Selasa, 21 November 2017

Pendekar Remaja 3

baca juga
----
Lili diam-diam memuji ketajaman mata tosu itu, sedangkan Kam Seng menjadi terkejut dan memperhatikan
kipas di tangan Lili. Kipas itu gagangnya berwarna putih kekuningan seperti tulang. Ia dapat menduga
bahwa kalau kipas ini dipergunakan sebagai senjata, tentu gagang kipas itu terbuat dari pada gading yang
keras. Layar atau permukaan kipas entah terbuat dari apa, kekuningan pula akan tetapi telah digambari
gunung dan sungai dan ditulisi syair pula.
Ia masih merasa ragu-ragu. Bagaimanakah kipas sekecil itu akan dipergunakan sebagai senjata? Akan
tetapi karena suhu-nya telah menyuruhnya menyerang, ia lantas bergerak maju.
“Awas pedang!” teriaknya dan menyeranglah dia dengan gerak tipu Liu-seng Kan-goat (Bintang Mengejar
Bulan), sebuah gerak tipu serangan yang cukup berbahaya.
Laksana sebuah bintang, ujung pedang itu bergerak secara berantai dan dapat mengejar terus kemana
saja sasarannya bergerak. Kini yang dijadikan sasaran oleh pedangnya adalah pundak kanan Lili. Dengan
memilih sasaran pundak kanan, Kam Seng hendak menyatakan bahwa dia tidak berniat jahat atau hendak
menewaskan gadis itu. Dengan menyerang pundak, maka ia memberi banyak kesempatan kepada Lili
untuk mengelak.
Akan tetapi, ternyata Lili sama sekali tak mengelak, bahkan menanti datangnya serangan ini dengan
senyum mengejek. Kam Seng terkejut sekali. Betapa pun juga, dia tidak bisa membatalkan serangannya
karena hal ini akan membikin marah suhu-nya dan biar pun hanya pundak, kalau terkena pedangnya tentu
akan terluka hebat juga! Serangannya ini amat cepat dan dilakukan dengan tenaga lweekang sepenuhnya.
Pada waktu ujung pedang Kam Seng sudah berada dekat sekali dengan baju Lili yang menutup pundak,
tiba-tiba gadis itu yang masih saja mengipasi tubuhnya dengan kipas lalu mengubah gerakan kipasnya dan
kini dia mengebut ke arah pedang Kam Seng yang ujungnya sudah mendekati pundaknya.
Kam Seng hampir mengeluarkan seruan keras saking kagetnya. Gerakan dengan kipas di tangan yang
sangat sederhana namun luar biasa sekali, dibarengi penyerangan yang luar biasa pula. Sekaligus kipas
itu telah melakukan tiga gerakan yang luar biasa.
Permukaan kipas menangkis ujung pedang, lalu kebutannya mendatangkan angin yang menyambar
wajahnya sehingga membuat ia tak dapat membuka mata, dan gagang kipas dari gading itu cepat sekali
melakukan totokan berbahaya ke arah pergelangan tangan kanannya yang memegang pedang!
“Lihai sekali...!” terdengar Wi Kong Siansu berseru kagum. “Aku berani bertaruh bahwa ini tentulah Ilmu
Kipas Maut dari Swie Kiat Siansu!”
Sementara itu Kam Seng yang lincah gerakannya telah dapat melompat mundur dan wajahnya menjadi
pucat. Karena tadi memandang rendah hampir saja ia terkena totokan hanya dalam segebrakan saja.
Sedangkan Lili makin kagum mendengar ucapan Wi Kong Siansu yang ternyata dapat mengenal ilmu
silatnya demikian cepatnya.
Kam Seng berlaku hati-hati dan kini ia tidak berlaku sheji (sungkan) lagi. Ia mengerahkan kepandaiannya
dan menyerang dengan cepat, mempergunakan Ilmu Pedang Hek-kwi Kiam-sut, yaitu ilmu pedang ciptaan
Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu yang amat ganas dan selain kuat juga amat cepat gerakannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam Lili kagum juga melihat ilmu pedang ini. Sayang dia sudah berkumpul dengan orang-orang
jahat, pikirnya. Bila ia terus terdidik oleh orang baik-baik, tentu ilmu sitatnya akan amat berguna.
Sama sekali Lili tidak tahu bahwa sesungguhnya dasar ilmu silat Kam Seng ia dapat dari pendidikan Mokai
Nyo Tiang Le. Hanya ilmu pedangnya ini memang pelajaran dari Wi Kong Siansu. Agaknya pemuda ini
merasa malu untuk mengeluarkan ilmu silat yang dia pelajari dari Nyo Tiang Le guna menghadapi gadis ini.
Lili maklum bahwa ilmu kepandaian Kam Seng lebih baik dan lebih berbahaya dari pada Hok Ti Hwesio.
Perbedaan yang amat mencolok antara kedua orang ini ialah bahwa Hok Ti Hwesio mendasarkan
kepandaiannya untuk daya tahan, tubuhnya kebal, pertahanan pun kuat, bahkan batok kepalanya juga
dapat menahan pukulan maut.
Sebaliknya, Kam Seng mendasarkan kepandaiannya pada daya serang. Serangan yang dilancarkan
pemuda ini sangat berbahaya dan cepat, tidak memberi banyak kesempatan kepada lawan. Akan tetapi,
daya tahannya tidak sekuat Hok Ti Hwesio.
Ilmu Kipas Maut yang dia warisi dari Swie Kiat Siansu adalah semacam ilmu silat yang luar biasa sekali,
dan disebut ilmu silat San-sui San-hoat (Ilmu Kipas Gunung dan Air). Kipas yang dulu dipergunakan oleh
Swie Kiat Siansu adalah kipas yang layarnya terbuat dari pada kulit harimau, akan tetapi sebagai seorang
gadis, Lili tidak suka menggunakan kipas yang buruk rupa.
Ia sengaja membuat kipas yang kecil dan indah bentuknya, dengan layar dari kain tebal yang dilukisi dan
ditulisi syair. Dengan demkian, kipasnya ini tidak saja dapat digunakan untuk senjata, akan tetapi juga
dapat dipakai untuk pemantas dan untuk mencari angin sejuk. Lukisan di atas kipasnya ini indah sekali dan
syairnya ditulis sendiri oleh ayahnya, maka Lili merasa sayang sekali kepada kipas ini.
Dalam perkelahian menghadapi lawan, baru kali ini ia mempergunakan kipas ini, maka ia berlaku amat
hati-hati agar jangan sampai lukisan pada kipas itu menjadi rusak. Maka ia lalu menutup kipasnya, dan
hanya mempergunakan gagangnya saja untuk menghadapi Kam Seng.
Hal ini tidak saja memperlambat kemenangannya, bahkan membuat ia sukar sekali untuk menjatuhkan
lawannya. Kalau kipas itu dibuka, maka senjata istimewa ini menjadi tiga kali lipat lebih berbahaya, karena
gagangnya berubah menjadi dua pada kanan kiri yang keduanya dapat dipergunakan untuk menotok.
Permukaan kipas dapat digunakan untuk mengacaukan pandangan mata musuh, bahkan angin
kipasannya saja dapat membuat lawan menjadi bingung. Dengan menutup kipas itu, maka senjata ini
hanya merupakan sebuah gagang yang digerakkan untuk menangkis atau mengirim serangan totokan.
Sebelum berguru kepada Wi Kong Siansu, terlebih dahulu Kam Seng telah mendapatkan gemblengan dari
Mo-kai Nyo Tiang Le dan ia telah sering menderita sehingga ia menjadi tekun sekali melatih lweekang,
maka ilmu pedangnya kini sama sekali tak dapat dibilang rendah tingkatnya.
Kalau saja Lili tidak sayang kepada kipasnya dan melayaninya dengan kipas terbuka, maka dapat
dipastikan bahwa kurang dari dua puluh jurus saja Kam Seng akan sanggup dirobohkan olehnya. Akan
tetapi karena Lili menghadapinya dengan kipas tertutup, maka pertempuran berjalan sengit dan ramai
sekali.
Tetapi masih saja Lili selalu berada pada pihak penyerang, karena dengan pengertiannya akan dasar dan
pokok pergerakan ilmu silat, gadis ini dapat menduga gerakan-gerakan dan perkembangan serangan
lawan lantas dapat mendahuluinya. Berbeda dengan ketika melawan Hok Ti Hwesio, Lili tidak mau
mengejeknya dan tidak mau mempermainkannya pula, sebab di dalam hatinya tidak terkandung kebencian
terhadap Kam Seng, hanya ada penyesalan dan kekecewaan besar melihat pemuda itu tersesat.
Setelah bertempur hampir lima puluh jurus, perlahan akan tetapi pasti Lili mulai berhasil mendesak Kam
Seng. Pemuda ini merasa penasaran sekali, karena bagaimanakah Lili dapat berkelahi sedemikian kuatnya
dengan hanya bersenjatakan sebuah kipas kecil? Ia lalu mengerahkan ilmu silat yang ia pelajari dari Mokai
Nyo Tiang Le, akan tetapi sia-sia belaka. Kipas Lili betul-betul hebat sekali dan ujung gagang gading itu
selalu mengancam jalan darahnya.
Pada waktu pedangnya berkelebat membabat pinggang Lili dan dapat ditangkis oleh Lili yang
mementalkan gagang gadingnya kemudian membalas dengan totokan ke arah iga, terpaksa Kam Seng
harus menjatuhkan diri ke bawah dengan gerak tipu Harimau Lapar Mengintai Korban. Dengan amat
cepatnya, ia langsung menggerakkan pedang menyapu pergelangan kaki gadis itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Menghadapi serangan ini, Lili memperlihatkan kepandaiannya yang amat mengagumkan. Ia tidak
melompat ke atas untuk menyelamatkan kakinya, bahkan dengan berani dia lalu memapaki datangnya
pedang ini dengan gerakan kaki yang dinamakan gerak tipu Dewa Bumi Menginjak Ular.
Kaki kanannya dengan kecepatan luar biasa dan dari arah atas menyerong ke bawah dapat menyambut
permukaan pedang dan sambil meminjam tenaga serangan lawan, dia menekan dan menggerakkan
tenaga lweekang pada kakinya yang terus menindih dan menginjak pedang itu di atas tanah!
Kam Seng terkejut sekali. Dia cepat mengerahkan tenaga untuk membetot pedangnya, akan tetapi sia-sia
belaka. Pedangnya itu seakan-akan sudah terjepit dan tertindih oleh batu karang yang berat sekali
sehingga tidak dapat terlepas dari tindihan kaki Lili yang memandangnya sambil tersenyum! Kemudian,
gagang kipas gading di tangan Lili cepat menyambar turun, menotok ke arah pundak kanan Kam Seng.
Melihat datangnya totokan yang amat berbahaya ini, terpaksa pemuda itu melakukan hal yang
membuatnya mendapat malu dan yang sekaligus menyatakan kekalahannya. Yaitu dia melepaskan
gagang pedangnya dan menggulingkan tubuhnya ke belakang dengan gerakan Trenggiling Turun dari
Lereng! Dia dapat menghindarkan diri dari totokan, akan tetapi dia harus melepaskan pedangnya yang
berarti bahwa dia telah kalah!
Dengan muka merah dia melompat bangun dan berdiri menundukkan muka, akan tetapi diam-diam dia
amat mengagumi gadis puteri musuh besarnya itu.
“Hebat...! Hebat...!” kata Wi Kong Siansu sambil melangkah maju menghadapi Lili yang masih menginjak
pedang.
Sekali tosu tua ini mengebutkan ujung lengan bajunya, maka tubuhnya merendah dan ujung lengan baju
melibat gagang pedang itu bagaikan seekor ular. Lalu dia membetot keras akan tetapi mukanya tiba-tiba
menjadi merah ketika merasa bahwa pedang itu tak dapat terbetot dari injakan kaki Lili!
Dia terkejut dan diam-diam dia kagum sekali karena ternyata bahwa tenaga injakan itu betul-betul hebat. Ia
segera dapat menduga bahwa gadis ini tentu menggunakan tenaga Thian-san-cui, karena hanya dengan
ilmu pengerahan tenaga ini sajalah betotannya dapat tertahan.
Kakek ini tersenyum-senyum, kemudian berseru, “Lepas!”
Dia lalu mengerahkan tenaga Im-yang-cui. Tenaga betotannya kali ini bukanlah tenaga membetot semata,
sebab ujung bajunya itu membetot dengan tenaga terbalik, yaitu justru mendorong pedang itu ke depan,
kemudian di tengah-tengah dorongannya ini, barulah ia menarik keras. Inilah tenaga Im-yang-cui yang
sifatnya bertentangan, akan tetapi dapat dipergunakan dengan berbareng, maka kehebatannya pun luar
biasa sekali.
Lili maklum bahwa ia tidak dapat mempertahankan injakannya lagi, maka tiba-tiba saja ia melepaskan
tenaga injakannya sambil berbareng menekuk jari kakinya, yaitu ibu jari dan jari kedua, lalu jari-jari kakinya
itu menggunakan gerakan menyentik pedang itu!
Memang gadis ini selain nakal, juga mempunyai banyak akal dan lihai sekali. Biar pun jari kakinya
tersembunyi di dalam sepatu kain, dan tenaganya dapat berkurang karenanya, namun dia masih dapat
melakukan gerakan yang lihai ini. Pedang itu yang terbetot oleh ujung lengan baju Wi Kong Siansu,
ditambah dengan tenaga menyentik dari jari kaki Lili, tiba-tiba bergerak membalik dan seakan-akan terbang
menuju ke arah leher tosu itu!
Kini Wi Kong Siansu yang maklum akan demonstrasi yang diperlihatkan oleh gadis itu, tidak mau ‘kalah
muka’! Melihat datangnya pedang yang melayang ke arah lehernya, dia kemudian merendahkan tubuh dan
membuka mulutnya. Pedang itu dengan tepat sekali memasuki mulutnya dan tergigitlah ujung pedang itu
oleh gigi si kakek yang lihai!
Semua orang langsung memandang dengan melongo melihat betapa gagang pedang itu bergoyanggoyang
seakan-akan pedang itu telah menancap di batang pohon! Lili sendiri pun merasa amat kagum dan
terkejut karena makin maklum bahwa dia kini menghadapi seorang tosu yang berilmu tinggi sekali.
Dengan tenang Wi Kong Siansu mengambil pedang itu dari mulutnya, kemudian sambil tersenyum-senyum
dunia-kangouw.blogspot.com
kepada Lili dia pun berkata,
“Siancai... Sungguh seorang gadis yang lihai, cerdik, nakal dan tabah sekali! Nona, kau masih begini muda,
akan tetapi telah mewarisi kepandaian Pendekar Bodoh, bahkan kau sudah mewarisi kepandaian Swie Kiat
Siansu! Tak percuma kau menjadi puteri Pendekar Bodoh! Akan tetapi pinto (aku) tidak ingin bertanding
melawan seorang anak-anak seperti kau. Lebih baik kau pulang saja dan kalau memang kau ingin
mengacau rumah tangga kawan-kawanku, suruhlah ayahmu yang datang ke sini.”
“Totiang, kau bilang tidak ingin bertanding melawan aku, sebaliknya siapakah yang ingin bertempur dengan
kau? Telah kukatakan bahwa kedatanganku bukan hendak berurusan dengan kau, dan juga aku tidak
butuh sesuatu dari Kam Seng atau si kepala gundul itu! Aku hanya perlu mencari manusia busuk yang
bernama Bouw Hun Ti untuk kupenggal lehernya dan kubawa pulang kepalanya!”
Pada waktu itu, Bouw Hun Ti tidak berada di kelenteng itu. Bahkan dia tidak ada pula di dusun Tong-sinbun,
oleh karena orang she Bouw ini semenjak beberapa hari yang lalu telah pergi jauh ke utara.
Bouw Hun Ti memang seorang yang amat cerdik dan hati-hati. Biar pun ia telah berhasil mengundang
datang Wi Kong Siansu untuk memperkuat kedudukannya, namun ia masih berkhawatir juga. Sesudah
berunding dengan suhu-nya dan supek-nya itu dan mendapat persetujuan, ia lalu berangkat ke utara untuk
mengunjungi tiga orang sahabat baiknya yang berilmu tinggi, yaitu yang disebut Hailun Thai-lek Sam-kui
(Tiga Iblis Geledek dari Hailun).
Ketiga orang ini adalah orang-orang yang aneh dan sakti dan yang tinggal di Hailun, yaitu sebuah kota di
daerah Mancuria. Bouw Hun Ti mengunjungi mereka untuk membujuk mereka agar datang kemudian
bersama-sama menghancurkan Pendekar Bodoh beserta kawan-kawannya. Ia mempunyai harapan besar
untuk mendapat bantuan ketiga orang ini yang masih terhitung keluarga dari Panglima Mongol yang
bernama Balaki dan yang dulu tewas dalam perang ketika orang Mongol menyerbu ke selatan (baca cerita
Pendekar Bodoh).
Mendengar kata-kata Lili yang menyatakan hendak memenggal leher Bouw Hun Ti, Wi Kong Siansu lalu
tertawa.
“Ahh, sungguh kau sombong sekali, Nona. Belum tentu Bouw Hun Ti akan sedemikian mudahnya
menyerahkan lehernya untuk kau sembelih! Lagi pula, pada saat ini murid keponakanku itu tidak berada di
sini.”
“Bohong!” seru Lili marah. “Totiang, kau ingatlah. Walau pun aku tidak ingin bermusuhan dengan kau orang
tua, akan tetapi kalau engkau hendak menyembunyikan dan membela keparat Bouw Hun Ti, terpaksa aku
berlaku kurang ajar!”
Tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh dari dalam kelenteng, disusul dengan mengebulnya asap
hitam diikuti berkelebatnya tubuh seorang tua pendek gemuk yang berpakaian mewah. Ban Sai Cinjin telah
datang pula sambil membawa huncwe-nya yang mengebulkan asap hitam, tanda bahwa dia sudah siap
untuk bertempur! Bagaimanakah orang ini bisa datang ke kelenteng itu pada waktu malam gelap?
Sebagaimana sudah diceritakan di bagian depan, hampir semua rumah penginapan dan toko-toko besar di
dusun Tong-sin-bun adalah milik dari Ban Sai Cinjin. Demikian pula rumah penginapan di mana Lili
bermalam, adalah rumah penginapan orang tua ini pula.
Ketika menyaksikan kecantikan Lili, para pengurus hotel segera memberi laporan kepada Ban Sai Cinjin
yang mata keranjang dan rnemang berwatak sebagai bandot tua. Ia amat gembira mendengar bahwa di
hotel itu bermalam seorang gadis cantik jelita. Penuturan pengurus rumah penginapan itu bahwa gadis ini
nampaknya berkepandaian tinggi, malah membuat hatinya makin gembira.
“Ha-ha-ha! Inilah yang selama ini kucari-cari,” katanya. “Aku telah merasa bosan dengan gadis-gadis yang
lemah. Aku sudah bosan dengan bunga-bunga harum yang mudah layu dan rontok. Aku menghendaki
bunga hutan, bunga liar. Ha-ha-ha!”
Akan tetapi ketika dia mendengar bahwa gadis itu keluar dari kamar tanpa diketahui ke mana perginya, dan
ditunggu-tunggu belum juga kembali, maka mulai curigalah hati Ban Sai Cinjin. Di dusun sekecil Tong-sinbun,
orang dapat melancong ke manakah? Apa lagi seorang gadis muda!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia lalu teringat akan penuturan pengurus hotel bahwa gadis itu berkepandaian silat, dan karena Ban Sai
Cinjin merasa bahwa dia mempunyai banyak musuh yang mendendam sakit hati kepadanya, maka ia lalu
berlaku waspada.
Digantinya tembakau pada huncwe-nya dan ia lalu berlari cepat menuju ke kelenteng di tengah hutan itu.
Benar saja, dia melihat gadis cantik jelita itu sedang berada di dalam kelentengnya dan mengucapkan
ancaman terhadap muridnya Bouw Hun Ti.
Ia kemudian tertawa dan melompat masuk, dan sambil menyembunyikan rasa kagumnya menyaksikan
kecantikan yang luar biasa dari gadis itu ia berkata,
“Nona, kau mencari Bouw Hun Ti? Ha-ha-ha, muridku ini sedang pergi jauh. Biarlah aku mewakilinya
menyambutmu yang sudah datang dari tempat jauh. Kalau aku tahu, tentu kau tidak kuperbolehkan
mendiami kamar hotelku yang kecil itu, akan kusediakan kamar besar dan mewah di rumahku. Ha-ha-ha!”
Melihat munculnya orang tua itu, maklumlah Lili bahwa dia harus melawan mati-matian, karena dia tahu
akan kelihaian dan kejahatan Ban Sai Cinjin.
“Hemm, aku tahu siapa kau ini. Ban Sai Cinjin, aku memang datang untuk memenggal leher muridmu
Bouw Hun Ti, untuk membalas dendamku ketika aku terculik olehnya pada waktu aku masih kecil dan
terutama sekali untuk membalas dendam karena dia sudah membunuh kakekku, yaitu Yo Se Fu!”
“Mudah saja, mudah. Marilah kau ikut aku ke rumah, dan sementara menanti datangnya Bouw Hun Ti, kita
makan minum untuk menghormat kedatanganmu!”
Lili maklum bahwa orang tua ini mencari perkara. Menghadapi Ban Sai Cinjin tidak boleh gegabah, apa lagi
di situ terdapat Wi Kong Siansu yang menjadi suheng dari orang tua mewah ini, maka kalau tidak diserang,
lebih baik jangan mencari penyakit sendiri.
“Ban Sai Cinjin, kata-katamu sama hitamnya dengan tembakaumu yang berbau busuk! Siapa mau
meladeni orang seperti kau? Kalau Bouw Hun Ti si jahanam itu tidak berada di sini, sudahlah!” Ia lalu
menggerakkan kakinya hendak pergi dari situ.
Akan tetapi tiba-tiba Ban Sai Cinjin bergerak maju menghadang di tengah jalan.
“Ha-ha-hi-hi, enak saja kau mau pergi dari sini! Kau berani datang ke kelentengku tanpa kupanggil, dan
kau datang dengan maksud jahat, apakah aku harus membiarkan kau berlaku sesuka hatimu? Hendak
kulihat sampai di mana kelihaianmu maka kau berani membuka mulut besar hendak membunuh muridku.
Siapakah adanya kau yang sombong ini?”
“Suhu, dia adalah puteri dari Pendekar Bodoh dan tadi pun dia hampir saja membunuh teecu!” tiba-tiba
Hok Ti Hwesio berkata sambil menudingkan jarinya ke arah Lili dengan pandangan marah. Hwesio muda
ini ingin sekali suhu-nya membalaskan hinaan yang dia alami tadi.
Merah muka Ban Sai Cinjin mendengar ini. Apa bila gadis ini sudah dapat mengalahkan Hok Ti Hwesio, itu
tandanya bahwa kepandaian gadis ini tidak boleh dibuat gegabah. Dia menengok kepada Kam Seng dan
Wi Kong Siansu dengan heran.
“Ada Suheng dan Kam Seng di sini, bagaimana dia bisa mengganggu Hok Ti?”
Kam Seng buru-buru berkata, “Teecu juga sudah kena dikalahkan oleh Nona ini.”
“Hemm, hemm, lihai juga,” Ban Sai Cinjin mengangguk-angguk. “Baiknya Suheng belum turun tangan,
biarlah aku yang meringkus bocah ini!” Sambil berkata demikian, dengan gerakan yang tak terduga-duga,
Ban Sai Cinjin cepat mengulurkan tangan kirinya hendak menangkap pundak Lili.
Gadis itu segera mengelak dan menggunakan kipasnya yang masih dipegangnya untuk mengebut dan
menotok pergelangan tangan lawan yang diulur itu. Ban Sai Cinjin hanya tersenyum-senyum saja dan
sama sekali tidak mau mengelak. Kakek ini sudah memiliki kekebalan yang melebihi Hok Ti Hwesio
sehingga dia tidak takut akan segala totokan biasa saja.
“Awas, Sute!” seru Wi Kong Siansu yang maklum bahwa sute-nya memandang rendah kepada gadis muda
dunia-kangouw.blogspot.com
itu.
Akan tetapi sudah terlambat, karena ujung gagang kipas di tangan Lili dengan tepat telah menotok jalan
darah di pergelangan tangan Ban Sai Cinjin. Kakek ini cepat mengerahkan kekebalannya, akan tetapi dia
segera menjerit karena kaget dan kesakitan, dan alangkah terkejutnya ketika ia merasa betapa lengan
kirinya menjadi lumpuh!
Bukan main hebatnya totokan yang tadi dilancarkan oleh kipas Lili ini, sehingga dia dapat mematahkan
kekebalan Ban Sai Cinjin dan masih dapat menembusi kulit tebal itu untuk mencari sasarannya.
Sambil berseru keras, Ban Sai Cinjin melompat ke belakang dan cepat dia menggunakan tangan kanannya
untuk mengetok kemudian mengurut lengan kirinya, dan dengan cepat dia dapat membebaskan lengan
kirinya dari pengaruh totokan yang lihai itu!
Lili juga terkejut dan kagum sekali. Totokannya tadi berbahaya dan dapat menewaskan seorang lawan,
akan tetapi kakek itu tidak menjadi roboh dan bahkan dapat memulihkan kembali jalan darahnya dengan
cepat.
“Kurang ajar!” teriak Ban Sai Cinjin dengan marah sekali sehingga mukanya yang merah itu berubah
menjadi pucat sekali. “Kau ganas dan liar, harus mampus di tanganku!”
Cepat seperti harimau menerkam ia lalu menubruk maju dan menggerakkan huncwe-nya mengetok kepala
Lili dengan gerakan yang cepat sekali. Lili tak mau berlaku lambat dan mendadak nampak sinar terang
berkelebat menyilaukan mata ketika gadis ini mencabut pedangnya, yaitu Liong-coan-kiam pemberian
ayahnya!
“Tranggg…!”
Terdengar bunyi keras ketika huncwe itu beradu dengan pedang dan bunga api berpijar indah.
Ilmu silat Ban Sai Cinjin benar-benar hebat, ganas dan kuat sekali. Huncwe di tangannya menyambarnyambar,
diliputi uap hitam yang menyeramkan dan berbau tak enak sekali.
Akan tetapi, pedang Liong-coan-kiam di tangan Lili bergerak-gerak dengan indahnya pula. Sedikit pun
huncwe lawannya tidak dapat mendekati tubuhnya, karena ke mana saja huncwe itu berkelebat, selalu
terhalang oleh sinar pedang yang agaknya secara otomatis mengikuti gerakan lawannya. Tubuh gadis itu
ketika bersilat pedang bergerak dengan lincah dan indah bagaikan orang sedang menari, begitu lemah
gemulai, namun demikian kuatnya. Benar-benar mengagumkan!
Dan kini Wi Kong Siansu sendiri memandang dengan mata terbelalak, bukan saja saking kagumnya, akan
tetapi juga karena heran dan bingung. Belum pernah dia menyaksikan ilmu pedang yang sehebat dan
seaneh ini!
Inilah ilmu pedang Liong-cu Kiam-sut ciptaan Pendekar Bodoh. Ilmu pedang Liong-cu Kiam-sut ini
berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, ilmu pedang sederhana yang aneh dan lihai sekali yang diciptakan
oleh Sie Cin Hai Si Pendekar Bodoh (baca cerita Pendekar Bodoh).
Oleh karena ilmu pedang ini ciptaan ayah Lili sendiri dan tidak pernah diturunkan kepada orang lain, tentu
saja ilmu pedang ini jarang sekali terlihat di dunia persilatan, berbeda dengan ilmu-ilmu pedang dari
cabang persilatan besar seperti Gobi Kiam-hoat, Kun-lun Kiam-hoat, dan lain-lain yang banyak dimainkan
oleh para muridnya.
Kalau melihat Lili sedang mainkan pedang ini, agaknya ia lebih mahir dari pada ayahnya sendiri, yaitu
dalam hal kelincahan serta keindahan gerakan. Akan tetapi, sesungguhnya tentu saja ia tak dapat
menandingi ayahnya, terutama sekali dalam kematangan gerakan dan pengalaman pertempuran.
Kini menghadapi seorang lawan berat seperti Ban Sai Cinjin, meski pun ilmu pedangnya berhasil
membingungkan lawan dan membuat huncwe maut di tangan Ban Sai Cinjin tak banyak berhasil, namun
pertempuran ini membuat gadis itu menjadi letih sekali. Tiap kali senjatanya beradu dengan senjata lawan,
dia langsung merasa urat-uratnya tergetar dan pertempuran kali ini telah memaksa dia mengerahkan
seluruh kepandaian dan tenaga.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia memang tak usah khawatir akan terkena senjata lawan, akan tetapi sebaliknya, sukar pula baginya
untuk dapat merobohkan lawan tangguh ini. Huncwe itu benar-benar lihai sekali dan memiliki gerakan yang
serba aneh dan tak terduga.
Ban Sai Cinjin menjadi gemas dan marah luar biasa. Perasaan ini timbul dari rasa malu dan penasaran.
Benar-benarkah dia, Ban Sai Cinjin, Si Huncwe Maut dan juga Si Golok Malaikat, orang yang sudah
puluhan tahun malang-melintang di kalangan kang-ouw dan jarang sekali menemui tandingan, sekarang
tidak berdaya merobohkan seorang bocah yang belum ada dua puluh tahun usianya? Dan seorang bocah
perempuan pula, yang berkulit halus, bermata bintang, berbibir merah semringah, dan nampak lemah?
Jarang ada seorang lawan, seorang kang-ouw yang bagaimana tangguhnya pun, mampu melawan
huncwe-nya sampai lebih dari dua puluh jurus. Akan tetapi gadis manis ini telah melawannya sampai lima
puluh jurus dan sedikit pun dia belum dapat menjatuhkannya!
“Bangsat perempuan, kau harus mampus!” mendadak Ban Sai Cinjin berseru marah dan kini tangan kirinya
yang tadi tidak ikut menyerang, lalu dikepal-kepal dan kepalan tangan itu tak lama kemudian berubah
menjadi kemerah-merahan!
Thio Kam Seng atau lebih benar Song Kam Seng, terkejut sekali melihat kepalan tangan susiok-nya ini.
Celaka, pikirnya, kini Lili berada di pinggir jurang maut! Ia maklum bahwa kalau kepalan tangan kiri Ban Sai
Cinjin sudah menjadi kemerah-merahan, itu tandanya bahwa kakek ini telah mengerahkan tenaga Ang-tokjiu
(Tangan Merah Beracun)! Jangan kata sampai terkena pukul, baru tersambar oleh angin pukulan tangan
Ang-tok-jiu ini saja, lawan dapat roboh menderita luka hebat yang dapat membawanya ke lubang kubur!
Harus diakui bahwa Lili adalah seorang gadis yang boleh dikata pengalamannya dalam hal pertempuran
masih hijau dan jarang sekali dia bertempur menghadapi tokoh-tokoh kang-ouw seperti Ban Sai Cinjin.
Akan tetapi, dia adalah puteri dari sepasang suami isteri pendekar besar.
Ayahnya, Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh, adalah seorang ahli silat yang sangat jarang tandingannya,
sedangkan ibunya, Kwee Lin atau Lin Lin, juga memiliki kepandaian yang amat tinggi. Lebih-lebih lagi
karena baik ayah mau pun ibunya telah mempunyai banyak sekali pengalaman pertempuran dan terutama
sekali ayahnya sudah sering menghadapi akal-akal serta ilmu-ilmu jahat dan kejam yang dimiliki oleh
golongan hek-to (jalan hitam, penjahat). Karena itu sering kali gadis ini didongengi oleh ayah bundanya,
termasuk juga tentang Ang-se-jiu (Tangan Pasir Merah) dan Ang-tok-jiu yang sudah pernah dia dengar dari
ayahnya.
Ia tidak mengira bahwa kakek ini memiliki ilmu yang jahat ini pula, maka setelah melihat kepalan tangan kiri
Ban Sai Cinjin berubah merah, cepat ia menyelipkan kipasnya di saku bajunya dan ia pun segera
menggerak-gerakkan tangan kirinya lalu mengerahkan tenaga sinkang-nya, bergerak-gerak ke kanan kiri
hingga tak lama kemudian dari seluruh lengan kirinya mengebullah uap putih. Inilah Ilmu Silat Pek-in Hoatsut,
yakni ilmu turunan dari sucouw-nya (kakek guru) yang bernama Bu Pun Su!
Pada waktu huncwe Ban Sai Cinjin melayang ke arah pelipisnya, dia menangkis dengan pedangnya dan
secepat kilat Ban Sai Cinjin menonjok ke arah dadanya dengan tangan kiri yang mengandung tenaga
Racun Merah itu! Angin pukulan itu sudah terlebih dahulu menyambar, namun dengan tenang akan tetapi
waspada dan cepat sekali Lili kemudian menangkis pula dengan tangan kiri.
Hebat sekali tenaga pukulan Ang-tok-jiu dan tenaga tangkisan Pek-in Hoat-sut ini. Orang tidak melihat dua
lengan tangan itu beradu, akan tetapi tubuh kedua orang itu terpental mundur sampai dua tindak ke
belakang!
Ban Sai Cinjin menjadi pucat saking kagetnya melihat betapa gadis muda itu sanggup menangkis pukulan
mautnya sedemikian lihainya. Sedangkan Lili juga terkejut sekali dan buru-buru dia mengerahkan tenaga
dalam dan mengatur napasnya ketika merasa betapa seluruh urat pada tangan kirinya terasa kesemutan!
Ini adalah tanda bahwa betapa pun hebatnya ilmu silat Pek-in-hoat-sut, akan tetapi dalam hal tenaga
dalam, dia masih kalah terhadap kakek ini.
Pengalaman ini membuat dia berlaku hati-hati sekali. Berkali-kali Ban Sai Cinjin kembali melancarkan
serangan dengan pukulan Ang-tok-jiu, karena kakek ini pun maklum bahwa dia masih menang tenaga
sehingga apa bila dia menyerang bertubi-tubi, ada harapan dia akan melukai gadis itu.
Akan tetapi kini Lili menangkis dengan cerdik sekali. Ia menggunakan tangkisan dari ilmu pukulan Pek-in
dunia-kangouw.blogspot.com
Hoat-sut dari samping, dengan cara menyampok tenaga serangan lawan dari samping, tidak mengadu
tenaga seperti tadi. Oleh karena ini, selalu apa bila pukulan Ang-tok-jiu datang, dia tidak perlu mengadu
tenaga dan hanya menyampok dari samping sambil mengelak saja. Dengan cara demikian, maka tenaga
pukulan lawan yang hebat itu tidak langsung datangnya dan tidak demikian telak menghantamnya.
Wi Kong Siansu makin kagum saja, demikian pula Ban Sai Cinjin diam-diam juga kagum sekali kepada
puteri Pendekar Bodoh ini. Tadinya ia tidak ingin menggunakan kelicikan dalam pertempuran ini, karena ia
segan untuk merobohkan lawannya yang masih muda dan wanita pula ini dengan ilmu hitam. Namun,
karena tahu bahwa ia tidak mudah dapat merobohkannya, dan hal ini akan lebih memalukannya lagi, tibatiba
dia lalu menyedot huncwe-nya dan sekali dia berseru keras, dari mulutnya menyembur keluar asap
hitam yang amat berbahaya menuju ke muka Lili!
Gadis itu terkejut sekali. Sungguh pun asap itu masih jauh dari mukanya, namun ia telah mencium baunya
yang amat memuakkannya. Ia cepat melempar tubuhnya ke belakang, melakukan gerakan Burung Walet
Pulang ke Sarang membuat gerakan poksai (salto) sampai tiga kali dan turun beberapa tombak jauhnya
dari lawannya.
Ban Sai Cinjin tertawa bergelak. Ia maklum bahwa lawannya takut kepadanya, maka ia berseru, “Nona
manis, kau hendak lari ke mana?”
Lalu dia menyedot huncwe-nya pula dan kesempatan itu dia pergunakan untuk membuka kantong
tembakau yang tergantung pada huncwe-nya lalu mengisi kembali mulut huncwe itu dengan tembakau
baru. Ia sudah mengambil keputusan untuk merobohkan lawannya dengan asap mautnya!
Lili maklum bahwa sungguh pun hawa Pek-in Hoat-sut dari tangan kirinya akan dapat menolak asap hitam
itu buyar terkena hawa Pek-in Hoat-sut, asap yang ringan itu masih akan dapat menyerangnya. Asap
macam ini tidak menyerangnya mengandalkan tenaga tiupan, melainkan mengandalkan kejahatan racun
yang dikandungnya.
Karena itu ia segera melepaskan tenaga Pek-in Hoat-sut dari lengan kirinya dan sebagai gantinya, dia
cepat mengeluarkan kipasnya. Sekali dia menggerakkan jari tangan kirinya, kipasnya ini telah terkembang
dan dipegangnya seperti hendak mengipas tubuhnya.
Ban Sai Cinjin belum tahu bahwa gadis ini sudah mewarisi Ilmu Silat San-sui San-hoat (Ilmu Kipas Bukit
dan Air) yang lihai dari Swie Kiat Siansu, maka tanpa memperhatikan kipas ini, dia lalu menyerbu lagi
dengan sekaligus mengeluarkan tiga serangan. Tangan kirinya memukul dengan Ang-tok-jiu, tangan
kanannya menggerakkan huncwe menotok leher, dan dari mulutnya menyembur asap yang hitam dan
tebal ke arah muka lawannya!
Lili merasa girang saat melihat lawannya tidak memperhatikan kipasnya, dan gadis yang cerdik ini lantas
mengambil keputusan untuk merobohkan lawannya yang sangat lihai ini. Dia menanti datangnya serangan
dengan amat tenang dan sengaja berlaku agak lambat untuk menarik perhatian lawan.
Untuk menghindarkan diri dari tiga serangan itu, dia mempergunakan ginkang-nya (ilmu meringankan
tubuh) yang luar biasa, berkelit ke kanan sambil merendahkan tubuh sebab dia maklum bahwa asap hitam
itu tidak akan turun ke bawah. Ia sengaja menanti untuk memancing lawannya.
Benar saja, melihat keadaan gadis yang agaknya lambat gerakannya ini, Ban Sai Cinjin menjadi girang dan
mengira bahwa gadis itu telah terkena racun asap hitamnya, maka ia melanjutkan serangan dengan
mencengkeram ke bawah sambil mengayun huncwe-nya. Akan tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba kipas di
tangan kiri Lili dikebutkan ke arah uap hitam yang tebal tadi sehingga uap itu melayang ke arah muka Ban
Sai Cinjin!
Tentu saja sebelumnya Ban Sai Cinjin telah menggunakan obat penawar untuk menolak pengaruh asap
hitam dari huncwe-nya sendiri sehingga serangan asap yang membalik ke mukanya ini tidak
membahayakannya sama sekali. Akan tetapi bukan itulah kehendak Lili. Kebutan kipasnya ini bermaksud
membuat asap hitam itu menutupi pandang mata lawannya dan maksudnya ini memang berhasil baik.
Betapa pun juga, Ban Sai Cinjin tak berani menghadapi racun asap tembakaunya sendiri dengan mata
terbuka.
Untuk sesaat sambil meniup ke arah asap itu dia meramkan matanya dan dengan tidak terduga-duga
sekali, tiba-tiba saja ia merasa pangkal lengan kirinya sakit sekali! Ternyata bahwa tadi pada waktu ia
dunia-kangouw.blogspot.com
sedang menghadapi asap yang membalik itu, secepat kilat Lili mengelak dari serangan kedua tangannya,
bergerak sambil menggeser kakinya ke kanan dan dari samping dia segera mengirim totokan dengan
kipasnya yang dapat tepat sekali mengenai pangkal lengan kiri lawannya!
Tubuh Ban Sai Cinjin terhuyung ke belakang dan tiba-tiba dia merasa datangnya angin dingin ke arah leher
dan lambungnya! Ia maklum akan bahaya maut itu. Ternyata bahwa lambungnya sudah diserang oleh
pedang Liong-coan-kiam dengan gerakan Lutung Sakti Memetik Buah sedangkan lehernya telah diserang
oleh sepasang gagang kipas dengan gerakan Gunung Thian-san Menimpa Kepala!
Ban Sai Cinjin mengeluarkan keringat dingin dan cepat dia menjatuhkan diri ke belakang. Akan tetapi
gerakan kipas ke arah lehernya itu luar biasa cepatnya.
“Krekk!” terdengar suara dan pundaknya masih terkena gagang kipas itu.
Ban Sai Cinjin menjerit dan maklum bahwa sambungan tulang pundaknya telah terlepas! Lili tidak mau
memberi hati dan terus mendesak dengan serangan yang lebih hebat lagi. Agaknya tak lama lagi nyawa
Ban Sai Cinjin terpaksa akan meninggalkan raganya.
Akan tetapi, tentu saja Wi Kong Siansu tidak mau tinggal diam melihat sute-nya terancam bahaya maut.
Cepat bagaikan seekor burung gagak menyambar bangkai, dia melompat ke belakang gadis itu dan
mengirim serangan dengan kebutan ujung lengan bajunya!
Lili sedang mengerahkan seluruh tenaga serta perhatiannya untuk menewaskan kakek mewah yang
dibencinya itu. Sungguh pun dia mendengar angin pukulan Wi Kong Siansu dari belakang dan mencoba
untuk mengelak, dia tetap terlambat.
Gerakan Wi Kong Siansu luar biasa cepatnya dan tahu-tahu jalan darah kim-to-hiat di punggungnya telah
kena tertotok oleh ujung lengan baju tosu itu. Lili mengeluh perlahan, kipas dan pedangnya terlepas dari
pegangan dan tubuhnya dengan lemas tak berdaya langsung terkulai ke atas lantai!
Ban Sai Cinjin dengan meringis-ringis sudah dapat bangun kembali dan melihat keadaan Lili yang sudah
roboh oleh suheng-nya, ia masih dapat tertawa terbahak-bahak. “Bagus, Suheng, bagus! Kau telah dapat
merobohkan kuda betina liar ini!”
Matanya berkilat penuh dendam terhadap Lili, kemudian perlahan-lahan ia bergerak maju menghampiri
gadis muda itu. Lili masih dapat memandang lawannya ini dan pikirannya masih berjalan terang, akan
tetapi seluruh tubuhnya sudah lemas tidak dapat digerakkan lagi.
Gadis ini maklum akan bahaya yang akan menimpa dirinya, dan sinar ketakutan segera terbayang pada
matanya. Gadis ini tidak takut akan mati, akan tetapi ia maklum bahwa terjatuh ke dalam tangan manusia
iblis seperti Ban Sai Cinjin ini, tentulah nasibnya akan jauh lebih mengerikan dari pada kematian!
Akan tetapi, pada saat itu tiba-tiba bayangan tubuh Kam Seng berkelebat dan pemuda ini tahu-tahu telah
mendahului Ban Sai Cinjin menyambar tubuh Lili yang terus dipeluk dan dipondongnya!
“Kam Seng! Kau lepaskan dia!” Ban Sai Cinjin berseru keras dengan mata melotot.
Kam Seng memandang kepada susiok-nya. Hatinya bimbang ragu. Di lubuk hatinya ada perasaan cinta
yang besar terhadap gadis ini, sungguh pun perasaan itu tertutup kabut kebenciannya karena kenyataan
bahwa gadis ini adalah puteri Pendekar Bodoh, musuh besarnya! Jika gadis jelita ini harus mati, maka
dialah yang berhak membunuhnya, bukan orang lain. Apa lagi dia merasa ngeri dan jijik memikirkan nasib
gadis jelita ini di tangan susiok-nya. Maka ia lalu memandang kepada suhu-nya dan berkata,
“Suhu, maukah Suhu memberikan puteri musuhku ini kepada teecu?”
Wi Kong Siansu adalah seorang kakek yang tajam pandangan matanya. Karena sudah berpengalaman,
dia dapat merasa bahwa muridnya yang tersayang tentu jatuh hati dan tertarik oleh kecantikan gadis ini.
Sebaliknya, dIa pun dapat melihat sinar mata dahsyat dari mata sute-nya, maka dia lalu berkata kepada
sute-nya,
“Sute, berikan gadis ini kepada Kam Seng. Kau tentu masih ingat bahwa ayah gadis ini adalah musuh
besar dari Kam Seng dan biarkanlah dia melepaskan rasa sakit hati dan dendamnya kepada puteri musuh
dunia-kangouw.blogspot.com
besarnya!”
Ban Sai Cinjin memandang marah, akan tetapi ia lalu tertawa.
“Baik, baik, Suheng. Kau yang meronohkannya, maka kau pula yang berhak menentukan nasibnya. Akan
tetapi awaslah kalau gadis ini sampai terlepas, Kam Seng. Dia lihai sekali dan kau tak akan dapat
menguasainya!”
Wi Kong Siansu juga tertawa. “Sute, kau sudah tua. Kam Seng lebih muda, maka kau tentu tahu akan
kehendak hatinya melihat gadis cantik ini. Biarkanlah dia melampiaskan dendamnya dan biar dia pula yang
menghabiskan nyawa musuhnya ini. Hati-hati, Kam Seng, jangan sampai dia terlepas!”
Hok Ti Hwesio juga berkata kepada Kam Seng sambil menyeringai, “Sute, bila kau sudah selesai dengan
dia, berikanlah kepadaku. Aku perlu jantungnya untuk obat!”
Kemudian hwesio ini berjalan masuk ke kelenteng. Sambil tertawa-tawa Ban Sai Cinjin juga berjalan masuk
untuk mengobati lukanya.
Ong Tek, putera pangeran yang semenjak tadi menyaksikan segala peristiwa ini dengan dada berdebar
dan muka pucat, lalu ikut pergi pula ke dalam kamarnya sambil menarik tangan Tan-kauwsu. Kini Wi Kong
Siansu tinggal berdua dengan Kam Seng yang masih memondong tubuh Lili yang lemas.
“Muridku, kau tentu mencinta gadis ini, bukan?”
Bukan main terkejutnya hati pemuda itu mendengar ucapan suhu-nya. Untuk beberapa lama dia tidak mau
dan tidak dapat menjawab, akan tetapi akhirnya dia menjawab juga dengan suara perlahan,
“Suhu lebih waspada dan awas. Sesungguhnya, sakit hati teecu terhadap ayah gadis ini amat besar,
karena itu teecu hendak menjadikannya sebagai isteri di luar kehendaknya atau pun kehendak orang
tuanya. Hal ini akan dapat teecu pergunakan untuk membalas penghinaan dan sakit hati, jika tak terkabul
cita-cita teecu untuk menewaskan Pendekar Bodoh.”
Wi Kong Siansu menggeleng-geleng kepalanya. “Salah... salah..., muridku. Aku mengerti akan maksudmu,
akan tetapi apa kau kira akan mudah saja menjadikan gadis ini sebagai sekutu kita? Biar pun kau dapat
memaksanya menjadi isterimu, akan tetapi apa kau kira dia akan tunduk begitu saja? Kau jangan
memandang rendah gadis ini. Dia benar-benar lihai sekali. Lebih baik kau tamatkan saja riwayatnya
supaya kelak kita tidak mengalami gangguan dari padanya.”
Tosu ini membicarakan tentang mati hidup seorang gadis bagaikan bicara tentang seekor domba saja!
Memang, bagi Wi Kong Siansu, urusan-urusan dunia sudah tidak masuk hitungan pula, dan mati hidup
baginya hanya urusan kecil.
“Akan teecu pikir-pikir dulu, Suhu,” kata Kam Seng dan dia lalu membawa Lili ke dalam kamarnya. Di
ruangan dalam, dia bertemu dengan Ong Tek yang menghadangnya dan pemuda tanggung ini berkata,
“Suheng... hendak kau apakan gadis ini?”
Wajah Kam Seng berubah merah. “Kau tak usah tahu, Sute. Kau masih kecil dan belum tahu urusan.
Gadis ini adalah musuh besarku, ayahnya dulu telah membunuh ayahku.”
“Ah...!” hanya demikian seruan Ong Tek yang segera berlari kembali ke dalam kamarnya. Akan tetapi
sebelum memasuki kamarnya dia merasa pundaknya dipegang orang. Ketika dia menengok ternyata Hok
Ti Hwesio yang memegangnya.
“Ong-sute, jangan kau turut campur dengan urusan itu. Seng-sute sedang berpesta-pora, ia mendapat
keuntungan besar, mendapat hadiah seorang bidadari jelita. Kau tentu tidak tahu...! Ha-ha-ha!”
“Tidak... tidak!” Ong Tek menjadi pucat dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Suheng, besok pagi juga
aku akan pergi dari sini. Aku mau pulang saja ke kota raja! Tak tertahan olehku semua kejadian yang
mengerikan ini. Tidak kusangka sama sekali bahwa kalian demikian... demikian...”
“Apa maksudmu, Sute?” Hok Ti Hwesio memandang tajam.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mengapa kalian bisa begitu kejam terhadap seorang gadis seperti dia?” Sambil berkata demikian, Ong
Tek lalu melompat ke dalam kamarnya, kemudian menutupkan pintunya keras-keras. Terdengar dia
menangis dan berkata-kata dengan Tan-kauwsu utusan dari kota raja itu.
Hok Ti Hwesio termenung sambil mengerutkan jidat. Kemudian dia lalu mencari suhu dan supek-nya untuk
menceritakan sikap dari putera pangeran ini.
Sementara itu, dengan dada berdebar keras, Kam Seng memondong tubuh Lili ke dalam kamarnya, lalu
menutup daun pintu dan melemparkan tubuh Lili ke atas pembaringannya. Gadis itu terbanting ke atas
pembaringan dengan tubuh lemas dan rebah telentang tak berdaya. Hanya sepasang matanya saja yang
masih bertenaga dan kini ditujukan kepada Kam Seng dengan tajam berapi-api!
Ia telah mendengar semua percakapan tadi dan tahu akan maksud pemuda ini. Yang membuatnya
terheran-heran adalah ketika mendengar bahwa Kam Seng adalah musuh besar Pendekar Bodoh, bahwa
ayahnya sudah membunuh ayah pemuda ini! Sungguh-sungguh mengherankan, akan tetapi keheranannya
ini tersapu habis oleh kebenciannya terhadap pemuda ini.
Dia maklum bahwa dia tidak berdaya sama sekali. Telah dicobanya untuk membebaskan diri dari pada
totokan Wi Kong Siansu, akan tetapi sia-sia saja. Dia maklum dengan hati penuh kengerian bahwa dia
telah berada di dalam tangan Kam Seng dan tak akan dapat melawan sedikit pun juga.
Akan tetapi masih ada semangat di dalam hatinya yang tidak karuan rasanya itu, yaitu semangat untuk
membalas dendam. Biarlah, pikirnya, dan tunggulah saja! Apa bila aku sampai lepas dari pada totokan ini,
akan kuhancurkan kepalamu hingga menjadi bubur!
Sementara itu Kam Seng duduk menghadapi Lili dengan wajah sebentar merah sebentar pucat. Ia
menatap wajah dan tubuh Lili tanpa berkedip. Seribu satu macam pikiran kini teraduk di dalam hatinya.
Pikirannya menjadi pening.
Berkali-kali dia sudah mengulurkan tangan hendak meraba muka gadis, itu, akan tetapi selalu ditariknya
kembali. Pandangan mata Lili yang bagaikan dua cahaya api itu terasa menusuk matanya. Hatinya penuh
gairah kalau ia melihat wajah yang manis hidung yang kecil bangir, apa lagi bibir yang luar biasa indah dan
manisnya itu. Akan tetapi sepasang mata Lili merupakan dua pedang mustika yang membuat dia
senantiasa tak enak pikiran.
“Dia musuh besarku!” demikian bisik hatinya. “Aku boleh membunuhnya, menghinanya! Ayahku dulu juga
terbunuh oleh ayahnya!”
“Akan tetapi ia dan Sin-kai Lo Sian pernah menolongku!” bisik suara lain di hatinya. “Dan aku... aku cinta
kepadanya. Dan alangkah baiknya kalau dia bisa menjadi isteriku untuk selamanya!”
“Sekarang pun kau bisa mengambilnya menjadi isterimu!” bisik suara pertama.
“Siapa tahu kalau ia akan dapat tunduk terhadapmu dan membalas cintamu. Setidaknya malam ini kau
akan menjadi suaminya!”
Terdorong oleh bisikan ini, Kam Seng mengulurkan tangan kanan. Untuk beberapa lama jari-jari tangannya
membelai-belai rambut Lili yang halus. Belaian ini penuh dengan kasih sayang, akan tetapi mendadak dia
menarik kembali tangannya ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata Lili.
Demikianlah, sampai lewat tengah malam Kam Seng berada dalam keadaan ragu-ragu. Nafsu dendamnya
mendorongnya untuk membunuh Lili, untuk menghinanya, untuk dapat melampiaskan sakit hatinya
terhadap ayah gadis itu. Akan tetapi ada kekuasaan lainnya yang menahan kehendaknya ini, kekuasaan
cinta. Kekuasaan ini membuat dia tidak tega untuk menyakiti Lili baik menyakiti hati mau pun raganya.
Akhirnya dia tidak kuat pula menghadapi pandangan mata Lili. Dia mencabut pedangnya dan hendak
membebaskan gadis ini dari siksaan lebih lanjut. Hendak dibunuhnya gadis ini dan habis perkara!
“Lili,” katanya sambil berdiri dengan pedang di tangan. “Aku akan membunuhmu, dan sebelum itu
hendaknya kau ketahui bahwa engkau adalah puteri musuh besarku! Ayahku bernama Song Kun dan
menjadi kakak seperguruan ayahmu, akan tetapi ayahmu telah membunuhnya! Ayahmu telah membunuh
dunia-kangouw.blogspot.com
ayahku dan karena itulah aku hidup sengsara. Karena itulah ibuku terlunta-lunta dan aku menjadi yatim
piatu, menjadi pengemis untuk bertahun-tahun lamanya! Karena itu kau harus mati! Kau harus berterima
kasih kepadaku karena kau terhindar dari penghinaan, terhindar dari penghinaan Susiok, dan... dan... aku
pun tidak sampai hati menghinamu! Aku... aku kasihan kepadamu!”
Ia berhenti sebentar dan dilihatnya air mata mengalir turun dari sepasang mata indah dan jelita itu.
“Lili, bersiaplah untuk mati,” katanya sambil mengangkat pedangnya.
Dari kedua mata gadis itu tidak nampak rasa takut sedikit pun, bahkan sinar berapi-api tadi telah padam,
bibirnya agak tersenyum. Lili memang merasa lega bahwa ia tak akan menjadi korban penghinaan, maka
dia menghadapi kematian dengan amat tabahnya.
Kam Seng mengayun pedangnya ke atas dan... tiba-tiba saja ia menurunkan pedangnya kembali, bahkan
pedang itu terlepas ke atas lantai! Ia lalu meramkan mata dan menubruk Lili, lalu... mencium jidat gadis itu
satu kali. Dilemparkannya tubuhnya ke belakang dan dia pun terduduk di atas bangku yang tadi
didudukinya.
Ia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya. Terdengar helaan napas berkali-kali. “Ahh, Lili... aku...
aku tidak tega membunuhmu... aku... aku cinta kepadamu!”
Sinar mata Lili mulai berapi-api lagi. Untuk ciuman pada jidatnya itu saja ia sudah dapat membunuh Kam
Seng kalau dapat. Keadaan menjadi sunyi kembali.
Kam Seng duduk seperti tadi, menghadapi Lili, tidak tahu harus berbuat apa! Betapa pun bencinya kepada
Pendekar Bodoh, hatinya tetap tidak tega untuk mengganggu apa lagi membunuh gadis ini.
“Lili... Lili... aku tidak sanggup membunuhmu... tanganku gemetar... bagaimana aku bisa membunuh gadis
yang kucinta dengan seluruh jiwaku? Tidak, Lili, tidak! Aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi... aku
pasti akan mencari ayahmu, aku harus membalas sakit hatiku terhadap Pendekar Bodoh...!” demikian
keluh kesah yang keluar dari mulut Kam Seng sambil menggunakan kedua tangannya untuk menutupi
mukanya.
Pada saat itu, terdengar suara senjata-senjata beradu di ruang depan dibarengi teriakan Hok Ti Hwesio,
“Supek... tolong...! Supek, lekas bantu...! Lekas bantu merobohkan gadis setan ini...!”
Mendengar seruan ini, Kam Seng melompat bangun. Kalau Hok Ti Hwesio sampai minta tolong kepada
suhu-nya, yaitu Wi Kong Siansu, dan tidak minta tolong kepada suhu-nya sendiri, berarti bahwa tentu
terjadi mala petaka hebat dan datang musuh yang tangguh.
Ia hendak melompat keluar dari kamarnya, akan tetapi ia teringat kepada Lili dan merasa khawatir bahwa
kalau ia meninggalkan gadis itu seorang diri, jangan-jangan gadis yang dikasihinya itu akan diganggu oleh
Hok Ti Hwesio atau Ban Sai Cinjin. Untuk beberapa saat dia merasa ragu-ragu, lalu menghampiri Lili dan
berkata,
“Lili, aku hendak membebaskanmu. Ketahuilah, bahwa perbuatanku ini hanya terdorong oleh rasa cinta
kasih terhadapmu, dan ketahuilah pula bahwa pada suatu hari aku pasti akan membalas dendamku pada
ayahmu yang sudah membunuh ayahku!”
Sesudah berkata demikian, Kam Seng segera menggerakkan jari tangan kanannya dan menotok pundak
Lili. Dia telah belajar ilmu silat dari Wi Kong Siansu, maka dia tahu pula bagaimana harus membuka
totokan dari suhu-nya itu. Setelah menotok pundak gadis itu, dia lalu melompat keluar sambil membawa
pedangnya, langsung menuju ke ruang depan dari mana terdengar suara senjata beradu.
Walau pun pengaruh totokan yang menghentikan jalan darahnya sudah lenyap dan jalan darahnya sudah
terbuka kembali, akan tetapi Lili masih merasa lemas dan hanya dapat bergerak perlahan. Dia segera
mengumpulkan semangat dan mengatur pernapasannya untuk melancarkan kembali jalan darahnya.
Dia melihat betapa kipas dan pedangnya telah ditaruh di atas meja dalam kamar itu oleh Kam Seng.
Hatinya merasa tidak karuan karena dia telah mengalami ketegangan hebat selama dibawa di dalam
kamar Kam Seng. Kini ia merasa terharu, marah, malu, dan juga diam-diam ia merasa berterima kasih
kepada pemuda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ada sedikit rasa girang dalam hatinya bahwa biar pun pemuda itu telah menggabungkan diri dengan orangorang
jahat, namun pada dasarnya hati pemuda itu tidaklah kejam dan jahat. Masih ada kegagahan di
dalam lubuk hati Kam Seng. Ia teringat akan supek-nya Song Kun, karena ia pernah ia diceritakan tentang
halnya Song Kun ini oleh ibunya.
Setelah kesehatannya pulih kembali, Lili cepat mengambil senjata-senjatanya kemudian melompat keluar
di mana kini suara senjata masih beradu ramai sekali. Ketika ia tiba di ruang luar, di bawah sinar lampu ia
melihat seorang gadis cantik manis yang memiliki gerakan lincah sekali, sedang bertempur dikeroyok tiga
oleh Ban Sai Cinjin, Song Kam Seng, dan Hok Ti Hwesio!
Sungguh mengagumkan sekali betapa gadis cantik manis itu bisa menghadapi lawannya sambil
tersenyum-senyum dan mainkan kedua tangannya yang tidak memegang senjata. Ginkang-nya sungguh
hebat dan mengagumkan, bagaikan seekor kupu-kupu bermain di antara tiga bunga itu menyambarnyambar,
di celah tiga gulungan sinar senjata di tangan tiga pengeroyoknya.
“Goat Lan...!” Lili berteriak girang pada waktu ia mengenal wajah manis yang tersenyum-senyum itu.
“Hai, Lili, anak nakal! Kau di sini?” Gadis itu dalam menghadapi desakan lawan-lawannya masih sempat
berjenaka.
“Goat Lan, jangan khawatir. Mari kita basmi tiga anjing busuk ini!”
Lili segera mencabut keluar kipas dan pedangnya, lantas menyerbu dan menyerang Ban Sai Cinjin. Ia
merasa segan dan sungkan untuk menyerang Kam Seng, maka ia sengaja memilih Ban Sai Cinjin dan
membiarkan Goat Lan menghadapi Kam Seng dan Hok Ti Hwesio.
Ban Sai Cinjin sudah merasakan kelihaian Lili, bahkan tadi sore pundaknya telah terluka hebat oleh gadis
ini. Dalam keadaan sehat dia masih belum dapat mengalahkan Lili, apa lagi sekarang pundaknya masih
belum sembuh benar, tentu saja ia merasa amat gelisah.
Kalau saja ia tidak sedang terluka, tadi pun Goat Lan tak nanti dapat mempermainkan dia begitu mudah.
Dan ia maklum bahwa belum tentu ia kalah oleh Lili kalau saja tadi sore ia tidak bertempur dengan mainmain
dan memandang rendah. Terpaksa ia menggigit bibir, dan mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Ban Sai Cinjin adalah seorang tokoh kang-ouw yang selain berkepandaian sangat tinggi, juga sudah
mengenal banyak sekali taktik perkelahian dan mempunyai banyak tipu-tipu curang. Pengalamannya amat
luas dan tenaga lweekang-nya juga telah mendekati batas kesempurnaan. Oleh karena itu biar pun ia
sudah terluka masih amat sukarlah bagi Lili untuk dapat merobohkan kakek mewah ini. Sebaliknya, jangan
harap bagi Ban Sai Cinjin untuk mengalahkan puteri Pendekar Bodoh yang mempunyai ilmu kipas dan ilmu
pedang yang luar biasa sekali.
Berbeda dengan pertempuran antara Lili melawan Ban Sai Cinjin yang berjalan seru dan seimbang,
pertempuran antara gadis cantik manis dan kedua pengeroyoknya, Kam Seng dan Hok Ti Hwesio, berjalan
berat sebelah. Ketika tadi dikeroyok tiga, gadis itu masih dapat melayani dengan senyum simpul, apa lagi
sekarang. Meski pun kepandaian Kam Seng dan Hok Ti Hwesio sudah jauh lebih tinggi dari pada
kepandaian silat para ahli silat biasa, akan tetapi bagi gadis manis itu mereka berdua ini masih merupakan
ahli-ahli silat kelas rendah saja!
Bagaimanakah gadis itu yang ternyata adalah Kwee Goat Lan, dapat tiba-tiba muncul di situ? Dan
mengapa tahu-tahu sudah dikeroyok oleh Ban Sai Cinjin dan Hok Ti Hwesio pada saat Lili tertawan dalam
kamar Kam Seng?
Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, dalam percakapan antara Ong Tek putera pangeran dan Hok
Ti Hwesio, pemuda cilik dari kota raja itu merasa amat muak dan tidak senang melihat peristiwa yang
terjadi di dalam kuil di mana dia belajar silat kepada Ban Sai Cinjin.
Betapa pun juga, Ong Tek adalah seorang pemuda bangsawan yang sejak kecil dididik dengan pelajaranpelajaran
kesopanan dan juga dia sudah banyak membaca kitab-kitab kuno di mana terdapat segala
macam pelajaran mengenai kebajikan. Ia menjadi terkejut dan juga kecewa melihat dengan kedua mata
sendiri betapa jahat adanya orang-orang yang selama ini dia hormati dan junjung tinggi. Maka dia lalu
masuk ke dalam kamarnya sambil menangis, lalu dia memaksa kepada Tan-kauwsu, utusan dari ayahnya
dunia-kangouw.blogspot.com
itu, untuk pada malam hari itu juga meninggalkan kuil dan pulang ke kota raja.
Sikap pemuda bangsawan ini membuat Hok Ti Hwesio menjadi curiga dan cepat hwesio ini menjumpai
suhu-nya. Ketika Ban Sai Cinjin mendengar keadaan muridnya dari kota raja itu, dia pun mengerutkan
alisnya.
“Sungguh berbahaya,” katanya perlahan. “Bila anak itu pulang dan menceritakan segala peristiwa yang
terjadi kepada ayahnya dan para pembesar, tentu nama kita akan hancur dan tercemar.”
“Kenapa pusing-pusing, Suhu? Kalau Sute tidak mau menurut kehendak kita dan bahkan hendak merusak
nama kita, lebih baik kita lenyapkan dia bersama guru silat itu, habis perkara!”
Ban Sai Cinjin menjadi ragu-ragu. “Enak saja kau bicara! Apa kau kira Ong Tek itu orang biasa saja yang
boleh kita perbuat sesuka kita! Apa bila dia sampai lenyap, apa kau kira Pangeran Ong tidak akan mencari
dan menimbulkan huru-hara yang akan menyulitkan kita?”
Hok Ti Hwesio tersenyum “Apa sih bahayanya seorang putera bangsawan macam Ong Tek? Sedangkan
menghadapi orang-orang besar seperti pendekar Pek-le-to Lie Kong Sian, Mo-kai Nyo Tiang Le, Sin-kai Lo
Sian, kita masih sanggup membereskan mereka tanpa banyak ribut dan tiada seorang pun mengetahui,
apa lagi seorang manusia macam Ong Tek dan seorang guru silat seperti orang she Tan itu? Suhu,
mengapa kita tidak mau meminjam nama puteri Pendekar Bodoh untuk melenyapkan mereka? Kita
sebarkan bahwa yang menewaskan Ong Tek dan Tan-kauwsu adalah puteri Pendekar Bodoh itu,
bukankah ini baik sekali?”
Wajah Ban Sai Cinjin berseri. “Kau benar! Kau memang cerdik sekali, Hok Ti!” ia memuji. “Kita lenyapkan
kedua orang itu, kemudian kita bikin puteri Pendekar Bodoh seperti Lo Sian. Ha-ha-ha-ha! Akan lenyap
jejak mereka dan tak seorang pun mengetahuinya.”
Pada saat itu, terdengar tindakan kaki dua orang yang berlari keluar dari kelenteng itu.
“Nah, itulah mereka yang agaknya hendak melarikan diri pada malam hari ini juga. Kita harus bertindak
cepat sebelum Supek mengetahui!” berkata Hok Ti Hwesio yang merasa takut kepada supek-nya, Wi Kong
Siansu yang pada waktu itu sudah berada di dalam kamarnya.
Ban Sai Cinjin dan Hok Ti Hwesio segera melompat keluar dan mereka melihat Ong Tek diikuti oleh Tankauwsu
yang menggendong buntalan pakaian putera pangeran itu.
“Ong Tek, kau hendak pergi ke manakah?” Ban Sai Cinjin membentak.
Melihat suhu-nya datang bersama Hok Ti Hwesio, Ong Tek menjadi sangat terkejut dan sinar ketakutan
membayangi wajahnya yang tampan.
“Suhu... teecu hendak... hendak pulang ke kota raja bersama Tan-suhu. Teecu... merasa rindu kepada
ayah dan ibu...!”
“Hemm, kau hendak lari dari kami, ya? Bagus, murid macam apa kau ini? Tidak boleh, kau tidak boleh
pergi! Tentu di kota raja kau hendak membuka mulut besar tentang kami, ya?”
“Tidak... tidak, Suhu... tidak!” kata Ong Tek dengan muka pucat ketika melihat suhu-nya melangkah maju
dengan huncwe mengancam di tangan.
“Kau murid durhaka. Kau harus diberi hajaran!”
Tan-kauwsu segera melompat maju. “Jangan kau berani mengganggu Ong-kongcu, Ban Sai Cinjin! Ingat,
dia adalah putera Pangeran Ong!”
Ban Sai Cinjin tertawa bergelak. “Ha-ha-ha. Segala tikus busuk seperti kau berani pula ikut campur bicara!
Apa kau kira aku takut kepada segala macam pangeran? Biar kepada Kaisar sendiri pun aku tidak takut!”
Ia lalu melangkah maju dan mengayun huncwe-nya ke arah kepala guru silat she Tan itu!
Serangan ini hebat dan cepat sekali, akan tetapi Tan-kauwsu sungguh pun tidak memiliki ilmu silat yang
dapat dibandingkan dengan kepandaian Ban Sai Cinjin, namun dia sudah banyak merantau dan telah
dunia-kangouw.blogspot.com
mempunyai pengalaman yang banyak dalam pertempuran. Ia cepat mengelak ke belakang, akan tetapi
hawa pukulan huncwe itu masih membuatnya terhuyung-huyung ke belakang.
Pada waktu Ban Sai Cinjin hendak mengejar untuk mengirim pukulan maut, tiba-tiba saja dari atas genteng
menyambar turun sesosok bayangan manusia yang gerakannya begitu cepat sehingga nampak bagaikan
seekor burung garuda menyambar.
“Manusia setan!” bayangan itu berseru dengan suaranya yang nyaring dan merdu. “Kau benar-benar
kejam!”
Dan tiba-tiba huncwe pada tangan Ban Sai Cinjin yang sudah dipukulkan ke arah kepala Tan-kauwsu itu
terpental mundur oleh tenaga pukulan dari atas!
Ketika Ban Sai Cinjin yang merasa terkejut sekali itu memandang, ternyata di depannya telah berdiri
seorang gadis yang cantik manis dengan dua buah lesung pipit di sepasang pipinya. Gadis ini cantik dan
jenaka sekali, sepasang matanya bersinar-sinar bagaikan sepasang bintang pagi, mulutnya tersenyum
lebar sehingga giginya yang rata dan putih berkilau bagaikan mutiara itu nampak berkilat.
Ban Sai Cinjin tercengang karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa seorang gadis muda dapat
menahan huncwe-nya dengan tangan kosong saja! Ia maklum bahwa ia sedang menghadapi seorang
gadis muda yang menjadi murid orang sakti.
Gadis cantik itu tersenyum manis. “Kau tentu yang bernama Ban Sai Cinjin Si Huncwe Maut. Hemm,
pantas saja kau disebut Huncwe Maut, karena hampir saja kau membunuh orang lagi.” Dia lalu menengok
ke arah Ong Tek dan Tan-kauwsu, lalu berkata kepada Ong Tek,
“Aku sudah mendengar bahwa kau adalah seorang putera pangeran. Entah bagaimana kau bisa tersesat
dalam neraka dunia ini, akan tetapi itu bukan urusanku. Lebih baik kau lekas melanjutkan niatmu pergi dari
sini. Lebih cepat lebih baik. Jangan takut, boneka besar pengusir burung di sawah ini serahkan saja
kepadaku!”
Ong Tek lalu memandang tajam, agaknya untuk mengukir wajah gadis penolongnya itu di dalam
ingatannya, kemudian dia mengangguk memberi hormat dan segera pergi, diikuti oleh Tan-kauwsu.
“Ong Tek, jangan kau berani pergi dari sini!” seru Hok Ti Hwesio yang segera mencabut pisaunya dan
menyambitkan pisau terbangnya itu ke arah Ong Tek!
Pisau itu terbang lewat di dekat gadis itu yang dengan tenang mengulurkan tangan dan sekali tangannya
bergerak, pisau itu telah disampoknya ke bawah sehingga pisau itu kini meluncur ke bawah dan menancap
di atas lantai!
“Hmm, hwesio gundul, telah banyak aku mendengar tentang hwesio-hwesio gundul yang pada hakekatnya
hanyalah penjahat-penjahat rendah yang banyak mencemarkan nama para pendeta Buddha! Agaknya kau
yang paling rendah di antara mereka semua!”
Bukan main marahnya Ban Sai Cinjin mendengar ucapan serta melihat sikap gadis itu. Tanpa banyak
cakap lagi ia lantas menyerang dengan huncwe-nya. Juga Hok Ti Hwesio lalu menubruk kembali pisaunya,
mencabutnya dari lantai dan maju menyerang.
Ban Sai Cinjin yang biasanya amat sayang kepada gadis cantik, biar pun harus diakui bahwa dara di
hadapannya ini memiliki kecantikan yang sangat menggiurkan dan jarang terdapat, kini hatinya sama sekali
tidak terguncang, bahkan ingin sekali dia membunuh gadis ini. Demikianlah, Ban Sai Cinjin dan muridnya
lalu menyerang hebat kepada gadis manis itu yang melayani mereka dengan tangan kosong.
Sungguh hebat ilmu ginkang dari gadis itu. Dengan lincahnya dia dapat mengelakkan diri dari sambaran
huncwe dan pisau lawannya, bahkan dia masih sempat memaki-maki dan mentertawakan sambil
membalas serangan mereka dengan pukulan-pukulan yang tidak boleh dipandang ringan.
Ban Sai Cinjin terkejut sekali melihat sepak terjang gadis ini. Diam-diam ia pun mengeluh dalam hatinya.
Selamanya hidup, belum pernah dia mengalami malam sesial ini. Secara berturut-turut telah datang dua
orang gadis yang aneh dan lihai sekali!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau saja ia tidak terluka pundaknya oleh pukulan kipas dari Lili sore tadi, tentu ia akan dapat menyerang
lebih baik terhadap gadis yang baru datang ini. Ia dapat melihat betapa gadis itu mempergunakan Ilmu
Silat Bi-ciong-kun (Kepalan Menyesatkan) yang menjadi pecahan dari Ilmu Silat Tangan Kosong Kwan-im
Siu-ban-po (Dewi Kwan Im Menyambut Selaksa Musuh)!
Akan tetapi pergerakan kedua tangan gadis ini sangat aneh, agak berbeda dengan ilmu silat tersebut, dan
yang membuatnya diam-diam harus mengakui dan mengagumi adalah ilmu ginkang dari gadis ini. Ilmu
meringankan tubuhnya mengingatkan dia kepada empat besar di dunia dan terutama sekali kepada Bu
Pun Su!
Akan tetapi, gadis yang sekarang tertawan di dalam kamar Kam Seng dan yang menjadi cucu murid Bu
Pun Su sendiri, agaknya tidak sehebat ini ilmu ginkang-nya!
Melihat betapa dia bersama gurunya sama sekali tak berdaya, bahkan telah dua kali dia menerima pukulan
tangan halus akan tetapi antep itu, Hok Ti Hwesio mulai berteriak-teriak memanggil supek-nya minta
bantuan! Hanya berkat ilmu kebalnya yang hebat, ia terhindar dari mala petaka ketika tangan gadis itu
berhasil memukulnya sampai dua kali.
Sepeti telah dituturkan di bagian depan, teriakan-teriakan Hok Ti Hwesio terdengar oleh Kam Seng yang
berada di dalam kamarnya dan sedang menghadapi Lili yang tertawan. Suara senjata yang didengarnya
ternyata adalah suara pisau di tangan Hok Ti Hwesio yang beradu dengan huncwe Ban Sai Cinjin.
Memang, Goat Lan yang jenaka dan nakal itu beberapa kali menyampok tangan Hok Ti Hwesio sehingga
pisaunya menjadi nyeleweng dan membentur senjata suhu-nya sendiri, membuat Ban Sai Cinjin menjadi
makin marah dan mendongkol.
Goat Lan terheran pada saat melihat seorang pemuda tampan dengan pedang di tangan ikut maju
mengeroyoknya. Ia melihat gerakan pedang yang cukup tangkas dan lihai. Kini setelah dikeroyok tiga, dia
tidak mendapat banyak kesempatan untuk membalas dengan serangannya.
Akan tetapi gadis ini benar-benar tabah dan jenaka. Biar pun tiga orang lawannya amat tangguh, ia masih
melayani mereka dengan tangan kosong, mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya, menyambarnyambar
di antara gelombang serangan.
Dan pada saat itu, datanglah Lili. Hal ini benar-benar tak pernah disangka oleh Goat Lan. Tentu saja dia
menjadi amat gembira dan girang. Telah bertahun-tahun dia tidak bertemu dengan Lili, mungkin sudah ada
tiga tahun.
Dia melihat betapa calon adik iparnya ini maju menyerbu dengan senjata pedang dan kipas. Dia merasa
amat heran ketika melihat betapa Lili menyerbu Ban Sai Cinjin dengan muka merah dan mata berapi,
agaknya Lili amat marah dan membenci kakek mewah itu.
Melihat kemarahan Lili yang agaknya penuh nafsu membunuh itu, Goat Lan tidak mau main-main lagi dan
saat ia berseru keras, kaki kanannya telah berhasil menendang tubuh belakang Hok Ti Hwesio dengan
gerakan Soan-hong-twi (Tendangan Kitiran Angin).
Tendangan ini dilakukan dengan tenaga yang ratusan kati beratnya dan cukup membuat tulang punggung
lawan menjadi patah-patah. Akan tetapi, bagaikan sebuah bal karet, tubuh Hok Ti Hwesio terpental keras
dan ketika membentur dinding, lalu mental kembali dan bergulingan di atas lantai tanpa luka sedikit pun!
Goat Lan terheran-heran sehingga untuk sesaat ia berdiri bengong memandang manusia bal itu! Tentu
saja ia tidak tahu bahwa Hok Ti Hwesio telah melatih diri dengan ilmu kebal yang luar biasa dan yang
dimilikinya setelah dia makan tiga buah jantung manusia!
Pada saat Goat Lan berdiri bengong memandang Hok Ti Hwesio saking herannya, Kam Seng mengirim
tusukan maut dengan pedangnya. Ujung pedangnya sudah berada dekat sekali dengan dada kiri Goat Lan,
akan tetapi alangkah terkejut hati Kam Seng ketika tiba-tiba, bagaikan tubuh seekor ular, tubuh gadis itu
melenggok ke kiri dan tusukan itu hanya lewat di pinggir tubuhnya saja! Dan sebelum Kam Seng
kehilangan rasa herannya, tiba-tiba saja dia merasa lengan kanannya sakit sekali dan pedangnya telah
terlepas dari pegangannya! Tanpa dia ketahui, dengan gerakan yang cepat bukan main bagaikan kilat
menyambar, Goat Lan telah mengirim totokan ke arah urat nadinya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Hok Ti Hwesio telah bangun berdiri lagi, begitu juga Kam Seng telah mengambil kembali pedangnya
karena totokan tadi tidak berbahaya, akan tetapi kedua orang itu kini merasa ragu-ragu dan hanya
memandang kepada gadis itu dengan bengong. Mereka mengira sedang berhadapan dengan setan, sebab
bagaimanakah seorang gadis cantik lagi muda itu dapat menghadapi mereka dengan tangan kosong dan
membuat mereka tak berdaya dengan dua kali serangan saja?
Sementara itu, Ban Sai Cinjin telah diserang dan didesak hebat oleh Lili yang berusaha membunuhnya!
Pundaknya yang tadi terluka mulai terasa sakit bukan main dan agaknya sambungan tulang yang telah
disambung itu kini terlepas lagi! Keadaannya benar-benar berbahaya dan Goat Lan hanya memandang
sambil tertawa-tawa.
Pada saat itu, terdengar seruan orang dan tahu-tahu dari dalam menyambar angin yang menolak kipas Lili
yang sedang dipukulkan ke arah dada Ban Sai Cinjin! Goat Lan amat terkejut ketika melihat betapa kipas
itu terpental dan tahu bahwa dari dalam ada orang berkepandaian tinggi yang turun tangan. Benar saja,
seruan tadi segera disusul dengan munculnya seorang tosu tua.
“Nona Sie!” kata tosu itu ketika Lili melompat mundur. “Muridku telah berlaku sangat baik kepadamu,
mengapa kau masih mati-matian mengacaukan tempat tinggal orang lain?”
Melihat munculnya tosu yang sore tadi sudah merobohkannya, kemarahan Lili jadi makin memuncak. Ia
maklum bahwa ilmu kepandaian Wi Kong Siansu ini jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri,
akan tetapi puteri Pendekar Bodoh ini memang mempunyai ketabahan yang diwarisinya dari ayah
bundanya.
“Tosu siluman, rasakan pembalasanku!” teriaknya keras dan ia cepat menyerang dengan pedangnya dan
mainkan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut di tangan kanan serta mainkan San-sui San-hoat (Ilmu Kipas
Gunung dan Air) dengan tangan kirinya!
Wi Kong Siansu sudah tahu akan kelihaian gadis galak ini, maka dia berlaku hati-hati sekali dan mainkan
kedua lengan bajunya dengan cepat. Juga Goat Lan berdiri dengan kagum memandang ilmu silat yang
dimainkan oleh Lili. Diam-diam dia mengakui bahwa ilmu silat Lili benar-benar hebat sekali.
Akan tetapi ketika ia melihat gerakan kedua ujung lengan baju tosu itu, ia lebih kaget lagi. Ujung lengan
baju yang terbuat dari kain lemas itu kini mengeras bagaikan ujung toya baja dan tiap kali terbentur dengan
pedang atau gagang kipas Lili, terdengar suara keras dan senjata di tangan gadis itu terpental ke belakang.
Melihat hal ini saja maklumlah Goat Lan bahwa kepandaian tosu tua ini sungguh hebat sekali dan jika
dibiarkan saja, Lili mungkin takkan dapat menang. Maka ia lalu mencabut senjatanya dan berseru,
“Kakek tua, jangan kau orang tua menghina yang muda!”
Ketika Wi Kong Siansu melihat datangnya serangan dan melihat senjata di tangan Goat Lan, kakek ini
terkejut sekali dan cepat dia melompat mundur. Ternyata bahwa gadis ini sekarang memegang dua batang
bambu kuning yang hanya sebesar lengan anak-anak dan berujung runcing, panjangnya kira-kira hanya
tiga kaki!
“Tahan, Nona. Apakah hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?”
Goat Lan memang bersifat nakal dan jenaka, karena itu sambil tersenyum-senyum ia pun menjawab,
“Totiang (sebutan untuk pendeta tua), aku yang muda tidak mau membawa-bawa nama orang-orang tua
untuk menakuti-nakuti kau!”
Merahlah wajah Wi Kong Siansu mendengar ucapan ini. “Siapa takut kepadamu? Meski pun Hok Peng
Taisu sendiri yang datang, aku Wi Kong Siansu belum tentu akan takut kepadanya! Hanya kulihat bahwa
sepasang bambu runcingmu itu adalah bambu runcing yang merupakan kepandaian tunggal dari Hok Peng
Taisu.”
“Sudahlah, tidak perlu kita membawa-bawa nama orang tua itu di tempat yang kotor ini. Pendeknya, kalau
Totiang takut, sudah saja jangan kau mengganggu adikku ini!”
“Siapa takut? Biarlah, biar kumencoba kepandaian Bu Pun Su dan Swie Kiat Siansu yang diturunkan
dunia-kangouw.blogspot.com
kepada Nona Sie ini dan sekalian kurasakan kelihaian bambu runcing dari Hok Peng Taisu!” Sambil
berkata demikian, Wi Kong Siansu lalu mencabut pedangnya yang disembunyikan di balik jubahnya yang
lebar.
Pedang ini bersinar kehitaman sebab inilah pedang mustika yang sangat berbahaya dan ganas yang
bernama Hek-kwi-kiam (Pedang Setan Hitam)! Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu memang telah
menciptakan semacam ilmu pedang tunggal yang pada waktu itu merupakan sebuah dari ilmu-ilmu pedang
yang paling terkenal dan ditakuti di masa itu.
Ilmu pedang ini ia ciptakan berdasarkan pedang mustikanya yang didapatkannya di atas Bukit Hek-kwisan.
Karena pedang itu mengeluarkan sinar kehitaman dan didapatkannya di atas Bukit Hek-kwi-san (Bukit
Setan Hitam), maka ia lalu memberi nama Hek-kwi-kiam pada pedang itu dan lalu memberi nama pada
ilmu pedang ciptaannya Hek-kwi Kiam-sut.
Walau pun Kam Seng sudah mempelajari ilmu pedang ini dengan tekunnya, akan tetapi karena ilmu
pedang ini amat sukar dan banyak sekali perubahannya, maka kepandaian itu boleh dibilang belum ada
sepersepuluh bagian dari kepandaian Wi Kong Siansu Si Iblis Tua Pencabut Nyawa!
“Majulah, anak-anak muda! Biarlah kalian mendapat kehormatan untuk mengenal Hek-kwi Kiam-sut dari
dekat!”
Akan tetapi Lili yang amat marah sudah tak sabar lagi mendengar ocehan tosu itu dan cepat maju
menyerang dengan pedangnya. Goat Lan yang dapat menduga kelihaian tosu itu, lalu maju pula
membarengi gerakan Lili dan mengirim serangan dengan bambu runcingnya.
Sesungguhnya, dari kedua suhu-nya yang menggembleng dirinya selama delapan tahun, yaitu Sin Kong
Tianglo Si Raja Obat dan Im-yang Giok-cu Si Dewa Arak, Giok Lan hanya menerima latihan-latihan ilmu
silat tangan kosong beserta lweekang dan ginkang. Akan tetapi gadis ini tentu saja tidak mau meniru kedua
suhu-nya yang menggunakan senjata-senjata yang paling aneh di antara sekalian senjata ahli silat di dunia
ini.
