akan tetapi rata-rata mempunyai air muka penjahat. Banyak di antara mereka yang tubuhnya tinggi besar
dengan muka bengis, kasar gerak-geriknya, duduk sambil minum arak atau mengobrol dengan kata-kata
yang kotor dan kasar. Akan tetapi ada pula yang gerak-geriknya halus dan bermuka tampan, namun sinar
matanya tetap membayangkan kekejaman dan kebuasan.
Di depan sekali, di atas batu karang, duduk Thian-te Sam-kauwcu, tiga orang dari barat yang kini
menguasai Mo-kauw. Memang mereka ini adalah orang-orang terpenting dari Mo-kauw, yang berkumpul di
situ untuk menghadapi musuh. Tak jauh dari tiga ketua ini, duduk pula Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko,
sepasang manusia iblis yang terkenal lihai dan keji sekali.
Selain mereka ini, masih terdapat banyak tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, bahkan di antaranya terdapat
pula Kiam Ki Sianjin, seorang yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya! Karena dulu pernah menderita
kekalahan ketika menghadapi Bu Pun Su, Kiam Ki Sianjin terpaksa bergabung dengan Thian-te Samkauwcu
untuk memperkuat kedudukannya.
Akan tetapi yang paling mencolok di antara mereka semua adalah seorang wanita cantik jelita seperti
bidadari yang duduknya terpisah, di sebelah kiri dari tiga ketua itu. Dia ini kelihatannya masih muda, seperti
seorang gadis dua puluh tahun, cantiknya benar-benar membuat semua orang laki-laki yang berada di sana
menelan ludah dengan hati kagum dan penuh gairah.
Akan tetapi tidak seorang pun berani memperlihatkan kekagumannya secara berterang, karena gadis ini
bukanlah orang sembarangan. Dia ini adalah murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu dan dia bukan lain
adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat.
Melihat setangkai bunga putih di rambutnya, orang akan mengenal Dewi Jelita ini, akan memandang
dengan penuh kekaguman. Akan tetapi apa bila melihat gagang sepasang pedang yang tersembul di
pundak kirinya, orang itu akan merasa ngeri karena sepasang pedang itu entah sudah makan berapa
banyak nyawa orang-orang tak berdosa!
“Mengapa sampai sekarang dia belum muncul?” terdengar Hek-te-ong, orang pertama dari Thian-te Samkauwcu
yang bertubuh tinggi besar, bertanya. Suaranya besar seperti tambur dan kulitnya yang hitam itu
mengkilap tertimpa sinar matahari pagi.
“Ha-ha-ha, agaknya Bu Pun Su sudah kehilangan nyalinya dan takut kepada kita...!” kata Pek-in-ong, orang
ke dua yang tinggi kurus seperti cecak kering dan mukanya seperti tengkorak. Suaranya tinggi dan nyaring
menusuk telinga.
Mendengar ejekan ini, semua orang lalu tertawa dan bergemalah suara ketawa mereka sampai di
permukaan air sungai Yalu Cangpo.
Tiba-tiba suara ketawa mereka itu terhenti. Mereka terkejut mendengar suara ketawa lain yang parau dan
keras, yang keluar dari permukaan air sungai!
Cheng-hai-ong, orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu yang bertubuh kurus bongkok dan bermata sipit
menggerakkan tangan. Sebatang hui-to (golok terbang) meluncur ke arah permukaan air.
Air itu bergelombang dan hui-to itu tenggelam, tidak ada tanda sesuatu. Apa bila betul di permukaan air tadi
ada sesuatu, jelas bahwa hui-to itu tidak mengenai sesuatu.
“Bedebah, berani main gila dengan Cheng-hai-ong!” seru kakek kurus bongkok ini sambil berbangkit dari
tempat duduknya. Dia hendak melompat dan terjun ke dalam air karena orang ke tiga dari Thian-te Samkauwcu
ini memang merupakan seorang ahli dalam air, maka julukannya juga Cheng-hai-ong yang berarti
Raja Laut Hijau!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, ia membatalkan niatnya karena tiba-tiba dari dalam hutan muncul seorang kakek berusia
empat puluh tahun lebih bertubuh sedang dan berpakaian sederhana.
“Thian-te Sam-kauwcu, aku sudah datang, tak perlu gelisah!”
Semua orang memandangnya. Bu Pun Su berjalan lambat-lambat naik ke tempat terbuka itu, tongkat kecil
di tangan kiri, dipukul-pukulkan di atas tanah ketika ia berjalan. Ia tidak terlihat membawa senjata, hanya di
pinggangnya terselip sebatang suling bulat. Setelah tiba di depan Thian-te Sam-kauwcu, kurang lebih
sepuluh tombak jaraknya, dia berhenti dan berdiri tegak.
Thian-te Sam-kauwcu sudah lama mendengar nama Bu Pun Su yang menggemparkan dunia kang-ouw
dan yang diakui oleh para tokoh kang-ouw sebagai jagoan nomor satu, akan tetapi baru kali ini mereka
bertemu muka dengan pendekar sakti itu.
“Ha-ha-ha!” Hek-te-ong tertawa bergelak sambil memegangi perutnya, menahan kegelian hatinya. Ia tidak
hanya geli, akan tetapi juga sengaja mentertawakan orang yang baru datang untuk menguji perasaan Bu
Pun Su.
“Inikah yang bernama Bu Pun Su? Lucu sekali! Agaknya sudah tak ada lagi orang gagah di Tiong-goan
sehingga bocah macam ini menjadi jago nomor satu. Ha-ha-ha!”
“Siluman hitam, sombong sekali mulutmu!” terdengar bentakan nyaring seorang wanita dan nampak
bayangan berkelebat cepat, tahu-tahu Bu Sui Ceng telah berdiri di dekat Bu Pun Su, cambuknya
bergoyang-goyang di tangan kanannya.
Thian-te Sam-kauwcu tercengang. Gerakan wanita yang baru datang ini benar-benar hebat, membuktikan
bahwa ginkang dari wanita ini sudah sampai di tingkat tinggi sekali. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Bu
Pun Su memang sengaja tidak memperlihatkan kepandaian, berbeda dengan Bu Sui Ceng yang wataknya
keras.
Di belakang Sui Ceng, juga menyusul datang The Kun Beng yang diikuti oleh Kiang Liat. Melihat Sui Ceng,
Bu Pun Su memandang dengan muka yang tidak berubah, akan tetapi wajahnya berseri ketika ia melihat
Kun Beng datang bersama Sui Ceng.
“Bagus, kalian datang, ini tanda bahwa kiamat sudah tiba bagi Thian-te Sam-kauwcu,” kata Bu Pun Su
kepada Sui Ceng dan Kun Beng.
Belum habis gema suara Bu Pun Su ini, berturut-turut muncul Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin, diikuti
pula oleh Han Le!
Sui Ceng tidak mau membuang banyak waktu. Ia melangkah maju menghampiri tempat duduk Thian-te
Sam-kauwcu. Di hadapan tiga orang Ketua Mo-kauw ini, di atas tanah, terbentang sehelai kain dan di atas
kain berwarna hitam itu tergeletak sebuah kitab dan sebatang pedang. Sekali melihat saja, Sui Ceng sudah
dapat menduga dan ia berkata nyaring,
“Apakah ini kitab Siauw-lim-pai dan pedang Kun-lun-pai yang dicuri oleh kaum siluman?” Kembali ia
melangkah maju.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang lambat dan perlahan, akan tetapi menyeramkan. Yang tertawa
adalah Cheng-hai-ong. Tangannya lalu bergerak dan belasan benda warna hijau menyambar ke arah kitab
dan pedang.
Ketika Sui Ceng melihat, ternyata bahwa sekeliling kain tempat kitab dan pedang itu telah terkurung oleh
anak-anak panah berwarna hijau yang menancap di atas tanah, begitu rapi seperti ditancapkan dan diatur
dengan tangan. Dengan adanya anak-anak panah itu, maka kitab dan pedang itu terkurung rapat!
Demonstrasi kepandaian ini tak aneh jika orang tahu bagaimana cara menggunakannya. Pada umumnya,
anak panah hanya diluncurkan dengan bantuan sebuah busur, namun melepaskan belasan batang anak
panah sekaligus hanya dengan lontaran tangan dan dapat mengenai sasaran demikian tepatnya, jarang
sekali ada orang dapat menirunya. Selain membutuhkan latihan, juga membutuhkan lweekang yang amat
tinggi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hah, pertunjukan kanak-kanak macam itu siapa sih yang menghargai?” kata Sui Ceng.
Cambuknya bergerak. Terdengarlah suara bergeletar beberapa kali dari sembilan ujung cambuknya dan
tanpa mengenai kitab dan pedang, anak-anak panah yang tertancap di sekeliling kain hitam itu lenyap
beterbangan ke kanan kiri!
“Heh-heh-heh, terima kasih atas pertunjukan ini. Kau tentu murid Kiu-bwe Coa-li!” kata Cheng-hai-ong
dengan senyum mengejek, meski pun di dalam hatinya ia merasa kagum sekali.
Pada saat itu pula terdengar suara orang datang ke tempat itu, dan ketika semua orang memandang,
ternyata sudah datang pula dua rombongan orang di mana masing-masing rombongan terdiri dari sepuluh
orang.
Rombongan pertama adalah rombongan hwesio dari Siauw-lim-pai yang dikepalai oleh dua orang hwesio
tua bertubuh gemuk. Rombongan ke dua adalah rombongan tosu dari Kun-lun-pai yang dikepalai oleh
seorang tosu tua yang kurus dan tinggi.
Pada saat semua orang memandang pada rombongan ini, dari pihak Mo-kauw meloncat keluar seorang
wanita setengah tua yang cantik. Wanita ini adalah Wi Wi Toanio yang memegang sebuah tusuk konde
perak, dipegang di tangan kanannya kemudian diangkat tinggi-tinggi.
Dia lalu melompat ke depan dan memandang ke arah rombongan Bu Pun Su, matanya mencari-cari dan ia
berseru heran,
“Di mana dia...?”
Tak seorang tahu apa yang dimaksudkan oleh Wi Wi Toanio, akan tetapi pada saat itu, Bun Sui Ceng dan
yang lain-lain juga merasa heran karena tanpa mereka ketahui, Bu Pun Su sudah menghilang dari situ. Tak
seorang pun tahu ke mana perginya pendekar sakti ini!
Para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu maklum mengapa Bu Pun Su melenyapkan diri. Pendekar sakti
ini tadi melihat Wi Wi Toanio berada di antara rombongan Mo-kauw, maka melihat wanita itu muncul sambil
mencabut tusuk konde, ia lekas-lekas melarikan diri dengan cepatnya.
Sebagaimana diketahui, dalam cerita Pendekar Sakti Bu Pun Su pernah terlibat dalam urusan asmara
dengan Wi Wi Toanio dan pernah bersumpah di depan wanita ular yang berbahaya ini bahwa dia akan
selalu menuruti kehendak Wi Wi Toanio. Ada pun tusuk konde itu adalah hadiahnya kepada Wi Wi Toanio
dan di depan tusuk konde itulah dia bersumpah! Oleh karena itu, apa bila Wi Wi Toanio mengeluarkan
benda ini di depannya, apa pun juga yang terjadi, Bu Pun Su selalu akan tunduk dan menyerah, sesuai
dengan sumpahnya yang tak mungkin ia langgar sendiri.
Di antara semua orang yang berada di situ, yang tahu penyebab perginya Bu Pun Su, hanyalah Han Le
seorang. Kepada sute ini saja Bu Pun Su sudah membuka rahasianya dan menceritakan dengan terus
terang akan kebodohannya sehingga di waktu mudanya dahulu ia masuk ke dalam perangkap Wi Wi
Toanio. Oleh karena itu, kini Han Le tampil ke muka, mewakili Bu Pun Su dan berkata kepada Thian-te
Sam-kauwcu,
“Thian-te Sam-kauwcu, kiranya kalian sudah tahu betul apa maksud kedatangan kami, terutama sekali
mengapa rombongan saudara dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai datang ke sini. Tak perlu bicara panjang
lebar, kitab dan pedang itu adalah milik kedua partai itu yang sudah kalian curi secara tidak tahu malu. Kini
kalian menghendaki kami datang, sebenarnya apakah kehendak kalian?”
Hek-te-ong berdiri dari batu karang yang didudukinya tadi. Wajahnya yang hitam itu menyeringai lebar,
sama sekali tidak memandang mata kepada Han Le.
“Ha-ha-ha, entah ke mana perginya Bu Pun Su, akan tetapi kiranya dia takut kepada kami. Kami tak perlu
pula bicara panjang lebar, tak perlu menyembunyikan maksud kami. Memang kitab Siauw-lim-pai dan pokiam
(pedang pusaka) Kun-lun-pai telah kami bawa ke sini, karena tanpa mengambil dua benda ini, kiranya
kalian tidak akan mau menerima undangan kami. Ketahuilah, sudah lama kami mendengar betapa
golongan kalian sangat memandang rendah kepada kami kaum Mo-kauw, banyak penghinaan telah kami
alami. Akan tetapi sekarang tiba waktunya kami untuk memperlihatkan, siapa sebetulnya yang lebih kuat.
Kitab dan pedang dapat kami ambil tanpa kalian mengetahui, ini saja sudah membuktikan bahwa kami
dunia-kangouw.blogspot.com
kaum Mo-kauw juga tidak boleh dipandang rendah. Sekarang, terus terang saja kami menuntut agar kalian
suka berjanji bahwa selanjutnya pihak kalian tidak boleh mengganggu kami dan mau mengakui kami
sebagai sebuah partai persilatan terbesar di dunia kang-ouw. Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai adalah partaipartai
terbesar, maka kedua partai itulah yang kami tuntut supaya sekarang juga mengakui kami sebagai
pimpinan partai terbesar!”
Han Le tersenyum mengejek, “Hek-te-ong, kau bicara sombong sekali. Belum pernah orang-orang gagah di
dunia kang-ouw mengganggu siapa pun juga, kecuali mereka yang jahat dan sesat. Kalau Mo-kauw
merasa terganggu, itu tandanya bahwa sepak terjang anggota Mo-kauw memang tidak patut. Bagaimana
kau menghendaki kami berjanji tidak akan mengganggu? Lebih baik kalian yang berjanji selanjutnya akan
memperbaiki sepak terjang, tentu kami tak akan sudi mengganggu.”
“Betul, betul sekali!” kata hwesio tua dari Siauw-lim-pai.
“Memang tepat, Kun-lun-pai hanya membasmi orang-orang jahat tak peduli dari golongan apa,” kata tosu
tua dari Kun-lun-pai.
Pek-in-ong yang tubuhnya tinggi kurus laksana tengkorak itu melompat maju dan ketawa dengan suaranya
yang amat tinggi menusuk telinga. “Aha, Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai merasa diri sebagai orang-orang
bersih di dunia ini dan memandang orang lain sebagai orang-orang jahat. Apakah anak murid Siauw-lim-pai
dan Kun-lun-pai tiada yang berbuat jahat?”
“Kalau pun ada, kami selalu menangkap dan menghukumnya,” kata hwesio Siauw-lim-pai dengan suaranya
yang keras.
“Bagus! Bicaralah seperti kau sendiri yang menjagoi di dunia! Hendak kulihat apakah kau sanggup
mengambil kembali kitabmu!” kata Pek-in-ong menantang. Memang di antara Thian-te Sam-kauwcu, orang
ke dua ini paling berangasan.
Hwesio Siauw-lim-pai yang gemuk bundar itu melangkah maju dan mengebutkan lengan bajunya.
“Omitohud, datang-datang langsung ditantang oleh tuan rumah. Siapakah Sicu? Apa kedudukanmu dalam
Mo-kauw? Pinceng Kok Beng Hosiang dari Siauw-lim-pai ingin belajar kenal.”
“Aku adalah Pek-in-ong, ketua nomor dua dari Mo-kauw. Tak perlu banyak aturan, kitab Siauw-lim-pai telah
tergeletak di depan kita. Kalau kau memang berkepandaian, cobalah kau ambil kembali.”
Kok Beng Hwesio adalah tokoh ke tiga dari Siauw-li-pai, atau murid ke dua dari Ketua Siauw-lim-pai, yakni
Hok Bin Taisu. Dengan tenang ia bertindak maju dan membungkuk, tangan kanannya menyambar ke arah
kitab yang terletak di atas kain hitam itu. Biar pun tubuhnya membungkuk mengambil kitab, namun
sesungguhnya ini adalah gerakan dari Siauw-lim-pai yang disebut Tit-ci Thian-te (Jari Menuding ke Tanah),
suatu sikap bhesi yang amat kuat, siap-sedia menghadapi serangan lawan.
Secepat kilat Pek-in-ong melangkah maju. Sekali dia menggerakkan tangan, yang kanan menepuk ke arah
ubun-ubun kepala hwesio gundul itu, ada pun tangan kiri menyambar ke arah pundak dengan totokan yang
lihai.
“Bagus!” seru Kok Beng Hosiang. Hwesio ini membatalkan niatnya mengambil kitab dan cepat merubah
kedudukan tubuh, dua tangan diayun menangkis.
“Plakk!”
Dua pasang lengan yang penuh dialiri tenaga lweekang bertumbukan. Pek-in-ong tidak bergeming, akan
tetapi Kok Beng Hosiang mundur dua tindak! Dari sini saja sudah dapat dibuktikan bahwa tenaga lweekang
dari tokoh ke dua kaum Mo-kauw itu jauh lebih tinggi.
Pihak Siauw-lim-pai terkejut sekali. Kok Beng Hosiang juga merasa kaget dan cepat dia meloloskan
senjatanya yang tadi dililitkan di perutnya yang gendut, yakni sebuah rantai baja.
“Omitohud, kau kuat sekali. Kini terpaksa pinceng minta bantuan pian untuk merampas kembali kitab
pusaka!”
Rantai itu dipukulkan ke tanah dekat kitab dan aneh! Kitab itu mencelat ke atas. Selagi Kong Beng Hosiang
dunia-kangouw.blogspot.com
hendak menyambar kitab dengan tangan kirinya, Pek-in-ong sudah mendahuluinya, menyambar kitab
dengan tangan kanan, lalu melemparkannya kembali ke atas kain dan cepat kedua tangannya bergerak
menyerang ke arah iga dan lutut!
Kok Beng Hosiang cepat melangkah mundur. Kini tanpa sungkan-sungkan lagi rantainya menyambar
dengan serangan hebat yang dinamakan Sin-coa Wi-jauw (Ular Sakti Melilit Pinggang). Rantainya
menyerang dengan kuat, membabat pinggang lawan.
Pek-in-ong yang masih bertangan kosong itu tidak mengelak sama sekali, membiarkan rantai itu mengenai
pinggang dan sekejap kemudian pinggangnya sudah terpukul dan terlibat rantai! Akan tetapi alangkah
kagetnya Kok Beng Hosiang ketika merasa betapa rantainya mengenai benda yang amat lunak sehingga
tenaga sabetannya tertelan habis, kemudian tiba-tiba ia melihat sepasang lengan yang menyerang cepat
sekali ke arah ulu hatinya, disusul oleh tendangan ke arah anggota rahasia!
“Ayaa...!” Kok Beng Hosiang terpaksa melepaskan rantainya dan melompat jauh-jauh ke belakang, karena
hanya jalan inilah yang dapat membebaskan dia dari maut.
“Ha-ha-ha-ha, hanya demikian saja kepandaian tokoh Siauw-lim-pai? Ha-ha-ha!” Sambil berkata demikian,
Pek-inong menggunakan jari-jari tangannya yang kurus panjang untuk mematahkan rantai itu menjadi
berkeping-keping, seperti orang mematahkan sebatang hio saja!
Han Le dan yang lain-lain kaget sekali. Bukan main hebatnya lweekang dari Pek-in-ong. Kun Beng sendiri
harus mengakui bahwa kepandaian Pek-in-ong tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri!
Bok Beng Hosiang, suheng dari Kok Beng Hosiang melompat maju dengan toya terbuat dari kuningan pada
tangannya. Ia marah sekali dan membentak,
“Pek-in-ong, kau terlalu menghina Siauw-lim-pai! Biar pinceng mencoba untuk merampas kembali kitab
pusaka!”
Pek-in-ong tertawa, “Hwesio gundul, nanti dulu. Jangan bergerak sembarangan, harus diadakan perjanjian
dahulu. Kau siapakah? Apakah kau memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada Kok Beng Hosiang?”
Bukan main gemasnya hati Bok Beng Hosiang. “Orang sombong, dengarlah, Pinceng adalah Bok Beng
Hosiang, barusan sute-ku sudah kau kalahkan, biar sekarang pinceng yang mencoba kelihaianmu.”
“Nanti dulu, harus dengan perjanjian. Apa bila aku kalah, kau boleh mengambil kitabmu yang butut, akan
tetapi kalau kau kalah, kau sebagai wakil Siauw-lim-pai harus bertekuk lutut dan mengakui kami sebagai
orang-orang yang lebih berkuasa, dan juga mengakui Mo-kauw sebagai partai yang lebih tinggi dan kuat
dari pada Siauw-lim-pai. Bagaimana?”
Muka Bok Beng Hwesio sebentar merah dan sebentar pucat. “Keparat, kami orang-orang Siauw-lim-pai
tidak takut mati demi membela kebenaran dan membasmi siluman-siluman seperti kau! Meski pun harus
mati, pinceng tidak akan sudi bertekuk lutut dan selamanya Siauw-lim-pai tidak akan mengakui Mo-kauw
yang sesat sebagai partai besar. Terimalah senjataku!” Sambil berkata demikian, Bok Beng Hosiang
langsung menyerang dengan toyanya.
Harus diketahui bahwa Bok Beng Hosiang adalah murid pertama dari Hok Bin Taisu, kepandaiannya jauh
lebih tinggi dari pada sute-nya, ada pun senjata yang ia pergunakan adalah sebuah toya. Semua orang
tahu bahwa ilmu toya dari Siauw-lim-pai amat kuat dan lihai, maka pengharapan semua orang diletakkan
kepada tokoh ini.
Melihat sambaran toya yang amat kuat dan dahsyat, Pek-in-ong tidak berani menangkis, melainkan
melompat mundur sambil memuji.
“Eh, ehh, ada isinya juga si gundul ini!”
Di lain saat ia telah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yakni sepasang roda. Tak lama kemudian
terdengar suara keras ketika toya itu berkali-kali beradu dengan dua roda yang dipegang di kedua tangan.
Tenaga lweekang mereka tidak jauh selisihnya, akan tetapi sepasang roda itu sungguh-sungguh amat lihai.
Tidak saja dapat dipergunakan untuk menangkis dan memukul, akan tetapi juga beberapa kali roda-roda itu
dunia-kangouw.blogspot.com
dilepas, berputar-putar dan meluncur ke arah tubuh lawan, lalu disambar kembali.
Karena itu, sebentar saja Bok Beng Hosiang telah terkurung oleh sepasang roda itu yang berputar-putar,
kadang-kadang menyerang langsung dari tangan Pek-in-ong, atau kadang kala terlepas dan menyambarnyambar
dengan dahsyat dari atas!
Bok Beng Hosiang hanya dapat bertahan dua puluh jurus. Setelah itu kepalanya menjadi pening dan pada
suatu saat, serangan berantai dari Pek-in-ong tak dapat dihindarkannya sehingga pundaknya terpukul oleh
roda.
“Krekkk!”
Bok Beng Hosiang mengeluh dan terhuyung ke belakang, cepat-cepat ditarik oleh Kok Beng Hosiang dan
diselamatkan. Tulang pundak hwesio gemuk ini telah hancur!
“Ha-ha-ha, Siauw-lim-pai tak patut menyimpan kitab pusaka!” Pek-in-ong mentertawakan sambil
menyimpan sepasang rodanya.
Han Le, Sui Ceng, Kun Beng, Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu marah sekali. Akan tetapi sebelum
mereka sempat bergerak, tosu tua pemimpin rombongan dari Kun-lun-pai telah melompat maju.
“Siancai, siancai! Thian-te Sam-kauwcu memang lihai. Akan tetapi sayang kepandaian mereka digunakan
untuk maksud buruk. Pinto Cin Giok Sianjin dari Kun-lun-pai datang untuk mengambil kembali pedang
kami!” Sambil berkata demikian, tosu tua ini melangkah tenang mengambil pedang.
Baru saja tangannya diulur, terdengar suara mendesing dan tiga batang anak panah hijau menyambar ke
arah tangannya! Cin Giok Sianjin berlaku tenang, cepat-cepat tangannya mengibas dan tiga batang anak
panah itu terpental kembali ke arah penyerangnya, yakni Cheng-hai-ong orang ke tiga dari Thian-te Samkauwcu!
“Ha-ha-ha-ha, ini baru namanya orang pandai!” Cheng-hai-ong tertawa sambil melompat maju menghadapi
Cin Giok Sianjin.
Cin Giok Sianjin terpaksa membatalkan niatnya mengambil pedang pusaka Kun-lun-pai. Ia melihat orang
kurus bongkok bermata sipit berpakaian serba hijau berdiri di depannya sambil memegang sebatang rantai
yang ujungnya ada tengkoraknya!
Cin Giok Sianjin adalah tokoh kedua dari Kun-lun-pai, murid dari mendiang Seng Thian Siansu, Ketua Kunlun-
pai. Tosu ini sudah puluhan tahun menjelajah dunia kang-ouw dan sudah puluhan kali bertemu dengan
lawan tangguh, akan tetapi baru sekali ini ia melihat senjata sehebat dan seperti itu.
Mana ada orang bersenjata rantai yang ujungnya dipasangi tengkorak? Akan tetapi dia kemudian dapat
menenangkan hatinya dan mengeluarkan sebatang pedang. Kun-lun-pai terkenal dengan ilmu pedangnya,
karena itu dengan tenang ia berdiri tegak, melintangkan pedangnya di depan dada dengan jurus
pertahanan Locia Pai-hud (Locia Menyembah Buddha).
“Tosu bau, mari kita main-main sebentar!” kata Cheng-hai-ong.
Begitu selesai bicara, secepat kilat ia menyambar, tengkorak di ujung rantainya bergerak ke arah kepala
Cin Giok Sianjin. Tosu ini cepat mengelak, lantas pedangnya menusuk langsung dari dadanya ke dada
lawan.
Cheng-hai-ong miringkan tubuhnya dan kembali tengkoraknya menyambar, kini dari arah belakang agak ke
kanan, menghantam leher tosu Kun-lun-pai. Cin Giok Sianjin melihat hebatnya serangan ini, maka ia pun
tidak berani mengelak, dan cepat menangkis dengan pedangnya.
“Plakkk!”
Tengkorak itu terpukul miring, akan tetapi tidak pecah. Sebaliknya, tosu Kun-lun-pai itu merasa tangannya
tergetar.
“Lihai sekali...,” katanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tak lama kemudian pedangnya telah berubah menjadi segulung sinar putih, menyambar-nyambar laksana
seekor naga mengurung lawan. Ia telah mengeluarkan kepandaiannya dan memainkan Kun-lun Kiam-hoat
yang lihai. Bukan main cepatnya gerakan pedangnya, cepat dan berat disertai tenaga lweekang.
Namun, Cheng-hai-ong masih tertawa-tawa dan mengimbangi permainan lawan dengan ilmu silatnya yang
aneh sekali. Tidak hanya tengkorak di ujung rantai yang menyerang, juga kadang-kadang kedua kakinya
menendang-nendang, tangan kirinya mencengkeram, sikunya berkali-kali mencari sasaran, bahkan tekukan
lututnya sering pula diangkat untuk menghantam perut dan tempat berbahaya lainnya.
Swi Kiat Siansu berkata lirih. “Hemm, ilmu silat barat yang dicampur dengan ilmu gulat dari Mongol. Benarbenar
lihai sekali.”
Juga yang lain-lain merasa kagum dan terpaksa memuji kepandaian orang ke tiga dari Thian-te Samkauwcu
itu. Mereka mulai mengkhawatirkan keselamatan Cin Giok Sianjin, karena setelah bertempur tiga
puluh jurus, jelas kelihatan tosu itu mulai terdesak.
Mendadak Cheng-hai-ong berseru aneh dan Cin Giok Sianjin berseru kaget, terhuyung-huyung dan
melompat mundur cepat sekali. Mukanya pucat dan pada jidatnya nampak merah, ternyata kulit jidatnya
telah terluka!
Hanya tokoh-tokoh besar saja yang dapat melihat betapa tadi dari mulut tengkorak itu menyambar keluar
tiga batang jarum hijau ke arah muka Cin Glok Sianjin. Biar pun tosu ini sudah berkelit, namun tetap saja
jidatnya tergores oleh sebatang jarum hijau sehingga mengeluarkan darah!
Cheng-hai-ong tertawa bergelak dan Cin Giok Sianjin cepat membuka bungkusan obat untuk menggunakan
obat penawar racun yang disengaja dibekalnya. Ia maklum dari rasa gatal pada lukanya bahwa jarum hijau
itu mengandung racun.
Baiknya Kun-lun-pai juga terkenal dengan obat-obat anti racunnya, maka dia masih dapat menyelamatkan
nyawanya, sungguh pun tak mungkin dapat maju bertempur lagi. Ia perlu bersemedhi untuk mengerahkan
lweekang dan mengusir pengaruh racun dengan hawa murni di dalam tubuhnya.
Han Le marah sekali. Pemimpin-pemimpin rombongan dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai telah dikalahkan
dan diam-diam ia merasa menyesal sekali kenapa tokoh-tokoh pertama dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai
tidak mau keluar sendiri. Agaknya kedua partai besar itu terlalu memandang rendah terhadap pihak Mokauw,
maka Ketua Siauw-lim-pai, Hok Bin Tosu dan Ketua Kun-lun-pai yang baru, Keng Thian Siansu tidak
mau datang sendiri. Kalau saja dua kakek itu datang, tentu akan lain keadaannya, sungguh pun belum
tentu mereka dapat mengalahkan Thian-te Sam-kauwcu yang benar-benar lihai itu.
“Thian-te Sam-kauwcu! Kalian benar-benar tidak memandang mata kepada Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai
yang terkenal sebagai partai besar. Tidak saja kalian mencuri kitab dan pedang, bahkan sekarang kalian
dengan sombong telah melakukan hinaan-hinaan,” kata Han Le.
“Ha-ha-ha, yang kalah merasa terhina, itu sudah jamak. Salahkah kami kalau kebetulan kepandaian kami
memang jauh lebih tinggi dibandingkan kepandaian kalian?” Hek-te-ong berkata sambil ketawa bergelak
diikuti oleh anak buahnya.
“Hek-te-ong, alangkah sombongmu!” bentak Han Le marah sekali. “Dahulu yang menjadi lima tokoh besar
dunia persilatan adalah guruku Ang-bin Sin-kai beserta para Locianpwe Kiu-bwe Coa-li, Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan juga Hek-i Hui-mo. Walau pun mereka ini merupakan tokohtokoh
dari delapan penjuru, akan tetapi mereka masih tidak sesombong kau dan kawan-kawanmu, tidak
pernah mau menghina partai lain, apa lagi melakukan pencurian yang rendah! Bahkan setiap kali muncul
orang jahat, para locianpwe itu turun tangan membasminya!”
“Ha-ha-ha, kau pengemis bau murid Ang-bin Sin-kai. Apa kau kira dapat menakut-nakuti kami dengan
nama-nama lima tokoh besar yang sudah mampus itu? Andai kata mereka masih hidup, kami pun ingin
sekali menjajal kepandaian mereka, apa lagi sekarang lima orang itu sudah mampus. Apa yang perlu kami
takutkan?”
“Bangsat bermulut besar. Murid Kiu-bwe Coa-li berada di sini! Aku Bun Sui Ceng akan mewakili mendiang
guruku untuk membasmi Mo-kauw!” bentak Bun Sui Ceng sambil bersiap-siap dengan cambuknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pinto Swi Kiat Siansu mewakili mendiang Suhu Pak-lo-sian Siangkoan Hai menggempur orang jahat!” Swi
Kiat Siansu berkata dengan tenang dan sama sekali tidak memandang mata kepada Thian-te Sam-kauwcu.
“Siancai, siancai, walau pun mendiang Suhu Hek-i Hui-mo menjalani jalan hitam, namun kiranya beliau juga
akan turun tangan jika menghadapi siluman-siluman sombong seperti kalian! Biarlah pinto Pok Pok Sianjin
mewakilinya,” berkata pula Pok Pok Sianjin sambil mengerling tajam.
“Sayang bahwa Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak ada wakilnya,” kata Kun Beng sambil tersenyum
mengejek. “Oleh karena Suhu Pak-lo-sian Siangkoan Hai sudah diwakili oleh Suheng, biarlah aku The Kun
Beng mewakili mendiang Jeng-kin-jiu yang gagah perkasa!”
“Bagus sekali! Jadi lima tokoh-tokoh besar itu kini telah diwakili oleh anak muridnya. Kami memang ingin
sekali mencoba kepandaian mereka. Hayo, siapa yang hendak maju lebih dulu?” kata Hek-te-ong
memandang rendah.
“Biarlah aku yang pertama memperlihatkan kebodohanku,” kata Han Le yang cepat maju sambil mencabut
pedangnya.
Sebelum Hek-te-ong menghadapinya, di pihak Mo-kauw muncullah seorang kakek kate dengan telinga
lebar, pakaiannya serba hitam. Dia ini adalah Hek Mo-ko yang berkata kepada Hek-te-ong.
“Twa-suhu, biarlah teecu menghadapi murid Ang-bin Sin-kai ini. Ingin teecu merasakan kelihaian Hun-khai
Kiam-hoat dari Ang-bin Sin-kai. Heh-heh-heh-heh!”
Sesudah gurunya mengangguk, Hek Mo-ko lalu meloloskan sepasang senjatanya yang aneh, yakni
sebatang pedang bengkok dan seuntai tasbeh.
“Han Le pengemis busuk, kita bertemu lagi sekarang dalam pertandingan satu lawan satu yang
menentukan. Hayo kau keluarkan segala kepandaianmu, akan kulihat.”
Han Le mendongkol sekali. Ia sudah tahu akan kelihaian Iblis Hitam ini. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar
sungguh pun dia tahu bahwa dia menghadapi lawan yang tangguh dan harus berlaku hati-hati sekali.
“Majulah, Hek Mo-ko,” katanya sambil melintangkan pedang.
Sambil tertawa terkekeh-kekeh Hek Mo-ko mulai menyerang. Pedangnya yang berbentuk aneh itu
membuat gerakan melingkar, disusul dengan tasbehnya yang meluncur ke arah lambung Han Le.
Maklum akan bahayanya serangan orang kate ini, Han Le tidak berani berlaku lambat. Pedangnya bergerak
cepat dan dengan jurus-jurus terlihai dari Hun-khai Kiam-hoat, tidak saja ia menangkis dan menggagalkan
serangan lawan, bahkan dengan kontan keras ia membalas serangan Hek Mo-ko dengan sabetan dan
tusukan maut.
Ilmu pedang Hun-khai Kiam-hoat warisan Ang-bin Sin-kai sudah hebat, apa lagi ditambah dengan pelajaran
yang didapatkannya dari lukisan-lukisan ilmu silat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng di dalam goa di Pulau Pekhio-
to, maka bukan main lihainya ilmu pedang yang dimainkan oleh Han Le. Diam-diam Hek Mo-ko memuji
dan tahulah ia mengapa dahulu ketika menghadapi pengemis ini, sute-nya hampir saja celaka.
Akan tetapi, bagi Han Le juga tidak mudah mengalahkan Hek Mo-ko, karena selain dalam ilmu silat Iblis
Hitam yang kecil ini masih lebih lihai dari pada Pek Mo-ko, juga tenaga lweekang-nya amat tinggi, masih
lebih kuat dari pada tenaga lweekang Han Le.
Sesudah pertempuran berjalan lima puluh jurus lebih, tiba-tiba saja Hek Mo-ko merubah gerakannya. Kini
dia bergerak lambat, akan tetapi dengan pengerahan tenaga lweekang sepenuhnya sehingga tiap kali
pedang di tangan Han Le terbentur oleh pedang bengkok atau tasbeh, pedang murid Ang-bin Sin-kai ini
terpental dan telapak lengannya panas!
Di antara para tokoh itu, hanya Swi Kiat Siansu seorang yang mengetahui bahwa dalam perubahan ini
terjadi kecurangan dari pihak Thian-te Sam-kauwcu. Pengalaman Swi Kiat Siansu di dunia kang-ouw sudah
banyak, terutama sekali di daerah barat di mana banyak diyakinkan ilmu hoat-sut (sihir).
dunia-kangouw.blogspot.com
Tadi secara kebetulan dia sempat melihat Hek-te-ong memandang tajam ke arah Hek Mo-ko dengan mulut
bergerak-gerak. Sungguh pun tidak terdengar sedikit pun suara dari mulutnya, namun Swi Kiat Siansu
maklum apa yang telah terjadi.
“Hek-te-ong, kau curang!” serunya marah. “Diam-diam kau membantu Hek Mo-ko!”
“Siapa membantu?” Hek-te-ong mengejek. “Aku tidak bergerak dari tempat dudukku!”
Semua orang juga heran mendengar dakwaan Sui Kiat Siansu tadi. Akan tetapi memang sesungguhnya
Hek-te-ong telah membantu Hek Mo-ko dengan ilmu mengirim suara yang disalurkan dengan tenaga
lweekang melalui pengerahan khikang-nya. Suara ini biar pun perlahan, akan tetapi langsung bergema di
telinga Hek Mo-ko tanpa terdengar oleh orang lain.
Hek-te-ong yang berpandangan luas dan tajam tahu bahwa tanpa merubah siasat, sukar bagi Hek Mo-ko
untuk mencari kemenangan. Karena itu diam-diam ia membisikkan siasat kepada Hek Mo-ko untuk
menggunakan tenaga lweekang sepenuhnya pada pertempuran itu.
Benar saja, setelah Hek Mo-ko merubah cara bertempurnya, Han Le menjadi sibuk. Biar pun dia berada
pada pihak menyerang, akan tetapi setiap tangkisan lawan merupakan serangan balasan yang langsung
merugikannya.
Tiba-tiba ia mendengar suara bisikan perlahan yang mengejutkan hatinya. Ia mengenal baik suara itu, yakni
suara suheng-nya, Bu Pun Su. Seakan-akan Bu Pun Su berdiri di dekatnya dan berbisik di dekat
telinganya.
“Sute, jangan mau adu senjata. Pergunakan ginkang dan seranglah dia dengan Bu-eng Kiam-sut!”
Han Le girang sekali. Ia maklum akan kelihaian suheng-nya, dan ia tahu bahwa biar pun tadi menghilang,
ternyata Bu Pun Su tetap berada di dekat situ dan sekarang berusaha menolongnya. Cepat ia berseru
keras dan pedangnya berubah gerakannya.
Kini pedang Han Le berkelebat menyambar ke sana sini. Tubuhnya lenyap terbungkus gulungan cahaya
pedang. Bukan main cepatnya gerakan Bu-eng Kiam-sut (Ilmu Pedang Tanpa Bayangan) ini!
Ia berhasil, Hek Mo-ko mengeluarkan seruan kaget dan sebentar saja terdesak mundur. Beberapa kali Hek
Mo-ko menggerakkan sepasang senjatanya, memukul membabi-buta, namun tak pernah senjatanya yang
digerakkan dengan tenaga lweekang sepenuhnya itu dapat menyentuh senjata mau pun tubuh lawannya.
Tiba-tiba saja dengan gerakan cepat Han Le berhasil menusuk paha Hek Mo-ko dengan pedangnya. Akan
tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa pedangnya terpental dan hanya dapat merobek celana serta
sedikit daging berikut kulit paha lawan!
“Aduhh…!” teriak Hek Mo-ko yang cepat menggunakan pedang bengkoknya menyabet ke arah pedang Han
Le.
“Cringgg...!”
Pedang terlepas dari tangan Han Le dan kulit telapak tangannya pecah-pecah. Keduanya berbarengan
melompat mundur. Hek Mo-ko terluka di pahanya. Han Le terluka di telapak tangannya. Setelah memungut
pedangnya, Han Le berkata,
“Hek Mo-ko, kau lihai sekali.”
Hek Mo-ko menyeringai, ia mendongkol sekali karena dalam pertandingan tadi, biar pun ia dapat membuat
pedang lawan tertangkis, akan tetapi ia sendiri menderita luka di paha, sehingga kalau dibandingkan,
kerugiannya lebih besar.
“Kau patut menjadi murid Ang-bin Sin-kai,” katanya perlahan.
Pek Mo-ko melompat ke depan dan mengangkat dadanya yang bidang. Ia marah melihat kakaknya terluka,
maka dengan lantang ia berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapa lagi yang hendak gagah-gagahan mewakili Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai untuk merampas kembali
kitab dan pedang? Majulah, aku Pek Mo-ko akan menjaga dua benda ini!” Ia berdiri tegak di dekat kitab dan
pedang, sikapnya menantang sekali.
Pok Pok Sianjin marah sekali melihat lagak tengik dari Pek Mo-ko ini. Ia melompat ke depan dan
menghadapi Pek Mo-ko dengan tongkat hitam di tangan.
“Pek Mo-ko, kata-katamu itu menandakan bahwa kau seorang rendah dan seperti katak dalam sumur.
Akulah orangnya, Pok Pok Sianjin murid Hek-i Hui-mo yang hendak maju menghadapimu. Majulah
menerima kematian!”
Pek Mo-ko gentar melihat Pok Pok Sianjin. Sebetulnya, kalau dijelaskan, Hek-i Hui-mo masih ada
hubungan dengan gurunya, karena gurunya itu terhitung adik seperguruan Hek-i Hui-mo. Akap tetapi,
karena sekarang ia telah menjadi murid Thian-te Sam-kauwcu, dan ketiga orang gurunya yang lihai masih
berada di situ, ia tidak mau memperlihatkan rasa takutnya, sebaliknya ia tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha, Pok Pok Sianjin, alangkah bedanya kau dengan mendiang gurumu. Pantas kau dahulunya
kutu buku, mana bisa menjadi seorang yang berpikir luas? Kalau gurumu masih hidup, tentu kau akan
dicaci-maki!”
Pok Pok Sianjin marah sekali mendengar ini. Memang sebetulnya dia memiliki pendirian lain dengan
mendiang gurunya. Hek-i Hui-mo terkenal sebagai orang liar yang kejam dan mengandalkan kepandaian
sendiri, yang tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat untuk kepentingan dan keuntungan sendiri.
Andai kata gurunya masih hidup dan berada di sana, belum tentu gurunya mau membantu pihak Bu Pun
Su. Sekarang mendengar makian Pek Mo-ko, ia cepat menubruk maju menggerakkan tongkatnya.
Ilmu tongkat dari Pok Pok Sianjin merupakan warisan dari tokoh besar Hek-i Hui-mo yang kepandaiannya
setingkat dengan Kui-bwe Coa-li atau Ang-bin Sinkai. Karena itu dapatlah dibayangkan betapa hebatnya
tongkat hitam yang dimainkannya itu.
Pek Mo-ko cepat menangkis dengan tasbehnya, akan tetapi sekali benturan saja, untaian tasbehnya
terlepas dan putus! Dengan kaget Pek Mo-ko melompat ke samping kemudian membalas dengan serangan
kilat, menggunakan pedang bengkoknya. Sekali menangkis, kembali pedang Pek Mo-ko terpental, hampir
terlepas dari pegangan.
Kemudian terjadilah pertempuran hebat. Namun mudah dilihat bahwa Pek Mo-ko masih kalah lihai
sehingga ia main mundur saja. Pada suatu saat yang tepat, tongkat di tangan Pok Pok Sianjin berhasil
menyodok dada Pek Mo-ko yang terjengkang dan roboh sambil muntahkan darah.
Baiknya tenaga lweekang-nya sudah matang sehingga ia dapat memelihara dan menjaga isi dada. Ia
muntahkan darah bukan karena terluka, tapi akibat telalu keras mengerahkan hawa menjaga dada. Namun
ia tidak mungkin dapat melawan terus sehingga Hek Mo-ko menyeretnya ke pinggir.
Pok Pok Sianjin menghampiri pedang dan kitab, hendak mengambilnya, akan tetapi dari samping tiba-tiba
ada angin keras menyambar. Pok Pok Sianjin terkejut sekali dan cepat ia melompat mundur. Sebatang
pedang hampir saja menebas putus lengannya, demikian cepatnya gerakan pedang yang menyerangnya
itu. Pada waktu ia menengok, ia melihat seorang kakek tua sekali berdiri sambil mengurut-urut jenggot.
“Kiam Ki Sianjin, kembali kau berada lagi di antara orang-orang jahat!” Pok Pok Sianjin memaki. “Memang,
ular belang selalu berkawan dengan segala binatang berbisa.”
“Ha-ha-ha-ha, bocah kemarin sore berani main gila. Gurumu sendiri belum tentu berani berlagak sombong
di depanku, kau masih kanak-kanak dan bau ingus ketika aku sudah menjagoi dunia kangouw. Tidak
tahukah kau bahwa di dunia kang-ouw sekarang ini tidak ada orang-orang yang sanggup menandingi
Thian-te Sam-kauwcu? Mengapa kau masih membutakan mata? Lebih baik kalian lekas-lekas mengakui
bahwa Thian-te Sam-kauwcu memang patut menjadi pimpinan besar dari semua partai.”
“Ngaco-belo! Kau memang ular kepala dua, apa kau kira aku takut kepadamu?” Pok Pok Sianjin tak mau
membuang banyak waktu lagi, cepat ia menyerang dengan tongkatnya.
Kiam Ki Sianjin menggerakkan pedang dan menangkis serangan Pok Pok Sianjin sambil tertawa mengejek.
Segera keduanya bertempur seru.
dunia-kangouw.blogspot.com
Para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu masih ingat bahwa Kiam Ki Sianjin adalah tokoh besar yang
lihai, bahkan ia pernah bekerja sama dengan Hek-i Hui-mo. Sekarang melihat murid Hek-i Hui-mo berada di
pihak Bu Pun Su, selain heran ia juga marah sekali. Apa lagi ketika ia melihat betapa dengan mudah Pok
Pok Sianjin tadi mengalahkan Pek Mo-ko, ia tidak dapat menahan kemarahannya dan muncul ke depan
tanpa bertanya lagi kepada Thian-te Sam-kauwcu, karena memang tingkat kepandaiannya sudah tinggi,
tidak jauh selisihnya dengan tingkat kepandaian tiga ketua itu.
Betapa pun lihainya Pok Pok Sianjin, ia repot juga menghadapi pedang Kiam Ki Sianjin. Murid Hek-i Hui-mo
ini memang tadinya hanya seorang sastrawan muda dan dia hanya terpaksa saja menjadi murid tokoh
besar Hek-i Hui-mo (baca Pendekar Sakti).
Oleh karena itu, setelah ia mewarisi ilmu silat tinggi, ia jarang sekali berlatih dan biar pun kepandaiannya
telah tinggi, akan tetapi ia jarang bertempur. Sekarang yang dihadapinya adalah seorang ahli silat tingkat
tinggi yang bisa dibilang pekerjaannya sehari-hari hanya bersilat dan bertempur.
Maka, dalam jurus ke empat puluh, pedang Kiam Ki Sianjin berhasil melukai pundaknya. Terpaksa Pok Pok
Sianjin melompat ke belakang, ditertawai oleh Kiam Ki Sianjin.
Kun Beng marah sekali dan sambil memaki keras ia melompat maju menggantikan Pok Pok Sianjin,
tombaknya segera digerakkan menyerang Kiam Ki Sianjin. Kakek ini tertawa terkekeh-kekeh dan
menggerakkan pedangnya menangkis sehingga tak lama kemudian mereka telah bertanding mati-matian.
Melihat bahwa sute itu pun agaknya takkan dapat menangkan Kiam Ki Sianjin yang lihai, Swi Kiat berseru
keras dan murid pertama dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini memasuki kalangan pertandingan dengan
senjatanya yang ampuh di tangan, yakni sepasang kipas, senjata istimewa dari mendiang gurunya!
“Perlahan dulu, tukang dapur!” Hek Mo-ko membentak.
Bersama Pek Mo-ko, dia menyambut Swi Kiat Siansu. Dua saudara iblis hitam putih ini telah mengambil
senjata cadangan dan biar pun mereka telah terluka, namun luka yang ringan itu tidak menghambat
gerakan mereka. Terpaksa Swi Kian Siansu menghadapi keroyokan Hek Pek Mo-ko yang tentu saja amat
berbahaya setelah maju bersama.
Pok Pok Sianjin yang terluka pundaknya, tidak mau tinggal diam saat melihat dua orang kawannya didesak.
Ia pun melompat maju dan tongkatnya kembali menyambar-nyambar, akan tetapi sebelum dia dapat
membantu, terdengar suara ketawa merdu dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita menyambut tongkat
dengan sepasang pedang.
Temyata bahwa Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu telah turun tangan
pula! Pek Hoa Pouwsat memiliki kepandaian yang istimewa dan masih lebih tinggi tingkatnya dari pada Hek
Pek Mo-ko, maka tentu saja dalam beberapa belas jurus Pok Pok Sianjin sudah terdesak hebat sekali,
terkurung oleh sepasang pedang dan keselamatannya terancam sekali!
Sui Ceng menjadi bingung. Ia menoleh ke sana ke mari mencari-cari Bu Pun Su. Baru pembantu dan
murid-murid Thian-te Sam-kauwcu saja yang maju, pihaknya telah sangat terdesak. Tak disangkanya
bahwa pihak Mo-kauw demikian lihai. Kalau sampai Thian-te Sam-kauwcu sendiri yang maju, dapat
diramalkan bahwa dia dan kawan-kawannya tidak akan dapat keluar dari tempat itu dengan selamat.
“Maju...! Serbu dan rampas kitab beserta pedang itu!” hampir berbareng, para pimpinan Siauw-lim-pai dan
Kun-lun-pai memberi aba-aba dan dua puluh orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai serentak maju sambil
menggerakkan senjata masing-masing.
Hek-te-ong tertawa bergelak. “Kawan-kawan, sambut mereka! Jangan biarkan seorang pun hidup! Apa bila
kita dapat menumpas mereka, dunia kang-ouw pasti akan mengakui kekuasaan kita!”
Pihak Mo-kauw bersorak-sorai dan terjadilah perang tanding yang hebat dan mati-matian. Sui Ceng tidak
mau pusingkan tentang Bu Pun Su lagi, sungguh pun hatinya sudah amat mendongkol.
“Benar-benarkah Kwan Cu telah berubah menjadi orang pengecut yang tak tahu malu?” pikirnya.
Namun ia tidak mau tinggal diam dan sekali ia berseru nyaring, cambuknya berbunyi,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tar! Tar! Tar!” dan seketika itu juga, empat orang anak buah Mo-kauw roboh menjerit dan bergulingan
untuk menghadapi maut!
Sui Ceng hendak mengamuk terus. Tiba-tiba ia melompat mundur karena ia mendengar suara Bu Pun Su
berbisik dekat telinganya,
“Sui Ceng, demi keselamatan semua kawan, kau robohkan lebih dulu Wi Wi Toanio. Kau lihat wanita yang
berbaju biru memegang pedang itu. Serang dia dan robohkan sampai tidak berdaya. Awas, di sebelah
kirinya, laki-laki yang memakai baju kuning itu adalah An Kai Seng, musuh besar kita!”
Sui Ceng memandang ke sana ke mari, akan tetapi tidak melihat Bu Pun Su. Ia sudah menjadi marah
sekali ketika mendengar bahwa yang berbaju kuning adalah An Kai Seng. Karena itu, sekali ia melompat, ia
telah berhadapan dengan An Kai Seng. Tanpa banyak cakap, ia lalu menyerang.
“Jahanam An, mampuslah kau!” Cambuknya menyambar hebat dan mengeluarkan bunyi yang keras sekali.
An Kai Seng yang diserang secara mendadak, menjadi kaget bukan main. Ia bukanlah seorang lemah dan
cepat pedangnya menangkis. Namun ia tidak berdaya karena kali ini, Sui Ceng mempergunakan semua
ujung cambuknya yang berjumlah sembilan.
Pedang An Kai Seng masih dapat menangkis sebagian ujung cambuk, akan tetapi tetap saja dua ujung
cambuk menotok jalan darahnya, satu di leher dan satu lagi di ubun-ubun! An Kai Seng menjerit ngeri dan
roboh tak bernapas lagi.
“Perempuan jahat, kau berani mencelakai suamiku!” Wi Wi Toanio menjerit dan mengirim tikaman dengan
pedang.
Namun tentu saja Wi Wi Toanio bukan merupakan lawan tangguh bagi Bun Sui Ceng, murid Kiu-bwe Coa-li
yang lihai ini. Beberapa gebrakan saja, Wi Wi Toanio roboh pingsan terkena sabetan cambuk pada
pinggangnya.
Gemas mengingat bahwa perempuan ini adalah isteri dari musuh besarnya, yakni An Kai Seng keturunan
An Lu San yang amat dibencinya, Bun Sui Ceng mengayunkan cambuk hendak memberi pukulan maut.
Akan tetapi tiba-tiba dia terjengkang ke belakang dan di depannya berdirilah Hek-te-ong dengan senjatanya
yang aneh di tangan, yakni sebuah penggada kepala beruang! Angin sambaran senjata ini saja sudah
dapat membuat Sui Ceng terjengkang, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga dari ketua Mokauw
ini.
Akan tetapi Sui Ceng memang tidak pernah mengenal takut. Cambuknya bergerak-gerak laksana sembilan
ekor ular dan dia menyerang Hek-te-ong dengan pengerahan tenaga seluruhnya.
Diam-diam Hek-te-ong harus mengakui keganasan dan kehebatan wanita ini. Akan tetapi karena memang
dia sudah memiliki kepandaian yang sangat tinggi, lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Kiam Ki
Sianjin, ia dapat pula menghadapi Bu Sui Ceng dengan amat baiknya. Bahkan senjatanya penggada yang
aneh itu dengan amat kuat dan pasti mulai mendesak Sui Ceng.
Sementara itu, Kiang Liat yang tadinya tidak berdaya karena ia maklum akan rendahnya tingkat
kepandaiannya menghadapi para tokoh besar itu, setelah melihat dua belah pihak berperang tanding tanpa
memilih jago, segera mencabut pedangnya dan turut menyerbu.
Ia paling benci melihat Pek Hoa Pouwsat yang pernah mengganggunya. Apa lagi kalau ia teringat akan
kata-kata isterinya bahwa wanita cantik seperti siluman ini pernah berjanji untuk menengok anaknya,
kekhawatirannya amat besar. Kini melihat Pek Hoa Pouwsat mendesak Pok Pok Sianjin, tanpa ragu-ragu
lagi ia lalu terjun ke dalam pertempuran dan mempergunakan segala kepandaiannya untuk membantu Pok
Pok Sianjin.
“Ehh, bocah she Kiang, kau masih belum mampus?” Pek Hoa Pouwsat yang mengenal Kiang Liat
mengejek dan pedangnya kini bermain-main di atas kepala Kiang Liat.
Kalau tidak ada Pok Pok Sianjin, tentu dalam beberapa jurus saja Kiang Liat akan roboh. Setelah Kiang Liat
membantu, keadaan Pok Pok Sianjin tidak begitu terdesak lagi, karena biar pun Kiang Liat masih kalah jauh
dunia-kangouw.blogspot.com
tingkat kepandaiannya, namun kiam-hoat dari orang muda ini juga tak boleh dibilang lemah.
Pek Hoa Pouwsat merasa gemas sekali. Segera dia mencabut sehelai sapu tangan dari saku bajunya.
Melihat sapu tangan merah ini, Kiang Liat terkejut sekali.
“Locianpwe, awas! Sapu tangan beracun itu...!” katanya.
Akan tetapi terlambat. Sambil tertawa kecil Pek Hoa Pouwsat sudah mengebutkan sapu tangannya.
Pada saat yang amat berbahaya itu, terdengar suara orang, “Perempuan keji!”
Tiba-tiba sapu tangan merah itu direnggut lepas dari tangan Pek Hoa Pouwsat dan di lain saat,
terdengarlah suara…
“Takkk!” dan patahlah pedang di tangan kiri perempuan itu!
Pek Hoa Pouwsat menjadi pucat dan ia pun melompat jauh ke belakang sambil mulutnya memaki-maki.
“Bu Pun Su, lain kali kubunuh kau...”
Memang Bu Pun Su yang turun tangan pada saat berbahaya itu. Tadinya ketika melihat Wi Wi Toanio,
terbang semangatnya. Ia maklum bahwa kalau perempuan berbahaya itu mempergunakan tusuk konde
untuk mempengaruhinya, dia tidak akan berdaya. Maka Bu Pun Su cepat-cepat pergi dan mengintai
dengan hati gelisah.
Melihat betapa pihaknya menderita kekalahan, dia lalu mengirim suara untuk membantu Han Le, kemudian
ia mengirim suara pula kepada Bun Sui Ceng untuk merobohkan Ang Kai Seng dan Wi Wi Toanio.
Setelah dilihatnya bahwa Wi Wi Toanio telah tak berdaya pula, dengan girang Bu Pun Su lantas menerjang
maju. Pertama-tama dia menolong Kiang Liat dan Pok Pok Sianjin yang hampir saja menjadi korban sapu
tangan merah beracun dari Pek Hoa Pouwsat.
Sesudah itu, dia lalu cepat menolong yang lain. Pedang dan golok orang-orang Mo-kauw beterbangan,
orang-orangnya roboh menjerit kesakitan tanpa sempat melihat siapa yang sudah merampas senjata dan
merobohkan mereka. Demikian cepatnya gerakan Bu Pun Su Pendekar Sakti.
“Tahan semua senjata! Thian-te Sam-kauwcu, jika kalian memang laki-laki, jangan main keroyokan. Aku Bu
Pun Su lawanmu. Mari kita mengadu kesaktian secara laki-laki!”
Mendengar ini dan melihat pula betapa orang-orangnya banyak yang roboh, Het te-ong lalu memberi abaaba
untuk menyuruh orang-orangnya mundur. Keadaan menjadi sunyi kembali. Mereka yang terluka, baik
anak buah pihak Mo-kauw mau pun anak-anak murid Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, kini ditolong oleh
teman-temannya dan ditarik ke belakang untuk diobati.
“Bu Pun Su, kenapa kau baru muncul?” Sui Ceng menegur marah kepada Bu Pu Su.
Pendekar itu tersenyum, mengejapkan mata kepadanya.
“Sekarang tiba saatnya aku menghadapi mereka. Terima kasih atas bantuanmu tadi, Sui Ceng,” kata Bu
Pun Su yang cepat melangkah maju menghadapi Thian-te Sam-kauwcu yang sedang berdiri tegak dengan
muka merah.
“Bu Pun Su, kau telah berani merusak patung-patung kami dan sekarang kau pula yang harus bertanggung
jawab atas keributan ini. Kalau tidak ada kau di sini, kiranya semua orang gagah akan insyaf dan mengakui
kami sebagai sahabat serta pemimpin mereka,” kata Hek-te-ong.
“Hek-te-ong, tenang dulu! Kau bersama dua orang sute-mu dari Barat telah mengacau di Tiong-goan.
Kawan-kawan Mo-kauw yang bodoh dapat saja kalian tipu sehingga mereka mudah pula kalian jadikan
boneka, termasuk kakek seperti Kam Ki Sianjin. Tidak itu saja, kalian juga telah mengganggu Siauw-lim-pai
dan Kun-lun-pai, mencuri kitab dan pedang. Kemudian kalian berusaha pula untuk merobohkan semua
tokoh persilatan. Sekarang aku sudah datang, dan akulah yang bertanggung jawab.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apa kehendakmu?” tanya Hek-teong.
“Tidak banyak, hanya ada dua macam. Pertama kau harus mengembalikan kitab kepada Siauw-lim-pai dan
pedang kepada Kun-lun-pai, disertai pernyataan maaf atas kekurang ajaranmu. Kedua, kau bersama dua
orang sute-mu harus segera pergi dari Tiong-goan, kembali ke barat tempat asalmu. Kalau kau hendak
menjagoi, di Tibet tempatmu, bukan di sini.”
“Ha-ha-ha, kau sombong sekali. Apa kau kira kami ini anak-anak kecil yang akan mudah kau tipu dengan
suara suling?”
Bu Pun Su tersenyum dan mencabut suling yang terselip pada pinggangnya. “Suling ini memang biasa
untuk menghibur anak-anak kecil dan orang-orang yang berduka, akan tetapi ada kalanya dapat
dipergunakan untuk mengusir pengacau-pengacau. Hek-te-ong, dari pada kita semua berkelahi seperti
orang-orang biadab, marilah kita bertaruh. Kalian boleh mengajukan siapa saja untuk menghadapiku
mengadu kepandaian. Jika aku kalah, aku Bu Pun Su takkan peduli lagi kalian akan berbuat apa. Akan
tetapi kala jago-jagomu kalah, kalian harus segera angkat kaki dari sini dan selama hidup jangan menginjak
lagi bumi di daerah ini!”
“Manusia sombong, apa sih kepandaianmu maka kau begini sombong? Mari kuantar kau ke neraka!” Yang
berkata demikian adalah Pek-in-ong tokoh ke dua dari Mo-kauw yang tinggi kurus seperti tengkorak.
Dengan senjatanya sepasang roda yang lihai sekali, Pek-in-ong langsung menyerang Bu Pun Su. Rodanya
berputaran di tangan yang mengeluarkan suara angin mengiung.
“Bagus, aku pernah mengenal patungmu, akan tetapi lebih menarik mengenal orangnya,” kata Bu Pun Su
yang dengan sangat sederhana dan mudahnya mengelak dari serangan orang.
Pek-in-ong mendesak terus dan sepasang rodanya menyambar-nyambar sambil mencari lowongan, siap
untuk mencabut nyawa Bu Pun Su. Namun, Bu Pun Su adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian
luar biasa. Di atas dunia hanya dia seoranglah yang beruntung mewarisi ilmu kepandaian dari kitab sakti
Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Pendekar ini telah memiliki kepandaian mengenal dasar dan intisari semua gerakan ilmu silat. Oleh karena
itu, dengan mudah saja dia dapat melihat setiap gerakan roda lawan, tahu pula ke mana senjata lawan
akan menyerangnya, maka mudah saja baginya untuk menghindarkan diri.
Selain ini, di dalam tubuhnya telah mengalir sinkang (hawa sakti) yang terjadi dari hawa murni di dalam
tubuh. Sinkang di dalam tubuhnya sudah kuat sekali, apa lagi setelah selama ini ia bertapa, tekun
bersemedhi mengatur pernapasan dan mencurahkan seluruh jiwanya kepada kekuasaan Yang Maha
Kuasa, maka dia mempunyai kekuatan lahir batin yang menakjubkan.
Biar pun senjatanya hanya sebatang suling bambu, akan tetapi sungguh aneh dan sukar dipercaya. Setiap
kali roda yang terbuat dari baja tulen itu bertemu dengan suling, roda itu terpental kembali dan beberapa
kali roda itu akan menghantam kepada Pek-in-ong sendiri.
Para tokoh yang berada di situ, yakni rombongan Bun Sui Ceng dan kawan-kawannya, sungguh pun
mereka sudah tahu akan kelihaian Bu Pun Su, akan tetapi kembali mereka terheran-heran dan kagum
sekali. Bagaimana Bu Pun Su dengan hanya sebatang suling bambu dapat mempermainkan Pek-in-ong
seperti seekor kucing mempermainkan tikus? Padahal, semua orang tahu bahwa Pek-in-ong memiliki
kepandaian yang amat tinggi!
Pek-in-ong sendiri terheran-heran bukan main. Beberapa kali Bu Pun Su mengembalikan roda-rodanya
dengan gerak tipu yang serupa benar dengan gerakan yang tadi ia lakukan untuk menyerang lawan aneh
ini. Ia merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh kepandaiannya, akan tetapi sia-sia belaka.
Bahkan pada waktu dia menyerang dengan hebatnya, melontarkan sepasang rodanya yang susul
menyusul menimpa kepala Bu Pun Su, pendekar ini mengangkat sulingnya.
Tepat sekali suling itu masuk ke dalam roda, diputar-putarnya suling itu sehingga rodanya ikut berputar,
lantas roda itu dilontarkan kembali ke arah kepala Pek-in-ong! Pek-in-ong terkejut, cepat mengulur tangan
menyambut rodanya sendiri. Akan tetapi dia terjengkang karena tidak kuat menahan lontaran yang penuh
dengan tenaga dahsyat itu. Roda kedua menghantam kepala Bu Pun Su, akan tetapi Pendekar Sakti ini
mengibaskan tangannya dan... roda itu cepat meluncur ke bawah, menghantam kaki Pek-in-ong yang
dunia-kangouw.blogspot.com
terjengkang.
“Plakk!” Kaki kanan Pek-in-ong terkena pukulan rodanya sendiri.
“Aduhh... aduhhh...!”
Semua orang hampir tidak dapat menahan ketawa ketika melihat Pek-in-ong berloncat-loncatan dengan
kaki kiri sambil memegangi kaki kanan yang patah tulangnya dan bukan main sakitnya. Sesudah berloncatloncatan
beberapa kali sambil meringis-ringis, akhirnya Pek-in-ong roboh pingsan!
Hek-te-ong mengeluarkan suara gerengan laksana seekor beruang yang marah. Matanya menjadi merah
seperti mengeluarkan api. Sekali tangannya bergerak, berhamburan debu hijau dan hitam ke arah Bu Pun
Su. Pendekar ini maklum bahwa lawannya mengeluarkan bubuk beracun.
“Semua mundur jauh-jauh!” teriaknya kepada kawan-kawannya.
Bun Sui Ceng dan yang lain-lain cepat melompat ke belakang, menyambar tubuh-tubuh kawan-kawan yang
kurang gesit. Han Le menyeret Kiang Liat karena melihat orang muda ini berlaku lambat. Akan tetapi tetap
saja ada beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai tidak keburu lari dan mereka tiba-tiba
terbatuk-batuk lalu roboh dengan muka menjadi hitam, napas mereka sudah putus!
“Keji sekali kau, Hek-te-ong!” seru Bu Pun Su marah.
Dia kemudian menggerakkan kedua lengannya, melakukan pukulan Pek-in Hoat-sut yang mengeluarkan
uap putih sehingga semua bubuk berwarna itu segera terusir kembali dan menghantam ke arah rombongan
Hek-te-ong sehingga orang-orang Mo-kauw itu menjadi kocar-kacir!
“Bu Pun Su mampuslah kau!” teriak Hek-te-ong dan senjatanya menyambar laksana kilat.
Menghadapi senjata penggada kepala beruang ini, Bu Pu Su tidak berani berlaku lambat. Ia menyelipkan
sulingnya dan sebagai penggantinya, dicabutnya sebatang pedang yang berkilauan cahayanya. Inilah
pedang pusaka Liong-coan-kiam, pedang pusaka yang dia terima dari kakeknya, yakni Menteri Lu Pin!
Sambaran senjata di tangan Hek-te-ong mengenai angin ketika Bu Pun Su mengelak dan sekejap
kemudian dua orang sakti ini bertempur. Bukan main hebatnya pertempuran ini.
Bu Pun Su pernah mengamuk ketika dahulu pada waktu muda dia menghadapi Kiam Ki Sianjin dan kawankawannya,
akan tetapi selama hidupnya baru sekali ini ia menghadapi tandingan yang benar-benar
tangguh. Kepandaian Hek-te-ong masih di atas kepandaian Ang-bin Sin-kai, bahkan masih lebih ganas dan
berbahaya dari pada kepandaian Kiu-bwe Coa-li dan yang lain-lain!
Akan tetapi, Bu Pun Su yang sekarang jauh bedanya dengan Bu Pun Su ketika masih mempergunakan
nama Lu Kwan Cu. Sekarang kepandaian Bu Pun Su sudah sampai di puncak kesempurnaan. Ilmu silat Imyang
Bu-tek Cin-keng sudah mendarah daging pada dirinya.
Seluruh gerakan-gerakannya sudah otomatis dan hawa sinkang di tubuhnya tanpa diatur lagi sudah
melindungi seluruh anggota tubuhnya. Bahkan dalam menghadapi Hek-te-ong, pendekar sakti ini masih
mempunyai waktu untuk mempelajari ilmu silat aneh dari Ketua Mo-kauw ini.
Seratus jurus lebih mereka bertempur. Tiba-tiba Hek-te-ong berseru keras dan sekali ia menepuk dadanya,
dari sebuah kancing besar di dadanya menyambar keluar tiga batang jarum merah ke arah tubuh Bu Pun
Su. Serangan gelap ini dia barengi dengan pukulan penggadanya, lantas disusul dengan cengkeraman
tangan kiri dan yang terakhir sekali, dua kakinya melakukan tendangan berantai!
Manusia biasa saja mana mungkin mampu membebaskan diri dari serangan ganas yang bertubi-tubi dari
yang semuanya dapat merampas nyawa ini? Namun Bu Pun Su bukan manusia biasa, melainkan seorang
manusia yang sudah amat kuat jiwa raganya, sudah amat tinggi ilmunya dan memiliki kesaktian yang tiada
keduanya.
la maklum bahwa jarum-jarum merah itu berbahaya sekali, maka ia cepat meniup ke arah jarum-jarum itu
dengan tenaga khikang sepenuhnya sehingga jarum-jarum itu runtuh, lalu tangan kirinya menangkis
cengkeraman tangan kiri lawan, tubuhnya direndahkan sedikit sehingga tendangan berantai itu mengenai
dunia-kangouw.blogspot.com
dada dan perutnya. Akan tetapi, pedangnya cepat sekali membabat senjata lawan.
Dalam satu detik itu terjadi hal-hal yang luar biasa sekali. Dua buah kaki Hek-te-ong tepat menendang perut
dan dada Bu Pun Su, akan tetapi Bu Pun Su tidak bergeming, malah sebaliknya tubuh Hek-te-ong terpental
ke belakang.
Penggada itu terkena babatan pedang dan putus pada bagian leher kepala beruang, lalu kepala beruang itu
sendiri meluncur ke bawah demikian cepatnya dan... terdengar suara keras kepala beruang itu mengenai
kepala Pek-in-ong yang masih menggeletak pingsan. Kepala Pek-in-ong pecah bersama kepala beruang
itu.
Melihat ini, Hek-te-ong terkejut dan marah sekali. Dengan suara menggereng bagaikan binatang buas, dia
menubruk Bu Pun Su dengan kedua tangan direnggangkan, lakunya seperti seekor beruang menerkam.
Bu Pun Su tidak dapat mengelak lagi, juga tidak tega untuk menyerang lawan dengan pedangnya. Cepat ia
membanting pedang sehingga menancap di atas tanah, dan dengan kedua tangannya, ia menyambut
datangnya lawan.
Dua pasang tangan yang sangat kuat bertemu, saling cengkeram dan saling membetot. Dua orang sakti
mengadu tenaga lweekang, oleh karena dari sepuluh jari tangan masing-masing keluar hawa lweekang
yang disalurkan.
“Krek... krekk... krekkk...!”
Suara ini amat mengerikan mereka yang menonton pertempuran, karena jelas bahwa itu adalah suara
tulang-tulang yang patah! Tak lama kemudian, Hek-te-ong menjerit panjang dan tubuhnya terjengkang ke
belakang, kemudian roboh dengan jari jemari tangan masih merupakan cengkeraman kuku iblis. Akan
tetapi ia sudah tak bernapas lagi dan tubuhnya kaku seperti balok.
Ternyata bahwa dalam adu tenaga lweekang tadi, ia terkena pukulan hawa lweekang-nya sendiri yang
membalik karena tidak dapat menahan sinkang yang mengalir keluar dari jari-jari tangan Bu Pun Su.
Bu Pun Su menarik napas panjang. “Siancai... siancai...,” katanya perlahan, “Hek-te-ong dan Pek-in-ong
binasa karena kehendak Tuhan…”
Cheng-hai-ong berdiri pucat. Ia merasa marah dan sedih sekali melihat dua orang kakak seperguruannya
tewas dalam keadaan mengerikan. Ia maklum bahwa kalau dua orang kakaknya kalah oleh Bu Pun Su, apa
lagi dia yang kepandaiannya lebih rendah. Akan tetapi, ia tidak dapat membiarkan begitu saja tanpa
menuntut balas. Malu kalau ia tidak turun tangan. Diam-diam otaknya bekerja, kemudian dia maju
menghampiri Bu Pun Su, sikapnya tenang.
“Bu Pun Su, kau telah menewaskan kedua orang suheng-ku. Kau tentu maklum bahwa hal ini tak dapat
kubiarkan begitu saja. Terpaksa aku melupakan kebodohan sendiri dan menantangmu mengadu nyawa.”
“Aku tahu dan aku bersedia, Cheng-hai-ong,” jawab Bu Pun Su sambil menarik napas panjang. Kalau tidak
amat terpaksa dan demi keselamatan kaum pendekar di kang-ouw, ia segan untuk membunuh orang.
“Kedua orang suheng-ku memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dariku, toh mereka tewas dalam
tanganmu. Apa lagi aku. Oleh karena itu, kiranya sebagai orang yang lemah aku berhak menentukan sifat
pertandingan ini, ataukah kau merasa keberatan, Bu Pun Su?”
Bu Pun Su tersenyum dingin, “Sesukamulah, aku akan selalu mengiringi kehendakmu. Pertandingan
mengadu kepandaian macam apa pun akan kuterima.”
“Bagus!”
Tiba-tiba sikap lemah-lembut dan mengalah dari Cheng-hai-ong lenyap, berganti dengan sikap yang
gembira dan sinar mata yang kejam!
“Bu Pun Su adalah seorang tokoh besar, kiranya tidak akan menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan.
Bu Pun Su, aku disebut orang Cheng-hai-ong (Raja Laut Hijau), maka sedikit kepandaian yang kumiliki
tentu saja ada hubungannya dengan air, atau lebih tepat lagi, aku lebih leluasa bergerak di dalam air dari
dunia-kangouw.blogspot.com
pada di atas bumi. Oleh karena itu, Bu Pun Su, aku menantangmu untuk mengadu nyawa di dalam air
sungai ini!” Dia berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah air Sungai Yalu Cangpo yang airnya
mengalir tenang dan lambat, menandakan bahwa air itu amat dalam.
Walau pun di dalam hatinya Bu Pun Su merasa kaget sekali karena tidak menyangka bahwa lawannya
demikian licik dan menjalankan siasat yang amat curang, namun pada wajahnya tidak sedikit pun nampak
rasa gelisah atau takut. Dia bahkan tersenyum dan berkata,
“Cheng-hai-ong, aku sama sekali tidak ingin mencelakai siapa pun juga. Sekarang kedua suheng-mu telah
tewas karena kesalahan mereka sendiri. Jika kau mengembalikan kitab dan pedang secara suka rela,
kemudian kau mau kembali ke tempat asalmu dan jangan mengganggu kami, juga mau melepaskan Mokauw
dari pimpinanmu, siapakah yang sudi mencampuri urusan dunia yang menyulitkan? Akan tetapi kau
bahkan menantangku, tak tahu kau menantang untuk memperlihatkan kepandaian di air ataukah untuk
bertempur?”
Cheng-hai-ong sebenamya memang gentar menghadapi Bu Pun Su yang lihai. Biar pun ia yakin bahwa di
dalam air ia akan lebih unggul, akan tetapi orang semacam Bu Pun Su ini, sungguh pun di dalam air atau di
lautan api sekali pun, tetap merupakan lawan yang berbahaya dan tangguh. Maka ia ingin berlaku hati-hati
dan menjawab,
“Bu Pun Su, pertama-tama aku menantang kau mengadakan pertunjukan di permukaan air, kita sama lihat
siapa di antara kita yang lebih pandai.”
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban supaya Bu Pun Su tidak mempunyai kesempatan untuk
membantah, orang ketiga dari Thian-te Sam-kauwcu ini melompat dan tubuhnya sudah melayang turun ke
dalam Sungai Yalu Cangpo.
Semua orang berlari-lari mendekati tebing sungai untuk melihat. Mereka menjadi sangat kagum dan di
sana-sini terdengar seruan memuji. Memang kepandaian Cheng-hai-ong hebat sekali.
Lain orang kalau ingin terapung di air, tentu jalan satu-satunya hanya berenang. Ini pun hanya membuat
sebagian tubuh saja yang terapung. Akan tetapi, tidak demikian dengan Cheng-hai-ong. Entah bagaimana,
dengan kedua kaki digerakkan cepat-cepat dan aneh, ia dapat membuat tubuhnya terapung dalam
keadaan berdiri tegak dan yang tenggelam ke dalam air hanya kaki sebatas lutut saja!
Lutut itu bergerak-gerak terus dan dapat diduga bahwa kedua kaki itulah yang bergerak secara istimewa
sehingga tubuhnya dapat tegak pada permukaan air, dan tangan kanan Cheng-hai-ong sudah memegang
senjatanya yang luar biasa sekali, yakni rantai dengan tengkorak manusia pada ujungnya! Orang ini tertawa
mengejek sambil memandang ke arah Bu Pun Su!
“Bu Pun Su, beranikah kau turun ke sini?” tantangnya dengan nada suara mengejek.
“Kwan Cu, jangan kena terjebak oleh tipu muslihatnya!” Bun Sui Ceng mencegah Bu Pun Su, kemudian
dengan suara nyaring sambil mengamang-amangkan cambuknya ke arah Cheng-hai-ong, ia membentak
keras,
“Cheng-hai-ong, manusia busuk! Kau hendak mempergunakan kecurangan, memancing lawan ke dalam
air. Kami bukanlah sebangsa katak yang biasa main di darat dan di air, mana kami sudi melayanimu di air,
kau katak bukan tikus pun bukan? Hayo naik ke darat dan kau bisa mencoba rasanya cambukku ini
sebelum bangkaimu kulemparkan ke dalam air.”
Bu Pun Su tersenyum. “Air Sungai Yalu Cangpo boleh lebar dan dalam mengerikan, akan tetapi selama
masih ada nelayan, kita takut apakah?” Tiba-tiba saja tubuhnya melayang ke bawah, ke air sungai yang
demikian lebar dan dalam!
Semua orang melongok ke bawah. Kawan-kawan Bu Pun Su sangat khawatir karena mereka belum pernah
mendengar bahwa pendekar sakti ini pandai pula bermain di air. Akan tetapi apa yang mereka lihat di
permukaan air Sungai Yalu Cangpo benar-benar membuat mereka melongo, bahkan pihak Mo-kauw yang
menyaksikan pemandangan ini menjadi pucat dan tak berani bernapas. Apakah yang mereka lihat?
Bu Pun Su telah melompat dan tiba di permukaan air seperti di atas tanah keras saja! Pendekar sakti ini
berdiri di permukaan air, tidak bergeming, tidak bergerak sama sekali, tersenyum-senyum dan enak saja
dunia-kangouw.blogspot.com
menghadapi Cheng-hai-ong yang menjadi pucat.
Ini tak mungkin, pikir Cheng-hai-ong. Ia adalah seorang ahli dalam permainan di air dan ia tahu bahwa
berdiri tanpa bergerak pada permukaan air laksana sehelai daun kering, adalah hal yang tak mungkin
dilakukan oleh manusia hidup. Kalau sekiranya ia melihat Bu Pun Su berlari-lari cepat di permukaan air, dia
masih percaya karena seorang yang ginkang-nya sudah mencapai tingkat tinggi seperti Bu Pun Su, kiranya
dapat melakukan hal itu. Akan tetapi berdiri tegak di permukaan air tanpa bergerak?
Kemudian, tiba-tiba Cheng-hai-ong teringat akan peristiwa sebelum Bu Pun Su muncul di tempat itu. Ketika
ia dan suheng-suheng-nya menanti datangnya Bu Pun Su, ada suara ketawa aneh di permukaan air, dan ia
telah menyerang dengan jarum ke arah permukaan air, akan tetapi tidak kelihatan siapa pun juga.
Apakah tidak mungkin ada orang pandai yang bersembunyi di dalam air? Dan sekarang orang itu telah
membantu Bu Pun Su dan menyangga kedua kakinya?
“Jahanam, jangan main sembunyi, keluarlah kalau kau laki-laki!” seru Cheng-hai-ong dan tiba-tiba tangan
kirinya bergerak sehingga beberapa batang jarum hijau menyambar ke arah air tepat di bawah kaki Bu Pun
Su!
Bu Pun Su menggerakkan kakinya menendang ke arah sinar hijau itu dan jarum-jarum itu menyeleweng ke
kiri.
“Kong Hwat, kau lawanlah dia ini, sama-sama setan air!” kata Bu Pun Su dan sekali ia menggerakkan
kakinya, tubuhnya melesat naik ke tebing sungai lagi.
Terdengar suara ketawa bergelak dan di permukaan air, di mana tadi Bu Pun Su ‘berdiri’ di atas air, muncul
kepala seorang laki-laki yang begitu muncul begitu langsung ketawa terkekeh-kekeh, nampaknya seperti
orang kegirangan sekali. Akan tetapi kedua matanya tidak ikut tertawa bahkan seperti orang menangis.
Kalau saja tidak ada air sungai yang menetes-netes dari rambutnya, tentu orang akan melihat air matanya
bercucuran!
“Dia Nelayan Cengeng!” seru Sui Ceng.
Dia memandang heran kepada Bu Pun Su karena kini tahulah ia bahwa Bu Pun Su tadi sebelum melompat
ke dalam sungai sudah mengetahui bahwa Nelayan Cengeng berada di bawah permukaan air itu.
Bagaimana Bu Pun Su bisa mengetahui hal ini?
Ada pun Cheng-hai-ong, pada waktu melihat bahwa benar saja dugaannya di bawah air terdapat kawan Bu
Pun Su, menjadi marah sekali. Ia cepat menggerakkan rantainya dan tengkorak di ujung rantai lantas
menyambar ke arah kepala Kong Hwat atau Si Nelayan Cengeng. Akan tetapi tengkorak itu hanya
menyambar air, karena kepala yang diserang telah lenyap lagi ke bawah permukaan air.
Tiba-tiba nampak Cheng-hai-ong meronta-ronta dan memaki-maki. Senjatanya bergerak memukul ke
bawah, namun tetap saja tubuhnya diseret turun ke dalam air oleh Nelayan Cengeng! Sebentar kemudian,
dua orang ‘setan air’ itu telah tenggelam dan orang-orang yang berada di tebing tidak melihat apa-apa lagi.
Hanya air sungai yang tadinya mengalir tenang itu kini nampak bergelombang, tanda bahwa di dasar
sungai terjadi pergumulan hebat.
Bu Pun Su memang datang bersama Kong Hwat yang ia jumpai di tengah perjalanannya menuju ke Yalu
Cangpo. Dua orang kenalan lama itu lalu bercakap-cakap dan ketika mendengar bahwa Bu Pun Su hendak
menghadapi orang-orang Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu, Kong Hwat menjadi gembira
sekali dan dengan suka rela ikut ke tempat itu.
Akan tetapi Kong Hwat tidak langsung menuju ke tempat itu, melainkan mengambil jalan dari sungai,
mendayung perahu kecilnya, kemudian ia bahkan telah mendahului Bu Pun Su dan telah mengeluarkan
suara ketawa ketika para anggota Mo-kauw mentertawakan Bu Pun Su yang belum datang.
Sementara itu, orang-orang Mo-kauw yang melihat dua orang pemimpin mereka sudah tewas, menjadi
marah sekali. Terutama Hek Pek Mo-ko dan Pek Hoa Pouwsat. Mereka bertiga ini berseru keras memberi
aba-aba kepada kawan-kawannya dan menyerbulah mereka sehingga kembali terjadi perang tanding yang
hebat antara orang-orang Mo-kauw melawan orang-orang Siauw-lim dan Kun-lun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ada pun Hek Pek Mo-ko, Pek Hoa Pouwsat, Kiam Ki Sianjin, dan beberapa orang tokoh Mo-kauw yang
berkepandaian tinggi, tentu saja segera disambut oleh Bun Sui Ceng, Swi Kiat Siansu, The Kun Beng, Han
Le, Pok Pok Sianjin, dibantu oleh Kiang Liat serta para tokoh Siauw-lim dan Kun-lun.
Pertandingan berjalan tidak seimbang. Setelah Thian-te Sam-kauwcu tidak berada di situ, kekuatan pihak
Mo-kauw kalah jauh, apa lagi jika Bu Pun Su ikut turun tangan membantu kawan-kawannya. Pendekar
Sakti ini yang melihat bahwa pihaknya unggul, hanya berdiri menonton, kadang-kadang menengok ke arah
sungai.
Pergumulan di dalam sungai antara Nelayan Cengeng dan Cheng-hai-ong benar-benar hebat. Sayangnya
mereka yang berada di darat tidak dapat menyaksikan pertandingan istimewa ini, pertempuran antara dua
orang manusia yang memiliki kepandaian seperti ikan.
Sebetulnya, kalau bertanding di darat, kepandaian Cheng-hai-ong masih lebih unggul dan kiranya Kong
Hwat takkan dapat bertahan sampai lima puluh jurus. Akan tetapi, Nelayan Cengeng ini memang cerdik. Ia
tahu bahwa ia menghadapi lawan-lawan tangguh, oleh karena itu ia sengaja tidak mau ikut Bu Pun Su
menghadapi mereka di darat, melainkan menunggu di air, di mana ia boleh membanggakan kepandaiannya
dan tidak usah takut terhadap siapa pun juga.
Meski pun sekarang ia menghadapi Cheng-hai-ong yang lihai, akan tetapi setelah mereka bertanding di
dalam air, ternyata Cheng-hai-ong harus mengakui keunggulan lawannya yang istimewa itu.
Pertempuran di dalam air berbeda dengan pertempuran di darat. Tenaga lweekang tidak begitu ampuh lagi
sesudah orang berada di dalam air, apa lagi segala macam senjata rahasia seperti yang menjadi
keunggulan Cheng-hai-ong, sama sekali jarum-jarumnya tak dapat dipergunakan. Di dalam air, yang
diandalkan adalah kegesitan, ketajaman mata dan telinga, dan terutama sekali keuletan dan kekuatan
bertahan napas.
Dalam hal ini pun ternyata Cheng-hai-ong kena diakali oleh Nelayan Cengeng. Apa bila mereka berdua
bertanding kekuatan menahan napas di dalam air agaknya Kong Hwat hanya menang sedikit saja. Akan
tetapi, sesudah mereka bergumul beberapa lama dan keduanya telah hampir kehabisan napas, diam-diam
Kong Hwat mengeluarkan sebatang tangkai rumput alang-alang yang dalamnya berlubang.
Tangkai alang-alang yang seperti pipa kecil ini, ujungnya dia masukkan mulut dan ketika Kong Hwat
meniup ujung yang dimasukkan mulutnya itu, pipa alang-alang yang panjang ini timbul di permukaan air.
Kemudian, dengan leluasa dia dapat bernapas dan berganti hawa melalui pipa kecil itu!
Dengan akal ini, tidak heran apa bila tidak lama kemudian dia sudah dapat menggempur dada Cheng-haiong
dengan senjatanya, yakni sebatang dayung besi yang berat! Cheng-hai-ong yang napasnya memang
sudah hampir putus itu, mana kuat menerima pukulan ini? Tubuhnya menjadi lemas dan ia tersembul ke
atas dengan tubuh tak bernyawa lagi, lalu hanyut oleh air sungai yang mengalir tenang.
Kong Hwat sendiri cepat-cepat naik dan menyembulkan kepala di atas permukaan air. Ia melihat
pertempuran berjalan ramai akan tetapi Bu Pun Su hanya berdiri saja menonton, maka tahulah ia bahwa ia
tidak perlu turun tangan membantu. Ia lalu berenang dengan cepat sekali mengikuti aliran air, pergi dari
tempat itu.
Para anggota Mo-kauw melihat pula tubuh Cheng-hai-ong yang telah menjadi mayat dan hanyut di
permukaan air sungai, maka hati mereka makin gelisah sehingga perlawanan mereka juga semakin kalut.
Banyak sudah orang pihak mereka roboh dan binasa.
Tiba-tiba saja terdengar pekik nyaring, “Lu Kwan Cu, aku perintahkan kau menghentikan perlawanan
pihakmu!”
Seorang wanita melompat dan memegang sebatang tusuk konde perak ke atas sambil menghampiri Bu
Pun Su. Muka pendekar ini menjadi pucat dan kaget sekali. Ia hendak melarikan diri, namun sudah tidak
keburu. Terpaksa ia melompat ke tengah pertempuran dan membentak,
“Semua kawan tahan senjata!”
Bun Sui Ceng dan yang lain-lain merasa heran sekali, namun tetap melompat mundur. Beberapa orang
Siauw-lim dan Kun-lun yang masih mendesak lawan, tentu saja tak mau mundur karena selagi mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
menang dan mendesak lawan, mengapa disuruh berhenti?
Tiba-tiba saja mereka melihat bayangan orang berkelebat cepat di hadapan mereka dan tahu-tahu senjata
di tangan mereka telah lenyap dirampas orang! Kini terpaksa mereka melompat mundur. Mereka semakin
kaget dan heran ketika mendapat kenyataan bahwa yang merampas senjata mereka tadi bukan lain adalah
Bu Pun Su sendiri!
“Wi Wi, kau dan kawan-kawanmu pergilah!” Bu Pun Su berkata dengan suara kaku dan muka pucat.
Semua orang menjadi terheran-heran. Bun Sui Ceng tentu saja menjadi amat penasaran dan marah. Ia
melangkah maju dan cambuknya lantas berbunyi keras ketika cambuk ini menyambar ke arah Wi Wi
Toanio!
Akan tetapi, sekali menggerakkan lengan, Bu Pun Su menerima cambuknya itu dengan lengannya. Agar
jangan menyinggung perasaan Bun Sui Ceng, pendekar sakti ini tidak mengerahkan tenaga dan
membiarkan cambuk itu melukai kulit lengannya. Segera darah mengucur dari kulit yang pecah terkena
cambuk!
“Ayaaa...!” Sui Ceng melompat ke belakang dengan kaget sekali. “Kwan Cu, apakah kau sudah gila?”
Sui Ceng memandang ke arah Bu Pun Su, kemudian menoleh kepada Wi Wi Toanio dan matanya
mengancam. “Kau mau membela dia? Akan kubunuh wanita jahanam ini...”
“Wi Wi, lekas kau pergilah. Kalau tidak, aku tidak tahu apakah aku masih dapat mentaati permintaanmu,”
kata pula Bu Pun Su kepada Wi Wi Toanio.
Wi Wi Toanio tersenyum mengejek. Pada saat seperti itu, ia tidak dapat mendesak Bu Pun Su karena
orang-orang yang menjadi lawan adalah orang-orang yang amat lihai, apa lagi suaminya sudah meninggal
dan perlu diurus.
Dapat menyelamatkan diri saja sudah lebih dari cukup dan boleh dibilang untung sekali, karena ia maklum
bahwa jika pertandingan dilanjutkan, pihak Mo-kauw pasti akan tewas semua. Sambil tertawa dan
menangis seperti orang gila, Wi Wi Toanio menyambar tubuh An Kai Seng, kemudian berlari pergi dari situ,
diikuti oleh semua orang.
Hek Pek Mo-ko sendiri, dan juga Pek Hoa Pouwsat, tidak berani menentang Bu Pun Su lebih lama lagi dan
mereka pun melarikan diri dan mempergunakan kesempatan aneh itu. Mereka pergi dengan hati
mengandung dendam besar, akan tetapi apakah daya mereka menghadapi orang-orang seperti Bu Pun Su
dan yang lain-lain itu?
Setelah pihak lawan pergi semua membawa mayat dan mereka yang terluka, Bun Sui Ceng tidak dapat
menahan lagi kemarahannya. Sambil menatap wajah Bu Pun Su yang pucat, ia menegur,
“Kwan Cu, apakah kau tiba-tiba menjadi gila? Orang Mo-kauw itu perlu dibasmi, kenapa kau bahkan
memberi kesempatan kepada mereka untuk lari?”
“Thian-te Sam-kauwcu sudah tewas, dan tidak ada alasan bagi kita untuk membasmi orang-orang Mokauw.
Sebelum muncul Thian-te Sam-kauwcu, antara kita dengan pihak Mo-kauw memang tidak ada
permusuhan sesuatu, kenapa kita harus terlalu mendesak?” kata Bu Pun Su.
Kata-kata ini dapat dimengerti oleh semua orang dan pihak Siauw-lim-si serta Kun-lun-pai juga
menganggap urusan sudah selesai. Kitab dan pedang telah dapat dirampas kembali dan pencurinya, yakni
Thian-te Sam-kauwcu, sudah tewas. Kenapa harus memperbesar permusuhan dengan golongan Mo-kauw
yang sebenarnya hanya diperalat oleh Thian-te Sam-kauwcu?
Maka, setelah mengambil benda pusaka masing-masing, orang-orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai lalu
meninggalkan tempat itu, membawa jenazah dan anggota-anggota yang terluka.
Berturut-turut Swie Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, Han Le, dan Kiang Liat mengundurkan diri. Akhirnya
hanya tinggal Bu Pun Su, Bun Sui Ceng dan Kun Beng saja yang masih berada di tempat itu. Bun Sui Ceng
berkeras minta penjelasan dari Bu Pun Su mengapa pendekar ini begitu menurut dan takut-takut kepada Wi
Wi Toanio.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bu Pun Su tersenyum dan memandang kepada The Kun Beng yang semenjak tadi diam saja, kadangkadang
memandang kepada Sui Ceng, kadang-kadang melirik ke arah Bu Pun Su dan kadang-kadang
menundukkan mukanya.
Memang di antara tiga orang pendekar yang kini sudah tua itu, dahulu terjalin kisah yang amat
mengharukan dan juga membingungkan, kisah asmara segitiga yang sulit. Setelah berpisah puluhan tahun,
kini mereka bertemu kembali dan tentu saja kenang-kenangan masa lampau terbayang pula (baca kisah
Pendekar Sakti).
“Sui Ceng, kau ternyata masih keras hati seperti dulu. Sebenarnya aku mengharapkan untuk melihat kau
dan Kun Beng menjadi suami isteri dan mempunyai keturunan yang gagah agar aku dapat membantu
mendidiknya. Tidak tahunya... kita masih sama saja seperti dahulu!”
“Kwan Cu,” kata Sui Ceng bersungguh-sungguh tanpa merasa sungkan lagi pada bekas tunangannya,
yakni The Kun Beng, “kau sudah tahu bahwa hatiku semenjak dulu sudah beku terhadap laki-laki.
Kuanggap laki-laki adalah makhluk yang tak dapat dipercaya dan berhati palsu, kecuali engkau. Kalau saja
isi dada Kun Beng seperti isi dadamu, kiranya sekarang kami telah menjadi suami isteri.”
Tentu saja Kun Beng merasa terpukul, akan tetapi ia sudah terlalu lama menderita patah hati sehingga kini
tidak terasa lagi olehnya.
“Memang Saudara Kwan Cu seorang laki-laki sejati seorang pria tak tercela. Oleh karena itu maka dosamu
makin bertumpuk, Sui Ceng. Melukai hatiku boleh kau anggap sebagai hukuman atas perbuatanku yang
menyeleweng, akan tetapi bila melukai hati Kwan Cu... benar-benar kau telah berdosa!”
Kata-kata ini benar-benar mengenai tepat. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang
mata yang masih indah dan bening itu. Terbayanglah di depan mata Sui Ceng semua pengalamannya
dahulu dan betapa Lu Kwan Cu amat kasih kepadanya.
Mendengar kata-kata dua orang itu, Bu Pun Su tersenyum pahit. “Ahh, kalian salah duga. Di dunia ini,
manakah ada seorang manusia yang bersih dan suci tak ternoda? Kalian menganggap aku seorang baik
hanya karena kalian tidak tahu akan perbuatanku yang menyeleweng seperti yang pernah dilakukan oleh
Kun Beng, bahkan lebih hebat dan keji lagi...”
Sui Ceng dan Kun Beng mengangkat muka memandang, agaknya tidak percaya.
“Sui Ceng kau tadi bertanya tentang sikapku yang aneh terhadap Wi Wi Toanio, isteri dari An Kai Seng.
Nah, sekarang untuk membuka matamu bahwa bukan hanya tunanganmu lelaki tunggal yang
menyeleweng di dunia ini, baiklah kuceritakan tentang sebab sikapku yang aneh tadi.”
Kemudian dia pun menceritakan betapa dia pernah terpikat oleh kecantikan Wi Wi Toanio sehingga
melakukan hal yang sangat keji dan rendah memalukan, yakni mengadakan perhubungan dengan isteri
orang!
“Nah, sekarang kalian tahu akan kenyataan bahwa Bu Pun Su adalah seorang manusia busuk. Lu Kwan Cu
sudah mampus dan yang ada hanya Bu Pun Su!”
Setelah berkata demikian, dengan suara ketawa yang pahit dan terdengar menyeramkan, Bu Pun Su
berkelebat dan lenyap dari hadapan dua orang sahabatnya itu. Hanya suara ketawanya saja yang masih
bergema dari tempat jauh…..
********************
Sesudah meninggalkan lembah Sungai Yalu Cangpo, Kiang Liat melakukan perjalanan cepat untuk segera
sampai kepada isterinya. Juga ia sudah amat rindu kepada Im Giok, puterinya. Tiga bulan ia berpisah
dengan mereka!
Kalau ia mengenangkan semua pengalamannya selama tiga bulan ini, diam-diam Kiang Liat bergidik dan
merasa beruntung bahwa ia masih selamat dan dapat keluar dari semua ancaman dan bahaya itu dengan
tak kurang sesuatu apa pun. Juga ia telah mendapat pengalaman pertempuran hebat, yang membuat
kedua matanya terbuka bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiang Liat ingin membuat girang hati isterinya dan ingin membuat kedatangannya tidak tersangka-sangka.
Sambil tersenyum-senyum geli dan gembira mengenangkan betapa isterinya akan terkejut dan girang, dia
merencanakan untuk memasuki rumahnya tanpa diketahui oleh siapa pun. Tahu-tahu dia akan tidur di atas
pembaringan dalam kamarnya sampai isterinya masuk ke kamar dan mendapatkannya sudah tidur di situ!
Manusia manakah yang tahu akan ketentuan nasibnya? Siapakah yang mengerti akan rahasia besar nasib
manusia yang hanya dipegang serta ditentukan oleh Tangan Thian Yang Maha Kuasa sendiri?
Bukti kekuasaan Tuhan memang kadang kala amat aneh, ganjil, dan sukar dimengerti. Kadang-kadang
bahkan nampak tidak adil!
Misalnya, seorang yang berwatak jahat hidup dalam keadaan senang dan makmur, tetapi sebaliknya orang
yang berwatak baik hidup sengsara. Ada pula seorang yang hidupnya penuh dosa selalu sehat, sebaliknya
orang yang hidup saleh bahkan menderita penyakit berat. Terlontarlah kata-kata ‘tidak adil’ dari mulut
mereka yang masih belum kuat iman dan kepercayaannya terhadap Tuhan dan kekuasaannya.
Akan tetapi tidak demikian sikap orang budiman, atau seorang yang memang menaruh kepercayaan akan
keadilan Tuhan secara mutlak. Dia ini bahkan akan menerima segala apa yang oleh manusia dianggap
‘sengsara’ atau ‘menderita’ dengan hati tenang dan penuh penyerahan sebulatnya kepada Yang Maha
Kuasa, menerima lahir batin dengan penuh kepercayaan dan keyakinan bahwa segala apa yang menimpa
dirinya itu adalah kehendak Tuhan yang tidak dapat diubah pula oleh siapa pun juga, dan bahwa di balik
semua hal yang menimpa dirinya itu terdapat sesuatu yang adil dan baik.
Bahagialah orang yang menerima kemalangan sebagai orang menghadapi ujian, tahan uji, kuat dan
akhirnya lulus! Sebaliknya, kasihan mereka yang lemah hati, yang tidak kuat menghadapi kemalangan,
sehingga kepercayaan mereka menjadi luntur, watak yang baik menjadi buruk, dan kemalangan
menyeretnya ke dalam penyelewengan yang kemudian akan menghancurkan hidupnya sendiri!
Kiang Liat tidak menyangka sama kali bahwa ia akan menghadapi hal yang amat berat baginya. Ketika ia
tiba di kotanya, siang telah terganti senja dan keadaan di jalan sudah mulai sunyi. Dengan mudah Kiang
Liat dapat mempergunakan kepandaiannya sehingga tak seorang pun melihatnya ketika ia tiba luar tembok
belakang rumahnya.
Sekali melompat ia telah berada di dalam kebun belakang rumah, kemudian ia melompat-lompat dan di lain
saat telah berada di luar kamarnya, di dekat jendela. Dan pada saat itulah ia mendengar suara orang
bercakap-cakap di dalam kamarnya, suara isterinya dan seorang wanita lain, yang kemudian ia kenal
sebagai suara Ceng Si, bekas pelayan yang telah dikawinkan dengan Cia Sun sastrawan miskin itu!
“Ceng Si, kau dan Cia Sun betul-betul keterlaluan. Kurang bagaimanakah aku menolong kalian? Kurang
banyakkah uang dan perhiasan yang kuberikan kepada Cia Sun? Kenapa kalian seakan-akan tidak
mengenal puas dan hendak menghabiskan kekayaan kami? Ah, kau juga tahu bahwa suamiku sedang
pergi, mengapa kau tidak datang mengawani dan menghibur hatiku yang gelisah memikirkan ia, sebaliknya
kau datang untuk mengganggu dan lagi-lagi minta uang dalam jumlah yang terlalu besar. Dari mana aku
bisa mendapat uang sebanyak itu?”
Mendengar kata-kata isterinya ini, Kiang Liat menjadi pucat dan ia pun menahan napas, mendengarkan
percakapan dengan hati tidak enak sekali. Kemudian terdengarlah suara Ceng Si, nadanya mengejek dan
menghina benar-benar di luar persangkaan Kiang Liat. Sejak kapankah pelayan ini begitu berani bicara
kasar dan menghina terhadap isterinya?
“Nyonya muda mengapa begitu pelit? Apa bila tidak untuk menutupi rahasiamu terhadap suamimu,
siapakah sudi menikah dengan siucai miskin itu? Pada waktu dahulu, Nyonya yang main-main dan
bersurat-suratan, bercinta-cintaan dengan Cia Sun. Setelah Nyonya menikah dan mendapat kedudukan
baik, akhirnya akulah yang dijadikan korban untuk melayani siucai bekas kekasih nyonya muda itu.”
Kiang Liat tak sanggup mendengarkan terus. Hampir saja ia menendang jendela untuk mengamuk, akan
tetapi baiknya ia mampu menahan gelora hatinya dan sebaliknya ia lalu melompat pergi! Hati dan
pikirannya tidak karuan.
Ia masih bersangsi apakah benar-benar isterinya dulu telah melakukan hal yang demikian memalukan?
Benarkah isterinya dahulu menjadi kekasih Cia Sun? Tak mungkin! Isterinya begitu mencintanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi kalau ia teringat betapa semua perhiasan isterinya tidak pernah dipakai, dan kalau ia ingat akan
kata-kata isterinya tadi kepada Ceng Si bahwa banyak sudah uang dan perhiasan yang diberikan oleh
isterinya kepada Cia Sun. Ahhh, apa artinya ini? Dan kata-kata Ceng Si tadi?
Hampir pecah kepala Kiang Liat dan hampir meledak dadanya, membuat dia berjalan di malam buta, tak
tentu arah tujuannya, bicara seorang diri, berbantah-bantahan dengan diri sendiri, kadang-kadang tertawa
mengejek, kadang-kadang membentak-bentak, dan kadang-kadang ia tertunduk di pinggir jalan menangis
tersedu-sedu!
Semalam suntuk Kiang Liat berkeliaran di sekitar kota seperti orang gila. Terjadi perang tanding hebat di
dalam dada dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi hari kalau orang melihat Kiang Liat, tentu akan
pangling. Ia nampak lesu dan kusut, waktu semalam suntuk itu seakan-akan sepuluh tahun sehingga ia
nampak sepuluh tahun lebih tua dari kemarin sore!
Tukang kuda di belakang gedungnya terkejut setengah mati ketika pagi-pagi sekali dia melihat majikannya
menyerbu kandang kuda, dan tanpa bicara sepatah pun kata lalu mengeluarkan kuda lantas membalapkan
kuda itu keluar dari kandang! Tukang kuda itu melongo, menggosok-gosok matanya, kemudian secepatnya
berlari-lari ke gedung, minta menghadap nyonya muda!
“Hujin, celaka. Telah terjadi sesuatu yang ganjil dan aneh pada diri Wan-gwe!”
Song Bi Li, isteri Kiang Liat, pucat seketika. “Ehh, pagi-pagi kenapa kau sudah bicara yang bukan-bukan?
Majikanmu belum pulang, bagaimana kau bisa bicara seperti itu? Hati-hatilah dengan mulutmu, jangan kau
kurang ajar!” kata Bi Li marah.
“Hamba bersumpah tidak berani main-main, Hujin. Benar-benar baru saja hamba melihat Wan-gwe datang
ke kandang dan keluar pula menunggang kuda kesayangannya. Dan keadaan Wan-gwe... pakaiannya
kusut, mukanya seperti tak mengenal hamba lagi dan... dan... sinar matanya begitu mengerikan. Hamba
takut, Hujin...”
Bi Li mengerutkan keningnya. Tak mungkin suaminya berkelakuan seperti itu, datang lalu pergi lagi
sebelum menjumpainya. Apakah yang telah terjadi?
“Kiu Pek-pek, coba ajaklah kawan-kawan untuk menyusul dan menyelidiki keadaan yang aneh ini!” katanya.
Bi Li lalu masuk ke dalam gedung dan sebentar kemudian kegelisahannya sudah banyak berkurang ketika
Im Giok bangun dari tidur dan dipangkunya…..
********************
Sesudah memikirkan keadaan isterinya selama semalam suntuk, Kiang Liat mulai dapat mengambil
kesimpulan. Boleh jadi sekali isterinya dulu berkasih-kasihan dengan Cia Sun, kemudian setelah menjadi
isterinya, Bi Li diperas oleh Cia Sun dengan bantuan Ceng Si! Tak bisa salah lagi, tentu demikian duduknya
perkara, pikirnya.
Oleh karena itu, orang pertama yang menjadi sasaran kemarahannya adalah Cia Sun. Ia mengambil
kudanya karena tubuhnya terasa lelah dan lemas sekali, kemudian dia segera membalapkan kuda itu
menuju ke tempat tinggal Cia Sun.
Memang keadaan Cia Sun sekarang sudah makmur. Uang dan perhiasan yang diperas dari Bi Li bukan
sedikit. Ia kini dapat membeli tanah sebagai seorang kaya raya. Setiap pagi ia berjalan-jalan menunggang
kuda, memeriksa tanahnya berlagak seperti seorang tuan tanah yang hartawan. Akan tetapi karena ia
terlalu royal, selalu ia kekurangan uang dan jalan satu-satunya hanyalah memeras Bi Li dengan
perantaraan Ceng Si yang sudah menjadi isterinya!
Pada pagi hari itu, tanpa menyangka bahwa hari itu akan merupakan hari sial baginya, Cia Sun
menunggang kuda hendak menuju ke sebuah dusun yang berdekatan. Semalam isterinya, Ceng Si, datang
membawa perhiasan dan uang dan seperti biasanya, begitu mendapatkan uang, tentu saja Cia Sun lalu
mengambil sedikit untuk berpesta di rumah pelacuran di dusun sebelah barat, atau untuk bermain judi
dengan kawan-kawannya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi baru saja ia hendak meninggalkan jalan simpang di luar dusunnya, tiba-tiba ia mendengar
derap kaki kuda. Dari jauh datanglah Kiang Liat yang membalapkan kudanya.
Hati Cia Sun terkejut bukan main. Mengapa Ceng Si malam tadi tidak bilang apa-apa? Mengapa tidak
bilang bahwa Kiang Liat sudah pulang? Ataukah... barang kali pagi ini baru pulang? Walau pun hatinya
berdebar, Cia Sun menahan kudanya dan bahkan memutar binatang tunggangannya itu untuk menyambut
kedatangan Kiang Liat.
Dari jauh ia sudah menjura di atas kudanya dan berkata ramah,
“Selamat pagi, Kiang-wangwe. Berkat kebaikan Wangwe, kini siauwte telah memperoleh banyak
kemajuan.”
Kata-kata ini diucapkan untuk mengambil hati Kiang Liat, akan tetapi bagi pendekar ini merupakan sindiran
yang membuat hatinya makin terluka dan perih.
“Jahanam keparat!” serunya.
Sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah melayang dari atas kudanya, menyambar tubuh Cia Sun yang
dibantingnya ke atas tanah. Dua ekor kuda itu ketakutan dan menjauhkan diri, kemudian melihat mereka
tidak diganggu, dua ekor kuda itu makan rumput di bawah pohon, tenang-tenang saja, tak menghiraukan
lagi dua orang yang kini saling berhadapan dalam keadaan tegang itu.
“Ampun Wan-gwe. Apa dosaku maka Wan-gwe datang-datang marah kepada siauwte?” Cia Sun berlutut
sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk minta ampun.
Kalau menuruti hawa nafsu di dalam dadanya, ingin sekali Kiang Liat membunuh siucai ini tanpa bertanyatanya
lagi. Akan tetapi dia hendak mendengar pengakuan Cia Sun, karenanya ia menahan-nahan
kemarahan hatinya dan membentak,
“Bajingan besar, lekas kau mengaku. Kau ada hubungan apakah dahulu dengan Song Bi Li?”
Kalau ia mendengar kilat menyambar di tengah hari, belum tentu Cia Sun akan sekaget ketika ia
mendengar pertanyaan ini.
“Apa...? Hamba... hamba tidak... tidak ada hubungan dengan Hujin...”
Sebuah tendangan membuat tubuh Cia Sun terjengkang dan terguling beberapa kali. Ia cepat berlutut dan
mulai menangis, memohon ampun.
“Hayo mengaku terus terang!” Kiang Liat membentak lagi. “Aku menyebut nama Siong Bi Li dan kau tahu
bahwa dia isteriku, apakah kau hendak bilang tidak ada perhubungan apa-apa? Hayo lekas bilang sebelum
aku hilang sabar dan menghancurkan kepalamu!”
Cia Sun benar-benar bingung. Saking bingungnya, dalam usahanya membersihkan dan menolong diri,
siucai yang bersifat pengecut ini bahkan melontarkan fitnah kepada Bi Li. “Ampun, Kiang-wangwe,
sesungguhnya siauwte... siauwte tidak bersalah, tidak berdosa apa-apa. Dahulu itu… yaa... sesungguhnya
adalah Song-siocia yang mendesak siauwte, yang menyatakan cinta, juga memberi surat dan lain-lain.
Siauwte sendiri mana berani? Siauwte... siauw...”
Kata-kata ini terputus dan disusul jeritnya karena Kiang Liat telah mengayun tangannya. Tubuh Cia Sun
terguling dan hanya jerit itulah yang bisa ia keluarkan sebelum napasnya terputus oleh pukulan yang
mengenai jalan darah kematiannya.
Pada waktu itu, beberapa orang dusun tiba di tempat itu, dan melihat Kiang Liat yang banyak dikenal orang
itu membunuh Cia Sun, mereka menjadi ketakutan dan melarikan diri. Sebentar saja, semua orang tahu
akan pembunuhan ini, akan tetapi siapakah yang berani mengganggu Kiang Liat? Pendekar ini
menunggang kudanya dan kembali ke kota, langsung menuju ke gedungnya.
Song Bi Li yang semenjak pagi tadi gelisah dan cemas, mendengar suara derap kaki kuda di luar, segera
memburu keluar sambil menggendong Im Giok. Alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa yang datang
benar-benar adalah suaminya yang dinanti-nanti. Akan tetapi, ia pun kaget bukan main melihat wajah
dunia-kangouw.blogspot.com
suaminya yang muram dan kelihatan tua. Lebih-lebih terkejutnya ketika ia melihat sikap suaminya yang
sama sekali tidak mau menengok ke arahnya, bahkan dengan langkah lebar terus masuk ke dalam gedung
dan menuju ke kamar.
Dengan muka pucat, hati berdebar dan kedua kaki gemetar, Bi Li mengikuti suaminya setelah memberikan
Im Giok kepada inang pengasuh. Ia melihat suaminya duduk di atas bangku di dalam kamar, tak bergerak
bagaikan patung batu, nampaknya berduka sekali. Bi Li segera menekan perasaannya, memperlihatkan
wajah ramah dan manis, lalu maju dan berlutut di dekat kaki suaminya, meraba sepatunya,
“Suamiku, kau baru datang? Tentu kau lelah sekali.” Suaranya halus dan manis, ada pun kedua tangannya
mulai membuka sepatu suaminya.
Biasanya memang Bi Li amat cinta kepada suaminya dan setiap kali suaminya datang dari tempat jauh, ia
lalu membuka sepatu, menyediakan air hangat pencuci kaki dan air teh untuk minum. Ia tidak mengijinkan
pelayan melakukan hal ini, tidak puas kalau tidak melayaninya sendiri!
Biasanya Kiang Liat merasa girang dan terharu kalau melihat pernyataan kasih sayang yang begitu besar
dari isterinya. Akan tetapi kali ini, ketika melihat isterinya membungkuk dan meraba sepatunya, tiba-tiba
kakinya bergerak dan tubuh Bi Li terlempar ke sudut kamar! Setan cemburu sudah menguasai hatinya,
membikin buta matanya dan akhirnya mengalahkan cinta kasih terhadap Bi Li.
Bi Li tidak mengeluarkan keluhan sakit, hanya menjadi pucat sekali dan memandang kepada suaminya
dengan mata terbelalak kaget. Sikap suaminya kepadanya jauh lebih menyakitkan hati dari pada rasa sakit
yang diderita oleh pundak dan kepalanya ketika ia terbentur di dinding. Dia merayap bangun dan berjalan
perlahan menghampiri suaminya, lalu berlutut lagi di sampingnya.
“Suamiku, apakah dosanya isterimu yang bodoh? Katakanlah, aku bersedia menebusnya dengan nyawa
jika memang berdosa...!” katanya halus dengan suara tergetar, sedangkan dari sepasang matanya
menetes dua titik air mata.
Melihat keadaan isterinya itu, melihat rambut yang ia sayang dan biasa ia belai-belai itu awut-awutan, muka
yang biasa ia ciumi itu menjadi pucat seperti mayat, sepasang mata yang biasanya ia anggap sebagai
sepasang batu kemala terindah di dunia ini sekarang memandang kepadanya dengan sayu, Kiang Liat
hampir tak kuat menahan lagi. Ingin ia memeluk isterinya, berlutut di depannya dan minta ampun atas
perbuatannya tadi, ingin dia menangis bagaikan anak kecil dan menceritakan semua kesusahan hatinya di
dada isterinya.
Akan tetapi, bayangan Cia Sun tak pernah meninggalkan ruang matanya, membuat Kiang Liat semakin
benci melihat isterinya. Terpaksa dia meramkan matanya dan tidak berani memandang muka Bi Li, lalu
berkata perlahan akan tetapi tajam seperti ujung pedang,
“Dosamu? Tanyalah kepada jahanam keparat Cia Sun yang sudah kukirim ke neraka! Tanyalah kepada
kekasihmu, kau siluman betina!”
Bi Li terkejut sekali, bukan hanya karena suaminya telah dapat mengetahui rahasianya, terutama sekali
karena mendengar bahwa suaminya telah membunuh Cia Sun.
“Kau... kau membunuhnya...?”
Ucapan ini sebetulnya keluar dari kegelisahan hati Bi Li mendengar suaminya membunuh orang. Akan
tetapi bagi Kiang Liat yang sedang dikuasai oleh cemburu dan nafsu marah, dianggap sebagai pernyataan
kaget dan duka dari Bi Li bahwa kekasihnya telah dibunuh.
“Kau tangisi kekasihmu yang sudah mampus? Perempuan rendah, kalau aku tahu... kau ternyata hanya
seorang perempuan hina-dina, perempuan tak tahu malu. Anak itu... anak itu pun barang kali bukan
anakku...!”
Bi Li menjerit dan di lain saat ia telah roboh pingsan di depan kaki Kiang Liat! Ia tidak kuat menerima
pukulan batin yang hebat ini, tidak kuat menerima kata-kata keji yang keluar dari mulut Kiang Liat,
suaminya yang ia cinta sepenuh jiwa raganya.
Ketika Bi Li siuman kembali, ia melihat suaminya berjalan mondar-mandir di dalam kamar dan mulutnya
dunia-kangouw.blogspot.com
bergerak-gerak mengeluarkan kata-kata yang sukar dimengerti. Barang kali penderitaan batin Kiang Liat di
saat itu tidak kalah hebatnya kalau dibandingkan dengan Bi Li. Melihat suaminya, teringatlah Bi Li akan
semua fitnah dan caci-maki tadi, maka tak tertahankan pula ia menangis terisak-isak.
Kiang Liat menengok, pandang matanya penuh benci dan jemu.
“Apa lagi yang kau tangiskan?”
“Suamiku... kau... kau terlalu kejam...”
Kiang Liat hampir saja menendang tubuh isterinya karena kembali dia salah sangka. Dia mengira bahwa
isterinya menuduhnya kejam karena membunuh Cia Sun. Akan tetapi ia dapat menguasai kemarahannya
dan hanya berdiri memandang dengan mata melotot.
“Kau... kejam sekali menuduh aku berbuat yang bukan-bukan... Tak perlu kusangkal lagi, memang betul
dahulu sebelum aku bertemu dengan engkau... aku... aku ada hubungan surat-menyurat dengan orang she
Cia itu. Tetapi... tidak ada apa-apa yang kotor di dalam hubungan itu... percayalah, aku bersumpah demi
nama Thian, demi Langit dan Bumi, demi kesucian nama anak kita Im Giok... suamiku, hubungan itu hanya
surat-menyurat belaka...”
“Bohong! Kau habiskan uang dan perhiasan untuk Si Bedebah Cia Sun itu, kau gunakan Ceng Si sebagai
jembatan, kau kira aku tidak tahu? Hayo, kau mau bilang apa lagi?”
“Ampunkan aku, suamiku... memang, aku telah bersalah, tidak memberi tahukan semua itu kepadamu...
aku tadinya... aku... takut kalau kau marah dan... aku takut kehilangan cinta kasihmu... akan tetapi sungguh
mati aku tidak pernah melakukan hal yang tak patut, hubungan itu tetap bersih... ampunkanlah...”
“Perempuan rendah!” Kiang Liat berlari keluar kamar dan membanting daun pintu, pergi meninggalkan Bi Li
Yang menangis tersedu-sedu di dalam kamar itu, di atas lantai.
Semenjak hari itu, Kiang Liat tidak pulang lagi ke rumahnya. Ia meninggalkan isteri dan anaknya, membawa
kuda dan uang, pergi merantau di dunia kangouw dengan hati patah dan pikiran selalu diliputi kedukaan
dan kekecewaan. Cinta kasihnya kepada isterinya tak dapat ia lupakan, bahkan semakin jauh ia pergi,
makin rindulah ia kepada isterinya dan puterinya.
Beberapa kali ia mengambil keputusan untuk kembali, untuk memaafkan isterinya, untuk kembali hidup
berumah tangga dengan anak isterinya, berbahagia seperti dulu lagi. Akan tetapi, perasaan cemburu yang
sudah mencuci hati serta pikiran seorang pria memang paling hebat dan berbahaya, dapat membuat pikiran
menjadi gelap dan pertimbangannya patah. Cinta kasih yang sebesar-besarnya dapat berubah menjadi
kebencian yang sangat dahsyat.
Rasa rindu kepada anak isterinya, oleh Kiang Liat bukan dianggap sebagai besarnya rasa cinta kasihnya
dan tidak dijadikan dasar untuk mengampuni isterinya, sebaliknya ia malah benci kepada diri sendiri dan
menganggap diri sendiri terlalu lemah. Karena itu dia lalu merantau makin jauh lagi dari rumahnya, dan
selalu melakukan perbuatan seperti yang layak dilakukan oleh seorang pendekar. Karena ini, namanya
menjadi makin ternama di dunia kang-ouw dan julukan Jeng-jiu-sian (Dewa Tangan Seribu) makin
terkenal…..
********************
Waktu berjalan cepat tak terasa dan empat tahun sudah lewat semenjak Kiang Liat pergi meninggalkan
rumahnya. Pada suatu hari saat ia sedang duduk seorang diri mengenang nasibnya yang amat buruk, di
dalam sebuah kelenteng bobrok di Propinsi Shansi sebelah selatan, hujan turun dengan derasnya.
Beberapa kali Kiang Liat menarik napas panjang dan mukanya kelihatan sedih sekali. Terbayang di depan
matanya betapa dahulu di waktu hujan seperti sekarang ini, ia duduk di kamar pinggir dengan isterinya,
duduk menghadapi jendela terbuka dan bersama-sama melihat air huian turun. Alangkah mesra dan
bahagianya waktu itu.
Mengingat akan semua kenangan ini, ditambah pula dengan bayangan wajah Im Giok yang tersenyumsenyum
dan secara lucu menyebut-nyebut ‘pa-pa’ berkali-kali, air mata mengucur turun dari sepasang mata
pendekar itu. Cepat-cepat ia mengusapnya dengan punggung tangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tidak patut bagi seorang pendekar gagah mengucurkan air mata, pikirnya dengan hati dikeraskan. Akan
tetapi percuma saja, hatinya sudah terlalu lama menderita sehingga ia tak dapat menahan lagi air matanya
yang mengucur terus, menyaingi air hujan yang juga bercucuran dari atas.
Selagi Kiang Liat menumpahkan kesedihan hatinya seorang diri di ruang kelenteng itu, tiba-tiba saja ia
mendengar suara perlahan. Ketika ia mengangkat mukanya yang tadi ia sembunyikan di atas lutut, ia
melihat seorang kakek pengemis sudah berdiri di depannya dengan sikap tenang.
“Suhu...!” Kiang Liat menjatuhkan diri berlutut dan buru-buru ia menghapus air matanya.
“Orang bodoh, kau pulanglah, isterimu menderita sakit, anakmu lenyap diculik. Menyiksa diri sendiri dan
memaksa diri membenci keluarga, tidak mau pulang akan tetapi dirantau selalu berduka, benar-benar
perbuatan yang amat pandir. Pulanglah kau!”
Sebelum Kiang Liat sempat bertanya, tiba-tiba bayangan itu berkelebat dan lenyap dari situ.
Kiang Liat maklum bahwa watak suhu-nya amat aneh, dan percuma saja kalau ia akan mengejar juga. Ia
tak memikirkan lagi tentang suhu-nya, pikirannya penuh dengan berita yang diterimanya.
Mendengar isterinya sakit dan anaknya diculik orang, ia terkejut bukan main dan seketika itu timbullah rasa
marah yang jauh lebih besar dari pada kesedihannya. Tanpa pedulikan hujan angin yang masih mengamuk
di luar, di lain saat Kiang Liat sudah melompat dan berlari cepat menerjang hujan.
Berita mengejutkan yang disampaikan oleh Han Le kepada muridnya itu memang nyata. Semenjak
ditinggal pergi oleh suaminya, Bi Li hidup dalam kedaan sengsara, menderita batinnya. Kalau saja tidak
mengingat kepada puterinya, kiranya nyonya muda ini tak akan dapat menahan lebih lama lagi hidup di
dunia. Baginya, derita lahir jauh dari suami masih dapat ditahannya, akan tetapi derita batinnya, yakni
sangkaan suaminya bahwa dia telah berlaku jinah sebelum menjadi isterinya yang benar-benar terasa tak
kuat ia menahan.
Setelah bertahun-tahun suaminya tidak pulang dan ia menerima ejekan dan sindiran dari orang-orang yang
tidak suka kepada keluarga Kiang, Bi Li sering kali jatuh sakit. Selama empat tahun ini, perhiasan dan
barang-barang berharga di rumah sudah banyak dijualnya untuk makan, membayar pelayan dan membeli
obat dan keperluan lainnya. Keadaannya makin lama makin buruk.
Akan tetapi Bi Li tidak mempedulikan keadaan dirinya sendiri. Siang malam yang menjadi ingatannya
hanyalah suaminya, Kiang Liat yang dirindukannya setiap saat. Hampir setiap malam Bi Li bersembahyang,
memohon kepada Yang Maha Esa agar supaya suaminya dapat memaafkan kesalahannya dan dapat
pulang kembali.
Akan tetapi sudah terlampau banyak bukti bahwa harapan manusia tidak selalu cocok, bahkan sebaliknya
dengan kenyataan yang datang. Bukan Kiang Liat yang datang, akan tetapi seorang yang menambah
beban deritanya, yakni Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat!
Wanita yang berusia hampir empat puluh tahun akan tetapi masih memiliki kecantikan seorang gadis
remaja yang berusia dua puluhan ini datang tanpa diundang, malah tanpa diketahui orang, tahu-tahu sudah
berada di kamar Bi Li seperti kedatangan seorang dewi atau seorang siluman!
Bi Li segera mengenalnya, maka biar pun amat terkejut, nyonya muda ini menjadi girang sekali. Ia segera
maju berlutut, akan tetapi ia ditarik bangun oleh Pek Hoa Pouwsat.
“Adikku yang manis, kenapa kau kelihatan kurus dan pucat? Ah, kau bahkan tidak sehat kiranya...,” Pek
Hoa berkata dengan suaranya yang merdu dan ramah.
Mendengar teguran ini Bi Li tidak dapat tahan lagi, lalu menangis tersedu-sedu. Dengan suara terputusputus
nyonya muda yang mengira bahwa ia berhadapan dengan seorang dewi kahyangan, menceritakan
nasibnya yang amat sengsara, betapa dia dahulu tertipu oleh Cia Sun dan Ceng Si dan sekarang suaminya
mengetahui semua rahasia sehingga marah-marah, membunuh Cia Sun dan pergi meninggalkannya.
Orang seperti Pek Hoa ini mana tahu akan rasa kasihan? Sebaliknya, di dalam hati ia merasa geli. Akan
tetapi mulutnya berkata lain dan ia menghibur Bi Li.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mengapa susah-susah? Lebih baik mencari hiburan sendiri sambil memelihara anakmu. Mana anakmu?”
Sesudah melihat Im Giok yang usianya sudah menjelang enam tahun, Pek Hoa Pouwsat memandang
dengan mata terbelalak kagum. Seorang anak perempuan yang berpakaian merah, dengan rambut hitam
panjang dikuncir menjadi dua yang diikat dengan pita biru tergantung di depan pundak, sepasang mata
yang bening dan berbentuk indah, bergerak-gerak membayangkan kecerdikan luar biasa, hidung yang
mungil dan mancung nampak lucu sekali, mulutnya kecil dengan bibir merah segar, potongan muka bulat
telur dengan dagu meruncing, sepasang pipi kemerahan.
Pendek kata, wajah seorang bocah perempuan yang sehat dan mungil sekali. Walau pun usianya baru
enam tahun, Im Giok sudah memperlihatkan kecantikan dan setiap orang dengan mudah akan mengatakan
bahwa bocah ini merupakan calon seorang gadis yang cantik luar biasa.
“Pek Hoa-cici, benar-benar anakku Im Giok ini seperti kau wajahnya...!” Bi Li mengulangi kata-kata yang
sering kali ia katakan sebelum Pek Hoa datang berkunjung.
Pek Hoa Pouwsat adalah seorang wanita yang usianya sudah hampir empat puluh satu tahun, seorang
wanita yang hidup menyeleweng melalui jalan kotor, tak pernah mengenal kebahagiaan rumah tangga dan
kebahagiaan seorang ibu. Sekarang, pada waktu melihat Im Giok, tiba-tiba saja ia menjadi terharu.
Apa lagi sesudah mendengar ucapan Bi Li tadi, dia terpaksa mengerahkan tenaga untuk menahan jatuhnya
air mata. Diam-diam dia berkata kepada diri sendiri bahwa anak inilah yang paling tepat untuk dijadikan
muridnya!
Kedatangan Pek Hoa Pouwsat menghibur hati Bi Li. Dengan ramah nyonya muda ini lalu berusaha sedapat
mungkin untuk menjamu tamunya dan pada malam hari itu, Pek Hoa Pouwsat dipersilakan tidur di dalam
satu kamar dengan Bi Li dan Im Giok.
Ada pun Im Giok sendiri, ia amat suka kepada Pek Hoa Pouwsat. Ia memandang kepada tamu ini dengan
matanya yang jeli, dan dengan berterang ia memuji, “Ibu, Bibi ini cantik sekali, ya?”
Pek Hoa menangkap dan mengangkatnya di atas pangkuan. “Anak yang baik, kelak kau bahkan lebih
cantik dari pada aku atau ibumu,” katanya sambil mengusap-usap kepala Im Giok.
Beberapa kali ia meraba lengan, pundak, punggung, dan pangkal paha untuk memeriksa apakah bocah ini
mempunyai bakat. Bukan main girang hatinya pada waktu ia mendapat kenyataan bahwa bocah ini
memang bertulang pendekar, yakni mempunyai tubuh sehat, tulang-tulang kuat dan perjalanan darahnya
baik sekali. Ditambah lagi dengan kecerdikan yang membayang di kedua mata anak ini, dapat diduga
bahwa kelak tentu akan menjadi seorang pandai.
Untuk mengetahui isi hati dan pikiran anak itu, Pek Hoa lalu bertanya, “Im Giok sukakah kau menjadi
muridku?”
Bocah itu melirik ke arah ibunya, lalu ia berkata dengan senyum lucu. “Belajar membaca dan menulis lagi,
Bibi? Ahhh, ibu sudah mengajarku dan aku adalah orang yang paling malas belajar membaca dan menulis,
demikian kata ibu. Bibi tentu akan kecewa kalau mengajarku, karena aku benar-benar malas dan tidak
suka. Aku lebih senang belajar menjahit dan menyulam! Apa lagi menggambar atau bernyanyi, lebih
senang lagi aku.”
Pek Hoa tertawa. “Kau suka belajar menari?”
Im Giok melompat turun dari pangkuan Pek Hoa, memandang kepada wajah tamu ini dengan mata berseri.
“Menari seperti anak-anak wayang yang pernah kulihat bermain di kelenteng itu? Wah, aku senang sekali!
Aku sudah minta ibu mengajarku, akan tetapi ibu tidak dapat. Bibi, kalau kau mau mengajarku menari,
menyanyi, melukis, dan menyulam, aku suka sekali!”
“Apa kelak kau ingin menjadi anak wayang tukang menari?” tanya ibunya, pura-pura tak senang.
“Apa salahnya, ibu? Mereka itu cantik-cantik dan pandai. Buktinya banyak orang gemar menonton dan
banyak orang memuji. Kalau tidak pandai masa disukai orang? Aku lebih suka ditonton dari pada
menonton. Bibi, mau kau mengajarku?” Dengan sifat manja Im Giok menarik-narik tangan Pek Hoa dan
dunia-kangouw.blogspot.com
ketiga orang itu tertawa-tawa.
Demikianlah, hati Bi Li gembira sekali mendapat teman seperti Pek Hoa ini dan sampai jauh malam mereka
bercakap-cakap gembira. Akan tetapi, menjelang fajar, Bi Li terkejut mendengar suara anaknya memanggil.
Ia terbangun dan dilihatnya Pek Hoa sudah memondong Im Giok dan tamunya itu sekali bergerak telah
‘terbang’ ke jendela yang sudah terbuka. Bukan main kagetnya Bi Li, apa lagi Im Giok berkali-kali
memanggil.
“Ibu...! Ibu...! Bibi, aku tidak mau pergi kalau ibu tidak ikut!”
“Enci Pek Hoa, kau hendak membawa anakku ke mana?” Bi Li mengejar dan bertanya kaget karena ia
takut kalau-kalau anaknya dibawa ke kahyangan tempat para bidadari!
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh nyaring dan lenyaplah sifat ramah-tamah dari
Pek Hoa, terganti sifat mengejek dan tarikan air mukanya mengandung kekejaman luar biasa.
“Ha-ha-ha, Bi Li! Tak usah kau ribut-ribut. Anakmu tak perlu kau pikirkan lagi. Dia sudah menjadi anakku
atau muridku dan akan kubawa pergi. Ha-ha-ha, mungkin dulu kau selalu membanggakan kecantikanmu,
ya? Sekarang barulah kau tahu bahwa kecantikan tidak membawa bahagia. Bukan aku saja yang
mengalami, akan tetapi kau juga... ha, kau juga, Bi Li. Tunggulah saja di rumah mengenang suami dan
anak yang hilang!”
Sekali berkelebat tubuh Pek Hoa lenyap bersama Im Giok, hanya gema suara ketawanya masih terdengar
dari jauh seperti suara ketawa seorang siluman wanita!
Sejak tadi, Bi Li berdiri terpaku di lantai. Melihat Pek Hoa yang memondong puterinya berdiri di jendela
sambil mengeluarkan kata-kata keji dan air mukanya yang menyeringai mengerikan itu, hati Bi Li seakanakan
berhenti berdetik.
Setelah Pek Hoa lenyap bersama Im Giok, barulah Bi Li sadar. Ia menjerit dan memburu ke jendela, akan
tetapi mana bisa dia mendapatkan Pek Hoa yang sudah melompat ke atas genteng dan berlari cepat
sekali?
“Im Giok... anakku... Im Giok... kembalikanlah anakku... Im Giok...!”
Setelah memanggil-manggil hingga suaranya hampir habis, akhirnya Bi Li menjadi lemas. Dipaksanya
berlari ke luar dan mengejar ke sana ke mari sambil terhuyung-huyung dan akhirnya ia roboh pingsan di
luar rumah, dekat jalan, di atas tanah yang basah.
Sesudah matahari naik tinggi, baru ada para tetangga yang melihat keadaan Bi Li dan beramai-ramai
mereka menolong nyonya muda yang bernasib malang ini. Akan tetapi, tubuh nyonya muda yang selama
ini memang lemah dan sering sakit, tak dapat menahan serangan batin yang hebat ini.
Bi Li jatuh sakit berat. Karena tetangga yang mau menolong dan merawatnya juga amat miskin, terpaksa
seluruh isi rumah dari Bi Li dijual untuk membeli obat dan keperluan lain. Keadaan Bi Li amat payah. Siapa
yang dapat menolongnya?
Kakeknya sendiri, Song Lo-kai sudah meninggal dunia tak lama setelah Kiang Liat pergi. Nyonya muda
yang hidup sebatang kara ini terserang sakit panas dan batuk-batuk, setiap saat dia hanya memanggil dan
menyebut-nyebut nama suaminya dan anaknya.
Sebulan kemudian, Bi Li menghembuskan nafas terakhir. Tidak seorang pun menangisi kematiannya. Para
tetangga yang cukup baik hati menjaga jenazahnya, hanya menarik napas panjang dan merasa kasihan.
Kegotong-royongan para tetangga yang miskin pulalah yang mencegah jenazah nyonya muda ini terlantar.
Mereka bekerja sama dan dengan amat sederhana serta bersahaja, jenazah Bi Li dimasukkan dalam peti
mati tipis dan disembahyangi sekedarnya.
Baru saja peti itu hendak diangkat orang untuk dibawa ke kuburan, tiba-tiba ada seorang wanita jembel
datang berlari-lari kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan peti sambil menangis terlolong-lolong.
Pakaiannya sangat kotor banyak tambal-tambalan, rambutnya awut-awutan, mukanya penuh debu dan
dunia-kangouw.blogspot.com
lumpur sehingga ia menjijikkan sekali. Tidak ada seorang pun di antara para tetangga itu mengenalnya.
“Hujin... mengapa kau tega meninggalkan hamba...? Kini siapa yang akan merawat dan melayanimu Hujin?
Bawalah hamba serta... Hujin, hamba... hamba mohon ampun atas segala dosa...” Wanita ini menangis
sedih sekali.
Tiba-tiba ia berhenti menangis dan... tertawa bergelak!
“Ha-ha-ha-ha, Kiang Liat! Kau kehilangan anak dan isteri, bagus! Cia Sun, kau mampus dengan mata
mendelik, salahmu sendiri. Ha-ha-ha!”
Sekarang baru para tetangga itu mengenalnya. Perempuan jembel yang otaknya sudah tidak beres ini
bukan lain adalah Ceng Si.
Memang semenjak suaminya, Cia Sun, tewas oleh Kiang Liat, Ceng Si menjadi ketakutan selalu, takut
kalau-kalau Kiang Liat juga akan mencari kemudian membunuhnya. Ia insyaf bahwa ia pun berdosa dalam
urusan pemerasan terhadap Bi Li. Di samping rasa takut terhadap Kiang Liat, ia pun benci padanya. Ketika
mendengar bahwa suaminya dibunuh oleh Kiang Liat, Ceng Si cepat-cepat melarikan diri ke luar kota.
Ia terjatuh ke tangan orang jahat. Karena Ceng Si memang masih muda dan mempunyai wajah cantik serta
tubuh menarik, ia menjadi permainan orang-orang jahat. Selama tiga tahun lebih ia terjatuh dari satu ke lain
tangan dan terperosok semakin dalam ke jurang kehinaan. Akhirnya, Ceng Si mulai berubah pikirannya.
Bajingan-bajingan yang mempermainkannya, melihat otaknya telah miring, tentu saja lalu menendangnya
dan demikianlah, Ceng Si lalu hidup berkeliaran sebagai seorang wanita jembel yang gila! Kebetulan sekali
ketika Bi Li menghembuskan napas terakhir, Ceng Si sudah tiba kembali di kota itu dan mendengar
mengenai berita kematian Bi Li, wanita setengah gila ini lalu berlari-lari mendatangi rumah bekas
majikannya.
Rumah gedung bekas tempat tinggal keluarga Kiang masih berdiri tegak, akan tetapi kini keadaannya amat
menyeramkan. Rumah besar itu terlihat gelap dan kotor, penuh sarang laba-laba dan debu. Tak sebuah
pun perabot rumah terlihat menghias rumah gedung itu, karena semua prabot rumah dijual oleh para
tetangga untuk membiayai perawatan Bi Li ketika sakit dan meninggal.
Sungguh pun rumah itu sudah kosong tidak ada penghuninya, namun tidak seorang pun berani
mengganggu apa lagi menjualnya, karena siapakah yang berani menjual rumah gedung milik keluarga
Kiang?
Mereka semua tahu bahwa meski pun Kiang Liat pada waktu itu tidak ada di situ, akan tetapi kalau
pendekar itu kembali dan melihat rumahnya dijual orang, tentu orang yang menjualnya itu tak akan diberi
ampun. Semua orang di kota Sian-koan tentu saja sudah mengenal nama Kiang Liat sebagai seorang yang
memiliki kepandaian silat tinggi.
Semenjak meninggalnya Bi Li rumah itu dikosongkan saja. Akan tetapi tetap setiap hari sekali, kadangkadang
sore dan ada kalanya pagi-pagi, halaman depan rumah gedung kosong itu tentu disapu dan
dibersihkan oleh seorang perempuan jembel gila, yakni Ceng Si!
Pada suatu pagi, kurang lebih satu pekan setelah Bi Li meninggal, Kiang Liat tiba di kota Sian-koan! Betapa
pun gelisah hatinya mendengar dari gurunya bahwa puterinya sudah diculik orang dan isterinya sakit keras,
akan tetapi Kiang Liat masih ingat untuk bertukar pakaian yang pantas sehingga pada waktu ia masuk kota
Sian-koan, ia telah merupakan seorang laki-laki muda berpakaian seperti seorang pendekar yang gagah.
Tentu saja penduduk Sian-koan mengenalnya dan semua orang memandangnya dengan sinar mata
berkasihan. Siapa yang tak merasa kasihan melihat orang laki-laki yang telah ditinggal mati isterinya dan
anaknya diculik orang pula? Akan tetapi, semua orang merasa takut dan segan untuk menegur Kiang Liat,
karena mereka tahu akan pembunuhan yang dilakukan oleh Kiang Liat kepada Cia Sun tanpa mereka
ketahui latar belakangnya.
Namun, Kiang Liat juga tidak mempedulikan pandang mata semua orang itu. Ia bergegas menuju ke
rumahnya. Akan tetapi, sesudah tiba di jalan depan rumah, ia berdiri terpaku dan mukanya menjadi pucat.
Rumahnya nampak seram sekali dan kosong. Dengan langkah lambat ia memasuki pintu pekarangan dan
dunia-kangouw.blogspot.com
berjalan perlahan menuju ke ruang depan.
Tiba-tiba ia mendengar suara ketawa terkekeh-kekeh, suara tawa seorang wanita. Cepat Kiang Liat
memutar tubuh dan memandang ke sebelah kanan. Di bawah pohon ia melihat seorang wanita jembel
memegang sebatang sapu, tertawa-tawa memandang kepadanya, bahkan kadang-kadang telunjuknya
menuding ke arahnya, tampaknya perempuan itu geli sekali.
“Kau siapakah dan apa yang kau lakukan di sini?” tanya Kiang Liat.
“Hi-hi-hi... Kiang Liat, kau sudah lupa lagikah padaku? Aku siapa? Ha-ha-ha, lucu sekali. Bukankah aku ini
bekas kekasihmu yang bernama Ceng Si? Apakah engkau telah begitu pelupa?”
Kiang Liat terkejut dan tak terasa melangkah mundur dua tindak dengan hati kasihan dan ngeri.
“Ceng Si...! Kau... kau gila...? Mau apa kau di sini dan mana... mana Bi Li?”
Tiba-tiba Ceng Si menangis tersedu-sedu.
“Song-hujin sudah mati... kau yang membunuhnya... kau yang mencabut nyawanya... !”
Muka Kiang Liat makin pucat dan otomatis ia menoleh ke arah rumah gedungnya yang kosong dan kotor,
lagi sunyi sekali, sama dengan perasaan hatinya yang terasa kosong dan sunyi.
“Ceng Si, kau mengacau, bagaimana aku bisa membunuhnya? Aku baru saja datang...”
Ceng Si memekik keras. Matanya memancarkan sinar kemarahan ketika dia melangkah maju dan seperti
hendak memukul kepala Kiang Liat dengan sapunya.
“Kau lelaki jahanam! Kau manusia kejam! Kau telah membunuh suamiku dan sekarang... ha-ha-ha! Isterimu
mati, anakmu lenyap, semua karena kejahatanmu sendiri! Kiang Liat, aku puas melihatmu sekarang,
semua setan dan iblis sudah membalas kejahatanmu. Kau marah-marah meninggalkan isterimu, isteri yang
berhati putih bersih dan suci! Kau kira dia bermain gila dengan Cia Sun? Ha-ha-ha, goblok sekali engkau!
Bi Li dahulu seorang gadis suci bersih, mana bisa dia bermain gila dengan seorang laki-laki? Cia Sun
sengaja memancingnya, untuk mendapatkan hartanya, dan aku menjadi pembantunya yang setia! Ha-haha,
Bi Li yang bodoh itu mudah saja kami tipu, mudah saja kami takut-takuti kalau tidak mau memberi harta
benda akan kami adukan kepada suaminya yang tolol. Ha-ha, dan suaminya menjadi cemburu, membunuh
Cia Sun lalu meninggalkannya.”
Ceng Si tadinya marah-marah, kemudian tertawa-tawa mengejek, dan akhirnya tiba-tiba ia menangis
tersedu-sedu.
“Kasihan Bi Li... kasihan Song-siocia nonaku yang manis budi... kasihan sekali karena ditinggal suami dan
disakiti hatinya, dituduh yang bukan-bukan... kasihan sekali, hatinya hancur, hidupnya sengsara... semua
karena Kiang Liat, jahanam yang telah membunuh suamiku...”
Makin banyak mendengar kata-kata Ceng Si, makin pucatlah muka Kiang Liat. Akhirnya ia tidak tahan dan
sekali kedua tangannya digerakkan ia telah memegang kedua pundak Ceng Si, menekannya keras-keras
sehingga perempuan itu menjerit kesakitan.
“Jangan bunuh aku...!” jeritnya sekali-kali dengan muka takut sekali. Rasa takut yang dulu membuatnya
melarikan diri sekarang memenuhi hatinya lagi, maka ia menjerit-jerit minta ampun.
“Ceritakan semua tentang hubungan Bi Li dan Cia Sun!” bentak Kiang Liat. “Kalau kau bohong, kepalamu
akan kuhancurkan di sini juga!”
“Ampun Kiang-wangwe... ampunkan hamba... sesungguhnya saya tidak salah apa-apa, yang salah adalah
bangsat Cia Sun itulah. Dia yang dulu sengaja memancing Siocia dan membujukku. Dia bilang kalau Siocia
bisa menikah dengannya, aku kelak akan ia ambil sebagai ji-hujin. Karena itu, aku lalu membujuk-bujuk
Siocia yang masih muda dan hijau, kuserahkan surat-surat dan sajak-sajak indah dari Cia Sun dan
memaksa Siocia untuk membalas surat-suratnya. Setelah itu, surat-surat dari Siocia itu disimpan dan
digunakan sebagai alat pemeras. Siocia menjadi ketakutan sekali kalau-kalau surat-suratnya terlihat oleh
Kiang-wangwe, maka segala permintaan kami berdua diturutinya saja. Telah banyak uang dan perhiasan
dunia-kangouw.blogspot.com
yang dapat kami peras dari Siocia dan...”
Kata-kata Ceng Si berhenti sampai di sana saja, kemudian disambung dengan keluhnya mengaduh-aduh
ketika tubuhnya terlempar dan menubruk batang pohon. Saking gemas dan tidak sanggup menahan
kemarahan hatinya lagi, Kiang Liat telah melemparkan tubuh perempuan itu. Tadinya malah ia ingin
membunuhnya, akan tetapi ia masih ingat bahwa wanita ini telah menjadi orang gila, hukuman yang sudah
cukup hebat bagi hidupnya.
Dengan kedua kaki lemas, Kiang Liat berlari memasuki gedungnya. Berlari-lari memasuki kamar isterinya
dan di depan ambang pintu ia terpaku dengan sepasang mata terbelalak. Seakan-akan ia melihat isterinya
berdiri di tengah kamar.
“Bi Li, isteriku sayang... kau ampunkan dosaku, Bi Li...,” ia berbisik dan melangkah maju lalu menjatuhkan
diri berlutut, kedua lengannya menubruk dan hendak memeluk dua kaki isterinya.
Akan tetapi, ia memeluk tempat kosong dan ketika ia mengangkat muka, ternyata di situ tidak ada siapasiapa
dan dia berlutut di tengah kamar yang kosong, kotor, dan penuh sarang laba-laba!
“Bi Li...” hatinya merasa tertusuk-tusuk dan di lain saat Kiang Liat terjungkal pingsan di tengah kamar itu.
Sudah terlalu lama Kiang Liat menahan tekanan batin yang maha dahsyat. Akhir-akhir ini ditambah lagi
dengan penyiksaan diri secara sengaja, yakni sering kali ia mengosongkan perut. Bahkan sebelum pulang
ke Siang-koan, sudah sepekan Kiang Liat tidak makan.
Sekarang, pukulan terakhir yang hebat, yang dilakukan oleh Ceng Si, merupakan tusukan yang jitu dan
melukai jantungnya. Dia sangat mencinta Bi Li isterinya, kemudian karena cemburu dan kecewa, dia
meninggalkan isterinya yang disangka dulu pernah melakukan penyelewengan kesusilaan itu dengan hati
sakit sekali.
Kini, tidak saja ia mendengar anaknya telah hilang diculik orang, bahkan mendengar pula isterinya itu telah
meninggal dunia. Ini semua belum begitu hebat apa bila dibandingkan dengan pengakuan Ceng Si bahwa
sebenarnya Bi Li sama sekali tidak berdosa, sama sekali tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak baik,
bahkan dia sudah menjadi korban penipuan dan pemerasan Cia Sun dan Ceng Si!
Dan isterinya meninggal dunia karena sedih dan sengsara, akibat ditinggalkan suaminya! Jadi tepat sekali
kata-kata Ceng Si si gila itu bahwa dialah yang membunuh isterinya sendiri.
Kiang Liat menggeletak pingsan di tengah kamar isterinya itu sampai lewat tengah hari. Ketika dia siuman
dan dapat bergerak kembali, kamar itu sudah gelap.
Kiang Liat nanar seketika, tubuhnya panas, kepalanya pusing dan kedua kakinya gemetar lemas. Ia
merangkak bangun, terhuyung-huyung dan ketika teringat olehnya akan segala sesuatu yang sudah
dialaminya pagi tadi, bibirnya mengeluarkan keluhan, hatinya terasa disayat-sayat.
“Bi Li... Bi Li...”
Kedua matanya menjadi basah. Tak lama kemudian, ia merupakan seorang laki-laki yang layu, terhuyunghuyung
keluar dari rumah gedung itu dengan langkah lemas.
Tetangganya, Empek Lai yang bekerja sebagai penjual sayur, memandangnya dengan sepasang mata
berkasihan ketika Kiang Liat berdiri di depan pintu rumahnya.
“Lai-lopek, tolonglah kau tuturkan kepadaku apa yang kau tahu tentang hilangnya anakku Im Giok...,” kata
Kiang Liat dengan suara hampir berbisik.
“Aah... Kiang-wangwe, marilah masuk. Silakan duduk... ah, sayang datangmu terlambat, Wan-gwe...
kasihan anak dan isterimu...,” kata empek itu dengan suara bernada kasihan.
Kiang Liat menggeleng kepalanya, kata-kata empek itu makin menyedihkan hatinya.
“Lopek, tak usahlah, terima kasih. Katakan saja siapa yang telah menculik anakku…”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tak seorang pun di antara kami yang mengetahui dengan pasti, Wan-gwe. Kami temui Hujin telah
menggeletak pingsan di atas tanah di luar rumahnya, kami menolongnya dan sesudah ia siuman dari
pingsannya, ia jatuh sakit hebat. Dalam igauannya, kami hanya mendengar ia berkali-kali menyebut-nyebut
namamu dan nama Nona Im Giok, kemudian ada juga ia menyebut nama Enci Pek Hoa dan minta kembali
anaknya dari orang yang ia sebut Enci Pek Hoa...”
Keterangan ini menambah perih hati Kiang Liat. Apa lagi di bagian isterinya pingsan di luar rumah,
kemudian bagian yang menceritakan betapa di dalam sakit menghadapi maut isterinya masih terus
menyebut-nyebut namanya, ini sungguh-sungguh membuat hatinya berdarah dan sakit bukan main.
Kiang Liat tak dapat menahan lagi, terus saja ia membalikkan tubuh tanpa minta permisi lagi, lalu pergi dari
situ dengan kaki limbung dan tangan kirinya menekan dada kiri yang terasa sakit sekali. Tidak lama
kemudian ia terbatuk-batuk dan... darah segar keluar dari mulutnya!
“Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat…” demikian ia berbisik. “Anakku jatuh di tangannya... aku... aku harus hidup
dan menolong anakku. Awas kau, siluman... aku akan mengadu nyawa denganmu...”
Dalam keadaan yang amat sengsara, dan kadang-kadang batuk-batuk sambil muntahkan darah, Kiang Liat
meninggalkan kota Sian-koan, dalam perjalanan mencari Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, orang yang telah
menculik Kiang Im Giok, puterinya…..
********************
“Bibi, aku mau kembali ke rumah ibu...!”
Suara ini terdengar nyaring dan keras. Kalau ada orang yang kebetulan berada di hutan lebat itu, pasti dia
akan merasa terheran-heran mendengar suara ini, suara seorang anak perempuan.
Bagaimana seorang anak perempuan dapat berada di dalam hutan yang begitu liar dan luas? Apa lagi
kalau orang itu melihat bahwa anak perempuan itu hanya berdua saja dengan seorang gadis yang cantik
luar biasa. Dua orang perempuan, seorang gadis dan seorang bocah, berdua saja di dalam hutan yang
terkenal banyak binatang buas dan perampok-perampok, ini benar-benar aneh!
Anak perempuan itu adalah Kiang Im Giok, puteri tunggal dari Kiang Liat dan Bi Li yang sudah diculik oleh
Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat. Malam tadi ketika sedang tidur nyenyak, diam-diam Im Giok telah didekati oleh
Pek Hoa, ditekan jalan darahnya sehingga anak ini terus tidur seperti pingsan, tidak merasa sesuatu lagi.
Pada keesokan harinya, setelah pergi jauh dari kota Sian-koan, Pek Hoa menyadarkan gadis kecil itu. Im
Giok merasa terheran-heran ketika mendapatkan dirinya berada dalam pondongan tamu yang cantik itu.
”Bibi, bagaimana kita bisa berada di sini? Kau hendak membawaku ke manakah?”
“Im Giok, anak baik, bukankah kau sudah mau menjadi muridku? Sebagai murid yang baik, kau harus ikut
ke mana pun juga gurumu pergi.”
Akan tetapi Im Giok sudah teringat akan ibunya. Ia memberontak minta turun dan setelah ia diturunkan dari
pondongan Pek Hoa, ia berkata keras,
“Bibi, aku mau kembali ke rumah ibu!”
Kata-kata ini dia ulangi terus dan sepasang matanya yang tajam itu menatap wajah Pek Hoa, seolah-olah
hendak menjenguk isi hati wanita itu, untuk menetapkan apakah wanita itu baik atau jahat.
“Im Giok, bukankah kau sudah menyatakan suka untuk menjadi muridku? Ayahmu adalah seorang gagah,
dan sebagai anaknya kau juga harus berwatak gagah, tak boleh menarik kembali janjimu.”
“Aku memang suka sekali menjadi muridmu, akan tetapi di rumah ibu. Aku tidak tega meninggalkan ibu
seorang diri. Ibu sering kali sakit...”
Pek Hoa tersenyum. Diam-diam dia kagum sekali melihat anak itu. Cantik serta gagah, berdiri tegak
menentangnya bagaikan seekor harimau kecil! Benar-benar seorang murid yang banyak harapan, pikirnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Im Giok, jangan khawatir. Ibumu sudah kusembuhkan.”
“Bagaimana kau bisa menyembuhkannya, Bibi?” Im Giok memandang tidak percaya.
Pek Hoa tertawa memperlihatkan barisan gigi yang putih bagai mutiara di balik sepasang bibirnya yang
merah sehat.
“Kau anak bodoh! Masih tidak percaya kepada kepandaian gurumu sendiri? Orang-orang menyebutku Bi
Sian-li Pek Hoa Pouwsat, tidak tahukah kau artinya?”
Biar pun baru berusia enam tahun, Im Giok sudah pandai membaca kitab dan ia mengerti akan arti hurufhuruf
dan sebutan-sebutan.
“Artinya bahwa kau seorang Bidadari Cantik. Memang, kau cantik sekali, Bibi, lebih cantik dari ibu. Akan
tetapi, apakah buktinya kau seorang bidadari yang pandai mengobati ibu? Kata orang, bidadari pandai
terbang, apa kau bisa terbang?”
Kembali Pek Hoa tertawa dan memuji sifat teliti dari anak itu.
“Bagus, kau masih belum percaya apa bila belum melihat bukti. Sifat ini sangat baik dan harus kau pelihara
selama hidupmu. Apa lagi ketika menghadapi kaum pria, kau jangan gampang percaya. Kau masih sangsi
apakah aku bisa terbang? Tentu saja bisa. Kalau kau sudah melihat buktinya, apakah kau tidak akan rewel
lagi dan mau ikut dengan aku tanpa banyak tanya?”
Im Giok memang masih kecil, baru enam tahun usianya. Akan tetapi dia seorang anak yang cerdik sekali.
Ia semenjak kecil telah ditinggalkan oleh ayahnya yang berkepandaian tinggi, maka dalam hal ilmu silat
tinggi, boleh dibilang ia masih buta. Maka tentu saja ia menganggap mustahil bagi seorang manusia untuk
dapat terbang seperti bidadari atau burung.
Oleh karena ini, tanpa banyak sangsi lagi ia mengangguk. Ia rela meninggalkan ibunya untuk menjadi murid
seorang bidadari yang pandai terbang, bukankah itu enak sekali? Ia bisa mengajak ibunya bertamasya ke...
bulan!
“Kau lihatlah, bukankah di puncak pohon itu terdapat seekor burung kecil yang bulunya indah sekali?” tanya
Pek Hoa sambil menunjuk ke atas.
Im Giok memandang dan sebentar saja sepasang matanya yang berpandangan tajam itu dapat melihat
seekor burung dada kuning sedang berloncat-loncatan dari satu ranting ke ranting lain di puncak pohon
yang tinggi.
“Aku melihat, burung dada kuning, bukan?”
“Bagaimana orang dapat menangkapnya?”
“Mana bisa ditangkap? Burung itu pandai terbang. Kalau kita memanjat pohonnya, tentu ia sudah lari
terbang ketakutan,” jawab Im Giok.
“Nah, kau lihat baik-baik. Aku akan terbang ke atas pohon dan menangkapnya!”
Sebelum Im Giok mengeluarkan ucapan tidak percaya, Pek Hoa menggerakkan kedua lengannya dan
tubuhnya melayang naik dengan gerakan cepat sekali sehingga Im Giok memandang ke atas dengan
melongo.
Gadis cilik ini melihat betapa Pek Hoa betul-betul bagai seekor burung besar menyambar ke atas. Baju dan
celananya yang terbuat dari sutera itu berkibar-kibar tertiup angin dan membuat ia kelihatan seperti
seorang bidadari cantik jelita tengah terbang bermain-main dengan bunga dan burung.
Tentu saja sepasang mata Im Giok yang belum terlatih itu tidak dapat melihat bahwa Pek Hoa tentu saja
sama sekali bukan ‘terbang’, melainkan melompat ke atas, menyambar dahan untuk menarik tubuh makin
ke atas. Demikianlah, dari cabang ke cabang, Pek Hoa dapat membuat tubuhnya kelihatan bagaikan
terbang. Ginkang-nya memang sudah tinggi sekali sehingga jangan kata Im Giok seorang bocah, biar pun
orang dewasa kalau belum tajam pandangan matanya, tentu akan mengira dia benar-benar pandai terbang
dunia-kangouw.blogspot.com
seperti bidadari.
Tidak lama kemudian, Pek Hoa melayang turun dan pada tangannya sudah tergenggam seekor burung
kecil dada kuning yang tadi kelihatan oleh Im Giok. Im Giok tidak tahu bahwa Pek Hoa tadi telah
menggunakan tenaga lweekang untuk menghantam burung itu.
Saat ia melompat ke atas, burung itu hendak terbang. Akan tetapi dengan menggerakkan tangan kanannya
ke arah burung, Pek Hoa sudah berhasil membuat burung itu jatuh ke bawah yang segera ia sambar
dengan tangan kiri.
Dalam anggapan Im Giok, Pek Hoa tadi tentu telah terbang, maka kini ia percaya bahwa Pek Hoa tentu
seorang bidadari yang pandai. Maka ia cepat menjatuhkan diri dan berlutut sambil berkata,
“Pouwsat, teecu sekarang suka menjadi murid dan akan ikut pergi ke mana pun juga, asal teecu diajar
terbang!”
Pek Hoa tertawa girang. “Bodoh, aku bukan bidadari, jangan memanggil pouwsat. Mulai sekarang kau
menjadi muridku, kau harus mentaati semua perintahku, akan tetapi kau tidak boleh menyebut pouwsat,
harus menyebut Enci Pek Hoa saja. Mengerti?”
Im Giok merasa heran. Akan tetapi dia juga lebih suka menyebut enci dari pada harus menyebut pouwsat.
“Baikiah, Enci Pek Hoa. Lekas kau beri pelajaran terbang padaku, Enci...”
Pada saat itu, terdengar suara orang-orang tertawa dan tak lama kemudian muncul tiga orang laki-laki dari
semak-semak belukar. Mereka ini adalah tiga orang perampok yang berwatak kasar dan kejam. Usia
mereka sedikitnya ada empat puluh tahun, dan ketiga-tiganya menakutkan sekali dengan cambangcambang
bauk dan tubuh kekar berotot.
“Siapakah mereka, Enci...?” Im Giok bertanya, agak kaget akan tetapi tidak takut.
“Diam dan lihatlah saja bagaimana aku menghadapi orang-orang macam ini,” kata Pek Hoa.
Sementara itu, ketiga orang perampok itu memang datang karena tertarik oleh suara Im Giok dan Pek Hoa.
Tadinya mereka mengira bahwa tentu ada rombongan yang lewat dan di dalam rombongan terdapat
wanita-wanitanya yang kini agaknya tengah beristirahat di situ dan bercakap-cakap. Oleh karena itu dengan
hati-hati mereka lalu menghampiri dan mengintai, sebab biasanya rombongan yang lewat di hutan ini tentu
dikawal oleh piauwsu (pengawal) yang pandai ilmu silat.
Setelah mereka mengintai, hampir mereka tidak dapat percaya akan penglihatan sendiri. Bagaimana
seorang wanita serta seorang bocah dapat berada di tengah hutan itu tanpa pengawal? Mereka segera
melompat keluar dari semak-semak dan menghampiri Pek Hoa dan Im Giok.
Jika tadi tiga orang perampok itu sudah terheran-heran, kini setelah berhadapan dengan Pek Hoa dan Im
Giok, mereka menjadi bengong. Tiga pasang mata yang kemerahan itu dibuka lebar-lebar, mengagumi
wajah Pek Hoa yang luar biasa cantiknya itu. Kemudian, tiga buah kepala digerakkan saling pandang, lalu
meledaklah suara ketawa mereka yang menyeramkan.
“Ha-ha-ha, Ji-te dan Sam-te, alangkah lucunya! Kita tiga orang laki-laki yang tidak takut menghadapi
harimau betina, kini harus bersembunyi untuk mengintai, tak tahunya yang diintai hanyalah seorang
bidadari cantik dan seorang anak mungil. Ha-ha-ha!”
Dua orang adik angkatnya tertawa-tawa geli pula, ada pun pandangan mata tak pernah dilepaskan dari
wajah Pek Hoa, bahkan kini sikap mereka kurang ajar sekali.
“Twako, walau pun tadi kita menyusup-nyusup sambil bersembunyi-sembunyi, akan tetapi sama sekali tidak
rugi. Meski aku disuruh menyusup-nyusup lagi sampai tertusuk-tusuk duri, aku bersedia asal bisa
mendapatkan seorang bidadari seperti dia ini. Ha-ha-ha!”
“Huah, siauwte. Bunga indah seperti ini, mana mungkin Twako mau memberikan kepada kita? Bagiku, lebih
baik aku mengambil bocah ini dan sesudah dipelihara beberapa tahun lagi saja, kiranya tidak akan kalah
cantik oleh dara itu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang pertama, yang agak pendek tubuhnya dan yang paling tua, tertawa bergelak. “Ji-te memang benar
sekali. Bunga ini indah dan cantik, selama hidupku sudah banyak aku memetik bunga, akan tetapi belum
pernah aku melihat yang seindah ini. Ji-te dan Sam-te terpaksa kuminta supaya kali ini mengalah.”
Kemudian ia melangkah maju menghampiri Pek Hoa yang masih berdiri memandang sambil tersenyum
manis sekali.
“Aduh, Nona... senyummu itu... ahhh, kau bisa bikin orang menjadi gila dengan senyum seperti itu! Mari
ikutlah dengan aku, Nona. Jangan kau takut-takut. Ketahuilah, jelek-jelek aku ini juga raja hutan ini, orang
menyebutku Hek-lim-ong (Raja Hutan Hitam). Dua orang ini adalah adik-adikku, atau calon adik-adikmu,
juga bukanlah sembarang orang karena kiranya tak ada keduanya orang-orang yang disebut Siang-sanhouw
(Sepasang Harimau Gunung) seperti mereka ini. Mari, Nona manis, mari kupondong agar kedua
kakimu tidak lelah. Kau siapakah? Dari mana hendak ke mana?”
Dengan lagak dibuat-buat dan menjemukan sekali, Hek-lim-ong menghampiri Pek Hoa. Lagaknya demikian
menjemukan dan menakutkan sehingga Im Giok menjadi ketakutan juga.
“Enci Pek Hoa, lekas kau usir mereka...,” katanya.
Mendengar ini, orang ke dua dari tiga sekawan ini, yaitu Twa-san-houw (Harimau Gunung Tertua),
menyengir dan ikut melangkah maju.
“Aha, kiranya enci adik! Pantas saja yang kecil demikian cantik dan mungil, hampir sama dengan yang
besar. Twako, kau tangkap yang besar, biar aku menangkap yang kecil.”
Sementara itu, biar pun bibirnya yang merah dan berbentuk indah tersenyum manis dan matanya bersinarsinar,
namun di dalam hatinya Pek Hoa sudah marah sekali sehingga dia merasa seakan-akan dadanya
hendak meledak. Ia maklum bahwa kalau saja kini dia memperkenalkan nama dan julukannya, tiga orang
ini kalau tidak lari tunggang-langgang tentu menjatuhkan diri berlutut minta ampun.
Akan tetapi ia tidak menghendaki terjadinya hal ini. Keinginan hatinya pada saat itu tak lain hanya
membunuh tiga orang yang sudah menghinanya ini.
“Bagus! Bagus sekali kalian telah menyebutkan nama, karena kalau tidak, aku tentu akan selalu merasa
kecewa. Sungguh tidak enak sekali mencabut nyawa orang-orang yang tak diketahui siapa namanya.”
Mendengar kata-kata ini, Ji-san-houw (Harimau Gunung ke Dua) tertawa terkekeh-kekeh.
“Ha-ha-ha-ha, alangkah lucunya! Mencabut nyawa? Heh-heh-heh, memang nyawa terasa tercabut kalau
melihat senyumnya, melihat lirikan matanya, nyawaku rela tercabut kalau aku bisa...”
Kata-kata ini disusul oleh jeritan menyayat hati ketika tangan kiri nona ini bergerak dan sinar putih
menyambar ke arah dada Ji-san-houw. Ketika Hek-lim-ong dan Twa-san-houw kaget memandang adik
mereka, ternyata Ji-san-houw sudah rebah tidak bernyawa lagi, matanya mendelik dan dari mulut serta
hidungnya mengalir darah menghitam. Ternyata dia sudah terkena serangan Pek-hoa-ciam (Jarum Bunga
Putih) dari Pek Hoa, semacam am-gi (senjata rahasia) jarum putih berkepala bunga yang mengandung
racun berbahaya sekali!
Suasana berubah seketika. Kalau tadi Hek-lim-ong dan Twa-san-houw tertawa-tawa geli, sekarang wajah
mereka menjadi pucat sekali dan Twa-san-houw dengan amat marahnya mencabut senjata golok besar
dari pinggang.
“Ehh, tidak tahunya setangkai bunga hutan liar, bukan sembarang bunga. Hayo lekaslah berlutut minta
ampun kalau kau tidak ingin lehermu kupenggal sekarang juga!”
Benar-benar Twa-san-houw tidak dapat melihat keadaan. Hal ini bukan karena ia bodoh atau nekat,
melainkan karena kepandaiannya masih tidak begitu tinggi sehingga ia tidak dapat menduga apakah yang
telah menjadi sebab kematian Ji-san-houw.
“Cacing busuk, apakah kau tidak ingin menyusul kawanmu? Dengan cara bagaimana kau hendak
menyusul dia? Hayo katakan, kau boleh pilih sendiri, ingin cepat atau lambat?” kata Pek Hoa dengan suara
mengejek.
dunia-kangouw.blogspot.com
Twa-san-houw mengeluarkan gerengan keras dan dia segera menyerbu, membacokkan goloknya ke arah
leher Pek Hoa.
“Ji-te, jangan merusak mukanya yang cantik...!” Hek-lim-ong berseru mencegah.
Memang Hek-lim-ong ini mata keranjang sekali. Seorang wanita muda biasa sudah dapat membuatnya
tergila-gila, apa lagi sekarang ia menghadapi seorang dara seperti Pek Hoa yang memang memiliki
kecantikan seperti bidadari.
Maka, walau pun seorang kawannya sudah terbunuh oleh Pek Hoa, masih saja dia tidak menaruh hati
benci kepada dara ini dan masih saja ia ingin memiliki nona yang jelita itu. Karena itu ia cepat mencegah
ketika melihat Twa-san-houw menyerang nona itu dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi, dalam sekejap saja kekhawatiran Hek-lim-ong akan keselamatan nona cantik itu lenyap dan
berganti menjadi perasaan gelisah akan keselamatannya sendiri. Dengan sepasang matanya ia
menyaksikan kejadian yang benar-benar hebat.
Ketika tadi golok di tangan Twa-san-houw menyambar ke arah lehernya, Pek Hoa sama sekali tidak
mengelak atau menangkis. Hanya kedua kakinya bergerak cepat luar biasa dan mengirim tendangan kilat
ke arah bawah pusar lawannya. Hanya terdengar pekik dari mulut Twa-san-houw dan di lain saat, tubuh
rampok itu terjengkang, goloknya berpindah tangan sedangkan nyawanya sudah melayang dan menyusul
adiknya sebelum tubuhnya menyentuh tanah!
Kepandaian Hek-lim-ong tentu saja masih lebih tinggi dari pada kepandaian kedua orang kawannya yang
sudah tewas. Gerakan yang dilakukan oleh Pek Hoa ketika merampas golok dan mengirim tendangan
maut, membuka mata Hek-lim-ong. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang dara perkasa yang
memiliki kepandaian silat tinggi.
Dalam sekejap mata nafsu hatinya untuk memiliki diri nona itu lenyap terganti nafsu hati untuk membunuh
Pek Hoa dan melindungi keselamatan diri sendiri. Tanpa mengeluarkan suara lagi ia mencabut goloknya
dan menyerbu, membacok dengan gerak tipu Tiong-sin Hian-in (Menteri Setia Persembahkan Cap
Kebesaran). Bacokannya ini cukup cepat dan dilakukan dengan tenaga yang besar sekali.
Namun, Hek-lim-ong adalah seorang kasar dan bodoh. Ilmu silatnya hanyalah ilmu silat kampungan belaka,
ilmu silat yang biasa dipelajari oleh penjahat-penjahat kecil. Dalam tiap perkelahian, Hek-lim-ong lebih
mengandalkan tenaga dan keberanian serta gertakan belaka.
Sekarang dia menghadapi Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terpandai dan terkasih dari Thian-te Samkauwcu.
Sama saja halnya dengan sebuah semangka besar menghadapi sebilah pisau kecil!
Pek Hoa menggerakkan golok di tangan, yang tadi telah dia rampas dari Twa-san-houw, menangkis
serangan lawan dengan pengerahan tenaga lweekang. Goloknya digerakkan dan begitu sepasang golok itu
bertemu, Hek-lim-ong tak kuat memegang senjatanya lagi. Seakan-akan lengannya yang memegang golok
terkena aliran yang membuat lengannya lumpuh dan kesemutan. Goloknya lantas terlepas dari tangan dan
tanpa kenal malu lagi Hek-lim-ong membalikkan tubuh kemudian melarikan diri seperti dikejar setan.
Pek Hoa tertawa nyaring dan merdu. Tangan kanannya bergerak, golok meluncur dan Hek-lim-ong
mengeluarkan jerit kematian yang panjang mengerikan, tubuhnya tersungkur ke tanah, akan tetapi dadanya
tidak dapat menyentuh tanah karena tertahan oleh ujung golok. Ternyata golok yang dilontarkan oleh Pek
Hoa tadi telah menembus punggungnya dan ujung golok sampai keluar dari dadanya!
Semua peristiwa ini disaksikan oleh Im Giok yang berdiri laksana patung, kedua matanya terbelalak lebar,
kedua kakinya gemetar dan dadanya berdebar keras. Selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan
orang mati, apa lagi orang terbunuh dengan cara demikian mengerikan. Sekarang ia memandang dengan
mata penuh kengerian kepada Pek Hoa.
“Im Giok, kenapakah? Takutkah kau melihat semua ini?”
“Tidak takut, akan tetapi ngeri sekali Enci Pek Hoa. Kenapa kau membunuh mereka?”
“Mereka orang-orang jahat, harus dibunuh. Kelak kalau kau sudah besar dan mempunyai kepandaian
dunia-kangouw.blogspot.com
seperti aku, kau pun harus membunuh orang-orang seperti ini.”
“Aku tidak akan berani melakukan, Enci Pek Hoa. Terlalu mengerikan.”
“Mengerikan? Apanya yang mengerikan? Coba kau tengok dan pandang muka mereka itu, bukankah lebih
buas dari pada binatang hutan? Macam mereka, kalau tidak dibunuh, bagi kita, lebih-lebih bagi wanita
muda, amat berbahaya, jauh lebih berbahaya dari pada binatang hutan.”
“Aku tidak berani melihat muka mereka!”
Tiba-tiba Pek Hoa menyambar lengan tangan Im Giok dan ditariknya anak itu ke dekat mayat Ji-san-houw.
Mayat ini paling mengerikan karena mukanya menyeringai dan dari mulut hidung keluar darah hitam, tanda
terkena senjata rahasia Pek-hoa-ciam.
“Buka matamu, lihat muka penjahat ini baik-baik. Hayo pandang!” kata Pek Hoa kepada Im Giok yang
menutup matanya. “Im Giok, apakah pada hari pertama kau sudah lupa akan janjimu? Kau harus taat
kepada semua perintahku, mengerti? Hayo buka matamu dan pandang baik-baik muka tiga orang laki-laki
jahat ini!”
Im Giok terpaksa membuka matanya. Pek Hoa membawanya dekat sekali dengan mayat Ji-san-houw
sehingga tercium olehnya bau yang amat tidak enak.
“Lihat! Pandang terus sampai muka ini kelihatan jahat dan buasnya olehmu. Kau tidak boleh merasa ngeri
melihatnya, bahkan harus merubah rasa ngeri menjadi benci! Kau harus membenci laki-laki seperti ini.
Harus! Pandang terus sampai kau tidak merasa ngeri lagi.”
Memang, obat paling manjur untuk mengatasi perasaan adalah kenekatan. Orang yang penakut akan
menjadi berani kalau nekat.
Demikian pula dengan Im Giok. Gadis cilik ini tadinya merasa ngeri dan takut-takut untuk mendekati mayatmayat
itu, apa lagi disuruh memandang mereka dari dekat. Akan tetapi, sesudah ia dipaksa oleh Pek Hoa
dan ia menjadi nekat, benar saja, tidak lama kemudian lenyap rasa ngeri dan takut-takut. Yang ada hanya
sebal, muak dan benci.
“Ingatlah, laki-laki macam ini kalau tidak dibunuh, akhirnya justru akan mencelakakan kita sendiri. Kau tentu
masih ingat akan ucapan-ucapan mereka tadi. Mereka ini kurang ajar, tidak menghormati wanita, tidak
menghargai wanita. Mereka ini bisanya hanya menghina dan mengganggu wanita belaka, menganggap
wanita seperti manusia peliharaan, seperti benda perhiasan, seperti baju atau topi, bahkan seperti sepatu
mereka! Kelak kau harus menghukum dan membasmi laki-laki kurang ajar seperti ini. Mengerti?”
Im Giok masih kanak-kanak. Usianya baru enam tahun, akan tetapi dia memang cerdik sekali sehingga dia
dapat menangkap maksud dari semua kata-kata Pek Hoa. Jiwa yang masih bersih, hati yang masih kosong
itu kini terisi oleh ajaran-ajaran watak yang sangat berbahaya dan aneh dari Pek Hoa Pouwsat, siluman
wanita murid Thian-te Sam-kauwcu.
Sedikit demi sedikit Pek Hoa hendak menjadikan anak yang disayangnya ini agar menjadi seperti dirinya!
Cantik jelita, berilmu tinggi, ganas dan bebas melakukan apa saja tanpa peduli akan tata hukum atau tata
susila. Apa saja dapat dilakukan oleh Pek Hoa asalkan ia menganggapnya benar dan hal ini
menyenangkan hatinya!
Makin giranglah hati Pek Hoa setelah beberapa bulan kemudian ia mendapat kenyataan bahwa tepat
sebagaimana yang ia duga, Im Giok memiliki bakat yang luar biasa dalam ilmu silat. Semua teori dan dasar
persilatan yang diajarkan kepadanya dapat dia terima dengan mudah, bahkan ketika ia mulai dilatih
bersilat, gerakannya amat indah dan lemah gemulai seperti orang menari! Pek Hoa pun semakin sayang
kepada muridnya ini, dan dengan giat ia mulai menurunkan ilmu kepandaiannya yang tinggi kepada Im
Giok.
Hati Pek Hoa masih belum puas. Musuh besarnya terlalu banyak dan ia bercita-cita untuk membalas
mereka semua. Ia harus membalas atas kematian tiga orang suhu-nya. Musuh besarnya yang harus
dibalas adalah Kiang Liat, Han Le, Bu Pun Su, Bun Sui Ceng, Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, The Kun
Beng, dan orang-orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun! Terlalu banyak. Akan tetapi, dapat kubalas seorang
demi seorang, pikir Pek Hoa. Yang paling ditakutinya adalah Bu Pun Su seorang. Yang lain-lain sih tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
begitu berat.
Sekarang ia telah dapat membalas kepada orang yang pernah menolak cinta kasihnya, orang yang paling
lemah di antara musuh-musuh besarnya, yakni Kiang Liat. Ia memang tidak punya niat untuk membunuh
Kiang Liat, hanya ingin melihat Kiang Liat menderita. Oleh karena itu, dia sudah merasa cukup kalau
sekarang dapat merampas Im Giok dan menjadikannya murid sehingga kelak Kiang Liat akan mendapat
malu.
Karena maklum bahwa semua musuh besarnya, kecuali Kiang Liat, adalah tokoh-tokoh terkemuka yang
sangat pandai dan lihai, untuk sementara waktu Pek Hoa tidak berani memperlihatkan diri dan tidak banyak
beraksi di dunia kang-ouw. Ia maklum bahwa kalau hendak membalas sakit hati, ia harus memperdalam
kepandaiannya lebih dahulu.
Di antara banyak macam kepandaian yang pernah ia pelajari dari Thian-te Sam-kauwcu, ada semacam
kepandaian ilmu silat yang tadinya ia anggap rendah sehingga tidak begitu ia pelajari secara mendalam.
Ilmu kepandaian ini adalah semacam ilmu silat yang khusus diciptakan oleh Pek-in-ong tokoh ke dua dari
barat ini, khusus diciptakan untuk Pek Hoa, murid yang terkasih itu.
Seperti telah diketahui, tiga orang tokoh barat itu selain ahli ilmu silat tinggi, juga ahli ilmu sihir. Melihat
muridnya yang cantik jelita, yang selain menjadi murid juga menjadi kekasih, Pek-in-ong lalu menciptakan
ilmu silat yang sebenarnya bukan merupakan ilmu pukulan, tetapi merupakan ilmu silat yang diubah
sedemikian rupa sehingga dalam setiap gerakan mengelak, menangkis, mau pun memukul menjadi
gerakan tari yang dapat menjatuhkan iman seorang laki-laki. Gerakan yang demikian memikat dan lebih
tepat apa bila disebut tarian yang melanggar kesopanan, tarian cabul yang dapat membangkitkan nafsu
jahat dan dapat menyelewengkan hati pria yang tadinya bersih!
Dulu Pek Hoa tak begitu memperhatikan ilmu silat baru yang namanya juga mengerikan, yakni ilmu silat Bijin
Khai-i (Wanita Cantik Membuka Pakaian)! Dianggapnya bahwa ilmu silat ini sengaja diciptakan oleh Pekin-
ong hanya untuk memuaskan nafsu hati guru ke dua ini saja, atau untuk melihat dia menari-nari
menghibur hatinya.
Akan tetapi sekarang, setelah menghadapi musuh-musuh lihai dan memutar daya upaya untuk membalas
dendam, ia teringat akan ucapan Hek-te-ong, tokoh pertama dari barat atau suhu-nya yang pertama ketika
gurunya ini menyaksikan ia bermain Bi-jin Khai-i.
“Pek Hoa, sayang ilmu silat ciptaan Pek-in-sute ini tidak ada isinya. Ataukah kau yang tidak pernah berlatih
sungguh-sungguh. Jika kau sudah dapat menangkap isinya dan kau mainkan dengan pengerahan tenaga
rahasia, kiranya kelak akan dapat kau pergunakan merobohkan lawan yang ilmu silatnya jauh melebihi
tingkatmu.”
Teringat akan ini, Pek Hoa lalu melatih diri dengan ilmu silat Bi-jin Khai-i. Kini terbukalah ingatan dan
matanya akan kelihaian serta keajaiban ilmu silat ini, maka diam-diam ia pun merasa bersukur sekali.
Selama empat tahun dia membawa Im Giok bersembunyi di sebuah puncak yang sunyi dari Pegunungan
Cin-lin-san. Setiap hari, tiada bosannya Pek Hoa melatih diri sekaligus melatih muridnya pula.
Im Giok makin lama makin nampak kecantikannya. Akan tetapi setelah bertahun-tahun ia hidup bersama
Pek Hoa, banyak sifat-sifat Pek Hoa yang menurun pula kepadanya. Yang terutama sekali adalah
kesukaannya untuk berhias. Artinya, Im Giok kini menjadi seorang pesolek pula!
Anak ini semenjak kecil sudah dilatih cara menghias diri dan menjaga wajah serta tubuh agar selalu
kelihatan bersih menarik. Bahkan pada suatu hari Im Giok melihat Pek Hoa mengeluarkan sebutir telur
yang kemudian dipecahkan dan dicampur dengan semacam obat, lalu diminumnya!
“Ehh, Enci Pek Hoa. Biasanya kita makan telur setelah dimasak terlebih dahulu, mengapa kau minum telur
mentah?”
“Kau tahu apa, Im Giok? Telur yang tadi kuminum dapat membuat aku selama hidup tidak akan menjadi
tua!”
Im Giok yang baru berusia sepuluh tahun itu menggerak-gerakkan alisnya seperti cara Pek Hoa
menggerakkan alisnya, gerakan yang amat genit meski pun harus diakui amat menarik hati pula. Memang,
dunia-kangouw.blogspot.com
ada banyak gerak-gerik genit dari Pek Hoa, seperti caranya menggerakkan bibir pada waktu bicara dan
cara senyumnya yang semuanya amat manis dan menarik, telah menurun kepada Im Giok!
“Enci Pek Hoa, aku selalu percaya kepadamu, akan tetapi sekali ini agaknya aku sukar untuk percaya.
Bagaimana telur dapat membikin orang menjadi muda selamanya?”
Pek Hoa tersenyum dan kembali Im Giok melihat betapa manisnya senyum ini. Kembali diam-diam dia
harus mengakui bahwa gurunya ini adalah seorang wanita yang cantik dan muda.
“Im Giok, yang biasa kita makan itu bukan telur seperti ini. Telur ini bukan sembarang telur, dan amat sukar
didapatkan. Ini adalah telur burung rajawali putih yang hanya dapat ditemukan di daerah yang sangat sukar
di utara. Yang kuminum tadi telur terakhir, maka kau akan kuajak ke sana untuk mencari telur ini.”
“Akan tetapi apa buktinya bahwa telur itu betul-betul dapat membuat orang selamanya menjadi tetap
muda?”
“Kau lihat aku? Coba katakan, Im Giok, apakah aku tidak cantik?”
“Kau cantik sekali, Enci Pek Hoa.”
Pek Hoa tersenyum puas. “Kelak kau lebih cantik dari pada aku, Im Giok. Kau bilang aku cantik dan berapa
kau kira usiaku?”
“Kalau kubandingkan dengan wanita-wanita lain yang pernah kita jumpai, paling banyak kau tentu berusia
dua puluh tahun.”
Kembali senyum manis membayang bibir Pek Hoa yang merah tanpa gincu itu.
“Dua puluh tahun? Anak baik, usiaku sudah dua kali itu, lebih lagi...”
“Empat puluh tahun?” Im Giok berseru tidak percaya.
Pek Hoa mengangguk. “Inilah bukti khasiat telur pek-tiauw (burung rajawali putih).”
Im Giok menjadi girang sekali. “Marilah kita mencari telur seperti itu, Enci. Aku pun ingin muda selalu dan
cantik seperti engkau.”
Demikianlah, sifat-sifat Pek Hoa banyak yang menurun kepada anak itu, dan memang benar seperti yang
dikatakan oleh Pek Hoa, anak itu makin lama semakin cantik dan agaknya ia tidak akan kalah oleh Pek Hoa
dalam kecantikan.
Im Giok juga amat suka mempercantik diri dengan pakaian indah. Pek Hoa yang sayang kepadanya sering
kali datang membawa pakaian-pakaian indah dan mahal, terbuat dari sutera halus. Dan yang selalu dipilih
oleh Im Giok adalah pakaian berwarna merah.
“Bagus, kau mempunyai kesukaan yang sama dengan aku pada waktu masih remaja, Im Giok. Aku pun
suka akan warna merah. Warna merah membuat hati gembira dan dapat membesarkan nyali. Juga kau
amat pantas memakai pakaian merah, cocok betul dengan kulitmu yang putih halus itu.”
Selain mewarisi beberapa sifat dan watak Pek Hoa, juga selama empat tahun ini, Im Giok sudah menerima
pelajaran dasar-dasar ilmu silat tinggi. Bakatnya memang sangat luar biasa, apa lagi memang Pek Hoa
mengajarnya dengan sungguh hati. Dalam waktu empat tahun saja, Im Giok sudah menjadi seorang anak
yang lihai permainan pedangnya, malah kalau ia melihat Pek Hoa berlatih ilmu silat Bi-jin Khai-i, ia
menonton dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh.
“Enci Pek Hoa, ilmu silat yang kau mainkan itu seperti tarian yang indah sekali. Aku ingin mempelajari ilmu
silat itu Enci.”
Pek Hoa tiba-tiba menghentikan permainan silatnya, kemudian memandang dengan mata bersinar-sinar
dan wajah berseri.
“Hushh, kau anak kecil bagaimana bisa mempelajari ilmu silat ini? Ilmu silat ini hanya boleh dimainkan oleh
dunia-kangouw.blogspot.com
seorang dara yang sudah dewasa.”
Im Giok merasa aneh dan kecewa. Setiap kali gurunya bersilat, ia memperhatikan secara diam-diam
sehingga tanpa setahu Pek Hoa ia dapat memetik beberapa jurus dari ilmu silat ini, di bagian yang indah
gerakannya. Im Giok tentu saja memandang ilmu silat ini dari segi keindahan dan dia ingin memetiknya
untuk memperindah gaya dan gerakan ilmu silat yang dilatihnya. Memang nona cilik ini sangat suka akan
tari-tarian dan akan segala yang indah-indah.
Pada suatu hari, Pek Hoa mengajak muridnya turun dari puncak tempat persembunyian itu. Kali ini, tidak
seperti biasanya kalau mengajak muridnya turun gunung bertamasya ke dusun-dusun, Pek Hoa membawa
buntalan pakaian dan menyuruh muridnya membawa semua pakaiannya pula.
“Enci Pek Hoa, kita akan pergi ke mana?” tanya Im Giok yang seperti semua anak-anak, amat girang diajak
bepergian.
“Kita turun gunung dan pergi jauh, tidak kembali ke sini lagi.”
Hampir saja Im Giok bersorak kegirangan. Sudah empat tahun lebih ia tahan-tahan saja, menindas hatinya
yang rindu kepada ibu dan rumahnya. Akan tetapi, sesudah mendapat latihan dari Pek Hoa, bocah ini
pandai sekali menyembunyikan perasaannya. Karena itu, betapa pun girang hatinya, pada wajahnya yang
manis sekali itu sama sekali tak terlihat perubahan.
“Apakah Enci akan membawaku ke Sian-koan? Ataukah kita hendak mencari Ayah?”
Dua macam pertanyaan ini sudah meliputi seluruh isi hati Im Giok. Dengan pertanyaan pertama ia
menyatakan keinginan hatinya untuk bertemu dengan ibunya, karena ibunya tinggal di Sian-koan. Ada pun
tentang ayahnya, ia sudah mendengar dari Pek Hoa bahwa ayahnya telah pergi meninggalkan ibunya.
Ayahnya yang bernama Kiang Liat dan berjuluk Jeng-jiu-sian adalah seorang gagah di dunia kang-ouw
yang suka merantau. Dia mendengar pula penuturan Pek Hoa bahwa ayahnya sengaja pergi meninggalkan
ibunya setelah ayahnya membunuh bekas kekasih ibunya!
“Sebelum menikah dengan ayahmu, ibumu dahulu sudah mempunyai seorang kekasih. Kekasihnya itu
seorang sastrawan lemah, tentu saja ayahmu lebih tampan, lebih gagah dan lebih menyenangkan. Setelah
bertemu dengan ayahmu, ibumu melepaskan kekasih lama. Akan tetapi setelah kau terlahir, kembali ibumu
teringat akan kekasihnya dan hal ini membuat ayahmu marah dan cemburu. Maka dibunuhnya sastrawan
kekasih ibumu itu dan ayahmu lalu pergi meninggalkan ibumu.” Demikian Pek Hoa mengarang.
Hati Im Giok tergores luka. Ia merasa kasihan kepada ayahnya dan sebaliknya mencela sikap ibunya,
sungguh pun tak mungkin ia dapat membenci ibunya.
“Akan tetapi sekarang kabarnya ayahmu telah menjadi gila.”
Kata-kata ini membuat hati Im Giok merasa amat terharu sehingga pernah ia mengajukan permohonan
kepada gurunya untuk pergi mencari ayahnya. Akan tetapi Pek Hoa selalu menjawab bahwa belum tiba
waktunya bagi mereka untuk meninggalkan puncak gunung. Sekarang, begitu gurunya mengajak turun
gunung, otomatis Im Giok mengajak gurunya mencari ibu atau ayahnya.
“Tidak, Im Giok. Kita tidak pergi ke Sian-koan, juga tidak mencari ayahmu. Aku sedang mempunyai urusan
yang lebih penting lagi. Aku harus pergi ke Kun-lun-san, kemudian ke kuil Siauw-lim-si untuk membalas
sakit hati. Kau harus ikut!”
Tentu saja Im Giok tidak berani membantah.
“Ingatlah, Im Giok. Aku telah dihina dan dibikin sakit hati oleh beberapa orang kang-ouw yang selain sudah
membunuh ketiga orang guruku, juga telah mendatangkan malu besar kepadaku. Kau ingatlah baik-baik
nama musuh-musuh besarku itu. Akan tetapi, karena mereka itu lihai sekali, biarlah yang lain-lain aku yang
akan mencari dan membalasnya. Hanya terhadap satu orang, aku mengharapkan kau sebagai muridku
kelak akan dapat membalaskan sakit hatiku. Orang itu adalah Bu Pun Su.”
“Bu Pun Su...?” baru kali ini Im Giok mendengar nama pendekar sakti yang namanya sederhana sekali itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Im Giok, jangan kau pandang rendah orang ini. Memang betul namanya hanya Bu Pun Su (Tiada
Kepandaian), akan tetapi justru dialah orang yang paling lihai di antara semua musuhku. Aku sendiri tidak
berdaya terhadap dia, dan kau orangnya yang kuharapkan kelak akan dapat membalasnya.”
Demikianlah, sambil menuturkan pengalamannya dahulu, Pek Hoa melakukan perjalanan bersama
muridnya yang kini sudah cukup pandai sehingga dapat mempergunakan ilmu berlari cepat, menuruni
puncak bukit di mana mereka bersembunyi sambil berlatih silat selama empat tahun lebih.
Sesudah merasa yakin akan kelihaian ilmu silat baru yang dilatihnya, Pek Hoa berbesar hati dan berani
muncul lagi. Yang ia takuti hanya dua orang, yakni pertama Bun Sui Ceng dan kedua Bu Pun Su. Dia
gentar menghadapi Bun Sui Ceng karena musuh besar ini adalah seorang wanita sedangkan ilmu silat Bijin
Khai-i yang baru dia latih sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap lawan wanita.
Ada pun rasa gentarnya terhadap Bu Pun Su adalah karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian pendekar
sakti ini sudah amat tinggi, jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang ketiga orang suhu-nya
sendiri! Karena itu, ia masih merasa ragu-ragu apakah ilmu silatnya yang baru itu akan dapat mengalahkan
Bu Pun Su…..
********************
Tidak ada orang yang berjumpa dengan mereka, terutama sekali kaum pria, yang tidak memandang
dengan penuh kekaguman pada pemandangan yang tak setiap saat mudah dilihat.
Seorang dara berbaju biru putih, cantik jelita dan nampaknya takkan lebih dari dua puluh tahun usianya.
Rambutnya hitam panjang, digelung bagai model gelung dewi kahyangan, di sebelah kiri dihias setangkai
bunga putih yang harum, yakni bunga Cilan, pada sebelah kanan terhias burung hong dari emas dan
permata.
Sepasang anting-anting panjang bermata merah tergantung di bawah telinga, bergoyang dan bergerak
membelai pipi menambah kemanisan. Pakaian dan sepatunya baru serta terbuat dari bahan mahal.
Gagang sepasang pedang yang menempel pada punggung, dengan ronce-ronce pedang warna merah
berkibar di atas pundak, membuat Si Cantik itu nampak gagah sekali. Sepasang pedang ini pula yang
membuat tiap orang laki-laki hanya dapat memandang kagum, tidak berani bersikap kurang ajar.
Yang ke dua masih belum dewasa, baru berusia sepuluh atau sebelas tahun, akan tetapi sudah kelihatan
luar biasa cantiknya. Dilihat sepintas lalu, wajahnya hampir sama dengan wajah dara yang dewasa itu,
patut kiranya menjadi adiknya.
Akan tetapi kalau diperhatikan betul-betul nampak benar perbedaan yang jauh, terutama sekali pada sinar
mata dan tekukan bibir. Juga gadis cilik ini sangat menarik hati setiap orang. Tidak saja manis dan jelita,
juga amat gagah.
Pakaiannya serba merah, terbuat dari sutera indah pula. Rambutnya dikuncir dan dihias dengan pita merah
pula. Juga pada punggung bocah perempuan ini kelihatan gagang sebatang pedang pendek dan langkah
kakinya yang tegap serta lincah itu mendatangkan kesan bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi seperti
kawannya.
Pek Hoa dan Im Giok, dua orang wanita itu, di sepanjang jalan bergembira mengagumi pemandangan di
kota-kota, terutama sekali Im Giok. Mereka tidak pedulikan pandangan mata kagum dari para laki-laki yang
mereka jumpai di tengah perjalanan. Bagi Im Giok, semua pandang mata itu tidak ada artinya.
Akan tetapi tidak demikian dengan Pek Hoa. Sudah empat tahun lebih dia tidak pernah menghadapi
pandang mata kagum dari para pria maka sekarang ia merasa gembira dan bangga bukan main. Nyata
bahwa empat lima tahun tak mengurangi kecantikannya, tidak merubah usianya!
Ini semua berkat telur pek-tiauw yang benar-benar memiliki khasiat untuk membuat orang menjadi awet
muda. Yang menyebalkan hati Pek Hoa adalah kenyataan bahwa tidak ada laki-laki yang cukup tampan
dan gagah di antara mereka yang ia jumpai. Maka ia pun bersikap seperti Im Giok, tidak peduli sama sekali
akan pandang mata orang-orang itu, melainkan tersenyum makin manis dan bangga.
Akan tetapi, setelah kembali terjun ke dunia ramai, timbul pula penyakit lama dalam diri Pek Hoa. Hati dan
tangannya gatal-gatal kalau tidak melakukan perbuatan seperti yang dulu sering dilakukannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mulailah Im Giok terkejut sekali ketika menyaksikan perbuatan gurunya. Sering kali pada waktu malam Im
Giok diajak mendatangi rumah orang kaya di mana Pek Hoa mengambil barang berharga dan emas
sekehendak hati sendiri. Bahkan di depan mata Im Giok, saat tuan rumah bangun dari tidur dan melihat
pencurian yang dilakukan, Pek Hoa membunuh tuan rumah itu bagaikan orang membunuh semut saja!
“Enci Pek Hoa, mengapa setelah mengambil barangnya, kau masih membunuh orangnya yang tidak
mempunyai dosa apa-apa?” Im Giok memprotes.
“Im Giok, kenapa kau ribut-ribut urusan mati hidupnya seorang manusia macam dia? Dia telah memergoki
kita, ini artinya dia harus mampus. Orang macam dia, mati atau hidup apa sih artinya? Kita boleh berbuat
sesuka kita, itulah hukum kang-ouw, siapa kuat dia yang menang!”
Jawaban ini meragukan hati Im Giok. Biar pun semenjak berusia enam tahun ia telah ikut Pek Hoa dan
selalu melihat contoh-contoh buruk, namun Im Giok adalah keturunan orang baik-baik. Ibunya seorang
wanita bijaksana, ayahnya pun seorang laki-laki gagah perkasa maka sedikitnya ia pun mempunyai watak
yang baik dan gagah.
Menghadapi perbuatan yang keterlaluan dari Pek Hoa, hatinya memberontak. Apa lagi ketika dia melihat
beberapa kali Pek Hoa tidak bermalam di kamar hotel dan diam-diam pergi meninggalkannya sampai
semalaman suntuk dan keesokan harinya pagi-pagi baru datang dengan senyum-senyum aneh, ia menjadi
makin curiga.
Namun ia tidak dapat menentang wanita yang menjadi pendidiknya ini. Betapa pun juga, ia harus mengakui
bahwa Pek Hoa telah bersikap amat baik terhadapnya, amat baik dan penuh kasih sayang.
Beberapa pekan kemudian, Pek Hoa mengajak Im Giok masuk ke dalam pekarangan sebuah gedung besar
di tengah kota Cin-an. Im Giok merasa heran karena biasanya apa bila Pek Hoa memasuki gedung besar,
waktunya tengah malam dan jalan masuknya pun melalui genteng!
“Enci Pek Hoa, rumah siapakah ini?”
“Rumah seorang gagah bernama Kam Kin berjuluk Giam-ong-to (Si Golok Maut). Nanti kau harus sebut
Susiok (Paman Guru) kepadanya.”
Kedatangan mereka segera disambut oleh tuan rumah, yaitu seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih,
tubuhnya tinggi besar, wajahnya tampan dan sikapnya cukup gagah. Hanya sayangnya, pandang matanya
kejam dan senyum bibirnya membayangkan watak mata keranjang dan curang.
“Aduuh, pantas saja aku bermimpi kejatuhan bulan!” laki-laki itu berseru sambil tertawa lebar dan kedua
lengannya dibentangkan ketika ia menyambut Pek Hoa, seolah-olah siap hendak memeluknya. “Tidak
tahunya benar saja dewiku yang jelita datang berkunjung...”
Kata-katanya berhenti ketika Pek Hoa mengerutkan alisnya dan memberi isyarat dengan matanya ke arah
Im Giok, mencegah laki-laki itu bicara secara demikian bebas di depan Im Giok. Kam Kin, laki-laki itu,
tertawa menyeringai dan ketika ia menengok ke arah Im Giok, sinar kagum terbayang dalam pandang
matanya.
“Aha Pek Hoa-suci, muridmu ini benar-benar hebat dan manis sekali! Kalau kau seperti bunga cilan putih
yang sudah mekar semerbak harum, muridmu ini adalah tunas cilan yang merah. Ha-ha-ha!”
Sekali pandang saja, Im Giok merasa benci kepada laki-laki yang menyambut mereka ini. Sungguh pun dia
dapat menekan perasaannya, namun tetap saja wajahnya kehilangan serinya.
“Im Giok, beri hormat kepada Kam-susiok,” kata Pek Hoa.
Terpaksa Im Giok menjura untuk memberi hormat tanpa memandang wajah orang.
“Teecu Kiang Im Giok memberi hormat kepada Kam-susiok,” dia berkata sederhana lalu berdiri lagi di
samping gurunya.
“Ha-ha-ha, bagus sekali. Orangnya manis, namanya indah dan suaranya merdu seperti gurunya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kam Kin bertepuk tangan tiga kali dan dari dalam muncullah tiga orang wanita muda yang cantik-cantik.
Mereka ini adalah pelayan-pelayan dari hartawan ini, akan tetapi pakaian mereka sesungguhnya sangat
tidak patut bagi para pelayan, lebih pantas kalau mereka ini disebut selir-selir dari Kam Kin.
“Siapkan kamar yang bersih kemudian layani Nona Kiang Im Giok ini baik-baik,” katanya kepada mereka.
Sambil tertawa-tawa tiga orang perempuan muda itu lalu menggandeng tangan Im Giok dan ditariknya
nona cilik ini ke dalam gedung. Tadinya Im Giok hendak menolak, akan tetapi Pek Hoa berkata, “Kau
pergilah beristirahat, Im Giok. Tak usah sungkan-sungkan, kita berada di rumah sendiri. Besok pagi-pagi
kita bertemu kembali di ruangan depan ini. Aku ada perundingan penting dengan susiok-mu.”
Terpaksa Im Giok ikut dengan tiga orang pelayan itu dan di belakangnya ia mendengar suara ketawaketawa
dari Pek Hoa dan Kam Kin, kemudian lapat-lapat ia mendengar lagi sebutan-sebutan mesra dari
mulut Kam Kin kepada gurunya.
Di dalam kamarnya Im Giok hampir menangis. Ia kecewa sekali. Kini makin terbukalah matanya dan walau
pun dia belum berani menuduh gurunya sebagai seorang penjahat wanita cabul, akan tetapi
kepercayaannya mulai berkurang dan hatinya mulai ragu-ragu. Ia tidak ragu lagi bahwa tuan rumah yang
bernama Giam-ong-to Kam Kin ini bukanlah orang baik-baik.
Bagaimanakah gurunya bisa bergaul dengannya? Ia tidak dapat tidur sama sekali. Bocah yang baru
berusia sepuluh tahun lebih ini mulai merasa sengsara dan gelisah. Ia amat merindukan ibunya, bahkan ia
mencoba untuk mengingat-ingat bagaimana bentuk wajah ayahnya. Ketika ayahnya pergi meninggalkan
ibunya, ia baru berusia dua tahun dan tak dapat mengingat lagi bagaimana bentuk wajah ayahnya.
Ia mulai rindu kepada ibunya, kepada ayahnya, kepada kebebasan! Meski pun Pek Hoa sangat baik
terhadapnya, namun ia tidak merasa bebas. Ia harus tunduk dan taat, harus menelan apa saja yang
disuguhkan padanya. Semua perbuatan gurunya yang sebetulnya ia anggap sangat tidak patut dan tidak
menyenangkan hatinya, mau tidak mau harus ia terima dan ia anggap baik, atau setidaknya, ia tidak boleh
menyatakan pendapatnya.
Seperti biasa, di mana saja Pek Hoa membawanya, ia tidak pernah kekurangan makan. Di rumah gedung
dari orang she Kam ini pun dia dilayani dengan baik-baik, bahkan dia disuguhi makanan-makanan lezat dan
mewah. Akan tetapi, Im Giok tidak dapat merasai kenikmatan makanan itu, bahkan ia menelan semua
makanan dengan paksa hanya untuk berlaku pantas karena ia sungkan menolak sambutan orang yang
demikian baik.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Im Giok telah siap untuk melanjutkan perjalanan dengan gurunya.
Alangkah girangnya ketika pagi itu Pek Hoa sudah datang ke kamarnya dan berkata dengan wajah berseri,
“Im Giok, marilah kita berangkat! Kau akan melihat betapa aku memberi hajaran kepada seorang di antara
musuh-musuh besarku.”
“Yang mana, Enci?” Im Giok bertanya, ikut merasa gembira karena hendak menyaksikan pertempuran.
“Hwesio-hwesio dari Siauw-lim-si, Kok Beng Hosiang dan dua orang hwesio muridnya. Kebetulan sekali dia
dan muridnya berada di sebuah kelenteng tak jauh dari kota ini.”
Akan tetapi, kegembiraan Im Giok segera lenyap ketika ia melihat Giam-ong-to Kam Kin sudah menunggu
di pekarangan rumah dengan tiga ekor kuda. Jelas bahwa laki-laki ini hendak ikut pergi pula!
Pek Hoa bermata tajam dan ia dapat melihat kerutan alis muridnya, karena itu ia cepat berkata,
“Susiok-mu akan ikut membantuku, Im Giok, kau naiki kuda yang putih itu, kelihatannya ia yang paling
baik.” Kata-kata terakhir ini diucapkan oleh Pek Hoa untuk menyenangkan hati muridnya.
“Jangan yang itu. Kuda itu masih setengah liar. Lebih baik Im Giok naik yang ini!” Kam Kin cepat berkata
sambil menuntun seekor kuda bulu hitam dan didekatkan kepada Im Giok.
Im Giok tidak biasa menunggang kuda. Akan tetapi sebagai murid seorang pandai yang sudah memiliki
kepandaian lumayan, ia tidak merasa takut dan dengan gerakan ringan ia melompat ke atas punggung
dunia-kangouw.blogspot.com
kuda hitam itu.
Mereka segera berangkat. Kam Ki dan Pek Hoa menjalankan kuda berdampingan, ada pun Im Giok
menjalankan kuda di belakang mereka. Dengan perasaan sebal dan muak dia melihat betapa sikap
gurunya dan susiok-nya amat mesra. Di sepanjang jalan kedua orang itu bersendau-gurau dengan sikap
amat mesra. Makin besarlah perasaan tak suka mendesak dalam hati Im Giok, rasa tidak suka terhadap
orang yang selama ini ia anggap sebagai gurunya.
Memang benar apa yang dikatakan oleh Pek Hoa kepada Im Giok. Kok Beng Hosiang, tokoh ke tiga dari
Siauw-lim-pai, murid ke dua dari Hok Bin Taisu yang dahulu ikut pula menyerbu Thian-te Sam-kauwcu
bersama suheng-nya untuk mengambil kembali kitab yang tercuri, pada waktu itu sedang keluar dari Siauwlim-
si dan saat ini berada di sebuah kelenteng yang tidak jauh letaknya, menyebarkan Agama Budha di
belakang kelenteng lain. Dalam perjalanan ini dia dikawani oleh dua orang muridnya. Hal ini diketahui oleh
Kam Kin yang segera memberi tahu kepada Pek Hoa dan siap pula membantunya.
Kam Kin yang berjuluk Giam-ong-to adalah seorang bekas perampok tunggal yang kini sudah
mengundurkan diri setelah berhasil mengumpulkan banyak harta kekayaan. Ia kini hidup sebagai seorang
hartawan muda yang tidak beristeri, akan tetapi bukan rahasia lagi bahwa ia mempunyai banyak selir dan
dia pun terkenal sebagai seorang hartawan mata keranjang yang tidak segan-segan mempergunakan harta
mau pun kepandaiannya untuk merampas anak bini orang lain. Kalau pun orang tidak merasa takut
terhadap pengaruh hartanya, tentu ia akan merasa gentar menghadapi goloknya, karena Kam Kin memang
termasuk seorang ahli silat kelas tinggi.
Biar pun Kam Kin bukan murid Thian-te Sam-kauwcu, namun ia memang termasuk adik seperguruan dari
Pek Hoa, karena Pek Hoa pernah pula menjadi murid Ceng-jiu Tok-ong (Raja Beracun Berlengan Seribu),
seorang tokoh besar rimba persilatan di daerah barat. Sedangkan raja beracun ini adalah guru dari Kam
Kin pula. Hanya bedanya, bila Kam Kin hanya menerima kepandaian silat dari Ceng-jiu Tok-ong, adalah
Pek Hoa melanjutkan pelajaran dan berguru kepada banyak tokoh lainnya sehingga kepandaian Pek Hoa
tentu saja lebih lihai dari pada kepandaian Kam Kin.
Semenjak berusia belasan tahun, Pek Hoa memang sudah bejat moralnya. Ketika masih berguru kepada
Ceng-jiu Tok-ong, ia sudah jatuh hati kepada Kam Kin yang lebih muda dan memang tampan. Kedua orang
ini bagaikan sampah dengan keranjang, cocok sekali dan sudah lama mempunyai perhubungan yang tidak
bersih.
Lewat tengah hari mereka sampai di depan kelenteng yang dimaksudkan. Dengan tenang Pek Hoa
melompat turun dari kudanya, diikuti oleh Kam Kin dan Im Giok, kemudian tiga ekor kuda itu diikat pada
pohon yang tumbuh di halaman kelenteng.
Sunyi saja di kelenteng itu. Akan tetapi pada meja depan dipasangi lilin, tanda bahwa ada penghuninya di
dalam kelenteng.
“Kok Beng Hosiang, keluarlah untuk menerima binasa!” Pek Hoa berseru keras.
Terdengar suara orang dari dalam kelenteng, lantas muncullah dua orang hwesio muda. Mereka
merangkap kedua tangan di depan dan sebagai tanda penghormatan, lalu salah seorang di antara mereka
bertanya,
“Sam-wi dari mana dan ada keperluan apa mencari Suhu yang sedang bersembahyang?”
“Kalian ini dua orang keledai gundul murid Kok Beng Hosiang? Bagus, berangkatlah dulu ke neraka untuk
menyiapkan tempat bagi gurumu!” kata Kam Kin yang sudah mencabut goloknya sambil bergerak maju
menyerang secara hebat sekali.
Im Giok terkejut bukan main, juga merasa penasaran dan ngeri, maka ia cepat melompat mundur dan
berdiri di tempat jauh sambil menonton. Hatinya berdebar tidak karuan, dan kembali rasa tidak suka
menyerang batinnya, kini bahkan demikian hebat sehingga mulai timbul benci di dalam hatinya kepada Pek
Hoa dan Kam Kin.
“Ehh, ehhh, kau ini perampok atau orang gila?” hwesio muda itu berteriak marah sambil mengejek.
Kemudian secepat kilat kedua orang hwesio itu menyerang, yang pertama menendang ke arah sambungan
dunia-kangouw.blogspot.com
lutut, yang kedua menghantam ke arah lambung. Mereka adalah anak murid Siauw-lim-pai yang sudah
diperkenankan ikut guru mereka merantau, ini menjadi bukti bahwa kepandaian mereka bukan rendah,
karena itu tentu saja mereka tidak mudah dirobohkan oleh serangan golok Kam Kin bahkan dapat pula
membalas dengan serangan yang cukup berbahaya.
Sekali pandang saja Pek Hoa cukup maklum bahwa dia tidak perlu membantu sute-nya. Tingkat
kepandaian sute-nya masih lebih tinggi dari kedua orang hwesio muda ini. Maka sekali menggerakkan
tubuh, ia telah melompat di dekat Im Giok dan menonton jalannya pertempuran.
Im Giok mendongkol bukan main. Dia anggap Pek Hoa dan Kam Kin keterlaluan sekali, datang-datang
menyerang dua orang pendeta yang tidak terang apa kesalahannya. Akan tetapi tentu saja untuk
membantu dua orang hwesio itu atau mencela Kam Kin ia tidak berani kepada gurunya. Untuk
melampiaskan rasa kedongkolannya, dia sengaja berkata kepada gurunya,
“Enci Pek Hoa, tak tahunya julukan Susiok Giam-ong-to kosong belaka. Menghadapi dua orang hwesio
bertangan kosong saja ia tidak mampu menjatuhkan!”
Mendengar ini, Pek Hoa menjadi merah mukanya. Kata-kata itu biar pun ditujukan untuk mengejek Kam Kin
akan tetapi seperti juga menampar mukanya sendiri karena Kam Kin adalah sute-nya.
Dia memandang lagi ke arah pertempuran dan harus dia akui bahwa kiranya sute-nya itu masih agak lama
untuk dapat mengalahkan dua orang lawannya. Maka dengan gemas sekali dia melompat mendekati
tempat pertempuran, lalu mengayun tangan kiri sambil berseru,
“Sute, lekas robohkan mereka. Untuk apa main-main dengan dua ekor keledai macam ini?”
Gerakan tangan kiri Pek Hoa tadi bukanlah gerakan sembarangan, melainkan gerakan melepaskan Pekhoa-
ciam yang lihai. Segera kedua orang hwesio muda itu terhuyung-huyung dan dua kali golok besar di
tangan Kam Kin berkelebat, muncratlah darah dan robohlah dua orang hwesio itu dengan leher terbacok
dan nyawa melayang.
“Omitohud...! Siluman wanita Pek Hoa, kau benar-benar keji sekali dan tidak kenal tobat. Datang-datang
kau telah membunuh murid-murid pinceng, benar-benar siluman jahat.”
Kata-kata ini disusul dengan keluarnya seorang hwesio gemuk yang memegang senjata rantai panjang.
Dulu dalam pertempuran di lembah Sungai Yalu Cangpo, hwesio ini telah merasakan kelihaian Pek-in-ong,
seorang di antara guru-guru Pek Hoa. Maka kali ini ia berlaku hati-hati menghadapi Pek Hoa, maklum
bahwa wanita siluman ini lihai sekali, apa lagi senjata rahasianya.
Melihat musuhnya sudah berdiri di depannya, tanpa banyak cakap lagi Pek Hoa segera mencabut siangkiamnya
lantas melakukan serangan secepat kilat. Kok Beng Hosiang, hwesio gemuk itu, cepat pula
menggerakkan senjata rantainya menangkis. Terdengarlah suara nyaring dan bunga api berpijar ketika
pedang bertemu dengan rantai. Kemudian terjadilah pertandingan ilmu silat tinggi yang seru.
Im Giok tidak senang sekali melihat Kam Kin tadi membunuh dua orang hwesio muda, kini dia lebih gelisah
melihat hwesio tua gemuk bertempur melawan gurunya. Kalau saja para pendeta itu bertempur dengan lain
orang, bukan dengan gurunya, kiranya Im Giok akan turun tangan membantu pendeta-pendeta itu.
Biar pun baru empat lima tahun ia berlatih silat, namun berkat latihan sungguh-sungguh dan ilmu silat tinggi
yang diturunkan oleh Pek Hoa, kepandaian Im Giok sudah lumayan dan nyalinya besar sekali. Kini melihat
Kok Beng Hosiang bertempur melawan gurunya. Im Giok dapat menduga bahwa hwesio itu tidak akan
menang.
Pertandingan itu cukup hebat. Sebagai tokoh ke tiga dari Siauw-lim-pai, kepandaian Kok Beng Hosiang
tinggi sekali. Tenaga lweekang-nya sebenarnya masih mengatasi tenaga Pek Hoa, dan ilmu silatnya amat
kokoh kuat serta tangguh dalam pertahanan.
Namun ia harus mengaku kalah gesit dan kalah cepat oleh nona itu. Gerakan Pek Hoa cepat sekali,
menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda sehingga Kong Beng Hosiang nampak terdesak.
Betapa pun juga, jago Siauw-lim-si ini sanggup mempertahankan diri sampai lima puluh jurus lebih sebelum
pundaknya terserempet ujung pedang kanan Pek Hoa. Gerakan yang tadi dilakukan oleh Pek Hoa dalam
dunia-kangouw.blogspot.com
penyerangan yang berhasil itu memang hebat sekali, mengandalkan ginkang yang sudah tinggi.
Sebuah serangan Kok Beng Hosiang dengan rantainya yang menyambar pinggang, bisa dia elakkan
dengan lompatan indah dan cepat bagaikan burung tebang, kemudian selagi tubuhnya masih berada di
udara, nona ini membalikkan tubuh dan sepasang pedangnya menyerang bertubi-tubi dari atas.
Kok Beng Hosiang sudah berusaha menangkis, namun dia kalah cepat sehingga pedang kanan Pek Hoa
yang menyambar leher masih saja bisa menyerempet pundaknya. Darah membasahi jubah pendetanya.
Kok Beng Hosiang terhuyung ke belakang.
Sambil tertawa nyaring dan mengejek, Pek Hoa mendesak terus, siap memberi tusukan-tusukan terakhir.
Tiba-tiba berkelebat bayangan dan…
“Traang!” pedang Pek Hoa yang sudah menyambar ke arah ulu hati Kok Beng Hosiang bertemu dengan
sebatang pedang lain.
“Im Giok...!” Pek Hoa berseru marah sekali pada waktu melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah
muridnya sendiri.
Melihat gurunya mendesak dan hendak membunuh hwesio tua gemuk, bocah ini tak bisa menahan
perasaannya lagi, mencabut pedang pendek dan menangkis pedang Pek Hoa!
“Enci, untuk apa membunuh seorang pendeta yang suci? Dia sudah kalah terluka, tidak perlu didesak terus,
Enci.”
“Bocah, kau lancang sekali!” Kam Kin melompat dan sekali bergerak dia telah merampas pedang Im Giok
dan menyambar tubuh bocah itu, dipeluk pinggangnya terus dikempit.
Im Giok yang tidak menduga sebelumnya tidak berdaya dan terpaksa ia hanya membikin tubuhnya kaku
dalam kempitan susiok-nya yang tertawa-tawa menyebalkan.
Sementara itu, Pek Hoa terus mendesak Kok Beng Hosiang dengan kedua pedangnya. Kok Beng Hosiang
melawan terus, namun dalam beberapa gebrakan saja, kembali ujung pedang Pek Hoa telah melukai
lengannya.
“Hwesio keparat, mampuslah kau!” Pek Hoa menggerakkan sepasang pedangnya secara istimewa,
menyerang dari kanan kiri dengan gerak tipu Kim-peng Tian-ci (Garuda Emas Mementang Sayap).
Kok Beng Hosiang yang sudah terluka mana dapat menjaga serangan yang datang dari kanan kiri dengan
hebat ini? Ia tahu bahwa kali ini ia takkan dapat menghindarkan maut lagi, maka ia hanya menarik napas
panjang.
“Pek Hoa Pouwsat, kau benar-benar keterlaluan sekali!” terdengar suara bentakan halus.
Pek Hoa mengeluarkan jerit kecil ketika pedangnya tiba-tiba saja terbentur oleh sesuatu sehingga terpental.
Ia cepat melompat ke belakang dan ketika ia memandang, ternyata yang menangkis pedangnya tadi adalah
sebatang ranting yang dipegang oleh seorang pengemis yang amat dikenalnya, yakni Han Le! Orang sakti
itu tersenyum.
Han Le adalah seorang yang berwajah tampan dan menarik. Walau pun kini rambut dan jenggotnya tidak
terpelihara, apa lagi pakaiannya seperti seorang jembel, namun setelah berhadapan muda dan
memandang penuh perhatian, ternyatalah oleh Pek Hoa Pouwsat bahwa kulit muka itu bersih dan terawat
baik-baik, merupakan wajah seorang jantan yang menggerakkan hati wanitanya!
Han Le dan Bu Pun Su merupakan dua orang yang paling berbahaya di antara semua musuhnya. Kini
melihat Han Le sedang berdiri di hadapannya dengan ranting di tangan, bibir tersenyum dan wajah tenang,
dua macam pikiran terlintas masuk kepala Pek Hoa Pouwsat.
Pertama bahwa Han Le seorang laki-laki yang sudah masak dan menarik hatinya. Kedua bahwa akan
menguntungkan sekali baginya kalau ia dapat memikat hati musuh besar ini, selain ia dapat memuaskan
hatinya, juga ia mendapat jalan untuk membalas dendam!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan senyum yang manis sekali, Pek Hoa Pouwsat menghadapi Han Le, memainkan matanya yang
sinarnya dapat membetot hati setiap pria, baru ia berkata,
“Ehh, kiranya Han Le Taihiap yang muncul. Kebetulan sekali, siauwmoi sudah lama sekali ingin
mengunjungimu dan melihat-lihat keadaan Pulau Pek-le-to!”
Kulit muka di balik cambang itu memerah dan Han Le menekan perasaan hatinya yang berdebar aneh
ketika ia melihat sikap Pek Hoa Pouwsat dan mendengar wanita cantik itu menyebut diri sendiri ‘siauwmoi’
(adinda)! Semenjak pertama kali bertemu dengan Pek Hoa Pouwsat, memang diam-diam di dalam hatinya
Han Le kagum sekali dan merasa menyesal serta sayang mengapa seorang wanita demikian manis jelita
telah tersesat dan menyeleweng jalan hidupnya.
Han Le adalah seorang yang tidak mudah tertarik oleh kecantikan wanita, bahkan sejak muda ia terkenal
sebagai seorang pria pembenci wanita. Akan tetapi, kali ini menghadapi Pek Hoa Pouwsat yang segalanya
serba cocok dengan seleranya, dan sangat menarik hatinya, Han Le harus mengerahkan segenap tenaga
batinnya untuk menekan perasaan yang tergoncang.
Akan tetapi dengan pandang mata kereng Han Le menegurnya,
“Pek Hoa Pouwsat, mengapa kau melukai dan hendak membunuh hwesio Siauw-lim-si ini?”
Pek Hoa mengerling ke arah Kok Beng Hosiang yang masih sibuk mengobati lukanya, lalu tersenyum dan
dengan tubuh digerak-gerakkan secara genit dan kepala dimiringkan, ia berkata kepada Han Le,
“Dia adalah musuh besarku, mengapa tidak harus kubunuh? Akan tetapi karena Han Le Taihiap datang dan
melihat muka Taihiap, biarlah kali ini siauwmoi mengampuni kepala gundul ini. Kok Beng Hosiang, kau
tidak lekas pergi dari sini? Apa menanti sampai aku bergerak lagi? Hayo pergi lekas!”
Kok Beng Hosiang sudah merasa bahwa ia takkan bisa menang menghadapi Pek Hoa Pouwsat. Biar pun
kini ia melihat kedatangan Han Le, akan tetapi ia sudah dibikin malu dan tidak ada muka untuk berdiam
terus di tempat itu.
“Kau telah menghina Siauw-lim-si, nantikan pembalasan kami!” katanya geram.
Hwesio ini segera pergi dengan langkah lebar. Akan tetapi dia tidak pergi jauh karena dia mengambil jalan
memutar dan dengan sembunyi dia mengintai, ingin menyaksikan bagai mana Han Le memberi hajaran
kepada Pek Hoa Pouwsat dan kawan-kawannya.
Kok Beng Hosiang diam-diam merasa sakit hati dan mendongkol sekali, maka ingin dia melihat wanita yang
membikin malu padanya itu mendapatkan hajaran keras. Namun apa yang dilihat oleh hwesio Siauw-lim-si
ini membuat sepasang matanya terbelalak lebar dan mukanya merah seperti kepiting direbus, kepalanya
yang gundul licin berdenyut-denyut.
Setelah Kok Beng Hosiang pergi, Pek Hoa segera mendekati Han Le dengan lenggang dibuat-buat, amat
menarik hati karena memang wanita ini mempunyai bentuk tubuh yang indah menarik.
“Taihiap, seperti kukatakan tadi, sudah lama aku mendengar bahwa Pulau Pek-le-to yang menjadi tempat
tinggalmu itu mengandung banyak rahasia, dan juga sangat indah seperti sorga. Bolehkah aku
mengunjungimu? Bawalah aku ke sana, Taihiap.”
Han Le mengerutkan keningnya. “Pek Hoa Pouwsat, permainan apakah yang sedang kau keluarkan ini?
Kau adalah murid Thian-te Sam-kauwcu, sedangkan kau tahu bahwa aku dan suheng-ku, juga kawankawan
lain telah...”
Pek Hoa mengangkat kedua lengannya, digoyang-goyang seperti orang mencegah. Dari dalam lengan
bajunya keluar keharuman bunga cilan!
“Han-taihiap, harap kau jangan menyebut-nyebut lagi soal itu. Yang sudah lewat, biarlah sudah. Terhadap
seorang gagah seperti Taihiap, bagaimana siauwmoi berani menaruh dendam hati? Yang ada dalam hati
siauwmoi bukanlah dendam dan marah, melainkan... kekaguman dan ingin sekali mempererat
persahabatan...” Suaranya terdengar demikian merdu dan penuh gaya sehingga wajah Han Le sebentar
dunia-kangouw.blogspot.com
merah sebentar pucat.
“Jembel busuk, lekas pergi dari sini!” Tiba-tiba Giam-ong-to Kam Kin yang semenjak tadi mendengarkan
percakapan itu, serta melihat sikap genit suci-nya dengan hati sebal dan cemburu, lalu menggerakkan
sepasang goloknya menyerang Han Le!
“Sute... jangan...!” Pek Hoa membentak Kam Kin, akan tetapi terlambat karena sepasang golok itu dengan
ganasnya telah menyambar tubuh Han Le.
Bentakan ini sebenarnya bukan dikeluarkan karena Pek Hoa khawatir akan keselamatan Han Le, bahkan
sebaliknya dia sangat khawatir akan keselamatan sute-nya. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Han Le jauh
lebih tinggi dari pada ilmu kepandaian Kam Kin.
Memang betul apa yang dikhawatirkan oleh Pek Hoa Pouwsat itu, karena tidak saja Han Le mampu
menghindarkan diri dari serangan sepasang golok Kam Kin, bahkan secara cepat dan tak terduga,
rantingnya telah menotok pundak lawannya tanpa dapat dielakkan oleh Kam Kin. Giam-ong-to Kam Kin
menjerit dan roboh berkelojotan.
Pek Hoa menghampiri dan sekali menepuk punggung dan leher sute-nya, Si Golok Maut itu terbebas dari
rasa sakit yang luar biasa! Ia bangkit berdiri dan menyeringai, mukanya merah sekali. Tanpa mengeluarkan
kata-kata lagi, dia mengambil sepasang golok yang tadi terlempar di atas tanah ketika ia roboh,
memasukkan sepasang golok itu ke dalam sarung golok, lalu ia melompat ke pinggir, ke dekat Im Giok
yang memandang semua itu dengan kagum.
“Kam-susiok, kenapa baru sejurus kau mundur lagi?” tanya Im Giok kepada Giam-ong-to dengan nada
suara mengejek.
Anak ini memang tidak suka kepada Kam Kin, maka kini ia mendapat kesempatan untuk mengejek. Kam
Kin memandang kepada bocah itu dengan mata mendelik lebar. Im Giok menahan geli hatinya lalu
menengok dan menonton apa yang akan terjadi antara gurunya dan pengemis sakti itu.
“Han-taihiap, kau makin gagah saja, benar-benar siauwmoi kagum dan tunduk. Siauwmoi ulangi lagi
keinginan hati siauwmoi untuk pergi berkunjung ke pulaumu, di mana kita bisa saling menukar ilmu dan
bercakap-cakap gembira tanpa gangguan orang lain.”
“Pek Hoa Pouwsat, kau bicara apa? Kau dan sute-mu sudah berlaku kejam, membunuh dua orang hwesio
Siauw-lim-si dan menghina seorang tokoh Siauw-lim. Untuk perbuatan jahat ini mana bisa aku
mendiamkannya saja?”
Sambil berkata demikian, Han Le sudah menggerakkan ranting di tangannya, mengirim serangan langsung
ke arah leher Pek Hoa Pouwsat. Biar pun ia harus mengaku bahwa hatinya amat tertarik dan
kejantanannya bangkit oleh kecantikan serta kelembutan yang demikian memikat hati, namun kesadaran
Han Le masih penuh sehingga ia mengeraskan hati dengan anggapan bahwa wanita cantik menarik yang
dihadapinya adalah seorang jahat dan keji dan sebagai seorang pendekar ia harus membasminya.
Pek Hoa Pouwsat mencelat ke belakang, tersenyum manis dan berkata menyindir, “Ayaa, Han-taihiap,
galak sekali. Baiklah, mari kita main-main sebentar!”
Sambil berkata demikian, Pek Hoa Pouwsat cepat mencabut siang-kiamnya kemudian menghadapi Han Le
dengan sikap gagah menarik.
“Awas serangan!” Han Le memusatkan semangatnya dan mulai melakukan penyerangan sungguhsungguh.
Ia maklum bahwa lawannya bukan seorang lemah, karena dahulu ia pernah menghadapi Pek Hoa Pouwsat
dan tahu akan kelihaiannya. Akan tetapi, beberapa hari saja berkumpul dengan suheng-nya Bu Pun Su,
Han Le telah memperoleh kemajuan yang amat banyak.
Sehari saja berkumpul dengan Bu Pun Su dan mendengar nasehat serta penjelasannya mengenai hal ilmu
silat, sama halnya dengan berlatih satu tahun di bawah pimpinan guru pandai. Oleh karena itu, pertemuan
akhir-akhir ini dengah Bu Pun Su membuat Han Le memperoleh kemajuan banyak dalam ilmu silat, dan Bu
Pun Su telah membuka matanya untuk melihat kelemahan-kelemahan dan kekeliruan-kekeliruan sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Berdasarkan nasehat dari Bu Pun Su dia maklum bahwa orang seperti Pek Hoa Pouwsat mengandalkan
kelihaiannya dengan kecepatan, kelincahan, serta siang-kiam-hoat yang tak terduga gerakannya,
mengandalkan ginkang yang amat tinggi. Untuk melawan orang seperti ini dia harus berlaku tenang, tidak
boleh mencoba untuk mengimbangi kecepatan lawan, sebaliknya berlaku tenang dan mengandalkan
lweekang membentuk pertahanan yang kuat dan melindungi tubuh dengan hawa pukulan dari rantingnya.
Maka, pada saat Han Le mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan suheng-nya, ia minta petunjuk
untuk menyempurnakan ilmu pedangnya di bagian gerakan Jit-in To-goat (Tujuh Awan Membungkus
Bulan), salah satu gerakan ilmu pedangnya yang merupakan benteng pertahanan kuat sekali.
Han Le melakukan gerakan ini dengan tenang dan nampaknya ia tidak banyak bergerak. Kedua kakinya
hanya dipentang sedikit, hampir sama dengan kuda-kuda yang disebut Kung-si dengan tubuh agak
dibungkukkan seperti dalam kuda-kuda Ci-kung-si.
Biar pun kedudukan tubuhnya sederhana saja, akan tetapi kedudukan ini memungkinkan dia untuk
menggerakkan rantingnya ke mana saja sepasang pedang Pek Hoa meluncur. Tanpa banyak
mengeluarkan tenaga, Han Le dapat menangkis semua serangan pedang Pek Hoa yang susul-menyusul
ramai seperti sepasang ular berlomba.
“Han-taihiap, kau betul-betul mengagumkan sekali. Sekarang lihatlah ilmu pedangku yang baru, kau lihat
bagus atau tidak!”
Perubahan hebat terjadi pada gerakan pedang Pek Hoa Pouwsat. Walau pun sepasang pedang itu masih
saja melakukan serangan-serangan berbahaya sesuai dengan ilmu silat tinggi, akan tetapi gerakangerakannya
demikian indah dan menarik, tak ubahnya seperti sedang menari saja.
“Indah sekali...!” berkali-kali Im Giok mengeluarkan seruan memuji.
Gadis cilik ini tadinya bersikap dingin dan kaku karena Kam Kin berada di dekatnya. Akan tetapi sekarang
melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh gurunya, ia lupa sama sekali akan adanya Kam Kin di situ.
Sepasang matanya bercahaya, wajahnya berseri dan tanpa berkedip ia menonton ilmu pedang yang
dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat. Im Giok memang mempunyai darah seni, suka sekali akan keindahan,
maka tarian pedang itu benar-benar mempesonakannya.
“Aaiih, memalukan sekali...,” kata Kam Kin dan cemburunya makin menghebat.
Biar pun ia tidak terkena pengaruh langsung dari ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat,
namun keindahan gerakan pedang, kelemasan gerakan tubuh Pek Hoa, tetap saja terasa olehnya sebagai
gerakan-gerakan yang memikat hati, gerakan yang tak sopan. Pinggang Pek Hoa seakan-akan tidak
bertulang, menggeliat-geliat bagaikan ular, menggerak-gerakkan tubuh bagian bawah, bibir tersenyum
manis dan merah membasah, sepasang mata setengah redup dan berkaca-kaca, semua ini ditujukan
kepada Han Le.
Pengemis sakti itu masih menggerakkan rantingnya melindungi tubuh dari serangan dua batang pedang
yang lihai itu. Namun ketika Pek Hoa Pouwsat merubah ilmu pedangnya dan mulai dengan ilmu pedang
yang laksana tarian indah itu, hati Han Le terguncang hebat.
Ia sama sekali tidak tahu bahwa lawannya sedang memainkan ilmu pedang Bi-jin Khai-i, ilmu silat yang
sebenarnya merupakan setengah ilmu sihir sebab di dalamnya terkandung pengaruh mukjijat dari
kecantikan wanita untuk merobohkan hati laki-laki. Inilah ilmu silat aneh yang selama ini dilatih secara
mendalam oleh Pek Hoa Pouwsat, disediakan untuk merobohkan musuh-musuh besarnya yang tangguh
dan sekarang untuk pertama kalinya, dia pergunakan dalam menghadapi Han Le!
Ilmu silat Bi-jin Khai-i ini memang hebat. Andai kata dimainkan oleh seorang perempuan yang berwajah
buruk dan tubuhnya tidak menarik sekali pun, tetap akan mengeluarkan pengaruh yang bisa merobohkan
hati laki-laki. Apa lagi sekarang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat yang cantik jelita dan memiliki bentuk
tubuh sepenuhnya wanita, tentu saja daya rangsangnya berlipat ganda.
Dalam belasan jurus saja, Han Le mulai terkena pengaruhnya. Dalam penglihatan Han Le, sepasang
pedang itu tidak lagi mengancamnya, hanya merupakan tari pedang yang luar biasa indah. Tubuh yang
berlenggak-lenggok dan menggeliat-geliat itu seakan-akan melambai dan mengajaknya bergembira dan
dunia-kangouw.blogspot.com
menari.
Lebih hebat lagi, semakin lama gerakan Pek Hoa dalam mata Han Le semakin luar biasa sehingga nampak
olehnya bahwa lawannya yang cantik itu benar-benar bagaikan sedang menanggalkan pakaian sedikit demi
sedikit! Walau pun tidak sehelai pun pakaian tanggal dari tubuhnya, namun gerakannya menanggalkan
pakaian demikian sewajarnya sehingga sebentar saja Han Le jatuh dalam pengaruh Pek Hoa.
Pendekar sakti yang selama hidup belum pernah berdekatan dengan wanita ini sekarang seluruh tubuhnya
menjadi lemas, semangatnya seakan-akan telah terbang meninggalkan tubuhnya dan pertahanannya
menjadi gempur karena caranya bersilat telah kacau sekali! Demikianlah lihainya ilmu silat Bi-jin Khai-i yang
dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat.
Kalau sekiranya Pek Hoa menghendaki, sekarang dengan lemahnya pertahanan Han Le, dengan mudah
dia akan dapat merobohkan dan menewaskan pengemis sakti itu. Akan tetapi Pek Hoa berpikir lain!
Wanita ini memang sudah mendengar tentang keadaan Han Le sebagai seorang laki-laki yang selamanya
tidak pernah mau berdekatan dengan wanita, terkenal sebagai seorang laki-laki pembenci wanita, hidup
seorang diri di Pulau Pek-le-to dan menjadi sute dari Bu Pun Su. Ini saja sudah menarik hatinya.
Apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Han Le pada dasarnya mempunyai wajah yang tampan dan
gagah. Maka timbullah hati suka dan ia ingin menjadikan pria pembenci wanita ini sebagai kekasihnya.
Tidak saja demikian, bahkan juga ia mempunyai niat untuk mempelajari ilmu silat yang lihai dari Han Le.
Disamping semua ini, ia pun ingin menarik Han Le ke pihaknya untuk membantunya menghancurkan
musuh-musuhnya, kemudian setelah semua usahanya berhasil dan ia sudah merasa bosan, mudah saja
baginya untuk melenyapkan Han Le dari muka bumi ini.
Pek Hoa memperhebat gerakan-gerakannya yang penuh gairah dan pengaruh ajaib. Han Le menjadi makin
mabuk sehingga akhirnya dengan napas memburu pengemis sakti ini mengeluh,
“Pek Hoa Pouwsat... hentikanlah... aku tidak kuat lagi...”
Pek Hoa tersenyum lebar, gembira dan puas bukan main. Kalau ia mau, dengan sekali tusuk saja akan
tembus dada Han Le. Dengan ilmu silatnya yang baru ini, ia akan dapat menjagoi dunia kang-ouw!
Tentu saja ilmu baru ini tidak begitu besar pengaruhnya terhadap lawan wanita, namun untuk menghadapi
lawan wanita, ia cukup memiliki ilmu silat tinggi. Biar Bu Pun Su sekali pun ia tidak takut menghadapinya!
“Han-taihiap, tidak indahkah tarianku ini...?” tanya Pek Hoa dengan suara berlagu.
“Indah, indah sekali, Pek Hoa Pouwsat. Bukan main indahnya,” Han Le menjawab sambil berusaha
menggerakkan. ranting sebab sepasang pedang itu masih saja menyambar dan mengancam, biar pun
digerakkan dengan cara yang amat manis dan sedap dipandang.
“Sukakah kau melihat aku memainkannya?”
“Suka, Pek Hoa Pouwsat, aku suka sekali...”
“Han-taihiap,” suara Pek Hoa Pouwsat semakin merdu merayu sambil dia memperhebat gerakan-gerakan
tubuhnya secara tidak tahu malu. “Sukakah kau kepadaku...?”
Agak lama Han Le tak dapat menjawab, akan tetapi kedua matanya tak pernah berkedip menelan semua
gerakan tubuh lawannya dan dia laksana terkena hikmat, terpesona oleh keindahan dan kecantikan yang
telah mencengkeram seluruh semangat dan perasaan jiwanya. Kini dia sudah tidak menggerakkan
rantingnya lagi, berdiri bagaikan patung dan tidak ingat lagi bahwa ia tengah menghadapi lawan, tengah
bertempur.
“Aku suka sekali kepadamu, Pek Hoa...,” akhirnya dia menjawab dengan suara perlahan, seperti bukan
suaranya sendiri.
Terdengar suara ketawa Pek Hoa Pouwsat, suara ketawa yang terdengar nyaring serta merdu, penuh
kegenitan, akan tetapi bagi orang yang pikirannya sadar, suara ketawa ini mengandung sesuatu yang
mengerikan. Namun bagi Han Le terdengar merdu menarik.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada lain saat Pek Hoa Pouwsat telah menyimpan sepasang pedangnya, melompat maju dan
menggandeng lengan kanan Han Le dengan gaya yang manja dan genit, tersenyum-senyum dan meliriklirik
ke arah wajah pengemis sakti itu, membetotnya dan berkata,
“Kalau begitu, Han-taihiap, marilah kita pergi ke pulaumu!”
Han Le yang sudah berada di dalam cengkeraman pengaruh jahat, sudah seperti orang mabuk atau orang
bermimpi, hanya menurut saja pada saat dia ditarik-tarik oleh Pek Hoa Pouwsat. Pek Hoa berpaling kepada
Kam Kin yang memandang semua itu dengan mata melotot marah.
Ia penuh dengan hati cemburu, akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan? Ia tak berdaya di depan sucinya
atau kekasihnya yang memang lebih lihai dari padanya.
“Sute, kau pulanglah dulu, aku titip murid keponakanmu Im Giok, biar menanti kembaliku di rumahmu.”
Kemudian dengan suara ketawa seperti siluman, Pek Hoa Pouwsat yang menggandeng lengan Han Le
menarik bekas lawannya itu. Han Le tidak membantah dan keduanya lalu berlari cepat sambil
bergandengan…..
********************
“Tidak! Aku tidak mau ikut, jangan sentuh aku!” Dengan gerakan lincah Im Giok melompat dan mengelak
menjauhi Giam-ong-to Kam Kin yang hendak menggandeng tangannya.
Kam Kin menyeringai dan memandang kepada Im Giok bagai seekor kucing memandang tikus. Tadinya dia
marah dan jengkel sekali melihat sikap Pek Hoa yang pergi bersama Han Le. Laki-laki mana yang tak akan
menjadi gemas menyaksikan kekasihnya main gila dengan lelaki lain?
Akan tetapi setelah ia memandang Im Giok, kegemasannya lenyap, bahkan terganti oleh kegembiraan.
Meski pun Im Giok baru berusia sepuluh tahun lebih, namun gadis cilik ini sudah mempunyai kecantikan
luar biasa. Dia hampir menyerupai Pek Hoa dan pantaslah kalau ia disebut Pek Hoa kecil atau seorang adik
dari Pek Hoa Pouwsat.
Dalam pandang mata Kam Kin, Im Giok merupakan seorang calon bidadari, atau seperti sebuah kuncup
kembang yang tak kalah menariknya oleh kecantikan Pek Hoa Pouwsat. Dan bocah mungil ini dititipkan
kepadanya! Dengan girang ia lalu mendekati Im Giok dan hendak menggandeng. Akan tetapi siapa kira,
bocah itu menolak dan menjauhinya.
“Im Giok, kau jangan banyak tingkah. Gurumu telah menyerahkan kau dalam rawatanku. Hayo ke sini dan
ikut aku pulang!” berkata Kam Kin sambil melangkah lebar menghampiri gadis cilik itu.
“Aku tidak mau! Kau pergilah sendiri, aku tidak mau ikut denganmu.” Im Giok membandel.
“Ehh, ehhh, bocah bandel. Kalau kau tidak makin manis ketika membandel, tentu sudah kutempeleng
kepalamu. Hayo ke sini, berani kau membantah susiok-mu?” Kini Kam Kin melompat dan tangannya diulur
untuk menangkap pergelangan tangan Im Giok.
“Tidak, aku tidak mempunyai susiok seperti kau. Aku tidak mau ikut!” Im Giok mengelak, kemudian melihat
Kam Kin berusaha menangkapnya, ia segera melarikan diri.
“Kurang ajar! Sekecil ini sudah berani kurang ajar dan keras kepala. Benar-benar calon kuda betina liar!
Kuncup mawar berduri! Ke sini kau, Im Giok!” Kam Kin mengejar.
Akan tetapi Im Giok mempercepat larinya. Dasar bocah ini memang lincah dan tubuhnya ringan, apa lagi
ditambah oleh latihan ginkang yang ia terima dari Pek Hoa Pouwsat. Kini perasaan wanitanya
memperingatkan bahwa dia sedang menghadapi bahaya besar yang mengancam sehingga membuat ia
ketakutan, maka larinya cepat seperti rusa muda.
“Im Giok, berhenti kau...!” Kam Kin mulai marah dan mengejar secepatnya.
Betapa pun juga, dia seorang laki-laki dewasa dan ilmu silatnya sudah tinggi, maka tentu saja ia dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
mengejar dan menyusul Im Giok. Hanya kelincahan anak itu yang membuat ia mengkal sekali. Setiap kali
dia telah mendekat dan hendak menangkap, tiba-tiba anak itu miringkan tubuh dan mengganti arah
sehingga Kam Kin terpaksa harus membalikkan tubuh dan kembali telah tertinggal agak jauh.
Namun Im Giok maklum pula bahwa ia takkan dapat menghindarkan diri lebih lama. Kam Kin telah memiliki
ilmu lari cepat yang tak dapat dilawannya. Ia berlari terus dan akhirnya Im Giok memasuki sebuah hutan.
Di sini ia justru lebih leluasa mempermainkan Kam Kin sebab hutan ini banyak pohonnya. Dengan cara
melompat ke sana ke mari dari balik pohon yang ini ke pohon itu dia dapat terus menghindarkan diri.
“Manusia tak tahu malu!” makinya berkali-kali. “Mengapa kau tidak mau membiarkan aku pergi? Kau mau
apakah? Cih, tak tahu malu. Namanya saja besar, Giam-ong-to, hemm, tak tahunya seorang laki-laki tiada
guna, pengecut dan pengganggu anak kecil!”
Kam Kin makin marah. “Siluman cilik, kau tunggu saja dan rasakan nanti kalau kau sudah tertangkap
olehku!”
Dengan sangat bernafsu ia menubruk lagi, akan tetapi kemball ia memeluk batang pohon karena Im Giok
sudah melompat ke tempat persembunyian lain dengan cekatan seperti seekor kera.
“Awas kau, setan cilik, kulumat dagingmu, kugerogoti tulangmu...!” Kam Kin memaki-maki gemas.
Akan tetapi ia menjadi girang sekali pada saat melihat bahwa Im Giok makin mendekati lapangan terbuka
yang tak ada pohonnya. Ada pun Im Giok saking sibuk dan gugupnya, tidak tahu bahwa di belakangnya
adalah lapangan terbuka, tempat yang tidak ada pohon dan berarti ia tak akan dapat menyembunyikan diri
seperti kalau berada di hutan yang lebat.
Kam Kin memaki-maki, mengancam-ancam dan mengejar terus. Dan akhirnya, Im Giok memekik kaget
ketika dia melompat dari pohon terakhir. Dia tiba di padang rumput yang tiada berpohon.
“Ha-ha-ha, kupu-kupu cantik, kau hendak lari ke manakah? Lebih baik kau berlaku manis dan menurut saja
pergi dengan susiok-mu. Jika kau menurut dan tak banyak membantah, aku takkan bersikap kasar
kepadamu, Im Giok yang jelita,” kata Kam Kin sambil tertawa lebar.
Im Giok melompat dan melarikan diri lagi. Saking gugupnya kakinya terjerat rumput dan ia pun roboh
terguling. Di belakangnya ia mendengar suara Kam Kin tertawa bergelak.
Dalam terguling itu, kedua tangan Im Giok menyambar batu dan kayu kering. Kemudian dia melompat
berdiri, tangan kirinya digerakkan dan batu tadi melayang ke arah kepala Kam Kin yang hendak
menubruknya.
“Eh, kau berani melawanku!” bentak Kam Kin yang mudah saja mengelak dari sambaran batu. Kemudian ia
melangkah maju, tangan kanan digerakkan untuk menangkap.
“Jangan sentuh aku!” Im Giok berteriak keras dan ranting kering yang tadi diambilnya dari atas tanah ketika
ia jatuh, cepat ditusukkan ke arah pusar susiok-nya.
Kam Kin terkejut, cepat mengelak. Meski pun yang menyerangnya hanya seorang gadis cilik yang berumur
sepuluh tahun, akan tetapi serangan itu dilakukan menurut ilmu silat tinggi, dan sungguh pun masih kecil,
tenaga Im Giok bukanlah tenaga biasa, akan tetapi tenaga yang sudah terlatih. Apa lagi kalau dilihat bagian
yang diserang pun bukan bagian tubuh yang kuat.
Setelah mengelak Kam Kin lalu menubruk lagi, akan tetapi sia-sia. Im Giok yang sudah berlatih selama
empat tahun tidak membuang waktu sia-sia. Ia telah memiliki dasar ilmu silat tinggi dan telah memiliki
gerakan yang otomatis dan lincah sekali.
Tubrukan Kam Kin dapat ia hindarkan dengan lompatan ke kiri dan sebagai pembalasan, rantingnya kini
meluncur cepat menusuk ke arah mata paman gurunya. Tusukan ke arah mata ini hanya pancingan belaka
karena sebelum lawan mengelak, ujung ranting itu telah meluncur ke arah jalan darah di leher! Inilah
serangan hebat dan luar biasa bagi seorang anak kecil itu.
“Kurang ajar!” Kam Kin membentak marah dan juga kaget karena kalau tangannya tidak cepat-cepat
dunia-kangouw.blogspot.com
menyampok, hampir saja jalan darah pada lehernya terkena totokan ujung ranting, dan hal ini bukan
merupakan hal yang tidak berbahaya baginya.
Saking marahnya, Kam Kin segera mengeluarkan kepandaiannya. Sepasang tangannya ditekuk
merupakan kuku harimau, kemudian ia mengeluarkan ilmu silat Hauw-jiauw-kang. Beberapa kali saja ia
bergerak, ranting di tangan Im Giok telah kena disambar dan dibetot terlepas dari pegangan Im Giok.
Kemudian ia menubruk lagi.
Im Giok mencoba untuk mengelak.
“Breettt!”
Pakaian Im Giok bagian pundak kiri robek hingga nampak kulit pundak yang putih bersih dan halus. Melihat
ini, Kam Kin semakin menggila dan sambil tertawa-tawa dia menubruk lagi.
Im Giok menjadi bingung. Hanya dengan menjatuhkan diri kemudian bergulingan ia dapat menghindarkan
tubrukan Kam Kin. Kemudian dia melompat lagi dan berlari secepatnya.
Diam-diam dia mengeluh karena sekarang habislah dayanya untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi ia pun
mengambil keputusan nekat untuk melawan mati-matian, kalau perlu ia akan melawan dengan dua pasang
kaki tangan dan juga giginya.
Sesudah mendengar derap kaki pengejarnya sudah berada dekat sekali di belakangnya sampai-sampai dia
mendengar dengus napas Kam Kin, Im Giok memasang kuda-kuda dan membalikkan tubuh, langsung
menyerang dengan menonjokkan kedua tangannya ke depan.
“Ha-ha-ha, kau kuda betina liar...!” Kam Kin tertawa sambil menggerakkan tangan kiri.
Di lain saat, tangan kirinya itu telah memegang erat-erat sepasang pergelangan tangan Im Giok, membuat
gadis cilik itu tak dapat berkutik. Namun Im Giok sudah nekat.
“Lepaskan tanganku!” bentaknya dan kakinya menendang ke arah bawah pusar.
Biar pun kakinya kecil, namun sekiranya tendangan ini mengenai sasaran, biar pun Kam Kin berkepandaian
tinggi, kiranya Kam Kin akan roboh binasa atau setidaknya pingsan!
Kam Kin cepat menangkap kaki kecil ini dengan tangan kanannya dan di lain saat tubuh Im Giok sudah
diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil tertawa terbahak-bahak.
“Ha-ha-ha, burung cilik, coba kulihat kau mau berbuat apa lagi sekarang, ha-ha-ha!”
Tiba-tiba Kam Kin merasa tubuh Im Giok meronta keras atau seperti juga direnggut orang dari tangannya.
Dia tidak tahu betul apa yang telah terjadi, akan tetapi tahu-tahu kedua tangannya sudah kosong dan Im
Giok sudah lenyap. Ketika dia membalikkan tubuh, dia melihat bocah itu telah berdiri di atas tanah dan di
sebelahnya berdiri seorang kakek yang bermata bintang!
Sepasang mata kakek ini demikian tajam berpengaruh sehingga Kam Kin merasa gentar juga, maklum
bahwa ia menghadapi seorang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, karena ia tidak mengenal siapa adanya
kakek ini, Kam Kin memberanikan hatinya dan membentak keras,
“Anjing tua, siapakah kau berani bermain gila di depan Giam-ong-to Kam Kin?”
“Kakek, jangan takut. Nama Giam-ong-to hanya untuk menakut-nakuti belaka, sebetulnya dia seorang
pengecut besar!” Im Giok berkata dan nona cilik ini kembali dengan nekat maju menyerang Kam Kin
dengan pukulan ke arah lambung.
Dengan mudah Kam Kin menangkis, kini karena dia merasa gemas, tangkisannya keras hingga membuat
tubuh Im Giok terhuyung lalu roboh tertelungkup di atas rumput. Namun gadis cilik itu tidak menjadi kapok
atau takut, bahkan dengan marah dia bangkit kembali dan menyerang susiok-nya lagi.
“Bocah edan, apakah kau ingin aku marah dan memukul mampus padamu?” bentak Kam Kin dan kali ini ia
kembali dapat menangkap tangan Im Giok.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Boleh pukul mampus, siapa takut?” bentak Im Giok yang meronta-ronta.
“Lepaskan dia!” tiba-tiba kakek itu membentak keras.
Dan aneh sekali. Walau pun Kam Kin tidak melihat kakek itu bergerak, namun ia merasa tangannya yang
memegang lengan Im Giok menjadi lemas sehingga gadis cilik itu dapat merenggut diri dan terlepas.
Kam Kin memandang kepada kakek itu dengan mata merah.
“Bangsat tua, kau berani mencampuri urusanku?”
Sepasang tangannya bergerak dan tahu-tahu golok besarnya telah berada di tangan dan di lain saat ia
telah mengirim serangan hebat ke arah kakek itu. Golok itu dibacokkan ke arah kepala untuk kemudian
disusul dengan babatan ke leher. Memang permainan golok dari Kam Kin sangat ganas dan kuat, dan tidak
terlalu dilebihkan apa bila dia mempunyai julukan Golok Maut.
Akan tetapi, alangkah terkejut hatinya ketika tiba-tiba kakek itu dengan tenang dan cepat menggerakkan
tangan kiri, lalu menyentil golok itu dengan jari tangannya.
“Cringg…!”
Terdengar suara yang nyaring dan golok itu menjadi somplak! Sentilan kedua menyusul dan kini golok itu
terlempar jauh. Kam Kin tak kuasa menahan karena seakan-akan golok itu direnggut oleh tangan yang
bertenaga raksasa.
“Ini untuk kekurang ajaranmu padaku, dan yang ini untuk kekejamanmu terhadap seorang gadis cilik!”
kakek itu berkata sambil menggerakkan jari tangannya menyentil.
Kam Kin menjerit kesakitan sambil memegangi kedua telinganya yang daunnya sebelah bawah hancur
terkena sentilan jari tangan kakek yang lihai itu. Walau pun luka itu tidak berbahaya sama sekali, akan
tetapi sakitnya cukup membuat Kam Kin mengaduh-aduh. Darah mengalir di sepanjang lehernya kanan kiri.
“Setan tua, harap suka memperkenalkan nama. Kelak Giam-ong-to Kam Kin pasti akan membalas
penghinaan ini!” Kata Kam Kin sambil menggigit bibir menahan rasa nyeri.
Kakek itu tersenyum duka, mengeleng-geleng kepalanya lalu berkata perlahan, “Untuk dapat mencapai
tingkat kosong, kau harus belajar puluhan tahun lagi, dan bila kau sudah mencapai tingkat itu, aku pun
sudah mati. Akan tetapi kalau kau menghendaki, biarlah kau tahu bahwa aku kakek tua bangka ini tidak
punya nama juga tidak punya kepandaian. Nah, kau pergilah!”
Mendadak wajah Kam Kin menjadi pucat bukan main. Dia melangkah mundur tiga tindak seakan-akan
kata-kata itu merupakan pukulan yang menyambar mukanya.
“Bu Pun Su...!” katanya setengah berbisik, kemudian dia segera lari lintang pukang tanpa menghiraukan
goloknya yang masih menggeletak di atas tanah.
Tiba-tiba Bu Pun Su mengeluarkan suara terkejut dan terheran ketika anak perempuan yang baru saja
ditolongnya itu menyerangnya kalang-kabut. Im Giok menyerang dengan nekat, sama nekatnya ketika ia
tadi menyerang Kam Kin.
“Ehh, ehhh, bukan laku seorang gagah kalau menyerang orang tanpa memberi tahukan sebab-sebabnya.
Bocah galak, kenapa kau menyerang aku?” Bu Pun Su bertanya tanpa mempedulikan tangan Im Giok yang
memukul tubuhnya.
“Karena kau bernama Bu Pun Su dan menurut guruku, Bu Pun Su adalah seorang paling jahat di dunia ini
dan harus dibasmi,” Im Giok menjawab sambil melompat mundur karena pukulannya yang mengenai tubuh
kakek itu seolah-olah mengenai tumpukan kain belaka, membuat hatinya terheran dan gentar.
Bu Pun Su mengerutkan kening, lalu tertawa. “Gurumu memang betul, siapa sih nama gurumu yang mulia.”
“Guruku adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat,” jawab Im Giok bangga.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia memang selalu merasa bangga mengaku Pek Hoa sebagai gurunya, bukan hanya bangga karena ilmu
kepandaian Pek Hoa yang tinggi, terutama sekali bangga karena Pek Hoa dianggapnya wanita paling
cantik di dunia ini dan amat mengagumkan hatinya.
Akan tetapi, kalau biasanya setiap laki-laki mendengar nama Pek Hoa Pouwsat nampak kagum dan
gembira, tidaklah demikian dengan kakek ini. Sepasang matanya yang seperti bintang itu lantas bercahaya
dan menatap kepada Im Giok dengan tajam berapi seakan hendak membakarnya.
“Dan kau she Kiang?”
“Betul, aku she Kiang bernama Im Giok,” kata gadis cilik itu kini tiba gilirannya terheran.
“Sungguh tak baik! Kalau kau dipelihara dan diambil murid seekor serigala kiranya takkan begitu buruk.
Dan kau bahkan girang dan bangga menjadi muridnya. Benar-benar tanda tak baik bagi keluarga Kiang.
Ehh, bocah tolol, tidak tahukah kau bahwa kau telah diculik oleh siluman betina yang ganas dan jahat?”
“Enci Pek Hoa bukan siluman betina dan aku suka menjadi muridnya,” bantah Im Giok.
Wataknya yang keras masih berkata demikian, biar pun di dalam hatinya dia sudah mulai tidak suka
kepada gurunya itu semenjak mereka turun gunung dan ia melihat perbuatan-perbuatan yang ganjil dan
memalukan dari gurunya.
“Bodoh, tolol! Tak tahukah kau bahwa penculikan terhadapmu ini mengakibatkan matinya ibumu dan
gilanya ayahmu?” Bu Pun Su membentak.
Wajah Im Giok seketika menjadi pucat. Sepasang mata yang lebar dan indah bentuknya itu terpentang
menatap wajah Bu Pun Su tanpa berkedip, kemudian perlahan-lahan mata itu menjadi basah dan air mata
mulai menitik turun.
“Ibu... meninggal?”
Anak ini telah lupa lagi bagaimana bentuk wajah ayahnya yang telah pergi meninggalkan ibunya semenjak
ia masih kecil sekali. Selama ia pergi ikut Pek Hoa, yang terbayang di depan matanya hanya wajah ibunya
dan ia memang merasa amat rindu kepada ibunya.
Kini mendengar bahwa ibunya telah meninggal, tentu saja hatinya terasa seperti diiris-iris dan hanya
kemauan dan perasaan yang keras saja yang dapat menahannya sehingga ia tidak menjerit-jerit.
Sebaliknya, ia hanya menggigit bibirnya dan berusaha menahan pekik tangis sampai-sampai bibirnya
terluka dan berdarah!
Pandangan mata Bu Pun Su menjadi berubah. Kini dia merasa kagum melihat bocah itu. Tadinya ia
mengira bahwa Im Giok tentu akan menangis menjerit-jerit mendengar tentang ibunya meninggal dan
ayahnya menjadi gila. Sebagian besar perempuan cantik biasanya mengandalkan tangisnya.
Akan tetapi, sungguh di luar dugaannya bahwa gadis cilik ini tidak menangis, bahkan dia menunjukkan
kekerasan hatinya dengan menggigit bibir sampai berdarah. Baru berusia sepuluh tahun sudah memiliki
kekerasan hati seperti itu, benar-benar seorang anak yang berbakat untuk menjadi orang gagah, pikir Bu
Pun Su senang.
Kakek ini mendengar tentang nasib Kiang Liat, merasa kasihan sekali. Maka, kini melihat puteri Kiang Liat
‘ada isinya’, ia ikut gembira.
“Kau tidak ingin bertemu dengan ayahmu?”
Kesedihan membuat Im Giok tak dapat berkata-kata sampai beberapa lama. Kemudian ia mengeraskan
hati menindas perasaannya, dan bertanya.
“Di mana ayah? Mengapa ia menjadi gila dan mengapa ia dahulu meninggalkan ibu?”
Bu Pun Su mengerti bahwa anak ini sudah terkena pengaruh Pek Hoa. Ini dapat dilihat tanda-tandanya dari
cara anak ini berpakaian, bersolek dan bergaya ketika bicara, maka ia sengaja hendak menjauhkan hati
dunia-kangouw.blogspot.com
anak ini dari Pek Hoa.
“Ibumu meninggal adalah karena Pek Hoa telah menculikmu. Di depan ibumu, Pek Hoa mengaku sebagai
dewi dan dipercaya penuh oleh ibumu. Tidak tahunya, di balik semua itu, Pek Hoa hendak membalas
dendam pada ayahmu yang membencinya. Sengaja Pek Hoa membawamu untuk membikin duka ibumu.
Betul saja, ibumu menjadi sedih, bingung dan akhirnya jatuh sakit lalu meninggal. Ayahmu lantas menjadi
gila akibat melihat ibumu meninggal.”
Im Giok adalah seorang yang masih kecil, usianya baru sepuluh tahun lebih. Tentu saja ia mudah dibakar
hatinya. Mendengar kata-kata Bu Pun Su, mukanya yang tadi pucat kini menjadi merah sekali.
“Kalau begitu, Suci Pek Hoa yang membunuh ibuku dan merusak hidup ayahku!”
Diam-diam Bu Pun Su menyesal karena ia telah melakukan suatu perbuatan yang buruk, yakni menanam
kebencian dalam hati seorang anak-anak. Akan tetapi semua ini adalah demi kebaikannya sendiri, pikirnya.
Apa bila anak ini tidak membenci Pek Hoa, banyak bahayanya kelak ia akan meniru sepak terjang Pek Hoa
yang dikaguminya.
“Kau boleh anggap begitu. Akan tetapi ibumu sudah meninggal, tak perlu diributkan lagi. Yang penting
adalah ayahmu, sebab kalau tidak cepat-cepat kau hibur hatinya, kiraku tak lama lagi ayahmu akan
menyusul ibumu.”
Bercucuran air mata dari sepasang mata gadis cilik itu ketika mendengar kata-kata ini. Akan tetapi tetap
saja ia tidak memperdengarkan isak tangis.
“Kakek yang baik, harap kau suka membawaku kepada Ayah...”
Kata-katanya terhenti dan pada lain saat Im Giok telah ‘terbang’. Pergelangan tangannya dipegang oleh Bu
Pun Su dan ketika kakek ini berlari, Im Giok merasa seakan-akan dia telah terbang.
Kedua kakinya tidak menginjak tanah, akan tetapi tubuhnya melayang demikian cepatnya sehingga dia
terpaksa harus menutup kedua matanya. Hanya telinganya saja yang dapat mendengar suara angin
menderu dan mukanya terasa dingin tertiup angin.
Diam-diam bocah ini merasa kagum dan juga terkejut bukan main. Dia tadi memang telah menyaksikan
betapa lihainya kakek ini yang dengan mudah mengalahkan Kam Kin. Akan tetapi karena memang ia
memandang rendah kepada Kam Kin, kemenangan Bu Pun Su tadi tidak dianggap istimewa. Gurunya
sendiri pasti dengan mudah mengalahkan Kam Kin.
Akan tetapi berlari cepat seperti ini, benar-benar luar biasa sekali. Gurunya sendiri tidak mungkin dapat
menirunya…..
********************
Di luar kota tembok Liong-san-mui terdapat sebuah kelenteng tua yang sudah lama tidak pernah
mengebulkan asap hio, tanda bahwa kelenteng itu tidak dipakai orang lagi. Sudah bertahun-tahun
kelenteng itu tinggal kosong dan makin lama menjadi semakin rusak tidak terpelihara. Penghuninya
hanyalah laba-laba yang membuat sarang pada setiap sudut, membuat kelenteng itu nampak
menyeramkan sekali.
Tidak ada orang yang berani masuk ke dalam. Bahkan para jembel yang tak mempunyai tempat tinggal dan
mempergunakan ruang depan kelenteng itu untuk tempat tidur atau berteduh, tidak berani sembarangan
masuk ke dalam kelenteng itu.
Akan tetapi akhir-akhir ini, kurang lebih sudah seminggu, terjadi perubahan besar. Tidak ada lagi jembel
yang berani tinggal di situ dan keadaan kelenteng itu tidak kosong lagi. Seorang laki-laki bertubuh gagah
dan tampan, berpakaian bagai seorang pendekar, telah menjadikan kelenteng itu sebagai tempat
tinggalnya.
Orang ini gerak-geriknya aneh sekali. Wajahnya selalu tampak muram dan berduka, akan tetapi tidak
jarang orang mendengar gema suara ketawanya memecah kesunyian tengah malam. Sejak ia mengusir
semua jembel dari ruang depan kelenteng, kemudian memukul kocar-kacir belasan orang pengemis yang
dunia-kangouw.blogspot.com
datang hendak merampas kembali tempat itu, tidak ada lagi orang berani datang mengganggunya.
“Dia pendekar yang aneh,” kata seorang yang mengerti ilmu silat, “gerakan-gerakannya menunjukkan
bahwa dia seorang ahli silat tinggi. Lihat saja cara ia ketika menyarungkan pedangnya, tentu pedang
pusaka.”
“Dia berotak miring,” berbisik orang ke dua, “Pernah di tengah malam aku mendengar dia tertawa bergelak
seperti iblis, dan pernah aku mendengar dia menangis tersedu-sedu dan akhirnya memaki-maki.”
“Dia orang yang aneh, benar-benar pendekar aneh,” demikian akhirnya orang mengambil kesimpulan.
Tadinya penduduk Liong-san-mui mengatakan sebutan ‘pendekar aneh’ ini dengan nada mengejek dan
menertawakan. Akan tetapi tiga hari kemudian semenjak orang itu berada di situ, sebutan ini berubah
menjadi sebutan yang disertai rasa kagum, segan, dan sangat menghormat. Tidak seorang pun berani lagi
menganggapnya ‘berotak miring’ betapa pun aneh kelakuan orang ini.
Hal ini terjadi setelah pendekar aneh yang dianggap gila ini pada suatu malam, seorang diri dan bertangan
kosong, telah merobohkan serombongan perampok yang mengganggu kota Liong-san-mui, dan
menyerahkan rombongan perampok terdiri dari tujuh belas orang ini kepada yang berwajib!
Tikoan, pembesar yang menerima tawanan perampok itu, menghaturkan ucapan terima kasih dan
menanyakan nama orang gagah itu. Akan tetapi, benar-benar orang aneh. Dia tidak mengaku, bahkan
nampak marah-marah ketika berkata,
“Kewajiban Taijin hanya menerima dan menghukum orang-orang jahat itu, habis perkara. Perlu apa tanyatanya
namaku? Aku tidak minta hadiah!”
Maka pergilah dia meninggalkan Tikoan yang menjadi bengong, akan tetapi tidak berani berbuat apa-apa
terhadap orang-orang yang bersikap aneh dan kurang ajar itu. Karena sikap yang kurang ajar inilah, maka
selanjutnya para pembesar setempat tidak mau dan sungkan menghubunginya. Akan tetapi betapa pun
juga, penduduk amat berterima kasih dan menganggapnya sebagai tuan penolong atau pendekar budiman.
Siapakah pendekar aneh itu? Untuk mengenalnya, mari kita melihat ke dalam kelenteng dan mengikuti
gerak-geriknya.
Di ruangan yang paling dalam di kelenteng itu, ruangan yang gelap akan tetapi bersih dari sarang laba-laba
karena ruangan ini dijadikan kamar tidur dan telah dibersihkan, nampak seorang laki-laki duduk bersila di
atas lantai yang telah disapu bersih.
Seperti orang bersemedhi, laki-laki ini duduk bersila menghadapi meja sembahyang yang sudah tua dan
sudah amat lama tak pernah dipakai orang. Kalau orang melihatnya dari belakang, tentu mengira bahwa ia
sedang bersemedhi, tak bergerak seperti patung.
Akan tetapi kalau orang melihat dari depan dan berada dekat dengannya, akan kelihatan jelas bahwa orang
biar pun tubuhnya tidak bergerak, akan tetapi bibirnya bergerak-gerak dan terdengar dia bercakap-cakap
dengan suara perlahan. Dari sepasang matanya yang dipejamkan itu bercucuran air mata. Kalau orang
mendengar dia seperti bercakap-cakap tanya jawab dengan seorang yang tidak kelihatan, orang tentu akan
menganggap ia gila.
“Bi Li, aku memang berdosa besar kepadamu, isteriku... Kini aku mengaku, sebenarnya akulah yang
membunuhmu, akulah yang memaksamu meninggal dunia karena menyiksa hatimu. Aku orang berdosa
besar, Bi Li. Kau ampunkan suamimu yang hina dan bodoh ini, isteriku…”
Mendengar ucapan yang berupa bisikan ini, tahulah kita bahwa orang itu tidak lain adalah Jeng-jiu-san
Kiang Liat. Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, setelah menerima pukulan yang hebat dari
penuturan Ceng Si bekas pelayan isterinya bahwa sebenarnya isterinya itu tak berdosa apa-apa, dan
bahwa isterinya meninggal dunia karena menyesal dan berduka ditinggal suaminya, Kiang Liat seperti
orang gila.
Hatinya penuh penyesalan dan ia merantau ke sana ke mari. Hidupnya hanya bertujuan satu, yakni
mencari puterinya yang diculik oleh Pek Hoa Pouwsat. Apa bila kiranya Bi Li tidak meninggalkan anak,
tentu Kiang Liat sudah membunuh diri untuk menyusul isterinya yang tercinta.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia tidak peduli lagi keadaan tubuhnya yang menderita pukulan batin dan membuat dia kadang-kadang
muntah darah. Akan tetapi ia mulai mengumpulkan uang. Sesuai dengan wataknya, ia selalu memberantas
kejahatan. Setiap kali ia membasmi penjahat, selalu ia merampas milik penjahat itu sehingga sebentar saja
ia sudah dapat mengumpulkan harta kekayaan yang besar juga, yang disembunyikan dalam sebuah goa.
Selama empat tahun lebih ia merantau, mencari-cari Pek Hoa. Akan tetapi sia-sia belaka, tak seorang pun
di dunia kang-ouw tahu ke mana siluman itu menghilang.
Kiang Liat mengumpulkan uang bukan sekali-kali dikarenakan dia ingin hidup bersenang-senang, akan
tetapi dia sengaja mengumpulkan harta untuk kelak dipakai menyenangkan hidup Im Giok anaknya.
Bahkan ia mulai pula mengganti pakaiannya yang kotor dengan pakaian bersih dan indah, karena dia ingin
kelihatan gagah apa bila dia berhasil bertemu dengan puterinya.
Setiap malam dia teringat kepada isterinya itu. Keadaan pendekar ini benar-benar sangat memilukan hati.
Benar-benar amat berat hukuman yang dideritanya akibat kecerobohan dirinya terhadap isterinya,.
Sesudah mengeluarkan kata-kata itu sambil memandang ke atas meja, Kiang Liat diam beberapa lama,
sikapnya seperti sedang mendengarkan orang yang bicara kepadanya. Kemudian ia mengangguk-angguk
dan berkata,
“Tentu saja, Bi Li. Aku pasti akan mencari Im Giok sampai ketemu. Aku akan mengadu nyawa dengan
siluman Pek Hoa dan merampas kembali anak kita. Sudah empat tahun aku mencari jejaknya dengan siasia,
akan tetapi aku tidak pernah putus asa. Sebelum putus nyawaku, aku tidak akan berhenti berusaha
mencari Im Giok.”
Kiang Liat menarik napas panjang, menghapus air matanya dengan ujung lengan bajunya dan berkata lagi,
“Kau tidak percaya kepadaku, Bi Li? Sudah sepantasnya kalau kau tidak mempercayai seorang suami
goblok seperti aku, seorang suami buta yang menuduh isterinya yang setia berlaku tidak patut. Memang
kau berhak tidak percaya kepadaku, Bi Li isteriku. Akan tetapi, biarlah aku Kiang Liat bersumpah, aku akan
mencari Im Giok sampai saat penghabisan. Biarlah rambutku menjadi saksi!”
Setelah berkata demikian, Kiang Liat mencabut pedangnya dan berlutut. Dengan tangan kiri dijambaknya
rambutnya yang hitam panjang, dan tangan kanannya yang memegang pedang bergerak membabat
rambutnya sendiri! Putuslah rambut di kepalanya dan kepala itu kini hanya tinggal ditumbuhi rambut pendek
saja.
“Ayaaah...!”
Tiba-tiba saja bayangan merah melayang turun dan ternyata yang melompat turun adalah seorang gadis
cilik berpakaian merah, sedangkan di belakangnya turun seorang kakek.
Kiang Liat memandang dengan mata bengong, tidak mengenal siapa adanya anak yang menyebut ayah
kepadanya itu. Kemudian saat ia melirik ke arah kakek yang telah berdiri di belakang gadis cilik itu, ia
terkejut sekali, melempar pedangnya dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
Kiang Liat boleh jadi agak gendeng dan miring otaknya bila ia sedang tenggelam dalam lamunan sendiri
dan mengingat akan isterinya. Akan tetapi pada lain waktu ia merupakan seorang manusia biasa yang
sadar.
“Teecu tidak tahu akan kedatangan Suhu Bu Pun Su, mohon ampun kalau teecu tidak menyambutnya,”
katanya penuh hormat dan segan.
Memang kalau ada orang di dunia ini yang disegani dan ditakuti oleh Kiang Liat, orang itu tak lain hanya Bu
Pun Su dan mungkin juga Han Le.
Bu Pun Su memandang kepada Kiang Liat, sinar matanya penuh belas kasihan.
“Kiang Liat, jangan terlalu jauh dilarutkan oleh lamunan dan kedukaan. Inilah Kiang Im Giok puterimu,
sengaja kubawa ke sini agar kau dapat hidup kembali bersama puterimu. Pergunakanlah sisa hidupmu
sebaiknya untuk mendidik anakmu ini, Kiang Liat.”
Mendengar ini, dengan muka pucat Kiang Liat segera menengok ke arah Im Giok. Ayah dan anak
dunia-kangouw.blogspot.com
berpandangan, dua pasang mata perlahan-lahan mengeluarkan air mata, dua pasang bibir bergerak-gerak
dan bergemetar tanpa dapat mengeluarkan sepatah kata.
Kiang Liat mengulurkan dua lengan yang tangannya menggigil, ada pun Im Giok perlahan melangkah maju.
“Im Giok... kau... anakku...?”
“Ayaah...!”
Di lain saat ayah dan anak itu sudah berpelukan dan bertangisan.
Bu Pun Su terbatuk-batuk untuk menenangkan hatinya sendiri yang ikut merasa terharu dan pilu. Setelah
membiarkan mereka melepaskan perasaan hati untuk sementara, lalu dia berkata,
“Sudahlah, tidak baik menurutkan perasaan, mendatangkan kelemahan saja. Kiang Liat, anakmu ini
berbakat baik dalam ilmu silat, biar aku tinggalkan dua macam ilmu silat untuk kelak kau turunkan
kepadanya. Akan tetapi kau hati-hatilah, wataknya keras dan aneh, perlu dikendalikan dengan kuat!”
Kiang Liat girang sekali mendengar ini.
“Im Giok, anakku, lekas kau menghaturkan terima kasih kepada Susiok-couw-mu (Paman Kakek Guru).”
Kiang Liat menarik tangan Im Giok dan keduanya berlutut di depan kakek sakti itu.
Dengan sangat tekun, Kiang Liat mempelajari dua ilmu silat yang diturunkan oleh Bu Pun Su untuk Im Giok.
Pertama-tama Bu Pun Su minta supaya Im Giok bersilat menurut apa yang dia pelajari dari Pek Hoa
Pouwsat. Bu Pun Su adalah seorang sakti yang memiliki kepandaian aneh dan luar biasa. Sekali saja
melihat, ilmu silat apa pun juga dapat ia tiru dengan gerakan yang jauh lebih sempurna dari pada aslinya!
Demikian pula dengan ilmu silat yang dimainkan oleh Im Giok, sekali melihat kakek ini dapat menurunkan
ilmu silat yang sama, akan tetapi yang sama sekali bebas dari kelemahan dan kekurangan.
Pendeknya, Bu Pun Su memperbaiki dan menyempurnakan ilmu silat yang seperti tarian, yang dipelajari
oleh Im Giok dari Pek Hok Pouwsat. Ada pun ilmu silat ke dua yang dia turunkan kepada Kiang Liat untuk
Im Giok yaitu ilmu silat pedang yang disesuaikan pula dengan gerakan dan bakat yang sudah menjadi
dasar dari Im Giok.
Selain dua macam ilmu silat yang khusus untuk Im Giok ini, juga kepada Kiang Liat kakek ini menurunkan
ilmu berlatih lweekang dan ginkang sehingga Kiang Liat merasa bersukur sekali. Sampai dua pekan Bu Pun
Su tinggal di kelenteng kuno itu bersama Kiang Liat dan Im Giok dan siang malam mereka tekun menerima
pelajaran baru dari kakek sakti itu.
Sesudah selesai dan hendak meninggalkan mereka, Bu Pun Su berkata dengan suara sungguh-sungguh.
“Kiang Liat dan kau juga Im Giok, dengarlah baik-baik. Setelah kalian menerima pelajaran dariku, maka
selanjutnya kalian harus menjaga diri baik-baik. Sekali saja aku mendengar kalian menggunakan
kepandaian yang kalian pelajari dariku untuk melakukan perbuatan menyeleweng dan sewenang-wenang,
aku sendiri akan datang memberi hukuman berat.”
Setelah Bu Pun Su pergi, Kiang Liat memeluk puterinya dan berkata dengan hati girang sekali.
“Anakku, marilah kita pulang ke Sian-koan dan mulai hidup baru. Akan kusediakan rumah gedung dan
pakaian-pakaian indah untukmu. Dan jangan kau khawatir, anakku, aku akan berusaha supaya kelak
engkau menjadi seorang dara perkasa yang jarang tandingannya, seorang yang hidup penuh kebahagiaan
tidak kekurangan sesuatu!”
Im Giok sudah mendengar sumpah ayahnya dari atas genteng, karena itu dia tidak perlu mendengar janjijanji
yang lain. Ia sudah merasa amat kasihan dan terharu melihat nasib ayahnya, dan dia merasa amat
bangga karena ternyata ayahnya adalah seorang laki-laki gagah yang patut dibanggakan.
Demikianlah, ayah dan anak itu lalu pulang ke Sian-koan. Dengan uang yang ia simpan, Kiang Liat
membangun sebuah gedung baru dengan taman bunga yang luas dan indah, perabot-perabot rumah serba
baru, pendeknya dia berusaha untuk membikin senang hati puteri tunggalnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Im Giok baru berusia hampir sebelas tahun. Maka, menerima budi kecintaan ayahnya yang berlimpahlimpah
ini, mau tidak mau timbul sifat manja dalam hatinya.
Memang beginilah, tidak hanya Kiang Liat, banyak orang tua-tua di dunia ini yang keliru menyatakan kasih
sayang kepada anak sehingga bukan anak menjadi baik sebagaimana yang diharapkan, sebaliknya anak
menjadi manja.
Untungnya, Im Giok memang sudah memiliki dasar watak gagah dan baik sehingga sikap ayahnya itu
hanya mendatangkan sebuah cacat lagi, yaitu manja dan ingin dituruti segala kehendaknya. Di samping ini,
sifat lain yang dia warisi dari Pek Hoa Pouwsat adalah sifat pesolek, suka berhias dan berpakaian serba
indah dan serba merah, tidak lupa untuk menambah merah pada bibirnya, menambah hitam pada alisnya
sehingga setiap saat gadis ini kelihatan seperti seorang bidadari baru turun dari kahyangan!
Akan tetapi harus diakui bahwa bakat Im Giok dalam ilmu silat benar-benar baik sekali. Ditambah lagi oleh
semangat Kiang Liat yang demikian besar. Pendekar ini benar-benar mempunyai cita-cita untuk membuat
puterinya menjadi seorang gagah, maka dia sangat tekun dan hati-hati memimpin puterinya dalam ilmu
silat, maka dapat dibayangkan betapa pesat kemajuan yang diperoleh Im Giok.
Akan tetapi, kadang-kadang Im Giok merasa kesepian. Hidup di dekat Kiang Liat berbeda jauh dengan
pada saat ia masih bersama dengan Pek Hoa. Betapa pun besar sayangnya Kiang Liat kepadanya, akan
tetapi ayahnya itu seorang pria, dan Im Giok membutuhkan pergaulan dengan sesama kelamin.
Selain ini, Im Giok yang melihat ayahnya masih belum tua dan begitu gagah, diam-diam juga prihatin dan
berduka kalau teringat akan ibunya. Banyak buku yang ia baca karena ayahnya menyediakan untuknya dan
mengajarnya pula, memberi pelajaran pada Im Giok bahwa seorang seperti ayahnya itu sudah sepatutnya
kalau menikah lagi dengan seorang gadis cantik pengganti ibunya yang telah meninggal.
Sifat Im Giok yang tidak pemalu dan periang itu membuat dia sebentar saja mempunyai banyak kawan di
kota Sian-koan. Tidak jarang gadis ini keluar rumah dan mengunjungi tetangga dan walau pun hal ini
termasuk kebiasaan yang janggal, namun ayahnya tidak melarangnya. Kiang Liat cukup maklum bahwa
puterinya telah memiliki kepandaian yang cukup untuk dipakai menjaga diri, dan di samping ini, siapakah
yang berani mengganggu puteri Jeng-jiu-sian Kiang Liat?
Satu tahun kemudian, pada suatu sore, Im Giok pulang dari tetangga bersama seorang gadis yang cantik.
Gadis ini pipinya kemerahan, sepasang matanya yang jeli dan kocak kelihatan agak berduka. Namun harus
diakui bahwa gadis memiliki sepasang mata yang indah dan bening, seperti sepasang kemala. Usianya
kurang lebih enam belas tahun dan tubuhnya sehat dan nampaknya biasa bekerja berat.
Kiang Liat bangkit dari kursinya dan memandang dengan mata terbelalak heran. Dengan malu-malu gadis
remaja itu menjura sebagai penghormatan kepada Kiang Liat.
“Im Giok, siapakah nona ini dan mengapa kau membawa dia ke sini?” tanya Kiang Liat dengan nada
menegur dalam suaranya.
“Ayah, jangan marah dulu,” berkata Im Giok dengan sikap manja, “dia ini adalah sahabat baikku, namanya
Kim Lian, Song Kim Lian, rumahnya di sebelah barat itu. Enci Kim Lian, kau duduk dulu di sini, ya! Aku mau
bicara dengan Ayah,”
Im Giok lalu menghampiri ayahnya, memegang tangan ayahnya itu dan menariknya ke ruangan sebelah
dalam. Dengan kening berkerut Kiang Liat mengikuti puterinya, hatinya merasa tidak enak.
“Kau mau apakah, Im Giok?” tanyanya setelah mereka berada di ruang dalam.
“Ayah, bagaimana ayah lihat Enci Kim Lian itu? Cantik dan matanya seperti mata burung Hong, bukan?”
Kerut di kening Kiang Liat makin mendalam. “Kalau dia cantik dan bermata bagus, habis mengapa?”
“Ayah, aku selalu merasa kesunyian.”
“Kan ada Ayah, ada banyak pelayan.”
“Ayah laki-laki dan para pelayan... ahhh, mereka selalu bermuka-muka, aku tidak suka. Ayah juga... Ayah
dunia-kangouw.blogspot.com
juga kesepian, bukan?”
Kiang Liat memegang pundak Im Giok, memandang tajam dan berkata, “Im Giok, pikiran ganjil apakah
yang terkandung di dalam kepalamu? Hayo katakan terus terang, jangan berputar-putar.”
Im Giok menarik napas panjang, sukar agaknya untuk bicara. Akhirnya ia memberanikan hatinya,
memegang tangan ayahnya dengan sikap manja dan berkata,
“Jangan marah, ya Ayah? Aku bermaksud baik. Sahabatku Kim Lian ini adalah seorang sahabat yang baik,
lagi pula dia sudah yatim piatu, kalau saja... kalau saja… dia dapat tinggal di sini sehingga aku mempunyai
kawan, alangkah baiknya.”
“Menjadi pelayan?” Kiang Liat menjelaskan.
Im Giok cemberut. “Dia sahabatku, bagaimana harus menjadi pelayan? Biarkan saja dia tinggal di sini,
serumah dengan kita, Ayah.”
Kembali kening Kiang Liat berkerut. “Ah, Im Giok. Ada-ada saja kau ini. Tak tahukah kau bahwa seorang
gadis dewasa seperti dia itu tidak patut sekali apa bila tinggal di rumah orang lain, apa lagi di rumah
seorang duda!”
“Karena itu, alangkah baiknya kalau Ayah... kawinin saja dia!” kata Im Giok cepat.
Tangan ayahnya yang tadinya memegang pundak tiba-tiba saja terlepas dan Kiang Liat terduduk di atas
kursi, wajahnya pucat dan matanya melotot memandang pada Im Giok. Gadis cilik ini kaget sekali dan agak
ketakutan, mundur dua langkah.
“Im Giok...,“ akhirnya terdengar suara Kiang Liat, lambat dan perlahan, dengan gigi-gigi dirapatkan
menahan nafsu marah. “Kalau bukan kau yang mengajukan usul macam ini, tentu kupukul mampus
sekarang juga! Apa kau sudah gila? Kalau tidak untuk kau, aku sudah menyusul ibumu. Untuk apa hidupku
di dunia ini melainkan untuk kau? Bagaimana kau bisa menyuruh aku menikah dengan perempuan lain dan
mengkhianati ibumu?”
Im Giok menangis dan segera menubruk ayahnya. Ia berlutut dan menaruh kepala di atas pangkuan
ayahnya.
“Ampunkan aku, Ayah. Aku tidak sengaja menyakiti hati Ayah. Aku hanya ingin punya kawan, aku... aku
kehilangan Enci Pek Hoa. Ayah...”
Melihat keadaan anaknya, luluh hati Kiang Liat, lenyap marahnya. Ia berpikir sejenak, lalu berkata,
“Sudah, diamlah, anakku. Aku bisa memenuhi keinginanmu, akan tetapi bukan menikah. Mengingat bahwa
Kim Lian sudah yatim piatu, dan selain engkau aku pun tidak punya murid, dan melihat gerak kakinya tadi
cukup tegap dan kuat, biarlah dia menjadi muridku belajar di sini dan mengawanimu. Bagaimana?”
Im Giok hampir bersorak. Ia bangkit berdiri, memeluk ayahnya dan berlari ke ruangan depan. Tidak lama
kemudian ia sudah datang lagi berlarian sambil menggandeng tangan Kim Lian. Agaknya dia sudah
menuturkan pada sahabatnya itu, sebab begitu berhadapan dengan Kiang Liat, Kim Lian lau menjatuhkan
diri berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala sambil menyebut,
“Suhu...!” suaranya merdu dan halus.
“Bangunlah! Kau menjadi muridku atas desakan Im Giok. Akan tetapi entah kau suka atau tidak belajar ilmu
silat yang kasar,” kata Kiang Liat.
“Ayah... jangan Ayah memandang rendah kepada Enci Kim... ehh, kepada Suci (Kakak Seperguruan) Kim
Lian. Dalam bermain-main dan selama setahun menjadi kawanku, dia telah banyak dapat meniru gerakan
silatku. Suci, coba kau tunjukkan kebisaanmu kepada Ayah.”
“Ahh, Sumoi, kau membikin aku malu saja...,” Kim Lian mengerling dengan muka merah dan senyum
dikulum.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiang Liat kembali mengerutkan kening melihat lagak yang genit dan dapat menarik hati laki-laki ini. Hemm,
dalam banyak hal gerak-gerik Kim Lian ini hampir sama dengan Im Giok anaknya, pikirnya.
“Tidak usah malu-malu, kau perlihatkanlah apa yang sudah kau pelajari. Dengan melihat gerakanmu, aku
bisa mengira-ngira sampai di mana tingkatmu.”
Mendengar perintah suhu-nya, Kim Lian lalu bersilat seperti apa yang ia lihat dan pelajari dari Im Giok. Dan
Kiang Liat tercengang. Benar sekali kata-kata Im Giok. Gadis cantik ini mempunyai bakat yang luar biasa,
sungguh pun tidak sebesar bakat Im Giok, akan tetapi kelemasan gerak kaki tangannya menunjukkan
bahwa Kim Lian mempunyai bakat ilmu silat yang jauh lebih tinggi dari pada gadis-gadis biasa. Memang
sukar mencari seorang murid wanita dengan bakat seperti ini.
Timbullah kegembiraan di dalam hati Kiang Liat dan mulai hari itu Kim Lian menjadi murid Jeng-jiu-sian
Kiang Liat, belajar ilmu silat bersama Im Giok yang tentu saja sudah sangat jauh meninggalkannya. Bahkan
dalam latihan sehari-hari, boleh dibilang Kim Lian dilatih oleh Im Giok yang mewakili ayahnya.
Kiang Liat masih saja berlaku sungkan dan likat-likat. Maka ia hanya memberi contoh dan petunjukpetunjuk
teori saja, sedangkan prakteknya dia serahkan kepada Im Giok untuk mengajar suci-nya.
Benar saja, setelah Kim Lian juga tinggal di rumah gedung itu, Im Giok menjadi gembira sekali. Tidak saja
ia menjadi semakin giat berlatih ilmu silat, juga ia tekun memperdalam ilmu surat dan bahkan suka belajar
menyulam bersama suci-nya.
Ada pun dalam hal mempersolek diri, agaknya Kim Lian merupakan imbangan yang baik bagi Im Giok.
Tentu saja Kim Lian tidak secantik Im Giok, karena sesungguhnya sukar mencari seorang gadis yang
secantik Im Giok, akan tetapi pada umumnya Kim Lian juga seorang gadis yang manis dan cantik, lagi
pandai beraksi.
Walau pun Kim Lian mulai belajar ilmu silat setelah ia berusia belasan tahun dan telah dewasa, akan tetapi
berkat bakatnya yang baik dan terutama sekali oleh karena ia belajar di bawah pimpinan seorang ahli silat
kelas tinggi, maka ia pun mewarisi ilmu silat tinggi dan menjadi seorang ahli silat yang pandai. Seperti juga
Im Giok, ia mempunyai ginkang yang luar biasa, hanya kalah sedikit saja oleh sumoi-nya itu, biar pun
dalam hal lweekang ia kalah jauh.
Akan tetapi, diam-diam Kiang Liat merasa amat khawatir kalau ia melihat watak muridnya ini. Kim Lian
sering memperlihatkan sikap genit dan memikat di depannya, mengingatkan pendekar ini akan sikap Ceng
Si dahulu. Kadang-kadang dia membentak dan menegur muridnya ini, yang diterima oleh Kim Lian dengan
senyum manis memikat.
Beberapa kali Kiang Liat bahkan menyuruh puterinya menegur, dan kalau Im Giok sudah menegur, barulah
Kim Lian menghentikan aksinya. Memang Kim Lian tidak takut kepada suhu-nya karena dia merasa lebih
leluasa dan dapat menghadapi seorang laki-laki, akan tetapi terhadap Im Giok, ia merasa takut dan segan.
Pertama karena ia merasa berhutang budi kepada sumoi-nya ini. Jika tak ada sumoi-nya yang menariknya
tinggal ke dalam rumah gedung mewah itu, hidupnya tentu kekurangan dan mungkin sekali terlantar. Ke
dua, ia memang tahu bahwa kepandaian sumoi-nya jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.
“Im Giok, sekarang suci-mu telah berusia dua puluh tahun lebih, dan kiranya sudah cukup lama ia berada di
sini sehingga sudah patut baginya untuk berumah tangga. Bagaimana pikiranmu apa bila aku mencarikan
seorang suaminya untuknya?” Pada suatu hari Kiang Liat berkata demikian kepada Im Giok yang sudah
berusia empat belas tahun lebih.
Gadis ini sudah cukup dewasa untuk mengerti akan maksud ayahnya. Sering kali Kim Lian memperlihatkan
sikap yang memikat di depan ayahnya, maka tentu ayahnya merasa tidak enak sekali. Memang, bagi
ayahnya, akan lebih baik kalau Kim Lian keluar dari situ dan menikah dengan seorang pemuda yang baik.
“Baiklah, akan kusampaikan kepadanya, Ayah,” kata Im Giok yang akhir-akhir ini merasa kasihan dan juga
gelisah melihat keadaan ayahnya.
Setelah beberapa kali menghadapi godaan Kim Lian, Kiang Liat jadi teringat lagi kepada isterinya dan juga
kepada Ceng Si yang dulu menggodanya, maka terkenanglah ia akan kebodohannya, akan kekejamannya
terhadap isterinya. Kenangan ini membikin kambuh sakit jantungnya, membuatnya pucat dan kadangdunia-
kangouw.blogspot.com
kadang batuk-batuk, bahkan sering di tengah malam ia tertawa-tawa dan menangis lagi!
Akan tetapi ketika Im Giok menyampaikan usul ayahnya kepada Kim Lian, suci-nya itu memperlihatkan
muka berduka, bahkan lalu menghadap Kiang Liat sambil berlutut dan menangis.
“Suhu, teecu mohon supaya Suhu jangan menyuruh teecu pergi dari sini. Teecu rasanya tidak sanggup
untuk berpisah dengan Suhu dan Sumoi. Suhu, tentang menikah, teecu sama sekali tidak ada niat, karena
selamanya teecu ingin melayani Suhu dan mengawani Sumoi...”
Kata-kata ini biar pun diucapkan dengan suara sedih dan terputus-putus, akan tetapi bagi pendengaran
Kiang Liat hanya bermaksud satu, yakni Kim Lian akan menerima dengan hati terbuka bila gurunya mau
mengambilnya sebagai isteri sehingga gadis ini selamanya akan melayaninya, juga tidak akan berpisah dari
Im Giok!
Merah muka Kiang Liat dan dia merasa dadanya sakit. Dia selalu ingat akan kesetiaan mendiang isterinya
dan akan kekejiannya memfitnah isterinya, maka ia telah bersumpah untuk membalas isterinya itu dengan
kesetiaan selama hidupnya. Oleh karena ini, setiap godaan seorang wanita membangkitkan penyesalannya
kepada diri sendiri dan membuat dadanya terasa sakit.
“Kim Lian, jangan kau mengeluarkan kata-kata seperti itu. Setiap pertemuan pasti akan berakhir dengan
perpisahan. Kami tentu saja tidak mengusirmu, dan terus terang saja, kehadiranmu di rumah ini banyak
mendatangkan kegembiraan Im Giok dan untuk ini aku berterima kasih kepadamu. Akan tetapi tentang
menikah, kau sudah berusia dua puluh tahun lebih, waktunya sudah lebih dari cukup untuk berumah tangga
sendiri, Kim Lian. Jangan kau khawatir, aku dapat memilihkan seorang calon suami yang baik, percayalah
kepadaku karena sebagai guru aku takkan menyesatkan murid sendiri...”
Mendengar ini, tangis Kim Lian semakin sedih. Ia merangkul Im Giok lalu berkata, “Suhu, apa saja
kehendak Suhu pasti teecu taati asal saja teecu jangan disuruh berpisah dengan Suhu dan Sumoi. Tentang
menikah... teecu akan menanti Sumoi. Apa bila Sumoi sudah menikah, teecu baru suka menikah pula. Ini
sudah menjadi sumpah di dalam hati teecu.”
Kiang Liat menjadi mendongkol. Ia dapat menduga bahwa kata-kata itu hanya akal saja, alasan untuk
menggagalkan usulnya.
“Hmm, perempuan memang aneh. Lain di mulut lain di hati,” pikirnya. “Pada hatinya jelas nampak ia ingin
melayani laki-laki, akan tetapi mulutnya bilang tidak mau menikah!”
Kemudian dengan suara marah ia berkata,
“Kim Lian, kau yang bersumpah, bukan aku yang memaksa. Kau harus memegang teguh sumpahmu itu,
kalau tidak, aku akan marah kepadamu. Aku tidak sudi melihat muridku bermain lidah dan tidak dapat
dipegang kata-katanya. Ingat, kau sudah bersumpah tidak akan menikah sebelum Im Giok menikah. Baik,
akan begitulah jadinya!” Setelah berkata demikian, Kiang Liat meninggalkan dua orang gadis itu dan masuk
ke dalam kamarnya.
Semenjak saat itu, sikap Kiang Liat makin pendiam. Jarang sekali ia bicara dengan Im Giok. Kepada Kim
Lian, dia sama sekali tidak pernah bicara lagi. Akan tetapi anehnya, mulai saat itu ia makin giat melatih dua
orang gadis itu.
Pagi-pagi sekali dia sudah memaksa mereka bangun, berlatih ilmu silat sampai kedua orang gadis itu
hampir tidak kuat lagi. Demikian pun pada siang hari, bahkan sering kali pada malam hari. Pendeknya,
Kiang Liat sama sekali tidak memberi mereka kesempatan untuk bermalas-malasan.
“Seorang wanita harus kuat, baru aman hidupnya,” katanya di depan dua orang gadis itu. “Kalian harus
dapat menerima semua kepandaianku sebelum aku lupa lagi.”
Demikianlah, hampir tiga tahun lamanya Kiang Liat tekun menggembleng puterinya dan muridnya. Susahpayah
Im Giok dan Kim Lian mengikuti latihan ini, akan tetapi hasilnya juga luar biasa sekali.
Im Giok secara terpisah sudah menerima latihan ilmu-ilmu silat yang ditinggalkan oleh Bu Pun Su untuknya,
dan ternyata dia memang cocok sekali dengan ilmu silat gubahan Bu Pun Su ini. Gerakannya memang
lemas dan indah, sehingga sering kali diam-diam Kiang Liat mengerutkan keningnya karena kalau ia
dunia-kangouw.blogspot.com
melihat puterinya itu bersilat seperti orang menari dengan mata bersinar-sinar, pipi kemerah-merahan dan
bibir tersenyum-senyum, teringatlah ia akan Pek Hoa Pouwsat! Alangkah miripnya anaknya itu dengan Pek
Hoa. Benar seperti pernah dikatakan oleh Bi Li isterinya dahulu.
Ada pun Kim Lian, selama tiga tahun ini pun memperoleh kemajuan hebat. Tujuh tahun ia menjadi murid
Kiang Liat, akan tetapi yang tiga tahun terakhir ini hasilnya jauh melampaui empat tahun pertama.
Kepandaian Kim Lian kini sudah dapat direndengkan dengan tingkat orang-orang pandai, bahkan sudah
hampir menyusul kepandaian Kiang Liat sendiri. Tentu saja ia masih kalah oleh Im Giok yang ternyata
bahkan telah melampaui ayahnya sendiri!
Hal ini adalah karena dia mempelajari ilmu silat gubahan Bu Pun Su secara mendalam, sedangkan Kiang
Liat hanya menghafal saja agar tidak lupa. Apa lagi Kiang Liat memang hanya bersilat untuk mengajar,
sama sekali dia tidak pernah berlatih untuk kemajuan diri sendiri. Bahkan kalau terlalu lama ia bersilat,
dada kirinya terasa sakit sekali.
Dia maklum bahwa dirinya sudah mendapat luka di dalam, mendapat penyakit di dalam jantungnya, akan
tetapi ia sengaja tidak mau mengobati, tidak mau mencari obat. Tidak jarang dia batuk-batuk darah, akan
tetapi semua ini ia sembunyikan dari Im Giok, takut kalau-kalau puterinya akan menjadi gelisah dan
berduka karenanya…..
********************
Pada suatu pagi yang indah di musim Chun (Semi)…..
Matahari muncul di angkasa yang bersih sambil tersenyum gembira, disambut dengan segala kehormatan
oleh kicau burung dan mekarnya bunga di dalam hutan. Binatang-binatang hutan pun nampak bergembira
di saat seperti itu.
Ayam-ayam hutan berkejar-kejaran di atas tanah dan di atas pohon. Kelinci dan tikus melompat ke sana ke
mari di antara gerombolan pohon kembang. Kupu-kupu bersayap indah beterbangan dan menari-nari
mengelilingi bunga cantik. Seperti kelinci yang tidak takut akan ancaman harimau, kupu-kupu ini pun tak
takut akan ancaman burung-burung.
Agaknya pada saat seindah itu, binatang-binatang yang paling buas pun merasa enggan untuk mengotori
suasana damai dan tenteram ini dengan pembunuhan terhadap sesama makhluk, walau pun pembunuhan
itu berarti mengisi perut yang kosong dan lapar! Atau, apakah kebetulan saja harimau-harimau dan burungburung
itu sudah terlampau kenyang maka mereka tidak mengganggu kelinci dan kupu-kupu?
Mungkin sekali, karena hanya manusia-manusia saja yang masih merasa temaha dan murka dalam
kekenyangannya. Lain makhluk tidak ada yang sekejam manusia.
Mendadak terdengar suara tertawa manusia yang nyaring dan merdu, mula-mula sayup sampai kemudian
makin jelas datang dari jauh memasuki hutan itu. Terdengarnya suara ketawa semerdu itu memang cocok
sekali dengan keadaan hutan yang sangat indah dan gembira menyambut munculnya matahari itu.
Kemudian tersusul bunyi derap kaki kuda dan suara ketawa-ketawa gadis remaja.
Kalau orang memperhatikan seruan-seruan itu, ia tentu akan merasa heran sekali kenapa mula-mula
terdengar suara tawa nyaring baru kemudian terdengar bunyi derap kaki kuda. Bagaimana suara tawa
sedemikian merdu tanda suara ketawa wanita, dapat mengatasi suara derap kaki kuda yang biasanya
dapat terdengar sampai jauh? Akan tetapi kalau pendengar tadi adalah seorang ahli silat tinggi, dia akan
tahu bahwa suara ketawa tadi dikeluarkan dengan pengerahan tenaga lweekang dan menggunakan ilmu
yang disebut Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara dari Jarak Jauh).
Kemudian terdengarlah suara yang bening, merdu dan genit dari seorang gadis remaja, “Sumoi (Adik
Perempuan Seperguruan), jangan terlalu cepat! Kau lihat bunga ini, betapa indahnya...!”
Yang bicara ini adalah seorang gadis yang bertubuh agak tinggi langsing dan berwajah cantik. Sepasang
matanya luar biasa sekali dan menjadi bagian yang paling indah dari kecantikannya, mata yang bercahaya,
bening dan bagus bentuknya. Dia memakai baju warna kuning, celana sutera biru, ikat pinggangnya merah,
tangan kiri memegang kendali kudanya yang berbulu coklat, sedangkan tangan kanannya memegang
sebatang cambuk pendek.
dunia-kangouw.blogspot.com
Benar-benar seorang gadis yang selain cantik juga amat gagah sikapnya. Usianya sudah dua puluh tahun
lebih, sudah cukup dewasa, laksana buah yang sudah masak dan sedap dipandang.
Gadis berbaju kuning ini menghentikan kudanya di depan serumpun pohon kembang di mana terdapat
kembang-kembang warna putih, kuning, dan merah. Ia tersenyum-senyum memandang bunga-bunga itu
dengan kagum, kemudian sekali cambuk pada tangannya digerakkan, cambuk itu lantas meluncur ke arah
setangkai bunga putih dan di lain saat setangkai bunga putih telah berada di tangan kirinya.
Lihai sekali dia mainkan cambuk sehingga cambuk itu dapat memetik kembang demikian tepat dan
membawa kembang itu padanya tanpa merusak kembang putih, bahkan rontok sedikit pun tidak! Tanda
bahwa lweekang-nya sudah mencapai tingkat tinggi. Gadis itu tertawa-tawa dan kembali berkata,
“Sumoi, lihat alangkah indahnya bunga-bunga ini!”
Kembali cambuk pendeknya bergerak dan pada lain saat setangkai bunga kuning sudah berada di tangan
kirinya. Dia memandang dan mencium kedua tangkai bunga putih dan kuning itu, kemudian ia memandang
ke arah bunga berwarna merah. Tangan kanan yang memegang cambuk bergerak lagi. Cambuk meluncur
ke bawah.
“Tarrr...!”
Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan