Minggu, 16 September 2018

Cersil Baru Terbit : Panah Kekasih 2

===========
baca juga:




Ketika pertama kali menyaksikan kehebatan ilmu silat dari Hoa Hui serta dua bersaudara keluarga Siau, dia sangka tak mungkin ada jurus serangan didunia ini yang bisa mematahkan keampuhan mereka, tapi setelah mempelajari ilmu silat yang diajarkan orang berbaju kuning itu dengan seksama, dia baru sadar, walau seampuh dan seketat apapun suatu gerak serangan, dibalik kekokohannya pasti terdapat titik kelemahan, dan ilmu silat yang dia pelajari saat ini, walau hanya satu gerakan yang sederhana namun sudah cukup untuk mengancam titik kematian ditubuh mereka.
Terkadang dia tak tahan untuk bertanya kepada orang berbaju kuning itu, apakah dia punya dendam kesumat dengan pihak lembah kaisar, kalau tidak, mengapa dia mampu menyelidiki dan mempelajari setiap gerakan untuk mematahkan semua jurus serangan aliran lembah kaisar" Tapi orang berbaju kuning itu hanya tersenyum tanpa menjawab.
Hari itu, mereka telah tiba di wilayah bukit Siong-san, menjelang tibanya sang fajar, kedua orang itu menelusuri jalan setapak menuju keatas bukit.
Ditengah hembusan angin yang sepoi dan sinar fajar berwarna keemasan, Tian Mong-pek dan orang berbaju kuning itu menembusi sebuah hutan siong.
Dari kejauhan sana, mereka saksikan bangunan biara Siau-lim yang megah serta terdengar suara nyanyian doa pagi yang merdu.
Sementara Tian Mong-pek masih menikmati indahnya alam gunung, mendadak dari balik hutan siong terdengar suara pujian kepada sang Buddha, diikuti munculnya empat orang pendeta.
Salah seorang pendeta diantaranya segera memberi hormat sambil berseru: "Harap sicu memaklumi, biara kami .
. . . . . .." Tapi begitu melihat raut muka orang berbaju kuning itu, ucapannya seketika terhenti.
"Masih kenal dengan diriku?" sapa orang berbaju kuning itu sambil tersenyum.
"Pinceng . . . . . . .." Orang berbaju kuning itu tertawa terbahak-bahak, ujarnya lebih lanjut: "Sepuluh tahun berselang, ketika aku bermain catur hampir sepuluh hari lawannya melawan gurumu, kau selalu berdiri disamping untuk melayani air teh, saat itu usiamu masih muda .
. . . . .. aaai, tak disangka sepuluh tahun telah berlalu dengan begitu cepat." Baru selesai ucapan itu, pendeta tadi sudah menjatuhkan diri berlutut sambil ujarnya penuh rasa hormat: "Tecu Cin-kong memang bodoh, untuk sesaat ternyata tak bisa mengenali cianpwee." Ke tiga orang pendeta lainnya ikut jatuhkan diri berlutut, walaupun mereka tak kenal siapakah orang ini.
Orang berbaju kuning itu segera membangunkan mere ka, ujarnya dengan suara berat: "Walaupun topeng yang kukenakan selalu berganti rupa, tapi pakaian berwarna kuning ku ini paling gampang dikenali, tapi kenyataan kau tetap tidak mengenalnya.
Jangan jangan ada suatu masalah yang sedang membuat kau gugup dan kalut pikiran?" Cin Kong tertegun sesaat, sahutnya cepat: "Ternyata ketajaman mata cianpwee memang luar biasa." "Apakah sudah terjadi suatu peristiwa dalam biara?" Il "Dugaan cianpwee tepat sekali, saat ini dalam biara .
. . . . . .. Berkilat sepasang mata orang berbaju kuning itu, jelas ia merasa amat terkejut, tak sampai pendeta itu menyelesaikan perkataannya, dia sudah menukas: "Kalau memang begitu, cepat bawa aku menghadap gurumu." Dengan wajah berat Cin Kong menghela napas panjang, ujarnya: "Rasanya hari ini cianpwee tak dapat bertemu muka dengan dia orang tua." "Apa maksudmu?" "Silahkan ikuti tecu, cianpwee bakal tahu dengan sendirinya." Diam-diam Tian Mong-pek merasa sangat terperanjat, sebagaimana diketahui, Biara Siau-lim sudah lama menjagoi dunia persilatan, walaupun dunia kangou sering terjadi keonaran dan pertumpahan darah, namun selama ini biara Siau-lim-si selalu aman tenteram.
Tapi sekarang, biara Siau-lim pun ketimpa musibah, ia benar benar tak habis mengerti, jagoan dari mana yang begitu bernyali hingga berani mengusik ketenangan biara tersebut.
Sementara itu Cin Kong telah mengajak mereka memasuki biara Siau-lim-si.
Tampak bangunan biara itu terdiri dari berpuluh halaman dengan berapa puluh gedung tinggi besar, anehnya suasana amat hening dan tenang.
Paras muka semua murid biara terlihat serius dan berat, bahkan langkah kaki mereka pun tak berisik, sama sekali tak menimbulkan suara.
Berada dalam suasana seperti ini, tanpa terasa Tian Mong-pek ikut tertular oleh perasaan berat, pelbagai kecurigaan dan pertanyaan berkecamuk jadi satu, namun ia tak berani buka suara.
Sesudah melewati berapa lapis halaman, tibalah mereka di halaman belakang, tempat tinggal hongtiang.
Terlihat berapa orang pendeta beralis putih, berjenggot panjang berjalan mondar mandir didepan pintu halaman, wajah mereka kelihatan tegang dan tidak tenang.
Tian Mong-pek semakin terperanjat, sudah jelas masalah yang dapat membuat para pendeta Siau-lim merasa tegang merupakan peristiwa besar yang luar biasa.
Tapi suasana disekeliling tempat itu sangat hening, tak kedengaran suara bentakan, suara bentrokan senjata maupun pertarungan, sementara kawanan pendeta itu meski berwajah serius, namun wajah mereka tiada napsu membunuh, dalam genggaman mereka pun tak bersen jata.
Belum habis dia berpikir, tiba tiba dilihatnya kawanan pendeta itu segera menunjukkan wajah kegirangan begitu melihat kemunculan orang berbaju kuning itu, seakan-akan mereka telah melihat datangnya bintang penolong.
Berapa orang diantaranya bahkan berniat maju menyongsong, tapi niat itu segera diurungkan, mereka hanya memberi hormat sambil mundur dan memberi jalan lewat.
Menyaksikan situasi yang luar biasa ini, dalam hati orang berbaju kuning itu merasa terkejut, tidak menunggu dihantar Cin Kong, cepat dia menyelinap ke dalam halaman.
Tian Mong-pek agak sangsi sejenak, ketika melihat para pendeta Siau-lim itu tidak berniat menghalangi jalan perginya, dia pun ikut melangkah masuk ke dalam halaman.
Menanti ia berpaling kembali, terlihat kawanan pendeta itu masih tetap tertinggal di halaman luar, tak seorang pun yang ikut masuk.
Dalam waktu singkat Tian Mong-pek merasakan hawa pembunuhan yang tebal seolah menyelimuti sekeliling tempat itu.
Ternyata orang berbaju kuning itu hapal sekali dengan jalan ditempat itu, setelah mengitari sebuah gunung-gunungan, terlihat ada puluhan orang lelaki berbaju biru berdiri berjajar didepan ruang hongtiang.
Paras muka orang orang itu tampak tegang dan serius, tapi semangat mereka seketika bangkit setelah melihat kehadiran orang berbaju kuning itu, serentak mereka membungkukkan badan memberi hormat.
Tiba-tiba perasaan Tian Mong-pek tergerak, dia merasa kawanan lelaki itu seakan pernah dikenalnya, pernah bertemu disuatu tempat, tapi lupa siapakah mereka.
"Kalian pun berada disini?" terdengar orang berbaju kuning itu menegur dengan nada terperanjat.
Tampak seorang pemuda tampan berbaju biru maju menyambut kedatangan tamunya seraya memberi hormat.
"Cayhe tidak tahu kalau cianpwee pun ikut datang kemari, maaf bila tidak menyambut dari jauh." Orang berbaju kuning itu mendengus, katanya ketus: "Tempat ini toh bukan tempat tinggalmu, kenapa harus menyambut dari jauh" Benar benar sangat aneh." "Benar, benar .
. . . . .." pemuda berbaju biru itu buru buru tertawa paksa.
"Kau tak perlu jual lagak lagi dihadapanku, cepat mingkir biar aku lewat." Kembali pemuda berbaju biru itu menjawab sambil tertawa paksa: "Suhu telah menurunkan perintah, dalam tiga hari, siapapun dilarang memasuki ruang hongtiang, harap cianpwee maklum." "Apa" Gurumu hadir juga disini?" berkilat sepasang mata orang berbaju kuning itu.
"Kalau bukan diajak guru, mana mungkin tecu sekalian berani sembarangan bergerak dalam biara Siau-lim, terlebih berani menghalangi cianpwee." "Dia kemari" Mau apa dia kemari?" gumam orang berbaju kuning itu.
Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benak Tian Mong-pek, serunya tertahan: "Apakah Lan Toa-sianseng telah datang kemari?" Pemuda berbaju biru itu memandangnya sekejap sambil tersenyum, kemudian manggut-manggut.
Biarpun wajah pemuda itu penuh dihiasi senyuman, namun sorot matanya setajam sembilu, dia tetap menghadang didepan orang berbaju kuning itu dan sama sekali tak mau mundur.
Suasana didalam ruang hongtiang sepi bagai di kuburan, hanya kepulan asap tipis yang menyebar dari balik tirai bambu.
"Apakah didalam sana masih ada orang lain?" kembali orang berbaju kuning itu bertanya dengan kening berkerut.
"Tecu kurang begitu jelas." "Kalau begitu biar aku masuk untuk memeriksanya." "Suhu berulang kali berpesan, dalam tiga hari ini, siapapun dilarang memasuki ruang hongtiang, tecu sendiripun tidak tahu mengapa begitu." Kata pemuda berbaju biru itu tetap bergeming.
"Guru mu sendiripun tak berani menghalangi aku, kau .
. . . . . .." bentak orang berbaju kuning itu gusar.
Cepat pemuda berbaju biru itu memberi hormat, katanya: "cianpwee adalah sahabat karib guru, bila cianpwee tetap bersikeras ingin II masuk, tentu saja tecu tak berani menghalangi, akan tetapi .
. . . .



. .. Dengan wajah serius dan nada sungguh sungguh, tambahnya: "Setelah cianpwee menerjang masuk, bila suhu sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan, tecu tak akan menanggung semua resiko dan tanggung jawabnya." "Masa bisa terjadi sesuatu?" tanya orang berbaju kuning itu tertegun.
"Yang paling enteng hanya akan kehilangan peluang, yang terberat bisa terancam keselamatan jiwanya, segala kemungkinan bisa terjadi, karena itu harap cianpwee mau berpikir tiga kali sebelum bertindak." "Sebenarnya apa yang sedang dia lakukan didalam sana?" tanya orang berbaju kuning itu terperanjat, "kenapa bisa mengakibatkan situasi yang begitu gawat" Masa .
. . . .. masa dia bertarung melawan ciangbunjin dari biara Siau-lim?" "Dua hari kemudian segala sesuatunya baru akan menjadi jelas." Sahut pemuda berbaju biru itu sambil menundukkan kepala.
Orang berbaju kuning itu termenung berapa saat, akhirnya dia duduk diatas sebuah batu hijau dibawah pohon siong.
Ketika memandang ke arah ruang hongtiang, selain asap dupa, suasana tetap hening tak kedengaran sedikit suara pun.
Kini hanya terdengar hanya gesekan daun siong yang terhembus angin sepoi.
Suasana dalam halaman itu makin lama semakin hening, suasana pun makin lama semakin bertambah serius.
Dari luar halaman terlihat ada anggota Siau-lim yang melongok kedalam untuk melihat keadaan, namun tak seorangpun berani memasuki halaman itu, terlebih tak kedengaran sedikit suarapun.
Lewat lama kemudian, akhirnya Tian Mong-pek tak kuasa menahan diri, dengan merendahkan suaranya dia bertanya: "Apa rencana cianpwee selanjutnya?" "Kita lihat keadaan lebih dulu." Jawab orang berbaju kuning itu tetap bersila diatas batu tanpa bergerak.
Matahari telah tenggelam di ujung barat, cahaya senja berwarna merah membiaskan selapis cahaya terang disekeliling hutan.
Dari luar halaman, lamat-lamat terdengar suara orang berdoa, suasana yang hening menambah keangkeran dan keseriusan tempat tersebut.
Orang berbaju kuning itu masih duduk diatas batu, tampaknya ia sedang bersamadi, sementara kawanan lelaki berbaju biru itu tampak tampil tegang, kesedihan dan kekuatiran terselip diantara alis mata mereka.
Tiba tiba terlihat empat orang pendeta kecil berusia sebelas-dua belas tahunan, dengan membawa empat keranjang makanan, bergerak masuk dari luar halaman, langkah mereka enteng dan lincah, sewaktu berjalan tidak menimbulkan suara.
Salah seorang diantaranya meletakkan kotak makanan itu didepan kamar hongtiang, sementara tiga orang lainnya menyerahkan kotak makanan itu ke tangan pemuda berbaju biru.
"Terima kasih banyak suheng sekalian." Kata pemuda berbaju biru itu sambil tersenyum.
Selesai memberi hormat, ke empat orang hwesio cilik itu segera berlalu dari sana.
Pemuda berbaju biru itu membuka kotak makanan lalu memilih berapa macam hidangan terbaik dan diserahkan kepada orang berbaju kuning serta Tian Mong-pek, kemudian ia baru bersantap bersama kawanan lelaki lainnya.
Sambil bersantap, dengan sorot mata yang tajam Tian Mong-pek mengawasi terus pintu kamar hongtiang.
Tiba tiba terlihat tirai bambu disingkap orang, muncul sebuah tangan putih halus dengan ujung baju berwarna merah cerah.
Tangan halus itu hanya melintas lewat, kotak makanan telah diambil masuk ke dalam ruangan.
Berdebar hati Tian Mong-pek, bisiknya ke sisi telinga orang berbaju kuning itu: "Cianpwee, sudah kau lihat" Ternyata ada perempuan didalam kamar hongtiang." Orang berbaju kuning itu manggut-manggut, mendadak bibirnya bergetar, seolah sedang berbicara dengan seseorang, tapi Tian Mong-pek sama sekali tidak mendengar suara apapun.
Tergetar pikirannya, diapun berpikir: "Jangan-jangan ia sedang mengajak bicara orang yang berada dalam ruang Hongtiang dengan ilmu coan-im-jip-pit?" Belum habis ingatan itu melintas, tampak tirai bambu didepan kamar hongtiang disingkap orang, sesosok bayangan manusia tampilkan diri.
Dia adalah seorang perempuan cantik bersanggul tinggi yang mengenakan pakaian serba merah.
Dia adalah seorang perempuan cantik bersanggul tinggi yang mengenakan pakaian serba merah.
Tian Mong-pek merasa matanya jadi kabur, perempuan berbaju merah itu telah tiba dihadapan orang berbaju kuning itu.
Kini pemuda itu baru dapat melihat dengan jelas, meski wanita berbaju merah itu cantik jelita, namun wajahnya sudah berkeriput, jelas usia nya telah lanjut hingga hanya tersisa bekas keayuannya dimasa lampau.
Begitu melihat kehadiran wanita cantik berbaju merah itu, serentak kawanan lelaki berbaju biru itu membungkukkan diri memberi hormat.
Sambil menatap orang berbaju kuning itu, tegur nyonya cantik itu: "Barusan, apakah kau yang telah mengajak aku berbicara dengan ilmu coan-im-jip-pit?" "Maaf kalau hanya pamer kejelekan." Jawab orang berbaju kuning itu tersenyum.
Nyonya cantik berbaju merah itu balas tersenyum.
"Kau sanggup melatih ilmu coan-im-jip-pit hingga mencapai sedemikian sempurna, aku rasa kau pastilah orang yang dimaksud Szauezan sebagai musuh tandingannya selama ini." Biarpun usianya sudah pertengahan, namun nada suaranya tetap merdu, senyumannya tetap menawan hati.
"Kalau dilihat dari dandanan hujin," kata orang berbaju kuning itu pula sambil tertawa, "tak usah ditanyapun sudah pasti kau adalah Liat-hwee hujin yang termashur namanya dikolong langit." "Dugaanmu keliru, dia adalah ciciku, andai aku adalah Liat-hwee hujin, tak mungkin akan mengajakmu berbincang dengan ramah." "Ooh, ternyata Tiau-yang hujin, maaf akan kebodohanku!" Mendengar nama itu, diam diam Tian Mong-pek terkesiap, dia sama sekali tak menyangka akan bertemu dengan Liat-hwee hujin dan Tiau-yang hujin yang sudah tersohor semenjak empat puluh tahun berselang dalam biara Siau-lim.
Sudah cukup banyak kejadian romantis yang dilakukan kedua orang wanita ini dalam dunia persilatan, bahkan nama kedua orang inipun ada sangkutnya dengan begitu banyak pendekar kenamaan dalam dunia persiatan.
Dari begitu panjang daftar nama yang ada, yang paling menonjol diantaranya adalah Lan Toa-sianseng dari istana Au-sian-kiong serta majikan lembah kaisar.
Begitu rumitnya hubungan ke empat orang itu, selain mereka sendiri, tak seorangpun anggota persilatan yang tahu secara jelas, tapi persoalan yang makin tak jelas, biasanya akan diikuti dengan rumor yang semakin banyak.
Dari perawakan tubuh Tiau-yang hujin yang ramping, khususnya sewaktu ditimpa cahaya senja, ternyata dipandang dari kejauhan, dia tak ubahnya seperti seorang nona yang baru berusia dua puluh tahunan.
Sambil tertawa kata perempuan itu: "Sian-Lan sedang beradu nyawa dengan si hwesio tua didalam sana, mereka undang aku datang sebagai juri, coba bayangkan, bikin pusing orang tidak?" "Kenapa dia bertarung melawan Thian-huan taysu?" tanya orang berbaju kuning itu terperanjat.
"Kemungkinan besar lantaran kau." Sahut Tiau-yang hujin sambil tertawa.
"Karena aku" Mana mungkin karena aku?" "Ayoh, ikut aku." Undang Tiau-yang hujin sambil menggapai.
Baru perempuan itu selesai bicara, pemuda berbaju biru itu telah menghadang ditengah jalan.
"Mau apa kau?" tegur Tiau-yang hujin sambil menarik muka.
"Suhu ada perintah, selain hujin, siapapun dilarang memasuki ruang hongtiang, bukankah hujin pun mendengar sendiri perintah ini?" kata pemuda berbaju biru itu sambil tertawa paksa.
"Aku yang mengajaknya masuk, jadi aku pula yang bertanggung jawab." "Maaf, tecu bodoh, tecu hanya tahu mentaati perintah suhu seorang." Berubah paras muka Tiau-yang hujin.
"Jadi kau tidak menurut dengan perkataanku?" Pemuda berbaju biru itu tetap berdiri tegar dengan mulut membungkam.
"Ternyata pemuda ini betul-betul seorang lelaki sejati." Puji Tian Mong-pek diam diam.
Perlahan sekulum senyuman menghiasi wajah Tiau-yang hujin dengan dingin, katanya: "Anak pintar, tampaknya kau sangat setia!" "Perintah suhu tak boleh dibantah, harap hujin sudi memaafkan." "Kalau begitu, terpaksa aku harus memenuhi pengharapanmu." Tiba tiba Tiau-yang hujin mengayunkan tangan kirinya, diantara kibaran kain merah, secepat kilat ia sudah menotok jalan darah penting didepan dada pemuda berbaju biru itu.
sedemikian cepat serangan itu dilancarkan, nyaris Tian Mong-pek tak dapat melihat jelas, dia hanya merasa bayangan merah melintas, pemuda berbaju biru itu sudah roboh ke tanah.
"Sekarang kita boleh masuk," ajak Tiau-yang hujin kemudian sambil tersenyum, "kejadian ini tak ada sangkut pautnya dengan dirimu, biarkan saja dia berbaring disitu, paling sehari kemudian jalan darahnya akan terbebas dengan sendirinya." Sambil berkata dia pun menarik ujung baju orang berbaju kuning itu dan berjalan menuju ke kamar hongtiang.
Benar saja, tak seorang pun berani menghalangi jalan perginya.
"Saudara cilik, ayoh ikut aku!" ajak orang berbaju kuning itu.
Baru berjalan berapa langkah, tak tahan Tian Mong-pek berteriak lantang: "Sahabat ini hanya mentaati perintah gurunya, kenapa hujin harus turun tangan melukainya?" Tiau-yang hujin berpaling memandangnya sekejap, lalu tegurnya: "Siapa kau?" "Aku Tian Mong-pek." Tiau-yang hujin menghentikan langkahnya, berpaling dan menatapnya tajam- tajam.
Tian Mong-pek sama sekali tidak menghindar, dia balas melototi wajah Tiau-yang hujin, sama sekali tak ada perasaan takut.
Sementara itu, orang berbaju kuning itu hanya menonton dari samping, senyuman terlintas diantara sorot matanya.
Lama sekali Tiau-yang hujin mengawasinya, tiba tiba sambil tersenyum katanya: "Besar amat kobaran amarahmu anak muda, persis seperti 5220-Lan disaat masih muda dulu." Setelah tersenyum, terusnya: "Karena kau merasa watak pemuda itu sama kerasnya seperti watakmu, maka kau merasa marah bukan ketika melihat aku merobohkan dirinya?" "Orang dewasa menganiaya kaum muda, orang kuat menindas yang lemah, aku .
. . . . .." "Siapa yang menindas dan menganiaya dirinya?" tukas Tiau-yang hujin tertawa, "aku tak lebih hanya memberi peringatan, agar dikemudian hari dia tak usah berlagak sok setia, padahal dalam perutnya penuh dengan akal busuk." "Melaksanakan perintah guru bukan hal yang jelek, masa dianggap banyak akal busuk?" "Selama hidup, sudah terlalu banyak lelaki yang kujumpai, tak bakal salah lihat, biji matanya berputar tak menentu, dia pasti bukan orang setia seperti apa yang kau bayangkan." "Hujin cari menangnya sendiri, aku sangat tidak puas." "Hahaha," Tiau-yang hujin tertawa tergelak, "bukan saja emosimu persis seperti sia&-Lan, sifat keras kepala pun tak jauh berbeda.
Baik, setelah kalian masuk nanti, aku segera akan membebaskan dirinya." Sinar senyuman semakin kentara dari balik mata orang berbaju kuning itu, bahkan dia nyaris tertawa tergelak.
"Hei, apa yang kau tertawakan?" Tiau-yang hujin segera menegur.
"Kalau kukatakan, mungkin hujin bakal marah." "Aku tak bakalan marah." Gerak geriknya bukan saja seperti gadis muda, sikap maupun caranya bicara pun tak beda dengan gadis remaja.
"Orang persilatan bilang, cinta hujin terhadap Lan toa-sianseng sangat mendalam, sebetulnya aku tidak percaya dengan rumor tersebut, tapi hari ini aku telah mempercayainya." "Apa maksud perkataanmu itu?" "Orang bilang: karena menyukai rumahnya, akan menyukai pula segala yang berhubungan dengan rumah itu.
Karena itulah sewaktu hujin bertemu dengan orang yang memiliki watak sama dengan Lan Toa-sianseng, kaupun menaruh kesan baik kepadanya, kalau tidak .
. . . . .." Setelah melempar sekulum senyuman, terusnya: "Kalau tidak, dengan watak hujin, mana mungkin kau akan bersikap begitu sungkan terhadap saudara cilikku?" Tiau-yang hujin tertegun berapa saat, mendadak dia menghela napas sedih: II "Betul, aku memang sangat mencintainya .
. . . . . .. Sesudah berhenti sejenak, dia ulapkan tangannya sambil berseru: "Mari kita masuk lebih dulu!" Berkilat sepasang mata orang berbaju kuning itu, dari balik kilatan matanya seolah tersimpan sesuatu rahasia, tapi rahasia apakah itu" Selain dia sendiri, siapa yang tahu" Perlahan dia menyingkap tirai bambu dan menyelinap masuk, asap tipis menyelimuti ruang hongtiang.
Asap tipis itu menyebarkan bau harum, berasal dari sebuah hiolo terbuat dari tembaga.
Diatas pembaringan duduk bersila Lan Toa-sianseng yang tinggi besar, dia masih mengenakan jubah pendeta berwarna biru, namun paras mukanya kelihatan amat serius.
Dihadapannya duduk bersila seorang pendeta tua, dialah Thian-huan taysu, ciangbunjin dari partai Siau-lim yang menjagoi dunia persilatan saat ini.
Telapak tangan kanan mereka saling menempel satu dengan lainnya, jelas kedua orang itu sedang beradu tenaga dalam, tapi anehnya, diantara kedua orang itu terletak pula sebuah papan catur.
Sudah jelas permainan catur itu belum berakhir, jari telunjuk dan tengah dari Thian-huan taysu masih menjepit sebiji catur warna putih, terlihat dia lama sekali termenung dan sama sekali tidak menurunkan biji caturnya.
Sepasang mata Lan Toa-sianseng yang tajam, sedang mengawasi pula papan cantur itu, seakan sedang mempertimbangkan langkah berikut, sepasang alis matanya yang tebal tampak berkerut kencang.
Rupanya kedua orang jago lihay ini sembari beradu tenaga, merekapun bermain catur, sebuah cara bertanding yang aneh dan luar biasa.
Perlu diketahui, tenaga dalam harus dilatih dari ilmu silat, sedang bermain catur mengandalkan kecerdasan, kedua hal itu sama sekali tak ada sangkut pautnya, bahkan sama sekali tak berkaitan.
Untuk meraih kemenangan dalam kedua bidang itu, bukan saja dibutuhkan konsentrasi bahkan begitu perhatian buyar, tenaga da lam akan ikut buyar dan permainan catur pun bakal menderita kalah.
Tapi kedua orang itu bertarung dengan begitu serius, bukan saja saling beradu tenaga, mereka pun beradu kecerdasan.
Menyaksikan pemandangan itu, orang berbaju kuning itu kontan berdiri tertegun, apalagi Tian Mong-pek yang belum pernah menyaksikan pertarungan semacam ini, dia berdiri tertegun, matanya mendelong, mulutnya melongo, tubuhnya sama sekali tak bergerak.
Terendus bau harum, Tiau-yang hujin ikut menyelinap masuk pula ke dalam ruangan.
Tapi kondisi Lan Toa-sianseng maupun Thian-huan taysu saat itu sudah berada dalam keadaan lupa segalanya, bertambah atau berkurangnya seseorang dalam ruangan, sama sekali tak mereka perhatikan.
Hal ini menunjukkan kalau mereka telah menggunakan setiap kekuatan, setiap kecerdasannya untuk memenangkan pertarungan mati hidup ini.
Bab 18. Liat-hwee Hujin. Dalam keadaan begini, terpaksa orang berbaju kuning dan Tian Mong-pek harus menahan napas dan tak berani sembarangan bergerak.
Tampak paras muka Thian-huan taysu berubah semakin berat, butiran keringat mulai membasahi jidatnya, biji catur yang berada dalam tangannya pun sampai lama belum juga diturunkan.
Orang berbaju kuning itu mencoba memperhatikan posisi papan catur, ia jumpai posisi catur putih sudah sangat mendekat hingga langkah berikut jadi sangat penting karena mempengaruhi keseluruh permainan itu.
Bila ia salah meletakkan biji catur ini, bukan saja pendeta itu harus menghadapi ancaman dari sayap kiri, gencetan biji catur dari sayap kanan bisa menyebabkan dia mati langkah.
Akhirnya Thian-huan taysu menurunkan biji caturnya, terlintas cahaya girang dari balik mata Tian Mong-pek.
Pemuda ini meski masih muda, namun dia sangat mengerti tentang ilmu bermain catur, dia tahu jika biji catur itu diletakkan pada posisi yang akan dilakukan Thian-huan taysu, maka kekalahan catur putih sudah dapat dipastikan.
Hal ini bisa dimaklumi, selama ini dia memang punya kesan mendalam terhadap Lan Toa-sianseng, tentu saja dia berharap Lan Toa-sianseng yang memenangkan pertarungan ini.
Siapa tahu disaat yang kritis itulah, suara nyanyian doa yang sudah terhenti sejak tadi, tiba tiba bergema kembali di udara, suara doa itu seketika menyelimuti seluruh angkasa.
Begitu mendengar suara nyanyian doa, paras muka Thian-huan taysu yang semula murung, tiba tiba saja berubah lebih tenang, tangannya kembali terhenti di udara, sampai lama kemudian biji catur itu baru diletakkan.
Posisi yang dia pilih untuk meletakkan biji catur itu memang luar biasa sekali, suasana pun seketika berubah drastis, sekalipun pihak putih tak bisa meraih kemenangan, paling tidak ia tak bakalan menderita kekalahan.
Terlihat tangan Lan Toa-sianseng gemetar keras, alis matanya berkerut makin kencang, perubahan tersebut membuat kesempatan emasnya seketika hilang.
Sesudah berpikir lama sekali, akhirnya diapun meletakk an sebiji catur, Thian-huan taysu segera meletakkan pula biji catur yang lain, pertarungan sengit kembali berkobar.
Tak lama setelah nyanyian doa bergema, paras muka Thian-huan taysu makin tampak tenang, sebaliknya Lan Toa-sianseng justru berubah makin gelisah dan tidak tenang.
Ditengah keheningan yang mencekam, tiba-tiba Tian Mong-pek membentak keras: "Tidak adil!" "Ssttt!" buru-buru Tiau-yang hujin meletakkan jari tangannya keatas bibir, minta Tian Mong-pek jangan berteriak, walau begitu tanyanya juga: "Bagaimana tidak adilnya?" "Kawanan hwesio Siau-lim sedang menggunakan nyanyian doa dari kalangan Buddha untuk membantu hawa murni serte ketenangan taysu itu, sebaliknya justru mengalutkan pikiran serta kecerdasan Lan Toa-sianseng." ll "Betul juga, pikir Tiau-yang hujin dengan kening berkerut, "Thian-huan taysu merupakan pendeta tinggi, dia dapat menggunakan nyanyian doa untuk menenangkan pikiran, sebaliknya Szauezan bukan kalangan Buddha, suara nyanyian doa itu justru akan membuatnya gelisah dan tak tenang.
Ternyata biara Siau-lim memang hebat, mereka telah membantu ciangbunjinnya tanpa meninggalkan jejak." Berpikir begitu, perasaan hatinya jadi semakin murung, tapi diluaran segera pujinya sambil tersenyum: "Saudara cilik, sungguh tak kusangka walaupun watakmu agak temperamen, II tapi otakmu encer, sangat cerdas, hanya saja .
. . . . .. Setelah berhenti sejenak, tambahnya: "Hanya saja, sebelum pertarungan dimulai tadi, tak ada peraturan yang melarang para hwesio itu membaca doa, saudara cilik, menurutmu bagaimana baiknya?" Berkilat sepasang mata orang berbaju kuning itu, selanya: "Cara tentu saja ada, hanya persoalannya, masalah apa yang membuat mereka berdua bertarung mati-matian?" "Aai, semestinya kaupun mengetahui watak sjau-Lan, apapun dia lakukan, hanya gara-gara jengkel pun sudah cukup baginya untuk beradu nyawa." Orang berbaju kuning itu gelengkan kepalanya berulang kali, katanya: "Tak mungkin masalahnya sesederhana itu, hanya saja hujin enggan memberitahu.
Yaa, karena tidak tahu persoalan apa yang membuat mereka ribut, terpaksa akupun hanya bisa berpeluk tangan saja." "Siapa yang minta kau mencampurinya" Aku pasti punya cara." Walaupun perempuan itu mengatakan punya cara, padahal dia sendiripun bingung, tak tahu apa yang harus diperbuat.
Sementara pembicaraan berlangsung, situasi dipapan catur sudah berubah makin tegang, hanya saja pertarungan yang bisa disaksikan dengan mata telanjang ini, tak bisa melebihi rasa kuatir dikarenakan pertarungan yang kasat mata....
Lengan kanan Lan Toa-sianseng yang saling menempel dengan tangan Thian-huan taysu makin lama mengembang makin besar dan kasar, uap panas pun mulai mengepul dari atas kepalanya.
Sedang Thian-huan taysu makin lama justru semakin tenang, sorot matanya saja makin redup dan sedih, mata sebagai jendela mati mengartikan bahwa meredupnya sinar mata menunjukkan kalau hawa murninya mulai mengalami gangguan.
Bila dua ekor harimau berkelahi, salah satu diantaranya bakal terluka, namun siapapun dari mereka berdua yang terluka, keja dian ini pasti dapat menimbulkan kekalutan dan keonaran dalam dunia persilatan.
Hanya saja, sebelum hasil pertarungan antara kedua orang itu ketahuan, tak seorang manusiapun berani memisahkan mereka secara sembarangan, hal ini dikarenakan siapa pun tidak memiliki tenaga dalam sedemikian sempurna.
Bahkan bagi orang yang memiliki tenaga dalam setara dengan Lan Toa-sianseng maupun Thian-huan taysu pun tak berani bertindak sembarangan, salah salah bukan saja akan melukai kedua orang itu, kemungkinan besar akan melukai pula diri sendiri.
Waktu berjalan sangat lamban, tiba tiba Tian Mong-pek berteriak: "Aku pun akan ikut bernyanyi." "Nyanyian apa yang hendak kau bawakan?" tanya Tiau-yang hujin keheranan.
"Hwesio boleh menyanyikan doa, masa aku tak boleh membawakan sebuah lagu?" Berputar sepasang biji mata Tiau-yang hujin, katanya sambil tertawa ringan: "Daripada kau yang nyanyi, lebih baik biar aku saja." Dia telah menduga kalau Tian Mong-pek ingin menggunakan suara nyanyiannya untuk mengacaukan nyanyian doa.
"Jika hujin ingin bernyanyi, tentu saja hal ini jauh lebih baik." Seru Tian Mong-pek.
Sesudah membenahi rambutnya yang kusut, Tiau-yang hujin pun mulai bersenandung membawakan sebuah lagu.
Suaranya halus dan merdu, walaupun hanya sebuah lagu pendek namun perempuan itu dapat membawakan dengan penuh keindahan.
Ketika semua lagu selesai dibawakan, lagu berikut segera dilanjutkan, lambat laun paras muka perempuan itu berubah jadi semu merah, seakan nyanyian itu membangkitkan kembali kenangan indahnya dimasa remaja dulu.
Benar saja, mimik muka Thian-huan taysu lambat laun kelihatan mulai kalut, dia berpikir lebih lama lagi untuk meletakkan biji caturnya, melihat itu Tian Mong-pek kegirangan, pikirnya: "Kali ini caraku memberikan hasil yang menggembirakan." Siapa tahu, dia segera menyaksikan sinar mata Lan Toa-sianseng jauh lebih kacau, perasaan hati nya semakin tak tenang, bahkan lamat lamat terlihat gejolak perasaan hatinya yang luar biasa.
Orang berbaju kuning itupun pejamkan mata sambil menikmati, tampaknya diapun terbuai oleh suara nyanyian itu.
"Celaka!" pekik Tian Mong-pek dalam hati.
Pemuda ini dasarnya memang berotak cerdas, tiba-tiba saja ia teringat kalau antara Tiau-yang hujin dengan Lan Toa-sianseng sebenarnya merupakan sepasang kekasih selama banyak tahun, hanya dikarenakan pelbagai persoalan, mereka tak sampai mengikat diri dalam satu ikatan tali perkawinan.
Dan kini, walaupun nyanyian Tiau-yang hujin berhasil mengalutkan konsentrasi Thian-huan taysu, tapi merangsang pula gejolak emosi Lan Toa-sianseng, membawanya terjerumus dalam impian lama disaat masih muda dulu.
Akibatnya keadaan jadi terbalik, bukannya menolong, nyanyian itu justru membuatnya makin kalut.
Sementara Tian Mong-pek masih panik, mendadak terdengar suara nyanyian doa mulai kalut, bahkan diantaranya terselip pula jeritan kaget.
Menyusul kemudian terdengar suara bentakan nyaring yang diikuti suara langkah manusia.
"Ji-moay, kau ada dimana?" dari kejauhan terdengar seseorang memanggil dengan suara lengking.
Berubah paras muka Tiau-yang hujin, seketika dia menghentikan suara nyanyiannya.
"Apakah Liat-hwee hujin telah datang?" tanya orang berbaju kuning itu sambil membuka matanya.
Tiau-yang hujin manggut-manggut.
Terdengar dari luar ruangan bergema lagi suara teriakan: "Ji-moay, cepat keluar!" Teriakan itu dari jauh makin mendekat, dalam waktu sekejap telah tiba di halaman belakang.
Terdengar Lan Toa-sianseng mendengus lalu mimik mukanya berubah jadi tenang kembali.
"Omintohud!" bisik Thian-huan taysu pula, sinar matany a kembali terang benderang.
Kedua orang ini mulai memulihkan kembali ketenangannya, sorot mata mereka tertuju ke atas papan catur, terhadap kekacauan didunia luar, mereka seolah tidak melihat dan tidak mendengar.
Tatapan mata Tiau-yang hujin tertuju ke luar pintu, wajahnya kelihatan tegang, ternyata dia tak berani menyahut.
Melihat itu, Tian Mong-pek merasa sangat keheranan, ia tak menyangka kalau perempuan itupun takut dengan seseorang.
Tak lama kemudian terlihat bayangan merah menyelinap masuk dari balik tirai bambu, seorang wanita bersanggul tinggi, berbaju merah menyala, bagaikan segumpal api membara telah muncul dalam ruangan.
Wanita itu mengerling sekejap sekeliling tempat itu, lalu sambil tertawa dingin serunya: "Bagus sekali, ternyata kau dan 52QUfLdU telah mengelabuhi cici dan berpacaran dalam biara hwesio." "Cici, coba lihat, masa keadaan seperti ini mirip tempat berpacaran?" jawab Tiau-yang hujin sambil tertawa paksa.
Perempuan bersanggul tinggi, berjubah merah darah ini meski memiliki raut muka yang sangat mirip dengan Tiau-yang hujin, namun ia memiliki sepasang alis mata yang lebih tebal, sinar mata yang lebih terang dan pancaran cahaya yang lebih benderang.
Dengan tatapan yang tajam dia menyapu sekejap wajah semua orang, lalu katanya: "Kalau bukan datang untuk berpacaran, tidak seharusnya kalian mengelabuhi aku dengan kabur kemari secara diam-diam!" Tiau-yang hujin menghela napas panjang.
"Bagaikan kebakaran janggut &iau-Lan datang mencari aku, mana sempat aku beritahu dirimu" Toaci, masa kau salahkan aku?" "Dia bisa datang mencari kau, mengapa tidak mencari aku?" protes Liat-hwee hujin gusar.
Tiba tiba ia melompat kedepan pembaringan lalu mengebaskan ujung bajunya, membubarkan papan catur itu, teriaknya: 'I, c "Kenapa kalian berdua masih berlagak pilon, ayoh cepat jawab Baik Lan Toa-sianseng maupun Thian-huan taysu sama sama terperanjat, namun telapak tangan kanan mereka masih tetap saling menempel.
Kontan Liat-hwee hujin berteriak keras dengan mata melotot: "Hei hwesio tua, kenapa kau pegangi terus tangan Siau
"Suhu sudah banyak tahun tak pernah turun gunung, mungkin .
. . . .. "Justru karena aku sudah banyak tahun tak pernah turun gunung," tukas Thian-huan taysu, "maka akan kugunakan kesempatan ini untuk jalan jalan, ingin kulihat ada berapa pendekar muda lagi yang bermunculan dalam dunia persilatan." "Bila sudah terjadi sesuatu, seharusnya tecu sekalian yang mewakili, buat apa suhu harus bersusah payah menempuh perjalanan sendiri?" ujar Thian-ki taysu setelah berpikir sebentar.
Berkilat sepasang mata Thian-huan taysu, sahutnya sambil tersenyum: "Dalam urusan ini, kalian tak mungkin bisa mewakili aku, tapi tak usah kuatir, tak bakal ada mara bahaya, kalian tak usah banyak bicara lagi, pergi sana!" Keesokan harinya, ditengah gentangan bunyi lonceng biara, Thian-huan taysu dengan membawa Bu-wi dan Bu-sim taysu berangkat meninggalkan Siau-lim menuju Bu-tong.
Pendeta agung ini sudah belasan tahun tak pernah turun gunung, tentu saja beratus orang anggota biara Siau-lim dibuat tercengang, mereka tak tahu persoalan apa yang memaksa ciangbun suhunya berangkat turun gunung.
Oo0oo Gunung Kun-lun jauh dipinggir perbatasan, luas bukit itu mencapai ribuan li dengan tebing yang tegak lurus dan curam, jauh lebih berbahaya dari Siau-lim maupun Go-bi.
Ditengah hutan lebat diatas bukit, berdiri sebuah pavilion yang berlantai batu geranit dengan atap rumbai daun cemara, dalam pavilion itu duduklah Tian Mong-pek, sang pemuda tampan.
Orang berbaju kuning berdiri disamping tubuhnya, sedang menempelkan sepasang telapak tangan menguruti jalan darah penting disekujur tubuhnya.
Saat itu suasana amat hening, yang terdengar hanya suara angin yang menggoyangkan daun cemara.
Entah berapa lama sudah lewat, mendadak terdengar orang berbaju kuning itu membentak keras: "Sudah!" "Blamm!" dia hantam tulang punggung pemuda itu.
Tian Mong-pek segera merentangkan sepasang lengan, ruas tulangnya segera gemerutuk bagaikan rentetan mercon, wajahnya lebih bercahaya, sinar matanya lebih bening dari air kolam.
"Bagaimana kondisi badanmu sekarang?" tanya orang berbaju kuning itu setelah menatapnya berapa kejap.
"Selama hidup, belum pernah kurasakan senyaman ini." sahut Tian Mong-pek setelah menarik napas dalam dan tertawa.
Kini, ia merasa seluruh tubuhnya dipenuhi tenaga kehidupan, setiap detik setiap menit organ tubuhnya seolah sedang berkembang dan bergairah.
Kata orang berbaju kuning itu lagi sambil tersenyum: "Selama setengah bulan ini, dengan ketat kukendalikan makanan serta cara hidupmu, tujuannya tak lain agar kekuatan tubuhmu bisa terbina hingga mencapai puncaknya, mengerti kau?" Tian Mong-pek menghela napas panjang, sahutnya sambil menundukkan kepala: "Semua pengorbanan cianpwee membuat aku.....
aku . . . . .." Pemuda ini memang tak pandai bicara, ia tak mampu menyelesaikan perkataan itu.
"Duduklah, tak usah buang tenaga," tukas orang berbaju kuning itu lembut, "bakal ada satu pertarungan sengit sedang menanti dirimu, tahukah itu?" Tian Mong-pek menurut dan segera duduk, perasaan terima kasih terpancar dari matanya.
Dengan suara mendalam kembali orang berbaju kuning itu berkata: "Lembah kaisar bisa terkenal selama banyak tahun dalam dunia persilatan, jelas nama itu bukan diperoleh dengan begitu saja, jadi kau tak boleh memandang enteng kekuatan mereka." Kemudian dengan nada suara yang lebih berat, lanjutnya: "Sejak memasuki jalan menuju ke dalam lembah, mara bahaya sudah mengancam disetiap sudut tempat, apalagi setelah berada dalam lembah, hakekatnya hawa pembunuhan menyelimuti empat penjuru, hampir setiap penghuni lembah memiliki ilmu silat yang sangat tinggi." Ia tersenyum, tam bahnya: "Tapi aku telah mewariskan semua ilmu silat tandingan lembah kaisar kepadamu, dengan bakat serta kecerdasanmu, ilmu tersebut pasti dapat kau kuasahi dengan cepat." "Tapi masih ada banyak bagian yang tidak kupahami." "Ilmu silat yang khusus menjebol ilmu silat aliran lembah kaisar merupakan ilmu silat paling hebat dalam dunia persilatan, bukan pekerjaan yang mudah untuk menguasahi kepandaian tersebut dalam waktu singkat macam dirimu." Setelah berhenti sejenak, tambahnya: "Bukan kemampuan silatmu yang aku kuatirkan, melainkan kepolosan serta kejujuranmu, aku tak tahu apakah kau sanggup menghadapi tiga orang tokoh yang paling susah dihadapi dari dalam lembah itu." "Siapakah ke tiga orang itu?" tanya Tian Mong-pek.
"Orang pertama adalah seorang kakek bungkuk, dia paling ramah tapi paling gemar bertaruh, asal kau dapat menangkan taruhan darinya, apapun permintaanmu pasti akan dia kabulkan." Setelah menghela napas, tambahnya: "Kalau gagal menangkan pertaruhan, hanya cukup dia seorang pun sudah sulit bagimu untuk menghadapinya." "Cayhe pasti akan berusaha dengan sekuat tenaga." Orang berbaju kuning itu manggut-manggut.
"Orang ke dua adalah seorang nyonya setengah umur, perempuan ini paling suka berdebat mulut, asal kau mampu mengalahkan ketajaman mulutnya, perempuan inipun tak akan menyusahkan dirimu!" Tian Mong-pek segera tersenyum, ujarnya: "Walaupun cayhe tak pandai jilat pantat atau tekebur, namun belum pernah kalah bila harus berdebat melawan orang lain, jadi cianpwee tak usah kuatir." "Bagus sekali." sahut orang berbaju kuning itu sambil tersenyum.
"Lantas siapakah orang ke tiga?" tanya Tian Mong-pek kemudian.
"Orang ke tiga yang susah dihadapi adalah Siau Man-hong, perempuan yang pernah kau jumpai itu, orang ini cerdas, aneh dan banyak akal, siasat busuk macam apapun dapat ia gunakan." "Ehm, orang ini memang agak susah untuk dihadapi." "Apabila kau berhasil melewati ke tiga orang itu, kemungkinan besar sudah tak ada masalah lagi, kalau tidak, kau bisa gunakan benda pengenal ku ini, mereka pasti akan mengajakmu pergi menjumpai sang Kokcu." Setelah berhenti sejenak, tambahnya: "Oleh sebab itu, begitu tiba dalam lembah, paling baik jika kau segera tunjukkan tanda pengenalku, sudah pasti mereka tak akan menyusahkan dirimu lagi." Berkilat sepasang mata Tian Mong-pek, sambil bangkit berdiri serunya: "Kalau begitu sekarang juga aku berangkat." orang berbaju kuning itu tersenyum.
"Akupun tahu kalau keinginanmu ke sana seperti orang menghadapi kebakaran, kalau begitu berangkatlah segera!" Tiba tiba paras muka Tian Mong-pek berubah jadi amat sedih, katanya sambil tundukkan kepala: "Setelah kepergianku, jika dalam tiga hari belum juga kembali, cianpwee pun tak usah menunggu lagi." Tiba tiba ia menjatuhkan diri berlutut, menyembah berapa kali, kemudian balik badan dan lari pergi.
"Tunggu sebentar!" bentak orang berbaju kuning itu.
"Masih ada pesan apa lagi cianpwee?" tanya Tian Mong-pek seraya berpaling.
"Biar aku menghantarmu." Waktu itu langit sudah mulai gelap, angin dingin berhembus kencang, mendatangkan suasana yang menegangkan diseluruh jagad.
Orang berbaju kuning itu berjalan mendampingi Tian Mong-pek menelusuri jalan setapak yang curam, setelah berjalan sekian lama, tiba tiba tanyanya: "Kau masih ingat jalan masuk kemari?" "Masih!" "Lebih baik kau ulangi sekali lagi." "Mengitari batu hitam, jangan menginjak batu putih, bertemu patung yang II membawa pedang, berputar mengikuti tunjukkan ujung pedang .
. . . . . .. "Selain itu?" "Bertemu tulisan yang terukir di batu hitam, taati semua perintahnya dan jangan membangkang.
Bertemu tulisan yang terukir di batu putih, kau harus abaikan semuanya." "Betul sekali." Orang berbaju kuning itu manggut-manggut.
Sambil menatap tajam wajah pemuda itu, sepatah demi sepatah kata tambahnya: "Kau tak boleh melanggar setiap patah kata itu, bila salah langkah, kematian segera akan kau hadapi." "Cayhe tak bakal melanggarnya." "Di depan sana ada jalan menuju ke dalam lembah." Kata orang berbaju kuning itu kemudian sambil menuding ke depan.
Mengikuti arah yang ditunjuk, Tian Mong-pek saksikan sebuah tebing dengan jurang yang sangat dalam, antara dua tebing terhubung dengan sebuah jembatan kayu yang lebarnya hanya tujuh inci.
Jarak antara kedua tebing selebar lima puluhan tombak, dibawahnya merupakan sebuah jurang yang tak nampak dasarnya, bukan saja diselimuti kabut tebal, batu yang dilempar ke bawah pun tak terdengar gaungnya.
Walaupun Tian Mong-pek sudah tahu kalau jalan menuj u lembah penuh rintangan berbahaya, tak urung dia menarik napas dingin juga setelah menyaksikan medan yang terbentang didepan mata, peluh dingin mulai membasahi jidatnya.
"Bagaimana" Saat ini, apakah kau masih punya keberanian untuk memasuki lembah itu?" tanya orang berbaju kuning itu.
Sambil busungkan dada, Tian Mong-pek tertawa nyaring.
"Mati saja tidak takut, apa lagi yang harus kutakuti?" jawabnya.
Ditengah gelak tertawa, dia sudah melangkah ke atas jembatan kayu itu.
Selangkah demi selangkah pemuda itu berjalan meniti diatas jembatan kayu, hembusan angin dingin mengibarkan rambut serta ujung bajunya, asal sedikit saja meleset, dia bakal terjatuh ke dalam jurang dan mati dengan tubuh hancur lebur.
Baru berjalan setengah jalan, mendadak angin kencang berhembus lewat, kakinya langsung tergelincir, tubuhnya tiba tiba terjatuh ke samping.
Orang berbaju kuning itu menjerit kaget, kepalanya terasa pening, nyaris dia jatuh pingsan.
Tampak pemuda itu segera bersalto ditengah udara, dengan tangan mencengkeram tepi jembatan, ia tarik badannya ke depan, lalu meluncur turun persis ditepi seberang.
Diam diam orang berbaju kuning itu menghembuskan napas lega, meski begitu, tak urung peluh dingin sempat membasahi punggungnya.
Terdengar Tian Mong-pek berteriak dari tepi seberang: "cianpwee, aku pergi dulu!" Tubuhnya berputar, langsung menerobos ke balik kabut tebal yang menyelimuti permukaan tanah.
Memandang hingga bayangan tubuhnya lenyap dari pandangan, orang berbaju kuning itu baru melambung ke udara secara tiba tiba dan melayang bagaikan seekor burung elang.
Bersamaan waktu, dari balik bebatuan cadas tampak dua sosok bayangan berkelebat dan ikut melambung ke udara.
Ke tiga sosok bayangan manusia itu saling memberi tanda di udara, kemudian secepat petir melesat ke arah sisi kiri.
Waktu itu, Tian Mong-pek sudah meneruskan perjalanannya.
Ditengah kabut yang menyelimuti permukaan tanah, dia melangkah dengan sangat hati-hati, sama sekali tak berani gegabah.
Lewat berapa saat kemudian, jalanan dihadapannya bercabang dua.
Jalan pertama penuh bertaburkan batu granis berwarna putih, jalannya datar dan rata, kedua sisi jalan ditumbuhi aneka pohon dan bunga yang tertata rapi, bau harum semerbak terendus dari arah sana.
Sedang jalan kedua terbuat dari batu granit warna hitam, jalannya berliku tak rata dan mengarah ke sebuah hutan lebat yang tampak gelap, bukan saja jalannya berliku dan naik turun, bahkan dari balik hutan terendus bau busuk dari tanah lembab yang menusuk penciuman.
Tanpa ragu Tian Mong-pek berbelok ke jalan berlapis granit hitam itu dan menembusi hutan.
Semakin dalam memasuki hutan itu, sinar yang masuk tampak semakin redup dan samar, menembusi jalan bergranit hitam itu seolah sedang berjalan menembusi neraka jahanam.
Tian Mong-pek tak ambil peduli, dia berjalan terus menembusi keremangan, akhirnya medan dihadapannya terasa melebar dan lebih terang.
Ujung hutan merupakan sebuah tanah perbukitan yang datar, sebuah jalanan berlapis batu granit hitam membentang menuju ke dataran rendah, sepasang jalan berjajar patung patung dewa terbuat dari batu.
Sambil berjalan, pemuda itu menikmati patung patung itu, ada patung yang mirip panglima berkuda, ada pula yang berpakaian militer lengkap, semuanya terukir sangat indah dan hidup.
Tian Mong-pek melanjutkan perjalanan dengan lamban, dia merasa seolah sedang menembusi kerumunan kaum pendekar dan orang gagah yang sedang mengadakan pertemuan, patung patung itu ada yang memandangnya sambil tertawa, ada pula yang sedang menatap gusar. Tiba tiba terlihat sebuah patung arca yang berdiri ditengah jalan sambil bertolak pinggang, patung itu seolah sedang memandang gusar kearahnya.
Disampingnya terdapat pula sebuah patung bocah, patung bocah yang memandang sambil tertawa, tangan kirinya menuding ke samping, tangan kanannya memegang sebuah papan nama yang bertuliskan: "Jalan didepan buntu, silahkan belok ke kiri." Batu putih dengan huruf hitam, guratan tulisannya amat jelas dan nyata.
Sambil tersenyum Tian Mong-pek menghindari patung patung itu dan meneruskan perjalanannya menuju ke arah depan.
Didepan sana terbentang sebuah sungai dengan arus yang deras, diatas sungai terdapat sebuah jembatan kecil terbuat dari batu granit hitam, tiga huruf besar tertera diatas jembatan: "Lai-ho-kiau" (Jembatan apa daya)
Bab 19. Kebun seratus bunga. Ketika mencoba perhatikan suasana diseputar jembatan Lai-ho-kiau, terasa hawa setan yang menyeramkan menyelimuti tempat itu, coba berganti orang lain, sudah pasti dia akan belok ke kiri sesuai peringatan diatas patung.
Tapi Tian Mong-pek teringat terus dengan perkataan orang berbaju kuning itu, tanpa ragu dia melompat turun dari patung, menyeberangi jembatan Lai-ho-kiau dan menuju ke kota setan yang menyeramkan.
Udara terasa makin dingin, kabut putih menyebar diseg ala penjuru bumi.
Dari balik kabut putih, terkadang muncul satu dua buah patung setan, ada yang berkepala kerbau, ada pula yang berwajah kuda, semua patung itu tampak menakutkan, dilihat dari balik tebalnya kabut, mendatangkan perasaan ngeri bagi siapa pun yang memandang.
Semakin maju ke depan, lapisan kabut tampak makin menebal.
Dengan hati yang teguh Tian Mong-pek melanjutkan perjalanan, dalam waktu singkat dia telah melewati neraka pencabut lidah, neraka minyak mendidih, neraka pencabut hidung, neraka penembus hati dan lain sebagainya.
Tiba-tiba terlihat sebuah patung jaksa berdiri disisi jalan, tangan kirinya memegang pit, sedang tangan kanannya menggenggam pedang, ujung pedangnya menunjuk ke arah sebuah gua disisi kiri jalan.
Tian Mong-pek mencoba memperhatikan tempat itu, tampak suasana dalam gua itu gelap gulita, nyaris susah untuk melihat ke lima jari tangan sendiri, tanpa membuang waktu dia menerobos masuk ke dalam gua.
Angin dingin berhembus kencang didalam gua, menderu dengan tajamnya.
Setelah melewati lubang angin, didepan terbentang dua buah tebing, satu mengarah ke kiri, yang lain mengarah ke kanan.
sebuah patung setan perempuan beranak sembilan berdiri persis ditengah kedua jalan itu, sembilan patung bayi menggelendot disekeliling patung setan tadi, ada yang membawa siepoa, ada pula yang membawa keleningan.
Tian Mong-pek merandek sejenak, karena tak nampak petunjuk jalan, buru-buru dia belok ke jalan sebelah kiri.
Baru berjalan duya langkah, ia merasa udara dalam gua itu makin lama makin panas, makin lama panasnya bagaikan berada dalam tungku api.
Dengan keringat yang bercucuran, tak tahan pemuda itu membuka bajunya, ketika mencoba menengok ke dua sisi dinding tebing, tampak permukaan batu sudah berubah merah kehitaman, seakan setiap saat dapat membara.
Ia merasakan sekujur badannya seolah berada dalam bara api, jilatan hawa panas kian lama kian sukar ditahan, mendadak satu ingatan melintas lewat.
"Aduh celaka!" pekiknya dihati, secepat kilat dia melompat mundur sejauh lima depa.
Pada saat itulah, dari permukaan tanah dimana barusan ia berdiri terjadi satu ledakan keras diikuti menyemburnya bara api, coba ia tidak segera mundur, niscaya tubuhnya sudah tertelan oleh lidah api.
Begitu cepat kobaran api itu menjalar, sebentar kemudian seluruh permukaan tanah sudah dilapisi lautan api.
Cepat Tian Mong-pek membalikkan tubuh sambil kabur keluar, meski begitu, tak urung bajunya tertempel oleh berapa titik bintang api.
Tanpa berpaling lagi, dia kabur keluar dari lorong api itu sebelum bisa menghembuskan napas lega.
Setelah merasa bahwa keadaan makin lama semakin tak beres, pemuda itu sadar kalau dirinya telah salah jalan, begitu berhasil menenangkan hati, diapun mulai melakukan pemeriksaan dengan lebih seksama.
Ternyata dugaannya benar, ditangan seorang bayi yang berada dipunggung patung setan perempuan berputra sembilan, terlihat sebilah pedang pendek sepanjang tujuh inci, ujung pedang menunjuk ke arah lorong bukit sebelah kanan.
Diam diam ia menghela napas, pikirnya: "Sama sekali tak kusangka, lembah kaisar betul-betul berbahaya sekali, setengah langkah pun tak boleh salah langkah, bila salah jalan, niscaya keselamatan jiwanya terancam." Berpikir begitu, tanpa terasa ia merasa semangatnya mengendor separuh bagian.
Belum lagi masuk ke dalam lembah, ternyata keadaannya sudah begitu berbahaya, entah mara bahaya apa lagi yang menantinya didalam lembah nanti" Dengan kemampuannya seorang, rasanya tidak mudah untuk menghadapi semua rintangan.
Dengan tenang ia berdiri didepan patung, memandangn ya berapa saat, makin dipandang ia semakin merasa bahwa semua benda yang berada disekitar sana, diatur begitu hebat, begitu pas, pada hakekatnya bagaikan hasil karya para dewa.
Keanehan patung manusia, kengerian alat jebakan , keseraman suasana, nyaris telah mengubah satu impian buruk menjadi suatu kenyataan.
Entah berapa banyak beaya, pikiran dan tenaga yang telah dikorbankan untuk membangun semua peralatan itu, entah berapa banyak kecerdasan dan rancangan yang harus digunakan untuk menciptakan semuanya.
Bila ingin menggunakan tenaga satu orang untuk berhadapan dengan gabungan kecerdasan, keuangan serta pengalaman yang terbentang didepan mata sekarang, kecuali harus memiliki kepintaran serta ilmu silat yang luar biasa, dituntut pula satu keberanian yang melebihi siapapun.
Setelah berdiri tenang berapa saat, mendadak pemuda itu berpekik nyaring lalu menyusup masuk ke dalam lorong, seketika ia merasa hawa panas yang menyengat hilang lenyap tak berbekas, sebagai gantinya hembusan angin dingin terasa menderu dan menyayat tubuh.
Deruan angin dingin itu terdengar bagaikan suara teriakan ditengah medan pertempuran, membuat lorong gua yang gelap itu terasa makin menakutkan dan diselimuti hawa pembunuhan.
Perasaan Tian Mong-pek memberitahu kepadanya bahwa dalam lorong itu pasti terdapat pula jebakan .
. . . . .. sedari dulu, kebanyakan jago silat berilmu tinggi pasti memiliki insting yang peka.
Justru karena memiliki kepekaan yang luar biasa, mereka baru berhasil menangkan pelbagai pertarungan, lolos dari pelbagai bencana.
Dengan sangat hati-hati Tian Mong-pek menelusuri lorong itu, berjalan sambil memperhatikan gerak gerik disekelilingnya.
Mendadak dari dinding sisi kiri berkumandang suara aneh, diikuti segulung desingan angin tajam membelah angkasa.
Begitu tajam suara desingan itu, seakan ada sebatang tombak ditangan seorang jago lihay sedang menusuk tubuhnya.
Tian Mong-pek segera bergeser berapa depa ke samping, belum sempat berdiri tegak, dari dinding sebelah kanan kembali terdengar suara gemerutuk, dari balik kegelapan lagi lagi muncul sebatang tombak panjang.
Ditengah kegelapan, terlihat setitik cahaya berkelebat lalu hilang lenyap kembali.
Dengan andalkan ketajaman pendengarannya, secara beruntun Tian Mong-pek berhasil menghindari dua bokongan, hatinya tambah heran bercampur terkejut, pikirnya: "Jangan-jangan jalan inipun salah?" Baru saja ingatan itu melintas, dari arah depan lorong tiba tiba muncul dua titik cahaya lentera, cahaya itu bergerak dari kejauhan yang semakin mendekat.
Tampaknya cahaya lentera itu merupakan sorot mata dari sesosok binatang aneh yang terbuat dari kayu dan besi, bukan saja bermata lentera, pada mulutnya tersisip pula sepucuk surat.
Tak tahan Tian Mong-pek ambil surat itu dan membaca isinya: "Atas perintah Kokcu, hutan tombak dapat diabaikan." Biarpun hanya tulisan yang singkat, namun cukup membuat pemuda itu tercengang.
"Begitu hebatkah kokcu lembah kaisar sehingga dia tahu kalau aku berada di sini?" Perlahan ia mendongakkan kepalanya, namun lagi-lagi dia dibuat terkesiap.
Makhluk aneh terbuat dari kayu dan besi itu mendadak menggerakkan matanya sambil memperdengarkan suara ringkikan perlahan, menyusul kemudian kepalanya menerobos ke bawah ketiak pemuda itu.
Mimpi pun Tian Mong-pek tidak menyangka kalau makhluk aneh itu ternyata merupakan makhluk asli, belum sempat berpikir lebih jauh, tubuhnya sudah terangkat dan didudukkan keatas punggungnya.
Makhluk aneh ini meski berbentuk bebal, ternyata gerakan tubuhnya cepat bagaikan angin bahkan amat stabil, ketika menarik tubuhnya sambil mundur, gerak mundurnya sama cepat seperti gerakan disaat maju.
Sementara Tian Mong-pek masih terperanjat, tubuhnya telah berada diluar gua, kini dia baru dapat melihat dengan jelas, ternyata seluruh tubuh makhluk aneh itu berwarna merah darah, bentuknya menyerupai singa tapi bukan singa, mirip kuda tapi bukan kuda.
Waktu itu, si makhluk aneh sudah mengangkat kepalanya sambil melotot kearahnya, tak kuasa Tian Mong-pek melompat turun dan serunya sambil tertawa: "Terima kasih telah dihantar." Makhluk aneh itu manggut-manggut sambil bergerak mundur, tak lama kemudian tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Diam-diam Tian Mong-pek menghela napas, pikirnya: "Ternyata pemilik lembah kaisar memang manusia luar biasa, kalau tidak, bagaimana mungkin dia mampu memelihara makhluk aneh yang begitu cerdas?" Ketika memandang ke depan, terlihat sebuah bukit berbentuk golok terbentang didepan mata, bebatuan cadas diatas bukit itu berjajar bagai hutan.
Didepan bukit golok, berdiri sebuah patung hakim, hakim itu menggenggam pedang, ujung pedang menunjuk ke arah bukit.
Tian Mong-pek ragu sesaat, tapi dengan cepat dia bergerak menuju keatas bukit.
Tampak sepanjang jalan berjajar patung patung berwajah seram, bergigi taring.
Mendadak, dari balik hutan batu muncul sesosok manusia.
Betapapun besarnya nyali Tian Mong-pek, tak urung bergidik juga hatinya hingga bulu kuduk pada berdiri, tanpa sadar tubuhnya meluncur turun ke bawah bukit.
Saat itulah, dari atas puncak bukit terdengar seseorang tertawa keras sambil mengejek: "Hahaha, manusia bernyali kecil macam begitupun berani menyatroni lembah kaisar?" Kontan Tian Mong-pek merasa emosinya terbakar, teriaknya penuh amarah: "Hmm, kalau penghuni lembah kaisar tak lebih hanya bangsa kurcaci yang mampunya bersembunyi dibalik kegelapan, mengundang aku kemaripun, belum tentu aku mau datang." Sambil mengumpat gusar, dia melongok keatas, ternyata dipuncak bukit golok berdiri seorang kakek bongkok yang berambut putih dan wajah penuh cambang.
Kakek bungkuk itu mendengarkan umpatan itu hingga selesai, setelah itu sahutnya sambil tertawa nyaring: "Hahaha, biarpun nyalimu kecil, ternyata mulutnya sangat tajam, bagus, kemarilah, mari kita berbincang bincang." Tian Mong-pek tertawa dingin.
"Sauya ogah melayani manusia kurcaci yang bisanya hanya menakuti orang dari balik kegelapan, minggir kamu, biarkan aku lewat!" Tiba tiba kakek bungkuk itu membentak keras, suaranya nyaring bagaikan guntur membelah bumi, sambil melompat bangun, bentaknya: "Bocah keparat, kurangajar benar kau ini, sudah tahu siapakah lohu?" Orang ini bukan saja memiliki suara yang keras bagai geledek, perawakan tubuh pun tinggi kekar bagaikan malaikat langit, sangat menggetarkan hati.
Sambil busungkan dada Tian Mong-pek menyongsong kedatangan orang itu, ketika sepasang mata saling beradu, dia tetap melotot tanpa berkedip, bentaknya gusar: "Peduli amat siapa dirimu, cepat minggir." Sambil bertolak pinggang kakek bungkuk itu menatapnya berapa saat, tiba tiba sambil tertawa dan duduk kembali, katanya: "Tidak gampang untuk melepaskan dirimu lewat." "Tidak gampang" Memangnya kau menantang berkelahi?" tegur pemuda itu marah.
"Diantara kita berdua tak punya dendam sakit hati, kenapa harus berkelahi?" "Lantas apa maumu?" tanya Tian Mong-pek tertegun.
"Berani bertaruh denganku?" "Huh, berkelahi saja tidak takut, masa takut untuk bertaruh?" "Hahaha, bagus sekali!" seru kakek bungkuk itu sambil tertawa nyaring, "bila kau menangkan taruhan ini, lohu segera akan melepaskan dirimu, sebaliknya bila lohu yang menang, kau harus segera merangkak balik." "Bagaimana kita bertaruh?" Berkilat sepasang mata kakek bungkuk itu.
"Aku akan mengajukan tiga pertanyaan, bila dapat menjawab, anggap kau yang menang, kalau tak sanggup menjawab, kau akan dianggap kalah." "Baik, kita tetapkan dengan sepatah kata ini." "Bertepuk tangan saja sebagai tanda jadi." Tanpa banyak bicara Tian Mong-pek segera bertepuk tangan dengan kakek itu.
Mendadak kakek bungkuk itu mendongakkan kepalanya dan tertawa nyaring, serunya sambil bertepuk tangan: "Dasar bocah goblok, dasar bocah goblok." "Siapa yang kau anggap sebagai bocah goblok?" teriak Tian Mong-pek gusar.
"Kaulah si bocah goblok itu, masa tidak kau lihat kalau taruhan ini tidak adil" Kalau aku kalah tak bakal berbuat apa apa, sebaliknya kalau kau yang kalah bakal pulang merangkak." "Aku tak bakal kalah." Tukas pemuda itu dingin.
Kakek bungkuk itu agak melengak, tapi kemudian katanya lagi sambil tertawa: "Baiklah, tampaknya kau sangat percaya diri, dengarkan baik baik, pertanyaan pertama adalah: ada berapa banyak kancing dipakaian yang kau kenakan?" Mimik mukanya penuh senyuman, lagaknya amat bangga, karena dia telah memakai pertanyaan yang amat sederhana itu untuk menjatuhkan banyak jago silat, berhasil menangkan setiap taruhan.
Perlu diketahui, pakaian ketat yang dikenakan waktu itu selalu dilengkapi dengan kancing dalam jumlah banyak, dari luar hingga ke dalam bisa dihiasi berpuluh biji kancing, tentu saja tak bakal ada orang yang memperhatikan jumlah kancing dari pakaian yang dikenakan.
Siapa sangka paras muka Tian Mong-pek sama sekali tak berubah, setelah berpikir sejenak segera jawabnya: "Jumlah kancing dipakaianku adalah satu kali lipat dari setengah jumlah kancing yang berada ditubuhmu." Kakek bungkuk itu melongo, tak tahan tanyanya: "Berapa banyak kancing dari setengah yang kau kenakan"' "Ini pertanyaanmu yang ke dua?" tegas Tian Mong-pek.
"Bagus sekali," diam diam kakek bungkuk itu berpikir, "kalau kulanjutkan pertanyaan ini, jawaban bocah itu pasti satu kali lipat dari setengah atau setengah dari satu kali lipat .
. . . . .." Cepat dia ambil keputusan dan tak mau terperangkap oleh pertanyaan itu, jawabnya keras: "Bukan." "Kalau bukan pertanyaan, hitung saja sendiri, tentu akan kau peroleh jawabannya." "Aku tak bakal menghitung, anggap saja kau yang menang." "Apa pertanyaanmu yang kedua?" "Tunggu dulu," seru kakek bungkuk itu sambil goyang tangannya, "biar lohu pikirkan dulu." Sesudah berpikir pulang pergi, tiba-tiba satu ingatan melintas lewat, dengan girang pikirnya: "Aaah, sudah ada, aku akan bertanya kepadanya" "berapa berat isi otaknya?", jika jawabannya adalah satu kali lipat dari setengah isi otaknya, akan kubelah otaknya untuk diperiksa .
. . . .." Makin dibayangkan, dia merasa makin girang, akhirnya tak tahan tertawa terbahak-bahak.
"Kau tampaknya begitu bangga, sudah diperoleh pertanyaannya?" tegur pemuda itu.
"Tentu saja," sahut kakek bungkuk itu tertawa, "aku ingin bertanya, berapa berat otakmu?" "Lebih enteng satu kati dari otakmu." Lagi-lagi kakek bungkuk itu tertegun, teriaknya kemudian penuh amarah: "Memangnya aku harus menimbang berat otakku" Bukan begitu" Bukan begitu?" Saking mendongkol dan gusarnya, nyaris dia tak sanggup berkata kata.
Siapa tahu Tian Mong-pek hanya tersenyum sambil menjawab: "Tak perlu menimbang otakmu pun, aku sudah tahu." Mendongkol, gusar, keheranan bercampur geli berkecamuk dibenak kakek bungkuk itu, teriaknya: "Bagus, aku sendiripun tak tahu berapa berat otakku, darimana kau bisa tahu?" "Kau ingin tahu?" "Betul, aku ingin tahu, otakku .
. . . . . . .." Belum selesai ia bertanya, Tian Mong-pek telah menukas: "otakmu satu kati lebih berat dari otakku." "Kentut busuk!" umpat kakek bungkuk itu gusar.
"Hahaha, kalau tak percaya, belah saja benakmu dan timbang otakmu, tapi kalau sudah percaya, minggir sana, beri aku jalan lewat." Sampai lama sekali kakek bungkuk itu berdiri tertegun, tiba tiba ia tertawa keras: "Hahaha, bagus .
. . . .. bagus . . . . . .." Diiringi gelak tertawanya yang memekak telinga, kakek itu melompat pergi dari sana.
Memandang bayangan punggungnya yang makin menjauh, pikir Tian Mong-pek: "Kakek ini pastilah tokoh pertama yang paling susah dihadapi seperti yang dikatakan cianpwee berbaju kuning.
Tapi menurutku, dia tidak terlalu susah untuk dihadapi."
Ketika berhasil mengalahkan kakek bungkuk yang suka bertaruh itu secara gampang, pemuda ini merasa bangga sekali, ia pun melompat turun dari bukit golok dan melanjutkan perjalanan ke depan.
Setelah berjalan kurang lebih dua tombak, jalanan kembali bercabang dua, ditengah jalan itu terlihat sebuah liang yang cukup dalam, karena tertutup kabut, tidak jelas seberapa dalam liang tersebut.
sebuah patung hakim bercambang berdiri menengadah disisi liang, tangan sebelah membelai jenggot, tangan yang lain memegang pedang, tapi ujung pedang justru menunjuk ke bawah tanah.
"Masa aku harus melompat masuk ke dalam liang itu?" pikir Tian Mong-pek tertegun.
Mendadak dari bawah liang berkumandang suara pekikan setan yang amat nyaring.
Tian Mong-pek segera merentangkan lengannya sambil melompat masuk ke dalam liang itu.
Dari balik kegelapan segera terdengar seseorang membentak nyaring: "Bocah muda, cukup pemberani, cukup penurut." "Siapa disitu?" bentak Tian Mong-pek, dia mencoba periksa sekeliling tempat itu, tapi dalam liang dipenuhi patung manusia yang dililit patung ular, sama sekali tak tampak bayangan manusia.
Hembusan angin di dasar liang itu sangat kencang, lapisan kabut lebih tebal, empat penjuru dipenuhi bayangan setan, dia tak tahu bayangan setan itu beneran atau hanya bayangan manusia, pemuda ini mulai menyesal, mengapa tidak menyediakan korek api dalam sakunya.
Yang paling dia kuatirkan adalah bila salah jalan, melakukan perjalanan dalam kegelapan semacam ini sudah pasti membawa resiko besar, sekalipun ada petunjuk jalan, dalam kegelapan begini, mana mungkin ia dapat membacanya" Kalau sampai salah langkah, apa jadinya nanti?" Berpikir sampai disitu, tanpa terasa keringat dingin mulai membasahi tangannya.
Mendadak . . . . . .. "Kraaak!" diiringi suara lirih, patung-patung di empat penjuru mulai bergerak.
sebuah patung tiba tiba berlompatan menuju ke hadapan Tian Mong-pek, patung ini dibuat dari batu gips, tingginya delapan depa, berambut abu-abu, alis mata abu-abu, wajah, hidung, mata, pakaian, semuanya berwarna abu-abu .
. . . . . .. Walaupun berada dibalik kegelapan, namun siapa pun pasti tahu kalau patung itu bukan manusia hidup, tapi "dia" justru bertingkah laku seperti orang hidup, gerakan tubuhnya ringan dan lincah, sama sekali tidak menimbulkan suara.
Dengan kening berkerut, Tian Mong-pek membentak nyaring: "Setan iblis, mundur kau!" Ditengah bentakan nyaring, sepasang tangannya diayunkan berbareng melepaskan satu pukulan.
Deruan angin serangan yang dahsyat seketika terlontar keluar, jika "dia" adalah sebuah patung, niscaya tubuhnya akan hancur berantakan termakan serangan itu.
Siapa tahu, ketika angin pukulan itu tiba dihadapan patung tersebut, mendadak patung itu menggetarkan tubuhnya, angin serangan yang maha dahsyat itupun bagaikan kerbau tanah liat tercebur ke laut, hilang lenyap tak berbekas.
Peluh dingin semakin membasahi tubuh Tian Mong-pek, kembali bentaknya: "Sebetulnya kau ini manusia atau setan?" Patung itu tertawa terkekeh, sahutnya sepatah demi sepatah kata: "Hahaha, menurutmu, memangnya aku mirip manusia?" Nada suaranya tinggi, tajam, melengking.
Memang sama sekali tak membawa hawa manusia.
"Hmm, sekalipun kau setan, aku orang she-Tian tetap akan berduel melawanmu." "Hahaha, tak perlu duel lagi, kalau kau berani meraba hidungku, akan kuanggap kau adalah seorang enghiong hohan." Suara tertawanya yang aneh menyeramkan, bikin hati bergidik, bulu kuduk bangun berdiri.
Tertegun juga hati Tian Mong-pek, dia tak menyangka kalau patung itu menantangnya untuk meraba hidungnya, biar nyalinya sekeras baja pun, tak urung pemuda ini dibuat serba salah .
. . . .. "Berani tidak" Berani tidak?" ejek patung itu sambil tertawa aneh.
Tiba-tiba satu ingatan melintas lewat, seolah menyadari akan sesuatu, pikir Tian Mong-pek: "Ternyata lagi-lagi si tua bungkuk yang bikin ulah." Maka sahutnya lantang: "Siapa bilang tak berani?" "Ayoh, dicoba!" mendadak patung itu melejit ke tengah udara.
Tian Mong-pek tak mau kalah, tiba tiba dia bersalto di tengah udara, dengan kepala dibawah kaki diatas, ia menyelinap ke belakang patung itu dan sahutnya sambil tertawa keras: "Aku sudah datang!" Ternyata dugaannya tidak salah, benar saja, dibelakang patung itu berdiri si kakek bungkuk, sepuluh jari tangannya yang tajam bagai kaitan menancap dalam-dalam di pinggang patung tinggi besar itu.
Si kakek memang memiliki kekuatan lengan yang luar biasa, bukan hal yang sulit baginya untuk mengangkat patung itu.
Biarpun dia membuat patung itu dapat bergerak dan melompat, namun tak pernah membiarkan patung tadi menyentuh tanah, itulah sebabnya sewaktu bergerak, sama sekali tidak menimbulkan suara.
Karena hal itu pula, angin pukulan yang dilancarkan Tian Mong-pek berhasil dia punahkan.
Kini, setelah rahasia penyamarannya terbongkar, kakek bungkuk itu tertawa terbahak-bahak, sambil melepaskan patung tersebut, tegurnya: "Bocah muda, ternyata kau memang bernyali, cara inipun gagal membuat dirimu ketakutan." "Sudah, tak usah banyak bicara, ayoh bawa kemari!" "Apanya yang bawa kemari?" tanya si kakek keheranan.
"Kepalamu!" sambil berkata, pemuda itu mulai meraba kepala kakek itu.
"Hei, mau apa kau?" teriak kakek bungkuk itu dengan wajah berubah.
"Mau apa" Tentu saja meraba hidungmu!" jawab Tian Mong-pek sambil tertawa.
"Siapa yang berani meraba hidungku"' teriak kakek bungkuk itu semakin marah.
"Bukankah kau sendiri yang berkata begitu" Yaa sudahlah, bila kau ingin menjilat ludah sendiri, anggap saja tak pernah bicara, akupun tak ingin meraba hidungmu lagi!" Sambil mengebaskan ujung bajunya, tanpa melirik lagi, diiringi tertawa dingin pemuda itu beranjak pergi.
"Berhenti!" tiba tiba kakek bungkuk itu membentak nyaring.
Sepasang lengannya direntangkan, rambutnya berdiri semua bagaikan landak, bentaknya penuh amarah: "Siapa bilang aku adalah orang yang suka menjilat ludah sendiri?" "Kalau memang tak ingin menjadi orang yang menjilat ludah sendiri, ulurkan kepalamu, biar kuraba hidungmu." sahut Tian Mong-pek ketus.
"Lohu suruh kau meraba hidung patung itu." "Hmm, tadi, patung itu yang berbicara" Atau kau yang mengatakan?" ejek Tian Mong-pek sambil tertawa dingin.
Sampai lama sekali kakek bungkuk itu termangu, tiba tiba ia menghela napas panjang, sekujur tubuhnya terasa lemas.
"Betul, lohu yang mengatakan." sahutnya kemudian.
Sambil tersenyum, Tian Mong-pek segera menggapai kearahnya: "Kemari, cepat kemari!" Kakek bungkuk itu mundur berulang kali, sambil menjura berulang kali, pintanya: "Saudara cilik, asal kau tidak meraba hidung lohu, urusan yang lain pasti akan kukabulkan." "Kan bukan aku yang minta diraba." Kembali dia melanjutkan perjalanan.
Tiba tiba pandangan matanya jadi kabur, kakek bungkuk itu sudah melayang turun dihadapannya dan membujuk sambil tertawa paksa: "Lohu punya sebilah pedang bagus, bagaimana kalau kuhadiahkan untukmu?" "Siapa yang pingin pedangmu?" Kakek bungkuk itu gelengkan kepalanya, kembali ia membujuk sambil tertawa: "Kalau begitu, bagaimana kalau lohu temani kau masuk ke dalam lembah?" "Siapa yang butuh ditemani?" Kakek bungkuk itu segera menghela napas panjang, keluhnya: "Masa kau bersikeras ingin meraba hidungku" Masa kau paksa lohu jadi orang yang jilat ludah sendiri" Aaai, saudara cilik, jangan kelewat kejanu" Mendengar ucapan itu, Tian Mong-pek jadi kegelian, tak tahan ia tertawa terbahak.
"Hahaha, bila kau adalah orang yang terbiasa menjilat ludah sendiri, kalau bukan sudah turun tangan membunuhku, pasti telah pergi dari sini, masa masih bertahan ditempat ini?" "Ah, jadi kau percaya kalau aku bukan orang yang biasa menjilat ludah sendiri?" "Tentu saja bukan!" Kakek bungkuk itu segera mendongakkan kepala dan tertawa terbahak.
Tiba tiba ia berhenti tertawa, dengan alis mata berkenyi t dan menghela napas panjang, ujarnya: "Mending kau raba saja hidungku ini!" "Kenapa?" tanya Tian Mong-pek tercengang.
Kembali kakek bungkuk itu menghela napas.
"Selama hidup, lohu selalu menepati setiap ucapan yang kukatakan, tapi kali ini kau tidak menyalahkan aku, ini membuat lohu merasa tak tenang, II kecuali kau .
. . . . .. "Kalau begitu kuharap kau menjawab satu pertanyaanku, anggap saja aku telah meraba hidungmu.
Bagaimana?" tukas Tian Mong-pek.
"Sungguh?" teriak kakek bungkuk itu kegirangan, "saudara cilik, kau benar-benar orang baik, apapun pertanyaanmu, asal lohu tahu, pasti akan kujawab." "Ternyata orang ini berjiwa terbuka, ramah, bahkan sifat kekanak kanakannya belum hilang." Pikir Tian Mong-pek, "aku percaya pertanyaanku pasti akan dijawab dengan jujur." Maka dengan wajah serius, tanyanya: "Tahukah siapa majikan panah kekasih" Apa kegunaan dan kehebatan dari senjata rahasia beracun ini?" "Apa itu panah kekasih?" kakek bungkuk itu balik bertanya dengan kening berkerut, "lohu sama sekali tak tahu." "Bukankah kau adalah anggota lembah kaisar" Masa tidak tahu senjata rahasia beracun macam apa panah kekasih itu?" "Memang apa hubungan panah kekasih dengan lembah kaisar?" tanya kakek bungkuk itu keheranan.
Tian Mong-pek agak tertegun, katanya kemudian dengan nada dalam: "Apakah kau yakin, semua orang yang berada dalam lembah kaisar tak ada hubungannya dengan panah kekasih?" Kakek bungkuk itu menggeleng.
"Sebagian besar penghuni lembah kaisar adalah makhluk aneh, kejadian aneh seperti apapun sanggup mereka lakukan, lohu tidak tahu, juga tak yakin." Tian Mong-pek tertegun berapa saat, serunya sambil menjura: "Terima kasih banyak!" Dia percaya orang tua ini tak bakal berbohong, karenanya ia segera balik badan siap pergi.
Siapa tahu kakek bungkuk itu kembali berseru: "Tunggu sebentar!" Sewaktu Tian Mong-pek berpaling, ia saksikan kakek itu berjalan maju dua langkah kemudian membuka lantai yang berada dibawah patung orang jahat dililit ular batu itu.
"Kraaak!" dari balik dinding liang muncul sebuah pintu rahasia.
"Lewat sini lebih dekat, kau masuk lewat sini saja!" seru kakek bungkuk itu.
Tanpa ragu kembali Tian Mong-pek menjura mengucapkan terima kasih, kemudian cepat menyusup masuk ke balik pintu.
Dibalik pintu rahasia merupakan sebuah lorong yang sangat panjang, kedua sisi dinding tergantung lentera tembaga.
"Saudara cilik, perbesar nyalimu, pergilah segera!" terdengar kakek bungkuk itu berteriak mengingatkan.
Menyusul kemudian..... "Kraak!" pintu rahasia itu kembali tertutup rapat.
Tian Mong-pek sama sekali tak berpaling, sambil melanjutkan langkahnya dia berpikir: "Orang tua ini minta aku perbesar nyali, jangan-jangan didepan sana bakal terjadi sesuatu yang menakutkan?" Tapi ia sudah mengambil keputusan untuk mempercayai orang tua itu, apapun yang bakal terjadi dalam lorong rahasia, tak akan membuatnya menyesal, semisal terjadi sesuatu pun, dia akan menganggapnya sebagai nasib sendiri.
Makin ke depan lorong itu semakin menurun ke bawah, tidak jelas berapa panjang lorong rahasia itu, ketika Tian Mong-pek coba memeriksa sekitar situ, terlihat lentera yang menerangi kedua dinding lorong tampak bersih dan rapi, sudah jelas tempat itu seringkali dilalui orang.
Pemuda ini memang tak ingin menyusup masuk secara diam diam, maka dia sengaja memperberat langkah kakinya.
Langkah berat itu seketika menimbulkan suara pantulan, mendadak dari tempat kejauhan terdengar seseorang menegur: "Siapa yang berani sembarangan menelusuri lorong rahasia ini?" "Aku!" jawab Tian Mong-pek lantang.
Tampaknya orang itu agak tertegun, berapa saat kemudian ia baru berteriak gusar: "Siapa kau" Memangnya kau tidak tahu, lorong rahasia ini khusus digunakan untuk siapa?" "Aku tidak tahu!" Tampaknya orang itu sekali lagi tertegun, sampai lama sekali tak kedengaran suaranya.
Setelah hening sampai lama sekali, suara teriakan itu kembali berkumandang: "Peduli siapapun dirimu, akan kuhitung sampai angka ke tiga, kalau tetap tidak kembali, jangan salahkan kalau nona mu bertindak keji." "Hahaha, ternyata kau seorang wanita, kenapa caramu bicara persis seperti jeritan kuntilanak yang sedang menangis, betul betul bikin hati muak." "Baik, tertawalah, akan kulihat sampai kapan kau bisa tertawa?" Biarpun sedang tertawa keras, Tian Mong-pek tak berani bertindak gegabah, diam-diam ia mempersiapkan diri menghadapi segala yang tak diinginkan.
Tiba tiba terdengar orang itu kembali membentak nyaring: "Siau-hong, gigit orang itu!" "Hahaha, Siau-hong" Ternyata kau bernama Siau-hong?" kembali Tian Mong-pek mengejek sambil tertawa keras, "tak kusangka kaupun pintar menggigit orang." Baru selesai dia bicara, dari depan sana muncul dua buah lentera besar.
Begitu lampu bersinar, Tian Mong-pek segera tahu kalau makhluk aneh menyerupai singa itu akan muncul kembali.
Betul saja, belum habis dia berpikir, diiringi teriakan marah, makhluk aneh itu sudah muncul dihadapannya.
Dibawah sinar lentera, dapat dilihat kalau makhluk aneh itu memiliki bulu panjang bagaikan jilatan api, semuanya berdiri tegak.
Lidahnya menyerupai lidah ular berbisa, ekornya seperti tiang bendera, sepasang mata yang besar mengawasi Tian Mong-pek dengan amat garang.
Tian Mong-pek tahu, makhluk aneh itu dapat bergerak cepat bagai hembusan angin, bisa diduga kekuatannya luar biasa, ia tak berani bertindak gegabah, sambil menghimpun tenaga dalamnya, dia bersiap siapa menghadapi segala kemungkinan.
Siapa tahu, setelah mengawasi Tian Mong-pek berapa saat, makhluk aneh itu manggut-manggut berulang kali, bagaikan bertemu orang yang dikenal, bulu serta ekornya segera menunduk rata.
"Hahaha, Siau-hong, ternyata kau kenal dengan aku?" seru Tian Mong-pek tertawa geli.
Makhluk aneh itu kembali manggut-manggut, lalu mundur bagaikan hembusan angin.
Tian Mong-pek tidak berayal lagi, dia ikut bergerak ke depan, diujung lorong terdapat lagi sebuah pintu tembaga yang setengah terbuka.
Dari luar pintu, terdengar seseorang bertanya dengan suara kasar: "Siau-hong, sudah kau gigit mampus orang itu?" II "Jangan lagi digigit hingga mampus, sambung seorang yang lain dengan nada lembut, "biarpun dia seorang jago lihay kelas satu pun, jangan harap bisa menahan serangan Siau-hong." Baru selesai pembicaraan itu, Tian Mong-pek sudah menerjang keluar dari pintu.
Diluar pintu merupakan sebuah kebun bunga yang amat luas, kebun itu dikelilingi tanah perbuatan, aneka bunga tumbuh dalam kebun itu, bukan saja indah bahkan menyiarkan bau harum semerbak.
Berada dalam kebun itu, pemuda itu merasa dirinya seolah terperosok ditengah samudra bunga.
sebuah jalanan kecil beralas batu granit putih membentang jauh ke depan,
Sebuah jalanan kecil beralas batu granit putih membentang jauh ke depan, diantara pagar yang terbuat dari anyaman bambu, berdiri belasan orang gadis berbaju merah, ada yang membawa cangkul, ada yang membawa tempat air, mereka sedang sibuk merapikan dan mengairi tanaman.
Seorang perempuan tinggi besar, beralis tebal, bermata besar, bentuknya menyerupai malaikat raksasa, sedang berjongkok sambil membelai bulu harus Siau-hong, makhluk aneh itu.
Ketika menyaksikan kemunculan Tian Mong-pek, kawanan gadis berbaju merah itu serentak menjerit kaget, begitu pula dengan pemuda itu, ia termangu berapa saat.
Kini, dia telah berganti pakaian dengan mengenakan baju serba hitam, biarpun terbuat dari bahan sederhana, namun potongannya pas sekali dengan bentuk tubuhnya, menampilkan semua bagian badannya yang penuh vitalitas.
Apalagi sepasang matanya yang menyimpan daya tarik, dimana tatapan matanya bergeser, seketika membuat puluhan gadis berbaju merah itu jadi terpesona, jadi mabuk kepayang.
Untuk berapa saat, puluhan pasang mata menatap wajahnya tanpa berkedip.
Tian Mong-pek jadi keheranan, pikirnya: "Masa wajahku aneh?" Mendadak terdengar suara bentakan nyaring, perempuan tinggi besar itu melompat bangun sambil membentak: "Hei, siapa kau" Datang dari mana?" "Aku datang dari tempatku muncul." Sahut Tian Mong-pek ketus.
"Hahaha, bagus sekali, bocah busuk, kau berani bicara kasar didepan aku Hoa Toa-koh?" Tian Mong-pek tidak menggubris teriakan itu, ia berpaling ke arah seorang nona berbaju merah yang berada disampingnya, lalu tanyanya sambil tersenyum: "Tolong tanya nona, apakah tempat ini lmebah kaisar?" Melihat senyuman pemuda itu, merah padam selembar pipi si nona, sahutnya dengan kepala tertunduk: "Betul, tempat ini adalah lembah kaisar." Dalam pada itu, kawanan gadis lainnya telah maju mengerubung, ada yang tertawa cekikikan, ada pula yang bertanya: "Ei, siapa yang kau cari?" Gugup juga Tian Mong-pek setelah dikerumuni begitu banyak gadis cantik, tanpa sadar ia mundur dua langkah.
Ditengah suara merdu gadis gadis itu, mendadak terde ngar bentakan keras bagai guntur membelah bumi bergema membelah angkasa, Hoa Toa-koh merentangkan sepasang lengannya, membuat empat nona yang berada disisi kiri kanannya segera jatuh terjungkal.
Suara tertawa seketika terhenti.
Sambil bertolak pinggang, bentak Hoa Toa-koh penuh amarah: "Dasar budak busuk, memangnya kalian belum pernah melihat lelaki" Enyah semuanya!" Tampaknya kawanan gadis berbaju merah itu takut sekali terhadap Hoa Toa-koh, begitu mendapat bentakan, dengan wajah pucat pias, seperti kawanan burung yang ketakutan, langsung melarikan diri ke empat penjuru.
"Berhenti!" kembali Hoa Toa-koh menghardik.
Betul saja, kawanan nona berbaju merah itu seketika berhenti.
"Susun barisan seratus bunga, kurung bajingan ini, tanpa perintah, siapapun dilarang bicara, apalagi sembarangan bergerak!" Kawanan gadis berbaju merah itu menyahut, serentak mereka memencarkan diri membentuk sebuah barisan, tapi tak tahan mereka melirik juga wajah pemuda itu.
Dengan mata melotot besar seperti mata macan, tegur Hoa Toa-koh: "Selama belasan tahun terakhir, kebun bunga ini tak pernah dikunjungi lelaki muda, tahukah kau karena apa?" Seakan baru sadar, pikir Tian Mong-pek: "Ternyata kebun ini tak pernah dikunjungi lelaki muda, tak aneh jika kawanan gadis itu memandang aku bagaikan melihat makhluk aneh." Sementara dia masih berpikir, kembali Hoa Toa-koh membentak: "Sudah kau dengar perkataan lo-nio?" "Kau bertanya mengapa kebun bunga ini tak pernah dikunjungi lelaki muda bukan?" ucap Tian Mong-pek ketus.
"Benar." Tian Mong-pek tertawa dingin.
"Tentu saja lelaki tak mau memasuki kebun yang hanya dihuni kaum wanita, apanya yang aneh." sahutnya.
"Kentut," Hoa Toa-koh makin gusar, "tak sedikit lelaki bau yang ingin masuk kemari, tapi mereka tak berani, sebab setiap lelaki yang berani datang kemari, tak satupun bisa kembali dalam keadaan hidup." "Benarkah begitu?" ejek Tian Mong-pek sambil tertawa dingin.
Begitu selesai bicara, dia sudah melambung ke udara setinggi tiga tombak, lalu setelah berjumpalitan berapa kali, dia sudah meluncur turun di belakang bunga mawar, gerakan tubuhnya cepat dan gesit bagaikan seekor burung.
"Bocah keparat, hebat kamu, jangan kabur!" teriak Hoa Toa-koh gusar.
Terdengar Tian Mong-pek tertawa keras dari kejauhan: "Hahaha, lelaki sejati enggan bertarung melawan kaum wanita, sauya tak sudi berkelahi dengan kaum wanita macam kalian." "Kau anggap sanggup kabur dari sini?" dengus Hoa Toa-koh sambil tertawa dingin.
Sambil memberi tanda, teriaknya: "Budak sekalian, cepat kejar, kalau sampai ia berhasil kabur dan ketahuan nona, siapa yang mau tanggung jawab?" Kawanan gadis berbaju merah itu menyahut, serentak mereka melakukan pengejaran.
Terlihat Siau-hong, si makhluk aneh itu tetap mendekam ditanah bagaikan seekor kucing manja, sama sekali tak bergerak.
Melihat itu, Hoa Toa-koh segera bertepuk tangan sambil berseru: "Siau-hong, cepat kejar orang itu, gigit dia!" Tapi siau-hong sama sekali tak bergerak, dia tetap mendekam manja.
"Baik," umpat Hoa Toa-koh gusar, "lihat saja siapa yang akan memberi makan dirimu besok." Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa dia melakukan pengejaran seorang diri.
Tian Mong-pek berlarian menelusuri jalan kecil ditengah kebun, sudah sekian lama dia berlari, namun yang terlihat hanya lautan bunga yang tak berujung, nyaris tak terlihat ujung dari kebun itu.
"Masa kebun ini begitu luas?" pikirnya dengan perasaan kaget, cepat dia menentukan arah kemudian melanjutkan larinya.
Siapa tahu, meskipun sudah berlarian cukup lama, namun yang terlihat tetap lautan bunga.
Tian Mong-pek segera menghentikan langkahnya dan berpikir: "Aah benar, sudah pasti kerumunan bunga ini ada yang tak beres!" Baru dia berpikir sampai disitu, dari kejauhan sudah terdengar teriakan dari Hoa Toa-koh: "Kebun bunga ini diatur menurut peta Sian-thian-tay-khek-toh, kau anggap bisa kabur dari sini?" Tian Mong-pek tercekat, tiba tiba ia mendengar ada suara ujung baju terhembus angin berhembus dari belakang tubuhnya, sewaktu berpaling, ia jumpai seorang nona berbaju merah telah muncul dihadapannya.
Gadis itu bersanggul tinggi, dengan tatapan lembut dia awasi wajah Tian Mong-pek berapa kejap, lalu teriaknya keras: "Lebih baik segera menyerahkan diri, kalau tidak nona akan mencabut nyawamu." Walaupun ucapannya galak, namun mimik muka serta nada suaranya tidak sebanding.
"Jadi nona ingin bertarung melawan diriku?" tanya Tian Mong-pek sambil tersenyum.
"Walaupun aku tak ingin bertarung melawanmu, tapi.....
lihat serangan!" Cangkul bunga dalam genggamannya segera dihantamkan keatas kepala Tian Mong-pek.
Dengan cekatan pemuda itu putar badan, meloloskan diri dari ancaman tersebut.
"Aku tak bisa berlembut lembut dalam melancarkan serangan, kau harus berhati hati." Kembali nona berbaju merah itu berbisik.
Tubuhnya berputar, cangkul bunga dalam genggamannya menciptakan selapis cahaya tajam.
"Aku akan berhati hati." Sahut Tian Mong-pek, dia hanya menghindar tanpa membalas.
Sambil menghela napas, kembali gadis berbaju merah itu berkata: "Jurus seranganku ini hasil ciptaan kokcu kami, perubah annya banyak dan cepat, bila kau tidak berusaha membalas, maka .
. . . . .." Belum selesai ia berkata, mendadak terdengar seseorang membentak nyaring: "Siau-lan, apakah bajingan itu berada disana?" Berubah paras muka nona berbaju merah itu, begitu melihat kemunculan Hoa Toa-koh diiringi empat orang nona berbaju merah, bergegas dia membentak nyaring dan melancarkan serangan bertubi tubi.
Terdengar Hoa Toa-koh membentak nyaring: "Mawar, botan kalian berempat segera maju bersama, Toa-koh akan mengawasi dari tepi arena." Ke empat orang nona berbaju merah itu serentak menggerakkan paculnya dan maju bersama melancarkan serangan.