Yok-ong Sin Kong Tianglo selalu mempergunakan keranjang obat dan pisau pemotong rumput sebagai
senjata, sedangkan Im-yang Giok-cu mempergunakan senjata guci arak. Oleh karena itu, di samping
menerima gemblengan ilmu silat dari kedua kakek sakti ini, Goat Lan juga mempelajari ilmu pedang dari
ayahnya dan terutama sekali yang paling disukai adalah mempelajari ilmu bambu runcing dari ibunya!
Bahkan sesudah dia dapat memainkan ilmu bambu runcing dengan pandai, dia lalu minta kepada ayahnya
untuk membuatkan bambu runcing terbuat dari sepasang bambu kuning seperti milik ibunya! Hanya
dengan senjata inilah Goat Lan melakukan perantauannya!
Ilmu silat Goat Lan tentu saja sudah tinggi dan tangguh bukan main. Ia telah menerima gemblengan dari
empat orang berkepandaian tinggi dan biasanya dia hanya menghadapi para lawan yang betapa lihai pun
dengan kedua kaki tangannya sambil mengandalkan ginkang-nya yang seperti ibunya itu. Akan tetapi kini
saat menghadapi Wi Kong Siansu, terpaksa dia harus mengeluarkan bambu-runcingnya.
Begitu pula dengan Wi Kong Siansu. Biasanya, orang tua ini selalu memandang rendah lawan-lawannya
dan tak pernah dia mengeluarkan pedang mustikanya. Kini menghadapi dua orang gadis cantik dan masih
muda dia sampai mengeluarkan pedangnya, dapatlah diketahui bahwa tosu ini sama sekali tidak berani
memandang ringan terhadap Lili dan Goat Lan.
Bahkan Ban Sai Cinjin sendiri memandang heran dan ia selalu bersiap sedia dengan hati berdebar-debar.
Hok Ti Hwesio dan Kam Seng tentu saja hanya berdiri di sudut ruangan yang luas itu sambil menonton dan
sama sekali tidak berani mencoba untuk ikut turun tangan.
Pertempuran kali ini memang benar-benar hebat sekali. Ilmu Pedang Hek-kwi Kiam-sut luar biasa ganas
dan cepatnya hingga ruang yang terang oleh cahaya lampu itu menjadi muram, oleh karena sinar pedang
itu bergulung-gulung laksana uap gunung berapi yang mengandung abu hitam.
Akan tetapi sepasang bambu runcing di tangan Goat Lan merupakan titik kuning, yang kadang-kadang
berkelebat bagaikan halilintar menyambar dengan cepatnya. Sedangkan pedang Liong-coan-kiam terkenal
sebagai pedang yang ampuh, kini digerakkan dengan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut menjadi amat
mengagumkan, berkelebat-kelebat bersinar putih laksana perak merupakan seekor naga perkasa yang
dunia-kangouw.blogspot.com
bermain-main di antara awan hitam dan halilintar! Kipas maut di tangan kiri Lili merupakan pusat angin
yang apa bila digerakkan membuat para penonton merasakan sambaran angin dingin yang aneh!
Empat ilmu silat yang luar biasa tingginya kini bertemu, dimainkan oleh tiga orang yang memiliki ilmu tinggi,
sungguh merupakan pemandangan yang sukar dilihat orang! Ban Sai Cinjin, Kam Seng, dan Hok Ti
Hwesio sampai berdiri bengong bagaikan terpaku di lantai.
Bagi Kam Seng dan Hok Ti Hwesio yang ilmu kepandaiannya jauh lebih rendah, tidak ada kemungkinan
sama sekali bagi mereka untuk ikut turun tangan dalam pertempuran yang maha dahsyat itu, akan tetapi
tidak demikian dengan Ban Sai Cinjin. Apa bila diukur tingkat kepandaiannya, memang dia tidak usah
mengaku kalah terhadap dua orang gadis itu.
Maka secara diam-diam kakek mewah ini lalu menelan dua butir pil dan mengurut-urut pundaknya,
membenarkan letak tulang pundak sambil mengatur napasnya. Lalu, setelah pundaknya tidak begitu sakit
lagi, dia lalu mengeluarkan tembakau hitamnya yang amat berbahaya, dan mulai mengisi kepala huncwenya
dengan tembakau beracun itu. Tidak lama kemudian, mengebullah asap tembakau yang membuat
kepala menjadi pening dan napas menjadi sesak. Kam Seng dan Hok Ti Hwesio sendiri terpaksa
melangkah mundur menjauhi agar jangan sampai terkena serangan asap beracun itu.
Goat Lan adalah murid dari Yok-ong Sin Kong Tianglo Si Raja Obat, maka tentu saja ia juga sudah
mempelajari ilmu pengobatan, terutama sekali tentang racun yang sering kali dipergunakan oleh kaum hekto
(jalan hitam, yaitu orang-orang jahat). Begitu hidungnya mencium bau asap tembakau yang mulai
melayang-layang di ruangan itu, ia pun maklum bahwa kakek mewah dengan huncwe mautnya itu akan
ikut turun tangan pula, hendak mengandalkan huncwe dan asapnya yang lihai.
Cepat tangan kirinya menancapkan bambu runcing yang kiri di ikat pinggang, menjaga diri dengan bambu
runcing kanan, lalu menggunakan tangan kirinya untuk merogoh saku bajunya. Ia mengeluarkan dua butir
buah yang putih warnanya, lalu menyerahkan sebutir kepada Lili sambit berkata,
“Lili, masukkan buah ini ke dalam mulut dan gigit! Jangan telan!”
Lili menerima buah itu dan ketika dia menggigitnya, maka mulut dan hidungnya terasa dingin dan pedas,
akan tetapi tercium hawa yang sangat harum keluar dari mulut serta hidungnya.
Pada saat itu pula, Ban Sai Cinjin sudah melompat maju dan menyerbu dengan huncwe mautnya sambil
mengebulkan asap hitam dari mulutnya ke arah kedua orang gadis itu. Akan tetapi, alangkah heran dan
kagetnya pada waktu ia melihat Lili dan Goat Lan tidak mengelak dan menerima asap itu tanpa
terpengaruh sedikit pun! Ternyata bahwa asap hitam itu sebelum dapat memasuki hidung atau mulut dua
orang dara pendekar ini, telah diusir kembali oleh hawa harum yang keluar dari mulut dan hidung mereka!
Akan tetapi, setelah Ban Sai Cinjin ikut menyerbu, sibuk jugalah Lili dan Goat Lan. Tadi saat menghadapi
dan mengeroyok Wi Kong Siansu, keadaan mereka baru dapat disebut seimbang, tetapi masih saja
mereka berdua merasa amat sukar untuk dapat merobohkan Toat-beng Lo-mo yang memang sakti itu.
Kini, ditambah Ban Sai Cinjin yang memiliki ilmu kepandaian tidak lebih rendah dari pada tingkat mereka,
tentu saja menimbulkan banyak kesukaran sehingga keduanya terpaksa mengerahkan kepandaian pada
penjagaan diri.
“Lili, mari kita pergi, malam sudah lewat!” kata Goat Lan sambil memutar kedua bambu runcingnya
menghadapi pedang hitam Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu. Memang, saat itu malam telah terganti pagi.
Ayam-ayam hutan mulai berkokok nyaring, burung-burung mulai berkicau.
“Ha-ha-ha, nona-nona manis! Kalian baru boleh pergi setelah meninggalkan tubuh kalian yang bagus di
sini. Hanya nyawa kalian saja yang bisa pergi! Ha-ha-ha!” Ban Sai Cinjin tertawa bergelak karena
girangnya melihat betapa dia dan suheng-nya dapat mendesak kedua nona lihai itu.
Sebenarnya, pertempuran itu boleh dibilang amat ganjil. Wi Kong Siansu tetap dikeroyok dua oleh Lili dan
Goat Lan, ada pun Ban Sai Cinjin hanya membantu suheng-nya dengan serangan-serangan curang
kepada dua orang nona itu.
Lili dan Goat Lan tidak dapat membalas kakek mewah ini karena mereka selalu harus mencurahkan
perhatian terhadap Toat-beng Lo-mo yang benar-benar sangat berbahaya dan lihai. Kedua nona itu
dunia-kangouw.blogspot.com
merasa serba sulit.
Kalau seorang di antara mereka meningalkan Toai-beng Lo-mo untuk menghadapi Ban Sai Cinjin, mungkin
sekali dia akan dapat merobohkan Ban Sai Cinjin yang sudah terluka pundaknya. Akan tetapi kawan yang
ditinggalkan juga sangat berbahaya kedudukannya dan mungkin tidak akan kuat menghadapi Toat-beng
Lo-mo. Maka mereka tetap saling bantu dan tidak mau meninggalkan kawan, selalu bersama-sama
menghadapi desakan Toat-beng Lo-mo dan Ban Sai Cinjin tanpa dapat membalas!
Sebetulnya, biar pun hati nurani dan peri kemanusiaannya amat tipis, namun Toat-beng Lo-mo Wi Kong
Siansu masih mempunyai kegagahan dan keangkuhan, tidak mempunyai sifat pengecut dan rendah seperti
sute-nya. Mendengar ejekan sute-nya terhadap kedua orang nona itu, ia merasa amat jengah dan malu.
Dua orang kakek yang telah dikenal sebagai tokoh-tokoh besar persilatan dan yang telah membuat nama
besar di kalangan kang-ouw, sekarang menghadapi dua orang gadis yang usianya baru belasan tahun dan
telah bertempur dua ratus jurus belum juga dapat mengalahkan mereka! Apa lagi kalau dia mengingat
bahwa dua orang gadis muda ini adalah anak dan murid-murid dari orang-orang sakti seperti Hok Peng
Taisu, Bu Pun Su dan Pendekar Bodoh, ia merasa gentar juga kalau harus merobohkan atau menewaskan
mereka ini.
Juga ada sedikit rasa sayang dalam hatinya kalau harus menewaskan dua orang gadis muda yang
demikian cantik jelita, jenaka, dan memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian tingginya. Sebagai seorang
ahli silat yang kawakan, tentu saja dia selalu merasa sayang kepada orang-orang muda yang berbakat dan
yang telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi.
Tiba-tiba Lili dan Goat Lan yang sudah merasa sibuk dan mengambil keputusan untuk berlaku nekad,
merasa betapa desakan pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan melemah. Mereka merasa heran sekali,
akan tetapi tentu saja kedua orang gadis ini betapa pun tabah dan beraninya, tidak sudi berlaku bodoh dan
membunuh diri.
Cepat mereka menggunakan kesempatan pada waktu pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan mengecil
sinarnya. Mereka lalu berbareng melakukan penyerangan kepada Ban Sai Cinjin yang amat nekad
menyerang membabi buta.
Hampir saja Ban Sai Cinjin menjadi korban pedang Lili kalau saja Toat-beng Lomo tidak cepat-cepat
menggerakkan pedangnya menangkis. Akan tetapi perubahan ini, yaitu dari pihak terserang menjadi pihak
penyerang, sudah memberi kesempatan kepada Lili dan Goat Lan untuk cepat melompat keluar dari
ruangan itu!
Ban Sai Cinjin hendak mengejar akan tetapi suheng-nya mencegah. “Mereka sudah lari, jangan dikejar,
Sute. Kepandaian mereka tinggi dan tidak perlu pertempuran yang sudah berlangsung setengah malam ini
harus diperpanjang lagi.”
Karena pundaknya juga terasa amat sakit, terpaksa Ban Sai Cinjin membatalkan niatnya. Kalau suhengnya
tidak ikut mengejar, bagaimana ia dapat melawan kedua orang gadis yang lihai itu? Ia menarik napas
panjang dan berkata,
“Baru anak dari Pendekar Bodoh dan seorang kawannya saja, dua orang gadis muda, sudah membuat kita
tak berdaya, apa lagi kalau Pendekar Bodoh sendiri beserta kawan-kawannya datang menyerbu!”
Ucapan ini sengaja dikeluarkan untuk mencela dan menegur suheng-nya, dan Toat-beng Lo-mo Wi Kong
Siansu juga merasa sindiran ini. Ia menghela napas ketika menjawab,
“Kau tahu sendiri bahwa mereka adalah para murid orang-orang sakti. Akan tetapi hal itu bukan berarti
bahwa aku akan kalah atau takut kepada mereka, Sute. Yang menjadikan pikiranku ruwet adalah
pulangnya Ong Tek. Apa bila Pangeran Ong mendengar bahwa puteranya hampir saja kau bunuh,
bukankah ini berarti bahwa kita sudah memancing permusuhan dengan para perwira kerajaan?”
“Aku tidak takut, Suheng!” jawab Ban Sai Cinjin.
Toat-beng Lo-mo tak menjawab, hanya menarik napas panjang. Perkara sudah menjadi semakin besar
dan ruwet, tak ada lain jalan melainkan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kam Seng, mulai sekarang kau harus melatih diri baik-baik, karena kau pun maklum bahwa pihak musuhmusuhmu
ternyata terdiri dari orang-orang pandai.”
Pada siang harinya, datanglah Bouw Hun Ti membawa tiga orang tua aneh dan besarlah hati Wi Kong
Siansu dan Ban Sai Cinjin melihat kedatangan tiga orang tua ini. Mereka ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui
(Tiga Iblis Geledek dari Hailun), tiga orang kakek aneh dan sakti yang sudah amat terkenal namanya di
perbatasan Mancuria di utara.
Baru melihat keadaan tiga orang ini saja sudah sangat aneh. Yang seorang tinggi kurus potongan
tubuhnya seperti suling, sama besarnya dari kaki sampai ke kepalanya. Orang kedua gemuk dengan muka
lebar dan mulut besar, berjubah pendeta Buddha, mulutnya lebar seperti terobek dari telinga ke telinga.
Orang ke tiga lebih aneh lagi. Kalau orang tidak melihat mukanya, tentu akan menyangka bahwa dia
adalah seorang anak kecil. Dari pundak sampai ke kaki memang dia persis seperti seorang anak berusia
sepuluh tahun, akan tetapi kalau orang melihat wajahnya, dia pasti akan terkejut dan heran. Mukanya
adalah muka seorang kakek tua berjenggot dan berkepala botak.
Sungguh pun keadaan ketiga orang ini aneh sekali, namun ilmu kepandaian mereka amat tersohor dan
mereka terkenal sebagai orang-orang sakti.
Hailun Thai-lek Sam-kui tadinya agak merasa segan untuk menuruti bujukan Bouw Hun Ti. Akan tetapi saat
mereka mendengar bahwa Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu agak takut dan gelisah sehingga
mengharapkan bantuan mereka untuk menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya, ketiga orang
Iblis Geledek ini menjadi amat tertarik.
Mereka lalu ikut turun gunung dan tiba di tempat tinggal Ban Sai Cinjin. Dengan serta merta Ban Sai Cinjin
yang kaya raya lalu memberi perintah kepada Hok Ti Hwesio untuk mempersiapkan hidangan-hidangah
yang paling mewah dan lezat. Mereka lalu makan minum dengan riangnya. Kegelisahan yang tadi
terlupakan sudah oleh Ban Sai Cinjin. Bahkan Wi Kong Siansu juga mulai merasa lega karena dia maklum
akan kelihaian tiga orang iblis itu…..
********************
Sementara itu, setelah dapat melarikan diri dari kuil serta meninggalkan Ban Sai Cinjin dan Toat-beng Lomo
Wi Kong Siansu yang lihai itu, Lili lalu membawa Goat Lan untuk mampir ke rumah penginapan dan
mengambil buntalan pakaiannya. Kemudian, pada pagi itu juga mereka lalu melarikan diri keluar dari dusun
Tong-sin-bun.
“Ahh, sungguh lihai tosu tua itu!” kata Goat Lan setelah mereka tiba di luar dusun. Dia berhenti, kemudian
memegang kedua tangan Lili. “Akan tetapi mengapa kau bisa berada di dalam kuil itu, Lili? Dan apakah
yang terjadi? Pertemuanku dengan kau di tempat itu selain amat menggirangkan hati, juga amat
mengejutkan dan mengherankan!”
Lili membalas pelukan Goat Lan dan berkata sambil tertawa. “Sebenarnya aku sedang melakukan
perjalanan untuk mengunjungi kau di Tiang-an.”
“Aihh, aneh benar kau ini. Dari tempat tinggalmu ke Tiang-an, sama sekali tidak melewati tempat ini.
Apakah kau tersesat jalan?”
Lili tersenyum lagi. “Goat Lan, berjanjilah dulu, bahwa kau takkan membuka rahasiaku ini kepada orang
lain. Juga tidak kepada ayah ibu, karena sebenarnya aku telah mengambil jalan sendiri!”
“Rahasia apakah?” Goat Lan bertanya heran.
“Sesungguhnya, dari rumah aku berpamit untuk pergi ke Tiang-an dengan alasan sudah merasa rindu
padamu. Akan tetapi, diam-diam aku tidak menuju ke rumahmu, melainkan membelok ke Tong-sin-bun
untuk mencari musuh besarku, Bouw Hun Ti. Tentunya kau sudah mendengar pula bahwa Bouw Hun Ti
adalah murid dari Ban Sai Cinjin, maka aku langsung menuju ke sana untuk mencarinya. Nah, jangan kau
ceritakan hal ini kepada ayah atau ibuku, karena mereka tentu akan marah besar. Memang ayah ibuku
benar, karena hampir saja aku mendapat celaka besar.”
Maka, kemudian berceritalah Lili tentang pengalamannya, akan tetapi tentu saja ia tidak menceritakan
dunia-kangouw.blogspot.com
bahwa ketika dia tertawan, Kam Seng sudah mencium jidatnya! Ia hanya memberitahukan kepada Goat
Lan bahwa Kam Seng itu sesungguhnya adalah putera dari Song Kun, suheng dari ayah Lili!
“Dan bagaimana kau bisa kebetulan sekali datang pada malam hari tadi, Goat Lan?”
“Mari kita mengaso dahulu di bawah pohon itu,” kata Goat Lan sambil menuju ke arah sebatang pohon
besar di pinggir jalan. “Ceritaku agak panjang karena memang sudah lama kita tak saling jumpa. Mari kita
duduk di sana dan mari kuceritakan pengalamanku. Kau tentu akan tertarik mendengarnya. Karena
ketahuilah bahwa aku pernah bertemu dengan Bouw Hun Ti musuh besarmu itu!”
Mereka lalu pergi dan duduk di bawah pohon yang rindang itu, dan berceritalah Goat Lan dengan jelas,
didengarkan oleh Lili dengan asyiknya…..
********************
Memang sudah terlalu lama kita meninggalkan Goat Lan dan sepatutnya kita menengok keadaannya
semenjak ia diambil murid Yok-ong Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Goat Lan dibawa oleh kedua suhu-nya ke Bukit Liong-kisan,
yaitu sebuah bukit yang puncaknya tampak di sebelah selatan kota Tiang-an. Dengan amat tekun dan
rajinnya Goat Lan melatih diri di bawah bimbingan Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu.
Selama delapan tahun ia berlatih silat, juga ia mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-ong Sin Kong
Tianglo. Kedua orang kakek ini merasa sangat gembira melihat ketekunan dan kemajuan murid tunggal
mereka dan menurunkan ilmu-ilmu silat yang paling tinggi.
Goat Lan tidak merasa kesepian oleh karena hampir sebulan sekali, ayah ibunya tentu datang
menengoknya, bahkan dia menerima pula latihan ilmu silat dari ayah bundanya. Sebaliknya kedua orang
suhu-nya pada waktu menganggur selalu bermain catur dan dua orang kakek itu biar pun sudah sering kali
mendapat petunjuk dari Goat Lan, tetap saja masih amat bodoh dalam hal permainan catur! Agaknya
memang betul kata orang-orang dulu bahwa otak orang tua sudah menjadi keras dan tumpul!
Tidak saja Kwee An dan Ma Hoa sering kali berkunjung ke puncak Liong-ki-san, bahkan beberapa kali
Pendekar Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya, yaitu Lin Lin, membawa Lili naik ke gunung itu untuk
mengunjungi. Oleh karena itulah, hubungan antara Lili dan Goat Lan menjadi erat.
Delapan tahun kemudian, Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu yang sudah merasa bahwa kepandaian
yang mereka ajarkan kepada Goat Lan sudah cukup, kedua orang kakek yang kini telah berusia amat tua
itu lalu kembali ke tempat tinggal masing-masing, yaitu di daerah utara.
Goat Lan kembali ke Tiang-an, melanjutkan pelajaran ilmu silatnya dari ayah bundanya sehingga dia kini
menjadi seorang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Kalau dibuat perbandingan, gadis muda
ini mempunyai lebih banyak ilmu silat yang tinggi-tinggi dari pada ibu atau ayahnya, maka tentu saja Kwee
An dan Ma Hoa menjadi amat bangga akan puteri tunggalnya ini.
Dua tahun lamanya Goat Lan mempelajari ilmu pedang dari ayahnya, juga Ilmu Silat Bambu Runcing dari
ibunya. Seperti ibunya, ia dapat mainkan Ilmu Silat Bambu Runcing ciptaan Hok Peng Taisu dengan amat
baik dan bahkan berkat didikan Im-yang Giok-cu ia memiliki lweekang yang amat hebat serta ginkang yang
dilatihnya dari Sin Kong Tianglo membuat gerakannya laksana seekor burung walet.
Pada suatu hari, datanglah Im-yang Giok-cu yang membawa berita amat menyedihkan hati Goat Lan dan
orang tuanya. Ternyata bahwa Sin Kong Tianglo yang sudah amat tua itu meninggal dunia di daerah utara.
“Sin Kong Tianglo meninggalkan sebuah pesanan untukmu, Goat Lan,” berkata Im-yang Giok-cu setelah
kesedihan Goat Lan agak mereda. “Pada waktu ini, putera Kaisar yang menjadi Putera Mahkota, menderita
sakit hebat sekali. Menurut Sin Kong Tianglo, obat satu-satunya yang dapat menyembuhkan penyakit
pangeran itu hanyalah To-hio-giok-ko (Daun Golok Buah Mutiara) yang terdapat di daerah bersalju sebelah
utara tapal batas. Dan karena mencari obat itulah maka ia menemui kematiannya! Tubuhnya yang amat
tua itu tidak kuat menahan dingin dan karena serangan hawa dingin dan kelelahan, dia tewas di sana!”
“Mengapa dia bersusah payah mencarikan obat untuk Putera Mahkota?” tanya Ma Hoa dengan heran.
Pertanyaan ini agaknya terkandung dalam pikiran Kwee An dan Goat Lan pula karena mereka juga segera
dunia-kangouw.blogspot.com
memandang kepada Im-yang Giok-cu untuk mendengar bagaimana jawaban kakek itu.
Im-yang Giok-cu menurunkan guci araknya dan sebelum menjawab dia meneguk dahulu araknya.
“Memang Raja Obat itu orangnya aneh sekali. Seperti juga aku tua bangka tiada guna, ia tidak menaruh
perhatian tentang keadaan Kaisar dan keluarganya. Akan tetapi, sebagai seorang ahli pengobatan dia
memiliki satu kelemahan, yaitu selalu ingin menyembuhkan penyakit yang paling aneh. Selain dari pada itu,
memang harus diakui bahwa di antara para pangeran, maka Putera Mahkota boleh disebut seorang
pemuda yang paling baik, mempunyai sifat-sifat baik dan agaknya kalau dia menjadi Kaisar kelak, dia akan
menjadi seorang Raja yang bijaksana. Karena itulah, maka banyak sekali ahli pengobatan yang mencoba
untuk menyembuhkannya, hanya untuk mencegah supaya jangan sampai ada pangeran lain yang
menggantikannya menjadi Putera Mahkota kalau dia meninggal.”
“Dan apakah pesan mendiang Suhu untukku?” tanya Goat Lan kepada suhu-nya yang kedua ini.
“Dia mengharuskan engkau untuk pergi ke utara mencari obat itu dan menyembuhkan penyakit Putera
Mahkota!” jawab Im-yang Giok-cu sambil meneguk araknya lagi.
Goat Lan menerima berita ini dengan tenang saja, akan tetapi kedua orang tuanya saling pandang dengan
muka berubah. Mereka telah maklum akan berbahayanya perjalanan ke daerah utara yang selain dingin
juga banyak terdapat orang-orang buas dan jahat.
“Mengapa harus Goat Lan yang pergi mencari obat itu?” tanya Kwee An.
Dan Ma Hoa menyambung dengan suara penasaran, “Apakah tidak bisa orang lain yang mencarikannya?”
Im-yang Giok-cu tertawa bergelak. “Tentu saja aku maklum dengan kekhawatiran kalian berdua. Siapa
orangnya yang akan membiarkan Goat Lan pergi seorang diri ke tempat jauh itu? Akan tetapi Sin Kong
Tianglo memang orang aneh!” Dia mengangguk-angguk lalu menyambung, “Aneh dan gila!”
Bagi Goat Lan, tidak aneh kalau Im-yang Giok-cu memaki gila kepada Sin Kong Tianglo, karena memang
dua orang suhu-nya ini sudah biasa saling memaki!
“Dan susahnya, ini adalah pesannya, pesan orang yang hendak menghembuskan napas terakhir. Pesan
seorang yang sudah meninggal harus dilaksanakan dan dipenuhi, kalau tidak, ahh... aku orang tua takkan
dapat hidup tenang dan tenteram lagi. Arwah Sin Kong Tianglo tentu akan menjadi setan dan mengejarngejarku
ke mana-mana. Pesannya ialah Giok Lan seorang, tak boleh orang lain, harus melanjutkan
usahanya untuk mencari obat To-hio-giok-ko itu dan menyembuhkan penyakit Putera Mahkota.”
“Akan tetapi,” Ma Hoa terus membantah, “kenapa mendiang Sin Kong Locianpwe begitu mengkhawatirkan
kesehatan Putera Mahkota dan tidak mempedulikan bahaya yang bisa menimpa diri anakku? Apakah ini
adil namanya? Atau, apakah dia tidak sayang kepada muridnya?”
Im-yang Giok-cu tertawa bergelak. “Belum kuceritakan yang lebih aneh lagi. Sebenarnya Sin Kong Tiangto
sendiri tidak berapa peduli apakah Putera Mahkota akan mati atau pun hidup, akan tetapi sampai pada
saat terakhir, orang tua yang berkepala batu itu selalu hendak mempertahankan namanya! Ia memang
angkuh dan menjaga namanya sebagai Yok-ong (Raja Obat)! Ketahuilah, secara kebetulan Yok-ong Sin
Kong Tianglo tiba di kota raja dan dia bertemu dengan orang-orang kang-ouw ahli pengobatan yang
terkenal dari seluruh daerah. Tentu saja, tukang obat bertemu ahli obat, mereka bicara asyik tentang hal
pengobatan dan akhirnya mereka itu berdebat ramai sekali. Semua tukang obat yang berada di kota raja
menyatakan bahwa di dunia ini tak ada obat lagi untuk penyakit yang diderita oleh Putera Mahkota. Akan
tetapi Yok-ong Sin Kong Tianglo menyatakan bahwa ada obatnya! Dia dibantah oleh banyak orang dan
akhirnya semua orang minta buktinya. Kakek gila itu menantang dan menyatakan kesanggupannya, bahwa
ia akan memperoleh obat itu dan menyembuhkan Putera Mahkota dengan taruhan bahwa kalau ia tidak
bisa, ia tidak mau memakai gelar Yok-ong (Raja Obat) lagi! Nah, celakanya, ketika dia sedang mencari
obat itu, dia terserang hawa dingin dan meninggal dunia. Masih baik bahwa dia bertemu denganku dan aku
sudah menawarkan tenagaku untuk melanjutkan usahanya mencari obat itu, akan tetapi ia tidak mau
menerima tawaranku, katanya, harus muridku yang akan mencari obat dan menyembuhkan penyakit
Putera Mahkota. Biarlah muridku sendiri yang menolong namaku dari hinaan orang, dan biar muridku yang
membuktikan bahwa julukan Yok-ong bukanlah sia-sia belaka!”
Kwee An, Ma Hoa, dan Goat Lan mendengarkan penuturan ini dengan bengong. Tanpa diberitahu, mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
bertiga maklum bahwa hal ini menyangkut nama baik dan kehormatan Sin Kong Tianglo.
“Nah, sekarang kalian tahu mengapa dia menghendaki Goat Lan seorang yang mencari obat itu? Kakek
gila itu takut kalau-kalau para ahli obat di dunia kang-ouw akan mencela, mentertawainya, dan menghina
julukannya sebagai Yok-ong! Dan aku tahu, kalau terjadi hal demikian, maka nyawa Yok-ong itu tentu akan
berkeliaran lalu yang dijadikan sasaran terutama sekali adalah aku, karena akulah yang berjanji padanya
untuk menyampaikan hal ini kepada Goat Lan dan membujuknya agar supaya suka berbakti kepadanya.”
“Baik, Suhu, teecu akan pergi melanjutkan usaha Suhu Sin Kong Tianglo!” tiba-tiba Goat Lan berkata
dengan suara tetap.
Im-yang Giok-cu tertawa bergelak lalu menenggak araknya lagi.
“Ha-ha-ha-ha, sudah kuduga!” katanya dengan mata dikedip-kedipkan girang. “Bila tidak demikian
jawabanmu, kau tentu bukan murid Yok-ong dan aku!” Im-yang Giok-cu lalu menuangkan semua sisa
araknya ke dalam perut lalu berkata lagi dengan wajah berseri,
“Goat Lan, Sin Kong Tianglo telah berkata kepadaku bahwa bila kau mampu melanjutkan usahanya serta
mengangkat namanya sebagai Yok-ong, aku boleh memberikan barang warisannya ini!” Ia lalu
mengeluarkan sebuah bungkusan segi empat yang tipis kepada muridnya.
Goat Lan menerimanya dan dengan hati-hati ia membuka bungkusan kain kuning itu dan ternyata bahwa di
dalamnya terdapat sebuah kitab yang sudah usang dan kuning.
“Kitab obat dari Suhu!” Goat Lan berseru dengan mata terbelalak.
Pernah Yok-ong Sin Kong Tianglo menyatakan padanya bahwa di dunia ini banyak sekali orang-orang
pandai dan orang-orang jahat yang amat menginginkan kitab itu, akan tetapi suhu-nya itu selalu
menjaganya dengan baik-baik.
“Kitab ini sangat berharga,” kata suhu-nya dahulu, “maka jangan harap orang lain dapat mengambilnya dari
aku. Aku lebih menghargai kitab ini dari pada nyawaku sendiri! Dan kelak kalau aku mati kitab ini akan
kubawa serta. Karena kalau sampai terjatuh ke dalam tangan orang jahat, maka kitab ini akan
mendatangkan mala petaka hebat kepada dunia, walau pun di dalam tangan orang baik-baik benda ini
akan merupakan penolong manusia yang amat besar jasanya.”
Dengan bengong Goat Lan memegang kitab itu dan Im-yang Giok-cu berkata lagi, “Aku merasa berat
sekali membawa-bawa kitab ini selama melakukan perjalanan ke sini, oleh karena aku pun maklum akan
keinginan orang-orang kang-ouw yang menghendaki kitab ini. Di waktu kitab ini berada di tangan Sin Kong
Tianglo, tidak ada yang berani mencoba untuk merampasnya, akan tetapi sesudah orang tua itu meninggal
dunia, tentu mereka akan berusaha mendapatkan kitab ini. Oleh karena itu hati-hatilah kau menjaga kitab
ini, muridku. Dan satu hal lagi, apa bila kau hendak mencari obat Tohio-giok-ko, hanya satu tempat yang
terdapat daun dan buah itu yaitu pada sepanjang lembah Sungai Sungari di sebelah selatan kota Hailun.
Nah, aku telah memenuhi semua tugasku. Selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, Im-yang Giok-cu
lalu pergi dengan cepat tanpa dapat ditahan lagi.
Kwee An dan Ma Hoa kemudian saling pandang dengan mata masih mengandung penuh kekhawatiran.
Akhirnya Ma Hoa memegang tangan Goat Lan dan berkata,
“Goat Lan, memang sudah seharusnya kau menjaga nama baik suhu-mu. Akan tetapi, kami tidak tega
untuk melepasmu pergi seorang diri begitu saja. Kita akan pergi bertiga.”
“Benar kata-kata ibumu, Goat Lan, tempat itu amat jauh. Aku sendiri bersama Pendekar Bodoh pernah
melakukan perjalanan ke sana dan memang tempat itu amat berbahaya.”
“Akan tetapi, Suhu Sin Kong Tianglo telah memesan agar supaya aku pergi sendiri, kalau sampai
terdengar oleh orang kang-ouw bahwa sebagai murid Sin Kong Tianglo aku telah mengandalkan
kepandaian Ayah dan lbu untuk mendapatkan obat itu, bukankah nama Suhu akan ditertawakan orang?”
“Peduli apakah kalau mereka mentertawakan di belakang punggung kita?” kata Ma Hoa. “Coba suruh
mereka tertawa di depan mukaku, tentu tertawanya itu akan menjadi tawa terakhir dalam hidupnya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Akan tetapi aku ingin pergi seorang diri, Ibu. Apa bila Ayah dan Ibu turut membantuku, maka aku akan
merasa seolah-olah aku telah menyalahi pesan terakhir dari pada Suhu. Hanya kitab ini...” Ia memandang
kepada kitab itu dengan penuh khidmat, “aku tak berani membawa-bawanya pergi merantau. Lebih baik
ditinggal di sini saja dalam perlindungan Ayah dan Ibu.”
“Goat Lan, jangan kau berkata demikian,” ayahnya menegur. “Kalau kau pergi merantau seorang diri, kau
tentu akan membikin ibumu selalu merasa gelisah dan berkhawatir. Apa kau senang melihat ibumu selalu
dirundung kegelisahan memikirkan keadaanmu?”
Goat Lan menengok pada ibunya yang juga sedang memandangnya. Melihat sinar mata ibunya yang
penuh kasih sayang dan wajah yang cantik itu kini menjadi murung, Goat Lan lalu tersenyum dan memeluk
ibunya.
“Ahh, Ayah! Kau jangan merendahkan Ibu! Ibu kan bukan anak kecil lagi dan Ibu sudah menaruh
kepercayaan sepenuhnya padaku. Bukankah begitu, Ibu? Semenjak kecil, Ayah dan Ibu sudah mendidik
dan memberi pelajaran ilmu silat dan kepandaian untuk menjaga diri padaku. Bahkan delapan tahun
lamanya dua orang suhu-ku telah menggemblengku untuk meyakinkan ilmu silat tinggi, kemudian Ayah
dan Ibu memberi tambahan lagi ilmu kepandaian yang kupelajari dengan rajin. Selama bertahun-tahun itu
aku selalu tekun, rajin dan dengan susah payah belajar ilmu silat. Apa bila sekarang melakukan perjalanan
sebegitu saja aku harus mundur dan takut, apa perlunya selama ini aku mempelajari ilmu silat? Bukankah
hal itu hanya akan merendahkan nama kedua orang suhu-ku, bahkan akan mendatangkan rasa malu
kepada Ayah dan Ibu? Aku sudah mempelajari ilmu silat, jika sekarang tidak dipergunakan, habis apakah
kepandaian itu harus kukeram di dalam kamar, menyulam, membaca buku, mempelajari tulisan-tulisan
indah dan sajak, sehingga kepandaian silat itu akan membusuk dan kemudian terlupa olehku?”
Selama puteri mereka ini berbicara, Kwee An dan Ma Hoa bertukar pandang dan mata mereka bersinar
gembira. Girang hati mereka mendengar semangat yang gagah ini dan lenyaplah keraguan mereka. Tanpa
mereka lihat perubahannya, ternyata Goat Lan kini telah menjadi dewasa. Hanya orang yang sudah
dewasa saja dapat memiliki pendirian seperti itu.
Sesudah memberi nasehat-nasehat serta petunjuk-petunjuk yang sangat perlu diketahui seorang perantau,
akhirnya keduanya menyetujui keberangkatan Goat Lan
“Hanya satu hal yang harus kau janjikan,” kata Ma Hoa, “yaitu kau tidak boleh pergi lebih lama dari enam
bulan.”
“Baik, Ibu, aku berjanji. Menurut perhitungan Ayah, perjalanan ke situ pulang pergi hanya makan waktu dua
bulan, maka waktu enam bulan sudah cukup bagiku.”
“Bukan karena aku ingin memberi batas waktu yang terlalu sempit dan mengikat, anakku, hanya kau harus
ingat bahwa usiamu telah masuk sembilan belas tahun dan perjanjian kita terhadap keluarga Sie sudah
dekat waktunya.”
Tiba-tiba saja wajah Goat Lan menjadi merah sekali. Dia memang tahu bahwa dia telah dipertunangkan
dengan Sie Hong Beng, kakak dari Lili, putera dari Pendekar Bodoh yang tidak diketahui bagaimana
rupanya. Ia hanya satu kali bertemu dengan Sie Hong Beng, yaitu ketika ia masih berusia lima tahun!
Semenjak itu, belum pernah ia bertemu lagi dan ia sudah lupa akan rupa pemuda yang kini menjadi caIon
suaminya itu.
Memang, jika ia ingat bahwa pemuda itu adalah kakak Lili yang cantik manis dan putera dari Pendekar
Bodoh yang amat terkenal sebagai suami isteri pendekar yang gagah dan dikasih sayangi oleh ayah
ibunya, dia boleh merasa puas akan ikatan jodoh ini. Namun betapa pun juga, sungguh pun mulutnya tidak
pernah berkata sesuatu, akan tetapi ada perasaan kurang enak dalam lubuk hati. Ia belum melihat
bagaimana keadaan pemuda tunangannya itu, bagaimana macam orangnya dan bagaimana pula
kepandaiannya.
Goat Lan berangkat ke utara sambil membawa pesan dan nasehat kedua orang tuanya. Ia masih ingat
betapa ayah ibunya beberapa kali berpesan kepadanya bahwa apa bila ia bertemu dengan seorang yang
bernama Bouw Hun Ti, ia diperbolehkan menyerang dan membinasakan orang itu tanpa perlu ragu-ragu
lagi.
“Dia adalah pembunuh Paman Yousuf dan dulu telah menculik Lili, maka berarti bahwa dia adalah musuh
dunia-kangouw.blogspot.com
besar kita pula. Menurut penuturan Pendekar Bodoh, penjahat yang bernama Bouw Hun Ti itu
kepandaiannya tak perlu ditakutkan, akan tetapi kau berhati-hatilah Goat Lan, karena dia adalah murid dari
Ban Sai Cinjin yang terkenal amat jahat dan curang.”
Bagaikan seekor burung terlepas dari kurungan, Goat Lan melakukan perjalanan dengan amat gembira.
Baru kali ini ia melakukan perantauan dan melakukan segala sesuatu atas keputusan sendiri. Selama ini
selalu ada orang-orang yang menjaganya, suhu-suhu-nya, ayah ibunya, dan baru sekarang ia merasa
betapa besar kegunaan segala pelajaran ilmu silat yang dipelajarinya selama bertahun-tahun itu.
Dia tidak membekal senjata lain kecuali sepasang bambu runcingnya, dan karena ayah bundanya juga
maklum akan kemampuannya menjaga diri dengan tangan kosong atau dengan bambu runcing itu, maka
mereka melepaskan dengan hati aman.
Tepat seperti yang sudah diperhitungkan oleh Kwee An, kurang lebih sebulan kemudian sesudah
melakukan perjalanan cepat dan lancar, Goat Lan tiba di lembah sungai Sungari di perbatasan Boancu.
Dia lalu berjalan di sepanjang sungai itu dan ketika dia sampai di sebelah selatan kota Hailun, ternyata
bahwa lembah itu tertutup oleh hutan yang sangat liar dan gelap.
Hari sudah menjadi senja ketika dia tiba di sebuah dusun di luar hutan. Melihat ke arah hutan yang sangat
gelap sehingga membuat tempat itu nampak hampir hitam, Goat Lan terpaksa menunda perjalanannya.
Dia merasa lapar setelah melakukan perjalanan sehari lamanya, akan tetapi walau pun asap gurih dan
sedap yang keluar dari sebuah rumah makan kecil membuat hidungnya berkembang kempis dan perutnya
menggeliat-geliat, ia dapat menahan seleranya dan lebih dulu mencari tempat penginapan.
Namun ia kecewa karena ternyata bahwa di dusun itu tidak terdapat rumah penginapan. Satu-satunya
rumah penginapan kecil yang masih ada papan namanya, sudah ditutup. Heranlah Goat Lan melihat
keadaan ini dan dia bertanya kepada seorang kakek petani yang memandangnya dari pintu rumahnya.
“Lopek, aku adalah seorang pelancong yang membutuhkan tempat penginapan. Di mana kiranya terdapat
rumah penginapan di dusun ini?”
Kakek itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian dan sepasang matanya yang keriput dan sipit
itu membayangkan kecurigaan besar, tapi melihat bahwa yang bertanya kepadanya adalah seorang gadis
muda cantik dan halus tutur sapanya, kecurigaannya berubah menjadi keheranan besar.
“Nona, mendengar bicaramu, kau tentulah datang dari selatan. Mengapa kau tersasar sampai sejauh ini?
Kau lihat sendiri, di dusun ini hanya sebagian saja dari penduduknya adalah orang-orang Han, sebagian
besar adalah penduduk dari suku bangsa lain. Kau hendak pergi ke manakah?”
Memang benar, sejak tadi agak sukar bagi Goat Lan untuk bertanya keterangan sesuatu, karena di manamana
dia melihat orang-orang yang amat berlainan dengan orang-orang Han, baik bentuk muka mau pun
keadaan pakaiannya. Sungguh pun jawaban kakek ini tidak pada tempatnya, yaitu menjawab dengan
sebuah pertanyaan pula, akan tetapi Goat Lan tetap bersabar dan tersenyum ramah.
“Tidak salah dugaanmu, Lopek. Aku memang datang dari selatan dan seperti yang telah kukatakan tadi,
aku adalah seorang pelancong.”
“Sebagai seorang pelancong, kau benar-benar sudah memilih tempat yang aneh. Hawa begini dingin, tidak
ada pemandangan indah di sini, banyak penyakit merajalela.”
Ia memandang pada pakaian Goat Lan yang tidak tebal dan kepada wajah serta tangan gadis itu yang
telanjang tidak tertutup sesuatu, dan makin heranlah hatinya. Bagaimana mungkin seorang gadis cantik
jelita dan muda seperti ini mampu menahan dingin yang menggoroti kulit?
Pada waktu itu, bulan kedua baru tiba dan keadaan sedang dingin-dinginnya. Bagi kakek itu sendiri biar
pun telah puluhan tahun ia tinggal di daerah dingin ini, namun tetap saja pada waktu seperti itu, tanpa
perlindungan pakaian dari kulit domba, ia takkan tahan dan dan kulit tubuhnya akan pecah-pecah.
“Nona, selanjutnya kau hendak ke manakah?” tanyanya kemudian.
“Aku ingin bermalam di dusun ini untuk satu malam saja dan besok pagi-pagi aku akan melanjutkan
perjalanan ke sana!” Goat Lan menudingkan telunjuknya ke arah hutan yang kini sudah menjadi hitam
dunia-kangouw.blogspot.com
karena diselimuti oleh malam yang mulai mendatang.
Tiba-tiba kakek itu nampak gugup dan pucat.
“Jangan, Nona...! Jangan kau pergi ke sana. Dengarlah kata-kata orang tua seperti aku. Hidupku tidak
akan lama lagi dan aku ingin mencegah seorang muda seperti engkau dari kesengsaraan, jangan kau
memasuki tempat itu kalau kau sayang kepada nyawamu!”
Goat Lan sangat terkejut, akan tetapi hatinya yang tabah membuat ia tetap tenang. Ia memandang kepada
kakek itu dengan tajam dan ketika kakek itu balas memandang dan sinar mata mereka bertemu, kakek itu
menjadi makin pucat dan dia melangkah mundur dua langkah.
“Kau… matamu sama benar dengan matanya… kau...”
“Ehh, ada apakah Lopek? Aku seorang manusia biasa, seorang pelancong yang sedang membutuhkan
tempat penginapan untuk beristirahat malam ini. Jangan kau bicara yang aneh-aneh Lopek. Dapatkah kau
menolongku dan memberitahukan di mana aku dapat bermalam? Kalau tidak mau, tidak apalah, aku bisa
mencari keterangan dan minta tolong kepada orang lain.”
Ucapan ini agaknya menyadarkan kakek itu kembali.
“Kau... kau bukan orang jahat?”
Goat Lan merasa dongkol, akan tetapi terpaksa dia tersenyum juga. Melihat pandangan mata dan wajah
kakek itu, ia maklum bahwa sikap yang aneh ini timbul dari rasa takut yang hebat dari orang tua ini.
“Tiada gunanya aku menjawab pertanyaanmu ini, Lopek. Siapakah orangnya di dunia ini yang suka
mengaku bahwa ia adalah orang jahat? Tentu saja seperti orang lain di dunia ini, aku akan menjawab
bahwa aku bukan orang jahat, akan tetapi meski pun kau dapat mendengar jawaban mulutku, bagaimana
kau akan dapat mengetahui keadaanku yang sebenarnya?”
Jawaban ini benar-benar membuat kakek itu tercengang.
“Nona, kau masih amat muda akan tetapi sudah dapat bicara seperti itu. Terang bahwa kau bukan orang
jahat. Mari, silakan masuk, akan kuceritakan kenapa aku mencegahmu memasuki tempat berbahaya itu.”
Akan tetapi Goat Lan menggelengkan kepalanya. “Aku datang untuk mencari tempat penginapan Lopek,
bukan untuk mendengar cerita tentang tempat berbahaya.”
Dia mengangguk dan hendak pergi meninggalkan kakek itu. Akan tetapi orang tua itu melangkah maju dan
berkata,
“Nona, apa bila aku sudah mempersilakan kau masuk ke dalam gubukku, itu berarti aku menawarkan
tempat ini untuk kau tinggal malam ini. Tentu saja kalau kau sudi tinggal di rumah yang buruk dan kecil ini.
Dan aku berani menawarkan rumahku, oleh karena aku maklum bahwa di dalam dusun ini kau tak akan
dapat menemukan rumah penginapan. Nah, sudikah kau?”
Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari kakek itu dan melihat pandang matanya yang jujur, Goat Lan
terpaksa melangkah masuk dan sambil tersenyum dia menyatakan terima kasihnya. Di luar dugaannya
semula, walau pun rumah itu dari luar nampak amat buruk dan di dalamnya juga sangat sederhana, namun
benar-benar bersih dan menyenangkan.
Sebuah lampu terletak menyala di atas meja kayu yang sederhana bentuknya akan tetapi yang sering kali
bertemu dengan kain pembersih. Di kanan kiri meja itu terdapat dua buah bangku kayu yang sederhana
pula. Dari ruang depan yang kecil ini nampak dua buah pintu kamar di kanan kiri yang tertutup oleh muili
(tirai pintu) yang berwarna kuning dan cukup bersih sungguh pun sudah ada beberapa tambalan di sana
sini.
Kakek itu mempersilakan Goat Lan mengambil tempat duduk di atas bangku. Lalu dia sendiri
mengeluarkan sebotol arak dan dua cawan kosong dari peti besi yang berdiri di sudut.
“Aku orang miskin, Nona, seperti sebagian besar orang yang tinggal di sini.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kau maksudkan, seperti sebagian besar manusia di dunia ini,” menyambung Goat Lan. “Kemiskinan
bukanlah hal yang menyusahkan hati, Lopek.”
Kembali kakek itu tercengang dan wajahnya berseri. “Mendengar ucapanmu, hampir aku percaya bahwa
kau adalah seorang gadis petani yang sederhana dan bijaksana. Akan tetapi tidak mungkin seorang gadis
petani mempunyai wajah seperti kau dan pakaianmu pula. Ahhh, kau tentulah seorang gadis bangsawan
yang kaya raya.” Sebelum Goat Lan membantah kakek itu telah menaruh botol arak di atas meja, lalu
cepat berkata lagi. “Kau tentu belum makan, Nona? Tunggulah, biar aku masak bubur untukmu.”
Goat Lan cepat mencegah dan segera dia mengeluarkan sepotong uang perak. “Jangan repot-repot,
Lopek. Memang aku lapar dan belum makan semenjak pagi tadi, akan tetapi kalau kau suka, tolonglah
belikan nasi dan sedikit masakan dengan uang ini.”
Kakek itu memandang ke arah uang perak di atas meja dan tersenyum pahit, kemudian dia mengambil
uang itu dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu bertindak keluar.
“Lopek, jangan lupa, beli untuk dua orang. Aku tidak mau makan sendiri saja!” Goat Lan berseru kepada
kakek itu yang hanya menjawab dengan anggukan kepala.
Goat Lan yang sudah banyak menerima banyak pesan dari ayah bundanya agar supaya berlaku hati-hati,
setelah kakek itu keluar, cepat dia mengadakan pemeriksaan di dalam rumah itu. Disingkapnya tirai pintu
kamar dan dilongoknya ke dalam.
Kamar tidur biasa saja dan amat sederhana. Demikian pula kamar tidur ke dua. Rumah ini benar-benar
kosong, tidak ada orang lain dan agaknya menjadi tempat tinggal dari dua orang, melihat adanya dua buah
kamar tidur itu.
Ia lalu membuka tutup botol arak dan mencicipi sedikit. Arak biasa saja, arak merah yang sudah dicampur
dengan air. Ia lalu duduk lagi dengan lega. Tidak dapat diragukan lagi bahwa kakek itu adalah seorang
petani miskin yang sederhana dan jujur. Kalau memang di dusun ini tidak ada rumah penginapan, tidak ada
tempat yang lebih aman dan baik dari pada rumah Pak Tani ini.
Goat Lan menurunkan buntalan pakaian dari pundaknya dan meletakkan buntalan itu di atas meja,
kemudian ia duduk melonjorkan kedua kakinya yang penat. Kakek yang aneh, pikirnya, mengapa ia begitu
takut kepada hutan itu?
Tak lama kemudian kakek itu datang membawa makanan. Tanpa banyak cakap mereka berdua lalu makan
bersama bagaikan keluarga serumah. Entah mengapa, duduk makan bersama kakek di dalam rumah
sederhana itu membuat Goat Lan teringat kepada ayah bundanya! Sesudah selesai makan, barulah Goat
Lan bertanya mengapa kakek itu tadi melarangnya memasuki hutan liar itu.
Sebelum menjawab, kakek itu mengusap perutnya dan berkata, “Ah, alangkah nikmatnya makan masakan
mahal itu. Sudah bertahun-tahun tidak merasai makanan sesedap itu.”
Goat Lan tersenyum dan hatinya gembira karena sedikit uangnya dapat mendatangkan kenikmatan kepada
kakek yang ramah tamah ini. “Kalau setiap hari kau masak masakan seperti ini, akan lenyaplah
kelezatannya, Lopek.”
“Kau benar!” kakek itu berseru gembira. “Kau mengingatkan aku akan dongeng tentang raja yang sudah
bosan dengan semua kemewahan dan makanan enak yang setiap hari dihadapinya hingga dia tidak doyan
lagi semua makanan-makanan lezat dan mahal yang dihadapinya dan ingin ia menjadi seorang petani
yang dapat makan hidangan sederhana dengan lahapnya. Dia tidak tahu sama sekali betapa sambil makan
hidangannya yang miskin, petani itu pun merindukan makanan lezat yang dihadap raja. Ha-ha-ha!”
Goat Lan mengangguk. “Demikianlah jika nafsu angkara mempermainkan hati manusia, Lopek. Selalu
bosan akan keadaan diri sendiri dan selalu ingin menjangkau apa yang tidak dimilikinya.”
“Kau pintar sekali! Ha-ha-ha, kau sungguh mengagumkan, Nona.”
“Lopek, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Mengapakah kau nampak begitu takut kepada hutan itu
dan mengapa pula kau mencegahku memasukinya?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba lenyaplah kegembiraan pada wajah kakek itu. Ia menghela napas beberapa kali lalu menceritakan
dengan suara perlahan.
“Hutan itu memang semenjak dahulu sangat liar. Selain banyak terdapat binatang buas, terutama sekali
ular-ular berbisa, juga belum lama ini di dalam hutan itu muncul seorang siluman yang sangat mengerikan!
Dahulu di dalam hutan itu terdapat satu gerombolan perampok yang mempergunakan hutan itu sebagai
asrama, akan tetapi begitu siluman itu muncul, pada suatu pagi tahu-tahu para perampok yang jumlahnya
tiga puluh orang lebih itu telah menggeletak di luar hutan dalam keadaan luka-luka hebat dan bertumpuktumpuk!
Dan menurut cerita mereka, katanya pada malam hari itu mereka diserang oleh seorang siluman
wanita yang mengerikan! Semenjak saat itulah tidak ada perampok lagi yang mengganggu sekitar daerah
ini, akan tetapi juga tidak ada seorang pun manusia berani memasuki hutan yang mengerikan itu.”
Goat Lan merasa amat tertarik mendengar cerita ini. “Benar-benar tak pernah ada orang yang berani
memasuki hutan itu, Lopek?” dia bertanya.
Orang tua itu mengerutkan keningnya.
“Semenjak saat itu memang tak pernah ada manusia yang lewat di sini dan terus menuju ke hutan.
Kukatakan manusia, karena tentu saja yang berani memasuki hutan itu hanya iblis-iblis dan silumansiluman,
bukan manusia biasa seperti yang kulihat kemarin.” Kakek itu nampak takut-takut dan merasa
ngeri ketika ia memandang ke arah pintu depan yang terbuka dan nampak hitam kelam di luar.
“Apa maksudmu, Lopek? Apakah ada iblis dan siluman yang kau lihat memasuki hutan itu?” ketika
mengajukan pertanyaan ini, biar pun Goat Lan seorang dara perkasa yang tak kenal takut, namun kini dia
merasa betapa bulu tengkuknya meremang!
“Betul, memang mereka bukan manusia!” Kakek itu mengangguk dan berkata sambil berbisik, “Aku melihat
ada empat bayangan yang seperti sosok bayangan manusia, akan tetapi luar biasa anehnya. Baru cara
mereka berjalan saja sudah aneh, begitu cepatnya seperti terbang! Memang, kurasa mereka itu berjalan
tidak menginjak bumi seperti biasa iblis berjalan, melayang-layang satu kaki di atas tanah! Dan bentuk
tubuh mereka juga sungguh ganjil! Yang tinggi berkepala kecil, yang pendek berkepala besar. Huh,
sungguh menyeramkan!”
“Berapa orangkah semuanya, Lopek?”
“Ada empat! Yang seorang seperti manusia biasa, akan tetapi yang tiga orang, ahh, aku masih menggigil
ketakutan kalau teringat akan mereka! Maka, sekali lagi aku minta agar kau membatalkan niatmu
memasuki hutan itu, Nona. Apa bila kau hendak melakukan perjalanan, jangan sekali-kali berani memasuki
hutan yang penuh siluman dan binatang buas itu.”
Goat Lan tersenyum. “Percayalah, Lopek, mendengar ceritamu ini, aku pun merasa takut dan ngeri. Akan
tetapi, tentang memasuki hutan, aku tak akan mundur. Besok pagi-pagi aku tetap akan melanjutkan
perjalananku memasuki hutan itu, dan apa bila seperti yang kau katakan tadi…”
“Apa yang hendak kau lakukan? Apa dayamu terhadap siluman-siluman yang pandai terbang melayang?
Nona, jangan kau mencari penyakit!”
Goat Lan tersenyum lagi. “Kalau bertemu dengan mereka, akan kusampaikan salamku kepada mereka,
Lopek.”
Kakek itu melengak dan memandang kepada dara perkasa itu dengan mata terbelalak. “Nona, jangan kau
main-main! Tiga puluh lebih perampok yang gagah perkasa dan kuat roboh luka-luka tak berdaya
menghadapi seorang siluman wanita dari hutan itu. Apa lagi Nona hanya gadis muda, dan kini dalam hutan
itu terdapat sekian banyak siluman!”
Goat Lan tidak menyembunyikan senyumannya. “Lopek, jangan kau khawatir. Sebetulnya aku pernah
mempelajari ilmu kepandaian dan tahu cara bagaimana harus menghadapi dan mengalahkan silumansiluman!”
Tiba-tiba gadis itu memandang ke arah pintu dan alangkah kagetnya hati kakek itu ketika melihat gadis itu
sekali berkelebat telah lenyap dari hadapannya dan terdengar seruan gadis itu dari luar pintu. “Siluman dari
dunia-kangouw.blogspot.com
mana berani mengintai rumah orang?”
Terdengar suara angin di luar pintu dan ketika kakek itu memburu keluar, dia melihat dua bayangan orang
berkelebat seperti sedang bertempur! Tidak lama kemudian terdengar seruan seorang laki-laki yang
suaranya parau,
”Aduhh...!”
Dan terlihat olehnya betapa bayangan yang berseru kesakitan itu berlari cepat ke arah hutan! Ketika kakek
itu masih memandang dengan tubuh menggigil dan muka pucat, ia melihat bayangan ke dua, melompat ke
hadapannya dan ternyata bahwa bayangan ini adalah bayangan gadis yang tadi duduk berhadapan
dengan dia.
“Jangan takut, Lopek. Siluman tadi telah pergi.” Ia lalu memegang lengan kakek itu dan dibawanya masuk
ke dalam pondok.
Kedua mata kakek itu hampir keluar dari rongganya ketika ia memandang kepada Goat Lan dengan mata
terbelalak. Sukar sekali dapat dipercaya betapa seorang gadis cantik jelita dan jenaka seperti ini benarbenar
sanggup mengusir pergi seorang siluman jahat! Kemudian di dalam benaknya yang sudah banyak
dipengaruhi cerita tahyul itu timbullah sangkaan bahwa gadis ini tentulah seorang bidadari, bukan seorang
manusia biasa. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Goat Lan dan berkata,
“Niang-niang (sebutan untuk bidadari atau dewi), mohon maaf sebesarnya bahwa hamba tadi sudah berani
berlaku kurang ajar dan kurang menghormat. Harap Niang-niang sudi mengampunkan dosa hamba tadi...”
Hampir saja Goat Lan tertawa bergelak-gelak ketika menyaksikan tingkah laku orang tua ini. Ia merasa geli
sekali dan dengan agak kasar ia membetot tangan kakek itu supaya bangun dan berdiri kembali.
“Lopek, apakah kau mengajak aku bermain sandiwara? Jangan menyangka yang bukan-bukan Lopek, dan
marilah kita mengaso. Aku perlu beristirahat untuk menghadapi hari esok.”
Dia kemudian memasuki sebuah di antara dua kamar itu dan merebahkan diri di atas pembaringan tanpa
membuka pakaian dan sepatu. Kakek itu setelah berkali-kali menarik napas panjang saking heran dan
kagum, lalu menutup pintu dan buru-buru memasuki kamar ke dua.
Akan tetapi bagaimana dia dapat tidur? Pikirannya penuh dengan siluman-siluman dan dewi yang gagah
perkasa itu, dan diam-diam dia merasa girang sekali bahwa dia telah mendapat kehormatan besar menjadi
tuan rumah dari seorang bidadari atau dewi. Dia akan menceritakan hal ini kepada semua tetangga, dan
dia akan menjadikan peristiwa ini sebagai kebanggaannya seumur hidup.
Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia mendengar suara.
“Lopek, selamat tinggal dan terima kasih!”
Ketika ia melompat bangun dan keluar dari kamarnya, ternyata tamunya yang cantik dan aneh itu sudah
pergi dan tidak berada di dalam kamar lagi. Di atas mejanya terdapat tiga potong uang perak yang cukup
besar!
Kembali kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan mulutnya berkemak-kemik seperti laku seorang dukun
meminta berkah dari Penghuni Langit!
Goat Lan memang meninggalkan rumah itu secara diam-diam dan di waktu hari masih pagi sekali, karena
ia merasa tidak enak melihat sikap kakek yang berlebih-lebihan dan yang amat tahyul itu.
Malam tadi, dia sudah merasa heran sekali ketika melihat benar-benar ada orang yang mengintai rumah
kakek itu. Lebih-lebih herannya ketika ia menyerbu keluar, ia disambut oleh seorang laki-laki setengah tua
yang berkepandaian tinggi!
Begitu keluar pintu karena melihat berkelebatnya bayangan yang mengintai, dia segera mengulur tangan
hendak menangkap pundak orang itu dengan gerakan dari Gin-na-hwat (ilmu silat yang mempergunakan
tangkapan dan cengkeraman). Akan tetapi ketika lelaki itu menangkis, Goat Lan merasa betapa tangkisan
itu berat dan kuat sekali mengandung tenaga lweekang yang tak boleh dibuat gegabah!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia maklum bahwa ‘siluman’ ini adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, maka cepat dia lalu
mengeluarkan Ilmu Silat Im-yang Kun-hoat dan menyerang hebat. Sampai beberapa belas jurus orang itu
dapat mempertahankan diri, akan tetapi akhirnya sebuah totokan jari tangan Goat Lan pada pundaknya
membuat dia berseru kesakitan dan cepat melarikan diri ke arah hutan!
Hal inilah yang membuat Goat Lan mendapat kesimpulan bahwa di dalam hutan itu tentu terdapat orangorang
yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Dia masih belum dapat menetapkan apakah orang-orang
itu termasuk golongan orang jahat atau orang gagah yang menyembunyikan diri dari dunia ramai.
Orang yang malam tadi bertempur dengan dia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi sehingga
totokannya tak membuatnya roboh, hanya berseru kesakitan akan tetapi masih dapat melarikan diri. Kalau
saja ia tidak mempunyai keperluan untuk mencari obat To-hio-giok-ko yang berada di lembah sungai dalam
hutan itu, tentu dia juga tidak mau memasuki hutan dan mencari penyakit atau perkara dengan orangorang
yang dianggap siluman oleh kakek itu.
Dengan waspada dan hati-hati sekali Goat Lan berjalan memasuki hutan itu, lalu mencari sungai yang
mengalir di hutan. Hutan ini sungguh liar dan penuh dengan pohon-pohon besar, penuh pula dengan
semak-semak belukar yang tampaknya belum pernah dijamah oleh tangan manusia.
Pada waktu dia sampai di pinggir sungai yang ditumbuhi rumput-rumput hijau, tiba-tiba ia mendengar suara
gerakan di antara semak-semak. Dia cepat memandang sambil segera menghentikan langkah kakinya,
akan tetapi ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Ah, tentu seekor binatang yang lari bersembunyi, pikirnya. Dengan tenang dan tabah dia melanjutkan
perjalanannya di sepanjang Sungai Sungari yang lebar dan jernih airnya, terus menuju ke utara. Matanya
mencari-cari ke kanan kiri, melihat rumput-rumput yang tumbuh di situ.
Beberapa kali ia seperti mendengar suara tindakan orang yang mengikutinya, akan tetapi setiap kali dia
menengok, dia tidak melihat bayangan seorang pun. Diam-diam ia merasa ngeri juga. Benarkah dongeng
kakek itu bahwa di dalam hutan ini terdapat banyak setan dan siluman?
Ia seperti mendengar tindakan kaki orang yang ringan sekali dan kalau memang yang berjalan itu seorang
manusia, ia tentu akan dapat melihatnya. Sampai tiga kali ia merasa seperti mendengar orang berjalan,
akan tetapi betapa pun cepatnya dia menengok ke belakang, ia tak pernah melihat sesuatu, kecuali daundaun
pohon yang bergerak tertiup angin atau seekor burung yang terbang sambil mengeluarkan seruan
kaget.
Ahh, peduli apa dengan siluman mau pun orang? Asal saja dia tidak menggangguku, pikirnya. Dia lalu
melanjutkan usahanya mencari daun dan buah obat itu. Akan tetapi sampai matahari naik tinggi, belum
juga dia mendapatkan Daun Golok Buah Mutiara.
Banyak terdapat bermacam-macam pohon di tempat itu, akan tetapi tiada yang berdaun seperti golok dan
berbuah seperti mutiara. Goat Lan adalah seorang gadis muda yang lincah dan jenaka, maka ia mulai
merasa tipis harapannya. Ia kurang sabar dan akhirnya ia pun duduk beristirahat di bawah pohon sambil
makan buah yang dipetiknya di tengah perjalanan itu.
Tiba-tiba ia melempar buah yang dimakannya dan melompat berdiri. Ia mendengar suara orang bicara dan
tak lama kemudian, di tempat itu muncullah empat orang laki-laki yang berlompatan keluar dari balik
pohon-pohon besar. Melihat mereka ini, jantung Goat Lan langsung berdebar dan merasa bulu tengkuknya
meremang. Betul-betulkah ada siluman muncul di siang hari?
Tiga di antara empat orang yang muncul ini benar-benar tidak pantas disebut manusia, ada pun orang ke
empat potongan tubuhnya seperti yang sudah bertempur dengan dia malam tadi! Orang ke empat ini
adalah seorang setengah tua yang bertubuh kekar dan berjenggot lebat. Dia tersenyum menyeringai dan
berkata kepada tiga orang kawannya yang seperti siluman,
“Sam-wi-enghiong (Tuan Bertiga Yang Gagah), inilah Nona yang gagah dan jelita itu!”
Tak salah lagi, orang inilah yang telah bertempur dengan dia malam hari tadi, pikir Goat Lan dan
mendengar orang itu bercakap-cakap dengan bahasa manusia kepada tiga orang yang seperti siluman,
legalah hatinya. Apa pun juga yang akan terjadi, dia tidak merasa gentar menghadapi sesama manusia!
Dia mulai menaruh perhatian kepada tiga orang aneh itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang, tiga orang ini benar-benar mempunyai bentuk yang lucu dan aneh. Mereka ini bukan lain adalah
Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun). Yang tertua bernama Thian-he Te-it Siansu
(Manusia Dewa Nomor Satu di Dunia) dan sungguh pun ini bukan sebuah nama, namun oleh orang ini
diaku sebagai nama julukannya!
Thian-he Te-it Siansu ini adalah seorang yang tubuhnya seperti seorang kanak-kanak, akan tetapi
kepalanya botak dan jenggotnya sudah putih semua. Mukanya jelas muka seorang kakek yang sudah
tinggi usianya. Kedua kakinya kecil seperti kaki kanak-kanak pula, begitu pula tangannya. Orang kate ini
memegang sebatang payung yang ujungnya tumpul dan setiap ranting payungnya terbuat dari logam keras
yang berujung runcing.
Orang ke dua adalah seorang pendek gemuk sekali yang bermuka lebar dan mulut serta kedua matanya
besar-besar. Kepalanya tertutup kopyah pendeta yang bertuliskan huruf ‘Buddha’. Orang ini selalu
tersenyum lebar dan ia berjalan sambil menyeret sebuah rantai panjang dan besar. Inilah orang kedua dari
Hailun Thai-lek Sam-kui yang bernama Lak Mou Couwsu.
Ada pun orang ke tiga berpotongan tubuh seperti suling, tinggi kurus dengan kepala kecil tertutup kopyah
kecil pula. Kumisnya hanya beberapa lembar di kanan kiri sementara jenggotnya hitam seperti jenggot
kambing modelnya. Dia memegang sebatang tongkat dan namanya adalah Bouw Ki.
Melihat keadaan mereka, agaknya tidak pantas sama sekali bahwa mereka ini adalah Hailun Thai-lek Samkui
yang sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw dan membuat para orang gagah gentar mendengar
nama mereka!
Orang ke empat, yaitu orang setengah tua yang tadi malam bertempur dengan Goat Lan, sebenarnya
adalah Bouw Hun Ti! Memang, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Bouw Hun Ti pergi ke
utara untuk membujuk dan minta bantuan Hailun Thai-lek Sam-kui untuk memperkuat kedudukannya
menghadapi para musuhnya, yaitu Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya.
Ketika Bouw Hun Ti dan kawan-kawannya tiba di dusun itu, dan sebagaimana biasa ketiga orang iblis itu
tidak suka bermalam di tempat ramai, akan tetapi memilih hutan belukar, Bouw Hun Ti lalu berjalan-jalan
dan dia melihat Goat Lan!
Bouw Hun Ti selain jahat dan kejam, juga mempunyai kelemahan terhadap wajah elok. Maka begitu
melihat Goat Lan yang cantik jelita seperti bidadari, ia pun menjadi tertarik. Malam hari itu dia mendatangi
gubuk kakek yang menjadi tuan rumah Goat Lan, akan tetapi tak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu
ternyata bukanlah makanan empuk, bahkan ia terkena totokan yang amat lihai! Tentu saja Bouw Hun Ti
menjadi terkejut dan curiga.
Siapakah gadis muda yang lihai sekali ini? Dan apakah perlunya seorang gadis pendekar bangsa Han
sampai di tempat itu? Ia lalu menceritakan keadaan gadis itu kepada tiga orang kawannya yang juga amat
tertarik hatinya.
Seorang di antara ketiga iblis itu, yaitu Lak Mou Couwsu, adalah seorang yang sangat malas dan paling
doyan tidur. Sampai matahari naik tinggi, belum juga dia bangun dan masih mendengkur di bawah pohon
di dalam hutan itu.
Bouw Hun Ti sudah kehabisan kesabarannya, karena dia ingin sekali mencari gadis yang lihai malam tadi.
Akan tetapi ketika dia hendak membangunkan Lak Mou Couwsu, hampir saja dia menjadi korban kaki
kakek aneh ini.
Begitu dia memegang lengan Lak Mou Couwsu dengan maksud hendak rnenggugahnya, tiba-tiba saja kaki
kanan orang tua aneh itu bergerak cepat sekali menendang ke arah dadanya! Baiknya pada waktu itu
tangannya sudah disambar oleh Thian-he Ta-it Siansu yang segera membetotnya ke belakang sehingga
tendangan itu tidak mengenai sasaran. Bouw Hun Ti terkejut sekali dan ketika dia memandang ke arah
orang yang masih tidur mendengkur, dia mendapat kenyataan bahwa kakek gemuk itu masih tidur
nyenyak!
“Bouw-enghiong, jangan kau bertindak sembarangan!” Kakek kate botak itu menegurnya. “Sungguh pun
dia ini amat pemalas dan doyan tidur, akan tetapi sekali-kali tidak boleh dibangunkan, karena sebelum tidur
dia tentu telah memasang dan membuat semua urat di tubuhnya bersiaga. Siapa saja yang menyentuhnya,
dunia-kangouw.blogspot.com
otomatis tentu akan diserangnya, biar pun dia masih dalam keadaan tidur!”
Bouw Hun Ti menjulurkan lidahnya. Selama hidup baru kali ini dia mendengar keanehan dan kelihaian
seperti itu. Oleh karena itu, ia menahan kesabarannya dan menanti sampai matahari naik tinggi barulah
orang tua itu sadar dari pulasnya. Mereka lalu berangkat dan di tengah jalan bertemulah mereka dengan
Goat Lan!
Tiga iblis tua itu memandang kepada Goat Lan sambil tertawa-tawa dan Hailun Thai-lek Sam-kui bertanya,
“Nona muda, kau siapakah dan siapa pula Suhu-mu sehingga kau mampu mengalahkan dia?” Ia menunjuk
kepada Bouw Hun Ti.
Goat Lan menjura dan berkata dengan suara halus, “Orang tua, burung-burung di udara bertemu di
angkasa tak pernah saling bertanya dan mengurus persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan
dirinya. Kita orang-orang perantau sebaiknya dapat mencontoh burung-burung itu.”
Memang Goat Lan tak ingin orang mengetahui keadaannya dan tak menghendaki orang mengetahui akan
maksudnya mencari obat untuk putera kaisar. Siapa tahu orang ini juga termasuk mereka yang hendak
menghalangi usaha mendiang suhu-nya.
Mendengar jawaban ini, Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak dan dia lalu memandang kepada kawankawannya
yang juga tertawa geli. Hanya Bouw Hun Ti seorang diri yang memandang kepada Goat Lan
dengan pandang mata menyatakan kekagumannya dan juga penasaran. Setelah melihat Goat Lan di siang
hari, ia makin tertarik akan kecantikan nona ini dan makin penasaranlah hatinya mengapa ia sampai kalah
oleh seorang nona yang demikian muda.
“Ha-ha-ha, Nona yang baik!” kata Thian-he Te-it Siansu, “kau tidak saja berkepandaian lumayan akan
tetapi juga mempunyai pandangan luas dan ketabahan yang cukup. Hutan yang seliar ini berani kau
masuki. Sungguh pun aku orang tua tidak dapat menyangkal kebenaran ucapanmu, akan tetapi ketahuilah
bahwa baru bisa bertemu dengan kami tiga orang-orang tua saja sudah merupakan hal yang langka dan
luar biasa bagimu. Kami adalah Hailun Thai-lek Sam-kui, tiga orang tua dari Hailun yang bodoh! Dan
sahabat baik kami ini,” ia menudingkan telunjuknya ke arah Bouw Hun Ti, “adalah seorang yang cukup
ternama juga. Namanya Bouw Hun Ti dan kepandaiannya cukup lihai! Nah, setelah kami memperkenalkan
nama, masihkah kau menganggap bahwa kau terlampau tinggi untuk memperkenalkan diri kepada kami?”
Goat Lan terkejut sekali mendengar nama ketiga orang tua ini karena dia pun pernah mendengar dari dua
orang suhu-nya bahwa Hailun Thai-lek Sam-kui adalah tokoh-tokoh persitatan yang pandai dan ditakuti
orang. Akan tetapi, mendengar nama Bouw Hun Ti membuat dia lebih tercengang lagi dan kemarahan
membuat mukanya menjadi merah padam. Inikah si jahat yahg pernah menculik Lili dan membunuh
Yousuf?
“Sam-wi Locianpwe,” katanya kepada kakek kate itu sambil menjura memberi hormat, “sesungguhnya
merupakan kehormatan besar bagi teecu (murid) yang muda dan bodoh telah dapat bertemu muka dengan
Sam-wi Locianpwe. Teecu bernama Kwee Goat Lan.”
Terbuka lebar mata ketiga orang kakek itu. “Ha, ternyata kau sudah pernah mendengar nama kami?
Bagus, kalau begitu, tentu kau murid seorang pandai.”
Akan tetapi Goat Lan tidak mempedulikan ucapan ini, sebaliknya dia cepat memandang dengan penuh
kebencian kepada Bouw Hun Ti dan berkata,
“Orang she Bouw, apa bila aku tahu bahwa siluman yang malam tadi mengintai rumah kakek petani adalah
jahanam yang bernama Bouw Hun Ti, tentu aku tidak akan mau melepaskanmu secara begitu saja! Bouw
Hun Ti, bersiaplah kau untuk menebus semua dosa-dosamu dan mampus di tanganku!” Sambil berkata
demikian, Goat Lan mencabut keluar sepasang bambu runcingnya dan siap hendak menyerang Bouw Hun
Ti.
“Ehh, Nona manis, sudah miringkah otakmu? Mengapa kau tiba-tiba menjadi marah dan begitu
membenciku?” Bouw Hun Ti lebih merasa heran dari pada marah mendengar makian itu karena
sesungguhnya ucapan gadis ini tidak pernah disangkanya.
“Dahulu kau pernah menculik Lili puteri Pendekar Bodoh, juga secara kejam kau sudah membunuh Kakek
Yousuf! Kalau sekarang aku memberitahumu bahwa aku adalah puteri dari Kwee An, apakah otakmu yang
dunia-kangouw.blogspot.com
tumpul masih juga tidak tahu mengapa aku hendak membunuhmu?” Sambil berkata demikian secepat kilat
tubuhnya berkelebat maju dan ia mengirim serangan maut ke arah tubuh Bouw Hun Ti.
Orang she Bouw ini menjadi terkejut sekali ketika dia mendengar bahwa nona ini adalah puteri dari Kwee
An dan lebih-lebih kagetnya saat ia melihat serangan yang menimbulkan angin dingin mengerikan itu. Ia
cepat melompat mundur ke belakang, akan tetapi kedua ujung bambu runcing di tangan Goat Lan tidak
mau melepaskannya dan terus mengejar hebat.
Terpaksa Bouw Hun Ti mencabut keluar goloknya, kemudian dia melakukan perlawanan sekuatnya. Akan
tetapi, begitu goloknya bertemu dengan bambu runcing gadis itu, dia merasa tangannya tergetar dan
secara aneh sepasang bambu runcing itu menggunting goloknya dan diputar sedemikian rupa sehingga
goloknya kena dirampas!
Bouw Hun Ti berteriak kaget dan cepat dia melompat ke belakang tiga orang kakek yang memandang
kagum.
“Sam-wi Lo-enghiong! Dia ini adalah keponakan Pendekar Bodoh dan seorang di antara musuh-musuhmu
yang sombong itu!”
Thian-he Te-it Siansu melompat ke depan sambil menggerakkan payungnya. Senjata istimewa ini
mengeluarkan angin sambaran yang kuat sekali sehingga Goat Lan cepat miringkan tubuh dan
menyabetkan bambu runcingnya. Ia maklum bahwa kakek ini tinggi sekali ilmu silatnya, maka ia lalu
berkata,
“Locianpwe, harap kau orang tua tidak mencampuri urusan pribadi orang lain!”
“Ha-ha-ha, Nona yang gagah perkasa! Kami bertiga sengaja datang turun gunung karena dimintai bantuan
oleh sahabat Bouw Hun Ti. Kulihat kau memainkan Ilmu Silat Bambu Runcing dari Hok Peng Taisu,
sungguh mengagumkan! Biarlah kita main-main sebentar dan berilah kesempatan kepadaku untuk
merasakan kelihaian bambu runcing dari Hok Peng Taisu!”
Sambil berkata begitu, payungnya segera meluncur ke depan dan ternyata bahwa ujung payung yang
tumpul itu digunakan untuk menotok jalan darah lawan! Gerakannya cepat serta mengandung tenaga
besar, sedangkan setiap kali payung itu ditarik kembali, maka cabang-cabangnya berkembang merupakan
perisai (tameng) yang kuat untuk menjaga diri!
“Twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua), jangan borong sendiri, biarkan siauwte (Adik) merasai kelihaian
Nona ini!” seru Lak Mou Couwcu yang segera memutar rantai bajanya.
Memang ketiga orang kakek ini paling suka bertempur. Di dalam dunia persilatan tingkat tinggi, hanya ada
dua rombongan orang aneh yang paling doyan bertempur. Rombongan pertama adalah Hek Pek Mo-ko
(Dua Saudara Setan Hitam dan Putih) yang amat ditakuti orang karena tiap kali kedua orang saudara ini
turun tangan dalam pertempuran, pasti mereka membunuh orang. Keduanya merupakan manusia buas
yang haus darah.
Berkelahi dan membunuh orang merupakan ‘hobby’ (kesukaan) mereka, tanpa peduli siapakah orang yang
dibunuhnya itu dan apa alasannya! Pembaca dari cerita Pendekar Bodoh tentu masih ingat bahwa Hek Moko
menjadi guru dari Kwee An dan betapa kedua orang Iblis Hitam dan Putih ini kemudian tewas karena
bertempur sendiri.
Rombongan ke dua yang paling doyan berkelahi adalah Hailun Thai-lek Sam-kui ini. Juga bagi mereka ini,
pertempuran merupakan kebiasaan dan kesukaan, sungguh pun sifat mereka berbeda dengan Hek Pek
Mo-ko. Ketiga orang kakek ini senang berkelahi dan mencoba kepandaian orang lain, hanya untuk
membuktikan bahwa mereka mempunyai kepandaian yang lebih unggul! Mereka tidak biasa membunuh
lawan yang sudah mereka kalahkan, cukup asal mempermainkan mereka saja dan memaksa supaya
lawan-lawan mereka itu mengaku kalah!
Dalam setiap pertempuran, ketiganya selalu maju bersama-sama, bukan dengan maksud mengeroyok
karena sifat mereka curang, melainkan tiada seorang pun di antara mereka yang mau mengalah dan yang
mau tinggal diam sebab ketiganya haus akan kemenangan dan ingin mempunyai saham dalam
kemenangan itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah, pada waktu Thian-he Te-it Siansu menyerang Goat Lan, Lam Mou Couwsu si kakek gemuk
bertopi pendeta Buddha itu lalu maju pula ikut menyerang, dan Si Tinggi Kurus pun lalu melompat maju
sambil memutar tongkatnya!
Tentu saja Goat Lan merasa mendongkol sekali melihat betapa Hailun Thai-lek Sam-kui yang terkenal
memiliki kepandaian tinggi itu mengeroyoknya. Hal ini ia anggap amat tidak tahu malu dan curang.
Lenyaplah semua penghormatannya terhadap ketiga orang kakek ini.
“Bagus, tidak tahunya kalian hanyalah tua-tua bangka tidak tahu malu!” teriaknya sambil memutar
sepasang bambu runcingnya dengan cepat sekali sehingga sepasang senjata ini berubah menjadi dua
sinar kuning yang bergulung-gulung!
Melihat betapa tiga orang kakek sakti itu mengeroyok Goat Lan, Bouw Hun Ti diam-diam tersenyum girang.
Dari serangan tadi, dia telah maklum akan kelihaian gadis puteri Kwee An ini, maka kalau tidak
dilenyapkan sekarang, mau tunggu kapan lagi? Ia lalu melompat maju dengan golok di tangan, akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara keras dan goloknya terlempar lagi dari pegangan!
Jika tadi sepasang bambu runcing di tangan Goat Lan telah melemparkan goloknya yang diambilnya
kembali, kini goloknya terlempar lebih jauh lagi. Dia menjadi sangat terkejut karena tahu bahwa yang tadi
menangkis goloknya dan membuat senjatanya terlempar itu adalah rantai baja di tangan Lak Mou Couwsu!
“Minggirlah dan jangan mengganggu kami bila kami sedang bermain-main dengan Nona ini!” Lak Mou
Couwsu berkata. “Gangguanmu itu sama artinya dengan penghinaan!”
Bukan main heran dan kagetnya hati Bouw Hun Ti menyaksikan watak yang aneh ini. Terpaksa dia
mengambil kembali goloknya dan berdiri menonton saja, sama sekali tidak berani coba-coba lagi untuk
membantu.
Sementara itu, Goat Lan merasa amat gelisah ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu silat ketiga orang
kakek ini benar-benar tinggi dan lihai. Kalau saja mereka maju seorang demi seorang, agaknya dia masih
akan sanggup melawannya. Akan tetapi dikeroyok tiga oleh tiga orang tokoh persilatan yang memiliki
kepandaian tinggi, sebentar saja dia sudah terdesak dan sinar senjatanya makin mengecil, tanda bahwa
gerakannya amat terkurung dan tidak leluasa.
Ia hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya saja untuk mengelak dan menangkis setiap serangan yang
datang. Yang membuat dia terheran dan mendongkol adalah kenyataan bahwa tiga orang kakek ini tidak
bermaksud mencelakakannya. Tiap kali senjata mereka sudah mendekat tubuhnya, maka senjata itu tibatiba
ditarik kembali dan terdengar suara kakek-kakek itu tertawa mengejek! Goat Lan merasa dirinya
dipermainkan, maka dia lalu menahan napas mengumpulkan semangat untuk mengadakan perlawanan
yang hebat.
Tiba-tiba dengan seruan keras, ujung rantai baja di tangan Lak Mau Couwsu menangkap dan membelit
kedua bambu runcingnya dan pada saat itu pula dari kiri menyambarlah ujung payung milik Thian-he Te-it
Siansu hendak menotok nadi tangannya, ditambah lagi dengan totokan dari kanan oleh ujung tongkat
Bouw Ki si tinggi kurus yang mengarah nadi tangan kanannya!
Untuk menyelamatkan kedua tangannya, maka terpaksa Goat Lan melepaskan sepasang bambu
runcingnya. Terdengar gelak terbahak dari ketiga orang kakek itu,
“Aduh, sungguh lihai Ilmu Silat Bambu Kuning dari Hok Peng Taisu!” kata Si Kakek Kate.
“Hayo, lekas mengakulah bahwa kau kalah terhadap kami!” seru Lak Mou Couwsu sambil melemparkan
sepasang bambu runcing itu ke atas tanah.
“Akuilah bahwa kami Hailun Thailek Sam-kui lebih menang dan lebih lihai dari pada Hok Peng Taisu yang
terkenal!” juga Bouw Ki mendesak.
Akan tetapi, Goat Lan adalah puteri dari suami isteri pendekar besar gagah berani, juga murid dari guruguru
besar yang sakti. Mana dia mau mengaku kalah begitu saja? Sambil menggertak gigi, dia lalu
mainkan serangan dari Ilmu Silat Im-yang Sin-na, yaitu ilmu silat dari suhu-nya Ciu-sin-mo Im-yang Giok-cu
tokoh Kun-lun-san yang terkenal itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Thian-he Te-it Siansu cepat-cepat menyambut serangan ini dengan gembira, dan setelah bertempur
sepuluh jurus, ia berkata dengan gembira,
“Aduh! Bukankah ini Im-yang Sin-na dari Kun-lun-pai? He, Nona kau tentunya murid dari Im-yang Ciok-cu,
tosu pemabukan itu, bukan?”
“Memang Im-yang Giok-cu adalah Suhu-ku!” jawab Goat Lan dan dia lalu memperhebat serangannya.
“Bagus!” Lak Mou Couwsu dan Bouw Ki berseru keras. “Hari ini benar-benar kita sangat beruntung!
Setelah mencoba kepandaian dari Hok Peng Taisu dan berhasil mengalahkan dia, sekarang kita mendapat
kesempatan untuk mengalahkan Im-yang Giok-cu sute-nya! Ha-ha-ha!” Mereka kemudian maju menyerbu
lagi dan kembali Goat Lan yang bertangan kosong dikeroyok tiga oleh Thai-lek Sam-kui yang bersenjata
aneh!
Memang guru Goat Lan yang bernama Im-yang Giok-cu adalah sute (adik seperguruan) dari Hok Peng
Taisu. Ilmu Silat Im-yang Sin-na yang dimainkan oleh Goat Lan adalah ilmu silat yang memang khusus
dipergunakan untuk menghadapi lawan yang bersenjata.
Kalau saja yang mengeroyok Goat Lan adalah orang lain yang tingkat kepandaiannya seperti Bouw Hun Ti
saja, besar kemungkinan dia akan dapat merampas senjata-senjata para pengeroyoknya. Akan tetapi,
yang ia hadapi sekarang adalah Thai-lek Sam-kui, tiga tokoh persilatan yang sangat tinggi ilmu
kepandaiannya, maka biar pun senjata-senjata mereka hanya senjata aneh yang sederhana saja, namun
sukarlah baginya untuk dapat merampas senjata mereka! Kembali ia terkurung dan terdesak hebat!
Pada suatu saat, dengan sangat tepatnya, ujung payung di tangan Thian-he Te-it Siansu telah menotok
pundak kanan Goat Lan di bagian jalan darah Kim-seng-hiat! Kalau orang lain yang tertotok, betapa pun
lihainya, tentu tubuh atas bagian kanan akan menjadi kaku dan tak berdaya lagi.
Akan tetapi tidak percuma Goat Lan menjadi murid tersayang Yok-ong Sin Kong Tianglo Si Raja Obat,
tokoh yang sangat terkenal karena kepandaiannya dalam hal pengobatan. Dari suhu-nya ini, Goat Lan
telah banyak mempelajari ilmu kepandaian untuk mengobati segala macam luka dan penderitaan tubuh,
juga tentang totokan berbagai pukulan yang berbahaya.
Begitu merasa pundaknya kaku akibat totokan yang lihai itu, tiba-tiba tubuhnya melompat ke atas
mengandalkan tenaga kedua kaki, berjungkir balik di udara sambil mengeluarkan seruan keras dari dalam
dada, “Hu! Hu! Hu!”
Kemudian setelah tubuhnya tiba di atas tanah, ia sengaja menjatuhkan tubuhnya dengan pundak kanan di
bawah, lalu bergulingan beberapa kali. Dan ketika ia melompat kembali, ternyata bahwa totokan pada jalan
darah Kim-seng-hiat di pundak kanannya itu sudah sembuh kembali!
Melihat perbuatan gadis ini, tiga orang kakek itu saling pandang dengan mata terbelalak. Thian-he Te-it
Siansu kemudian maju selangkah dan berkata dengan suara menyatakan keheranannya.
“Hai! Bukankah yang kau perlihatkan tadi adalah Ilmu Menolak Tiam Hwat dari Yok-ong Sin Kong Tianglo?”
“Dia adalah Suhu-ku juga!” jawab Goat Lan dengan singkat dan marah karena dia masih merasa
mendongkol sekali.
“Hebat!” kakek kate itu memuji. “Kau menjadi orang muda yang benar-benar beruntung. Mewarisi
kepandaian Hok Peng Taisu, Im-yang Giok-cu, dan Sin Kong Tianglo! Nona, kalau kau tidak memberi tahu
bahwa kau adalah murid Sin Kong Tianglo, hal itu masih tidak apa. Akan tetapi setelah kami tahu bahwa
kau adalah murid Sin Kong Tianglo, kami takkan dapat melepaskan kau sebelum kau menyerahkan Thiante
Ban-yo Pit-kip (Kitab Rahasia Selaksa Pengobatan Bumi Langit)! Bukankah sesudah meninggal dunia
gurumu itu lalu meninggalkan kitab obatnya kepadamu?”
Goat Lan terkejut sekali. Benar seperti telah dikatakan oleh gurunya, Im-yang Giok-cu, bahwa banyak
sekali orang-orang kang-ouw yang menghendaki kitab rahasia yang amat berharga itu. Dan kini tiga orang
iblis tua ini telah dapat menduganya, celaka! Mengingat akan kelihaian ketiga orang tua ini, tanpa banyak
cakap lagi Goat Lan lantas melompat pergi sambil mengerahkan tenaga dan kepandaiannya melarikan diri!
“He, Nona! Kau tidak boleh pergi sebelum menyerahkan kitab itu kepada kami.!” Ketiga orang kakek itu
dunia-kangouw.blogspot.com
mengejarnya dengan gerakan mereka yang juga amat cepatnya.
Goat Lan telah mempunyai ginkang yang luar biasa sekali dan ia telah melatih diri untuk dapat berlari
secepat kijang melompat. Sebentar saja dia telah berlari jauh meninggalkan hutan itu dan ketika ia tiba di
lembah sungai yang bercadas dan penuh batu karang, para pengejarnya baru dapat menyusulnya!
“Nona, kau harus mengalah terhadap kami orang-orang tua!” berseru Lam Mou Couwsu yang segera
menggerakkan rantai bajanya yang menyambar ke arah kedua kaki Goat Lan bagaikan seekor ular
menyerang!
Goat Lan menggunakan ginkang-nya melompat tinggi sambil tersenyum dan mengejek, “Kalian ini tua
bangka-tua bangka yang betul-betul jahat dan curang! Tak malukah kalian mengeroyok seorang gadis
muda yang bertangan kosong?”
Pada waktu itu, ujung payung di tangan Thian-he Te-it Siansu sudah menyerang dengan totokan pada
pinggangnya, akan tetapi biar pun tubuh Goat Lan masih berada di udara, gadis ini mampu menggerakkan
kaki dan tangan kanan untuk miringkan tubuh sehingga totokan ini pun tidak mengenai sasaran. Akan
tetapi, begitu tubuhnya turun di atas tanah, ia telah dikurung kembali secara rapat dan hebat oleh desakandesakan
tiga orang kakek lihai itu.
Goat Lan berada dalam keadaan amat terdesak dan berbahaya sekali. Namun, tiba-tiba terdengar seruan
orang yang amat nyaring sehingga membuat anak telinga terasa sakit. Seruan ini dibarengi dengan
berkelebatnya bayangan merah yang cepat dan kuat sekali gerakannya. Sinar pedang berkilau saat orang
yang berpakaian merah ini menggerakkan pedangnya dan terdengar suara keras tiga kali.
“Trang! Trang! Trang!”
Suara ini lantas disusul dengan seruan kakek dari Hailun Thai-lek Sam-kui yang melihat betapa ujung
senjata mereka semuanya telah terbabat putus! Tanpa banyak cakap lagi ketiga orang kakek aneh ini lalu
melompat pergi dan melarikan diri dari situ!
Ketika Goat Lan memandang, ternyata yang datang menolongnya adalah seorang wanita tua sekali.
Wanita ini berpakaian serba merah, tangannya memegang sebatang pedang yang sinarnya berkilauan dan
yang telah dimasukkannya kembali ke sarung pedangnya. Rambut wanita ini sudah putih semua, kulit
mukanya penuh keriput menyatakan bahwa usianya sudah amat tua, akan tetapi sepasang matanya
bersinar tajam dan bening sekali seperti mata seorang anak kecil atau mata seorang gadis yang elok!
“Siapakah kau yang begitu bodoh memasuki hutan liar seperti ini?” tanya nenek ini dan sungguh pun
suaranya nyaring dan merdu, akan tetapi terdengar galak sekali. Pandang matanya seakan-akan hendak
menembus jantung Goat Lan.
Gadis ini cepat menjura dengan penuh hormat, lalu ia menjawab, “Terima kasih banyak, kalau tidak ada
kau orang tua yang menolong, entah bagaimana dengan nasibku. Aku bernama Kwee Goat Lan, puteri dari
Kwee An di Tiang-an.”
Nenek itu memandang tajam. “Hemm, jauh-jauh kau dari Tiang-an sampai di tempat ini, ada keperluan
apakah?”
Entah kenapa, terhadap nenek ini Goat Lan menaruh kepercayaan besar. Biar pun sikap nenek ini sangat
galak, akan tetapi ada sesuatu pada diri nenek ini yang menimbulkan penghormatan dan kepercayaannya.
Agaknya sepasang mata yang bening itulah!
“Sesungguhnya, aku sedang menjalankan tugas dari Suhu Sin Kong Tianglo yang sudah meninggal dunia,
untuk mencari obat ‘to-hio-giok-ko’ yang katanya hanya bisa tumbuh di sekitar lembah sungai ini. Tak
tahunya, obat belum ditemukan, sebaliknya aku mendapat gangguan dari Hailun Thai-lek Sam-kui itu.
Baiknya kau orang tua yang sangat gagah perkasa datang menolongku.”
“Bodoh!” Nenek itu mencela. “Hanya karena mereka kaget melihat ketajaman pokiam-ku (pedang
mustikaku) saja yang menolongmu. Apa bila mereka tidak lari, belum tentu aku sanggup mengalahkan
mereka! Kau katakan tadi hendak mencari to-hio-giok-ko? Untuk apakah?”
“Untuk mengobati penyakit yang diderita oleh putera Kaisar.” Dengan terus terang Goat Lan lalu
dunia-kangouw.blogspot.com
menceritakan pengalamannya yang didengarkan oleh nenek itu dengan wajah tidak sabar.
“Bodoh! Ini benar-benar bodoh! Mengapa mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong nyawa orang?
Gila dan ganjil sekali.”
“Mohon tanya, siapakah sebenarnya Suthai ini?” Goat Lan menyebut ‘suthai’ karena dia mengira bahwa
wanita ini tentulah seorang pertapa yang mengasingkan diri.
Untuk beberapa saat nenek itu tidak menjawab. Kemudian ia menggerakkan tangan dan menjawab. “Tidak
usah kau pusingkan hal itu. Kau mau mencari To-hio-giok-ko, marilah kau ikut padaku!”
Goat Lan menjadi girang sekali dan tidak merasa sakit hati karena nenek itu tidak mau mengaku siapa
namanya. Yang paling penting baginya adalah mendapatkan buah dan daun itu, supaya dia dapat
menyelesaikan tugasnya dan dapat segera pulang. Nenek itu membawanya ke utara dan kira-kira dua li
jauhnya dari situ, mereka memasuki sebuah hutan kecil yang gelap. Senja kala telah menghilang, terganti
malam penuh bintang yang membuat cahaya redup dan sayu membayang di sekitar hutan itu.
“Untung kau bertemu dengan aku, kalau tidak, apa bila kau mencari obat itu di siang hari, sampai selama
hidupmu pun kau tidak akan berhasil.”
Goat Lan tidak mengerti apa maksud ucapan ini, akan tetapi diam-diam dia terus berpikir, siapakah
gerangan wanita aneh ini? Inikah yang dianggap siluman oleh kakek petani itu? Wanita inikah yang telah
mengalahkan tiga puluh orang perampok?
Mereka kemudian pergi ke dekat sungai dan tiba-tiba saja wanita tua itu berkata sambil menudingkan
telunjuknya ke arah sebatang pohon yang besar.
“Kau lihatlah, bukankah buah itu mengeluarkan sinar seperti mutiara? Itulah yang disebut giok-ko (buah
mutiara) dan daunnya juga seperti golok bentuknya, maka disebut to-hio (daun golok). Nah, kau ambillah
buah dan daun itu.”
Bukan main girangnya hati Goat Lan. Ia segera melompat dan bergantung pada cabang terendah,
kemudian mengayun tubuhnya ke atas dan berdiri di atas cabang itu. Tadinya ia merasa heran sekali
melihat buah yang besarnya hanya sekepalan tangan itu nampak berkilauan dari bawah, seakan-akan
yang bergantungan pada pohon itu bukanlah buah, melainkan batu-batu giok! Akan tetapi setelah dekat,
tahulah ia mengapa buah-buah itu berkilau.
Ternyata bahwa buah-buah itu mengeluarkan semacam getah dari kulitnya dan getah ini amat bening
sehingga ketika tertimpa cahaya bintang kemudian berkilau di dalam gelap! Daun-daunnya berwarna hijau,
bentuknya seperti golok-golok kecil dan ujungnya runcing.
Cepat dia memetik lima butir buah dan mengumpulkan belasan daun. Semua buah dan daun itu dia
masukkan ke dalam buntalan pakaiannya yang bergantung di punggungnya. Lalu ia melompat turun di
depan nenek yang masih memandang dengan mata tajam itu.
Goat Lan menjura di depan nenek itu. “Suthai, alangkah besar pertolonganmu kepadaku, tidak saja kau
telah membantuku mengusir Thai-lek Sam-kui, akan tetapi kau juga telah menolongku memperoleh obat
ini. Hanya sayangnya, Suthai belum juga memberitahukan nama sehingga aku tidak tahu kepada siapa aku
harus selalu mengingat budi ini.”
Mendengar ucapan yang sopan santun dan ramah ini, wajah nenek yang tadinya muram dan galak itu lalu
melembut dan senyum membayang di bibirnya.
“Anak baik, kau tadi mengaku bahwa kau adalah puteri dari Kwee An, seorang pendekar yang sudah lama
kukenal namanya yang besar. Oleh karena itu, mengapa aku tidak mau menolongmu? Di mana pun juga
berada, keturunan orang baik-baik tentu akan mendapat bantuan orang lain. Soal aku dan namaku, tak
perlu diingat lagi, anakku. Sekarang lebih baik kau ikut ke goaku untuk bermalam, karena di dalam hutan
ini, tidak mungkin kau dapat melanjutkan perjalananmu. Besok pagi-pagi boleh kau melanjutkan
perjalanan.”
Setelah berkata demikian, nenek itu lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi tanpa menengok lagi,
seakan-akan ia telah merasa pasti bahwa gadis itu tentu akan mengikuti dia. Suaranya tadi biar pun amat
dunia-kangouw.blogspot.com
ramah, akan tetapi mengandung pengaruh yang besar. Goat Lan tidak rnembantah dan berjalan mengikuti
nenek itu.
Mereka sampai di depan sebuah goa di antara batu-batu karang yang tinggi dan dengan tangannya nenek
itu mempersilakan Goat Lan masuk ke dalam. Heranlah nona itu ketika memasuki goa yang dari luar
nampak besar dan hitam, karena ternyata bahwa di dalam goa itu terdapat sebuah lampu yang bernyala
terang dan keadaan kamar itu amat bersih. Di tempat itu hanya terdapat sebuah pembaringan terbuat dari
pada kayu, maka Goat Lan lalu mengambil tempat duduk di atas sebuah batu hitam yang halus.
“Jangan kau duduk di situ, itu adalah tempatku bersemedhi. Kau pakailah pembaringan dan tidurlah!” kata
nenek tadi.
Tentu saja Goat Lan merasa sungkan sekali. Sebagai seorang tamu, bagaimana ia bisa merampas tempat
tidur nyonya rumah yang hanya satu-satunya itu?
“Tidak, Suthai, biarlah aku yang muda mengaso sambil duduk di sini saja. Suthai tidurlah di pembaringan
itu.”
“Anak bandel! Mana ada aturan yang muda harus mengalah terhadap yang tua? Kau tidurlah di situ dan
kalau membandel terhadapku, lebih baik kau keluarlah lagi!”
Goat Lan menjadi terkejut dan walau pun dia merasa sangat mendongkol menyaksikan kekasaran orang,
akan tetapi ia tetap menurut. Sambil tersenyum sungkan ia lalu duduk di atas pembaringan itu, merasa
sungkan sekali untuk merebahkan dirinya.
“Kau tidurlah!” kembali nenek itu memerintah lagi sambil menduduki batu dalam keadaan bersila seperti
orang bersemedhi.
Goat Lan memang sudah merasa lelah sekali sehabis bertempur melawan ketiga orang kakek yang lihai
itu, maka dia lalu merebahkan dirinya di atas pembaringan itu.
“Kau bilang tadi bahwa kau adalah puteri dari Kwee An dan Ma Hoa? Apakah kau puteri tunggal mereka?”
tiba-tiba nenek itu bertanya.
Goat Lan tercengang mendengar pertanyaan ini karena sepanjang ingatannya, dia belum pernah
menyebutkan nama ibunya. Akan tetapi dia menjawab juga.
“Betul, Suthai, aku adalah puteri tunggal mereka. Apakah Suthai kenal dengan ayah dan ibuku?”
Akan tetapi nenek itu hanya berkata singkat. “Kau tidurlah dan berangkat pagi-pagi.”
Karena nenek itu nampak sudah memeramkan sepasang matanya, Goat Lan tidak berani mengganggunya
lagi. Dengan heran dia terus menduga-duga siapakah gerakan nenek yang aneh dan yang agaknya telah
mengenal ayah-bundanya ini, hingga akhirnya ia tidur nyenyak.
Menjelang fajar, pada waktu sadar dari pulasnya, Goat Lan mendengar suara isak tangis tertahan. Ia
menjadi heran sekali dan tanpa menggerakkan tubuhnya, ia membuka mata dan mengerling ke arah nenek
itu.
Ternyata bahwa nenek itu tidak duduk bersemedhi lagi seperti yang dilihatnya sebelum ia tidur, akan tetapi
sekarang nenek itu menggunakan kedua tangannya menutup mukanya dan tubuhnya bergoyang-goyang
menahan tangis dan sedu sedan! Tentu saja Goat Lan merasa terkejut dan heran, akan tetapi ia tidak
berani bergerak dan hanya memandang nenek itu melalui bulu matanya.
Tiba-tiba nenek itu bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Giok Lan yang masih rebah telentang
dengan mata meram. Untuk beberapa saat lamanya, nenek itu menatap wajah Goat Lan, lalu berisik
perlahan,
“Kau puteri tunggal Ma Hoa... alangkah cantik dan gagah, ahhh, sayang Siong-ji tidak berada di sini...”
Setelah berkata demikian, nenek itu melangkah maju, membungkuk dan mencium jidat Goat Lan yang
berkulit halus dan putih.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika nenek itu menciumnya, Goat Lan mencium bau yang harum seperti bau bunga Cilan dan setelah
nenek itu melangkah mundur sambil menghela napas berulang-ulang, Goat Lan membuka sedikit matanya.
Di dalam keadaan yang suram itu, ia melihat tubuh nenek itu yang masih langsing dan penuh, rambutnya
terlepas dan panjang sekali, sedikit pun tidak nampak ubannya dan rambut itu di dalam gelap kelihatan
hitam dan berombak. Wajahnya yang memang baik bentuknya itu tidak kelihatan keriputnya, hanya
kelihatan sebagai bayang-bayang hitam dari wajah wanita yang cantik sekali!
Bagaikan mendapat cahaya penerangan kilat, tiba-tiba timbul dugaan yang pasti dalam pikiran Goat Lan.
Tanpa disadarinya, ia berseru keras,
“Ang I Niocu...!”
Nenek itu nampak terkejut dan melompat mundur laksana diserang oleh seekor ular dari bawah. Terdengar
dia mengeluarkan seruan tertahan yang aneh sekali, setengah tertawa setengah menangis, kemudian
tubuhnya bergerak dan hanya sekali berkelebat, dia telah melompat keluar!
“Ang I Niocu... tunggu...!” Goat Lan berteriak sambil melompat dan mengejar keluar.
Akan tetapi ketika dia tiba di luar goa, ternyata bayangan nenek itu tidak nampak lagi! Goat Lan menarik
napas panjang berkali-kali dengan hati kecewa. Dia tentu Ang I Niocu, pikirnya dengan hati berdebar
tegang.
Ia telah mendengar dari ibunya tentang pendekar wanita yang hebat ini. Tadinya ia sama sekali tidak
pernah mengira bahwa nenek yang keriputan dan berambut putih itu adalah Ang I Niocu, karena menurut
cerita ibunya, Ang I Niocu merupakan seorang wanita yang tercantik di dunia ini. Akan tetapi, ketika
kegelapan menyembunyikan uban dan keriput nenek itu, Goat Lan melihat bayangan seorang wanita yang
benar-benar cantik, gagah dan mengeluarkan keharuman seperti bunga Cilan, maka timbullah dugaannya
bahwa nenek itu tentu Ang I Niocu.
Setelah merasa yakin bahwa nenek itu tidak mau bertemu dengan dia lagi, dan karena obat yang dicarinya
telah didapatnya, Goat Lan lalu keluar dari hutan itu dan kembali ke selatan. Selain membawa obat itu ke
kota raja, dia hendak pulang dulu untuk mengambil kitab obat yang ditinggalkan suhu-nya, oleh karena
kitab itu penting sekali baginya untuk menjadi petunjuk mengobati penyakit putera Kaisar. Dan di dalam
perjalanannya pulang inilah ia lewat dusun Tong-sin-bun.
Dia telah melakukan perjalanan cepat sekali sehingga tanpa diketahuinya dia telah dapat meninggalkan
Bouw Hun Ti beserta Thai-lek Sam-kui yang melakukan perjalanan sambil melancong. Kebetulan sekali di
Tong-sin-bun ini dia melihat Ban Sai Cinjin dan sesudah mengadakan penyelidikan, dia mendengar tentang
keadaan orang tua yang mewah itu.
Mendengar tentang kakek yang pernah didengar namanya yang amat terkenal ini, Goat Lan lalu menunda
perjalanannya dan mengambil keputusan untuk menyelidiki keadaan kelenteng di dalam hutan. Ia pernah
mendengar dari ayahnya bahwa Ban Sai Cinjin yang berjuluk Huncwe Maut adalah suhu dari Bouw Hun Ti.
Demikianlah, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, malam hari itu Goat Lan dapat menolong
nyawa putera Pangeran Ong Tek dan Tan Kauwsu, bahkan bersama Lili yang telah dibebaskan oleh Kam
Seng, dia lalu mengadu kepandaian melawan Wi Kong Siansu yang lihai.
Lili merasa kagum dan tertarik mendengar penuturan Goat Lan, terutama sekali tentang pertemuan Goat
Lan dengan Ang I Niocu.
“Dan sekarang, kau hendak ke kota raja atau pulang dahulu, Goat Lan?” tanya Lili sambil memandang
wajah calon iparnya yang cantik manis.
“Aku harus pulang lebih dulu ke Tiang-an, membuat persiapan mengobati penyakit yang diderita oleh
putera Kaisar.”
“Bagus, kalau begitu, marilah kita pergi bersama, karena aku pun hendak mengunjungi orang tuamu.”
Berangkatlah dua orang dara remaja yang cantik jelita dan gagah perkasa itu, langsung menuju ke Tiangan…..
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
Untuk menghormat dan menyenangkan hati Hailun Thai-lek Sam-kui, Ban Sai Cinjin lalu mengadakan
pesta di gedungnya di dusun Tong-sin-bun. Dalam pesta ini ia mengundang kawan-kawannya yang terdiri
dari orang-orang kang-ouw dan para pembesar serta para hartawan. Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio
disuruh mengundang beberapa orang gagah dari kota-kota yang berdekatan.
Banyak orang-orang yang berkepandaian tinggi menghadiri pesta itu, akan tetapi semua termasuk satu
golongan dengan Ban Sai Cinjin. Akan tetapi, di antara para tamu ini yang patut dikemukakan hanya
seorang dari Shantung yang kebetulan lewat di dusun itu.
Orang ini bernama Lok Cit Sian dan ia adalah seorang ahli silat dari cabang Thai-kek-pai yang tersesat
hingga tidak diakui lagi sebagai anak murid Thai-kek-pai. Lok Cit Sian yang bertubuh tinggi kurus seperti
pohon bambu ini meski usianya telah mendekati lima puluh tahun, namun dia terkenal sebagai seorang
bandot tua yang menjemukan. Kesukaannya inilah agaknya yang membuat dia bersahabat baik dengan
Ban Sai Cinjin, cocok seperti yang dikatakan orang bahwa dua orang dapat menjadi sahabat karib apa bila
kesukaan mereka sama.
Pesta berlangsung meriah sekali dan pengaruh arak telah mulai tampak pada para tamu. Suara ketawa
bergelak makin lama makin riuh dan percakapan yang terdengar, makin lama makin bebas dan tidak
dibatasi oleh kesopanan lagi.
Di meja besar yang berada di tengah ruangan pesta, duduklah Ban Sai Cinjing, Wi Kong Siansu, ketiga
Hailun Thai-lek Sam-kui dan Lok Cit Sian. Meja-meja lain dalam ruangan itu sampai ke ruangan luar juga
dipenuhi tamu. Semuanya ada belasan meja banyaknya. Meja-meja di ruangan luar diduduki oleh tamutamu
yang muda, sebagian besar adalah orang-orang muda yang kurang ajar dan tidak sopan, orangorang
muda yang pandainya hanya berjudi, mengganggu wanita dan berkelahi mengandalkan kekayaan
orang tua.
Ketika para pemuda itu bersenda gurau membicarakan tentang wanita-wanita, tiba-tiba semua mata
memandang ke arah selatan dari mana datang seorang gadis remaja yang amat menarik hati.
Gadis itu masih amat muda, bertubuh ramping menggiurkan dengan pakaian yang amat sederhana. Akan
tetapi kesederhanaan pakaiannya yang mencetak tubuhnya ini bahkan menonjolkan keindahan bentuk
tubuhnya yang seperti setangkai bunga baru mulai mekar itu. Wajahnya yang cantik manis tidak dibedaki,
akan tetapi kecantikannya yang wajar itu benar-benar mengagumkan dan menggairahkan hati tiap orang
laki-laki.
Tentu saja, melihat datangnya gadis ini, para pemuda itu bagai kucing-kucing kelaparan melihat tikus
gemuk. Semua mata memandang dengan dipentang lebar seolah-olah bola matanya hendak lompat keluar
dari pelupuk mata, bibir mereka tersenyum menyeringai dan mereka sibuk membereskan rambut atau
pakaian yang kusut. Banyak yang menelan ludah pada waktu menyaksikan betapa gadis elok itu
melenggang dengan pinggang yang lemas, sehingga cocok sekali perumpamaan kuno bahwa pinggang
dan tubuh gadis itu demikian lemas dan gayanya demikian indah seperti pohon yang-liu tertiup angin!
Tidak heran apa bila semua pemuda mata keranjang itu tertarik hatinya melihat gadis ini. Gadis ini bukan
lain adalah Lilani, dara suku bangsa Haimi yang cantik. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan,
Lilani setelah tertolong oleh Lie Siong, lalu diantar oleh pemuda itu menuju ke Tiang-an. Kini mereka
melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki dan meninggalkan perahu di tepi sungai.
Sebagai seorang gadis Haimi yang berwatak jujur, dengan terang-terangan Lilani selalu menyatakan dalam
segala sikap serta perbuatannya bahwa gadis ini mencinta pemuda penolongnya itu. Akan tetapi, Lie Siong
selalu bersikap dingin, biar pun di dalam hatinya kadang kala timbul gelora karena sikap dan kecantikan
gadis ini amat menarik hatinya.
Tiap kali mereka bermalam di rumah penginapan, Lilani selalu berkeras ingin bermalam di dalam satu
kamar. Tentu saja Lie Siong merasa tidak enak hati sekali, akan tetapi dia menjadi terharu juga ketika
mendapat kenyataan bahwa gadis ini benar-benar jujur dan berhati putih bersih. Setiap kali mereka tinggal
sekamar dalam sebuah hotel, gadis itu tanpa banyak cakap lalu merebahkan diri di atas pembaringan yang
hanya sebuah, tidur di pinggir dan miringkan tubuh membelakangi Lie Siong lalu tidur pulas!
Terpaksa Lie Siong tidak mengajukan keberatan lagi, bahkan ia merasa malu kepada diri sendiri karena
dunia-kangouw.blogspot.com
tadinya dia menyangka bahwa Lilani adalah gadis yang berpikiran kotor. Yang lebih mengharukan hatinya
adalah saat dia melihat gadis itu tidur dalam kedinginan lalu selimut yang hanya satu-satunya itu dia
selimutkan di atas tubuh gadis itu akan tetapi pada keesokan harinya ketika dia bangun dari tidurnya,
ternyata bahwa selimut itu telah pindah tempat dan telah diselimutkan oleh Lilani di atas tubuhnya!
Pernah Lilani mengatakan bahwa kini ia tidak ingin tinggal bersama Kwee-lo-enghiong di Tiang-an.
“Mengapa?” Lie Siong bertanya terheran. “bukankah kau sendiri yang minta supaya aku mengantarmu ke
Tiang-an?”
“Tadinya memang hanya Kwee-lo-enghiong satu-satunya orang yang dapat kuharapkan, akan tetapi
sekarang aku lebih senang tidak berumah dan selamanya merantau bersama denganmu, Lie Taihiap.”
Ucapan yang sejujurnya ini menusuk perasaan Lie Siong dan membuka matanya bahwa gadis Haimi ini
benar-benar mencinta padanya. Akan tetapi ia tidak berkata apa-apa dan berlaku seolah-olah ia tidak
mengerti akan pengutaraan rasa hati gadis itu.
Pada hari itu, mereka tiba di dusun Tong-sin-bun dan menyewa sebuah kamar di hotel. Seperti biasa,
pelayan mengira bahwa mereka adalah sepasang suami isteri, akan tetapi hal ini tidak mempengaruhi
perasaan Lie Siong karena telah sering kali mereka dianggap suami isteri oleh pelayan hotel. Dan selalu
Lilani menyambut anggapan ini dengan wajah berseri dan mulut tersenyum manis.
“Taihiap, marilah kita berjalan-jalan melihat keadaan dusun ini yang sangat ramai,” Lilani mengajak Lie
Siong ketika mereka telah duduk mengaso.
“Kau pergilah kalau ingin berjalan-jalan, Lilani. Aku sedang malas dan biar aku menanti kau di sini,” jawab
Lie Siong.
Biar pun hatinya kecewa, Lilani pergi juga seorang diri, dengan maksud hendak mencari sesuatu yang
enak dan dibelinya untuk Lie Siong! Demikianlah, tanpa disengaja ia lewat rumah gedung Ban Sai Cinjin
dan kini, dengan hati mendongkol ia melihat betapa mata beberapa orang muda yang sedang makan
minum di ruangan depan itu memandangnya dengan kurang ajar sekali.
“Aduh, Nona manis, hendak pergi ke manakah?” seorang di antara mereka menegur sambil tersenyumsenyum.
Lilani tidak mempedulikannya dan hendak berjalan terus. Akan tetapi orang ke dua lalu menghadang di
depannya dan berkata,
“Wahai dewi kahyangan, marilah kau makan minum dengan kami. Bukan begitu kawan-kawan?”
“Akur! Nona ini harus makan minum, menemani kita bergembira,” teriak yang lain.
Sambil tertawa-tawa, pemuda itu lalu mengulur tangan hendak menangkap dan menarik lengan Lilani.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika gadis itu mengelak dan mengirim tamparan ke arah pipinya.
“Plokk!”
Pemuda itu menjerit kesakitan dan terhuyung mundur. Kawan-kawannya menjadi marah dan hendak
menangkap Lilani, akan tetapi menghadapi kawanan pemuda liar ini Lilani cukup lihai. Beberapa kali
tangannya bergerak dan empat orang pemuda roboh sambil mengaduh-aduh kesakitan.
Ban Sai Cinjin yang duduk makan minum di ruang dalam, mendengar suara ribut-ribut ini, lalu ia berdiri dan
bertindak keluar, diikuti oleh Liok Cit Sian. Ada pun Wi Kong Siansu dan ketiga Thailek Sam-kui yang
sedang bertanding mengadu kekuatan minum arak, tak mempedulikannya dan terus saja duduk minum
dengan gembira.
Ban Sai Cinjin menjadi kaget dan marah sekali melihat seorang gadis muda yang cantik menghajar
beberapa orang tamunya. Akan tetapi ketika Lok Cit Sian melihat gadis itu, matanya yang juling berseri-seri
dan dia berbisik, “Ban Sai Cinjin sahabat baik, jangan mencelakai burung molek ini, serahkan dia untukku.”
Ban Sai Cinjin tersenyum dan dia lalu bertanya kepada para tamunya apakah yang telah terjadi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kami dengan baik-baik menawarkan dia makan minum, akan tetapi Nona ini sebaliknya lalu mengamuk
dan memukul!” Pemuda yang kena ditampar tadi mengadu.
“Hem, hem, galak benar,” kata Ban Sai Cinjin. Dengan mulut menyeringai, ia mengambil tempat masakan,
lalu menggunakan sebatang sumpit ia mencokel sepotong daging yang panas mengebul sambil berkata,
“Nona manis, akulah tuan rumahnya dan karena kau sudah datang, silakan kau makan daging ini!”
Biar pun gerakannya mencokel daging dengan sumpit itu perlahan saja, namun daging itu bagaikan
disambitkan lalu meluncur dan menyambar ke arah muka Lilani! Gadis itu terkejut sekali ketika merasa
betapa sambaran daging itu mendatangkan angin kuat. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya
sehingga kalau ia tidak cepat menarik tubuhnya ke belakang, tentu daging panas itu akan mengenai
mulutnya!
“Tua bangka kurang ajar!” bentaknya dan semua orang merasa heran mendengar betapa suara gadis ini
lain dengan orang Han biasa.
Akan tetapi pada saat itu, sumpit di tangan Ban Sai Cinjin sudah berkali-kali mencokel lagi dan tiga potong
daging menyambar ke arah Lilani. Gadis ini berusaha mengelak dan memang benar ia dapat
menghindarkan diri dari sambaran daging pertama dan kedua, akan tetapi sambaran daging ke tiga tak
dapat dielakkannya lagi.
Dengan tepat sekali daging ini mengenai jalan darahnya di dekat iga kiri dan seketika itu juga Lilani merasa
seluruh tubuhnya kesemutan dan dua tangannya tak dapat digerakkan lagi! Dia terkejut sekali dan lebihlebih
terkejutnya pada saat orang tinggi kurus yang tadi berdiri di belakang Ban Sai Cinjin sambil tertawatawa,
kini melangkah maju dan begitu orang tinggi kurus ini mengulur tangan, dia telah kena dipeluk dan
dipondongnya.
“Ha-ha-ha, burung muraiku yang manis. Mari masuk dalam sangkar emas bersamaku!”
Dengan mata terbelalak bagaikan seekor kelinci yang tertangkap oleh serigala, Lilani pun segera
memaklumi keadaannya yang sangat berbahaya ini. Dia tak dapat menggerakkan kedua tangannya, akan
tetapi dia masih dapat mengeluarkan suara.
Ketika dulu dia masih hidup bersama suku bangsanya dan hidup di hutan belukar, ia dan kawan-kawannya
memiliki semacam seruan tanda bahaya yang maksudnya untuk minta tolong kepada kawan-kawan. Kini
dalam keadaan bahaya dan hatinya takut sekali, maka otomatis dia segera mengeluarkan pekik yang amat
nyaring bunyinya.
Pekik ini terdengar seperti siulan panjang yang nyaring bergema, dan terdengar seperti bunyi seekor
burung hutan. Semua orang terkejut mendengar bunyi yang aneh ini, akan tetapi Lok Cit Sian sambil
tertawa berkata,
“Ha-ha-ha, burungku yang indah benar-benar pandai bersiul!”
Letak rumah penginapan yang ditinggali oleh Lie Siong tidak jauh dari gedung Ban Sai Cinjin. Pada waktu
itu, ia sedang duduk memikirkan Lilani dengan pikiran bingung. Harus diakuinya, bahwa setelah melakukan
perjalanan bersama Lilani selama sebulan lebih, dia telah merasa biasa dan gembira berada dekat gadis
ini. Sikap gadis ini yang ramah dan mencintanya, berkesan dalam-dalam di hatinya sehingga kini timbul
keraguan di dalam hatinya apakah dia akan merasa senang apa bila Lilani dia tinggalkan di rumah Kwee
An. Apakah dia akan dapat merasa gembira lagi setelah berpisah dari gadis itu?
Tiba-tiba saja dia mendengar siulan panjang dan nyaring. Ia terkejut karena ketika masih melakukan
perjalanan dengan perahu, pada suatu malam di tengah hutan, pernah Lilani mengeluarkan siulan seperti
itu. Oleh karena perahu mereka berada di dalam hutan dan banyak terdengar suara binatang di waktu
malam, saking girangnya Lilani mengeluarkan siulan itu sehingga mengejutkan hati Lie Siong.
Dan kini terdengar siulan seperti itu lagi! Ia teringat bahwa siulan itu berarti minta tolong, demikian Lilani
dulu menerangkan siulan itu kepadanya. Tanpa membuang banyak waktu lagi, Lie Siong menyambar
pedangnya yang segera diikatkan di pinggang, kemudian dia berlari menuju ke arah datangnya siulan tadi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Alangkah marahnya ketika dia tiba di depan gedung yang sedang berpesta itu, ia melihat Lilani sedang
dipondong oleh seorang kurus tinggi dan diiringi dengan gelak tertawa para tamu yang berada di situ.
Dalam kemarahan yang berkobar memuncak, Lie Siong lantas melompat dan menerjang Si Tinggi Kurus
itu dengan gerakan yang disebut Raja Kera Merampas Mustika. Tangan kanannya menyerang dengan
tusukan kedua jari tangan ke mata Si Tinggi Kurus, sedang tangan kirinya menyambar ke arah tubuh Lilani!
Tak seorang pun menduga datangnya pemuda ini, maka tentu saja Lok Cit Sian menjadi terkejut sekali. Dia
sedang bergembira karena telah berhasil mendapatkan seorang dara yang demikian cantiknya, maka
akibat nafsu yang memeningkan kepalanya, hampir saja dia tidak dapat menghindarkan matanya dari
tusukan dua buah jari tangan Lie Siong.
Baiknya Lok Cit Sian telah memiliki pengalaman pertempuran yang cukup luas, maka dia masih dapat
merasakan datangnya bahaya. Cepat dia menjatuhkan diri ke belakang dan ia dapat mengelak dari
serangan Lie Siong. Akan tetapi ia tidak dapat mencegah pemuda itu merenggut tubuh Lilani dari
pondongannya.
Dengan gerakan cepat, Lie Siong menotok iga Lilani dan membebaskan gadis itu dari pengaruh totokan
Ban Sai Cinjin, kemudian ia memegang tangan gadis itu dan dibawaya melompat ke pekarangan depan.
Barulah terjadi keributan setelah semua orang menyaksikan gerakan Lie Siong yang tak terduga ini.
Terutama sekali Lok Cit Sian menjadi marah bukan main. Murid murtad dari Thai-kek-pai ini lalu mencabut
pedangnya dan dengan mengeluarkan gerengan bagaikan seekor harimau terluka, dia segera menyerbu
ke depan dan menyerang Lie Siong yang juga sudah mencabut pedangnya Sin-liong-kiam yang istimewa.
Pedang Lok Cit Sian berkelebat, disambut oleh pedang Sin-liong-kiam.
“Traang...!”
Dua pedang bertemu, maka berpijarlah bunga api karena pedang Lok Cit Sian ternyata bukanlah pedang
sembarangan pula. Namun, Lok Cit Sian menjadi amat terkejut ketika merasa betapa pedangnya telah
menempel pada pedang lawan yang aneh itu, dan pada saat ia melihatnya, ternyata bahwa pedang lawan
yang berbentuk naga itu telah berhasil melibatkan lidah naga pada pedangnya.
Dia mencoba untuk menarik pedangnya, akan tetapi tiba-tiba saja tangan kiri Lie Siong melakukan pukulan
dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut ke arah dadanya. Lok Cit Sian adalah seorang ahli silat yang
berkepandaian tinggi. Melihat pukulan tangan kiri yang mengeluarkan uap putih, dia maklum akan kelihaian
pukulan ini, maka dia mengerahkan tenaga lweekang-nya, membuka tangan kirinya untuk menyambut
pukulan lawan.
“Aduh...!” Lok Cit Sian mengeluh dan tubuhnya terlempar ke belakang, pedangnya masih menempel pada
pedang Lie Siong!
Tiba-tiba Lie Siong merasa ada sambaran angin yang kuat sekali dari belakang. Ia cepat membalikkan
tubuh sambil menangkis dengan pedangnya ke belakang.
“Traaang...!”
Lie Siong merasa terkejut sekali saat merasa betapa tangannya yang memegang pedang tergetar,
sedangkan pedang Si Tinggi Kurus yang tadinya masih menempel dan terlibat oleh lidah pedangnya kini
telah mencelat jauh. Ternyata bahwa yang menyerangnya tadi adalah seorang kakek gemuk yang
berpakaian mewah. Kakek ini telah menyerangnya dengan sebuah huncwe yang panjang dan berat, dan
melihat betapa tenaga serangan itu sanggup menggetarkan tangannya, maklumlah Lie Siong bahwa ia
menghadapi seorang pandai.
“Bangsat muda, apakah kau buta maka berani mengganggu pesta dari Ban Sai Cinjin?” kakek itu berkata
sambil melanjutkan serangannya dengan huncwe mautnya.
Akan tetapi, Lie Siong sama sekali tidak gentar menghadapi huncwe-nya itu dan dengan cepat dapat
menangkis lantas membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya.
Sementara itu setelah dibebaskan oleh Lie Siong, Lilani lalu menyerang pemuda yang tadi
mengganggunya. Ketika mencoba untuk menyerang dengan pedang, orang yang tadi ditamparnya tahudunia-
kangouw.blogspot.com
tahu kena dipegang pergelangan tangannya oleh Lilani dan ketika gadis ini membalikkan tubuh sehingga
tubuh lawannya berada di belakangnya, gadis itu lalu menekan lengan lawannya itu di atas pundaknya dan
sekali ia berseru keras sambil membungkukkan tubuh, maka tubuh lawannya itu terlempar ke udara!
Pemuda itu menjerit-jerit ketakutan ketika tubuhnya melayang ke atas dan untung sekali ia jatuh di atas
genteng. Akan tetapi karena genteng itu tinggi, ia tidak berani turun dan sambil berkaok-kaok minta tolong,
ia memegang wuwungan dengan tubuh menggigil dan muka pucat.
Sementara itu ketika Lilani melihat betapa Lie Siong bertempur melawan seorang kakek yang tengah
mainkan senjata huncwe secara hebat mengerikan, dan melihat pula betapa banyak orang mulai mencabut
senjata dan agaknya hendak mengeroyok Lie Siong, lalu berseru,
“Taihiap, mari kita pergi dari sini. Aku takut!”
Lie Siong tidak kenal akan arti takut, maka menghadapi Ban Sai Cinjin dan orang-orang itu, biar pun harus
ia akui bahwa kepandaian kakek berhuncwe itu tidak boleh dipandang ringan, ia pantang mundur. Akan
tetapi, begitu mendengar suara Lilani yang menyatakan rasa takutnya, teringatlah ia bahwa biar pun ia
dapat menjaga diri sendiri, namun apa bila orang-orang itu menyerang dan menangkap Lilani, belum tentu
ia dapat melindungi gadis itu.
Maka dengan gerakan yang cepat dan indah, dia lalu menyerang Ban Sai Cinjin dengan gerak tipu Naga
Sakti Bermain-main Dengan Kilat. Pedangnya yang berbentuk naga itu bergerak ke depan, tanduk naga
menotok jalan darah maut di leher Ban Sai Cinjin, lidah naga yang panjang menyambar ke arah mata dan
tangan kiri Lie Siong bergerak pula melakukan pukulan Pek-in Hoat-sut.
Ban Sai Cinjin tidak mengenal ilmu pedang Lie Siong yang aneh gerakannya dan aneh pula pedangnya itu,
akan tetapi melihat pukulan Pek-in Hoat-sut ini, dia segera teringat akan kepandaian Lili dan Goat Lan. Ia
terkejut sekali dan cepat ia melompat ke belakang sambil berseru,
“Bangsat rendah, ternyata kau adalah keturunan Pendekar Bodoh!”
Akan tetapi Lie Siong sudah melompat ke dekat Lilani dan menyambar pinggang gadis itu yang ramping
lalu berlari pergi sambil berseru, “Jahanam tua bangka! Aku tidak kenal Pendekar Bodoh!”
Dia memang merasa mendongkol karena ke mana juga dia pergi, dia selalu mendengar nama Pendekar
Bodoh disebut orang, sungguh pun kali ini agaknya disebut oleh orang yang memusuhi Pendekar Bodoh.
Ban Sai Cinjin dan Lok Cit Sian hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Wi Kong Siansu
yang baru saja keluar. “Tak perlu dikejar lawan yang sudah melarikan diri. Pula, kali ini kawan-kawanmu
berada di pihak yang salah, Sute.”
Ban Sai Cinjin merah mukanya dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu kembali ke ruangan dalam. Pesta
dilanjutkan biar pun suasananya tidak semeriah tadi…..
********************
Lie Siong berlari terus memasuki kamar hotel, mengambil buntalan pakaian mereka dan mengajak Lilani
keluar dari dusun itu. Pemuda ini maklum bahwa kalau ia tetap berada di hotel, maka bahaya besar akan
mengancamnya. Setibanya di sebuah hutan di luar goa, ia berhenti dan bertanya kepada Lilani.
“Lilani, bagaimanakah terjadinya keributan itu?”
Lilani segera menceritakan betapa dia diganggu oleh orang-orang di rumah itu. Lie Siong mendengarkan
dengan muka merah sebab hatinya tiba-tiba menjadi panas sekali. Sambil mengertak gigi, ia berkata,
“Kau tunggulah di sini. Aku hendak kembali ke sana dan sebelum dapat menghancurkan kepala Si Tinggi
Kurus yang menghinamu, aku belum merasa puas.”
Mendadak Lilani menjadi pucat ketakutan. “Jangan, Taihiap, jangan kau pergi ke sana. Mereka itu orangorang
jahat yang lihai sekali.”
“Aku tidak penakut seperti kau, Lilani.” Suaranya terdengar dingin. “Aku harus menghajar mereka!” Dia
dunia-kangouw.blogspot.com
hendak pergi, akan tetapi Lilani lalu berlutut di depannya dan memegang tangannya.
“Taihiap, jangan... jangan kau pergi ke sana...,” suaranya menggigil sehingga Lie Siong menjadi terheranheran.
“Taihiap, aku takut bukan mengkuatirkan diri sendiri, aku takut kalau-kalau kau akan mendapat
celaka. Tidak tahukah kau betapa tadi pun aku sudah merasa kuatir setengah mati melihat kau hendak
dikeroyok? Kakek gemuk itu lihai sekali dan nama Ban Sai Cinjin pernah kudengar sebagai seorang yang
lihai dan jahat.”
“Aku tidak takut! Untuk membela kebenaran dan kehormatan, aku tidak takut mati.”
“Jangan, Taihiap. Kau tidak takut mati akan tetapi aku bagaimana? Dapatkah aku hidup lebih lama lagi
kalau kau sampai menderita celaka di sana?” Gadis itu lalu menangis dan memeluk kedua kaki Lie Siong.
Sungguh mengherankan, melihat keadaan gadis itu, Lie Siong merasa betapa dadanya berdebar aneh!
“Jangan takut, Lilani. Aku takkan mati, takkan celaka. Mereka itulah yang akan celaka di tanganku!”
Sesudah berkata demikian, Lie Siong melepaskan pelukan Lilani, dan segera melompat pergi.
Hari telah menjadi gelap ketika bayangan Lie Siong berkelebatan cepat di atas genteng gedung Ban Sai
Cinjin di mana siang hari tadi diadakan pesta untuk menghormati Hailun Thai-lek Sam-kui. Keadaan di
dalam gedung itu tidak seramai tadi, karena Ban Sai Cinjin, ketiga kakek Thai-lek Sam-kui, Wi Kong
Siansu, dan juga Lok Cit Siang telah pergi dan mengunjungi kuil di dalam hutan.
Orang-orang tua yang lihai ini melanjutkan percakapan di dalam kuil ini supaya tidak terganggu oleh orangorang
muda yang masih melanjutkan pesta di gedung itu. Hanya Kam Seng dan Hok Ti Hwesio yang
mewakili tuan rumah dan menjamu para tamu yang kini terdiri dari orang-orang muda. Pesta itu kini
dimeriahkan oleh beberapa orang wanita penyanyi dan para tamu menjadi makin mabuk.
Tentu saja Lie Siong tidak tahu bahwa kakek-kakek yang lihai itu tidak berada di tempat itu, dan ia pun
tidak peduli. Pemuda putera Ang I Niocu ini memang memiliki ketabahan hati seperti ibunya dan juga
memiliki kecerdikan dan pandangan luas seperti ayahnya.
Ia maklum bahwa seorang diri menghadapi begitu banyak lawan, terutama sekali adanya para orang tua
yang pandai itu, merupakan hal yang bodoh sehingga sama saja dengan membunuh diri. Oleh karena itu,
dia segera menuju ke ruang belakang yang sunyi dan mencari akal. Satu-satunya jalan untuk dapat
menghajar mereka, pikirnya, adalah dengan cara membuat mereka cerai-berai dan memecah-mecah
perhatian mereka.
Gerakan tubuh Lie Siong demikian hati-hati dan ginkang-nya memang sudah sempurna seperti ibunya,
maka anak buah dan kaki tangan Ban Sai Cinjin yang berpesta pora di dalam gedung tidak ada seorang
pun yang mendengarnya. Bahkan Hok Ti Hwesio dan Song Kam Seng yang sudah memiliki ilmu silat tinggi
juga tidak mengetahuinya.
Hal ini bukan menandakan bahwa kepandaian kedua orang murid Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu ini
masih rendah, melainkan oleh karena keadaan di dalam gedung itu amat ramainya sehingga tentu saja
mereka tidak memperhatikan keadaan di luar mau pun di atas gedung. Dan pula, siapakah orangnya yang
berani mengganggu rumah gedung Ban Sai Cinjin?
Tiba-tiba, nampak api bernyala hebat di bagian belakang gedung, disusul pula oleh nyala api di sebelah
kanan dan kiri gedung. Dalam waktu yang susul menyusul, gedung itu sudah kebakaran di tiga tempat,
yaitu di belakang, kanan dan kiri! Barulah orang-orang yang berpesta pora menjadi geger.
“Kebakaran...! Kebakaran...!” Orang-orang mulai berteriak-teriak dan semua orang berlari serabutan ke
sana ke mari.
Hok Ti Hwesio dan Song Kam Seng mengepalai orang-orang itu untuk memadamkan api yang membakar
bagian-bagian gedung itu. Orang-orang sibuk bekerja keras karena api yang membakar gedung itu besar
juga dan terjadi di tiga tempat.
Di dalam keributan itu, sesosok bayangan orang yang cepat sekali gerakannya, bagaikan seekor burung
garuda, menyambar turun dari genteng dan begitu tubuhnya menyambar, menjeritlah beberapa orang
muda yang roboh dengan mandi darah! Ternyata bahwa Lie Siong yang merasa marah dan sakit hati
dunia-kangouw.blogspot.com
karena Lilani diganggu, kini mulai menurunkan tangan maut sebagai pembalasan dendam!
Dengan pedang di tangannya, pemuda ini meyerbu orang-orang yang nampak di dalam gedung. Ke mana
saja tubuhnya berkelebat, pasti ada seorang korban yang roboh oleh pedangnya atau oleh serangan
tangan kiri dan kakinya. Beberapa orang mengeroyoknya dengan senjata di tangan, akan tetapi dalam
beberapa gebrakan saja, pengeroyok yang jumlahnya empat orang ini kesemuanya roboh tak dapat
bangun pula!
Sepak terjang Lie Siong benar-benar mengerikan. Ia keras hati dan membenci kejahatan melebihi ibunya
dahulu. Di dalam anggapannya, semua orang yang berada di gedung itu adalah penjahat-penjahat belaka
yang harus dibasmi dari muka bumi. Maka sebentar saja, selagi api masih belum dapat dipadamkan,
belasan orang telah ia robohkan!
Hok Ti Hwesio dan Kam Seng masih sibuk dalam usaha mereka memadamkan api ketika ada seorang
pemuda datang kepada mereka dengan wajah pucat dan berkata gagap, “Celaka, ada musuh mengamuk...
banyak kawan dibunuh...”
Mendengar ucapan itu, marahlah kedua orang ini. Mereka tadi memang sudah merasa curiga dan
menduga bahwa kebakaran ini pasti ditimbulkan oleh musuh jahat. Sambil berteriak marah, Hok Ti Hwesio
mendahului Kam Seng dan melompat ke tengah gedung.
Dia melihat seorang pemuda sedang mengamuk dengan pedangnya dan ketika melihat bahwa pemuda itu
adalah orang yang siang tadi telah mengacau, dia pun menjadi marah sekali. Dicabutnya pisau terbangnya
dan berserulah Hok Ti Hwesio,
“Keparat keji rasakan tajamnya senjataku!” Ia menggerakkan tangannya dan pisaunya itu melayang
dengan cepatnya sambil mengeluarkan suara mengaung keras.
Melihat benda bersinar menyambar ke arah lehernya, Lie Siong cepat-cepat mengelak. Akan tetapi segera
menyusul dua pisau terbang lagi yang meluncur cepat. Sekali ini Lie Siong menggerakkan pedangnya
dan…
“Traaang…! Traaang…!” dua buah pisau itu dapat ditangkis.
Lie Siong merasa kagum juga ketika merasa betapa telapak tangannya kesemutan tanda bahwa pisau itu
dilemparkan dengan tenaga yang amat kuat. Akan tetapi kekagumannya berubah kekagetan pada waktu
pisau pertama yang tadi dapat dielakkan itu menyambar kembali dari belakangnya! Ia cepat-cepat
melompat ke samping dan segera menubruk ke depan ketika pisau itu lewat.
Dengan pedangnya yang aneh dia lalu menyerang Hok Ti Hwesio yang sementara itu telah siap dengan
pisau di kedua tangannya! Pada saat Hok Ti Hwesio didesak oleh Lie Siong, datanglah Kam Seng yang
telah mencabut pedangnya. Tidak lama kemudian Lie Siong telah dikeroyok dua oleh Hok Ti Hwesio dan
Kam Seng.
Lie Siong mendapat kenyataan bahwa kepandaian dua orang pengeroyoknya ini hebat dan kuat sekali,
akan tetapi tentu saja putera Ang I Niocu ini tidak menjadi gentar sama sekali. Dia lalu bersilat dan
memutar pedangnya dengan Ilmu Pedang Sin-liong Kiam-sut.
Tubuhnya yang semenjak kecil telah dilatih dengan Ilmu Silat Sian-li Utauw (Tari Bidadari) menjadi lemas.
Ada pun gerak geriknya selain indah juga cepat sekali. Maklum bahwa ia menghadapi dua orang lawan
tangguh, Lie Siong lalu menggerakkan tangan kirinya dan mengebullah uap putih dari lengan kirinya ketika
dia bersilat dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang hebat.
Melihat Pek-in Hoat-sut, bukan main kagetnya Hok Ti Hwesio dan Kam Seng. Lagi-lagi seorang muda dari
rombongan Pendekar Bodoh, pikir mereka. Telah dua kali mereka bertemu dengan orang-orang muda dari
rombongan Pendekar Bodoh yang pandai Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut, yaitu Lili puteri Pendekar Bodoh
sendiri, dan sekarang pemuda ini yang memegang sebatang pedang luar biasa anehnya! Dan keduanya
ternyata memiliki ilmu silat yang luar biasa tingginya!
Dengan penuh semangat Hok Ti Hwesio dan Kam Seng kemudian menyerang sambil mengerahkan
seluruh kepandaian mereka sehingga Lie Siong belum dapat merobohkan mereka. Kepandaian kedua
orang itu sesungguhnya sudah tinggi dan apa bila Lie Siong tidak memiliki ilmu pedang yang hebat dan
dunia-kangouw.blogspot.com
ginkang yang tinggi, agaknya sulitlah baginya untuk dapat mempertahankan desakan mereka.
Lebih-lebih kaget hati Lie Siong pada waktu ia berhasil menendang perut Hok Ti Hwesio, oleh karena
tendangan yang kekuatannya sedikitnya seribu kati itu, dan yang pasti akan membinasakan seorang ahli
silat lainnya ini, hanya mampu membuat tubuh hwesio muda itu terpental sampai dua tombak jauhnya,
jatuh menggelundung lalu melompat berdiri lagi tanpa terluka sedikit pun! Bahkan hwesio itu marah sekali
lalu menyerang dengan luar biasa hebatnya.
Tentu saja Lie Siong tidak tahu bahwa Hok Ti Hwesio memiliki ilmu kekebalan yang amat hebat, maka dia
menjadi penasaran sekali. Ia membulatkan tekad untuk membinasakan dua orang yang dianggapnya amat
berbahaya ini.
Penjahat-penjahat dengan kepandaian yang tinggi harus dibinasakan, kalau tidak, tentu akan
mendatangkan kekacauan dan kejahatan di antara sesama hidup. Maka dia segera memutar pedangnya
lebih cepat lagi. Yang mengagumkan hatinya adalah ilmu pedang Kam Seng, karena walau pun
gerakannya lemah-lembut namun Kam Seng selalu dapat menjaga diri dengan baik dan bahkan melakukan
serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya.
Diam-diam Lie Siong merasa heran melihat Kam Seng, karena bagaimanakah seorang pemuda yang
berwajah tampan dan bersih, bersikap lemah-lembut dan sinar matanya sama sekali tidak nampak seperti
seorang penjahat, dapat bersatu dengan orang-orang jahat? Juga, di dalam pertempuran ini, agaknya
pemuda itu tak berniat sungguh-sungguh untuk mengadu jiwa, hanya hendak menguji kepandaian saja,
berbeda dengan Hok Ti Hwesio yang menyerang membuta tuli.
Betapa pun juga, ilmu kepandaian Lie Siong masih menang setingkat bila dibandingkan dengan kedua
orang pengeroyoknya, maka pada suatu saat yang tepat, lidah pedang naga di tangan Lie Siong yang
panjang itu berhasil menotok Kam Seng hingga pemuda itu terhuyung mundur dengan wajah pucat sekali.
Baiknya dia masih dapat mengerahkan ginkang-nya dan menutup jalan darahnya, sehingga ia tidak terluka
hebat, hanya untuk beberapa lama sebelah tangannya, yaitu tangan kiri menjadi kaku tak dapat digerakkan
lagi.
Lie Siong mendesak hebat kepada Hok Ti Hwesio. Ia ingin sekali menjatuhkan serangan maut, akan tetapi
Hok Ti Hwesio lalu bersuit keras sebagai tanda kepada kawan-kawan untuk maju mengeroyok. Sekarang
api sudah dapat dipadamkan dan semua orang telah berkumpul di sana. Melihat betapa Kam Seng sudah
dikalahkan serta Hok Ti Hwesio memberi tanda, maka lebih dari dua puluh orang serentak maju
mengeroyok.
Lie Siong makin gembira melihat datangnya keroyokan dan pedangnya berkelebat makin ganas,
merobohkan beberapa orang lagi dalam satu gerakan saja! Hebat sepak terjang pemuda ini sehingga
gentar juga hati Hok Ti Hwesio melihatnya.
“Lekas, panggil Suhu dan Supek!” teriaknya kepada para kawannya.
Lie Siong terkejut dan teringatlah dia pada kakek gemuk yang siang tadi telah bertempur dengan dia. Kalau
kakek itu dan orang-orang lain yang siang tadi kepandaiannya sudah dibuktikannya datang pula
mengeroyok, maka akan berbahayalah keadaannya.
Dia pun teringat pula kepada Lilani yang ditinggalkan di tengah hutan. Alangkah gelisah gadis itu
ditinggalkan seorang diri di dalam hutan yang gelap itu. Dia sudah membakar rumah dan merobohkan
belasan orang, maka sedikitnya kemarahannya sudah mereda. Telah cukup pembalasan yang ia lakukan
untuk Lilani. Penghinaan yang dilakukan orang kepada Lilani sudah terbalas lebih dari pantas dan cukup.
Pula, ia pun telah mulai lelah sesudah bertempur menghadapi keroyokan itu.
Dengan gerakan Naga Sakti Memutar Tubuh, Lie Siong mengayunkan pedangnya serta memutarnya
sedemikian rupa sehingga yang nampak hanya segulung sinar pedang yang menyilaukan saja, kemudian
pada saat para pengeroyoknya mundur menyelamatkan diri, dia cepat melompat ke atas genteng!
“Bangsat hina dina, jangan lari!” seru Hok Ti Hwesio dan terbanglah dua batang pisau yang
disambitkannya.
Lie Siong memutar pedangnya dan berhasil menangkis dua batang pisau itu, akan tetapi baru saja ia
terhindar dari serangan senjata gelap ini, tiba-tiba terdengar angin menderu dan lima batang benda hitam
dunia-kangouw.blogspot.com
yang bundar menyerang lima jalan darah pada tubuhnya.
Lie Siong terkejut sekali dan cepat ia melompat tinggi sambil berjungkir balik, dan tidak lupa untuk memutar
pedangnya melindungi diri. Untung dia bergerak cepat, kalau tidak, tentu ia akan terkena sengan senjata
rahasia yang lihai ini! Ia cepat melompat jauh dan menghilang di dalam gelap, diam-diam kagum melihat
senjata rahasianya yang ternyata adalah thi-tho-ci dan dilepas oleh Kam Seng!
Dengan marah sekali Hok Ti Hwesio hendak mengejar, akan tetapi Kam Seng berkata, “Percuma saja
dikejar, penjahat itu memiliki kepandaian yang lebih lihai dari kita!”
Ia menghela napas dan masih merasa terpesona oleh gerakan Lie Siong yang dengan mudahnya dapat
menghindarkan diri dari serangannya tadi. Dia telah menyempurnakan pelajaran melepas senjata rahasia
thi-tho-ci dan mendapat petunjuk dari suhu-nya, akan tetapi ternyata bahwa pemuda aneh tadi dapat
mengelak dengan mudah dan indahnya.
Dengan hati amat kecewa Kam Seng mendapat kenyataan bahwa rombongan Pendekar Bodoh, orangorang
muda yang sudah memperlihatkan diri, ternyata adalah orang-orang gagah yang berkepandaian jauh
lebih tinggi dari padanya. Apa lagi yang tua-tua seperti Pendekar Bodoh, isterinya, Kwee An dan isterinya,
dan yang lain-lain! Aku harus minta kepada suhu untuk menurunkan pelajaran ilmu silat Mongol supaya
mampu menandingi mereka, pikirnya dengan hati tetap.
Sementara itu, Lie Siong berhasil melarikan diri dengan hati puas. Dia sudah melakukan pembalasan yang
cukup berhasil dan telah menebus penghinaan terhadap Lilani. Tiada seorang pun di dunia ini boleh
menghina Lilani, gadis yang amat dikasihani itu.
Hutan di mana ia meninggalkan Lilani amat gelap sehingga Lie Siong terpaksa melakukan perjalanan
lambat. Ketika tiba di tempat di mana tadi dia meninggalkan Lilani, ternyata bahwa tempat itu sunyi dan
tidak nampak bayangan orang. Ia merasa heran sekali.
Ia ingat benar bahwa tadi ia meninggalkan Lilani di situ, di bawah pohon besar itu, akan tetapi mengapa
sekarang tidak nampak gadis itu di tempat itu? Ke manakah perginya? Mendadak Lie Siong merasa
hatinya berdebar penuh kecemasan. Jangan-jangan Lilani telah mendapat bencana ketika ditinggalkan,
pikirnya dengan hati gelisah tidak karuan.
Apakah Lilani telah diterkam binatang buas? Apakah ditawan oleh orang jahat? Menggigil sepasang kaki
Lie Siong ketika dia memikirkan hal ini. Dia sendiri merasa heran karena belum pernah selama hidupnya
dia menderita perasaan takut dan gelisah seperti ini. Kalau ia sendiri yang berada di dalam bahaya, ia
takkan merasa takut sedikit pun akan tetapi memikirkan Lilani berada dalam bahaya, ia menjadi gemetar
seluruh tubuhnya!
“Siapa?!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Lilani muncul dari balik semak-semak sambil tangannya
memegang pedang!
Lie Siong tidak dapat melihat nyata, akan tetapi suara itu dikenalnya baik-baik. Hampir ia bersorak saking
girangnya melihat gadis itu ternyata masih berada di situ dalam keadaan baik.
“Lilani... aku yang datang!” katanya dan kembali ia terheran mendengar suaranya sendiri yang agak
gemetar.
Terdengar isak tertahan dan Lilani lalu melempar pedangnya ke bawah, kemudian berlari dan menubruk
Lie Siong sambil menangis!
“Taihiap... ahhh, Taihiap...”
Gadis ini tadinya merasa amat ketakutan dan kuatir pemuda yang dicintanya itu terbinasa dan tidak akan
kembali lagi. Kini, melihat Lie Siong datang, kegirangan yang memuncak membuat dia tak dapat menahan
membanjirnya air matanya. Ia memeluk leher pemuda itu, menciumnya dengan hati gembira dan penuh
cinta kasih, sambil mulutnya berbisik tiada hentinya, “Taihiap... Taihiap...”
Baru kali ini Lie Siong merasakan getaran hati yang luar biasa. Ketika merasa betapa air mata yang hangat
dari gadis itu membasahi mukanya yang diciumi, merasa betapa dua lengan tangan Lilani memeluknya
dengan erat dan bisikan-bisikan mesra yang menyayat hatiya, kekerasan hati pemuda ini hancur luluh!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia memegang kepala Lilani yang bergerak-gerak menciuminya, mendekap gadis itu, pada dadanya dan ia
lalu membenamkan mukanya pada rambut gadis itu yang berbau harum.
“Lilani...” suaranya hampir tidak terdengar karena tertutup oleh getaran perasaan hatinya, “jangan... jangan
menangis, Lilani...”
“Taihiap...” Lilani tersedu saking girangnya.
Belum pernah pemuda yang dipujanya ini memperlihatkan perasaan seperti ini dan kini dengan girang,
perasaan wanitanya dapat menangkap bahwa pemuda ini pun ternyata menaruh hati kasih kepadanya.
“Taihiap, pedang itu… kalau bukan kau yang datang, tentu pedang itu akan menembus dadaku...”
“Lilani...!” Lie Siong mendekap makin erat.
“Benar, Taihiap, aku sudah bersumpah takkan mau hidup lagi bila kau sampai mendapat celaka dan
terbinasa.”
Demikianlah, pertemuan yang amat mesra ini menandakan bertemunya dua hati muda di dalam hutan
yang gelap itu akan tetapi yang bagi mereka kini nampak terang. Hawa yang dingin menusuk tulang terasa
hangat menyegarkan, dan suara binatang-binatang buas dan burung hantu terdengar bagaikan musik yang
amat indah merayu kalbu.
Pertemuan dua hati dan dua jiwa yang sudah lama merana, rindu akan kasih seseorang. Bintang-bintang
yang ribuan banyaknya dianggapnya menjadi saksi atas pertemuan ini, dan bayang-bayang pohon
merupakan selimut yang amat hangat. Bintang-bintang saling berkedip memberi tanda mata dan
tersenyum-senyum maklum…..
********************
Di antara para pendekar remaja yang kita ikuti perjalanan dan pengalamannya hanya Sie Hong Beng,
putera Pendekar Bodoh yang sulung, yang belum kita ketahui bagaimana nasibnya. Baiklah kita jangan
meninggalkannya terlebih lama lagi dan mari kita mengikuti perjalanan pendekar remaja putera Pendekar
Bodoh ini.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sie Hong Beng diantar oleh ayahandanya untuk belajar ilmu silat
tinggi dari Pok Pok Sianjin, tokoh terbesar dari di Beng-san. Selama sepuluh tahun, Hong Beng mendapat
gemblengan ilmu silat tinggi, memperdalam ilmu lweekang dan ilmu tongkat yang luar biasa sekali.
Ilmu tongkat ini disebut Ngo-heng Tung-hwat dan masih ada semacam lagi yang disebut Pat-kwa Tunghwat.
Untuk mainkan dua macam ilmu tongkat ini saja, dibutuhkan waktu selama lima tahun oleh Hong
Beng untuk dapat mempelajarinya dengan sempurna. Yang istimewa pada ilmu tongkat ciptaan Pok Pok
Sianjin ini adalah bahwa untuk mainkan ilmu tongkat ini, tidak diperlukan tongkat yang khusus. Sebatang
ranting pohon yang terkecil, sampai batang pohon muda yang besar, dapat pula dipergunakan sebagai
senjata yang istimewa lihainya.
Sesudah menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Hong Beng, Pok Pok Sianjin lalu menyembunyikan
diri di dalam goa di puncak Gunung Beng-san dan menyuruh muridnya turun gunung melakukan perjalanan
merantau sarnbil mempergunakan seluruh pelajaran itu dalam praktek,
Pada waktu Hong Beng menuruni gunung di mana untuk sepuluh tahun dia berdiam dan mempelajari ilmu
silat dengan tekunnya, dia telah menjadi seorang pemuda yang gagah sekali. Tubuhnya tinggi tegap,
mukanya lebar dan tampan, berkulit halus. Wajah dan tubuhnya sama benar dengan ayahnya di waktu
muda, demikian pula wataknya pendiam dan sabar, bahkan berpakaian sederhana seperti ayahnya pula.
Akan tetapi, kalau ayahnya, yaitu Pendekar Bodoh, di waktu mudanya sering kali suka merendahkan diri
dan dalam kepandaian silat suka mengalah dan berpura-pura bodoh sehingga dijuluki Pendekar Bodoh,
adalah Hong Beng mempunyai watak tidak mau kalah dalam hal kepandaian silat. Watak ini agaknya ia
warisi dari ibunya, karena pada waktu mudanya, Lin Lin juga memiliki watak demikian. Bahkan pada waktu
kecilnya, Hong Beng dan adiknya, Hong Li atau Lili yang memiliki pendirian sama, sering membicarakan
nama julukan ayah mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sungguh menggemaskan, ayah yang berkepandaian setinggi langit tidak ada lawannya, mengapa disebut
Pendekar Bodoh?” kata Lili sambil merengut.
“Memang aku pun merasa penasaran sekali,” jawab Hong Beng. “Menurut patut, ayah harus dijuluki
Pendekar Sakti, bukan Pendekar Bodoh.”
Akan tetapi, kalau keduanya mengajukan rasa penasaran ini kepada ayah mereka, Sie Cin Hai hanya
terbahak-bahak saja dan menjawab dengan sebuah pertanyaan.
“Anak-anak bodoh, manakah yang lebih baik, gentong arak disangka penuh akan tetapi kosong
melompong ataukah gentong arak yang dianggap kosong akan tetapi penuh isi?”
“Tentu saja lebih baik yang disangka kosong akan tetapi penuh isi!” Lili yang berotak terang menjawab
dengan kontan.
“Nah,” jawab ayahnya masih sambil tertawa, “demikian pula soal nama julukan. Lebih baik disangka bodoh
akan tetapi tidak bodoh dari pada dianggap pinter akan tetapi goblok!”
Betapa pun juga, setelah menjadi dewasa, Hong Beng masih saja tak mau merendahkan diri dan berpurapura
bodoh seperti ayahnya. Ia adalah seorang pemuda yang maklum akan kepandaian sendiri, dan
hasratnya besar sekali untuk menguji ilmu kepandaiannya dengan kepandaian orang lain.
Bila orang melihat Hong Beng turun gunung dengan pakaian yang demikian sederhana, berwarna biru
dengan rambut atas diikat pita kecil, warna sepatunya hitam tanpa kaos, orang tidak akan mengira bahwa
dia adalah putera Pendekar Bodoh dan murid Pok Pok Sianjin yang sakti.
Pemuda ini tidak membawa senjata apa-apa, bertangan kosong dan meski pun tubuhya tinggi tegap,
namun kulit mukanya putih dan halus. Pakaiannya seperti seorang petani sederhana, akan tetapi sikap dan
gerak gayanya yang lemah lembut membuat ia pantas dianggap orang seperti seorang pemuda terpelajar
yang lemah. Tapi, jika orang melihat betapa dia menuruni gunung yang penuh batu karang dan jurang
dengan tindakan kaki yang cepat bukan main, seolah-olah kakinya tidak menginjak tanah, orang akan
menjadi bengong terheran-heran.
Dari Gunung Beng-san, pemuda ini menuju ke timur, melakukan perjalanan seenaknya, karena dia pun
tidak tergesa-gesa. Pada suatu hari, dia tiba di kota Ta-liong di lembah Sungai Kuning dan amat heranlah
ia melihat betapa kota yang besar dan ramai itu penuh dengan pengemis dan jembel! Yang amat
mengherankan hatinya adalah betapa para pengemis itu, sebagian besar memegang sebatang tongkat
berwarna hitam dan biar pun mereka menjalankan pekerjaan mengemis, akan tetapi gerakan tubuh mereka
bagi mata Hong Beng yang awas, menunjukkan bahwa mereka itu pandai ilmu silat!
Memang sesungguhnya kota Ta-liong adalah kota pusat dari perkumpulan pengemis dari Hek-tung Kaipang
(Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) yang sangat tersohor serta mempunyai cabang dan anggota
sampai di kota raja! Hek-tung Kai-pang adalah sebuah perkumpulan pengemis yang sudah puluhan tahun
umurnya sehingga telah mengalami pergantian pimpinan sampai beberapa kali.
Tiap tiga tahun sekali, di kota Ta-liong tentu diadakan pertemuan antara para pemimpin-pemimpin cabang
untuk mengangkat seorang pemimpin baru. Kebetulan sekali ketika Hong Beng tiba di kota itu, para
pemimpin cabang datang berkumpul untuk mengadakan pemilihan ketua baru, maka kota itu penuh
dengan pengemis bertongkat hitam.
Pada waktu itu Hek-tung Kai-pang dipimpin oleh lima orang ketua karena ketika diadakan pemilihan pada
tiga tahun yang lalu pilihan jatuh kepada lima saudara yang menjadi anak murid dari Hek-tung Kai-ong
(Raja Pengemis Bertongkat Hitam) pendiri dari perkumpulan itu. Baru sekarang anak murid Hek-tung Kaiong
dipilih menjadi ketua.
Beberapa tahun sudah perkumpulan itu dipimpin oleh lain orang oleh karena anak murid Hek-tung Kaipang
sendiri tiada yang mampu mengalahkan pemimpin dari luar itu. Lima saudara yang menjadi murid
Hek-tung Kai-ong sendiri ini lalu melatih diri dan akhirnya berhasil mempelajari ilmu tongkat dari Hek-tung
Kai-ong hingga akhirnya mereka berhasil merebut kedudukan ketua. Untuk menjaga perpecahan di antara
mereka, serta untuk memperkuat kedudukan dan menjaga nama Hek-tung Kai-ong pendiri perkumpulan
itu, mereka berlima bermufakat untuk memegang pimpinan bersama-sama.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan demikian, maka calon pemimpin baru apa bila hendak menggantikan mereka, harus dapat
mengalahkan mereka berlima! Maka, sampai tiga kali pimpinan, jadi tiga kali tiga tahun, Ngo-heng-te (Lima
Saudara) dengan Hek-tung-hoat-nya (Ilmu Tongkat Hitam) ini selalu menjadi pimpinan dan tak terkalahkan!
Seperti biasa, para pengemis telah berkumpul di sebuah tempat terbuka di sebelah utara kota, di mana
terdapat padang rumput dan beberapa batang pohon besar. Mereka masih menanti di bawah pohonpohon,
ada yang sedang duduk melenggut, ada yang berbaring mendengkur, ada yang membuka
bungkusan dan makan hasil mengemis, dan sebagian besar duduk bercakap-cakap mengobrol ke barat ke
timur sehingga keadaan menjadi sangat ramai sekali.
Kurang lebih ada empat puluh orang pengemis berkumpul di tempat itu, dan semuanya merupakan
pengemis-pengemis tua yang menjadi pimpinan berbagai cabang Hek-tung Kai-pang. Lima orang ketua
mereka belum datang, maka mereka masih saja menanti.
Menurut desas-desus mereka kelima orang pangcu (ketua) itu akan datang dari kota raja di mana mereka
tinggal. Biar pun ketua itu tinggal di kota raja, akan tetapi mereka tidak berani mengadakan pertemuan di
sana, oleh karena tentu saja mereka akan diusir dan diserbu oleh para perwira kerajaan yang tidak
memperbolehkan orang-orang kotor ini merusak pemandangan indah di kota raja!
Tiba-tiba semua pengemis itu dikejutkan oleh datangnya seorang pengemis lain yang aneh keadaannya.
Pengemis ini belum tua benar, kurang lebih baru berusia empat puluh tahun, berwajah tampan dan pucat,
sedangkan mukanya menunjukkan bahwa ia adalah orang yang tidak beres ingatannya. Ia tertawa-tawa
dan meringis sambil memutar-mutar manik matanya secara mengerikan. Tangannya memegang sebatang
tongkat bambu dan pakaiannya tidak karuan, demikian pula rambutnya. Bahkan di pinggir mulutnya
nampak tanah lumpur, seakan-akan dia habis makan tanah lumpur.
“Anjing-anjing berkeliaran di mana-mana, ha-ha! Anjing-anjing berkeliaran di mana-mana!” kata pengemis
bertongkat bambu itu sambil menudingkan tongkatnya kepada pengemis-pengemis lain yang
memandangnya heran.
Tak ada seorang pun di antara para pengemis ini mengenal orang yang baru datang dan pandang mata
marah mulai nampak pada para pemimpin cabang Hek-tung Kai-pang itu. Siapakah yang begitu kurang
ajar berani datang ke tempat itu dan mengganggu mereka?
“He, orang gila!” Seorang pengemis, yang pendek gemuk lalu memaki. “Apakah matamu buta? Apakah
nyawa anjingmu minta diantar oleh tongkat hitam?”
Pengemis aneh ini sebenarnya Sin-kai Lo Sian. Pengemis sakti yang telah menjadi gila. Sebagaimana
sudah kita ketahui, Lo Sian telah ditangkap oleh Ban Sai Cinjin sepuluh tahun yang lalu, dipaksa minum
obat beracun sehingga menjadi gila. Selama itu, Lo Sian berkeliaran di mana-mana dan karena
keadaannya telah berubah sedemikian rupa dan menjadi gila, tidak seorang pun dapat mengenalnya pula
sehingga dahulu suheng-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le, tak berhasil mencarinya. Di dalam perantauannya
dalam keadaan tidak sadar dan tidak ingat sesuatu, Lo Sian kebetulan tiba di kota Ta-liong dan melihat
banyaknya pengemis berkumpul di situ, ia menjadi tertarik dan datang pula ke tempat itu.
Mendengar teguran Si Pendek Gemuk tadi, Lo Sian hanya tertawa haha-hehe, dan dia menggunakan
tongkatnya untuk mencokel tanah di depan kakinya. Begitu tongkatnya digerakkan, tanah itu tercokel
terbang ke arah perut Si Pengemis Gendut. Pengemis gendut itu terkejut sekali, cepat dia mengelak akan
tetapi sambaran tanah lumpur ke dua telah tiba dan tepat sekali mengenai mulutnya.
“Plak!” Pengemis gendut itu gelagapan dan sebagian besar lumpur itu telah memasuki mulutnya!
“Bangsat kurang ajar” teriak pengemis lain dan semua pengemis yang tidak tidur sudah berdiri mengepal
tongkat hitamnya. “Butakah matamu bahwa kau berhadapan dengan rombongan pengurus Hek-tung Kaipang?
Ayo lekas mengaku siapakah kau dan kenapa kau datang memusuhi kami?”
Kalau otaknya tidak gila, tentu Lo Sian tahu siapa sebetulnya mereka ini, karena ia pun telah mendengar
nama Hek-tung Kai-pang, bahkan dahulu dia menjadi kawan baik dari Hek-tung Kai-ong pencipta
perkumpulan itu. Tetapi dalam keadaan seperti itu, jangankan mengenal orang lain, dirinya sendiri pun dia
tidak kenal lagi. Maka mendengar makian pengemis yang bertubuh jangkung kurus ini, dia lalu
menggerakkan tongkat bambunya mencokel tanah lagi dan beterbanganlah tanah lumpur ke arah para
pengemis yang telah berkumpul itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kurang ajar, kau benar-benar ingin mampus di bawah gebukan tongkat kami!”
Maka menyerbulah sekalian pengemis itu dengan tongkat hitam terangkat, mengeroyok Lo Sian. Semua
pengurus cabang Hek-tung Kai-pang telah mempelajari Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat, akan tetapi tingkat
mereka apa bila dibandingkan dengan Ngo-heng-te dan Hek-tung-hoat-nya itu masih amat jauh.
Hek-tung-hoat adalah ilmu tongkat yang luar biasa sukarnya, dan amat dirahasiakan cara mempelajarinya.
Inilah pula sebabnya mengapa kelima saudara itu dahulu masih belum menguasai sepenuhnya ilmu
tongkat ini. Setelah mereka mendapatkan kitab pelajaran yang disembunyikan oleh Hek-tung Kai-ong,
barulah mereka dapat memperdalam ilmu tongkat itu.
Ada pun Lo Sian, biar pun ingatannya telah lenyap dan dia telah menjadi seorang gila, namun ilmu silatnya
masih belum lenyap. Ilmu silatnya yang berasal dari Thian-san-pai amat tinggi dan termasuk golongan
atas, maka tentu saja apa bila dibandingkan dengan para pengemis itu, ia masih menang jauh.
Akan tetapi, sungguh pun sudah kehilangan pikirannya, Lo Sian masih belum kehilangan wataknya yang
baik dan penuh welas asih, maka dia tidak ingin membunuh sekalian pengemis yang mengeroyoknya,
ditambah lagi dengan jumlah pengeroyoknya yang amat banyak, maka sebentar saja ia dikepung oleh
puluhan orang pengemis dan berkali-kali ia menerima gebukan tongkat hitam!
Pertempuran itu benar-benar ramai dan lucu. Lo Sian sambil tertawa-tawa tidak karuan, mempermainkan
para pengeroyoknya, membuat para pengemis itu terjungkal dan roboh karena dikait kakinya. Mereka jatuh
tidak terluka, bangun lagi dan biar pun hujan tongkat hitam itu mengenai tubuh Lo Sian sehingga
pakaiannya hancur dan kulitnya ada yang pecah, namun seperti tidak terasa oleh pengemis sakti yang
mempunyai kekebalan dan lweekang yang tinggi itu.
Pada saat itu, datanglah Hong Beng yang kebetulan tiba di kota itu. Pemuda ini memiliki jiwa yang gagah
dan adil. Dari jauh dia telah melihat dan mendengar ribut-ribut itu dan ketika dia menghampiri tempat
pertempuran ia melihat seorang pengemis dikeroyok oleh puluhan pengemis tongkat hitam. Tadinya dia
mengira bahwa para pengemis itu tentulah berebut makanan, akan tetapi ketika menyaksikan cara Lo Sian
main silat, dia terkejut karena mengenal ilmu silat yang tinggi dari Thian-san-pai.
“Curang!” seru pemuda ini dengan marah. “Puluhan orang mengeroyok seorang, sungguh tidak tahu malu!”
Hong Beng lalu menyerbu ke depan. Seorang pengemis tongkat hitam menyambutnya dengan tusukan
tongkat pada lambungnya, akan tetapi dengan amat mudah, Hong Beng mengeluarkan tangannya dan
sekali membetot, tongkat hitam itu berpindah tangan. Kaki kirinya bergerak menendang dan terlemparlah
tubuh pengemis itu sampai tiga tombak lebih dan jatuh sambil berkaok-kaok kesakitan.
Para pengemis menjadi marah dan beberapa orang maju menyerbu Hong Beng. Akan tetapi, mana mereka
dapat menandingi Hong Beng yang berkepandaian tinggi? Memang keahlian pemuda ini adalah permainan
tongkat, dan sekarang tangannya telah memegang sebatang tongkat yang baik, maka tentu saja ia
merupakan seekor naga yang dikeroyok oleh beberapa banyak tikus! Sekali ia menggerakkan tongkatnya,
langsung terdengar jerit kesakitan dan tubuh empat orang pengemis terlempar tak dapat bangun lagi
karena tangan atau kaki mereka patah-patah!
Tiba-tiba terjadi suatu keanehan. Lo Sian yang sedang dikeroyok dan menghadapi para pengeroyoknya
sambil tertawa-tawa gembira, menjadi marah sekali ketika melihat sepak terjang Hong Beng.
“Kau berani melukai kawan-kawanku?!” teriaknya dan tongkat bambunya dengan cepat sekali menyambar
ke arah leher Hong Beng!
Pemuda ini lebih merasa heran dari pada terkejut. Mengapa ada orang yang membalas pertolongan
dengan serangan demikian berbahaya? Akan tetapi dengan tenang dia lalu mengangkat tongkatnya
menangkis dan terkejutlah dia pada saat merasa betapa tenaga pengemis gila ini benar-benar tidak
rendah. Ia lalu mainkan tongkatnya dan sekarang ia berkelahi dengan hati-hati sekali. Barusan pengemis
tongkat bambu ini menyebut para pengeroyoknya sebagai kawan-kawan, apakah dengan demikian bukan
berarti bahwa ia telah mencampuri urusan dalam orang-orang golongan lain?
“Orang tua, tahan dulu. Aku tidak bermaksud jahat!” kata Hong Beng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Lo Sian tetap menyerangnya kalang kabut sambil mengeluarkan ilmu tongkat dari Thian-sanpai
yang paling lihai. Sekarang para pengemis memindahkan kemarahan mereka kepada Hong Beng dan
sambil berteriak-teriak mereka lalu maju membantu Lo Sian, mengeroyok Hong Beng. Kini pemuda inilah
yang dikeroyok!
Melihat betapa Lo Sian tidak mempedulikannya, dan betapa para pengemis itu serentak mengeroyoknya
dengan nekad, Hong Beng merasa mendongkol juga. Akan tetapi ia kini tidak mau melukai pengeroyoknya,
cukup mendorong mereka roboh tumpang-tindih saja.
Pada waktu dia mengerahkan kepandaiannya, tongkat bambu di tangan Lo Sian dapat dipukulnya
sehingga remuk dan dia berhasil mendorong Lo Sian sehingga terjungkal dan bergulingan beberapa kali
tanpa melukainya. Tiba-tiba Lo Sian menjerit-jerit seperti orang ketakutan.
“Aduh...! Pemakan jantung...! Pemakan jantung...!” Sambil memegang kepalanya dengan kedua tangan,
larilah Lo Sian dengan amat cepatnya bagaikan orang dikejar setan!
Mendengar dan melihat kejadian ini, para pengemis tongkat hitam menjadi bengong dan memandang ke
arah bayangan Lo Sian, untuk sementara lupa kepada Hong Beng yang dikeroyoknya! Pemuda ini pun
menjadi terheran-heran dan dia pun segera membuang tongkat rampasannya lalu melompat pergi
mengejar bayangan Lo Sian yang berlari-lari sambil menjerit-jerit!
Sesudah keluar dari kota Ta-liong, Hong Beng akhirnya dapat menyusul Lo Sian yang masih berlari-lari.
Pemuda ini mendahuluinya, lalu membalikkan tubuh dan menghadang di tengah jalan sambil berkata,
“Perlahan dulu, Lopek!” Ia mengangkat tangan memberi isyarat agar supaya orang tua itu berhenti.
“Siapakah kau dan apakah artinya sikapmu yang aneh ini?”
Lo Sian memandang Hong Beng dengan tajam, kemudian tiba-tiba pengemis ini tertawa. “Ha-ha-ha! Kau
manusia berhati kejam! Kau hendak membunuhku? Bunuhlah! Kau kira aku takut mati? Ha-ha-ha!”
Sambil berkata demikian, Lo Sian lalu menggerakkan tangannya dan menyerang dengan gerak tipu
Kumbang Jantan Menyambar Bunga. Akan tetapi dengan kedua tangan yang digerakkan cepat sekali
Hong Beng berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Lo Sian.
“Orang tua, mengapa kau mengamuk dan kenapa pula kau berlari-lari seperti ketakutan? Ada apakah?
Cobalah kau mengaku terus terang, siapa kau dan percayalah bahwa aku yang muda akan berusaha untuk
membantumu dan menolongmu dari kesukaran!”
“Siapa aku? Tidak tahu! Tidak tahu!” Lo Sian meronta-ronta, lalu sambil membelalakkan matanya, ia
berteriak-teriak lagi, “Pemakan jantung! Pemakan jantung! Hi-hi..., pemakan jantung.” Ketika Hong Beng
melepaskannya, ia berlari lagi ke dalam hutan di dekat situ.
Hong Beng merasa terharu sekali. Ternyata olehnya bahwa kakek itu benar-benar gila. Tanpa disadarinya,
kedua kakinya bergerak mengejar ke dalam hutan, akan tetapi oleh karena sekarang Lo Sian tak
mengeluarkan teriakan-teriakan lagi, agak sukarlah baginya untuk dapat menyusul pengemis yang telah
berlari ke dalam hutan belukar itu.
Tiba-tiba ia mendengar teriakan-teriakan di sebelah belakang dan ketika ia menengok, ia melihat betapa
puluhan pengemis tongkat hitam tadi pun kini telah mengejarnya! Dengan mendongkol sekali karena
hatinya masih merasa sangat iba kepada pengemis gila tadi, Hong Beng lalu menghadapi para pengemis
itu dan mendahului memaki,
“Orang-orang berhati kejam dan jahat! Kalian ini sudah tahu bahwa pengemis tadi adalah seorang yang
tidak waras pikirannya, kenapa masih saja kalian mengeroyoknya. Apakah itu dapat disebut perbuatan
yang pantas?”
Seorang di antara para pengemis itu, yang bongkok tubuhnya dan yang mewakili kawan-kawannya bicara,
memberi hormat dan berkata,
“Orang muda yang gagah! Kau tidak tahu bahwa si gila tadi yang mulai lebih dulu dan mengganggu kami.
Kami sekali-kali bukan orang-orang yang berhati jahat dan bersikap pengecut, karena ketahuilah bahwa
kami adalah anggota-anggota terpilih dari Hek-tung Kai-pang!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Hong Beng pernah mendengar nama perkumpulan pengemis ini dari suhu-nya yang memuji perkumpulan
ini sebagai perkumpulan yang berhaluan patriotik dan memusuhi para perampok dan pengacau. Pengemispengemis
Hek-tung Kai-pang selalu merasa dirinya menjadi pelindung dari rakyat kecil yang miskin. Akan
tetapi oleh karena Hong Beng tidak mempunyai urusan dengan perkumpulan ini, ia segera bertanya,
“Kalau begitu, ada maksud apakah kalian mengejarku?”
“Sayang sekali bahwa pada waktu kelima Pangcu (Ketua) kami tiba, kau telah pergi dan kini para Pangcu
kami yang merasa amat tertarik mendengar kepandaianmu memainkan tongkat, mengundang padamu
untuk mengunjungi perkumpulan kami dan mengajakmu berpibu (mengadu kepandaian).”
Berserilah wajah Hong Beng mendengar tantangan ini. Memang, setiap kali mendengar orang pandai,
hatinya ingin sekali mencobanya, apa lagi kalau dia yang ditantang! Akan tetapi, dia masih tertarik dengan
Lo Sian pengemis gila tadi dan hendak mencari serta menyelidikinya lebih dulu, maka dia lalu berkata,
“Baiklah, katakan pada Pangcu-pangcumu bahwa aku Sie Hong Beng menerima baik undangan mereka.
Besok pagi-pagi aku akan datang mengunjungi tempat di mana kalian tadi berkumpul.”
Para pengemis itu tertegun ketika mendengar pemuda itu menerima tantangan kelima pangcu mereka, dan
sikap mereka berubah menghormat sekali. Si Bongkok tadi menjura dan berkata,
“Orang muda yang gagah! Kami percaya bahwa seorang gagah seperti kau tentu takkan melanggar janji.
Hanya harap kau berhati-hati menghadapi Hek-tung-hoat dari lima orang pangcu kami!” Dia lalu mengajak
kawan-kawannya mengundurkan diri. Ada pun Hong Beng lalu melanjutkan perjalanannya mencari
pengemis gila tadi.
Pada saat itu pula, di dalam hutan itu terdapat dua orang lainnya yang juga melakukan perjalanan sambil
bersenda gurau. Mereka ini adalah Lili dan Goat Lan yang melakukan perjalanan menuju ke Tiang-an.
Kedua orang gadis gagah ini pun mendengar teriakan-teriakan para pengemis tadi dan cepat mereka
menuju ke tempat itu. Akan tetapi para pengemis itu telah pergi meninggalkan Hong Beng dan ketika Lili
melihat Hong Beng, dia cepat-cepat menarik tangan Goat Lan dan bersembunyi di balik semak belukar.
“Ssstt, Goat Lan, jangan sampai terlihat oleh orang itu!” bisiknya perlahan.
Melihat sikap Lili, Goat Lan menjadi terheran dan tertarik sekali. Ia tidak mengenal siapa gerangan pemuda
yang gagah dan tampan itu. Tentu saja Lili segera mengenal muka kakaknya, akan tetapi Goat Lan belum
pernah bertemu muka lagi dengan Hong Beng semenjak mereka masih kecil.
“Ada apakah, Lili? Mengapa kau agaknya takut kepada pemuda itu? Siapakah dia?”
“Eh, ehh, agaknya kau tertarik padanya, Goat Lan!” Lili menegur sambil merengut. “Ingat, kau adalah
tunangan kakakku.”
“Ihh, dasar kau anak gila!” Goat Lan mencubit lengan Lili, karena tahu bahwa Lili hanya menggodanya
saja. “Pantasnya yang tertarik adalah engkau yang belum bertunangan!”
“Mana bisa aku tertarik kepadanya? Dia... dia telah menghinaku Goat Lan, dan sekarang aku minta
kepadamu agar sukalah kau membalaskan penghinaan itu!”
Goat Lan terkejut. “Menghinamu? Dia...? Mengapa diam saja? Hayo kita menyerbunya dan memberi
hajaran kepada orang kurang ajar itu! Penghinaan apakah yang telah dia lakukan kepadamu?”
“Terus terang saja aku pernah bertemu dengan dia dan melihat bahwa dia mempunyai kepandaian tinggi,
aku kemudian mengajaknya pibu, akan tetapi aku... aku kalah dan ditertawakan olehnya! Aku... aku takut
dan malu melihatnya, Goat Lan, maka kalau kau mau membelaku, kau keluarlah dan kau jatuhkanlah dia!
Akan tetapi jangan kau katakan tentang aku karena aku merasa malu. Biarlah aku bersembunyi saja
melihat betapa kau mengalahkan dan merobohkannya! Atau... barang kali kau tidak berani dan tidak mau
membelaku?”
“Siapa tidak berani? Kaulihat saja. Mari kita kejar dia!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah, kedua orang dara jelita ini menyusup semak-semak belukar mengejar Hong Beng yang
berjalan sambil memandang ke sana ke mari, mencari jejak Lo Sian.
Tiba-tiba, pemuda ini terkejut sekali ketika melihat seorang gadis cantik melompat keluar dari balik semaksemak
dan memakinya, “Pemuda sombong dan kurang ajar, kau berani sekali menghina adikku?
Bersiaplah untuk menerima beberapa pukulan balasan dariku!” Sambil berkata demikian, langsung saja
Goat Lan menyerang Hong Beng dengan ilmu silatnya Im-yang Kun-hoat yang lihai!
Hong Beng tercengang melihat kehebatan serangan ini dan tanpa berani berlaku lamban ia cepat
mengelak.
“Ehh, ehh, apakah dunia ini sudah terbalik? Mengapa kau datang-datang menyerangku?” tanyanya
terheran-heran, dan juga kagum sekali melihat betapa elok dan cantik manis gadis yang menyerangnya ini.
“Tutup mulut dan bersiaplah kalau kau memang seorang laki-laki yang gagah!” Goat Lan membentak dan
menyerang lagi lebih hebat!
Melihat serangan ini, maklumlah Hong Beng bahwa kini dia berhadapan dengan seorang gadis pendekar
yang pandai sekali, maka cepat dia lalu mengelak lagi. Goat Lan melihat gerakan pemuda itu dan diamdiam
juga terkejut karena pemuda ini benar-benar memiliki ginkang yang sempurna. Dia menyerang terus
bertubi-tubi, akan tetapi Hong Beng selalu mengelak dan menangkis. Benturan lengan mereka menyatakan
kepada keduanya bahwa tenaga lweekang pihak lawan benar-benar tak boleh dibuat gegabah.
“Nanti dulu, Nona, kau siapakah dan mengapa pula engkau menyerangku tanpa alasan? Apakah salahku?”
“Tak usah bertanya! Jika kau memang mempunyai kepandaian, jangan menyombongkan itu di hadapan
adikku, akan tetapi lawanlah aku! Ataukah, kau tidak berani karena kau berhati pengecut?”
Ucapan ini betul-betul mengenai hati Hong Beng dan menyentuh perasaan dan wataknya yang tidak mau
kalah.
“Bagus, gadis sombong dan galak. Hendak kulihat sampai di manakah kepandaianmu!”
Hong Beng lalu membalas dengan serangannya dan demikianlah, kedua orang muda itu bertempur
dengan seru sekali. Mereka saling serang, saling desak, akan tetapi keduanya memang sama-sama gesit
dan lihai.
Ilmu silat Hong Beng yang berdasarkan pada Pat-kwa Kun-hoat dan Ngo-heng Cio-hwat benar-benar luar
biasa, akan tetapi Goat Lan adalah murid orang-orang sakti pula. Untuk menghadapi Hong Beng yang
ternyata tangguh bukan main itu, dia segera mengeluarkan Im-yang Sin-na, pelajaran yang diwarisinya dari
Im-yang Giok-cu.
Tubuh kedua orang muda ini sampai lenyap menjadi dua bayangan yang berkelebatan ke sana ke mari
dan kadang-kadang bergulung-gulung menjadi satu. Hong Beng merasa penasaran sekali karena
jangankan mengalahkan gadis ini, mendesak pun ia tidak dapat! Ia mengerahkan seluruh kepandaian dan
tenaganya, dan berkat tenaga lweekang-nya yang lebih kuat sedikit dari pada Goat Lan, ia berhasil
mendesak nona itu.
Akan tetapi, harus diakui bahwa dalam urusan ginkang, nona itu masih menang darinya, sehingga betapa
pun Hong Beng mendesak, dia tidak mampu menyentuh nona itu yang gesit laksana burung walet.
Pertempuran dilanjutkan dengan hebat, seratus jurus lebih telah lewat sehingga keduanya makin
penasaran dan juga kagum.
Goat Lan benar-benar menjadi marah sekali. Masa dia tidak dapat mengalahkan pemuda dusun ini?
Sebagaimana diketahui, Goat Lan telah mewarisi kepandaian Hok Peng Taisu melalui ibunya, maka dia
lalu mengeluarkan ilmu silat yang diterimanya dari ketiga guru besar itu untuk menghadapi Hong Beng.
Belum pernah Goat Lan begitu bersungguh-sungguh mengerahkan semua kepandaiannya sehingga pada
jidatnya telah keluar beberapa titik peluh. Juga Hong Beng merasa pusing karena gerakan gadis itu cepat
sekali.
Pada suatu saat, ketika Goat Lan telah terdesak sampai di bawah sebatang pohon, Hong Beng
dunia-kangouw.blogspot.com
mengeluarkan serangan dengan gerak tipu Dewa Hutan Membelah Kayu. Dengan tangan kanan dibuka
jarinya dia menubruk, lantas menyerang dengan tangan kanan itu, membuat gerakan kapak membelah
kayu ke arah pundak Giok Lan, sedangkan tangan kirinya juga sudah bersiap untuk menyusul dengan
serangan menotok dari bawah kiri. Ia mengembangkan tangan kirinya agar supaya gadis itu tak mengira
akan gerakan susulan ini.
Akan tetapi, Goat Lan telah mendapat gemblengan yang hebat dari para gurunya. Ketika melihat serangan
ini, dia hanya melangkahkan kaki kiri ke belakang, lalu membalikkan kedudukan tubuhnya sambil menekuk
kaki kirinya itu yang kini berada di depan. Karena tubuhnya menjadi doyong, maka serangan Hong Beng itu
kini tidak mengenai sasaran dan dengan cerdik sekali Goat Lan bersikap seolah-olah ia tidak
memperhatikan tangan kiri Hong Beng yang siap menotok. Akan tetapi diam-diam gadis ini yang maklum
bahwa ia telah membuka kesempatan bagi lawan untuk menyerang dan menotok punggungnya, telah
mengerahkan ilmu khikang dan mengumpulkan napas memasang Ilmu Pi-ki-hu-hiat (Menutup Hawa dan
Melindungi Jalan Darah).
Benar saja, Hong Beng tidak mau melewatkan kesempatan itu dan dengan girang tangan kirinya lalu
menotok jalan darah di punggung lawannya. Akan tetapi oleh karena ia tidak ingin melukai lawannya, dia
hanya melakukan totokan perlahan saja yang cukup untuk membuat tubuh lawannya menjadi lemas.
Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ia merasa betapa jari tangannya mengenai kulit dan daging yang
lunak sekali seakan-akan tidak berurat sama sekali! Ia maklum bahwa dia sudah kena dipancing dan
bahwa lawannya telah menutup jalan darahnya, maka dia cepat hendak melompat mundur. Terlambat!
Tangan kiri Goat Lan sudah ‘masuk’ dari bawah lengan kanannya dan berhasil pula menotok iga di bawah
pangkal lengannya.
“Dukk!”
Hong Beng masih keburu mengerahkan lweekang sehingga bagian tubuh yang tertotok menjadi sekeras
batu! Namun tenaga totokan Goat Lan itu masih membuatnya terhuyung mundur tiga langkah!
“Bagus sekali! Kau sungguh lihai sekali, Nona. Aku yang bodoh mengaku kalah karena ginkang-mu yang
luar biasa. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa aku kalah dalam hal kepandaian seluruhnya. Apa bila
kau merasa masih sanggup menghadapiku, marilah kita menggunakan senjata!” Biar pun ia mengaku
kalah akan tetapi Hong Beng masih belum puas dan menantang untuk bertempur mempergunakan senjata.
Diam-diam Goat Lan terheran. Pemuda ini cukup simpatik, karena sungguh pun tadi tak dapat dikatakan
pemuda ini kalah, akan tetapi dengan jujur pemuda ini berani mengakui kekalahannya yang sedikit dan
kurang berarti itu, bahkan sekarang berani secara sopan menantang untuk melanjutkan pertempuran
dengan senjata! Mengapakah pemuda yang sopan santun dan halus budi bahasanya ini oleh Lili disebut
kurang ajar? Namun ia tentu saja tidak mau menyerah kalah dalam hal ketabahannya, maka dia lalu
tersenyum dan menjawab,
“Siapa takut kepada senjatamu? Keluarkanlah!”
Dengan rasa heran Goat Lan melihat pemuda itu mengambil sebatang ranting kayu yang tergeletak di atas
tanah. Ranting ini hanya sebesar ibu jari kaki dan panjangnya paling banyak selengan orang.
Melihat senjata lawannya itu, Goat Lan diam-diam terkejut, karena hanya orang dengan kepandaian tinggi
saja yang menggunakan senjata seringan itu. Makin sederhana senjata orang, maka makin berbahaya dan
lihailah ilmu kepandaiannya, demikian ayah bundanya pernah berkata.
Dia menjadi malu untuk mengeluarkan sepasang bambu kuningnya, maka dia pun lalu mencari dua batang
ranting yang sama besarnya dengan ranting di tangan Hong Beng, lalu sebelum lawan menyerangnya,
tanpa berkata sesuatu dia segera mengirim serangan hebat dengan ranting di tangan kiri.
Tadi saat melihat Goat Lan mengambil dua batang ranting pula seperti yang dipungutnya, Hong Beng
benar-benar terheran sampai dia membelalakkan matanya. Tadinya disangka bahwa gadis ini tentu akan
bersenjatakan pedang atau senjata tajam lainnya.
Akan tetapi ia tidak diberi kesempatan untuk berheran-heran sampai lama sebab laksana seekor ular,
ranting di tangan nona itu telah menyerangnya dengan gerakan yang sangat luar biasa! Dia cepat-cepat
menggerakkan rantingnya untuk menempel ranting lawan dan merampasnya, akan tetapi belum juga
dunia-kangouw.blogspot.com
rantingnya dapat menangkis, ranting lawan sudah ditarik kembali dan kini ranting di tangan kanan gadis itu
menotok ke arah lehernya!
“Hebat!” seru Hong Beng memuji ilmu silat yang luar biasa ini. Berbeda dengan dia yang memegang
ranting di tengah-tengah, gadis itu memegang rantingnya pada ujungnya dan menggunakan sepasang
ranting itu untuk menotok.
Setelah Hong Beng melayani Goat Lan sampai tiga puluh jurus lebih, makin lama makin terheranlah dia.
Ilmu silat gadis ini benar-benar luar biasa sekali dan sungguh pun ilmu tongkatnya yang dua macam itu,
yakni Pat-kwa Tung-hwat serta Ngo-heng Tung-hwat merupakan raja ilmu tongkat yang jarang bandingnya
di muka bumi ini, namun ternyata bahwa menghadapi ilmu silat gadis ini ia tidak dapat banyak berdaya dan
hanya mampu mengimbanginya saja, tanpa dapat mendesak meski tidak pula sampai terdesak! Saking
herannya, Hong Beng lalu melompat mundur sampai dua tombak lebih dan berkata,
“Tahan, Nona! Aku harus mengetahui terlebih dahulu siapakah lawanku yang mempunyai kepandaian
sedemikian hebatnya! Aku Sie Hong Beng selama hidupku belum pernah mengganggu orang, terlebih lagi
orang seperti kau! Kenapakah kau memusuhiku sampai sedemikian rupa?”
Seketika itu juga lenyaplah kemarahan dari wajah Goat Lan dan gadis ini berdiri bengong seperti patung!
Mendengar disebutnya nama itu, untuk sesaat wajahnya menjadi pucat, kemudian menjadi kemerahmerahan
dan tanpa terasa lagi kedua ranting di tangannya terlepas dan jatuh ke atas tanah. Seakan-akan
lemaslah kedua lengannya dan hatinya berdetak tidak karuan.
“Kau... kau... bernama Sie Hong Beng...?” katanya perlahan seperti berbisik.
“Ya, aku bernama Sie Hong Beng, yaitu kalau tidak ada dua Sie Hong Beng di dunia ini. Dan kau
siapakah? Siapa pula adikmu yang katamu tadi pernah kuhina itu?”
Goat Lan tidak mampu menjawab, hanya mukanya saja sebentar pucat sebentar merah. Tiba-tiba
terdengar suara ketawa tidak jauh dari sana dan ketika Hong Beng menengok ternyata yang sedang
tertawa itu adalah Lili adiknya! Gadis nakal ini tertawa-tawa sambil menyembunyikan tubuhnya di balik
sebatang pohon besar sekali.
“Hi-hi, Enci Goat Lan!” Kini tiba-tiba ia menyebut ‘enci’. “Bagaimana kepandaian pemuda itu? Boleh juga,
bukan? Apa kau sekarang sudah mulai melupakan kakakku dan tertarik oleh pemuda ini?”
“Hemm, diakah adikmu dan kau... kau bernama Goat Lan, Kwee Goat Lan?!”
Kini muka Hong Beng yang menjadi kemerah-merahan, karena ternyata bahwa gadis ini adalah
tunangannya sendiri yang belum pernah dijumpainya selama ini! Dengan gemas Hong Beng lantas
melemparkan rantingnya dan hampir berbareng dengan gerakan Goat Lan, dia lalu mengejar Lili yang
sembunyi di balik pohon besar itu!
“Awas kutempeleng kepalamu yang penuh akal jail itu!” seru Hong Beng.
“Lili, anak nakal! Kujewer telingamu!” Goat Lan juga berkata sambil mengejar dengan cepat pula.
Hong Beng mengejar dari sebelah kiri dari pohon dan Goat Lan mengejar dari sebelah kanan pohon yang
besar itu. Hampir saja kedua orang muda ini bertumbukan di belakang pohon satu sama lain, karena
ternyata bahwa Lili yang nakal itu tidak ada pula di tempat itu.
Saking gugupnya, hampir saja tangan Hong Beng menangkap Goat Lan yang dikiranya Lili dan dengan
mulut tersenyum malu-malu serta mata tidak berani memandang, Goat Lan berdiri di depannya. Hong
Beng tercengang dan terpesona. Alangkah cantik, gagah, dan manisnya tunangannya ini.
Terdengar lagi suara ketawa dari atas dan ketika keduanya menengok ke atas, ternyata bahwa Lili
sekarang telah duduk di atas cabang pohon besar itu!
“Turunlah kau, Lili! Bagus betul perbuatanmu, sesudah berpisah bertahun-tahun, masih saja kau berani
mempermainkan kakakmu sendiri!” kata Hong Beng gemas.
“Aku tidak mau sebelum kau berjanji tak akan menempeleng kepalaku!” kata Lili dengan sikap manja.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, seperti anak kecil saja kau, Lili! Biarlah, kali ini kau kuampunkan. Turunlah!”
“Tidak, Beng-ko, kalau aku turun, aku takut kepada Enci Lan!”
“Memang aku akan mencubit bibirmu!” kata Goat Lan gemas dengan muka yang masih berubah merah
karena jengah.
“Nah, Engko Hong Beng. Kau dengar sendiri bagaimana galaknya calon nyonyamu! Jika kau tidak berjanji
akan membalas Enci Lan dan mencubit bibirnya kalau ia menyerangku, aku tidak mau turun dan tidak
mengaku sebagai adikmu!”
Digoda seperti itu, baik Hong Beng mau pun Goat Lan menjadi gemas dan malu-malu, akan tetapi tentu
saja mudah diketahui bahwa di dalam dada mereka merasa bahagia sekali.
“Sudahlah, Lili, kau turunlah, tentu saja... Nona Kwee tidak akan marah kepadamu.”
“Aihh, aihh! Mengapa pakai nona-nonaan segala? Engko Hong Beng, kau benar-benar bocengli (tidak tahu
aturan, tidak berbudi), mengapa menyebut calon Soso (Kakak Ipar) dengan sebutan yang bersifat
sungkan-sungkan? Kau harus menyebutnya Moi-moi!”
Muka kedua orang muda itu semakin merah mendengar godaan ini dan pada saat itu, Lili melompat turun.
Goat Lan segera mengulurkan kedua tangannya kepada Lili, tapi bukan untuk mencubit bibir atau
menjewer telinga, melainkan untuk memeluknya.
“Lili, aku minta dengan sangat, kasihanilah aku dan jangan kau menggoda lagi. Sudah lebih dari cukup kau
menggodaku!” bisiknya.
“Engko Hong Beng,” kata Lili dan ia memandang kepada kakaknya dengan bangga, “aku girang sekali
menyaksikan kepandaianmu yang amat hebat! Tidak percuma kau menjadi kakakku dan menjadi calon
suami Enci Goat Lan yang cantik jelita!”
“Lili!!” seru Goat Lan.
“Lili...!” bentak Hong Beng hampir berbareng. “Jangan kau menggoda saja!”
Lili yang jenaka itu kemudian menjura kepada mereka berdua. “Maaf, maaf! Aku hanya main-main saja.
Engko Han Beng, mengapa kau bisa berada di tempat ini dan apakah hubunganmu dengan orang-orang
pengemis yang mengerikan tadi?”
Dengan singkat Hong Beng lalu menceritakan perjalanan serta pengalamannya. Ketika mendengar tentang
Lo Sian, Lili berubah air mukanya.
“Beng-ko, coba kau ceritakan bagaimana wajah orang gila itu!”
Dengan heran Hong Beng lalu menuturkan tentang wajah Lo Sian dan mendengar ini, Lili berseru,
“Suhu...!”
Baik Hong Beng mau pun Giok Lan menjadi amat terkejut dan heran mendengar seruan ini. Mereka
memandang kepada Lili dengan mata mengandung penuh pertanyaan.
“Tentu dia Suhu! Siapa lagi?” Lili lalu menuturkan tentang Lo Sian, pengemis sakti yang dulu sudah
menolongnya dari tangan Bouw Hun Ti dan yang kemudian bahkan menjadi suhu-nya.
“Aku pun hendak mencarinya. Kalau begitu hayo kita kejar dia!”
Tiga orang muda itu lalu melanjutkan perjalanan mengejar Lo Sian yang melarikan diri. Berkat ilmu ginkang
mereka yang sudah sempurna, dalam waktu sebentar saja mereka sudah dapat menyusul Lo Sian yang
masih berlari-lari dan berteriak-teriak,
“Pemakan jantung...! Pemakan jantung...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suhu...!” Lili berseru memanggil dengan hati terharu sekali.
Gadis itu mendahului kedua orang kawannya dan melompat ke hadapan Lo Sian. Wajah Lo Sian yang
beringas itu menghadapi Lili dan sepasang matanya yang liar memandang dengan tajam. Dengan hati
ngeri Lili melihat betapa mata itu sudah menjadi merah dan amat mengerikan.
Untuk sesaat Lo Sian berdiri bagaikan patung, dan dengan perlahan ia berkata, “Kau...? Aku sudah pernah
melihatmu... kau...?”
“Suhu, teecu adalah Lili, Sie Hong Li muridmu! Suhu, mengapa Suhu menjadi begini...?” Tak terasa lagi air
mata mengalir turun dari sepasang mata Lili yang bagus itu.
Lo Sian tidak dapat mengingat siapa adanya Lili, akan tetapi perasaannya membisikkan kepadanya bahwa
gadis ini adalah seorang yang baik kepadanya, maka dia tidak mau menyerang dan kemarahan serta
ketakutannya lenyap. Akan tetapi pada saat itu pula ia melihat Goat Lan dan Hong Beng yang sudah
datang dan memandangnya dengan mata berkasihan.
Tiba-tiba orang gila ini menjadi liar lagi dan berteriak-teriak, “Pemakan jantung! Pemakan jantung!” Lalu ia
maju menubruk dan menyerang Hong Beng dan Goat Lan.
Melihat keadaan orang itu, Goat Lan cepat turun tangan dan berhasil menotok dada Lo Sian. Pengemis
gila ini roboh dengan tubuh lemas tak berdaya lagi.
“Aku harus merobohkannya supaya dapat memeriksanya!” Goat Lan berkata singkat dan tanpa menanti
pendapat kawan-kawannya dia segera berjongkok dan memeriksa nadi Lo Sian.
“Keadaan jantungnya baik,” kata Goat Lan sambil memeriksa dada dan detik urat nadi.
Hong Beng memandang dengan kagum kepada tunangannya itu. Ia sendiri sedikit-sedikit sudah pernah
mempelajari ilmu pengobatan dari ibunya yang belajar dari ayahnya pula, akan tetapi tentu saja
kepandaiannya ini tidak ada artinya apa bila dibandingkan dengan tunangannya yang menjadi murid Yokong
Sin Kong Tianglo Si Raja Obat.
“Paru-parunya agak lemah,” terdengar Goat Lan berkata pula.
Tanpa berkata sesuatu gadis ini lalu mengeluarkan bambu kuningnya, dan menggunakan ujung bambu
yang runcing untuk mengerat lengan Lo Sian. Beberapa titik darah keluar dari luka kecil itu. Goat Lan
menggunakan jari tangannya untuk mengambil darah ini yang segera diperiksanya dan darah itu ia
tempelkan pada ujung lidahnya! Tak lama kemudian ia meludahkan darah itu dan berkata,
“Darahnya mengandung bisa yang amat aneh!” Ia lalu berpaling kepada Lili dan berkata, “Menurut
perhitunganku, bila kakek ini dulunya tidak gila seperti yang kau katakan, tentu dia pernah terkena racun
hebat, sehingga racun itu mengotorkan darahnya dan merusak ingatannya. Lili, kalau di dunia ini ada orang
yang dapat menolongnya, maka orang itu bukan lain adalah Thian Kek Hwesio yang tinggal di kuil Siauwlim-
si di Kiciu, tidak jauh dari sini.”
“Siapakah dia dan apakah dia mau menolongku mengobati Suhu ini?” tanya Lili penuh gairah.
“Kalau aku yang minta, mungkin dia takkan menolak. Dia adalah sahabat baik mendiang Suhu dan dia
terkenal sebagai ahli penyakit gila, dan ahli pula mengobati orang terkena racun. Aku pernah diajak oleh
Suhu mengunjungi Thian Kek Hwesio. Kita dapat langsung menuju ke sana.”
“Sayang sekali aku tidak dapat ikut. Baiklah, aku akan menyusul setelah urusanku pibu dengan ketuaketua
dari Hek-tung Kai-pang beres.” kata Hong Beng. “Tidak patut kalau aku melanggar janji, bukan
perbuatan yang patut dibanggakan apa bila seorang gagah melanggar janjinya.”
Goat Lan mengerutkan kening. Gadis ini pernah mendengar nama Hek-tung Kai-pang dan mendengar pula
bahwa kelima orang kepala dari perkumpulan pengemis ini adalah orang-orang lihai yang telah mewarisi
ilmu tongkat Hek-tung-hoat yang lihai.
Menurut ibunya, ilmu tongkat Hek-tung-hoat masih satu cabang dan bahkan berasal dari Ilmu Tongkat
dunia-kangouw.blogspot.com
Bambu Runcing ciptaan Hok Peng Taisu karena Hek-tung Kai-ong pencipta Ilmu Tongkat Hitam itu pernah
mendapat petunjuk-petunjuk dari Hok Peng Taisu. Maka teringat betapa tunangannya akan menghadapi
lima orang ketua Hek-tung Kai-pang itu, hatinya menjadi gelisah sekali.
“Lima ketua dari Hek-tung Kai-pang itu amat lihai ilmu tongkatnya,” kata Goat Lan tanpa berani
memandang kepada Hong Beng.
“Aku tidak takut..., Moi-moi,” kata Hong Beng sambil mengerling ke arah Lili. Akan tetapi, Lili tidak
mempunyai nafsu untuk menggoda orang ketika ia melihat keadaan Lo Sian dan ia mendengarkan dengan
kesungguhan hati dan penuh perhatian.
“Aku percaya, Koko (Kanda), akan tetapi... karena mereka itu bukan orang-orang jahat, maka tidak baik
kalau sampai terjadi bentrok yang menimbulkan permusuhan. Kalau saja Adik Lili mau ikut dengan kau...
dan biarlah aku yang mengantarkan Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) ini kepada Thian Kek Hwesio...”
“Kurasa tidak perlu, Moi-moi (Dinda). Kalau Lili ikut dengan aku, jangan-jangan aku akan dianggap takut
dan dicap pengecut!”
Tiba-tiba Lili bangun dan berkata, “Biarlah aku yang mengantarkan Suhu ke Kiciu. Kiciu tak berapa jauh
dari sini dan pula, perjalanan ini tidak berbahaya sama sekali. Enci Lan, kau pergilah bersama Beng-ko,
dan seperti yang kau katakan tadi, lebih baik kita jangan menanam bibit permusuhan dengan Hek-tung Kaipang.
Hatiku juga tidak akan merasa tenteram jika Beng-ko pergi seorang diri saja ke sana. Nah, Enci Lan,
coba kau buatkan surat untuk Thian Kek Hwesio agar dia dapat dan mau menolong Suhu.”
Goat Lan segera mempergunakan bambu runcingnya untuk mengambil kulit pohon yang lebar, kemudian
dengan ujung bambunya ia menuliskan beberapa kata-kata di atas ‘surat’ istimewa ini. Melihat betapa Goat
Lan setuju dengan usul Lili, Hong Beng tidak berani membantah lagi, karena siapakah orangnya yang tak
akan merasa gembira dan bahagia melakukan perjalanan bersama dengan tunangannya, apa lagi bila
tunangan itu secantik dan segagah Goat Lan?
Demikianlah, dengan membawa ‘surat’ dari Goat Lan, Lili hendak memulihkan keadaan suhu-nya dan
ternyata Lo Sian menurut saja kepada Lili ketika Lili mengajaknya pergi! Hong Beng dan Goat Lan lalu
kembali, menuju ke kota Ta-liong untuk memenuhi janji kepada Hek-tung Kai-pang pada keesokan
harinya…..
********************
Thian Kek Hwesio adalah seorang pendeta Buddha yang bertubuh gemuk dan berwajah tenang dan riang.
Hwesio ini telah banyak merantau dan sudah beberapa kali ia melawat ke negeri barat untuk
memperdalam pengetahuannya tentang Agama Buddha. Di dalam perantauannya ke barat inilah dia
mendapatkan ilmu pengobatan yang luar biasa.
Memang semenjak mudanya, Thian Kek Hwesio paling senang mempelajari ilmu ini dan ketika ia berada di
negeri barat, ia bertemu dengan seorang ahli pengobatan, khususnya untuk mengobati orang-orang yang
terganggu pikirannya dan orang-orang yang menjadi korban racun-racun jahat. Dia mempelajari ilmu jiwa
yang sangat dalam sampai puluhan tahun lamanya sehingga ketika ia kembali ke tanah airnya, ia telah
menjadi seorang ahli berilmu tinggi.
Akhirnya ia menghentikan perantauannya dan tinggal di dalam kuil Siauw-lim-si di Kiciu. Sambil
memperkembangkan Agama Buddha yang dianutnya, ia pun selalu mengulurkan tangan untuk mengobati
orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.
Tidak jarang, apa bila terjangkit wabah penyakit di suatu tempat, tidak peduli tempat itu letaknya amat jauh,
Thian Kek Hwesio pasti akan mendatanginya kemudian mengulurkan tangan menolong orang-orang yang
menjadi korban. Oleh karena ini, namanya menjadi sangat terkenal sekali.
Walau pun Thian Kek Hwesio bukan seorang ahli dalam hal ilmu silat, namun namanya tetap dihormati dan
disegani oleh para tokoh kang-ouw. Banyak tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang menjadi sahabatnya,
di antaranya adalah Sin Kong Tianglo yang memiliki kepandaian tinggi tentang ilmu pengobatan.
Lili mengajak Lo Sian menuju ke Kiciu untuk mendatangi hwesio suci ini guna meminta pertolongannya
mengobati Lo Sian. Di dalam perjalanan Lo Sian diam saja tak banyak berkata-kata, akan tetapi nampak
dunia-kangouw.blogspot.com
lebih tenang setelah berada dekat Lili.
Beberapa kali gadis itu mencoba untuk mengingatkan bekas gurunya ini, akan tetapi Lo Sian tetap tidak
dapat mengingat sesuatu, tidak dapat mengenal Lili dan tidak ingat akan namanya sendiri. Akan tetapi, dia
tidak nampak gelisah, tidak berteriak-teriak lagi dan sering kali dia memandang kepada Lili dengan penuh
kepercayaan dan dengan muka menyatakan ketenangan hatinya.
Meski pun Lo Sian sudah menjadi gila, namun ilmu lari cepatnya masih belum lenyap dan karenanya Lili
dapat mengajaknya berlari cepat sehingga sebentar saja mereka sudah berada di dekat kota Kiciu. Ketika
mereka berlari sampai di sebuah tempat yang sunyi, tiba-tiba mereka melihat dua orang sedang berkejarkejaran.
Yang dikejar adalah seorang pemuda, ada pun yang mengejarnya seorang gadis cantik. Lili merasa heran
sekali melihat gadis itu yang sambil mengejar, menangis dan berseru memanggil,
“Taihiap... jangan tinggalkan aku! Taihiap... tunggulah dan bawa aku bersamamu...!”
Pemuda itu lalu menoleh dan berkata dengan suara sedih, “Lilani, jangan kau dekati aku lagi...! Aku
seorang yang jahat dan rendah budi! Jangan kau dekati lagi, Lilani...!”
“Taihiap, kalau kau tetap hendak meninggalkanku, aku akan membunuh diri! Aku tidak sanggup berpisah
darimu lagi...”
Kedua orang itu adalah Lie Siong dan Lilani. Setelah pada malam hari itu di dalam hutan, akibat dorongan
hati terharu, keduanya lalu saling menumpahkan perasaan hati dan lupa akan keadaan di sekelilingnya.
Maka, pada esok harinya, bersama munculnya matahari, muncul pula pertimbangan dan kesadaran di hati
Lie Siong.
Pemuda ini menjadi sangat terkejut dan menyesal sekali mengingat akan perbuatannya sendiri dan dia
merasa sangat malu. Bagaimanakah dia, seorang pemuda yang memiliki kepandaian dan yang sering kali
dapat nasehat-nasehat dari ibunya, telah menjadi mata gelap dan runtuh hatinya terhadap kecantikan dan
cumbu rayu dari seorang gadis cantik seperti Lilani?
Ia menyesal sekali, akan tetapi ketika ia memandang wajah Lilani, gadis itu nampak lebih cantik dan
berseri wajahnya. Sepasang mata gadis itu memandangnya dengan penuh cinta kasih sehingga Lie Siong
menjadi gelisah sekali. Apakah yang sudah dia lakukan terhadap seorang gadis berhati tulus dan bersih
seperti Lilani? Ah, dia berdosa, demikian pikirnya.
“Lilani...” katanya dengan suara perlahan, “aku... aku sudah berdosa kepadamu... aku... aku tak dapat lagi
memandang mukamu.”
Akan tetapi Lilani menubruk dan merangkulnya. “Taihiap, mengapa kau berkata begitu? Aku, Lilani,
bersumpah tak akan mencinta lain orang kecuali engkau. Engkaulah pujaanku dan hanya kepadamulah
Lilani menyerahkan jiwa raganya...”
Makin perihlah perasaan hati Lie Siong mendengar ucapan dan melihat sikap gadis ini. Ia maklum dan
percaya sepenuhnya bahwa Lilani benar-benar sangat mencintanya, akan tetapi dia...? Dapatkah dia
selamanya harus berada di sisi Lilani? Dapatkah dia menjadi suami dari gadis ini...? Makin dipikirkan,
makin gelisah dan menyesallah hati pemuda itu. Dia melanjutkan perjalanan dengan wajah muram dan
Lilani mengikutinya dengan cemas dan tak mengerti.
Akan tetapi, dengan penuh kesetiaan dan kesabaran, gadis itu melayani Lie Siong dan mengikutinya ke
mana saja pemuda itu pergi tanpa mau mengganggunya dan tidak pula bertanya mengapa Lie Siong
berhal seperti itu.
Akhirnya mereka sampai di tempat itu dan dengan terus terang Lie Siong menyatakan bahwa dia tidak
ingin melakukan perjalanan selamanya bersama Lilani.
“Lilani, dari sini ke Tiang-an tidak jauh lagi. Aku... aku tidak dapat mengantarkan kau terus ke Tiang-an.
Mengapa kau tidak pergi saja seorang diri?”
Lilani menjadi pucat. “Taihiap, mengapakah kau berkata demikian? Aku... aku tidak ingin ke Tiang-an, tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
ingin ke mana pun juga kecuali ke tempat engkau berada. Aku tidak mau meninggalkan kau, Taihiap, aku
ingin terus berada di sampingmu, ke mana pun juga kau pergi.”
Berkerutlah kening Lie Siong mendengar ucapan ini. “Tidak, tidak, Lilani! Aku sudah satu kali melakukan
pelanggaran, melakukan perbuatan yang takkan dapat kulupakan selama hidupku. Aku tidak akan mau
mengulanginya lagi. Akan tetapi... kalau kau terus berada di dekatku... aku... aku tidak dapat menanggung
bahwa kegilaan tidak akan membutakan mataku lagi...”
“Kenapa pelanggaran? Mengapa hal ini kau anggap kegilaan? Taihiap, tidak percayakah kau bahwa aku
mencintaimu dengan seluruh jiwa ragaku? Aku tidak mengharapkan apa pun asal dapat selalu berada di
dekatmu...”
“Tidak, tidak! Tidak mungkin, Lilani!” Dan larilah Lie Siong meninggalkan gadis itu! Lilani mengejar sambil
berteriak-teriak memilukan dan mereka berkejaran terus sampai terlihat oleh Lili dan Lo Sian.
Lili berdiri terheran-heran mendengar dan melihat keadaan dua orang yang berkejaran itu. Akan tetapi
berbeda dengan Lo Sian. Orang tua ini masih belum kehilangan watak pendekarnya, dan kini melihat dua
orang muda berkejaran, sungguh pun yang mengejar adalah yang wanita, namun karena Lilani menangis
memilukan, dengan mudah saja dia dapat menduga bahwa di dalam hal itu yang bersalah tentulah laki-laki
yang dikejar itu! Tubuhnya bergerak dan berkelebat cepat menghadang di depan Lie Siong!
“Orang jahat! Kau sudah berani mengganggu seorang gadis dan kemudian melarikan diri?”
Ucapan yang dikeluarkan tanpa disengaja ini telah mengenai tepat sekali pada perasaan hati Lie Siong. Ia
menjadi pucat dan memandang pada orang yang menegurnya. Apakah jembel mengerikan ini telah
mengetahui rahasianya pula? Apakah melihat perbuatannya di dalam hutan pada malam hari yang telah
menghikmatnya kemarin?
“Jangan kau mencampuri urusanku!” seru Lie Siong dan cepat dia hendak melanjutkan larinya. Akan tetapi
Lo Sian cepat-cepat menggerakkan tangannya yang diulurkan hendak mencengkeram pundak Lie Siong.
Melihat gerakan yang mendatangkan angin ini, terkejutlah Lie Siong maka ia pun cepat mengelak. Sambil
miringkan tubuh ke kiri, pemuda ini cepat membalas dengan sebuah totokan ke arah pinggang kanan Lo
Sian yang dapat menangkis pula. Akan tetapi ketika kakek ini menangkis, tubuhnya langsung terpental ke
belakang dan terhuyung-huyung, tanda bahwa dia kalah tenaga!
“Orang kurang ajar! Kau berani mengganggu Suhu?” tiba-tiba saja nampak berkelebat bayangan merah
dan angin yang dingin menyerang Lie Siong dari samping kanan.
Pemuda ini cepat melompat ke belakang dan terheranlah dia ketika melihat bahwa yang menyerangnya
adalah seorang gadis yang cantik jelita. Serangan gadis ini jauh lebih lihai dan hebat dari pada serangan
jembel tadi! Bagaimana mungkin seorang murid memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada suhu-nya?
Akan tetapi Lili tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak memusingkan hal ini. Gadis ini pun
merasa kaget dan penasaran ketika ternyata serangannya tadi dapat dielakkan dengan begitu mudahnya!
Tadi dia telah menyerang dengan gerak tipu Pai-bun Twi-san (Mendorong Pintu Menolak Bukit) dengan
maksud mendorong pemuda itu agar terguling, akan tetapi siapa kira bahwa dengan amat mudahnya
pemuda itu telah dapat melompat dengan tepat dan mudah. Sekarang dia maju menyerang lagi dengan
hebat, mengambil keputusan untuk merobohkan pemuda yang telah berani melawan suhu-nya tadi!
Lo Sian berdiri bertolak pinggang sambil tertawa-tawa menyaksikan pertempuran hebat itu. Sebaliknya, Lie
Siong merasa terkejut bukan main karena ternyata bahwa gerakan gadis yang menyerangnya itu benarbenar
luar biasa sekali! Cepat bagai seekor burung walet dan tiap pukulan yang menyerangnya
mendatangkan angin yang kuat sekali.
Diam-diam Lie Siong merasa gembira sekali karena memang demikianlah sifatnya, suka menghadapi
lawan yang tangguh. Dia lalu mengeluarkan Ilmu Silat Tarian Bidadari yang dipelajarinya dari ibunya. Tentu
saja oleh karena Lie Siong menerima pelajaran langsung dari Ang I Niocu, ilmu silatnya ini sempurna dan
matang betul.
Kini giliran Lili yang diam-diam merasa tertegun. Dari mana pemuda lawannya ini dapat bersilat dengan
ilmu silat itu demikian bagusnya? Ia pun lalu merubah gerakannya dan dengan cepat dia bersilat dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
Ilmu Silat Sian-li Utauw, sama dengan ilmu silat Lie Siong!
Pemuda ini makin kaget dan ketika ia mempercepat gerakannya, ternyata bahwa dalam hal Ilmu Silat Sianli
Utauw, ia masih menang setingkat dan berhasil mendesak Lili! Gadis ini menggigit bibir dan menjadi
marah, ia berseru keras dan kini ia mengeluarkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut! Kedua lengan tangannya
yang berkulit halus itu mengebulkan uap putih yang menyambar-nyambar ke arah Lie Siong.
Pemuda ini hampir berseru keras saking herannya dan cepat pula ia juga mengeluarkan Ilmu Silat Pek-in
Hoat-sut! Akan tetapi keadaannya sekarang berubah karena ternyata bahwa Lili lebih mahir bersilat
dengan ilmu silat ini! Hal ini pun tak mengherankan, karena memang dalam hal ilmu ciptaan Bu Pun Su ini,
kepandaian Pendekar Bodoh masih lebih lihai dari pada Ang I Niocu.
Sementara itu, Lo Sian yang gila hanya tertawa-tawa saja melihat pertempuran ini, ada pun Lilani yang
sudah dapat mengejar sampai di sana, langsung memandang dengan terheran-heran melihat betapa dua
orang itu bertempur seakan-akan sedang menari-nari saja! Gerakan keduanya demikian sama dan cocok,
lemah lembut dan lemas, teramat indah dipandang mata.
“Tahan dulu!” seru Lie Siong yang makin lama makin terheran melihat betapa ilmu silat ini banyak sekali
persamaannya dengan kepandaiannya sendiri. “Siapakah kau, Nona?”
Lili menjawab dengan mencabut pedangnya Liong-coan-kiam, lalu mencibirkan bibirnya sambil menjawab
ketus, “Laki-laki mata keranjang dan kurang ajar! Apakah telah menjadi kebiasaanmu menanyakan nama
setiap orang wanita yang kau jumpai?”
Tentu saja Lie Siong menjadi marah dan mendongkol sekali. Ia merasa tersindir hingga telinganya menjadi
merah. Memang hatinya sedang merasa rusuh karena perbuatannya terhadap Lilani, sekarang ia dicap
oleh gadis ini sebagai seorang mata keranjang! Tanpa berkata sesuatu, ia pun lalu mencabut Sin-liongkiam
dan menghadapi gadis itu dengan mata memandang tajam.
Akan tetapi, sebelum mereka bertempur mempergunakan senjata, Lilani telah melangkah maju,
menghadapi Lili dengan muka merah dan mata bersinar.
“Jangan kau mengeluarkan kata-kata kotor kepada Taihiap! Dia adalah seorang pendekar gagah perkasa,
sama sekali bukan mata keranjang dan kurang ajar! Jangan sekali-kali kau berani memaki padanya!”
Sikap Lilani amat galak, seperti seekor ayam biang membela anaknya.
Melihat sikap gadis ini, Lili tersenyum menyindir, lalu memasukkan pedangnya ke dalam sarung pedang
kembali dan berkata, “Sudahlah, jangan kau kuatir, aku tak akan melukai atau membunuh kekasihmu!
Hanya ada satu hal yang sangat mengecewakan hatiku, kau adalah seorang gadis yang cantik jelita
mengapa begitu tidak tahu malu mengejar-ngejar seorang pemuda? Hah, sungguh menyebalkan!” Sambil
berkata demikian, Lili kemudian memegang tangan Lo Sian dan berkata,
“Suhu, mari kita pergi! Jangan melayani orang-orang ini!”
Lo Sian tertawa haha-hihi dan sebelum ikut berlari pergi bersama Lili, ia menengok pada Lie Siong dan
berkata, “Orang gagah tidak akan mendatangkan air mata pada seorang gadis cantik! Ha-ha-ha!”
Ketika kedua orang itu sudah pergi merupakan dua titik bayangan yang jauh, Lie Siong masih berdiri
termenung dengan pedang di tangan. Pertemuan ini berkesan dalam-dalam di hatinya. Tidak saja ia
terpesona oleh kepandaian dan kecantikan Lili, akan tetapi juga kata-kata Lo Sian tadi bagaikan mengiris
jantungnya.
Dia baru sadar dari lamunannya ketika Lilani memegang tangannya dan berkata dengan suara menggetar,
“Taihiap, jangan kau tinggalkan Lilani!”
Lie Siong menghela napas berulang dan ketika dia memandang kepada Lilani, timbullah rasa iba yang
besar.
“Lilani, aku telah melakukan dosa besar terhadapmu...”
“Bukan kau, Taihiap, akan tetapi kita berdua. Namun bagiku perbuatan kita itu bukanlah dosa…”
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang sebetulnya hubungan antara pria dan wanita di luar perkawinan yang dirayakan, bagi Lilani bukan
merupakan hal yang aneh atau melanggar. Suku bangsanya yang amat sederhana keadaan hidupnya itu
tidak menitik beratkan pada upacara, akan tetapi lebih percaya kepada kesetiaan dan kasih di hati.
Upacara dapat dilakukan kemudian, karena sekali dua orang telah menanam cinta kasih tak pernah ada
atau jarang sekali ada yang memutuskannya atau mengingkari janjinya.”
Lie Siong dapat menduga akan hal ini, karena itu dengan hati perih dia berkata, “Lilani, ketahuilah bahwa
sesungguhnya aku kasihan dan sayang kepadamu, akan tetapi... aku tidak mencintamu dan tidak mungkin
menjadi suamimu!”
Ucapan ini bagaikan sebuah pedang runcing menikam ulu hati Lilani, akan tetapi gadis ini
mempertahankan sakit hatinya dan sambil meramkan matanya menahan air mata, ia lalu berkata,
“Bagaimana seorang perempuan rendah dan bodoh seperti aku ini dapat mengharapkan cinta kasihmu,
Taihiap? Aku sudah akan merasa bangga dan bahagia apa bila selama hidup aku dapat menjadi
pelayanmu. Aku tak dapat hidup jauh darimu, dan aku tak mau ikut lain orang kecuali kalau dapat bertemu
dan mengumpulkan suku bangsaku kembali!”
Berat sekali hati Lie Siong mendengar ini. “Lilani, akan kucoba untuk mengembalikan kau kepada suku
bangsamu.”
“Taihiap,” mendadak saja gadis itu berkata sambil memandang tajam dengan sepasang matanya yang
seperti bintang pagi itu, “kau tidak mencintaiku, hal ini aku dapat mengerti. Akan tetapi... bukankah kau
jatuh cinta kepada... gadis tadi?”
Lie Siong meloncat mundur bagai kakinya disengat ular. “Apa maksudmu...? Dari mana kau mempunyai
pikiran seperti itu? Aku tidak kenal padanya, dan sekali bertemu kami telah bertempur. Mengapa kau
menyangka demikian?”
Lilani tersenyum sedih. “Orang bertempur bukan seperti yang kau lakukan tadi, Taihiap. Tadi kau dengan
gadis itu bukan bertempur, akan tetapi menari-nari gembira! Alangkah indahnya tarian itu dan terus terang
saja, kau memang cocok sekali dengan dia. Tadi aku merasa seolah-olah melihat sepasang dewa-dewi
sedang menari!”
Hampir saja Lie Siong tertawa bergelak-gelak saking geli hatinya, sungguh pun hatinya tergerak pula oleh
ucapan ini dan wajah Lili terbayang di depan matanya.
“Lilani, kau sungguh lucu! Ketahuilah bahwa ilmu silat yang kami mainkan tadi memang merupakan ilmu
silat tarian yang tidak sembarang orang dapat menarikannya. Ilmu silat itu disebut ilmu Silat Sian-li Utauw
(Tari Bidadari) dan aku pun masih heran memikirkan bagaimana gadis tadi sanggup memainkannya.
Padahal ilmu silat itu adalah ciptaan dari ibuku sendiri!”
Dengan hati masih ingin sekali tahu siapa adanya gadis yang pandai memainkan Sian-li Utauw itu, Lie
Siong melanjutkan perjalanannya bersama Lilani. Pemuda ini mengambil keputusan untuk mengikuti jejak
Lili dan hendak bertanya siapa sebetulnya gadis aneh itu. Ada hubungan apakah antara gadis itu dengan
ibunya? Kenapa pula gadis itu pandai memainkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang lebih hebat dari pada
kepandaiannya sendiri? Apakah gadis itu ada hubungannya dengan Pendekar Bodoh?
Berkali-kali Lilani berkata dengan penuh perasaan, “Taihiap, aku mempunyai perasaan bahwa kau
mencinta gadis itu dan agaknya kau memang berjodoh dengan dia! Melihat kalian berdua bersilat seperti
menari itu, ahhh, alangkah cocoknya!”
Diam-diam Lie Siong merasa heran sekali melihat sikap gadis ini. Baru saja menyatakan cinta kasihnya
dan sekarang sudah membicarakan gadis lain tanpa ada sikap cemburu sedikit pun juga! Benar-benar
gadis yang berhati putih bersih, bersikap sederhana dan harus dikasihani.
“Tidak, Lilani. Aku memang akan mencarinya untuk menantangnya bertempur lagi. Aku belum puas apa
bila belum mengalahkan dia, sebagai tanda dan bukti kepadamu bahwa persangkaanmu itu tidak benar!”
“Jangan, Taihiap. Dia kelihatan galak dan lihai bukan main. Bagaimana kalau kau sampai terluka? Ahhh...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku harus menghadapinya!” kata Lie Siong berkeras. “Di samping aku hendak menguji kepandaiannya,
juga ingin tahu dari mana ia mencuri Sian-li Utauw dan Pek-in Hoatsut.”
********************
Sementara itu, Lili dan Lo Sian sudah memasuki kota Kiciu dan dengan mudah mereka mencari kuil Siauwlim-
si yang besar. Lili sudah tidak memikirkan lagi keadaan pemuda dan gadis yang dijumpainya di jalan,
sungguh pun di dalam perjalanan tadi ia tidak habis merasa heran bagaimana Ilmu Silat Sian-li Utauw
pemuda itu sedemikian hebatnya dan betapa pemuda itu dapat juga mainkan Pek-in Hoat-sut.
Ia pun ingin sekali melanjutkan pertempuran dengan pemuda itu, sebab ia masih merasa penasaran apa
bila belum dapat mengalahkan pemuda yang dianggapnya sombong itu. Walau pun wajah pemuda yang
elok dan gagah itu mengganggunya, namun dia berhasil mengusir bayangan itu dengan anggapan bahwa
pemuda itu tidak ada harganya untuk diingat lagi, karena tentu pemuda itu adalah seorang kurang ajar dan
pengganggu anak gadis!
Memikirkan halnya gadis cantik yang mengejar pemuda itu sambil menangis, Lili menjadi gemas sekali.
Gemas dan benci terhadap pemuda itu, karena dia dapat menduga bahwa gadis itu tentulah korban
permainan pemuda mata keranjang itu!
Thian Kek Hwesio menyambut kedatangan Lili dengan ramah tamah. Sesudah menerima ‘surat’ dari Goat
Lan, pendeta gemuk itu tertawa gembira dan berkata kepada Lili,
“Nona, tentu saja aku suka berusaha menolongmu. Apa lagi kalau ada surat dari Kwee Lihiap yang kukenal
baik. Tidak tahu siapakah Nona dan siapa pula orang tuamu?”
“Teecu (murid) adalah puteri dari Sie Cin Hai,” jawab Lili.
Hwesio itu mengangkat alisnya dan kedua matanya terbelalak girang.
“Ah, puteri Pendekar Bodoh? Betul-betul merupakan kehormatan besar dan kebahagiaan bahwa aku masih
berkesempatan melihat keturunan Pendekar Bodoh. Masuklah Nona, dan siapakah sahabat ini?” Dia
menudingkan telunjuknya kepada Lo Sian yang berdiri bagaikan patung.
“Dia adalah Sin-kai Lo Sian yang kini berada dalam keadaan sakit, Losuhu. Kedatangan teecu adalah
untuk mohon pertolongan Losuhu agar suka memeriksa dan memberi obat kepadanya. Dahulu ketika teecu
masih kecil, teecu adalah murid dari Sin-kai Lo Sian dan entah mengapa, setelah sekarang bertemu lagi,
teecu mendapatkan Suhu berada dalam keadaan seperti ini.”
Thian Kek Hwesio yang memiliki sepasang mata bersinar sabar, tenang, halus dan juga berpengaruh itu,
lalu memandang kepada Lo Sian dengan tajam, kemudian dia maju dan menghampiri pengemis gila itu.
“Sahabat, kau kenapakah?”
Akan tetapi, begitu melihat hwesio gemuk itu menghampirinya, Lo Sian tiba-tiba langsung menyerangnya
dengan pukulan keras mengarah dadanya. Lili terkejut sekali dan untung bahwa dia berlaku cepat. Ia
melompat menangkis pukulan Lo Sian ini, lalu menangkap lengannya.
“Suhu, jangan begitu, Losuhu ini adalah Thian Kek Hwesio yang hendak menolongmu.”
Akan tetapi, Lo Sian tiba-tiba justru memandang kepada Thian Kek Hwesio dengan mata mengandung
ketakutan dan dia berteriak-teriak, “Pemakan jantung...! Tolong, pemakan jantung...!”
Agaknya melihat hwesio gundul ini, ia teringat kepada Hok Ti Hwesio dan melihat tubuh gemuk dari Thian
Kek Hwesio, agaknya teringat kepada tubuh Ban Sai Cinjin, maka dia berteriak-teriak ketakutan.
“Nona, tolong bikin dia tak berdaya lebih dulu, agar mudah pinceng (aku) memeriksanya,” kata Thian Kek
Hwesio dengan muka masih tenang saja.
Lili lalu mengulur tangannya dan menotok pundak Lo Sian. Karena orang gila ini memang percaya penuh
kepada Lili, maka ketika ditotok, dia diam saja tidak melawan sehingga tubuhnya menjadi lemas dan ia lalu
dibaringkan di atas pembaringan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Thian Kek Hwesio lalu memeriksa seluruh tubuhnya, terutama sekali ia mempergunakan jari-jari tangannya
untuk memijit-mijit bagian kepala Lo Sian, lalu dia pun menggunakan cara Goat Lan memeriksa, yaitu
mengeluarkan sedikit darah dari tubuh orang gila itu.
Lili mengikuti semua pemeriksaan ini dengan penuh perhatian dan kecemasan. Akhirnya, hwesio itu
menggelengkan kepalanya dan berkata sungguh-sungguh,
“Hebat sekali! Dia telah terkena racun jahat selama sepuluh tahun lebih sehingga seluruh darahnya sudah
menjadi kotor. Agaknya masih mungkin bagi pinceng menghilangkan kegilaannya, karena hanya urat di
kepalanya yang terganggu, akan tetapi sulit membuat ia kembali teringat akan segala kejadian yang lalu.”
“Tolonglah, Losuhu. Tolonglah sembuhkan penyakit gilanya, biarlah ia tidak bisa teringat sesuatu asalkan
dia tidak gila seperti sekarang ini. Mungkin lambat laun ia akan dapat mengingat-ingat lagi.”
“Tentu saja pinceng akan berusaha menolongnya, dan mudah-mudahan Thian (Tuhan) membantu
pinceng.”
Hwesio gendut itu lalu mengeluarkan beberapa puluh batang jarum yang berwarna putih dan ada pula yang
kuning. Itulah gin-ciam (jarum perak) dan kim-ciam (jarum emas), alat pengobatan yang sudah amat
terkenal di seluruh permukaan bumi Tiongkok.
“Nona Sie,” kata hwesio itu, “coba tolong kau ikat kaki tangannya yang kuat, kemudian kau buka kembali
jalan darahnya, karena dalam keadaan terpengaruh tiam-hoat (ilmu totokan), tak mungkin pinceng dapat
menolongnya.”
Lili melakukan apa yang diminta oleh Thian Kek Hwesio. Ia segera membuka bungkusan pakaiannya,
mengambil ikat pinggang dan mengikat kedua kaki dan tangan Lo Sian pada kaki pembaringan, lalu ia
menepuk pundak Lo Sian untuk membebaskan totokannya tadi.
Begitu terbebas, Lo Sian segera meronta-ronta dan berteriak-teriak, “Pemakan jantung! Pemakan jantung!
Tolong… tolong!”
Thian Kek Hwesio tersenyum dan mulailah dia bekerja dengan jarum-jarumnya. Dengan gerakan yang
tenang dan tepat tanpa keraguan sedikit pun, ia mulai menusukkan jarum putih ke leher belakang Lo Sian
sementara Lili memegangi kepala pengemis gila itu. Tiga jarum ditusukkan dan tiba-tiba lemahlah tubuh Lo
Sian, suaranya makin mengecil dan akhirnya dia jatuh pingsan atau pulas!
Delapan belas jarum sudah ditusukkan oleh Thian Kek Hwesio. Tiga di belakang leher, tiga di pundak
kanan, tiga di pundak kiri dan sembilan jarum lain ditusukkan pada sekitar kepalanya! Mau tidak mau Lili
merasa ngeri juga melihat cara pengobatan yang selama hidupnya belum pernah disaksikannya ini.
Bagaimanakah orang bisa tetap hidup setelah leher dan kepalanya ditusuk oleh sekian banyak jarum?
Yang sangat luar biasa adalah bahwa tidak ada setitik pun darah mengalir keluar dari jarum-jarum yang
ditusukkan itu.
“Biarlah dia mengaso dulu dan sementara menanti, ceritakanlah pengalamanmu, Nona. Terutama sekali
pinceng ingin sekali mendengar tentang keadaan orang tuamu.”
Dengan jelas tapi singkat, Lili menuturkan keadaan orang tuanya dan betapa ia bertemu dengan Lo Sian
ketika dia dulu diculik Bouw Hun Ti. Ketika dia telah selesai menuturkan pengalamannya dan ketika hwesio
tua itu mendengar nama Ban Sai Cinjin sebagai guru Bouw Hun Ti, Thian Kek Hwesio mengerutkan
keningnya.
“Hemm, disebutnya nama Ban Sai Cinjin membuat pinceng merasa curiga, Nona Sie. Ketahuilah bahwa
Sin-kai Lo Sian ini terkena racun yang amat berbahaya yang sungguh pun tidak sampai menewaskan
nyawanya, tetapi membuat seluruh isi kepalanya menjadi kotor dan pikirannya tidak dapat bekerja baik.
Pinceng sekarang hanya dapat menolong dia dari gangguan ketakutan sehingga ia tidak akan menjadi gila
lagi. Agaknya, ketika ia minum racun atau dipaksa minum racun, ia berada dalam keadaan yang amat
ketakutan atau ngeri. Entah apa yang terjadi dengan dia, akan tetapi nama Ban Sai Cinjin membuat
pinceng hampir berani menuduh, kakek mewah itu yang menjadi biang keladi. Bagi Ban Sai Cinjin, segala
macam kekejian di dunia ini mungkin dilakukan olehnya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat itu terdengar Lo Sian merintih perlahan. Lili cepat melompat untuk memegangi kepalanya,
karena bila kepalanya bergerak-gerak ia kuatir kalau-kalau jarum yang masih menancap di lehernya itu
akan melukainya. Thian Kek Hwesio juga menghampirinya dan melihat sebentar ke arah muka Lo Sian,
membuka pelupuk matanya yang masih tertutup, lalu mengangguk puas.
“Syukurlah, baik hasilnya,” hwesio itu berkata perlahan, lalu ia mencabuti jarum-jarum itu.
Lili melihat dengan hati ngeri betapa jarum perak yang tadi menancap, sesudah dicabut ujungnya berwarna
kehitam-hitaman, sedangkan jarum emasnya berwarna kehijauan!
Thian Kek Hwesio lalu memasukkan tiga butir pil merah ke dalam mulut Lo Sian dan memberi minum
secawan arak sehingga obat itu dapat memasuki perut pengemis itu. Sampai lama terdengar Lo Sian
mengeluh kesakitan, kemudian keluhannya berhenti dan jalan napasnya nampak tenang. Peluh memenuhi
mukanya dan akhirnya dia membuka matanya.
“Di mana aku...?” tanyanya seperti orang baru bangun tidur.
“Buka ikatannya,” kata Thian Kek Hwesio kepada Lili yang segera membuka ikatan kaki tangan orang tua
itu.
Lo Sian bangun dan duduk dengan pandang mata yang bingung dan Lili dengan girang sekali mendapat
kenyataan bahwa pandang mata Lo Sian kini telah waras kembali, tidak liar seperti tadi.
“Ehh, siapakah kalian dan di manakah aku berada?” kembali Lo Sian bertanya sambil memandang kepada
Thian Kek Hwesio dan Lili berganti-ganti.
Lili lalu maju dan memegang tangannya. “Suhu, lupakah kau kepadaku? Aku adalah Sie Hong Li atau Lili,
anak Pendekar Bodoh! Aku muridmu, Suhu!”
Terbelalak mata Lo Sian memandang kepada gadis jelita yang berdiri di depannya sambil tersenyum itu.
“Lili...? Siapakah Lili? Dan siapa pula Pendekar Bodoh? Aku.. serasa aku pernah mendengar nama-nama
itu, akan tetapi sudah lupa sama sekali!”
“Suhu, kau telah minum racun berbahaya dan berada dalam keadaan tidak sadar sampai sepuluh tahun.
Inilah penolongmu, yaitu Thian Kek Losuhu.”
Kini Lo Sian memandang kepada hwesio itu yang masih tersenyum kepadanya. Biar pun Lo Sian masih
tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Lili, namun mendengar bahwa hwesio gendut itu sudah
menolongnya, maka dia lalu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu.
“Omitohud!” Thian Kek Hwesio menyebut nama Buddha sambil cepat-cepat mengangkat bangun Pengemis
Sakti, itu. “Tak percuma pinceng mengeluarkan tenaga membantumu, Sicu, ternyata kau adalah seorang
yang berpribudi tinggi. Akan tetapi, ketahuilah bahwa semua orang yang baik hati tentu akan mendapat
pertolongan Yang Maha Kuasa, biar pun dia tidak akan terlepas dari hukum karma. Marilah kita bicara di
ruang depan, terlalu sempit di kamar ini.”
Ketiga orang itu lalu berjalan keluar dan ternyata bahwa pengobatan itu sama sekali tidak mempengaruhi
keadaan kesehatan Lo Sian. Dia kini tidak gila lagi, akan tetapi dia juga tidak ingat akan kejadian di masa
lampau.
Setelah mereka berada di ruang depan, Thian Kek Hwesio lalu duduk di atas sebuah bangku dan Lo Sian
berdiri di depannya. Lili lalu menceritakan keadaan Lo Sian dahulu untuk membantu bekas suhu-nya itu
teringat kembali.
Akan tetapi betapa pun Lo Sian mengerahkan pikirannya, ia tidak dapat mengingat-ingat lagi! Tiba-tiba
matanya terbelalak dan Lili merasa terkejut sekali, takut kalau-kalau bekas gurunya ini kumat lagi penyakit
gilanya. Akan tetapi Thian Kek Hwesio memberi isyarat dengan tangannya agar supaya gadis itu tetap
tenang.
Berkali-kali Lo Sian memijit-mijit kepalanya seakan-akan hendak membantu semua urat syarafnya agar
bekerja kembali, dan tiba-tiba ia berkata keras, “Ah... yang teringat olehku hanya Lie Kong Sian...! Lie
Taihiap itu telah... mati! Benar, Lie Kong Siang telah tewas... ahh, hanya itu yang teringat olehku. Lie Kong
dunia-kangouw.blogspot.com
Sian telah tewas!” Dan Sin-kai Lo Sian lalu menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya lalu
ia menangis tersedu-sedu!
Lili hendak menghampirinya, akan tetapi dicegah oleh Thian Kek Hwesio, maka gadis itu hanya bertanya,
“Suhu, kau maksudkan bahwa Lie-supek telah meninggal dunia?”
Suaranya terdengar gemetar, karena gadis ini sering kali mendengar dari ayah-bundanya bahwa Lie Kong
Sian adalah suami dari Ang I Niocu dan bahwa pendekar besar she Lie itu adalah suheng dari ayahnya.
Lo Sian mengangguk-angguk sambil menahan tangis. “Benar, dia telah meninggal dunia. Lie Kong Sian
yang gagah perkasa, yang berbudi mulia, telah mati...!”
Pada saat itu pula terdengar bentakan hebat dari atas dan nampak berkelebat bayangan orang yang maju
menerkam tubuh Lo Sian dari atas!
“Pengemis gila! Jangan kau mengacau dengan omongan bohong! Ayahku tidak meninggal dunia!”
Bayangan itu ternyata adalah Lie Siong.
Dengan hati tak karuan rasa karena kaget dan tidak percaya, pemuda ini yang semenjak tadi mengintai
dari atas genteng, kemudian menubruk hendak menangkap Lo Sian. Dia melompat dengan gerakan yang
disebut Harimau Menubruk Kambing dan langsung jari tangan kanannya meluncur hendak menotok
pundak Lo Sian.
“Suhu, awas serangan!” Lili berseru kaget.
Baiknya Lo Sian masih belum kehilangan kegesitannya. Dia cepat memutar tubuh sambil miringkan
pundak, menarik kaki kanan ke belakang dan dengan demikian ia terluput dari totokan itu. Sebelum Lie
Siong menyerangnya lebih lanjut, bayangan Lili telah berkelebat dan berdiri menghadapi pemuda itu.
“Hem, kiranya kau!” seru gadis itu sambil mencibirkan bibirnya ketika ia mengenal bahwa pemuda ini
adalah pemuda yang tadi bertempur dengan dia. “Kau datang mau apakah?”
“Suhu-mu yang gila ini sudah berbicara tidak karuan dan dia telah menghina ayah ketika menyatakan
bahwa ayah telah mati! Ayah masih hidup di Pulau Pek-le-to dengan sehat, bagaimana dia berani
mengatakan bahwa ayah telah mati?”
“Siapa bilang bahwa ayahmu mati, anak muda?” Lo Sian berkata dengan sabar. “Yang mati adalah Lie
Kong Sian, bukan ayahmu...”
“Orang gila! Lie Kong Sian adalah ayahku!” sambil berkata demikian, Lie Siong kembali maju hendak
menyerang Lo Sian.
Sementara itu, Lili memandang dengan bengong. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda ini
adalah putera Lie Kong Sian, yang berarti putera Ang I Niocu pula! Timbul kegembiraannya tercampur
kekecewaan. Ia gembira dapat bertemu dengan putera Ang I Niocu yang sudah sering kali disebut-sebut
oleh ayah bundanya, akan tetapi dia kecewa karena tadi melihat pemuda itu mempermainkan seorang
gadis cantik!
Juga di dalam hatinya tiba-tiba timbul niat ingin menguji kepandaian putera Ang I Niocu ini. Maka tanpa
banyak cakap, ketika melihat betapa pemuda itu hendak menyerang Lo Sian, Lili segera bergerak maju
menangkis pukulan itu. Sepasang lengan tangan beradu keras dan keduanya terhuyung mundur tiga
langkah.
“Bagus, gadis liar!” Lie Siong membentak. “Agaknya kau masih belum mau mengaku kalah.”
“Aku mengaku kalah? Terhadap engkau? Hemm, bercerminlah dulu, manusia sombong. Kau mengaku
putera pendekar besar Lie Kong Sian? Siapa sudi percaya? Putera Ang I Niocu tak mungkin sesombong
engkau dan mata keranjang pula. Hah, tak tahu malu!”
Terbelalak mata Lie Siong memandang kepada Lili. Bagaimana gadis ini seakan-akan mengenal keadaan
ayah-bundanya?
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kau siapakah?” dia mengulang lagi pertanyaannya yang diajukan siang tadi, akan tetapi kembali Lill
mengejek dengan bibirnya yang manis.
“Apa kau kira dengan mengaku sebagai putera Ang I Niocu, kau akan dapat menipuku untuk
memperkenalkan nama? Hah, manusia rendah, biar kucoba dulu sampai di mana sih kepandaianmu!”
Sesudah berkata demikian, Lili kemudian mencabut keluar pedang Liong-coan-kiam yang tajam.
“Bagus, gadis liar! Aku pun ingin sekali menyaksikan sampai di mana kepandaianmu maka kau berani
membuka mulut besar!” Lie Siong juga mengeluarkan pedangnya yang aneh, yaitu Sin-liong-kiam. Maka
tanpa dapat dicegah lagi kedua orang muda ini lantas melanjutkan pertempuran mereka yang siang tadi
dilakukan dengan mati-matian!
Lili mempunyai Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-hoat yang luar biasa, yaitu ilmu pedang yang berdasarkan
pada Ilmu Pedang Daun Bambu ciptaan ayahnya, sebab itu tentu saja ilmu pedangnya ini hebat bukan
main. Begitu gadis ini menggerakkan pedangnya maka lantas berkelebatlah bayangan merah dari
pakaiannya, sedangkan pedangnya berubah menjadi segulung sinar pedang yang putih menyilaukan mata!
Baik Lo Sian yang berdiri di sudut ruangan yang luas itu, mau pun Thian Kek Hwesio yang masih tetap
duduk di bangku dengan sikap tenang, terpesona menyaksikan ilmu pedang yang hebat ini. Bahkan Thian
Kek Hwesio biar pun tidak pandai ilmu silat akan tetapi yang sudah banyak sekali menyaksikan kepandaian
orang-orang berilmu tinggi, menjadi kagum sekali hingga berkali-kali menyebut nama Buddha, “Omitohud!
Alangkah hebatnya ilmu pedang ini!”
Akan tetapi, ketika Lie Siong juga menggerakkan tubuh dan pedangnya, maka silaulah mata mereka
berdua memandang. Tubuh Lie Siong berubah menjadi bayangan putih, sedangkan pedangnya menjadi
segulung sinar keemasan yang cukup hebat menyilaukan pandangan mata.
Begitu kedua sinar itu bertemu, terdengarlah suara nyaring dari beradunya kedua pedang dan berpijarlah
bunga api yang indah sekali. Makin lama makin cepat kedua orang muda itu menggerakkan senjata
mereka sehingga gulungan pedang berwarna putih dan kuning emas itu menjadi satu, bergulung-gulung
saling membelit seolah-olah ada dua ekor naga sakti yang sedang bertempur seru.
Api lilin di atas meja yang terdapat di ruangan itu bergerak-gerak hampir padam karena tiupan angin
senjata mereka berdua. Saking gembiranya dapat menyaksikan permainan pedang ini, Thian Kek Hwesio
segera bangkit berdiri, mengambil tiga batang lilin lagi dan memasangnya semua di atas meja. Di dalam
penerangan tiga batang lilin tambahan ini, nampak makin indahlah sinar pedang kedua orang muda
keturunan orang-orang pandai itu.
Diam-diam kedua orang muda itu terkejut sekali. Baik Lili mau pun Lie Song amat kagum menyaksikan
kehebatan kepandaian lawan. Kini Lili diam-diam percaya bahwa pemuda ini tentulah putera Ang I Niocu,
oleh karena dia mengenal Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-hwat dari Ang I Niocu yang pernah diturunkan
oleh ayahnya, bahkan ayahnya pun dulu pernah memberi penjelasan kepadanya tentang ilmu pedang itu.
Apa bila diadakan perbandingan, memang ilmu pedang dari Lili masih menang lihai, akan tetapi dalam hal
ginkang dan tenaga lweekang, dia agaknya masih kalah latihan.
Sebaliknya, Lie Siong menjadi makin kagum melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh lawannya. Benarbenar
ilmu pedang yang belum pernah disaksikannya selama hidupnya. Dulu ibunya pernah
memberitahukan kepadanya tentang ilmu pedang ciptaan Pendekar Bodoh yang amat lihai dan agaknya
inilah ilmu pedang itu!
Apakah gadis ini puteri Pendekar Bodoh? Ia menduga-duga dengan hati berdebar-debar dan makin
tertariklah hatinya kepada gadis yang cantik jelita, manis, dan juga galak ini. Ia diam-diam harus mengakui
bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis itu amat luar biasa perubahannya dan beberapa kali hampir
saja ia menjadi korban.
Akan tetapi, yang membuat hatinya berdebar-debar aneh, adalah cara Lili mainkan ilmu pedangnya. Ia
setengah dapat menduga bahwa bila lawannya mau, tentu ia sudah dapat dirobohkan! Akan tetapi tiap kali
ujung pedang lawannya yang tajam itu telah mendekati tubuhnya, tiba-tiba gerakan pedang diubah
sedemikian rupa sehingga tidak melukainya!
Ia menjadi marah, malu dan penasaran sekali. Sambil mengertak giginya, Lie Siong yang berwatak keras
dan tak mau kalah ini lalu memutar pedangnya, mengirim totokan-totokan dengan lidah pedang naga dan
dunia-kangouw.blogspot.com
menusuk dengan tanduk pedang naganya. Dia berusaha untuk membalas setiap serangan dengan
pembalasan tak kalah lihainya.
Sudah tiga empat kali lawannya ‘mengampuni’ dirinya dengan merubah jalan pedangnya, maka dia pun
ingin sekali mendesak lawannya dan kemudian memberi kesempatan pula pada lawannya untuk
melepaskan diri dari ancaman pedangnya. Akan tetapi bagaimana ia dapat mendesak lawan yang mainkan
ilmu pedang sehebat itu?
Ia tidak diberi kesempatan sama sekali bahkan pedang Lili makin gencar mengurungnya sehingga
gulungan sinar kuning keemasan kini semakin mengecil, sebaliknya gulungan sinar pedang yang putih
makin membesar dan menghebat gerakannya.
Lebih hebat lagi ketika Lili mengeluarkan suara ketawa mengejek dan tahu-tahu tangan kiri gadis itu
mengeluarkan sebuah kipas yang kecil dan indah. Lie Siong tadinya merasa heran dan menduga bahwa
gadis itu hendak mempermainkannya dan menyombongkan diri dengan melayaninya sambil mengebutngebut
kipas. Tidak tahunya begitu kipas itu mengebut, ia hampir berseru karena kaget dan heran.
Angin kipas itu menyambar sehingga membuat lidah pedang naganya terbentur kembali, disusul dengan
pukulan kipas yang mempergunakan ujung gagangnya untuk menotok ke pundaknya. Lie Siong benarbenar
merasa terkejut.
Tak pernah diduganya bahwa gadis lawannya itu demikian lihainya. Baru ilmu pedangnya saja sudah
demikian hebat dan sukar baginya untuk mengalahkannya, apa lagi sekarang setelah gadis itu
menggunakan sebuah kipas pula yang juga luar biasa. Siapakah gadis ini?
Dengan pedang dan kipasnya, Lili makin mengurung dan kini gadis ini menjadi bangga karena dapat
mendesak pemuda itu. Kelak ia akan menceritakan kepada ayah bundanya betapa ia telah dapat
mengalahkan putera dari Ang I Niocu! Dan tentu saja ia tidak mau melukai pemuda itu karena kini ia
merasa yakin bahwa pemuda ini tentulah putera dari Ang I Niocu. Ia hanya ingin mendesak kemudian
memaksa pemuda itu untuk mengakui keunggulannya.
Akan tetapi, Lili sama sekali tidak tahu bahwa Lie Siong adalah seorang pemuda yang keras hati seperti
ibunya dan tidak nanti pemuda ini mau mengaku kalah begitu saja! Rasa penasaran dan malu membuat
Lie Siong menjadi marah dan nekad.
Ia pikir bahwa bila ia terlalu mengarahkan perhatian dan kepandaiannya pada penjagaan diri terhadap
desakan gadis yang lihai itu, tentu ia takkan mampu membalas. Maka ia lalu memilih jalan nekad. Biarlah
aku dirobohkan dan tewas, pikirnya, asal saja aku mampu membalasnya!
Sesudah berpikir demikian, dia lalu mencari kesempatan baik. Pada saat itu, tiba-tiba Lili menyerang
dengan kedua senjata secara berbareng. Pedang Liong-coan-kiam meluncur cepat ke arah
tenggorokannya dan kipas itu kini tertutup, dipergunakan untuk menotok lambungnya! Serangan berganda
yang amat berbahaya dan agaknya sangat sukar untuk ditangkis atau dielakkan lagi.
Akan tetapi, Lie Siong tidak mau mempedulikan dua senjata lawannya yang mengancam dirinya ini,
sebaliknya dia lalu mempergunakan Sin-liong-kiam untuk menyapu kedua kaki Lili! Pikirnya, kalau senjatasenjata
lawannya diteruskan, tentu sedikitnya dia akan dapat mematahkan sebuah kaki lawan!
Lili merasa terkejut sekali. Tidak pernah disangkanya bahwa lawannya mengambil jalan nekad seperti itu!
Dia lalu berseru keras dan kedua kakinya melompat ke atas. Dengan sendirinya kipasnya tidak mengenai
sasaran dan pedangnya yang tak dapat ditariknya kembali itu tidak mengenai leher lawan, akan tetapi
hanya menyerempet pundak kanan Lie Siong!
Lie Siong merasa betapa pundaknya menjadi perih dan sakit sekali, juga melihat darah mengalir dari
pundaknya. Akan tetapi ia tidak mempedulikan hal ini dan saat pedangnya dapat dielakkan oleh kaki Lili
yang melompat ke atas, dia lalu menggerakkan pedang itu sehingga lidah dari pedang naga itu dengan
gerakan yang amat tak terduga telah melibat sepatu kiri di kaki Lili!
Gadis itu terkejut dan hendak menarik kakinya. Akan tetapi pada saat ia menggerakkan kaki kirinya, Lie
Siong telah membetot sehingga sepatu kiri itu terlepas dari kaki Lili dan masih terlibat oleh lidah pedang
naga itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bangsat! Kembalikan sepatuku!” Lili berseru keras.
Akan tetapi Lie Siong yang merasa sudah mampu membalas hinaan yang diterimanya dalam pertempuran
itu, yaitu hinaan yang berupa ‘pengampunan’ berkali-kali dari desakan pedang, segera membawa sepatu
itu dan melompat keluar dari situ.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments