeli serta
kedua ujungnya meruncing dan kerlingannya bisa menarik hati pria seperti besi semberani menarik besi.
Senyumnya manis sekali, dengan bibir yang lembut itu pandai bergerak-gerak penuh tantangan.
Tubuhnya bagaikan bunga sedang mekar, dengan lekuk lengkung yang indah dan amat menggairahkan,
tidak begitu disembunyikan karena pakaiannya yang ketat dengan jelas membayangkan keindahan bentuk
tubuh itu. Dadanya padat, pinggangnya ramping dan pinggulnya besar, langkahnya bagaikan seekor singa
kelaparan. Pada lengan, kaki dan lehernya nampak ditumbuhi bulu lembut dan ini menambah daya tarik.
Pakaiannya juga indah, dari sutera yang mahal.
Ketika wanita itu memasuki pintu gerbang kota Ho-tan, semua mata pria yang melihat wanita ini
memandang hingga melotot. Bahkan ada yang seolah matanya sampai mau meloncat keluar. Kalamenjing
banyak pria bergerak naik turun, seperti orang kehausan melihat buah yang segar. Ada yang lidahnya
terjulur ke luar menjilat-jilat bibir sendiri, seperti kucing-kucing kelaparan melihat tikus yang montok.
Pendeknya, jarang ada pria yang mau melewatkan penglihatan seindah itu begitu saja. Bahkan di antara
mereka yang memang berwatak ceriwis dan nakal, sudah memasang senyum menyeringai, ada pula yang
berdehem, juga ada yang memuji dengan suara. Bermacam-macamlah ulah para pria yang salah tingkah
itu ketika melihat wanita yang menggiurkan ini, dan kalau saja sinar mata dapat menusuk seperti anakanak
panah, tentu tubuh wanita itu sudah penuh dengan luka!
Wanita itu bukan tidak sadar bahwa dirinya dijadikan tontonan yang mengasyikkan. Ia sadar sepenuhnya
akan kecantikannya, dan ia tidak marah, bahkan merasa bangga dan gembira sekali menjadi pusat
perhatian dan pujian. Oleh karena itu ia sengaja membuat lenggangnya semakin menggairahkan,
pinggulnya yang montok itu seperti menari-nari, pinggangnya meliak-liuk seperti batang pohon yang tertiup
angin, matanya mengerling ke kanan kiri dengan lembut akan tetapi tajam, dan bibirnya yang merah
membasah itu bergerak-gerak mengarah senyum. Manis sekali!
dunia-kangouw.blogspot.com
Semua orang bertanya-tanya siapa gerangan wanita muda yang amat cantik itu. Kalau wanita penduduk
biasa dari kota Ho-tan kiranya tak mungkin, sebab melihat pakaiannya yang indah dan mewah, tentu ia
seorang wanita kaya raya, mungkin seorang puteri bangsawan. Kalau ia benar wanita bangsawan dari luar
kota, mengapa datang hanya berjalan kaki saja? Tidak naik kereta?
Wanita cantik itu penuh teka-teki, dan kalau dia lebih lama berada di kota itu, tentu segera akan ada orang
yang berani mendekatinya untuk bertanya dan memperkenalkan diri. Terlalu cantik untuk dibiarkan
sendirian saja di tempat ramai itu. Seperti setangkai bunga, yang terlalu cantik dibiarkan tumbuh di hutan
tanpa ada yang melindungi. Seperti setangkai buah yang segar dan matang, tentu tidak akan lama
bertahan tergantung di dahan pohon tanpa ada yang memetiknya.
Sudah mulai banyak pria tua muda yang diam-diam membayanginya! Senja telah mulai tua dan malam
sudah menjelang masuk. Mereka yang membayanginya, merasa heran ketika melihat wanita cantik itu
menuju ke sebuah kuil tua di pinggir kota. Padahal kuil tua itu sudah kosong dan tidak digunakan lagi,
merupakan sebuah rumah tua yang ditakuti penduduk karena dikabarkan bahwa kuil itu sekarang menjadi
tempat tinggal siluman-siluman!
Setelah hari mulai gelap, hampir tak ada orang berani memasuki tempat itu. Jangankan memasuki kuil itu,
bahkan masuk ke halamannya pun jarang ada yang berani. Banyak orang mengabarkan bahwa kalau
malam gelap, sering kali terdengar suara-suara aneh dari tempat yang angker itu!
Ketika mereka yang membayangi wanita itu melihat betapa si cantik itu melenggang lenggok memasuki
pekarangan kuil, sudah banyak di antara mereka yang diam-diam menahan kaki mereka, kemudian
membalikkan tubuh dan pergi dengan bulu tengkuk meremang. Sebagian lagi masih bertahan, diliputi
keheranan mau apa seorang cantik seperti itu memasuki pekarangan kuil yang menyeramkan itu?
Ketika mereka melihat bahwa wanita itu terus melangkah masuk ke dalam kuil yang gelap, kotor dan tua
itu, semua orang membalikkan tubuh dan lari tunggang langgang! Tidak salah lagi, yang mereka bayangi
itu sudah pasti siluman! Siluman yang suka menggoda pria, biasanya siluman rubah yang dapat merobah
diri menjadi wanita cantik sekali. Kalau ada pria yang tertarik dan terpikat, akan dibawanya ke dalam kuil
dan pada keesokan harinya, tentu pria itu ditemukan dalam keadaan mati konyol atau setidaknya tentu gila!
Kalau saja di antara mereka itu ada yang bernyali besar dan terus membayangi wanita itu masuk ke dalam
kuil, tentu dia akan menjadi semakin heran. Wanita itu setelah tiba di dalam kuil, tiba-tiba saja bergerak
cepat sekali, tubuhnya sudah mencelat naik ke atas wuwungan rumah dan ia mengintai dari atas ke arah
jalan yang menuju ke kuil.
Dari atas itu, dalam cuaca yang sudah mulai gelap, dia dapat melihat mereka yang tadi membayanginya,
satu demi satu meninggalkan jalan itu, bahkan ada yang lari pontang panting kembali ke dalam kota.
Wanita itu tersenyum geli, bibirnya yang menggairahkan itu berjebi mengejek, lalu tubuhnya melayang
turun lagi setelah ia merasa yakin bahwa tidak ada seorang pun yang mengikutinya masuk ke dalam kuil.
“Hi-hik-hik,” dia tertawa lirih dan berbisik-bisik, “biarkan mereka mengira aku siluman. Memang aku
siluman... hi-hik-hik, siluman asli...!”
Ia lalu melangkah masuk ke dalam ruangan belakang kuil itu, bagian yang masih agak utuh karena banyak
bagian yang sudah rusak dan dindingnya retak-retak.
Kalau saat itu ada orang lain yang mengikuti wanita ini masuk, ketika ia tiba di ruangan belakang dan
membuka pintu sebuah kamar, orang itu tentu akan berseru keheranan dan ketakutan melihat betapa
kamar yang diterangi oleh nyala api lilin itu merupakan sebuah kamar yang bersih, berbau harum dan
sama sekali tidak pantas berada di dalam kuil tua yang kotor itu!
Kamar ini cukup besar, terdapat sebuah pembaringan yang lebar sekali, cukup untuk tidur enam tujuh
orang! Sebuah pembaringan yang diberi kasur tebal dan ditilami kain kapas yang berwarna merah, dengan
kelambu besar berwarna ungu! Bantal-bantalnya bersih, dengan sarung yang disulam bunga-bunga dan
burung, ada pula selimutnya yang merah dan tebal.
Di kamar itu terdapat pula lima buah kursi serta sebuah meja, dan di atas meja itu ada guci arak lengkap
dengan cawannya, juga roti kering, manis-manisan, buah-buahan dan makanan-makanan kering!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebuah kamar yang amat menyenangkan. Dan yang lebih mengherankan lagi dari pada semua itu adalah
keberadaan tiga orang pemuda yang usianya antara dua puluh hingga dua puluh lima tahun, kesemuanya
hanya mengenakan pakaian dalam yang minim, tiga orang pemuda yang tampan dan dengan tubuh yang
sehat dan mulus. Mereka segera menyambut kedatangan wanita itu dengan uluran tangan penuh gairah
birahi, dengan pandang mata penuh kasih sayang dan senyum memikat!
Pada waktu wanita itu mendekati pembaringan, tiga orang pemuda itu menyambutnya dengan rangkulan,
lalu ciuman-ciuman mesra dan belaian-belaian penuh gairah. Wanita cantik itu sampai kewalahan
menghadapi penyambutan mesra tiga orang pria muda itu. Ia tertawa cekikikan, lalu melepaskan diri dan
duduk di atas kursi, memandang mereka bertiga yang duduk di atas pembaringan.
Ketiga pemuda yang sama-sama tampan, ganteng, jantan dan menarik, pikirnya. Akan tetapi, setelah
bermain-main dengan mereka, berenang dalam lautan kemesraan hingga lupa waktu dan lupa batas
selama tiga hari tiga malam, ia telah mulai bosan!
Siapakah wanita cantik yang menggairahkan akan tetapi juga mengerikan itu? Ia bukan lain adalah Pek
Lan!
Tujuh tahun yang lalu, ketika berusia tujuh belas tahun, Pek Lan menjadi selir tersayang dari Coa Hun yang
terkenal sebagai Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang yang ketika itu berusia sekitar lima puluh tahun
dan merupakan orang terkaya di kota Ye-ceng. Akan tetapi, Pek Lan, keturunan Kirgiz dan Han itu,
memiliki darah panas dan nafsu birahi yang besar sehingga ia tidak puas hanya melayani seorang suami
yang usianya sudah setengah abad.
Maka, melihat betapa putera angkat hartawan itu, biar pun baru berusia tiga belas tahun akan tetapi sudah
cukup besar, ia lalu merayu anak itu yang bukan lain adalah Bong Gan sehingga terjadilah hubungan gelap
di antara mereka. Para selir dan pelayan yang merasa iri melihat Pek Lan menjadi selir terkasih,
mengetahui hubungan itu dan mereka melaporkan kepada Coa-wangwe sehingga dua orang itu tertangkap
basah, lalu diusir dari rumah keluarga Coa.
Seperti kita ketahui, Pek Lan bertemu dengan Hek-in Kui-bo, nenek iblis yang kemudian mengambilnya
sebagai murid. Nenek ini bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu silat yang tinggi dan amat kejam, juga
mewariskan pula wataknya yang amat jahat, kejam, licik dan tidak pantang segala macam perbuatan buruk
atau kemaksiatan apa pun!
Maka, bagi Pek Lan tidak ada perbuatan jahat yang dipantangnya. Dia tumbuh semakin dewasa dan
matang menjadi seorang wanita yang berwatak iblis! Juga nafsu birahinya semakin menjadi-jadi!
Untuk memuaskan nafsunya ini, ia memilih pria yang disukanya, dirayu atau dipaksa untuk melayaninya
sampai ia merasa puas. Kalau ia sudah merasa bosan, pria itu lalu diusir begitu saja, dan kalau banyak
rewel bahkan dibunuhnya! Akan tetapi perbuatan ini ia lakukan di luar rumah subo-nya.
Subo-nya memiliki sebuah rumah yang mewah di tepi telaga Co-sa dan mereka hidup sebagai orang kaya
raya. Guru dan murid ini telah mencuri sejumlah harta dari gedung Pangeran Cun Kak Ong di kota Ho-tan.
Selama tujuh tahun terakhir ini, kalau mereka mulai kekurangan uang, mudah saja bagi mereka untuk
mengisi kembali gudang harta mereka.
Seluruh tokoh sesat dari dunia hitam berlomba untuk menyerahkan sebagian dari hasil mereka kepada
Hek-in Kui-bo yang mereka anggap sebagai datuk mereka. Dan selain itu, sangat mudah bagi Pek Lan
yang sudah mempunyai ilmu kepandaian tinggi untuk mengambil begitu saja dari gudang-gudang harta
para hartawan atau bangsawan.
Setelah lewat tujuh tahun dan merasa bahwa dirinya sudah dibekali ilmu-ilmu yang amat hebat, Pek Lan
teringat akan penghinaan yang pernah dideritanya di rumah keluarga Coa-wangwe di kota Ye-ceng. Oleh
karena itu, ia berpamit dari subo-nya dan pergi ke kota itu, dengan maksud untuk membalas semua
penghinaan yang pernah diterimanya, tentu saja berikut bunga-bunganya!
Ketika dia tiba di kota Ye-ceng, ia melihat tiga orang pemuda yang dijumpainya dalam perjalanan. Tiga
orang pemuda yang tampan, muda dan jantan. Perhatiannya segera tercurah pada mereka, dan untuk
sementara itu melupakan urusannya di Ye-ceng, sibuk memikat tiga orang pemuda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tidak sukar baginya untuk menjatuhkan hati tiga pemuda itu dengan kecantikannya dan kemontokan
tubuhnya. Segera ia membawa pemuda-pemuda itu ke dalam kuil tua, di mana ia telah membuat sebuah
kamar yang indah dan selama tiga hari tiga malam ia berenang dalam lautan kemesraan dan kenikmatan
bersama mereka sampai ia merasa agak bosan. Dan setelah merasa bosan, barulah ia teringat kembali
akan maksudnya semula datang ke kota Ye-ceng itu.
Ketika tiga orang pemuda yang sudah tergila-gila pada wanita cantik itu membelai dan menciuminya, Pek
Lan yang semula merasa bosan lalu melepaskan diri dan duduk di atas kursi, memandang kepada mereka
bertiga sambil tertawa cekikikan.
“Sudahlah, malam ini aku tak bisa main-main dengan kalian, karena mempunyai urusan penting. Kalian
makan minum yang kenyang, istirahat baik-baik dan malam nanti, larut tengah malam, atau besok pagipagi,
aku akan kembali ke sini dan kalian harus sudah bersiap-siap untuk kita bertanding lagi...” Ia tertawa
cekikikan seperti siluman.
Tiga orang pemuda itu pun ikut tertawa gembira. Mereka tidak peduli apakah Pek Lan seorang manusia
biasa, ataukah seorang dewi atau seorang siluman! Yang jelas, wanita itu telah menyenangkan hati
mereka, memberi mereka kenikmatan yang selama hidup mereka belum pernah mereka rasakan.
Setelah bermain-main dan bersendau-gurau dengan tiga orang pemuda itu dan malam mulai gelap, Pek
Lan melepaskan diri lagi dari tangan-tangan mereka, kemudian sekali berkelebat ia pun sudah lenyap dari
dalam kamar itu! Tiga orang pemuda itu hanya dapat merasa heran dan kagum. Kalau sudah ditinggalkan
begitu, ketiganya baru mulai merasa ngeri dan seram, menduga-duga siapa gerangan wanita cantik yang
selama tiga hari tiga malam mengajak mereka berenang dalam lautan asmara itu.
Tubuh Pek Lan lenyap berubah menjadi bayangan yang gerakannya cepat sekali dan dalam waktu singkat,
bayangannya telah berada di atas genteng gedung keluarga Coa. Kemudian, beberapa kali bayangan itu
berkelebat dan melayang turun, dan ia sudah berada di dalam gedung yang amat luas itu.
Di bawah sebuah lampu dinding di dekat taman ia berhenti, kemudian memandang ke sekeliling sambil
tersenyum. Selama tujuh tahun ini tidak banyak perubahan, nampak di rumah itu masih tetap mewah dan
indah. Rumah yang amat dikenalnya.
Lalu ia mengingat-ingat. Ada tiga orang selir muda dan cantik yang menjadi saingannya dan yang dulu
melaporkannya kepada Coa-wangwe. Di samping tiga orang selir itu, juga terdapat dua orang pelayan pria
dan seorang tukang kebun pria. Sudah lama ia merencanakan cara dia membalas dendam, dan kini dia
tersenyum sendiri.
Senyum itu membuka sepasang bibir yang merah basah, dan memperlihatkan kilatan giginya yang putih
berderet rapi. Cantik memang, akan tetapi juga mengerikan, karena sepasang matanya mencorong. Wajah
yang cantik itu sungguh-sungguh seperti wajah seorang siluman tulen!
Dia masih ingat di mana adanya kamar-kamar para selir dan para pelayan itu. Dengan amat mudahnya, ia
membuka daun jendela sebuah kamar dan bagaikan seekor kucing saja, ia melompat ke dalam kamar. Ia
membuka kelambu pembaringan yang tertutup dan melihat seorang di antara musuh-musuhnya, yaitu selir
yang tinggi semampai, tidur nyenyak seorang diri memeluk guling.
Ia mengguncang pinggul wanita itu yang segera membuka matanya dan terbelalak saat melihat seorang
wanita cantik yang asing di depan pembaringannya.
“Apa... siapa kau...?” tanyanya gagap.
Pek Lan tersenyum manis. “Benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Ingat tujuh tahun yang lalu...”
“Pek Lan...! Kau... Pek Lan...?” selir itu berseru kaget.
Akan tetapi, pada saat itu Pek Lan menggerakkan tangannya dan selir itu terkulai lemas dan tak mampu
lagi mengeluarkan suara. Matanya terbelalak ketakutan ketika Pek Lan menariknya, memanggulnya dan
membawanya melompat keluar dari kamar melalui jendela yang daunnya ia tutupkan kembali.
Ia membawa tubuh selir itu ke dalam Pondok Merah, yaitu sebuah bangunan mungil di tengah taman di
mana biasanya Hartawan Coa menghibur diri, mendengarkan nyanyian dan melihat tarian yang dilakukan
dunia-kangouw.blogspot.com
oleh para selirnya atau rombongan penari yang diundangnya. Karena malam itu Pondok Merah tidak
digunakan, maka pintunya dikunci dari luar. Akan tetapi, dengan mudah Pek Lan mendorongnya terbuka
dan ia membawa tubuh selir itu ke sebuah kamar di pondok itu, kemudian melemparkan tubuh itu ke atas
pembaringan.
Selir itu hanya dapat terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya, akan tetapi dia ngeri
melihat pandang mata Pek Lan yang mencorong seperti bukan mata manusia biasa itu!
Selir ke dua juga diseret ke dalam Pondok Merah dalam keadaan tertotok, lumpuh dan tidak mampu
mengeluarkan suara oleh Pek Lan dan dilempar ke dalam kamar yang lain dalam pondok.
Ketika ia memasuki kamar selir ke tiga yang menjadi musuhnya, ternyata selir ini tidur dengan seorang
anak perempuan berusia kurang lebih dua tahun. Kiranya selir ini telah mempunyai anak. Akan tetapi ia
tidak peduli. Ia menotok selir ini dan juga menotok anak kecil itu supaya jangan menangis dan
menggagalkan rencananya, kemudian membawa pula selir ke tiga ini ke dalam Pondok Merah. Kebetulan
pondok itu memiliki tiga buah kamar dan kini tiga orang selir itu telah berada di dalam kamar-kamar itu.
Kini Pek Lan menuju ke deretan kamar para pelayan. Ia pun masih ingat di mana letak kamar dari para
pelayan yang dianggapnya musuh. Seorang di antara mereka sudah mempunyai isteri yang juga bekerja di
situ sebagai tukang cuci. Ia tak peduli, dan seperti yang dilakukan pada para selir tadi, ia pun dengan
mudah, seperti setan saja, memasuki kamar pelayan dan menotok mereka, lalu menyeret mereka menuju
ke pondok di taman bunga.
Isteri salah seorang di antara tiga pelayan pria itu pun ditotoknya sehingga tidak mampu berkutik mau pun
berteriak. Pek Lan melempar-lemparkan tiga orang pelayan pria itu ke atas pembaringan di dalam tiga
buah kamar. Mereka tergeletak tumpang tindih di atas pembaringan tanpa dapat berteriak, juga mereka
hanya terbelalak saja ketakutan ketika Pek Lan merobek-robek pakaian mereka sehingga enam orang di
dalam tiga kamar itu semua menjadi telanjang bulat.
Setelah membiarkan tiga pasang manusia itu tumpang tindih di atas pembaringan dalam keadaan tanpa
pakaian, Pek Lan tersenyum girang. Di bawah sinar lampu, wajahnya yang cantik manis itu nampak
sungguh menyeramkan, menyeringai laksana iblis betina. Matanya mencorong dan giginya berkilauan.
Kemudian ia menyelinap ke belakang rumah pondok itu dan membakar bagian belakang rumah, lalu
dipukulnya kentongan bambu untuk membuat gaduh. Sebentar saja semua penghuni rumah gedung
hartawan Coa menjadi gempar mendengar suara kentongan bertalu-talu dari belakang itu. Mereka segera
memasuki taman dan menjadi semakin geger melihat pondok di taman itu.
“Pondok Merah kebakaran!” demikian teriakan mereka.
Semua orang lalu berusaha memadamkan api yang membakar bagian belakang pondok itu dengan
siraman air. Tiga pasang orang yang berada di dalam tiga kamar itu tentu saja mendengar semua
keributan ini, namun mereka tidak mampu bergerak dan hanya menanti dengan hati tegang.
Akhirnya api itu padam dan dipimpin oleh Coa-wangwe sendiri, semua orang memasuki pondok
mengadakan pemeriksaan dan apa yang mereka dapatkan? Tiga pasang orang yang saling tindih di atas
pembaringan dalam tiga kamar itu, tanpa pakaian sama sekali!
Tentu saja keadaan menjadi semakin geger. Semua orang tahu bahwa tiga orang selir Coa-wangwe
secara tidak tahu malu sekali sudah mengadakan perjinahan dengan tiga orang pelayan pria. Agaknya
mereka demikian asyik sehingga mereka tidak tahu bahwa pondok yang menjadi tempat pertemuan
mereka itu terbakar bagian belakangnya!
Ketika tiga pasang orang itu tidak mampu bergerak, hanya memandang dengan wajah ketakutan, Coawangwe
tentu saja menganggap mereka itu hanya pura-pura atau tidak mampu bergerak karena
ketakutan. Dia tetap tidak peduli dan menyuruh para pelayan menyeret enam orang itu turun dari
pembaringan, lalu dalam keadaan masih telanjang bulat mereka diberi hukuman masing-masing dua puluh
kali cambukan bagi para selir dan lima puluh kali cambukan bagi para pelayan pria.
Kulit punggung dan pinggul mereka sampai pecah-pecah berdarah. Setelah itu, mereka diusir, hanya boleh
membawa pakaian mereka saja, bahkan selir yang sudah memiliki anak, tidak diperbolehkan membawa
anaknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah melampiaskan kemarahannya, marah bukan hanya karena selir-selirnya berani menyeleweng
dengan para pelayan, melainkan akibat nama baiknya tercemar karena seluruh penduduk Ye-ceng pasti
akan segera mendengar peristiwa yang memalukan sekali itu, Coa-wangwe memasuki kamarnya. Dia tidak
memperbolehkan isterinya atau selir lain menemaninya sebab ia ingin mengaso dan membiarkan hawa
amarah mereda.
Akan tetapi, ketika dia memasuki kamarnya yang besar dan mewah, menutupkan pintu karena dia tidak
ingin diganggu, dan membalik hendak menuju ke pembaringannya, dia terbelalak dan mulutnya ternganga.
Di atas pembaringannya itu sedang rebah seorang wanita yang luar biasa cantiknya. Cantik manis, kulitnya
yang putih mulus itu nampak karena pakaiannya setengah terbuka. Sepasang mata yang mengerling
tajam, senyum yang semanis madu dan sikap yang menantang!
“Kau... kau... Pek Lan?” Coa-wangwe berseru heran dan juga terkejut.
Biar pun wanita itu tidak semuda dulu lagi, namun ia telah menjadi seorang wanita yang matang, jauh lebih
menarik dari pada dulu ketika masih menjadi selirnya, ketika masih berusia tujuh belas tahun! Pek Lan
yang rebah di pembaringannya, miring menghadap kepadanya itu adalah seorang wanita yang matang dan
merangsang!
Pek Lan tersenyum. Manis!
“Aihh, Coa-wangwe, engkau masih ingat kepadaku? Sungguh menggembirakan!”
“Tentu saja aku masih ingat!” Hartawan itu mendekati pembaringan, lalu duduk di tepi pembaringan. “Siang
malam aku ingat kepadamu, Pek Lan, wajahmu selalu terbayang dan aku amat rindu kepadamu, sayang.
Setelah engkau pergi, barulah aku tahu betapa besar cintaku kepadamu...”
Tangan hartawan tua itu hendak meraih, akan tetapi wanita itu mengelak.
“Hemm, kalau memang benar engkau begitu cinta kepadaku, kenapa engkau mengusir aku?
Sesungguhnya anak angkatmu itulah yang kurang ajar! Dulu aku dipaksanya dan karena aku takut, dia itu
anak angkatmu, terpaksa aku tidak dapat membantah. Kenapa engkau tidak melihat kenyataan itu?
Engkau telah dihasut oleh tiga orang selirmu itu. Dan apa buktinya sekarang? Merekalah yang berjinah,
bahkan dengan para pelayan. Sungguh memalukan keluarga dan mencemarkan nama dan
kehormatanmu!”
Hartawan Coa menghela napas panjang. “Salahku, aku begitu bodoh. Tapi, sekarang mereka telah
kuhukum dan kuusir. Dan engkau, Pek Lan... engkau begini cantik jelita... aih, kulitmu begitu mulus,
engkau lebih cantik manis dari pada dahulu. Engkau kembali, sayang? Engkau akan kujadikan selir
pertama, bukan, tapi akan kuangkat menjadi isteri yang sah!”
Kembali tangan hartawan itu meraih. Ketika Pek Lan membiarkan dan tangan hartawan itu menyentuh
lengan yang berkulit lembut dan hangat, hartawan itu segera dirangsang nafsu birahi. Akan tetapi ketika dia
mulai hendak merangkul, Pek Lan melompat turun dari tempat tidur.
Melihat wanita itu berdiri di lantai, Coa-wangwe menjadi semakin kagum. Tubuh itu kini demikian padat,
menggiurkan, tidak lagi kekanak-kanakan seperti dahulu!
“Pek Lan...!”
“Cukup! Turunlah dan jangan merengek seperti itu. Aku datang bukan untuk itu. Aku tidak butuh cintamu,
tidak butuh laki-laki macam engkau yang sudah tua dan berperut gendut berkepala botak itu!”
“Pek Lan...!”
“Dengar! Aku datang untuk menagih hutang! Dahulu engkau pernah mengusirku, tanpa memberi bekal
sedikit pun. Padahal aku telah menyerahkan diri padamu, menyerahkan kegadisanku dan mandah saja
menjadi barang mainanmu, menjadi pemuas nafsumu. Sekarang engkau harus membayar untuk itu
semua! Aku akan mengambil semua harta milikmu yang kau simpan di dalam almari tebal ini!” Ia sudah
hafal akan hal itu dan kini ia menghampiri sebuah almari hitam yang berdiri di sudut.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat dan mendengar ini, Coa-wangwe menjadi sangat terkejut dan lenyaplah sudah nafsu birahinya,
seperti awan tipis ditiup angin.
“Pek Lan, apa yang kau lakukan itu?!” bentaknya marah.
Tentu saja dia tidak merasa takut kepada bekas selirnya itu. Dia pun melangkah lebar menghampiri Pek
Lan dan menjulurkan tangan untuk menangkap lengan wanita itu agar tidak menghampiri almari besi
tempat hartanya tersimpan.
“Plakk! Dukk!”
Dan hartawan Coa terjungkal. Lengannya yang tertangkis seperti patah rasanya, dan perut yang ditendang
menjadi mulas.
“Aku datang hanya untuk mengambil hartamu, bukan mengambil nyawamu!” kata Pek Lan. “Akan tetapi
kalau aku marah, nyawamu juga akan kuambil sekalian!”
Sekarang hartawan itu ketakutan dan dia berlari ke arah pintu kamar. Pek Lan tidak mempedulikan dan ia
sudah membuka almari tebal itu dengan mudah walau pun almari itu dikunci. Begitu terbuka, nampaklah
bahwa almari itu dipenuhi perhiasan-perhiasan dari emas permata, juga bongkah-bongkah emas murni
yang berkilauan.
“Tolong...! Perampok..., pembunuh...!” Coa-wangwe yang sudah keluar dari kamar itu menjerit-jerit.
Pek Lan tidak peduli, enak-enak saja mengumpulkan emas dan perhiasan itu ke dalam sebuah kantung
kain yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Lima orang jagoan yang menjadi tukang pukul, tukang tagih dan penjaga keamanan keluarga hartawan itu
sudah dipanggil dari luar dan kini mereka berlima lari menuju ke kamar itu. Begitu mereka tiba di ambang
pintu kamar, mereka bengong dan menoleh kepada Coa-wangwe.
Di dalam kamar itu hanya terdapat seorang wanita cantik, sama sekali tidak nampak ada perampok.
Bahkan wanita cantik itu memasukkan emas dari dalam almari ke dalam sebuah kantung.
“Maaf, loya, di mana perampoknya?”
“Mana ada pembunuh?”
Coa-wangwe menuding ke arah Pek Lan. “Ia itulah perampoknya! Lihat, ia mengambil semua hartaku, dan
ia sudah memukulku!” Dia meringis kesakitan, mengelus perutnya yang masih mulas.
Lima orang penjaga itu tentu saja menjadi bengong. Wanita cantik itu perampoknya? Dan kini, seorang di
antara mereka yang paling lama bekerja di situ mengenal Pek Lan.
“Bukankah... bukankah engkau nona Pek Lan...?”
Pek Lan yang masih sibuk memasuk-masukkan barang berharga itu ke dalam kantung, menoleh dan
tersenyum manis. “Hemm, engkau masih mengenaliku? Bagus, untuk itu aku tidak akan membunuhmu!”
Coa-wangwe menjadi marah. “Untuk apa kau bercakap-cakap dengan wanita iblis itu? Tangkap ia dan
belenggu kaki tangannya!”
Lima orang jagoan itu memasuki kamar dan mengepung Pek Lan dengan setengah lingkaran.
“Nona Pek Lan, lebih baik kalau engkau menyerah saja dan tidak melawan sehingga tak perlu kami
mempergunakan kekerasan,” kata penjaga yang sudah mengenalnya itu. Dia merasa sayang sekali jika
harus mempergunakan kekerasan terhadap wanita yang luar biasa cantik manisnya itu.
Kantung itu sudah penuh dan biar pun almari itu masih belum terkuras semua, namun sebagian besar
perhiasan yang termahal sudah berpindah tempat. Pek Lan mengikat mulut kantong itu dan dengan kain
sutera yang telah dibawanya, digendongnya kantung yang cukup berat itu di punggung, kemudian ia
menghadapi lima orang penjaga sambil tersenyum.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Majulah dan turuti majikan kalian kalau kalian ingin merasakan kematian!”
Tentu saja lima orang penjaga itu tidak takut. Ancaman itu hanya keluar dari mulut seorang wanita cantik
yang dulunya adalah selir majikan mereka! Seorang wanita muda cantik yang lemah lembut dan berkulit
halus mulus seperti itu, tentu saja sama sekali tidak menakutkan!
Empat orang penjaga tidak sabar lagi dan mereka memang sudah ingin sekali segera menangkap dan
merangkul wanita cantik itu. Maka mereka pun menyerbu dan seperti hendak berebut saling mendahului,
mereka serentak menerkam Pek Lan.
Wanita ini tersenyum. Tubuhnya berkelebat, kaki tangannya bergerak dan kelima orang penjaga itu pun
terjengkang! Entah apa yang dilakukan, tidak bisa dilihat oleh lima orang itu saking cepatnya gerakan kaki
tangan Pek Lan. Tahu-tahu lima orang itu merasakan dada atau perut mereka terpukul atau tertendang,
keras sekali, membuat tubuh mereka terjengkang.
Coa-wangwe dan para selir dan pelayan yang berada di luar kamar, mundur ketakutan melihat betapa lima
orang penjaga itu terjengkang dan terbanting.
“Tangkap dia! Bunuh!” Coa-wangwe memberi semangat kepada lima orang penjaganya yang sudah
bangkit kembali. Dia merasa khawatir sekali melihat betapa hampir semua hartanya diambil oleh Pek Lan.
Lima orang penjaga itu menjadi malu sekali. Hanya dalam segebrakan mereka sudah dirobohkan oleh
seorang wanita muda yang cantik! Mereka kini mencabut senjata golok dari pinggang dan dengan sikap
mengancam mereka mengepung lagi dari depan.
Melihat ini, Pek Lan tersenyum. “Apa bila kalian berani menyerangku dengan golok itu, kalian akan
mampus!”
Akan tetapi, lima orang penjaga itu sudah terlalu marah. Dan karena mereka memegang senjata, pula
mereka berlima, tentu saja mereka tidak gentar menghadapi Pek Lan yang bertangan kosong, biar mereka
tahu bahwa wanita itu lihai sekali. Sambil mengeluarkan bentakan keras, mereka pun maju menerjang,
golok mereka gemerlapan tertimpa sinar lampu dan lima batang golok sudah menyambar-nyambar ke arah
Pek Lan.
Akan tetapi, dengan tenang sekali Pek Lan berloncatan. Tubuhnya bagaikan berubah menjadi bayangan
yang menyelinap di antara gulungan sinar golok. Dan anehnya, tak pernah ada golok yang mampu
menyentuhnya.
Tiba-tiba, penjaga yang mengenal Pek Lan tadi mengaduh dan dia pun roboh, goloknya sudah berpindah
ke tangan Pek Lan! Empat orang penjaga lain mempercepat gerakan serangan mereka.
Akan tetapi Pek Lan cepat menggerakkan goloknya, dengan gerakan memutar sehingga nampak sinar
panjang golok itu menyambar ke arah empat orang lawannya. Terdengar mereka itu menjerit dan seorang
demi seorang roboh berkelojotan dengan leher hampir putus! Darah bercucuran membanjiri lantai.
Pek Lan memandang pada penjaga yang mengenalnya tadi, yang dirobohkannya hanya dengan
tendangan dan dirampas goloknya. Dia pun tersenyum.
“Aku sudah berjanji tidak akan membunuhmu!” katanya.
Akan tetapi goloknya bergerak dan orang itu pun menjerit karena pundaknya terbacok golok sehingga
terluka parah. Akan tetapi, betapa pun parahnya, dia tidak akan mati.
Pek Lan meloncat keluar kamar. Semua selir dan pelayan lari ketakutan. Coa-wangwe juga melarikan diri,
akan tetapi suara halus terdengar membentak di belakangnya.
“Engkau hendak mencelakai aku, maka patut dihukum!”
Goloknya menyambar dan hartawan itu menjerit-jerit sambil memegangi kepala dengan dua tangan. Dua
buah daun telinganya telah buntung terbabat golok. Pek Lan tertawa, membuang goloknya lalu melompat
keluar, menghilang di dalam kegelapan malam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Peristiwa itu tentu saja cepat sekali tersiar dan dalam waktu beberapa hari saja, hampir seluruh penduduk
koto Ye-ceng telah mendengar akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga Coa.
Bukan hanya orang suka sekali membicarakan mala petaka yang menimpa keluarga Coa, juga
membicarakan aib yang mencemarkan nama dan kehormatan hartawan itu, tapi yang paling
menggegerkan orang adalah berita tentang Pek Lan yang kini menjadi seorang wanita cantik yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi sekali dan juga berwatak amat kejam.
Peristiwa lain yang amat menggemparkan adalah ditemukannya tiga orang pria muda yang sudah menjadi
mayat di dalam sebuah kuil tua. Mereka tewas dalam keadaan yang amat aneh, yaitu berada di atas
pembaringan di dalam kuil tua itu, hampir tanpa pakaian, dan kepala mereka retak seperti telah dipukul
dengan benda keras.
Tidak seorang pun menduga bahwa mereka ini, tiga orang pemuda tampan itu, ternyata juga tewas di
tangan Pek Lan, bahkan tangan lembut halus itulah yang telah membikin retak kepala mereka dengan
tamparan yang sangat ampuh! Pek Lan membunuh tiga orang muda itu karena mereka itu dianggap akan
dapat membocorkan rahasianya!
Maka muncullah di dunia kang-ouw seorang iblis betina yang amat berbahaya, bahkan lebih berbahaya
dari pada Hek-in Kui-bo, guru Pek Lan di waktu masih muda. Biar pun Hek-in Kui-bo dahulu juga seorang
wanita gila laki-laki, pengumbar nafsu jahat, namun dibandingkan Pek Lan, ia masih kalah sedikit.
Pek Lan, di samping ilmu kepandaiannya yang tinggi, dan perasaan bencinya kepada semua orang yang
dianggap merugikan, juga memiliki kecantikan yang amat menarik. Dengan senjata ini, mudah saja baginya
untuk menjatuhkan hati setiap orang pria yang akan dijadikan korbannya…..
********************
Wanita itu memang manis. Seorang wanita petani yang rajin. Agaknya karena sudah terbiasa bekerja keras
di sawah ladang, maka wanita itu memiliki tubuh yang padat dan sehat kuat. Pinggangnya ramping,
pinggulnya besar, tubuhnya tegak. Biar pun kulit kaki tangan, leher dan mukanya agak kecoklatan karena
sinar matahari, namun coklat yang sehat dan kulit itu tetap halus mulus.
Wajahnya yang manis tidak berkurang karenanya, bahkan nampak lebih manis karena mengandung
kewajaran tanpa alat rias. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun.
Wanita petani ini sedang sibuk mencabuti rumput dan tumbuh-tumbuhan liar di antara tanaman gandum. Ia
menggunakan cangkul atau kadang-kadang juga sebuah arit dan ia bekerja dengan asyik sekali. Sungguh
merupakan penglihatan yang mengagumkan.
Wanita itu kadang-kadang membungkuk, dan dua tangannya bergerak dengan cekatan. Bentuk tubuhnya
indah pada waktu membungkuk, dan kadang juga berdiri tegak untuk membuang segenggam rumput
keluar ladangnya. Celana kakinya digulung sampai ke lutut dan kaki itu terbenam ke tanah berlumpur
sebatas betis, sehingga kulit kaki antara betis dan lutut nampak putih mulus, jauh berbeda dengan kulit
tubuh yang terbuka dan terbakar matahari.
Wanita itu bekerja dengan sangat tekun dan asyik sehingga ia pun sama sekali tidak melihat bahwa
seorang pria yang tadinya berjalan di jalan raya tak jauh dari ladangnya, kini berhenti dan sampai lama
orang itu memandang kepadanya dengan kagum. Pria itu adalah seorang pemuda yang mudah sekali
dikenal, karena punggungnya bongkok, di bawah tengkuk terdapat sebuah daging menonjol besar. Dia
adalah Sie Liong!
Setelah beberapa saat seperti terpesona menyaksikan pemandangan indah itu, bukan hanya kemanisan
wanita petani, melainkan keseluruhan tamasya alam yang melatar belakangi bentuk tubuh wanita itu, Sie
Liong sadar bahwa sungguh tidak sopan kalau memandangi seorang wanita seperti itu. Akan tetapi,
pemandangan itu amat indahnya sehingga seolah-olah menahannya untuk tinggal lebih lama di tempat
sunyi itu.
Latar belakang ladang itu merupakan pegunungan yang hijau dan ladang di belakang wanita itu amat luas,
juga kehijauan dengan tanaman gandum. Sunyi. Hanya nampak di kejauhan beberapa orang wanita atau
pria yang juga membersihkan ladang mereka seperti yang dilakukan wanita itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hawa udara sangat segar, matahari amat cerah, dan duduk di bawah lindungan pohon besar itu sungguh
teduh dan nyaman. Sie Liong duduk di bawah pohon di tepi jalan, dan kesunyian itu membuat dia
melamun. Terkenanglah dia kepada semua peristiwa yang menimpa dirinya, yang baru lalu.
Terkenang dia akan kunjungannya kepada enci-nya, pertemuannya dengan enci-nya, cihu-nya, kemudian
dengan Yauw Bi Sian. Kemudian betapa cihu-nya yang kini berubah sama sekali wataknya itu dibunuh
orang, dan menurut Bi Sian, pembunuhnya adalah dia! Padahal, dia sama sekali tidak melakukan
perbuatan itu!
Bahkan enci-nya sendiri pun menyangka dia yang menjadi pembunuh untuk membalas dendam kematian
orang tuanya. Kiranya cihu-nya itu yang telah membunuh ayah dan ibunya, juga suheng-nya dan seorang
pelayan, juga semua binatang peliharaan orang tuanya. Jelaslah bahwa cihu-nya itu mendendam kepada
orang tuanya, amat membenci orang tuanya. Dia sendiri pun tentu telah dibunuh cihu-nya itu kalau tidak
ada enci-nya, Sie Lan Hong.
“Enci Hong, sungguh kasihan engkau...” Sampai di sini Sie Liong mengeluh dalam hati.
Dia dapat membayangkan betapa sengsara keadaan enci-nya ketika pembunuhan atas keluarga mereka
itu terjadi! Untuk menyelamatkan dirinya, seorang adik yang ketika itu masih kecil, baru berusia sepuluh
bulan, maka enci-nya itu telah mengorbankan dirinya! Ia menyerahkan dirinya kepada si pembunuh kejam
itu, demi untuk menyelamatkan diri adiknya. Dan akhirnya, enci-nya itu bahkan menjadi isteri pembunuh.
Mereka saling mencinta! Dan dia pun selamat, tidak ikut dibunuh!
Tidaklah aneh apa bila enci-nya menuduh dia yang sudah membunuh Yauw Sun Kok. Bukankah sudah
sepatutnya kalau dia membunuh orang yang telah membasmi keluarga orang tuanya itu? Apa lagi di sana
masih ada Bi Sian yang dengan sungguh-sungguh mengatakan bahwa gadis itu telah melihat dia pada
malam pembunuhan terjadi. Melihat dia, bongkoknya, bertopeng dan kemudian topeng itu ditemukan pula
oleh Bi Sian, di luar kamarnya.
Sungguh aneh sekali! Siapa yang telah membunuh Yauw Sun Kok? Dan mengapa pula pembunuh itu
agaknya menyamar sebagai dirinya untuk menjatuhkan fitnah padanya? Padahal, dia tidak pernah
mempunyai musuh di kota Sung-jan, kecuali... cihu-nya, tentu saja.
Tadinya dia merasa penasaran dan hendak melakukan penyelidikan untuk membongkar rahasia
pembunuhan itu, untuk membuktikan bahwa dia bukan pembunuhnya. Akan tetapi kemudian ketika dia
menemui enci-nya, Sie Lan Hong, enci-nya itu membuka rahasia yang selama itu dipedamnya, yaitu bahwa
cihu-nya itulah orang yang sudah membunuh ayah dan ibunya.
Tentu saja dia terkejut bukan main, dan mendengar bahwa cihu-nya sejahat itu, dia pun kehilangan
semangat untuk mencari pembunuh cihu-nya. Biarlah dia dibunuh orang, memang itu setimpal dengan
kejahatannya. Dan dia pun tahu bahwa kini Bi Sian amat membencinya, sakit hati kepadanya. Kalau dia
tidak cepat-cepat melarikan diri, tentu gadis itu akan menyerangnya dan memaksanya mengadu nyawa.
Dan dia sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi.
Dia cinta Bi Sian! Dia telah jatuh cinta kepada gadis itu, kepada keponakannya sendiri! Bahkan dia telah
mencintanya sejak mereka masih sama-sama kecil. Kenyataan inilah yang membuat hati pemuda bongkok
itu merasa lebih ngeri lagi, maka dia pun cepat melarikan diri, menjauhkan diri seperti orang ketakutan.
Sie Liong menghela napas ketika lamunannya membawa dia teringat kepada Bi Sian. Wajah yang manis
dan jenaka itu terbayang di depan matanya, dan dia pun tersenyum. Segala yang ada pada Bi Sian amat
menyenangkan hatinya, mendatangkan perasaan gembira.
Dia harus pergi jauh. Dia akan pergi ke Tibet, untuk memenuhi pesan para gurunya, yaitu melakukan
penyelidikan mengenai Lima Harimau Tibet yang mengaku sebagai utusan Dalai Lama dan yang berusaha
keras untuk membasmi para pendeta, terutama para tosu yang melarikan diri dari Himalaya, seperti
Himalaya Sam Lojin yang menjadi gurunya, juga Pek-sim Siansu, supek yang juga menjadi gurunya
sendiri.
Dia harus mampu menunaikan kewajiban ini dengan berhasil. Dia juga harus mampu menjernihkan
suasana dan mencari sebab yang mendorong para pendeta Lama di Tibet memusuhi para tosu di
Himalaya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang merupakan pekerjaan yang besar dan amat sukar, bahkan amat berbahaya, namun dia sudah
mengambil keputusan untuk melaksanakan tugas itu sampai berhasil atau dia boleh mempertaruhkan
nyawanya. Semua itu tiada artinya kalau dibandingkan dengan budi besar yang telah diterimanya dari para
gurunya. Kalau tidak ada mereka, dia hanyalah seorang pemuda bongkok yang tidak berdaya dan tidak
ada manfaatnya, tidak ada artinya hidup di dunia, hanya menjadi bahan cemoohan belaka.
Alangkah cantiknya wanita petani itu, pikirnya. Dan alangkah bahagianya orang yang menjadi suaminya.
Pasti ia sudah memiliki suami, pikirnya. Mengapa wanita itu bekerja seorang diri? Mana suaminya? Betapa
akan menyenangkan hati kalau suaminya juga ikut pula bekerja. Pekerjaan akan terasa ringan. Ahh,
betapa bahagianya wanita itu dan suaminya!
Sie Liong merasa heran mengapa hal-hal yang sekecil ini membuat dia membuka mata bahwa
kebahagiaan sesungguhnya berada di dalam diri siapa saja. Setiap orang dapat menikmati kebahagiaan
hidupnya apa bila dia tidak memikirkan hal-hal lain, tidak menginginkan hal-hal lain.
Apa bila orang menyadari betapa berlimpahnya kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, apa bila dia
menyerahkan segalanya kepada Tuhan, maka akan nampak bahwa hidup ini sebetulnya merupakan
nikmat pemberian dan anugerah Tuhan yang tak terlukiskan besarnya. Bahkan bernapas pun
mendatangkan kenikmatan dan kebahagiaan, belum lagi makan, minum dan segala kegiatan lain.
Duduk melamun di bawah pohon itu pun mengandung kenikmatan tersendiri, seperti yang sedang
dirasakan oleh Sie Liong!
“Ya Tuhan, terima kasih atas segala rahmat-Mu...” Sie Liong berbisik.
Wajahnya kini cerah sekali, senyum menghias bibirnya. Pada saat itu, lupalah dia akan segala hal, akan
enci-nya, Bi Sian, pembunuhan atas diri cihu-nya, bahkan dia pun lupa akan bongkoknya!
Semua begitu indah apa bila pikiran tidak dikacaukan oleh ingatan akan hal-hal yang dianggap tidak
menguntungkan dan tidak menyenangkan ‘aku’.
Akan tetapi, tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada tujuh orang yang datang dari jauh menuju ke tempat itu.
Mereka itu tujuh orang laki-laki yang agaknya hendak pergi ke dusun para petani. Melihat sikap mereka,
diam-diam Sie Liong mengerutkan alisnya.
Mereka itu jelas bukan petani. Cara mereka berjalan melenggang, pakaian dan sikap mereka, bahkan
melihat gagang golok dan pedang tersembul di balik pundak mereka, jelas bahwa mereka itu adalah
golongan orang-orang persilatan, atau orang kang-ouw. Mungkinkah ada orang-orang kang-ouw yang
tinggal di dusun itu? Ataukah mereka itu pendatang dari luar?
Kekhawatirannya terbukti ketika dia melihat beberapa orang petani, laki-laki dan perempuan, melarikan diri
meninggalkan sawah ladang mereka. Semua petani yang tadi bekerja di ladang, melarikan diri begitu
melihat tujuh orang laki-laki itu, kecuali wanita yang tadi membangkitkan rasa kekaguman di hati Sie Liong.
Ia sedang asyik mencabuti rumput, dengan membungkuk membelakangi jalan sehingga ia tak melihat
kedatangan tujuh orang laki-laki itu.
Sie Liong siap siaga, akan tetapi ia masih duduk di bawah pohon. Dengan duduk seperti itu, ia memang
agak tersembunyi oleh semak alang-alang yang tumbuh di tepi selokan dekat ladang. Namun ia
memandang penuh perhatian. Kini tidak ada lagi petani yang bakerja di ladang yang luas itu kecuali wanita
tadi.
Tepat seperti yang dikhawatirkan, tujuh orang laki-laki itu berhenti melangkah ketika tiba di dekat ladang di
mana wanita itu masih terus bekerja. Wanita itu menungging dengan pinggul ke arah mereka, tidak
menyadari bahwa cara ia berdiri dan bekerja ini seolah memamerkan pinggulnya yang bulat dan besar itu,
tidak tahu bahwa ada tujuh orang kasar sedang menikmati pemandangan yang mengagumkan mereka itu.
Dan seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok dan agaknya menjadi pemimpin mereka,
tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, sungguh indah sekali tubuh itu! Coba kulihat bagaimana wajahnya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia mengambil sebuah batu dan melempar batu itu dengan keras ke arah tanah lumpur dekat wanita itu.
Air lumpur memercik dan mengotori pakaian wanita itu yang agaknya baru sadar dan ia pun cepat
meluruskan tubuh, membalikkan kepala memandang.
Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga ketika ia melihat tujuh orang itu. Ia menoleh ke kanan kiri dan
baru sekarang ia tidak melihat adanya mereka yang tadi bekerja di ladang. Wanita itu kini terbelalak,
mukanya pucat sekali dan matanya mengingatkan Sie Liong kepada mata seekor kelinci yang sering
ditangkapnya. Liar ketakutan!
“Ha-ha-ha, cantik! Manis sekali! Perempuan dusun tentu sehat dan segar, ha-ha-ha!” Si brewok itu dengan
langkah lebar lalu menghampiri tepi ladang, berdiri di tepi sambil menjulurkan tangan ke arah wanita itu.
“Manis, ke sinilah dan bersihkan kaki tanganmu. Marilah engkau ikut saja dengan kami, ha-ha-ha!”
Wanita itu agaknya, seperti para petani lainnya, sudah tahu siapa adanya tujuh orang laki-laki itu. Dengan
tubuh menggigil dan muka pucat ia hanya menggelengkan kepala tanda ia tidak mau, akan tetapi tidak ada
suara keluar dari mulut yang gemetar itu.
“Ahh, manis, jangan malu-malu. Nanti kalau kami mendapatkan sumbangan yang cukup banyak dari
dusun-dusun, tentu aku tidak akan melupakanmu dan akan memberi hadiah yang besar kepadamu.
Hayolah, senangkan dan hibur hati kami yang sedang kesepian ini, manis. Ha-ha-ha!”
Enam orang lainnya yang menunggu di pinggir jalan ikut pula tertawa. Mereka semua senang sekali
melihat wanita petani yang berwajah manis dan bertubuh padat itu.
Wanita itu tidak berani berkutik, berdiri menggigil dan terus saja menggeleng kepala tanda bahwa ia tidak
sudi memenuhi permintaan si brewok itu.
Sekarang Si brewok membelalakkan matanya lebar-lebar. “Apa? Kau berani menolak perintah Tiat-jiauw
Jit-eng (Tujuh Garuda Bercakar Besi)?” Dia memukulkan kepalan kanannya pada telapak tangan kiri
sehingga mengeluarkan bunyi keras. “Apa engkau sudah bosan hidup dan memilih mampus? Sebelum
mampus pun kau tidak akan lepas dari tangan kami! Apa kau lebih suka diperkosa sampai mati dari pada
melayani kami dengan manis?”
Wanita itu menjadi semakin pucat dan tiba-tiba kakinya yang menggigil tak mampu lagi menahan tubuhnya.
Ia jatuh berlutut di atas lumpur! Dan ia memberi hormat kepada si brewok itu.
“Ampunkan saya... saya sudah bersuami..., ampunkan saya...”
“Ha-ha-ha, lebih baik lagi! Kalau engkau sudah bersuami, lalu apa sukarnya melayani kami? Hayo, ke
sinilah!” Si brewok kembali menjulurkan tangannya ke arah wanita itu.
“Tidak... tidak... tidak!” Wanita itu menjerit histeris lalu menangis.
Marahlah si brewok. Agaknya dia tidak mau turun ke lumpur karena sepatunya masih baru. Dia menengok
dan memerintahkan anak buahnya. “Turun dan seret ia ke mari!”
Seorang di antara mereka, yang termuda, berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, sedangkan yang lain
antara empat puluh lima tahun, segera melangkah maju dengan sikap gagah.
Orang ini mukanya kecil sempit dan panjang, kepucatan seperti orang berpenyakitan, matanya sipit dan
hidungnya pesek. Dia menyeringai ketika dia turun ke ladang untuk menghampiri wanita itu yang bangkit
berdiri dan mencoba untuk melarikan diri menjauhi orang itu.
Ia adalah seorang wanita, akan tetapi sejak kecil ia bekerja di sawah ladang. Tubuhnya kuat sekali dan
sudah terbiasa di lumpur, maka ia dapat berlari cepat. Berbeda dengan laki-laki yang mengejarnya.
Biar pun dia seorang kasar yang memiliki kekuatan dan kepandaian, akan tetapi belum pernah dia berjalan
di dalam lumpur, apa lagi dia bersepatu, tidak seperti wanita petani itu yang bertelanjang kaki. Maka,
sukarlah baginya untuk menangkap wanita itu! Semua kawan-kawannya menjadi sangat gembira dan
mereka pun serentak mengepung ladang itu, menghadang wanita yang hendak melarikan diri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Wanita itu menjadi semakin ketakutan. Hanya pinggir yang dihalangi solokan itulah yang tidak dihadang
penjahat, maka ia pun lari ke situ dan meloncat ke dalam solokan, terus mendaki dan dikejar oleh tujuh
orang itu yang membuat gerakan menakut-nakuti sambil tertawa-tawa. Mereka memperoleh hiburan,
seperti tujuh ekor kucing mempermainkan seekor tikus sebelum menerkan dan mengganyangnya.
Kebetulan sekali wanita itu melihat Sie Liong yang duduk di bawah pohon, maka ia pun berlari ke arah
pohon itu, lalu menubruk Sie Liong yang masih duduk bersila.
Sie Liong merasa betapa wanita itu merangkulnya, dan karena pakaian wanita itu penuh lumpur, maka
pakaiannya sendiri pun terkena lumpur. Dia merasa betapa dada yang menempel pada pundaknya itu
berdebar kencang dan bergelombang, dan betapa napas itu terengah-engah.
“Tolonglah... tolonglah saya... aduh, lebih baik saya mati dari pada tertawan mereka... tolonglah saya...”
“Enci, tenanglah dan duduklah di belakangku. Biar aku yang akan menghadapi mereka,” kata Sie Liong.
Kini tujuh orang itu sudah tiba di bawah pohon. Si brewok marah sekali melihat wanita itu berlutut di
belakang seorang laki-laki yang duduk bersila. Dia tidak peduli apakah pria itu suami si wanita. Baginya,
tidak peduli wanita itu bersuami atau tidak, kalau sudah dikehendakinya, harus diserahkan kepadanya!
“Heiii, siapa kau?!”
Mendengar bentakan yang nadanya sangat congkak ini, Sie Liong lalu bangkit berdiri. “Namaku Sie Liong.
Aku melihat betapa kalian mengganggu wanita ini. Apakah kalian tidak malu? Kalian adalah tujuh orang
laki-laki pengecut yang suka mengganggu wanita yang tidak berdaya. Pergilah kalian dari sini sebelum aku
muak melihat tingkah kalian yang tidak senonoh seperti binatang itu!” berkata Sie Liong yang memang
marah sekali melihat perbuatan mereka tadi.
Tujuh orang itu terbelalak. Keheranan melampaui kemarahan mereka sehingga mereka saling pandang.
Ada seorang pemuda biasa, bongkok pula, berani berbicara seperti itu kepada mereka? Sungguh aneh,
aneh sekali sehingga mereka seolah-olah lupa dengan kemarahan mereka, bahkan mereka mulai tertawatawa.
“Heh-heh, apakah engkau seorang pendekar?” tanya si brewok untuk mengejek.
“Seorang pendekar yang bongkok! Pendekar Bongkok! Ha-ha-ha!”
“Awas kau, Pendekar Bongkok. Nanti kupenggal punukmu untuk kubuat menjadi punuk panggang, baru
tahu rasa kau!”
Si brewok melangkah maju satu langkah. “Hei, Sie Liong, apakah engkau sudah buta, ataukah memang
tuli? Andai kata engkau tidak mengenal kami, tentu sudah mendengar akan nama besar Tiat-jiauw Jit-eng!”
Sie Liong tersenyum. “Tujuh Garuda Cakar Besi atau Tujuh Garuda Cakar Tahu aku tidak peduli.”
“Wah, pemuda bongkok ini memang sudah bosan hidup!” si brewok berkata sambil memberi isyarat
kepada anak buahnya yang termuda, yang tadi mengejar-ngejar wanita itu tanpa hasil.
Si mata sipit hidung pesek ini, yang tadi merasa penasaran dan rugi karena tak mampu menerkam si
manis, kini melangkah maju, lenggangnya dibuat-buat bagaikan seorang jagoan asli yang tidak pernah
terkalahkan. Dia melenggang seperti layangan yang tak seimbang, condong ke kanan dan ke kiri,
kepalanya ditegakkan, dadanya dibusungkan. Akan tetapi, karena dadanya memang tipis dan perutnya
besar, maka yang menjadi busung bukan dadanya melainkan perutnya!
“Heiii, orang muda yang tolol! Engkau ini masih muda, lemah dan bongkok pula, apa engkau tidak tahu
diri? Engkau berani menentang kami, hanya untuk membela seorang perempuan dusun? Apamukah
perempuan itu?” tanyanya, suaranya dibesar-besarkan agar berwibawa. Akan tetapi karena suaranya
memang kecil parau bagai suara seorang penderita batuk kering, maka tetap saja suara yang keluar sama
sekali tidak berwibawa, malah lucu.
Biar pun di dalam hatinya Sie Liong merasa marah sekali, namun dia tetap tenang dan sabar. “Enci ini
adalah kerabat yang paling dekat karena ia termasuk orang yang lemah dan tertindas, orang yang
dunia-kangouw.blogspot.com
membutuhkan bantuan. Dan kalian adalah orang-orang jahat, manusia-manusia berwatak iblis yang patut
ditentang!”
Si mata sipit hidung pesek mengerutkan alisnya dan membentak marah. “Wahh, engkau ini pemuda kurang
ajar, aku yang akan menghajarmu, kusiksa sampai mampus!”
Setelah berkata demikian, dia pun menyerang. Meski pun tubuhnya kerempeng dan dia kelihatan
berpenyakitan, ternyata si mata sipit hidung pesek ini dapat bergerak dengan cepat sekali dan sambaran
tangan kanannya ketika menjotos ke arah muka Sie Liong mengandung tenaga yang terlatih.
“Wuuuuuttt...!”
Tonjokan dengan tangan terkepal itu menyambar ke arah pipi kiri Sie Liong. Akan tetapi pemuda bongkok
ini tenang saja, seolah-olah tidak tahu bahwa dia diserang dengan tonjokan yang akan dapat membuat
pipinya bengkak dan giginya rontok! Baru setelah kepalan itu hanya terpisah satu sentimeter saja dari
pipinya, secepat kilat dia menarik kepala ke belakang, tangan kiri menyambar, menangkap lengan kanan
lawan dan dia pun mendorong, menambahkan tenaga dorongan pukulan itu dengan tenaganya sendiri
sehingga kepalan kanan si sipit pesek itu meluncur terus dan melingkar ke arah pipi kirinya sendiri.
“Desss...! Aughhhh...!”
Beberapa buah gigi berlompatan keluar dari mulutnya yang terbuka, dan hidungnya pun berdarah karena
kepalan tangan kanannya tadi dengan kuat sekali telah menghantam ke arah mukanya sendiri!
“Auhh... auhh... auhhh...!”
Dia mengerang kesakitan, tidak mampu berkata ‘aduh’ karena mulutnya terasa seperti remuk. Dia
membungkuk-bungkuk dan kedua tangannya sibuk memegang-megang dan meraba-raba mulut dan
hidung.
Kembali maju seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi besar laksana raksasa. Mukanya hitam
dengan kulit muka yang kaku seperti punggung buaya, agaknya muka itu memang rusak oleh penyakit kulit
yang hebat. Di antara tujuh orang gerombolan itu, dia terkenal sebagai seorang yang mempunyai tenaga
besar, dan juga wataknya amat sombong karena memang sulit mencari orang yang mampu mengalahkan
raksasa muka hitam ini.
Agaknya dia masih terlalu mengandalkan kehebatan diri sendiri sehingga melihat Sie Liong mengalahkan
kawannya, ia masih juga memandang rendah pemuda bongkok itu. Agaknya dia menganggap bahwa
kekalahan si mata sipit hidung pesek itu tadi hanya karena kebodohannya sendiri, bukan karena kelihaian
pemuda bongkok ini.
Bahkan dia merasa terlalu tinggi untuk berkelahi melawan seorang pemuda bongkok, maka dia ingin
mengalahkan pemuda itu dengan wibawanya saja.
“Heii, bocah ingusan! Lekas engkau berlutut dan memanggil engkong (kakek) kepadaku, baru aku akan
mengampunimu! Cepat...!” Kedua matanya yang hitam dan mencorong itu melotot galak.
“Engkong-ku sudah mati, akan tetapi seingatku, dia tak seburuk engkau,” kata Sie Liong dengan sikap
tenang.
“Kalau begitu, aku akan memaksamu berlutut!” bentak si raksasa muka hitam.
Dia pun sudah menyerang dengan dua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan dada Sie Liong.
Pada waktu pemuda ini menarik diri ke belakang, tiba-tiba kaki kanan raksasa itu menendang ke arah
lututnya. Kalau sasaran tendangan itu terkena, tentu Sie Liong akan benar-benar diharuskan berlutut
karena tendangan itu kuat bukan main.
Namun, tentu saja Sie Liong yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, dapat melihat gerakan serangan
ini dengan jelas, maka mudah saja baginya untuk mendahului lawan. Sebelum kaki yang menendang itu
sampai ke tubuhnya, dia cepat-cepat merendahkan diri, menggeser kaki ke kiri dan dari samping
tangannya monotok ke arah lutut kanan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tukkk!”
Seketika kaki yang besar itu terasa lumpuh dan tanpa dapat dicegah lagi raksana muka hitam itu jatuh
berlutut di atas kaki kanan dan kebetulan dia jatuh berlutut di depan Sie Liong! Pemuda itu tersenyum dan
berkata dengan suara mengejek.
“Aku bukan engkong-mu, tidak perlu engkau berlutut memberi hormat!”
Tentu saja ucapannya ini membuat raksasa muka hitam itu menjadi marah sekali. Dia melompat berdiri,
akan tetapi kembali dia terguling karena kakinya masih terasa lumpuh.
Melihat ini, kawan-kawannya menjadi amat marah, akan tetapi sekaligus maklum bahwa pemuda bongkok
itu betul-betul seorang pendekar yang amat lihai! Maka, tanpa banyak cakap lagi mereka mencabut senjata
golok atau pedang dari punggung mereka dan di lain saat, Sie Liong telah dikepung tujuh orang yang
memegang senjata tajam.
Melihat ini, wanita itu menangis ketakutan.
“Jangan bunuh dia... ahhh, jangan bunuh dia yang tidak berdosa...” ratapnya sambil menangis.
Mendengar ini, si brewok tertawa, “Ha-ha-ha, jadi engkau mau ikut denganku secara suka rela kalau kami
lepaskan bocah bongkok ini?”
“Tidak, tidak... kalian boleh membunuh aku, akan tetapi... jangan bunuh dia yang tidak berdosa...”
“Enci, tenanglah. Mereka tidak akan mampu membunuhku atau membunuhmu!” kata Sie Liong kepada
wanita itu.
Hatinya terasa gembira sekali karena ternyata wanita dusun yang ditolongnya itu adalah seorang wanita
yang hebat! Dia berani mengorbankan nyawa untuk mempertahankan kehormatan, juga amat baik budi
sehingga tidak tega melihat dia dikepung dan diancam bunuh oleh para penjahat itu.
Kini tujuh orang penjahat itu sudah menggerakkan senjata mereka dan serentak mereka menyerang.
Namun, baru mereka menyerang dua tiga jurus tubuh pemuda bongkok itu sudah lenyap, berubah menjadi
bayangan yang dengan cepatnya menyelinap di antara sambaran senjata mereka.
Mereka merasa terkejut, akan tetapi juga penasaran dan mereka terus mengarahkan senjata mereka,
menyerang bayangan yang gesit bukan main itu. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan itu lenyap dan tahu-tahu
pemuda bongkok itu sudah menyerang dari atas, bagaikan seekor naga dari angkasa saja! Dan sekali kaki
tangannya bergerak, empat orang jatuh tersungkur seperti disambar petir dari atas!
Tiga orang penjahat lainnya terkejut bukan main. Akan tetapi mereka pun hanya diberi kesempatan untuk
bengong sejenak, karena tiba-tiba saja mereka pun terjungkal roboh oleh tamparan tamparan tangan Sie
Liong yang ampuh bukan main itu.
Tujuh orang itu baru sekarang merasa jeri. Mereka bertujuh, yang memegang senjata, roboh dalam
beberapa gebrakan saja melawan pemuda bongkok itu! Tamparan yang hanya sekali itu saja sudah
membuat mereka roboh dan bagian badan yang terpukul terasa seperti remuk!
Si brewok, pimpinan mereka dan merupakan orang yang paling tangguh, mampu lebih dulu bangkit dan dia
sudah bersiap untuk melarikan diri meninggalkan teman-temannya. Akan tetapi, hanya dengan beberapa
langkah saja Sie Liong sudah dapat menangkap pundaknya.
Tekanan tangan Sie Liong di pundak itu membuat si brewok menggigil saking nyerinya sehingga dia pun
jatuh berlutut. Pundak yang dicengkeram pemuda bongkok itu seperti dibakar atau dicengkeram kaitan
baja membara saja, panas dan perih, nyeri luar biasa, terasa menusuk-nusuk sampai ke tulang.
“Ampun, taihiap... ampun, saya mengaku kalah!”
“Hemmm, aku tidak membutuhkan pengakuan kalah darimu! Aku tidak membutuhkan kemenangan. Akan
tetapi aku minta agar kalian suka sadar dari kelakuan jahat kalian dan bertobat!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ampun, taihiap,... saya bertobat...!”
“Hemm, siapa percaya omongan orang jahat macam engkau?”
“Saya bersumpah tak akan melakukan kejahatan lagi, taihiap. Saya akan bekerja seperti dulu, yaitu
memburu binatang hutan. Dahulunya kami adalah pemburu-pemburu, karena tertarik penghasilan besar
lalu mulai merampok orang yang lewat di hutan...”
“Benar, engkau bertobat dan hendak kembali ke jalan benar?” tanya Sie Liong. “Aku tetap tidak percaya
kalau engkau dan teman-temanmu tidak memperlihatkan buktinya. Sumpah mulut saja tidak ada artinya.”
Dia lalu menggertak, “Atau aku akan membiarkan kalian mati tersiksa dengan memberi pukulan
mematikan?”
Kini dia melepaskan cengkeramannya dan seketika si brewok tidak merasa nyeri lagi. Dia makin yakin
bahwa pendekar muda yang bongkok itu betul-betul lihai.
“Taihiap, kami bersumpah dan inilah buktinya!”
Dia menyambar goloknya yang tadi terlempar, lalu membuka sepatu kirinya dan sekali bacok, lima buah
jari kaki kirinya buntung! Darah mengalir deras dari kaki yang buntung jari-jarinya itu.
Diam-diam Sie Liong terkejut sekali, akan tetapi juga girang karena dia maklum bahwa si brewok itu
bersungguh-sungguh!
“Hayo kalian buntungi jari kaki kiri masing-masing seperti aku, siapa yang tak mau, aku yang akan
membuntunginya sendiri. Mulai saat ini, kita tidak akan merampok manusia lagi, melainkan memburu
binatang seperti dulu lagi!”
Enam orang anak buahnya melihat bahwa pimpinan mereka bersungguh-sungguh dan mereka pun jeri
terhadap Pendekar Bongkok, demikian mereka menyebut Sie Liong, oleh karena itu mereka pun
mengambil senjata masing-masing yang tadi terlempar, lalu membabat buntung jari kaki kiri mereka.
Melihat ini, wanita dusun itu menutupi muka karena merasa ngeri.
Sie Liong lalu menghampiri mereka seorang demi seorang, menotok kaki kiri mereka di atas bagian yang
terluka, mengeluarkan obat bubuk putih yang ditaburkan pada luka di kaki.
Seketika, tujuh orang itu merasa betapa kenyerian jari yang dibuntungi itu lenyap, dan luka-luka itu pun
cepat menjadi kering. Mereka menjadi makin kagum. Kiranya Pendekar Bongkok ini selain amat lihai ilmu
silatnya, juga pandai ilmu pengobatan.
Hal ini sebenarnya tidaklah perlu diherankan kalau diketahui bahwa seorang di antara orang-orang sakti
yang menggembleng Sie Liong adalah Pek-sim Siansu, seorang sakti yang pandai dalam ilmu pengobatan
pula.
“Ingat akan sumpahmu sendiri,” kata Sie Liong ketika mereka semua sudah berdiri dan bersiap untuk pergi.
“Kalau kelak kalian tetap menjadi penjahat dan mengganggu orang lain, dan aku mendengarnya, pasti
akan kucari kalian sampai dapat dan bukan hanya jari kaki kalian saja yang harus dipotong. Selain itu, aku
akan membangkitkan semangat para penduduk dusun supaya mereka bersatu padu dan hendak kulihat,
kalau ratusan orang dusun itu bersatu padu melawan kalian, apa yang dapat kalian lakukan terhadap
mereka!”
Diam-diam si brewok dan teman-temannya merasa ngeri. Bukan saja mereka ngeri terhadap kesaktian
Pendekar Bongkok, akan tetapi juga ngeri kalau benar penduduk dusun sampai bangkit menentang
mereka, maka tentu mereka akan dikeroyok ratusan orang dan akan dihancur lumatkan oleh mereka yang
mendendam kepada mereka.
Kalau biasanya mereka itu dapat merajalela adalah karena mereka menang gertakan dan para penduduk
dusun itu belum apa-apa sudah ketakutan lebih dulu, melarikan diri bersembunyi dari pada melakukan
perlawanan berpadu.
Tujuh orang itu, dipimpin oleh Si Brewok, menghaturkan terima kasih kepada Sie Liong, kemudian mereka
pergi meninggalkan tempat itu, tidak jadi mengganggu wanita petani atau dusun di dekat ladang itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah mereka pergi, Sie Liong menghampiri wanita dusun itu dan dengan senyum kagum dia berkata
sambil berlutut di dekat wanita yang masih duduk di atas rumput dengan wajah masih diliputi ketegangan
itu.
“Untung bahwa engkau tabah sekali menghadapi mereka, enci...,” katanya.
Wanita itu mengangkat muka, kemudian memandang padanya dan kembali air matanya menetes-netes
turun ke atas pipinya. Mulut wanita itu berkemak-kemik, namun tidak ada sedikit pun suara yang keluar.
Akhirnya, ia mengeluarkan jerit kecil dan merangkulkan kedua lengannya pada pundak dan leher Sie Liong
sambil menangis!
Pemuda bongkok itu terkejut, akan tetapi mendiamkannya saja dan tersenyum ketika dia merasa
kehangatan air mata menembus bajunya karena wanita itu menangis di atas dadanya. Bahkan dia pun lalu
merangkul dan menepuk-nepuk pundak wanita itu dengan lembut.
“Tenanglah, enci, bahaya sudah lewat sekarang,” hiburnya.
Akan tetapi wanita itu bahkan mempererat rangkulannya dan terdengar bisikan lirih dari mulut yang
disembunyikan di dadanya itu. “Adik yang baik, ahhh... taihiap yang gagah perkasa, engkau telah
menyelamatkan diriku... terima kasih, taihiap, terima kasih...”
Suaranya mengandung isak sedangkan tubuhnya gemetar, seolah-olah ia teringat akan peristiwa tadi dan
membayangkan betapa akan ngerinya apa bila ia sampai terjatuh ke tangan tujuh orang itu.
“Sudahlah, enci. Sudah semestinya aku melindungimu, dan aku kagum sekali melihat ketabahanmu tadi.
Lepaskanlah rangkulanmu, lihat, di sana datang orang-orang dusun.”
Mendengar ini, wanita itu melepaskan rangkulannya dan dengan wajah masih basah air mata, ia menoleh
ke kiri dan benar saja, dari arah dusun, datang berlari-larian banyak sekali penduduk dusun ke tempat itu.
Dan di tangan mereka terpegang segala macam alat pertanian yang agaknya kini hendak dijadikan senjata.
Sie Liong merasa tegang dan juga malu. Dia tahu bahwa mereka yang sedang berlari dan datang itu tadi
sempat melihat betapa dia dan wanita itu berpelukan-pelukan! Untuk menghilangkan rasa sungkan dan
tidak enak itu, Sie Liong lalu bangkit dan memunguti potongan jari-jari kaki itu, dan mengumpulkannya di
atas sehelai kain sapu tangan.
Melihat ini, wanita dusun itu bergidik.
“Taihiap, untuk apakah kau... mengumpulkan benda-benda mengerikan itu?”
“Aku akan menguburnya, enci,” kata Sie Liong sambil memunguti terus.
Tak lama kemudian, rombongan orang dusun itu tiba di situ. Seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga
puluh tahun yang memegang sebatang tongkat panjang moloncat maju menghampiri wanita itu.
“Kui Hwa, apa yang telah terjadi?” tanyanya, suaranya mengandung kemarahan.
Wanita dusun itu menangis dan lari menghampiri laki-laki itu. “Aku... aku hampir saja celaka...!” serunya
sambil menangis.
Dia hendak merangkul laki-laki yang ternyata adalah suaminya itu. Akan tetapi, laki-laki itu mendorongnya
sehingga ia terpelanting.
“Jangan sentuh aku! Engkau perempuan tak tahu malu!”
Wanita dusun yang bernama Kui Hwa itu terbelalak. Saking kaget dan herannya, ia tidak merasakan
kenyerian punggungnya ketika terpelanting oleh dorongan suaminya.
“Apa... apa maksudmu...?” tanyanya dengan heran.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kui Hwa lebih heran lagi ia saat melihat betapa orang-orang lain, para pria di dusunnya, para tetangganya,
memandang padanya dengan sinar mata yang mencemoohkan dan agaknya membenarkan sikap
suaminya itu!
“Maksudku kau tanyakan! Maksudmulah yang ingin sekali kuketahui! Apa yang sudah terjadi di sini?”
Suaminya dengan berang melirik ke arah Sie Liong yang sudah selesai mengumpulkan potongan jari-jari
kaki tadi dan kini berdiri di situ dengan muka ditundukkan. Potongan jari-jari kaki tadi berada dalam
buntalan kain sapu tangan.
“Suamiku, apakah engkau tidak mendengar dari para tetangga kita tadi? Mereka itu, Tiat-jiauw Jit-eng itu
datang lagi!” kata si isteri yang masih terheran-heran melihat sikap suaminya.
“Tentu saja kami semua mendengar. Lalu di mana mereka dan apa yang telah terjadi di sini?” kembali dia
menoleh ke arah Sie Liong dengan wajah merah saking marahnya.
“Mereka telah dikalahkan oleh taihiap ini. Mereka sudah melarikan diri dan aku... aku diselamatkan oleh
taihiap ini!” kata si isteri dengan suara gembira dan bangga.
“Bohong!” Tiba-tiba sang suami membentak dan isteri itu kembali terkejut sekali.
Kini Sie Liong mengangkat mukanya, memandang kepada suami itu dengan sinar mata mencorong. Akan
tetapi, dia bersikap sabar karena dia bisa menduga apa yang menjadi sebab sang suami itu bersikap
seburuk itu dan mengapa pula orang-orang dusun itu berdiri saja, agaknya membenarkan sikap suami itu.
“Suamiku, kenapa engkau mengatakan bohong? Pendekar muda ini yang bernama Sie Liong, dialah yang
telah menyelamatkan aku dari gangguan mereka, bahkan pendekar perkasa ini yang memaksa mereka
untuk meninggalkan pekerjaan jahat mereka, dan mereka bersumpah dengan membuntungi jari-jari kaki
mereka sebelum pergi dari sini. Aihh, suamiku, pendekar muda ini sungguh perkasa dan kita sedusun patut
berterima kasih kepadanya...”
“Cukup! Kui Hwa, jangan mengira bahwa kami semua adalah orang-orang buta dan bodoh, yang mudah
saja kau tipu dengan kata-katamu itu! Kami melihat betapa engkau bercumbu dan berjinah dengan dia...”
“Diam...!” Kui Hwa yang lemah lembut itu kini membentak. Dia berdiri bagaikan seekor singa kelaparan
atau seekor harimau betina membela anaknya. “Jangan engkau berani mengeluarkan ucapan kotor itu!
Pendekar ini sudah menyelamatkan aku, bahkan juga menyelamatkan orang sedusun ini dan kalian
bahkan berani menuduhnya berbuat yang bukan-bukan?”
“Phuhh!” Suami itu meludah. “Mataku masih belum buta, aku melihat betapa kalian tadi berpelukan dan
berciuman!”
“Engkau yang bohong! Engkau yang kotor dan memang kalian bodoh! Aku tadi memang merangkulnya
sambil menangis, terharu dan menghaturkan terima kasih, dan dia hanya menghiburku, sama sekali kami
tidak berciuman... aihh, agaknya memang matamu telah buta! Taihiap ini menundukkan tujuh orang
gerombolan penjahat itu, membuat mereka takluk dan bertobat, bahkan mereka sudah membuntungi jarijari
kaki sambil bersumpah dan kalian...”
“Sudah! Siapa yang percaya obrolanmu? Engkau memang perempuan tak tahu malu, mungkin dia ini
anggota bahkan pemimpin perampok! Dan engkau sudah tergila-gila kepada laki-laki bongkok ini! Sungguh
tak tahu malu!” Berkata demikian, laki-laki yang sedang diamuk cemburu itu lalu mengangkat tongkat
kayunya dan menghantamkan tongkat kayunya kepada Sie Liong!
Pendekar ini berdiri bengong. Sungguh tak disangkanya sama sekali bahwa cemburu dapat membuat
orang menjadi seperti gila! Saking herannya, ketika suami itu memukul dengan tongkat kayu, dia pun diam
saja, tidak bergerak seperti patung dan pada saat kayu itu menghantam kepalanya, barulah dia
mengerahkan sinkang untuk melindungi kepala yang dipukul itu.
“Krakkk!” Tongkat kayu itu patah-patah ketika bertemu dengan kepala Sie Liong.
“Ahhhh...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Suami wanita dusun itu terbelalak. Mukanya pucat memandang kepada tongkat yang tinggal potongan
pendek di tangannya, sedangkan tongkat yang kuat itu sudah patah menjadi tiga potong! Kepala orang
bongkok itu melebihi besi kerasnya!
Sie Liong mengangkat muka, memandang kepada suami itu dengan sinar matanya yang mencorong.
“Hemm, engkau memang orang bodoh, keras kepala, dan memang sepatutnya kalau matamu buta!
Engkau tidak patut menjadi suami dari seorang isteri yang begini baik hati, tabah dan sangat berani
mempertaruhkan nyawa untuk menjaga kehormatannya. Engkau pantasnya menjadi suami seekor
kambing atau seekor monyet! Huh, menjemukan sekali!” katanya dan dia pun melemparkan buntalan itu ke
atas tanah, kemudian berpaling kepada wanita dusun sambil memberi hormat.
“Enci, maafkan apa bila aku hanya membikin engkau menjadi ribut dengan suamimu. Selamat tinggal, enci,
semoga Tuhan akan menyadarkan suamimu ini!” Dengan sekali berkelebat, Sie Liong lenyap dari depan
mereka, membuat suami wanita itu dan para penduduk dusun terkejut dan melongo.
Suami itu pun terkejut dan dia menjadi ketakutan. “Apakah dia... dia itu tadi... setan...?” tanyanya kepada
isterinya.
Isterinya menjadi gemas sekali. Tangannya bergerak manampar.
“Plakkk!” pipi suami itu telah ditamparnya!
“Laki-laki yang tolol, gila oleh cemburu buta! Masih berani engkau mengatakan bahwa pendekar sakti itu
setan? Engkau inilah yang setan! Kalian tidak percaya akan ceritaku tadi, ya? Kalian semua mengira
bahwa aku sudah berjinah dengan dia karena kalian tadi melihat dari jauh betapa kami saling berangkulan?
Ohhhh, memang kalian adalah orang-orang bodoh! Dengar baik-baik. Tujuh orang penjahat itu datang ke
sini. Aku tidak tahu bahwa mereka datang maka aku tidak sempat lari seperti yang lain. Dan mereka itu
mengejar-ngejarku, hendak menangkapku dan tentu saja, dengan niat yang amat kotor! Dan aku melihat
pendekar itu duduk seorang diri di bawah pohon….”
Kui Hwa berhenti bicara dengan napas terengah-engah karena dibakar emosi. Setelah beberapa kali
menarik napas, dia baru melanjutkan kembali.
“Tadinya aku tidak tahu bahwa ia adalah seorang pendekar, akan tetapi dalam keadaan ketakutan
setengah mati itu, aku lari padanya dan mohon pertolongan. Siapa saja akan kumintai tolong dalam
keadaan hampir mati ketakutan seperti itu. Dan dia bangkit, dia mengalahkan semua penjahat, kemudian
memaksa mereka itu bertobat, dan mereka membuntungi jari-jari kaki kiri mereka untuk tanda bertobat.
Dan kalian tidak percaya? Dan engkau, engkau sudah gila, engkau malah mencemburui kami dan engkau
malah menghina pendekar itu? Masih untung hanya tongkatmu yang tadi dia patahkan, bukan lehermu!
Kalau kalian tidak percaya, lihat ini buktinya!” Dia memunguti jari-jari kaki itu untuk dikuburkan. “Nah,
makanlah ini!”
Wanita itu kemudian melemparkan buntalan itu ke arah suaminya, setelah membuka ikatannya. Dan
potongan-potongan jari kaki, sebanyak tiga puluh lima potong, langsung berhamburan mengenai muka dan
leher suaminya.
Si suami tentu saja bergidik ngeri, juga para penduduk dusun merasa ngeri ketika mereka melihat bukti itu.
Jari-jari kaki yang masih berlumuran darah! Sementara itu, Kui Hwa sudah berlari pulang sambil menangis.
Barulah suami itu merasa menyesal sekali dan percaya sepenuhnya akan keterangan isterinya. Sekarang
dia baru dapat membayangkan betapa takutnya isterinya tadi ketika dikejar-kejar tujuh orang penjahat keji
itu, tanpa ada orang yang dapat menolongnya.
Kemudian muncul pendekar bongkok itu yang lalu mengalahkan semua penjahat, yang berarti telah
menyelamatkan isterinya itu dari mala petaka yang lebih mengerikan dari pada maut. Maka, kalau dalam
keadaan penuh rasa syukur dan keharuan itu isterinya merangkul penolongnya dan manangis di dadanya,
apakah yang aneh dalam hal itu?
Juga pendekar itu bukan golongan pemuda yang terlalu menarik hati wanita. Isterinya tidak mungkin
tertarik kepada seorang yang tubuhnya bongkok seperti itu!
“Kui Hwa, tunggulah...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia berteriak berlari-lari mengejar isterinya. Di dalam hatinya yang penuh penyesalan itu kini penuh dengan
harapan agar isterinya suka memaafkannya.
Sementara itu, para penduduk dusun yang lain segera mengumpulkan jari-jari kaki itu dan menguburnya
dengan hati penuh rasa syukur bahwa kini Tiat-jiauw Jit-eng yang selama beberapa bulan lalu mengganas
di sekitar daerah itu, kini sudah bertobat dan berarti mereka tidak akan lagi diganggu oleh mereka yang
amat jahat itu. Dan semua ini berkat jasa Pendekar Bongkok, nama yang tak akan pernah mereka lupakan
dan yang semenjak terjadinya peristiwa itu menjadi buah bibir mereka sehingga nama julukan pendekar
baru ini mulai terkenal.
Sie Liong melarikan diri, pergi meninggalkan ladang dusun itu dengan senyum pahit di bibirnya. Ia memang
telah memaklumi benar-benar keadaan dirinya, sudah diterimanya keadaan dirinya seperti apa adanya.
Memang dia berpunuk, dia bongkok dan itu merupakan sebuah kenyataan yang takkan dapat dirobah.
Titik. Dia tidak akan lagi mengeluh, tidak lagi memprihatinkan keadaan tubuhnya yang sudah menjadi
pemberian Tuhan dan yang diterimanya dengan penuh kepasrahan dan rasa syukur. Akan tetapi, kalau
terjadi peristiwa seperti di sawah ladang tadi, bagaimana pun juga hatinya terasa seperti ditusuk.
Dia berniat baik. Dia menyelamatkan wanita dusun itu, bahkan dia menundukkan gerombolan jahat yang
berarti juga menghindarkan dusun dari gangguan orang jahat. Dia melakukan hal itu tanpa pamrih, tidak
minta imbalan apa pun. Akan tetapi, dia malah didakwa melakukan hal yang rendah, didakwa berjinah
dengan wanita petani itu!
Sungguh menyakitkan hati memang. Bongkoknya terbawa-bawa pula, bahkan mungkin bongkoknya itulah
yang sudah menimbulkan kecurigaan para penduduk dusun, yang mendatangkan kesan buruk di mata
mereka dan membuat ia condong nampak sebagai orang yang jahat!
“Biarlah,” dia mengeluarkan kata-kata ini melalui mulutnya, dengan agak keras untuk melunakkan hatinya
yang menjadi keras dan panas. “Biarlah mereka mengatakan apa pun juga! Yang penting, aku yakin benar
bahwa aku tidak melakukan hal yang buruk, dan Tuhan mengetahui, Tuhan pun melihat dan Tuhan yang
tidak akan dapat ditipu oleh kebongkokan tubuhku!”
Pikiran ini diucapkan Sie Liong keras-keras. Akhirnya hatinya menjadi dingin dan lunak kembali…..
********************
Dia berhenti di atas puncak bukit terakhir tadi, dan dari situ dia melihat ke selatan. Di sanalah terdapat
propinsi Tibet! Dan kini dia telah tiba di perbatasan tiga propinsi besar. Di utara adalah Propinsi Sin-kiang.
Di timur Propinsi Cing-hai, dan di selatan adalah Tibet, negara yang dikuasai para pendeta Lama itu.
Dia menuruni bukit dan menuju ke sebuah dusun yang tadi dilihatnya dari bukit itu. Daerah itu merupakan
daerah yang tandus dan luas sekali, jarang terdapat dusun, maka kalau melihat sebuah dusun, maka hal
itu merupakan hal yang menggembirakan bagi seorang pengelana di daerah itu.
Mungkin berhari-hari dia tak akan bertemu dusun, dan saat itu, matahari telah condong jauh ke barat.
Sebentar lagi cuaca tentu akan gelap dan lebih baik melewatkan malam di dalam dusun yang hangat di
mana dia dapat memperoleh makanan dan minuman dari pada bermalam di daerah terbuka yang asing
baginya.
Dusun itu cukup besar dan dikurung pagar tanah liat yang dibangun seperti tembok. Di dalam dusun itu
tinggal penduduk yang jumlahnya tidak kurang dari lima ratus keluarga! Pekerjaan mereka bercocok tanam
dan berburu, ada pula yang berusaha dalam bidang peternakan kambing.
Dan melihat keadaan bangunan rumah yang cukup baik itu, Sie Liong dapat mengambil kesimpulan bahwa
penghasilan penduduk dusun itu cukup untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan, bahkan berlebihan.
Di dusun itu terdapat pula beberapa buah warung makan, bahkan terdapat pula sebuah rumah
penginapan!
Kiranya dusun ini ada pula pengunjungnya dari luar kota pikirnya. Memang demikianlah, banyak dusun di
daerah itu manyediakan rumah penginapan, karena mereka maklum bahwa para pedagang dan pengelana
yang lewat di dusun, dan kemalaman, tentu akan mencari rumah penginapan, mengingat bahwa dusun
dunia-kangouw.blogspot.com
berikutnya amatlah jauhnya! Dan banyak pula yang membuka tempat menjual barang-barang keperluan
sehari-hari.
Sie Liong segera menyewa sebuah kamar di rumah penginapan itu. Beruntung bahwa dia tidak terlambat,
karena pada hari itu, banyak tamu luar kota bermalam di dusun itu. Kepala dusun itu mengadakan
perayaan pesta pernikahan puteranya! Dan tentu saja dia mengundang relasi dan sahabatnya dari luar
dusun.
Sesudah mandi dan makan malam, Sie Liong keluar dari kamarnya yang kecil dan berjalan-jalan di dalam
dusun itu. Keadaan dusun itu tidak seperti biasanya. Kini ramai sekali. Hal ini adalah karena adanya pesta
perayaan pernikahan di rumah kepala dusun.
Boleh dibilang bahwa seluruh penduduk dusun ikut pula berpesta, atau setidaknya, ikut bergembira dengan
memasang banyak lampu gantung di depan rumah masing-masing sehingga keadaan di luar rumah kini
menjadi terang dan gembira, tidak seperti biasa. Juga sebagian besar penduduk keluar dari rumah mereka
untuk menyaksikan upacara pemboyongan mempelai wanita yang kabarnya akan diambil malam hari itu.
Mempelai wanita adalah seorang gadis yang rumahnya terletak di sudut dusun. Upacara pengambilan
mempelai itu dilakukan malam hari, diarak dan diikuti rombongan penari dan penabuh gamelan. Pengantin
wanitanya akan naik joli yang digotong oleh empat orang, sedangkan mempelai prianya akan menunggang
kuda.
Sie Liong mendengar keterangan ini dari pengurus rumah penginapan. Dia pun dengan gembira kini
berjalan-jalan sebelum nanti ikut nonton arak-arakan pengantin puteri yang diboyong ke rumah mempelai
pria.
Tanpa disengaja, Sie Liong berjalan-jalan menuju ke arah barat dan tak lama kemudian sampailah dia di
sudut dusun itu dan berada di luar rumah kediaman pengantin wanita! Rumah itu pun dihias amat meriah,
penuh daun-daunan dan bunga-bunga, di antaranya hiasan kertas dan kain warna-warni, dan dipasang
banyak lampu gantung yang dihias kertas-kertas merah.
Suasana di rumah itu meriah sekali. Nampak banyak orang sedang sibuk menyiapkan joli dan semua
peralatan upacara pernikahan. Melihat keadaan rumah itu, tanpa diberi tahu pun Sie Liong dapat menduga
bahwa tentu di situ tempat tinggal pengantin wanita.
Karena di luar pekarangan rumah itu terdapat banyak orang yang menonton, terutama anak-anak, Sie
Liong menggabung dengan mereka, berdiri di antara para penonton. Sebagian dari para penonton itu
berpakaian jembel dan barulah Sie Liong tahu bahwa dia berdiri di antara para pengemis dan kanak-kanak
ketika dari dalam keluar seorang yang membawa keranjang berisi makanan, lalu orang itu membagibagikan
makanan kepada mereka. Karena dia berada di antara mereka, dia pun kebagian sepotong kueh
mangkok! Hemm, dia disangka seorang jembel pula, pikirnya sambil tersenyum.
Dia tidak merasa sakit hati. Memang pakaiannya lusuh, apa lagi punggungnya bongkok. Bukankah
memang di antara para pengemis terdapat banyak orang yang cacat dan tidak sempurna keadaan
tubuhnya? Disangka pengemis bukanlah suatu hal yang buruk, asal jangan disangka penjahat seperti
dialaminya di ladang dusun itu! Maka, seperti yang lain, dia pun makan kueh mangkok itu dengan gembira.
Tiba-tiba dia melihat seorang pemuda yang baru datang menyelinap pula di antara para penonton. Dia
merasa sangat curiga. Pemuda itu jelas bukan pengemis dan melihat pakaiannya, tentu dia seorang petani.
Seorang pemuda tani yang bertubuh sehat dan berwajah jujur, akan tetapi pada saat itu wajahnya
membayangkan kemarahan dan penasaran, bahkan masih ada bekas air mata pada kedua pipinya.
Pada saat itu, para penonton di luar halaman itu berdesakan untuk dapat melihat lebih jelas ke dalam
rumah karena agaknya sedang ada upacara penghormatan mempelai puteri kepada ayah ibunya sebelum
ia diboyong ke rumah calon suaminya. Upacara itu diadakan di ruangan depan, di depan meja
sembahyang.
Saat itu mempelai wanita yang berpakaian indah meriah itu muncul dari dalam, menuju ke ruangan depan
yang nampak dari luar, dituntun oleh dua orang nenek yang agaknya menjadi pengatur upacara itu. Karena
pakaian yang longgar dan banyak hiasannya itu, juga karena muka itu tertutup tirai, maka Sie Liong tidak
dapat melihat wajah pengantin itu, hanya dapat diduga bahwa ia seorang gadis yang bertubuh ramping.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika gadis yang menjadi pengantin itu dituntun ke depan ayah ibunya yang sudah duduk berjajar di atas
kursi, terdengar ia terisak menangis dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka. Dua orang nenek
itu terkejut dan hendak menuntunnya agar ia berhati-hati dengan pakaiannya, namun mereka tak kuasa
menahan gadis pengantin itu yang sudah menangis tersedu-sedu. Terdengar ucapannya di antara sedu
sedannya,
“Ayah... ibu... aku tidak mau kawin... aku tidak mau menikah dengan... anak kepala dusun itu...”
Tentu saja semua orang yang berada di ruangan itu terkejut. Ayah dan ibu mempelai saling pandang dan
ibunya lalu merangkulnya, menghiburnya dengan bisikan-bisikan lembut. Akan tetapi, mempelai wanita itu
meronta-ronta dan tangisnya bahkan semakin menjadi-jadi.
“Lian-ji...! Hentikan tangismu itu! Jangan engkau membikin malu orang tuamu!” Ayahnya menghardik dan
bentakan ini membuat pangantin wanita itu berhenti meronta, akan tetapi masih tetap menangis terisakisak.
“Bawa ia masuk ke dalam kamarnya dan usahakan agar ia tidak menangis lagi! Anak sialan...!” Sang ayah
marah-marah dan dua orang nenek itu lalu membawa pengantin wanita bangkit berdiri untuk membawanya
kembali ke kamar.
Pada saat itu, terdengar teriakan nyaring dari luar. “Tidak adil...! Sungguh tidak adil dan sewenangwenang...!”
Dan pemuda petani yang tadi menimbulkan kecurigaan dalam hati Sie Liong, nampak meninggalkan
kelompok penonton dan berlari memasuki halaman, terus ke ruangan depan itu. Semua orang terkejut,
juga ayah ibu mempelai wanita memandang dengan mata terbelalak.
“Lian-moi...!” Pemuda itu memanggil.
Mempelai wanita itu meronta dan membalikkan tubuhnya. Melihat pemuda itu, ia pun berseru, “Kiongkoko...!”
Dan dia pun menangis, masih berdiri karena kedua lengannya dipegang erat-erat oleh kedua orang nenek
itu.
“Un Kiong! Mau apa kau? Berani kau datang ke sini dan membikin kacau? Kami tidak mengundangmu!”
bentak ayah mempelai wanita itu dengan marah sekali.
“Saya datang untuk menuntut keadilan...!”
Akan tetapi, tuan rumah sudah memerintahkan beberapa orang anggota keluarga yang hadir dan merasa
tidak senang dengan perbuatan pemuda itu. Mereka kini menyerang pemuda yang tadinya sudah
menjatuhkan diri berlutut itu.
“Pergilah! Lekas pergi dan jangan datang lagi!” bentak tuan rumah setelah pemuda itu terjengkang dan
bergulingan oleh beberapa pukulan dan tendangan.
Akan tetapi pemuda bernama Un Kiong itu tetap bangkit dan berlutut lagi.
“Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum mendapat keadilan! Meski kalian memukuli aku sampai mati, aku
tidak akan pergi!” teriaknya marah. Sementara itu mempelai wanita beberapa kali memanggil namanya.
“Kiong-koko...!” akan tetapi ia sudah ditarik oleh dua orang nenek, dibantu ibu mempelai dan diseret masuk
ke dalam kamar.
Mendengar kenekatan pemuda itu, para keluarga laki-laki itu menjadi marah, bahkan kini ayah mempelai
ikut pula memukuli pemuda yang masih nekat berlutut.
Melihat kejadian ini, Sie Liong cepat melompat ke dalam. Begitu ia bergerak menangkis tendangan dan
pukulan itu, beberapa orang lantas terjengkang dan roboh sendiri karena serangan mereka tertangkis
sedemikian kuatnya. Sie Liong sudah mengangkat bangun tubuh pemuda itu yang sudah babak belur dan
bengkak matang biru.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat munculnya seorang pemuda bongkok yang membela Un Kiong, semua orang terkejut. Seorang di
antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan pandai silat, merasa penasaran dan dia lalu menerjang ke
depan, menghantam ke arah dada Sie Liong sambil membentak, “Mau apa kau mencampuri urusan kami?”
“Dukkk!”
Kepalan tangannya yang besar itu tepat mengenai dada Sie Liong akan tetapi akibatnya sungguh membuat
orang terbelalak. Bukan Sie Liong yang roboh, namun pemukulnya sendiri yang mengaduh-aduh sambil
memegangi pergelangan tangannya yang menjadi salah urat! Dia membungkuk dan menyeringai
kesakitan, mengeluh.
Melihat itu, tentu saja semua orang langsung menjadi jeri dan tidak ada lagi yang berani menghalangi
ketika Sie Liong memapah pemuda itu keluar dari situ. Ketika tiba di luar rumah dan melihat betapa banyak
orang mengikutinya, yaitu mereka yang tadi nonton dan agaknya mereka ingin tahu ke mana dia membawa
pemuda yang dipukuli itu, Sie Liong lalu memanggul pemuda itu dan berlari cepat sehingga sebentar saja
dia sudah menghilang dari kejaran para penonton.
Sie Liong membawa pemuda itu ke luar dusun dan dia baru berhenti setelah tiba di tempat sunyi di luar
dusun itu. Mereka berdiri di bawah sinar rembulan dan berkali-kali pemuda itu menghela napas penuh
penyesalan. Dia tahu bahwa pemuda bongkok ini bukan orang sembarangan. Dia melihat pada saat
pemuda itu membawanya keluar dari dalam rumah mempelai wanita, dan terutama sekali cara pemuda itu
memanggulnya dan membawanya lari secepat terbang.
“Taihiap, kenapa engkau monolongku? Mengapa engkau membawaku pergi dari sana?”
Sie Liong tersenyum. Orang ini telah diselamatkan dari keadaan yang lebih parah lagi, karena mungkin dia
akan mati dipukuli orang, tetapi pemuda ini tidak berterima kasih bahkan menyesal!
“Akan tetapi, kenapa engkau begitu nekat, membiarkan dirimu dipukuli orang? Kalau tidak kularikan,
mungkin engkau akan dipukuli sampai mati!”
“Biar saja! Biar aku dipukuli sampai mati agar Lian-moi melihat bukti cintaku padanya!”
“Wah, sungguh aneh. Coba ceritakan, apa yang sebenarnya telah terjadi? Siapa tahu, mungkin saja aku
akan dapat menolongmu.”
Pemuda itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah berumput. Sie Liong juga duduk dan pemuda itu
bercerita.
Sejak kecil Un Kiong telah ditunangkan dengan Sui Lian, gadis itu. Bahkan Un Kiong sudah sering kali
menyumbangkan tenaganya bekerja di sawah ladang tunangannya. Pernikahan antara mereka tinggal
menanti hari, bulan dan tahun yang baik saja. Akan tetapi, secara tiba-tiba saja orang tua Sui Lian
mengumumkan bahwa pertunangan itu diputuskan, dibatalkan dan tahu-tahu, sebulan kemudian Sui Lian
dinikahkan dengan putera kepala dusun itu!
“Kepala dusun itu orang baru, belum setahun dia diangkat menjadi kepala dusun dan bertugas di sini.
Jelaslah, dibatalkannya pertunanganku itu disebabkan oleh kehadiran putera kepala dusun itu. Seorang
pemuda brengsek, pengejar perempuan, sombong dan tidak ada gunanya! Tadinya aku sudah menerima
nasib, aku tidak berdaya. Tadi aku hanya ingin melihat, bersama para penonton, ingin melihat bekas
tunanganku yang semenjak diputuskannya ikatan jodoh itu tidak pernah kulihat lagi. Akan tetapi, melihat ia
menangis, mendengar ucapannya bahwa ia tidak mau dikawinkan dengan orang lain, aku tidak dapat
menahan hatiku. Dan ia... ahhh, ia masih sempat memanggilku, dan ia... ia begitu bersedih...! Karena itu,
aku ingin mati saja, biar mereka pukuli, biar aku mati di depan Lian-moi untuk membuktikan cinta kasihku
kepadanya!”
Sie Liong tersenyum. “Membuktikan cinta kasih dengan membiarkan diri mati dipukuli orang? Hemm, itu
bukan cara membuktikan cinta kasih yang baik! Kalau engkau mati dipukuli, apakah tunanganmu itu akan
merasa gembira? Apakah perbuatanmu itu akan dapat membebaskan ia dari cengkeraman orang yang
dipaksakan menjadi suaminya?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Un Kiong menjadi bengong, lalu dia berulang-ulang menggeleng kepala dan menghela napas. “Lalu apa
yang dapat kulakukan, taihiap?”
“Engkau pulanglah dan biarlah aku yang akan membantumu. Aku akan membatalkan pernikahan paksaan
itu dan akan mengantarkan mempelai wanita ke rumahmu. Engkau bersiap-siaplah, besok siang mempelai
wanita akan kuantarkan ke rumahmu dan harus kau sambut ia sebagai mempelaimu.”
“Tapi... tapi... tentu mereka akan marah. Aku akan ditangkap dan bahkan orang tuaku akan masuk tahanan
dan dihukum!”
“Jangan khawatir. Aku yang bertanggung jawab, dan jangan takut. Aku akan menangani urusan ini sampai
tuntas. Andai kata engkau ditawan, aku yang akan membebaskan engkau.”
Karena dia sendiri sudah tak berdaya dan hampir putus asa, Un Kiong menaruhkan seluruh harapannya
kepada pendekar yang bongkok itu, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong.
“Taihiap, sebelumnya saya menghaturkan terima kasih. Sebelum saya pulang, mohon tahu nama besar
taihiap, agar dapat kuceritakan kepada orang-tuaku.”
Sie Liong menggelengkan kepala. “Namaku tidak ada artinya, sobat. Kuberi tahu pun engkau tidak akan
mengenalnya. Aku hanya kebetulan lewat saja di sini, dan aku selalu gatal tangan, ingin membereskan
sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pulanglah dan tunggulah sampai besok.”
Un Kiong memberi hormat, kemudian dia pun pergi, kembali ke dusun dan pulang ke rumahnya. Dia
disambut dengan omelan ayah ibunya yang sudah mendengar beritanya bahwa putera mereka membikin
ribut di rumah mempelai wanita sehingga dipukuli oleh keluarga mempelai wanita.
Ketika Un Kiong menceritakan tentang Pendekar Bongkok yang menolongnya, dan juga tentang janji
pendekar itu, ayah ibunya menjadi semakin tegang dan gelisah.
Sementara itu, Sui Lan telah dipaksa untuk menerima rombongan pengantin pria yang malam itu datang
untuk menjemput mempelai puteri. Mempelai wanita masih menangis terus, akan tetapi karena ia memakai
kerudung, dan karena memang sudah lajim bahwa mempelai wanita selalu menangis pada saat
dinikahkan, maka ia tidak menarik banyak perhatian.
Mempelai wanita dituntun naik ke dalam joli yang dihias indah dan dipikul empat orang, sedangkan
mempelai prianya menunggang seekor kuda yang besar. Mempelai pria ini nampak tampan dan gagah
dalam pakaiannya yang indah dan beraneka warna. Dia tersenyum-senyum penuh lagak ketika menaiki
kudanya, dibantu oleh beberapa orang. Petasan dibakar dan bunyi musik mulai mengalun mengiringi
pasangan mempelai yang akan meninggalkan rumah mempelai wanita itu.
Pada saat itu, muncul seorang pemuda bongkok di depan rombongan yang sudah siap untuk berangkat!
Pemuda ini bukan lain adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!
“Berhenti!” bentak Sie Liong yang berdiri di tengah jalan. “Pernikahan ini salah tempat! Mempelai prianya
bukan orang itu!” Dia menuding ke arah pemuda yang menunggang kuda dengan congkaknya.
Tujuh orang pengawal yang bertugas mengawal mempelai pria menjemput mempelai wanita, segera berlari
menghampiri dan mereka memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut dan pandang mata marah.
Akan tetapi, keluarga mempelai wanita yang mengenal pemuda bongkok itu menjadi gelisah.
Komandan pasukan pengawal yang hanya tujuh orang itu, seorang berusia empat puluh tahun lebih yang
kumisnya melintang kaku, maju dan menghadapi Sie Liong.
“Heiii, apakah engkau ini orang gila? Siapakah engkau dan apa artinya perbuatanmu ini?”
Sekarang semua orang sudah datang ke tempat itu, menonton dari jarak yang aman, sedangkan tujuh
orang pengawal itu menghadapi Sie Liong yang bersikap tenang saja.
“Aku hanya seorang bongkok yang kebetulan lewat di dusun ini. Aku melihat peristiwa yang membuat
hatiku penasaran. Mempelai wanita yang bernama Sui Lian ini sudah mempunyai seorang tunangan sejak
kecil yang bernama Un Kiong. Seluruh penduduk dusun ini tentu sudah mengetahui akan hal itu. Tetapi,
dunia-kangouw.blogspot.com
secara mendadak pertunangan itu dibatalkan sepihak dan Sui Lian dijodohkan dengan putera kepala
dusun. Sungguh tidak adil sama sekali, apa lagi karena mempelai wanita tidak suka menjadi isteri putera
kepala dusun!”
“Ehh, sungguh engkau telah menjadi gila! Pernikahan ini dilangsungkan secara sah dan menurut peraturan
yang benar sebagai lanjutan dari pinangan yang telah diterima. Hayo engkau ini orang bongkok gila pergi
dari sini dari pada harus kami hajar!”
“Kalianlah yang harus pergi, juga mempelai pria itu. Pulang saja dan katakan kepada kepala dusun bahwa
pernikahan ini dibatalkan!”
“Kurang ajar!”
Tujuh orang pengawal itu dengan marah lalu menyerang dari sekeliling Sie Liong. Akan tetapi, sekali Sie
Liong menggerakkan tubuhnya berputar, tujuh orang itu disapu roboh semua seperti tujuh helai daun kering
saja! Tentu saja mereka terkejut dan mencabut senjata masing-masing.
“Sudahlah. Kalian hanya para petugas dan tidak bersalah. Yang bersalah dalam hal ini adalah orang tua
mempelai wanita dan juga kepala dusun! Sebaiknya kepala dusun itu disuruh ke sini kemudian kita
rundingkan bersama dengan orang tua mempelai wanita. Urusan ini dapat diselesaikan dengan cara
damai!” kata Sie Liong yang sebetulnya tidak ingin mempergunakan kekerasan.
“Orang gila ini sungguh kurang ajar! Tangkap dia atau bunuh saja kalau melawan!” kini mempelai pria yang
masih menunggang kuda itu membentak marah. Tentu saja dia sangat marah dan merasa malu sekali
bahwa upacara pejemputan mempelai wanita itu diganggu oleh seorang laki-laki bongkok yang agaknya
gila!
Tujuh orang pengawal itu sudah menyerang dengan senjata mereka. Sie Liong hanya mengelak dengan
langkah-langkah dan loncatan kecil. Semua sambaran senjata tiada yang mampu menyentuh tubuhnya.
Dia tak ingin melukai mereka yang mengeroyoknya sebab mereka bukanlah orang-orang jahat, tapi hanya
orang-orang yang melaksanakan tugas mengawal mempelai.
Dia pun mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya bergerak cepat dan mengeluarkan angin pukulan
yang dahsyat, dan senjata di tangan tujuh orang itu lantas beterbangan dan terlepas dari tangan para
pemegangnya. Tentu saja tujuh orang itu terkejut sekali, juga jeri karena kini baru mereka maklum bahwa
mereka menghadapi seorang muda yang aneh dan sakti.
Mempelai pria yang melihat betapa tujuh orang pengawalnya sama sekali tidak mampu melawan orang
bongkok itu, menjadi ketakutan dan dia pun melarikan kudanya sambil berteriak, “Mari kita lapor kepada
ayah!”
Para pengikutnya lalu melarikan diri meninggalkan tempat itu.
Ayah dari mempelai wanita yang melihat terjadinya peristiwa ini, merasa khawatir, juga penasaran sekali.
Akan tetapi dia pun sudah maklum akan kehebatan orang bongkok itu, maka dia menghampiri lalu
memberi hormat.
“Taihiap, apa maksudnya taihiap melakukan semua tindakan ini? Taihiap, hanya akan mendatangkan mala
petaka kepada keluarga kami!”
“Hmm, semua ini adalah akibat dari kesalahan keluarga sendiri, paman. Mari kita masuk dan bicara di
dalam. Akulah yang bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatanku tadi.”
Joli pengantin diangkut lagi memasuki rumah itu dan para pengiringnya juga masuk. Tak ada yang berani
membantah Pendekar Bongkok, karena mereka kini semakin yakin bahwa pemuda bongkok ini seorang
pandekar yang sakti.
Agaknya dari dalam jolinya, Sui Lian mendengarkan semua yang terjadi di luar. Ketika ia dituntun keluar
dari joli untuk kembali ke kamarnya, tiba-tiba ia berlutut menghadap Sie Liong dan jelas terdengar
suaranya, “Taihiap, saya berterima kasih sekali kepadamu!”
Dua orang nenek bersama ibunya mengangkatnya bangun dan membawanya masuk ke dalam kamar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, ayah Sui Lian kemudian mengajak Sie Liong duduk menghadapi meja. Beberapa orang
keluarganya lalu keluar dan minta kepada para penonton untuk pergi dan jangan berkerumun di depan
rumah.
Para penonton bubaran dan sebentar saja peristiwa itu telah menjadi berita baru yang menegangkan
seluruh penduduk dusun itu. Un Kiong dan orang tuanya mendengar pula dan mereka menanti dengan
jantung berdebar tegang.
Un Kiong sendiri diam-diam merasa girang dan timbul harapan baru di dalam hatinya. Ternyata Pendekar
Bongkok tidak membohonginya dan sudah mencegah terjadinya pemboyongan pengantin wanita! Tentu
saja semalam itu dia sama sekali tidak dapat tidur sekejap mata pun dan kalau saja tidak ingin mentaati
perintah Pendekar Bongkok agar dia menanti saja di rumah, ingin dia pergi untuk melihat sendiri apa yang
terjadi selanjutnya di rumah Sui Lian, bekas tunangannya.
“Paman, benarkah bahwa sejak kecil puterimu sudah dipertunangkan dengan seorang pemuda bernama
Un Kiong dari dusun ini juga?” Sie Liong bertanya dan memandang tajam kepada tuan rumah yang kini
didampingi isterinya.
Petani itu mengangguk. “Benar taihiap. Akan tetapi pertalian jodoh itu telah diputuskan, telah dibatalkan,
maka Un Kiong tidak berhak untuk datang ke sini dan membikin ribut...”
“Akan tetapi mengapa, paman? Apakah kesalahan Un Kiong sehingga pertunangan itu dibatalkan?
Padahal, pertunangan itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun, sejak keduanya masih kanak-kanak!”
Ayah dan ibu Sui Lian saling memandang dan orang tua itu tidak mampu menjawab. Karena memang
calon mantunya itu tidak mempunyai kesalahan apa pun!
“Hemm, aku tahu, paman. Tentu karena datang pinangan dari kepala dusun. Karena hal itulah engkau
membatalkan ikatan perjodohan itu agar angkau dapat menerima lamaran kepala dusun, bukan?”
Orang tua itu mengangkat muka memandang kepada Pendekar Bongkok, kemudian dia mengangguk
membenarkan.
“Nah, aku ingin tahu sekarang. Mengapa kau lakukan hal itu? Kalau puterimu sudah bertunangan dengan
Un Kiong, seharusnya kau tolak saja lamaran kepala dusun dan berkata terus terang bahwa puterimu
sudah mempunyai calon suami.”
“Ahh, taihiap, mana kami berani melakukan hal itu? Kepala dusun itu baru saja menjadi kepala dusun di
sini. Kami tidak berani menolak pinangan dan selain itu, tentu saja kami lebih suka melihat anak kami
menjadi mantu kepala dusun karena ia akan dapat hidup mulia, terhormat, kaya raya dan...”
“Dan yang terpenting, paman dan bibi akan ikut pula naik derajatnya sebagai besan kepala dusun,
begitukah?” Sie Liong menyambung dan suami isteri itu tersipu.
“Paman dan bibi, apakah ji-wi (kalian) menyayang puterimu?”
“Tentu saja!” jawab kedua orang tua itu.
“Kalau ji-wi menyayangnya, kenapa ji-wi memperlakukannya sebagai barang dagangan saja? Siapa yang
berani menawar lebih tinggi akan mendapatkannya. Ia bukan benda, bukan pula binatang, melainkan
seorang manusia yang berperasaan. Dia juga berhak menentukan pilihannya sendiri. Ji-wi melihat sendiri
betapa ia bersedih dan tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun, akan tetapi ji-wi memaksanya!
Benarkah perbuatan itu?”
Dua orang tua itu menunduk. “Kami... kami melakukan hal itu demi kebahagiaannya, taihiap. Ia akan
menjadi wanita terhormat di dusun ini dan hidup berkecukupan...”
“Itukah ukuran bahagia? Berbahagiakah seekor burung yang ada dalam sangkar, walau pun sangkar itu
terbuat dari emas? Ji-wi keliru, seyogianya lebih dahulu menanyakan pendapat puteri ji-wi. Sungguh tidak
adil kalau membatalkan pertunangan itu begitu saja, secara sepihak, sedangkan kedua orang muda itu
sudah saling menyayang.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tapi, tapi kami tidak berani menolak... dan sekarang... perjodohan itu sudah ditentukan, dan taihiap...
ahhh, apa yang harus kami lakukan sekarang? Kami takut akan tindakan kepala dusun yang tentu akan
marah sekali...” Suami isteri itu meratap dan ketakutan.
“Itu tanggung jawabku. Yang penting, ji-wi mengakui kesalahan ji-wi dan bersedia untuk menyambung
kembali ikatan jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong.”
Suami isteri itu saling pandang dan mereka menarik napas panjang. “Baiklah, taihiap. Kini kami dapat
melihat kesalahan kami yang hendak mengorbankan perasaan hati anak kami dengan kemewahan
keadaan lahiriah. Kami bersedia menyambung kembali perjodohan itu asal taihiap dapat membereskan
urusan kemarahan dari pihak kepala dusun.”
“Jangan khawatir. Nah, itu agaknya mereka datang,” kata Sie Liong dengan hati lega.
Sie Liong bangkit berdiri, keluar dari ruangan itu, lalu berdiri di serambi depan. Masih terdapat penonton,
akan tetapi mereka itu berdiri agak jauh, di tempat aman, bukan seperti tadi di luar pintu pagar.
Dia melihat munculnya dua orang laki-laki yang sikapnya gagah, yang diiringkan oleh tujuh orang pengawal
tadi. Agaknya pihak kepala dusun sudah mengutus dua orang jagoan untuk menghadapinya.
Ketika mereka memasuki pekarangan dan langsung menghampiri Sie Liong yang berdiri di kaki tangga
serambi depan, Sie Liong mengamati mereka dengan penuh perhatian. Dua orang yang sikapnya gagah
sekali.
Yang seorang bertubuh tinggi besar. Mukanya persegi, jantan dan gagah. Sedangkan orang ke dua
bertubuh sedang, mukanya bulat dan muka itu dipenuhi brewok lebat yang rapi. Keduanya berusia kurang
lebih tiga puluh lima tahun, dan di balik pundak mereka nampak gagang pedang. Dua orang yang gagah.
Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia merasa sepertinya pernah bertemu dengan mereka, akan tetapi dia
sudah tidak ingat lagi.
Seorang di antara dua orang gagah itu, yang tinggi besar, setelah memandang tajam kepada Sie Liong,
lalu menegur, suaranya keras dan berwibawa, suara yang gagah. “Apakah engkau orangnya yang tadi
menghalangi pemboyongan pengantin wanita oleh pengantin pria?”
Sie Liong menghadapi mereka dengan tenang. Dia belum mendengar akan kejahatan kepala dusun dan
pernikahan itu berjalan seperti lajimnya. Kepala dusun sama sekali tidak memaksakan kehendaknya,
karena itu dia tahu bahwa dia bukan menghadapi golongan yang jahat. Semua keributan itu timbul hanya
karena salah pengertian, karena kelemahan orang tua Sui Lian.
“Benar sekali, akulah yang tadi menghalangi pemboyongan yang tidak tepat itu.”
Dua orang gagah itu mengerutkan alisnya. “Pemboyongan tidak tepat? Apanya yang tidak tepat? Dengar,
sobat yang sombong. Kami berdua adalah tamu dalam pesta itu dan sudah bertahun-tahun kami mengenal
kepala dusun sebagai orang yang berwatak baik. Dia merayakan pernikahan puteranya dengan gadis
dusun di sini, apa salahnya itu?”
“Mungkin dia tidak bersalah, akan tetapi sayang, yang dilamarnya itu adalah seorang gadis yang sudah
mempunyai calon suami dan ikatan jodoh itu sudah berjalan sejak keduanya masih kecil. Tiba-tiba saja
ikatan jodoh itu dibatalkan karena anak perempuan itu hendak dikawinkan dengan putera kepala daerah!
Nah, bukankah hal itu merupakan suatu paksaan yang merugikan pihak calon suami?”
Kembali dua orang itu saling pandang dan kini si brewok yang berkata dengan suara lantang. “Semua itu
merupakan urusan pribadi keluarga pengantin puteri, dan tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan
keluarga kepala dusun. Pinangan sudah diterima dan pernikahan harus dilangsungkan, siapa pun tidak
berhak untuk menghalangi!”
“Maaf, akan tetapi aku berpihak kepada keluarga colon suami yang disia-siakan, maka aku yang
menghalangi dilanjutkannya pernikahan paksaan ini. Harap ji-wi suka kembali saja dan minta kepada
kepala dusun untuk datang ke sini agar urusan ini dapat kita bicarakan dengan penuh kebijakan!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemmm, tidak percuma apa bila sahabat kami kepala dusun itu memberi kepercayaan kepada kami untuk
menghadapi pengacau! Engkau seorang pengacau, maka mari ikut dengan kami menghadap kepala
dusun! Kalau engkau menyerah baik-baik, kami tidak ingin menggunakan kekerasan,” kata si tinggi besar.
“Kalau aku tidak mau?”
“Ji-wi taihiap, biar kami keroyok saja dia!” teriak si kumis melintang yang memimpin para pengawal tadi.
Tujuh orang itu agaknya kini berbesar hati karena hadirnya dua orang gagah itu, lupa bahwa tadi mereka
sama sekali tidak berdaya menghadapi si bongkok.
Akan tetapi, melihat mereka sudah bergerak hendak mengeroyok, dua orang gagah itu mengembangkan
dua lengan dan mencegah mereka maju.
“Jangan kalian bergerak. Biarkan kami yang menghadapinya!” kata si tinggi besar.
Tujuh orang pengawal itu pun mundur kembali. Tadi mereka hendak maju hanya untuk menebus rasa
malu, tetapi sesungguhnya mereka merasa jeri. Maka kini dilarang maju, mereka diam-diam merasa lega.
“Sute, biarkan aku yang mencoba kelihaian orang sombong ini!” berkata si tinggi besar yang segera
melangkah maju. “Sobat, engkau sungguh tinggi hati, hendak mencampuri urusan pribadi keluarga orang
lain. Agaknya engkau hendak menggunakan kepandaian untuk melakukan kekerasan dan hendak
merampas mempelai wanita itu!”
Sie Liong tersenyum. “Hemm, kalau aku bermaksud demikian, apa perlunya aku berada di sini menanti
datangnya jagoan-jagoan dari kepala dusun? Tentu sudah kuculik dan kularikan mempelai wanita. Tidak,
dugaanmu itu menyeleweng jauh, sobat. Aku hanya ingin membenarkan yang salah, tidak ada pamrih lain.”
“Dan engkau akan mempertahankan pendirianmu dengan kekuatan dan ilmu silatmu?”
“Kalau perlu...”
“Bagus! Ingin kulihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!” bentak si tinggi besar itu
dan dia membentak nyaring, “Lihat serangan!”
Sikap itu saja membuktikan bahwa dia memang seorang yang gagah, seorang pendekar yang memberi
peringatan sebelum melakukan serangan. Pukulannya kuat bukan main, mendatangkan angin pukulan
yang menyambar dahsyat, juga datangnya cepat sekali.
Melihat serangan ini, tahulah Sie Liong bahwa kini dia berhadapan dengan lawan yang ‘berisi’, bukan
sekedar tukang pukul yang besar suaranya saja. Maka, dia pun dengan hati-hati mengelak ke kiri,
kemudian dari kiri tangannya menyambar ke kanan depan, membalas dengan totokan ke arah lambung
kanan yang terbuka.
Akan tetapi, lawannya sudah menarik tangan, menekuk lengan dan memutar tubuh ke kanan sambil
menangkis keras. Agaknya, si tinggi besar ini hendak mencoba tenaga lawan, maka ketika menangkis
totokan itu, dia mengerahkan sinkang.
“Dukkk!”
Dua lengan bertemu keras sekali dan akibatnya, si tinggi besar mengeluarkan seruan kaget. Dia merasa
betapa lengannya nyeri, tulangnya seperti akan patah dan lengan kanan itu lumpuh dalam satu dua detik.
Dia cepat meloncat mundur dan memandang lawan dengan sinar mata tajam, maklum bahwa si bongkok
ini benar-benar hebat!
Maka dia pun lalu menerjang dengan cepat. Bagaikan serangan badai, kaki tangannya bergerak cepat,
setiap pukulan dan tamparannya dilakukan dengan pengerahan tenaga.
Tetapi, dengan tenang Sie Liong selalu manghindarkan diri dengan langkah-langkahnya yang teratur.
Sekali-kali dia menangkis, bahkan balas melancarkan serangan pula agar dirinya tidak menjadi terdesak.
“Hyaattttt...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini lawannya menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Setiap pukulan telapak tangannya mengandung
tenaga dahsyat yang panas!
Sie Liong maklum bahwa lawannya menggunakan semacam sinkang yang hebat, maka dia pun segera
mengerahkan sinkang-nya dan memainkan ilmu silat Swat-liong-ciang (Silat Naga Salju). Ketika tangan
mereka bertemu dalam benturan dahsyat, orang tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan dia terbelalak,
tubuhnya menggigil kedinginan!
Memang, Swat-liong-ciang itu merupakan ilmu silat ampuh yang mengeluarkan hawa dingin. Ilmu ini
diperoleh Sie Liong dari seorang di antara guru-gurunya, yaitu Swat Hwa Cinjin, seorang di antara
Himalaya Sam Lojin.
Melihat suheng-nya terhuyung dengan tubuh menggigil dan muka pucat, si brewok lalu menerjang dahsyat
sambil membentak, “Lihat seranganku!”
Kedua tangan itu bergerak cepat, membentuk dua buah cakar yang mencengkeram ke bagian-bagian
lemah dari tubuh Sie Liong. Serangannya bertubi-tubi dan ternyata sang sute ini tidak kalah lihainya
dibanding sang suheng!
Sie Liong maklum bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh lawannya itu adalah semacam ilmu yang meniru
gerakan harimau, maka dahsyat luar biasa. Melihat kuatnya sambaran angin pukulan tentu cakar istimewa
dari tangan orang itu, meski tidak berkuku panjang akan tetapi tidak kalah berbahayanya dari pada cakar
seekor harimau!
Dia pun cepat berloncatan mengelak dan kini dia memainkan ilmu silat Pek-in Sin-ciang (Silat Sakti Awan
Putih). Begitu ia mengerahkan tenaga sinkang, maka dari dua telapak tangannya berkepul uap putih dan
semua cakaran lawannya dapat ditangkisnya dengan tepat. Dia pun membalas dengan dorongandorongan
telapak tangannya dan akhirnya, lawan yang brewok itu pun terhuyung-huyung ke belakang,
tidak kuat manahan hawa yang amat kuat menyambar dari kedua tangan Sie Liong.
Kini, dua orang gagah itu meloncat mundur dan mereka berdua mencabut pedang dari punggung! Mereka
maklum bahwa dengan tangan kosong mereka tidak akan mampu mengalahkan orang bongkok itu, maka
mereka mencabut senjata!
“Sobat, ternyata engkau benar amat lihai. Nah, sekarang keluarkan senjatamu, mari kita bermain-main
sebentar dengan senjata!” tantang si tinggi besar dengan sikap gagah.
Sie Liong menjura kepada mereka. “Mana aku berani? Aku tidak pernah bermain-main dengan senjata,
dan aku juga tak akan pernah mau mengangkat senjata untuk melawan pendekar-pendekar dari Kun-lunpai
yang gagah perkasa, karena aku tahu benar bahwa pendekar-pendekar Kun-lun-pai selalu membela
yang benar dan tak pernah melakukan kejahatan!”
Kedua orang itu terbelalak. “Engkau... mengenal kami? Siapakah engkau sebenarnya?” tanya si tinggi
besar. Mereka memang benar murid-murid Kun-lun-pai, yang tinggi basar bernama Ciang Sun, sedangkan
sute-nya yang brewokan, bernama Kok Han.
“Tentu saja aku mengenal ji-wi, bahkan kurang lebih tujuh delapan tahun yang lalu kita pernah saling
berjumpa. Pada saat itu, ji-wi berusaha menolong seorang tosu tua yang diseret oleh dua orang pendeta
Lama, akan tetapi ji-wi tertotok roboh. Nah, di tempat itulah kita saling berjumpa!”
“Ahh...!” Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu berseru, kemudian mereka saling pandang. “Engkau... engkau
bocah bongkok yang terpukul oleh pendeta Lama itu...? Tapi... tapi kami sangka engkau sudah mati...!”
Sie Liong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mati, aku tertolong oleh Himalaya Sam
Lojin yang menjadi guru-guruku...”
“Ahhh...! Kiranya saudara adalah murid tiga orang kakek sakti itu? Pantas begini lihai! Akan tetapi,
mengapa... ehhh, mengenai urusan pengantin itu...” Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu menjadi gugup
karena mereka tadi memandang rendah.
“Harap ji-wi tenang-tenang saja. Sungguh, tentu ji-wi percaya bahwa aku juga tidak akan melakukan
perbuatan yang jahat, bukan? Ketahuilah, aku berjumpa dengan pemuda yang sejak kecil menjadi
dunia-kangouw.blogspot.com
tunangan gadis yang sekarang menjadi pengantin. Sejak kecil bertunangan lalu mendadak dibikin putus
dan tunangannya tahu-tahu akan dinikahkan dengan putera kepala dusun! Bukankah hal itu sama sekali
tidak adil? Juga aku melihat sendiri bahwa pengantin wanita tidak mau dijodohkan dengan anak kepala
dusun, akan tetapi dua orang tuanya yang agaknya mata duitan dan mata kedudukan, memaksanya. Itulah
sebabnya aku turun tangan...”
“Ahhh, kalau begitu, lain lagi urusannya!” kata Kok Han. “Sungguh heran, mengapa bisa terjadi demikian?
Padahal kepala dusun itu telah lama kami kenal sebagai orang yang baik dan bijaksana.”
“Mungkin dia tidak tahu,” kata Sie Liong. “Dia hanya tahu meminang, diterima kemudian merayakan
pernikahan puteranya. Oleh karena itu, sebaiknya jika dia diajak berunding, syukur kalau dia mau datang
ke tempat ini agar perundingan dapat diadakan bersama orang tua mempelai puteri. Tentu ji-wi sekarang
sudah tahu akan duduknya perkara dan suka membantu agar peristiwa ini dapat diselesaikan dengan
baik.”
Dua orang pendekar Kun-lun-pal itu tentu saja menyetujui usul Sie Liong. “Baik, kami yang akan
menjelaskan kepada keluarga Sun, dan kami akan membujuk kepala dusun Sun agar suka datang ke sini.”
“Terima kasih, ji-wi memang bijaksana. Aku akan menunggu di sini,” kata Sie Liong.
Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera pergi dan mereka merasa bersyukur bahwa mereka tidak usah
kehilangan muka, tidak sampai dirobohkan oleh Pendekar Bongkok. Mereka kini tahu bahwa kalau lawan
tadi menghendaki, mereka tentu saja sudah roboh, bahkan mungkin tewas. Dan mereka kini tidak raguragu
lagi akan kebenaran apa yang sedang dilakukan oleh Pendekar Bongkok.
Benar saja seperti dugaan Sie Liong. Tidak lama kemudian kepala dusun Sun datang ke rumah calon
besan itu, ditemani oleh dua orang pendekar Kun-lun-pai. Mereka disambut dan dipersilakan duduk di
ruangan dalam, di mana mereka mengadakan pembicaraan. Yang hadir hanyalah suami isteri orang tua
Sui Lian, kepala dusun Sun, Sie Liong dan juga dua orang pendekar itu, Ciang Sun dan Kok Han.
Dengan jelas Sie Liong lalu menceritakan tentang pemutusan pertalian jodoh antara Sui Lian dan Un
Kiong, yang didengarkan oleh kepala dusun Sun dengan alis berkerut. Sie Liong lalu melanjutkan
ceritanya.
“Hendaknya jung-cu (lurah) ketahui bahwa pertunangan antara dua orang muda itu telah diketahui oleh
seluruh penduduk dusun ini, sudah dilakukan semenjak keduanya masih kanak-kanak. Apa bila tiba-tiba
pertunangan itu dibikin putus secara sepihak, kemudian gadis itu dinikahkan dengan puteramu, bukankah
penduduk akan menganggap bahwa jung-cu sewenang-wenang, mempergunakan kekuasaannya untuk
merampas tunangan orang? Kalau jung-cu ingin disuka oleh seluruh penduduk dusun, ingin menjadi
seorang kepala dusun yang bijaksana, kiranya tentu tidak ingin merampas tunangan orang dan memaksa
gadis itu menikah dengan puteramu.”
Kepala dusun Sun lalu memandang kepada tuan rumah, yaitu ayah dari Sui Lian. “Akan tetapi, kalau
memang Sui Lian sudah mempunyai tunangan, mengapa pinangan kami diterima?”
Sie Liong menoleh kepada tuan rumah dan isterinya, lalu dia berkata dengan tenang, “Kiranya paman dan
bibi ini akan dapat menjawab pertanyaan itu dan sekarang inilah saat semua orang harus berterus terang
dan meluruskan yang bengkok, membenarkan yang salah!”
Wajah tuan dan nyonya rumah menjadi agak pucat. Dengan suara gemetar, ayah Sui Lian lalu berkata,
“Mohon ampun kepada jung-cu... saat jung-cu mengajukan pinangan, kami... kami merasa terhormat dan
bahagia sekali, kami pun tidak berani menolak dan tidak berani menceritakan tentang pertunangan itu...
sebab kami merasa bangga kalau menjadi besan jung-cu, maka kami diam saja dan...”
“Brakkk!”
Kepala dusun menggebrak meja dengan tangan kirinya, dan mukanya menjadi merah sekali. “Kalian kira
aku ini orang macam apa? Seorang pembesar yang mengandalkan kekuasaannya untuk memaksakan
kehendaknya kepada rakyat? Sungguh, itu namanya memandang rendah kepada kami!”
“Ampunkan kami... jung-cu...!” tuan dan nyonya rumah menjadi ketakutan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kepala dusun itu menarik napas panjang. “Sudahlah, gara-gara sikap kalian yang keliru, yang gila
kehormatan dan kedudukan, kalian telah membuat kami sekeluarga menjadi malu saja. Semua tamu sudah
datang dan semua peralatan upacara pernikahan telah disiapkan, bagaimana mungkin pernikahan dapat
dibatalkan? Kami akan menjadi buah cemoohan dan tertawaan orang saja! Siapa nama tunangan Sui Lian
itu?”
“Namanya Un Kiong...”
“Di mana dia? Panggil dia ke sini!”
Sie Liong bangkit. “Biarlah aku yang memanggil dia ke sini.”
Dan sekali berkelebat, pemuda bongkok ini pun lenyap dari situ. Tak lama kemudian dia sudah datang lagi
bersama Un Kiong. Pemuda ini agak pucat. Bagaimana pun juga, dia ketakutan.
Akan tetapi, kepala dusun Sun bersikap tenang saja. “Un Kiong, mulai saat ini, engkau kuanggap sebagai
anak angkatku dan besok engkau akan kunikahkan dengan Sui Lian. Sukakah kau?”
Un Kiong cepat menjatuhkan diri berlutut di depan ‘ayah angkatnya’ dan hanya mampu menangis saking
gembiranya. Sie Liong bertemu pandang dengan dua orang pendekar Kun-lun-pai dan mereka tersenyum,
kagum akan hasil pekerjaan Pendekar Bongkok.
Pada keesokan harinya pesta pernikahan tetap dirayakan di rumah kepala dusun, hanya saja, yang
menikah bukanlah putera kandungnya, tetapi ‘putera angkatnya’. Puteranya sendiri disuruhnya pergi ke
kota di selatan, untuk menghindarkan pergunjingan orang.
Pada waktu sepasang mempelai dipertemukan, Sie Liong dan kedua orang pendekar Kun-lun-pai
mendapat kursi kehormatan. Tanpa diperintah, dua orang mempelai itu lalu menghampiri Sie Liong dan
serta merta keduanya menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda bongkok itu.
“Wah... jangan...! Tak perlu begini...!” katanya dan sekali berkelebat, Pendekar Bongkok sudah lenyap dari
tempat itu, bahkan dari dusun itu yang ditinggalkannya cepat-cepat.
Peristiwa ini bukan hanya menguntungkan dua orang muda yang sudah saling mencinta itu, tapi juga
mendatangkan keuntungan besar kepada kepala dusun Sun. Perbuatannya itu mendatangkan perasaan
hormat dan suka sekali dalam hati para penduduk dusun itu sehingga dia menjadi seorang kepala dusun
yang dihormati, disuka dan ditaati sehingga dia selalu dipilih, menjadi kepala dusun selama hidupnya!
Sie Liong sendiri kembali melanjutkan perjalanan dengan wajah cerah. Mulutnya selalu tersenyum.
Gembira bukan main rasa hatinya bahwa dia sudah berhasil menyambung perjodohan yang putus itu! Dia
dapat membayangkan alangkah bahagianya sepasang orang muda itu!
Akan tetapi dia pun melihat bahwa kesenangan yang dinikmati sepasang orang muda itu tidaklah kekal
adanya. Seperti keadaan udara, tidak selamanya kehidupan manusia diterangi sinar matahari. Banyak
sekali awan hitam berarak di angkasa, sewaktu-waktu dapat mengurangi kecerahan matahari, bahkan
menggelapkannya sama sekali.
Akan tetapi, itu soal nanti! Yang penting, kini mereka berbahagia dan dia pun merasa berbahagia karena
perbuatannya telah berhasil membahagiakan orang lain…..
********************
Tibet merupakan daerah yang tidak banyak didiami suku bangsa lain kecuali bangsa Tibet. Ada pula
bangsa Han yang sudah bercampur dengan bangsa mereka. Bahkan banyak terjadi perkawinan campuran
sehingga terlahir suku yang dapat disebut sebagai peranakan Tibet Han. Terutama di bagian Timur daerah
Tibet, di mana terdapat sebuah perkampungan yang menjadi tempat tinggal suku peranakan Tibet Han.
Berbeda dengan suku bangsa yang tinggal di Mongol, daerah yang penuh padang pasir, suku bangsa Tibet
bukan merupakan suku bangsa nomad, tidak berpindah-pindah tetapi tinggal berkelompok dan membentuk
dusun-dusun di antara pegunungan-pegunungan yang memenuhi daerah itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tibet memang dipagari pegunungan-pegunungan yang besar. Di utara ada Kun-lun-san yang memanjang
dari barat ke timur. Di selatan juga berderet pegunungan Himalaya yang seolah-olah melindungi daerah itu.
Di tenggara terdapat Heng-tuan-san, di timur laut terdapat Tanggula San, sedangkan di bagian tengah
terdapat Gang Tiese San dan Nyaingen Tangla San serta masih banyak lagi pegunungan kecil yang masih
memenuhi daerah itu. Selain kaya pegunungan, Tibet juga kaya akan danau besar dan telaga yang lebih
kecil.
Suku Tibet adalah peternak-peternak yang pandai. Mereka beternak binatang kambing, domba dan yak,
yaitu semacam keledai. Selain itu mereka juga bertani dan berkebun, dan pada umumnya mereka
merupakan umat beragama yang taat. Hampir seluruh suku Tibet menganut agama Buddha dan mereka
percaya sepenuhnya terhadap kekuasaan pendeta Lama yang dianggap sebagai penguasa, baik di
pemerintahan mau pun dalam bidang agama.
Ibukota Lhasa di mana para Lama tinggal merupakan pusat atau kiblat mereka. Para penduduk dusun
yang agak berhasil dan memiliki kelebihan kekayaan, tentu tidak akan melewatkan kesempatan berkunjung
ke ibukota Lhasa itu.
Tanggula San merupakan pegunungan yang memanjang dari utara ke selatan, di dekat perbatasan timur.
Dari pegunungan inilah awal Yang-tse-kiang yang amat panjang itu muncul dari sebuah sumbernya.
Karena itu, terutama bagi orang-orang Han dan peranakan Han yang tinggal di Tibet, pegunungan
Tanggula San ini sangat penting. Mata air yang menjadi sumber sungai Yang-tse itu dijadikan tempat
keramat, bahkan di situ dibangun menara. Hal ini karena sungai Yang-tse dianggap sebagai sungai
keramat pula, yaitu sungai kedua terpanjang di daratan Tiongkok sesudah sungai Huang-ho.
Karena daerah pegunungan Tanggula San ini, terutama daerah lereng kaki pegunungan merupakan
daerah yang amat subur, maka banyaklah dusun para petani dan peternak bertebaran di sekitar situ.
Sebagian besar dari dusun-dusun ini dihuni oleh peranakan Tibet Han.
Seperti pada umumnya suku peranakan, darah campuran agaknya membuat keturunan mereka memiliki
bentuk wajah yang cantik. Bangsa Tibet asli terkenal memiliki bentuk anggun dan jantan dengan alis yang
tebal dan rambut yang hitam subur. Sebaliknya orang Han memiliki kulit yang putih mulus kekuningan.
Maka keturunan dari kedua suku bangsa ini, banyak sekali yang tampan dan cantik.
Terutama sekali para wanitanya, banyak yang cantik, berkulit putih kekuningan mulus, berambut hitam
panjang dan alis matanya juga hitam sekali, agak tebal di kedua ujung seperti sayap kupu-kupu. Para pria
peranakan ini juga berwajah tampan dan ganteng, jantan dengan bentuk tubuh mereka yang tinggi besar.
Tentu saja ada kecualinya, ada juga yang berpenampilan buruk, seperti yang terjadi pada semua suku
bangsa.
Dusun Ngomaima biasanya tenteram. Keributan hanya kadang-kadang saja terjadi, itu pun pada waktu
dusun itu kedatangan banyak tamu pedagang yang membawa pasukan pengawal masing-masing. Para
anggota pasukan pengawal inilah yang suka membikin ribut.
Mereka bermabok-mabokan di dusun itu dan sering kali terjadi pertengkaran di antara para pasukan
pengawal. Juga kadang-kadang mereka itu ingin memaksakan kehendak mereka kalau melihat wanita
cantik. Akan tetapi, Gumo Cali, yaitu kepala suku di dusun Ngomaima, selalu dapat meredakan keributan
yang timbul.
Maka, amatlah aneh rasanya bagi para pendatang ketika selama beberapa pekan ini, dusun Ngomaima
sama sekali berubah keadaannya. Terutama sekali di waktu malam. Dusun itu sunyi sekali, dan hampir
semua penghuni tidak berani keluar dari rumah mereka begitu matahari sudah menyelam. Di sana sini para
penghuni pria melakukan penjagaan dan perondaan, namun pekerjaan ini pun dilakukan dalam suasana
penuh ketakutan.
Hal ini amat menarik hati para pendatang. Beberapa orang kepala pasukan pangawal yang merasa diri
mereka kuat lalu bertanya. Setelah mereka mendapatkan keterangan bahwa dusun itu sejak beberapa
pekan telah diganggu dengan munculnya siluman yang pada malam hari menculik gadis-gadis tercantik,
mereka lalu bangkit dan menggunakan pasukan mereka untuk mencoba menangkap siluman. Namun
usaha mereka semua gagal, seperti juga usaha Gumo Cali sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Banyak sudah anak buah Gumo Cali yang roboh dan menderita luka-luka, juga kini para jagoan dari
pasukan pengawal juga banyak yang luka, bahkan ada yang tewas ketika mereka berusaha untuk
menangkap ‘siluman’ itu. Banyak jagoan merasa gentar karena siluman itu kabarnya mempunyai kesaktian
yang luar biasa, yang tidak mungkin dilawan dengan ilmu silat biasa saja.
Maka, setelah banyak jagoan di antara para pengawal mencoba-coba untuk mengadu kepandaian dengan
siluman itu dan gagal, bahkan banyak yang roboh terluka, bahkan ada pula yang tewas, tidak ada lagi yang
berani mencoba-coba!
Sudah ada tiga orang gadis cantik yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, lenyap begitu saja dari kamar di
rumah orang tua mereka! Siluman itu selalu beraksi pada malam hari dan hebatnya, sebelum malam hari
dia datang, pada siang harinya dia terlebih dahulu memberi tanda cairan merah yang dioleskan pada pintu
rumah calon korbannya. Ketika Gumo Cali sendiri melakukan pemeriksaan, ternyata cairan merah itu
adalah darah!
Dan malamnya, biar pun sudah dijaga ketat, tetap saja siluman itu datang, merobohkan siapa saja yang
coba untuk menghalanginya, kemudian menculik gadis yang dipilihnya! Menurut keterangan mereka yang
pernah dirobohkannya, siluman itu datang dan pergi sebagai bayangan saja, tidak kelihatan jelas orangnya
kalau memang dia manusia, tidak nampak jelas mukanya, dan bayangannya selalu berwarna merah.
Maka, siluman itu pun terkenal dengan sebutan Siluman Merah!
Keadaan dusun Ngomaima menjadi semakin geger ketika pada suatu siang, ada lagi coretan merah pada
sebuah daun pintu. Betapa penduduk tak akan geger kalau coretan itu sekali ini terdapat pada daun pintu
rumah Gumo Cali sendiri? Ketua mereka, kepala dusun dan pemimpin mereka, yang ditakuti oleh semua
orang, kini hendak diganggu oleh siluman itu!
Dan coretan itu bukan hanya satu, melainkan dua! Ini berarti bahwa yang akan diculik adalah dua orang
gadis, dan memang Gumo Cali memiliki dua orang anak perempuan yang cantik manis, berusia empat
belas dan enam belas tahun!
Gumo Cali menjadi panik! Usaha penjagaan ketat oleh para jagoan tak menenteramkan hatinya sebab
sudah terbukti berulang kali betapa para jagoan itu tak ada yang mampu menandingi kesaktian siluman itu.
Maka jalan kedua pun diambilnya, jalan dari mereka yang masih tebal kepercayannya akan tahyul, yaitu
mengundang seorang dukun!
“Untuk mengusir siluman tidak mungkin dipergunakan kekuatan otot,” demikian katanya kepada isterinya
yang terus menerus menangis, juga kedua puterinya yang menangis ketakutan, “akan tetapi harus dengan
kekuatan sihir, dan yang akan dapat mengusirnya dan menyelamatkan dua orang anak kita hanyalah
seorang dukun.”
Di daerah Ngomaima terdapat seorang dukun yang cukup terkenal. Dia selalu dipanggil kalau ada orang
hendak membangun rumah, kalau ada orang mati, bahkan kalau ada yang sakit, maka dia pun diundang
untuk mengobati dengan cara yang aneh. Dia juga seorang peranakan Tibet Han, mempunyai nama Han
yaitu Bong Ciat dan selalu minta disebut Bong Sianjin, seolah-olah dia adalah seorang manusia dewa!
Bong Sianjin diundang dan dengan gaya seorang dukun sejati yang penuh dengan ilmu sihir, dukun ini
datang dan penampilannya memang mengesankan sekali. Pakaiannya pun aneh, merupakan jubah
pendeta yang lebar dan lengannya longgar. Akan tetapi jika jubah pendeta itu biasanya sederhana
berwarna polos putih atau kuning, jubah yang dipakai dukun ini kembang-kembang dan berwarna-warni!
Juga dukun ini pesolek sekali, karena selain pakaiannya licin dan sepatunya baru, juga rambutnya tersisir
licin berminyak. Dan hebatnya, bila orang berada dua tiga meter saja darinya, orang itu akan mencium bau
minyak yang sangat wangi!
Usia Bong Sianjin kurang lebih empat puluh tahun, dengan kumis kecil panjang berjuntai ke bawah,
bersambung dengan jenggotnya yang juga jarang. Matanya yang amat sipit itu sukar dikatakan melek atau
meram. Hidungnya besar dan mulutnya yang kecil selalu tersenyum mengejek.
Di punggungnya terdapat sebatang pedang. Tangan kanannya menggenggam sebuah kebutan berbulu
putih sedangkan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang selalu dikebut-kebutkan ke arah lehernya
pada waktu dia memasuki rumah Gumo Cali dengan lenggang dibuat-buat!
dunia-kangouw.blogspot.com
Gumo Cali dan isterinya cepat menyambut dengan sikap hormat. Tetapi begitu melihat tuan rumah,
mendadak dukun itu berhenti melangkah, hidungnya mengembang-kempis, mendengus dan menciumcium,
matanya yang sipit itu melirik ke kanan kiri, kemudian mulutnya mengeluarkan keluhan panjang.
“Hayaaaaa...!” dan dia pun mengangguk-angguk.
Melihat ini, Gumo Cali cepat memberi hormat sambil bertanya, “Sianjin, apakah yang engkau ketahui?
Katakan kepada kami!”
“Aihh, penuh hawa siluman di sini! Harus disingkirkan dulu hawa siluman ini, kalau tidak, akan meracuni
semua penghuni rumah!”
Ia pun mengeluarkan sebungkus hioswa (dupa biting) dari kantung jubahnya yang lebar, mengeluarkan
beberapa batang dupa dan menyalakannya. Asap yang mengeluarkan bau harum segera memenuhi
ruangan depan itu.
Mulut si dukun berkemak-kemik membaca mantera, kemudian terdengarlah dia berkata sambil
mengacung-acungkan hio itu ke empat penjuru.
“Yang datang dari selatan, kembalilah ke selatan, yang datang dari timur, kembalilah ke timur, yang datang
dari utara kembalilah ke utara dan yang datang dari barat kembalilah ke barat. Jangan mengganggu rumah
ini, melainkan kumpulkan semua kawanmu untuk membantu aku mengusir siluman merah!”
Ia lalu mengeluarkan gerengan-gerengan aneh yang pantasnya hanya keluar dari leher binatang buas.
Tentu saja sikap dan perbuatannya yang aneh ini mengesankan sekali dan hati Gumo Cali dan isterinya
sudah mulai merasa lega. Tentu dukun sakti ini akan mampu mengusir siluman merah dan menyelamatkan
puteri-puteri mereka.
Bagaikan orang yang sedang kemasukan dan bukan atas kehendaknya sendiri, tanpa permisi lagi Bong
Sianjin memasuki rumah Gumo Cali sambil mengacung-acungkan hio yang masih berasap itu, mengelilingi
seluruh ruangan di dalam rumah itu. Kemudian dia bertanya, “Di mana kamar dua orang gadis itu?”
Diam-diam Gumo Cali menjadi semakin gembira. Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang gadisnya
itulah yang diancam oleh siluman merah!
“Di sana, Sianjin, di sudut itu...,” jawabnya cepat.
“Bawa aku ke sana, dan suruh dua orang gadismu itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka sudah
terkena hawa siluman ataukah belum!”
Dengan senang hati ayah dan ibu itu lalu mengajak Bong Sianjin masuk sebuah kamar yang cukup besar.
Di situ terdapat sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan milik kakak beradik itu.
Mereka yang tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil dan dua orang gadis yang cantik manis
itu sekarang berdiri dengan muka pucat di depan Bong Sianjin yang memandang kepada mereka dengan
mata seperti terpejam! Namun, di balik pelupuk mata yang setengah tertutup itu mengintai sepasang mata
yang tajam, sinar mata yang menjelajahi seluruh tubuh kedua orang gadis itu dari kepala sampai ke kaki
dan mata itu bersinar gairah!
Tiba-tiba Bong Sianjin mengeluarkan seruan, “Uhhhh...!” dan tubuhnya pun terhuyung ke belakang.
“Sungguh celaka...!”
“Ada apakah, Sianjin...?” tanya Gumo Cali cepat dan wajahnya gelisah sekali.
“Celaka, mereka ini sudah diselubungi hawa siluman yang amat kuat!”
Ibu kedua orang anak itu menjerit ketakutan dan dua orang anak perempuan itu pun menangis dan tubuh
mereka menggigil.
“Aduh... lalu bagaimana baiknya, Sianjin? Tolonglah anak-anakku, tolonglah kami... apa pun yang kau
minta akan kami laksanakan untuk membalas budi kebaikanmu... cepat tolonglah...” kata kepala dusun itu
cemas dan kelihatan ketakutan, sungguh tidak sesuai dengan kegagahannya sebagai jagoan nomor satu di
dunia-kangouw.blogspot.com
dusun Ngomaima itu. Ketahyulan memang bisa membuat orang yang bagaimana perkasa pun menjadi
seorang pengecut dan penakut.
“Jangan khawatir he-he-heh, jangan khawatir. Selama masih ada Bong Sianjin, jangan khawatir...! Akan
tetapi, dua orang nona ini perlu dibersihkan dari hawa siluman. Aku akan membersihkan mereka dan
semua orang tidak boleh mendekati kamar ini, karena kalau sampai ada yang terkena hawa siluman, aku
akan menjadi repot saja. Biarkan mereka di kamar ini, aku akan membersihkan dan menjaga, kalau
siluman datang, akan kuusir dia... heh-heh-heh, jangan khawatir, ada Bong Sianjin, heh-heh-heh!”
“Baik, baik... ah, terima kasih sebelumnya, Sianjin. Dan apa... apa syaratnya, apa yang perlu kami
persiapkan?”
“Mudah saja. Seember besar air yang diberi air kembang yang harum, dan dupa harum harus dibakar di
sudut kamar. Sediakan saja seember air itu, aku sendiri yang akan mempersiapkan segalanya, angkat
ember ke dalam kamar ini, lalu tinggalkan kamar ini, jangan ada yang berada di luar kamar. Kalau aku
belum memanggil, jangan ada yang berani mendekat kalau ingin selamat dan bebas dari hawa siluman!”
Mendengar ini, seluruh penghuni rumah menjadi ngeri dan ketakutan. Segera seember air harum itu
diangkat masuk ke dalam kamar.
Ibu dua orang gadis itu merangkul mereka dan berkata, “Jangan kalian takut, ada Bong Sianjin yang sakti
di sini. Kalian akan dibersihkan dan dibebaskan dari... siluman...”
Dua orang gadis yang ketakutan itu merasa tidak berdaya dan hanya mengangguk. Bagi mereka, sikap
dukun itu saja sudah sama mengerikan seperti berita tentang siluman, terutama sekali sepasang mata
yang selalu terpejam akan tetapi ada sinar mata di balik garis mata sipit itu yang memandang kepada
mereka secara mengerikan!
Juga mulut kecil yang tersenyum-senyum itu, hidung besar yang cupingnya kembang kempis, sungguh
membuat dua orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi, karena dukun ini katanya hendak
menyelamatkan mereka dari cengkeraman siluman merah, maka mereka pun pasrah!
Setelah melihat betapa dengan penuh semangat kepala dusun Gumo Cali mengusiri semua orang agar
menjauhi kamar dan sama sekali tidak boleh mendekat, dan semua orang kini telah pergi, dukun itu lalu
menutupkan daun pintu kamar itu, memalangnya dari dalam dan sambil menyeringai dia pun menghadapi
kedua orang gadis remaja yang masih gemetar ketakutan itu.
Setelah berada bertiga saja dengan dua orang gadis remaja yang cantik, segar dan ranum itu, semakin
bergeloralah gairah birahi dalam hati dukun Bong yang sejak tadi sudah bangkit begitu dia melihat dua
orang gadis remaja yang diserahkan ke dalam kekuasaannya itu. Dia melihat kesempatan yang amat baik
terbuka baginya.
Dia memang sudah mendengar akan adanya siluman merah yang suka menculik para gadis-gadis cantik.
Dia tidak takut menghadapi siluman. Sudah dipersiapkannya senjata ampuh untuk melawan setan, yang
dibawanya dan disimpannya dalam saku jubahnya, yaitu darah anjing yang sudah dikeringkan dan
dijadikan bubuk hitam, serta pedang pusakanya yang sudah diberi mantera, sebatang pedang terbuat dari
pada akar kayu pengusir setan.
Dia tidak takut, bahkan dia akan mempergunakan nama iblis itu untuk melaksanakan hasratnya yang lagi
berkobar-kobar. Dia akan memetik dua tangkai bunga yang sedang mulai mekar itu, menikmati mereka,
tetapi pertanggungan-jawabnya akan dia timpakan kepada siluman merah! Ya, semua orang akan percaya
kepadanya!
“Heh-heh-hah, anak-anak manis, kalian sudah dikotori hawa siluman, tanpa dibersihkan, kalian akan jatuh
sakit dan akhirnya mati dalam keadaan tersiksa. Maukah kalau kalian kubersihkan dari hawa siluman?”
“Mau, Sianjin, tentu saja kami mau...,” kata gadis tertua dengan suara gemetar.
“Kalau kalian mau, ingat. Apa pun yang terjadi di sini, jangan sekali-kali kalian ceritakan kepada orang lain,
kepada orang tuamu pun tidak boleh. Kalau kalian ceritakan, maka hawa siluman itu akan datang
menguasai diri kalian kembali. Menurut saja dengan apa yang akan kulakukan terhadap kalian, sebab
dunia-kangouw.blogspot.com
itulah cara pengobatannya. Nah, sekarang, tanggalkan semua pakaian dan kalian akan kumandikan di
dalam ember ini. Lakukan sekarang!”
Dukun lepus yang menjadi hamba nafsunya sendiri itu sekarang tersenyum-senyum dan sepasang mata
yang tersembunyi di balik pelupuk mata yang sipit itu makin mencorong penuh nafsu ketika dia melihat dua
orang gadis remaja itu, dengan malu-malu dan takut-takut, menanggalkan pakaian mereka satu demi satu
di hadapannya sampai mereka telanjang bulat sama sekali.
Kemudian, sambil menyeringai penuh nafsu, dukun itu lalu menuntun mereka berdua masuk ke dalam
ember terisi air kembang yang harum. Dengan nafsu yang semakin berkobar, kedua tangannya
memandikan dua orang gadis remaja itu. Jari-jari tangannya dengan penuh nafsu menggerayangi dan
meraba-raba serta membelai-belai, pura-pura membersihkan tubuh mereka.
Biar pun nafsu birahinya sudah memuncak, namun dukun yang cerdik ini tidak bodoh. Dia cerdik sekali dan
dia menahan dirinya agar tidak tergesa-gesa melakukan niatnya yang terakhir terhadap dua orang gadis
remaja itu.
Setelah merasa puas membelai tubuh mereka dengan dalih memandikan mereka, dia pun menyuruh
mereka keluar dari ember mandi, mengeringkan tubuh yang basah itu dengan kain, kemudian
memerintahkan mereka berbaring di atas tempat tidur dan menutupi tubuh telanjang mereka dengan
selimut. Dia melarang mereka mengenakan pakaian kembali, dengan alasan bahwa semua pakaian
mereka sudah ternoda oleh hawa siluman.
Setelah kedua orang gadis itu merebahkan diri bersembunyi ke dalam selimut, Bong Sianjin lalu duduk
bersila dengan santainya di tepi pembaringan, pura-pura bersemedhi sambil menanti datangnya malam.
Hari telah mulai senja dan sebentar lagi malam tiba. Dukun itu hendak menanti datangnya malam agar apa
yang akan dilakukannya itu dapat kelak dia timpakan kepada siluman merah! Ia pun telah siap dengan
pedang kayu yang sudah diletakkannya di atas pangkuannya, dan mempersiapkan pula bubuk darah
anjing di dalam sebuah botol.
Malam pun tiba. Dukun Bong menyalakan dua batang lilin di atas meja sehingga dalam kamar itu suasana
remang-remang akan tetapi cukup terang. Sampai jauh malam, tidak terjadi sesuatu di dalam kamar itu.
Dua orang gadis yang tadinya bicara berbisik-bisik, kini berdiam diri, menanti dengan ketakutan. Setiap ada
suara sedikit saja di luar kamar, membuat mereka saling rangkul dengan tubuh gemetar. Namun, hati
mereka merasa lega melihat dukun itu masih duduk bersila seperti arca dan mereka yakin bahwa dukun itu
tentu akan mampu menolong mereka.
Apa yang dilakukan dukun itu tadi, ketika memandikan mereka membuat mereka merasa kikuk dan malu.
Akan tetapi mereka tidak menyangka buruk dan menganggap bahwa dukun itu memang sungguh-sungguh
‘membersihkan’ mereka. Mereka masih terlalu hijau untuk berprasangka yang bukan-bukan.
Sementara itu, dukun Bong menjadi tidak sabar lagi. Siluman yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang,
sedangkan dia hampir hangus terbakar nafsu birahinya. Kalau siluman itu muncul dan dia sudah
mengusirnya, baru dia akan menikmati ‘imbalan jasanya’.
Dia menoleh, memandang kepada dua orang gadis itu. Selimut itu agak tersingkap dan memperlihatkan
sebagian dada mereka. Bong Ciat tidak dapat lagi menahan dirinya. Dia menyeringai kepada mereka.
“Kalian takut?”
Ditanya demikian, tentu saja dua orang gadis itu mengangguk membenarkan. Mereka memang merasa
takut sekali, bahkan merasa ngeri.
“Heh-heh, jangan takut, ada aku di sini. Biar kutemani kalian tidur agar kalian merasa aman dan tidak takut
lagi.” Berkata demikian, dukun yang tak tahu malu itu lalu mulai mencopoti pakaiannya satu demi satu.
Melihat ini, dua orang gadis remaja itu tersipu-sipu. Mereka merasa lega karena dukun itu hendak
menemani mereka tidur sehingga mereka akan merasa aman sekali. Akan tetapi mereka pun merasa malu
bukan main melihat betapa Bong Sianjin menanggalkan pakaiannya. Melihat mereka tersipu-sipu, Bong
Sianjin tersenyum.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Heh-heh-heh, kalian tidak usah malu-malu...” Dan dia pun membungkuk, mencium pipi mereka bergantian,
membuat kedua orang gadis remaja itu menggeliat dan semakin tersipu.
Nafsu birahi sudah memuncak dan Bong Sianjin sudah tidak kuasa menahan diri lagi. Akan tetapi baru saja
dia menyingkap selimut yang menutup tubuh kedua orang gadis remaja untuk menyelinap rebah di antara
mereka, tiba-tiba api lilin bergoyang dan dua orang gadis itu menahan jerit mereka.
Bong Sianjin cepat menoleh, dan sepasang mata yang biasanya sipit itu terbelalak agak lebar. Entah dari
mana datangnya, di dalam kamar itu telah berdiri seorang ‘iblis’ yang aneh. Pakaiannya serba merah, dan
mukanya mengenakan topeng merah pula. Akan tetapi, dia berdiri di situ, diam seperti patung, tidak
bergerak dan tidak mengeluarkan sepatah pun kata atau suara apa pun.
Hanya sebentar dukun Bong tertegun. Dia segera ingat akan senjata-senjatanya. Lupa bahwa tubuhnya
hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja, dia kemudian menyambar pedangnya dan botol
atau guci kecil, lalu melompat turun. Pedang kayu itu diangkatnya ke atas, dan dia membuka tutup guci
kecil, lalu mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, akhirnya dia berseru.
“Iblis siluman jadi-jadian, pergilah engkau dari sini sebelum aku membinasakanmu!”
Melihat betapa ‘iblis’ itu tidak bergerak dari tempatnya, dan hanya mata di balik kedok itu yang mencorong
menyeramkan, Bong Sianjin lalu menggerakkan tangan kirinya dan debu hitam keluar dari dalam guci,
melayang ke arah siluman merah itu. Akan tetapi, siluman merah itu tetap tidak bergerak.
Melihat ini, dukun Bong lalu menggerakkan pedang kayunya, dipukulkan ke arah kepala siluman merah itu.
Hatinya penuh keberanian dan keyakinan akan mampu mengalahkan siluman, karena biasanya, bubuk
darah anjing dan pedang kayunya, apa lagi ditambah mantera-materanya, manjur sekali untuk menakutnakuti
segala macam siluman, setan dan hantu.
Akan tetapi, siluman merah itu agaknya lain lagi. Begitu dukun Bong menyerang, dia pun sama sekali tidak
mengelak sehingga pedang kayu itu tepat mengenai kepalanya.
“Takkk!”
Pedang itu seperti mengenai kepala dari besi saja, dan hampir terlepas dari tangan dukun Bong yang
merasa telapak tangannya panas dan nyeri. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, siluman itu telah
menggerakkan tangan kanannya dan pedang kayu itu telah dirampasnya!
Dukun Bong terbelalak. Dia tidak percaya bahwa ada siluman yang mampu menahan serangan pedang
kayunya itu tanpa terluka sedikit pun!
“Kau... kau... bukan siluman...!” serunya.
Akan tetapi, pada saat itu siluman merah telah menusukkan pedang kayu yang barusan dirampasnya,
mengenai leher dukun Bong dan leher itu pun tembus! Tubuh dukun itu terjengkang dan roboh di atas
lantai, tubuhnya berkelojotan dan dari lehernya terdengar suara mengorok.
Siluman merah tidak mempedulikan Bong Ciat lagi. Dia menghampiri pembaringan dan memandang ke
arah dua orang gadis yang sudah saling berangkulan dengan tubuh menggigil ketakutan itu. Dia
mengangguk-angguk, lalu tangan kirinya bergerak dua kali menotok ke arah tubuh kakak beradik itu yang
seketika menjadi lemas dan tidak mampu bergerak lagi.
Digulungnya dua tubuh gadis remaja itu ke dalam selimut, kemudian siluman merah itu memanggul
gulungan selimut, melompat keluar dari dalam kamar melalui jendela yang dibukanya dan sebentar saja
bayangannya telah lenyap. Gerakannya gesit bukan main. Ketika dia melompat keluar kamar, dia seperti
seekor burung garuda terbang saja.
Dukun Bong yang ditinggal di kamar itu, berusaha menjerit, akan tetapi yang keluar dari mulutnya hanya
suara mengorok yang cukup keras. Suara inilah yang memaksa Gumo Cali dan isterinya datang, diikuti
para jagoan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Gumo Cali memanggil-manggil dari luar pintu, akan tetapi tidak ada jawaban, baik dari kedua orang
anaknya mau pun dari dukun Bong, dan yang terdengar dari luar hanyalah suara mengorok aneh itu.
Dengan memberanikan hatinya, Gumo Cali lalu mendobrak pintu.
Daun pintu itu roboh dan mereka berhamburan masuk, hanya untuk menemukan dukun Bong sedang
berkelojotan sekarat dalam keadaan hampir telanjang bulat dan lehernya tertembus pedang kayunya
sendiri, sedangkan dua orang gadis remaja itu telah lenyap bersama selimut, dan pakaian mereka masih
lengkap nampak tertumpuk di atas tempat tidur. Jadi mereka itu telah lenyap dalam keadaan tanpa pakaian
sama sekali, mungkin terbungkus selimut yang lenyap.
Gegerlah seisi rumah. Meski merasa ketakutan akibat siluman merah telah menggondol kedua orang
anaknya sedangkan dukun Bong sendiri sekarat hampir tewas, Gumo Cali mengerahkan seluruh
pembantunya untuk mencari kedua orang anaknya. Namun, jejak mereka pun tidak dapat ditemukan
sehingga keluarga kepala dusun itu menjadi panik, bingung dan berduka.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong memasuki dusun Ngomaima. Dia merasa heran sekali
melihat betapa dusun yang nampaknya maju itu, dengan banyak rumah-rumah yang bangunannya sudah
kokoh dan ditembok bahkan jalan rayanya juga sudah baik sekali, di kanan kiri jalan raya terdapat tokotoko,
kedai dan bahkan rumah penginapan, pada pagi hari itu nampak sunyi bukan main. Hampir tidak
nampak adanya orang di jalan raya, bahkan rumah-rumah masih ditutup pintu dan jendelanya. Hanya ada
satu dua orang laki-laki yang menjengukkan kepalanya keluar jendela atau pintu, akan tetapi cepat lenyap
pula begitu melihat dia. Apakah yang telah terjadi, pikirnya.
Apakah orang-orang di dusun ini sedemikian malasnya sehingga pagi hari itu masih enak-enak tidur?
Padahal, sinar matahari sudah mengusir kegelapan malam!
Dia tidak tahu bahwa seluruh penghuni dusun sudah mendengar belaka akan keributan yang tadi malam
terjadi di rumah kepala dusun Gumo Cali, mendengar betapa dukun Bong telah terbunuh dan dua orang
gadis puteri kepala dusun itu diculik siluman merah! Tentu saja semua orang menjadi ngeri dan pagi itu,
suasana dusun Ngomaima seperti dusun mati. Bahkan ada beberapa kelompok keluarga kaya yang malam
tadi sudah mempersiapkan segalanya untuk melarikan diri mengungsi jauh dari dusun yang sedang diamuk
siluman merah itu.
Melihat betapa orang-orang yang tadinya memandang padanya lalu cepat bersembunyi, Si Pendekar
Bongkok tersenyum pahit. Semua pengalaman yang sudah dirasakannya membuat dia merasa rendah diri
dan sikap penghuni dusun itu dianggapnya bahwa mereka takut melihat keadaan dirinya, melihat tubuhnya
yang bongkok. Namun, hanya sebentar saja perasaan pahit itu, karena dia kini sudah mulai terbiasa dan
dia menelan kenyataan itu sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dia merobahnya.
Tanpa dia sengaja, pada saat Sie Liong melangkah, kakinya membawanya lewat depan rumah kepala
dusun Gumo Cali. Maksud hatinya memang hanya ingin melihat-lihat dusun itu sebelum menentukan
apakah dia akan bermalam di situ ataukah melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju ke pegunungan
Nyaingen Tangla sebelah utara Tibet.
Menurut pesan Himalaya Sam Lojin dan juga Pek-sim Siansu, di pegunungan itu ia akan dapat memulai
dengan penyelidikannya mengenai para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa yang telah
melarikan diri dari pegunungan Himalaya dan masih terus dikejar-kejar. Menurut penuturan para gurunya
itu, Lima Harimau Tibet berasal dari pegunungan Nyaingen Tangla, di mana mereka mempunyai sebuah
kuil dan di situ mereka dahulu bertapa.
Ketika Sie Liong tiba di depan rumah kepala dusun Gumo Cali, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan
orang dan bermunculanlah sedikitnya dua puluh orang yang langsung mengepungnya dengan senjata di
tangan.
“Siluman! Siluman!”
“Hajar dia!”
“Siluman, kembalikan dua orang nona kami!”
“Kepung dia, jangan sampai lolos!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan dua puluh orang lebih itu serentak menyerangnya dengan senjata mereka! Tentu saja Sie Liong
terkejut bukan main. Apa lagi setelah dia melihat betapa teriakan-teriakan itu sambung menyambung dan
sebentar saja pengepungnya mendekati jumlah seratus orang!
“Heiii, tahan dulu!” teriaknya dan dia menggunakan kedua lengannya untuk menangkisi semua serangan
yang menimpa dirinya.
Karena di antara mereka itu banyak yang mempergunakan senjata tajam, maka biar pun tubuhnya
dilindungi kekebalan sehingga kulitnya tidak sampai terobek, namun tentu saja pakaiannya tidak kebal dan
mulailah pakaiannya robek-robek.
“Hei, tahan dulu dan mari kita bicara!” bentaknya lagi.
Akan tetapi, ketika semua orang melihat betapa senjata mereka tidak dapat melukai orang bongkok itu dan
hanya pakaiannya saja yang robek-robek, mereka menjadi makin yakin bahwa yang mereka keroyok
adalah sebangsa siluman atau iblis, maka semakin ramailah mereka mengeroyok dengan nekat walau pun
senjata mereka membalik dan tangan mereka terasa panas dan nyeri.
Melihat kenyataan bahwa semua orang bahkan menjadi semakin marah dan semakin nekat
menyerangnya, Sie Liong merasa kewalahan. Kalau dilanjutkan, tentu dia akan telanjang bulat karena
pakaiannya tentu akan hancur. Dia tidak mau membalas, karena sekali pandang saja dia sudah maklum
bahwa mereka yang mengeroyoknya bukanlah penjahat, melainkan penduduk dusun yang sedang marah,
dan tentu dia disangka orang yang menyebabkan kemarahan mereka itu.
Tadi dia mendengar mereka memakinya sebagai siluman. Tentu para penghuni dusun ini sedang
memusuhi siluman dan dialah yang dikira siluman itu! Sungguh sial, sekali ini dia disangka siluman!
Melihat serangan yang bertubi-tubi, dia lalu melompat dan tubuhnya melayang ke atas genteng rumah
kepala dusun Gumo Cali. Melihat ini, semua orang menahan napas dan memandang dengan wajah
membayangkan bermacam perasaan. Ada ngeri, ada takut, akap tetapi ada pula kemarahan yang
membuat mereka nekat, apa lagi karena yang maju ada ratusan orang sehingga mendatangkan
keberanian yang besar.
Gumo Cali mendapat hati ketika melihat siluman itu tidak merobohkan seorang di antara mereka, bahkan
seperti hendak melarikan diri. Karena itu dia pun menuding ke atas dan membentak dengan suara garang,
“Siluman jahat, hayo kembalikan dua orang anak gadis kami, kalau tidak, sampai ke mana pun kaki orang
sedusun akan mengejarmu dan membinanakanmu!”
“Nanti dulu!” Sie Liong berseru dengan nada suara yang marah karena hati siapa tidak menjadi dongkol
bila tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba saja dia dituduh sebagai siluman yang menculik dua orang gadis
orang!
“Kalian ini enak saja menuduh orang yang bukan-bukan! Siapa bilang aku siluman? Apa buktinya bahwa
aku ini siluman yang suka nyolong anak gadis orang?”
Mendengar ini, Gumo Cali jadi tertegun. Sikap orang di atas itu memang bukan seperti siluman! Dia
meragu, akan tetapi orang-orang yang berada di bawah itu masih yakin bahwa mereka berhadapan
dengan siluman.
“Engkau tidak seperti manusia biasa! Punggungmu berpunuk!”
“Engkau kebal dan tidak tidak terluka oleh hujan senjata kami!”
“Siluman memang bisa pian-hoa (salin rupa)!”
“Dia berpunuk, tentu siluman onta!”
Wajah Sie Liong menjadi merah karena hatinya mendongkol bukan main. Dia disangka siluman onta
karena berpunuk. Sialan!
“Heii, kalian ini memang orang-orang tolol dan kejam! Andai kata aku sungguh siluman, tentu akan kuhajar
kalian yang bermulut lancang ini! Aku adalah manusia biasa, dan memang aku cacat berpunuk. Tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
bolehkah orang memiliki cacat berpunuk? Andai kata di antara kalian tidak ada yang cacat berpunuk, tentu
ada yang memiliki cacat lain, apakah yang pincang, yang buntung, yang buta, yang tuli, mereka itu juga
dianggap siluman? Aku manusia biasa dan kalau aku tidak terluka oleh senjata kalian, sungguh untung
bahwa aku memiliki sedikit kepandaian, kalau tidak, tentu tubuhku ini sudah menjadi bakso dan yang lebih
hebat lagi, kalian menjadi manusia-manusia binatang yang kejam, yang mengeroyok dan membunuh orang
tidak bersalah, dan kalian akan dikutuk sampai tujuh turunan!” Sie Liong bukan orang yang pandai bicara,
sekarang ini karena terdorong rasa dongkol, maka dapat juga dia bicara agak panjang.
Melihat sikap dan mendengar ucapan Sie Liong, kagetlah Gumo Cali. Dia sendiri sedikit banyak sudah tahu
bahwa di dunia ini ada banyak orang yang sakti dan berilmu tinggi, yang memiliki bentuk badan aneh-aneh,
dan watak yang aneh-aneh pula.
Timbul harapannya bahwa mungkin orang muda berpunuk ini adalah seorang pendekar yang melakukan
perantauan dan siapa tahu pendekar ini akan dapat menolongnya dan menyelamatkan dua orang anaknya.
Oleh karena itu, dia pun segera berteriak memberi isyarat kepada semua orang untuk tenang.
Setelah semua orang tidak mengeluarkan suara, dia pun menghadap ke arah pemuda berpunuk yang
masih berdiri di atas genteng itu, lalu memberi hormat dan berkata, suaranya nyaring. “Kalau memang
engkau seorang manusia dan seorang pendekar, harap suka maafkan kami yang sedang panik oleh
adanya siluman yang mengacau dusun kami. Akan tetapi, bagaimana kami akan dapat percaya bahwa
taihiap bukan siluman? Hanya kalau taihiap sudi membantu kami menangkap siluman atau setidaknya
menyelamatkan dua orang gadis kami yang diculik olehnya, kami percaya bahwa taihiap seorang
pendekar, bukan siluman!”
“Semua sudah ada enam orang gadis yang diculik!” teriak seseorang yang juga merasa kehilangan
seorang anak gadisnya yang lebih dulu diculik siluman.
Biar pun kemarahannya mereda, namun hati Sie Liong masih mendongkol.
“Hemmm, kalian tidak berhak untuk menekan aku supaya suka menolong kalian. Kalau memang ada
kejahatan terjadi di sini, tanpa diminta pun aku pasti akan turun tangan menentang kejahatan! Sepatutnya
kalian menerima aku sebagai seorang tamu atau sahabat dan kita dapat berunding tentang kejahatan yang
terjadi, bukan membabi-buta mengeroyok seorang pendatang yang sama sekali tidak berdosa!”
Mendengar ini, Gumo Cali merasa menyesal sekali, akan tetapi juga girang dan seolah menemukan
harapan baru. Maka, demi kedua orang anaknya, tanpa ragu-ragu lagi dia pun berlutut menghadap ke arah
pemuda berpunuk itu. “Taihiap, maafkan kami. Aku Gumo Cali sebagai kepala dusun mewakili seluruh
penghuni mohon maaf kepadamu.”
Lenyaplah sama sekali kemarahan dari hati Sie Liong. Memang dia bukanlah seorang pemarah. Dia lalu
melayang turun bagaikan seekor naga, dipandang oleh semua orang yang menjadi kagum sekali. Dia turun
ke depan kepala dusun itu, tanpa sedikit pun kakinya mengeluarkan suara ketika tiba di atas tanah, dan
dengan ramah Sie Liong lalu mengangkat bangun kepala dusun itu.
“Namaku Sie Liong dan aku seorang perantau yang kebetulan lewat di sini. Tadi aku sudah merasa heran
sekali ketika memasuki dusun ini yang cukup besar, akan tetapi mengapa begini sepi. Tidak tahunya ada
penjahat yang membikin kacau di dusun ini!”
“Bukan penjahat, taihiap, melainkan... siluman... siluman merah!” kata kepala dusun itu dan ketika dia
bicara, dia memandang ke kanan kiri, kelihatan takut sekali.
“Eh? Siluman?” Sie Liong mengerutkan alisnya. “Dan tentang gadis-gadis tadi? Apakah siluman itu
menculik gadis?”
“Taihiap, marilah kita bicara di dalam. Dan kami perlu mengganti pakaian taihiap yang robek-robek itu.”
Gumo Cali mempersilakan Sie Liong masuk ke dalam rumahnya.
Sie Liong mengangguk dan kepala dusun menyuruh semua orang bubaran dan pulang ke rumah masingmasing.
Ketika tiba di ruangan depan, Sie Liong merasa heran melihat sebuah peti mati yang depannya
masih dipasangi lilin dan alat sembahyang.
“Siapa yang mati?” tanyanya, tak lupa untuk memberi hormat ke arah peti mati sebagai mana patutnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Itu adalah Bong Sianjin yang tewas semalam...” kata Gumo Cali dengan suara berbisik, kelihatan
ketakutan.
Mendengar sebutan ‘Sianjin’, Sie Liong menjadi agak terkejut juga. “Siapakah dia dan mengapa tewas di
sini? Apakah keluargamu?”
“Bukan, dia adalah dukun yang kami undang untuk mengusir siluman dan melindungi dua orang anak gadis
kami, akan tetapi, dia malah terbunuh oleh siluman dan dua orang gadis kami tetap saja diculik...”
Tuan rumah lalu mengajak Sie Liong duduk di ruangan dalam. Setelah berganti pakaian, bukan pemberian
tuan tumah, tetapi pakaiannya sendiri yang diambilnya dari buntalan yang dibawa dan diikatkan di
punggungnya, Sie Liong lalu mendengarkan keterangan Gumo Cali mengenai segala hal yang sudah
terjadi tadi malam. Isteri tuan rumah ikut mendengarkan sambil menangis.
Setelah selesai menceritakan hilangnya dua orang puteri mereka dan tewasnya Bong Sianjin, suami isteri
itu lalu berlutut di depan Sie Liong.
“Taihiap, kasihanilah kami, kasihanilah dua orang puteri kami. Mereka itu masih kanak-kanak, baru berusia
empat belas dan enam belas tahun, dapatkanlah kembali mereka, taihiap...” Suami isteri itu tidak malumalu
menangis di depan Sie Liong.
Pemuda ini mengangkat bangun mereka. “Harap paman dan bibi suka bersikap tenang. Aku yakin bahwa
kejahatan ini bukanlah perbuatan siluman, melainkan manusia biasa yang menyamar sebagai siluman.
Tadi aku mendengar pula bahwa penjahat itu sudah menculik banyak gadis, bukan puteri-puteri paman
saja. Benarkah?”
“Memang demikianlah. Sudah kurang lebih dua tiga pekan ini... siluman... eh, penjahat itu menculik gadisgadis
cantik. Kabarnya malah dari dusun lain juga ada yang hilang, dan dari dusun sini saja ada enam
orang gadis yang sudah diculik.”
“Dan semua juga terjadi seperti yang terjadi di sini semalam? Sebelum menculik pada malam hari, pada
siang harinya dia memberi tanda dengan olesan darah kepada daun pintu rumah yang ada gadis calon
korban?”
Gumo Cali mengangguk. “Begitulah. Karena siangnya sudah diberi tanda, malamnya kami selalu
mengadakan persiapan dan penjagaan. Bahkan beberapa orang jagoan dari para pasukan pengawal
barang yang membantu kami, jatuh menjadi korban, terluka dan ada pula yang tewas. Iblis itu sangat jahat
dan lihai, bukan tandingan manusia. Karena itulah kami mengundang Bong Sianjin untuk melawannya
dengan ilmu sihir. Akan tetapi, ternyata Bong Sianjin malah tewas dan kedua orang anak kami tetap
diculiknya.”
“Hemm, kurasa dia itu bukan iblis dan bukan siluman, tapi seorang manusia jahat yang sombong. Aku
segera akan melakukan penyelidikan dan semoga saja kesombongannya terulang kembali. Mudahmudahan
dia akan memberi tanda kepada sebuah rumah yang akan didatanginya, sehingga aku akan siap
menghadapinya.”
Sie Liong lalu melakukan penyelidikan ke dalam kamar dua orang gadis puteri kepala dusun. Melihat
ember air kembang dan pakaian dua orang gadis itu, dia mengerutkan alisnya.
Diam-diam dia merasa curiga kepada dukun Bong. Apa lagi saat mendengar dari Gumo Cali bahwa dukun
itu hendak ‘membersihkan’ hawa siluman dengan memandikan dua orang gadis itu di dalam kamar tanpa
disaksikan siapa pun, kecurigaannya bertambah. Dia menduga bahwa dukun Bong tentulah seorang dukun
cabul yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencabuli dua orang gadis remaja yang cantik.
Akan tetapi karena dukun itu sudah berada dalam peti mati tanpa nyawa lagi, dia pun tak dapat
menyelidikinya, hanya menduga-duga bagaimana macamnya penjahat tukang menculik gadis yang
membunuh dukun cabul itu. Menurut keterangan kepala dusun, dukun itu dibunuh dengan pedang kayunya
sendiri. Kalau penjahat itu mampu menusuk leher dukun Bong dengan pedang kayu sehingga tembus,
dapat diketahui bahwa tentu penjahat itu memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dari dalam kamar, dia membuka jendela dan melompat ke luar, terus melompat ke atas. Gumo Cali
memandang dengan penuh kagum dan dia makin girang. Semakin besar harapannya bahwa pemuda
bongkok inilah yang agaknya akan mampu menolong dua orang anaknya.
Sie Liong melakukan penyelidikan ke atas genteng. Ada beberapa buah genteng pecah terinjak. Agaknya
ketika penjahat itu memanggul dua orang gadis, maka berat tubuhnya bertambah dan karenanya maka
genteng itu pecah terinjak. Dan dari pecahan genteng-genteng itu dia dapat menduga bahwa si penjahat
tentu lari menuju ke selatan.
Dari atas genteng itu Sie Liong memandang ke arah selatan. Nampaklah sebuah bukit kehitaman
menjulang tinggi, sebagian tersinar cahaya matahari, namun tetap nampak menghitam tanda bahwa di situ
terdapat hutan yang lebat.
“Bukit apa yang ada di selatan itu?” tanyanya sambil lalu setelah dia melompat turun kembali.
“Bukit yang mana? Ada banyak bukit di selatan...”
“Yang nampak hitam, penuh hutan.”
“Ahh, itu bukit Onta namanya. Di bagian tengah ada...” Kepala dusun tidak melanjutkan kata-katanya dan
memandang ke arah punuk di punggung Sie Liong.
“Ada punuknya maksudmu? Hemm, bukit Onta...”
“Ada apakah di sana, taihiap?” Gumo Cali tidak berani lagi menyebut onta, takut kalau menyinggung hati
pendekar bongkok itu yang tadi dimaki siluman onta oleh seorang penduduk dusun.
“Tidak ada apa-apa. Kita tunggu saja sampai ada tanda dari penjahat itu. Sekarang aku akan mencari
kamar di rumah penginapan.”
“Taihiap, bermalam saja di sini. Kamar anak-anak... bekas kamar mereka pun kosong, boleh untuk
sementara taihiap tempati...”
Sie Liong maklum bahwa tuan rumah masih merasa panik dan ketakutan, dan karena itu dia hendak
ditahan untuk meredakan rasa takut mereka. Tetapi dia merasa tidak leluasa kalau bermalam di situ, maka
dia menggeleng kepala. “Tidak, sebaiknya kehadiranku tidak terlalu monyolok. Biar aku di rumah
penginapan saja.”
“Tunggulah, taihiap. Biar aku menyuruh seseorang untuk memesan kamar terbaik untuk taihiap, dan
sementara itu, harap suka menerima hidangan yang kami sajikan untuk taihiap sebagai sarapan pagi.”
Sie Liong merasa tidak enak untuk menolak. Mereka lalu bersama-sama makan pagi. Setelah selesai
makan pagi, Sie Liong diantar oleh kepala dusun sendiri pergi ke rumah penginapan di mana telah
disediakan kamar terbaik untuknya.
Belum juga tengah hari, kepala dusun telah torgopoh-gopoh datang dan mengetuk daun pintu kamarnya.
Sie Liong yang sedang beristirahat segera turun dari pembaringan dan membuka daun pintu. Ia heran
melihat kepala dusun nampak gugup dan mukanya agak pucat.
“Taihiap... taihiap... dia... dia datang...”
“Datang? Ke mana maksudmu, paman?”
“Dia... memberi tanda darah pada pintu rumah Gulamar, saudagar kaya yang memiliki seorang gadis yang
cantik. Sebentar malam...”
“Bagus dan tenanglah, paman. Penjahat itu memang sombong bukan main. Mari kau tunjukkan kepadaku
di mana rumah yang mendapat tanda ancaman itu.”
Keluarga Gulamar menyambut kedatangan kepala dusun itu dengan hati cemas dan putus asa. Tidak ada
seorang pun jagoan yang berani menjaga keselamatan puterinya, meski dia berani membayar berapa
banyak pun. Walau pun dia sudah mendengar akan pendekar muda yang bongkok, yang katanya amat
dunia-kangouw.blogspot.com
lihai dan sanggup melawan siluman merah, namun dia masih ragu-ragu dan bahkan sudah
mempersiapkan rombongan onta dan kuda untuk melarikan anaknya mengungsi ke tempat lain.
Ketika mendengar keterangan bahwa hartawan itu hendak membawa puterinya pergi mengungsi, Sie Liong
menyatakan ketidak setujuannya.
“Cara itu tidak menjamin keselamatan dan bahkan berbahaya sekali, paman,” katanya. “Penjahat itu akan
lebih mudah menculik puterimu dalam perjalanan mengungsi itu.”
“Tapi dia... dia siluman, hanya keluar di waktu malam... kami akan melarikan puteri kami siang ini juga.”
Sie Liong menggelengkan kepalanya.
“Bukan, dia bukan siluman, melainkan manusia biasa yang amat jahat. Kalau malam ini dia datang untuk
menculik puterimu, aku yang akan menghadapinya.”
Gulamar nampak ragu-ragu dan bingung. Dia memandang kepada kepala dusun Gumo Cali. “Bagaimana
baiknya... kami khawatir sekali, kalau tidak dilarikan, nanti anakku...”
“Tenangkan saja hatimu, saudagar Gulamar. Taihiap ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan dia telah berjanji sanggup menaklukkan siluman itu. Sebaiknya jika engkau menuruti
nasehatnya. Taihiap, bagaimana sebaiknya diatur untuk menghadapi penjahat siluman itu kalau malam
nanti dia datang?”
Sie Liong lalu mengadakan perundingan dengan tuan rumah, disaksikan oleh kepala dusun. “Sembunyikan
gadis itu di dalam kamar lain yang tidak jauh dengan kamarnya sendiri supaya aku dapat selalu
mengamatinya, dan aku sendiri akan tinggal di dalam kamar puterimu menanti munculnya penjahat itu.”
“Taihiap, apakah engkau membutuhkan bantuan?”
Sie Liong mengangguk. “Mereka yang pagi tadi mengepungku adalah penduduk yang marah kepada
siluman dan mereka penuh keberanian walau pun mungkin tidak memiliki kepandaian. Biarlah mereka itu
yang membantuku, mengadakan pengepungan pada rumah ini, akan tetapi bersembunyi dan jangan ada
yang keluar sebelum penjahat itu datang dan aku berusaha menangkapnya. Jika sudah terdengar ributribut
atau melihat aku berkelahi melawan penjahat itu, barulah mereka boleh keluar dan masing-masing
membawa obor untuk menerangi tempat ini.”
Kepala dusun Gumo Cali menyanggupi dan dia pun segera pergi melakukan persiapan. Dia memberi tahu
kepada semua penduduk bahwa malam itu, Pendekar Bongkok akan menangkap siluman merah, dan
diharap supaya penduduk suka membantunya.
Para penduduk yang berhati tabah dan sudah lama merasa amat penasaran dan marah terhadap siluman
merah yang sudah mengganggu keamanan di dusun mereka, segera menyambut ajakan ini dengan
semangat berapi-api. Mereka tadi sudah melihat sendiri kelihaian Pendekar Bongkok yang kebal dan dapat
‘terbang’ ke atas genteng…..
********************
Malam yang menyeramkan. Sejak matahari tenggelam, tidak ada penduduk yang berani keluar dari rumah
mereka, apa lagi yang wanita. Semua penduduk sudah mendengar bahwa malam itu siluman merah akan
muncul, hendak menculik gadis cantik puteri saudagar Gulamar! Mereka yang siap membantu Pendekar
Bongkok, sejak sore sudah siap di tempat persembunyian mereka mengepung rumah saudagar itu, bersiap
dengan obor yang tinggal dinyalakan dan segala macam senjata yang mereka miliki.
Malam itu sungguh amat menakutkan. Padahal, malam itu juga malam yang biasa saja seperti pada
malam-malam yang lain.
Pada waktu pikiran mulai berceloteh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin menimpa diri,
maka rasa takut pun timbul dan kalau orang sudah ketakutan, maka malam yang gelap dapat nampak
menyeramkan. Orang takut akan setan karena dia pernah mendengar tentang setan. Pikirannya sudah
kemasukan bayangan setan yang pernah didengarnya dari orang lain. Pikiran itulah yang lalu mengadadunia-
kangouw.blogspot.com
ada, mereka-reka, membayangkan hal-hal mengerikan. Andai kata dia tidak pernah mendengar mengenai
setan, tidak mungkin dia dapat merasa takut.
Seorang anak kecil yang belum pernah mendengar tentang setan, dia tidak akan takut berada di tempat
yang bagaimana pun juga, oleh karena pikirannya tidak pernah dapat membayangkan hal yang belum
diketahuinya. Akan tetapi, sekali dia sudah mendengar cerita tentang setan, maka pikirannya mereka-reka,
membayangkan dan kemudian dia pun menjadi takut.
Malam itu amat sunyi, namun, sesuai dengan perintah kepala dusun Gumo Cali, semua penghuni rumah
yang berdekatan di sekitar rumah saudagar Gulamar memasang lampu penerangan di luar rumah mereka
sehingga daerah sekitar itu tidaklah begitu gelap.
Gadis yang diincar oleh siluman itu berada di dalam kamar ibunya, dijaga oleh ayah ibunya. Mereka bertiga
sejak sore tadi sudah dicekam ketakutan hebat, terutama gadis itu sendiri yang wajahnya menjadi pucat,
matanya yang indah itu seperti mata kelinci melihat harimau, dan setiap suara sedikit saja cukup untuk
membuat ia melonjak kaget.
Ketika malam semakin larut, mereka bertiga berdekapan di atas pembaringan. Mereka tak mungkin dapat
memejamkan mata, makin lama semakin gelisah walau pun mereka semua yakin bahwa Pendekar
Bongkok berada seorang diri di dalam kamar sebelah, dan bahwa di sekeliling rumah tidak kurang dari
seratus orang laki-laki penduduk dusun Ngomaima sudah siap untuk membantu Pendekar Bongkok
menangkap siluman yang hendak menculik puteri saudagar itu.
Sie Liong sendiri tenang-tenang saja berada di dalam kamar gadis itu. Sebuah kamar yang cukup besar,
dengan perabot-perabot kamar yang indah, kamar yang bersih dan berbau harum. Dia tidak mau duduk
atau rebah di atas tempat tidur gadis itu. Karena lantai kamar itu ditilami permadani tebal yang bersih dan
lunak, dia pun duduk bersila di atas lantai, memusatkan perhatian sehingga pendengarannya bisa
mengetahui keadaan di luar kamar sekali pun.
Dalam persiapan menghadapi siluman yang diduganya tentu hanya seorang penjahat yang sombong dan
lihai itu, dia tidak bersenjata. Akan tetapi, melihat sebuah payung di dalam kamar itu, tergantung di sudut,
dia tahu bahwa kalau diperlukan, payung itu dapat menjadi sebuah senjata yang amat baik baginya.
Menjelang tengah malam suasana semakin sunyi. Yang terdengar dari dalam kamar itu hanya suara
jengkerik dan belalang serta serangga malam lainnya yang mengeluarkan bunyi beraneka ragam, halus
dan amat merdu, bunyi kehidupan malam yang penuh rahasia karena gelap.
Tiba-tiba ada suara tak wajar tertangkap oleh pendengaran Sie Liong. Suara jejak kaki di atas genteng. Dia
datang, pikirnya dan tanpa dapat dihindarkan lagi, jantung dalam dadanya berdetak lebih kencang dari
pada biasanya.
Tanpa mengeluarkan suara, Sie Liong bangkit dan menuju sudut kamar, menyambar payung yang
gagangnya panjang melengkung itu, lalu menanti, menempelkan tubuhnya di sudut dinding. Matanya
berganti-ganti menatap ke arah langit-langit, jendela dan pintu karena dia tahu bahwa dari tiga jurusan
itulah si penjahat dapat memasuki kamar.
Dengan pendengarannya Sie Liong mencoba untuk mengikuti gerakan penjahat yang berada di atas rumah
itu. Tidak mudah baginya karena penjahat itu memiliki gerakan yang ringan sekali. Kedua kakinya hampir
tidak menimbulkan suara, seperti kaki kucing saja. Namun dia tahu bahwa penjahat itu kini telah turun dan
mendekati kamar itu. Dia harus menarik napas panjang untuk menenangkan jantungnya yang berdetak
kencang karena tegang.
“Krekkk...!”
Terdengar sedikit suara dan daun jendela itu pun terbuka, palangnya patah karena ada dorongan yang
amat kuat dari luar. Dan begitu daun jendela terbuka, nampak bayangan merah berkelebat dari luar.
Demikian ringan dan cepat gerakan bayangan itu sehingga Sie Liong diam-diam merasa terkejut dan
kagum. Kiranya memang bukan lawan biasa, pikirnya dan dia pun bersikap waspada. Orang yang mampu
bergerak seperti ini tidak boleh dipandang ringan, pikirnya.
Dengan penuh perhatian Sie Liong yang berdiri di sudut kamar mengamati sosok tubuh itu. Tubuh yang
ramping kecil sehingga nampak kurus, dengan pakaian serba merah dan dari samping nampak wajahnya
dunia-kangouw.blogspot.com
juga tertutup oleh topeng merah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Bukan siluman, melainkan
manusia bertopeng seperti yang sudah diduganya. Akan tetapi, manusia yang memiliki ginkang (ilmu
meringankan tubuh) yang cukup hebat.
Si topeng merah itu menghampiri pembaringan, menyingkap kelambu dan melepaskan kembali ketika
melihat bahwa pembaringan itu kosong. Dikepalnya tangan itu sebagai tanda bahwa ia marah, dan pada
saat itu, Sie Liong membentak.
“Penjahat sombong dan keji! Menyerahlah engkau!”
Sambil membentak demikian, Sie Liong sudah menerjang maju. Tangan kirinya sudah terulur
mencengkeram ke arah lengan orang untuk menangkapnya. Bukan sembarang cengkeraman belaka
karena ini merupakan satu jurus dari Pek-in Sin-ciang, dan walau pun pada saat itu tangannya belum
mengeluarkan uap putih, namun telah mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Cengkeraman itu
cepat sekali, sukar untuk dihindarkan oleh lawan.
Akan tetapi, si topeng merah itu ternyata cekatan bukan main. Melihat lengannya akan dicengkeram, dia
membuat gerakan memutar lengan itu dan sekaligus dihantamkan ke atas untuk menangkis dan dengan
kuatnya lengannya yang kecil itu menangkis dengan pengerahan tenaga sinkang.
“Dukkk!”
Dua lengan bertemu dan si topeng merah itu mendengus marah.
“Ihhh!”
Dan kini tangan kirinya bergerak mengadakan serangan tusukan dengan dua jari tangan ke arah mata Sie
Liong. Demikian cepatnya gerakan itu dan tangan kirinya itu seperti sebatang pedang menusuk saja! Sie
Liong maklum bahwa lawannya memang tangguh, maka ia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga,
melepaskan payungnya dan menangkis tangan kiri lawan yang menusuk itu dari samping.
“Plakkk!”
“Ehhh...!”
Kini si topeng merah itu agak terhuyung dan agaknya baru dia menyadari bahwa orang bongkok ini amat
lihai. Maka, tanpa banyak cakap lagi tubuhnya lalu meluncur keluar kamar melalui jendela dengan
kecepatan luar biasa.
“Penjahat keji, hendak lari ke mana kau?!” Sie Liong membentak.
Sengaja Sie Liong mengeluarkan suara nyaring agar terdengar oleh semua orang yang mengepung rumah
itu sambil bersembunyi. Teriakannya nyaring sekali dan maksudnya berhasil, karena terdengar oleh semua
pengepung yang langsung menyalakan obor dan mengangkat obor itu tinggi-tinggi dengan tangan kiri
sedangkan tangan kanan mereka memegang senjata.
Sie Liong melihat bayangan merah berkelebat ke atas genteng. Maka dia pun cepat mengejar sambil
memegang payungnya.
Ketika tiba di atas wuwungan yang agak lebar dan datar, lebarnya tidak kurang dari setengah meter, si
bayangan merah itu yang tahu bahwa ia dikejar, lalu membalik dan pedangnya sudah menyambut Sie
Liong dengan tusukan kilat. Sie Liong melihat sinar pedang meluncur cepat, maka dia pun segera
menangkis dengan payungnya.
Sepasang mata di balik topeng itu berkilat seperti mentertawakan karena jangankan hanya payung, biar
senjata terbuat dari baja yang kuat pun akan patah bertemu dengan pedangnya. Maka dia pun sudah
bersiap untuk melanjutkan serangan kalau payung itu terbabat patah.
“Trangg!”
Bunga api berpijar dan si bayangan merah itu mengeluarkan seruan kaget. Payung itu tidak patah, bahkan
ia merasa telapak tangannya panas sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hei, setan bongkok! Siapakah engkau dan kenapa mencampuri urusanku?” bentaknya.
Sie Liong tertegun. Kiranya siluman ini seorang wanita yang suaranya nyaring merdu! Pantas saja mata
yang berada di balik topeng itu demikian jeli, dan tubuh itu demikian langsing dan padat, juga nampak
kurus. Kiranya wanita! Mengapa ada wanita menculiki gadis-gadis cantik? Sungguh aneh sekali!
“Kiranya siluman merah ialah seorang wanita! Sungguh engkau jahat sekali! Untuk apa engkau menculiki
gadis-gadis itu? Hayo kembalikan atau aku tak akan mengampunimu!”
“Setan bongkok sombong! Engkau sudah bosan hidup!” bentak siluman itu dan kini ia menyerang dengan
tangan kirinya.
Semacam uap hitam menyambar ke arah Sie Liong, dan uap hitam ini mengandung tenaga dorongan yang
amat kuat. Sie Liong menyambut dengan dorongan tangan kiri pula, sambil mengerahkan tenaga Pek-in
Sin-ciang. Uap putih keluar dari tapak tangan kirinya dan bertemu dengan uap hitam itu. Kembali wanita
bertopeng itu mengeluh dan terdorong dua langkah ke belakang.
“Mampuslah!”
Tangan kiri wanita bertopeng bergerak dan sinar-sinar hitam lembut menyambar ke arah tubuh Sie Liong,
mengarah leher, dada dan pusar! Itulah jarum-jarum hitam beracun yang menyambar dari jarak dekat!
Sie Liong menggerakkan payungnya yang terbuka. Sekali diputar, payung itu menangkis semua jarum
yang bertebaran jatuh menimpa genteng, mengeluarkan suara nyaring lembut yang hanya dapat terdengar
oleh Sie Liong. Akan tetapi ketika dia memandang dari balik payungnya, bayangan merah itu telah
meloncat turun.
Ributlah para penduduk menyambutnya dengan pengeroyokan. Namun mereka segera cerai berai ketika
dua orang di antara mereka roboh mandi darah terbabat pedang dan beberapa kali loncatan saja, si
bayangan merah sudah lenyap dari situ. Ketika semua orang memandang, ternyata Pendekar Bongkok
yang tadi masih berada di atas genteng rumah juga sudah lenyap.
Ke mana perginya Sie Liong? Dia tadi melihat berkelebatnya bayangan merah itu ke arah selatan, maka
diam-diam dia pun lalu meloncat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, malam gelap menjadi
penghalang dan wanita berpakaian merah itu telah lenyap ditelan kegelapan malam dan arah yang
diambilnya adalah selatan, ke arah bukit yang menjulang tinggi itu, Bukit Onta!
Karena tidak mungkin mengejar seorang lawan yang demikian lihai dan berbahaya di malam gelap, Sie
Liong lalu berlari kembali ke dalam dusun Ngomaima. Dia kembali ke rumah saudagar Gulamar di mana
penduduk masih berkumpul.
Mereka itu ramai membicarakan apa yang mereka lihat di atas rumah tadi, perkelahian antara Pendekar
Bongkok melawan Siluman Merah. Ketika melihat munculnya pemuda bongkok itu, para penduduk yang
dipimpin oleh kepala dusun Gumo Cali menyambut pemuda itu dengan sorak sorai penuh kegembiraan.
“Hidup Sie Taihiap...!”
Bahkan ada yang berteriak, “Hidup Pendekar Bongkok!” Namun sebutan bongkok itu kini nadanya bukan
menghina atau mengejek, melainkan memuji.
Sie Liong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil menangkap penjahat itu, maka dia mengangkat kedua
tangan ke atas dan berkata, “Harap saudara sekalian pulang ke rumah masing-masing. Ketahuilah bahwa
siluman merah itu bukan setan, melainkan seorang manusia yang amat lihai dan ia seorang penjahat
wanita. Sayang bahwa aku tidak berhasil menangkapnya dan selama belum tertangkap, bahaya masih
selalu ada. Maka harap saudara sekalian suka bekerja sama dan bersatu seperti sekarang ini. Jika
saudara sedusun bersatu melawannya, tentu ia tidak akan dapat mengacau lagi.”
Orang-orang lalu bubaran. Walau pun pendekar itu tidak berhasil menangkap siluman merah, akan tetapi
jelas bahwa siluman itu takut kepadanya. Buktinya siluman itu tadi melarikan diri dan sekali ini ia tidak
berhasil menculik gadis puteri saudagar Gulamar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ada sebuah hal yang sukar dapat mereka percaya. Berita bahwa siluman itu adalah seorang manusia lihai
dan jahat, dapat mereka terima. Akan tetapi seorang wanita? Sukar bagi mereka untuk membayangkan
ada seorang wanita selihai itu, dan pula apa urusannya wanita menculik gadis-gadis cantik?
Tentu saja Gulamar, isterinya dan puterinya merasa berterima kasih sekali kepada Sie Liong, si Pendekar
Bongkok. Walau pun siluman itu tidak tertangkap, namun gadis itu dapat diselamatkan.
Namun, Sie Liong sama sekali tidak merasa puas. Dia bahkan semakin penasaran. Dia harus dapat
membongkar rahasia wanita bertopeng merah itu. Mengapa dia menculiki gadis-gadis cantik, dan ke mana
pula dia membawa gadis-gadis itu? Dia harus dapat menemukan sarangnya, menolong para gadis yang
sudah diculik, karena bila penjahat aneh itu belum dapat dikalahkan, tentu dusun itu masih selalu terancam
bahaya.
Pada esok harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah keluar dari dusun dan melakukan perjalanan seorang
diri menuju ke selatan. Bukit Onta nampak masih menghitam karena sinar matahari pagi itu masih lemah.
Dia tahu bahwa ia mencari-cari dalam gelap, hanya menduga bahwa bukit itulah yang sepatutnya menjadi
sarang penjahat yang menyamar siluman.
Bukit Onta itu tidak begitu jauh dari dusun Ngomaima, merupakan bukit yang penuh dengan hutan lebat.
Menurut keterangan yang diperolehnya, jarang ada pemburu berani memasuki hutan itu yang menurut
kabar tahyul merupakan sarang iblis! Cocok dengan penjahat yang menyamar sebagai siluman.
Maka, begitu Sie Liong melihat bukit itu dan mendengar keterangan tentang tempat itu, dia sudah menduga
bahwa di situlah tempat siluman itu bersembunyi di waktu siang dan bergerak memasuki dusun di waktu
malam. Dugaan Sie Liong memang tepat sekali.
Tidak begitu jauh di lerang bukit itu, di dalam sebuah hutan, terdapat sebuah bangunan kayu yang nampak
masih baru dan cukup besar. Bangunan itu tersembunyi di antara pohon-pohon raksasa sehingga tidak
akan nampak dari luar hutan. Bangunan itu belum lama didirikan orang-orang secara diam-diam, baru
kurang lebih sebulan. Dan semenjak tiga pekan ini, dari dalam rumah itu kadang-kadang terdengar suara
isak tangis tertahan para wanita, disusul hardikan yang menghentikan suara isak tangis itu.
Kiranya hampir setiap malam, siluman merah atau wanita yang memakai pakaian dan topeng merah
membawa seorang gadis culikan ke rumah itu dan kini, di rumah itu telah terkumpul sembilan orang gadisgadis
muda dan cantik, di antara mereka terdapat pula dua orang kakak beradik puteri dari Gumo Cali,
kepala dusun Ngomaima. Para gadis itu dikumpulkan dalam sebuah ruangan besar di tengah bangunan
itu.
Karena mereka selalu dihardik dan diancam bila menangis, maka mereka yang dilanda duka dan
ketakutan, hanya terisak kecil saja. Yang lain sudah pasrah, agak besar pula hati mereka melihat
banyaknya teman senasib.
Selama mereka ditawan itu, mereka tak pernah menerima perlakuan buruk, tidak pernah diganggu, bahkan
diberi hidangan yang cukup baik. Hanya mereka tidak pernah tahu mengapa mereka diculik dan ditawan di
dalam hutan itu.
Pada malam hari tadi, ketika siluman merah gagal menculik puteri saudagar Gulamar karena adanya
Pendekar Bongkok, dia langsung saja berlari karena tidak ingin dikejar pendekar yang lihai itu. Meski
hatinya merasa penasaran sekali karena ia belum merasa kalah dan belum benar-benar mengadu ilmu
dengan pemuda bongkok itu, tapi dia tidak berani mengambil resiko untuk terus melawan pendekar
Bongkok yang selain amat lihai, juga dibantu oleh ratusan orang penduduk Ngomaima itu.
Malam itu, ketika ia kembali ke rumah dalam hutan di lereng Bukit Onta dengan tangan kosong, dia
disambut teguran tidak puas di dalam ruangan di rumah itu. Mereka semua ada lima orang yang duduk
mengelilingi sebuah meja.
Salah seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun,
kepalanya gundul dan wajahnya nampak masih muda. Pada jubahnya di bagian dada terdapat sebuah
lukisan teratai putih dengan dasar warna hitam. Biar pun dia mengenakan jubah pendeta dan kepalanya
dicukur licin, namun sikapnya berbeda dengan para hwesio (pendeta Budha).
dunia-kangouw.blogspot.com
Para hwesio bersikap alim dan tenang, sebaliknya kakek ini memiliki sinar mata yang tajam dan liar.
Wajahnya penuh dengan kelicikan sedangkan mulutnya membayangkan kerakusan dan kekejaman.
Namun harus diakui bahwa dia memiliki wajah yang nampak muda dan tampan, tubuhnya tinggi besar dan
sikapnya berwibawa.
Di sampingnya duduk pula tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun.
Tiga laki-laki ini memakai pakaian ringkas dan di punggung mereka terselip siang-to (sepasang golok) yang
mengkilap tajam, sikap mereka juga angkuh dan berlagak laksana jagoan.
Orang ke lima adalah siluman merah sendiri, kini dia sudah menanggalkan topengnya. Apa bila Sie Liong
melihatnya, dan juga para penduduk dusun Ngomaima melihatnya, mereka semua tentu akan terkejut dan
terheran-heran. Kiranya yang mereka namakan siluman merah itu adalah seorang wanita muda yang
cantik jelita dan manis sekali!
Usianya tak akan lebih dari dua puluh lima tahun, wajahnya bulat telur dan manis sekali, kulit muka dan
lehernya putih mulus. Wanita cantik manis yang amat lihai ini bukan lain adalah Pek Lan!
Seperti kita ketahui, Pek Lan telah berhasil membalas dendamnya terhadap para selir dari Hartawan Coa
di kota Ye-ceng dan membawa pula banyak harta milik hartawan Coa. Dengan hati sangat puas dia
meninggalkan kota Ye-ceng dan bermaksud untuk pulang ke tempat tinggal gurunya, yaitu Hek-in Kui-bo
yang kini tinggal di pinggir telaga Co-sa sebagai seorang yang kaya raya.
Akan tetapi setibanya di rumah subo-nya (ibu gurunya), ternyata Hek-in Kui-bo sedang kedatangan
seorang tamu yang oleh subo-nya diperkenalkan kepadanya sebagai Thai Yang Suhu, seorang tokoh Peklian-
kauw (Perkumpulan Agama Teratai Putih).
“Pek Lan, Thai Yang Suhu ini adalah seorang sahabat baikku dan dia memiliki ilmu silat yang sangat tinggi
dan juga ilmu sihir yang hebat. Thai Yang Suhu, inilah muridku yang kuceritakan kepadamu tadi, namanya
Pek Lan.”
Sepasang mata pria berjubah pendeta dan berkepala gundul yang ditutup sebuah topi hwesio itu
menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan dengan penuh perhatian, kemudian dia mengangguk-angguk. “Kuibo,
muridmu ini sungguh hebat, cantik manis dan juga lincah. Tidak tahu sampai di mana engkau
menggemblengnya.”
“Hemmm, dia sudah mewarisi hampir seluruh kepandaianku. Engkau cobalah dia, Thai Yang. Pek Lan,
jangan sungkan-sungkan, perlihatkan kepandaianmu kepada pamanmu Thai Yang Suhu!”
Wajah serta sikap pria berjubah pendeta itu sudah sangat menarik perhatian Pek Lan, karena itu
mendengar kata-kata subo-nya, ia pun lalu meloncat ke tengah ruangan dan memberi hormat ke arah Thai
Yang Suhu. “Paman, silakan!”
Thai Yang Suhu tertawa bergelak, dan ternyata gigi-giginya masih berderet rapi. “Bagus, engkau adalah
seorang keponakan yang mengagumkan,” katanya sambil bangkit pula berdiri, lalu menghampiri Pek Lan.
“Pek Lan, pinceng ingin menguji kepandaianmu, ingin pinceng (aku) melihat apakah benar engkau cukup
berharga untuk mewakili subo-mu membantu pekerjaan kami yang besar. Awas serangan!”
Pendeta Pek-lian-kauw itu sudah menyerang, pukulannya mengandung tenaga sinkang besar dan juga
gerakannya cepat sekali. Namun, tidak terlalu cepat bagi Pek Lan yang dengan mudah sudah mengelak ke
samping sehingga pukulan itu mengenai tempat kosong.
Thai Yang Suhu menyusulkan serangan yang lebih hebat, dengan tamparan tangan kiri ke arah pelipis
kanan gadis itu. Tamparannya mendatangkan angin pukulan yang amat dahsyat dan serangan ini diikuti
pula oleh cengkeraman tangan kanan ke arah dada Pek Lan. Sungguh merupakan serangan yang
berbahaya.
Akan tetapi, dengan tenang saja Pek Lan meloncat ke belakang, lalu ia pun membalas dengan serangan
bertubi-tubi. Ia mengerahkan tenaga sinkang yang dipelajarinya dari Hek-in Kui-bo dan dari kedua telapak
tangannya mengepul uap hitam!
“Bagus, ia sudah pandai Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam), ha-ha!” kata Thai Yang Suhu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Biar pun mulutnya tertawa, akan tetapi dia sibuk sekali menghadapi rangkaian serangan yang hebat dari
gadis itu sehingga dia harus melindungi dirinya dengan tangkisan dan elakan. Walau pun yang sedang
menyerangnya hanyalah seorang wanita muda, akan tetapi serangan dahsyat itu dapat membahayakan
dirinya.
Gadis itu pun tidak mau memberi hati. Ia menyerang semakin gencar sehingga pendeta itu diam-diam
harus mengakui akan kelihaian Pek Lan. Dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan mendadak saja
pendeta itu lenyap dari pandangan mata Pek Lan, berubah menjadi asap hitam! Selagi Pek Lan
kebingungan, pinggulnya ada yang mencolek dari belakang.
“Pek Lan, pinceng di sini!”
Pek Lan terkejut dan juga mendongkol atas kegenitan sahabat subo-nya itu. Dia segera membalik dan
kakinya mencuat dalam tendangan kilat. Hampir saja Thai Yang Suhu terkena tendangan itu. Untung dia
cepat-cepat menarik tangannya sambil mengelak dan sebelum Pek Lan melanjutkan serangannya, kembali
dia berubah menjadi asap hitam dan lenyap.
“Wah, kalau paman menggunakan ilmu siluman begini, aku mengaku kalah!” teriak Pek Lan yang tidak
ingin lagi tangan paman yang nakal itu mencolak-colek tubuhnya.
Asap hitam menghilang dan Thai Yang Suhu kelihatan kembali.
“Ha-ha-ha engkau sungguh hebat, Pek Lan, mampu mendesak pinceng. Akan tetapi, lihat baik-baik,
pinceng telah menjadi raksasa, apakah engkau masih berani melawan?”
Pek Lan memandang dan ia terbelalak karena melihat pendeta itu kini benar saja telah berubah menjadi
tinggi sekali, sehingga ia sendiri hanya setinggi lututnya! Tentu saja ia menjadi gentar dan ia memberi
hormat sambil berkata, “Aku tidak berani...”
Thai Yang Suhu tertawa dan dia kembali berubah menjadi normal. Terdengar Hek-in Kui-bo terkekeh.
“Thai Yang, engkau seperti anak kecil saja, menakut-nakuti muridku. Nah, Pek Lan, kau lihatlah, dia pandai
sekali ilmu sihir! Kini dia datang untuk mohon bantuanku, akan tetapi karena aku sudah tua, aku akan
wakilkan padamu.”
Pek Lan mangerutkan alisnya. Dia merasa menyesal mengapa subo-nya menyanggupi untuk membantu
pendeta ini, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menyuruh dia yang mewakilinya. Jika subo-nya
yang memerintahkan, tentu saja dia tak dapat menolak lagi.
“Bantuan yang bagaimana, Subo? Apakah yang harus kulakukan?”
“Ha-ha-ha, tidak berat dan tidak sukar, Pek Lan, apa lagi untukmu yang memiliki tenaga hebat, kecepatan
kilat dan kepandaian setinggi langit! Bahkan menurut pinceng hanya engkaulah yang akan mampu
melaksanakan tugas ini sebaiknya. Tugas yang mudah sekali. Kami dari Pek-lian-kauw membutuhkan
penambahan pelayan, yaitu gadis-gadis remaja dari dusun-dusun sebanyak lima belas orang. Kita akan
memilih dari dusun di mana ada gadis remaja yang bersih dan cantik, dan engkau bertugas untuk menculik
mereka itu seorang demi seorang.”
Pek Lan mengerutkan alisnya. Memang bukan tugas yang sukar, akan tetapi hatinya merasa tidak puas
mengapa ia yang ditunjuk untuk membantu pendeta ini.
“Akan tetapi, mengapa mesti aku...?” bantahnya.
“Pek Lan, aku pernah berhutang budi kepada Thai Yang Suhu ini, dan sekarang ada kesempatan bagiku
untuk membalasnya. Aku sudah menyanggupinya dan aku sudah menunjuk engkau untuk mewakili aku.
Apakah engkau akan mengatakan bahwa engkau tidak sanggup mewakiliku?”
Guru itu mendesak sedemikian rupa sehingga tak ada kesempatan bagi Pek Lan untuk mengelak lagi.
Akan tetapi, ia teringat akan ilmu aneh dari pendeta itu tadi. Menghadapi ilmu aneh seperti itu, apa artinya
ilmu silatnya? Tiba-tiba ia mendapatkan akal.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Paman Thai Yang Suhu, aku sanggup untuk membantumu sampai berhasil baik, akan tetapi untuk itu ada
syaratnya yang kuharap paman akan dapat memenuhinya.”
“Ha-ha-ha, anak manis, apakah syaratmu itu? Hadiah apa yang kau minta?”
“Aku mau mewakill subo membantu paman sampai berhasil mengumpulkan lima belas orang gadis dusun
yang dibutuhkan Pek-lian-kauw, akan tetapi dengan imbalan bahwa paman akan mengajarkan ilmu sihir
yang aneh itu kepadaku.”
Mendengar permintaan ini, kedua mata Thai Yang Suhu lantas terbelalak, akan tetapi sepasang mata itu
kemudian menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan, dan dia pun tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha, Kui-bo. Muridmu ini memang sungguh cerdik dan menyenangkan sekali. Permintaanmu itu
memang sudah pantas! Dan pinceng bukanlah seorang yang pelit, apa lagi terhadap seorang gadis cantik
manis yang cerdik seperti engkau, dan masih keponakanku sendiri pula yang akan membantu pinceng. Haha-
ha, memang hidup ini harus meminta dan memberi. Pinceng akan mengajarkan beberapa macam ilmu
sihir padamu, Pek Lan, asalkan engkau suka mentaati segala perintahku, memenuhi segala permintaanku.
Bagaimana, sanggupkah engkau?”
Pek Lan yang merasa girang sekali mendengar bahwa ia akan menerima pelajaran ilmu sihir, tanpa ragu
lagi menjawab, “Tentu saja aku sanggup, Paman Thai Yang Suhu!”
“Ho-ho-ho, sekali ini engkau terjebak oleh pamanmu yang selain lihai juga amat cerdik, Pek Lan! Engkau
berjanji akan memenuhi semua permintaannya! Engkau lupa bahwa engkau adalah seorang wanita muda
yang amat cantik jelita dan menarik, sedangkan Thai Yang Suhu ini adalah seorang laki-laki yang hatinya
masih muda dan dulu dia amat tampan, digilai oleh banyak wanita. Ha-ha-hi-hik!”
Mendengar ucapan subo-nya, Pek Lan memandang kepada pria gundul yang memang tampan itu, dan
wajahnya lalu berubah kemerahan. Tentu saja ia mengerti apa maksud subo-nya. Akan tetapi, apa bila
benar tokoh Pek-lian-kauw itu menghendaki apa yang dimaksudkan oleh subo-nya itu, ia pun tidak
berkeberatan!
Demikianlah, sejak saat itu Pek Lan membantu Thai Yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw itu. Dengan ilmunya
yang tinggi, Pek Lan membantu pendeta palsu itu, mulai menculiki gadis-gadis cantik dari dusun-dusun. Di
samping itu, Pek Lan menerima pula petunjuk dan pelajaran dari Thai Yang Suhu yang memenuhi janjinya,
mengajarkan ilmu sihir kepada wanita cantik itu.
Sebaliknya, Pek Lan juga tidak melanggar janjinya dan dengan penuh kemesraan dan kepasrahan ia pun
secara suka rela menyerahkan dirinya melayani semua gairah nafsu tokoh Pek-lian-kauw itu. Bahkan ia
pun merasa puas dan senang karena ternyata pria yang sudah berusia enam puluh tahun itu sangat
perkasa, bahkan tidak kalah oleh yang muda-muda.
“Sungguh aku merasa heran sekali, Pek Lan. Engkau gagal hanya karena dihalangi oleh seorang pemuda
yang bertubuh cacat, yang bongkok? Sungguh penasaran dan sangat memalukan!” Demikian berkali-kali
Thai Yang Suhu menegur pembantunya, yang juga merangkap kekasihnya itu.
Pek Lan mengerutkan alisnya dan mulutnya yang berbibir merah basah tanpa gincu itu cemberut. “Hemm,
mencela memang mudah! Aku bukan mengatakan bahwa aku kalah oleh setan bongkok itu, akan tetapi
aku hanya mengatakan bahwa dia memang sangat lihai. Aku terpaksa melarikan diri bukan karena takut
melawannya. Kami bahkan belum berkelahi sungguh-sungguh. Akan tetapi, bagaimana aku akan bertindak
nekat kalau ratusan orang penduduk berada di belakangnya?”
Thai Yang Suhu mengerutkan alisnya pula. “Hemm, tentunya si bongkok itu pula yang mengerahkan
penduduk. Dan selama ia berada di sana dan menghasut para penduduk untuk melawan kita, maka tentu
akan sukar bagi kita untuk bisa memenuhi jumlah gadis yang kita butuhkan. Sudah ada sembilan orang
dan tinggal enam lagi saja, ehh, tiba-tiba muncul setan bongkok itu. Kita harus melenyapkan perintang itu.”
“Benar sekali, kalau si bongkok itu kita bunuh, tentu hati para penduduk menjadi gentar lagi dan mereka
tidak akan berani lagi menentang kita,” kata seorang di antara Tibet Sam Sin-to (Tiga Golok Sakti Tibet) itu.
Dua orang saudaranya mengangguk-angguk.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek Lan yang merasa panas hatinya karena ditegur Thai Yang Suhu tadi, mendengar ucapan Tibet Sam
Sin-to segera bangkit dan bertolak pinggang, lalu ia berkata dengan suara lantang, “Sam Sin-to, biar kalian
bertiga yang menghadapi penduduk yang banyak akan tetapi lemah itu, dan biarkan aku yang akan
menandingi si bongkok sampai dia mampus di tanganku!”
Tibet Sam Sin-to tidak berani memandang rendah kepada wanita muda yang cantik manis itu karena
mereka maklum betapa lihainya Pek Lan, mereka hanya mengangguk dan seorang di antara mereka
berkata singkat, “Jangan khawatir, nona. Kami akan membasmi penduduk yang berani menentang kita!”
“Hemm, kalian tidak boleh menuruti hati marah saja. Semua harus diatur dengan cermat supaya jangan
sampai gagal. Aku tidak biasa bekerja secara serampangan saja, harus menggunakan siasat yang
matang,” kata Thai Yang Suhu.
Pada saat itu, seorang anak buah mereka muncul. Anak buah ini tadi telah menerima tugas untuk
menyelidiki keadaan dalam dusun Ngomaima, terutama sekali menyelidiki tentang si bongkok.
“Bagaimana hasil penyelidikanmu?” tanya Thai Yang Suhu.
Anak buah ini adalah juga seorang anggota Pek-lian-kauw yang terkenal cerdik. Dia pun memiliki ginkang
yang membuat dia mampu berlari cepat dan bergerak dengan gesit.
Setelah memberi hormat, anak buah itu kemudian bercerita. “Tak ada yang mengetahui siapa nama si
bongkok itu, Losuhu. Orang menyebut dia Pendekar Bongkok, dan tidak ada seorang pun mau mengaku
ketika saya mencoba bertanya siapa namanya dan bagaimana riwayatnya. Yang jelas, dia bukan
penduduk daerah ini, melainkan datang dari timur.”
“Di mana dia sekarang dan bagaimana keadaan para penduduk dusun Ngomaima?” tanya pula Thai Yang
Suhu tak sabar.
“Dia masih bermalam di rumah penginapan, akan tetapi sekarang penduduk melakukan penjagaan ketat
dan puluhan orang melakukan penjagaan secara bergiliran.”
“Hemm, aku tidak takut! Mari sekarang juga kita berangkat mencari si bongkok itu di rumah penginapan!”
kata Pek Lan gemas.
“Tidak,” bantah Thai Yang Suhu. “Sudah kukatakan bahwa semua harus menggunakan rencana serta
siasat. Jangan sampai kita memperlihatkan kelemahan seolah-olah takut kepada si bongkok dan para
penduduk. Pek Lan, besok siang kita akan usahakan untuk memberi tanda merah lagi pada pintu rumah
Gulamar, dan malam harinya, engkau culik puterinya!”
“Tapi, kalau mereka tahu, tentu mereka mengatur jebakan,” bantah Pek Lan.
“Ha-ha-ha, justru itu yang kuhendaki. Biarlah mereka mengatur jebakan untukmu, akan tetapi mereka tidak
tahu bahwa di belakangmu ada kami! Tibet Sam Sin-to yang akan menghadapi orang-orang dusun bodoh
itu, dan engkau yang menculik gadis itu. Kalau si bongkok muncul, kita hadapi berdua, dan jangan
khawatir, aku melindungimu, Pek Lan.”
Wanita muda itu mengangguk-angguk dan hatinya pun merasa tenang. Kalau Thai Yang Suhu
membantunya menghadapi si bongkok, ia hampir yakin bahwa mereka tentu akan mampu merobohkan
Pendekar Bongkok itu.
Malam itu Pek Lan berusaha keras untuk menyenangkan hati Thai Yang Suhu. Pertama untuk menebus
kekurangannya karena kegagalan menculik puteri Gulamar, dan ke dua karena pendeta Pek-lian-kauw itu
besok akan membantunya.
Untuk memberi tanda darah pada pintu keluarga hartawan itu, diserahkan kepada anak buah Pek-liankauw
yang cekatan dan pandai menyamar…..
********************
Sie Liong berjalan dengan tenang mendaki bukit Onta yang penuh dengan hutan itu. Walau pun belum
yakin karena belum mendapatkan bukti, namun dia menduga keras bahwa tentu siluman yang suka
dunia-kangouw.blogspot.com
menculik gadis itu bersembunyi di tempat yang ditakuti orang ini. Sebuah tempat persembunyian yang
baik.
Akan tetapi, siluman itu seorang wanita, dan mengapa ada wanita menculiki gadis-gadis cantik? Tentu
wanita siluman itu tidak sendiri dan mungkin terdapat banyak kawannya yang tentu saja berbahaya. Maka,
meski dia melangkah dengan tenang, dia tak pernah lengah sedetik pun. Mata dan telinganya menyelidiki
keadaan di sekelilingnya.
Sikapnya yang amat hati-hati itu tidak menolongnya. Semenjak dia mendaki Bukit Onta, setiap gerakgeriknya
sudah diikuti oleh beberapa pasang mata. Dia tidak tahu bahwa pendakiannya tadi telah kelihatan
oleh anak buah Thai Yang Suhu yang segera melapor kepada pendeta Pek-lian-kauw itu.
Mendengar bahwa Pendekar Bongkok sudah datang berkunjung dan sekarang sedang mendaki bukit,
tentu saja hal ini tidak pernah disangka oleh Thai Yang Suhu yang cepat mempersiapkan diri. Dia lalu
berunding dengan Pek Lan dan Tibet Sam Sin-to, mengatur siasat.
Thai Yang Suhu, walau pun nampaknya seperti seorang pendeta, akan tetapi dia adalah pendeta dari
aliran kebatinan yang sesat, oleh karena itu, dia tidak sungkan atau malu selalu bersikap curang. Kalau dia
gagah, tentu dijumpainya Pendekar Bongkok agar mereka dapat bertanding secara gagah pula. Tidak, dia
tidak ingin mengalami kerugian dan segalanya diperhitungkan demi keuntungan pihaknya.
Dia belum mengenal siapa Pendekar Bongkok, dari aliran mana dan bagaimana tingkat ilmu
kepandaiannya. Kalau memang Pendekar Bongkok itu sangat pandai, kenapa tidak diusahakan dulu agar
suka membantu dan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw? Kalau semua usaha itu gagal, baru terpaksa
pemuda itu dibunuh!
Sie Liong menurutkan jalan setapak yang ditemukannya di dalam hutan itu. Pada waktu membelok di
bagian tengah hutan, pada jalan menurun, mendadak saja dia dihadapkan dengan sebuah telaga kecil
yang amat indah dan amat jernih airnya. Ada air terjun tak jauh dari situ, dan airnya membuat sungai kecil
memasuki telaga.
Dari tempat dia berdiri, dia melihat pemandangan yang amat indah. Tidak disangkanya bahwa di bukit yang
sunyi dan penuh hutan, yang ditakuti orang itu, terdapat tempat yang demikian indahnya. Dia lalu menuruni
jalan setapak itu, menghampiri telaga.
Terpesona dia berdiri di tepi telaga. Air telaga demikian jernihnya, bagaikan kaca yang berada di depan
kakinya. Demikian jernihnya sehingga dia dapat melihat batu-batu di dasarnya, juga melihat beberapa ekor
ikan yang berenang hilir mudik.
Di sebelah sana, di mana permukaan air digelapi bayang-bayang pohon, air itu seperti menelan semua
pemandangan di atasnya. Pohon, daun-daun, awan dan sinar matahari, semua tenggelam dan nampak
sedemikian jelasnya sehingga setiap helai daun pohon itu pun nampak. Tak ada angin yang menggerakkan
daun pohon, agaknya angin sudah ditangkis oleh pohon-pohon besar di sekeliling telaga itu.
Suara air membuat dia menoleh ke kiri dan untuk kedua kalinya dia terpesona! Kalau tadi dia terpesona
oleh keindahan telaga itu, kini dia terpesona oleh suatu keindahan yang lain lagi, keindahan wajah dan
tubuh seorang wanita!
Wanita itu masih muda, tak lebih dari dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya cantik manis dengan
bentuk bulat telur. Dan gadis itu bertelanjang bulat sama sekali, tidak ada sehelai benang pun menutupi
tubuhnya yang masak dan padat.
Kulitnya demikian putih mulus dan karena dia tidak berdiri terlalu jauh, dan kebetulan pula sinar matahari
menimpa tubuh telanjang itu, Sie Liong bisa melihat bulu-bulu halus lembut pada lengan dan kaki gadis itu,
yang membuat dia menjadi semakin menarik.
Gadis itu duduk di atas batu dan dia melihatnya dari samping. Dengan kedua kakinya, gadis itu
menendang-nendang air dan itulah bunyi air yang tadi menarik perhatiannya. Agaknya gadis itu tidak
melihatnya, dan sedang asyik sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dari keadaan terpesona, Sie Liong sekarang menjadi tersipu, merasa betapa dia telah bersikap tidak
sepantasnya, memandangi seorang gadis bertelanjang bulat seperti itu. Wajahnya berubah merah. Dia pun
cepat membuang muka, bahkan kemudian berdiri membelakangi gadis itu, kemudian melangkah pergi.
“Heiiiii...!”
Tiba-tiba Sie Liong mendengar suara gadis itu, disusul suara tubuh jatuh ke air. Karena ingin tahu apa
yang terjadi, Sie Liong menahan kakinya dan membalik, memandang. Gadis itu agaknya tadi melihat dia
dan terkejut, lalu terjun ke air di dekat batu yang tadi didudukinya. Sekarang gadis itu berdiri sepinggang di
dalam air, dan nampak dadanya yang berbentuk indah.
“Heii, siapa kau? Apakah kau mau mandi? Marilah, kita boleh mandi bersama. Di sini tidak ada orang lain!”
Kedua pipi Sie Liong menjadi semakin merah dan dia mengerutkan alisnya, lalu cepat membalikkan tubuh
lagi, tidak mau memandang dada indah dan wajah manis itu terlalu lama, bahkan dia lalu pergi tanpa
banyak bicara lagi.
Gadis itu sungguh tidak tahu malu, pikirnya. Tidak bersusila. Sudah tidak malu dilihat oleh pria dalam
keadaan bertelanjang, bahkan mengajak mandi bersama! Seperti bukan seorang wanita biasa! Pantasnya
wanita itu siluman! Siluman Merah! Sie Liong merasa betapa jantungnya berdebar dan dia memperlambat
langkahnya.
Kini terdengar gadis itu kembali berbicara, dan nada suaranya sangat menyesal penuh teguran. “Engkau
ini orang macam apa? Disapa baik-baik tidak mau menjawab! Selama hidupku belum pernah aku bertemu
seorang manusia sesombong ini! Aku ingin sekali bicara denganmu, dan siapa tahu, aku dapat memberi
keterangan padamu! Bukankah engkau mencari seseorang di sini?”
Mendengar ucapan ini, kembali untuk ke dua kalinya Sie Liong menahan langkahnya, akan tetapi dia tidak
mau menoleh atau membalikkan tubuhnya. Mungkin saja gadis ini siluman merah yang juga seorang
wanita, pikirnya, walau pun dugaan ini dia bantah sendiri.
Tidak mungkin! Siluman merah itu seorang berilmu tinggi, dan yang di belakangnya ini hanyalah seorang
gadis muda yang cantik manis, sukar dipercaya kalau memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan andai kata dia
bukan siluman merah, siapa tahu gadis ini dapat memberi keterangan di mana tempat persembunyian
siluman merah.
“Aku bukan orang sombong. Kalau engkau berpakaian dengan sopan, tentu aku akan suka bicara dengan
nona. Engkau berpakaianlah lebih dulu!”
“Hi-hi-hik-hik!” Gadis itu tertawa. Suara ketawanya merdu, tidak dibuat-buat dan bebas lepas.
“Kiranya kau seorang yang sopan santun, ya? Bersusila tinggi, ya? Apa sih salahnya bertelanjang bulat?
Bukankah ketika kau dan aku terlahir, kita juga bertelanjang bulat? Bukankah manusia baru kelihatan
keaslian dan keindahan tubuhnya kalau bertelanjang bulat? Baiklah, aku akan berpakaian lebih dahulu.
Awas, jangan mengintai kau, seperti kebanyakan laki-laki, mulutnya bersopan-sopan, akan tetapi matanya
lalu mencuri-curi, hi-hi-hi!”
Sie Liong merasa mendongkol juga. Gadis ini aneh sekali, akan tetapi ejekannya tadi memang mengena!
Dia mendengar suara berkeresekan, dan walau pun matanya tidak melihat, tetapi pendengarannya yang
tajam dan terlatih dapat membuat dia tahu bahwa gadis itu memang kini benar-benar sedang mengenakan
pakaian.
“Nah, aku sudah selesai berpakaian. Kau lihat, apakah aku lebih baik kalau berpakaian dari pada kalau
bertelanjang? Lihat baik-baik!”
Karena dari pendengarannya tadi dia sudah yakin bahwa gadis itu kini telah berpakaian, Sie Liong lalu
membalikkan tubuhnya. Gadis itu memang cantik menarik bukan main. Sayang pandang matanya dan
senyumnya, walau pun manis dan amat memikat, namun mengandung kegenitan dan kecabulan! Gadis itu
tersenyum.
“Engkau orang aneh, tubuhmu juga aneh, akan tetapi wajahmu tampan dan engkau nampak begitu kuat!
Hemm, aku ingin sekali bicara denganmu!” Berkata demikian, gadis itu lalu melangkah dari batu ke batu
dunia-kangouw.blogspot.com
untuk menuju ke tepi di mana Sie Liong berdiri. Gadis itu melangkah dengan agak sukar dan hal ini saja
membuktikan bahwa ia tidak pandai silat, atau andai kata bisa pun, kepandaiannya tentu masih rendah
sekali.
Ketika dari batu terakhir dia melompat ke tanah yang jaraknya hanya satu meter dan agaknya lebih tinggi
dari batu itu, ia meloncat dengan kaku dan tak dapat dicegah lagi, kakinya terpeleset dan dia pun jatuh
miring di atas tanah.
“Aduhhhh... aduh, kakiku... sakit...!” Gadis itu mengeluh dan berusaha untuk bangkit duduk, akan tetapi
tidak dapat dan ia mencoba untuk menyentuh kakinya di tumit, juga tidak dapat.
Sie Liong mengerutkan alisnya. Sejak tadi dia waspada. Gadis ini demikian muda dan cantik, dan berada
seorang diri saja di tempat yang sunyi dan liar ini. Padahal, para penduduk, biar pemburu yang gagah
berani sekali pun, tidak berani mendaki Bukit Onta ini. Hal ini saja membuktikan bahwa gadis ini tentu
memiliki sesuatu yang membuat ia berani berada seorang diri di tempat berbahaya ini.
Tadi dia menduga bahwa gadis itu agaknya hendak merayunya lewat tubuhnya yang menggairahkan, dan
lewat kegenitannya yang mengajak mandi bersama. Ketika rayuan itu tidak mendapat tanggapan, gadis ini
mungkin saja sengaja membuat dirinya jatuh agar dia mau menolongnya. Dalam keadaan seperti itu, tentu
saja dia dapat lengah.
“Aduh, tolong...! Apakah selain sombong, engkau juga begitu kejam sehingga tidak mau menolong seorang
wanita yang terjatuh dan terkilir kakinya? Aduhhh...!”
Gadis itu kini menjulurkan lengan kirinya ke arah Sie Liong, minta bantuan agar pemuda itu suka
menolongnya bangkit.
Sie Liong tersenyum, kemudian menghampiri dan menggunakan tangan kanan untuk memegang tangan
kiri yang dijulurkan itu. Dia kelihatan sama sekali tak menaruh curiga dan seperti orang yang benar-benar
hendak membantu gadis itu bangkit duduk. Lunak dan hangat terasa olehnya ketika tangannya
bersentuhan dengan telapak tangan yang putih mulus itu.
Gadis itu lalu bangkit duduk, bahkan sambil masih berpegang kepada tangan Sie Liong. Dia berdiri, agak
terhuyung dan di lain saat dia sudah merangkul leher Sie Liong dan merapatkan pipinya di dada Pendekar
Bongkok!
Sie Liong mencium bau yang harum keluar dari rambut dan leher gadis itu. Jantungnya berdebar serta
tubuhnya tergetar karena betapa pun juga, darah mudanya bergejolak ketika tubuh yang hangat itu
merapat pada tubuhnya. Akan tetapi, dia segera teringat bahwa hal itu tidak selayaknya, maka dia pun
melangkah mundur merenggangkan diri sambil melepaskan tangan gadis itu, juga melepaskan lengan
yang merangkul lehernya.
Dan pada saat itu, tiba-tiba sekali, dari jarak yang amat dekat, gadis itu menggerakkan tangannya. Dengan
jari-jari terbuka, tangan itu cepat menotok ke arah perut Sie Liong! Dahsyat bukan main serangan ini dan
jari-jari tangan itu sudah terisi tenaga dalam yang amat jahat, karena telapak tangan itu berubah
menghitam. Gadis itu telah menggunakan pukulan maut!
“Huhhh...!” Sie Liong dapat mengelak sambil menangkis dari samping.
“Hyaaaatt...!”
Pek Lan, gadis cantik itu, menyusulkan cengkeraman ke arah leher. Namun kembali Sie Liong dapat
mengelak dengan melangkah mundur sambil tangannya menangkis lengan yang bergerak ke arah
lehernya. Pek Lan merasa penasaran sekali, kakinya bergerak menendang ke arah bawah pusar lawan!
“Hemm, keji sekali...!” Pendekar Bongkok berseru dan tubuhnya melayang ke belakang. Tendangan itu pun
luput!
Sie Liong berdiri dan bertolak pinggang, tersenyum pahit, lalu dia berkata dengan nada suara mengejek.
“Bagus sekali, kiranya selain kejam dan melakukan kejahatan aneh menculiki gadis-gadis, engkau juga
masih pandai melakukan perbuatan curang!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek Lan memandang dengan kedua mata terbelalak. Tak disangkanya bahwa Pendekar Bongkok
sedemikian lihainya. Bukan hanya tidak dapat dirayunya, juga tak mudah ditipu dengan pura-pura jatuh
tadi. Padahal dia hanya seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok dan nampaknya lemah!
“Bagaimana... kau bisa tahu…?” tanyanya, menahan rasa penasaran dan kemarahan saking herannya.
“Engkau seorang gadis muda berada seorang diri di tempat seperti ini membuktikan bahwa engkau
tentulah seorang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian. Pakaianmu demikian mewah, hal ini
membuktikan bahwa engkau tentu bukan pendatang dari luar hutan, melainkan mempunyai tempat tinggal
di dalam hutan. Dan siluman merah yang bertemu dengan aku semalam seorang wanita yang mempunyai
ilmu silat tinggi. Ketika engkau gagal menggunakan siasat menjatuhkan kelemahanku sebagai pria, engkau
lalu berpura-pura jatuh. Aku sudah curiga dan siap siaga, maka beberapa seranganmu yang masih mentah
itu tentu saja dapat kuhindarkan.”
“Jahanam sombong, sekarang juga engkau akan mampus di tanganku!”
Sambil berteriak demikian, Pek Lan kemudian menerjang dengan gerakan cepat, kedua tangannya
melakukan serangan bertubi-tubi.
Melihat betapa kedua telapak tangan gadis itu kini berubah menghitam, maklumlah Sie Liong bahwa dia
menghadapi seorang gadis golongan sesat yang menguasai ilmu sesat pula. Diam-diam ia menyayangkan
sekali bahwa seorang gadis muda yang begini cantik ternyata menjadi seorang wanita sesat yang genit,
cabul dan juga amat jahat.
Maka, dia pun cepat mengerahkan sinkang-nya. Sambil mengelak atau kadang-kadang menangkis, dia
pun membalas dengan tamparan-tamparan tangan yang sangat mantap dan dahsyat.
Setelah mereka saling serang selama belasan jurus, terkejutlah Pek Lan. Bukan saja karena semua
serangannya yang dahsyat itu tak pernah berhasil, bahkan kalau pemuda bongkok itu menangkis, dia
merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya serasa retak dan tubuhnya tergetar hebat!
Dan bila pemuda itu membalas, angin pukulannya menyambar seperti angin badai yang membuat ia makin
gentar saja. Tidak berani ia menangkis, tidak berani mengadu tenaga karena ia tahu bahwa tenaga
sinkang-nya kalah kuat.
Juga penggunaan hawa beracun agaknya tiada gunanya karena kedua tangan pemuda itu dilindungi
semacam uap putih yang membuat uap hitam dari telapak tangannya membuyar, bahkan membalik! Ia
tidak tahu bahwa pemuda lawannya itu memiliki ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang
jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada ilmunya yang disebut Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan
Hitam).
Teringatlah Pek Lan akan ilmu sihir yang diajarkan oleh Thai Yang Suhu padanya. Maka diam-diam, sambil
sibuk mengelak berloncatan untuk menghindarkan hujan tamparan dari Sie Liong, ia berkemak-kemik
membaca mantera. Pandang matanya bagaikan dua ujung pedang yang disatukan bagaikan menembus
dahi Pendekar Bongkok di antara alisnya, kemudian tiba-tiba ia membentak nyaring.
“Pendekar Bongkok, menyerah dan berlututlah engkau!”
Sie Liong terkejut sekali ketika merasa betapa ada tenaga luar biasa yang seolah-olah memaksanya untuk
menyerah dan berlutut. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda gemblengan yang sudah menerima
banyak petunjuk dari Pek-sim Siansu, bagaimana cara menghadapi ilmu-ilmu sihir dari kaum sesat.
Maka dia pun cepat menahan napas sambil mengerahkan khikang sehingga pengaruh yang memaksanya
itu buyar. Akan tetapi dia menahan senyum, kemudian pura-pura menjatuhkan diri berlutut seolah-olah dia
terpengaruh oleh sihir yang dilakukan gadis itu!
Melihat lawannya benar-benar berlutut, Pek Lan gembira bukan main akan hasil ilmu sihirnya itu. Ia tahu
bahwa lawannya ini amat berbahaya, dan tidak mudah ditundukkan dengan pengaruh kecantikan wajah
dan keindahan tubuhnya, maka baginya tidak ada gunanya, bahkan membahayakan saja. Maka ia pun lalu
menubruk ke depan dan kedua tangannya, dengan jari-jari membentuk cakar harimau, menyambar ke arah
ubun-ubun kepala Pendekar Bongkok.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Haiiiittt...!”
Pendekar Bongkok tiba-tiba membentak, kedua tangannya mendorong ke depan dan bagaikan sebuah
layang-layang yang putus talinya, tubuh Pek Lan langsung melayang ke belakang lalu terbanting jatuh!
Untung bahwa Pendekar Bongkok tidak bermaksud membunuhnya, maka Pek Lan tidak tewas, bahkan
tidak terluka parah, hanya terbanting keras, membuat pinggulnya terasa nyeri bukan main.
Pek Lan cepat meloncat bangun, menggosok-gosok pinggul yang tadi terbanting sambil meringis
kesakitan. Akan tetapi, kemarahannya sudah memuncak. Tanpa banyak cakap lagi, ia pun sudah
mencabut pedangnya dan sambil mengeluarkan lengkingan panjang, ia menyerang Pendekar Bongkok
dengan pedangnya.
Kalau saja Sie Liong menghendaki, pukulan dahsyat Pay-san-ciang (Tangan Menolak Gunung) tadi sudah
cukup untuk membunuh Pek Lan. Akan tetapi, dia tidak bermaksud membunuh orang. Betapa pun juga,
siluman merah itu belum diketahui apa sebenarnya yang menjadi latar belakang perbuatannya menculik
gadis-gadis itu.
Sekarang, melihat betapa wanita itu menjadi semakin nekat dan menyerangnya dengan pedang, dengan
permainan pedang yang cukup berbahaya, dia pun mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya,
mengelak sambil berloncatan dan berkali-kali tubuhnya berkelebatan di sekeliling lawannya, membuat
gadis itu menjadi bingung dan pening.
Pek Lan merasa seolah melawan bayangan saja, demikian cepatnya gerakan Pendekar Bongkok.
“Hentikanlah seranganmu, atau terpaksa aku akan merobohkanmu. Kembalikan semua gadis yang telah
kau culik, maka aku akan memaafkanmu!” Pendekar Bongkok berseru beberapa kali, namun sebagai
jawabannya, Pek Lan menyerang semakin ganas saja.
Sie Liong menjadi marah. Gadis ini terlalu ganas dan berhati kejam, kalau tidak diberi hajaran keras tentu
tidak akan mau tunduk.
Pada waktu pedang itu untuk ke sekian kalinya meluncur ke arah dadanya, Pendekar Bongkok mengelak
dengan miringkan tubuh dan menarik tubuh atas ke belakang, lalu tangannya dengan cepat sekali menotok
ke atas pundak kanan Pek Lan.
“Tukkk!”
Pek Lan merasa lengannya lumpuh dan pedang itu terlepas dari pegangannya. Akan tetapi, dengan
gerakan memutar dia menubruk ke arah Pendekar Bongkok dan tanpa malu-malu lagi tangannya yang
membentuk cakar itu mencengkeram ke arah bawah pusar pemuda bongkok itu!
“Ihhhh...!”
Sie Liong meloncat ke belakang dan mukanya berubah merah. Wanita ini sungguh tidak tahu malu sama
sekali! Dia melompat ke belakang bukan karena takut, tetapi karena malu.
Akan tetapi baru dia tahu bahwa serangan mencengkeram ke arah bawah pusarnya tadi hanya merupakan
gertakan saja karena sekarang Pek Lan sudah menyambar kembali pedangnya yang tadi terlepas.
Serangan itu dipergunakan hanya untuk dapat merampas kembali pedang yang sudah lepas dari tangan.
Wanita itu kini maklum benar bahwa Pendekar Bongkok sungguh amat lihai. Namun dia masih merasa
penasaran, apa lagi mengingat bahwa ada teman-temannya yang tentu akan membantunya.
Benar saja! Ketika ia menerjang lagi, tiba-tiba bermunculan tiga orang Tibet Sam Sin-to yang semenjak tadi
hanya mengintai sambil menonton saja. Mereka baru muncul dan membantu Pek Lan setelah menerima
perintah dari Thai Yang Suhu.
Tokoh Pek-lian-kauw ini tidak segera memberi perintah membantu Pek Lan karena dia ingin
memperhatikan gerakan ilmu silat Pendekar Bongkok dan untuk menguji sampai di mana kelihaian pemuda
bongkok itu. Diam-diam dia terkejut juga menyaksikan kelihaian Pendekar Bongkok yang membuat Pek
Lan tidak berdaya. Setelah gadis itu terdesak hebat dan terancam bahaya, barulah dia memberi isyarat
kepada Tibet Sam Sin-to untuk maju membantu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat munculnya tiga orang laki-laki tinggi besar yang masing-masing memegang sebatang golok
melengkung dan gerakannya aneh, Sie Liong dapat menduga bahwa mereka tentulah jagoan-jagoan dari
Tibet. Hal ini dapat diketahuinya dari gaya gerakan tubuh mereka. Dia sudah banyak mendengar dari para
gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin dan juga Pek-sim Siansu tentang ilmu silat Tibet yang bercampur
dengan gaya silat gulat, semacam ilmu silat yang mengandalkan cengkeraman, tangkapan, dan juga
bantingan.
Akan tetapi, perhatian Sie Liong bukan sepenuhnya kepada tiga orang ini. Dia menduga bahwa tentu
masih ada musuh lain yang bersembunyi seperti tiga orang tinggi besar tadi yang bersembunyi di balik
semak-semak.
Dia tadi tidak mendengar kedatangan mereka, hal itu hanya berarti bahwa sejak tadi mereka memang
berada di situ, bersembunyi. Dia telah terjebak! Semua siasat yang dilakukan wanita cantik itu merupakan
siasat mereka. Mungkin sejak dia mendaki Bukit Onta, gerak-geriknya tentu telah diikuti pihak musuh.
Pada saat mendengar bunyi berkeresek di atas sebuah pohon besar, tiba-tiba Sie Liong mengeluarkan
lengkingan panjang dan sebelum Pek Lan dan Tibet Sam Sin-to sempat menyerangnya, tubuhnya sudah
melayang naik ke arah pohon di mana tadi terdengar daun berkeresekan.
Melihat bayangan manusia di dalam pohon itu, Sie Liong meloncat sambil menyerang dengan dorongan
telapak tangannya. Orang itu ternyata adalah seorang kakek tinggi besar pula yang berkepala gundul dan
berpakaian pendeta. Melihat Sie Liong meloncat ke atas pohon dan menyerangnya, kakek itu yang bukan
lain adalah Thai Yang Suhu, menjadi terkejut dan cepat menangkis.
“Dukkk!”
Keduanya terdorong keras dan terpaksa keduanya melompat turun dari atas dahan pohon.
Ketika tubuhnya terdorong dan terpaksa meloncat turun, tangan Sie Liong menyambar sebatang ranting
sebesar lengannya. Ranting itu patah dan terbawa turun. Lega rasa hati Sie Liong sesudh dia memperoleh
senjata itu, sebatang ranting yang panjangnya satu setengah meter, cukup kuat dan lentur.
Di lain pihak, Thai Yang Suhu terkejut setengah mati. Tadi ketika menangkis, dia sudah mengerahkan
seluruh tenaga sinkang-nya. Biar pun pemuda bongkok itu dapat dipaksa meloncat turun, dia sendiri pun
harus meloncat turun karena tubuhnya terpental dan seluruh lengannya yang menangkis tadi terasa dingin
sekali! Dia tidak tahu bahwa tadi pemuda itu mengerahkan ilmu Swat-liong-ciang (Ilmu Silat Naga Salju)
yang membuat kedua lengannya dipenuhi sinkang yang dingin sekali.
Kini Sie Liong berdiri di tengah, dikepung oleh kelima orang itu. Melihat keadaan kakek pendeta itu, Sie
Liong segera mengenal gambar teratai putih, dan dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang tokoh
Pek-lian-kauw. Mengertilah dia kini mengapa gadis cantik itu menculiki gadis-gadis dusun yang cantik.
Dia sudah sering mendengar tentang sepak terjang aliran agama sesat Pek-lian-kauw yang bersembunyi di
balik kedok perjuangan membela rakyat! Sebuah perkumpulan di mana orang-orangnya mempelajari ilmu
silat dan ilmu sihir, dan di mana sering kali terjadi kecabulan karena orang-orang Pek-lian-kauw merupakan
hamba nafsu, terutama sekali nufsu birahi.
Dia sering kali mendengar bahwa Pek-lian-kauw mempunyai banyak murid atau anak buah wanita-wanita
muda yang cantik. Tentu perawan-perawan dusun itu akan dijadikan anak buah. Bukan saja membantu
kekuatan Pek-lian-kauw, namun mereka juga akan dijadikan tenaga hiburan bagi para pimpinan Pek-liankauw!
“Hemm, kiranya Pek-lian-kauw yang berdiri di belakang penculikan para gadis itu!” kata Sie Liong sambil
berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang. Tongkat ranting pohon itu berada di tangannya dan berdiri di
depannya, dengan daun-daun yang masih memenuhi ranting kecil yang mencuat ke kanan kiri.
Thai Yang Suhu yang kini tak berani memandang rendah lawannya, segera melangkah maju, sepasang
pedang sudah dicabutnya dari balik jubah. Dia menudingkan pedang kiri ke arah muka Sie Liong dan
terdengar suaranya yang berwibawa.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Orang muda, siapa engkau sesungguhnya? Selamanya belum pernah kami mendengar tentang seorang
yang disebut Pendekar Bongkok, dan mengapa pula memusuhi kami dan menghalangi pekerjaan kami?
Bicaralah, orang muda. Pinceng adalah Thai Yang Suhu, mereka ini adalah Tibet Sam Sin-to, dan nona itu
adalah nona Pek Lan, murid terkasih dari Hek-in Kui-bo. Nah, engkau lihat, engkau berhadapan dengan
lima orang yang memiliki nama besar di dunia kang-ouw, oleh karena itu, sungguh tidak bijaksana bagimu
kalau engkau memusuhi kami. Bukankah lebih baik kalau kita bekerja sama?”
Mendengar ucapan itu, Sie Liong mengerutkan alisnya. Sepasang matanya mencorong penuh kemarahan.
Tokoh sesat ini barusan menawarkan kerja sama dengan dia, berarti mengajak dia menjadi seorang
penjahat!
“Thai Yang Suhu, engkau adalah seorang yang berpakaian pendeta, namun ternyata kependetaanmu itu
hanya kedok belaka, bagai serigala berkedok domba. Aku bernama Sie Liong, dan tentang nama julukan
itu, terserah yang menyebutku. Memang aku tidak memiliki permusuhan dengan kalian, akan tetapi aku
adalah musuh besar dari semua perbuatan jahat! Kalian sudah menculik sembilan orang gadis-gadis
dusun. Nah, kalau kalian tidak menghendaki pertentangan dengan aku, kalau menghendaki kerjasama,
bebaskanlah sembilan orang gadis itu, dan aku pun tidak akan mengganggu kalian lagi, kecuali kalau lain
kali aku melihat kalian melakukan kejahatan lagi!”
“Bocah bongkok keparat sombong! Toa-suhu, mengapa banyak bicara dengan bocah sombong ini? Biar
kami habiskan dia!” bentak seorang di antara Tibet Sam Sin-to dan mereka bertiga sudah marah sekali,
sudah siap dengan golok mereka.
Akan tetapi Thai Yang Suhu memberi isyarat agar supaya para pembantunya itu jangan bergerak dulu.
Lalu dia merogoh sesuatu dari dalam saku jubahnya, melontarkan benda sebesar kepalan tangan ke atas,
ke arah Pendekar Bongkok sambil membentak lebih dulu dengan suara parau.
“Orang she Sie, lihat apakah engkau mampu menandingi seekor naga berapi!”
Sungguh hebat! Benda yang dilontarkan tadi seketika berubah menjadi asap hitam dan dari dalam asap
hitam itu muncullah seekor naga menyemburkan api, bahkan tubuhnya juga bernyala. Naga itu terbang ke
atas lalu dari atas menyambar turun ke arah tubuh Sie Liong.
Namun, Pendekar Bongkok ini yang tadinya juga terkejut, cepat menahan napas dan mengerahkan tenaga
khikang. Dia lalu mengangkat tangan kirinya ke atas, dan dengan pengerahan sinkang Pek-in Sin-ciang
yang membuat tangan kiri itu mengeluarkan uap putih, mendorong ke arah naga api.
Terdengar suara keras dan naga itu pun lenyap, dan nampak benda sekepal tadi runtuh ke depan kaki Thai
Yang Suhu. Ternyata benda itu adalah sebuah tengkorak manusia yang amat kecil, seperti tengkorak bayi
saja!
Thai Yang Suhu terbelalak, menyambar benda itu dan mengantunginya lagi, akan tetapi pada saat dia
mengambil benda itu, tengkorak kecil itu lantas hancur berkeping-keping. Ternyata benda yang tadi
berubah menjadi naga itu tidak kuat menahan pukulan jarak jauh Pendekar Bongkok dan sudah retakretak,
maka ketika dipungut oleh pemiliknya, langsung menjadi hancur berantakan.
Thai Yang Suhu mengeluarkan teriakan marah dan dia pun menggerakkan sepasang pedangnya,
menyerang dahsyat ke arah Pendekar Bongkok. Pada saat itu Pek Lan juga menggerakkan pedangnya,
berbarengan dengan Tibet Sam Sin-to yang sudah pula ikut menggerakkan golok mereka.
Sie Liong mengeluarkan teriakan melengking dan menggerakkan ranting di tangannya. Sekali ia memutar
ranting itu, nampak banyak sekali sinar hijau beterbangan menyerang ke arah lima orang pengeroyoknya!
Lima orang yang sudah siap menyerang itu, bahkan sudah menggerakkan senjata, amat terkejut ketika
tiba-tiba saja melihat sinar-sinar hijau menyambar ke arah mereka. Cepat mereka menggerakkan senjata
yang diputar di depan tubuh untuk menangkis. Mereka mengira bahwa Pendekar Bongkok
mempergunakan senjata rahasia.
Ketika sinar-sinar hijau itu runtuh, ternyata ‘senjata rahasia’ itu adalah daun-daun yang tadi menempel
pada ranting. Kini di tangan Pendekar Bongkok hanya tinggal sebatang tongkat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat betapa pemuda bongkok itu dapat mempergunakan daun-daun sebagai senjata rahasia yang
mereka rasakan sangat kuat dan berbahaya, lima orang itu terkejut dan makin maklum bahwa Pendekar
Bongkok ini, biar pun masih muda dan cacat tubuhnya, ternyata benar-benar mempunyai kesaktian. Maka,
tanpa banyak cakap lagi mereka pun segera mengepung dan mengeroyok!
Menghadapi pengeroyokan lima orang yang semuanya memiliki kepandaian tinggi, Sie Liong lalu memutar
tongkatnya dan ia pun telah memainkan Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi). Ilmu ini adalah ilmu
tongkat yang dipelajarinya dari Pek-sim Siansu. Suatu ilmu yang dahsyat bukan main.
Ketika senjata yang hanya merupakan sebatang ranting yang menjadi tongkat itu diputar oleh Sie Liong,
maka angin pun menyambar-nyambar begitu dahsyat bagaikan badai, sehingga nampak gulungan sinar
hijau yang amat panjang. Dari gulungan sinar hijau itu mencuat ujung-ujung tongkat yang cepat bagaikan
kilat menyambar-nyambar ke arah lima orang pengeroyoknya.
Sekarang tahulah Thai Yang Suhu mengapa Pek Lan kewalahan menghadapi pemuda bongkok ini.
Kiranya Pendekar Bongkok ini memang memiliki kepandaian yang sangat hebat! Walau pun dia sendiri
maju, dibantu pula oleh Pek Lan dan tiga orang Tibet Sam Sin-to, tetap saja mereka berlima sama sekali
tidak mampu mendesak, bahkan mereka yang kewalahan menghadapi tongkat sederhana yang dimainkan
secara luar biasa itu.
Tongkat di tangan Pendekar Bongkok itu selain luar biasa cepatnya, juga mengandung tenaga kasar dan
halus yang bekerja secara bergantian. Setiap gerakan ujung tongkat itu mengeluarkan suara bersiutan di
antara angin yang kuat sekali.
Thai Yang suhu adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang kedudukannya sudah tinggi. Dia memiliki ilmu
pedang yang sangat lihai di samping ilmu sihirnya, dan selama ini, belum pernah ada yang mampu
menandingi ilmu sepasang pedangnya. Kini, karena mengeroyok, tentu saja dia tidak dapat memainkan
sepasang pedangnya dengan leluasa. Maka, dia pun membentak agar para pembantunya minggir.
“Minggir semua, biar pinceng sendiri yang menghadapi Pendekar Bongkok!” bentaknya.
Mendengar ini, Pek Lan dan Tibet Sam Sin-to lalu berloncatan keluar dari gelanggang pertempuran
sehingga pendeta gundul tinggi besar itu kini sendirian saja berhadapan dengan Sie Liong. Sie Liong juga
menghentikan gerakan tongkatnya dan berdiri tegak menghadapi pendeta itu sambil memandang tajam.
“Thai Yang Suhu, tadi sudah kukatakan bahwa aku tak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga. Yang
kutentang adalah perbuatan jahat, bukan orangnya. Oleh karena itu, jika kalian membebaskan gadis-gadis
yang sudah kalian tawan dan mereka dalam keadaan selamat dan tidak terganggu, maka aku pun akan
menyuruh mereka pulang ke rumah masing-masing dan tidak akan memusuhi kalian, asal saja kalian juga
tidak mengulang perbuatan jahat itu.”
“Pendekar Bongkok, apa kau kira pinceng takut kepadamu? Pinceng sengaja menyuruh kawan-kawan
pinceng minggir supaya pinceng dapat menghadapimu dengan leluasa. Akan tetapi, katakanlah dulu siapa
guru-gurumu agar pinceng tahu siapa yang pinceng lawan!”
“Hemmm, Thai Yang Suhu, ketahuilah bahwa guru-guruku adalah Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim
Siansu,” jawab Sie Liong sejujurnya.
“Wah! Kiranya murid para tosu pelarian dari Himalaya!” seorang di antara Tibet Sam Sin-to berseru.
Sebagai tokoh-tokoh Tibet, tentu saja mereka mendengar akan hal itu.
Juga Thai Yang Suhu sudah pernah mendengar nama-nama yang disebutkan Pendekar Bongkok. Nama
Himalaya Sam Lojin tidak mengejutkan hatinya karena kepandaian tiga orang kakek dari Himalaya itu tidak
lebih dari tingkatnya sendiri. Akan tetapi disebutnya Pek-sim Siansu membuat dia terkejut.
Pantas saja pemuda bongkok ini tidak hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga mampu menangkis ilmu
sihirnya, bahkan sudah menghancurkan jimatnya, yaitu tengkorak kecil tadi. Bagaimana pun juga, Thai
Yang Suhu yang terlalu mengandalkan kepandaian dan kekuatan sendiri, tidak merasa jeri.
“Bagus, sekarang bersiaplah engkau untuk mampus!” Sambil berkata demikian, tokoh Pek-lian-kauw itu
menodongkan pedang di tangan kirinya ke arah Sie Liong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pendekar Bongkok bersikap waspada karena dia sudah mendengar akan kecurangan para tokoh Pek-liankauw.
Begitu dari gagang pedang itu menyambar sinar-sinar hitam yang lembut, dia sudah cepat memutar
tongkatnya sehingga semua jarum hitam yang meluncur keluar dari gagang pedang itu runtuh.
“Pendeta palsu yang licik dan curang!” bentak Sie Liong.
Dia pun membalas dengan serangan tongkatnya yang menyambar dengan dahsyat dari kanan ke kiri,
mengarah pada pinggang lawan. Thai Yang Suhu meloncat ke belakang, pedang kanannya menyambar
dari atas ke kepala Sie Liong sedangkan pedang kirinya menangkis ujung tongkat. Sie Liong mengelak dan
memutar tongkat, membalas dengan serangan yang tak kalah dahsyatnya.
Maka terjadilah perkelahian yang sangat seru dan mati-matian. Sepasang pedang yang dimainkan oleh
Thai Yang Suhu menyambar-nyambar, berubah menjadi dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata.
Akan tetapi dua gulungan sinar itu sering kali goyah dan patah oleh sinar tongkat yang kehijauan, yang
bergulung panjang bagaikan seekor naga hijau yang bermain di angkasa.
Ilmu tongkat Thian-te sin-tung yang dimainkan Pendekar Bongkok adalah ilmu tingkat tinggi yang tidak
mampu dilawan oleh ilmu pedang pasangan yang dimainkan pendeta Pek-lian-kauw itu. Lagi pula, gerakan
pendeta itu kalah cepat dibandingkan Sie Liong, bahkan dalam hal tenaga sinkang, pendeta itu juga kalah
kuat.
Kelebihan Thai Yang Suhu hanyalah pada pengalaman bertanding saja. Di samping itu, Sie Liong bersikap
hati-hati sekali, karena dia tahu bahwa lengah sedikit saja dia dapat celaka di tangan lawan yang licik dan
curang ini. Kehati-hatian inilah yang membuat Sie Liong tidak berani terlalu mendesak sehingga membuat
lawannya mampu mengadakan perlawanan yang cukup seru dan perkelahian itu nampaknya seru dan
ramai.
Betapa pun juga, Pek Lan dan Tibet Sam Sin-to yang sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi,
mampu mengikuti jalannya pertandingan. Mereka tahu bahwa kalau tidak dibantu, akan sulit sekali bagi
Thai Yang Suhu untuk bisa mengalahkan Pendekar Bongkok.
Oleh karena itu Pek Lan memberi isyarat kepada tiga orang jagoan Tibet itu dan mereka berempat
langsung berloncatan memasuki gelangang perkelahian dan mengeroyok lagi. Sekali ini, Thai Yang Suhu
diam saja karena dia pun mengerti bahwa kalau dia nekat melawan sendiri, jelas bahwa dia tidak akan
mampu mengalahkan Pendekar Bongkok.
Di lain pihak, Sie Liong sama sekali tidak merasa gentar menghadapi pengeroyokan lima orang itu. Bahkan
dia dapat mainkan tongkatnya lebih leluasa lagi. Dia tahu bahwa di antara para pengeroyoknya, yang amat
lihai adalah Thai Yang Suhu dan Pek Lan.
Akan tetapi karena di situ terdapat tiga orang Tibet Sam Sin-to, maka permainan kedua orang lawan lihai
ini bahkan menjadi terhalang. Mereka berdua itu tak dapat menyerang sepenuhnya, terhalang oleh gerakan
tiga orang jagoan Tibet itu.
Hal ini membuat gerakan Sie Liong semakin hebat. Dia pun tidak takut lagi bahwa dua orang lawan yang
curang itu akan dapat mempergunakan senjata rahasia, mengingat bahwa di situ terdapat pula Tibet Sam
Sin-to yang ikut mengeroyok sehingga kalau ada yang mempergunakan senjata rahasia, hal itu dapat
membahayakan kawan sendiri.
Akan tetapi hal ini, hal yang sama sekali tak disangkanya, ternyata memang benar telah terjadi. Dan
kesalahannya memperkirakan ini akhirnya harus makan korban!
Ketika itu, ia merasakan betapa yang sungguh berbahaya di antara serangan lima orang itu adalah
serangan Pek Lan, wanita cantik yang pernah dilawannya sebagai siluman merah itu. Pedang wanita itu
menyambar-nyambar ganas, dibantu pula oleh dorongan tangan kirinya yang melakukan pukulan atau
tamparan Hek-in Tok-ciang sehingga dari telapak tangan kirinya itu keluar uap hitam.
Oleh karena itu, dia berpikir untuk lebih dulu melumpuhkan perlawanan wanita ini. Dia memutar tongkatnya
secara aneh dan segera mengerahkan daya serangan tongkatnya kepada Pek Lan.
“Trang...! Trangggg...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Bunga api berpijar ketika dua kali pedang di tangan Pek Lan bertemu dengan ujung tongkat yang
mendesaknya.
“Ihhhhh...!”
Pek Lan mengeluarkan seruan kaget dan marah karena tenaga yang keluar dari tongkat itu sedemikian
kuatnya sehingga ia terdorong ke belakang dan tangan yang memegang pedang tergetar hebat, hampir
saja pedangnya terlepas dari pegangan. Untung bahwa Thai Yang Suhu segera menghujani Pendekar
Bongkok dengan serangannya sehingga dalam keadaan terhuyung itu Pek Lan tidak didesak terus. Hal ini
membuat Pek Lan marah sekali.
Tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan ketika tangan kirinya bergerak, belasan jarumjarum
hitam beracun telah menyambar ke arah tubuh Pendekar Bongkok! Jarum-jarum itu dilepas dari jarak
dekat, juga disambitkan dengan pengerahan tenaga sekuatnya karena Pek Lan sedang marah, maka tentu
saja luar biasa berbahaya bagi Pendekar Bongkok!
Akan tetapi, dia memang selalu waspada dan melihat sinar lembut yang banyak itu, dia pun maklum bahwa
Pek Lan mempergunakan senjata rahasia. Maka dia cepat memutar tongkatnya sehingga tongkat itu
membentuk bayangan seperti payung yang melindungi tubuhnya.
Ketika jarum-jarum itu bertemu dengan sinar tongkat, runtuhlah jarum-jarum itu, akan tetapi ada beberapa
batang yang terpental ke kanan kiri. Terdengar teriakan-teriakan mengaduh dan dua orang di antara tiga
Tibet Sam Sin-to roboh!
Tentu saja hal ini sangat mengejutkan para pengeroyok. Kiranya, di antara jarum hitam beracun yang
terpental, ada beberapa batang yang mengenai dua orang itu! Racun yang dikandung jarum-jarum itu
memang jahat sekali. Dua orang itu sudah berkelojotan sekarat!
Tentu saja Pek Lan tak mungkin sempat melakukan pemeriksaan untuk dapat memberi pengobatannya,
bahkan dia pun sama sekali tidak memusingkan keadaan kedua orang rekan ini. Hal itu bahkan membuat
ia menjadi makin marah kepada Pendekar Bongkok sehingga kini ia menyerang lagi mati-matian dengan
pedangnya. Namun, mengeroyok lima saja tidak dapat mendesak Pendekar Bongkok, apa lagi kini
berkurang dua.
Gerakan tongkat di tangan Pendekar Bongkok menjadi semakin dahsyat. Ketika salah seorang di antara
Tibet Sam Sin-to yang masih hidup serta merasa berduka dan marah karena kematian dua orang
saudaranya itu menyerangkan golok di tangannya dengan sekuat tenaga, Pendekar Bongkok sengaja
memapaki golok itu dengan tongkatnya, juga sambil mengerahkan tenaganya.
“Trakkk...!”
Golok itu patah dan terlepas. Sebuah tendangan kaki Pendekar Bongkok masih sempat dielakkan oleh
orang itu, namun sambaran ujung tongkat tidak dapat dia hindarkan.
“Bukkk!”
Orang itu terjungkal dan pingsan karena punggungnya terkena gebukan tongkat dari samping.
Kini Pek Lan dan Thai Yang Suhu terkejut bukan main, juga mulai merasa jeri. Pada saat itu terdengarlah
sorak sorai gemuruh. Ketika tiga orang yang sedang berkelahi itu mendengar suara ini, mereka semua
berloncatan ke belakang dan memandang ke arah bawah.
Nampaklah puluhan orang, bahkan ada kurang lebih seratus orang penduduk yang memegang segala
macam senjata, sedang berlarian mendaki Bukit Onta dengan sikap penuh ancaman!
Melihat keberanian para penduduk ini, tentu saja Pendekar Bongkok menjadi girang. Dia sudah berhasil
membangkitkan semangat para penduduk itu yang sekarang agaknya berbondong-bondong naik ke bukit
itu untuk membasmi siluman! Sebaliknya, Thai Yang Suhu dan Pek Lan makin gelisah.
“Pek Lan, mari kita pergi!” kata Thai Yang Suhu. Tanpa diperintah dua kali, Pek Lan meloncat bersama
Thai Yang Suhu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, kalian hendak lari ke mana?” Pendekar Bongkok membentak dan dia pun cepat meloncat untuk
melakukan pengejaran.
Akan tetapi, tiba-tiba Thai Yang Suhu melontarkan sesuatu ke atas tanah dan terdengar ledakan keras
disusul mengepulnya asap hitam yang tebal. Khawatir kalau-kalau asap itu beracun, tentu saja Sie Liong
segera menjauhkan diri, bermaksud mengejar dengan mengambil jalan memutar. Akan tetapi setelah dia
tiba di belakang asap hitam, dua orang itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Dia lalu kembali ke tempat tadi, melihat betapa orang ke tiga dari Tibet Sam Sin-to telah siuman dan kini
bangkit sambil mengeluh.
Melihat Pendekar Bongkok datang kembali, dia terkejut, meloncat akan tetapi roboh lagi sambil mengerang
kesakitan. Wajahnya nampak ketakutan dan orang tinggi besar itu segera menjatuhkan diri, berlutut
menghadap Pendekar Bongkok.
“Taihiap (pendekar besar), ampunilah aku...”
Pendekar Bongkok adalah seorang yang berhati lembut. Dia tidak pernah membenci orang, betapa pun
jahatnya orang itu. Yang ditentangnya adalah perbuatan jahat, bukan orangnya. Dari gemblengan yang
didapatnya dari Pek-sim Siansu, ia tahu bahwa orang yang melakukan perbuatan jahat adalah orang yang
sedang sakit batinnya. Batin yang sakit itulah yang mendorongnya melakukan perbuatan jahat. Jika
batinnya telah sembuh tentu dia tidak akan melakukan perbuatan jahat.
Maka, melihat betapa salah seorang di antara Tibet Sam Sin-to itu minta ampun, dia mengangguk. “Siapa
namamu?”
“Namaku Coa Kiu, taihiap. Mereka ini adalah kakakku dan adikku, maka ijinkanlah aku membawa mayat
mereka agar dapat kukuburkan dengan pantas.”
“Nanti dulu, aku ingin bertanya. Di mana adanya gadis-gadis yang diculik itu dan kenapa mereka diculik?”
“Itu adalah kehendak Thai Yang Suhu yang sedang mengumpulkan lima belas orang gadis untuk dijadikan
pelayan di Pek-lian-kauw. Kami hanya membantunya. Gadis-gadis itu semua dalam keadaan selamat,
berada di rumah itu. Mereka tidak diganggu karena memang hendak diangkut dan diserahkan kepada
ketua Pek-lian-kauw.”
Pendekar Bongkok mengangguk, hatinya merasa lega. Orang ini jelas tidak akan berani berbohong.
“Ada satu pertanyaan lagi. Engkau memakai julukan Tibet Sam Sin-to, tentu merupakan tokoh Tibet. Aku
ingin sekali tahu tentang mereka yang disebut Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu lima orang
pendeta Lama dari Tibet. Di mana mereka sekarang dan apa kedudukan mereka?”
Mendengar disebutnya Lima Harimau Tibet, Coa Kiu terkejut dan kelihatan ketakutan. “Tidak, taihiap... aku
tidak mempunyai hubungan apa pun dengan mereka. Sama sekali tidak mempunyai hubungan...!”
Pendekar Bongkok mengerutkan alisnya. Sikap itu sungguh menarik sekali.
“Aku tidak menuduhmu memiliki hubungan, hanya ingin mendapat keterangan darimu tentang diri mereka.”
Barulah Coa Kiu kelihatan lega. “Mereka adalah tokoh-tokoh paling ditakuti di Tibet, dan kini mereka
menjadi pendukung-pendukung utama dari Kim Sim Lama, pendeta tingkat tinggi yang memberontak
karena hendak merampas kedudukan Dalai Lama.”
“Pemberontak? Ahh, di mana kini mereka itu?”
“Mereka di sekitar telaga Yam-so di sebelah selatan Lhasa. Lima Harimau Tibet menjadi pendukung.
Bahkan lima orang tokoh itulah yang sebenarnya menjadi pelopor karena tanpa adanya mereka, tentu Kim
Sim Lama tidak mampu berbuat sesuatu.”
Pendekar Bongkok mengangguk-angguk. Pada waktu itu, para penduduk dusun sudah datang semakin
dekat dan Coa Kiu nampak gelisah. Maka dia lalu menyuruh orang itu membawa jenazah dua orang
dunia-kangouw.blogspot.com
saudaranya dan melarikan diri ke jurusan lain. Coa Kiu mengucapkan terima kasih dan memanggul
jenazah kakaknya dan adiknya, pergi dari situ sambil terhuyung.
Pendekar Bongkok tidak menanti datangnya orang-orang dusun, melainkan cepat dia lari ke arah rumah
yang menjadi tempat tinggal Thai Yang Suhu dan teman-temannya.
Sembilan orang gadis yang berada dalam ruangan di rumah itu, terkejut ketika daun pintu dirobohkan
orang dari luar. Mereka bergerombol saling peluk dengan ketakutan, semua mata memandang ke arah
pemuda bongkok yang berdiri di ambang pintu.
“Ampunkan kami... jangan... jangan ganggu kami...!” kata seorang di antara mereka.
Melihat betapa semua gadis yang berada di ruangan itu cantik-cantik dan masih amat muda, dan kini wajah
yang manis-manis itu nampak pucat, dan mata mereka terbelalak seperti sekelompok kelinci yang
ketakutan melihat seekor harimau, Pendekar Bongkok tersenyum pahit. Dia teringat akan bongkoknya, dan
dia maklum bahwa tentu mereka mengira bahwa dia adalah seorang jahat!
“Tenanglah, nona-nona. Aku tidak berniat jahat. Aku datang untuk membebaskan kalian. Para penjahat itu
telah kuusir pergi dan keluarga kalian kini sedang menuju ke sini.”
Namun, para gadis remaja itu masih belum percaya dan mereka masih memandang kepada pemuda
berpunuk itu dengan curiga. Pada saat itu, orang-orang dusun sudah tiba di situ. Mereka menyerbu ke
dalam rumah dan dipimpin oleh Gumo Cali, mereka tiba di ruangan yang daun pintunya sudah dijebol Sie
Liong. Mereka melihat Sie Liong masih berdiri di ambang pintu dan para gadis itu sedang memandang
ketakutan.
“Ayah...!” teriakan ini bukan hanya keluar dari mulut dua orang gadis puteri Gumo Cali, akan tetapi juga
dari para gadis lain.
Ternyata para ayah dari gadis-gadis yang diculik itu ikut pula dalam rombongan para penyerbu. Terjadilah
pertemuan yang mengharukan dan para gadis itu segera dihujani pertanyaan oleh ayah mereka. Diamdiam
Pendekar Bongkok merasa lega dan gembira mendengar keterangan mereka bahwa benar seperti
yang diceritakan Coa Kiu, mereka itu sama sekali tidak diganggu, bahkan diperlakukan dengan baik.
“Semua ini karena jasa Pendekar Bongkok! Taihiap, terimalah terima kasih kami!” Gumo Cali menjatuhkan
diri berlutut menghadap Pendekar Bongkok, diturut oleh semua orang.
Para gadis yang tadinya merasa ketakutan itu kini baru sadar bahwa pemuda bongkok itu memang benar
menjadi penolong mereka. Maka mereka pun ikut berlutut di samping ayah masing-masing.
Salah seorang di antara para gadis itu menjatuhkan diri berlutut paling dekat di depan Pendekar Bongkok
dan ia menangis sesenggukan. Tadi pun Sie Liong melihat bahwa berbeda dengan para gadis lain, tak ada
seorang pun yang memeluk gadis ini. Tadinya dia mengira bahwa tentu ayah gadis yang satu ini tidak ikut.
Dia seorang gadis yang bertubuh sedang, berkulit agak gelap namun wajahnya manis sekali, dengan mata
yang lebar dan bening. Pakaiannya sederhana, bahkan ia tidak memakai perhiasan seperti para gadis
lainnya. Usianya kurang lebih delapan belas tahun dan tubuhnya sudah mulai padat ramping, bagaikan
setangkai bunga yang mulai mekar.
“Nona, kau kenapa?” tanya Sie Liong, dan kepada semua orang dia berkata, “Harap kalian suka berdiri,
tidak perlu memberi hormat berlebihan seperti itu!”
Gumo Cali bangkit dan yang lain ikut berdiri. Gadis itu masih tetap berlutut di depan Sie Liong. Sie Liong
segera menyentuh pundak gadis itu dengan lembut.
“Nona, bangkitlah, tak perlu berlutut. Kenapa engkau menangis? Bukankah seharusnya engkau
bergembira karena sudah terbebas dari cengkeraman penjahat?” Mendadak dia merasa curiga janganjangan
gadis ini telah mengalami nasib yang buruk di tangan para penjahat. “Nona, apakah para penjahat
itu mengganggumu?”
Gadis itu menggelengkan kepalanya, akan tetapi masih terisak. Akhirnya, dengan suara bercampur tangis,
dia berkata, “Aku... aku tidak mau pulang... ke rumah mereka...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kenapa, nona? Di mana rumahmu?” tanya Sie Liong.
Seorang di antara para penduduk dusun itu, seorang laki-laki setengah tua, kemudian mendekat dan
berkata, “Ling Ling, kenapa engkau tidak mau pulang?”
Gadis itu tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala sambil menangis.
“Siapakah nona ini, paman, dan di mana rumahnya?” tanya Sie Liong.
Orang itu lalu memberi keterangan bahwa gadis itu bernama Sam Ling, biasa dipanggil Ling Ling. Ia adalah
seorang gadis yatim piatu. Ketika ia berusia sepuluh tahun, ayah dan ibunya meninggal dunia karena
wabah, dan ia lalu dipungut anak oleh keluarga di dusunnya. Dijadikan anak angkat dan bekerja seperti
pelayan.
“Sepanjang pengetahuan kami, keluarga yang memungutnya itu bersikap baik padanya. Mereka tidak
mempunyai anak, maka mau mengambil Ling Ling menjadi anak mereka. Ling Ling, katakanlah, kenapa
engkau tidak mau pulang! Ayah dan ibu angkatmu tentu mengharapkan kedatanganmu!” kata orang itu.
Gadis itu mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang kepada orang itu dan menggeleng
kepala keras-keras sambil berkata, “Tidak..., tidak... aku tidak mau pulang ke sana... Lebih baik aku mati
saja dari pada harus kembali lagi ke sana...!” Dan ia pun menangis lagi.
Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia menduga bahwa tentu ada alasan yang kuat sekali sehingga gadis ini
tidak mau pulang ke rumah ayah dan ibu angkatnya.
“Marilah, nona. Kita berbicara di luar,” katanya, lalu dia berkata kepada semua orang. “Kalau kalian setuju,
rumah ini sebaiknya dibakar saja supaya jangan menjadi sarang penjahat lainnya! Semua orang boleh
pulang, akan tetapi kerukunan seperti sekarang ini harus dipelihara terus. Kalau kalian dapat bersatu
seperti ini, tidak akan ada penjahat yang berani mengganggu kalian.”
Berkata demikian, Sie Liong lalu mengajak gadis bernama Sam Ling atau Ling Ling itu untuk keluar. Dia
mengajak gadis itu agak menjauhi rumah, lalu duduk di atas sebuah batu besar.
“Nah, Ling Ling, duduklah kau dan ceritakan mengapa engkau memilih mati dari pada pulang ke rumah
orang tua angkatmu.”
Setelah mereka berada di tempat sepi, hanya berdua saja, tiba-tiba gadis itu kembali mpnjatuhkan diri
berlutut.
“Taihiap, engkau telah menyelamatkan aku bersama teman-teman, harap taihiap jangan kepalang
tanggung untuk menolongku. Berjanjilah bahwa taihiap akan suka menolong diriku, dan aku akan
menceritakan keadaanku.”
“Baiklah, dan duduklah supaya engkau dapat bicara dengan enak. Ceritakan apa yang terjadi. Tentu saja
aku suka membantumu kalau memang engkau perlu dibantu.”
“Sejak berusia sepuluh tahun, ayah ibuku meninggal dunia karena penyakit...”
Ling Ling mulai bercerita sambil duduk di atas batu, di depan Sie Liong. Suaranya lirih dan memelas, dan
matanya yang lebar itu kini agak kemerahan dan masih basah walau pun ia sudah tidak menangis lagi.
“Aku diangkat anak oleh ayah ibu angkatku yang sekarang karena mereka tidak memiliki anak. Sekarang
mereka berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dahulu memang sikap mereka itu baik sekali walau pun
aku tidak menguntungkan mereka karena aku seorang anak perempuan. Aku pun bekerja keras di rumah
mereka, seperti seorang budak untuk membalas budi kebaikan hati mereka. Akan tetapi akhir-akhir ini...”
Ling Ling menutupi mukanya, hatinya merasa sedih dan berat untuk menceritakan peristiwa yang membuat
dirinya merasa sengsara itu.
Sie Liong membiarkan gadis itu sejenak, dan setelah kelihatan agak tenang, ia berkata, “Bagaimana
lanjutannya? Aku baru akan dapat menolongmu bila aku sudah mengetahui persoalannya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Gadis itu menatap wajah Sie Liong dengan sepasang mata yang penuh permohonan, sepasang mata yang
tentu akan nampak indah kalau tidak tertutup awan kedukaan.
“Taihiap, aku akan kelihatan sebagai orang yang tak mengenal budi kalau sekarang aku seolah
menceritakan keburukan orang tua angkatku. Akan tetapi, kepadamu aku harus berterus terang. Harap
taihiap mengerti bahwa bukan maksudku untuk memburukkan mereka. Aku masih berterima kasih kepada
mereka. Begini taihiap. Akhir-akhir ini, sejak beberapa bulan yang lalu ini, ayah angkatku berusaha untuk...
untuk menodaiku...”
Sie Liong mengerutkan alis. Dia mengamati wajah itu dengan sinar matanya yang tajam menyelidik. Dia
sudah menduga, akan tetapi ingin mendapat keyakinan.
“Apa maksudmu dengan menodai itu?”
“Dia... dia mula-mula merayuku... agar aku suka melayaninya, suka tidur dengan dia. Aku menolak dan
beberapa kali dia nyaris berhasil memperkosa aku...! Karena aku selalu menghindar dan menolak, dia kini
seperti benci kepadaku. Ibu angkatku agaknya melihat pula gejala itu dan ia pun menjadi cemburu dan
membenci aku...”
“Hemmm...!” Sie Liong mengelus dagunya yang mulai ditumbuhi rambut. Mengertilah dia kini mengapa
gadis ini tidak ada yang menjemput, dan mengapa pula Ling Ling tidak mau pulang ke rumah orang tua
angkatnya.
“Ling Ling, engkau tadi menceritakan bahwa tadinya, sebelum timbul perubahan sikap ayah angkatmu itu,
mereka amat baik kepadamu. Bagaimana kalau sekarang engkau kuantar ke sana, ayah angkatmu itu
kuancam agar dia tidak lagi melakukan hal yang tidak pantas itu, dan aku membujuk ibu angkatmu agar ia
mau mengerti bahwa engkau tidak bersalah dalam peristiwa itu? Kalau mereka mau mendengarnya dan
mentaati permintaanku, maukah engkau kembali kepada mereka?”
Ling Ling mengerutkan alisnya. Ia menatap wajah pemuda itu sampai beberapa lama. Sinar matanya
penuh kegelisahan dan keraguan, lalu ia pun menggelengkan kepalanya.
“Tidak mungkin, taihiap. Ayah angkatku itu akan tetap membenciku selama aku tidak mau memenuhi
permintaannya. Aku melihat nafsu yang amat mengerikan dari pandang matanya. Dan ibu angkatku... ia
amat membenciku karena cemburu. Tidak, aku tidak akan kembali lagi ke sana. Bahkan, terus terang saja,
taihiap. Ketika wanita cantik yang menyamar sebagai siluman merah itu menculikku, membawaku ke sini,
melihat betapa gerombolan itu tidak menggangguku, memperlakukan dengan baik, aku merasa girang
untuk menjadi pelayan. Asalkan aku tidak harus kembali ke rumah orang tua angkatku.”
“Tapi... kalau engkau tidak mau kembali ke sana, lalu ke mana engkau hendak pergi? Apakah engkau
mempunyai keluarga lain, sanak keluarga dari orang tua kandungmu sendiri?”
Diam-diam Sie Liong merasa kasihan sekali dan dia dapat menerima alasan gadis itu. Tentu saja dia tidak
mungkin dapat menanggung dan memastikan bahwa ayah angkat Ling Ling kelak tak akan mengulang
perbuatannya terhadap gadis yang bagai setangkai bunga baru mulai mekar ini.
Mungkin karena segan dan takut kepadanya, ayah angkat itu mau berjanji, bahkan mau bersumpah. Akan
tetapi, dia tidak mungkin dapat berada di dusun itu terus! Dan gadis ini makin hari menjadi semakin cantik
manis dan semakin menarik. Kalau nafsu sudah menguasai hati ayah angkat itu, siapa berani tanggung dia
tidak akan menjadi buta akan kebenaran?
Dan dia dapat menduga bahwa seorang gadis yang demikian kukuh mempertahankan kehormatannya
seperti Ling Ling ini, kalau sampai diperkosa ayah angkatnya, tentu akan membunuh diri!
Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mempunyai siapa pun juga di dunia ini. Aku sebatang
kara...,” jawabnya lirih dengan air mata kembali mengalir di pipi.
“Kalau begitu, lalu engkau hendak pergi ke mana, Ling Ling? Jika engkau tidak memiliki keluarga lain, dan
engkau tidak mau kembali ke rumah orang tua angkatmu, lalu bagai mana?”
Mendengar pertanyaan ini, Ling Ling turun dari atas batu dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan
kaki Sie Liong sambil berkata dengan suara mengandung isak, “Aku ingin turut denganmu, taihiap...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ehhh?” Sie Liong terkejut dan heran bukan main.
Tadinya timbul dugaan di hatinya bahwa tentu gadis manis ini telah mempunyai seorang kekasih dan ia
akan pergi bersama kekasihnya itu. Sungguh seujung rambut pun dia tidak pernah menyangka akan
mendengar jawaban seperti itu.
“Apa maksudmu, Ling Ling? Bangkitlah, dan mari kita bicara dengan baik.”
“Tidak, aku tak akan bangkit sebelum engkau sudi menerimaku. Taihiap, tolonglah aku. Aku... aku ingin
membalas budimu, aku ingin ikut denganmu, biar kau jadikan pelayan... aku akan mencucikan pakaianmu,
memasakkan makananmu, melayani keperluanmu...”
Tiba-tiba Sie Liong tertawa. Dia memegang kedua pundak gadis itu dan mengangkatnya bangun,
mendudukkannya di atas batu kembali. Ling Ling tidak mampu menolak karena ia bagaikan sebuah boneka
saja di kedua tangan yang memiliki tenaga dahsyat itu. Ia pun kini yang memandang bengong.
Pendekar itu tertawa bergelak dan alangkah gagah dan tampannya wajah itu sekarang nampak olehnya.
Wajah yang tadinya selalu nampak dilanda duka itu, wajah yang selalu menimbulkan perasaan iba kepada
siapa pun yang memandang, kini nampak cerah dan berseri!
“Aihh, Ling Ling... engkau ini sungguh lucu sekali!” kata Sie Liong setelah menghentikan ketawanya.
“Taihiap, apanya yang lucu?” Ling Ling bertanya khawatir.
“Bagaimana mungkin engkau ikut denganku? Kau tahu siapa aku ini?”
“Taihiap seorang pria yang sakti dan berbudi mulia, yang telah menyelamatkan aku dan banyak gadis di
sini, yang pantas kupuja dan kubalas budinya...”
“Cukup semua itu. Aku hanyalah seorang laki-laki yang hidup sebatang kara, tidak mempunyai tempat
tinggal, miskin dan papa. Dan engkau malah hendak ikut dengan aku. Bukankah itu sama sekali tidak
mungkin, dan lucu sekali?”
“Kenapa tidak mungkin dan kenapa lucu, taihiap? Aku ingin ikut denganmu ke mana pun engkau pergi. Aku
tidak peduli apakah engkau kaya atau miskin taihiap. Bahkan kebetulan sekali kalau engkau pun sebatang
kara seperti aku, karena tidak akan ada keluargamu yang mungkin tidak suka kepadaku. Aku akan
melayanimu, membantumu dalam segala hal. Taihiap, kasihanilah aku...”
“Tapi, Ling Ling, engkau tidak mengerti! Kau tahu, aku seorang pengembara, hidupku penuh bahaya! Aku
seorang yang selalu menentang kejahatan, sehingga aku dimusuhi para penjahat yang kejam. Engkau
akan ikut terancam bahaya kalau bersamaku.”
“Aku tidak takut! Kalau aku berada di sampingmu, bahaya maut pun tak akan membuat aku gentar, taihiap.
Aku pun siap mati kalau perlu!”
Diam-diam Sie Liong menjadi kagum dan juga heran. Mengapa gadis ini mati-matian hendak ikut dengan
dia?
“Ling Ling, aku kadang-kadang tidur di hutan... di atas rumput...”
“Hemm, tentu menyenangkan sekali, taihiap. Apa lagi di waktu terang bulan, dengan api unggun
menghangatkan badan. Rumput tentu lunak dan amat nyaman untuk tidur...”
“Kadang-kadang harus di atas pohon besar...”
“Ahh, aku belum pernah tidur di atas pohon, taihiap. Aku ingin sekali merasakan. Tentu aman dari
gangguan binatang buas...”
“Ling Ling...” Sie Liong kewalahan. “Kadang-kadang aku tidur di dalam kuil tua yang kuno dan kotor, yang
pantas menjadi tempat tinggal para iblis dan setan!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah itu menjadi pucat seketika, matanya terbelalak dan tubuhnya jelas nampak menggigil, pandang
matanya ketakutan dan penuh kengerian. Bagi orang-orang dusun di daerah itu, iblis dan setan amat
menakutkan karena mereka itu pada umumnya masih amat tebal rasa ketahyulan mereka.
Melihat ini, Sie Liong menjadi tidak tega dan tanpa disadarinya dia menyambung. “Akan tetapi selama ini
belum pernah aku bertemu setan dan iblis, semua itu hanya dongeng kosong belaka untuk menakut-nakuti
anak-anak dan orang-orang penakut.”
Ling Ling menarik napas lega. “Aku juga... ti... tidak takut, taihiap.”
Akan tetapi, membayangkan betapa gadis ini ikut dengannya, Sie Liong menarik napas panjang dan
menggelengkan kepalanya.
“Ling Ling, maafkan aku. Bagaimana pun juga, rasanya tidak mungkin jika engkau ikut denganku. Ingatlah,
aku seorang pria, dan engkau seorang wanita, seorang gadis muda yang cantik. Apa akan kata orang?
Tentu mereka akan menyangka yang bukan-bukan terhadap kita.”
“Taihiap, apakah kita harus menggantungkan hidup kita kepada kata-kata dan pendapat orang lain? Yang
terpenting adalah kita sendiri, bukan? Apa bila kita tidak melakukan sesuatu yang tidak benar, mengapa
takut disangka orang? Taihiap, aku akan menjaga diri agar tidak sampai membikin kecewa dan malu
padamu. Aku akan menjadi pelayan yang baik...”
“Sekali lagi maaf, Ling Ling. Terpaksa aku menolak. Tidak mungkin aku dapat mengajak engkau berkelana
menempuh banyak bahaya.”
Tiba-tiba wajah gadis itu nampak layu dan muram. Ia menundukkan mukanya, sampai lama tidak bergerak.
Tidak lagi ia menangis, akan tetapi ketika ia bicara, suaranya lirih dan mengandung rintihan.
“Baiklah, taihiap. Maafkan gangguanku tadi. Aku akan pergi sekarang juga, selamat... tinggal...” Dan gadis
itu pun membalikkan tubuhnya dan pergi dengan langkah satu-satu dengan tubuh lemas dan agak
terhuyung.
“Nanti dulu, Ling Ling! Engkau hendak pergi ke mana?” tanya Sie Liong dengan hati penuh rasa iba.
Gadis itu berhenti melangkah, menoleh dan wajahnya nampak demikian pucat. Matanya tidak ada sinarnya
lagi dan sebelum menjawab ia tersenyum, senyum yang menyayat perasaan Sie Liong karena senyum itu
demikian pahitnya.
“Ke mana saja kakiku membawaku, taihiap. Habis, ke mana lagi? Aku pun tidak tahu...” dan ia pun
melanjutkan langkahnya. Langkah satu-satu.
Dari belakang Sie Liong melihat betapa kedua pundak itu menurun, kemudian sedikit bergoyang-goyang,
tanda bahwa gadis itu menangis lagi. Tiba-tiba gadis itu terhuyung, lalu jatuh berlutut dan menangis!
Sie Liong marasa semakin iba dan sekali meloncat, dia telah berada di samping gadis yang berlutut sambil
menangis itu.
“Ling Ling...” katanya lirih.
“Biarkan aku mati saja... ahhh, biarkan aku mati saja...” gadis itu berbisik-bisik dan tangisnya mengguguk.
Dengan dua tangannya, Sie Liong memegang pundak gadis itu dan menariknya bangun berdiri. “Ling Ling,
jangan berkata demikian! Kalau engkau memang nekat dan berani menghadapi kesengsaraan, baiklah,
aku suka menerimamu.”
Kedua tangan itu menurun dari depan mata, mata itu terbelalak, air matanya masih menetes-netes, muka
itu masih pucat, akan tetapi mulut itu mengembangkan senyum. “Benarkan, taihiap? Ah, terima kasih...!
Aku tidak akan sengsara. Aku akan menjaga agar taihiap tidak sengsara! Aku siap menghadapi segala
kesukaran tanpa mengeluh. Dan aku dapat bekerja, taihiap. Aku memiliki keahlian menyulam indah, dan
dengan itu aku akan dapat mencari uang untuk dipakai keperluan kita sehari-hari! Ahh, aku bahagia sekali,
terima kasih, taihiap... terima kasih...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat itu terdengar suara sorak sorai dan ketika mereka menengok, nampak rumah itu sudah dibakar.
Api bernyala besar dan orang-orang dusun itu bersorak gembira. Lalu mereka berbondong menghampiri
Sie Liong, dipimpin oleh Gumo Cali. Mereka kembali menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar itu,
menghaturkan terima kasih.