Dalam waktu singkat, lima batang cangkul mengerubuti Tian Mong-pek secara bersama.
Sungguh hebat serangan gabungan dari lima orang nona berbaju merah yang namanya memakai nama bunga itu, jurus serangan mereka dahsyat, dibalik mencongkel, membabat, menggaet, memukul, terselip jurus serangan yang mematikan.
Bukan saja jurus serangannya hebat, kerja sama mereka pun luar biasa.
Puluhan jurus telah berlalu, hingga kini Tian Mong-pek masih belum melancarkan serangan balasan, pikirnya sambil menghela napas: "Keampuhan lembah kaisar memang tak boleh dipandang ringan, hanya cukup berapa orang gadis pun, mereka sudah cukup menjadi musuh paling tangguh yang pernah kuhadapi." Terdengar Hoa Toa-koh berseru sambil tertawa keras: "Budak sekalian, ayoh perketat serangan, keparat itu sudah tak berdaya melancarkan serangan balasan, tiga gebrakan kemudian, bajingan ini .
. . . . . .." "Tiga gebrakan kemudian, aku akan membuat senjata kalian berlima terlepas dari genggaman!" sela Tian Mong-pek ketus.
Ditengah ucapan, tiba tiba dia melepaskan satu pukulan.
Jurus serangan ini memiliki perubahan yang tak terhingga, walaupun hanya satu jurus, namun cukup membuat ke lima cangkul itu kalut tak karuan.
"Jurus kedua!" kembali Tian Mong-pek menghardik.
Tangan kanannya menggiring ke samping lalu membalik ke atas, tahu tahu ia sudah mencengkeram cangkul milik si bunga Botan dan digunakan untuk menghantam senjata dari si bunga Mawar.
"Traaang!" ditengah dentingan nyaring, tangan kiri berputar balik, mencengkeram cangkul milik Tang-cing (Holly = sejenis tumbuhan berdaun hijau) yang berada dibelakang dan membetotnya keatas.
Tang-cing tak mampu menahan senjatanya, cangkul itu terlepas dan menghantam pergelangan tangan Tu-kuan (Azalea = sejenis tanaman dengan bunga aneka warna), begitu pergelangannya kesemutan, senjata milik tu-kuan pun terlepas.
"Jurus ke tiga!" kembali Tian Mong-pek berseru.
Ditengah bentakan, ia gunakan kesempatan itu memegang pergelangan tangan Siau-lan, si bunga anggrek, kemudian tangan kanannya menyodok keluar, membentur ujung cangkul milik botan dan mawar.
Sebetulnya pergelangan tangan kedua orang itu sudah kesemutan karena benturan tadi, kini, setelah dibentur Tian Mong-pek dengan gerakan perlahan, senjata mereka berdua seketika terlepas dan jatuh ke tanah.
"Kau pun lepas tangan!" kata Tian Mong-pek tersenyum.
Baru saja dia akan memperkencang tangannya, cangkul ditangan Siau-lan sudah terjatuh ke tanah, jatuh dengan begitu saja.
Tian Mong-pek tertegun, ia berpaling, tampak Siau-lan dengan wajah jengah sedang menatapnya dengan termangu.
Tergerak hati Tian Mong-pek, cepat dia kendorkan jari tangannya, tapi tangan Siau-lan masih terangkat dihadapannya, seolah menunggu disentuh pemuda itu.
Untuk sesaat ke lima orang nona berbaju merah itu hanya berdiri mematung, sorot mata mereka hanya mengawasi pemuda itu dengan pandangan bodoh.
Tian Mong-pek jadi gelagapan sendiri, untuk sesaat diapun tak tahu apa yang harus dilakukan.
Sementara itu Hoa Toa-koh sudah dibuat ketakutan setengah mati, mendadak dia kabur ke luar sambil menjerit: "Celaka, ada lelaki bau berilmu tinggi!" Langkah kakinya bebal, tubuhnya berat, ternyata walaupun dia menjabat seorang congkoan dalam kebun seratus bunga, namun sama sekali tak mengerti ilmu silat, itulah sebabnya ia tak berani turun tangan.
Begitu mendengar jeritan itu, botan, tong-cing, mawar dan tu-kuan segera ikut melarikan diri terbirit-birit.
Hanya Siau-lan seorang masih berdiri tak bergerak, tapi wajahnya telah berubah, dengan suara gemetar bisiknya: "Kau....
cepat kau kabur..... kalau tidak . . . . . .." "Aku sedang mencari majikan tempat ini, kenapa harus kabur?" jawab Tian Mong-pek.
"Majikan tempat ini sangat membenci lelaki, siapa pun dilarang menginjakkan kaki dalam kebun seratus bunga, lebih baik cepatlah kabur!" "Justru kau yang harus kabur .
. . . .. kata pemuda itu. Siau-lan menggeleng. "Aku tidak masalah, tapi .
. . . . . .." Belum selesai ia berkata, dari kejauhan sudah terdengar seseorang membentak nyaring: "Siapa yang berani bikin onar disini?" Paras muka Siau-lan semakin berubah, bisiknya gemetar: "Kau tak mau kabur?" Sambil tersenyum Tian Mong-pek menggeleng.
Akhirnya sambil menghentakkkan kakinya karena kesal, seru Siau-lan: "Kau.....
kau....." Saking paniknya, air mata jatuh bercucuran, mendadak ia balik tubuh dan kabur dari situ.
Bab 20. Lembah Kaisar. Tian Mong-pek memandang hingga tubuh yang lemah lembut dan gemetar itu lenyap dari balik pepohonan, kemudian ia baru berpaling dan berdiri tenang disana.
Terdengar Hoa Toa-koh berteriak dari kejauhan: "Itu, berada disana, entah apakah sudah kabur dari situ?" "Aku masih menunggu disini." Jawab Tian Mong-pek dengan suara dalam.
Biarpun suaranya rendah tapi penuh tenaga, sepatah kata demi sepatah tersiar hingga tempat kejauhan.
Tampak sesosok bayangan manusia meluncur datang dengan kecepatan tinggi, orang itu mengenakan kopiah emas, berbaju ringkas dan mengenakan sebuah ikat pinggang terbuat dari emas.
Dia..... tak lain adalah Siau Hui-uh! Sebenarnya Tian Mong-pek sudah menduga, dia bakal bertemu Siau Hui-uh ditempat itu, tapi dia tak menyangka kalau pertemuan itu akan terjadi tiba tiba, terlebih tak menyangka akan bertemu ditempat tersebut.
Sebaliknya Siau Hui-uh pun tidak menyangka bakal bertemu Tian Mong-pek disitu, matanya terbelalak lebar, tubuhnya berdiri kaku, untuk sesaat tak mampu berbuat apa-apa.
Dalam pada itu Hoa Toa-koh telah menuding kearah Tian Mong-pek sambil mengumpat: "Bocah busuk itulah orangnya, dia berani menerjang masuk kebun bunga, II bahkan menjatuhkan senjata milik Siau-lan sekalian .
. . . .. Setelah bicara setengah harian, dia baru sadar kalau mimik muka Siau Hui-uh tidak beres.
Biar dia lebih bodoh, biar dia tak tahu perasaan cinta, kini dia sudah merasa kalau antara nonanya dengan si bocah busuk pasti mempunyai suatu hubungan khusus.
Itulah sebabnya ucapan yang sampai setengah jalan tidak dilanjutkan lagi, biarpun masih menuding pemuda itu, tapi matanya memandang Siau Hui-uh dengan mendelong, mulutnya ternganga, dia hanya berdiri macam orang bodoh.
Sampai lama kemudian, Siau Hui-uh baru menegur: "Kenapa kau muncul disini?" sedemikian lirih suara itu, nyaris hanya dia sendiri yang mendengar, tapi Tian Mong-pek mendengar dengan jelas sekali.
"Aku . . . . . .." tiba tiba ia teringat dendam kesumat yang membara didadanya, cepat dia telan kembali ucapan semula dan ganti membentak: "Memangnya aku tak boleh kemari?" Siau Hui-uh tertegun.
"Siapa bilang kau tak boleh kemari, aku toh hanya bertanya." "Bertanya apa" Buat apa banyak bertanya?" Tian Mong-pek tertawa dingin.
Sekali lagi Siau Hui-uh tertegun, perasaan sedih terlintas diwajahnya, tapi dia paksakan diri untuk tertawa.
"Baiklah, aku tak akan bertanya, aku .
. . . . . .." "Tidak bertanya pun tak boleh." Teriak pemuda itu, dia memang berniat cari gara gara, tak heran sikap maupun ucapannya sama sekali tak pakai aturan.
Siau Hui-uh semakin terbelalak, serunya keheranan: "Kau .
. . . . . kau . . . . . . " Dia sangka Tian Mong-pek sedang sakit, tapi diapun enggan menanyakan hal ini.
Hoa Toa-koh yang berdiri disisinya kontan berteriak: "Nona, bocah busuk ini pasti sudah terserang penyakit sinting, tak heran ucapannya ngaco belo." "Enyah kau dari sini!" bentak Siau Hui-uh sambil menarik muka, "siapa suruh kau cerewet disini?" Hoa Toa-koh adalah orang yang paling setia, selama hid up ia tak pernah ditegur apalagi dimaki, tak heran perempuan itu tertegun sesaat kemudian sambil menangis terisak, kabur dari tempat itu.
Perlahan Siau Hui-uh berpaling, ditatapnya pemuda itu dengan lembut, lalu ujarnya: "Apakah kau ada masalah" Katakanlah padaku masalahmu .
. . . .." Tatapan mata yang lembut dan sendu, ucapan yang lembut dan hangat, membuat Tian Mong-pek menghela napas dalam hati, namun wajahnya tetap kaku, sedingin salju.
Kembali Siau Hui-uh menghela napas panjang.
"Bicaralah!" dia memohon.
"Aku hanya bisa bicara setelah bertemu ayahmu nanti!" jawab Tian Mong-pek ketus.
"Ayahku" Mau apa kau bertemu dia orang tua?" tanya Siau Hui-uh keheranan.
"Tentu saja ada urusan." Il "Boleh saja bila kau ingin bertemu dia orang tua, kata Siau Hui-uh setelah menghela napas, "tapi sayang....
aaai, sayang dia orang tua sedang menutup diri, tak mau bertemu siapapun." "Ajak saja aku ke tempat ia menutup diri, aku pasti dapat memanggilnya keluar." "Kau suruh aku melakukan perbuatan apapun pasti akan kulakukan, tapi soal II I C C C C I C C Gadis itu menggeleng berulang kali, katanya: "Bagaimanapun aku tak bisa memenuhi keinginanmu." "Keberatanpun aku tetap akan menjumpainya!" teriak Tian Mong-pek lantang.
Dada Siau Hui-uh mulai berombak, setelah tersengkal berapa saat, tiba tiba teriaknya: "Sudah berulang kali aku mengalah, kenapa setiap kali kau berusaha menganiaya aku, kau....
kau..... kau . . . . . .." Sesungguhnya gadis ini bersifat temperamen, saat ini rasa sedih, tertekan, marah bercampur aduk, sambil membanting kopiah emas yang dikenakan, untuk sesaat dia tak tahu harus bicara apa.
"Hmm, aku hanya seorang manusia kasar, mana berani menganiaya Siau kiongcu?" sinding pemuda itu dingin.
"Tian Mong-pek!" jerit Siau Hui-uh, "Kau sangka.....
kau sangka aku..... aku takut padamu?" Biarpun berusaha menahan lelehan air matanya, tak urung menetes juga butira air mata dipipinya.
Tian Mong-pek segera melengos, dia tak tega menyaksikan kesedihan gadis itu, ujarnya dingin: "Bukankah tempat ini merupakan wilayah kekuasaan Siau kiongcu" Masa kau takut kepadaku?" "Baik, tempat ini memang merupakan wilayah kekuasaanku, aku....
aku akan . . . . . . .." Tiba tiba dia mengayunkan kepalannya, menonjok tubuh pemuda itu.
Diam-diam Tian Mong-pek menggigit bibir menahan rasa sedih dihatinya, teriaknya keras: "Jadi Siau kiongcu ingin berkelahi" Baik, akan kulayani tantanganmu." Dia angkat tangannya melakukan tangkisan.
Siau Hui-uh merasa hatinya sakit bagaikan diiris-iris, dengan wajah basah oleh air mata, secara beruntun dia melancarkan tiga serangan berantai, meski dibuat sakit perasaan hatinya, serangan tetap dilakukan tanpa kekuatan penuh.
Siapa sangka ilmu silat yang dimiliki Tian Mong-pek sudah bukan seperti dulu lagi, selewat tiga jurus, ia telah berhasil menutup semua gerak serangan dari Siau Hui-uh, hanya saja perasaan hatinya sekarang hanya ada kesedihan, tiada api amarah barang sedikitpun, karena itu serangannya sama sekali tak ganas.
Tiba tiba Siau Hui-uh menarik kembali serangannya, dengan air mata bercucuran katanya: "Tak heran kau datang menganiaya aku, ternyata kau....
kau telah belajar II ilmu silat yang hebat diluaran .
. . . . . .. "Siau kiongcu terlalu memuji." "Biarpun ilmu silatmu lebih tinggi pun aku tidak takut." Jerit Siau Hui-uh.
Sementara mengucapkan berapa patah kata, secara beruntun dia kembali melancarkan empat buah pukulan berantai, semua serangan menggunakan jurus yang aneh dengan perubahan luar biasa, membuat putih bunga di empat penjuru jatuh berguguran.
Ditengah putih bunga yang beterbangan, tiba-tiba terlihat sesosok bayangan manusia meluncur tiba, gerakan tubuh orang itu lebih ringan dari guguran bunga.
Belum sampai melayang turun, orang itu sudah berseru sambil tertawa: "Hui-uh, kata Hoa Toa-koh, kau telah kedatangan tamu agung, kenapa kalian malah saling bertempur?" Begitu mendengar ucapan tersebut, tiba tiba Siau Hui-uh menutupi wajah sendiri dengan tangan, lalu menangis tersedu-sedu.
Tak ada jago didunia ini yang tiba tiba menghentikan serangannya, bahkan menutup wajah dengan tangan sendiri.
Padahal saat itu Tian Mong-pek sedang melepaskan satu serangan, tampaknya sulit bagi pemuda itu untuk menarik kembali ancamannya.
Disaat yang kritis itulah terdengar seseorang menjerit kaget, sesosok bayangan manusia langsung meluncur dan menghantam lengan pemuda itu.
Menggunakan tenaga tangkisan, Tian Mong-pek menarik kembali serangannya.
Saat itulah Siau Hui-uh sudah menubruk ke dalam pelukan orang itu dan menangis tersedu-seduh.
"Bibi, aku . . . . .. aku . . . . .. sedih sekali . . . . . . .." Orang itu adalah seorang wanita berusia empat puluh tahunan, tinggi badan lima depa, meski wajahnya tampak sayu namun lamat lamat masih terlihat kecantikannya dimasa muda dulu.
Sambil menepuk bahu Siau Hui-uh, hiburnya: "Hui-uh, sayang, jangan menangis." Tiba tiba ia berpaling ke arah Tian Mong-pek dan bentaknya: "Kau benar-benar ingin melukainya?" Sejujurnya, Tian Mong-pek tidak berniat untuk melukai Siau Hui-uh, dia hanya tidak menyangka kalau perempuan itu akan menarik kembali serangannya disaat ia menyerang sehingga untuk berapa saat tak mampu menarik kembali ancamannya.
Walaupun begitu, dia tak sampai mengutarakan keluar kejadian yang sebenarnya.
Dengan pandangan tenang, ditatapnya perempuan setengah umur itu sekejap, kemudian katanya dingin: "Kalau benar kenapa" Kalau tidak benar kenapa pula?" "Bagus sekali." Tiba tiba sekulum senyuman tersungging di bibir perempuan berjubah putih itu.
Dia serahkan Siau Hui-uh yang sedang menangis tersedu itu ke tangan Hoa Toa-koh, kemudian baru putar badan memandang Tian Mong-pek.
Pemuda itu balas menatapnya, tampak perempuan itu dengan senyuman dikulum mengawasi dirinya tak berkedip.
Tian Mong-pek segera tahu kalau perempuan berjubah putih itu pasti memiliki ilmu silat yang tinggi, bahkan pasti akan mengajaknya bertempur.
Perlu diketahui, berkelahi dengan orang terbagi menjadi empat tingkatan.
Tingkatan ke empat yakni tingkat terendah, terdiri dari orang yang bertarung tanpa memandang apapun, pada hakekatnya orang semacam ini hanya bisa menyerang secara ngawur tanpa pedulikan keadaan lawan.
Tingkat ke tiga merupakan orang yang hanya memperhatikan wajah musuh, atau bagian yang bakal diserang, orang semacam ini biasanya tak akan sadar bila musuh telah menyarangkan pukulannya.
Orang sejenis ini hanya tahu menyerang, tak tahu bertahan, bila tak bisa menangkan musuh dengan kekuatan, bisa dipastikan dia bakal kalah.
Tingkat ke dua merupakan orang yang mengawasi terus gerakan sepasang kepalan lawan, hanya sayangnya mereka hanya tering at kalau musuh punya kepalan untuk menyerang, tapi lupa kalau sepasang kaki pun bisa menyarangkan serangan mematikan.
Tingkat pertama merupakan orang yang mengawasi sepasang bahu lawan, sebab baik lawan akan menyerang dengan kepalan atau tendangan, bahunya pasti akan bergerak lebih dulu.
Orang semacam ini tahu menggunakan tehnik dengan tenang mengatasi gerak, pandai melihat situasi, termasuk jago silat berilmu tinggi.
Tapi jagoan yang benar benar lihay, pasti akan mengawasi sepasang mata lawan, bukan saja dari tatapan mata lawan bisa menilai tinggi rendahnya kepandaian lawan, bahkan bisa menggunakan tatapan matanya untuk memecah nyali musuh, membuat lawan keder sebelum bertempur.
Kini, Tian Mong-pek serta perempuan berjubah putih itu saling berhadapan tanpa bergerak, sorot mata mereka berdua saling menatap, bening dan bersinar bagaikan bintang kejora, sama sekali tak berkedip.
Mereka berdua sadar, begitu dirinya berkedip, pihak lawan segera akan manfaatkan kesempatan itu untuk menyerang, begitu kehilangan posisi, musuh pasti akan meneter habis-habisan.
Sekonyong-konyong selembar daun hay-tong sebesar cawan melayang turun dari udara, meluncur dengan sangat cepat, tapi begitu tiba ditengah arena dimana Tian Mong-pek dan perempuan berbaju putih itu berdiri, tahu-tahu gerakannya terhenti.
Sorot mata kedua orang jago itu seketika berkedip, dan pada saat yang bersamaan, mereka berdua telah melancarkan serangan.
"Blaaam!" diiringi benturan keras, tubuh kedua orang itu segera berpisah, daun yang melayang turun tadipun terhajar rebuk jadi debu dan lenyap terhembus angin.
Tian Mong-pek tidak ragu lagi, secepat kilat dia melancarkan tujuh buah serangan.
Sepasang tangannya, sebentar mengepal, sebentar merenggang, semua serangan dilancarkan dengan kekuatan yang mampu membelah bumi, tapi bergerak enteng dan lincah, ketat berlapis lapis.
Perlu diketahui, aliran silat yang digunakan saat ini merupakan aliran martil langit, sedangkan ilmu pukulan yang digunakan diperoleh dari manusia berbaju kuning, karena itu satu keras satu lembut, satu positip satu negatip, gabungan kedua kekuatan itu menimbulkan daya penghancur yang mengerikan.
selewat tujuh jurus, perasaan kaget bercampur heran terlintas di wajah perempuan berjubah putih itu.
Diantara guguran bunga, terlihat dua sosok bayangan manusia saling menyambar saling menyerang.
Dari balik suara isak tangis, terdengar angin pukulan tajam yang membelah angkasa.
Perempuan berjubah putih itu bukan saja sempurna tenaga dalamnya, jurus serangan yang digunakan pun sakti dan aneh, serangan yang mencakup kekuatan positip maupun negatip, ilmu pukulan itu sangat cocok untuk mematahkan ancaman lawan.
Tapi tiga gebrakan kemudian, jurus serangan yang digunakan Tian Mong-pek bukan saja berhasil menembusi pertahanan lawan, bahkan secara persis menutup semua gerak serangannya hingga punah dengan begitu saja.
Puluhan gebrakan kemudian, perempuan berbaju putih itu tetap gagal menempati posisi diatas angin, bukan hanya perempuan itu yang kaget, Siau Hui-uh sendiripun ikut tercengang, dengan wajah basah oleh air mata, dia mengikuti jalannya pertarungan dengan tertegun, untuk sesaat dia lupa untuk melerai.
Kini semua bunga yang tumbuh di empat penjuru telah berguguran, porak poranda oleh angin pukulan kedua orang itu.
Entah sejak kapan, dari balik bebungahan terlihat berdiri kakek bungkuk itu, dengan mata yang tajam dia mengikuti gerakan jurus serangan yang digunakan Tian Mong-pek.
Puluhan gebrakan kembali lewat, mendadak perempuan berjubah putih itu bersuit nyaring, sepasang kepalannya berubah jadi cakar, bagaikan iblis wanita dari langit tingkat sembilan, dia menerkam dengan ganasnya.
Jurus serangan yang digunakan makin lama berubah semakin aneh dan sakti, sepuluh jari tangannya bagaikan sepuluh bilah pedang tajam melancarkan belasan jurus ganas.
Tiba tiba Tian Mong-pek memperlambat gerakan tubuhnya, kemudian lambat laun ia berhenti tak bergerak, dengan andalkan jurus pukulan yang rapat dia lindungi seluruh badan, biarpun ancaman dari perempuan itu ibarat hujan badai, tak setitik air pun berhasil menembusi pertahanannya.
Sepasang mata kakek bungkuk itu terbelalak makin lebar, mimik mukanya tampak dicekam rasa heran dan kaget yang bukan kepalang.
Mendadak Tian Mong-pek melangkah maju, tangan kanannya membabat ke bawah, begitu serangan itu dilancarkan, anak muda itu ibarat naga sakti yang terbang di langit, susah diraba arah sasarannya.
Perempuan berjubah putih itu berpekik nyaring, dia mundur berapa langkah.
saat itulah kakek bungkuk itu melompat masuk ke tengah arena, satu gulungan angin pukulan memisahkan kedua orang itu.
"Berhenti semua!" bentaknya.
Cepat Tian Mong-pek tarik kembali serangannya sambil mundur, sedang perempuan berjubah putih itu menerjang maju sambil menjerit: "Lo-liok, tak ada urusan denganmu, cepat minggir." Kakek bungkuk itu merentangkan sepasang tangannya, dengan mata mendelik serunya: "Siapa bilang tak ada urusannya denganku" Akulah yang menghantar bocah ini masuk, masa aku tak boleh ikut campur?"
"Siapa bilang tak ada urusannya denganku" Akulah yang menghantar bocah ini masuk, masa aku tak boleh ikut campur?" Perempuan berjubah putih itu tertegun, tampamya dia agak jeri terhadap kakek ini, sambil mundur berapa langkah, ujarnya tergagap: "Kau yang menghantar masuk orang ini?" "Liok-siok," seru Siau Hui-uh pula keheranan, "kau kenal dengan dia?" "Memang dikolong langit hanya kau seorang yang kenal dia?" kakek bungkuk itu balik bertanya.
Merah padam selembar wajah Siau Hui-uh, tersipu-sipu dia tundukkan kepalanya.
Sambil menatap Tian Mong-pek, kembali kakek bungkuk itu berkata: "Anak muda, lohu sengaja menghantarmu kemari, sebetulnya berniat agar kau II menemani keponakanku ke dua .
. . . . .. "Kau suruh dia menemani Hui-uh?" sela perempuan berjubah putih itu tercengang.
Kakek bungkuk itu tidak menggubris, lanjutnya: "Biarpun wataknya agak jelek, sesungguhnya dia sangat baik, itulah sebabnya aku suruh kau bicara terus terang, tak mungkin dia tak pedulikan dirimu." "Oh, ternyata begitu." Batin Tian Mong-pek seolah baru sadar.
Terdengar kakek bungkuk itu berkata lagi: "Tapi aku lihat nyalimu kelewat besar, masa dalam lembah kaisar berani sembarangan berkelahi dengan orang?" "Peduli berada dimana pun, asal ada orang berniat aniaya aku dan menantang aku berkelahi, aku tak pernah akan mundur barang selangkah pun." Sahut Tian Mong-pek gusar.
Berkilat mata kakek bungkuk itu, serunya sambil tersenyum: "Bagus sekali, memang anak muda harus berhati keras, tapi lohu ingin bertanya .
. . . . . . .." Sambil menarik muka, tegurnya keras: "Siapa yang mengajarkan ilmu silat kepadamu?" "Bukan urusanmu." Biarpun kakek ini berwajah lembut, suaranya justru lebih keras dari geledek, tapi Tian Mong-pek tidak merasa takut, malah suara jawabannya jauh lebih keras.
Kakek bungkuk itu tertegun.
ll "Kau kenal dengan Hui-uh, seharusnya kenal juga dengan lohu.....
"Siapa bilang aku kenal dia?" potong Tian Mong-pek gusar.
Tampak sekujur tubuh Siau Hui-uh gemetar keras, serunya dengan suara terbata: `Km1 .
. . . U mujamt . . . . .W Setelah menghentakkan kakinya berulang kali, tiba tiba ia balik badan dan lari meninggalkan tempat itu.
Dengan gemas perempuan berbaju putih itu melotot sekejap kearah Tian Mong-pek, lalu melotot pula kearah kakek bungkuk itu, kemudian ia baru mengejar Siau Hui-uh.
Dengan napas tersengkal, Hoa Toa-koh menyusul dari belakang.
Dalam pada itu si kakek bungkuk dengan kepalan digenggam kencang kembali membentak keras: "Bocah muda, berani benar kau menganiaya anggota keluarga Siau, lohu akan suruh kau merasakan bagaimana kalau disiksa." Tanpa berubah paras mukanya, jawab Tian Mong-pek ketus: "Mengingat kau telah menunjukkan jalan untukku, biarlah aku mengalah tiga jurus untukmu." "Bocah keparat, kau berani mengalah tiga jurus untukku?" seru kakek bungkuk itu gusar, "semua orang anggota persilatan akan ketakutan setengah mati setelah melihat lohu marah, apa yang kau andalkan sehingga tidak takut?" "Memangnya kau memiliki empat buah tangan?" "Kentut, siapa bilang aku bertangan empat?" "Kau maupun aku hanya memiliki dua tangan yang sama, kenapa aku harus takut?" Kakek bungkuk itu menatapnya berapa saat, tiba tiba ia tertawa tergelak.
"Hahaha, bocah muda, kau memang bernyali, aku ingin berkenalan denganmu." Satu ingatan segera melintas dalam benak Tian Mong-pek, serunya lantang: "Tentu saja aku bernyali, berjalan maju dua puluh langkah dengan mata terpejam, kepala tertunduk pun aku berani, masa urusan lain tidak berani?" Kakek bungkuk itu tertegun, tapi segera jawabnya sambil tertawa keras: "Hahaha, anak kecil berusia tiga tahun pun berani melakukan hal seperti itu, apanya yang aneh dengan ucapanmu itu?" "Huh, kalau tidak berani yaa sudahlah, buat apa menakuti orang dengan ucapan membual," kata pemuda itu dingin, "sepintas lalu, caraku ini memang kelihatan gampang, padahal .
. . . .. hehehe, bahaya sekali." Kembali kakek bungkuk itu tertegun, tapi sejenak kemudian ia sudah tertawa keras.
"Bocah muda, kau banyak akal bulus, pasti sedang merencanakan sesuatu, hahaha, lohu tak bakal masuk perangkap!" Tian Mong-pek mendongakkan kepala sambil tertawa dingin tiada hentinya, ia tidak lagi menengok kearah lawannya.
Melihat sikap pemuda itu, kakek bungkuk itu jadi naik pitam, teriaknya gusar: "Kau sangka aku benar-benar tak berani?" "Hmm, hmmm .
. . .



. . .." Kakek bungkuk itu segera berpikir: "Sekalipun harus pejamkan mata, aku tak akan kuatir kena bokongan, akan kulihat permainan busuk apa lagi yang hendak dilakukan bocah busuk ini .
. . . . . .." Berpikir sampai disitu, dia tidak ragu lagi, setelah bersalto di udara, dengan kepala dibawah, tangan menggantikan kaki, dia mulai bergerak maju sambil berseru: "Lihatlah anak muda, satu, dua .
. . . . .." Benar saja, selangkah demi selangkah dia berjalan maju.
Tian Mong-pek menyapu sekejap sekeliling tempat itu, mendadak ia bergeser ke samping kemudian melesat pergi.
Sementara itu si kakek bungkuk masih maju terus sampai dua puluh langkah, kemudian baru melompat bangun dan serunya seraya tertawa keras: "Anak muda, kau kalah .
. . . . . .." Belum habis dia berkata, mendadak dijumpai kalau bocah muda itu sudah lenyap.
Oo0oo Tian Mong-pek tak berani menelusuri jalan beralas batu granit, dia menerobos maju melewati bunga dan pepohonan.
Dalam tujuh, delapan lompatan kemudian, didepan sana terlihat sederet dinding pagar dengan atap bangunan dibaliknya.
Baru saja dia akan melompati pagar dinding, tiba tiba dari bawah pagar terdengar seseorang memanggil: Il "Kongcu .
. . . . . .. Dengan hati terkejut Tian Mong-pek berpaling, ia jumpai Siau-lan sedang bersembunyi disudut pagar sambil menggapai kearahnya, dari balik matanya yang bening, terlintas perasaan gelisah, takut dan cinta yang kental.
Karena tak tega, pemuda itu menghampirinya sambil bertanya: "Ada apa?" "Kau hendak ke mana?" tanya Siau-lan sambil menatap bodoh.
"Mencari tempat kokcu kalian menutup diri." Berubah paras muka Siau-lan.
"Aaai, biarpun kau....
kau berhasil menemukan, belum tentu dia orang tua bersedia menjumpaimu, lagipula .
. . . . .. mungkin malah akan mendatangkan bencana kematian." Lalu dengan nada kuatir dan penuh perhatian, pintanya: "Aku mohon, jangan ke sana!" "Jangan kuatir," hibur Tian Mong-pek sambil tersenyum, "aku membawa tanda pengenal dari kokcu kalian, dia pasti akan menjumpai aku." "Kalau memang membawa tanda pengenal, kenapa tidak kau tunjukkan" Mereka pasti akan membawamu ke sana, buat apa harus banyak urusan?" kata Siau-lan keheranan.
Tian Mong-pek menghela napas sambil menggeleng.
"Ada banyak masalah yang tak mungkin kau pahami." Katanya.
Siau-lan manggut-manggut, tapi setelah termenung sesaat kembali ujarnya sambil menggeleng: "Tidak, aku paham, sewaktu masih kecil dulu, aku pernah mendengar orang bercerita, sewaktu Han Sim pergi menjumpai Lau Pang, dia pun enggan menunjukkan tanda pengenal pemberian Thio Liang, kau.....
kau sama seperti Han Sim, hanya dikarenakan gengsi dan harga diri bukan?" Ditatapnya pemuda itu dengan penuh rasa kagum.
Tak tahan Tian Mong-pek tertawa geli.
"Hahaha, mereka adalah enghiong sejati, masa aku bisa dibandingkan mereka?" "Tidak, kalian semua sama." Tegas Siau-lan, tiba tiba tubuhnya gemetar keras.
Dia genggam tangan pemuda itu erat-erat, lalu katanya: "Penjaga dalam lembah kaisar memang tak banyak, tapi setiap jalan yang dilalui bisa menyampaikan berita." Kelihatannya dia kelewat tegang, maka setelah mengatur napasnya yang terengah, lanjutnya: "Asal kau tidak menginjak jalanan berlapis batu granit, lurus saja ke depan, kau akan melihat sebuah bangunan kamar yang paling indah .
. . . . . . .." Bersinar sepasang mata Tian Mong-pek, tak tahan selanya: "Disitukah kokcu kalian menutup diri?" Siau-lan menengok sekejap sekeliling tempat itu, lalu dengan tegang mengangguk.
Tiba-tiba Tian Mong-pek menghela napas panjang, ujarnya: "Mengapa kau beritahukan rahasia itu kepadaku?" "Karena kau seorang enghiong, tentu saja aku harus membantu." "Kau.....
aai, terima kasih banyak." "Sekarang, pergilah cepat!" bisik Siau-lan sambil lepaskan genggamannya.
Dengan wajah lebih teguh, gadis itu ulapkan tangannya berulang kali, tambahnya: "Asal kau selalu teringat akan diriku, lain waktu pasti akan berjumpa lagi." Diam-diam Tian Mong-pek menghela napas, tidak berani berpaling lagi, ia tinggalkan tempat itu dengan cepat.
Ia merasa, walaupun gadis itu polos bahkan bersifat kekanak-kanakan, namun hatinya jujur dan baik.
Sebaliknya Siau-lan meski merasa sedih menyaksikan bayangan punggung pemuda itu lenyap dikejauhan, namun diapun merasa riang, sebab dia telah membantu seorang enghiong dan melakukan perbuatan yang berharga.
Ia merasa dirinya sudah lebih dewasa, lebih teguh hatinya daripada dulu.....
Mendadak terdengar suara bentakan nyaring, kakek bungkuk itu sudah muncul sambil berteriak: "Siau-lan, apakah kau berjaga terus disini" Melihat pemuda itu lewat dari tempat ini?" "Tidakl" sahut Siau-lan menggeleng.
"Bocah keparat, lohu akan berjaga jaga disini." Seru kakek bungkuk itu kemudian sambil tertawa.
Dalam pada itu Tian Mong-pek telah melompati dinding pagar, kini dihadapannya terbentang sebuah tempat yang indah, sungai kecil dengan air yang jernih, bebatuan yang teratur rapi, aneka bunga dan pohon yang terawat indah, hakekatnya tempat itu menyerupai surga dunia.
"Wah, sungguh indah, tak salah kalau lembah kaisar cocok untuk tempat tinggal seorang kaisar." Demikian Tian Mong-pek berpikir.
Ia tak berani melalui jalan berlapis granit, karena itu hanya bergerak diatas tanah berumput, setelah berjalan sesaat, diam diam ia mengeluh.
Ternyata bangunan yang berada disekitar tempat itu indah dan megah, bukan cara yang mudah untuk menentukan bangunan mana yang terindah diantara semua bangunan itu.
Bersembunyi dibalik pepohonan, dia mencoba memeriksa sekeliling tempat itu.
Terlihat sebuah bangunan indah berada ditepi jalan, didirikan ditengah pepohonan bambu yang rimbun.
"Tempat ini begitu sepi dan hening, sudah pasti bangunan ini yang dimaksud." Pikir Tian Mong-pek lagi.
Dengan gerakan ringan dia menyusup ke dalam hutan bambu, tapi baru bergerak dua langkah, mendadak dari balik bangunan terdengar seseorang menegur: "Siapa yang datang" Cepat kemari, temani aku berbincang bincang." Tian Mong-pek merasa terkesiap, secepat kilat dia mundur dari situ, pikirnya: "Sungguh berbahaya!" Baru saja dia memasuki hutan bambu, orang dalam bangunan telah mendengar suara langkahnya, ini membuktikan kalau ketajaman pendengaran orang itu sungguh luar biasa.
Kembali ia berjalan berapa saat, kini muncul sebuah bangunan loteng ditepi tanah perbukitan, bangunan yang begitu indah tak kalah dengan sebuah istana kaisar.
"Sudah pasti bangunan ini." Diam diam Tian Mong-pek menghembuskan napas lega.
Kali ini dia lebih berhati-hati, bukan saja melangkah perlahan, bersuara pun tak berani.
Didepan bangunan loteng itu merupakan sebuah hutan pohon siong, dia melewati hutan itu, melewati pagar bambu dan terlihatlah sebuah serambi panjang yang berliku liku tembus kearah sebuah pintu.
Dengan penuh keyakinan Tian Mong-pek mendekati pintu itu, membukanya dan menerobos masuk ke dalam.
Dibalik pintu merupakan sebuah kebun bunga, suasana amat hening tak nampak sesosok bayangan manusiapun, dalam keadaan begini, Tian Mong-pek tak berminat menikmati semua kemewahan itu, kembali dia membuka sebuah pintu dan masuk ke dalam.
Dia menembusi berapa buah bilik tanpa penghuni, makin ke dalam, ruangan makin sedikit tapi perabot dan dekorasinya makin indah dan megah, biar istana kaisar pun belum tentu bisa menangkan keindahan tempat ini.
Sewaktu memasuki ruangan ke lima, ia saksikan ke empat dinding ruangan itu tergantung cermin tembaga yang berkilat, disisi cermin terdapat sebuah pintu lagi yang ditutup dengan tirai terbuat dari untaian mutiara.
Ditengah ruangan tersedia semeja hidangan dan arak, terdapat dua buah bangku, dua perangkat sumpit dan cawan, hidanganpun masih mengepul panas, jelas belum lama ditata diatas meja.
Sementara Tian Mong-pek masih terkejut bercampur keheranan, "Kraaak!" pintu yang baru saja dilalui menutup dengan sendirinya, tertutup oleh selapis cermin tembaga yang besar.
Sekarang pemuda itu baru tahu, meski bangunan itu sunyi tak tampak seorangpun, namun semua gerak geriknya tak pernah lolos dari pengawasan penghuni rumah itu.
Setelah terjadi perubahan itu, dia malah merasakan ketenangan yang luar biasa, diam diam pikirnya sambil tertawa dingin: "Kedatanganku memang bertujuan untuk beradu nyawa, mau persiapkan permainan setan apa pun, jangan harap bisa menakuti diriku." Suasana waktu itu sangat hening, sedemikian sepinya hingga dengus napas sendiripun dapat terdengar jelas.
Sengaja ia memperberat langkahnya, berjalan menuju ke pintu bertirai untaian mutiara itu.
Belum sempat dia menyentuh tirai tadi, mendadak dari balik pintu berkumandang suara tertawa ringan.
Suara tertawa itu lembut, merdu, genit dan merangsang birahi, seketika Tian Mong-pek menghentikan langkahnya.
Terdengar orang yang berada dibalik tirai kembali berkata: "Tian Mong-pek, begitu kau memasuki lembah, aku sudah tahu kalau kau pasti akan datang mencariku." Ucapannya lebih merdu merayu, penuh mengandung daya pikat yang luar biasa.
Tergerak pikiran Tian Mong-pek, segera tegurnya nyaring: "Kau adalah Siau Man-hong?" Kembali orang itu tertawa cekikikan.
"Siapa lagi kalau bukan aku" Duduklah dulu diluar sana, aku telah siapkan hidangan untukmu, sebentar aku akan keluar untuk menemanimu." "Siapa yang kesudian kau temani?" umpat Tian Mong-pek gusar, langsung dia singkap tirai dan menerjang masuk.
Terdengar orang dibalik tirai kembali tertawa cekikikan.
Tian Mong-pek yang menerjang masuk, tiba tiba mundur kembali dengan gelagapan, untuk berapa saat ia berdiri mematung.
Terdengar perempuan itu kembali berkata sambil tertawa cekikian: "Kau ini memang keterlaluan, bukankah sudah kubilang, jangan masuk kemari, kau justru nekat saja, hati hati, nanti kulaporkan kepada ji-moay!" Walaupun masih berdiri dengan penuh kegusaran, kini paras muka Tian Mong-pek telah berubah jadi merah padam, untuk sesaat tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Ternyata ruangan dibalik tirai merupakan kamar tidur seorang wanita, bau
Ternyata ruangan dibalik tirai merupakan kamar tidur seorang wanita, bau harum semerbak terendus dari tempat itu.
Siau Man-hong sedang berdiri didepan pembaringan, tampaknya ia baru selesai mandi, waktu itu dengan tubuh bugil sedang mengeringkan butiran air ditubuhnya dengan selembar handur warna merah.
Perempuan itu benar-benar memiliki kecantikan yang luar biasa .
. . . . .. Rambut yang hitam terurai, mata yang genit dan bibir yang kecil merekah.....
Tubuh yang putih mulus, dengan paha yang indah, payudara yang montok .
. . . . .. Hampir setiap jengkal tubuhnya dipenuhi keindahan dan rangsangan seorang wanita, penuh kegairahan yang membangkitkan birahi syawat .
. . . .. Sewaktu Tian Mong-pek menerjang masuk tadi, sambil menjerit Siau Man-hong membalikkan badannya.
Mereka berdua segera saling berhadapan, saling bertatap muka.
Walaupun Tian Mong-pek segera melompat keluar, namun dalam waktu yang sesaat ia sudah menyaksikan semuanya dengan jelas, untuk pertama kalinya pemuda itu menyaksikan keindahan tubuh seorang gadis yang sedang bugil.
Kontan saja jantungnya berdebar keras, dorongan birah i tiba tiba muncul didalam tubuhnya, rangsangan yang paling purba, dia merasa sulit mengendalikan diri, sulit untuk tidak melototkan matanya, sulit untuk tidak menatap keindahan tubuh si nona yang sedang bugil.
Tirai untaian mutiara bergoyang kencang .
. . . . .. Lamat lamat berendus bau harum yang memabukkan dari balik tirai itu.
Cepat Tian Mong-pek membalikkan tubuh dan sekuat tenaga menghantam cermin tembaga itu, "blaaam!" hanya terdengar suara getaran keras, ternyata cermin itu sama sekali bergeming.
Siau Man-hong yang berada dibalik tirai kembali tertawa ringan, katanya: "Cermin tembaga ini terbuat dari tembaga berusia ribuan tahun, kerasnya melebihi baja, biar tenaga dalammu sepuluh kali lipat lebih hebat pun, jangan harap bisa menghancurkan benda tersebut." "Sebetulnya apa mau mu?" tanya Tian Mong-pek gusar.
"Mau apa aku" Itu mah tergantung dirimu sendiri." Kata Siau Man-hong sambil tertawa genit, ditengah suara tertawa, ia sudah muncul dari balik tirai dan berdiri dihadapan pemuda itu.
Kini tubuhnya yang semula bugil telah tertutup dengan selembar kain sutera tipis, tapi tubuhnya yang putih, lekukan badan yang indah serta payudara yang montok, masih dapat terlihat dengan sangat jelas.
Cepat Tian Mong-pek melengos kearah lain, tapi dari balik cermin tembaga di empat penjuru, segera tampil bayangan tubuh Siau Man-hong, tubuh merangsang dengan senyuman menawan.
Sambil membentak gusar, ia putar badan seraya melepaskan satu pukulan.
Dengan cekatan Siau Man-hong menggoyangkan pinggulnya dan menghindar dari serangan tersebut.
Kembali ujarnya sambil tertawa: "Ruang rahasia ini dibuat dengan rancangan luar biasa, kecuali aku, tak ada orang kedua di dunia ini yang mampu membukanya, jika kau membunuhku, II kau sendiripun tak bisa keluar, waktu itu .
. . . . .. Sesudah mengerling genit, tambahnya: "Waktu itu, kau bakal menemani aku mati bersama disini, hingga ribuan tahun kemudian, ketika orang menemukan jenasah kita berdua, tahukah kau, apa yang mereka pikirkan?" "Kau .
. . . .. kau . . . . . .." Tian Mong-pek semakin gusar.
Siau Man-hong tertawa terkekeh-kekeh.
"Mereka pasti mengira kita adalah sepasang kekasih yang sehidup semati, bukankah kita makin penasaran dibuatnya?" Tian Mong-pek melengak berapa saat, biarpun dia memiliki sepasang kepalan baja, memiliki nyali sekeras besi, tapi terhadap gadis ini boleh dibilang kehabisan daya, yang bisa dia lakukan hanya menghela napas panjang.
"Kenapa menghela napas" Kita toh belum mati!" kata Siau Man-hong sambil tertawa.
"Antara kita berdua tak ada dendam tak ada sakit hati, kenapa kau harus menyusahkan aku?" "Aduh mak, siapa yang menyusahkan dirimu?" teriak Siau Man-hong, "bukankah aku mengundangmu makan hidangan lezat, minum arak wangi, bahkan aku menemani sendiri, masa beginipun disebut menyusahkan?" Ia duduk dibangku dihadapannya, kemudian serunya sambil menggapai: "Kemari! Masa kau takut?" "Apa yang kutakuti" Apa yang kutakuti?" batin pemuda itu sambil mengepal tinjunya.
Cepat dia putar badan, mengambil tempat duduk, kemudian sambil menggerakkan sumpit dan mengangkat cawan serunya: "Kau sangka aku tak berani makan?" Begitu selesai bicara, dia langsung makan minum dengan lahapnya.
Siau Man-hong membelalakkan matanya memperlihatkan rasa kaget bercampur tercengang, serunya: "Masa kau tidak kuatir arak dan hidangan itu sudah dicampuri racun jahat, yang bisa menewaskan dirimu seketika?" "Hahaha, biar harus mati pun, aku ingin jadi setan kekenyangan." Kembali Siau Man-hong mengerling nakal, bisiknya sambil tertawa genit: "Apa kau tidak takut hidangan dan arak itu sudah dicampuri obat perangsang, sehingga setelah makan, kau bakal.....
kau bakal . . . . .." Ditatapnya wajah pemuda itu dengan manja, kemudian tambahnya: "Bakal bagaimana, semestinya kau sudah tahu bukan?" Tian Mong-pek tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha.... jika hidangan ini benar benar sudah dicampuri obat perangsang, setelah kumakan, seharusnya kaulah yang bakal takut, apa yang harus kutakuti?" Merah padam selembar wajah Siau Man-hong, tanpa sadar ia termangu dibuatnya.
Untuk pertama kali ini dia telah bertemu dengan lelaki yang dapat membuatnya termangu, mengawasi cara Tian Mong-pek bersantap, tiba tiba saja ia merasa malu, jengkel, panik bercampur mendongkol.
Menyaksikan sikap gadis itu, diam-diam Tian Mong-pek merasa geli, sengaja dia tidak menengok kearahnya bahkan caranya bersantap makin rakus dan lahap, serunya berulang kali: "Arak wangi! Hidangan lezat!" Lama sekali Siau Man-hong termangu, tiba tiba biji matanya berputar, lagi-lagi dia tertawa merdu.
Tian Mong-pek sama sekali tak menggubris, bahkan semakin bersikap acuh, akhirnya gadis itu tak tahan, tegurnya: "Hei, tahukah kau, apa yang sedang kutertawakan?" "Oh, rupanya kau sedang tertawa" Aku tidak tahu." Setelah angkat kepala dan menatap gadis itu berapa kejap, pujinya sambil mengangguk: "Ehm, ternyata sewaktu tertawa, kau tampak lebih manis." Siau Man-hong betul-betul mendongkol, saking jengkelnya, sepasang gigi sampai saling beradu, teriaknya: "Aku mentertawakan ketololanmu, ternyata sama sekali tak sadar, baik, akan kuberitahu secara terus terang .
. . . . . .." Sambil menarik muka, dia tarik kembali senyumannya, lalu dengan lantang berkata: "Racun yang kucampur ke dalam arak dan hidangan itu meski tak sampai membuat nyawamu hilang, tapi disaat kau kehilangan seluruh tenaga badanmu, waktu itu .
. . . . . .." Dia tertawa dingin berulang kali, tambahnya: "Waktu itu, aku dapat menyiksamu, mencincang tubuhmu hingga hancur berkeping, akan kusuruh kau tersiksa, menderita sepanjang masa, kemudian baru perlahan-lahan mampus." Tian Mong-pek tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, bisa menikmati racun ganas semacam ini, hitung-hitung aku memang bermulut hokki, apalagi bisa mati ditangan seorang wanita secantik dirimu, ehmm .
. . . .. kematianku tidak terhitung sia sia." Bukan saja gelak tertawanya makin nyaring, pemuda itupun semakin lahap menyikat hidangan yang disediakan.
Perubahan sikap semacam ini sungguh diluar dugaan siapa pun, meski Siau Man-hong memiliki daya pikat yang luar biasa, walaupun ia cerdas dan banyak akal, tapi setelah berjumpa dengan lelaki yang tidak takut langit, tak takut bumi semacam ini, tak urung dia kehabisan daya juga.
Dalam pada itu, walaupun dalam penampilan Tian Mong-pek bersikap sangat tenang, sesungguhnya dihati kecil ia merasa terperanjat, pemuda itu tak tahu racun macam apa yang telah dicampurkan ke dalam hidangan yang tersedia, hanya saja dia tak ingin pihak lawan mengetahui kekuatirannya, itulah sebabnya perasaan tersebut tak ditampilkan pada wajahnya.
Dengan mata terbelalak besar, Siau Man-hong mengawasi pemuda itu makan minum, tidak jelas apa yang sedang dipikirkan waktu itu.
Tiba tiba dilihatnya Tian Mong-pek meletakkan sumpitnya ke meja dan mulai menyeka mulut.
"Sudah selesai makannya?" gadis itu segera menyindir sambil tertawa dingin.
"Hahaha, kenyang, kenyang, hidangan yang cukup mengenyangkan!" "Bagaimana rasanya kini?" kembali Siau Man-hong bertanya sambil tertawa dingin, "tanganmu sudah mulai gatal" Mulai linu" Kesemutan" Ruas tulangmu mulai kaku" Hm! Kalau ingin hidup, cepat berlutut dan minta ampun." Tian Mong-pek tertawa.
"Tanganku tidak linu, badanku juga tidak kesemutan, aku bahkan merasa sangat nyaman, selama hidup belum pernah aku merasakan kenyamanan seperti ini." "Maut sudah didepan mata, kau masih berani membantah?" "Hahaha, biar mati harus menjadi setan romantis, rasanya menarik juga bagiku." Tian Mong-pek tertawa tergelak.
"Apa maksudmu?" Sengaja Tian Mong-pek mengawasi tubuh gadis itu dari atas hingga ke bawah, lalu sambil tertawa terkekeh-kekeh katanya: "Masa kau belum tahu apa yang akan kulakukan?" Sekarang dia sudah tahu kalau Siau Man-hong adalah seorang gadis yang senang berlagak pintar dan sengaja menonjolkan kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya, padahal dia sama sekali tidak jalang, tidak porno dan bukan perempuan nakal.
Karena itulah dia sengaja bersikap begitu, berniat menakuti lawannya terlebih dulu.
Kendatipun begitu, Tian Mong-pek merasa was-was juga, dia kuatir perempuan itu justru menyerahkan tubuhnya, mau diajak bermain cinta dengannya.
Terlihat Siau Man-hong termangu berapa saat, kemudian serunya agak tergagap: "Apa maksudmu" Aku tidak mengerti." Dalam hati kembali Tian Mong-pek berpikir: "Thian, tolonglah aku, jangan biarkan dia menyanggupi permintaanku itu." Sedang diluaran, serunya lagi dengan nada lembut: "Masa kau tidak paham" Cepat kemari, ayoh layani aku!" Dengan cepat Siau Man-hong melompat bangun, teriaknya sambil menutupi tubuhnya dengan pakaian: "Kau .
. . . . . .. kau . . . . . .. berani kau maju lagi?" Ternyata seperti apa yang diduga Tian Mong-pek, perempuan itu memang menganggap kecantikan wajahnya, keindahan tubuhnya dan kepintaran otaknya sudah merupakan modal yang cukup untuk menaklukan kaum lelaki, selama ini dia tak pernah pandang sebelah mata pun terhadap setiap pria di dunia ini.
Begitu mengetahui kalau Tian Mong-pek memasuki lembah kaisar, dia pun segera memancing pemuda itu agar datang ke tempat tinggalnya, dia berniat mempermainkan anak muda itu habis habisan kemudian baru mempermalukan dirinya.
Dia sangka Tian Mong-pek sama seperti lelaki lain, dengan mudah akan terjatuh ke dalam cengkeramannya, saat itu, dia pun dapat membeberkan semua kelemahan dan kejelekan Tian Mong-pek dihadapan Siau Hui-uh dan mempermalukan dirinya.
Siapa sangka apa yang kemudian terjadi sama sekali diluar dugaan, bukan saja niatnya tak kesampaian, bahkan kini, ia justru terancam oleh keinginan pemuda itu.
Tian Mong-pek bertambah senang setelah melihat rasa takut diwajah perempuan itu, rayunya lembut: "Mau kan begituan dengan ku?" "Kau.....
berani kau menyentuh tubuhku .
. . . . . . . . .." Tian Mong-pek bangkit berdiri, selangkah demi selangkah ia berjalan mendekat, bahkan sambil rentangkan sepasang tangannya ia membujuk: "Kemarilah, jangan takut, tak bakal ketahuan orang lain." II "Dasar budak.....
budak yang tak tahu malu .
. . . . . .. umpat Siau Man-hong II gemetar, "kau.....
kau . . . . . . . .. Selama hidup, belum pernah ia berbuat begituan dengan siapa pun, hingga kini dia masih berstatus perawan, tak heran kalau gadis itu mulai gelagapan.
"Aku tak tahu malu?" Tian Mong-pek tertawa cekikikan, "bukankah kau pun ingin berbuat begini?" Sambil berteriak keras, Siau Man-hong balik badan lalu kabur masuk ke dalam ruangan, tapi Tian Mong-pek sudah menubruk ke depan, sambil menggigit bibir dia peluk bahu gadis itu.
Untuk sesaat Siau Man-hong seolah lupa kalau dia memiliki ilmu silat, dia lupa untuk melakukan perlawanan, malah pintanya dengan gemetar: "Aku mohon, jangan .
. . . .. jangan . . . . . .



.." Dalam perkiraan Tian Mong-pek, gadis itu bakal mengajaknya berkelahi, siapa sangka bukan saja tidak melawan, perempuan itu justru menunjukkan sikap yang begitu lemah.
Kini anak muda itu jadi gelagapan sendiri, dia tak tahu haruskah sandiwara ini dilanjutkan" Mendadak dari luar cermin tembaga terdengar suara orang menggedor pintu.
"Ada . . . . .. ada orang datang, cepat .
. . . .. cepat lepaskan aku." Pinta Siau Man-hong lirih.
Tian Mong-pek berpikir sejenak, jawabnya kemudian sambil tertawa: "Tak usah kuatir, kecuali kau, bukankah tak ada orang yang bisa membuka pintu rahasia itu" Kau sendiri yang berkata begitu bukan?" "Aku mohon, asal kau bebaskan diriku, apa pun yang kau minta pasti akan kukabulkan." Tian Mong-pek jadi kegirangan, tapi diluaran dia sengaja berkata sambil menghela napas: "Baiklah, karena kau ngotot tak mau, aaai! Asal kau ajak aku pergi ke tempat ayahmu menutup diri, aku segera akan membebaskan dirimu." Tiba-tiba Siau Man-hong menghela napas sedih, bisiknya pula: "Aaai, aku tak berdaya memenuhi permintaanmu itu, apa boleh buat .
. . . .. baiklah, akan kupersembahkan tubuhku untukmu .
. . . . . .." Bukannya berusaha kabur, gadis itu malah merangkul tubuh Tian Mong-pek erat erat lalu membaringkan diri ke atas ranjang.
"Mampus aku!" pekik Tian Mong-pek dihati, dia semakin tak tahu bagaimana harus bersikap, yang dilakukan sekarang hanya berdiri kaku bagaikan patung.
Terdengar Siau Man-hong tertawa terbahak-bahak, ejeknya: "Setan hidung belang, kenapa malah ketakutan?" Sambil melompat turun dari pembaringan, kembali ujarnya sambil tertawa terkekeh: "Coba kau berlagak lebih mirip, aku pasti akan percaya.
Sayang kau bukan setan hidung belang, jadi mau berlagak pun tidak mirip." "Siapa bilang aku bukan setan hidung belakang" Aku....
aku....." "Sejak kau memeluk bahuku tadi, aku sudah tahu kalau kau sedang II bersandiwara, sela Siau Man-hong sambil tertawa, "terlalu banyak setan hidung bangor yang kujumpai, mana ada yang lemah lembut macam kau?" Tian Mong-pek tertawa getir, setelah menghela napas bisiknya dihati: "Sudahlah!" Dia balik ke bangkunya dan duduk termangu.
Sambil tertawa kembali ujar Siau Man-hong: "Sekarang, sandiwaramu sudah terbongkar, mau apa kau?" "Aku hanya merasa penasaran." Tiba tiba Siau Man-hong berjalan menghampirinya, setelah menepuk bahu pemuda itu, ujarnya: "Kau tak usah menghela napas, ayoh jalan, akan kuhantar kau ke tempat ayahku menutup diri." "Apa.....
apa kau bilang?" Siau Man-hong tertawa.
"Kau adalah lelaki pertama yang dapat membuat aku gelagapan dan panik, bukan saja aku mulai menyukaimu, bahkan mulai mengagumi dirimu." "Sungguhkah perkataanmu itu?" "Kali ini, bukan saja aku akan lepaskan dirimu, bahkan akan mengabulkan permintaanmu dengan menghantar kau ke tempat tujuan, tapi bila kita bertemu lagi kelak, aku tetap akan mengajakmu untuk berduel." Sekali lagi Tian Mong-pek tertegun, tiba tiba teriaknya: "Sekalipun kau menghantar aku, tak bakal aku berterima kasih padamu, kau.....
tahukah kau, mengapa aku datang kemari?" "Aku tidak butuh rasa terima kasihmu, juga tak ambil peduli apa maksud kedatanganmu, asal urusan yang kukehendaki, aku tak ambil peduli dengan urusan lain."
Bab 21. Berulang kali ketimpa hujan angin.
"Bagaimana kalau kedatanganku membawa niat jahat?" tanya Tian Mong-pek.
"Sekalipun kedatanganmu membawa maksud jahat, bakal ada orang lain yang akan menghadapimu, toh aku tak berniat mencelakaimu, jadi terserah apa yang hendak kau lakukan, pokoknya aku tak ambil peduli." "Benar benar seorang perempuan keras kepala." Batin Tian Mong-pek sambil menghela napas.
Terlihat Siau Man-hong menggerakkan cermin tembaga itu berulang kali, dua belah pintu pun segera terbuka, bau harum berhembus keluar ditengah goyangan tirai untaian mutiara.
Bersama dengan terendusnya bau harum, sesosok bayangan manusia menerobos masuk, langsung menubruk ke hadapan Tian Mong-pek dan memeluknya erat-erat.
"Paman . . . . . . .." bisknya gemetar.
Dalam sekilas pandang, Tian Mong-pek segera dapat melihat jelas bayangan tubuhnya, apalagi mendengar suaranya yang penuh kegelisahan bercampur kegembiraan yang meluap.
Dia tahu, gadis itu tak lain adalah Kiong Ling-ling, gadis lemah bernasib tragis.
Ditepuknya bahu gadis cilik itu, sambil menghela napas sapanya: "Ling-ling, lama tak bertemu, baik-baikkah kau?" Kiong Ling-ling mengangguk perlahan.
"Terima kasih paman," sahutnya, "penghidupan Ling-ling cukup baik .
. . . . .." Tiba tiba dia melepaskan pelukannya, mundur berapa langkah dan bertanya: "Paman, kau baik-baik bukan?" Sekarang Tian Mong-pek baru merasa, walau hanya berpisah berapa bulan, gadis lemah ini bukan saja telah tumbuh dewasa, bahkan diapun mengalami banyak perubahan.
Wajahnya yang semula pucat, kini sudah tampak rona merah, sepasang matanya yang dulu penuh kehampaan dan kepedihan, kini mulai memercikkan sinar kehidupan.
Gadis itupun tumbuh lebih tinggi, lebih montok .
. . . .. Tiba tiba Tian Mong-pek menjadi sadar mengapa gadis itu melepaskan pelukannya secara tiba tiba, mengapa gadis itu mundur tanpa alasan.....
rupanya ia merasa sudah tumbuh dewasa, sudah sepantasnya memberikan batasan antara lelaki dan wanita.
Terdengar Siau Man-hong tertawa ringan, tegurnya: "Ling-ling, jadi kau yang mengetuk pintu tadi?" "Benar, Ling-ling yang mengetuk pintu." Jawab Kiong Ling-ling sambil tundukkan kepala .
"Selama ini kau menjaga didepan pintu?" kembali Siau Man-hong bertanya.
Kiong Ling-ling hanya mengangguk, tidak menjawab.
Sambil tersenyum Siau Man-hong melirik Tian Mong-pek sekejap, kemudian serunya: "Coba lihat, betapa perhatiannya keponakan wanitamu kepadamu, kuatir aku mencelakaimu hingga selama ini berjaga terus didepan pintu." Diam diam Tian Mong-pek menghela napas, sekulum senyuman tersungging dibibirnya, dengan lembut ia berkata: "Ling-ling, kau tak usah kuatir, paman pasti akan menjaga dirimu." "Ling-ling tahu." Tian Mong-pek menatap dalam dalam gadis itu, dalam hati dia berdoa, mengharapkan kebahagiaan untuk kehidupan masa depannya.
Kemudian ia membalikkan badan sambil berseru: "Ayoh jalan." Siau Man-hong seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya dengan langkah lebar dia keluar dari pintu.
Memandang bayangan punggung kedua orang itu lenyap dibalik tirai, dua baris air mata tiba tiba meleleh dari mata Kiong Ling-ling, mengalir hingga ke ujung bibir.
Dia sangat berharap sang "paman" akan bertanya lebih banyak, siapa tahu "paman" nya berlalu dengan terburu-buru, seakan sikapnya begitu dingin, begitu asing.
Untung saja dibalik tubuhnya yang sendiri, terdapat hati yang teguh, biarpun dia haus akan belaian kasih, namun dia lebih suka hidup kesepian, daripada merengek belas kasihan orang.
Mimpipun Kiong Ling-ling tidak menyangka kalau kepergian Tian Mong-pek kali ini membawa tekad untuk beradu nyawa, dia sudah tak pelit untuk menghadapi kematian, rela mengorbankan nyawa demi membalas sakit hatinya.
Dia sengaja meninggalkan tempat itu dengan terburu-buru, karena ia memang tak memiliki keyakinan untuk menangkan pertempuran hari ini, dia tak tega menyaksikan Kiong Ling-ling sekali lagi hidup terlunta-lunta.
Oleh sebab itu dia sengaja berlagak dingin, hambar dan berlalu dengan tergesa, dengan begitu, meski akhirnya dia kalah dan tewas, Kiong Ling-ling masih ada kesempatan untuk hidup terus dalam lembah kaisar.
Setelah melalui serambi yang berliku, tiba tiba dari balik hutan pohon siong melompat keluar sesosok bayangan manusia yang menghadang jalan pergi pemuda itu.
"Aku berada disini." Ujar orang itu dingin.
Dia adalah seorang lelaki berbaju sutera halus yang berperawakan tinggi, mukanya yang tampan kelihatan pucat, senyuman yang congkak dan sinis menghiasi ujung bibirnya, seakan dia tak memandang sebelah mata pun terhadap orang lain.
Sesudah memandang Tian Mong-pek sekejap, kembali tegur orang itu: "Masih kenal dengan aku?" "Hun-ho si pembesar berpipi licin Hoa Hui, tentu saja aku kenal dirimu." Jawab Tian Mong-pek sambil tertawa dingin.
Tapi begitu teringat akan kematian Kiong Gim-bit si pedang sakti berujung seribu, hawa amarah kontan berkobar didada pemuda itu, teriaknya keras: "Aku hanya tidak menyangka, kau masih punya muka untuk berjumpa dengan aku." Hijau membesi selembar wajah Hoa Hui, teriaknya gusar: "Apa kau bilang?" "Menganiaya kaum lemah, melukai orang dengan siasat busuk, masa kau tidak tahu akan perbuatan yang telah kau lakukan" Buat apa aku harus membicarakan lagi?" kata Tian Mong-pek gusar.
Hoa Hui menutup rapat mulutnya, tidak bicara sepatah kata pun, tapi napsu membunuh telah menyelimuti wajahnya.
Tiba-tiba Siau Man-hong tertawa ringan, sambil menghadang didepan Tian Mong-pek, katanya: "Siau-hui, sejak kapan kau telah kembali" Kenapa tidak mengabari aku, hingga aku bisa menyambut kedatanganmu?" "Sejak tadi aku sudah kembali," sahut Hoa Hui sambil tertawa dingin, "tapi kau justru sedang berkasak kusuk dengan bajingan ini dalam ruang rahasia, mungkin kau sudah melupakan kehadiran aku yang menjadi suamimu." "Apa kau bilang?" Tian Mong-pek semakin berang.
Sekali lagi Siau Man-hong menghadang sambil merentangkan tangannya, masih dengan senyuman diwajah, ujarnya perlahan: "Siau-hui, kau sendiri yang berkata begitu, nanti jangan melupakannya." "Tentu saja aku tak akan melupakan." Teriak Hoa Hui.
"Baik, menanti aku balik lagi, akan ku .
. . . . .." "Mau kemana kau?" tukas Hoa Hui sewot.
"Akan kuajak dia bertemu ayah." "Tunggu dulu, selama ada aku disini, dia tak bakal pergi ke mana pun." Siau Man-hong segera tersenyum.
"Aku sengaja akan membawanya pergi, masa kau akan menjagal diriku?" katanya.
Hoa Hui tertegun, tiba tiba perasaan takut dan kaget terlintas di wajahnya .
. . . . . . .. Saat itu matahari senja telah condong ke barat, suasana remang remang mulai menyelimuti serambi panjang yang berliku itu.
Dari ujung serambi panjang, tiba tiba muncul sesosok bayangan manusia, bayangan semu menyerupai sukma gentayangan.
Bayangan itu bergerak sangat lamban, tanpa menimbulkan sedikit suara pun, ketika muncul dari balik kegelapan, terlihat paras mukanya yang putih pucat bagai mayat.
Sepasang matanya yang bersinar tajam, mengawasi terus wajah Hoa Hui tanpa berkedip, tatapan itu tidak menunjukkan perasaan apapun terkecuali ketenangan yang menakutkan.
Hoa Hui tak bisa tenang, tak mampu mengendalikan gejolak perasaannya, dengan suara keras dia berteriak: "Kau.....
kau belum mati" Ke .
. . . .. kenapa kau bisa muncul disini?" Kiong Ling-ling tidak menjawab, dia hanya mengawasinya dengan tenang.
"Aku yang membawanya kemari." Ujar siaumahong.
"Apa?" berubah paras muka Hoa Hui, "kau membawa pulang cucu perempuan dari musuh besarku?" "Oh, rupanya kau yang telah membunuh kakeknya?" tegur Siau Man-hong dengan kening berkerut, "mengapa kau membunuhnya" Aai, bencana yang kau buat benar-benar kelewat banyak." Belum selesai ia berkata, Kiong Ling-ling telah melewati dia dan Tian Mong-pek dan tiba dihadapan Hoa Hui, tatapan matanya tetap kosong, mimik mukanya tetap tenang.
Tak kuasa Hoa Hui mundur setengah langkah, sambil menatap Siau Man-hong, teriaknya keras: "Daripada kau membawanya pulang, lebih baik bawa pulang berapa ekor ular berbisa." Jangan lagi menanggapi, melirik kearah Hoa Hui pun tidak, Siau Man-hong menggandeng tangan Kiong Ling-ling sambil katanya lembut: "Ling-ling, sayang, tak usah bicara dengan dia, mari kita pergi ke tempat bibi ke dua." Dengan kaku Kiong Ling-ling mengangguk, sahutnya: "Aku tahu, sekarang aku masih belum mampu mengalahkan dirimu, tapi suatu saat, aku pasti akan membalas dendam." Paras muka Hoa Hui berubah hebat, belum sempat ia berbuat sesuatu, Kiong Ling-ling sudah membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ.
"Aaai, bocah ini . . . . . .." sambil gelengkan kepala, Siau Man-hong menghela napas panjang.
"Dasar budak goblok," seru Hua Hui sambil mengawasi bayangan punggung Ling-ling yang menjauh dan tertawa dingin, "kau kira aku bakal menunggu terus" Memangnya aku tak bisa menjagalmu lebih dahulu?" "Coba kau ulangi sekali lagi," bentak Tian Mong-pek gusar, "sekarang juga aku akan menjagal dirimu." Kontan Hoa Hui mendongakkan kepala dan tertawa seram.
"Jangan kau sangka karena ada yang membantumu maka kau bisa pentang cakar semau sendiri," teriaknya, "terhadap bajingan macam dirimu, sauya tak pernah memandangnya didalam hati." "Kau .
. . . . .. kau . . . . . .." saking gusarnya, Tian Mong-pek tak sanggup melanjutkan perkataannya, dia menggeser tubuhnya dan menerjang ke hadapan lawan.
Dengan cepat Siau Man-hong menarik tangannya sambil berkata: "Kau jadi tidak pergi menjumpai ayahku?" Tian Mong-pek menghembuskan napas panjang, menenangkan kembali dadanya yang berombak, sekuat tenaga dia melengos kearah lain untuk tidak memandang lagi kearah Hoa Hui.
"Ayoh kita berangkat." Katanya kemudian dengan suara berat.
Kini, Siau Man-hong baru berpaling kearah Hoa Hui dan berkata: "Sekarang aku akan mengajaknya pergi, bila kau berniat menghalangi lagi, segera ada orang yang bakal mendapat malu." `Pergilah!" ujar Hoa Hui kemudian setelah menghembuskan napas panjang.
Siau Man-hong tersenyum, katanya: "Tunggu aku disini, segera aku akan kembali." Dia ajak Tian Mong-pek menembusi hutan pohon siong, menelusuri jalan beralas batu granit dan meninggalkan Hoa Hui yang masih berdiri diujung serambi sambil menyusun rencana keji.
Sepanjang perjalanan tak terlihat sesosok bayangan manusia pun, permukaan jalan tetap bersih dan licin, tampaknya sepanjang jalan jarang dilewati orang.
Tiba-tiba Tian Mong-pek menguatirkan keselamatan Kiong Ling-ling, dia menghentikan langkahnya.
"Tak usah kuatir," terdengar Siau Man-hong berkata sambil tertawa, "ada jimoay yang melindungi, siapa berani menganiaya dirinya?" Diam diam Tian Mong-pek menghela napas, pikirnya: "Perempuan ini memang sangat pintar, ternyata dia dapat menebak jalan pikiran orang." Karena itu diapun melanjutkan kembali langkahnya.
Siau Man-hong tidak bicara lagi, dengan mulut membungkam dia berjalan disamping Tian Mong-pek.
Kendatipun perempuan ini dapat menebak jalan pikiran orang, dia tak ingin orang mengetahui jalan pikiran sendiri.
Bangunan rumah dikedua sisi jalan makin lama semakin jarang, akhirnya jalan itu tiba diujungnya.
Tiba tiba dari arah belakang terdengar seseorang berteriak keras, suaranya melengking tajam, menusuk pendengaran: "Man-hong, bawa kembali bocah keparat itu." Berubah paras muka Siau Man-hong, bisiknya: "Sudah datang!" Cepat dia tarik tangan Tian Mong-pek sambil serunya: "Cepat, jangan biarkan terkejar dia." "Kau tidak takut .
. . . . .." "Aku sudah menyanggupi permintaanmu, biar harus mati pun tetap akan membawamu ke sana." Sementara Tian Mong-pek masih termangu, ia sudah ditarik memasuki hutan pohon siong disisi jalan, setelah melalui hutan, didepan mata terbentang sebuah aliran sungai dengan air yang jernih serta berapa buah gunun- gunungan yang indah.
Air itu mengalir dari atas bukit, mengalir turun bagaikan seutas tali surga, suara gemericik yang bersahutan, mendatangkan suasana damai dihati.
Sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan loteng kecil dibalik gunung- gunungan, ujar Siau Man-hong: "Ayahku berada disana, cepatlah pergi, biar aku yang menghadapi .
. . . . . .." Belum selesai berkata, dengan kecepatan tinggi ia sudah tinggalkan tempat itu.
Memandang bayangan punggungnya yang menjauh, diam diam Tian Mong-pek menghela napas, pikirnya: "Seorang wanita yang sangat aneh." Tidak membuang waktu lagi, diapun mengayunkan langkah menuju ke arah bangunan itu.
Tampak bangunan loteng itu memiliki bentuk atap persegi delapan, dipandang dari luar menyerupai sebuah pavilion, tampak pintu dan jendela tertutup rapat.
Ketika diamati lebih seksama, pemuda itu baru tahu kalau bangunan loteng ini didirikan menempel dengan dinding bukit, sebuah tirai tampak menutupi balik pintu dan sama sekali tak terdengar suara apa pun.
Bangunan itu sangat indah, pemandangan alam disekelilingpun mempersona hati, sayang pemuda itu tak berkesempatan untuk menikmati semuanya. Setelah berada didepan bangunan itu, Tian Mong-pek merasa hatinya setegang tali senar khiem yang sedang dipetik, sebab mati hidup dan semua kehormatannya segera akan dipertaruhkan ditempat itu.
Lama sekali dia berdiri mematung didepan pintu, segenap tenaga murni telah disalurkan ke seluruh tubuh, dia sudah siap melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, dia akan pertaruhkan semuanya dalam pertarungan ini.
Dari dalam saku ia keluarkan surat titipan dari orang berbaju kuning, kemudian sambil memukul gelang pintu, teriaknya: "Tian Mong-pek datang berkunjung .
. . . . . .." Belum selesai ia berteriak, pintu sudah buka dengan sendirinya.
Selembar karpet berwarna merah terbentang dari mulut pintu hingga kekejauhan sana, panjangnya mencapai sepuluh tombak, diujung jalan merupakan sebuah tangga batu sebanyak puluhan trap lalu muncul lagi selapis pintu.
Ternyata bangunan itu terhubung hingga ke perut bukit, walaupun kelihatannya kecil dari luar, namun bagian dalamnya luas sekali.
Lentera bergelantungan sepanjang dinding, namun suasana sangat hening, tak terlihat sesosok bayangan manusia pun.
Baru saja Tian Mong-pek melangkah masuk, secara otomatis pintu gerbang menutup sendiri, sudah jelas semua sudut dalam lembah kaisar telah dilengkapi dengan peralatan rahasia yang canggih.
Permadani tebal lagi empuk, sewaktu diinjak sama sekali tidak menimbulkan suara, keheningan yang mencekam terselip hawa pembunuhan yang kental, bikin hati siapa pun bergidik.
"Ada orangkah disini?" teriak Tian Mong-pek sambil menerjang naik.
Begitu tiba diujung undakan batu, pintu gerbang kembali terbuka secara otomatis.
Dibalik pintu merupakan sebuah gedung utama yang sangat megah dengan tiang penyangga bagaikan naga sakti, ditengah ruang terdapat pula tiang yang besar, diantara tiang raksasa terlihat pula selembar permadani merah yang panjang.
Ujung permadani merupakan undakan batu, diatas undakan terdapat sebuah meja raksasa, dibelakang meja merupakan bangku raksasa, semua perabot itu berukirkan naga sakti dan berwarna kuning keemas-emasan.
Walaupun ruangan itu megah dan mewah, namun justru diliputi hawa pembunuhan yang mengerikan.
Tian Mong-pek tidak pecah nyali karena keadaan tersebut, sambil berdiri ditengah ruangan, kembali teriaknya lantang: "Dimana orangnya?" "Tian Mong-pek, mau apa kau datang kemari?" tiba tiba dari balik bangku yang berlapis kelambu panjang, terdengar seseorang menegur dengan suara berat.
"Aku tidak terbiasa bicara dengan orang yang beraninya main sembunyi, tampil dulu ke hadapanku, pasti akan kujawab maksud kedatanganku." Sahut Tian Mong-pek lantang.
Suasana pun hening selama berapa saat, tampaknya orang itu tidak menyangka kalau pemuda ini bernyali begitu besar.
Kembali Tian Mong-pek membentak: "Jika kau tidak segera keluar, aku yang akan menerjang masuk ke dalam." Betul saja, tirai panjang perlahan-lahan terbuka, dengan cepat Tian Mong-pek melewati meja kursi, langsung menerjang masuk ke dalam.
Tampak sebuah hiolo setinggi manusia berada ditengah aula, asap harum mengepul memenuhi angkasa.
Disamping hiolo duduk bersila tiga orang, wajah mereka tertutup oleh kain kelambu kuning yang menutupi ruangan, sehingga yang tampak hanya kasur
Disamping hiolo duduk bersila tiga orang, wajah mereka tertutup oleh kain kelambu kuning yang menutupi ruangan, sehingga yang tampak hanya kasur tempat duduk mereka serta lutut.
Tian Mong-pek menyapu sekejap sekeliling tempat itu, kemudian tegurnya dengan suara dalam: "Siapakah kokcu lembah kaisar?" "Aku." Jawab salah seorang diantaranya.
Tian Mong-pek segera melemparkan surat dalam genggamannya ke samping kaki orang itu, katanya lagi: "Seorang pendekar sakti berbaju kuning menitipkan sepucuk surat untuk disampaikan kepadamu, cepat diperiksa." "Tentu akan kulihat isinya!" "Masih ada pertanyaan lagi yang ingin kusampaikan." "Kau punya nyali masuk kemari, tanyakan saja!" "Tiau-yang hujin bertanya, apakah kau merasa kesepian?" "Sudah lama hidup kesepian, bagiku sudah terbiasa." "Itukah jawabanmu?" tanya Tian Mong-pek setelah tertegun berapa saat.
"Kalau bukan jawaban, buat apa harus kukatakan." Tian Mong-pek termenung berapa saat, tapi akhirnya tak tahan untuk berteriak: "Sudah jelas ia mengajukan pertanyaan itu, karena dia ingin datang menemanimu, masa kau tidak tahu?" "Kalau sudah terbiasa hidup kesepian, apa gunanya ditemani orang?" Diam-diam Tian Mong-pek menghela napas, mendadak teriaknya lagi: "Cepat kau baca isi surat itu." "Kehidupan manusia bagaikan dalam impian, kenapa harus terburu-buru?" "Bila kau selesai membaca surat itu, aku akan beradu nyawa dengan dirimu." Teriak Tian Mong-pek gusar.
"Diantara kita berdua tak ada dendam tak ada sakit hati, kenapa harus beradu nyawa?" "Memangnya panah kekasih bukan hasil karyamu?" "Aku tak pernah menciptakan benda yang bisa mencelakai umat manusia." "Selain kau, siapa lagi yang bisa berbuat begitu?" Tian Mong-pek bertambah gusar.
"Ada begitu banyak manusia yang hidup di dunia ini, kenapa kau justru menuduh dia?" tiba tiba sela orang yang duduk disebelah kiri.
Tian Mong-pek segera berpaling, teriaknya: "Aku sudah menyimpulkan demikian, biar kalian mau bicara apa pun, aku tak bakalan percaya." "Selama hidup pinceng tak pernah berbohong." Tergerak pikiran Tian Mong-pek, tegurnya: "Siapa kau?" Dari balik kelambu kuning muncul seorang pendeta berjenggot putih yang berwajah alim, dia tak lain adalah Thian-huan taysu, ciangbunjin dari Siau-lim-pay.
"Taysu, kenapa kau .
. . . .. kau..... bisa muncul disini?" tanya Tian Mong-pek terperanjat.
Thian-huan taysu tersenyum.
"Kedatangan lolap bermaksud untuk menjadi saksi bagi Siau kokcu, sekalipun Tian sicu tidak mempercayai lolap, seharusnya percaya dengan dia bukan!" Ketika Tian Mong-pek berpaling, kain kelambu disebelah kanan perlahan-lahan tersingkap.
Dibalik kain kelambu duduk seorang tojin berwajah penuh wibawa, dia bagaikan seorang malaikat saja, membuat setiap orang menaruh rasa hormat.
"Nama besar Giok-ki toheng sudah tersohor di seantero jagad, kau percaya dengannya bukan?" kata Thian-huan taysu sambil tertawa.
"Apakah cianpwee adalah ciangbun cinjin dari Bu-tong-pay?" tanya Tian Mong-pek agak gugup.
Sambil tertawa tojin itu manggut-manggut.
"Pinto Giok-ki, jauh jauh datang kemari bertujuan untuk menjadi saksi bahwa kokcu lembah kaisar bukanlah pemilik panah kekasih." Setelah tertegun berapa saat, akhirnya Tian Mong-pek jatuh terduduk, ujarnya sambil membesut keringat: "Untung kalian datang kemari, kalau tidak, cayhe pasti telah melakukan kesalahan besar." Giok-ki cinjin manggut-manggut.
"Andaikata pinto dan Thian-huan suheng tidak kemari, kau pasti sudah menganggap Siau kokcu sebagai pemilik panah kekasih, dan tak mau percaya lagi dengan perkataan orang lain." "Aaai, kecuali kalian berdua, memang tak ada orang lain yang kupercayai perkataannya." Tian Mong-pek mengakui sambil menghela napas.
Tiba-tiba Giok-ki cinjin menarin muka dan berkata dengan nada serius: "Sudah lama pinto bersahabat dengan ayahmu, karenanya hari ini pinto ingin menyampaikan berapa pesan kepada Tian sicu." "Boanpwee siap mendengarkan." Buru-buru Tian Mong-pek jatuhkan diri berlutut.
"Bencana karena ceroboh merupakan bencana paling fatal, bila kau sudah menyadari akan kesalahanmu hari ini, pinto harap kau bisa merubah sifat ceroboh mu itu." Dengan bermandikan keringat dingin, Tian Mong-pek berlutut tanpa bicara maupun bergerak.
Sekulum senyuman kembali tersungging diujung bibir Giok-ki cinjin, ujarnya lagi: "Mau merubah kesalahan sendiri merupakan tindakan seorang yang bijaksana, sekarang bangunlah!" "Kalau tahu akan kesalahan sendiri, kau sepantasnya minta maaf kepada Siau kokcu .
. . . . .." Thian-huan taysu menambahkan.
"Benar, sudah seharusnya begitu." Giok-ki cinjin manggut manggut.
Tiba-tiba Tian Mong-pek melompat bangun kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun lari keluar meninggalkan ruangan.
"Mau ke mana kau?" dengan perasaan kaget Thian-huan taysu dan Giok-ki cinjin membentak bersama.
Terdengar orang yang berada dibalik kelambu menghela napas panjang dan berkata: "Biarkan dia pergi, dihati kecilnya dia masih mendendam karena urusan ibunya dengan aku, selama persoalan ini tidak dibikin jelas, dia tak bakal minta maaf kepadaku, untung saja ia sudah datang kemari, cepat atau lambat persoalan yang sebenarnya pasti akan dia ketahui, jadi tak perlu tergesa-gesa!" "Siancay, siancay," Thian-huan taysu segera merangkap tangannya di depan dada, "bibit kebaikan yang sicu tanam, pasti akan memetik buah kebaikan pula, lolap dan Giok-ki toheng akan melihat dulu hasil dari persoalan ini sebelum pergi." Sambil tersenyum ujar Giok-ki cinjin pula: "Taysu tak segan menempuh perjalanan ribuan li dengan mengajak pinto datang kemari, tentu saja pinto tak akan pergi sebelum menyaksikan akhir dari masalah ini." "Aai, tapi kepergiannya kali ini, pasti akan mendatangkan banyak penderitaan bagi dirinya." Kata orang dibalik kelambu sambil menghela napas.
Oo0oo Tian Mong-pek lari meninggalkan ruang utama, melewati permadani panjang, kembali pintu terbuka secara otomatis.
Ia merasa hatinya kalut, udara dingin diluar pintu pun tak dapat mententeramkan hatinya yang bergolak, dia bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Ia merasa tak punya muka untuk bertemu dengan orang-orang lembah kaisar, bahkan dia tak ingin orang lain tahu kalau Siau Sam-hujin adalah ibu kandungnya.
Tapi justru disaat seperti itulah, ia mendengar pertanyaan yang menusuk luka hatinya: "Jadi kaukah putra Siau sam-hujin?" Tian Mong-pek mendongakkan kepalanya, memeriksa sekeliling tempat itu, namun tak nampak sesosok bayangan manusia pun.
"Lihat apa" Aku berada disini." Dari kejauhan kembali terdengar seseorang berkata.
Tanpa sangsi lagi Tian Mong-pek bergerak menuju ke sumber suara itu, tampak disisi sebuah meja batu samping hutan pohon siong, duduk seorang perempuan tua berambun uban yang membawa sebuah tongkat.
Biarpun wajahnya kurus kering dan tua, namun memiliki sepasang mata yang tajam bagaikan mata elang, mata dengan cahaya penuh wibawa yang membuat hati orang keder.
Hoa Hui serta Siau Man-hong berdiri berdamping di belakang tubuhnya dengan kepala tertunduk, bahkan Siau Man-hong yang biasanya genit pun, kini menunjukkan sikap hormat.
Tian Mong-pek langsung menerjang ke hadapan ke tiga orang itu, ia tidak berusaha melengos ke arah lain, tapi justru balas menatap sorot mata perempuan tua yang tajam itu.
Sambil tertawa dingin kembali perempuan tua berambut putih itu berkata: "Benar, memang mirip sekali dengan dia, tak heran kalau kokcu membiarkan kau masuk.
Aku ingin tahu, apa maksudmu pergi mencarinya?" Begitu mendengar orang lain menyinggung tentang ibunya, rasa sedih bercampur gusar seketika berkecamuk dalam benak Tian Mong-pek, teriaknya keras: "Siapa kau" Buat apa mencampuri urusanku?" Berubah paras muka Siau Man-hong, ia kerdipkan matanya berulang kali memberi tanda, seakan minta pemuda itu jangan bicara kasar, namun Tian Mong-pek pura pura tidak melihat.
"Orang she-Tian," hardik Hoa Hui pula, "tahukah kau sedang berbicara dengan siapa" Berani amat bicara kurangajar, ayoh cepat berlutut minta ampun." "Beginilah sikap aku orang she-Tian bicara dengan siapa pun." "Dia adalah ibuku," tak tahan Siau Man-hong berseru, "kau....." "Aku adalah istri tua Kokcu lembah kaisar," tukas perempuan berambut putih itu dingin, "sekalipun ibumu, diapun harus memberi salam bila bertemu aku." Tian Mong-pek tertegun, tanpa terasa tubuhnya gemetar keras, teriaknya: "Jika kau berani mempermalukan mendiang ibuku, aku akan beradu nyawa denganmu." "Apakah perkataan inipun terhitung mempermalukan?" perempuan tua itu tertawa dingin, "hm,dia .
. . . .." "Tutup mulut!" bentak Tian Mong-pek gusar.
Sambil menarik muka seru perempuan berambut putih itu: "Hui-ji!" "Keponakan berada disini." Sahut Hoa Hui sambil memberi hormat.
Ternyata Hoa Hui adalah putra kakak sulung kokcu hujin, karena itu dia menyebut diri sebagai keponakan.
"Bajingan ini tidak sopan." "Keponakan segera akan memberi pelajaran kepadanya." Dengan geram teriak Tian Mong-pek: "Dengan siasat busuk kau telah membunuh Kiong locianpwee, bahkan ingin mencabut rumput hingga seakar-akarnya, aku memang sedang mencarimu untuk membuat perhitungan." Dengan wajah menghina Hoa Hui tertawa dingin berulang kali, perlahan dia tampil ke depan, menjinjing ujung bajunya dan menge jek: "Kemarilah, sauya ingin sekali memberi pelajaran kepadamu!" "Hui-ji," seru perempuan berambut putih itu, "ampuni selembar jiwanya, memandang wajah bibi ke tiga mu yang mengenaskan, jangan kau habisi nyawanya." "Siapa yang kesudian kau ampuni?" teriak Tian Mong-pek marah.
Perempuan berambut putih itu tertawa seram.
"Kau sendiri yang berkata begitu," ujarnya, "jadi kalau sampai dilukai, jangan salahkan orang lain, bila sampai mampus pun harus terima nasib." "Bagaimana kalau aku yang berhasil melukainya?" "Kau sanggup melukainya?" perempuan berambut putih itu tertawa dingin tiada hentinya, "hm, hm, bila kau sanggup melukainya, aku tak bakal minta orang lain untuk membantunya." "Bagus!" hardik Tian Mong-pek, sepasang kepalannya langsung disodok ke depan.
Jurus ini merupakan jurus Ming-hau-jut-ga (harimau ganas lepas dari kerangkeng), sebuah jurus serangan biasa.
Hoa Hui memiliki ilmu silat tingkat tinggi, dia anggap kemampuan yang dikuasahi sudah menjagoi dunia persilatan, tentu saja tak menganggap sebelah mata atas serangan tersebut, sambil ulapkan tangan dan tertawa dingin, ejeknya: "Serangan semacam inipun kau anggap jurus serangan?" Tapi belum selesai bicara, paras mukanya telah berubah hebat.
Dalam waktu singkat, ternyata Tian Mong-pek telah melancarkan tujuh jurus serangan berantai.
Biarpun semua serangan yang dilancarkan tiada kehebatan apapun, namun kekuatan pukulannya ibarat angin badai yang menerpa hutan, bukan sesuatu yang mudah untuk membendungnya.
Tujuh gebrakan kemudian, Hoa Hui sudah dipaksa mundur berapa langkah.
Siau Man-hong kontan berkerut kening, entah lantaran kaget atau merasa gembira.
Dengan sepasang matanya yang tajam, perempuan berambut putih itu mengamati terus gerak serangan dari Tian Mong-pek, tapi mimik mukanya kelihatan sangat tenang, seolah dalam hati sudah mempunyai perhitungan.
Setelah mundur berapa langkah, tiba-tiba Hoa Hui melangkah ke samping, meloloskan diri dari ancaman pukulan lawan, kemudian sikutnya ditekuk, dia lepaskan satu serangan balasan dari samping.
Jurus balasan yang digunakan ternyata mengandung perubahan yang tak terhingga, tidak jelas ke arah mana serangan itu tertuju.
Tian Mong-pek melangkah ke depan, sepasang kepalannya disodok bersama, gerak serangannya tetap melebar dan terbuka, seakan disampingnya tiada orang lain.
"Dasar goblok, pengen mampus!" batin Hoa Hui sambil tertawa dingin.
Sambil menekuk pergelangan tangannya, tiba tiba arah serangannya berganti sasaran, kini angin pukulannya langsung menyodok dada Tian Mong-pek, sedemikian cepat perubahanan yang dilakukan, ibarat angin puyuh yang menyapu padang rumput.
Siapa sangka ketika serangannya mencapai tengah jalan, mendadak Tian Mona-Dek menekuk sepasang sikunva lalu
Siapa sangka ketika serangannya mencapai tengah jalan, mendadak Tian Mong-pek menekuk sepasang sikunya lalu menghantam dari arah luar ke dalam, dengan jurus Sin-soh-pok-liong (tali sakti mengikat naga), ia cengkeram lengan musuh.
Dalam serangannya kali ini, dari sebuah gerak pukulan yang keras dan bertenaga positip, berubah jadi satu ki-na-jiu-hoat yang lembek dan bertenaga negatip, bukan saja perubahannya cepat, bahkan sangat rapat ibarat sebuah bendungan.
Didalam kagetnya buru buru Hoa Hui melempar badannya ke belakang, lengannya ditarik ke samping berusaha meloloskan diri.
"Breeet!" terdengar suara robekan, ternyata ujung bajunya sudah dicengkeram Tian Mong-pek hingga robek besar.
Seketika itu juga kesombongan hatinya lenyap, karena kehilangan posisi, ia jadi malu, menyesal bercampur kesal.
Saat itulah sambil menarik kembali serangannya, ejek Tian Mong-pek dengan nada dingin: "Lepas dulu bajumu sebelum dilanjutkan." Dengan wajah hijau membesi, Hoa Hui melepas baju luarnya, kemudian dengan tangan kiri disilangkan didepan dada, tangan kanan melancarkan bacokan, kembali dia maju menyerang.
Biarpun kesombongan hatinya sudah padam, jurus serangan yang digunakan tetap ganas dan telengas.
Dalam waktu singkat kedua orang itu sudah terlibat dalam pertarungan seru, tubuh mereka berdua bergerak ditanah lapang dengan kecepatan bagaikan kilat, angin pukulan yang menderu membuat daun pohon siong berguguran ibarat hujan deras.
Kini, perempuan berambut putih itu sudah kehilangan ketenangan hatinya, dia mulai gelisah dan tak tenang, gumamnya berulang kali: "Siapa yang mengajarkan ilmu itu kepadanya" Siapa yang mengajarkan ilmu itu .
. . . . . . .." "Aku sendiripun merasa heran, siapa yang mengajarkan ilmu itu kepadanya?" terdengar seseorang menimbrung dari samping.
Rupanya kakek bungkuk itupun telah menyusul ke situ.
"Apakah sekarang sudah dapat kau tebak?" tanya perempuan berambut putih itu.
"Belum, belum ketahuan." Sahut kakek bungkuk itu sambil menggeleng.
Setelah berhenti sejenak, kembali katanya: "Aku rasa lebih baik kau suruh Siau-hui menghentikan serangan, selama ini orang menganggapnya sebagai pasangan latihan, apa gunanya pertarungan semacam ini dilanjutkan?" Rupanya sejak awal Tian Mong-pek sudah merebut posisi diatas angin, hanya saja ia tidak melancarkan serangan mematikan.
"Bagus!" seru perempuan berambut putih itu gusar, "dasar bungkuk, bukannya membela orang sendiri yang kalah, sebaliknya malah bantu orang lain, watak busukmu memang tak ubahnya seperti wat ak adik perempuanmu." Berubah wajah kakek bungkuk itu, serunya pula marah: "Guci cuka, kau bilang siapa yang bungkuk?" "Siapa pula yang guci cuka (pencemburu)?" saking marahnya, jari tangan perempuan berambut putih itu sampai gemetar keras, "cepat jawab.....
cepat katakan..... kalau tidak kau jelaskan, aku....." Tiba tiba kakek bungkuk itu mendongakkan kepala dan tertawa terbahak.
"Hahaha, baiklah, mengingat selama banyak tahun kau hidup kesepian, lagian adikku juga ogah pedulikan dirimu, biarlah aku mengalah saja." Pucak pasi paras muka perempuan berambut putih itu saking kesalnya, untuk berapa saat dia sampai tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
"Tapi kau musti ingat baik-baik," kembali kakek bungkuk itu berkata, "adikku masuk ke dalam keluarga ini karena dilamar secara resmi, digotong masuk ke rumah ini dengan tandu besar yang digotong delapan orang, jadi, boleh saja kalau kau ingin mempermainkan orang lain, tapi jangan mencoba mengusik kami dua bersaudara, tunggu saja sampai keponakan kesayanganmu itu dihajar orang!" "Lak-siok, tolong, kurangi perkataanmu, mau bukan?" mohon Siau Man-hong sedih.
"Hahaha, baik..... baik." Belum selesai dia bicara, mendadak terdengar Tian Mong-pek membentak keras, diikuti Hoa Hui menjerit kaget, tubuhnya mundur sempoyongan dan.....
"Bruuk!" jatuh terduduk di tanah.
Sambil melompat bangun karena kaget, jerit perempuan berambut putih itu: "Hoa-ji .
. . . . . . . .." Dengan wajah pucat Hoa Hui merangkak bangun, noda darah membasahi ujung bibirnya.
Sambil menjerit kaget Siau Man-hong segera menghampiri lelaki itu dan berniat membantunya bangkit berdiri, siapa tahu sambil mengebaskan tangannya, teriak Hoa Hui keras-keras: "Minggir kau, siapa suruh bantu aku?" Lalu sambil membesut mulutnya yang berdarah, teriaknya lagi: "Orang she-Tian, ayoh kita bertarung lagi tiga ratus gebrakan." "Huh, lebih baik rawat dulu luka mu .
. . . . . .." ejek Tian Mong-pek dingin.
Dengan sekali tutulan, perempuan berambut putih itu sudah melampaui tubuh Hoa Hui, serunya: "Hui-ji, minggir dulu kamu, biar aku beri pelajaran kepadanya." Gerakan tubuhnya enteng, lincah dan cepat, bagaikan seekor burung walet yang menyusup diantara pepohonan, tahu-tahu perempuan itu sudah melompat ke depan.
Menyaksikan hal itu, Tian Mong-pek segera mendongakkan kepala dan tertawa keras: "Hahaha....
katanya saja, biar dia terluka pun tak bakal memberi bantuan.
Huhh! Tampaknya ada orang sudah melupakan kata-kata sendiri." "Memangnya kenapa?" teriak perempuan berambut putih itu gusar, "kalau aku sengaja akan memberi pelajaran kepadamu, mau apa kamu?" Tian Mong-pek tertawa dingin.
"Mengingat usiamu sudah uzur, biarlah aku mengalah tiga jurus untukmu." Ejeknya.
Sambil berkata, ia memberi hormat lalu bersiap siaga menghadapi serangan.
"Tunggu sebentar!" tiba tiba terdengar seseorang membentak keras.
Tahu-tahu kakek bungkuk itu sudah melompat ke hadapan perempuan berambut putih itu, katanya lagi: "Benarkah tadi kau pernah berkata tak akan membantu?" "Kalau betul, ada apa kamu?" jawab perempuan berambut putih itu.
"Lembah kaisar tidak memperkenankan anggotanya menjilat ludah sendiri," bentak kakek bungkuk itu lantang, "jika kau pernah berkata begitu, tidak seharusnya kau menjilat ludah sendiri." "Memangnya kau akan mencampuri urusanku?" tantang perempuan itu gusar.
"Biar enggan mencampuri pun, hari ini aku tetap akan mengurusinya." Kedua orang itu sudah saling berhadapan, situasi makin tegang, siapa pun enggan mengalah atau mundur.
Buru-buru Siau Man-hong melompat ke depan, serunya: "Lak-siok, ibu .
. . . . . .." Belum selesai ia berkata, dari balik hutan terdengar seseorang menanggapi: "Benarkah kalian berdua ingin berkelahi?" Menyusul perkataan itu, tampak dua sosok bayangan manusia meluncur datang.
Orang yang berjalan didepan adalah seorang wanita berusia empat puluh tahunan yang mengenakan pakaian sutera halus, bersanggul tinggi, mengenakan ikat pinggang emas dipinggang dan mahkota emas dikepalanya.
Sementara dibelakangnya mengikuti Siau Hui-uh, dandanan gadis ini mirip sekali dengan dandanan wanita cantik didepannya, bahkan wajahpun banyak kemiripan.
Dalam sekilas pandangan Tian Mong-pek sudah dapat menebak kalau wanita cantik itu pastilah ibu kandung Siau Hui-uh, yakni adik kandung si kakek bungkuk.
Begitu melihat kemunculan wanita itu, sekulum senyuman segera menghiasi wajah si kakek bungkuk.
"Lak-ko," dengan mata melotot wanita cantik itu segera menegur, "kau sudah uzur, masa watakmu masih seperti kanak-kanak" Bila kau benar-benar ingin menghajarnya, lebih baik sekalian menghajar diriku." "Hahaha, siapa bilang aku mau berkelahi?" jawab kakek bungkuk sambil tertawa terkekeh, "aku tak lebih hanya menakuti dirinya saja." Selama hidup dia paling pantang mengalah kepada orang lain, tapi terhadap ucapan adiknya ini selalu menurut dan tak pernah membantah.
Sambil menghela napas panjang kata wanita cantik itu lagi: "Bagaimana dengan kau, toaci?" Dengan gusar teriak wanita berambut putih itu: ll "Pemuda itu sudah melukai Hui-ji, aku .
. . . . . . . .. "Biarkan saja mereka anak muda bertarung, buat apa kita harus mencampurinya?" sela wanita cantik itu.
Wanita berambut putih itu semakin gusar.
"Bila Hui-uh mu yang dihajar orang, memangnya kau hanya akan berpeluk tangan saja?" teriaknya.
"Kalau dia sampai dihajar orang, sekembalinya ke rumah, aku pasti akan memberi hajaran kepadanya, siapa suruh ilmu silat belum berhasil dikuasai sudah berani mencari masalah." Wanita berambut putih itu tertegun sesaat, kemudian teriaknya lagi: "Baik, aku tak mampu berdebat denganmu, Hui-ji, Man-hong, kita pergi." Sembari menghentakkan tongkatnya ke tanah, ia beranjak pergi lebih dahulu.
"Toaci tak usah marah," kembali wanita cantik itu berseru, "kalau gampang marah bisa cepat tua." Waktu itu perempuan berambut putih itu sudah pergi jauh, meskipun ia mendengar perkataan itu dengan jelas, namun pura pura berlagak tidak mendengar.
Hoa Hui bagaikan anjing kena gebuk, dengan lunglai mengikuti di belakangnya.
Siau Man-hong tampak sedikit ragu, tapi akhirnya setelah melempar sekulum senyuman, dia pun ikut berlalu.
Sepeninggal orang orang itu, si kakek bungkuk baru menghela napas lega, katanya: "Pat-moay, kau memang hebat, kecuali kau seorang, memang tak ada orang kedua yang sanggup menghadapi hujin ini." Setelah menyapu sekejap sekitar tempat itu, tiba tiba ujarnya lagi dengan kening berkerut: "Hui-uh, kenapa pula kau ikutan bermuram durja" Memangnya ada yang berani menganiaya dirimu?" Benar saja, terlihat Siau Hui-uh berdiri dengan wajah murung, ketika mendengar ucapan itu, sahutnya: "Dia.....
dia telah menghilang." "Siapa?" tanya si kakek bungkuk, "apakah Siau-lan si budak cilik itu" Sudah pasti budak itu takut karena telah membohongi lohu sehingga secara diam diam sudah melarikan diri." Kemudian setelah mendongakkan kepala dan tertawa terbahak bahak, lanjutnya: "Tapi dia keliru besar, lohu justru sangat gembira karena ada orang mampu membohongi lohu.
Saudara Tian, kaupun tak usah kuatir, lohu tak bakal menyalahkan dirimu." Dengan cemas Siau Hui-uh menggelengkan kepalanya berulang kali, seruny: "Bukan, bukan, tidak masalah bila Siau-lan yang pergi, tapi dia.....
dia . . . . .." Sambil menengok sekejap kearah Tian Mong-pek, ia tundukkan kepala dan tidak bicara lagi.
"Maksudmu Ling-ling telah menghilang?" tanya Tian Mong-pek dengan wajah berubah.
II "Benar, ujar perempuan cantik itu sambil menghela napas, "memang bocah itu, meski usianya masih kecil namun dia tinggi hati, bahkan telah II meninggalkan sepucuk surat, katanya .
. . . .. Sesudah berhenti sejenak, sambil berpaling lanjutnya: "Hui-uh, apa kata surat itu?" "Dia bilang, cepat atau lambat pasti akan datang mencari balas dengan Hoa Hui, karena itu dia enggan mempelajari ilmu silat lembah kaisar, diapun bilang.....
selama hidup tak akan melupakan kita." Ia mengerdipkan matanya, membiarkan air mata jatuh bercucuran, kemudian tambahnya: "Akulah yang bersalah, tidak seharusnya kuberitahu jalan keluar lembah kepadanya, menanti kulakukan pengejaran, aku tak berhasil menyusulnya." Tian Mong-pek berdiri kaku berapa saat, mendadak ia mendongakkan kepala dan tertawa keras.
"Hahaha, bagus, Ling-ling, kau memang punya harga diri, aku yakin kau pasti berhasil mempelajari ilmu silat tinggi dan membalaskan dendam bagi Kiong locianpwee." Dengan tenang wanita cantik itu mengawasi Tian Mong-pek berapa saat, mendadak dia mengulapkan tangannya sambil berkata: "Hui-uh, ayahmu telah selesai menutup diri, tak ada salahnya kau beritahukan hal ini kepadanya." Siau Hui-uh mengiakan, dia angkat wajahnya memandang Tian Mong-pek sekejap lalu berjalan menuju ke sebuah bangunan berwarna kuning emas, kepada kakek bungkuk serunya: "Lak-siok, temani aku." Mereka berdua sama-sama menembusi hutan pohon siong.
Tian Mong-pek tertegun, kini didalam hutan tinggal dia dan wanita cantik itu, maka cepat dia menjura seraya berseru: "Cayhe mohon diri." "Kau hendak kemana?" tanya wanita cantik itu sambil tertawa.
"Ke mana.....?" Tian Mong-pek agak bimbang, "tentu saja keluar lembah." "Kau datang dengan tergesa-gesa, sekarang pun ingin pergi dengan terburu-buru, sebetulnya apa maksudmu menyerempet begitu banyak masalah?" Tian Mong-pek menghela napas panjang, dia tak mampu menjawab barang sepatah kata pun.
Setelah menghela napas, kembali wanita cantik itu berkata: "Sesudah tiba disini, masa kau tak ingin mengunjungi tempat yang pernah didiami ibumu, melihat barang peninggalannya?" Tiba-tiba saja Tian Mong-pek merasa hawa panas menggelora dalam dadanya, dengan lantang teriaknya: "Tidak, aku tak mau lihat!" Ia membalikkan badan dan menerjang keluar dari hutan itu.
Bab 22. Antara cinta dan benci. Wanita cantik itu mengebaskan ujung bajunya, bagaikan segumpal asap tipis, tahu-tahu ia sudah menghadang jalan pergi Tian Mong-pek, ujarnya lagi lembut: "Nak, kau tidak seharusnya membenci ibumu." Tian Mong-pek menggigit bibir sambil kepalkan tinjunya, tak sepatah kata pun diucapkan.
Kembali wanita cantik itu berkata: "Bukankah kau membencinya karena dia tega meninggalkan kalian ayah dan anak dan selama belasan tahun berada disini, sama sekali tidak memberi kabar?" Setelah menghela napas ringan, terusnya: "Tapi dalam hati kau masih mencintainya, coba lihat, air mata telah membasahi kelopak matamu, aku tahu betapa sedih dan pedihnya perasaan hatimu." Tian Mong-pek ingin sekali menahan air matanya, apa mau dikata air matanya justru meleleh keluar.
Dengan lembut perempuan cantik itu menepuk bahunya dan berkata: "Nak, lebih baik ikuti aku, coba kau lihat dulu barang-barang peninggalannya, mungkin setelah itu kau tak akan membencinya lagi." Dibalik perkataannya yang lembut seolah mengandung daya pengaruh yang luar biasa, membuat Tian Mong-pek tanpa sadar menuruti ajakannya dan mengintil tanpa membantah.
Sambil berjalan meninggalkan tempat itu, kembali perempuan cantik itu berkata sambil tersenyum: "Berapa hari berselang, ada seseorang yang datang kemari dengan mencatut namamu, tahukah kau siapa dia?" Dengan bimbang Tian Mong-pek menggeleng.
Kembali perempuan cantik itu berkata: "Orang itu berwajah tampan, gerak geriknya lembut dan penuh sopan santun, kokcu amat menyukainya, bukan saja mewariskan ilmu silat kepadanya bahkan menjodohkan pula Hui-uh kepadanya." "Ooh .
. . . . . . .." saat ini pikiran Tian Mong-pek sedang dipenuhi masalah pelik, sehingga dia enggan banyak bicara.
"Siapa tahu setelah mendapat kitab pusaka ilmu silat, secara diam-diam ia melarikan diri, saat itu kami semua merasa panik, kemudian baru tahu kalau dia adalah gadungan." "Ooh!" "Kenapa kau tidak bicara?" "Tak ada yang bisa dibicarakan." "Bukan saja dia mengetahui semua persoalan mengenai keluarga Tian, bahkan tahu juga untuk pergi menghubungi Mok-mong-ngo, bukankah hal ini sangat aneh?" "Memang aneh sekali." "Menurut dugaanku, dia pastilah orang yang mempunyai hubungan erat dengan dirimu, bahkan pesan terakhir ibu mu pun dia ketahui dengan jelas, bisa kau tebak siapakah orang itu?" Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benak Tian Mong-pek, pikirnya: "Kecuali aku, hanya So Kin-soat yang mengetahui pesan terakhir ibuku, jangan jangan orang itu dikirim olehnya?" Walaupun berpikir begitu, dimulut sahutnya hambar: "Aku benar benar tak bisa menebaknya." Terdengar wanita cantik itu berkata lagi sambil menghela napas: "Bocah yang tidak suka bicara biasanya banyak pikiran, bocah yang banyak pikiran, sudah pasti tak jujur." "Benarkah begitu?" Wanita cantik itu tertegun, katanya lagi: "Banyak kejadian didunia ini memang sangat aneh, orang bilang kau adalah bocah lelaki, tapi aku bilang kau adalah bocah perempuan." "Benarkah begitu?" Dengan perasaan terkejut bercampur keheranan perempuan itu menatapnya berapa kejap, tiba tiba ia tertawa lebar.
"Biarpun aku paling suka berdebat, tapi kebanyakan akal juga setelah bertemu bocah macam dirimu." Kemudian setelah tersenyum, lanjutnya: "Tahukah kau, baru saja dirimu terlepas dari satu kesulitan" Coba kau menjawab sepatah kata saja tadi, mungkin berdebat sehari semalam pun tak akan ada habisnya." Kembali Tian Mong-pek merasakan hatinya tergerak, pikirnya: "Ternyata dialah orang kedua yang paling susah dihadapi dalam lembah ini." Berbicara sampai disitu, tak tahan dia menghela napas panjang.
"Kenapa kau menghela napas?" tanya wanita cantik itu.
"Sudah pasti hujin amat kesepian." "Siapa yang bilang?" tanya wanita itu setelah termenung berapa saat.
"Bila hujin tidak kesepian, kenapa selalu mencari orang untuk diajak berdebat?" Kembali wanita cantik itu termenung berapa saat, ujarnya kemudian sedih: "Ada baiknya juga kalau sudah terbiasa kesepian." "Aku lihat, setiap orang yang hidup dalam lembah ini sangat kesepian, oleh karena itu setiap orang mengidap watak aneh, aai! Daripada suruh aku hidup kesepian, lebih baik hidup gelandangan dalam dunia persilatan." "Manusia mana yang rela hidup kesepian?" sekilas perasaan murung melintas diwajah perempuan itu, "kadangkala keadaanlah yang memaksa orang harus menerimanya." Setelah menghela napas panjang, katanya kepada Tian Mong-pek: "Dikemudian hari kau bakal mengerti sendiri." Sementara pembicaraan berlangsung, mereka telah tiba didepan sebuah hutan bambu, Tian Mong-pek pernah salah mendatangi tempat itu tadi.
ll "Aku tinggal disini, ujar perempuan cantik itu, "ibumu juga pernah tinggal disini." Setelah tertegun sejenak, Tian Mong-pek mengikutinya masuk ke dalam.
Saat itu ada berapa orang dayang sedang bermain catur didalam kamar, melihat kedatangan majikannya, serentak mereka memberi hormat, tapi berapa pasang mata yang bening, secara diam-diam melirik kearah pemuda itu.
Dengan senyum dikulum, perempuan cantik itu mengajak Tian Mong-pek melewati ruang utama, melalui kamar baca menuju ke sebuah serambi panjang dibagian belakang gedung, dikedua sisi serambi merupakan kebun bunga yang penuh ditumbuhi bunga seruni.
Dibalik kebun bunga, ditepi kolam dengan air yang jernih, terdapat berapa buah bilik yang sederhana dikelilingi pagar bambu, kesederhanaan tempat ini berbeda mencolok dengan kemewahan dibagian depan sana.
Berjalan sampai disini, tiba-tiba Tian Mong-pek menghentikan langkahnya dan berdiri termangu.
Hal ini dikarenakan kebun seruni maupun bangunan yang dikelilingi pagar bambu, tidak jauh berbeda dengan kebun belakang rumahnya di kota Hangciu, dalam waktu sekejap dia seolah terjerumus ke dalam alam mimpi, balik ke desa kelahirannya.
Ia pernah mendengar dari ayahnya yang mengatakan berulang kali, semasa ibunya masih dirumah, ia tinggal di bilik berpagar bambu di halaman belakang, dia pun tahu kalau ibunya sangat menyukai bunga seruni.
Kini, setelah tiba ditempat ini, tanpa dijelaskan pun dia tahu kalau tempat inilah tempat tinggal ibunya .
. . . .. tak tertahan lagi, air mata kembali bercucuran.
Diluar pagar bambu tergantung sebuah keleningan kecil, keleningan itu berbunyi ketika terhembus angin.
Terdengar wanita cantik itu berkata: "Semasa ibumu tinggal disini, siapa pun yang akan datang kemari, harus menggoyangkan dulu keleningan, tapi sekarang .
. . . . .." Ia menghela napas sedih, mendorong pintu pagar bambu dan masuk ke dalam ruangan.
Ruangan ditempat itu tampak bersih tanpa debu, jendela, meja, semuanya dalam keadaan terawat dan bersih, jelas seringkali dibersihkan orang.
Pada ke empat dinding ruangan terlihat rak-rak buku, disudut ruangan terlihat sebuah khiem sedang disamping khiem terdapat sebuah meja catur.
Selain itu terdapat pula berapa lembar lukisan yang belum selesai dilukis, berserakan disudut meja gambar.
Setelah menyapu sekejap sekeliling ruangan itu dan menghela napas sedih, kata wanita cantik itu: "Semua barang yang berada ditempat ini, dipertahankan letaknya sejak kepergian ibumu, belum ada yang digeser dari posisinya semula." Dengan langkah gemetar Tian Mong-pek berjalan masuk ke dalam ruangan, menyapu sekeliling tempat itu dengan gemetar.
Ia teringat dengan ruang berpagar bambu di belakang kebun rumahnya, bentuk maupun benda yang berada disana, tetap dipertahankan posisinya sejak ditinggalkan ibunya, selama belasan tahun belum pernah ada yang digeser.
Diapun terbayang kembali ayahnya, setiap senja telah tiba, ia pasti akan masuk ke dalam bilik itu secara diam-diam, meraba dan membelai setiap barang yang ditinggalkan ibunya.
Ketika terbayang kembali cahaya senja sang surya yang menyinari rambut uban ayahnya .
. . . . . . .. Tiba tiba ia merasa darah panas menggelora, tak tahan lagi ia menangis tersedu.




Ujar wanita cantik itu dengan sedih: "Kalau dibilang kesepian, ibu mu adalah orang yang paling kesepian, selama lima belas tahun, ia tak pernah tinggalkan tempat ini, hanya seorang dayang yang menemaninya." "Ayah ku lah orang yang paling kesepian, dia pun harus menahan derita karena istrinya direbut orang." Kata Tian Mong-pek sambil menangis.
Dalam sedih dan gusarnya, dia telah mengucapkan kata-kata yang paling tak tega untuk diutarakan, disaat ucapan tersebut telah meluncur keluar, diapun merasa perkataan itu bagaikan sebuah lecut yang mencambuk tubuhnya.
Tiba tiba wanita cantik itu menarik bahu Tian Mong-pek, menariknya hingga berhadapan dengan dirinya, dengan suara keras dia menjerit: "Angkat kepalamu, pandang diriku .
. . . . . .." Air mata telah membasahi pula pipinya Tian Mong-pek mendongakkan kepala, langsung menatap wajah perempuan itu Sepatah demi sepatah kata ujar perempuan cantik itu: "Selama lima tahun, pemilik lembah kaisar Siau Ong-sun belum pernah datang seorang diri ke dalam kamar ini." Kembali Tian Mong-pek merasakan tubuhnya bergetar keras, seketika itu juga dia menghentikan isak tangisnya.
Dengan suara berat dan dalam kembali wanita cantik itu berkata: "Setiap kali dia datang mengajak ibumu bermain catur atau mendengarkan ibumu memetik khiem, aku selalu mendampingi kehadirannya." Tiba tiba ia berteriak lebih keras: "Dia tak lebih hanya sahabat karib ibumu, dia.....
mereka tidak berhubungan seperti apa yang kalian bayangkan." Setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya dengan suara gemetar: "Entah berapa besar penderitaan dan siksaan yang harus ia rasakan sebelum akhirnya dapat melebur cinta kasih itu menjadi sebuah cinta yang suci, II perasaan tersebut begitu tinggi, begitu dalam .
. . . .. Tiba tiba perempuan itu menubruk keatas meja lukis dan menangis tersedu-sedu, sebab lelaki yang sangat ia cintai ternyata jauh lebih mencintai orang lain .
. . . . . . .. Tian Mong-pek berdiri mematung, sekujur tubuhnya terasa mati rasa .
. . . . . .. Sampai lama kemudian, mendadak dia menjerit keras, membalikkan badan dan kabur keluar.
"Hei, mau apa kau?" jerit wanita cantik itu kaget.
"Dua kali aku salah paham kepadanya, aku akan minta maaf kepada dirinya." Teriak Tian Mong-pek.
Ketika mengucapkan perkataan terakhir, tubuhnya sudah lenyap dari pandangan wanita cantik itu.
Menelusuri jalan beralas batu granit, Tian Mong-pek balik menuju ke bangunan kecil beerwarna kuning emas.
Ia tidak berteriak, tidak mengetuk pintu, langsung saja menerjang masuk.
Ketika melongo ke dalam, pintu disitupun dalam keadaan terbuka, permadani merah memanjang menembusi pintu, melapisi hingga ke lantai ruang utama.
Entah datang dari mana, enam belas orang busu berpakaian baja warna emas, dengan tombak terhunus berdiri berjajar dikedua sisi permadani, dibawah pantulan cahaya lentera, tampak sinar keemasan amat menyilaukan mata.
Kakek bungkuk serta perempuan berambut putih ikut berdiri serius diujung undakan, wajah mereka berdua amat tegang dan serius, siapa pun tak ada yang buka suara.
Hoa Hui, dengan rambut awut-awutan tak karuan berlutut dilantai, dari rambutnya yang bergetar, nampak jelas ia sedang berlutut dengan tubuh gemetar keras.
Siau Man-hong, dengan kepala tertunduk, ikut berlutut disampingnya.
Baru saja Tian Mong-pek menggerakkan tubuhnya siap menerjang masuk, mendadak.....
"Traaang!" enam belas bilah tombak emas itu telah disilangkan ditengah jalan, menghadang jalan perginya.
Busu yang berada dipaling depan, seorang lelaki bermuka hitam berjenggot lebat berseru dengan nada berat: "Kokcu segera akan memasuki aula, siapa pun dilarang maju selangkah pun." Tianmingpek tak ingin ribut dengan pihak lembah kaisar, karena itu tanpa berkata-kata dia mundur dua langkah, tapi sorot matanya tetap memandang lurus ke depan, mengawasi semua gerak gerik yang ada.
Lewat berapa saat kemudian, terlihat Siau Hui-uh dengan kepala tertunduk berjalan keluar dari balik kelambu kuning dan berlutut disamping Siau Man-hong, selama ini dia hanya menundukkan kepalanya sehingga tak terlihat jelas perubahan mimik mukanya.
Menyusul kemudian tampak dua orang bocah berbaju kuning muncul sambil menggotong dua buah bangku yang diletakkan disamping meja utama, kedua orang itu mempunyai dandanan yang sama dan berwajah mirip satu dengan lainnya.
Sekonyong-konyong terdengar suara lonceng bergema menembus keheningan.
Ditengah dentangan lonteng yang bertalu, Giok-ki cinjin dan Thian-huan taysu muncul dari balik kelambu kuning, tanpa mengucapkan sepatah kata pun mereka duduk di bangku yang telah disediakan.
Tian Mong-pek tahu, sebentar lagi Tee-ong kokcu atau pemilik lembah kaisar segera akan tampilkan diri, tanpa terasa jantungnya berdetak keras, dia ingin melihat bagaimanakah tampang asli tokoh sakti dari dunia persilatan itu.
Tampak kalin kelambu kuning disingkap orang, seorang kakek berjubah kuning, berwajah pucat dan bermata setajam petir, perlahan-lahan munculkan diri.
Perlahan suara lonceng mulai mereda, suasana disekeliling tempat itupun berubah jadi hening dan serius.
Terdengar bocah berbaju kuning yang ada disisi kiri berseru lantang: "Ketua pengadilan harap mendengarkan pengumuman." Kakek bungkuk itu segera tampilkan diri dan menyahut sambil memberi hormat: "Thiat-tou (unta baja) terima perintah!" Dengan suara lembut ujar kokcu lembah kaisar: "Melukai orang dengan siasat busuk, melawan angkatan tua, menganiaya perempuan lemah, membunuh dan membuat cacat orang tanpa perikemanusiaan, apakah semua perbuatan ini akan merusak nama baik lembah kita?"
"Bukan saja mempermalukan nama perguruan, juga menodai nama baik diri sendiri!" jawab unta baja tegas.
"Apa hukumannya?" "Yang parah akan dihukum mati, yang ringan diusir keluar dari lembah." Mendengar sampai disini, paras muka perempuan berambut putih dan Siau Man-hong seketika berubah hebat.
Dengan suara gemetar ujar Hoa Hui: "Lapor ayah baginda, oleh karena ananda tahu kalau Kiong Gim-bit ada sedikit permasalahan dengan ayah baginda, maka kubunuh dirinya, mohon ayah baginda .
. . . . .." "Tutup mulut!" tukas Tee-ong kokcu cepat.
Biarpun suaranya tidak begitu nyaring, namun nadanya yang rendah dan serius membuat ucapan tersebut amat berwibawa.
Hoa Hui berlutut dengan tubuh gemetar keras, air mata telah membasahi wajahnya, saat ini dia tak berani bicara lagi.
Terdengar kokcu lembah kaisar kembali berkata: "Mulai hari ini, Hoa Hui harus tinggalkan lembah ini dan tak boleh menyebut nama lembah kaisar lagi, bila berani melanggar, akan kukejar batok kepalamu." "Kau .
. . . .. kau . . . . . .." seru perempuan berambut putih itu gemetar.
"Peraturan dari leluhur tak berani kulanggar, silahkan hujin menyingkir dari sini." Tukas Tee-ong kokcu.
"Terima perintah." Ujar Hoa Hui kemudian setelah menyembah tiga kali.
Setelah bangkit berdiri, ia mundur tiga langkah dan bisiknya sedih: "Bibi, keponakan .
. . . . . . . .." Tidak sampai menyelesaikan perkataannya, ia sudah balik badan siap berlalu dari situ.
"Tunggu aku." Tiba tiba Siau Man-hong berseru.
Berpaling menatap wajah ayahnya, dengan air mata berlinang katanya lebih lanjut: "Putrimu tak berbakti, tak bisa membalas budi ayah maupun ibu .
. . . . . .." "Kau pun akan ikut pergi?" tanya Tee-ong kokcu sambil membuka matanya.
"Putri telah menikah dengan Hoa Hui, telah menjadi bagian dari keluarga Hoa, biarpun Hoa Hui telah melakukan kesalahan, namun ia masih tetap suamiku .
. . . . . .." Kokcu lembah kaisar termenung sejenak, akhirnya dia mengulapkan tangannya seraya berkata: "Baiklah, kau boleh pergi!" Kembali Siau Man-hong menyembah sebanyak tiga kali, kemudian mundur tiga langkah, menggandeng tangan Hoa Hui dan dengan kepala tertunduk berjalan keluar dari ruang aula.
"Bagus," tiba tiba perempuan berambut putih itu berteriak keras, "toh selama ini ayahmu sudah tidak menganggap aku sebagai istrinya lagi, tetap tinggal disinipun tak ada artinya lagi." Sesudah menghentakkan tongkatnya ke lantai, dia berseru: "Hui-ji, Man-hong, aku akan pergi bersama kalian." Secepat kilat dia keluar dari ruang aula, menyusul Hoa Hui berdua.
"Hujin . . . . . . .." teriak Tee-ong kokcu.
Tanpa berpaling, teriak perempuan berambut putih itu: "Biar tempat ini tak dapat ditinggali, sudah pasti ada tempat lain yang bisa didiami.
Biarpun kami bertiga harus hidup ditempat lain, kami akan hidup dengan gembira, kau tak usah kuatir." Sementara pembicaraan berlangsung, mereka bertiga telah melewati pasukan pengawal bersenjata tombak, sewaktu melewati samping Tian Mong-pek, perempuan berambut putih itu segera meludah ke tanah.
Sambil menggigit bibir Tian Mong-pek menahan hawa amarah dan tidak sampai mengumbar emosi.
Hingga ke tiga orang itu selesai melewati permadani merah dan keluar dari pintu, lama, lama sekali, tak seorangpun dalam ruang aula yang berkutik.
Semua orang menunjukkan wajah serius, perasaan sedih.
Kokcu lembah kaisar duduk mematung diatas bangkunya, pandangan mata orang ini kosong tak bercahaya.
Kakek yang kesepian itu, mulai sekarang sudah pasti akan bertambah kesepian.
Ketika suara lonceng kembali berdentang, perlahan-lahan dia meninggalkan tempat duduknya.
Tiba-tiba Tian Mong-pek berteriak keras, dengan melewati permadani merah sepanjang sepuluh tombak, ia jatuhkan diri berlutut seraya berkata: "Tian Mong-pek menjumpai kokcu, mohon kokcu sudi memaafkan kelancangan cayhe." "Tadi, kau enggan minta maaf, mengapa sekarang justru berlutut dihadapanku?" terdengar kokcu lembah kaisar bertanya dengan nada serius.
"Tadi cayhe belum takluk, tapi sekarang cayhe sudah menyadari akan kebodohanku, bila tidak memohon maaf kepada kokcu, rasanya aku tak bisa makan dan tidur dengan nyenyak." Baru selesai dia berkata, terasa bahunya sudah ditepuk orang, bagaikan segumpal asap ringan, kokcu lembah kaisar telah berada dihadapannya seraya berkata: "Bangunlah." Ketika Tian Mong-pek mendongakkan kepalanya, tampak sekulum senyuman telah menghiasi wajah tokoh sakti itu.
"Saudara cili, masa kau sudah tidak kenali aku?" tanyanya.
Suara itu walaupun lamban dan serius tapi secara tiba tiba terasa amat dikenalnya.
Tian Mong-pek merasakan tubuhnya bergetar keras, setelah termangu berapa saat, serunya: "Ternyata kau.....
kau adalah cianpwee." Hatinya sangat terkejut, mimpi pun dia tidak menyangka kalau kokcu lembah kaisar ternyata tak lain adalah manusia berbaju kuning.
Dalam waktu sekejap, semua teka teki yang membingungkan hati pun terpecahkan.
Tak heran kalau ilmu silat yang dimiliki orang berbaju kuning itu sangat lihay dan asal usulnya begitu misterius, ternyata dia tak lain adalah tokoh paling sakti dari dunia persilatan, kokcu lembah kaisar! Tidak heran kalau orang berbaju kuning itu hapal diluar kepala semua jalanan didalam lembah kaisar, karena ternyata dialah pemilik lembah itu.
Tidak aneh pula kalau semua jurus silat yang diwariskan kepadanya merupakan ilmu tandingan dari kungfu orang orang lembah kaisar, karena semua ilmu silat tersebut merupakan hasil ciptaannya, tentu saja dia pun dapat mematahkan .
Tidak heran pula kalau dia bersikeras mengunjungi biara Siau-lim terlebih dulu, rupanya dia ingin mengundang Thian-huan taysu dan Giok-ki cinjin untuk menjadi saksi bahwa dia sama sekali tak ada hubungannya dengan panah kekasih.
Ketika bertemu Tiau-yang hujin, diapun berlagak tidak kenal bahkan sengaja salah menganggapnya sebagai Liat-hwee hujin, tujuannya tak lain agar Tiau-yang hujin percaya kalau mereka belum pernah kenal.
Dalam waktu singkat pelbagai ingatan berkecamuk dalam benak Tian Mong-pek, membuat dia tak mampu berbicara banyak.
Terlebih Siau Hui-uh, dia merasa bingung dan tercengang, tidak habis mengerti kenapa pemuda itu bisa kenal akrab dengan ayahnya.
Saat itulah, sambil tersenyum ujar Thian-huan thaysu: "Kini, semua persoalan sudah menjadi jelas, siapa menanam kebajikan akan memetik buah kebajikan, sudah saatnya lolap mohon diri." II "Benar, sambung Giok-ki cinjin, "murid pinto masih menunggu diluar gunung, kuatirnya mereka berempat sudah tidak sabar menunggu." "Aai," kokcu lembah kaisar menghela napas panjang, "gara-gara urusanku, II kalian berdua harus menempuh perjalanan jauh .
. . . .. "Hahaha, buat apa kokcu bicara begitu" Lolap tidak sanggup menerimanya," Thian-huan thaysu tertawa tergelak, "tiga puluh tahun berselang, jika bukan bantuan dari kokcu, mungkin kami partai Siau-lim serta Bu-tong sudah .
. . . . . .." "Urusan yang sudah lewat tak perlu taysu ungkit lagi." Tukas kokcu lembah kaisar sambil tertawa.
Thiat-tou si kakek bungkuk yang selama ini hanya membungkam, tiba tiba ikut menimbrung sambil tertawa keras: "Hahaha, kokcu, baru hari ini aku benar-benar takluk kepadamu, ternyata setiap kali bilang hendak menutup diri, rupanya kau telah melakukan perjalanan jauh." Setelah tertawa tergelak, tambahnya: "Tadi aku masih terheran-heran, darimana datangnya taysu dan cinjin" Padahal aku berjaga terus di mulut lembah, masa mereka berdua bisa jatuh dari langit" Sekarang aku baru mengerti, sudah pasti di perut gunung terdapat lorong rahasia lain, dan setiap kali keluar masuk, kokcu pasti melalui lorong tersebut." "Hahaha, cepat atau lambat, akhirnya tak bisa mengelabuhi dirimu." Sambil menuding kearah Tian Mong-pek, kembali ujar Thiat Tou: "Ternyata kaupun sudah menerima seorang murid hebat, mengajarkan ilmu silat kepadanya, agar dia bisa menghajar kami, tak aneh jika Hui-uh pun keok ditangannya." Kokcu lembah kaisar menghela napas panjang.
"Aai, Hui-uh sudah belasan tahun belajar ilmu silat dariku," katanya, "tapi saudara cilik hanya belajar berapa bulan saja, Hui-uh, tampaknya kau harus berlatih lebih tekun." Siau Hui-uh tertunduk sedih, diam-diam ia harus menelan semua kegetiran hatinya.
Sekalipun gadis ini tidak berbicara, namun dalam hati berpikir: "Sejak kapan kau ajarkan jurus silat yang kau ajarkan kepadanya pada diriku" Begitu masih bilang aku harus berlatih lebih tekun .
. . . . .." sebagai gadis yang keras kepala, ucapan itu justru memancing rasa ingin menangnya, diam diam gumamnya: "Cepat atau lambat, aku pasti akan tunjukkan kepada kalian bahwa aku mampu mengalahkan dirinya." Diam diam ia membalikkan tubuh dan pergi dari situ, alasannya hendak pergi mencari ibunya.
Melihat itu Thiat Tou segera berseru: "Kelihatannya bocah itu jadi sewot .
. . . .." "Aaai, kalau wataknya tidak dirubah, lambat laun akan menderita sediri," kata kokcu lembah kaisar sambil menghela napas, "saudara cilik, melihat wajah lohu, kau harus baik-baik menjaganya." Sudah jelas perkataan itu mengandung maksud mendalam, dengan kepala tertunduk Tian Mong-pek mengiakan.
Maka sekali lagi Thian-huan taysu dan Giok-ki cinjin berpamitan, tiba tiba Tian Mong-pek mendongakkan kepala sambil berkata: "Rasanya saat perjanjian dengan Lan Toa-sianseng telah tiba." "Saudara cilik, apakah kaupun akan pergi?" tanya kokcu lembah kaisar setelah termenung sesaat.
"Bila semua urusan telah selesai, tecu pasti akan balik kemari untuk menemani kau orang tua." Kokcu lembah kaisar tertawa sedih, katanya: "Yang kau pikirkan selama ini hanya ingin menuntut balas, aku kuatir setibanya di tempat Lan Toa-sianseng, kau tak bakalan datang menemani aku lagi.
Moga-moga saja dendamu segera terbalas dan datang kembali kesini untuk menemani aku." Tian Mong-pek tertunduk tanpa menjawab, sedang dihati kecilnya berpikir: "Kau orang tua telah melepas budi seberat bukit kepadaku, meski harus membalas dendam, akupun harus membalas budi kebaikanmu itu." Tiba tiba terdengar Thiat Tou bertanya dengan suara keras: "Saudara cilik, siapakah musuh besarmu?" "Musuhku adalah musuh semua umat persilatan yang ada dikolong langit," sahut Tian Mong-pek sambil menghela napas, "tapi belum ada seorang manusiapun yang tahu siapa gerangan orang itu." "Hei, apa maksud perkataanmu itu?" tanya Thiat Tou tertegun.
Secara ringkas Tian Mong-pek pun menuturkan kisahnya tentang panah kekasih.
Selesai mendengar penuturan itu, Thiat Tou termenung dan berpikir sejenak, mendadak serunya: "Kau berani bertaruh denganku?" "Bertaruh bagaimana?" "Bertaruh siapa yang duluan berhasil melacak rahasia pemilik panah kekasih." "Apa yang dipertaruhkan?" "Kalau aku yang menang, selama hidup kau harus menghabiskan separuh dari waktumu untuk tinggal dalam lembah kaisar, sebaliknya bila kau yang menang, aku .
. . . .. terserah apa maumu!" "Baik, kita putuskan dengan perkataan ini!" sahut Tian Mong-pek lantang.
Kedua orang itupun saling bertepuk tangan sebagai tanda setuju.
Menyaksikan hal ini, sambil tertawa ujar Thian-huan taysu: "Biarpun Thiat sicu gemar bertaruh, namun taruhannya masih pakai aturan, sekalipun lolap adalah pendeta, tapi kali ini bersedia menjadi jurinya." "Dengan Siau-lim ciangbunjin sebagai jurinya, pertaruhan kalian ini boleh dibilang sebuah pertaruhan luar biasa yang belum ada keduanya di kolong langit." Seru Giok-ki cinjin sambil tersenyum.
Thiat Tou segera membalikkan badan seraya berseru: "Kokcu, tiga hari kemudian, siaute pun akan melakukan perjalanan keluar lembah .
" "Bagus," kata Tian Mong-pek pula, "tiga hari kemudian cayhe pun akan mulai melakukan pencarian." II "Dasar bocah muda, seru Thiat Tou sambil tertawa tergelak, "mencari untung selama tiga hari pun tak sudi, kau memang tak malu dipanggil saudara cilik oleh kokcu toako serta aku Thiat Tou-cu." Tian Mong-pek segera membungkukkan badan memberi hormat, ujarnya: "Tolong kokcu bisa mewakili tecu menyampaikan kepada hujin serta nona bahwa aku mohon pamit, sekarang juga tecu akan per gi bersama taysu serta cinjin." Biarpun senyuman masih menghiasi wajah kokcu lembah kaisar, namun tidak menutupi rasa sedih dihatinya.
Setelah melewati hiolo tembaga, dibagian belakang merupakan sebuah ruangan indah dengan perabot yang antik, berada disudut mana pun dalam ruangan ini, tak nampak sedikit debu pun.
Dalam ruangan itu lagi-lagi terdapat sebuah hiolo tembaga kecil, tampak kokcu lembah kaisar memutar penutup hiolo itu ke samping, hiolo itu segera bergeser ke samping dan muncullah mulut mas uk sebuah lorong bawah tanah.
Biarpun kokcu lembah kaisar bermaksud akan menghantar hingga ke mulut lembah, namun niatnya dicegah Thian-huan taysu maupun Giok-ki cinjin,
Biarpun kokcu lembah kaisar bermaksud akan menghantar hingga ke mulut lembah, namun niatnya dicegah Thian-huan taysu maupun Giok-ki cinjin, maka pintu lorong bawah tanah pun segera ditutup kembali.
Sekalipun pintu sudah tertutup, suasana dalam lorong rahasia tetap terang benderang, ini dikarenakan pada kedua belah dinding terdapat cahaya muatiara.
Menyaksikan kesemuanya ini, Giok-ki cinjin mau tak mau berdecak kagum, katanya: "Siau kokcu memang tak malu disebut seorang tokoh luar biasa, bila tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, pinto tak percaya kalau dikolong langit terdapat sebuah tempat semacam lembah kaisar.
" Langkah kaki kedua orang tokoh silat ini enteng bagaikan hembusan angin, masih untung Tian Mong-pek mampu mengikuti dari belakang.
Biarpun lorong rahasia itu amat panjang dan berliku, pada akhirnya tibalah mereka bertiga di ujung lorong.
Ternyata mulut lorong tertutup rapat oleh tumbuhan rotan sehingga orang luar sulit untuk menemukan tempat itu, didepan tumbuhan rotan terdapat pula sebidang tanah yang dipenuhi tanaman bambu, dibawah sebatang pohon siong terdapat sebuah batu hijau, diatas batu terdapat sebuah keranjang bambu dengan berapa macam hidangan, tapi tak nampak sesosok bayangan manusia pun disana.
Thian-huan taysu yang melompat keluar lebih dulu dari lorong bawah tanah, menyaksikan sekeliling tempat itu, dengan wajah berubah serunya: "Kenapa mereka berempat tidak berada disini" Jangan-jangan telah terjadi sesuatu di tempat ini?" "Terjadi apa?" tanya Tian Mong-pek.
Dengan wajah ikut berubah, kata Giok-ki cinjin pula: "Bila tidak terjadi sesuatu, mereka berempat pasti tak berani meninggalkan tempat ini, walau harus menunggu setahun pun." Perlu diketahui, peraturan yang berlaku dalam biara Siau-lim maupun Bu-tong sangat keras dan ketat, para murid yang melakukan perjalanan bersama ketua nya, benar benar akan mentaati peraturan dan berdisiplin tinggi, mereka tak berani sembarangan meninggalkan rombongan.
"Jangan jangan mereka pergi ke kamar kecil .
. . . .." kata Thian-huan taysu dengan kening berkerut.
Tapi belum selesai bicara, tiba tiba wajahnya berubah hebat.
Mengikuti arah yang dipandang, Giok-ki cinjin serta Tian Mong-pek segera menjumpai sebuah kutungan tangan yang masih berdarah tergeletak dibalik semak belukar dibawah pohon siong.
Sebuah kutungan tangan kiri dengan jari tangan yang lebar dan pendek, telapak tangannya dipenuhi kulit tebal.
Memeriksa sebentar kutungan itu, ujar Giok-ki cinjin kemudian: "Kutungan ini sudah pasti bukan tangan muridku, ilmu yang kami pelajari adalah ilmu Bian-ciang (pukulan lembek) dari Bu-tong, sebaliknya pemilik tangan ini kasar, jelas dari seseorang yang berlatih ilmu Il gwakang .
. . . . . .. Dia melirik Thian-huan taysu sekejap dan tiba tiba menghentikan perkataannya.
"Muridku Bu-sim kebetulan mempelajari ilmu tenaga luar." Kata Thian-huan taysu dengan wajah berubah.
"Tapi empat murid utama dari biara Siau-lim merupakan jago-jago silat II kelas satu, ujar Giok-ki Cinjin, "lagipula ilmu silat murid muridku juga cukup tangguh, jadi sangat mengherankan bila mereka berempat telah mengalami suatu peristiwa." Paras muka Thian-huan taysu berubah amat serius, katanya perlahan: "Jika tenaga gabungan mereka berempat pun masih tak mampu menandingi kemampuan lawan, tak bisa dibayangkan tokoh macam apakah pihak lawan." Mereka cukup mengerti akan kehebatan ilmu silat yang dimiliki murid masing-masing, kemampuan mereka berempat sudah mencapai tingkat yang luar biasa dan jarang yang bisa menandingi, tapi kini mereka hilang lenyap, Bu-sim pun kehilangan telapak tangannya.
Perubahan yang mengejutkan ini kontan saja menimbulkan perasaan bergidik bagi kedua orang ketua partai ini, mereka tidak menyangka kalau ditengah tempat yang terpencil begini bisa terdapat gembong iblis yang begitu hebat.
Dengan wajah serius ujar Giok-ki Cinjin: "Leng-hong, Leng-sik adalah orang orang yang jujur dan polos, mereka tak pernah membuat keonaran maupun permusuhan dalam dunia persilatan .
. . . . .." "Terlebih murid-muridku," sela Thian-huan taysu, "murid-muridku jarang melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, jadi mustahil ada orang mencari balas terhadap mereka .
. . . . .. aai, banyak bicara tak ada gunanya, mari secara terpisah kita lakukan pencarian." Giok-ki Cinjin mengebaskan ujung bajunya sambil meraba gagang pedangnya, dengan nada keras ujarnya: "Sudah banyak tahun pinto tak pernah mencampuri urusan dunia, hari ini tampaknya aku harus menjajal ketajaman mata pedangku." Jago pedang penakluk iblis yang sudah puluhan tahun tersohor dalam dunia persilatan ini tampaknya betul-betul sudah dibuat naik pitam, dari balik sorot matanya yang tajam, terlintas hawa napsu membunuh yang amat tebal.
"Kelihatannya lolap harus melanggar juga pantangan untuk membunuh." Kata Thian-huan taysu perlahan.
Ketika menyaksikan kutungan tangan murid kesayangannya, meski diwajah tetap tenang namun bara api amarah telah menggelora dalam dadanya.
Angin gunung berhembus kencang, menggoyangkan ujung baju kedua orang itu.
Menyaksikan sikap kedua orang ciangbunjin itu, tanpa terasa Tian Mong-pek merasa hawa darahnya ikut bergelora, serunya: "Bolehkah boanpwee menyumbangkan tenaga?" "Baik," kata Giok-ki Cinjin, "kita bertiga lakukan penelusuran secara terpisah, begitu menemukan jejak musuh, segera bersuit panjang tanda bahaya, pinto berangkat duluan." Begitu selesai bicara, ia segera melesat pergi meninggalkan tempat itu, hanya dalam berapa kali lompatan, bayangan tubuhnya telah lenyap dikejauhan.
Thian-huan taysu menghela napas panjang, katanya: "Kegagahan Giok-ki Cinjin sama sekali tidak berkurang dari kegagahan dulu, kini rasul pedang penakluk iblis telah muncul kembali dalam dunia persilatan, para kurcaci bakal mengalami pembantaian secara besar- besaran." Lalu sesudah mengebutkan jubahnya, ia menambahkan: "Hati-hati bertindak, lolap pergi dulu." Hanya terdengar hembusan angin menyambar lewat, bayangan tubuhnya sudah tinggal setitik cahaya dikejauhan.
Suasana kembali dicekam keheningan, yang terdengar hanya suara angin yang menggoyangkan dedaunan.
Tian Mong-pek merasa semangatnya berkobar, dia tak ambil peduli selihay apa gembong iblis yang bersembunyi dibalik kegelapan, selama kaki tangannya masih bisa digunakan, dia ingin bertarung habis habisan dengan gembong iblis itu.
Dengan langkah lebar dia menelusuri semak belukar, matanya yang tajam mengawasi sekeliling tempat itu, memperhatikan gerak gerik yang ada di empat penjuru.
Lambat laun langit semakin gelap, matahari senja telah tenggelam dibalik pegunungan.
Dari kejauhan hanya terdengar suara jangkrik serta dedaun yang bergoyang, seluruh jagad seolah tercekam dalam suasana penuh hawa pembunuhan.
Hembusan angin gunung terasa makin dingin, Tian Mong-pek mempercepat langkahnya, mendadak.....
sekilas cahaya api berkilat dari balik pepohonan didepan sana, ditengah gunung yang begitu sepi dan hening, lintasan cahaya itu bagaikan api setan yang bergerak.
Tanpa terasa Tian Mong-pek merasa semangatnya bangkit, cepat dia menyusul ke depan, dengan berapa kali lompatan dia menghampiri sumber cahaya itu.
Lagi-lagi sinar api berkelebat, sebentar muncul sebentar lenyap, bergerak dan mengalir dibalik pepohonan.
Ditengah kegelapan yang mencekam, gerakan cahaya api itu menambah suasana menyeramkan diseputar sana, membuat orang seolah lupa kalau ia masih berada di alam manusia.
Tapi Tian Mong-pek sama sekali tak jeri, sambil tahan napas ia bergerak mengikuti sumber cahaya itu.
Entah berapa saat kemudian, tibalah pemuda itu diujung hutan, sebuah bukit menghadang jalan selanjutnya.
Cahaya api itu bergerak meninggalkan pepohonan, kini Tian Mong-pek baru dapat melihat dengan jelas, ternyata cahaya api itu berasal dari sebuah obor yang dipegang sesosok makhluk aneh menyerupai manusia yang memiliki bulu panjang berwarna putih.
Dipandang dari arah belakang, ternyata makhluk aneh itupun memiliki tangan dan kaki, selembar kulit macan tutul melilit dipinggangnya, dengan tangan kiri ia membawa obor, tangan kanannya menenteng seekor serigala gunung yang berpelepotan darah.
Biarpun Tian Mong-pek bernyali pun, tak urung dia bermandikan peluh dingin setelah bertemu makhluk aneh menyerupai mayat hidup ditengah gunung yang sunyi ini.
Makhluk aneh itu mempunyai lebar satu meter dengan tinggi satu setengah meter, biarpun bentuknya menyerupai kotak namun gerak geriknya enteng dan lincah, seakan dia bergerak karena mengikuti hembusan angin.
Dengan satu gerakan yang enteng, makhluk itu menyusup masuk ke dalam sebuah gua yang berada di dinding bukit.
Tian Mong-pek harus menenangkan sejenak pikirannya sebelum mempertimbangkan langkah berikut, saat itulah terlihat cahaya api memancar keluar dari balik gua, tampakhnya makhluk aneh itu sudah membuat api unggun didalam ruang gua.
Begitu cahaya menerangi gua itu, mendadak berkumandang suara tertawa yang aneh, suara tertawa itu serak lagi rendah, kedengaran seperti suara auman harimau.
Sewaktu didengarkan lebih cermat, terdengar kalau dibalik suara tertawanya tersisip pula rintihan penderitaan yang memedihkan.
Kontan saja Tian Mong-pek merasakan jantungnya berdebar keras, pikirnya terperanjat: "Jangan-jangan murid Thian-huan taysu serta Giok-ki Cinjin sudah ditangkap makhluk aneh itu?" Dia melompat ke tepi hutan lalu melongok keluar dari balik kegelapan.
Betul saja, didalam gua terdapat seonggok api unggun, dibawah cahaya api terlihat dua orang tosu berjubah biru tergantung disisi kiri, sementara murid Siau-lim digantung disisi kanan api unggun.
Sekujur tubuh keempat orang itu berlumuran darah, lengannya terkulai lemas, meskipun tak bisa terlihat mimik wajah mereka, namun dapat diketahui kalau mereka sudah mengalami siksaan yang berat hingga kehabisan tenaga.
Sementara itu makhluk berbulu putih itu telah merobek selembar daging serigala yang kemudian dipanggang diatas api, bau hangus yang amis membuat perut terasa mual.
Ternyata wajah makhluk itupun dipenuhi bulu putih yang panjang, tapi sepasang matanya memancarkan sinar setajam mata pisau, berkilat diantara bulu putihnya.
Diam-diam Tian Mong-pek merasa bergidik, dia tak tahu makhluk aneh itu termasuk manusia" Hewan" Atau bangsa siluman" Untuk berapa saat ia tak berani bergerak secara sembarangan.
Makhluk berbulu putih itu melahap separuh bagian daging serigala itu, kemudian katanya sambil tertawa aneh: "Hei hwesio cilik, tosu cilik, kalian mau makan juga?" Biarpun suaranya tidak enak didengar, namun jelas sekali kalau suara manusia.
Mendengar suara aneh makhluk berbulu itu, Tian Mong-pek merasa makin bergidik, tanpa terasa bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Terdengar makhluk aneh itu berkata lagi sambil tertawa keras: "Ooh, aku tahu, hwesio dan tosu pantang makan barang berjiwa, mana boleh ikutan mencicipi daging serigala?" Setelah menghentikan tertawanya, ia membentak: "Tapi kalau perut sudah lapar, apapun akan dimakan, tahukah kalian, aku pernah makan cacing, katak .
. . . . . . .



.." Nada ucapannya dipenuhi rasa benci dan dendam, mendadak ia jejalkan daging serigala yang berada ditangannya, ke mulut seorang tosu berjubah biru yang berada disisinya.
"Makan, ayoh makan, kalau tidak akan kujagal dirimu." Bentaknya.
Ingin sekali Tian Mong-pek memuntahkan isi perutnya, tapi makhluk berbulu putih itu justru tertawa keras sambil menari-nari didepan api unggun, mengawasi tosu berjubah biru yang sedang muntah hingga keluar cairan pahitnya dengan penuh rasa bangga.
"Kee..... kenapa kau tidak membunuh kami saja?" rintih salah seorang tosu berjubah biru itu.
"Hahaha, bunuh kalian berempat?" ejek makhluk berbulu putih itu sambil tertawa seram, "memangnya kau anggap aku mau memberi keringanan untuk kalian" Hehehe.....
akan kusiksa dulu kalian dengan segala penderitaan, tak nanti kubiarkan kalian mati begitu saja." II "Apa dendam sakit hati kami berempat dengan dirimu, kenapa kau .
. . . . . .. "Tak ada dendam sakit hati?" tukas makhluk berbulu putih itu keras, "hehehe, selama puluhan tahun, aku harus merasakan segala penderitaan dan siksaan, kesemuanya itu tak lain hasil pemberian manusia macam kalian." Kemudian setelah tertawa kalap, lanjutnya: "Kau tahu bagaimana rasanya cacing hidup" Mari, biar locu suruh kalian ikut mencicipinya .
. . . . .." Tiba tiba ia bungkukkan badan dan mulai menggali tanah.
Memandang ke tiga orang rekannya yang sudah tergantung lemas, mendadak tojin berjubah biru itu berteriak: "Baik, lepaskan dulu mereka semua, akan kukatakan kepadamu." Makhluk berbulu putih itu segera melompat bangun, sahutnya: "Katakan dulu, kemudian aku baru akan membebaskan mereka.
Tapi kau harus menjawab dengan sejujurnya, sepatah kata saja ada yang berbohong, akan kusuruh kalian merasakan siksaan hidup." "Tanyalah." Kata tojin berjubah biru itu sambil menghela napas panjang.
"Hahaha, selama tiga puluh tahun terakhir, belum pernah kujumpai orang yang benar-benar bisa menyimpan rahasia, sedari tadi aku sudah tahu, kau pasti akan buka suara." Setelah menghentikan tertawanya, ia membentak nyaring: "Di mana letak lembah kaisar?" "Dalam bukit Kun-lun ini."
"Di mana letak lembah kaisar?" "Dalam bukit Kun-lun ini." "Dimana mulut masuk menuju lembah" Bagaimana caranya lewat?" Belum sempat tojin berjubah biru itu menjawab, tojin yang berada disisinya telah menjerit keras, teriaknya: "Suheng, kau.....
kau tak boleh bicara, bila .
. . . . .." Belum selesai ia berkata, makhluk berbulu putih itu sudah menampar wajahnya keras-keras, diiringi percikan darah segar, tosu itu jatuh tak sadarkan diri.
Api amarah seperti sinar mata binatang buas terpancar dari balik mata makhluk berbulu putih itu, sambil menyeringai seram katanya: "Jika ada yang berani buka suara lagi, akan kupanggang dia dan kumakan dagingnya." Kini, Tian Mong-pek sudah tak sanggup menahan diri lagi, secepat asap dia melompat keluar dari tempat persembunyiannya.
Baru saja makhluk aneh itu tertawa seram, sekonyong-konyong dari belakang tubuhnya terdegar seseorang menghardik: "Cepat berpaling, aku tak sudi membokongmu dari belakang." Seketika makhluk aneh itu menghentikan gelak tertawanya, perasaan tegang menyelimuti wajahnya, agak parau tegurnya: "Giok-ki si hidung kerbau, rupanya kau pun sudah datang?" Nada suaranya kering dan kaku, jelas dia sedang merasa amat tegang, sepasang tangannya kembali diletakkan diatas lutut, namun ia tetap tidak berpaling.
"Hmm, aku seorang pun sudah cukup untuk membunuhmu, tak perlu Giok-ki Cinjin datang sendiri." Jawab Tian Mong-pek sambil tertawa dingin.
"Ooh, rupanya Thian-huan si keledai gundul yang datang!" kata makhluk berbulu putih itu dingin.
Sambil berbicara secara diam-diam ia menghimpun tenaga dalamnya, makhluk ini tahu, orang lain tak bakal melancarkan serangan bokongan, oleh sebab itu sebelum persiapannya matang, dia tak akan berpaling.
"Thian-huan taysu pun tidak datang, yang kemari hanya sauya mu seorang." Jawab Tian Mong-pek.
Tiba-tiba makhluk berbulu putih itu membalikkan badan, sorot matanya bagaikan hewan buas menatap tajam seluruh wajah Tian Mong-pek, kemudian perasaan kaget bercampur keheranan terpancar dari balik matanya.
Tampaknya dia sama sekali tidak mengira kalau orang yang dapat menyelinap ke belakang tubuhnya tanpa menimbulkan suara, ternyata hanya seorang pemuda biasa.
Sesudah termangu berapa saat, bentaknya: "Siapa kau?" "Makhluk apa pula dirimu?" balas Tian Mong-pek tak kalah kerasnya.
Kontan saja makhluk berbulu putih itu perlihatkan gigi taringnya yang tajam lalu menyeringai seram.
"Locu adalah raja iblis yang datang dari neraka, khusus datang untuk mencabut nyawa kalian manusia manusia jadah." Lidah api yang bergoyang menimbulkan suara gemeretak, ibarat api iblis dari neraka, menyinari giginya yang putih, mata yang merah serta bulu badannya yang lebat, menambah seramnya tampilan makhluk tersebut.
Wajah jelek semacam ini teramat langka untuk dijumpai, walau hanya dalam alam mimpi pun, apalagi kini tampil jelas didepan mata, ditanggung orang biasa bakal pecah nyali bila menyaksikannya.
Siapa tahu bukannya ketakutan, tiba tiba saja Tian Mong-pek tertawa keras, sambil tertawa kalap serunya: "Kalau kau adalah raja iblis, maka akulah orang yang khusus datang untuk membekuk kaum siluman macam dirimu, memang kau sangka sauya takut kepadamu?" Mendadak tubuhnya merangsek maju, sebuah pukulan tinju dilontarkan langsung mengarah wajah makhluk aneh itu.
Bagi pemuda nekat ini, biar dihadapannya betul betul muncul raja iblis beneran pun, dia tetap akan menantangnya untuk bertarung.
"Bocah keparat, besar amat nyalimu, berani bertarung melawan aku?" makhluk aneh itu menyeringai seram.
Menghadapi datangnya ancaman dari pemuda itu, bukan saja tidak membalas, ternyata berkelit pun tidak.
Tatkala kepalan Tian Mong-pek hampir mengenai tubuh lawan, secara tiba tiba dia tarik kembali serangan itu lalu bergeser mundur sejauh tiga depa.
"Hahaha, ternyata kau takut kepadaku." Ejek makhluk aneh itu sambil tertawa keras.
"Siapa bilang aku takut?" bentak Tian Mong-pek.
"Kalau tidak takut, kenapa tak berani memukul aku?" "Hahaha, selama hidup sauya belum pernah menghajar orang yang tak berani balas melancarkan serangan, biarpun kau adalah setan hidup, aku tak sudi mengambil keuntungan ini." "Bocah keparat, kau memang bernyali." Seru makhluk berbulu putih itu sambil tertawa keras.
Belum selesai berbicara, dia sudah melontarkan satu pukulan kearah Tian Mong-pek, belum tiba serangan itu, angin pukulan yang maha dahsyat sudah menggulung tiba, satu kekuatan yang belum pernah dijumpai pemuda itu sebelumnya.
Bahkan Lan Toa-sianseng yang memiliki ilmu silat maha dahsyat pun, angin pukulannya belum sampai mencapai tingkatan semacam ini.
Tian Mong-pek terkesiap, dia buang tubuhnya ke belaka ng sambil melepaskan satu tendangan ke arah urat nadi lawan.
"Hahaha, ternyata hanya bisa ilmu silat pasaran." Ejek makhluk aneh berbulu putih itu sambil tertawa tergelak.
Dia membalik tangannya membacok kaki pemuda itu, perubahan jurus dilakukan sangat cepat dan menakutkan.
Siapa tahu Tian Mong-pek justru menggunakan peluang itu untuk berjumpalitan ditengah udara sambil melancarkan pukulan dengan kedua kepalannya, menembusi titik kelemahan makhluk aneh itu dengan menghajar dada dan lambungnya.
Kalau pada serangan yang pertama dia menggunakan jurus yang bersahaja, kali ini perubahan jurusnya cepat dan aneh, sama sekali diluar dugaan makhluk aneh itu.
Sambil berpekik aneh, makhluk itu menyelinap ke belakang tubuh Tian Mong-pek lalu serunya sambil tertawa keras: "Mau kulihat, kau akan kabur kemana untuk menghindari serangan ini." Biarpun hanya sepatah kata yang singkat, secara beruntun dia telah melepaskan lima buah pukulan berantai.
sekonyong-konyong Tian Mong-pek membalikkan badan kemudian melepaskan lima buah serangan bagaikan amukan badai, semua serangan merupakan ancaman nyata, keras lawan keras, tidak menghindar tidak berkelit, dia sambut ke lima serangan lawan dengan kekerasan.
Terdengar suara benturan keras bergema silih berganti, suara benturan yang begitu keras ibarat gelegar guntur yang memekakkan telinga.
Diam-diam murid Siau-lim serta Bu-tong yang digantung diatas dinding tebing merasa terperanjat, mereka sangka Tian Mong-pek tak akan mampu mempertahankan diri sesudah terjadi bentrokan tersebut.
Siapa sangka, bukan saja Tian Mong-pek tidak berhasil dihajar, sebaliknya makhluk aneh berbulu putih itu yang dipaksa mundur setengah langkah oleh angin pukulan lawan, dari balik sorot matanya yang menyeramkan, terbesit garis-garis panjang berwarna merah darah, diiringi bentakan keras, lagi-lagi dia melepaskan lima buah serangan dahsyat.
Dia sangka Tian Mong-pek pasti tak berani keras lawan keras setelah menyaksikan kedahsyatan angin pukulannya tadi, karena itu dalam ke lima serangannya tadi, dia hanya menyertakan tiga bagian tenaga dalamnya.
Siapa tahu Tian Mong-pek yang bernyali dan selama hidup tidak pernah gentar menghadapi lawannya, ternyata berani menerima ke lima buah serangannya dengan keras lawan keras.
Kini api amarah dan napsu membunuhnya telah berkobar, sewaktu kedua kalinya melancarkan lima buah serangan, ia telah sertakan segenap tenaga dalam yang dimiliki.
Ditengah deruan angin pukulan, bentaknya keras: "Coba sekali lagi kau sambut ke lima buah seranganku ini!" "Memangnya aku takut?" sahut Tian Mong-pek ketus.
Belum selesai ucapan itu, lagi lagi lima benturan keras berkumandang ditengah udara, kali ini Tian Mong-pek merasakan tubuhnya bergetar keras, setelah berjumpalitan ditengah udara, tubuhnya terlempar ke sisi api unggun.
Tojin berjubah biru yang berada disisi api unggun buru buru berseru: "Kau bukan tandingan makhluk aneh itu, cepat gunakan kesempatan ini untuk melarikan diri!" "Terima kasih totiang." "Jalan masuk menuju ke lembah kaisar terletak di .
. . . . . .." Tampaknya tojin berjubah biru itu ingin mengalihkan perhatian makhluk aneh berbulu putih itu, agar Tian Mong-pek punya kesempatan untuk melarikan diri.
Siapa sangka belum selesai ia berkata, Tian Mong-pek sudah melompat maju lagi sambil berteriak keras: "Makhluk tua, rasakan juga ke lima jurus pukulanku ini." Dalam waktu singkat sepasang tangannya tampak berubah jadi bayang bayang semu, sebentar menyabet sebentar menyodok, dalam waktu sekejap diapun sudah melancarkan lima buah serangan berantai.
Dari ke lima jurus serangan itu, dua jurus merupakan ilmu pukulan dari Thian-jui tojin, dua jurus ilmu silat ajaran kokcu lembah kaisar dan satu jurus hasil ciptaan sendiri.
Untuk berapa saat makhluk aneh berbulu putih itu tampak tertegun, serunya kemudian: "Bocah keparat, darimana kau pelajari jurus-jurus serangan itu?" Sementara berbicara, dia melancarkan pula lima buah serangan.
"Tak usah bertanya darimana jurusku itu, nikmati saja kehebatanku ini." sahut Tian Mong-pek.
Setelah menyaksikan siksaan dan penderitaa yang dialami ke empat orang murid Siau-lim dan Bu-tong, api amarah telah berkobar dalam dadanya, kini bukan saja jurus serangannya bertambah aneh dan sakti, angin pukulan yang dihasilkan pun makin dahsyat Dengan mata tak berkedip makhluk aneh berbulu putih itu mengawasi terus gerakan tangan musuh, setiap jurus dipatahkan dengan jurus, setiap gerakan dihadapi dengan gerakan, jurus serangan yang digunakan meski semuanya bersifat keras, namun gerakan tubuhnya justru gesit dan lincah bagaikan seekor ular berbisa.
Diam-diam Tian Mong-pek berpikir: "Kusangka jago lihay dikolong langit, selain Siau dan Lan dua orang tokoh sakti itu, sudah tak ada orang lain lagi, ternyata masih ada seorang makhluk aneh semacam ini." Walaupun sadar kalau dirinya bukan tandingan lawan, hal ini tidak membuatnya jadi takut hingga mengundurkan diri, dengan menggabungkan jurus serangan yang diperoleh dari kokcu lembah kaisar serta Lan Toa-sianseng, dia memberikan perlawanan dengan gigih dan sepnuh tenaga.
Tampak jurus serangannya mencakup kekuatan positip maupun negatip, bahkan semakin bertarung, jurus yang digunakan makin aneh dan dahsyat.
Ternyata makhluk aneh itu jauh lebih hebat, ilmu silat yang digunakan pun makin rumit dan aneh.
Ke empat murid Siau-lim dan Bu-tong yang menonton jalannya pertarungan itu jadi terkesiap, mereka menonton dengan mata terbelalak dan mulut melongo, walaupun mereka adalah murid perguruan kenamaan, namun belum pernah menyaksikan jurus silat seaneh ini.
Untuk sesaat mereka seolah lupa kalau dirinya masih digantung orang.
Bab 23. Cinta dendam si Tanpa usus.
Dalam waktu singkat, kedua orang itu kembali bertarung sebanyak puluhan gebrakan.
Diam-diam Tian Mong-pek keheranan, pikirnya: "Kelincahan makhluk aneh ini sama sekali tidak dibawah kokcu lembah kaisar, keampuhan tenaga pukulannya terasa masih diatas kemampuan Lan Toa-sianseng, tapi dalam pandanganku, dia masih bukan tandingan Lan Toa-sianseng maupun kokcu lembah kaisar, aneh, kenapa bisa begitu?" Sementara berpikir, tangan kanannya membabat lengan kiri makhluk aneh itu dari atas ke bawah, ketika makhluk itu mengigos ke kiri, tidak menunggu sampai lawan melancarkan serangan balasan, pukulannya kembali disodok dari bawah ke atas.
Kemudian pemuda itu menekuk sikutnya sambil sedikit membongkok, tangannya dengan jurus kim-si-ga-lian (menggunting serat emas) mencakar urat nadi lawan dengan jari tangan bagaikan cakar maut.
Jurus serangan yang digunakan kedua orang itu sama-sama ganas dan dahsyat, biarpun hanya dua orang yang sedang bertarung, namun angin serangan yang dihasilkan ibarat ada puluhan orang sedang bertempur.
Dalam waktu singkat puluhan gebrakan kembali sudah berlalu.
Mendadak Tian Mong-pek seakan menyadari akan sesuatu, pikirnya: "Aah, betul.
Biarpun ilmu silat yang dimiliki makhluk aneh ini sangat lihay, namun dia tidak memiliki kecerdasan kokcu lembah kaisar, tidak memiliki pula kegarangan Lan Toa-sianseng, oleh sebab itu biar ilmu silatnya lebih hebat pun, belum tentu ia mampu mengungguli mereka berdua." Dengan kecerdasan pemuda ini, begitu memahami keadaan yang sesungguhnya, banyak kekuatiran pun segera tersapu lenyap dari benaknya.
Tubuh mereka berdua bergeser terus tiada hentinya, lambat laun balik kembali ke sisi api unggun.
Mendadak terdengar tojin berjubah biru yang berada ditepi api unggun berkata dengan suara dalam: "Tampaknya makhluk aneh ini merupakan musuh besar Lan Toa-sianseng serta kokcu lembah kaisar, hengtay harus lebih berhati hati." Untuk berapa saat Tian Mong-pek tak dapat menangkap maksud dari ucapan itu, tanyanya: "Totiang, apa maksud perkataanmu itu?" "Hidung kerbau cilik," teriak makhluk aneh itu pula gusar, "berani banyak bicara lagi, segera kujagal dirimu." Tian Mong-pek segera berdiri menghadang didepan tojin berjubah biru itu, sama sekali tak bergerak.
Terdengar tojin berjubah biru itu berkata lagi: "Kelihatannya makhluk aneh ini dapat melihat kalau ilmu silat mu berasal dari Lan Toa-sianseng serta kokcu lembah kaisar, karena itulah ia tidak melancarkan serangan mematikan." Tian Mong-pek segera sadar, serunya: "Oh, rupanya dia ingin meraba kehebatan ilmu silat kedua orang cianpwee dari permainanku, hingga ketika bertarung melawan mereka, ia sudah mempunyai gambaran?" Belum sempat tojin berjubah biru itu mengiakan, makhluk aneh berbulu putih itu telah berseru: "Betul sekali!" "Hahaha, untuk melawan aku pun, kau sudah kewalahan, apalagi melawan kedua orang cianpwee yang ilmu silatnya berapa ribu kali lebih hebat dariku, jangan mimpi disiang hari bolong." "Selama puluhan tahun terakhir, locu khusus melatih ilmu silat yang dapat menghadapi kepandaian silat mereka berdua, locu tidak percaya tak dapat mengungguli mereka berdua." Teriak makhluk tua itu sewot.
Mendengar ucapan tersebut, Tian Mong-pek jadi keheranan, pikirnya: "Kenapa makhluk aneh ini pada saat yang bersamaan bisa bermusuhan dengan Lan Toa-sianseng serta kokcu lembah kaisar" Sebenarnya siapakah orang ini?" Berpikir begitu segera teriaknya keras: "Huh, biar berlatih sepuluh tahun lagipun, kau tetap bukan tandingan mereka." "Kentut!" jerit makhluk aneh berbulu putih itu gusar.
Ditengah bentakan, tiba tiba permainan jurusnya berubah, gerakan tubuhnya makin lama bergerak makin cepat, gerak serangan pun makin berat dan penuh bertenaga, sepuluh gebrakan kemudian ia berhasil meraih posisi diatas angin.
Terlihat tubuh Tian Mong-pek seolah sudah berada ditengah kepungan angin pukulan dan bayangan setannya.
Melihat itu, sambil menghela napas ujar tojin berjubah biru itu: "Aai, tadi masih ada peluang untuk kabur, tapi sekarang..., rasanya susah untuk melarikan diri." "Kalian berempat pun tak sudi tunduk dan takluk kepada orang lain, memang kalian anggap aku takut mati dan pengen kabur" Tolong totiang jangan menyebut lagi kata "kabur" dihadapanku." Biarpun saat ini kemampuannya untuk bertahan sudah makin memudar, namun sama sekali tidak mengurangi kegagahan serta semangat tempurnya.
Tojin berjubah biru itu menghela napas panjang, katanya: "Bila kau termasuk orang yang takut mati, mustahil akan datang kemari, tapi kelewat sayang dan penasaran bila kita berlima harus tewas ditangan makhluk aneh ini dengan percuma!" Terkesiap perasaan Tian Mong-pek sesudah mendengar perkataan itu, pikirnya: "Celaka, kenapa aku lupa memberi peringatan kepada Thian-huan taysu serta Giok-ki Cinjin" Jangan sampai urusan besar terbengkalai." Berpikir sampai disitu, diapun segera bersuit panjang.
Tadi, terdorong kobaran api kegusaran, dia hanya ingin berduel mati-matian melawan makhluk aneh itu tanpa berusaha minta bantuan, tapi kini, setelah tenaga dalamnya melemah, suitan panjangnya pun ikut melemah hingga tak dapat berkumandang lebih jauh.
Lambat laun suara pekikannya mereda, situasi yang dihadapi Tian Mong-pek semakin kritis, walaupun ia sudah tidak memikirkan keselamatan sendiri, namun diapun tak ingin menyaksikan kematian ke empat orang itu gara-gara keteledorannya.
Karena gelisah bercampur panik, jurus serangannya semakin kacau tak karuan.
"Hei, apa yang kau jeritkan?" ejek makhluk aneh berbulu putih itu sambil tertawa dingin.
"Kau tak usah ikut campur." "Huh, kematian sudah didepan mata pun masih berani bicara ketus!" Kendatipun sedang berbincang, jurus serangannya sama sekali tidak mengendor, kelincahan serta kecepatan geraknya semakin mengagetkan, ibarat bayangan setan, sebentar tubuhnya berada di depan, sebentar di belakang, lalu ke kiri kemudian ke kanan.
Seketika itu juga Tian Mong-pek menyaksikan munculnya bayangan tubuh orang itu dari empat arah delapan penjuru, ia jadi bingung dan tak tahu dari arah mana serangan musuh berasal.
Setelah bertempur mati-matian dalam lembah kaisar, sesungguhnya pemuda ini sudah kelaparan dan dahaga setengah mati, kini pandangan matanya mulai berkunang, yang bisa dia lakukan hanya sekuat tenaga melindungi keselamatan sendiri, sama sekali tak punya kekuatan lagi untuk balas menyerang.
Diam-diam tojin berjubah biru itu menghela napas panjang, ia pejamkan matanya dan tidak tega untuk menyaksikan lebih jauh.
Tiba-tiba terdengar jeritan kaget, tak tahan dia membuka kembali matanya, tampak tubuh Tian Mong-pek sudah roboh terkapar ditanah, dibawah sinar api, terlihat noda darah membasahi ujung bibirnya.
Makhluk aneh berbulu putih itu berdiri dihadapannya sambil bertolak pinggang, ejeknya sambil tertawa dingin: "Kalau punya nyali, ayoh bangkit berdiri, kita bertarung lagi." Belum selesai ucapan itu, Tian Mong-pek sudah membentak keras sambil melompat bangun, sambil menggigit bibir, sepasang kepalannya kembali melepaskan pukulan.
Dengan mudah sekali makhluk aneh itu berkelit ke samping, mendadak satu tendangan dilontarkan.
Sekuat tenaga Tian Mong-pek berkelit dari tendangan itu, tapi bahunya kembali termakan satu pukulan.
Tubuhnya mundur dengan terhuyung dan sempoyongan, tapi akhirnya roboh kembali ke tanah.
"Masih mau dilanjut pertarungan ini?" kembali makhluk aneh itu mengejek sambil tertawa dingin.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Tian Mong-pek bergulingan ditanah, menggunakan kesempatan itu dia melompat bangun seraya melancarkan serangan, sayang tenaganya sudah melemah, pukulannya sama sekali tak mampu lagi melukai lawannya.
Tanpa menggerakkan tangannya kembali makhluk aneh itu menghindar dari serangan lawan, satu tendangan untuk kesekian kalinya merobohkan pemuda itu.
Siapa tahu tanpa sangsi pemuda itu segera merangkak bangun dan melancarkan kembali serangannya.
Pada akhirnya sekujur tubuh pemuda itu sudah berpelepotan darah bercampur lumpur, tapi dia tetap bangkit berdiri, sambil menggertak gigi menerjang kearah lawan dan melepaskan lagi serangkaian pukulan.
Dalam keadaan begitu, hanya dengan satu ayunan tangan, makhluk aneh itu berhasil merobohkan lawannya.
"Masih ingin bertarung terus?" tegurnya dengan suara dalam.
Walau sepatah kata yang sama dengan ucapannya tadi, namun kini nada suaranya telah berbeda.
Sekalipun hatinya kejam dan telengas, tak urung hatinya dibuat tercekat juga oleh kenekatan serta kegagahan pemuda itu, terlebih ke empat orang murid dari Siau-lim serta Bu-tong, mereka betul betul dibuat terkesiap bercampur tak tega.
Dengan mulut berpelepotan darah, perlahan-lahan Tian Mong-pek bangkit berdiri kembali.
"Masih mau bertarung terus" Memang kau anggap kebal pukulan?" dengus makhluk aneh itu.
"Huh, tidak segampang itu bila ingin menghajar mampus diriku." Teriak Tian Mong-pek.
Tojin berjubah biru itu betul-betul tidak tega, serunya sambil menghela napas: "Buat apa kau bertarung terus" Sudah jelas makhluk aneh itu berniat mempermainkan dirimu, itulah sebabnya dia enggan membunuh dirimu." "Selama dia belum membunuh diriku, akan kulawan terus hingga titik darah penghabisan." Sahut Tian Mong-pek.
Ditengah teriakannya yang parau, terselip semangat serta keberaniannya yang pantang menyerah.
"Bagus!" kata makhluk aneh itu kemudian, "akan kulihat sampai dimana kemampuanmu untuk bertahan." Mendadak dia lepaskan satu pukulan ke dada Tian Mong-pek, membuat tubuh pemuda itu terpental ke udara dan terjatuh ke tepi api unggun.
Begitu mencium tanah, kali ini pemuda itu tak sanggup bergerak lagi.
"Ayoh bangun, cepat bangun," ejek makhluk aneh berbulu putih itu sambil tertawa dingin, "ayoh bertarung tiga ratus gebrakan lagi melawan locu." Sambil berkata perlahan ia maju mendekat dan melepaskan satu tendangan ke bahu pemuda itu.
Siapa tahu saat itulah tiba tiba Tian Mong-pek membalikkan badan, memeluk kakinya lalu berguling kearah onggokan api unggun.
Biarpun hebat ilmu silat makhluk aneh berbulu putih itu, namun kejadian tersebut sama sekali diluar dugaan, tubuhnya terhuyung lalu ikut terjatuh ke tengah api unggun.
sebagai pemuda yang keras kepala, bagi Tian Mong-pek lebih baik mati daripada dihina, sejak awal sudah berniat adu nyawa, maka begitu tercebur ke dalam jilatan api, dia semakin kencang memeluk kaki kanan lawannya.
Sebagaimana diketahui, makhluk aneh itu dipenuhi bulu putih disekujur badannya, begitu terjilat api, bulunya langsung terbakar, biar badannya sekeras baja pun, saat ini mulai tak kuasa menahan diri.
Terdengar ia menjerit kesakitan, suaranya tinggi, tajam menakutkan, ibarat seekor serigala yang sedang melolong.
Ditengah teriakan kesakitan, tubuhnya melambung ke tengah udara, tapi Tian Mong-pek tetap memeluk kakinya kencang kencang, kini pakaian serta rambut pemuda itu ikut terjilat api.
Kegagahan dan kenekatan pemuda itu membuat murid murid Siau-lim maupun Bu-tong jadi bergidik, paras muka mereka berubah, dalam keadaan begini mereka malah lupa dengan rasa sakit yang diderita.
Berada ditengah udara makhluk aneh itu salto berapa kali kemudian bagaikan gumpalan bola api meluncur turun diluar onggokan api, sambil bungkukkan badan ia totok jalan darah Ci-ti-hiat di sikut anak muda itu.
Begitu cengkeraman Tian Mong-pek mengendor, ia segera menggelinding ke samping untuk memadamkan kobaran api ditubuhnya, setelah itu serunya sambil menyeringai seram: "Bocah keparat, tampaknya kau memang sudah bosan hidup." Dengan gemas dia tenteng tubuh Tian Mong-pek sambil mendekati api unggun, tambahnya: "Akan kupanggang tubuhmu hidup hidup, kemudian akan kusuruh mereka mencicipi rasanya daging manusia." Kini, sekujur badannya sudah terbakar hingga hitam hangus, ditambah lagi suara tertawa seramnya yang menusuk pendengaran, pada hakekatnya makhluk aneh ini sudah tidak mirip manusia lagi, tapi menyerupai setan hidup.
Untungnya, belakangan tenaga dalam Tian Mong-pek telah mengalami kemajuan pesat, hingga kini dia belum sampai jatuh pingsan, seandainya pemuda itu semaput, mungkin keadaannya jauh lebih mendingan, paling tidak ia tak usah merasakan penderitaan lagi.
Tapi ini pikiran maupun kesadarannya masih jernih, tapi siksaan dan penderitaan yang dirasakan amat luar biasa.
Matanya melotot besar, giginya terkatup rapat, jangankan berteriak, merintih pun tidak.
"Bocah keparat, kau memang hebat," ujar makhluk aneh itu kemudian sambil tertawa seram, "selama hidup, belum pernah locu menyaksikan manusia macam kau." Perlahan dia angkat tangannya dan berkata lebih lanjut: "Hei bocah keparat, asal kau bersedia minta ampun, locu segera akan membebaskan dirimu." "Kentut!" menghimpun segenap sisa tenaga yang dimiliki, Tian Mong-pek berteriak keras.
"Bagus!" sambil tertawa seram makhluk aneh itu mengambil sebuah tongkat besi yang penuh dengan duri dan noda darah dari dalam gua.
Tampaknya tongkat besi itu biasanya digunakan untuk membunuh hewan buas, tapi sekarang ia gunakan untuk menggantung Tian Mong-pek.
Perlahan makhluk aneh itu mendorong tongkat besi itu keatas api unggun, lalu sambil tertawa seram kembali ujarnya: "Sekalipun nyalimu terbuat dari baja, locu tetap akan membakarnya hingga melumer." Tempat itu merupakan tanah pegunungan yang terpencil dan sepi, gua itupun merupakan tempat yang paling pojok, dimana sepanjang tahun tak pernah kedatangan manusia, mana mungkin ada orang yang akan datang menolong" Tampaknya Tian Mong-pek segera akan mati terpanggang.
Murid murid Siau-lim-pay yang menyaksikan kejadian itu jadi sangat tak tega, diam diam mereka mengucurkan air mata, salah seorang diantaranya bahkan berseru dengan gemetar: "Wahai anak muda yang gagah berani, pergilah, pinceng akan mendoakan dirimu agar lebih cepat reinkarnasi." Sementara tojin berjubah biru itu dengan wajah ngeri berteriak keras: "Aku bersedia mengatakan apa pun, asal kau bersedia membebaskan dulu dirinya." "Lebih baik kau bicara dulu .
. . . . .." sahut makhluk aneh itu sambil merendahkan tongkatnya hingga dekat jilatan api.
"Dekat tempat kami beristirahat tadi terdapat sebuah .
. . . . . .." Belum selesai tojin berjubah biru itu bicara, sambil menggigit bibir Tian Mong-pek telah berteriak: "Bila kau katakan, mati pun aku tak meram!" Tojin berjubah biru itu menghela napas panjang, katanya: "Asal dapat selamatkan jiwamu, pinto tak segan naik ke bukit golok, terjun ke kuali minyak mendidih, sekalipun harus melanggar pesan guru, pinto pun tak akan ambil peduli." Perlu diketahui, nyali Tian Mong-pek yang sekeras baja, keberaniannya bagaikan kobaran api, bukan saja telah merangsang gejolak darah panas dalam dada mereka, membangkitkan pula semangat mereka untuk melakukan perlawanan.
Kini, murid murid perguruan kenamaan yang selamanya tak sudi tunduk kepada orang lain, benar benar telah takluk kepada pemuda ini, asal Tian Mong-pek memberikan perintah sekarang, mereka tak segan untuk melakukannya, bahkan bersedia mati demi anak muda itu.
Tampaknya tojin berjubah biru itu telah bulatkan tekad, asal dapat selamatkan nyawa Tian Mong-pek, apa pun akan dia lakukan.
Teriaknya lebih lanjut: "Ditempat itu terdapat .
. . . . . .." Belum sempat ia menyelesaikan perkataannya, tiba tiba terlihat sesosok bayangan manusia meluncur tiba.
Dalam kondisi tergantung balik, sulit bagi tojin itu untuk melihat jelas wajah sang pendatang, apalagi dibawah sinar api unggun yang redup, tapi dengan luapan rasa girang segera teriaknya: "Bagus, bagus, akhirnya ciangbun suhu datang juga." "Di mana?" bentak makhluk aneh berbulu putih itu sambil melepaskan Tian Mong-pek dan membalikkan badan.
Sekalipun dia latah dan tinggi hati, tak urung hatinya gugup juga setelah mengetahui kehadiran ciangbunjin dari Bu-tong-pay.
Murid-murid Siau-lim serta Bu-tong merasa sangat kegirangan, bahkan Tian Mong-pek sendiripun tiba tiba merasa harapan hidupnya tumbuh kembali.
Tanpa terasa ke enam orang itu sama-sama mengalihkan pandangan matanya, tampak bayangan manusia itu bergerak cepat, dalam waktu singkat telah muncul ditepi api unggun, ternyata dia tak lain adalah Siau Hui-uh.
saat ini pakaian yang dikenakan sudah bukan baju halus berbahan mewah lagi, tapi sebuah dandanan lelaki dengan celana dan baju berwarna coklat, sebuah bungkusan kecil berwarna biru tergembol dipunggungnya.
Kelihatannya gadis itu sedang siap meninggalkan rumah hingga berdandan begitu, tapi dunia luar begitu luas, ke mana ia hendak pergi sehingga tersesat ke tempat itu" Betapa kecewanya tojin berbaju biru itu ketika mengetahui sang pendatang bukan guru mereka, melainkan seorang pemuda yang laki bukan laki, perempuan pun bukan perempuan, tak tahan dia menghela napas panjang.
Tian Mong-pek sendiripun merasa terkesiap setelah melihat kehadiran gadis itu.
Dalam pada itu Siau Hui-uh telah menghentikan langkahnya dan mengawasi makhluk aneh berbulu putih itu dengan termangu, walaupun rasa kaget dan tercengang menghiasi wajahnya, namun sama sekali tak ada perasaan takut, tampaknya memang tidak banyak masalah yang dapat membuat gadis ini ketakutan.
Makhluk aneh berbulu putih itupun mengawasinya berapa saat, tiba tiba tegurnya sambil tertawa: "Hei anak muda, sebetulnya kau lelaki atau perempuan" Kenapa berkeliaran ditengah malam begini?" Sudah jelas dia sangka Siau Hui-uh sama sekali tak ada hubungannya dengan lembah kaisar, karena itu nadanya tidak buas dan galak, hanya saja, kendatipun ia sudah bersikap ramah, namun ditengah kegelapan malam, penampilannya tetap menakutkan orang.
Dengan sinar mata yang tajam Siau Hui-uh mengawasi lawannya berapa saat, lalu tegurnya pula dengan suara keras: "Kau setan atau manusia" Ditengah malam buta begini, apa yang sedang kau lakukan dengan bersembunyi disini?" "Hahaha," makhluk aneh itu tertawa tergelak, "kalau dil ihat kulit tubuhmu yang putih halus, tak nyana besar juga nyalimu, berani berbicara seperti itu dihadapan locu." "Locu macam apa dirimu itu?" dengan kening berkerut Siau Hui-uh membentak gusar, "nonamu baru locu mu!" Tatapan matanya sama sekali tidak bergeser ke arah lain, diapun sama sekali tidak memandang kearah Tian Mong-pek sekalian.
Makhluk aneh berbulu putih itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Hahaha, baru pertama kali ini locu menjumpai kejadian yang begini aneh, sudah mengakui sebagai nona, mau jadi locu (bapak) orang pula, II aneh....aneh .
. . . . .. "Jadi anakku pun kau tak pantas, masih berani mengaku sebagai locu" Hmm, kalau bukan melihat tampangmu yang manusia bukan manusia, setan bukan setan, nona pasti akan memberi pelajaran setimpal kepadamu." Gadis ini memang sudah terbiasa bicara bebas, bukan saja perkataannya tidak tedeng aling-aling, bahkan sikapnya santai, sama sekali tidak melakukan persiapan.
"Bajingan ini . . . . . .. kau cepat kabur." Teriak Tian Mong-pek tiba tiba dengan suara parau.
Sebenarnya dia ingin berkata begini: "Bajingan ini punya dendam dengan ayahmu .
. . . . . .." Tapi kuatir makhluk aneh berbulu putih itu bakal bertindak telengas setelah mengetahui kalau dia adalah putri kokcu lembah kaisar, maka perkataannya yang baru setengah segera ditelan kembali.
Sekarang Siau Hui-uh baru mengetahui kehadiran Tian Mong-pek, dengan perasaan terperanjat teriaknya: "Kau .
. . . .. kenapa kau?" Belum sempat dia bergerak maju, makhluk aneh itu telah menghadang dihadapannya dan menegur sambil tertawa terbahak bahak: "Hahaha, bagus, bagus sekali, ternyata kaupun kenali dia." "Jadi kau yang melukainya?" hardik Siau Hui-uh.
"Coba lihat, begitu gelisah hatimu setelah melihat keadaannya, memang dia suamimu" Aaai, sayang! Sayang sekali! Masih begitu muda sudah bakal menjanda." "Kentut!" umpat Siau Hui-uh gusar, satu pukulan segera dilontarkan.
"Buat apa kau bertarung melawan dia" Cepat melarikan diri!" teriak Tian Mong-pek gelisah.
"Kau tak usah kuatir, aku tak bakalan melarikan diri." sahut Siau Hui-uh tak kalah kerasnya.
Dengan satu gerakan cepat dia merangsek maju, secara beruntun empat buah pukulan dilancarkan, semuanya mengarah empat buah jalan darah penting didepan dada lawan.
Makhluk aneh berbulu putih itu tertawa keras, katanya: "Kalian berdua memang sepasang sejoli yang serasi, berwatak busuk dan keras kepala.
Baik, locu akan penuhi keinginan kalian, biar kamu berdua mati bersama." Tanpa menggeser tubuhnya, secara gampang ia sudah lolos dari ke empat serangan itu.
"Urusan ini sama sekali tak ada hubungannya dengan dia, biarkan dia pergi." Teriak Tian Mong-pek.
"Hahaha, diapun sama seperti kau, tak bakal bisa kabur dari sini." Ejek makhluk aneh itu sambil tertawa seram.
Tiba-tiba ia putar badan, dengan kecepatan luar biasa dia berputar kencang dan mengurung Siau Hui-uh ditengah arena.
"Makhluk busuk, ternyata hebat juga ilmu silatmu!" seru Siau Hui-uh.
Biarpun ia berbicara dengan enteng, sesungguhnya rasa kaget yang mencekam hatinya amat besar, sambil menghimpun segenap semangat yang dimiliki, sepasang tangannya melancarkan bacokan berulang kali, dalam waktu sekejap ia sudah melancarkan tujuh buah serangan.
Kembali makhluk aneh berbulu putih itu berseru sambil tertawa terbahak- bahak: "Hahaha, nona cilik, hebat juga ilmu silatmu." Dengan cekatan dia mengigos kesana kemari tanpa melancarkan serangan balasan, lagi lagi ejeknya sambil tertawa aneh: "Tapi sayang kungfu mu masih belum dapat menandingi kehebatan suamimu, apalagi dibandingkan kepandaian locu." Siau Hui-uh semakin sewot ketika dibilang kungfunya masih kalah jauh dari kemampuan Tian Mong-pek, dengan geram bentaknya: "Akan kusuruh kau saksikan kehebatan ilmu silat nonamu." Ditengah bentakan, sekuat tenaga ia lepaskan tiga buah pukulan, jurus serangan yang digunakan aneh tapi dahsyat, betul saja, seketika memaksa makhluk aneh berbulu putih itu mundur sejauh satu meter lebih.
"Hahaha, bagaimana .
. . . . . .." Belum selesai suara ejeka Siau Hui-uh, terlihat sinar buas memancar dari balik mata makhluk aneh itu, seakan iblis jahat yang siap menerkam korbannya.
Dengan suara keras Tian Mong-pek segera berteriak: "Dia sudah mengenali aliran silatmu, cepat kabur!" "Sebenarnya siapakah dia?" dengan tubuh gemetar tanya Siau Hui-uh.
Sementara berbicara, matanya menatap makhluk aneh itu tanpa berkedip.
"Kau pun anggota lembah kaisar?" terdengar makhluk aneh itu bertanya.
Setiap kata yang diucapkan seolah menerobos keluar melalui sela giginya.
"Kalau benar kenapa" Kalau bukan kenapa pula?" ejek Siau Hui-uh.
"Kalau benar, akan kujagal dirimu." "Benar!" sambil busungkan dada jawab gadis itu.
"Apa hubunganmu dengan Siau Ong-sun?" "Makhluk busuk macam kau tak pantas menyebut nama besar dia orang tua." Bentak Siau Hui-uh sambil membanting buntalannya ke tanah, kemudian menerjang maju dengan garang.
Dengan ringan makhluk aneh berbulu putih itu menghindari tiga buah serangan yang ditujukan ke tubuhnya, sambil tertawa dingin ejeknya: "Kalau didengar dari nada pembicaraanmu, apakah dia adalah ayahmu?" Tanpa menghentikan gerak serangannya, sahut Siau Hui-uh dengan suara lantang: "Selain dia orang tua, manusia mana lagi yang pantas menjadi ayahku." Lagi-lagi tujuh buah pukulan dilontarkan, tapi semua ancaman itu mengenai sasaran kosong. Diam diam tojin berjubah biru itu menghela napas, pikirnya: "Sudahlah, tak nyana gadis inipun begitu keras kepala, kelihatannya dia pun bakal mengalami penderitaan." Sepasang matanya segera dipejamkan, dia tak tega menyaksikan lebih jauh.
Tian Mong-pek jauh lebih gelisah, tapi diapun tak dapat berbuat apa apa.
Terdengar makhluk aneh berbulu putih itu berseru sambil tertawa keras: "Hahaha, bagus, bagus sekali, setelah kujagal putrinya, tidak kuatir bapaknya tetap menyembunyikan diri." Gelak tertawanya dipenuhi rasa benci dan dendam yang sangat dalam, serangan balasan segera dilontarkan.
Kalau selama ini dia hanya menghindar tanpa membalas serangan pun, Siau Hui-uh sudah tak mampu berbuat banyak terhadap dirinya, apalagi saat ini dia menyerang dengan penuh kebencian, sudah barang tentu gadis itu semakin tak mampu melawannya.
Kelihatan sekali kalau makhluk aneh berbulu putih itu sangat membenci keluarga Siau, hal ini terlihat pula dibalik setiap gerak serangannya yang diliputi dendam, tak ada satupun dari jurus serangannya yang tidak tertuju ke bagian mematikan ditubuh nona itu.
Dengan sepasang tangan menahan tanah, Tian Mong-pek mencoba untuk merangkak bangun, kemudian sambil berpegangan pada tongkat besi yang mengganjal punggungnya, tiba tiba ia berteriak keras: "Serang iga kirinya." Dia tahu, Siau Hui-uh sudah pasti bukan tandingan makluk tua itu, karenanya dia mulai memperhatikan jalannya pertarungan sambil mencoba mengawasi titik kelemahan dari jurus serangan, ia berharap bisa membantu gadis itu.
Tampak Siau Hui-uh tertawa dingin, secepat kilat ia lepaskan dua serangan dahsyat yang secara sengaja menyerang iga kanan musuh, sudah jelas nona ini enggan menerima kebaikan pemuda itu.
Dia abaikan titik kelemahan musuh dengan menerobos ketajaman serangan lawan, akibatnya baru saja serangan dilancarkan, tahu tahu sepasang tangannya sudah terkunci oleh makhluk aneh itu, urat nadinya terasa kesemutan dan ia kehilangan seluruh kekuatan tubuhnya.
Menyaksikan gadis itu roboh terjungkal, Tian Mong-pek berbisik sambil menghela napas panjang: "Buat .
. . . .. buat apa kau berbuat begitu" Benarkah kau merasa benci terhadap dirimu sendiri?" "Kau tak usah ikut campur," teriak Siau Hui-uh, "biar sehebat apapun ilmu silatmu, kau tak lebih .
. . . . . .." Belum selesai berkataan itu, tiga buah jalan darah pentingnya telah ditotok makhluk aneh itu, membuat si nona tak mampu bersuara lagi.
Saat itulah, dari balik tebing dikejahuan sana terdengar suara teriakan memanggil: "Hui-uh .
. . . . .. Siau Hui-uh . . . . . . .. turuti perkataan bibi, cepatlah kembali!" Sekilas perasaan sedih terlintas diwajah Siau Hui-uh.
"Dia sedang memanggilmu?" tanya makhluk aneh itu sambil menatap si nona.
Dengan penuh kebencian Siau Hui-uh menatap wajahnya, semburan api seolah memancar keluar dari balik matanya.
Melihat itu kembali makhluk aneh berbulu putih itu tertawa keras.
"Hahaha.... seorang anggota keluarga Siau lagi yang datang kemari." Maka dengan suara lantang teriaknya: "Siau Hui-uh berada disini, dia sudah locu tangkap." Suara panggilan dikejauhan sana agak terhenti sejenak, tapi segera terdengar teriakan kaget: "Siapa yang berani menganiaya Siau Hui-uh" Sudah bosan hidup rupanya." Tampaknya orang itu sedang berlarian mendekat dengan sepenuh tenaga.
Siau Hui-uh tahu, bibinya masih bukan tandingan makhl uk aneh berbulu putih itu, dalam hati ia merasa terperanjat, apa mau dikata dia tak mau berteriak.
Gadis ini berwatak sama seperti Tian Mong-pek, lebih suka mengorbankan jiwa sendiri daripada melihat orang lain datang menyerempet bahaya, tak heran kalau dia amat gelisah.
Tapi sekarang, terlambat sudah untuk mencegah maupun menghalanginya berbicara.
Terlihat sesosok bayangan putih meluncur tiba dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, sambil bergerak mendekat, bentaknya keras: "Hui-uh, Hui-uh, dimana kau" Siapa yang menganiaya dirimu?" "Ada disini!" bentak makhluk aneh itu.
Belum selesai suara bentakan itu, bayangan manusia berwarna putih itu sudah muncur dihadapannya.
Tapi begitu melihat tampang makhluk aneh itu, agak tertegun tegurnya: "Makh.....
makhluk macam apa dirimu itu?" Orang itu berbaju putih bersih bagaikan salju, rambutnya kusut, wajahnya sayu, dia tak lain adalah perempuan berjubah putih yang pernah bertarung melawan Tian Mong-pek dalam kebun Ban-hoa-wan.
Tampaknya perempuan itu melakukan pengejaran karena kepergian Siau Hui-uh yang tiba tiba, kini, dalam keadaan panik bercampur gelisah, tanpa pedulikan lagi musuhnya manusia atau setan, dia langsung berlarian menuju ke hadapan Siau Hui-uh.
Sambil memeluk kencang tubuh gadis itu, serunya dengan suara gemetar: "Hui-uh, Hui-uh, apakah kau terluka" Cepat beritahu bibi." Betapa terharunya Siau Hui-uh menyaksikan perhatian perempuan itu terhadap dirinya, meski tak mampu berbicara, air mata berlinang membasahi pipinya.
Dalam pada itu Tian Mong-pek merasa sangat keherananm dia tidak habis mengerti kenapa makhluk aneh berbulu putih itu tidak berusaha mencegah perempuan itu memeluk Siau Hui-uh, terlebih ke empat murid dari Siau-lim serta Bu-tong, kejadian ini benar-benar membuat mereka tertegun.
Tampaknya makhluk aneh berbulu putih itu seakan dibuat tertegun, untuk berapa saat dia hanya mengawasi perempuan berjubah putih itu dengan pandangan bodoh, lama kemudian ia baru membentak keras, sambil pentangkan tangannya tiba tiba ia mendekati perempuan itu sambil berusaha memeluknya.
Tak terkirakan rasa kaget perempuan berjubah putih itu, serta merta dia lancarkan satu pukulan.
Serangan itu sesungguhnya dilancarkan dengan gerakan reflek, siapa tahu justru menghantam wajah makhluk aneh itu dengan telak, anehnya lagi, ternyata makhluk aneh itu tidak berusaha membalas serangannya.
Peristiwa ini bukan saja membuat Tian Mong-pek sekalian tercengang, Siau Hui-uh pun tampak termangu karena kaget.
Tampak makhluk aneh berbulu putih itu masih berdiri melongo, mengawasi perempuan berjubah putih itu sambil membelai wajahnya yang terpukul, dari tatapan matanya terlihat bahwa dia merasa amat sayang, kagum dan tergolak hatinya.
Dengan rasa heran pikir Siau Hui-uh: "Aneh benar sikap makhluk itu" Jangan jangan ia jatuh cinta pada bibi?" Sementara itu paras muka perempuan berjubah putih itu telah berubah jadi merah padam, malu bercampur gusar, ia tak berani balas menatap wajah makhluk aneh itu, tapi segera bentaknya: "Kalau berani mandekat selangkah lagi, jangan salahkan kalau kucabut nyawamu." Makhluk aneh berbulu putih itu sama sekali tidak gusar atau mendongkol, malah sembari pentangkan sepasang tangannya ia berbisik gemetar: "Lam-yan .
. . . .. kau . . . . .. masa kau sudah tak mengenali diriku lagi?" Tiba tiba saja tubuh perempuan berjubah putih itu gemetar keras, rasa kaget bercampur ngeri terlintas diwajahnya, sambil mendongakkan kepala, tanyanya gemetar: "Sii .
. . . .. siapa kau?" "Ternyata kau sudah tidak mengenali aku .
. . . . .. ternyata kau sudah tidak II mengenali aku .
. . . . . .. gumam makhluk aneh itu sambil selangkah demi selangkah berjalan mendekat.
Kedengaran jelas kalau emosinya bergolak keras.
Perempuan berjubah putih itu mundur sempoyongan, perasaan kaget bercampur ngeri semakin kentara terpancar dari wajahnya.
II "Jangan mendekat .
. . . .. jangan mendekat . . . . . .. tidak kenal dirimu . . . . .. tidak kenal . . . . . . . . .." "Tidak aneh bila kau tidak mengenali diriku lagi," kata makhluk aneh serunya gemetar, "aku berbulu putih itu sambil tertawa sedih, "selama dua puluh tahun terakhir, aku telah merasakan semua penderitaan dan siksaan hidup yang tak akan II tertahankan oleh siapa pun .
. . . . . . . . .. Agak emosi terusnya: "Selama dua puluh tahunan, nyaris aku tak tahu bagaimana rasanya garam, karena tak pernah makan garam, sekujur badanku ditumbuhi bulu berwarna putih."
Semakin bicara emosinya semakin tak terkendali, tiba tiba saja dia mulai menggaruk bulu di wajahnya, bulu bulu putih itu seakan terbakar, seketika rontok dan berguguran.
Tiba-tiba perempuan berjubah putih itu membelalakkan matanya, rasa ngeri bercampur kaget terpancar dari matanya, agak parau jeritnya: "Ternyata kau .
. . . .. ternyata kau . . . . . . .. ternyata kau belum mati...." "Benar, aku belum mati, aku memang belum mati....." kata makhluk aneh itu gemetar, "kau sudah kenali aku .
. . . . . . . .." Mungkin karena luapan rasa girang yang tak terkendali, makhluk itu tak sanggup melanjutkan kata katanya.
Mendadak perempuan berjubah putih itu menangis tersedu-sedu, sambil menangis menubruk ke depan, merentangkan lengannya dan merangkul tengkuk makhluk itu erat-erat.
Makhluk aneh berbulu putih itu balas memeluk, memeluk erat-erat, dengan air mata membasahi wajahnya yang jelek, gumamnya: "Tidak kusangka .
. . . .. tidak kusangka . . . . .. akhirnya aku bertemu dengan kau .
. . . . .." Tian Mong-pek, Siau Hui-uh, para tojin Bu-tong-pay maupun para hwesio Siau-lim-pay, sama sama melongo dengan mata terbelalak, mimpi pun mereka tidak menyangka kalau peristiwa itu dapat berubah jadi begitu.
Sampai lama, lama kemudian, perempuan berjubah putih itu baru mengendorkan pelukannya dan berkata: "Beritahu aku, beritahu aku, selama banyak tahun, ke mana saja kau pergi?" Makhluk aneh berbulu putih itu menghela napas panjang, katanya: "Kau masih ingat dengan kejadian saat itu" Aku dipojokkan Lan Thian-jui dan Tu Hun-thian hingga tak punya tempat untuk bersembunyi .
. . . . . . .." "Kau takut menyengsarakan kami maka secara diam-diam pergi tanpa pamit," sela perempuan berjubah putih itu, "dikemudian hari kami baru tahu kalau kau sudah dihajar mereka hingga celaka." Dengan wajah penuh kebencian lata makhluk aneh berbulu putih itu: "Setelah terluka oleh pukulan Lan Thian-jui, aku dihajar Tu Hun-thian hingga terjatuh ke dalam jurang yang sangat dalam.
Selama ini orang persilatan mengira aku sudah mati, mereka sangka Tiong-tiau-jit-ok tujuh orang jahat dari Tiong-tiau sudah terbasmi habis dan tak tersisa seorangpun, siapa sangka aku justru masih tetap hidup, hahaha....
bila orang persilatan mengetahui kejadian ini, tak bisa kubayangkan bagaimana perubahan mimik muka mereka semua Mendengar itu, Tian Mong-pek merasa amat terkesiap, pikirnya: "Ternyata orang ini adalah Bu-jiong-kun si manusia tanpa usus Kim Hui, ternyata Kim Hui benar-benar belum mati!" Tanpa terasa ia terbayang kembali kejadian di puncak gunung Huang-san, sewaktu Sun Giok-hud menyamar sebagai manusia tak berusus Kim Hui, waktu itu dia tidak pernah menyangka kalau pada suatu hari ia benar-benar akan berhadapan muka dengan Kim Hui yang sebenarnya.
Tampak si manusia tanpa usus Kim Hui mendongakkan kepalanya dan tertawa seram.
"Aku sudah menunggu dua puluh tahunan, aku berusaha menyimpan napasku yang penghabisan agar bisa menyaksikan perubahan mimik muka mereka." Kemudian sambil memegang bahu perempuan berjubah putih itu, lanjutnya: "Kau tentu masih ingat bukan, aku pernah bersumpah akan balas dendam, kini saatku untuk membalas dendam telah tiba." Perlahan perempuan berjubah putih itu menundukkan kepalanya, terbungkam dalam seribu bahasa.
Kembali manusia tanpa usus Kim Hui berkata: "Ketika terjatuh ke dalam jurang waktu itu, kusangka aku pasti mati, siapa tahu dasar jurang adalah rawa rawa, ketika tubuhku terjatuh ke dalam rawa rawa berlumpur, walaupun nyawaku berhasil diselamatkan, namun luka yang kuderita amat parah, tampaknya aku bakal mati kesakitan, mati kelaparan didasar jurang berlumpur itu.
Siapa tahu lumpur rawa rawa itu memiliki kasiat obat yang mustajab, setelah berbaring selama berapa hari didasar lumpur itu, bukan saja nyawaku tidak melayang, sebaliknya luka yang kuderita berangsur pulih kembali." "Apa yang telah terjadi?" tanya perempuan berjubah putih itu keheranan.
"Sebetulnya aku sendiripun tidak habis mengerti, itulah sebabnya selama dua puluh tahun aku mencoba putar otak memikirkan persoalan ini, akhirnya aku berhasil menemukan rahasianya." "Aku tidak mengerti .
. . . . .." "Ternyata pada kedua dinding tebing yang sangat curam dan tinggi itu tumbuh pelbagai jenis bahan obat obatan, hanya sayang keadaan medan yang curam dan berbahaya, dimana burung pun susah terbang lewat, maka tak seorang manusiapun dapat mencapai tempat tersebut.
Maka bahan obat obatan yang tumbuh diatas dinding jurang pun rontok dan jatuh ke dasar jurang, lama kelamaan tumpukan guguran bahan obat obatan itu mengubah rawa rawa dibawahnya menjadi sebuah kolam obat.
Bisa dibayangkan betapa luar biasanya kasiat obat obatan dalam rawa itu, separah apapun luka yang kau derita, asal berendam berapa hari disana maka lukamu segera akan sembuh." Semakin didengar, semua orang merasa makin tercengang bercampur kagum, siapa pun tidak menyangka ada kejadian yang begitu aneh didunia ini.
Diam-diam pikir Tian Mong-pek: "Tenaga pukulan Lan Toa-sianseng maha dahsyat, setelah dihajar Lan Toa-sianseng lalu terkena panah li-sian-ciam hingga jatuh ke dasar jurang dan terluka parah, ternyata luka semacam itu dapat dia sembuhkan karena mengandalkan kasiat lumpur dari rawa-rawa.
sepantasnya kalau kejadian semacam ini disebut kejadian langka." Sebagaimana diketahui, dalam lumpur rawa rawa itu telah berkumpul beratus jenis obat obatan yang rontok dari dinding jurang, setelah diramu hampir ratusan tahun, bisa dibayangkan betapa mujarabnya bahan obat yang teramu disitu.
Dengan sedih perempuan berjubah putih itu menghela napas panjang, ujarnya lirih: "Jadi selama dua puluh tahun, kau hidup ditengah rawa rawa berlumpur?" Tiba-tiba sekujur badan manusia tak berusus Kim Hui gemetar keras, dia seakan teringat kembali penderitaannya semasa hidup ditengah rawa-rawa, lama kemudian baru sahutnya perlahan: "Benar, selama dua puluh tahun aku selalu hidup disana, tidur ditengah lumpur, ketika mendusin pun berada ditengah lumpur, yang kumakan hanya cacing dan kadal, yang kuminum adalah air berlumpur, selama ini hanya satu yang kupikir yakni balas dendam, setiap kali terbayang soal balas dendam, cacing dan kadal pun berubah jadi hidangan lezat, air lumpur terasa arak wangi." Merinding seluruh tubuh Tian Mong-pek sehabis mendengar ucapan itu, tanpa terasa ia bersin berulang kali, terlebih Siau Hui-uh, saking gemetarnya, nyaris gadis itu muntah-muntah.
Tampak perempuan berjubah putih itu pejamkan sepasang matanya, air mata meleleh membasahi pipinya, sambil membelai telapak tangan Kim Hui, bisiknya: \\ II .
. . . . .. Kau..... kau sungguh menderita.......
Tian Mong-pek yang melihat adegan tersebut makin tercengang dibuatnya, dia tak habis mengerti, kenapa bibi Siau Hui-uh bisa bersikap begitu mesra dan hangat terhadap makhluk aneh itu, sebab apa yang terjadi sekarang jauh diluar dugaan siapa pun.
Tampak Kim Hui tertawa sedih, sahutnya: II "Penghidupan semacam itu tak cukup dilukiskan sebagai "menderita lagi, karena kehidupanku saat itu pada hakekatnya jauh lebih terpuruk ketimbang kehidupan seekor anjing." Tiba-tiba sambil busungkan dada teriaknya keras: "Tapi aku justru berhasil melatih ilmu silat maha sakti ditengah rawa-rawa itu, aku tak percaya dikolong langit saat ini masih ada orang yang sanggup menandingi kemampuanku." Seolah baru sadar, pikir Tian Mong-pek: "Tak heran kalau gerak tubuhnya begitu lincah dan enteng, ibarat naga sakti ditengah awan, ternyata semua itu dia peroleh dengan pengorbanan yang amat besar." seperti diketahui, orang ini sepanjang tahun bergerak ditengah lumpur, berlatih silat ditengah lumpur, sesudah berlatih giat hampir dua puluh tahun lamanya, tak heran kalau gerakan tubuhnya jadi gesit dan cepat begitu bergerak diluar jeratan lumpur.
Dengan perkataan lain, bila ingin memperoleh ilmu silat semacam ini, siapa pun harus membayar dengan pengorbanan yang sangat besar.
Sambil menghela napas sedih kata perempuan berjubah putih itu lagi: "Terima kasih Thian, akhirnya kau berhasil lolos dari cengkeraman maut." Kim Hui tertawa getir, ujarnya: "Aku butuh pengorbanan hampir dua puluh tahun lamanya sebelum berhasil menembus sebuah jalan lewat untuk lolos dari jurang beribu kaki itu." "Dalam dua puluh tahun ini .
. . . . .. dua puluh tahun....." kata perempuan berjubah putih itu gemetar, "meskipun tak dapat bertemu kau, tapi aku bisa membayangkan tekadmu saat itu serta semua penderitaan dan siksaan II yang kau alami .
. . . .. ll "Jangan lagi dua puluh tahun lamanya, sela Kim Hui sedih, "biar hanya II satu jam pun sudah merupakan siksaan yang sukar dirasakan .
. . . . .. "Aku tahu . . . . .." air mata makin deras meleleh diwajah perempuan itu.
"Tebing karang itu tingginya puluhan kaki, rumput obat yang tumbuh didinding tidak cukup kuat untuk dijadikan tempat pijakan, terpaksa aku harus melubangi dinding karang sebagai tempat pijakan.
Tapi dinding itu puluhan ribu kaki tingginya, batu karangpun keras dan kuat, susahnya membuat tempat pijakan nyaris membuat aku putus asa, berapa kali hampir saja kutinggalkan usaha ini, waktu itu aku berpikir lebih baik mati saja didasar jurang.
Tapi rasa dendam kesumatku yang merasuk ke tulang, rasa rindu ku terhadap kalian, membuat aku akhirnya bertekad untuk mengatasi keputus asaan itu dan berusaha lolos dari jurang maut itu." Diam-diam Tian Mong-pek menghela napas, pikirnya: "Mengalami siksaan dan penderitaan yang begitu berat, bahkan harus pertaruhkan nyawa demi lolos dari lubang jarum, bila aku jadi dia, mungkin sudah keburu gila sebelum berhasil." Berpikir sampai disitu, tanpa terasa dia pun memaafkan semua tingkah laku orang itu terhadap dirinya tadi, sebab walaupun dia berhati sekeras baja namun pikirannya jernih dan peluh welas kasih.
Dengan sedih ujar perempuan berjubah putih itu: II "Hari yang penuh siksaan telah berlalu, kau .
. . . . .. "Aku akan balas dendam," teriak Kim Hui keras, "orang pertama yang akan kucari adalah Siau Ong-sun." "Kau.....
dendam apa yang terjalin antara kau dengan dirinya?" tanya perempuan berjubah putih itu terperanjat.
"Begitu muncul dalam dunia persilatan, aku telah mendengar kalau Siau II Ong-sun telah mengangkangi adikku, bahkan kau....
kau..... Setelah meraung kalap, lanjutnya: "Begitu mendengar berita itu, aku segera menyusul kemari, sayang aku gagal menemukan jalan masuk menuju ke dalam lembah, kalau tidak, saat ini mungkin bangsat itu sudah mampus ditanganku." Lalu dengan mata berapi api penuh kebencian, ia tuding Siau Hui-uh sambil serunya: "Bukan saja akan kucincang Siau Ong-sun hingga hancur berkeping, akupun akan bunuh perempuan rendah ini." "Kau.....
kau ingin membunuhnya?" teriak perempuan berjubah putih itu gemetar, "tahukah kau siapa dia?" "Aku tahu, dia adalah putri Siau Ong-sun." "Betul," kata perempuan berjubah putih itu sambil mengangguk sedih, "dia II memang putri Siau Ong-sun .
. . . . . .. Tiba tiba dia melayangkan satu tempelengan, yang membuat Kim Hui mundur sempoyongan.
Untuk sesaat Kim Hui berdiri tertegun, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
"Tahukah kau," jerit perempuan berjubah putih itu lagi, "dia pun putri adik kandungmu" Bukan saja kau ingin membunuh tuan penolong kita, bahkan ingin membunuh keponakan sendiri." "Apa.....
apa kau bilang?" bisik Kim Hui terbelalak.
Perubahan yang sama sekali diluar dugaan ini kembali membuat Tian Mong-pek, tojin berjubah biru serta murid Siau-lim terbelalak dengan mulut melongo, khususnya Siau Hui-uh, wajahnya pucat pias dengan peluh dingin membasahi tubuhnya, siapa sangka kalau makhluk aneh itu ternyata engkunya.
Terdengar perempuan berjubah putih itu kembali berkata sedih: "Semenjak tersiar berita tentang kematianmu dalam dunia persilatan, kami jadi manusia gelandangan yang tak punya tempat tinggal, setiap hari harus melarikan diri kesana kemari untuk selamatkan diri." "Kenapa?" tanya Kim Hui sedih.
"Sejak kau terjun ke dalam dunia persilatan, sepasang tanganmu sudah banyak berpelepotan darah, sudah mengikat tali permusuhan dengan banyak orang, setelah kematianmu, bagaimana mungkin mereka tidak datang untuk mencari balas?" Kim Hui tertunduk sedih, bisiknya: "Akulah yang telah mencelakai kalian semua .
. . . .



. .. "Tadi kau bilang kau.....
kau mengandung?" tanya Kim Hui lagi dengan suara gemetar .
II "Benar, perempuan berjubah putih itu tertunduk sedih, "sebulan setelah kepergianmu, aku mendapat tahu tentang hal ini." Lagi-lagi Siau Hui-uh merasa terperanjat, dia tak menyangka kalau `makhluk aneh' dihadapannya ternyata tak lain adalah suami bibinya.
Tampak Kim Hui mengepal kencang sepasang tinjunya, dengan suara parau teriaknya: "Di .
. . . . .. dimana anakku itu sekarang?" Tiba tiba perempuan berjubah putih itu mendongakkan kepala, ujarnya lantang: "Andaikata Siau Ong-sun tidak turun tangan selamatkan bocah itu, sekarang aku ibu beranak sudah mati." "Jadi dia.....
dia telah selamatkan anakku?" bisik Kim Hui jatuh terduduk diatas tanah.
"Bukan saja dia telah selamatkan anakmu, bahkan telah selamatkan juga adikmu." "Thian.....
oooh Thian, sebenarnya apa yang telah terjadi?" keluh Kim Hui sambil memandang langit.
Perempuan berjubah putih itu menghela napas sedih, katanya: "Waktu itu kami tak lebih hanya seseorang yang sedang sakit, seorang wanita lemah, seorang perempuan hamil yang sedang dikejar kejar musuh II besar dan melarikan diri ke bukit Kun-lun-san .
. . . . .. II "Sepanjang jalan, kalian.....
kalian pasti amat menderita .
. . . .. "Kami sangka dengan kabur ke gunung Kun-lun-san maka keadaan yang aman, siapa sangka Kim-leng-sam-kiat (tiga orang gagah dari Kim-leng) serta Lan-kang-siang-hi (sepasang ikan dari sungai Lan-kang) mengejar terus ll hingga ke atas gunung Kun-lun .
. . . .. "Benar-benar manusia keji." Sumpah Kim Hui sambil menggertak gigi.
"Memangnya kau tidak pernah keji terhadap mereka?" tukas perempuan berjubah putih itu sambil menghela napas sedih.
Berubah paras muka Kim Hui, tapi sebentar kemudian ia sudah tundukkan kepalanya.
"Bagaimana selanjutnya?" "Bagaimana mungkin kami perempuan lemah sanggup menandingi mereka" Bukan saja kami berhasil dipojokkan hingga tak punya jalan mundur lain, bahkan saat itu akupun sudah siap melahirkan." "Siapa .
. . . . .. siapa yang telah selamatkan kalian?" tanya Kim Hui sambil mendongakkan kepala dan menghela napas.
Sejujurnya, ia sudah menduga kalau pemilik lembah kaisar lah yang telah selamatkan mereka, tapi perasaan hatinya tak dapat menerima kenyataan tersebut hingga tanpa sadar ia ajukan pertanyaan itu.
"Disaat keadaan amat kritis dan nyawa kami terancam inilah, tiba tiba Siau Ong-sun munculkan diri, bukan saja berhasil pukul mundur Kim-leng- sam-kiat sekalian, bahkan membawa kami masuk ke dalam lembah." Kisah perempuan berjubah putih itu.
Dengan sedih Kim Hui termenung berapa saat, tiba tiba serunya lagi dengan suara keras: "Kalau memang melepas budi kepadaku, tidak seharusnya dia minta imbalan untuk budinya dengan memaksa pat-moay .
. . . .. memaksa pat-moay menjadi gundiknya." "Aai, lagi-lagi kau keliru besar," kata perempuan berjubah putih itu sambil menghela napas, "pat-moay sendiri yang jatuh cinta kepadanya, karena tak tega menolak, akhirnya terpaksa dia mengawini pat-moay jadi istri mudanya, bahkan dipinang secara resmi." "Bee.....benarkah begitu?" "Bukan saja dia amat menyayangi pat-moay, bahkan sikapnya terhadap lak-ko maupun kepadaku sangat baik, kalau bukan begitu, dengan tabiat lak-ko yang temperamen, mana mungkin dia mau tinggal di dalam lembah?" Mendengar sampai disini, diam-diam Tian Mong-pek menghela napas panjang, pikirnya: "Sama sekali tak kusangka kalau Thiat-tou adalah saudara kandungnya." Dalam pada itu Kim Hui sudah tertunduk sedih, gumamnya berulang kali: "Keliru .
. . . .. keliru . . . . . . .." "Yaa, memang keliru, keliru besar, sejak awal sudah keliru, kau tidak seharusnya bergabung dengan Tiong-tiau-jit-ok untuk bantu mereka melakukan kejahatan, terlebih tidak seharusnya kau menuduh orang baik tanpa membedakan mana yang benar dan mana yang salah." Seolah-olah orang bodoh, untuk berapa saat Kim Hui hanya berdiri melongo sambil bergumam: II "Keliru....
keliru besar . . . . . . . .. Sekulum senyuman segera tersungging menghiasi wajah perempuan berjubah putih itu, katanya: "Kalau sudah tahu salah, tidak seharusnya kau mencari dia untuk balas dendam, kaupun tidak perlu berkelana lagi dalam dunia persilatan." Dalam pandangan matanya seolah-olah terlintas pemandangan indahnya semasa kanak kanak dulu, ujarnya lebih jauh: "Kita pergi mencari sebuah tempat yang tenang, melewatkan sisa hidup kita dalam kedamaian, urusan apa pun tak usah dicampuri lagi." "Tapi....
bagaimana dengan putriku?" teriak Kim Hui tiba tiba sambil mendongakkan kepalanya, "dimana dia saat ini" Aku.....
aku..... selama hidup belum pernah kujumpai dirinya, aku kuatir dia masih belum tahu kalau ia memiliki seorang ayah macam diriku?" Mendadak sekujur badan perempuan berjubah putih itu gemetar keras, bisiknya tergagap: II "Dia c c c c c c c a c c c c c J c a a "Kenapa dia?" berubah paras muka Kim Hui.
Dengan air mata bercucuran kata perempuan berjubah putih itu: "Sejak kecil aku sudah hidup tanpa ayah ibu, aku tak ingin dia menjadi anak yatim sejak kecil, karena itu begitu lahir, aku pun....." "Apa yang kau lakukan?" bentak Kim Hui nyaring.
"Aku telah serahkan dia kepada Siau Ong-sun untuk dijadikan putrinya," kata perempuan berjubah putih itu sambil menunduk, "bukan saja dia tak tahu tentang dirimu sebagai ayahnya, diapun tidak tahu kalau aku .
. . . .. aku adalah i.....ibu kandungnya." Dengan perasaan terkejut pikir Siau Hui-uh: "Ternyata enci Man-hong bukan dilahirkan toa-hujin, melainkan anak bibi II dengan .
. . . . . .. dengan orang ini . . . . . . .. seperti tersambar geledek disiang hari bolong, untuk berapa saat manusia tak berusus Kim Hui berdiri tertegun, sampai lama kemudian ia baru berkata sedih: "Aku mengerti .
. . . .. aku mengerti . . . . .." "Mengerti apa?" "Aku tahu, namaku dalam dunia persilatan terlalu jahat, kau tak ingin dia memiliki ayah macam aku, karena itu lebih suka diberikan kepada orang lain!" Paras muka perempuan berjubah putih itu berubah pucat pasi, ia tertunduk tanpa menjawab.
Tiba tiba terdengar Kim Hui berteriak lagi: "Tapi aku tak rela putriku diberikan kepada orang lain, biarpun harus pertaruhkan nyawa, aku akan merebutnya kembali."
Bab 24. Bernyali baja berjiwa ksatria.
Ditengah bentakan keras, dia sudah membalikkan tubuh dan siap berlalu dari situ.
"Dia sudah tidak berada dalam lembah kaisar lagi." Teriak perempuan berjubah putih itu keras.
"Kemana dia pergi?" seketika Kim Hui menghentikan langkahnya.
"Dia sudah menikah, pergi mengikuti suaminya." "Mengapa kau tidak pergi mengikutinya" Bila dikemudian hari dia dianiaya orang, bagaimana kau bisa tahu" Apa kau tega membiarkan ia hidup tersiksa?" Air mata bercucuran membasahi wajah perempuan berjubah putih itu, jelas ia merasa amat sedih, tapi diluaran teriaknya lantang: "Kenapa aku harus kuatir?" ll "Kau tidak kuatir, justru aku yang kuatir, sahut Kim Hui gusar, "cepat kembalikan putriku kepadaku, bila dia terluka sedikit saja, aku akan.....
II akan . . . . . .. "Mau apa kau?" bentak perempuan berjubah putih itu sambil membesut air matanya.
Untuk berapa saat Kim Hui berdiri tertegun, akhirnya dia mendongakkan kepala sambil menghela napas panjang, katanya: "Lam-yan, kita sudah berpisah hampir dua puluh tahun lamanya, setelah bertemu, apakah kita harus warnai dengan keributan?" Dengan sedih perempuan berjubah putih itu tertunduk lesu, sahutnya kemudian: "Kau tidak usah kuatir, dengan kecerdasan dan kepandaian silat yang dimiliki, tidak gampang orang lain menganiaya dirinya, itulah sebabnya aku tidak mengikuti dia, tapi kemari mencari Hui-uh." Hingga sekarang, dia baru seolah teringat akan kehadiran orang lain ditempat itu, sambil berpaling, katanya dengan nada penyesalan: "Hui-uh, saking gembiranya, hampir saja bibi melupakan kehadiranmu." Dengan cepat dia membebaskan totokan jalan darah Siau Hui-uh dan membimbingnya untuk bangun, katanya lagi sambil menghela napas: "Anak bodoh, persoalan apa yang membuat pikiranmu buntu hingga secara diam diam kabur dari rumah?" Siau Hui-uh tidak menjawab.
Sambil membelai bahunya, kembali bujuk perempuan berjubah putih itu: II "Lebih baik pulanglah bersamaku, ayahmu .
. . . . . .. "Aku tak mau pulang." Teriak Siau Hui-uh tiba tiba.
"Tidak mau pulang?" perempuan itu berkerut kening, "masa kau...
kau . . . . .." Setelah melirik Tian Mong-pek sekejap, terusnya: "Masa kau ingin pergi mengikutinya?" "Aku ingin pergi mengikuti kau dan engku." Jawab nona itu tanpa berpikir panjang.
Sementara perempuan berjubah putih itu masih tertegun, sambil tertawa tergelak Kim Hui telah menimpali: "Hahaha, bagus, bagus sekali, kau boleh ikut kami.
Setelah kehilangan putriku, kini aku mendapat kembali seorang yang lain, hahaha...
hitung hitung aku tidak terlalu rugi." "Bibi, kau setuju bukan?" ucap Siau Hui-uh lagi.
Perempuan berjubah putih itu menghela napas ringan, sahutnya: "Tentu saja bibi setuju, tapi.....
tapi..... apakah kau tidak memikirkan ayah ibumu" Mereka pasti akan kesepian karena kehilangan kau." "Kita sudah kehilangan putri, memangnya kita tak akan kesepian?" teriak Kim Hui.
Kembali perempuan berjubah putih itu menghela napas.
"Aai, bagaimana pun, kita seharusnya balik dulu ke lembah kaisar dan beritahu persoalan ini kepada ayahnya, kaupun sekalian menjenguk lak-ko dan pat-moay." Kim Hui tertawa sedih, katanya: "Pat-moay telah kawin dengan Siau Ong-sun, buat apa aku menjenguknya" Memangnya kau suruh aku bersujud dihadapan Siau Ong-sun dan berterima kasih karena budi kebaikannya?" Kemudian setelah berhenti sejenak, dengan wajah sedih bercampur murung, lanjutnya: "Terlebih lo-liok, dia tak akan sudi bertemu aku, sejak kecil dia sudah bermusuhan denganku, jadi aku pun tak ingin bertemu dengan dirinya." "Bagaimana pun, dia tetap saudara kandungmu, walaupun dalam penampilan sikapnya kurang ramah, dalam hati kecilnya dia selalu menguatirkan dirimu." Kim Hui tertawa dingin.
"Walaupun dia adalah saudara kandungku, bukan hanya satu kali dia berniat membunuhku, selama ini aku selalu harus waspada terhadap dirinya, hatiku selalu ketakutan setengah mati menghadapinya." Tiba tiba ia mendongakkan kepalanya tertawa seram, terusnya: "Tapi mulai sekarang, aku tak perlu takut lagi kepadanya, mungkin mimpi pun dia tak menyangka kalau kungfu ku sepuluh kali lipat lebih tangguh dari kemampuanku dulu." Berputar sepasang biji mata Siau Hui-uh, mendadak selanya: "Engku, bersediakah kau mewariskan ilmu silatmu kepadaku?" "Hahaha, tentu saja akan kuwariskan, andaikata aku tak bersedia, mungkin kaupun enggan pergi mengikuti kami bukan begitu keponakanku?" Terbongkar rahasia hatinya, kontan selembar wajah Siau Hui-uh berubah jadi merah padam, kepalanya tertunduk rendah, sambil menarik ujung baju perempuan berjubah putih itu, katanya: "Kalau engku enggan masuk lembah, mari kita pergi!" "Sekarang mana boleh pergi?" kata perempuan itu.
"Kenapa sekarang tak boleh pergi?" protes Kim Hui lantang, "pepatah mengatakan, kawin dengan ayam ikut ayam, kawin dengan anjing ikut anjing, sekarang aku tak mau masuk ke dalam lembah, masa kau tetap akan kembali ke lembah?" Kembali perempuan berjubah putih itu menghela napas panjang.
"Aaai, sekalipun tidak kembali ke lembah, aku pun tak boleh membiarkan berapa orang yang terluka itu tetap tinggal disini." "Tak usah kuatir," bentak Kim Hui, "mereka tak bakalan mampus!" Tiba tiba cahaya napsu membunuh kembali terlintas dari balik matanya, katanya lagi: "Tapi aku masih ada sebuah perjanjian disini, menanti dia sudah datang, II kita segera pergi .
. . . . .. Baru berbicara sampai disitu, mendadak bentaknya: "Sudah datang!" semua orang berpaling mengikuti arah yang dituju, terlihat sesosok bayangan manusia meluncur tiba dari balik kegelapan, tapi begitu melihat keadaan disitu, ia segera menghentikan langkahnya.
Ditengah kegelapan, tampak orang itu berpakaian perlente dengan kumis dan jenggot yang terpelihara rapi, dia tak lain adalah si Bintang langit Sun Giok-hud.
Hawa amarah kontan membara dihati Tian Mong-pek begitu bertemu orang ini.
Tampak Sun Giok-hud tertegun sejenak, meski rasa heran bercampur kaget menghiasi wajahnya, ia tetap bertanya sambil tertawa paksa: "Apakah Kim locianpwe berhasil menemukan jalan masuk menuju lembah?" "Belum." sahut Kim Hui singkat.
Sun Giok-hud memang cerdas dan licik, sekalipun dia tak tahu kalau perempuan berjubah putih itu adalah istri Kim Hui, namun secara lamat lamat dia sudah merasakan gelagat yang tidak beres.
Dengan tetap bersikap hormat dan tertawa, ujarnya lagi: "Setelah berputar satu lingkaran disebelah sana, boanpwee pun gagal menemukan jalan masuk menuju ke dalam lembah, tapi lantaran kuatir cianpwee menunggu terlalu lama, maka buru buru boanpwee balik kemari." Paras muka Kim Hui sama sekali tak berubah, sengaja katanya sambil menghela napas panjang: "Sekarang, dalam hati kecilku mulai tumbuh kecurigaan, aku mulai ragu, apa benar semua yang kau katakan selama ini.....
aku lihat Siau Ong-sun tidak mirip orang jahat." "Tapi semua yang boanpwee katakan merupakan kejadian sesungguhnya," kata Sun Giok-hud serius, "boanpwee mendapat tahu kalau Siau Ong-sun benar benar telah memperkosa hujin serta adik cianpwee." Kemudian setelah berhenti sejenak dan menghela napas panjang, lanjutnya: "Setelah mendapat kabar ini, boanpwee ikut merasa gusar dan penasaran, boanpwee pernah mendatangi puncak bukit Siong-san serta mengundang Lan Toa-sianseng untuk membuat perhitungan." Mendengar sampai disini, Tian Mong-pek benar benar naik pitam, pikirnya: II "Ternyata dialah yang menyiarkan berita bohong itu .
. . . . .. Kim Hui hanya mendengarkan semua pembicaraan itu tanpa menjawab.
Terdengar Sun Giok-hud berkata lebih lanjut setelah menghela napas dan gelengkan kepalanya berulang kali: "Siapa tahu, bukan saja enggan turun tangan, sebaliknya malah mengusir aku keluar dari perguruan, dalam gusar dan sedih, boanpwee pun lari turun gunung, siapa sangka dikaki bukit bertemu cianpwee, terlebih tak disangka, bukan saja cianpwee belum mati malah berhasil mempelajari ilmu silat maha sakti.
Aaai, hukum Thian memang akan menjerat siapapun yang bersalah, mungkin Siau Ong-sun sudah terlalu banyak melakukan kejahatan hingga Thian menuntun boanpwee bertemu dengan cianpwee." "Tampaknya kau memang seorang hohan." Puji Kim Hui.
"cianpwee kelewat memuji." Buru buru sahut Sun Giok-hud sambil menundukkan kepalanya.
"Tahukah kau siapa gadis itu?" tanya Kim Hui kemudian sambil menuding kearah Siau Hui-uh.
Sun Giok-hud mendongakkan kepala dan mengamatinya berapa kejap, lalu sahutnya: "Cayhe merasa asing dengan orang ini." "Dia adalah putri Siau Ong-sun!" ujar Kim Hui ketus.
Tiba tiba saja paras muka Sun Giok-hud berubah hebat, tanpa sadar dia mundur dua langkah.
Kemudian sambil menunjuk perempuan berjubah putih itu, kembali tanya Kim Hui: "Apakah kau kenal siapakah dia?" "Boanpwee .
. . . .. boanpwee . . . . . . .." paras muka Sun Giok-hud saat itu lebih pucat dari mayat.
"Dialah istriku!" tegas Kim Hui.
Sambil tertawa paksa bisik Sun Giok-hud: II "Hujin.....
hujin..... kau . . . . . .. Tiba tiba Kim Hui membentak keras, dengan penuh amarah teriaknya: "Dasar budak sialan, berani amat kau mengarang cerita bohong untuk menipu lohu" Memangnya kau sudah bosan hidup?" Dengan wajah basah oleh keringat, sahut Sun Giok-hud: "Bisa jadi .
. . . . .. bisa jadi boanpwee salah dengar .
. . . . . .." Sekonyong-konyong dia membalikkan tubuh kemudian melarikan diri dari situ.
"Hmm, biar punya sayap pun jangan harap bisa lolos dari cengkeramanku." Ejek Kim Hui tertawa dingin.
Ditengah bentakan, tubuhnya sudah meluncur dengan kecepatan tinggi.
Sun Giok-hud hanya merasakan desingan angin bergema, tahu tahu manusia tanpa usus Kim Hui sudah berdiri kaku dihadapannya.
Ia mulai bergidik, merinding, bulu kuduknya bangun berdiri, bahkan mulai bersin berulang kali, sepasang lututnya lemas gemetaran, selangkah demi selangkah tubuhnya mundur terus, tapi senyuman dipaksakan menghiasi bibirnya.
"Cianpwee, kalau toh tidak percaya, boanpwee .
. . . .." "Berlutut!" hardik Kim Hui gusar.
Sun Giok-hud betul-betul cerdas, sadar kalau kungfunya bukan tandingan orang, ia segera menjatuhkan diri berlutut, bersujud tanpa ragu.
"Mau bunuh diri atau paksa aku yang turun tangan?" kembali hardik Kim Hui.
Peluh bercucuran membasahi tubuh Sun Giok-hud, masih berlutut mohonnya gemetar: "Boanpwee.....
biarpun boanpwee bersalah, tapi .
. . . . . . .." Tiba-tiba sesosok bayangan manusia melintas lewat dari belakang Kim Hui.
Tak terkirakan kecepatan gerak bayangan itu, dilapisi kilatan cahaya pedang berwarna hijau kebiru-biruan, secepat bianglala meluncur kehadapan mereka.
Begitu melirik, Sun Giok-hud sudah tahu siapa yang tiba, semangatnya seketika bangkit, teriaknya lantang: "Kalau ingin bunuh, bunuhlah aku serta semua murid Bu-tong dan Siau-lim, tak bakalan aku berkerut kening." Sementara Kim Hui masih tertegun, dari belakang tubuhnya terdengar seseorang berkata dingin: "Dia tak akan mampu turun tangan." Ketika Kim Hui berpaling, terlihat seorang tojin telah berdiri dihadapannya dengan tatapan dingin, sebilah pedang tergenggam ditangannya.
Tojin berjubah biru yang digantung terbalik seketika menjerit kegirangan: "Suhu, kau benar-benar telah datang." Agak terkejut tanya Kim Hui: "Kau adalah ciangbunjin Bu-tong-pay?" Berkilas sorot mata Giok-ki Cinjin setajam sembilu, sambil menyiapkan pedangnya ia berkata: "Silahkan." "Cinjin, tunggu sebentar .
. . . .." buru-buru perempuan berjubah putih itu berseru.
"Cianpwee, terjadi kesalah pahaman dalam kejadian ini....." teriak Tian Mong-pek pula.
Mendengar itu Sun Giok-hud ikut berteriak: "Murid cianpwee sudah terluka parah, kalau terlambat bisa tak keburu lagi." Sejak mengetahui muridnya terluka parah karena disiksa, hawa amarah telah berkobar dalam dada Giok-ki Cinjin, kini hawa napsu membunuh telah menyelimuti wajahnya.
"Kau belum mau turun tangan?" tegurnya ketus.
"Cinjin..... " teriak lantang perempuan berjubah putih itu, "dalam kejadian ini .
. . . . . . .. "Tanpa mengetahui sebab musabatnya, dia paksa untuk turun tangan, memangnya locu takut kepadanya?" tukas Kim Hui sambil meraung gusar, II "hidung kerbau tua, hati hati kau .
. . . . . .. Ditengah bentakan, sepasang tangannya melancarkan serangan bersama.
Giok-ki Cinjin segera menggetarkan pedangnya sambil bergeser dari kiri ke kanan, baru setengah lingkaran, tiba tiba pedangnya disabet ke arah bahu lawan dengan kecepatan luar biasa.
Dengan cekatan Kim Hui berputar ke belakang tubuh lawan, sepasang tangannya diayunkan bersama, dalam sekejap mata ia sudah melancarkan tujuh jurus serangan yang semuanya dilancarkan dengan kekuatan penuh.




"Tak heran begitu latah, ternyata hebat juga ilmu silat yang dimiliki." Kata Giok-ki Cinjin dengan suara dalam.
Sembari membalikkan tubuh, satu sayatan pedang ibarat titik bunga pedang memancar ke tengah angin pukulan.
Dalam waktu singkat terlihat hawa pedang memancar menembusi angkasa, sinar yang menyilaukan mata mengubah serangan itu bagaikan ada ribuan batang pedang yang menyerang bersama.
Kim Hui sama sekali tak gentar, gerakan tubuhnya tetap cepat dan lincah walau berada ditengah kepungan hawa pedang, sedemikian cepatnya membuat Giok-ki Cinjin merasa terperanjat.
Dia tidak tahu ilmu silat aliran mana yang digunakan lawannya, setiap gerak serangan dilancarkan terbuka tapi ganas, gerakan tubuhnya cepat dan lincah dalam perubahan, suatu kepandaian yang belum pernah dijumpai sebelumnya.
Tak berani bertindak gegabah, terpaksa Giok-ki Cinjin mengeluarkan tujuh puluh dua jurus ilmu pedang berantainya untuk melindungi diri, sedemikian rapat pertahanan yang dilakukan, ibarat guyuran air pun susah untuk menembusi pertahanan tersebut.
Begitulah, kedua orang itu sama-sama bergerak dengan kecepatan tinggi, dalam waktu singkat puluhan gebrakan sudah lewat.
Berkilat sepasang mata Kim Hui, dalam setiap jurus serangannya disertakan napsu serta ambisi liar yang sukar dilukiskan dengan perkataan, ibarat hewan buas yang berkeliaran ditengah hutan.
Giok-ki Cinjin dengan cahaya pedang menyapu kian kemari, meski bergerak terus namun penampilannya tetap gagah dan penuh wibawa.
Dalam pada itu rasa gelisah bercampur gusar menyelimuti perasaan wanita berjubah putih itu, dia sadar, bila pertarungan itu dibiarkan berlangsung, sulit untuk memisahkan mereka berdua.
Padahal bila dua harimau bertarung, salah satu pasti terluka.
Siapa pun yang bakal terluka, yang jelas akan menimbulkan peristiwa yang serius dan gawat.
Terlihat permainan pedang Giok-ki Cinjin makin lama semakin bertambah cepat, belum habis serangan pertama, tusukan berikut telah menyusul, hingga pada akhirnya pedang dan tubuhnya menyatu, mengurung rapat rapat Kim Hui ditengah arena.
Sorot mata Sun Giok-hud berkeliaran liar, menggunakan kesempatan disaat perhatian semua orang tertuju ke jalannya pertarungan, diam-diam ia berencana untuk kabur.
Biarpun sedang berkonsentrasi menghadapi pertarungan seru, ternyata ketajaman pendengaran Kim Hui sama sekali tak berkurang, tiba tiba bentaknya: "Hendak kabur ke mana kau?"
Sambil miringkan badan, ia menerobos keluar dari tengah kepungan cahaya pedang lawan.
Rasa benci dan dendamnya terhadap Sun Giok-hud sudah merasuk ke dalam tulang, tentu saja dia enggan membiarkan dia melarikan diri.
Siapa sangka Giok-ki Cinjin dengan jurus siau-ci-thian-kong (sambil tertawa menuding cahaya langit) membentuk lapisan sinar pedang yang menghadang jalan perginya, diikuti lagi-lagi ia lepaskan tiga serangan berantai.
"Idung kerbau busuk, kau berani menghalangi aku." Bentak Kim Hui gusar.
Dalam keadaan gusar, tiba tiba telapak tangan kirinya dibalik, dengan ke lima jarinya seperti kaitan, ia cengkeram mata pedang lawan, sementara telapak tangan kirinya dengan menempel ditubuh pedang, langsung menghantam dada Giok-ki Cinjin.
Melihat datangnya ancaman, serta merta Giok-ki Cinjin mengayunkan tangan kanannya untuk menyongsong datangnya serangan itu.
"Blaaam!" ketika sepasang tangan saling beradu, tubuh kedua orang itu seketika bergetar sambil roboh ke belakang, "Traaang!" pedang pun rontok ke tanah.
Giok-ki Cinjin mundur sejauh berapa langkah dengan sempoyongan, punggungnya bersandar pada dinding tebing, wajahnya pucat pias bagai mayat, jelas ia sudah menderita luka dalam.
Kim Hui sendiri berdiri terpantek ditanah, tubuhnya hanya tergoyang ke belakang untuk segera berdiri tegak lagi, serunya sambil tertawa keras: "Hidung kerbau, kau .
. . . . . .." Tiba tiba dia buka mulutnya dan muntahkan darah segar.
Padahal asal tubuhnya mau mundur, niscaya ia dapat memunahkan sebagian tenaga pukulan yang dilancarkan Giok-ki Cinjin, sekalipun tetap akan terluka, luka yang diderita tak bakal separah itu.
Apa mau dikata orang ini keras kepala, dia sambut datangnya serangan itu dengan keras lawan keras, isi perut yang sesungguhnya sudah tergoncang pun seketika bertambah parah, darah panas bergelora dalam dadanya, akibatnya disaat dia tertawa latah itulah, darah segar menyembur keluar dari mulutnya.
Dengan perasaan terperanjat buru-buru perempuan berjubah putih itu memayangnya.
"Duduk, cepat duduk dan atur pernapasan," bisiknya gemetar, "kalau tidak .
. . . .. luka akan bertambah parah." "Siapa yang kesudian duduk," teriak Kim Hui gusar, sambil menyeka noda darah dari bibirnya, ia merangsek maju, "mari, mari, mari, hidung kerbau tua, kalau punya nyali, ayoh kita bertarung tiga ratus gebrakan lagi." Dengan pandangan mendelong Giok-ki Cinjin mengawasi pedangnya yang tergeletak ditanah, sedih dan pilu menyelimuti wajahnya, dia seakan tidak mendengar semua pembicaraan itu.
Setelah melepaskan diri dari tangan perempuan berjubah putih itu, kembali Kim Hui berkata sambil tertawa keras: "Kusangka ilmu silat yang dimiliki ciangbunjin perguruan kaum lurus sangat menakutkan, ternyata tak lebih hanya begitu saja." Belum selesai gelak tertawanya, dari kejauhan terdengar seseorang berseru: "Siapa yang sedang berbicara disana?" Suara itu serak tua tapi nyaring, rasanya berasal dari Thian-huan taysu.
Ketika diperiksa, ternyata Sun Giok-hud telah manfaatkan situasi sedang kalut untuk melarikan diri dari situ, sementara dari kejauhan terlihat tiga sosok bayangan manusia bergerak mendekat.
Begitu mendengar suara tertawa, dua sosok bayangan manusia diantaranya seketika bergerak makin cepat, bagaikan hembusan angin mereka meluncur datang, sementara sesosok bayangan manusia yang lain, meski memiliki ilmu ginkang yang hebat namun terlihat ketinggalan jauh.
"Hahaha, bagus, bagus sekali, lagi lagi kedatangan dua orang." Seru Kim Hui sambil tertawa seram.
Baru selesai dia berkata, kedua sosok bayangan manusia itu sudah muncul dihadapannya, seorang berjubah abu-abu dan seorang yang lain berjubah kuning, mereka tidak lain adalah Thian-huan taysu serta kokcu lembah kaisar.
Jarak sejauh berapa puluh kaki seolah mereka lalui dengan satu langkah.
Ketika menyaksikan mimik wajah Giok-ki Cinjin, paras muka Thian-huan taysu berubah hebat, ditatapnya Kim Hui dengan sinar mata tajam.
"Kau yang melukainya?" ia menegur.
"Hahaha, kecuali lohu, siapa lagi yang sanggup melukai ciangbunjin Bu-tong-pay?" sahut Kim Hui sambil tertawa seram.
Menyusul dibelakang Thian-huan taysu serta Siau Ong-sun tak lain adalah pemuda tampan berjubah biru itu, dia adalah murid istana Au-sian-kiong yang pernah dijumpai Tian Mong-pek dalam biara Siau-lim.
Dia seolah tidak percaya dengan pendengaran sendiri ketika selesai mendengar perkataan Kim Hui, Giok-ki Cinjin yang menjagoi dunia persilatan dengan kesaktian ilmu pedangnya terluka ditangan orang lain" Satu kejadian yang sulit untuk dipercaya.
Paras muka Thian-huan taysu berubah amat serius, segenap tenaga murninya telah dihimpun dalam ke dua tangannya.
Dengan kening berkerut tegur kokcu lembah kaisar: "Kalau dilihat kemampuanmu yang sanggup melukai Giok-ki Cinjin, jelas asal usulmu luar biasa, boleh tahu siapa namamu?" "Kau sudah tidak mengenali aku lagi?" teriak Kim Hui sembari menghentikan tertawanya, "aku tak lain adalah .
. . . . .." "Dia adalah suamiku." Sela perempuan berjubah putih itu sambil menghela napas panjang.
Mimik muka kokcu lembah kaisar yang selalu tenang pun tak urung berubah hebat setelah mengetahui akan hal ini.
Persahabatan Thian-huan taysu dengan kokcu lembah kaisar cukup akrab, rupanya diapun mengetahui rahasia peristiwa itu, dengan wajah berubah segera serunya: "Jadi dia adalah manusia tanpa usus Kim Hui?" Perempuan berjubah putih itu mengangguk perlahan, kesedihan yang luar biasa membuatnya tak sanggup berkata-kata.
Perlahan Thian-huan taysu mengalihkan pandangannya ke empat penjuru, ia saksikan kepedihan yang menghiasi wajah Giok-ki Cinjin, menyaksikan siksaan serta penderitaan yang dialami anak muridnya, menjumpai Tian Mong-pek yang terluka parah .
. . . . . . .. Bersamaan itu, diapun menyaksikan Siau Ong-sun yang berdiri serba salah, melihat perempuan berjubah putih dengan wajahnya yang pucat pasi serta Siau Hui-uh yang berdiri dengan mata terbelalak lebar.
Kini, walaupun dia masih belum mengetahui perubahan tersebut secara terperinci, namun apa yang terpapar dihadapannya sudah cukup menambah beban berat dalam hati pendeta ini.
Sampai lama, lama kemudian, padri agung yang selalu memikirkan keselamatan umatnya ini baru menghentakkan kakinya berulang kali dan menghela napas panjang.
"Kim sicu, pergilah cepat!" ujarnya kemudian.
"Pergi ke mana?" Paras muka Thian-huan taysu berubah jadi berat dan serius, sedingin bongkahan salju, sepatah demi sepatah kata ujarnya: "Bila kau tidak segera pergi, kuatirnya bakal terlambat bila pinceng berubah pikiran." "Memangnya kau anggap aku tak mampu pergi dari sini bila kau berubah pikiran?" teriak Kim Hui gusar.
Jenggot panjang Thian-huan taysu bergetar keras, sekuat tenaga pendeta ini mengendalikan hawa amarah yang berkobar, kembali ujarnya perlahan: "Hanya sampai disini perkataan pinceng, mau pergi atau tidak, terserah kau sendiri." "Aku tak mau pergi." Tantang Kim Hui garang.
Tiba tiba perempuan berjubah putih itu memungut pedang yang tergeletak ditanah, dengan wajah pucat pasi katanya: "Bila kau tak bersedia mendengarkan bujukan Thian-huan taysu, sekarang juga aku akan mati dihadapanmu." Kim Hui tertegun, serunya kemudian: "Kenapa kau minta aku menuruti perkataan orang lain?" "Jadi kau benar benar ingin aku mati" Baik, aku akan mati dihadapanmu." Ujar perempuan itu sedih.
Tiba tiba ia membalikkan pedangnya dan langsung menggorok tenggorokan sendiri.
"Lam-yan! Kau . . . . .. kau . . . . . .." bentak Kim Hui ketakutan.
"Jadi kau bersedia mengabulkan permintaannya?" perempuan berbaju putih itu menempelkan mata pedang diatas lehernya.
Lama sekali Kim Hui berdiri mematung, akhirnya dia menghela napas panjang, teriaknya sambil tertawa keras: "Pergi ya pergi....
siapa kesudian tetap tinggal disini." Setelah berjalan menjauhi tempat itu, serunya lagi: "Kalau ingin pergi, ayoh segera pergi." Perempuan berjubah putih itu menyerahkan pedang tadi ketangan Thian-huan taysu, serunya sambil bersujud: "Terima kasih taysu telah mengabulkan permintaan kami." "Tidak perlu berterima kasih, cepatlah pergi!" kata Thian-huan taysu dengan wajah penuh kesedihan.
Seandainya bukan dikarenakan perasaan cinta dan dendam dibalik keruwetan tersebut, sejujurnya, saat ini dia enggan membebaskan Kim Hui dengan begitu saja.
Perlahan perempuan itu menuju ke hadapan Siau Ong-sun, bisiknya dengan kepala tertunduk: "Kokcu .
. . . . . . .." "Tidak perlu kau sampaikan pun, aku sudah mengetah ui apa yang ingin kau katakan," kata kokcu lembah kaisar dengan muka sedih, "kalau toh dia sudah datang, sudah sewajarnya kalau kau pergi mengikutinya." "Selama dua puluh tahun, terima kasih atas pertolongan kokcu, kau....
kau . . . . . .." tiba tiba ia menutup wajahnya yang basah oleh air mata dan berlalu dari situ.
Tiba tiba Siau Hui-uh berjalan menuju ke hadapan Tian Mong-pek, katanya: "Karena kau telah mewarisi ilmu silat dari ayahku, sudah menjadi kewajibanmu untuk merawat dia orang tua." "Kau benar-benar akan pergi mengikuti mereka?" tanya Tian Mong-pek sambil menghela napas.
Tanpa menengok lagi kearah pemuda itu, Siau Hui-uh berlalu mengikuti Kim Hui dan perempuan berjubah putih itu, tak seorangpun yang melihat kalau di saat itu butiran air mata telah membasahi paras mukanya.
Paras muka kokcu lembah kaisar berubah hebat, dia menggerakkan kakinya seolah hendak mengejar.
Sementara Thian-huan taysu dengan nada terperanjat telah berseru: "Kenapa putrimu ikut pergi" Biar pinceng membujuknya untuk kembali." Siapa sangka baru saja pendeta itu akan bergerak, mendadak kokcu lembah kaisar menahannya dan berkata sambil menghela napas panjang: "Bocah itu keras kepala, kalau sudah bertekad ingin mempelajari kungfu dari Kim Hui, biarkan saja keinginannya terkabul!" Kemudian sesudah tertawa sedih, lanjutnya: "Hanya saja, watak bocah ini kelewat latah, kalau pelajari pula ilmu II silat Kim Hui yang buas dan liar, kuatirnya.....
aaai . . . . . . .. Dia tutup ucapannya dengan helaan napas.
"Kalau seseorang memiliki sifat mencari menangnya sendiri, pada akhirnya banyak umat manusia yang akan menjadi korban." Kata Thian-huan taysu sambil menghela napas.
Bicara sampai disitu diapun membalikkan tubuh dan berjalan menuju ke hadapan Giok-ki Cinjin, ia menghampirinya sambil membawa pedang suci penakluk iblis.
Dengan pandangan kosong Giok-ki Cinjin mengawasi rekannya itu, katanya kemudian sambil menghela napas sedih: "Luapan air tak mungkin ditampung, senjata yang terlepas tak mungkin diambil.
Kini senjata tersebut sudah terlepas dari genggaman, mana mungkin pinto bisa menerimanya kembali?" "Tooheng," tegur Thian-huan taysu serius, "apakah dengan hasil latihanmu selama puluhan tahun, kau masih sama seperti keponakan perempuan kita, tak bisa melepaskan napsu ingin menangmu?" sekujur tubuh Giok-ki Cinjin bergetar keras, seolah baru tersadar dari impian, segera dia sambut pedangnya dan menjawab dengan serius: "Terima kasih atas putunjuk taysu, pinto tak berani membangkang!" Thian-huan taysu tersenyum.
"Hanya dalam satu ingatan tooheng dapat tersadar kembali dari kesalahan, lolap benar-benar merasa kagum!" Sambil bicara, ia pun memberi hormat.
Dalam pada itu, pemuda berbaju biru itu telah berjalan menuju ke hadapan Tian Mong-pek dan menegur sambil tersenyum: "Menurut perhitungan suhu, janji setahun sudah hampir tiba waktunya, siaute diperintahkan untuk datang menyambut kedatangan hengtai." "Hengtai terlalu sungkan." sahut Tian Mong-pek sambil berusaha bangkit, sementara dalam hati ia kegelian, watak Lan Toa-sia nseng benar benar temperamen.
Sambil tersenyum kembali ujar pemuda berbaju biru itu: "Biarpun siaute sedang melaksanakan tugas, namun apabila bukan mendapat petunjuk dari Tiau-yang hujin, mungkin selama hidup jangan harap bisa menemukan letak lembah kaisar." Tian Mong-pek melirik kokcu lembah kaisar sekejap, kemudian tanyanya: "Saat ini Tiau-yang hujin berada dimana?" "Hujin segera berlalu setelah menghantar siaute sampai di mulut lembah, tapi sebelum pergi, hujin meninggalkan pesan, katanya dia akan mencari hengtai." Ternyata ketika pemuda berbaju biru itu tiba dalam lembah, Tian Mong-pek telah pergi, maka kokcu lembah kaisar pun membawanya menelusuri jalan pintas untuk menyusul, tapi mereka justru bertemu Thian-huan taysu.
Kokcu lembah kaisar sangat hapal dengan daerah seputar sana, ia tahu tempat yang berbahaya selalu terletak dibagian yang tertutup dan rahasia, karena itu diapun menyusul sampai disana, coba kalau bukan begitu, entah bagaimana penyelesaian dalam peristiwa ini.
Dalam pada itu, Thian-huan taysu dan Giok-ki Cinjin telah membebaskan murid mereka dari belenggu.
Biarpun luka yang diderita ke empat orang itu cukup parah, namun semangat mereka justru berkobar, secara ringkas orang orang itu mengisahkan pengalamannya selama ini.
Selesai mendengar penuturan itu, sambil menghela napas puji kokcu lembah kaisar: "Murid perguruan ternama benar-benar memiliki nyali baja dan jiwa ksatria." Kepada Thian-huan taysu dan Giok-ki Cinjin tambahnya: "Kini, murid kalian sudah terluka sangat parah, mustahil bagi mereka untuk menempuh perjalanan jauh, lebih baik ikuti aku ke dalam lembah, agar mereka dapat merawat lukanya." "Kami memang berniat mengganggu." sahut Thian-huan taysu cepat.
Berpaling kearah Tian Mong-pek, tanya kokcu lembah kaisar: "Bagaimana dengan kau, saudara cilik?" "Sekarang juga boanpwee akan mengikuti saudara ini untuk pergi menjumpai Lan Toa-sianseng, agar tak sampai boanpwe mengingkari janji setahun dengannya." Sahut pemuda itu penuh hormat.
Kokcu lembah kaisar segera tersenyum.
"Bila kau tidak segera ke sana, kuatirnya dia justru akan datang kemari untuk mencari dirimu.
Hanya saja . . . . .. kau sudah terluka parah, apakah masih sanggup melakukan perjalanan?" "Hanya luka ringan, tidak terhitung seberapa." sahut Tian Mong-pek sambil tertawa.
Kembali kokcu lembah kaisar tersenyum.
"Aku lihat, bukan saja nyalimu sekeras baja, bahkan tubuh pun lebih keras dari besi baja, otot kawat tulang besi .
. . . . . . .." Sementara Tian Mong-pek masih bingung dan tak tahu bagaimana harus berterima kasih, pemuda berbaju biru itu telah membimbingnya bangun dan berkata sambil tertawa: "Suhu sudah menunggu dengan gelisah, biar boanpwee mohon diri terlebih dulu." "Bila bertemu gurumu nanti, jangan lupa sampaikan salam dari lolap sekalian." Kata Thian-huan taysu sambil tertawa.
Sambil tersenyum pemuda berbaju biru itu mengiakan, lalu sambil menuntun Tian Mong-pek berjalan menuju ke arah cahaya senja.
Tiba tiba kokcu lembah kaisar menarik kembali senyumannya sambil memanggil: II "Saudara cilik .
. . . . .. "Ada apa cianpwee?" tanya Tian Mong-pek seraya berpaling.
Kembali kokcu lembah kaisar menghela napas, katanya: "Bila bertemu lagi dengan Hui-uh, kau....
kau . . . . . . .." Sekalipun dia terhitung orang cerdas yang berjiwa besar, tapi setelah bertemu masalah yang menyangkut darah daging sendiri, sulit juga baginya untuk buka suara.
II "Boanpwee sudah paham dengan maksud hati cianpwee, sahut Tian Mong-pek serius, "terlepas apakah nona Siau berhasil menguasahi ilmu silat hebat atau tidak, cayhe tak bakal bertarung melawan dirinya."
Kokcu lembah kaisar menghela napas panjang, dia seakan masih ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya sambil mengulapkan tangan, katanya: "Pergilah, sampai waktu jangan lupa datang menengokku." Hingga bayangan tubuh pemuda berbaju biru yang me nuntun Tian Mong-pek lenyap dibalik bukit, Thian-huan taysu sekalian masih belum mengalihkan pandangan mata mereka.
Akhirnya terdengar Giok-ki Cinjin berkata sambil menghela napas: "Pemuda itu betul-betul seorang lelaki langka, tak aneh bila Lan Toa-sianseng pun menjadi sahabat karibnya." "Dia telah mewarisi segenap ilmu silat yang dimiliki saudara Siau," ujar Thian-huan taysu pula, "bila digembleng Lan Toa-sianseng lagi, mungkin sepuluh tahun kemudian, kita semua sudah bukan tandingannya lagi." "Aku rasa tidak sampai sepuluh tahun." Kokcu lembah kaisar menambahkan dengan senyuman dikulum.
Tojin berjubah biru dari Bu-tong-pay yang selama ini membungkam, kini tak sanggup menahan diri lagi, timbrungnya: "Terlepas soal ilmu silat, cukup menyinggung keberanian serta ketegasannya, tecu sekalian sudah merasa kagum dan takluk." "Bermental baja bernyali harimau, baik keberanian maupun kesetiakawanan nya sangat mengagumkan, hanya sayang Hui-uh .
. . . . . .." tiba tiba kokcu lembah kaisar menghela napas panjang, tambahnya: "Mari kita balik ke dalam lembah." Oo0oo Ditepi sungai kecil dipunggung bukit, pemuda berbaju biru itu sedang membantu Tian Mong-pek membersihkan mulut luka dan membubuhinya dengan obat mujarab dari istana Au-sian-kiong.
Dibawah sinar matahari, wajah Tian Mong-pek tampak lebih cerah dan bersinar, ujarnya sambil tersenyum: "Hengtai, kau tak segan membalut luka siaute yang kotor dan bau, hal ini membuat siaute merasa berterima kasih sekali." Pemuda berbaju biru itu segera tersenyum, sahutnya: "Siaute bernama Yo Swan, harap selanjutnya hengtai menyebut namaku saja." "Hahaha, kau selalu menyebutku hengtai, sementara melarangku memanggilmu sebagai hengtai, apakah ucapanmu tidak kelewat egois?" "Ternyata hengtai suka berbicara blak blakan, siaute semakin kagum dengan kehebatan hengtai." "Hahaha, lagi lagi menyebutku hengtai .
. . . .." Tian Mong-pek tergelak.
Ditengah gelak tertawa, Tian Mong-pek pun semakin menaruh simpatik terhadap pemuda ini, bahkan semua kejadian ngeri yang barusan dialami pun seolah sama sekali sudah terlupakan.
Tiba tiba Yo Swan menghentikan tertawanya, setelah menghela napas ujarnya: "Sejak kecil siaute hidup sebatang kara, derajatku amat rendah, aaai.....
II itulah sebabnya aku tak berani berangan angan kelewat tinggi...
Dia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi niat itu kemudian diurungkan, sudah jelas kalau orang ini berniat angkat saudara dengan Tian Mong-pek, tapi dia tak berani mengemukakan niatnya itu.
Kontan saja Tian Mong-pek berkerut kening, teriaknya: "Seorang enghiong tidak persoalkan derajat manusia, bila kau bersedia menghargai aku, tentu saja akupun menghargai dirimu.
Kalau berani bicara begitu lagi, kau pantas untuk dihukum." Yo Swan kegirangan setengah mati, cepat katanya: "Bila siaute bisa angkat saudara dengan lelaki macam hengtai, tidak sia-sia hidupku kali ini." "Hahaha, mengapa tidak?" Tian Mong-pek tertawa nyaring, "kita tak usah banyak adat lagi, bagaimana kalau ditempat ini juga kita angkat saudara?" Dengan wajah berseri tanya Yo Swan" "Berapa usia hengtai tahun ini?" "Kurang lebih dua puluh tahunan, aku sendiripun tidak terlalu jelas." "Aah, siaute justru sudah berusia dua puluh dua tahun .
. . . . . .." Sambil menepuk bahu Yo Swan dan tertawa tergelak, seru Tian Mong-pek: "Hahaha, karena kau sudah berusia dua puluh dua tahun, berarti kau adalah toako ku, jika berani menyebut siaute lagi, kau pantas dihukum." Maka kedua orang itupun berlutut ditepi sungai dengan ranting sebagai pengganti hio untuk angkat saudara.
Tian Mong-pek yang selama ini hidup sebatang kara, merasakan betapa gembiranya ketika berhasil mendapat seorang saudara angkat.
Dari dalam sakunya Yo Swan mengeluarkan sebuah kantung sutera, dalam kantung itu terdapat berapa lembar kertas serta sepotong arang, katanya kemudian sambil mengeluarkan selembar kertas: "Bagaimana kalau kita tulis diatas kertas ini?" "Hahaha, tak disangka dalam saku toako tersedia benda benda semacam ini." Ujar Tian Mong-pek sambil tertawa keras.
"Aku selalu melakukan perjalanan seorang diri, setiap kali berjumpa dengan tempat dengan pemandangan indah, selalu tak tahan untuk membaca berapa bait syair, benda benda itulah merupakan perlengkapanku bila ingin menulis syair ditengah jalan." "Wah toako memang seorang seniman." maka kedua orang itupun menuliskan riwayat keluarga masing masing diatas kertas yang tersedia, karena Yo Swan menulis dengan seksama, otomatis Tian Mong-pek tak ingin menuliskan secara sembarangan.
Selesai membalut luka, kembali Yo Swan mengeluarkan ransumnya untuk memulihkan kekuatan, tanpa sungkan Tian Mong-pek pun menghabiskan ransum yang disodorkan.
Dengan dasar kekuatan tubuhnya yang prima, ditambah lagi belakangan tenaga dalamnya peroleh kemajuan pesat, sesudah beristirahat berapa saat, semua kekuatannya telah pulih kembali, dia pun mengajak rekannya untuk melanjutkan perjalanan.
Pegunungan Kun-lun-san merupakan rangkaian pegunungan yang luas, biarpun sudah cukup lama mereka turun gunung, namun jalan yang dilalui tetap curam dan berbahaya, dalam keadaan begini, sekalipun Tian Mong-pek ingin menempuh perjalanan dengan cepat, namun Yo Swan membujuknya agar berjalan lebih lambat.
Setelah menempuh perjalanan berapa saat, dihadapan mereka muncul sebuah bukit yang menjulang tinggi ke angkasa, bukit itu membelah jalan jadi dua bagian, satu jalan setapak menuju ke atas bukit dan sebuah jalan lain yang lebih datar menembus ke bawah gunung.
Tiba ditempat itu, tiba tiba Yo Swan menghentikan langkahnya dan mengawasi jalan setapak itu dengan termangu, lambat laun perasaan sedih dan marah menghiasi wajahnya.
Menyaksikan hal ini Tian Mong-pek jadi keheranan, sapanya: "Toako .
. . . . . . .." "Aaai..... aku benci, . . . . .. aku amat benci!" keluh Yo Swan sambil menghela napas panjang.
"Toako, apa yang kau dendamkan?" Tian Mong-pek semakin tercengang.
Sambil menunjuk keatas bukit, ujar Yo Swan penuh rasa dendam: "Tahukah kau, mengapa kokcu lembah kaisar Siau Ong-sun tak berani berkelana dalam dunia persilatan, mengapa harus besembunyi terus didalam lembah disaat usia senja nya?" Tian Mong-pek menggeleng, serunya makin tercengang: "Masa dalam hal inipun terdapat rahasia besar?" "Aaai, tentu saja ada rahasianya!" Yo Swan menghela napas panjang, "Siau kokcu .
. . . . . .." Bicara sampai disini, tiba tiba ia membungkam dan tidak melanjutkan kembali kata-katanya.
"Toako, mengapa tidak kau lanjutkan?" Tian Mong-pek semakin penasaran.
Yo Swan menghela napas panjang.
"Bukannya aku enggan bicara, takutnya setelah kukatakan .
. . . .. aai, jite, kau terlalu setiakawan, jadi lebih baik tak usah kau tahu tentang hal ini." "Toako, bila tidak kau katakan, hal ini justru tidak pandang sebelah mata terhadapku." Lama sekali Yo Swan berpikir, kemudian baru katanya sambil menghela napas: "Siau Ong-sun bersembunyi terus sepanjang tahun, hal ini tak lain dikarenakan tiga orang tua yang tinggal dalam sebuah rumah aneh diatas puncak bukit itu." "Dengan ilmu silat yang dimiliki Siau kokcu, masa dia bisa dibikin ketakutan?" gumam Tian Mong-pek dengan kening berkerut, "manusia macam apakah ke tiga orang itu?" Kembali Yo Swan menghela napas.
"Ke tiga orang tua itu keji, telengas dan berwatak aneh, bahkan pandai sekali melukai orang dengan menggunakan ilmu tenung, karena tidak waspada, Siau Ong-sun sudah terkena racun tenung yang mereka sebar." "Aah, masa ada kejadian seperti ini?" seru Tian Mong-pek gusar.
"Gara-gara urusan ini, sepanjang tahun Siau Ong-sun merasa makan tak enak, tidur tak nyenyak .
. . . .. aaai, sayang tak ada seorang pemuda pun yang bernyali besar untuk bantu dia menyelesaikan persoalan ini." "Apa yang harus dilakukan agar beliau terlepas dari penderitaan?" tanya Tian Mong-pek kemudian.
"Harus ada seorang pemuda bernyali besar, berhati sekeras baja yang tidak takut menghadapi kesulitan untuk naik ke atas gunung, menemukan ke tiga orang tua itu dan minta .
. . . . . .." Ia melirik Tian Mong-pek sekejap, tiba tiba perkataannya dihentikan lagi.
"Minta apa?" desak pemuda itu.
Cepat Yo Swan menggeleng.
"Tidak akan kukatakan, aku kuatir kau akan naik gunung setelah mengetahuinya." "Katakan saja toako, siaute berjanji tak akan naik gunung." Kembali Yo Swan menghela napas.
"Bukannya aku enggan bicara," katanya, "justru karena perjalanan ini sangat berbahaya, bukan saja orang yang naik ke gunung harus bernyali besar dan berilmu tinggi, yang paling penting adalah bisa mengendalikan segala pengaruh dan bujukan, begitu dalam perjalanan, terlepas akan bertemu dan melihat apapun, tak sekalipun boleh berpaling lagi, jika kau bisa langsung menemukan bangunan rumah aneh itu, maka akan kau jumpai ke tiga orang tua itu, minta kepada mereka untuk serahkan seekor ular beracun berwarna merah darah, asal Siau Ong-sun menelan darah racun itu, maka pengaruh racun yang mengendalikan dirinya selama inipun bakal jebol." "Apa sulitnya berbuat begitu?" "Ilmu silat yang dimiliki ke tiga orang tua itu sangat lihay, mereka pandai sekali berbohong, kalau tidak, dengan kehebatan macam Siau Ong-sun pun akhirnya terjebak juga, apalagi bagi seorang pemuda yang belum genap berusia dua puluh?" "Apa maksudmu pemuda yang belum genap berusia dua puluh?" "Karena Siau Ong-sun pernah bersumpah, hanya pemuda dibawah usia dua puluh yang bisa mewakilimya mintakan pemunah racun itu." Setelah menghela napas panjang, lanjutnya: "Bayangkan saja, ke tiga orang itu sudah sedemikian sakti melebihi siluman, orang mati pun bisa dibohongi, apa lagi seorang pemuda yang belum genap berusia dua puluh tahun?" "Aah, belum tentu begitu," teriak Tian Mong-pek lantang, "aku justru sengaja ingin menjajal." Berubah paras muka Yo Swan.
"Bukankah kau berjanji tak akan ke sana?" serunya, "kenapa sekarang berubah pikiran?" "Aku banyak berhutang budi kepada Siau kokcu, sebaliknya aku justru banyak menaruh kesalah pahaman terhadapnya, setelah mendengar kejadian yang menimpanya hari ini, bila aku tetap berpangku tangan, bukankah diriku ini lebih rendah dari hewan?" "Tapi kau tak boleh ke sana." "Kenapa tak boleh?" Sekali lagi Yo Swan menghela napas.
"Penampilanmu saja tegar dan keras, padahal hatinya lembek, bila sampai dibohongi mereka, bukankah .
. . . ..



kau akan menghantar nyawa dengan percuma?" "Toako tak usah kuatir," seru Tian Mong-pek dengan suara lantang, "apapun yang bakal dikatakan ke tiga orang tua ini, aku tak bakal masuk perangkap, akan kuanggap perkataan mereka hanya kentut busuk." "Kau benar benar dapat berbuat begitu?" "Siaute betekad akan merebut ular beracun warna merah itu dalam perjalananku kali ini, tak ada yang bisa menghalangi niatku ini lagi." "Tapi luka mu .
. . . . . . . .." Sambil menggerakkan lengan dan kakinya, seru Tian Mong-pek sambil tertawa tergelak: "Hahaha, obat luka dari istana Au-sian-kiong memang sangat manjur, kini siaute sudah sehat kembali." Yo Swan menghela napas.
"Karena dihalangi oleh peraturan yang melarang dua orang naik gunung bersama, kalau tidak, kita bisa berangkat bersama.....
aaai! Kau harus lebih berhati hati...." "Toako tidak usah kuatir, tunggu saja ditempat ini, paling lama satu hari, paling cepat setengah hari, siaute pasti sudah bawa turun ular berbisa warna merah itu." "Bila kau tidak turun gunung, aku pun enggan kembali." Bisik Yo Swan sedih.
"Baik!" dengan langkah lebar Tian Mong-pek meninggalkan tempat itu.
Memandang hingga bayangan punggung pemuda itu lenyap di balik bukit, tiba tiba sekulum senyuman licik yang menakutkan tersungging dibibir Yo Swan, gumamnya: "Setelah naik keatas bukit ini, hehehe...
memang kau anggap masih bisa turun lagi dalam keadaan selamat?" Kemudian setelah menarik napas dalam-dalam, lanjutnya: "Tian Mong-pek wahai Tian Mong-pek, jangan salahkan kalau aku harus mencelakaimu, seandainya kau berhasil mencapai istana Au-sian-kiong, tak nanti Lan Thian-jui akan mewariskan ilmu silatnya kepadaku, padahal aku telah bersusah payah untuk mencapai kedudukan dalam istana Au-sian-kiong seperti hari ini, mana mungkin posisi ini bisa kuserahkan dengan begitu saja kepadamu." Diambilnya surat perjanjian angkat saudara yang belum lama dibuat, kemudian disimpan dengan hati-hati, terusnya sambil tertawa dingin: "Dengan adanya tanda bukti ini, siapa pun tak bakal ada yang curiga kalau akulah yang telah mencelakaimu." Setelah tertawa terkekeh kekeh, katanya lagi: "Sampai waktunya nanti, aku akan sengaja berlagak sedih dan mendorong Lan Thian-jui untuk mencari ke tiga makhluk aneh itu guna menuntut balas .
. . . .. hahaha . . . . . .." Suara tertawanya makin lama semakin nyaring, mendadak satu ingatan melintas lewat, pikirnya lagi: "Tidak sampai senja nanti, dia bakal mati konyol, sampai saatnya aku harus naik gunung untuk mengambil mayatnya, hahaha.....
bukankah tindakanku ini akan lebih bagus lagi?" Kemudian sambil bertepuk tangan dan tertawa keras, terusnya: "Betul, aku harus berbuat begitu, sampai waktunya, asal sikapku terhadap ke tiga makhluk aneh itu sangat menghormat dan merendah, sudah pasti mereka tak akan menyusahkan diriku." Sambil bergumam, dia mengeluarkan bekal ransumnya dan duduk diatas batu sambil bersantap, ransum kasar yang dihari biasa susah ditelan itu, kini terasa begitu lezat dan harum.
Oo0oo Dengan perasaan amat berterima kasih atas perhatian saudara angkatnya, Tian Mong-pek melangkah naik menuju ke puncak bukit, pikirnya: "Sungguh tak disangka, belum lama kita angkat saudara, dia sudah begitu memperhatikan diriku." Sejauh mata memandang, jalan setapak terlihat makin sempit, menanjak dan susah dilalui.
Akhirnya tibalah pemuda itu di tanah perbukitan dengan bebatuan berbentuk aneh, bukan saja tiada tumbuhan yang hidup di sana, hembusan angin gunung terasa makin kencang, tapi saat ini, darah panas masih mendidih dalam rongga dadanya, ia sama sekali tidak merasakan keanehan tersebut.
Setelah berjalan kurang lebih sepertanak nasi, tanah perbukitan yang semula gersang, kini dipenuhi dengan aneka tanaman bunga berwarna merah darah, putik bunga besarnya seperti mangkuk, tidak jelas jenis bunga apakah itu" Diantara awan dan kabut yang menggelayut di angkasa, bunga merah disepanjang jalan itu membentang hingga ke ujung langit, sekilas pandang, pemandangan ditempat itu bagaikan jalan menuju surgawi.
Tiba tiba sebuah bangunan monumen yang terbuat dari batu hijau muncul persis dihadapannya.
Diatas monumen itu tergantung sebuah papan nama dengan tulisan yang amat besar: "Dilarang masuk" Dikedua sisi monumen tertera dua deret tulisan yang berbunyi: "Cepat kembali, jangan memasuki pintu ini!"
Bab 25. Sepasang manusia sakti dari Kun-lun.
Tian Mong-pek tertawa dingin, dia langsung menerjang keatas melewati bangunan monumen itu.
Tiba tiba muncul seorang perempuan berbaju merah yang berperawakan ramping melintas lewat dari balik tanaman bunga.
Bunga berwarna merah, begitu juga dengan perempuan itu, berbaju merah membara, apalagi ketika angin gunung berhembus lewat dan menghembus ujung bajunya, dia seolah perempuan berbaju merah yang baru turun dari kahyangan.
Tian Mong-pek tercengang bercampur kaget, kenapa bisa muncul perempuan muda ditempat dan suasana semacam ini" Dia melanjutkan perjalanan dengan langkah lebar, sengaja memperberat langkahnya agar kedengaran lawan, siapa tahu gadis berbaju merah itu seolah tidak merasa, berpaling untuk menengok pun tidak.
Gadis itu berjalan sangat lamban, dalam sekejap mata Tian Mong-pek telah melampauinya, tampak nona berbaju putih itu miringkan kepalanya hingga pemuda itu tetap tak dapat melihat raut muka aslinya.
Dalam keadaan begini, dia jadi teringat dengan pesan Yo Swan: "sepanjang I jalan, jangan berpaling.'.
karena itulah, kendatipun rasa ingin tahu berkecamuk dalam benaknya, dia paksakan diri untuk tidak berpaling.
Baru berjalan berapa langkah, tiba-tiba terdengar suara perempuan tua yang serak berteriak dari belakang tubuhnya, minta tolong: "Tolong .
. . . .. anak muda, cepat tolong aku .
. . . . . .." Tian Mong-pek merasa hatinya tercekat, sepanjang perjalanan naik gunung, selain nona berbaju merah itu, ia tak pernah melihat bayangan manusia lainnya, lalu berasal dari mana suara teriakan minta tolong perempuan tua itu" Dia tak tahan ingin berpaling, tapi ingatan lain segera melintas lewat, akhirnya sambil berusaha menahan diri pikirnya: "Jangan-jangan teriakan inipun merupakan tipu muslihat lawan agar aku berpaling" Tidak, aku tak boleh masuk perangkap." Tapi teriakan minta tolong yang berasal dari belakang tubuhnya bergema makin keras, bahkan makin lama semakin mengibakan hati.
Seketika itu juga Tian Mong-pek merasa darah panas dalam dadanya menggelora, pikirnya sambil menghentikan langkah: "Apa pun yang bakal terjadi, aku Tian Mong-pek tak boleh berpeluk tangan membiarkan orang lain celaka." Berpikir begitu, akhirnya dia membalikkan badan, tapi suasana ditempat itu kembali dicekam dalam keheningan, bayangan tubuh gadis berbaju merah itu ikut lenyap tak berbekas.
Tak tahan Tian Mong-pek bergidik, ia segera meneruskan perjalanannya, tapi baru berapa langkah, suara teriakan minta tolong kembali berkumandang dari belakang tubuhnya.
Sambil membalikkan badan bentak Tian Mong-pek: "Siapa disitu" Berada dimana kau?" "Disini .
. . . .. disini . . . . . .." kali ini jawaban muncul dari tepi tebing curam.
Tanpa sangsi Tian Mong-pek berlarian menuju ke arah sumber suara itu, entah kenapa, ternyata nona berbaju merah itu telah terjatuh ke dalam jurang ditepi tanaman bunga merah, hanya sepasang tangannya masih berpegangan disisi tebing, sementara pasir dan batu berguguran ke dasar jurang.
Dalam keadaan seperti ini, asal dia bergerak sedikit saja, niscaya tubuhnya akan terjatuh ke dalam jurang.
Tak tahan Tian Mong-pek menarik napas dingin, sambil memantekkan kakinya ditengah tanaman bunga, serunya dengan suara dalam: II "Jangan bergerak dulu, aku segera datang menolong .
. . . .. Perlahan dia bungkukkan badan, mengulurkan sepasang tangannya dan menangkap pergelangan tangan gadis itu, lalu dengan menghimpun segenap tenaga dalam yang dimiliki, dia tarik tubuh gadis itu keatas.
Terlihat bayangan merah berkelebat lewat, tubuh si nona yang ramping telah ditarik naik ke atas.
Seru Tian Mong-pek kemudian sambil menghembuskan napas lega: "Sudah .
. . . . . .." Siapa sangka belum selesai dia berbicara, mendadak terasa segulung tenaga besar membetotnya hingga menerjang maju ke muka, dalam kagetnya ia tak mampu lagi berdiri tegak.
Padahal dihadapannya terbentang jurang yang tak tampak dasarnya, dengan sempoyongan dia maju berapa langkah dan jatuh ke bawah .
. . . . .. Dalam keadaan yang kritis itulah seluruh badannya berputar kencang, tiba tiba terlihat seutas tali meluncur tiba, cepat dia pegang tali itu dan mencekalnya erat erat.
Terdengar nona berbaju merah itu berkata dengan dingin: "Setelah memasuki pintu yang dilarang dimasuki, paling tidak kau harus mendapat teguran, sekarang jangan sembarangan bergerak, sampai waktunya bakal ada orang yang datang menolongmu .
. . . . . .." "Dengan niat baik aku menolongmu, siapa sangka kau justru membalas air II susu dengan air tuba .
. . . . . . .. umpat Tian Mong-pek gusar.
Tiba tiba ia merasa tubuhnya kembali terperosok ke bawah, ternyata uluran tali itu sudah meluncur berapa depa ke bawah Terdengar nona berbaju merah itu berkata lagi dengan suara dingin: "Jika kau berani mengumpat sekali lagi, segera kupotong tali itu." Hingga detik ini, dia belum pernah muncul dengan wajah aslinya, tapi kedengaran sekali kalau suaranya sangat tua.
Biarpun selembar nyawanya berada dalam genggaman orang lain, keberanian Tian Mong-pek sama sekali tidak menyurut karenanya, dengan penuh amarah teriaknya lagi: "Kalau ingin dipotong, silahkan saja dipotong, memang kau sangka aku takut kepadamu?" Perempuan berbaju merah itu kelihatan agak tertegun, serunya kemudian: "Bocah keparat, kau sangka aku tak berani?" "Hahaha, sejak awal aku sudah tak memikirkan keselamatanku sendiri, jadi keliru besar bila kau ingin mengancamku dengan menggunakan urusan mati hidup." "Karena tidak takut mati lantas kau anggap dirimu pemberani?" ejek perempuan berbaju merah itu sambil tertawa dingin, "hm, hmmm, padahal orang semacam kau tak lebih hanya manusia kasar yang tak berotak .
. . . . . . .." "Siapa yang berkata begitu?" tukas Tian Mong-pek gusar.
"Kau sangka dengan mati maka semua urusan bakal beres" Hmm, hmm, aku rasa kau tak lebih hanya ingin menggunakan kematian untuk melepaskan diri dari semua tanggung jawab." Ketajaman ucapan perempuan itu bagaikan lecutan keras yang mencabik hatinya.
Dalam waktu singkat pelbagai ingatan melintas dalam benaknya, ia terbayang kembali semua budi dendamnya, membayangkan Yo Swan yang masih menunggu dibawah bukit, terbayang pula tujuan kedatangannya keatas bukit .
. . . . . . .. Begitu semua ingatan melintas lewat, akhirnya pemuda itupun menghela napas panjang, gumamnya dalam hati: "Benar, aku memang tak boleh mati .
. . . . . . .." Sementara dia masih berpikir, mendadak tubuhnya terasa terangkat ke tengah udara, lalu terdengar perempuan berbaju merah itu berkata sambil tertawa: "Hei pemuda yang pingin mati, aku tak bakal menginginkan nyawamu." Baru selesai suara tertawa perempuan itu, Tian Mong-pek merasa sepasang kakinya telah menginjak kembali di permukaan tanah, membayangkan kembali situasi kritis yang baru dialami, tanpa terasa jantungnya berdebar keras.
Setelah mengamati wajah Tian Mong-pek berapa saat, kembali perempuan berbaju merah itu berkata dengan suara dingin: "Anak muda, bagaimana pun aku telah selamatkan nyawamu, akupun tidak pernah mengampunimu, jadi....
beranikah kau mewakiliku melakukan satu pekerjaan?" Sekarang, Tian Mong-pek baru dapat melihat jelas wajah perempuan itu, walaupun tubuhnya tetap ramping, rambutnya tetap hitam berkilat, namun wajahnya yang cantik tampak sudah tua sekali, kulit mukanya sudah dihiasi keriput yang dalam.
Sekilas memandang, pemuda itu menghela napas, katanya: "Kau telah membokong aku, tapi selamatkan pula jiwaku, mana mungkin aku bersedia membantumu melakukan satu pekerjaan" Tapi aku tetap berterima kasih karena kau tak pernah menyuruhku minta ampun." Perlu diketahui, tadi ia sudah berniat mencari selamat, andaikata perempuan berbaju merah itu menyuruhnya minta ampun dulu sebelum membebaskan dirinya, bisa jadi dia akan melakukan seperti apa yang diinginkan.
Sekulum senyuman segera menghiasi wajahnya yang dingin, tanyanya perlahan: "Jadi kau bersedia membantu aku melakukan pekerjaan itu?" "Pekerjaan apa?" "Kalau kau berjalan lurus keatas puncak gunung, akan terlihat tiga buah bangunan rumah yang aneh, disebelah kiri bangunan itu terdapat kebun bunga seruni, beranikah kau merusak kebun bunga itu?" Kontan saja Tian Mong-pek tertawa terbahak-bahak.
I "Hahaha, aku memang berniat mencari gara gara diatas gunung,' sahutnya, "jangankan suruh aku mengobrak abrik kebun bunga seruni itu, suruh aku bongkar bangunan rumah itupun tidak masalah." "Memangnya kau punya dendam sakit hati dengan mereka" Kenapa berniat mencari gara gara?" tanya perempuan berbaju merah itu dengan kening berkerut.
"Masa kau tidak tahu" Dalam rumah aneh itu berdiam tiga orang tua, mereka kejam, buas dan jahat, bahkan senang melepas tenung untuk mencelakai orang." "Benarkah begitu?" perempuan berbaju merah itu terbelalak lebar, "kau dengar dari siapa?" "Tentu saja aku tahu, kedatanganku kali ini adalah untuk meminta seekor ular berbisa berwarna merah dari mereka, ular itu akan kugunakan untuk selamatkan nyawa orang." Berkilat sepasang mata perempuan berbaju merah itu, dia seakan keheranan, kembali tanyanya: "Ular berbisa" Ular berbisa apa?" Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Aai, aku sendiripun kurang jelas, yang pasti semua itu merupakan peralatan ilmu hitam, konon ular berbisa itulah yang mereka gunakan untuk menenung orang lain." Untuk berapa saat perempuan berbaju merah itu berdiri tertegun, tiba tiba saja ia tertawa tergelak, serunya: "Hahaha, benarkah ada kejadian seperti itu" Bagus, bagus sekali, kalau begitu kau cepat pergi!" Tampaknya dia tertawa penuh keriangan, yang membuat Tian Mong-pek ikut tertegun, tapi segera ujarnya sambil menjura: "Hujin tak usah kuatir, cayhe pasti akan mengobrak abrik kebun bunga seruni itu." "Hahaha, bagus, bagus, semakin hancur semakin bagus." Agak kebingungan Tian Mong-pek mengawasi perempuan itu, tapi ia segera membalikkan badan untuk berlalu, sejujurnya ia sempat dibuat kebingungan oleh ulah orang itu, tidak jelas berasal dari manakah perempuan berbaju merah itu" Dengan perasaan bimbang dia melanjutkan perjalanan, sejauh mata memandang, hanya kabut putih yang menyelimuti permukaan tanah, dikejauhan sana, lamat lamat terlihat bayangan rumah yang berdiri kokoh ditengah lautan bunga.
Setelah tiba ditempat tujuan, pemuda itu merasa hatinya bergetar keras, sekuat tenaga ia menerobos naik ke atas.
Hanya dalam berapa kali lompatan, bayangan rumah yang semula buram, lambat laun berubah semakin nyata dan jelas.
Tapi apa yang terlihat membuat anak muda ini kembali tertegun.
Ternyata bangunan rumah itu aneh sekali bentuknya, bangunan yang berada dipaling kanan berwarna serba merah, dari atap hingga dinding, semuanya berwarna merah darah, cahaya terang menghiasi atap bangunan itu, persis seperti sebuah pagoda.
Bangunan disebelah tengah berbentuk serba bulat, atapnya bulat, bangunannya bulat, dindingnya dicat warna merah dan kuning, satu jalur merah, satu jalur lagi kuning, persis seperti sebuah gangsingan.
Yang lebih aneh lagi adalah kedua bangunan itu tak berpintu tak berjendela, sementara bunga merah yang berbentuk aneh menjalar diseputar bangunan dan nyaris merambat disepanjang dinding.
Sementara bangunan yang ada disebelah kiri terbuat dari gubuk berwarna kuning tua.
Ke tiga buah bangunan itu berdiri berjajar, walaupun dua bangunan berbentuk aneh tapi sangat indah dan megah, hanya bangunan rumah gubuk itu yang tampak kasar dan sederhana, tak ubahnya seperti bangunan rumah orang desa.
Benar saja, didepan rumah gubuk itu terdapat sebuah kebun bunga seruni, ratusan pot bunga seruni yang berwarna kuning tua dan sebesar mangkuk tumbuh ditempat itu, dari bentuk serta warnanya, dapat diduga kalau bunga itu merupakan jenis bunga langka.
Ditengah lautan bunga berwarna merah, muncul sebuah kebun bunga seruni, dibalik merah menyala dihiasi setitik warna kuning, satu perpaduan warna yang amat mencolok.
Tanpa berpikir lebih jauh, Tian Mong-pek langsung menyerbu masuk, kaki tangannya bergerak cepat, dalam waktu singkat ratusan pot bunga seruni yang tak ternilai harganya itu sudah porak poranda tak karuan.
Makin lama pemuda itu semakin gembira dan bersemangat, tiba tiba satu tendangan membuat sebuah pot bunga seruni mencelat sejauh tiga tombak dan hancur berantakan ditanah.
Sekonyong-konyong terdengar suara bentakan keras, seorang kakek penuh bercambang yang bertubuh tinggi, gemuk, besar dan mengenakan pakaian belacu telah melompat keluar dari balik rumah gubuk.
Sekalipun perawakan tubuhnya bebal, tidak mengurangi kecepatan geraknya bagaikan seekor burung rajawali, dalam waktu sekejap dia telah tiba dihadapan Tian Mong-pek sambil membentak kalap: "Bocah keparat, kau sudah edan?" Dengan cekatan tianmonpek melompat mundur sejauh berapa tombak, sambil menatap orang itu dengan termangu, pikirnya keheranan: "Dengan melihat tampang serta penampilan orang semacam ini, masa ia sanggup menipu orang lain?" Dalam pada itu si kakek sudah menubruk keatas tanah bagaikan orang gila, teriaknya sambil membelai kuntum bunga yang hancur berantakan itu: "Anakku yang patut dikasihani, kalian.....
kalian . . . . . .." Belum selesai ucapan itu diutarakan, dia sudah menangis tersedu sedu.
Tian Mong-pek semakin terperangah, untuk sesaat dia hanya mampu mengawasi kakek itu dengan melongo, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Sesudah menangis berapa saat, tiba tiba kakek itu melompat bangun sambil meninju tubuh Tian Mong-pek, teriaknya keras: "Bocah edan, siapa yang suruh kau berbuat begini?" Tanpa menjawab Tian Mong-pek menghindarkan diri dari serangan itu, ia merasa, jurus serangan yang digunakan kakek itu meski bersahaja, tiada keanehan apa pun, namun kecepatan geraknya susah diikuti dengan pandangan mata.
Kembali kakek itu melancarkan berapa jurus serangan, tiba tiba ia menghentikan gerakannya dan kembali berteriak: "Dilihat dari aliran jurusmu, apa hubunganmu dengan Siau Ong-sun dan Lan Thian-jui?" "Darimana kau bisa tahu?" balik tanya pemuda itu tertegun.
"Bagus sekali," teriak kakek itu semakin gusar, "ternyata mereka yang suruh kau berbuat begini." "Siapa bilang kalau mereka yang suruh?" balas bentak Tian Mong-pek tak kalah gusarnya.
"Kau masih ingin menyangkal?" Baru saja tubuhnya siap bergerak kembali, mendadak dari balik rumah aneh terdengar seseorang berkata: "Tunggu sebentar toako, coba siaute tanyakan dulu hingga jelas." Biarpun perkataannya lembut penuh kedamaian, namun nadanya begitu tajam, suara yang berasal dari kejauhan itu kedengaran seolah berasal dari sisi telinga.
Kendatipun sedang naik pitam, namun kakek tinggi besar itu menghentikan gerakan tubuhnya seketika.
Tampak seorang kakek berjenggot panjang muncul dari balik rumah.
Sekalipun situasi ditempat itu amat kacau, langkah kaki kakek itu sama sekali tidak gugup, tampaknya sudah tiada masalah didunia ini yang dapat membuatnya risau.
Angin gunung berhembus lewat, menggoyangkan ujung bajunya yang rapi, menggerakkan pula rambutnya yang hitam lagi tersisir rapi.
Pikir Tian Mong-pek sambil tertawa dingin:
Kendatipun sedang naik pitam, namun kakek tinggi besar itu menghentikan gerakan tubuhnya seketika.
Tampak seorang kakek berjenggot panjang muncul dari balik rumah.
Sekalipun situasi ditempat itu amat kacau, langkah kaki kakek itu sama sekali tidak gugup, tampaknya sudah tiada masalah didunia ini yang dapat membuatnya risau.
Angin gunung berhembus lewat, menggoyangkan ujung bajunya yang rapi, menggerakkan pula rambutnya yang hitam lagi tersisir rapi.
Pikir Tian Mong-pek sambil tertawa dingin: "Kalau dilihat tampangnya, orang ini mah cocok sebagai seorang penipu .
. . . . .." Setibanya dihadapan anak muda itu, kakek tadi menatapnya berapa kejap lalu tanyanya sambil tertawa: "Anak muda, sepanjang perjalanan, apakah kau telah bertemu seseorang?" "Bukan urusanmu." Jawab Tian Mong-pek setelah tertegun sesaat.
Senyuman kembali menghiasi wajah kakek itu, ternyata ia sama sekali tidak naik darah, kembali ujarnya sambil tertawa: "Apakah kau telah bertemu seorang perempuan berbaju merah" Diakah yang suruh kau mengobrak abrik bunga seruni itu?" Pertanyaan ini seketika membuat Tian Mong-pek tertegun, keheranan, untuk berapa saat dia tak sanggup berbicara.
Sambil tersenyum kakek itu segera berpaling, katanya lagi: "Toako, masa tidak terpikir olehmu, seandainya pemuda ini berniat mencari gara gara, kenapa dia hanya merusak kebun serunimu dan sama sekali tak menyentuh bunga merah?" "Bukankah lohu sudah berkata, siapapun dilarang datang kemari," teriak kakek tinggi besar itu keras, "kalau tidak berniat menc ari gara gara, mau apa dia naik kemari?" Biarpun kedua orang tua itu saling menyebut sebagai saudara, namun bicara soal perangai, cara berpakaian serta sikapnya terhadap orang lain ternyata sama sekali bertolak belakangan, yang satu dekil lagi kasar, sementara yang lain bersih dan penuh kesopanan.
Sekali lagi kakek berjenggot itu tersenyum, katanya: "Hei anak muda, tahukah kau bahwa tempat ini merupakan daerah terlarang bagi umat persilatan, siapa pun dilarang datang kemari?" "Terus mau apa kalian bila aku sudah sampai disini?" tantang Tian Mong-pek.
Tidak memberi kesempatan kepada "toako" nya untuk menanggapi, kembali kakek itu berkata: "Kalau kedatanganmu tanpa sengaja, urusan selesai sampai disini, Il sebaliknya bila kau memang berniat .
. . . . .. ll "Tentu saja aku berniat kemari.
Tukas sang pemuda. Kali ini si kakek berjenggot itu mengernyitkan dahinya, tapi dia tetap menjawab dengan lembut: "Begitu berani kau bicara kasar dihadapan kami dua bersaudara, jangan jangan kau memang tidak mengetahui siapa kami berdua?" "Tahu atau tidak, sama saja bagiku." Kakek itu menghela napas panjang, katanya: "Kau pernah mendengar tentang Kun-lun-siang-coat (sepasang manusia sakti dari Kun-lun)?" "Kun-lun-siang-coat merupakan nama yang diketahui setiap umat persilatan, aku toh tidak tuli, tentu saja pernah mendengar tentang nama ini." "Kalau sudah mengetahui nama dari kami dua bersaudara, II seharusnya .
. . . . . .. Tiba tiba Tian Mong-pek tertawa keras, serunya: "Hahaha.....
kau tidak kuatir angin besar akan mengiris lidahmu" Kalau toh ingin membohongi orang, tidak seharusnya menipu dengan cara begitu.
Jika kau adalah Kun-lun-siang-coat, berarti akulah kaisar Giok-huang- thay-tee, sauya sarankan kepadamu, lebih baik cepat tutup mulut, karena apapun yang kau katakan, tak bakalan bisa membuat aku percaya." Kelihatannya kakek tinggi besar itu sudah tak tahan lagi, setelah berteriak aneh, bentaknya: "Betul-betul membuat lohu jengkel, kau sangka ada Kun-lun-siang-coat di dunia ini?" ll "Hmm, persis amat lagaknya, pikir Tian Mong-pek sambil tertawa dingin, "sayang, sampai matipun aku tetap tak percaya." Berpikir begitu, sahutnya ketus: "Baiklah, anggap saja kalian berdua memang Kun-lun-siang-coat, tapi hari ini, bagaimana pun kalian harus serahkan ular racun berwarna merah itu kepadaku." Begitu ucapan tersebut diutarakan, paras muka kakek berjenggot itupun ikut berubah.
Kakek tinggi besar itu melotot makin besar, dengan mara memerah dia tertawa seram.
"Bagus, bagus sekali, ternyata kedatanganmu lantaran benda tersebut." "Betul, memang karena benda itulah aku datang kemari." sahut Tian Mong-pek lantang.
"Kalau kedatanganmu karena benda itu, jangan berharap bisa pulang dengan selamat .
. . . . . .." bentak kakek tinggi besar itu gusar.
Dengan sorot mata berapi-api, dia melangkah maju mendekati anak muda itu.
Tampaknya kakek berjenggot itupun ikut naik darah, ia sama sekali tak berniat mencegah rekannya.
Sambil membusungkan dada, Tian Mong-pek menghadapi datangnya ancaman.
Tampak kakek tinggi besar itu melangkah maju dengan lambat, setiap dia melangkah, sebuah bekas kaki yang dalam muncul diatas permukaan tanah, dalam dan jelas bagaikan diukir dengan pisau.
Perlahan kakek tinggi besar itu mengangkat sepasang lengannya, terdengar suara rentetan letupan dari setiap ruas tulangnya, dia hanya awasi lawannya tanpa berkedip, biarpun sepasang lengan sudah siap melancarkan serangan, namun tak satu pukulan pun yang dilepaskan.
II "Ayoh cepat serang, ejek Tian Mong-pek, "mengingat kau sudah uzur, biar aku mengalah tiga jurus." Mendadak sorot mata kakek tinggi besar itu berubah jadi merah membara, kulit tangan serta kakinya ikut berubah pula jadi merah darah, seluruh tubuhnya seolah telah berubah jadi merah semua, ibarat bara api yang menyala.
Kini Tian Mong-pek baru terkesiap, cepat dia siapkan sepasang tangannya, tenaga dalam disalurkan penuh, ia sudah siap bertarung mati matian melawan kakek itu.
II "Tahan toako . . . . . . .. sekonyong-konyong terdengar seseorang berteriak dari kejauhan.
Tampak sesosok bayangan merah melintas datang dengan kecepatan tinggi.
Berubah paras muka kakek berjenggot itu, teriaknya: "Adik Bwee telah datang, pasti sudah terjadi salah paham dalam kejadian ini." Tiba tiba dia angkat sebuah batu besar yang ada ditepi kebun seruni lalu sekuat tenaga dilempar ke arah kakek tinggi besar itu.
Batu raksasa itu punya diameter yang cukup lebar dengan bobot mencapai lima ratus kati, begitu dilontarkan ke depan, kehebatannya bagaikan bukit karang yang longsor.
"Apa yang telah terjadi?" pikir Tian Mong-pek keheranan.
Belum habis dia berpikir, terdengar kakek tinggi besar itu mendengus tertahan, sambil menggetarkan sepasang tangannya, dia sambut datangnya sambitan batu raksasa itu.
"Blaammmm!" Diiringi suara getaran keras, batu raksasa itu hancur berkeping dan berhamburan bagaikan hujan gerimis, ternyata batu raksasa yang besar dan sekeras baja itu sudah hancur lebur termakan pukulan dahsyat kakek itu.
Saking kagetnya, untuk sesaat Tian Mong-pek hanya bisa berdiri termangu.
Dengan sepasang kaki terbenam hampir setengah depa dalam tanah, kakek tinggi besar itu mengawasi perempuan berbaju merah yang baru meluncur turun dari udara, tanyanya penuh amarah: "Sebenarnya apa yang telah terjadi?" "Berbahaya, sungguh berbahaya!" gumam perempuan itu sambil menggeleng dan menghela napas.
Kepada Tian Mong-pek lanjutnya: "Coba kalau dia tidak tahu kalau pukulan Lak-yang-ciang dari toako tak bisa ditarik kembali setelah dilancarkan, sehingga dia memapaki pukulan itu dengan batu raksasa, memang kau anggap saat ini masih bisa hidup?" "Lak-yang-ciang?" gumam Tian Mong-pek, "masa dia benar benar adalah Kun-lun-siang-coat?" Kembali perempuan berbaju merah itu menghela napas.
"Biarpun usiamu masih muda, semestinya tahu bukan kalau selain Kongsun Thian-heng, tak ada orang lain yang mampu melatih ilmu Lak-yang-sin-cang hingga demikian hebatnya?" Berputar biji mata Tian Mong-pek, ujarnya sambil menggeleng: "Aku dengar Kun-lun-siang-coat ibarat tubuh dan bayangan, mereka adalah saudara kembar, mana mungkin wajah mereka berbeda?" "Coba kau amati sekali lagi." Kata perempuan berbaju merah itu.
Tian Mong-pek memperhatikan dengan lebih seksama, terlihat olehnya, walaupun diantara kedua orang itu yang satu rapi sedang yang lain jorok, yang seorang kasar sedang yang lain halus, namun jika dilihat lebih teliti, ternyata mereka memiliki raut muka yang sangat mirip.
Menyaksikan perubahan wajahnya, sambil tersenyum tanya perempuan berbaju merah itu: "Sudah kau lihat lebih jelas?" "Jika mereka berdua betul-betul Kun-lun-siang-coat, semakin tak patut menenung orang dengan menggunakan siasat busuk kaum hitam yang tersesat." Kata Tian Mong-pek dengan kening berkerut.
Kakek tinggi besar itu agak termangu, kemudian teriaknya gusar: "Siapa bilang kaki main tenung?" "Bukankah kau telah mencelakai kokcu lembah kaisar hingga membuat dia orang tua tak berani berkelana dalam dunia persilatan sepanjang masa, masih mau menyangkal?" Kali ini, kakek tinggi besar itu yang memutar biji matanya, mendadak ia mendongakkan kepalanya dan tertawa keras.
"Hahaha, Siau Ong-sun adalah sahabat karib kami berdua selama ini, buat apa lohu mencelakainya" Hei bocah tolol, kau sudah ditipu orang!" Sambil tersenyum ujar kakek berjenggot itu pula: "Siau Ong-sun enggan berkelana dalam dunia persilatan karena dia harus mentaati peraturan yang berlaku didalam lembahnya sejak dulu, buat apa kami mencelakainya?" II "Cayhe tetap tidak percaya, masa .
. . . . . . .. Kakek berjenggot itu kembali menukas: "Pemilik lembah kaisar dimasa lalu adalah keturunan kaisar, lantaran terjadi pertukaran dinasi dan pemerintahan, beliau pun hidup mengasingkan diri didalam lembah itu dengan berganti nama dan menurunkan peraturan yang melarang keturunannya berkelana dalam dunia persilatan.
Setelah melewati berapa generasi, peraturan itu kian lama kian mengendor, saat itulah orang persilatan baru mengetahui asal usul mereka, karena itulah lembah itu disebut orang sebagai lembah kaisar.
"Kendatipun demikian, kokcu lembah itu tetap tak ingin menampakkan diri dalam dunia persilatan, kebiasaan itu berlangsung hingga masa kini!" Tian Mong-pek tertegun, lama kemudian ia baru berkata: "Kalau begitu, aku benar-benar telah salah berprasangka!" "Tentu saja kau yang salah," jawab kakek tinggi besar itu keras, "kau sudah sembarangan mengacau dirumah orang, menuduh orang dengan semena-mena, jangan harap dengan mengakui kesalahan itu maka kami akan bebaskan dirimu dengan begitu saja." "Apa yang telah kulakukan, pasti akan kutanggung akibatnya, mau apa kau?" seru Tian Mong-pek sambil membusungkan dada.
II "Hahaha, masih begitu muda, tak nyana besar amat nyalimu .
. . . . ..



seru kakek tinggi besar itu sambil tertawa.
Tiba tiba perempuan berbaju merah itu menghela napas sambil menyela: "Anak muda ini ada sedikit hubungan dengan diriku, toako, serahkan semua urusan ini kepadaku." Kontan kakek tinggi besar itu mendelik, teriaknya: "Kau sudah menyuruh dia mengobrak abrik kebun seruniku, urusan ini belum kubuatkan perhitungan, jadi lebih baik tak usah mencampuri urusanku." Setelah berhenti sejenak, ia berpaling ke arah Tian Mong-pek dan bentaknya: "Bocah tolol, jika kau memang bernyali, tunggu lohu disini.
Setiap saat aku akan datang mencarimu untuk membuat perhitungan!" "Biar kau akan bunuh akupun, aku tak bakalan pergi!" "Bagus, kau memang bernyali." Dengan langkah lebar kakek tinggi besar itu berlalu dari sana.
Kini perempuan berbaju merah itu berpaling kearah kakek berjenggot itu, katanya: "Sekarang, kaupun sudah seharusnya pergi!" Kakek berjenggot itu tertawa hambar.
"Bila toako benar benar sudah naik darah, tak seorangpun sanggup menghalanginya, anak muda, kau harus lebih berhati-hati!" II "Kau tak usah ikut campur.
Omel perempuan berbaju merah itu.
Sambil tersenyum kakek berjenggot itu membalikkan badan dan berlalu.
Tian Mong-pek dapat melihat, bukan saja kakek ini sedikit rada takut terhadap perempuan berbaju merah itu, bahkan sikapnya amat mesra dan sayang, hal ini membuatnya semakin keheranan.
Jika perempuan berbaju merah itu istrinya, kenapa dia diminta datang kemari untuk merusak kebun bunga seruni" Dalam pada itu, perempuan berbaju merah itu telah menariknya ke samping, sambil menepuk batu cadas disamping kebun, katanya: "Duduk dulu disini, mari kita berbincang." Perempuan itu duduk duluan, dengan senyuman menghiasi wajahnya, ia berkata lebih lanjut: "Tabiat Kongsun Tee-im paling lembut dan halus, ada urusan apa yang membuat dia pun ikut naik darah?" "Karena aku menagih seekor ular racun berwarna merah kepada II mereka .
. . . . .. "Nah itulah dia," sela perempuan itu tertawa, "tahukah kau, perkataan itu merupakan pantangan mereka berdua yang paling ditabuhkan, selama banyak tahun, entah sudah berapa banyak orang yang tewas gara gara perkataan itu." "Kenapa?" tanya Tian Mong-pek keheranan.
"Mungkin masalah ini harus kau tanyakan langsung kepada Tiau-yang hujin." "Darimana kau tahu kalau aku kenal dia?" tanya Tian Mong-pek terperanjat.
Perempuan berbaju merah itu tersenyum, dari sakunya dia ambil keluar sebuah kantung sutera, sambil digoyangkan, tanyanya tertawa: "Kau kenal dengan kantung sutera ini?" Tian Mong-pek segera meraba ke dalam sakunya, tapi cepat teriaknya kaget: "Kantung sutera itu hadiah Tiau-yang hujin kepadaku, kenapa bisa terjatuh ke tanganmu?" Jawab perempuan berbaju merah itu sambil tersenyum: "Sewaktu kau terjatuh ke dalam jurang tadi, kantung sutera itu terjatuh ke tanah, coba kalau bukan lantaran melihat kantung tersebut, belum tentu akan kutolong jiwamu." Makin didengar Tian Mong-pek merasa makin bingung, tapi dia tidak bertanya lebih lanjut.
Terdengar perempuan berbaju merah itu berkata lagi: "Begitu menyaksikan kantung sutera itu, aku segera tahu kalau kau pasti mempunyai hubungan istimewa dengan Tiau-yang hujin, apalagi sesudah II melihat kau polos, jujur, hebat kungfunya .
. . . . . . .. Sesudah melemparkan satu senyuman, terusnya: "Andaikata berganti orang lain, mustahil mereka akan berbalik untuk menolongku, sesudah kucelakai, tak mungkin mereka enggan minta ampun kepadaku, tapi yang terpenting adalah kau tidak marah atau mendendam kepadaku disaat aku menolongmu, sebaliknya berterima kasih karena tidak memaksamu untuk minta ampun.
Sudah terlalu banyak orang yang kujumpai, tapi belum pernah kujumpai lelaki berjiwa besar macam dirimu, tentu saja aku tak tega membiarkan kau mati dibunuh gara gara orang lain." "Hingga kini, aku masih tetap tak percaya." "Apa lagi yang membuatmu tidak percaya?" perempuan berbaju merah itu menghela napas, "anak bodoh, tahukah kau orang yang membohongimu agar naik ke gunung ini berniat mencelakaimu" Coba kalau kau tidak memiliki watak seperti ini, lagipula tidak bertemu aku ditengah jalan, dan kebetulan akupun kenal dengan Tiau-yang hujin, memang kau sangka saat ini masih bisa hidup?" Tian Mong-pek termangu berapa saat, tiba tiba dia beranjak pergi sambil berkata: "Aku akan turun gunung sejenak, satu jam kemudian segera akan balik kemari." Il "Pergilah setelah aku selesai bicara, cegah perempuan itu, "karena setelah meninggalkan tempat ini, jangan mencoba untuk balik kemari lagi, ketimpang toa-pek itu sewot dan mencari gara gara lagi." Tapi sayang Tian Mong-pek enggan menuruti nasehat perempuan itu, dia sudah berlarian meninggalkan tempat tersebut. Perempuan berbaju merah itu tampak ingin mengejar, tapi akhirnya dia urungkan niat tersebut, setelah menghela napas dia pun duduk kembali.
Dengan perasaan penuh amarah Tian Mong-pek berlarian turun gunung, pikirnya dengan rasa dendam: "Aku begitu baik kepadanya, bersedia angkat saudara, kenapa dia berniat mencelakai diriku?" Kini, dia hanya ingin secepatnya menemukan Yo Swan dan menanyakan persoalan itu hingga jelas.
Setelah berlarian berapa saat, dalam waktu singkat ia sudah menyaksikan batu prasasti ditengah lautan bunga itu.
Diluar batu prasasti itu terlihat ada sesosok bayangan manusia sedang bergerak mendekat.
Diluar batu prasasti itu terlihat ada sesosok bayangan manusia sedang bergerak mendekat.
Tian Mong-pek sama sekali tidak menghentikan langkahnya, dia sambut kedatangan orang itu.
Begitu mengetahui wajah Tian Mong-pek, bayangan manusia itu kelihatan terperanjat dan segera menghentikan langkahnya.
Ternyata orang itu adalah Yo Swan, menurut perkiraannya, saat itu seharusnya Tian Mong-pek sudah mampus ditangan Kun-lun-siang-coat, jadi dia secara khusus naik keatas bukit dengan niat untuk mengambil jenasahnya.
Sepanjang perjalanan, otaknya berputar terus menyusun rencana, berpikir bagaimana harus berbicara.
Tentu saja dia harus memberi penjelasan terlebih dulu kalau dia adalah murid istana Au-sian-kiong, maka Kun-lun-siang-coat dengan memandang muka Lan Thian-jui pasti tak akan menyusahkan dirinya.
Maka, diapun dapat membawa pulang jenasah Tian Mong-pek dengan mudah, membawanya balik ke istana Au-sian-kiong .
. . . . . .. Sementara ia sedang melamun dengan penuh rasa girang inilah, sama sekali diluar dugaan, ternyata Tian Mong-pek telah turun gunung dalam keadaan hidup.
Dalam terperanjatnya, tanpa sadar ia menjerit: "Kau.....
kau belum mati!" "Tentu saja belum." Jawab Tian Mong-pek ketus, hawa amarah membara dalam dadanya.
Berputar sepasang biji mata Yo Swan, tiba-tiba dengan wajah berseri, jeritnya: "Ooh, ternyata Thian memang maha pengasih, akhirnya kau berhasil dengan misimu!" Menyaksikan tingkah laku lawannya, untuk sesaat kembali Tian Mong-pek dibuat tertegun.
Sambil menggenggam tangan Tian Mong-pek, kembali seru Yo Swan: "Aku sangka kau sudah terbunuh ditangan mereka, karena itulah dengan II segala resiko aku berniat menyusulmu keatas gunung .
. . . . . .. Lalu dengan air mata bercucuran, lanjutnya: "Jite, bila kau mati, aku akan balaskan dendam bagi kematianmu itu, walau nyawaku jadi taruhannya, sungguh beruntung Thian maha pengasih .
. . . . .. Thian maha pengasih . . . . . . . .." Berbicara sampai disini, butiran air mata telah bercucuran membasahi pipinya, saking gembiranya dia sampai menangis.
Tian Mong-pek merasakan hawa panas bergelora dalam dadanya, pikir pemuda ini: "Bila dia berniat mencelakaiku, buat apa musti menyusul ke gunung untuk menolongku" Kelihatannya diapun sudah dibohongi orang lain!" Sementara itu Yo Swan sedang menyepa air matanya, dari celah celah jari tangan, ia mencuri pandang perubahan mimik muka lawan.
Begitu melihat hawa amarah sudah lenyap dari wajah Tian Mong-pek, Yo Swan jadi kegirangan, kembali ujarnya: "Jite, mana ular beracun merah itu" Aku .
. . . . . . .." "Aai, siaute gagal mendapatkannya." Jawab Tian Mong-pek sambil menghela napas.
Yo Swan sengaja tertegun, bisiknya agak bingung: "Se...
sebetulnya apa yang telah terjadi?" Dalam hati kembali Tian Mong-pek menghela napas, pikirnya: "Dia begitu perhatian terhadapku, andaikata dia tahu kejadian yang sebenarnya, tahu kalau aku telah salah menuduhnya, mungkin dia akan merasa amat sedih, lebih pedih daripada perasaanku." Berpikir begitu, jawabnya kemudian setelah menghela napas: "Aai, panjang sekali untuk diceritakan, siaute harus naik gunung sekali lagi, toako, tunggulah aku selama tiga hari, bila tiga hari kemudian siaute tetap tidak muncul .
. . . . . . .." "Setelah berhasil turun gunung, jangan sekali-kali kau mencoba untuk naik lagi!" cegah Yo Swan dengan wajah berubah.
Tian Mong-pek menggeleng, tiba tiba dari arah belakang terdengar seseorang sedang memanggilnya, buru buru dia mendorong tubuh Yo Swan seraya berseru: "Toako, cepat turun gunung .
. . . . . . .." Suara panggilan itu semakin mendekat, tidak sempat lagi menyelesaikan perkataannya, pemuda itu membalikkan badan, menyongsong datangnya suara panggilan itu.
"Jite," teriak Yo Swan, "biar toako menemanimu .
. . . . .." Langkah kakinya bukan maju, sebaliknya justru membalikkan tubuh dan kabur ke bawah, dalam waktu singkat ia sudah meninggalkan pintu "Mo-ji-bun" atau pintu jangan masuk.
Sejujurnya dia sendiripun merasa tercengang bercampur tak habis mengerti, dia tak tahu kejadian apa yang telah dialami Tian Mong-pek diatas gunung,.
Dalam keadaan begini, terpaksa dengan membawa perasaan kebat kebit ia menuruni bukit itu.
Hari pertama lewat dengan begitu saja, pada hari kedua persediaan rangsum mulai habis, masih untung diatas gunung terdapat mata air yang bisa digunakan untuk menghilangkan dahaga, barulah pada hari ke tiga ia merasa tersiksa dan sengsara.
Tapi hingga senja hari ke tiga, Tian Mong-pek belum juga turun gunung.
Perasaan hatinya kalut tak karuan, sebentar sedih sebentar gembira, sebentar curiga sebentar takut, pikirnya berulang kali" "Tiga hari sudah dia naik gunung tapi belum nampak bayangan tubuhnya, sudah pasti ia telah mampus disana!" Kalau dibilang hal mana merupakan dugaannya, lebih tepat kalau dikatakan, inilah yang paling diharapkan.
Oo0oo Sewaktu mendengar ada suara panggilan, cepat Tian Mong-pek menyusul kearah sumber suara itu, betul saja, ia saksikan perempuan berbaju merah itu sedang bergerak mendekat.
"Ada apa cianpwee?" tanya Tian Mong-pek sambil menghentikan langkahnya.
"Sebetulnya aku enggan mencampuri urusan pribadimu, tapi tiba tiba teringat kalau tujuanmu turun gunung, besar kemungkinan karena hendak mencari orang yang menipumu, karena itulah buru buru aku menyusul kemari." Tian Mong-pek segera merasakan jantungnya berdebar keras, buru buru katanya: "Dalam gusarku tadi, sebenarnya cayhe berniat mencari orang itu, tapi aku duga ia pasti sudah melarikan diri, jadi baru sampai setengah jalan sudah kembali." Sambil menghela napas perempuan berbaju merah itu manggut manggut, katanya: "Betul, bila dia berniat menipumu, buat apa masih menunggu dibawah bukit?" Selama hidup, belum pernah Tian Mong-pek berbohong, tapi sekarang, demi saudara angkatnya, mau tak mau terpaksa ia harus berbuat begitu, kendatipun demikian, sewaktu bicara kedengaran agak gagap, muka pun ikut berubah merah jengah.
Untungnya perempuan berbaju merah itu sedang ada urusan dalam hati kecilnya, sehingga bukan saja tidak menaruh perhatian, sebaliknya malah mengiakan.
Diam-diam Tian Mong-pek menghembuskan napas lega, cepat dia mengalihkan pembicaraan ke soal lain, katanya: "Tampaknya masih ada banyak urusan yang ingin cianpwee bicarakan denganku, masalah apa saja?" Untuk berapa saat perempuan berbaju merah itu hanya termangu-mangu, lambat laun penderitaan terlintas diwajahnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia berbalik menuju ke atas bukit.
Tanpa bicara Tian Mong-pek mengintil dari belakang.
Lewat berapa saat kemudian, perempuan itu baru menghela napas panjang, gumamnya: "Dua puluh tujuh tahun, sudah dua puluh tujuh tahun, tahukah kau?" Tian Mong-pek hanya melongo, dia tak tahu bagaimana harus menjawab ucapan itu.
Sesudah menghela napas, kembali perempuan berbaju merah itu melanjutkan: "Selama dua puluh tujuh tahun, belum pernah kutinggalkan pintu Mo-ji-bun barang setengah langkah pun, aku tidak tahu bagaimana situasi dunia persilatan saat ini?" "Situasi dunia persilatan masih sama seperti dulu, demi nama dan pahala, orang saling membunuh, saling menipu dan saling menjegal! Intrik busuk tak pernah berubah, mungkin sampai seribu tahun lagipun keadaan tak akan berubah." Perlahan perempuan berbaju merah itu mengangguk, tiba tiba tanyanya: "Apakah belakangan, keadaan Tiau-yang hujin dan Liat-hwee hujin baik-baik saja" Apakah mereka sudah menikah?" "Beluml" pemuda itu menggeleng.
"Aai, sedari dulu, perempuan berparas cantik selalu bernasib jelek, sejak awal aku sudah tahu, mereka tak bakal mendapatkan pasangan hidup yang serasi, yaa, mereka tentu kesepian." Tian Mong-pek tidak tahu bagaimana harus menjawab, dia hanya mengintil dibelakangnya dan balik ke kebun bunga seruni.
Ditengah sisa cahaya matahari senja, ia merasakan pula kesenduan dihati perempuan ini.
Ia tahuy, dimasa lalu perempuan ini pasti pernah mengalami masa yang gemilang, tapi dengan berjalannya sang waktu, segala sesuatunya kini sudah hilang lenyap terbawa arus.
Perempuan berbaju merah itu menghentikan langkahnya, tiba tiba berkata sambil tertawa sedih: "Aku hanya mengajakmu berbicara terus, sampai lupa kalau seharusnya suruh kau pergi dari sini!" "Cayhe masih harus menunggu Thian-heng lojin disini." "Aai, perangainya kasar dan berangasan, watak busuknya sudah tersohor sejak dulu, lebih baik cepatlah tinggalkan tempat ini, biar aku saja yang menghadapinya." "Sepanjang hidup, belum pernah cayhe ingkar janji." "Bila dia berniat mencari gara-gara, siapa pun tak sanggup menghalanginya, buat apa kau musti cari penyakit" Apalagi jika urusan jadi buntu, kemungkinan besar .
. . . . . . . .." "Sekalipun aku harus tewas ditempat ini, aku tak akan ingkar janji," tukas Tian Mong-pek, "apalagi aku memang terlalu gegabah, jadi pantas kalau mendapat hukuman." "Hah, ternyata kau pun berani mengaku salah?" bisik perempuan itu keheranan.
"Kalau sudah salah, tetap salah, kenapa tak berani mengakui" Bila tak berani mengaku salah, bukankah dia seorang dungu yang tak berotak" Kalau sudah mengaku salah, sepantasnya mendapat hukuman, sekalipun bakal dibacok dengan golok, hukuman tetap harus diterima, mana boleh aku kabur dari tanggung jawab?" Sekulum senyuman segera tersungging dibibir perempuan itu, pikirnya: "Dasar anak baik .
. . . . . . . .." Tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan, perempuan itu segera berkata: "Dia sudah datang, aku tak ingin tinggal lebih lama disini, baik baiklah jaga diri!" Belum lama dia berlalu, Kongsun Thian-heng yang tinggi besar telah muncul di tempat itu, ditatapnya Tian Mong-pek berapa kejap, lalu tegurnya: "Bocah muda, ternyata kau belum pergi." "Mau menghajar, mau menghukum, silahkan saja kau lakukan!" "Kalau harus dihukum, hukuman tak boleh terlalu ringan, memang kau sanggup menjalaninya?" "Selama hukuman itu cengli dan bisa diterima akal sehat, aku akan melaksanakannya." Kongsun Thian-heng tertawa terbahak-bahak.
II "Hahaha, anak muda, kau pintar sekali, serunya, "setelah mengetahui nama besarku, kau tak berani melawan, atau kau menginginkan hukuman yang agak ringan?" "Kalau aku merasa bersalah, mau jatuhkan hukuman seperti apapun pasti II akan kulaksanakan, sahut Tian Mong-pek gusar, "tapi kalau aku merasa tak bersalah, jangan harap aku mau menyerah dengan begitu saja!" "Kau telah mengobrak abrik kebun bungaku, andai lohu akan memotong sepasang tanganmu, masa kau tak akan melawan?" tanya orang tua itu sambil mengerdipkan matanya.
Kontan Tian Mong-pek berkerut kening, jawabnya: "Bunga yang rusak bisa ditanam kembali, tangan yang kutung tak akan tumbuh kembali, hukuman semacam ini tidak pantas, masa aku harus menerima dengan begitu saja?" "Hahaha, betul, masuk akal .
. . . . . . .." Setelah menghentikan tertawanya, dia melanjutkan: "Kalau memang begitu, kau seharusnya menanam kembali sebuah bunga seruni yang kau obrak abrik, hukuman ini pantas sekali bukan?" "Aku merasa kelewat enteng." Jawab Tian Mong-pek setelah termangu sejenak.
"Darimana kau tahu kalau enteng?" Kongsun Thian-heng tertawa dingin, "tahukah kau, bunga seruni yang kutanam adalah bunga langka, tidak gampang untuk menanamnya kembali!" "Jika kau sanggup, akupun pasti mampu." "Baik! Kalau begitu kau cangkul dulu semua tanah ditempat ini, cangkulanmu harus mempunyai kedalaman yang sama!" Diambilnya sebuah cangkul dan dilempar ke hadapan Tian Mong-pek, kemudian lanjutnya: "cangkul dari depan ke arah belakang, dari kiri menuju kanan, semua tanah harus dicangkul satu per satu, tak boleh pakai tehnik, mengerti?" Kemudian sambil balik ke rumah gubuknya, ia berteriak keras: "Bila semua tanah selesai dicangkul, panggil aku." "Blaaam!" ia menutup pintu rumahnya keras keras dan tidak pedulikan pemuda itu lagi.
Tian Mong-pek mendongakkan kepalanya memandang cuaca, kemudian pikirnya sambil menghela napas: "Mungkin aku harus mencangkul hingga esok hari sebelum selesai!" Tanpa bicara lagi dia mengambil cangkul itu dan mulai mengayunkan cangkulnya.
Begitu ayunan cangkul pertama dilakukan, seketika itu juga hatinya terasa tenggelam ke dasar jurang, ternyata tanah disana kerasnya bukan kepalang, biarpun dia sudah mencangkul sekuat tenaga, itupun hanya menghasilkan cangkulan sedalam berapa inci, sudah jelas tak mungkin ia selesaikan seluruh cangkulan tersebut dalam satu hari saja.
Sambil menggigit bibir dia mengayunkan cangkulnya tanpa berhenti, hingga rembulan tenggelam diujung langit, sepasang lengan terasa kaku dan kesemutan, hasil cangkulannya belum lagi mencapai setengah.
Memandang tanah garapannya yang belum selesai, tanpa terasa pemuda itu menghela napas panjang, diapun merebahkan diri ke tanah, pejamkan matanya dan tanpa sadar sudah terlelap tidur.
Ketika mendusin kembali keesokan harinya, tampak cahaya sang surya telah menyinari seluruh jagad, disisi tubuhnya kini bertambah dengan sepoci air bersih serta dua potong ransum, sementara pintu rumah rumah aneh itu tetap dalam keadaan tertutup.
Ketika menggeliatkan tubuh, ia meras sepasang lengannya lamat lamat terasa linu dan sakit, selesai bersantap pemuda itu kembali bekerja.
Jangka waktu yang ia gunakan untuk mencangkul tanah pada hari kedua ini jauh lebih lama ketimbang sebelumnya, namun sayang tanah yang berhasil dicangkul tidak sebanyak hari pertama, tanah yang belum terjamah masih tetap sangat luas.
Menyaksikan kesemuanya ini dia hanya bisa tertawa getir, tiba tiba saja pemuda itu merasa bahwa bekerja mencangkul jauh le bih menguras tenaga daripada bertempur sebagai jago persilatan, saat ini pula dia baru sadar kalau hukuman yang sedang dilaksanakan teramat sangat berat.
Pada saat mendusin dari tidurnya pada hari ke tiga, ia merasa semakin terpuruk dan sengsara.
Bukan hanya sepasang lengannya linu dan sakit, bahkan luka luka lama pun ikut meradang dan sakitnya bukan kepalang.
Tak heran kalau pekerjaan yang dilakukan pada hari ke tiga ini jauh lebih sengsara dan tersiksa, ibarat setiap cangkulan harus dibayar dengan setetes keringat.
Coba berganti orang lain, biar tidak menghentikan pekerjaan setengah jalan pun, paling tidak pekerjaan itu akan dilakukan dengan tehnik lain.
Tapi dasar keras kepala, sambil gigit bibir dia tetap melakukan pekerjaan itu dengan sungguh sungguh, bukan Cuma wajahnya tetap riang, mengeluh pun tidak.
Sekalipun tiada orang yang mengawasi, namun setiap jengkal tanah dicangkul nya dengan kedalaman yang sama.
Ketika mencangkul pada bidang tanah terakhir, senja telah menjelang tiba, kini ia tampak dekil sekali, tanah bercampur peluh membuatnya sangat kotor dan bau, bahkan tanah yang dicangkul terasa lebih keras dari batu cadas.
Ia membutuhkan waktu hampir satu jam untuk mencangkul tanah ini, disaat cangkulnya menyentuh kedalaman tanah inilah, mendadak .
. . . .. "Traaang!" ujung cangkulnya seakan membentur benda logam yang keras.
Bab 26. Karena bencana mendapat berkah.
Sewaktu ditengok, ternyata dalam tanah muncul sebuah peti besi kecil, maka dia pun mengayunkan kembali cangkulnya untuk mengeluarkan peti tadi.
Sampai akhirnya pemuda itu benar-benar kehabisan tenaga, jatuh terduduk ditanah.
Saat ini, bila dia diharuskan mengayunkan kembali cangkulnya, pada hakekatnya pemuda itu sudah tidak bertenaga lagi.
Sampai lama kemudian, ia baru sanggup berteriak: "Sudah selesai .
. . . . .. sudah selesai . . . . . . . .." Kembali lewat berapa saat, Thian-heng lojin baru muncul dari balik rumahnya sambil bertanya: Il "Sudah selesai semuanya" Cepat betul cangkulanmu, cepat sekali .
. . . . .. Sambil bergendong tangan dia periksa sekeliling tempat itu satu lingkaran, kemudian katanya: "Biar lohu kerjakan sendiripun paling tidak butuh dua tiga hari untuk menyelesaikannya, aku rasa kau main tipu muslihat!" "Bila kurang percaya, kenapa tidak kau cangkul sendiri?" teriak Tian Mong-pek gusar.
Biarpun sedang kelelahan dan kehabisan tenaga, teriakan yang dilakukan dalam keadaan gusar ini tetap keras bertenaga.
Mendengar itu, Thian-heng lojin tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, baik, baiklah, anggap saja lohu percaya, bila ingin pergi dari sini, pungut peti besi itu dan segera tinggalkan bukit ini!" "Kenapa aku harus pungut peti besi itu?" "Sudah tahu apa isi peti itu?" "Biarpun berisikan zamrud, berlian atau mutu manikam, aku tak bakal sudi membawanya." Jerit Tian Mong-pek sewot.
"Hahaha, boleh saja kau buang zamrud atau mutu man ikam, sayangnya dalam peti itu berisikan cara menanam bunga, kalau tidak kau ambil, lalu bagaimana caramu menanam bunga?" "Menanam bunga .
. . . . . .." Tian Mong-pek tertegun.
"Betul, menanam bunga! Kalau hanya membalik tanah belum cukup." "Bawa kemari bibit bunganya!" teriak pemuda itu sambil melompat bangun.
"Kalau tidak belajar bagaimana cara menanam bunga, dengan cara bagaimana kau hendak menanamnya?" "Masa menanam bunga pun harus belajar caranya?" Thian-heng lojin tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, belajarlah barang dua tiga tahun cara menanam bunga seperti apa yang tercantum dalam peti itu, dengan begitu kau baru tahu harus menggunakan cara apa untuk menanam bungaku ini!" "Dua tiga tahun?" Tian Mong-pek bertambah gusar, "rupanya kau berniat membodohi aku .
. . . . . . .." Belum selesai ucapan itu, tiba tiba perempuan berbaju merah itu sudah muncul disampingnya seraya berseru: "Kalau disuruh belajar, cepatlah turun gunung dan mempelajarinya, apa lagi yang hendak kau bicarakan?" "Tapi .
. . . . . .." "Tidak ada tapi tapian, cepat pergi .
. . . . .." tiba tiba perempuan berbaju merah itu mengerlingkan matanya memberi tanda, lalu sambil menarik lengan pemuda itu beranjak pergi dari sana.
Walaupun merasa keheranan, namun berhubung pemuda itu lemas tak bertenaga, tanpa terasa ia sudah terseret keluar dari kebun bunga itu.
"Hujin, lepaskan tanganmu, aku bisa jalan sendiri." Protes anak muda itu.
Perempuan berbaju merah itu tersenyum, sambil serahkan peti besi dan kantung sutera ketangan Tian Mong-pek, katanya seraya tertawa: "Cepatlah pergi dari sini, dua tiga tahun lagi datanglah menjumpai diriku." Pelbagai pertanyaan dan rasa curiga berkecamuk dalam benak Tian Mong-pek, tak tahan dia ingin bertanya, tapi tampaknya perempuan berbaju merah itu enggan mendengarkan lebih jauh, sambil tersenyum ia sudah membalikkan badan dan berlalu dari sana seringan asap putih.
Untuk berapa waktu pemuda itu hanya berdiri melongo, dia merasa setiap penghuni gunung itu tampak begitu misterius, kendatipun sudah peras otak, dia gagal untuk menebak apa maksud dan tujuan dari orang-orang itu.
Terdengar Thian-heng lojin dengan suaranya yang nyaring, berteriak dari kejauhan: "Hei bocah dungu, kalau kau gagal mempelajari cara menanam bunga, berarti kau memang goblok, manusia tak berguna, mengerti?" "Biar harus pertaruhkan nyawa pun, aku akan mempelajarinya." Jawab Tian Mong-pek marah.
"Hahaha, bagus, kalau sudah kau pelajari ilmu itu, jangan lupa untuk naik gunung dan bantu lohu menanam bunga." Suara gelak tertawa itu makin lama semakin menjauh sebelum akhirnya lenyap dari pendengaran.
Tian Mong-pek dengan tangan kanan menjinjing peti, tangan kiri memegang kantung sutera, untuk berapa saat dia hanya bisa berdiri termangu sebelum akhirnya beranjak turun gunung.
Ia merasa sepasang kakinya sangat berat, seperti digantungi beban beribu kati, setiap langkah harus dilakukan dengan bersusah payah dan menggunakan tenaga penuh.
Dengan susah payah akhirnya ia berhasil turun dari pintu Mo-ji-bun, waktu itu langit sudah gelap, bintang dan rembulan mulai bergelantungan di angkasa, cahaya yang redup, bayangan bunga yang samar, seakan terselubung oleh kain sutera tipis.
Ia bersandar disisi batu prasasti sambil beristirahat sejenak, ketika membuka kembali matanya, permukaan tanah terlihat lebih terang, rupanya cahaya bintang bertaburan di angkasa, rembulan mulai memancarkan cahaya keperakan.
Begitu dekat taburan bintang dan rembulan, seakan ia dapat meraihnya dengan mudah dari tempatnya berada.
Baru pertama kali ini dia merasa berada begitu dekat dengan angkasa, tubuhnya terasa makin lemas tak bertenaga, dalam keadaan seperti ini, dia sama sekali tak ingin bergerak.
Lewat berapa saat lagi, ia baru mengambil peti besi itu dan perlahan lahan membukanya.
Ternyata dalam peti itu berisikan dua buah botol, kecuali berwarna beda, bentuk maupun besar kecilnya sama satu dengan lainnya.
Selain itu terdapat pula dua jilid kitab serta selembar surat, huruf dalam surat itu telihat tegas dan kuat.
Dibawah sinar rembulan, terbaca surat itu berbunyi begini: "Obat berwarna putih dapat membantu untuk pulihkan kekuatan, kau bisa meneguknya sekarang, sementara obat berwarna merah punya kasiat membantumu melatih tenaga, gunakan disaat kau mulai berlatih ilmu yang tercatat dalam kitab itu." Tian Mong-pek berkerut kening, dia tak tahu bunga seruni macam apa yang harus ditanam dan mengapa harus berbuat begitu, bahkan harus minum obat sambil berlatih tenaga, satu kejadian yang aneh sekali.
Tapi saat ini dia benar-benar merasa kehabisan tenaga, dahaga bercampur lapar, tak tahan dia ambil obat putih itu, membuka penutupnya dan menelan semua isinya hingga habis.
Ternyata benda dalam botol berupa cairan putih, mirip sekali dengan susu kambing, sejak dibuka penutupnya, terendus bau harum semerbak, apalagi setelah ditelan, seluruh badan terasa dingin dan nyaman, semua dahaga dan rasa lapar hilang lenyap, semua kepenatan tersapu ludas, begitu cepat daya kerjanya membuat Tian Mong-pek nyaris tertegun dibuatnya.
Tapi tulisan yang tertera dalam surat itu membuatnya semakin kaget bercampur keheranan.
"Seruni dingin dari Giok-hu merupakan bunga seruni dari jenis langka, bersifat dingin, hidup didalam gua bawah tanah, tumbuh karena tenaga panas bumi dan pupus bila dipindah ke tempat lain.
"Bila ingin menanam bunga seruni ini ditempat lain, dibutuhkan tenaga pukulan berhawa positip untuk memeliharanya, tenaga pukulan berhawa positip itu tak lain adalah Kun-lun-lak-yang-jiu." Ketika ia membuka halaman kedua, maka terbacalah rahasia untuk berlatih ilmu tenaga dalam Kun-lun-lak-yang-jiu.
Untuk berapa waktu Tian Mong-pek hanya berdiri tertegun, ia merasa kaget, keheranan dan terharu.
Ternyata Thian-heng lojin menyiksanya dengan pelbagai cara, tak lain karena ingin mewariskan ilmu Lak-yang-sin-ciang yang maha sakti itu .
. . . .. Coba kalau saat mencangkul tanah waktu itu dia main curang, tak mungkin ilmu silat maha sakti itu dapat dipelajari .
. . . .. siapa pun tak menyangka kalau kesempatan emas semacam ini akhirnya justru jatuh ke tangannya.
Sesudah termangu berapa waktu, mendadak ia bersorak sorai lalu melompat bangun, ia merasa hawa darah panas menggelora dalam dadanya, seluruh tubuh dipenuhi tenaga murni, bagaikan seekor burung walet dia melesat turun dari tanah perbukitan itu.
Saat itu, Yo Swan yang berhati busuk masih menanti kedatangannya dibawah gunung.
Menurut perkiraannya, Tian Mong-pek tak mungkin akan turun gunung lagi, meski masih ada perasaan ragu, namun dengan hati gembira ia bersiap siap meninggalkan tempat itu.
Siapa sangka, saat itulah Tian Mong-pek telah muncul dari balik bukit, bukan saja tidak terluka atau mati, malahan wajahnya tampak berseri, penuh cahaya kegembiraan, malah jauh lebih bercahaya ketimbang sebelum naik gunung.
Rasa kecewa, mendongkol, berkecamuk jadi hati, tapi Yo Swan berusaha tampil dengan perasaan terkejut bercampur girang, teriaknya sambil bertepuk tangan: "Hahaha, jite, akhirnya kau muncul juga, aku sudah tak sabar menantikan kedatanganmu!" "Terima kasih toako karena kau telah menyuruhku naik gunung!" sahut Tian Mong-pek sambil memberi hormat.
Kuatir niat busuknya ketahuan, dengan wajah berubah tegur Yo Swan: "Apa maksudmu?" Tian Mong-pek menghela napas panjang, katanya lagi: "Toako, tahukah bahwa kau sudah tertipu oleh kebohongan orang" Diatas gunung sama sekali tak ada orang jahat yang pandai tenung orang, yang ada hanya Kun-lun-siang-coat." "Bee....
benarkah begitu?" dengan hati tergetar sahut Yo Swan tergagap.
"Buat apa siaute bohong." Yo Swan merasakan jantungnya hampir melompat keluar, buru buru dia tampar wajah sendiri sambil berteriak: ll "Kurangajar, betul betul kurangajar .
. . . . .. Dalam keadaan panik bercampur kuatir, terpaksa ia harus bersandiwara lebih jauh.
Tergopoh Tian Mong-pek menarik tangannya.
"Toako tak usah kelewat menyalahkan diri sendiri," bujuknya, "lagipula siaute bukan saja tidak rugi apa apa, malahan karena bencana aku mendapat rejeki." "Rejeki apa?" Yo Swan makin tercekat.
Secara ringkas Tian Mong-pek menceritakan kembali semua pengalaman yang baru dialaminya, terakhir dia menambahkan: "Andaikata tak ada kesalah pahaman ini, mana mungkin siaute berkesempatan mempelajari ilmu pukulan Lak-yang-sin-ciang!" Pucat kehijauan paras muka Yo Swan, rasa dengki, jengkel, benci bercampur aduk jadi satu.
Tian Mong-pek jadi kaget ketika melihat perubahan mimik mukanya itu, teriaknya: "Toako, kenapa kau?" II "Aah, tidak apa apa, sahut Yo Swan tergagap, cepat dia berusaha menenangkan hatinya, "mungkin lantaran kelewat gembira....
yaa, kelewat gembira . . .



. . . .." Perasaan hatinya saat ini bagaikan ditembusi berjuta batang anak panah beracun, begitu sakitnya membuat dia sulit untuk tertawa, biar akhirnya tertawa juga, sudah jelas senyumannya saat itu teramat jelek.
Semakin dilihat, Tian Mong-pek merasa makin keheranan, tapi setelah berpikir sejenak, seakan menyadari akan sesuatu katanya: "Toako, setelah menunggu selama tiga hari, kau pasti kelelahan setengah mati, lebih baik kita segera turun gunung!" "Betul, betul sekali .
. . . . . .." Mereka berdua berjalan mengitari punggung bukit, medan terasa makin tinggi, hembusan angin dingin terasa tajam bagaikan sayatan pisau, permukaan tanah pun mulai muncul lapisan salju abadi yang makin lama semakin menebal.
Ternyata tempat tinggal Kun-lun-siang-coat maupun lembah kaisar, berada diatas sebuah bukit kecil yang dikelilingi pegunungan tinggi.
Tapi setelah berjalan keluar dari wilayah perbukitan, keadaan pun sama sekali berubah.
Sebagaimana diketahui, tempat dimana mereka berada sekarang adalah wilayah pegunungan yang sangat tinggi dan sepanjang tahun berhawa dingin, biarpun saat itu musim panas, namun timbunan dan lapisan salju tetap menyelimuti gunung Kun-lun sepanjang tahun.
Kedua orang ini memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, tapi mereka butuh waktu semalaman sebelum berhasil mencapai kaki perbukitan.
Suasana dibawah gunung terang benderang, suhu udara mulai terasa panas, Yo Swan pun membeli dua buah topi rumput yang lebar serta dua ekor kuda yang penampilannya meski bersahaja namun kemampuan larinya sangat hebat.
"Dengan kemampuan lari kita berdua, buat apa harus membeli kuda?" tanya Tian Mong-pek.
"Kita harus ambil jalan raya Cing-hay masuk tengah daratan, jite, selama berapa hari ini kau sudah menguras banyak tenaga, buat apa musti bersusah payah mengarungi padang rumput dengan berjalan kaki?" Meski diluar Tian Mong-pek mengiakan dengan hambar, hati kecilnya sangat berterima kasih, pikirnya sambil menghela napas: "Tak kusangka rasa persaudaraannya begitu kental, melebihi saudara II kandung sendiri .
. . . .. Setelah meninggalkan wilayah Kun-lun, sehari kemudian mereka sudah tiba di wilayah Cing-hay.
Sejauh mata memandang, hanya padang rumput yang tak bertepian, diantara ayunan lembut sang rumput yang dihembus angin, disana sini terlihat kumpulan sapi dan domba.
Kembali sang kakek memanggil seorang "kiak-cu" atau pemuda lainnya untuk menghantar Tian Mong-pek berdua, kembali katanya: "Kiak-cu ini mengerti bahasa Han, hanya saja kurang begitu lancar." Tampaknya kiak-cu ini punya kesan baik terhadap mereka berdua, wajahnya pun tidak cemberut seperti pemuda tadi, katanya kemudian sambil tertawa: "Silahkan kalian berdua mengikuti diriku." Selesai mengucapkan terima kasih kepada tuan rumah, Tian Mong-pek berdua pun mengikuti dibelakang pemuda itu menuju ke sebuah tenda dipaling ujung.
Waktu itu semua lentera telah dipadamkan, ditengah remang remangnya cuaca, hanya suara kambing dan sapi yang bergema memecahkan keheningan malam Sewaktu mereka memasuki tenda itu, tiba tiba dari balik tenda terdengar suara jeritan kaget.
Rupanya sepasang muda mudi itu sudah tertidur didalam tenda itu, ketika melihat kedatangan mereka, nona berbaju putih itu seketika melompat bangun sambil menjerit: "Mau apa kalian?" "Mau tidur." Jawab Kiak-cu itu ketus.
"Cepat pergi," teriak nona berbaju putih itu dengan wajah berubah, "mana boleh kalian tidur disini?" Kiak-cu itu tertawa terkekeh.
"Kalau tidak tidur disini, lantas kami harus tidur dimana" Beginilah adat kami suku Tibet, merasa keberatan pun percuma saja," "Benarkah begitu?" nona berbaju putih itu segera berpaling kearah rekannya.
Pemuda berbaju putih itu manggut manggut, kepada kiak-cu itu tanyanya: "Apakah masih ada tempat tidur lain?" "Ada, ada, tenda ku masih ada tempat, jadi kalian berdua mau tidur bersamaku" Tempat itu jauh lebih ramai ketimbang tempat ini." "Kau.....
kentut busukmu!" umpat nona berbaju putih itu dengan wajah berubah.
Kiak-cu itu sama sekali tak ambil peduli, sambil mengerdipkan matanya kearah Tian Mong-pek, serunya seraya tertawa: "Sampai besok pagi!" Diiringi gelak tertawa, kiak-cu itupun berlalu dengan langkah lebar.
"Memuakkan . . . . .. sungguh memuakkan . . . . . . .." sumpah nona berbaju putih itu.
Sambil menghela napas tukas pemuda berbaju putih itu: "Beginilah adat istiadat mereka, sudahlah, toh malam akan cepat berlalu!" Diam diam Tian Mong-pek saling berpandangan sekejap dengan Yo Swan, dalam hati mereka merasa kegelian.
Tidak mempedulikan lagi kedua orang itu, mereka segera merebahkan diri sambil menarik selimut.
Cepat nona berbaju putih itu melompat bangun, teriaknya: "Keluar, kalian .
. . . .. kalian segera enyah dari sini." Tian Mong-pek sama sekali tak ambil peduli, sambil menggeliat katanya: "Toako, mari kita tidur, kalau masih menganggap tempat ini kurang nyaman, biarkan saja tidur bersama anak bini orang lain." Kontan saja nona berbaju putih itu meradang, dengan alis mata berkenyit, tampaknya dia ingin menendang pantat Tian Mong-pek.
Tapi niatnya itu segera dicegah pemuda berbaju putih itu, bisiknya: "Kita sedang mengemban tugas penting, lebih baik berhati hati dalam setiap tindakan, buat apa mengumbar hawa amarahmu" Cepat tidur!" "Mereka berada disini, mana mungkin aku bisa tidur?" keluh nona itu sambil menghentakkan kakinya jengkel.
"Kalau tak bisa tidur, duduklah bersamadi sambil mengembalikan tenaga." Mendengar pembicaraan itu, Tian Mong-pek berdua merasa makin kegelian, walaupun masing masing berlagak mendengkur, padahal semua orang tak dapat tertidur nyenyak, mereka tenggelam pada masalah masing masing.
Ditengah keheningan malam, hanya terdengar suara hembusan angin diluar tenda diikuti ringkikan kuda dan dengusan kerbau.
Berada dalam lingkungan yang asing dengan suasana yang aneh, mau tak mau Tian Mong-pek merasakan hatinya semakin sendu.
Entah berapa lama sudah lewat, rasa mengantuk mulai menyelimuti dirinya .
. . . . .. Pada saat itulah mendadak terdengar nona berbaju putih itu berbisik: "Jiko, ayah berpesan agar kau tidak meninggalkan buntalan itu dari sisi tubuhmu, apakah kau masih ingat?" "Mana mungkin aku melupakannya .
. . . . . .. Il jawab sang pemuda. "Sungguh aneh, sepanjang jalan tiada pertanda atau peringatan apapun, jangan jangan .
. . . .. kedua orang itu adalah . . . . . . . .." "Aah, tidak mungkin .
. . . . . . . . .." Suasana kembali dicekam dalam keheningan.
Diam diam Tian Mong-pek berpikir: "Rupanya dalam buntalan sepasang muda mudi ini terdapat benda mustika yang tak ternilai harganya .
. . . . .." Belum habis dia berpikir .
. . . . .. "Bruuk!" sebatang anak panah telah meluncur tiba dan menembusi tenda, tenaga bidikan anak panah itu sangat kuat dan membawa desingan angin tajam.
Dengan perasaan terkejut pemuda berbaju putih itu melompat bangun sambil mencabut anak panah itu, selembar kain terlilit diujung anak panah, diatas kain tertera berapa huruf.
"Akhirnya datang juga," teriak nona berbaju putih itu kaget, "apa yang tertulis dalam surat itu?" Baca pemuda berbaju putih itu dengan suara lirih: "Kalau tidak segera keluar, kubakar tenda itu." Kontan saja nona berbaju putih itu tertawa dingin, serunya: "Keluar yaa keluar, memang aku bakal takut dengan kalian?" "Yang muncul tidak berniat baik, yang berniat baik tak bakal datang, kau harus berhati-hati!" pesan pemuda itu.
"Aku mengerti, justru kau yang harus lebih berhati hati dengan barang yang kau gembol." Pemuda berbaju putih itu mendengus, tiba tiba katanya dengan suara berat: "Lebih baik sobat berdua tetap tidur disini, jangan mencampuri urusan orang lain, mengerti?" Sambil tertawa dingin sela nona berbaju putih itu: "Mereka berdua sudah tertidur macam babi, buat apa banyak bicara?" Diikuti hembusan angin, dua bersaudara itu sudah keluar dari balik tenda.
Dengan cepat Tian Mong-pek serta Yo Swan ikut melompat bangun.
Dengan suara setengah berbisik kata Yo Swan: "Kedua orang ini meski masih muda belia, tampaknya mereka menggembol benda mustika yang tak ternilai harganya, entah siapa musuh yang mereka hadapi" Lebih baik kita jangan mencampuri urusan mereka!" "Biarpun kedua orang itu agak sombong dan jumawa, mereka tidak mirip orang jahat," kata Tian Mong-pek dengan kening berkerut, "apalagi kita pernah tidur setenda, paling tidak kita pun tak boleh berpeluk tangan saja." Berputar biji mata Yo Swan, ujarnya kemudian: "Kalau begitu kita harus keluar untuk menengok keadaan." Mereka berdua memang tidur tanpa membuka baju, karena itu dengan cepat mereka melompat keluar dari tenda, ditengah kegelapan malam, terasa hembusan angin makin membekukan badan.
Kumpulan hewan terlihat berbaring belasan tombak disekeliling tenda, dalam waktu singkat muda mudi berbaju putih itu sudah berjalan keluar dari lingkaran tenda.
"Hebat juga ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua orang itu." Bisik Tian Mong-pek.
"Gerak gerik kita harus berhati hati, jangan sampai ketahuan mereka." Pesan Yo Swan.
Sementara berbicara, kedua orang itu sudah ikut melesat keluar dari tenda.
Setelah meninggalkan tenda, muda mudi berbaju putih itu langsung menuju kearah berasalnya anak panah itu, gerak gerik mereka lincah, ringan dan cepat, tak salah kalau berasal dari perguruan kenamaan.
Sejauh mata memandang, hanya kerumunan kerbau dalam jumlah yang banyak, tak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Dengan suara rendah tapi berat bentak pemuda berbaju putih itu: "Sobat, setelah mengundang kehadiran kami dua bersaudara, kenapa masih bersembunyi dibalik kegelapan macam kura kura?" Hanya suara kerbau yang terdengar, tiada jawaban dari empat penjuru.
Kembali nona berbaju putih itu mengumpat sambil tertawa dingin: "Dasar manusia busuk yang takut bertemu manusia, lihat saja nona mu akan menyeret kalian keluar." Sembari berkata, dia melompat naik ke punggung kerbau dan mulai bergerak ke depan.
Kawanan kerbau itu berdiri saling berhimpit hingga minim sekali tempat luang untuk bergerak, tapi kedua orang itu bergerak lewat punggung kerbau kerbau itu, saking ringannya tubuh mereka, ternyata kawanan kerbau itu sama sekali tidak merasa terusik.
Diiringi suara tertawa dingin, nona berbaju putih itu bergerak cepat menggeledah seputar tempat itu.
Tiba tiba terdengar suara tertawa dingin bergema dari arah belakang, tahu tahu lima sosok bayangan manusia telah muncul dari balik perut kawanan kerbau itu.
Mereka mengenakan baju ringkas warna hitam dengan kain kerudung hitam, yang tampak hanya sepasang mata yang bersinar tajam.
Begitu munculkan diri, kelima orang itu serentak menyebarkan diri dan mengepung sepasang muda mudi itu.
Agak terkejut hardik pemuda berbaju putih itu: "Apa maksud kehadiran sobat sekalian?" Berdiri dihadapannya adalah seorang lelaki jangkung berbaju hitam, sahutnya ketus: "Kami datang untuk mencari kalian." Setelah memandang sekeliling sekejap, kembali ujar pemuda berbaju putih itu: "Kami dua bersaudara sedang melakukan perjalanan jauh, bila bersikap kurang sopan terhadap sobat sekalian, kami harap dengan memandang nama benteng keluarga Tong dari Cuan-tiong, sudilah kalian memberi muka!" Ternyata dua bersaudara ini memang berasal dari perguruan kenamaan, rupanya mereka adalah anggota benteng Tong-ke-po dari propinsi Suchuan yang tersohor karena kelihayan senjata rahasianya.
Orang berbaju hitam itu tertawa dingin, dengusnya: "Hek-yan-cu, Hui-hong-hong, kalian sangka kamu tidak mengenali asal usulmu" Cepat serahkan barang dalam gembolan atau tidak kuampuni nyawa kalian." "Kami tidak membawa barang yang kau inginkan .
. . . . .." tukas pemuda berbaju putih itu.
"Dasar keparat," umpat seorang pemuda berbaju hitam, "buat apa berlagak pilon" Mau diserahkan tidak?" Hek-yan-cu dan Hui-hong-hong saling bertukar pandangan sekejap, bersamaan waktu mereka berdua putar setengah badan sambil melepas jubah putih berwarna putih itu.
Kini, terlihatlah pakaian ringkas yang mereka kenakan.
Yang lelaki memakai baju ringkas berwarna hitam sementara yang perempuan berbaju serba merah, kantung kulit macan tutul tergantung dipinggang, sementara dipunggung Hek Yan-cu si walet hitam terdapat sebuah buntalan berwarna ungu.
"Menginginkan barang kami?" ejek burung Hong api sambil tertawa dingin, "tanyakan dulu kepadanya, apakah diijinkan atau tidak." Sambil berkata, tangan kanannya menepuk kantung kulit dipinggangnya sementara tangan kirinya mengenakan sebuah sarung tangan yang terbuat dari kulit macan tutul.
Dengan wajah serius, burung walet hitam menambahkan: "Senjata rahasia beracun dari keluarga Tong sudah termashur dimana-mana, aku yakin kalian pasti pernah mendengarnya, aku nasehati kalian lebih baik cepatnya menyingkir dari sini!" Orang berbaju hitam itu serentak tertawa dingin, tiba tiba ke lima orang itu memutar badan sambil meloloskan senjata di tangan kanan dan sebuah tameng tebal ditangan kiri.
Berubah paras muka Hek-yan-cu, teriaknya: "Ternyata kalian sudah mempersiapkan diri." Lelaki berbaju hitam yang ada dipaling depan tertawa dingin, dengan menggetarkan ujung goloknya, dia sabet pundak Hek-yan-cu, hardiknya: "Jika tidak kau serahkan benda itu, serahkan saja nyawamu!" Goloknya bergera secepat kilat, dengan satu bacokan maut dia ancam tubuh lawan.
Baru saja Hek-yan-cu berkelit ke samping, sebuah tombak perak lagi lagi menyapu datang dari sisi kiri.
Jurus serangan yang digunakan golok maupun tombak itu cepat, kilat dan telengas, belum lewat sepuluh gebrakan, Hek-yan-cu yang bertelanjang tangan telah dipaksa berada dibawah angin.
Disisi lain, Hui-hong-hong dengan suara nyaring telah membentak: "Nonamu ingin tahu apakah tameng rongsokan milik kalian itu memang sanggup membendung kelihayan senjata rahasia dari keluarga Tong kami!" Siapa tahu, belum sempat senjata amgi disambit, dua bilah pedang telah menyambar tiba, jurus serangan yang digunakan lembek tapi bersambungan, kerja sama kedua pedang itu sungguh rapat dan luar biasa.
Tergopoh-gopoh Hui Hong-hong melejit kian kemari berusaha meloloskan diri, apa mau dibilang ia justru tak sanggup melepaskan diri dari belenggu cahaya pedang lawan, apalagi merogoh senjata amginya.
Berada dalam keadaan begini, terpaksa dia harus mengandalkan sepasang kepalannya untuk menghadapi kedua bilah senjata lawan.
Perlu diketahui, biarpun ke lima orang manusia berbaju hitam itu sudah membuat persiapan matang, tak urung timbul juga perasaan jeri dan ngeri untuk menghadapi senjata rahasia beracun keluarga Tong.
Kini, kecuali lelaki bersenjata cambuk yang masih berdiri diluar arena, ke empat orang lainnya telah memainkan senjata mereka dengan sepenuh tenaga, pada hakekatnya tidak memberi peluang bagi dua bersaudara itu untuk melepaskan senjata rahasia beracunnya.
Kerja sama kedua bilah pedang itu mendatangkan daya tekanan yang amat besar, apalagi jurus serangan yang digunakan pemain tombak berantai itu aneh dan ampuh, hampir semua gerakannya berbeda dengan jurus yang biasa dijumpai dalam dunia persilatan, hal ini membuat Hek yan-cu terkejut bercampur keheranan.
Biarpun dia adalah keturunan keluarga persilatan, tapi sejak kecil sudah terbiasa berpandangan tinggi, selain mengagumi ilmu silat sendiri, jarang mau mengagumi kemampuan orang, sehingga tak heran kalau pengalamannya tidak luas.
Kini, biarpun dia terkagum-kagum oleh kelihayan kungfu ke lima orang itu, namun gagal untuk mengenali asal usulnya.
Tiga puluh gebrakan kemudian, ke dua orang bersaudara ini sudah lebih banyak bertahan daripada menyerang, lambat laun posisi mereka makin keteter dan menunjukkan gejala tak mampu bertahan lama.
Sebagaimana diketahui, biarpun murid keluarga Tong lihay dalam ilmu meringankan tubuh serta melepaskan senjata rahasia, tapi dalam hal jurus pukulan dan tendangan, mereka boleh dibilang asor dan kalah jauh dibandingkan perguruan lain.
sudah jelas ke lima orang manusia berbaju hitam itu memiliki asal usul yang luar biasa, ketangguhan ilmu silatnya boleh dibilang termasuk jagoan kelas satu, ditambah lagi mereka menyerang secara telengas, tanpa belas kasihan, tak heran kalau kedua orang dari keluarga Tong itu tak sanggup menahan diri.
Tian Mong-pek serta Yo Swan bersembunyi dibalik semak sambil menonton jalannya pertarungan, sesaat kemudian mendadak terdengar Yo Swan berbisik: "Jite, apakah kau bisa mengenali asal usul dari bebera pa orang itu?" Setelah termenung sejenak, sahut Tian Mong-pek: "Dari kantung kulit yang tergembol dipinggang muda mudi itu, tampaknya mereka berasal dari keluarga Tong di Suchuan .
. . . . . .." "Delapan puluh persen dugaanmu benar!" "Dua orang bangsa Han yang memainkan pedang itu memiliki gerak serangan yang enteng, bersambungan dan rapat, jika dugaanku tak keliru, mereka berdua pasti berasal dari Bu-tong-pay." II "Wah, tak nyana ketajaman mata jite luar biasa sekali, puji Yo Swan sambil tertawa, "bisa kau tebal asal usul lelaki jangkung ceking yang bersenjatakan golok panjang itu?" "Dalam dunia persilatan, hanya keluarga Ong dan keluarga Liu yang tinggal di tepi barat sungai besar tersohor karena kemahiran permainan golok panjangnya, sudah pasti orang itu berasal dari kedua keluarga itu." "Betul, ilmu golok keluarga Ong mengandalkan panjang dan kuatnya senjata, sedang ilmu golok keluarga Liu lebih mengutamakan kelincahan, dilihat kemantapan dan kebuasan permainan lelaki ini, jelas dia berasal dari keluarga Ong." "sayang siaute tak bisa menebak asal usul dari lelaki bertombak itu, kalau dilihat jurus yang digunakan, rasanya beda sekali dengan jurus pada umumnya." "Akupun tidak mengenali aliran kungfu orang ini, bila dugaanku tak keliru, kemungkinan besar dia telah melebur jurus dari ilmu senjata lain ke dalam jurus tombaknya." "Apapun latar belakang mereka, yang jelas berapa orang ini pasti termasuk tokoh tokoh kenamaan, tapi sekarang mereka tampil dengan menutup wajah, jelas niat orang orang ini tidak baik." Kata Tian Mong"pek.
"Jadi jite ingin ikut campur dalam urusan ini?" Tian Mong-pek segera tersenyum.
"Ternyata toako bisa membaca jalan pikiran siate." Bisiknya.
Yo Swan ikut tersenyum. "Kalau ingin turut campur dalam kejadian ini, lebih baik jika kita berdua menyusup ke bawah perut kawanan kerbau itu, kemudian lakukan satu gebrakan yang membuat mereka kelabakan!" Maka kedua orang itu pun bergerak cepat, menyusup dari balik kawanan kerbau itu bagaikan ular yang melata.
Dipihak lain, dua bersaudara dari keluarga Tong sudah keteter hebat dan mulai bermandikan keringat.
Terdengar Hui hong-hong mengumpat dengan penuh amarah: "Kalau toh kalian sudah menggembol tameng, kenapa tidak berani membiarkan nonamu gunakan amgi" Kalau memang bernyali, minggir ke samping, agar nona mu bisa tunjukkan kelihayan." "Tampaknya kau sedang bermimpi!" dengus manusia berpedang itu sambil tertawa dingin.
"Lelaki busuk, tak tahu malu .
. . . . .." jerit Hui Hong-hong.
Karena luapan emosi, gerakan tubuhnya sedikit melamban, manfaatkan kesempatan itu satu tusukan pedang menerobos masuk dan .
. . . . . .. Sreeet! Merobek ujung bajunya.
Terkejut bercampur ngeri, nona itu tak berani mencaci maki lagi.
Disisi lain, Hek-yan-cu sudah dipaksa kalang kabut, langkahnya semakin berat sementara kawanan kerbau yang berada disekelilingnya mulai mendengus diikuti terjadinya kegaduhan.
Dengan kening berkerut, manusia baju hitam yang bersenjata ruyung diluar arena segera berteriak: "Ping-gui-cu (sobat), harus lebih cepat!" Baru selesai ia berteriak, tiba tiba dari balik perut kerbau muncul sebuah tangan yang langsung menangkap kakinya, baru ia menjerit kaget, tubuhnya sudah roboh terjungkal.
Kawanan manusia berbaju hitam itu jadi gaduh, sambil menjerit kaget, teriak mereka: "Celaka, disini ada perangkap." Sementara itu si walet hitam dan burung hong api pun ikut merasa keheranan, mereka tak bisa menebak darimana datangnya bintang penolong.
Begitu berhasil mencengkeram lelaki bersenjata cambuk itu, Tian Mong-pek langsung menotok jalan darahnya.
Dalam pada itu Yo Swan telah melompat keluar juga sambil membentak: "Tong lote tak usah kuatir, anak murid Au-sian-kiong telah datang!" Ditengah bentakan, sepasang kepalannya dilancarkan berulang kali, kekuatan sedahsyat sambaran guntur langsung menghajar lelaki bersenjata golok.
Dengan satu gerakan cepat, Tian Mong-pek telah mewakili Hui Hong-hong menyambut datangnya sambaran pedang, gerak serangannya jauh lebih dahsyat, dia tangkis pedang yang tajam itu dengan kepalannya.
Setelah bertarung berapa gebrakan, tampaknya manusia baju hitam yang bersenjata golok itu sudah mengenali aliran silat yang digunakan Tian Mong"pek berdua, dengan wajah berubah teriaknya: "Celaka, ternyata memang murid au-sian-kiong/" ?"Ping-gui-cu (sobat), angin kencang!" teriak rekannya yang bersenjata pedang.
Mendadak dia mengayunkan senjatanya membacok punggung kerbau, diiringi jerit kesakitan, kerbau hitam itu berlarian menerjang ke muka.
Seketika suasana jadi gaduh dan kacau, kawanan kerbau pun bubar dan kabur ke empat penjuru.
Manfaatkan situasi yang kalut itu, ke empat manusia berbaju tersebut segera melarikan diri, dua orang kabur ke tengah kerumunan kuda sedang dua lainnya kabur ke tengah kerumunan domba.
Menggunakan kesempatan itu, Hui hong-hong segera merogoh senjata rahasia beracunnya, tanpa ampun dia menghardik nyaring: "Mau kabur ke mana kalian!" Tangannya diayun, selapis pasir hitam seketika menyelimuti angkasa, inilah pasir beracun Cu-bu-tok-sah yang menggetarkan sungai telaga.
Kedua orang itu mengobat-abitkan pedangnya tanpa berani berpaling, mereka kabur terbirit birit, lapisan pasir yang hitam pekat pun bagaikan awan gelap menyelimuti belakang tubuh mereka.
Hui hong-hong tidak ambil diam, dia ikut mengejar dengan ketatnya.
Dipihak lain, jago bersenjata golok dan tombak itu kabur ketengah kerumunan kuda, Hek yan-cu yang nyaris kehilangan nyawa ditangan mereka, bahkan punggungnya sempat terhajar pukulan cambuk, tentu saja tak mau lepas tangan dengan begitu saja, terdorong rasa benci dan dendam, diapun mengejar dengan ketatnya.
Hanya saja pemuda ini jauh lebih matang pengetahuannya, dia tak berani sembarangan menggunakan pasir beracun Cu-bu-tok-sa yang sudah diwanti wanti gurunya tak boleh sembarangan digunakan, tangannya diayun, dia hanya melepaskan lima bias cahaya tajam.
Menyaksikan kejadian ini, Yo Swan segera berseru: "Jite, coba kau susul kearah sana, enci itu tak tahu tingginya langit tebalnya bumi, jangan sampai pengejarannya malah berakibat ia terjatuh ke tangan lawan.
" Sementara berbicara, ia sendiri sudah menyusul ke arah Hek-yan-cu .
. . . . . .. Sebagai manusia licik yang banyak akal, dia ingin tahu, benda mustika apa yang digembol si burung walet hitam ini.
Setelah agak termangu sejenak, terpaksa Tian Mong-pek mengejar ke arah Hui Hong-hong.
Waktu itu, Hui Hong-hong maupun dua orang lelaki bersenjata pedang itu sudah menyusup masuk ke tengah gerombolan domba, biarpun kawanan domba itu terusik oleh ulah mereka, namun dengan sifatnya yang lemah dan lembut, kegaduhan yang terjadi tidak sampai menimbulkan keonaran.
Berulang kali gadis itu melepaskan pasir beracunnya, sayang amgi nya meski ganas dan mematikan, namun tak bisa mencapai jarak yang jauh.
Diiringi umpatan penuh amarah, akhirnya gadis itu mengganti senjata rahasianya, kali ini dia gunakan paku beracun.
Tampak tujuh bilah cahaya hitam membelah angkasa, diiringi desingan tajam, secara terpisah mengancam jalan darah mematikan di punggung dua orang lelaki itu, biarpun dalam kegelapan, ternyata sasarannya sama sekali tak meleset.
Siapa tahu, disaat yang kritis itulah, dua orang lelaki itu membentak nyaring, sambil membalikkan tubuh, mereka menyongsong datangnya ancaman, menyambut kedatangan ke tujuh cahaya hitam itu dengan tamengnya.
Hui Hong-hong terkejut sampai berdiri melongo, belum sempat berbuat sesuatu, dua bilah pedang telah menyambar tiba.
Serangan yang dilancarkan dalam keadaan terdesak ini sungguh dahsyat dan mematikan, sasaran yang dituju pun bagian tubuh Hui Hong-hong yang mematikan.
Tiga gebrakan kemudian, bahu Hui Hong-hong sudah tersambar senjata lawan hingga berdarah.
Ketika mundur dengan sempoyongan, tanpa sengaja kakinya menginjak diatas tanduk seekor domba, sambil mengembik, domba itu kontan mendongakkan tanduknya, tak ampun ujung tanduk menggaet kaki gadis itu hingga si nona tak sanggup berdiri tegak, roboh terjungkal mencium tanah.
Serentak dua orang manusia berbaju hitam itu mengayunkan pedangnya, menusuk tubuh gadis itu.
Sekonyong-konyong terdengar suara bentakan nyaring, sesosok bayangan manusia meluncur turun bagaikan seekor rajawali, begitu tiba kaki kiri dan kanannya melancarkan tendangan berantai, mengancam wajah dua orang manusia berbaju hitam itu.
Gagal melukai lawan, terpaksa orang itu berusaha melindungi diri, ia miringkan badan menghindari tendangan berantai lawan.
Tapi sebelum ia sempat berbuat sesuatu, kepalan Tian Mong-pek secara berantai telah melepaskan tujuh buah serangan, semuanya dahsyat bagaikan guntur membelah bumi.
Kelihatannya kedua orang manusia berbaju hitam itu su dah dibuat keder oleh kebesaran nama Au-sian-kiong, bukan saja permainan pedang mereka tak bisa dikembangkan, bahkan sambil bertarung mereka mundur terus, lagi-lagi berusaha meloloskan diri.
Dengan wajah penuh rasa dendam dan kebencian Hui Hong-hong melesat maju berapa depa, tanpa bersuara apa pun, tiba tiba saja dia ayunkan kembali tangannya, melepaskan pasir beracun! Dalam kagetnya, lelaki baju hitam yang ada disebelah kanan memutar pedang sambil berusaha menahan serangan lawan dengan tamengnya, kemudian ia balik badan sambil berusaha kabur.
sayang, biarpun reaksinya cukup cepat, keadaan sudah terlambat, sepasang lengannya terhajar telak oleh pasir beracun itu.
Diiringi jerit kesakitan yang memilukan hati, pedangnya terlepas dari genggaman, menyusul kemudian tubuhnya jatuh terguling ke tanah.
Pecah nyali manusia berbaju hitam rekannya, diiringi jeritan kalap, dia kabur makin cepat.
"Kau tak bakal bisa lolos dari cengkeramanku!" ejek Hui Hong-hong sambil membentak.
Lagi-lagi dia mencoba melakukan pengejaran.
Tian Mong"pek segera menghadang jalan perginya seraya menegur: "Buat apa nona harus membunuhnya?" Hui Hong-hong tertegun sesaat, tapi segera bentaknya: "Minggir kamu, jangan mencampuri urusanku!" Tian Mong-pek melirik sekejap, melihat orang berbaju hitam itu sudah pergi jauh dan yakin nona ini tak bakalan bisa menyusul, diapun menyingkir ke samping sambil tertawa dingin.
Dengan satu gerakan cepat Hui Hong-hong melintas dari sisi tubuhnya, pada detik terakhir, Tian Mong-pek seakan menyaksikan sen yum bangga menghiasi wajah gadis itu.
sambil menghela napas ia gelengkan kepalanya berulang kali, ketika berpaling, perasaan hatinya jadi ngeri.
Tampak lelaki berbaju hitam yang terkena pasir beracun itu masih bergulingan diantara kerumunan domba sambil menjerit kesakitan, wajahnya telah hancur berdarah karena cakaran tangannya, keadaan orang itu sungguh mengenaskan.
Jeritan penuh kesakitan, rintihan yang memilukan hati menggema ditengah keheningan malam, sesudah bergulingan berapa kali, akhirnya dia berhasil menemukan kembali pedangnya.
Jeritnya kemudian dengan nada pilu: "Orang she-Tong, kau .
. . . .. kau sangat kejam!" sambil melompat bangun, dia hujamkan pedangnya keatas dada sendiri hingga tembus ke punggung, tampaknya lelaki itu tak kuasa menahan siksaan dan penderitaan yang dialami sehingga lebih rela mati bunuh diri.
sambil pejamkan mata, diam diam Tian Mong-pek menghela napas panjang, pikirnya: "Tak heran kalau pasir beracun Cu-bu-tok-sa disegani umat persilatan, II ternyata hasilnya begitu mengerikan .
. . . . . . .. Sementara dia masih termenung, dari arah belakang mendadak terdengar suara bentakan nyaring: "semua ini gara gara kau, membuat aku gagal mengejar orang itu!" Tian Mong-pek membuka matanya, memandang Hui Hong-hong sekejap, kemudian dengan kening berkerut dia balik tubuh dan beranjak pergi dari situ.
Bab 27. Misteri. "Jangan pergi dulu!" seru Hui Hong-hong sambil tertawa.
Sekulum senyum kebanggaan kembali tersungging diwajahnya yang dingin.
"Sudah begitu jauh kau mengejarku, masa sekarang masih berlagak malu malu kucing?" tambahnya.
Tian Mong-pek membalikkan badannya sambil menegur: "Apa maksud nona dengan perkataan itu" Aku tidak mengerti." "Aah, sudahlah! Tak usah berlagak pilon lagi," kata Hui Hong-hong tertawa, "masa aku tak bisa menduga apa yang sedang kau pikirkan sekarang?" Masih mending kalau dia tidak tertawa, begitu tersenyum, wajahnya semakin membuat hati berdebar.
"Aa...apa... apa yang kau ketahui?" tanya Tian Mong-pek setelah tertegun sejenak.
"Sebetulnya aku sangat mendongkol karena sepanjang jalan kau ikuti aku terus!" kata Hui Hong-hong.




"Tapi.... siapa.... siapa yang sedang mengikutimu?" "Tak usah takut," kata Hui Hong-hong lagi sambil tertawa, "sekarang aku sudah tak marah, karena kau telah selamatkan aku.
Meski aku amat berterima kasih dan berhutang budi, tapi akupun tak bisa mengabulkan permintaanmu dengan begitu saja." Dengan pandangan penuh rasa cinta, ditatapnya Tian Mong-pek berapa saat.
Tak terlukiskan rasa kaget anak muda itu, dengan perasaan terperanjat serunya: "Kau .
. . . . .. permintaan apa yang kau kabulkan?" Tiba-tiba Hui Hong-hong berbicara dengan wajah sungguh-sungguh: "Kita semua adalah murid perguruan kenamaan, tidak mungkin bagi orang semacam kita melakukan hubungan secara sembarangan, paling tidak harus dipinang secara terang-terangan." Tian Mong-pek makin terkesiap, saking kagetnya dia sampai berdiri melongo dengan mata terbelalak.
"Dipinang secara terang-terangan .
. . . . .." kau.... jangan-jangan Il kau . . . . . . .. Tiba-tiba Hui Hong-hong menundukkan kepalanya, dengan wajah tersipu bisiknya: "Aku bernama Tong Beng-hong, jangan lupa, aku menunggumu dirumah .
. . . . .. II minta tolong orang untuk meminangku .
. . . . . . .. Siapa yang mengira kalau si nona yang begitu galak, tiba tiba saja jadi malu dan tersipu-sipu, baru selesai bicara, ia sudah balik badan dan meninggalkan tempat itu.
Tian Mong-pek makin tercekat, teriaknya: "Nona, tunggu sebentar .
. . . . . . .." Hui Hong-hong tertawa cekikikan.
"Sebelum kau meminangku secara baik-baik, aku tak akan berbicara denganmu." Kemudian diiringi suara tertawanya yang merdu, ia berlalu dari sana.
"Kau keliru besar," teriak Tian Mong-pek setelah termangu sesaat, "sudah II terjadi salah paham, kau .
. . . .. kau . . . . . .. Sekuat tenaga ia berusaha memberi penjelasan, tapi Hui Hong-hong tak mau mendengarkan.
Saking panik dan cemasnya, pemuda itu sampai mendepakkan kakinya berulang kali, gumamnya sembari garuk-garuk kepala: "Apa apaan ini .
. . . . . . . . .." Dia merasa mendongkol, heran bercampur geli, sesudah menghela napas panjang, gumamnya lagi: "Kusangka aku adalah pria yang romantis, siapa tahu gadis itu lebih romantis, bahkan begitu mulai mabok, jauh lebih lihay ketimbang laki laki....." Semakin dipikir ia merasa makin serba salah: "Hui Hong-hong .
. . . .. wahai Hui Hong-hong . . . . . . . . .! bila burung hong terbakar hangus, bukankah dia akan berubah jadi burung gagak?" Padang rumput yang semula sudah terlelap tidur dibalik kegelapan, kini mulai gaduh dan riuh kembali.
Ringkikan kuda, dengusan kerbau, jeritan hewan yang ketakutan.....
bercampur aduk tak karuan.
Tampak belasan orang lelaki bertelanjang dada, berlarian keluar dari dalam tenda, sambil mengayun lecut dan menggiring kawanan hewan yang kalut, teriak mereka berulang kali: "Bandit pencuri kuda, cepat tangkap dan gantung sampai mampus!" Setelah bekerja seharian penuh, kawanan lelaki itu sudah kelelahan hingga begitu mabuk, mereka pun terlelap nyenyak.
Kini, begitu terbangun oleh kegaduhan, tak sempat lagi berpakaian, mereka segera menerobos keluar dari selimut dan berlarian keluar.
Jangan dilihat orang-orang itu tak pandai bersilat, namun gerak geriknya lincah dan cekatan.
Diam-diam Tian Mong-pek tertawa getir, pikirnya: "Kenapa aku masih berdiri mematung disini" Tidak lucu kalau sampai dituduh orang sebagai pencuri kuda dan mati digantung." Berpikir sampai disitu, diapun segera beranjak pergi, mencari jejak Yo Swan.
Oo0oo Dengan gerakan tubuh yang cekatan Yo Swan menyusul dibelakang Hek-yan-cu, dalam waktu singkat dia telah menyusup diantara kerumunan kuda.
Sepanjang jalan, lelaki bersenjata golok dan tombak itu tak berani melayani pertarungan lawan, karena itu Yo Swan pun tidak mengejar terlalu kencang.
Berulang kali Hek-yan-cu melepaskan senjata amginya, sayang tak satupun yang berhasil mengenai sasaran.
Maka ke tiga orang itupun melayang diatas punggung kuda, yang membuat kegaduhan ditempat tersebut.
Tiba-tiba terlihat orang berbaju hitam itu mengayunkan cambuknya berulang kali, semua lecutan ditujukan kepunggung kawanan kuda, akibatnya diiringi ringkik kesakitan, kawanan kuda itupun berlarian tersebar ke-mana mana.
"Sampai jumpa lain kesempatan!" bentak dua orang berbaju hitam itu.
Serentak mereka menyusup ke bawah perut kuda dan ikut kabur dari situ.
Hek-yan-cu tertegun, dalam keadaan begini, mau tak mau ia turut bergerak mengikuti gelombang kawanan kuda itu, andaikata tidak berbuat begitu, biar tubuhnya terbuat dari baja pun niscaya akan hancur terinjak-injak.
Dengan satu gerakan cepat Yo Swan meluncur keatas kuda yang ditunggangi hek-yan-cu itu, dengan dua orang menunggang seekor kuda dan memeluk pemuda itu erat-erat, dia membawa binatang tunggangan itu lolos dari kekacauan.
Sambil berpaling dan menghela napas, ujar Hek-yan-cu kemudian: "Terima kasih hengtai telah selamatkan jiwaku, kalau tidak, tak bisa dibayangkan bagaimana nasib siaute hari ini, aai....
bukan saja barang lenyap, mungkin nyawa pun ikut hilang." Yo Swan yang duduk dibelakangnya, seolah tanpa sengaja menyentuh buntalan dipunggung lawan, dia ingin tahu apa isi buntalan tersebut" Dimana tangannya menyentuh, terasa benda dalam buntalan itu keras seperti kotak yang terbuat dari besi, hanya sayang dia tak dapat menduga benda apa yang ada didalam kotak besi itu.
Akhirnya ia tak kuasa menahan diri, tanyanya dengan kening berkerut: "Sebenarnya karena apa ke lima orang itu tak segan melakukan perjalanan jauh, mengejar kalian hingga kemari" Apakah hengtai membawa benda mestika yang luar biasa sehingga memancing keinginan ke lima orang itu untuk merebutnya?" "Padahal bukan benda mustika yang luar biasa, tak lebih hanya tumbuhan saja." "Aah, hengtai terlalu memandang rendah aku," seru Yo Swan sambil tertawa dingin, "kalau hanya lantaran tumbuhan, masa ke lima orang itu begitu rela menempuh perjalanan jauh" Atau mungkin hengtai anggap siaute orang tolol?" Tercekat hati Hek-yan-cu, buru-buru sahutnya: "Tapi memang hanya tumbuhan." "Bunga apa" Rumput apa?" desak Yo Swan lebih jauh.
Lantaran orang lain berada dibelakang punggungnya, Hek-yan-cu tak berani menampik, terpaksa akunya: "Sebuah tumbuhan beracun, bunga beracun itu bernama toan-jong (pemutus usus) sedang rumput beracun itu bernama Jui-bong (penghancur impian)." "Terlalu banyak tumbuhan beracun di dunia ini, lantas apa keistimewaan tumbuhan itu?" "Bunga beracun itu mah tidak seberapa hebat, justru rumput penghancur impian merupakan benda yang sangat beracun, bukan saja merupakan obat mustika peramu senjata rahasia beracun, bahkan masih memiliki kegunaan lain yang lebih istimewa." "Apa keistimewaannya?" Hek-yan-cu menghela napas panjang, ujarnya: "Hengtai telah selamatkan nyawaku, jadi mau tak mau cayhe harus mengatakannya .
. . . . . . .." "Katakan saja." "Siapa bilang cayhe tidak mau bicara," kata Hek-yan-cu sambil tertawa paksa, "bila rumput penghancur impian itu diseduh dalam air teh, dalam setengah jam, nyawa orang itu akan tercabut, bahkan setelah mati, sang korban sama sekali tidak meninggalkan pertanda apapun, dia seakan mati wajar, bahkan diperiksa tabib sakti pun, jangan harap gejala keracunan itu bisa ketahuan.
Itulah sebabnya rumput beracun ini tak ternilai harganya." Yo Swan jadi kegirangan setengah mati, diam-diam pikirnya: "Tian Mong-pek wahai Tian Mong-pek, siapa suruh kau suka mencampuri urusan orang lain" Kali ini kau bakal kehilangan nyawa gara gara persoalan ini." Sebagaimana diketahui, selama ini dia selalu berharap bisa menghabisi nyawa Tian Mong-pek, tapi lantaran ia takut perbuatannya terlacak Lan Toa-sianseng, maka selama ini dia tak berani turun tangan sendiri, kuatir rahasianya terbongkar.
Tapi sekarang, sesudah tahu kasiat rumput beracun itu, dia jadi kegirangan setengah mati, ia tahu, asal dia campurkan air teh untuk Tian Mong-pek dengan racun rumput ini, niscaya orang lain akan menyangka pemuda itu mati secara wajar.
Walaupun senangnya bukan kepalang, diluar dia tetap tampil hambar, katanya: "Ooh, ternyata rumput itu memiliki kasiat yang luar biasa, tak heran orang lain jadi tertarik.
Hengtai, bolehkah kau perlihatkan rumput itu kepadaku, biar aku menambah pengetahuanku?" Hek-yan-cu tertegun, ia jadi serba salah.
Siapa sangka, sementara dia masih ragu, Yo Swan telah membuka buntalannya dan mengeluarkan sebuah peti besi .
. . . . .. Saat itu mereka sedang berada dipunggung kuda yang berlarian kencang, karena tempat duduk yang bergelombang, maka Hek-yan-cu sama sekali tidak merasakan akan hal itu.
Setelah membuka peti besi itu, kata Yo Swan sambil tersenyum: "Tak kusangka sebatang rumput kering macam begini, ternyata memiliki kasiat yang luar biasa, aku jadi ingin membawanya pulang dan perlihatkan kepada semua orang." "Maafkan daku, hengtai tak boleh berbuat begitu, rumput itu merupakan benda mustika dan bahan utama membuat pasir beracun cu-bu-tok-sah, sudah berulang kali ayah berpesan agar siaute menjaganya baik baik, aku tak bisa membiarkan benda itu hilang." Diam diam Yo Swan memetik sedikit rumput beracun itu lalu sembunyikan kebalik sakunya, setelah itu ia baru berkata lagi sambil tertawa: "Hahaha, masa sungguhan" Cayhe hanya bergurau saja, harap hengtai jangan panik." Dia tutup kembali kotak besi itu lalu diserahkan kembali ke tangan Hek-yan-cu.
Kini si walet hitam baru bisa menghembuskan napas lega, katanya sambil tertawa: "Bukannya siaute pelit, tapi .
. . . . . . .." Belum selesai berkata, dari kejauhan sudah terdengar seseorang berteriak memanggil: "Jiko .
. . . . .. jiko . . . . .." "Sam-moay, aku berada disini." Hek-yan-cu segera berteriak sambil menggapai.
Ditengah kerumunan hewan, terlihat setitik bayangan merah berlompatan dengan lincahnya, melesat mendekat dengan kecepatan tinggi.
"Dimana jite ku?" dengan kening berkerut Yo Swan segera menegur.
Kemudian sambil melejit, meninggalkan pelana, tambahnya seraya tertawa: "Pergilah bersama adikmu, cayhe akan mencari adikku." Oleh karena rumput beracun telah berada ditangan, dia enggan banyak bicara lagi, tidak sampai Hui Hong-hong mendekat, dia sudah melompat ke punggung kuda lain dan meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu, para peternak dengan bertelanjang dada telah melompat naik ke punggung berapa ekor kuda tanpa pelana, sambil mengayunkan cambuk, mereka mulai mengejar dan mengepung kawanan hewan yang tersebar di empat penjuru.
Sambil melesat ke depan, tanya Hui Hong-hong: "Jiko, bagaimana dengan orang yang kau kejar?" "Gagal kukejar!" sahut Hek-yan-cu sambil tertawa getir.
"Kalau gagal ya sudahlah!" Hui Hong-hong menanggapi sambil tertawa.
Dengan keheranan Hek-yan-cu segera menegur: "Heran, kenapa caramu bicara berubah jadi begitu halus?" Kontan Hui Hong-hong tertawa cekikikan, dia pun membisikkan sesuatu ke telinga saudaranya bilang kalau ada lelaki yang ingin meminangnya.
II "Oh, rupanya begitu, seru Hek-yan-cu dengan wajah berseri, "pemuda itu ganteng dan ampuh ilmu silatnya, diapun murid Au-sian-kiong, rasanya tidak akan memalukan dirimu." Hui Hong-hong tertawa bangga, tiba tiba serunya: "Ayoh jalan!" "Jalan?" Hek-yan-cu semakin keheranan, "paling tidak aku harus mencarinya II dan ajak dia berbicara .
. . . . .. "Ayoh jalan!" "Jalan?" Hek-yan-cu semakin keheranan, "paling tidak aku harus mencarinya dan ajak dia berbicara .
. . . . .." "Apa lagi yang dibicarakan," tukas Hui Hong-hong sambil tertawa, "kenapa tidak menunggu sampai ia datang meminang, apalagi .
. . . .. malu aku kalau musti bertemu dia lagi sekarang!" "Hahaha, ternyata kaupun tahu malu, tapi bagaimana dengan kuda kita?" "Kuda" Bukankah disini ada banyak sekali kuda liar!" "Hahaha, baik, kita berbicang sambil berjalan, toh penyaruan kita sudah terbongkar, ada baiknya ganti kuda tunggangan." Begitulah, kedua orang itupun melanjutkan perjalanan sambil berbincang bincang.
Oo0oo Yo Swan merasa amat gembira, kini dia tinggal mencari kesempatan untuk mengirim rumput penghancur impian ke dalam perut Tian Mong-pek.
Saking riang hatinya, dia merasa gerakan tubuhnya jauh lebih enteng dan lincah daripada di hari biasa.
Lima orang penggembara dengan bertelanjang dada dan mengayun cambuknya, sedang menggiring sekawanan kuda menuju ke kandang, ilmu menunggang kuda yang dimiliki ke lima orang ini sangat hebat, sudah jelas mereka adalah penggembara unggulan.
Saat itulah, mendadak terlihat sesosok bayangan manusia menyusup keluar dari bawah perut kuda, terlihat cahaya perak berkilauan, orang itu tak lain adalah manusia baju hitam bersenjata tombak itu.
Kontan saja kawanan penggembala itu membentak keras: "Pencuri kuda .
. . . . .. pencuri kuda . . . . . . .." Keadaan manusia berbaju hitam itu amat mengenaskan, matanya yang buta berputar kian kemari.
Diiringi bentakan nyaring, Yo Swan menyongsong kedatangannya, bagaikan titiran air hujan dia lepaskan pukulan berantai ke tubuh lawan.
Ibarat burung yang baru kaget karena dipanah, mana berani orang berbaju hitam itu bertarung lebih lama" Baru dua gebrakan, dia sudah balik badan melarikan diri.
Belum jauh dia kabur, tiba tiba seutas tali laso telah menjerat tengkuknya.
Sebagaimana diketahui, para penggembala ini boleh dibilang sangat mahir bermain tali laso, walaupun orang berbaju hitam itu memiliki kungfu yang hebat, namun dalam gugup dan paniknya, tak urung ia berhasil juga dipecundangi.
Begitu pengembala itu menarik tali lasonya, orang berbaju hitam itu seketika terjatuh dari kudanya, masih untung dia adalah seorang jago lihay, walau terancam jiwanya namun tidak jadi gugup, cepat dia balik tangannya, balas menangkap tali laso itu dan membetotnya kuat kuat.
Dengan cepat pengembala itu lari mendekat, diiringi caci maki, dia lontarkan satu pukulan ke depan.
Secepat kilat orang berbaju hitam itu menangkis datangnya ancaman, kemudian dia balas cengkeram pergelangan tangan lawan.
Baru saja dia akan patahkan pergelangan tangan itu, siapa tahu sedikit tenaga pun tak sanggup dikerahkan, entah sejak kapan, tahu tahu tangan sendiri sudah dicekal orang lain, diikuti badannya terangkat ke udara dan .
. . . .. Blaaam! Terbanting diatas tanah keras-keras.
Ternyata ilmu bantingan yang digunakan penggembala itu adalah ilmu gulat yang paling tersohor dari wilayah perbatasan, orang ini sangat menguasahi ilmu gulat, asal tubuh lawan teraba, biar dia seorang dewa pun pasti akan terbanting jatuh.
Kendatipun ilmu gulat tidak mampu menandingi kehebatan Tian-ih- cap-pwe-tiap dari Bu-tong-lay, namun kehebatannya patut diacungi jempol, khususnya bila digunakan disaat lawan tidak menduga.
Biarpun ilmu silat yang dimiliki orang berbaju hitam itu jauh diatas kemampuannya, tak urung orang itu terbanting juga hingga pusing tujuh keliling, saat itulah berapa orang rekannya telah menyusul tiba, mereka segera menghimpitnya diatas tanah lalu mengikat tubuhnya kuat kuat.
Seorang penggembala segera maju dan merampas tombak peraknya, lalu tanpa buang waktu langsung menusuk tubuhnya berulang kali.
Sambil menusuk, umpatnya berulang kali: "Dasar pencuri kuda sialan, dasar pencuri kuda sialan .
. . . . .." Perlu diketahui, para penggembala yang hidup diluar perbatasan sangat tergantung dengan kehadiran kuda, mereka paling benci terhadap para pencuri kuda, menurut tradisi dan kebiasaan, asal ada pencuri kuda yang tertangkap maka kalau bukan dikirim ke pengadilan, pastilah mereka jatuhi hukuman mati.
Termakan berapa puluh tusukan tombak, sekujur tubuh orang berbaju merah itu penuh luka merekah, darah dan hancuran daging berceceran dimana mana, tombak perak itupun nyaris berubah warna jadi merah darah.
Selama ini Yo Swan hanya berpangku tangan, sama sekali tak berusaha untuk menghalangi.
Orang berbaju hitam itu sudah terhajar hingga sekujur tubuhnya bermandikan darah, namun ia sama sekali tak mengeluh atau menjerit kesakitan, Tian Mong-pek yang kebetulan lewat jadi tak tega setelah menyaksikan kejadian ini.
Tiba tiba muncul seorang penggembala yang melontarkan satu tendangan, membuat manusia berbaju hitam itu terguling ke samping.
Akibatnya kain kerudung hitam yang dikenakan terlepas dari wajahnya, apalagi dia roboh terlentang, begitu Tian Mong-pek melihat wajah orang itu, kontan saja ia menjerit kaget.
Ternyata manusia berbaju hitam yang dihajar sampai setengah mati itu tak lain adalah jago kenamaan dari kota Hangciu, Kiu-lian-huan (sembilan berantai) Lim Luan-hong.
Saking kagetnya, tanpa sadar Tian Mong-pek membentak nyaring: Il "Lepaskan dia .
. . . . . . .. Banyak diantara penggembala yang mengerti bahasa Han, lagipula merekapun tahu kalau dia adalah tamu majikannya, begitu mendengar suara bentakan, serentak mereka menghentikan pukulan dengan hati tercengang.
Tian Mong-pek segera memburu ke depan, membopong bahu Lim Luan-hong lalu bisiknya lirih: "Saudara Lim, saudara Lim, mengapa kau datang kemari" Mengapa kau sampai seperti ini?" Lim Luan-hong membuka m atanya, memandang pemuda itu dengan tatapan kosong, kemudian matanya terpejam dan tidak bicara lagi.
Sesudah menghela napas, kembali ujar Tian Mong-pek: "Setelah menyaksikan jurus serangan yang digunakan saudara Lim, seharusnya aku bisa menduga siapakah dirimu .
. . . .. aai, alangkah baiknya bila aku dapat mengenalimu sejak tadi." Lim Luan-hong tetap tidak ambil peduli.
Rupanya Lim Luan-hong sadar kalau senjata Kiu-lian-huan miliknya kelewat mencolok mata, karena itu dia menukar senjatanya dengan sebuah tombak perak.
Dia telah melebur semua jurus serangan Kiu-lian-huan miliknya ke dalam tombak perak itu, tak heran bila Tian Mong-pek dan Hek-yan-cu sekalian tak dapat menebak asal usulnya.
Sementara itu si kakek dan pemuda kekar itu sudah muncul dari kejauhan, para penggembala pun maju merubung dan menceritakan kejadian dengan bahasa Tibet.
Setelah manggut-manggut, orang tua itu menghampiri Tian Mong-pek dan bertanya: "Apakah pencuri kuda ini sahabat kalian?" Dari nada pertanyaannya, sudah jelas ia merasa tak puas.
Tian Mong-pek menghela napas panjang, sahutnya: "Sebetulnya saudara Lim mempunyai sedikit dendam pribadi dengan sepasang muda mudi itu, karenanya ia datang menyatroninya." "Jadi mereka bukan datang untuk mencuri kuda?" kembali kakek itu bertanya.
"Dia bukan pencuri kuda, cayhe berani menjamin dengan nyawaku." "Baiklah," ujar kakek itu kemudian sambil tertawa, "aku mempercayaimu, sungguh beruntung nasib orang ini karena ia dapat memiliki seorang sahabat seperti kau." Dalam pada itu, kawanan kuda yang kalut telah berhasil ditenangkan kawanan penggembala itu, semua hewan sudah kembali ke kandang, suasana di padang rumput pun telah pulih dalam ketenangan.
Langit pun lambat laun jadi terang kembali.
Balik ke dalam tenda, kakek itu segera perintahkan untuk menggotong Lim Luan-hong dan dirawat lukanya, berada dalam keadaan seperti ini, walaupun ada banyak masalah yang ingin ditanyakan Tian Mong-pek, mau tak mau terpaksa dia harus urungkan dulu niatnya.
Terdengar kakek itu berkata: "Keponakanku telah melukai sahabatmu, kau tidak marah bukan?" "Aah, kejadian timbul karena salah paham, jadi bisa dimaklumi," jawab Tian Mong-pek sambil tertawa, "seandainya aku berganti kalian, mungkin saja akan kulecuti dia dengan cambuk berduri." "Hahaha, bagus, sungguh beruntung aku bisa berkenalan dengan pemuda macam II kau, seru kakek itu sambil tertawa tergelak, "Kakcu, perintahkan anak-anak untuk menyiapkan hidangan." Selama ini Yo Swan hanya membungkam tanpa menjawab, saat itulah terlihat dua orang penggembala menggotong Lim Loan-hong menuju ke tenda lain.
Ia termenung berapa saat kemudian melengos kearah lain, pura pura tidak melihat.
Begitu menyaksikan kedua orang gembala itu sudah meninggalkan tenda, tanpa membuang waktu lagi, Yo Swan segera menyelinap masuk ke dalam tenda.
Waktu itu Lim Luan-hong sedang berusaha untuk bangun, agak kaget ketika secara tiba tiba melihat seseorang masuk ke dalam tenda.
Dengan wajah berubah, tegurnya: "Siapa kau?" Yo Swan tidak menjawab, dia mendekat sambil membebaskan ikatan tali ditubuh orang itu, kemudian katanya dingin: "Luka yang kau derita hanya luka lecet, tidak masalah, sekarang cepat pergi dari sini!" "Sii.....siapa kau?" tanya Lim Luan-hong tercengang.
"Mungkin kau tidak mengenaliku, tapi aku kenal kau." II "Jadi kaupun .
. . . . . . .. seru Lim Luan-hong semakin kaget.
"Betul sekali," Yo Swan manggut-manggut, "akupun sama seperti dirimu, hanya sayang kau tidak mengontakku sejak awal hingga urusan jadi berantakan.
Sekarang, terpaksa aku harus selamatkan proyek ini dengan cara lain." "Aah, jadi kau Yo Swan?" berkilat sorot mata Lim Luan-hong.
"Baguslah bila kau sudah tahu." Terkejut bercampur girang, bisik Lim Luan-hong lagi: "Majikan sangat minat dengan rumput penghancur impian, kali ini .




. . . . . . .." Mendadak terdengar suara langkah manusia berkumandang dari luar tenda.
"Jangan banyak bicara!" bentak Yo Swan.
Sambil membopong Lim Luan-hong, dia cabut pisau belati, merobek tenda bagian belakang kemudian menyelinap keluar dengan kecepatan tinggi.
Kebetulan kedua ekor kuda putih tunggangan dua bersaudara Tong tertambat dibelakang tenda, cepat Yo Swan memutus tali les kuda kemudian sambil mendorong Lim Luan-hong naik ke punggung kuda, serunya: "Cepat pergi." "Bagaimana dengan Yo-heng .
. . . . . .." Yo Swan tidak menjawab, dia ayun tangannya menabok pantat kuda, diiringi ringkikan, kuda putih itu segera berlarian menembus padang rumput yang luas.
Waktu itu kekacauan baru saja mereda, semua orang sudah balik ke tenda untuk beristirahat, karenanya tak seorangpun yang me naruh perhatian akan kejadian tersebut.
Setelah sembunyikan pisau belatinya, sambil bergendong tangan, seakan akan tak pernah terjadi sesuatu, Yo Swan berjalan balik ke tenda nya.
Semua tingkah lakunya, baik sewaktu masuk maupun sewaktu keluar, dilakukan begitu santai, tak heran kalau tak ada orang yang perhatikan perbuatan busuknya itu.
Dalam pada itu Tian Mong-pek sedang mengawasi tombak perak yang digenggam dalam tangannya, warna tombak sudah dinodai darah kering, bekas noda yang membeku disana sini, tak ubahnya seperti karat pada batang besi.
Sampai lama sekali dia awasi senjata itu, kemudian setelah menghela napas panjang gumamnya: "Padahal selama ini sepak terjang Lim Luan-hong selalu jujur, terbuka dan lurus, kenapa sekarang berubah jadi begitu aneh dan mencurigakan?" "Tiada urusan yang tak bakal berubah di dunia ini," sahut orang tua itu menghela napas, "manusia pun dapat berubah, orang yang dulunya jahat sekali bisa berubah jadi baik, ada yang dulunya sangat baik berubah jadi jahat." "Aaai, kelihatannya dia memang agak berubah, kalau tidak, mustahil dia bakal kasak kusuk sampai memperlihatkan wajah asli pun tak berani, II namun .
. . . . . . . . Sesudah berkerut kening dan menghela napas, lanjutnya: "Kenapa dia harus menempuh perjalanan jauh datang kemari" Apa pula barang yang dia harapkan?" "Bila sahabatmu telah berubah, tak mungkin kau bisa menebak apa yang hendak mereka lakukan," kakek itu menerangkan, "bila kau sudah seusiaku nanti, teori ini pasti akan kau pahami." Dengan tatapan kosong Tian Mong-pek memandang kejauhan, kembali gumamnya: "Berubah, dia benar-benar telah berubah, tapi .
. . . . .. karena alasan apa dia harus berubah?" Tiba-tiba terlihat seorang penggembala berlarian masuk dengan panik, berbicara dengan gugup.
"Apa yang dia katakan?" tanya Tian Mong-pek terperanjat.
"Dia bilang, sahabatmu telah merobek kain tenda dan melarikan diri." Jawaban kakek itu sangat tawar.
Saking terperanjatnya, mendadak Tian Mong-pek melompat bangun, tapi.....
lagi lagi ia terduduk, bisiknya bimbang: "Dia kabur" Mengapa dia harus kabur?" "Mungkin dia malu bertemu kau, maka terpaksa angkat kaki dari sini." Sahut Yo Swan.
Perlahan Tian Mong-pek mengangguk, untuk berapa saat dia tak sanggup berbicara.
II "Sudahlah, tak perlu dicemaskan, ucap si kakek pula sambil tertawa,
"Sudahlah, tak perlu dicemaskan, ucap si kakek pula sambil tertawa, "sekalipun dia sudah kabur, aku toh tak akan menyalahkan kau, ayoh minum dulu susu sapi hangat itu!" Kelihatannya kakek itu menaruh kesan baik terhadap Tian Mong-pek, sesudah terang tanah, ketika Tian Mong-pek hendak pamit, berulang kali ia menahannya agar menginap berapa hari lagi, terpaksa pemuda itu menuruti permintaannya.
Begitulah, setelah menginap semalam lagi, akhirnya berangkatlah mereka berdua menembusi padang rumput yang luas, dibutuhkan perjalanan sehari semalam sebelum akhirnya tiba di sebuah kota.
Kota itu termasuk sebuah kota yang rapi, dikedua sisi jalan raya yang lebar berjajar berapa toko dan penginapan.
Tapi orang yang berlalu lalang sebagian besar berdandan suku Tibet, dialek bicara yang digunakan pun bahasa Tibet, malah gerombolan domba dan unta ikut berjejal disepanjang jalanan itu.
Dengan tubuh yang dekil karena debu gurun, begitu menginap di losmen, Tian Mong-pek maupun Yo Swan segera membersihkan diri.
Malam itu, mereka berdua bersantap didepan cahaya lentera, setelah menempuh perjalanan selama berapa hari, baru sekarang Tian Mong-pek dapat meneguk arak, tak heran kalau air kata kata pun mengalir dengan derasnya.
Arak yang pedas, seolah membersihkan debu yang mengotori tubuhnya, membersihkan pula kesumpekan hatinya karena perubahan watak Lim Luan-hong.
Ketika dia kembali ke kamar dalam keadaan setengah mabuk, Yo Swan muncul sambil menenteng sepoci air teh dan berkata seraya tertawa: "Minumlah air teh untuk menawarkan pengaruh arak, besok kau tak akan menderita lagi." Tak terlukiskan rasa terima kasih Tian Mong-pek, katanya sambil menghela napas panjang: "Begitu baik toako terhadap diriku, membuat siaute tak tahu bagaimana harus membalas, sepantasnya siaute lah yang menghantar air teh untuk toako." "Hahaha, antar saudara tak perlu bicara begitu, malah kesannya kau pandang aku sebagai orang luar." Tukas Yo Swan sambil tertawa.
"Silahkan duduk toako, bagaimana kalau minum secawan air teh lebih dulu?" "Tidak usah," cepat tampik Yo Swan, "setelah berapa hari tak bisa tidur nyenyak, hari ini aku ingin tidur lebih awal, lagipula kaupun sudah lelah, cepat minum teh lalu pergilah istirahat!" Begitu selesai bicara, dia langsung meninggalkan ruangan.
Tiba dalam kamar sendiri, pikirnya sambil tertawa dingin: "Selamat tinggal saudaraku, besok aku akan datang mengurusi layonmu." Dalam keadaan setengah mabuk, Tian Mong-pek ambil keluar botol kumala dan kitab pusaka pemberian Thian-heng lojin, gumamnya: "Lak-yang-ciang wahai Lak-yang-ciang, aku bersumpah harus mempelajarimu sampai bisa." Dalam berapa hari terakhir, dia sibuk melakukan perjalanan, hal ini membuatnya tak punya peluang untuk berlatih silat, keadaan tersebut cukup membuatnya gelisah, perasaan hatinya waktu itu ibarat seorang setan arak yang membekal arak wangi namun tak berkesempatan untuk menikmatinya.
Dia buka penutup botol dan mengeluarkan tiga belas butir pil, pil berwarna merah membara bagaikan jilatan api, bau harum semerbak segera menyebar memenuhi ruangan.
Kembali gumamnya: "Obat merah dalam botol ini berkasiat membantu aku berlatih ilmu dan harus diminum sebelum berlatih ilmu dalam kitab itu .
. . . .. baik, aku II segera akan mulai berlatih .
. . . . . .. Berjalan menghampiri meja, dia ingin menggunakan air teh sebagai penghantar minum obat, siapa tahu cawan teh tidak ditemukan, akhirnya sambil gelengkan kepala dan menghela napas, dia telan ke tiga belas biji obat merah itu sekaligus.
Dalam waktu sekejap, ia merasa dari dalam perutnya seolah menyebar hawa panas yang membara.
Tapi pemuda itu tidak berpikir lebih jauh, ia segera duduk bersila diatas ranjang dan membuka kitab pusaka itu dibawah cahaya lentera.
Ia sudah pernah periksa halaman pertama, maka dibukanya halaman kedua yang tertulis: "Lak-yang-sin-kang merajai dunia persilatan, diperoleh yang berjodoh dan tiada tandingan dikolong langit." Diam-diam Tian Mong-pek tertawa geli, pikirnya: "Aah, mana mungkin bisa menjadi jagoan yang tiada tandingan di kolong langit." Ia mulai membuka halaman ke tiga, disana tertulis: "Bagi murid golongan lurus yang pernah mempelajari tenaga dalam, berlatih Lak-yang-sin-kang sama artinya menambah setengah kekuatan semula, tapi dilarang mencapai kemajuan secara terburu-buru.
"Hanya pil Hwee-yang-wan dalam botol porselen merah yang mempunyai kasiat mempercepat berlatih sinkang ini.
Setiap hari menelan sebutir dan berlatih selama tiga jam, tiga belas hari kemudian akan terbukti kasiatnya." "Setiap hari hanya boleh menelan sebutir?" gumam Tian Mong-pek agak tertegun.
Ketika membuka halaman ke empat, disitu tertulis: "Pil Hwee-yang-wan bersifat panas, Lak-yang-ciang merupakan ilmu pukulan terpanas diantara ilmu lain, dengan panas membantu panas, kasiatnya akan luar biasa, tapi pantang diraih secara terburu buru.
"Menelan sebutir hwe-yang-wan lebih banyak dapat menyebabkan seluruh tubuh terbakar, menelan empat butir sekaligus dapat membuat isi perut rusak, dalam dua jam kemudian seluruh isi badan akan rusak dan II mengakibatkan kematian .
. . . . . . .. Membaca sampai disitu, Tian Mong-pek merasa hatinya goncang keras, tangannya begitu gemetar hingga buku yang dipegang pun ikut terjatuh ke lantai .
. . . . .. Angin malam berhembus lewat, menggerakkan halaman kitab, goyangan yang seakan mengejek kebodohan pemuda itu, mentertawakan perbuatannya yang gegabah.
Hembusan angin malam terasa makin dingin, tapi isi Tian Mong-pek justru makin membara bagaikan terbakar api, ke empat anggota badannya panas dan menggelembung, sekujur tubuh terasa makin mengem bang seakan siap meledak.
Dia mencoba merangkak bangun dari ranjang, lagi-lagi air teh beracun dalam teko diteguknya hingga habis, wataknya yang keras kepala membuat anak muda itu tak pernah takut menghadapi ancaman kematian.
Yang dia lakukan saat ini hanya tertawa getir, menyeringai sambil berpikir: "Tak terhitung berapa kali aku lolos dari bahaya maut, tak sekali pun tercabut nyawaku, aaai, siapa sangka, pada akhirnya aku harus mati konyol ditempat ini." Oo0oo Cukup lama Yo Swan menunggu diluar kamar, ketika tak mendengar suara apapun, tak tahan diam diam ia ngeloyor ke depan jendela, kebetulan saat itulah dia saksikan Tian Mong-pek sedang meneguk air teh beracun itu.
Dengan luapan gembira yang bukan kepalang, ia segera kembali ke dalam kamar, tidur dengan nyenyak, menunggu orang lain datang mewartakan berita kematian Tian Mong-pek.
Ketika terbayang berapa banyak keuntungan yang bakal diraih dengan matinya pemuda itu, ia merasa makin gembira dan puas, tanpa terasa diapun terlelap tidur.
Entah berapa lama sudah lewat, disaat ia masih tertidur nyenyak, mendadak terdengar suara ketukan pintu yang ramai membuatnya terjaga.
Cepat dia melompat turun dari ranjang, disangka ada orang menyampaikan berita kematian, sambil membuka pintu teriaknya: "Ada apa?" Belum selesai dia bertanya, Tian Mong-pek tampak sudah muncul dihadapannya, pemuda itu tampil dengan wajah merah bercahaya, jauh lebih segar dan gagah daripada semalam.
Tak terlukiskan rasa kaget Yo Swan, pikirnya tercekat: "Jangan jangan aku bertemu setan" Jangan jangan dia datang untuk mencabut nyawaku?" Dia merasa sepasang lututnya jadi lemas, tubuhnya gontai dan terduduk diatas bangku.
Begitu masuk ke dalam kamar, Tian Mong-pek segera memberi hormat seraya berkata: "Terima kasih banyak toako, atas pemberian air teh mu .
. . . . . . .. II "Bukan aku . . . . .. bukan aku . . . . . .." berulang kali Yo Swan menggoyang tangannya, sementara peluh dingin membasahi punggungnya.
"Aaai, padahal toako telah mencampuri air teh itu dengan obat mujarab," kata Tian Mong-pek sambil menghela napas, "buat apa kau masih mengelabuhi siaute" Kenapa tidak membiarkan siaute tahu akan hal ini." II "Rumput obat itu buu .
. . . .. bukan milikku . . . . . . .. "Sekalipun bukan milik toako, tapi toako lah yang telah menghantar rumput obat itu kepadaku .
. . . . . .." "Mau..... mau apa aku sekarang?" suara Yo Swan semakin gemetar.
"Kalau bukan gara-gara obat mujarab toako, mungkin saat ini siaute sudah mati konyol, harap toako sudi menerima satu penghormatanku." Betul saja, ia segera jatuhkan diri berlutut.
Terkejut bercampur penuh tanda tanya, Yo Swan membesut keringat dingin yang membasahi jidatnya.
"Apa..... apa kau bilang?" tanyanya kemudian.
Kembali Tian Mong-pek menghela napas, katanya: "Gara-gara bertindak gegabah, tanpa dibaca lebih teliti, siaute telah menelan tiga belas butir pil hwee-yang-wan sekaligus, mustinya siaute bakal mati karena isi perutku terbakar." "Lalu.....
lalu apa yang terjadi?" sambil menggenggam kencang punggung kursi, tanya Yo Swan gemetar.
Tian Mong-pek tersenyum, katanya: "Waktu itu, siaute merasa sekujur tubuhku panas bagaikan terbakar, kusangka bakal mati konyol, siapa tahu, tidak sampai satu jam setelah kuhabiskan air teh dalam teko pemberian toako, lambat laun tubuhku jadi dingin dan segar, siksaan karena menggelembung dan kepanasan yang luar biasa pun ikut hilang tak berbekas, sudah pasti dalam air teh pemberian toako, telah dicampuri obat mujarab penghilang rasa panas, sehingga racun api ditubuh siaute ikut terbasmi .
. . . ..aai, berulang kali toako telah selamatkan nyawa siaute, entah bagaimana caraku untuk membalasnya." Yo Swan merasa dadanya seolah terhantam martil besi, tak sampai mendengar hingga selesai, sekujur tubuhnya sudah gemetaran keras, gumamnya: "Itulah dia .
. . . . .. yaa, itulah dia . . . . . . .." Melihat mimik mukanya yang jelek, Tian Mong-pek terkesiap, tegurnya cepat: "Toako, kenapa kau?" "Aah, betul, betul sekali," batin Yo Swan, "rumput penghancur impian merupakan benda terdingin yang ada di dunia ini, bila ditelan orang biasa, isi perutnya akan kedinginan dan membeku hingga tak tertolong, tapi bagi orang yang keracunan hawa panas, obat ini justru merupakan obat paling mustajab untuk mengurai sifat racunnya, aaai, dengan susah payah kucuri racun itu dengan niat membunuhnya, siapa tahu justru perbuatanku II ini telah selamatkan nyawanya .
. . . . . .. Semakin dipikir, ia merasa makin tersiksa, makin jengkel, makin mendongkol: "Coba tidak kuberi air teh itu, bukankah saat ini dia sudah mati konyol" Enyah dari muka bumi?" Membayangkan sampai disini, dia tak tahan untuk meninju dada sendiri sambil menghentak kakinya berulang kali, nyaris menangis tersedu-sedu.
Dengan penuh rasa haru Tian Mong-pek menggenggam bahunya, dengan nada gemetar teriaknya berulang kali: II "Toako .
. . . .. toako . . . . . . .. Hampir gila saking mendongkolnya Yo Swan, tapi dia paksakan senyuman menghiasi wajahnya, setelah tertawa tergelak serunya: "Hahaha.....
aku terlalu senang, pada hakekatnya aku merasa senang sekali." "Oh, rupanya toako sedang ikut gembira karena siaute," seru Tian Mong-pek sambil menghembuskan napas lega, "tadinya siaute sangka tiba tiba toako 'I' c terserang penyakit Dalam hati Yo Swan menyumpai pemuda itu, tapi diluar, ia berkata sambil tertawa: "Tadinya kusangka obat itu hanya bisa menyegarkan otak, sama sekali tak kusangka begitu hebat kasiatnya." "Benar sekali, pada hakekatnya tiada duanya dikolong langit, saat ini bukan saja siaute merasa segar bugar, bahkan tenaga dalamku terasa meningkat tajam." "Betulkah begitu?" tanya Yo Swan dengan mata terbelalak.
"Tentu saja." "Bagus, bagus, hahahaha.....
bagus . . . . .." Semakin didengar, ia merasa makin mendongkol, makin kesal dan jengkel, mendadak sambil berteriak keras, tubuhnya terjengkang ke belakang, roboh tak sadarkan diri.
Sambil menjerit kaget buru-buru Tian Mong-pek membopong tubuhnya sambil direbahkan diatas ranjang, ia semkin terharu dan berterima kasih, pikirnya: "Toako memang nyata sangat menguatirkan diriku, buktinya, gara gara urusanku dia sampai jatuh semaput." Hingga melanjutkan perjalanan keesokan harinya, perasaan hati Yo Swan masih amat masgul.
Setiap kali melihat gerak gerik Tian Mong-pek yang segar penuh semangat, perasaan hatinya seakan ditembusi berjuta batang panah beracun, apalagi setiap saat dia harus melayani pembicaraan dengan pemuda itu, menebar senyuman.
Kuatir borok dihatinya ketahuan Tian Mong-pek, sepanjang jalan sikapnya terhadap pemuda itu amat hangat dan penuh perhatian, malah semua keinginannya dipenuhi.
Hari itu, tibalah mereka di Hin-hay, sejauh mata memandang, yang terlihat hanya bentangan padang rumput yang luas, selisih jarak dari kota Say-leng di propinsi Cing-hay sudah tidak jauh lagi.
Menyaksikan panorama alam diluar perbatasan, perasaan hati Tian Mong-pek makin lama semakin riang, senja itu dia mengajak Yo Swan berkeliling kota, bahkan menyempatkan diri membeli sepasang sepatu kulit.
Sewaktu akan membayar uang sepatu, mendadak terdengar suara rentetan mercon berkumandang dari toko sebelah, dilihat dari kejauhan, tampak banyak orang sedang berkerumun disitu, bahkan dimeja altar tersedia sesaji.
Menyaksikan hal ini, sambil tertawa kata Tian Mong-pek: "Rupanya hari ini mereka sedang merayakan hari besar, aku jadi ingin tahu dewa apa yang mereka sembah." Sementara berbicara, dia sudah ikut berdesakan masuk ke dalam ruangan.
Ternyata dibalik ruangan terdapat sebuah meja altar, diatas altar tersedia lilin, hio dan sesaji, berapa orang sedang berlutut didepan altar, melakukan penghormatan.
Tapi diatas meja altar tak terlihat patung Budha, yang ada hanya lengpay.
Dibawah sinar lilin, terlihat jelas tulisan yang tertera diatas lengpay itu yang berbunyi: "Tempat abu tuan penolong Tian Mong-pek." Betapa terkejutnya Tian Mong-pek setelah membaca tulisan itu, mula mula dia sangka matanya kabur, tapi setelah dipandang lebih seksama, jelas tertera tulisan diatas.
Dengan perasaan tak percaya iapun berpaling seraya bertanya: "Toako, sudah kau lihat?" Paras muka Yo Swan sendiripun diselimuti rasa kaget bercampur bingung, diam diam dia tarik ujung baju pemuda itu sambil bisiknya: "Jangan bikin gaduh, biar kucari dulu berita tentang hal ini." Ditepi jalan, mereka bertemu dengan pedagang sepatu yang mengerti bahasa Han, setelah menariknya ke tepian, tanyanya: "Tolong tanya toako, apakah tahu apa yang terjadi disana?" "Aai, panjang untuk diceritakan .
. . . . . .." jawab orang itu sambil menghela napas.
"Kalau begitu, cerita saja secara ringkas." Dengan tatapan heran orang itu mengawasi mereka sekejap, kemudian ujarnya: "Sebenarnya mereka sekeluarga sudah mati, tapi seorang pemuda bernama Tian siangkong telah selamatkan nyawa mereka semua, itulah yang terjadi." "Toako, tidakkah kau merasa kalau ceritamu kelewat sederhana." Kata Yo Swan tertawa.
"Kisah yang sejelasnya tidak kuketahui, yang aku dengar, semalam, pendekar muda Tian Mong-pek telah melakukan berapa perbuatan baik, bila maju lebih ke depan, kalian akan menyaksikan banyak keluarga sedang menyembahnya.
Coba tanyalah ke orang lain, siapa tahu mereka bisa memberi penjelasan." Diliputi perasaan kaget bercampur keheranan, Tian Mong-pek saling bertukar pandangan dengan Yo Swan, kemudian setelah mengucapkan terima kasih, berangkatlah kedua orang itu melanjutkan perjalanan.
Betul saja, sepanjang jalan mereka jumpai ada dua-tiga keluarga yang melakukan hal sama, setelah ditanya secara hati-hati, diketahui bahwa berapa keluarga itu telah peroleh pertolongan dari "Tian Mong-pek" disaat saat kritis.
Mendapat pertanyaan semacam itu, orang lain justru balik bertanya: "Apakah kalian berdua adalah sahabat Tian inkong" Atau ada urusan mencari kami?" II "Benar, sahut Yo Swan cepat, "kami adalah sahabat Tian Mong-pek, tapi tidak terlalu yakin apa benar dialah Tian siangkong yang dimaksud, tolong tanya toako, apakah kalian sempat mengenali wajah aslinya?" Mengetahui mereka berdua adalah teman "Tian Mong-pek", sikap orang itu berubah jadi amat menghormat, jawabnya: ll "Tian inkong adalah seorang kongcu muda .
. . . . . .. "Apakah wajahnya mirip aku?" sela Tian Mong-pek.
Orang itu perhatikan sang anak muda berapa saat, lalu sahutnya sambil tertawa: "Terus terang, kami semua tak ada yang pernah menyaksikan wajah Tian inkong, kami hanya menduga kalau usianya pasti sangat muda." Tian Mong-pek mengiakan dengan perasaan kecewa, kembali dia melanjutkan perjalanan setelah mengucapkan terima kasih.
Setelah melangkah berapa jauh, Tian Mong-pek baru menghela napas sambil bergumam: "Sudah jamak orang persilatan mencatut nama orang untuk melakukan kejahatan, tapi amat jarang yang mencatut nama untuk melakukan kebaikan, benar-benar satu kejadian aneh." "Mungkin saja kita bertemu dengan orang yang bernama sama." Kata Yo Swan.
Tian Mong-pek termenung sambil berpikir sejenak, setelah menggeleng dan menghela napas, katanya: "Memiliki nama yang sama .
. . . . . .." aai, rasanya begitu kebetulan, tapi kalau bukan begitu, rasanya kejadian ini lebih aneh lagi." Berjalan berapa saat kemudian, tanpa terasa kedua orang itu sudah berjalan dari sisi selatan kota menuju ke utara kota.
Kota Hin-hay merupakan pusat perdagangan rempah rempah dan tanduk menjangan yang mahal harganya, alas jalan dalam kota terbuat dari batu granit yang mahal, pertokoan sepanjang jalan pun sangat megah, khususnya pertokoan disepanjang jalan menuju utara kota.
Diantara pertokoan yang megah, terselip pula rumah makan dengan bau masakan yang harum.
Tanpa terasa Tian Mong-pek memperlambat langkah kakinya.
Melihat hal itu, Yo Swan pun bertanya: "Apakah jite ingin minum berapa cawan?" "Begitulah niatku." Kedua orang itupun mencari rumah makan yang dibuka bangsa Han, dari balik kain tirai yang tebal, segera terendus bau arak yang kental dan harum semerbak.
Karena terganjal masalah, Tian Mong-pek hanya bersantap dan minum arak sambil melamun, sementara Yo Swan mulai memperhatikan sekeliling tempat itu.
Tiba tiba terdengar suara derap kaki kuda berhenti diluar pintu, empat orang lelaki berdandan suku Tibet dengan mantel besar, melangkah masuk ke dalam ruangan dengan langkah lebar.
Bukan suatu kebiasaan melarikan kuda didalam jalan kota, apalagi penunggangnya berdandan orang persilatan, tanpa terasa Yo Swan menaruh perhatian lebih terhadap beberapa orang itu.
Ke empat orang itu, dengan tatapan yang tajam balas melototi mereka berdua, hanya saja waktu itu Tian Mong-pek sedang melamun sehingga sama sekali tak ambil peduli dengan tatapan mereka berempat.
Tak lama kemudian, ke empat orang itupun mulai meneguk arak sambil berbincang, nada suara mereka makin lama makin meninggi.....
seolah olah dalam ruangan itu hanya terdiri mereka berempat.
Mendadak terdengar seseorang menggebrak meja seraya mengumpat: "Konon Tian Mong-pek si bajingan ini adalah anak Tian Hua-yu, kenapa perbuatan yang dia lakukan tidak mirip perbuatan manusia?" Walaupun mereka mengenakan baju Tibet, namun berbicara dengan dialek bahasa Han.
Kembali Tian Mong-pek dibuat tertegun setelah mendengar perkataan itu, belum sempat bereaksi, terdengar seorang yang lain ikut mengumpat: "Tian Hua-uh mah terhitung seorang enghiong, sama sekali tak disangka ia justru mempunyai seorang anak macam anjing beruang." Paras muka Yo Swan ikut berubah setelah mendengar perkataan itu, diam-diam ia menggenggam tangan Tian Mong-pek, kemudian serunya dengan suara berat: "Apakah orang yang kalian umpat adalah Tian Mong-pek dari kota Hang-ciu?" Orang itu melirik Yo Swan sekejap, kemudian jawabnya: "Betul, dialah yang kami umpat." Orang ini berperawakan tinggi besar, mukanya semerah pantat babi, tampaknya mirip seorang lelaki sejati.
"Apakah kalian kenal dengan orang bermarga Tian itu?" kembali tanya Yo Swan dengan kening berkerut.
"Huh, siapa yang kesudian kenal dengan anak jadah itu." Sahut lelaki bermuka merah itu sambil tertawa dingin.
"Kalau tidak kenal, kenapa kalian mencaci maki dirinya?" "Kami bersaudara menempuh perjalanan melalui Dakonto, Asako serta berapa tempat sepanjang pesisir sungai kuning, hampir setiap tempat yang kami singgahi selalu diwarnai dengan pembunuhan berdarah yang dilakukan Tian Mong-pek .
. . . . . . .." Sebetulnya Tian Mong-pek sudah dikuasahi api amarah yang luar biasa, tapi ia jadi tercengang setelah mendengar sampai disitu, tanyanya keheranan: "Pembunuhan berdarah apa?" Dia pun segera menebak kalau ada orang telah mencatut namanya untuk melakukan tindak kejahatan.
"Hmm, pembunuhan berdarah apa lagi?" dengus lelaki bermuka merah itu, "bukan saja merampok, membunuh, bahkan merogol kaum wanita, nyaris semua kejahatan telah dia lakukan." Baru saja api kemarahan Tian Mong-pek meluap, belum sempat dia buka suara, dari sudut ruangan terdengar seseorang menyela dengan nada dingin: "Darimana kalian tahu kalau dia yang melakukan perbuatan itu?" Dengan gusar teriak lelaki berwajah merah itu: "Sepanjang jalan, dia selalu meninggalkan namanya, hakekatnya dia sudah menganggap pekerjaan membunuh sebagai pekerjaan rutin, bila suatu saat kami dapat bertemu dengannya, pasti akan kucincang bajingan itu hingga hancur berkeping." Belum selesai dia berkata, tiba tiba dari sudut ruangan melompat bangun seorang pemuda, serunya gusar: "Dari Kamsiok hingga tempat ini, sauya hanya mendengar sepak terjang Tian Mong-pek yang gagah berani dan melakukan perbuatan kebajikan, memang kalian sangka dia bisa memecah diri jadi dua orang, yang satu berbuat kebajikan di sebelah timur, sementara yang lain melakukan pembantaian disebelah barat?" Lelaki bermuka merah itu tak mau kalah, sambil menggebrak meja teriaknya pula: "Hmm, jangan jangan kau adalah begundal Tian Mong-pek, berapa banyak hasil rampokan Tian Mong-pek yang dibagikan kepadamu?" "Kentut busuk!" umpat pemuda itu. "Hei, siapa yang kau maki?" "Tentu saja memaki kau si budak goblok yang punya mata tak ll berbiji .
. . . . . .. Begitu caci maki meledak, para tamu yang ada dikedai pun berbondong bondong kabur dari sana, hal ini membuat pemilik rumah makan serta pelayannya jadi panik dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
Tian Mong-pek merasa mendongkol bercampur geli, mendengar caci maki yang berlangsung, dia merasa dirinya seakan jadi orang luar, yang lebih aneh lagi, dia sama sekali tidak mengenali pemuda yang membantunya.
Terlihat pemuda itu menggebrak meja, tubuhnya segera melambung ke tengah udara.
Ke empat orang lelaki itu tak mau kalah, mereka ikut melompat bangun.
Sekali tendang, lelaki berwajah merah itu membalikkan meja dihadapannya.
II "Bocah keparat," makinya, "kalau berani, kemari kau .
. . . . .. "Praaang . . . . . .. cawan dan mangkuk yang ada dimeja pun berjatuhan ke lantai, hancur berantakan.
Tiba tiba terlihat sang pelayan menuding kesana kemari sambil menghitung: "Piring empat biji, tiga puluh enam rence, cawan empat biji, dua puluh empat rence, mangkuk empat biji, empat puluh delapan rence,...
Sementara dia menghitung, sang kasir mencatatnya diselembar kertas.
Dengan suara lantang lelaki berwajah merah itu berteriak: II "Hitung baik baik, ganti rugi akan kami bayar .
. . . . .. Bab 2 8 . Membingungkan . Keempat orang itu bersama sama menyambar kaki meja, dalam sekali sentakan, ambrollah ke empat kaki itu, masing masing orang dengan menggenggam sepotong kayu dan bertelanjang dada, siap melakukan pertarungan.
Lagi-lagi sang pelayan berteriak: "Tambah sebuah meja lagi, satu tahil perak .
. . . . .." Dengan satu langkah cepat, pemuda itu menyerbu maju, ejeknya sambil tertawa dingin: "Budak yang ingin mampus, kalau sauya turun tangan beneran, kalian bakal mengenaskan." "Kau sendiri yang bakal mengenaskan." Bentak lelaki berwajah merah itu.
Kaki meja dalam genggamannya langsung dihantamkan keatas kepala pemuda itu, bersamaan waktu, lelaki lain yang bermata besar, mengayunkan kaki meja menghantam pinggang lawan.
Tiba tiba Tian Mong-pek membentak nyaring, sambil menghadang didepan pemuda itu, teriaknya: "Kalau ingin berkelahi, cari aku lebih dulu .
. . . . .." Diantara ayunan tangan, dia ancam urat nadi kedua orang lelaki itu.
Pemuda itu kontan tertawa terbahak-bahak, serunya: "Hahaha, bagus, bagus, aku mendapat bala bantuan" Tubuhnya berputar cepat, satu pukulan dilontarkan ke dada salah seorang lelaki itu.
Sambil berteriak keras, lelaki itu melompat keluar dari belakang meja, menggelinding ke hadapan Yo Swan yang sedang berpeluk tangan sambil tersenyum.
Dengan satu kecepatan tinggi, Yo Swan menjambak rambutnya kemudian menghadiahkan empat tempelengan keras, umpatnya seraya tertawa: "Akan kulihat apakah kau masih bisa banyak bicara?" Satu tendangan yang menyusul tiba membuat lelaki itu mencelat dan terjatuh diatas sebuah meja, tak ampun mangkuk cawan diatas meja hancur berantakan tertindih badannya.
Lelaki berwajah semu merah itu menggunakan meja sebagai pengganti golok panjang, dengan memainkan ilmu golok Lak-hap-to-hoat, dia menyerang bagian atas dengan jurus soat-hoa-gay-teng (bunga salju memenuhi atap) sementara menyerang bagian bawah dengan jurus Ku-su-puan-gun (pohon layu melilit akar), serangannya cukup mantap dan hebat.
Dengan pandangan dingin Tian Mong-pek perhatikan berapa jurus serangannya itu, tiba tiba kaki kirinya menggaet, kontan saja lelaki itu kehilangan keseimbangan dan roboh terjungkal.
"Hahaha, ada anjing makan taek!" teriak pemuda tampan itu sambil tertawa tergelak.
Sambil menjambak rambut lelaki bermuka merah itu, dengan meniru gaya Yo Swan tadi, diapun menghadiahkan empat buah tempelengan.
Tak ampun darah menyembur dari mulut dan hidung lelaki itu, tubuhnya terjungkal diatas meja yang lain, "Praanng!" lagi lagi mangkuk dan cawan tertindih hingga hancur berantakan.
Dipihak lain, lelaki bermata besar telah menyerang kearah Tian Mong-pek, dengan bersenjatakan kaki meja, ia membacok dan membelah kearah kiri kanan, bentaknya: "Rasakan berapa bacokan golok saktiku!" Bagi Tian Mong-pek, biar dia sangat mendongkol, namun tak berniat melukai berapa orang lelaki kasar itu, setelah menyambut tiga jurus serangan lawan, ia berbalik cengkeram kaki meja ditangan lawan.
"Lepas tangan!" hardik lelaki bermata besar itu, sambil perkuat kuda kuda, sekuat tenaga dia merebut balik senjatanya.
Siapa tahu kaki meja yang berada dalam genggaman Tian Mong-pek ibarat besi baja, sampai mukanya merah padam dan seluruh tenaga dikerahkan pun, kaki meja itu sama sekali bergeming, tak mampu bergerak.
"Pergilah!" kata Tian Mong-pek kemudian sambil tersenyum, tangannya didorong pelan ke depan.
Lelaki bermata besar itu tak mampu berdiri tegak, terhuyung huyung dia mundur sejauh tiga langkah dan kebetulan terjatuh ke atas tubuh lelaki bermuka merah yang baru saja berusaha merangkak bangun.
Suara benda pecah pun bergema memecahkan keheningan, dengan mata terbelalak sang pelayan tiada hentinya menghitung benda yang pecah, sementara sang kasir mencatat terus tiada habisnya.
Berada dalam keadaan begini, lelaki berwajah merah itu tak sempat mengurusi orang lain lagi, cepat dia dorong tubuh lelaki bermata besar, lalu setelah berdiri tegak, dia cabut keluar golok lengkungnya.
"Kau berani menggunakan senjata?" hardik Tian Mong-pek sambil menarik muka.
"Toaya akan adu nyawa denganmu." Teriak lelaki bermuka merah itu sambil menerkam maju.
Dengan cekatan Tian Mong-pek mengigos ke samping, telapak tangan kirinya membabat kearah tengkuk sebelah kiri, sementara Yo Swan mengangkat tubuh lelaki bermata besar itu dan membentak: "Pergi kamu!" Dia langsung melempar tubuhnya lurus ke depan.
Ketika dua orang lelaki lain baru saja merangkak bangun dengan wajah membengkak, sambil menghentakkan kakinya, pemuda jangkung itu sudah membentak nyaring: "Mau coba coba lagi .
. . . . . . .." Dua orang lelaki itu ketakutan setengah mati, dengan badan menggigil, mereka langsung kabur dari situ.
Saat itu, lelaki berwajah merah itu sedang menggelinding ke arah pintu depan, belum sempat berdiri, dia sudah ditarik kedua lelaki yang lain hingga terseret ke samping.
Dengan satu lompatan, Tian Mong-pek menyusul keluar pintu, ia saksikan ke empat lelaki itu sudah melompat naik ke punggung kuda dan melarikan diri terbirit-birit.
"Hahaha, puas, puas, pertarungan yang memuaskan." Kata pemuda jangkung itu sambil tertawa nyaring.
"Terima kasih banyak hengtai, atas bantuanmu .
. . . .." kata Tian Mong-pek pula sambil tertawa.
Menyaksikan ketampanan pemuda berbaju perlente ini, perasaan bermusuhan yang muncul dihatinya tadi, kini sudah tersapu bersih.
Pemuda jangkung itu balas tertawa.
"Hengtai yang telah bantu aku melampiaskan rasa jengkelku tadi,"katanya, "sudah sepantasnya kalau cayhe yang berterima kasih, masa justru hengtai yang berterima kasih kepadaku?" "Sudah sepantasnya bila cayhe yang berterima kasih kepada hengtai." Kata Tian Mong-pek lagi sambil tersenyum.
"Kenapa?" "Karena akulah Tian Mong-pek." Pemuda itu tampak tertegun, sampai lama tak sanggup berbicara, dengan tatapan tajam diamatinya Tian Mong-pek dari ujung kepala hingga ke ujung langit.
Sementara itu Yo Swan telah memungut kantong yang dan membayar kerugian dirumah makan itu.
Mengawasi wajah melongo pemuda itu, kembali Tian Mong-pek berkata sambil tertawa: "siaute hanya mengurusi orang berkelahi, sedang toako musti menanggung kerugian, toako, kau tidak merasa dirugikan?" "Hahaha, betul, betul sekali, kau puas berkelahi sementara aku musti pahit karena menguras kantong, makanya lain kali tak usah bertarung kalau musti keluar uang." Dalam pada itu pemuda jangkung itu sudah tertawa keras setelah termangu berapa saat, katanya: "Bagus, bagus sekali, rupanya kau adalah Tian Mong-pek, sungguh bagus sekali." "Boleh tahu siapa nama hengtai?" "Cepat atau lambat hengtai pasti akan mengetahui nama siaute,"sahut pemuda itu, "harap diingat saja, siaute pernah membantu mu berkelahi .
. . . . .." Belum sampai selesai bicara, dia sudah mengulapkan tangannya dan meninggalkan ruangan diiringi gelak tertawa.
Gantian Tian Mong-pek yang melongo, cepat teriaknya: "Hengtai, tunggu sebentar." Sayang sewaktu menyusul keluar pintu, pemuda jangkung itu sudah pergi entah ke mana.
"Kenapa sepak terjang pemuda itu aneh sekali?" gumam Yo Swan sambil berkerut kening.
"Benar!" Tian Mong-pek gelengkan kepalanya berulang kali, "siaute benar-benar dibikin bingung, orang itu masih begitu muda, kungfu nya sudah begitu hebat, tampaknya dia punya asal usul yang luar biasa." "Peduli apapun asal usulnya, yang penting dia sudah membantumu, yang menggemaskan justru orang yang berani mencatut namamu untuk melakukan kejahatan, entah siapa orang itu?" Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Kejadian ini meman aneh, yang satu dari arah timur menuju ke barat mencatut namaku untuk melakukan kebajikan, sementara yang satu lagi dari barat menuju ke timur mencatut namaku untuk berbuat kejahatan .
. . . . . .." Tiba tiba satu ingatan terlintas, katanya lagi: "Kalau ditinjau dari situasi sekarang, jangan jangan saat ini kedua orang itupun sudah berada dalam kota Hin-hay-shia?" "Jadi kau sudah dapat menebak siapa gerangan kedua orang itu?" tanya Yo Swan setelah berpikir sejenak.
Tian Mong-pek tertawa lebar.
"Biar kau bunuh akupun, tak bakalan bisa kutebak." Sahutnya.
Karena keadaan dalam ruangan sudah berantakan, kedua orang itu tak bernapsu untuk melanjutkan santapnya, mereka pun meninggalkan tempat itu.
Tiba di jalan raya, rumah pelacaran dan rumah makan yang semula terang benderang disepanjang jalan, tiba tiba berubah jadi senyap dan gelap gulita, suasana ditempat itu mendadak berubah jadi sepi, begitu hening bagaikan kota mati.
Kedua orang itu jadi keheranan, mereka mencoba mengawasi seputar tempat itu, terlihat semua orang telah menghentikan langkah mereka, hampir semua orang berdiri dibawah wuwungan rumah dengan kepala tertunduk.
Diantara kerumunan orang banyak, tiba tiba Tian Mong-pek menjumpai dua sosok bayangan manusia yang sangat dikenalnya, sepasang lelaki wanita, yang laki tak lain adalah Raja langit berwajah emas Li Koan-eng.
Dengan penuh rasa gembira, Tian Mong-pek segera berseru: "Saudara Li, saudara Li, Li Koan-eng .
. . . . . . .." Siapa tahu begitu mendengar panggilan itu, sekujur badan Li Koan-eng tiba tiba gemetar keras, tanpa berani angkat kepalanya, dia sudah ngeloyor pergi melewati belakang tubuh perempuan disisinya.
Sekali lagi Tian Mong-pek merasakan hatinya tergerak, baru saja akan mengejar, terdengar orang yang berada disampingnya telah menghardik: "Tuan tuan Lhama telah tiba, seluruh jalanan sudah hening, kenapa kau masih berteriak?" Baru selesai teguran itu, dari ujung jalan telah muncul satu rombongan lhama berjubah kuning, mereka berbaris dengan kepala tertunduk.
Biarpun terdiri dari puluhan orang, namun langkah mereka sama sekali tak menimbulkan suara.
Semua orang yang hadir disisi jalan semakin menundukkan kepalanya rendah rendah, bertemu dengan para lhama Tibet itu, mereka seakan telah bertemu dengan Buddha hidup.
Dengan perasaan tak berdaya terpaksa Tian Mong-pek ikut menunduk, untung gerak langkah rombongan lhama berjubah kuning itu amat cepat.
Dalam waktu singkat, mereka telah mencapai ujung jalan raya.
Begitu bayangan rombongan lenyap dari pandangan, suasana disekeliling kota pun pulih kembali jadi hidup, lampu terang kembali menyinari rumah makan maupun rumah pelesiran, suasana kehidupan tumbuh kembali sepanjang jalan.
Yo Swan menarik seorang yang berada disisinya seraya bisiknya: "Toako, tahukah kau, para hudya itu datang dari mana dan akan pergi ke mana?" Buru-buru jawab orang itu: "Toako, masa kau tak tahu" Kawanan hud-ya hidup itu berasal dari kuil Tok-lan-sie, konon akan melintas perbatasan menuju ke daratan." "Kenapa masuk perbatasan?" tanya Yo Swan lagi keheranan.
Orang itu melongok sekejap ke kiri kanan, lalu bisiknya lagi: "Konon dikarenakan peristiwa yang menimpa kuil Ta-li-sie tahun berselang, karena itu para lhama menuju perbatasan untuk melakukan penyelidikan." "Ooh .
. . . . .." berkilat sepasang mata Yo Swan.
Paras muka Tian Mong-pek ikut berubah, sambil menarik baju Yo Swan, katanya: "Ternyata kedatangan kawanan lhama berjubah kuning itu ke daratan Tionggoan lantaran kemunculan panah kekasih....." "Darimana kau tahu?" Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Paman kedua siaute, Gui Cu-hun justru tewas dalam kuil Ta-li-sie, mana mungkin siaute tidak tahu?" Sementara pembicaraan masih berlangsung, mendadak dari balik kerumunan orang banyak muncul sebuah tangan yang mencengkeram pergelangan tangannya dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, kecepatan serangannya sungguh diluar dugaan.
Tian Mong-pek tidak menduga akan hal ini, dengan kaget dia membalikkan badan sambil menghardik: "Siapa?" Terlihat seorang lelaki bercambang, bermata hijau dengan pakaian perlente muncul dari balik kerumunan orang banyak sembari membentak: "Ternyata kau" "Ternyata kau?" bentak Tian Mong-pek pula dengan wajah berubah.
"Kau yang memanggil Li Koan-eng tadi?" kembali lelaki kekar itu menegur.
"Betul" "Di mana dia sekarang?" "Lepas tangan dulu sebelum bicara." Sela Yo Swan dingin.
Telapak tangannya seolah tak sengaja menyapu ke depan, ternyata sapuan itu tepat mengancam jalan darah ci-ti-hiat di sikut lawan.
Baru saja lelaki kekar itu menarik sikutnya, Tian Mong-pek sudah membalik pergelangan tangannya, melepaskan diri dari cengkeraman.
"Siapa kau" Kenapa mencampuri urusan lohu?" tegur lelaki kekar itu gusar.
"Sebut dulu, siapa namamu." Balas Yo Swan ketus.
"Kau tidak kenal lohu" Akulah Go Jit .
. . . . . . .." "Ah, ternyata kau adalah Jut-siau-to (golok terhunus dari sarung) Go Jit .
" "Mo-siau-to, bukan jut-siau-to" teriak lelaki itu makin gusar, "golokku tak bersarung, darimana bisa terhunus dari sarungnya" Bocah muda, jangan salah sebut namaku." "Aku adalah Yo Swan dari perguruan Au-sian-kiong." Mo-siau-to tertegun, tapi segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, ternyata murid Au-sian-kiong, tak heran kalau memiliki ilmu
"Aku adalah Yo Swan dari perguruan Au-sian-kiong." Mo-siau-to tertegun, tapi segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, ternyata murid Au-sian-kiong, tak heran kalau memiliki ilmu hebat dan nyali besar." Tiba tiba ia berhenti tertawa, sambil berpaling tanyanya: "Ke mana perginya Li Koan-eng?" "Tadi hanya terlintas melintas, sekarang sudah tak nampak lagi jejaknya." Sahut Tian Mong-pek.
"Benarkah itu?" "Hmm, kalau tak percaya, buat apa bertanya kepadaku?" Mo-siau-to termangu berapa saat, akhirnya sambil menghentakkan kakinya dan menghela napas, keluhnya: "Lohu tak segan melakukan pengejaran dari daratan Tionggoan hingga ke luar perbatasan, sama sekali tak kusangka, kali inipun mereka berhasil meloloskan diri." Semenjak Tian Mong-pek membebaskan Go Jit dari dalam kamar manusia siluman Liu Tan-yan di tepi hutan telaga Thay-ou, hingga kini, ia belum pernah mendengar kabar berita tentang dirinya.
Kini, tak tahan diapun menyahut sambil menghela napas: "Nona Beng begitu kejam dan tega terhadap cianpwee, buat apa cianpwee harus bersusah payah mengejar jejaknya?" "Sebelum berhasil mengejar kedua bangsat itu, mana mungkin rasa benci ku bisa terobati?" jawab Mo-siau-to penuh dendam.
Tian Mong-pek menghela napas.
"Aai, mereka berdua tak mampu balik ke rumah sendiri dan terpaksa harus melarikan diri ke luar perbatasan, keadaan semacam ini sudah cukup mengenaskan, cianpwee, apa salahnya bila kau berbaik hati dengan mengampuni mereka berdua?" "Bagus, bagus," teriak Mo-siau-to dengan wajah berubah, "bahkan kaupun sudah bantu berbicara untuk mereka" Dibilang mereka mengenaskan, memangnya aku Go Jit tidak cukup mengenaskan?" Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Haai, aku tidak bermaksud membantu mereka, hanya saja .
. . . .." "Hanya saja kenapa" Mungkin orang lain tidak tahu sampai dimana kasih sayang dan perhatianku terhadap Beng Li-si, tapi kau .
. . . .. seharusnya kau tahu bukan!" Membayangkan kembali keadaan Mo-siau-to yang terluka parah hanya gara-gara menguatirkan keselamatan Beng Li-si, tanpa sadar Tian Mong-pek mengangguk.
"Tapi bagaimana sikap dia terhadapku?" ucap Mo-siau-to lagi sedih, "dia .
. . . . .. dia..... aai, tanpa harus dijelaskan pun, aku rasa kau sudah sangat jelas." Kembali Tian Mong-pek terbayang sikap dingin, ketus dan kejam dari Beng Li-si terhadap orang itu, sekali lagi dia mengangguk sambil menghela napas panjang.
Yo Swan yang tidak tahu duduknya persoalan jadi tercengang, tak tahan selanya sambil tertawa: "Jite, teka teki bisu apa yang sedang kau lakukan dengan Go locianpwee" Bolehkah aku ikut mengetahui?" "Aaai, lebih baik toako tak usah menanyakan persoalan ini." Kata Tian Mong-pek sambil menghela napas.
Siapa tahu sambil tertawa pedih sela Mo-siau-to: "Saat ini lohu sedang mendongkol bercampur marah, dadaku sesak, kebetulan sekali jika saudara Yo bersedia mendengarkan keluh kesahku ini." "Tidak leluasa untuk bicara ditengah jalan, bagaimana kalau kia cari tempat duduk lebih dulu?" usul Yo Swan setelah berpikir sejenak.
Mo-siau-to segera menarik lengan bajunya seraya berseru: "Losmenku berada tak jauh dari sini, bagaimana pun, kalian berdua harus ikut lohu untuk minum berang dua cawan arak." Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa Tian Mong-pek mengintil dibelakang kedua orang itu.
Begitulah, setibanya di losmen, Mo-siau-to segera mengeluarkan seluruh isi hatinya dihadapan Yo Swan, sekalipun tak sampai diiringi linangan air mata, paling tidak, wajahnya menunjukkan rasa pedih yang mendalam.
Tian Mong-pek tidak sabar mendengarkan kisah pedih itu, tanpa terasa ia menelusuri serambi samping dan berjalan menuju ke tanah lapang, berjalan sambil melamun dibawah cahaya bintang yang bertaburan.
Sambil melamun, pikirnya: "Li Koan-eng melakukan perjalanan menuju ke luar perbatasan, itupun baru dua hari berselang tiba disini, jangan-jangan dialah orang yang menyaru sebagai diriku untuk melakukan segala kebajikan?" Semenjak Li Koan-eng sadar kalau sudah terjadi salah paham diantara mereka berdua, ia berulang kali mencoba untuk menebus dosanya itu.
Membayangkan hal tersebut, Tian Mong-pek semakin yakin kalau dugaannya tidak meleset.
Ketika berjalan pada putaran ke tiga, tiba-tiba pintu kamar sebelah yang ditempati Mo-siau-to terbuka sedikit, kemudian dari balik kamar muncul sebuah tangan yang putih dan halus.
Dengan perasaan terkejut Tian Mong-pek menghentikan langkahnya.
Ternyata tangan halus itu menggapai ke arahnya, seolah mengundang dia untuk masuk ke dalam kamar.
Pemuda itu semakin terperanjat, pikirnya penuh curiga: "Siapa dia" Tu Koan" Kiong Ling-ling" Siau Man-hong" Siau Man-uh" Atau so Kin-soat" Dia menduga hampir semua gadis yang pernah dikenal, tapi tak satupun yang kemungkinan betul, karena mustahil dia bisa bertemu dengan salah satu gadis itu ditempat semacam ini.
Meskipun dia masih sangsi, namun langkah kakinya tanpa terasa bergerak menuju ke depan kamar.
Begitu sampai, secara tiba-tiba dia dorong pintu kamar kemudian menyusup masuk dengan kecepatan tinggi.
Baru saja tubuhnya menyusup ke dalam ruangan, pintu kamar telah menutup kembali.
Dengan satu gerakan cepat Tian Mong-pek membalikkan badan, ternyata dihadapannya berdiri Li Koan-eng serta Beng Li-si.
Mimpi pun dia tak mengira kalau mereka berdua berani bersembunyi didalam kamar persis disamping kamar Mo-siau-to, saking kagetnya, hampir saja dia menjerit keras.
Buru buru Li Koan-eng mencegahnya untuk bersuara, dengan senyum dikulum, bisiknya: "Lama tak bersua, baik baiknya Tian kongcu?" Cepat Tian Mong-pek menarik tangannya seraya berbisik: "Li-heng, tahukah kau.....
Mo-siau-to berada dikamar sebelah?" "Tentu saja tahu." Sahut Li Koan-eng tertawa.
"Kalau sudah tahu, kenapa tidak segera pergi tinggalkan tempat ini?" tanya Tian Mong-pek semakin cemas.
Beng Li-si segera tertawa.
"Kalau bukan gara-gara dia tinggal disini, kami berduapun tak akan tinggal ditempat ini, kenapa harus pergi?" katanya.
II "Aku . . . . .. aku jadi tak habis mengerti, gumam Tian Mong-pek keheranan, "bukankah kalian berdua kabur ke luar perbatasan gara-gara menghindari pengejarannya" Kenapa sekarang malah tinggal dikamar sebelah?" "Go Jit itu kasar dan tidak teliti, tahu dia hanya mencari tempat tempat yang terpencil dan tersembunyi, sampai mati pun dia tak bakalan sadar kalau orang yang dia cari justru berada di depan mata." Setelah tertegun sejenak, dengan cepat Tian Mong-pek menyadari apa yang terjadi, serunya: "Ooh, ternyata begitu.
Saudara Li memang orang pintar, padahal bukan hanya Go Jit, sebagian besar orang di dunia ini selalu teledor dan tidak menaruh perhatian terhadap tempat yang paling dekat dan di depan mata." Berbicara sampai disini, satu ingatan tiba-tiba melintas, tanyanya lebih lanjut: "Kalau memang begitu, kenapa saudara Li tidak berbalik arah dan menggunakan kesempatan ini balik ke daratan Tionggoan" Sudah pasti dia tak akan menemukan jejakmu lagi!" Kembali Beng Li-si tertawa.
"Seandainya mau begitu, terlalu mudah bagi kami untuk meninggalkan kejarannya, tapi kami justru tak ingin dia kehilangan bayangan tubuh kami berdua." "Maksudmu .
. . . .." cayhe dibikin bingung lagi dengan perkataanmu itu." "Kalau bukan sengaja hendak memancingnya sampai disini, sejak dulu dia sudah tertinggal jauh di belakang sekarang, mana mungkin ia bisa tiba di tempat ini." "Lalu apa sebabnya kau memancingnya hingga sampai di tempat ini?" Tian Mong-pek semakin keheranan.
"Separuh hidupku telah kulewati dalam kehati-hatian dan kehidupan santai, jadi sekarang butuh kejadian-kejadian yang bisa memacu debaran jantungku, padahal kejadian yang paling menegangkan adalah berusaha keras meloloskan diri dari pengejaran orang lain." "Betul, seperti main petak sewaktu kecil dulu," imbuh Beng Li-si, "padahal main kejar kejaran seperti sekarang ini jauh lebih menegangkan ketimbang main petak umpat." "Tapi mau sampai kapan?" Li Koan-eng tertawa.
"Kejadian yang begini menarik hati, sayang kalau musti berhenti seketika, jadi....
biar main kejar kejaran sepanjang hidup pun tak ada salahnya.
Persoalan kami adalah jika dia tak mampu menemukan jejak kami, nah, itu baru tak menarik." Perkataan itu dia sampaikan dengan santai, tanpa beban apa pun, tapi Tian Mong-pek yang mendengarkan justru dibuat melongo, tertegun.
Bukan saja tak pernah menyangka akan mendengar kejadian semacam ini, biar mimpi pun tak pernah terbayangkan.
Sesudah termenung sejenak, pikirnya: "Ke tiga orang ini betul betul musuh bebuyutan, kalau harus saling berkejaran, entah sampai kapan urusan baru bisa terselesaikan....." Sementara dia masih termenung, terdengar Li Koan-eng telah berkata lagi sambil tertawa: "Sewaktu cayhe tiba ditempat ini kemarin, secara tak disengaja telah bertemu dengan dua sahabat lama yang sama sekali tak terduga." "Yang satu adalah cayhe, lalu siapa yang seorang lagi?" "Coba hengtai tebak .
. . . . . .." "Mana mungkin siaute bisa menebaknya?" "Dia pun penduduk kota Hangciu." Tergerak hati Tian Mong-pek, serunya tanpa sadar: "Jangan jangan Sun Giok-hud yang kau maksud?" "Betul sekali," sahut Li Koan-eng sambil bertepuk tangan, "memang orang ini yang kumaksud, dia datang didampingi seorang sobat asing, tapi sewaktu bertemu cayhe, mereka berdua tergopoh gopoh menghindarkan diri." Kembali pikiran Tian Mong-pek tergerak, pikirnya: "Betul, betul sekali, semenjak melarikan diri dari gunung Kun-lun, Sun Giok-hud pasti menelusuri jalan raya hingga tiba ditempat ini." Berpikir demikian, diapun semakin yakin kalau orang yang menyaru sebagai "Tian Mong-pek" untuk melakukan kejahatan itu, tak lain tak bukan adalah ulah Sun Giok-hud.
Tapi siapa pula yang menyaru sebagai dirnya untuk melakukan kebaikan" Mungkinkah Li Koan-eng" Kembali Tian Mong-pek berpikir: "Kalau ditanyakan secara langsung, belum tentu dia mau mengakui, apa salahnya kalau kugunakan akal, mungkin saja akan diperoleh hasil yang diharapkan." Karena itu ujarnya kemudian sambil menghela napas panjang: "Aku benar benar merasa sangat kagum dengan hengtai, karena berada dalam kondisi seperti inipun masih tak lupa melakukan kebajikan, hanya II saja .
. . . . .. "Hanya saja apa?" agak berubah wajah Li Koan-eng.
"Hanya saja, kenapa hengtai musti menggunakan nama jelekku untuk berbuat kebajikan?" kata Tian Mong-pek sambil tersenyum, "hal ini membuat siaute jadi malu sendiri, masa tak berbuat harus menerima pahalanya?" Li Koan-eng tertegun sesaat, setelah menghela napas dan geleng kepala, katanya: "Kusangka perbuatanku cukup rahasia dan tak mungkin ketahuan, tak disangka hal inipun berhasil hengtai tebak." "Bodoh," sela Beng Li-si, "mana mungkin dia tahu" Barusan kau sudah dijebak." Kini, Tian Mong-pek telah berhasil membuka semua tabir teka teki yang mengganjal hatinya, perasaan hatipun jadi amat lega.
"Hahaha, tidak masalah," kata Li Koan-eng tertawa, "toh cepat atau lambat, Tian-heng bakal tahu juga akan hal ini.
Tapi minta tolong, harap Tian-heng jangan bocorkan kalau siau-heng berdiam disini." Dengan wajah serius ujar Tian Mong-pek: "Ada satu hal rasanya harus siaute sampaikan kepada hengtai, sepandai pandainya tupai melompat, suatu saat akan terjatuh juga.
Disaat dapat lepas tangan, lebih baik lepas tangan!" "Nasehat hengtai, pasti akan kuingat didalam hati." Dengan termangu Tian Mong-pek mengawasi kedua orang itu berapa saat, karena tak tahu apa yang harus dibicarakan lagi, setelah menghela napas sedih akhirnya diapun mohon diri.
Perlahan-lahan dia membuka pintu, setelah menengok sekejap ke kanan kiri, diapun berjalan keluar dari ruangan, pikirnya lagi sambil menghela napas: "Haii, kenapa urusan perasaan cinta selalu susah untuk dijelaskan?" Dalam pada itu, Mo-siau-to yang berada dalam kamar sedang berkata sambil menghela napas: "Urusan cinta betul-betul membuat aku bingung, tak habis mengerti, padahal lohu begitu sayang kepadanya, sementara orang she-Li itu selalu menyiksa dan menghinanya, tapi perempuan sialan itu justru lebih suka mengintil dia." Sewaktu Tian Mong-pek masuk ke dalam ruangan, dia telah menyelesaikan kisah pedihnya dan kini sedang membuat kesimpulan.
Sambil tersenyum ujar Yo Swan: "Cianpwee, tahukah kau, justru karena cianpwee kelewat menyayanginya, maka ia tinggalkan dirimu." "Kenapa bisa begitu?" tanya Mo-siau-to dengan kening berkerut.
"Perempuan itu ibarat air, perasaan cintanya paling susah diraba, bila kau kelewat menyayanginya, ia justru merasa tak ada rangsangan, tak ada kejutan, sebaliknya jika kau menjauhinya, bersikap dingin terhadapnya, ia malah akan merengekmu, meminta minta kepadamu." "Bee....
benarkah begitu....." benarkah begitu .
. . . ..?" gumam Mo-siau-to setelah tertegun sesaat.
Diambilnya arak dan diteguknya berapa cawan,
"Bee.... benarkah begitu....." benarkah begitu .
. . . ..?" gumam Mo-siau-to setelah tertegun sesaat.
Diambilnya arak dan diteguknya berapa cawan, kemudian katanya lagi sambil menghela napas, "haai.....
kalau dibayangkan kembali, rasanya perkataanmu ada benarnya juga." "Makanya, lain kali bila cianpwee bertemu perempuan, jangan lupa menggembol pecut, boanpwee jamin, kau tak bakalan menjumpai lagi peristiwa semacam ini." "Hahaha, apakah toako tidak merasa kalau perkataanmu itu kelewat ekstrim!" tak tahan Tian Mong-pek menyela sambil tertawa.
Tak lama mereka bertiga menikmati arak, tiba tiba seorang pelayan mengetuk pintu lalu masuk ke dalam ruangan sambil menyerahkan selembar kertas yang terlipat rapi ke tangan Go Jit.
Mo-siau-to segera membuka lipatan kertas itu, ternyata bertuliskan: "Pemberhentian berikut adalah Cato-sinto, sampai jumpa nanti, kami berdua berangkat duluan." Berubah wajah orang itu, teriaknya dengan wajah berubah: "Siapa yang serahkan surat ini kepadamu?" II "Seorang pengemis didepan pintu losmen .




. . . . . .. jawab pelayan itu tergagap.
Sambil menggebrak meja, Mo-siau-to bangkit berdiri, katanya sambil tertawa getir: "Lohu harus pergi, kalau kalian berdua menuju timur maka lohu akan ke barat, entah sampai kapan kita akan bersua lagi." "Haai, cianpwee, belum terlambat untuk berpaling," kata Tian Mong-pek II sambil menghela napas, "cianpwee, kau .
. . . . .. Belum selesai dia bicara, Mo-siau-to sudah menyelinap keluar melalui jendela, tubuhnya yang tinggi besar menyelinap keluar bagaikan segumpal asap, dalam sekejap mata telah lenyap dari pandangan.
Lewat berapa saat kemudian, dari luar pintu kembali terdengar suara ketukan pintu, tidak menunggu jawaban, pintu sudah terbuka dan muncullah Li Koan-eng serta Beng Li-si.
"Hah" Kalian berdua?" bisik Tian Mong-pek dengan mata terbelalak.
"Betul sekali," sahut Li Koan-eng sambil tertawa, "bila siaute harus pergi, terpaksa akan kupersilahkan dia untuk berangkat duluan." Dengan keheranan Yo Swan ikut berkata: "Jadi kau.....
kaulah saudara Li?" "Tidak berani." Yo Swan ikut tertegun sejenak, tapi kemudian serunya sambil tertawa: "Tidak heran kalau selamanya Go Jit tak pernah berhasil menemukan kalian berdua, rupanya kalian selalu mengintil dibelakangnya, kalau begitu caranya, mana mungkin ia dapat mengejar kamu berdua?" Setelah menatap Beng Li-si berapa saat, lanjutnya: "Aku Yo Swan, saudara angkat Tian Mong-pek, jadi tak usah kuatir bila kalian berdua ingin menyampaikan sesuatu." "Kedatanganku hanya untuk berpamit." Ucap Li Koan-eng sambil tertawa.
"Kami berdua pun akan melanjutkan perjalanan." "Kalian berdua hendak ke mana?" "Rumah penginapan ini toh bukan tempat kami menginap." Kata Yo Swan tertawa.
"Bila dalam setengah tahun ke depan, kami berdua tetap tak terkejar Go Jit, berarti sudah saatnya untuk balik ke daratan Tionggoan, sampai waktunya, sudah pasti kita akan bertemu lagi." "Moga moga saja begitu." Maka Li Koan-eng pun berpamit diri diikuti Beng Li-si, saat ini, perempuan itu seakan telah berubah menjadi bayangan Li Koan-eng, ke mana pun lelaki itu pergi, dia selalu mengikutinya.
Mengawasi hingga bayangan tubuh mereka berdua lenyap dari pandangan, Tian Mong-pek baru berkata: "Toako, silahkan kau balik dulu ke penginapan, sementara siaute masih ingin berputar sebentar." "Kau hendak ke mana?" tanya Yo Swan tercengang.
"Aku yakin orang yang mencatut namaku untuk melakukan kejahatan, pasti tak akan berpeluk tangan setibanya disini, jadi siaute pengen lihat, perbuatan terkutuk apa lagi yang akan dia lakukan malam ini." Berputar biji mata Yo Swan, sesudah berpikir sejenak, ujarnya: "Tidak ada salahnya kau lakukan penyelidikan, hanya saja .
. . . .. hanya saja musti hati-hati, lebih baik lagi bila sudah balik ke penginapan sebelum kentongan ke empat, dengan begitu akupun tak usah kuatir .
. . . . . .." "Akan siaute perhatikan." "Sekarang juga kau akan berangkat?" "Toako lewat pintu, siaute menerobos lewat jendela, kita bertemu pada kentongan ke empat." Dengan satu gerakan cepat, ia menyelinap keluar melalui jendela.
Memandang hingga bayangan tubuh pemuda itu pergi jauh, Yo Swan tergesa-gesa keluar dari kamar, seolah lagi-lagi dia hendak menyusun sebuah rencana busuk.
Walaupun malam sudah semakin larut, namun suasana di jalan raya masih ramai, cahaya terang masih menerangi rumah bordil maupun rumah makan, suara teriakan orang mabuk bergema dari sana sini.
Baru berjalan berapa langkah, tiba tiba muncul seorang lelaki pebndorong kereta yang bergerak cepat menuju ke arahnya, seakan tak sanggup menguasahi keretanya, dia langsung menerjang ke depan.
Dengan kening berkerut Yo Swan mundur berulang kali.
Siapa tahu dari arah belakang kembali terdengar seseorang menjerit kaget: "Celaka!" Lagi lagi muncul sebuah kereta yang langsung menumbuk ke arah tubuhnya.
Andaikata berganti orang lain, tergencet ditengah dua kereta yang bergerak cepat, pasti akan menimbulkan luka parah.
Masih untung kungfu Yo Swan cukup hebat, sambil miringkan badan, lagi lagi dia bergerak mundur.
Siapa tahu, secara tiba-tiba muncul lagi seorang lelaki mabuk yang bergerak menuju ke arahnya dengan sempoyongan, lalu diiringi jeritan kaget, tubuhnya langsung menumbuk Yo Swan.
Orang ini berperawakan tinggi besar, tumbukannya disertai tenaga yang cukup kuat, didalam gugup dan kalutnya, Yo Swan sama sekali tidak menduga sampai disitu, tak ampun tubuhnya tertumbuk telak, badannya jadi sempoyongan dan roboh ke arah belakang.
Kebetulan, belakang tubuhnya merupakan sebuah rumah bordil dengan lampu merah yang terang benderang, suara cekikikan yang bergema dari balik loteng membuat Yo Swan tambah sewaot, tak kuasa umpatnya marah: "Dasar binatang tak bermata." Belum selesai dia mengumpat, suara tertawa merdu telah bergema dari sisi tubuhnya, terdengar seseorang menegurnya: "Yo siangkong kah yang datang" Kenapa sekarang baru muncul" Orang sudah menunggumu dengan gelisah." Dalam terkejutnya, Yo Swan tak sempat lagi menggubris lelaki mabuk itu, cepat dia membalikkan tubuh seraya berpaling.
Terlihat seorang nyonya muda berbaju merah, sedang memandangnya dari sisi pintu sambil tertawa.
"Kita tidak saling kenal, darimana nona bisa mengetahui namaku?" tegur Yo Swan dengan suara berat.
Dandanan perempuan berbaju merah itu amat menor, kerlingan maupun tingkah lakunya genit, sudah jelas dia adalah wanita penghibur yang sangat berpengalaman.
"Coba kau terka?" katanya sambil tertawa cekikikan.
Sembari berbicara, tangan halusnya yang berbau harum sari bunga mawar, telah merangkul bahu pemuda itu.
"Nona, tolong jaga sopan santun." Kembali Yo Swan berteriak dengan wajah berubah.
"Aduh mak, galak amat .
. . . . . .." perempuan berbaju merah itu tertawa jalang, "masa kau sudah tak kenali diriku" Padahal aku kenal dirimu, bukankah kau bernama Yo Swan?" Selama hidup, Yo Swan tak pernah kenal dengan wanita penghibur, terlebih diapun tak pernah menginjakkan kakinya dirumah bordir, kini dia benar-benar dibuat terkejut bercampur keheranan.
Dalam gusarnya, tiba tiba ia cengkeram pergelangan tangan perempuan itu sambil menghardik: "Cepat jawab! " Bagaimana mungkin wanita mda itu tahan menghadapi cengkeraman eng-jiau-kang yang begitu hebat" Kontan wajahnya pucat pasi, katanya dengan nada gemetar: "Lepaskan aku, akan kujawab .
. . . . .. akan kujawab . . . . . .. orang lain yang beritahu aku." "Siapa yang beritahu kepadamu?" Yo Swan makin terperanjat.
"Seorang tamu yang ada diatas loteng, dia bilang, jika ada seseorang ditumbuk seorang lelaki mabuk, dialah Yo Swan, Yo kongcu, dia.....
dia pun bilang . . . . . . .." "Bilang apa lagi?" "Dia bilang, siangkong adalah orang baik, lembut dan penyabar," kata perempuan itu dengan wajah getir, "jadi tak ada salahnya bila kuajak Yo siangkong untuk bergurau, siapa tahu....
dia... dia justru membuat aku menderita." "Di mana orang itu sekarang?" "Masih....
masih diatas." "Bawa aku ke sana." Saking sakitnya, peluh dingin telah membasahi seluruh tubuh perempuan berbaju merah itu, kembali pintanya dengan gemetar: ll "Engkohku sayang, kau .
. . . .. "Siapa yang kesudian jadi engkohmu?" tegur Yo Swan gusar, cengkeramannya semakin diperkencang.
"Ohh, bukan engkohku .
. . . .. nenek moyangku . . . . . .." keluh perempuan itu makin gemetar, "aduh .
. . . .. nenek moyang cilikku, lepaskan aku, akan Il kuhantar kau ke sana .
. . . . .. Yo Swan mendengus, begitu dia lepas cengkeramannya, perempuan muda berbaju merah itu seketika jatuh terduduk sambil mengaduh.
"Cepat!" ancam Yo Swan.
Buru-buru perempuan berbaju merah itu merangkak bangun, sambil mengurut pergelangannya yang sakit, katanya: "Nenek moyangku, ikutilah aku .
. . . .. aduh mak..... haai, sakit amat . . . . . .." Yo Swan berjalan mengikuti dibelakangnya, setelah melewati ruang depan, belakang berupa sebuah kebun kecil, sekalipun bunga dan rumput yang ditanam dari jenis biasa, namun terhitung lumayan juga untuk ukuran luar perbatasan yang gersang.
Ditengah kebun terdapat sebuah loteng, cahaya lentera berwarna merah memancar dari balik jendela, diantara bayang bayang lentera, terdengar suara bicara merdu dan tertawa cekikikan, jelas ada banyak perempuan muda disana.
Perempuan muda berbaju merah itu mempercepat langkahnya menaiki anak tangga, sambil lari, teriaknya manja: "Aku telah berhasil mengundang datang siangkong yang ramah dan lembut itu .
. . . . . .." "Mana dia?" seseorang bertanya dari balik gelak tertawa.
Sambil menyingkap tirai, Yo Swan menerobos masuk ke ruang loteng, bentaknya: "Siapa yang begitu berani mempermainkan aku orang she-Yo?" Tapi apa yang kemudian terlihat, membuatnya tertegun, melongo.
Rupanya didalam sebuah bilik yang mungil, terdapat tujuh-delapan orang gadis berdandan menor yang berseliweran disitu bagaikan kupu kupu.
Ada yang membawa alat musik biepa, ada yang menggulung lengan bajunya sambil menuang arak, ada pula yang sudah mabok berat hingga tertidur dimeja.
Ada pula serombongan nona yang sedang bergurau dengan seorang lelaki, ternyata lelaki itu tak lain adalah Sun Giok-hud.
Sementara itu, nona muda berbaju merah itu sudah merangkus Sun Giok-hud dengan manja, lalu mengeluh: "Coba kau lihat sahabatmu yang ramah itu, hampir saja pergelangan tanganku patah." Sambil mendorong meja, Sun Giok-hud bangkit berdiri, katanya seraya tertawa tergelak: "Hahaha, saudara Yo ganteng dan gagah, biar masih muda tapi amat romantis, siapa bilang dia tahu menyayangi gadis lembut" Harus dihukum, harus dihukum." Yo Swan berdiri kaku dengan wajah sedingin salju, tiba tiba tegurnya sambil tertawa dingin: "Gurauan saudara Sun betul-betul menggelikan, hmm, hmm, sangat menggelikan." "Aah, kan Cuma gurauan" Kenapa saudara Yo musti menanggapi dengan serius?" jawab Sun Giok-hud sambil tertawa.
"Cuma gurauan?" seru Yo Swan sambil menarik muka, "hmm, hmm, dalam situasi dan kondisi seperti ini, aku tidak akan punya minat semacam saudara Sun yang senang bergurau." Kembali Sun Giok-hud tertawa.
"Padahal kalau bukan untuk menghindari perhatian orang, akupun tak akan berbuat begini, silahkan masuk saudara Yo .
. . . . .." "Masih banyak cara lain kalau hanya ingin menghindari perhatian orang," kata Yo Swan sewot, "kalau bukan gerakan tubuhku cukup lincah, sejak tadi badanku sudah tergencet mati oleh dua buah kereta itu." "Jadi saudara Yo marah?" Yo Swan mendengus tanpa menjawab.
"Harap saudara Yo jangan marah lebih dulu," kembali Sun Giok-hud berkata, "ketahuilah, semuanya inipun bukan prakarsa diriku." Sambil berkata, dia mengerling sekejap kesamping, kawanan gadis itupun segera tertawa cekikikan.
"Lantas ide siapa?" bentak Yo Swan.
Sun Giok-hud hanya tersenyum tidak menjawab, sementara kawanan gadis lainnya tertawa makin keras, kerlingan mata mereka pun bersama-sama dialihkan ke tubuh nona yang sedang tiduran dimeja.
"Apa yang menggelikan?" kembali teriak Yo Swan gusar, "sebetulnya ide siapa?" "Ide ku." Tiba tiba gadis yang tiduran dimeja itu menjawab.
"Siapa kau?" bentak Yo Swan.
Sambil tertawa ringan gadis itu mendongakkan kepalanya.
Sekonyong-konyong paras muka Yo Swan berubah hebat, dengan tangan lurus ke bawah katanya perlahan: "Ternyata kongcu telah tiba disini, maafkan kelancangan diriku."
Sekonyong-konyong paras muka Yo Swan berubah hebat, dengan tangan lurus ke bawah katanya perlahan: "Ternyata kongcu telah tiba disini, maafkan kelancangan diriku." "Tidak usah banyak adat, duduklah!" jawab perempuan itu.
Tak usah ditanyapun sudah jelas, perempuan itu tak lain adalah manusia siluman, Liu Tan-yan.
Kendatipun rasa mendongkol masih mengganjal dihati Yo Swan, namun mimik gusar diwajahnya sudah lenyap sama sekali, betul saja, dia segera ambil tempat duduk dan bertanya sambil tertawa: "Sedari kapan kongcu tiba disini?" "Jangan hanya bicara," tukas Liu Tan-yan sambil tertawa, "Cui-hong, kemari kau, cepat hormati Yo kongcu dengan secawan arak untuk meredakan rasa mendongkolnya." "Aku takut," seru nona berbaju merah itu sambil tertawa genit, "Yo kongcu ini kelewat lembut, aku takut pergelangan tanganku dipatahkan." Walaupun berbicara begitu, ia tetap mengambil poci arak dari meja.
"Sayangku, tak usah takt." Kata Liu Tan-yan sambil tertawa, "saudara Yo, bersikaplah lebih lembut terhadap sayangku itu.
Nah sayangku, kaupun harus tunjukkan semua kemampuanmu!" Kelihatan sekali kalau Yo Swan agak segan terhadap Liu Tan-yan, ia segera tampil dengan wajah lain bahkan ikutan tertawa tergelak.
Mengikuti arah hembusan angin memang merupakan tindakan yang sangat gampang, hampir semua orang dapat mempelajarinya secara mudah.
II "Hahaha, ternyata saudara Yo pun seorang romantis .
. . . .. goda Sun Giok-hud tertawa.
"Semua pelacur kenamaan yang berada di radius sepuluh li dari kota Hin-hay, hampir semuanya berkumpul ditempat ini," kata Liu Tan-yan pula sambil tertawa, "silahkan saudara Yo mogor lebih dulu, sebelum kita lanjutkan pembicaraan." "Bagaimana kalau kita bicarakan dulu urusan penting, kemudian baru pemogoran?" usul Yo Swan.
"Hahaha, begitupun baik juga .
. . . . . .." kata Liu Tan-yan seraya bertepuk tangan dan memberi tanda, diiringi suara tertawa cekikikan, ke tujuh delapan orang wanita penghibur itupun serentak meninggalkan ruangan.
Dalam waktu singkat senyuman yang semula menghiasi wajah Liu Tan-yan, kini sudah lenyap tak berbekas, selapis hawa pembunuhan yang dingin dan kaku mulai menyelimuti wajahnya, dalam sekejap dia seolah telah berubah menjadi seseorang yang lain.
Diam-diam Yo Swan bergidik, pikirnya: "Tak heran ia bisa memegang kekuasaan sebesar itu, kendatipun belum lama terjun ke dalam dunia persilatan, rupanya dia memang seorang tokoh yang patut disegani, aku tak boleh pandang enteng orang ini." Terdengar Liu Tan-yan berkata dengan nada serius: "Tahukah saudara Yo, apa sebabnya kuundang kau datang kemari" Dan menggunakan tempat semacam ini sebagai tempat pembicaraan?" "Kongcu banyak akal, susah ditebak orang lain." "Ini dikarenakan tempat semacam ini merupakan tempat yang kotor, semakin kotor tempat itu, semakin sulit mengundang perhatian orang, siapa pun tak akan menyangka kalau kita bakal menggunakan tempat semacam ini sebagai tempat perundingan." "Betul, tepat sekali." "Lim Luan-hong datang dengan mengemban tugas penting, tapi kembali dalam keadaan berantakan, aku dengar, kejadian itu merupakan hasil karya saudara Yo, hal ini membuat aku sangat keheranan." "Waktu itu telah terjadi salah paham, akupun merasa ikut bersedih hati." sahut Yo Swan sambil tertawa getir.
Liu Tan-yan mendengus. "Rumput penghancur impian merupakan bahan penting yang harus tersedia untuk membuat panah, pabila bahan itu sampai dibawa kembali keluarga Tong, sulit bagi kita untuk merebutnya kembali, siapa yang akan memikul tanggung jawab ini?" "Aku tahu salah." Jawab Yo Swan ketakutan.
"Baguslah kalau sudah tahu kesalahanmu, makanya dilain waktu, bila ingin turun tangan, bertindaklah lebih hati-hati." "Baik, baik .
. . . . . .." "Untuk menebus dosa dan kesalahannya, saat ini Lim Luan-hong sudah berangkat mengejar dua bersaudara keluarga Tong, ak u ingin tahu, apa rencana selanjutnya dari saudara Yo?" "Silahkan kongcu memberi perintah." "Perkumpulan kita menganut sistim satu arah, siapa yang memberi perintah, kepada siapa pula dia harus bertanggung jawab.
Saudara Yo toh bukan anak buahku, mana berani aku memberi perintah kepadamu." "Kalau begitu, terpaksa cayhe harus menanti kesempatan untuk menebus kesalahan ini." "Bagus sekali, saat ini Tian Mong-pek berada dimana?" "Pergi mencari orang yang telah mencatut namanya melakukan kejahatan." Sambil tertawa dingin, ujar Liu Tan-yan kemudian: "Saudara Sun, benar bukan kalau kunasehati dirimu untuk tidak tampil pada malam ini?" "Tepat sekali, tepat sekali." Sun Giok-hud membenarkan.
"Lan Thian-jui menyuruh kau membawa pulang Tian Mong-pek, hal ini menunjukkan kalau dia amat menyayangi orang itu, mungkin saja akan mewariskan kepandaian silat kepadanya, apa rencanamu terhadap orang ini?" II "Aku berniat menghapus dia dari muka bumi..
jawab Yo Swan sesudah berpikir sebentar.
"Sejak awal aku sudah tahu kalau kau berniat berbuat begitu....." ucap Liu Tan-yan dingin.
Tiba tiba ia menggebrak meja, bentaknya nyaring: "Tapi kau tak boleh melukai orang ini." "Kenapa?" tanya Yo Swan tercengang.
"Saudara Sun, tolong kau yang menjelaskan." "Ada dua alasan utama," terang Sun Giok-hud, "kesatu, karena nama besar bajingan itu sekarang kelewat tenar, sasarannya kelewat besar, membunuh orang ini bakal memancing munculnya rangkaian problem lain." ll "Semenjak tampil didalam dunia persilatan, ujar Yo Swan tergagap, "kendatipun ia pernah melakukan beberapa perbuatan yang menggemparkan, namun nama besarnya tidak terlalu tersohor, masih jauh bila dibandingkan II nama besar Jin-gi-su-hiap, kenapa .
. . . . .. Sun Giok-hud menghela napas, tukasnya: "Perubahan yang terjadi dalam dunia persilatan memang susah diramal, tahukah saudara Yo bahwa didalam berapa bulan terakhir, Tian Mong-pek telah berubah menjadi tokoh yang paling tersohor dalam dunia persilatan." "Bukankah selama ini dia berada di luar perbatasan" B agaimana mungkin namanya begitu tersohor di daratan Tionggoan?" tanya Yo Swan terperanjat.
Kembali Sun Giok-hud tertawa getir.
"Biarpun orangnya berada di luar perbatasan, namun namanya tetap tersohor, saudara Yo, kau pasti tahu bukan kalau belakangan ada orang mencatut nama Tian Mong-pek untuk melakukan perbuatan kebajikan dimana- mana." "Tahupun baru hari ini." "Bukan hanya ditempat ini saja, bahkan hampir disetiap tempat ada orang berbuat baik atas nama Tian Mong-pek, bahkan telah melakukan beberapa perbuatan yang menghebohkan." "Memangnya orang orang itu sudah gila semua?" seru Yo Swan keheranan, "kenapa mereka justru menghadiahkan nama harum untuk Tian Mong-pek" Saudara Sun, tahukah kau, siapa orang-orang itu?" Sambil menghela napas Sun Giok-hud gelengkan kepala.
"Siaute sendiripun kurang jelas, tapi kalau dihitung-hitung, paling tidak ada empat sampai lima orang yang berbuat begitu, bahkan mereka semua tergolong tokoh tokoh silat berilmu tinggi." Setelah berhenti sejenak, terusnya: "Menurut pendapat siaute, dimana lalu, orang-orang itu pasti pernah berhutang budi kepada Tian Mong-pek, atau pernah melakukan tindakan salah yang membuat mereka menyesal, karena itulah mereka tak segan melakukan perbuatan kebajikan dengan mengatas namakan Tian Mong-pek .
. . . . . .. aaai. Nama julukan Pendekar budiman Tian Mong-pek sudah amat tersohor saat ini dalam dunia persilatan." Yo Swan termangu berapa saat, setelah termenung dan berpikir sebentar, katanya: "Kalau benar ada empat, lima orang yang melakukan perbuatan ini, sudah pasti ada berapa kejadian yang berlangsung pada saat yang sama namun ditempat yang berbeda .
. . . .." "Betul." "Kalau memang begitu, orang kangouw pasti tahu juga kalau diantara berapa kejadian itu, paling tidak hanya satu yang benar-benar dilakukan Tian Mong-pek, sementara sisanya dilakukan manusia gadungan." "Haaai, sekalipun begitu, namun watak orang persilatan memang susah II dipahami, ucap Sun Giok-hud sambil menghela napas, "begitu mereka yakin kalau Tian Mong-pek adalah seorang hiap-kek sejati, apapun yang terjadi tak akan mengubah pandangan mereka." II "Karena itu saudara Sun pun .
. . . . . . .. seru Yo Swan setelah hatinya tergerak.
"Betul sekali, maka kamipun meniru cara yang sama dengan melakukan banyak kejahatan dibanyak tempat, tujuannya untuk merusak nama besarnya, inilah yang disebut siasat melawan racun dengan racun." "Memang seharusnya berbuat begini." "Itulah sebabnya, bila dalam kondisi begini kau membunuhnya, peristiwa ini bisa membangkitkan amarah umat persilatan yang fatalnya lagi justru akan meninggalkan nama harum baginya, bukankah hal ini rugi besar?" "Betul, betul sekali .
. . . . . .. lantas apa alasan yang kedua?" "Biarpun usia bajingan ini masih muda, tapi hubungannya dengan Lan Thian-jui, Siau Ong-sun serta Tu Hun-thian, Mo-mok-ngo lojin, Thian-be hwesio terhitung sangat akrab, dengan tidak membunuhnya bukan berarti kita menguatirkan kejadian lain, tapi justru ingin menggunakan keberangasannya untuk bantu kita menyelesaikan berapa urusan lain." "Siaute kurang paham dengan perkataan ini." Sun Giok-hud tersenyum.
"Aku sendiripun kurang begitu paham dengan rahasia dibalik taktik ini, "katanya, "aku hanya tahu orang ini tinggi emosinya, bila dapat digunakan sebaik baiknya, jelas akan memberi keuntungan besar bagi kita semua." Sekalipun ia sudah menerangkan begitu, namun hasilnya sama seperti tidak berkata apa-apa, Yo Swan tetap tidak paham, namun dimulut dia tetap mengiakan: "Betul, betul sekali .
. . . . . .." Saat itulah tiba-tiba Liu Tan-yan menyela: "Setelah tahu kalau tindakan kami betul, jangan sekali kali kau lukai dirinya, yang paling tepat adalah menggiring dia melakukan perbuatan salah, atau ciptakan kabut tebal untuk menutupi semua kejadian didepan mata." Il "Tapi .
. . . .. "Tapi apa?" potong Liu Tan-yan sambil menarik muka, "semua ini merupakan perintah atasan yang harus kusampaikan, apakah kau merasa tak puas?" "Cayhe tidak berani." Buru buru Yo Swan tundukkan kepalanya.
Mendadak Liu Tan-yan tertawa, katanya lembut: "Aku tahu kalau saudara Yo tak berniat menghianati perkumpulan, jika ucapanku kelewat berat, harap saudara Yo jangan marah." Dalam hati kecilnya diam diam Yo Swan mengumpat: "Cepat amat bangsat ini berubah muka, hmm, biar kau lihay pun, jangan disangka aku takut kepadamu." Tapi diluar ia menyahut dengan kepala tertunduk: "Kongcu kelewat sungkan."
Bab 29: Melakukan kesalahan lagi.
"Nah, urusan penting telah usai, inilah saat kita untuk mogor." Kata Liu Tan-yan sambil tertawa.
Begitu dia mulai tertawa, kelembutan dan kegenitan kembali menghiasi wajahnya, kelicikan, kebusukan serta kemunafikannya hilang sama sekali, dia sudah tidak mirip dengan tokoh pemegang kekuasaan tinggi, tapi lebih mirip seorang nona cantik rupawan yang lemah lembut.
Kembali Yo Swan menghela napas, pikirnya: "Entah berapa lembar muka yang dimiliki orang ini?" Sementara itu Sun Giok-hud telah bertepuk tangan sambil berseru: "Nona-nona sekalian, sekarang kalian boleh masuk!" Suara tertawa cekikian dan teriakan manja kembali memenuhi ruangan, kendatipun Yo Swan merasa sangat tidak puas, namun ia tak berani tunjukkan rasa tak senangnya itu diwajah.
Sambil kiri kanan memeluk seorang gadis, seru Liu Tan-yan: "Cui-hong, nyanyilah untuk kami!" "Ehmm, aku tak pandai menyanyi .
. . . . . .." kata Cui Hong manja, tapi diapun mengambil sebuah alat bie-pa.
"Betul-betul seorang gadis yang pintar berlagaki." Kata Liu Tan-yan tertawa.
"Aah, kalau kau bicara begitu lagi, aku benar-benar tak bisa menyanyi...." "Baiklah adikku sayang, aku tak akan bicara lagi, ayoh cepat nyanyi!" "Mau lagu apa?" tanya Cui Hong sambil mengerling genit.
"Kau toh sudah membopong alat bie-pa, bawakan saja lagu yang sesuai!" "Bagus, bagus sekali .
. .



. . . .." timpal Sun Giok-hud sambil bertepuk tangan dan tertawa.
Melihat itu, diam-diam Yo Swan tertawa dingin, batinnya: "Bangsat ini memang paling hebat kalau suruh menjilat pantat mencari muka .
. . . . . . .." Baru saja Cui Hong bersenandung membawakan sebuah lagu, tiba tiba dari luar jendela berhembus lewat segulung angin kencang.
Diantara cahaya lentera yang bergoyang, terlihat sesosok bayangan manusia menerobos masuk ke dalam ruangan.
Kelihatannya orang itu tak ingin wajah aslinya terlihat, dengan tangan kiri menutup wajah, secepat angin berpusing ia menerobos masuk, sementara tangan kanannya mencengkeram tubuh Cui Hong yang sedang memetik alat bie-pa.
Perubahan ini terjadi sangat mendadak dan diluar dugaan, untuk sesaat semua orang hanya bisa berdiri gelagapan, diiringi jerit ketakutan, tubuh Cui Hong sudah terlempar keluar dari jendela.
Menggunakan peluang disaat melempar tubuh perempuan itu, bayangan manusia tadi menerobos keluar melalui pintu depan.
Pada saat itulah, dari luar jendela kembali bergema suara bentakan, sesosok bayangan manusia sekali lagi menerobos masuk dan kebetulan menyongsong datangnya tubuh Cui Hong yang terlemp ar keluar.
Bayangan manusia yang muncul belakangan adalah seorang kakek bungkuk yang tinggi besar, dia sambut kedatangan tubuh Cui Hong dengan tangannya, sedang matanya yang besar melotot kearah mana bayangan pertama kabur.
Sambil menurunkan tubuh Cui Hong, serunya berulang kali: II "Jangan kaget, jangan kaget .
. . . . .. Lalu dia merogoh ke dalam saku dan melempar sekeping uang perak ke arah perempuan itu sambil menambahkan: "Terimalah uang kaget!" Secepat kilat kembali dia kejar bayangan pertama, ben taknya: "Bocah keparat, hari ini lohu bersumpah akan mengintil terus, jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!" Ketika menyelesaikan ucapan terakhir, suara itu sudah berada dikejauhan sana.
Sejak muncul bayangan pertama, disusul bayangan kedua, semua peristiwa berlangsung dalam waktu singkat, ditengah jerit ketakutan, Cui Hong sudah roboh tak sadarkan diri.
"Kejar!" bentak Liu Tan-yan dengan kening berkerut.
Begitu melihat munculnya bayangan tubuh kakek bungkuk tinggi besar itu, serentak Yo Swan maupun Sun Giok-hud menutup wajahnya sambil membuang muka.
Kini, kedua orang itu sama-sama berteriak: "Jangan dikejar." "Kenapa?" tanya Liu Tan-yan gusar.
"Sudah kongcu lihat kalau kakek itu bungkuk" Dialah si bungkuk baja Kim Kiok yang dijuluki orang sebagai Ban-li-sin-heng (Pejalan sakti ribuan li)!" "Hah, jadi dia .
. . . . ..?" gumam Liu Tan-yan melongo, "kalau begitu jangan dikejar." Sesudah mengambil tempat duduk, tanyanya lagi: "Walaupun dimasa silam orang ini disebut jagoan tangguh, tapi aku dengar, ketika sedang sakit parah, ia dikejar orang hingga tak punya tempat tinggal, bahkan namanya telah sirna hampir belasan tahun, kenapa secara mendadak bisa muncul lagi disini?" Yo Swan menghela napas panjang, terangnya: "Selama belasan tahun terakhir, dia selalu berada dalam lembah kaisar, setelah melewati sekian tahun, mungkin ilmu silatnya jauh lebih tangguh lagi." "Ooh, tak sedikit yang kau ketahui." Dengus Liu Tan-yan dingin.
Yo Swan pura-pura tidak mendengar, kembali ia teguk berapa cawan arak.
Sementara itu dari kejauhan terdengar suara kentungan, ternyata tengah malam telah lewat dan kini mendekati kentungan ke empat.
Ia segera menggunakan kesempatan itu untuk mohon diri, katanya sembari tertawa paksa: "Aku sudah berjanji dengan Tian Mong-pek untuk bertemu pada kentongan ke empat, terpaksa aku mohon diri lebih dahulu." Berputar sepasang biji mata Liu Tan-yan, dia seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi akhirnya hanya berkata hambar: "Ooh, Yo Swan mau pergi" Tolong saudara Sun mewakili aku untuk menghantar tamu." Sampai Yo Swan telah berlalu, Sun Giok-hud baru membalikkan badan dan berkata sambil tertawa dingin: "Bangsat ini berlagak bodoh dan selalu merendah, aku kuatir dia punya maksud lain." "Memangnya dia berani?" jengek Liu Tan-yan sambil tertawa dingin.
Seolah tak sengaja, dia melirik Sun Giok-hud sekejap sambil menambahkan: "Aku sangat berharap muncul seorang penghianat dalam perkumpulan kita, agar sampai saatnya, orang lain bisa melihat bagaimana cara kita menghadapi sang penghianat itu." Sun Giok-hud merasa bergidik, dia tak berani berbicara lagi.
OooOooo Setelah meninggalkan ruangan, paras muka Yo Swan segera memperlihatkan mimik gusar, pikirnya sambil tertawa dingin: "Kalian minta aku tidak membunuh, memangnya aku lantas tidak membunuh" Dianggap aku benar-benar akan menuruti perkataan kalian?" Setelah mendongakkan kepala sambil menghembuskan rasa kesalnya, kembali ia berpikir: "Dengan susah payah aku telah menyusun rencana, masa rencana itu harus berantakan ditangan orang lain" Hmmm, siapa pun, jangan harap bisa mengubah rencanaku ini.
"Liu Tan-yan wahai Liu Tan-yan, hari ini kau begitu kurangajar kepadaku, tunggu saja, suatu saat bila aku berhasil menjadi pemilik istana Au-sian- kiong, akan kulihat apa yang bisa kau perbuatan" Saat itu, biar majikanmu sekalianpun, dia tetap harus bersikap sopan kepadaku.
Bukan saja waktu itu aku tidak berada dibawah siapa pun, kalianpun tak akan sanggup memperalat diriku, akan kusuruh kau rasakan sampai dimana kehebatanku." Sesudah menghela napas panjang, pikirnya lebih lanjut: "Tapi dengan adanya kejadian ini, urusan bakal semakin rumit, bila aku ingin melenyapkan Tian Mong-pek, selain harus bekerja seorang diri, akupun tak bisa meminjam kekuatan Panah kekasih.
Setelah berhasil membunuhpun, aku tak boleh memancing perhatian Lan Thian-jui, terlebih memancing kecurigaan kelompok orang orang itu .
. . . . . . .." Berpikir sampai disini, tanpa terasa sepasang alis matanya berkerut, tapi sekejap kemudian dengan senyum dikulum pikirnya la gi: "Dalam pandangan aku Yo Swan, tak ada persoalan di dunia ini yang tak sanggup kulakukan." Maka diapun mempercepat langkahnya menuju ke rumah penginapan.
Malam sudah larut, tiada manusia yang berlalu lalang sepanjang jalan, embun pagi yang memantul tertimpa cahaya rembulan, membiaskan keheningan yang mencekam diseluruh jagad.
Berbeda dengan Tian Mong-pek, jalan yang dia lewati gelap, senyap dan menyeramkan, hembusan angin kencang membawa hawa udara yang dingin menggigit, ia melangkah seorang diri dan berharap malam semakin kelam.
"Jika aku adalah Sun Giok-hud dan ingin mencatut namaku untuk melakukan kemaksiatan, tempat seperti apa yang bakal menjadi sasaranku?" demikian ia berpikir.
"Sudah pasti aku tak akan melakukan ditengah kota yang ramai, pertama kuatir ada yang campur tangan, kedua kuatir kedoknya terbongkar, bukankah hal semacam ini bakal berabe?" Dengan cepat diapun mengambil satu kesimpulan: "Tempat terpencil dan rumah orang kaya merupakan sasaran yang paling tepat, karena selain tujuannya mudah tercapai, tempat semacam inipun sangat aman." Berpendapat begitu, tanpa membuang waktu lagi, ia segera berangkat menuju ke tempat sepi.
Berapa saat kemudian, dari kejauhan sudah tampak bayang bayang rumah yang berlapis, sekalipun tidak terhitung megah, namun sudah termasuk bangunan gedung yang amat besar khususnya di wilayah luar perbatasan.
Anehnya, gedung itu gelap gulita, sama sekali tak ada cahaya api.
Dalam hati Tian Mong-pek pun berpikir: "Sudah pasti hal ini merupakan kebiasaan orang perbat asan yang suka hidup berhemat, biarpun keluarga kaya, untuk mengirit uang minyak, sejak magrib mereka sudah pergi tidur." Biar orang yang tidak berpengalaman pun pasti tahu kalau rumah orang kaya semacam ini merupakan sasaran paling pas untuk melakukan perampokan.
Tidak ragu lagi, diam-diam Tian Mong-pek maju menyelinap.
Dicarinya sudut bangunan yang paling gelap untuk menyembunyikan diri, dari situ dia mulai mengawasi suasana disekelilingnya.
Tapi tunggu punya tunggu, jangan lagi terjadi perampokan, bayangan Ya-heng-jin (orang yang berjalan malam) pun tidak nampak.
Biarpun dia sudah cukup lama terjun ke dalam dunia persilatan, sayang pemuda ini bodoh dan tak mengerti sama sekali tehnik Ya-heng-jin melakukan kejahatannya, setelah menunggu lama tanpa hasil, dia mulai gelisah.
Tidak sabar menunggu, lagi lagi dia berputar ke tempat lain, tapi setelah berpikir berapa saat, pemuda itu merasa gedung besar tersebut paling memungkinkan, maka diapun berjaga lagi disudut dinding.
Rembulan mulai memancarkan cahayanya, jagad terasa makin hening, tampaknya malam semakin larut.
Tiba tiba Tian Mong-pek tertawa geli, pikirnya: "Menunggu semacam aku, ibarat menjaga pohon menunggu kelinci, bila orang lain lewat sisi yang sana, mana mungkin aku bisa melihat kehadirannya." Sambil mengumpat kebodohan sendiri, dia mulai menelusuri dinding pagar, kemudian sekali lompat, dia pun naik keatas wuwungan rumah.
Sejauh mata memandang, dibalik dinding pekarangan selain terdapat gardu, tampak pohon bambu, gunung gunungan dan jembatan kecil, semua bangunan tampak indah ditengah kegelapan.
Tapi ketika diperhatikan lebih seksama, tampak semua pohon sudah lapuk, bambu amat kalut, jembatan telah jebol, bahkan air dalam kolam teratai pun telah membeku, disana sini terlihat puing bangunan berserakan, garpu pun sudah lama tak terawat.
Pemuda itu mencoba menengok lebih jauh, ternyata meski bangunan loteng masih berdiri tegak, namun daun jendela telah patah, pagar dinding telah roboh, jendela yang kosong dimainkan hembusan angin dingin, mendatangkan suasana yang sendu.
Bersusah payah menjaga setengah malaman, ternyata bangunan yang dijaga Tian Mong-pek tak lebih hanya bangunan terbengkalai, tak terlukis perasaan getir dihati kecilnya, diam diam dia mengumpat akan kecerobohan sendiri.
Siapa sangka, pada saat itulah tiba tiba terlintas bayangan pedang, dengan perasaan girang pikir Tian Mong-pek: "jangan jangan bajingan itu sama seperti aku, tertipu oleh suasana disini dan tidak tahu kalau bangunan ini sudah terbengkalai?" Sambil bertiarap diatas wuwungan rumah, dia mencoba melongok ke bawah, ditengah kegelapan malam, betul saja, ia saksikan munculnya sesosok bayangan manusia yang membawa pedang.
Bayangan itu tinggi semampai, mirip sekali dengan tubuh seorang wanita.
"Darimana datangnya perempuan ditengah bangunan terbengkalai ini?" pikir Tian Mong-pek keheranan, "masa dia adalah siluman rase seperti cerita dalam dongeng" Aku harus periksa dengan lebih seksama." Bayangan itu berjalan mendekat, rambutnya panjang terurai, ujung bajunya menari dimainkan hembusan angin, ditangan kiri ia menggenggam sebilah pedang, sementara tangan kanan menggandeng seorang bocah.
Dia menarik tangan bocah itu, melambung di udara menyeberangi jembatan kecil, jubahnya yang berwarna gelap, rambutnya yang hitam, parasnya yang putih pucat bagai salju .
. . . . . .. Dari balik kegelapan malam yang hening, dari balik pemandangan alam yang sendu, tiba tiba muncul seorang wanita seperti sukma gentayangan, membuat suasana dalam kebun itu penuh diliputi keanehan yang misterius serta hawa yang menggidikkan bulu roma.
Bukannya takut dengan suasana seperti itu, Tian Mong-pek justru semakin ingin tahu, kini dia sudah melupakan tujuan utama kedatangannya, tubuh yang bertiarap diatas wuwungan rumah, sama sekali tak bergerak.
Kembali perempuan itu menyeberangi jembatan kecil, tiba-tiba ia menghela napas panjang lalu duduk dibangku batu disisi jembaan.
Helaan napas yang panjang, terdengar penuh dengan hawa setan yang menakutkan.
Sementara Tian Mong-pek merasakan tubuhnya merinding, tiba tiba terlihat bocah itu menubruk ke dalam pelukan perempuan tadi sambil berbisik gemetar: "Ibu, aku .
. . . .. aku takut . . . . . .." "Ibu membawa pedang, setan pun tak berani mendekat, apa pula yang kau takuti?" jawab perempuan berbaju hitam itu.
Meski suaranya perlahan, namun ditengah keheningan malam, perkataannya kedengaran sangat jelas.
Diam-diam Tian Mong-pek menghembuskan napas lega, pikirnya: Il "Ternyata perempuan ini bukan setan gentayangan....
Terlihat perempuan berbaju hitam itu mulai mendendangkan lagu nina bobo sambil memeluk bocah itu dalam rangkulannya, sementara tangannya tetap menggosok pedang dalam genggamannya dengan seksama.
Lewat berapa saat kemudian terdengar bocah itu menghela napas dan berbisik sambil angkat wajahnya: "Ibu, bagaimana kalau jangan kau teruskan nyanyianmu" Toh aku tak bisa tidur." Paling banter bocah itu baru berusia empat, lima tahunan, seharusnya masih dalam masa belajar bicara, namun logat bicaranya justru seperti perkataan orang dewasa, ini menunjukkan kalau dia adalah seorang bocah yang cerdas.
Dengan penuh kasih sayang perempuan berbaju hitam itu menepuk kepalanya dan tidak menyanyi lagi.
"Kau sedang menanti kedatangannya?" kembali bocah itu berkata, "dia tahu akan hal ini?" "Jangan kau sebut dia, harus memanggilnya sebagai ayah, mengerti?" tegur perempuan itu.
"Kalau dia memang ayahku, kenapa tak berani hidup bersama ibu" Bukankah orang tua orang lain hidup bersama setiap hari?" Perempuan itu kelihatan agak tertegun, lama, sampai lama kemudian ia baru menghela napas sedih.
"Aaai, anakku," katanya, "banyak hal yang tak akan kau.....
kau II pahami . . . . . .. Bocah itu manggut-manggut, dengan tangannya yang mungil ia seka air mata yang membasahi wajah ibunya.
"Ananda akan memanggilnya ayah, ibu jangan menangis lagi, mau bukan?" pintanya.
Tampaknya perempuan berbaju hitam itu penuh diliputi perasaan benci bercampur cinta, kali ini dia tertawa, meski air mata masih membasahi matanya.
Menyaksikan kasih sayang ibu beranak ini, tanpa sadar Tian Mong-pek jadi terbayang kembali akan ibu sendiri, perasaan sendu pun ikut menyelimuti hatinya.
Berapa saat kembali berlalu, tiba tiba bocah itu melompat bangun, sambil mengawasi pedang ditangan ibunya dia bertanya: "Ibu, mengapa setiap hari kau mengasah pedangmu itu?" "Akan kuasah pedang ini, akan kubunuh seseorang." "Siapa yang akan kau bunuh ibu?" tanya bocah itu lagi sambil membelalakkan matanya.
Perempuan itu menengadah, mengawasi langit yang diselimuti kegelapan, lama kemudian baru sahutnya perlahan: "Ibu akan membunuh seorang wanita, dia bernama Siau Hui-uh....." Tak terlukiskan rasa kaget Tian Mong-pek, hampir saja tubuhnya terjatuh dari atas atap rumah.
Terdengar perempuan itu berkata lagi: "Ingat baik baik nama ini nak, biar ibu tak berhasil membunuhnya, bila telah dewasa nanti, kau harus membantu ibu untuk pergi membunuhnya." Bocah itu melototkan matanya bulat bulat, sambil menggenggam tinju, janjinya: "Baik, setelah dewasa nanti, aku pasti akan mewakili ibu untuk membunuh perempuan yang bernama Siau Hui-uh itu." Perempuan itu segera mendekapnya erat erat, bisiknya sambil tertawa: Il "Anak sayang .
. . . .. begini baru anak mama yang tersayang .
. . . .. Tetesan air mata kembali membasahi pipinya.
Perasaan curiga, bingung dan tak habis mengerti berkecamuk dalam benak Tian Mong-pek, dia tak tahu dendam kesumat apa yang telah terjalin antara perempuan itu dengan Siau Hui-uh, mengapa dia begitu membenci Siau Hui-uh hingga merasuk tulang sumsum" Terlihat perempuan itu menggandeng tangan putranya dan perlahan lahan bangkit berdiri, setelah berjalan berapa langkah, gumamnya sambil menengadah: "Mengapa hingga sekarang dia belum datang?"
Terlihat perempuan itu menggandeng tangan putranya dan perlahan lahan bangkit berdiri, setelah berjalan berapa langkah, gumamnya sambil menengadah: "Mengapa hingga sekarang dia belum datang?" Kebetulan cahaya rembulan menyinari wajahnya, kebetulan pula wajah perempuan itu sedang menghadap kearah Tian Mong-pek, dengan begitu raut mukanya terpampang jelas dihadapan anak muda itu.
Begitu menyaksikan raut wajah perempuan itu, sekujur badan Tian Mong-pek gemetar keras, sambil melompat keluar dari tempat persembunyiannya, ia menghardik: "Liu Tan-yan, rupanya kau." Kelihatannya, perempuan itupun sama sekali tak menyangka kalau dalam taman yang terbengkalai masih bersembunyi orang lain, dalam kagetnya dia bopong bocah itu lalu melompat mundur.
Tak terlukiskan rasa gusar Tian Mong-pek setelah tahu kalau perempuan itu adalah manusia siluman Liu Tan-yan, tanpa berpikir panjang, ia lakukan pengejaran.
Siapa tahu perempuan itu tiba tiba menghentikan langkahnya dan menegur ketus: "Mau apa kau?" "Liu Tan-yan," bentak Tian Mong-pek gusar, "sekalipun kau membawa bocah dan berulang kali menyebut diri sebagai ibu, aku tetap mengenalimu, biar kau sudah menjadi abu pun, aku tetap mengenalimu." "Tapi aku tidak kenal kau." Sahut perempuan itu ketus.
Tian Mong-pek mendongakkan kepala dan tertawa keras.
"Hahaha, kau boleh saja membohongi orang lain, tapi jangan harap bisa menipu aku," teriaknya, "Liu Tan-yan, hari ini kau telah bertemu aku, anggap saja kau sedang apes." Mendadak bocah itu mendelik sambil mengumpat: "Manusia macam apa kau ini?" "Cepat lepaskan bocah itu." Kembali Tian Mong-pek membentak.
Bocah itu sama sekali tak kelihatan takut, apalagi menangis atau menjerit ketakutan, malah serunya dengan lantang: "Kami tidak kenal kau, mau apa mencari gara gara dengan ibuku" Kelihatannya kau orang gila." "Nak, cepat turun dari bopongannya," bujuk Tian Mong-pek, "dia bukan ibumu." "Siapa bilang dia bukan ibuku?" II "Nak, tak usah digubris lagi, ujar perempuan berbaju hitam itu sambil menepuk kepala sang bocah, "kita tak usah peduli orang gila ini." Seusai bicara kembali dia balik tubuh, siap meninggalkan tempat itu.
Tian Mong-pek jadi semakin marah, serunya: "Jangan harap segala tipu muslihatmu bisa membohongi aku, hari ini, siauya akan membunuh kau si pembawa bencana bagi umat persilatan." Dengan satu gerakan cepat, dia melesat maju.
Siapa sangka, baru saja ia bergerak, mendadak terlihat sesosok bayangan manusia melesat datang dari arah jembatan dengan kecepatan tinggi.
"Turun!" hardiknya, sebuah ayunan tangan dihantamkan kearah dada lawan.
Dengan gerakan cepat kedua orang itu saling bertukar satu pukulan di udara sebelum akhirnya meluncur turun, begitu sepasang mata saling beradu, paras muka kedua belah pihak sama sama berubah.
"Ternyata kau!" jerit mereka berdua hampir berbareng.
Ternyata orang yang baru muncul itu tak lain adalah pemuda perlente yang bersama Tian Mong-pek pukul mundur serangan dari empat lelaki berutal waktu dirumah makan tadi.
Tampaknya kedua orang itu sama-sama tidak menyangka bakal bersua disini, tak heran mereka jadi tertegun.
Sambil tertawa dingin ujar pemuda perlente itu kemudian: "Aku sangka saudara Tian adalah seorang lelaki sejati, karena itu aku tak segan turun tangan ketika mendengar ada orang menghinamu, sama sekali tak II disangka .
. . . . . .. Sambil menuding perempuan itu, lanjutnya sambil tertawa seram: "Sama sekali tak disangka kau telah menganiaya perempuan lemah dan bocah II kecil ditempat terpencil ini .
. . . .. II "Tahukah kau siapa orang ini" Dia adalah .
. . . . .. "Tentu saja aku tahu,"tukas pemuda perlente itu sambil tertawa dingin, "dia adalah istriku." Terkejut bercampur marah, teriak Tian Mong-pek: "Sudah jelas dia adalah manusia siluman, lelaki yang menyamar jadi wanita, kenapa kau bilang dia adalah istrimu?" Pemuda perlente itu tertawa keras.
"Sudah banyak tahun kami suami istri hidup bersama, bahkan telah melahirkan seorang bocah, masa aku tak bisa membedakan dia laki atau perempuan?" "Tapi sudah jelas dia laki-laki .
. . . . .." teriak Tian Mong-pek tak kalah gusarnya.
"Kalau ada yang mengatakan dia lelaki, orang itu pasti buta." II "Tapi.....
tapi . . . . . . . .. Tian Mong-pek mulai sangsi, dari keseriusan dan kesungguhan pemuda itu berbicara, khususnya gejolak emosinya, jelas ia bukan sedang berbohong.
Tapi bila diamati kembali perempuan itu, sudah jelas dia adalah Liu Tan-yan, dari ujung rambut hingga ujung kaki, sedikitpun tak berbeda.
"Saudara Tian, mungkin kau sudah ditipu orang." Seru pemuda itu sambil tertawa dingin.
Il "Aku kuatir kaulah yang tertipu, dia .
. . . . .. "Sudah banyak tahun aku hidup seranjang dengannya, masa tertipu?" hardik pemuda itu.
Tian Mong-pek tak kalah sewotnya, dia balas berteriak: "Jika bukan tertipu, kau pasti satu komplotan dengannya, sekalipun alasanmu kuat, jangan harap aku percaya kalau dia memang seorang wanita." Tiba tiba perempuan itu berjalan mendekat sambil busungkan dadanya, sambil tertawa dingin katanya: "Perdebatan tak akan menjelaskan laki dan perempuan, kenapa kau tidak periksa sendiri jenis kelaminku?" Mula mula Tian Mong-pek agak tertegun, kemudian dengan wajah semu merah ia tundukkan kepalanya.
Tiba tiba saja ia menjumpai bahwa tinggi badan perem puan ini memang sedikit lebih pendek, bahkan lebih pendek dari perawakan tubuh sendiri.
Padahal seingatnya, Liu Tan-yan memiliki perawakan tubuh yang lebih tinggi atau paling tidak seimbang dengan dirinya.
Membayangkan hal ini, wajahnya kembali berubah, tanpa terasa dia mundur lagi berapa langkah.
"Sudah kau lihat lebih jelas?" desak perempuan itu sambil tertawa dingin.
Begitu menyadari kalau perawakan perempuan ini jauh lebih pendek daripada ukuran badan Liu Tan-yan, peluh mulai membasahi jidatnya.
"Mungkin..... mungkin aku salah lihat." Jawabnya tergagap.
Sekulum senyuman segera menghiasi wajah sang pemuda perlente itu, menyapu bersih mimik seramnya tadi.
"Banyak sekali manusia didunia ini yang memiliki persamaan wajah," katanya, "jadi, alangkah baiknya bila dikemudian hari saudara Tian bersikap lebih hati-hati." "Tapi.....
tapi . . . . .. wajah mereka berdua kelewat mirip, alisnya, II matanya, raut mukanya, jelas seperti saudara kembar .
. . . . . . .. Tiba tiba ia berhenti bicara, setelah bertepuk tangan, serunya: "Aaah, betul, apakah istri hengtai punya saudara kembar" Kalau tidak, mana mungkin ada manusia lain yang begitu mirip dengan wajahnya." "Sejak kecil ia sudah yatim piatu dan dibesarkan ibuku, apakah punya saudara kembar" Aku kurang jelas." "Ooh .
. . . .." Baru saja ia termenung sambil menunduk, sambil menjura pemuda perlente itu sudah berkata lagi: "Maaf, karena masih ada urusan penting, aku harus segera pergi dari sini, sampai jumpa lain waktu." "Tunggu sebentar." "Terus terang hengtai," tukas pemuda perlente itu gelisah, "jejakku sudah ketahuan seorang musuhku yang sangat tangguh, itulah sebab aku minta istri dan anakku menunggu disini, kami sedang berusaha menghindari pengejarannya, kalau saat ini tidak pergi, bila sampai terkejar, keadaan bisa berabe." Berbicara dari ilmu ginkang serta kungfunya, pemuda ini terhitung seorang jagoan kelas satu dalam dunia persilatan, tapi kelihatannya dia sangat takut menghadapi musuhnya, tidak sampai selesai bicara, lagi lagi dia sudah siap kabur dari situ.
"Boleh tahu apa sebabnya istrimu bermusuhan dengan Siau Hui-uh .
. . . . .." teriak Tian Mong-pek.
Belum selesai pertanyaan itu diajukan, dari kejauhan terdengar suara bentakan nyaring: "Bocah keparat, biar kabur ke ujung langit pun, lohu pasti akan mengejarmu." Perasaan gugup, panik dan takut seketika melintas diwajah pemuda perlente itu, keluhnya sambil menghentakkan kaki: "Saudara Tian, kau telah menyusahkan aku!" Cepat dia sambar tangan istrinya dan kabur meninggalkan tempat itu.
Tian Mong-pek jadi tak tenteram dibuatnya, buru buru teriaknya: "Hengtai tak usah panik, biar aku mewakili mu menghadang serbuan orang tersebut." Diiringi bentakan, diapun melesat memapak kedatangan suara bentakan nyaring tadi.
Betul saja, dari balik kegelapan terlihat sesosok bayangan tinggi besar meluncur datang dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Tanpa banyak bicara Tian Mong-pek menyongsong kedatangan orang itu, sepasang kepalannya dikembangkan lalu melepaskan serentetan pukulan gencar, seketika itu juga serangannya yang dahsyat bagaikan amukan topan, menghadang jalan maju manusia tinggi besar itu.
Terdengar bayangan tinggi besar itu membentak gusar, serangan balasan dilontarkan berulang kali.
Dari balik gencarnya angin pukulan, lamat lamat terlihat kalau orang itu berbadan bungkuk.
Mendadak satu ingatan melintas, dengan perasaan kaget Tian Mong-pek melompat mundur, teriaknya: "Hentikan seranganmu cianpwee." Manusia tinggi besar itu segera menarik kembali serangannya, begitu melihat jelas wajah Tian Mong-pek, teriaknya lantang: "Saudara cilik, kenapa bisa kau?" Mimpi pun Tian Mong-pek tidak menyangka kalau orang itu ternyata kakek bungkuk dari lembah Tee-ong-kok, si bungkuk baja.
Sebaliknya si bungkuk baja pun tidak mengira kalau orang yang menghadang kepergiannya adalah Tian Mong-pek.
Sebagaimana diketahui, kedua orang ini termasuk manusia berangasan yang sangat temperamen, itulah sebabnya tanpa mengetahui duduknya perkara, mereka langsung baku hantam.
Coba berganti orang lain, paling tidak mereka akan bertanya dulu hingga jelas sebelum melancarkan serangan.
Setelah tahu kalau orang yang menghadang adalah Tian Mong-pek, sambil menghentakkan kakinya dengan jengkel, seru si kakek bungkuk: "Kenapa bisa kau" Kenapa kau hadang jalan pergi lohu?" "Cayhe sendiripun tidak menyangka kalau cianpwee yang telah datang." Sahut Tian Mong-pek sambil tertawa getir.
"Sudah, sudahlah, tak usah banyak cingcong, ke mana kaburnya bajingan itu?" Sebetulnya Tian Mong-pek agak menyesal karena kesal ahannya itu, sengaja ia termenung sebentar, lalu sambil menuding ke depan, jawabnya: "Kelihatannya dia kabur ke sana." "Kentut!" teriak kakek bungkuk gusar, "lohu justru datang dari arah sana." Tian Mong-pek tertawa getir.
"Kalau bukan gara gara kecerobohan boanpwee, tak mungkin orang itu kabur jauh," katanya, "cianpwee, bila kau tak punya dendam kesumat dengan orang itu, mendingan kau urungkan pengejaran ini." "Bedebah, bedebah, kau masih mintakan ampun untuk orang itu?" teriak kakek bungkuk semakin sewaot, "tahukah kau, untuk siapa aku melakukan pengejaran ini?" "Darimana aku bisa tahu?" "Demi kau!" teriak si kakek nyaring.
"Demi aku?" Tian Mong-pek makin tercengang, "boanpwee tak punya dendam dengan orang itu, malahan hubungan kami cukup baik, bila cianpwee melakukan pengejaran gara gara aku, mungkin sudah terjadi kesalahan paham disini." "Nenek moyang muda ku, tahukah kau siapa orang itu?" keluh sang kakek.
Tergetar perasaan Tian Mong-pek, jeritnya: II "Jangan jangan .
. . . . . .. jangan jangan dia adalah panah kekasih .
. . . .. "Panah kekasih apa?" tukas kakek bungkuk gusar, "dialah orang yang telah mencatut namamu untuk menipu ilmu silat di lembah kaisar, dialah bajingan tengik yang telah menipu ikatan perkawinan dengan Hui-uh." Tian Mong-pek gemetar keras, ibarat badannya dicambuk keras, jeritnya: "Hah, ternyata bajingan ini penipunya" Kejar!" Dia balik tubuh dan segera melakukan pengejaran.
"Cepat kejar . . . . . .." teriak si kakek pula.




Begitulah dua orang itu, apa yang diucapkan seketika dilaksanakan, sayang sasarannya sudah kabur jauh entah ke mana, biar sudah dikejar setengah harian pun, mereka gagap menemukan bayangan tubuhnya.
Akahirnya mereka menghentikan pengejaran, setelah saling bertukar pandangan, keluh kakek bungkuk sambil menghela napas: "Tak terkejar lagi." "Betul, tak terkejar." "Aaai, tidak tahu siapa nama asli bajingan itu dan berasal dari mana?" kembali kakek bungkuk menghela napas, "dunia begitu luas, lohu harus pergi ke mana untuk melacak jejaknya?" "Betul, dunia begitu luas, memang sudah untuk menemukan jejaknya." Tiba tiba kakek bungkuk membalikkan badan sambil berteriak: "Masa kaupun tidak tahu namanya?"\ "Darimana aku bisa tahu" Pada hakekatnya aku tidak kenal orang itu." "Kau tidak kenal?" si kakek bungkuk semakin gusar, "kalau memang tidak kenal, kenapa kau menghadang pengejaran lohu?" Tian Mong-pek tertawa getir, secara ringkas dia menceritakan peristiwa yang menimpanya, kemudian menambahkan: "Hampir semua kejadian yang kualami belakangan ini merupakan kejadian yang aneh dan sukar diduga." "Aku rasa, semua kejadian ini pasti ada sangkut pautnya dengan panah kekasih." "Benar, akupun berpendapat begitu." "Bajingan ini telah mencatut namamu, diapun mengetahui asal usulmu sedemikian detil, dapat dipastikan dia punya hubungan erat denganmu, masa kau sama sekali tak dapat menebak asal usulnya?" Sambil menghela napas Tian Mong-pek menggeleng.
Melihat pemuda itu bermurung durja dan penuh diliputi kesedihan, tak tahan kakek bungkuk menghiburnya.
"Tak bakal ada rahasia yang tak terbongkar selama hidup, kau tak perlu kuatir." Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya: II "Kau tinggal dimana .
. . . . . . .. Tian Mong-pek mendongak, melihat sinar fajar telah muncul diufuk timur, agak terkejut teriaknya: "Aduh celaka, kentongan ke empat sudah lewat, toako pasti sedang menunggu dengan cemas." "Ada orang menunggumu?" "Betul, dia adalah Yo Swan, murid Lan Toa-sianseng." "Kalau begitu cepatlah pergi, lohu juga harus segera pergi.
Karena kau jalan bersama anggota perguruan Au-sian-kiong, lohu pun tak perlu kuatir lagi." "Cianpwee hendak ke mana?" "Pertaruhan kita belum berakhir, tentu saja lohu harus melacak rahasia panah kekasih, sekalian mencari tahu asal usul bajingan itu." Dengan watak mereka berdua yang hampir serasi, berangasan dan tak sabaran, begitu berpisah, mereka pun segera bubar menuju arah masing masing.
Sekembali ke penginapan, Tian Mong-pek kuatir Yo Swan cemas menunggu kedatangannya, maka dia langsung mengetuk pintu kamar rekannya.
Siapa tahu, suasana dalam kamar Yo Swan amat sepi, ketika membuka pintu kamar, jangan lagi bayangan tubuh rekannya, bahkan meninggalkan catatan pun tidak.
Kenyataan ini sama sekali diluar kebiasaan, kembali Tian Mong-pek menunggu berapa saat, pikirnya: "Jangan jangan toako tak sabar menanti, maka dia keluar untuk mencariku?" Berpikir begitu, diapun duduk kembali didalam kamar Yo Swan dan menantinya kembali.
Lambat laun, sinar fajar mulai memancar diluar jendela, irama kehidupan pun mulai menggema di jagad raya .
. . . . .. kicauan burung, suara manusia, roda pedati, ringkikan kuda .
. . . . . . .. tapi Tian Mong-pek sama sekali tidak menjumpai bayangan tubuh Yo Swan, tidak nampak rekannya muncul diluar jendela.
Biarpun berada dalam penantian yang penuh kecemasan dan kegelisahan,
Biarpun berada dalam penantian yang penuh kecemasan dan kegelisahan, namun pikiran Tian Mong-pek sangat jernih.
Dia mulai membayangkan setiap peristiwa yang dialami, mula mula dia menyimpulkan kalau pemuda perlente yang mencatut namanya datang ke lembah Kaisar, pasti mempunyai hubungan yang erat dengan So Kin-soat.
Alasannya, kecuali So Kin-soat, tak seorang pun yang tahu akan pesan terakhir yang ditinggalkan almarhum ibunya, bila tak mengetahui pesan terakhir ibunya, pemuda tersebut tak mungkin tahu kalau Mo-mok lojin dapat membawanya masuk ke dalam lembah.
Setelah berada dalam lembah, bila dia tidak mengetahui rahasia keluarga Tian, mustahil pemuda itu bisa memperoleh kepercayaan orang orang lembah kaisar.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pemuda perlente itu pasti merupakan orang dekat So Kin-soat, bahkan kemungkinan besar adalah murid kesayangannya.
Sebenarnya rahasia ini tak mungkin diketahui Tian Mong-pek, apa mau dikata Thian punya kehendak lain, anak muda itu justru tanpa sengaja bertemu dan berkenalan dengan Tee-ong kokcu.
Kedua, Tian Mong-pek pun dapat menyimpulkan bahwa perempuan berbaju hitam yang ditemui dalam kebun terbengkalai itu meski sudah melahirkan seorang putra dengan pemuda perlente itu, namun asal usul mereka berdua pasti mempunyai rahasia besar sehingga mereka berdua hanya bisa menjadi suami istri secara diam diam (hal ini dia simpulkan dari ucapan bocah itu).
Kemudian secara tiba tiba perempuan berbaju hitam itu tahu kalau kekasihnya telah bertunangan dengan Siau Hui-uh, tak heran kalau ia bersumpah akan membunuhnya.
Disamping itu, pemuda perlente itupun pernah berkata: "Perempuan berbaju hitam itu yatim piatu, sejak kecil dipelihara ibuku." Jika So Kin-soat adalah ibu pemuda perlente itu, atau ibu angkatnya, maka perempuan berbaju hitam itu pastilah putri angkat So Kin-soat.
Dapat dipastikan So Kin-soat mempunyai rencana terhadap kedua orang ini, karena itu melarang mereka menikah, padahal kedua orang itu tumbuh dewasa bersama, sejak kecil sudah tumbuh benih cinta diantara mereka berdua.
Itulah sebabnya walaupun mereka berdua telah berputra, namun tak berani menyingkap hubungan tersebut dihadapan orang lain, terpaksa mereka berhubungan secara diam diam.
Membayangkan sampai disitu, Tian Mong-pek merasa puas sekali dengan hasil kesimpulannya.
Tapi mengapa wajah perempuan berbaju hitam itu begitu mirip dengan Liu Tan-yan" Jika kedua orang itu adalah saudara kembar, bukankah hal ini mengartikan kalau So Kin-soat punya hubungan dengan Liu Tan-yan" Seandainya pemuda perlente itu anak angkat atau murid kesayangan So Kin-soat, mengapa hal ini belum pernah disinggung" Atau jangan jangan dia memang putra kandung So Kin-soat" Karena selama ini orang tahunya dia hidup membujang, tak punya suami, maka tak berani mengakui kalau dia telah berputra.
Kalau memang demikian, siapa ayah pemuda itu" Dia berani mengawini So Kin-soat hingga punya anak, tapi tak berani mengawininya secara resmi, dibalik semua ini pasti terdapat sebuah rahasia besar.
Berpikir sampai disini, Tian Mong-pek merasa makin kalut pikirannya, ketika mendongakkan kepala, terlihat sinar fajar telah menerangi jendela, namun bayangan Yo Swan masih tidak terlihat.
Mungkinkah dia telah pergi" Mengapa dia pergi tanpa pamit" Tian Mong-pek berkerut kening, ia berputar berapa kali mengelilingi ruang kamar, tapi akhirnya membuka pintu dan kembali ke kamar sendiri, tapi apa yang kemudian terlihat membuat hatinya kembali tergetar.
Ternyata ruang tidurnya acak acakan, ranjang tempat tidurnya seakan pernah dibacok orang dengan golok, bangku yang semula berada disudut ruangan, kini sudah terbelah jadi berapa bagian, seba tang kaki bangku tergeletak diatas ranjang, bacokan golok berada dimana mana, kelihatan jelas kalau dalam kamar pernah berlangsung suatu pertarungan seru.
Dengan perasaan terperanjat pikir Tian Mong-pek: "Jangan jangan toako diserang musuh berilmu tinggi ketika sedang menunggu di kamarku" Karena gagal menemukan senjata, maka dia gunakan kaki bangku untuk melakukan perlawanan?" Berpikir begitu, hatinya semakin gugup dan panik, "kalau toako yang menang dan berhasil pukul mundur musuh, ia pasti menungguku disini, dan ll sekarang .
. . . . .. jangan jangan . . . . . . .. Dalam paniknya, tiba tiba ia melihat ada guratan huruf diatas meja, cepat ia periksa tulisan itu.
Betul saja, ternyata Yo Swan meninggalkan pesan dengan menggurat permukaan meja memakai jari tangannya.
"Perubahan drastis .
. . . . . . .. tak sanggup melawan . . . . .. kabur..... bukit Cik-sik-san . . . . . .." Bukan Cuma tulisannya kacau hingga susah dibaca, susunan kalimat pun terputus putus, seolah olah tulisan itu dibuat Yo Swan sembari bertarung melawan musuh.
Dengan kemampuan kungfu yang dimiliki Yo Swan, dengan statusnya sebagai murid istana Au-sian-kiong, ternyata dia telah bertemu musuh tangguh yang susah dilawan, bahkan memaksanya untuk melarikan diri, dapat diduga, pihak lawan pastilah seorang jagoan tangguh yang menakutkan.
Dalam kaget dan paniknya, pemuda itu bergumam berulang kali: Il "Cik-sik-san .
. . . .. Cik-sik-san . . . . . . .. Terburu-buru dia bereskan buntalannya, menerobos keluar dari kamar dan berteriak: "Pemilik penginapan!" Teriakan itu ibarat geledek disiang hari bolong, membuat pemilik losmen muncul dengan tergopoh-gopoh.
Sambil cengkeram kerah bajunya, teriak Tian Mong-pek lagi: "Cik-sik-san berada dimana?" Pucat pias paras muka pemilik losmen itu, masih untung dia mengerti bahasa Han, jawabnya tergagap: II "Dari sini.....
jalan kearah selatan.....
Tian Mong-pek lepaskan cengkeramannya, kabur ke istal, lepaskan tali pengikat dan larikan kudanya kencang kencang.
Begitu tergesa gesanya dia larikan kuda, entah berapa banyak barang dan manusia yang tertabrak oleh ulahnya.
Ditengah umpatan dan caci maki, dia sudah pergi jauh diujung jalan.
Untung saja Yo Swan masih memiliki berapa ekor kuda yang tertinggal disana sehingga tak sampai merugikan pemilik losmen.
Tian Mong-pek melarikan kudanya menuju selatan, begitu keras dia cambuk kudanya membuat pantat binatang itu tercabik hingga berdarah, diiringi ringkikan keras, kuda itu lari semakin kencang.
Hembusan angin serasa sayatan golok diwajah pemuda itu, namun dia seperti tidak merasa, pikirannya hampir terpusat pada keselamatan Yo Swan, dia berpikir keras, mencari tahu siapa gerangan musuh tangguh yang telah datang.
Entah berapa jauh sudah lewat, darah meleleh diseluruh pantat kuda, dalam panik dan cemasnya, ayunan pecut Tian Mong-pek bertambah keras, tanpa disadari dia telah menghajar binatang tunggangannya hingga luka parah.
Kembali berapa saat sudah lewat, kini permukaan tanah makin lama semakin meninggi, lapisan mega terasa makin rendah menyelimuti permukaan, langit dan bumi serasa bersambungan hingga sulit untuk melihat bayangan pegunungan.
Dalam cemasnya, mendadak kudanya lepas kendali, langkahnya sempoyongan lalu kaki depannya berlutut ke muka, otomatis tubuh Tian Mong-pek ikut terperosok.
Dalam kagetnya cepat dia melompat turun, ternyata kuda itu sudah tergeletak ditanah dengan mulut berbuih, saking lelahnya, binatang itu mati seketika.
Tidak jelas berapa jauh lagi dia musti menempuh perjalanan, terpaksa sambil gigit bibir, Tian Mong-pek melanjutkan perjalanan, saat itulah ia mendengar suara kaki kuda bergerak mendekat.
Dalam keadaan begini, pemuda itu sadar, dia perlu menyimpan tenaga sebagai persiapan pertarungan di bukit Cik-sik-san nanti, tak terkirakan rasa girangnya ketika melihat ada seekor kuda sedang berlari menuju kearahnya.
Kelihatannya orang itupun sedang terburu buru melanjutkan perjalanan, ia mencemplak kudanya dan berlari kencang.
Tiba tiba Tian Mong-pek membentak nyaring, tubuhnya menyusup ke depan dengan kecepatan tinggi.
Karena kaget, kuda itu mengangkat sepasang kaki depannya, untung penunggang itu memiliki ilmu yang tinggi, sambil mempertahankan tubuhnya agar tidak terbanting, umpatnya: "Budak anjing, buta matamu!" Tian Mong-pek tidak banyak bicara, tubuhnya menyusup ke atas, menumbuk badan lelaki penunggang kuda itu, membuat orang tadi terpental dan jatuh dari kudanya.
Menggunakan kesempatan itu Tian Mong-pek berebut naik keatas pelana, sambil mencemplak kuda, teriaknya: "Karena ada urusan penting, aku pinjam kudamu, ambil lah uang ini sebagai penggantinya." Dengan tangan kiri dia lempar sekeping uang, tangan kanannya memukul pantat kuda.
Lelaki itu cukup lihay, begitu terjatuh, dengan gerakan Yan-cing- cap-pwe-boan (walet 18 kali jumpalitan) dia berguling berapa kali ke depan, tangannya menyambar ekor kuda itu sambil teriaknya: "Tunggu sebentar!" Sekali lagi kuda itu mengangkat tinggi sepasang kaki depannya, karena ekornya tertarik, binatang itu tak sanggup meneruskan larinya.
Tanpa berpaling Tian Mong-pek lancarkan satu bacokan ke belakang, dengan tepi tangannya setajam golok, dia babat ekor kuda itu hingga putus.
Tak ampun lelaki itu tak sanggup berdiri tegak, tubuhnya terjungkal dan roboh terkapar, menanti dia melompat bangun untuk kedua kalinya, Tian Mong-pek dengan kudanya sudah pergi jauh.
Dari kejauhan pemuda itu mendengar orang tadi sedang bersumpah serapah: "Bajingan, begal kuda .
. . . . . .. kau tak akan lolos dari tanganku, aku II kenali .
. . . . . . . . . .. Derap kuda yang ramai, deruan angin yang kencang, membuat pemuda itu tak dapat mendengar jelas kata selanjutnya.
Sekalipun merasa berdosa dengan perbuatannya, namun dalam keadaan begini, Tian Mong-pek tak mau berpikir terlalu jauh, diam diam ia merasa girang karena merasa kuda itu berlari kuat dan kencang.
Langit semakin gelap, tapi kuda itu betul betul seekor kuda jempolan, biarpun sudah berjalan cukup jauh, namun gerak larinya sama sekali tidak melambat.
Lari kuda itu betul-betul bagaikan seekor kuda, berada dipunggung kuda itu, Tian Mong-pek merasa tubuhnya seolah sedang melayang diantara awan, timbul perasaan menyesal dihati kecilnya, bagaimana pun dia telah merampas kuda jempolan milik orang lain.
Ketika mendongakkan kepala memandang kedepan, diantara langit yang kelabu tiba tiba muncul sebuah tanah perbukitan, perbukitan itu bersambungan dengan tanah dasar sehingga dalam remangnya cuaca, orang baru tahu kalau tempat itu adalah sebuah perbukitan setelah berada dekat disana.
Tian Mong-pek melarikan kudanya naik keatas bukit, pikirnya: "Jangan jangan tempat inilah yang disebut Cik-sik-san?" Saat ini, dia sudah merasa amat menyayangi kuda jempolan itu, tidak tega membiarkan binatang itu mati kelelahan, maka setelah naik ke atas bukit, diapun melompat turun dari kudanya dan berkata sambil mengelus bulu binatang itu: "Terima kasih banyak kau telah menghantarku, kalau kenali jalan kembali, pergilah mencari majikanmu, kalau tidak, tunggulah disini sambil merumput." Kemudian dia temukan disamping pelana terdapat kantung berisi ransum kering, diapun mengambil ransum tadi dan melahapnya berapa potong, tak disangka dia temukan lagi sebotol arak wangi.
Setelah ransum dan arak masuk perut, Tian Mong-pek merasa semangatnya kembali berkobar, ditepuknya pantat kuda itu sambil serunya: "Pergilah sekarang!" Ternyata kuda itu seperti memahami maksud perkataan manusia, diiringi ringkikan, perlahan-lahan ia beranjak pergi dari situ.
Dalam pada itu, langit sudah makin gelap, kabut tebal mulai menyelimuti tanah perbukitan.
Sambil menghimpun tenaga, Tian Mong-pek berlarian mengelilingi seputar tempat itu sambil melakukan pencarian, tapi ke manakah dia harus mencari seseorang ditengah perbukitan berkabut tebal ini" Bukankah perbuatannya ibarat mencari jarum di dasar samudra" Dalam cemas dan gelisahnya, tidak tahan diapun berteriak: "Yo Swan .
. . . .. Yo toako..... siaute telah datang . . . . .. Tian Mong-pek telah datang, dimana kau .
. . . . . . . .." Suasana tetap sepi, yang terdengar hanya gaung suaranya di empat penjuru: "Dimana kau .
. . . .. dimana kau . . . . . . . . . .." Ditengah suara gaung yang datang dari empat arah delapan penjuru, mendadak terdengar suara tertawa dingin yang tajam menyeramkan, ditengah suara pantulan, tertawa dingin itu bagaikan tusukan pisau tajam yang menusuk kendang telinga Tian Mong-pek.
Pemuda itu terkesiap, mengikuti sumber suara, secepat kilat ia meluncur maju.
Terdengar suara tertawa dingin itu sebentar muncul sebentar menghilang, terkadang tinggi terkadang rendah, ada kalanya dari tempat jauh tapi ada kalanya berada sangat dekat.
Lambat laun, Tian Mong-pek terpancing untuk memasuki sebuah tebing karang yang tinggi menjulang ke angkasa.
Kabut semakin tebal, malam semakin kelam, suasana begitu pekat hingga jarak lima langkah pun susah terlihat jelas.
Dengan mengandalkan ketajaman matanya, Tian Mong-pek mencoba menelusuri tempat itu, namun jarak pandangnya tak bisa melebihi dua kaki.
Dengan mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki, dia bergerak maju, sekarang pemuda itu tidak berteriak, tidak pula membentak, kuatir suara gaungnya mengacaukan arah berasalnya suara tertawa dingin itu.
Oo0oo Biarpun kakek berjubah abu abu itu sudah tersiksa hingga tak ada hawa kehidupan, namun dari balik matanya, terpancar sinar teguh yang luar biasa.
Ditatapnya Tian Mong-pek sampai lama, rasa kejut, girang, sayang bercampur aduk, sahutnya setelah tertawa pedih: "Baru berpisah berapa bulan, masa kau sudah tak kenal lagi dengan pinceng?" Tian Mong-pek coba putar otak mengingat kembali wajah orang itu, dia mencoba mencari tahu apakah dalam hidupnya pernah bertemu orang ini, namun sampai lama kemudian ia tetap tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Terdengar pendeta berjubah abu abu itu berkata lagi dengan pedih: "Ketika menghantar Chin Siu-an turun dari bukit Kim-san-sie tempo hari, II pinceng pernah bertemu Tian kongcu satu kali .
. . . . .. Kini Tian Mong-pek benar-benar terperanjat, teriaknya tertahan: "Jadi kau adalah Su sute dari hongtiang kuil Kim-san-sie, Hui-bi taysu?" "Betul .
. . . . .." pendeta itu tertawa sedih.
"Bukankah kau sudah mati" Kenapa bisa muncul ditempat ini?" tanya Tian Mong-pek lagi dengan suara gemetar.
Dia coba mengamati lebih seksama, benar saja, sepasang alis kakek itu memang terlihat warna abu yang khas, hanya sayang, karena siksaan yang bertubi tubi, kini alis matanya telah rontok, wajahnya berubah bentuk hingga susah untuk dikenali.
Walau begitu, dengan jelas dia masih teringat, untuk pertama kalinya dia melihat jenasah orang ini berada di belakang tugu peringatan dibelakang paviliun Liun-hun-teng, kuil Kim-san-sie.
Untuk kedua kalinya, dia pun pernah melihat jenasah pendeta ini sewaktu berada di perahu penyeberangan sungai Tiang-kan.
Dua kali dia telah periksa dengus napasnya dan memastikan kalau dia sudah putus napas, tapi jenasah orang ini dua kali hilang tak berbekas, dan sekarang, sama sekali tak disangka mayat yang hilang itu telah berubah jadi manusia hidup.
Semakin dipikir, Tian Mong-pek merasa kejadian ini bukan saja rumit penuh intrik, bahkan terasa amat misterius dan menakutkan.
Tampak pendeta berjubah abu-abu itu berkata lagi sambil tertawa sedih: "Kejadian ini panjang untuk diceritakan, bila Tian kongcu berminat, pinceng akan membeberkan semua rahasia kejadian yang mengenaskan ini dari awal hingga akhir." "Sudah sekian lama cayhe ingin tahu rahasia dibalik semua peristiwa ini, bila taysu bersedia membeberkan, tentu saja aku merasa sangat berterima kasih." Pendeta berjubah abu iu mendongakkan kepalanya memandang langit, lama....
lama sekali, wajahnya yang sayu lagi lagi mengejang keras, seolah semua peristiwa lama yang tragis dan mengenaskan itu kembali terpampang dengan jelas di lubuk hatinya.
Kemudian dia menghela napas panjang, katanya: "Orang sering berkata, banyak bicara akan menuai bencana, siapa tahu, banyak urusan pun akan menuai bencana yang lebih besar.
Gara-gara pinceng ikut mengetahui sebuah rahasia orang lain, kini harus terjerumus dalam keadaan yang begini mengenaskan, coba waktu itu pinceng tidak banyak urusan, tak mungkin hidupku akan berakhir setragis ini." Sinar matanya berkilat, setelah tertawa pedih, lanjutnya: "Biarpun nasib pinceng hari ini sangat mengenaskan, namun tak ada kata menyesal dihatiku, andaikata waktu bisa berulang kembali ke saat itu, pinceng tetap akan turut campur dalam urusan itu." Tian Mong-pek melongo, tidak paham, tak tahan tanyanya: "Saat itu" Mencampuri urusan" Dapatkah taysu menceritakan lebih jelas?" Perlahan pendeta itu pejamkan matanya, kemudian berkata: "Hari itu, dalam ruang hongtiang kuil Kim-san-sie telah kedatangan berapa orang jago yang berasal dari tempat jauh, mereka ingin menyaksikan ikat pinggang Tang-po-giok-tay serta tambur tembaga Cukat.
"Sebagai petugas penerima tamu, tentu saja pinceng melayani keinginan berapa orang tamu agung itu, tapi terhadap tambur tembaga dan ikat pinggang, pinceng sama sekali tak berniat untuk ikut menikmati, karena entah sudah berapa kali menyaksikan benda benda itu.
"Disaat orang lain sedang mengagumi benda benda mustika itulah, dari samping bangku pinceng menemukan sepucut surat berkulit hitam, sudah pasti benda itu bukan milik kuil kami.
"Tidak seharusnya timbul perasaan ingin tahu dihati pinceng saat itu, secara diam diam kupungut surat itu dan membukanya, aaaai, gara gara membuka surat itulah, pinceng harus terjerumus ke dalam nasib yang amat tragis." Kembali mimik mukanya mengejang keras, untuk sesaat dia tidak melanjutkan ceritanya.
Satu perasaan aneh lamat lamat muncul dihati Tian Mong-pek, tidak tahan tanyanya: "Apa yang tertulis di surat itu?" "Dibagian depan hanya tertulis nama berapa orang serta sejumlah nilai uang, sedang dibagian belakang tertulis nama obat obatan serta dimana memetiknya." "Apa anehnya catatan semacam ini?" agak kecewa Tian Mong-pek menghela napas.
Kembali sepasang mata pendeta berjubah abu itu berkilat.
"Tapi semua nama yang tertera adalah nama nama manusia laknat dalam dunia persilatan, sedang nama obat yang tertera pun merupakan bahan obat paling beracun." Katanya.
Tian Mong-pek merasa sangat terperanjat, detak jantungnya berdebar keras.
Terdengar pendeta itu bercerita lebih jauh: "Setelah melihatnya berapa saat, pinceng merasa amat terkejut hingga tanpa sadar berseru tertahan, seketika itu juga semua orang yang hadir dalam ruangan berpaling kearahku.
"Waktu itu, secara lamat-lamat pinceng sudah dapat merasakan kalau surat itu pasti menyimpan sebuah rahasia yang sangat besar, melihat semua orang berpaling kearahku, buru-buru kusembunyikan surat tersebut.
"Sungguh sayang pinceng tidak terlalu memperhatikan mimik wajah berapa orang itu saat tersebut, karena merasa kurang aman bila kusimpan surat itu dalam saku, maka menggunakan kesempatan ini kupindah ke tempat yang lain.
"Kemudian kawanan jago itu pun membubarkan diri, karena saat itu Chin Siu-ang datang berkunjung dan kebetulan dia adalah toa-sicu dari kuil kami, maka secara khusus pinceng menghantarnya turun gunung dan naik ke perahu.
"Waktu itu, semua pikiran dan konsentrasi pinceng hanya ingin menggali lebih dalam rahasia dibalik surat itu, maka segera kembali secara terburu buru, yang pinceng lewati pun jalan pintas yang kecil dan jarang dilewati orang. "Siapa sangka, baru lewat setengah jalan, tiba tiba pinceng mengendus bau harum yang aneh, bahkan tidak sempat berteriak, tahu tahu sudah roboh tak sadarkan diri." Saat itu, Tian Mong-pek sudah mengepal kencang sepasang tinjunya karena tegang, jantungnya berdebar keras, melihat pendeta itu menghentikan ceritanya, buru buru dia mendesak: "Bagaimana selanjutnya?" Pendeta berjubah abu itu menghela napas sedih.
"Menanti pinceng tersadar kembali, ternyata aku sudah dikurung didalam sebuah peti berukuran satu meter persegi, seluruh tubuhku melingkar, sama sekali tak mampu bergerak.
"Dalam peti itu hanya terdapat sebuah lubang kecil sebagai saluran napas, pinceng berusaha menggunakan tenaga dalam untuk menjebol peti itu, tapi II siapa sangka .
. . . . . . .. Diantara wajahnya yang lesu terbesit perasaan sedih, gusar dan dendam yang luar biasa, terusnya: "Ternyata semua otot kaki pinceng telah dicabut dan diputus orang." "Betul-betul satu perbuatan yang keji." Umpat Tian Mong-pek dengan perasaan terkejut.
Pendeta itu menghela napas sedih, katanya: "Perasaan hati pinceng saat itu bukan saja kaget dan ngeri, bahkan gusar bercampur sedih, tak kuasa lagi akupun mulai berteriak sambil mencaci maki.
Sampai lama kemudian, dari luar peti baru kedengaran seseorang menanggapi.
"Yang terdengar adalah suara yang dingin menyeramkan, katanya: "Jika kau tak ingin banyak menderita, mengaku saja terus terang, hmm! Jika berani bicara ngacau, jangan salahkan kalau bakal lebih tersiksa.".
pinceng betul-betul dibikin kebingungan tak habis mengerti, pincengpun bertanya apa yang harus kuakui" Pinceng tanya, antara aku dengan dia tak punya dendam apa pun, mengapa dia siksa pinceng seperti ini" "Orang itu segera menjawab sambil tertawa dingin: "Kami memang tidak terikat dendam kesumat apa pun, yang kami inginkan hanya surat sampul hitam yang kau pungut dari dalam kamar hongtiang mu.".
waktu itu pinceng semakin yakin kalau surat tersebut pasti menyimpan rahasia amat besar, kalau tidak, mustahil mereka bersikap demikian kepadaku, maka sengaja aku bertanya, surat apa yang dia maksud" "Siapa tahu belum selesai pinceng bicara, tiba tiba peti itu sudah terangkat ke udara kemudian "Blaam!" dibanting keras keras keatas lantai." "Sungguh keji .
. . . . . . .." berubah paras muka Tian Mong-pek.
Pendeta berjubah abu-abu itu pejamkan mata sambil tertawa pedih, terusnya: "Waktu itu, rasa pusing dan penderitaan yang pinceng derita benar benar tak dapat dilukiskan dengan ucapan manusia manapun.
"Lewat berapa saat kemudian, disaat pinceng baru saja dapat mengendalikan pikiran sementara telapak kakiku masih sakitnya luar biasa, dari luar peti kembali terdengar suara tertawa yang dingin, keji dan menyeramkan.
"Sesudah tertawa berapa saat, suara itu baru membentak dingin: "Mau mengaku tidak?"." Dengan gemas Tian Mong-pek menyela: "Waktu itu, kau sudah mengetahui semua rahasia mereka, biar mengaku pun, jangan harap mereka bakal membebaskan dirimu dengan begitu saja, kau tak boleh mengaku." Pendeta berjubah abu-abu itu menghela napas, ujarnya: "Tapi waktu itu, pinceng masih punya keinginan untuk melanjutkan hidup, tujuanku adalah asal masih hidup maka ada kesempatan bagiku untuk mengetahui siapa saja kawanan iblis itu.
Maka pinceng pun berlagak tidak tahan siksaan dan beritahu kepada mereka kalau surat itu memang pinceng temukan dan disembunyikan didalam tambur tembaga." "Mana boleh kau akui?" teriak Tian Mong-pek sambil menghentakkan kakinya dengan gemas, "dengan begitu, bukankah....." "Padahal surat itu tidak kusembunyikan dalam tambur tembaga." tukas pendeta itu.
Tian Mong-pek tertegun, kembali katanya setelah menghela napas: "Kalau memang tidak berada disitu, kau lebih-lebih tak boleh berkata begitu, masa kau ingin membohongi mereka agar membebaskan dirimu terlebih dulu?" "Pinceng juga tahu, tak bakal kawanan iblis busuk itu akan membebaskan pinceng terlebih dulu.
Aku berbuat demikian karena tahu kalau tambur tembaga merupakan benda mustika perguruan kami yang dijaga secara ketat, jika mereka ingin merebutnya, pasti harus melalui sebuah pertempuan besar.
Dengan kekuatan perguruan kami yang beratus orang jumlahnya, mungkin saja mereka dapat dikalahkan.
Saat itu bukan saja pinceng dapat hidup kembali, bahkan dapat menuntut balas!" Tian Mong-pek merasa tidak leluasa untuk memberi tanggapan, dia hanya mengangguk berulang kali, sedang dalam hati pikirnya setelah menghela napas: "Biarpun apa yang kau pikirkan masuk akal, namun aku rasa kelewat kekanak-kanakan." Terdengar pendeta berjubah abu-abu itu bicara lebih lanjut: "Ketika pinceng selesai berbicara, dari luar peti segera terdengar suara lain berkata: "Tambur tembaga merupakan benda mustika perguruan mereka, penjagaan disana pasti sangat ketat, kita hanya boleh mengambil dengan akal, bukan okol (kekuatan).".
mendengar sampai disini, hati pinceng langsung bergidik, dapat kurasakan bukan saja kawanan iblis itu memiliki organisasi yang ketat, cara kerja yang keji dan telengas, bahkan berotak encer dan pintar, jelas mereka bukan manusia manusia sembarangan.
"Bila sekawanan manusia cerdas yang keji dan buas bergabung jadi satu, sudah pasti ambisi mereka amat besar, tujuan yang diincar pun pasti menakutkan sekali.
"Semakin berpikir, pinceng merasa semakin bergidik.
Terdengar suara orang itu berkata lagi sambil tertawa terkekek: "Memang seharusnya menggunakan akal, bukankah kau bisa menyamar jadi wajah Hui-bin taysu untuk naik gunung dan mengambilnya?".
Orang yang lain segera menimpali sambil tertawa: "Betul, betul, toh kita memiliki jagoan nomor wahid dalam hal ilmu menyaru muka ditempat ini, sudah sepantasnya kalau dipergunakan." Mendengar sampai disini, sekali lagi Tian Mong-pek merasakan hatinya tergetar keras, serunya: "Ooh ternyata begitu, tahukah kau, apa yang telah kau perbuat justru telah mencelakakan ciangbun suheng mu sendiri." "Apa maksud ucapanmu itu?" tanya pendeta itu dengan wajah berubah.
Tian Mong-pek menghela napas, katanya: "Orang itu benar-benar telah menyamar jadi kau dan berhasil mendapatkan tambur tembaga dan ikat pinggang kumala dari tangan hongtiang suheng mu.
Kelihatannya hongtiang suheng mu segera tahu akan intrik jahat ini sehingga sampai matipun tak mau menyerahkan benda mustika itu.
Didalam gusar dan paniknya, orang itupun membunuh hongtiang suhengmu dengan menggunakan panah kekasih .
. . . .." Sukma kehidupan sang pendeta yang sesungguhnya sudah lemah itu tiba tiba mendapat lagi satu pukulan batin yang berat, dengan melongo dia awasi kabut diangkasa, sampai lama sekali tak mampu berbicara.
Ujar Tian Mong-pek lagi dengan jengkel: "Bukan saja kawanan iblis itu telah menjatuhkan tuduhan dosa besar ini atas namamu, bahkan membiarkan orang lain mengira kau telah mati karena takut diganjar hukuman berat.
"Sudah pasti mereka pun telah menangkap seorang padri dari kuil Kim-san-sie, mengubah wajahnya menjadi wajahmu lalu membunuhnya di paviliun Liu-hun-teng dan sengaja membiarkan orang lain melihatnya.
"Maka semua umat persilatan menyangka kau telah bunuh diri karena membunuh ciangbun suheng, atau mati karena dibunuh rekan seperguruannya.
Mereka sengaja mengatur siasat ini dan menciptakan jadi satu kenyataan,
"Maka semua umat persilatan menyangka kau telah bunuh diri karena membunuh ciangbun suheng, atau mati karena dibunuh rekan seperguruannya.
Mereka sengaja mengatur siasat ini dan menciptakan jadi satu kenyataan, dengan demikian bukan saja orang lain tak dapat melacaknya karena orang mati tak bisa jadi saksi, dapat pula meredam kecurigaan orang lain.
Coba kalau hari ini aku tidak bertemu dirimu, bukan saja penasaranmu selamanya bakal tenggelam didasar samudra, intrik dan rencana keji mereka pun selamanya tak bakal ketahuan orang lain." "Masa saudara seperguruanku tak ada yang bisa mengenali?" gumam pendeta itu bimbang.
Tian Mong-pek termenung berapa saat, kini dia semakin paham dengan duduknya perkara, serunya sambil bertepuk tangan: "Betul, sehebat apapun ilmu menyaru muka yang mereka miliki, belum tentu kemampuan mereka dapat membohongi saudara seperguruanmu yang telah hidup dan berkumpul banyak tahun." Sekulum senyuman sedih terhias diwajah pendeta itu, selanya: "Sudah pasti ciangbun suheng mengetahui akan penyamaran mereka, itu berarti biarpun mati, dia tak bakal menyalahkan aku." Selama puluhan tahun, dia selalu membahasai diri dengan sebutan "Pinceng", hal ini dikarenakan hal tersebut sudah menjadi kebiasaan yang mengakar, hingga sampai tadi belum pernah mau mengubahnya.
Tapi sekarang, ketika seluruh semangat hidupnya sudah runtuh, sudah hancur, pikiran dan kesadarannya mulai pudar, tana disadari diapun telah \\ II kehilangan kendali akan diri sehingga membahasai diri sebagai aku Seringkali, ketika seseorang sedang mengalami pukulan batin yang berat, hal semacam ini bisa menimpa dirinya.
"Tapi suhengmu telah mati." Ucap Tian Mong-pek sambil menghela napas panjang.
"Bagaimana dengan yang lain?" "Kawanan iblis busuk itu, kelicikan dan kebusukan hatinya sungguh menakutkan, setelah tahu kalau hongtiang kalian mengetahui akan penyamaran tersebut, mereka pasti menduga kalau saudara seperguruanmu yang lain pasti tahu juga.
"Tapi jika ketika dia membunuh suhengmu tidak diketahui orang lain, darimana orang lain bisa tahu kalau perbuatan tersebut dilakukan olehmu" Maka dia sengaja membiarkan para tamu dan pendatang menyaksikan pertarungan tersebut." Setelah menghela napas panjang, lanjutnya: "Kawanan manusia itu hanya bisa melihat raut muka mu tanpa ada kesempatan mengetahui rahasia penyamaran, dengan sendirinya mereka akan segera menyebarkan kabar bahwa kaulah yang telah membunuh ciangbun suheng.
Sungguh menggelikan Hoa-san-sam-ing, mereka sangka ilmu meringankan tubuhnya lihay dan mampu bersembunyi tanpa diketahui orang, darimana mereka bisa sangka kalau dirinya telah digunakan menjadi boneka oleh orang lain." "Tentunya mayatku itu dapat dikenali bukan!" kata sang pendeta sambil tertawa sedih.
Tian Mong-pek tertunduk sambil menghela napas.
"Aaai, akulah yang telah menemukan "mayat" mu itu, terlebih aku, sudah pasti tak akan mengetahui rahasia dibalik kesemuanya ini, menanti saudara seperguruanmu hendak mengurusi layon, kembali mereka sembunyikan mayatmu ke tempat lain.
Masih belum cukup mereka membohon gi aku satu kali, ketika diatas perahu penyeberangan, lagi lagi mereka unjuk kebolehan, membuat aku bukan saja tak habis mengerti dan kebingungan, bahkan semakin membuat aku jauh dari kenyataan sesungguhnya.
Coba kalau hari ini tidak bertemu dirimu, mungkin rahasia besarmu ini bakal kau bawa masuk ke dalam peti mati." Pendeta itu termenung cukup lama, kemudian sambil tertawa sedih katanya perlahan: "Setelah bertemu aku hari ini, kau masih akan menemukan sebuah rahasia lain yang jauh lebih besar." Tian Mong-pek tertegun, satu ingatan mendadak melintas, teriaknya: "Aah betul! Mereka mempunyai banyak panah kekasih untuk melakukan kejahatan, jangan jangan surat itu merupakan rahasia besar dari panah kekasih?" Ia merasa luapan emosi yang membara, darah panas menggelora, nada suara pun ikut gemetar.
II "Dengarkan ceritaku ini .
. . . . . . . .. ujar pendeta itu, "sejak aku mendengar mereka bercerita tentang cara mengambil mustika dihadapanku, aku sudah sadar, bagaimana pun, orang orang itu tak bakalan membebaskan diri.
"Entah lewat berapa saat kemudian, benar saja, orang itu muncul kembali dan berteriak gusar: "Didalam tambur itu kosong tak ada isinya, berani amat kau membohongi aku" Hmm, kelihatannya sudah bosan hidup?".
"Begitu tahu kalau mereka berhasil memeriksa tambur tembaga, walaupun masih belum tahu kalau suheng telah terbunuh, namun perasaan hatiku sedih sekali.
"Tapi justru karena itu, harapan dan keinginanku untuk tetap hidup semakin kuat, sambil tertawa keras akupun berkata: "Sekalipun aku telah membohongimu, tidak mungkin kau berani membunuh aku." "Orang itu segera tertawa dingin dan berkata: "Nyawamu sudah berada dalam cengkeramanku, setiap saat aku dapat mencabut nyawamu, siapa bilang tak berani?" "Aku ikut tertawa dingin, kataku: "Rahasia kalian pun masih berada dalam genggamanku, bila aku terbunuh, bakal ada orang yang akan menyebarkan rahasia itu ke seluruh dunia persilatan." "Tampaknya orang itu kubuat tertegun, sampai lama kemudian ia baru menghela napas panjang dan berkata dengan nada lebih lembut: "Ya sudah, anggap saja kau yang menang, sebenarnya kau simpan surat itu dimana?" "Begitu mendengar ada harapan untuk hidup, aku jadi kegirangan, teriakku: "Bila aku tidak bicara, sampai seribu tahun lagi pun tak bakal ada orang yang mengetahui tempatku untuk menyimpan surat itu." Tian Mong-pek segera menghentakkan kakinya sambil berteriak gegetun: "Kalau kau bicara begitu, urusan jadi rusak semua." Kakek itu menghela napas panjang.
"Benar, begitu selesai berbicara, aku segera sadar kalau telah salah bicara, tapi keadaan sudah terlambat.
"Benar saja, orang itu segera berkata sambil tertawa terbahak-bahak: "Hahaha, kalau surat itu tak bakal ditemukan siapa pun, mana mungkin bisa disebar luaskan ke dalam dunia persilatan" Hampir saja aku tertipu." "Begitu sadar kalau telah salah bicara, akupun hanya bisa pejamkan mata menunggu kematian, aku tak sanggup berbicara apa apa lagi.
Kudengar orang itu hendak menenggelamkan diriku ke dalam sungai.
"Siapa sangka saat itulah terdengar seseorang berkata dengan nada dingin: "Bagaimana pun, surat itu tak boleh sampai terjatuh diluaran, biar tubuh orang ini bakal dihancur lumatkan jadi abu, mulutnya tetap harus dipertahankan untuk mengatakan dimana dia sembunyikan surat tersebut." "Andaikata aku mati pada saat itu juga, mungkin banyak siksaan dan penderitaan yang bisa kuhindari, dengan perkataan orang itu, nasib tragisku pun sudah ditentukan, aku benar benar dibikin mati tak bisa, hiduppun menderita." Tian Mong-pek merasa merinding, tanpa sadar bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Sesudah lewat berapa saat, terdengar kakek berjubah abu abu itu berkata sepatah demi sepatah kata: "Mula mula mereka melepas puluhan ekor semut putih beracun melalui lubang kecil diatas kotak .
. . . . . . .." "Tolong jangan kau lanjutkan!" sambil pejamkan mata Tian Mong-pek berteriak keras.
Dia tak bisa membayangkan betapa tersiksanya seseorang yang urat kakinya sudah dibetot lepas hingga tak mampu bergerak dalam peti, harus merasakan gigitan berpuluh ekor semut beracun.
Kakek itu tertawa sedih, terusnya: "Seketika itu juga aku merasakan siksaan dari gigitan semut beracun, bukan saja sakit, gatalnya bukan kepalang.
Sekalipun siksaan semacam ini sukar dilukiskan dengan kata kata, namun masih kalah jauh bila dibandingkan dengan siksaan yang kuterima disini." "Bagaimana tersiksanya di tempat ini?" tanya Tian Mong-pek gemetar.
Kakek itu kembali menghela napas.
"Kau menggembol obat mustajab, sudah pasti tak akan merasakan siksaan itu, tapi aku .
. . . .. aaai! Oleh karena aku tetap tutup mulut walaupun sudah merasakan segala penderitaan dan siksaan, maka merekapun mengirim aku kemari, bisa kau bayangkan sendiri, siksaan yang ada ditempat ini jauh lebih keji dan kejam daripada siksaan manapun di dunia.
Andaikata dari pembicaraan mereka aku tidak mendapat tahu kalau rahasia itu ada hubungannya dengan panah kekasih, mungkin aku sudah tak tahan untuk mengakuinya." Sebagaimana diketahui, panah kekasih memang kelewat beracun dan keji, tak ada umat persilatan yang tidak membenci dan mendendamnya, sebagai seorang bertemperamen keras, begitu tahu kalau urusan itu ada hubungannya dengan panah kekasih, kakek itupun pertaruhkan nyawanya untuk tidak mengaku.
Apalagi diapun amat sadar, sekalipun mengakui, dia tak akan terlepas dari kematian tragis, daripada begitu, lebih baik tidak mengaku sama sekali, biarpun tak sampai mendapat nama harum karena perbuatannya, paling tidak ia masih bisa mempertanggung jawabkan diri terhadap liangsim sendiri, bisa mati dengan mata meram.
Sambil menggigit bibir ujar Tian Mong-pek sedih: "Taysu, ketabahanmu menghadapi penderitaan dan tekadmu menghadapi siksaan, khususnya keberanianmu menghadapi semuanya ini sungguh membuat II cayhe merasa kagum .
. . . . . .. Sesudah menghembuskan napas panjang, lanjutnya: "Terus terang taysu, akupun mempunyai dendam kesumat sedalam lautan dengan panah kekasih, dapatkah taysu membeberkan rahasia dibalik surat itu kepadaku?" "Tanyakan saja!" kakek itu mengangguk.
Tian Mong-pek merasakan semangatnya bangkit, tanyanya: "Sebenarnya apa saja yang tertulis didalam surat itu?" "Sewaktu melihat berapa nama orang terkenal serta jumlah nominal duit, aku masih belum tahu rahasia apakah itu, tapi setelah tahu kalau surat ini termasuk rahasia panah kekasih, kemudian teringat dengan berita yang tersiar dalam dunia persilatan kalau panah kekasih bisa dibeli dengan uang, aku segera dapat menebak kalau nama nama orang itu pastilah para pemesan panah kekasih, sedang jumlah uang yang tertera merupakan tawaran harga yang mereka ajukan." "Bedebah!" sumpah Tian Mong-pek, "bukankah uang bisa diperoleh dari tempat manapun" Kenapa mereka justru menggunakan cara yang demikian keji" Lebih gampang jadi bandit atau perampok." Kakek berjubah abu itu menghela napas.
"Tampaknya organisasi mereka selain rahasia juga amat besar, sudah pasti tujuan utama mereka bukan pada pengumpulan duit, pasti masih ada rencana busuk lainnya yang lebih besar." "Tapi rencana apa?" "Sang pembuat anak panah pasti mempunyai ambisi yang besar, dia pasti berniat menumpas kekuatan lain yang ada untuk merajai kolong langit dan memimpin dunia persilatan.
"Oleh sebab itu dia ciptakan panah kekasih untuk menciptakan gelombang dahsyat yang belum pernah ada dalam dunia persilatan, agar setiap umat persilatan gentar dan ketakutan, berubah wajah setiap membicarakan panah.
"Diapun menambahkan pelbagai warna warni yang misterius pada panah kekasih itu, panah pun dibuat sepasang seolah merupakan pasangan kekasih, ditambah lagi kemunculannya selalu disaat bulan purnama.
"Dapat dipastikan kesemuanya ini sengaja dia tiupkan dan dia siarkan dengan niat agar kehadiran panah kekasih dalam dunia persilatan menjadi satu misteri besar, agar orang persilatan merasa takut dan ngeri atas kehadirannya.
"Kemudian dia gunakan perselisihan dan dendam kesumat antar manusia untuk menawarkan secara rahasia panah kekasih.
"Ada sementara sampah persilatan yang sadar kalau kekuatannya tak cukup untuk menghadapi musuh besarnya, sudah pasti akan menggunakan segala akal dan cara untuk membeli panah kekasih dan memakainya untuk balas dendam.
"Perlu diketahui, bila dia ingin membangun satu usaha raksasa, sudah pasti dibutuhkan beaya pengeluaran yang maha besar, butuh sumber keuangan yang bagus, bila dia dapatkan dari mencuri atau merampok, perbuatannya pasti akan memancing perhatian orang lain, bahkan bisa kehilangan kesempatan dan rusak nama besarnya, bukan saja proyek raksasanya gagal, mungkin dia akan diburu banyak orang.
"Sejak dulu, entah sudah ada berapa contoh seperti ini.
Tapi dengan berjualan panah kekasih, bukan saja tak usah membuang banyak tenaga, orang lain justru datang berbondong bondong untuk menyetorkan uang kepada nya, bukankah hal ini jauh dari segala resiko besar" "Selain itu, orang yang telah membeli anak panah, lantaran kuatir rahasianya terbongkar, setelah berhasil balas dendam, otomatis mereka akan melaksanakan setiap perintahnya dengan sukarela, bukankah tanpa sadar mereka telah menjadi anak buahnya" "Ilmu silat yang dimiliki orang ini pasti tinggi, nama besarnya dihormati banyak orang, setelah sekarang mendapat sumber keuangan tanpa bersusah payah, mendapat pula anak buah yang mau berkomplot, sudah pasti struktur organisasi nya makin lama semakin besar dan rahasia.
"Tapi orang persilatan tak ada yang tahu siapakah orang itu, karena tak tahu, tentu saja tiada seorangpun yang membuat perhitungan dengan dirinya.
"Menunggu sampai semua kekuatan yang dia kuatirkan sudah tersingkirkan habis, diapun dapat menggoyang badan dan berubah jadi asal usulnya yang sejati, saat itu bahkan mungkin secara sengaja dia akan membongkar rahasia panah kekasih.
"Maka orang persilatan pun merasa sangat kagum kepadanya, mengelukan dia sebagai pemimpin dunia persilatan sejati, mentaati semua perintahnya dan posisinya bakal tak tergoyahkan, jauh melebihi seorang bengcu yang sebetulnya hanya nama kosong.
"Semua golongan hitam maupun golongan putih akan mendukungnya, semua wilayah dikolong langit akan jatuh kedalam kekuasaannya, saat itu dia akan menjadi manusia paling terhormat, sementara keluarga korban pembunuhan panah kekasih pun tak bakal mengetahui rahasia ini, mereka ll tetap akan menuruti dan mentaati semua perintahnya .
. . . . . . .. Selama berbicara, terkadang dia menghela napas, terkadang tertawa keras, jelas terlihat betapa bergolaknya perasaan hati orang ini.
Tian Mong-pek melongo, terperangah, ia merasakan jantungnya berdebar
Selama berbicara, terkadang dia menghela napas, terkadang tertawa keras, jelas terlihat betapa bergolaknya perasaan hati orang ini.
Tian Mong-pek melongo, terperangah, ia merasakan jantungnya berdebar keras.
Lama, lama kemudian Tian Mong-pek baru menghela napas panjang, katanya: "Sejak kemunculan panah kekasih, entah berapa banyak analisa, kesimpulan dan dongeng yang beredar dalam dunia persilatan, namun tak satu pun yang bisa membeberkan latar belakangnya sejelas keterangan taysu, setelah mendengarkan pembicaraan hari ini, aku seolah merasa sudah hidup sepuluh tahun lebih lama." "Hampir saban hari aku harus menerima siksaan yang luar biasa ditempat ini, rasa benciku terhadap pemilik panah kekasih sudah merasuk hingga tulang sumsum, hampir setiap detik setiap waktu, aku selalu berusaha untuk menggali rahasia mereka.
"Semakin dalam penderitaan yang kuterima, semakin tajam jalan pikiranku, aku yakin tak satupun manusia didunia ini yang jauh lebih menderita dan tersiksa oleh ulah panah kekasih ketimbang aku." Tian Mong-pek menghela napas sedih, perlahan dia tundukkan kepalanya, tapi apa yang kemudian terlihat membuat hatinya tergoncang keras, jeritnya tergagap: "Taysu, kau .
. . . ..kau . . . . . .." Wajahnya berubah pusat pasi, nada suaranya gemetar, untuk sesaat sulit baginya untuk melanjutkan pembicaraan.
Kakek itu ikut menunduk, bukan sedih dia malah mendongakkan kepala dan tertawa keras.
"Hahaha, bagus, bagus, akhirnya aku telah berhasil melewatkan lagi penderitaan setengah hari, kini aku bisa merasakan kenyamanan selama setengah hari." Ternyata air rawa telah surut separuh bagian sehingga ditepi rawa terlihat sebuah batu karang seluas setengah meter, sementara kakek berjubah abu itu berdiri diatas batu karang.
Ketika air rawa pasang, kedalaman air mencapai paha, dan begitu air surut maka sepasang kakinya terlihat jelas.
Ternyata kulit dan daging sepasang kakinya sudah dimakan habis ular dan binatang air hingga kini hanya tersisa dua kerat tulang kaki yang mengerikan bentuknya.
sedemikian seram dan ngeri bentuk kaki itu, jangan lagi manusia berdarah daging, manusia besi pun tak akan tahan untuk melihatnya.
Tian Mong-pek merasakan lambungnya bergolak, seluruh isi perutnya tertumpah keluar, bahkan air pahit pun ikut muntah keluar lewat tenggorokan.
Terdengar kakek itu tertawa sedih, katanya: "Air rawa rawa akan pasang disaat senja dan surut disaat fajar, disaat air pasang, aku harus merasakan penderitaan karena siksaan hawa dingin yang menusuk tulang, aku pun harus merasakan siksaa n karena gigitan ular dan binatang air.
Untung saja belakangan kulit dan dagingku sudah tak tersisa, hingga ular ular berbisa itu .
. . . . . .." Tian Mong-pek berteriak keras, air mata berlinang membasahi pipinya, serunya: "Taysu .
. . . . .. sudah.... sudah berapa lama kau merasakan penderitaan dan siksaan yang tak berperi kemanusiaan ini?" "Kalau dihitung hitung, mungkin sudah dua bulanan." "Dua bulanan.....?" sekujur tubuh Tian Mong-pek gemetar, "taysu, kau.....
mengapa kau . . . . . .." "Kau ingin bertanya mengapa aku belum mati bukan?" sela kakek itu sedih.
Setelah mendongakkan kepala dan tertawa seram, katanya: "Aku bukannya enggan mati, tapi mereka tak pernah membiarkan aku mati, bukan saja mereka paksa aku menelan pelbagai obat penawar racun, agar aku dapat melawan racun ular dan racun hawa dingin, bahkan setiap hari tak lupa memaksaku untuk makan, mengisi perut, agar aku hidup tak bisa, matipun tak dapat, melanjutkan siksaan hidup ditempat ini." Suara tertawanya yang memedihkan hati, benar benar membuat siapa pun yang mendengar merasakan hatinya seperti diiris pisau.
Api amarah memancar dari balik mata Tian Mong-pek, sumpahnya penuh dendam: "Bila bertemu dengan kawanan iblis yang tidak berperi kemanusiaan itu, aku pasti akan mencincang tubuh mereka jadi bubur, akan kubalaskan sakit hatimu ini .
. . . . . . .." Saking gusar dan dendamnya, tanpa sadar air mata ikut berlinang.
Kakek berjubah abu abu itu termenung berapa saat, tiba tiba katanya: "Mungkin masih belum terlambat." Sekujur tubuh Tian Mong-pek bergetar keras, dia angkat wajahnya, pancaran sinar matanya seketika diliputi pengharapan, ditatapnya wajah kakek itu tak berkedip.
Dengan suara berat ujar kakek itu: "Dipunggung tebing ini terdapat sebuah gua, sepanjang tahun dalam gua itu bersembunyi anak buah panah kekasih." Dengan semangat berkobar Tian Mong-pek mendongakkan kepalanya, tampak kabut menyelimuti seluruh lembah bukit, dinding tebing diempat penjuru tegak lurus bagai golok, jangan lagi manusia, burung pun susah untuk melewati tempat seperti ini.
Terdengar kakek itu berkata lagi dengan pancaran sinar mata lebih hangat: "Hingga hari ini aku belum mati karena setiap satu-dua hari, dari dalam gua itu akan muncul seseorang yang turun kemari dengan menggunakan keranjang, mereka datang membawa hidangan dan minuman, memaksaku untuk menelannya.
Kini tubuhku ibarat makhluk cacat, mereka tak akan pandang sebelah matapun terhadapku, karenanya setiap datang hanya terdiri satu orang, bahkan penjagaannya kendor dan ceroboh sekali.
Dengan kedatanganmu sekarang, bukankah berarti .
. . . . .." Betapa girangnya Tian Mong-pek setelah mendengar penjelasan itu, tak tahan selanya: "Dengan kedatanganku sekarang, bukankah berarti saat kematian bajingan itu sudah tiba." "Betul, saat kematian mereka sudah tiba." Diataw wajah si kakek yang sayu, kini benar benar dihiasi senyuman gembira yang muncul dari lubuk hatinya, pipi yang semula pucat pun berubah jadi semu merah.
Setelah berhenti sejenak, terusnya lagi: "Kau bisa bersembunyi didalam air rawa, bila dia turun kemari berarti tak bakal lolos lagi, gunakan kesempatan itu untuk naik keatas keranjang dan keluar dari sini." "Moga moga orang yang menarik keranjang diatas sana tidak menaruh curiga ketika keranjang masih ditengah jalan." Kakek itu tertawa.
"Setiap kali turun kemari, bukan saja orang itu mengenakan pakaian berlapis lapis, kepala pun ditutup dengan keranjang anyaman, asal kau tanggalkan semua pakaian yang dia kenakan, siapa yang bakal kenali dirimu?" Tian Mong-pek jadi sangat kegirangan, katanya: "Siapa suruh kawanan penjahat itu tak berani tampil dengan wajah asli, hal ini bakal menguntungkan aku." Kakek itu kembali menghela napas, ujarnya: "Mereka tahu kalau aku tak bakal tinggalkan tempat ini, karenanya mereka mengenakan pakaian berlapis dan mengenakan keranjang anyaman bukan disebabkan tak berani bertemu aku dengan wajah asli." "Lantas karena apa" Masa untuk menghindari racun hawa dingin?" tanya Tian Mong-pek keheranan.
"Biarpun air ini mengandung hawa dingin beracun, mereka tidak perlu turun ke dalam air." "Lantas kenapa" Aku semakin tak mengerti." Ucap Tian Mong-pek semakin keheranan.
Berkilat sepasang mata kakek itu, katanya: "Bila dugaanku tak keliru, besar kemungkinan di dalam gua itulah mereka membuat panah kekasih." Sementara Tian Mong-pek masih tercekat, terdengar kakek itu berkata lebih lanjut: "Kemungkinan besar air dingin dari rawa rawa ini merupakan salah satu bahan penting untuk membuat panah kekasih, oleh sebab itulah mereka tak segan menyerempet bahaya dengan tetap menetap didalam gua ini." "Apakah dugaan taysu ini berdasarkan sesuatu bukti?" tergerak hati pemuda itu.
"Benar, setiap kali ada orang turun kemari, mereka selalu membawa pulang dua tong air rawa, padahal air rawa ini tak bisa diminum, kalau bukan untuk menempa panah, lalu apa gunanya air tersebut?" Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya: "Kalau hanya bermaksud menutupi identitas asli, mereka cukup mengenakan topeng kulit, kenapa musti bersusah payah mengenakan pakaian berlapis dan kerudung anyaman?" "Aku memang merasa heran dengan hal ini." "Oleh karena itulah, menurut analisaku pakaian berlapis dan keranjang anyaman yang mereka kenakan itu bertujuan untuk melawan hawa racun yang tersebur ketika membuat panah." Ujar kakek itu dengan wajah serius.
Tian Mong-pek tertegun berapa saat lamanya, kemudian dia baru mendongakkan kepala dan menghela napas panjang.
"Entah berapa banyak penderitaan dan siksaan yang telah kuterima demi melacak rahasia panah kekasih, sungguh tak disangka usahaku yang bersusah payah dimasa lampau justru ditebus dengan begini mudahnya, tampaknya aku benar benar harus berterima kasih kepada orang yang telah mencelakaiku, seandainya dia tidak menipuku datang kemari, bagaimana mungkin aku bisa temukan rahasia panah kekasih" Boleh dibilang kejadian yang menimpa diriku sekarang adalah rejeki karena bencana." Entah bagaimana perasaan hati Yo Swan andaikata ia dapat mendengar perkataan itu," Kakek berjubah abu-abu itu kembali menatapnya berapa saat, kemudian ujarnya dengan suara dalam: "Diatas batu itu masih terdapat tempat untuk berdiri, naik dan beristirahatlah sejenak sebelum kita bicara lebih jauh." Tian Mong-pek menurut dan naik keatas batu selebar satu meter itu dan duduk dibawah kaki si kakek.
Dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh, kakek itu kembali berkata: "Apabila kau dapat lolos dari sini dan tetap hidup, segera berangkatlah ke kuil Kim-san-si dan ambil surat berkulit hitam itu." "Aku memang ingin bertanya kepada taysu, kau simpan dimana surat rahasia itu?" "Lohu telah menyusupkan surat itu ke dalam kasur samadi yang ada didalam ruang hongtiang kuil Kim-san-si." Sesudah menghela napas panjang, lanjutnya: "Setelah mendapatkan surat rahasia itu, kau tak boleh bertindak secara gegabah, himpun seluruh umat persilatan, bentuk satu kekuatan besar kemudian baru kau bongkar rahasia yang bakal menggetarkan seluruh kolong langit ini." "Taysu telah menyerahkan tugas berat ini kepadaku, tentu cayhe tak bakal bertindak gegabah, taysu tak usah kuatir." Janji Tian Mong-pek dengan muka serius.
"Aku tahu, kau bertemperamen tinggi, berani mati, tekadnya besar, tapi mulai sekarang harus selalu ingat bahwa dirimu telah memikul satu beban dan tanggung jawab besar, mati hidupmu akan mempengaruhi nasib seluruh umat persilatan, karena itu, bila harus mati, matilah setelah kau bongkar rahasia panah kekasih." Oo0oo
Bab 31. Batu pemutus usus. "Sejak kini, aku pasti akan bertindak lebih hati hati, lebih menyayangi jiwa ragaku." Janji Tian Mong-pek sungguh sungguh.
Kakek berjubah abu-abu itu kembali tertawa sedih, ujarnya perlahan: "Aku telah menyampaikan semua yang kuketahui kepadamu, apakah kau pun bersedia melaksanakan dua hal untukku?" "Biar pun harus pertaruhkan nyawa, pasti akan kulaksanakan." Kakek berjubah abu-abu itu mengangkat kepala memandang angkasa, kemudian katanya: "Sekembali ke kuil Kim-san-sie, kau harus membersihkan namaku sebagai pembunuh suheng, jangan biarkan aku mati dengan penasaran." "Tak usah taysu katakan pun, cayhe pasti akan melakukannya." "Permintaanku yang kedua lebih mudah lagi." Kata si kakek setelah termenung lama.
"Katakan saja taysu." Tiba tiba terpancar sinar tajam dari balik mata kakek berjubah abu abu itu, ditatapnya wajah Tian Mong-pek lekat-lekat, kemudian katanya: "Setelah kau berhasil membunuh orang yang turun dengan keranjang itu, segera bunuhlah aku." Tian Mong-pek terkesiap, dengan hati terguncang serunya: "Taysu! Kau .
. . . .. kau . . . . . .." Kakek berjubah abu-abu itu tertwa ewa, ujarnya: "Rahasiaku telah kubeberkan kepadamu, namaku yang dirusak orang pun akan kau rehabilitasi, itu berarti sudah tak ada lagi yang perlu kukenang, itulah sebabnya aku mohon kebebasan darimu." "Taysu tak boleh memaksakan kehendak .
. . . . . .." "Jadi kau tega membiarkan aku hidup tersiksa ditempat semacam ini?" tukas kakek itu gusar.
"Selama aku bisa tinggalkan tempat ini dalam keadaan hidup, biar harus pertaruhkan nyawa pun aku tetap akan selamatkan taysu dari tempat ini, tak akan kubiarkan taysu hidup tersiksa seorang diri ditempat ini." "Coba lihatlah keadaanku sekarang, sekalipun bisa tinggalkan tempat ini, belum tentu bisa hidup lebih lanjut." Kata si kakek sedih.
Tian Mong-pek merasakan hatinya sangat sedih, ia tertunduk lemas.
Kembali kakek itu berkata: "Saat ini, selain mulutku masih bisa berbicara, mataku masih dapat melihat, bagian yang lain tak ubahnya seperti sesosok mayat, mengapa kau tidak bersedia membiarkan aku mati dengan perasaan lega dan puas?" Tiba tiba Tian Mong-pek mendongakkan kepalanya dan berteriak keras: II "Tapi taysu, kau .
. . . . . .. Kakek berjubah abu itu tertawa aneh, tukasnya: "Aku tak pernah menyesal atau penasaran karena harus mati ditempat ini, karena sejak jaman dulu, sudah ada banyak jago sakti yang berilmu sepuluh kali lipat dari kepandaianku yang terkubur ditempat ini, asal kau baca tulisan diatas batu itu, segala sesuatunya akan menjadi jelas." Tanpa sadar Tian Mong-pek menundukkan kepalanya untuk membaca.
Benar saja, diatas batu berwarna hitam yang selama ini tenggelam dibawah air rawa-rawa, tertera goresan tulisan, ada tulisan yang dalam sekali goresannya, ada pula yang cetek, ada yang besar, ada pula yang kecil, tapi yang mengagetkan adalah semua tulisan itu digores dengan menggunakan tenaga jari tangan.
Dari sini dapat disimpulkan kalau orang yang meninggalkan tulisan itu pasti memiliki tenaga dalam tinggi, mereka semua merupakan jago jago persilatan yang maha sakti.
Diantara goresan itu, dibagian tengah batu tertera satu baris kalimat yang goresannya mencapai kedalaman tiga inci, tulisnya: "Ki Siong-lam dari Cu-tang, dicelakai kaum kurcaci dan tewas ditempat ini!" Tian Mong-pek terkesiap, sewaktu masih kecil dulu ia pernah dengar orang bercerita bahwa Ki Siong-lam adalah seorang pendekar besar yang tersohor pada lima puluh tahunan berselang, selama masa itu dia telah melakukan banyak sepak terjang yang gagah berani dan menyelamatkan banyak orang gagah.
Siapa sangka, disaat masa jayanya itulah tiba tiba ia lenyap tak berbekas, dalam dunia persilatan pun tersiar pelbagai berita, bahkan ada yang mengatakan dia sudah jadi dewa, pergi ke barat dengan menunggang bangau sakti.
Tapi siapa sangka, ternyata dia telah dicelakai orang dan mati mengenaskan di tempat ini.
Menyaksikan nama tersebut, Tian Mong-pek merasa sedih dan murung.
Disekeliling nama pendekar tadi, tertera pula banyak nama lainnya, diantara nama-nama itu, ada yang pernah didengar Tian Mong-pek, ada pula yang meski belum pernah diketahui, namun bisa dipastikan mereka adalah tokoh tokoh sakti yang pernah menggetarkan sungai telaga.
Ditinjau dari tulisan yang ditinggalkan, dapat diketahui bahwa para enghiong hohan itu hampir semuanya dicelakai orang dan mati mengenaskan disana.
Pikir Tian Mong-pek kemudian dengan sedih: "Aaai, siapa yang menyangka kalau didasar rawa rawa yang terpencil ini ternyata bersemayan begitu banyak nyawa penasaran kaum enghiong hohan?" Sementara masih termenung, tiba tiba sinar matanya tertarik oleh sederetan tulisan yang persis berada dibawah kaki kakek berjubah abu abu itu.
Tulisan itu berbunyi: "Wahai orang she-Kat, biarpun kau telah celakai diriku, toh tak ada yang bisa kau peroleh, hahaha!" Dibawah tulisan itu tertera cap tujuh jari tangan, inilah tanda pengenal dari seorang pencuri budiman yang pernah menggetarkan dunia persilatan tempo hari, Jit-ci-sian, si dewa tujuh jari, Pek Hong-jin.
Tian Mong-pek pernah mendengar tentang segala sepak terjang pencuri budiman ini, tapi dia tak bisa menebak apa makna sebenarnya dari tulisan yang tak ada ujung pangkalnya itu.
Tak tahan diapun mendongakkan kepalanya seraya bertanya: "Taysu, sudah kau baca tulisan yang ditinggalkan Dewa tujuh jari?" Kakek berjubah abu-abu itu menghela napas.
"Aaai, setiap kali sedang menganggur, aku selalu tundukkan kepala untuk membaca tulisan-tulisan itu, aku rasa para pendekar kenamaan itupun telah mengalami nasib tragis yang sama seperti aku, setiap kali perasaanku jadi gundah dan sedih." "Kalau taysu telah membacanya, tahukah kau apa maksud dari tulisan itu?" "Pasti ada seorang begundal dari marga Kat yang mengincar sebuah benda mustika miliki dewa tujuh jari, gara gara itu dia telah mencelakainya hingga tewas disini." "Tapi sampai pada akhirnya, orang dari marga Kat itu tetap tak berhasil mendapatkan benda mustika tersebut, bisa dibayangkan sewaktu dewa tujuh jari meninggalkan tulisan itu, meski hatinya penuh rasa bangga, namun dia pun merasa amat sedih." Baru selesai dia bicara, tiba tiba dari atas tebing curam berkumandang suara gemerincing.
Suara itu menggaung di angkasa dan menggema ke empat penjuru.
"Apakah mereka datang?" bisik Tian Mong-pek dengan wajah berubah.
Kakek berjubah abu itu turut merasa tegang, sahutnya dengan suara berat: "Cepat kau masuk ke dalam air, begitu mendengar ada suara tong menggayung air, cepat munculkan diri dan mencabut nyawanya." Tian Mong-pek mengiakan, cepat tubuhnya meluncur turun dari batu dan menyelam ke dalam air rawa, dengan tenaga dalam yang dimiliki sekarang, biarpun harus menyelam selama setengah hari pun, hal ini bukan masalah barinya.
Berada dalam air rawa, benar saja, pemuda itu merasakan hawa dingin yang menusuk tulang.
Tian Mong-pek menahan napas sambil menyelam ke dasar rawa rawa, biarpun tekanan dalam air amat besar, ia masih sanggup menanggulanginya, tapi kegelapan yang menyelimuti tempat tersebut sungguh membuatnya susah bertahan.
Dia mencoba berjalan berapa langkah di dasar rawa, pi kirnya: "Orang lain bisa membuka matanya didalam air, kenapa aku tak bisa" Masa aku tak mampu melebihi orang lain?" Berpikir begitu, dia pun memaksakan diri untuk buka mata, pada mulanya mata terasa pedas, disusul kemudian terlihat pemandangan yang kabur, tapi akhirnya dia dapat menyaksikan pemandangan yang berada diseputar sana.
Pemandangan didasar rawa benar benar merupakan satu pemandangan luar biasa yang belum pernah disaksikan sebelumnya.
Terlihat aneka batu karang yang berbentuk aneh tersebar di empat penjuru, diantara batu karang tumbuh sejenis rumput air yang lebat, diantara rerumputan air terlihat banyak sekali ikan berbentuk aneh yang tak diketahui namanya berenang kian kemari.
Kawanan ikan itu bukan saja bentuknya berbeda-beda, ada yang berbentuk runcing bagai gurdi, ada yang bulat pendek bagai pentungan, ada yang bulat pipih seperti kue, tubuhnya pun berwarna warni, indah dan mengagumkan.




Kelihatannya kawanan ikan itu dikejutkan oleh kehadiran tamu asing pertama yang muncul dalam air rawa, serentak mereka kabur ke empat penjuru dan bersembunyi diantara rerumputan dan batu karang.
Di belakang kawanan ikan itu, terlihat juga aneka jenis ular berbisa berbentuk aneh, kecepatan gerak mereka ibarat anak panah yang terlepas dari busur, begitu cepat dan kilat, jauh melebihi gerak serangan jago kenamaan dunia persilatan.
Dalam terkejutnya, baru Tian Mong-pek hendak berkelit, siapa tahu begitu kawanan ular berbisa itu tiba dihadapannya, bagaikan secara tiba tiba tersengat api, serentak mereka mundur kembali dengan kecepatan tinggi.
Gerak tubuh kawanan ular itu betul-betul mengerikan, dalam waktu singkat kawanan binatang melata itu sudah hilang lenyap tak berbekas, yang tersisa kini hanya rumput air yang bergoyang dimainkan riak ombak, persis seperti rambut seorang gadis yang dihembus angin sepoi.
Tian Mong-pek sama sekali tidak menyangka, dibawah air rawa yang hitam pekat, ternyata memiliki pemandangan aneh yang mimpipun tak pernah dibayangkan orang daratan, hal ini benar benar membuatnya menghela napas kagum.
Begitulah, selangkah demi selangkah dia berjalan menelusuri dasar rawa, sekali lagi dia jumpai, diantara batu karang tersebar aneka jenis senjata yang telah berkarat serta tulang belulang manusia.
Mungkin mereka adalah para jago yang tewas begitu tercebur ke dalam air, bahkan belum sempat meninggalkan pesan terakhir, mayat mereka sudah menjadi santapan ular berbisa.
Dengan hati gundah Tian Mong-pek berdiri didepan tumpukan tulang belulang itu dan berdoa untuk arwah mereka yang gentayangan, mendadak satu kejadian aneh dijumpai diantara tumpukan batu karang itu.
Rupanya diatas sebuah batu karang disisi sebelah kiri, tertancap sebilah pedang hingga tinggal gagangnya, kalau senjata lainnya berserakan didasar rawa, maka pedang itu justru menembusi batu karang hingga tinggal tersisa gagangnya saja.
Selain itu, kalau senjata lainnya sudah berkarat dan tak karuan bentuknya, maka pedang ini meski berwarna hitam pekat tanpa cahaya, namun dari atas hingga ke bawah sama sekali tak ada tanda tanda karat.
Yang lebih istimewa lagi adalah pada gagang pedang itu terikat dua lembar batu, batu hijau yang menjepit gagang pedang, seketika timbul perasaan ingin tahu dihati kecil Tian Mong-pek, dia segera menyentuh batu tersebut.
Tali pengikat batu sudah lama lapuk, baru disentuh anak muda itu, potongan batu itu sudah terjatuh ke tangannya.
Batu itu penuh dengan goresan, tampaknya merupakan satu rangkaian tulisan.
Tapi susah bagi Tian Mong-pek untuk melihat jelas tulisan itu di dalam air, sementara berpikir, tiba tiba satu ingatan melintas, meskipun mata tak bisa digunakan untuk membaca tulisan, bukankah dengan rabaan jari, dia tetap bisa membaca goresan tulisan itu" Maka jari tangannya mulai meraba goresan tulisan itu, ternyata kalimat itu berbunyi begini: "Ambil bila melihat pedang, balik tangan bila meraba bunga." Tian Mong-pek sangat keheranan, pikirnya: "Maksud dari kalimat pertama sangat jelas, tapi apa arti kalimat ke dua" Sungguh membingungkan." Maka diapun mulai meraba batu kedua, disana tertulis: "Tanpa syarat kuhadiahkan pedang ini untukmu, akupun tak menginginkan banyak tuntutan darimu.
Sepanjang hidup sudah sering kuambil barang milik orang lain, jadi paling tidak akupun harus memberi hadiah satu kali ini." Goresan tulisan diatas batu ini lebih banyak dan hurufnya lebih kecil, Tian Mong-pek butuh banyak waktu untuk menyelesaikan pembacaan itu, meski tidak tertulis pemilik pedang, namun secara lamat lamat dapat ditebak kalau pedang itu kemungkinan besar milik Dewa tujuh jari.
Semua goresan tulisan ini bukan saja nadanya sama seperti tulisan yang ditinggalkan Dewa tujuh jari diatas batu, gaya tulisannya pun sangat mirip.
Tian Mong-pek tertegun berapa saat, tapi akhirnya tak tahan dia mendekati pedang itu dan mencabutnya keluar.
Dalam perkiraannya, pedang yang sudah menancap diatas batu karang itu pasti susah dicabut, siapa tahu begitu tangannya menyentuh gagang pedang, mata pedang pun ikut bergerak, bebatuan cadas yang keras bagai besi itu seketika retak dan hancur berantakan.
Dalam kagetnya, sekali lagi Tian Mong-pek mengayunkan pedang itu, dimana mata senjata melintas, batu karang seketika terbelah jadi dua.
Tak tahan lagi serunya dengan perasaan kaget: "Sungguh tajam pedang mustika ini!" Ketika diperiksa, terlihat pedang itu berwarna hitam pekat tanpa pantulan cahaya, lagipula bentuknya sangat aneh, sama sekali tak ada bagian yang tampak menarik hati, hanya saja meski berada dalam air, namun terasa cukup berat.
Kembali Tian Mong-pek berpikir: "Bisa jadi pedang ini ditimpuk masuk ke dalam air oleh Dewa tujuh jari menjelang ajalnya, karena mengenai batu karang, maka senjata itu tertancap disitu." Sesudah termangu berapa saat, pikirnya lebih jauh: "Pedang ini tajamnya luar biasa, jangan jangan benda inilah yang dimaksud dewa tujuh jari sebagai mestika yang diincar manusia bermarga Kat itu?" Sesudah menggenggam pedang itu, dia merasa langkah kakinya bertambah mantab dan stabil, baru saja akan melanjutkan perjalanan, tiba tiba ia mendengar muncullnya gelombang suara aneh dari permukaan air.
Satu ingatan segera melintas: "Aah, sudah tiba saatnya." Tidak sempat berpikir lebih jauh, sepasang lengannya mendayung ke depan dan tubuhnya menyelinap ketepi batu karang disisi rawa rawa.
Kembali seekor ular berbisa kabur karena kaget, tapi Tian Mong-pek tidak sempat lagi mempedulikan hal tersebut, dengan menempel karang, diam diam dia mengapungkan diri ke atas permukaan.
Pemuda itu sadar, situasi saat ini sangat gawat dan berbahaya, ia tak boleh bertindak gegabah, sebab sedikit saja teledor, bukan saja akan mencelakai diri sendiri, bahkan akan mencelakai juga orang lain.
Maka dia mencoba menahan napas dan mengendap dibalik bebatuan.
Betul saja, dari atas tebing curam terlihat seutas tali panjang terurai ke bawah, ujung tali berada dibalik kabut tebal, sementara ujung yang lain terikat pada sebuah keranjang yang muat untuk menampung dua orang.
Kini diatas batu karang dimana kakek berjubah abu itu berdiri, telah bertambah dengan seseorang.
Orang itu mengenakan pakaian ketat berwarna hitam mengkilat, tangannya mengenakan sarung tangan hitam yang terbuat dari kulit ikan hiu, kepalanya tertutup keranjang hitam yang terbuat dari anyaman.
Hampir boleh dibilang dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, tak seinci pun terlihat kulit tubuhnya.
Bentuk dan dandanan tersebut bukan saja tampak aneh dan menakutkan, bahkan ibarat setan gentayangan.
Betul saja, ditangan orang itu tergenggam dua tong air rawa, saat itu dia sedang berkata dengan dingin: "Semua kata kata baik maupun buruk telah kusampaikan, benarkah kau tetap tak mau mengaku?" Kakek berjubah abu-abu itu hanya mendengus, sama sekali tak menjawab.
Manusia berkerudung hitam itu segera tertawa dingin, ujarnya lagi: "Bagus sekali, apa pun yang toaya katakan, ternyata hanya kau tanggapi dengan dengusan, anggap saja kau memang bernyali." "Hmm!" kembali kakek itu mendengus.
Manusia berkerudung hitam itu tertawa dingin, ejeknya: "Kau begitu keras kepala menuruti suara hati sendiri, sesungguhnya hal ini hanya mencari penyakit buat diri sendiri, hmm, akan kulihat seberapa keras tulang belulangmu itu dan mau bertahan sampai kapan?" Pada saat dia berpaling sambil berbicara itulah, secara diam diam Tian Mong-pek menyusup ke belakang tubuhnya, mendadak dia muncul dari balik air, mengayun pedangnya dan menggorok leher manusia berbaju hitam itu.
Sewaktu masih berada dalam air, pedang itu tidak terasa kelewat berat, kini dia baru menyadari bahwa pedang hitam itu ternyata beratnya luar biasa, dia harus mengerahkan tenaga dalam sebelum bisa mengangkatnya.
Mimpipun manusia berbaju hitam itu tidak mengira kalau disitu masih hadir orang lain, dia sama sekali tidak menyadari akan datangnya sergapan.
Terlihat dimana mata pedang melintas lewat, tanpa menimbulkan suara apapun batok kepala manusia berbaju hitam itu sudah rontok ke tanah, begitu gampang, begitu mudah seperti mengiris tahu, semuanya lewat dengan begitu saja.
Pada saat itulah tangan kiri Tian Mong-pek sudah menerima keranjang kayu dari kepalanya, sedang badannya yang melompat naik ke atas batu, membopong tubuh manusia berbaju hitam itu agar tidak tercebur ke air.
Semburan darah segar segera berhamburan ke empat penjuru, mengotori pakaiannya, "Plunggg!" batok kepala itupun tercebur ke dalam air.
Sejak mengayunkan pedang, membunuh, menerima keranjang kayu, naik ke batu sampai memeluk mayat, ke lima gerakan itu dilakukan bersamaan waktu, belum sampai batok kepala itu tercebur ke air, semuanya telah selesai dilakukan, nyaris secepat kilatan petir.
Kelihatannya kakek berjubah abu-abu itupun dibuat terperangah, sesudah tertegun berapa saat, dia baru memuji sambil menghela napas: 'I' I "Sungguh cepat gerakanmu, sungguh tajam mata pedangmu Tiba tiba seperti teringat sesuatu, kembali teriaknya:
a tahu memaksa aku serahkan panah, tapi tidak mau ikut memikirkan bagaimana cara penyelesaiannya.
Aaaai, kalian boleh pergi!" Setelah mengulapkan tangannya, dia balik badan dan berjalan masuk.
Selama ini, si laba-laba maupun si katak tak berani bersuara, bernapas keras pun tidak berani, sekarang bagaikan mendapat pengampunan dosa, cepat mereka mengundurkan diri dari situ.
Tian Mong-pek merasa senang bercampur menyesal, dia gembira karena tempat ini ternyata memang tempat untuk membuat panah kekasih, dengan keberhasilannya memasuki tempat ini, berarti tidak sulit untuk membongkar rahasia dibalik kesemuanya itu.
Dia menyesal karena manusia berjubah hitam itu ternyata bukan otak dari panah kekasih, bila ingin balas dendam, kesempatan yang ada terasa masih jauh dan minim.
Begitulah, ke tiga orang itu dengan jalan pikiran masing masing berjalan keluar dari pintu berlambang serigala.
Setelah berada diluar, dengan suara setengah berbisik kata si laba-laba: "Belakangan, watak dari kepala kita makin berangasan dan cepat marah, dibandingkan saat baru datang dulu, dia seakan telah berubah jadi orang lain." Dengan suara lirih kata si katak pula: "Siapa pun yang sepanjang tahun terkurung ditempat semacam ini, wataknya pasti akan berubah.
Kini kita pun dipaksa masuk ke tempat ini, kecuali pasrah pada nasib, apa lagi yang bisa kita lakukan?" Baru selesai pembicaraan itu, mendadak terlihat seseorang dengan keranjang kayu berlambang ular melintas lewat dari sisi mereka, terdengar orang itu menghardik: "Apa yang sedang kalian bicarakan?" "Tidak ada." Jawab laba-laba ketakutan.
"Kurangi bicara, perbanyak bekerja, cepat kembali ke kamar untuk beristirahat!" bentak orang berlambang ular lagi.
Ke tiga orang itu mengiakan berulang kali dan berpisah ke tujuan masing- masing.
Tian Mong-pek mulai bingung dan ragu, dia tak tahu harus berjalan menuju ke arah mana, pikirnya: "Biarpun tak boleh bertindak gegabah, aku harus berhasil mencari tahu rahasia di tempat ini kemudian baru turun tangan, dengan begitu tak perlu menghantar nyawa dengan percuma.
Tapi bila jejakku saat ini ketahuan, terpaksa aku harus menghabisi mereka terlebih dulu, berapa yang bisa kubantai, akan kubantai berapa." Berpikir begitu, tanpa terasa jari tangannya menyentuh gagang pedang dibalik pakaiannya.
Kini, dia benar-benar terjerumus ke dalam keadaan yang sulit, pertama dia tak tahu harus beristirahat di ruang yang mana, kedua diapun tak bisa celingukan melihat ke sana kemari tanpa tujuan yang pasti.
Padahal sedikit saja dia melakukan tindakan yang mencurigakan, rahasia penyamarannya bakal terbongkar.
Selama berada dalam gua yang penuh diliputi hawa pembunuhan ini, setinggi apapun ilmu silat yang dimiliki, belum tentu dia dapat menjebol kepungan yang berlapis, sekalipun bertarung mati matian, pada akhirnya nyawa sendiri pun bakal hilang disini.
Untunglah disaat yang kritis, sorot matanya terbentur dengan sesuatu benda, dijung pintu tembaga sebelah kiri, terdapat sebuah pintu dengan lambang ukiran seekor capung.
Berada dalam keadaan begini, dia tak sempat berpikir panjang lagi, tanpa ragu dia melangkah menuju ke depan pintu dan menekan mata capung diatas dinding pintu.
Benar saja dugaannya, mata capung itu hidup, begitu ditekan, pintu itu segera terbuka lebar.
"Ooh.... syukurlah!" pekik pemuda itu.
Tanpa berani berpaling lagi, dia menyelinap masuk ke dalam ruangan, secara otomatis pintu tembaga itu segera menutup kembali.
Terhindar dari bahaya, Tian Mong-pek bersandar di pintu sambil menghembuskan napas lega, tapi belum sempat ia perhatikan keadaan di seputarnya, tiba tiba terdengar seseorang menegur sambil menghela napas: "Kenapa sampai sekarang baru balik?" Suara itu merdu dan lembut, ternyata suara seorang nona muda, dengan terperanjat Tian Mong-pek melompat ke sudut ruangan lalu berpaling .
. . . . . .. Terlihat perabot yang tersedia dalam ruang batu itupun sangat indah dan mewah, selain berapa buah almari, terdapat pula sebuah ranjang berukiran indah dengan seprei berwarna cerah.
Seorang gadis berwajah putih pucat, dengan rambut yang terurai panjang terlihat sedang duduk diatas ranjang yang empuk itu.
Dengan tangan kirinya si nona menutupi sebagian tubuhnya, sementara tangan kanannya sedang membetulkan rambutnya yang kusut, dia mengerling genit ke arah Tian Mong-pek dan memperlihatkan sepasang bahunya yang putih dan indah.
Saking kagetnya Tian Mong-pek hanya bisa tertegun, sampai lama sekali tak sanggup bergerak.
Terdengar nona berambut panjang itu tertawa malas, sapanya: "Kau sudah kembali" Kenapa tidak lepas pakaian?" Tian Mong-pek makin terperanjat, tanpa sadar lagi-lagi dia beringsut mundur.
Sekali lagi nona itu mengerlingnya genit, katanya sambil tertawa cekikikan: "Hei, ada apa dengan dirimu hari ini" Dibikin kaget diluaran sana" Baiklah, kalau begitu biar aku membantumu untuk lepas pakaian." Tiba tiba ia melompat turun dari ranjang, dibawah sinar lentera berwarna semu merah, ternyata gadis itu telanjang bulat tak mengenakan sehelai benangpun, tubuhnya yang putih mulus tak ubahnya seperti bayi yang baru lahir.
Diiringi tertawa merdu, ia menghampiri Tian Mong-pek.
Terkejut bercampur gusar, tanpa berpikir panjang lagi Tian Mong-pek mengayunkan sepasang tangannya, angin pukulan yang kuat seketika menggetarkan gadis bugil itu hingga terhuyung mundur lalu terjatuh kembali diatas ranjang.
Nona itu menjerit kaget, tiba tiba paras mukanya berubah, serunya dengan "Kau .
. . . .. kau bukan siau Phoa, siii.....
siapa kau" Kenapa bisa sampai ke tempat ini?" Dengan satu lompatan, Tian Mong-pek melompat ke depan gadis itu, menarik selimut dan ditutupkan keatas tubuhnya, setelah itu baru ujarnya: Il "Nona, jangan berteriak, kalau tidak, kau bakal kehilangan nyawa.....
Jangan dilihat gadis itu bertubuh kecil mungil, ternyata nyalinya cukup besar, sambil mengerdipkan matanya dia balik bertanya: "Kau yang bakal kehilangan nyawa, ataukah diriku?" Tian Mong-pek tertegun, cepat dia lepas tangan.
Sambil membetulkan rambutnya yang kusut, kembali gadis itu berkata sambil tertawa dingin: "Hmm, rupanya kau si bocah muda ingin mencuri kenikmatan" Hehehe.....
kau sudah salah perhitungan, biarpun nonamu bukan gadis suci bersih, bukan berarti aku bisa memakai diriku sekehendak hati." II "Nona, jangan salah paham, aku hanya .
. . . . . . .. Belum selesai dia berkata, gadis itu sudah tertawa terkekeh.
Sambil picingkan matanya dan tertawa genit, kata gadis itu: "Tapi kaupun tak usah takut, toh nonamu sedang risau dan gundah, asal kau lepas kerudungmu dan nona merasa wajahmu cocok dengan selera ku, tak ada II salahnya bila kau .
. . . . . . .. "Kentut!" umpat Tian Mong-pek gusar, dengan satu ayunan tangan, dia hajar wajah gadis itu.
Siapa sangka gadis itu sama sekali tidak takut, malah sambil duduk makinya: "Bocah keparat, sudah berani mencuri masuk kemari, masih berlagak sok suci .
. . . . . . . .." Kembali Tian Mong-pek mengayun tangannya, menghajar gadis itu sampai jumpalitan.
Bukannya takut, gadis itu makin nekad, dia melompat bangun lalu merangkul Tian Mong-pek sambil merayu: "Orang ganteng, jangan pukul aku lagi, sudahlah, aku kabulkan keinginanmu .
. . . . . . .." Belum selesai dia berkata, Tian Mong-pek telah merentangkan sepasang lengannya, membuat gadis itu kembali jatuh terjengkang.
Biarpun jalang dan genit, kelihatannya gadis itu belum pernah bertemu dengan lelaki keras kepala macam begini, sekarang dia mulai takut, bisiknya gemetar: "Kau .
. . . . .. mau apa kau?" "Tutup tubuhmu dengan selimut!" perintah Tian Mong-pek.
Kali ini gadis tersebut sangat menurut, dia menyusup ke balik selimut dan tidak berani bersikap jalang lagi.
Kembali Tian Mong-pek menghardik: "Setiap pertanyaan yang kuajukan, harus kau jawab sejujurnya, kalau berani bohong, hmm, akan kubuat hidupmu lebih tersiksa daripada mati." "Toa .
. . . .. toaya, kau bukan anggota tempat ini?" tanya nona berambut panjang itu gemetar.
Tian Mong-pek melepas kerudung kayu yang menutupi wajahnya, dengan sorot mata setajam sembilu ditatapnya gadis itu tampa berkedip.
Menyaksikan hawa pembunuhan yang menyelimuti wajah pemuda itu, tak tahan si nona bergidik, ia bersin berulang kali.
"Berapa jumlah orang yang ada disini?" tanya Tian Mong-pek kemudian.
Gadis itu mulai menggigil ketakutan, sepasang giginya saling beradu keras, sambil menarik selimutnya makin rapat, sahutnya gemetaran: "Aku sendiripun tak jelas, mungkin sekitar dua sampai tiga puluhan orang." "Mereka berasal dari mana" Bagaimana dengan ilmu silatnya?" "Diantara mereka ada yang berasal dari rimba hijau, ahli dalam menggunakan senjata rahasia beracun, tapi ada pula yang tukang jamu yang kepandaiannya pas pasan." II "Benar juga, pikir Tian Mong-pek, "mereka adalah tenaga kasar yang diperlukan untuk membuat panah kekasih, baguslah kalau hanya bangsa kurcaci." Maka tanyanya lagi: "Siapa kau?" "Aku hanya seorang perempuan baik baik yang diculik dan dibawa kemari II untuk .
. . . . . . .. nona itu tampak sangat ketakutan.
Tian Mong-pek tertawa dingin, tukasnya: "Mana ada perempuan baik-baik bertampang macam kau" Cepat jawab, mengapa mereka membawamu kemari?" "Diantara kawanan manusia itu, ada yang lantaran tak punya tempat untuk berteduh lagi sehingga secara sukarela datang bergabu ng, tapi ada pula yang dipaksa untuk datang kemari.
Agar mereka bisa bekerja dengan tenang ditempat ini, maka pemimpin menculik perempuan perempuan dari luar, agar II mereka .
. . . . .. Tian Mong-pek enggan mendengarkan lebih lanjut, tukasnya: "Sudah tahu, siapa pentolan tempat ini?" "Kami semua dipaksa datang kesini, darimana bisa tahu siapa pentolan mereka"' rengek perempuan muda itu, "tayhiap, kumohon, ampunilah diriku!" Tian Mong-pek tertawa dingin, katanya: "Bila kau benar benar perempuan baik, mereka tak akan datang mencarimu lagi, kau tak usah kuatir, selama tidak banyak ulah, aku tak akan mengganggu nyawamu." Waktu itu, tubuh gadis itu sudah mundur hingga melingkar disudut ranjang, mendadak ujarnya sambil tertawa dingin: "Aaah, betul sekali, nonamu memang bukan berasal dari keluarga baik baik." "Kau .
. . . . . . . .." dengan kening berkerut hardik Tian Mong-pek gusar.
"Tutup mulut," hardik gadis itu sambil tertawa dingin, "tombol rahasia dibelakangku tersambung ke bel tanda bahaya diseluru h gua ini, asal kutekan tombol itu, kau segera akan mampus." Tian Mong-pek merasa tubuhnya tergoncang keras, tanpa sadar dia mundur tiga langkah.
II "Hahaha, betul sekali, seharusnya mundur teratur, kata gadis itu lagi sambil tertawa terkekeh, "selama kau penurut, urusan semacam apapun dapat II dirundingkan, malah siapa tahu .
. . . . . .. Sambil mengerling genit, ia tertawa jalang.
Tian Mong-pek marah sekali, pikirnya: "Biar harus mati pun, aku tak bakal menuruti perintah perempuan sundal ini!" Seketika dia merasakan darah panas ditubuhnya menggelora, dalam keadaan begini, dia tidak berpikir panjang lagi.
Dalam pada itu, si nona sedang merasa bangga dengan keberhasilnya menggertak lawan, serunya lagi sambil tertawa merdu: "Hei anak muda, katakan padaku, kau adalah .
. . . . . . .."\ Sekonyong-konyong Tian Mong-pek membentak gusar, tubuhnya bagaikan seekor harimau buas menerkam ke muka.
Kelihatannya gadis itu tak pernah mengira kalau dikolong langit benar benar terdapat manusia nekad yang tak maui nyawa sendiri, seketika wajahnya pucat kehijauan, buru buru tangan kirinya menekan tombol tanda bahaya, sementara tangan kanannya mencabut sebilah pisau belati dari bawah bantal.
Tian Mong-pek teramat gusar, dia maju sambil bacok tenggorokan gadis itu, memakai kesempatan tersebut, pisau belati si nona pun dihujamkan ke dada lawan, ternyata dalam gusarnya, pemuda itu lupa menjaga diri.
Sesaat sebelum putus nyawa, sekulum senyum kepuasan menghiasi bibir nona itu, dia sangka musuhnya telah tewas oleh tusukan pisau belatinya.
Siapa sangka begitu pisau belati itu menusuk ke dada lawan, tahu tahu telapak tangannya terasa getaran keras, mata pisau sudah patah jadi dua bagian.
Darimana nona itu tahu kalau dibalik baju Tian Mong-pek tersimpan sebilah pedang baja kuno yang luar biasa tajamnya, baru merasa kaget, nyawanya sudah meninggalkan raga, tubuh yang telanjang bulat pun roboh terjungkal dan terkapar bugil diatas ranjang.
Baru saja Tian Mong-pek melompat turun dari ranjang, suara tanda bahaya telah bergema nyaring.
Suara keleningan yang nyaring menggema dan menyebar ke balik keheningan, menyusul kemudian terdengar suara teriakan kaget dan suara langkah manusia yang terburu-buru menuju ke ruang batu itu.
Tian Mong-pek tarik napas dalam-dalam, sambil busungkan dada ia berdiri tegak didepan pintu, dalam keadaan begini mati hidupnya sudah tak dipikirkan lagi, dengan menghimpun segenap kekuatan yang dimiliki, dia siap bertarung habis habisan melawan kawanan iblis itu.
Siapa tahu, saat itulah dari luar ruangan terdengar lagi seruan seseorang dengan nada nyaring: "Jangan turun tangan dulu, lepas asap beracun, biar bajingan itu mati keracunan didalam sana." Terkejut bercampur gusar, sekuat tenaga Tian Mong-pek menarik pintu tembaga itu, siapa tahu pintu tersebut sama sekali bergeming.
Saat itulah, dari atap ruangan, dari balik lubang hawa, tersebar gumpalan asap berwarna putih, asap tebal yang disertai bau busuk seperti kayu lapuk.
Cepat Tian Mong-pek menutup pernapasannya, rasa gusar bercampur kaget mencekam perasaan hatinya, dia lebih suka mati dalam pertempuran daripada mati keracunan diruangan itu.
Dalam waktu singkat, kabut putih telah menyelimuti seluruh ruangan itu.
Tian Mong-pek segera menghimpun segenap tenaga dalam yang dimiliki dan menghantam pintu tembaga, "Blaaaam!" suara benturan nyaring bergema kemana-mana, namun pintu itu sama sekali tak bergerak, geser sedikitpun tidak.
Umpatan, caci maki dan suara ejekan berkumandang dari luar pintu, Tian Mong-pek merasa sedih bercampur marah, sepasang matanya merah membara, dengan satu tarikan, dia robek baju yang dikenakan, tiba tiba tangannya menyentuh pedang baja hitam.
Sebagaimana diketahui, pedang itu baru saja diperoleh, jadi tak heran kalau dalam keadaan gusar bercampur panik, dia sudah melupakan senjata mustika itu.
Kini, setelah menyentuh pedang hitam, satu ingatan segera melintas, cepat dia cabut keluar senjata itu.
Sekali lagi dia himpun segenap tenaga yang dimiliki, kemudian dengan satu ayunan, pedang hitam itu dengan membawa cahaya kehitaman meluncur keatas pintu tembaga yang tebal.
"Creeet!" bagai membelah kayu lapuk, pedang hitam itu langsung tembus ke balik dinding pintu dan menciptakan sebuah lubang yang cukup lebar.
Tian Mong-pek merasa semangatnya berkobar, dia cabut pedang itu diikuti satu bacokan lagi dilontarkan, sementara kakinya melepaskan satu tendangan ke arah celah yang terbentuk.
"Braaakl" sebuah lubang yang besar pun segera terbentuk.
Jeritan kaget, teriakan panik seketika berkumandang dari luar pintu.
Dengan pedang hitam melindungi dada, Tian Mong-pek melompat keluar dari balik pintu.
Tampak cahaya hitam menyelimuti luar pintu, bayangan manusia berjajar disana sini.
Secepat kilat pemuda itu menerobos keluar, teriakan kager, jeritan panik bergema makin ramai.
Bab 32...hilang/gak ada...cerita agak melompat sedikit....
Bab 33. Naik kereta menuju Kanglam.
"Waah..... menarik sekali . . . . . .." seru Tian Mong-pek kegirangan, "tapi .
. . . . .." Tiba tiba ia teringat dengan kasur samadi dalam kuil Kim-san-sie, dia tak boleh menunda masalah ini, rahasia dibalik kasur samadi harus segera diungkap, tapi diapun merasa berat hati untuk melepas kesempatan menonton pertarungan sengit ini.
Melihat perubahan mimik muka pemuda itu, Lan Toa-sianseng kembali bertanya: "Apakah kau masih ada urusan lain, yang tidak dapat ditunda lagi?" "Benar." sahut Tian Mong-pek sambil menghela napas.
"Urusan apa yang begitu penting?" "Cayhe harus .
. . . . . . . .. tugas yang akan kulaksanakan ini akan cianpwee ketahui dimasa mendatang." sebagai seseorang yang berjiwa muda, sewaktu teringat pertaruhannya dngan kakek bungkuk, dia merasa tidak seharusnya dia ungkap keadaan yang sesungguhnya dihadapan orang tua ini.
Berputar biji mata Lan Toa-sianseng, rupanya diapun dapat melihat kesulitan pemuda ini, tiba tiba katanya sambil tertawa: "Kalau ada urusan, cepatlah pergi, toh pertarungan kali ini tak bakal seseru pertarungan tempo hari." "Kalau memang begitu," kata Tian Mong-pek setelah termenung sejenak, "aku .
. . . . . .. aku akan menanti kedatangan kalian berdua di kuil Kim-san-sie, tapi cianpwee jangan lupa, dibawah sana masih menunggu sekawanan .
. . . .." "Tak usah kuatir, lohu tak bakal lupa." Sahut Lan Toa-sianseng sambil tertawa.
"Kalau begitu cayhe pergi dulu." "Pergi sana, pergi sana," umpat si bungkuk baja, "lohu tahu, kau pasti ada suatu rahasia yang sengaja kau tutupi dihadapanku, coba lihat, sampai tua bangka Lan ikutan bermimik mencurigakan." "Hahaha, dasar tua bangka licik." Lan Toa-sianseng tertawa terbahak.
Tian Mong-pek tak ingin banyak bicara lagi, dia segera membalikkan badan dan beranjak pergi.
Mendadak Lan Toa-sianseng kembali memanggilnya, ketika pemuda itu berpaling, tanya kakek ini: "Hampir saja lohu lupa menanyakan sesuatu kepadamu, siapa si kakek berjubah kuning itu?" "Kokcu dari lembah Kaisar." Sahut Tian Mong-pek sambil tersenyum.
Lan Toa-sianseng termenung seketika, sampai lama kemudian dia baru menggeleng dan berkata sambil tertawa: "Ternyata memang dia, ternyata memang dia.....
baiklah saudara cilik, cepatlah pergi, kita ketemu lagi di kuil Kim-san-sie." Tian Mong-pek mengiakan dan segera beranjak pergi.
Dari kejauhan ia mendengar si bungkuk baja sedang berteriak: "Kalau dia sampai terluka ditanganku, batal rencana kepergiannya.
Perjalanan yang dilakukan Tian Mong-pek kali ini, boleh dibilang hanya berlangsung berapa hari, tapi pengalaman yang dijumpai, justru tak terhingga banyaknya.
Sambil menuruni bukit, pelbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya: "Entah bagaimana keadaan kuil Kim-san-sie sekarang" Berhasilkah aku membongkar rahasia panah kekasih dalam perjalanan kali ini?" Makin dipikir dia merasa hatinya makin ruwet, semakin gelisah dan tak tenang, kalau bisa dia ingin tiba di kuil Kim-san-sie dalam sekali jangkauan.




Tapi kuil Kim-san-sie terletak sejauh ribuan li dari sana, tidak diketahui berapa lama dia harus menempuh perjalanan ini" Mungkinkah akan muncul banyak rintangan dan persoalan sepanjang perjalanan ini" "Aku memang termasuk orang yang banyak urusan," demikian ia berpikir, "dalam perjalanan kali ini, sekalipun aku tidak pergi mencari masalah, mungkin orang lain yang akan datang mencari gara-gara dengan aku." Setelah berpikir bolak balik, akhirnya ia mendapat satu akal: "Lebih baik aku menyewa sebuah kereta, dengan duduk dalam kereta dan menutup rapat tirai, sudah pasti tak akan terjadi gara gara lagi." Berpikir begitu, langkah kakinya makin cepat, tiba di kaki gunung, tempat dia meninggalkan kudanya, ia mulai perlambat langkahnya dan celingukan kesana kemari.
Ternyata kuda itu memang kuda pilihan, tak lama kemudian lamat lamat ia mendengar ada suara ringkikan kuda.
Dengan perasaan girang pemuda itu meluncur kearah mana berasalnya suara tadi, tampak kuda jempolan itu sedang merumput dengan tenangnya disana.
Dengan hati girang Tian Mong-pek segera menepuk leher sang kuda sambil serunya: "Kuda wahai kudaku, tak disangka kau benar-benar menungguku disini .
. . . . .." Dengan riang gembira pemuda itu melompat naik ke punggung kuda dan melarikannya.
"Mari kita berangkat!" Diiringi suara ringkikan panjang, kuda itupun mulai berlari kencang menelusuri tanah perbukitan.
Tak sampai sepertanak nasi, mereka telah tiba di sebuah dataran rumput yang luas.
Satu ingatan mendadak melintas lewat, pikir pemuda itu: "Sekarang aku sudah punya kuda, berarti tidak perlu kereta lagi, kalau suruh kuda ini menghela kereta, aku pun merasa keberatan, lalu bagaimana baiknya?" Setelah berpikir bolak balik, satu ingatan melintas: "Kenapa tidak kutitipkan kuda ini ke sebuah pengawalan barang dan minta mereka mengirimnya sampai di kuil Kim-san-sie" Paling juga memberi mereka II sedikit uang.....
Teringat soal uang, diam diam pemuda itu mengeluh: "Aduh, mati aku!" Untuk sesaat pemuda itu berdiri tertegun.
Rupanya sewaktu tercebur ke dalam rawa-rawa pelumat sukma, seluruh uang miliknya sudah hilang didasar air, atau dengan perkataan lain, kini dalam sakunya sudah tak ada uang sepeserpun.
Tentu dia tak akan mencuri, diapun tak bakal merampok, sekalipun niatan untuk menyewa kereta bisa diurungkan, toh mustahil dia harus menahan lapar hingga tiba di kuil Kim-san-sie yang berjarak ribuan li.
Persoalan yang selama ini bukan masalah baginya, saat ini justru telah menjadi problem yang serius.
Sambil menghela napas, pikirnya: "Dengar dengar ada pegadaian yang khusus menerima kuda, bagus juga kalau kuda ini dapat kugadaikan, kalau tidak .
. . . . .. aaai, sejujurnya aku tak tega untuk menjualnya." Tak selang berapa saat kemudian, Tian Mong-pek telah tiba disebuah kota, kalau dilihat dari bangunan yang berjajar sepanjang jalan, tampaknya ini kota besar.
Biarpun pikirannya sedang kusut, terutama perutnya yang keroncongan, tapi pemuda ini tetap duduk tegak diatas pelana kudanya.
Banyak orang sepanjang perjalanan yang berpaling dan menatap kagum kearahnya, apalagi menyaksikan parasnya yang ganteng dan kudanya yang gagah.
Diam diam Tian Mong-pek tertawa getir, pikirnya: "Pikir mereka aku gagah, padahal siapa yang tahu kalau sakuku kosong melompong?" Saat itu tengah hari telah menjelang, aneka hidangan tampak berjajar dalam kedai makan, walaupun hanya berupa hidangan sederhana, akan tetapi dalam pandangan Tian Mong-pek merupakan hidangan yang sangat mewah.
Ditambah lagi bau harum yang menyebar dari balik dapur rumah makan, benar-benar membuat dia harus menelan air liur.
Sambil tertawa getir pikir pemuda itu: "Heran, mengapa semakin miskin seseorang, semakin cepat perutnya terasa lapar" Diwaktu biasa, biar seharian tidak bersantap pun, rasanya belum pernah selapar ini." Setelah berpikir bolak balik, akhirnya dia putuskan untuk menggadaikan kudanya kemudian menyewa kereta untuk melanjutkan perjalanan.
Tapi dia asing dengan situasi kota itu, bahkan nama kota pun tidak diketahui, ke mana harus mencari pegadaian kuda" Setelah menuntun kudanya menelusuri jalanan dalam kota, pemuda itu merasa perutnya semakin lapar, sementara diapun enggan untuk mengucapkan kata akan "menjual kuda"nya, darimana orang lain bisa mengetahui niatnya itu" Setelah berjalan sekian lama, akhirnya tibalah pemuda ini didepan sebuah rumah makan besar disisi timur kota.
Bangunan rumah makan itu besar, tamunya ramai dan didepan rumah makan tersedia istal dengan puluhan ekor kuda sedang merumput disana.
Kembali Tian Mong-pek berpikir: "Biar aku berteriak akan menjual kuda disepanjang jalan, belum tentu ada yang tertarik untuk membelinya, aku lihat rumah makan ini sangat ramai, siapa tahu diantara tamunya ada yang tahu kualitas kuda ku?" Berpikir begitu, diapun menuntun kudanya mendekati rumah makan, seorang pelayan segera menyambut kedatangannya dengan senyuman yang dibuat buat: "Silahkan masuk kek-koan, serahkan saja kuda ini kepada hamba." Tian Mong-pek hanya tertawa getir sambil gelengkan kepalanya berulang kali.
Kembali pelayan itu berkata sambil tertawa: "Kek-koan, tempat dibawah sini kurang bersih, silahkan naik ke atas loteng." Dengan wajah jengah sahut Tian Mong-pek agak tergagap: "Aku hanya berniat menjual kuda .
. . . .." "Ooh . . . . .." tanpa buang waktu pelayan itu segera ngeloyor pergi, senyuman diwajah pun ikut lenyap tak berbekas.
Diam-diam Tian Mong-pek menghela napas, baru saja dia akan berteriak "Jual kuda", tiba tiba satu ingatan melintas, bagaimana jadinya kalau bertemu teman atau orang yang dikenalnya ditempat itu" Baru saja akan mengundurkan diri, tiba tiba terdengar seseorang berteriak: "Mana si penjual kuda?" Ternyata pelayan warung yang ingin dapet persen telah mewartakan orang dibawah loteng, kalau ada orang hendak menjual kudanya.
Ketika berpaling, terlihat dua orang lelaki berbaju sutera yang sedang mabuk, naik keatas loteng dengan langkah lebar.
Karena merasa tak kenal dengan orang ini, Tian Mong-pek menghentikan langkahnya.
"Kau yang akan menjual kuda?" tanya lelaki berbaju sutera itu setelah mengamati berapa saat.
Orang ini berperawakan tinggi besar, suaranya nyaring bagai genta, agaknya seorang jago gwakang.
"Betul, memang cayhe." Sahut Tian Mong-pek sambil mengangguk.
Rekannya, seorang lelaki berperawakan kurus jangkung sama sekali tidak berpaling, dia justru amati kuda jempolan itu berapa saat, setelah itu baru katanya: "Benar, memang kuda jempolan." Orang ini bukan Cuma badannya yang kurus kering, waktu bicarapun seolah tak punya tenaga, dia tampak lebih kelaparan ketimbang Tian Mong-pek, Cuma dandanan dan pakaiannya seperti seorang kongcu hidung bangor.
Terlihat lelaki berbaju sutera itu tertawa terbahak bahak dan berkata: "Hahaha, kalau toako bilang kuda ini jempolan, sudah pasti memang kuda jempolan.
Hei, kuda ini mau dijual berapa perak?" Tian Mong-pek memang tidak berjiwa pedagang, pikirnya: "Kalau harga yang kutawarkan kelewat rendah, mereka pasti tak akan Il memberi kesempatan kepadaku untuk menebusnya kembali.....
Berpikir begitu, dia pun memperlihatkan ke lima jari tangannya.
"Lima puluh . . . . . . . . .." seru lelaki berbaju sutera itu.
Tiba tiba ia merasa ujung bajunya ditarik orang, seketika ia berhenti bicara.
Tampak lelaki kurus jangkung itu berkata perlahan: "Lima tahil perak" Yaa sudahlah." Sebetulnya Tian Mong-pek hendak mengajukan harga lima ratus tahil, begitu melihat mimik muka orang ini, dia jadi mendongkol, teriaknya tiba tiba: "Tidak bisa kurang, seribu tahil perak." "Apa" Minta berapa?" teriak lelaki berbaju sutera itu terperanjat.
Perlu diketahui, nilai uang pada saat itu tinggi sekali, dengan lima tahil perak, kau sudah bisa memperoleh seekor kuda kurus.
"Seribu tahil pas, itupun bukan dijual kepadamu, hanya kugadaikan sementara waktu, dalam tiga bulan, aku akan membawa uang untuk menebusnya kembali." Lelaki berbaju sutera itu mengamati lawannya berapa saat, lalu sambil gelengkan kepala, dia tertawa terbahak-bahak.
"Tampaknya orang ini sudah edan saking kerenya, toako, tak usah ambil peduli lagi, ayoh kita naik ke loteng minum arak!" Tapi lelaki kurus kering itu tak bergerak, ujarnya perlahan: "Bagaimana kalau kubayar lima puluh tahil!" "Lima puluh tahil" Huh, beli ekornya saja belum cukup." Tiba tiba lelaki jangkung itu melotot, jengeknya sambil tertawa dingin: "Kalau tidak dijual, hadiahkan saja kepadaku." Tian Mong-pek merasakan ketajaman mata orang ini menggidikkan hati, diam-diam ia terkejut, tapi diluar, sahutnya sambil tertawa tergelak: "Hadiahkan kepadamu" Kenapa harus kuhadiahkan padamu?" Karena tak ingin mencari gara-gara, diapun menuntun kudanya siap tinggalkan tempat itu.
Siapa sangka lelaki itu justru menahan pelana kuda da n ejeknya sambil tertawa dingin: "Jite, seharusnya kita akan menikmati arak ditempat ini, siapa sangka bajingan ini telah mempermainkan kita, masa harus dibiarkan pergi begitu saja?" Lelaki berbaju sutera itu termenung sejenak, mendadak sahutnya pula dengan suara keras: "Betul, mana ada kuda senilai seribu tahil perak" sudah jelas bangsat ini ingin mempermainkan kita berdua, jangan biarkan dia pergi." "Mau apa kau?" tiba tiba Tian Mong-pek membalikkan badan.
"Kuberi lima puluh tahil perak dan kau tinggalkan kuda itu." Tian Mong-pek berkerut kening, perlahan dia pererat genggamannya pada tali les kuda, kemudian tantangnya: "Bila kau berhasil merebut kuda ini dari tanganku, akan kuhadiahkan kuda ini untukmu." "Hahaha," lelaki berbaju sutera itu tertawa tergelak, "rupanya bangsat ini ingin menjajal kemampuan kami, baik, ludah yang sudah diluarkan tak akan dijilat kembali, jangan menyesal nanti." "Bagaimana kalau gagal?" ejek Tian Mong-pek lagi dingin.
"Kalau tidak berhasil, kami akan bersujud dihadapanmu ." Betul saja, dengan kecepatan tinggi lelaki berbaju sutera itu maju menyerang, dengan sepasang tangannya yang besar, dia cengkeram kepalan lawan.
Orang ini tersohor karena kekuatan raksasanya, disangkanya dengan satu serangan saja dia akan berhasil merampas kuda lawan.
Betul saja, dengan kecepatan tinggi lelaki berbaju sutera itu maju menyerang, dengan sepasang tangannya yang besar, dia cengkeram kepalan lawan.
Orang ini tersohor karena kekuatan raksasanya, disangkanya dengan satu serangan saja dia akan berhasil merampas kuda lawan.
Siapa sangka, walaupun seluruh tenaga telah dikerahkan keluar, jangan lagi merampas kuda itu, menggeser sebuah jari tangan lawan pun tak mampu.
Orang yang menonton keramaian mulai mengerumuni sekeliling tempat itu, ketika melihat Tian Mong-pek yang lemah lembut berdiri tenang seolah tak terjadi masalah, sementara lelaki tinggi besar bagai seekor kerbao itu justru merah padam wajahnya, diam diam mereka tert awa geli, terutama lelaki kurus kering itu, terlihat paras mukanya telah berubah jadi pucat pias.
"Pergi!" tiba tiba lelaki kekar itu membentak, satu tendangan dilontarkan kearah dada Tian Mong-pek.
Siapa sangka anak muda itu sudah menduga sampai ke situ, tangan kirinya mendayung keatas, langsung menangkap tungkai kakinya.
Lelaki kekar itu melotot semakin besar, jeritnya: "Kau .
. . . .. kau . . . . . .. aku akan beradu jiwa denganmu." Sepasang tangannya direntang, dia cengkeram wajah lawan.
Tian Mong-pek mendengus, dia dorong tungkai kaki lawan ke samping sambil bentaknya: "Enyah dari sini!" Benar saja, lelaki kekar itu tak sanggup berdiri tegak, tubuhnya roboh terjengkang.
Melihat itu, para penonton ada yang berteriak sambil tertawa: "Wah, ternyata orang ini penurut sekali." Lelaki kurus kering itu sadar kalau telah bertemu lawan tangguh, dia cabut setangkai kipas lipat dari sakunya, lalu menyelinap dari bawah perut kuda langsung menghampiri anak muda itu.
Dalam pada itu para tamu di loteng rumah makan sudah ikut melongok ke bawah untuk menonton keramaian.
"Sobat," tegur lelaki kurus kering itu, "kau sudah menanam bibit bencana." "Hahaha, aku orang she-Tian selama hidup tak pernah takut menghadapi bencana." Sahut Tian Mong-pek sambil tertawa keras.
"Hmm, kau jangan sombong dulu," tegur lelaki kurus kering itu sambil tertawa dingin, "tahukah siapa aku?" Tiba tiba pergelangan tangannya membalik, dia pentang kipasnya didepan pemuda itu.
Diatas lapisan kipas yang terbuat dari kain berwarna ungu, terlihat sulaman seekor burung elang emas dengan mata cembung dan pentangan sayap yang gagah, sulamannya indah bagaikan hidup, dapat diduga kalau ia mempunyai asal usul luar biasa.
Siapa sangka Tian Mong-pek tidak doyan dengan cara semacam itu, bentaknya gusar: "Aku tidak peduli siapa dirimu." Tangan kanannya masih memegang tali les kuda, sedang tangan kirinya secepat kilat mencengkeram pergelangan lawan.
Cepat lelaki kurus kering itu menarik tangannya ke bawah, kipas itupun mengancam urat nadi di pergelangan Tian Mong-pek, sedang lima jari tangan kirinya mengancam punggung tangan lawan.
Desingan angin tajam menderu, ternyata ilmu yang digunakan adalah ki-na- jiu-hoat aliran murni.
"Wah, ilmu Ki-na-jiu yang cepat!" tergerak hari Tian Mong-pek, timbul semangat tempurnya dihati, cia lepas tali les kudanya dan melepaskan satu pukulan tinju dengan jurus Sik-po-thian-keng (batu pecah langit terkejut).
Dia sangka kungfu lawan sangat tangguh, maka dalam pukulan kali ini, dia sertakan tenaganya sebesar tujuh puluh persen.
Lelaki jangkung itu merangsek lebih ke depan, sepasang tangannya sekali lagi mencengkeram urat nadi lawan, meski serangannya cepat, sayang tenaga dalamnya ketinggalan jauh.
Belum sempat cengkeramannya menyentuh kepalan lawan, tubuhnya sudah terpental jauh ke belakang.
Peristiwa ini kontan membuat Tian Mong-pek termangu, belum sempat lelaki kekar itu maju kembali, mendadak terdengar bentakan keras bergema dari atas loteng, diikuti tiga sosok bayangan manusia meluncur turun dengan kecepatan tinggi.
"Hahaha, bagus, bagus sekali," lelaki kekar itu segera bertepuk tangan sambil tertawa tergelak, "kali ini kau si bajingan jangan harap bisa kabur lagi." Menyaksikan betapa cepat dan gesitnya gerakan tubuh ke tiga sosok bayangan manusia itu, Tian Mong-pek sadar kalau ginkang mereka sangat tangguh, seketika itu juga dia tingkatkan kesiapaannya, menyilangkan tangan didepan dada sambil mundur tiga langkah.
Siapa sangka, begitu meluncur tiga, ke tiga orang itu serentak memberi hormat kepadanya .
Lagi-lagi Tian Mong-pek dibuat tertegun, sesudah diamati, diapun tertawa lebar.
"Hahaha, rupanya kalian yang telah datang." Ternyata ke tiga orang itu bukan lain adalah Lau-san-sam-gan, tiga angsa liar dari Lau-san.
Tertegun lelaki tinggi besar itu, serunya tergagap: "Kau.....
kau kenal dengan dia?" "Siapa bilang tidak kenal." Jawab Cuan-hun-gan (angsa liar penembus awan) Ho Kun-hiong.
Lelaki kurus kering itupun merasa amat terperanjat, tapi dia tak mau mengaku kalah, sindirnya sambil tertawa dingin: "Hmm, tidak disangka ternyata Lau-san-sam-gan berteman dengan begal kuda." Ciong-siau-gan (angsa liar penembus awan) Ho Kun-kiat tidak menjadi gusar karena ucapan itu, dia tahu, orang ini mendongkol lantaran melihat mereka tiga bersaudara tidak membantu dirinya.
"Kim toako," ujarnya sambil tersenyum, "kau jangan mengumpat kami tiga bersaudara, tanya dulu siapakah dia!" "Peduli amat siapa dia," sahut lelaki berbaju sutera itu gusar, "kalian telah mengundang kedatangan kami di sini, tidak seharusnya membiarkan kami dianiaya orang tanpa membantu." "Tapi orang ini berbeda sekali dengan orang lain." Kata Gin-gan (angsa perak) Ho Kun-hiap sambil tertawa tergelak.
"Dimana bedanya" Aku lihat alis matanya tidak tumbuh dibawah mata, hidungpun hanya ada satu." "Hahaha, dialah Tian Mong-pek." Tiba tiba lelaki berbaju sutera itu berseru tertahan, mundur tiga langkah dan berdiri terperangah, matanya mendelong, mulutnya melongo, sampai lama sekali dia awasi Tian Mong-pek tanpa berkedip.
Kelihatannya, lelaki kurus jangkung itupun tertegun dibuatnya, lewat berapa saat kemudian, tiba tiba mereka berdua berebut maju kemudian jatuhkan diri berlutut sambil memberi hormat.
Tian Mong-pek jadi gelagapan, serunya panik: "Apa....
apa apaan kalian berdua?" Setelah memberi hormat tiga kali, lelaki berbaju sutera itu melompat bangun duluan, ditatapnya Tian Mong-pek berapa saat, lalu sambil gelengkan kepala dan tertawa, katanya: "Aku tidak kenal dia, tentu tak bisa salahkan diriku." "Hahaha, perkataanmu selalu membuat orang susah memahami." Seru Ho Kun-hiap tertawa.
"Apa susahnya dipahami?" teriak lelaki berbaju sutera itu melotot, "dalam anggapanku, Tian Mong-pek yang dibilang gagah perkasa, seharusnya tampil gagah dan kekar, siapa sangka dia begitu lembut seperti seorang pelajar?" "Hahaha, jadi kau anggap setiap enghiong hohan harus berdandan semacam dirimu?" kata Ho Kun-hiap sambil tertawa tergelak, setelah berhenti sesaat, terusnya, "Kau masih mendingan, kenapa sampai Kim-eng si elang emas pun bisa salah menilai orang hari ini" Seorang enghiong sudah II dianggapnya sebagai begal kuda .
. . . .. Lelaki tinggi kurus itu tertawa jengah.
"Elang emas?" gumam Tian Mong-pek sambil termenung.
"Gi-pak-kim-eng (elang mas dari Gi-pak), bintang diantara para opas." Ho Kun-hiap menerangkan.
Wilayah Gi-pak adalah wilayah utara perbatasan dimana merupakan padang rumput dan merupakan daerah peternakan, termasuk peternakan kuda.
Seakan baru sadar, Tian Mong-pek segera menyahut sambil tertawa: "Hahaha, tak heran kalau nama ini begitu kukenal, ternyata anda adalah Opas sakti Kim Eng, opas Kim yang tersohor di seantero dunia persilatan, maaf, maaf." Sementara dihati kecilnya dia berpikir: "Tidak heran kalau cara berbicara orang ini tegas, matanya tajam dan sikapnya berbeda dengan orang lain, ternyata dia adalah opas kenamaan dalam dunia persilatan.
Ilmu Ki-na-jiu-hoat yang dia miliki pun hebat, meski jauh bila dipakai menghadapi jago silat, tapi lebih dari cukup untuk menangkap penyamun dan begal, mungkin karena itulah dia jadi tersohor dikalangan penegak hukum." Dipihak lain, Kim Eng telah menyimpan kembali kipasnya, memberi hormat dan berkata: "Nama ku bukan seberapa, lagipula sudah lama mengundurkan diri sebagai penegak hukum.
Bila Tian tayhiap masih menyebutku sebagai opas, ini bisa bikin malu diriku.
Sejujurnya, bila bukan diundang Ho toako sekalian, aku sudah tak berani bergerak lagi dalam dunia persilatan." "Saudara Kim kelewat merendah." Seru Tian Mong-pek sambil tertawa.
"Apa yang dikatakan Kim-heng bukan ucapan merend ah," sela Ho Kun-hiong serius, "justru lantaran ingin menyelidiki kasus panah kekasih yang sebenarnya, siaute sekalian sengaja mengundangnya turun gunung." "Sudah lama aku dengar tentang kehebatan Kim-heng, apalagi sepak terjangmu di sepanjang sungai Huang-ho dimasa lalu, mana ada kaum bandit yang bisa lolos dari tanganmu?" Setelah menjura, lanjutnya: "Bisa mendapat bantuan Kim-heng kali ini, benar-benar satu keberuntungan bagiku." Buru buru Kim Eng balas memberi hormat.
Saat inilah lelaki berbaju sutera itu berteriak: "Nyawa kami bersaudara pun telah kau selamatkan, apalah artinya bekerja untukmu!" Tian Mong-pek melongo, pikirnya keheranan: "Kapan aku telah selamatkan nyawa mereka?" Setelah menghela napas, ujar Kim Eng: "Sewaktu masih bekerja di pengadilan, aku memang terlalu banyak membuat permusuhan dengan orang lain, ketika berada di Thio-ke-ko, andaikata Tian tayhiap tidak datang menolong, bukan hanya aku saja yang sudah tewas, bahkan saudaraku lainnya akan turut sengsara.
Hanya sayang jejak Tian tayhiap ibarat naga yang tak nampak ekornya, walaupun hari itu kami telah ditolong Tian tayhiap, namun tidak sempat bersuka muka.
Sungguh beruntung hari ini kita telah bersua, kalau tidak, sampai matipun aku akan menyesal." "Aaah betul," seperti sadar akan sesuatu, batin Tian Mong-pek, "sudah pasti inipun hasil karya orang lain yang diam-diam menyamar jadi aku." Untuk sesaat dia jadi kebingungan dan tak tahu bagaimana harus memberi penjelasan.
Terlihat seorang lelaki setengah umur berwajah merah, membubarkan kerumunan orang yang menonton keramaian, lalu sambil menjura katanya: "Bagaimana kalau kita bicara diatas loteng." Walaupun mimik mukanya mirip orang Mongol, namun logat bicara dialek Han orang ini sangat lancar.
"Hahaha, betul," kata Ho Kun-hiong sambil tertawa tergelak, "saking girangnya setelah bertemu saudara Tian, aku jadi melupakan segala galanya." Dia segera memperkenalkan Tian Mong-pek dengan orang itu, rupanya lelaki setengah umur itu adalah hartawan setempat yang amat tersohor namanya, Pian-gwa-beng-siong (Beng Siong dari tepi perbatasan) Hu Tiong-peng.
Dari namanya, Tian Mong-pek tahu kalau orang ini suka bergaul, tanpa terasa sikapnya jadi amat ramah, sebaliknya Hu Tiong-peng pun tampak sangat gembira karena pertemuan ini.
Setelah berada diatas loteng, perjamuan segera diselenggarakan, sambil mengisi perut, tak tahan Tian Mong-pek bertanya: "Sejak berpisah di kota Hangciu, lama sekali tak mendengar kabar berita kalian, kenapa kamu bertiga bisa tiba disini?" Ho Kun-hiong menghela napas, katanya: "Waktu itu .
. . . .. aaaai, waktu itu kami tiga bersaudara meski marah dan mendongkol, namun sadar kalau kekuatan kami sangat terbatas, maka dengan membawa si tombak baja Yo Seng yang terluka parah, pada malam itu juga meninggalkan kota Hang-ciu." Terbayang kembali peristiwa dimasa lalu, perasaan sedih dan marah berkecamuk dalam hatinya, perlahan ia letakkan kembali sumpitnya dan tak sanggup melanjutkan makannya.
Terdengar Ho Kun-hiong melanjutkan: "Terhajar oleh pukulan Mo-siau-to Go Jit, luka yang diderita saudara Yo sangat parah, sampai belasan hari kemudian luka itu baru sembuh, tapi rasa sedih dan gusarnya belum juga mereda.
"Tak hentinya kami bersaudara menghibur dan membujuknya, walaupun dia mengiakan tapi sepasang keningnya masih berkerut kencang, saban hari isinya hanya mengumpat atau berkeluh kesah, hal ini membuat kamipun ikut terseret dalam kepedihannya.
"Siapa sangka suatu hari, tiba tiba ia pergi tanpa pamit, diapun tidak meninggalkan pesan apa apa kecuali coretan sebilah tombak panjang diatas meja, gaya tulisannya dalam dan kuat, rasanya tidak mirip lukisan tangannya.
"Kami tiga bersaudara sadar, tak mungkin bisa temukan jejaknya lagi, disamping itu kamipun merasa putus asa untuk berkelana lagi dalam dunia persilatan, karenanya kami ambil keputusan untuk pulang ke rumah dan tidak mau bikin masalah lagi dengan orang lain." Diam-diam Tian Mong-pek menghela napas, pikirnya: "Lau-san-sam-gan terhitung jago silat generasi muda, kalau mereka pun timbul keinginan untuk mengundurkan diri, tak aneh jika banyak tokoh kenamaan yang cuci tangan dan tak mau mengurusi urusan dunia persilatan lagi." Terdengar Ho Kun-hiong melanjutkan kembali kisahnya: "Siapa sangka, ditengah jalan kami tiga bersaudara justru telah berjumpa dengan Say-sang-tayhiap, pendekar dari perbatasan Lok Tiau-yang serta
Terdengar Ho Kun-hiong melanjutkan kembali kisahnya: "Siapa sangka, ditengah jalan kami tiga bersaudara justru telah berjumpa dengan Say-sang-tayhiap, pendekar dari perbatasan Lok Tiau-yang serta jago muda dari Bu-tong, Ci Hun-seng.
"Kedua orang ini sedang melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa, walaupun wajahnya kotor oleh debu, namun semangatnya besar dan mukanya berseri, rupanya mereka sedang menuju ke utara.
Begitu bertemu, mereka ajak kami tiga bersaudara untuk bekerja sama membongkar rahasia panah kekasih dan melacak dalangnya, merekapun mengabarkan kalau penguntitan yang dilakukan telah membuahkan hasil." Tian Mong-pek menghela napas sedih, ujarnya: "Sudah lama kudengar Ci Hun-seng dari Bu-tong-pay berilmu tinggi, sayang aku tak berkesempatan untuk bertemu dengannya." Ho Kun-hiong tersenyum, lanjutnya: "Semangat kami bertiga segera terbangkit oleh bujukannya, begitu aku menyetujui, otomatis saudaraku yang lain pun tak bisa menghindar.
"Maka Lok tayhiap perintahkan kami untuk menuju ke barat-laut, menghubungi semua orang gagah dan menghimpun kekuatan.
Begitu menghadapi masalah pelacakan, sudah pasti kami tak akan melupakan kehebatan si opas sakti Kim Eng." Ho Kun-kiat menambahkan pula sambil tertawa: "Kami asing dengan wilayah barat-laut, tidak banyak jago yang kami kenal, kalau bukan mendapat bantuan dari Kim-heng dan Ui-heng, bagaimana mungkin bisa berkenalan dengan begitu banyak jago dari luar perbatasan." "Padahal semuanya ini berkat bantuan dari Ui ji-te ku ini." Kata Kim Eng merendah.
Lelaki berbaju sutera itu segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, kalau dibilang pahalaku, anggap saja memang pahalaku, kalian harus menghormati aku dengan secawan arak." Tiba tiba Tian Mong-pek teringat akan sesuatu, katanya sambil tertawa: "Sewaktu masih berada di Kanglam dulu, sudah kudengar kalau di utara perbatasan terdapat seorang yang bernama Ui Kim-hau, konon selain kaya raya, dia pun berjiwa ksatria, jangan jangan kau lah orangnya?" "Hahaha, namaku memang Ui Hau, gara gara mereka yang suka mencari urusanlah, namaku ditambahkan dengan kata Kim." "Hengtai memang memiliki banyak mas, tak salah kalau namamu ditambahi kata Kim." Ucap Hu Tiong-peng sambil tertawa.
Ditengah gelak tertawa, Ho bersaudara menanyakan pengalaman Tian Mong-pek selama ini.
Tidak mungkin bagi Tian Mong-pek untuk mengisahkan semua pengalaman yang dialaminya selama ini, dia hanya bercerita secara ringkas dan menyampaikan niatnya untuk menukar kuda dengan kereta.
"Hahaha, itu mah gampang sekali!" seru Ui Hau kemudi an sambil tertawa tergelak, "hanya saja saudara Tian memang aneh, kenapa bukannya menunggang kuda jempolan, sebaliknya malah pilih naik kereta?" II "Sejujurnya, keputusan ini dikarenakan terpaksa .
. . . . . . .. sambil tertawa getir Tian Mong-pek mengemukakan alasannya, dia berharap bisa tiba di Kim-san-sie secepatnya.
"Hahaha, betul, betul sekali," kata Ui Hau sambil bertepuk tangan, "terlalu banyak urusan dunia persilatan yang perlu ditangani, kalau harus begini, sampai tiga tahun pun belum tentu kau bisa tiba di tempat tujuan." Kim Eng menyela sambil tersenyum.
"Saudara Hu adalah pentolan wilayah ini," katanya, "lebih baik urusan ini .
. . . . . .." "Sudah sepatutnya kalau cayhe yang lakukan." Sambung Hu Tiong-peng cepat.
"Agar saudara Tian tidak merasa kesal dalam perjalanan, lebih baik kau hias dekorasi kereta dengan lebih indah." Ui Hau menambahkan.
"Cayhe paham, boleh tahu rencananya kapan Tian tayhiap akan berangkat?" "Aaai, hatiku gundah dan gelisah, tentu saja makin cepat makin baik." sahut Tian Mong-pek sambil menghela napas.
"Kalau begitu cayhe segera laksanakan tugas ini." Setelah maksud hatinya tercapai, Tian Mong-pek menghela napas lega, katanya kemudian dengan kening berkerut: "Saudara Ho, dapatkah kau utus orang untuk menghantar kuda tungganganku ini ke gunung Kim-san-sie?" "Itu mah gampang, selesai urutan di barat-laut, kamipun akan menuju ke Kanglam, apa susahnya membawa serta kudamu ini?" sahut Ho Kun-hiap tertawa.
"Kalau begitu terima kasih banyak." "Hahaha, belum pernah kulihat saudara Tian berterima kasih kepada orang, tampaknya kuda ini merupakan kesayanganmu, pasti akan kurawat baik baik." "Hahaha, kalau begitu biar aku yang tunggangi," sela Ui Hau sambil tertawa tergelak, "dalam hal lain mungkin siaute tak becus, tapi sejak dilahirkan ibuku, aku paling suka naik kuda, tak bakal salah kalau serahkan kuda itu kepadaku." Sementara semua orang masih bersantap sambil berbincang, Hu Tiong-peng sudah muncul kembali sambil berseru: "Beruntung kereta sudah siap, silahkan Tian tayhiap berangkat esok pagi." "Esok pagi .
. . . . . . . .." Tian Mong-pek berkerut kening.
"Kenapa Tian-heng musti ribut soal setengah hari," tukas Ho Kun-hiap sambil tertawa, "lagipula sudah cukup lama kita tak bersua, mari kita tenggak susu macan sampai pagi, besok toh saudara Tian bisa tidur didalam kereta." "Hahaha, aku pun sudah banyak hari tak pernah minum sepuasnya.....
tapi kalau besok pagi aku masih mabuk, kalian harus bantu aku naik ke atas kereta." "Hahaha, sampai waktunya, mungkin siaute pun ikutan mabuk." Kata Ho Kun-hiap sambil tertawa.
"Kalian tak usah kuatir," ucap Hu Tiong-peng, "dijamin sampai waktunya pasti ada orang yang menghantar Tian tayhiap naik ke dalam kereta." Pesta minum pun segera dimulai, semua orang bergembira, semua orang berusaha membuang jauh masalah dan pikiran .
. . . .. Oo0oo Kabut pagi masih menyelimuti permukaan tanah.
Sebuah kereta besar berlarian menembus kabut pagi, menerjang keluar dari kota Thong-tek-shia.
Sang kusir adalah seorang lelaki berambut putih yang memakai baju warna hijau dan setengah memejamkan matanya, tapi kemampuannya mengendalikan kuda sangat hebat, seakan biar dalam keadaan tidurpun, dia dapat melarikan kereta kuda itu dengan aman.
Padahal orang ini memang separuh hidupnya berada dibelakang kereta, cambuk ditangannya bisa dimainkan semahir Lan Toa-sianseng menggunakan martil.
Kereta kuda itu tampak luarnya kuno dan tidak menarik, tapi perabot didalamnya sangat indah dan jarang dijumpai dalam dunia persilatan.
Tatkala kereta sudah berjalan hampir enam jam, Tian Mong-pek yang berada dalam kereta baru terjaga dari tidurnya.
Dia merasa mulutnya kering, kepalanya sakit bagai mau pecah, matanya tak sanggup dibuka kembali, yang teringat adalah tegukan air kata kata yang mengalir ke dalam perutnya bagaikan air mengisi guci.
Sewaktu mendengar suara putaran roda, ia merasa lega sekali, pemuda itu tahu kalau dia sedang berada dalam kereta.
Tiba tiba bibirnya terasa dingin, lalu terendus bau harum yang sangat aneh.
Dengan perasaan terkejut dia buka matanya, terlihat seorang nona cantik sedang mengawasi dirinya sambil tertawa malu.
Tian Mong-pek mencoba mengawasi seputar kereta, ternyata gadis itu tidur berdampingan dengan dirinya, rasa kaget yang menghentak jantungnya tak terkirakan.
Cepat pemuda itu meronta bangun, lalu tegurnya: "Nona.....
kenapa kau..... kau berada disini?" Gadis itu memakai baju berwarna merah muda, ditangannya menggenggam cawan teh yang terbuat dari porselen, dia tidak menjawab pertanyaan itu, hanya ujarnya sambil tertawa: "siangkong baru sadar dari mabuk, silahkan minum teh untuk menghilangkan dahaga." Setelah berhasil menenangkan diri, Tian Mong-pek mencoba memperhatikan keadaan disekeliling tempat itu, ternyata lantai kereta dilapisi selimut dan kain seprei yang indah, mirip kamar tidur seorang gadis remaja, disisi meja buku terdapat sebuah meja rias kecil, disamping meja rias ada pula sebuah lemari makanan, kemudian sebuah poci teh hangat, setumpuk pakaian baru, sebuah papan catur, sebuah khiem, tiga buah buli buli merah, ada pula selembar lukisan pemandangan yang indah tergantung didinding.
Sejauh mata memandang, ruang kereta itu amat indah dan penuh perabot, tak ditemukan tempat kosong.
Masih mending bila Tian Mong-pek tidak melihat, begitu dipandang ia semakin terkejut bercampur heran, tentu saja selain rasa terharu dan terima kasih.
Sama sekali tak disangka hanya satu ucapan dari Ui Hau, ternyata Hu Tiong-peng harus mengeluarkan begitu banyak beaya.
Tiba tiba ia jumpai selembar surat tertindih diatas meja rias, sewaktu dibaca, ternyata isinya berbunyi begini: "Mempersembahkan kereta harum wanita cantik, untuk menghilangkan kepenatan dan kesepian Tian tayhiap sepanjang perjalanan." Dibawahnya tertulis: "Dipersembahkan oleh: Hu Tiong-peng dari kota Thong-tek." Membaca sampai disini, Tian Mong-pek pun mengerti apa yang telah terjadi, pikirnya sambil tertawa getir: "Ternyata perempuan ini dipersiapkan bagiku untuk menghilangkan pekenatan II dan kesepian .
. . . . .. Dalam keadaan begini, dia tak tahu harus mendongkol atau geli, lama sekali dia termangu dan tak tahu bagaimana caranya mengusir gadis itu dari dalam kereta.
Akhirnya sambil menjura katanya: II "Nona .
. . . . . .. Selama ini si nona hanya mengawasi pemuda itu dengan pandangan bodoh, mendengar panggilan, diapun tertunduk malu sambil menjawab: "Aku bernama Ping-ji, silahkan siangkong memanggilku sebagai Ping-ji." II "Nona....
nona Ping-ji . . . . . . .. panggil Tian Mong-pek sambil tertawa getir, dia tak tahu apa yang harus dikatakan, tiba tiba sambil balik badan teriaknya, "hei kusir, bagaimana kalau hentikan kereta mu?" Kereta itu segera memperlambat jalannya, namun tidak berhenti sama sekali, si kakek melongok dari luar jendela seraya bertanya: "Ada.....
ada urusan apa?" II "Nona ini .
. . . . . . . . .. Kusir kereta itu segera menunjuk kearah telinga sendiri sambil geleng kepala, pertanda ia tidak mendengar dengan jelas.
Terpaksa Tian Mong-pek perkeras suaranya sambil berteriak: II "Nona ini .
. . . . . . . . . .. Siapa tahu kakek itu kembali goyangkan tangan sambil menjawab: "Hu toa .




. . . .. Hu toaya hanya berpesan begitu.....
aku..... aku si tua bangka hanya .
. . . .. hanya mengurusi kereta, urusan lain tidak tahu menahu .
. . . . .." Habis bicara, dia tarik kembali kepalanya.
Tian Mong-pek benar-benar dibuat menangis tak bisa tertawa pun susah, melihat kakek itu gagap dan setengah tuli, ia sadar, tak mungkin bisa bicara jelas dengan dirinya, untuk sesaat ia jadi termangu.
Kembali Ping-ji menyuguhkan secawan air teh, terpaks a Tian Mong-pek menerimanya.
"siangkong baru mendusin dari mabuk, bagaimana kalau Ping-ji memijit punggungmu?" kembali Ping-ji berkata.
"Tidak perlu." Berputar sepasang biji mata Ping-ji, kembali katanya sambil tertawa ringan: "Pepatah berkata: gunakan arak untuk menghilangkan pengaruh arak, perlukah Ping-ji siapkan arak untuk siangkong?" "Tidak perlu." "Apakah siangkong ingin Ping-ji membawakan lagu" Atau Ping-ji temani siangkong bermain catur?" "Tidak perlu! Tidak perlu!" Ping-ji mulai berkerut kening, pipinya berubah jadi semu merah, agak tertunduk malu bisiknya: II "Apakah . . . . . . .. apakah siangkong ingin . . . . .. ingin . . . . . . .. Sambil menggigit bibir, dia menghentikan ucapannya.
"Tidak perlu! Tidak perlu!" teriak Tian Mong-pek.
Tiba tiba Ping-ji mendongakkan kepalanya, dengan sedih tanyanya lagi: "siangkong tidak menghendaki apapun, lantas apa yang harus Ping-ji lakukan untuk siangkong?" Belum sempat Tian Mong-pek menjawab, butiran air mata telah membasahi wajahnya, terlihat kalau dia amat sedih.
"Hei, kenapa kau menangis?" tegur pemuda itu keheranan.
"Kenapa siangkong tak ingin Ping-ji layani?" tanya Ping-ji sambil terisak.
"Kenapa kau harus layani aku?" "Perempuan memang dilahirkan untuk melayani lelaki, bila siangkong tak mau Ping-ji layani, tentu saja Ping-ji merasa amat sedih." Tian Mong-pek jadi melongo oleh perkataan itu, setelah menghela napas, katanya: "Nona Ping-ji.....
lebih baik.... lebih baik kau pulang saja!" Tubuh Ping-ji goncang keras, tiba-tiba dia menangis tersedu-sedu.
Selama hidup, belum pernah Tian Mong-pek menghadapi perempuan yang menangis sesedih ini, dia jadi gelagapan, tak tahu bagaimana cara untuk membujuknya.
Sesudah menangis berapa saat, sambil terisak tanyanya: "Apakah siangkong menganggap wajah Ping-ji terlalu jelek?" "Siapa bilang kau jelek?" sahut Tian Mong-pek sambil tertawa getir.
"Atau siangkong anggap tubuh Ping-ji sudah tidak bersih" Walaupun Ping-ji berasal dari .
. . . . . .. dari tempat itu, tapi hingga hari ini aku masih suci bersih!" Bicara sampai disitu, kembali wajahnya berubah jadi merah padam.
Kembali Tian Mong-pek dibikin tertegun, setelah berpikir sesaat, dengan wajah sungguh-sungguh katanya: "Itulah dia, kalau kau masih suci bersih, mengapa tidak pulang saja
Kembali Tian Mong-pek dibikin tertegun, setelah berpikir sesaat, dengan wajah sungguh-sungguh katanya: "Itulah dia, kalau kau masih suci bersih, mengapa tidak pulang saja dengan tubuh bersih" Siapa tahu suatu hari akan bertemu dengan tambatan hati dan hidup sebagai suami istri yang bahagia.
Dengan demikian baik untuk kau, baik juga untuk diriku." Dia anggap perkataan ini masuk diakal dan bermaksud baik, tak ada alasan lagi bagi Ping-ji untuk bersedih hati.
Siapa sangka Ping-ji menangis makin sedih, sambil berb aring di lantai, dia menangis tersedu-sedu.
"Tidak, tidak, biar matipun aku tak akan pergi." Tian Mong-pek melongo, tapi cepat katanya: "Kalau kau enggan pergi, terpaksa aku yang pergi." Tiba tiba Ping-ji melompat bangun, ditatapnya wajah pemuda itu dengan mata melotot, teriaknya: "Bila siangkong pergi, sekarang juga Ping-ji akan mati disini." Selain kaget, Tian Mong-pek merasa mendongkol, teriaknya keras keras: "Aku tak pernah kenal dengan dirimu, bertemu pun baru hari ini, kenapa kau bersikeras hendak mengintil aku?" "Hu toaya telah mengeluarkan beaya besar untuk membeli Ping-ji, tujuannya adalah agar Ping-ji mengikuti siangkong sepanjang hidup, melayani siangkong sampai tua." "Tapi .
. . . .. tapi..... masa menolak pun tak boleh" Mulai sekarang, kau sudah bebas merdeka, bukankah kejadian ini merupakan peristiwa yang pantas dirayakan" Mari, biar kita bersulang satu cawan." Dia berusaha keras untuk membujuk gadis itu, siapa sangka bukan saja Ping-ji tak mempan dengan bujukannya, malahan isak tangisnya makin menjadi.
"Kalau aku harus pergi dari sini, dikemudian hari mana ada muka lagi untuk bertemu orang?" "Kenapa tak punya muka bertemu orang" Setelah bebas, kau adalah masyarakat biasa, justru teman temanmu dimasa lalu yang seharusnya tak punya muka untuk bertemu dengan dirimu." "siangkong, kau keliru." Ping-ji menggeleng.
"Sudah jelas kau yang salah, kenapa jadi aku yang keliru?" seru Tian Mong-pek sambil menahan diri.
"Bila orang tahu kalau siangkong telah mengusirku, mereka pasti akan mentertawakan diriku, jadi aku .
. . . .. terpaksa aku harus mati dihadapan siangkong sekarang juga." "Kau tidak boleh mati disini." Teriak pemuda itu kaget.
Ping-ji segera tersenyum getir, katanya: "Kalau siangkong tak tega melihat Ping-ji mati, biarkan Ping-ji tetap berada disini." Dia ambil cawan teh dari tangan Tian Mong-pek lalu menuang dengan air teh baru.
Tian Mong-pek tertegun, dia hanya bisa mengeluh dihati, pikirnya: "Jalan pikiran perempuan semacam ini terkadang hanya bisa membuat orang menangis tak bisa tertawapun sungkan, tahu begini, aku lebih rela melanjutkan perjalanan sambil menahan lapar." Biarpun dia sudah malang melintang di dalam dunia persilatan, tapi saat ini benar benar sudah kehabisan akal, setelah duduk termangu berapa saat, ia baru menghela napas panjang.
"Kalau enggan pulang, baiklah, akan kubawa dirimu hingga ke kota Tin-kang." "Baik." "Tapi setibanya di Tin-kang, kau harus pergi sendiri." "Baik!" "Jangan melulu menjawab baik, harus kau dengarkan juga baik baik." "Selama siangkong mengijinkan Ping-ji untuk tetap tinggal disini, apa pun baik untukku." Dengan perasaan apa boleh buat Tian Mong-pek menghela napas panjang, sementara si kakek kusir yang berada diluar diam diam tertawa geli, hal ini membuat Tian Mong-pek mendongkol bercampur geli.
Dia sangka kakek itu benar benar tuli, ternyata ketajaman pendengarannya luar biasa.
Kepandaian orang ini dalam menjalankan kereta benar benar luar biasa, tak malu dia memiliki pengalaman sampai puluhan tahun.
Sepanjang jalan, nyaris kereta tak pernah berhenti.
Semua hidangan lezat maupun arak wangi sudah tersedia dalam kereta, hal ini menghemat waktu mereka dalam melanjutkan perjalanan.
Setiap kali melewati kota besar, si kakek tak hentinya menambah bekal mereka, namun kereta itu tak pernah berhenti lama, apalagi menginap di losmen.
Tian Mong-pek sendiripun berusaha mengendalikan diri, kalau belum mencapai luar kota atau tengah malam, diapun tidak turun dari keretanya.
Ping-ji pun selalu menurut dan penuh dengan canda tertawa, sekalipun Tian Mong-pek berusaha menghindar, tak disangkal dia telah menikmati kehangatan dan kelembutan sepanjang perjalanan.
Walaupun terkadang ia mendengar suara derap kaki kuda yang lewat diluar keretanya, mendengar suara sarung pedang yang beradu dengan pelana, tanpa dilihatpun secara lamat lamat dapat diduga siapa penunggang kuda yang baru lewat.
Ada kalanya dia meneguk dua cawan arak, semua kemasgulan seketika terkumpul jadi satu, ingin sekali dia keluar dari kereta untuk melampiaskan rasa kesalnya, mencari kambing hitam sebagai bahan pelampiasan.
Tapi pada akhirnya dia berhasil menahan diri.
Dalam keadaan begini dia hanya duduk bersila mengatur napas, atau tiduran sambil membaca, terkadang mendengarkan Ping-ji membawakan lagu merdu, atau bermain catur dengan perempuan itu.
Ada kalanya pula dia mengajak si kakek kusir untuk berbincang bincang.
Lambat laun dia dapat merasakan kalau pengetahuan kakek itu luar biasa, diapun mulai dapat merasakan kepolosan Ping-ji.
Tapi semua pengalaman ini akhirnya harus berakhir juga.
Tibalah mereka di kota Tin-kang.
Tian Mong-pek merasa semangatnya bangkit kembali, sedang Ping-ji tundukkan kepala sambil bertanya lesu: "Sudah sampaikah siangkong?" Sambil tersenyum Tian Mong-pek manggut-manggut.
"Apa rencana siangkong tentang nasib Ping-ji?" tanya nona itu kemudian.
"Buu..... bukankah sudah kukatakan sedari awal?" tanya pemuda itu agak tertegun.
Ping-ji mengangguk lirih, sahutnya dengan kepala tertunduk: "Kalau begitu Ping-ji segera akan pergi." Kemudian setelah menyeka air mata, katanya lagi: "Bolehkah Ping-ji bawa serta semua pakaianku?" "Dalam almari ada uang." Kembali Ping-ji manggut-manggut, sembari menyeka air mata dia membenahi semua barang miliknya.
Sementara si kakek kusir yang ada diluar bergumam pula sambil menghela napas: "Nona Ping-ji, cepatan sedikit bebenah, toh harus pergi, lebih baik kita pergi secepatnya.
Walaupun kau sebatang kara disini, belum tentu bakal mati kelaparan." Tian Mong-pek pura pura tidak mendengar, diapun tidak berusaha memperhatikan mereka, hanya gumamnya pula sambil menghela napas: "Sepanjang hidup aku berkelana dalam dunia persilatan, nasib sendiri pun masih menjadi tanda tanya, mana mungkin bisa memikirkan nasib orang lain." "Ping-ji mengerti." Sahut si nona dengan air mata berlinang.
I `Sudah kau dengar nona Ping-ji,' seru si kakek kusir pula, "biarpun Tian kongcu adalah seorang pendekar besar, diapun tak mampu menjagamu, lebih baik cepatlah bereskan barangmu!" Kali ini dia berbicara sangat lancar, sedikitpun tidak tampak gagap.
Tian Mong-pek masih berlagak tidak mendengar, padahal semua pembicaraan ia dengar amat jelas, diapun mendengar isak tangis Ping-ji yang amat sedih.
Terdengar kakek itu berseru lagi: "Nona Ping-ji, apa lagi yang kau tangisi" Bukan hanya kau seorang yang hidup sebatang kara di dunia ini, mana mungkin Tian kongcu harus memperhatikan dirimu." Il "Ping-ji tidak menangis .
. . . . . . .. masih dengan terisak, dia ambil sebuah buntalan kecil dan tambahnya, "siangkong, Ping-ji pergi dulu." "Baik baiklah jaga diri." Ping-ji mengangguk, perlahan ia menggeser tubuhnya sambil menyeka air mata, katanya: "Ping-ji akan berusaha untuk hidup terus, harap siangkong jangan merindukan .
. . . . .. "Tunggu sebentar!" tiba tiba Tian Mong-pek membentak.
II "Siang.... siangkong, kau . . . . . . . .. "Bila kau tahan penderitaan, pergilah ke rumahku, disana masih tertinggal II berapa bau sawah, cukup untuk memeliharamu .
. . . . . . .. Belum selesai perkataan itu, Ping-ji telah membuang buntalannya dan menubruk ke dalam rangkulan pemuda itu, sepasang bahunya goncang keras, entah sedang menangis ataukah tertawa" Tian Mong-pek sendiripun merasa sepasang matanya memerah, tenggorokan jadi gatal, untuk berapa saat tak mampu berbicara.
Terdengar si kakek kusir tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Sudah kuduga kalau Tian kongcu bukan orang berhati keras, tak bakalan meninggalkan dirimu." Walaupun suara tertawanya dipenuhi rasa puas, namun terselip rasa kecut dan sedih.
II "Kau jangan gembira dulu, seru Tian Mong-pek sambil tertawa, "aku akan menghukummu untuk menghantarnya sampai ke Hang-ciu." "Hahaha .
. . . .. aku si tua bangka memang tak berencana untuk jadi kusir kereta lagi, hidupku pun sebatang kara, setelah menghantar nona Ping-ji, aku bakal tinggal dirumah kongcu sambil menikmati hidup!" Tentu saja Tian Mong-pek mengabulkan permintaannya, setelah memberi alamat rumahnya dan meninggalkan berapa pesan, katanya: "Pergilah kalian, aku akan turun disini saja sambil mencari perahu untuk menyeberang." Waktu itu, Ping-ji telah menggosok pedang hitam itu hingga berkilat, bahkan Hu Tiong-peng telah menyediakan pula sebuah sarung pedang terbuat dari kulit ikan hiu dengan manik manik indah digagang pedangnya.
Setelah menggembol pedangnya, tak tahan Tian Mong-pek mengelus rambut si nona dengan penuh rasa sayang, ujarnya sambil menghela napas sedih: II "Kepergianku kali ini, entah sampai kapan baru .
. . . . . . .. Tiba tiba dia menyingkap tirai kereta sambil melompat turun dari kereta, dia kuatir perasaan cinta muda mudi akan membuat semangatnya pupus.
"Siangkong," terdengar Ping-ji berbisik lirih, "baik baiklah menjaga diri." Tian Mong-pek berlarian berapa saat lamanya sebelum berani berpaling.
Dia saksikan kereta masih berhenti ditempat semula, Ping-ji masih melongok dari balik jendela dengan air mata berlinang.
Maka diapun tak berani berpaling lagi, kali ini dia berlari makin kencang, perasaan hatinya bercampur aduk, kecut, manis, getir bertumpuk jadi satu, pikirnya: "Aaai, kenapa aku harus terlibat lagi dalam urusan cinta" Bagaimana caraku untuk memutusnya dikemudian hari?" Dari dulu hingga kini, orang gagah mana yang bisa lolos dari penderitaan cinta" Oo0oo Bukit Kim-san, berdiri ditepi sungai, suasana masih tetap seperti sedia kala.
Dalam kuil Kim-san-sie, ditengah aula Tay-hiong-tian, hongtiang baru Thiat-kut taysu sedang berdoa ditengah lapisan asap hio.
Sin-ki taysu dengan jubah putih bersepatu rumput, berdiri tegak ditengah aula sambil memegang sebuah tongkat bergelang sembilan, rupanya dia hendak melakukan perjalanan jauh.
Kecuali mereka berdua, ditengah aula hanya terdapat seorang hwesio cilik yang berdiri disamping sambil memegang sebuah baki kayu, diatas baki terdapat sebuah bungkusan kain kuning, mengikuti di belakang Thiat-kut taysu dan Sin-ki taysu, diapun bersujud tiga kali didepan altar.
Suasana di empat penjuru sangat hening, hanya suara jubah panjang yang menggesek lantai bergema memenuhi ruangan.
Tiba tiba terdengar suara genta dibunyikan tiga kali, suara genta yang keras dan nyaring membelah keheningan kuil.
Ditengah dentingan genta, perlahan Thiat-kut taysu berdiri, memasang hio lalu berdoa: "Mohon kemurahan sang Buddha, bantulah tecu sekalian untuk menemukan kembali mustika kuil." Kemudian dia membalikkan badan, menyerahkan bungkusan kain kuning itu ke tangan Sin-ki taysu sambil katanya: "Sute, kau harus baik baik menjaga diri." Sin-ki taysu menerima buntalan itu dengan wajah serius, tak sepatah kata pun diucapkan.
Saat inilah, sekonyong-konyong terlihat seorang pendeta muda berlarian masuk ke dalam ruangan dan melapor: "Lapor suhu, susiok, didepan kuil ada seorang siangkong yang mohon bertemu." Sambil menarik muka tegur Thiat-kut taysu: "Bukankah aku telah berpesan, hari ini Kim-san-sie tutup pintu, masa kau tak bisa menyampaikan kepada siangkong itu?" "Telah tecu sampaikan, hanya saja .
. . . . . . .." Belum selesai pendeta itu menjawab, terdengar seseorang telah menimbrung dari belakang tubuhnya: "Akulah yang telah masuk sendiri dengan melewati pagar kuil." Terlihat bayangan manusia berkelebat, seseorang telah muncul di belakang tubuh pendeta itu.
Berubah paras muka Thiat-kut maupun Sin-ki taysu, serentak mereka berpaling sambil berteriak: "Ternyata Tian siangkong." Rupanya orang yang baru saja melewati pagar kuil tak lain adalah Tian Mong-pek.
Bab 34...hilang/gak ada...cerita agak melompat sedikit....
Bab 35. Misteri Hutan penyesat. Tian Mong-pek merasa semangatnya bangkit, tiba tiba dia cabut pedang hitamnya, dengan mengerahkan segenap tenaga dia melompat ke depan, tapi lantaran dibawah kakinya berupa air, maka lompatannya kali ini mencapai ketinggian satu kaki.
Tapi pedang hitamnya langsung menancap diatas dinding tanah, menggunakan kesempatan itu badannya ikut menempel diatas dinding, setelah atur pernapasan sejenak, sepasang kakinya menjejak diatas dinding, pedangnya dicabut dan tubuhnya melesat maju lagi dengan cepat.
Kembali pedangnya diayun ke belakang, menusuk tebing dinding yang lain, dengan begitu tubuhnya saat ini sudah tinggal satu tombak dari sisi liang.
Begitu dia melompat satu dua kali, diiringi pekikan panjang, badannya sudah menerjang keluar dari perangkap.
Sejauh mata memandang, kabut tebal masih menyelimuti seluruh permukaan, diseputar liang perangkap tak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Tiba tiba Tian Mong-pek merasa hatinya bergidik.
Diatas sebatang pohon besar ditepi liang perangkap, terpantek empat orang lelaki yang berdiri berjajar, orang yang paling atas berdiri dengan mata melotot gusar, tapi rasa takut yang luar biasa menghiasi wajahnya, sebatang panah panjang tertancap didepan dada.
Panah itu menembus hingga ke dalam dada dan tersisa ujungnya saja, ini menunjukkan kalau kekuatan memanah sang penyerang luar biasa, sedang bulu pada ujung panah berwarna merah darah.
Tian Mong-pek tidak habis mengerti bagaimana mungkin ke empat orang itu bisa berdiri dengan punggung dan perut saling menempel dan semuanya terpantek dipohon.
Sepintas lalu mereka seperti empat jangkrik yang ditusuk dengan sebatang lidi.
Mungkinkah dikolong langit terdapat busur yang begitu besar sehingga dapat melepaskan anak panah yang begitu panjang" Tidak tahan pemuda itu menghampiri mayat pertama dan menariknya, mayat itu segera terlepas.
Tampak pada bagian dada mayat kedua pun tertancap sebatang panah berbulu merah.
Sekarang Tian Mong-pek baru tahu, rupanya ke empat orang itu terluka oleh empat batang panah, panah pertama memantek tubuh orang pertama di pohon, panah kedua memantek orang ke dua ditubuh orang pertama.
Orang ke tiga terpantek di tubuh orang ke dua, sedang orang ke empat terpantek ditubuh orang ke tiga, karena itu bila dilihat sepintas, ke empat orang itu seolah-olah tertembus oleh sebatang panah yang sama.
Tapi suara panah yang mendesing di udara rasanya hanya satu kali, jerit kesakitan ke empat orang itu saling bersahutan, hal ini membuktikan tenaga memanah yang dimiliki orang itu luar biasa.
Diam diam Tian Mong-pek merasa terperanjat, baru saja dia menghembuskan napas panjang, mendadak dari balik kegelapan hutan terdengar lagi ada orang berbicara sambil tertawa: "Kau sendiri sudah naik ke atas" Bagus, bagus sekali, aku memang tak sudi II menjadi bau gara gara harus menolongmu .
. . . .. Suaranya lembut tapi tajam dan aneh, penuh disertai tenaga dalam yang kuat.
Tian Mong-pek semakin terkesiap, buru buru dia menjura memberi hormat.
"Tokoh sakti dari mana yang telah selamatkan nyawa Tian Mong-pek" Harap segera tampilkan diri." Suasana dibalik kegelapan hutan senyap sesaat, setelah itu bentaknya: "Ternyata kaulah Tian Mong-pek." "Benar, aku adalah Tian Mong-pek." Tiba tiba suara tertawa dibalik hutan itu berubah jadi amat keras dan aneh, kembali bentaknya: "Sudah lama kudengar katanya Tian Mong-pek hebat dan tiada tandingan dikolong langit, kenapa hari ini malah aku yang menolong nyawamu?" Tian Mong-pek melengak, katanya tergagap: "Soal ini .
. . . .. soal ini . . . . . . .." Orang ini telah selamatkan jiwanya, tapi dibalik ucapannya justru terselip nada sendiran dan permusuhan, Tian Mong-pek terkejut bercampur keheranan, dia tak tahu bagaimana harus menjawab.
Terdengar orang itu kembali tertawa latah, serunya: "Usia masih muda tapi mempunyai nama besar begitu cemerlang, huh, sudah pasti nama besarmu hanya nama kosong, biar kuberi pelajaran kepadamu." Sesudah berhenti sejenak, tiba tiba bentaknya: "Lihat panah!" Begitu suara bentakan bergema, kembali terdengar suara desingan angin tajam meluncur datang dengan membelah bumi.
Dalam terkejut dan gusarnya, Tian Mong-pek menengok kearah datangnya suara, terlihat sebatang bayangan panah muncul dari balik ketebalan kabut.
Walaupun desingan suaranya keras dan tajam, namun daya luncurnya tidak terlampau cepat.
Tian Mong-pek membalik badan sambil melangkah silang, baru saja dia akan tangkap panah itu .
. . . . . .. Tiba tiba saja bayangan panah yang tiba dihadapannya itu membelah diri jadi empat lalu menyerang ke empat sasaran yang berbeda.
Desingan angin mendadak lenyap, tapi daya luncur anak panah semakin cepat, secara terpisah mengancam jalan darah Ing-hiang, Ji-swan, tiong-ki serta hoa-kay-hiatnya.
Mimpi pun Tian Mong-pek tidak menyangka kalau dikolong langit terdapat ilmu memanah yang begitu sakti.
Dalam kagetnya dia memutar pedang sambil mengayun tangan dan melepaskan tendangan.
Dalam waktu singkat pedangnya berputar menangkis panah yang datang dari atas, kaki kirinya menendang panah dari bawah, sedang jari tangan kirinya bagai gunting, mengguling panah yang datang dari sisi kanan, sementara tubuhnya bergerak diantara kekalutan, menghindari panah dari kiri lalu melesat maju dan menyusup ke balik ketebalan kabut.
"Bagus!" dari balik hutan terdengar seseorang berteriak memuji.
Menyusul kemudian suara yang tinggi melengking itu berkumandang lagi: "Ternyata hebat juga, mengingat kau mampu menghindari ke empat buah panah itu, hari ini kubebaskan dirimu, tapi dalam hutan penyesat ini terdapat banyak perangkap, setiap langkah bisa mendatangkan kematian, bila kau mampu kabur dari sini, dikemudian hari mungkin kita dapat berjumpa lagi." Suara ucapan itu makin lama semakin menjauh, kata terakhir muncul dari balik kabut dikejauhan sana, yang tersisa pun hanya suara tertawa lengkingnya yang menyebar ke seluruh penjuru.
Tian Mong-pek tertegun berapa saat, sebenarnya dia berniat melakukan pengejaran, sayang Ui Hau masih terperangkap dalam liang, akhirnya dia balik badan dan melompat ke depan.
Kabut yang tebal, ditambah air gamping dalam liang, membuat hutan penyesat ini semakin diliputi misteri.
Bahkan manusia aneh tadi pun mengatakan kalau dibalik hutan penyesat terdapat jebakan jebakan mematikan, hal ini semakin membuktikan kalau setiap jengkal tanah di tempat ini memang sangat berbahaya.
Tian Mong-pek semakin tak berani gegabah, dengan langkah yang hati hati dia mendekati tepi liang jebakan lalu melongok ke bawah, diantara remangnya cuaca, terlihat Ui Hau sedang berdiri bersandar didinding, sikapnya tampak amat santai.
Begitu melihat kemunculan Tian Mong-pek, dari bawah liang perangkap, Ui Hau tertawa terbahak-bahak.
"Tian toako kah disitu" Hahaha, sejak tadi siaute sudah menunggu, tolong Tian toako bebaskan aku dari sini." "Hahaha, tadinya kusangka kau pasti gugup dan panik," seru Tian Mong-pek geli, "sama sekali tak kusangka kau justru begitu santai berdiri ditepi dinding, seakan lagi menunggu orang saja.
Padahal aku sendiripun nyaris tak dapat kemari." "Kenapa musti gugup apalagi panik?" Ui Hau tertawa keras, "sejak awal aku sudah tahu kalau Thian tak akan membiarkan Tian toako mati muda, jadi aku betul betul lega." Tian Mong-pek merasa geli bercampur terima kasih, dia berbalik melepaskan ikat pinggang dari tubuh ke empat sosok mayat itu, merangkainya jadi seutas tali panjang, lalu dijulurkan ke bawah.
Ui Hau segera merangkak ke atas, sambil menggeliatkan pinggang, katanya tertawa: "Biarpun siaute tidak takut, sejujurnya aku merasa pengab dan kesal, suasana dibawah sana betul betul tak nyaman, pabila Tian-heng tidak segera datang, siaute benar benar akan mati kesal." "Ooh, rupanya kaupun mengerti gelisah?" "Gelisah" Hahaha, menghadapi kejadian seperti apa pun, siaute belum pernah gelisah, bila Thian benar-benar menghendaki kematianku, masa aku masih bisa hidup hingga kini?" Diam-diam Tian Mong-pek tertawa getir, pikirnya: "Biarpun dia rada blo'on, sesungguhnya dialah panglima perang yang hebat." Sementara diluar ujarnya: "Mari kita balik ke jalan semula, tapi langkahmu musti berhati hati." "Ke mana kaburnya kawanan cecunguk tadi" Kenapa malah bersembunyi macam cucu kura-kura" Atau mungkin mereka jadi takut setelah mendengar nama besar Tian toako?" "Tidak sesederhana itu.
Aku kuatir masih terdapat banyak jebakan dan perangkap didalam Hutan penyesat ini, sementara kawanan manusia itu sedang menunggu kita masuk perangkap, buat apa harus tampilkan diri untuk bertarung?" Sambil gelengkan kepala, Ui Hau menghela napas panjang.
"Aaai, andaikata harus bertarung memakai senjata, siaute memang tidak kuatir, tapi kalau musti adu kelicikan dan muslihat, rasanya siaute tak berdaya." "Kalau hanya ingin meloloskan diri, hal ini mudah sekali, tapi bila kita ingin balas dendam, maka kawanan cecunguk itu tak bisa dibebaskan dengan begitu saja." Kata Tian Mong-pek sengit.
"Silahkan Tian-heng pergi balas dendam," teriak Ui Hau, "biar merasa agak takut pun, siaute pasti akan mengintil di belakangmu, bahkan biar musti 'I' n mati karena masuk perangkap pun, aku rela dan ikhlas "Baik, ikuti aku!" seru Tian Mong-pek sambil busungkan dada, dia cabut pedang hitamnya lalu membacok sebatang pohon yang tumbuh disisi kiri.
"Kraaaak!" batang pohon sebesar cawan arak itu seketika terbabat kutung jadi dua dan roboh ke tanah.
Sambil melompat naik keatas batang pohon yang roboh itu, seru Tian Mong-pek lagi sambil tertawa keras: "Aku tidak percaya kalau dia dapat membuat perangkap diatas batang pohon II yang tumbang .
. . . . .. "Apakah saudara Tian akan membuka sebuah jalan tembus dengan membabat batang-batang pohon itu dan kita melewati dari atasnya?" tanya Ui Hau kegirangan.
"Betull Akan kubabat setiap batang pohon yang berada dalam hutan penyesat ini dan menemukan tempat persembunyian dari kawanan begundal itu." "Hahaha, bagus! Bagus, bagus!" Ui Hau tertawa keras, "bila siaute dapat mengikuti Tian toako sepanjang hidup, sekalipun siaute harus menuntun kuda pun, hatiku tetap akan gembira." Ditengah gelak tertawa yang keras, lagi-lagi Tian Mong-pek mengayunkan pedangnya.
Tampak cahaya pedang berwarna hitam gelap berkelebat ditengah lapisan kabut, kembali sebatang pohon terbelah dua, Tian Mong-pek layangkan satu tendangan, batang pohon itupun roboh dihadapannya.
Dalam waktu singkat dia telah membabat sembilan batang pohon, sedang Ui Hau membuntuti dari belakang, namun dari balik hutan penyesat tetap tidak terdengar suara apapun.
Dengan kening berkerut ujar Ui Hau: "Besar kemungkinan kawanan bangsat itu sudah melarikan diri terbirit-birit karena takut dengan kegagahan saudara Tian, bagaimana baiknya sekarang" Bukankah perbuatan saudara Tian hanya buang tenaga dengan percuma?" Tian Mong-pek melengak, pikirnya: "Benar juga perkataan ini, tujuan mereka adalah merampok kuda dan sekarang telah berhasil, mana mungkin kawanan begundal itu tetap tinggal disini?" Sementara dia masih termenung, Ui Hau kembali sudah mencaci maki kalang kabut.
Siapa sangka, baru mengumpat berapa kata, dari balik kabut tiba tiba berkumandang lagi suara tertawa yang menyeramkan.
"Kami semua sedang siap menunggu untuk mencabut nyawamu, tak mungkin bakal pergi." Tian Mong-pek membentak nyaring, tubuhnya melesat maju secepat petir, dimana pedangnya diayun, pohon bertumbangan kian kemari.
Namun dibalik pepohonan yang tumbang, sama sekali tak tampak bayangan manusia, padahal sudah jelas suara tertawa itu berasal dari balik pepohonan.
Saat itulah dari sebatang pohon agak jauh dari sana, kembali terdengar seseorang berkata sambil tertawa dingin: "Hutan penyesat ini luasnya mencapai sepuluh li, jika kau benar benar sanggup membabat rata semua hutan ini, aku akan takluk kepadamu." Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya: "Namun bila kau tak sanggup meratakan hutan ini, jangan harap kalian bisa keluar dari sini dalam keadaan hidup." "Hei bangsat!" umpat Ui Hau, "kalau memang bernyali, jangan bersembunyi terus macam kura-kura." Kembali terdengar seseorang berkata sambil tertawa dingin: "Buat apa kami bersaudara buang tenaga untuk melayani kalian, didalam hutan penyesat ini bukan saja terdapat banyak jebakan, bahkan mengandung unsur barisan dan perbintangan yang sakti, cukup untuk mengurung kalian berdua hingga mampus disitu." Kalau suara tertawa tadi berasal dari sisi barat, maka ejekan kali ini muncul dari sisi timur, sudah jelas dibalik hutan penyesat ini tersembunyi musuh dalam jumlah tak terhingga.
Kalau suara tertawa tadi berasal dari sisi barat, maka ejekan kali ini muncul dari sisi timur, sudah jelas dibalik hutan penyesat ini tersembunyi musuh dalam jumlah tak terhingga.
Kembali Ui Hau mencaci maki kalang kabut, tapi tiada reaksi maupun jawaban dari seputar sana.
Sesudah termangu sesaat, diam-diam bisiknya: "Tian toako, apakah kau menguasahi ilmu barisan seperti pat-kwa dan lain sebagainya" Aku lihat hutan ini memang sedikit agak aneh." Tian Mong-pek tertawa sambil menggeleng.
"Ilmu semacam itu rumit dan membingungkan, siapa yang sabar untuk mempelajarinya?" Kembali dia mengayun pedangnya sambil menerobos maju.
Dalam waktu sekejap, kembali berapa batang pohon bertumbangan, ranting berguguran, daun beterbangan dan suara benturan menggaung ke mana mana.
Baru saja Tian Mong-pek menghembuskan napas lega, tiba tiba dari balik pepohonan terdengar suara ringkikan kuda.
Dengan perasaan terperanjat, mereka berdua menerjang kearah mana berasalnya suara ringkikan itu, tampak didalam sebuah liang perangkap, terjebak seekor kuda, ternyata kuda itu tak lain adalah kuda jempolan milik Tian Mong-pek.
Kuda itu sama sekali tak cedera, tapi pelana emas yang ada dipunggung binatang itu sudah lenyap tak berbekas.
Terlihat kuda itu menghentakkan kakinya berulang kali didalam air sambil meringkik panjang, jelas ia terjerumus ke dalam liang ketika berlarian dalam hutan.
Biarpun kuda itu termasuk kuda jempolan, tapi setelah berkurung dalam liang kecil itu, sulit baginya untuk meloloskan diri.
Tian Mong-pek memiliki ketajaman mata yang luar biasa, sejak minum cairan embun kumala dari botol pemberian Thian-heng lojin, ketajaman matanya melebihi siapa pun.
Ui Hau belum sempat melihat jelas keadaan yang sebenarnya, agak ragu tanyanya: "Apakah kuda yang ada dalam liang jebakan adalah .
. . . .." "Kuda itu adalah kuda tungganganku." Tukas Tian Mong-pek dengan wajah terperanjat.
"Kalau memang kuda itu, kenapa kawanan bangsat itu membiarkannya terjerumus ke dalam liang jebakan?" "Tapi pelana kudanya hilang .
. .



. .." Ui Hau melengak.
"Kalau begitu, jangan jangan tujuan dari kawanan begal itu hanya mengincar kedua pelana kuda itu dan dugaan kita keliru besar?" "Aaaai, besar kemungkinan memang demikian." sahut Tian Mong-pek sambil menghela napas panjang.
"Penasaran, sungguh penasaran," teriak Ui Hau sambil menghentakkan kakinya, "masih mending bila kita harus tewas atau terluka oleh kerumunan musuh besar dari Ho toako, tapi kalau hanya gara gara dua buah pelana kuda .
. . . . .. kematian semacam ini sungguh penasaran." Tian Mong-pek menghela napas panjang, untuk berapa saat tak mampu berbicara.
Sebagaimana diketahui, apabila orang-orang dibalik hutan penyesat adalah kawanan manusia berkerudung yang berniat membegal kuda, dapat dipastikan mereka tidak akan membiarkan kuda jempolan itu terperosok ke dalam perangkap.
Ujar Ui Hau kemudian: "Bagaimana pun, baik buruk kita harus selamatkan dahulu kuda itu dari dalam liang perangkap." Satu ingatan tiba tiba melintas dalam benak Tian Mong-pek, ujarnya girang: "Pernah kudengar orang berkata, kuda itu mengenali jalan, pabila kita mengintil dibelakang kuda ini, bukankah segera akan terlepas dari kurungan?" II "Hahaha, bagus, ide bagus .
. . . . .. seru Ui Hau sambil bertepuk tangan dan tertawa, tapi kemudian ia menggeleng seraya menghela napas panjang, "tidak bisa, masih tidak bisa dan tidak mungkin bisa berhasil." "Kenapa tidak bisa?" "Biarpun sifat kuda mengenali jalan," kata Ui Hau dengan wajah murung, "tapi dia tak bisa membedakan mana perangkap mana bukan, kalau tidak, mustahil kuda ini ikutan terperosok disitu." "Kuda ini berhasil lolos dari cengkeraman kawanan bajingan itu, sementara kudamu gagal meloloskan diri, sudah pasti hal ini dikar enakan mereka gagal membekuknya hingga si kuda kabur kemari, sementara merekapun tak berani mengejar karena kuatir bertemu kita berdua, bukan begitu?" "Betul." Biarpun dia membenarkan ucapan itu, namun sejujurnya tidak paham apa maksud dari perkataan itu, bahkan secara tak sadar ia menyalahkan Tian Mong-pek karena mengalihkan pokok pembicaraan.
Terdengar Tian Mong-pek bicara lagi jauh: "Tapi pelana yang berada dipunggungnya telah dilepas orang, bukankah hal ini membuktikan kalau sang kuda berhasil kabur dari tempat dimana kawanan bajingan itu berkumpul?" "Benar juga." "Sudah pasti dia terperosok disini karena harus berlarian kabur dari tempat berkumpulnya kawanan bajingan itu, atau dengan perkataan lain, kuda ini pasti dapat menuntun kita menuju ke tempat berkumpulnya kaum pencoleng bukan?" Ui Hau tertegun berapa saat, gumamnya: II "Dari sini .
. . . .. sampai disitu . . . . . . . .. Tiba tiba teriaknya sambil tertawa tergelak: "Hahaha, betul, betul sekali." Sambil membesut keringat yang membasahi jidatnya, ia berkata lebih lanjut dengan nada girang: "Kusangka jalan pikiranku sudah begitu cermat dan mendetil, siapa sangka pemikiran Tian-heng jauh lebih cemerlang, kalau memang begitu, ayoh cepat kita tolong kuda itu." Tian Mong-pek melompat masuk ke dalam liang perangkap, sang kuda segera meringkik kegirangan sambil mendekat.
Sambil menepuk punggung kuda itu, ujar Tian Mong-pek: "Kuda, wahai kudaku, aku telah menyiksa dirimu." Tiba tiba dia tangkap sepasang kaki belakang kuda itu, kemudian melontarkan keatas.
Kuda itu memang tak malu disebut kuda jempolan, meminjam tenaga lontaran itu, bagaikan kuda sakti terbang di langit, dia segera melompat keluar dari dalam perangkap.
Sambil tertawa Ui Hau segera berseru: "Untung saja ikat pinggang yang dipakai Tian-heng untuk menolong siaute tadi masih tersimpan, tak disangka siaute pun harus menolong Tian-heng." Sembari bicara, dia sudah menurunkan ikat pinggang itu ke dalam liang jebakan.
Begitu ikat pinggang terjulai ke bawah, Tian Mong-pek langsung melompat naik.
Sambil menepuk kepala sang kuda, bisik Ui Hau kemudian: "Saudara kuda yang baik, bagaimana kalau sekarang kau tuntun kami keluar dari sini?" Kuda itu meringkik perlahan dan mulai bergerak maju.
Melihat itu, Ui Hau gelengkan kepala sambil tertawa tergelak.
"Hahaha, sungguh tak disangka dia begitu mengerti maksud manusia, kalau begitu, tidak sia sia kupanggil dia saudara kuda.
Hahaha..." Ditengah gelak tertawa, ia bergerak mengintil di belakang kuda itu.
Terlihat kuda itu berjalan ditengah hutan lebat dan berbelok kian kemari, langkahnya sangat lambat, terkadang bahkan berhenti untuk mengendus disekeliling tempat itu sebelum melanjutkan perjalanan, terkadang pun berkeliling kian kemari.
Sesudah berjalan berapa saat, tiba tiba mereka saksikan dua buah pelana kuda tergeletak disisi jalan, ternyata pelana itu tak lain adalah pelana emas milik Tian Mong-pek serta Ui Hau.
Menjumpai hal ini, Tian Mong-pek serta Ui Hau saling berpandangan dengan perasaan keheranan.
"Kalau pelana kuda yang berharga pun bukan benda yang mereka inginkan, lantas apa yang mereka incar?" Ui Hau ikut menghela napas, katanya: "Kalau gagal mencari tahu urusan ini, aku pun ikut merasa murung dan tak ingin keluar dari hutan penyesat ini." Hutan penyesat itu tetap terselimuti kabut tebal, Tian Mong-pek serta Ui Hau yang mengintil di belakang kuda, diam diam merasa tercekat hatinya, sekalipun tiada jebakan atau perangkap, hutan penyesat ini benar benar merupakan tempat yang sulit dijangkau.
Kembali mereka menempuh perjalanan dua perminum teh lamanya, mendadak dari balik hutan berkumandang suara bentrokan senjata yang ramai, suara itu makin lama semakin bertambah nyaring, sementara kuda itupun meringkik tiada hentinya.
"Jangan jangan kita sudah tiba di tempat tujuan?" bisik Ui Hau dengan kening berkerut.
"Sstt . . . . . .." bisik Tian Mong-pek sambil manggut-manggut.
Betul saja, kuda itu telah menghentikan langkahnya.
Dengan pedang hitam terhunus, Tian Mong-pek mulai memeriksa keadaan disekeliling tempat itu, ternyata ditengah lebatnya pepohonan, muncul sebuah tanah lapang yang cukup luas.
Ditengah lapisan kabut yang tebal, meski tak dapat melihat dengan jelas pemandangan diseputar tanah lapang, namun lamat lamat terlihat juga kalau ada berapa orang sedang bertarung sengit ditengah tanah kosong itu.
Terlihat dua orang diantaranya mengenakan pakaian ketat, seorang bersenjata sepasang golok, cahaya senjata yang berwarna hijau keputihan menyambar kian kemari dengan cepat, jelas dia adalah seorang jago kelas satu dari dunia persilatan.
orang kedua bersenjatakan sepasang senjata kaitan, jurus serangannya aneh tapi ganas, gerakan tubuhnya gesit dan lincah, bahkan jauh diatas kemampuan orang bersenjata golok.
Sayangnya, walaupun ada empat buah senjata yang bekerja sama melawan musuh, namun posisi mereka sudah terdesak dibawah angin.
Musuh yang dihadapi mereka berdua adalah lima orang lelaki berpakaian compang camping, hanya dua diantaranya menggembol senjata, sementara yang lain bertarung dengan tangan kosong.
Dari perubahan gerak tubuh serta angin pukulan yang dihasilkan ke lima orang itu, dapat dilihat kalau kepandaian silat yang dimiliki mereka berlima jauh dari kedua orang lawannya dan bukan tandingannya, tapi yang aneh, bukan saja kedua orang itu terdesak dibawah angin, bahkan gerak serangannya tampak agak bebal dan melambat, sudah jelas tenaga dalam mereka sudah melemah.
Peristiwa yang bertolak belakang dari kenyataan ini segera membuat Tian Mong-pek terkejut bercampur keheranan.
Saat itulah dia mendengar ada suara lirih sedang bergema dari sisi tanah lapang: "Nomor empat, merentang awan musim gugur .
. . . . . .. nomor dua, air dingin memantul di angkasa .
. . . . .. nomor lima, burung camar menyapu pasir .
. . . . . . .." Setiap perkataan itu diucapkan, segera terlihat salah satu diantara ke lima orang lelaki berbaju compang camping itu menggunakan jurus serangan yang diperintahkan, ke dua orang lawannya seketika terdesak hingga mundur selangkah.
Sekarang Tian Mong-pek baru paham apa yang telah terjadi, ternyata biarpun ke lima orang lelaki berbaju compang camping itu tak berilmu tinggi, namun ada seorang tokoh silat yang berilmu sakti memberi petunjuk dari sisi arena.
Nomor yang disebut mungkin menandakan ke lima orang lelaki itu, dengan seorang diri dia beri komando kepada ke lima orang itu, bukan saja tak menimbulkan kesalahan, bahkan bisa mengubah yang lemah jadi kuat, kejadian seperti ini sungguh merupakan satu berita luar biasa.
Tian Mong-pek semakin keheranan, kalau memang ditempat itu terdapat seorang jago yang berilmu begitu tinggi, mengapa dia tidak turun tangan sendiri, sebaliknya malah berepot repot memberi petunjuk kepada orang lain" Dalam pada itu, Ui Hau sudah dapat mengenali bayangan manusia yang ada dalam hutan, tiba tiba teriaknya: "Apakah Hong-ciu-oh-hau-to dan Sin-yang-boan-liong-kou yang berada dalam hutan?" Perlu diketahui, Tian Mong-pek memiliki ketajaman mata yang luar biasa untuk melihat dibalik kegelapan, sayang dia hanya memperhatikan keanehan ilmu silat lawan dan justru mengabaikan gerakan tubuh yang digunakan.
Sebaliknya Ui Hau yang polos justru memperhatikan gerakan lawan, sehingga begitu melihat, dia langsung dapat menebak siapa gerangan mereka berdua.
Benar saja, semangat kedua orang itu langsung bangkit kembali, teriaknya serentak: "Apakah Tian tayhiap dan Ui toako yang datang?" "Kalian berdua tak usah gugup, biar aku datang membantu." Bentak Ui Hau.
Belum selesai dia berteriak, Tian Mong-pek sambil mengayunkan pedangnya sudah menyerbu ke tengah arena.
Bacokan pedangnya disertai kekuatan yang luar biasa, dimana deruan angin menyambar lewat, seorang lelaki berbaju compang camping itu sudah terlempar keluar dengan sempoyongan.
Ke empat orang lelaki lainnya jadi ketakutan, serentak mereka membalikkan tubuh dan melarikan diri.
Tian Mong-pek sadar, ditempat itu masih hadir seorang tokoh silat berilmu tinggi, maka sambil memutar pedang, dia membalik badan.
Benar saja, disudut tanah lapang itu, berdiri berjajar tiga buah rumah kayu yang amat sederhana.
Didepan rumah terdapat seonggok api unggun, dua orang lelaki berbaju compang camping sedang mengiris daging kuda Jian-li-soat milik Ui Hau.
Diantara jilatan api unggun, terlihat seorang kakek bertubuh kurus kering yang botak, duduk disebuah bangku yang amat besar.
Kakek botak itu hanya mengenakan selembar kulit hewan untuk menutupi tubuhnya yang kurus tinggal kulit membungkus tulang, jidatnya lebar, mukanya penyakitan, tapi memiliki sepasang mata yang memancarkan sinar aneh.
Biarpun Tian Mong-pek bernyali baja, tak urung bergidik juga hatinya sesudah bertemu kakek berambut putih itu, tanpa sadar dia mundur berapa langkah.
Biarpun Tian Mong-pek bernyali baja, tak urung bergidik juga hatinya sesudah bertemu kakek berambut putih itu, tanpa sada r dia mundur berapa langkah.
Sinar mata iblis dari kakek ceking itupun sedang mengawasi dirinya tanpa berkedip.
Sementara berapa orang lelaki berbaju compang camping itu sudah kabur ke belakang tubuhnya.
Berapa orang itu bukan Cuma pakaiannya yang dekil dan compang camping, tubuh merekapun kotor dan kurus, rasa haus dan lapar yang tak terlukiskan dengan kata menghiasi wajahnya, seakan akan sudah berapa tahun mereka kekurangan makanan.
Cukup lama Liong Hau-jin dan Ui Hau sekalian berkelana dalam dunia persilatan, namun belum pernah menjumpai orang yang begini kelaparan, terlebih tidak mengira kalau dikolong langit ternyata terdapat begal yang begini kere.
Untuk sesaat merekapun ikut tertegun.
Yang membuat Tian Mong-pek semakin keheranan adalah keadaan yang terbentang didepan mata, dengan kepandaian silat yang begitu tinggi dari si kakek, apalagi pekerjaan mereka adalah membegal dan merampok, kenapa anak buahnya begitu kere" Begitu kelaparan" Begitu menderita" sebuah kejadian yang sama sekali diluar akal sehat.
Sekali lagi Tian Mong-pek mengalihkan tatapannya ke wajah kakek itu, hanya kali ini, begitu sorot mata mereka saling bertemu, dia seakan tak mampu bergeser lagi.
Kakek itu memiliki sinar mata yang tajam, sinar yang memancar dari balik tulang alisnya yang tinggi.
Entah berapa lama Tian Mong-pek mengawasi sinar mata itu, tiba tiba ia merasa sinar matanya berubah jadi biru, lalu berubah ladi jadi ungu dan akhirnya berubah jadi coklat.
Tatapan mata yang begitu tajam membuat Tian Mong-pek merasa matanya jadi sakit, tanpa sadar kulit matanya mengerut dan akhirnya tundukkan kepala.
Semenjak lahir di dunia, belum pernah pemuda itu mengalami kejadian yang begini aneh, disaat matanya terasa sakit bagaikan tertusuk tadi, seakan pihak lawan sedang menyerang dengan jurus aneh, yang membuat dirinya tak sanggup menghindar.
Dengan rasa kaget dan ngeri dia menengadah, tampak sinar mata Ui Hau masih menatap di wajah kakek itu, namun dia seakan tidak mengalami apa pun.
Mendadak kakek itu buka suara, nadanya kering dan parau, tenang tapi lambat, ujarnya: "Hei anak muda, kau sedang keheranan?" Biarpun kakek itu tidak menjelaskan siapa lawan bicaranya, tapi Tian Mong-pek tahu, perkataan itu ditujukan kepadanya, tanpa sadar dia mengangguk.
Kembali kakek itu berkata: "Kau pasti merasa matamu aneh sementara rekanmu tidak" Hal ini bukan dikarenakan kau lebih lemah daripadanya, tapi karena kau kelewat kuat." Perkataannya yang lamban dan tenang itu, sejak awal sudah mengendalikan pikiran Tian Mong-pek, membuat pemuda itu tak mampu berkonsentrasi, tak mampu mendengarkan dengan seksama.
Kembali kakek itu berkata: "Apa yang kalian saksikan dalam tatapan mataku, tak lebih hanya hawa pembunuhanmu sendiri, kesemena-menaanmu sendiri, bila sikapmu dapat sedikit lebih lemah, maka tiada tandingan lagi di kolong langit." Sekalipun Tian Mong-pek tidak paham dengan makna yang terkandung dalam ucapannya, namun perasaan hatinya mulai bergejolak, oleh sebab itu secara tak sadar timbullah perasaan hormatnya terhadap orang ini.
Telapak tangannya yang menggenggam gagang pedang terasa mulai basah, seakan keringat dingin telah bercucuran keluar.
Tiba tiba terdengar kakek itu menghela napas panjang, kembali ujarnya: "Sayang sekali manusia berbakat macam kau, hari ini harus terjebak dalam lingkar kematian dan mustahil bisa keluar lagi dalam keadaan hidup." "Siapa bilang Tian Mong-pek tak bisa keluar dalam keadaan hidup?" mendadak Ui Hau membentak keras.
"Siapa Tian Mong-pek?" tanya si kakek.
Sambil menuding kearah Tian Mong-pek, kembali bentak Ui Hau: "Dialah Tian Mong-pek, manusia mana dikolong langit saat ini yang tidak mengenal nama Tian Mong-pek" Siapa pula yang bisa mengungguli dirinya?" Selama ini, dia menaruh keyakinan penuh atas kemampuan Tian Mong-pek, kecuali itu, persoalan apa pun tak pernah dipikirkan dalam hati, tak heran kalau saat ini dia masih bisa mencaci maki kalang kabut.
Dengan tatapan termangu, si kakek mengawasi telapak tangannya, sinar mata yang terpancar keluar tampak semakin aneh, tiba tiba katanya gemetar: "Ada .
. . . .. ada . . . . . . . . .. satu . . . . . . . . .." "Ada apa?" teriak Ui Hau, "sudah kau dengar perkataanku?" Siapa tahu kakek itu kembali menghela napas panjang.
II "Aaaai, tidak ada apa apa .
. . . .. tidak ada apa apa . . . . . . .. Ui Hau melongo, pikirnya: "Jangan jangan kakek ini dungu" Kenapa caranya bicara tidak genah, bikin orang tidak paham saja." Berbeda dengan Tian Mong-pek, dia merasa perkataan kakek itu bukan saja mengandung teori ilmu silat tingkat tinggi, bahkan setiap kata, setiap ucapannya seolah menyimpan cerita yang penuh misteri.
Tiba tiba dari tengah udara berkumandang suara keluhan seperti suara wanita, suara itu berteriak berulang kali: "Sudah mati, sudah mati, semuanya sudah mati .
. . . . . .." Menyusul kemudian, terlihat setitik bayangan hitam meluncur turun dari udara, melewati atas kepala Tian Mong-pek, melayang turun diatas tangan kakek itu, ternyata seekor burung betet.
Tian Mong-pek tertegun, ia berdiri kaku bagaikan sebuah patung.
Kembali terdengar Ui Hau membentak: "Ternyata burung kecil itu yang menjerit, tak heran kalau dalam hutan tidak nampak ada wanita, ternyata tadi kalian sengaja suruh burung itu menjerit seperti perempuan minta tolong, agar kami terpancing masuk kemari?" "Betul." "Kenapa kau memancing kehadiran kami" Cuuh! Tak heran kalau jadi penyamun, kalian tetap kere.
Ternyata kamu semua memang goblok tak ketolongan." Kemudian sambil menuding kearah Tian Mong-pek, kembali umpatnya: "Penyamun kere yang begitu goblok macam kalian, masih ingin menghadapi Tian toako ku" Hm, rupanya sedang bermimpi di siang hari bolong." Sekulum senyuman sadis tersungging dibibir kakek itu, katanya perlahan: "Tujuan lohu memancing kalian masuk ke dalam hutan, tak lain karena ingin makan daging kuda milik kalian itu." "A .
. . . . .. apa?" dengan tubuh bergetar teriak Ui Hau.
Akhirnya dia peroleh jawaban juga atas rasa herannya ketika menemukan pelana kuda emasnya tergeletak disisi jalan, hanya saja jawaban yang muncul sama sekali diluar dugaan.
Kembali kakek itu berkata sambil tertawa pedih: "Selama puluhan tahun, lohu harus andalkan kecerdasan dan kekuatan untuk mencari makanan, tapi sepanjang tahun belum pernah sekali pun makan kenyang." Ui Hau tertegun, sampai lama kemudian baru teriaknya: "Apa katamu" Aku tidak mengerti." "Bagaimana pun, toh kau tak bakal bisa lolos dari sini, perlahan-lahan pasti akan mengerti dengan sendirinya." "Siapa bilang kami tak bisa tinggalkan tempat ini?" "Bila kalian berani melangkah keluar dari tanah kosong ini, tak selang berapa saat, segera akan datang seorang pengejar nyawa yang akan merenggut nyawa kamu berdua." Ui Hau tertawa keras.
"Hahaha.... kau si kakek yang makan pun tak pernah kenyang masih ingin disebut pengejar nyawa" Hahaha .
. . . .. tak ada salahnya untuk dicoba." "Bukan lohu yang dimaksud, tapi orang lain." "Siapa?" Tiba tiba secerca cahaya kebencian terlintas dimata kakek itu, sahutnya: "Dia adalah orang yang telah mengurung lohu selama puluhan tahun di tempat ini." "Kenapa tadi tidak kujumpai?" "Sebelum menginjak tanah kosong ini, mungkin kalian masih bisa hidup, tapi begitu menginjak lingkaran ini, jangan harap bisa keluar lagi dalam keadaan selamat, peraturan ini ditetapkan orang itu sejak puluhan tahun berselang.
Tadi kau belum menginjak lingkaran ini, tentu saja dia tak akan menjumpaimu." Peraturan apa itu, aku tidak percaya." Seru Ui Hau gusar.
Tiba-tiba kakek itu tertawa mengenaskan, nada suaranya berubah makin lamban, tapi dibalik nadanya yang lamban itu mendadak tersisip kekuatan aneh yang dapat membetot pikiran orang.
Perlahan dia berkata: "Sudah kau lihat orang-orang yang berada dibelakang lohu" Orang orang yang kelaparan seperti puluhan tahun tak pernah makan itu, sebelum tiba disini, mereka pun sama seperti kau, segar begar dan lincah bagai harimau ganas.
"Sudah kau lihat orang yang sedang mengiris daging kuda itu" Untuk mengiris sepotong daging kuda, dia seakan butuh tenaga yang amat besar, percayakah dirimu kalau dia adalah Tiam-cong-kek jago dari bukit Tiam-cong Tio Beng-teng?" Biarpun kakek itu tidak berpaling, namun setiap gerak gerik yang ada dibelakang tubuhnya seolah terlihat dengan jelas.
Tanpa sadar Ui Hau berpaling kearah yang dikatakan, cairan darah ditubuhnya seketika membeku, tiap inci, tiap bagian menjadi dingin lalu membeku.
Kembali si kakek berkata: "Sewaktu datang kemari, keadaan mereka tak beda jauh dengan dirimu, tidak percaya dengan peraturan itu, tapi kini, mereka semua telah percaya.
"Dengan mata kepala sendiri mereka saksikan orang orang yang berilmu silat lebih hebat dari mereka berusaha menerobos keluar dari sini, tapi tak seorangpun bisa berjalan lebih dari sepuluh langkah, belum pernah ada orang mencapai sepuluh langkah." Tiada pilihan lain bagi Ui Hau kecuali mendengarkan lebih jauh, dengus napasnya lambat laun makin berat dan kasar.
"Oleh sebab itu mereka telah rela menahan lapar, kesepian, dekil, dahaga serta siksaan dan penderitaan yang tak mungkin bisa ditahan oleh siapa pun daripada melangkah pergi dari tempat ini.
"Padahal siksaan ini berkepanjangan dan tiada batas akhir, yang ada hanya siksaan dan penderitaan, siksaan yang lambat laun merampas semua kegagahannya, mereka hanya bisa bertahan.
"Ketika kau saksikan ilmu silat yang mereka miliki, hatimu pasti merasa geli, ini dikarenakan seluruh kekuatan yang dimiliki telah digunakan untuk menghadapi kelaparan, otomatis ilmu silatnya semakin mundur, suatu hari nanti kau akan menemukan bahwa dirimu pun telah berubah seperti mereka.
Kecuali hari ini juga kau mati di tempat ini." Para lelaki berbaju compang camping yang berada dibelakang kakek itu kelihatan mulai menggigil ketakutan, wajahnya memperlihatkan rasa malu dan marah yang tak terhingga, keadaan mereka saat ini betul-betul mengerikan.
Namun disaat hawa harum daging kuda yang matang mulai terendus di udara, rasa malu dan marah yang semula menghiasi wajah orang orang itu seketika lenyap dan kini berubah jadi setan setan kelaparan yang siap menerkam mangsanya.
Bergetar keras hati Ui Hau setelah menyaksikan keadaan orang orang itu, peluh dingin membasahi wajahnya, mendadak sambil memberanikan diri bentaknya: "Bangsat yang ada diluar hutan itu bukan setan kan?" "Sekalipun bukan setan, paling tidak sudah mendekati." Jawab si kakek.
"Asal dia manusia, Tian toako pasti sanggup untuk menghadapinya." Kakek itu tertawa pedih.
"Dikolong langit dewasa ini, kecuali lohu, tak seorangpun sanggup menandingi kehebatan mereka berdua, padahal lohu saat ini sama sekali tak mampu bergerak." "Sebetulnya siapa dirimu?" tak tahan Ui Hau bertanya.
"Manusia macam kau, mana mungkin bisa mengenali lohu...." "Belum tentu." Teriak Ui Hau makin gusar.
Tiba tiba ia berpaling, menggenggam tangan Hong-ciu-to dan Sim-yang-kou dan teriaknya: "Apakah kalian berdua mengenalnya?" Liong Hau-jin serta Lim Ciu-kok bermandikan keringat dingin, mereka menggeleng tidak menjawab.
"Bila kalian berdua tidak mengenalnya, kenapa bisa sampai di tempat ini?" tanya Ui Hau sambil menghentakkan kakinya.
Dengan wajah pucat pasi, sahut Liong Hau-jin: "Sebenarnya kami mempunyai seorang sahabat Liok-lim yang tinggal didalam hutan penyesat ini dan berulang kali menasehati kami agar tidak memasuki tempat ini, tapi berhubung kami menguatirkan keselamatan kalian berdua, maka kami pun paksakan diri untuk masuk kemari.
Hanya saja kami tidak mengetahui rahasia dibalik hutan penyesat ini." "Bicaralah lebih jelas, kalau begitu caramu bicara, siapa yang bakal mengerti?" tegur Ui Hau mendongkol.
Liong Hau-jin menyeka peluh yang membasahi jidatnya, setelah berhasil menenangkan diri, katanya: "Sudah lama kami bersaudara ingin berkenalan dengan Tian tayhiap, sejujurnya kami tak ingin berpisah dengannya, tapi karena takut Tian tayhiap menampik keinginan kami untuk bergabung, maka walaupun sudah mohon diri, sesungguhnya kami selalu mengintil kalian dari belakang.
"Tapi setelah memasuki bukit ini, tiba tiba kami kehilangan jejak kalian berdua.
"Kami merasa terkejut bercampur panik, ketika tiba di depan hutan penyesat, kamipun tak bisa ambil keputusan apakah akan memasuki hutan yang disebut hutan setan ini atau tidak.
"Pada saat itulah, dari dalam hutan tiba tiba muncul dua sosok manusia.
"Mereka berdua, yang satu bernama pisau kecil Thio Jit, yang lain bernama Pelepas kulit Khong Sam merupakan jago jago kalangan hijau, melihat sikap mereka yang tergopoh gopoh, kami pun memanggil kedua orang itu.
"Dimasa lalu, kedua orang ini pernah lolos dari cengkeraman maut kami berdua dan sudah lama tak pernah muncul dalam dunia persilatan, tentu
"Dimasa lalu, kedua orang ini pernah lolos dari cengker aman maut kami berdua dan sudah lama tak pernah muncul dalam dunia persilatan, tentu saja mereka tak berani mendekat ketika melihat kehadiran kami berdua.
"Ketika kami bertanya apakah mereka sempat melihat kehadiran kalian berdua, sebenarnya mereka tak berani bicara, tapi akhirnya mengakui kalau kalian berdua berada dalam hutan penyesat.
"Maka kami berdua pun memutuskan untuk melakukan pencarian didalam hutan penyesat, tapi kedua orang itu bersikeras mencegah, katanya bila masuk ke dalam hutan, selama hidup tak bakal bisa keluar lagi.
Ketika kami desaak, si pisau kecil Thio Jit hanya berkata bahwa dalam hutan penuh dengan jebakan dan perangkap mematikan, serta adanya kakek misterius.
Sisanya dia tak berani mengungkap.
"Melihat kepanikan dan rasa takut diwajah mereka, kami berdua semakin menguatirkan keselamatan kalian, maka kamipun mencari tahu jalan masuk menuju kemari.
"Kedua orang itu sangsi berapa saat, tapi akhirnya Thio Jit berkata: setelah masuk hutan, setiap selesai melewati tiga batang pohon, segera berubah arah lain, dengan begitu akan kau jumpai kakek misterius itu.
"Selesai bicara, mereka berdua segera berlutut dan mohon kami membiarkan mereka kabur, karena kuatir keselamatan kalian, kamipun bebaskan mereka Il dan langsung menuju kemari .
. . . . .. Ui Hau menghembuskan napas panjang, keningnya berkerut makin kencang, dadanya masih dipenuhi rasa mangkal, sambil menggeleng tanyanya: "Hanya sebanyak itu yang kalian berdua ketahui?" "Padahal siaute sendiripun masih diliputi pelbagai kecuri gaan." Kata Liong Hau-jin sambil menghela napas.
Mendadak terdengar kakek itu menukas: "Apa lagi yang ingin kau ketahui?" "Manusia macam apa pula Thio Jit dan Khong Sam itu?" tanya Ui Hau.
"Karena mereka sudah tak punya tempat berpijak lagi dalam dunia persilatan, maka hutan penyesat ini digunakan sebagai tempat merampok, itulah alasan kenapa mereka berani menyerempet bahaya masuk kemari.
"Secara tidak sengaja mereka tiba ditempat tinggal lohu, maka lohu pun menghentikan mereka ditempat jauh serta mengajak mereka untuk melakukan sebuah transaksi secara adil." "Transaksi apa?" tanya Ui Hau keheranan.
"Lohu memberi petunjuk kepada mereka untuk menyiapkan pelbagai perangkap dan jebakan dalam hutan penyesat, lalu mencari akal untuk memancing orang yang lewat memasuki hutan ini.
"Tapi syarat yang lohu ajukan adalah mereka harus merampok dulu harta kekayaan miliki pendatang, kemudian mengiring kuda kuda mereka menuju kemari." "Hmm, sebuah transaksi yang keji." Umpat Ui Hau gusar.
Kakek itu menghela napas sedih, katanya: "Bila kau pernah merasakan penderitaan karena menahan lapar selama puluhan tahun, perbuatan yang sepuluh kali lipat lebih kejam pun mungkin bisa kau lakukan." Setelah tertawa pedih lanjutnya: "Sungguh kasihan, baru saja perangkap mereka selesai dibuat dan baru melakukan transaksi yang pertama, mereka harus mengalami nasib tragis yang sama seperti rekan rekannya, hampir semuanya mengalami nasib menakutkan." "Siapa pula rekan rekannya yang lain?" berubah paras muka Ui Hau.
"Selama puluhan tahun, entah sudah berapa banyak manusia macam Thio Jit yang pernah menjalin transaksi dengan lohu, asal mereka tidak menginjak tanah kosong ini, apapun yang mereka lakukan dalam hutan penyesat ini, semuanya bisa dilakukan dengan aman, oleh karena itu mereka pasti berhasil melaksanakan transaksi yang pertama." Tiba tiba nada suaranya berubah jadi begitu keji, begitu mengenaskan, tambahnya: "Tapi, ketika mereka berhasil melaksanakan transaksi pertama dan menghantar makanan serta kuda kemari, saat itu juga orang orang itu akan mengalami kematian yang tragis." "Kenapa?" "Sebab mereka telah menghantar makanan, sudah membantu lohu, sedang orang yang berani membantu lohu, selamanya belum pernah ada yang bisa hidup sehari lebih lama." Segulung angin berhembus lewat, Ui Hau merasa pakaiannya dingin, ternyata peluh telah menembusi baju yang dikenakan.
Tiba tiba ia teringat akan Tian Mong-pek, yang hingga kini sama sekali tak bereaksi, ujarnya dengan nada gemetar: "Tian-heng, tahukah kau, siapa kakek macam setan ini?" Tian Mong-pek masih mengawasi kakek itu tanpa berkedip, dia seakan sudah mabuk dibuatnya.
"Saudara Tian, kau .
. . . . . . .." teriak Ui Hau kaget.
Tian Mong-pek segera tersadar kembali dari lamunannya, sambil menuding tangan kakek itu, ujarnya: "Coba lihat, apakah telapak tangannya ada yang aneh?" saat itu, kesadaran Ui Hau sudah dipengaruhi oleh kemisteriusan yang meliputi hutan penyesat itu, tanpa terasa dia berpaling memandang tangan kakek itu, lalu memandang pula telapak tangan sendiri.
Ternyata telapak tangan kanan Ui Hau maupun kakek itu, memiliki tujuh buah jari tangan.
"Coba kau perhatikan pula telinganya." Kembali Tian Mong-pek berkata.
Nada suaranya ikut berubah seperti orang yang terperana.
Kembali Ui Hau menengok ke depan, ternyata kakek itu memiliki sepasang telinga yang ukurannya beda.
Telinga kanan panjang melebihi bibir, diatas telinga yang terkulai, tumbuh lima buah butiran daging berwarna merah darah.
"Coba kau perhatikan lagi mata kirinya." Kembali Tian Mong-pek berkata.
Dengan napas tersengkal Ui Hau segera berpaling.
Mata kiri kakek itu memancarkan cahaya berkilauan, ketika diamati lebih seksama, baru diketahui kalau dalam matanya itu terdapat dua buah pupil mata.
"Sudah melihat dengan jelas?" tanya Tian Mong-pek.
"Sudah." Sahut Ui Hau sambil membesut keringat.
"Setelah menyaksikan kesemuanya ini, masih bisa kau kenali siapa dia?" Ui Hau tertegun, sahutnya: "Tentu saja masih belum mengenalinya." Sambil putar badan, tanyanya pula, "kalian berdua kenal dengan orang ini?" Dengan perasaan bingung Liong Hau-jin serta Lim Ciu-kok menggeleng.
"Aneh . . . . ..



sungguh aneh . . . . . . .." gumam Tian Mong-pek keheranan.
Tiba tiba paras muka kakek itu berubah agak emosi, dengus napasnya memburu, tanyanya dengan gemetar: "Kau.....
kau kenal lohu?" Tian Mong-pek seolah tidak mendengar pertanyaan itu, hanya gumamnya: "Hati berlubang sembilan, cerdas diantara yang cerdas, tangan berjari tujuh, lincah diantara yang lincah, telinga bertasbeh lima, antik diantara yang antik, mata berpupil tiga, aneh diantara yang aneh....." Tiba tiba dia membalikkan badan sambil berteriak keras: "Kalian bertiga sudah lama terjun dalam dunia persilatan, pernah mendengar perkataan ini?" "Belum pernah." Serentak Liong Hau-jin, Lim Ciu-kok serta Ui Hau menggeleng.
Tiba tiba Tian Mong-pek tertawa ewa, katanya: "Sungguh tak disangka pendekar sakti yang luar biasa ini betul betul seorang manusia tak bernama, hari ini aku baru benar benar mempercayainya." "Kau benar benar mengetahui tentang lohu?" kakek itu semakin bergetar perasaannya.
"Puluhan tahun berselang, dalam dunia persilatan terdapat seorang pendekar aneh yang luar biasa, bukan saja ilmu silatnya amat tinggi, diapun memiliki kecerdasan yang luar biasa.
"Dalam pandangannya, tiada persoalan yang tak bisa diselesaikan di dunia ini, sebab persoalan sesulit apapun, begitu jatuh ke tangannya, semua jadi beres dan selesai, tapi dalam dunia persilatan hanya ada tiga sampai lima orang yang tahu tentang dirinya.
"Karena dia tak pernah mau muncul dengan wajah aslinya dan memiliki tampilan yang beribu macam bentuknya.
"Entah sudah berapa kali dia tampil dengan wajah dan nama yang berbeda, walaupun setiap penampilan hanya dilakukan satu kali, tapi penampilannya yang satu kali itu sudah cukup membuat namanya menggetarkan sungai telaga.
"Karena identitas serta wataknya yang penuh misteri, hal ini membuat dia pribadi berubah menjadi satu rahasia besar bagi umat persilatan.
Ketika mendengar kisah ini, aku sendiripun tidak percaya.
"Tapi akhirnya hari ini, aku telah bertemu dengan orang yang menjadi lakon dalam kisah ini, aku merasa makin terperanjat karena ternyata dalam dunia persilatan benar benar tak ada orang yang mengenalinya .
. . . . . .." "Kalau dilihat dari penampilanmu tadi, bukan saja terkesan kaget dan keheranan, bahkan seakan termangu dan kecewa, karena apa itu?" tiba tiba kakek itu menyela.
Sambil tertunduk Tian Mong-pek menghela napas.
"Karena aku pernah mendengar orang berkata, siapa pun dia, disaat bertemu dengan pendekar sakti ini, bila kau tidak mengenalnya maka dapat minta petunjuk akan satu persoalan sulit kepadanya.
"Tapi bila kau mengenalinya, bukan saja tak dapat minta petunjuk akan persoalan pelik,, bahkan besar kemungkinan ajal segera akan tiba.
Padahal sekarang, aku justru mempunyai masalah pelik yang ingin minta petunjuk cianpwee, sayangnya tadi aku masih belum begitu percaya dengan segera dongeng sehingga tanpa sadar telah mengungkap semua ciri khas dari cianpwee!" Kembali wajah kakek itu diliputi luapan emosi, entah terkejut, entah merasa gembira.
Sampai lama, lama kemudian dia baru bertanya: "Siapa yang beritahu hal ini kepadamu?" "Kokcu lembah kaisar." Jawab Tian Mong-pek serius.
Kembali paras muka kakek itu berubah, gumamnya: "Kokcu lembah kaisar .
. . . . . .. kokcu lembah kaisar . . . . . . . .." Tiba tiba serunya dengan suara dalam: "Angkat pedangmu." Tian Mong-pek agak sangsi, tapi akhirnya dia angkat pedang hitamnya.
Setelah menatapnya berapa saat, kembali ujarnya dengan suara dalam: "Gunakan seluruh kekuatan yang kau miliki, mainkan jurus Hong-hong- tan-dian-ci (burung hong pentang sayap) dengan pedangmu, tidak lebih tidak kurang, cukup satu jurus." Tian Mong-pek merasa tatapan mata kakek itu memiliki kekuatan yang membuat orang tak berani membangkang, maka dia melangkah maju, pedangnya berputar dan jurus Hong-hong-tan-dian-ci telah dimainkan.
Jurus ini bergerak dari kiri menuju ke kanan, diantara desingan angin tajam, tubuhnya menggunakan kesempatan itu berputar setengah lingkaran.
Tapi sebelum desingan angin pedang sirna, dia telah balik ke posisi semula, pedangnya terselip dibelakang ketiak, semua gerakan dilakukan cepat dan tepat.
Lim Ciu-kok berdua yang menyaksikan hal ini jadi terperanjat, sedang Ui Hau telah berseru sambil tertawa nyaring: "Sudah kau lihat" Dengan andalkan jurus dari Tian tayhiap ini, masa kami tak bisa lolos dari hutan ini?" Suara tertawa yang nyaring berbaur dengan deruan angin yang tajam, sampai lama sekali mendengung di angkasa sebelum hilang kembali.
Bab 36. Kejadian masa lalu. Ditengah kabut yang tebal, paras muka si kakek yang tergoncang lambat laun menjadi tenang kembali.
"Betul," katanya perlahan, "ternyata memang ilmu pedang warisan lembah kaisar, dari dulu hingga kini, bila jago pedang dari pelbagai aliran menggunakan jurus Hong-hong-tan-dian-ci (burung hong pentang sayap), mata pedang mereka selalu bergerak dari kanan menuju kiri dengan membiarkan dadanya terbuka, langkah kaki ikut merangsek diikuti serangan tangan! Hanya ilmu pedang ajaran lembah Kaisar yang menyerang dari kiri menuju kanan, bukan saja dapat melindungi dadanya yang terbuka, bahkan mata pedang dapat dipecah menjadi tiga jalan untuk melancarkan serangan maupun pertahanan dengan sempurna." Orang tua ini selain tajam matanya, pengetahuannya tentang dunia persilatan amat luas, dalam hati Tian Mong-pek menghela napas, karena kakek ini memang tak malu disebut pendekar aneh dari dunia persilatan.
Ketika mendongak kembali, ia saksikan sekilas perasaan kecewa menghiasi mimik muka kakek itu, katanya: "Apa yang dikatakan Kokcu lembah kaisar memang bukan isapan jempol." Setelah tertawa sedih, lanjutnya: "Tapi dia sama sekali tidak tahu kalau kakek yang serba bisa itu kini, bukan saja tak mampu membantu orang, bahkan menolong diri sendiripun tak sanggup." Lelaki berbaju compang camping yang ada dibelakangnya datang memberi sepotong daging kuda yang sudah dipanggang matang.
Tapi kakek itu segera mengulapkan tangannya seraya berkata: "Kalian makan dulu!" Lelaki berbaju compang camping itu kelihatan agak tertegun, salah satu diantaranya berkata gemetar: "Tapi kau orang tua sudah dua hari .
. . . . . .." Kembali kakek itu mengulapkan tangannya, memotong perkataannya yang belum selesai.
Akhirnya lelaki berbaju compang camping itu tidak sangsi lagi, secara lahap dia makan hidangan yang tersedia, bagi mereka tampaknya asal ada hidangan maka urusan lain sudah bukan menjadi masalah penting lagi.
Ditengah suara kunyahan yang menusuk telinga, tanpa sadar Ui Hau berpaling memandang kuda tunggangan milik Tian Mong-pek, melihat binatang itu sudah masuk ke hutan, dia baru menghembuskan napas lega.
ll "Cianpwee, ujar Tian Mong-pek kemudian dengan suara dalam, "siapa yang telah mengurung cianpwee di sini" Dengan kemampuan cianpwee yang luar biasa, kenapa tak bisa membebaskan diri" Dalam hati aku benar benar merasa keheranan." Dari balik mata si kakek yang aneh tiba tiba terpancar cahaya yang tajam bagaikan kilat.
Seluruh dendam kesumat yang terhimpun selama puluhan tahun dalam hatinya, seolah meletus keluar lewat pancaran cahaya itu, kalau bukan orang yang mengerti permasalahannya, siapa pun tak bakal paham apa makna dari cahaya kebuasan itu.
Sekali lagi Tian Mong-pek sekalian merasa hatinya tercekat.
"Orang yang telah mengurung lohu ditempat ini tak lain adalah muridku sendiri." Ujar kakek itu dengan suara berat.
Kembali Tian Mong-pek sekalian merasakan hatinya bergetar, lama tak mampu bicara.
Setelah tertawa sedih, kakek itu berkata lebih jauh: "Penyesalan terbesar yang lohu lakukan sepanjang hidupku ini adalah menerima kedua orang murid itu dan mewariskan segenap ilmu silat yang kumiliki kepada mereka.
"Tiga puluh sembilan tahun berselang, dengan ilmu silat mereka berdua, apalagi bila bekerja sama, dikolong langit sudah sulit dicarikan tandingannya, bahkan Thian-jui toojin pun belum tentu mampu menandingi mereka berdua." "Bahkan Lan Toa-sianseng pun bukan tandingan mereka berdua?" seru Tian Mong-pek dengan wajah berubah.
Kakek itu mengangguk, terusnya: "Dalam masa dunia persilatan yang paling tenang, ketua Hoa-san-pay, Pek-hoa siancu menyelenggarakan pertemuan besar Hoa-tiau-tay-hwe dipuncak bukit Hoa-san.
"Pertemuan besar Hoa-tiau-tay-hwee sudah diselenggarakan cukup lama, setiap umat persilatan akan merasa amat bangga bisa bisa peroleh surat undangan, maka setiap tahun disaat terselenggaranya pertemuan ini, boleh dibilang semua jago tangguh berkumpul di puncak Hoa-san.
"Khususnya pada tahun itu, keadaan boleh dibilang lain daripada yang lain.
"Ini disebabkan Pek-hoa siancu dalam undangannya mengatakan bahwa pada hari pertemuan, akan diadakan adu kepandaian untuk memilih tujuh tokoh paling ternama.
"Sebetulnya Pek-hoa Siancu punya ambisi pribadi dalam penyelenggaraan ini, ia berharap tujuh tokoh paling ternama yang terpilih nanti merupakan tujuh orang ciangbunjin dari tujuh partai besar waktu itu.
"Ini dikarenakan saat itu dunia persilatan amat tenang, tidak terlihat ada jagoan aneh yang sanggup mengungguli tujuh orang ketua partai, dalam anggapannya, dalam pertemuan akbar ini, nama mereka akan semakin berkibar.
"Mimpi pun dia tak mengira kalau dibalik dunia persilatan yang begitu tenang, sesungguhnya tersembunyi banyak naga dan harimau yang sedang menunggu kesempatan, begitu tersiar kabar ini, berbondong bondong orang naik ke puncak Hoa-san.
"Diantara mereka, ada pula kawanan jago yang merasa kepandaian silatnya belum cukup, namun hadir untuk menambah pengalaman, siapa pun tak ingin melewatkan kesempatan baik ini untuk menyaksikan sendiri jago mana yang paling ampuh.
"Diantara mereka hanya Lan Thian-jui dari istana Au-sian-kiong yang sudah was was atas keampuhan ilmu silat kedua orang muridku, sehingga tak ikut hadir.
"Apa pula jago seperti kokcu lembah kaisar yang tak ingin mencari nama, tentu saja diapun enggan berebut dengan orang lain." Mendengar sampai disini, Tian Mong-pek baru tersadar kembali, pikirnya: "Tak aneh kalau Lan Toa-sianseng dengan kepandaian silatnya yang hebat, dengan wataknya yang berangasan, tapi nama besarnya tidak tercantum diantara tujuh tokoh ternama." Berpikir begitu, kembali tanyanya: "Apakah cianpwee ikut hadir?" Kakek itu mengangguk.
"Lohu ikut hadir, tapi hanya ikut berbaur dalam kelompok jago persilatan dan menonton dari kejauhan, aku ingin menyaksikan muridku itu memperoleh posisi teratas.
"Begitu pertemuan akbar dibuka, Pek-hoa siancu segera sadar kalau dia telah melakukan satu kesalahan besar.
"Hanya dalam satu malam, tujuh orang ciangbunjin dari tujuh partai besar telah kalah ditangan orang, sedang orang orang yang berhasil mengalahkan mereka nyaris merupakan jago jago tak bernama.
"Dunia persilatan seketika dibikin gempar, saat itulah orang baru mengenali nama nama seperti Mo-siau-to (golok tanpa sarung) Go Jit, Bu-im-ciong (tombak tanpa bayangan) Yo Hui, Pek-poh-kie (panji kain putih) Chin Mo-cuan, Li-hian-ciam (panah lepas dari busur) Tu Hun-thian, Jian-hong-kiam (pedang seribu ujung) Kiong Gim-bit, Ban-hoa-kun (pukulan selaksa bunga) Be Giok-thian serta Su-hian-kiong (busur empat senar) Hong Ji-siong.
Tujuh tokoh maha sakti. "Ke tujuh orang ini memiliki kepandaian silat yang luar biasa, ada yang mengandalkan senjata, ada yang pukulan tangan kosongnya tanpa tanding, ada pula yang menjagoi dalam ilmu melepaskan senjata rahasia.
"Bisa dibayangkan, pertempuran yang berlangsung saat itu merupakan pertarungan paling sengit yang pernah terjadi dalam seratus tahun terakhir, selama tiga hari, puncak bukit Hoa-san ibarat dilapisi hawa pedang dan suara teriakan yang gegap gempita." Ketika mendengar kisah tentang tokoh tokoh silat kenamaan serta peristiwa masa lampau yang menggetar sukma, Ui Hau sekalian merasakan darah panas dalam dadanya mendidih, nyaris lupa berada dimanakah mereka sekarang.
"Kemudian, bagaimana cara untuk menentukan pemenangnya?" tanya Tian Mong-pek tanpa terasa.
"Sesudah bertempur selama tiga hari tiga malam, Yo Hui serta Go Jit sekalian berenam masih sulit untuk menentukan siapa lebih unggul, hanya busur empat senar Hong Ji-siong dengan andalkan ilmu pukulan, pedang dan panah berhasil menaklukkan kawanan jago lain hingga berhasil merebut posisi ke satu dari tujuh manusia paling top.
Setelah itu, dengan cara mengambil undian menetapkan urutan nama ke enam orang lainnya.
"Dan Busur empat senar tak lain adalah kedua orang murid lohu." Ui Hau tertegun, tiba tiba teriaknya: "Tidak benar, tidak benar." "Apa yang tidak benar?" "Sudah jelas Busur empat senar adalah satu orang, kenapa kau menyebutnya sebagai kedua muridmu?" Kakek itu menghela napas panjang.
"Orang persilatan menganggap Busur empat senar ada lah satu orang, padahal mereka tidak tahu kalau mereka sebetulnya terdiri dari dua orang saudara kembar.
Sang kakak Hong Ji-siong menjagoi dunia persilatan dengan andalkan ilmu pukulan dan ilmu pedang.
"Sedangkan adik perempuan kembarnya, Hong San-hoa berhasil mempelajari ilmu andalan lohu yang disebut Su-hian-sin-kiong (Busur sakti empat senar), empat senar dengan empat panah, sulit bagi orang lain untuk membendungnya.
"Dalam pertempuan akbar Hoa-tiau-tayhwee waktu itu, mereka dua bersaudara dengan satu berada di terang, yang lain berada di gelap, secara bergilir melakukan pertarungan, itulah sebabnya kemampuan mereka berhasil mengalahkan jago lainnya.
"Wajah mereka berdua terlalu mirip satu sama lainnya, selain itu, mereka pun sama sama berdandan lelaki, jadi tak seorang pun yang tahu bahwa mereka sesungguhnya terdiri dari dua orang." "Ooh....." kini Ui Hau baru mengerti, tiba tiba teriaknya sambil gelengkan kepala, "tapi kemenangan semacam ini tidak gagah, mana bisa dibilang kemampuan mereka tiada tandingan di kolong langit?" "Meskipun kemenangan yang mereka raih tidak gagah, tapi ilmu silat yang dimiliki betul-betul tiada tandingan di kolong langit.
"Sejak kecil, mereka berdua tumbuh bersama, selama hidup belum pernah meninggalkan saudaranya, bila bertemu musuh, mereka berdua pun selalu turun tangan bersama, apa bedanya dengan satu orang?" "Hmm!" dengus Ui Hau, jelas dia tak puas.
Terdengar kakek itu berkata lagi setelah menghela napas sedih: "Biarpun aku tak suka mencari nama dan kedudukan, namun hati lohu sempat girang juga setelah menyaksikan murid didikanku berhasil mencapai prestasi yang luar biasa.
"Seusai pertemuan akbar itu, setelah para jago bubaran, dalam keadaan malu bercampur menyesal, Pek-hoa siancu muntah darah dan meninggal dunia.
Sementara ketua Siau-lim dan ketua Bu-tong segera menurunkan jabatan mereka kepada murid muridnya sekembali ke gunung.
Maka situasi dalam dunia persilatan terjadi perubahan besar, Hoa-san-pay tak pernah bisa berkembang lagi.
Yang tersisa hanya pertemuan Hoa-tiau tayhwee yang diselenggarakan setiap tahun satu kali.
Sementara Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay butuh banyak tahun sebelum dapat membangun kembali prestasi mereka.
"Setelah pertemuan itu, lohu pun menjamu kedua orang muridku itu dengan minum arak.
"Siapa sangka, disaat mabuk arak, tiba tiba Hong San-hoa bertanya kepadaku, apakah ilmu silat mereka berdua dapat terhitung tiada tandingan dikolong langit" Lohu pun menjawab, biarpun kalian berdua turun tangan bersama, kemampuan mereka masih belum bisa mena ndingi lohu.
"Kembali Hong San-hoa bertanya, dengan cara apa mereka baru bisa mengungguli lohu" "Biarpun pertanyaan ini diajukan dengan sangat tak sopan, tapi menyaksikan kecantikan wajahnya yang menawan, lagipula selama ini lohu amat memanjakan mereka berdua, kusangka pertanyaan itu hanya gurauan saja.
"Maka akupun beritahu mereka, kecuali mereka berdua dapat memunahkan ilmu silat lohu, kemudian membelenggu ku dengan sumpah yang berat, memaksa lohu tak dapat berusaha untuk pulihkan kembali ilmu sil atnya, mereka baru betul betul bisa mengungguli lohu.
Kecuali itu, tiada cara lain lagi kecuali menunggu lohu mati.
"Hal ini kukatakan karena saat mereka jadi muridku pernah mengangkat sumpah berat, selamanya tak boleh membunuh guru sendiri! Sedang lohu pun meski sudah dipunahkan ilmu silatnya, pasti punya cara untuk memulihkan kembali.
"Waktu itu lohu sudah sembilan puluh persen mabuk arak, dalam banggaku, aku bahkan berkata lagi sambil tertawa tergelak: "Bila kalian tak pernah mengangkat sumpah berat tak akan membunuh guru sendiri, sebenarnya gampang sekali caranya." "Siapa sangka belum selesai tertawaku, Hong San-hoa telah menyembah sambil tertawa, katanya: "Terima kasih banyak atas petunjuk suhu, murid akan melaksanakan sesuai dengan caramu." "Dalam kaget dan gusarku, lohu segera sadar kalau mereka telah melakukan apa yang telah kuucapkan, rupanya mereka telah mencampurkan obat pemabuk dalam arak, sewaktu lohu coba menghimpun tenaga, betul saja, seluruh Il tenaga dalamku telah punah .....
Mendengar sampai disini, paras muka Tian Mong-pek sekalian berubah hebat, rasa gusar menghiasi wajah mereka.
Terlihat kakek itu tertawa pedih, terusnya: "Maka lohu pun termakan oleh ulah sendiri, ilmu silatku benar-benar mereka punahkan, bahkan dipaksa untuk mengangkat sumpah berat.
"Sejak itu mereka berdua mengurung lohu di tempat ini, berhubung kedua orang itu masih berharap lohu merasakan penderitaan yang tak bertepian.
Maka aku dilarang meninggalkan hutan ini barang selangkah pun.
Hingga kini, lohu sudah tiga puluh sembilan tahun merasakan penderitaan ini.
"Selama tiga puluh sembilan tahun ini, lohu telah menggunakan segala cara dan akal untuk memancing orang lain memasuki lingkaran ini, tapi sebagian besar orang orang itu harus mati mengenaskan disini.
"Dengan tubuh tak mampu bergerak, lohu sudah menjalani siksaan selama tiga puluh sembilan tahun, aku tak ingin mati lebih dulu, karena lohu ingin menyaksikan mereka berdua mati duluan." siksaan dan penderitaan selama tiga puluh sembilan tahun telah mengubah pikiran dan perasaan orang tua ini nyaris kaku, ketika menuturkan semua pengalamannya yang mengenaskan, paras mukanya tetap kaku dan tenang.
Sebaliknya air mata nyaris meleleh dari mata Tian Mong-pek, gumamnya gemetar: "Tiga puluh sembilan tahun .
. . . . . .." Peluh membasahi pula jidat Ui Hau, tidak tahan teriaknya: "Lotiang, tidak disangka kau bisa bertahan hidup selama tiga puluh sembilan tahun, Ui Hau sungguh kagum kepadamu." Kakek itu tertawa getir, ujarnya lagi: "Kalau lohu harus mengandalkan kekuatan sendiri untuk mencari makan, mungkin sejak awal telah mati kelaparan, sekalipun lohu hisap tanah diseputar sumber air pun, sulit rasanya untuk menghilangkan rasa dahaga ku
"Kalau lohu harus mengandalkan kekuatan sendiri untuk mencari makan, mungkin sejak awal telah mati kelaparan, sekalipun lohu hisap tanah diseputar sumber air pun, sulit rasanya untuk menghilangkan rasa dahaga ku." Ui Hau tertegun, serunya: "Kalau begitu, secara berkala dua bersaudara she-Hong itu masih datang menghantar makanan" Kalau tidak, siapa pula yang akan datang menghantar makanan?" "Memang Hong Ji-siong serta Hong San-hoa, setiap musim dingin yang membeku tiba, disaat binatang dan burung sirna dan lohu benar benar tak mampu mencari makanan, mereka akan datang menghantar makanan." "Kenapa begitu?" "Karena setelah ilmu silat lohu punah, Hong San-hoa kembali bertanya kepadaku sambil tertawa: "Kini, apakah ilmu silat kami berdua terhitung nomor wahid dikolong langit?".
Lohu beritahu kepada mereka, di kolong langit masih ada satu orang yang ilmu silatnya melebihi lohu.
"Dengan wajah berubah, mereka berdua berulang kali mendesakku untuk menjawab, tapi lohu tak pernah mau menjawab, karena lohu cukup paham dengan watak mereka berdua, bila tahu kalau di kolong langit masih ada orang lain yang dapat mengalahkan mereka, dapat dipastikan mereka akan makan tak enak, tidur tak nyenyak.
Karena mereka masih ingin tahu siapa gerangan yang kumaksud, maka selama ini mereka tak biarkan lohu mati kelaparan.
Coba kalau bukan begitu, dengan kebuasan dan kekejaman mereka berdua, sekalipun pernah bersumpah tak akan membunuh aku dengan tangan mereka, masih terdapat banyak cara untuk memaksa lohu mati sendiri." "Benarkah di dunia ini masih ada orang lain yang memiliki kungfu jauh diatas cianpwee?" tak tahan Tian Mong-pek bertanya.
"Memang ada orang seperti ini." "Siapa?" "Ada di dunia ini, tak jelas dimana ia berada." Sambil menghela napas orang tua itu menggeleng.
Tian Mong-pek tahu, sudah pasti kakek itu tak mau menyebutkan siapakah orang ini, maka diapun tidak bertanya lebih jauh.
Terbayang kisah yang dialami kakek itu dan keadaan yang menimpa dirinya sekarang, tanpa terasa pemuda itu jadi sedih.
"Aku tidak percaya dikolong langit sudah tak ada orang yang bisa menolongmu." Tiba tiba Ui Hau berteriak keras.
"Aaai, ada sih ada, Cuma harus mencarinya dimana?" kata kakek itu sambil menghela napas.
Seketika Tian Mong-pek merasa semangatnya bangkit.
"Siapa?" teriak Ui Hau pula.
Berkilat sorot mata kakek itu, sambil menatap tajam wajah Ui Hau, ujarnya: "Sekarang sudah ada satu orang, hanya orang yang satunya lagi susah ditemukan." Tergerak hati Tian Mong-pek, dia jadi teringat dengan ulah kakek itu sewaktu memandang telapak tangan Ui Hau, saat itu tiba tiba dia berbisik II dengan gemetar: "Ada.....
sudah ada satu . . . . .. Ingatan tersebut melintas lewat dalam benaknya, tak tahan serunya juga: "cianpwee mengatakan sudah ada satu orang, apakah Ui Hau, Ui toako yang kau maksud?" "Benar." Kakek itu mengangguk.
Ui Hau agak tertegun, buru buru serunya sambil goyangkan tangannya: "Keliru, keliru, biarpun aku punya tampang yang lumayan, sesungguhnya kemampuanku parah, mana mungkin bisa selamatkan lotiang?" Burung beo yang selama ini bertengger manja ditangan si kakek itu tiba tiba terbang ke udara, sambil melayang ke tangan Ui Hau, teriaknya: "Kau orangnya.....
kau orangnya . . . . .." Kembali kakek itu berkata lembut: "Pikiranmu tak bercabang, hatimu bersih ibarat sekeping pualam, asal kau berkonsentrasi, tidak kalut dalam menghadapi pelbagai masalah, maka biarpun kau tatap langsung mata lohu, namun sama sekali tak akan merasakan apa apa." "Hal semacam ini belum terhitung seberapa." "Benar, tapi yang paling penting adalah kau memiliki tujuh buah jari tangan, biarpun terhitung barang langka, namun hal semacam ini hanya bisa dijumpai dan tak mungkin bisa diharapkan." Sambil membelai burung beo ditangannya dan tertawa getir, ujar Ui Hau sembari menggeleng: "Apa gunanya berjari tujuh" Dua jari yang lebih hanya barang tak berguna." "Dalam pandanganmu mungkin barang tak berguna, tapi dalam pandangan lohu justru merupakan mustika tak ternilai harganya, tanpa kelebihan dua jari tangan ini, siapa pun tak bisa mengungguli Busur sakti empat senar." "Lotiang, perkataanmu makin lama semakin bikin aku bingung dan tak mengerti." "Busur bersenar empat dapat melepaskan empat batang panah sekaligus, dengan ke lima jari tangan manusia biasa, lima jari bisa menjepit empat panah, bila empat panah terpasang semua di senar maka dalam sekali bidikan, empat anak panah akan terlepas bersamaan, kecepatan serangannya begitu luar biasa, sampai ilmu panah berantai milik benteng keluarga Cay yang begitu tersohor pun masih belum mampu menandinginya.
"Lohu melakukan penelitian hampir belasan tahun lamanya sebelum dapat menciptakan ilmu Busur sakti empat senar dengan kemampuan lima jari menjepit empat panah, dimana Hong San-hoa berhasil mengalahkan semua jago dalam pertemuan akbar Hoa-tiau Tayhwee.
"Inilah alasan mengapa orang lain dengan ilmu memanah macam apapun, tak sanggup menjebol kepandaianku ini kecuali orang berjari tujuh seperti kau dan aku." Sekarang Ui Hau sudah sedikit paham, gumamnya: "Bagaimana pun, orang yang berjari tujuh memiliki dua jari lebih banyak daripada orang lain." "Memiliki dua jari lebih merupakan kunci dari semua masalah! Dan hanya orang yang memiliki tujuh jari baru bisa mencebol ilmu maha sakti itu.
"Kalau lima jari dapat menjepit empat anak panah, m aka tujuh jari dapat menjepit lima anak panah, hanya orang yang memiliki tujuh jari baru bisa memakinkan Busur lima senar ku, dan hanya Busur lima senar yang bisa menangkan ke empat anak panah dari Hong San-hoa." Terkejut bercampur girang, seru Ui Hau: "Tapi .
. . . .. tapi ke dua jari tambahan yang tumbuh di telapak tangan ku ini ibarat barang tak berguna, sama sekali tak bisa digunakan dengan luwes." Kakek itu menghela napas.
"Dengan hati dan pikiranmu yang bersih, lohu punya cara untuk melatih kau menggunakan ilmu tujuh jari menjepit panah dalam tiga bulan saja.
Hanya sayang kalau Cuma kau seorang masih tak ada gunanya." Setelah berhenti sejenak, lanjutnya: "Karena sumpah berat yang dipaksakan dua bersaudara Hong kepada lohu adalah harus menemukan seseorang yang memiliki ilmu memanah jauh melebihi dirinya, dengan begitu lohu baru bisa lolos dari kurungan ini.
"Tapi orang berjari tujuh sudah merupakan barang langka, apalagi orang yang berjari tujuh itu harus memiliki watak macam kau.
Lohu sangka, dalam kehidupan kali ini mustahil bisa menemukannya, siapa tahu aku justru berhasil menemukan dirimu." "Manusia macam apa pula yang kau butuhkan lagi?" tanya Tian Mong-pek tiba tiba.
orang tua itu tertawa getir.
"Sumpah berat itu memang merupakan persoalan pelik yang diciptakan dua bersaudara itu dengan segala muslihat, orang kedua yang disyaratkan sudah pasti lebih susah dan tak masuk akal." "Tak ada salahnya lotiang katakan." "Aaai, kalau ingin menemukan orang ini, kecuali anugerah dari Thian, rasanya mustahil, lebih baik tak usah kukatakan." "Siapa tahu hari ini Thian justru memberikan anugerahnya kepadamu!" teriak Tian Mong-pek.
Kakek itu termenung berapa saat, kemudian ujarnya sambil menghela napas: II "Pertama, orang itu harus kenal lohu .
. . . . . .. "Bukankah aku kenal dengan dirimu?" teriak Tian Mong-pek.
Kembali kakek itu tertawa getir.
"Baiklah, biar kubeberkan semua sumpah yang mereka tetapkan untukku, dengan begitu kau akan tahu kalau hal semacam ini nyaris mustahil.
Dua bersaudara itu paksa lohu angkat sumpah berat, yaitu lohu harus mencari lagi dua orang murid yang bisa menangkan mereka berdua.
Salah satu murid baru ini harus bertanding ilmu memanah melawan Hong San-hoa, untuk mencari manusia semacam ini nyaris lebih susah daripada mendaki langit, apalagi lohu tak mungkin mencari murid diluar hutan sana.
"Sedangkan orang kedua harus bertarung melawan Hong Ji-siong, orang itu harus kenal lohu, belum pernah angkat guru dan didalam tiga bulan sudah menguasahi ilmu silat yang bisa mengungguli dirinya, selain itu dia harus dapat menghiandari bidikan Busur sakti empat senar nya dan harus memiliki senjata mustika yang amat tajam." "Hanya itu syaratnya?" tanya Tian Mong-pek.
"Aaai, masih tidak cukupkah syarat itu?" si kakek menghela napas, "bayangkan saja, tidak banyak orang persilatan yang mengetahui asal usulku, kalau belum pernah berguru, darimana bisa kenal lohu, sedang lohu pernah bersumpah, tak akan menerima orang yang pernah berguru menjadi muridku.
"Kalau orang itu belum pernah berguru, bagaimana mungkin bisa mempelajari ilmu silat yang bisa merobohkan Hong Ji-siong hanya dalam tiga bulan" Sekalipun ada orang semacam ini, dia pun masih harus mampu menghindari bidikan Busur sakti empat senar.
"Ini dikarenakan sekali bidikan Busur sakti empat senar tidak mengena sasaran, maka selamanya tak akan bisa digunakan lagi.
"Bila dia mampu menghindar sekali, sepanjang hidupnya tak bakal menjumpai untuk kedua kalinya, dengan begitu disaat dia bertarung melawan Hong Ji-siong, Hong San-hoa tak akan mampu membantunya dari sisi arena.
"Kalau tidak begitu, sekalipun ilmu silatnya dapat mengungguli Hong Ji-siong, sulit juga baginya untuk pecahkan perhatian disaat bertarung, otomatis sulit baginya untuk menghindari bidikan maut Busur sakti empat senar.
"Bicara soal senjata mustika yang amat tajam, benda ini lebih lebih merupakan satu benda yang sulit didapat.
"Semua syarat yang mereka ajukan saling bertumbukan, urusan yang saling bertumbukan tak mungkin bisa diperoleh kalau bukan mukjijat, sekalipun ada manusia semacm ini, bagaimana mungkin bisa sampai di tempat ini?" Liong Hau-jin dan Lim Ciu-kiok saling bertukar pandangan sambil pikirnya: "Dua bersaudara Hong ini sungguh keji dan licik, masih mending bila mereka tidak ajukan syarat semacam ini, padahal apa yang mereka kemukakan nyaris merupakan hal yang mustahil.
Sepintas, orang tua itu seakan telah diberi harapan, tapi mereka justru ingin orang tua itu setiap hari II tersiksa oleh harapannya, tersiksa pada penantian yang mustahil .
. . . . . .. Tampak Tian Mong-pek termenung berapa saat, tiba tiba ujarnya dengan suara dalam: "Orang yang kau maksud, saat ini berada disini." "Siapa?" tanya si kakek dengan wajah berubah.
"Akulah orangnya!" Perkataan ini seketika membuat Liong Hau-jin serta Lim Ciu-kiok merasakan hatinya bergetar.
Paras muka si kakek yang semula tenang pun mulai timbul gejolak, tanyanya gemetar: "Apakah kau dapat memenuhi semua syarat yang dibutuhkan?" "Satu pun tak ada yang kurang." "Tapi.....
tapi..... bukankah kau murid kokcu lembah Kaisar?" Dengan nada bersungguh-sungguh sahut Tian Mong-pek" "Selama hidup belum pernah cayhe angkat guru, tapi hari ini bersedia menjadi murid cianpwee, apakah cianpwee bersedia menerima ku?" Tiba tiba air mata kegirangan meleleh keluar dari sepasang mata kakek itu.
Sambil menengadah memandang langit, jeritnya: "Thian .
. . . .. oooh Thian . . . . . .. mukjijat . . . . . .. mukjijat . . . . . . . .. setelah tiga puluh sembilan tahun menderita, akan berakhirkah hari ini?" Tian Mong-pek mengayunkan pedang hitamnya seraya berteriak lantang: "Pedang ini sanggup membelah emas memotong kumala, dalam hutan penyesat tadi, aku pun berhasil menghindari ke empat panah bidikan Busur sakti empat senar, aku yakin pedang baja dalam genggamanku ini, tak bakal kalah ditangan kawanan bajingan durjana itu." Walaupun tadi, dia masih belum tahu apakah panah yang dijumpai dalam hutan penyesat berasal dari Busur sakti empat senar atau bukan, tapi sekarang dia sudah percaya seratus persen.
Kawanan lelaki berbaju compang camping yang berada di belakang serentak bersorak sorai dengan gembira, bahkan ada yang berlutut dan berterima kasih atas kemukjijatan yang dilimpahkan Thian kepada mereka.
Dengan nada gemetar ujar kakek itu: "Tian.....
Tian Mong-pek, bersediakah kau mengasihani lohu, sekarang juga menjadi muridku?" Tanpa ragu Tian Mong-pek segera menjatuhkan diri berlutut.
Walaupun selama ini ada banyak jago tangguh yang bersedia menerima dia menjadi murid, tapi semuanya telah dia tolak mentah mentah.
Tapi sekarang, tanpa ragu dia bersedia menjadi murid seorang kakek yang sudah lumpuh bak barang tak berharga, dari sini dapat dilihat betapa besar jiwa pemuda ini.
Dikolong langit saat ini, kecuali Tian Mong-pek, siapa pula yang berani menampik tawaran begitu banyak jago lihay" Siapa pula yang rela menyerempet bahaya dengan mengangkat seorang kakek yang tak punya kemampuan untuk melindungi diri sebagai gurunya" Sorak sorai kawanan lelaki berbaju compang camping itu semakin keras dan nyaring.
Ui Hau pun ikut bersujud, ujarnya sambil tertawa nyaring: "Akupun akan mengangkat kau sebagai guruku, bisa menjadi adik seperguruan Tian Mong-pek, sudah jelas hal ini merupakan rejeki ku." Berlinang air mata kakek itu, tiba-tiba dia melepaskan kulit binatang yang menutupi badannya, kemudian ujarnya sambil tertawa sedih: "Muridku, coba lihat pedang saktimu, apakah mampu memutus rantai emas penembus tulang ini?" Ketika Tian Mong-pek mendongakkan kepalanya, terlihat seutas rantai emas berwarna hitam menembusi tulang bahu kakek itu dan tembus keluar disisi jalan darah Ki-hay-hiat, rantai yang membelenggu seluruh tulang belulang bagian atas kakek itu.
Dengan perasaan sedih pemuda itu mengayunkan pedangnya secepat kilat.
Diantara kilatan cahaya hitam, "Criiiing!" tahu tahu rantai emas hitam itu sudah terpapas hingga putus jadi dua.
Oo0ooo Empat puluh sembilan hari kemudian, kabut tebal masih menyelimuti seluruh hutan.
Biarpun para penghuni lingkaran kematian dalam hutan penyesat itu masih kurus kering karena kelaparan, namun perasaan hati mereka amat gembira.
Penderitaan dan siksaan yang membelenggunya selama tiga puluh sembilan tahun, akhirnya terpapas putus oleh sabetan pedang Tian Mong-pek.
Meskipun sebelum Tian Mong-pek dan Ui Hau bertarung melawan Busur sakti empat senar Hong bersaudara terselenggara, mereka belum bisa melangkah keluar dari lingkaran kematian, namun saat untuk meninggalkan tempat itu sudah berada di depan mata.
Kakek itu sudah dapat bergerak bebas, ini dikarenakan Tian Mong-pek masih memiliki ilmu maha sakti lain yang sama sekali diluar dugaan, ilmu Kun-lun-lak-yang-jiu.
Dengan mengerahkan tenaga Lak-yang-jiu, Tian Mong-pek berhasil mengusir keluar hawa dingin yang mengendon dalam tubuh kakek itu selama tiga puluh sembilan tahun, hal ini membuat si kakek yang harus duduk kaku hampir tiga puluh sembilan tahun, kini dapat merasakan kembali berjalan dan bergerak secara bebas.
Yang lebih membuat kakek itu tak mengira adalah dasar kemampuan Tian Mong-pek yang kuat, ilmu silat yang hebat, kecerdasan yang luar biasa serta keberanian yang tegar.
Kemampuan Ui Hau pun diluar dugaan si kakek, ternyata cukup dalam waktu empat puluh sembilan hari, ia berhasil menguasahi ilmu memanah Tujuh jari penjepit panah.
Empat puluh sembilan hari berselang, setiap persoalan membuat Tian Mong-pek dan Ui Hau terkejut bercampur keheranan, tapi empat puluh sembilan hari kemudian, kemampuan Tian Mong-pek dan Ui Hau yang membuat kakek itu terperanjat.
Matahari baru muncul dari ufuk timur, kakek itu duduk bersandar di sebuah bangku.
Akhirnya ia berkata: "Kalian boleh tinggalkan hutan ini lebih awal!" Dia tahu, Tian Mong-pek ingin sekali meninggalkan hutan itu secepatnya, sedang dia pun ingin secepatnya mengakhiri semua penderitaan yang dirasakan.
Sebab dia baru bisa tinggalkan hutan itu disaat Hong Ji-siong bersaudara sudah mengaku kalah.
"Kalian boleh tinggalkan hutan ini lebih awal!" Dia tahu, Tian Mong-pek ingin sekali meninggalkan hutan itu secepatnya, sedang dia pun ingin secepatnya mengakhiri semua penderitaan yang dirasakan.
Sebab dia baru bisa tinggalkan hutan itu disaat Hong Ji-siong bersaudara sudah mengaku kalah.
Begitu perkataannya diucapkan, sorak sorai gembira pun bergema gegap gempira.
Dengan penuh kegirangan, Tian Mong-pek dan Ui Hau segera bersujud.
Kembali kakek itu berkata dengan nada serius: "Setelah keluar dari hutan ini, setiap saat kalian akan menghadapi pertempuran yang menakutkan, dan hasil dari pertarungan itu masih merupakan tanda tanya besar.
"Khususnya Ui Hau, walaupun kau berhasil menguasahi kepandaianmu dalam empat puluh sembilan hari, tapi kesempurnaanmu masih jauh dibawah Hong San-hoa." Ui Hau termangu, agak sedih ujarnya: "Lantas .
. . . ..



lantas . . . . .. apakah kegembiraan ini bakal menjadi kegembiraan yang kosong" Tecu tidak bisa menerima keadaan seperti ini!" Kakek itu tersenyum, katanya: "Untung saja Hong San-hoa memiliki dua titik kelemah an yang mematikan.
"Sebetulnya dia memiliki kondisi tubuh yang lemah dan berumur pendek, sekalipun kemudian berhasil melatih diri, namun matanya tak kuat menahan sinar yang terang.
Setelah itu, sewaktu berlatih tenaga dalam, diapun mengalami Cau-hwe-jip-mo, meski sudah kutolong, tapi setiap tengah hari, disaat sinar matahari sangat terik, tenaga dalamnya bakal lenyap delapan puluh persen, oleh sebab itu bila ingin menantangnya bertarung, kau harus pilih disaat tengah hari tepat, arah yang dia hadapi haru s tepat menghadap sinar sang surya, dengan demikian baik dalam tenaga dalam maupun dalam ketajaman mata, dia akan berada jauh dibawahmu.
"Dalam keadaan begini, dengan kecepatan bidikan tujuh jari penjepit panah II mu, bisa jadi kau dapat mengunggulinya .
. . . . .. "Bagaimana kalau dia menolak bertarung tepat ditengah hari?" tanya Ui Hau.
"Dahulu, dia pernah berkata, waktu, tempat, arah untuk bertempur bisa ditentukan pihak lawan, karena dia tak pernah menyangka kalau di dunia ini bisa muncul kemukjijatan semacam ini." "Bagaimana kalau dia ingkari sumpahnya?" "Biarpun dua orang bersaudara ini kejam dan buas, namun belum pernah ingkar janji, kalau tidak, bukankah sejak dulu dia bisa ingkari sumpah dan membunuh aku?" Ui Hau menghela napas panjang.
"Kalau begitu, tecu sekalian mohon diri." "Setelah keluar dari hutan ini, tak selang berapa saat, dua bersaudara Hong bakal mencari kalian.
Saat itulah merupakan saat pertempuran penentuan, kalian berdua harus berhati hati, pergilah!" Biarpun penghuni lingkaran kematian kurus dan kelaparan, sang kuda justru bertambah gemuk.
Ini dikarenakan dalam hutan penuh tumbuh rerumputan, bahan ransum yang berlimpah untuk kuda itu.
Liong Hau-jin dan Lim Ciu-kok segera mengintil dibelakang kedua orang rekannya.
Sambil tertawa kembali kakek itu berkata: "Mulai sekarang, kecuali lohu, siapa pun boleh keluar tinggalkan hutan ini.
Dalam keadaan demikian, aku rasa dua bersaudar Hong sudah tak punya waktu lagi untuk mencelakai kalian, karena mereka harus persiapkan diri untuk menghadapi pertempuan penentu." Tapi kawanan lelaki berbaju compang camping itu rela menemaninya untuk mengusir kesepian.
Maka sambil tertawa tergelak seru si kakek: "Hahaha, kalau begitu, minta tolong Liong dan Lim berdua setelah keluar dari hutan, untuk menghantar makanan bagi kami semua." Tentu saja Liong Hau-jin mengiakan.
Pelana emas masih tergeletak disisi hutan, hanya saja karena dimakan waktu, warnanya yang semula kehitaman kini muncul warna kuning disana sini.
Tian Mong-pek serta Ui Hau meski tampak lebih dekil dan kumal, penampilannya sudah jauh lebih redup ketimbang penampilan mereka pada empat puluh sembilan hari berselang, namun hasil yang mereka raih sudah cukup untuk membayar kesemuanya ini.
Kejumawaan Tian Mong-pek, kini sudah jauh berkurang, sorot matanya yang tajam bagai sembilu, kini berubah jadi tenang, lembut tapi penuh dengan kepintaran.
Disaat dia berpamit kepada kakek itu, perasaan hatinya dipenuhi ketulusan dan hormat, jauh berbeda dengan perasaan hatinya disaat angkat guru dulu.
Dia belum pernah menyangka bakal mendapat begitu banyak dari orang tua itu, pun belum pernah punya pengharapan, oleh karena itu perasaan hatinya kini bukan lagi perasaan terharu dan terima kasih, melainkan perasaan hormat dan salut.
Oo0oo 


Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments