- Cerita Silat Pendekar Bodoh 4 Kho Ping hoo
- Cersil Pendekar Bodoh 3
- Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh 2
- Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh
- Cerita Silat Kho Ping Hoo Dara Baju Merah 5 Tamat
- Cersil Kho Ping Hoo Dara Baju Merah 4
- Khopinghoo Dara Baju Merah 3
- Kho Ping Hoo Dara Baju Merah 2
- Dara Baju Merah Kho Ping Hoo
- Pendekar Sakti Terakhir
-----Pada saat mereka tiba di tempat itu sambil mengintai dan bersembunyi di balik pohon, Cin Hai masih
berada di bawah dan ujung tambang masih dipegang oleh Yousuf dan Lin Lin. Bukan main girang hati Bo
Lang Hwesio dan Ke Ce. Sambil tertawa dan membentak keras mereka berdua keluar dari tempat
persembunyian mereka, dan lari cepat ke arah Yousuf dan Lin Lin yang masih memegang tambang di
mana tubuh Cin Hai bergantung di bawah.
Tidak perlu diceritakan lagi alangkah terkejut hati Yousuf dan Lin Lin melihat kedatangan mereka.
Keduanya memandang dengan wajah pucat sekali dan merasa bahwa sekarang mereka berdua berikut Cin
Hai, pasti akan binasa.
“Pegang tambang itu kuat-kuat, aku melawan mereka mati-matian,” kata Yousuf.
Lin Lin lalu memegang tambang itu seorang diri dengan sekuat tenaga karena biar pun sesungguhnya
tenaganya sudah lebih dari cukup untuk memegang ujung tambang yang digantungi tubuh kekasihnya,
akan tetapi oleh karena merasa takut kalau-kalau tambang itu terlepas dari tangan dan ngeri memikirkan
nasib Cin Hai kalau terjadi hal demikian, maka dia lalu memegangnya erat-erat, seakan-akan nyawanya
sendiri yang tergantung di ujung tambang itu.
Yousuf yang tadi ketika mengambil tambang juga mengambil pedangnya, lalu mencabut pedang itu dan
menyambut mereka sambil berlari agar pertempuran dapat dilakukan di tempat yang jauh dari Lin Lin. Akan
tetapi, Bo Lang Hwesio dan Ke Ce yang hendak bertindak cepat, lalu menerjang dengan hebat hingga
sebentar saja Yousuf terkurung dan terdesak hebat sekali.
Sementara itu, Cin Hai yang tidak tahu apa-apa tentang peristiwa yang sedang terjadi di atas, masih
mencari-cari dengan matanya. Ketika dia menggunakan ketajaman matanya menembus halimun tebal dan
melihat ke bawah, ia hanya melihat warna putih kebiruan yang bergerak-gerak di bawah kakinya, jauh di
bawah. Dia menduga bahwa itu mungkin juga daun-daun pohon.
Cin Hai lalu mencari akal, dan ketika tangannya menyentuh akar-akar serta daun pohon kecil, ia segera
memegang akar pohon itu kuat-kuat dan sambil menggantungkan kedua kakinya pada akar pohon, dia lalu
mempergunakan kedua tangan untuk mengikat ujung tambang itu pada pinggangnya. Dengan demikian,
dia mulai mencari-cari ke kanan-kiri sambil merayap dan berpegangan pada akar-akar pohon tanpa takut
terpeleset atau akar itu patah, karena pinggangnya telah terikat tambang.
Pada waktu Lin Lin memandang dengan berdebar cemas betapa Yousuf terkurung hebat oleh dua orang
musuh yang tangguh itu tiba-tiba ia mendengar suara di atas kepalanya. Alangkah girangnya karena
melihat Merak Sakti terbang berkeliling di atasnya.
“Kong-ciak-ko, lekas tolong Ayah!” teriak Lin Lin dengan keras.
Merak Sakti menyambar turun bagaikan tahu akan perintah Lin Lin, dan juga berkat rasa kesetiaannya
timbul melihat Yousuf dikeroyok, lalu dia menyambar ke arah Ke Ce sambil memekik keras!
Ke Ce terkejut sekali ketika melihat bayangan kuning kebiru-biruan menyambar turun dari angkasa ke arah
kepalanya. Ia cepat mengelak dan mengeluarkan keringat dingin ketika patuk merak yang kecil merah serta
tajam itu meluncur di dekat kepalanya, hampir saja berhasil mematuk matanya! Saat Merak Sakti
menyambar lagi, ia cepat mengulur tangan dengan gerakan Eng-jiauw-kang untuk mencengkeram dan
dunia-kangouw.blogspot.com
menangkap leher merak yang bagus itu.
Akan tetapi merak itu bukan burung sembarang burung, melainkan peliharaan orang sakti dan telah
menerima latihan-latihan sehingga dia menjadi seekor merak sakti. Menghadapi serangan ini, dia tak
menjadi gentar dan sambil terbang ia mengebut tangan yang hendak mencengkeramnya itu dengan sayap.
“Blekkk!”
Ke Ce hampir saja mengeluarkan pekik karena tangannya yang terpukul sayap itu terasa sakit dan pedas.
Ternyata bahwa kebutan sayap merak itu mengandung tenaga yang bukan main besarnya! Ke Ce menjadi
marah sekali dan mempergunakan ilmu pukulan Angin Taufan untuk mendorong jauh merak yang lihai itu.
Akan tetapi Merak Sakti yang agaknya sudah maklum pula akan kelihaian pukulan yang mendatangkan
angin ini sehingga setiap kali Ke Ce memukul, dia selalu mengelak cepat. Betapa pun juga, seranganserangan
Ke Ce dengan ilmu pukulan ini membuat merak itu tak berdaya untuk menyerangnya.
Biar pun kini hanya menghadapi seorang lawan saja, namun oleh karena kepandaian Bo Lang Hweso lebih
tinggi dari pada kepandaiannya, tetap saja Yousuf terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya!
Lin Lin mengeluarkan keringat dingin ketika melihat betapa bantuan Sin-kong-ciak tetap belum dapat
menolong ayah angkatnya, bahkan kini merak itu hanya berani terbang berputaran di atas kepala Ke Ce
oleh karena tadi hampir saja pukulan Angin Taufan orang mongol itu mengenai dadanya!
Lin Lin mulai menarik-narik tambang membetot-betot untuk memberi tanda kepada Cin Hai. Tiba-tiba saja
dia merasa tambang itu dikedut dari bawah, tanda bahwa Cin Hai telah merasa akan isyarat yang dia
berikan dan kini membalas dengan kedutan seakan-akan hendak bertanya.
“Hai-ko... lekas kau naik...!” Lin Lin berteriak ke arah bawah tebing, akan tetapi suaranya ditelan halimun
dan tak dapat menembus ke bawah.
Ia berteriak berkali-kali dan Ke Ce yang melihat hal ini, segera melompat ke arahnya! Lin Lin segera
menggunakan tangan kiri untuk menahan tambang, ada pun tangan kanannya cepat mencabut pedangnya!
Dia hanya berdiri dengan mata tajam menentang Ke Ce dan pedangnya siap di tangan kanan. Tekadnya
hendak melawan mati-matian dan apa bila ia kalah, dia tetap takkan melepaskan tambang itu dan bersedia
melompat ke dalam tebing menyusul kekasihnya!
Sementara itu, pada saat melihat betapa Ke Ce menghampiri Lin Lin, Sin-kong-ciak lalu berteriak-teriak
nyaring dan mulai menyambar kepala Ke Ce lagi! Ke Ce segera memukul, memaksa merak itu mengelak
dan kembali terbang ke atas dengan jeri. Ke Ce tertawa menyeringai dan menghadapi Lin Lin sambil
berkata,
“Nona manis, kau lepaskan saja tambang itu dan kau ikut aku pergi ke…”
Pada saat itu, Sin-kong-ciak menyambar lagi dan mencakar ke arah mukanya sehingga terpaksa Ke Ce
mengelak dan tak melanjutkan ucapannya terhadap Lin Lin.
“Burung celaka!” makinya. “Burung bedebah! Apa bila aku berhasil menangkapmu, akan kupanggang
dagingmu sampai gosong!”
Tetapi Merak Sakti itu hanya terbang berkeliling di atas kepalanya sambil mengeluarkan pekik nyaring
berkali-kali. Pekik inilah yang kemudian terdengar oleh Cin Hai dan yang membuat pemuda itu menjadi
curiga, terlebih lagi karena dia merasa betapa tambang itu berkali-kali ditarik dari atas. Dengan cepat Cin
Hai lalu mulai memanjat tambang itu untuk naik kembali ke atas oleh karena penyelidikannya tidak
menghasilkan sesuatu.
Sementara itu, berkat sambaran-sambaran yang dilakukan oleh Sin-kong-ciak, Ke Ce tak mendapat
kesempatan untuk mengganggu Lin Lin, karena apa bila ia telah usir merak itu dengan pukulan Angin
Taufannya dan ia menghampiri Lin Lin, gadis itu telah siap dengan pedangnya yang tidak boleh dipandang
ringan biar pun gerakannya tidak leluasa karena tangan kiri memegang tambang.
Sebelum Ke Ce dapat bertindak lebih jauh, merak itu sudah turun menyambar lagi hingga pemuda Mongol
ini menjadi marah benar-benar. Lin Lin yang merasa gugup dan cemas melihat keadaan Yousuf dan
keadaannya sendiri, beberapa kali berseru,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hai-ko, lekas... lekas keluar...!”
Mendengar ini dan melihat betapa tambang di tangan Lin Lin bergoyang-goyang, Ke Ce menjadi takut.
Hanya Cin Hai saja yang dia takuti, maka kini menduga bahwa pemuda itu akan segera muncul, dia lalu
angkat kaki lebar sambil mengajak Bo Lang Hwesio,
“Bo Lang-Suhu, lekas pergi!”
Sementara itu, Yousuf telah beberapa kali terkena sampokan ujung lengan baju Bo Lang Hwesio yang
sangat lihai, bahkan pukulan terakhir yang mengenainya telah menghantam pundak dekat leher yang
membuat dadanya terasa sesak dan sakit. Akan tetapi berkat ilmu lweekang-nya yang sudah tinggi, ia
dapat mengumpulkan tenaga dan masih dapat melawan dengan gigih!
Bo Lang Hwesio merasa heran sekali melihat keuletan orang Turki ini, karena pukulan-pukulan ujung
lengan bajunya tadi biasanya cukup untuk membinasakan seorang lawan gagah dengan sekali pukul saja.
Kakek Turki ini telah empat kali menerima pukulannya dan masih saja kuat melakukan perlawanan! Diamdiam
dia merasa kagum dan gentar juga. Apakah kakek ini memiliki ilmu kekebalan yang hebat?
Karena hatinya sudah gentar, maka ketika Ke Ce melarikan diri dan mengajak dia untuk kabur, ia lalu
meloncat jauh dan mengejar kawannya itu, lari turun gunung dengan cepat. Dan kali ini mereka benarbenar
lari dari atas gunung itu karena takut akan pembalasan Cin Hai!
Ketika Cin Hai sudah mendarat dan berada di atas tebing, dia menjadi terkejut sekali melihat Lin Lin
memegang ujung tambang dengan pedang di tangan kanan dan air mata gadis itu mengalir di kedua pipi.
Ketika ia memandang ke arah Yousuf, ia segera berseru kaget karena kakek itu roboh tak sadarkan diri!
Keduanya lalu berlari menghampiri dan sambil memeriksa keadaan luka-luka pada tubuh Yousuf, Cin Hai
mendengar keterangan Lin Lin dengan mata berapi dan muka merah.
“Keparat betul dua bangsat rendah itu!” katanya sambil mengertak gigi. “Alangkah curang dan rendahnya
perbuatan mereka!”
Cin Hai agak lega melihat bahwa biar pun Yousuf mendapat luka-luka yang hebat, namun tenaga dalam
kakek itu sudah cukup kuat untuk melindungi jantung serta paru-parunya sehingga tidak sampai menderita
luka. Akan tetapi ia memerlukan rawatan teliti dan lama sebelum dapat sembuh sama sekali. Kemudian dia
lalu memondong tubuh Yousuf dan bersama Lin Lin dia kembali ke rumah untuk segera memberi
pertolongan kepada orang Turki itu.
Sesudah mendapat urutan dan pencetan pada jalan darahnya, kakek itu siuman kembali dan ia lalu
tersenyum melihat bahwa Lin Lin dan Cin Hai masih selamat dan berada di dekatnya!
“Lain kali akan kubalas dia...,” katanya lemah.
Kemudian Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya ketika dia mencari-cari jejak kedua kawan yang
terjatuh ke dalam tebing.
“Halimun terlalu tebal dan tebing itu terlalu dalam hingga sukar untuk melihat nyata. Akan tetapi oleh karena
tebing itu merupakan lereng gunung, aku akan mencoba untuk mencari dari kaki gunung dan hendak
memanjat ke atas pada tempat itu. Mudah-mudahan saja Thian Yang Maha Kuasa melindungi mereka
berdua!”
Tiba-tiba Lin Lin menepuk jidatnya dengan perlahan. “Ahh... mengapa kita begitu bodoh? Kong-ciak-ko
tentu dapat mencari mereka.”
Mendengar ini, Cin Hai dan Yousuf girang sekali karena mereka juga berpendapat bahwa burung merak itu
tentu saja dapat mencari mereka.
“Pergilah kalian segera membawa Sin-kong-ciak dan suruh burung itu mencari Kwee An dan Ma Hoa.
Lekas!” kata Yousuf dengan suara gembira.
Lin Lin dan Cin Hai lalu berlari-lari keluar dan Lin Lin bersuit memanggil burung merak yang segera terbang
dunia-kangouw.blogspot.com
datang.
“Kong-ciak-ko, mari kau ikut kami!” katanya sambil berlari cepat kembali ke tebing tadi. Burung merak itu
mengeluarkan suara girang dan terbang mengikuti di atas mereka.
Sesudah tiba di tebing Lin Lin lalu memberi tanda dengan tangannya, menyuruh burung merak itu turun.
Kemudian, sambil menunjuk ke bawah tebing, Lin Lin berkata,
“Kong-ciak-ko, kau dengarlah baik-baik! Kwee An dan Ma Hoa hilang di bawah sana, kau carilah mereka
sampai dapat!” Sesudah mengulangi perintah ini sampai beberapa kali, tiba-tiba merak itu lalu memekik
girang dan segera terbang ke bawah tebing. Ternyata ia telah dapat menangkap maksud perintah tadi!
Lin lin merasa begitu tegang dan gembira sehingga dia memegang tangan Cin Hai dan keduanya lalu
berdiri menanti di pinggir tebing dengan wajah agak tegang dan tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun.
Hanya hati dua anak muda ini yang berdebar-debar dan bersama-sama berdoa semoga burung merak itu
akan dapat menemukan kedua kawan mereka dan kembali sambil membawa berita baik!
Lama sekali mereka menanti dan tiba-tiba saja mereka mendengar merak itu memekik di sebelah bawah.
Dan bukan main heran hati mereka karena pekik merak itu adalah pekik kemarahan, seperti biasanya
dikeluarkan apa bila dia menghadapi seorang lawan! Merak itu memekik berkali-kali, dan dengan wajah
pucat Lin Lin bertanya kepada Cin Hai,
“Siapakah gerangan yang membuat Kong-ciak-ko demikian marah?”
Cin Hai juga tak bisa menduga dan hanya menjenguk ke bawah yang terlihat putih pekat tertutup halimun
itu dengan penuh perhatian dan harap-harap cemas.
Sesudah terdengar pekik merah itu beberapa kali lagi, lalu di bawah menjadi sunyi, sunyi yang makin
menggelisahkan hati kedua teruna remaja itu. Tiba-tiba saja terdengar bunyi pukulan sayap merak itu,
lantas muncullah Sin-kong-ciak menembus halimun, terbang ke atas dan langsung mendarat di dekat Lin
Lin.
Dia mengangguk-anggukkan kepala sambil mengeluarkan keluhan-keluhan aneh. Ketika Cin Hai dan Lin
Lin memandang, ternyata bahwa pada kaki merak itu sudah terlibat oleh seutas tali hijau yang ternyata
terbuat dari pada semacam akar pohon. Tali itu di bagian depan mengikat sepotong batu karang kecil yang
agaknya digunakan untuk disambitkan sehingga tali dapat melibat kaki Merak Sakti.
Tentu saja ilmu kepandaian melempar tali dengan batu karang ini yang dapat melibat kaki Merak Sakti,
menunjukkan bahwa pelemparnya tentulah seorang luar biasa. Jangankan tali itu sampai dapat melibat kaki
Merak Sakti yang lihai dan pandai mengelak, sedangkan untuk menangkap burung biasa dengan cara aneh
itu pun agaknya tidak akan mudah dilakukan oleh sembarang orang! Dan yang membuat kedua anak muda
itu merasa heran adalah sepotong kertas yang berada di ujung tali itu.
Cin Hai cepat-cepat mencabut kertas itu dan ternyata bahwa di situ terdapat tulisan yang dilakukan dengan
corat-coret kasar dan berbunyi,
Pergilah kalian dan pelihara Merak ini baik-baik. Kalau ada jodoh, kelak bertemu.
“Aneh...“ kata Cin Hai, “tulisan siapakah ini dan apa pula maksudnya? Apa hubungannya dengan Kwee An
dan Ma Hoa?”
Lin Lin yang membaca surat itu berkali-kali, juga tidak mengerti dan hanya memandang dengan bengong.
“Tentu di sebelah bawah yang penuh rahasia itu ada seorang yang luar biasa pandai,” katanya, “dengan
batu dia mampu membelitkan tali bersurat kepada kaki Kong-ciak-ko dan ia dapat mengetahui pula
keadaan kita berdua di sini. Sungguh heran dan ajaib!”
Sekali lagi Cin Hai membaca surat itu dengan teliti. “Dengan kata-kata pergilah kalian, orang aneh itu sudah
mengetahui bahwa kita berdua berada di sini dan menyuruh pergi, tentu karena kedua orang saudara kita
itu selamat. Ia menyuruh kita memelihara merak baik-baik karena agaknya ia kagum dan suka sekali
kepada merak ini, ada pun kata-kata bila ada jodoh kelak bertemu merupakan ucapan yang biasa dilakukan
oleh pertapa atau orang-orang tua yang sakti. Ini hanya dugaanku saja, terutama mengenai keselamatan
Kwee An dan Ma Hoa, aku sendiri belum dapat memastikan benar.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka lalu kembali ke rumah Yousuf dan menceritakan kejadian itu sambil menunjukkan surat itu. Yousuf
juga merasa heran, akan tetapi dia berkata dengan suara mengandung penuh harapan, “Orang yang
mengirim surat secara aneh ini tentu seorang pandai dan kalau dia dapat mengetahui keadaan kalian di
atas tebing, tentu dia tahu pula apa yang kalian cari. Maka menurut dugaanku, Kwee An dan Ma Hoa tentu
tertolong olehnya!”
“Akan, tetapi, kalau benar demikian halnya, mengapa dia tidak menyuruh An-ko dan Ma Hoa kembali ke
sini?” tanya Lin Lin.
Yousuf menggeleng-gelengkan kepala dan memejamkan matanya sebab pembicaraan ini biar pun
dilakukan sambil berbaring, tapi cukup melelahkan tubuhnya yang lemah. Yousuf ialah seorang perantau
yang banyak pengalaman dan ia mengerti pula cara pengobatan, maka ia dapat merawat luka-lukanya
sendiri.
Semenjak terjadinya peristiwa yang menguatirkan itu, yaitu lenyapnya Kwee An dan Ma Hoa serta
terlukanya Yousuf, Cin Hai lalu menggembleng Lin Lin lebih rajin dan tekun lagi sambil memberi nasehat
agar supaya gadis kekasihnya itu melatih diri baik-baik siang dan malam karena Cin Hai hendak
meninggalkannya.
“Kau harus dapat menguasai Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut beserta kedua Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut
dan Kong-ciak Sin-na baik-baik untuk menjaga dari bahaya mendatang, sebab aku harus meninggalkan
kau dan Yo-peh-peh beberapa lama untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa. Hatiku takkan tenteram sebelum
dapat menemukan mereka,” katanya.
Lin Lin juga menyatakan setuju. Tentu saja ia ingin sekali ikut akan tetapi keadaan Yousuf yang rebah
dengan tubuh masih amat lemah dan belum sembuh lukanya itu memerlukan tenaga bantuan dan
rawatannya sehingga ia merasa tidak tega untuk meninggalkan ayah angkatnya yang dikasihinya itu.
Demikianlah, sejak saat itu mereka berlatih siang malam tanpa kenal lelah sehingga setelah digembleng
secara demikian untuk sebulan lamanya, Cin Hai menjadi puas sekali.
“Lin-moi,” katanya girang setelah ia mencoba melawan Lin Lin dan mendapat kenyataan bahwa ilmu
pedang gadis itu kini benar-benar sudah hebat sekali. “Sekarang, biarlah Bo Lang Hwesio dan Ke Ce
datang, bahkan biarlah mereka itu membawa dua tiga orang kawan lagi. Dengan adanya kau di sini,
seorang diri saja engkau akan sanggup memukul roboh mereka semua.”
“Benarkah itu, Koko? Menurut pendapatku sendiri, kepandaianku masih sama saja.”
Cin Hai tersenyum “Memang demikianlah adanya. Kemajuan sendiri pasti takkan pernah terasa atau terlihat
oleh diri sendiri, orang lain yang bisa menentukannya. Makin pandai seseorang ia akan makin merasa
dirinya bodoh. Kau ingat akan nama guru kita? Bu Pun Su, artinya Tiada Kepandaian! Suhu yang ilmunya
telah mencapai puncak kesempurnaan itu, bahkan mengaku bahwa beliau tak memiliki kepandaian sama
sekali. Kepandaianmu sekarang telah berlipat beberapa kali kalau dibandingkan dengan sebulan yang lalu.
Jika kau tidak percaya, mari kita tanyakan kepada Yo-pekhu.”
Keduanya lalu mendatangi Yousuf yang berangsur sembuh dan kini telah dapat duduk.
“Yo-pekhu, coba kau lihat ilmu pedang Lin Lin dan nyatakan pendapatmu!” kata Cin Hai.
Yousuf tersenyum sambil mengangguk-angguk dan Lin Lin lantas bersilat dengan pedang pendeknya di
depan Yousuf. Pedang pendek Han-le-kiam menyambar-nyambar sehingga merupakan sinar putih kebirubiruan
berkelebat di sekeliling tubuh Lin Lin yang laksana menari-nari dengan gaya indah.
Walau pun pedang itu pendek saja, namun sinarnya seakan-akan menjadi senjata yang panjang hingga
dapat dibayangkan bahwa gerakan pedang itu cepat sekali. Yang hebat ialah bahwa tangan kiri Lin Lin tak
tinggal diam, akan tetapi membarengi gerakan tangan kanan yang memegang pedang pendek dan
melakukan serangan pula sambil mainkan jurus-jurus yang lihai dan aneh dan Ilmu Silat Pek-in Hoatsut dan
Kong-ciak Sin-na.
Setelah ia berhenti mainkan ilmu pedangnya, ia lalu memandang ke arah ayah angkatnya itu dengan mata
mengandung pertanyaan. Yousuf menarik napas panjang karena tadi ia seperti menahan napas karena
kagumnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, sungguh sulit dipercaya bahwa kepandaian ini baru kau pelajari beberapa puluh hari saja. Terus terang
saja, kini aku sendiri belum tentu kuat menghadapimu dalam sepuluh jurus. Kau hebat, anakku dan terima
kasih kepada Cin Hai yang telah mendidikmu.”
Cin Hai tersenyum girang, lalu menjura sambil berkata, “Terima kasih itu tak seharusnya ditujukan
kepadaku, Yo-pekhu, akan tetapi kepada Suhu Bu Pun Su. Sekarang aku akan turun gunung hendak
mencari jejak Kwee An dan Ma Hoa. Dengan kepandaian Lin Lin sekarang, aku dapat meninggalkan kalian
berdua dengan hati tenteram. Lin-moi, harap kau jangan malas untuk melatih diri selama aku pergi.”
Lin Lin mengerling tajam. “Apakah memang aku biasanya malas? Koko, jangan terlalu lama pergi!”
“Mana aku kuat meninggalkan kau terlalu lama?”
Kemudian, sesudah sekali lagi memandang kepada Lin Lin dan menjura kepada Yousuf, Cin Hai lalu
melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap dari hadapan kedua orang itu.
“Lin Lin, kau tentu bahagia sekali mendapat jodoh seperti Cin Hai,” kata Yousuf dengan suara gembira.
Lin Lin tidak menjawab, hanya menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi pembaringan Yousuf sambil
tersenyum dan pandang matanya melayang jauh dalam lamunan.
Cin Hai mempergunakan ilmunya untuk berlari cepat menuruni bukit itu. Dia terus turun sampai di kaki
bukit, lantas mengambil jalan memutar menuju ke kaki gunung di bawah tebing yang curam di mana Kwee
An dan Ma Hoa terjatuh.
Ternyata bagian ini ialah bagian sebelah timur, penuh dengan hutan belukar, dan lereng gunung itu walau
pun terdiri dari tanah yang tidak keras, akan tetapi sukar dilalui karena penuh dengan jurang-jurang dan
rawa-rawa yang penuh alang-alang. Bahkan ada bagian yang nampaknya seperti tanah rata ditumbuhi
rumput tebal, akan tetapi ketika terinjak, ternyata bahwa di bawahnya merupakan tanah lumpur yang
berbahaya sebab sekali saja kedua kaki masuk ke situ, orang tak akan mampu menarik kembali kedua
kakinya yang makin lama tersedot makin dalam!
Karena rawa yang demikian ini luas sekali dan tak mungkin diloncati begitu saja karena lebarnya, Cin Hai
kemudian mencari akal. Ia menggunakan pedangnya untuk memotong banyak batang pohon bambu dan
melemparkan bambu itu ke atas rumput itu.
Dia membawa beberapa batang bambu yang panjang dan menginjak bambu yang telah dilempar di atas
rumput, kemudian dia menurunkan bambu sebatang lagi disambungkan kepada bambu yang diinjaknya.
Dengan cara demikian dia membuat jembatan bambu yang sambung menyambung dan yang dapat
diinjaknya tanpa kuatir tenggelam, hingga akhirnya setelah menghabiskan tujuh bambu panjang, ia dapat
juga menyeberang rawa yang aneh dan berbahaya ini!
Cin Hai terus maju dengan hati-hati sekali, pedang Liong-coan-kiam siap di tangan sebab dia tidak tahu apa
yang akan muncul di tempat yang belum pernah terinjak oleh kaki manusia itu. Akhirnya dia tiba juga di
suatu tempat yang merupakan lereng yang curam dan yang tegak ke atas. Ketika dia memandang ke atas
ternyata di atas penuh dengan halimun dan mengira-ngira di mana kiranya Kwee An dan Ma Hoa terjatuh.
Ketika ia maju sedikit ia melihat banyak goa di lereng itu, besar-besar dan gelap. Hatinya berdebar amat
keras. Boleh jadi sekali orang aneh yang telah mengirim surat itu tinggal di salah sebuah di antara goa-goa
ini!
Ia lalu meneliti setiap goa dan memeriksa tanah lembek di depan goa. Kalau goa itu ada orangnya, pasti ia
akan melihat tapak kaki di depan goa itu, karena betapa pun tinggi ilmu ginkang seseorang, kalau
menginjak tanah lembek itu pasti meninggalkan bekas. Setelah meneliti dan memeriksa beberapa buah
goa, akhirnya ia berseru perlahan.
Di depan goa yang besar dan gelap, ia melihat kaki manusia! Ketika ia memeriksa lebih teliti, hatinya
tergoncang karena tapak kaki itu demikian tipisnya, seakan-akan tanah itu hanya disentuh saja oleh orang
yang berjalan di atasnya.
Ia kemudian mengerahkan ginkang-nya dan berjalan di dekat tapak-tapak kaki itu dengan ringan sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi ia melihat, ternyata bahwa tapak kakinya lebih dalam dari pada tapak kaki yang dilihatnya itu.
Dari sini dapat dia menduga bahwa ilmu ginkang orang itu ternyata lebih tinggi dari pada ginkang-nya
sendiri!
Cin Hai berlaku makin berhati-hati karena dia tahu bahwa orang itu tentu seorang yang memiliki ilmu
kepandaian yang sukar diukur sampai di mana tingginya dan ia belum tahu pula apakah orang itu kawan
atau lawan. Ia segera membuat api dari kayu kering, dan dengan sebatang obor menyala yang dibuatnya
dari pada alang-alang yang sudah kering, ia lalu memasuki goa itu, obor di tangan kiri dan Liong-coan-kiam
di tangan kanan.
Goa itu ternyata lebar dan dalam sekali. la melihat beberapa buah batu hitam licin yang halus
permukaannya hingga dapat dibuat duduk orang, maka semakin keras dugaannya bahwa di situ tentu
pernah tinggal seorang manusia atau pertapa. Akan tetapi, selain batu-batu itu, tidak terdapat benda lain,
juga tidak nampak seorang pun di dalam goa.
la menjadi kecewa dan tiba-tiba saja kepalanya tertumbuk pada sebuah batu kecil yang ternyata tergantung
di atas langit-langit goa. Ia mengangkat obornya ke atas dan betapa girangnya ketika melihat bahwa batu
kecil yang tertumbuk oleh kepalanya itu ternyata adalah sepotong batu karang yang diikat dengan tali,
persis seperti yang dahulu dipakai untuk membelit kaki Sin-kong-ciak!
Dia tidak ragu-ragu lagi. Di sinilah tempat orang aneh yang berahasia itu. Dia memeriksa semakin teliti dan
ketika ia mengangkat obornya ke sebelah kiri, ia melihat corat-coret di atas dinding tanah batu itu. Dia
segera menghampiri dan ternyata bahwa corat-coret itu merupakan lukisan orang dalam berbagai posisi
yang jelas menggambarkan orang yang sedang bermain silat!
Di sana-sini terdapat tulisan-tulisan dan ketika ia membaca tulisan itu, ia menjadi tertarik sekali karena
tulisan-tulisan itu merupakan ujar-ujar dari Khongcu yang diambil dari kitab Tiong-yong! Di antara sekian
banyaknya ujar-ujar yang ditulis di atas dinding itu, dengan gaya tulisan yang persis sama seperti yang
dituliskan di atas kertas yang terbawa oleh kaki Sin-kong-ciak, ia tertarik akan sebuah ujar-ujar yang dulu
pernah dia pelajari dari Kui Sianseng, gurunya yang suka memukul kepalanya itu. Ujar-ujar ini demikian
bunyinya,
Kou Kuncu Put Kho-i Put Siu-sin. Su siu-sin Put kho-i Put Su-jin. Su Su-jin Put-kho-i Ti-jin. Su Ti-jin, Put
Kho-i Put Ti Thian!
Ia teringat kepada Kui Sianseng yang memecahkan arti ujar-ujar tersebut sebagai berikut, ‘seorang
Budiman seharusnya menyempurnakan diri (batin dan pikiran) pribadi. Untuk dapat menyempurnakan diri
pribadi, tak dapat tidak harus mencinta dan berbakti kepada ayah bunda. Untuk dapat mencinta dan
berbakti pada ayah bunda, tak dapat tidak harus mengetahui tentang peri kemanusiaan. Dan untuk dapat
mengetahui tentang peri kemanusiaan, tak dapat tiada ia harus mengetahui tentang KETUHANAN.”
Setelah membaca ujar-ujar yang dulu sering dihafalkan itu, tiba-tiba saja Cin Hai berdiri bengong karena ia
teringat kepada ayah bundanya dan ingat pula bahwa ia belum juga mencari kuburan mereka! Sampai lama
juga ia berdiri diam tak bergerak hingga setelah api obornya padam, barulah ia sadar dan segera keluar
dari goa itu oleh karena merasa malu dan tidak enak hati untuk berdiam lebih lama dalam tempat kediaman
orang lain tanpa seijin tuan rumah!
Ia terus mencari hingga sehari penuh ia keluar masuk goa untuk mencari jejak Kwee An dan Ma Hoa. Akan
tetapi jangankan orangnya, bayangannya pun tidak dilihatnya!
Cin Hai merasa kecewa, akan tetapi ia juga merasa lega karena tidak melihat bukti-bukti bahwa dua orang
yang dikasihinya itu telah tewas! Karena, andai kata keduanya terjatuh dan terbanting mati di situ, tentu ia
akan melihat tanda-tanda atau bekas-bekasnya.
Karena hari telah mulai gelap, maka Cin Hai lalu memasuki goa yang penuh tulisan dan lukisan itu lagi
untuk bermalam. Dia anggap bahwa goa itu paling bersih dan paling baik, tidak mengandung hawa dan bau
yang tidak enak seperti goa lainnya, dan lagi pula, ada kemungkinan penghuni goa itu datang sehingga dia
dapat bertemu dengannya! Dia ingin sekali bertemu dengan ahli ujar-ujar Khongcu ini yang sudah mengirim
berita ketika dia berada di atas dengan Lin Lin dan dia merasa yakin bahwa penulis surat itu tentu tahu
akan nasib Kwee An dan Ma Hoa!
Karena merasa asing di dalam goa seorang diri, maka Cin Hai lalu menyalakan api lagi dan memeriksa
dunia-kangouw.blogspot.com
lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan di dinding itu. Ternyata lukisan-lukisan itu mengandung pelajaran ilmu
silat yang aneh dan tinggi. Akan tetapi sebagai seorang berjiwa gagah, Cin Hai tidak mau mencuri dan
mempelajari ilmu silat orang lain, maka ia lalu mengalihkan perhatian pada tulisan-tulisan dan ujar-ujar
yang selalu menarik hatinya.
Mendadak dia melihat lukisan-lukisan yang mengerikan, yaitu sebuah tengkorak, sebuah tubuh manusia
dengan segala macam kekotorannya, dan sebuah muka yang amat jahat, sejahat-jahatnya bagaikan setan
sendiri memperlihatkan muka!
Dan di bawah tiga buah lukisan aneh itu, terdapat syair yang sangat menarik hatinya. Dia lalu membaca
dengan penuh perhatian,
Alangkah buruk nasibku! Aku dipaksa untuk tinggal di tubuh hina. Dikurung dalam segala kerendahan
jasmani! Diliputi oleh segala kepanasan hawa nafsu!
Hanya satu hiburan bagiku: Akan tiba saatnya aku pergi meninggalkan semua keburukan ini. Dan kembali
ke tempat asal, kembali ke tempat suci!
Sekali lagi Cin Hai dibikin bengong dan termenung membaca syair yang penuh arti ini. Ia maklum dan
dapat merasakan bahwa syair ini merupakan rintihan jiwa atau roh manusia, bukan penulis syair itu saja
akan tetapi setiap manusia, termasuk dia sendiri!
Ia lantas bergidik memandang tengkorak itu yang tiba-tiba nampak menjadi tengkoraknya sendiri, ngeri
melihat tubuh dengan segala kekotoran itu, dan meremang bulu tengkuknya melihat wajah mengerikan itu,
wajah yang penuh diliputi nafsu-nafsu jahat yang tiap saat menyerang batin manusia! Siapakah pelukis dan
penyair ini? Makin tertarik hatinya sebab ia merasa bahwa orang ini bukanlah orang sembarangan.
Tiba-tiba terdengar suara, “Ah… ah... uh... uh...!” yang keras di belakangnya dan secepat kilat Cin Hai
membalikkan tubuhnya.
Dia melihat seorang tua kurus tinggi tahu-tahu sudah berdiri di pintu goa tanpa terdengar olehnya. Orang itu
kelihatan marah sekali dan tiba-tiba dia mengangkat tangan kanannya lalu digerakkan ke arah Cin Hai.
Bukan main terkejutnya Cin Hai sebab tiba-tiba dari tangan itu menyambar angin pukulan yang keras
sekali. Cin Hai cepat mengelak ke samping, akan tetapi angin pukulan yang keras itu telah menyambar dan
membikin padam api obor yang dipegangnya!
Di dalam goa menjadi gelap sekali. Jangankan untuk melihat orang lain, memandang jari tangan sendiri di
depan mata pun tak kelihatan! Cin Hai maklum bahwa betapa pun tinggi kepandaian seorang dan betapa
pun tajam pandangan mata seseorang, namun, tanpa ada sinar yang menerangi sama sekali, mata tidak
akan ada gunanya lagi. Maka dia lalu meraba-raba dan berdiri mepet dinding goa.
Ia mendengar angin pukulan orang itu masih menyerang secara membabi buta. Ia pun maklum bahwa
meski angin pukulan itu akan dapat ditahannya dan takkan mencelakakan dirinya karena ia pun memiliki
tenaga lweekang cukup tinggi, namun apa bila ia membuat gerakan, akan terdengar oleh orang itu dan jika
orang itu menyerang dengan nekad di dalam gelap, tentu mau tidak mau dia harus membalas dan
pertempuran di dalam gelap hanya dapat diakhiri dengan maut! Dan hal ini tidak ia kehendaki, karena ia
tidak punya permusuhan sesuatu dengan orang itu.
Ia pun tidak berani membuka mulut, karena ia tidak tahu akan watak orang aneh itu. Ia hanya menanti
sampai orang itu membuka mulut, akan tetapi ternyata orang itu pun tidak bicara sesuatu, hanya ah-ah-uhuh
seperti suara monyet!
Semalam itu Cin Hai hanya duduk saja menyandar dinding dengan mengatur napas dan bersemedhi
karena hanya dengan jalan duduk diam begini dia dapat beristirahat sambil mencurahkan perasaannya
sehingga tak mudah diserang lawan secara diam-diam.
Pada esok harinya, ketika sinar matahari mulai menerangi tempat itu, Cin Hai mendapat kenyataan bahwa
kakek itu tidak ada pula di tempat itu! Ia lalu berdiri dan keluar dari goa dan ternyata bahwa kakek itu telah
berdiri di depan goa sambil bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan marah!
“Locianpwe, mohon kau orang tua suka memberi maaf kepadaku kalau tanpa disengaja aku telah
dunia-kangouw.blogspot.com
mengganggu,” kata Cin Hai sambil menjura penuh hormat.
Akan tetapi, orang tua itu dengan muka merengut, menggerak-gerakkan kedua tangannya seolah-olah
mengusir supaya Cin Hai lekas pergi dari situ sambil mulutnya mengeluarkan suara, “Ah-ah uh-uh!” dan
terkejutlah Cin Hai karena dia mendapat kenyataan bahwa empek-empek itu ternyata adalah orang gagu!
“Locianpwe, aku datang bukan dengan maksud jahat. Apakah kau orang tua yang sudah mengirim surat
yang diikatkan di kaki Sin-kong-ciak dulu itu?”
Kakek itu menggeleng-gelengkan kepala dengan keras sehingga kembali Cin Hai tertegun karena kalau
bukan kakek ini, siapa lagi yang tinggal di tempat itu?
“Locianpwe, kalau begitu, tolonglah kau memberi tahukan tentang dua orang muda yang terjun di tempat ini
dari atas!” kata lagi Cin Hai sambil menggerak-gerakkan kedua tangan membantu kata-katanya agar lebih
jelas bagi kakek gagu itu.
Akan tetapi kembali kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bersuara “ah-ah uh-uh” tidak
karuan dan tangannya semakin cepat bergerak mengusir Cin Hai karena dia beberapa kali menuding ke
arah bawah bukit.
“Locianpwe, aku tidak akan turun sebelum mendapat keterangan kedua orang muda yang menjadi kawankawanku
itu,” kata Cin Hai sambil menggelengkan kepala.
Tiba-tiba saja kakek itu menjadi marah dan sambil mengeluarkan seruan laksana seekor binatang buas, dia
menerkam Cin Hai dengan ilmu pukulan yang aneh dan cepat. Cin Hai biar pun belum pernah melihat ilmu
pukulan macam ini, namun pandangannya yang awas dan pengertiannya yang mendalam dalam hal
gerakan pundak, tahu bahwa inilah ilmu silat seperti yang dilukiskan di dalam goa itu. Ia cepat mengelak
dan tidak mau membalas karena ingin tahu sampai di mana kelihaian orang aneh ini.
Lima jurus kakek itu menyerang dan semakin lama makin heranlah kakek itu dan jelas nampak pada
mukanya bahwa dia benar-benar merasa heran sekali karena serangannya itu dapat dielakkan dengan
mudah oleh Cin Hai. Cin Hai mendapat kenyataan bahwa biar pun ilmu pukulan kakek itu hebat dan dalam
hal keganasan tidak kalah dengan ilmu silat Hek Pek Moko, namun tingkat kepandaian kakek ini masih
belum sangat tinggi dan juga ginkang kakek ini masih jauh dari pada sempurna.
Maka dia segera maklum bahwa selain kakek gagu ini, tentu masih ada seorang lain yang betul-betul tinggi
dan sakti kepandaiannya. Mungkin kakek ini hanyalah kawan atau murid saja dari orang pandai yang
sebenarnya dan yang belum juga mau memperlihatkan diri.
Sesudah menyerang lagi lima jurus tanpa hasil, tiba-tiba kakek itu lalu berseru keras dan melarikan diri ke
atas bukit. Walau pun dalam hal ilmu silat Cin Hai masih jauh lebih lihai dari padanya, namun ketika
menyaksikan betapa kakek itu mendaki bukit dengan cepat sekali bagaikan orang berlari di tanah datar
saja, diam-diam Cin Hai menjadi kagum sekali. Akan tetapi ia merasa menyesal dan kecewa sekali karena
pertemuannya dengan kakek gagu yang aneh ini pun tidak menghasilkan sesuatu dan tentang Kwee An
dan Ma Hoa masih tetap merupakan teka-teki gelap baginya.
Dia mengejar dan melompat ke atas sebuah batu besar, akan tetapi dia urungkan niatnya untuk mengejar
terus. Apa gunanya? Kalau pun dia dapat menyusul kakek itu, takkan ada gunanya karena ia tak dapat
mengajak kakek itu bercakap-cakap.
Ia berdiri termenung di atas tempat yang tinggi itu dan tiba-tiba ia mendengar suara riuh dari jauh. Ia segera
memandang dan melihat betapa dari jurusan utara datang sepasukan tentara yang panjang dan besar
jumlahnya. Debu mengepul ke atas ketika tanah yang kering terinjak oleh banyak kaki orang itu.
Tiba-tiba dari jurusan selatan, nampak pasukan lain lagi. Pasukan ini tidak begitu panjang akan tetapi pada
bagian depan terdapat beberapa orang penunggang kuda yang agaknya menjadi pemimpin pasukan itu.
Juga debu mengepul hebat di bawah kaki pasukan ini. Kedua pasukan itu agaknya hendak berperang,
sebab masing-masing membawa bendera yang berkibar dan keduanya bergerak maju untuk saling
bertemu.
Cin Hai menjadi tertarik sekali, maka ia segera melompat turun dari batu karang, terus lari pergi dari tempat
itu. Dia mempergunakan jembatan bambu yang dibuatnya kemarin dan setelah meninggalkan rawa itu, ia
dunia-kangouw.blogspot.com
berlari cepat menuju ke tempat di mana kedua pasukan bertemu.
Dan setelah dia sampai di sana, terdengarlah sorak sorai yang hebat dan dibarengi suara senjata beradu
dan pekik manusia berperang. Cin Hai mendekati dan ketika dia melihat bahwa yang sedang bertempur itu
adalah pasukan kerajaan melawan pasukan bangsa Mongol, dia segera menyerbu dan ikut membantu
pasukan kerajaan. Melihat orang-orang Mongol ini, dia teringat kepada Pangeran Vayami dan Ke Ce yang
menimbulkan benci di dalam hatinya.
Sebelum Cin Hai datang, tentara kerajaan sedang terdesak oleh amukan tentara Mongol yang dikepalai
seorang panglima perang bangsa Mongol yang kosen sekali. Juga jumlah mereka yang lebih besar
membuat tentara kerajaan melawan dengan sia-sia dan banyak korban jatuh di pihak mereka.
Akan tetapi ketika Cin Hai menyerbu, di mana saja ia datang tentu pihak Mongol menjadi kocar-kacir,
karena baik dengan kedua tangan atau pun kakinya, setiap gerakan pemuda ini membuat seorang bangsa
Mongol terguling!
Melihat datangnya seorang pemuda Han yang amat lihai membantu pihak mereka, timbul kembali
semangat pasukan kerajaan sehingga mereka lalu menyerbu lagi dengan nekad dan penuh semangat
sehingga ketika Cin Hai membantu ke sana ke mari, pihak tentara kerajaan kini mendapat kemajuan dan
musuh dapat dibikin kacau.
Akan tetapi, pada waktu Cin Hai menyerbu sampai di tengah-tengah, dia melihat seorang panglima bangsa
Mongol yang amat kosen dan yang sedang dikeroyok oleh empat orang panglima kerajaan, yaitu Perwiraperwira
Sayap Garuda yang bersenjata pedang. Akan tetapi, panglima Mongol yang berkulit hitam serta
bertubuh tinggi besar itu mengamuk dengan hebatnya hingga empat orang Perwira Sayap Garuda itu
terdesak hebat. Bahkan di atas tanah menggeletak tiga orang Perwira Sayap Garuda dalam keadaan
mandi darah dan mati!
Bukan main marahnya Cin Hai karena ia maklum bahwa Panglima Mongol yang tangguh ini takkan
menemukan tandingan. Melihat betapa empat orang perwira kerajaan terdesak hebat dan bahkan telah ada
tiga orang yang tewas, dia lalu berseru keras dan menyerbu menghadapi perwira Mongol itu sambil
berseru,
“Cuwi Ciangkun, mundurlah dan biarkan aku menghadapi raksasa Mongol ini!”
Keempat Perwira Sayap Garuda menjadi girang mendapat bantuan ini dan oleh karena mereka tadi
memang sudah kewalahan menghadapi lawan tangguh itu, maka mereka lalu meloncat ke belakang
membiarkan anak muda itu menggantikan mereka.
Panglima Mongol tinggi besar itu tertawa lebar pada saat melihat bahwa kini yang maju menghadapinya
hanyalah seorang muda berpakaian seperti seorang pelajar.
“Ha-ha-ha! Agaknya kalian telah kehabisan panglima hingga harus mengajukan seorang kanak-kanak yang
masih harus berada dalam pelukan ibunya!” ia menyindir.
Cin Hai menghadapi sindiran dan hinaan ini dengan tersenyum saja, lalu ia pun bertanya, “Panglima yang
sombong, siapakah kau dan apakah kau masih mempunyai hubungan dengan Pangeran Vayami?”
Panglima tinggi besar muka hitam itu tercengang mendengar disebutnya nama ini. “Hmm, dari mana kau
tahu nama pengkhianat kami itu? Vayami adalah seorang pengkhianat, jangan dihubungkan dengan aku,
Balaki, seorang pahlawan sejati dari Mongol!”
Balaki ini sebenarnya adalah seorang panglima tinggi di daerah Mongol, tangan kanan Yagali Khan, raja
muda yang memimpin dan memerintah Mongolia pada masa itu. Dan ilmu kepandaian Balaki amat tinggi.
Ketika mendengar tentang gagalnya expedisi Mongolia mencari Pulau Kim-san-to, maka ketika Yagali Khan
mengadakan serbuan ke pedalaman Tiongkok, dia lalu menawarkan diri untuk mengepalai sendiri barisan
Mongol. Tiap pasukan Han yang bertemu dengan pasukan pimpinan Balaki ini, pasti dihancurkan dan
dikalahkan dengan mudah. Pasukan yang kini sedang bertempur, tentu akan hancur binasa pula kalau
tidak kebetulan Cin Hai muncul sebagai bintang penolong.
“Anak muda,” kata pula Balaki, “kau siapakah dan mengapa pula kau yang berpakaian pelajar ini berani
dunia-kangouw.blogspot.com
maju menyambutku?”
“Aku adalah seorang rakyat biasa yang tentu saja takkan tinggal diam melihat kau bangsa Mongol bermain
gila di tanah airku!” jawab Cin Hai dengan tenang.
Balaki tertawa terbahak-bahak. “Ha, kau ingin bermain menjadi patriot? Ha-ha-ha, bagus, aku akan
membuat kau tewas sebagai seorang pahlawan negara!”
Sambil berkata begitu, Balaki lalu menerjang maju dengan golok besarnya. Gerakannya antep dan cepat
sehingga Cin Hai tidak berani memandang ringan, lalu cepat mencabut pedangnya dan melayaninya
dengan hati-hati.
Pada saat melihat pertempuran hebat ini, para anak buah tentara kedua pihak menjadi gembira dan
mereka yang berada dekat pertempuran ini segera menghentikan serbuan masing-masing dan kini
menonton sambil bersorak menambah semangat jago masing-masing! Juga keempat Perwira Sayap
Garuda melihat kelihaian Cin Hai, menjadi kagum dan berbesar hati oleh karena selama ini belum pernah
ada yang kuat menghadapi Balaki yang terkenal kosen itu.
Seperti biasanya, Cin Hai hanya mempertahankan diri dulu untuk mengukur kepandaian lawan dan ternyata
bahwa ilmu kepandaian Balaki dengan ilmu golok tunggalnya, walau pun benar-benar lihai namun masih
tidak dapat mengimbangi kegesitan Cin Hai sehingga pemuda ini dengan mudah dapat mengelak atau pun
menangkis semua serangan yang datang bertubi-tubi itu.
Hal ini tentu saja membuat Balaki merasa penasaran sekali oleh karena belum pernah ia melihat seorang
lawan yang mampu menahan serangannya tanpa membalas sedemikian lamanya. Ia lalu berseru keras
dan tiba-tiba tangan kirinya mengeluarkan sebuah benda yang bulat.
Cin Hai mengira bahwa itu tentu semacam senjata rahasia, maka ia berlaku waspada dan cepat bersiap
sedia menghadapi serangan senjata gelap musuh. Akan tetapi Balaki tidak menggunakan senjata aneh itu,
hanya menggenggamnya di tangan kiri, ada pun golok di tangan kanannya masih menyerang ganas.
Tiba-tiba ketika Cin Hai mengelak dari serangan golok lawannya, Balaki membuka tangan kirinya dan tahutahu
selarik sinar keemasan yang bercahaya terang menyambar ke arah muka Cin Hai. Sinar ini demikian
cepat datangnya sehingga tidak mungkin lagi dikelit oleh kegesitan seorang manusia, maka Cin Hai merasa
terkejut sekali dan tak terasa pula ia berseru.
Akan tetapi, ternyata bahwa sinar atau cahaya itu tidak menyakitinya, hanya membuat matanya terasa
pedas sekali karena ternyata bahwa benda di tangan kiri Balaki itu adalah sebuah cermin yang
digunakannya untuk memantulkan cahaya matahari yang bersinar terang. Pantulan cahaya matahari itu
dipergunakan untuk menyerang mata lawan, dan mengagetkannya sehingga tentu saja orang itu akan
menjadi silau dan kaget.
Benar saja, Cin Hai yang lihai itu sama sekali tak menduga akan kelihaian lawan hingga ketika matanya
bertemu dengan pantulan cahaya matahari yang disinarkan dari cermin itu, dia pun tidak kuat menahan dan
terpaksa menutup kedua matanya. Saat inilah yang dimaksudkan oleh senjata cermin itu dan pada saat Cin
Hai tersilau dan meramkan mata, golok di tangan Balaki menyambar cepat dan hebat ke arah leher Cin Hai.
Sudah banyak sekali lawan yang tewas dalam tangan Balaki terkena tipu ini, dan kali ini pun dia sudah
merasa pasti bahwa pemuda ini tentu akan roboh dengan kepala terpisah dari tubuh. Akan tetapi, kalau ia
berpendapat demikian, ia belum kenal dan belum tahu betul siapa adanya Cin Hai!
Pemuda ini selain sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan luar biasa, juga sudah menerima
gemblengan hebat dari Bu Pun Su, ditambah lagi pengalaman bertempur yang banyak menghadapi lawanlawan
tangguh, hingga dalam keadaan bagaimana berbahaya pun, hatinya tetap tenang dan
kewaspadaannya tidak tergoncang.
Memang, ketika matanya tersorot sinar matahari, ia merasa terkejut dan tidak tahan untuk tidak
memejamkan mata. Akan tetapi hanya matanya saja yang tertutup dan untuk saat itu tidak dapat
dipergunakan, akan tetapi, telinga dan perasaannya masih tajam dan tidak terpengaruh sama sekali.
Dia dapat merasa dan mendengar suara angin serangan golok yang mengarah lehernya. Maka, ketika
semua orang sudah merasa ngeri, terutama keempat orang Perwira Sayap Garuda, dan menyangka bahwa
dunia-kangouw.blogspot.com
pemuda itu pasti akan binasa di tangan Balaki seperti orang-orang lain yang pernah menghadapinya, tibatiba
saja tubuh Cin Hai melompat ke belakang dengan cepat sekali sehingga mata golok itu lewat
menyerempet di dekat kulit lehernya.
Tidak hanya Balaki yang amat terkejut, akan tetapi semua orang yang melihat lompatan ke belakang
secara aneh itu merasa kagum sekali. Belum pernah mereka dapat melihat seorang melompat ke belakang
sedemikian cepatnya dan tepat pada saat bahaya maut sedang mengancam leher.
Kini Cin Hai merasa marah juga karena hampir saja ia tadi menjadi korban senjata golok pahlawan Mongol
ini. Sebaliknya, Balaki menyangka bahwa pemuda itu menjadi gentar, maka dia tidak ingin menyia-nyiakan
waktu dan cepat mengejar untuk mengirim serangan dengan ilmu golok yang paling ia andalkan. Goloknya
terputar-putar garang bagai seekor naga mengamuk hingga tubuhnya sendiri lenyap di dalam gulungan
golok.
“Rasakan pembalasanku!” kata Cin Hai dan pemuda ini mulai memainkan jurus-jurus limu Pedang Daun
Bambu ciptaan sendiri.
Ketika ia mencipta ilmu pedang ini, ia menusukkan pedangnya dan menyerang batang-batang bambu yang
runcing bagaikan golok dan dapat mengenai sasaran dengan tepat tanpa menyentuh daun-daun itu. Kini
menghadapi putaran golok Balaki, meski pun dalam pandangan mata orang lain tubuh Balaki sudah lenyap
tergulung sinar golok, namun bagi mata Cin Hai, ia masih dapat melihat berkelebatnya ujung golok hingga
dengan cepat ia dapat ‘memasukkan’ pedangnya di antara sinar golok.
Terdengar Balaki memekik. Pekik ini ia keluarkan bukan karena kesakitan, akan tetapi juga karena terkejut
dan takjub. Ia tidak tahu bagaimana lawannya dapat menyerangnya dan tahu-tahu dia merasa lengan
tangannya sakit sekali sehingga goloknya terlepas dari pegangan dan ternyata bahwa lengannya telah
tertusuk ujung pedang Cin Hai.
Bukan main girangnya hati keempat Perwira Sayap Garuda melihat ini, akan tetapi Balaki segera memberi
aba-aba keras dan menyerbulah semua anak buahnya, sedangkan dia sendiri cepat meloloskan diri dari
keributan itu hingga Cin Hai tidak dapat mengejar dan merobohkannya. Pertempuran hebat terjadi, akan
tetapi kini tentara Mongol telah lemah semangat bertempurnya dan tidak lama kemudian mereka melarikan
diri, meninggalkan kawan-kawan yang telah tewas atau terluka sehingga tempat itu penuh orang-orang mati
dan luka.
Ini merupakan kekalahan besar pertama kali yang diderita oleh Balaki semenjak dia mulai menginjakkan
kakinya di pedalaman Tiongkok. Keempat orang Perwira Sayap Garuda itu merasa girang dan berterima
kasih sekali kepada Cin Hai.
Melihat sikap mereka yang baik, Cin Hai menjadi heran sekali karena mereka ini berbeda sekali dengan
perwira-perwira Sayap Garuda yang pernah dilihatnya ketika dia dan Kwee An mengamuk di dalam Enghiong-
koan di kota raja dulu pada waktu ia membasmi para perwira yang menjadi musuh besar Kweeciangkun.
“Hohan (orang baik atau orang gagah) yang muda sudah memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, sungguh
membuat kami berempat menaruh hormat dan merasa kagum serta amat berterima kasih sekali!” kata
salah seorang di antara empat Perwira Sayap Garuda itu. “Bolehkah kami mengetahui nama Hohan yang
gagah perkasa?”
Dengan suara merendah, Cin Hai berkata terus terang untuk mencoba dan melihat sikap mereka, “Siauwte
yang muda dan bodoh bernama Sie Cin Hai. Mungkin Cuwi-ciangkun akan teringat dengan nama hamba
apa bila teringat akan peristiwa pembasmian keluarga Kwee-ciangkun!” sambil berkata demikian, Cin Hai
memandang tajam.
Jelas sekali nampak betapa empat orang perwira itu terkejut sekali dan saling pandang. Segera mereka lalu
mengangkat tangan memberi hormat, sedangkan pemimpin mereka yang tertua berkata,
“Ah, tak tahunya Sie-taihiap yang menolong kami! Pantas saja demikian lihai! Sie-taihiap, kami semua
Perwira Sayap Garuda, sudah tentu saja pernah mendengar nama Taihiap yang gagah perkasa, bahkan
kaisar sendiri telah lama sekali mencari-cari Taihiap!”
Cin Hai benar-benar merasa tertegun dan heran melihat sikap mereka ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apa? Apakah kaisar mencari untuk menghukum aku yang dulu telah pernah membunuh beberapa orang
perwira jahat?”
“Ahh, agaknya sudah lama Sie-taihiap tidak ke kota raja hingga tidak tahu akan keadaan dan perubahan di
sana,” berkata salah seorang di antara mereka dan kemudian mereka menceritakan hal yang amat
menggembirakan hati Cin Hai.
Ternyata bahwa semenjak Beng Kong Hosiang yang menjadi pemimpin para perwira itu tewas di tangan
Balutin, kemudian para perwira tinggi yang jahat telah tewas pula, yang menggantikan dan memegang
pucuk pimpinan ialah seorang panglima baru yang masih muda dan gagah perkasa bernama Kam Hong
Sin.
Panglima Kam ini selaih gagah perkasa, juga berjiwa gagah dan tidak palsu seperti Beng Kong Hosiang
dan perwira lain yang dulu memegang kekuasaan. Bahkan Panglima Kam ini mengindahkan kaum kangouw
dan memiliki pergaulan yang luas dengan orang-orang gagah sehingga dia sangat dihormati dan
disegani. Panglima ini pula yang menyadarkan pikiran kaisar hingga kaisar tidak lagi mempunyai
pandangan buruk terhadap orang-orang kang-ouw.
Dengan tangan besi Kam Hong Sin lalu memilih ulang perwira-perwira Sayap Garuda dan mengadakan
peraturan-peraturan keras dengan ancaman hukuman berat. Kalau seorang perwira sedikit saja melanggar,
dia akan dihukum dan dipecat dari kedudukannya. Oleh karena tindakan ini, maka banyak muncul perwiraperwira
baru pilihan Kam-ciangkun dan bahkan tidak sedikit orang-orang kang-ouw yang masuk menjadi
Perwira Sayap Garuda!
“Karena inilah, Sie-taihiap, maka selain Kam-ciangkun sendiri, juga kaisar ingin bertemu dengan Taihiap.
Telah lama Kam-ciangkun mengagumi Taihiap dan lain-lain orang gagah dan mengharapkan untuk dapat
bertemu serta berkenalan,” kata Perwira Sayap Garuda itu.
Tentu saja Cin Hai menjadi girang sekali mendengar mengenai perubahan baik ini. Tanpa diminta lagi dia
lalu menyediakan tenaga untuk membantu mengusir para penyerbu dari Mongol.
Ketika ia bertanya tentang penyerbuan orang-orang Mongol ini, perwira itu menceritakan, “Sudah sebulan
lebih tentara Mongol yang dipimpin oleh Yagali Khan menyerbu daerah Tiongkok dan raja muda ini
mempunyai banyak sekali pembantu-pembantu yang pandai. Balaki tadi adalah seorang di antara para
jagonya itu, maka kedudukannya kuat sekali. Kam-ciangkun lalu menggerakkan banyak tentara yang
dipecah-pecah menjadi beberapa bagian dan mengadakan pengepungan terhadap barisan induk dari
tentara Mongol yang berkedudukan di sebelah dalam tembok besar, di daerah Tiang-lo-sia. Pasukan kami
ini merupakan bagian dari barisan yang harus mengadakan pengepungan dari selatan, akan tetapi tak
terduga-duga kami bertemu dengan barisan Balaki tadi sehingga jika saja tidak mendapat bantuan dari
taihiap, tentu kami mendapat bencana besar.”
Kemudian Cin Hai mendengar betapa tentara kerajaan sering kali menderita kekalahan sehingga ia pun
menjadi penasaran dan mengambil keputusan untuk ikut ke Tiang-lo-sia membantu usaha para pasukan
kerajaan mengusir musuh. Tentu saja para perwira itu merasa girang sekali oleh karena dengan adanya
pembantu yang sangat lihai ini, banyak harapan usaha mereka akan berhasil dan sekarang mereka tidak
usah kuatir menderita kekalahan apa bila di jalan bertemu dengan pasukan musuh.
Pada saat pasukan di mana Cin Hai berada tiba di Tiang-lo-sia, di sebelah luar daerah kekuasaan Yagali
Khan, mereka bertemu dengan pasukan-pasukan lain yang mengurung dari lain jurusan. Pengepungan
dilakukan, dan tak lama kemudian berturut-turut pasukan-pasukan kerajaan datang dari segenap penjuru
hingga daerah Tiang-lo-sia akhirnya telah dikurung.
Pimpinan serbuan ini adalah seorang perwira tinggi she Liang. Dia lalu mencari seorang untuk dijadikan
utusan, oleh karena ia membawa surat dari kaisar yang ditujukan kepada Yagali Khan. Surat ini berisi
bujukan halus yang juga mengandung ancaman agar supaya Yagali Khan suka untuk menarik kembali
pasukannya dan jangan melanggar tapal batas negara.
Ketika mendengar bahwa komandan pasukan-pasukan kerajaan mencari seorang utusan untuk mengantar
surat kaisar, Cin Hai segera mengajukan diri untuk melakukan tugas ini. Keempat perwira yang pernah
ditolongnya dari serbuan Balaki lalu menceritakan kepada Liang-ciangkun akan kegagahan dan jasa Cin
Hai dan betapa pemuda ini dengan mudah sudah mengalahkan Balaki. Liang-ciangkun menjadi kagum dan
dunia-kangouw.blogspot.com
tanpa ragu-ragu lagi dia lalu memberikan tugas membawa surat itu kepada Cin Hai.
Yagali Khan beserta para pembantunya sudah mendengar bahwa pihak tentara Han akan mengirim utusan
yang membawa surat dari kaisar, dan bahwa utusan ini adalah seorang pemuda yang pernah mengalahkan
Balaki. Oleh karena ini, kedatangan Cin Hai yang tak mau dikawal dan hanya datang seorang diri itu
disambut oleh Panglima-panglima Mongol dan kemudian Cin Hai dibawa menghadap kepada Yagali Khan.
Cin Hai kagum sekali melihat keangkeran tempat itu, karena selain pengawal dan prajurit berbaris rapi
dengan golok besar di tangan sambil berdiri tegak, juga para perwira yang menyambutnya rata-rata
bertubuh tinggi besar dan kelihatan gagah sekali. Dan ketika ia tiba di ruang di mana Yagali Khan duduk di
atas sebuah kursi indah, ia melihat bahwa di dekat raja muda ini duduk pula tiga orang panglima besar,
seorang di antaranya bukan lain adalah Balaki sendiri!
Orang ke dua adalah seorang tua berambut putih panjang yang terurai di pundak, ada pun pakaiannya
mengingatkan dia kepada Pangeran Vayami, jubah merah yang indah. Orang ke tiga pendek gemuk
setengah tua, juga berpakaian merah hingga dapat diduga bahwa kedua orang ini tentulah pendetapendeta
Sakya Buddha atau pendeta Agama Buddha Merah seperti halnya Pangeran Vayami.
Sikap ketiga orang yang duduk di dekat Yagali Khan ini nampak angker dan mereka tidak bergerak
bagaikan patung. Akan tetapi dari mata mereka memancarkan sinar berapi-api yang ditujukan kepada Cin
Hai yang masuk dengan tindakan kaki gagah dan tenang.
Melihat bahwa orang yang pernah mengalahkan Balaki hanyalah seorang pemuda yang usianya paling
banyak dua puluh tahun saja, Yagali Khan merasa heran bukan main. Ia menyambut kedatangan Cin Hai
dengan dingin dan tidak berdiri dari tempat duduknya, hanya berkata dengan suara nyaring dan dalam
bahasa Han yang cukup fasih.
“Tuankah utusan kaisar?”
“Betul, Yagali Khan, akulah yang mendapatkan kehormatan untuk menjadi utusan kaisar,” jawab Cin Hai
dengan tenang dan dia sama sekali tidak mau memberikan hormat karena melihat sikap mereka demikian
dingin.
Dari saku bajunya ia mengeluarkan surat kaisar yang ditujukan kepada Raja Muda Yagali Khan dan
memberikannya kepada raja muda Mongol itu. Baik Yagali Khan sendiri mau pun ketiga panglima besar
yang duduk di sampingnya, merasa penasaran dan heran atas sikap dingin dan keberanian Cin Hai.
“Anak muda, kau berani dan tinggi hati. Apakah ini terdorong oleh sifatmu yang sombong dan karena kau
mengandalkan ilmu kepandaianmu?” bertanya pula Yagali Khan sambil menerima surat itu.
“Tidak demikian, Yagali Khan. Aku adalah seorang utusan, dan pada saat ini aku boleh dibilang sebagai
wakil kaisar yang memerintahkan datang untuk memberikan surat serta untuk mengadakan perundingan
dengan kau. Maka sesuai pula dengan kebesaran kaisar negaraku, aku pun tidak boleh merendahkan diri
di depan seorang raja muda asing, apa lagi karena aku berada di atas tanah sendiri sedangkan kau dan
barisanmu merupakan tamu-tamu belaka.”
Jawaban ini diucapkan dengan tenang dan tabah sehingga Yagali Khan merasa makin heran dan kagum.
“Anak muda, kalau aku menggerakkan seluruh perwira dan pasukanku, apa kau kira kau yang hanya
seorang diri ini, betapa pun tinggi kepandaianmu, akan dapat membela diri dan pulang dengan selamat?”
“Aku tidak takut karena hal seperti itu tak mungkin terjadi,” jawab Cin Hai.
“Kenapa kau bisa berkata demikian? Dengan hanya mengangkat tangan kananku, ribuan prajurit akan
menyerbu dan menghancurkan tubuhmu dengan golok dan pedang.”
“Sekali lagi aku yakin bahwa hal ini tak akan mungkin terjadi. Pertama karena aku adalah seorang utusan,
dan negara mana pun di dunia ini tak akan mengganggu seorang utusan kaisar! Ke dua kalinya, kalau kau
melanggar aturan ini dan mengerahkan prajurit untuk mongeroyokku, aku akan melawan mati-matian dan
sebelum aku mati, tentu aku akan berhasil merobohkan ratusan orang-orangmu hingga mati pun tak akan
rugi. Dan ke tiga kalinya, bila kau melakukan pelanggaran ini, nama Yagali Khan akan tenggelam ke dalam
lumpur kehinaan hingga andai kata kelak kau bisa menjadi seorang raja yang bagaimana pun besarnya,
dunia-kangouw.blogspot.com
namamu akan tetap dipandang rendah sebagai seorang raja yang curang dan tidak tahu akan kesopanan
negara.”
Semua yang hadir di sana tertegun mendengar jawaban yang berani sekali akan tetapi tepat ini. Wajah
Yagali Khan berubah merah dan kalau saja yang mengucapkan kata-kata ini bukan seorang utusan kaisar,
tentu dia akan mencabut pedangnya lantas memenggal kepala orang itu dengan tangannya sendiri.
Ia hanya mengeluarkan suara, “hmm, hmm…”
Kemudian setelah menatap wajah Cin Hai yang membalas pandangannya dengan tenang dan mulut
tersenyum, lalu dia membuka surat kaisar itu.
Sebagai seorang utusan, Cin Hai sudah diberi tahu oleh komandan pasukan kerajaan mengenai isi surat
agar ia dapat mengetahui baik-baik akan tugasnya. Isi surat itu adalah bujukan halus yang mengandung
ancaman supaya Yagali Khan suka insyaf serta tidak menanam bibit permusuhan dan mengacau daerah
Tiongkok, karena hal ini hanya akan mengakibatkan kehancurannya dan kerusakan kedua belah pihak.
Setelah membaca surat itu, Yagali Khan memandang kepada Cin Hai dan berkata, “Hm, kaisarmu ini sama
saja dengan kau, sombong dan mengagulkan diri! Apakah yang kalian andalkan? Kami memiliki pasukan
yang jumlahnya besar dan kuat, senjata kami lengkap dan perwira-perwira kami berkepandaian tinggi!
Jangan kau menjadi sombong sesudah berhasil mengalahkan salah seorang di antara perwira-perwira
kami. Apakah kaisarmu itu menjadi sombong karena mengandalkan kau?”
Cin Hai tersenyum. “Yagali Khan, jangan kau memandang rendah pada negara Tiongkok! Betapa pun
besar jumlah barisanmu, dibandingkan dengan barisan dan rakyat Tiongkok, belum ada seper seratusnya!
Tentang senjata dan kekuatan, kami pun tidak akan kalah. Ada pun tentang orang pandai, kami tidak
kekurangan. Ketahuilah, bahwa baru aku saja yang hanya menjadi utusan biasa dan bukan seorang
panglima, namun aku tidak gentar untuk menghadapi perwiramu yang mana pun juga! Apa lagi panglima
kami yang gagah perkasa dan ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada kepandaianku! Dan jumlah
panglima yang gagah perkasa di pihak kami bukan hanya ratusan atau ribuan jumlahnya, bahkan ada
laksaan! Sia-sia saja kalau kau hendak menyerbu ke negara kami. Lagi pula, apakah perlunya? Kau dan
kami adalah tetangga yang harus mengadakan perhubungan baik. Apakah kau belum mendengar betapa
para Lama di Tibet juga telah mengadakan hubungan baik dan damai dengan kami? Padahal mereka itu
kuat sekali, lebih kuat dari pada barisanmu. Oleh karena inilah, dan demi menjaga keamanan rakyat, kaisar
kami minta kepadamu untuk menggunakan kebijaksanaan dan kembali pulang dengan damai.”
Ucapan Cin Hai ini sebenarnya bukan omong kosong, oleh karena negeri mana di dunia ini yang memiliki
rakyat lebih banyak dari pada Tiongkok? Ada pun tentang kepandaian, Cin Hai maklum bahwa banyak
sekali orang-orang pandai di negaranya, maka meski pun agak berlebihan ketika ia mengatakan bahwa
masih banyak sekali orang-orang yang jauh lebih pandai darinya, akan tetapi ada benarnya juga.
Para perwira yang mendengar ucapan ini diam-diam merasa gentar juga, bahkan Yagali Khan sendiri juga
merasa ngeri. Akan tetapi dia tidak mau menyatakan ini, bahkan lalu berkata,
“Anak muda, jangan kau kira aku merasa takut mendengar ocehanmu itu! Dan mengenai kesombonganmu
yang sanggup dan berani menghadapi setiap perwira kami, baiklah kau buktikan! Kami bukan hendak
mencelakakan seorang utusan sebab kami bukanlah orang rendah seperti yang orang kira, akan tetapi
kami mengajak kau secara terang-terangan untuk mengadu kepandaian. Apa bila kau dapat merobohkan
seorang jago yang kutunjuk, biarlah kami anggap bicaramu tadi tidak bohong belaka dan kami akan
menarik mundur pasukan-pasukan kami!”
Cin Hai maklum bahwa sekarang semua terletak penuh di atas kedua pundaknya untuk menentukan
apakah bujukan kaisar ini berhasil atau tidak. Kalau ia bisa merobohkan jago yang ditunjuk oleh Yagali
Khan, mereka tentu akan merasa jeri juga menghadapi perwira-perwira yang ia sombongkan memiliki
kepandaian yang lebih tinggi darinya. Akan tetapi kalau dia sampai kalah, maka tidak saja jiwanya
terancam, akan tetapi juga kata-katanya tadi akan dianggap bohong dan raja muda itu tentu akan
melanjutkan serbuannya!
Dia menganggap bahwa perlu sekali raja muda ini diberi bukti akan kelihaiannya supaya dapat tunduk.
Maka ia menjawab sambil tersenyum tenang,
”Boleh, boleh, Yagali Khan. Apakah kau akan mengajukan Balaki?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Merah wajah Balaki mendengar ini dan dia segera memandang kepada Cin Hai dengan mata melotot.
“Biarkan hamba mengadu jiwa dengan orang ini!” katanya kepada Yagali Khan.
Akan tetapi raja muda itu sambil tersenyum lalu berkata, “Bukan kau lawannya, Balaki.”
Lalu ia menyuruh pendeta Jubah Merah yang rambutnya putih itu dalam bahasa Mongol. Pendeta itu
tersenyum, lalu berdiri dan membungkukkan tubuhnya dalam-dalam di depan junjungannya, kemudian
barulah dia menghampiri Cin Hai yang sudah siap.
“Anak muda,” katanya dengan suara yang halus dan dalam bahasa Han yang amat kaku, “siapakah
namamu? Aku tidak biasa menewaskan seorang tanpa mengenal namanya.”
Walau pun kata-kata ini diucapkan dengan suara halus, namun mengandung pandangan yang
merendahkan sekali. Cin Hai tertawa dan menjawab,
“Agaknya kau telah yakin benar bahwa aku pasti akan tewas dalam tanganmu! Namaku adalah Sie Cin Hai
atau kau boleh saja sebut aku sebagai Pendekar Bodoh karena nama inilah yang dikenal oleh orang-orang
yang menjadi lawanku. Pakaianmu mengingatkan aku akan Pangeran Vayami. Agaknya kau sepaham
dengan dia.”
“Jangan kau ngaco, Vayami bukanlah apa-apaku! Aku adalah pendeta tinggi dari Sakya Buddha dan
disebut Thai Kek Losu. Anak muda, apakah kau betul-betul berani menerima tantangan ini? Ketahuilah,
bahwa sekali Thai Kek Losu turun tangan, biasanya pasti akan ada orang melepaskan nyawanya!”
“Thai Kek Losu, seorang laki-laki kalau sudah mengeluarkan kata-kata, biar sampai mati pun tak akan
menelan kembali kata-kata itu. Aku telah menerima tantangan ini dan tentu saja akan kuhadapi sampai
akhir. Ada pun mengenai kematian, siapakah orangnya yang akhirnya tidak akan mati? Hanya bedanya,
ada orang mati seperti harimau dan ada pula yang mati seperti babi. Dan aku memilih yang pertama itu!
Kau majulah!”
Oleh karena maklum bahwa lawannya ini tidak boleh dipandang ringan, maka Cin Hai lalu mencabut Liongcoan-
kiam dari pinggangnya, dan melintangkan pedang itu di dadanya. Thai Kek Losu tertawa bergelak
mendengar kata-kata Cin Hai itu.
“Pendekar Bodoh, tidak tahunya kau mempunyai semangat dan kegagahan juga! Bagus, bagus, kau hadapi
senjataku ini yang akan membebaskan jiwamu dari pada penderitaan hidup!”
Sambil berkata demikian, pendeta rambut putih ini lalu mengeluarkan sebuah tengkorak dari dalam bajunya
yang lebar. Tengkorak ini mungkin tengkorak anak-anak, karena kecil saja dan pada leher tengkorak itu
dipasangi rantai warna kuning yang panjangnya kurang lebih lima kaki. Dengan memegang ujung rantai itu,
maka tengkorak yang mengerikan ini menjadi senjata yang luar biasa sekali, senjata rantai yang berujung
tengkorak!
Cin Hai merasa terkejut juga melihat senjata ini karena selama hidupnya belum pernah ia melihat senjata
semacam ini, maka dia berlaku waspada dan tidak mau menyerang lebih dulu. Melihat keraguan Cin Hai,
Thai Kek Losu lalu melangkah maju sambil mengayunkan rantainya. Tengkorak kecil itu langsung
melayang dan menyambar ke arah muka Cin Hai, seakan-akan hendak menciumnya!
Cin Hai bergidik akibat ngeri, maka ia cepat-cepat menahan napas untuk menenteramkan hatinya yang
secara aneh sekali tiba-tiba tergoncang ketika melihat tengkorak itu dan dia lalu melompat ke samping. Ia
dapat menduga bahwa senjata aneh ini tentu mengandung kekuatan hoatsut (sihir) yang dapat membuat
lawan merasa terkejut, semangatnya lemah dan ngeri, maka ia lalu menggerak-gerakkan tangan kirinya
yang tak memegang senjata itu untuk memainkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut atau Ilmu Sihir Awan Putih!
Beberapa kali dia menggerakkan lengan kiri sambil mengerahkan semangat serta tenaga lweekang hingga
dari lengannya yang kiri itu mengepul uap putih! Kembali tengkorak itu menyambar ke arah kepalanya dan
cepat sekali Cin Hai segera membacok tengkorak itu dengan pedangnya.
Akan tetapi segera ia menarik kembali pedangnya dan melompat lagi untuk mengelakkan diri. Entah
bagaimana, ia merasa tak tega untuk membacok dan memecahkan tengkorak itu yang tiba-tiba saja
tampak seolah-olah menjadi kepala seorang anak-anak yang masih utuh, lengkap dengan mata, rambut,
dunia-kangouw.blogspot.com
dan hidung serta mulutnya!
Memang senjata di tangan Thai Kek Losu ini bukan senjata biasa. Sebelum tengkorak itu diikat dengan
rantai, sudah lebih dulu dibawa bertapa dan dimasuki ilmu sihir. Hendaknya diketahui bahwa kepala itu
diambil dari kepala seorang anak yang masih hidup, yang dikorbankan secara kejam dan tak mengenal peri
kemanusiaan oleh pendeta itu! Khasiat senjata ini ialah dapat menyihir lawan dan membuat lawan di
samping serasa pusing dan gentar, juga apa bila lawan hendak melawan dengan sungguh-sungguh, maka
tengkorak itu akan nampak seperti masih hidup dan lengkap merupakan kepala seorang anak kecil yang
menangis!
Oleh karena maklum akan kelihaian senjata ini, Cin Hai lalu menyabarkan diri dan hanya memperhatikan
gerak lawannya saja. Ia mempergunakan kelincahannya untuk mengelak dari setiap serangan. Setelah ia
memperhatikan serangan lawan, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat kakek ini benar-benar lihai serta
tenaga lweekang-nya belum tentu kalah olehnya!
Akan tetapi dengan kepandaian serta pengertiannya mengenai pokok-pokok dasar segala macam gerak
dan serangan lawan, Cin Hai sebetulnya tidak perlu merasa gentar. Hanya senjata hebat itulah yang
membuatnya ragu-ragu dan ngeri.
Baiknya dia sudah memainkan Pek-in Hoat-sut dengan tangan kirinya sehingga sebagian besar hawa
siluman yang merupakan daya sihir itu telah dapat ditolak sebagian. Namun ternyata bahwa kekuatan sihir
atau ilmu hitam dari Thai Kek Losu kuat sekali. Meski pun kini Cin Hai tidak merasa gentar lagi, akan tetapi
tetap dia tidak tega untuk membacok kepala atau tengkorak itu.
Cin Hai lantas mengeluarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, dan sesudah dia membalasnya dengan seranganserangan
yang amat lihai itu, Thai Kek Losu baru merasa terkejut. Ilmu pedang lawannya yang muda ini
memang luar biasa. Tadi ketika dia melihat bahwa Cin Hai tak terpengaruh oleh daya sihir senjatanya dan
lengan kiri pemuda itu begerak-gerak menurut garis Pat-kwa sehingga dapat menolak daya sihir, dia telah
merasa kagum dan maklum bahwa ia menghadapi murid seorang sakti.
Akan tetapi dia maklum bahwa pemuda itu masih belum mampu menolak daya sihir yang membuat dia
tidak tega membacok tengkorak itu dan diam-diam dia merasa girang oleh karena dengan ilmu silatnya
yang tinggi, tentu dia akan mampu mendesak dan akhirnya mengalahkan lawannya ini. Tak usah banyakbanyak,
jika sekali saja muka atau kepala lawannya dapat tercium oleh mulut tengkorak itu, pasti ia akan
roboh dan tewas.
Kini setelah Cin Hai mengeluarkan Ilmu Silat Daun Bambu, baru ia terkejut sekali karena gerakan anak
muda itu membuat ia terpaksa mencurahkan sebagian perhatiannya untuk menjaga diri. Seranganserangan
ujung pedang Liong-coan-kiam sungguh hebat dan sulit diduga, sedangkan untuk melukai kepala
lawannya dengan tengkoraknya, juga bukanlah merupakan hal yang mudah karena pemuda itu memiliki
kegesitan yang jauh lebih tinggi dari pada kepandaian ginkang-nya sendiri.
Untuk dapat mempercepat kemenangannya, Thai Kek Losu lantas merogoh saku jubah dengan tangan
kirinya dan ketika tangan kirinya itu bergerak, maka menyambarlah tujuh batang jarum hitam ke arah jalan
darah di seluruh tubuh Cin Hai, antaranya dua batang menuju matanya. Inilah Hek-kang-ciam atau Jarum
Baja Hitam yang cepat sekali lajunya karena biar pun kecil akan tetapi berat sekali.
Cin Hai dengan tenang memutar pedangnya dan aneh sekali! Semua jarum itu menempel pada Pedang
Liong-coan-kiam dan melengket di sana. Kemudian sambil berseru keras, ketika Cin Hai menggerakkan
pedangnya, semua jarum itu menyambar kembali ke arah tuannya.
Thai Kek Losu merasa terkejut sekali dan cepat-cepat dia melompat ke samping untuk menghindarkan diri
dari sambaran jarum-jarumnya sendiri! Sebenarnya tidak aneh, oleh karena Liong-coan-kiam adalah
sebatang pedang pusaka yang mengandung daya tarik sembrani sehingga jarum-jarum kecil itu dapat
lengket dengan mudah. Kemudian sambil mengerahkan lweekang-nya, pemuda itu dapat membuat jarumjarum
yang menempel itu terlepas dan melayang ke arah lawannya.
Kemudian tangan kiri Thai Kek Losu bergerak dan kali ini Cin Hai hanya mengelak, oleh karena yang
menyambar hanya tiga batang jarum saja, akan tetapi kesempatan itu lalu digunakan oleh Thai Kek Losu
untuk menghantamkan tengkoraknya ke arah batok kepala Cin Hai. Serangan ini tiba-tiba datangnya dan
selain tidak terduga oleh karena perhatian Cin Hai tercurah kepada jarum-jarum itu, juga cepat sekali
hingga tanpa terasa pula Cin Hai menangkis dengan pedangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar suara keras ketika tengkorak itu mencium pedang dan tiba-tiba saja dari muka tengkorak itu
menyambar keluar tujuh batang jarum-jarum yang berwarna kehijau-hijauan dan berbau amis karena
mengandung racun. Inilah kelihaian tengkorak itu yang sengaja diserangkan dengan tiba-tiba supaya
ditangkis oleh lawannya. Dari kedua lubang hidung keluar empat batang jarum, sedangkan dari mulut
tengkorak itu keluar pula tiga batang. Semua jarum ini menyambar ke arah tubuh Cin Hai dengan cepat
sekali.
Kali ini Cin Hai benar-benar terkejut karena sama sekali tak pernah menduga akan hal ini. Ia cepat
melempar tubuh ke belakang hingga seperti jatuh terjengkang dan ini pun hampir saja tidak dapat
menolongnya oleh karena jarum-jarum itu lewat dekat sekali dengan kulit mukanya hingga hidungnya
mencium bau yang luar biasa amis dan busuknya.
Setelah pengalaman ini, Cin Hai menjadi marah sekali, sebaliknya Thai Kek Losu menjadi kecewa dan
gentar. Memang tipu tadi adalah tipu terakhir yang disengaja karena ia pasti akan dapat merobohkan
lawannya. Tak tahunya, anak muda itu benar-benar hebat sekali sehingga pada saat dan keadaan yang
agaknya tak mungkin dapat melepaskan diri dari bahaya maut itu, Cin Hai masih dapat mengelaknya.
Ia merasa rugi oleh karena tipu itu tidak berhasil, sebab Cin Hai takkan merasa tidak tega lagi kepada
tengkorak itu oleh karena ketika pedangnya membentur tengkorak, ternyata tengkorak itu tidak pecah.
Sekaligus pengalaman ini membuat hati pemuda itu menjadi tetap dan rasa kasihan serta tidak tega
terhadap tengkorak itu menjadi lenyap, bahkan tergantikan rasa benci oleh karena ternyata bahwa
tengkorak kecil yang dikasihinya tadi mengandung senjata maut yang hampir saja menewaskannya.
Kini Cin Hai menerjang maju lagi sambil memutar-mutar pedangnya serta mengeluarkan gerakan dan jurusjurus
Ilmu Pedang Daun Bambu yang paling hebat sehingga Thai Lek Losu terdesak mundur tanpa dapat
membalas.
Pada ketika yang baik, Cin Hai menusukkan pedangnya ke arah tenggorokan Thai Kek Losu melalui
cahaya rantai musuh dengan gerakan miring. Thai Kek Losu mencoba untuk menghindarkan serangan ini
dengan mengadu nyawa, yakni dia membarenginya dengan memukulkan tengkoraknya pada muka Cin
Hai. Dua senjata itu menyerang dengan cepat dalam waktu hampir bersamaan, dan kalau sekiranya kedua
orang itu tidak mau menarik kembali serangan mereka, tentu kedua-duanya akan tewas.
Akan tetapi, tentu saja Cin Hai tidak sudi mengadu jiwanya. Ia maklum bahwa tengkorak itu berbahaya
sekali dan mengandung racun hebat dan sekali saja ia kena tercium mulut tengkorak yang kebiru-biruan itu,
maka dia akan mengalami bencana besar.
Secepat kilat dia membalik gerakan pedangnya yang memang mudah berubah-ubah itu, dan kini pedang itu
menyambar ke arah rantai. Sebelum tengkorak mengenai mukanya, pedang Liong-coan-kiam dengan
dorongan tenaga lweekang sepenuhnya sudah berhasil menebas putus rantai itu hingga tengkorak yang
berada di ujung rantai terpental jauh dan menggelinding bagaikan bal. Pada saat itu juga, kaki kiri Cin Hai
dengan cepat melayang dan mendupak dada Thai Kek Losu yang lantas terpental pula seperti tengkorak
tadi dan kebetulan sekali dia jatuh ke arah tempat duduk Balaki.
Balaki tidak berani menyambut tubuh Thai Kek Losu, hanya cepat bukan main tubuhnya melayang pergi
dari kursinya dan pada lain saat, tubuh Thai Kek Losu telah jatuh di atas kursi itu dan duduk dengan muka
pucat.
“Yagali Khan, kuharap saja sebagai seorang raja besar, kau suka pegang teguh semua ucapanmu!” kata
Cin Hai yang kemudian bertindak pergi keluar dari situ dengan langkah tenang.
Yagali Khan mengertak giginya. Jagonya yang nomor satu telah dikalahkan oleh seorang utusan atau
pembawa surat saja, apa lagi kalau menghadapi panglima besar kaisar!
“Pendekar Bodoh, kami akan memegang janji, akan tetapi pada lain waktu apa bila kami mengundangmu,
harap kau tidak menolak karena takut!” teriaknya.
Akan tetapi Cin Hai pura-pura tidak mendengarnya dan mempercepat langkahnya, oleh karena dia tidak
mau mengikat dirinya dengan perjanjian semacam itu yang hanya akan memperbesar permusuhan belaka.
Dan pula, entah kenapa, ia merasa kepalanya pening sekali dan selalu seperti hendak muntah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena kepeningan kepalanya, maka Cin Hai telah mengambil jalan keliru dan ia tersesat jalan tanpa dia
sadari. Pada suatu jalan simpang tiga, seharusnya dia membelok ke kiri, akan tetapi sebaliknya ia justru
membelok ke kanan. Kepalanya makin pening dan kedua kakinya gemetar, akan tetapi dia berlari terus
secepatnya.
Ketika dia masuk dalam sebuah hutan yang liar dan terus berlari cepat, tiba-tiba saja dia mendengar suara
harimau mengaum. Akan tetapi, berbeda dengan auman harimau yang biasa, auman ini luar biasa
kerasnya hingga Cin Hai sendiri sampai tergetar jantungnya. Ia segera menekan perasaan peningnya dan
berlari menuju ke arah auman harimau itu karena setelah suara auman itu hilang gemanya, terdengar suara
orang bersuara.
Sesudah dia tiba di satu tempat terbuka, dia menyaksikan pemandangan yang aneh dan mengagumkan.
Dua orang laki-laki, yang seorang sudah tua dengan rambut dan jenggot putih, dan yang kedua setengah
tua, tengah tertawa-tawa sambil mempermainkan seekor harimau yang luar biasa besar dan galaknya.
Cin Hai melangkah mendekati dan menyaksikan sepak terjang dua orang tua itu. Kakek jenggot putih itu
berdiri berhadapan dengan harimau sambil dia mempermainkan bibirnya yang seakan-akan mengolokoloknya.
Orang ke dua berdiri di belakang harimau sambil tangannya bertolak pinggang. Sikap mereka ini
seakan-akan bukan sedang menghadapi seekor harimau yang besar, akan tetapi seakan-akan dua orang
anak-anak menghadapi seekor kucing yang jinak!
Tiba-tiba harimau itu menggereng keras dan melompat tinggi, menerkam kakek jenggot putih! Kakek itu
diam saja tidak mengelak akan tetapi setelah harimau itu melayang dekat ia segera berseru dan tahu-tahu
tubuhnya telah mencelat ke atas, melalui tubuh harimau dan sambil berjungkir balik di udara dia lalu
menjatuhkan diri pula menduduki punggung harimau!
“Heh-heh-heh! Hayo lekas menari...!” katanya menepuk-nepuk punggung harimau besar itu dengan kedua
tangannya persis anak kecil naik kuda-kudaan!
“Ha-ha-ha, Twako, jangan lepaskan dia. Ha-ha-ha!” Lelaki setengah tua yang berjenggot hitam itu tertawa
gembira dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah menyambar ke arah harimau yang sedang marah sekali
itu.
Harimau itu menggoyang-goyang tubuhnya membuka mulutnya lebar-lebar dan ekornya bergerak cepat
dan tiba-tiba bagaikan sebatang toya, ekor yang panjang itu menyambar kepala kakek jenggot putih dari
belakang. Cin Hai merasa terkejut, akan tetapi tiba-tiba seakan-akan kepala kakek itu ada mata di
belakangnya, kakek itu menundukkan kepala sehingga sabetan ekor harimau mengenai tempat kosong.
Sementara itu, Si Jenggot Hitam yang sudah melompat di dekat tubuh harimau, lantas mengulurkan tangan
kanannya dan menjiwir telinga harimau itu sehingga binatang liar ini menggerung-gerung kesakitan.
Ketika ekor harimau itu menyabet kembali, dengan mudah Si Jenggot Hitam menangkap ekor tadi dan
menahannya di belakang hingga harimau yang hendak lari ke depan itu jadi tertahan dan tak dapat
bergerak.
“Hayo, menyerah tidak kau!” kata kakek jenggot putih sambil menggenjot-enjot tubuhnya di punggung
harimau.
Binatang itu hendak menggulingkan diri dan mencakar kakek itu, akan tetapi dia merasa betapa tubuh
kakek itu bukan main beratnya hingga dia tak kuat berdiri lagi dan perutnya menempel pada tanah.
Cin Hai melihat dengan kagum dan heran akan kelihaian dan kegesitan kedua orang itu. Pada saat itu, dia
mendengar suara keras berbunyi di udara, dan ketika dia memandang, ternyata di angkasa sedang terjadi
pertempuran yang terlebih aneh lagi.
Seekor burung bangau besar sedang bertempur dengan serunya melawan seekor burung rajawali. Rajawali
itu terus menyambar-nyambar dengan ganasnya, akan tetapi dengan patuknya yang runcing serta panjang
bagaikan dua batang pedang itu, burung bangau dapat mempertahankan diri dengan baiknya.
Ketika dua orang laki-laki itu menengok ke atas karena tertarik oleh suara burung-burung yang sedang
berkelahi, mereka juga terkejut sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kau mendekamlah!' kakek jenggot putih berseru sambil menepuk dan menotok urat di punggung harimau.
Dan aneh sekali, harimau itu tiba-tiba menjadi lemas dan mendekam tanpa berdaya lagi. Ternyata bahwa
kakek itu tahu akan jalan-jalan darah binatang itu hingga dapat mengirim tiam-hoat (totokan) dengan tepat
sekali. Ada pun Si jenggot Hitam segera memandang ke atas dan berseru keras,
“Ang-siang-kiam, kau turunlah!”
Kemudian dia mengeluarkan suara bersuit yang nyaring sekali. Burung bangau itu diberi nama Ang-siangkiam
atau Sepasang Pedang Merah sebab patuknya memang berwarna merah dan panjang seperti
sepasang pedang.
Mendengar suitan ini, dengan cepat bangau itu lalu meluncur turun dan di belakangnya, rajawali itu
menyambar pula mengejar.
“Rajawali keparat!” Si Jenggot Hitam itu memaki.
Tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan sebatang pelor putih yang bulat meluncur cepat ke arah dada
rajawali yang mengejar bangau itu. Akan tetapi, rajawali ini gesit sekali dan sebelum pelor mengenai
dadanya, dia sudah mengelak ke kiri. Sebutir pelor putih lainnya menyusul dan mengarah lehernya.
Rajawali itu segera mengebutkan sayapnya dan pelor kena terpukul jatuh!
Melihat kelihaian rajawali itu, kedua orang laki-laki itu menjadi terkejut dan mengeluarkan seruan tertahan.
Ada pun Cin Hai yang juga memandang dengan perhatian lalu teringat akan rajawali yang dulu pernah
bertanding melawan Ang I Niocu di atas perahu. Banyak persamaannya antara kedua burung rajawali itu.
Sementara itu, burung bangau yang diberi nama Ang-siang-kiam itu telah turun di atas tanah dan kini
berdiri di dekat kakek jenggot hitam. Tubuh burung bangau itu tinggi sekali sehingga merupakan seekor
burung bangau yang langka terdapat. Ada pun rajawali tadi karena tahu akan kelihaian dua orang manusia
yang berada di bawah, lalu hanya terbang berputaran sambil mengeluarkan pekik menantang tanpa berani
turun ke bawah.
Pada saat itu terdengar bentakan halus, “Sin-kim-tiauw, jangan kurang ajar!”
Mendengar suara ini, rajawali tadi lalu melayang turun dan Cin Hai menjadi girang dan juga terkejut sekali
oleh karena ia mengenal suara ini sebagai suara gurunya, Bu Pun Su!
Benar saja, pada waktu kedua orang laki-laki itu pun memandang, dari sebuah tikungan, muncullah
seorang kakek tua sekali yang berpakaian penuh tambalan hingga merupakan seorang jembel tua.
Rajawali emas tadi telah turun dan kini berjalan di belakang kakek itu bagaikan seekor anjing yang jinak
sekali.
“Suhu!” Cin Hai berseru dan segera berlari dan menghampiri, akan tetapi hampir saja ia roboh terguling
karena kepalanya terasa pening sekali ketika dia berlari itu. Untung dia masih dapat menetapkan kaki dan
segera berlutut.
“Cin Hai, lekas kau duduk, kumpulkan semangat dan bersihkan napas!” terdengar kakek itu berseru setelah
memandang wajah muridnya.
Sekali pandang saja kakek sakti ini tahu bahwa muridnya ini telah terkena hawa beracun yang berbahaya
sekali. Walau pun merasa heran, Cin Hai segera menurut dan taat akan perintah gurunya itu. Ia segera
duduk bersila, meramkan mata dan merangkapkan kedua tangan di depan dada.
Tiba-tiba ia merasa betapa telapak tangan suhu-nya yang halus itu memegang tangannya dan dari telapak
tangan suhu-nya mengalirlah hawa yang luar biasa hangat dan kuatnya melalui telapak tangannya sendiri
dan terus membantu hawa kekuatan tubuhnya sendiri. Oleh karena ini, dia merasa betapa hawa tenaga di
dalam tubuhnya kini menjadi berlipat ganda dan lalu ia gunakan hawa itu diputar-putar ke seluruh tubuh
karena tidak tahu akan maksud suhu-nya.
“Penuhkan di dada, bersihkan paru-paru dan usir hawa racun yang tadi masuk melewati lubang hidungmu!”
kakek itu berbisik perlahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cin Hai diam-diam merasa terkejut dari teringatlah dia akan pertempurannya melawan Thai Kek Losu tadi.
Jarum-jarum berbisa yang amat lihai dan yang keluar dari tengkorak Pendeta Sakya Buddha itu hampir saja
tadi mengenainya dan menyambar dekat sekali di depan hidungnya hingga dia mencium bau yang amis
dan busuk! Bukan main jahatnya jarum-jarum berbisa itu. Baru baunya saja telah mempengaruhinya, apa
lagi kalau sampai terluka oleh jarum itu!
Cin Hai segera mengerahkan hawa di dalam tubuh itu di dikumpulkan di dada, mendesak keluar segala
hawa kotor yang terbawa masuk oleh pernapasan ke dalam paru-parunya, sehingga ketika dia mendesak
hawa itu keluar hidungnya, kembali ia mencium bau yang amis dan busuk itu! Ternyata bahwa bau yang
amis dari senjata tadi telah mengeram di dalam paru-parunya. Bukan main berbahaya dan jahatnya!
Sementara itu, kedua orang penakluk harimau tadi berdiri dengan heran dan kagum pada saat melihat cara
guru itu menyembuhkan muridnya. Mereka pun maklum bahwa kakek jembel itu tentu lihai sekali, maka
mereka tidak berani mengganggu dan hanya berdiri memandang. Tidak lama kemudian, Bu Pun Su
melepaskan genggaman tangannya pada telapak tangan Cin Hai dan dia berdiri kembali.
“Sudah, sudah bersih...,” katanya. Cin Hai membuka kedua matanya dan segera berlutut.
“Senjata siapakah yang hampir mencelakaimu tadi, Cin Hai?”
Cin Hai lalu menceritakan mengenai pengalamannya, betapa dia menjadi utusan kaisar, menyampaikan
surat kepada Yagali Khan dan betapa dia mengadu kepandaian dengan Thai Kek Losu dan berhasil
mengalahkannya tanpa menyadari bahwa dia sudah hampir mendapat celaka karena senjata rahasia yang
hebat dari pendeta itu.
Bu Pun Su mengangguk-anggukkan kepala. “Bagus, bagus. Memang itu sudah menjadi tugasmu...”
Ketika mendengar cerita ini, dua orang pemilik burung bangau tadi segera menghampiri dan menjura
dengan sikap hormat sekali.
“Ah, tidak mengira bahwa kami berdua mendapat kehormatan besar sekali untuk bertemu dengan seorang
patriot yang gagah perkasa beserta suhu-nya yang sakti. Mohon tanya, siapakah Locianpwe ini dan siapa
pula muridmu yang gagah perkasa?” bertanya kakek jenggot putih itu sambil menjura kepada Bu Pun Su
yang jauh lebih tua darinya.
Bu Pun Su tidak membalas pemberian hormat itu, sebagaimana biasa dia memang tidak menyukai segala
penghormatan, lalu menjawab seakan-akan mereka telah lama menjadi kawan baik saja,
“Burung bangaumu itu hebat sekali. Bukankah kau yang bernama Sie Lok dan disebut Si Pemelihara
Harimau?”
Kakek jenggot putih itu nampak tercengang. “Eh, sungguh heran! Locianpwe benar-benar berpemandangan
tajam. Memang nama siauwte Sie Lok dan ini adalah adikku Sie Kiong. Kami berdua saudara memang
tukang memelihara harimau. Bolehkah kami mengetahui nama Locianpwe yang mulia?”
“Siapakah aku ini? Ahh, aku sendiri sudah hampir lupa siapa namaku. Kalian tanya saja kepada muridku
ini!” jawabnya tak acuh sambil mendekati burung bangau dan memeriksa seluruh bulu dan tubuh burung itu
dengan penuh perhatian dan tertarik sekali. Berkali-kali ia menganggukkan kepala dan berkata, “Bagus,
bagus,” seolah-olah seorang ahli barang antik sedang mengagumi sebuah benda kuno yang berharga dan
menarik.
Cin Hai yang sudah tahu akan sifat aneh dari suhu-nya, merasa kurang enak terhadap kedua orang tua itu,
maka dia segera menjura dengan hormat sambil berkata,
“Jiwi yang gagah, suhu-ku itu bernama Bu Pun Su dan siauwte sendiri bernama Sie Cin Hai.”
Kedua orang itu nampak amat terkejut karena mereka telah mendengar nama Bu Pun Su sebagai seorang
kakek sakti yang luar biasa. Akan tetapi, agaknya mereka lebih tertarik mendengar nama Cin Hai karena
kakek jenggot putih itu kemudian melangkah maju dan bertanya,
“Anak muda, wajahmu mengingatkan aku akan seseorang. Siapakah nama ayahmu dan siapa pula nama
ibumu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Berdebarlah hati pemuda itu. Tadinya dia mengira bahwa persamaan she dengan kedua orang itu hanya
kebetulan saja, akan tetapi mendengar pertanyaan ini, timbul perasaan ganjil di dalam hatinya.
Sambil menggeleng kepala dia menjawab, ”Siauwte tidak tahu, tak tahu siapa nama ayah dan ibu...,”
sampai di sini ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, karena hatinya merasa terharu.
Tiba-tiba Bu Pun Su berkata dengan suara sambil lalu, “Eh, pemelihara harimau, apakah kau ketahui
tentang seorang she Sie yang terbunuh mati sekeluarganya karena dianggap pemberontak?”
Mendadak kedua orang itu menjadi pucat wajahnya dan memandang kepada Bu Pun Su dengan mata
terbelalak. “Locianpwe... apa... apa maksud pertanyaanmu ini...?”
Kedua orang itu teringat bahwa pemuda itu adalah utusan kaisar, maka tentu saja akan memusuhi orangorang
yang dianggap pemberontak.
Akan tetapi, Cin Hai yang mendengar pertanyaan suhu-nya ini dan yang melihat sikap kedua orang itu, tibatiba
merasa makin berdebar. “Lo-peh, tahukah kau tentang dia yang memberontak itu? Tahukah kau...?
Katakanlah, Lo-peh!”
Kakek jenggot putih itu memandang tajam lalu bertanya. “Kau bilanglah lebih dahulu apa maksudmu
dengan pertanyaan itu? Kau adalah seorang utusan kaisar, apa hubungannya dengan segala
pemberontak?”
“Pemberontak she Sie adalah ayahku sendiri!” kata Sie Cin Hai dengan suara pilu.
Kini kakek jenggot putih itu melangkah mundur dan wajahnya menjadi amat pucat, tanda bahwa ia terkejut
sekali. Si Jenggot Hitam yang bernama Sie Kiong itu pun mengeluarkan seruan kaget.
“Apa katamu... ? Anak muda... mukamu memang sama benar dengan Sie Gwat Leng, pemberontak she
Sie itu. Dia itu adalah adikku dan kakak dari Sie Kiong. Anak muda, apakah kau mau bilang bahwa kau
adalah anak Gwat Leng...?”
Dengan kedua mata terbelalak Cin Hai lalu bertanya, suaranya gemetar. “Katakanlah... katakanlah...
apakah Jiwi kenal kepada seorang wanita bernama Loan Nio yang menjadi isteri Kwee In Liang?”
“Tentu saja kenal. Dia adalah adik ipar dari Gwat Leng...”
“Ya Tuhan...! Kalau begitu kalian adalah paman-pamanku...!” terdengar Cin Hai berkata dengan dada naik
turun karena menahan gelora hatinya. “Pekhu... Siokhu... aku Sie Cin Hai memang putera Sie Gwat Leng
itu... tak salah lagi...” Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang itu sambil menahan air
matanya!
Sie Lok dan Sie Kiong lalu menubruk Cin Hai dan memeluknya. “Kau anak Gwat Leng yang ikut Bibimu
itu...? Ah, tak kusangka kita masih akan dapat bertemu...!” kata Sie Lok.
Bu Pun Su menghampiri mereka dan berkata, “Tidak ada perceraian yang tidak berakhir. Agaknya Thian
sudah menghendaki sehingga kalian dapat saling berjumpa dengan tak tersangka-sangka. Sudah lama aku
mendengar nama kalian berdua pemelihara harimau, dan telah timbul persangkaanku, maka hari ini
memang aku datang hendak menyelidiki. Siapa tahu, kebetulan sekali Cin Hai datang ke sini pula dalam
keadaan terpengaruh racun jahat. Sungguh, ini namanya jodoh!”
“Siokhu, Pekhu, Suhu-ku inilah yang memungkinkan keponakanmu ini sampai sekarang masih hidup!” kata
Cin Hai setelah keharuan hati mereka mereda.
“Sudah lama kami mendengar nama besar Locianpwe, tidak tahunya Locianpwe adalah guru dan penolong
dari keponakan kami yang tunggal ini. Terimalah pernyataan terima kasih kami, Locianpwe!” Setelah
berkata demikian, Sie Lok dan Sie Kiong lalu berlutut di depan Bu Pun Su.
“Sudahlah, sudahlah, tak perlu bersikap seperti kanak-kanak,” kata Bu Pun Su dan ketika ia menggerakkan
kedua tangannya menyentuh pundak kedua orang itu, mau tidak mau keduanya harus berdiri lagi karena
ada tenaga yang amat besarnya mengangkat mereka bangun! Kemudian, Bu Pun Su berkata kepada Cin
dunia-kangouw.blogspot.com
Hai,
“Muridku, sesudah bertemu dengan kedua pamanmu, tentu kau akan mendengar riwayat orang tuamu.
Sekarang aku akan pergi, tubuhku yang sudah amat tua dan lapuk ini tak kuat untuk merantau lebih lama
lagi. Sekarang aku hendak kembali ke Goa Tengkorak dan membawa Sin-kim-tiauw bersamaku. Kalau kau
bertemu dengan Im Giok, suruh dia menyusulku ke sana!”
Cin Hai memandang kepada muka suhu-nya dengan bengong. “Suhu maksudkan Ang I Niocu? Bukankah
Niocu sudah... sudah...,” ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
“Kekuasaan Thian tidak ada batasnya, anak bodoh. Aku sendiri belum memastikan benar apakah Im Giok
masih hidup dan bukankah pada saat peristiwa hebat itu terjadi, baik burung ini mau pun Im Giok berada di
pulau itu? Sudahlah, Cin Hai, kalau tidak dapat bertemu dengan Im Giok, akhirnya aku pun akan dapat
menemuinya, entah di sini entah di sana...,“ setelah berkata demikian, sekali saja kakek itu mengebutkan
lengan bajunya, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, tanpa berpamit kepada Sie Lok dan Sie Kiong!
Memang demikianlah watak Bu Pun Su yang aneh dan selalu tidak mengacuhkan segala hal yang
dianggapnya kurang perlu! Sin-kim-tiauw lalu memekik keras dan terbang cepat menyusul kakek itu.
Sie Lok menghela napas. “Telah banyak aku melihat orang pandai dan sakti, akan tetapi baru kali ini aku
melihat orang yang betul-betul pandai dan berilmu tinggi. Mari, Cin Hai, mari kita pulang ke rumahku dan di
sana bercakap-cakap dengan leluasa. Hari ini adalah hari yang paling gembira dan baik semenjak kami
ditinggal oleh ayahmu.”
Sambil digandeng tangannya oleh Sie Kong, Cin Hai lalu ikut mereka pulang dan keluar dari hutan itu,
sedangkan harimau yang telah ditotok tadi, setelah dikalungi tambang dan dipulihkan keadaannya, lalu
diseret dan akhirnya berlari mengikuti mereka dengan jinak. Ternyata bahwa harimau itu pun maklum akan
kelihaian kakek itu hingga menyerah kalah dan tidak berani memberontak!
Dan demikianlah cara kedua orang she Sie itu menangkap harimau dan menjinakkannya. Tiap kali bertemu
dengan harimau buas, mereka lalu mengganggu dan mempermainkan harimau itu dengan kepandaian
mereka yang amat tinggi. Kemudian, setelah harimau itu ditundukkan, leher harimau lalu dicancang dan
dibawa pulang, bagaikan orang menuntun anjing saja.
Setelah sampai di rumah Sie Lok dan Sie Kiong yang berada di atas sebuah lereng bukit penuh dengan
pohon pek dan siong, Cin Hai merasa kagum sekali oleh karena ternyata di sekeliling rumah besar itu
terdapat banyak sekali harimau yang berkeliaran di sekitar rumah dengan jinak bagaikan binatang
peliharaan biasa.
Ketika Cin Hai mencoba untuk menghitung jumlah harimau, yang kelihatan saja olehnya sudah ada dua
puluh ekor lebih. Kemudian dia mendengar dari pamannya bahwa mereka mempunyai lebih dari empat
puluh ekor harimau yang besar dan galak.
Bagaikan anjing-anjing penjaga rumah, ketika melihat Cin Hai dan menciumi bau manusia baru yang asing,
harimau-harimau itu menggereng sambil memperlihatkan gigi dan taring akan tetapi ketika kedua orang she
Sie itu mengangkat tangan kanan, semua harimau itu menjadi ketakutan dan mengundurkan diri. Bukan
main kagumnya hati Cin Hai melihat pengaruh dan kekuasaan dua orang pamannya itu atas sekian
banyaknya harimau buas.
Setelah masuk ke dalam rumah dan duduk saling berhadapan, maka berceritalah Sie Lok kepada Cin Hai.
Ternyata bahwa keluarga Sie terdiri dari empat orang saudara laki-laki bernama Sie Lok, Sie Gwat Leng,
Sie Ban Leng dan Sie Kiong. Keempat saudara ini pada waktu mudanya rajin mempelajari ilmu silat, dan di
antara mereka, yang pandai sekali dan tinggi ilmu silatnya adalah Sie Gwat Leng dan Sie Ban Leng oleh
karena kedua orang ini mendapat didikan dari seorang pertapa sakti Gobi-san.
Ada pun Sie Lok dan Sie Kiong mendapat didikan dari seorang hwesio perantau yang juga mempunyai ilmu
kepandaian tinggi dan menjadi ahli penakluk semua binatang buas. Dari hwesio inilah Sie Lok dan Sie
Kiong mendapat ilmu atau cara menaklukkan harimau dan lain-lain binatang buas, bahkan mereka juga
mempelajari cara menotok tubuh binatang-binatang itu.
Setelah tamat belajar, keempat saudara ini bertemu lagi dan ketika diadakan pengukuran kepandaian,
dunia-kangouw.blogspot.com
ternyata bahwa Sie Gwat Leng adalah yang paling pandai, kemudian Sie Ban Leng, kemudian Sie Lok dan
Sie Kiong sungguh pun bagi orang biasa boleh disebut telah memiliki ilmu silat yang amat tinggi, namun
dibandingkan dengan kedua saudaranya yang menjadi anak murid Gobi-san itu, kepandaian mereka masih
jauh.
Kecuali Sie Ban Leng yang mempunyai watak buruk, ketiga saudara yang lainnya adalah orang-orang yang
berjiwa ksatria dan gagah, bahkan Sie Gwat Leng tiada henti-hentinya menggunakan kepandaian untuk
menolong sesama manusia yang menderita. Gwat Leng merasa tidak puas sekali melihat keadaan rakyat
jelata yang miskin dan papa, karena itu sering kali ia menyatakan ketidak-senangan hatinya terhadap kaisar
dan pemerintahnya.
Berbeda dengan Gwat Leng dan yang lain-lain, Ban Leng selalu mengumbar hawa nafsu jahat, bergaul
dengan segala macam penjahat dan membiasakan diri dengan segala jenis permainan judi. Gwat Leng
juga sering kali menegurnya sehingga beberapa kali mereka bercekcok oleh karena Ban Leng tak pernah
takut atau tunduk kepada kakaknya ini. Ada pun Sie Lok yang menjadi saudara tertua tak berdaya apa-apa
oleh karena dia memang jauh lebih lemah dari pada Ban Leng.
Namun, betapa pun juga, Sie Ban Leng masih berlaku hati-hati dan tidak berani berlaku jahat secara
berterang oleh karena dia takut kepada suhu-nya yang sudah menyuruhnya bersumpah ketika menjadi
muridnya dulu. Kepada Gwat Leng dia tidak takut oleh karena biar pun ilmu kepandaian Gwat Leng lebih
tinggi, akan tetapi dia tahu akan kesayangan kakaknya itu terhadap dirinya, maka dia yakin bahwa Gwat
Leng tentu takkan tega untuk mencelakakannya.
Kemudian Sie Gwat Leng menikah dengan seorang gadis dusun yang cantik dan halus budi bahasanya.
Mereka berdua hidup dengan rukun dan saling mencinta, penuh dengan kebahagiaan. Setahun kemudian
terlahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Sie Hai yang kemudian ditambah dengan huruf ‘Cin’
oleh Loan Nio karena nyonya ini tidak ingin kalau ada orang mengetahui bahwa anak itu adalah putera Sie
Gwat Leng yang memberontak.
Akan tetapi celakanya, ketika melihat isteri Sie Gwat Leng yang cantik manis, timbul hati jahat di dalam
dada Ban Leng yang berwatak buruk itu. Dia mencoba untuk menggoda soso-nya sendiri hingga timbullah
pertengkaran yang diakhiri dengan perkelahian antara dia dan kakaknya.
Ban Leng kena dikalahkan oleh Gwat Leng. Dengan hati sakit dan mendendam, Sie Ban Leng lalu lari
meninggalkan saudara-saudaranya. Sampai bertahun-tahun tidak terdengar lagi berita mengenai dirinya.
Akan tetapi, sesudah guru Gwat Leng, pertapa Gobi-san itu meninggal dunia, mereka mendengar lagi
tentang keadaan Ban Leng dan ternyata bahwa Ban Leng sudah berada di kota raja, menjadi seorang jago
muda yang jarang mendapat tandingan dan disegani orang banyak hingga mendapat julukan Gobi Sin-liong
atau Naga Sakti dari Gobi-san!
Sie Gwat Leng masih saja bercita-cita untuk menolong kaum tani dan rakyat jelata yang lemah dan miskin.
Ia mulai dengan usahanya di dalam dusun sendiri. Ia mengumpulkan orang-orang kampung, mendidik
mereka dengan ilmu silat, kemudian mendesak dengan kekerasan dan pengaruh kepandaiannya kepada
mereka yang tergolong hartawan untuk mengulurkan tangan membantu.
Akhirnya ia pun berhasil membuat kampungnya menjadi makmur. Semua orang bertubuh sehat dan
mendapat didikan ilmu silat sehingga dapat menjaga kampung dari serangan orang jahat dan tidak ada lagi
orang yang mengalami kemelaratan karena semua orang mendapat penghasilan yang cukup.
Hal ini lalu terdengar oleh kampung lain yang merasa iri dan kemudian dikabarkan orang bahwa keluarga
Sie hendak mengadakan pemberontakan dan telah bersiap-siap dengan melatih orang-orang dusun
dengan ilmu silat untuk kelak dipergunakan memberontak dan memukul kerajaan!
Hal ini terdengar oleh seorang perwira yang bertugas di satu tempat tak jauh dari dusun itu. Perwira ini
orangnya sombong dan tanpa menanti perintah dari pusat, ia telah lancang mengadakan tindakan sendiri
untuk mencari pahala.
Dia membawa anak buahnya sebanyak empat puluh orang dan menyerbu ke dusun itu! Anak buahnya
mengamuk dan tidak hanya memukul dan menawan orang-orang, bahkan mengganggu anak bini orang
dan merampas harta mereka!
Tentu saja Sie Gwat Leng menjadi marah sekali. Dia mengumpulkan orang-orang dusun dan melawan
dunia-kangouw.blogspot.com
penyerbu-penyerbu itu hingga tentara di bawah pimpinan perwira sombong itu dapat dimusnakan berikut
pemimpinnya!
Segera kota raja mendengar mengenai peristiwa ini, dan Sie Gwat Leng lalu dianggap sebagai
pemberontak! Kaisar kemudian memerintahkan Kwee In Liang untuk memimpin serombongan tentara
terdiri dari seratus orang untuk menawan kawanan pemberontak-pemberontak itu.
Di dalam rombongan ini ikut pula Sie Ban Leng karena orang ini mendapat kesempatan untuk membalas
dendam kepada kakaknya sendiri. Biar dia tidak secara terang-terangan ikut di dalam rombongan Kweeciangkun,
akan tetapi diam-diam dia ikut pergi kembali ke dusunnya sendiri dengan maksud membantu
penindasan pemberontak, sebab ia maklum bahwa dengan adanya tiga saudaranya di dalam dusun, maka
akan sukarlah bagi tentara kerajaan untuk menindas dan mengalahkan dusun itu.
Terjadilah pertempuran hebat antara tentara kerajaan dan orang-orang dusun di bawah pimpinan ketiga
saudara Sie yang melakukan perlawanan karena mereka sudah merasa benci sekali terhadap kerajaan,
yang ditimbulkan oleh sepak terjang yang jahat dari para tentara di bawah pimpinan perwira yang dulu
menyerbu dan berhasil dihancurkan.
Benar saja dugaan Ban Leng. Kwee Ciangkun tidak berdaya menghadapi ketiga saudara Sie yang benarbenar
kosen dan tangguh. Selagi dia merasa bingung, datanglah Sie Ban Leng membantunya.
Dengan licik dan curang sekali, Sie Ban Leng datang kepada kakaknya dan menyatakan penyesalannya,
kemudian berkata bahwa ia sengaja datang ingin membantu perjuangan saudara-saudaranya mengusir
barisan kerajaan. Tentu saja Gwat Leng, Sie Lok dan Sie Kiong merasa gembira sekali, dan menerima
saudara yang sesat ini dengan dua tangan terbuka.
Tidak tahunya, pada malam harinya, ketika Sie Gwat Leng sedang tidur karena lelahnya memimpin orangorang
dusun melawan tentara negeri, Ban Leng lalu berlaku curang dan menotok kedua pundak kakaknya
yang sedang tidur itu!
Sie Lok dan Sie Kiong yang melihat hal ini menjadi amat marah lalu menyerang Ban Leng yang berkhianat.
Akan tetapi kepandaian mereka belum mampu melawan Ban Leng dan pada saat itu pula, sesuai dengan
rencana Ban Leng dan Kwee-ciangkun, tentara negeri segera menyerbu!
Dalam keadaan tidak berdaya karena totokan Ban Leng membuatnya lumpuh, Gwat Leng ditawan, orangorang
kampung banyak yang mati dan sebagian pula ditawan, kampung dibakar habis dan semua keluarga
Sie ditawan pula! Dalam suasana ribut itu, Ban Leng hendak menculik serta mengganggu isteri Gwat Leng,
akan tetapi Kwee In Liang dengan marah mencegahnya.
“Semua orang tidak boleh mengganggu wanita, siapa melanggar akan dihukum!” katanya dengan garang.
Ban Leng sendiri sebetulnya tidak takut kepada Kwee In Liang, akan tetapi tiba-tiba isteri Gwat Leng yang
merasa putus harapan itu, segera menggunakan kesempatan ini untuk membenturkan kepala sendiri pada
dinding hingga kepalanya menjadi pecah dan tewas pada saat itu juga. Dengan hati menyesal, Ban Leng
lalu meninggalkan tempat itu.
Adik perempuan isteri Gwat Leng yaitu Loan Nio, yang pada saat itu sudah remaja puteri, sambil
menggendong Sie Hai yang masih kecil mencoba lari, akan tetapi dia ditangkap oleh seorang anggota
tentara yang kagum melihat kecantikannya. Akan tetapi, untunglah bahwa pada waktu itu Kwee In Liang
melihat hal ini terjadi. Perwira ini memberi pukulan keras hingga tentara itu pingsan, sedangkan dia lalu
menolong Loan Nio dan anak kecil yang disangka anak Loan Nio itu, dibawa ke dalam rumahnya.
Loan Nio lalu diambil sebagai pelayan di rumah gedung Kwee In Liang, dan gadis yang cerdik ini lalu
menitipkan Sie Hai kepada seorang wanita di luar gedung dengan memberi belanja setiap pekan, yaitu
uang gajinya sendiri, seluruhnya diberikan kepada wanita itu.
Demikianlah, Sie Hai yang kemudian dinamakan Cin Hai oleh Loan Nio itu, yang di waktu itu baru berusia
setahun lebih, dipelihara dengan diam-diam oleh Loan Nio. Dan setelah Loan Nio diambil sebagai isteri
oleh Kwee-ciangkun, baru dia memberi tahu dengan jujur kepada suaminya bahwa Cin Hai adalah putera
Sie Gwat Leng. Karena sangat mencintai dan sayang kepada isterinya yang baik budi ini, Kwee-ciangkun
mau juga menerima Cin Hai di dalam gedungnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ada pun Sie Lok dan Sie Kiong yang mempunyai ilmu kepandaian, dapat melarikan diri setelah mereka
tidak berhasil menghukum Ban Leng yang sangat jahat dan yang sudah mengkhianati kakak sendiri itu.
Mereka lalu merantau dengan hati duka. Apa lagi ketika mereka mendengar betapa Gwat Leng
menjalankan hukuman mati dalam keadaan masih lumpuh, sedangkan isterinya mati membunuh diri dan
keluarga lain dihukum mati pula, kedua saudara ini hanya bisa menangis dan sedih.
Mereka merasa benci sekali kepada manusia, oleh karena dianggapnya manusia adalah makhluk yang
sejahat-jahatnya. Seorang saudara kandung sendiri seperti Ban Leng bisa berlaku sejahat itu, apa lagi
orang lain? Maka, mereka lalu mengasingkan diri di hutan, dan menaklukkan banyak harimau untuk
menjadi kawan-kawan dan penjaga mereka!
Mendengar cerita Sie Liok ini, Cin Hai merasa sedih, terharu, marah dan menyesal sekali.
“Pek-hu dan Siok-hu, di manakah adanya Paman Sie Ban Leng, manusia yang berwatak rendah dan
biadab itu? Ingin sekali aku dapat melihat muka orang yang berhati binatang itu!” katanya gemas dan
marah, sambil mengepal tangannya.
“Entahlah, kami berdua dulu pernah mencarinya untuk membalas dendam, akan tetapi dua kali kami sudah
kena dikalahkan dan kemudian kabarnya dia merasa menyesal atas perbuatannya yang terkutuk itu dan dia
telah mengasingkan diri entah di mana.”
Kemudian, atas permintaan kedua pamannya, Cin Hai dengan singkat lalu menceritakan pengalamannya.
Kedua orang tua itu merasa kagum sekali. Akan tetapi, mereka masih penasaran jika belum mencoba dan
mengukur sendiri kelihaian keponakannya ini, maka Sie Kiong yang berwatak gembira lalu berkata,
“Cin Hai coba kau perlihatkan kepandaianmu agar hatiku puas.”
Cin Hai tersenyum, lantas mengikuti mereka berdua keluar dari rumah di mana terdapat halaman yang
cukup luas.
“Bagaimanakah aku harus memperlihatkan kebodohanku?” tanyanya kepada Sie Lok dan Sie Kiong.
“Kau lawanlah kami berdua, agar kami dapat mengukur apakah kepandaianmu ini dapat dibandingkan
dengan Ayahmu atau Pamanmu yang jahat itu?” kata Sie Lok yang segera menggulung lengan bajunya.
Cin Hai maklum bahwa betapa pun tinggi ilmu kepandaian dua pamannya ini, akan tetapi melihat gerakan
mereka ketika menawan harimau tadi, dia merasa yakin bahwa dia tentu akan dapat mengalahkan mereka.
“Baiklah, aku akan berusaha menjaga diri,” kata Cin Hai dengan tenang.
“Awas serangan!” tiba-tiba Sie Kiong berseru gembira.
Ia lalu menerkam dengan serangan yang cukup lihai berbahaya, sedangkan Sie Lok yang hendak menguji
kelihaian keponakannya juga segera membarengi menyerang dari lain jurusan. Cin Hai mengerti akan
kehebatan serangan kedua pamannya ini, maka tubuhnya lalu berkelebat dan dia pun mengeluarkan
ginkang-nya yang sudah sempurna.
Kedua mata Sie Lok dan Sie Kiong menjadi kabur ketika mereka melihat betapa tubuh keponakan itu tibatiba
berkelebat dan lenyap dari tengah-tengah kepungan. Dan tiba-tiba mereka mendengar suara Cin Hai di
tempat yang jauhnya tiga tombak lebih, “Aku berada di sini.”
Bukan main heran kedua orang tua itu, dan dengan cepat mereka segera menerjang lagi, sekarang dengan
cepat sekali supaya jangan sampai pemuda itu mendapat kesempatan mengelak. Sie Lok menyerang
dengan jari tangan kanan dibuka dan menotok ke arah jalan darah di lambung Cin Hai, sedangkan Sie
Kiong menyerang dengan pukulan tangan miring ke arah leher keponakannya.
Cin Hai berseru keras, dan dengan menundukkan kepala ia dapat mengelak dari pukulan Sie Kiong,
sedangkan untuk menghadapi totokan Sie Lok, dia cepat mengulur tangan dan mendahului dengan totokan
ke arah pergelangan tangan pamannya itu. Sie Lok terkejut dan menarik kembali tangannya lantas
menyerang lagi dengan hebat, demikian pula Sie Kiong.
Akan tetapi, Cin Hai kemudian mengeluarkan Ilmu Silat Sianli Utauw atau Tarian Bidadari sambil berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Inilah Sianli Utauw yang kupelajari dari Ang I Niocu.”
Setiap serangan kedua orang tua itu dia kelit dan sampok dengan gerakan tubuh yang lemas seakan-akan
orang menari, akan tetapi serangan-serangan kedua pamannya itu tidak mampu mengenai tubuhnya sama
sekali. Kedua orang tua itu merasa kagum sekali dan juga heran betapa dengan hanya menari-nari saja
keponakannya ini dapat mengelak dari serangan-serangan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Cin Hai memang sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya kepada kedua pamannya, karena ia ingin
membuat kedua pamannya itu girang dan senang. Maka setelah mainkan Sianli Utauw berapa belas jurus
untuk menghadapi serangan-serangan kedua pamannya, ia lalu merubah gerakannya dan berkata pula,
“Dan sekarang aku memainkan kepandaian pokok ilmu silat yang kupelajari dari Suhu Bu Pun Su!” Setelah
ia berkata demikian, ia lalu memperhatikan gerakan-gerakan pamannya dan ia lalu mengembalikan setiap
serangan dengan gerakan yang sama seperti ilmu silat kedua pamannya.
Kalau tadi menyaksikan Sianli Utauw membuat kedua orang itu terheran-heran, sekarang menghadapi
betapa keponakannya itu melawan mereka dengan ilmu silat mereka sendiri, maka kedua orang she Sie itu
sesudah mengeluarkan ilmu pukulan yang paling sulit dan berbahaya akan tetapi yang dikembalikan
dengan sama baiknya oleh Cin Hai, keduanya tak dapat menahan keheranan mereka lagi dan dengan
cepat melompat mundur.
“Nanti dulu! Dari mana pula kau mempelajari ilmu silat kami itu?” tanya Sie Lok dengan terheran-heran dan
mata terbelalak!
“Aku belum pernah mempelajari ilmu-ilmu silat itu, akan tetapi memang Suhu Bu Pun Su telah melatihku
untuk mengetahui semua dasar-dasar ilmu silat yang pada hakekatnya sama, sehingga setiap kali aku
diserang dengan semacam ilmu silat, aku dapat meniru gerakan itu dan mengembalikannya kepada lawan
dengan jurus itu juga.”
Sie Lok dan Sie Kiong saling pandang dengan heran dan mereka ini hampir tidak dapat mempercayai
keterangan ini. Akan tetapi oleh karena tadi mereka telah menyaksikannya sendiri dan beberapa belas
jurus pukulan yang paling terahasia dan terlihai dari mereka sudah dilakukan dengan sempurna oleh Cin
Hai, mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Bukan main!” kata pula Sie Kiong. “Akan tetapi Kanda Ban Leng mempunyai kepandaian Eng-jiauw-kang
yang lihai sehingga ia mampu menghadapi kami berdua yang memegang senjata dengan tangan kosong
saja. Maka cobalah kau menghadapi kami dengan tangan kosong pula sedangkan kami menyerang dengan
senjata tajam!”
Sie Lok juga menyetujui cara percobaan kepandaian ini dan Sie Kiong lalu berlari masuk untuk mengambil
dua batang pedang. Setelah menyerahkan sebatang kepada kakaknya, kedua orang tua ini lalu
menghadapi Cin Hai, dan Sie Lok berkata,
“Cin Hai kau berhati-hatilah, karena ilmu pedang kami bukanlah kepandaian rendah!” Lalu ia melangkah
maju dan mulai dengan serangannya. Demikianlah Sie Kong yang segera memutar pedang di atas kepala
dan mengirim serangan hebat.
Cin Hai lalu memperlihatkan ilmu silat tangan kosong yang dipelajarinya dari Bu Pun Su, yaitu Kong-ciak
Sin-na. Tubuhnya dengan ringan sekali melompat-lompat ke atas laksana seekor burung merak yang
sedang terbang saja dan kemudian dari atas dia menghadapi serangan pedang dengan tendangan serta
cengkeraman untuk merampas senjata kedua pamannya.
Sementara itu, semenjak tadi burung bangau yang besar itu hanya berdiri memandang, kadang-kadang
terbang ke atas dan berputaran di atas kepala ketiga orang yang sedang bertempur. Akan tetapi, sesudah
ia menyaksikan betapa tubuh Cin Hai melayang ke atas bagaikan burung, ia lalu memekik keras dan
tubuhnya melayang lalu menyambar dengan sepasang patuknya yang runcing bagai pedang itu, yang
digerakkan secara hebat untuk menyerang Cin Hai.
“Ang-siang-kiam, jangan!” teriak Sie Lok.
Akan tetapi Cin Hai lalu berkata sambil tersenyum. “Biarlah, Pek-hu, dia juga mau ikut bergembira,
mengapa tidak boleh?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah, dengan ilmu Silat Kongciak Sinna, Cin Hai melayani kedua pamannya yang dibantu oleh
burung bangau itu sehingga kini dia dikeroyok tiga. Akan tetapi ilmu silatnya sungguh hebat sehingga
tubuhnya seakan-akan tidak pernah mengambah bumi. Tiap kali tubuhnya turun, ia kemudian
menggunakan ujung sepatunya untuk mengenjot lagi hingga tubuhnya kembali melayang ke atas.
Serangan burung bangau itu dia gagalkan dengan kepretan tangan ke arah paruh burung itu sehingga tiap
kali jari tangannya menyentuh paruh, maka burung bangau itu hampir jatuh ke bawah! Sementara itu, dua
pedang Sie Lok dan Sie Kiong yang bergerak bagai dua ekor ular sakti menyambar-nyambar itu dapat
dihindarkannya dengan tendangan kaki dan cengkeraman yang sebaliknya bahkan mengancam
pergelangan tangan mereka dan bagian tubuh lain!
Setelah menghadapi serangan tiga pengeroyok ini sampai tiga puluh jurus lebih, Cin Hai tiba-tiba melompat
turun dan berkata,
”Sekarang setelah permainan Kong-ciak Sin-na tadi, aku akan mainkan Pek-in Hoat-sut, juga yang
diturunkan oleh Suhu Bu Pun Su!”
Jauh sekali perbedaan ilmu silatnya ini dengan yang tadi. Apa bila tadi gerakannya gesit sekali, kini dia
berdiri dengan tenang dan kokoh di atas tanah, kedua lengan tangannya digerak-gerakkan dan tiba-tiba
dari kedua lengan ini mengebul uap putih! Burung bangau menyambar turun, lalu dikebut dengan tangan
kiri dan ketika uap putih itu menyambar, burung itu memekik keras dan terlempar, lalu terbang lagi ke atas
tanpa berani menyerang lagi!
“Hebat!” kata Sie Lok yang segera menyerang lagi, disusul oleh Sie Kiong.
Akan tetapi alangkah terkejut hati mereka ketika sekali saja Cin Hai menangkis, pedang mereka hampir
saja terlepas dari pegangan!
“Sungguh lihai sekali!” kata Sie Lok sambil berhenti menyerang dan memandang Cin Hai dengan wajah
berseri. “Cin Hai, kalau tidak menyaksikan dan merasakan sendiri, aku tak akan dapat percaya bahwa kau
mempunyai ilmu kepandaian seperti ilmu sihir saja! Ahh, anakku, jangankan baru seorang Ban Leng, biar
dia menjadi tiga pun tak mungkin dapat mengalahkan kau! Hebat, hebat!”
“Akan tetapi, semenjak tadi Hai-ji (Anak Hai) hanya menangkis dan menjaga diri saja. Aku belum merasai
kehebatan serangan balasannya. Cin Hai, coba kau cabut pedangmu agar kami dapat pula menyaksikan
kiamsut-mu!”
“Baiklah,” kata Cin Hai sambil mencabut keluar Liong-coan-kiam dari pinggangnya. “Nah, Pek-hu dan Siokhu,
bersiap sedialah, aku hendak menyerang dengan Ilmu Pedang Daun Bambu!”
Sie Lok dan Sie Kong segera memutar pedang mereka dengan cepat untuk melindungi diri sehingga
jangankan pedang lawan, biar pun air sepikul pun kalau disiramkan ke arah mereka tak mungkin akan
dapat menembus sinar pedang mereka yang melindungi tubuh!
Cin Hai lalu menggerakkan pedangnya. Gerakannya cepat luar biasa dan matanya yang tajam sudah dapat
melihat lowongan-lowongan di antara sinar pedang kedua pamannya.
“Awas!” teriaknya dan dua kali pedangnya lalu berkelebat secara luar biasa sekali. Maka terdengarlah kain
robek dua kali, lantas Cin Hai menarik kembali pedangnya dan berdiri tegak!
Sie Lok dan Sie Kiong merasa heran dan segera menghentikan gerakan mereka pula. Alangkah terkejut
hati mereka ketika melihat betapa baju di dada mereka telah robek dan bolong terkena ujung pedang Cin
Hai yang baru menyerang segebrakan saja itu!
Keduanya lalu melempar pedang masing-masing dan maju memeluk Cin Hai. Tak terasa pula, mata
mereka berlinang air mata karena girang, puas dan bangga.
“Hai-ji... kalau bangsat Ban Leng itu berada di sini, akan mampus dia di tanganmu!” kata Sie Lok.
“Cin Hai, anakku yang gagah perkasa! Ahh... kalau saja Kanda Gwat Leng masih hidup, tentu dia akan
merasa bangga sekali melihat kau selihai ini...,” kata Sie Kiong dan orang tua berjenggot hitam ini
dunia-kangouw.blogspot.com
menggunakan punggung tangan untuk mengusir pergi dua butir air mata yang terloncat keluar dari kedua
matanya.
Dengan hati terharu Cin Hai lalu bertanya, “Di manakah makam Ibu? Dan di manakah pula jenazah Ayah
dikuburkan?”
“lbumu dikuburkan di dusun Kang-cou, dan jenazah ayahmu yang dulu dibakar oleh para petugas di kota
raja, dapat kami curi dan kami tanam pula di dekat makam Ibumu. Dusun itu berada di kaki Bukit Houwsan.”
Untuk dua pekan lamanya Cin Hai tinggal bersama kedua pamannya dan selama itu dia mempelajari caracara
menangkap semua binatang buas. Burung bangau menjadi kawan baiknya dan ia merasa suka sekali
kepada burung ini hingga burung itu menjadi jinak dan ke mana pun dia pergi burung itu selalu
mengikutinya. Melihat hal ini, kedua pamannya kemudian menyatakan bahwa burung itu diberikan kepada
Cin Hai untuk menjadi kawan seperjalanannya.
“Bawalah Ang-siang-kiam, dia dapat menjadi kawan baik dalam perjalanan,” kata Sie Lok dan Cin Hai
menerimanya dengan girang hati.
Dalam waktu senggang, Cin Hai menuturkan pengalaman-pengalamannya dan bercerita pula tentang
sahabat-sahabatnya, tentang Nelayan Cengeng, tentang Kwee An dan Ma Hoa, dan tidak lupa pula
menceritakan tentang diri Lin Lin yang diakuinya sebagai calon isterinya sehingga kedua orang tua itu
menjadi girang sekali.
“Kelak kalau kau akan menikah, tak boleh tidak kau harus memberi kabar supaya kami dapat datang
minum arak kegirangan.”
Kemudian Cin Hai berpamit karena dia sudah terlalu lama meninggalkan Lin Lin. Kedua pamannya tidak
dapat menahannya dan berangkatlah ia meninggalkan kedua pamannya dengan semua harimau itu, pergi
dengan ilmu berlari cepat. Burung bangau yang besar terbang di atasnya dan ikut pergi bersamanya…..
********************
Karena Cin Hai melakukan perjalanan dengan mempergunakan ilmu lari cepat dan jarang berhenti dalam
kerinduannya hendak segera bertemu kembali dengan Lin Lin, sambil tidak lupa mencari-cari jejak Kwee
An dan Ma Hoa yang lenyap tak meninggalkan bekas itu, maka beberapa hari kemudian sampailah dia di
kaki bukit tempat tinggal Yousuf. Dia merasa heran sekali melihat betapa dusun-dusun di sekitar bukit itu
sudah kosong dan tiada bermanfaat lagi!
Dengan hati berdebar cemas dia berlari ke atas bukit dan betul saja seperti apa yang dia khawatirkan,
rumah Yousuf sudah roboh dan nampak seperti bekas dibakar! Dengan hati cemas dan wajah pucat Cin
Hai mencari dan membongkar tumpukan puing, akan tetapi dia menjadi lega oleh karena tidak melihat
tanda-tanda bahwa kekasihnya dan Yousuf menjadi korban api yang membakar rumah. Dia berdiri di depan
tumpukan puing dengan tubuh lemas, dan tiba-tiba dia mendengar suara ringkik kuda dari jauh.
“Pek-gin-ma!” ia berseru dan melompat terus lari cepat mengejar ke arah suara itu.
Dan di dalam sebuah hutan dia melihat kuda itu sedang makan rumput dan kadang kala meringkik sedih
seolah-olah kehilangan kawan dan merasa kesunyian. Pada saat Cin Hai lari menghampiri, ia lalu
mengangkat kepalanya dan meringkik lagi, seakan-akan hendak menceritakan sesuatu.
Cin Hai memeluk leher kuda itu dan merasa menyesal sekali mengapa dia tidak menjadi kuda saja supaya
dapat mengerti apa yang hendak diceritakan oleh Pek-gin-ma tentang kekasihnya!
“Pek-gin-ma, apakah yang telah terjadi pada mereka? Pek-gin-ma, kalau kau tahu tempat mereka, bawalah
aku kepada Lin Lin...”
Akan tetapi, kuda itu hanya menggaruk-garuk tanah dengan kedua kaki depannya.
Sementara itu, burung bangau yang ikut datang bersama Cin Hai, terbang berputaran di atas melihat-lihat
daerah yang asing baginya itu. Cin Hai lantas menunggang Pek-gin-ma dan bersuit memanggil Ang-siangkiam
yang segera meluncur turun dan mengikuti ke mana pemuda itu melarikan kudanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cin Hai turun dari lereng dan memeriksa dusun-dusun di sekitar daerah itu. Pada saat dia sedang berdiri di
tengah dusun yang kosong sambil menuntun Pek-gin-ma, tiba-tiba dia mendengar suara tindakan kaki. Dia
segera melompat ke belakang sebuah pohon besar dan dapat menangkap lengan tangan seorang
penduduk dusun yang hendak melarikan diri. Orang itu masih muda dan meronta-ronta, kemudian setelah
merasa bahwa ia tidak kuasa melepaskan diri lalu menjatuhkan diri berlutut sambil memohon.
“Ampun, Hohan, jangan bunuh aku,” katanya dengan tubuh menggigil.
“Berdirilah, sahabat. Aku bukan orang jahat, dan aku hanya hendak bertanya kepadamu apa yang sudah
terjadi di pegunungan ini. Ke mana perginya semua penduduk dusun ini dan tahukah kau ke mana perginya
orang Turki dan nona yang dulu tinggal di lereng itu?”
Ketika melihat bahwa Cin Hai bukanlah orang yang ditakutinya, pemuda dusun itu lalu bercerita bahwa
beberapa hari yang lalu, pegunungan itu didatangi serombongan orang Turki yang terdiri dari puluhan
orang banyaknya, sambil menunggang kuda-kuda besar mereka menyerang dusun-dusun seperti orangorang
gila.
Kemudian orang-orang Turki ini menyerbu naik ke atas bukit untuk menangkap Yousuf. Terjadilah
pertempuran hebat dan orang-orang dusun yang bersembunyi lantas melihat betapa Yousuf, Lin Lin dan
Merak Sakti melarikan diri dari situ dengan cepat, dikejar-kejar oleh rombongan orang Turki itu!
“Entah ke mana mereka melarikan diri, agaknya mereka tidak kuat menghadapi serbuan orang-orang Turki
itu!” pemuda dusun tadi mengakhiri ceritanya.
Cin Hai merasa terkejut sekali. Kalau Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti sampai tidak kuat menghadapi
rombongan itu, tentu di dalam rombongan itu terdapat orang-orang pandai, pikirnya. Ia heran sekali,
siapakah orangnya yang dapat mengalahkan Lin Lin yang sudah dilatihnya dengan ilmu-ilmu silat tinggi itu?
Dia benar-benar tak mengerti dan kemudian turun gunung dengan hati cemas dan pikiran bingung, diikuti
oleh burung bangau yang dengan setia terbang rendah di atas kepalanya…..
********************
Marilah kita ikuti pengalaman Kwee An dan Ma Hoa semenjak mereka terguling ke dalam jurang tebing
yang amat curam itu.
Telah diceritakan pada bagian depan bahwa Kwee An terkena dorongan hawa pukulan Angin Taufan dari
Ke Ce yang lihai hingga dia terguling ke dalam jurang, sedangkan Ma Hoa cepat melompat menyusul
kekasihnya itu sehingga mereka berdua ketika jatuh ke dalam jurang saling berpegangan tangan dan
mendapat kekuatan batin luar biasa karena sentuhan tangan ini!
Akan tetapi betapa pun juga, merasa betapa tubuhnya meluncur turun dengan cepatnya ke dalam jurang
yang luar biasa dalamnya itu tanpa berdaya sedikit pun, Ma Hoa merasa ngeri sekali hingga ia menjadi
pingsan! Sebaliknya, Kwee An biar pun juga tidak berdaya, tetapi ia masih sadar dan di dalam jatuhnya, ia
masih berusaha menggerakkan tubuhnya dan mengulur tangan untuk mencari pegangan!
Akhirnya ia pun berhasil dan sebelah tangannya dapat menangkap sebatang pohon yang tumbuh pada
permukaan jurang yang curam itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia merasa betapa tangan Ma Hoa yang
memegangnya menjadi lemas dan ketika pegangan tangannya di cabang pohon itu menahan luncuran
tubuhnya, pegangan pada tangan Ma Hoa itu lalu terlepas tanpa dapat ia tahan lagi hingga tubuh Ma Hoa
terus ke bawah, terpisah darinya!
Kwee An merasa betapa tangannya yang memegang pohon itu sakit, dan seakan-akan sambungan tulang
pada pundaknya terlepas oleh karena sentakan tenaga luncurannya yang tiba-tiba tertahan itu keras sekali.
Dia berpegang kuat-kuat pada pohon itu sambil memandang ke bawah dengan penuh kengerian. Melihat
betapa tubuh kekasihnya itu terus meluncur ke bawah hingga lenyap tertutup halimun tebal, ia mengeluh
keras-keras.
“Ma Hoa...”
Kemudian ia pun roboh pingsan! Untung baginya bahwa di mana ia berada itu memiliki banyak cabang dan
daun, sehingga pada saat tubuhnya terkulai karena ia roboh pingsan, tubuhnya tertahan oleh rantingdunia-
kangouw.blogspot.com
ranting pohon dan tidak sampai jatuh ke bawah.
Setelah beberapa lama berada dalam keadaan pingsan, lambat laun dia siuman kembali dan teringat akan
nasib Ma Hoa, Kwee An menangis sedih di atas dahan pohon itu. Dia ingin melemparkan dirinya ke bawah
untuk ikut mati bersama Ma Hoa, akan tetapi masih belum putus harapan. Siapa tahu kalau Ma Hoa juga
tertolong jiwanya? Lebih dulu dia harus menyelidiki dengan teliti.
Maka dia segera merangkak dengan hati-hati sekali di antara cabang pohon. Dia melihat betapa pohon itu
tumbuhnya melintang dan bahwa permukaan jurang itu lurus ke atas dan tak mungkin dilalui. Dengan amat
hati-hati dia lalu menggunakan batu-batu menonjol di pinggir atau dinding tebing itu untuk merayap ke atas.
Dengan pertolongan batu-batu karang dan akar-akar pohon, dia dapat juga meninggalkan pohon di mana
dia tersangkut tadi dan akhirnya dia mendapatkan sebuah goa di dinding tebing. Karena merasa lelah
sekali, dia lalu masuk ke dalam goa kecil itu dan beristirahat.
Semalaman penuh dia beristirahat di dalam goa itu, memikirkan nasib Ma Hoa dengan gelisah dan akhirnya
ia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanannya merayap dan mencari jalan keluar dari dinding
tebing yang curam dan luas itu, kemudian mencari kekasihnya.
Sementara itu, tubuh Ma Hoa meluncur ke bawah dengan kecepatan makin besar. Tak dapat disangsikan
lagi, jika tubuh dara ini jatuh menimpa batu atau tanah, pasti tubuhnya akan hancur lebur. Akan tetapi,
Thian Yang Maha Agung mempunyai kekuasaan yang tak terbatas. Bila belum dikehendakinya, ada saja
jalan atau penolong yang menyelamatkan nyawa seseorang dari kematian.
Pada saat tubuh Ma Hoa telah meluncur mendekati tanah, tiba-tiba saja terdengar orang mengeluarkan
seruan kaget, “Ya Tuhan Yang Maha Agung!” seruan ini dikeluarkan oleh seorang kakek berkepala botak.
Secepat kilat kakek botak ini segera menanggalkan mantelnya dan ketika tubuh Ma Hoa jatuh hendak
menimpa tanah, dia menggerakkan mantel itu yang menangkap tubuh Ma Hoa, dan sekali mantel
disentakkan, tubuh Ma Hoa yang tadinya meluncur ke bawah, lalu tenaga luncurannya dibelokkan ke kiri,
kemudian diteruskan ke atas sehingga tubuh itu melayang ke atas! Inilah cara luar biasa untuk
mematahkan tenaga luncuran yang keras itu.
Ketika tubuh Ma Hoa melayang lagi ke bawah, dengan tenaga yang telah patah sehingga daya luncurannya
jauh berkurang, kakek botak itu lalu menangkapnya dan membawanya masuk ke dalam sebuah goa yang
berada tak jauh dari tempat itu.
Setelah memeriksa keadaan Ma Hoa, kakek botak itu menarik napas lega oleh karena ia tahu bahwa gadis
itu pingsan bukan karena menderita luka, akan tetapi akibat kengerian, ketakutan dan juga karena tekanan
hawa yang menyesakkan pernapasannya ketika dia jatuh dari tempat yang luar biasa tingginya itu tadi!
Maka kakek botak itu lalu membiarkan saja Ma Hoa pingsan, karena memang sebaiknya gadis itu dibiarkan
sampai siuman sendiri. Dia hanya mengangkat kedua tangan Ma Hoa beberapa kali, dan mengurut-urut
leher gadis itu untuk memulihkan jalan pernapasannya kembali, kemudian ia membiarkan gadis itu
terlentang di atas tanah, lalu ia duduk di atas batu hitam yang bundar dan lebar untuk bersemedhi, seakanakan
tidak terjadi sesuatu.
Tidak lama kemudian, dari luar goa masuklah seorang tua lain yang tinggi kurus. Ketika melihat tubuh Ma
Hoa yang rebah terlentang di atas tanah, di belakang kakek botak yang duduk bersemedhi, orang tua tinggi
kurus ini membelalakkan matanya dan mengeluarkan suara, “Ah, ah, uh, uh...“ lalu menggerak-gerakkan
kedua tangannya. Ternyata bahwa dia adalah seorang kakek gagu!
Kakek botak itu membuka matanya dan tersenyum melihat lagak Si Gagu.
“A Tok! Jangah kau heran! Gadis ini bukan turun dari langit, akan tetapi dia terjatuh dari atas tebing itu. Ia
mempunyai tulang dan bakat baik sekali untuk menjadi muridku, maka sejak sekarang, dia menjadi sumoimu!
Keluarlah kau mencari Daun Siu-hwa putih untuk mengobati pengaruh kaget dan takutnya.”
A Tok yang gagu itu lalu terkekeh-kekeh girang dan pergi dari situ. Akan tetapi, tak lama kemudian dia
sudah kembali lagi sambil tangannya membawa beberapa helai daun yang berwarna putih dan tangannya
lalu bergerak-gerak serta dikembangkan ke kanan dan kiri meniru gerakan burung dan mulutnya tetap
mengeluarkan suara, “ah, ah, uh, uh” seperti tadi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hmm, burung besar? Biarlah aku keluar melihatnya, A Tok!”
Kakek botak itu lalu bertindak keluar dengan tenang. Dan benar saja, dia melihat seekor burung merak
yang besar dan indah melayang turun dengan kedua mata mencari-cari seperti lakunya seekor rajawali
mencari mangsa. Ini adalah Sin-kong-ciak yang disuruh oleh Lin Lin untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa.
Ketika melihat kakek yang berdiri di depan goa itu, Sin-kong-ciak lalu turun menyambar dengan cepat,
kedua kakinya siap mencengkeram dan patuknya siap menotok.
“Ha-ha-ha, burung merak yang lihai!” kata kakek botak itu sambil menggerakkan tangan kanannya.
Dari tangan itu lalu menyambar hawa yang kuat dan yang mendorong merak itu hingga terpental kembali
ke atas. Merak Sakti maklum bahwa kakek itu lihai sekali, maka dia hanya memekik-mekik keras sambil
terbang berputaran di atas kepala kakek botak itu.
Sedangkan kakek itu kemudian mengeluarkan kertas dan menulis beberapa huruf yang dicoret-coret,
kemudian dia mengambil sehelai tali yang mengikat batu karang kecil pada ujungnya.
“Merak baik, kau kembalilah dan berikan surat ini kepada orang-orang yang menyuruhmu turun!”
Ia lalu menyelipkan kertas bersurat itu pada tali dan sekali ia menggerakkan tangan, batu karang berikut tali
dan surat itu melayang bagaikan seekor ular terbang menuju ke arah Merak Sakti!
Sin-kong-ciak menyangka bahwa kakek itu menyambitnya dengan batu atau senjata lain, maka dia cepat
mengelak. Akan tetapi aneh sekali, ternyata bahwa kakek itu menyambit dengan cara yang luar biasa
sehingga ketika merak itu mengelak, ujung tali membelit sebuah kakinya dan batu itu terputar-putar
sedemikian rupa hingga tali membelit dengan erat pada kaki itu! Sin-kong-ciak biar pun tidak merasa sakit,
akan tetapi ia terkejut sekali sehingga kembali ia memekik-mekik keras, kemudian ia terbang ke atas
karena takut dan ngeri menghadapi kakek botak yang luar biasa itu! Demikianlah, kakek botak itu memberi
tahu kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan suratnya sebagaimana yang telah dituturkan di bagian depan.
Ketika akhirnya Ma Hoa siuman kembali dan membuka kedua matanya, ia merasa heran mendapatkan
dirinya rebah di atas tanah yang lembek dan berada di dalam sebuah goa yang gelap. Ia lalu bangun duduk
dan timbul perasaannya bahwa ia mungkin sudah mati karena segera terbayang kembali peristiwa tadi.
Ia memandang ke sekeliling untuk mencari Kwee An, dan alangkah herannya ketika dia melihat bahwa di
atas dua buah batu besar dua orang kakek sedang duduk bersemedhi. Kakek botak itu mendengar
gerakannya, lalu membuka mata dan turun dari atas batu.
“Anak, jangan kau kaget, kau berada di tempat yang aman,” katanya halus.
“Teecu... berada di manakah... dan siapakah Locianpwe?”
“Kau tadi terjatuh dari atas dan kebetulan sekali bertemu dengan aku hingga aku berhasil mencegah
tubuhmu dari kehancuran. Kau makan dulu daun-daun ini untuk melenyapkan rasa kagetmu.” Sambil
berkata demikian, kakek botak itu memberi lima helai daun-daun kecil yang berwarna putih dan yang tadi
dia suruh A Tok mencari.
Tanpa ragu-ragu lagi Ma Hoa menerima daun-daun itu dan memakannya. Rasanya agak masam, akan
tetapi karena memang dia merasa betapa dada kirinya berdenyut-denyut keras, dia lalu makan habis daun
itu dan aneh, denyutan keras itu segera mengurang dan akhirnya lenyap. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut
di depan kakek botak itu dan berkata,
“Locianpwe, teecu menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Dan mohon tanya,
bagaimanakah nasib seorang kawanku yang jatuh bersama teecu?” Sambil berkata demikian Ma Hoa
memandang kepada wajah kakek botak itu dengan cemas.
“Seorang kawanmu?” kakek itu berkata, “aku tidak melihat orang lain kecuali kau yang melayang jatuh dari
atas.”
“Ahh... kalau begitu, biarlah teecu mencarinya,” kata Ma Hoa sambil berdiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nanti dulu, Nak. Sebetulnya siapakah kau ini dan siapa pula kawanmu yang ikut jatuh? Mengapa pula kau
dan kawanmu sampai terjatuh dari tempat setinggi itu?”
Biar pun hatinya ingin sekali lekas keluar dari goa itu untuk mencari Kwee An, akan tetapi karena dia telah
tertolong jiwanya oleh kakek itu, maka Ma Hoa lalu menuturkan singkat pengalamannya, betapa dia dan
kawannya bertempur melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Kakek botak itu mengangguk-angguk dan
berkata,
“Pantas saja kau dan kawanmu kalah melawan Bo Lang Hwesio yang pernah kudengar namanya ketika
aku masih muda dan masih menjelajah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, tiga bulan saja kau mempelajari
Ilmu Silat Bambu Kuning dari aku, tak usah kau takut lagi menghadapi mereka!”
Ma Hoa terkejut mendengar ini, karena kata-kata itu menyatakan bahwa kakek botak ini hendak mengambil
dia sebagai muridnya! Maka dia segera menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Lo-cianpwe, bukan teecu
tidak tahu terima kasih, akan tetapi mengenai belajar silat ini lebih baik ditunda setelah teecu dapat mencari
kawanku yang jatuh itu.”
“Hemm, tidak boleh! Kau berjodoh untuk menjadi muridku dan ketahuilah, kalau tidak atas kehendakku
sendiri, biar orang berlutut dan bermohon di depanku sampai dia mati, tidak mungkin dia dapat menjadi
muridku. Tentang kawanmu itu, percayalah bahwa selain kau tak ada lagi orang lain jatuh dari atas. Maka
menurut dugaanku, kawanmu itu tentu telah dapat menolong jiwanya sendiri dan telah selamat, oleh karena
bila dia memiliki ginkang yang tinggi, pada waktu jatuh dia dapat menangkap cabang-cabang pohon yang
banyak tumbuh di samping tebing itu.”
Mendengar ucapan ini Ma Hoa menjadi lega juga dan ia percaya penuh bahwa kakek luar biasa ini tidak
berbohong. Ia pun merasa girang mendengar janji kakek ini bahwa setelah mempelajari ilmu silat tiga bulan
saja, dia akan dapat melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce! Ingin sekali ia mencari dan membalas kedua
orang yang hampir saja menewaskan dirinya itu. Maka ia lalu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata,
“Suhu, teecu Ma Hoa menurut perintah dan petunjuk Suhu!”
Kakek botak itu tertawa bergelak-gelak karena girangnya. “Bagus, bagus! Ketahuilah, aku bernama Hok
Peng Taisu, dan kakek gagu ini adalah seheng-mu bernama A Tok!”
Ma Hoa lalu menjura kepada suheng-nya yang sudah tua itu hingga A Tok menjadi girang dan membalas
pemberian hormat itu sambil berseru “Ah, ah… uh, uh…” dan tangannya bergerak-gerak.
“Tempat ini kurang baik untuk belajar silat,” kata Hok Peng Taisu, “mari kau ikut aku ke Hong-lun-san!”
Ma Hoa menurut dan kedua guru serta murid itu berlari cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke sebuah
bukit lain yang dari sana nampak puncaknya. Ma Hoa mengerahkan ilmunya berlari cepat, akan tetapi
meski pun suhu-nya hanya kelihatan berjalan perlahan saja, namun dia selalu tertinggal di belakang! Maka
dia merasa girang sekali oleh karena mendapat kenyataan bahwa suhu-nya yang baru ini sungguhsungguh
mempunyai ilmu kepandaian tinggi.
Setelah tiba di Hong-lun-san, Ma Hoa menjadi kagum melihat bahwa di puncak bukit ini terdapat pondok
suhu-nya dan pemandangan di situ tidak kalah indahnya dengan tempat tinggal Yousuf. Semenjak saat itu,
ia mendapat latihan IImu Silat Bambu Kuning yang luar biasa dari suhu-nya, Hok Peng Taisu.
Ilmu silat ini dimainkan dengan menggunakan dua batang bambu kuning yang runcing. Sepasang bambu
runcing ini pendek saja sehingga merupakan siangkiam atau sepasang pedang yang aneh karena terbuat
dari bambu biasa dan tidak tajam, ujungnya runcing.
Biar pun hanya sepasang bambu runcing kering, akan tetapi senjata ini hebatnya tidak kalah dengan
senjata-senjata lain yang terbuat dari besi atau baja. Hok Peng Taisu telah menggunakan waktu bertahuntahun
untuk mencipta ilmu silat ini dan di waktu mencipta, dia telah memasukkan segala kemungkinan
menghadapi senjata lawan yang bagaimana pun.
Kemudian, pada waktu muda dia telah merantau puluhan tahun tanpa dapat menemukan tandingan yang
dapat merobohkan ilmu silatnya ini. Setelah dia mengundurkan diri dan bertapa, dia bahkan memperdalam
lagi Ilmu Silat Bambu Kuning dengan cita-cita untuk menurunkannya pada seorang murid yang berbakat
dunia-kangouw.blogspot.com
dan baik. Dan secara kebetulan dan tak terduga sekali, pilihannya jatuh pada Ma Hoa.
Ma Hoa sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat yang tinggi dari Nelayan Cengeng, bahkan ilmu pedangnya
Hai-liong Kiamsut lihai sekali. Dan oleh karena ginkang-nya sudah cukup tinggi maka kini ia dapat
mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dengan tak banyak susah lagi.
Sesudah mempelajari ilmu silat yang aneh itu selama tiga bulan, maka dia sudah dapat mainkan dua
batang bambu runcing itu dengan sempurna dan hanya tinggal melatih dan mematangkannya saja. Oleh
karena maklum bahwa muridnya ini sangat menguatirkan keadaan Kwee An, Hok Peng Taisu tidak
menahannya lagi ketika Ma Hoa menyatakan keinginannya untuk turun gunung dan mencari kekasihnya.
Kakek ini hanya memesan agar Ma Hoa berhati-hati dan jangan lupa untuk sewaktu-waktu
mengunjunginya.
Ma Hoa langsung menuju ke bukit tempat tinggal Yousuf, oleh karena dia merasa pasti bahwa kalau Kwee
An tertolong dari bahaya maut dan masih hidup, tentu pemuda itu akan kembali ke tempat tinggal orang
Turki itu. Akan tetapi, alangkah kecewa dan cemas hatinya ketika tiba di tempat itu ia melihat rumah Yousuf
telah menjadi tumpukan puing dan keadaan di situ sunyi sekali.
Dengan cepat Ma Hoa lalu turun dari bukit dan menemui penduduk dusun yang kini telah berangsur-angsur
kembali lagi ke rumah masing-masing. Gadis itu mendapat keterangan tentang adanya penyerbuan
rombongan orang Turki yang hendak menangkap Yousuf.
Seperti juga Cin Hai, ia merasa heran mengapa Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti dapat dikalahkan dan
sampai melarikan diri dari serbuan rombongan itu. Pada waktu ia mencari keterangan tentang Kwee An dan
Cin Hai, tak seorang pun dapat menceritakannya, oleh karena memang Kwee An tidak pernah datang ke
tempat itu, sedangkan ketika Cin Hai datang, orang-orang kampung sedang lari mengungsi.
Bukan main bingung hati Ma Hoa, karena tidak saja dia tidak tahu akan nasib Kwee An, bahkan kini dia
tidak tahu pula bagaimana keadaan kawan-kawan lainnya serta di mana mereka sekarang berada. Maka
dia lalu meninggalkan tempat itu dan setelah memeriksa tempat di mana dia dan Kwee An terjatuh dari
tebing, ia lalu turun gunung dan mengambil keputusan hendak mencari Kwee An di sekitar gunung ini…..
********************
Setelah bermalam di dalam goa, pada keesokan harinya Kwee An terjaga dari tidurnya dengan tubuh
terasa panas sekali. Ketika ia menggerakkan tubuhnya, ia menjadi terkejut karena seluruh tubuhnya terasa
kaku dan sakit. Ternyata bahwa pukulan Angin Taufan dan kemudian kejatuhan itu mendatangkan akibat
yang hebat juga.
Ia menderita sakit dan agaknya keadaan goa yang kotor dan kekurangan hawa segar itu telah
mendatangkan demam kepadanya! Terpaksa ia rebah di dalam goa itu dan selama tiga hari panas
tubuhnya meningkat hingga ia rebah dalam keadaan sakit dan mengigau karena panasnya.
Keadaannya berbahaya sekali karena selain tidak ada yang merawatnya, juga dia tidak dapat makan
sesuatu. Akan tetapi, pada hari ke empat, panasnya berkurang sehingga ia dapat menggerakkan tubuhnya
merangkak perlahan ke mulut goa. Ia melihat tetumbuhan kecil di mulut goa itu dan oleh karena dia merasa
lapar sekali, dia mengambil daun-daun muda dan memakannya!
Demikianlah, dia hidup dengan sengsara sekali selama berbulan-bulan di dalam goa itu, hanya makan
akar-akar pohon dan daun-daun yang ada di dekat goa. Setelah tubuhnya menjadi kuat kembali, barulah
dia merayap-rayap dengan jalan mencari pegangan pada akar-akar pohon dan menginjak batu-batu karang
yang menonjol, berupaya keluar dari tempat tahanan alam ini!
Sesudah dia dapat menginjak tanah datar lagi, ternyata bahwa tempat itu jauh berbeda dengan keadaan
lereng gunung di mana Yousuf tinggal. Bagian bukit ini penuh dengan hutan-hutan liar dan tanpa dia sadari
dia telah tiba di bagian utara gunung itu, sedangkan tempat tinggal Yousuf adalah di bagian selatan. Dia
juga tidak ingat lagi bahwa dia telah berada di goa itu selama tiga bulan lebih!
Kwee An lalu memasuki sebuah hutan yang terdekat, kemudian mencari buah-buah yang banyak tumbuh
dari pohon-pohon besar di sana, dan makanlah dia sepuas-puasnya dan sekenyangnya.
Namun, baru saja dia turun dari pohon, mendadak dari hutan muncul serombongan orang yang segera
dunia-kangouw.blogspot.com
datang mengurungnya sambil berteriak-teriak. Orang-orang ini mengenakan pakaian aneh, setengah
pakaian Han dan setengah Mongol. Potongan tubuh serta wajah mereka bagus dan tidak ada banyak
bedanya dengan orang-orang Han biasa, akan tetapi bahasa mereka terdengar aneh dan mirip bahasa
Mongol.
Mereka ini adalah kelompok sisa dari bangsa Haimi yang telah dipukul pecah dan diusir oleh bangsa
Mongol. Orang-orang Haimi ini sebenarnya masih memiliki darah campuran, yaitu darah Han dan Mongol
dan mereka mempunyai potongan muka yang boleh disebut tampan.
Kwee An merasa terheran-heran melihat bahwa semua orang yang aneh ini mempunyai kumis indah yang
panjang dan dilingkarkan ke atas. Akan tetapi mereka semua mencukur habis jenggot mereka, bahkan
yang sudah agak tua pun tidak memelihara jenggot, hanya memelihara kumis yang melintang di bawah
hidung! Lebih aneh lagi, bahkan orang-orang setengah dewasa yang berada di antara mereka, juga
memelihara kumis pula!
Rombongan orang berkumis melintang ini lalu mengepung Kwee An sambil mengajaknya bercakap-cakap
dalam bahasa mereka yang sama sekali tidak dimengerti olehnya.
“Apakah yang kalian kehendaki? Aku tak mengerti,” kata Kwee An kepada mereka sambil tersenyum dan
mengangkat pundak. Betapa pun juga, dia melihat sikap mereka bukanlah seperti orang-orang liar yang
hendak mencelakakan atau menyerangnya, maka hatinya menjadi lega.
Tiba-tiba salah seorang di antara mereka yang telah putih rambutnya, akan tetapi masih memiliki kumis
yang hitam indah melintang di bawah hidungnya, maju menghampirinya dan bertanya dalam bahasa Han
campuran yang kaku.
“Siapakah kau dan dari mana kau datang?”
Kwee An merasa girang sekali. Dia cepat menjura memberi hormat kepada orang tua itu dan menjawab,
“Syukur sekali engkau bisa bicara bahasa Han, Lopek. Siauwte bernama Kwee An dan aku datang ke sini
bukan disengaja, hanya kebetulan saja. Tempat apakah ini dan siapakah kalian ini?”
Dengan sukar sekali kakek ini lalu menjawab. “Kami adalah bangsa Haimi yang mengikuti pemimpin kami
dan sekarang tinggal di hutan ini. Telah bertahun-tahun kami tak bertemu dengan orang Han, maka kami
merasa heran sekali dapat bertemu dengan kau di sini.”
“Mengapa kalian mengurungku?” tanya Kwee An dengan hati tidak enak juga.
“Kau harus ikut kami menghadap kepada pemimpin kami di dalam hutan.”
Biar pun tidak merasa keberatan untuk bertemu dengan pemimpin orang-orang Haimi ini, akan tetapi Kwee
An merasa tidak senang juga sebab ia seolah-olah hendak dipaksa dan dijadikan tawanan pula. Apa
perlunya ia harus menghadap pimpinan mereka?
Ada pun orang-orang yang mengelilinginya, terutama yang muda-muda, memandangnya seakan-akan dia
adalah seorang yang lucu. Dia merasa betapa pandang mata mereka ini semua ditujukan pada hidungnya
sehingga diam-diam Kwee An merasa amat heran dan beberapa kali ia lalu menggunakan ujung lengan
baju untuk menggosok-gosok hidungnya karena kuatir kalau-kalau tanpa disengaja ia telah mengotorkan
hidungnya. Ia tidak tahu bahwa para pemuda berkumis panjang itu memandangnya dengan tertawa-tawa
karena geli melihat ia tidak berkumis sama sekali!
Bagi mereka, melihat seorang pria tidak berkumis sama dengan melihat harimau yang tak berkumis atau
kera tak berbulu! Salah seorang di antara mereka yang berwajah tampan dan mempunyai kumis kecil
panjang melingkar ke atas sedangkan usianya paling banyak baru lima belas tahun, bahkan maju
mendekatinya. Sambil menunjuk ke bawah hidung Kwee An, ia tertawa-tawa berkata dalam bahasanya.
Semua orang tertawa mendengar ucapan pemuda tanggung ini dan biar pun tak mengerti bahasa mereka,
namun Kwee An dapat merasa, bahwa ia dijadikan bahan olok-olok.
“Tidak, aku tidak mau pergi menghadap pemimpinmu!” kata Kwee An yang merasa sebal dan marah juga.
Orang tua itu melangkah mundur dua tindak dan bicara dalam bahasanya sendiri, yang maksudnya
dunia-kangouw.blogspot.com
memberi tahu kepada semua kawannya bahwa orang asing ini tak mau pergi menghadap kepala mereka.
Tiba-tiba sikap orang-orang yang tadinya tertawa-tawa itu berubah. Mereka lalu mundur dan ketika tangan
mereka bergerak, mereka semua sudah mencabut golok kecil dengan tangan kiri dan melepaskan seutas
cambuk panjang dengan tangan kanan. Sikap mereka mengancam sekali.
“Ehh, ehh, apakah kalian hendak memaksaku?” tanya Kwee An kepada kakek tadi yang juga sudah
mencabut keluar seutas cambuk panjang berwarna merah dan sebilah golok kecil yang tajam sekali.
Kakek itu mengangguk. “Apa bila kau tidak mau menghadap dengan suka rela, terpaksa kami akan
memaksamu. Siapa pun orang yang lewat di sini, harus menghadap kepada pemimpin kami karena daerah
ini menjadi daerah kami dan berada di bawah kekuasaan kami! Jangan kau mencoba untuk melawan, anak
muda, karena kau takkan keluar dari tempat ini dengan bernyawa kalau kau tidak menuruti permintaan
kami!”
Tiba-tiba, anak muda belasan tahun yang tadi memperolok-oloknya, melompat maju ke hadapan Kwee An
sambil memutar-mutar cambuknya ke atas. Cambuk itu berbunyi keras sekali dan menyambar-nyambar ke
atas dengan ganasnya sehingga diam-diam Kwee An menjadi terkejut dan juga kagum. Tak mudah
menggerakkan cambuk seperti itu jika tidak mempunyai kepandaian dan tidak melatih diri dengan baik.
Cambuk itu dapat merupakan senjata yang berbahaya!
“Siapakah anak ini dan apa kehendaknya?” tanya Kwee An kepada kakek itu.
Orang tua itu lalu berkata dengan suara dingin. “Dia adalah putera pemimpin kami yang merasa tak puas
melihat sikapmu. Ia menganggap kau tidak menghormat ayahnya maka sekarang ia menantang kau untuk
mengadu cambuk!”
“Mengadu cambuk? Apa artinya itu?”
“Ini merupakan semacam adu kepandaian yang menjadi tradisi bangsa kami. Orang yang mengadu
kepandaian memegang cambuk di tangan kanan dan golok di tangan kiri. Yang boleh digunakan untuk
menyerang hanyalah cambuk itu saja, sedangkan golok itu hanya digunakan untuk mencoba membabat
putus cambuk lawan. Siapa yang cambuknya bisa dibuat putus berarti kalah. Apa bila keduanya dapat
menjaga sehingga cambuk masing-masing tidak terputus, maka siapa yang terbanyak mendapat luka
cambukan, ia kalah.”
Kwee An mengangguk-angguk dan ia pun memandang kepada pemuda belasan tahun itu dengan kagum.
Sikapnya memang gagah sekali. Tubuhnya kuat dan sepasang matanya menyinarkan keberanian yang
besar, sedangkan kedua tangan yang memegang senjata itu nampak tetap dan sigap.
“Aku terima tantangannya,” kata Kwee An dengan wajah berseri karena dia ingin sekali mencoba sampai di
mana kepandaian anak muda yang tampan itu.
Ketika kakek itu memberi tahu bahwa Kwee An menerima tantangan pemuda itu, sikap mereka berubah
lagi. Kalau tadi mereka bersungut-sungut dan marah, sekarang mereka bersorak dan bergembira, karena
mereka memang menghargai kegagahan.
Melihat bahwa Kwee An berani melawan pemuda yang menjadi jago di antara mereka itu, mereka merasa
kagum! Segera mereka berpencar dan duduk di atas rumput mengelilingi mereka dan memberi tempat
yang cukup luas untuk dua orang yang hendak bertanding itu. Sedangkan kakek itu lalu memberi pinjaman
sebatang cambuk panjang dan sebuah golok kepada Kwee An.
Sebetulnya Kwee An tak gentar untuk menghadapi pemuda tanggung itu dengan tangan kosong. Akan
tetapi oleh karena dia kuatir kalau-kalau dianggap memandang rendah, ia lalu menerima kedua senjata itu
dan memegang di tangan dengan sembarangan saja.
Tentu saja sikapnya ini menjadikan buah tertawaan lagi oleh karena bagi mereka, dari cara memegang
kedua macam senjata itu saja sudah menunjukkan tingkat kepandaian pemegangnya. Menurut teori
mereka, memegang cambuk itu harus di atas kepala dan selalu diayun-ayun dan diputar-putar, sedangkan
tangan kiri yang memegang golok harus membalikkan golok itu dengan bagian yang tajam di atas agar
mudah menangkis dan memutuskan cambuk lawan. Akan tetapi Kwee An memegang cambuk yang
tergantung ke bawah, sedangkan goloknya ia pegang seperti orang memegang golok untuk bersilat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda tanggung itu tiba-tiba berseru keras dan Kwee An maklum bahwa itu tentu tanda bahwa lawannya
hendak mulai menyerang, maka dengan tenang dan waspada ia berdiri memasang kuda-kuda dan
memandang tajam. Benar saja, cambuk pemuda itu tiba-tiba berbunyi keras dan berkelebat menyambar ke
arah lehernya.
Kwee An segera mengelak sambil merendahkan tubuhnya. Akan tetapi ternyata bahwa yang menyambar
lehernya adalah bagian tengah cambuk itu, sedangkan ujungnya yang kecil lemas dan masih panjang itu
tiba-tiba saja dapat bergerak ke arah dadanya.
Hanya dengan pengerahan lweekang cukup tinggi yang dapat menggerakkan cambuk itu pada ujungnya
seakan-akan cambuk itu hidup. Melihat ini, Kwee An merasa kagum juga dan cepat ia mengelak lagi
dengan lompatan cepat ke samping.
Kwee An terlepas dari pada serangan pertama dan semua orang yang duduk mengelilingi tempat itu dan
menonton, mengeluarkan seruan-seruan karena mereka merasa sangat heran melihat cara Kwee An
mempertahankan diri.
Memang, mereka itu biasanya tidak mengandalkan kecepatan tubuh untuk mengelak dari serangan dan
biasanya ketika diserang, mereka akan menggunakan golok di tangan kiri untuk menangkis dan mencoba
memutuskan cambuk lawan, sedangkan cambuk sendiri harus segera dikerjakan untuk mengirim serangan
balasan. Jadi ilmu cambuk mereka itu pada hakekatnya didasarkan atas kecepatan membalas serangan
lawan serta ketepatan menangkis dengan golok.
Gerakan Kwee An yang cepat itu membuat mereka terheran-heran. Akan tetapi ketika pemuda itu
menyerang terus bertubi-tubi hingga cambuknya menyambar-nyambar sambil memperdengarkan suara
keras mengurung seluruh tubuh Kwee An, dan betapa Kwee An lalu mempergunakan ginkang-nya
berkelebat ke sana ke mari di antara sinar dan ujung cambuk, semua orang menjadi bengong karena tibatiba
saja mereka tidak melihat lagi tubuh Kwee An dan hanya melihat bayangannya saja berkelebatan.
Bahkan kakek tua itu pun tiada habisnya mengeluarkan seruan memuji.
Tiba-tiba pemuda tanggung itu menghentikan serangannya. Dengan muka merah karena penasaran dan
marah, ia bicara dengan suara keras kepada Kwee An yang juga berdiri tenang.
Kakek itu lantas berkata dari tempat duduknya, “Dia merasa penasaran karena kau tidak menggunakan
cara bertanding yang biasa. Kau mempergunakan cara berkelahi terhadap musuh, sedangkan permainan
ini sama sekali bukan berkelahi, namun hanya mengadu kepandaian. Sekarang kau pilih, hendak berkelahi
mengadu jiwa atau hendak bertanding mengadu kepandaian? Kalau hendak bertanding, kau harus
membalas dengan cara yang sama dan menyerang dengan cambukmu!”
Kwee An terkejut. Tanpa sengaja ia telah melukai perasaan pemuda tanggung itu, maka ia pun cepat-cepat
berkata, “Baiklah, aku akan membalas dengan serangan cambuk. Aku akan merampas cambuk dari
tangannya!”
Ketika kakek itu memberitahukan hal ini kepada pemuda itu. Dia lalu tersenyum senang dan mulai
menyerang lagi. Kini Kwee An tidak mau mempergunakan ginkang-nya lagi, dan ketika cambuk lawan
menyambar, dia pun lalu menggerakkan cambuk di tangannya dan menggerakkan tenaga lweekang-nya
hingga cambuknya kemudian membelit cambuk lawan. Ketika dia berseru keras dan membetot, tanpa
tertahan lagi pemuda tanggung itu berteriak kaget dan terlepaslah cambuk itu dari tangannya.
“Nah, aku menang, karena cambuknya telah dapat kurampas!” kata Kwee An kepada kakek itu yang duduk
sambil memandang cara tadi dengan mata terbelalak heran.
Semua orang, termasuk pemuda tanggung itu, merasa heran sekali. Bagaimana cambuk dapat dipakai
untuk merampas senjata sedemikian mudahnya? Akan tetapi, pemuda itu melangkah maju lantas kembali
mengeluarkan kata-kata keras dengan muka penasaran. Sesudah dia habis berkata-kata, terdengar semua
orang yang duduk mengelilingi mereka itu tertawa bergelak.
“Ada apa lagi?” tanya Kwee An kepada kakek yang menjadi juru bahasa itu.
Kakek itu tersenyum geli mendengar kata-kata anak muda tadi. “Ia bilang bahwa laki-laki tanpa kumis
memang seperti seorang perempuan yang berhati lemah. Dia menganggap kau tidak tahan melihat darah
dunia-kangouw.blogspot.com
seperti seorang perempuan, dan karena kau tak berkumis, maka tentu saja kau berhati curang dan tadi
mempergunakan ilmu sihir yang jahat untuk mengalahkannya. Ia tidak merasa kalah karena selain
cambuknya masih belum terputus oleh golokmu, dia pun tidak mendapat satu pun luka dari cambukmu. Dia
menantangmu bertanding secara laki-laki, jangan seperti seorang perempuan!”
Merahlah muka Kwee An mendengar ini. Ia lalu melempar cambuk yang dirampasnya itu kepada pemuda
tadi, dan setelah berseru keras, ia mulai menyerang dengan cambuknya yang disabetkan ke arah pinggang
pemuda itu!
Pemuda itu berseru gembira dan mengangkat golok, dengan membabat keras dan cepat sekali dengan niat
memutuskan cambuk Kwee An yang berarti bahwa ia akan mendapat kemenangan!
Kwee An terkejut juga melihat gerakan golok itu, oleh karena ternyata ketika menangkis pemuda tanggung
itu mempergunakan gerakan silat golok Bidadari Memalang Pintu! Ia maklum bahwa sabetan golok itu
berbahaya sekali bagi keselamatan cambuknya, maka ia menggerakkan tangannya hingga cambuk
memutar kembali lalu menyerampang kedua kaki pemuda itu dengan gerakan cepat.
Ia menyangka bahwa pemuda itu tentu tidak memiliki ilmu ginkang sehingga lemah pada pergerakan kaki
dan kegesitannya. Akan tetapi ia kecele karena dengan cepat, pemuda itu melompat ke atas dan dari atas
cambuknya segera menyambar ke arah kepala Kwee An! Kembali Kwee An terkejut. Gerakan melompat
tadi adalah gerakan ilmu silat bernama Ikan Melompati Ombak!
Maka dia tidak berlaku sungKansungkan lagi dan menerjang dengan cambuknya yang diputar cepat sekali
mengurung tubuh pemuda itu! Pemuda tanggung itu nampak makin gembira dan melawan dengan hebat,
dan ternyata bagi Kwee An bahwa ilmu kepandaian bermain cambuk dari pemuda ini benar-benar lihai!
Sekarang para penonton bersorak dengan girang sekali karena mereka kini menyaksikan pertandingan
main cambuk yang benar-benar hebat dan ramai! Bahkan kakek tadi sudah mengeluarkan sebuah huncwe
(pipa tembakau) yang pendek, lalu mengepulkan asap dari huncwe-nya dan dia duduk menonton dengan
asyiknya seakan-akan yang sedang berlangsung di depannya adalah pertunjukan yang amat indah
menarik!
Betapa pun pandai permainan cambuk anak muda itu, namun ia bukanlah lawan Kwee An yang memiliki
ilmu kepandaian silat tinggi. Untuk menangkis tiap sabetan lawan, Kwee An tidak perlu menggunakan
goloknya, karena cambuknya sudah cukup digunakan untuk menangkis. Sedangkan tiap kali pemuda itu
menyabet cambuknya, dengan mengerahkan lweekang-nya, Kwee An dapat membuat cambuknya menjadi
lemas, licin dan kuat hingga pada waktu beradu dengan mata golok, cambuknya hanya terpental saja dan
tidak dapat diputuskan!
Ia mulai mengirim cambukan dan mula-mula ia hanya mencambuk punggung pemuda itu saja. Bukan main
herannya semua penonton ketika melihat betapa setiap kali Kwee An mengayun cambuk, selalu ujung
cambuknya mengenai punggung lawannya!
Juga pemuda tanggung itu merasa heran dan penasaran karena tidak dia sangka sama sekali bahwa
pemuda asing tanpa kumis ini ternyata adalah seorang jago cambuk yang luar biasa! Dia adalah seorang
jago yang nomor satu di antara para pemuda dan telah lama dikagumi, tak nyana bahwa sekarang dia
menjadi korban cambuk seorang pemuda tanpa kumis dan sama sekali tak dapat membalas!
Maka ia menjadi marah dan penasaran sekali, lalu menyerang terus dengan nekad walau pun bajunya
pada bagian punggungnya telah robek semua oleh ujung cambuk Kwee An! Memang Kwee An tidak
bermaksud melukai pemuda itu sehingga tiap kali cambuknya mengenai sasaran, dia selalu menyimpan
tenaga dan tidak membuat kulit lawan menjadi terluka, hanya merobek-robek bajunya saja.
Tadinya Kwee An bermaksud agar supaya pemuda itu menginsyafi kelemahannya dan suka mengaku
kalah. Akan tetapi sesudah melihat betapa pemuda itu bahkan mendesak makin nekad, maka dia menjadi
penasaran juga. Ia mulai menambah tenaga pada ujung cambuknya sehingga pecahlah kulit punggung
pemuda itu terkena ujung cambuk. Darah mengalir membasahi bajunya yang sudah sobek.
Alangkah heran hati Kwee An ketika tiba-tiba semua orang bersorak melihat darah itu, seakan-akan
menyaksikan peristiwa yang sangat menggembirakan dan yang menambah keindahan pada pertandingan
itu! Kwee An mengirim beberapa kali cambukan lagi yang membuat kulit punggung lawannya penuh
dengan darah karena kulit itu terpukul pecah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sungguh pun Kwee An tak bermaksud melukainya terlalu dalam, akan tetapi seharusnya cambukancambukan
itu cukup menyakitkan. Akan tetapi anehnya, pemuda itu bukannya menyerah, bahkan menjadi
makin nekad dan menyerang semakin hebat!
Kwee An menjadi kewalahan juga. Melihat dari sikap pemuda ini dan sorak-sorakan para penonton yang
menjadi gembira, dia maklum bahwa pemuda tanggung yang gagah ini tentu mengambil keputusan hendak
melawan sampai darahnya habis atau sampai tidak kuat lagi, sedangkan para penonton semakin merasa
gembira saja. Ketika ia mengerling dan memandang ke arah kakek tua tadi, ternyata bahwa kakek itu pun
sedang menonton sambil mengepul-ngepulkan asap huncwe-nya, seolah-olah dia menikmati pemandangan
yang menyenangkan hati!
Maka Kwee An lalu mendapat akal. Ia mulai mengeluarkan ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat warisan
Hek Mo-ko. Tubuhnya berkelebat dan melompat ke atas dan bergerak mengelilingi pemuda itu yang
menjadi pening dan kabur matanya.
Tiba-tiba, tanpa terlihat orang lain, Kwee An mengulurkan jari tangan dan dengan tepat sekali menotok
jalan darah thian-hu-hiat sehingga pemuda itu roboh dengan lemas tanpa dapat bergerak lagi!
Melihat pemuda itu roboh dengan tubuh lemas, semua orang mengira bahwa pemuda itu tentu telah amat
lelah dan terlalu banyak mengeluarkan darah, maka dianggap kalah dan semua orang lalu menolongnya!
Kwee An juga pura-pura menolongnya, akan tetapi saat dia mengangkat pundak pemuda itu, dia menekan
dengan jarinya hingga totokannya tadi dapat dilenyapkan, hingga kesehatan pemuda itu pulih kembali.
Pemuda itu hanya memandang dengan heran dan kagum, kemudian tiba-tiba dia berdiri, memeluk leher
Kwee An dan menciumi pipinya! Inilah tanda dari rasa persahabatan dan kekaguman sehingga tadinya
Kwee An merasa heran sekali. Tetapi setelah dia mendapat keterangan dari kakek itu, dia merasa lega dan
sangat senang.
Semua orang tiada habisnya memuji serta mengagumi Kwee An dan seketika itu juga Kwee An
mendapatkan julukan Malaikat Cambuk! Betapa tidak? Pemuda tanggung itu adalah putera pemimpin
mereka yang memiliki ilmu cambuk tertinggi di antara anak-anak muda di situ, dan sekarang Kwee An
dapat mengalahkannya tanpa menderita cambukan sekali pun!
Sekarang semua orang bukan memaksa, akan tetapi membujuk-bujuk Kwee An supaya menemui
pemimpin mereka. Melihat keramahan mereka ini, Kwee An merasa kurang enak hati untuk menolaknya,
maka ia lalu ikut mereka masuk ke dalam hutan yang liar itu.
Kedatangan mereka disambut oleh banyak orang dan kembali Kwee An terheran-heran, oleh karena semua
orang laki-laki di kampung itu berkumis! Kumis mereka semodel, yaitu panjang melintang dan dipilin ke
atas, membuat mereka nampak gagah dan kereng! Akan tetapi yang membuatnya benar-benar tak
mengerti adalah bahwa anak-anak muda yang baru dua belas atau tiga belas tahun pun mempunyai kumis
macam itu!
Pada saat melihat ada seorang anak laki-laki paling banyak berusia sebelas tahun sudah kumisan, Kwee
An tidak terasa pula mengulurkan tangan untuk memeriksa apakah kumis itu tulen. Akan tetapi ketika dia
mencabutnya perlahan, anak itu berteriak kesakitan dan semua orang menjadi heran melihat kelakuan
Kwee An itu!
Hanya kakek juru bahasa tadi saja yang mengerti akan maksudnya, maka ia pun berkata, “Semua kumis
yang kami pakai adalah kumis tulen, kumis yang tumbuh dengan wajar dari kulit!”
“Tapi... tapi anak kecil itu... usianya baru sebelas tahun!” berkata Kwee An dengan heran sekali.
Kakek itu tertawa. “Kenapa tidak? Usia sebelas tahun sudah dewasa! Menurut kebiasaan kami, anak lakilaki
yang telah berusia sepuluh tahun, dianggap dewasa dan padanya lalu dikenakan upacara tumbuh
kumis, yakni dengan perayaan gembira, anak itu dinyatakan dewasa dan di atas bibirnya kemudian digosok
dengan obat tumbuh kumis. Dalam waktu setahun saja kumisnya akan tumbuh dengan baiknya seperti
yang kau lihat pada anak tadi.”
Kwee An baru mengerti setelah mendengar penuturan ini. Pantas semua orang di sana memelihara kumis.
Yang lebih mengherankannya lagi ialah ketika orang-orang wanitanya muncul. Mereka ini rata-rata berkulit
dunia-kangouw.blogspot.com
halus putih dan walau pun potongan muka hampir sama dengan orang-orang Han, namun mata mereka
lebar-lebar dan bagus. Akan tetapi ketika wanita-wanita itu tertawa, Kwee An terkejut oleh karena gigi
mereka yang kecil dan berderet rapi itu ternyata berwarna hitam mengkilat! Diam-diam Kwee An mengeluh
dan menyayangkan mengapa wanita-wanita cantik manis itu bergigi hitam!
Kwee An dibawa menghadap pada seorang Haimi yang bertubuh tinggi besar dan yang mempunyai kumis
indah dan panjang sekali. Matanya lebar berpengaruh, usianya belum tua benar, paling banyak empat
puluh tahun. Ketika melihat Kwee An, dia lalu turun dari tempat duduknya dan menyambutnya dengan
ramah.
“Sahabat, kunjungan seorang Han merupakan kehormatan besar sekali bagi kami!”
Bukan main dan herannya hati Kwee An mendengar betapa pemimpin Haimi ini dapat bicara bahasa Han
dengan amat baiknya! Ia lalu menjura dan berkata girang,
“Akulah yang mendapat kehormatan besar sekali kini dapat bertemu dengan orang-orang gagah bangsa
Haimi, dan girang sekali hatiku karena ternyata bahwa selain kakek itu kau pun pandai berbahasa Han!”
Tempat di mana Kwee An disambut oleh kepala suku bangsa Haimi itu adalah sebuah pondok yang cukup
besar terbuat dari pada kayu-kayu hutan. Pada saat itu, dari ruang dalam muncul seorang wanita muda dan
ketika Kwee An memandang, ia menjadi kagum.
Dara ini cantik sekali, terutama sepasang matanya yang lebar dan sangat indah. Dengan gerakan lemah
lembut dan tanpa sungKansungkan lagi, dara muda itu mengambil tempat duduk di dekat pemimpin itu
kemudian memandang Kwee An dengan sinar mata kagum, menatap secara langsung tanpa malu-malu
seperti biasa kelakuan para gadis bangsanya sendiri! Oleh karena dipandang secara demikian itu, Kwee
Anlah yang merasa malu dan sungkan!
“Ini adalah puteriku yang bernama Meilani,” kata pemimpin itu kepada Kwee An dan gadis itu tersenyum
kepadanya.
Kembali datang rasa kecewa dalam hati pemuda itu ketika melihat betapa senyum manis itu dikacaukan
oleh cahaya gigi yang hitam berkilau itu. Kenapa orang merusak gigi yang bagus itu?
Pemuda yang tadi dikalahkan oleh Kwee An, lalu menghampiri ayahnya dan menuturkan tentang
pertandingan tadi kepada ayahnya sambil menggerak-gerakkan dua tangannya. Ia memandang kepada
Kwee An dengan kagum dan agaknya ia memuji-muji kepandaian Kwee An karena Kwee An melihat
betapa pemimpin itu lalu memandangnya dengan mata terbelalak, sedangkan Meilani bahkan lalu berdiri
dari tempat duduknya dan menghampiri dia sambil memandangnya penuh perhatian dari kepala sampai ke
kaki, seperti seorang memeriksa dan menaksir-naksir benda yang indah menarik!
Kwee An sama sekali tidak berani bergerak ketika didekati oleh dara ini, dan pada waktu gadis ini
mendekatinya dia mencium keharuman yang ganjil, seperti bau bunga mawar!
Ketika Kwee An mengerling ternyata ruang yang luas itu sudah penuh orang-orang, lelaki dan wanita, serta
kanak-kanak yang semuanya memandang kepadanya dengan kagum! Dikelilingi oleh sekian banyak lakilaki
berkumis sedangkan dia sendiri tidak, juga sekian banyak wanita-wanita cantik yang bergigi hitam, ia
merasa seolah-olah ia sedang berada di dunia lain!
“Anak muda, ketahuilah bahwa aku adalah Sanoko, yaitu pemimpin rombongan bangsaku yang terdiri dari
dua ratus jiwa lebih. Meilani adalah puteriku dan pemuda yang tadi kau kalahkan adalah puteraku. Kau
siapakah dan di mana kau mempelajari ilmu cambuk yang begitu hebat hingga sudah mengalahkan
puteraku?” pertanyaan ini diajukan dengan mata memandang kagum.
“Aku bernama Kwee An, dan tentang ilmu cambuk itu, sesungguhnya aku belum pernah mempelajarinya.
Hanya sedikit ilmu silat bangsaku pernah kupelajari sehingga aku dapat mempertahankan diri terhadap
serangan cambuk puteramu.”
Tiba-tiba gadis yang bernama Meilani itu bicara kepada ayahnya, dan ternyata suaranya sangat merdu dan
nyaring.
Ayahnya tertawa bergelak, lalu bertanya kepada Kwee An, “Kwee-taihiap, apakah engkau juga pandai
dunia-kangouw.blogspot.com
bermain golok?”
Mendengar bahwa kepala suku bangsa Haimi ini tiba-tiba menyebutnya taihiap (pendekar besar), Kwee An
merasa sungkan juga, maka sambil merendah ia menjawab,
“Aku pernah mempelajari sedikit ilmu pedang, akan tetapi sayang sekali pedangku sudah hilang di jalan.”
Ketika Sanoko menterjemahkan ucapan Kwee An kepada anak perempuannya, tiba-tiba gadis itu berlari
masuk ke dalam rumah dan keluar kembali sambil membawa sebatang pedang yang terbungkus kain
kuning. Ia lalu menyerahkan pedang itu kepada Kwee An yang ketika menerima dan melihat pedang itu,
menjadi terkejut sekali karena pedang itu bukan pedang sembarangan, akan tetapi sebuah pedang mustika
yang ringan sekali dan tajam serta mengeluarkan cahaya kekuningan! Meilani lalu bicara kepada ayahnya
yang menjelaskan pada Kwee An,
“Anakku Meilani dulu pernah menemukan golok dan pedang ini di dalam sebuah goa dan oleh karena kami
tidak pernah mempelajari ilmu pedang, hanya mempelajari sedikit ilmu golok, maka pedang ini tidak ada
yang dapat menggunakannya. Maka karena anakku juga pernah belajar main golok, ia sekarang minta
supaya kau suka melawannya dengan pedang ini dan apa bila kau dapat mengalahkannya, maka pedang
ini akan dihadiahkan kepadamu!”
Bukan main girang hati Kwee An, oleh karena ia maklum bahwa ini benar-benar pedang yang ampuh dan
tajam. Pada tempat di dekat gagang dia melihat ukiran dua huruf ‘OEI KANG’ yang berarti ‘Baja Kuning’.
Akan tetapi, ketika itu ia tidak sempat memperhatikan keadaan Oei-kang-kiam itu terlebih teliti lagi oleh
karena dia merasa terkejut mendengar bahwa dara cantik bergigi hitam itu mengajaknya pibu! Tak pernah
disangkanya bahwa gadis itu pun pandai ilmu golok.
Ketika dia melihat golok itu, dia maklum pula bahwa golok itu pun terbuat dari pada logam yang sama
dengan pedangnya, karena juga mengeluarkan cahaya kekuningan. Sebagai seorang ahli silat, tentu saja
Kwee An tidak menolak ditantang pibu, maka dia pun segera menjawab,
“Baik, hanya kuharap saja Nona Meilani akan berlaku murah hati kepadaku.”
Setelah mendengar jawaban pemuda itu, Meilani lalu bertindak keluar dari pondok, diikuti oleh ayahnya dan
adiknya. Kwee An juga keluar dari tempat itu sambil membawa pedang Oei-kang-kiam, dan semua orang
lalu keluar pula dengan wajah berseri gembira, mereka seakan-akan hendak menghadiri pesta perayaan
yang menarik hati.
Sesudah berada di halaman pondok yang luas, Meilani lantas melompat dengan gerakan yang ringan dan
lincah sambil membawa goloknya. Gadis ini kemudian mempererat ikat pinggangnya, mengikat pula dua
kuncir rambutnya yang lalu diselipkan di dalam baju di belakang punggung. Setelah itu, dengan gagah dan
cantik, dia berdiri menanti Kwee An dengan golok di tangan kanan dan senyum manis menghias bibirnya.
Ketika melihat gerakan gadis yang melompat tadi, Kwee An merasa kagum juga karena Meilani ternyata
memiliki gerakan yang gesit. Maka dia menjadi gembira juga dan sambil memegang pedang Oei-kang-kiam
di tangan kanan, ia lalu membuat gerakan Naga Sakti Menembus Awan, melompat ke hadapan gadis itu. Ia
telah melompat cepat dari tempat yang jauhnya kira-kira lima tombak, maka gerakannya ini disambut
dengan tampik sorak oleh semua penonton yang secara cepat sekali mengelilingi tempat adu silat itu!
Melihat bahwa pemuda ini sudah melompat ke hadapannya, Meilani berseru nyaring yang maksudnya
memberitahu bahwa ia hendak mulai menyerang. Ia langsung menggerakkan goloknya, diputar-putar di
atas kepalanya seperti gerakan orang Haimi bermain cambuk, kemudian tubuhnya menerjang dengan
sebuah lompatan cepat dan golok itu menyambar ke arah leher Kwee An!
Seperti juga pedang Oei-kang-kiam, golok di tangan gadis itu tipis dan tajam, akan tetapi ringan sekali
hingga gerakan Meilani cepat sekali datangnya. Kwee An hendak mencoba pedangnya, maka dia lalu
mengangkat pedang menangkis. Terdengar suara nyaring dan ketika dua batang senjata itu beradu, dari
pedang dan golok yang terbuat dari logam yang sama itu keluarlah bunga-bunga api berwarna hijau.
Meilani berseru kaget karena ketika goloknya beradu dengan Oei-kang-kiam, hampir saja senjata itu lepas
dari pegangannya!
“Hebat sekali tenagamu!” katanya dalam bahasa yang tak dimengerti oleh Kwee An, akan tetapi yang
membuat para pendengarnya, terutama Sanoko, menjadi kagum, karena dia tahu bahwa puterinya itu
dunia-kangouw.blogspot.com
sudah diberi latihan tenaga dalam yang cukup tinggi, karena itu dengan sekali tangkis saja dapat membuat
puterinya memuji, tentu pemuda tanpa kumis itu benar-benar lihai!
Meilani lalu memutar-mutar goloknya dan mainkan ilmu golok yang cukup hebat. Golok di tangannya lalu
berubah menjadi sinar kuning yang bergulung-gulung laksana gelombang menderu mengancam diri Kwee
An. Akan tetapi Kwee An lalu mengeluarkan ilmu pedang Hai-liong Kiam-sut yang dulu dia pelajari dari
Nelayan Cengeng.
Melihat betapa pemuda itu berkelebat cepat sekali seolah-olah menerobos di antara sinar goloknya dan
kadang-kadang lenyap dari pandangan matanya, Meilani menjadi terkejut sekali. Sedangkan semua
penonton menjadi melongo keheranan melihat kehebatan ilmu sitat Kwee An dan pertandingan yang seru
itu membuat mereka menahan napas dan lupa untuk bersorak.
Sanoko juga merasa kagum sekali karena puterinya yang tadinya menggerakkan golok hendak mengurung,
kini bahkan kena dikurung oleh pedang Kwee An. Saking tegangnya, dia sampai berdiri dari tempat
duduknya kemudian memandang dengan penuh perhatian. Gerakan pedang Kwee An benar-benar bagai
seekor naga laut yang mengamuk hingga diam-diam Sanoko mengakui bahwa belum pernah ia
menyaksikan ilmu silat sedemikian lihainya.
Kwee An yang merasa sangat gembira karena mendapatkan pedang yang baik sekali, segera
mendemonstrasikan ilmu pedangnya tanpa bermaksud melukai lawannya, hanya mengurung dengan
pedangnya saja. Apa bilas dia mau, dengan mudah saja dia dapat menjatuhkan Meilani, akan tetapi mana
hatinya tega untuk melukai gadis cantik yang tak bermaksud buruk terhadap dirinya itu.
Dikurung oleh sinar pedang Kwee An yang lihai, lambat laun Meilani merasa pening dan pandangan
matanya kabur. Mendadak dia berseru keras dan segera tubuhnya melompat tinggi dan jauh. Ketika ia
turun, ia berdiri memandang dengan wajah kemerah-merahan, kemudian setelah memandang dengan
kagum kepada pemuda itu dia lalu melemparkan goloknya kepada Kwee An yang disambut dengan baik
oleh tangan kiri Kwee An!
Melihat hal ini, semua orang bersorak riang dan bahkan ada beberapa orang yang cepat menghampiri
Kwee An, memeluk dan menciumi pipinya hingga pemuda itu merasa geli sekali karena merasa betapa
kumis-kumis mereka itu seakan-akan mengitik-itiknya.
Kakek yang dapat berbahasa Han itu pun menghampirinya dan menjura sambil berkata, “Kionghi, kionghi,
(selamat, selamat)...!”
Kwee An hanya mengira bahwa kakek itu memberi selamat atas kemenangannya, maka alangkah
terkejutnya ketika Sanoko datang menghampirinya, memeluknya sambil berkata dengan suara yang penuh
keharuan.
“Kwee An, puteriku sudah memilih jodohnya dan aku merasa gembira sekali mendapat seorang mantu
seperti engkau!”
“Apa...? Apakah maksudmu...?” Ia bertanya sambil memandang dengan mata terbelalak heran.
“Meilani telah memberikan goloknya dan kau pun telah menerimanya dengan baik, masih ingin bertanya
apa lagi? Harap kau berlaku seperti seorang laki-laki sejati dan jangan berpura-pura atau malu-malu.
Upacara pernikahan dilakukan besok pagi dan sementara itu, kau boleh mengadakan persiapan dan akan
dibantu oleh pamanku ini!” kata Sanoko sambil menunjuk kepada kakek penghisap huncwe yang ternyata
adalah paman Sanoko sendiri. Kemudian ia masuk ke dalam rumah dengan tindakan kaki gagah.
Kwee An berdiri bagaikan sebuah patung dan ketika kakek itu menarik dirinya menuju ke sebuah pondok
tak berjauhan dari tempat itu, Kwee An segera bertanya, “Lopek, apakah maksudnya ini semua?”
“Barang kali kau tidak tahu, anak muda. Sudah menjadi kebiasaan kami bahwa apa bila seorang gadis
memberikan goloknya pada seorang pemuda dan pemberian itu diterima, maka itu berarti bahwa mereka
telah mengikatkan diri menjadi jodoh masing-masing. Tadi Meilani telah memberikan goloknya kepadamu
dan kau telah menerimanya, maka berarti bahwa kau adalah jodoh Meilani. Kau boleh merasa bangga dan
berbahagia oleh karena Meilani merupakan gadis tercantik di antara bangsa kami dan telah banyak
pemuda yang merindukannya. Di samping memiliki kepandaian tinggi dan menjadi puteri kepala kami, dia
juga berilmu tinggi dan berbudi baik. Tidak kau lihatkah betapa cantik jelitanya dia?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pucatlah wajah Kwee An mendengar ini. “Tapi… tapi… bukan maksudku untuk menerima dia sebagai…
sebagai… jodohku. Aku tidak tahu akan kebiasaan menerima golok itu. Dia melemparkan goloknya
kepadaku, sudah tentu saja kusambut dengan tanganku. Lopek, tolonglah aku karena aku sungguhsungguh
tak dapat menerima perjodohan ini!”
Wajah kakek itu berubah tak senang. “Mengapa begitu? Apakah dia kurang cantik? Anak muda, ingatlah
bahwa di seluruh daerah ini tak mungkin kau akan mendapatkan seorang gadis seperti Meilani. Dia telah
memilihmu tanpa mempedulikan wajahmu yang tak patut karena tidak berkumis, semata-mata karena dia
kagum melihat kelihaian ilmu pedangmu. Sanoko juga telah menyetujuinya, maka kau tidak boleh menolak.
Penolakanmu ini akan berarti penghinaan pada kami seluruh suku bangsa Haimi, dan tentu kau akan
dikeroyok dan dibunuh kalau kau berani menolak. Untung bahwa penolakanmu ini hanya terdengar olehku
yang masih dapat berpikir panjang, kalau terdengar oleh orang lain terutama oleh Sanoko, tentu kau akan
dibunuh!”
Bukan main terkejut hati Kwee An mendengar keterangan ini. Ia segera berdiri dan sambil menyerahkan
kembali golok Meilani kepada kakek itu, ia lalu berkata, “Lopek, tolong kau kembalikan golok ini dan
sampaikan salam serta rasa hormatku kepada Sanoko, dan juga penyesalan serta permohonan maafku
kepada Meilani, karena kalau memang demikian halnya, sekarang juga aku mau pergi agar jangan timbul
hal-hal yang tidak diinginkan.”
Akan tetapi begitu menerima kembali golok baja kuning itu kakek ini lalu melompat berdiri dengan sikap
mengancam. ”Tidak bisa, anak muda! Ketahuilah bahwa perbuatanmu ini hanya akan membuat Meilani
malu sekali sehingga dia pasti akan membunuh diri sesuai dengan adat kami. Karena ini, sebagai paman
kakek gadis itu, aku tak akan membiarkan kau pergi! Kau baru bisa meninggalkan tempat ini setelah
melewati mayatku!”
“Jangan, Lopek, biarkan aku pergi!” kata Kwee An dengan gugup.
Akan tetapi, kakek itu lalu menyerangnya dengan golok di tangan! Penyerangannya hebat sekali, jauh lebih
lihai dari pada gerakan golok Meilani, sehingga Kwee An terpaksa harus mengeluarkan ilmu silat yang dia
pelajari dari Hek Mo-ko. Dan sekali tubuhnya berkelebat dan tangannya diulurkan, golok itu telah terampas
olehnya!
“Kau benar-benar lihai, nah, kau bunuhlah dulu aku sebelum pergi dari sini!”
Lemaslah tubuh Kwee An. Ia merasa bingung sekali. Kalau sampai benar-benar gadis itu membunuh diri
karena dia tinggal pergi, dia merasa tidak tega sekali. Karena itu dia lalu memandang kakek itu dengan
mata mengandung permintaan tolong.
“Kakek, aku... tidak dapat melukaimu. Kalian sudah berlaku sangat baik kepadaku, begitu ramah tamah,
bagaimana aku sampai hati mendatangkan mala petaka? Tapi perkawinan itu sungguh-sungguh tidak
mungkin kulakukan. Ketahuilah bahwa aku sudah mempunyai seorang tunangan. Aku tidak bisa kawin
dengan gadis lain.”
Mendengar ini, kakek itu berpikir keras. “Kalau menurut kebiasaan kami, tiada halangan bagi seorang
pemuda untuk memiliki dua orang isteri, sungguh pun hal itu sangat jarang terjadi. Aku maklum akan
penolakanmu, dan ternyata kau memang seorang yang baik budi. Baiknya diatur begini saja, yang
terpenting bagi seorang gadis kami ialah upacara pernikahan. Apa bila upacara itu sudah dilangsungkan,
kau tidak berhalangan untuk pergi meninggalkan isterimu walau pun tidak menjadi isteri dalam arti
sesungguhnya. Setelah upacara selesai, kau boleh pergi kalau itu benar-benar kau kehendaki dan Meilani
hanya akan merasa malu dan membunuh diri. Dengan demikian, kau tidak menghina bangsa kami dan
tidak menghina Meilani.”
“Akan tetapi, Lopek, tentu Meilani akan memandang aku sebagai seorang laki-laki berhati rendah dan
seakan-akan menipunya kalau setelah melakukan upacara pernikahan aku lalu pergi meninggalkannya!”
Kwee An membantah.
“Jangan kuatir, sebelum upacara dilangsungkan, malam ini juga aku akan memberi tahu kepadanya bahwa
kau menjalankan upacara ini hanyalah untuk melindungi mukanya dari perasaan rendah dan malu, dan
bahwa kau tidak mungkin menjadi suaminya karena kau telah mempunyai calon istri lain.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwee An memegang tangan kakek itu dengan pernyataan terima kasihnya oleh karena ia anggap itu
adalah cara terbaik.
Malam itu, lima orang gadis yang berwajah manis-manis serta bergigi hitam mengkilap, menyerbu masuk
ke kamarnya di pondok kakek itu. Sambil tertawa-tawa dan bicara tidak karuan karena tidak dimengerti oleh
Kwee An, gadis-gadis itu menghampiri Kwee An. Ada yang memegang tangannya dan menarik-nariknya,
ada yang memegang kepalanya, dan ada pula yang hendak menggunakan sesuatu untuk digosokkan di
bawah hidungnya. Kwee An terkejut sekali dan dengan hati berdebar ketakutan dia lalu memberontak dan
melepaskan diri dari serbuan kelima orang gadis itu!
“Ehh, ehh, kalian pergilah! Keluarlah dari kamar ini! Apakah kalian sudah gila dan hendak menggangguku?”
katanya dengan keras dan mata terbelalak.
Akan tetapi oleh karena kelima orang gadis itu tidak mengerti ucapannya, mereka hanya tertawa saja dan
menghampirinya kembali! Kwee An berlarian ke sana ke mari di dalam kamarnya, akan tetapi terus dikejarkejar
oleh para gadis itu sambil tertawa-tawa! Karena merasa ngeri dan takut, Kwee An berteriak dan tidak
lama kemudian, datanglah kakek penghisap huncwe itu ke dalam kamarnya untuk melihat apakah yang
terjadi di situ.
Melihat betapa Kwee An telah melompat ke atas pembaringan dan berdiri mepet di sudut sambil
memandang lima orang gadis yang mengurungnya dengan mata terbelalak bagai seekor tikus melihat lima
ekor kucing, tak tertahan lagi kakek itu tertawa bergelak! Girang sekali hati Kwee An melihat kedatangan
kakek itu dan ia lalu melompat turun dan lari ke belakang tubuh kakek tadi.
“Lopek, tolonglah aku. Mereka ini apakah tiba-tiba menjadi gila?”
“Ini pun termasuk upacara perayaan pernikahan yang akan dilangsungkan besok. Mereka ini datang untuk
menggodamu dan untuk menggosok hidungmu dengan obat penumbuh kumis!”
“Apa?” Kwee An berseru sambil menutupi hidungnya dengan tangan kanan, seolah-olah merasa ngeri
sekali bahwa hidungnya tadi telah terkena obat itu dan tumbuh kumis! “Aku tidak mau... aku tidak mau,
Lopek. Usirlah mereka keluar!” Sedangkan di dalam hatinya, Kwee An berkata, “Alangkah akan kagetnya
Ma Hoa kalau ia kelak melihat aku berkumis panjang menjungat ke atas!”
Kakek itu kemudian mengucapkan perkataan kepada para gadis itu yang lalu pergi sambil terkekeh-kekeh,
akan tetapi pada waktu mereka memandang Kwee An, mereka merasa kecewa sekali! Kwee An menghela
napas panjang karena hatinya lega ketika melihat gadis-gadis itu sudah pergi.
“Bagaimana Lopek, apakah kau memberi tahu dan berterus terang kepada Meilani?”
Kakek itu mengangguk dengan muka sedih.
“Dan marahkah dia kepadaku?”
“Tidak, tidak marah. Hanya kecewa dan berduka. Kau... kau memang kejam.”
“Ehh, mengapa kau berkata demikian, Lopek? Pernikahan ini terjadi karena salah sangka dan bukan terjadi
atas kehendakku. Bahkan upacara ini pun terpaksa kulakukan hanya untuk menolong dia.”
Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali dia menghela napas. “Alangkah baiknya bila kau benar-benar
menjadi suami Meilani dan menjadi anggota keluarga kami. Kepandaian yang kau miliki lihai sekali dan kau
dapat kami harapkan untuk membantu kami mengusir para pengganggu kami, keparat-keparat Mongol itu!”
Tergerak hati Kwee An melihat wajah kakek yang telah keriputan itu nampak sedih sekali. “Lopek, untuk
membantu kalian, tidak perlu aku harus menjadi keluarga. Kalau memang terdapat kesulitan dan aku
mampu membantu, pasti aku akan membantu sekuat tenaga. Katakanlah, apakah yang sudah terjadi dan
apa pula yang diperbuat oleh orang-orang Mongol terhadap bangsamu?”
Sesudah berulang kali menghela napas, kakek itu lalu bercerita, “Bangsa kami, yaitu suku bangsa Haimi,
adalah bangsa yang besar dan memiliki kebudayaan tinggi. Akan tetapi, oleh karena kami merupakan
bangsa perantau dan tidak punya tempat tinggal yang tetap, maka inilah yang merupakan kelemahan kami.
Selama beberapa tahun ini, kami selalu mendapat pukulan dan gangguan dari bangsa Mongol yang hendak
dunia-kangouw.blogspot.com
memperluas daerah kekuasaan mereka. Banyak anggota keluarga kami dibinasakan, wanita diculik, dan
harta benda kami dirampas! Hinaan-hinaan ini terpaksa kami terima dengan cucuran air mata dan dengan
helaan napas, oleh karena kami tak berdaya. Makin banyak kami melakukan perlawanan, makin banyak
jatuh korban di pihak kami hingga makin lama makin kecillah jumlah keluarga kami, oleh karena pihak
Mongol memang jauh lebih kuat dari pada kami. Telah lama kami mengimpikan datangnya bintang
penolong, dan setelah kini kau datang, maka besarlah harapanku dan harapan Sanoko bahwa engkaulah
orangnya yang mampu menolong kami membalas dendam kepada orang-orang Mongol serta mengusir
mereka kalau berani datang mengganggu lagi. Akan tetapi, memang nasib bangsaku yang buruk, kau
bahkan mengecewakan kami, juga menghancurkan hati puteri kami yang bernasib malang...”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, dari kedua mata kakek itu mengalirlah beberapa butir air mata! Kwee
An merasa terharu sekali dan ia segera memegang lengan kakek itu.
“Lopek, janganlah kau kuatir. Aku bersumpah bahwa aku akan mengusir dan menghajar orang-orang
Mongol yang berani mengganggu kalian. Tunjukkan di mana mereka berada, akan kudatangi dan kuhajar
mereka!” kata-kata ini diucapkan dengan penuh semangat sehingga kakek itu dapat tersenyum lagi.
“Hal itu mudah, nanti apa bila upacara perkawinan sudah dilanjutkan akan kutunjukkan padamu di mana
keparat-keparat itu berada.”
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kakek itu telah memberi sesetel pakaian Haimi yang indah
kepada Kwee An, lengkap dengan ikat kepala yang lebar. “Pakailah ini, hanya untuk memenuhi syarat
upacara adat.”
Agar supaya tidak melukai perasaan kakek itu dan semua orang, terpaksa Kwee An lalu mengenakan
pakaian itu.
“Ahh, kau memang gagah sekali. Apa bila kau membiarkan kumismu tumbuh, kau akan menjadi pemuda
yang paling tampan di antara kami dan kau akan menjadi suami yang cocok sekali bagi Meilani! Sayang...
sayang...,” kata kakek itu sambil memandang dengan kagum.
Kemudian, sambil menabuh gendang dan tambur, serombongan anak gadis ‘mengambil’ pengantin laki-laki
dan diiringkan menuju ke pondok pengantin perempuan. Ketika kedua mempelai dipertemukan, Kwee An
melihat betapa wajah ‘isterinya’ itu basah dengan air mata dan diam-diam dia lalu menghela napas panjang
dan terkenanglah dia kepada Ma Hoa. Ahhh, alangkah baiknya kalau yang menjadi mempelai wanita itu Ma
Hoa.
Seorang pendeta Haimi membaca doa-doa dalam bahasa Haimi, namun dari cara-cara ia membaca doa,
tahulah Kwee An bahwa upacara adat ini berdasarkan Agama Buddha yang telah berubah, disesuaikan
dengan kepercayaan nenek moyang mereka.
Kwee An harus mengakui kecantikan Meilani yang benar-benar jelita itu, akan tetapi bila mengingat gigi
yang dihitamkan itu, ia merasa sayang sekali. Ketika upacara dilakukan, tiba-tiba seorang pemuda Haimi
datang dengan tergesa-gesa dan melaporkan sesuatu kepada Sanoko. Mendengar laporan ini, ributlah
orang-orang yang berada di situ. Bahkan Meilani lantas membuka penutup mukanya dan segera
mengambil goloknya yang sudah dikembalikan oleh Kwee An.
“Apakah yang telah terjadi?” Kwee An bertanya kepada Sanoko yang memberi aba-aba dan mengatur
orang-orangnya yang telah berkumpul dengan senjata di tangan.
“Seorang Perwira Mongol yang kosen dan yang sering mengganggu kami sudah datang dengan seorang
kawannya. Dia sudah menculik dua orang gadis serta membunuh tiga orang pemuda kami!”
“Keparat!” Kwee An memaki sambil mencabut Oei-kang-kiam. “Hayo tunjukkan di mana ia berada!”
“Kami hendak mengeroyoknya, karena kepandaiannya tinggi sekali!” kata Sanoko dengan ragu-ragu.
“Jangan kuatir, biar aku yang menghadapinya!” Maka semua orang segera mengiringkan pemuda itu,
berlari keluar dari hutan.
Akan tetapi ketika mereka tiba di tempat yang dimaksudkan, ternyata bahwa dua orang gadis yang diculik
itu telah tertolong oleh orang lain! Dan pada saat itu, kedua orang jahat itu sedang bertempur melawan
dunia-kangouw.blogspot.com
seorang gadis yang gagah perkasa.
Hampir saja Kwee An menjerit karena girang, terkejut dan heran. Ternyata bahwa dua orang pengacau
yang dimaksudkan itu adalah Ke Ce sendiri dan Bo Lang Hwesio! Ada pun gadis berambut riap-riapan yang
cantik jelita dan yang memainkan sepasang bambu runcing dengan amat hebatnya melawan dua orang
kosen itu, bukan lain adalah Ma Hoa sendiri!
“Hoa-moi...!” Kwee An berseru dan dia segera menerjang maju pedangnya.
Ketika Ma Hoa memandang, dia terbelalak heran melihat kekasihnya berada di tempat itu dan mengenakan
pakaian yang aneh itu.
“Koko, marilah kita gempur bangsat-bangsat ini dan membalas dendam!” katanya sambil tetap
mengerjakan kedua batang bambu runcingnya dengan hebat dan luar biasa.
Walau pun merasa heran sekali melihat betapa kekasihnya itu dapat memainkan senjata aneh secara lihai
itu, namun Kwee An tidak sempat bertanya. Ia lalu memutar pedangnya dan menyerang Bo Lang Hwesio
yang bersenjata sebatang pedang pula karena merasa kewalahan menghadapi Ma Hoa dengan tangan
kosong saja.
Melihat munculnya Kwee An, Ke Ce menjadi jeri karena dia maklum bahwa setelah kini gadis itu
mempunyai ilmu silat yang sedemikian lihainya, maka ditambah dengan bantuan Kwee An yang juga lihai
sekali, tidak mungkin pihaknya akan memperoleh kemenangan. Apa lagi ia melihat bahwa serombongan
besar orang-orang Haimi dengan golok mereka di tangan juga ikut datang pula. Orang Mongol yang licik ini
lalu berseru keras dan segera melompat pergi dengan maksud melarikan diri.
Akan tetapi, Ma Hoa tentu saja tidak mau melepaskannya. Sambil berseru nyaring, dara itu lalu melompat
ke atas sebuah batu besar dan ketika Ke Ce lari, ia segera menyambar turun dengan kedua bambu runcing
di tangan, bagai seekor burung rajawali menyambar korbannya. Ke Ce menjadi terkejut sekali ketika tibatiba
dari atas terdengar bentakan Ma Hoa yang halus tapi nyaring,
“Bangsat keji hendak lari ke mana?”
Ke Ce menengok ke belakang dan mempercepat larinya oleh karena tadi ia telah merasa betapa lihai
sepasang bambu runcing di tangan gadis ini hingga ia merasa percuma saja untuk melawan terus. Ia
hendak menggunakan ginkang-nya yang tinggi untuk melarikan diri, akan tetapi Ma Hoa mengejar sambil
berlompatan sehingga sebentar saja dia sudah melompati kepala Ke Ce dan berdiri menghadang di depan
pemuda Mongol itu!
“Kalau mau lari, hanya boleh lari ke neraka untuk menerima hukuman!” kata lagi Ma Hoa sambil mengirim
tusukan dengan kedua bambu runcingnya, yang kiri ke arah leher lawan, sedangkan yang kanan ke arah
jalan darah di dada!
Ke Ce terkejut sekali melihat betapa ginkang gadis ini sudah sedemikian sempurnanya dan terlebih kaget
lagi ketika dia menghadapi serangan berbahaya itu. Ia membuang diri ke kiri, bergulingan di atas tanah
sampai beberapa kaki jauhnya lalu melompat berdiri dan cepat menggerakkan dua tangannya hendak
mengirim pukulan Angin Topan yang hebat!
Akan tetapi Ma Hoa sudah siap menghadapi ilmu pukulan yang pernah membuat dia dan Kwee An
terjungkal ke dalam jurang itu. Maka sambil berseru keras dia melompat ke kiri dan cepat sekali tangan
kanannya bergerak.
Bambu runcing di tangan kirinya lantas meluncur dengan kecepatan melebihi anak panah terlepas dari
busur dan sebelum Ke Ce dapat berkelit, kembali bambu runcing di tangan kanannya meluncur menyusul
bambu pertama!
“Cepp…! Cepp…!”
Kedua bambu runcing itu menancap di tubuh Ke Ce, yang sebatang di tengah dada dan sebatang lagi di
lehernya. Tubuh orang Mongol itu roboh dan nyawanya melayang pergi meninggalkan tubuh pada saat itu
juga!
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar sorak sorai riuh rendah dari orang-orang Haimi ketika melihat betapa musuh besar mereka itu
binasa! Ma Hoa segera menghampiri tubuh Ke Ce dan mencabut keluar kedua bambu runcingnya serta
membersihkan ujung bambu itu pada pakaian lawannya. Kemudian ia menghampiri rombongan orang
Haimi yang menyambutnya dengan berlutut.
Ma Hoa mendekati Meilani dan mengangkat bangun gadis yang cantik itu. Akan tetapi ketika dia bertanya,
gadis itu menjawab dengan bahasa yang asing baginya. Gadis itu hanya menunjuk ke arah Kwee An dan
Ma Hoa menengok.
Ternyata bahwa Kwee An tengah bertempur dengan hebatnya melawan Bo Lang Hwesio. Kepandaian Bo
Lang Hwesio benar-benar lihai sekali, karena meski pun Kwee An sudah mengeluarkan Ilmu Pedang Hailiong
Kiam-sut, akan tetapi hwesio itu sanggup menahan serangannya secara baik dan bahkan dapat
membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya!
Kwee An lalu mengeluarkan ilmu silat yang dulu dia pelajari dari Hek Mo-ko, dan setelah mainkan ilmu silat
ini dengan tangan kiri, barulah ia dapat mengimbangi desakan Bo Lang Hwesio. Akan tetapi, dalam
lweekang dia masih kalah setingkat sehingga tiap kali pedang mereka bertemu, Kwee An merasa betapa
tangannya gemetar! Untungnya ia memegang pedang Oei-kang-kiam yang ampuh, kalau dia memegang
pedang biasa tentu pedangnya akan bisa dipatahkan oleh pedang Bo Lang Hwesio yang di samping
merupakan pedang mustika, juga digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi itu.
Melihat ini, Ma Hoa berseru, “An-ko, jangan kuatir, aku membantumu!”
Tubuh gadis ini lalu berkelebat dan segera kedua batang bambu runcingnya menyerang secara hebat
bukan main. Bo Lang Hwesio harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, karena baru
menghadapi Kwee An seorang saja biar pun dia tidak akan kalah akan tetapi sudah amat sulit merobohkan
anak muda itu, sekarang ditambah pula dengan permainan kedua bambu runcing Ma Hoa dalam gerakan
Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar biasa, maka dia menjadi sibuk sekali!
Dengan perlahan akan tetapi tentu, Ma Hoa serta Kwee An mendesak hwesio itu hingga keringat dingin
mulai mengucur keluar dari jidat Bo Lang Hwesio. Kwee An merasa girang sekali oleh karena ia mendapat
kenyataan betapa gerakan ilmu silat Ma Hoa amat lihai.
Sedangkan Bo Lang Hwesio amat gelisah menghadapi serangan sepasang orang muda yang lihai ini. Dia
pun sangat heran menyaksikan ilmu silat gadis itu karena dia teringat bahwa yang memiliki ilmu Silat
Bambu Kuning ini hanyalah seorang pertapa sakti yang bernama Hok Peng Taisu! Kenapa tiba-tiba gadis
ini dapat memiliki ilmu kepandaian ini?
Ketika Ma Hoa mendesak makin hebat, akhirnya ujung bambu di tangan kirinya berhasil menusuk pundak
Bo Lang Hwesio yang berteriak kesakitan oleh karena sungguh pun dia memiliki lweekang yang membuat
kulitnya menjadi kebal, namun tetap saja ujung bambu yang tajam itu telah melukainya. Sambil berseru
hebat ia memutar pedangnya dan ketika kedua lawannya mengelak, dia lalu melompat ke belakang dengan
cepat dan kabur dari tempat itu. Ma Hoa hendak mengejar, akan tetapi Kwee An mencegahnya dan
berkata,
“Yang mencelakai kita dulu adalah Ke Ce. Biarlah kita ampuni jiwa rendah hwesio itu!”
Ma Hoa dan Kwee An berdiri saling pandang dan sekarang setelah musuh pergi, mereka saling pandang
dengan perasaan terharu sekali. Tanpa terasa lagi dari mata mereka lalu mengalir air mata karena rasa
girang dan terharu, seakan-akan melihat kekasihnya baru bangkit dari lubang kuburan! Bagaikan ditarik
oleh tenaga mukjijat, keduanya lalu saling rangkul sambil berbisik,
“Koko...”
“Moi-moi..., serasa dalam mimpi dapat berjumpa dengan kau lagi...”
“Koko...,” kata Ma Hoa setelah melepaskan diri dari rangkulan Kwee An dan memandang kepada pemuda
itu dengan mata basah tapi bibir tersenyum, “kau... kelihatan lucu sekali! Dari mana kau peroleh pakaian
seperti itu?”
“Untung saja kau tidak melihat aku berkumis seperti mereka itu!” Kwee An berkata sambil menahan
ketawanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ma Hoa heran sekali mendengar ini dan ketika ia menengok, orang-orang Haimi telah lari menghampiri
mereka, dan Meilani lalu memegang tangan Kwee An dengan mesra, oleh karena ia tidak tahu bahwa Ma
Hoa adalah wanita yang menjadi tunangan pemuda ini. Hati Meilani terlalu girang, karena Ke Ce terbunuh
mati dan terlampau bangga karena betapa pun juga, pemuda yang gagah berani dan yang telah berhasil
mengusir musuh itu adalah ‘suaminya’.
“Engko An, siapakah gadis manis ini?”
“Dia adalah isterinya, lihiap!” Sanoko menjawab, “dan aku adalah pemimpin suku bangsa Haimi, juga
menjadi ayah mertua Kwee An!”
Bukan main terkejut hati Ma Hoa mendengar keterangan Sanoko ini dan ia memandang kepada Kwee An
dengan wajah pucat. Kwee An memegang tangan Ma Hoa dan berkata, “Tenanglah, Moi-moi, hal ini
memerlukan penjelasan!”
Kemudian ia berkata kepada Sanoko dengan suara tegas, “Dengarlah Sanoko! Kau tentu sudah
mendengar keterangan dari Pamanmu dan ketahuilah kini bahwa Nona ini adalah tunanganku yang
kuceritakan itu!”
Oleh karena di situ terdapat banyak orang-orang Haimi, meski pun mereka tidak mengerti percakapan
mereka, akan tetapi Kwee An merasa tidak enak karena kalau sampai terjadi salah paham, maka Ma Hoa
tentu akan marah sekali dan Meilani akan tersinggung, maka ia lalu memberi isyarat kepada Sanoko dan
kakek penghisap huncwe untuk ikut bicara di tempat yang agak jauh dari mereka. Meilani hanya
memandang dengan heran dan tidak mengerti, akan tetapi ia tidak berani ikut bicara mencampuri
pembicaraan mereka yang dilakukan dalam bahasa Han yang tidak dimengertinya.
“Lopek, sekarang harap kau suka ceritakan hal ini terus terang kepada tunanganku, agar tidak sampai
terjadi kesalah pahaman,” kata Kwee An kepada kakek itu sesudah mereka berada jauh dari rombongan
itu.
“Lihiap, kata-kata Kwee-taihiap ini memang benar. Walau pun dia terpaksa menjalankan upacara
pernikahan dengan Meilani, akan tetapi hal itu hanya untuk menjaga kehormatan puteri kami itu saja.
Kwee-taihiap tadinya juga bersikeras menolak, akan tetapi akhirnya menyetujui untuk melakukan upacara
pernikahan berdasarkan menolong gadis itu.”
Maka dengan panjang lebar kakek itu lalu menuturkan bagaimana sudah terjadi kesalah pahaman ketika
Kwee An menerima golok dari Meilani, dan betapa bila pemuda itu tidak mau memenuhi kebiasaan adat
mereka, maka gadis itu tentu akan membunuh diri karena malu.
Ma Hoa mendengarkan semua ini dengan terharu. Tadinya dia marah sekali, akan tetapi setelah tahu akan
duduknya perkara, dia malah merasa kasihan sekali kepada Meilani.
“An-ko, apa bila kau memang suka kepada gadis itu, kawinlah dengan dia dan jangan kau pikirkan aku
lagi!”
“Ehh, ehh, Moi-moi, mengapa kau berkata demikian? Selain dengan kau aku tidak mau kawin dengan
wanita lain! Sesudah mendengar keterangan tadi, apakah kau masih juga merasa cemburu kepadaku?”
“Bukan cemburu, akan tetapi aku merasa kasihan sekali kepada Meilani!” Kemudian Ma Hoa lalu bertindak
menghampiri Meilani dan memeluknya.
Biar pun Meilani tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, akan tetapi oleh karena dia sudah mendengar
dari Kwee An bahwa pemuda itu tidak bisa menjadi suaminya karena telah bertunangan dengan seorang
gadis Han, maka ia dapat juga menduga.
Ketika melihat hubungan antara Ma Hoa dengan Kwee An, ia dapat menduga pula bahwa tentu gadis inilah
yang menjadi tunangan Kwee An. Ia tidak hanya kagum akan kelihaian Ma Hoa, akan tetapi juga kagum
melihat kecantikannya, sehingga dia merasa bahwa memang gadis itu lebih cocok menjadi calon isteri
Kwee An. Ketika Ma Hoa memeluknya, ia hanya dapat mengalirkan air mata saja.
Sanoko juga sudah tahu akan hal itu dan dia pun tidak merasa kecewa karena ternyata bahwa ‘gadis
dunia-kangouw.blogspot.com
saingan’ puterinya adalah seorang pendekar wanita yang bahkan memiliki kepandaian yang lebih hebat
dari pada Kwee An sendiri. Bahkan gadis itu juga sudah meneewaskan seorang musuh yang telah banyak
membunuh bangsanya!
Maka ketika kedua orang muda itu berpamit, dia hanya menghaturkan selamat jalan dan terima kasih.
Meilani tidak kuat melihat Kwee An pergi, maka ia mendahului lari masuk ke dalam hutan dan menangis di
dalam pondoknya dengan hati hancur.
Ada pun semua orang Haimi, ketika melihat Kwee An pergi meninggalkan ‘isterinya’ yang baru saja
menikah dengannya, merasa tidak puas. Akan tetapi mereka tak berani banyak bertanya, hanya merasa
berduka mengingat akan nasib Meilani.
Demikianlah, Ma Hoa dan Kwee An meninggalkan orang-orang Haimi itu dengan diikuti pandangan mata
mereka yang merasa kagum sekali melihat betapa kedua orang muda bangsa Han itu berlari cepat sekali
melebihi larinya rusa! Tentu saja Kwee An dan Ma Hoa merasa bahagia sekali dapat bertemu dalam
keadaan selamat, bahkan pada waktu mendengar dari Ma Hoa bahwa dara itu telah mempelajari Ilmu Silat
Bambu Kuning yang luar biasa dari Hok Peng Taisu, Kwee An menjadi gembira dan girang sekali.
Sebaliknya, pada waktu Kwee An menceritakan betapa dia telah menderita sakit sampai berbulan-bulan di
dalam goa dengan keadaan amat menderita dan sengsara, kekasihnya menjadi terharu dan merasa iba
sekali. Namun, masih saja dalam perasaan hati Ma Hoa merasa tidak enak oleh karena peristiwa yang
terjadi dengan Kwee An ketika terpaksa menikah dengan Meilani itu.
"Koko," katanya di tengah perjalanan, "agaknya kau suka kepada gigi hitam! Bagaimana kalau aku
membikin hitam gigiku.”
Kwee An tersenyum pahit. "Sudahlah, Hoa-moi, jangan kau menggoda terus. Sebenarnya aku merasa
ngeri tiap kali teringat akan gigi hitam dan kumis melintang!"
Ma Hoa tertawa. "Bila kubayangkan sungguh lucu. Kau berkumis panjang melintang yang ujungnya
melingkar ke atas, sedangkan aku bergigi hitam mengkilap!"
"Betapa pun juga, bangsa Haimi itu adalah orang-orang baik, akan tetapi nasib mereka buruk sekali. Moimoi,
biarlah kita jangan berbicara tentang mereka lagi. Sekarang yang terpenting ialah, ke mana kita harus
mencari Lin Lin, Cin Hai dan Paman Yousuf?"
“Lin-lin dan Paman Yo dikejar-kejar oleh orang-orang Turki yang datang dari barat daya. Sebelum bertemu
dengan kau, aku banyak mendengar orang bercerita bahwa di daerah Kansu dan Cinghai di barat kini
terdapat orang-orang Turki yang menjadi pedagang. Aku mendengar bahwa di Kansu pemandangannya
amat indah dan di sana terdapat goa-goa kuno yang terkenal. Jika hendak mendengar tentang Lin Lin dan
Paman Yo, baiknya kita merantau ke barat dan menyelidiki orang-orang Turki itu, sekalian melihat
pemandangan di kedua daerah itu. Bagaimana pendapatmu?”
Bagi Kwee An, jangankan dia harus pergi merantau dan menikmati perjalanan ke daerah-daerah yang
indah dan menarik hati, biar pun harus ke neraka sekali pun, kalau bersama Ma Hoa, dia akan pergi
dengan senang hati.
“Dugaanmu ini memang berdasar juga. Mudah-mudahan saja Cin Hai juga berpendapat sama dan pergi ke
barat pula,” katanya.
Demikianlah, kedua sejoli itu lalu mulai melakukan perjalanan ke barat melalui sepanjang tapal batas
Mongolia Dalam, menyeberangi Propinsi-propinsi Sui-yuan dan Ning-sia…..
********************
Siapa yang pernah melakukan perjalanan dengan seorang tunangan atau kekasih yang dicinta dan
mencinta, tentu akan maklum pula bahwa di dalam perjalanan itu yang terasa hanyalah kegembiraan besar.
Segala benda di dunia ini nampak seakan-akan bercahaya gemilang dan berseri, setiap daun dan bunga
tersenyum manis, setiap suara terdengar bagaikan nyanyi indah dan merdu!
Pendek kata, Ma Hoa dan Kwee An melakukan perjalanan berdua dengan hati dipenuhi kebahagiaan dan
kegembiraan. Apa lagi mereka melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang sama sekali belum pernah
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka kunjungi sehingga pemandangan yang ganjil di daerah itu menambah kegembiraan mereka.
Suatu hari di tapal batas daerah Sui-yuan, ketika mereka sedang berjalan cepat melalui sebuah daerah
yang berbukit, tiba-tiba mereka mendengar seruan seperti yang biasanya dikeluarkan oleh orang yang
sedang berkelahi. Mereka menjadi tertarik dan segera berlari menuju ke arah suara itu. Ketika mereka tiba
di sebuah tikungan, mereka melihat dua orang sedang bertempur dengan luar biasa hebatnya.
Ketika mereka telah tiba agak dekat, tiba-tiba Ma Hoa memegang lengan tangan Kwee An dan pemuda ini
merasa betapa jari-jari tangan Ma Hoa menggigil. Ia segera menatap wajah kekasihnya yang tiba-tiba
berhenti itu, dan melihat betapa wajah Ma Hoa menjadi pucat sekali.
Sepasang mata gadis itu memandang ke arah orang-orang yang sedang bertempur itu dengan terbelalak
penuh keheranan dan tampaknya amat terkejut bagaikan melihat setan di tengah hari! Kwee An segera
memandang dan memperhatikan pula dua orang yang bertempur itu. Tiba-tiba dia pun memandang dengan
mulut celangap.
Ma Hoa menggosok-gosok kedua matanya dan bibirnya bergerak mengeluarkan bisikan, "Koko... apakah
kau juga melihat apa yang kulihat?"
Kwee An hanya berkata perlahan, "Heran…. heran….. bukankah nona yang berpedang itu benar-benar
dia?"
"Siapa lagi? Walau pun lupa akan wajah dan bentuk badannya, aku tak akan melupakan gerakan dan ilmu
silatnya. Dia benar-benar Enci Im Giok!"
"Mari kita membantunya!" kata Kwee An, akan tetapi Ma Hoa menjawab,
"Jangan dulu! Enci Im Giok paling tidak suka dibantu apa bila keadaannya tidak terdesak. Lihat, dia sedang
mendesak lawannya, dan dua orang pendeta yang menonton itu, entah mereka itu kawan atau lawan.
Sebaiknya kita menonton sambil bersembunyi dan melihat gelagat."
Keduanya lantas mengintai dari balik pohon. Ternyata bahwa yang bertempur itu adalah seorang nenek tua
yang mengerikan. Tubuhnya bongkok karena punggungnya tinggi dan di sana terdapat daging yang
menonjol, merupakan punggung onta. Rambutnya digelung dan diikat dengan sapu tangan bersulam yang
kecil. Telinganya memakai anting-anting yang besar melingkar. Nenek itu sedang bertempur dengan
tangan kosong menghadapi seorang dara jelita berpakaian merah yang memegang pedang.
Nona ini cantik sekali dan sekali pandang saja orang yang sudah pernah melihatnya tak akan ragu-ragu lagi
bahwa dia ini bukan lain adalah Ang I Niocu! Apa bila gerakan Ang I Niocu indah menarik dan gesit sekali
hingga nampaknya seperti sedang menari dengan pedangnya, gerakan nenek itu tidak kalah hebatnya.
Tubuh nenek itu berlompatan ke atas sambil menyerang dahsyat dengan cengkeraman-cengkeraman
tangan yang jari-jarinya ditekuk bagaikan cakar burung garuda! Di dekat tempat pertempuran itu, dua orang
kakek berdiri menonton dengan tertarik. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi besar, berjubah hitam
panjang dan kepalanya ditutup oleh sebuah sorban. Kakek ke dua adalah seorang tosu yang mukanya
penuh cambang bauk.
Pada waktu itu, Ang I Niocu sedang mendesak hebat dengan ilmu pedangnya. Apa bila gerakan nenek itu
boleh diumpamakan sebagai seekor garuda yang ganas menyambar-nyambar korbannya, Ang I Niocu
merupakan seekor burung merah yang indah dan luar biasa gesitnya.
Di samping memiliki ginkang yang tinggi dan sempurna, ternyata nenek itu juga memiliki tenaga dalam
yang hebat karena selain serangan mencengkeram yang mirip dengan Ilmu Silat Eng-jiauw-kang dari ahli
silat Tiongkok Selatan, juga kadang-kadang dia mengirim pukulan-pukulan yang anginnya saja membuat
rambut Ang I Niocu berkibar dan menjadi awut-awutan!
Akan tetapi, pedang Ang I Niocu sangat lihainya, sinar pedangnya dapat mendesak terus sehingga nenek
itu terpaksa berkelahi sambil mundur. Pada saat nenek itu mundur dan melompat ke atas sebuah batu
karang, Ang I Niocu membabat dengan pedangnya ke arah kaki lawannya dengan gerakan Bidadari
Menyebar Bunga hingga hampir saja kaki nenek itu terbabat.
Akan tetapi, dengan cepat sekali nenek itu lantas melompat ke atas sambil mengeluarkan teriakan keras,
dunia-kangouw.blogspot.com
dan ketika tubuhnya masih berada di atas, tiba-tiba saja kedua tangannya digerakkan dan berhamburanlah
hancuran batu menyerang ke arah Ang I Niocu!
Ternyata bahwa ketika tadi nenek itu meloncat ke atas batu karang, kedua tangannya lalu mencengkeram
batu karang hingga hancur di dalam kedua tangannya dan sekarang dia menggunakan hancuran batu
karang itu untuk menyerang Ang I Niocu! Hancuran batu karang yang menjadi kerikil kecil-kecil ini tak boleh
dipandang ringan, oleh karena tenaga lemparan yang disertai tenaga khikang ini membuat batu-batu kecil
itu dapat menembus kulit dan daging, dan setiap potongan kecil merupakan sebuah senjata rahasia yang
lihai!
Akan tetapi Ang I Niocu yang berkepandaian tinggi tidak gentar menghadapi serangan hebat ini. Dengan
tenang dia segera memutar pedangnya hingga tubuhnya seakan-akan terlindung oleh dinding baja dan
semua potongan batu kecil itu dapat terpukul jatuh.
Kembali mereka bertempur seru, masing-masing mengeluarkan ilmu kepandaian mereka yang paling tinggi.
Meski pun Ang I Niocu selalu mendesak, namun agaknya tidak mudah menjatuhkan nenek yang lihai itu.
Sebelum kita maju lebih lanjut dengan cerita ini, lebih baik kita ikuti dulu pengalaman Ang I Niocu semenjak
dia berada di Pulau Kim-san-to, karena pembaca tentu merasa heran bagaimana Ang I Niocu bisa muncul
di sini sedangkan dulu ia berada di Pulau Kim-san-to ketika pulau itu terbakar dan meledak? Baiklah kita
mundur sejenak supaya selanjutnya cerita ini dapat diikuti dengan lancar.
Sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Ang I Niocu mendahului Cin Hai pergi ke Pulau Kimsan-
to untuk mencari Lin Lin. Dengan nekat Gadis Baju Merah itu naik ke atas puncak untuk mencari Lin
Lin, akan tetapi bukan Lin Lin yang ia jumpai, bahkan ia melihat pemandangan yang amat mengerikan,
yaitu seluruh danau di bukit itu terbakar hingga merupakan neraka yang dahsyat.
Ia melihat bayangan Vayami seperti sedang melambai-lambai memanggilnya dari tengah lautan api itu,
maka dengan hati ngeri sekali Ang I Niocu mencari-cari Lin Lin, berlari ke sana ke mari dan suaranya
sampai serak karena terus-menerus ia memanggil,
“Lin Lin…. Lin Lin….! Di mana kau…?”
Ketika ia sedang berlari menubruk sana menubruk sini memanggil-manggil Lin Lin seperti orang gila, tibatiba
saja terdengar sebuah letusan hebat dan daya tenaga raksasa yang keluar dari ledakan itu membuat
tubuh Ang I Niocu terlempar ke atas udara. Walau pun semangat Ang I Niocu seolah-olah terbang keluar
dari tubuhnya karena hebatnya ledakan itu, namun ia masih sempat berteriak lagi memanggil, "Lin Lin….
Lin Lin…. Hai-ji…. "
Ang I Niocu kemudian pingsan selagi tubuhnya masih melayang di udara! Memang mati atau hidup
seseorang sepenuhnya berada di dalam kekuasaan dan tangan Yang Maha Kuasa. Kalau Tuhan
menghendaki, seorang yang sudah berada di mulut harimau masih akan dapat tertolong dan hidup,
sedangkan seorang segar bugar dapat tiba-tiba mati. Hal ini harus diakui oleh semua orang karena banyak
terjadi bukti-bukti akan kekuasaan yang besar ini. Tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi dalam tangan
Tuhan!
Begitu pula dengan nasib Ang I Niocu. Agaknya Tuhan belum menghendaki dia terbebas dari hidup di
dunia, maka tubuhnya terlempar ke angkasa tanpa terluka. Hal ini memang tidak begitu aneh oleh karena
dapat diketahui sebab-sebabnya.
Kalau sekiranya Ang I Niocu tidak berada terlalu dekat dengan bukit yang meledak itu, seperti halnya para
tentara Turki dan tentara kerajaan yang terbasmi habis seluruhnya, tentu Dara Baju Merah itu pun akan
tewas juga, termakan oleh api dan minyak panas. Akan tetapi saat ledakan terjadi, tubuh Ang I Niocu
berada dekat sekali sehingga sebelum api dapat membakar tubuhnya, hawa letusan yang luar biasa
kerasnya itu telah membuat tubuhnya terlempar ke udara!
Karena hebatnya tekanan ledakan itu, pakaiannya yang merah sampai terobek ke sana sini. Potongannya
lalu terlempar dan melayang-layang terbawa angin yang didatangkan oleh ledakan hingga sepotong dari
pakaian ini kemudian ditemukan oleh Cin Hai di atas laut.
Biar pun pada saat dia terlempar ke udara, Ang I Niocu terhindar dari bahaya api yang mengamuk, akan
tetapi dia masih belum terlepas dari bahaya maut sama sekali, karena dia telah menjadi pingsan dan kalau
dunia-kangouw.blogspot.com
dia jatuh kembali, maka tubuhnya tentu akan hancur dan dimakan api! Akan tetapi, memang Tuhan belum
menghendaki kematiannya, maka kembali Yang Maha Kuasa memperlihatkan kekuasaanNya lagi.
Di antara semua makhluk hidup yang berada di atas Pulau Kim-san-to pada saat ledakan terjadi, selain Ang
I Niocu yang selamat, masih ada yang lainnya lagi, yakni Sin-kim-tiauw atau rajawali sakti berbulu emas.
Kebetulan sekali pada waktu ledakan terjadi, burung rajawali ini sedang terbang tinggi di atas pulau karena
ia merasa terkejut melihat sekian banyak orang sedang berperang di atas pulaunya yang biasanya sunyi
dan tenteram itu.
Ia terbang berputar-putar di angkasa sambil berteriak-teriak marah, karena perasaannya memberi
tahukannya bahwa orang-orang yang sedemikian banyaknya itu bukanlah orang baik-baik. Dia hendak
mengamuk serta menyerang, akan tetapi tidak berani dan merasa takut untuk menghadapi sekian banyak
orang, maka kini dia hanya terbang tinggi sambil memekik-mekik marah.
Pada waktu terjadi ledakan, Sin-kim-tiauw merasa terkejut sekali dan sambil menyambar-nyambar ke
bawah dengan marah, ia pun menjadi bingung dan takut melihat api berkobar hebat membakar pulaunya.
Kemudian, tiba-tiba dia melihat tubuh orang yang berpakaian merah melayang ke udara dengan kecepatan
luar biasa.
Tadinya burung itu merasa terkejut dan takut, oleh karena belum pernah ia melihat orang yang dapat
terbang! Tentu ilmu kepandaiannya lihai sekali, pikirnya. Karena itu dia hanya terbang mengelilingi dan
tidak berani menyerang, sungguh pun dia merasa marah sekali.
Akan tetapi, ketika Ang I Niocu menjadi pingsan dan tubuhnya menjadi lemas terkulai dan tubuh itu mulai
melayang jatuh kembali ke bawah, Sin-kim-tiauw kemudian menyambar dan mencengkeram tubuh itu.
Perlu diketahui bahwa Sin-kim-tiauw bukanlah burung liar sembarangan saja, akan tetapi adalah burung
peliharaan yang telah dilatih oleh Bu Pun Su dan adik seperguruannya Han Le, hingga burung ini telah
dapat membawa apa saja dalam cengkeramannya tanpa melukai. Maka ketika ia mencengkeram tubuh
Ang I Niocu yang pingsan, ia tidak melukai tubuh itu, hanya membawanya terbang menuju ke timur dengan
cepat sambil berteriak-teriak girang seperti biasa kalau ia menang berkelahi!
Burung rajawali yang besar itu membawa tubuh Ang I Niocu terus ke timur lalu membelok ke arah tenggara,
dan selama itu Ang I Niocu masih saja pingsan tak sadarkan diri sebab ledakan hebat itu betul-betul telah
mengguncang jantungnya, sedangkan perasaan kuatir dan takut membuat semangatnya seakan-akan
terbang meninggalkan tubuhnya.
Burung rajawali itu terbang terus dan setelah berputar-putaran tinggi di atas pulau yang banyak terdapat di
permukaan Laut Tiongkok, dia lalu menyambar turun ke atas sebuah pulau kecil yang penuh dengan
pohon-pohon hijau. Ketika ia telah terbang rendah di atas pulau itu, tiba-tiba terdengar suara orang bersuit
keras dan Sin-kim-tiauw segera terbang ke arah suara suitan itu.
"Ehh, Kim-tiauw, siapakah yang kau bawa itu?" mendadak terdengar bentakan halus dan seorang lelaki
keluar dari sebuah goa memandang pada Kim-tiauw yang terbang rendah itu.
"Lepaskan dia!" teriaknya dan Sin-kim-tiauw dengan taat segera melepaskan tubuh Ang I Niocu dari
cengkeraman kakinya.
Tubuh Dara Baju Merah itu melayang ke bawah dan dengan gerakan cepat, laki-laki itu lalu menyambut
tubuhnya. Merahlah muka laki-laki itu melihat betapa Ang I Niocu hampir tidak berpakaian lagi karena
pakaiannya yang merah sudah robek di sana-sini oleh hawa ledakan tadi! Cepat-cepat laki-laki itu
menanggalkan mantelnya, menyelimuti tubuh yang segera dibawanya masuk ke dalam goa itu, kemudian
diletakkannya di atas tanah yang bertilamkan rumput-rumput kering.
Dengan hati-hati laki-laki itu lalu memeriksa nadi pergelangan tangan Ang I Niocu, lalu ia menarik napas
lega. Dari sudut goa dia segera mengambil bungkusan pakaiannya dan mengeluarkan sebuah kulit buah
labu yang telah dikeringkan dan dipergunakan sebagai tempat air. Ternyata bahwa isinya bukanlah air
biasa, akan tetapi sari buah-buahan yang mengandung khasiat menguatkan tubuh dan mendatangkan
ketenangan pada hati.
Dengan hati-hati, dia lalu membuka bibir dan mulut Ang I Niocu dengan tangan kanan dan menuangkan
sedikit isi tempat air itu ke dalam mulut gadis itu. Kemudian, sesudah menyimpan tempat air ke dalam
bungkusannya kembali, ia lalu berdiri memandang wajah dara itu dengan penuh perhatian lalu menarik
dunia-kangouw.blogspot.com
napas panjang dan keluar dari goa.
Burung rajawali melihat kedatangannya, lalu berjalan menghampiri sambil mengeluarkan keluhan panjang.
"Sin-kim-tiauw, dari manakah kau datang dan siapakah gadis itu? Aku mendengar suara ledakan keras dari
arah Pulau Kim-san-to dan melihat api berkobar-kobar. Heran sekali, apakah yang telah terjadi?"
Kim-tiauw itu mengeluarkan keluhan keras dan aneh, lalu dia mengembangkan sayapnya dan memukulmukul
tanah, seakan-akan hendak menceritakan peristiwa hebat yang telah menimpa pulaunya. Akan tetapi
tentu saja laki-laki itu tidak mengerti sama sekali, hanya dia dapat menyangka bahwa tentu telah terjadi hal
yang aneh sekali, karena tidak biasa Sin-kim-tiauw berlaku seaneh ini.
Siapakah laki-laki yang tinggal seorang diri di sebuah pulau kecil yang asing dan tiada berkawan ini? Ia
adalah seorang laki-laki yang berwajah cukup tampan, berkening lebar dan sinar matanya tajam berkilat.
Tubuhnya tegap dan sedang, ada pun usianya paling banyak tiga puluh lima tahun. Pakaiannya terbuat dari
pada bahan kasar berwarna biru dan sebilah pedang tergantung di pinggangnya.
Sesungguhnya orang ini adalah seorang pendekar silat yang mengasingkan diri, seorang berilmu tinggi
yang patah hati oleh karena kecewa melihat keadaan dunia yang penuh kepalsuan. Dulu dia tinggal di atas
Pulau Kim-san-to, ikut belajar silat kepada suhu-nya yang bukan lain adalah Han Le atau sute dari Bu Pun
Su! Mereka tinggal bertiga dengan seorang sute-nya, karena Han Le memiliki dua orang murid, yaitu lelaki
ini yang bernama Lie Kong Sian, dan seorang pemuda bernama Song Kun.
Baik Lie Kong Sian mau pun Song Kun, keduanya adalah anak-anak yatim piatu yang menjadi korban
keganasan tentara Mongol. Ayah bunda mereka sudah tewas pada saat tentara Mongol menyerbu dusundusun
dan mereka berdua mendapat pertolongan dari Han Le yang lalu membawa mereka ke atas Pulau
Kim-san-to dan mengangkat mereka menjadi murid.
Walau pun Lie Kong Sian mempunyai bakat yang baik sekali sehingga ia dapat mewarisi kepandaian suhunya,
namun dia masih kalah apa bila dibandingkan dengan Song Kun yang memiliki bakat luar biasa sekali.
Bahkan Han Le sendiri pernah berkata kepada Lie Kong Sian yang dipercaya penuh dan disayangi seperti
anak sendiri.
"Muridku, kau lihat saja, Song Kun kelak akan mempunyai ilmu kepandaian yang jarang mendapatkan
tandingan oleh karena anak itu memiliki tulang dan bakat yang luar biasa. Dalam hal ilmu silat, bakat
mempunyai pengaruh hebat sekali oleh karena biar pun ilmu silat yang dipelajarinya sama dengan yang
kau pelajari, akan tetapi bakatnya akan dapat membuat ilmu silatnya menjadi lebih lihai dan hebat, karena
mendapat tambahan sendiri oleh bakatnya yang baik. Akan tetapi dia masih sangat muda, muridku, dan
apa bila aku sudah tidak ada lagi di dunia ini, kaulah yang harus menjadi wakilku untuk menuntunnya ke
arah jalan benar."
Bertahun-tahun kedua orang murid ini digembleng oleh Han Le di atas Pulau Kim-san-to, kemudian Han Le
mengajak kedua muridnya itu berkelana untuk mencari pengalaman di dunia ramai. Dan hal inilah yang
kemudian membuat Song Kun berubah. Kelihatanlah watak aslinya ketika pemuda ini melihat benda-benda
berharga dan hal-hal yang terjadi di dunia ramai. Ia mulai menjadi sesat dan pengaruh-pengaruh buruk
menguasai hatinya. Sebuah di antara wataknya yang buruk ialah kesukaannya akan wanita cantik.
Baik Han Le mau pun Lie Kong Sian mengetahui hal ini, maka setelah berkelana selama dua tahun, Han Le
lalu mengajak Song Kun kembali ke Pulau Kim-san-to dan menyuruh Lie Kong Sian mengembara seorang
diri untuk meluaskan pengalaman dan menjalankan pekerjaan sebagai seorang pendekar yang harus
menolong sesama hidup yang sedang menderita kesukaran.
Diam-diam Song Kun merasa mendongkol sekali kepada suhu-nya, akan tetapi dia tidak berani
menyatakan dengan terus terang, bahkan ia lalu dengan cerdiknya merubah sikap menjadi penurut dan
berbakti sekali. Ia melayani suhu-nya dengan amat baiknya, bahkan ketika Bu Pun Su datang berkunjung
ke pulau itu, ia dapat pula menipu kakek jembel ini hingga Bu Pun Su juga salah sangka dan memuji murid
adik seperguruannya ini, lalu menurunkan semacam kepandaian ilmu silat kepada Song Kun.
Di atas pulau itu, selain Song Kun dan gurunya, sudah ada tiga ekor binatang sakti yang dahulu dipelihara
oleh Bu Pun Su, yaitu Rajawali Emas, Harimau Bertanduk dan Merak Sakti. Ketika dulu Bu Pun Su bertapa
di pulau itu, ia memelihara ketiga ekor binatang ini dan kemudian meninggalkannya kepada Han Le yang
tetap berdiam di pulau itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Selama Lie Kong Sian pergi merantau, Song Kun dapat menipu suhu-nya dan membujuk sehingga Han Le
lalu memberi pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi lagi. Dan pada suatu hari, tanpa memberi tahu kepada
suhu-nya, Song Kun minggat dari pulau itu! Han Le terkejut sekali dan mulailah ia merasa sedih dan jatuh
sakit berat di atas pulau itu.
Kebetulan sekali Lie Kong Sian datang ke Pulau Kim-san-to untuk mengunjungi suhu-nya dan sute-nya.
Alangkah terkejutnya ketika ia melihat suhu-nya dalam keadaan sakit berat. Cepat-cepat dia menolong
serta merawatnya, akan tetapi terlambat. Agaknya memang sudah menjadi takdir bagi Han Le untuk
meninggalkan dunia ini di pulau itu! Sebelum ia menutup mata, ia meninggalkan pesan kepada Lie Kong
Sian.
“Muridku, kalau aku telah mati, kuburkanlah mayatku di dalam goa ini, dan juga pedangku ini harus ikut
ditanam pula, kemudian kau pergilah mencari sute-mu Song Kun. Selidikilah keadaannya karena aku kuatir
sekali kalau-kalau ia akan mencemarkan namaku dengan perbuatan rendah. Akan tetapi, kau berhatihatilah
menghadapinya, Kong Sian, karena ilmu silatnya hampir sempurna. Kalau kau perlu bantuan, kau
carilah supek-mu Bu Pun Su untuk membantu menangkapnya. Selain supek-mu Bu Pun Su, kukira tidak
ada orang lain yang akan dapat melawannya!”
Tidak lama kemudian, sesudah Lie Kong Sian memenuhi pesanan suhu-nya yang telah meninggal, yaitu
mengubur jenazah suhu-nya bersama pedangnya di dalam goa yang penuh pasir itu, lalu ia meninggalkan
Pulau Kim-san-to. Ketiga ekor binatang sakti masih berdiam di pulau itu dengan sedih dan kesunyian.
Lie Kong Sian berhasil bertemu dengan sute-nya, akan tetapi, biar pun ia melihat bahwa sute-nya ini
menyimpang dari perjalanan hidup yang benar, dia tidak tega untuk minta pertolongan Bu Pun Su. Sejak
kecil ia hidup di atas pulau, belajar silat bersama sute-nya ini hingga ia pandang Song Kun seperti adik
sendiri yang amat ia kasihi, maka ketika ia melihat akan kesesatan Song Kun, ia hanya memberi nasehat.
Akan tetapi, benar sebagaimana dugaan suhu-nya, adiknya itu tak mau menurut bahkan menantangnya
hingga mereka lalu berkelahi! Tingkat kepandaian mereka memang sama, akan tetapi Song Kun memiliki
kecepatan yang lebih hebat hingga akhirnya Lie Kong Sian dapat dikalahkan dan terpaksa melarikan diri.
Hal ini amat mendukakan hati Lie Kong Sian. Untuk minta bantuan Bu Pun Su, ia tidak tega melihat adiknya
terhukum, kalau didiamkan saja bagaimana. Maka dalam keraguan dan kebimbangan, dia lalu kembali ke
Pulau Kim-san-to dan menangis di depan kuburan suhu-nya, mengakui akan kelemahannya.
Kemudian dia lalu mengasingkan diri dan bertapa di sebuah pulau kosong tidak jauh dari Kim-san-to, yaitu
sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Pek-le-to. Sering kali Merak Sakti terbang ke pulau itu untuk
mengunjunginya, dan juga beberapa kali Lie Kong Sian mendayung perahu kecil mengunjungi pulau di
mana suhu-nya dimakamkan itu.
Demikianlah selama beberapa tahun bertapa di Pulau Pek-le-to, Kong Sian menuntut penghidupan
tenteram, sampai pada hari itu ia dikejutkan oleh ledakan yang datang dari arah Pulau Kim-san-to.
Kemudian datang pula Sin-kim-tiauw yang membawa tubuh Ang I Niocu yang pingsan, maka tentu saja ia
menjadi heran, akan tetapi kepada siapa ia harus bertanya? Sesudah menepuk-nepuk punggung rajawali
itu, Kong Sian kembali ke dalam goa.
Seperti tadi, dia berdiri memandang Ang I Niocu lagi dan kembali dia merasa jantungnya berdebar aneh. Ia
menjadi terkejut sekali oleh karena belum pernah selama hidupnya dia mendapat perasaan seperti ini,
sungguh pun telah banyak ia jumpai wanita-wanita cantik selama ia merantau.
Ia segera maklum pengaruh apa yang mencengkeram hatinya, maka dengan wajah pucat dia segera
membuang muka dan tidak mau memandang lagi. Akan tetapi, oleh karena hatinya masih saja berdebar,
dia lalu pergi ke sudut goa di mana terdapat sebuah batu besar yang pada bagian atasnya ia tilami jerami
kering, lalu duduk dan bersemedhi untuk menenteramkan hatinya yang terguncang!
Tidak lama kemudian, Kong Sian berhasil menekan perasaan hatinya yang bergelora itu, maka ia lalu turun
dari atas batu dan menghampiri Ang I Niocu kembali. Dilihatnya betapa wajah dara itu merah sekali dan
pernapasannya sesak.
Ia mengulurkan tangan meraba jidat gadis itu dan mendapat kenyataan bahwa gadis itu terserang demam
hebat. Maka cepat dia keluar dari goa dan mencari daun obat yang banyak tumbuh di atas pulau Pek-le-to,
dunia-kangouw.blogspot.com
lalu memeras daun itu dan meminumkan airnya pada Ang I Niocu, kemudian dengan sapu tangan yang
dibasahi air ia lalu mengompres kepala Ang I Niocu.
Kekagetan dan ketakutan yang menyerang Ang I Niocu, ditambah lagi dengan pukulan hawa ledakan yang
dahsyat itu, membuat gadis itu pingsan dan menderita sakit demam hebat selama tiga hari. Dan selama itu
pula, dengan setia dan hati penuh iba Kong Sian terus menjaga di sampingnya, merawatnya dengan penuh
kesabaran dan ketelitian. Akan tetapi selama tiga hari itu, beberapa belas kali terpaksa Lie Kong Sian yang
biasa berhati teguh dan beriman baja itu harus pergi untuk bersemedhi dan mengatur pernapasannya serta
menekan perasaan yang menggelora di dalam dadanya!
Pada hari ke empatnya, tubuh Ang I Niocu sudah mulai bergerak-gerak dengan gelisah, akan tetapi
tubuhnya ternyata lemah sekali. Karena gerakan yang gelisah itu, beberapa kali mantel yang menutupi
tubuhnya terbuka tapi dengan cepat dan sopan, Kong Sian lalu menutupkannya kembali. Kemudian dia lalu
mengurut jalan darah gadis itu hingga Ang I Niocu merasa mendingan dan tidak begitu gelisah lagi, akan
tetapi gadis itu masih belum membuka matanya. Sambil bergerak perlahan dengan mata tertutup ia
berbisik.
“Lin Lin…. Hai-ji….” Kemudian sambil mengeluarkan ujung lidah yang disapu-sapukan di bibirnya ia
berbisik lagi, “Air…. air….”
Ketika Kong Sian meraba jidatnya, maka ternyata panasnya sudah naik lagi. Kong Sian merasa kuatir
sekali dan segera mengambil air yang sudah dimatangkannya, lalu dengan sebuah sendok yang terbuat
dari kayu, dia menyuapi air matang ke dalam mulut Ang I Niocu yang menelannya dengan lahap sekali.
Kong Sian lalu mengambil bubur gandum yang tadi telah dimasaknya, lalu dengan pelan-pelan dia
menyuapkan bubur ini sesendok demi sesendok ke dalam mulut gadis itu yang menelannya tanpa
membuka mata.
Sesudah diberi makan bubur, gadis itu lalu tertidur kembali dan panasnya menurun. Kong Sian tetap
menjaganya dengan perasaan penuh iba. Dalam perawatan ini, timbullah rasa cinta yang amat besar dan
mendalam di hati pemuda yang telah berusia tiga puluh lima tahun ini.
Memang tadinya Kong Sian mengambil keputusan untuk tak akan kawin selama hidupnya dan terus tinggal
di pulau itu menjadi pertapa, mempelajari ilmu batin, ilmu silat, dan ilmu pengobatan. Akan tetapi semenjak
pertemuannya dengan Ang I Niocu dalam keadaan yang ganjil ini, hatinya selalu bergoncang keras dan dia
merasa betapa hidup ini baginya menjadi berubah sama sekali. Sering kali ia duduk di dekat Ang I Niocu
dan kemudian membayangkan betapa akan hancur hatinya dan kosong hidupnya apa bila gadis cantik ini
meninggal dunia karena sakitnya.
Sesudah dirawat dengan sangat teliti serta telaten oleh Kong Sian selama dua hari dua malam dalam
keadaan setengah sadar, dan selama itu pula Ang I Niocu belum pernah membuka matanya, maka
lenyaplah demam yang menyerang dirinya. Tubuhnya menjadi segar kembali dan biar pun tubuhnya masih
agak lemah, akan tetapi ia tidak gelisah lagi.
Pada hari ke tujuh semenjak dia tiba di situ, pagi-pagi hari Ang I Niocu membuka kedua matanya bagaikan
baru bangun dari alam mimpi yang sangat dahsyat. Ia bangun sambil tersentak kaget dan begitu membuka
mata, dia segera bangun duduk sambil memanggil nyaring.
"Lin Lin…. Hai-ji….. " dan cahaya kekuatiran hebat terbayang pada wajahnya yang cantik.
Akan tetapi, alangkah kaget dan herannya ketika dia mendapat kenyataan bahwa kini dia sedang duduk
diatas setumpuk rumput kering di dalam sebuah goa dan melihat seorang laki-laki cakap duduk di dekatnya
sambil memandangnya dengan kagum sekali karena setelah kini Ang I Niocu membuka matanya Kong
Sian merasa seakan-akan dia melihat seorang bidadari yang duduk di situ. Alangkah indah mata gadis itu!
Ang I Niocu meloncat ke atas karena kagetnya dan terlepaslah mantel penutup tubuhnya sehingga Kong
Sian juga buru-buru melompat ke belakang dan memutar tubuhnya untuk membelakangi gadis itu.
"Nona, pakailah mantel itu baik-baik, baru kita bicara!" katanya perlahan dan halus.
Sementara itu Ang I Niocu terkejut bukan main melihat betapa pakaiannya telah robek tak karuan hingga ia
hampir telanjang! Buru-buru dan dengan muka merah karena jengah, ia lalu menyambar mantel itu kembali
dan menyelimuti tubuh dengan mantel itu dengan ikat pinggangnya yang berwarna kuning emas. Setelah
dunia-kangouw.blogspot.com
selesai, maka dengan mata bernyala ia lalu menubruk dan menyerang Kong Sian dari belakang.
"Bangsat kurang ajar! Kau berani menghinaku?" serunya.
Mendengar ada sambaran angin pukulan, Kong Sian merasa terkejut sekali dan cepat dia mengelak sambil
berkata,
"Ehh, Nona, sabar dulu... aku... aku …."
Walau pun merasa tubuhnya masih lemah, akan tetapi oleh karena marah maka Ang I Niocu tetap
menyerang dengan hebat sambil mengeluarkan ilmu silat Kong-ciak Sin-na. Kong Sian merasa terkejut
sekali oleh karena tentu saja dia juga mengenal ilmu silat dari suhu-nya ini, maka dengan heran ia lalu
melayani Ang I Niocu dengan baik.
Makin kagumlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu gerakan gadis ini ternyata lihai sekali dan biar
pun tenaganya masih lemah, akan tetapi ginkang dan lweekang gadis ini menyatakan bahwa dia
menghadapi seorang pendekar wanita yang tidak boleh dibuat gegabah.
Ia pikir bahwa gerakan-gerakan ini akan membahayakan kesehatan gadis yang baru saja sembuh itu, maka
dengan cepat ia lalu membalas serangan Ang I Niocu dengan totokan- totokan luar biasa dan karena Ang I
Niocu belum cepat gerakannya disebabkan tubuhnya yang masih lemah, lagi pula oleh karena ilmu
kepandaian silat Kong Sian memang masih lebih tinggi, maka sebentar saja pemuda itu berhasil menotok
pundak Ang I Niocu yang segera mengeluh dan roboh dengan lemas!
Kong Sian segera mengangkat tubuh Ang I Niocu dan membawanya keluar goa di mana ia menaruh tubuh
gadis itu di bawah sebatang pohon sehingga angin gunung yang sejuk membuat Ang I Niocu merasa
nyaman sekali.
"Nona, banyak sekali hal yang perlu kita bicarakan. Harap kau bersabar mendengarkan bicaraku. Pertamatama
yang perlu kau ketahui ialah kau sama sekali keliru menyangka padaku. Aku bukanlah orang jahat
dan sama sekali aku tidak mempunyai maksud buruk terhadapmu. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang
yang mengasingkan diri di pulau ini dan tujuh hari yang lalu, Sin-kim-tiauw datang terbang ke mari sambil
mencengkeram tubuhmu yang sedang pingsan! Kemudian kau jatuh sakit tidak sadarkan diri sampai tujuh
hari dan aku merawatmu di dalam goa itu!"
Mendengar ucapan ini, lenyaplah sinar marah dari mata Ang I Niocu dan Kong Sian lalu mengulur tangan
memulihkan totokannya pada pundak gadis itu sambil berkata, "Biarlah, kalau kau tetap tidak percaya
padaku, kau seranglah aku lagi, aku tak hendak membalas untuk menyatakan bahwa kata-kataku tadi
benar belaka!"
Setelah sadar dari totokan, Ang I Niocu memandang dengan mata bengong dan dia tidak berkutik dari
tempat duduknya. Tubuhnya masih terasa lemah sehingga ia menyandarkan diri saja pada pohon itu.
"Benar-benar masih hidupkah aku?" tanyanya perlahan setengah berbisik, karena kini dia teringat betapa
dia sudah dilontarkan ke atas oleh ledakan dahsyat itu dan kemudian dia tidak ingat apa-apa lagi.
Kong Sian tersenyum dan wajahnya yang tadi nampak bersungguh-sungguh itu berubah sesudah dia
tersenyum. Sekarang dia tampak tampan dan matanya memancarkan seri gembira.
"Tentu saja kau masih hidup, Nona, kalau tidak bagaimana kau bisa berada di sini? Kau berada di Pulau
Pek-le-to dan di pulau ini hanya akulah penghuni satu-satunya."
"Bagaimana seekor rajawali dapat membawaku ke sini?" Di mana burung itu?" tanya Ang I Niocu yang
masih merasa ragu-ragu oleh karena ia masih kurang percaya kepada cerita yang aneh itu.
Lie Kong Sian lalu berdiri dan bersuit keras. Dari atas lalu terdengar suara balasan dari seekor burung dan
tiba-tiba nampaklah setitik hitam yang tinggi menyambar turun dengan cepatnya. Setelah tiba mendekat,
ternyata yang melayang turun itu adalah seekor burung rajawali besar, mengingatkan Ang I Niocu kepada
burung rajawali yang dulu menyambar-nyambar dirinya di atas perahu ketika dia masih mencari Pulau Kimsan-
to di atas perahu bersama Cin Hai dan Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio. Akan tetapi rajawali ini
lebih besar dan bulunya indah sekali. Sin-kim-tiauw terbang rendah lalu turun di hadapan Kong Sian,
memandang kepada Ang I Niocu dengan sepasang matanya yang tajam sinarnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Nah, inilah Sin-kim-tiauw yang membawamu ke sini. Sekarang akulah yang ingin minta keterangan
kepadamu bagaimana kau bisa terbawa oleh burung sakti ini."
"Aku…. aku berada di Pulau Kim-san-to dan pulau itu terbakar lalu meledak hingga aku terlempar ke udara
oleh ledakan itu kemudian aku tak ingat apa-apa lagi. Agaknya ketika tubuhku melayang di udara dalam
keadaan pingsan, burung sakti ini menyambar diriku dan membawanya ke sini. Kalau begitu, dia adalah
penolong jiwaku!" Sesudah berkata demikian, Ang I Niocu lalu berdiri dan ia berlutut di depan burung itu!
Kim-tiauw itu adalah seekor burung yang luar biasa cerdiknya. Melihat Ang I Niocu, dia agaknya tahu dan
sambil mengeluh panjang dia kemudian menundukkan kepalanya dan membelai kepala Ang I Niocu
dengan lehernya yang berbulu tebal. Kemudian, sambil memekik gembira burung itu lalu terbang ke atas
dan berputaran di udara seakan-akan merasa girang sekali bahwa ada orang yang berterima kasih dan
berlutut padanya!
"Kau katakan tadi bahwa aku sudah jatuh sakit dan tidak ingat diri sampai tujuh hari di sini?" tanya Ang I
Niocu sambil menghadapi Kong Sian kembali. Mereka masih duduk di atas rumput, saling berhadapan.
Kong Sian mengangguk. "Ya, kau pingsan selama tiga hari tiga malam dan tubuhmu panas sekali. Kau
terserang demam hebat dan tiap hari mengigau dalam keadaan tidak ingat orang. Kemudian kau dapat
bergerak, akan tetapi kau gelisah dan panas sekali dan sama sekali tidak membuka matamu. Aku telah
merasa kuatir sekali dan sudah hampir habis harapanku untuk dapat melihat kau hidup lagi."
Ketika Kong Sian sedang bercerita, Ang I Niocu memandang dengan penuh keheranan. Duduk berhadapan
dengan Kong Sian dan mendengar suara orang ini bercerita tentang keadaannya, dia merasa seakan-akan
dia telah menjadi kenalan lama, apa lagi ketika dia dapat menangkap nada suara yang penuh getaran
karena terharu pada saat pemuda itu menceritakan kegelisahannya melihat dia sakit!
“Kalau begitu, selama tujuh hari aku menderita sakit… akan tetapi… sungguh heran… bagaimana aku
masih dapat hidup….?”
Kong Sian merasa segan dan malu untuk menceritakan betapa ia telah merawat gadis ini selama sakit,
maka ia hanya menjawab, “Thian itu adil dan selalu melindungi orang-orang baik, maka Thian telah
melindungimu dari keadaan yang membahayakan jiwamu itu.”
Ang I Niocu menggelengkan kepalanya. “Betapa pun juga, jika dalam keadaan sakit aku tidak diberi obat
dan selama tujuh hari tidak makan apa-apa, tak mungkin aku akan dapat hidup! Siapakah yang merawatku
dan siapa yang memberi makan padaku?”
Merahlah wajah Kong Sian mendengar ini. Sikapnya menjadi canggung sekali, ada pun suaranya menjadi
gagap ketika ia menjawab, “Memang… aku telah… aku yang memberi obat kepadamu dan… dan melihat
kau begitu lemah dan gelisah…. aku memberi bubur gandum kepadamu."
Ketika mendengar ini, terbayang sinar terima kasih yang amat mendalam pada mata Ang I Niocu karena
biar pun pemuda itu tidak menceritakannya, ia sudah dapat menduganya. Sikap ragu-ragu untuk
memberitahukan bahwa pemuda itu sudah merawatnya, membuat pandangannya terhadap pemuda itu
semakin tinggi dan kagum sekali. Sikap ini hanyalah menunjukkan betapa tinggi pribadi orang ini.
Akan tetapi, tiba-tiba Ang I Niocu teringat akan sesuatu dan sinar kemarahan tercampur keraguan
membayang kembali pada wajahnya yang menjadi makin memerah.
"Dan... keadaan pakaianku ini…!”
Dia lalu melompat berdiri lagi, kedua tangannya terkepal, "katakanlah terus terang, apa yang terjadi dengan
pakaianku? Dan mengapa pula kau menyelimutkan dengan mantel? Mantel siapakah ini?" Pertanyaan ini
diucapkan dengan ketus dan marah oleh karena ia merasa bercuriga.
Kong Sian menarik napas panjang. "Nona, kalau saja bukan kau yang bersikap seperti ini dan menyangka
yang bukan-bukan terhadap aku, tentu aku akan naik darah dan menjadi amat marah! Kau kira aku Lie
Kong Sian ini orang macam apakah? Nona, kau boleh maki padaku, bahkan kau boleh menyerangku, akan
tetapi janganlah sekali-kali kau menduga aku sudah berlaku rendah dan biadab terhadap dirimu! Pada
waktu Sin-kim-tiauw datang membawamu ke sini, pakaianmu sudah robek semua dan tidak keruan
dunia-kangouw.blogspot.com
macamnya, maka lalu aku menyelimutimu dengan mantelku. Nah, itulah keadaan yang sebenarnya!"
Sambil berkata demikian, teringatlah Kong Sian akan hal itu sehingga dia menundukkan kepala dengan
kemalu-maluan. Kalau saja ia tidak menundukkan mukanya, tentu ia akan melihat betapa Ang I Niocu
menjadi merah sekali mukanya dan betapa kedua mata gadis itu mencucurkan air mata!
Tiba-tiba Ang I Niocu lalu menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah di depan pemuda itu sambil berkata
dengan suara penuh keharuan, "In-kong (Tuan Penolong), kau maafkan aku yang kasar dan sudah
menuduhmu yang bukan-bukan! Kau telah menolong jiwaku, telah merawatku selama tujuh hari, memberi
obat, menyuapkan makan, akan tetapi aku yang tertolong bahkan sudah menuduhmu yang bukan-bukan!
Maafkanlah aku…" Ang I Niocu mengucapkan kata-kata ini sambil menangis karena tidak saja dia merasa
terharu, akan tetapi dia juga teringat akan semua peristiwa dan dia menguatirkan keadaan Lin Lin dan Cin
Hai!
Lie Kong Sian lalu berkata dengan halus, "Duduklah, Nona, dan kini legalah hatiku sebab sekarang kau
telah percaya kepadaku."
Ang I Niocu bangun, lantas duduk kembali sambil menyusuti air matanya dengan ujung mantelnya. Ia kini
merasa sangat jengah dan malu sehingga dia tidak berani memandang langsung kepada pemuda itu.
"Yang amat mengherankan," katanya kemudian, "kenapa tubuhku tak terluka sedangkan aku dicengkeram
dan dibawa terbang oleh seekor burung rajawali yang begitu besar dan ganas.”
“Tidak usah kau merasa heran, Nona. Sin-kim-tiauw bukanlah burung rajawali biasa. Dia telah terlatih baik
sekali oleh Supek-ku yang sakti, dan mungkin hanya Supek Bu Pun Su saja yang dapat melatihnya.”
Ang I Niocu mengangkat kepalanya dan memandang tajam. “Apa? Jadi kau adalah murid keponakan dari
Suhu Bu Pun Su?”
Kong Sian juga memandang heran. “Benar, mendiang Suhu-ku yang bernama Han Le adalah sute dari
Supek Bu Pun Su. Nona, ketika kau menyerangku di dalam goa tadi kau telah mainkan Ilmu Silat Kong-ciak
Sinna. Dari siapakah kau memperoleh ilmu itu?”
Dengan girang sekali Ang I Niocu berkata, “Kalau begitu, kau masih terhitung seheng-ku (kakak
seperguruan) karena aku pernah menerima latihan silat dari Suhu Bu Pun Su! Biar pun sebetulnya Suhu Bu
Pun Su masih menjadi susiok couw-ku sendiri karena mendiang ayahku ialah murid keponakannya. Akan
tetapi akhir-akhir ini aku juga mendapat latihan Kong-ciak Sinna serta Pek-in Hoat-sut dari Suhu Bu Pun Su
sehingga aku boleh juga menyebutnya Suhu!"
Bukan main girang rasa hati Kong Sian "Ahh, ahh, dunia ini memang tidak berapa luas! Siapa tahu bahwa
aku sudah menolong seorang saudara sendiri. Sumoi, sungguh aku merasa girang sekali mendengar ini.
Akan tetapi, siapakah mendiang Ayahmu?"
"Ayahku adalah Kiang Liat," jawab Ang I Niocu dengan singkat oleh karena dia merasa malu membicarakan
ayahnya yang mati karena gila!
Kong Sian mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku sudah pernah mendengar dari Suhu tentang ayahmu
itu yang berjuluk Jian-jiu Sianjin (Manusia Dewa Tangan Seribu). Ketika merantau, aku juga pernah
mendengar nama besar dari seorang pendekar wanita yang berjuluk Ang I Niocu, apakah kau sendiri orang
itu?"
Ang I Niocu mengangguk. "Memang itu nama julukanku yang kosong tak berisi. Namaku adalah Kiang Im
Giok, seorang yatim piatu yang hidup sunyi dan penuh penderitaan."
"Sumoi, kata-katamu ini benar-benar menyentuh jiwaku. Aku Lie Kong Sian juga merasa bosan sekali di
dunia ramai karena hidupku sebatang kara penuh kesunyian."
Keduanya lalu berdiam sampai lama, dan tenggelam dalam lamunan masing-masing.
Kemudian Kong Sian minta kepada Ang I Niocu supaya menceritakan pengalamannya sampai dia dapat
berada di Pulau Kim-san-to. Dengan panjang lebar Ang I Niocu lalu menceritakan semua pengalamannya
dan menyebut nama-nama Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Nelayan Cengeng dan juga nama Yousuf
dunia-kangouw.blogspot.com
dan lain-lainnya. Setelah selesai bercerita, Kong Sian lalu menepuk kepalanya sendiri sambil berkata,
"Ah, memang aku yang percuma dihidupkan di atas dunia ini! Telah terjadi peristiwa yang besar dan
demikian banyaknya serta membutuhkan tenaga bantuanku, akan tetapi yang kukerjakan hanyalah duduk
melamun di pulau ini! Sampai-sampai Pulau Kim-san-to telah kutinggalkan bertahun-tahun hingga sekarang
lenyap dimakan api! Ah, arwah Suhu tentu marah melihat sikapku ini. Memang aku hanya orang yang
berjiwa lemah!" Ia menghela napas berulang-ulang dan merasa kecewa terhadap diri sendiri.
"Suheng, kau adalah seorang gagah dan mulia dan melihat gerakanmu saat kau menotok roboh padaku
tadi, aku yakin bahwa ilmu kepandaianmu tentu tinggi sekali. Mengapa kau sia-siakan diri di tempat ini?
Mengapa kau tidak mau terjun di dunia ramai dan melakukan darma bakti sebagai orang yang
berkepandaian? Kalau kau mengasingkan diri di tempat ini, bukankah berarti sia-sia saja kau mempelajari
kepandaian sampai bertahun-tahun?"
Seperti biasanya, Ang I Niocu selalu merasa bahwa dia lebih berpengalaman dan lebih ‘berakal’ dari pada
orang lain, maka di dalam ucapannya ini terkandung nasehat-nasehat, teguran dan penyesalan, seperti
biasa orang-orang tua menasehati anak-anak atau guru menasehati murid. Memang, selama ia menjelajah
di dunia kang-ouw, yang disegani oleh Ang I Niocu dan yang membuat ia tunduk hanya Bu Pun Su
seorang, sedangkan kepada lain-lain orang ia bersikap ‘lebih tinggi’.
Kong Sian tersenyum mendengar ucapannya ini. "Sumoi, memang demikianlah apa bila dipandang
sepintas lalu saja. Akan tetapi, selama kau malang melintang di dunia ramai, apakah yang kau dapat?
Hanya permusuhan, kejahatan, dan perkelahian mengadu jiwa, bunuh-membunuh sesama manusia. Aku
sudah bosan menghadapi semua itu. Di sini aku mendapatkan ketenteraman jiwa dan tak terpengaruh oleh
kejahatan-kejahatan manusia yang terjadi di dunia ramai. Memang, sewaktu-waktu aku tentu keluar dari
pulau ini untuk meninjau dunia ramai sehingga tidak terputus hubunganku dengan manusia umum, akan
tetapi, tempat ini sudah kupilih untuk menjadi tempat tinggalku yang tetap di mana aku dapat hidup dengan
tenteram dan aman sentosa!"
Ucapan ini membuat Ang I Niocu menjadi tertegun. Terutama kata-kata pertanyaan yang diucapkan oleh
suheng-nya ini berkesan di dalam hatinya. Apakah yang dia dapat selama ini? Hanya kesedihan,
kekecewaan, dan permusuhan belaka.
Demikianlah, kedua orang itu kemudian bercakap-cakap dengan asyiknya, menceritakan pengalaman
masing-masing. Ketika mendengar tentang Cin Hai yang menjadi murid Bu Pun Su dan yang
kepandaiannya sangat dipuji oleh Ang I Niocu, Lie Kong Sian merasa kagum sekali.
"Ahh, ingin sekali aku bertemu dengan dia itu! Memang sungguh mengagumkan bahwa seorang pemuda
yang masih demikian muda telah mewarisi ilmu-ilmu kepandaian pokok dari Supek Bu Pun Su. Dahulu
Suhu pernah mengatakan bahwa ilmu pengertian pokok segala gerakan ilmu silat adalah kepandaian
tunggal Supek yang membuat dia menjadi seorang yang tak ada lawannya dalam dunia persilatan. Dan dia
sudah mampu mencipta sendiri ilmu pedangnya. Mengagumkan sekali." Diam-diam Kong Sian
membandingkan anak muda itu dengan sute-nya Song Kun yang juga amat lihai ilmu silatnya.
Sambil merawat dan memulihkan kesehatannya, Ang I Niocu berdiam di pulau itu dan melatih ilmu-ilmu
silat bersama Kong Sian. Ia telah menggunakan waktu senggang untuk menjahit kembali pakaiannya
hingga kini tak perlu lagi ia menyelimuti diri dengan mantel pemuda itu.
Dalam latihan ilmu silat, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat pemuda itu benar-benar hebat dan lihai
sekali sehingga boleh dikata masih lebih tinggi setingkat dari pada ilmu kepandaiannya sendiri. Oleh karena
ini, dia mendapat petunjuk-petunjuk dari suheng-nya ini yang juga merasa kagum sekali melihat
kepandaian sumoi-nya.
Ketika mendengar tentang Song Kun, Ang I Niocu menyatakan pendapatnya,
"Suheng sudah terang bahwa sute-mu itu jahat dan membahayakan keselamatan umum, mengapa kau
tidak pergi mencari dan menasehatinya?"
“Dulu sudah pernah aku mencarinya, akan tetapi dia tidak mau mendengar nasehatku," jawab Kong Sian
dengan suara sedih.
"Kalau begitu, kau harus menggunakan kekerasan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk memberantas
dunia-kangouw.blogspot.com
kejahatan, dan siapa pun juga orangnya yang berlaku jahat, maka harus kita berantas!"
"Kami bahkan pernah bertempur dan aku tidak dapat mengalahkan. Ilmu kepandaiannya walau pun tidak
lebih dari pada kepandaianku, namun ia memiliki bakat luar biasa serta kelincahan yang mengagumkan
sekali. Dan… dan aku tidak tega melihat dia mendapat celaka. Aku amat menyayangnya seperti adik
sendiri, sumoi."
Ang I Niocu memandangnya tajam dan kagum. "Kau memang orang yang berhati mulia, akan tetapi kau
terlalu lemah, Suheng. Agaknya, kalau kau sudah mencinta seseorang, kau akan membelanya sampai
mati! Sayang tidak ada seseorang wanita yang mendapat kehormatan menerima cinta di hatimu itu,
Suheng. Alangkah bahagianya seorang wanita yang mendapat cinta hati seorang mulia seperti kau ini!"
Ucapan ini sebenarnya hanya muncul dari watak yang jujur dari Ang I Niocu karena dia merasa betapa ada
persesuaian antara dia dan Kong Sian. Dia sendiri pun kalau sudah mencinta orang, dia rela membelanya
dengan taruhan jiwa sekali pun. Seperti halnya Lin Lin dan Cin Hai, ia rela untuk mengorbankan jiwa demi
kebahagiaan mereka! Akan tetapi, tanpa disangkanya, ketika mendengar ucapan yang diucapkan
sewajarnya ini, mendadak Kong Sian menjadi pucat sekali.
"Suheng, kau….. kau kenapakah?"
Sambil menundukkan kepala dan tak berani menentang mata Ang I Niocu, Kong Sian lalu berkata pelan,
"Sumoi, sebetulnya lidahku seolah-olah beku untuk mengeluarkan ucapan ini, akan tetapi biarlah kini aku
berterus terang saja. Sebelum bertemu dengan kau, tak pernah terpikir olehku mengenai diri seorang
wanita dan aku telah mengambil keputusan untuk hidup menyendiri di pulau ini hingga mati. Akan tetapi,
setelah aku bertemu dengan kau… bahkan sebelum aku mengetahui siapa adanya kau, melihat kau
menderita sakit tanpa mengetahui apakah kau orang baik-baik atau orang jahat, hatiku sudah… tertarik
sekali kepadamu dan… dan…" kemudian ia mengangkat mukanya dan dengan wajah pucat ia memandang
kepada gadis itu dengan mata sayu, "Sumoi… maafkan kata-kataku ini… kita sama-sama hidup tidak berisi
seakan-akan kosong dan sunyi. Maukah kau... maukah kau menghabiskan sisa hidupmu dengan aku di
pulau ini?"
Warna merah menjalar di seluruh muka Ang I Niocu sampai ke telinganya, dan matanya terbelalak ketika
dia memandang pemuda itu. "Suheng... apakah maksudmu?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Sumoi, kalau kau sudi, marilah kita hidup bersama di pulau ini... maksudku, kita hidup sebagai suami
isteri!"
Kini mata Ang I Niocu memandang tajam. “Kenapa, Suheng? Kenapa kau mengajukan usul ini? Apakah
yang mendorongmu?"
Sementara itu, Kong Sian sudah dapat menetapkan hatinya yang tadi berguncang hebat. Dengan gagah
dia lalu mengangkat muka, memandang wajah Ang I Niocu sepenuhnya. "Sumoi, biarlah kau mendengar
pengakuanku. Meski pun kau akan mentertawaiku, akan mencaci, biarlah! Aku cinta kepadamu, Sumoi,
sebagai cinta seorang laki-laki terhadap seorang wanita! Belum pernah ada perasaan demikian di hatiku,
akan tetapi sesudah aku melihatmu, aku cinta kepadamu, cinta dengan sepenuh jiwaku! Karena itu,
sekarang aku mengajukan pinangan kepadamu, Sumoi, apa bila kau sudi, sukalah kiranya kau menjadi
isteriku dan kita menghabiskan sisa hidup sebagai suami isteri di pulau ini."
Tiba-tiba saja tanpa dapat ditahan lagi, mengalirlah air mata dari kedua mata Ang I Niocu sehingga Kong
Sian menjadi terkejut dan berkata halus,
"Sumoi, kalau aku menyinggung dan melukai hatimu, ampunkanlah aku. Aku tidak akan memaksamu,
Sumoi, demi Tuhan Yang Maha Kuasa, apa bila kau tidak suka menerima katakanlah tanpa ragu-ragu atau
sungKansungkan lagi. Aku takkan menyesal kepadamu, hanya akan menyesali diri sendiri yang bodoh dan
tidak tahu diri!"
Sambil menghapus air matanya, Ang I Niocu menggelengkan kepalanya berkali-kali dan berkata, "Bukan
demikian, Suheng. Jangan kau salah sangka. Aku... aku hanya merasa terharu sekali mendengar
pernyataanmu yang sama sekali tak pernah kusangka-sangka itu. Aku telah menerima budi pertolonganmu
yang besar yang selama hidupku tidak akan pernah kulupa. Kau sudah menolong jiwaku dan apa bila
seandainya tidak ada kau, aku Kiang Im Giok pasti sudah mati! Dan seandainya aku tidak terjatuh ke dalam
tanganmu, akan tetapi ke dalam tangan laki-laki lain ahh... entah nasib apa yang akan kuderita! Kau
dunia-kangouw.blogspot.com
seorang gagah dan mulia, Suheng, terlalu mulia bagiku... aku... aku seorang yang jahat dan kotor!
Ketahuilah, pada waktu aku masih muda, aku telah jatuh cinta yang akhirnya mengorbankan nyawa Ayahku
sendiri. Aku tidak berharga bagimu, Suheng."
"Im Giok, aku sudah tahu tentang hal itu dari Suhu-ku. Aku pernah mendengar betapa kekasihmu dibunuh
oleh ayahmu sendiri. Akan tetapi, kau tidak bersalah dalam hal itu. Ayahmu meninggal dunia oleh karena
serangan penyakit jantung yang berbahaya. Wajar bagi seorang gadis untuk jatuh cinta!"
"Bukan itu saja, Suheng. Semenjak peristiwa itu, aku membenci laki-laki! Banyak pemuda yang jatuh cinta
kepadaku, sengaja kupermainkan perasaan cintanya sehingga mereka menjadi seperti gila! Aku berlagak
membalas perasaan mereka dan apa bila mereka telah menjadi gila betul-betul, aku pergi
meninggalkannya. Banyak yang sudah menjadi korban, bahkan seorang pemuda yang baik budi bernama
Kang Ek Sian, yang dulu bahkan telah dipilih oleh Suhu Bu Pun Su sendiri untuk menjadi suamiku, juga
telah kupermainkan dan kupatahkan hatinya!"
Kong Sian menggelengkan kepala dan menarik napas dalam. "Memang kau telah berlaku kejam dan sesat,
Sumoi, akan tetapi pengakuanmu ini telah meringankan dosamu, tanda bahwa kau sudah insyaf. Aku tidak
menyesal mendengar ini dan tidak mengurangi rasa cintaku padamu."
"Masih ada lagi, Suheng... " kata Ang I Niocu sambil mengusap air mata yang menitik ke atas pipinya,
"aku... aku yang tidak tahu diri akhirnya telah jatuh hati! Dan aku jatuh hati serta mencinta dengan sepenuh
jiwaku kepada seorang pemuda yang usianya jauh lebih muda dariku, padahal ketika aku bertemu dengan
dia, aku telah berusia dua puluh tahun lebih dan dia baru berusia dua belas tahun! Aku... aku yang tidak
tahu malu ini diam-diam mencinta kepadanya, dan... dan orang itu adalah Cin Hai, murid Suhu Bu Pun Su
yang pernah kuceritakan padamu!"
"Hmm, jadi karena itukah maka kau mati-matian hendak mengorbankan nyawamu untuk menolong Lin Lin
seperti yang kau ceritakan itu? Sumoi, kau benar- benar seorang mulia yang bernasib malang dan patut
dikasihani! Aku dapat membayangkan betapa suci dan mulia rasa cintamu kepada Cin Hai! Melihat pemuda
itu mencinta seorang gadis lain, kau tidak sakit hati, bahkan kau berdaya sekuat tenaga hendak
mempertemukan mereka! Aku tahu, Sumoi, aku dapat menyelami jiwamu dan aku merasa bersyukur sekali
bahwa kau dapat mengatasi perasaan-perasaan yang kurang baik. Sumoi, cerita dan pengakuanmu ini
mempertinggi nilai dirimu dalam pandanganku."
Ang I Niocu mengangkat muka dan memandang heran. "Apa? Kau tidak marah padaku, Suheng? Kau tidak
memandang rendah terhadapku setelah segala apa yang kuceritakan padamu itu?"
Kong Sian menggeleng-geleng kepalanya sambil tersenyum, dan dari matanya bersinar cinta kasih yang
diliputi kekaguman hati. "Pengakuanmu bahkan telah mempertebal rasa cintaku, Sumoi. Sudah wajar bagi
tiap manusia untuk melakukan kekeliruan, akan tetapi, setiap kekeliruan akan musnah apa bila orang itu
sudah menyadari dan menginsyafinya. Kau adalah seorang mulia."
Mendengar ini, lemaslah seluruh anggota tubuh Ang I Niocu dan dia lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas
rumput sambil menangis.
"Im Giok, jangan kau merasa berat untuk menolak permintaanku tadi. Aku maklum bahwa aku memang
mungkin terlalu tua bagimu dan... "
"Tidak Suheng. Usia kita tidak berselisih jauh."
"Apa?? ]angan kau membohongi aku, Sumoi!" kata Kong Sian dengan heran.
Ang I Niocu tersenyum sedih di antara air matanya. "Aku tidak bohong, Suheng. Memang mungkin aku
nampak jauh lebih muda oleh karena aku banyak makan telur dari pek-tiauw (rajawali putih), akan tetapi
sesungguhnya aku telah berusia tiga puluh lebih, sedikitnya tiga puluh dua tahun!"
Kong Sian mengangguk-angukkan kepalanya, karena sebagai seorang ahli pengobatan yang menerima
warisan kepandaian dari Han Le, ia maklum akan khasiat yang besar dari telur burung rajawali putih.
"Pantas, pantas saja! Dan hal ini lebih-lebih menunjukkan kegagahanmu, oleh karena tak sembarangan
orang dapat mengambil telur pek-tiauw! Melihat wajahmu, agaknya engkau paling banyak baru berusia dua
puluh lima lebih! Bagaimana Sumoi. Bersediakah kau menerima aku yang bodoh dan buruk rupa sebagai
dunia-kangouw.blogspot.com
kawan hidupmu?"
Ang I Niocu menggunakan tangan untuk menutup mukanya. Ia merasa bingung sekali. Di dalam hati ia
mengaku bahwa mungkin di dunia ini tidak ada seorang pemuda yang layak dan patut menjadi suaminya
selain Kong Sian. Kepandaiannya tinggi melebihinya sendiri, rupanya tampan dan sikapnya halus dan
sopan santun. Pribadinya tinggi dan hal ini telah ia buktikan ketika pemuda itu mendapatkan dirinya yang
berada dalam keadaan setengah telanjang itu dan ketika pemuda ini merawatnya dengan penuh
kesabaran.
Semua ini telah menunjukkan bahwa pemuda ini sungguh-sungguh mencintanya dengan sepenuh jiwa.
Terutama sekali, di dalam hal usia pemuda ini sebanding dengan dia! Apa lagi? Pemuda ini bahkan telah
menolong jiwanya sehingga sampai mati pun belum tentu ia bisa membalas budinya.
Akan tetapi, jika dia menerima pinangan itu, seakan-akan ia terlalu murah memberi harga kepada dirinya!
Dia memang berwatak tinggi hati dan keras, dan tidak mau ditundukkan dengan mudah. Akan tetapi, untuk
menolak dia pun tidak berani!
"Suheng,” katanya setelah dia berpikir dengan masak-masak, "aku harus menghaturkan beribu terima kasih
atas budi kecintaanmu itu. Bagaimana aku dapat menolak pinangan seorang seperti kau? Akan tetapi hal
ini terjadi terlalu tiba-tiba sehingga aku belum dapat memutuskannya karena masih merasa bingung!
Sekarang begini saja, Suheng. Biarlah kau anggap aku telah menerima pinanganmu itu dan aku pun takkan
malu-malu mengaku bahwa aku telah menjadi tunanganmu. Akan tetapi, soal pernikahan antara kita baru
bisa terlaksana setelah kau memenuhi beberapa syarat!"
Kong Sian tersenyum dan dari ucapan ini saja ia yang sudah paham akan tabiat manusia, dapat
mengetahui bahwa gadis kekasih hatinya ini memiliki adat yang tinggi dan keras! Ia menjawab sambil
masih tersenyum. "Sumoi, katakanlah, apa syarat-syaratmu itu?"
"Pertama, kau harus menanti sampai aku bisa bertemu kembali dengan kawan-kawanku, terutama dengan
Cin Hai dan Lin Lin. Sebelum aku dapat mempertemukan kedua sejoli ini atau melihat mereka telah
berkumpul kembali, tidak mungkin aku dapat mengikat diri dengan laki-laki lain!"
Kong Sian mengangguk-angguk, karena maklum akan isi hati Ang I Niocu.
“Kedua, kita harus mendapat perkenan dari Suhu Bu Pun Su, oleh karena dahulu beliau mempunyai
maksud dan kehendak untuk menjodohkan aku dengan Kang Ek Sian, yang biar pun mencintaku, akan
tetapi tak kubalas cintanya itu.”
Syarat ke dua ini diam-diam menggirangkan hati Kong Sian, oleh karena dari ucapan terakhir yang
menyatakan bahwa gadis ini tidak menerima pinangan Kang Ek Sian oleh karena tidak mencintanya,
hampir menyatakan bahwa biar pun sedikit, gadis ini ‘ada hati’ padanya, kalau tidak, tentu ia akan
menolaknya pula! Karena itu ia mengangguk-angguk kembali dengan mulut tersenyum.
“Ke tiga,” kata lagi Ang I Niocu, “kau harus keluar dari pulau ini dan turun ke dunia ramai untuk mencari
sute-mu Song Kun itu dan memenuhi pesan Suhu-mu, yaitu menasehati dia atau menggunakan kekerasan
terhadapnya.”
“Ahh, yang ke tiga ini berat sekali, Sumoi! Kau tahu bahwa aku amat mencintanya dan tidak tega untuk
mencelakakannya!”
“Inilah kelemahan yang membuat hatiku tak puas! Kau tidak tega kepada Sute-mu karena kau
mencintanya, akan tetapi apakah kau akan bertega hati melihat betapa wanita-wanita diganggunya?
Kelemahanmu ini menimbulkan ketidak adilan di dalam hatimu yang tidak layak dan tidak patut dimiliki oleh
seorang pendekar silat.”
Kong Sian menghela napas, kemudian menjawab, “Biarlah, hal ini perlu kurenungkan dan kupikirkan baikbaik,
sumoi. Masih ada lagikah syarat-syaratmu?”
Pertanyaan ini membuat Ang I Niocu menjadi merah mukanya karena dia merasa telah keterlaluan
mengajukan sekian banyak syarat. Akan tetapi, syarat-syarat itu setidaknya dapat ‘mengangkat’ harga
dirinya, tidak semurah kalau ia menerimanya mentah-mentah!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Masih ada satu hal lagi,” katanya dengan muka merah dan menundukkan kepala, “akan tetapi yang
terakhir ini baru akan kuceritakan kalau kau telah memenuhi yang ketiga itu.”
“Baiklah, Sumoi. Kuterima semua syarat-syaratmu.” Kemudian Lie Kong Sian meloloskan pedangnya dari
pinggang dan memberikan itu kepada Ang I Niocu, lalu berkata, “Sumoi, terimalah Cian-hong-kiam ini
sebagai bukti dari pada ikatan yang ada di antara kita, dan biarlah Thian yang menjadi saksi atas
pertunangan kita ini.” Kata-kata ini diucapkan oleh Kong Sian dengan suara bergetar hingga mengharukan
hati Ang I Niocu yang menerima pedang itu.
Kemudian Ang I Niocu mengambil perhiasan rambutnya yang terbuat dari pada mutiara dan
memberikannya kepada Kong Sian. “Aku tidak mempunyai apa-apa, Suheng dan biarlah benda ini menjadi
bukti dari pada kesetiaanku.”
Tak ada upacara yang mengesahkan pertunangan mereka itu selain dari pada penukaran benda yang
dilakukan dengan sikap sederhana ini akan tetapi diramaikan oleh pertemuan pandang mata mereka yang
menembus ke hati masing-masing.
Sesudah itu, Ang I Niocu lalu berpamit hendak pergi mencari Cin Hai dan Lin Lin. Kong Sian segera
mengambil perahunya dan ia lalu mengantarkan tunangannya itu sampai ke darat di pesisir Tiongkok. Si
Rajawali Emas tidak mau ketinggalan, ikut mengantar sambil terbang di atas perahu itu.
Pada saat keduanya telah mendarat dan Ang I Niocu hendak meninggalkannya, mereka saling pandang
dan Ang I Niocu berbisik, “Semoga Thian memberkahi perjodohan kita dan semoga cita-cita kita bersama
akan terlaksana, Koko.”
Kedua mata Kong Sian menjadi basah karena terharu dan girang mendengar sebutan ini dan semakin
yakinlah dia bahwa diam-diam Ang I Niocu juga mempunyai perasaan yang sama dengan perasaan
hatinya.
“Selamat Jalan, Moi-moi, dan biarlah Sin-kim-tiauw mengawanimu.”
Ang I Niocu girang sekali. Ia berkata kepada burung rajawali itu,
“Sin-kim-tiauw, kau ikutlah padaku!”
Burung itu agaknya mengerti ucapan ini, karena dia cepat menoleh kepada Kong Sian seakan-akan minta
perkenannya. Dia tak akan berani pergi sebelum mendapat perkenan dari Kong Sian.
“Pergilah kau ikut dia, Kim-tiauw, dan jagalah dia baik-baik!”
Burung itu lalu mengeluarkan bunyi karena girang dan ketika Ang I Niocu berlari cepat meninggalkan
tempat itu, dia lalu terbang dan mengejar. Kong Sian kembali ke pulaunya untuk merenungkan peristiwa
yang tak tersangka-sangka telah terjadi dalam hidupnya itu.
Demikianlah kisah pengalaman Ang I Niocu yang diduga telah tewas itu. Beberapa bulan lamanya ia
merantau mencari-cari Cin Hai dan Lin Lin. Ia kembali ke pesisir dari mana ia menyeberang ke Pulau Kimsan-
to, tetapi dia tidak mendapatkan jejak kawan-kawannya sehingga ia segera menuju ke barat. Oleh
karena mendengar bahwa Lin Lin ikut dengan seorang Turki dan bahwa pada waktu itu di daerah Kansu
banyak terdapat orang-orang Turki, ia lalu merantau ke barat.
Pada suatu hari dia tiba di sebuah bukit di daerah Sui-yan. Dia berlari cepat, akan tetapi Sin-kim-tiauw telah
mendahuluinya, terbang rendah sambil mengeluarkan bunyi karena ia merasa girang bahwa Ang I Niocu
tidak dapat mengejarnya!
Tiba-tiba burung itu memekik keras dan pekik kemarahan ini mengherankan Ang I Niocu hingga
membuatnya mempercepat larinya. Ketika ia tiba di tempat itu, ia menjadi marah sekali oleh karena melihat
betapa ada tiga orang-orang tua tengah melempar-lempar batu kecil ke arah Sin-kim-tiauw yang
beterbangan dan menyambar-nyambar di atas mereka dengan marah!
Burung itu cepat mengelak dan mengebut sambitan batu dengan sayapnya sehingga tiga orang tua itu
berseru kagum, “Burung bagus!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketiga orang tua itu adalah seorang nenek buruk rupa, berhidung panjang dan bongkok seperti hidung
kakak tua, dan berpunggung bongkok seperti punggung onta, sedangkan dua orang tua lainnya adalah
seorang kakek berjubah hitam dan bersorban dan seorang lagi tosu yang bermata lebar.
Melihat betapa rajawali itu dapat mengelak dari setiap sambitan, bahkan salah satu batu yang dikebut oleh
sayapnya berbalik meluncur ke arah nenek itu, Si Nenek Tua yang buruk menjadi marah.
“Burung siluman! Rasakan sambitanku ini!”
Dan ketika ia menggerakkan tangan kanannya, puluhan batu-batu kecil melayang dengan hebatnya ke arah
tubuh rajawali emas! Sin-kim-tiauw cepat mengelak sambil mengebut dengan sayapnya, akan tetapi
sebuah dari pada batu-batu itu tepat mengenai pahanya sehingga dia merasa sakit sekali dan memekikmekik
kesakitan!
“Nenek jahat! Jangan kau mengganggu burungku!” Ang I Niocu berseru marah sambil melompat ke
hadapan nenek itu.
Ketika melihat seorang gadis berbaju merah melompat maju dan menegurnya, nenek itu menjadi marah
dan tanpa berkata sesuatu langsung menyerang dengan cengkeraman tangannya ke arah pundak Ang I
Niocu! Dara Baju Merah ini segera mengangkat lengan dan menangkis, akan tetapi dia menjadi terhuyunghuyung
ke belakang karena ternyata bahwa tenaga lengan tangan nenek itu besar sekali! Melihat kelihaian
nenek ini, Ang I Niocu cepat-cepat mencabut pedangnya Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong Sian dan dia
pun segera menyerang dengan cepat.
Dan pada saat dia bertempur dengan seru melawan nenek bongkok itu, datanglah Kwee An dan Ma Hoa
yang terheran-heran melihat Dara Baju Merah yang tadinya disangka telah mati itu!
Dua orang kakek yang tadinya hanya menjadi penonton saja, ketika melihat betapa Nona Baju Merah itu
ternyata lihai sekali ilmu pedangnya dan dapat mendesak nenek bongkok, segera berseru keras, dan maju
menyerbu dengan kebutan ujung lengan baju mereka yang panjang. Ang I Niocu merasa terkejut oleh
karena sambaran angin pukulan mereka ternyata jauh lebih hebat dari pada serangan nenek bongkok itu,
terutama pendeta yang bersorban! Maka dia lalu memutar pedangnya dengan lebih cepat lagi dan mainkan
ilmu pedangnya Ngo-lian-hoan Kiam-hoat.
Melihat hal ini, Kwee An beserta Ma Hoa langsung menerjang dengan pedang di tangan dan membantu
Ang I Niocu. Mereka berdua telah bermufakat untuk diam saja dan tidak menegur Ang I Niocu, untuk
membuktikan bahwa benar-benar Dara Baju Merah itu Ang I Niocu.
Saat melihat ada dua bayangan berkelebat membantunya dan ternyata bahwa dua orang penolong itu
adalah Kwee An dan Ma Hoa, bukan main girangnya hati Ang I Niocu dan dia segera menegur,
“Ma Hoa...! Kwee An...!”
Berdebarlah tubuh kedua anak muda itu mendengar suara ini karena kini mereka tidak perlu merasa raguragu
lagi, terutama sekali Ma Hoa yang tidak dapat menahan isaknya! Sambil menangkis ujung lengan baju
pendeta bersorban yang sedang melayang ke arah mukanya, dia berseru dengan isak tertahan,
“Enci Im Giok...!”
Juga Kwee An berseru girang, “Ang I Niocu...!”
Sementara itu, tiga orang tua yang mendengar nama Ang I Niocu disebut-sebut, segera melompat mundur
dengan hati terkejut. Kesempatan ini digunakan oleh Ma Hoa dan Ang I Niocu untuk saling tubruk dan
saling peluk.
“Enci Im Giok..., kau... kau masih hidup...?”
“Adik Ma Hoa...,” mereka berpelukan sambil mencucurkan air mata karena girang dan keduanya saling
pandang dengan tersenyum.
“Ha-ha-ha-ha, jadi kalian adalah Ang I Niocu, Ma Hoa, dan Kwee An?” berkata tosu tadi. ”Kebetulan sekali!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Juga nenek bongkok itu lalu berkata, “Hmm, memang sudah takdir bahwa kalian harus mampus di tangan
kami! Ang I Niocu, ketahuilah bahwa aku adalah Siok Kwat Moli dan kedua kakek ini adalah sahabatsahabat
baikku. Mereka bernama Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin.” Ia menunjuk ke arah pendeta
bersorban lalu ke arah tosu itu. “Tak perlu aku bercerita panjang lebar mengapa kami memusuhi kalian,
cukup kalau kuberi tahu bahwa Hai Kong Hosiang yang kalian siksa itu adalah seheng-ku!”
Sekarang mengertilah Ang I Niocu serta kedua orang kawannya, dan mereka maklum bahwa pertempuran
mati-matian tak dapat dielakkan lagi.
“Memang burung gagak selalu berkawan dengan burung-burung mayat juga!” kata Ang I Niocu sambil
tersenyum sindir. “Hai Kong Hosiang belum terhitung jahat apa bila belum mempunyai seorang sumoi
seperti kau ini dan mempunyai sahabat-sahabat yang terdiri dari pendeta-pendeta palsu pula!”
Bukan main marahnya ketiga orang itu mendengar hinaan ini. Sambil berseru keras, nenek itu lalu
mencabut keluar senjata yang istimewa, yaitu sehelai sabuk kuning emas yang panjang hingga ketika ia
pegang dengan kedua tangan maka merupakan sepasang senjata lemas yang luar biasa.
Wai Sauw Pu pendeta yang bersorban itu adalah seorang dari Sin-kiang yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi dan ia pun telah kena terbujuk oleh Hai Kong Hosiang hingga ikut pula membela pendeta gundul itu.
Pendeta bersorban ini mengeluarkan senjatanya yang jarang terlihat, yaitu seuntai tasbeh yang terbuat dari
pada gading gajah dan merupakan lingkaran panjang.
Lok Kun Tojin, seorang pertapa yang sakti dari Thaisan, juga mencabut senjatanya yang lebih lihai, yaitu
sepasang roda memakai tali sehingga roda-roda itu bila digerakkan bisa berputaran bagaikan kitiran dan
membuat bingung kepada lawannya.
Sambil berseru keras, ketiga orang itu lalu menyerbu. Si Nenek bongkok menghadapi Ang I Niocu, pendeta
bersorban menghadapi Ma Hoa, dan tosu itu menghadapi Kwee An. Pertempuran hebat segera
berlangsung dengan ramai sekali.
Ang I Niocu memegang pedang Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong Sian, yaitu sebuah pedang pusaka
yang ampuh. Kwee An memegang pedang Oei-kang-kiam pemberian Meilani, juga pedang pusaka hingga
ia tidak takut menghadapi roda-roda Lok Kun Tojin. Ada pun Ma Hoa dengan sepasang bambu runcingnya
yang dimainkan secara luar biasa itu dapat mengimbangi permainan tasbeh yang hebat dari Wai Sauw Pu!
Setelah bertempur belasan jurus, ketiga orang tua itu baru benar-benar merasa terkejut oleh karena tadinya
mereka memandang rendah kepada tiga orang lawan muda itu yang sama sekali tak pernah mereka
sangka demikian lihainya.
Ang I Niocu maklum akan kelihaian Kwee An, maka ia tidak perlu menguatirkan keadaan pemuda itu, akan
tetapi tadinya dia merasa cemas melihat betapa Ma Hoa menghadapi kakek bersorban yang nampaknya
kuat dan lihai sekali. Namun begitu melihat permainan bambu runcing Ma Hoa, diam-diam ia merasa amat
kagum dan juga heran, maka dengan hati gembira Ang I Niocu lalu melayani nenek bongkok sambil berkata
kepada Ma Hoa,
“Adikku, kau kini hebat sekali!”
Mendengar pujian ini, Ma Hoa lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang baru saja didapatnya dari
Hok Peng Taisu dan biar pun tasbeh di tangan kakek bersorban itu luar biasa gerakannya, akan tetapi
sepasang bambu runcingnya juga merupakan senjata lihai yang gerakannya belum dikenal oleh Wai Sauw
Pu!
Ada pun rajawali emas yang terus beterbangan dan berputar-putar di atas kepala mereka yang sedang
bertempur, kini mulai menyambar turun dan siap membantu. Yang terutama dibantunya ialah Ang I Niocu
dan beberapa kali ia menyerang kepala nenek bongkok itu hingga Si Nenek Bongkok memaki-maki kalang
kabut.
“Burung jahanam! Burung siluman! Akan kusembelih lehermu, akan kumakan dagingmu mentah-mentah!”
Sambil berkata begitu, dengan tangan kanan menggunakan sabuknya untuk melayani Ang I Niocu ada pun
ujung sabuk di tangan kiri beberapa kali mengebut ke arah Sin-kim-tiauw tiap kali burung itu menyambar
turun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendadak ketika burung itu menyambar turun, tosu yang berkelahi melawan Kwee An menggerakkan roda
pada tangan kirinya dan roda itu terputar cepat menyambar ke arah burung yang terbang di atas kepala
nenek bongkok itu! Ternyata bahwa tali yang ada di tengah-tengah roda itu amat panjangnya sehingga roda
itu dapat terbang tinggi dan jauh! Hampir saja rajawali itu terkena hantaman roda, baiknya ia cepat
mengelak dan terbang ke atas sambil berteriak marah. Kini ia menyambar turun dan menyerang Lok Kun
Tojin!
“Sin-kim-tiauw, jangan!” teriak Ang I Niocu oleh karena gadis ini maklum betapa lihainya roda-roda tosu itu.
Akan tetapi rajawali yang sedang marah ini mana mau mendengarkan cegahannya. Dia tetap menyerang
dan menyambar-nyambar dengan ganasnya.
“Sin-kim-tiauw, tak maukah kau menurut perintahku?” bentak Ang I Niocu dan suaranya menyatakan
kemarahan besar yang terdorong oleh kekuatirannya.
Rajawali itu terkejut mendengar bentakan Ang I Niocu dan pada saat itu, sebuah roda dari Lok Kun Tojin
dengan keras mengenai dadanya! Burung itu terpental ke atas udara sambil berteriak-teriak kesakitan.
Kemudian, karena merasa dadanya sangat sakit dan pula karena mendongkol mendengar bentakan dan
cegahan Ang I Niocu yang dibelanya, ia lalu terbang tinggi sekali dan terus terbang pergi jauh!
Ang I Niocu merasa cemas sekali, sebaliknya Lok Kun Tojin merasa pukulan rodanya tadi amat berbahaya
dan keras. Jangankan kulit daging, bahkan batu karang pun akan hancur apa bila terpukul oleh rodanya,
akan tetapi burung itu tidak tewas karenanya, bahkan lalu terbang pergi dengan cepat!
Dengan Ilmu Silat Bambu Runcing yang lihai, Ma Hoa dapat membikin jeri hati lawannya yang sebenarnya
masih lebih tinggi ilmu silatnya. Sedangkan ilmu pedang Ang I Niocu juga membuat nenek bongkok itu
merasa gentar.
Tak pernah disangkanya bahwa musuh-musuh suheng-nya yang muda-muda mempunyai ilmu kepandaian
yang begini luar biasa. Tidak heran apa bila suheng-nya yang lihai itu sampai kena dikalahkan.
Sebaliknya, sungguh pun ilmu pedang yang dimiliki Kwee An juga bukanlah ilmu pedang sembarangan,
yaitu ilmu pedang Kim-san-pai warisan suhu-nya yang pertama, yaitu Eng Yang Cu, dan Ilmu Pedang Hailiong
Kiam-sut warisan Nelayan Cengeng, akan tetapi sepasang roda di tangan tosu yang menjadi
lawannya itu benar-benar luar biasa.
Beberapa kali pemuda ini hampir saja menjadi korban pukulan roda, untung dia masih dapat mengelak
sambil mengeluarkan ilmu silat yang dia pelajari dari Hek Mo-ko, hingga Lok Kun Tojin merasa kagum.
Jarang sekali tosu ini mendapatkan lawan yang sanggup mengimbangi ilmu kepandaiannya dan sekarang,
baru saja ia turun gunung dan bertemu dengan musuh-musuh sahabatnya, ia telah bertemu dengan
seorang pemuda yang dapat bertahan melawannya sampai hampir seratus jurus!
Kwee An maklum bahwa apa bila dilanjutkan, ia tak akan menang dan juga kedua orang kawannya belum
tentu akan dapat menang pula, maka ketika ia melihat rajawali terbang pergi, ia mendapat akal dan
berkata,
“Bagus, Sin-kim-tiauw tentu akan memanggil Suhu-mu!”
Benar saja, ucapan ini membuat ketiga orang tua itu merasa kaget dan kuatir sekali. Baru murid-muridnya
saja sudah begini lihai, apa lagi kalau suhu mereka yang datang! Maka, nenek bongkok itu berkata, “Jiwi
bengyu, mari kita pergi! Kita jumpai Hai Kong lebih dulu, lain kali mudah untuk mengambil nyawa ketiga
tikus kecil itu!”
Ketiga orang tua itu lalu melompat pergi dan segera lari secepatnya meninggalkan tempat itu. Ang I Niocu
yang memiliki watak tidak mau kalah itu merasa penasaran dan kecewa, maka ia menegur Kwee An,
”Kongcu, mengapa kau menggunakan akal mengusir mereka?”
“Mereka itu sebenarnya tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan kita, untuk apa berkelahi matimatian?”
kata Kwee An sambil menarik napas lega.
“Akan tetapi, Sin-kim-tiauw telah dilukainya!” kata Ang I Niocu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Belum tentu kim-tiauw itu terluka, karena kalau benar terluka, bagaimana ia bisa terbang begitu tinggi dan
cepat?” Ma Hoa membela kekasihnya. “Enci Im Giok, mereka itu lihai sekali. Sudahlah jangan
membicarakan mereka pula, yang perlu sekarang lekaslah kau ceritakan pengalamanmu. Kami semua,
terutama Cin Hai dan Lin Lin, merasa berduka sekali, karena menyangka bahwa kau tentu sudah
meninggal di atas Pulau Kim-san-to yang terbakar hebat dan meledak itu.” Sambil berkata demikian, Ma
Hoa lalu memegang tangan Ang I Niocu dan ketiganya lalu duduk di bawah sebatang pohon untuk
beristirahat dan bercakap-cakap.
Mendengar disebutnya nama Cin Hai dan Lin Lin, lenyaplah rasa kecewa dari wajah Ang I Niocu yang
cantik, dan sekarang wajahnya berseri gembira. “Apa katamu? Lin Lin dan Cin Hai, apakah benar-benar
mereka itu selamat dan sudah saling bertemu?”
Ma Hoa lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya dan menuturkan segala peristiwa yang terjadi
semenjak mereka berpisah, juga pengalamannya sendiri ketika terjatuh dari atas tebing bersama Kwee An.
Mendengar cerita itu, Ang I Niocu mengucap syukur karena kawan-kawan baiknya telah terhindar dari
bahaya maut. Akan tetapi ketika mendengar betapa kini kedua orang muda itu tidak tahu bagaimana nasib
Lin Lin dan Yousuf yang dikejar-kejar orang-orang Turki, di mana pula adanya Cin Hai, ia menghela napas
dan berkata,
”Ah, sungguh kasihan sekali Lin Lin dan Cin Hai. Baru saja bertemu, mereka sudah harus berpisah pula.
Sekarang kita harus mencari mereka sampai dapat.”
“Memang kami berdua pun sedang mencari jejak mereka, Niocu.” kata Kwee An. “Yang mengejar Lin Lin
dan Yo-siokhu adalah orang-orang Turki, maka pada waktu mendengar bahwa di daerah Kansu banyak
terdapat orang-orang Turki, kami lalu menuju ke barat untuk menyelidiki di sana. Tidak tahunya kebetulan
sekali kita saling bertemu di sini.”
“Sayang sekali Sin-kim-tiauw sudah terbang pergi, entah di mana dia sekarang berada,” kata Ang I Niocu.
Tentu saja ketiga orang muda ini tidak tahu bahwa Rajawali Sakti itu sudah berjumpa dengan Bu Pun Su
sehingga nyawanya tertolong, karena kakek jembel ini yang melihat Sin-kim-tiauw terbang tinggi di udara,
lalu mengerahkan tenaga khikang-nya memanggil, kemudian ia mengobati luka pada dada burung sakti itu
yang selanjutnya mengikuti kakek jembel itu.
Setelah menanti sampai senja dan burung itu tidak juga kembali, Ang I Niocu, Kwee An, serta Ma Hoa lalu
melanjutkan perjalanan mencari Lin Lin ke arah barat. Tujuan mereka adalah Propinsi Kansu sebelah
barat…..
********************
Cin Hai melarikan Pek-gin-ma dengan amat cepatnya, diikuti oleh burung bangau di atas kepalanya. Dia
telah menjelajah di sekitar daerah perbatasan Tiongkok dan Mongol untuk mencari jejak Lin Lin dan
Yousuf, akan tetapi sia-sia belaka. Akhirnya, tepat sebagaimana yang diduga oleh Kwee An dan Ma Hoa
dia lalu menuju ke barat oleh karena dia pun berpikir bahwa boleh jadi Yousuf melarikan diri ke barat.
Pada suatu hari, ketika dia sedang menjalankan kudanya perlahan sambil merenungkan nasibnya yang
selalu terpisah dari Lin Lin, ia merasa seolah-olah ada orang mengikutinya dari belakang. Beberapa kali ia
menoleh, akan tetapi ia tidak melihat bayangan seorang pun. Akan tetapi, apa bila ia melanjutkan
perjalanannya, kembali ia merasa seakan-akan ada sepasang mata memandang dirinya dan sepasang kaki
berjalan cepat dengan amat ringannya di belakang kuda.
Dengan tiba-tiba Cin Hai berpaling lagi, akan tetapi kembali ia kecele, oleh karena ia tidak melihat ada
orang. Setankah yang mengikutinya? Atau orang yang berkepandaian tinggi? Seingatnya, yang mungkin
mengikutinya secara luar biasa cepatnya dan diam-diam, tidak ada orang lain kecuali suhu-nya saja yang
akan sanggup melakukannya. Akan tetapi tak mungkin suhu-nya mengikuti dengan diam-diam.
Cin Hai lalu melarikan kudanya cepat-cepat, akan tetapi kembali dia mendengar tindakan kaki yang amat
ringannya mengikutinya dengan cepat pula. Ketika dia menengok, masih saja kosong di belakangnya, tidak
nampak seorang pun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sungguh mengherankan, dan dengan penasaran dia lalu turun dari kudanya dan berjalan sambil menuntun
Pek-gin-ma. Setelah berjalan kaki, Cin Hai merasa makin yakin bahwa benar-benar ada orang yang
mengikutinya dari belakang dan orang ini tentu mempunyai kepandaian tinggi sekali oleh karena selain
tindakan kakinya yang ringan sekali, juga tiap kali menengok, orang itu tiba-tiba telah dapat melenyapkan
diri dan bersembunyi dengan cara yang luar biasa.
Ia bisa menduga bahwa dengan mengandalkan ginkang-nya yang sempurna, tentu orang itu telah
melompat ke belakang pohon pada saat ia menengok, oleh karena di sepanjang jalan yang dilaluinya
memang terdapat banyak sekali pohon-pohon besar. Oleh karena ini, dia lantas mendapat akal.
Ia sengaja menuntun kudanya keluar dari tempat itu dan melalui jalan yang membelok ke kanan di mana
tidak terdapat sebatang pohon juga. Ia hendak melihat apakah orang itu masih berani mengikutinya dan
kalau ia menengok, orang itu hendak lari bersembunyi ke mana?
Benar saja, ketika ia melalui jalan yang tidak berpohon, tindakan kaki yang mengikutinya lalu berhenti. Akan
tetapi, alangkah terkejut dan herannya ketika ia mendengar lagi suara tindakan kaki itu di belakangnya.
Alangkah beraninya orang itu, pikirnya penasaran dan secepat kilat dia menggerakkan kepala berpaling
memandang ke belakang. Dan kini dia melihat seorang lelaki yang berpakaian indah sedang berjalan
dengan seenaknya, sama sekali tidak gugup atau hendak pergi bersembunyi ketika dia menengok!
“Sobat, kenapa kau mengikuti aku?” tanya Cin Hai gemas.
Orang itu tertawa, suara tawanya sangat nyaring dan tinggi, mengandung ejekan seperti biasanya suara
ketawa orang yang berwatak sombong. Orang ini masih muda, usianya paling banyak baru tiga puluh
tahun. Tubuhnya sedang, wajahnya tampan serta gagah, keningnya tinggi sedangkan pakaiannya terdiri
dari baju warna kuning dan celana biru. Di luar bajunya masih memakai sehelai mantel abu-abu yang indah
sekali. Pada rambutnya yang hitam itu nampak hiasan dari batu giok yang merupakan seekor naga terbang.
Cin Hai merasa heran karena setelah dekat, ia melihat betapa pada kedua pipi laki-laki ini nampak warna
kemerah-merahan yang tidak asli, seakan-akan pipi itu dibedaki dengan yanci dan bedak yang seperti
biasa dipakai wanita bersolek!
Setelah tertawa nyaring laki-laki pesolek ini lalu berkata,
“Aku hendak berjalan di belakangmu atau di depanmu, mau pun di sebelahmu, apakah hubungannya
dengan kau? Aku berjalan di atas kedua kakiku sendiri dan jalan ini adalah jalan umum! Padamu tidak ada
sesuatu yang menarik hatiku, kecuali kuda putih ini dan burung bangau itu!”
Dia tertawa lagi sambil memandang dengan mata mengandung ejekan. Biar pun hatinya mendongkol, akan
tetapi Cin Hai dapat merasakan juga bahwa kata-kata orang ini ada benarnya juga. Ia berjalan sendiri dan
tidak mengganggunya, mengapa ia harus merasa penasaran dan gemas? Maka timbul kejenakaannya dan
ia menjawab,
“Peribahasa kuno menyatakan bahwa orang harus berlaku waspada terhadap orang yang berada di
belakangnya dan tidak perlu takut kepada orang yang berada di hadapannya! Kau selalu berjalan di
belakang, bahkan dengan cara bersembunyi, maka teringatlah aku akan peribahasa itu. Bukan maksudku
hendak menyebutmu pengecut, namun maksud peribahasa itu bahwa orang harus berhati-hati terhadap
orang yang selalu melakukan hal dengan sembunyi-sembunyi karena orang demikian itu adalah seorang
yang berbahaya dan berwatak pengecut!”
Ucapan yang diputar-putar ini biar pun tidak langsung memaki, akan tetapi sudah dua kali Cin Hai
menyebut orang di depannya itu sebagai pengecut!
Lelaki pesolek itu tidak menjadi marah, hanya tersenyum dibuat-buat. Dia lalu meloloskan sehelai tali yang
banyak bergelantungan di ujung bajunya, lalu mempermainkan tali itu di antara jari tangannya.
“Kau pandai berkelakar anak muda, tetapi tetap saja aku menganggap bahwa kuda dan burungmu itu lebih
baik dari padamu!”
Pada saat itu burung bangau melayang dari atas. Melihat betapa Cin Hai berhadapan dengan orang asing,
ia lalu menyambar ke atas kepala orang itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ang-siang-kiam, jangan kurang ajar!” seru Cin Hai.
Akan tetapi dengan tenang, seakan-akan tidak diserang oleh seekor burung bangau yang besar dan ganas,
orang itu lalu menggerakkan tangannya ke arah burung itu, kemudian ia menjura kepada Cin Hai sambil
berkata,
“Ahh, burungmu mulai membosankan aku, anak muda. Selamat tinggal!”
Bukan main terkejutnya hati Cin Hai ketika merasa betapa dari kedua tangan orang yang sedang menjura
kepadanya itu, menyambar angin pukulan yang hebat ke arah dadanya! Cin Hai buru-buru
membungkukkan tubuhnya dan balas menjura sambil mengerahkan khikang-nya dan ketika kedua tenaga
mereka bertemu, keduanya melangkah mundur dua tindak! Ternyata bahwa tenaga mereka berimbang.
Orang itu memandang kepada Cin Hai dengan mulut tersenyum mengejek, akan tetapi kedua matanya
mengeluarkan pandangan kagum.
“Bagus, bagus, aku telah bertemu dengan seorang ahli!” Tubuhnya lalu berkelebat dan sebentar saja
lenyaplah dia dari pandang mata Cin Hai.
Pemuda ini merasa heran dan kagum. Akan tetapi ketika memandang ke arah burung bangau yang sudah
terbang turun, keheranannya berubah kekagetan karena dia melihat betapa burung itu kini sedang
bergulingan di atas tanah sambil mencakar-cakar paruhnya sendiri!
Sesudah Cin Hai menghampiri, ternyata bahwa sepasang paruh burung yang bagaikan sepasang pedang
merah itu telah terikat menjadi satu oleh tali yang tadi dipegang oleh laki-laki pesolek itu! Dia cepat
menggunakan pedangnya memutuskan tali yang mengikat paruh burung bangau, akan tetapi ternyata
bahwa tali itu kuat bukan main dan tak mudah diputuskan. Sesudah dia mengerahkan tenaga, barulah tali
istimewa itu dapat diputuskan dan burung itu lalu terbang tinggi dengan ketakutan!
Cin Hai mengeluarkan keringat dingin. Bukan main lihainya orang itu yang hanya dengan sehelai tali dapat
membuat burung itu tidak berdaya. Orang yang dapat melontarkan tali hingga dapat melibat dan mengikat
burung yang sedang terbang menyambarnya, dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu silatnya! Masih untung
bahwa orang itu tidak turun tangan dan memusuhinya, kalau terjadi demikian belum tentu ia akan dapat
mengalahkan lawan yang sedemikian tangguhnya itu!
Teringatlah Cin Hai akan kata-kata suhu-nya dulu, bahwa di dunia terdapat banyak sekali orang-orang
pandai. Ia lalu menaiki punggung Pek-gin-ma lagi dan bersuit memberi tanda kepada burung bangau untuk
melanjutkan perjalanan menuju ke barat.
Sesudah dia melakukan perjalanan sampai beberapa puluh li jauhnya, hari telah menjadi senja dan ia tiba
di luar sebuah kota yang temboknya telah terlihat dari situ. Tiba-tiba ia mendengar suara kaki kuda di
sebelah belakang.
Ia berhenti dan alangkah herannya ketika melihat bahwa kira-kira seperempat li jauhnya di sebelah
belakang, ada seorang penunggang kuda yang juga menghentikan kudanya! Ia lantas menggerakkan Pekgin-
ma lagi dan ternyata orang itu pun melarikan kudanya pula. Ketika ia berhenti dengan tiba-tiba, orang
itu pun berhenti.
“Kurang ajar!” kata Cin Hai sambil membalikkan kudanya dan melarikan kuda mengejar orang yang
mengikutinya itu!
Dia sudah merasa bosan untuk diikuti orang saja dan siapa pun juga orang itu, dia akan menghajarnya!
Orang itu pun membalikkan tubuh kuda dan melarikan kudanya dengan cepat dan Cin Hai makin merasa
heran oleh karena kini ia dapat melihat bahwa orang itu adalah seorang Turki yang tinggi kurus! Orang
yang dikejarnya itu melarikan kudanya ke dalam sebuah hutan dan ketika Cin Hai mengejar dan memasuki
hutan pula, tiba-tiba dari depan melayang belasan batang anak panah yang kesemuanya mengarah dada,
leher, dan perut!
“Pengecut!” ia berseru marah sambil mempergunakan ujung lengan bajunya mengebut ke depan sehingga
dia berhasil memukul jatuh semua anak panah, kemudian ia mengeprak kudanya agar berlari lebih cepat.
Akan tetapi tiba-tiba rumput yang diinjak oleh kudanya itu nyeplos ke bawah dan tubuh Pek-gin-ma
dunia-kangouw.blogspot.com
terjeblos ke dalam lubang perangkap yang besar dan yang tadi ditutup oleh rumput-rumput hijau! Cin Hai
cepat melompat dari kudanya hingga tidak ikut terjeblos ke dalam lubang itu. Dia mendengar kudanya
meringkik ngeri dan ketika dia memandang ke dalam lubang, ternyata bahwa Pek-gin-ma sudah tertusuk
oleh tiga batang tombak yang sengaja dipasang di dalam lubang itu!
Melihat tubuh kudanya berkelojotan, dengan marah dan hati penuh rasa iba, Cin Hai lalu menarik keluar
pedangnya dan menusuk punggung kuda itu ke arah jantungnya sehingga kuda itu mati seketika itu juga!
Kalau ia tidak melakukan tikaman ini, kuda itu pasti akan mati, akan tetapi harus menderita lebih dulu
beberapa lamanya.
Kemudian, Cin Hai memburu ke depan hendak mencari orang Turki tadi, akan tetapi dia tak melihat
bayangan orang di dalam hutan itu! Ia mencari-cari terus dan berteriak-teriak memaki-maki akan tetapi
setelah hari sudah mulai gelap dan belum juga ia mendapatkan musuh yang curang itu, terpaksa ia pergi
meninggalkan hutan dengan hati marah sekali.
Burung bangau yang terbang di atas hutan itu pun tak melihat adanya musuh dan burung ini tidak berani
turun seakan-akan dia masih merasa gentar menghadapi lawan yang tadi telah secara aneh dapat
mengikat paruhnya!
Cin Hai melanjutkan perjalanan menuju ke kota di depan itu sambil berlari cepat. Hatinya gemas sekali oleh
karena dia merasa telah dipermainkan orang. Kota yang dimasukinya adalah sebuah kota yang cukup
ramai dan di situ ia melihat banyak orang-orang Mongol, serta orang-orang dari suku bangsa lain.
Setelah mencari kamar di sebuah rumah penginapan, Cin Hai lalu keluar dari kamarnya untuk melihat-lihat
dan sekalian mencari jejak Lin Lin, juga ingin sekali bertemu dengan orang Turki tinggi kurus yang
dilihatnya tadi.
Ia melihat sebuah rumah makan besar yang penuh tamu, lalu masuk memesan makanan. Pelayan
membawanya ke loteng, oleh karena di bagian bawah sudah penuh. Ketika dia memasuki tangga loteng,
tiba-tiba saja ia mendengar percakapan tamu di loteng itu yang membuatnya segera menahan tindakan
kakinya dan mendengarkan dengan teliti. Salah seorang di antara tamu-tamu itu telah membicarakan dan
menyebut nama Yousuf!
“Yousuf sedang sakit dan tidak berdaya. Kalau sekarang kita menyerbu dengan tiba-tiba dan berbareng,
apa sukarnya menundukkan gadis itu?”
Hanya sedemikianlah yang dapat didengar oleh Cin Hai, karena ketika pelayan muncul, percakapan itu lalu
dilakukan dalam bahasa Turki yang dia tak mengerti sama sekali. Dia berjalan menundukkan muka, akan
tetapi dia memperhatikan mereka.
Ternyata bahwa ruang atas itu kosong dan hanya terdapat empat orang sedang duduk mengelilingi sebuah
meja penuh mangkok berisi hidangan. Seorang di antaranya adalah seorang laki-laki berbangsa Turki,
sedangkan yang tiga orang lainnya adalah seorang nenek bongkok, seorang kakek bersorban, dan seorang
pula berpakaian seperti tosu.
Mereka ini bukan lain ialah Giok Kwat Moli si Nenek Bongkok, Wai Sauw Pu si Kakek Bersorban, dan Lok
Kun Tojin, tiga orang yang dahulu pernah berjumpa dan bertempur melawan Ang I Niocu, Kwee An, dan Ma
Hoa! Akan tetapi Cin Hai belum pernah melihat mereka.
Ketiga orang tua itu ternyata pandai bercakap-cakap dalam bahasa Turki hingga Cin Hai hanya duduk
mendengarkan penuh perhatian dan meski pun tidak mengerti sama sekali, akan tetapi beberapa kali ia
mendengar nama Yousuf disebut-sebut, hingga diam-diam ia berdebar girang. Tadi mereka menyebut
seorang gadis yang hendak mereka keroyok, bukankah gadis yang dimaksudkan itu Lin Lin adanya?
Cin Hai tidak tahu bahwa keempat orang itu merasa mendongkol serta marah karena percakapan mereka
terganggu oleh kedatangannya, karena meski pun mereka mengerti bahasa Turki, akan tetapi mereka lebih
suka bercakap-cakap dalam bahasa Han tanpa didengar oleh telinga lain orang. Tiba-tiba mereka itu bicara
dalam bahasa Han lagi, akan tetapi pembicaraan mereka kini telah berubah dan Cin Hai mendengar tosu
itu berkata dengan keras,
“Memang sungguh menyebalkan orang-orang sekarang, terutama anak-anak mudanya. Mereka bisanya
hanya bersolek dan menjual lagak belaka. Yang paling kubenci adalah pemuda-pemuda yang berpakaian
dunia-kangouw.blogspot.com
seolah-olah ia seorang sasterawan pandai, akan tetapi sebetulnya dia tak mengerti apa-apa. Kalau melihat
orang pemuda berpakaian pelajar, timbul keinginanku untuk mencekik lehernya!”
Tiga orang kawannya tertawa lebar dan pada saat Cin Hai memandang ternyata bahwa dengan terangterangan
mereka berempat sedang memandang kepadanya. Dia maklum bahwa empat orang itu tentu
sengaja menghinanya oleh karena ia memang mengenakan pakaian sebagai seorang pelajar dan
pedangnya disembunyikan ke dalam bajunya yang lebar dan panjang. Hanya dia belum mengerti mengapa
mereka itu menghinanya tanpa sebab.
“Yang menyebalkan ialah bahwa mereka itu tidak insyaf bahwa kehadiran mereka tidak disukai orang. Dan
sama sekali tidak mengerti bahwa kehadiran mereka mengganggu percakapan orang lain!” terdengar suara
nenek bongkok.
Kini Cin Hai mengerti bahwa mereka itu merasa terganggu, maka berusaha menakut-nakutinya agar dia
segera berpindah tempat ke ruang bawah! Akan tetapi dia tidak peduli dan ketika masakan yang
dipesannya datang, dia lalu makan seakan-akan di ruang atas itu tidak terdapat lain orang kecuali dia
sendiri!
Tiba-tiba tosu bercambang bauk itu membersihkan kerongkongannya dengan suara yang menjijikkan
sekali. Hal ini dilakukan berkali-kali dan dibarengi dengan suara tertawa dari kawan-kawannya hingga Cin
Hai hampir tak dapat menahan sabar lagi. Lenyaplah nafsu makannya karena merasa jijik.
Sambil menoleh dan meletakkan sumpitnya, ia berkata,
“Heran sekali, mengapa orang-orang tua dan pendeta-pendeta di sini demikian tidak tahu kesopanan dan
bersikap seperti orang-orang liar?”
Ucapan Cin Hai ini membuat Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu, marah sekali. Ia bangun berdiri dan
tubuhnya yang tinggi besar itu membuat dia nampak garang sekali. Tangan kanannya menyambar
sepasang sumpitnya kemudian sekali dia menggerakkan tangan, sebatang sumpit itu menyambar dan
menancap di meja Cin Hai sampai setengahnya lebih!
Cin Hai mendongkol sekali karena terang-terangan mereka itu hendak menghina serta mengajaknya
berkelahi. Dengan tenang ia lalu memegang sumpitnya, kemudian dengan perlahan ia memukulkan
sumpitnya pada sumpit yang tertancap di atas mejanya sambil berseru, “Kakek tua, hati-hatilah kau
menggunakan sumpitmu, jangan sampai terloncat ke meja lain!”
Ketika sumpit yang tertancap di atas meja itu kena dipukul oleh sumpitnya, sumpit itu mencelat lantas
melayang kembali ke arah Wai Sauw Pu yang masih berdiri di dekat mejanya sendiri. Kakek bersorban itu
lalu menangkap sumpitnya yang melayang kembali sambil tertawa bergelak dan berkata,
“Ha-ha-ha, tidak tahunya bukan sembarang kutu buku, dan memiliki juga sedikit punsu (kepandaian). Kau
patut menerima penghormatanku. Terimalah sepotong daging sebagai penghormatan!” Sambil berkata
demikian, dia menusuk sepotong daging dan ketika dia mengayun tangannya, sumpit berikut daging yang
tertusuk itu melayang ke arah mulut Cin Hai.
Pemuda ini merasa marah sekali, maka ia hendak mendemonstrasikan kepandaiannya. Ia tidak mengelak
atau menangkap sumpit yang menyambar ke arah mulutnya itu, hanya miringkan kepala sedikit dan pada
saat sumpit itu lewat di depan mulutnya, ia membuka mulut dan menggigit ujungnya. Daging dan sumpit
dapat tergigit olehnya dan ketika dia meniup, sumpit itu meluncur ke atas lantai dan patah menjadi dua!
Kemudian dia menghadapi Wai Sauw Pu dan sambil mengerahkan tenaga khikang lalu menyemburkan
daging dari mulutnya itu kepada kakek itu, disusul dengan kata-kata,
“Kakek yang baik, kubayar lunas penghormatanmu dan terimalah kembali dagingmu yang busuk!” Daging
yang disemburkan itu cepat sekali meluncur ke arah mulut Wai Sauw Pu.
Kini terkejutlah kakek ini dan dia segera memiringkan kepala hendak berkelit. Akan tetapi semburan Cin Hai
ini selain cepat, juga tidak terduga sehingga biar pun daging itu tidak mengenai mulutnya, akan tetapi masih
menyerempet pipinya sehingga terasa pedas dan pipinya ternoda oleh kuah daging itu!
Wai Sauw Pu menjadi marah sekali. Dengan tindakan kaki lebar dia lalu menghampiri Cin Hai yang juga
dunia-kangouw.blogspot.com
masih tetap duduk dengan tenang.
“Tikus kecil! Berani betul kau berlaku kurang ajar di hadapanku!” teriak Wai Sauw Pu dengan marah sekali.
“Kakek yang baik, pernahkah kau mendengar sebuah ujar-ujar kuno yang sangat baik! Ujar-ujar itu
menyatakan, bahwa menghormat orang lain berarti menghormat diri sendiri! Kau dan kawan-kawanmu
sengaja menggangguku padahal aku tidak melakukan sesuatu yang salah! Kalau kau tidak mau
menghormat bahkan menghina orang lain, bukankah itu artinya menyalahi ujar-ujar itu? Menghormati orang
lain berarti menghormat diri sendiri, sebaliknya menghina orang lain berarti menghina diri sendiri karena
dengan perbuatanmu yang menghina orang lain itu hanya menyatakan betapa rendahnya martabatmu!”
Mendengar ucapan ini, tertegunlah hati Wai Sauw Pu. Ia mulai menduga bahwa pemuda itu bukanlah orang
sembarangan. Namun, untuk daerah barat nama Wai Sauw Pu sudah terkenal sekali, maka tentu saja ia
tidak mau mengalah, apa lagi ia dihina oleh pemuda itu di depan ketiga orang kawannya.
“Anak muda, siapakah kau yang berani bermain gila di depan Wai Sauw Pu si Malaikat Tasbeh? Katakan
siapa namamu agar supaya aku tidak menghajar segala oang yang tak bernama!”
Cin Hai pura-pura memperlihatkan muka terkejut dan ketakutan mendengar nama yang sesungguhnya
belum pernah dikenalnya itu.
“Ahh, kiranya kini aku berhadapan dengan seorang malaikat? Tentu kau masih terhitung keluarga dengan
Giam-lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa), karena menurut cerita orang Giam-lo-ong juga bertubuh tinggi
besar seperti kau! Aku hanya seorang biasa saja, mana ada kehormatan untuk memperkenalkan nama
kepada malaikat? Sudahlah, kakek yang baik, kau maafkan aku saja dan jangan kau mencabut nyawaku!”
Ucapan ini dikeluarkan dengan suara sewajarnya dan tidak mengandung ejekan, akan tetapi cukup
memerahkan telinga Wai Sauw Pu.
“Boleh, boleh! Kau boleh minta maaf akan tetapi kau harus mencukur gundul kepalamu di hadapanku dulu,
baru aku bisa memberi maaf dan tidak menghancurkan kepalamu!”
Cin Hai adalah seorang yang mempunyai kesabaran besar, akan tetapi tidak ada ucapan lain yang akan
melebihi rasa sakit di dalam hatinya kecuali menyuruh dia menggunduli kepalanya! Ucapan yang
dikeluarkan oleh Wai Sauw Pu tanpa sengaja itu mengingatkan dia akan hinaan-hinaan yang dideritanya
pada saat dia masih kanak-kanak dan berkepala gundul. Maka ia lalu menjawab,
“Pikiranmu cocok sekali dengan keinginan hatiku! Aku pun ingin sekali melihat benda apa yang tersembunyi
di dalam sorbanmu itu! Ingin sekali aku melihat warna kulit kepalamu, apakah kulitnya sama tebalnya
dengan mukamu!”
“Keparat!” teriak Wai Sauw Pu dan tahu-tahu tangannya telah menarik keluar tasbehnya yang lihai,
senjatanya yang ampuh itu! Tanpa mengeluarkan peringatan lagi, tahu-tahu tasbehnya sudah meluncur
dan menyerang ke arah kepala Cin Hai!
Pemuda ini dengan tenang lalu mengelak, segera mempergunakan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na untuk
menghadapi tasbeh kakek itu dengan tangan kosong!
Tak hanya Wai Sauw Pu yang terkejut melihat gerakan pemuda yang luar biasa cepatnya itu, bahkan
kawan-kawannya juga memandang dengan hati heran dan kagum. Meski pun tasbeh itu membuat gerakan
yang melingkar-lingkar dan mencegah seluruh jalan keluar, namun dengan cepat tubuh Cin Hai dapat
berkelebat mengikuti gulungan sinar senjata dan menghindarkan diri dari setiap sambaran tasbeh!
”Kakek yang baik, kau bukalah sorbanmu!”
Sambil berkata demikian, sepasang tangan Cin Hai cepat bergerak dan dengan gerakan Kong-ciak Jio-cu
atau Merak Sakti Merampas Mustika, ia mencengkeram ke arah kepala Wai Sauw Pu dengan tangan
kirinya!
Kakek itu terkejut sekali dan mengelak ke kanan. Akan tetapi secepat kilat tangan kanan Cin Hai menyusul
dan sebelum Wai Sauw Pu sempat berkelit, sorbannya sudah dapat dicengkeram dan direnggutkan dari
kepalanya oleh Cin Hai. Tertawalah anak muda itu ketika melihat betapa kepala Wai Sauw Pu ternyata
gundul pelontos seperi kepalanya dulu!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha! Pantas saja kau minta aku mencukur gundul rambutku, tak tahunya kau telah mendahuluiku
mencukur gundul kepalamu! Ha-ha-ha, alangkah licinnya! Lalat pun akan terpeleset apa bila hinggap di
kepalamu!”
Biar pun merasa marah sekali, ketiga kawan Wai Sauw Pu terpaksa menahan ketawa mereka mendengar
kata-kata yang lucu ini. Mereka bertiga kemudian meloloskan senjata masing-masing dan menerjang maju
hingga Cin Hai terkurung di tengah-tengah.
Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan