----Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh 2
Ting Sun loncat berdiri dengan marah sekali, tetapi berkali-kali dia dibikin jatuh bangun oleh Cin Hai yang
kini menggunakan Ilmu Silat Liong-san Kun-hoat yang ganas! Setelah memainkan ilmu silat ini barulah Ting
Sun dan Louw Sun Bi tahu bahwa Cin Hai memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya!
Tetapi karena sudah merasa terlanjur dan malu untuk mundur, Ting Sun berlaku nekat sekali dan
mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tetapi dia hanya merupakan makanan yang lunak bagi Cin Hai.
Dengan gerakan Hong-tan-ci atau Burung Hong Mementang Sayap dia berhasil menotok iga Ting Sun yang
merasa tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan roboh di atas tanah!
“He, Siauwya, kau kenapakah?” Cin Hai mengejek sambil mengoyang-goyang tubuh Ting Sun yang rebah
di atas tanah.
Dalam gerakan mengoyang-goyang ini, Cin Hai sengaja memusnahkan totokannya tadi sehingga Ting Sun
dapat bergerak kembali dan pada saat guru silat itu meloncat berdiri Cin Hai sudah mendahuluinya dengan
totokan lain yang membuat guru silat itu berdiri kaku bagaikan sebuah patung!
“Ehh, ehhh, Siauwya! Mengapa kau berdiri seperti patung?” kata Cin Hai lagi.
Melihat betapa Cin Hai mempermainkan Ting Sun, murid-murid bukoan menjadi heran sekali dan pada saat
itu Louw Sun Bi meloncat ke dekat Cin Hai dan tertawa bergelak-gelak.
“Anak-anak semua. Lihat, ini namanya tiam-hoat yang tepat sekali mengenai jalan darah tai-hwi-hiat hingga
Ting-kauwsu menjadi kaku. Kalian sudah melihat baik-baik? Contohlah anak ini, sebenarnya dia seorang
berilmu tinggi, tetapi dapat bertahan menyembunyikan rahasianya di sini sampai bertahun-tahun sehingga
jangankan kalian, bahkan aku sendiri tidak tahu bahwa dia adalah murid seorang ahli!”
Sambil berkata begini, Louw Sun Bi menepuk pundak Ting Sun yang kemudian dapat bergerak kembali.
Guru silat ini sekarang maklum bahwa ilmu kepandaian Cin Hai sangat lihai, maka dengan muka merah
karena malu ia lalu lari ke luar dari bukoan tanpa berani menengok lagi!
Louw Sun Bi mengiringnya dengan suara tawa bergelak-gelak. Guru silat ini benar-benar kagum kepada
Cin Hai, karena itu dia lalu bertanya, “He, anak muda! Engkau keterlaluan sekali, sampai-sampai kau tega
menipu aku orang tua! Sesungguhnya engkau ini murid siapakah. Bukankah kau murid dari Liong-san-pai?”
Dengan sikap hormat dan merendah Cin Hai menjura. “Bukan. Loya, saya bukan murid siapa-siapa.”
Memang ia tidak membohong karena ia baru belajar silat dari Kanglam Sam-lojin dan Ang I Niocu,
sedangkan mereka ini memang bukan guru-gurunya. Ia boleh mengaku bahwa gurunya adalah Bu Pun Su,
tetapi kenyataannya, ia belum pernah belajar silat satu jurus pun dari gurunya itu.
Louw Sun Bi mengira bahwa Cin Hai adalah seorang pendekar kecil yang telah dipesan oleh gurunya untuk
menyembunyikan nama guru itu, maka ia tidak berani mendesak lagi, hanya menyatakan kagumnya. Akan
tetapi Cin Hai lalu minta maaf banyak-banyak serta menghaturkan terima kasih atas kebaikan Louwkauwsu
terhadapnya sampai dua tahun lebih itu.
Louw-kauwsu tak dapat lagi menahan Cin Hai yang hendak melanjutkan perantauannya. Akan tetapi guru
silat ini memaksanya untuk menerima bekal uang dan pakaian sebagai pengganti jasanya yang telah
bekerja beberapa tahun itu.
Cin Hai menerimanya dengan ucapan terima kasih. Kemudian sesudah memberi hormat lagi, Cin Hai pergi
meninggalkan tempat itu. Dia tak lupa memberi hormat sambil berkata, “Siocia, aku mohon beribu maaf
atas segala kesalahanku selama aku berada di sini dan jagalah dirimu baik-baik!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Bin Nio hanya menundukkan muka dan air matanya mengalir turun. Dia insaf betapa dia telah salah
mengenal orang…..
********************
Cin Hai merantau lagi dan hidup sebatang kara menjelajah ribuan li tanpa tujuan tertentu. Kini ia telah
berusia hampir lima belas tahun dan karena tubuhnya terpelihara baik-baik semenjak tinggal di bukoan dari
Louw Sun Bi, ia telah merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi dan tegap,
matanya lebar dan mukanya bulat, muka yang membayangkan kejujuran dan ketinggian pribudi.
Setelah mengalami banyak derita, matanya terbuka lebar dan ia maklum bahwa tugasnya sebagai seorang
berkepandaian ialah harus menolong sesama hidup yang membutuhkan pertolongannya. Kalau dulu ia
sering bersedih mengingat bahwa hidupnya tak bersanak kadang, kini perasaan itu lenyap. Ia kini mengerti
akan maksud ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu bahwa ‘Di empat penjuru lautan, semua orang adalah saudara!’
Dulu ia sering kali menggoda guru sastera dengan ujar-ujar ini yang dianggapnya kosong dan bohong.
Akan tetapi sekarang dia mengerti betapa tepat serta mulianya ujar-ujar ini. Ujar-ujar ini harus
dipergunakan secara aktip, tidak boleh secara pasip, yaitu seharusnya kitalah yang bertindak terhadap
semua orang seperti terhadap saudara sendiri, sehingga sudah sepatutnya kita menolong saudara-saudara
itu bila mereka di dalam kesukaran.
Janganlah kita memandang ujar-ujar itu sebagai dorongan yang bersifat ingin senang sendiri dan menuntut
supaya orang berlaku baik kepada kita bagaikan layaknya saudara-saudara berlaku kepada kita. Memang
segala apa di dunia ini, sesuatu yang baik dapat menjadi buruk, dan yang buruk bisa menjadi baik, semua
tergantung sepenuhnya kepada yang mengganggapnya.
Bila kita dijauhi hendak hidup sendiri atau hendak senang sendiri maka akan terbukalah mata kita bahwa
hidup ini tidak hanya sekedar makan dan tidur saja, bahwa di samping kedua kebutuhan hidup itu, masih
terdapat banyak sekali tugas-tugas kewajiban yang luhur dan suci, di antaranya memperhatikan keadaan
orang lain atau ‘saudara’ kita yang hidup menderita kesusahan.
Sesudah menanjak dewasa, sedikit demi sedikit Cin Hai dapat menangkap intisari segala ujar-ujar yang
dulu pada waktu masih kecil dihafalkannya di luar kepala bagaikan seekor burung beo saja. Kini ia dapat
mengerti dan tahu apa yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh para nabi itu dalam ujar-ujar mereka.
Dengan kepandaiannya, walau pun dia baru mempelajari tiga perempat bagian saja dari Liong-san Kunhoat
dan setengah bagian dari Ngo-lian-hwa Kiam-hoat, namun sudahlah cukup untuk membuat namanya
menjadi terkenal. Orang-orang di kalangan kang-ouw menyebutnya ‘Pendekar Bodoh’ karena wajahnya
yang tampan dengan mata yang lebar itu memang tampaknya bodoh.
Pada suatu hari, ketika memasuki dusun, dia mendengar suara tangis seorang wanita. Karena tertarik, dia
lalu mempercepat tindakan kakinya dan alangkah marahnya melihat seorang anggota Sayap Garuda
sedang menculik seorang perawan desa yang meronta-ronta di dalam pelukannya. Sambil memondong
korbannya, orang itu meloncat ke atas seekor kuda besar dan hendak kabur.
Tetapi sekali meloncat saja Cin Hai sudah menghadang di depannya dan membentak, “Bangsat rendah!
Lepaskan Nona itu!”
Anggota Sayap Garuda itu marah sekali dan tangan kanannya terayun ke arah Cin Hai. Sebatang piauw
(senjata rahasia) melayang dan menyambar leher Cin Hai, tetapi anak muda itu dengan mudah dapat
menangkap dengan menjepitnya di antara dua jari tangan.
Melihat kelihaian Cin Hai, orang itu segera membedal kudanya dan kabur dari situ. Tetapi secepat kilat Cin
Hai lalu menggerakkan tangannya dan mengembalikan piauw tadi yang tepat menancap pundak anggota
Sayap Garuda itu.
Si Penculik menjerit kesakitan, namun ternyata dia adalah seorang yang bertubuh kuat, karena biar pun
telah terluka, dia tetap masih dapat kabur sambil membawa gadis yang diculiknya itu!
Cin Hai sudah banyak mendengar mengenai kekejaman gerombolan Sayap Garuda yang merupakan
barisan pengawal istana yang tersebar di mana-mana dan berlaku keji dan hina mengandalkan pengaruh
dunia-kangouw.blogspot.com
serta kekuasaan mereka. Maka kini melihat dengan mata sendiri betapa salah seorang anggota
gerombolan itu menculik seorang gadis dusun, dia menjadi marah sekali. Dia cepat lari mengejar untuk
menolong gadis itu.
Setelah berkejar-kejaran sejauh lima li lebih dan hampir dapat menyusul kuda besar yang lari cepat itu,
tiba-tiba dari depan datang pula serombongan anggota Sayap Garuda yang dikepalai oleh seorang hwesio
gundul. Melihat betapa Cin Hai mengejar seorang anggota mereka, rombongan itu lalu mengepung Cin Hai
dan sebentar saja terjadilah pertempuran yang hebat!
Selama dalam perantauannya, Cin Hai tidak pernah mempergunakan senjata lain kecuali sulingnya!
Dengan suling bambunya itu dia sudah banyak menjatuhkan lawannya yang bersenjata tajam, karena
gerakan sulingnya yang hebat dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan.
Akan tetapi sekali ini, menghadapi keroyokan gerombolan Sayap Garuda yang rata-rata mempunyai
kepandaian tinggi, dia terdesak dan sibuk juga. Akan tetapi berkat kegesitan tubuhnya untuk beberapa
lama dia dapat mempertahankan diri dan dia mengelak ke sana ke mari.
Tiba-tiba hwesio gundul yang gemuk dan tadi mengepalai rombongan berseru,
“Semua mundur! Biar pinceng tangkap bangsat kecil ini!” Hwesio itu merasa penasaran sekali betapa
kawan-kawannya yang berjumlah delapan orang itu agaknya tidak mudah merobohkan Cin Hai.
Semua pengeroyok Cin Hai mundur dan kini hwesio gundul yang maju menghadapi Cin Hai. Anak muda itu
maklum bahwa lawannya ini tentu berkepandaian tinggi, karena itu ia mendahuluinya dan langsung
mengirim serangan dengan suling yang ditotokkan ke arah leher lawan.
Tetapi sungguh aneh! Lawannya tidak berkelit mau pun menangkis dan ketika sulingnya tepat mengenai
leher, tangan hwesio itu sudah terulur maju dan hendak mencengkeram pundaknya dengan gerakan Engjiauw-
kang yang lihai sekali! Dan meski pun ujung suling tepat menotok jalan darah di leher hwesio itu,
namun pendeta gundul itu agaknya tidak merasa apa-apa!
Cin Hai terkejut sekali dan terpaksa dia melepaskan sulingnya lantas membuang diri ke belakang untuk
menghindari cengkeraman lawannya! Hwesio itu tertawa bergelak-gelak melihat betapa Cin Hai
menggelinding di atas tanah dan menjauhinya.
“Ha-ha-ha! Anak kecil, kau baru tahu kelihaian pinceng, ya?” Dan dengan tindakan kaki lebar, ia
menghampiri Cin Hai yang sudah bertangan kosong!
Tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras,
“Biauw Leng-sute! Bagus sekali perbuatanmu, kau telah berani mengotori diri dan bergaul dengan segala
kaki anjing?”
Sebutan kaki anjing merupakan sebutan untuk menghina kaum pembela Kaisar seperti barisan Sayap
Garuda itu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di situ sudah berdiri seorang wanita tua yang
berwajah buruk sekali! Mukanya hitam bagaikan pantat kuali, pipinya keriput ada pun matanya yang
sebelah kanan buta! Nenek-nenek ini memegang sebuah hudtim dan di punggungnya tampak gagang
pedang.
Ketika Cin Hai memandang, ia mengenal nenek-nenek ini sebagai Biauw Suthai, wanita aneh yang dulu
menculik Lin Lin puteri dari Kwee-ciangkun! Hampir saja dia berteriak dan menanyakan hal Lin Lin, tetapi
pada saat itu terdengar jawaban Biauw Leng Hosiang,
“Biauw suci, mengapa kau turut mencampuri urusanku?”
“Tetapi aku tidak akan tinggal diam saja kalau kau merendahkan diri dan membantu kaki anjing. Kau tidak
boleh mencemarkan perguruan kita dengan kerendahan ini!”
Hwesio itu menghela napas. “Baiklah, baiklah... memang kau selalu jail dan menghalang-halangi Sute-mu
yang hendak menikmati sedikit kesenangan dunia!”
Setelah berkata demikian, Biauw Leng Hosiang segera meloncat pergi dan Biauw Suthai juga
dunia-kangouw.blogspot.com
menggerakkan tubuh dan lenyap dari situ!
Cin Hai kagum sekali akan kegagahan kedua orang itu, tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk melamun
terlebih jauh karena dengan marah sekali kawanan Sayap Garuda lantas menumpahkan kegemasan
mereka yang ditinggal pergi oleh hwesio itu, kepada Cin Hai. Ia terpaksa melawan, tetapi kali ini karena ia
tidak bersenjata lagi ia sangat terdesak dan keadaannya berbahaya sekali.
Mendadak nampak berkelebat sinar putih yang gemilang dibarengi dengan sinar merah, dan begitu
bayangan itu bergerak, seorang anggota Sayap Garuda roboh mandi darah!
“Niocu!” Tiba-tiba Cin Hai berseru keras.
Kedua matanya dikejap-kejapkan seolah-olah dia tak percaya pada pandangan matanya sendiri. Sesudah
jelas bahwa yang menolong dirinya dan sedang mengamuk itu adalah Ang I Niocu, tak terasa pula mata
Cin Hai basah oleh air mata.
“Niocu... !” sekali lagi ia berseru dengan lirih dan mesra.
“Hai-ji…” Ang I Niocu menjawab dan menjatuhkan lagi dua orang pengeroyok.
Di antara kawanan Sayap Garuda itu terdapat seorang yang telah mengenal Ang I Niocu, maka ia berteriak
keras,
“Ang I Niocu yang datang, lekas lari!”
Dan ia mendahului kawan-kawannya lari secepatnya dari gadis yang kosen itu! Sebentar saja kawanan
Sayap Garuda itu lari dan meninggalkan gadis tawanan yang diculik tadi. Melihat bahwa korban mereka
telah ditinggalkan, Ang I Niocu tidak mengejar.
“Niocu...!” Sekali lagi Cin Hai berseru girang.
Gadis itu memandangnya dengan matanya yang bagus. Untuk beberapa lama mereka saling pandang dan
melihat betapa Cin Hai sekarang sudah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, tanpa terasa
pula Ang I Niocu mencucurkan air mata karena girang dan terharu. Ia lalu memegang tangan Cin Hai eraterat
dan berkata.
“Hai-ji, kau baik-baik saja, bukan?”
“Niocu... Niocu... jangan kau tinggalkan aku lagi!”
Mendengar ucapan yang masih bersifat kekanak-kanakan ini, mau tidak mau Ang I Niocu tersenyum dan
menggeleng-gelengkan kepala.
Mereka berdua lalu mengantar gadis yang diculik itu pulang ke dusun. Kemudian Ang I Niocu mengajak Cin
Hai pergi dari situ. Di sepanjang jalan tiada hentinya Ang I Niocu bertanya mengenai pengalaman Cin Hai
sambil memandang wajah pemuda yang tampan itu dengan senang.
Tanpa menyembunyikan sesuatu Cin Hai lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya sehingga ketika
mendengar betapa anak itu menderita karena ia tinggalkan, Ang I Niocu menangis tersedu-sedu sambil
memegang lengan Cin Hai.
“Dan bagaimana dengan pengalamanmu, Niocu?” Cin Hai bertanya sambil memandang wajah yang masih
tetap cantik jelita, bahkan kini makin manis itu. Melihat gadis itu dan pakaian merahnya, ia merasa seakanakan
baru kemarin mereka berpisah.
“Jangan menanyakan hal ini sekarang, Hai-ji. Aku mempuyai tugas penting sekali. Aku sedang menyelidiki
sebuah goa rahasia yang disebut Goa Tengkorak Raksasa. Menurut peta yang kudapat, ternyata bahwa
goa itu berada di puncak bukit yang tampak dari sini itu! Oleh karena itu kebetulan saja aku lewat di sini dan
dapat bertemu dengan engkau kembali! Kalau sengaja dicari-cari, belum tentu dapat bertemu.”
Dengan singkat Ang I Niocu menceritakan betapa dia sudah menurutkan jalan di petanya sampai sebulan
lebih dan akhirnya petanya itu membawanya ke daerah itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bukit itu disebut Bukit Tengkorak Raksasa,” katanya sambil menunjuk ke arah bukit yang menjulang tinggi
tidak jauh dari situ, “dan sekarang juga aku harus dapat mencari goa itu di sana. Ketahuilah bahwa selain
aku, masih terdapat banyak orang-orang pandai hendak mendahuluiku mendapatkan goa itu. Karena itu
marilah kau turut bersamaku, kita jangan menyia-nyiakan waktu lebih lama lagi!”
Melihat bahwa urusan itu agaknya penting sekali, Cin Hai tidak berani membantah dan dengan hati luar
biasa gembiranya karena dapat berjalan bersama dengan Ang I Niocu lagi, dia mengikuti nona itu dan
mereka secepatnya mendaki Bukit Tengkorak Raksasa.
Dengan bantuan petanya, akhirnya Ang I Niocu berhasil juga mendapatkan goa itu yang tertutup oleh
tumpukan batu-batu yang ratusan banyaknya. Dengan tidak mengenal lelah, mereka berdua membongkar
semua batu-batu itu dan akhirnya tampaklah sebuah goa yang luar biasa besarnya dan gelap!
Mereka masuk ke dalam dan setelah berjalan dengan hati-hati serta merayap beberapa lamanya, ternyata
di sebelah dalam goa itu terdapat penerangan yang turun dari sebuah lubang di atas. Mereka terus maju ke
dalam hingga akhirnya tiba di depan sebuah pintu besar yang tertutup. Karena pintu itu berat sekali, maka
mereka terpaksa mendorong dengan tenaga dan akhirnya berhasil juga mereka membuka pintu raksasa
itu. Dengan hati berdebar keduanya masuk, Ang I Niocu lebih dulu dan Cin Hai di belakangnya.
Ketika mereka memasuki ruang di balik pintu itu, mereka terkejut sekali dan Cin Hai merasa ngeri dan
takut. Ternyata di sepanjang dinding di kanan kiri ruang yang luas dan tinggi itu, tampaklah tengkoraktengkorak
yang tinggi besar berdiri berderet-deret dengan mulut mereka yang dahsyat itu menyeringai
memperlihatkan gigi besar-besar. Tengkorak itu tingginya paling sedikit tiga kali tinggi manusia biasa
hingga dapat dibayangkan betapa hebat dan mengerikan pemandangan dalam ruangan besar itu.
Keduanya berdiri termangu-mangu dengan bulu tengkuk berdiri. Mendadak Ang I Niocu yang dapat
menenangkan hati lebih dulu, berkata perlahan,
“Hai-ji, lihat di sana itu. Bukankah aneh sekali?”
Cin Hai bagaikan baru sadar dari mimpi dan dia memandang ke arah depan. Dan benar saja, di ujung
ruangan itu tampak sebuah pintu lagi yang daun pintunya terpentang lebar. Daun pintu itu terbuat dari pada
batu yang sangat tebal dan di dalamnya terdapat ruang atau kamar lain yang gelap hitam.
Di tengah-tengah kamar itu tampak sebuah hio-louw (periuk tempat hio) tertutup dan dari dalam hio-louw
keluar asap bergulung-gulung naik memenuhi kamar! Ruangan yang luar biasa luasnya ini dihias raksasa
mengerikan, dan di sana ada hio-louw besar sekali yang masih mengebulkan asap putih, sungguh
pemandangan yang bisa membuat seseorang menjadi mati ketakutan!
“Aneh,” kata Cin Hai dengan suara gemetar, “Mengapa hio-louw itu masih mengebulkan asap?”
“Itulah yang kupikirkan,” jawab Ang I Niocu, “Tak mungkin selama ini api dalam hio-louw tak pernah padam!
Tentu ada orang yang mendahului kita dan membakar dupa di dalam hio-louw itu.”
Cin Hai menganggap kata-kata Ang I Niocu itu benar, karena tercium olehnya bau dupa yang harum sekali.
Tetapi siapakah yang dapat memasuki tempat seperti ini! Tadi pun goa masih tertutup oleh banyak batu
dan pintu kamar ini masih tertutup rapat, dari mana orang dapat masuk?
Ang I Niocu lalu bertindak perlahan menuju ke kamar tempat hio-louw itu. Dia berjalan perlahan sambil
memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan tangan kanannya siap di gagang pedangnya yang
tergantung di pinggangnya.
Cin Hai mengikuti di belakangnya dengan hati berdebar kencang dan mulut terasa kering. Belum pernah
selama hidupnya ia menghadapi pengalaman sehebat dan sengeri ini.
Seperti halnya Ang I Niocu, Cin Hai juga memandang ke sana ke mari, dan dia merasa seakan-akan
sekalian tengkorak raksasa yang berdiri itu bergerak-gerak! Seakan-akan sepasang mata yang bolong itu
melirik-lirik dan gigi yang besar-besar itu berkeretakan! Ia merasa betapa bulu tengkuknya berdiri saking
ngeri dan takutnya.
Tiba-tiba Cin Hai melihat sesuatu dan mukanya menjadi pucat sekali. Tak terasa lagi dia memegang tangan
dunia-kangouw.blogspot.com
kiri Ang I Niocu dengan tangan menggigil. Matanya tidak pernah lepas memandang kepada sebuah
tengkorak yang berdiri tak jauh dari situ.
“Niocu...” katanya terengah-engah, “lihat...“
Ang I Niocu cepat berpaling dan apa yang dilihatnya membuat dia menjadi terkejut dan ngeri. Gadis yang
gagah perkasa dan belum pernah merasa takut menghadapi lawan yang betapa tangguh pun ini, sekarang
merasa betapa kedua kakinya menggigil sedikit! Ternyata tengkorak yang dipandang oleh Cin Hai dan yang
kedua lengannya tergantung di kanan kiri itu kini bergerak-gerak sedangkan kepalanya bergerak ke kanankiri!
Ang I Niocu cepat-cepat mencabut pedangnya kemudian siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Cin
Hai meloncat di belakang gadis itu dan bingung karena tak membawa senjata. Sulingnya telah terinjak
patah oleh Biauw Leng Hosiang, hingga ia kini bertangan kosong. Di sudut kamar itu ia melihat setumpuk
tulang-tulang manusia yang besar-besar, maka tanpa berpikir panjang lagi dia lalu memungut sepotong
tulang kaki raksasa yang besar dan siap sedia membantu Ang I Niocu dengan senjata istimewa itu di
tangannya!
Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak-gelak! Suara tertawa ini bergema hebat di dalam ruangan itu
dan terdengar menyeramkan sekali.
“Hai-ji, kau berhati-hatilah. Benar-benar ada orang mendahului kita!”
“Niocu... benar-benar orangkah yang tertawa itu?”
“Hushh...”
“Kiang Im Giok! Bagus, kau dapat sampai ke sini lebih dulu dari orang-orang lain! Lekas sembunyi di
belakang tengkorak! Lekas! He, kau gundul tolol! Kau kira aku tak mengenal mukamu? Hayo, kau juga
sembunyi di belakang tengkorak! Cepat, mereka sudah datang dan berada di luar goa!”
Kini mereka tahu siapakah yang bersuara itu. Bu Pun Su, kakek jembel yang luar biasa, Susiok-couw dari
Ang I Niocu! Maka tanpa menyia-nyiakan waktu lagi keduanya meloncat dan bersembunyi di belakang
tengkorak-tengkorak raksasa.
Baru saja Ang I Niocu dan Cin Hai meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa,
tiba-tiba saja dari luar terdengar suara orang bercakap-cakap dan tiga bayangan orang cepat sekali
menyambar masuk. Cin Hai heran sekali pada saat melihat bahwa yang datang itu bukan lain ialah
Kanglam Sam-lojin, tosu yang pernah mengajar silat kepadanya yakni Giok Im Cu dan kedua sute-nya!
Akan tetapi pada saat itu tiga tosu ini nampak tegang dan bersiap sedia untuk bertempur karena Giok Im
Cu telah memegang sebatang ranting pohon. Giok Yang Cu yang tinggi besar itu juga telah meloloskan
pedangnya, sedangkan Giok Keng Cu yang pendek gesit memegang sebatang golok. Mereka bertiga
berdiri di ruangan itu sambil memandang ke kanan kiri.
“Orang yang berada di dalam goa, keluarlah untuk bertemu dengan kami!” terdengar Giok Im Cu berteriak.
Suaranya bergema di dalam goa besar itu seakan-akan menjadi jawaban bagi teriakan itu.
Akan tetapi Ang I Niocu dan Cin Hai tidak berani bergerak, karena mereka harus mentaati perintah Bu Pun
Su yang sangat ditakuti oleh Ang I Niocu itu. Diam-diam Cin Hai merasa heran kenapa kakek itu
bersembunyi! Kalau hanya menghadapi ketiga orang tosu ini apa harus bersembunyi? Ang I Niocu seorang
diri pun akan sanggup menghadapinya!
Akan tetapi pada saat itu dari luar goa terdengar suara orang dengan suara yang parau menyeramkan,
“Hai! Siapa yang berani mampus mendahului aku masuk goa ini?”
Sebelum gema suara ini lenyap, orangnya sudah berkelebat masuk dan kembali Cin Hai terkejut sekali
karena orang ini ternyata adalah Hai Kong Hosiang, hwesio gundul tinggi besar yang bermata besar itu.
Jubahnya yang merah kotak-kotak terbuka, memamerkan dadanya yang berbulu. Juga hwesio ini
memegang senjatanya yang lihai, yakni sebatang tongkat ular.
Ketika melihat Kanglam Sam-lojin, Hai Kong Hosiang tertawa bergelak sambil berdongak ke atas. Suara
dunia-kangouw.blogspot.com
ketawanya mendatangkan gema yang riuh, seakan-akan semua tengkorak raksasa yang berdiri di dalam
goa itu ikut tertawa hingga keadaan menyeramkan sekali!
“Lagi-lagi orang-orang tua bangka mau mampus yang mendahuluiku. Sekarang kalian tak akan dapat
melarikan diri lagi dan agaknya memang telah menjadi nasibmu untuk binasa di dalam tanganku!”
Giok Yang Cu marah sekali. “Hai Kong manusia sombong! Kalau di Tiang-an kami tidak berhasil
membunuhmu adalah karena kau secara pengecut dibantu oleh ular-ularmu. Kini kami akan menebus
kekalahan itu!”
“Ha-ha-ha! Boleh, boleh! Majulah untuk menerima kematian!”
Mereka lalu bertempur hebat, dan Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berbisik, “Ah, kepandaian
hwesio gundul ini telah maju hebat sekali! Kanglam Sam-lojin pasti akan kalah!”
Memang benar kata-kata Nona Baju Merah ini. Memang kepandaian Hai Kong Hosiang dengan ilmu
tongkatnya yang berdasarkan Jian-coa Kun-hoat atau Ilmu Toya Seribu Ular luar biasa sekali gerakangerakannya
dan tongkatnya sangat cepat dan hebat sehingga seakan-akan berubah menjadi ribuan ular
yang datang menyerang lawannya. Hwesio itu agaknya telah melatih diri hingga ilmu tongkatnya makin
hebat saja.
Hal ini pun terasa sekali oleh Kanglam Sam-lojin. Ketiga tosu ini segera mengeluarkan kepandaian mereka,
yakni Liong-san Kun-hoat yang juga luar biasa dan lihai. Akan tetapi ketika senjata mereka beradu dengan
senjata Hai Kong Hosiang, mereka terkejut sekali karena tenaga lweekang dari hwesio itu telah maju pesat
dan kini berada setingkat lebih tinggi dari pada tenaga mereka! Percuma saja mereka mengerahkan
seluruh tenaga dan kepandaian mereka sebab permainan tongkat Hai Kong Hosiang betul-betul hebat
sekali dan mengurung mereka bertiga dengan ancaman-ancaman maut!
Hai Kong Hosiang yang melihat betapa dia dapat mendesak tiga orang lawannya, merasa gembira sekali.
Hwesio gundul ini tertawa ha-ha hi-hi sambil memperhebat serangannya. “Ehh, tiga orang tua bangka!
Menyerahlah untuk mampus!”
Akan tetapi, meski pun dia sudah dapat mendesak ketiga lawannya, namun karena ketiga tosu itu bukanlah
sembarangan tosu yang berkepandaian rendah dan karena Liong-san Kun-hoat memang merupakan ilmu
silat yang tinggi, masih tidak mudah bagi Hai Kong Hosiang untuk dapat merobohkan ketiga lawannya itu
dalam waktu pendek.
“Niocu, benar hebat kepandaian hwesio itu.” kata Cin Hai sambil memandang muka Ang I Niocu yang
berada begitu dekat dengan mukanya sendiri, “dapatkah kau mengalahkan si gundul itu?”
Ang I Niocu membalas pandangan mata anak muda itu, kemudian bibirnya yang manis dan merah
tersenyum.
“Agaknya tak akan mudah mengalahkan dia, akan tetapi juga bukan tak mungkin!”
Cin Hai telah bertahun-tahun berpisah dengan Ang I Niocu dan telah lama ia merindukan Gadis Baju Merah
ini. Sekarang dalam persembunyiannya dia berada begitu dekat Ang I Niocu, maka hatinya merasa girang
dan terharu sekali.
Tanpa terasa Cin Hai menggerakkan tangan dan memegang tangan gadis itu erat-erat. Ia merasa betapa
tangan yang berkulit halus dan berjari kecil itu membalas genggamannya dengan tekanan kuat, akan tetapi
mendadak tangan gadis itu mengendur, dan akhirnya ditarik terlepas dari pegangan Cin Hai. Pada saat
pemuda itu memandang, Ang I Niocu memberi tanda dengan mukanya untuk menonton pertempuran yang
masih berlangsung hebat di dalam ruang tengkorak itu.
Ketika Cin Hai memandang, ia mendapat kenyataan bahwa sekarang Kanglam Sam-lojin benar-benar
terdesak dan keadaan mereka sudah berbahaya sekali, sementara itu Hai Kong Hosiang semakin gagah
dan ganas saja.
Pada saat itu kembali terdengar suara gaduh di luar goa, tetapi kali ini dari suara tindakan kaki dapat
diduga bahwa yang datang adalah serombongan orang yang besar jumlahnya, bahkan terdengar pula
ringkik dan suara kaki kuda!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hai Kong, bangsat gundul! Ada orang-orang datang, kami tidak punya waktu lagi untuk melayanimu
terlebih jauh,” Giok Im Cu berseru.
“Ha-ha, Kanglam Sam-lojin, hari ini sekali lagi aku ampuni jiwa kalian, dan lekaslah kalian pergi dari tempat
ini dan jangan mengganggu aku!”
Kanglam Sam-lojin yang menginsafi akan kelihaian Hai Kong Hosiang tidak menjawab hinaan ini, lalu
mereka menerobos keluar untuk meninggalkan tempat berbahaya itu. Hai Kong Hosiang lalu melangkah
maju ke arah balik pintu di mana terdapat hiolouw yang masih mengebulkan asap itu. Ia membuka tutup
hiolouw dan menjenguk ke dalamnya.
Asap mengepul semakin banyak ketika tutup hiolouw itu terbuka dan Hai Kong Hosiang buru-buru
mengembalikan tutup itu. Dia lalu melongok ke sana-sini seperti orang sedang mencari-cari, kemudian ia
mendekati hiolouw itu dan membaca huruf-huruf yang terukir di hiolouw raksasa itu. Ia menganggukangguk
dan segera memasang kuda-kuda dengan kedua kaki dipentang kuat-kuat.
Dia lalu memegang kaki hiolouw dengan tangan kanan dan mencoba untuk mengangkat hiolouw. Tapi
hiolouw itu tidak dapat terangkat. Jangankan terangkat, bahkan bergoyang pun tidak!
Hai Kong Hosiang memaki-maki dan Cin Hai terpaksa mempergunakan tangannya untuk menutupi
mulutnya agar jangan sampai tertawa. Dia geli sekali melihat betapa hwesio itu tidak kuat mengangkat
hiolouw dan kini mendengar maki-makian yang keluar dari mulut Hai Kong Hosiang, ia pun merasa geli
bercampur heran. Tak pernah disangkanya bahwa mulut seorang hwesio dapat mengeluarkan makianmakian
sekotor itu! Juga Ang I Niocu memandang dengan mata menunjukkan kegelian hatinya.
Kini Hai Kong Hosiang turun tangan dengan sungguh-sungguh. Dia menggunakan kedua tangannya untuk
mengangkat hiolouw itu dan benda yang besar itu mulai bergerak-gerak! Akan tetapi, pada saat itu dari luar
goa masuk seorang hwesio lain yang bertubuh gemuk dan berkepala gundul.
Cin Hai makin heran ketika mengenal bahwa yang masuk ini adalah Biauw Leng Hosiang, hwesio yang
sangat lihai dan yang menjadi adik seperguruan Biauw Suthai! Kenapa ada banyak sekali orang-orang lihai
datang ke goa ini?
Sementara itu, ketika mendengar suara orang masuk ke dalam goa, Hai Kong Hosiang lalu mengurungkan
maksudnya mengangkat hiolouw itu dan ketika ia berdiri memandang ke arah Biauw Leng Hosiang,
wajahnya telah berubah merah, tanda bahwa tadi ia telah menggunakan banyak tenaga untuk mencoba
mengangkat hiolouw besar itu!
Melihat bahwa yang datang adalah Biauw Leng Hosiang yang telah dikenalnya, dia lantas tersenyum
menyindir, “Hm, agaknya Biauw Leng Hosiang juga tak mau ketinggalan dan mencari-cari pusaka ke dalam
goa ini?”
Biauw Leng Hosiang membalas sindiran orang dengan suara memandang rendah, “Hai Kong, bercerminlah
dulu sebelum mencela orang lain. Dan pinceng tidak ada waktu untuk mengobrol denganmu pada saat ini.
Harap kau suka mengalah dan keluar dari sini, nanti apa bila pinceng telah selesai dengan urusanku, kau
boleh berdiam di tempat ini sampai selama hidupmu!”
“Biauw Leng, kau sungguh tidak memandang orang lain! Kepandaian apakah yang kau andalkan maka kau
berani berkata semacam itu kepada orang seperti aku?”
“Sudahlah jangan banyak cakap lagi dan keluarlah!” Biauw Leng Hosiang yang berwatak keras itu kembali
berkata.
Sekarang Hai Kong Hosiang menjadi marah sekali. Ia membanting-banting kakinya dan menggunakan
telunjuknya menuding sambil berkata keras,
“Biauw Leng! Kau sungguh tak mengerti aturan kang-ouw! Bukankah aku yang masuk ke sini terlebih dulu?
Mengapa kau mendesak supaya aku keluar dan mengalah kepada kau? Ketahuilah, aku masih
memandang muka Suci-mu, Biauw Suthai yang selain gagah perkasa juga patut dihargai sebab memegang
teguh peraturan kang-ouw. Jangan sampai aku lupa diri menggunakan kekerasan!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini tiba-tiba Biauw Leng Hosiang tertawa, suara ketawanya tinggi nyaring seperti suara ketawa seorang
wanita.
”Hai Kong! Sudah kukatakan tadi, sebelum memaki orang, kau bercerminlah dulu! Kau bilang bahwa kau
datang lebih dulu, akan tetapi, apakah kau kira bahwa aku tidak melihat Kanglam Sam-lojin keluar dari sini?
Aku tidak melihat mereka masuk, akan tetapi melihat keluarnya. Bukankah ini berarti bahwa mereka masuk
lebih dulu dari padamu?”
Hai Kong Hosiang menjadi malu dan semakin marah. “Tidak perlu kita mengadu lidah! Pendeknya, kalau
kau menghendaki aku keluar, kau pun harus dapat mengantarkan!” Ini adalah tantangain berkelahi!
“Hai Kong! Kau kira pinceng tidak akan dapat menyeretmu keluar dari sini?” Biauw Leng Hosiang
membentak dan keduanya telah saling berhadapan, siap untuk bertempur!
Yang paling merasa senang adalah Cin Hai. Memang sejak kecil ia suka sekali menonton orang bertempur
mengadu kepandaian silat, maka kini tentu saja ia merasa senang sekali melihat betapa beberapa kali
terjadi pertempuran di antara tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi,. Ia maklum akan kelihaian Biauw
Leng Hosiang yang pernah dilawannya, akan tetapi ia pun tahu bahwa Hai Kong Hosiang memiliki
kepandaian tinggi juga.
Sambil berseru keras Biauw Leng Hosiang yang memiliki darah panas itu sudah mulai menyerang secara
hebat. Hwesio ini menggunakan senjata sebuah kebutan di tangan kiri dan sebuah pedang pendek pada
tangan kanannya, gerakannya cepat dan berat, kedua senjatanya bergerak bergantian! Hai Kong Hosiang
tidak mau didahului dan berbareng mengirim tangkisan berikut serangan balasan yang tidak kalah
hebatnya!
Sambil mengintai Cin Hai berbisik kepada Ang I Niocu tanpa memandang gadis itu sebab dia sedang
mencurahkan seluruh perhatian ke arah pertempuran. “Niocu, kau duga siapa yang akan menang?”
Sejak tadi Ang I Niocu melihat gerak-gerik Cin Hai. Entah bagaimana, ia merasa sayang dan suka sekali
kepada anak muda ini. Dahulu ketika Cin Hai masih kecil dan berkepala gundul, dia merasa suka dan
kasihan sekali dan merasa seakan-akan anak itu menjadi adiknya sendiri. Kini Cin Hai telah hampir dewasa
dan melihat perawakannya, ia bahkan sudah dewasa karena tubuhnya memang tinggi tegap.
Akan tetapi, semenjak tadi Ang I Niocu melihat betapa anak muda itu terus memandang pertempuran
dengan mata berkilat-kilat, wajah berseri-seri, serta mulut tersenyum kecil, tanda bahwa hatinya senang
sekali! Hal ini menyatakan betapa sebetulnya dia itu masih seperti seorang kanak-kanak saja. Ang I Niocu
merasa heran dan tidak mengerti kenapa hatinya seakan-akan berbisik bahwa ia takkan merasa senang
dan bahagia hidupnya jika berada jauh dari Cin Hai!
“Apa katamu?” ia balas berbisik.
Sesudah Cin Hai mengulangi pertanyaannya, dia lalu memandang ke arah pertempuran. ”Entahlah siapa
yang akan menang, kepandaian mereka berimbang. Walau pun ilmu silat Biauw Leng Hosiang lebih tinggi
dan lebih lihai geraknya, akan tetapi Hai Kong Hosiang agaknya lebih menang dalam hal mempergunakan
senjatanya yang lihai, juga Hai Kong memiliki banyak tipu-tipu curang dalam setiap gerakannya. Mungkin
pertempuran ini akan berjalan lama.”
Cin Hai memperhatikan baik-baik. Baginya, setiap pertempuran merupakan penambahan pengertiannya
dalam ilmu silat, karena dari gerakan-gerakan mereka dia dapat memetik beberapa pelajaran. Melihat
gerakan-gerakan di dalam pertempuran antara jago tua itu, dia merasa betapa kepandaiannya sendiri
sebenarnya masih dangkal sekali. Dia merasa bahwa untuk dapat mempunyai kepandaian tinggi dan
mampu menghadapi orang-orang seperti Hai Kong dan yang lain-lain, dia masih harus belajar banyak!
Karena merasa jengkel tidak dapat segera menjatuhkan Hai Kong Hosiang yang ternyata memiliki
kepandaian lebih lihai dari pada yang semula dia sangka, Biauw Leng Hosiang merasa tidak sabar dan
tiba-tiba dia bersuit keras.
Dari luar goa terdengar suitan-suitan balasan dan tiba-tiba saja dari luar menerobos lima orang yang
berpakaian seragam. Mereka ternyata adalah perwira-perwira Sayap Garuda yang sudah tinggi
pangkatnya. Begitu masuk kelima orang ini lalu maju mengeroyok Hai Kong Hosiang!
dunia-kangouw.blogspot.com
Perlu diketahui bahwa barisan Sayap Garuda terdiri dari beberapa tingkat perwira yang dibagi menurut
tingkat kepandaian mereka masing-masing. Dan lima orang yang masuk ini tingkatnya sudah ke tiga, maka
mereka memiliki ilmu kepandaian yang sudah lumayan juga, dan senjata mereka adalah pedang panjang.
Sudah tentu saja masuknya lima orang yang membantu Biauw Leng Hosiang ini segera membuat Hai Kong
Hosiang yang memang sudah terdesak, menjadi semakin sibuk lagi. Akhirnya sebuah totokan yang
dilakukan dengan ujung kebutan di tangan kiri Biauw Leng Hosiang tak dapat dihindarkan sudah mengenai
pundak Hai Kong Hosiang hingga hwesio ini berteriak keras sekali lalu roboh!
Apa bila orang lain yang terkena totokan kebutan Biauw Leng Hosiang yang dilakukan dengan tenaga
lweekang yang kuat, maka nyawanya tentu melayang. Hai Kong Hosiang bukan orang lemah dan tubuhnya
sudah memiliki kekebalan sehingga ia hanya menderita luka dalam yang tak membahayakan jiwanya. Akan
tetapi, totokan itu cukup hebat untuk merobohkannya sehingga untuk beberapa lama dia hanya duduk
bersila sambil mengatur napasnya untuk menyembuhkan atau setidaknya meringankan luka di pundaknya
yang menembus hingga dadanya.
”Biauw Leng Sute, kau sungguh bandel sekali!” tiba-tiba terdengar teriakan suara wanita dan tahu-tahu
Biauw Suthai wanita pertapa dari Hoa-san yang bermuka laksana pantat kuali dan matanya sebelah kanan
buta ini, tahu-tahu telah berada di ruangan itu, tangan kiri memegang hudtim dan tangan kanan memegang
pedang.
Bukan main terkejutnya Biauw Leng Hosiang melihat suci-nya telah berada di situ! Hal ini sama sekali tidak
pernah diduganya.
Sebenarnya, setelah menegur adik seperguruannya yang sesat itu pada saat Biauw Leng Hosiang
menjatuhkan Cin Hai, Biauw Suthai segera pergi. Akan tetapi ia masih merasa curiga pada adik
seperguruannya yang sudah berkali-kali melakukan pelanggaran aturan perguruan mereka dan berkali-kali
dia tegur karena menjalankan kejahatan itu. Maka dia lalu mengikuti adik seperguruannya itu secara diamdiam.
Alangkah marahnya ketika melihat betapa Biauw Leng Hosiang mengadakan pertemuan lagi dengan para
perwira Sayap Garuda, bahkan bersama lima orang perwira menyerbu ke Goa Tengkorak itu. Dia terus
mengikuti ke mana mereka pergi dan sesudah melihat betapa sute-nya mengeroyok dan merobohkan Hai
Kong Hosiang, ia langsung menyerbu masuk dan telah mengambil keputusan tetap untuk menghajar sutenya
yang tersesat.
“Biauw-suci, kau lagi-lagi menghalang-halangi maksud dan sepak terjangku. Sebenarnya ada sangkut paut
apakah segala perbuatanku dengan kau orang tua?” kata Biauw Leng Hosiang yang mulai memberontak
dan hendak melawan karena dia dapat mengandalkan bantuan kelima perwira yang kosen itu.
“Biauw Leng! Apakah kau sudah melupakan sumpahmu kepada mendiang Suhu dahulu? Percuma saja kau
menjadi pendeta apa bila kau selalu melanggar pantangan kita dan melakukan perbuatan-perbuatan sesat.
Kau tentunya masih ingat bahwa di antara segala pantangan, Suhu almarhum paling benci melihat orang
membela kaisar lalim dan menjadi anjing penjilat. Telah berkali-kali kau kuperingatkan dan selalu aku masih
bersabar sebab mengingat hubungan kita sebagai saudara seperguruan. Akan tetapi tetap saja kau selalu
melanggar. Sekarang, marilah kau ikut aku untuk mengadakan sumpah di depan makam Suhu!”
“Biauw-suci kau sungguh terlalu! Mengingat bahwa kau dulu sering melatih dan memberi pelajaran
kepadaku, maka aku selalu mengalah saja terhadapmu. Tapi kau jangan terlalu mendesak! Ingat, seekor
semut pun akan membalas dengan gigitan dan akan melawan jika diinjak, apa lagi aku sebagai manusia.
Kau pulanglah, Suci yang baik dan janganlah kau mempedulikan lagi diriku. Aku bukan anak kecil!”
Wajah Biauw Suthai yang sudah buruk itu semakin memburuk dan matanya yang tinggal satu di sebelah
kiri itu mengeluarkan cahaya kilat tanda bahwa dia marah sekali. Biauw Leng Hosiang maklum akan hal ini
dan sebenarnya ia menjadi takut dan jeri juga, akan tetapi ia segera memberi tanda kepada kelima perwira
itu.
“Biauw Leng, lepaskan senjatamu dan kau berlutut!” perintah Biauw Suthai yang tiba-tiba mengeluarkan
sebuah hudtim berbulu merah dari pinggangnya.
Biauw Leng Hosiang terkejut melihat ini, karena ia ingat bahwa kebutan ini adalah milik mendiang suhu
mereka dan yang apa bila dikeluarkan, berarti bahwa hukuman mati akan dijatuhkan kepada seorang murid
dunia-kangouw.blogspot.com
yang murtad! Kini Biauw Suthai sudah mengeluarkan kebutan merah ini dan jika ia tidak berlutut minta
ampun, ia pun tentu akan dihukum mati oleh suci-nya sendiri!
Akan tetapi, Biauw Leng Hosiang dapat menetapkan hatinya dan setelah memberi tanda kepada kawankawannya,
mereka berenam lalu maju menyerbu dan menyerang Biauw Suthai.
Cin Hai pernah ditolong oleh Biauw Suthai, yaitu ketika dia dirobohkan oleh Biauw Leng Hosiang, maka dia
merasa bersimpati kepada tokouw ini. Apa lagi kalau dia ingat bahwa tokouw yang buruk rupa ini adalah
guru dari Lin Lin, maka dia tidak dapat lagi menahan hatinya melihat tokouw itu dikeroyok enam! Ia
memegang erat-erat tulang paha manusia yang masih dipegangnya pada saat ia pergi bersembunyi, lalu ia
meloncat keluar sambil berteriak,
“He, kawanan Sayap Garuda! Jangan berlaku pengecut dan curang dengan keroyokan!”
Ang I Niocu terkejut sekali melihat sepak terjang Cin Hai. Dia maklum bahwa kepandaian Cin Hai masih
terlampau lemah untuk melayani orang-orang berilmu tinggi itu, maka dia lupa akan perintah Bu Pun Su
tadi dan meloncat keluar pula mengejar Cin Hai sambil berseru,
“Hai-ji, hati-hati!”
Biauw Leng Hosiang terkejut melihat bahwa ternyata di ruangan itu telah ada orang yang datang dan
bersembunyi, akan tetapi dia tak berdaya karena Biauw Suthai mendesaknya dengan hebat! Terpaksa ia
melawan sekuat tenaga.
Sementara itu, ketika melihat keluarnya seorang pemuda dengan tulang di tangan, untuk sejenak kelima
perwira Sayap Garuda tertegun. Kemudian sesudah Ang I Niocu keluar mereka maklum bahwa pihak
musuh bertambah, maka dua orang di antara mereka lalu menyambut Cin Hai dan Ang I Niocu.
Cin Hai melawan dengan tulang itu sambil mengeluarkan ilmu silat yang sudah pernah ia pelajari. Oleh
karena ternyata bahwa lawannya cukup tangguh maka ia lalu mencampur-adukkan Ilmu Silat Liong san
Kun-hoat! Dengan ilmu silat campuran ini ternyata Cin Hai dapat mengimbangi kepandaian Perwira Sayap
Garuda itu.
Ada pun perwira yang bertanding melawan Ang I Niocu, dalam beberapa gebrakan saja sudah menjadi
sibuk dan dibingungkan oleh ilmu pedang Dara Baju Merah yang bagaikan menari-nari di depannya itu!
Melihat betapa kini perwira ini terancam oleh bahaya pedang di tangan Ang I Niocu yang gagah, dua orang
perwira maju pula mengeroyok Ang I Niocu yang masih tetap gagah dan bahkan nampak gembira sekali
dikeroyok tiga! Selain menghadapi ketiga lawannya, nona ini juga berusaha mendekati Cin Hai sehingga
dapat bersiap sedia membela serta menolong pemuda itu apa bila sampai terdesak dan berada dalam
bahaya.
Sementara itu, karena kini yang mengeroyoknya hanya Biauw Leng Hosiang dan seorang perwira saja,
Biauw Suthai dapat mendesak adik seperguruannya dengan hebat sekali. Suatu saat dia mengeluarkan
seruan keras sekali dan kebutan merah yang dipegangnya telah dipakai menghantam dan tepat mengenai
dada kiri Biauw Leng Hosiang! Hwesio ini mengeluarkan jeritan ngeri dan roboh sambil muntah darah dan
tewas seketika itu juga!
Semua perwira merasa amat terkejut dan melompat mundur dengan wajah pucat. Melihat betapa orang
yang mereka andalkan sudah tewas, maka mereka tidak berani bertempur lagi.
Ketika melihat sute-nya rebah di atas lantai batu dan telah binasa, tiba-tiba Biauw Suthai menubruk sambil
menangis tersedu-sedu!
“Sute… Sute… mengapa kau mencari kematian di tanganku?” Tokouw iin berkeluh-kesah dengan suara
memilukan.
Biauw Suthai lantas menghampiri Hai Kong Hosiang yang masih duduk meramkan mata untuk mengobati
luka di dalam dadanya. Tokouw ini menggunakan tangannya menepuk pundak Hai Kong Hosiang yang
terluka hingga hwesio ini merasa betapa totokan Biauw Leng tadi dapat dipunahkan dan lukanya menjadi
berkurang sakitnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hai Kong Hosiang, kau maafkan Sute-ku yang telah menebus dosanya dengan jiwanya.”
Hai Kong Hosiang hanya mengangguk, kemudian hwesio ini pergi meninggalkan tempat itu. Biauw Suthai
kemudian mengangkat sute-nya dan sambil memondong tubuh yang tak bernyawa lagi itu, ia hendak
meninggalkan goa.
Akan tetapi Cin Hai melangkah maju dan sambil memberi hormat dia bertanya, “Suthai yang mulia, mohon
tanya tentang keadaan Adikku Lin Lin. Bukankah dia muridmu?”
Biauw Suthai memandang heran kepada Cin Hai dan bertanya, “Ehh, anak muda yang berani, kau
siapakah?”
“Suthai tentu sudah lupa kepada anak kecil yang dulu bersama dengan Lin Lin ketika kau mencu... ehhh…
membawanya pergi!”
Biauw Suthai teringat akan anak gundul itu, “Hm, ia baik... ia baik…” Lalu ia pergi sambil memondong
jenazah sute-nya!
Kelima Perwira Sayap Garuda itu pun pergi dengan cepat karena tanpa pembantu yang pandai, mereka
merasa jeri menghadapi Ang I Niocu yang kelihaiannya tadi telah mereka kenal.
Ang I Niocu juga tidak mau mengejar karena sebenarnya nona ini sedang merasa kuatir sekali akan
mendapat teguran dari susiok-couw-nya karena sudah berani-berani keluar dari tempat persembunyiannya.
Oleh karena ini, sebelum ia menerima teguran ia segera membetot tangan Cin Hai dan bersama pemuda
itu segera menjatuhkan diri berlutut di situ sambil berkata,
“Susiok-couw, mohon dimaafkan kelancangan teecu berdua dan kami bersedia menerima hukuman!”
Akan tetapi tidak terdengar jawaban apa-apa. Ada pun Cin Hai merasa sangat tidak puas melihat sikap
nona itu yang agaknya sangat takut terhadap Bu Pun Su. Pemuda ini lalu mengangkat kepala dan bukan
main heran dan terkejutnya ketika melihat yang berada di depannya, telah berdiri seorang yang aneh
sekali.
Orang ini bertubuh pendek sekali, barang kali sama tingginya dengan seorang anak-anak berusia sepuluh
tahun. Kedua matanya bundar besar melirik kian ke mari tiada hentinya seperti mata sebuah boneka
mainan, kedua telinganya lebar sekali laksana telinga gajah, sedangkan mulutnya berbibir tebal. Ia
memakai jubah panjang yang menggantung hingga ke tanah dan yang mencolok sekali adalah warna jubah
ini yang hitam sekali.
“Eh, siapa orang kate ini?” Tak terasa pula Cin Hai bangun dari tanah karena ia tidak sudi berlutut di depan
orang kate itu.
Ang I Niocu juga menengok dan terkejutlah dia, terkejut sebab mengingat betapa lihainya orang ini yang
dapat datang ke sana tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan dia sendiri dalam berlutut tadi tidak
mendengar suara kaki orang, tetapi tahu-tahu orang kate ini telah berdiri di depannya.
Ketika ia bangun dan memandang, ia memperhatikan jubah orang kate itu maka kagetlah Ang I Niocu. Ia
dapat mengetahui bahwa orang aneh ini tentulah Hek Moko Si Iblis Hitam yang telah terkenal sekali
sebagai seorang jago tua yang sukar dapat dicari tandingannya di dunia kang-ouw bagian barat!
Ang I Niocu kemudian mengangkat kedua tangan di dada dan menjura sambil berkata, “Locianpwe kami
yang muda memberi hormat.”
Tiba-tiba Hek Moko tertawa dan suara ketawanya ini kalau didengar di dalam gelap tanpa terlihat orangnya,
tentu akan disangka orang suara setan. Suara ketawanya mula-mula rendah sekali bagaikan suara kodok
besar, lalu perlahan-lahan meninggi menjadi nyaring dan kecil. Tiba-tiba Hek Moko menahan tawanya
karena mendengar Cin Hai juga tertawa geli.
“Pemuda tolol! Kau siapakah? Kau ini apanya Ang I Niocu?” Hek Moko bertanya dengan kata-kata kasar
sedangkan kedua matanya berputar-putar.
Cin Hai tidak menjawab tetapi bahkan tertawa semakin geli dan keras. Ketika tadi melihat bentuk dan rupa
dunia-kangouw.blogspot.com
Hek Moko, ia telah merasa ngeri bukan main, apa lagi melihat sepasang telinganya. Ketika Ang I Niocu
berbicara kepada Hek Moko dan menyebutnya locianpwe (orang tua gagah), dia merasa semakin geli
karena alangkah ganjilnya menyebut seorang yang tingginya hanya sama dengan tinggi pinggangnya
dengan sebutan locianpwe.
Kemudian, ketika Hek Moko tertawa dengan suara yang menyeramkan dan lucu itu, dia melihat betapa
telinga gajah itu bergerak-gerak bagaikan telinga gajah yang benar-benar digerak-gerakkan untuk
mengipas tubuh. Maka pemuda ini tidak dapat lagi menahan rasa geli di hatinya dan tertawa keras. Kini
melihat Hek Moko mengajukan pertanyaan sambil memutar-mutar kedua matanya, Cin Hai makin geli dan
tertawanya makin keras pula.
”Hai, tolol! Kenapa kau tertawa?” Hek Moko membentak dengan muka heran.
“Kakek kate, aku tertawa mendengar kau tertawa!”
Hek Moko melengak dan menggerakkan kepalanya ke belakang. Belum pernah selama ia merantau ada
orang berani mentertawakan suara tawanya!
“Tolol! Hati-hatilah menjaga lidahmu. Mengapa kau tertawakan aku?”
Melihat sikap Hek Moko, Cin Hai tahu bahwa orang ini marah, maka dia berkata, “Orang tua, orang baru
tertawa kalau hatinya senang. Kau tadi tiada hujan tiada angin tertawa, tentulah berarti kau senang bertemu
dengan kami. Aku pun menjadi senang dan tertawa juga, apa salahnya? Eh, kakek kate, tahukah kau akan
sebuah ujar-ujar tentang tertawa?”
Kembali Hek Moko tertegun. Ia kuatir kalau-kalau anak muda ini sedang mempermainkan dirinya, akan
tetapi dia juga ingin sekali tahu apakah ujar-ujar tentang tertawa itu. “Coba kau ceritakan, aku belum
mendengar,” jawabnya dengan dua mata tetap berputar-putar.
Cin Hai lalu mendongakkan kepala dan dengan suara sungguh-sungguh menirukan suara dan lagak
gurunya yang dulu mengajarnya sastera,
“Mati diantar tangis, lahir disambut tawa. Namun bagaimanakah sikap orang bijaksana? Kurangi tangis dan
perbanyaklah tawa!”
“Bagus, bagus, bagus!” Hek Moko memuji dan dia tertawa lagi. Lenyaplah rasa marahnya yang tadi karena
menyangka bahwa Cin Hai mempermainkannya.
“Dan kenapakah kau tertawa, orang tua yang aneh dan lucu?” tanya Cin Hai sedangkan Ang I Niocu
terheran-heran melihat keberanian Cin Hai yang bercakap-cakap dengan kakek itu bagaikan dua orang
sahabat baik sedang mengobrol!
“Kenapa aku tertawa? Ha-ha-ha! Siapa takkan tertawa melihat Bu Pun Su jembel tua itu begitu malas! He,
Bu Pun Su, benar-benarkah kau begitu malas dan memandang rendah kepadaku hingga masih terus
mendengkur dan tidak mau keluar menyambut?”
Tiba-tiba orang kate ini mengebutkan jubahnya yang hitam dan angin besar menyambar ke arah salah satu
tengkorak sehingga tengkorak yang dikebutnya itu bergoyang-goyang seakan-akan hendak roboh!
“Hek Moko, kau jangan terlalu sheji (malu-malu). Suruhlah Pek Moko masuk juga!” Tiba-tiba terdengar
suara Bu Pun Su, akan tetapi Cin Hai benar-benar tidak tahu dari mana datangnya suara itu, seakan-akan
ada beberapa orang yang bicara dari berbagai penjuru!
Ternyata dalam kata-katanya ini Bu Pun Su telah mendemonstrasikan kehebatan tenaga khikang-nya yang
sudah dapat mengirim suaranya ke berbagai tempat dan biar pun dia tidak meninggalkan goa itu, namun
dia telah tahu bahwa Hek Moko datang bersama Pek Moko.
Hek Moko diam-diam memuji dan dia lalu mengeluarkan suara bersuit yang nyaring dan tajam menyakitkan
anak telinga. Dari luar goa terdengar pula suara suitan yang sama bunyinya dan sebelum gema suara
suitan itu lenyap, dari luar goa menyambar sinar putih dan tahu-tahu Cin Hai melihat seorang yang tidak
kalah anehnya berdiri di hadapan Hek Moko!
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang yang baru datang itu adalah Pek Moko Si Iblis Putih. Tubuhnya tinggi besar akan tetapi anggota
mukanya kecil-kecil, bahkan matanya hanya berupa dua garis melintang panjang sedangkan daun
telinganya hampir tak tampak karena kecilnya!
Hek Moko dan Pek Moko adalah sepasang saudara seperguruan yang sudah terkenal sekali di dunia kangouw,
terutama di daerah barat. Mereka datang dari sebelah selatan Tibet dan memiliki kepandaian silat
yang luar biasa tingginya. Walau pun tubuhnya kate, tetapi Hek Moko adalah saudara tua dan Pek Moko
sute-nya.
Kalau Hek Moko selalu mengenakan jubah warna hitam, Pek Moko selalu mengenakan jubah warna putih
bersih. Oleh karena warna jubahnya inilah maka mereka disebut Iblis Hitam dan Iblis Putih, sedangkan
nama asli mereka sudah dilupakan orang.
Berbareng dengan datangnya Pek Moko, maka Bu Pun Su juga muncul keluar dari balik tengkorak. Kakek
tua ini berjalan dengan tindakan perlahan dan bermalas-malasan.
“Kalian Iblis Hitam dan Iblis Putih, sesudah lebih dari lima belas tahun tidak berjumpa, kepandaianmu makin
meningkat saja. Kalian jauh-jauh dari barat menuju ke sini, apakah juga silau oleh gemerlapnya emas dan
perak?” Bu Pun Su berkata sesudah berhadapan dengan mereka.
“Bu Pun Su kakek jembel, kau benar-benar panjang umur! Tak kuduga kau masih hidup. Apakah kali ini kau
pun hendak menjadi perintang bagi kami berdua saudara?” tanya Hek Moko sambil memutar-mutar
matanya.
“Hek Moko, jangan berbicara seperti anak kecil. Kau tahu betul bahwa aku jembel tua bukan manusia
usilan. Asalkan kau tidak mengganggu orang, kenapa takut aku menjadi perintang? Berbuatlah apa yang
kau suka, aku tak akan peduli.”
Girang wajah Hek Moko mendengar ucapan ini. Memang, semenjak tadi dia telah dapat melihat kakek
jembel yang lihai itu dan ia merasa jeri hingga diam-diam ia menyuruh Pek Moko menunggu di luar untuk
berjaga-jaga. Belasan tahun yang lampau, ia dan sute-nya pernah bentrok dengan Bu Pun Su dan roboh
dalam tangan orang tua lihai itu sehingga mereka masih merasa jeri dan ragu-ragu untuk memusuhi orang
tua itu.
“Ha-ha-ha, bagus, Bu Pun Su!” Kemudian Hek Moko berpaling kepada Ang I Niocu dan Cin Hai. “Hai, kau
Nona cantik dan anak muda yang aneh. Kalian tadi sudah mendengar kata-kata Bu Pun Su si Kakek
Jembel? Nah, kalian menjadi saksi!”
Setelah berkata demikian, Hek Moko segera melangkah maju menghampiri hiolouw besar yang berdiri di
tengah kamar di balik pintu itu. Ia membungkuk dan menggunakan tangan untuk menggeser hiolouw yang
beratnya seribu kati itu. Hiolouw itu bergerak dan tergeser dengan mudah! Di bawah hiolouw itu ternyata
terdapat sebuah lubang yang cukup besar.
Hek Moko menjenguk dan dia segera meloncat sambil memperdengarkan suara tawanya yang aneh.
Sementara itu, Pek Moko yang juga ikut menjenguk melihat keadaan lubang, lalu membalikkan tubuh dan
memandang ke arah Bu Pun Su. Kedua kakak beradik yang aneh itu berdiri bagaikan patung dan
memandang ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri tak mengacuhkan sama sekali.
“Bu Pun Su tua bangka menyebalkan! Kembali kau mempermainkan kami!” Pek Moko berseru dan
suaranya juga kecil dan tinggi, tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar.
“Biarlah sekali lagi kami mencoba-coba kelihaianmu!” teriak Hek Moko dan tiba-tiba Iblis Hitam ini
menggunakan kedua tangannya memegang kaki hiolouw dan sekali ayun saja hiolouw itu melayang ke
arah Bu Pun Su!
Cin Hai merasa terkejut dan ngeri sekali. Ia dan Ang I Niocu berdiri di dekat Bu Pun Su sehingga hiolouw itu
tidak hanya mengancam Si Kakek Jembel saja, tetapi juga sekaligus mengancam mereka berdua!
Hiolouw raksasa itu begitu berat sehingga sebelum datang, anginnya sudah menyambar ke arah mereka.
Benda kuno itu beratnya seribu kati lebih, kini dilontarkan dengan tenaga raksasa sehingga dapat
dibayangkan betapa hebat jika tertimpa hiolouw terbang ini!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi di hadapan Ang I Niocu dan Bu Pun Su, Cin Hai tidak mau memperlihatkan sikap takut atau
ngeri. Karena itu dia tidak meloncat pergi untuk menghindarkan diri dari serangan hiolouw, hanya berdiri
dengan urat-urat seluruh tubuhnya menegang dan mata terbelalak.
Biar pun telah memiliki kepandaian tinggi, namun Ang I Niocu mengerti bahwa tenaganya masih belum
cukup untuk menyambut datangnya hiolouw, maka dia hanya bersiap untuk menolak benda itu ke samping
apa bila jatuhnya menimpa dia atau Cin Hai. Gadis ini tentu saja cukup tahu diri dan tidak bergerak karena
di situ terdapat kakek gurunya, takut kalau-kalau dianggap lancang tangan.
Akan tetapi, alangkah heran dan terkejutnya Cin Hai ketika melihat bahwa Bu Pun Su yang berdiri miring
agaknya sama sekali tidak mempedulikan datangnya hiolouw yang menyambar ke arah dirinya! Keringat
dingin mulai keluar membasahi jidat pemuda ini, karena betapa tabah pun hatinya, menghadapi bahaya
maut di depan mata tanpa kuasa menghindarkannya membuat ia merasa cemas sekali.
Ketika hiolouw itu menyambar dekat sekali hingga Ang I Niocu telah mengangkat kedua tangan hendak
menolak benda itu ke samping, tiba-tiba Bu Pun Su melangkah maju dua langkah dan ia menyambut
hiolouw itu dengan kepalanya! Heran sekali, pada waktu kaki hiolouw itu menimpa kepalanya maka kepala
Bu Pun Su seolah-olah besi sembrani yang menarik hiolouw itu sehingga kaki hiolouw menempel pada kulit
kepala dan berdiri lurus tanpa bergoyang-goyang sedikit pun. Hiolouw itu kini terletak di atas kepala Bu Pun
Su, seakan-akan benda yang ringan dan yang diletakkan dengan hati-hati di atas kepala!
Tidak hanya Cin Hai yang tanpa terasa lagi terpaksa meleletkan lidah saking kagum dan herannya, akan
tetapi Ang I Niocu juga memandang dengan mata kagum karena baru sekarang ia menyaksikan sucouwnya
mendemonstrasikan kekuatan lweekang-nya yang tak terbatas tingginya itu. Kedua Iblis Hitam Putih
juga tertegun.
Terdengar kakek tua itu tertawa ha-ha hi-hi, lantas berkata dengan suara lemah lembut, “Hek Pek Moko,
hiolouw adalah benda suci tempat orang memuja dan bersembahyang, maka harus dihormati. Apa lagi
benda ini umurnya telah ribuan tahun, jauh lebih tua dari pada kalian atau aku, maka tidak boleh kita
merusakkannya. Baiknya kau melemparkan dengan hati-hati dan tidak sampai menumpahkan isinya. Kalau
tidak, tentu aku tak akan mengampunimu, Hek Moko!”
Sesudah berkata demikian, Bu Pun Su dengan hiolouw masih berdiri di atas kepala lalu berjalan seenaknya
menuju ke tempat di mana hiolouw itu tadi berdiri. Hek Moko dan Pek Moko melangkah ke kanan kiri dan
kedua iblis ini segera bergerak cepat.
Mereka memang maklum bahwa kepandaian Bu Pun Su masih jauh lebih tinggi dari pada kepandaian
mereka sendiri dan biar pun mereka mengeroyoknya, belum tentu mereka akan berhasil merebut
kemenangan. Akan tetapi, sekarang melihat bahwa kakek jembel yang lihai itu sedang berjalan dengan
kepala membawa beban yang berat sekali, mereka melihat keuntungan bagus.
Untuk bisa menahan beban seberat itu di atas kepala, orang harus mengerahkan tenaga lweekang-nya dan
meski pun tenaga lweekang kakek itu sangat hebat, namun sedikitnya harus mempergunakan tenaga itu
tiga perempat bagian untuk dapat membawa hiolouw di atas kepala. Dan keadaan ini tentu saja amat
menguntungkan mereka, maka mengapa tidak mempergunakan kesempatan baik ini?
Biar pun mereka tidak menyatakan isyarat sesuatu, namun jalan pikiran mereka agaknya tak berbeda jauh
karena ketika Bu Pun Su berjalan lewat di dekat mereka, tiba-tiba saja keduanya lalu mengayun tangan
mengirim serangan dari kanan kiri! Serangan kedua iblis ini lihai dan berbahaya sekali karena mereka tidak
hanya bermaksud untuk main-main. Hek Moko dari kiri menyerang dengan tangan kanan dimiringkan dan
menampar jalan darah di leher, sedangkan Pek Moko dari kanan menggunakan tangan kiri menotok urat
kematian di iga belakang!
Ang I Niocu mengeluarkan jerit tertahan sedangkan Cin Hai berseru, “Sungguh curang!”
Akan tetapi dengan tenang sekali Bu Pun Su menggerakkan kepalanya dan hiolouw itu terlempar ke atas
dan pada saat yang hanya sekejap itu dia sudah mementang kedua lengannya dengan jari tangan terbuka
kemudian mendahului mengirim totokan ke arah pergelangan tangan kedua iblis yang memukulnya!
Bukan main kagetnya Hek Moko dan Pek Moko karena mereka tak menduga sedikit pun bahwa Bu Pun Su
mempunyai kecepatan tangan sedemikian rupa. Kalau saja mereka tetap meneruskan serangan mereka,
maka sebelum pukulan tangan mereka mengenai sasaran, tentu terlebih dahulu pergelangan tangan
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka akan tertotok.
Cepat mereka menarik kembali tangan mereka untuk disusul dengan serangan lainnya! Mereka berpikir
bahwa kali ini Si Jembel Tua itu tak akan dapat menyelamatkan diri lagi, karena serangan tidak hanya
datang dari mereka yang menyerang dari kanan kiri tetapi juga dari atas, karena hiolouw yang tadi
terlempar ke atas kini melayang turun lagi akan menimpa kepala Bu Pun Su!
Kini Ang I Niocu tak terasa lagi berseru, “Celaka!”
Tubuhnya merupakan bayangan merah segera berkelebat ke arah tempat pertempuran, sedangkan Cin Hai
lalu membungkuk untuk memungut kembali sepotong tulang raksasa yang tadi telah dilepaskan ke tanah!
Kini Hek Moko menyerang dengan pukulan ke arah dada dan Pek Moko menyerang dari atas ke arah
kepala Bu Pun Su! Sementara itu, hiolouw yang berat itu semakin cepat meluncur ke bawah hendak
menimpa kepala kakek jembel itu sehingga anginnya telah membuat rambut kakek itu berkibar.
Bu Pun Su tidak saja lihai, tetapi juga ingin memegang teguh ucapannya. Tadi dia telah mengatakan bahwa
orang harus menghormat hiolouw itu, maka biar pun berada dalam keadaan yang sangat berbahaya,
sekali-kali dia tidak mau membiarkan hiolouw itu jatuh terbanting ke tanah sehingga isinya tumpah atau
rusak. Jika ia tidak menyayangi hiolouw itu, mudah saja baginya untuk menangkis dan balas menyerang
kepada kedua lawannya. Dengan sekali lompatan saja dia akan berhasil mengelak dari serangan Hek
Moko dan Pek Moko. Akan tetapi, kalau dia melakukan ini, tentu hiolouw itu akan terbanting di atas lantai
dan rusak.
Akan tetapi tidak percuma kakek jembel ini pernah dijuluki orang sebagai ahli silat nomor satu di kolong
langit. Memang ada jalan ke dua baginya untuk menyelamatkan diri dari pada serangan dua lawannya,
yaitu dengan membarengi mengirim pukulan maut sebagai serangan balasan, akan tetapi dia tidak sudi
menjatuhkan tangan besi dan mengotorkan tangannya dengan pembunuhan.
Tiba-tiba saja dia mengeluarkan seruan keras sekali hingga seluruh ruangan itu menjadi tergetar,
sedangkan tengkorak-tengkorak raksasa yang berdiri itu bergoyang-goyang dan mengeluarkan suara
berkelotekan karena tulang-tulang saling beradu. Kedua iblis itu pun menjadi terkejut dan hawa yang keluar
dari tenaga khikang ini membuat mereka tertegun dan memperlambat datangnya pukulan mereka.
Kesempatan yang hanya beberapa detik ini digunakan oleh Bu Pun Su dengan sebaiknya karena tiba-tiba
saja, tanpa dapat terlihat oleh mata bagaimana caranya ia menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu tubuhnya itu
telah rebah terlentang di atas lantai, melintang di antara kedua lawannya dan sekaligus ia terlepas dari
pada kedua serangan maut itu.
Perhitungan Bu Pun Su memang tepat sekali. Hiolouw itu menyambar turun makin cepat dan oleh
karenanya hampir saja menimpa tangan Hek Moko dan Pek Moko yang terulur ke depan ketika
menjalankan pukulan mereka tadi.
Dengan hati terkejut kedua iblis itu menarik kembali pukulannya sambil meloncat mundur, takut kalau-kalau
tertimpa hiolouw yang berat itu. Akan tetapi mereka bergirang hati, kini Si Jembel tua sudah rebah
terlentang ada pun hiolouw itu dengan kecepatan luar biasa melayang ke arah dadanya! Tentu akan remuk
tubuh si Jembel tua yang mereka takuti itu.
Akan tetapi kini mereka semua disuguhi pertunjukan yang benar-benar hebat. Karena tak ada kesempatan
untuk melompat bangun dan menyelamatkan hiolouw itu, sambil rebah terlentang Bu Pun Su lantas
mengangkat kedua kakinya berdiri lurus ke atas, kemudian setelah menyentuh hiolouw yang menyambar
turun dengan cepat sekali, kaki itu bergerak ke bawah melebihi kecepatan luncuran hiolouw, lantas
membuat gerakan melengkung sedemikian rupa hingga hiolouw itu terayun, dan kekuatan hebat yang
ditimbulkan oleh gaya beratnya dan karena tekanan luncurannya kemudian dibelokkan oleh ayunan ini.
Arah tekanan yang mula-mula meluncur ke bawah ini dengan indahnya telah dibelokkan ke samping oleh
kedua kaki Bu Pun Su, kemudian kaki itu menendang sedikit sehingga sekarang luncuran dibelokkan ke
atas kembali! Hiolouw itu bagaikan kena ditendang dan meluncur ke atas lagi dengan tenaga yang sudah
patah hingga tidak sangat laju jalannya. Sementara itu Bu Pun Su telah meloncat berdiri pula dan dengan
kepalanya dia kembali menerima hiolouw itu!
“Aduh, hebat! Aduh... hebat!” Cin Hai bersorak memuji, sedangkan Ang I Niocu menarik napas panjang
dunia-kangouw.blogspot.com
karena kecemasan yang tadi memenuhi dadanya telah lenyap.
Hek Moko dan Pek Moko hanya saling pandang saja dan tidak berani lagi sembarangan bergerak ketika Bu
Pun Su dengan tenang bagaikan tak pernah terjadi sesuatu, berjalan terus dan sesudah tiba di tempat
hiolouw, dia memegang kaki hiolouw itu dengan kedua tangan dan dengan sikap hormat dan berhati-hati
sekali dia lalu meletakkan hiolouw itu kembali ke tempatnya. Hiolouw itu berdiri dengan angker dan angkuh
di tempatnya dan asap putih masih mengepul keluar dari renggangan tutupnya. Setelah itu barulah Bu Pun
Su membalikkan tubuh menghadapi Hek Moko.
“Sungguh kalian dua iblis tua sangat sembrono, hampir saja kalian merusak hiolouw itu.” Bu Pun Su
menegur dengan suaranya yang halus.
Cin Hai merasa terheran-heran. Kakek tua itu baru saja terlepas dari pada bahaya maut dan dia tidak
menegur kedua iblis itu untuk penyerangan mereka namun hanya menegur karena mereka hampir merusak
hiolouw. Tampaknya kakek aneh ini lebih mementingkan hiolouw dari pada tubuh dan nyawanya sendiri!
Hek Moko dan Pek Moko yang sudah datang dari tempat yang ribuan li jauhnya, tentu saja merasa
penasaran dan tak mau tunduk secara demikian mudah. Berbareng mereka lalu mencabut senjata mereka
yang luar biasa, yaitu sebatang pedang yang bercabang di ujungnya di tangan kanan dan seikat tasbeh di
tangan kiri. Pedang di tangan mereka itu lihai sekali karena ujungnya yang bercabang itu dapat digunakan
untuk menjepit senjata lawan kemudian diputar hingga senjata lawan akan terampas.
Akan tetapi tasbeh pada tangan kiri itu tidak kalah berbahayanya. Tasbeh ini terbuat dari batu-batu hitam
yang keras dan tidak dapat diputuskan dengan senjata tajam, sedangkan ikatannya dapat dilepas hingga
memanjang merupakan pian dari batu yang lihai. Masih ada lagi keistimewaannya, yaitu apa bila batu-batu
hitam itu dilepas dari untaiannya, dia dapat pula digunakan sebagai senjata rahasia yang ampuh dan
ganas!
“Ehh, ehhh, kalian masih mau main-main seperti anak-anak nakal? Boleh, boleh. Kalian menghendaki
pertempuran dan ingin merusak tubuhku, silakan. Asal saja jangan kalian mencoba merusak hiolouw!”
Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan halus dan sabar ini, kedua iblis itu lantas berbesar hati.
Masih bagus bagi mereka kalau kakek jembel ini tidak marah. Akan tetapi kata-katanya membuat Pek Moko
merasa penasaran dan heran sehingga dia tidak dapat bertahan untuk tidak bertanya,
”Ehh, tua bangka. Agaknya kau lebih menyayangi hiolouw besar itu dari pada tubuhmu sendiri!”
Kini jawaban Bu Pun Su terdengar sungguh-sungguh, “Tentu saja, tentu saja! Tubuhku yang sudah tua dan
lapuk ini apalah gunanya? Kalau tubuhku ini rusak binasa, tidak akan ada yang dirugikan, dan kalau masih
ada pun tidak akan ada gunanya bagi manusia. Tapi sebaliknya, umur hiolouw ini telah ribuan tahun dan
telah banyak jasanya bagi manusia, dan ratusan atau ribuan tahun kemudian sesudah tubuhku ini lenyap
menjadi kerangka seperti yang berdiri berderet-deret di tempat ini, hiolouw itu akan tetap berdiri dan masih
berguna bagi manusia yang masih hidup, karena dia menjadi perantara dan saksi akan kehendak manusia
yang hendak berhubungan dengan Tuhan.”
Cin Hai tertegun mendengar filsafat yang terdengar sederhana namun mengandung arti yang dalam ini,
dan diam-diam dia memutar-mutar otaknya mencari ujar-ujar kuno yang sesuai dengan filsafat ini, akan
tetapi tetap tidak dapat dia temukan.
Sementara itu, Bu Pun Su lalu melangkah ke tengah-tengah ruangan dan di situ kakek jembel ini lalu duduk
bersila dan berkata kepada Cin Hai,
“He, gundul tolol, muridku. Lemparkan ke sini senjata keramat di tanganmu itu!”
Cin Hai terkejut. Apakah yang dimaksudkan oleh Bu Pun Su? Yang dipegangnya hanya sepotong tulang
besar, mungkin tulang bagian lengan atau kaki raksasa, maka dia segera melemparkan tulang itu ke arah
Bu Pun Su yang menyambut dengan muka berseri-seri. Kemudian dengan memegang tulang itu di tangan
kanan, Bu Pun Su lalu meramkan mata dan tak mengacuhkan lagi keadaan di sekelilingnya!
Cin Hai merasa makin heran tetapi diam-diam ia girang juga karena ternyata kakek yang lihai itu tidak
marah kepadanya. Hanya ia mendongkol kenapa sampai sekarang ia terus disebut tolol! Ia lalu berpaling
kepada Ang I Niocu yang sedang memandang kepadanya dan alangkah herannya pemuda itu kenapa
dunia-kangouw.blogspot.com
kedua mata Ang I Niocu basah dengan air mata!
Cepat ia melangkah maju dan hendak memegang tangan dara itu akan tetapi Ang I Niocu menggerakkan
tangan mengelak. Baru teringat oleh Cin Hai bahwa mereka tidak berada berdua saja di tempat itu dan
bahwa di muka umum tidak pantas baginya memegang tangan Ang I Niocu meski pun dara itu adalah
seorang yang sangat dikasihinya, bahkan satu-satunya orang di dunia ini yang disayangnya.
“Niocu, ada apakah?” bisiknya. Tetapi Ang I Niocu dengan perlahan menggeleng-geleng kepalanya yang
cantik, lalu menundukkan mukanya.
Pada saat itu terdengar suara Hek Moko yang keras dan parau,
“Bu Pun Su, kau terlalu menghina kami! Ketahuilah, kami hendak mengadu ilmu dengan kau, tak peduli kau
mau melayani kami atau tidak!”
Akan tetapi Bu Pun Su tidak menjawab dan tetap duduk tak bergerak bagaikan patung batu, diam saja
menyaingi diamnya tengkorak-tengkorak yang berdiri di situ merupakan saksi mati dari pada segala
peristiwa yang terjadi di ruangan itu.
Cin Hai dan Ang I Niocu lalu berpaling memandang dengan kuatir sekali. Mereka melihat betapa kedua iblis
itu dengan senjata-senjata mereka yang mengerikan sudah berdiri di depan dan belakang Bu Pun Su!
“Niocu, mari kita turun tangan membantu Suhu…,” bisik Cin Hai.
Tetapi Dara Baju Merah itu tersenyum sedih dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Hai-ji, kau belum mengenal Susiok-couw. Diamlah dan mari kita menonton saja.”
“Bu Pun Su, awas kau, akan kuhancurkan kepalamu!” Pek Moko berteriak dari belakang kakek itu, lalu ia
mengayun tasbehnya memukul ke arah belakang kepala Bu Pun Su!
Dalam detik-detik ketika senjata hebat itu menyambar, jantung Cin Hai berhenti berdetak karena kuatirnya
dan tanpa terasa lagi tangannya memegang tangan Ang I Niocu dan jari-jari tangan mereka saling
genggam dengan erat.
Akan tetapi, seperti ada mata di belakang kepalanya, ketika tasbeh itu telah menyambar dekat, tiba-tiba Bu
Pun Su menundukkan kepala sehingga tasbeh itu memukul angin! Legalah dada Ang I Niocu serta Cin Hai
dan teringatlah mereka bahwa mereka saling berpegang tangan, maka buru-buru mereka melepaskan
tangan mereka.
Ternyata Bu Pun Su bukan sedang bersemedhi sebagaimana yang mereka semua kira. Kakek jembel ini
sebetulnya hanya duduk memusatkan pikiran dan kini segala pikiran dan perasaan dipusatkan menjadi satu
sehingga tanpa memandang atau bergerak, dia telah dapat tahu akan datangnya sebuah serangan dari
mana pun datangnya!
Pek Moko dan Hek Moko menjadi marah sekali. Mereka merasa dipandang rendah sekali oleh kakek tua
ini. Dulu, lima belas tahun yang lalu, biar pun mereka dirobohkan oleh Bu Pun Su, akan tetapi mereka
dikalahkan dalam sebuah pertempuran yang hebat sekali. Sedangkan semenjak kekalahan mereka dulu itu,
mereka berdua melatih diri dan bahkan mereka sudah menambah senjata pedang mereka dengan sebuah
senjata tasbeh yang lihai.
Dan apakah yang dilakukan oleh Bu Pun Su sekarang untuk menghadapi mereka? Hanya dengan duduk
diam sambil meramkan mata dan memegang sebuah… tulang! Ini adalah penghinaan yang tiada taranya
bagi mereka, maka di dalam kemarahannya, kedua iblis itu sudah mengambil keputusan untuk berkelahi
sampai mati! Hek Moko segera mengirim serangan dengan pedangnya, ada pun Pek Moko dari belakang
juga mengirim serangan-serangan kilat yang mematikan.
Betapa pun juga, Cin Hai dan Ang I Niocu masih merasa kuatir akan keselamatan Bu Pun Su, karena
mereka, terutama Ang I Niocu, maklum bahwa kepandaian kedua iblis ini cukup hebat dan lihai, masih lebih
hebat dari pada kepandaian orang-orang gagah yang tadi datang ke goa itu. Lebih tinggi tingkat
kepandaiannya dari pada Hai Kong Hosiang, atau Kanglam Sam-lojin, bahkan masih lebih lihai dari pada
Biauw Suthai sendiri! Dan Bu Pun Su hanya menghadapi mereka sambil duduk bersila dan meramkan mata
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan sepotong tulang di tangan.
Akan tetapi, setelah melihat agak lama, perasaan kuatir mereka tidak saja lenyap, bahkan mereka menjadi
tertarik sekali berbareng kagum dan terheran! Ternyata bahwa dengan tangkisan tulang dan gerakan
kepala mengelak serangan, Bu Pun Su dapat membela diri dengan sangat baiknya!
Kakek jembel ini tidak melakukan banyak gerakan, hanya duduk diam tanpa bergerak. Setelah datang
sebuah serangan, barulah ia bergerak sedikit, yaitu untuk mengelak atau menangkis! Serangan yang
ditujukan ke arah kepalanya dapat ia kelit dengan mudah dan serangan yang mengarah tubuhnya tentu
saja tidak dapat dia elakkan, maka kemudian ditangkisnya dengan tulang. Biar pun ada empat buah senjata
menyerang berbareng dari empat jurusan, masih dapat ditangkisnya dengan putaran tulang yang berubah
menjadi senjata yang lihai itu!
Kedua iblis itu semakin marah dan penasaran. Sudah puluhan jurus mereka membacok, menusuk,
memukul dan melakukan berbagai macam serangan lain, akan tetapi hasilnya selalu sia-sia. Benarkah
mereka tak akan berhasil mengalahkan seorang tua yang hanya melawan mereka dengan duduk sambil
meramkan mata dan tanpa membalas sedikit pun? Ahh, sungguh memalukan! Mereka mengertak gigi dan
menyerang lebih gencar dan hebat.
Sementara itu, Ang I Niocu dan Cin Hai merasa penasaran sekali melihat betapa Bu Pun Su hanya
mempertahankan dan membela diri saja tanpa mau membalas sedikit pun. Tapi apakah daya mereka?
Untuk membantu, Cin Hai merasa bahwa kepandaiannya masih jauh dari pada kuat untuk melawan kedua
iblis yang lihai itu, sedangkan Ang I Niocu yang merasa sangat tunduk dan takut kepada susiok-couw-nya,
tak berani turun tangan tanpa diperintah.
Cin Hai berpikir, kalau suhu-nya itu bertahan terus saja, apakah dia tidak akan lelah dan akhirnya terkena
serangan juga? Dia lalu memutar-mutar otaknya, dan tiba-tiba dengan suaranya yang nyaring dia
mengucapkan ujar-ujar yang dulu dipelajarinya,
“Seorang budiman hanya mencabut pedangnya untuk mempertahankan kehormatan dan namanya.
Mengadu senjata untuk memperebutkan benda dan kesenangan diri, bukanlah perbuatan seorang gagah,
hanya dilakukan oleh kanak-kanak dan orang tolol!” Kemudian dengan suara yang lebih nyaring lagi Cin
Hai menambahkan kata-katanya sendiri, “Aku masih bingung memilih golongan untuk Hek Pek Moko,
apakah mereka berdua termasuk anak-anak ataukah orang tolol?”
Karena suasana di sana sunyi dan hanya terdengar suara senjata kedua iblis itu yang kadang kala beradu
dengan tulang di tangan Bu Pun Su, maka suara Cin Hai terdengar jelas dan nyaring, bahkan bergema di
dalam ruang yang luas itu.
Tentu saja kedua iblis itu dapat mendengar sindiran ini dan wajah mereka memerah. Biar pun hanya
menduga-duga saja, tetapi ternyata kata-kata Cin Hai bahwa mereka sedang ‘memperebutkan benda’
adalah tepat sekali.
Cin Hai memang belum tahu mengapa para tokoh kangouw itu berturut-turut menyerbu ke Goa Tengkorak.
Tetapi dia dapat menduga bahwa mereka tentu sedang menghendaki dan memperebutkan sesuatu yang
amat penting dan berharga.
Akan tetapi, mana kedua iblis itu mau mendengarkan nasehat-nasehat yang keluar dari mulut seorang
pemuda? Mereka bahkan memperhebat serangan mereka karena merasa malu dan gemas.
Cin Hai menjadi bingung. Ia melihat bahwa biar pun Bu Pun Su masih dapat membela diri dengan baik,
namun kulit muka gurunya itu mulai memerah, tanda bahwa kakek itu telah menggunakan tenaga untuk
melayani serangan-serangan berbahaya dari dua lawannya yang tangguh. Maka pemuda ini lalu berteriak
kembali, kini lebih keras dari pada tadi,
“Nabi yang agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi
kejahatan mesti dilawan dengan keadilan. Orang menyerang secara jahat dan tidak kenal kasihan, kalau
didiamkan saja tanpa memberi hajaran kepada penyerang itu, apakah adil namanya?”
Biar pun Cin Hai sudah berteriak dengan keras, namun Bu Pun Su tidak terpengaruh oleh kata-katanya. Cin
Hai tidak berputus asa, dia mengulangi lagi kata-katanya dengan suara makin keras sehingga lehernya
menjadi kering dan sesak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi pada waktu itu Bu Pun Su harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi
serangan kedua lawannya. Apa bila dia membagi perhatiannya sedikit saja kepada hal lain, maka
kedudukannya akan sangat berbahaya dan pertahanannya akan menjadi lemah. Oleh karena itu teriakanteriakan
Cin Hai hanya merupakan kegaduhan yang hanya terdengar sayup-sayup olehnya dan tidak
menarik perhatiannya.
Cin Hai menjadi makin panik dan bingung. Juga Ang I Niocu mulai mendapat kenyataan bahwa keadaan
suciok-couw-nya berbahaya sekali. Gerakan-gerakan orang tua itu makin lemah, sebaliknya kedua iblis itu
makin ganas dan mendesak semakin hebat!
Dara Baju Merah ini telah melolos pedangnya dan bersiap sedia membantu Bu Pun Su. Bila mana nanti
kakek itu benar-benar berada dalam bahaya, maka ia akan berlaku nekat dan membelanya, biar pun untuk
itu ia akan mendapat marah sekali pun!
Cin Hai kemudian berjalan ke arah tumpukan tulang-tulang yang berserakan di sudut. Dia memilih-milih dan
akhirnya mendapatkan sepotong tulang yang tipis berlubang, agaknya tulang paha yang sudah lapuk.
Setelah memeriksa baik-baik, dia lalu lari ke arah Ang I Niocu dan berbisik,
“Niocu, lekas buatkan suling dari tulang ini untukku!”
Walau pun merasa heran, akan tetapi Ang I Niocu tidak banyak bertanya, karena percaya penuh bahwa
dalam saat yang tegang itu tentu Cin Hai mempunyai alasan kuat untuk mendapat sebatang suling. Dengan
ujung pedang dia menggunakan lweekang-nya untuk melubangi tulang itu dan sebentar saja jadilah
sebatang suling terbuat dari pada tulang itu. Sungguh merupakan sebuah suling yang istimewa dan
bentuknya sangat sederhana.
Cin Hai merasa girang sekali dan melihat betapa keadaan Bu Pun Su pada saat itu telah sangat terdesak,
dia segera meniup sulingnya. Alangkah heran dan bingungnya ketika suling istimewa itu mengeluarkan
suara yang amat ganjil dan sukar sekali diikuti nadanya! Akan tetapi Cin Hai cepat-cepat mengerahkan
kepandaiannya dan mencurahkan seluruh perhatiannya hingga bunyi ganjil itu dapat juga berlagu!
Maksudnya ialah hendak menarik perhatian Bu Pun Su agar orang tua itu dapat mendengar kata-katanya.
Maksudnya ternyata berhasil baik! Mendengar suara yang aneh sekali ini, Bu Pun Su tak dapat bertahan
lagi untuk memusatkan perhatiannya dan mau tidak mau dia pun terpaksa menggunakan sedikit perhatian
untuk mendengar dan memperhatikan suara suling yang nyaring ini!
Dan sangat untung baginya karena tidak hanya dia, bahkan juga kedua orang lawannya tertarik oleh bunyi
suling dan bahkan perhatian Hek Pek Moko setengah bagian sudah terpengaruh oleh bunyi suling. Kalau
tidak demikian halnya, maka akan celakalah Bu Pun Su yang sudah berkurang daya tahannya oleh karena
perhatiannya terbagi. Akan tetapi, karena kedua iblis itu pun terpecah perhatiannya, maka biar pun
pertahanan Bu Pun Su mengendur semua ternyata daya serang kedua itu pun banyak mengendur pula!
Melihat betapa ketiga orang itu kadang-kadang melirik ke arahnya tahulah Cin Hai bahwa usahanya
berhasil baik, maka cepat ia menunda sulingnya dan mengulangi kata-katanya tadi dengan suara nyaring
dan keras sekali,
“Nabi yang agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi
kejahatan mesti dilawan dengan keadilan! Orang menyerang secara jahat dan tidak kenal kasihan, kalau
didiamkan saja tanpa memberi hajaran kepada penyerang itu, apakah ini dapat dinamakan adil?”
Suara suling tadi memang nyaring dan ganjil sehingga ketika tiupannya ditunda, seketika keadaan menjadi
hening dan sunyi, maka suara ucapan Cin Hai terdengar sangat terang dan keras sekali hingga Bu Pun Su
dapat mendengarnya dengan baik. Mendadak kakek jembel ini tersenyum dan mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Hek Pek Moko,” katanya dengan suaranya yang halus sabar, “apa bila bicara mengenai kebijaksanaan,
kau masih belum ada sepersepuluhnya juga dari pada muridku yang tolol ini! Sekarang apakah kalian tidak
mau lekas pergi dan menunggu aku seorang tua turun tangan?”
Akan tetapi Hek Pek Moko yang tadi telah melihat betapa usaha mereka hampir berhasil, maka mana
mereka mau mengundurkan diri. Mereka bahkan menyerang lebih hebat lagi!
dunia-kangouw.blogspot.com
”Siancai… siancai…!” Bu Pun menyebut.
Orang tua itu kini menggerakkan tangan kirinya yang semenjak tadi hanya terletak di atas pangkuannya
saja. Sekali tangan kirinya bergerak, maka dia berhasil menangkap tasbeh Pek Moko yang menyambar ke
arah lehernya. Ia menggunakan tenaganya membetot dan putuslah tasbeh itu hingga biji-biji batu hitam itu
terlepas dari untaiannya kemudian jatuh berserakan! Bu Pun Su lalu memunguti batu-batu kecil itu dan
tangan kirinya bergerak pula menyambit.
Terdengar jeritan-jeritan karena dengan tepat sekali batu-batu itu mengenai pergelangan tangan Hek Pek
Moko yang memegang senjata sehingga pedang di tangan kanan Pek Moko, serta kedua senjata di tangan
kanan kiri Hek Moko terlepas dari pegangan mereka dan jatuh berdering-dering ke atas lantai!
Bukan main terkejutnya Hek Pek Moko menyaksikan kelihaian Bu Pun Su yang masih duduk bersila sambil
tersenyum. Kedua iblis ini lalu menjura dan berkatalah Hek Moko dengan suara parau dan hampir
menangis karena kecewa dan gemasnya,
“Orang tua, kepandaianmu memang hebat dan kami sekali lagi mengaku kalah!”
Bu Pun Su hanya tersenyum dan membiarkan kedua iblis itu mengambil senjata mereka kembali dan
kemudian tanpa banyak cakap lagi kedua iblis itu melompat keluar dari Goa Tengkorak dan melarikan diri.
Ang I Niocu kagum dan girang sekali melihat akal Cin Hai yang telah berhasil menolong orang tua itu, maka
dia segera maju dan bersama Cin Hai lalu berlutut sambil menyebut,
“Suhu...”
“Susiok-couw, ampunkan teecu yang telah lancang keluar dari tempat persembunyian.”
“Sudahlah, sudahlah...” Bu Pun Su menghela napas. “Kalian orang-orang muda memang paling doyan
berkelahi!”
Kemudian kakek ini memandang kepada Ang I Niocu dan berkata dengan suara yang halus akan tetapi
terdengar jelas penyesalannya. “Kiang Im Giok, sekarang kau pergilah ke timur dan mencari Suci-mu di
daerah itu. Kalau sudah bertemu sampaikan teguranku karena kesembronoan dan keganasannya itu hanya
membikin malu saja. Beri peringatan kepadanya atau kalau dia masih belum insyaf, bawa dia ke mari. Dan
kau sendiri, anak baik, berhati-hatilah terhadap kelemahanmu sendiri!”
Ang I Niocu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata perlahan, “Baik, Susiok-couw!” Kemudian Dara
Baju Merah itu mengerling ke arah Cin Hai dan berkata lagi, “Apakah teecu harus berangkat sekarang
juga?”
“Ya, pergilah sekarang juga. Mau tunggu apa lagi?”
Ang I Niocu memberi hormat lagi lalu berdiri dan hendak bertidak pergi, akan tetapi Cin Hai tiba-tiba
berkata,
“Niocu, kau pergi, dan bilakah kita akan bertemu kembali?” suaranya terdengar pilu dan terharu sehingga
Ang I Niocu menahan kakinya dan berpaling. Ternyata wajah Dara Baju Merah itu pucat sekali!
“Niocu!” Cin Hai berdiri dan memburu kepadanya tanpa mempedulikan suhu-nya!
“Anak tolol, kau ternyata masih belum dewasa!” Bu Pun Su menegur Cin Hai.
Kemudian kakek ini berdiri dan berkata kepada Ang I Niocu yang hendak melanjutkan tindakan kakinya. “Im
Giok, tunggu sebentar. Aku masih ragu-ragu, apakah jika Suci-mu membangkang, kau cukup kuat untuk
menundukkannya. Coba kau lebih dulu perlihatkan kepandaianmu, hendak kulihat sampai di mana
kekuatan Sian-li Kiam-hoat!”
Ang I Niocu tidak berani membantah, segera dia melolos pedangnya. Kemudian dia mulai menjalankan ilmu
silat pedangnya yang lihai. Cin Hai merasa kecewa sekali bahwa pada saat itu dia tidak mempunyai suling
bambu yang baik untuk mengiring tarian pedang Ang I Niocu! Sementara itu, sesudah gerakan Ang I Niocu
dunia-kangouw.blogspot.com
menjadi cepat sehingga tubuhnya lenyap tertutup sinar pedang, Bu Pun Su tiba-tiba berkata,
“Tahan! Coba ulangi gerakan-gerakanmu yang ke tiga puluh sampai ke lima puluh, tetapi lambat saja. Kau
mempunyai kelemahan-kelemahan di bagian itu!”
Ang I Niocu merasa heran sekali dan ia mengulangi gerakannya, akan tetapi kini dengan lambat hingga ia
seperti benar-benar sedang menari. Dan heranlah Cin Hai ketika melihat betapa Bu Pun Su juga menari
bersama-sama Ang I Niocu sambil berkata,
“Coba kau serang aku dengan betul-betul, akan kuperlihatkan kelemahanmu!”
Sungguh pemandangan yang amat indah ketika kakek itu pun mulai menari di dekat Ang I Niocu, karena
tarian kakek itu ternyata sesuai dan cocok sekali dengan tarian Ang I Niocu hingga mereka bagai sepasang
penari ulung yang mendemonstrasikan kepandaiannya! Sayang sekali bahwa penari prianya sudah kakekkakek.
Coba kalau yang menari seperti Bu Pun Su itu seorang pria muda, tentu akan indah dan cocok
sekali!
Cin Hai tidak melihat kelemahan-kelemahan yang disebutkan oleh Bu Pun Su tadi, akan tetapi, sesudah Bu
Pun Su bersama-sama menari, terkejutlah Ang I Niocu. Benar saja, pada tiap gerakan ternyata kakek yang
lihai itu sudah dapat mencari dan dengan gerakan tangannya yang bagaikan menari-nari itu dia dapat
menyerang melalui lubang-lubang dan kelemahan-kelemahan yang terbuka pada saat ia bersilat! Ia
maklum bahwa dalam suatu pertandingan sungguh-sungguh maka tangan kakek itu tentu sudah berhasil
merobohkan dirinya dengan mudah!
Tiba-tiba saja kakek itu berhenti menari. “Nah, kau sudah tahu kelemahan dari gerakan-gerakanmu tadi?
Ingat, kau terlalu menitik beratkan kepada keindahan gerakanmu hingga kau lupa bahwa dalam setiap
keindahan itu tentu terdapat kelemahan akibat perhatianmu terganggu oleh rasa bangga dan keinginan
memperlihatkan kepandaian atau keindahan tarianmu! Kalau lawanmu terpesona oleh keindahan gerak
tarianmu tentu ia takkan dapat melihat kelemahan-kelemahan itu, akan tetapi kalau dia waspada, maka kau
tentu akan celaka. Nah, kau perhatikanlah dan pada waktu kau bersilat dengan jurus ke tiga puluh sampai
ke lima puluh, kau harus mengurangi gerakan menyerang dengan pedang dan siku tangan yang
memegang pedang jangan terlampau lebar terbuka, sedangkan tangan kirimu harus membuat gerakan
Bunga Sembunyi di Bawah Daun atau Ikan Berenang di Bawah Permukaan Air untuk menjaga supaya
jangan sampai kau dapat terserang pada tempat-tempat yang terbuka karena gerakan serangan
pedangmu. Mengertikah kau?”
Ang I Niocu mengangguk-angguk dan menghaturkan terima kasihnya. Kemudian kakek itu menyuruhnya
berangkat dengan segera.
“Kalau tidak salah, Suci-mu itu kini berada di kota Lok-bin-si. Pergilah kau ke sana. Cin Hai mulai saat ini
akan tinggal di sini dengan aku!”
Mendengar disebutnya nama pemuda itu, mendadak wajah Ang I Niocu berubah merah. Agaknya kakek
yang luar biasa ini sudah dapat menduga akan isi hati dan perasaannya terhadap pemuda itu! Maka tanpa
berani memandang kepada Cin Hai lagi, Dara Baju Merah itu kemudian berlari cepat meninggalkan tempat
itu, ditatap oleh Cin Hai dengan pandangan mata sedih.
“Nah, anak bodoh! Mulai saat ini juga kau harus berlatih serta belajar silat dengan rajin. Ketahuilah, aku
orang tua selamanya belum pernah mempunyai murid, tetapi sekali aku mengambil murid maka dia harus
belajar dengan baik-baik supaya tidak akan memalukan yang mengajarnya. Dan kau dulu sudah berjanji
hendak menurut pada segala perintahku, bukan?”
Cin Hai segera berlutut di depan suhu-nya untuk memberi hormat. “Teecu akan menurut segala perintah
Suhu.”
“Bagus, sekarang pertama-tama kau harus menceritakan semua pengalamanmu sejak kau meninggalkan
rumah keluarga Kwee. Jangan ada yang kau sembunyikan!”
Cin Hai dengan jelas lalu menuturkan semua pengalamannya tanpa mengurangi sedikit pun, akan tetapi
setelah dia selesai bercerita, Bu Pun Su berkata,
“Hanya satu hal yang kusayangkan, yaitu pertemuan dan perkenalanmu dengan Kiang Im Giok!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Cin Hai tertegun lalu memandang kepada suhu-nya dengan penasaran dan heran. “Suhu, apakah
sebabnya maka hal itu harus disayangkan? Bukankah Ang I Niocu seorang yang berhati mulia dan
berwatak gagah berani?”
Bu Pun Su menghela napas. “Itulah sebabnya mengapa aku merasa sayang. Hubungan itu dapat meracuni
hati kalian berdua!”
Cin Hai memang memiliki watak pemberani dan pantang mundur menghadapi siapa pun juga apa bila dia
merasa bahwa pihaknya benar, maka dia lalu berkata lagi,
“Suhu, apakah yang Suhu maksudkan dengan racun itu? Menurut teecu, hubungan teecu dengan Ang I
Niocu itu hanya mendatangkan perasaan kasih sayang suci. Kenapa tidak boleh? Teecu hanya sebatang
kara dan hampir semua orang telah memperlakukan teecu dengan buruk dan jahat, dan hanya Ang I Niocu
seorang yang sudah berlaku baik sekali terhadap teecu! Salahkah bila teecu mempunyai rasa kasih sayang
yang besar padanya yang timbul karena perasaan terima kasih? Ujar-ujar pernah menyatakan bahwa kasih
sayang yang timbul karena hutang budi adalah suci murni!”
Melihat betapa pemuda itu bicara dengan bernafsu, kakek itu menggeleng-geleng kepala dan tersenyum,
lalu berkata tenang, “Cin Hai, engkau terlalu banyak menghafal ujar-ujar kuno hingga kepalamu yang besar
itu penuh dijejali segala macam ujar-ujar. Ketahuilah bahwa kenyataan hidup ini jauh sekali bedanya
dengan keindahan kata-kata yang disebut ujar-ujar itu, dan bahkan segala macam ujar-ujar yang terdengar
indah itu ternyata tidak dapat memperbaiki sifat manusia, bahkan menjadikan lebih rusak! Pernahkah kau
melihat orang-orang yang mempergunakan segala keindahan ujar-ujar untuk menutupi kesalahan dan
kejahatannya?”
Cin Hai tertegun dan teringatlah ia kepada gurunya yang dulu mengajarnya kesusastraan. Memang, sifat
gurunya itu ganjil sekali, dan apa yang keluar dari mulutnya sama sekali tidak cocok dengan perbuatannya
”Cin Hai, kau masih terlalu muda untuk mengerti semua ini. Memang bagimu aku tidak merasa kuatir, akan
tetapi aku lebih kuatir akan Kiang Im Giok. Kasihan sekali kalau anak itu menjadi korban dari pada
kelemahan hatinya sendiri...”
Cin Hai mengerutkan keningnya. Akan tetapi karena memang tubuhnya saja yang sudah nampak dewasa
dan tinggi tegap, akan tetapi sebenarnya batinnya masih lebih bersifat kanak-kanak, maka ia tidak mengerti
apa yang dimaksudkan oleh suhu-nya. Pada waktu itu usianya sudah lima belas tahun lebih akan tetapi
dalam hal pengertian pergaulan pria wanita dia masih bodoh dan hijau.
“Sekarang kau harus memperhatikan pelajaran silat dan jangan pikirkan urusan lain lagi. Ketahuilah, bahwa
pikiran yang bercabang tak akan dapat menghasilkan ilmu yang baik. Dan kulihat kau telah mempelajari
Liong-san Kun-hoat dan Sian-li Kun-hoat. Dari Im Giok kau juga sudah mempelajari Ngo-lian-hwa Kiamhoat.
Ketahuilah bahwa segala macam ilmu silat yang ada di dunia ini, pada dasarnya sama dan berpokok
satu, yaitu menyerang dan membela diri. Betapa pun tinggi ilmu silat seseorang, tapi apa bila pokok
dasarnya tidak kuat, ilmu silatnya itu akan sia-sia belaka. Segala macam ilmu silat yang dipelajari oleh
orang hanya ada tiga ratus enam puluh gerakan yang dasarnya sama, hanya gaya dan kembangnya saja
yang berbeda, sedangkan kaki hanya ada seratus delapan puluh. Apa bila engkau dapat mempelajari dasar
dan pokok semua gerakan tangan dan kaki ini, maka menghadapi ilmu silat dari cabang mana pun juga,
kau akan dapat melawannya dengan mudah.”
Demikianlah, semenjak hari itu, Cin Hai digembleng oleh Bu Pun Su dan mempelajari sari dan pokok
gerakan silat. Dengan menerima pelajaran yang hebat dan merupakan rahasia khusus dari pada semua
ilmu silat, maka boleh dikata sama halnya bagi Cin Hai dengan mempelajari semua ilmu silat yang ada di
dunia ini!
Kini ia mengerti dan terbukalah matanya bahwa Bu Pun Su boleh disebut tokoh persilatan tertinggi yang
memiliki kepandaian maha hebat! Dengan kepandaiannya yang telah dapat memecahkan semua rahasia
pergerakan tangan dan kaki, maka menghadapi seorang lawan yang bersilat bagaimana pun juga, Bu Pun
Su dapat menirukan semua gerakan itu dengan sama baiknya, biar pun ia belum pernah mempelajari ilmu
silat ini, oleh karena ia telah tahu akan pokok-pokok gerakannya!
Tentu saja, sesudah dapat mengetahui sifat dan pokok gerakan lawan, mudah saja untuk menghadapinya.
Akan tetapi, pengertian saja masih belum merupakan syarat untuk dapat mengalahkan lawan itu, masih
dunia-kangouw.blogspot.com
ada dua hal yang terpenting yang harus dimilikinya, yaitu kecepatan dan tenaga!
Oleh karena ini, di samping mempelajari pokok-pokok rahasia gerakan silat, Cin Hai juga mendapat latihan
ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang membuat dirinya bisa bergerak gesit bagaikan seekor burung walet
dan latihan lweekang dan khikang yang membuatnya mempunyai tenaga dalam yang hebat dan dapat
menghadapi kekuatan lawan yang kasar mau pun halus.
Juga untuk latihan ginkang, lweekang ataupun khikang, Bu Pun Su mempunyai cara yang khusus dan
istimewa, karena dia memberi pelajaran dasar dan pokoknya. Menurut kakek jembel yang luar biasa dan
aneh ini, tenaga-tenaga ginkang, lweekang mau pun khikang berpusat pada pusar di mana menjadi tempat
tiantan yang mengatur semua tenaga gaib yang tersembunyi dalam diri manusia.
Oleh karena ini, maka latihan-latihan yang diberikan kepada muridnya itu hanya ditujukan untuk
memperkuat daya tiantan ini dengan jalan bersemedhi dan mempertebal iman. Jika iman manusia kuat dan
tebal, dan batin yang disebutnya ‘bunga api dari Tuhan’ menjadi bersih, seimbang dan tidak mudah goyah,
maka tenaga dalam akan menjadi kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh segala macam nafsu yang hanya
akan melemahkan tubuh dan batin.
Cin Hai mempunyai dasar-dasar serta bakat yang baik, maka tanpa banyak mengalami kesukaran ia dapat
menangkap pelajaran yang diberikan oleh suhu-nya sehingga Bu Pun Su merasa girang sekali.
Waktu berjalan cepat sekali dan tanpa terasa lagi Cin Hai sudah menerima gemblengan dan latihan selama
tiga tahun! Usianya telah delapan belas tahun dan dia sekarang telah menjadi seorang pemuda dewasa
yang bertubuh tinggi dan tegap dengan wajah tampan dan gagah. Akan tetapi sinar matanya yang jujur itu
masih saja nampak bodoh, ada pun mukanya yang lebar tidak mengurangi ‘tampang bodohnya’!
“Cin Hai,” kata gurunya pada suatu hari, “kini kau sudah dapat menangkap inti sari dari pada ilmu silat dan
agaknya kau tentu akan dapat menghadapi ilmu silat yang bagaimana pun juga. Akan tetapi, kau juga
maklum bahwa ilmu ini hanya dapat digunakan pada saat menghadapi seorang lawan dan sama sekali
tidak dapat digunakan untuk memamerkan kepandaian. Kau hanya bisa menjatuhkan seorang lawan apa
bila diserang. Karena kau tidak belajar cara melakukan serangan. Ini baik sekali, muridku, dan ketahuilah
bahwa aku sendiri pun selama hidup belum pernah menyerang orang. Aku hanya bergerak apa bila
diserang. Tahukah kau? Kau mengerti dan hafal akan ujar-ujar yang baik, maka kau pakailah ujar-ujar itu
sebagai pedoman dan jangan kau menyombongkan kepandaianmu! Karena itu, julukan ‘Pendekar Bodoh’
harap kau pakai untuk selamanya. Bukankah ada ujar-ujar yang berkata bahwa orang yang sesungguhnya
pintar adalah dia yang insyaf akan kebodohan sendiri?”
Cin Hai mengerti dengan baik akan maksud suhu-nya ini sebab semenjak berlatih ilmu di dalam Goa
Tengkorak itu makin terbukalah matanya akan rahasia-rahasia hidup. Kini dia tahu akan maksud suhu-nya
yang dahulu memperingatkan bahaya yang akan ada dalam hubungannya dengan Ang I Niocu. Ia maklum
bahwa bahaya itu adalah ‘cinta’ yaitu cinta dari pihak Ang I Niocu yang usianya jauh lebih tua dari padanya.
Kalau dara itu sampai tergoda cinta padanya sedangkan perjodohan di antara mereka tak dapat
dilangsungkan, bukankah hal ini akan merupakan siksa dan derita bagi Ang I Niocu?
Ia sendiri masih merasa suka dan rindu kepada Ang I Niocu, akan tetapi perasaannya ini hanyalah
perasaan kasih seorang adik terhadap kakaknya, atau kalau mau disebut lebih lagi, seperti kasih seorang
anak kepada ibunya. Akan tetapi, siapa tahu isi hati Dara Baju Merah itu? Ia diam-diam bergidik dan
menaruh hati iba terhadap Ang I Niocu.
Pernah ia bertanya pada suhu-nya akan segala peristiwa yang terjadi di Goa Tengkorak itu dan mengapa
banyak tokoh persilatan menyerbu ke situ. Bu Pun Su tersenyum dan menceritakan seperti berikut,
“Goa ini dahulu dibuat oleh seorang menteri Kerajaan Tang yang bernama Lu Pin. Ketika Raja Hian Tiong
mengangkat seorang Tartar bernama An Lu Shan menjadi panglima, hal ini tidak disetujui oleh Menteri Lu
Pin karena menteri yang waspada ini maklum akan bahayanya mengangkat seorang asing menjadi
panglima yang menguasai tentara. Akan tetapi nasehatnya itu tidak dipedulikan oleh kaisar. Akhirnya,
sesudah Panglima Tartar ini menjadi panglima di tiga kota timur laut dan berkedudukan di Hopei, lalu
memberontak dengan tentara sejumlah lima belas laksa orang dan memukul ke selatan!
Kaisar yang tidak becus mengurus pemerintahan ini tak berdaya karena semua pejabat dan panglimanya
hanya mengutamakan kesenangan dan pelesir saja sehingga dengan mudah barisan kerajaan dapat
dimusnahkan oleh An Lu Shan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kaisar sendiri kemudian mengungsi ke Secuan, ada pun ibu kota lalu diduduki oleh An Lu Shan. Semenjak
itu, di mana-mana seluruh rakyat bangkit melakukan perlawanan secara bergerilya.
Lu Pin sendiri yang merasa sangat menyesal dan kecewa lalu melarikan diri karena dia dicari-cari oleh An
Lu Shan untuk dibunuh. Seluruh keluarganya terbunuh dan hanya dia sendiri yang dapat melarikan diri ke
daerah ini.
Lu Pin adalah seorang terpelajar yang memiliki kepandaian seni ukir yang tinggi. Setelah menemukan goa
ini dan memperbaikinya sehingga menjadi sebuah tempat tinggal yang besar dan aman, dia kemudian
mengumpulkan tulang-tulang binatang besar yang banyak terdapat di goa ini, yakni peninggalan dari jaman
purba, lalu dengan kepandaiannya dia membuat tulang-tulang binatang yang besar itu menjadi tengkoraktengkorak
seperti yang berdiri berderet-deret itu!
Jangan dikira bahwa itu benar-benar tengkorak-tengkorak manusia, semua itu hanyalah tulang-tulang
binatang yang diukir kemudian dibentuk sebagai kerangka manusia! Dari sini dapat dibayangkan betapa
hebatnya keahlian seni ukir menteri she Lu itu!
Di dalam pelariannya itu Lu Pin berhasil membawa banyak barang-barang berharga dari dalam istana,
karena dia khawatir kalau-kalau barang-barang itu terjatuh ke dalam tangan musuh. Dan karena ini pulalah
maka An Lu Shan mencari-cari menteri yang setia itu.
Akan tetapi ternyata, berkat pertolongan tengkorak-tengkorak ini yang dipasang di depan dan di dalam goa,
tidak ada tentara pemberontak yang berani memasuki goa dan Lu Pin selamat serta tinggal di sini sampai
datang hari ajalnya dan oleh kawan-kawan senasib ia dikubur di bawah hiolouw itu.
Kemudian hal ini akhirnya dapat diketahui oleh tokoh kang-ouw dan mereka menyerbu ke sini. Akan tetapi
mereka tidak menyangka bahwa di dalam goa ini terlebih dahulu sudah tinggal seorang yang tidak mereka
sangka-sangka, yaitu keturunan dari Lu Pin sehingga usaha mereka gagal!
Cin Hai mendengarkan cerita ini dengan rasa heran. “Suhu, siapakah keturunan dari Lu Pin yang bernasib
malang itu?”
Bu Pun Su tersenyum. “Masih belum dapat mendugakah kau, anak bodoh? Siapa lagi kalau bukan Suhumu
sendiri?”
Dengan terharu Cin Hai lalu berlutut di hadapan suhu-nya. Tidak tahunya bahwa kakek jembel ini adalah
keturunan seorang menteri di jaman ahala Tang yang bershe Lu?
“Tetapi sebenarnya usaha para tokoh kang-ouw itu sia-sia belaka. Harta benda itu telah lama tidak berada
di sini pula dan sudah digunakan oleh Lu Pin untuk membiayai usaha perjuangan para patriot yang
melakukan perlawanan gigih terhadap pemberontakan An Lu Shan. Yang tertinggal hanyalah sebatang
pedang kuno dan inilah barang itu!”
Bu Pun Su lalu memberikan pedang kuno itu kepada Cin Hai. Pedang itu biar pun buruk rupanya dan sudah
tua sekali, akan tetapi masih berkilauan dan sangat tajam. Di dekat gagangnya terukir dua huruf, yaitu
LIONG COAN. Inilah Liong-coan-kiam yang termasyur dan yang dulu pernah menjadi pedang pusaka
Kerajaan Tang itu.
“Pedang ini kuberikan kepadamu, muridku.”
“Akan tetapi, Suhu. Untuk apakah teecu diberi pedang ini? Bukankah pedang ini hanya akan menjadi alat
pembunuh dan melukai sesama manusia belaka? Bukankah dulu Suhu pernah berkata bahwa pedang tak
pantas berada di tangan seorang pendekar gagah dan hanya pantas dibawa-bawa oleh seorang algojo
atau pembunuh?”
Bu Pun Su tersenyum. “Bagus, Cin Hai, kau ternyata masih ingat akan semua nasehatku. Akan tetapi,
sebenarnya bukan pedang yang harus disalahkan dalam soal pembunuhan, akan tetapi orang yang
memegangnya. Segala benda di dunia ini mempunyai sifat sama, dan semuanya sempurna. Buruk atau
pun baik hanyalah terjadi karena akibat dari pada perbuatan orang dan hanya merupakan pandangan
seseorang terhadap benda itu. Kalau pedang ini dipergunakan untuk maksud baik, maka dia menjadi
pusaka keramat, akan tetapi kalau dipergunakan untuk maksud buruk, ia berubah menjadi senjata laknat!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah Cin Hai menerima pedang Liong-coan-kiam itu, Bu Pun Su lalu berkata kembali, “Sekarang sudah
waktunya kau pergi meninggalkan goa ini, Cin Hai. Ingatlah baik-baik semua pelajaranmu di sini dan
pesanku terakhir ini: Jangan sembarangan menjatuhkan tangan kejam kepada sesama manusia. Bila
terpaksa kau harus membinasakan seorang lawan, maka lawanmu itu haruslah seorang yang telah
melanggar tiga pantangan besar, pertama membunuh orang tidak berdosa, ke dua melanggar kesusilaan
dan mengganggu anak bini orang, dan ke tiga pengkhianat-pengkhianat yang sudah mengkhianati bangsa
sendiri. Apa bila sekiranya masih ada jalan lain, terhadap mereka ini pun janganlah kau sembarangan
membunuh karena mengambil nyawa bukanlah pekerjaan orang!”
Cin Hai lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih lalu pergi meninggalkan goa di mana telah tiga tahun
ia tinggal dan mempelajari ilmu dari Bu Pun Su, kakek jembel yang lihai itu.
Ketika meninggalkan Goa Tengkorak, suhu-nya telah memberinya sekantung emas murni sehingga Cin Hai
tidak kuatir mengenai biaya perjalanannya. Tujuan perjalanannya hanya dua macam, pertama mencari Ang
I Niocu, dan ke dua hendak kembali ke Tiang-an buat menemui ie-ienya.
Walau pun dia sama sekali tidak mempunyai niat hendak bertemu muka kembali dengan ie-thio-nya, yaitu
Kwee-ciangkun, akan tetapi dia tak dapat melupakan ie-ie-nya dan ingin sekali ia menengok bibinya itu. Di
dalam dunia ini, selain suhu-nya hanya ada Ang I Niocu dan bibinya yang menempati hatinya dan
merupakan orang-orang yang dikasihinya…..
********************
Beberapa pekan kemudian tibalah dia di daerah utara Sungai Huang-ho dan pada suatu hari ketika dia
sedang berjalan di dalam sebuah hutan pohon pek yang indah, tiba-tiba dia mendengar suara orang
bertempur. Cin Hai mempercepat tindakan kakinya dan di suatu tempat terbuka dia melihat empat orang
sedang bertempur hebat sekali.
Cin Hai segera bersembunyi di balik sebatang pohon besar sambil mengintai dan ketika dia memandang
dengan penuh perhatian, terkejutlah ia karena ia dapat mengenal muka seorang di antara mereka. Orang
ini tak salah lagi tentu pamannya, Kwee-ciangkun atau Kwee In Liang!
Biar pun muka pamannya telah berubah kurus dan rambutnya sudah banyak uban, tetapi Cin Hai tidak
pangling melihat wajahnya. Ia heran sekali kenapa pamannya mengenakan pakaian petani biasa!
Kwee In Liang sedang bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda yang berbaju putih, tanda pada
pinggir pakaiannya menyatakan bahwa dia adalah seorang tingkat tiga, sehingga lagi-lagi Cin Hai merasa
sangat heran. Mengapa pamannya yang juga seorang panglima, bertempur melawan perwira istana kaisar?
Aneh sekali!
Kemudian ia memperhatikan orang yang menjadi kawan pamannya, yang juga bertempur dengan
hebatnya. Orang ini adalah seorang gadis muda yang memiliki kepandaian silat, gesit dan hebat, bahkan
dengan sekali pandang saja tahulah Cin Hai bahwa kepandaian gadis muda ini jauh melebihi kepandaian
Kwee-ciangkun sendiri.
Gadis ini mengenakan pakaian yang atasnya berwarna hijau muda sedang bagian bawah bergaris-garis
merah dan putih. Tubuhnya kecil dan ramping, dan wajahnya manis sekali. Rambutnya dikuncir dua dan
rambut itu panjang dan hitam, diikat dengan sepasang pita merah. Kedua lengan tangannya yang telanjang
karena lengan bajunya hanya sampai di siku, memakai gelang emas yang berkilauan.
Dara manis ini bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda tingkat satu yang berkepandaian hebat
sekali! Cin Hai menduga-duga, siapa adanya dara jelita yang walau pun berusia muda tetapi berkepandaian
setinggi itu? Dia lalu memperhatikan lawan gadis itu yang mengenakan baju merah kehitam-hitaman.
Ia menjadi terkejut karena kepandaian perwira Sayap Garuda tingkat satu ini benar-benar lihai dan barang
kali tidak berada di bawah kepandaian Kanglam Sam-lojin! Ilmu silatnya model Mongol, yaitu ilmu pukulan
yang dicampur dengan ilmu gulat. Dua lengan tangan perwira baju merah ini merupakan cengkeraman
harimau yang menyerang dengan buas. Gadis manis itu nampak terdesak hebat!
Sebaliknya, Kwee-ciangkun dengan ilmu silatnya dari cabang Kun-lun, mampu mendesak lawannya yang
hanya menduduki tingkat tiga di kalangan barisan Sayap Garuda. Lambat tetapi tentu ia mendesak
dunia-kangouw.blogspot.com
lawannya sehingga pada suatu saat yang baik, ketika lawannya menggunakan gerakan nekad menubruk
hingga berhasil menangkap lengan tangannya, Kwee-ciangkun cepat memutar lengan dan tubuhnya
berada di belakang tubuh perwira itu.
Sekali saja ia mengentakkan lengannya yang tertangkap, maka terlepaslah cengkeraman lawannya
sehingga perwira itu pun terhuyung-huyung ke depan. Kwee-ciangkun tak ingin menyia-nyiakan
kesempatan ini dan ia lalu menangkap baju perwira itu di punggung dan siap melemparkannya!
Pada saat Kwee-ciangkun berhasil menangkap lawannya, ternyata perwira baju merah itu pun telah
berhasil pula mengalahkan dara itu! Ia menggunakan gerakan Ular Menyambar dari Bawah Rumput dan
berhasil menotok jalan darah dara muda itu dengan tiam-hoat (ilmu totok) model Mongol akan tetapi cukup
lihai hingga berhasil membuat lawannya tak berdaya! Melihat betapa kawannya telah tertangkap oleh
Kwee-ciangkun, maka Perwira Sayap Garuda kelas satu itu lalu memegang pundak gadis tadi dan hendak
dilarikannya!
“Keparat she Boan, jangan kau ganggu anakku!” Kwee-ciangkun membentak dan segera melemparkan
perwira yang telah dikalahkannya tadi. Ia pun lantas memburu.
Pada waktu mendengar betapa Kwee-ciangkun menyebut dara itu sebagai anaknya, Cin Hai yang
mengintai di balik sebatang pohon menjadi tercengang dan memandang lebih memperhatikan. Maka
setelah melihat wajah manis itu teringatlah bahwa gadis itu bukan lain ia Kwee Lin atau Lin Lin anak
perempuan yang dulu diculik oleh Biauw Suthai!
Hampir saja Cin Hai berseru memanggil nama Lin Lin karena girangnya. Entah mengapa ketika melihat
wajah Kwee-ciangkun tadi, ia tidak mempunyai niat untuk membantu atau menjumpainya, akan tetapi kini
sesudah tahu bahwa dara muda itu adalah Lin Lin, anak perempuan yang dahulu sangat jenaka dan nakal
itu, timbullah kegembiraan luar biasa di dalam hatinya.
Untung tadi ia dapat menahan lidahnya dan kini ia memandang dengan penuh perhatian. Ketika melihat
Kwee-ciangkun bergerak menyerang untuk menolong Lin Lin, perwira baju merah itu segera mendahului
dengan serangan kakinya sehingga Kwee-ciangkun kena tersapu oleh kaki itu dan tubuhnya terlempar!
Ternyata bahwa Kwee-ciangkun bukanlah lawan perwira yang kosen ini.
“Ha-ha-ha! Orang she Kwee, aku hendak membawa puterimu, kau mau apa? Kau tolak pinanganku yang
kuajukan dengan halus, baik! Sekarang aku menggunakan cara kasar, lihat, kau bisa berbuat apa?”
Sehabis berkata demikian, ia lalu memondong tubuh Lin Lin hendak dibawa kabur!
Akan tetapi tiba-tiba dari balik pohon menyambar tiga buah benda kecil ke arah perwira itu! Orang she
Boan ini memang lihai, maka dia cepat mengelak sambaran pertama yang mengarah lehernya itu dengan
miringkan tubuh ke kiri, akan tetapi benda ke dua sudah cepat menyambar tepat ke arah pundak kirinya.
Hampir saja benda itu mengenai sasaran akan tetapi perwira ini masih dapat menyelamatkan diri dengan
merendahkan tubuhnya. Sungguh tak pernah diduganya bahwa baru saja tubuhnya merendah, tanpa dapat
dikelit pula benda ke tiga telah menyambar pundak kanannya!
Dia tidak merasa sakit karena benda yang menyambarnya itu lunak, akan tetapi karena yang disambar
adalah urat penting di bagian pundaknya, maka lengannya menjadi lemas kesemutan sehingga dia
terpaksa melepaskan tubuh Lin Lin.
Dan pada saat yang sama, kembali melayang dua benda lunak itu ke arah pundak dan lambung Lin Lin dan
sekaligus Lin Lin terlepas dari totokan perwira itu oleh dua sambaran benda lunak tadi. Lin Lin yang merasa
sudah terbebas cepat melompat ke samping dan menolong ayahnya yang ternyata mendapat luka ringan di
kakinya karena babatan kaki perwira she Boan itu tadi.
Perwira itu merasa kaget sekali saat melihat bahwa benda yang menyambarnya hanyalah sebutir buah
kecil bulat yang banyak bergantungan di pohon besar yang ada di depannya itu, dan dia maklum bahwa
tentu ada seorang pandai yang mempermainkannya. Ia tahu bahwa penyerang itu tentu berada di balik
pohon besar, maka sekali ini ia menggerakkan tubuh, ia telah meloncat ke belakang, pohon itu mencari.
Tetapi aneh, di sana tidak terdapat seorang pun! Ia celingukan dan mencari-cari dengan matanya, akan
tetapi sia-sia saja. Keadaan di hutan itu sunyi dan tak terdapat orang lain kecuali mereka berempat!
“Orang she Kwee!” kata perwira itu marah. “Kali ini aku ampunkan kau, tetapi tunggulah kedatanganku
dunia-kangouw.blogspot.com
pada pesta ulang tahunmu untuk memberi selamat!”
Kwee-ciangkun tidak tahu bahwa gadisnya telah tertolong oleh orang lain dan menyangka bahwa benarbenar
orang she Boan itu berlaku murah, maka ia lalu berkata,
“Boan-enghiong, kenapa kau masih saja merasa penasaran? Ketahuilah, bahwa anakku ini bukan jodohmu
dan semenjak kecil telah kupertunangkan dengan orang lain!”
“Tidak perlu merundingkan hal ini sekarang,” jawab perwira itu, ”Nanti saja di pesta ulang tahunmu. Kita
berunding kembali dengan baik-baik.”
Sesudah berkata demikian, perwira itu mengajak kawannya pergi dari situ dengan cepat. Kwee In Liang
menghela napas dan berkata kepada Lin Lin,
“Baiknya dia berlaku murah hati dan tidak mau mengganggu kita.”
Lin Lin memandang kepada ayahnya dan menjawab, “Ayah, kau tidak tahu. Apa bila tidak ada orang pandai
yang membantu, entah bagaimana jadinya dengan kita.”
Ia lalu menceritakan betapa ia telah dibebaskan dari totokan dengan sambitan dua butir buah angcho,
sedangkan perwira she Boan itu pun sudah kena diserang sambaran buah angcho yang lihai!
“Sayang, orang pandai itu menolong dengan sembunyi-sembunyi, agaknya dia tidak mau berkenalan
dengan kita,” kata Lin Lin dengan kecewa, karena sebenarnya dia ingin sekali melihat siapa orangnya yang
demikian lihai.
Mendengar ucapan puterinya, Kwee In Liang terkejut sekali dan cepat ia berseru dengan suara keras,
“Enghiong yang telah membantu kami, silakan keluar agar kami dapat menyatakan terima kasih kami!”
Akan tetapi biar pun telah berkali-kali ia berseru, tak seorang pun muncul atau menjawab.
“Sudahlah, Ayah. Agaknya dia benar-benar tidak mau bertemu muka dengan kita. Ayah, bangsat itu
agaknya masih merasa penasaran dan dia telah menyatakan hendak datang nanti pada hari ulang
tahunmu. Kurasa dia tidak mempunyai maksud baik, karena itu kita harus berhati-hati dan berjaga-jaga.”
Kwee In Liang menghela napas. “Kau benar, memang Boan Sip itu kurang ajar sekali. Tapi aku masih raguragu
apakah ia akan bersikap begitu kurang ajar untuk menimbulkan gara-gara dan mengacau dalam
pestaku.”
”Orang macam itu mungkin melakukan segala perbuatan busuk, Ayah. Baiknya aku pergi untuk minta
pertolongan Guruku. Akan tetapi, Ayah... apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu tadi bahwa...
bahwa aku sudah... dipertunangkan...?” Tiba-tiba wajah gadis manis itu menjadi merah karena malu.
Ayahnya tersenyum. Ia memang tahu bahwa anaknya ini selain manja juga suka berkata terus terang
sehingga tidak malu-malu bertanya tentang hal pertunangan.
“Tidak, Lin Lin, itu hanya alasan kosong untuk mencegah dia mendesak lebih jauh.”
“Ayah, mengapa kau menggunakan alasan itu? Tidak perlu kiranya kita terlalu takut!” kata Lin Lin dengan
gemas. “Kalau Guruku atau suci-ku dapat kuajak datang membantu, aku akan mengajar adat kepada
bangsat rendah itu!”
Sambil bercakap-cakap mereka melanjutkan perjalanan keluar dari hutan itu. Pada saat mereka sampai di
luar hutan, tiba-tiba dari jauh mereka melihat seorang pemuda berjalan mendatangi.
Pemuda itu berjalan perlahan sambil membawa sebuah bungkusan pakaian yang terbuat dari pada kain
berwarna kuning. Pakaiannya sederhana bagaikan pakaian seorang petani dengan baju luar yang lebar
dan besar. Tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya yang hitam tebal itu diikat dengan kain pita kuning.
Jubahnya berwarna biru dan celananya putih.
Kwee In Liang memandang pemuda yang datang itu dengan penuh perhatian karena dia seakan-akan
dunia-kangouw.blogspot.com
merasa sudah kenal pada pemuda ini, sedangkan Lin Lin hanya mengerling sekali tanpa perhatian. Akan
tetapi, ketika pemuda itu telah berada di hadapan mereka, tiba-tiba pemuda itu tampak terkejut dan berdiri
diam, lalu ia menjura di hadapan Kwee In Liang sambil berkata,
“Maaf maaf! Bukankah aku sedang berhadapan dengan Kwee-ciangkun?”
Kwee In Liang memandang tajam. Juga Lin Lin kini memandang penuh perhatian kepada pemuda ini.
“Betul, aku adalah Kwee In Liang, dan siapakah Tuan yang telah mengenal padaku?”
Tiba-tiba pemuda itu melepaskan buntalan pakaiannya kemudian memberi hormat sambil menjura,
“Ie-thio, terimalah hormatku. Aku yang rendah adalah Cin Hai!”
“Cin Hai... ?” Kwee In Liang berseru terkejut, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar dingin.
“Engko Hai...!” Lin Lin berteriak girang sekali. “Ehh, kau sekarang tidak gundul lagi!”
Mendengar kata-kata yang lucu ini, Cin Hai memandang dan ia tidak dapat menahan geli hatinya sehingga
dia tertawa gembira. Juga Lin Lin tertawa senang sambil memandang dengan sepasang matanya yang
bening dan indah seperti mata burung Hong itu.
“Engko Hai, bertahun-tahun ini kau pergi ke mana saja?” tanya Lin Lin.
“Aku... aku hanya merantau tak tentu arah tujuan. Bagaimana Ie-thio, apakah selama ini Ie-thio dan seluruh
keluarga baik-baik saja? Harap Ie-thio sudi memaafkan aku yang telah lama tidak dapat menghadap.”
“Tidak apa, tidak apa-apa. Cin Hai, kau sekarang sudah besar dan dewasa. Agaknya kau telah
mendapatkan banyak kemajuan, syukurlah.” kata-kata ini amat sederhana sehingga Cin Hai maklum bahwa
pamannya ini masih saja tidak suka kepadanya, maka dia pun tidak banyak bicara, hanya berkata singkat,
“Sebenarnya, aku pun hendak pergi ke Tiang-an dan mengunjungi Ie-ie. Apakah ia dalam keadaan baikbaik
saja?”
“Dia sehat dan selalu merindukanmu, Engko Hai. Tetapi, kami sekarang tidak lagi tinggal di Tiang-an, telah
hampir tiga tahun Ayah pindah ke Sam-hwa-bun. Tahukah kau, Engko Hai? Ayah sekarang tidak menjabat
pangkat lagi dan kini kami telah menjadi orang-orang biasa yang hidup sebagai petani!”
Berita ini betul-betul tak terduga oleh Cin Hai. Ia memandang kepada Ie-thio-nya dengan mata terbelalak
dan mengandung penuh pertanyaan. Akan tetapi, Kwee In Liang malah menegur puterinya.
“Lin Lin, hal itu tak perlu kita bicarakan di sini. Cin Hai, sekarang kau hendak ke mana?”
Ucapan ini bukanlah merupakan sebuah undangan, karena itu Cin Hai juga tidak hendak merendahkan diri
sehingga dia menjawab,
“Aku hendak pergi ke Tiang-an, akan tetapi karena Ie-thio tidak tinggal di sana lagi, aku... aku akan
melanjutkan perantauanku...”
“Ehh, Hai-ko, kau harus mengunjungi kami. Alangkah akan girangnya hati lbu!” Memang anak-anak Kwee
In Liang semua menyebut ibu kepada Loan Nio bibi Cin Hai.
Karena tiada ucapan dari orang tua itu yang mengundangnya, Cin Hai hanya menjawab sederhana,
“Baiklah, Adik Lin. Kalau kebetulan aku lewat di Sam-hwa-bun tentu aku akan mampir.”
“Kebetulan? Ah, Engko Hai, apakah kau betul-betul telah melupakan Bibimu, melupakan kami? Oh, ya!
Nanti pada hari ke lima belas bulan ini, jadi sepuluh hari lagi, kami akan mengadakan sedikit perayaan
untuk memperingati hari ulang tahun ayah yang ke enam puluh. Kau harus datang menghadiri pesta itu,
Engko Hai!”
“Apakah ini merupakan sebuah undangan?” tanya Cin Hai sambil memandang kepada Kwee In Liang
sehingga terpaksa orang tua ini berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, Cin Hai, kau datanglah. Bibimu telah lama mengenangmu. Lin Lin, sudahlah kita jangan
mengganggu Cin Hai lebih lama lagi! Ia tentu mempunyai keperluan penting. Hayo kita pergi!”
Maka berpisahlah mereka, tetapi sekali lagi Lin Lin berpaling sambil berkata keras-keras, “Engko Hai,
jangan lupa hari ke lima belas, dan... kau masih pandai bersuling, bukan? Jangan lupa bawa serta
sulingmu!”
Setelah mereka pergi jauh, Cin Hai duduk di bawah pohon sambil mengenangkan kedua orang tadi. Jelas
bahwa Kwee In Liang masih mempunyai perasaan tidak suka padanya. Sikap orang tua itu sungguh dingin
hingga ia segan sekali untuk mengunjungi rumahnya.
Akan tetapi Lin Lin mendatangkan perasaan gembira dan hangat di dalam dadanya. Dara itu sekarang
sungguh cantik jelita dan manis sekali! Dan sikapnya masih sama seperti dulu. Lincah, jenaka dan gembira.
Alangkah indahnya mata gadis itu.
Dan kepandaiannya juga tidak rendah. Pantas Lin Lin menjadi murid Biauw Suthai yang lihai. Diam-diam ia
bersyukur dan girang sekali melihat bahwa gadis itu telah mewarisi kepandaian yang tinggi.
Haruskah ia datang pada hari ke lima belas nanti? Sikap Kwee In Liang demikian dingin, apa lagi nanti
sikap Kwee Tiong dan yang lain-lain. Bagaimana kalau ia tidak dilayani dan dianggap sepi?
Akan tetapi, ia harus melihat ie-ie-nya yang sudah lama ia rindukan. Biarlah, biar mereka menghina atau
menganggap rendah kepadanya, karena dia tidak butuh dengan mereka. Di sana masih ada bibinya, juga
ada Lin Lin yang tentu akan menyambut kedatangannya dengah tamah. Dan yang lebih penting pula, pada
hari ke lima belas itu, Lin Lin terancam bahaya!
Perwira she Boan itu akan datang mengacau dan melihat kepandaian perwira itu tadi, agaknya sukar bagi
Lin Lin untuk menyelamatkan diri. Dia harus datang, dan hanya akan melihat-lihat saja dulu. Kalau Lin Lin
berhasil memperoleh bantuan gurunya dan lain-lain orang pandai, dia hanya akan menjadi penonton saja.
Akan tetapi apa bila sampai gadis manis itu terancam bahaya, mau tidak mau dia terpaksa harus turun
tangan!
Cin Hai lalu berdiri dan melanjutkan perjalanannya. Ia merasa heran sekali kenapa wajah Lin Lin yang
manis itu selalu membuat ia tersenyum gembira. Akan tetapi, pada saat dia teringat akan kata-kata Kwee In
Liang bahwa Lin Lin sudah ditunangkan dengan pemuda lain, tiba-tiba ia merasa kecewa dan tidak senang,
heran sekali!
Diam-diam Cin Hai menegur perasaannya sendiri yang tidak layak ini. Seharusnya ia ikut gembira
mendengar akan pertunangan Lin Lin, mengapa ia harus merasa tidak senang? Ada hak apakah dia?
Pikiran ini membuat hatinya menjadi dingin kemudian dia berusaha sekuatnya untuk mengusir bayangan
wajah Lin Lin dari pikirannya, akan tetapi dia tidak berhasil!
Dia lalu melayangkan pikirannya kepada Ang I Niocu. Telah tiga tahun dia tidak bertemu dengan Dara Baju
Merah yang telah berlaku baik sekali kepadanya itu. Ia rindu kepada Ang I Niocu dan ingin sekali bertemu
kembali. Bu Pun Su dulu menyuruh Ang I Niocu mencari suci-nya, yaitu Kim Lian atau yang dijuluki Giokgan
Kuibo Si Biang Iblis Bermata Intan.
Hari ke lima belas masih sepuluh hari lagi dan selama sepuluh hari itu dia akan mencoba mencari Ang I
Niocu. Dia masih ingat bahwa Ang I Niocu disuruh pergi ke Lok-bin-si, sebuah kota yang letaknya tidak jauh
dari situ. Untuk pergi ke sana pulang pergi, paling lama hanya membutuhkan waktu lima hari, masih ada
waktu baginya.
Maka, dengan hati tetap Cin Hai lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke Lok-bin-si, yaitu sebuah kota di
lereng pegunungan yang banyak hutannya…..
********************
Setelah menerima perintah dari Susiok-couw-nya, Ang I Niocu pergi mencari suci-nya ke Lok-bin-si. Akan
tetapi, ketika ia tiba di situ, ia mendengar bahwa Giok-gan Kui-bo telah lama pergi meninggalkan daerah itu
dan kabarnya merantau ke arah barat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebenarnya Ang I Niocu ingin lekas-lekas kembali ke Goa Tengkorak karena semenjak meninggalkan
tempat itu, hatinya tertinggal di sana bersama Cin Hai, pemuda yang telah merebut seluruh isi hatinya itu.
Akan tetapi ia tidak berani kembali dan bertemu dengan susiok-couw-nya sebelum bertemu dengan sucinya.
Ia maklum bahwa susiok-couw-nya itu sangat bengis, keras dalam hal memberi tugas. Sebelum tugas
itu diselesaikan, maka ia tidak boleh kembali membuat laporan. Oleh karena ini, dia segera menyusul ke
barat, mencari suci-nya.
Daerah barat sangat luas sehingga tak mudah mencari seorang yang tidak diketahui jelas di mana
tinggalnya, biar pun orang itu begitu terkenal seperti Giok-gan Kui-bo sekali pun! Oleh karena ini maka Ang
I Niocu merantau sampai dua tahun lebih belum juga dapat bertemu dengan Giok-gan Kui-bo. Hatinya
bingung dan sedih sekali.
Ia merasa amat rindu kepada Cin Hai, akan tetapi apa dayanya? Pemuda itu sekarang berada dengan
susiok-couw-nya dan dia sekali-kali tidak berani menghadap Bu Pun Su sebelum tugasnya selesai.
Oleh karena memang berwatak baik, di sepanjang jalan Ang I Niocu tiada hentinya selalu mengulurkan
tangan menggunakan kepandaiannya untuk menolong mereka yang sedang menderita, membela kaum
tertindas serta membasmi para penjahat yang mengganas. Maka di daerah barat namanya pun menjadi
terkenal sekali.
Setelah dia tiba di sebuah kota yang disebut Bok-chiu, akhirnya dia mendapat keterangan tentang nama
suci-nya. Kiranya suci-nya terkenal sekali di kota ini sebab dengan seorang diri saja Giok-gan Kui-bo telah
menghajar habis-habisan pada kawanan Piauwsu Harimau Kuning yang terkenal sekali di kota Bok-chiu.
Pertempuran ini terjadi pada saat para piauwsu itu bermusuhan dengan seorang piauwsu baru yang belum
lama membuka perusahaan piauwkiok (kantor pengirim barang) di kota itu. Memang Oei-houw Piauwkiok
terkenal mempunyai barisan yang terdiri dari jago-jago silat berkepandaian tinggi dan karenanya ditakuti
oleh semua orang di kota itu. Juga para penjahat dan perampok yang biasa mencegat di hutan-hutan dan
gunung-gunung apa bila melihat bendera warna kuning dengan gambar kepala harimau, tidak ada yang
berani mengganggu.
Akan tetapi Oei-houw Piauwkiok memasang tarip terlalu tinggi untuk biaya pengiriman dan pengawalan
barang. Oleh karena itu, pada waktu piauwsu yang baru itu membuka perusahaannya, para saudagar yang
hendak mengirimkan barang mulai mempercayakan barang-barangnya kepada piauwsu yang bernama
Ong Hu Lin itu. Hal ini membuat para piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok menjadi marah sekali dan terjadilah
permusuhan.
Ong Hu Lin ialah seorang piauwsu yang masih muda dan berwajah tampan. Ilmu silatnya lumayan juga dan
ia mempunyai ilmu golok yang lihai. Almarhum ayahnya juga seorang piauwsu yang ternama di daerah
barat dan dia hanya menggantikan kedudukan ayahnya oleh karena tidak dapat mencari pekerjaan lain.
Dengan mengandalkan kepandaiannya, dia lalu mencari nafkah dengan mengawal barang-barang
berharga dan mendapat upah sekedarnya.
Pada suatu hari, Ong Hu Lin mendapat kepercayaan dari hartawan Lui untuk mengawal kiriman segerobak
cita yang amat mahal harganya. Ketika melalui sebuah hutan, tiba-tiba dia diganggu oleh kawanan
perampok yang terdiri dari belasan orang.
Ong Hu Lin menghadapi kepala rampok itu dan berkata, “Sahabat, harap kalian jangan mengganggu aku
yang sedang mencari nafkah. Kalau kalian menghargai persahabatan, maka sepulangku dari tempat ke
mana barang ini harus kukirim, aku akan singgah untuk memberi hormat dan akan membawa sekedar
barang hadiah sebagai tanda hormatku.”
Akan tetapi Ong Hu Lin sama sekali tidak tahu bahwa perampok-perampok itu bukan lain adalah kaki
tangan para piauwsu di Oei-houw Piauwkiok yang sengaja menyewa tenaga mereka untuk mengganggu
Ong Hu Lin. Maka tentu saja kata-katanya itu ditertawakan saja oleh kawanan perampok, dan kepala
perampok yang tinggi besar itu membentak,
“Piauwsu hijau jangan banyak cakap. Tinggalkan semua barang-barang ini di sini dan kau pergilah kalau
kau sayangi jiwamu. Orang macam kau tidak pantas menjadi piawsu, dan lebih baik kau tutup saja
perusahaanmu itu! Ha-ha-ha!”
Ong Hu Lin marah sekali. Dicabutnya golok yang tergantung di pinggangnya dan dia lalu dikeroyok. Akan
dunia-kangouw.blogspot.com
tetapi, ternyata bahwa kepandaian Ong-piauwsu cukup tangguh hingga tak lama kemudian beberapa orang
anggota perampok telah roboh mandi darah. Dengan ilmu goloknya yang lihai ia dapat mendesak sekalian
perampok itu.
Pada saat itu mendadak muncul tiga orang yang membantu para perampok mengeroyok Ong-piauwsu dan
mereka ini bukan lain adalah para piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok! Ternyata kepandaian ketiga orang
piauwsu ini lihai juga dan sebentar saja Ong-piauwsu terdesak hebat dan jiwanya terancam.
Pada saat itu terdengar suara wanita tertawa yang terdengar halus merdu tapi mendirikan bulu tengkuk
sebab tak terlihat orangnya dan tahu-tahu berkelebat bayangan menyambar para pengeroyok itu. Sebentar
saja habislah para perampok berikut ketiga orang piauwsu itu disapu oleh seorang wanita yang bergerak
menari-nari dengan cepat dan ganas.
Di mana saja tangan atau kakinya menyambar, tentu seorang perampok akan terlempar dan bergulingan
sampai jauh! Akhirnya semua perampok lari tunggang langgang sambil membawa kawan-kawan yang
terluka.
Ong Hu Lin berdiri memandang dengan kedua mata terbelalak. Ternyata yang menolong dirinya dengan
kepandaian luar biasa itu adalah seorang wanita cantik dengan sepasang mata genit dan liar mengerling
kepadanya. Mulut wanita itu tersenyum manis. Rambutnya yang hitam panjang itu dibiarkan tergantung di
punggungnya, bajunya berwarna hijau dan celananya putih.
Ong Hu Lin sadar dari keheranannya dan buru-buru dia menjura memberi hormat, “Lihiap yang gagah
perkasa, siauwte sungguh berhutang budi dan tidak tahu bagaimana harus membalasnya.”
“Ong-piauwsu, janganlah kau terlalu sungkan. Bukankah kita adalah orang-orang sekaum di kalangan
kang-ouw dan sudah seharusnya saling menolong?” Wanita itu menjawab dengan suaranya yang merdu.
Ong Hu Lin terkejut. “Bagaimana Nona bisa mengetahui namaku?”
“Bukankah kau Ong Hu Lin piauwsu muda yang membuka perusahaan di Bok-chiu?” kata wanita itu yang
ternyata bukan lain ialah Giok-gan Kui-bo adanya. “Kebetulan sekali aku bertemu dengan tiga orang
Piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok itu dan mendengar mereka membicarakan engkau. Mana bisa aku
berpeluk tangan membiarkan saja mereka berlaku sewenang-wenang?”
“Terima kasih banyak, Lihiap. Tetapi siapakah nama Lihiap yang lihai bagai bidadari ini?”
Giok-gan Kui-bo mengerling dengan gaya yang manis dan genit, lalu memandang wajah yang tampan itu
dengan tajam. “Namaku Kim Lian dan orang menyebut aku Giok-gan Lihiap (Pendekar Wanita Bermata
Intan).”
Melihat gerak-gerik dan lagak wanita cantik ini, tahulah Ong Hu Lin bahwa ia berhadapan dengan seorang
wanita yang genit, maka dia kemudian berlancang mulut berkata sambil tersenyum manis.
“Sungguh nama dan julukan yang indah dan manis, sesuai benar dengan orangnya.”
Giok-gan Kui-bo berpura-pura marah dan memandang dengan mata melotot, tapi bibirnya tetap tersenyum!
“Lihiap, harap kau jangan kepalang menolong orang,” kata Ong Hu Lin.
“Apa maksudmu?”
“Sudah jelas bahwa diriku yang tidak punya kawan ini dimusuhi oleh kawanan Oei-houw Piauwkiok yang
terdiri dari orang-orang pandai. Kalau tidak ada engkau yang lihai, Lihiap, tentu aku telah binasa. Maka
sudilah kau mengawani aku berjalan bersama-sama sampai di tempat tujuan agar mereka itu tidak berani
mengganggu lagi.”
“Kalau aku mau apakah upahnya?” Kim Lian bertanya sambil tertawa genit.
“Apa pun yang kau minta, Lihiap, biar jiwaku sekali pun akan kuberikan padamu,” jawab Ong Hu Lin yang
ternyata pandai bermain kata-kata.
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah semenjak saat itu mereka berdua menjadi kawan baik yang tak terpisahkan lagi. Ketika Ong
Hu Lin bersama Kim Lan kembali ke Bok-chiu, mereka sudah ditunggu oleh kawanan piauwsu dari Oeihouw
Piauwkiok dan dikeroyok, tetapi semua piauwsu itu dengan mudah saja dapat dihajar oleh Giok-gan
Kui-bo! Akhirnya piauwsu-piauwsu itu menyatakan takluk dan semenjak itu, Ong Hu Lin yang menjadi
pemimpin piauwkiok itu.
Sebaliknya, Giok-gan Kui-bo tetap menjadi kawan baik Ong Hu Lin. Akan tetapi, karena memang sudah
biasa merantau dan tidak kerasan tinggal di dalam sebuah rumah dan mengurus rumah tangga, Kim Lan
lalu meninggalkan Ong Hu Lin dan membuat tempat tinggal sendiri di dalam sebuah goa di gunung yang
dekat dengan kota Bok-chiu. Goa ini dia jadikan tempat beristirahat dan kadang-kadang saja dia pergi
menemui Ong Hu Lin di rumahnya.
Giok-gan Kui-bo sama sekali tak pernah menyangka bahwa Ong Hu Lin sebetulnya telah memiliki seorang
isteri! Dan isterinya ini bukanlah seorang sembarangan karena isterinya ini adalah Pek-bin Moli Si Iblis
Wanita Muka Putih, yakni puteri tunggal dari Pek Moko!
Ong Hu Lin bertemu dengan Pek Moko dan puterinya, kemudian Pek-bin Moli jatuh cinta kepadanya hingga
akhirnya dipaksa kawin dengan Pek-bin Moli. Sebetulnya bila melihat orangnya, setiap pemuda pasti akan
bersedia dengan senang hati untuk menjadi suami Pek-bin Moli yang selain muda dan cantik, juga memiliki
kepandaian silat tinggi, karena dalam hal kepandaian silat, selain menerima pendidikan dari ayahnya, Pek
Moko, ia juga menerima pendidikan dari supek-nya, yaitu Hek Moko yang lihai!
Akan tetapi celakanya, Pek-bin Moli yang cantik jelita ini berotak miring! Gadis ini menjadi gila karena suatu
penyakit panas hingga betapa pun cantiknya, akhirnya Ong Hu Lin tidak tahan melihat keadaan isterinya
dan menjadi jijik dan takut!
Oleh karena ini, maka pada suatu hari Ong Hu Lin berhasil melarikan diri dan minggat dari isterinya yang
gila ini hingga akhirnya tiba di Bok-chiu dan bertemu dengan Giok-gan Kui-bo yang walau pun
kecantikannya tidak melebihi Pek-bin Moli, akan tetapi sikapnya menarik hati dan tidak gila!
Suami yang meninggalkan isterinya ini sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada saat itu, isterinya yang
gila sudah menyusulnya dan berhasil mengetahui tempat tinggalnya! Bahkan isteri yang gila akan tetapi
mewarisi kecerdikan ayahnya ini sudah mengetahui pula akan perhubungannya dengan Giok-gan Kui-bo!
Kalau saja ia tahu, tentu ia akan lari pergi karena sebenarnya dia takut setengah mati kepada isterinya ini
dan sudah maklum akan kepandaian isterinya yang lihai sekali.
Maka pada suatu malam, ketika Ong Hu Lin dengan enaknya tidur di dalam kamarnya, tahu-tahu jendela
kamarnya terbuka dari luar dan terdengar suara yang sangat dikenal dan ditakutinya memanggilnya. Ong
Hu Lin membuka matanya dan ia menggosok-gosok mata karena mengira bahwa ia sedang bermimpi.
Ternyata bahwa sambil tersenyum-senyum manis tetapi dengan sepasang mata bersinar menakutkan, di
depan pembaringannya telah berdiri Pek-bin Moli, isterinya yang berotak miring itu! Pek-bin Moli memakai
baju kotak-kotak lucu sekali dan celananya berwarna kuning gading.
“Kau...?!” Ong Hu Lin berseru.
“Hi-hi-hi, kau sudah rindu kepadaku, suamiku yang manis?” Pek-bin Moli tertawa sambil menghampiri
hingga diam-diam Ong Hu Lin menggigil ketakutan. “Hayo kau beritahukan padaku di mana adanya sundal
yang menjadi kekasihmu itu?”
“Sia... siapa... yang kau... kau maksudkan...?” Ong Hu Lin bertanya gagap.
“Hi-hi-hi-hi, siapa lagi kalau bukan Giok-gan Kui-bo? Hayo kau lekas turun dan antar aku menemuinya.
Atau haruskah aku menggunakan paksaan?”
Biar pun suara isterinya terdengar merdu sekali, akan tetapi sinar matanya mengeluarkan ancaman hebat
sehingga mau tidak mau Ong Hu Lin terpaksa menyanggupi. Dia dapat membujuk-bujuk isterinya yang gila
itu untuk menunggu sampai besok pagi, karena tidak mungkin malam-malam yang gelap itu mencari goa
tempat Giok-gan Kui-bo.
Karena Pek-bin Moli sangat mencinta suaminya, maka ia menurut dan malam itu Ong Hu Lin terpaksa
menuturkan cerita bohong, dan mengatakan bahwa ia pergi karena hendak merantau dan meluaskan
dunia-kangouw.blogspot.com
pengalaman.
Sesudah malam tergantikan pagi, maka Ong Hu Lin terpaksa mengantarkan isterinya itu mengunjungi goa
di mana Giok-gan Kui-bo tinggal! Semua piauwsu di situ terheran-heran karena tak ada yang tahu bila
mana datangnya seorang wanita cantik yang bersikap dan berpakaian aneh itu dan tahu-tahu wanita itu
telah keluar dari kamar bersama-sama Ong Hu Lin. Setelah Ong-piauwsu memberitahukan bahwa wanita
itu adalah isterinya, semua orang terkejut sekali tak seorang pun berani banyak bertanya.
Kebetulan sekali pada hari itu juga Ang I Niocu tiba di Bok-chiu dan mendengar tentang perhubungan sucinya
dengan Ong Hu Lin. Dia pergi menyelidik dan mendengar semua peristiwa mengenai diri Giok-gan Kuibo
yang sekarang kabarnya tinggal di dalam sebuah goa di gunung yang berada tidak berapa jauh dari kota
itu. Maka ia pun lalu menyusul ke sana!
Giok-gan Kui-bo sedang duduk seorang diri di dalam goa tempat tinggalnya, menunggu mendidihnya air
yang dimasak, ketika tiba-tiba saja tirai bambu yang dipasang di depan goanya itu terbuka. Seorang wanita
muda yang cantik dan berpakaian aneh telah berada di depannya sambil tertawa ha-ha hi-hi.
Kim Lian memperhatikan wanita cantik ini. Ternyata bahwa rambut wanita ini pun terurai ke belakang dan di
atasnya diikat dengan pita berwarna hijau. Bajunya kotak-kotak hitam dan nampak lucu sekali.
“Siapa kau?” tanya Kim Lian tak acuh karena menyangka yang datang hanyalah seorang gadis dusun yang
ingin menemuinya.
“Hi-hi-hi. Inikah Giok-gan Kui-bo? Inikah sundal tak tahu malu yang merampas suamiku? Ha-ha-ha!”
“Kau... kau gila!” Kim Lian memaki marah sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Kau yang gila! Kau, bukan aku!” tiba-tiba wanita itu menuding dengan jari telunjuknya yang runcing. “Kau
harus mampus!”
Sesudah berkata demikian Pek-bin Moli menampar dengan tangannya ke arah pipi Kim Lian. Giok-gan Kuibo
marah sekali dan ia menggerakkan tangannya hendak menangkap tangan yang menampar itu. Akan
tetapi alangkah herannya saat tangan yang menampar itu dapat berkelit dan melanjutkan tamparannya dari
lain jurusan dan…
“Plakk!” pipinya kena tampar!
Bukan main marahnya Giok-gan Kuibo. Selama dia merantau di dunia kang-ouw belum pernah ada orang
berani menghinanya, apa lagi menamparnya!
“Anjing betina! Siapakah kau berani main gila di depanku?” bentaknya dengan dada turun naik karena
marahnya.
“Hi-hi-hi. Sakit ya?” kata Pek-bin Moli sambil tertawa. “Kau belum kenal aku? Kau belum pernah mendengar
tentang Pek-bin Moli?”
Terkejutlah Giok-gan Kui-bo mendengar nama ini. “Kau yang disebut Pek-bin Moli? Jadi kau ini puteri Pek
Moko? Lalu mengapa kau datang-datang memaki dan menamparku?” tanyanya heran hingga untuk sesaat
dia melupakan kemarahannya.
“Hi-hi-hi! Kau sudah berani main gila dengan suamiku dan kau masih bertanya mengapa aku
menamparmu? Ha-ha-ha, suami orang tidak bisa dibagi-bagi!”
Giok-gan Kui-bo melirik keluar goa dan dia melihat bayangan Ong Hu Lin berdiri dengan wajah pucat dan
tubuh menggigil.
“Hm, jadi orang she Ong itu suamimu? Tetapi ia tidak pernah bilang bahwa ia suamimu.”
“Ha-ha-ha! Ia terlalu cinta padaku, mana dia mau mengobral namaku untuk disebut-sebut kepada
sembarang orang? Hi-hi-hi!”
“Pek-bin Moli! Kau sudah datang ke sini dan jangan kau kira aku Giok-gan Kui-bo takut kepadamu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekarang kau mau apa?”
“Eh, ehh, kau mau melawan? Baik, kau mampuslah!” Setelah berkata demikian, Pek-bin Moli lalu
menyerang dan keduanya lalu bertempur hebat di dalam goa yang sempit itu!
Apa bila Giok-gan Kui-bo lihai sekali gerakan tangannya yang seperti menari-nari dengan buasnya itu,
adalah Pek-bin Moli yang bermuka putih halus itu luar biasa lihainya dalam mempergunakan kedua
kakinya! Harus diketahui bahwa di dalam sepatu, tepat di bawah telapak kakinya, tersembunyi besi baja
yang menambah kelihaian setiap tendangan dan sepakan wanita ini. Selain itu, Pek-bin Moli mempunyai
ginkang luar biasa dan tubuhnya seakan-akan melayang-layang ke atas sambil mengirim tendangan
bertubi-tubi bagaikan kedua kakinya tak pernah menyentuh tanah.
Akan tetapi Giok-gan Kui-bo melawan dengan sungguh-sungguh. Pertempuran itu sangat menarik dan
hebat sekali. Tendangan dan pukulan sampai menimbulkan angin mendesir dan suaranya keluar dari goa
itu membuat tirai bambu yang berada di luar bergoyang-goyang seakan-akan terhembus angin besar. Ong
Hu Lin berdiri dengan muka pucat dan tubuh menggigil.
Tiba-tiba dari jauh tampak oleh Ong Hu Lin setitik bayangan merah yang naik ke tempat itu dengan cepat
sekali. Dia cepat menyelinap ke samping goa dan bersembunyi karena maklum bahwa yang datang itu
tentu seorang yang berkepandaian tinggi. Setelah dekat, dia melihat bahwa yang datang itu adalah seorang
wanita berbaju merah yang luar biasa cantiknya.
“Ong-piauwsu, kau keluarlah, tak usah bersembunyi karena aku sudah melihatmu!”
Kaget sekali Ong Hu Lin mendengar ini dan dengan muka makin pucat ia pun keluar dari tempat
persembunyiannya.
“Dimana adanya Giok-gan Kui-bo?” Ang I Niocu dengan suara kereng.
Ong Hu Lin makin heran. Siapakah wanita ini yang agaknya memiliki kepandaian hebat dan yang datangdatang
menanyakan Giok-gan Kui-bo?”
“Kau siapakah?” Ia memberanikan diri bertanya.
“Tak usah kau tahu. Lekas katakan saja di mana adanya Giok-gan Kui-bo!” Ang I Niocu membentak marah
sehingga Ong Hu Lin merasa ketakutan. “Dia... dia sedang bertempur melawan isteriku...“
“Isterimu? Siapakah dia?”
“Pek-bin Moli...”
Mendengar nama ini, Ang I Niocu memandang ke arah tirai bambu yang tergantung di depan goa yang kini
bergoyang-goyang karena sambaran angin pukulan dari dalam goa. Ia segera melompat dan menggunakan
tangan kiri menyingkap tirai itu.
Pada saat itu pula, dengan Ilmu Tendangan Siauw-ci-twi, Pek-bin Moli sedang mendesak hebat kepada
Giok-gan Kui-bo yang berkelit ke sana ke mari mengelak tendangan maut yang datang bertubi-tubi itu.
Tepat pada saat Ang I Niocu membuka tirai memandang, sebuah tendangan kaki kiri Pek-bin Moli sedang
melanggar pundak kiri Giok-gan Kuibo yang mengeluarkan seruan tertahan dan tubuhnya terhuyung ke
belakang.
Pek-bin Moli mengejar hendak mengirim tendangan maut, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan merah
dan tahu-tahu tendangannya itu tertangkis oleh sebuah lengan tangan yang kuat sekali. Pek-bin Moli
terkejut dan melompat mundur sambil memandang Dara Baju Merah yang menghalang-halangi
serangannya tadi.
“Pek-bin Moli, harap kau suka bersabar dan tenang sedikit. Maafkanlah Suci-ku kalau dia bersalah.
Kesalahannya tidak sangat besar sehingga kau tidak perlu menjatuhkan tangan maut!”
“Siapa kau?” tanya Pek-bin Moli dengan mata berputar-putar hebat.
“Aku Sumoi-nya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah memutar otaknya dan melihat pakaian itu, agaknya Pek-bin Moli teringat. “Hi-hi, kau tentu Ang I
Niocu bukan? Kau memang cantik jelita!”
“Pek-bin Moli,” kata Ang I Niocu yang maklum bahwa wanita di depannya itu memang berotak miring maka
percuma saja diajak bicara panjang lebar, “sekarang kau putuskan. Kau pergi dari sini membawa suamimu
sebelum ia lari lagi, atau kau biarkan suamimu lari pergi dan kau bertempur melawan aku?”
Kedua mata Pek-bin Moli terbelalak “Apa? Suamiku lari pergi lagi? Mana dia...? He, Ong Hu Lin...!
Tunggu...!”
Wanita gila ini segera berlari keluar sambil berteriak-teriak memanggil nama suaminya. Sesudah bertemu di
luar, dia lalu menggandeng tangan suaminya itu dan diajak pulang. Ong Hu Lin hanya menurut saja seperti
seekor kerbau ditarik tali hidungnya.
Ang I Niocu menghampiri Giok-gan Kui-bo yang merintih-rintih. Luka di pundaknya walau pun tidak
membahayakan jiwanya, tetapi terasa sakit sekali.
“Suci, sudah dua tahun ini aku mencari-carimu di mana-mana. Tidak tahunya di sini kau memperebutkan
seorang laki-laki dengan wanita gila itu!”
Mendengar kata-kata keras ini, Giok-gan Kui-bo tak menjawab dan hanya menundukkan kepala. Ang I
Niocu menghela napas, karena tahu bahwa kalau berhadapan dengannya, Kim Lian selalu memperlihatkan
sikap lemah dan mengalah. Ia maklum bahwa suci-nya ini mempunyai kebiasaan buruk dan genit hingga
banyak orang kang-ouw menganggap ia sebagai perempuan lacur, akan tetapi sebenarnya, di dalam hati ia
tak begitu jahat.
“Suci, kalau saja kau berada di pihak benar, belum tentu kau kalah oleh wanita gila itu. Akan tetapi kau
telah berlaku sesat dan membiarkan dirimu dengan mudah saja tergoda oleh laki-laki, maka sedikit luka itu
kau anggap saja sebagai hukuman. Aku datang atas perintah Susiok-couw!”
Mendengar disebutnya susiok-couw terkejutlah Giok-gan Kui-bo hingga wajahnya segera berubah pucat.
“Tidak, jangan kau takut. Susiok-couw belum menjatuhkan keputusan pendek dan tegas. Akan tetapi beliau
minta supaya aku memberi peringatan kepadamu. Sudah berkali-kali kau melanggar pantangan sebagai
orang gagah dan banyak melakukan perbuatan hina. Kau mencuri, merampok, menculik pemuda-pemuda
dan kau sudah mencemarkan nama perguruan kita. Sekarang jawablah, bagaimana pikiranmu?”
Dengan muka masih tunduk Giok-gan Kui-bo menjawab, “Im Giok, memang aku sudah bersalah... tetapi
apa dayaku? Aku sebatang kara, hidupku merana menderita. Kalau aku tidak mencari kesenangan sendiri,
siapakah yang dapat memberi kesenangan kepadaku? Apakah aku harus melewatkan hidup dalam
kesunyian dan mati dengan hati menderita?”
Ang I Niocu merasa terharu mendengar ini, akan tetapi ia mengeraskan suaranya ketika berkata dengan
tegas, “Suci, kau tahu bahwa di dunia ini ada dua macam kesenangan. Kesenangan yang buruk dan jahat
dan ada pula kesenangan yang baik, bersih. Mengapa kau menurutkan nafsu hatimu yang jahat? Apakah
kau tidak mempunyai cukup tenaga untuk mengekang nafsu jahatmu dan apakah kau tidak lagi mempunyai
kebersihan batin seorang wanita yang sopan dan menjunjung tinggi kesusilaan?”
“Sudahlah, sudahlah...” tiba-tiba Giok-gan Kui-bo menjatuhkan diri sambil menangis. “Kau mana tahu
tentang kasih sayang, mana tahu tentang cinta! Selama hidupmu agaknya kau tidak pernah menderita dan
merasa bagaimana celakanya hati yang tergoda rasa rindu. Agaknya hatimu terbuat dari pada batu!” Kim
Lian memandang sumoi-nya dengan mata basah.
Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kata-katanya itu bagaikan mata pedang tajam menusuk ulu
hati Im Giok hingga Ang I Niocu menundukkan kepala dengan wajah pucat. Dara Baju Merah ini teringat
akan perasaan hatinya terhadap Cin Hai! Ahh, Suci, kalau saja kau tahu betapa berat rasa hatiku karena
pemuda itu, pikirnya.
“Im Giok, aku memang sudah bersalah. Beritahukan saja kepada Susiok-couw bahwa sejak hari ini aku Kim
Lian akan mencukur rambut dan menjadi nikouw (pendeta wanita) dan bertapa di goa ini. Aku takkan
mencampuri urusan dunia lagi dan hanya ingin bertapa menebus dosa!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ang I Niocu tidak tahan lagi menahan keharuan hatinya. Ia maju menubruk dan memeluk suci-nya dan
mereka berdua sama-sama menangis. Ang I Niocu merasa sangat gembira mendengar akan keinsyafan
suci-nya ini, akan tetapi kata-kata Kim Lian tadi benar-benar menusuk hatinya.
“Im Giok, mudah-mudahan kau takkan sampai tersesat seperti aku,” kata Kim Lian sambil mengusap-usap
rambut sumoi-nya yang halus.
“Suci... aku pun hanya seorang manusia biasa saja yang tidak terbebas dari kesesatan...”
Giok-gan Kui-bo dapat menetapkan hatinya yang terharu, kemudian dengan tiba-tiba dia mencabut pedang
yang tergantung pada punggung Ang I Niocu. Gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu rambutnya yang
panjang hitam dan tergantung riap-riapan di punggungnya itu telah dipotongnya!
Ang I Niocu hanya dapat memandang dengan hati terharu sekali. Sesudah kedua kakak beradik
seperguruan itu bercakap-cakap saling melepaskan rindu, Ang I Niocu lalu pergi meninggalkan Kim Lan.
Dara Baju Merah ini berjalan secepatnya sebab ia ingin segera sampai di Goa Tengkorak dan memberi
laporan kepada Bu Pun Su tentang tugas yang telah diselesaikannya itu. Padahal sebetulnya karena ingin
segera bertemu dengan Cin Hai, maka ia melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa itu!
Ketika dengan hati berdebar-debar Ang I Niocu memasuki Goa Tengkorak itu, ia melihat Bu Pun Su duduk
bersila menghadapi hiolouw yang mengepulkan asap putih. Dia tidak melihat Cin Hai di situ dan diam-diam
ia merasa kecewa dan kuatir.
Segera ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Susiok-couw, teecu datang menghadap.”
“Bagus, Im Giok, kau telah kembali. Bagaimana dengan usahamu mencari Kim Lian?”
Dengan panjang lebar Ang I Niocu menceritakan pengalamannya. Ketika ia menceritakan keputusan sucinya
yang nekad dan mencukur rambut untuk masuk menjadi nikouw, tak tertahan pula ia mengucurkan air
mata.
Bu Pun Su mengangguk-angguk dan menghela napas.
“Baik juga keputusannya itu. Betapa pun dosa seseorang, asalkan dia dapat insyaf dan kembali ke jalan
benar untuk selanjutnya menebus kekeliruan yang sudah-sudah dengan tindakan-tindakan sempurna,
maka ia boleh disebut seorang bijaksana.”
Kemudian, sesudah berdiam untuk beberapa lama sambil memandang wajah gadis yang tunduk itu dengan
tajam, tiba-tiba Bu Pun Su berkata dengan suara sungguh-sungguh,
“Im Giok, jika aku tidak salah duga, luka di hatimu akibat gagalnya perjodohanmu dengan pemuda
pilihanmu dahulu agaknya kini sudah sembuh dan kulihat kegembiraan hidupmu telah kembali. Anak, bagi
seorang wanita, mendirikan rumah tangga yang baik dan penuh damai adalah jalan yang terutama untuk
membebaskan diri dari pada godaan dunia dan untuk memenuhi tugas kewajiban sebagai seorang
manusia. Lihatlah contohnya Suci-mu itu, karena sebagai seorang gadis hidup seorang diri dan tidak
mendirikan rumah tangga, maka banyak penggoda menyesatkan jalan hidupnya. Aku maklum bahwa kau
memiliki iman yang kuat dan batin yang bersih, akan tetapi, apa perlunya menyiksa diri dengan hidup
menyendiri? Kau tidak punya jodoh untuk menjadi seorang pendeta wanita yang tidak akan kawin selama
hidupnya!”
Ang I Niocu mendengarkan kata-kata orang tua itu dengan hati berdebar-debar, karena kata-kata itu
memang tepat dan seolah-olah susiok-couw-nya dapat membaca isi hatinya. Akan tetapi karena merasa
malu, ia tidak berani mengangkat muka dan tetap bertunduk.
“Im Giok, baiklah kita berterus terang saja. Kau perlu mendapat seorang suami yang baik sekali, dan aku
telah melihat seorang pria yang agaknya akan cocok sekali untuk menjadi kawan hidupmu selamanya.”
Tiba-tiba wajah Ang I Niocu memerah dan hatinya makin berdebar. Timbul harapan yang diliputi kekuatiran
dunia-kangouw.blogspot.com
di dalam hatinya. Siapakah orang laki-laki yang sedang dimaksudkan oleh susiok-nya ini? Apakah Cin
Hai?? Ia tak berani bertanya dan masih tetap tunduk.
“Kalau kau setuju, aku bersedia menjadi perantara, Im Giok. Biarlah aku mengakhiri masa hidupku dengan
menjadi seorang comblang yang menghubungkan dua orang manusia sehingga menjadi suami isteri yang
hidup rukun dan penuh kebahagiaan.”
Terpaksa Ang I Niocu menjawab dengan suara hampir tak terdengar,
“Susiok-couw, bagaimana teecu dapat menjawab kalau teecu tidak tahu siapa... orang yang dimaksudkan
itu?”
“Ha-ha-ha, Im Giok. Bukan orang yang tidak kau kenal, bahkan hubunganmu dengan dia akrab sekali!”
Makin berdebarlah hati Im Giok dan ia mendengar dengan penuh perhatian.
“Orang itu bukan lain ialah Kang Ek Sian! Aku sudah tahu benar-benar akan hubunganmu dengan dia dan
telah kuketahui bahwa ia benar seorang baik dan patut dipuji. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini, Im
Giok?”
Bukan main kecewa rasa hati Ang I Niocu.
“Maaf, Susiok-couw, teecu... tidak... belum ingin mengikat diri dengan perjodohan!”
“Im Giok, jawabanmu ini sama artinya dengan penolakan! Katakanlah! Apakah Kang Ek Sian bukan
seorang laki-laki yang baik?”
“Dia memang seorang baik, Susiok-couw, akan tetapi... bagaimana teecu dapat menjadi isteri seorang yang
tidak... teecu cinta...?”
“Aha, anak muda jaman sekarang!” Bu Pun Su berseru. “Cinta membutakan mata, anak. Bukti-bukti telah
menyatakan bahwa kerukunan dan saling mengerti dapat mendatangkan rasa cinta yang jauh lebih
sempurna dari pada cinta muda yang hanya terdorong oleh nafsu semata! Aku maklum bahwa hatimu telah
tertarik oleh Cin Hai. Betulkah?”
Bukan main terkejutnya hati Ang I Niocu mendengar ini. Bagaimana kakek guru ini dapat mengetahui
segalanya? Dapat mengetahui mengenai segala persoalannya dengan Kang Ek Sian dan dapat tahu pula
rahasia hatinya terhadap Cin Hai? Ia tak berani mengangkat muka dan hanya tunduk dengan muka
sebentar pucat sebentar merah.
“Im Giok, kau sudah mendekati jurang yang curam dan berbahaya! Kau boleh menaruh hati sayang
terhadap Cin Hai, akan tetapi bukan kasih sayang seorang wanita terhadap laki-laki. Seharusnya kasih
sayangmu itu kau dasarkan atas rasa kasihan dan kecocokan tabiat. Ingatlah, berapa usiamu sekarang,
dan berapa usia Cin Hai? Harus kuakui bahwa engkau memang masih nampak muda sekali berkat telur
burung rajawali putih dan berkat kecantikanmu, akan tetapi lewat sepuluh tahun lagi saja, kau akan menjadi
tua dan Cin Hai masih tetap muda. Apakah hal ini tidak akan mendatangkan kepincangan sehingga akan
merupakan gangguan hebat terhadap kebahagiaanmu? Pikirlah masak-masak dan sekarang pergilah!”
Mendengar kata-kata yang terus terang dan menusuk-nusuk hatinya ini, Ang I Niocu lalu menangis tersedusedu
sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Ia tidak melihat betapa Bu Pun Su memandangnya dengan
sinar mata penuh iba hati.
“Im Giok, kelak kau akan teringat bahwa aku memberi semua nasehat ini semata-mata untuk kebaikanmu
sendiri dan kau akan mendapat kenyataan bahwa semua kata-kataku benar belaka. Sekarang gunakanlah
imanmu dan kuasailah hatimu kembali. Kau boleh pergi dan apa pun yang menjadi keputusanmu aku tidak
akan melarang. Aku tidak akan mencampuri urusan orang muda, tetapi sewaktu-waktu kalau kau setuju
dengan usulku tadi, kau boleh mencariku.”
Ang I Niocu lalu menghaturkan terima kasih dan mengundurkan diri, lalu keluar dari goa itu diikuti
pandangan mata Bu Pun Su yang menggeleng-gelengkan kepala, karena kakek ini diam-diam merasa
kasihan sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nafsu, nafsu... kau memang kejam dan suka mempermainkan hati orang muda!” katanya perlahan kepada
asap putih yang mengepul di depannya.
Setelah keluar dari goa itu diam-diam Ang I Niocu mengingat-ingat segala ucapan Bu Pun Su dan setelah
berada di tempat terbuka sehingga hawa sejuk mendinginkan kepalanya, ia merasa betapa tepat dan
betulnya nasehat kakek itu. Biar pun ia tidak diberi tahu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa Cin Hai
tentu telah turun gunung. Tentu saja dia tidak berani bertanya kepada Bu Pun Su mengenai anak muda itu,
setelah Bu Pun Su secara tepat dapat membongkar rahasia hatinya terhadap Cin Hai.
Ang I Niocu sama sekali tak pernah menyangka bahwa Cin Hai baru beberapa hari yang lalu meninggalkan
Goa Tengkorak itu. Ia hanya mengira bahwa pemuda itu tentu kembali ke rumah bibinya, yaitu di Tiang-an,
karena pemuda itu pernah menceritakan riwayatnya kepadanya. Oleh karena ini, secepatnya ia menuju ke
Tiang-an untuk menyusul Cin Hai. Betapa pun juga ia harus bertemu dengan pemuda itu, karena ia tidak
dapat menahan rindu hatinya lagi.
Sesudah mencari Ang I Niocu di Liok-bin-si dengan sia-sia, Cin Hai kemudian kembali ke Sam-hwa-bun
untuk mengunjungi rumah keluarga Kwee In Liang. Dan terjadilah sebuah hal yang tak terduga-duga!
Ketika ia tiba di sebuah kaki gunung di jalan yang sunyi senyap, tiba-tiba ia melihat titik merah mendatangi
dengan amat cepat dari arah depan! Hatinya berdebar girang karena hanya seorang manusia berpakaian
merah di dunia ini yang dapat bergerak seperti itu! Ia segera mengendurkan tindakan kakinya karena ia
tidak mau memperlihatkan kepada Ang I Niocu bahwa ia sekarang telah memiliki ilmu ginkang yang hebat.
Benar saja dugaannya, tak lama kemudian Ang I Niocu tiba di hadapannya. Ang I Niocu tiba-tiba berhenti
bagaikan ditahan oleh tenaga raksasa ketika dia melihat pemuda yang berdiri memandangnya dengan
wajah berseri-seri itu! Ia hampir pangling melihat Cin Hai dan tak pernah disangkanya bahwa waktu yang
tiga tahun lamanya itu sudah mengubah Cin Hai dari seorang kanak-kanak menjadi seorang pemuda yang
cakap dan tegap!
“Kau... kau... Hai-ji...?” bisiknya.
“Niocu!” Cin Hai tertawa lebar, dan maju memegang tangan Ang I Niocu.
Kegirangan besar membuat ia lupa akan kesopanan dan ia memegang tangan Dara Baju Merah itu dengan
erat bagaikan bertemu dengan seorang yang telah lama dirindukannya. Sebenarnya perasaan Cin Hai
ketika itu terhadap Ang I Niocu hanyalah perasaan kasih sayang terhadap orang yang dianggapnya paling
baik di dunia ini. Akan tetapi sikapnya telah dipandang salah oleh gadis itu.
Ang I Niocu mengira bahwa Cin Hai mempunyai perasaan yang sama terhadap dirinya, maka jika tadinya ia
merasa ragu-ragu dan kata-kata Bu Pun Su selalu bergema di dalam telinganya sehingga dia tidak ingin
memperlihatkan kesukaan hatinya karena pertemuan ini, maka sekarang hatinya meluap-luap karena
girangnya. Dia balas memegang lengan tangan Cin Hai yang kuat itu dan berkali-kali berbisik,
“Hai-ji... Hai-ji…”
Mereka lalu pergi duduk di pinggir jalan sambil saling pandang dengan mesra.
“Hai-ji, suah selama tiga tahun kau belajar kepandaian dari Susiok-couw, tentu sekarang telah memiliki
kepandaian tinggi.”
“Ah, Niocu, kepandaian apakah yang dapat kupelajari dengan baik? Suhu hanya memberi pelajaran
menari!” Sambil berkata demikian, Cin Hai lalu mencabut sebatang suling dari pinggangnya kemudian
mengangkat suling itu tinggi-tinggi sambil tertawa. Ang I Niocu juga tertawa girang.
“Kalau begitu, tentu kau sekarang telah dapat menarikan Tari Bidadari?” tanyanya sambil memandang
muka yang tampan dengan hiasan rambut yang hitam bagus.
”Barang kali saja dapat. Aku pun telah lama ingin sekali melihat kau menari, Niocu. Bagai mana kalau kita
menari bersama-sama? Aku akan mencoba mengikuti gerakanmu.”
Dengan girang sekali Ang I Niocu bangkit berdiri, diikuti oleh Cin Hai yang segera meniup sulingnya.
Memang selama belajar silat kepada Bu Pun Su, pemuda ini tidak pernah lupa untuk meniup sulingnya
dunia-kangouw.blogspot.com
yang menjadi kesukaannya. Bahkan gurunya sendiri suka sekali mendengar tiupan sulingnya yang merdu.
Maka terdengar tiupan suling yang indah dan merdu di kaki gunung itu. Ang I Niocu lalu menari dengan
gerakan yang indah dan gemulai, dan Cin Hai yang sudah mempelajari pokok-pokok segala silat, sekali
lihat saja dengan mudah mampu mengimbangi tarian itu! Memang Tarian Bidadari bukanlah sembarang
tarian akan tetapi pada hakekatnya adalah sebuah ilmu silat yang lihai.
Sepasang pemuda-pemudi itu menari dengan indahnya di tempat yang sunyi itu. Gerakan kaki mereka
cocok sekali bagaikan memang diatur sebelumnya, hanya kalau sepasang lengan tangan Ang I Niocu
bergerak dengan lincah indah, maka kedua tangan Cin Hai tidak digerakkan karena dia menggunakan
untuk memegang suling yang ditiupnya untuk mengiringi tarian itu.
Bukan main senangnya hati Ang I Niocu dan ia juga merasa amat kagum karena gerakan kaki Cin Hai
sungguh tepat dan tidak ada salahnya. Gadis ini merasa sangat bahagia dan gembira hatinya hingga ia
menari-nari sambil tertawa-tawa girang dan memandang wajah Cin Hai dengan sinar mata penuh rasa
cinta!
Cin Hai juga gembira. Namun sebaliknya dia menari dengan tenang dan wajahnya yang tampan itu tidak
memperlihatkan perasaan apa-apa, hanya girang dan gembira. Sesudah selesai menari, mereka kembali
duduk di atas batu di pinggir jalan.
“Hai-ji, kau hebat sekali! Dalam tiga tahun saja kau telah sanggup meniru Tarian Bidadari sedemikian
sempurnanya! Kau tentu sudah mempelajari ilmu silat yang tinggi sekali dari Susiok-couw! Coba kau
perlihatkan pelajaran ilmu silatmu itu untuk kukagumi.”
“Sebenarnya, Niocu. Aku tidak mempelajari apa-apa, hanya tarian-tarian itu saja. Bahkan tarian itu pun
baru dapat kulakukan jika kau menari bersamaku, kalau aku disuruh menari seorang diri aku tak akan
sanggup melakukannya.”
Ang I Niocu memandang heran, akan tetapi ia percaya bahwa Cin Hai tidak berbohong. Ia hanya
menyangka bahwa pemuda ini memang agak bodoh hingga susiok-couwnya tidak memberi pelajaran lain
ilmu silat yang tinggi.
“Biarlah, kau tidak perlu kecewa, Hai-ji. Mulai sekarang, aku akan memberi pelajaran silat kepadamu!”
“Terima kasih, Niocu, kau memang baik sekali.”
“Sekarang, kau hendak ke mana, Hai-ji? Apakah kau sudah bertemu dengan Bibimu dan keluarga Kwee?”
“Aku sudah bertemu dengan Ie-thio, akan tetapi belum bertemu dengan Ie-ie. Sebetulnya aku pun sedang
menuju ke sana untuk menghadiri pesta perayaan ulang tahun Ie-thio.” Cin Hai lalu menceritakan
pengalamannya dan pertemuannya dengan Kwee In Liang.
Ang I Niocu mengerutkan alisnya yang bagus. ”Kalau begitu, keadaan mereka berbahaya sekali. Aku
mendengar bahwa perwira-perwira Sayap Garuda adalah lihai sekali. Apakah kau hendak membantu
mereka? Kalau begitu biar aku ikut dengan kau untuk membantu mereka!”
Cin Hai merasa gembira sekali mendengar ini. Demikianlah, mereka lalu bercakap-cakap dengan girang
sekali dan Ang I Niocu telah lupa sama sekali akan pesan susiok-couwnya setelah bertemu dengan Cin
Hai! Mereka sudah mengambil keputusan untuk datang ke Sam-hwa-bun pada saat pesta dilangsungkan.
Pada bulan itu juga, tanggal lima belas, di rumah Kwee In Liang yang besar akan tetapi sederhana itu
diadakan perayaan untuk memperingati hari ulang tahun Kwee In Liang yang ke enam puluh. Sebenarnya
orang she Kwee ini tidak hanya khusus merayakan hari lahirnya untuk bersenang-senang saja, akan tetapi
ia mengandung lain maksud.
Puterinya Lin Lin, sejak kembali dari perguruan sudah memiliki kepandaian tinggi sekali dan telah berusia
tujuh belas tahun. Putera-puteranya yang berjumlah lima orang itu telah dipertunangkan, kecuali Kwee An
yang tetap tidak mau dicarikan jodoh. Kini Kwe In Liang mengadakan perayaan dan mengundang banyak
orang gagah yang sudah dikenalnya, dengan maksud sekalian hendak mencari-cari seorang calon mantu
yang cocok untuk Lin Lin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kenapa Kwee-ciangkun meletakkan jabatan dan menjadi orang biasa? Hal ini juga akibat terpengaruh oleh
kembalinya Lin Lin. Memang Kwee-ciangkun tadinya terkenal sebagai seorang panglima yang sangat setia
dan gagah. Dia mematuhi perintah dan menunaikan kewajibannya tanpa ingat akan kepentingan dan
perasaan sendiri. Oleh sebab ini jasanya besar sekali dan ia mendapat penghargaan dari kaisar.
Akan tetapi, ketika Lin Lin pulang dengan diantar oleh Biauw Suthai, wanita gagah ini dan muridnya lantas
mengadakan percakapan dengan Kwee In Liang dan membujuk supaya Kwee-ciangkun tidak membantu
lagi kaisar yang sesungguhnya lalim dan tidak adil itu. Dengan alasan-alasan kuat Lin Lin membujuk
ayahnya, disertai penuturan Biauw Suthai tentang pengalaman-pengalamannya yang membongkar semua
rahasia kejahatan kaki tangan kaisar, terutama barisan Sayap Garuda yang mengganggu dan memeras
rakyat.
“Kalau Ayah tidak segera mengundurkan diri, aku kuatir sekali kelak kita akan dimusuhi oleh orang-orang
gagah sedunia!” kata Lin Lin dengan bujukannya.
Akhirnya Kwee In Liang menginsyafi kedudukannya yang berbahaya dan akan keadaan di dunia luar. Ia
adalah seorang yang berhati tabah dan pemberani, dan sama sekali ia tidak takut akan ancaman orang
kang-ouw karena kedudukan sebagai panglima. Yang ia takuti ialah bahwa karena membantu dan berada
di pihak yang tidak benar, maka jangan-jangan namanya akan dikutuk orang dan akan meninggalkan nama
busuk sesudah meninggal kelak. Kedua kalinya, dia ini sudah tua serta sudah merasa bosan dan capai
untuk memegang pangkat.
Oleh karena ini, dia segera mengajukan permohonan berhenti dari pekerjaannya dengan alasan sudah
terlalu tua dan lemah. Atasannya dapat menerima permohonannya dan ia pun berhenti dengan hormat lalu
pindah ke Sam-hwa-bun, membeli beberapa mou sawah dan hidup bertani.
Pada hari itu rumah keluarga Kwee telah dihias dengan kertas warna-warni dan kembang. Tampak puteraputera
keluarga Kwee, yakni Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Siang dan Kwee Bun. Yang seorang lagi yakni
Kwee An, tidak tampak di antara mereka. Telah lebih dari empat tahun yang lalu, Kwee An pergi
meninggalkan rumah ketika ia bertengkar dan berkelahi dengan Kwee Tiong. Pemuda ini hanya
meninggalkan surat dan memberi tahu kepada ayahnya bahwa ia hendak pergi merantau.
Keempat putera keluarga Kwee yang hadir di situ nampak amat gagah dan bersemangat. Terutama Kwee
Tiong yang nampak paling gagah dan cakap dalam pakaiannya yang indah mentereng. Mereka ini oleh
ayah mereka dilatih ilmu silat, bahkan akhir-akhir ini mereka berguru kepada seorang hwesio yang bernama
Tong Kak Hosiang dari Kelenteng Ban-hok-tong di luar tembok kota Tiang-an.
Hwesio ini adalah seorang perantau yang akhirnya bertempat tinggal di Ban-hok-tong. Oleh karena ini,
maka kepandaian keempat putera Kwee In Liang ini boleh dibilang tinggi juga, terutama Kwee Tiong yang
memiliki tenaga besar. Hanya Kwee An yang telah pergi merantau tiada kabarnya itu saja yang agaknya tak
mendapat kemajuan dalam pelajaran silat, karena pemuda itu lebih mengutamakan ilmu kesusasteraan.
Para tamu datang berbondong-bondong hingga tak lama kemudian penuhlah ruang yang disediakan untuk
tempat pesta. Kwee In Liang sendiri bersama empat orang puteranya duduk di ruangan depan dan
menyambut datangnya para tamu dengan sikap ramah dan menghormat.
Lin Lin sibuk membantu ibu tirinya di belakang dan setelah semuanya hadir, baru mereka berdua keluar
dan menyambuti tamu-tamu wanita yang banyak juga menghadiri pesta itu. Di antara tamu-tamu wanita
terdapat pula Biauw Suthai yang diminta datang oleh Lin Lin untuk mengharapkan bantuannya karena
mungkin sekali akan ada bahaya mengancam dari pihak perwira Sayap Garuda yaitu Boan Sip.
Perwira she Boan ini adalah pengganti Kwee-ciangkun dan dia menjadi kepala penjaga keamanan kota
Tiang-an. Dia adalah salah seorang perwira Sayap Garuda yang terkenal memiliki kepandaian tinggi.
Ketika melihat kecantikan Lin Lin, orang she Boan itu mengajukan lamaran, tetapi yang ditolak keras oleh
Kwee In Liang dan Lin Lin. Oleh karena inilah maka dia menaruh hati dendam sehingga beberapa hari yang
lalu dia sengaja mengganggu Lin Lin dan ayahnya di dalam hutan.
Karena ini maka kedatangan Biauw Suthai dalam pesta itu tidak hanya menggirangkan hati Lin Lin, tetapi
juga membuat Kwee In Liang bernapas lega.
Selain Biauw Suthai, di situ nampak juga seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan
dunia-kangouw.blogspot.com
berpakaian serba putih. Sikapnya pendiam dan tak banyak bicara, akan tetapi sinar matanya berpengaruh.
Ini adalah murid pertama dari Biauw Suthai yang bernama Bwee Leng dan yang memiliki kepandaian tinggi
sehingga terkenal dengan nama Pek I Toanio atau Nyonya Gagah Baju Putih. Bwee Leng adalah seorang
wanita yang telah menjadi janda. Juga nyonya ini bisa dibujuk oleh Lin Lin yang menjadi sumoi-nya.
Memang, baik Biauw Suthai mau pun Bwee Leng sangat sayang kepada Lin Lin.
Perjamuan berjalan dalam suasana gembira dan diselingi oleh datangnya para tamu yang mengucapkan
selamat pada tuan rumah. Arak wangi dan hidangan-hidangan dikeluarkan oleh pelayan yang sibuk
melayani para tamu.
Tiba-tiba seorang di antara para tamu, seorang kakek yang berpakaian sebagai seorang petani yang telah
terkenal di antara para tamu sebagai seorang pendekar tua dari selatan yang bernama Bhok Ki Sun, berdiri
dari tempat duduknya. Sambil menjura kepada tuan rumah yang duduk tak jauh dari situ, ia berkata,
“Kwee-enghiong, aku orang tua selain menghaturkan selamat padamu dengan doa agar kau diberkahi
panjang umur, juga menyatakan kegirangan hatiku mendengar bahwa kau telah bertemu kembali dengan
puterimu yang baru kembali dari belajar silat. Memang kau beruntung sekali, Kwee-enghiong, karena
puterimu telah menjadi murid dari Biauw Suthai yang terkenal lihai, dan yang kulihat hadir di sini. Kuharap
Kwee-enghiong suka berlaku murah dan memberi kepuasan kepada kedua mataku yang tua ini untuk dapat
menikmati keindahan ilmu silat Kwee-siocia. Bagaimana Cuwi sekalian, apakah usulku ini tak cukup baik?”
tanyanya kepada semua yang hadir.
Di tempat itu juga hadir banyak pemuda yang sudah mendengar tentang puteri keluarga Kwee yang
tersohor cantik jelita dan kabarnya telah mempelajari ilmu silat tinggi, maka tentu saja mereka merasa
gembira sekali dan menyambut dengan tepuk sorak gembira.
Sebetulnya di luar tahunya semua orang, Kwee In Liang yang cerdik telah minta bantuan Bhok Ki Sun yang
menjadi kawan baiknya, untuk sengaja mengeluarkan usul ini supaya terbuka jalan baginya untuk mencari
seorang mantu yang cocok. Maka sekarang, sambil tersenyum lebar dia berdiri dari tempat duduknya dan
menjura kepada semua tamunya sambil berkata,
“Cuwi sekalian, Bhok-enghiong terlalu memuji, apakah kebisaan anakku yang muda ini? Tapi karena di
pesta ini tidak ada hiburan apa-apa, sudah menjadi kewajiban kami untuk mengadakan sesuatu yang
kiranya bisa menghibur dan menggembirakan Cuwi sekalian. Lin Lin, kau penuhilah permintaan Bhokenghiong
setelah mendapat ijin dari Gurumu!”
Lin Lin adalah seorang gadis yang lincah dan tabah. Menghadapi sekian banyak pasang mata yang
memandang ke arahnya, sedikit pun ia tidak merasa gugup. Dengan tenang ia minta perkenan dari gurunya
dan setelah Biauw Suthai memberi persetujuannya, dara ini dengan tabahnya menuju ke tempat bersilat
yang memang sudah disediakan di tempat itu, tepat di tengah-tengah ruang yang luas itu.
Sesudah menjura sebagai pemberian hormat kepada semua yang hadir, Lin Lin lalu mulai bersilat dengan
gayanya yang indah dan cepat. Dia mainkan ilmu Silat Pat-kwa Kun-hoat atau Ilmu Silat Pat-kwa yang
mempunyai gerakan selain indah, juga cepat sekali hingga sebentar saja mata orang yang tak begitu tinggi
ilmu silatnya menjadi kabur dan melihat seakan-akan tubuh gadis itu berubah menjadi tiga empat orang.
Tepuk sorak terdengar riuh rendah menyambut ilmu silat yang memang hebat ini. Baru saja Lin Lin
menghentikan ilmu silatnya tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengejek dari luar. Suara tertawa ini
terdengar nyaring sekali sehingga semua tamu menengok ke luar. Juga Kwee In Liang memandang keluar
dan seketika dia menjadi pucat.
Yang datang adalah Boan Sip serta empat orang lain yang juga memakai tanda Sayap Garuda pada topi
mereka dan kesemuanya memakai jubah merah, tanda bahwa mereka ini adalah perwira-perwira kelas
satu. Yang menarik hati ialah bahwa di antara mereka ini terdapat seorang perwira yang usianya telah lebih
dari lima puluh tahun tetapi tampaknya masih gagah dan kuat.
“Sungguh bagus, orang-orang bergembira dan berpesta pora sampai lupa mengundang sahabat!” Perwira
tua itu berkata keras dan dialah yang tadi mengeluarkan suara ketawa itu.
Kwee In Liang sudah kenal kepada perwira tua ini, karena dia ini adalah Ma Ing, seorang yang terkenal
sekali karena mempunyai kepandaian tinggi dan menjadi salah seorang di antara para perwira terkemuka di
dunia-kangouw.blogspot.com
istana. Diam-diam orang she Kwee ini merasa terkejut sekali karena ia maklum bahwa pihak musuh
menjadi sangat kuat dengan adanya Ma Ing ini. Akan tetapi dia dapat menetapkan hatinya dan cepat-cepat
maju menyambut sambil menjura memberi hormat,
“Ngo-wi yang mulia, silakan duduk di dalam.”
Boan Sip sambil tertawa menyeringai mendahului masuk, diikuti oleh kawan-kawannya. Mereka berlima
masuk ke ruang itu sambil mengangkat dada dan dengan tindakan kaki lebar, sama sekali tak memandang
mata kepada sekalian yang hadir. Boan Sip langsung menghampiri Lin Lin yang masih berdiri di tengah
ruang tempat bermain silat dan sambil menyeringai ia berkata,
“Kwee-siocia, ilmu silatmu tadi sungguh-sungguh indah dipandang dan manis sekali!”
Lin Lin memandang dengan mata melotot dan gadis ini marah bukan main sebab teringat betapa beberapa
hari yang lalu dia sudah tertangkap oleh orang she Boan ini dan hampir saja diculik pergi! Hampir saja ia
tak dapat menahan kesabaran hatinya dan memaki atau menyerangnya, akan tetapi pada saat itu dari luar
terdengar suara yang nyaring,
“Ie-ie…!”
Lin Lin cepat menengok. Ia melihat Cin Hai diikuti oleh seorang gadis cantik jelita berbaju merah. Cin Hai
langsung berlari menghampiri Loan Nio atau Nyonya Kwee yang duduk di bagian tamu wanita.
Loan Nio yang belum diberi tahu oleh suaminya tentang perjumpaannya dengan Cin Hai, berdiri
memandang dengan mata terbelalak pada pemuda tampan yang menghampirinya. Cin Hai menjatuhkan
diri berlutut sambil berkata,
“Ie-ie, aku Cin Hai menghadap. Apakah selama ini Ie-ie baik-baik saja?”
“Cin Hai, kaukah ini?” Loan Nio menubruk dan mengangkat bangun anak itu, sementara tak tertahan lagi air
matanya mengucur keluar dari kedua matanya.
Cin Hai juga mengeluarkan air mata dari sepasang matanya karena terharu dan girang. Kemudian dia
memperkenalkan Ang I Niocu kepada ie-ie-nya.
“Ie-ie, ini adalah Nona Kiang Im Giok yang amat berbudi dan telah banyak menolongku.”
Loan Nio memandang Ang I Niocu dengan kagum dan mempersilakan gadis itu duduk di bagian tamu
wanita. Ketika bertemu dengan Biauw Suthai lalu berkata,
“Ehhh, tidak tahunya Ang I Niocu yang datang. Silakan…, silakan, aku masih ingat akan pertolonganmu di
goa dulu itu!” Dengan ramah Biauw Suthai lalu memperkenalkan Ang I Niocu kepada Pek I Toanio dan
mereka segera bercakap-cakap dengan gembira.
Sementara itu Lin Lin juga berlari menghampiri mereka dan diperkenalkan dengan Ang I Niocu, sedangkan
Cin Hai kemudian menghampiri ie-thio-nya untuk memberi hormat dan menghaturkan selamat. Dengan
ramah Kwee In Liang lalu menyuruh pemuda itu duduk di tempat tamu.
Sementara itu, melihat kesibukan tuan rumah karena kedatangan seorang pemuda dan seorang gadis baju
merah, Boan Sip beserta kawan-kawannya menjadi tidak puas dan merasa betapa mereka dipandang
ringan dan tidak dilayani seperti tamu agung.
“Eh, ehh apakah tuan rumah lebih mementingkan kedatangan budak itu dari pada kami?” Boan Sip dengan
sikap sombong berkata sambil bertolak pinggang. Ketika Kwee In Liang memandang ke arahnya, ia
berkata,
“Kwee Lo-enghiong, kau telah tahu akan maksud kedatanganku. Maka sekarang juga aku minta
keputusanmu dan marilah kau beri sedikit pengajaran kepadaku untuk melanjutkan main-main yang kita
lakukan di dalam hutan beberapa hari yang lalu. Aku sudah berjanji akan datang, apakah kau tidak berani
menyambutku?”
Bukan main marahnya hati Kwee In Liang mendengar kata-kata orang yang tidak sopan dan sikap yang
dunia-kangouw.blogspot.com
kasar menantang ini. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jika dibandingkan dengan perwira
muda ini, akan tetapi tentu saja ia tak mau memperlihatkan kelemahannya.
“Orang she Boan! Agaknya kau sudah melupakan aturan kesopanan dan sengaja datang membawa
kawan-kawanmu untuk mengacau pestaku!” orang tua ini lalu bertindak maju.
Akan tetapi, tiba-tiba saja Lin Lin telah mendahului ayahnya dan dengan sekali lompatan ia telah
menghadapi Boan Sip.
“Orang she Boan, engkau menjabat pangkat namun tidak mengenal aturan! Kami tidak mengundang akan
tetapi engkau sudah menebalkan muka untuk datang di pesta kami. Apakah engkau tidak malu? Apa bila
datang hendak mengajak pibu, apakah engkau tidak dapat memilih lain hari?”
“Ha-ha-ha-ha!” Boan Sip tertawa mengejek. “Jika hanya mengandalkan keberanian untuk mengadu
kepandaian, tidak perlu memilih waktu dan tempat. Sekarang kebetulan sekali banyak orang menjadi saksi,
apa bila pihak tuan rumah memiliki kegagahan, silakan maju memperlihatkan kepandaian!”
“Bangsat, apa kau kira kami takut padamu?” Lin Lin berseru dan meraba punggung untuk mencabut
senjatanya.
Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan putih yang datang dari pihak tamu wanita dibarengi
bentakan, “Manusia sombong jangan jual banyak tingkah di sini!”
Bayangan itu ternyata adalah Pek I Toanio yang mewakili sumoi-nya dan lantas saja dia menyerang
dengan tamparan keras ke arah pipi Boan Sip. Akan tetapi siang-siang Boan Sip telah dapat memaklumi
akan kelihaian wanita ini karena tamparannya mendatangkan angin pukulan dahsyat dan gerakannya
ketika melompat tadi ringan sekali.
Ia mengangkat tangan menangkis dan sepasang lengan beradu keras. Boan Sip terkejut sekali karena dia
terdorong ke samping sampai terhuyung-huyung! Sementara itu Lin Lin mengundurkan diri dan duduk di
dekat gurunya yang memandang dengan sikap tenang.
Ketika melihat sikap Boan Sip yang sombong dan sengaja datang mengacau itu, Kwee Tiong beserta
ketiga orang adiknya menjadi marah sekali dan mereka berempat sambil mencabut pedang lalu maju
menghampiri dengan sikap mengancam.
Akah tetapi Kwee In Liang yang maklum bahwa kepandaian mereka ini masih terlampau rendah untuk bisa
menghadapi Boan Sip, segera membentak, “Jangan kurang ajar, kalian mundurlah dulu!”
Kwee Tiong merasa penasaran sekali, akan tetapi dia tidak berani membantah ayahnya. Maka bersama
adiknya dia lalu berdiri dan bersiap sedia menghalau musuh yang kurang ajar itu.
Boan Sip yang melihat hal ini lalu tertawa bergelak-gelak. “Ha-ha-ha! Kwee Lo-enghiong agaknya tahu
akan kebodohan putra-putranya, karena itu tak mengijinkan anak-anaknya maju, bahkan telah
mengumpulkan orang-orang gagah untuk mewakilinya! Cerdik sekali!” Kemudian ia berkata kepada Pek I
Toanio, “Tidak tahu siapakah Lihiap yang begitu baik hati mewakili tuan rumah menyambutku?”
“Orang she Boan, bila sikapmu tak begini menjemukan dan kesombonganmu tidak begitu besar, siapa yang
sudi melayanimu? Akan tetapi engkau sudah lupa akan sopan santun dan tak memandang mata kepada
tuan rumah dan para tamunya. Apakah kau kira hanya engkau seorang saja yang mempunyai kepandaian?
Orang lain boleh engkau hina, tetapi aku Pek I Toanio tak sudi menerima hinaan dari orang macam
engkau!”
Memang biar pun Pek I Toanio berwatak pendiam, akan tetapi kalau telah mengeluarkan kata-kata selalu
tajam dan berterus terang. Boan Sip sudah pernah mendengar nama ini dan maklum akan kelihaiannya,
akan tetapi dia tidak takut.
“Hmm, apakah benar-benar engkau hendak mencoba kepandaianku?” tanyanya.
“Siapa yang sedang main-main padamu?” jawab Pek I Toanio dengan senyum mengejek sehingga
kemarahan Boan Sip makin meluap.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalau begitu kau mencari penyakit sendiri!” bentaknya dan ia lalu maju menyerang.
Pek I Toanio cepat berkelit dan membalas menyerang sehingga sebentar saja mereka berdua sudah
bertempur dengan seru.
Sementara itu, sejak datang dan duduk di kursi terdepan, beberapa kali Cin Hai bertukar pandang dengan
Lin Lin dan gadis yang sedang marah itu apa bila terbentur pandangan matanya dengan Cin Hai, lalu
tersenyum seakan-akan minta maaf bahwa dia tidak bisa menyambut sebagaimana mestinya karena
terganggu oleh para perwira kasar itu.
Kebetulan sekali Kwee Tiong dan ketiga orang adiknya berdiri di dekat tempat dia duduk. Kwee Tiong
hanya mengerling kepadanya tanpa ambil peduli. Cin Hai tahu akan hal ini, akan tetap ia tersenyum dan
berdiri pula lalu menghampiri mereka.
“Tiong-ko, bagaimana, apakah engkau sudah mendapat kemajuan besar?” tanya Cin Hai dengan manis.
Kwee Tiong memandang ke arahnya dengan acuh tak acuh, tetapi untuk kesopanan dia menjawab juga,
“Biasa saja, dan engkau sendiri telah belajar apakah?”
Juga Kwee Sin, Kwee Siang serta Kwee Bun menghampiri Cin Hai untuk melihat dan bertanya kepada
anak muda ini. Sikap mereka tidak seangkuh Kwee Tiong, akan tetapi rata-rata mereka memandang
rendah kepada Cin Hai.
“Ahh, aku tidak belajar apa-apa,” jawab Cin Hai sederhana.
Ketika Cin Hai sedang bercakap-cakap dengan Kwee Bun, Kwee Tiong menegur mereka, “Sudahlah,
jangan banyak cakap. Sekarang bukan waktunya mengobrol. Lihat tamu kita bertempur untuk kita, tidak
pantas kita hanya mengobrol saja!”
Memang benar ucapan Kwee Tiong ini, oleh karena pada waktu itu pertempuran sedang berlangsung
hebat. Boan Sip sungguh lihai dan gerakan-gerakannya selain cepat, juga mantap dan keras sehingga Pek
I Toanio harus mengeluarkan segenap kepandaiannya untuk melayani lawan yang kosen ini.
Cin Hai hanya memandang sebentar, akan tetapi ia tidak tertarik melihat pertempuran itu. Sebaliknya ia
celingukan ke sana ke mari mencari Kwee An dengan matanya. Kenapa ia tidak melihat Kwee An? Ia
kemudian menowel lengan Kwee Bun dan ketika pemuda ini berpaling, ia bertanya sambil berbisik,
“Di manakah adanya Saudara Kwee An?”
“Dia pergi merantau, sudah empat tahun belum kembali.”
Pada saat Cin Hai hendak bertanya lagi, Kwee Tiong menengok kepada mereka dengan pandangan tidak
senang sehingga Cin Hai dan Kwee Bun tidak melanjutkan percakapan mereka. Sebetulnya pada saat itu
perhatian Kwee Tiong tidak tertuju sepenuhnya kepada pertempuran yang sedang berlangsung dengan
hebatnya, namun sebagian besar tertuju kepada Dara Baju Merah yang duduk di dekat ibu tirinya.
Di dalam pandangan matanya, Ang I Niocu nampak sedemikian cantik dan ayu sehingga sepasang
matanya seakan-akan telah ditarik oleh besi sembrani. Ingin sekali Kwee Tiong memperlihatkan
kegagahannya dan melawan musuh supaya bisa menarik perhatian dan kekaguman gadis jelita itu. Ia
merasa heran sekali mengapa Cin Hai, anak tolol itu dapat datang bersama-sama dengan seorang gadis
demikian cantiknya!
Pada saat melihat jalannya pertempuran, Ang I Niocu juga merasa terkejut di dalam hati. Baginya,
kepandaian Pek I Toanio cukup tinggi dan hebat, akan tetapi ternyata bahwa orang she Boan itu lebih lihai
lagi dan gerakan-gerakannya masih diperhebat dengan ilmu cengkeraman dari Mongol yang sukar diduga
gerakannya, sehingga beberapa kali kalau tidak berlaku cepat tentu lengan Pek I Toanio sudah kena
dicengkeram!
Diam-diam Ang I Niocu menguatirkan keadaan paman dari Cin Hai, karena baru seorang lawan saja sudah
begini tinggi kepandaiannya, belum lagi yang empat lainnya! Ia maklum bahwa di situ ada Biauw Suthai
yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi sampai di manakah tingkat kepandaian kawan-kawan Boan
Sip yang duduk dengan muka tenang dan sombong itu?
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia mengerling ke arah Cin Hai yang duduk sambil memandang ke sana ke mari dan yang tidak
memperhatikan jalannya pertempuran. Pada saat Ang I Niocu memandang kepada Cin Hai, pandangan
matanya terbentur dengan pandangan mata Kwee Tiong. Ia terkejut dan cepat mengalihkan pandangan
matanya dan hatinya merasa tak senang.
Ia tahu bahwa pemuda tinggi tampan itu adalah putera dari Kwee In Liang karena tadi ia melihat betapa
Kwee Tiong dan adik-adiknya hendak turun tangan tetapi mereka dicegah oleh Kwee In Liang. Mengapa
pemuda itu memandangnya begitu macam? Apakah hanya kebetulan saja?
Sekali lagi Ang I Niocu mengerling ke arah Kwee Tiong dan tetap saja ia melihat betapa pemuda itu
menatapnya dengan pandangan mata penuh arti! Ang I Niocu merasa sebal dan marah, akan tetapi diam
saja dan sama sekali tidak mau memandang ke arah anak muda itu lagi.
Pertempuran itu benar-benar berjalan seru dan hebat. Pek I Toanio adalah murid pertama dari Biauw
Suthai dan memiliki kepandaian tinggi dan sudah hampir mewarisi kepandaian gurunya, maka dapat
dibayangkan betapa lihainya.
Akan tetapi Boan Sip adalah seorang Perwira Sayap Garuda kelas satu hingga tentu saja kepandaiannya
sudah cukup tinggi, karena apa bila tidak memiliki kepandaian tinggi, dia yang masih muda tidak akan
dapat menduduki pangkat yang besar itu, karena rata-rata Perwira Sayap Garuda kelas satu terdiri dari
orang-orang yang sudah berusia tinggi dan sedikitnya berusia hampir lima puluh tahun.
Setelah bertempur beberapa puluh jurus dengan hebat, tiba-tiba saja Boan Sip merubah gerakannya dan
kini dia mulai menyerang dengan limu Golok Keledai Gila Bergulingan. Tubuhnya berguling-guling ke arah
lawan dan sambil bergulingan tubuhnya tertutup dan terlindung oleh perisai, sedangkan goloknya
menyambar-nyambar ke arah kaki lawan!
Ilmu gerakan ini benar-benar berbahaya dan cepat, dan ke mana saja Pek I Toanio loncat menghindar,
selalu Boan Sip dengan amat cepat lantas mengejar sambil bergulingan dan melancarkan serangan
berbahaya. Ia tak hanya bergulingan sambil menyerang kaki akan tetapi secara tiba-tiba ia bangun dan
menyerang dengan golok itu kemudian bergulingan pula!
Diserang secara begini, Pek I Toanio menjadi gugup sekali dan tak berdaya melancarkan serangan
balasan. Ia menjadi gemas dan penasaran lalu melakukan sebuah gerakan dan serangan nekad.
Sambil berseru nyaring Pek I Toanio lalu menjatuhkan diri bergulingan dalam gerak tipu Daun Kering
Tertiup Angin! Dia mengimbangi gerakan lawan dan sambil bergulingan dia membabat dengan pedangnya
dari samping. Karena serangannya ini hampir menempel pada lantai, maka tak mungkin tertangkis dengan
perisai.
Pada saat itu terdengar teriakan kaget dan ternyata bahwa Cin Hailah yang berteriak itu. Seperti lakunya
seorang yang bingung dan gugup pemuda ini menyambar bangku yang didudukinya dan melemparkan
bangku itu dengan sambaran cepat ke arah mereka yang sedang bertempur sambil bergulingan!
Kwee Tiong dan adik-adiknya serta orang-orang lain yang duduk dekat Cin Hai merasa heran sekali melihat
perbuatan pemuda ini. Sementara itu, ketika Cin Hai melemparkan bangkunya, Pek I Toanio setelah
pedangnya kena ditangkis, kemudian bergulingan pergi menjauhi Boan Sip yang telah siap untuk melempar
goloknya.
Ketika mendapat kesempatan baik dan pada saat tubuh Pek I Toanio yang bergulingan pergi
membelakanginya, ia lalu menyambitkan goloknya ke arah punggung lawan! Akan tetapi, tepat pada saat
itu, bangku yang dilempar oleh Cin Hai telah tiba di antara mereka hingga sebelum golok itu terlepas dari
tangan Boan Sip, ia keburu menahan gerakannya kembali dan tidak jadi melontarkan goloknya.
Boan Sip melompat berdiri dengan marah sekali, sedangkan Pek I Toanio juga sudah bangun berdiri. Boan
Sip sambil bertolak pinggang memandang sekeliling, lalu menegur dengan suara nyaring,
“Tuan rumah tidak kenal malu dan sengaja membantu secara diam-diam! Siapakah yang begitu berani mati
melempar bangku tadi?”
Sementara itu, dengan marah Kwee Tiong menegur Cin Hai, “Cin Hai, engkau bodoh dan lancang tangan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Apa maksudmu melemparkan bangku tadi?”
Cin Hai pura-pura gugup dan bingung. “Aku... aku merasa ngeri melihat pertempuran itu dan berusaha
memisahkannya!”
Mendengar ini, semua orang tertawa geli dan diam-diam Kwee Tiong mentertawakan Cin Hai. Mengapa ia
masih begini bodoh, pikirnya!
Di antara semua orang merasa heran dan mentertawakan Cin Hai karena ketololannya, hanya Biauw
Suthai dan Pek I Toanio saja yang mempunyai pikiran lain. Pek I Toanio insyaf akan kesalahan gerakannya
tadi yang telah membuka punggungnya pada saat dia bergulingan dan hal ini pun diketahui baik oleh
gurunya, dan mengapa secara kebetulan sekali pemuda itu melemparkan bangku pada saat yang demikian
tepat hingga jiwa Pek I Toanio terbebas dari ancaman?
Bahkan Ang I Niocu sendiri tidak tahu akan hal ini karena ia tidak kenal gerakan-gerakan Pek I Toanio
sehingga Gadis Baju Merah ini pun merasa agak heran melihat perbuatan Cin Hai.
Sekali lagi Boan Sip berseru, “Tuan rumah berlaku curang! Hayo keluarkan dia yang telah berani
mengganggu,” katanya dengan lagak sombong.
Sementara itu, atas isyarat gurunya, Pek I Toanio kembali ke tempat duduknya setelah menjura kepada
Kwee In Liang dan menyatakan penyesalannya karena tidak berhasil mengalahkan lawannya.
Tiba tiba Kwee Tiong yang diikuti oleh ketiga orang adiknya meloncat dengan pedang di tangan sambil
membentak, “Orang she Boan, jangan sombong! Yang melempar bangku adalah adik keponakanku yang
tolol dan bodoh, namun tidak perlu engkau memusuhi dan menantangnya. Kalau engkau memang gagah,
aku Kwee Tiong yang akan melawanmu!”
Boan Sip memandang kepada Kwee Tiong dengan senyum sindir. Pemuda ini barusan mengeluarkan
ucapan gagah, akan tetapi ternyata sekali maju membawa ketiga orang adiknya. Melihat gerakan mereka
itu, Boan Sip memandang sebelah mata dan berkata sambil tertawa,
“Ha-ha-ha-ha, kalian ini putera-putera Kwee In Liang? Aneh, Harimau itu ternyata hanya mempunyai
putera-putera berupa kucing yang hanya pandai mengeong!”
Kwee In Liang hendak memanggil putera-puteranya, akan tetapi Kwee Tiong sudah tidak dapat menahan
marahnya lagi. Dia lalu berseru keras dan menubruk dengan pedangnya diikuti oleh ketiga orang adiknya
yang menyerang dengan berbareng.
Boan Sip mengeluarkan suara di hidung dan menggerakkan goloknya menangkis. Sekali tangkis saja, dua
dari empat batang pedang saudara-saudara Kwee itu terlempar. Dan Boan Sip melanjutkan gerakannya
dengan serangan pembalasan.
Baiknya perwira muda ini masih ingat bahwa keempat anak muda ini adalah kakak-kakak dari Lin Lin yang
dia rindukan, maka dia tidak memiliki niat mencelakakan mereka, hanya ingin menggoda serta
memperlihatkan kegagahannya saja. Maka serangan-serangannya hanya nampaknya saja hebat
mengerikan karena goloknya menyambar-nyambar hebat, akan tetapi tidak digerakkan cepat hingga
keempat anak muda itu masih dapat berkelit ke sana ke mari dengan wajah pucat.
Tiba-tiba Cin Hai memegang sebuah bangku yang ditinggalkan oleh dua orang tamu yang berdiri karena
tegangnya menonton pertempuran itu dan dengan bangku di tangan, Cin Hai berlari menuju ke tempat
pertempuran. Lalu ia menyerang Boan Sip secara membabi buta sambil berseru berkali-kali,
“Jangan membunuh kakak-kakakku, jangan mencelakakan kakak-kakakku!”
Mendapat serangan kacau balau itu, Boan Sip terkejut dan cepat melihat penyerangnya. Karena ia tujukan
perhatiannya kepada penyerang baru ini, maka keempat saudara Kwee dapat mundur, sedangkan Cin Hai
masih terus mengobat-abitkan bangkunya. Boan Sip ketika melihat bahwa pemuda inilah yang tadi
menghalangi kemenangannya atas Pek I Toanio menjadi marah sekali.
“Orang tolol, engkau mencari mampus!” bentaknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia kemudian menggunakan goloknya menyerang. Akan tetapi Cin Hai mengobat-abitkan bangkunya yang
cukup panjang hingga Boan Sip menjadi bingung. Gerakan pemuda ini tidak teratur dan kacau balau,
bahkan seperti gerakan orang gila mengamuk, akan tetapi justru inilah yang membingungkan Boan Sip.
Gerakan silat dapat diduga karena teratur, akan tetapi gerakan-gerakan yang menggila ini benar-benar
membingungkan dan sebelum dia dapat menyerang, sebuah kaki dari pada bangku yang diobat-abitkan itu
telah mengenai tubuh belakangnya.
“Bukk!” terdengar suara karena bokongnya kena dihajar kaki bangku.
Semua orang tertawa geli melihat tingkah laku Cin Hai yang mereka anggap sebagai seorang pemuda tolol
itu. Akan tetapi karena dalam ketololannya pemuda itu berani membela keempat pemuda Kwee, walau pun
mereka mentertawakannya, akan tetapi di dalam hati mereka suka kepadanya. Maka bersoraklah para
tamu melihat betapa tanpa disengaja kaki bangku itu dapat memukul bokong Boan Sip yang sombong.
Sementara itu, Cin Hai sambil mengobat-abitkan bangkunya berkata kepada Kwee Tiong beserta adikadiknya,
“Engko Tiong, kau ajaklah adik-adikmu mundur, biar aku tahan babi hutan yang mengamuk ini!”
Kembali terdengar suara orang-orang tertawa karena pemuda yang dari gerak-geriknya ternyata bahwa ia
tidak mengerti ilmu silat itu dengan sikap gagah sekali membuka mulut besar hendak membela keempat
saudara Kwee dan menghadapi Boan Sip yang sangat lihai. Sungguh satu pemandangan yang lucu
mengherankan!
Akan tetapi, keadaan ini merupakan tamparan hebat bagi keangkuhan dan kesombongan Boan Sip.
Kembali ia menyerang sambil memaki-maki. Pada saat bangku itu menyambar kembali, dengan gemas
Boan Sip membacok kaki bangku dengan goloknya. Mana bisa kayu itu mampu menahan bacokan golok
Boan Sip. Dengan mudah saja kaki bangku itu terbabat putus.
Akan tetapi sungguh malang bagi Boan Sip, yakni dalam pandangan semua orang yang menonton
pertempuran itu. Ketika kaki bangku itu terbabat putus, ternyata saking tajam golok yang membabat, kaki
bangku itu melayang dan kebetulan sekali dapat menampar pipi Boan Sip!
“Plokk!”
Terdengar suara dan pipi Boan Sip yang kena dilanggar potongan kaki bangku itu lantas menjadi merah
kulitnya dan terasa pedas sekali!
Kejadian ini terlihat jelas oleh semua orang sehingga kembali terdengar sorak riuh rendah karena ternyata
walau pun bodoh dan tidak mengerti ilmu silat, agaknya pemuda tolol itu sedang ‘hok-khi’ (beruntung) maka
secara kebetulan sekali lawannya kena tamparan kaki bangku yang dipotongnya sendiri!
Pada waktu itu, di bagian tamu di mana tadi Cin Hai duduk, terjadilah peristiwa lain yang menimbulkan
tertawa geli. Kiranya dua orang tamu yang tadi berdiri melihat pertempuran seru antara Kwee Tiong dibantu
adiknya dengan Boan Sip hingga bangku mereka diambil oleh Cin Hai di luar tahu mereka, ketika melihat
betapa dua kali Boan Sip kena terpukul kaki bangku, mereka jadi begitu gembira sehingga sambil tertawa
terkekeh-kekeh mereka menjatuhkan diri di atas bangku di belakang mereka. Akan tetapi suara mereka
segera terganti seruan kaget dan kesakitan karena mereka berdua ternyata menjatuhkan diri ke belakang
yang kosong dan tak ada bangkunya lagi, maka tentu saja mereka terjengkang dan jatuh tunggang
langgang!
Orang-orang di sekitarnya tertawa bergelak dan kedua orang itu berdiri sambil meringis kesakitan, akan
tetapi ketika mereka mengetahui bahwa bangku yang berhasil menghajar Boan Sip adalah bangku yang
tadi mereka duduki, maka berserilah wajah mereka!
Boan Sip marah sekali dan ia menyerang bagaikan kerbau gila. Bangku di tangan Cin Hai sudah tak karuan
lagi macamnya karena bekas bacokan golok.
“Eh, eh, tak tahu malu! Menyerang orang yang tidak memegang senjata!” Cin Hai memaki dengan suara
mengejek.
Kata-kata ini mengingatkan Boan Sip bahwa kalau dia nanti membunuh anak muda tolol yang tidak
bersenjata ini dengan goloknya, maka dia tentu akan dipandang rendah oleh orang-orang gagah. Lagi pula
dunia-kangouw.blogspot.com
untuk menyingkirkan bangku dari tangan pemuda bodoh ini lebih mudah menggunakah tangan kosong.
Karena itu dia segera membanting golok dan perisainya di atas lantai sehingga mengeluarkan suara
berkerontangan, kemudian sambil mendelikkan mata ia memaki,
“Baik, aku telah membuang senjataku, orang gila! Tunggulah aku akan mencekik batang lehermu!”
“Mengapa bermain cekik-cekikan? Kita bukan sedang bermain adu gulat!” jawab Cin Hai dengan muka lucu
hingga kembali semua orang tertawa.
Sementara itu, Lin Lin merasa heran sekali dan juga kagum. Ia heran dan kecewa melihat bagaimana Cin
Hai setelah dewasa berubah menjadi seorang pemuda tolol, akan tetapi ia juga merasa kagum melihat
betapa dalam ketololannya, Cin Hai ternyata mempunyai hati yang tabah, bersemangat, dan berani
membela kakak-kakaknya!
Juga Kwee In Liang menggeleng-gelengkan kepala karena ia ikut merasa malu memiliki seorang
keponakan setolol itu. Bahkan Biauw Suthai yang mempunyai pandangan tajam dan pengalaman luas
dapat pula dikelabui oleh aksi Cin Hai yang ketolol-tololan sehingga diam-diam wanita tua ini bersiap sedia
menolong jiwa anak muda yang tolol akan tetapi pemberani itu, Loan Nio duduk dengan wajah pucat,
hendak mengeluarkan suara saking terperanjat dan kuatirnya.
Ketika Cin Hai mengangkat bangku menyerang kembali, Boan Sip menyambut bangku itu dengan kedua
tangannya dan ia lantas membetot. Akan tetapi, betapa terkejutnya ketika ternyata bahwa ia tidak mampu
membetot bangku itu dari tangan Cin Hai! Ia terkejut dan heran sekali. Apakah mungkin pemuda tolol ini
memiliki tenaga sebesar itu? Ia membetot kembali dan Cin Hai terus mempertahankan.
“Uhh… uhhh…” mulut Cin Hai mengeluarkan suara seolah-olah dia sedang mengerahkan seluruh
tenaganya.
Demikianlah, keduanya saling membetot dan mempertahankan, sedikit pun tak ada yang mau mengalah!
Bangku itu sebentar terbetot ke kanan, sebentar terbetot ke kiri sehingga seakan-akan kedua orang itu
sedang mengadu tenaga membetot-betot bangku hingga air muka keduanya berubah merah!
Yang merasa sangat gembira adalah para penonton. Mereka bersorak riuh rendah dan lupa bahwa kedua
orang itu sebenarnya sedang berkelahi dan lupa pula bahwa Boan Sip sedang marah besar dan dari kedua
matanya mengeluarkan nafsu membunuh karena benci dan marahnya kepada pemuda tolol itu!
Pada saat itu mereka merasa seolah-olah sedang menonton dua orang mengadu tenaga dengan menariknarik
bangku sebagai gantinya tambang yang biasa dipergunakan untuk mengadu tenaga bertarik-tarikan!
Maka terdengarlah suara-suara yang memihak kepada Cin Hai sambil berteriak-teriak,
“Hayo, tarik... tarik...! Keluarkan tenagamu...”
Jika bangku itu terbetot ke arah Cin Hai, maka semua orang berseru gembira, “Hayo... lebih keras lagi...
tarik...!”
Akan tetapi apa bila bangku itu terbetot ke arah Boan Sip, terdengar teriakan-teriakan lain yang
mengandung kekuatiran, “Awas... pertahankan... jangan sampai kalah...!”
Untuk beberapa lamanya kedua orang itu saling tarik, saling betot dan saling keluarkan tenaga. Boan Sip
makin marah dan penasaran saja. Tenaganya untuk membetot bangku ini lebih dari pada tujuh ratus kati,
akan tetapi sungguh aneh sekali bahwa pemuda tolol ini dapat mempertahankannya sedemikian rupa. Ia
lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan dengan tenaga yang tidak kurang dari seribu kati kuatnya.
Tiba-tiba saja Cin Hai mengendurkan pegangannya hingga dengan cepat sekali bangku itu terbetot ke arah
Boan Sip dan terbawa tubuhnya yang terhuyung-huyung ke belakang ini. Akan tetapi Cin Hai tidak
melepaskan pegangannya sehingga tubuhnya ikut terbetot dengan bangku itu. Tarikan Boan Sip demikian
kerasnya hingga karena tenaga bertahan dilepas secara tiba-tiba, tidak mampu lagi perwira itu bertahan
dan terlempar ke belakang terhuyung-huyung ke belakang dan akhirnya jatuh terjengkang dengan bangku
dan tubuh Cin Hai menimpa di atasnya.
Orang-orang tertawa geli dan bersorak-sorai. Akan tetapi pada saat itu pula Lin Lin sudah melompat ke
tempat itu karena gadis ini yakin bahwa ketika tubuh Cin Hai menimpa di atas tubuh Boan Sip, maka
dunia-kangouw.blogspot.com
perwira itu dapat memberi pukulan maut kepada pemuda itu.
Dan alangah herannya Lin Lin ketika tanpa terlihat, tahu-tahu Ang I Niocu juga berada di situ dan cepat
sekali Dara Baju Merah ini telah memegang tangan Cin Hai dan membetot tubuhnya! Ternyata bahwa Ang I
Niocu juga kena ditipu oleh ketololan Cin Hai sehingga dia menguatirkan keselamatan pemuda ini.
Akan tetapi, ketika orang-orang melihat Boan Sip merangkak bangun, ternyata dari mulut perwira muda itu
mengalirkan darah dan ia pun berdiri dengan terhuyung-huyung. Karena terlalu banyak menghabiskan
tenaga dan tiba-tiba saja bangku dilepas, maka tenaganya membalik dan telah melukainya sendiri hingga ia
mendapat luka dalam yang hebat juga!
Kawan-kawannya segera menghampiri dan menuntunnya duduk di atas sebuah bangku. Ma Ing segera
mengetuk pundak dan mengurut-urut dadanya, dan memberinya sebuah pil untuk ditelan. Boan Sip lalu
duduk diam dan cepat mengatur napas untuk memulihkan tenaganya kembali.
Lin Lin dan Ang I Niocu kembali lagi ke tempat duduk masing-masing, ada pun Cin Hai dengan mendapat
sambutan tepuk tangan dan tertawa geli, dipanggil oleh ie-ie-nya, yaitu di bagian para tamu wanita. Pada
saat Biauw Suthai memandang pemuda itu, teringatlah wanita gagah ini. Dia lalu berdiri dan menghadapi
Cin Hai.
“Bukankah kita pernah bertemu?” tanyanya mengingat-ingat.
“Sudah, Suthai,” jawab Cin Hai, “Sudah empat kali kita bertemu.”
“Empat kali?” Biauw Suthai mengingat-ingat.
“Ya, empat kali. Pertama kali ketika engkau menculik Adik Lin Lin. Ke dua kalinya ketika engkau
menolongku dari serangan Biauw Leng Hosiang, lalu ketiga kalinya di dalam Goa Tengkorak, dan ke empat
kalinya... sekarang ini!”
Biauw Suthai tertawa senang. “Ahh, benar... pantas saja kalau begitu. Memang semenjak dulu engkau
telah memiliki keberanian yang besar!”
Lin Lin memandang kepada Cin Hai dengan kagum, lalu berkata, “Hai-ko, benar-benar kau gagah berani!”
Dan aneh sekali, mendengar pujian dan melihat sinar mata gadis ini Cin Hai merasa demikian girang
hingga ia tersenyum dan tiba-tiba mukanya menjadi merah. Ang I Niocu dari tempat duduknya
melayangkan pandang tajam ke arah kedua anak muda ini.
Sementara itu, Kwee Tiong dan adik-adiknya merasa iri hati dan jengkel melihat betapa Cin Hai yang tolol
itu mendapat pujian dari orang-orang.
“Sungguh menjemukan, sungguh menyebalkan...!” Kwee Tiong bersungut-sungut.
Pada saat itu seorang perwira lain yang bertubuh pendek dan bermuka hitam, meloncat masuk ke dalam
arena. Dengan tertawa dingin dia menggulung lengan bajunya ke atas hingga nampak sepasang tangannya
yang pendek dan berkulit halus putih, jauh berbeda dengan warna kulit mukanya. Dia memandang ke
sekeliling dan berkata kepada Kwee In Liang,
“Kwee-ciangkun...”
“Aku bukan seorang pembesar lagi, jangan kau menyebutku ciangkun.” Kwee In Liang memotong. Perwira
kate itu tertawa,
“Kwee Lo-enghiong,” katanya lagi.
“Pertempuran antara Boan-sute dan Pek I Toanio boleh dianggap berakhir dengan seri karena datangnya
gangguan dari pemuda tolol tadi, dan pertempuran antara Boan-sute dan pemuda itu tidak termasuk
hitungan karena itu bukanlah pertempuran. Jadi keadaan pihak kami masih belum ada yang kalah belum
ada yang memang. Sekarang kuharap kau suka maju, atau boleh juga kau mengajukan pemuda bodoh
setengah gila tadi untuk menghadapiku, dalam sebuah pertempurah sungguh-sungguh! Tetapi, tentu anak
bodoh itu tidak berani!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapa yang tidak berani?” tiba-tiba Cin Hai berteriak. “Mentang-mentang mukanya hitam, jangan membuka
mulut besar!”
Terdengar orang-orang tertawa keras karena merasa geli mendengar ini. Muka perwira yang hitam itu
menjadi lebih hitam lagi karena darah mengalir ke mukanya.
“Anjing tolol, jangan kau suka berbuat kepada lain orang sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain
berbuat padamu! Kau datang-datang memaki orang, mengapa kau tidak suka mendengar disebut muka
hitam?” Sambil berkata demikian, Cin Hai bangun berdiri hendak menyambut tantangan orang itu. Akan
tetapi Loan Nio yang duduk di dekatnya lalu memegang pundaknya dan mencegahnya membuat onar lebih
jauh.
Tiba-tiba Ang I Niocu berdiri sambil tersenyum. Ia mengangguk kepada Biauw Suthai, lalu menghampiri
Kwee In Liang dan bertanya, “Kwee Lo-enghiong, bolehkah aku mewakili Saudara Cin Hai?”
Kwee In Liang yang merasa bahwa ia sendiri tak berdaya, hanya menganggukkan kepala dengan bingung.
Setelah mendapat perkenan Kwee In Liang, dengan sekali gerakan kaki tubuhnya melayang cepat dan
tahu-tahu telah berdiri di depan perwira muka hitam tadi.
Semua orang memuji keindahan gerakan ini dan perwira muka hitam itu terkejut sekali. Ia maklum bahwa ia
kini sedang menghadapi seorang lawan yang lihai dan tangguh, maka ia tidak berani main-main dan segera
menjura dengan hormat.
“Tuan rumah sudah berhasil mengumpulkan pembela-pembela yang pandai. Bolehkah kiranya aku
mengetahui nama Lihiap dan apa hubungan Lihiap dengan Kwee-enghiong?”
Ang I Niocu tersenyum dan orang-orang heran mendengar betapa tiba-tiba Ang I Niocu mengucapkan
sajak,
Berkawan sebatang pedang
Menjelajah ribuan li tanah dan air
Tanpa maksud, tiada tujuan
Hanya mengandalkan kaki dan hati.
Kau hendak bertanya nama?
Lihat pakaian dan pedang.
Dan cari sendiri siapa namaku!
Perwira itu lalu memikir-mikir sebentar sambil memandang pakaian Ang I Niocu dengan penuh perhatian.
Kemudian ia pun berkata dengan kaget, “Ahh, bukankah Lihiap ini Ang I Niocu?”
Ang I Niocu tersenyum manis, dan sekalian orang yang hadir, juga Kwee In Liang, Kwee Tiong dan semua
adiknya terkejut sekali. Telah lama nama ini sangat tersohor akan tetapi tak seorang pun pernah
menyangka bahwa orangnya sedemikian muda dan cantiknya!
“Apakah artinya nama bagi kita? Hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan pibu yang kita hadapi.
Dan tentang hubungan dengan keluarga Kwee yang kau tanyakan tadi, terus terang saja aku pun hanya
seorang tamu biasa bahkan tamu yang tidak diundang seperti juga kalian! Akan tetapi, karena maksudku
baik maka aku diterima dengan baik pula, tidak seperti kalian hanya datang mengacau!”
“Maaf, maaf! Tidak tahu bahwa Lihiap adalah Ang I Niocu maka berlaku kurang hormat. Pertempuran ini
tidak dapat dilanjutkan!” Si Muka Hitam berkata. “Bukan karena aku tidak menghormat Lihiap, akan tetapi
karena kami datang khusus untuk mengadu kepandaian dengan keluarga Kwee, maka aku Tan Song tak
akan mau melayaninya!”
Mendengar kata-kata ini, Ang I Niocu tidak berdaya dan ia tidak dapat memaksa, maka ia lalu bertindak ke
tempatnya semula sesudah berkata, “Kalau begitu, masih kuharapkan agar lain kali kau suka
memperlihatkan kepandaianmu yang membuat kau sombong ini, Tan-ciangkun!”
Tan Siong merasa malu dan marah mendengar sindiran ini, akan tetapi ia memang cerdik dan pura-pura
tak mendengar sindiran yang disengaja oleh Ang I Niocu itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hei, orang she Kwee, bagaimanakah? Apakah kau serta kaum kerabatmu tidak berani menghadapi aku?
Mana pemuda gila yang menjadi keponakanmu tadi, suruh dia keluar, jangan sembunyi di dalam pelukan
ibunya saja!”
Bukan main hebatnya hinaan ini sehingga Cin Hai sudah bermaksud hendak bertindak memperlihatkan
kepandaian. Akan tetapi pada saat itu pula dari luar berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang
pemuda berpakaian bagai seorang sasterawan telah berdiri di situ. Pemuda ini langsung menuding muka
Tan Siong dan berkata,
“Manusia sombong yang suka mengacau! Jangan kau menghina Ayahku, aku putera ke lima siap
menghadapimu!”
“An-ji...!” Kwee In Liang dan Loan Nio berseru hampir berbareng.
Akan tetapi karena pada waktu itu Kwee An sedang menghadapi musuh, maka mereka hanya memandang
dengan girang dan juga kuatir. Apa lagi Kwee An hanya mempunyai kepandaian silat yang masih rendah
saja. Hanya saja cara melihat masuknya Kwee An tadi timbul harapan baru dalam hatinya. Ia sendiri yang
berkepandaian cukup, hampir tak melihat gerakan Kwee An yang demikian cepat!
Cin Hai dengan jelas bisa melihat bahwa ketika masuk tadi Kwee Ang telah menggunakan Ilmu Loncat
Naga Sakti Mengejar Mustika dan bahwa ilmu loncat ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempelajari
keng-sin-sut atau ilmu berlari cepat dan sudah mempunyai ginkang tinggi. Maka ia tahu bahwa Kwee An
telah mempelajari silat dari orang pandai. Juga Ang I Niocu, Biauw Suthai, Pek I Toanio, dan Lin Lin
mengetahui hal ini sehingga mereka menjadi girang.
Akan tetapi, Cin Hai adalah seorang yang sangat teliti dan hati-hati. Meski pun maklum bahwa Kwee An
memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi ia masih merasa kuatir dan pada saat yang tegang itu, tiba-tiba ia
berlari-lari menghampiri Kwee An sambil berteriak-teriak “Kwee An... Kwee An...”
Kwee An cepat berpaling dan wajahnya yang cakap itu berseri gembira melihat Cin Hai. “Cin Hai, engkau
juga datang?” Mereka lalu berpelukan karena memang dengan Kwee Ang, semenjak dahulu Cin Hai
mempunyai perhubungan yang akrab.
Ketika mereka berpelukan, dengan perlahan sekali Cin Hai berbisik,
“Dia mempunyai Pek-mo-jiu.”
Akan tetapi dengan suara keras ia berkata, “Kwee An, engkau begini gagah perkasa! Ah, Si Muka Hitam ini
sebentar lagi akan bermuka biru!” Sesudah berkata demikian, Cin Hai lalu bertindak kembali ke tempat
duduknya.
Semua orang tertawa mendengar olok-oloknya kepada Muka Hitam. Diam-diam Kwee An heran melihat
sikap Cin Hai yang ketolol-tololan, padahal bisikan tadi menyatakan bahwa mata Cin Hai tajam sekali. Ia
sendiri kalau tidak diberi tahu tentu tidak akan menyangka, karena memang seorang yang memiliki Pekmo-
jiu, tidak nampak dari luar, tidak seperti halnya Hek-see-jiu atau Ang-see-jiu, sebab orang yang memiliki
ilmu ini, tangannya hitam atau merah.
Pek-mo-jiu atau Tangan Iblis Putih adalah semacam ilmu yang dipelajari dengan melatih tangan dan lengan
sedemikian rupa menggunakan bubuk perak putih yang dicampurkan obat-obat kuat dan digosok-gosokkan
pada seluruh lengan tangan, juga melatih dengan memukul-mukul bubuk perak kasar hingga kebal dan
keras dan mempunyai tenaga luar biasa!
Pertempuran antara Kwee An dan Tan Song segera dimulai. Dalam beberapa gebrakan saja Cin Hai dapat
tahu bahwa Kwee An sudah mempelajari ilmu silat dari Kim-san-pai, sebuah cabang persilatan dari Go-bisan
yang mempunyai banyak cabang persilatan itu.
Pernah dulu Bu Pun Su memberi tahu kepadanya tentang cabang persilatan ini yang biar pun kurang
ternama, akan tetapi sesungguhnya mempunyai ilmu silat yang tinggi. Dan sekarang Cin Hai membuktikan
sendiri hingga dia merasa girang sekali karena Kwee An yang baik hati dan sederhana itu ternyata memiliki
kepandaian silat yang tidak saja lebih tinggi dari Lin Lin, akan tetapi agaknya tak kalah dengan kepandaian
Si Muka Hitam ini!
dunia-kangouw.blogspot.com
Benar saja seperti dugaan Cin Hai semula, Tan Song yang maklum bahwa lawannya yang masih muda ini
memiliki kepandaian tinggi dan merupakan lawan yang tangguh, lalu berusaha mencapai kemenangan
mengandalkan kedua tangannya yang memiliki tenaga Pek-mo-jiu. Dia segera mengerahkan tenaga dan
kepandaian melancarkan seragan kilat yang dapat membawa maut.
Akan tetapi Kwee An berlaku hati-hati sekali. Ginkang pemuda ini sudah mencapai tingkat tinggi dan ia
memiliki ilmu meringankan tubuh yang lebih tinggi dari pada lawannya, maka ia menggunakan ginkang-nya
untuk bergerak ke sana ke mari demikian cepatnya laksana seekor burung kepinis!
Orang-orang bersorak gembira melihat pertunjukkan ini, karena pertempuran mereka itu seakan-akan
seekor ular yang mengejar burung yang terlalu gesit dan cepat untuk dapat dicaploknya. Kwee An
mengeluarkan ilmu silat Kim-san-pai yang lihai dan segera balas menyerang dengan totokan-totokan ke
arah urat dan jalan darah lawan.
Pernah terjadi kelambatan pergerakan Kwee An yang hampir saja mencelakakan anak muda ini sebab Tan
Song menggunakan kesempatan itu untuk mengirim sebuah pukulan maut yang keras ke arah dada Kwee
An. Semua orang terkejut, bahkan Ang I Niocu pun mengeluarkan seruan tertahan.
Kwee An merasa betapa angin pukulan Pek-mo-ciang ini seakan mengiris kulit dadanya. Namun berkat
kegesitannya, dia segera melempar diri ke belakang sambil menggerakan kedua kakinya menendang ke
depan bergantian. Untung saja dia mempergunakan Ilmu Gerakan Kera Jatuh Dari Cabang ini, karena
kalau saja ia tidak mempergunakan gerakan ini dan tidak menendangkan kedua kakinya, tentu lawannya
akan menubruk maju sambil mengirim serangan ke dua.
Cepat sekali Kwee An menggunakan kedua tangan menekan lantai sehingga tubuhnya dapat mencelat ke
atas kembali dan kini ia menghadapi lawannya yang tangguh dengan lebih hati-hati.
Sesudah bertempur seratus jurus lebih, lambat laun Tan Song mulai terdesak. Kwee An yang muda serta
bertenaga kuat itu melancarkan serangan-serangan yang terlihai dari Kim-san-pai dan karena cabang
persilatan ini memang tidak banyak dikenal orang, maka Tan Song menjadi bingung menghadapi gerakangerakan
yang aneh ini.
Cin Hai merasa gembira sekali dan ia bersorak-sorak gembira sambil berseru-seru “Hayo, Kwee An,
hantam terus... hantam terus...”
Semua penonton melihat dan mendengar Cin Hai ikut merasa gembira karena mereka ini hampir semua
berpihak pada tuan rumah dan membenci perwira-perwira Sayap Garuda yang terkenal jahat. Kwee In
Liang merasa girang sekali melihat bahwa puteranya yang tadinya disangka bodoh dan paling lemah di
antara semua puteranya yang lain, ternyata kini datang-datang membawa pulang kepandaian yang sangat
tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada Lin Lin!
Ketika mendapat kesempatan baik, yaitu pada saat lawannya terhuyung mundur karena serangan yang
datang bertubi-tubi, Kwee An lalu melangkah maju dan memukul dengan tangan kiri ke arah mata lawan.
Tan Song cepat mengelak tetapi segera berteriak kaget karena tiba-tiba saja kaki kanan Kwee An
melayang dan menendang lawan yang tidak menyangka dan sedang berada dalam posisi yang lemah itu.
Tak ampun lagi dada Tan Song berkenalan dengan ujung sepatu Kwee An dan perwira pendek itu berteriak
kesakitan lalu roboh sambil memegangi dadanya! Kawan-kawannya lalu datang menolong dan
mengangkatnya ke pinggir.
Kwee In Liang lalu menghampiri Kwee An. Ayah dan anak ini berpelukan. Lalu Kwee An digandeng oleh
ayahnya menuju ke tempat duduk Loan Nio dimana Kwee An disambut oleh Loan Nio dengan terharu dan
girang. Juga saudara-saudaranya lalu segera datang menyerbu menghujani pertanyaan dalam suasana
gembira. Mereka ini merasa bangga sekali akan kepandaian Kwee An.
“Nah, ini baru disebut kepandaian asli,” kata Kwee Tiong sambil mengerling ke arah Cin Hai, “diam-diam
engkau mengeluarkan tenaga dan dengan jujur kau mengalahkan orang she Tan yang tangguh itu. Engkau
benar-benar hebat, An!” Kwee Tiong menepuk-nepuk pundak adiknya dengan wajah bangga sekali.
Pada saat itu perwira ke tiga masuk ke dalam arena adu silat. Perwira ini bertubuh tinggi kurus dan gerakgeriknya
lambat tetapi penuh mengandung tenaga sedangkan sepasang matanya tajam berpengaruh.
Melihat sepintas lalu saja Cin Hai dapat mengetahui bahwa orang ini adalah seorang ahli lweekeh yang
dunia-kangouw.blogspot.com
tangguh.
Perwira ini sesungguhnya adalah kakak dari Tan Song dan bernama Tan Bu, sedangkan kepandaian ilmu
silatnya masih jauh lebih tinggi dari pada Tan Boan Sip. Tetapi adatnya pendiam dan tidak sombong.
Setelah berdiri di tengah-tengah arena, Tan Bu lalu menjura ke arah Kwee In Liang dan berkata dengan
suaranya yang besar,
“Kwee-enghiong, puteramu tadi sungguh lihai, apa bila kiranya tidak terlalu lelah dan sudi memberi
pelajaran kepdaku yang bodoh, aku akan merasa gembira sekali!”
Kwee An hendak maju lagi, tetapi ia ditahan oleh Kwee In Liang.
“Kau terlalu lelah, baru saja datang sudah bertempur dengan musuh tangguh. Kalau kini kau maju lagi,
maka kau akan terlalu letih. Lebih baik beristirahat dulu.”
“Habis siapa yang akan maju melayani perwira itu?” tanya Kwee An.
Tiba-tiba Bhok Ki Sun yang menjadi kawan Kwee In Liang berdiri dan berkata, “Biarlah aku yang tua ikut
meramaikan pesta ini dan mencoba-coba tenaga.”
Muka Kwee In Liang berseri. Dia maklum bahwa kepandaian Bhok Ki Sun jago tua dari selatan ini cukup
lihai dan lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, maka dia cepat menjura sambil berkata, “Kalau kau
sudi membantu, aku merasa berhutang budi besar sekali.”
Bhok Ki Sun segera bertindak maju dan menghampiri Tan Bu. Jago tua yang berpakaian seperti seorang
petani sederhana ini lalu menjura dan berkata,
“Belum tahu siapa nama Ciangkun dan apakah pendirian Ciangkun sama pula dengan pendirian Tanciangkun
bahwa orang luar tidak boleh membantu tuan rumah? Aku Bhok Ki Sun karena menjadi kawan
baik dari Kwee In Liang, maka berkenan mengajukan diri untuk melayanimu.”
Berbeda dengan Tan Song, Tan Bu ini mempunyai pendirian yang lebih adil, maka dia menjawab, “Aku
bernama Tan Bu dan maafkan ucapan adikku yang berpikiran pendek tadi. Jika Bhok Lo-enghiong hendak
turun tangan, aku merasa gembira sekali dan marilah kita bermain-main sebentar!”
Bhok Ki Sun adalah seorang anak murid dari Kun-lun-pai, maka dia pun memiliki tenaga lweekang yang
cukup sempurna. Setelah keduanya menjura dan saling memberi hormat, pertempuran segera dimulai.
Keduanya bergerak lambat-lambatan dan lemas, seperti biasa ahli-ahli lweekeh bergerak. Akan tetapi
setelah beberapa kali beradu lengan dan mendapat kenyataan bahwa pihak lawan sama kuatnya, mereka
kemudian mempercepat gerakan mereka dan tidak hanya mengandalkan tenaga lweekang semata. Mereka
segera mengeluarkan kecepatan dan kelihaian ilmu silat masing-masing, maka pertempuran lantas
berubah cepat dan hebat.
Dan beberapa puluh jurus kemudian ternyatalah bahwa Bhok Ki Sun bukanlah lawan Tan Bu karena orang
tua itu segera terdesak hebat. Ilmu silat Tan Bu sangat mengagumkan karena di samping sukar diduga,
juga mempunyai pecahan dan perubahan gerakan yang banyak sekali macamnya dan yang kesemuanya
dilakukan dengan gerak cepat.
Beberapa kali Bhok Ki Sun hampir celaka karena serangan lawan hingga akhirnya ia pikir lebih baik mundur
sebelum terluka dalam pertempuran yang sesungguhnya lebih bersifat mengukur kepandaian ini. Dengan
gerakan Ikan Hiu Menerjang Ombak Bhok Ki Sun lalu meloncat ke belakang dan berjumpalitan hingga
tubuhnya terpental jauh. Ia turun sambil merangkapkan kedua tangannya dan berkata,
“Tan-ciangkun, kepandaianmu sungguh luar biasa dan aku Bhok Ki Sun mengaku kalah!” Dia lalu menjura
kepada Kwee In Liang sebagai pernyataan maafnya karena tak berhasil membela nama keluarga Kwee.
Pek I Toanio tertarik sekali melihat kepandaian Tan Bu, karena itu sesudah mendapat perkenan dari
gurunya, ia lalu maju menggantikan Bhok Ki Sun.
“Ingin sekali aku merasakan kelihaian Tan-ciangkun bermain senjata,” kata Pek Toanio sambil mencabut
dunia-kangouw.blogspot.com
pedang di tangan kanan dan mengeluarkan sebuah hudtim (kebutan) di tangan kiri. Nyonya baju putih ini
memang pernah mempelajari ilmu memainkan hudtim dan pedang dari gurunya.
“Baik, baik. Aku pun sudah melihat permainanmu yang sangat lihai tadi dan ingin sekali untuk
mencobanya,” jawab Tan Bu yang segera mengambil senjatanya, yakni sebatang toya panjang yang
ujungnya dipasangi kaitan.
Sesudah saling memberi hormat, maka kedua orang ini segera menggerakkan senjata masing-masing
dalam pertempuran, yang jauh lebih hebat dan seru dari pada ketika Tan Bu bertempur melawan Bhok Ki
Sun dengan tangan kosong.
Sinar pedang Pek I Toanio bergulung-gulung dibarengi menyambarnya hudtim-nya yang cukup lihai
sehingga permainannya mendatangkan pemandangan yang menarik sekali.
Akan tetapi permainan toya dari Tan Bu juga mengagumkan, dan berbareng mengerikan. Toya itu sangat
berat dan digerakkan dalam putaran yang demikian cepatnya sehingga mendatangkan angin berkesiur
yang dirasakan oleh semua penonton yang duduk di situ! Baru anginnya saja sudah memiliki tenaga hebat
hingga bisa menggerakkan pakaian dan rambut orang-orang di sekitarnya, apa lagi kalau terkena kemplang
toya yang berat dan digerakkan cepat ini!
Baru bertempur dalam beberapa belas jurus saja, Pek I Toanio telah maklum bahwa jika ia mengadu
tenaga, maka ia tentu akan kalah. Maka ia lalu berkelebat ke sana ke mari menghindarkan diri dari sabetan
toya, sambil mempergunakan kesempatan-kesempatan baik untuk membalas menusuk dengan pedang
atau memukul jalan darah dengan ujung kebutan.
Pada saat Tan Bu menggunakan gerak tipu Hing-sau Chian-kun atau Serampang Bersih Ribuan Tentara
dan tiba-tiba memutarkan toyanya ke arah Pek I Toanio sambil berseru keras, nyonya itu melompat ke atas
melewati kepala lawannya. Akan tetapi cepat laksana kitiran angin, toya Tan Bu sudah mengejar tubuh
yang di atas itu dan cepat menusuk ke arah Pek I Toanio! Serangan ini berbahaya sekali hingga semua
orang menahan napas.
Akan tetapi, Pek I Toanio benar-benar memiliki ginkang yang sempurna. Melihat bahwa serangan lawan ini
berbahaya sekali dan baginya tiada waktu lagi untuk berkelit, ada pun untuk menangkis dia akan kalah
tenaga, maka dia segera memperlihatkan kegesitannya. Pada saat ujung toya menyambar ke arahnya, ia
mementangkan kaki dan menggunakan ujung kaki kanannya ditotolkan pada ujung toya itu lalu ia mengikuti
gerakan toya yang menyerangnya sambil tidak lupa mengebutkan hudtim-nya ke arah jalan darah kin-huhiat
di pundak kanan Tan Bu!
Gerakan ini luar biasa indah dan beraninya sehingga Tan Bu sama sekali tidak menduga, tahu-tahu
pundaknya kena terpukul dan tertotok oleh ujung hudtim yang tiba-tiba berubah keras, sedangkan tubuh
Pek I Toanio terbawa oleh dorongan toya dan mencelat ke atas hingga kepalanya hampir tebentur kepada
tiang yang melintang di atas!
Pek I Toanio tidak kalah kagetnya. Totokannya tadi sudah mengenai urat di tubuh lawan dengan tepat
sekali, akan tetapi Tan Bu kelihatan biasa saja seakan-akan tidak pernah terpukul, apa lagi terluka!
Cepat nyonya ini meluncur turun dan dia merasa bahwa melawan terus tidak akan ada gunanya, karena
harus dia akui bahwa kepandaian lawannya dalam memainkan senjata sungguh-sungguh hebat dan lebih
tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Maka dia lalu menjura dan berkata,
“Terima kasih atas petunjuk Ciangkun.”
Tepuk sorak ramai terdengar dari pihak para perwira yang merasa senang sekali betapa dalam dua
pertempuran berturut-turut Tan Bu telah berhasil mengalahkan lawan! Dengan dua kali kemenangan itu,
sekaligus Tan Bu telah membersihkan muka mereka dan dapat menebus kekalahan Tan Song tadi.
“He, Kwee In Liang, jika kau sudah tidak mempunyai jago lain lagi, majukan saja pemuda tolol itu!” Tiba-tiba
Boan Sip berseru keras dengan suara menghina.
Semua penonton memandang ke arah Kwee In Liang dengan cemas karena sesudah kedua jago itu kalah,
siapa lagi yang hendak maju?
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwee In Liang tidak berani minta tolong kepada Kwee An. “Sekarang kau, Lin Lin, atau aku sendiri yang
maju dan berternpur mati-matian, membela nama kita!”
“Kwee-enghiong, sabar dulu. Biarkan pinni maju menghajar mereka,” kata Biauw Suthai.
Akan tetapi tiba-tiba Ang I Niocu yang merasa marah sekali mendengar Cin Hai dimaki tolol, segera berdiri.
“Biarkan aku saja yang maju!” setelah berkata cepat-cepat tanpa menanti jawaban, lalu sekali melompat
tubuhnya telah berada di hadapan Tan Bu!
Orang tidak melihat bagaimana dia mencabut pedangnya, akan tetapi tahu-tahu tangan kanan nona itu
telah memegang sebatang pedang yang tajam berkilau.
“Manusia sombong yang membuka mulut besar, kau keluarlah dan marilah kau rasakan tajamnya
pedangku!” katanya sambil menggunakan telunjuk kiri menuding ke arah Boan Sip!
Tan Bu maju selangkah dan mengangkat kedua tangan sambil berkata,
“Bukankah engkau ini Ang I Niocu? Ah, sudah lama aku mendengar namamu yang besar, maka betapa
beruntungnya hari ini dapat menyaksikan kelihaianmu. Jangan kau hiraukan Boan-sute yang memang
berdarah panas, dan marilah kita mencoba-coba kepandaian!”
Ang I Niocu terpaksa menghadapi Tan Bu.
“Orang she Tan! Sungguh harus disesalkan bahwa orang yang mempunyai kepandaian seperti engkau ini
telah berlaku sembrono dan mengacau pesta orang lain.”
“Ang I Niocu, kita sama-sama orang luar dan peduli apa dengan segala urusan remeh? Yang paling penting
bagi kita sekarang ialah mencoba kepandaian masing-masing pada kesempatan yang baik ini, untuk
meluaskan pengetahuan.”
“Baiklah, kalau engkau menghendaki demikian. Nah, engkau majulah!” Ang I Niocu lantas membuat
gerakan yang indah dan lemah gemulai dengan pedangnya sehingga semua penonton bertepuk tangan
kagum.
Tan Bu maklum akan kelihaian lawan, karena itu dia segera mendahului dan mengirim serangan kilat
dengan toyanya yang hebat. Akan tetapi, dengan menari indah Ang I Niocu mudah saja menghindarkan diri
dari serangan dan menghadapi lawan tangguh ini dengan tenang serta dengan tarian indah sekali hingga
keduanya merupakan dua orang makhluk yang sangat berbeda.
Para penonton merasa kagum sekali. Seumur hidup mereka belum pernah menyaksikan seorang gadis
cantik menghadapi ilmu silat toya yang luar biasa ganas itu dengan hanya menari-nari, akan tetapi sedikit
pun tidak kena terpukul!
Tidak hanya para penonton yang kurang paham ilmu silat, bahkan Lin Lin, Pek I Toanio, Kwee An, dan
yang lain-lainnya memandang dengan melongo dan kagum. Juga Biauw Suthai nampak menganggukanggukkan
kepala sambil menggunakan sebelah matanya memandang dengan penuh perhatian.
Akan tetapi kegembiraan mereka bercampur dengan kekuatiran karena ilmu toya Tan Bu benar-benar
hebat dan dahsyat. Karena telah tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu sangat tinggi dan lihai, perwira yang
kosen ini lalu mengeluarkan ilmu toyanya yang paling hebat dan berbahaya, jauh lebih hebat dari pada
ketika ia menghadapi Pek I Toanio tadi.
Oleh karena ini diam-diam Ang I Niocu merasa terkejut juga dan tak pernah disangkanya bahwa
sebenarnya Tan Bu memiliki kepandaian ilmu toya setinggi ini. Dia lalu bertempur dengan hati-hati sekali
dan selama itu belum pernah membalas dengan desakan, hanya mempertahankan diri sambil
memperhatikan dan mempelajari gerakan lawan.
Melihat keragu-raguan Ang I Niocu ini, Cin Hai merasa tidak puas sekali. Dia yang sudah mempunyai
pengertian pokok rahasia segala macam ilmu silat, telah memiliki pandangan tajam dan tahu bahwa
gerakan-gerakan toya Tan Bu itu sebenarnya hanyalah ganas dan dahsyat karena toya itu selain berat,
juga orang she Tan itu mempunyai tenaga besar dan kalau saja Ang I Niocu mengeluarkan kegesitannya,
dunia-kangouw.blogspot.com
maka Nona Baju Merah itu tak akan sulit mengalahkan lawannya. Oleh karena itu maka diam-diam Cin Hai
lalu mengeluarkan sulingnya.
Lin Lin yang duduk tidak jauh dari Cin Hai, dan semenjak tadi sering kali mengerling ke arah pemuda yang
sangat menarik hatinya itu, menjadi kaget dan heran, lalu tanpa dapat ditahan lagi mengajukan pertanyaan,
“Ehh, Engko Hai, mengapa kau keluarkan sulingmu pada saat seperti ini?” Ia bertanya sambil tersenyum
geli.
Cin Hai juga tersenyum, namun jawabannya menghilangkan senyum gadis yang menjadi sangat terheran
itu ketika mendengar Cin Hai berkata,
“Aku meniup suling untuk mengiringi tarian Niocu.”
Sebelum Lin Lin dapat bertanya lebih lanjut, Cin Hai sudah meniup suling maka tiba-tiba terdengarlah
tiupan suling yang merdu di ruangan itu. Semua orang menjadi heran sekali, ada pun Kwee Tiong
memandang kepada Cin Hai dengan marah. Dia anggap pemuda ini benar-benar tolol dan tidak pantas
menyuling! Dia melangkah maju dan hendak melarang Cin Hai menyuling.
Akan tetapi Lin Lin memandang pada Kwee Tiong dengan mata dilebarkan dan berkata, “Engko Tiong,
biarkan saja dan jangan ganggu dia!”
Kwee Tiong merasa dongkol sekali, akan tetapi semenjak adik perempuannya ini kembali dengan
membawa kepandaian yang tinggi, ia tunduk dan tidak berani melawan. Ia hanya memandang dengan
mata marah kepada Cin Hai yang masih terus menyuling dengan asyiknya.
Akan tetapi, tiba-tiba ketika suara suling Cin Hai semakin keras, nyaring dan meninggi, terdengar seruanseruan
orang menyatakan rasa terkejut dan kagum. Ketika Kwee Tiong memandang kepada mereka yang
bertempur, ia pun menjadi silau karena ternyata tubuh Ang I Niocu sudah lenyap dan kini gadis itu berubah
menjadi bayang-bayang merah yang berkelebat ke sana ke mari dengan luar biasa sekali!
Lin Lin memandang kagum dan diam-diam dia memuji ilmu pedang yang tiada taranya dalam hal
keindahan itu. Juga Biauw Suthai merasa kagum dan diam-diam nenek tua yang lihai ini mengerling ke
arah Cin Hai. Dia tahu bahwa suara suling itu sangat tepat mengiringi semua gerakan Ang I Niocu sehingga
seakan-akan suara suling itulah yang menuntun dan membuat gerakan Dara Baju Merah itu menjadi
demikian luar biasa! Oleh karena ini, diam-diam nyonya tua ini memperhatikan Cin Hai dan timbul dugaan
di dalam hatinya bahwa pemuda ini hanya berpura-pura tolol, tetapi sesungguhnya berkepandaian tinggi!
Memang sebetulnya Ang I Niocu ketika tadi melayani lawannya dengan gerakan hati-hati sekali, tiba-tiba ia
mendengar suara suling yang ditiup Cin Hai. Tiba-tiba hatinya berdebar girang dan timbul semangatnya.
Suara suling itu baginya mempunyai pengaruh seakan-akan orang yang minum arak baik sehingga rasa
hangat menjalar di seluruh tubuhnya dan membuat semangatnya seakan bernyala-nyala. Ia lalu tersenyum
manis dan tiba-tiba gerakan pedangnya berubah.
Alangkah terkejutnya Tan Bu ketika melihat perubahan ini karena gerakan yang tadinya halus dan lemah
gemulai serta hanya mengandalkan kelincahan tubuh dan kelemahan gerakan untuk menghindari
serangannya, kini berubah menjadi ganas dan cepat laksana kilat menyambar! Kini Dara Baju Merah itu
dengan sinar pedangnya melakukan serangan yang hebat, dan dia merasa betapa sinar pedang lawan ini
mengurungnya dari segala jurusan hingga matanya menjadi kabur. Akan tetapi Tan Bu bukanlah orang
lemah, dan ia memutar toyanya sedemikian rupa sehingga toya ini merupakan benteng baja yang kuat dan
yang melindungi seluruh tubuhnya!
Suara suling yang ditiup Cin Hai makin meninggi dan nyaring, maka makin cepat pulalah gerakan pedang
Ang I Niocu sehingga pada suatu saat terdengar suara kain terobek dan tiba-tiba Tan Bu melompat tinggi
dan jauh. Bajunya telah terobek ujung pedang dari dada sampai ke lengan, akan tetapi hanya mendapat
luka kulit saja di bagian lengannya yang mengeluarkan darah dan terasa perih.
“Ang I Niocu, sungguh kau benar-benar gagah dan nama besarmu bukan omong kosong belaka!” Tan Bu
memuji dan mengundurkan diri ke tempat kawan-kawannya di mana dia lalu membalut lukanya setelah
memberi obat.
Sesudah menyimpan kembali pedangnya, dengan senyum lebar Ang I Niocu lalu kembali ke tempat
dunia-kangouw.blogspot.com
duduknya, di mana ia disambut oleh keluarga Kwee dengan pujian dan ucapan terima kasih.
“Niocu tarianmu hebat sekali!” kata Cin Hai tertawa-tawa.
“Hai-ji, terima kasih atas doronganmu dengan suling tadi,” Ang I Niocu menjawab sambil memandang
wajah Cin Hai dengan senyum mesra.
Diam-diam Lin Lin memperhatikan mereka berdua dia heran sekali mengapa dada kirinya merasa tidak
enak melihat betapa mesra pandangan mata Ang I Niocu kepada Cin Hai dan betapa akrab hubungan
mereka berdua. Akan tetapi dia pun heran sekali mendengar sebutan-sebutan mereka. Ang I Niocu
menyebut Cin Hai dengan sebutan Hai-ji atau anak Hai! Sebenarnya, sampai di manakah hubungan kedua
orang ini? Dia belum mendapat kesempatan untuk bicara banyak dengan Cin Hai.
Pada saat itu dari pihak perwira Sayap Garuda, segera maju perwira ke empat sambil mengangkat dada
dan berkata,
“Kami harus mengakui bahwa saudara kami Tan Bu sudah dikalahkan oleh kepandaian Ang I Niocu yang
benar-benar lihai. Sekarang aku yang bodoh hendak minta pengajaran dari keluarga Kwee yang gagah
perkasa, dan apa bila di antara keluarga Kwee tidak ada yang berani maju, barulah aku terpaksa melayani
orang-orang luar yang ingin membela Kwee-enghiong!”
Perwira ke empat ini bernama Un Kong Sian dan kepandaiannya sangat tinggi karena sebetulnya dia
merupakan saudara termuda dari Shantung Ngo-hiap atau Lima Jago Dari Shantung yang kesemuanya kini
menjadi perwira-perwira kelas tertinggi di kota raja! Un Kong Sian ini bertubuh tinggi besar dan selain
mempunyai tenaga ginkang dan lweekang yang mengagumkan, ia juga memiliki tenaga gwakang yang
mengagumkan.
Di kota raja Un Kong Sian dan kakak-kakak seperguruan mendapat tugas melatih para perwira lain,
sehingga beleh dibilang bahwa dia menjadi seorang di antara guru-guru para perwira di kota raja. Oleh
karena ini, maka dapatlah dibayangkan bahwa kepandaiannya tentu jauh lebih tinggi dari pada yang lainlain.
Ada pun Ma Ing, perwira ke lima yang menjadi suheng-nya, adalah orang ke empat dari Shantung Ngohiap,
maka tentu saja kepandaian Ma Ing ini masih lebih tinggi dari pada kepandaian Un Kong Sian. Hanya
ada sedikit perbedaan di antara kedua perwira tinggi ini. Un Kong Sian lebih memiliki kehebatan tenaga dan
kekebalan, dan sebaliknya Ma Ing terkenal mempunyai ilmu silat tinggi, permainan sepasang pedang yang
amat hebat, dan kepandaian mempergunakan senjata rahasia mahir sekali.
Mendengar betapa Un Kong Sian menantang keluarga Kwee, Kwee An tak sanggup lagi menahan
sabarnya dan dia lalu melompat maju sebelum dapat didahului orang lain,
“Biarlah aku yang muda dan tak tahu diri melayanimu,” kata Kwee An dengan tenang.
Un Kong Sian telah melihat kepandaian Kwee An dan ia merasa sayang kepada pemuda yang sopan
santun dan halus budi bahasanya ini maka ia berkata sambil tertawa,
“Anak muda, walau pun harus diakui bahwa engkau adalah murid seorang pandai, akan tetapi
kepandaianmu belum matang dan jangan engkau sia-siakan jiwamu menghadapi aku.”
Un Kong Sian adalah seorang yang mempunyai kebiasaan bicara terus terang dan kasar, karena itu katakatanya
sering kali menyakiti hati orang. Kali ini pun ucapannya tentu saja membuat Kwee An menjadi
merah telinganya. Dia dipandang ringan sekali, maka sambil tersenyum ia pun menjawab,
“Terima kasih atas rasa sayangmu kepadaku, akan tetapi jiwaku yang tidak berharga ini memang telah
kusediakan untuk membela nama Ayahku. Sudahlah, jika engkau memang memiliki kepandaian tinggi,
keluarkan saja kepandaianmu itu, hendak kulihat bagaimana hebatnya!”
“Ha-ha-ha! Engkau pemberani, juga, anak muda. Akan tetapi kalau nanti engkau terluka, jangan salahkan
aku!”
Sehabis berkata demikian, Un Kong Sian lantas melempar jubah luarnya dan tampaklah kedua lengan
tangan yang besar berurat dan yang berkekuatan luar biasa besarnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nah, majulah, anak muda!” kata Un Kong Sian. “Biarlah kini engkau berkenalan dengan kepandaian Un
Kong Sian!”
Mendengar nama ini diam-diam Biauw Suthai terkejut dan memperhatikan, oleh karena ia telah kenal nama
ini sebagai saudara termuda dari Shantung Ngo-hiap, maka tentu saja kepandaian orang ini sangat tinggi.
Diam-diam dia menguatirkan keadaan Kwee An dan tak terasa lagi dia berkata kepada Cin Hai yang
duduknya tidak jauh dari tempatnya,
“Un Kong Sian itu adalah ahli gwakang yang tinggi ilmu silatnya! Engkau carilah akal agar Kwee-kongcu
suka mengundurkan diri sebelum mendapat celaka!”
Ternyata bahwa kalau lain-lain orang yang memiliki sepasang mata dapat ditipu oleh Cin Hai dan
menganggap bahwa pemuda itu benar-benar bodoh, adalah Biauw Suthai yang hanya memiliki sebuah
mata saja segera bisa mengetahui bahwa Cin Hai adalah seorang pemuda yang banyak akalnya, maka
sekarang dia minta kepada pemuda itu untuk dapat mencegah Kwee An menghadapi Un Kong Sian!
Sesudah mendengar ucapan Biauw Suthai, tiba-tiba Cin Hai berlari-lari sambil memegang sulingnya ke
arah arena pertempuran dan pada saat itu Un Kong Sian dan Kwee An telah saling berhadapan dan hampir
bergebrak.
“Mengetahui kepandaian lawan lebih dahulu baru melayani bertempur bukanlah tindakan gagah berani,
tetapi hanya kelakuan seorang yang licin dan curang!” kata Cin Hai sambil menuding Un Kong Sian dengan
sulingnya. “Hanya Co Cho saja yang memiliki kelicinan dan kecurangan seperti itu!”
Co Cho yang dimaksudkan oleh Cin Hai itu adalah seorang tokoh cerita Sam Kok yang terkenal curang dan
licin sehingga banyak orang membenci dan menghinanya, walau pun Co Cho adalah seorang yang terlalu
cerdik.
Un Kong Sian menunda niatnya hendak menyerang Kwee An. Memang dia merasa benci dan mendongkol
kepada Cin Hai karena gangguan tadi, maka ia lalu memandang dengan mata dipelototkan.
“Pemuda tolol! Gangguan apa lagi yang hendak engkau lakukan terhadapku?” bentaknya. “Lekas engkau
menyingkir sebelum kepalamu kuhancurkan!”
“Memang kau licin, lebih licin dari pada Co Cho!” Cin Hai menyindir lagi, sedangkan Kwee An memandang
kepada Cin Hai dengan tidak mengerti dan heran.
“Bangsat tolol, mengapa kau menyebut aku licin dan curang?” bentak Un Kong Sian.
“Engkau sudah melihat sampai di mana tingkat kepandaian Kwee An, namun kami semua belum melihat
tingkat kepandaianmu. Ini berarti sebuah kemenangan bagimu, karena kau dapat mengukur sampai di
mana kepandaian lawanmu. Kalau kau memang gagah dan adil kau harus memperlihatkan dulu kegagahan
dan tenagamu. Apa bila kau bisa meniru perbuatanku barulah kau ada harga untuk melayani Kwee An yang
gagah perkasa. Kalau tidak bisa, kau boleh pulang saja jangan mencoba mencari penyakit!”
Semua orang yang hadir kali ini dibikin tercengang dan heran karena sungguh-sungguh mereka tidak
mengerti maksud Cin Hai.
”Anak bodoh! Kau mempunyai kebisaan apakah? Coba perlihatkan, tentu aku sanggup meniru dengan baik
lagi!”
Cin Hai lalu meniup sulingnya sebentar, kemudian berkata, “Nah, kau bisa tidak meniru kepandaianku
tadi?”
Semua orang tertawa geli melihat kebodohan yang tolol ini, ada pun Un Kong Sian marah sekali sampai
membanting-banting kaki.
“Tolol! Kepandaian meniup suling saja apakah artinya? Aku tidak sudi menirunya. Kalau kau
memperlihatkan demonstrasi atau ilmu silat, baru aku mau menirunya.”
“Ha-ha-ha-ha, agaknya kau bertenaga seperti kerbau jantan! Baik, baik, coba keluarkan senjatamu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Meski pun merasa heran, akan tetapi Un Kon Sian lalu pergi mengambil senjatanya, yaitu sebuah toya
yang beratnya lebih dari seratus kati. Inilah senjata perwira she Un yang benar-benar hebat itu.
“Nah, ini senjataku, kau mau apa?” bentaknya.
“Aku akan memainkan senjata ini dan kau boleh mencoba untuk menirunya,” kata Cin Hai dengan gagah.
Dengan sikap dibuat-buat ia lalu menerima toya besar dan hebat itu, mengangkat dengan kedua tangan
dan mempergunakan sikap seakan-akan ia hampir tidak kuat mengangkat toya itu. Semua orang tertawa
geli dan Kwee An memandang dengan wajah pucat. Tak ia sangka bahwa Cin Hai setolol ini.
“Celaka, budak tolol itu kali ini benar-benar membikin malu kita!” kata Kwee Tiong dengan mendongkol
sekali.
Tetapi Cin Hai lalu memutar toya itu beberapa kali dan aneh! Ketika ia memutar toya itu, terdengarlah suara
mengaung yang sangat hebat. Setelah Cin Hai menghentikan putaran toya dan mengembalikannya kepada
Un Kong Sian dengan napas terengah-engah, maka berhentilah suara mengaung itu.
“Nah, kau tirulah perbuatanku tadi. Hendak kulihat apakah tenagamu sebesar tenagaku!”
Kembali semua orang tertawa, akan tetapi mereka masih merasa heran mengapa Cin Hai dapat memutar
toya sampai mengeluarkan suara mengaung, padahal baru mengangkat saja sudah hampir tidak kuat.
Sebenarnya, dengan diam-diam Cin Hai menyembunyikan sulingnya di belakang toya dan ketika ia
memutar toyanya, dengan khikang yang tinggi ia meniup ke arah lubang suling itu hingga menerbitkan
suara mengaung.
Un Kong Sian menerima toyanya dan memutarnya begitu cepat sehingga mendatangkan angin keras, akan
tetapi mana bisa toya itu mengaung seperti suling ditiup! Paling hebat toya itu hanya mengeluarkan suara
mengiuk saja.
“Aha, ternyata engkau kurang kuat, sobat! Engkau tidak mampu memutar toyamu sampai mengeluarkan
angin mengaung!”
“Bangsat tolol!” Un Kong Sian marah sekali, lalu ia pergunakan tenaganya menancapkan toyanya yang
berat itu pada lantai, dan toya itu menancap sampai setengahnya di lantai yang keras itu! “Lihatlah
tenagaku dan siapa yang dapat mencabut toya ini, barulah dia berharga untuk melayani aku!”
Kwee An terkejut sekali melihat kehebatan tenaga gwakang ini dan agaknya inilah yang dimaksudkan oleh
Cin Hai.
“Aha, engkau sungguh hebat, Un-ciangkun. Engkau seperti Thio Hwie!” Thio Whie adalah seorang tokoh
yang gagah dan kuat sekali dalam cerita Sam Kok. “Di dalam ruangan ini hanya satu orang saja yang dapat
menandingi engkau dan orang itu bukanlah Kwee An yang masih muda belia ini!”
“Cin Hai, engkau mundurlah. Walau pun Un-ciangkun kuat dan gagah, aku yang bodoh masih akan
mencoba minta pengajarannya,” kata Kwee An dengan berani karena anak muda ini tentu saja tidak sudi
memperlihatkan rasa jeri terhadap lawannya.
“Nah, segera mundurlah pemuda tolol! Kwee-kongcu ini jauh lebih berani dan gagah dari pada engkau yang
hanya pandai bicara dan mengacau!” kata Un Kong Sian.
“Eh, ehh mana bisa! Engkau sudah berkata bahwa yang bisa mencabut toya inilah yang hendak engkau
layani.”
“Akan kucoba untuk mencabutnya!” Kata Kwee An sambil melangkah maju.
Cin Hai menjadi bingung dan sibuk. Celaka, tak disangkanya bahwa Kwee An sekeras itu hatinya dan dia
pun percaya Kwee An pasti akan dapat mencabut toya itu. Maklum akan peringatan Biauw Suthai dan tahu
pula betapa berbahayanya bagi Kwee An menghadapi orang she Un ini, oleh karena orang she Un ini
mempunyai muka yang membayangkan kekejaman, tanda bahwa hatinya telengas sekali, maka kalau
mereka bertempur, banyak bahayanya Kwee An akan terluka atau terbunuh!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia lalu melangkah maju dan berkata, “Nanti dulu! Aku tadi sudah berkali-kali dihinanya, biarkan aku
mencoba dahulu untuk mencabut toya ini! Apa sih susahnya mencabut kayu gapuk ini?”
Dengan lagak dibuat-buat Cin Hai menghampiri toya itu, sedangkan Un Kong Sian segera melangkah
mundur dan memandang dengan mata menghina dan kedua lengan tangan bersilang. Cin Hai pura-pura
mengerahkan tenaga mencabut. Akan tetapi, jangan kata tercabut, toya itu bergoyang pun tidak. Semua
orang yang menonton tertawa geli dan kini mereka mentertawakan Cin Hai yang mukanya menjadi pucat.
Sebenarnya, Cin Hai betul-betul telah mengerahkan tenaga, akan tetapi tenaga lweekang yang disalurkan
di kedua tangannya, hingga diam-diam tanpa diketahui siapa pun ia telah dapat mematahkan ujung toya
yang terpendam di lantai.
Dia lalu bangun dan menjura kepada Un Kong Sian. “Tenagamu benar-benar hebat. Aku tidak kuat
mencabut!” katanya sambil terengah-engah.
Kwee An merasa malu bukan main melihat sikap Cin Hai. Dengan penasaran ia hendak mencuci malu di
pihaknya yang ditimbulkan oleh Cin Hai. Ia lantas melangkah maju dan membetot toya itu. Alangkah
herannya ketika dia mampu membetot keluar toya itu tanpa banyak mengeluarkan tenaga.
Tepuk sorak riuh menyambut kejadian ini dan semua orang memuji tenaga Kwee An yang dianggap luar
biasa dan besar sekali, sedangkan Un Kong Sian juga memandang pucat. Tidak mungkin pemuda itu
mempunyai tenaga sedemikian hebatnya. Juga Cin Hai bertepuk-tepuk gembira sambil tertawa dan sama
sekali tidak menghiraukan pandangan mata Kwee An yang menyelidik dan ditujukan kepadanya dengan
penuh kecurigaan.
Mendadak Un Kong Sian mengangkat kedua tangannya ke atas dan merampas toyanya lalu
mengangkatnya tinggi-tinggi. “Cuwi sekalian lihatlah! Kwee-kongcu ini tidak mencabut keluar toyaku, akan
tetapi dia telah mematahkannya! Tentu saja hal ini tidak aneh.”
Kwee An tercengang lagi. Dia sama sekali tidak mematahkan toya itu, tetapi benar saja, ketika dia
memandang, ternyata bahwa ujung toya itu telah patah. Kini ia dapat menduga bahwa sengaja Cin Hai
mencegahnya bertempur melayani orang she Un ini. Akan tetapi, benarkah Cin Hai demikian lihai, dan apa
maksudnya bertempur melawan Un Kong Sian?
“Betul, betul!” kata Cin Hai dengan suara keras. “Ujung toya itu telah patah. Jelas bahwa Kwee An tidak
dapat mencabut toya itu, maka tidak pantas melayanimu. Ada orang lain yang lebih tepat menghajarmu.”
Bukan main marahnya Un Kong Sian karena toyanya telah patah. “Siapa dia? Suruh maju lekas!”
bentaknya.
“Sabarlah orang she Un. Kalau kau mencari lawan, pinni bersedia untuk melayanimu!” Dan tahu-tahu Biauw
Suthai sudah berada di situ. Cin Hai cepat membetot tangan Kwee An dan dibawa pergi dari situ.
“Aku hanya melakukan perintah Biauw Suthai.” bisik Cin Hai menjawab pandangan mata Kwee An yang
penasaran dan curiga kepadanya.
Sementara itu, ketika melihat seorang tokouw yang berwajah buruk dan mengerikan telah berdiri di
depannya, Un Kong Sian lalu merangkapkan kedua tangan dan bertanya,
“Siapakah Toa-suthai yang hendak memberi pelajaran kepadaku?”
“Orang-orang memanggilku Biauw Suthai.”
Diam-diam hati Un Kong Sian berdebar karena dia sudah pernah mendengar nama besar Biauw Suthai,
akan tetapi dia sama sekali tidak merasa jeri.
“Kebetulan sekali. Sudah lama aku mendengar nama Biauw Suthai yang tersohor dan ingin sekali
merasakan kelihaiannya. Tidak tahu Suthai hendak bertempur dengan tangan kosong atau dengan
senjata?”
“Toyamu telah patah, maka tidak adil kalau pinni mengajak kau bermain senjata.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagus, kalau begitu marilah kita menguji kepandaian tangan!”
Tanpa banyak cakap lagi Un Kong Sian lalu maju menyerang dan kedua tokoh persilatan yang memiliki
kepandaian tinggi itu segera bertempur dengan seru.
Dalam hal ilmu silat Biauw Suthai memiliki kepandaian yang tinggi sekali dan pengalaman pertempuran
yang luas, akan tetapi terhadap Un Kong Sian yang memiliki tenaga hebat itu, ia telah bertemu dengan
tandingannya. Gerakan pukulan dua orang ini mendatangkan angin dan membuat para penonton menahan
napas. Juga Cin Hai tidak berani berjenaka lagi oleh karena dia maklum betapa kepandaian kedua orang
itu benar-benar hebat dan masing-masing menghadapi lawan yang berat sekali.
Setelah bertempur puluhan jurus, Biauw Suthai yang lihai itu sudah dapat memukul dua kali pada pundak
dan dada lawannya, akan tetapi kekuatan tubuh Un Kong Sian demikian hebat hingga perwira itu hanya
terhuyung saja dan terus nekad menyerang lagi. Cin Hai merasa terkejut karena dia maklum bahwa meski
pun di luar tidak kelihatan terluka parah dikarenakan kekebalan orang itu, akan tetapi pukulan Biauw Suthai
yang disertai tenaga lweekang ini tentu telah mendatangkan luka di sebelah dalam.
Juga Biauw Suthai merasa sangat penasaran. Ia gemas sekali melihat kenekatan orang yang sudah terang
mendapat luka, maka dia lalu menyerang semakin hebat. Pada suatu saat, ketika Biauw Suthai mendapat
kesempatan baik, tokouw itu lalu menggunakan jari tangannya menotok ke arah iga kiri Un Kong Sian.
Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika lawannya itu sama sekali tidak menangkis atau berkelit, bahkan
berbareng pada saat itu juga membalas menyerang dengan pukulan Ular Putih Menyambar Burung!
Pukulan tangan kanan Un Kong Sian mengarah leher Biauw Suthai dengan hebatnya.
Gerakan kedua orang ini cepat sekali hingga tak mungkin dihindarkan lagi. Biauw Suthai memiringkan
tubuh hingga totokannya tidak mengenai tepat, juga pukulan Un Kong Sian meleset dan hanya mengenai
pundaknya. Akan tetapi pukulan dua orang ini cukup hebat untuk membuat keduanya terpental mundur.
Biauw Suthai dapat berdiri tegak lagi dengan napas memburu dan wajah pucat. Ada pun Un Kong Sian
terhuyung-huyung ke belakang sambil tertawa seram, kemudian dia roboh sambil memuntahkan darah.
Kawan-kawan Un Kong Sian segera maju dan menggotong perwira ini, sedangkan Lin Lin cepat-cepat
meloncat menghampiri dan menuntun gurunya kembali ke tempat duduknya. Tokouw ini lantas
mengeluarkan sebungkus obat putih dari saku bajunya dan minum obat itu dengan segelas air. Kemudian
tokouw yang baik budi ini mengeluarkan tiga butir pil merah dan menyuruh Cin Hai memberikan pil itu
kepada Un Kong Sian.
Akan tetapi pemberian obat itu ternyata ditolak oleh Ma Ing yang sudah menyediakan obatnya sendiri bagi
sute-nya. Kemudian Ma Ing dengan muka merah karena marah maju ke kalangan.
“Sekarang di pihak kami hanya tersisa aku seorang. Hayo kau keluarkanlah jago-jagomu, Kwee-enghiong,
dan kita sudahi adu kepandaian ini!”
Kwee In Liang menjadi bingung sekali. Dia maklum bahwa kepandaian Ma Ing ini sangat tinggi dan kini
setelah Biauw Suthai terluka, siapa lagi yang dapat diharapkan bantuannya untuk menghadapi Ma Ing?
Ma Ing agaknya tahu pula bahwa pihak keluarga Kwee sudah kehabisan jago, karena itu dengan
sombongnya dia berkata,
“Kalau di pihak tuan rumah tak ada jago yang berani menghadapi aku seorang diri, boleh kamu semua
maju berbareng. Boleh kalian lihat aku Ma Ing seorang diri pun cukup untuk melayani kamu sekeluarga!”
Biar pun kepandaian Kwee Tiong dan adik-adiknya belum tinggi, akan tetapi mendengar ucapan sombong
ini, sambil berseru keras mereka cepat meloncat maju berbareng! Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee
Siang sambil memegang pedang maju dan serentak menyerang tanpa dapat dicegah lagi!
Ma Ing mengeluarkan suara menghina dan sekali tubuhnya bergerak, sepasang tangan serta kakinya
menendang dan dalam beberapa gebrakan saja keempat batang pedang di tangan Kwee Tiong dan adikadiknya
terpental ke atas lantai! Dengan kaget sekali Kwee Tiong dan adik-adiknya melompat mundur
sambil memegangi tangan mereka yang kena pukulan dan tendangan!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha-ha! Segala tikus kecil berani mengganggu kumis macan?” Ma Ing menyindir.
Sikap dan kata-katanya yang sombong ini memanaskan hati Ang I Niocu dan Kwee An. Kedua orang ini
tanpa berjanji terlebih dahulu, tahu-tahu meloncat berbareng dan dengan pedang di tangan mereka berdua
menyerang Ma Ing!
Ma Ing cepat mencabut pedangnya dan ketiga orang ini segera bertempur. Menghadapi keroyokan Kwee
An dan Ang I Niocu yang mempunyai kiam-hoat bagus itu, Ma Ing tidak berani main-main dan melayani
dengan sengit, dan dalam waktu sebentar saja dia sudah dapat mendesak kedua anak muda!
Kwee Tiong dan adik-adiknya kembali ke tempat semula dan Kwee Tiong merasa marah dan sebal melihat
betapa Cin Hai memandangnya sambil tersenyum dan betapa pemuda itu dengan enaknya duduk
memegang-megang sulingnya! Orang lain lagi sibuk melayani musuh, akan tetapi pemuda tolol itu hanya
tersenyum mentertawakannya.
“Kenapa kau tertawa?” tegurnya.
“Aku kagum melihat kelihaian orang she Ma itu yang dengan sekali bergerak saja dapat merampas pedang
kalian berempat!” jawab Cin Hai.
Kwee Tiong marah sekali dan apa bila ia tidak ingat bahwa di situ banyak orang, tentu ia sudah mengirim
kepalannya ke arah Cin Hai.
“Kau sendiri orang tolol hanya duduk diam dan kalau bergerak hanya menimbulkan malu. Coba kau lihat
Kwee An, dia pantas sekali bertempur bersama Nona itu melayani musuh. Tidak seperti engkau! Engkau
tentulah menjadi pelayan dari Ang I Niocu, bukan?”
“Tiong-ko, jangan kau menghina orang!” Lin Lin menegur kakaknya sambil mendekati Cin Hai. “Engko Hai,
Ang I Niocu dan Engko An terdesak, apa daya kita?”
Cin Hai memandang kepada Lin Lin dengan senyum manis. “Adikku yang baik, apakah kau juga ingin
melayani orang she Ma itu?”
Lin Lin mengerutkan alisnya yang bagus. Ia sungguh tak dapat segera mengerti maksud kata-kata Cin Hai
ini.
“Ahh, sedangkan Ang I Niocu dan Engko An yang memiliki kepandaian amat tinggi masih terdesak olehnya,
apa lagi aku! Aku melihat kepandaian orang she Ma itu tidak di sebelah bawah guruku!”
Cin Hai bangun dari duduknya. “Lin-moi, kau siapkan pedangmu dan marilah kau kuantar melawan orang
she Ma itu. Kalau kau tidak mampu merobohkannya jangan kau panggil aku Engko Hai lagi!” kata-katanya
ini disertai senyum mesra kepada gadis yang masih memandangnya dengan mata terbelalak. “Lin Lin
benarkah kau tidak percaya kepadaku?” tanya Cin Hai sungguh-sungguh.
“Aku percaya kepadamu, Hai-ko. Mari kita maju!”
Lin Lin dan Cin Hai lalu maju ke kalangan pertempuran.
“Niocu! Saudara Kwee! Kalian mundurlah, biar aku dan Adik Lin Lin menggantikanmu!”
Mendengar kata-kata ini, Ma Ing menunda serangannya karena heran sekali mendengar bahwa pemuda
tolol itu hendak maju. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ang I Niocu dan Kwee An untuk melompat
mundur ke belakang.
“Hai-ji, dia lihai sekali, jangan kau main-main!” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai.
“Lin Lin, dia bukan lawanmu!” kata Kwee An memperingatkan Lin Lin.
Akan tetapi, baik Cin Hai mau pun Lin Lin tidak mempedulikan peringatan ini. Lin Lin lalu mencabut
pedangnya dan maju bersama-sama Cin Hai yang memegang sulingnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ehh orang she Ma! Apa kau berani menghadapi aku dan Kwee-siocia ini?”
“Ha-ha-ha! Orang tolol! Kau agaknya sudah bosan hidup! Ingat, sekali ini aku tidak mau mengampuni kau
pengacau ini. Majulah! Jangankan baru kalian berdua, biar kau tambah seratus orang lagi, aku Ma Ing tak
akan gentar.”
“Nah, kau bersiaplah!” kata Cin Hai.
Dia segera menggerakkan sulingnya dengan sembarangan menusuk ke arah dada Ma Ing! Ma Ing segera
melangkah mundur dan tertawa bergelak-gelak.
“Kau bersenjata suling? Ha-ha-ha! Ah, kau benar-benar sudah gila, anak muda. Tukarkan senjatamu
dengan pedang atau lain senjata tajam.”
“Tidak usah, orang sombong. Aku tak akan melukaimu karena yang akan menyerangmu hanya Kwee-siocia
ini, aku hanya menghalangi serbuanmu saja, untuk apa menggunakan senjata tajam?”
Tidak hanya Ma Ing, akan tetapi semua orang yang berada di situ menggeleng-gelengkan kepala karena
menyangka bahwa benar-benar Cin Hai sudah gila! Hanya Biauw Suthai seorang yang berkata kepada
Kwee Tiong yang membanting-banting kaki melihat lagak Cin Hai.
“Kwee-kongcu, kau tenanglah sebab sekarang Ma Ing betul-betul akan kehilangan muka!”
Kwee Tiong heran sekali mendengar kata-kata ini. Akan tetapi terhadap guru Lin Lin ini dia tidak berani
banyak cakap.
“Cuwi sekalian, semua orang hendaknya menjadi saksi bahwa pemuda gila ini mencari matinya sendiri. Aku
tak akan mengganggu Kwee-siocia, akan tetapi kalau hari ini aku tak dapat membunuh anak gila ini,
janganlah orang memanggil namaku Ma Ing lagi!” Setelah berkata demikian, Ma Ing lalu menyerang
dengan pedangnya.
Benar saja, dia menujukan serangannya yang hebat itu kepada Cin Hai dengan sebuah tusukan kilat ke
arah dada kiri pemuda itu! Semua orang menjerit ngeri karena sudah terbayang di depan mata betapa dada
Cin Hai akan tertembus pedang.
Akan tetapi Cin Hai juga menjerit, “Ayaaaa...!“
Sambil menggunakan gerakan Monyet Jatuh Dari Cabang, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang
dengan gerakan canggung, akan tetapi tubuhnya terluput dari pada tusukan pedang. Sambil terhuyunghuyung
ini Cin Hai berkata,
“Wah, galak... galak...! Lin-moi, lekas kau serang dia!”
Lin Lin tak perlu diperintah lagi karena melihat desakan Ma Ing kepada Ciri Hai, dia sudah merasa khawatir
sekali dan cepat mengirim serangan dengan pedangnya. Ma Ing hendak menangkis, akan tetapi mendadak
Cin Hai meniru gerakannya tadi dan menusuk ke arah punggungnya dengan suling itu.
Terpaksa Ma Ing mengelak dari serangan Lin Lin dan cepat memutar tubuh menghadapi Cin Hai lagi dan
hendak membacok suling itu dengan pedang. Akan tetapi tiba-tiba suling yang ditusukkan itu dirobah lagi
dan kini Cin Hai juga membacok ke arah lengan tangan Ma Ing yang memegang pedang. Gerakan pemuda
ini sama benar dengan gerakannya dan tiba-tiba tangan Ma Ing terpukul oleh suling yang dibacokkan itu.
Ma Ing terkejut sekali karena meski pun suling itu hanya terbuat dari pada bambu, akan tetapi tangannya
merasa sakit sekali. Dia cepat memutar pedangnya dan menyerang Cin Hai dengan serangan kilat. Akan
tetapi, tiba-tiba ia memandang dengan mata terbelalak, karena Cin Hai juga bersilat persis ilmu silatnya
sendiri.
Semua orang yang menonton menjadi terheran-heran. Mereka menganggap bahwa Cin Hai hanya meniruniru
gerakan Ma Ing saja. Akan tetapi Ma Ing sendiri hampir tak dapat mempercayai matanya karena
semua gerakan Cin Hai bahkan lebih sempurna dari pada gerakannya sendiri. Maka dia cepat meloncat
mundur dan berseru.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tahan dulu! Ehh, pemuda tolol, sebenarnya kau ini murid siapakah dan dari mana kau dapat memainkan
Pek-coa Kiam-hoat?” Pek-coa Kiam-hoat adalah ilmu pedang yang tadi dimainkan oleh Ma Ing tadi.
Cin Hai pura-pura memandang heran. “Orang she Ma, kenapa kau masih bertanya lagi? Aku mempelajari
ilmu pedang ini darimu sendiri!”
“Bangsat penipu! Kapan aku memberi pelajaran kepadamu?” Ma Ing berseru marah,
“Bukankah baru saja kau telah memperlihatkan ilmu pedangmu?”
Jawaban Cin Hai ini memang sebenarnya saja, oleh karena ilmu silat apa pun juga kalau digunakan untuk
menyerangnya, maka otomatis ia akan dapat menirunya karena ia telah kenal akan pokok-pokok dasar
segala macam gerakan silat.
“Anak muda, ternyata kau hanya berpura-pura tolol saja. Apa bila kau memang laki-laki, jangan maju
keroyokan. Aku kuatir kalau sampai salah tangan dan melukai Kwee-siocia,” kata Ma Ing.
Cin Hai memandang kepada Lin Lin. “Mundurlah kau, Adik Lin, monyet tua ini ternyata takut kepada
pedangmu, biarlah aku yang melayaninya sendiri!”
“Tapi, Hai-ko...,” kata Lin Lin ragu-ragu karena ia merasa kuatir sekali.
Tiba-tiba saja Cin Hai mengejapkan matanya kepada gadis itu dan mulutnya tersenyum. “Tidak percaya
kau kepadaku?”
Gadis itu tidak menjawab, dia lalu mengangsurkan pedangnya. “Kau pakailah pedangku, Hai-ko!”
“Tak usah, Adikku, cukup dengan suling saja. Jika memang perlu, aku sendiri pun sudah mempunyai
sebatang pedang.”
Lin Lin mengundurkan diri, tetapi ia berdiri di pinggir kalangan untuk menjaga kalau-kalau Cin Hai berada
dalam bahaya. Ma Ing lantas mengeluarkan seruan keras dan tiba-tiba memutar pedangnya bagaikan
kitiran cepatnya sehingga pedang itu lalu berubah menjadi segulungan sinar keputih-putihan yang
menyerbu ke arah Cin Hai.
“Bagus!” Cin Hai berseru.
Dia lalu mengikuti gerakan lawan itu. Tubuhnya mencelat ke sana ke mari dan sulingnya diputar cepat
hingga pada saat ada angin memasuki lubang suling itu, terdengarlah bunyi melengking yang aneh dan
lucu.
Baru sekarang semua penonton maklum bahwa pemuda ketololan ini sesungguhnya lihai sekali. Mereka
bersorak-sorak karena heran dan kagum dan keadaan menjadi ramai dan riuh rendah sekali. Bahkan Kwee
In Liang, Pek I Toanio, Biauw Suthai dan yang lain-lain lalu berdiri dari tempat duduk mereka agar dapat
menonton lebih jelas!
Sebaliknya, Kwee Tiong serta adik-adiknya lalu berdiri melongo penuh keheranan. Kwee An menganggukanggukkan
kepala sambil berkata, “Ah, kepandaian Cin Hai sepuluh kali lebih tinggi dari pada kebisaanku.”
Ma Ing merasa pusing sekali karena dia tidak berhasil mendesak kepada Cin Hai. Jangan kata mendesak,
menyerang pun sulit baginya, sebab pemuda itu secara aneh sekali telah mengetahui semua rahasia
penyerangannya sebelum serangan itu sempat dilakukan.
Tiap kali apa bila pedangnya berkelebat hendak menyerang, selalu Cin Hai mendahului serangannya
dengan tusukan sulingnya ke arah pundak atau sambungan sikunya hingga serangan-serangannya itu
selalu gagal sebelum dilancarkan. Sungguh aneh sekali. Dan yang lebih gila, tiap serangan dibalas oleh Cin
Hai dengan serangan yang sama pula.
Ma Ing merasa penasaran sekali. Ia menganggap bahwa pemuda ini tentulah ahli dalam ilmu Pedang Pekcoa
Kiam-hoat, karena itu tiba-tiba ia merubah gerakan pedangnya dan mainkan Ilmu Pedang Pat-sian
Kiam-hoat. Akan tetapi, lagi-lagi ia kecele, karena pemuda itu pun telah mengenal baik ilmu pedang ini dan
dapat melakukan ilmu pedang ini dengan sama sempurna!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia mengubah-ubah terus ilmu silatnya, dari ilmu silat yang terendah sampai yang tertinggi karena Ma Ing
memang memiliki banyak sekali ilmu silat yang lihai, akan tetapi kini dia benar-benar tidak mengerti, karena
baru saja ia mengganti gerakannya, tiba-tiba pemuda itu pun mengganti ilmu silatnya yang sama dan
sedikit pun tidak berbeda. Masih seperti tadi, tiap-tiap serangannya tentu dibalas dengan serangan
semacam pula.
Ma Ing merasa seolah-olah ia sedang bertempur melawan bayangannya sendiri di dalam cermin. Dan yang
lebih celaka lagi, Cin Hai agaknya mempermainkannya, karena sudah beberapa kali suling itu berhasil
memukulnya secara perlahan, baik di kepala, punggung, pundak, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Meski pun
pukulan ini perlahan sekali, akan tetapi cukup terasa pedas dan yang lebih terasa perih adalah perasaan di
dalam hatinya.
“Orang she Ma, sudah beberapa kali engkau kukemplang dengan sulingku, masih belum mau kalahkah
engkau?” Cin Hai bertanya dengan ejekannya.
Adapun sorak-sorai penonton semakin riuh sebab sungguh-sungguh mereka sama sekali tidak pernah
menyangka bahwa pemuda tolol itu benar-benar berkepandaian sedemikian tingginya sehingga berhasil
mempermainkan Ma Ing! Juga Biauw Suthai kini benar-benar kagum sekali dan menyatakan
kekagumannya itu dengan kata-kata sehingga terdengar oleh Ang I Niocu dan gadis itu berkata kepadanya.
“Tidak heran bahwa ia demikian lihainya, karena ia adalah murid tunggal dari Bu Pun Su Susiok-couw!”
Mendengar ini, terkejutlah Biauw Suthai dan tokouw ini mengangguk-angguk maklum.
Mendengar ejekan Cin Hai, Ma Ing makin marah dan menyerang dengan nekad. Tiba-tiba Cin Hai lalu
berkata, “Ahhh, aku sudah bosan, Ma-ciangkun! Biarlah engkau lelah sendiri, aku hendak mengaso!”
Sesudah berkata demikian Cin Hai lalu duduk bersila di tengah kalangan itu sambil meramkan mata seperti
orang bersemedhi!
Semua orang merasa heran sekali sehingga mereka memandang dengan mata terbelalak tanpa pernah
berkejap karena mereka tidak percaya bahwa Cin Hai hendak menghadapi lawannya dengan duduk bersila
sambil meramkan mata!
Juga Ma Ing merasa ragu-ragu. Akan tetapi karena dia telah merasa lelah sekali apa lagi hatinya terasa
sakit dan mendongkol karena telah dipermainkan, dia menjadi mata gelap. Dengan mengertak gigi, dia lalu
membacok ke arah kepala Cin Hai yang sedang duduk bersila sambil meramkan mata itu.
Kwee An bergerak hendak melompat dan menolong Cin Hai, akan tetapi ia ditahan oleh Biauw Suthai, dan
Ang I Niocu yang sudah mengetahui kelihaian Cin Hai. Juga Lin Lin sudah siap dengan pedangnya, akan
tetapi tiba-tiba suling di tangan Cin Hai digerakkan dan suling itu tidak menangkis pedang yang menyambar
kepalanya, bahkan mendahului gerakan Ma Ing!
Terpaksa Ma Ing menahan gerakannya dan membacok dengan hebat ke arah pundak Cin Hai. Akan tetapi,
dengan mata masih meram, sekali gerakkan pundak saja pemuda itu telah berhasil mengelit bacokan itu
sambil berkata perlahan,
“Ah, Ma-ciangkun, engkau telah mendapat luka dalam, masih belum insyafkah engkau?”
Ma Ing kaget sekali dan cepat menahan pedangnya. Ia memang merasa betapa di dalam dadanya terasa
panas dan yang membuatnya tak enak sekali, seperti orang yang merasa mual dan hendak muntah.
“Rabalah iga kirimu dan engkau akan tahu!” kata Cin Hai lagi.
Seperti dalam mimpi Ma Ing lalu menggunakan tangan kiri meraba iganya dan terkejutlah dia karena iganya
terasa sakit sekali dan ketika dia merobek bajunya, ternyata di iga itu terdapat sebintik tanda merah
sebesar jempol kaki! Ia maklum bahwa ia telah kena dilukai oleh Cin Hai, maka ia cepat menjura sambil
berkata,
“Sungguh mataku bagaikan buta sehingga tidak melihat besarnya Gunung Thai-san yang menjulang di
depan mata. Sicu lihai sekali, jadi aku merasa takluk. Tidak tahu siapakah sebenarnya Sicu ini, dan murid
siapakah?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Cin Hai lalu mempergunakan kepandaiannya sehingga dalam keadaan bersila, tahu-tahu tubuhnya dapat
mumbul ke atas. Inilah demonstrasi tenaga ginkang yang jarang dipunyai oleh sembarang tokoh persilatan.
Setelah berada di udara, Cin Hai melepaskan kaki dan berdiri. Ia membalas pemberian hormat Ma Ing dan
berkata sambil tersenyum,
“Ma-ciangkun, siauwte bukanlah orang yang bernama besar. Siauwte bernama Cin Hai, she Sie dan orang
memberi julukan kepada siauwte Pendekar Bodoh!”
Orang-orang tertawa dan memuji, menyatakan heran dan kagum karena meski pun telah memiliki
kepandaian sehebat itu, namun ternyata Cin Hai tidak menjadi sombong bahkan merendahkan diri serta
bersikap ketolol-tololan.
“Kau sangat pandai menyembunyikan kepandaian, Sicu. Siapakah nama Suhu-mu yang mulia?” tanya Ma
Ing lagi yang kini benar-benar telah mati kutu dan tidak berani bersikap sombong.
“Suhu-ku lebih bodoh lagi dari padaku, dia tak memiliki kepandaian apa-apa.”
Ma Ing menjadi pucat mendengar ini, karena guru pemuda ini tentu kakek jembel Bu Pun Su yang berarti
tidak punya kepandaian! Dia lalu menjura lagi dan berkata “Terima kasih atas pengajaranmu, biarlah lain
kali apa bila ada jodoh kita bertemu kembali.” Ma Ing lalu mengajak kawan-kawannya pergi dari situ.
Sesudah kelima orang perwira itu pergi, semua orang lalu merubung dan memuji-muji Cin Hai. Lebih-lebih
Lin Lin, gadis ini tanpa malu-malu lagi lalu memegang tangan Cin Hai dan menariknya ke arah ayahnya.
“Ayah, coba lihat Engko Hai ini! Semenjak pertama bertemu aku telah menduga bahwa ia memiliki
kepandaian hebat!” kata gadis itu dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar.
Kwee In Liang hanya mengangguk-angguk dan dengan suara terharu ia berkata, “Terima kasih, Hai-ji. Kau
telah menyelamatkan kami sekeluarga.”
Loan Nio memeluk keponakannya dengan girang dan terharu. Akan tetapi pada waktu itu dari luar
terdengar seruan-seruan kaget dan tiba-tiba saja terdengar suara orang tertawa. Suara ini menyeramkan
sekali.
Cin Hai juga merasa kaget sekali karena ia kenal suara ini! Ia cepat melepaskan diri dari pelukan bibinya
dan melompat keluar. Ternyata di sana sudah berdiri Hek Moko dan Pek Moko yang tertawa bagaikan dua
orang gila!
“Ha-ha-ha! Anak muda, kebetulan sekali kita dapat bertemu di sini. Engkau ternyata telah mewarisi
kepandaian Bu Pun Su Si Kakek Gila. Marilah, kita main-main sebentar!”
“Ji-wi Locianpwe,” Cin Hai berkata dengan sabar dan suara sungguh-sungguh. “Kita tidak pernah
bermusuhan, untuk apa kita harus bermain-main yang hanya akan menimbulkan buah tertawaan orang
belaka?” Suara Cin Hai kini terdengar berpengaruh, tidak seperti tadi ketika dia mempermainkan para
perwira itu. Lin Lin dan Ang I Niocu tahu-tahu sudah berdiri di kanan-kirinya.
“Anak muda, tak perlu banyak cerewet!” Pek Moko membentak. “Gurumu telah berhutang kepada kami dan
sekarang engkaulah yang harus membayar!” Setelah berkata demikian, mereka berdua mencabut keluar
pedang mereka yang mengerikan itu dan juga mereka mengeluarkan senjata tasbeh lalu menyerang
dengan hebat ke arah Cin Hai!
Terpaksa Cin Hai mencabut pedang pemberian suhu-nya dahulu, yaitu Liong-coan-kiam, dan dia lalu
menggerakkan pedangnya meniru gerakan-gerakan lawannya itu! Tiga orang ini lalu bertempur dengan
hebat dan sebentar saja mereka bertiga lenyap dari pandangan mata dan hanya nampak debu mengepul
dan tiga bayangan pedang bercampur menjadi satu!
Melihat pertempuran yang luar biasa hebatnya ini, baik Lin Lin mau pun Ang I Niocu tidak berdaya untuk
membantu karena kedua-duanya maklum bahwa jika mereka membantu, tidak hanya sangat berbahaya
bagi mereka, bahkan itu takkan menolong Cin Hai, bahkan mungkin akan mengacaukan pertahanannya.
Ang I Niocu mengerling ke arah Lin Lin. Ia melihat betapa gadis muda ini meremas-remas kedua tangannya
dunia-kangouw.blogspot.com
dan dengan wajah pucat serta sepasang mata basah dengan air mata memandang ke arah bayanganbayangan
yang bergulung-gulung itu!
Ang I Niocu merasa betapa hatinya tiba-tiba saja menjadi perih seperti tertusuk pedang. Ia maklum bahwa
gadis muda yang manis ini jatuh cinta kepada Cin Hai! Keperihan hati ini membuat ia menjadi nekad.
Dengan pedang di tangan ia menyerbu dan kini gulungan sinar pedang itu bertambah dengan sinar merah.
“Niocu, kau mundur!” Terdengar seruan Cin Hai yang berpengaruh sekali.
Tiba-tiba bayangan merah itu terlempar pada waktu pedangnya beradu dengan tasbeh Pek Moko, hampir
saja dia mendapat celaka.
Sesudah bertempur agak lama lagi, tiba-tiba saja terdengar teriakan ngeri dan tahu-tahu gulungan sinar
pedang Hek Moko dan Pek Moko sudah mengendur dan tiba-tiba kedua iblis itu sambil berteriak-teriak
kesakitan lari dari situ! Cin Hai berdiri dengan wajah pucat dan pedang di tangan kanannya bergetar karena
tangan yang memegang itu menggigil!
Ang I Niocu memburu, akan tetapi ia kalah dulu dengan Lin Lin. Gadis ini memeluk tubuh Cin Hai yang
berdiri bagaikan patung itu sambil berseru berkali-kali,
“Engko Hai... Engko... Hai... kau kenapakah?”
Cin Hai memandang Lin Lin dengan tersenyum, lalu mengerling ke arah Ang I Niocu yang juga sudah
mendekatinya, tapi tiba-tiba pemuda ini meringis kesakitan dan jatuh pingsan! Untunglah Lin Lin cepat
menyambarnya dan gadis ini tanpa malu-malu lagi lalu segera memondong tubuh Cin Hai dibawa masuk ke
dalam rumah.
Para tamu dan tuan rumah menjadi panik dan bingung. Cin Hai sudah mendapat luka di dalam tubuh
karena pukulan tasbeh Hek Moko, namun di ujung pedang Liong-coan-kiam juga terdapat tanda-tanda
darah yang menyatakan bahwa pemuda ini pun telah berhasil melukai kedua lawannya yang tangguh!
Kwee In Liang lalu minta maaf kepada semua tamunya dan para tamu lalu bubaran dan tiada habishabisnya
mereka membicarakan mengenai Pendekar Bodoh yang luar biasa dan lihai itu! Di dalam
perjamuan itu mereka benar-benar telah disuguhi pertunjukan silat yang luar biasa hebatnya…..
********************
Cin Hai dibaringkan di dalam kamar Lin Lin, dan Loan Nio duduk menangis di dekatnya, sedangkan Ang I
Niocu juga berdiri di situ dengan wajah pucat. Biauw Suthai yang pandai akan ilmu pengobatan melakukan
pemeriksaan pada tubuh Cin Hai dan ternyata bahwa Cin Hai sudah kena pukul tasbeh di pundak
kanannya hingga menderita luka dalam yang hebat juga.
“Tidak perlu kuatir,” kata Biauw Suthai, “Kalau orang lain yang terkena luka ini, tentu akan melayang
jiwanya. Akan tetapi anak muda ini betul-betul telah mendapat latihan sinkang yang tinggi sehingga luka ini
takakan membahayakan jiwanya.”
Dia segera mengeluarkan tiga belas butir pil putih dan memberikan pil itu kepada Lin Lin. “Berikan pil ini
sehari tiga butir dan bila mana semua pil telah ditelan habis tentu ia akan sembuh kembali!”
Lin Lin cepat menerima pil itu dan dengan cekatan sekali gadis ini lalu pergi ke dapur mengambil air panas,
lalu dengan kedua tangannya sendiri memasukkan pil itu ke dalam mulut Cin Hai dan memberi pemuda itu
minum air. Dengan sangat mesra gadis ini lalu menggunakan sapu tangannya untuk menyusut peluh yang
berkumpul pada jidat Cin Hai.
Melihat gerakan-gerakan yang mesra ini, Loan Nio tak dapat menahan keharuan hatinya lagi. Dia lalu
menangis tersedu-sedu sambil memeluk pundak Lin Lin. Gadis ini merasa heran dan memandang muka
bibinya dengan tidak mengerti, akan tetapi ketika melihat betapa semua mata ditujukan padanya, ia lalu
menjadi insyaf bahwa telah berlaku terlalu mesra hingga tiba-tiba air mukanya berubah kemerah-merahan
karena jengah dan malu!
Tiba-tiba Lin Lin teringat kepada Ang I Niocu karena dia hendak bertanya kepada Dara Baju Merah ini
tentang riwayat Cin Hai dan segala pengalamannya. Akan tetapi ketika dia memandang, ternyata Dara Baju
dunia-kangouw.blogspot.com
Merah ini tidak berada di dalam kamar lagi! Dia cepat mengejar ke luar, akan tetapi tidak terlihat bayangan
Ang I Niocu! Lin Lin bertemu dengan Kwee Tiong di ruang depan dan ia bertanya kepada kakaknya ini
barang kali melihat Ang I Niocu.
“Dia telah pergi dan minta supaya aku menyampaikan kepada Ayah dan kepada semua orang. Agaknya ia
sebal melihat engkau yang begitu tidak tahu malu. Atau barang kali ia cemburu, karena tidak melihatkah
engkau betapa mesra dan akrab hubungan antara dia dengan Cin Hai?” Kwee Tiong yang mempunyai hati
iri melihat kegagahan Cin Hai, mulai menyebar racun di hati Lin Lin.
Akan tetapi gadis ini dengan muka merah dan pandangan mata bersinar menjawab,
“Engko Tiong, kau tidak berhak ikut campur segala urusanku. Engko Hai adalah keluarga kita sendiri dan
dia dengan gagah berani telah berhasil membela nama baik kita. Apakah tidak pantas kalau aku berlaku
baik kepadanya?” Dengan muka cemberut gadis ini pergi meninggalkan kakaknya dan kembali ke kamar
Cin Hai.
Biauw Suthai bersama Pek I Toanio serta lain-lain tamu lalu berpamit dan meninggalkan rumah keluarga
Kwee. Lin Lin dengan telaten sekali menjaga Cin Hai dan tidak menurut perintah ayahnya yang menyuruh
dia mengaso. Melihat kebandelan anaknya ini, Kwee In Liang hanya menggeleng kepala dan menghela
napas saja, lalu dia meninggalkan kamar itu dengan muka muram.
Benar seperti kata-kata Biauw Suthai, sesudah diberi makan obat pil itu, pada keesokan harinya Cin Hai
siuman dari pingsannya. Pemuda ini merasa terharu melihat kebaikan Lin Lin yang sudah memelihara dan
menjaganya selama itu. Diam-diam ia merasa bersyukur sekali dan cinta kasih yang bersemi di dalam
hatinya terhadap Lin Lin semakin mendalam dan berakar.
Bibinya juga sering kali datang menengok, sedangkan pamannya biar pun tiap hari paling sedikit satu kali
datang menjenguk, akan tetapi bersikap dingin. Sedangkan Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Bun dan Kwee
Siang sama sekali tak pernah datang menengok.
Hanya Kwee An yang sering datang. Setiap kali mereka bercakap-cakap, Kwee An selalu memuji-mujinya
dan minta supaya kelak Cin Hai suka memberi petunjuk dalam ilmu silat kepadanya.
Pada hari yang ke tiga Cin Hai keluar dari kamarnya dan mencari hawa sejuk di belakang rumah yang
mempunyai sebuah taman yang luas dan indah. Ia teringat akan Ang I Niocu dan berpikir dengan heran
kenapa gadis itu pergi tanpa pamit. Ketika diberitahu oleh Lin Lin akan kepergian Ang I Niocu dia hanya
merasa menyesal mengapa Gadis Baju Merah itu tidak memberitahukan kepergiannya sedangkan ia masih
pingsan.
Akan tetapi dia tidak kecewa. Dia tidak mengerti mengapa kini setelah berkumpul dengan ie-ie-nya dan
dengan Lin Lin, kerinduannya terhadap Ang I Niocu lenyap. Dia tidak tahu bahwa dahulu dia hidup
sebatang kara dan hanya mempunyai teman Ang I Niocu, tetapi sekarang dia telah berada di rumah Loan
Nio, bibinya yang sangat cinta kepadanya itu, dan di sini ada pula Lin Lin yang telah dapat merebut hatinya
dengan diam-diam.
Pada waktu dia sedang duduk melamun, tiba-tiba terdengar suara merdu memanggilnya, “Engko Hai...
Engko Hai...”
Cin Hai tersenyum. Dia mengenal baik suara Lin Lin, akan tetapi ia diam saja, bahkan dia lalu duduk di
bawah sebatang pohon di dalam taman itu. Akhirnya suara panggilan Lin Lin terdengar penuh
kekhawatiran, maka hati Cin Hai menjadi tidak tega. Dia lalu menjawab, “Aku berada di sini!”
Lin Lin berlari-lari menghampiri. Wajah gadis ini menjadi merah, matanya bersinar, akan tetapi mulutnya
cemberut.
“Engko Hai, engkau nakal sekali. Mengapa engkau diam saja dan malah bersembunyi di sini? Kukira
engkau...”
“Kau kira apa?”
“Kukira engkau sudah pergi tanpa pamit, seperti Ang I Niocu...“ Lin Lin lalu menjatuhkan diri duduk di dekat
Cin Hai.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalau aku pergi, kenapakah?”
“Bila engkau pergi, aku... ahh... ahh, Engko Hai jangan menanyakan yang bukan-bukan. Kau lupa belum
menelan pil ini!” Gadis itu lalu mengeluarkan sebutir pil dari sakunya dan memberikan itu kepada Cin Hai.
Cin Hai menerima pil itu sambil memandang wajah Lin Lin yang berada di dekatnya. “Lin Lin... kenapakah
engkau... sebaik ini kepadaku...?” suara Cin Hai terdengar menggetar penuh perasaan.
Lin Lin membalas memandang dan ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Cin Hai, dia
lalu menundukkan mukanya dengan wajah merah.
“Engkau jangan memandang aku seperti itu, Engko Hai...,” katanya berbisik.
Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan merasa betapa tangan dara itu menggigil. “Lin Lin, kenapakah? Kau
pandanglah aku dan jawablah pertanyaanku tadi!”
Akan tetapi Lin Lin tidak berani memandangnya dan menyembunyikan mukanya di dada. “Aku... tidak
berani, Hai-ko.”
“Lin Lin, kau aneh sekali. Mengapa tidak berani? Katakanlah...”
Tiba-tiba Lin Lin tertawa dan mencoba untuk merenggutkan tangannya yang terpegang, akan tetapi tidak
dapat. “Sudahlah, Engko Hai, jangan membikin aku merasa malu sekali. Telanlah piI itu!”
Tetapi Cin Hai tetap tidak melepas tangan gadis itu. “Jawab dulu pertanyaanku…”
Lin Lin makin merasa malu dan kini tubuhnya menggigil. “Sudahlah, Engko Hai lepaskan tanganku dan
telanlah pil itu!” katanya memohon.
“Tidak, sebelum kau menjawab pertanyaanku. Cintakah kau padaku?”
“Engkau nakal sekali, Engko Hai!”
“Jawablah dulu!”
Dengan tersenyum kemalu-maluan serta matanya yang indah mengerling tajam, Lin Lin pun mengangguk!
Bukan main senangnya Cin Hai melihat pengakuan gadis ini. “Lin Lin, kini hidup ini berarti bagiku. Alangkah
indahnya dunia ini. Lihatlah semua pohon-pohon itu menari-nari girang menyaksikan kebahagiaan kita!”
“Ahh, pohon itu bergerak karena tertiup angin!” bantah Lin Lin.
“Dan daun-daun itu melambai-lambai pada kita. Burung-burung itu pun bernyanyi karena hendak turut
menyatakan kebahagiaan mereka! Lin Lin, kau sungguh-sungguh membuat aku berbahagia sekali. Adikku,
aku... aku cinta kepadamu...”
“Sudahlah, kau telan pil itu!” kata Lin Lin cemberut, tetapi hatinya berdebar-debar karena gembira dan
bahagia.
“Baiklah, akan kutelan. Tapi kau jangan cemberut, karena kalau kau marah dan cemberut wajahmu menjadi
makin manis dan aku takkan dapat menelan pil pahit ini!”
“Kau... kau memang nakal!” Lin Lin berkata sambil mencubit lengan pemuda itu.
Cin Hai lalu menelan pil itu dan merasa betapa lukanya telah tak terasa lagi sakitnya. Ia lalu mengeluarkan
sulingnya.
“Lin Lin aku akan melagukan sebuah nyanyian indah untukmu.”
Cin Hai segera meniup sulingnya dan karena ia mencurahkan seluruh perasaannya yang mencinta di
dalam tiupan suling itu maka terdengarlah suara suling yang indah merayu dan merdu sekali hingga Lin Lin
dunia-kangouw.blogspot.com
meramkan matanya, karena di dalam suara suling itu, dia seakan-akan mendengar pernyataan cinta kasih
Cin Hai kepadanya!
Sesudah Cin Hai selesai meniup sulingnya, dengan mata basah Lin Lin berkata, “Terima kasih, Hai-ko, aku
telah mendengar suara hatimu. Memang engkau semenjak dulu sangat baik padaku. Ingatkah kau betapa
dulu kau mati-matian melawan Guruku untuk membela aku? Ahh, aku tidak dapat melupakan semua
kejadian itu!”
Cin Hai memandang wajah Lin Lin dengan tersenyum.
“Ha, kau mengingatkanku akan hal-hal dahulu. Dulu kau seorang anak perempuan yang berkuncir dua,
yang nakal, bengal, dan bandel bukan main!” Cin Hai tertawa dan matanya memandang penuh menggoda.
Lin Lin cemberut. “Dan kau... kau... ahh, lucu sekali...”
“Aku kenapa...?” Cin Hai menuntut.
“Engkau buruk rupa, kepalamu gundul penuh kudis, dan engkau bodoh... dan nakal...” Lin Lin tertawa geli
dan Cin Hai lalu berdiri menangkapnya, tetapi Lin Lin lebih cepat, karena gadis ini telah berdiri dan lari.
Cin Hai mengejarnya sambil berkata, “Awas, kalau kena tangkap, kucubit bibirmu yang nakal itu!”
Lin Lin berlari memutari pohon dan tanaman kembang, Cin Hai mengejar dan mereka pun berkejar-kejaran
bagaikan dua orang anak kecil, begitu gembira, begitu mesra dan penuh bahagia.
Tiba-tiba Kwee Tiong muncul dari pintu belakang. Dengan wajah tak senang dia berkata, “Lin Lin Ayah
memanggilmu!”
Tanpa menengok kepada Cin Hai, Kwee Tiong lalu masuk kembali ke dalam rumah. Lin Lin
memperlihatkan wajah kecewa.
Akan tetapi Cin Hai berkata, “Pergilah, Lin-moi! Tentu ada suatu hal penting maka Ie-thio memanggilmu.”
Lin Lin kemudian masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Cin Hai yang kembali duduk melamun dengan
penuh kebahagiaan.
Ketika tiba di kamar ayahnya, Lin Lin melihat ayahnya duduk seorang diri dengan muka muram. Begitu
melihat anak gadisnya masuk, ayah ini serta merta menegur,
“Lin Lin sikapmu sungguh tidak patut dan memalukan!”
Lin Lin terkejut dan memandang kepada ayahnya dengan heran, “Ada apakah, Ayah?”
“Engkau bergaul terlalu dekat dengan Cin Hai, hal ini tidak patut sekali.”
Lin Lin tahu bahwa ayahnya ini tentu telah mendapat laporan-laporan dari Kwee Tiong.
“Ayah, apakah salahnya kalau aku bergaul dengan Engko Hai? Bukankah ia keluarga kita sendiri dan
bukankah ia juga seorang pemuda yang baik dan gagah serta telah menolong kita?” jawabnya dengan
berani.
“Betul, akan tetapi kau harus ingat bahwa engkau telah dewasa dan dia seorang pemuda dewasa pula.
Tidak patut kalau engkau berlaku terlalu manis dengan dia. Apa akan kata orang luar kalau melihat?”
“Ayah, mengapa engkau berkata demikian?” Lin Lin bertanya dengan marah. “Engko Hai adalah seorang
pemuda baik dan sopan. Aku... aku suka bergaul dengan dia!”
Memang semenjak dulu Lin Lin sangat dimanja oleh ayahnya sehingga ia berani bersikap bandel terhadap
ayah ini.
“Lin Lin,” Kwee In Liang menghela napas. “Di dalam hal ini engkau harus taat kepadaku. Engkau sudah
cukup dewasa dan setiap saat akan ada orang yang datang melamarmu. Engkau harus memutuskan
dunia-kangouw.blogspot.com
hubunganmu dengan Cin Hai dan jangan lagi kau bertemu dengan dia kalau tidak ada keperluan penting.”
“Ayah!” Gadis itu berseru.
“Diam!! Engkau harus menurut, atau... apakah engkau ingin menjadi seorang anak yang puthauw (tidak
berbakti)?!”
Dibentak seperti ini, Lin Lin menundukkan kepala dan menangis!
“Ayah, kau... kau kejam!” katanya dan ia lalu melarikan diri menuju ke kamarnya, di mana ia
membantingkan dirinya di atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.
Tak lama kemudian, Loan Nio masuk ke kamar itu dengan tindakan perlahan. Ia memeluk tubuh gadis itu
dan berbisik mesra,
“Lin Lin, aku sudah tahu akan kemarahan Ayahmu. Anakku, apakah... kau suka kepada Cin Hai? Jawabnya
terus terang, anakku, bagaimana kalau aku mengajukan usul kepada Ayahmu agar kau dan Cin Hai... di...
jodohkan? Setujukah kau?”
Lin Lin tersentak bangun dan menyusut air mata. Dia lalu memandang kepada Loan Nio dengan mata
terbelalak. Tak pernah terpikir olehnya tentang perjodohan dengan Cin Hai, karena itu pertanyaan yang
tiba-tiba datangnya ini lantas membuatnya bingung dan malu. Kemudian, sambil terisak ia memeluk ibu
tirinya dan menangis lagi.
“Lin Lin.” kata Loan Nio sambil mengusap-usap rambut gadis itu, “kepadaku tak perlu kau menyimpan
rahasia hatimu. Kalau kau tidak setuju, katakanlah! Jika kau diam saja, maka akan kuanggap bahwa kau
setuju, dan sekarang juga aku akan bicara dengan Ayahmu.”
Lin Lin diam saja, hanya tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan isak tangisnya!
“Sudahlah, tenangkan hatimu dan kau serahkan saja persoalan ini padaku.” Dan setelah menepuk-nepuk
bahu Lin Lin, nyonya yang baik hati ini lalu meninggalkan kamar Lin Lin dan menuju ke kamar suaminya.
Lin Lin adalah seorang gadis yang berhati keras dan bersemangat. Ia tak dapat menahan sabar menunggu
hasil dari pada pembicaraan ibu tirinya dengan ayahnya. Maka, setelah menanti sebentar, lalu dia
mempergunakan kepandaiannya melompat keluar dari jendela kamarnya, kemudian dengan hati-hati sekali
dia mengintai di atas genteng dan mengintai ke bawah, di mana ayahnya sedang bercakap-cakap dengan
Loan Nio!
Pada saat itu Cin Hai dengan hati girang sekali masuk ke dalam rumah untuk memasuki kamarnya. Tibatiba
telinganya yang tajam dapat menangkap lapat-lapat suara Kwee In Liang seperti orang sedang marah.
Maka ia lalu mengambil jalan memutar, keluar lagi ke belakang dan mempergunakan kepandaiannya
melompat ke atas genteng.
Alangkah herannya ketika dia mendapatkan Lin Lin sedang mengintai pula, maka secara diam-diam ia
cepat menyelinap ke tempat lain dan mengintai dari bagian lain. Ia tak perlu mengintai, hanya
mempergunakan ketajaman telinganya untuk mendengarkan.
“Tidak, tidak! Sekali-kali tidak!” kata kata Kwee In Liang keras-keras dan dengan suara marah. “Memang ia
seorang yang cukup baik dan cukup gagah, akan tetapi orang jaman dahulu pernah berkata bahwa memilih
mantu harus melihat keadaan orang tuanya. Dan apakah orang tua anak itu? Pemberontak! Apakah kau
pikir aku harus berbesan dengan seorang pemberontak?”
“Tetapi ayahnya sudah meninggal dunia dan tidak perlu lagi kiranya kita membawa-bawa namanya!”
terdengar Loan Nio membantah.
“Hemm, harimau mati meninggalkan kulitnya, manusia mati meninggalkan namanya! Dan nama apakah
yang ditinggalkan oleh orang she Sie itu? Nama busuk pula!”
“Pikirlah dengan tenang. Cin Hai berbeda dengan ayahnya, ia adalah seorang anak yang baik. Juga
mereka berdua telah saling mencintai!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apa?” terdengar Kwee In Liang berseru marah. “Saling cinta? Bagaimanakau bisa tahu?”
“Lin Lin sudah mengaku kepadaku!”
“Anak keparat! Tidak, tidak boleh! Ia harus menjadi mantu keluarga Gan di See-tok, dan habis perkara!”
Kedua suami isteri yang sedang bertengkar ini tidak tahu betapa di atas genteng terdapat dua orang yang
pada saat itu berwajah pucat sekali. Air mata mengalir turun membasahi pipi Lin Lin dan hatinya terasa
bagaikan diremas-remas.
Sedangkan Cin Hai berdiri pucat dan air matanya mengalir pula, akan tetapi bukan akibat sedih, hanya
sakit hati mendengar betapa ayahnya dan keluarganya dipandang hina dan rendah sekali. Sakit hatinya
yang dahulu, yang telah dapat dipadamkan ketika ia bertemu kembali dengan ie-ie-nya dan terutama
dengan Lin Lin, kini timbul kembali.
Ayahnya sekeluarga telah ditangkap oleh Kwee In Liang, dan kini bahkan dihinanya lagi! Ayahnya yang
telah menjadi tanah itu masih direndahkan!
Timbul keangkuhan serta kemarahan di dalam hati Cin Hai. Kalau saja dia tidak ingat kepada Lin Lin, tentu
dia sudah meloncat turun dan menyerbu Kwe In Liang yang berani merendahkan ayahnya!
Dengan hati sangat terluka Cin Hai meloncat turun dan langsung menuju ke kamarnya, mengambil semua
pakaiannya dan segera keluar dari situ. Akan tetapi, ketika keluar dari rumah itu, Lin Lin yang berada di
atas genteng sambil menangis, dapat melihatnya. Cepat gadis ini meloncat turun pula dan mengejar sambil
berseru,
“Hai-ko... kau hendak ke mana...?”
Mendengar suara panggilan Lin Lin, Cin Hai mengeraskan hatinya dan tanpa menengok lagi dia malah
mempercepat larinya!
Akan tetapi, karena serangan batin yang amat hebat itu dan karena nafsu marahnya yang menggelora,
maka luka di dadanya yang belum sembuh betul itu lalu pecah kembali dan tiba-tiba saja ia merasa betapa
dadanya sesak dan panas! Cin Hai mempertahankan rasa sakit ini dan terus berlari cepat, sedangkan Lin
Lin tetap mengejar sambil berteriak-teriak dan menangis.
“Engko Hai... tunggu...! Engko Hai...!”
Setelah hampir dua puluh li jauhnya, Cin Hai merasa tidak kuat lagi. Hari mulai gelap dan kebetulan sekali
dia melihat sebuah kuil di pinggir jalan. Dia lalu membelok ke sana dan seorang hwesio tua menyambutnya.
“Losuhu, tolonglah beri sebuah kamar padaku. Aku sedang terluka dan tolong kau cegah siapa saja yang
memasuki kamarku.”
Hwesio yang baik hati ini membawa Cin Hai ke sebuah kamar di mana terdapat sebuah pembaringan
bambu sederhana. Cin Hai kemudian menutup kamar itu dan duduk di atas pembaringan, lalu bersemedhi
untuk melawan rasa sakit di dadanya.
Lin Lin yang tidak tertinggal jauh karena selain ia memiliki ilmu berlari yang cukup cepat, juga karena sakit
di dada Cin Hai membuat pemuda itu agak lambat larinya, dapat cepat menyusul dan gadis ini girang sekali
ketika melihat bahwa Cin Hai memasuki kuil itu. Ia juga masuk ke dalam kuil dan disambut oleh hwesio tua
tadi.
“Losuhu, di manakah perginya orang tadi? Aku ingin bertemu dengan dia!”
Hwesio itu dengan muka sabar berkata, “Duduklah dulu, Nona. Tuan tadi sudah berpesan bahwa siapa pun
tidak boleh bertemu dengan dia.”
Tetapi Lin Lin menjadi tidak sabar. “Orang lain tak boleh bertemu dengan dia, tetapi aku harus bicara
dengan dia!” kata-katanya ini dikeluarkan dengan suara keras sekali.
“Tidak baik memaksa orang yang tidak mau bertemu muka, Nona,” hwesio tadi berkata dengan masih
dunia-kangouw.blogspot.com
sabar.
Kata-kata ini membangkitkan keangkuhan Lin Lin, maka ia berkata, “Kalau memang tidak mau bertemu,
biarlah aku bicara dari luar kamarnya saja!”
Karena gadis ini mendesak terus, akhirnya hwesio itu terpaksa mengantarkan Lin Lin ke kamar Cin Hai.
“Engko Hai...!” Suara Lin Lin mengandung isak ketika ia memanggil dari luar kamar.
Semenjak Lin Lin datang, Cin Hai sudah mendengar suaranya, dan pemuda ini menahan gelora hatinya
yang ingin sekali keluar dan bertemu dengan gadis itu. Akan tetapi hatinya berbisik, “Ayahnya telah
menghina Ayahku!”
Maka ia lalu menjawab dari dalam, “Lin Lin, ada apakah kau mengejarku? Bukankah kau sudah mendengar
sendiri kata-kata Ayahmu tadi?”
Hwesio itu meninggalkan mereka karena ia maklum bahwa gadis ini benar-benar memiliki hubungan
dengan orang di dalam kamar.
“Hai-ko, jangan kau samakan Ayah dengan aku!” kata Lin Lin dengan suara memohon.
“Sudahlah Lin-moi, kau pulanglah karena Ayahmu tentu akan marah sekali jika tahu kau menyusul ke sini.
Pulanglah dan biarkan aku orang rendah ini merana seorang diri. Kau lupakan aku, aku tidak berharga di
hadapan keluarga Kwee yang terhormat. Ingatlah, aku seorang keturunan pemberontak hina!”
“Engko Hai...!”
Lin Lin menangis sedih dan dengan nekat dia lalu mendorong daun pintu kamar Cin Hai. Dia melihat betapa
pemuda itu dengan muka pucat sedang rebah di pembaringan bambu dan keadaannya menyedihkan sekali
karena pipi pemuda itu basah oleh air mata!
“Engko Hai...!” Lin Lin menubruk dan gadis ini menangis tersedu-sedu sambil mendekap kaki Cin Hai yang
tertutup selimut.
Melihat keadaan gadis kekasihnya yang benar-benar menyatakan cinta hati yang sangat tulus kepadanya
ini, hati Cin Hai melunak.
“Lin-moi... Lin-moi... jangan kau bersedih, Adikku yang manis...,” katanya dengan penuh kasih sayang.
Lin Lin menyusut kering air matanya, dan di antara air mata yang membasahi bulu mata yang panjang dan
bagus itu, ia tersenyum. Hatinya girang lagi mendengar suara Cin Hai yang penuh kasih sayang itu.
“Apa bila kau tidak ingin aku menangis, janganlah kau membenciku dan jangan kau pergi meninggalkan
aku, Engko Hai.”
Cin Hai merasa terharu sekali. “Adikku, percayalah, selama hayat di kandung badan, aku takkan sanggup
membenci kau. Aku akan tetap mencintaimu, mencinta dengan sepenuh hati dan nyawa.”
Lin Lin memandang dengan sayu. “Hai-ko... kau maafkanlah kata-kata Ayahku tadi. Dia memang kejam...
ah, akan kukatakan terus terang kepadanya. Aku tidak sudi dijodohkan dengan orang lain, lebih baik aku
mati atau... atau... aku akan minggat dan pergi bersama kau, Engko Hai.”
Cin Hai tersenyum sedih. “Jangan begitu, Lin Lin. Tidak baik seorang gadis gagah dan berbudi seperti
engkau melarikan diri.”
“Habis, bagaimanakah baiknya, Hai-ko? Ayah begitu keras hati dan kukuh.”
“Puterinya begini keras hati dan kukuh, kenapa ayahnya tidak?” Cin Hai menggoda. “Kita harus bersabar.
Aku tahu bahwa ayahmu bukan seorang jahat, maka biarlah kita menanti sampai dia berubah pendirian dan
tidak begitu membenciku.”
“Ayah tidak membencimu, tetapi agaknya membenci Ayahmu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Cin Hai menghela napas. “Itulah! Aku ingin sekali mengetahui riwayat Ayahku. Sekarang kau pulanglah
agar supaya kemarahan Ayahmu mereda. Percayalah, Lin Lin, aku takkan melupakanmu dan pada suatu
hari baik, pasti aku akan datang kembali”
Lin Lin mengangkat mukanya. “Kau akan pergi ke mana, Hai-ko?”
“Aku akan pergi ke kampung kelahiranku dan hendak mencari keterangan tentang orang tuaku.”
“Tetapi... kau pasti akan kembali kepadaku, bukan?”
“Tentu saja, Lin-moi, kau kira aku akan merasa senang berjauhan dengan engkau?”
Lin Lin kembali memeluk lutut Cin Hai yang masih rebah di pembaringan. “Hai-ko, kalau kau tidak kembali,
aku akan betul-betul minggat dari rumah dan akan mencarimu sampai dapat!”
Akhirnya Lin Lin meninggalkan tempat itu setelah berkali-kali Cin Hai diharuskan berjanji bahwa pemuda itu
benar-benar akan kembali. Akan tetapi, belum berapa lama gadis itu pergi, tiba-tiba saja ia kembali lagi
dengan wajah pucat sekali. Dengan terengah-engah ia berkata setelah mendorong pintu kamar Cin Hai.
“Celaka, Hai-ko, celaka...!” Gadis itu tak dapat melanjutkan kata-katanya, akan tetapi lalu menangis dengan
sedih.
Cin Hai meloncat dari tempat tidurnya dan cepat memegang kedua pundak Lin Lin.
“Lin-moi, tenanglah. Ada apakah yang terjadi?”
Lama sekali Lin Lin menangis sedih, baru dia bisa berkata,
“Celaka, Hai-ko! Rumah sudah kedatangan musuh. Perwira-perwira jahanam itu kembali datang dan
mencelakakan serumah tanggaku! Semua terluka dan... dan Ayah...”
Tanpa banyak cakap lagi Cin Hai cepat menarik tangan Lin Lin dan diajak keluar dari kuil itu. Dia
menggunakan kepandaiannya berlari cepat sambil menarik tangan Lin Lin hingga gadis ini seakan-akan
terbang. Mereka segera menuju ke rumah keluarga Kwee dan dari jauh mereka telah mendengar suara
tangis sedih.
Ketika Lin Lin datang bersama Cin Hai, dengan pedang di tangan Kwee Tiong langsung menyerang Lin Lin
dengan hebat. Akan tetapi, sekali melayangkan kakinya, Lin Lin telah berhasil menendang pergelangan
tangan Kwee Tiong dan pedang itu mencelat jauh.
“Perempuan rendah! Sundal tak tahu malu!” teriak Kwee Tiong dengan mata beringas. “Engkau main gila di
luar, tidak tahu di rumah ditimpa mala petaka! Aku akan mencekik lehermu dengan tanganku sendiri!”
Pemuda yang sudah kalap ini lalu menubruk maju. Akan tetapi Cin Hai lalu mengulurkan jari tangan
menotoknya sehingga dia lantas roboh dengan lemas, tak dapat berkutik mau pun berteriak lagi.
“Lebih baik begini, agar dia jangan membuat gaduh lagi,” kata Cin Hai dan bersama Lin Lin dia lalu lari
memasuki rumah.
Pemandangan yang nampak di dalam rumah itu membuat sepasang kaki Cin Hai terasa lemas dan
memeluk tubuh Kwee In Liang yang rebah di lantai mandi darah! Pada sudut masih nampak banyak orang
lain rebah mandi darah, di antaranya Loan Nio, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang, dan Kwee An!
Cin Hai cepat melakukan pemeriksaan. Kwee In Liang menderita luka parah di dadanya karena bacokan
pedang dan jiwanya sukar ditolong lagi. Loan Nio ternyata sudah tewas karena bacokan yang tepat
mengenai lehernya. Demikian juga Kwee Sin, Kwee Bun dan Kwee Siang telah tewas. Hanya Kwee An
yang masih bisa diharapkan karena biar pun ia menderita luka parah di pundak, akan tetapi tubuh pemuda
ini jauh lebih kuat dari pada saudara-saudaranya. Sungguh peristiwa yang mengerikan sekali.
Cin Hai tidak tahan dan ikut mengucurkan air mata. Dia mengangkat jenazah-jenazah itu dengan baik-baik
dan memanggil para pelayan untuk membantunya. Kemudian ia segera menolong Kwee An dan Kwee In
dunia-kangouw.blogspot.com
Liang.
Sesudah menotok jalan darah dan mengurut pundak Kwee An, pemuda ini siuman, akan tetapi sangat
lemah hingga setelah terbelalak memandang dengan liar untuk mencari-cari musuh-musuhnya, ia lalu
rebah lagi dengan lemas dan meramkan mata.
Kwee An kemudian dirawat oleh seorang pelayan yang memberi obat dan membalut luka pemuda itu,
sedangkan Lin Lin dan Cin Hai menolong Kwee In Liang. Setelah pundaknya diurut oleh Cin Hai, orang tua
ini membuka kedua matanya.
Untuk beberapa saat kedua matanya memandang sayu seakan-akan tak dapat mengenal keadaan di
sekelilingnya, akan tetapi lambat laun pemandangan matanya semakin terang sehingga dia dapat
mengenal Cin Hai dan Lin Lin. Ia menggerak-gerakkan kedua tangan dan menyuruh kedua anak muda itu
mendekat, lalu dia menggerak-gerakkan bibirnya.
Lin Lin dan Cin Hai mendekatkan kepala mereka untuk dapat menangkap kata-kata orang tua ini.
“Lin Lin kau jaga baik-baik dirimu... aku tidak kuat lagi... Cin Hai, kau... kau... balaskan sakit hati ini... jangan
kau kawini Lin Lin sebelum kau balaskan sakit hati ini”
Cin Hai serta Lin Lin mengangguk-angguk dan Lin Lin menangis terisak-isak.
“Cin Hai... kau berjanjilah…,” suara orang tua itu makin lemah.
“Aku berjanji, Ie-thio!” kata Cin Hai dengan sungguh-sungguh, karena dia merasa bahwa sudah menjadi
kewajibannya untuk membalaskan sakit hati bibinya yang terbunuh secara kejam.
“Aku… aku puas... balaskanlah sakit hati ini, basmi anjing-anjing itu... kalau telah berhasil kau sungguhsungguh
mantuku yang sangat baik…,” setelah berkata demikian, orang tua ini menghembuskan napas
terakhir.
Lin Lin menubruk jenazah ayahnya, tetapi akhirnya gadis ini jatuh pingsan! Setelah sadar, dia menangis
dengan amat sedihnya sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri sebab merasa menyesal mengapa
kejadian itu terjadi di luar tahunya!
“Sudahlah, Lin-moi, engkau bahkan harus bersukur bahwa engkau tidak berada di rumah. Karena kalau
berada di rumah, tentu engkau pun akan menjadi korban. Kwee An yang begitu lihai pun dapat dirobohkan.
Apa bila engkau dan semua menjadi korban, siapakah yang akan dapat membalas dendam?”
Karena hiburan-hiburan Cin Hai, Lin Lin dapat menenteramkan hatinya. Kwee Tiong lalu dibebaskan dari
totokan, dan dengan kata-kata tajam Cin Hai dapat mengusir kemurkaan yang menggelora di dada pemuda
itu. Kemudian Kwee Tiong menuturkan peristiwa yang hebat itu.
Pada saat Cin Hai dan Lin Lin sedang berkejar-kejaran, datanglah serombongan perwira Sayap Garuda
menuju ke rumah keluarga Kwee. Mereka ini adalah lima orang perwira yang dahulu mengganggu pesta
keluarga Kwee. Kini mereka datang bersama tiga orang tua, yakni dua orang perwira Sayap Garuda lainnya
yang menjadi anggota dari Shantung Ngo-hiap, yaitu orang pertama dan ke dua, ada pun yang ke tiga
adalah seorang hwesio gundul yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang adanya!
Kedatangan mereka ini sebenarnya hendak mencari Cin Hai untuk menebus kekalahan mereka yang lalu.
Akan tetapi karena Cin Hai tidak berada di situ, mereka lalu mengamuk membabi buta dan membunuh
semua keluarga Kwee!
Tentu saja Kwee In Liang dan putera-puteranya melawan dengan nekad, terutama Kwee An yang dengan
gagah berani menahan serbuan mereka. Dengan pertempuran hebat ini, Kwee An dapat melukai beberapa
orang perwira. Akan tetapi lawan itu terlampau banyak dan terlampau tangguh terutama Hai Kong Hosiang,
sehingga pada akhirnya semua kena dirobohkan!
Hanya pelayan-pelayan saja yang tidak dibunuh, sedangkan Loan Nio sendiri pun dengan nekad menyerbu
hingga dirobohkan dengan bacokan pedang. Kwee Tiong yang bersifat pengecut dan licin, melihat
kehebatan rombongan itu lalu cepat-cepat melarikan diri dan bersembunyi sehingga dia terhindar dari pada
kebinasaan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar penuturan Kwee Tiong yang tiada hentinya mencela serta mempersalahkan Cin Hai dan Lin
Lin, gadis itu kembali menangis tersedu-sedu.
“Sudahlah, Saudara Kwee Tiong, jangan kau persalahkan adikmu lebih jauh. Ketahuilah, sebenarnya aku
pergi memang dengan sengaja dan tidak ada maksudku untuk kembali lagi. Sedangkan Adik Lin Lin
menyusulku dengan maksud membujuk supaya aku kembali lagi, jangan kau menyangka yang tidak-tidak.
Sekarang lebih baik kita urus pemakaman jenazah-jenazah ini dan nanti bila mana Kwee An sudah sadar,
kita dapat mendengar penjelasan-penjelasan dari padanya.
Karena ia hanya mengandalkan tenaga Cin Hai untuk membalas dendam, akhirnya Kwee Tiong tidak
mengomel lagi dan membantu merawat jenazah-jenazah itu dengan sedih.
Sesudah sadar dari pingsan dan agak kuat bercakap-cakap, Kwee An dengan air mata berlinang dan gigi
dikertak karena sakit hati, berkata kepada Cin Hai. “Aku bersumpah untuk membalas dendam ini! Mereka
itu adalah kelima perwira yang dahulu mengacau di sini ditambah tiga orang lagi, yakni orang pertama dan
ke dua dari Shantung Ngo-hiap, dan yang ke tiga adalah Hai Kong Hosiangl!”
“Hmm, aku pernah bertemu dengan hwesio itu!” kata Cin Hai. “Kau tenangkanlah hatimu, Saudaraku.
Besok aku segera berangkat dan demi kehormatanku, aku akan berusaha untuk membasmi delapan orang
bangsat kejam itu!”
“Jangan, Cin Hai! Kau jangan berangkat besok, tidak boleh!” Tiba-tiba Kwee An berkata penuh semangat.
“Kenapa?”
“Kau kira aku akan enak saja tinggal diam sedangkan orang lain hendak mengadu jiwa untuk membalas
dendam ini? Tidak, dendam ini harus kubalas sendiri!”
Cin Hai tersenyum maklum. “Baiklah, aku akan menunggu sampai kau sembuh dan kita akan pergi
bersama!” Setelah mendapat jawaban ini barulah Kwee An merasa lega dan ia lalu jatuh pulas.
Dengan telaten Cin Hai dan Lin Lin menjaga dan melayani Kwee An dan Lin Lin bahkan minta bantuan
gurunya untuk mengobati kakaknya ini. Biauw Suthai ikut merasa berduka dan gemas kemudian berjanji
akan membantu usaha pembalasan sakit hati itu.
Dan dua pekan kemudian, berkat pengobatan Biauw Suthai dan perawatan yang sangat telaten dari Lin Lin
beserta Cin Hai, Kwee An sembuh kembali dari pada luka-luka yang dideritanya. Sesudah melihat bahwa
Kwee An sembuh dan kuat kembali, barulah Cin Hai mengajak pemuda itu berangkat untuk mencari
musuh-musuh mereka.
Pada saat mereka hendak berangkat, Lin Lin minta supaya ia dibawa dan ikut membalas dendam.
Sebenarnya gadis ini merasa berat sekali untuk berpisah dengan Cin Hai yang sangat dicintainya dan dia
tidak rela melepas pemuda itu pergi untuk menghadapi bahaya seorang diri. Akan tetapi ketika mereka
berdua bicara di dalam ruang belakang, Cin Hai berkata,
“Lin Lin, kau sendiri tahu alangkah pentingnya perjalanan yang akan kulakukan bersama Kwee An ini.
Bukan saja penting akan tetapi amat berbahaya, maka biarkanlah aku pergi berdua dengan Kwee An dan
jangan kau ikut menghadapinya.”
Lin Lin menyemberutkan mulutnya, “Justru karena penting dan berbahaya ini maka aku harus ikut Engko
Hai. Urusan sakit hati ini langsung menjadi tugasku, mengapakah aku harus takut menghadapi bahaya
karenanya? Dan kalau memang ada bahaya, apa kau kira aku dapat enak-enak saja berpeluk tangan
tinggal di rumah dan membiarkan engkau dan Engko An pergi menempuhnya? Ah, Hai-ko engkau tahu
bahwa aku akan menderita karena khawatir dan cemas memikirkan nasibmu berdua. Biarkan aku ikut,
Engko Hai!”
Cin Hai menjadi serba salah. Dia memang harus membenarkan pendapat gadis ini, akan tetapi kepandaian
gadis ini masih belum cukup tinggi untuk menghadapi perwira-perwira Sayap Garuda yang lihai dan kejam
itu. Kalau saja gadis ini dibiarkan ikut, bukan dapat membantu usaha pembalasan sakit hati, sebaliknya
akan menambah beban saja, karena dia harus melindungi Lin Lin yang dia cinta.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jangan engkau ikut, Adikku yang manis. Tidak percayakah engkau kepadaku? Engkau mendengar sendiri
pesan terakhir dari Ayahmu, dan biarkan tugas pembalasan dendam itu menjadi syarat bagiku untuk dapat
menjadi... suamimu!”
Akan tetapi dengan sikap membandel Lin Lin bahkan lalu menangis sambil membanting-banting kaki dan
berkata, “Tidak... tidak... aku mau ikut...!”
Cin Hai melihat sikap Lin Lin yang seperti seorang anak kecil hendak ditinggal pergi oleh ibunya ini, lalu
tersenyum dan menyentuh pundaknya,
“Sudahlah, jangan engkau marah. Biar kita merundingkan dahulu dengan kakakmu serta Gurumu, karena
aku bermaksud berangkat besok. Masih banyak waktu bagi kita untuk merudingkan persoalan ini.”
Maka mereka lalu mengadakan perundingan dengan Biauw Suthai dan Kwee An. Juga Pek I Toanio yang
sering berkunjung ke situ ikut pula merundingkan hal ini.
“Lin Lin, muridku, pendapat Sie Taihiap memang betul. Engkau tak usah ikut pergi, sebab kepandaianmu
masih belum cukup untuk melakukan pembalasan dendam ini. Ketahuilah, kepandaian musuh-musuhmu
amat tinggi dan sama sekali bukan lawanmu.”
“Akan tetapi aku sama sekali tidak takut!” Lin Lin menjawab sambil berdiri dengan kedua tangan dikepalkan
dan kedua mata bernyala penuh semangat.
Biauw Suthai dan yang lain-lain tersenyum melihat sikap gadis ini. “Aku percaya penuh akan
ketabahanmu,” berkata Biauw Suthai, “akan tetapi ketahuilah, bukan soal takut atau berani yang terpenting
dalam hal ini. Kalau engkau ikut, maka tidak saja engkau tak akan membantu, justru akan menambah
beban pada Sie-taihiap dan kakakmu Kwee-kongcu.”
“Menambah beban?” kata Lin Lin penasaran “Teecu tak minta digendong, teecu sanggup berjalan sendiri,
dan mereka berdua ini tak usah pedulikan teecu asal teecu boleh ikut.”
“Lin Lin, engkau sungguh bodoh,” kata gurunya. “Bukan demikian maksudku, akan tetapi apa bila terjadi
pertempuran, maka tentu engkau akan terancam dan hal ini merupakan tambahan tugas yang lebih berat
bagi kedua anak muda ini yang harus melindungimu. Mengertikah engkau? Apakah kau akan senang apa
bila pembalasan dendam ini sampai gagal hanya karena kau memaksa ikut?”
Mendengar alasan yang kuat ini, Lin Lin diam saja dan tak dapat menjawab lagi, hanya mulutnya yang
berbentuk manis itu cemberut menandakan kekecewaan hatinya. Akhirnya dia dapat dibujuk oleh Pek I
Toanio dan gurunya membatalkan keinginannya.
Setelah mendapat pesan dari Biauw Suthai, Pek I Toanio, Lin Lin, dan juga Kwee Tiong yang
mendengarkan perdebatan itu diam saja, maka berangkatlah Cin Hai dan Kwee An. Mereka berdua tahu ke
mana harus mencari musuh-musuh mereka, yakni ke kota raja! Mereka berdua berangkat berjalan kaki saja
sambil mempergunakan kepandaian mereka berlari cepat.
Pada saat Cin Hai dan Kwee An sudah pergi Lin Lin berlari masuk ke dalam kamarnya. Biauw Suthai
menggeleng-gelengkan kepala melihat ini dan ia lalu berkata kepada Pek I Toanio,
“Anak itu kecewa akibat ditinggal pergi oleh Sie-taihiap! Benar-benar anak panah asmara sudah tertancap
di hatinya, dan selain itu, dia pun merasa bersedih karena merasa sunyi ditinggal seorang diri oleh mereka
berdua. Sekarang kau pergilah, hiburlah hatinya dan katakan bahwa kita akan tinggal di sini untuk
sementara waktu dan menemaninya.”
Sambil tersenyum maklum, Pek I Toanio lalu mengejar Lin Lin ke dalam kamarnya dan ia mendapatkan
gadis itu sedang berbaring telungkup di atas tempat tidurnya dan tubuhnya bergoyang-goyang oleh karena
menahan isak tangisnya! Kakak seperguruan yang amat mencintai sumoi-nya ini lalu memeluk pundaknya
dan berkata menghibur,
“Sumoi, seorang gadis gagah seperti engkau tidak patut bersikap begini lemah.”
Lin Lin bangun dan duduk di dekat suci-nya, “Suci aku tidak sedih karena tidak boleh ikut pergi, akan tetapi
sedih karena yang menyebabkan aku tak bisa ikut adalah kedangkalan ilmu silatku.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sumoi, kalau memang begitu, mengapa sementara menanti mereka kembali kau tidak memperdalam ilmu
silatmu? Ketahuilah, aku dan Suthai akan tinggal di sini menemanimu untuk sementara waktu.”
Mendadak wajah gadis yang muram itu berubah terang dan dia tersenyum! Pek I Toanio menjadi geli
melihat gadis yang aneh mudah berubah ini. Baru saja menangis sekarang sudah tersenyum.
Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan