Minggu, 19 November 2017

Cersil Pendekar Bodoh 3


baca juga
----Cersil Pendekar Bodoh 3
Lin Lin lalu menghadap kepada gurunya dan dia sendiri lalu mengatur dua buah kamar di dalam rumah
yang besar itu untuk suci dan gurunya. Kemudian ia minta kepada gurunya untuk memberi petunjukpetunjuk
untuk memperdalam ilmu silatnya. Ia berlatih giat sekali karena dia berpikir bahwa untuk
mengimbangi Cin Hai yang berilmu tinggi, dia juga harus mempertinggi kepandaiannya!
Pada suatu sore dia berlatih silat di dalam pekarangan belakang sambil mendengarkan petunjuk-petunjuk
Biauw Suthai yang berdiri memandang gerakan-gerakannya. Sesudah selesai bersilat Lin Lin lalu duduk
bercakap-cakap dengan Biauw Suthai.
“Suthai, bagaimana pendapatmu tentang ilmu silat Engko Hai?”
“Ilmu silat Sie Taihiap sudah mencapai tingkat yang tidak dapat diukur tingginya, muridku. Ia telah mewarisi
kepandaian tunggal dari Gurunya yakni Bu Pun Su yang luar biasa. Biar pun anak muda itu tidak
memperlihatkannya, akan tetapi sebenarnya dia sudah memiliki segala inti sari ilmu silat dan mendapat
gemblengan yang hebat secara aneh dari Bu Pun Su orang tua sakti itu.”
“Suthai, apakah teecu bisa mendapat kemajuan sampai setinggi tingkatnya?”
Biauw Suthai tertawa dan wajahnya yang menyeramkan itu kini nampak gembira sekali. “Muridku,
kepandaian manusia tak ada batasnya dan asalkan orang mau berusaha, tentu dia akan mencapai
tujuannya. Akan tetapi untuk dapat memiliki kepandaian silat seperti Sie-taihiap orang harus memiliki bakat
dan jodoh dengan guru yang luar biasa seperti Bu Pun Su.”
“Dan sampai di mana tingkat kepandaian Ang I Niocu?” tiba-tiba Lin Lin bertanya.
“Dia? Ah, kepandaiannya pun hebat, karena sesungguhnya ilmu kepandaiannya dan ilmu kepandaian Sietaihiap
adalah satu cabang. Ketahuilah, kalau aku tak salah, Ang I Niocu adalah cucu murid dari Bu Pun Su
karena Kakek itu adalah susiok-couw-nya. Dalam hal ilmu silat, walau pun Ang I Niocu memiliki gerakan
yang indah dan lebih matang, akan tetapi dia masih kalah setingkat oleh Sie-taihiap.”
“Suthai, teecu ingin sekali mencoba kepandaian Ang I Niocu. Agaknya teecu takkan kalah melawan dia,”
entah mengapa tiba-tiba suara Lin Lin terdengar marah dan sengit karena perasaan cemburu telah
menyerang hatinya.
Gurunya heran mendengar ini, dan tiba-tiba Biauw Suthai yang berkepandaian tinggi bisa mendengar suara
tindakan kaki yang sangat ringan di belakang mereka. Ketika nenek ini mengerling, ternyata Ang I Niocu
sudah berada di belakang mereka, bersembunyi di balik sebatang pohon.
“Wanita itu agaknya sombong dan sangat bangga akan kecantikannya. Coba saja Suthai ingat kembali
betapa dia berlagak ketika memperlihatkan kepandaiannya dulu itu.”
“Lin Lin, kalau belum tahu jelas, jangan suka menyangka yang tidak-tidak terhadap orang lain. Lagi pula,
bukankah dia telah membantu pihakmu dalam pertempuran dulu itu?” kata Biauw Suthai yang hatinya
merasa tidak enak sekali karena tentu saja Ang I Niocu dapat mendengar percakapan mereka.
“Suthai, teecu tidak menyangka yang tidak-tidak, karena sesungguhnya teecu juga tidak mempunyai
hubungan apa-apa dengan dia kecuali... karena dia... kawan baik Engko Hai, maka ia pun boleh kuanggap
sebagai kawan. Akan tetapi, jika dia tidak sombong, kenapa ia pergi diam-diam dan tanpa pamit? Ia
menjadi kawan baik Engko Hai, akan tetapi ketika Engko Hai terluka, mengapa ia tidak peduli bahkan
meninggalkannya pergi?”
“Sudahlah Lin Lin, kau membicarakan seorang yang berdiri tak jauh dari kita!” kata Biauw Suthai, lalu nenek
ini berpaling dan berkata, “Niocu, silakan duduk!”
Ang I Niocu keluar dari belakang pohon dan Lin Lin cepat berdiri lalu memandang kepada Dara Baju Merah
dunia-kangouw.blogspot.com
itu dengan mata terbelalak. Ia merasa heran bukan main ketika melihat betapa wajah Ang I Niocu sangat
pucat dan dari kedua mata yang bagus itu keluar dua titik air mata yang masih menetes di atas pipinya.
Akan tetapi, pada waktu pandangan matanya bertemu dengan Lin Lin, bibir Ang I Niocu mengeluarkan
senyum sedih. “Adikku yang baik, semua kata-katamu benar belaka. Aku memang seorang yang sombong
dan bodoh. Adikku, aku maklum akan isi hatimu, jangan kau khawatir. Hai-ji dan aku hanya... hanya kawan
baik dan kawan senasib belaka...”
Dara Baju Merah itu memejamkan mata seakan-akan sedang menahan rasa sakit yang menyerang
dadanya, lantas dia berkata lagi, sekarang suaranya terdengar tegas, “Akan tetapi dalam hal kepandaian
silat, agaknya kau masih harus belajar banyak untuk dapat mengimbangi kepandaianku, apa lagi jika
hendak menyamai ilmu kepandaian Hai-ji. Kau tadi menyatakan keinginanmu hendak mencoba ilmu silatku,
bukan? Nah, agar kau puas marilah kita main-main sebentar!”
Lin Lin memang berhati tabah, sedikit pun dia tidak menjadi jeri. Dia lalu menarik keluar sebilah belati
pendek yang menjadi senjata ampuhnya. Biauw Suthai hendak mencegah, akan tetapi Ang I Niocu
menghadapi nenek ini sambil berkata dan menjura,
“Suthai, aku bukan anak kecil lagi, tak perlu Suthai salah sangka. Aku hanya bermaksud menambah
pengertiannya dan kepandaian Adik ini.”
Mendengar ucapan dan melihat sikap Ang I Niocu, Biauw Suthai menarik napas lega. Dia hanya
menggerakkan tangannya kepada Lin Lin dan berkata. “Lin Lin, jangan kau berlaku kurang ajar kepada
tamu dan belajarlah baik-baik dari Ang I Niocu!”
Ang I Niocu lalu menghunus pedangnya dan berkata kepada Lin Lin, “Nah, kau maju dan seranglah, Adikku
yang baik, dan jangan kau berlaku sungKansungkan lagi.”
Lin Lin adalah seorang gadis yang masih sangat muda dan belum mempunyai banyak pengalaman.
Hatinya masih keras dan tabah, karena itu ketika mendengar ucapan Ang I Niocu, dia merasa bahwa dia
disindir dan dipandang ringan. Maka tanpa mengeluarkan kata-kata lagi dia lalu menyerang dengan
belatinya.
Ang I Niocu mengelak cepat dan keduanya lantas bertempur seru. Senjata Lin Lin yang berupa belati
pendek itu membuat gerakan tangannya cepat sekali, jauh lebih cepat dari pada gerakan pedang. Lagi
pula, gadis ini sudah mendapat didikan ilmu silat semenjak kecil oleh Biauw Suthai yang berilmu tinggi,
maka dapat dimengerti bahwa gadis ini telah mempunyai kepandaian yang lumayan dan tak mudah
dikalahkan oleh sembarang orang. Selain memiliki ilmu silat tinggi, juga tubuhnya ringan sekali dan
gerakannya gesit laksana seekor burung walet.
Akan tetapi sekarang ia menghadapi Ang I Niocu yang selain memiliki kepandaian tinggi, juga telah
memiliki pengalaman lebih luas dari pada Lin Lin. Juga, jika Lin Lin bertempur dengan bernafsu sekali,
adalah Ang I Niocu menghadapinya dengan tenang.
Nona Baju Merah ini lalu memainkan pedangnya sambil mengeluarkan ilmu Pedang Tari Bidadari yang
indah dan lihai. Tubuhnya bergerak-gerak perlahan secara lemah gemulai, pedangnya berkelebat cepat
dan dapat menangkis setiap serangan Lin Lin yang semakin bernafsu melancarkan serangan-serangan
hebat.
Ang I Niocu sengaja berlaku mengalah dan lebih banyak mempertahankan diri dari pada menyerang. Ia
biarkan Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi dan hanya menggunakan sedikit gerakan untuk menangkis
atau mengelak sehingga ia hanya sedikit mengeluarkan tenaga, ada pun Lin Lin seperti seekor naga yang
muda dan ganas menyambar-nyambar dengan belatinya!
Lama juga mereka saling mengeluarkan kepandaian. Lin Lin terus mengejar sedang Ang I Niocu mengelak
dan mempertahankan diri. Peluh telah membasahi wajah Lin Lin yang menjadi kemerah-merahan dan
kedua matanya yang indah itu bersinar-sinar galak, ada pun Ang I Niocu tetap saja bermain dengan tenang.
Rambut Ang I Niocu yang diikat dengan sapu tangan merah dan terurai ke belakang itu berkibar mengikuti
gerakannya, sedangkan rambut Lin Lin yang hitam dan panjang serta dikuncir dua menyabet ke sana ke
mari bagaikan dua ekor ular hitam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Biauw Suthai berdiri menonton pertempuran itu dengan mata kagum. Karena asyiknya ia menonton, tak
terasa lagi kadang-kadang Biauw Suthai menggerak-gerakkan tangannya seakan-akan dia sendiri yang
sedang bertempur menghadapi Ang I Niocu. Kalau Lin Lin melakukan kesalahan dalam gerakannya, ia
menjadi kecewa lantas membanting-banting kakinya, sedangkan kalau Lin Lin melepaskan kesempatan
baik dalam sebuah serangan, ia menjadi marah dan mengeluarkan suara dengan lidahnya. Orang tua ini
benar lupa diri karena asyik dan kagumnya melihat pertempuran itu.
Sebetulnya Ang I Niocu hanya hendak mengukur saja sampai di mana kepandaian gadis itu. Karena itu,
setelah puas melayani Lin Lin, tiba-tiba dia merubah gerakannya dan kini melancarkan serangan-serangan
hebat sehingga pedangnya berkelebat amat cepat dan bayangan tubuhnya bergulung-gulung akibat
cepatnya gerakan tubuhnya. Lin Lin terkejut sekali dan terdesak hebat. Akan tetapi Ang I Niocu tidak mau
menyerang terus, bahkan lalu melompat ke belakang sambil berkata,
“Adik, sudah cukup kita mengukur tenaga.”
Lin Lin merasa kagum sekali. Kini ia tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu jauh lebih tinggi dari pada
kepandaiannya sendiri dan tahu pula bahwa Nona Baju Merah itu tidak berniat buruk. Maka buru-buru ia
menyimpan belatinya dan menghampiri Ang I Niocu.
“Cici, kepandaianmu lihai sekali dan aku mohon engkau sudi memberi petunjuk.”
Ang I Niocu pada saat mendengar kata-kata ini dan melihat sikap yang polos dari Lin Lin, timbul perasaan
sukanya. Ia memegang Lin Lin, dan berkata, “Adik Lin Lin, engkau masih harus belajar banyak kalau ingin
mengimbangi kepandaian Hai-ji.”
Ketika melihat betapa wajah gadis ini tertutup oleh kedukaan, dia bertanya, “Adik Lin Lin, kenapa wajahmu
nampak amat murung? Bagaimana dengan keluargamu, baik-baik saja bukan?”
Ternyata Ang I Niocu sama sekali tidak tahu akan peristiwa hebat yang sudah menimpa keluarga Kwee,
oleh karena ketika rasa cemburu dan iri hati merusak hatinya sehingga membuat ia angkat kaki dan pergi
tanpa pamit dulu, ia lalu menjauhkan diri dari dusun itu dan hendak melanjutkan perantauannya.
Telah dicobanya dengan berkeras hati untuk melupakan Cin Hai, akan tetapi ternyata ia gagal. Makin
dilupa, justru ia makin teringat kepada pemuda itu dan akhirnya ia tak dapat menahan hatinya lagi. Dia
teringat betapa Cin Hai mendapat luka dan dia menjadi kuatir sekali. Inilah yang membuat dia kembali ke
kampung itu dan dengan diam-diam masuk pekarangan belakang hingga mendengar percakapan antara
Lin Lin dan Biauw Suthai.
Ketika mendapat pertanyaan dari Ang I Niocu tentang keluarganya, tak tertahan lagi Lin Lin segera
memeluk Nona Baju Merah itu sambil menangis keras dan sedih. Ang I Niocu menjadi bingung, akan tetapi
ketika dia memandang ke arah Biauw Suthai, nenek tua ini memberi isyarat padanya hingga ia hanya
mengelus-elus kepala Lin lin yang disandarkan di dadanya.
“Adikku yang baik. Tenangkanlah hatimu dan mari kita bicara dengan baik-baik.” Ia lalu menuntun Lin Lin
ke dalam rumah menurut isyarat yang diberikan oleh Biauw Suthai.
Kwee Tong dan Pek I Toanio menyambut Ang I Niocu yang dalam pandangan matanya tidak ada bedanya
bagaikan seorang bidadari! Maka Kwee Tiong lalu menyuruh pelayan mengeluarkan hidangan dan dia
melayani tamunya dengan hormat dan bermuka-muka. Akan tetapi Ang I Niocu yang telah tahu akan sifat
pemuda macam Kwee Tiong ini, tidak ambil peduli kepadanya dan bersikap seolah-olah pemuda ini tidak
ada.
Sesudah mendengar penuturan Lin Lin tentang bencana yang menimpa keluarga Kwee, wajah Ang I Niocu
menjadi merah karena ia merasa marah sekali.
“Jahanam benar perwira-perwira itu! Dan Hai Kong Hosiang selalu turut campur dalam segala macam
urusan busuk. Pendeta palsu itu sudah seharusnya dibasmi dari muka bumi!” Sambil mengepal-ngepal
tangannya Ang I Niocu menyatakan perasaannya. “Dan bagaimana dengan luka kakakmu? Di mana
adanya dia dan di mana Hai-ji?” tanyanya kepada Lin Lin.
“Mereka telah pergi lima hari yang lalu untuk mencari musuh-musuh kami itu kemudian membalas
dendam!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ang I Niocu mengangguk. “Dan kau sendiri, Adik Lin, mengapa kau tidak ikut pergi?”
Pertanyaan ini mengandung dua maksud. Pertama-tama sebab ia memang merasa heran kenapa Lin Lin
tidak mau ikut membalaskan sakit hati kedua orang tuanya. Kedua kalinya karena ia hendak memancing
dan menyelidiki sampai di mana hubungan antara gadis ini dengan Cin Hai.
Mendengar pertanyaan ini, mendadak Lin Lin menjadi marah dan cemberut. “Inilah yang menyesalkan
hatiku! Mereka itu tidak mau membawaku serta! Sungguh menggemaskan!”
Pek I Toanio turut bicara dan membela Cin Hai, “Sie-taihiap tidak mau membawa Sumoi oleh karena
memang apa bila Sumoi ikut, maka usaha membalas dendam itu akan lebih sukar lagi.”
“Kepandaian Lin Lin belum cukup tinggi menempuh bahaya besar itu,” kata Biauw Suthai dengan sabar.
“Dan lagi, kalau Lin Lin pergi, aku akan ditinggal seorang diri di rumah, bagaimana kalau penjahat-penjahat
itu datang kembali?” kata Kwee Tiong yang tidak sadar bahwa ucapan ini menunjukkan sifatnya yang
pengecut.
Ang I Niocu tersenyum memandang Lin Lin. “Kau benar, Adikku. Tidak ada bahaya bagi seorang anak yang
hendak membalaskan sakit hati orang tuanya.”
Lin Lin memandangnya dengan rasa berterima kasih karena ternyata Nona Baju Merah ini membela dan
membenarkannya. Pada waktu ia hendak menyatakan kemenangannya kepada guru dan suci-nya, Ang I
Niocu yang tidak mau berbantah dengan Biauw Suthai telah berkata pula,
“Akan tetapi betapa pun juga, kau harus tunduk kepada nasehat Gurumu.”
Ucapan ini membuat Lin Lin menunduk dan tak jadi membuka mulut. Akan tetapi di dalam hati ia merasa
tertarik dan suka sekali kepada Ang I Niocu. Dengan sangat dia kemudian membujuk-bujuk supaya wanita
itu suka bermalam di rumahnya. Yang lain ikut membujuk pula hingga akhirnya Ang I Niocu menyatakan
setuju.
Lin Lin gembira sekali dan dia menarik tangan Ang I Niocu ke kamarnya, karena dia tidak mau berpisah
dengan nona ini dan minta Ang I Niocu bermalam di dalam kamarnya saja.
Dan pada keesokan harinya, ternyata Lin Lin sudah pergi dari rumah itu bersama Ang I Niocu. Gadis ini
dengan sangat mernbujuk kepada Ang I Niocu untuk membawanya pergi menyusul Cin Hai. Biauw Suthai
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata kepada Pek I Toanio,
“Muridku, biar pun keselamatan Lin Lin tak perlu dikhawatirkan karena dia pergi bersama Ang I Niocu, akan
tetapi hatiku merasa tidak tenteram. Lebih baik kita juga pergi mencari mereka itu untuk membantu apa bila
mereka berada dalam bahaya.”
Keduanya segera berpamit kepada Kwee Tiong yang menjadi amat kecewa dan khawatir. “Kalau Lin Lin
pergi dan jiwi pergi pula, habis kalau sampai terjadi apa-apa di rumah ini, aku harus berbuat apa?”
Pek I Toanio mendongkol sekali melihat sikap pemuda yang penakut ini, maka katanya dengan ketus,
“Kongcu, mengapa memiliki hati sedemikian kecilnya? Adik-adikmu pergi dengan nekad mencari musuh,
akan tetapi engkau yang ditinggal di rumah seorang diri saja merasa takut.”
Akan tetapi Biauw Suthai yang tidak mau berbicara banyak dengan pemuda ini berkata, “Kwee-kongcu, jika
engkau merasa takut, kau pergi saja kepada Suhu-mu dan tinggal di rumah kuil.” Kemudian guru bersama
murid ini meninggalkan Kwee Tiong tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk banyak
membantah.
Kwee Tiong lalu menutup pintu rumahnya, menghentikan semua pelayan yang membantu rumah keluarga
Kwee dan dia pergi ke Tiang-an lalu menemui gurunya, yaitu Tong Gak Hosiang di kelenteng Ban-hok-tong,
di mana dia kemudian berlutut sambil menangis dan menceritakan segala hal ihwalnya kepada pendeta itu.
Tong Gak Hosiang hanya dapat menghela napas. Dia lalu menasehati muridnya untuk berdiam saja untuk
sementara waktu di kelenteng itu…..
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
Sesudah melakukan perjalanan cepat tanpa berhenti, akhirnya Cin Hai dan Kwee An tiba di kota raja. Di
sepanjang perjalanan, dua anak muda ini saling menuturkan pengalaman masing-masing dan Kwee An
merasa kagum sekali akan hasil yang diperoleh Cin Hai, anak yang ketika kecilnya gundul yang selalu
dihina orang itu. Ia makin suka kepada Cin Hai dan selama perjalanan tiada hentinya ia minta petujukpetunjuk
dan nasehat-nasehat tentang persilatan.
Hanya dengan melihat permainan silat Kwee An saja, Cin Hai dapat melihat kekurangan-kekurangan dan
kelemahan-kelemahannya sehingga ia dapat memberikan petunjuk yang benar-benar sangat berguna bagi
Kwee An dan berdasarkan petunjuk ini, ilmu silat Kwee An menjadi lebih sempurna lagi.
Di kota raja mereka berdua mencari keterangan dan mendengar bahwa asrama kaum perwira Sayap
Garuda adalah sebuah bangunan besar merupakan benteng yang disebut Eng-hiong-koan atau
Penginapan Para Pendekar. Dengan tabah dan berani sekali Cin Hai dan Kwee An pada keesokan harinya,
pagi-pagi sudah mengunjungi Eng-hiong-koan dan memberitahukan kepada penjaga bahwa mereka ingin
menemui para perwira Sayap Garuda.
“Kami adalah kenalan-kenalan baik dari Ma-ciangkun dan lain-lain perwira, terutama lima orang Shantung
Ngo-hiap.”
“Sayang sekali bahwa sekarang ini semua perwira sedang mengadakan pertemuan besar sehingga kurasa
tak sempat menjumpai kalian berdua,” jawab penjaga itu.
“Pertemuan apakah?” tanya Cin Hai.
“Di dalam gedung sedang diadakan pemilihan tiga orang perwira yang hendak diangkat menjadi kepala
perwira istana dan menjadi pengawal pribadi Kaisar,” jawab penjaga itu.
Akan tetapi penjaga kedua yang tidak suka melihat kawannya mengajak kedua pemuda itu mengobrol, lalu
berkata, “Kamu berdua boleh datang lagi besok pagi saja. Pendeknya pada saat ini tak seorang pun boleh
memasuki Eng-hiong-koan.”
Kwee An dan Cin Hai merasa dongkol sekali. Mereka saling pandang dan saling memberi tanda dengan
kejapan mata. Keduanya bergerak cepat dan hampir berbarengan mereka mengulurkan tangan menotok
kedua penjaga itu yang segera roboh dengan tubuh lemas karena jalan darah mereka sudah tertotok oleh
Cin Hai dan Kwee An!
Dengan tenang dua pemuda gagah ini lalu bertindak masuk. Mereka langsung ke ruang belakang di mana
terdengar suara orang bersorak dan tanpa jeri sedikit pun mereka lalu melangkah masuk dari sebuah pintu
yang besar dan tinggi.
Ternyata ruangan belakang itu amat luas dan di tengah ruang itu sudah terdapat sebuah panggung karena
memang ruang ini adalah ruang berlatih silat atau lian-bu-thia. Kurang lebih tiga puluh orang perwira duduk
mengitari panggung itu, ada pun di kepala panggung duduk seorang hwesio gundul bertubuh tinggi kurus
dan di sebelahnya duduk beberapa orang perwira tua yang kelihatannya merupakan perwira-perwira tingkat
tinggi. Juga Ma Ing nampak duduk di sebelah hwesio itu.
Ketika itu memang sedang diadakan pertandingan adu silat di antara para perwira yang dicalonkan untuk
menjadi pemimpin perwira penjaga istana. Pemilihan ini dilakukan atas perintah kaisar sendiri yang minta
supaya tiga orang panglima yang berkepandaian tinggi dan lihai untuk menjadi pengawal pribadi di dalam
istana. Siapa orangnya yang tidak mau mencoba peruntungannya pada kesempatan ini? Menjadi pengawal
pribadi kaisar adalah sebuah pekerjaan yang enak dan mulia.
Pemilihan ini dilakukan dan diawasi oleh hwesio tinggi kurus itu yang sebenarnya adalah hwesio kepala
dalam Kuil See-thian-tong yang menjadi kuil di lingkungan istana dan yang biasanya dikunjungi kaisar.
Selain menjadi kepala hwesio di kuil kota raja itu, juga hwesio yang bernama Beng Kong Hosiang ini
diangkat pula menjadi penasehat para perwira. Ini kedudukan yang tinggi, karena sebenarnya hwesio ini
bukan lain ialah suheng atau kakak seperguruan dari Hai Kong Hosiang yang sudah terkenal kelihaiannya.
Di bawah pengawasan Beng Kong Hosiang, maka sekarang diadakan pemilihan dan para perwira itu
dunia-kangouw.blogspot.com
mengadu kepandaian untuk merebut kedudukan itu. Pada waktu Cin Hai dan Kwee An memasuki ruangan
itu, dua orang perwira Sayap Garuda sedang bergumul di atas panggung dan semua perwira yang
menonton bersorak-sorak gembira, juga Beng Kong Hosiang, Ma Ing dan perwira lain yang dianggap tertua
dan terpandai, menikmati pertandingan itu hingga mereka tidak melihat masuknya pemuda ini.
Cin Hai berbisik kepada Kwee An dan keduanya lalu menggenjot tubuh mereka melalui kepala para perwira
kemudian melompat ke atas panggung di mana dua orang perwira itu sedang mengadu kepandaian.
Dengan gerakan ringan dan cepat, Cin Hai dan Kwee An masing-masing memegang seorang perwira pada
lehernya dan melemparkan mereka ke bawah panggung seakan-akan orang melempar ayam saja!
Semua orang terkejut, tidak terkecuali Beng Kong Hosiang. Ketika Ma Ing melihat siapa yang datang
mengacau, dia menjadi pucat karena dia telah mengenal Cin Hai yang telah dirasai kelihaiannya itu.
Cin Hai lalu memandang ke sekeliling dan keadaan di sana sunyi senyap karena semua orang masih
tercengang melihat peristiwa yang tak disangka-sangka itu. Siapakah orang yang berani mati mengacau di
dalam Eng-hiong-koan pada saat perwira-perwira sedang mengadakan pemilihan, bahkan pada saat Beng
Kong Hosiang berada di sana? Mungkin setan pun tak berani mengacau, maka tindakan dua orang
pemuda itu sungguh-sungguh membuat mereka tercengang dan terheran!
“Cuwi-ciangkun (para panglima yang terhormat), kedatangan kami berdua bukan sengaja hendak
mengacau bahkan kami sesungguhnya tidak mempunyai urusan apa pun dengan Eng-hiong-koan ini. Akan
tetapi karena musuh-musuh kami berada di sini, terpaksa kami datang juga. Kini kami minta supaya para
musuh besar kami itu suka tampil ke muka dan mempertanggung jawabkan perbuatan mereka yang
biadab!”
Semua orang merasa heran mendengar ini dan mereka tercengang melihat ketenangan anak muda itu.
Yang tidak tahu akan persoalannya saling pandang dan angkat pundak.
Melihat keberanian ini, Beng Kong Hosiang tertawa terkekeh-kekeh sebab ia memandang rendah sekali
pada kedua orang itu. Maka katanya dengan suaranya yang tinggi nyaring,
“Ehh, anak-anak muda yang berani mati! Siapakah musuh-musuhmu itu?”
Sekarang Kwee An yang menjawab dengan suaranya yang halus nyaring, “Musuh-musuh kami adalah si
pengecut Boan Sip, kedua saudara Tan Song dan Tan Bu, kelima orang kawanan yang disebut Shantung
Ngo-hiap Ma Ing, Un Kong Sian serta tiga saudaranya yang lain, dan yang terakhir adalah seorang hwesio
keparat bernama Hai Kong Hosiang. Manusia-manusia biadab yang namanya kusebutkan itu kalau berada
di tempat ini harap maju untuk menerima kematian!”
Semua orang terkejut, tak terkecuali Beng Kong Hosiang. Betapa beraninya dua pemuda itu. Orang-orang
yang namanya mereka sebut adalah perwira-perwira kelas tinggi, malah Ma Ing dan Un Kong Sian
mendapat tempat duduk di deretan Beng Kong Hosiang karena mereka itu sudah dianggap perwira-perwira
yang tinggi kedudukan dan kepandaiannya, demikian pula tiga orang saudara seperguruannya dan yang
kesemuanya berjumlah lima orang dan disebut Shantung Ngo-hiap. Terlebih lagi nama yang terakhir, yakni
Hai Kong Hosiang, karena hwesio ini merupakan sute (adik sepergurunan) dari Beng Kong Hosiang sendiri!
Musuh-musuh besar yang namanya disebutkan tadi semua berada di situ, kecuali Boan Sip dan Hai Kong
Hosiang. Biar pun wajah mereka menjadi berubah ketika nama-nama mereka disebut, tapi karena berada di
rumah sendiri dan memiliki banyak kawan-kawan, terutama adanya Beng Kong Hosiang di situ membuat
mereka tabah dan berani.
Secara otomatis Tan Song dan Tan Bu segera berdiri dan menghampiri kelima saudara Shantung Ngo-hiap
yang duduk di dekat Beng Kong Hosiang. Juga lima orang jago dari Shantung itu yakni Ma Ing, Un Kong
Sian, dan tiga orang lain yang belum pernah dilihat Cin Hai, lalu berdiri dari kursinya hingga ketujuh orang
ini berkelompok untuk menghadapi kedua musuh itu.
Sebetulnya nama Shantung Ngo-hiap memang telah terkenal sekali. Urutan mereka ialah seperti berikut:
yang pertama Lauw Tek, kedua adalah adiknya Lauw Houw. Dua saudara inilah yang dahulu ikut
membasmi keluarga Kwee.
Orang ke tiga adalah seorang tua yang berwajah sabar dan bernama Ma Keng In, dan dia ini adalah satusatunya
orang dari kelima jago dari Shantung yang tak pernah memusuhi keluarga Kwee dahulu. Akan
dunia-kangouw.blogspot.com
tetapi karena dia juga menjadi anggota Shantung Ngo-hiap, maka otomatis ia pun ikut berdiri dan bersatu
dengan saudara-saudara seperguruannya.
Orang ke empat dan ke lima adalah Ma Ing dan Un Kong Sian. Melihat kepandaian orang ke empat dan ke
lima saja yang demikian hebatnya seperti terbukti ketika Un Kong Sian dan Ma Ing memperlihatkan
kepandaian di rumah keluarga Kwee dahulu, maka dapatlah dibayangkan betapa tingginya kepandaian Ma
Keng In, Lauw Houw dan Lauw Tek!
Demikianlah, kelima Shantung Ngo-hiap itu serta kedua saudara Tan Song dan Tan Bu setelah berdiri
merupakan satu kelompok, lalu Ma Ing membuka suara,
“Ehh, dua anjing pemberontak muda! Kami bertujuh ada di sini, kalian mau apa?”
Sambil berkata demikian, dia bergerak maju menuju ke panggung itu, diikuti oleh enam orang lainnya.
Sambil maju, mereka meloloskan senjata masing-masing. Para perwira yang merasa marah sekali melihat
kedatangan dua orang muda yang mengacau ini, juga pada bergerak mendekati panggung sehingga Cin
Hai dan Kwee Ang seolah-olah hendak dikeroyok oleh puluhan orang perwira Sayap Garuda itu!
Cin Hai memandang ke arah mereka dengan senyum sindir. “Hmm, hmm, tidak kusangka bahwa selain
menjadi manusia-manusia biadab yang kejam, juga para perwira Sayap Garuda yang terkenal ganas
ternyata hanyalah sekumpulan pengecut yang hanya berani main keroyokan. Ha-ha-ha, kalian majulah!”
Sambil berkata demikian, tangannya segera bergerak dan tahu-tahu pedang pusaka Liong-coan-kiam telah
berada di tangannya!
Juga Kwee An telah bersiap sedia dan ia mencabut pedangnya yang juga bukan pedang sembarangan.
Mereka sudah mengambil keputusan untuk bertempur dengan nekad dan mengadu jiwa.
Tiba-tiba terdengar bentakan Beng Kong Hosiang, “Tahan!”
Dan tahu-tahu hwesio yang tinggi kurus ini sudah berada di atas panggung, mendahului semua perwira.
Dia menghadapi kedua pemuda itu dengan sikap yang angkuh.
“Apakah kalian tidak malu?” tegurnya kepada semua perwira yang bergerak maju. “Untuk menangkap dua
ekor cacing saja kalian hendak menggunakan tongkat besar? Janganlah kalian bikin malu kepada pinceng,
Cuwi-ciangkun!”
Memang ucapan Beng Kong Hosiang ini beralasan sekali. Ia terkenal sebagai penasehat para perwira dan
juga terkenal sebagai seorang yang sangat disegani dan ditakuti karena kepandaiannya yang sangat tinggi.
Sekarang tempat itu dikacau oleh dua orang pemuda, masakan para perwira hendak mengeroyoknya,
seakan-akan kehadirannya itu tidak ada artinya sama sekali!
Dia sudah melihat gerakan kedua orang tadi ketika melompat ke atas panggung dan dia maklum bahwa di
antara kedua pemuda ini, yang harus diawasi adalah Cin Hai, ada pun pemuda yang ke dua itu tidak
berbahaya.
Mendengar bentakan Beng Kong Hosiang semua perwira menahan gerakan mereka dan hanya berdiri
memandang kepada pemuda itu dengan mata mengancam.
Beng Kong Hosiang lalu tertawa. “Anak-anak muda, kalian ini siapakah dan murid siapa sehingga berani
sekali mengganggu tempat kediaman kami?”
“Aku bernama Sie Cin Hai dan ini adalah Kwee An,” jawab Cin Hai dengan suara tenang karena dia belum
kenal siapa sebetulnya hwesio tua ini. “Kedatangan kami ini tidak ada hubungannya dengan orang lain,
kecuali orang-orang yang namanya sudah disebut tadi. Mereka itu secara kejam sekali telah membunuh
keluarga Kwee dan kami sengaja datang untuk menuntut balas!”
“Hemm, mereka itu dibunuh karena mereka sudah memberontak dan berani menghina perwira-perwira
kerajaan. Kalian memiliki kepandaian apakah hingga berani mengacau di sini? Ketahuilah, anak-anak
muda, perbuatan kalian ini saja sudah cukup menjadi alasan untuk menghukum kalian!”
“Kami hanya ingin membasmi orang-orang yang menjadi musuh-musuh kami dan untuk itu kami bersedia
menghadapi siapa saja!” berkata Kwee An dengan marah karena dia dapat menduga bahwa hwesio ini
dunia-kangouw.blogspot.com
tentulah orang yang berpengaruh di kalangan perwira Sayap Garuda.
“Ha-ha-ha! Kau seperti anak-anak burung yang baru belajar terbang, tidak tahu sampai di mana tingginya
langit dan luasnya lautan! Lauw Tek-ciangkun, marilah kau dan pinceng menghadapi dua ekor cacingcacing
tanah ini!”
Beng Kong Hosiang berlaku cerdik. Dia tidak mau jika pihaknya disebut curang dan main keroyokan, akan
tetapi ia pun tidak menghendaki pihaknya mendapat kekalahan, maka ia sengaja memanggil Lauw Tek,
yaitu saudara tertua dari Shantung Ngo-hiap atau perwira berkepandaian tertinggi yang pada waktu itu
hadir di situ. Dia maklum bahwa kepandaian Lauw Tek sudah cukup tinggi untuk menghadapi Kwee An,
sedangkan untuk menghadapi Cin Hai, dia sendiri hendak maju memperlihatkan kepandaiannya!
Sambil tersenyum Lauw Tek menggerakkan tubuh, segera melompat ke atas panggung menghadapi Kwee
An. Ia lalu menuding dan berkata kepada pemuda itu,
“Dulu kau masih kuberi ampun sehingga jiwamu tak sampai melayang. Apakah karena itu kau merasa
menyesal dan sekarang sengaja datang untuk mengantar jiwa?”
Kwee An mengenal orang ini sebagai salah seorang di antara mereka yang menyerbu rumahnya, maka
tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan pedangnya dan menusuk dengan gerakan Rajawali
Mematuk Ikan. Lauw Tek kemudian menggerakkan pedangnya menangkis sambil tersenyum menyindir dan
mereka berdua lalu bertempur hebat.
“Ha-ha-ha, anak muda, sambutlah hidanganku yang pertama!” kata Beng Kong Hosiang dan dia mengebut
dengan ujung lengan baju yang lebar dan panjang ke arah jalan darah kin-hun-hiat di dada Cin Hai.
Sambaran ini hebat dan kuat, akan tetapi dengan tenang Cin Hai lalu miringkan tubuhnya mengelak dan
tahu-tahu pedangnya membabat ke arah pergelangan tangan Beng Kong Hosiang ini! Hampir saja lengan
tangan Beng Kong Hosiang terbabat putus oleh pedang Liong-coan-kiam.
Hwesio ini terkejut sekali karena ia tak menyangka sama sekali akan kehebatan Cin Hai, maka tadi dia
berlaku lambat. Harus diketahui bahwa serangannya dalam kebutan ujung lengan baju tadi bukanlah
serangan yang sembarangan saja dan baru angin pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan
seorang lawan yang kuat, tetapi ternyata pemuda ini dengan miringkan tubuhnya ke kiri sudah dapat
mengelak dari serangannya. Bagaimana pemuda ini tahu bahwa arah kebutan lengan bajunya memutar ke
kanan hingga dengan mudah ia dapat berkelit ke kiri?
Dia mengebut lagi, kini dengan tipu Dewa Mabok Menyiram Arak. Gerakan ini dilakukan dengan ujung
lengan baju kanan dan mula-mula langsung meluncur ke depan mengarah muka lawan, akan tetapi
gerakan ini hanya untuk mengaburkan pandangan lawan belaka, karena gerakan yang sesungguhnya
adalah secepat kilat ujung lengan baju itu diputar ke arah pergelangan orang yang memegang pedang
untuk merampas pedang lawan itu!
Akan tetapi, lagi-lagi ia terkejut bukan main, bahkan mukanya menjadi berubah ketika Cin Hai mendiamkan
saja ujung lengan baju yang mengebut ke arah mukanya karena ujung lengan baju itu memang tidak
diteruskan, malah kini terputar cepat ke arah pergelangan tangannya. Cin Hai cepat menggerakkan lengan
tangannya dan pedangnya menyabet ke bawah sehingga tanpa ampun lagi ujung lengan baju itu terbabat
putus!
Bukan main terkejut dan marahnya Beng Kong Hosiang. Tadinya ia menyangka bahwa dalam satu dua
gebrakan saja dia akan dapat merobohkan lawan yang muda ini. Tidak tahunya, serangannya dalam dua
jurus itu tidak menghasilkan sesuatu bahkan ia sendiri menderita kerugian karena ujung lengan baju yang
merupakan senjata baginya itu sudah terbabat putus!
Dengan muka terheran-heran ia lalu mengeluarkan senjata yang luar biasa, yaitu sebuah pacul yang
bergagang bengkok dan mata pacul itu tajam juga lebar sekali. Akan tetapi anehnya gagang pacul itu dapal
dilipat dua dan oleh karena itu sesudah dilipat menjadi pendek dan dapat diselipkan pada pinggangnya.
Sambil membentak hebat Beng Kong Hosiang mengayunkan pukulannya dan menyerang dengan cepat.
Gerakannya aneh sekali laksana seorang petani mencangkul tanah. Akan tetapi Cin Hai berlaku tangkas
dan cepat melompat ke pinggir, lantas balas menyerang dengan pedangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di lain pihak, Kwee An mengeluarkan seluruh ketangkasan serta kepandaiannya untuk mempertahankan
diri terhadap serangan Lauw Tek yang benar-benar lihai itu. Melihat permainan pedang Kwee An, Lauw Tek
sambil menyerang berkata,
“Ehh, anak muda she Kwee, bukanlah kau murid Eng Yang Cu dari Kim- san-pai?”
Kwee An merasa terkejut ketika lawannya dapat mengenal ilmu pedangnya. Ia menahan senjatanya dan
membentak, “Kalau aku benar murid Kim-san-pai, kau mau apakah?”
Lauw Tek tertawa menghina. “Kebetulan sekali, kau boleh mewakili Eng Yang Cu untuk mampus di ujung
senjataku!” Setelah berkata demikian ia segera mendesak makin hebat hinggga Kwee An yang memang
kalah tinggi kepandaiannya menjadi terdesak hebat.
Tidak tahunya Lauw Tek memang pernah bentrok dengan Eng Yang Cu, salah satu tokoh dari Kim-san-pai.
Hal ini terjadi belasan tahun yang lalu, sebelum Kwee An menjadi murid Eng Yang Cu.
Ketika itu, Shantung Ngo-hiap masih tinggal di Shantung dan menjadi jago yang ditakuti karena di samping
lihai juga terkenal ganas. Kebetulan pada waktu itu Eng Yang Cu yang sedang merantau tiba di Shantung
dan mendengar tentang keadaan Shantung Ngo-hiap, lalu sengaja menantang pibu pada mereka. Pada
waktu itu, Eng Yang Cu masih berdarah panas hingga ia tak tahan mendengar betapa di Shantung ada
Shantung Ngo-hiap yang menjagoi dan berlaku sewenang-wenang.
Di dalam pertandingan pibu ini, seorang demi seorang dari Shantung Ngo-hiap akhirnya kena dikalahkan
oleh Eng Yang Cu. Akan tetapi secara licik kelima jago Shantung itu lalu mengeroyok sehingga Eng Yang
Cu menjadi terdesak dan melarikan diri. Semenjak itu, Shantung Ngo-hiap menaruh dendam kepada Eng
Yang Cu.
Karena pernah bertempur dengan Eng Yang Cu, maka Lauw Tek dapat mengenal ilmu silat Kim-san-pai
yang dimainkan oleh Kwee An dan karena melihat kelihaian Kwee An, ia pun dapat menduga bahwa anak
muda ini tentulah murid dari Eng Yang Cu. Dia menjadi girang sekali karena sekarang mendapat
kesempatan untuk membalas dendamnya yang dulu kepada murid Eng Yang Cu ini.
Oleh karena ini, Lauw Tek lalu mendesak hebat dan mengeluarkan serangan-serangan maut yang
berbahaya. Akan tetapi biar pun masih muda Kwee An bersemangat baja dan ia berlaku nekad hingga
gerakan pedangnya demikian tangkas dan untuk berpuluh jurus ia masih dapat mempertahankan dirinya.
Pada waktu itu dari luar berkelebat bayangan putih dan terdengar suara orang berseru, “Lauw Tek, jangan
kau menghina anak kecil. Akulah lawanmu, Kwee An, kau mundurlah!”
Kwee An merasa girang sekali karena ia mengenal itu suara Eng Yang Cu gurunya. Dia segera mundur
dan membiarkan gurunya menghadapi Lauw Tek.
Eng Yang Cu adalah seorang tua berusia lima puluh tahun lebih, jenggot dan rambutnya sudah putih dan
pakaiannya seperti seorang tosu, juga berwarna putih. Senjatanya ialah pedang panjang yang
mengeluarkan cahaya berkeredepan.
“Eng Yang Cu, manusia sombong. Bagus sekali kau datang mengantar jiwa!” Lauw Tek berseru dan
menyerang dengan ganas.
Melihat kedatangan musuh lama ini, para saudaranya seketika segera datang menyerbu hingga kini
pertempuran lebih hebat lagi. Tiga orang dikeroyok oleh enam orang! Melihat betapa pihak lawan
mengeroyok, Kwee An tidak mau tinggal diam dan ia menggerakkan pedangnya lagi, bahkan kini
permainannya lebih hebat karena ia mendapat hati dengan kedatangan suhu-nya itu.
Sementara itu, dengan ilmu pedang campuran dari Ngo-lian Kiam-hoat, Sianli Kiam-hoat dan Liong-san
Kiam-hoat yang pernah dipelajarinya, juga kepandaiannya yang dipelajari dari Bu Pun Su yaitu mengenal
dasar-dasar semua gerakan lawannya, Cin Hai berhasil membuat Beng Kong Hosiang tak berdaya. Setiap
gerakan dan serangan hwesio ini telah dapat diduga oleh Cin Hai, sebaliknya ilmu pedang Cin Hai yang
campur aduk itu sangat membingungkan hwesio ini. Hanya tenaga lweekang Beng Kong Hosiang yang
tinggi saja yang masih menolongnya sehingga ia belum dijatuhkan oleh Cin Hai.
Ketika melihat kedatangan suhu dari Kwee An dan melihat pula naiknya semua lawan hingga keadaan
dunia-kangouw.blogspot.com
menjadi berbahaya, Cin Hai berseru nyaring dan gerakan pedangnya kini disertai tenaga khikang yang luar
biasa. Inilah tenaga khikang yang ia latih atas petunjuk Bu Pun Su, dan yang mempunyai daya gempur luar
biasa sekali karena seluruh tenaga lweekang, gwakang mau pun ginkang dipersatukan merupakan
pergerakan hebat hingga menimbulkan angin besar.
Khikang semacam ini jarang dikeluarkan oleh Cin Hai, karena tenaga ini membutuhkan pemusatan yang
bulat hingga sangat melelahkan tubuh. Ia sendiri akan mendapat celaka oleh karena kehabisan tenaga.
Oleh karena inilah, maka kepandaian ini jarang sekali dia keluarkan. Untuk mempergunakan tenaga
khikang ini, paling lama dia hanya kuat bersilat sampai tiga puluh jurus saja.
Akan tetapi, akibatnya hebat sekali. Baru saja ia menyerang belum lima jurus, kaki kirinya berhasil
menendang dada Beng Kong Hosiang hingga hwesio ini jatuh menggelinding ke bawah panggung dalam
keadaan pingsan.
Melihat kehebatan ini, para perwira menjadi kaget sekali. Permainan Shantung Ngo-hiap menjadi kacau
balau sehingga Eng Yang Cu mendapat kesempatan melukai Lauw Tek dengan pedangnya. Keadaan
menjadi kalut dan semua perwira mencabut senjata hendak mengeroyok. Akan tetapi karena jumlah
mereka besar, sedangkan panggung itu sempit, maka gerakan mereka itu bahkan mengacaukan kawan
sendiri.
Cin Hai dan Kwee An yang mengambil keputusan hendak membalas dendam, kemudian sengaja
menujukan senjata mereka kepada keempat sisa anggota Shantung Ngo-hiap dan kedua saudara Tan
Song dan Tan Bu. Eng Yang Cu yang tidak tahu musuh-musuh besar muridnya hanya menggerakkan
senjata untuk melindungi kedua pemuda itu.
Pedang Kwee An berhasil merobohkan Tan Song dan Tan Bu, dan serangan pemuda ini disertai oleh
kegemasan yang meluap sehingga dua saudara Tan itu roboh tewas mandi darah. Cin Hai yang mengamuk
hebat bagaikan seekor Naga Sakti memperlihatkan diri, juga berhasil merobohkan Un Kong Sian, Lauw
Houw, Ma Ing, dan Ma Keng In. Akan tetapi karena ia tahu bahwa Ma Keng In tidak ikut dalam penyerbuan
ke rumah keluarga Kwee, ia masih mengampuni jiwa orang tua ini dan hanya menotoknya roboh,
sedangkan yang lain-lain telah tewas di ujung pedang Liong-koan-kiam!
Melihat bahwa ketujuh musuh besar itu semua telah dapat dirobohkan, tiba-tiba saja Cin Hai melintangkan
pedangnya yang masih berlumpuran darah dan ia berteriak.
“Cuwi sekalian, tahan senjata! Kami bertiga tidak mau membunuh orang tidak berdosa. Orang-orang yang
sudah mengganas dan membunuh keluarga Kwee hanya enam orang yang sudah tewas ini! Sedangkan
Ma Keng In karena tidak ikut berdosa, ia hanya diberi hajaran saja, demikian pula Beng Kong Hwesio yang
sombong hanya diberi hajaran agar ia tidak memandang ringan kepada lain orang! Sekarang harap Cuwi
beritahukan di mana adanya Boan Sip dan Hai Kong Hosiang, karena kedua orang jahat itu pun hendak
kami basmi dari permukaan bumi!”
Akan tetapi, di antara semua perwira itu, mana ada yang berani menjawab dan membuka rahasia kawan
sendiri? Mereka hanya berdiri diam sambil bersiap sedia dengan senjata di tangan, walau pun hati mereka
telah dibikin gentar oleh kehebatan ketiga orang itu!
Karena tidak ada orang yang berani memberi keterangan, Cin Hai lalu mengajak kedua kawannya pergi
dari situ. Tiga bayangan berkelebat dan para perwira baru sadar bahwa ketiga lawan mereka telah pergi
setelah tak melihat mereka di atas panggung lagi.
Mereka lalu menolong kawan-kawan yang terluka dan sebagian orang lalu lari memberi laporan ke istana.
Keadaan menjadi kalut bukan main, karena sejak Kanglam Chit-koai mengamuk pada beberapa puluh
tahun yang lalu di dalam Eng-hiong-koan ini, tak pernah ada orang yang berani mengganggu mereka.
Tak dinyana bahwa hari ini dua orang pemuda yang dibantu oleh seorang tosu tua sudah membuat mereka
kocar-kacir, bahkan enam orang perwira telah binasa! Yang lebih hebat lagi, Beng Kong Hosiang yang
belum pernah dikalahkan orang itu, kini juga roboh dalam tangan seorang pemuda tanggung! Ini hebat
sekali.
Juga Kaisar menjadi terkejut mendengar huru-hara ini. Ia segera memerintahkan barisan pengawal untuk
mengejar dan mengepung, tapi ketika itu, Cin Hai dan kawan-kawannya telah lari jauh meninggalkan
tembok kota raja dan telah berhenti di dalam sebuah hutan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwee An lalu memperkenalkan Cin Hai kepada gurunya dan Eng Yang Cu memandang dengan kagum
kepada Cin Hai.
“Sie-taihiap, kau masih begini muda akan tetapi kepandaianmu betul-betul membuat aku menjadi kagum
sekali. Siapakah Suhu-mu yang mulia?”
Sebagaimana biasa, Cin Hai merasa segan untuk memberitahukan nama suhu-nya oleh karena maklum
bahwa Bu Pun Su sama sekali tak suka bahkan membenci segala nama besar yang dianggapnya kosong
belaka. Maka melihat keraguan pemuda itu, Kwee An lalu mewakilinya menjawab,
“Guru Saudara Cin Hai ini adalah Bu Pun Su.”
“Ah!” Eng Yang Cu terkejut sekali mendengar ini. “Tak heran apa bila kepandaiannya lihai sekali. Pinto
pernah mendengar nama besar Suhu-mu biar pun mataku belum mendapat kemuliaan dan kehormatan
untuk bertemu dengan Locianpwe itu. Akan tetapi, sesudah melihat kepandaian muridnya, hatiku telah
cukup puas.”
Eng Yang Cu lalu menceritakan bahwa dari seorang sahabatnya di kalangan kang-ouw ia mendengar
tentang nasib buruk yang menimpa keluarga Kwee An. Kakek ini yang sangat sayang kepada muridnya itu,
menjadi marah sekali dan seorang diri ia berangkat ke kota raja hendak mencari Shantung Ngo-hiap yang
sudah membunuh keluarga muridnya dan kebetulan sekali ia datang di saat yang tepat hingga dapat
membantu pembalasan sakit hati Kwee An dan Cin Hai.
“Baiknya Totiang cepat-cepat datang, kalau tidak, aku tidak berdaya menolong Saudara Kwee An, karena
hwesio itu pun cukup lihai sehingga aku tidak mempunyai kesempatan membelanya,” kata Cin Hai terus
terang.
“Kwee An, musuh-musuhmu sudah terbalas dan semua itu berkat bantuan Sie-taihiap ini, maka jangan kau
melupakan budi yang besar itu.”
“Musuh belum terbalas semua, Suhu,” kata Kwee An. “Masih ada dua orang musuh besar yang memegang
peranan penting dalam perbuatan biadab itu, yakni Hai Kong Hosiang yang lihai dan Boan Sip perwira yang
tadinya hendak memaksa adikku menjadi isterinya.”
Eng Yang Cu terkejut. “Hai Kong Hosiang ikut-ikut dalam perbuatan keji ini? Ah, memang benar kata-kata
orang kang-ouw bahwa dalam setiap perbuatan jahat yang sangat keji, tentu Hai Kong Hosiang ikut
campur! Meski ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang mungkin tak lebih hebat dari pada suheng-nya, akan
tetapi hwesio itu terkenal cerdik dan banyak akalnya, lagi curang sekali. Namun pinto percaya bahwa
dengan bantuan seorang kawan seperti Sie-taihiap ini, pasti ia akan terbalas!”
Kemudian, setelah memberi nasehat dan pesanan kepada muridnya agar supaya berlaku hati-hati dan
supaya suka minta petunjuk-petunjuk dari Cin Hai, tosu pengembara ini lalu melanjutkan perjalanannya.
“Kalau pinto kebetulan bertemu dengan Hai Kong atau Boan Sip, tentu pinto tidak akan tinggal diam dan
mencoba untuk melawan mereka,” katanya.
Kwee An merasa terharu atas pembelaan suhu-nya itu dan menghaturkan terima kasih serta selamat
berpisah. Juga Cin Hai merasa kagum sekali atas kebaikan guru Kwee An itu.
“Suhu-mu itu berhati mulia sekali, Saudara An,” katanya dan ia teringat kepada suhu-nya sendiri Bu Pun
Su, yang tiada kabar beritanya itu. Apakah suhu-nya itu masih berada di Goa Tengkorak?
“Saudara Cin Hai, ketika kita hendak pergi ke kota raja dan mampir di Tiang-an mencari Boan Sip, ternyata
dia sudah meninggalkan tempat tinggalnya itu dan kabarnya pergi ke kota raja. Akan tetapi, di kota raja pun
ia tak ada. Ke manakah ia pergi dan ke mana pula kita harus mencari dia dan Hai Kong Hosiang?”
Setelah berpikir sebentar, Cin Hai menjawab, “Mungkin sekali Boan Sip ikut pergi dengan Hai Kong
Hosiang. Biarlah kita menyelidiki lagi ke kota raja mencari jejak mereka. Akan tetapi kita harus berlaku
sangat hati-hati, karena tentu saja Kaisar tak akan tinggal diam karena perbuatan kita yang membunuh
para perwira.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka lalu menunggu sampai sore, karena bermaksud hendak memasuki kota raja pada waktu malam
agar jangan terlalu banyak mengalami rintangan para penjaga yang tentu berlaku waspada setelah terjadi
kerusuhan demikian hebatnya.
“Saudara Kwee An, kurasa satu-satunya orang yang dapat memberi keterangan tentang Hai Kong Hosiang
dan Boan Sip, adalah Ma Keng In. Perwira ini adalah orang ke tiga dari Shantung Ngo-hiap, dan dibanding
dengan saudara-saudaranya, dia agaknya paling baik. Mungkin sekali dia mau memberi tahu kepada kita
mengenai tempat tinggal Hai Kong Hosiang, mengingat bahwa kita telah berlaku murah hati dan tidak
membunuhnya.”
Dengan menggunakan kepandaian ginkang mereka yang tinggi, Cin Hai dan Kwee Ang dengan mudah bisa
melompati tembok kota di bagian yang tak terjaga dan karena malam itu gelap, maka mereka dapat
menyelundup ke dalam kota tanpa menemui rintangan. Ketika Cin Hai mencari keterangan di kalangan
penduduk, dengan mudah mereka dapat mengetahui di mana rumah kediaman perwira she Ma itu, yakni di
dalam sebuah gedung besar yang kuno.
Segera mereka jalan di atas genteng dan menuju ke rumah itu. Akan tetapi baru saja mereka tiba di atas
wuwungan rumah perwira Ma Keng In, mereka dicegat oleh seorang pemuda berpakaian biru yang sudah
berdiri di sana dengan tangan memegang sebatang pedang terhunus dan tajam berkilat!
“Hmm, kalian masih belum puas dan hendak mengambil jiwa Ayahku?” bentaknya sambil menggerakkan
pedang. “Nah, majulah, memang sejak tadi aku telah menanti kedatangan kalian berdua!”
Pemuda baju biru itu menyerang Kwee An dengan pedangnya, namun Kwee An cepat menangkis. Kedua
pedang bertemu menerbitkan suara nyaring dan bunga api berpijar memercik keluar tanda bahwa tenaga
kedua orang muda ini seimbang! Cin Hai terkejut karena ternyata pemuda ini mempunyai gerakan cukup
lihai.
“Sobat, tahan dulu,” katanya. “Kau siapakah dan mengapa tiba-tiba menyerang kami?”
“Kalian diam-diam memasuki kota raja dan mencari rumah kediaman Ma-ciangkun. Masih hendak bertanya
mengapa aku di sini menanti dengan pedang di tanganku? Aku adalah anak dari Ma-ciangkun. Siang tadi
kau telah melukai Ayahku dan mengganas di kota raja, sekarang sebelum kau hendak mencari Ayah, kau
hadapi dulu anaknya!”
Sebelum Cin Hai dan Kwee An menjawab, pemuda itu dengan ganasnya sudah kembali menyerang
kepada Kwee An. Melihat pemuda yang tampan itu dan sikapnya yang lemah lembut serta pergerakan
pedangnya yang lihai, Cin Hai menjadi tertarik sekali, maka dia diamkan saja dan menonton pertempuran
itu dengan penuh perhatian.
Yang mengherankan hatinya ialah bahwa ilmu pedang pemuda itu berbeda sekali dengan ilmu pedang Ma
Keng In, bahkan tidak lebih rendah dari pada kepandaian Ma-ciangkun itu! Juga gerakan pemuda itu aneh
sekali, karena selalu menyerang sambil membalikkan tubuh sehingga gerakannya bagaikan seekor naga
yang menyabet dengan ekornya yang tajam. Juga dalam hal tenaga dan kecepatan, ternyata pemuda yang
lihai ini tidak kalah oleh Kwee An!
Juga Kwee An tidak kurang terkejutnya karena putera Ma Keng In ini ternyata merupakan seorang lawan
yang tangguh sekali dan ia hanya dapat mengimbangi pemuda itu tapi tak dapat mendesak!
“Sahabat, kita datang bukan dengan maksud buruk!” Kwee An berkata sambil menahan serangan orang.
Akan tetapi pemuda itu tidak ambil peduli dan terus menyerang dengan ganasnya.
Pada saat itu terdengar suara Ma Keng In yang berat dari bawah genteng, “Hoa-ji, jangan berlaku kurang
ajar kepada tamu. Jiwi, kalian turunlah jika hendak bicara dengan aku!”
Pemuda yang disebut Hoa-ji oleh ayahnya itu mengeluarkan seruan kecewa, akan tetapi ia lalu melompat
ke bawah dengan ringan, diikuti oleh Kwee An dan Cin Hai. Ma Keng In telah berdiri di situ dan menyambut
mereka dengan wajah kereng.
“Jiwi yang muda dan gagah malam-malam datang ke pondokku, ada keperluan apakah?”
Kwee An membalas hormatnya dan berkata, “Harap Lo-enghiong suka memaafkan kami. Sebetulnya kami
dunia-kangouw.blogspot.com
berdua tak mempunyai permusuhan dengan kau orang tua, karena kau tak ikut membasmi keluargaku.
Kedatangan kami ini sengaja hendak mohon pertolongan Lo-enghiong dan bertanya di mana adanya Hai
Kong Hosiang dan Boan Sip, dua musuh besarku yang masih belum terbalas itu.”
Walah Ma Keng In memerah. “Hm, kalian orang-orang muda memang terlalu berani dan tidak memandang
sebelah mata padaku! Kau kira aku ini seorang pengkhianat yang sudi mencurangi dan mengkhianati
kawan-kawan sendiri? Meski kalian akan membunuh dan memotong lidahku, aku orang she Ma tak
serendah itu untuk mengkhianati kawan-kawan sendiri.”
Kwee An tercengang dan tak dapat menjawab. Tapi Cin Hai lalu tertawa aneh. Ma Keng In memang
semenjak tadi memandang ke arah Cin Hai karena ia sungguh mengagumi anak muda yang telah ia
saksikan kelihaiannya siang tadi. Kini mendengar suara tertawa anak muda itu ia berkata,
“Apakah kau demikian memandang rendah kepadaku sehingga mentertawakan sikapku yang bodoh?”
“Ah, tidak, tidak sekali-kali, Ma-ciangkun! Aku yang muda bahkan merasa teramat kagum melihat sifat
kesatriaanmu. Yang kuanggap lucu adalah keanehanmu. Kau begini gagah perkasa dan berjiwa satria,
akan tetapi kenapa kau sudi menjadi anggota Sayap Garuda yang terkenal ganas menindas rakyat?
Biarlah, hal itu bukan urusan kami dan aku pun tidak akan mengutik-utik. Akan tetapi pemandanganmu tadi
keliru sekali! Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi
kejahatan harus dibalas dengan keadilan! Hai Kong Hosiang dan Boan Sip merupakan orang-orang yang
telah melakukan keganasan dan kekejaman yang termasuk kejahatan besar. Kalau kau memberi tahu
tempat mereka kepada kami, itu berarti bahwa kau sudah melakukan perbuatan yang adil. Ingatlah bahwa
permusuhan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kedudukanmu atau kedudukan mereka sebagai anggota
Sayap Garuda, akan tetapi ini adalah urusan pribadi. Lagi pula mereka adalah orang-orang yang memiliki
kepandaian, maka apa perlunya mereka bersembunyi dari pada kami? Kalau kau tetap menolak untuk
memberi tahukan tempat tinggal mereka, hal itu berarti bahwa kau bahkan merendahkan mereka dan
berarti kau takut kalau-kalau mereka itu akan kalah dan terbunuh oleh kami!”
Ma Keng In mendengarkan ucapan panjang lebar ini dengan mata terbelalak. Dia makin heran melihat
pemuda yang tidak saja berkepandaian lihai itu, akan tetapi juga memiliki pandangan yang demikian dalam
dan halus. Ia menghela napas dan berkata,
“Alasan-alasanmu dapat diterima, anak muda. Memang Hai Kong Suhu adalah seorang yang tinggi hati dan
bila ia tahu bahwa aku menolak untuk memberi keterangan padamu tentang kepergiannya, tentu ia akan
merasa kurang senang dan menganggap aku sudah merendahkannya. Baiklah kalau kau dan kawanmu
memaksa, akan tetapi apa bila kalian tewas dan celaka di dalam tangannya janganlah kalian merasa
penasaran kepadaku. Hai Kong Suhu bersama Boan-ciangkun sedang menjalankan tugas yang
diperintahkan oleh Kaisar untuk menghubungi pasukan-pasukan Mongol di perbatasan utara. Lima hari
yang lalu mereka dan beberapa orang perwira lain telah berangkat ke utara meninggalkan kota raja.”
Cin Hai segera menjura dan berkata, “Terima kasih banyak, Ma-ciangkun. Kau memang benar-benar
seorang tua gagah dan berhati lurus. Mudah-mudahan kita bertemu kembali dalam keadaan yang lebih
menyenangkan.”
Kwee An juga menghaturkan terima kasih dan keduanya lalu melompat ke atas genteng untuk
meninggalkan kota raja yang sebetulnya tidak aman bagi mereka itu.
Akan tetapi, belum jauh mereka pergi, tiba-tiba saja terdengar suara orang menegur dari belakang. Mereka
berhenti dan ternyata Ma Hoa, pemuda berbaju biru yang menegur mereka tadi, telah mengejar mereka!
“Eh, ehh, kau mengejar mau apa? Apakah hendak melanjutkan pertandingan yang tadi?” Kwee An
menegur tidak senang.
“Kalau hendak melanjutkan pertandingan, tak perlu aku banyak cakap!” jawab pemuda itu ketus. “Ayah
terlalu lemah, maka kalau kalian memang orang-orang gagah, di dalam tiga hari aku akan menanti kalian di
lereng Pai-san di sebelah utara!”
Kwee An merasa mendongkol dan penasaran. “Kenapa kami tidak berani? Baiklah, kalau kami menuju ke
utara kami akan mampir di tempat itu dan di sana kita boleh bertempur sampai seribu jurus! Siapa takut
dengan seorang kanak-kanak seperti kau?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda itu membanting-banting kaki dan berkata, “Aku akan menunggu di sana!”
Kemudian ia lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan mereka.
“Ah, Saudara An, mengapa kau mencari musuh baru? Orang itu kulihat lihai sekali, ilmu kepandaiannya
tidak kalah jika dibandingkan dengan ayahnya,” Cin Hai menegur dengan suara menyesal.
“Siapa takut dia?” jawab Kwee An yang merasa mendongkol dan penasaran sekali sebab tadi ia benarbenar
tak bisa mengalahkan pemuda itu. Setelah pemuda itu menantangnya apakah ia harus mundur?
“Lagi pula kita pun hendak melewati Pai-san. Apa bila kita tidak menyambut tantangannya, bukankah kita
akan ditertawakan oleh seorang kanak-kanak?”
Cin Hai tersenyum dan maklum bahwa Kwee An merasa penasaran sekali karena tidak dapat mengalahkan
seorang pemuda yang sikapnya masih seperti kanak-kanak itu!
Sesudah melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya di jalan kepada penduduk dusun mengenai
rombongan Hai Kong Hosiang, tiga hari kemudian Cin Hai dan Kwee An tiba di lereng bukit Pai-san.
Pemandangan di lereng bukit ini sungguh indah dan tanah di sana subur. Hal ini adalah karena di lereng itu
mengalir sebuah sungai yang menjadi sumber atau mata air Sungai Liong-kiang dan yang menjadi anak
sungai atau cabang Sungai Huangho, karena sungai Liong-kiang ini akhirnya memuntahkan airnya di
Sungai Kuning yang besar itu.
Ketika Cin Hai dan Kwee An sedang berdiri termangu-mangu sambil memandang ke arah air sungai yang
mengalir sambil memperdengarkan dendang riak air yang menyedapkan telinga, tiba-tiba dari jauh terlihat
sebuah perahu kecil yang bergerak maju melawan arus air.
Sesudah dekat, ternyata yang duduk di dalam perahu itu adalah pemuda baju biru putera Ma Keng In dan
seorang tua berpakaian nelayan yang bertubuh kurus laksana tengkorak hidup dan berwajah gembira. Biar
pun melawan arus air, akan tetapi dengan dayungnya pemuda itu mampu menggerakkan perahu dengan
lajunya, sehingga dapat dibayangkan betapa kuat tenaganya.
Mendadak terdengar nelayan tua itu berdendang, suaranya yang parau itu diiringi suara riak air.
Di belakang pintu gerbang merah indah cemerlang
anggur dan daging berlebih-lebihan hingga masam membusuk!
Di luar pintu gerbang kotor sunyi melengang
berserakan tulang rangka sisa korban dingin dan lapar!
Cin Hai terkesiap. Ia mengenal syair yang diucapkan dalam lagu ini. Ini adalah syair yang ditulis oleh
pujangga Tu Fu. Pada jaman dahulu keadaan rakyat di bawah pemerintahan Raja Hsuan Tsung sangat
menderita dan pada suatu hari ketika lewat di Pegunungan Lisan, Pujangga itu melihat betapa Raja Hsuan
Tsung bersenang-senang dan berpelesir dengan para selir di istananya yang disebut istana Hua Cin.
Oleh karena merasa betapa janggalnya perbedaan ini, yaitu antara kehidupan raja yang tahunya hanya
bersenang-senang belaka tanpa mau mempedulikan keadaan rakyat yang sangat sengsara dan banyak
yang mati kelaparan dan kedinginan, maka jiwa patriot yang menggelora di hati pujangga Tu Fu
menggerakkan tangannya untuk membuat syair itu.
Semenjak dahulu syair ini dilarang oleh semua kaisar yang memerintah karena dianggap sangat menghina
kaisar dan bersifat memberontak, maka jarang ada orang mengenalnya lagi, apa lagi menyanyikannya,
karena apa bila terdengar oleh kaki tangan kaisar, tanpa ampun lagi orang itu dapat ditangkap sebagai
pemberontak dan dijatuhi hukuman berat. Akan tetapi nelayan tua yang duduk di dalam perahu itu bahkan
berani menyanyikannya dengan lagu suara yang bersemangat sekali. Orang yang berani bernyanyi seperti
itu di tempat terbuka, tentulah seorang yang luar biasa dan berilmu tinggi.
“Bagus sekali syair itu, seolah-olah kulihat Tu Fu menjelma kembali,” dengan suara keras Cin Hai memuji.
Ketika itu perahu kecil tadi telah sampai di depan mereka, nelayan itu lalu memandang ke arah Cin Hai.
Tiba-tiba tubuhnya bergerak dan tahu-tahu tubuh yang seperti tengkorak itu telah melayang berdiri di depan
Cin Hai.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hi-hi-hi, anak muda, kau kenal Tu Fu?” tanyanya.
“Kenal? Ia adalah sahabat baikku di alam mimpi!” jawab Cin Hai yang lalu mengucapkan sebuah syair lain
dari Tu Fu dengan suara nyaring.
Mungkinkah membangun sebuah gedung dengan laksaan kamar
untuk memberi tempat bagi para fakir miskin di seluruh dunia
yang akan merasa bahagia biar pun dalam hujan
karena gedung kokoh kuat bagaikan bukit raksasa?
Kalau saja aku dapat melihat ini tiba-tiba muncul di depan mataku,
biarlah gubukku ini hancur lebur,
biarlah aku mati kedinginan,
aku akan mati dengan mata meram dan jiwa tenteram!
Nelayan itu melebarkan matanya dan memandang kepada Cin Hai dengan wajah girang sekali. Tiba-tiba
dari kedua matanya yang lebar itu mengalir air mata dan ia lalu memeluk leher Cin Hai dan menangis
tersedu-sedu sambil menyandarkan kepalanya pada pundak pemuda itu.
Kepala nelayan tua itu mengeluarkan bau amis seperti bau ikan. Ketika dia memeluk Cin Hai dan kedua
tangannya merangkul, Cin Hai merasa seolah-olah ia ditindih oleh sebuah batu besar yang beratnya ribuan
kati. Dia merasa terkejut sekali dan tahu bahwa secara diam-diam kakek nelayan ini telah mencoba
tenaganya.
Karena itu ia segera menahan napas dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan tekanan yang
hebat ini. Ia hampir saja tidak kuat, akan tetapi berkat keteguhan hatinya, ia tidak mengeluh atau
memperlihatkan kelemahannya.
Akhirnya kakek nelayan itu melepaskan pelukannya sehingga Cin Hai merasa lega sekali. Keringat dingin
telah keluar dari kulit mukanya, maka ia lalu menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyusut peluh itu.
Setelah memandang tubuh Cin Hai dari kepala sampai kaki dengan mata berseri-seri dan wajah gembira,
kakek nelayan itu lalu berpaling pada pemuda baju biru yang sementara itu telah keluar dari perahu dan
menghampiri mereka.
“Ehh, anak nakal, pemuda inikah yang kau maksudkan? Ahh, Hoa-ji, kau akan kalah! Kau tentu kalah!”
Pemuda yang bernama Ma Hoa itu menggeleng kepalanya dan menuding ke arah Kwee An, “Bukan dia,
Suhu, yang inilah!”
Kwee An dan Cin Hai memandang ke arah pemuda itu. Mereka pun tercengang, karena sesudah melihat
pemuda itu di siang hari, ternyata bahwa wajah pemuda ini benar-benar tampan sekali serta sikapnya
pendiam dan agung!
Ma Hoa lalu melangkah rnenghadapi Kwee An dan berkata,
“Hemm, ternyata kau mematuhi janji. Nah, mau tunggu apa lagi? Cabutlah senjatamu dan coba kau
perlihatkan kepandaianmu!” Sambil berkata demikian, Ma Hoa segera melolos pedangnya dari pinggang
dan bersiap sedia.
Kwee An berdiri bingung karena ia merasa jeri juga menghadapi pemuda yang bersikap agung dan tenang
ini. Dia berpaling kepada Cin Hai, akan tetapi Cin Hai sedang saling pandang dengan nelayan tua itu sambil
tersenyum-senyum, sedangkan kakek nelayan itu lalu memegang tangan Cin Hai, ditarik untuk bersama
duduk di bawah sebatang pohon dan dengan tertawa haha-hihi ia berkata,
“Mari, mari, sahabatku, kita duduk di sini dan menonton kedua anak nakal itu!”
Cin Hai maklum bahwa kakek nelayan luar biasa ini tak bermaksud jahat, maka dia tidak menguatirkan
keselamatan Kwee An dan ia lalu ikut duduk di sebelah kakek itu.
Pada saat melihat Kwee An berdiri bengong, Ma Hoa lalu membentak, “Tidak lekas-lekas mengeluarkan
senjatamu? Apakah kau takut?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Marahlah Kwee An melihat kecongkakan pemuda itu, maka dengan muka merah ia lantas mencabut
senjatanya dan berkata, “Tenang, kawan. Siapa yang takut kepada engkau?”
Ma Hoa lalu menyerang dengan hebat dan tanpa sungKansungkan lagi Kwee An dengan cepat menangkis
dan balas menyerang. Sebentar saja keduanya sudah bertempur seru sekali, saling mengerahkan tenaga
dan kepandaian, saling melepas umpan, membuat gerak tipu dan mengeluarkan segala jurus yang saling
berbahaya.
Cin Hai duduk dengan bengong karena kagum. Dia tidak hanya mengagumi kepandaian kedua anak muda
ini, akan tetapi dia mengagumi kenyataan bahwa kepandaian kedua orang itu boleh dibilang sama tinggi
dan sama pandai. Dan yang lebih mengherankannya lagi, walau pun sikapnya congkak sekali, akan tetapi
di dalam pertempuran itu agaknya Ma Hoa tidak mengandung hati ingin mencelakakan Kwee An. Hal ini
bisa dilihatnya dari gerakan pemuda itu yang selalu terlambat sedikit dari pada seharusnya dalam mengirim
serangan maut!
Kwee An tak pantas disebut murid Kim-san-pai yang lihai kalau dia tidak mengetahui hal ini. Mula-mula ia
merasa heran dan menganggap bahwa lawannya memang masih belum matang betul kepandaiannya,
tetapi karena berkali-kali Ma Hoa sengaja memperlambat gerakannya, ia menjadi maklum dan hatinya
girang sekali. Ternyata pemuda ini mencoba kepandaiannya saja.
Oleh karena itu, ia segera mengeluarkan kepandaiannya yang paling hebat dan memutar pedangnya
sedemikian rupa sehingga sinar pedangnya bergulung-gulung, akan tetapi dia pun menjaga-jaga jangan
sampai melukai pemuda lawannya itu. Suatu pertempuran yang sungguh hebat dan indah dipandang.
Bukan main girang hati Cin Hai melihat keadaan itu, karena ia maklum bahwa keduanya sama-sama tidak
mempunyai keinginan mencelakakan lawan. Tadinya dia sudah merasa khawatir kalau-kalau harus
bermusuhan dengan nelayan tua yang hebat ini, karena kalau dia dan Kwee An sampai menjadi musuh
nelayan ini, hal itu berarti bahwa mereka telah menanam bibit permusuhan yang berbahaya.
Laginya, ia merasa suka sekali kepada kakek nelayan yang bersemangat ini. Kegirangan hatinya dan
keadaan tamasya alam yang indah di sana telah membuat hatinya bahagia sekali dan tak terasa pula dia
kemudian mengeluarkan suling bambunya. Kakek nelayan itu memandangnya dengan senang sekali
sehingga Cin Hai lalu mulai menyuling, sambil matanya memandang kepada dua orang muda yang masih
bermain pedang.
Cin Hai memang pintar sekali menyuling. Pada saat suara lengking sulingnya melagukan sebuah lagu
peperangan kuno yang bersemangat, maka Kwee An dan Ma Hoa tak terasa pula terpengaruh oleh
nyanyian ini dan mereka bermain pedang makin hebat dan indah, seakan-akan dua orang penari yang
mendengar suara gamelan merdu yang membuat tarian mereka lebih indah.
Kakek nelayan itu menatap wajah Cin Hai dan aneh sekali. Kembali dari kedua matanya yang lebar
mengalir keluar air mata. Ternyata hati kakek nelayan ini perasa sekali hingga membuat ia terkenal sebagai
seorang yang cengeng atau mudah menangis. Oleh karena inilah, maka dia mendapat sebutan Nelayan
Cengeng!
Cin Hai juga dapat melihat bahwa kedua anak muda itu sudah terpengaruh oleh suara sulingnya. Ia melihat
betapa mereka berdua telah berpeluh karena pertempuran itu telah berjalan dua ratus jurus lebih! Dia
menjadi kasihan dan tiba-tiba ia menghentikan tiupan sulingnya.
Keadaan menjadi sunyi setelah suara suling itu terhenti dan yang terdengar kini hanyalah riak air. Keadaan
yang sunyi ini melenyapkan nafsu dan semangat kedua anak muda itu sehingga dengan sendirinya mereka
lalu melompat mundur.
Wajah kedua pemuda itu berpeluh dan berwarna merah, akan tetapi sungguh aneh. Kini Kwee An tidak
mempunyai perasaan penasaran akibat tidak dapat mengalahkan pemuda itu, bahkan dia memandang ke
arah pemuda itu dengan sorot mata berterima kasih dan ingin bersahabat karena timbul rasa suka di dalam
hatinya kepada pemuda itu.
“Bagus, bagus!” tiba-tiba nelayan tua itu melompat berdiri dan berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil yang
baru diberi kembang gula. “Mereka itu cocok dan sesuai sekali, bukan?” katanya kepada Cin Hai dan Cin
Hai lalu mengangguk sambil tersenyum.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Cocok, sama tampan, sama tangkas, dan sama-sama keras hati! Sungguh, jodoh yang cocok! He, anak
muda she Kwee, engkau adalah jodoh muridku, tidak ada pemuda lain yang lebih cocok untuk menjadi
calon suami muridku, ha-ha-ha!” Kakek nelayan yang luar biasa ini tertawa terkekeh-kekeh karena
girangnya.
Kwee An merasa bingung dan tak mengerti. Ia memandang ke arah Cin Hai dan tiba-tiba Cin Hai berkejap
dan menunjuk dengan sulingnya ke arah Ma Hoat! Kwee An tetap tidak mengerti dan ketika ia memandang
kepada Ma Hoa, ia melihat pemuda itu berdiri dengan kepala tunduk dan muka kemerah-merahan dan
kadang kala sudut matanya mengerling dengan malu-malu! Ini adalah sikap seorang gadis dan tiba-tiba ia
menjadi mengerti!
Hampir saja ia menempeleng kepalanya sendiri. Kenapa ia begitu bodoh? Ma Hoa bukan seorang pemuda,
akan tetapi seorang gadis. Gadis yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula! Mengingat hal ini, tibatiba
saja wajah Kwee An menjadi merah bagai kepiting direbus dan ia lalu pergi menghampiri Cin Hai dan
tak berani berkata-kata lagi.
“Bukankah mereka cocok sekali?” lagi-lagi kakek nelayan itu bertanya kepada Cin Hai. “Aku yang akan
menjadi comblangnya dan aku tanggung Ma-ciangkun tak akan mampu menolak seorang calon mantu
yang begini baik! Eh, anak muda she Kwee, mengapa kau diam saja?”
Cin Hai mewakili Kwee An dan berdiri sambil menjura, “Lo-cianpwe, maafkanlah kawanku ini. Dia masih
kurang pengalaman dan pemalu sekali, dan mengenai perjodohan ini tentu saja harus ia tanyakan dulu
kepada Suhu-nya karena kedua orang tuanya telah tidak ada lagi.”
“Ahh, jangan banyak upacara lagi!” kata kakek nelayan. “Orang she Kwee, bukankah kau juga suka kepada
Hoa-ji seperti dia suka kepadamu?”
Kwee An memandang wajah kakek itu dengan heran. Mulutnya tak berani bertanya, akan tetapi sinar
matanya mengandung banyak pertanyaan, yaitu bagaimana kakek ini dapat menduga demikian?
Agaknya kakek nelayan ini memang dapat membaca pikiran orang sebab setelah tertawa terkekeh-kekeh ia
lalu berkata,
“Dalam pertempuran kalian tadi telah jelas terlihat sifat menyayang dan suka dari kalian berdua, apakah
kalian dua orang bodoh dapat menipuku? He, Hoa-ji bukankah kau suka kepada pemuda she Kwee ini?”
Ma Hoa memang telah kenal betul akan sifat suhu-nya yang selalu bersikap terus terang dan jujur. Akan
tetapi sebagai seorang gadis yang masih bodoh dan pemalu, tentu saja ia merasa amat malu mendengar
orang berbicara tentang perjodohan dan tentang hati suka secara begitu blak-blakan tanpa tedeng alingaling
lagi! Maka ia lalu menundukkan muka dan melompat ke dalam perahunya terus mendayung perahu
itu meninggalkan mereka!
“Ha-ha-ha... hi-hi... lihatlah dia telah menjawab pertanyaanku. Dia suka kepadamu! Kalau dia tidak suka
tentu ia telah marah dan mengamuk. Jika ia pergi dan berlari, itu tandanya ia setuju! Nah, anak muda, kau
tidak boleh menolak murid Si Nelayan Cengeng!”
Cin Hai terkejut mendengar nama ini karena ia pernah mendengar dari Bu Pun Su bahwa di antara tokohtokoh
yang luar biasa terdapat seorang nelayan tua yang disebut Nelayan Cengeng dan yang menjadi ahli
silat di darat mau pun di dalam air. Juga Kwee An pernah mendengar nama ini dari suhu-nya, maka mereka
berdua kemudian menunjukkan sikap menghormat sekali.
“Locianpwe, harap kau orang tua sudi memaafkan teecu yang bodoh ini. Sebagaimana dikatakan oleh
Saudara Cin Hai tadi, dalam urusan perjodohan, bukan teecu menampik, akan tetapi teecu harus minta
nasehat Suhu terlebih dahulu.”
“Ehh, siapa Suhu-mu yang beradat kukuh dan kuno itu?” tanya Nelayan Cengeng.
“Suhu adalah Eng Yang Cu.”
“Oh, tosu dari Kim-san itu? Ha-ha, aku sudah menduga bahwa engkau tentu anak murid Kim-san-pai, akan
tetapi tidak kuduga bahwa imam tua itu masih mau mencapaikan diri menerima seorang murid. Bagus,
dunia-kangouw.blogspot.com
bagus! Kau tak usah menanyakan dia, karena kalau dia tahu bahwa engkau menjadi suami muridku, tentu
dia setuju sepuluh bagian!”
“Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe, akan tetapi sungguh, teecu pada
waktu ini belum berani mengikat diri dengan perjodohan!”
Si Nelayan Cengeng yang sebenarnya bernama Kong Hwat Lojin ini memang mempunyai perasaan yang
mudah sekali tersinggung, maka mendengar ucapan dan penolakan Kwee An, ia lalu membanting-banting
kakinya hingga tanah di mana kakinya terbanting menjadi berlubang setengah kaki lebih!
“Apa katamu?! Kau menolak? Baik, akan tetapi kau harus mengajukan alasan yang kuat dan dapat
diterima, kalau tidak jangan harap kau dapat meninggalkan tempat ini!”
Kini Cin Hai yang buru-buru berdiri dan mewakili Kwee An menjawab, karena dia cukup mengenal adat
Kwee An yang walau pun pendiam akan tetapi keras hati dan tidak kenal takut. Ia khawatir kalau-kalau
Kwee An akan menjadi nekad dan membikin marah orang tua itu.
“Locianpwe, sebetulnya Saudara Kwee An sama sekali tak menolak dan bahkan merasa bahagia sekali
karena mendapat kehormatan besar sudah dipilih sebagai jodoh muridmu yang lihai. Akan tetapi ketahuilah
bahwa saudaraku ini berada dalam keadaan berkabung dan kini sedang melakukan perjalanan dengan
teecu untuk mencari musuh besarnya dan membalaskan sakit hati orang tua dan keluarganya yang
terbunuh oleh musuh besar itu.”
Cin Hai kemudian secara singkat menuturkan pengalaman Kwee An dan betapa keluarga pemuda itu
terbasmi oleh musuh-musuhnya. Mendengar tentang peristiwa yang sangat menyedihkan ini, tak tertahan
lagi Kong Hwat Lojin menangis tersedu-sedu hingga Kwee An merasa amat terharu dan tak dapat menahan
lagi keluarnya air mata yang membasahi pipinya.
“Jadi dua musuh yang belum terbalas itu adalah Hai Kong Hosiang dan seorang perwira? Ahh, Hai Kong,
engkau memang jahat sekali. Kalau kau kebetulan bertemu dengan aku, tentu kau akan kurendam dalam
air sampai perutmu menjadi kembung!” katanya dengan marah. Kemudian ia teringat akan sesuatu dan
berkata kepada Cin Hai,
“Kepandaian Hai Kong Hosiang kabarnya sudah maju pesat karena dia selalu melatih diri dengan ilmu-ilmu
silat baru. Tunangan Hoa-ji ini tentu tidak dapat melawannya. Mungkin kau dapat menandingi hwesio itu,
akan tetapi ketahuilah bahwa hwesio itu selain pandai ilmu silat, juga licin dan cerdik sekali. Apakah engkau
mengerti ilmu dalam air?”
Cin Hai menggelengkan kepalanya, juga Kwee An menyatakan bahwa dia hanya dapat berenang sedikit
saja.
“Ah, kalau begitu, kalian harus berlatih dulu hingga kau akan siap menghadapi hwesio itu, baik di darat mau
pun di air!”
Cin Hai serta Kwee An merasa girang sekali dan semenjak hari itu, selama dua minggu mereka menerima
latihan-latihan dari Nelayan Cengeng itu. Kwee An mendapat latihan ilmu pedang yang disebut Hai-liong
Kiam-hoat atau Ilmu Pedang Naga Laut dan latihan napas untuk dapat bertahan di dalam air serta gerakangerakan
renang.
Ada pun untuk Cin Hai, nelayan itu mengatakan bahwa ia tidak berani memberi pelajaran ilmu pukulan
sebab kepandaian pemuda itu katanya malah telah melebihi kepandaiannya sendiri. Maka Cin Hai lalu
mendapat latihan bermain di dalam air. Oleh karena Cin Hai memang telah mempunyai lweekang yang
tinggi dan dapat menahan napas sampai lama, maka sebentar saja dia pun dapat menguasai ilmu itu dan
dapat bermain di air bagaikan seekor ikan saja.
Tentu saja kedua pemuda itu merasa girang sekali. Selama dua minggu itu, Ma Hoa tidak muncul, akan
tetapi pada saat Cin Hai dan Kwee An hendak pergi meninggalkan Nelayan Cengeng dan melanjutkan
perjalanan ke utara mencari Hai Kong Hosiang, tiba-tiba gadis itu mendatangi dengan naik perahu dari
jauh. Cin Hai lalu menunda keberangkatannya dan menanti kedatangan gadis itu, sedangkan Kwee An
tidak berani mengangkat muka dan menunduk kemalu-maluan!
Ketika gadis itu melompat keluar dari perahu dan kebetulan Kwee An mengangkat muka memandang, ia
dunia-kangouw.blogspot.com
menjadi tercengang dan tak kuasa mengalihkan pandangan matanya lagi dari gadis itu. Ternyata bahwa
kali ini Ma Hoa mengenakan pakaian wanita dan ia telah merubah diri menjadi seorang dara yang luar
biasa cantiknya.
Bajunya berwarna merah jambon, celananya sutera biru dan ikat pinggang serta pengikat rambutnya
berwarna merah darah, berkibar-kibar tertiup angin gunung. Gagang pedang yang tergantung di pinggang
menambah kegagahan dan kecantikannya. Diam-diam Cin Hai merasa girang sekali karena gadis ini
memang pantas sekali menjadi jodoh Kwee An.
Nelayan Cengeng melebarkan sepasang matanya pada waktu melihat pakaian muridnya itu. “Aduh, sudah
bertahun-tahun aku tidak melihat kau mengenakan pakaian seperti ini! Bagus muridku, bagus sekali.
Kebetulan kau datang karena tunanganmu ini hendak pergi melanjutkan perjalanan.”
Memang orang tua ini terlalu sekali. Kejujurannya yang luar biasa sehingga dia menyebut Kwee An sebagai
tunangan muridnya itu sudah membuat kedua anak muda itu menjadi jengah dan malu sekali.
“Ma Hoa, kita adalah orang-orang sendiri dan bukanlah orang-orang lemah, apa artinya segala sikap malumalu
kucing? Kesinikan pedangmu!”
Biar pun sangat keras hati, akan tetapi Ma Hoa tunduk dan takut kepada suhu-nya yang menganggapnya
sebagai anak sendiri, maka sambil menundukkan kepala dia bertindak maju. Langkahnya lemah gemulai
dan menarik hati sekali. Dengan perlahan dan tangan gemetar dia lalu melolos pedangnya dan diberikan
kepada suhu-nya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun karena ia tahu bahwa jika ia mengeluarkan suara,
maka suaranya akan terdengar menggigil.
Nelayan Cengeng gembira, lalu dia berkata kepada Kwee An dengan suara memerintah, “Kwee An,
terimalah pedang ini dan sebagai gantinya kau harus memberikan pedangmu kepada tunanganmu!”
Dengah sikap menghormat Kwee An menerima pedang itu, lalu dia mencabut pedangnya sendiri dan
hendak diberikan kepada kakek itu. Akan tetapi, tiba-tiba Cin Hai yang sedang bergirang hati, berkata,
“Saudaraku, kau tidak boleh memberikan kepada Locianpwe. Harus kau berikan sendiri kepada
tunanganmu! Bukankah begitu, Locianpwe?”
Nelayan Cengeng itu memandang dengan hati heran kepada Cin Hai, akan tetapi hanya sebentar saja
karena dia tertawa bergelak dan berkata, “Benar, benar! Cin Hai berkata betul sekali! Kau harus
memberikan sendiri kepada tunanganmu agar kalian jangan terus bersikap malu-malu kucing!”
Dapat dibayangkan betapa malunya kedua anak muda itu karena godaan dua orang ini. Dengan hati
berdebar-debar Kwee An menghampiri Ma Hoa dan mengasurkan pedang itu.
Akan tetapi, karena dara itu sedang menunduk dan sama sekali tidak berani mengangkat muka sehingga
tidak melihat dia mengangsurkan pedang, maka gadis itu tidak menerima pedang yang diberikan
kepadanya. Kwee An menjadi bingung dan serba salah, terpaksa dia menggerakkan bibirnya memanggil,
“Moi… ehh… Siocia, kau terimalah pedang ini!”
Barulah Ma Hoa mengangkat mukanya. Dua pasang mata bertemu dengan mesra dan cepat sekali Ma Hoa
menyambar pedang itu lalu dimasukkan ke dalam sarung pedang dan dia lalu tertunduk kembali!
“Ahhh, salah... salah...!” Cin Hai menggoda terus. “Saudara An, engkau harus memanggil moi-moi, dan Ma
Hoa harus memanggil koko, ini baru benar!”
Bukan main girangnya Nelayan Cengeng itu. Dia lalu bersorak-sorak dan meloncat-loncat sambil bertepuktepuk
tangan. “Benar, benar...! Bagus...!”
Ma Hoa tidak dapat lagi menahan jengah dan malunya. Setelah mengerling sekali lagi ke arah Kwee An
dan melempar senyum yang mesra dan penuh arti, dara ini lalu berlari ke perahunya, segera mendayung
pergi secepatnya! Cin Hai dan Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak.
“Nah, kalian pergilah, pergilah! Cepat pergi dan lekaslah kembali!” kata Kong Hwat Lojin sambil bertindak
pergi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwee An dengan mulut cemberut lantas berkata kepada Cin Hai, “Cin Hai, kau sungguh terlalu! Menggoda
orang sampai hampir mati karena malu. Awas, kalau kelak bertemu kembali dengan Lin Lin, pasti akan
kubalas sepuas hatiku!”
Mendengar nama ini, tiba-tiba Cin Hai termenung. Ia lalu teringat akan gadis kekasihnya itu dan merasa
sedih sekali. Akan tetapi, cepat dia mampu menekan perasaannya dan berkata, “Ahhh, bukankah godaangodaan
tadi diam-diam membikin engkau berbahagia sekali?”
Kwee An tidak dapat menjawab, hanya tersenyum dan memukul bahu Cin Hai. Keduanya kemudian
melanjutkan perjalanan ke utara, akan tetapi seperempat bagian dari hati dan perasaan Kwee An sudah
tersangkut pada duri bunga Botan yang tumbuh di tepi Sungai Liong-kiang itu!
Beberapa pekan kemudian, Cin Hai dan Kwee An telah tiba di perbatasan Tiongkok Utara di mana bertemu
dengan suku-suku Mongol dan Mancu yang hidup secara berkelompok. Pada suatu hari mereka sampai di
sebuah sungai yang cukup besar dan melihat sebuah perahu yang dihias mewah sekali di tengah itu.
Orang-orang Mongol dari suku Jungar hilir mudik naik turun perahu itu dan mengangkut kantong-kantong
yang agaknya berat. Di antara suku-suku Jungar ini, banyak yang sering merantau ke pedalaman Tiongkok
sehingga mereka dapat berbicara dalam bahasa Han, yang biar pun kaku akan tetapi cukup dimengerti
oleh Cin Hai dan Kwee An.
Dari mereka inilah kedua pemuda itu mengetahui bahwa perahu itu adalah milik seorang Pangeran Mongol
bernama Vayami. Pangeran ini sudah bertukar nama karena dia telah memeluk Agama Buddha Merah, dan
bahkan menjadi pemuka dari pada Agama Sakya Buddha ini. Barang-barang yang lagi diangkut ke dalam
perahu itu adalah sumbangan-sumbangan dari para pemeluk Agama Buddha yang diberikan kepada
Pangeran Vayami.
Ketika Cin Hai serta Kwee An sedang melihat di pinggir sungai, tiba-tiba mereka melihat Hai Kong Hosiang
di atas perahu itu. Hwesio ini dapat dikenali dengan mudah karena jubahnya yang berwarna kotak-kotak
merah putih dan kepalanya yang gundul licin.
Pada saat itu perahu telah bergerak ke tengah dan hendak meninggalkan tempat itu, ada pun para pemeluk
agama yang berdiri di pinggir sungai sedang berlutut memberi hormat yang terakhir kepada Pangeran
Vayami.
Cin Hai dan Kwee An lalu menggenjot tubuh mereka dan meloncat ke atas perahu hingga mereka yang
melihat perbuatan kedua pemuda Han ini berseru marah. Hai Kong Hosiang dengan mata terbelalak dan
tindakan lebar menyambut kedatangan pemuda itu dengan bentakan,
“Dua ekor anjing rendah dari manakah berani memperlihatkan kekurang ajaran di sini?”
“Hai Kong Hosiang, pendeta keparat! Ajalmu sudah berada di depan mata dan kau masih banyak
bertingkah lagi?” Kwee An balas membentak dan memaki.
Hai Kong Hosiang memandang anak muda itu dan ia lalu teringat serta mengenal wajah Kwee An, “Eh, kau
masih belum mampus bersama Ayahmu?” Tiba-tiba tangan kanannya mencabut keluar tongkat ularnya
yang lihai sambil berkata. “Baik, kalau begitu biarlah ini hari kuselesaikan pekerjaan dulu yang agaknya
kurang sempurna agar kau tidak menjadi penasaran!”
Sambil berkata demikian ia maju ke arah Kwee An. Akan tetapi pada saat itu pintu kamar yang terdapat di
perahu itu terbuka dan muncul seorang pemuda yang berwajah tampan dan berpakaian pendeta jubah
merah. Pendeta ini membentak dengan suaranya yang halus,
“Hai Kong bengyu, tahan dulu!” Kemudian ia keluar dengan tindakan kaki yang halus, dan anehnya, Hai
Kong Hosiang nampak hormat sekali kepadanya, karena pendeta gundul ini lalu menahan senjata dan
menjura. Pemuda ini bukan lain ialah seorang pangeran yaitu Pangeran Vayami sendiri.
Vayami memandang kepada Kwee An dan Cin Hai, lalu merangkap kedua tangannya dan berkata dalam
bahasa Han yang fasih,
“Jiwi-enghiong (Kedua Tuan yang Gagah Perkasa) telah memberi kehormatan kepadaku dan mengunjungi
dunia-kangouw.blogspot.com
perahu ini, tidak tahu hendak memberi pelajaran apakah?”
Kwee An dan Cin Hai tercengang melihat Pangeran Mongol yang pandai berbahasa Han dan yang halus
tutur sapanya ini, juga mereka merasa heran melihat bahwa pemimpin agama ini ternyata masih muda
sekali takkan lebih dari dua puluh lima tahun usianya! Cin Hai lalu merangkapkan kedua tangan pula dan
membalas hormat, diikuti oleh Kwee An.
“Maafkan kami berdua yang tidak tahu adat. Oleh karena melihat hwesio jahat ini berada di atas perahu,
kami menjadi lupa diri dan dengan lancang melompat ke atas perahumu. Akan tetapi, kami berdua sama
sekali tak hendak mengganggu kepada Tuan, dan urusan kami hanyalah dengan hwesio yang bernama Hai
Kong Hosiang ini, karena dia adalah pembunuh keluarga kami dan kami sengaja datang hendak mengadu
jiwa dengannya.”
Pangeran Vayami tersenyum halus akan tetapi kedua matanya mengeluarkan sinar tajam yang membuat
Cin Hai terkejut sekali karena ia dapat menduga bahwa selain mempunyai tenaga lweekang yang tinggi
juga pangeran ini sangat berpengaruh dan cerdik.
“Jiwi-enghiong yang muda dan gagah! Kiranya Jiwi pun mengerti akan aturan tuan rumah dan tamunya. Hai
Kong Hosiang Suhu sekarang menjadi tamu kami dan oleh karenanya, selama dia berada di atas perahuku,
aku harus melindunginya dengan segala tenagaku, bahkan dengan jiwaku sekali pun. Maka, kuharap Jiwi
suka memandang mukaku dan tak mengganggunya selama dia masih berada di sini!”
Setelah berkata demikian, pangeran itu lalu menggerakkan dua tangannya dan bertepuk tangan tiga kali.
Mendadak dari segala sudut keluarlah lima orang pendeta Sakya yang berjubah merah dan nampak kuat
serta pandai ilmu silat.
Cin Hai dapat merasai kebenaran ucapan pangeran itu, maka dia lalu menuding kepada Hai Kong Hosiang,
“Hai Kong! Kau tentu masih cukup gagah untuk mengakui kedosaan dan perbuatanmu dan tentunya tidak
begitu pengecut untuk lari dari tuntutan balas kami. Jika memang kau seorang laki-laki, maka harap kau
mau turun ke darat dan marilah kita bertanding mengadu jiwa, menentukan siapa yang lebih pandai!”
Hai Kong Hosiang tadi sudah melihat gerakan Cin Hai ketika melompat ke dalam perahu, maka ia pun
maklum bahwa anak muda ini jauh lebih lihai dari pada Kwee An. Maka ia berkata,
“Jangan kau mengacau dan membuka mulut sembarangan. Aku Hai Kong Hosiang tidak pernah lari dari
musuh-musuhku. Akan tetapi yang kubunuh adalah keluarga pemuda ini, dan kau tidak mempunyai
sangkut paut dengan urusan itu, mengapa kau ikut campur?”
“Ha-ha-ha, hwesio gundul yang palsu! Kau juga telah memiliki hutang padaku. Ingatkah kau dahulu ketika
kau bertemu melawan Kanglam Sam-lojin di depan Kuil Ban-hok-tong di Tiang-an? Anak kecil yang meniup
suling dan yang hendak kau bunuh dulu itu siapa? Lihatlah mukaku baik-baik, dan kau tentu akan ingat
bahwa kau sekarang berhadapan dengan anak itu yang kini hendak membalas kebaikan budimu dulu!”
Hai Kong Hosiang terkejut. Ia ingat bahwa anak ini ia lihat bersama dengan Ang I Niocu di dalam goa
Tengkorak itu, maka diam-diam ia merasa agak jeri. Akan tetapi, Hai Kong Hosiang adalah seorang gagah
yang telah lama malang-melintang di dunia kang-ouw dan jarang bertemu tanding, karena itu tentu saja dia
sama sekali tidak takut menghadapi dua orang anak muda yang masih hijau itu.
“Bagus, kalau begitu, kebetulan sekali. Engkau pun rupanya sudah bosan hidup!”
“Hwesio keparat, kau turunlah ke darat!” Kwee An membentak marah.
“Ha-ha! Siapa sudi menurut perintah dua ekor anjing cilik! Aku akan turun kalau aku suka dan sekarang aku
belum ada ingatan untuk turun dan melayani kalian.”
Cin Hai menjura pada Pangeran Vayami. “Maaf, karena hwesio ini membandel, terpaksa kami berlaku
kurang ajar dan bertindak di sini!”
Sambil tersenyum Pangeran Vayami berkata. “Cobalah kalau engkau dapat, karena aku tak mungkin
tinggal diam melihat tamuku diganggu.”
Ia kemudian memberi tanda dan kelima orang pendeta Sakya itu lalu maju dengan sikap mengancam dan
dunia-kangouw.blogspot.com
mengurung Cin Hai serta Kwee An!
“Saudara An, kau lawanlah lima boneka merah itu dan aku akan membinasakan kera tua ini!”
Bukan main marahnya Hai Kong Hosiang mendengar dirinya dimaki ‘kera tua’! Dia lalu berseru nyaring dan
senjatanya yang luar biasa, yaitu seekor ular kering itu meluncur dan menyerang ke arah tenggorokan Cin
Hai. Cin Hai berlaku gesit dan waspada, dia segera mengelak mundur sambil mencabut Liong-coan-kiam.
Kelima pendeta Sakya itu bersenjata tongkat dan mereka lalu mengeroyok Kwee An yang memutar
pedangnya secara hebat luar biasa. Ternyata bahwa kelima pendeta Mongol itu hanya memiliki tenaga
hebat dan kuat seperti kerbau jantan, akan tetapi kepandaian silat mereka tak seberapa tinggi sehingga
Kwee An tak sampai terdesak oleh mereka.
Akan tetapi, bagi pemuda itu pun tak mudah merobohkan mereka karena ia harus berlaku hati-hati sekali.
Walau pun serangan lawan-lawannya tidak cukup gesit dan berbahaya, akan tetapi karena tenaga mereka
besar sekali, maka sekali saja terkena pukul tongkat mereka, ia pasti akan celaka! Karena itu ia berlaku
tenang dan hati-hati dan menjaga diri dengan sangat kuatnya, sedikit pun tak ingin memberi waktu kepada
mereka untuk dapat memukulnya.
Yang hebat adalah pertarungan antara Cin Hai dan Hai Kong Hosiang. Ternyata pendeta ini betul-betul
telah mendapat banyak kemajuan dalam ilmu silatnya seperti yang pernah dikatakan oleh Nelayan
Cengeng.
Karena berkali-kali bertemu dengan lawan-lawan yang tangguh seperti Bu Pun Su, Biauw Suthai, dan yang
lain-lain, dan semenjak dia kena dikalahkan oleh Biauw Leng Hosiang, pendeta ini lalu melatih diri dan
mempelajari ilmu silat lain yang tinggi untuk menambah kepandaiannya. Bahkan dalam perjalanannya ke
daerah utara, dia sengaja mengunjungi tokoh-tokoh ternama untuk bertukar ilmu silat dan mempelajari
kepandaian mereka itu.
Maka dalam pertempuran Cin Hai kali ini, pemuda itu pun harus mengakui bahwa ilmu silat pendeta ini jauh
lebih hebat dari pada ketika ia bertempur di dalam Goa Tengkorak. Terutama tongkatnya yang hebat itu,
yang di dalam tangannya seolah-olah telah berubah menjadi seekor ular berbisa yang masih hidup, sangat
berbahaya sekali.
Walau pun Cin Hai sudah dapat menduga gerakan dalam setiap serangan yang hendak dilancarkan, akan
tetapi karena senjata lawannya ini berbahaya dan berbisa, ia menjadi sibuk juga dan terpaksa berlaku hatihati
sekali. Dia lalu mengeluarkan limu Silat Sian-li Utauw pelajaran Ang I Niocu, karena dengan ilmu silat
ini dia dapat bergerak gesit sekali sehingga tubuhnya berkelebat ke sana ke mari menolak serangan lawan
dan melakukan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.
Melihat pertempuran-pertempuran itu, terutama pertempuran antara Cin Hai dengan Hai Kong Hosiang,
Pangeran Vayami merasa kagum sekali. Pangeran muda ini berdiri di depan pintu kamarnya dan menonton
dengan mata berseri.
Ia kagum sekali melihat permainan silat Cin Hai karena ia maklum bahwa terhadap Hai Kong Hosiang,
pemuda ini hanya kalah pengalaman dan kalah senjata saja. Akan tetapi betapa herannya ketika ia melihat
bahwa pemuda itu makin lama makin hebat permainan silatnya dan beberapa kali gerakan pemuda itu
berubah-ubah.
Memang untuk mengacaukan permainan lawannya yang tangguh, Cin Hai sudah sengaja mencampur
permainan silatnya dengan ilmu silat lain. Kadang-kadang dia mengeluarkan jurus Liong-san Kiam-hoat,
lalu Ngo-lian-kiam-hoat, bahkan kadang kala ia mengimbangi permainan ilmu tongkat Hai Kong Hosiang,
yaitu yang berdasarkan Jian-coa Kiam-sut atau Ilmu Pedang Seribu Ular.
Hai Kong Hosiang tercengang dan heran sekali sehingga dia menunda serangannya dan membentak,
“Bangsat dan maling rendah! Dari mana kau curi ilmu pedangku?”
“Ha-ha, gundul tua berbatin kotor! Siapa sudi mencuri ilmu pedangmu yang tak berguna? Lihatlah, aku
mempunyai ilmu pedang yang menjadi nenek moyang ilmu pedangmu itu!” Setelah berkata demikian, Cin
Hai lalu menyerang dengan pedangnya.
Hai Kong Hosiang hampir berseru karena heran dan terkejut, karena Cin Hai benar-benar menyerangnya
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan Ilmu Pedang Jian-coa Kiam-sut, akan tetapi jauh lebih sempurna. Padahal sesungguhnya Cin Hai
hanya meniru-niru serangan Hai Kong tadi, hanya saja karena dia telah dapat memecahkan rahasia dasar
ilmu silat yang telah dimainkan itu, dia dapat mencari pula ciri-cirinya dan dapat pula memperbaikinya.
Tentu saja gerakannya ini belum matang karena tak pernah dilatih, akan tetapi cukup membuat Hai Kong
Hosiang terkejut dan jeri.
Tidak disangkanya bahwa pemuda ini demikian hebat kepandaiannya. Kehebatan meniru ilmu-ilmu silat ini
mengingatkan ia akan Bu Pun Su karena pernah pula ia dipermainkan oleh jembel tua itu, maka tentu saja
ia menjadi khawatir dan jeri. Namun, karena melihat bahwa Cin Hai hanya seorang pemuda yang baru
dewasa, dia memperkuat hatinya dan sambil membentak keras ia menyerang lagi.
Kini tangan kirinya mencabut keluar sebatang sabuk ular yang penuh racun. Jangankan sampai terpukul
oleh sabuk ini, bahkan baru keserempet sedikit saja, maka racun ular yang mengenai kulit dapat
menimbulkan rasa gatal yang hebat dan cepat sekali racun itu dapat meresap ke dalam daging kemudian
meracuni darah hingga membahayakan jiwa lawannya.
Baru saja sabuk ular itu tercabut keluar, Cin Hai sudah mencium bau yang sangat amis, maka tahulah dia
akan bahaya dan lihainya senjata istimewa ini. Dia lalu menggunakan tangan kirinya mencabut keluar
sulingnya. Untuk mengimbangi lawan, dia menggunakan dua macam senjata pula, di tangan kanan pedang
Liong-coan-kiam, di tangan kiri suling bambunya!
Melihat suling ini, Hai Kong Hosiang menjadi marah karena ia teringat akan peristiwa dulu ketika Cin Hai
masih kecil dan dengan suling bambunya telah menggagalkannya untuk mengalahkan Kanglam Sam-lojin,
bahkan yang mengakibatkan matinya kelima ularnya karena Bu Pun Su menjatuhkan tangan kejam! Maka
ia lalu menyerang sambil berteriak,
“Anak setan, kali ini kalau belum menghancurkan kepalamu, aku takkan puas!”
Melihat kemarahan Hai Kong Hosiang ini, diam-diam Cin Hai merasa amat girang dan ia melayani serbuan
hwesio itu dengan tenang, akan tetapi kegesitan dan kehebatan ilmu pedangnya yang dicampur dengan
gerakan sulingnya tak dikurangi kecepatannya. Kedua orang ini bertempur mati-matian hingga bayangan
dua orang ini tak tampak lagi, tertutup oleh sinar senjata masing-masing.
Sementara itu, Kwee An yang mengamuk dengan Kim-san Kiam-hoatnya telah berhasil merobohkan dua
orang pengeroyoknya hingga Pangeran Vayami menjadi terkejut sekali. Pangeran yang cerdik ini maklum
bahwa dua anak muda yang sedang mengacau di atas perahunya adalah orang-orang tangguh dan apa
bila dilawan terus akan membahayakan keselamatannya. Maka ia lalu memberi aba-aba dalam bahasa
Mongol.
Beberapa orang pelayan yang berkepandaian rendah dan karenanya tidak berani turut membantu lalu
menurunkan dua buah perahu kecil ke atas air. Vayami lalu menyalakan api dan membakar layar yang
tergantung ke bawah sehingga sebentar saja api menyala hebat di atas perahu itu. Dia lalu melompat dan
hendak turun ke dalam perahu-perahu kecil yang telah dilepas ke atas air.
Akan tetapi, melihat kecurangan pangeran ini, Kwee An cepat meninggalkan ketiga orang pengeroyoknya
dan ia mengejar pangeran itu sambil berteriak.
“Jangan kau berlaku curang!”
Akan tetapi, ketika ia telah tiba di depan pangeran itu, tiba-tiba Vayami menyerangnya dengan obor yang
masih menyala. Kwee An terkejut karena serangan ini hebat juga dan dilayangkan ke arah pakaiannya.
Cepat-cepat ia mengelak dan tahu-tahu obor di tangan Vayami yang lihai itu telah diserangkan pula ke arah
mukanya!
Kwee An miringkan kepala dan selagi dia hendak membalas menyerang, tahu-tahu kaki Vayami telah
berhasil menendang lututnya. Biar pun dia dapat miringkan kakinya hingga yang tertendang hanya di atas
lututnya dan karena dia mengerahkan tenaga dalamnya maka pahanya tidak sampai terluka, akan tetapi
karena tendangan itu keras, dan juga karena mereka berdiri di pinggir perahu, maka tak ampun lagi tubuh
Kwee An terpelanting keluar perahu dan jatuh tercebur ke dalam air!
Cin Hai terkejut sekali. Akan tetapi ia tidak berdaya menolong karena Hai Kong Hosiang mendesaknya
dengan hebat. Ia melihat betapa semua pengikut Vayami dan pangeran itu sendiri melompat ke dalam
dunia-kangouw.blogspot.com
perahu-perahu kecil dan terdengar Vayami berseru,
“Hai Kong Bengyu, lekas kau melompat ke sini!”
Akan tetapi Hai Kong Hosiang mana dapat meninggalkan Cin Hai begitu saja. Anak muda ini maklum
bahwa jika hwesio itu dapat melompat ke dalam perahu, maka selain musuh besar ini tidak dapat
dirobohkan, juga dirinya berada dalam keadaan bahaya. Api di atas perahu telah mulai membesar dan
bahkan kini sudah memakan tiang besar di tengah perahu!
Oleh karena ini, maka Cin Hai mengambil keputusan nekad dan menyerang mati-matian sehingga hwesio
itu sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk lari. Terpaksa Hai Kong Hosiang mengertak gigi dan
melayani dengan sama sengitnya.
Masih terdengar beberapa kali suara Vayami memanggil Hai Kong Hosiang. Akan tetapi karena hwesio itu
tak dapat ikut pergi, terpaksa Vayami dan orang-orangnya mendayung perahu mereka melawan arus yang
besar dan kuat karena perahu besar di mana Cin Hai dan Hai Kong Hosiang bertempur mati-matian itu
sudah hanyut ke tengah dan telah tiba di tempat yang airnya mengalir kencang.
Kwee An yang tercebur ke dalam air pun tak kuasa menahan bantingan air yang hebat dan terpaksa dia
membiarkan dirinya terbawa hanyut sampai jauh. Baiknya dia pernah berlatih berenang pada Nelayan
Cengeng, kalau tidak, mungkin dia akan mati di dalam permainan arus amat kuat itu!
Dia tak kuasa berenang ke pinggir karena arus amat deras dan sungai itu sangat lebar. Maka, ia hanya
mempergunakan kepandaiannya untuk menghindarkan tabrakan dengan batu-batu karang dan
membiarkan dirinya hanyut di permukaan air.
Sebentar saja ia terbawa hanyut jauh sekali dan setelah melalui sebuah tikungan, perahu besar di mana
Cin Hai dan Hai Kong Hosiang bertempur sudah lenyap dari pandangan matanya. Dia masih melihat
betapa perahu itu mulai berkobar, maka diam-diam Kwee An sangat mengkhawatirkan keselamatan Cin
Hai.
Ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang memang hebat. Ini terasa sekali oleh Cin Hai, karena sungguh pun
pemuda ini telah mengerahkan semua kepandaian dan tenaganya, namun ia tetap tak dapat merobohkan
Hai Kong Hosiang. Padahal mereka telah bertempur lebih dari dua ratus jurus.
Sungguh harus dia akui bahwa inilah lawan yang paling tangguh yang pernah dia jumpai, kecuali Hek Pek
Moko. Kalau dibanding dengan Beng Kong Hosiang, yaitu suheng atau kakak seperguruan Hai Kong,
hwesio ini bahkan jauh lebih tangguh. Apa lagi sabuk ular di tangan kirinya, sungguh-sungguh sukar
dilawan karena berbahaya sekali.
Sebenarnya, ilmu kepandaian yang diwarisi oleh Cin Hai dari Bu Pun Su, boleh dibilang menjadi rajanya
ilmu silat, karena ilmu ini membuat dia dapat mengetahui semua rahasia segala macam ilmu silat yang ada.
Akan tetapi, oleh karena sebelum mempelajari ilmu kepandaian yang hebat ini Cin Hai belum mempunyai
dasar-dasar ilmu silat lain, maka sekarang ia hanya mempunyai daya tahan yang sangat kuat saja, dan
kurang kuat dalam hal menyerang atau boleh juga disebut kurang agresip.
Memang, daya tahannya luar biasa kuatnya dan tak sembarang tipu gerakan yang dapat merobohkannya.
Akan tetapi sebaliknya daya serangnya lemah sekali oleh karena untuk dapat menyerang dia hanya dapat
memetik dari jurus-jurus Ilmu Silat Liong-san yang dulu dipelajarinya dari Kanglam Sam-lojin, atau Ilmu Silat
Lima Teratai dan Tarian Bidadari yang dipelajarinya dari Ang I Niocu.
Paling banyak dia hanya dapat meniru gerakan lawan untuk membalas menyerang, akan tetapi sudah tentu
saja gerakannya kurang mahir. Dan pula, apa artinya ilmu silat lawan digunakan untuk menyerang? Sudah
tentu lawan itu sudah mengenal serangan ini dan amat mudah mengelak atau menangkisnya.
Maka meski pun Cin Hai dapat menghadapi Hai Kong Hosiang dengan baik, akan tetapi juga amat sukar
baginya untuk dapat menjatuhkan lawan yang luar biasa tangguhnya ini. Memang dengan Tarian Bidadari,
beberapa kali dia sudah berhasil menghantam pundak dan lengan Hai Kong Hosiang dengan sulingnya,
akan tetapi hwesio ini mempunyai tubuh kebal sebab dia telah mempelajari dan mempunyai ilmu kebal
yang disebut Kim-kang-san atau Pakaian Baju Emas. Juga lweekang hwesio ini telah cukup tinggi hingga
sering kali bila suling Cin Hai menotok jalan darahnya, ia tidak mengelak, akan tetapi menggunakan
tenaganya untuk menutup jalan darahnya itu sambil mengerahkan Kim-kang-san untuk menolak pukulan
dunia-kangouw.blogspot.com
itu!
Diam-diam Cin Hai merasa kagum sekali. Dia tidak menyangka bahwa Hai Kong Hosiang juga merasa
kagum kepadanya karena hwesio ini mengakui di dalam hati bahwa apa bila pemuda ini sudah matang
latihannya, tentu dia tidak akan sanggup menghadapinya lebih lama dari pada seratus jurus!
Sementara itu, kini seluruh permukaan perahu telah mulai berkobar dan bahkan api telah menjalar
mendekati mereka yang sedang bertempur! Tiang besar di dekat mereka juga telah terbakar dan hawanya
menjadi panas bukan main!
Pada saat itu, Hai Kong Hosiang tanpa disengaja menginjak sebuah papan yang terbakar sehingga
sepatunya menginjak api panas, sedangkan pedang pada tangan Cin Hai telah disabetkan dengan hebat
ke arah pinggangnya! Hwesio itu berteriak karena kaget, akan tetapi masih sempat menjatuhkan diri ke
belakang sehingga papan yang terbakar itu kena tertindih tubuhnya dan padam.
Dalam kemurkaannya, hwesio itu lalu menggunakan kakinya menyapu tiang besar yang terbakar dan
terdengarlah suara keras pada saat tiang yang telah terbakar itu tidak tahan tertendang kaki Hai Kong
Hosiang dan menjadi roboh! Dengan mengeluarkan suara hiruk pikuk, tiang yang terbakar beserta layar
yang masih menggantung di atasnya itu tumbang menimpa mereka berdua!
Cin Hai cepat melompat pergi ke kepala perahu dan terhindar dari pada bahaya tertimpa tiang yang besar
dan berat. Hai Kong Hosiang juga hendak melompat, akan tetapi celaka baginya. Kakinya yang tadi
dipergunakan untuk menyapu tiang secara kebetulan sekali terlibat oleh tali tambang yang besar, yaitu tali
penarik layar yang bergantungan di tiang itu.
Oleh karena ini, gerakannya melompat membawa tiang itu dan layar di atasnya roboh ke arah dirinya! Dia
mencoba untuk mengelak, akan tetapi tali itu seperti tangan yang kuat memegangi kakinya sehingga
kakinya tertimpa tiang itu dan layar yang lebar serta tebal menyelimuti tubuhnya!
Dengan kekuatan Kim-kang-san yang dimilikinya, Hai Kong Hosiang masih berhasil pula menyelamatkan
kakinya sehingga kaki itu tidak menjadi patah walau pun tertimpa tiang sebesar itu, akan tetapi dia menjadi
sibuk karena sukar untuk keluar dari selimutan layar yang besar itu, sedangkan layar itu pun mulai berkobar
dan termakan api!
Hai Kong Hosiang meronta-ronta, akan tetapi layar dan tiang itu sukar sekali dilepaskan dan ia menjadi
gugup serta panik. Asap api telah masuk ke dalam selubungan layar dan membuat napasnya menjadi
sesak. Dan pada saat itu, Hai Kong Hosiang tiba-tiba saja merasa takut! Ia merasa ngeri dan takut sekali
menghadapi bahaya maut berupa api yang hendak membakar dirinya. Oleh karena ini, tak terasa pula ia
memekik-mekik.
“Tolong...! Tolong… tolonglah jiwaku...!”
Pada saat itu Cin Hai sudah berdiri di kepala perahu dan telah bersiap untuk terjun ke air, meninggalkan
perahu yang telah terbakar itu. Dia memandang ke arah Hai Kong Hosiang yang tertimpa tiang dan tertutup
layar, dan ia merasa girang karena musuh besar ini pasti akan mampus terpanggang.
Tadinya ia bersiap sedia, karena jika hwesio itu dapat melepaskan diri dari tindihan layar, ia hendak
mengirim serangan tiba-tiba untuk menamatkan riwayat musuh yang tangguh itu. Akan tetapi ia menjadi
lega ketika melihat bahwa hwesio itu tidak mampu melepaskan diri dari pada kurungan layar dan tiang!
Cin Hai tersenyum, memasukkan pedang ke dalam sarung pedang, menyelipkan suling ke ikat
pinggangnya dan hendak mengayunkan tubuhnya terjun ke air. Akan tetapi, pada saat itu telinganya
mendengar jeritan Hai Kong Hosiang yang minta tolong!
Cin Hai berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu. Mendengar pekik minta tolong itu, segera lenyaplah
perasaan permusuhan terhadap Hai Kong Hosiang. Pada saat itu yang terlintas dalam pikirannya hanyalah
ada orang yang sedang terancam bahaya maut dan ia kuasa menolongnya, maka bagaimana ia dapat
berlaku kejam dan tinggal berpeluk tangan saja melihat orang dimakan api? Ahh, hatinya tak sekejam itu
dan ia menjadi tidak tega meski pun di waktu bertempur, dengan senang hati ia akan menancapkan
pedangnya di ulu hati hwesio itu!
Tanpa banyak pikir lagi, Cin Hai segera melompat ke dekat layar dan tiang yang masih mengurung Hai
dunia-kangouw.blogspot.com
Kong Hosiang, lalu dengan menggunakan sepatunya dia menginjak-injak api yang mulai membakar layar
itu dari tubuh Hai Kong Hosiang.
Ternyata keadaan hwesio itu telah mulai payah karena selain api telah ada yang menjilat tubuhnya, juga ia
telah dibuat tak berdaya oleh asap. Pertolongan yang datang tiba-tiba ini membuat ia dapat bernapas lagi
dan ia duduk terengah-engah sambil terbatuk-batuk sedangkan kakinya masih tertindih tiang!
Melihat muka hwesio yang telah menjadi hitam karena asap dan api, kaki Cin Hai segera menendang pergi
tiang yang menindih tubuhnya dan tanpa banyak cakap lagi dia lantas mengangkat tubuh Hai Kong Hwesio
dari kurungan api. Dia melompat ke pinggir perahu dan selagi dia hendak menurunkan tubuh musuh itu,
tiba-tiba dia merasa pundak kirinya sakit sekali dan terdengar suara Hai Kong Hosiang tertawa!
Ternyata bahwa Hai Kong Hosiang telah menggunakan kesempatan ketika ia digendong oleh Cin Hai untuk
menotok pundak Cin Hai di bagian jalan darah soat-hong-hiat! Totokan ini sebenarnya hebat sekali dan
dapat mendatangkan kematian bagi Cin Hai, akan tetapi karena tenaga Hai Kong Hosiang telah berkurang,
sedangkan Cin Hai tadi masih sempat menutup jalan darahnya walau pun sedikit terlambat, maka pemuda
itu hanya menderita luka dalam yang cukup hebat sehingga ia merasa betapa setengah badannya sebelah
kiri telah menjadi lumpuh.
Cepat Cin Hai menggunakan tenaga terakhir untuk melempar dirinya beserta Hai Kong Hosiang ke dalam
air. Terdengar suara keras dan air memercik tinggi ketika dua tubuh itu terbanting di air yang mengalir
cepat itu.
Hai Kong Hosiang jatuh dengan terlentang sehingga untuk beberapa saat dia gelagapan. Akan tetapi
hwesio ini telah mempelajari ilmu di dalam air, maka dengan cepat dia dapat membalikkan diri, kemudian
dengan matanya yang telah menjadi pedas dan kabur akibat serangan api tadi, ia mencari-cari mangsanya.
Akan tetapi Cin Hai tidak nampak di situ. Selagi Hai Kong Hosiang mencari-cari dengan heran, tiba-tiba dari
bawah permukaan air, sebuah lengan tangan menyerangnya dengan kekuatan yang luar biasa. Inilah
Pukulan Petir Menyambar Awan yang dilakukan oleh Cin Hai dengan hati gemas.
Biar pun sebelah tubuhnya telah menjadi lumpuh, namun dengan mengeraskan hati dan mengumpulkan
tenaga di tangan kanannya, Cin Hai dapat melancarkan pukulan hebat itu yang secara tepat menghantam
punggung Hai Kong Hosiang. Pukulan ini dilakukan oleh Cin Hai dengan tangan kanan dan jari-jari terbuka
dan hebatnya luar biasa hingga tenaga Cin Hai tinggal setengah bagian saja, dan biar pun dilakukan dari
dalam air namun tubuh Hai Kong Hosiang yang besar itu sampai terpental ke atas air. Kepala dan tubuh
Cin Hai tidak kelihatan dan hanya tangan kanannya saja nampak memukul dari dalam air, ada pun tangan
kirinya sudah tak berdaya sama sekali.
Hai Kong Hosiang mengeluarkan jeritan ngeri dan merasa seakan-akan nyawanya sudah melayang
meninggalkan tubuhnya, kepalanya pusing sekali dan matanya menjadi gelap. Ia terbanting lagi ke dalam
air dan tubuhnya hanyut terbawa air karena ia telah pingsan terkena Pukulan Petir Menyambar Awan itu.
Ada pun Cin Hai yang sudah merasa lelah sekali dan tubuhnya lumpuh sebelah, setelah melakukan
serangan balasan yang hebat ini pun langsung menjadi pingsan dan tubuhnya hanyut di belakang tubuh
Hai Kong Hosiang. Dalam keadaan pingsan Cin Hai tak merasa bahwa dia telah ditolong oleh kaki tangan
Pangeran Vayami.
Juga Hai Kong Hosiang ditolong oleh pangeran itu. Keduanya lalu dibawa ke utara dan dibawa masuk ke
dalam salah satu tempat kediaman pangeran itu yang memiliki banyak sekali gedung di daerah utara yang
dibangun model gedung bangsa Han.
Berkat tubuhnya yang luar biasa kuatnya, sesudah mendapatkan perawatan dari seorang tabib Mongol,
dalam beberapa hari saja luka yang diderita oleh Hai Kong Hosiang akibat pukulan Cin Hai telah dapat
disembuhkan lagi.
Juga Cin Hai telah sadar dari pingsannya, akan tetapi dia merasa tubuhnya masih lemah sekali. Ia merasa
heran kenapa ia mendapat perawatan demikian baiknya dari Pangeran Vayami dan diam-diam ia merasa
bersyukur dan berterima kasih.
Ketika Hai Kong Hosiang sadar dan melihat bahwa Cin Hai masih hidup serta berada di tempat itu pula, dia
serentak bangun dan hendak membunuh pemuda itu, tetapi Vayami mencegahnya. Hai Kong Hosiang
dunia-kangouw.blogspot.com
adalah utusan kaisar yang ditugaskan menghubungi Pangeran Vayami yang berpengaruh, bahkan dia
diberi tugas membawa surat undangan kepada pangeran itu, maka hwesio ini maklum bahwa Pangeran
Vayami adalah seorang yang terhormat dan yang perintahnya harus ditaati karena pangeran ini merupakan
calon tamu agung yang diundang ke istana kaisar.
“Hai Kong Bengyu, jangan salah paham,” kata pangeran ini dengan wajah berseri dan senyumnya yang
manis. “Bukan aku sengaja membela dia karena aku membenarkan dia dan memusuhimu, akan tetapi aku
membutuhkan tenaga dan kepandaiannya. Ketahuilah bahwa dia sudah terkena pengaruh madu merah dari
tabibku dan sebentar lagi dia akan menjadi alat kita yang boleh dipercaya.”
Hai Kong Hosiang mengangguk-angguk dan ia membatalkan niatnya hendak membunuh pemuda tangguh
yang hampir saja menewaskannya itu. Ia merasa sangat gembira akan muslihat Pangeran Vayami yang
cerdik dan licin.
Ternyata di daerah utara terdapat banyak sekali obat-obatan yang sangat manjur dan ramuan obat yang
luar biasa jahatnya, dan yang sama sekali tidak pernah dikenal oleh penduduk Tiongkok pedalaman.
Pangeran Vayami mempunyai tabib tua yang ahli dalam hal obat-obatan bangsa Mongol dan di antara
obat-obat yang mengandung racun luar biasa terdapat semacam obat yang disebut madu merah.
Madu merah ini memang madu dari bangsa tawon langka yang terdapat di lain bagian di dunia, dan hanya
terdapat di daerah salju di utara. Madu merah ini bukanlah racun yang berbahaya bagi tubuh, akan tetapi
mempunyai khasiat memabokkan dan dapat membuat orang menjadi lupa akan keadaan dirinya dan yang
diberi minum madu merah ini akan menjadi manusia penurut yang tak dapat menguasai pikiran sendiri dan
tahunya hanya menjalankan perintah orang lain yang mempengaruhinya. Kalau sekarang mungkin orang
macam ini akan disebut manusia-manusia robot! Pangeran yang cerdik ini merasa kagum akan kepandaian
Cin Hai, karena itu diam-diam dia menggunakan obat mukjijat ini untuk mencengkeram Cin Hai dan
memperalatnya!
Cin Hai mendapat perawatan yang luar biasa telaten dari tabib tua kepercayaan Vayami sehingga dengan
mudah saja pemuda itu dapat diberi minum madu merah yang manis rasanya dengan alasan bahwa obat
itu berguna untuk menguatkan tubuhnya. Memang benar tubuh Cin Hai menjadi kuat kembali, malah luka
akibat totokan Hai Kong Hosiang telah sembuh.
Akan tetapi dia juga merasa makin hari makin malas dan semua hal yang sudah terjadi berangsur-angsur
terlupa olehnya. Bahkan ketika sudah diperbolehkan keluar kamar dan melihat Hai Kong Hosiang, ia tidak
mengenal lagi hwesio ini!
Cin Hai hanya merasa senang luar biasa tinggal di situ dan tidak mempunyai kehendak lain. Meski
pikirannya telah dipengaruhi obat mukjijat itu, tetapi tenaga dan kepandaiannya masih ada padanya. Hanya
kepandaiannya serta julukannya saja yang dia masih ingat, yaitu ‘Pendekar Bodoh’!
Demikianlah, dengan cara keji sekali, Pangeran Vayami telah dapat menaklukkan Cin Hai yang semenjak
itu telah menjadi seorang hambanya yang setia dan yang menurut akan segala perintahnya. Hal ini tak
mengherankan karena pangeran itu selalu bersikap manis dan baik kepadanya, dan dengan pengaruh
sihirnya yang cukup kuat ia dapat merampas pikiran Cin Hai dan dapat mempengaruhi pemuda itu. Selain
Pangeran Vayami, tidak ada orang lain yang mampu mempengaruhi pemuda ini, karena betapa pun juga
pemuda ini mempunyai batin dan dasar pelajaran yang kuat!
Sesudah tubuh Cin Hai dan Hai Kong Hosiang sembuh kembali, Vayami lalu membawa rombongannya itu
menuju ke selatan, karena ia hendak memenuhi undangan kaisar yang hendak bersekutu dengannya.
Sesudah menyeberangi sungai, rombongan ini lalu melanjutkan perjalanan dengan naik kuda. Pangeran
Vayami memiliki seekor kuda putih yang tinggi besar dan yang punya tenaga luar biasa dan nampaknya
liar. Kuda ini bukanlah binatang sembarangan dan dinamakan ‘Pek-gin-ma’ atau Kuda Perak Putih yang
dapat berlari seribu li dalam sehari tanpa berhenti!
Pangeran yang cakap ini nampak gagah sekali naik kuda yang berbulu putih itu, sehingga jubahnya yang
berwarna merah darah itu kelihatan sangat mencolok. Di sepanjang jalan pangeran yang tampan ini
bersikap gembira sekali dan menyambut penghormatan para rombongan orang-orang Mongol dengan
sikap ramah dan agung.
Memang hatinya sangat gembira dan girang karena kini ia telah memiliki seorang penjaga pribadi yang juga
dunia-kangouw.blogspot.com
menunggang kuda bagaikan sebuah patung hidup di sebelahnya, yaitu Cin Hai! Wajah pemuda yang
memang sudah nampat bodoh itu kini benar-benar terlihat bodoh sekali karena tidak menunjukkan
perasaan apa-apa bagaikan orang sedang duduk di atas kuda sambil bermimpi!
Pada suatu hari, rombongan Pangeran Vayami tiba di sebuah kampung padang rumput dan mereka lalu
memasang tenda di padang rumput, agak di luar kampung. Pada malam harinya, penduduk kampung yang
berpenduduk campuran antara bangsa Han, Mongol dan Mancu, keluar menyambut Pangeran Vayami
untuk menghiburnya.
Pangeran ini namanya sudah terkenal sekali dan banyak orang mendewa-dewakannya sebagai seorang
Buddha hidup, bahkan banyak orang percaya bahwa siapa yang dapat menyenangkan hatinya atau
memancing keluar senyum bibirnya yang manis, orang itu akan mendapat hadiah Nirwana atau Surga ke
tujuh!
Oleh karena itu, maka semua penduduk, tua muda, lelaki dan perempuan, bahkan gadis kampung tidak
ketinggalan menyerbu ke tempat pemberhentian rombongan itu. Mereka menghidangkan hidangan yang
lezat-lezat dari daging domba, bahkan satu rombongan pemain musik memainkan perkakas mereka dan
memainkan lagu rakyat.
Gadis-gadis bergembira ria dan menari di hadapan Pangeran Vayami yang memandang semua itu dengan
wajah menyatakan bosan. Memang ia tak tertarik menonton tari-tarian itu, oleh karena gadis-gadis di
kampung utara memang rata-rata berwajah kasar seperti laki-laki dan kulit kehitam-hitaman.
Tiba-tiba saja, ketika gadis-gadis itu masih menari-nari, berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu di
tengah-tengah kalangan gadis yang sedang menari itu tampak seorang gadis lain berbaju merah yang
menari-nari pula. Akan tetapi tariannya berbeda dengan tarian para gadis kampung itu, dan wanita ini
wajahnya demikian cantik jelita hingga Pangeran Vayami memandang dengan kedua mata terbelalak.
Gadis ini tidak saja memiliki kulit yang begitu halus dan putih laksana sutera, akan tetapi juga mempunyai
potongan tubuh yang menggiurkan serta gerak-geriknya lemah gemulai menarik hati! Tidak hanya para
pemusik yang menjadi kagum dan saking gembiranya mereka lalu mainkan tetabuhan mereka lebih ramai
lagi, akan tetapi juga para gadis yang tengah menari-nari itu menjadi demikian kagum sehingga mereka
menghentikan tarian mereka dan kini hanya berdiri merupakan sederet barisan yang bertepuk-tepuk tangan
sambil tertawa-tawa mengikuti irama lagu sambil menikmati tarian Gadis Baju Merah itu.
Tiba-tiba saja Hai Kong Hosiang berseru di antara cahaya obor yang membuat wajahnya nampak
menyeramkan, “Ang I Niocu...!”
Dia segera mencabut keluar senjatanya yang mengerikan itu. Akan tetapi Vayami yang duduk di dekatnya
segera mengangkat tangan dan berkata,
“Hai Kong Bengyu, jangan sembarangan bergerak. Biarkan bidadari itu menari!”
Ucapan ini merupakan perintah, oleh karena pangeran itu benar-benar tidak suka melihat gangguan Hai
Kong Hosiang. Karena ini, sambil menggigit bibirnya, Hai Kong Hosiang berdiri saja sambil menatap Ang I
Niocu dengan mata merah.
Memang benar, yang datang itu adalah Ang I Niocu sendiri! Dara Baju Merah ini sudah dapat melihat Cin
Hai berada dalam rombongan Pangeran Vayami, akan tetapi karena sikap Cin Hai mencurigakan, ia lalu
sengaja memancing dengan tariannya.
Sambil menari dia mengerling ke arah Cin Hai. Akan tetapi alangkah heran, terkejut dan mendongkolnya
ketika ia melihat wajah Cin Hai yang tersorot sinar obor itu menunjukkan seakan-akan pemuda itu tidak
kenal kepadanya dan seakan-akan tariannya yang indah itu dalam pandangan Cin Hai hanyalah tarian
seekor kodok meloncat-loncat yang tak ada harganya untuk dipandang.
Dalam kemendongkolannya, Ang I Niocu hendak marah, akan tetapi perasaan wanitanya yang halus itu
dapat pula menduga adanya bahaya yang mengancam. Apa lagi ketika ia melihat wajah Hai Kong Hosiang
yang berada di situ pula!
Aneh pikirnya, tentu telah terjadi sesuatu atas diri Hai-ji! Oleh karena ini, ketika ia melihat betapa sepasang
mata pangeran muda itu tertuju padanya penuh kekaguman dan gairah, dan melihat pula betapa besar
dunia-kangouw.blogspot.com
pengaruh pangeran itu sehingga berani membentak Hai Kong Hosiang, dia lalu menari lebih indah pula
untuk membuat pangeran itu benar-benar mabok!
Pangeran Vayami memang mempunyai kelemahan terhadap wanita cantik. Setiap hari ia melihat wanitawanita
yang buruk rupa, maka sekali ini Ang I Niocu yang demikian cantik jelita dan demikian indah
tariannya, tak heran apa bila ia menjadi tergila-gila! Setelah Ang I Niocu menghentikan tariannya, pangeran
itu bertepuk-tepuk tangan dan memuji,
“Bagus, bagus! Hebat sekali! Eh, nona yang cantik seperti bidadari, silakan kau datang ke mari!”
Dengan tindakan kaki yang menarik-narik kalbu Pangeran Vayami, Ang I Niocu kemudian menghampiri
pangeran itu, sedangkan Hai Kong Hosiang berdiri di belakang pangeran itu bersiap sedia dengan hati
curiga.
Ang I Niocu menjura dan memberi hormat dengan senyum manis bermain pada bibirnya yang merah.
“Nona, kau yang luar biasa ini siapakah namamu? Dan di mana tempat tinggalmu?”
“Sudah kukatakan tadi, dia ini adalah Ang I Niocu yang tersohor namanya!” kata Hai Kong Hosiang. “Gadis
ini berbahaya sekali!”
Akan tetapi baik Pangeran Vayami mau pun Ang I Niocu tidak mempedulikan ucapan pendeta itu, dan Ang I
Niocu menjawab dengan suaranya yang merdu, “Hamba bernama Kiang Im Giok dan tempat tinggal hamba
tidak tentu karena sebenarnya hamba adalah seorang perantau.”
“Ahh, kau membawa-bawa pedang, tentu kau seorang kang-ouw juga bukan? Kebetulan sekali, aku pun
suka pada orang-orang gagah dan maukah kau ikut dengan rombongan ini?”
“Pangeran sungguh berbudi mulia dan hamba hanya mohon berkah dari Pangeran yang suci ini.”
Mendengar ucapan ini Hai Kong Hosiang menjadi ragu-ragu. Benarkah gadis yang gagah ini pun percaya
dan tunduk kepada pangeran ini? Sementara itu, Ang I Niocu mengerling ke arah Cin Hai, akan tetapi
alangkah kagetnya ketika melihat wajah Cin Hai yang seperti mayat itu. Maka dengan hati berdebar-debar
ia lalu berkata pula,
“Hamba telah kenal dengan Hai Kong Hosiang yang berdiri di belakang Paduka itu, malah hamba pernah
kenal dengan pemuda ini. Mengapa mereka berdua juga berada dalam rombongan Paduka?” tanyanya
dengan hati-hati sambil menunjuk kepada Cin Hai yang sama sekali tidak memperhatikan percakapan itu.
“Ha-ha-ha! Tak heran kau kenal mereka, karena mereka adalah tokoh besar di kalangan kang-ouw. Hai
Kong Hosiang tuan rumahku yang mengantar aku berkunjung ke kerajaan, sedangkan pemuda itu adalah
penjagaku yang setia. Ha-ha, marilah kita bicara di dalam, Nona, tak perlu kita membicarakan orang-orang
ini.”
“Hamba hanya menurut kehendak Paduka,” kata Ang I Niocu sambil tersenyum.
Dengan suara lantang Pangeran Vayami lalu membubarkan semua orang dan memberi berkah dengan
kedua tangan dilambai-lambaikan, kemudian dengan berani sekali dia lalu memegang tangan Ang I Niocu
yang halus lemas dan menggandeng gadis itu menuju ke kemahnya. Pangeran ini lalu memerintahkan
kepada para pelayannya agar menyediakan meja perjamuan dan dia lalu mengajak Ang I Niocu makan
minum dengan gembira.
Dengan menggunakan senyum dan kerlingnya yang menawan hati, Ang I Niocu berhasil memancing
Pangeran Vayami untuk menceritakan pengalaman Cin Hai. Pengaruh arak telah membuat lidah pangeran
itu menjadi fasih dan dia pun menceritakan sambil diseling kata-kata memuji-muji kecantikan Ang I Niocu.
Bukan main marahnya Gadis Baju Merah ini mendengar bahwa Cin Hai kini telah berada dalam pangaruh
madu merah yang berbahaya. Tiba-tiba ia menendang meja yang ada di depannya dan sekali dia bergerak,
dia sudah menangkap tangan Pangeran Vayami dan menempelkan pedangnya di leher pangeran itu.
Pangeran Vayami menjadi pucat sekali dan tubuhnya gemetar, kedua kakinya menjadi lemas.
“Ang I Niocu penjahat perempuan! Sudah kuduga engkau memiliki niat buruk!” tiba-tiba terdengar bentakan
dunia-kangouw.blogspot.com
di luar tenda.
“Mundur atau leher pangeran cabul ini akan kupenggal lebih dulu!” bentak Ang I Niocu.
Terpaksa sambil memaki-maki Hai Kong Hosiang mundur lagi dan keluar dari kemah.
“Lekas kau perintahkan agar kuda Pek-gin-ma dibawa ke sini!” Ang I Niocu memerintah sambil memutar
lengan Pangeran Vayami.
Pangeran ini merasa kesakitan dan dengan suara megap-megap ia perintahkan orangnya untuk membawa
kuda Pek-gin-ma ke situ. Setelah kuda putih yang indah itu didatangkan, Ang I Niocu memerintah pula,
“Sekarang kau panggil Cin Hai ke sini!”
Cin Hai tak akan mau datang kalau lain orang yang memanggil, maka setelah Pangeran Vayami memberi
tahukan masalah ini kepada Ang I Niocu, gadis itu lalu memaksa dan mendorongnya keluar untuk mencari
Cin Hai. Kebetulan sekali, Cin Hai tidak berada jauh di situ dan pemuda ini duduk di dekat api unggun
sambil termenung.
“Cin Hai, kau ke sini!” Pangeran Vayami memerintah.
Bagaikan sebuah robot, pemuda itu bangun berdiri dan menghampiri Pangeran Vayami. Hati Ang I Niocu
perih sekali melihat keadaan Cin Hai demikian rupa.
Sementara itu dengan bantuan sinar obor dan api unggun, Pangeran Vayami menatap serta memandang
mata Cin Hai dengan tajam dan diam-diam dia mengerahkan tenaga sihirnya sehingga pada saat itu Cin
Hai menjadi tunduk betul-betul dan berada di bawah pengaruhnya sama sekali.
Melihat Hai Kong Hosiang mendekat, Ang I Niocu membentak, “Kau berdiri jauh di sana, kalau tidak aku tak
akan mengampunkan Pangeranmu ini!”
Terpaksa dengan mendongkol sekali Hai Kong Hosiang lalu mundur dan berdiri agak jauh sambil
memandang dengan mata tajam. Ia maklum bahwa kepandaian Ang I Niocu tak boleh dibuat gegabah dan
bahwa bukan hal yang mudah untuk menolong jiwa pangeran yang telah berada di bawah ancaman
pedang.
Dengan tangan kanan masih memegang pedangnya yang ditodongkan kepada Pangeran Vayami, Ang I
Niocu lalu melepaskan pegangan tangan kirinya dan kini ia menggunakan tangannya untuk memegang
lengan Cin Hai. Akan tetapi, Cin Hai sama sekali tidak mau mempedulikannya dan tetap memandang pada
Pangeran Vayami bagaikan seekor anjing memandang kepada tuannya, siap menanti perintah.
Tiba-tiba Pangeran Vayami berkata dalam bahasa Mongol yang artinya, “Tangkap wanita ini!”
Memang ia telah mengajar Cin Hai mengerti perintahnya dalam bahasa Mongol. Ada pun Ang I Niocu sama
sekali tidak mengerti bahasa itu.
Mendengar perintah ini, tiba-tiba Cin Hai bergerak dan tahu-tahu ia telah memeluk Ang I Niocu dan sebelah
tangannya memegang pergelangan tangan gadis itu yang memegang pedang. Ang I Niocu tak dapat
berkutik dalam pelukan Cin Hai yang keras ini, maka gadis ini hanya dapat mengeluh,
“Hai-ji... aduh, Hai-ji...”
Aneh sekali, panggilan yang dikeluarkan oleh suara Ang I Niocu ini menusuk telinga dan menembus hati
Cin Hai. Pada saat itu dia merasa seperti mendengar suara dari surga yang amat dikenalnya, suara yang
membangunkannya dari alam mimpi dan membuat ia merasa bahwa hanya suara inilah yang harus
ditaatinya.
Ini tidak aneh, karena dulu ketika dia masih kecil, memang suara panggilan yang keluar dari mulut Ang I
Niocu dan yang biasa menyebut ‘Hai-ji’ atau ‘anak Hai’ inilah yang selalu berkumandang di dalam
telinganya dan yang selalu dikenangnya sebagai panggilan yang paling mesra dan menyenangkan hati di
dunia ini. Maka kenangan lama yang sudah menggores dalam-dalam di hatinya ini tidak mudah terhapus
oleh pengaruh baru yang mempengaruhi pikirannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba saja dia melepaskan pelukannya dan memandang kepada Ang I Niocu dengan bingung, tak tahu
harus berbuat apa.
“Cin Hai tangkaplah wanita ini!” Sekali lagi Pangeran Vayami berseru.
Akan tetapi Ang I Niocu segera berkata, “Hai-ji, mari kau ikut aku!”
Ternyata suara Ang I Niocu ini lebih kuat mempengaruhi jiwa Cin Hai sehingga sekarang dia benar-benar
berada di bawah pengaruh Ang I Niocu! Dengan wajah membayangkan kegembiraan, pemuda itu
mengikuti Ang I Niocu.
Tiba-tiba dari belakang terdengar suara angin menyambar, dan Ang I Niocu berteriak,
“Hai-ji, mari kita binasakan hwesio binatang ini!”
Oleh karena tadinya pemuda ini patuh sekali kepada Pangeran Vayami, maka Pangeran Vayami tidak
merampas pedang Liong-coan-kiam dari tangan Cin Hai. Maka, ketika kini mendengar perintah Ang I Niocu,
Cin Hai mencabut senjatanya dan menangkis serbuan Hai Kong Hosiang!
Ang I Niocu membantu dan terpaksa Hai Kong Hosiang berkelahi sambil mundur karena menghadapi
keroyokan dua orang ini, ia merasa jeri! Ia maklum sepenuhnya bahwa jika dilanjutkan, ia tak akan menang
menghadapi Cin Hai dan Ang I Niocu.
Kesempatan ini digunakan oleh Ang I Niocu untuk membetot tangan Cin Hai ke arah kuda Pek-gin-ma yang
masih berdiri di sana dan kendalinya dipegang oleh seorang pelayan pangeran. Pangeran Vayami tidak
berani menghalangi karena ia maklum kalau Hai Kong Hosiang tidak berani menghadapi dua orang ini, apa
lagi dia!
“Hai-ji, kau naik di belakang dan kau mempertahankan setiap serangan!” kata lagi Ang I Niocu yang lalu
melompat ke atas kuda itu.
Cin Hai pun hanya menurut dan naik di belakang Ang I Niocu! Gadis itu menggunakan kakinya untuk
menendang roboh pelayan yang memegang kendali dan dia lalu menarik kendali kuda Pek-gin-ma itu yang
segera meringkik keras, mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi ke atas, lalu berlari secepat angin!
Sambil mengucapkan sumpah serapah Hai Kong Hosiang lalu mengayunkan tiga batang piauw beracun ke
arah mereka. Akan tetapi, dengan mengebut lengan bajunya, Cin Hai berhasil menyampok ketiga batang
piauw itu ke tanah.
Malam itu terang bulan dan kuda Pek-gin-ma yang berbulu putih itu berlari cepat. Bulunya mengkilap
tertimpa sinar bulan hingga ia benar-benar merupakan kuda yang mempunyai bulu bagaikan perak tulen!
Ang I Niocu mencabut sapu tangannya yang lalu digulungnya merupakan cambuk dan ia membujuk kuda
Pek-gin-ma dengan mencambuk perlahan pada kuncungnya agar dapat berlari lebih cepat lagi. Kuda itu
meringkik gembira dan ia benar-benar lari keras sekali seakan-akan keempat kakinya yang putih itu tidak
menyentuh tanah! Sementara itu, Cin Hai duduk di belakang Ang I Niocu dengan anteng bagaikan sebuah
boneka besar yang duduk diam sambil berdongak ke atas memandangi bulan!
“Hai-ji... Hai-ji... kau kenapakah...?” berkali-kali Ang I Niocu bertanya sambil menoleh dan khawatir melihat
sikap Cin Hai yang sudah berubah menjadi manusia robot itu!
Akan tetapi Cin Hai tidak menjawab apa-apa, hanya termenung memandang bulan. Tapi akhirnya dia
menjawab juga,
“Aku Pendekar Bodoh dan kau... kau... sahabatku yang harus kubela!” Hanya demikian ia menjawab dan
selanjutnya ia tak dapat memikir apa-apa lagi.
Sebetulnya bagaimanakah maka Ang I Niocu, atau Dara Baju Merah yang gagah perkasa itu dapat tiba-tiba
muncul di daerah utara ini dan kebetulan sekali dapat menolong Cin Hai? Untuk dapat mengetahui hal ini,
baiklah kita menengok sebentar pengalamannya semenjak dia melarikan diri dengan Lin Lin dari keluarga
Kwee…..
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
Semenjak Ang I Niocu datang ke rumahnya, Lin Lin merasa tertarik dan suka sekali pada Nona Baju Merah
ini sehingga ia mengajak Ang I Niocu tidur di kamarnya. Dan di dalam kamarnya, dengan terus terang dia
mengeluarkan isi hatinya, dan menuturkan betapa dia dan Cin Hai telah saling mencinta.
Ia menceritakan pengalamannya dengan Cin Hai tanpa malu-malu lagi, tidak tahu sama sekali betapa katakatanya
semua itu merupakan sebuah senjata yang lebih tajam dari pada sebuah pedang pusaka yang
menusuk-nusuk hati dan perasaan Ang I Niocu.
Akhirnya Lin Lin berkata sambil merangkul Ang I Niocu dan menangis,
“Cici yang baik, bayangkan betapa sedih hatiku ketika Engko Hai pergi meninggalkanku untuk
membalaskan dendam ini. Selain merasa kecewa, aku pun merasa khawatir sekali akan keselamatannya.
Bagaimana kalau dia sampai menemui bahaya? Kalau aku boleh ikut, meski kami berdua menghadapi
bahaya maut dan sampai terbinasa sekali pun, aku merasa puas dan dapat mati dengan mata meram!”
Ketika Lin Lin tidak mendengar Ang I Niocu menjawab, ia lalu memandang dan melihat bahwa Nona Baju
Merah itu pun menangis dengan sedihnya sehingga ia terisak-isak. Lin Lin menyangka bahwa Nona Baju
Merah ini ikut merasa sedih dan terharu, maka ia lalu berbalik menghibur.
“Cici, kalau engkau sudi membawaku mengejar Hai-ko dan An-ko! Setidaknya kita akan dapat membantu
mereka, bukan? Apa lagi dengan adanya kau yang lihai, aku tidak akan takut menghadapi siapa pun juga.”
Karena bujukan-bujukan ini akhirnya Ang I Niocu tak kuasa menahan lagi dan begitulah, dengan diam-diam
mereka pada malam hari itu juga melarikan diri untuk menyusul Cin Hai dan Kwee An! Ang I Niocu dapat
melihat bahwa cinta gadis ini terhadap Cin Hai besar sekali, dan kalau pemuda itu pun membalas cinta Lin
Lin, sudah menjadi tugasnya untuk mempertemukan mereka kembali.
Bukankah ia mencinta pada Cin Hai dengan sepenuh jiwanya? Cintanya bukan terdorong oleh nafsu, akan
tetapi ia betul-betul ingin melihat pemuda itu hidup bahagia di samping wanita yang dicintainya, dan
menurut pandangannya, Lin Lin cukup pantas menjadi gadis pilihan Cin Hai.
Ang I Niocu yang telah berpengalaman itu dengan mudah dapat menduga bahwa Cin Hai dan Kwee An
tentu menuju ke kota raja untuk mencari musuh-musuh besar itu, maka ia pun langsung mengajak Lin Lin
menuju ke kota raja. Di sepanjang jalan tiada bosannya ia memberi petunjuk ilmu silat kepada Lin Lin,
bahkan memberi tahu tentang rahasia latihan lweekang yang lebih tinggi.
Ketika mereka tiba di kota raja, Ang I Niocu mendengar tentang penyerbuan Cin Hai dan Kwee An, dan
tentang terbunuhnya empat orang dari Shantung Ngo-hiap dan dua orang perwira lain. Lin Lin
mengucurkan air mata karena merasa gembira dan terharu. Ketika mendengar bahwa dua orang musuh
besarnya, yaitu Hai Kong Hosiang dan Boan Sip masih belum terbalas dan kedua pemuda itu mengejar
mereka ke utara, Lin Lin lalu minta kepada Ang I Niocu untuk mengejar ke utara juga.
Ang I Niocu menyetujui pula dan begitulah, pada keesokan harinya mereka melakukan pengejaran ke
utara. Mereka tertinggal tujuh hari oleh Kwee An dan Cin Hai.
Pada suatu hari mereka tiba di pinggir Sungai Liong-kiang dan melihat dua orang sedang dikeroyok oleh
sekumpulan perwira kerajaan. Dua orang ini bukan lain adalah Nelayan Cengeng serta muridnya, yaitu Ma
Hoa atau gadis puteri Ma Keng In yang berpakaian seperti laki-laki. Yang mengeroyok adalah tujuh orang
perwira dan seorang hwesio yang gagah perkasa, karena hwesio ini bukan lain ialah Beng Kong Hosiang,
suheng dari Hai Kong Hosiang yang pernah roboh di tangan Cin Hai.
Beng Kong Hosiang beserta tujuh orang perwira itu mendapat tahu bahwa kedua orang pemuda yang
mengacau di Eng-hiong-koan telah mengejar ke utara, karena itu mereka merasa kuatir akan keselamatan
Hai Kong Hosiang lalu melakukan pengejaran pula. Di pinggir Sungai Liong-kiang mereka melihat sebuah
perahu kecil di mana duduk seorang tua yang berpakaian nelayan dan seorang pemuda tampan.
Walau pun para perwira itu mengenal Ma Keng In sebagai seorang perwira, akan tetapi mereka tidak
mengenal Ma Hoa yang berpakaian laki-laki. Mereka menyangka bahwa pemuda ini tentulah seorang
nelayan pula.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat sikap nelayan yang memandang acuh tak acuh itu, Beng Kong Hosiang dapat menduga bahwa
orang tua itu tentulah seorang kang-ouw yang berkepandaian, karena itu setelah menjura dia berkata,
“He, kawan nelayan tua, tolonglah kami menyeberang sungai ini dengan perahumu, dan berapa saja
upahnya yang kau minta, tentu pinceng bayar lunas!”
Nelayan Cengeng tertawa haha-hihi mendengar ucapan ini, kemudian menatap mereka baik-baik. Dia lalu
menjawab,
“Hwesio yang bercampur gaul dengan segala perwira kerajaan, permintaanmu ini pantas sekali. Akan tetapi
jawablah dulu. Kalian delapan orang dari istana ini hendak menuju ke manakah?”
Melihat sikap nelayan yang sama sekali tidak menghormati mereka, Beng Kong Hosiang yang menyangka
bahwa nelayan itu tentu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, maka lalu menjawab, “Nelayan tua,
ketahuilah bahwa pinceng adalah Beng Kong Hosiang yang menjadi kepala penjaga dari kelenteng di
istana dan menjadi penasehat dari kaisar sendiri. Maka jangan kau banyak bertanya lagi dan
seberangkanlah pinceng bersama semua ciangkun ini.”
Mendengar nama ini, terkesiaplah hati Nelayan Cengeng dan Ma Hoa. Mereka sudah mendengar dari
Kwee An bahwa hwesio ini adalah suheng dari Hai Kong Hosiang yang pernah bertempur dengan kedua
pemuda itu, maka mereka segera bisa menduga bahwa rombongan ini tentulah sedang mengejar Cin Hai
dan Kwee An yang sudah melanjutkan perjalanan pada beberapa hari yang lalu.
“Beng Kong Hosiang, apa bila kau tidak memberi tahu maksud kepergianmu ke utara ini, terpaksa aku
menolak untuk menyeberangkan kalian.”
Seorang perwira yang berangasan menjadi marah dan membentak,
“He, tua bangka! Tidak tahukah kau bahwa kau sedang berhadapan dengan para perwira kaisar? Apakah
kau ingin mampus? Hayo, seberangkan kami dan jangan banyak tingkah lagi!”
Nelayan Cengeng tertawa bergelak mendengar kekasaran ini, lalu menjawab,
“Perahu ini adalah perahuku, dan hanya aku yang berhak menentukan, apakah kalian boleh atau tidak
memakai perahu ini. Sekarang aku katakan tidak boleh dan kalau kalian hendak menyeberang, gunakan
saja lain perahu!”
Melihat sikap ini, Beng Kong Hosiang dapat menduga bahwa nelayan tua itu tentu bukan orang
sembarangan. Kalau saja di situ terdapat lain perahu tentu ia tidak akan melayani lagi. Akan tetapi di situ
tak ada perahu lain dan perahu nelayan itu hanyalah satu-satunya yang ada. Maka ia lalu berkata dengan
suara halus,
“Sahabat, mungkin karena kita belum berkenalan, maka kau tak sudi menolong. Bolehkah pinceng
mengetahui namamu yang mulia?”
Melihat sikap pendeta ini, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa geli sekali sehingga kedua matanya keluar air
mata.
“Ha-ha-ha-ha! Ternyata Beng Kong Hosiang dapat juga merendahkan diri. Sungguh lucu! Ketahuilah, aku
hanyalah seorang nelayan tua yang malang-melintang di sungai ini untuk mencari ikan. Aku jauh lebih suka
berdekatan dengan ikan-ikan dari pada dengan segala perwira tukang pukul dan aku lebih tak suka melihat
hwesio-hwesio yang bergelandangan dengan tukang-tukang pukul itu, karena hwesio yang demikian ini
tentu bukan hwesio baik-baik!”
Bukan main marahnya ketujuh perwira itu mendengar makian ini, akan tetapi Beng Kong Hosiang dapat
mengendalikan perasaannya dan dia segera bertanya dengan rasa heran, “Apakah kau ini Si Nelayan
Cengeng?”
“Ha-ha-ha, aku tertawa atau menangis menurut keadaan dan waktuku, apa sangkutannya dengan kau?”
jawab Nelayan Cengeng itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Jawaban yang tidak karuan ini menguatkan dugaan Beng Kong Hosiang karena ia pernah mendengar
bahwa Nelayan Cengeng adalah orang aneh yang kadang-kadang membawa tingkah seperti orang gila.
Sementara itu, ketujuh perwira yang telah mencabut senjata segera mendekat ke pinggir perahu dan
membentak, “Orang tua, kau lekas keluar dari perahu dan berikan perahurnu kepada kami untuk dipakai
menyeberang dan jangan banyak cakap lagi!”
Ma Hoa semenjak tadi menahan marahnya, kini ia pun melompat keluar dari perahu ke darat sambil
menghunus pedangnya. Ketujuh perwira itu menyerbu kepada Ma Hoa dan segera pemuda itu terkurung
rapat.
Nelayan Cengeng tertawa bergelak dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah menghadapi Beng Kong
Hosiang. Pendeta ini tidak mau memperlihatkan kelemahannya dan ia segera menerjang dengan
senjatanya yang aneh sekali, yaitu sebatang pacul. Nelayan Cengeng mengeluarkan senjatanya yang tidak
kalah hebatnya, yaitu sebatang dayung yang terbuat dari pada kayu hitam dan keras.
Kepandaian Nelayan Cengeng memang sangat tinggi dan tenaganya besar sekali, maka sebentar saja
Beng Kong Hosiang telah terdesak oleh gerakan dayung yang mengamuk bagaikan seekor naga sakti
menyambar-nyambar itu. Melihat hal ini, maka dua orang perwira segera membantunya dan yang lima
orang lain masih saja mengeroyok Ma Hoa yang segera terdesak hebat dan keadaannya berbahaya sekali.
Sebenarnya Nelayan Cengeng sama sekali tidak terdesak. Akan tetapi ilmu pacul Beng Kong Hosiang yang
cukup hebat itu, disertai bantuan dua orang perwira yang terpandai, membuat ia tidak dapat membantu
muridnya yang terdesak.
Dan pada saat itulah Ang I Niocu dan Lin Lin tiba di tempat itu. Ketika Ang I Niocu melihat bahwa yang
mengeroyok nelayan tua dan pemuda cakap itu adalah rombongan perwira istana dan seorang hwesio
yang tangguh, tanpa bertanya ia telah bisa memilih pihaknya.
Ia lalu berbisik kepada Lin Lin, “Kau bantulah pemuda itu!”
Kemudian sambil mencabut pedangnya, Ang I Niocu melompat dan menjadi sebuah sinar merah yang
cepat sekali menggempur Beng Kong Hosiang dari samping sambil dibarengi teriakannya, “Hwesio penjilat
kaisar, jangan kau menjual kesombongan di sini!”
Pedang Ang I Niocu berkelebat-kelebat membuat Beng Kong Hosiang terkejut sekali.
Baik Beng Kong Hosiang mau pun Nelayan Cengeng telah pernah mendengar nama Ang I Niocu, maka kini
melihat ada seorang wanita cantik jelita yang berpakaian merah datang menyerbu dengan kepandaian
yang demikian tinggi dan gerakannya begitu indah, segera mereka dapat menduga siapa adanya gadis ini.
Beng Kong Hosiang mengertak gigi dan memperkuat gerakannya karena maklum bahwa dia menghadapi
bantuan seorang yang tangguh, sedangkan Nelayan Cengeng lalu tertawa bergelak-gelak.
“Ha-ha-ha-ha, Beng Kong Hosiang! Agaknya ketika engkau berangkat dari kelentengmu, engkau belum
mencuci tubuh sehingga tertimpa kesialan! Sekarang pergilah mandi dulu!” Sambil berkata demikian ia
mendesak hebat dengan dayungnya!
Ilmu pedang Ang I Niocu memang sudah hebat sekali. Apa lagi kalau yang menghadapi dia belum pernah
melihat dan mengenal ilmu pedangnya, maka kehebatan itu akan jadi semakin mengerikan. Baru beberapa
puluh jurus saja ia telah dapat mendesak dua orang perwira yang mengeroyok Nelayan Cengeng, dan
akhirnya dengan sebuah gerakan tipu Bidadari Menyebar Bunga ia pun berhasil melukai tangan mereka
hingga senjata mereka berdua terlepas dari pegangan! Kedua perwira ini berteriak kesakitan dan cepat
meloncat mundur.
Dan pada saat itu pula Nelayan Cengeng juga telah berhasil menghantamkan dayungnya yang tepat
mengenai paha Beng Kong Hosiang. Hwesio itu terhuyung-huyung dan sambil tertawa-tawa Nelayan
Cengeng mendupak pantatnya sehingga hwesio itu menggelinding dan masuk ke dalam sungai!
“Ha-ha-ha-ha, mandilah! Mandilah biar bersih!” Nelayan Cengeng berkata sambil tertawa geli!
Lin Lin juga tidak mau tinggal diam. Pada saat melihat betapa pemuda yang tampan dan mempunyai ilmu
pedang lumayan juga sedang dikeroyok oleh lima orang perwira yang berkepandaian tinggi hingga
dunia-kangouw.blogspot.com
keadaannya terdesak dan berbahaya sekali, dara muda ini lalu menyerbu dengan pedang pendeknya yang
lihai berputar-putar di tangannya!
Tadinya memang Lin Lin sudah memiliki ilmu pedang yang baik, maka ditambah dengan petunjuk dari Ang I
Niocu yang diberikan kepadanya, sekarang kepandaiannya telah maju pesat dan gerakan pedang
pendeknya semakin lihai dan dahsyat. Sebentar saja ia telah merobohkan seorang pengeroyok.
Sebaliknya, ketika melihat seorang gadis manis menyerbu untuk membantunya, Ma Hoa menjadi girang
sekali dan sekarang timbul semangatnya. Gadis yang berpakaian sebagai laki-laki ini lalu membentak
nyaring sedangkan pedangnya membuat gerakan kilat hingga kembali seorang perwira kena dirobohkan!
“Adikku yang manis! Terima kasih atas bantuanmu!” Ma Hoa berseru dan mengerling ke arah Lin Lin sambil
memutar pedangnya menyerang terus.
Mendengar ini, Lin Lin merasa kaget dan marah karena ia menganggap bahwa ‘pemuda’ ini sungguh
kurang ajar sehingga mukanya berubah merah karena malu dan marah.
Sementara itu, ketika melihat datangnya dua orang gadis kosen ini dan melihat betapa Beng Kong Hosiang
telah dikalahkan bahkan dilemparkan ke dalam sungai, para perwira menjadi takut dan jeri. Mereka lantas
membalikkan tubuh dan melarikan diri secepatnya, mengejar Beng Kong Hosiang yang melarikan diri
terlebih dulu!
Nelayan Cengeng tertawa terkekeh-kekeh dan membiarkan semua perwira itu lari, malah yang terluka lalu
merangkak-rangkak dan pergi tanpa diganggu sedikit pun.
“Ha-ha-ha, Beng Kong Hosiang! Baru sekarang kau tahu lihainya dayung butut Nelayan Cengeng!” nelayan
tua itu berseru keras dengan tertawa geli sampai sepasang matanya mengeluarkan air mata.
Mendengar nama ini, Ang I Niocu terkejut sekali dan ia buru-buru memberi hormat. “Ah, tidak tahunya
Cianpwe adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng! Terimalah hormat dari aku yang muda!”
Kembali Nelayan Cengeng tertawa senang. “Bagus, bagus! Ang I Niocu, namamu bukan kosong belaka.
Ilmu pedangmu sungguh membuat aku orang tua merasa kagum sekali!”
Sementara itu, melihat betapa Lin Lin memandangnya dengan mata tajam serta mulut cemberut, Ma Hoa
tertawa dan berkata kepadanya, “Adik yang manis, ilmu pedangmu pun hebat sekali! Siapakah namamu?”
Kini Lin Lin tak dapat menahan marahnya lagi karena ia menganggap pemuda ini terlalu kurang ajar! Ia
belum pernah mendengar nama Nelayan Cengeng maka ia tidak berapa menaruh perhatian pada kakek itu,
dan sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung Ma Hoa, ia berkata,
“Kau janganlah membuka mulut sembarangan dan berlaku kurang ajar! Kau kira aku ini siapakah maka kau
berani bertanya sembarangan saja?”
Lin Lin menjadi semakin terheran dan marah pada saat melihat ‘pemuda’ itu tidak marah, bahkan tertawa
bergelak dan nyaring. Akan tetapi anehnya, ketika tertawa ‘pemuda’ ini menggunakan ujung lengan bajunya
untuk menutupi mulutnya, sedangkan suaranya juga nyaring dan merdu seperti suara ketawa seorang
wanita!
Selagi ia berdiri memandang dengan mata heran tercampur marah, tiba-tiba saja Nelayan Cengeng juga
tertawa dan berkata,
“Nona, dia ini adalah muridku dan bernama Ma Hoa! Memang seorang pemuda ceriwis yang layak dipukul!
Ha-ha-ha!”
“Suhu, jangan membikin Nona ini menjadi semakin marah! Lihat, mukanya sudah menjadi merah dan
mulutnya cemberut menambah manisnya!” kata Ma Hoa.
Lin Lin menjadi gemas sekali, akan tetapi sebelum ia menggerakkan tangan yang hendak menampar mulut
‘pemuda’ itu, sambil tersenyum mendadak Ang I Niocu yang bermata tajam berkata kepadanya,
“Adik Lin Lin, mengapa kau begitu bodoh? Pemuda ini adalah seorang wanita! Apakah kau tak dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
menduganya?”
Lin Lin terkejut dan memandang dengan tajam. sedangkan Ma Hoa segera melepaskan kopiahnya
sehingga rambutnya yang hitam dan panjang itu terurai ke bawah menutupi pundaknya. Kini ‘pemuda’ itu
berubah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan yang sedang tertawa manis padanya. Lin Lin juga
tertawa dan mukanya menjadi makin merah karena malu akan kebodohannya sendiri. Ma Hoa
menghampiri dan memeluk pundak Lin Lin.
“Adikku yang manis, maafkanlah aku yang menggodamu. Entah mengapa, melihat kau semanis ini, aku
menjadi suka sekali! Siapakah namamu, Adik yang manis?” tanyanya.
“Enci, kau benar-benar nakal sekali! Siapa yang mengira engkau bukan seorang pemuda asli? Namaku
adalah Kwee Lin.”
Sepasang mata Ma Hoa yang jeli itu bersinar mendengar ini. “Apa? Engkau she Kwee? Ehh, Adik,
kenalkah engkau kepada seorang pemuda yang bernama... Kwee An?”
Lin Lin menangkap tangan Ma Hoa dan memegang tangan itu erat-erat. “Enci Hoa, apa engkau telah
bertemu dia? Dia adalah kakakku dan sekarang aku sedang mencari dia!”
“Ha-ha-ha!” Si Nelayan Cengeng tertawa bergelak. “Ini namanya kebetulan sekali. Nona Kwee Lin, kau tadi
tidak membantu orang lain oleh karena yang kau bantu itu merupakan calon Soso-mu (Kakak iparmu)
sendiri!”
Lin Lin tercengang dan cepat-cepat memandang kepada wajah Ma Hoa yang menunduk kemalu-maluan.
“Betulkah ini, Enci Hoa?”
Ma Hoa tidak dapat menjawab, hanya tertunduk sambil memegang-megang pedang yang tergantung di
pinggangnya. Tiba-tiba Lin Lin mengenali pedang Kwee An dan dia segera memeluk Ma Hoa dengan
girang sekali.
“Ahh, benar engkau telah menerima pedang Engko An! Ah, aku girang sekali! Ehh, calon enso-ku yang
baik, sekarang beri tahukanlah kepadaku, di mana adanya calon suamimu itu?”
Ma Hoa mengerling sambil cemberut. “Kau nakal sekali, Adik Lin! Kalau kau tidak mau berhenti
menggodaku aku takkan mau memberitahukan di mana dia sekarang berada!”
Sementara itu, Ang I Niocu juga merasa girang sekali mendengar bahwa benar-benar Cin Hai dan Kwee An
pernah berada di sini dan bahkan Kwee An telah mengikat perjodohan dengan gadis murid Nelayan
Cengeng yang cantik dan gagah itu.
Nelayan Cengeng segera menuturkan kepada Ang I Niocu dan Lin Lin akan pengalaman mereka dan
pertemuan mereka dengan Cin Hai dan Kwee An beberapa waktu yang lalu. Mereka memberitahukan
bahwa dua anak muda itu telah melanjutkan perjalanan mereka ke utara dalam usaha mereka mencari dan
mengejar Hai Kong Hosiang.
Dalam kegembiraan mereka karena pertemuan ini, baik Nelayan Cengeng dan muridnya, mau pun Ang I
Niocu dan Lin Lin sudah kurang hati-hati dan mereka tidak tahu bahwa di pinggir sungai masih ada seorang
perwira yang tadi terpelanting ke dalam sungai dan kini sedang bersembunyi di dalam air sambil
mengeluarkan kepala dari permukaan air yang disembunyikan di bawah rumput alang-alang. Perwira ini
mendengar semua percakapan mereka dan alangkah kaget, heran dan marahnya ketika mendapat
kenyataan bahwa ‘pemuda’ itu adalah Ma Hoa, puteri dari perwira Ma Keng In yang ia kenal baik!
Ang I Niocu dan Lin Lin tidak menunda perjalanan mereka dan segera berpamit untuk melanjutkan
penyusulan mereka kepada kedua pemuda kita. Sebetulnya di dalam hatinya Ma Hoa hendak ikut, akan
tetapi dia malu untuk menyatakan hal ini dan pula dia khawatir kalau-kalau dia dikenali oleh para perwira
sehingga kedudukan ayahnya sebagai seorang perwira akan terancam. Maka terpaksa mereka
melepaskan kedua orang gadis pendekar itu pergi dengan hati berat.
Setelah semua orang pergi dari situ, perwira yang bersembunyi itu lalu merangkak keluar dan segera lari
menuju kembali ke kota raja untuk membuat laporan. Beng Kong Hosiang yang merasa malu dan marah
sekali karena kekalahannya, lalu mengumpulkan sejumlah besar perwira dan segera mengejar terus ke
dunia-kangouw.blogspot.com
utara!
Pertemuan dengan Nelayan Cengeng dan Ma Hoa itu membuat Ang I Niocu dan Lin Lin merasa girang
sekali, oleh karena tidak saja mereka girang mendengar bahwa Kwee An telah mendapat jodoh seorang
gadis yang cantik dan gagah, juga mereka kini telah dapat mengikuti jejak dua pemuda itu dan mendapat
kesempatan untuk ikut membalas dendam kepada Hai Kong Hosiang!
Dua hari kemudian, ketika dua orang gadis pendekar ini sedang berjalan di tempat yang sunyi, dari depan
mereka melihat dua orang berjalan cepat mendatangi. Gerakan kedua orang dari depan itu demikian
cepatnya sehingga Ang I Niocu dan Lin Lin maklum bahwa mereka tentulah orang-orang berkepandaian
tinggi. Dan sesudah dekat ternyata bahwa kedua orang itu adalah Boan Sip, perwira musuh besar keluarga
Kwee dan seorang tua yang kelihatan pucat dan berjubah hitam, dengan sepasang matanya mengeluarkan
sinar kejam.
Ternyata bahwa Boan Sip adalah seorang perwira yang di samping cerdik, juga berwatak pengecut sekali.
Saat ia mendengar bahwa semua teman-temannya telah tewas di dalam tangan anak-anak muda yang
membalaskan dendam keluarga Kwee, dia lalu cepat-cepat pergi mengunjungi suhu-nya, yaitu Bo Lang
Hwesio. Dengan amat pandai Boan Sip dapat membujuk suhu-nya untuk membela dirinya dari ancaman
musuh-musuhnya.
Dan kebetulan sekali, ketika mereka sedang berjalan menuju ke kota raja, di tengah jalan mereka bertemu
dengan Ang I Niocu dan Lin Lin. Ketika melihat Lin Lin, tentu saja Boan Sip menjadi girang sekali dan
sebaliknya Lin Lin juga girang oleh karena tidak disangka-sangkanya dia dapat bertemu dengan musuh
besarnya di tempat itu.
“Bangsat rendah, akhirnya dapat juga aku membalas dendamku!” teriak Lin Lin sambil mencabut keluar
pedangnya dan melompat lalu menyerang Boan Sip dengan sengitnya.
Boan Sip tertawa besar, lantas menggunakan pedangnya menangkis sehingga sebentar saja mereka
sudah bertempur dengan seru dan hebat.
Sementara itu, karena menyangka bahwa hwesio ini bukan lain tentulah kawan Boan Sip, Ang I Niocu
segera mencabut pedangnya dan menyerang Bo Lang Hwesio. Akan tetapi, Dara Baju Merah ini terkejut
sekali ketika pedangnya dengan mudah ditangkis oleh ujung lengan baju hwesio itu! Dia berlaku hati-hati
sekali oleh karena maklum bahwa hwesio ini berkepandaian tinggi.
Sebaliknya, melihat gerakan pedang Ang I Niocu yang lain dari pada pedang biasa, Bo Lang Hwesio juga
merasa kagum dan membentak,
“Nona yang gagah, siapakah namamu?”
Akan tetapi, Ang I Niocu mana sudi memberi tahukan namanya? Dan sambil menyerang terus dia pun
berseru, “Hwesio jahat tak usah menanya nama! Awaslah pedangku akan menyambar lehermu!”
Boan Sip yang mendengar ini lalu berkata kepada suhu-nya, “Suhu, Nona Baju Merah itu adalah Ang I
Niocu yang sombong!”
Bo Lang Hwesio pernah mendengar nama besar Ang I Niocu, maka sambil tertawa dia berkata, “Bagus!
Ang I Niocu, pinceng Bo Lang Hwesio memang sudah lama mendengar nama besarmu. Nah, kau
perlihatkanlah kepandaianmu, hendak kulihat sampai di mana tingginya!”
Sehabis berkata demikian, Bo Lang Hwesio lalu menghadapi Ang I Niocu dengan tangan kosong.
Akan tetapi setelah berkelahi dua puluh jurus lebih, diam-diam Ang I Niocu terkejut dan mengeluh. Ternyata
kepandaian hwesio jubah hitam ini benar-benar tinggi dan setingkat lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri!
Ang I Niocu menggigit bibir, kemudian memutar pedangnya secepatnya untuk menghadapi hwesio yang
amat tangguh ini.
Sebaliknya, biar pun telah mendapat petunjuk dari Ang I Niocu dan kepandaiannya sudah banyak maju,
namun Lin Lin masih belum dapat mengatasi kepandaian Boan Sip yang kosen. Makin lama, pedang Boan
Sip semakin rapat mengurung dirinya sehingga Lin Lin menjadi bingung dan terdesak sekali keadaannya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika ia mengerling Ang I Niocu, ia menjadi semakin gugup oleh karena melihat betapa Ang I Niocu juga
sangat didesak oleh hwesio itu. Karena bingung dan gugup, gerakannya menjadi lambat dan tiba-tiba
sebuah tendangan Boan Sip mengenai pergelangan tangan kanannya membuat pedang pendeknya
terlempar ke atas dan disambut cepat oleh Boan Sip yang tertawa bergelak-gelak.
Perwira muda itu lalu menyerang terus dan memutar-mutar pedangnya sehingga Lin Lin terpaksa harus
mengelak sambil berloncatan ke sana ke mari menghindarkan diri dari tusukan pedang lawan! Dia tidak
berdaya oleh karena pedangnya telah terampas lawan dan pada saat ia sudah amat terdesak, tiba-tiba ia
kena ditotok pundaknya oleh Boan Sip sehingga roboh terguling dengan tubuh lemas tak berdaya!
Boan Sip tertawa lagi. “Ha-ha-ha! Hanya sebegini saja kepandaianmu dan kau mencari aku untuk
membalas dendam? Nah, terimalah hadiahku ini!”
Dia mengangkat pedangnya ke atas. Akan tetapi ketika dia memandang wajah Lin Lin, perasaan cintanya
yang dulu timbul kembali dan hatinya tidak tega. Dia lalu membungkuk dan menyambar tubuh Lin Lin yang
terus dikempit dan dibawa lari!
“Bangsat hina dina, lepaskan adikku!” Ang I Niocu meloncat hendak mengejar.
Akan tetapi Bo Lang Hwesio mencegahnya dengan serangan berbahaya sehingga Ang I Niocu terpaksa
melayani hwesio kosen ini lagi! Hati Dara Baju Merah ini tidak karuan rasanya dan permainan pedangnya
menjadi kalut.
Setelah mendesak Ang I Niocu dengan hebatnya akan tetapi ternyata pertahanan pedang Gadis Baju
Merah itu pun amat kuat hingga setelah bertempur lama belum juga dia dapat merobohkan gadis itu, tibatiba
Bo Lang Hwesio meloncat pergi sambil berkata,
“Cukup, Ang I Niocu, sudah cukup kita bermain-main. Lain waktu kita boleh bertemu lagi!”
Ang I Niocu hendak mengejar. Akan tetapi gerakan hwesio yang gesit itu dan juga oleh karena merasa
bahwa kepandaiannya kalah tinggi, membuat Ang I Niocu mengurungkan maksudnya mengejar. Apa
gunanya mengejar kalau ia tidak dapat menangkan hwesio ini dan juga tidak dapat mengejar Boan Sip
yang menculik pergi Lin Lin? Yang perlu adalah menolong Lin Lin, maka ia segera mengendurkan larinya
dan bermaksud untuk mengikuti hwesio itu secara diam-diam agar mengetahui ke mana mereka membawa
Lin Lin.
Akan tetapi ternyata bahwa waktu yang lama tadi sudah memberi kesempatan kepada Boan Sip lari jauh
sekali! Dan juga Bo Lang Hwesio yang cerdik tidak mau diikuti olehnya sehingga hwesio itu lari secepatnya
menyusul muridnya.
Ang I Niocu kehilangan jejak mereka, maka Gadis Baju Merah ini dengan hati sedih dan marah lalu
berkeliaran di sekitar daerah itu mencari-cari jejak Boan Sip. Akan tetapi, oleh karena ia masih asing
dengan daerah utara, maka usahanya ini sia-sia belaka, bahkan ia kemudian tersesat jalan dan tanpa
disengaja, akhirnya dia bertemu dengan rombongan Pangeran Vayami dan kemudian dengan tipu dayanya
menarik hati pangeran yang mata keranjang itu, dia berhasil menolong serta membawa lari Cin Hai yang
keadaannya telah menjadi seperti boneka hidup itu.
Dapat dibayangkan betapa bingung dan sedihnya hati Ang I Niocu. Memikirkan keadaan Lin Lin yang
terculik oleh Boan Sip, perwira jahat itu saja, hatinya sudah menjadi bingung dan sedih sekali. Apa lagi
sekarang dia bertemu dengan Cin Hai dalam keadaan seperti itu, maka hatinya menjadi makin bingung dan
sedih.
Cin Hai, satu-satunya orang yang dikasihinya, satu-satunya orang yang dapat diharapkan tenaga bantuan
untuk mencari Lin Lin dan membasmi musuh besar keluarga Kwee, telah hilang ingatan menjadi orang tolol
yang setolol-tololnya. Celaka betul!
Sambil melarikan kudanya keras-keras, kepala Ang I Niocu berputar-putar dan ia merasa jengkel bukan
main mendengar betapa yang diingat oleh Cin Hai hanyalah bahwa nama pemuda itu adalah ‘Pendekar
Bodoh’!
Ketika angin malam yang sejuk meniup mukanya dan muka Cin Hai yang duduk tepat di belakangnya,
pemuda itu tertawa senang dan berkata, “Angin sejuk! Angin enak!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar ini, Ang I Niocu menahan dan menghentikan kudanya, lalu melompat turun. Juga Cin Hai
meniru perbuatannya dan melompat turun.
“Hawa sejuk, angin dingin! Sungguh nyaman!” kata Cin Hai.
Mendengar seruan dan melihat kegembiraan ini, timbul harapan Ang I Niocu. Dia segera memegang
tangan Cin Hai dan berkata,
“Hai-ji! Ingatkah kau sekarang? Tahukah kau siapa aku?”
“Kau adalah sahabat baik, dan aku... aku Pendekar Bodoh!”
“Bukan bodoh, tetapi tolol! Tolol sekali!” Ang I Niocu membentak.
Tiba-tiba saja gadis itu menjatuhkan dirinya dan duduk di atas sebuah batu hitam sambil menangis. Hatinya
sedih dan bingung, dan baru kali ini selama hidupnya ia merasa amat sengsara. Ia sedih dan bingung
memikirkan nasib Lin Lin dan ia gemas melihat Cin Hai yang hanya tolal-tolol seperti boneka itu. Apakah
yang harus dia perbuat?
“Sahabatku? Mengapa engkau menangis? Apakah engkau lapar?” tanya Cin Hai dengan penuh perhatian.
Agaknya dalam ingatannya yang kosong ini, Cin Hai teringat ketika dia masih kecil dan ketika dia merantau
dan menderita kelaparan. Maka melihat orang menangis, otomatis ia teringat akan sengsaranya orang yang
menderita kelaparan!
Ang I Niocu menjadi mendongkol dan gemas sekali. Ia menjadi makin bingung ketika ia teringat kepada
Kwee An. Di manakah adanya pemuda itu? Hatinya terpukul dan dengan penuh kekhawatiran ia menduga
bahwa tidak salah lagi Kwee An tentu telah mengalami kecelakaan. Pemuda itu tadinya bersama Cin Hai,
ada pun Cin Hai tertawan oleh musuh dan keadaannya begini macam, tentu sekali keadaan Kwee An juga
tak dapat diharapkan selamat.
“Hai-ji... Hai-ji, kau cobalah untuk mengingat-ingat! Di mana adanya Kwee An? Putarlah otakmu dan
gunakan ingatanmu!” katanya gemas.
“Kwee An? Siapakah dia? Aku tak kenal, tidak tahu... aku tidak tahu apa-apa!”
Ang I Niocu menghela napas, akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya. Dia pikir dalam keadaan seperti
ini ia harus menggunakan ketenangan dan mencari akal. Jika ia bingung dan sedih, hal ini takkan menolong
bahkan akan semakin mengacaukan urusan. Ia harus terlebih dahulu mencarikan obat untuk memulihkan
ingatan Cin Hai yang telah lupa akan segala apa ini.
Demikianlah dengan penuh kesabaran Ang I Niocu mengajak Cin Hai untuk melanjutkan perjalanan sambil
mencari-cari jejak Boan Sip dan gurunya yang melarikan Lin Lin. Setiap saat, tiada bosannya Ang I Niocu
mengajak Cin Hai bercakap-cakap tentang hal-hal dulu untuk mengembalikan ingatan pemuda itu.
Akan tetapi pengaruh madu merah memang mukjijat sekali. Meski pun Cin Hai merasa senang sekali
mendengar penuturan Ang I Niocu dan setiap kali gadis itu bercerita, dia selalu memandang wajahnya
dengan mata berseri, akan tetapi, sama sekali pemuda itu tidak dapat mengingat hal yang terjadi pada
masa lalu!
Sampai tiga hari mereka berkeliaran di daerah utara tanpa berhasil mendapat jejak Boan Sip penculik Lin
Lin sehingga makin hari semakin gelisahlah hati Ang I Niocu. Dalam tiga hari ini, Gadis Baju Merah itu
menjadi kurus dan pucat sekali!
Pada malam ke tiga, di waktu bulan bersinar penuh dan sebulatnya sehingga malam itu sangat indah dan
romantis sekali, Ang I Niocu sambil menuntun kuda culikannya berjalan dengan perlahan. Cin Hai berjalan
di sebelahnya namun keduanya tidak bercakap-cakap, melamun dalam pikiran masing-masing. Pada waktu
mereka melalui daerah yang banyak terdapat batu-batu karang besar berwarna hitam sehingga nampaknya
menyeramkan di bawah sinar bulan itu, tiba-tiba saja Ang I Niocu mendengar suara tertawa yang aneh dan
menyeramkan dari tempat jauh!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bahkan setan dan iblis juga turut menggodaku!” gadis itu menggerutu dengan marah, karena siapakah
orangnya yang akan tertawa seperti itu di tengah-tengah padang yang luas dan sunyi ini kecuali setan dan
iblis?
“Bukan setan dan iblis, itu suara orang ketawa,” mendadak Cin Hai berkata, oleh karena biar pun telah
kehilangan ingatannya, namun kepandaian dan ketajaman telinga Cin Hai tak menjadi berkurang
karenanya.
Apa bila telinga Ang I Niocu tidak dapat menangkap suara ketawa itu dengan jelas oleh karena suara itu
diliputi gema yang keras, adalah Cin Hai mampu menangkap suara itu dengan jelas dan tahu bahwa yang
tertawa itu adalah manusia biasa, akan tetapi yang menggunakan tenaga khikang di dalam suara
ketawanya sehingga terdengar dari tempat jauh dan amat menyeramkan.
Bagaikan tertarik oleh tenaga gaib, Cin Hai lalu menujukan tindakan kakinya ke arah suara ketawa tadi dan
Ang I Niocu juga berjalan mengikuti pemuda itu. Setelah melewati beberapa gunduk batu karang, akhirnya
mereka tiba di tempat terbuka di mana tanahnya rata dan luas merupakan sebuah tempat terbuka yang
kering dan berumput serta terang karena mendapat sinar bulan dengan sepenuhnya.
Dan ketika mereka keluar dari belakang sebuah gunung karang, Cin Hai berdiri diam dan Ang I Niocu juga
berhenti bertindak dan berdiri di belakang pemuda itu dengan hati terasa ngeri dan seram ketika melihat
pemandangan yang dilihatnya di tempat itu.
Di tempat terbuka itu, di atas tanah, nampak dua tumpuk tengkorak-tengkorak manusia merupakan
gundukan tinggi seperti batu-batu bundar dan putih, dan tumpukan tengkorak itu terpisah kira-kira dua
tombak jauhnya. Di atas setiap tumpukan tengkorak terlihat dua orang dalam keadaan aneh, yang seorang
berjongkok sambil meluruskan kedua tangan ke depan, sedang yang seorang lagi berdiri di atas puncak
gundukan itu dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas!
Dua orang ini saling berhadapan dan saling menggerak-gerakkan kedua tangan mereka seakan-akan
sedang melakukan pukulan-pukulan dan nampaknya menyeramkan sekali. Apa lagi ketika Ang I Niocu
melihat orang yang berjongkok itu, diam-diam ia bergidik oleh karena orang itu dapat disebut seorang
rangka hidup!
Muka itu tua dan kurus sekali, mukanya tak berdaging sedikit pun juga hingga merupakan tengkorak
terbungkus kulit. Rambutnya yang hanya tersisa sedikit di atas kepala itu diikat dengan sehelai kain dan
pakaiannya seperti pakaian pendeta.
Orang kedua yang berdiri dengan kepala di bawah di atas tumpukan tengkorak itu adalah seorang hwesio
tinggi besar dengan muka sangat menyeramkan dan ketika Ang I Niocu memandang dengan penuh
perhatian, ternyata bahwa hwesio ini bukan lain adalah Hai Kong Hosiang!
Berdebarlah hati Ang I Niocu melihat hwesio kosen ini, akan tetapi oleh karena di situ ada Cin Hai, ia tidak
takut sama sekali. Ia maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan kakek tua renta yang bagaikan rangka itu
menguji tenaga khikang secara aneh dan menyeramkan sekali.
Harus diketahui bahwa tumpukan tengkorak itu licin dan mudah sekali runtuh, maka baru berdiri di puncak
tumpukan saja membutuhkan kepandaian ginkang yang amat tinggi, apa lagi kalau harus mengerahkan
tenaga untuk mengadu khikang! Lebih-lebih jika berdirinya dengan kepala di bawah dan kaki di atas seperti
yang dilakukan oleh Hai Kong Hosiang, maka diam-diam Ang I Niocu merasa kagum dan ngeri melihat
kemajuan dan kehebatan Hai Kong Hosiang.
Pada saat itu, biar pun Hai Kong Hosiang telah mengerahkan tenaga di kedua tangannya mendorong dan
memukul ke depan, akan tetapi kakek tua renta yang berjongkok pada puncak tumpukan tengkorak ke dua
itu tak bergerak sedikit pun juga. Sedangkan ketika kakek tua renta itu mengayun kedua tangannya, biar
pun hanya dengan gerakan pelan saja, tetapi tubuh Hai Kong Hosiang telah bergerak-gerak dan terayunayun
seakan-akan didorong-dorong dan hendak roboh! Dari sini dapat diduga bahwa tenaga khikang kakek
itu lebih tinggi dari pada tenaga Hai Kong Hosiang!
Ketika Hai Kong Hosiang yang berdiri jungkir balik itu melihat kedatangan Cin Hai dan Ang I Niocu, hwesio
ini lalu berseru keras,
“Hai, bagus sekali kalian datang mengantar kematian!” Dan ia lalu memberi tanda dengan kedua tangannya
dunia-kangouw.blogspot.com
yang menggerak-gerakkan jari-jari tangan ke arah kakek tua renta itu.
Kakek ini lalu memutar tubuhnya menghadapi Ang I Niocu dan Cin Hai dengan gerakan ringan sekali dan
dari atas tumpukkan tengkorak itu ia mengirim pukulan dengan kedua tangannya ke arah Cin Hai dan Ang I
Niocu!
Sungguh hebat tenaga pukulan kakek itu yang dilancarkan dari tempat jauh. Ang I Niocu merasa betapa
angin tenaga raksasa mendorongnya dan cepat-cepat gadis ini meloncat ke samping agar jangan sampai
terluka oleh tenaga pukulan maut ini.
Sebaliknya, Cin Hai yang dapat juga merasakan datangnya tenaga hebat ini, cepat-cepat menggunakan
kedua tangannya untuk mendorong ke depan sambil mengerahkan tenaga khikang-nya! Dua tenaga
raksasa bertemu dari dorongan dua orang ini dan Cin Hai lalu terhuyung mundur sampai empat langkah!
Sedangkan kakek itu kedudukannya menjadi miring, tanda bahwa ia pun kena dorong oleh tenaga Cin Hai
yang tidak lemah!
Ang I Niocu terkejut karena maklum bahwa adu tenaga ini menyatakan bahwa kakek tua renta ini masih
lebih kuat dan lebih lihai dari pada Cin Hai. Hal ini belum seberapa, akan tetapi kenyataan bahwa kakek ini
mentaati permintaan Hai Kong Hosiang yang dilakukan dengan gerak tangan menandakan bahwa kakek ini
berdiri di pihak Hai Kong Hosiang! Hal ini berbahaya sekali oleh karena dapat diduga betapa tingginya
kepandaian kakek itu!
Akan tetapi pada saat itu, kakek tua renta dan Hai Kong Hosiang tiba-tiba berseru keras sekali. Kemudian
keduanya cepat bergerak dan meloncat turun dari tumpukan tengkorak bagaikan orang ketakutan!
Pada waktu Ang I Niocu memperhatikan, ia pun merasa terkejut sekali dan hampir saja ia menjerit.
Ternyata bahwa di antara sekian banyaknya tengkorak yang ditumpuk, yaitu di tengah-tengah tumpukan
tengkorak yang dinaiki Hai Kong Hosiang tadi, terdapat sebuah kepala yang bukan tengkorak, oleh karena
kepala ini mempunyai sepasang mata yang dapat melirik ke sana ke mari dan masih berambut sungguh
pun rambutnya telah putih semua! Sedangkan di tengah-tengah tumpukan tengkorak yang dinaiki kakek tua
renta tadi pun terdapat sebuah kepala yang kini mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh
menyeramkan.
Akan tetapi, tiba-tiba rasa ngeri dan takut di dalam hati Ang I Niocu berubah menjadi rasa gembira oleh
karena dia segera dapat mengenali suara ketawa terkekeh ini. Bu Pun Su, kakek gurunya yang luar biasa
itu, entah dengan cara bagaimana sudah bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak yang diinjak oleh
kakek tua renta itu.
Memang benar, ketika tiba-tiba di dalam tumpukan terjadi gerakan yang membuat semua tengkorak
menggelinding ke sana ke mari, muncullah Bu Pun Su dari tumpukan itu sambil berseri mukanya dan
mulutnya tertawa geli. Dengan gerakan sebelah tangannya, Bu Pun Su membuat tumpukan yang satu lagi
menjadi runtuh dan dari dalam tumpukan itu lalu muncullah seorang suku bangsa Jungar yang sudah tua
sekali dan yang sama sekali tak dikenal oleh Ang I Niocu. Ternyata orang tua bangsa Mongol ini adalah
dukun atau ahli pengobatan yang ikut dalam rombongan Pangeran Vayami dan yang telah diculik oleh Bu
Pun Su dan dibawa ke situ serta dipaksa masuk dan bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak.
Hai Kong Hosiang menjadi pucat luar biasa ketika melihat Bu Pun Su. Ia maklum akan kelihaian kakek
jembel ini, akan tetapi oleh karena ia ditemani oleh kakek tua renta yang bukan lain adalah supek-nya (uwa
gurunya) yang bernama Kam Ki Sianjin, orang yang sudah tua usianya sehingga telah gagu tidak dapat
bicara pula, maka Hai Kong Hosiang berbesar hati dan mengandalkan tenaga supek-nya ini untuk melawan
Bu Pun Su.
“Supek, inilah Bu Pun Su si manusia jahil yang telah berkali-kali menggangu teecu!” Hai Kong Hosiang
berkata sambil menuding ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri sambil tertawa.
Kam Ki Sianjin masih dapat menggunakan kedua telinganya untuk mendengar, bahkan ia memiliki
ketajaman pendengaran yang luar biasa, akan tetapi lidahnya sudah membeku dan dia tak dapat berbicara
lagi. Maka dia lalu menatap wajah Bu Pun Su dan tiba-tiba menepuk kedua tangan sekali, menunjuk ke
arah Bu Pun Su dengan tangan kiri dan arah diri sendiri dengan tangan kanan, kemudian mengangkat
kedua tangan itu ke atas kepala dengan jari-jari ke atas dan sama tingginya. Dia hendak menyatakan
bahwa dia dan Bu Pun Su boleh mengadakan pibu karena tingkat kepandaian mereka sama tingginya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bu Pun Su tertawa lagi dengan hati geli, kemudian ia pun menepuk tangan, menuding ke arah tengkoraktengkorak
yang bergelimpangan di bawah dan ke arah Kam Ki Sianjin, lalu menurunkan kedua tangannya
ke bawah, sama rendahnya. Ia hendak menyatakan kalau Kam Ki Sianjin memiliki tingkat yang sama
rendahnya dengan tengkorak-tengkorak itu! Ini bukan semata-mata penghinaan yang tak berdasar oleh
karena Bu Pun Su tahu bahwa kakek tua renta itu berjuluk Si Tengkorak Hidup.
Kam Ki Sianjin menjadi marah sekali dan segera melompat maju menyerang Bu Pun Su. Gerakannya cepat
bagaikan menyambarnya kilat hingga Ang I Niocu terkejut sekali oleh karena belum pernah dia
menyaksikan ginkang demikian tingginya, lalu menepuk pundak Cin Hai yang memandang semua itu
dengan bengong tapi nyata kelihatan tertarik sekali. Ketika ia menengok ke arah Ang I Niocu yang
menepuk pundaknya, Ang I Niocu berkata,
“Hai-ji, hwesio tinggi besar itu adalah Hai Kong Hosiang dan dia adalah musuh besarmu. Hayo kita serang
dia!”
“Aku tidak punya musuh. Apakah engkau bermusuhan dengan dia?” tanya Cin Hai.
Ang I Niocu menjadi gemas dan ia berkata keras, “Ya, ya, dia musuh besarku, hayo kita serang dia!”
“Baik! Kalau dia musuhmu, aku akan menyerang dia!” Dia lalu melompat dan menyerang Hai Kong Hosiang
yang melayaninya sambil memaki-maki.
“Ang I Niocu! Perempuan rendah, perempuan curang!”
“Bangsat gundul, hari ini kau harus mampus!” Ang I Niocu berseru marah dan mencabut pedangnya, terus
membantu Cin Hai mengeroyok hwesio itu.
Demikianlah, disaksikan oleh puluhan tengkorak yang bergelimpangan di atas tanah dan oleh dukun tua
berbangsa Mongol yang berdiri tak bergerak bagaikan hantu malam, di tempat yang mengerikan itu terjadi
perkelahian hebat sekali. Yang paling hebat adalah perkelahian yang terjadi antara Bu Pun Su dengan Kam
Ki Sianjin, oleh karena di tempat mereka bertempur itu tidak kelihatan apa-apa sama sekali, yang ada
hanyalah dua sosok bayangan yang berkelebat ke sana ke mari bagaikan dua iblis sedang bertempur.
Tak terdengar suara tangan atau pun kaki mereka, akan tetapi di sekitar tempat mereka bertempur itu angin
bertiup sangat keras hingga membuat tengkorak-tengkorak yang tadi menggelinding dekat, kini
menggelinding lagi menjauhi seakan-akan tengkorak itu takut dan ngeri menyaksikan pertandingan yang
dahsyat itu dari dekat!
Sementara itu, dikeroyok dua oleh Cin Hai dan Ang I Niocu, Hai Kong Hosiang merasa sibuk sekali. Baru
menghadapi salah seorang di antara mereka saja, terutama Cin Hai, ia tak akan dapat menang, apa lagi
sekarang dikeroyok dua! Ia telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, bahkan ia telah memainkan
tongkat ularnya dengan ganas, akan tetapi tetap saja terdesak hebat oleh pedang Ang I Niocu dan kepalan
tangan Cin Hai!
Sebetulnya, selama beberapa hari ini kepandaian Hai Kong Hosiang, terutama lweekang dan khikang-nya,
sudah naik dan maju pesat sekali oleh karena dia memperoleh latihan lweekang dengan berjungkir balik
dari supek-nya, yaitu Kam Ki Sianjin! Akan tetapi oleh karena latihannya belum masak benar, maka kini
menghadapi kedua orang muda yang tangguh itu, dia tak berdaya dan terdesak hebat. Keringat dingin
mengucur dari jidatnya dan setiap saat jiwanya terancam bahaya maut.
Tiba-tiba saja terdengar suara Bu Pun Su tertawa bergelak dan dari tempat ia bertempur, nampak
bayangan Kam Ki Sianjin melesat keluar dari kalangan pertempuran. Kakek tua renta ini langsung
menyambar ke arah Hai Kong Hosiang dan tahu-tahu ia telah dikempit dengan gerakan cepat sekali!
Ternyata bahwa Kam Ki Sianjin tak kuat melawan Bu Pun Su dan ketika ia hendak kabur, ia melihat betapa
Hai Kong Hosiang terdesak, maka ia mempergunakan kecepatan untuk menolong murid keponakannya itu
dan membawa lari dari situ!
Bu Pun Su masih tertawa bergelak-gelak ketika Ang I Niocu menjatuhkan diri berlutut di depannya. Akan
tetapi Cin Hai yang tidak ingat siapa adanya kakek tua kosen ini, hanya berdiri dengan bingung dan
memandang dengan sinar mata kosong.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagus, Im Giok. Kau sudah dapat menolongnya sebelum terlambat. Dan orang Mongol inilah yang akan
menyembuhkannya!”
Bu Pun Su lalu memanggil dukun tua itu mendekat, lalu dia menunjuk kepada Cin Hai sambil berkata dalam
bahasa Mongol, “Obatmu yang membuat dia menjadi seperti itu dan obatmu pula yang harus
menyembuhkannya!”
Dukun tua bangsa Mongol itu mengangguk-angguk dan dengan tenang ia mengeluarkan sebuah guci tanah
kecil dari kantung dalam.
“Cin Hai, kau majulah dan terimalah pengobatan dari dukun sihir ini!” berkata Bu Pun Su dengan suara
memerintah kepada Cin Hai yang tidak mengenal nama sendiri dan tidak mengenal pula kakek lihai itu.
“Anak tolol!” Bu Pun Su mencela dan tiba-tiba kakek ini berkelebat ke arah muridnya dan menyerang
dengan sebuah totokan.
Akan tetapi Cin Hai cepat mengelak dan setelah tujuh kali menyerang dengan kegagalan, barulah ke
delapan kalinya Bu Pun Su berhasil menotok Cin Hai hingga pemuda itu roboh tak ingat orang! Di sini dapat
diukur kepandaian Bu Pun Su dan kelihaian Cin Hai pula oleh karena biasanya setiap kali menyerang
orang, jarang ada yang dapat mengelak dari serangan kakek jembel ini!
Setelah Cin Hai dibikin tidak berdaya, dukun itu lalu menuangkan isi guci yang berbau harum ke mulut Cin
Hai, kemudian ia memijit-mijit dan mengurut-urut kepala pemuda itu. Agaknya dukun itu bekerja dengan
sepenuh tenaga dan semangat oleh karena ternyata bahwa seluruh mukanya berpeluh, padahal malam itu
hawa amat dingin!
Akhirnya, sesudah beberapa lama ia mengurut-urut kepala Cin Hai, ia pun berdiri sambil menganggukanggukkan
kepalanya kepada Bu Pun Su. Kakek ini lalu maju dan menepuk pundak Cin Hai yang segera
sadar,
Pemuda ini seakan-akan baru sadar dari sebuah mimpi buruk. Ia memandang dan ketika melihat Ang I
Niocu, ia lalu tersenyum. Sebaliknya ketika melihat suhu-nya berada di situ pula, ia cepat menjatuhkan diri
berlutut sambil berkata,
“Maafkan teecu, suhu. Teecu tidak tahu bahwa Suhu sudah datang ke sini dan... dan... sebenarnya teecu
berada di manakah?”
Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh, tanda bahwa hatinya gembira sekali melihat betapa muridnya telah
sembuh kembali. Juga Ang I Niocu tak dapat menahan keharuan hatinya sehingga dua titik air mata
melompat keluar dari pelupuk matanya.
Ang I Niocu lalu menuturkan betapa tadinya dia mendapatkan pemuda itu berada dalam rombongan
Pangeran Vayami dalam keadaan linglung dan hilang ingatan. Dukun bangsa Mongol itu kemudian
melanjutkan cerita Ang I Niocu, menceritakan betapa rombongan pangeran itu menolong Cin Hai dari
dalam air dan memberinya madu merah. Maka kini teringatlah Cin Hai bahwa ketika itu dia berkelahi matimatian
dengan Hai Kong Hosiang dan akhirnya dia hanyut di dalam sungai dalam keadaan pingsan.
Cin Hai berlutut lagi di depan suhu-nya dan berkata, “Baiknya Suhu segera datang dan membawa dukun ini
untuk menyembuhkan teecu. Kalau tidak, entah bagaimana dengan keadaan teecu.”
“Ha-ha-ha, kalau aku tidak mendengar tentang keadaanmu, tentu saja sampai sekarang kau masih menjadi
pendekar tolol dan Im Giok masih bingung dan sedih. Hai, Im Giok, sesudah Cin Hai sembuh, mengapa kau
masih saja berduka?” tanya Bu Pun Su kepada Ang I Niocu.
Mendengar pertanyaan ini, Gadis Baju Merah itu menahan air matanya dan dia pun lalu bertutut sambil
berkata, “Susiok-couw, bagaimana teecu tak akan bersedih? Adik Lin Lin telah terculik oleh Boan Sip dan
suhu-nya yang lihai, yaitu Bo Lang Hwesio!”
Cin Hai terkejut sekali dan menjadi pucat mendengar ini, dan Ang I Niocu lalu menuturkan pengalamannya.
Tak tertahan lagi kesedihan hati Cin Hai, ia lalu berdiri dan membanting-banting kakinya.
“Boan Sip, kalau kau sampai mengganggu Lin Lin, aku Cin Hai akan mengejarmu walau pun kau lari
dunia-kangouw.blogspot.com
sampai ke neraka sekali pun!”
Pemuda ini mengepal-ngepal tinjunya dan matanya menyinarkan kemarahan besar. Bu Pun Su melihat ini
lalu mengangguk-angguk maklum.
“Jadi Nona Lin Lin adalah puteri Kwee ciangkun? Bagus, bagus, Im Giok, sekali ini kau benar-benar harus
dipuji!” Sehabis mengeluarkan ucapan yang tak dimengerti oleh Cin Hai akan tetapi dapat dimengerti oleh
Ang I Niocu itu, Bu Pun Su lalu mengempit tubuh dukun bangsa Mongol yang tadi menolong Cin Hai, lalu
berkata,
“Biarlah aku Si Tua Bangka melakukan sebuah tugas lagi. Akulah yang akan mencari tunanganmu itu, Cin
Hai!”
Cin Hai dan Ang I Niocu cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan menghaturkan terima kasih. Akan tetapi
ketika mereka mengangkat muka memandang, ternyata kakek jembel itu telah lenyap dari situ.
Sesudah suhu-nya pergi, kini mereka berdua dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan kembali Ang I
Niocu menuturkan pengalamannya dengan lebih jelas dan panjang lebar. Kemudian Ang I Niocu bertanya,
“Dan di manakah adanya Kwee An? Aku telah bertemu dengan Ma Hoa dan mendengar akan perjodohan
anak muda itu.”
Dengan sedih Cin Hai menuturkan pengalamannya bersama Kwee An ketika bertempur dengan Hai Kong
Hosiang dan pengawal-pengawal Pangeran Vayami sehingga Kwee An tercebur ke dalam air sungai yang
deras.
“Entah bagaimana dengan nasib Kwee An,” Cin Hai menutup ceritanya dengan penuh hati kuatir, “mari kita
mencarinya dan sekalian mencari Hai Kong Hosiang si keparat itu!”
Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dan ketika Ang I Niocu mencari kuda putihnya, ternyata kuda itu
telah lenyap dan di atas tanah dapat dibaca coret-coretan di atas tanah yang berbunyi,
‘Kuda dan dukun yang dipinjam harus dikembalikan kepada pemiliknya!’
Kedua anak muda itu maklum bahwa ini tentu perbuatan Bu Pun Su yang berwatak aneh dan penuh
rahasia. Maka mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sambil bercakap-cakap dengan
asyik…..
********************
Kita ikuti Lin Lin yang ditangkap dan dibawa lari oleh Boan Sip, perwira yang lihai itu. Biar pun Boan Sip
mempergunakan ilmu lari cepatnya yang cukup tinggi, akan tetapi tak lama kemudian ia telah dapat
tersusul oleh gurunya yaitu Bo Lang Hwesio. Mereka berdua lalu membawa Lin Lin ke sebuah rumah yang
sudah disediakan oleh Boan Sip untuk tempat tinggal sementara ia bersembunyi dari kejaran musuhnya.
Menurut kehendak Boan Sip ia hendak membunuh gadis itu, akan tetapi Bo Lang Hwesio melarangnya,
dan adanya hwesio ini menyelamatkan jiwa Lin Lin, oleh karena Boan Sip sama sekali tidak berani
mengganggu atau mencelakainya.
“Kau bermusuhan dengan keluarga Kwee hanya oleh karena kau ingin mengawini gadis ini. Sekarang
keluarga Kwee telah terbasmi dan gadis ini sudah kau tawan, kalau engkau membunuhnya pula, maka hal
ini adalah keterlaluan sekali. Boan Sip, aku tak peduli akan segala perbuatanmu yang kau lakukan
menghadapi urusan-urusan pribadi, akan tetapi aku merasa malu kalau engkau melakukan gangguan
terhadap seorang gadis di depan mataku. Selama kau minta pembelaanku dan aku berada di sini, aku
takkan mengizinkan engkau berlaku sesuka hatimu, kecuali kalau engkau sudah tidak membutuhkan
tenaga bantuanku lagi!”
Tentu saja Boan Sip tak berdaya. Ia merasakan perlunya Bo Lang Hwesio mengawani dirinya, oleh karena
selama Cin Hai dan Kwee An masih belum dibunuh dan berkeliaran mencarinya, ia merasa tidak aman
kalau berada jauh dari gurunya. Oleh karena ini maka dia terpaksa menurutinya hingga Lin Lin hanya
dikurung dalam sebuah kamar saja dalam keadaan tak berdaya untuk melarikan diri oleh karena jalan
darahnya telah ditotok hingga dia tak dapat mempergunakan tenaganya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada beberapa hari kemudian, di waktu malam, di atas genteng rumah persembunyian Boan Sip nampak
berkelebat bayangan hitam yang tidak dapat diikuti dengan pandangan mata sehingga apa bila kebetulan
ada orang yang melihat bayangan itu, ia tak akan tahu apakah bayangan itu bayang-bayang burung yang
sedang terbang atau bayangan apa.
Akan tetapi Bo Lang Hwesio yang sedang duduk bersemedhi di dalam kamarnya, dapat mendengar adanya
desir angin yang lain dari pada desir angin biasa. Selagi dia masih berada dalam keadaan curiga dan raguragu,
tiba-tiba dari atas genteng terdengar orang berkata,
“Bo Lang! Percuma saja engkau bersemedhi apa bila perbuatanmu tidak sesuai dengan jubah pendetamu!”
Bo Lang Hwesio merasa terkejut sekali. Bagaimana ada orang yang demikian tinggi ilmu ginkang-nya
hingga suara kakinya sama sekali tak dapat terdengar olehnya? Padahal Bo Lang Hwesio memiliki
ketajaman pendengaran yang luar biasa dan terlatih puluhan tahun lamanya. Selama ini belum pernah dia
bertemu dengan orang yang memiliki kepandaian meringankan tubuh sedemikian sempurnanya hingga biar
pun sedang dalam semedhi, ia sama sekali tak mendengarnya!
“Sahabat yang berilmu tinggi, jangan bicara seperti setan yang tak berujud, kau masuklah memperlihatkan
muka!” kata Bo Lang Hwesio.
Akan tetapi orang di atas genteng terkekeh-kekeh dan menjawab, “Bo Lang Hwesio, aku datang untuk
minta kembali Kwee-siocia yang kau tawan, apakah engkau tetap tidak mau keluar? Aku tidak mau
bertindak sebagai maling, lebih baik kuminta terang-terangan!”
Bo Lang Hwesio merasa mendongkol juga mendengar orang berlaku begitu berani dan menantang, maka
tiba-tiba saja dia menggerakkan tubuhnya dan bagaikan seekor burung besar, hwesio ini sudah melayang
keluar jendela, terus menuju ke atas genteng.
Ternyata bahwa di atas genteng itu telah berdiri seorang kakek dengan sikap tenang dan ketika Bo Lang
Hwesio melihat kakek ini, tak terasa pula ia berseru keras, “Ahh... Bu Pun Su! Apa kehendakmu dengan
malam-malam datang di sini? Apakah kau kembali hendak mengganggu pinceng?”
“Ha-ha-ha, Bo Lang, hwesio gundul! Kau kira aku memang mengganggu manusia tanpa alasan? Dulu aku
mengganggumu di Thian-san karena kau ingin merusak persahabatan dengan tokoh Thian-san-pai.
Sekarang aku datang oleh karena kau sudah mengumbar nafsu dan membela seorang perwira yang
berlaku sewenang-wenang!”
“Bu Pun Su, pinceng tahu bahwa kau memang memiliki kepandaian tinggi, tetapi jangan kira pinceng takut
kepadamu. Bo Lang Hwesio dulu bukan Bo Lang Hwesio sekarang!”
“Benar, benar! Bo Lang Hwesio dulu nafsunya sendiri yang bernyala-nyala, sedangkan Bo Lang Hwesio
sekarang karena sudah tua bangka maka mengumbar nafsunya dengan membela muridnya yang murtad!”
“Bu Pun Su, jembel tua! Jangan sembarang menuduh. Seorang guru membela muridnya yang terancam
bahaya oleh musuh-musuhnya, bukankah hal itu sewajarnya? Boan Sip dikejar-kejar musuh-musuhnya
yang lihai dan kalau bukan pinceng yang membela, habis siapa lagi? Tentang Nona Kwee yang tertawan,
kami perlakukan dia baik-baik dan adalah salah Nona itu sendiri mengapa kurang tinggi kepandaiannya
hingga kalah oleh muridku!”
“Ha-ha-ha, alasan anak kecil! Sudahlah, Bo Lang Hwesio, kalau kau menyerahkan Lin Lin Siocia dengan
baik-baik, aku si tua bangka pun tak mau membuat ribut lagi. Akan tetapi kalau kau menolak biarlah kita
main-main sebentar!”
“Kau sombong!” teriak Bo Lang Hwesio.
Dia lalu menyerang dengan pukulan tangan terbuka. Pukulannya ini luar biasa hebatnya sehingga biar pun
gerakan tangannya masih jauh jaraknya dari tubuh Bu Pun Su, namun baju dan rambut kakek jembel itu
telah berkibar tertiup angin pukulan!
“Bagus, lweekang-mu sudah banyak maju!” jawab Bu Pun Su yang segera mengelak dan membalas
memukul dengan lima jari tangan kanan terbuka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pukulan ini tertuju kepada pundak kanan Bo Lang Hwesio, dan untuk menilai kehebatan pukulan ini bisa
diukur dari suara genteng pecah. Ternyata pukulan yang tidak mengenai sasaran ini menyebabkan genteng
di belakang Bo Lang Hwesio yang cepat berkelit itu menjadi terdorong oleh angin pukulan Bu Pun Su yang
menggunakan gerak tipu Burung Merak Mengulur Cakar. Bo Lang Hwesio lalu mengeluarkan seluruh
kepandaiannya yang lihai dan sebentar saja kedua orang tua yang gagah itu telah bergerak-gerak pergi
datang di atas genteng itu.
Bo Lang Hwesio memang lihai sekali dan tingkat kepandaiannya lebih tinggi satu tingkat dari pada
kepandaian Hek Pek Moko, akan tetapi menghadapi Bu Pun Su, ia tidak dapat berbuat banyak. Setelah
bertempur sengit dua puluh jurus lebih akhirnya Bo Lang Hwesio tidak kuat menghadapi kakek jembel itu
lebih lama lagi, oleh karena gerakan Bu Pun Su benar-benar cepat sehingga bagi Bo Lang Hwesio, tubuh
lawannya seakan-akan berubah menjadi puluhan banyaknya yang menyerang dan mengeroyoknya dari
seluruh jurusan.
Kalau orang lain yang menghadapi Bu Pun Su, tentu akan mengira bahwa kakek aneh ini mempergunakan
ilmu sihir. Akan tetapi Bo Lang Hwesio maklum bahwa ginkang kakek ini sudah sampai pada puncak
kesempurnaan, sedangkan tenaga lweekang-nya sudah jauh lebih tinggi dari pada tenaganya sendiri.
Bu Pun Su memang tidak mau mencelakakan atau melukai Bo Lang Hwesio, maka kakek itu hanya
mempermainkannya saja dengan gerakannya yang cepat dan kadang-kadang menowel pundak atau perut
Si Hwesio. Bo Lang Hwesio menjadi jeri dan berseru,
“Bu Pun Su, benar-benar kau lihai dan aku tidak malu untuk mengaku kalah!”
Setelah berseru demikian, dengan cepat sekali Bo Lang Hwesio lalu lompat ke belakang dan alangkah
heran dan kagetnya ketika ia merasa betapa dadanya dingin tertiup angin. Pada saat ia memandang,
mukanya menjadi pucat sekali oleh karena jubahnya di bagian dada telah robek dan bolong.
Ia bergidik oleh karena maklum bahwa kalau Bu Pun Su memang bermaksud jahat, tentu sejak tadi jiwanya
telah melayang. Ia menghela napas sambil menggeleng-geleng kepala saking kagumnya dan ia pun tidak
berani mengejar ketika melihat tubuh kakek jembel itu melayang turun ke dalam rumah. Ia harapkan saja
agar kakek itu tak akan mencelakakan Boan Sip.
Akan tetapi, tidak lama kemudian nampak Bu Pun Su melayang naik lagi dan tahu-tahu telah berada di
hadapannya sambil membentak,
“Bo Lang Hwesio! Jangan kau mempermainkan aku! Di mana adanya Nona Kwee dan di mana pula
sembunyinya muridmu yang jahat itu?”
Bo Lang Hwesio memandang heran. “Bu Pun Su, jangan kau sembarang menuduh aku. Biar pun dengan
bersumpah, pinceng berani menerangkan bahwa kedua orang itu masih berada di dalam rumah!”
“Hmm, kalau begitu kau bersumpah!”
Mendengar bahwa dia benar-benar tidak dipercaya Bu Pun Su, Bo Lang Hwesio menjadi marah sekali,
akan tetapi dia tidak berdaya untuk membantah, apa lagi dia sendiri yang sanggup untuk mengangkat
sumpah. Maka dia lalu merangkapkan kedua tangan di dada dan mengucap sumpah, “Kalau keteranganku
tadi tidak betul, biarlah Buddha yang suci akan mengutukku!”
“Bagus, kau benar-benar tidak bohong!” setelah berkata demikian, sekali berkelebat saja tubuh kakek
jembel itu telah lenyap.
“Bu Pun Su, lain kali pasti akan kutebus hinaan ini!” Bo Lang Hwesio berseru, akan tetapi kakek pendekar
yang luar biasa itu telah pergi jauh.
Memang sebenarnya Bo Lang Hwesio tidak berbohong ketika ia katakan bahwa sebelum ia bertempur
dengan Bu Pun Su, Boan Sip masih berada di dalam rumah demikian pula Lin Lin masih dikeram di dalam
kamar tahanannya. Hwesio ini sama sekali tidak mengira bahwa muridnya yang licin telah membawa Lin
Lin pergi dari tempat itu!
Oleh karena maklum bahwa yang datang menolong Lin Lin adalah seorang tua yang sakti maka Boan Sip
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak berani menunda-nunda larinya. Ia mengempit tubuh Lin Lin sambil berlari secepatnya di malam gelap,
menuju ke sebuah anak sungai yang berada kurang lebih dua puluh li dari tempat itu.
Ketika ia tiba di tepi sungai, di situ telah menanti sebuah perahu yang cukup besar dan tiga orang kelihatan
berdiri di kepala perahu. Salah seorang di antaranya adalah seorang berpakaian asing dan ternyata bahwa
dia adalah seorang Turki yang berkulit hitam dan bermata lebar. Usianya kurang lebih empat puluh tahun
dan jubahnya panjang dan lebar, terbuat dari pada kain berbulu yang indah.
“Eh, ehh, Boan-ciangkun, mengapa malam-malam datang tergesa-gesa?”
“Yo-suhu (nama aslinya Yousuf), lekas jalankan perahu. Cepat!” Sambil berkata demikian Boan Sip
melompat ke dalam perahu pula.
Yousuf tersenyum dan ia tetap tenang, akan tetapi ia segera memerintahkan kepada dua orang anak
buahnya untuk menjalankan perahunya sebagaimana yang diminta oleh Boan Sip.
“Heran sekali, siapa adanya orang yang begitu ditakuti oleh Boan-ciangkun?” tanyanya.
“Yo-suhu, kau tidak tahu. Seorang kakek luar biasa yang bernama Bu Pun Su dan yang kepandaiannya
seratus kali lebih tinggi dari kepandaianku sendiri kini tengah mengejarku, dan celakalah kalau ia dapat
menyusulku!”
“Ah, Saudara Boan benar-benar tidak memandang aku. Bukankah aku sahabat baikmu?”
Boan Sip teringat bahwa Yousuf adalah seorang yang berilmu tinggi pula, maka ia segera menjura, “Maaf,
Yo-suhu. Bukan maksudku hendak merendahkanmu, akan tetapi Bu Pun Su ini benar-benar lihai dan
namanya sudah cukup membikin gemetar semua orang.”
Kemudian Yousuf menunjuk ke arah Lin Lin yang masih terduduk di dalam perahu itu dan yang sekarang
tangannya sudah diikat olah Boan Sip, lalu bertanya dengan suara kurang senang,
“Dan Nona ini siapakah, Saudara Boan?”
“Dia ini adalah musuh besarku yang hendak membunuhku, akan tetapi berhasil kutawan. Tadinya hendak
kubinasakan, tetapi Suhu melarangku dan... dan aku sayang padanya.”
Yousuf menggeleng-gelengkan kepalanya. “Memang Suhu-mu berkata benar. Tak pantas membunuh
seorang gadis yang tak berdaya.” Sambil berkata demikian, orang Turki itu segera menghampiri Lin Lin
yang menjadi kuatir dan takut, akan tetapi orang Turki ini lalu menggerakkan tangan ke arah belenggu yang
mengikat kedua tangan Lin Lin. Sekali dia menggerakkan tenaga, belenggu itu terlepas dengan mudahnya!
Boan Sip terkejut sekali oleh karena dia tahu bahwa Lin Lin kini telah terlepas dari pada pengaruh totokan,
dan inilah yang memaksanya tadi untuk mengikat kedua tangan nona ini.
“Yo-suhu, kalau dia dilepas, dia berbahaya sekali!”
Akan tetapi Yousuf hanya tersenyum menyindir seakan-akan mentertawakan sikap Boan Sip yang begitu
ketakutan.
Sebaliknya, ketika merasa bahwa kedua lengan tangannya sudah bebas, Lin Lin merasa terkejut sekali.
Tadi ia telah mengerahkan tenaganya, tetapi tali yang mengikat tangannya bukan tali biasa, terbuat dari
semacam kain yang dapat mulur sehingga tak mudah untuk diputuskan dengan tenaga lweekang. Akan
tetapi, orang asing ini hanya meraba saja dan ikatan itu telah terlepas!
Ia tidak tahu bahwa Yousuf adalah seorang ahli sulap yang berdasarkan ilmu sihir, maka jangankan baru
belenggu biasa saja, biar belenggu baja sekali pun, orang Turki ini pasti akan dapat membukanya dengan
mudah!
Lin Lin yang merasa gemas dan marah sekali terhadap Boan Sip, ketika merasa dirinya telah bebas segera
meloncat maju dan menyerang perwira itu sambil berseru,
“Manusia rendah, saat ini aku hendak mengadu jiwa dengan kau!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Lin Lin lalu menyerang dengan pukulan yang paling berbahaya dan pada saat Boan Sip hendak menangkis,
tiba-tiba perahu itu miring hingga Boan Sip kehilangan keseimbangan tubuhnya! Lin Lin menjadi girang
sekali karena merasa yakin bahwa kali ini ia tentu akan dapat memukul mampus musuh besarnya ini.
Akan tetapi tiba-tiba dari samping meluncur sehelai sabuk sutera hijau yang panjang dan lemas dan tahutahu
sabuk itu telah melingkar pada pergelangan tangan yang melakukan pukulan sehingga sekarang
menjadi gagal. Pada saat ia hendak melepaskan sabuk yang melibat pergelangan tangannya, tiba-tiba
Yousuf menarik ujung sabuk yang dipegangnya sehingga tubuh Lin Lin menjadi limbung dan hampir jatuh!
“Nona, sabar dan tenanglah. Kini kau sedang berada di dalam perahuku dan aku berhak melarang semua
orang yang berada di sini untuk sembarangan bergerak dan membikin goncang perahuku! Apakah kau
ingin perahuku ini terguling dan kita semua tenggelam?”
Ketika merasa betapa tarikan sabuk itu amat kuat, Lin Lin maklum bahwa orang Turki ini memiliki
kepandaian tinggi, maka untuk sejenak ia menjadi ragu-ragu. Apa lagi pada saat mendengar bahwa perahu
itu mungkin tenggelam di tengah sungai, ia lalu berdiri dengan bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
Sebaliknya, Boan Sip yang hampir saja menjadi korban pukulan Lin Lin menjadi marah sekali. Ia menuding
ke arah muka Lin Lin sambil membentak,
“Perempuan rendah! Aku telah berlaku baik dengan menawan dan menjagamu baik-baik, tak pernah
mengganggumu, oleh karena aku sayang padamu. Akan tetapi sekarang, baru saja kau terlepas dari
belenggu, gerakanmu pertama kali adalah untuk membinasakan aku! Benar-benar kau tak boleh diberi
kesempatan hidup lagi!” Sambil berkata demikian, Boan Sip lalu mencabut golok besarnya dan maju
menyerang Lin Lin dengan muka buas!
Lin Lin bukanlah seorang gadis lemah. Dengan cepat dia dapat mengelak, bahkan balas menyerang
dengan kepalan tangannya.
“Hai, tahan, tahan!” teriak Yousuf.
Akan tetapi dalam marahnya, Boan Sip tidak mempedulikan teriakan ini. Tiba-tiba sebuah sinar hijau
berkelebat dan tahu-tahu golok di tangan Boan Sip telah lepas dari pegangan perwira itu dan ternyata
gagangnya sudah tergulung oleh sutera hijau yang dilepas oleh Yousuf.
“Yo-suhu! Apa maksudmu menyerangku?” tanya Boan Sip dengan muka merah.
“Saudara Boan! Kau berada di dalam perahuku dan siapa pun adanya kau, orang-orang di dalam perahuku
harus tunduk kepadaku! Nona, kau masuklah ke dalam bilik kecil dan beristirahatlah, selama ada aku di
sini, jangan kau takut diganggu orang! Saudara Boan, tidak ingatkah kau sedang berhadapan dengan
siapa, maka kau berani memperlihatkan kekerasanmu?”
Suara orang Turki ini sekarang terdengar sangat berpengaruh dan Lin Lin mulai menaruh kepercayaan
kepada orang asing yang aneh dan lihai ini. Maka, oleh karena ia memang merasa lelah sekali, ia segera
masuk ke dalam bilik itu dan memasang palang pintunya. Karena merasa aman dan lega bahwa dirinya
terhindar dari kekuasaan Boan Sip, gadis yang telah beberapa lama tak dapat tidur dengan hati tenteram,
kini segera pulas di atas sebuah pembaringan bambu yang kasar!
Sebaliknya, di luar bilik, sambil duduk di lantai perahu, Yousuf lalu memberi teguran dan nasehat kepada
Boan Sip yang mendengarkan dengan muka merah dan kepala tunduk.
Siapakah adanya orang Turki yang berpengaruh dan lihai ini? Dia ini sebenarnya adalah seorang penyelidik
dari Angkatan Perang Turki yang sudah siap di perbatasan Tiongkok dan hendak menyerbu. Sebenarnya
dia masih seorang bangsawan keturunan pangeran, dan oleh karena kepandaiannya yang tinggi maka
telah terpilih untuk menjadi pemimpin mata-mata dan diam-diam mengadakan kontak dengan para perwira
bangsa Han yang bisa dibujuk untuk bersekutu dengan tentara Turki dan untuk bersama-sama
menjatuhkan pemerintah yang sekarang.
Di antara para perwira yang telah mengadakan hubungan dengannya, terdapat Boan Sip yang diam-diam
juga melakukan pengkhianatan oleh karena pengaruh harta, hadiah dan janji-janji yang muluk dari Yousuf.
Sesungguhnya, tentara Turki ini sekali-kali tidak ingin menjajah Tiongkok, akan tetapi mereka ini memiliki
dunia-kangouw.blogspot.com
tujuan tertentu, yaitu ingin menguasai sebuah pulau kecil di pantai Laut Tiongkok, oleh karena menurut
penyelidik mereka yang terdiri dari Yousuf dan beberapa orang kawannya di pulau kecil itu terdapat sumber
emas yang besar, bahkan menurut keterangan mereka ini, di situ terdapat sebuah bukit penuh dengan
logam berharga ini.
Boan Sip yang menjadi pengkhianat negara itu sudah lama mengadakan perhubungan dengan Yousuf,
bahkan hari ini telah berjanji untuk mengadakan pertemuan di sungai itu, sehingga bukan tak disengaja
bahwa Yousuf telah menanti di sungai dengan perahunya.
Akan tetapi, adanya Lin Lin di situ adalah terjadi di luar rencana Yousuf. Boan Sip yang mewakili kawankawannya
atau rombongan perwira dan pejabat tinggi yang bersekutu dengan pihak Turki, mendapat tugas
untuk membuktikan cerita pihak Turki tentang pulau emas, oleh karena rombongan perwira pengkhianat ini
belum percaya akan keterangan yang diberikan oleh orang-orang Turki.
Demikianlah, maka perahu Yousuf yang membawa Boan Sip dan Lin Lin itu lalu meluncur cepat menurut
aliran Sungai menuju ke laut.
“Saudara Boan,” kata Yousuf dalam pelayaran itu, “tugas kita kali ini adalah tugas penting dan besar maka
jangan sampai urusan pribadi mengacau tugas penting ini. Kalau kiranya engkau tidak sanggup mentaati
aku yang dalam hal ini lebih berkuasa dari pada engkau, maka engkau boleh turun dan meninggalkan
perahu ini.”
Boan Sip mendengar kata-kata orang Turki ini dengan tunduk. Ia maklum akan kelihaian dan kekuasaan
Yousuf, maka dia tidak berani membantah.
“Akan tetapi, bagaimanakah dengan gadis ini?” tanyanya. “Apakah tidak lebih baik kalau dia disingkirkan
agar jangan menjadikan penghalang bagi pekerjaan kita?
Yousuf menggelengkan kepala dengan keras. “Tidak bisa, tidak bisa, tidak bisa! Mengapa engkau tidak
bisa memikir dengan lebih luas dan hati-hati? Gadis itu telah melihat perahu ini, dan yang lebih penting lagi,
ia telah melihat aku! Hal ini berbahaya sekali oleh karena ia tentu merasa heran melihat ada seorang asing
di sini dan kalau hal ini ia ceritakan di luaran, bukankah akan mendatangkan kecurigaan dan menjadi
berbahaya sekali? Apa lagi ia telah melihat bahwa kita saling kenal?”
“Nah, kenapa kau tidak membinasakan dia saja? Lemparkan dia ke dalam air sungai dan habis perkara!
Kau takkan terancam bahaya sedangkan aku pun akan dapat melenyapkan seorang musuh besar!” kata
Boan Sip lebih lanjut.
Kembali Yousuf menggeleng-gelengkan kepala dan mempergunakan tangan kirinya untuk membikin beres
sorbannya yang terbuat dari pada kain kuning.
“Ini lebih-lebih tidak boleh lagi! Kami bangsa Turki mempunyai sebuah kepercayaan suci yang kami pegang
teguh. Kepercayaan-kepercayaan ini banyak sekali macamnya dan di antaranya ialah bahwa dalam
melakukan sebuah tugas mulia dan besar, sekali-kali kami tidak boleh menurunkan tangan jahat terhadap
orang-orang wanita!”
Boan Sip mengangguk-angguk maklum. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa orang Turki yang
cerdik ini sebenarnya hanya menggunakan alasan kosong belaka dan bahwa pada hakekatnya Yousuf
hanya merasa kasihan dan suka kepada Lin Lin!
Demikianlah, perahu itu meluncur terus makin cepat sambil membawa Lin Lin yang masih tertidur di dalam
bilik perahu. Makin lama sungai yang dilalui perahu makin lebar, tanda bahwa mereka telah tiba dekat laut.
Tiba-tiba para penumpang perahu itu merasa terkejut sekali oleh karena perahu itu telah tertumbuk oleh
sebuah perahu lain dengan keras! Yousuf dan Boan Sip lalu memandang dan mereka melihat sebuah
perahu kecil melintang di depan perahu mereka dan di dalam perahu itu duduk dua orang yang memegang
dayung.
Dua orang ini bukan lain Si Nelayan Cengeng Kong Hwat Lojin dan muridnya Ma Hoa, gadis yang
berpakaian sebagai seorang pemuda itu! Bagaimana Nelayan Cengeng dan Ma Hoa mendadak dapat
muncul di sungai itu? Ini adalah akibat dari pada mala petaka yang menimpa keluarga Ma Hoa yang perlu
dituturkan lebih dulu agar jalan cerita dapat diikuti dengan lancar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebagaimana diketahui, ketika Nelayan Cengeng bersama muridnya, dibantu oleh Ang I Niocu dan Lin Lin,
melabrak para perwira yang dipimpin oleh Beng Kong Hosiang, yaitu suheng dari Hai Kong Hosiang, maka
seorang perwira berhasil mendengar percakapan mereka dan dapat mengetahui rahasia Ma Hoa bahwa
‘pemuda itu adalah gadis atau puteri dari Ma Keng In, perwira Sayap Garuda!’
Hal ini tentu saja dibongkar oleh perwira itu dan pada suatu hari Ma Keng In ditangkap oleh para perwira
atas perintah kaisar! Tidak saja Ma Keng In yang ditangkap, akan tetapi juga seluruh keluarganya, dan
mereka semua kemudian dijatuhi hukuman mati sebagai pemberontak-pemberontak atau pengkhianat!
Untung sekali bahwa Ma Hoa masih dapat melarikan diri.
Di depan sidang pengadilan yang memeriksa perkaranya, Ma Keng In yang jujur secara gagah mengakui
bahwa Ma Hoa adalah anaknya, bahkan dengan suara lantang, perwira ini berkata,
“Memang Ma Hoa adalah anakku. Aku merasa menyesal dan bosan dengan kedudukan dan pekerjaan
sebagai Perwira Sayap Garuda, dan aku merasa sebal dan benci melihat sepak terjang kawan-kawan
kerjaku yang menjadi perwira kerajaan bukan untuk menjaga keamanan rakyat, malah sebaliknya suka
berlaku sewenang-wenang dan mengandalkan pengaruh untuk menindas serta mencekik orang-orang
lemah! Aku Ma Keng In, merasa berbahagia bahwa anakku yang tunggal itu tak mengikuti jejakku yang
sesat, akan tetapi betul-betul menjadi seorang pelindung rakyat yang gagah perkasa! Aku kutuk perbuatanperbuatan
kawan sejawatku di bawah pimpinan Beng Kong Hosiang bersama Hai Kong Hosiang, pendetapendeta
palsu yang kejam dan jahat!”
Tentu saja ucapannya ini adalah keputusan terakhir dan dia beserta semua keluarganya lalu mendapat
hukuman mati! Ketika Ma Hoa mendengar mala petaka yang dialami oleh seluruh keluarganya itu dia jatuh
pingsan di bawah kaki gurunya, Si Nelayan Cengeng! Ketika ia siuman kembali ia menangis tersedu-sedu
dan gurunya menangis pula bahkan lebih keras dan lebih hebat dari pada tangis muridnya sendiri.
Mendadak Ma Hoa berdiri dan mencabut pedangnya. “Suhu, saksikanlah sumpah teecu! Aku bersumpah
untuk membasmi para perwira durna penjahat-penjahat liar yang sering menggunakan kedudukan dan
pangkat untuk menjadi kedok kejahatan mereka!”
Nelayan Cengeng menghiburnya dan kemudian ia membawa muridnya yang bersedih itu untuk melakukan
perjalanan hingga mereka tiba di sungai yang mengalir di sebelah utara. Di dalam perjalanan mereka,
Nelayan Cengeng dan Ma Hoa tiada hentinya memusuhi para perwira yang bertugas dan dari seorang
perwira mereka dapat mendengar tentang pengkhianatan beberapa orang rombongan mereka yang
mengadakan hubungan dengan para mata-mata bangsa Turki, dan juga mereka yang dengan diam-diam
mengadakan persekutuan dengan orang-orang Mongol!
Makin bencilah Nelayan Cengeng dan muridnya terhadap perwira-perwira Sayap Garuda yang palsu ini.
Selain memusuhi para perwira yang bertemu dengan mereka, juga kedua orang ini sekalian mencari-cari
jejak Cin Hai dan Kwee An, serta mengharapkan untuk bertemu dan bergabung dengan Ang I Niocu dan
Lin Lin.
Dan kebetulan sekali, pada pagi hari ketika mereka berdua mendayung perahu ke mudik, mereka melihat
sebuah perahu besar bergerak ke arah hilir. Mata Nelayan Cengeng yang tajam segera melihat adanya
seorang yang berpakaian perwira Sayap Garuda di dalam perahu itu, dan melihat pula seorang Turki. Maka
sengaja dia menabrakkan perahunya yang kecil itu pada perahu di depannya sehingga mengejutkan para
penumpang perahu di depan itu!
Dua orang pendayung perahu Yousuf marah sekali dan mereka lalu mendamprat kepada nelayan tua itu,
“Ehh, tua bangka kurang ajar! Apakah matamu telah buta?”
Nelayan Cengeng tertawa bergelak mendengar makian ini. “Ha-ha-ha-ha! Kalau mataku buta, bagaimana
aku bisa menumbuk perahumu?” Sambil berkata demikian, ia langsung mengangkat dayungnya dan
memukul ke badan perahu di depan itu sekerasnya.
Perahu itu bergoncang hebat dan bolong! Nelayan Cengeng sengaja memukul di bagian yang berada di
bawah permukaan air, sehingga sebentar saja air sungai mengalir masuk ke dalam perahu Yousuf!
Bukan main marah dan terkejutnya kedua orang pendayung itu. Mereka berteriak-teriak, “Celaka! Perahu
dunia-kangouw.blogspot.com
bocor! Perahu bocor! Celaka, kita bertemu dengan orang gila!”
Memang hebat pukulan dayung yang dilakukan oleh Nelayan Cengeng itu, oleh karena bagian yang pecah
demikian besarnya sehingga sebentar saja air yang mengalir masuk sudah demikian banyaknya dan sukar
dibendung lagi!
“Kurang ajar!” terdengar Yousuf berseru.
Tubuhnya lalu meloncat, diikuti oleh Boan Sip yang merasa kuatir sekali melihat betapa perahu yang
ditumpanginya mulai tenggelam dan miring! Kedua pendayung itu pun tidak berdaya lagi dan mereka
keduanya lalu menceburkan diri ke dalam air!
Terdengar Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak, seolah-olah kejadian itu merupakan suatu hal yang
lucu sekali. Bahkan dalam kesedihannya Ma Hoa ikut tersenyum melihat perbuatan gurunya yang nakal.
“Hayo kita kejar mereka, Suhu!” serunya pada waktu melihat Boan Sip yang berpakaian perwira.
“Memang aku hendak mengejar mereka!” kata suhu-nya lalu mendayung perahu kecil ke pinggir.
Pada saat itu terdengar suara memanggil yang keluar dari perahu Yousuf yang sudah hampir tenggelam.
“Cici Hoa! Locianpwe!”
“Eh, itu Lin Lin!” kata Ma Hoa dengan girang sekali.
Lin Lin yang sudah membuka pintu bilik dan melihat bahwa perahu yang ditumpanginya hampir tenggelam,
segera menggenjot tubuhnya yang melayang ke perahu Ma Hoa!
“Lin Lin! Bagaimana kau bisa berada di perahu itu?” tanya Ma Hoa dengan heran.
“Cici! Tangkap penjahat besar itu! Perwira itu adalah Boan Sip, musuh besarku! Mereka tadi menawanku di
dalam perahu!”
Bukan main marahnya Ma Hoa mendengar ini. Ia dan gurunya sudah sampai di pinggir dan di situ Boan Sip
bersama Yousuf telah menanti dengan muka marah!
Lin Lin tak membuang waktu lagi, ia melompat dan menerjang Boan Sip yang menangkis sambil tersenyum
mengejek.
“Sekarang terpaksa aku harus membunuhmu!” katanya.
Akan tetapi pada saat itu, dari samping berkelebat sinar pedang yang cepat gerakannya sehingga dia
menjadi terkejut sekali. Tidak tahunya, Ma Hoa yang sudah tiba di situ lalu menyerang dengan pedangnya.
Melihat datangnya serangan yang lihai ini, Boan Sip segera melompat ke pinggir sambil mencabut goloknya
dan bertempurlah mereka dengan hebat dan seru. Lin Lin yang tidak bersenjata itu lalu menghampiri
perahu Ma Hoa dan mengambil keluar sebuah dayung. Dengan dayung ini ia kemudian mengeroyok Boan
Sip lagi dengan melancarkan pukulan-pukulan sengit.
Sementara itu, Nelayan Cengeng telah berhadapan dengan Yousuf yang masih kelihatan tenang-tenang
saja. Ketika orang tua ini sudah datang mendekat, Yousuf berkata dalam bahasa Han yang cukup lancar,
“Nelayan tua, apakah tiba-tiba setan yang berkeliaran di sungai ini memasuki tubuhmu hingga tanpa sebab
kau memukul pecah perahuku? Kalau betul demikian halnya, jangan kuatir, aku sudah biasa mengusir iblis
yang memasuki tubuh manusia!”
Ucapan ini dikeluarkan oleh Yousuf setengah bersungguh-sungguh setengah mengejek oleh karena betapa
pun juga dia merasa mendongkol sekali melihat perahunya dirusak orang tanpa sebab. Untuk sesaat
Nelayan Cengeng tercengang mendengar ini, kemudian ia tertawa bergelak sampai mengeluarkan air mata
dari kedua matanya. Yousuf tidak tahu akan keanehan orang tua ini yang selalu mengeluarkan air mata, ia
menjadi curiga.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, benar-benar ada setan memasuki tubuhmu!”
Yousuf melempangkan tangannya ke depan menuju ke arah dada dan kepala Nelayan Cengeng, kemudian
dia membentak nyaring sambil mendorongkan kedua tangannya ke depan,
“Setan penasaran, keluarlah kamu dari tubuh orang tua ini!”
Tiba-tiba saja suara tertawa Nelayan Cengeng terhenti oleh karena orang tua ini menjadi kaget sekali.
Dorongan orang Turki ini mengeluarkan angin yang aneh dan dia merasa seakan-akan semangatnya
hendak didorong keluar dari tubuhnya. Dia tidak tahu bahwa Yousuf benar-benar sudah mengeluarkan aji
kesaktiannya untuk mengusir roh jahat yang disangka bersembunyi di dalam tubuhnya. Cepat-cepat
Nelayan Cengeng mengerahkan lweekang-nya untuk memukul kembali tenaga dorongan yang dahsyat ini
hingga Yousuf berseru,
“Aha, setan dari manakah berani melawan tenagaku? Apakah benar-benar kau tidak mau keluar dari tubuh
orang tua ini?”
Sikap Nelayan Cengeng menjadi sungguh-sungguh, oleh karena dia paham bahwa orang Turki ini bukan
sedang main-main dan menyangka ia benar-benar sedang kemasukan setan sungai. Maka dia segera
menjura dan berkata,
“Tuan, kau sangat lihai dan baik, bahkan kau terlampau baik terhadap kami orang-orang Han, terutama
terhadap perwira itu yang bersama-sama denganmu di dalam perahu. Kebaikan itu selalu mengandung
maksud tersembunyi yang kurang sempurna. Salahkah dugaan ini?”
Terkejut hati Yousuf mendengar ini, dan ia berlaku hati-hati.
“Ah, jadi aku telah salah sangka? Maaf, maaf. Memang perwira yang sedang bertempur itu adalah
kenalanku, akan tetapi apakah salahnya berkenalan di antara dua bangsa? Nelayan tua, tenagamu hebat
luar biasa, dan apakah maksudmu merusak perahuku dan mengganggu perjalananku?”
“Kalau Tuan tidak bersama dengan perwira itu, aku orang tua tidak nanti berani berlaku kurang ajar. Akan
tetapi ketahuilah bahwa perwira itu sudah melakukan kejahatan besar dan bahwa ia telah berani menawan
seorang gadis yang menjadi sahabat baik muridku! Agaknya Tuan juga melindungi perwira itu!”
“Hemm, siapa yang hendak melindungi dia?” berkata Yousuf yang percaya penuh akan kegagahan Boan
Sip.
Akan tetapi ketika dia menengok dan memandang ke arah pertempuran, dia menjadi terkejut sekali. Biar
pun Boan Sip berkepandaian tinggi, akan tetapi oleh karena dikeroyok oleh Lin Lin dan Ma Hoa yang tidak
rendah ilmu pedangnya, perwira ini menjadi terdesak hebat. Terutama dayung di tangan Lin Lin yang
mengamuk hebat amat mendesaknya hingga kini Boan Sip hanya dapat menangkis sambil main mundur
saja.
Yousuf merasa terkejut dan khawatir. Betapa pun juga Boan Sip adalah seorang utusan pihak perwira
kerajaan untuk menyaksikan dan membuktikan adanya pulau emas itu. Jika Boan Sip sampai kalah dan
tewas, bagaimanakah pekerjaan yang sedang dikerjakan ini dapat menjadi beres? Ia memang tidak suka
kepada Boan Sip, akan tetapi demi tugas pekerjaannya, ia harus membantu.
Yousuf lalu membuat gerakan dan hendak melompat membantu Boan Sip. Akan tetapi tiba-tiba ia melihat
bayangan berkelebat dan tahu-tahu Nelayan Cengeng telah berdiri di depannya sambil bertolak pinggang.
“Biarlah yang muda bertempur melawan yang muda. Kita tua sama tua boleh main-main, apa bila memang
kau kehendaki. Dengarlah, orang asing, aku sama sekali tidak hendak mengganggumu kalau saja engkau
juga tidak turun tangan terlebih dulu. Biarkan perwira keparat itu berkelahi melawan muridku dan
musuhnya, dan tak akan mengganggu sedikit pun!”
Kini Yousuf maklum bahwa pertempuran sudah tidak dapat dihindarkan lagi, maka ia lalu memandang
kepada nelayan tua itu dengan penuh perhatian. Ia melihat bahwa nelayan ini biar pun kelihatan seperti
seorang biasa akan tetapi mempunyai sepasang mata yang bersinar-sinar aneh, karena itu dia dapat
menduga bahwa orang ini tentulah seorang ahli lweekang yang tinggi ilmu kepandaiannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kakek Nelayan, engkau tidak tahu kini sedang berhadapan dengan siapa, maka engkau berani main-main.
Ketahuilah, aku bernama Yousuf dan di dalam negeriku, aku disebut Malaikat Pengusir Iblis! Lekas kau
minggirlah dan percayalah bahwa aku pun tak hendak mengganggu kedua anak muda itu. Aku hanya ingin
mencegah terjadinya pertumpahan darah di antara mereka dan sahabatku!”
Mendengar kata-kata ini, Nelayan Cengeng bisa mempercayai omongannya, oleh karena semenjak tadi
pun dia maklum bahwa orang asing ini bukanlah orang jahat atau curang. Akan tetapi, setelah muridnya Lin
Lin berhasil mendesak Boan Sip, mana ia mengijinkan orang lain menolong perwira jahat itu?
“Tidak bisa, Saudara You Se Fei (lidahnya tidak dapat menyebut nama Yousuf). Kalau kau bergerak, aku
Kong Hwat Lojin pun terpaksa bergerak juga!”
“Bagus! Marilah kita mencoba-coba kepandaian!”
Sambil berkata demikian, Yousuf menarik keluar sebatang pedang hitam yang ujungnya melengkung ke
atas dan kelihatannya tajam sekali! Pedang ini memang luar biasa indah, oleh karena pada gagangnya
tampak dihias oleh emas permata yang berkilauan! Nelayan Cengeng juga bersiap sedia dengan dayung
yang sejak tadi terpegang di tangannya.
“Lihat pedang!” Yousuf berseru sambil menubruk maju.
Gerakannya gesit dan cepat, sedangkan kedua kakinya berdiri di atas ujung jari kaki, tanda bahwa dia
sedang mempergunakan ilmu ginkang-nya yang aneh dan lihai. Cara berdiri macam ini membuat ia cepat
sekali dapat bergerak dan mengubah kedudukan.
Melihat serangan ini, tahulah Kong Hwat Lojin bahwa kini dia berhadapan dengan orang pandai, maka ia
pun lantas menggerakkan dayungnya dan mereka berdua lalu bertempur dengan hebat. Pedang di tangan
Yousuf mengeluarkan angin dan menimbulkan suara bagaikan suling, sedangkan dayung di tangan
Nelayan Cengeng berputar seperti kitiran angin dan membuat debu mengepul ke atas!
Demikianlah, di pagi hari yang cerah sunyi di tepi sungai itu, terjadilah pertempuran yang sangat hebat
serta dahsyat, sehingga dua orang pendayung perahu Yousuf yang telah berenang ke tepi, kini keduanya
berjongkok dengan tubuh menggigil karena ketakutan.
Kepandaian Nelayan Cengeng untuk daerah utara sudah sangat terkenal dan jarang ada jago dapat
menandinginya. Akan tetapi kini ia bertemu dengan seorang jago dari bangsa lain yang mempunyai silat
tinggi dan sama sekali asing baginya. Demikian pula Yousuf. Baginya ilmu silat kakek nelayan ini hebat dan
aneh hingga keduanya berlaku hati-hati sekali oleh karena tak dapat menduga lebih dulu perkembangan
gerakan lawan.
Sementara itu, Boan Sip sudah lelah sekali. Keringatnya mengucur membasahi seluruh tubuhnya dan
wajahnya menjadi pucat oleh karena dia harus menghadapi serangan dua singa betina yang sedang
mengamuk hebat!
Sambil bertempur, Lin Lin berkata, “Cici, kita harus bikin mampus anjing ini. Dia inilah biang keladi mala
petaka yang menimpa keluarga Kwee! Engko An tentu akan sangat berterima kasih kepadamu apa bila
engkau dapat membunuh anjing penjilat ini.”
Mendengar ucapan ini, tentu saja Ma Hoa menjadi semakin bersemangat untuk segera merobohkan Boan
Sip, untuk membuktikan setia dan cintanya kepada tunangannya yang selalu terbayang di depan matanya
itu! Ia mengertak gigi dan mainkan pedangnya dalam serangan yang paling berbahaya. Sedangkan Lin Lin
juga mempergunakan dayung pada tangannya untuk menyerang kalang kabut sehingga Boan Sip makin
terdesak saja.
Ketika Boan Sip sedang melangkah mundur dengan hati bingung, tiba-tiba dia menginjak sebuah batu yang
bundar licin sehingga dia tergelincir dan terhuyung lalu terjatuh di atas tanah. Lin Lin dan Ma Hoa menubruk
dan pedang Ma Hoa yang menusuk dadanya serta dayung Lin Lin yang menghantam kepalanya membuat
nyawa Boan Sip melayang pada saat itu juga!
Melihat betapa musuh besarnya kini telah menggeletak di atas tanah dalam keadaan tak bernyawa, Lin Lin
tiba-tiba merasa girang dan terharu sekali. Girang bahkan dia berhasil membunuh manusia yang amat
dibencinya ini dengan tangan sendiri, dan terharu oleh karena teringat kepada orang tuanya. Tiba-tiba dia
dunia-kangouw.blogspot.com
menjatuhkan diri berlutut dan berkata perlahan,
“Ayah, anak yang puthau (tidak berbakti) baru berhasil membalas dendam kepada anjing terkutuk ini!”
Kemudian dia pun menangis terisak-isak ingat kepada ayahnya, ibu tirinya, dan saudara-saudaranya yang
terbunuh mati oleh Boan Sip dan kawan-kawannya. Ma Hoa juga ikut merasa terharu dan sambil memeluk
pundak Lin Lin, Ma Hoa lalu menangis pula.
Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara Si Nelayan Cengeng dan Yousuf, masih berlangsung
dengan ramai sekali. Akan tetapi, setelah bertempur hampir seratus jurus, Yousuf akhirnya harus mengakui
keunggulan lawan.
Dayung Si Nelayan Cengeng betul-betul hebat dan lihai sekali. Perlahan tapi pasti, orang Turki itu terdesak
mundur dan terpaksa menggunakan ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari sambaran dayung!
Pada saat Yousuf sudah terdesak sekali, tiba-tiba terdengar Lin Lin berseru, “Kong Hwat Locianpwe!
Jangan mencelakai dia! Dia adalah penolongku!”
Mendengar seruan ini, Nelayan Cengeng cepat melirik dan ketika ia melihat bahwa Boan Sip sudah
dibinasakan dia lalu tertawa bergelak dan melompat mundur menahan gerakan dayungnya.
Yousuf menjura sangat dalam sampai sorbannya hampir menyentuh tanah. “Kau orang tua sungguh hebat
sekali dan patut menjadi guruku!”
“Ahh, jangan kau terlalu memuji, Saudara Yo Se Fei! Kepandaianmu pun sangat hebat dan
mengagumkan!” jawab Si Nelayan Cengeng.
Kemudian Yousuf memandang ke arah Lin Lin dan senyumnya melebar serta pandangan matanya
melembut. “Nona, kau benar-benar seorang berbudi tinggi.” Ketika pandangan matanya melihat mayat
Boan Sip yang menggeletak di atas tanah ia menghela napas dan berkata,
“Memang hukum alam adil sekali. Dia memang orang jahat dan sudah sepatutnya mati di ujung senjata!”
Melihat sikap orang asing ini, Nelayan Cengeng menjadi tertarik hatinya. Dia memegang tangan orang itu
dan berkata, “Sahabat, kita adalah sama orang gagah, meski pun kita berkebangsaan lain! Marilah kita
bersahabat dan menuturkan riwayat masing-masing.”
“Apakah kau terpengaruh pula oleh keadaan negara dan politiknya, orang tua?”
Nelayan Cengeng tertawa terkekeh hingga air matanya kembali mengalir. “Siapa sudi memperhatikan
keadaan politik yang jahat? Tidak, bagiku politik hanya satu, yaitu yang jahat harus dibasmi dan yang baik
dibela! Kau orang asing asal saja jangan mengganggu tanah air dan bangsaku, aku akan menjadi sahabat
baikmu!”
Kembali Yousuf menghela napas. “Kalian orang-orang bangsa Han memang sangat aneh dan patut
dikagumi! Kalian berjiwa patriot dan mencinta tanah air dan bangsa, akan tetapi kalian tidak mau terlibat
dalam urusan ketata negaraan dan segala politiknya yang serba berbelit-belit! Sebenarnya, mengapakah
kalian bermusuhan dengan perwira itu?”
Lin Lin maju dan memberi penjelasan. “Perwira itu adalah seorang jahat yang oleh karena lamarannya
terhadap diriku ditolak oleh Ayahku, lalu mengajak kawan-kawannya untuk membasmi keluargaku. Ayah
serta kakak-kakak dan juga Ibuku sudah dia bunuh habis. Tinggal aku dan seorang kakakku yang masih
hidup. Ketika aku bertemu dengan dia dan bertempur, atas bantuan gurunya yang juga jahat ia dapat
menawanku dan membawaku ke sebuah tempat tahanan. Kemudian ia membawa aku lari dan bertemu
dengan kau.”
“Hmm, pantas, pantas! Pantas kau membunuhnya, memang hutang nyawa harus dibayar jiwa pula!”
“Dan kau hendak pergi ke manakah Saudara? Dari percakapanmu aku mendengar kalau kau hendak pergi
ke sebuah pulau dengan perwira itu,” kata pula Lin Lin.
Yousuf termenung sejenak. Tiba-tiba ia mendapat pikiran yang tak disengaja. Telah lama ia mempunyai
dunia-kangouw.blogspot.com
sebuah cita-cita untuk dapat menduduki tahta kerajaan. Ketika ia bersama beberapa orang kawannya yang
merantau mendapatkan pulau emas itu, dalam hatinya telah timbul cita-cita ini. Dengan memiliki semua
harta kekayaan itu, mudah saja baginya untuk merebut kekuasaan Raja Turki yang sekarang dan
menggantikannya.
Memang di dalam tubuh Yousuf masih ada darah pangeran, tapi sayangnya dia adalah seorang miskin.
Kalau saja pulau itu dapat terjatuh ke dalam tangannya!
Kini, melihat Lin Lin, ia merasa sangat tertarik dan suka. Ia merasa yakin bahwa di dalam kehidupannya
yang dulu tentu ada hubungan sesuatu antara dia dan Lin Lin, oleh karena entah mengapa, ia merasa suka
sekali dan rela membela gadis itu, biar dengan jiwanya sekali pun. Perasaan inilah yang merupakan citacita
ke dua baginya, dan timbul setelah ia bertemu dengan Lin Lin.
Ia juga ingin mendapatkan harta di Pulau Emas itu, mengangkat diri sendiri menjadi raja dan membujuk Lin
Lin supaya suka menjadi permaisurinya. Inilah cita-citanya dan inilah pikiran yang pada saat itu mengaduk
hati dan otaknya.
Ia telah melihat kegagahan Nelayan Cengeng dan muridnya yang ternyata seorang gadis pula, telah
menyaksikan pula kegagahan Lin Lin yang tidak lemah. Bila ditambah dengan dia sendiri menjadi empat
orang, dan bukankah empat orang gagah yang tangguh, kuat, akan sanggup mengusir musuh yang mana
pun juga?
Untuk menjawab pertanyaan Lin Lin ia mengangguk, “Memang benar, Nona Lin Lin, aku hendak pergi
menuju ke sebuah Pulau Emas. Sayang sekali perahuku telah rusak dan tenggelam.”
Mendengar disebutnya Pulau Emas, Nelayan Cengeng tertarik sekali dan ia lalu berkata, “Saudara Yo Se
Fei! Benar-benar adakah pulau dongeng itu? Semenjak aku masih kecil, sering kali aku mendengar
dongeng tentang Pulau Emas ini, dan dalam beberapa hari ini telah dua kali aku mendengar pula tentang
Pulau Emas ini.”
Yousuf memandangnya tajam sekali. “Sudah dua kali? Lo-enghiong, dari siapa pulakah kau mendengar
tentang Pulau Emas ini?”
Nelayan Cengeng lalu menceritakan bahwa dalam perantauannya bersama dengan Ma Hoa, beberapa hari
yang lalu dia bertemu dengan seorang bangsa Mongol tua yang juga menyebut akan adanya Pulau Emas
itu, bahkan orang Mongol itu dalam mengobrol telah membuka rahasia bahwa Pangeran Vayami, pemimpin
Agama Buddha Merah itu, hendak mencari pulau ini pula.
Yousuf kaget sekali mendengar ini. “Ah, sudah kusangka bahwa Pangeran Vayami tentu mempunyai
maksud tertentu dalam kunjungannya ke pedalaman dan hendak menghadap Kaisar Tiongkok! Tidak
tahunya, ia juga menghendaki pulau itu. Ah, kita harus cepat ke sana, jangan sampai didahului orang!”
Melihat bahwa orang Turki ini pucat dan bingung, Nelayan Cengeng lalu bertanya lagi, “Saudara yang baik,
sebetulnya pulau itu dimanakah letaknya dan apa namanya?”
Yousuf sudah habis sabar, akan tetapi oleh karena maklum bahwa kakek nelayan yang gagah ini
merupakan tenaga bantuan yang amat berguna, ia bersabar dan menerangkan dengan singkat, “Pulau itu
bernama Kim-san-to (Pulau Gunung Emas) dan berada di sebelah timur pantai Tiongkok. Kalau belum tahu
jalannya, memang sukar sekali rnencari pulau yang berada di antara puluhan pulau-pulau kecil lain itu.”
Nelayan Cengeng menjadi sangat tertarik hatinya dan demikianlah, kedua orang ini lalu bercakap-cakap
dan Yousuf dengan amat sabarnya menjawab tiap pertanyaan Nelayan Cengeng sehingga kakek nelayan
ini akhirnya terbangkit pula keinginan tahunya dan dia ingin sekali melihat serta menyaksikan dengan mata
sendiri keadaan pulau yang sudah dikenalnya di dalam dongeng itu.
Sementara itu, Lin Lin lalu menceritakan kepada Ma Hoa tentang semua pengalamannya dan ketika Ma
Hoa bertanya di mana adanya Ang I Niocu, dia menjawab, “Siapa yang dapat mengetahui di mana adanya
dia sekarang.” Lin Lin lalu menghela napas khawatir. “Sungguh sial sekali, belum juga kami berjumpa
dengan Hai-ko, sekarang Cici Im Giok sudah harus berpisah lagi denganku! Ahh, sekarang menjadi makin
ruwet, karena selain harus mencari Hai-ko dan Ang-ko, aku pun harus mencari Cici Im Giok! Ehh, Enci Hoa,
semenjak tadi aku saja yang banyak berbicara sedangkan kau hanya menjadi pendengar saja. Kau
ceritakanlah, bagaimana kau bisa sampai di sini dan menolong aku?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang Ma Hoa orangnya agak pendiam dan tak banyak bicara. Sekarang mendengar pertanyaan Lin Lin,
tiba-tiba sepasang matanya menjadi merah dan ia mengeraskan hati untuk menahan keluarnya air
matanya.
Lin Lin terkejut dan memegang lengannya. “Enci Ma Hoa, apakah yang telah terjadi? Kau nampak pucat
sekali!”
Dengan mengeraskan hati, Ma Hoa kemudian menceritakan mala petaka yang menimpa keluarganya, akan
tetapi pada saat melihat betapa sepasang mata Lin Lin yang lebar itu memandangnya dengan terbelalak
dan dari kedua matanya itu mengalir butiran-butiran air mata karena terharu dan kasihan, Ma Hoa tidak
dapat lagi menahan kesedihannya. Ia mengakhiri penuturannya dengan kata-kata yang sukar keluarnya,
“Adik Lin, habislah seluruh keluargaku, mereka telah binasa semua, tinggal aku seorang diri... sebatang
kara...!”
Lin Lin memeluk gadis itu dan keduanya segera bertangis-tangisan oleh karena memang terdapat banyak
persamaan di antara mereka berdua, oleh karena seperti juga Ma Hoa, keluarga Lin Lin juga habis binasa.
“Enci Hoa, jangan kau khawatir, bukankah kau masih memiliki kawan-kawan baik seperti Suhu-mu itu dan
aku dan Engko An? Juga Hai-ko dan Enci Im Giok adalah kawan-kawan yang baik dan yang senantiasa
bersiap sedia membantu dan menolongmu!”
Mendengar hiburan ini, agak redalah kesedihan yang menekan hati Ma Hoa dan mereka berdua lalu
memandang ke arah Yousuf yang ketika itu masih bercakap-cakap dengan Nelayan Cengeng. Sebuah
permufakatan telah dicapai oleh dua orang ini, yaitu Nelayan Cengeng telah mengambil keputusan untuk
ikut Yousuf mencari Pulau Emas!
“Hai, Ma Hoa dan Lin Lin, ke marilah! Jangan hanya bertangis-tangisan saja, ada kabar baik yang harus
dibicarakan bersama!” Si Nelayan Cengeng berkata dan dua orang gadis itu lalu menghampiri mereka
sambil menyusut air mata dengan sapu tangan.
Nelayan Cengeng lalu memberitahukan bahwa mereka bertiga akan ikut Yousuf mencari Pulau Emas itu.
“Akan tetapi, Locianpwe, bagaimana dengan usahaku untuk mencari saudara dan kawan-kawanku?”
Nelayan Cengeng tersenyum. “Dengarlah, Lin Lin. Kita belum lagi tahu ke mana perginya mereka itu dan
tanpa petunjuk yang tepat, ke manakah kita harus mencari mereka! Pula, dari Saudara Yo Se Fei ini aku
mendengar bahwa besar sekali kemungkinan Pangeran Vayami juga akan pergi mencari Pulau Emas ini
sehingga bukan tak mungkin bahwa Hai Kong Hosiang akan menemani rombongan Pangeran Vayami itu.
Sudah terang bahwa Cin Hai, Kwee An, mau pun Ang I Niocu mengejar-ngejar hwesio itu dan apa bila
hwesio itu berada dalam rombongan Pangeran Vayami, tentu mereka akan menuju ke pulau itu pula! Nah,
bukankah ini lebih baik dari pada kita berkeliaran tidak karuan tanpa tujuan tertentu?”
Lin Lin menganggap alasan ini cukup kuat, oleh karena ia tahu bahwa Ang I Niocu juga sedang mencari Cin
Hai dan Kwee An, sedang kedua pemuda itu mengejar Hai Kong Hosiang, maka kalau benar hwesio itu
pergi juga mencari pulau emas, memang bukan tak mungkin mereka semua menuju ke tempat yang sama!
Maka akhirnya ia berkata,
“Terserah pada Locianpwe saja, aku yang muda dan bodoh hanya menurut dan percaya penuh kepadamu,
orang tua!”
Mendengar persetujuan yang keluar dari mulut gadis ini, Yousuf menjadi gembira sekali, akan tetapi dia
menyembunyikan perasaannya ini dan berkata,
“Nah, kita berempat bisa berangkat sekarang juga, akan tetapi, perahumu begitu kecil. Sayang sekali
perahuku telah tenggelam!”
Walau pun Nelayan Cengeng sudah tua, akan tetapi pandangan matanya tajam. Melihat wajah orang Turki
itu berseri-seri saat mendengar kata-kata persetujuan yang diucapkan oleh Lin Lin, di dalam hatinya timbul
kecurigaan yang membuatnya menjadi hati-hati.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, sambil tertawa dia menjawab pertanyaan Yousuf, “Apakah susahnya untuk mendapatkan
perahu yang tenggelam?” Setelah berkata demikian, kakek nelayan ini lalu memperlihatkan kepandaiannya
di dalam air yang benar-benar hebat.
Ia menanggalkan jubah luarnya dan dengan pakaian ringkas lalu meloncat ke dalam air. Tubuhnya yang
kurus itu terjun ke dalam air tanpa bersuara seakan-akan sebatang anak panah dilepas ke dalam air saja.
Agak lama semua orang menanti dengan hati berdebar, kecuali Ma Hoa yang sudah maklum akan
kepandaian gurunya.
Kemudian air itu bergelombang hebat dan dari bawah muncullah tubuh perahu Yousuf yang tadi tenggelam!
Ternyata Si Nelayan Cengeng telah mendapatkan tubuh perahu itu dan menariknya ke atas permukaan air
dalam keadaan miring hingga tidak ada air yang memasuki tubuh perahu itu. Kemudian Si Nelayan
Cengeng berenang cepat ke pinggir dan sekali ia menggerakkan tangan, perahu besar itu dapat
didorongnya ke tepi hingga meluncur cepat dan mendarat di pinggiran sungai! Yousuf segera menarik
perahu itu ke atas dan tiada hentinya memuji.
“Ah, kau betul-betul gagah luar biasa. Di darat kau telah membuat aku kagum, akan tetapi kepandaianmu di
air ini betul-betul membuat aku tunduk!” Sambil berkata begini Yousuf lalu menjura di depan Kong Hwat
Lojin yang telah melompat ke darat.
Akan tetapi kakek nelayan itu hanya tertawa saja sambil mengeringkan tubuhnya dengan jubah luarnya
yang tadi ditanggalkan, lalu berkata,
“Sudahlah, di antara kawan sendiri mana ada aturan puji-memuji? Lebih baik kalau kita sekarang
memperbaiki perahumu ini agar dapat segera berangkat!”
Dua orang itu lalu memperbaiki badan perahu yang tadi pecah berlubang karena pukulan dayung Si
Nelayan Cengeng dan sebentar saja perahu itu telah baik kembali. Yousuf lalu memerintahkan kedua orang
pembantunya untuk pergi dari situ oleh karena dia sudah tak memerlukan tenaga mereka lagi. Dia merogoh
kantongnya dan memberi empat potong uang emas kepada dua orang itu yang menerimanya dengan
girang.
Setelah itu, maka berangkatlah Yousuf bersama Si Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Lin Lin. Perahu mereka
meluncur cepat oleh karena selain terbawa hanyut oleh aliran sungai yang deras, juga dibantu oleh tenaga
dayung Si Nelayan Cengeng yang kuat bukan main. Sebelum senja hari, perahu mereka telah tiba di mulut
sungai dan mulai memasuki laut yang luas!
Baik kita tinggalkan lebih dulu Lin Lin bersama kawan-kawannya yang menuju ke Pulau Kim-san-to itu, dan
kita mengikuti pengalaman Kwee An…..
********************
Ketika terjadi perkelahian bebas di atas perahu Pangeran Vayami, kemudian menerima tendangan di
betisnya yang dilakukan oleh Pangeran Mongol itu sehingga dia terjatuh ke dalam sungai, Kwee An sudah
mencoba tenaga dan kepandaiannya yang dipelajari dari Nelayan Cengeng untuk berenang ke pinggir.
Akan tetapi, aliran air sungai itu amat deras dan kuatnya sehingga usahanya gagal, bahkan tubuhnya
hanyut dengan cepatnya!
Baiknya Kwee An telah mendapat latihan dari Nelayan Cengeng, kalau tidak pasti ia akan tenggelam atau
tubuhnya akan hancur terbentur pada batu-batu dan karang yang banyak menonjol di permukaan air. Dia
lalu mengeluarkan kepandaiannya dan mempergunakan gerakan Ular Air Menyeberang Laut untuk
berenang sambil mengikuti aliran air dengan cara berlenggang-lenggok bagaikan seekor ular hingga dia
dapat menghindarkan diri dari pada tubrukan dengan batu-batu karang.
Dia masih dapat melihat betapa perahu di mana Cin Hai masih bertempur seru melawan Hai Kong Hosiang
itu terbakar hebat, hingga diam-diam ia menjadi gelisah, menguatirkan keselamatan kawannya itu. Akan
tetapi, sungai itu mengalir dalam sebuah tikungan yang tajam sekali sehingga ia harus segera
mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menjaga keselamatan dirinya sendiri.
Setelah hanyut jauh sekali, sedikitnya terpisah lima li dari tempat di mana ia tadi terjatuh, aliran air mulai
lemah dan dengan hati girang Kwee An lalu berenang ke pinggir dengan maksud setelah dapat mendarat
akan segera lari kembali ke tempat tadi dan membantu Cin Hai. Akan tetapi tiba-tiba ia menjadi terkejut
dunia-kangouw.blogspot.com
sekali oleh karena melihat beberapa ekor binatang aneh yang berenang cepat menuju ke arah dirinya.
Kwee An cepat berenang ke tepi. Akan tetapi, kembali dia terkejut oleh karena binatang-binatang seperti
yang sedang berenang di tengah sungai itu, terdapat pula di darat dan memenuhi tepian sungai. Agaknya
mereka sedang berjemur diri di pantai itu dan jumlah yang berada di pantai bahkan ada seratus lebih.
Binatang-binatang yang terlihat oleh Kwee An ini adalah binatang sebangsa buaya, akan tetapi lebih
menyerupai cecak besar dan ada yang panjangnya sampai sepuluh kaki dan mulutnya terbuka lebar. Ketika
Kwee An tiba di tepi, maka binatang-binatang yang berada di pantai itu pun lalu maju merangkak dan
menyerbu.
Kwee An menjadi bingung. Untuk naik ke darat, puluhan ekor binatang buas ini telah siap menanti
sedangkan untuk tinggal di dalam air, dari tengah telah berenang beberapa belas ekor yang menuju
kepadanya. Ia pikir, lebih baik menghadapi puluhan ekor di darat dari pada belasan ekor di air oleh karena
binatang itu dapat berenang cepat sekali sedangkan kepandaiannya di dalam air masih rendah.
Ia lalu terus berenang ke pinggir dan ketika air telah menjadi dangkal hingga sampai ke paha, dari tepi telah
turun lima ekor yang terbesar dan cepat menyerbunya dengan mulut ternganga lebar. Kwee An lantas
menggenjot tubuhnya melompat hingga kedua kakinya melewati permukaan air dan ketika dua ekor buaya
itu menyambar dengan mulut mereka yang runcing, ia cepat-cepat menendangkan kaki kanan ke arah
kepala binatang itu dan mempergunakan kepala itu sebagai batu lonpatan ke darat.
Akan tetapi jumlah binatang-binatang itu terlalu banyak sehingga ke arah mana saja dia melompat, dia
langsung disambut oleh beberapa ekor buaya yang menyerbunya dengan dahsyat dan liar. Kwee An lalu
mempergunakan kecepatan dan seluruh tenaganya untuk melawan. Ia menendang, memukul, menangkap
ekor dan membanting, hingga sebentar saja puluhan ekor binatang kena dibinasakan.
Akan tetapi yang datang semakin banyak saja sehingga Kwee An kehabisan tenaga dan mulai menjadi
ngeri dan jijik. Binatang-binatang yang masih hidup segera menerkam dan menyerang kawan-kawannya
sendiri yang terluka dan makan daging mereka, sedangkan yang lain-lain masih saja menyerbu dengan
hebat.
Oleh karena merasa ngeri melihat banyaknya binatang yang mengeroyoknya, dan oleh karena tenaganya
tadi memang telah banyak dihabiskan untuk melawan air sehingga dia menjadi lelah sekali, maka Kwee An
berlaku kurang cepat sehingga tiba-tiba dia merasa kaki kirinya sakit sekali. Dia menengok dan melihat
bahwa seekor buaya sudah berhasil menggigit betis kaki kirinya. Cepat Kwee An berjongkok dan sekali
tangannya bergerak, maka dua buah jari tangannya berhasil memasuki rongga mata buaya yang menggigit
itu!
Binatang itu merasa kesakitan dan tak terasa pula mulut yang menggigit betis mengendor hingga dengan
cepat Kwee An dapat melepaskan kakinya! Darah mengucur membasahi kaus kaki dan celananya. Dengan
muka meringis kesakitan, pemuda itu menjadi begitu marah hingga ia lalu mengamuk hebat! Ia mencabut
pedangnya dan dengan senjata ini ia menghajar semua buaya yang berani datang mendekat hingga mayat
binatang itu sampai bertumpuk-tumpuk dan malang melintang di sekitarnya.
Mendadak terdengar suara suitan keras dan aneh! Buaya-buaya yang masih hidup dan belum terluka, lalu
nampak terkejut dan buru-buru mereka lari ke sungai! Kwee An sudah terlalu lemah, maka kepalanya
menjadi pening dan pemandangan matanya berkunang-kunang.
Kwee An melihat seorang gemuk tetapi pendek sekali berdiri di depannya dengan sebuah cambuk panjang
pada tangannya, dan suara orang itu terdengar keras dan besar ketika menegur,
“Pemuda kurang ajar dari manakah yang berani mengganggu serta membunuh binatang ternakku?”
Kwee An yang sudah lelah dan pusing itu merasa bagaikan bertemu dengan iblis sungai, oleh karena
kecuali iblis sungai, siapakah orangnya yang menganggap buaya-buaya itu sebagai binatang ternaknya?
Pemuda itu tidak dapat menguasai dirinya lagi oleh karena lapar, lelah, dan lemas kehilangan banyak
darah.
“Aku... aku... lelah...,” katanya dan ia lalu roboh terguling dan pingsan. Tubuhnya roboh di atas mayatmayat
binatang yang tadi diamuknya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika ia sadar kembali, Kwee An mendapatkan dirinya telah berbaring di atas balai-balai bambu dalam
sebuah kamar yang terbuat dari pada bambu pula. Ia segera bangun dan mengeluh oleh karena kaki
kirinya terasa sakit dan perih. Ketika ia teringat akan luka di kakinya oleh gigitan buaya itu, ia segera
menengok ke arah betisnya dan ternyata bahwa kakinya telah dibalut erat-erat. Ia dapat menduga bahwa
orang pendek yang disangkanya iblis sungai itu tentu yang telah menolongnya, maka ia merasa berterima
kasih sekali.
Walau pun keluhan suaranya perlahan sekali, akan tetapi ternyata sudah didengar orang, oleh karena dari
luar pintu kamar segera terdengar suara orang, “Ehh, anak muda, kau sudah bangun?”
Ketika Kwee An memandang, ternyata penolongnya yang pendek itu muncul dari pintu dengan sepiring
masakan yang masih mengepul berada pada tangan kirinya. Si Kate itu memasuki bilik, lalu berkata sambil
tertawa, “Nah, kau makanlah dulu. Kesehatanmu pasti akan pulih lagi seperti sedia kala!”
Ketika Kwee An hendak bangkit untuk menghaturkan terima kasih, mendadak dia merasa lehernya seolaholah
tercekik dan dadanya berdebar keras. Wajahnya tentu akan terlihat menjadi pucat sekali kalau saja
kulit mukanya tidak memang sudah pucat sekali sehingga perubahan itu tidak terlalu nampak.
Pada saat itu dia telah mengenal orang pendek ini yang bukan lain adalah Hek Moko, Si Iblis Hitam yang
sangat lihai dan yang dulu pernah bertempur dengan Cin Hai di depan rumahnya! Kwee An berpikir cepat
dan ia segera memaksa mulutnya bersenyum. Sambil menerima piring itu ia berkata dengan pura-pura
masih lemas tak bertenaga,
“Terima kasih, Lopek. Sungguh kau baik sekali dan atas pertolonganmu ini aku ucapkan banyak-banyak
terima kasih.”
Kwee An sengaja berbuat seakan-akan ia tidak kenal kepada Si Iblis Hitam ini. Ia maklum bahwa iblis ini
pun tidak tahu siapa adanya dia dan apa bila iblis ini tahu bahwa Cin Hai berada di dekat situ, tentu ia akan
pergi mengejarnya!
“Kau makanlah yang enak. Aku hendak mengurus hewan ternakku lebih dulu! Kau gagah sekali dan telah
berhasil membunuh dua puluh empat ekor hewanku hingga bukan sedikit aku menderita kerugian!” katanya
lalu keluar dari pintu dengan langkah-langkahnya yang pendek tetapi cepat.
Kwee An menarik napas lega. Ternyata iblis itu tidak mengenal dan tidak mencurigainya sehingga untuk
sementara waktu ia akan selamat. Dia maklum bahwa Iblis Hitam ini lihai sekali, apa lagi kalau di situ ada
pula Iblis Putih yang tinggi besar oleh karena menurut penuturan Cin Hai, kedua Iblis Hitam Putih atau Hek
Pek Moko ini jarang sekali berpisah.
Sambil memikirkan jalan untuk melarikan diri dari tempat berbahaya ini, Kwee An yang telah merasa lapar
sekali lalu makan daging yang masih panas mengepul di atas piring itu. Dia tidak tahu masakan daging
apakah ini, akan tetapi karena perutnya terasa lapar sekali, ia tidak peduli dan segera makan daging itu. Di
luar dugaannya semula, daging ini rasanya manis dan harum serta gurih sekali hingga sebentar saja
sepiring besar daging itu telah habis memasuki perutnya!
Kemudian ia turun dari pembaringan dan mencoba berjalan. Ia dapat berjalan, akan tetapi dengan pincang
sehingga tidak mungkin untuk melarikan diri, oleh karena ia belum dapat mempergunakan ilmu lari cepat.
Kwee An menjadi bingung dan dia sangat menguatirkan nasib Cin Hai yang masih bertempur di atas
perahu melawan Hai Kong Hosiang yang lihai itu, karena perahunya telah dibakar oleh Pangeran Vayami!
Tak lama kemudian, Hek Moko masuk ke dalam kamar itu sambil tertawa-tawa. Jubahnya yang hitam itu
melambai-lambai di belakangnya.
“Ha, kau sudah makan! Bagaimana, enakkah hidanganku itu?”
Kwee An tersenyum. “Enak sekali, entah daging apakah yang Lopek suguhkan tadi?”
Tiba-tiba Hek Moko tertawa bergelak-gelak dan suara ketawanya membuat bulu tengkuk Kwee An berdiri
oleh karena memang suara ini amat menyeramkan. “Ha-ha, anak muda. Memang kau pantas merasakan
masakan daging luar biasa itu. Ketahuilah, daging yang kau makan itu adalah daging hewan ternakku!”
Kwee An tercengang dan sama sekali tidak pernah menduga bahwa daging buaya yang liar itu demikian
dunia-kangouw.blogspot.com
enaknya. Kini dia mengerti mengapa Iblis Hitam ini memelihara hewan ternak yang luar biasa ini.
“Apakah memang pekerjaan Lopek memelihara hewan ternak yang luar biasa ini?”
Hek Moko mengangguk-angguk. “Memang inilah pekerjaanku sejak dulu! Tadinya buaya ini hanya ada
beberapa belas pasang saja, akan tetapi kini telah menjadi beratus-ratus pasang banyaknya! Dan hanya
orang-orang gagah dan orang besar saja yang mendapat kesempatan merasakan kenikmatan daging
hewan ternakku ini. Tahukah engkau bahwa untuk daging seekor saja kaisar berani membayar dengan tiga
puluh potong uang emas? Ha-ha-ha!”
“Lopek, kau benar-benar orang luar biasa yang baik hati. Aku sudah berlancang tangan membunuh banyak
hewan ternakmu, akan tetapi kau tidak marah kepadaku, sebaliknya kau telah menolong dan merawatku.
Sungguh aku berhutang budi kepadamu!”
“Hush! Jangan kau berkata begitu. Di antara ayah dan anak tidak ada perhitungan budi!”
Kwee An merasa terkejut dan heran sekali, oleh karena dia benar-benar tidak mengerti akan maksud katakata
Iblis Hitam ini. Di antara ayah dan anak? Apa maksudnya?
Kembali Si Iblis Hitam tertawa bergelak-gelak, “Ya, di antara ayah dan anak tidak ada perhitungan budi dan
kau akan menjadi anakku yang baik!”
Bukan main terkejutnya Kwee An. Dia pikir bahwa Iblis Hitam ini telah menjadi gila dan mengaku dia
sebagai anaknya. Akan tetapi dia maklum akan kelihaian iblis ini, maka dia pikir untuk sementara waktu
baik dia tidak membantahnya dan tinggal diam saja.
“Eh, anak muda yang gagah. Kau bernama siapa dan mengapa kau bisa hanyut di sungai ini?” Sambil
bertanya demikian, Iblis Hitam itu memandang Kwee An dengan mata tajam dan pandang mata
menyelidiki.
“Namaku Kwee An,” jawab pemuda itu dan tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran baik.
Dia maklum bahwa iblis ini lihai sekali dan kepandaiannya mungkin sekali lebih tinggi dari pada kepandaian
Hai Kong Hosiang, maka dia lalu melanjutkan, “Dan aku hanyut karena perbuatan seorang hwesio bernama
Hai Kong Hosiang.”
Benar saja, disebutnya nama hwesio ini membuat Hek Moko memandang heran. “Hai Kong? Bagaimana
kau bertemu dengan hwesio itu?”
“Aku adalah seorang perantau dan pada waktu aku hendak menyeberang sungai ini, aku bertemu dengan
Hai Kong Hosiang. Kami berebut perahu dan kami berkelahi. Akan tetapi aku kalah dan dia melemparku ke
dalam sungai.”
“Ha-ha-ha! Kau benar-benar patut menjadi puteraku! Kau sudah bertempur melawan Hai Kong tetapi kau
tidak mendapat luka! Bagus, bagus! Aku tidak suka akan namamu dan mulai sekarang kau bernama Siauw
Moko (Iblis Kecil).”
Kwee An merasa dongkol sekali, akan tetapi ia tidak begitu bodoh untuk memperlihatkan perasaan ini. Ia
hanya berkata,
“Lopek, aku telah berhutang budi kepadamu maka tentu saja aku tidak berani membantah kehendakmu.
Akan tetapi, nama yang kau berikan kepadaku itu kurang sedap didengar!”
Hek Moko memandang Kwee An dengan mata melotot. “Apa?! Kurang sedap didengar? Hai, anak muda,
sampai di manakah kepandaianmu sehingga kau merasa kurang patut bernama Siauw Moko? Ketahuilah,
aku yang bernama Hek Moko mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi darimu. Engkau harus menurut
segala kata-kataku oleh karena kau adalah anakku Siauw Moko yang dulu telah meninggal, akan tetapi
sekarang kau hidup kembali. Anakku yang baik, jangan kau kuatir, aku akan melatihmu dan dalam
beberapa bulan saja jangan kata baru seorang Hai Kong Hosiang, meski ada tiga orang Hai Kong, engkau
tak usah merasa takut lagi!”
Sesudah berkata demikian, Hek Moko lalu maju memeluk dan menciumi muka Kwee An sebagai seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
ayah menciumi anaknya dengan penuh kasih sayang!
Kwee An merasa terkejut, takut, dan juga terharu sekali. Ia dapat menduga bahwa dulu tentu Iblis Hitam ini
memiliki seorang putera dan putera itu meninggal dunia. Dan ketika melihatnya, iblis ini teringat kepada
puteranya hingga tiba-tiba saja mengakui dia sebagai anaknya! Akan tetapi diam-diam Kwee An merasa
girang juga karena ia akan menerima pelajaran silat dari kakek iblis yang berbahaya dan lihai ini!
Memang dugaan Kwee An itu tepat. Dulu, Hek Moko mempunyai seorang putera yang wajahnya hampir
sama dengan wajah Kwee An. Dan puteranya ini telah meninggal dunia karena terserang sejenis penyakit
berbahaya. Padahal ia telah menunangkan puteranya itu dengan puteri Pek Moko, yaitu Pek Bin Moli yang
cantik jelita dan berotak miring.
Tentu saja kematian puteranya ini membuat Hek Moko menjadi sedih dan membuat dia menjadi semakin
jahat, liar dan gila! Bersama Pek Moko yang menjadi sute-nya, dia lalu menjadi sepasang hantu yang
menjagoi seluruh daerah Tibet dan mendengar namanya saja, semua orang telah ketakutan setengah mati.
Tempat tinggal Hek Pek Moko memang tidak tentu dan mereka ini merantau dari satu ke lain jurusan. Akan
tetapi, kebanyakan mereka selalu berdua dan jarang nampak mereka berpisah. Kali ini Pek Moko tidak
nampak bersama suheng-nya oleh karena Iblis Putih ini sedang pergi mencari anak perempuannya, yaitu
Pek Bin Moli yang sudah lama minggat untuk mencari suaminya, yaitu Ong Hu Lin yang menjadi piauwsu
dan telah mengadakan perhubungan dengan Giok-gan Kui-bo kakak seperguruan Ang I Niocu sehingga
timbul perkelahian antara Giok-gan Kui-bo dan Pek Bin Moli dan akhirnya Pek Bin Moli dapat menemukan
kembali suaminya itu yang dibawanya pergi!
Sejahat-jahatnya manusia, dia masih mempunyai perasaan kasih sayang yang bersifat suci murni terhadap
anaknya. Demikian pula Hek Moko. Meski manusia ini telah terkenal sebagai iblis yang jahat serta kejam,
akan tetapi kini sesudah bertemu kembali dengan puteranya, dia memperlakukan Kwee An dengan baik
sekali sehingga diam-diam Kwee An menjadi terharu dan timbul rasa kasihan di dalam hatinya terhadap
iblis tua ini.
Kwee An memang telah kehilangan ayahnya, dan dulu ia pernah meninggalkan ayahnya untuk waktu yang
cukup lama, yaitu ketika merantau mempelajari ilmu. Maka kini biar pun maklum akan kejahatan dan
kekejaman Hek Moko, akan tetapi mendapat perlakuan yang demikian penuh perhatian dan baik, serta
menerima latihan-latihan silat dengan penuh keikhlasan, timbul juga rasa sayang dalam hatinya terhadap
Iblis Hitam ini!
Atas paksaan Hek Moko, Kwee An menyebut ayah kepada iblis pendek yang luar biasa ini, sedangkan Hek
Moko memanggilnya Siauw-mo atau Setan Kecil. Kwee An belajar dengan tekun dan rajin dan biar pun dia
merasa girang menerima latihan ilmu silat yang amat tinggi dan lihai dari ayah angkatnya ini, namun diamdiam
ia bergidik menyaksikan betapa ilmu silat yang dipelajarinya ini benar-benar keji dan ganas!
Akan tetapi baru satu bulan saja dia sudah mendapat kemajuan pesat sekali, oleh karena memang ia telah
mempunyai dasar ilmu silat tinggi hingga tambahan pelajaran ini mudah saja diterima olehnya dan tentu
saja Moko menjadi girang sekali. Ketika merasa bahwa ilmu silat yang diajarkan sudah cukup, Hek Moko
lalu berkata,
“Siauw-mo anakku, sekarang kau tak akan kalah bila menghadapi Hai Kong!”
Kwee An menghaturkan rasa terima kasih dengan sepenuh hatinya. “Ayah, sekarang juga anakmu akan
pergi mencari Hai Kong untuk membalas dendam karena kekalahan yang lalu!”
“Bagus, bagus! Di dunia ini tidak ada orang yang boleh menghina anakku! Aku akan pergi bersamamu dan
menghajar hwesio gundul itu!”
Kwee An terkejut, karena dia ingin mencari Cin Hai, bagaimana dia bisa membawa serta ayah angkatnya
ini? Dia lalu mencari akal dan berkata,
“Ayah, apakah Ayah mau membikin aku menjadi malu? Kalau Ayah ikut, Hai Kong akan menganggap
bahwa aku takut kepadanya dan sengaja mengajak kau orang tua! Untuk menghadapi Hai Kong saja, aku
yang telah menerima kepandaian darimu, sudah cukup. Untuk apa Ayah harus mencapaikan diri dan
mengotorkan tangan untuk menghukum dia. Dan pula, bagaimana dengan hewan ternak di sini kalau Ayah
ikut pergi?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Hek Moko terdiam dan tak dapat menjawab. Dia berpikir bahwa anaknya ini benar juga dan alasanalasannya
pun pantas, maka dia lalu mengurungkan maksudnya hendak ikut. “Baiklah, kau pergi dan
hajarlah hwesio itu. Aku menunggumu di sini! Tetapi kau harus lekas kembali dan jangan meninggalkan
Ayahmu lama-lama, Siauw-mo. Ingat, aku sudah tua sekali dan mungkin hidupku di dunia ini takkan lama
lagi!”
Ucapan ini menusuk perasaan Kwee An dan menyentuh hati sanubarinya. Dia kemudian menjatuhkan diri
berlutut di depan Iblis Hitam itu dan berkata,
“Ayah, aku takkan melupakan kau selama hidupku!” Setelah berkata demikian, Kwee An lalu meninggalkan
tempat itu.
Ia segera menuju ke tempat di mana dulu dia dan Cin Hai bertemu dengan Pangeran Vayami, akan tetapi
di situ telah sunyi dan tidak terlihat sedikit pun bekas-bekas adanya Cin Hai. Kwee An berdiri termenung di
tepi sungai dengan hati bingung dan sedih.
Tiba-tiba terdengar gerakan perlahan di belakangnya dan dia tahu bahwa itu adalah Hek Moko yang
datang! Benar saja, sebab segera terdengar suara Hek Moko dan Iblis Hitam itu telah berada di
belakangnya.
Kwee An segera menengok dan melihat bahwa ayah angkatnya itu telah datang beserta Pek Moko yang
kelihatan menyeramkan sekali oleh karena wajahnya yang buruk itu kini nampak muram dan marah,
sedangkan rambutnya telah putih semua yang membuat dia nampak tua sekali! Iblis putih ini memandang
kepada Kwee An dengan tajam dan ia pun mengangguk-angguk sambil berkata,
“Anak pungutmu ini terlalu cakap, Suheng, tapi dia cukup baik menjadi anakmu!”
Hek Moko tertawa senang dan berkata kepada Kwee An, “Anakku, ini adalah Susiok-mu yang bernama Pek
Moko. Kau cukup menyebutnya Pek-susiok saja!”
Kwee An berpura-pura belum pernah melihat Pek Moko dan dia lalu berlutut memberi hormat, “Pek-susiok,
terimalah hormat teecu.”
Pek Moko mengeluarkan suara jengekan dari hidungnya. “Jangan terlalu menghormat, Siauw-mo, aku tidak
biasa dihormati orang seperti ini!”
Kwee An terkejut, akan tetapi Hek Moko hanya tertawa senang.
“Siauw-mo, kau tidak akan dapat mencari Hai Kong oleh karena hwesio itu sedang pergi mencari Pulau
Emas! Malah aku dan Susiok-mu ini pun hendak pergi ke sana pula. Hayo kau ikut kami dan tentu di sana
kau akan dapat bertemu dengan Hai Kong Hosiang!”
Kwee An menjadi girang, akan tetapi sebenarnya dia tidak senang harus pergi bersama sepasang iblis ini.
“Bagaimana Ayah bisa tahu bahwa dia pergi ke Pulau Emas dan di manakah letak pulau itu?” tanyanya.
Hek Moko lalu menceritakan pengalaman Pek Moko. Ternyata bahwa pada saat mencari anak
perempuannya, yaitu Pek Bin Moli, Pek Moko sebetulnya telah berhasil menemukan anak perempuannya
itu, tetapi dalam keadaan mati!
Ong Hu Lin, menantunya yang menjadi suami Pek Bin Moli dalam keadaan terpaksa itu, setelah dibawa
pergi oleh isterinya yang gila, di tengah jalan kemudian mencari akal dan akhirnya pada suatu malam,
ketika isterinya yang berotak miring itu sedang tidur pulas, ia dengan kejam telah membunuh isterinya ini!
Pada saat Pek Moko mendengar tentang hal ini, ia lalu mencari Ong Hu Lin dan setelah bertemu, ia lalu
menyiksa dan membunuh Ong Hu Lin dengan penuh kemarahan hingga tubuh Ong Hu Lin dihancurkan
sampai tak karuan macamnya lagi! Peristiwa ini membuat Pek Moko sangat berduka sehingga seluruh
rambutnya memutih dan wajahnya menjadi kejam dan muram selalu.
Kemudian secara kebetulan Iblis Putih ini mendengar tentang adanya Pulau Emas yang kini sedang dicaricari
dan agaknya hendak dijadikan rebutan antara orang-orang Turki, suku bangsa Mongol, serta oleh
Pemerintah Kaisar sendiri! Dia segera mencari kakak seperguruannya, yaitu Hek Moko dan setelah dia
dunia-kangouw.blogspot.com
menceritakan semua ini, Hek Moko lalu mengajak menyusul Kwee An yang baru saja pergi dari situ untuk
diajak bersama-sama pergi mencari Pulau Emas.
Kwee An yang mendengar semua cerita ini, lalu berpikir pula bahwa besar kemungkinan Hai Kong Hosiang
juga pergi mencari pulau itu dan apa bila Hai Kong pergi ke sana, maka jika Cin Hai masih hidup, tentu
pemuda itu mengejar juga ke sana! Oleh karena ini, tanpa ragu-ragu pula dia lalu menyatakan
kesediaannya untuk ikut dengan Hek Moko ini. Berbeda dengan rombongan Nelayan Cengeng, Hek Pek
Moko menuju ke laut melalui jalan darat dan mengikuti sepanjang tepi sungai…..
********************
Cin Hai yang tertolong oleh Bu Pun Su dan sudah sembuh dari pengaruh madu merah yang mukjijat, dan
sesudah pikirannya pulih kembali seperti biasa dan dapat mengingat semua kejadian yang telah lalu,
merasa berduka sekali oleh karena tidak tahu bagaimana keadaan Kwee An dan Lin Lin.
Terutama sekali dia merasa gelisah dan bingung kalau teringat akan nasib Lin Lin yang tertawan oleh
perwira Boan Sip! Ingin sekali dia segera bertemu dengan Boan Sip untuk membuat perhitungan dan
menumpahkan rasa dendam serta amarahnya, akan tetapi ke mana harus mencari orang she Boan itu?
Ang I Niocu maklum akan kesedihan Cin Hai ini, akan tetapi ia sendiri pun tidak berdaya dan hanya
mengucapkan kata-kata hiburan di sepanjang perjalanan. Untuk menghibur hati pemuda yang gelisah ini,
Ang I Niocu lalu bertanya dan minta agar dia mengutarakan tentang pertempuran dengan Hai Kong
Hosiang.
“Hwesio itu benar-benar telah mendapat kemajuan dalam ilmu silatnya,” berkata Cin Hai. “Sukar sekali
bagiku untuk merobohkannya, walau pun aku mampu mengimbangi semua serangannya. Agaknya dia
telah mengenal baik serangan-seranganku yang berdasarkan Liong-san Kun-hoat dan Ngo-lian-hoat
sehingga sanggup berjaga diri dengan baik. Juga dalam ilmu kepandaian lweekang, hwesio itu kini amat
kuat dan jauh lebih kuat dari pada dulu.”
Ang I Niocu mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Cin Hai menuturkan jalannya pertempuran.
Kemudian Gadis Baju Merah yang sudah banyak mengalami pertempuran-pertempuran ini, lalu berkata,
“Hai-ji, cabutlah pedangmu dan mari coba kuuji sampai di mana kepandaianmu!”
Cin Hai terkejut, akan tetapi ketika ia melihat sinar mata Ang I Niocu, ia maklum bahwa Dara Baju Merah ini
hendak memberi petunjuk-petunjuk padanya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu mencabut pedangnya
Liong-coan-kiam, sedangkan Ang I Niocu juga sudah mencabut keluar pedangnya.
“Awas serangan!” kata Ang I Niocu yang lalu menyerang dengan pedangnya.
Sebagaimana biasa, sekali pandang saja secara otomatis Cin Hai dapat mengenal dasar gerakan serangan
ini, maka dengan mudah ia pun lalu mengelak dan balas menyerang. Ang I Niocu terus menyerang dan
mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling lihai, yakni Sian-li Kiam-sut yang mempunyai gerakan indah dan
daya serang luar biasa dahsyatnya. Akan tetapi dengan amat mudahnya Cin Hai mengelak dan menangkis
semua serangan ini secara tepat dan sempurna.
“Kau balaslah menyerang, jangan menahan diri saja,” teriak Ang I Niocu sambil mengirim tusukan.
Cin Hai lalu balas menyerang dan oleh karena dia tidak mengenal ilmu pedang lain maka dia pun lalu
menyerang dengan Sian-li Kiam-sut yang ditirunya dari Ang I Niocu.
Tentu saja perubahan atau perkembangan semua serangan ini amat mudah dikenal dan diketahui oleh Ang
I Niocu sehingga gadis ini mudah saja mengelak atau menangkis.
“Jangan menyerang dengan Sian-li Kiam-sut, itu tak ada gunanya! Pakailah ilmu pedang lain!” Ang I Niocu
berseru lagi sambil terus menyerang lagi.
Cin Hai tahu kekeliruannya, oleh karena dalam menghadapi gadis yang menjadi ahli Silat Bidadari itu,
sungguh bodoh kalau mempergunakan ilmu pedangnya. Kini dia memainkan Ilmu Pedang Liong-san Kiamhoat
yang dipelajarinya dari Kanglam Sam-lojin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekarang dia sudah memiliki ilmu ginkang dan lweekang yang sangat tinggi oleh karena menerima latihan
dari Bu Pun Su secara istimewa, yakni mempelajari dasar-dasarnya hingga boleh dibilang Cin Hai telah
memiliki kepandaian pokok yang mutlak. Akan tetapi oleh karena pengetahuannya tentang ilmu silat hanya
dangkal saja, yaitu terbatas pada ilmu silat dari Liong-san-pai dan ilmu silat yang dia pelajari dari An I
Niocu, maka daya tempurnya amat lemah.
Memang apa bila menghadapi orang yang belum matang betul dalam hal ilmu silat tinggi, dengan mudah
saja Cin Hai akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi bila menghadapi tokoh persilatan yang tinggi dan
sudah matang ilmu pedangnya, pemuda ini hanya dapat bertahan saja dengan luar biasa uletnya, tetapi
juga sukar untuk melancarkan serangan-serangan lain kecuali dua macam ilmu silat yang dulu pernah
dipelajarinya itu.
Maka, ketika menghadapi tokoh-tokoh tinggi seperti Hek Pek Moko atau pun Hai Kong Hosiang, juga
menghadapi Ang I Niocu, pemuda ini menjadi pihak yang selalu didesak dan diserang, sungguh pun harus
diakui bahwa semua serangan itu dapat ditangkis atau dielakkannya dengan sangat mudah oleh karena dia
telah tahu betul akan perkembangan selanjutnya dari tiap serangan!
Ang I Niocu menghabiskan seluruh kepandaiannya untuk dipergunakan menyerang anak muda itu, akan
tetapi tak sedikit pun ia dapat mempengaruhi atau mengacaukan Cin Hai yang istimewa. Diam-diam gadis
ini merasa kagum sekali, oleh karena boleh dibilang bila dicari di dunia ini tidak ada keduanya orang yang
dapat mempertahankan diri sedemikian baiknya terhadap semua serangan-serangan yang dia lakukan
sampai seluruh jurus Sianli Kiam-sut habis dimainkan tanpa nampak terdesak sedikit pun!
Akan tetapi biar pun serangan-serangan Cin Hai luar biasa dahsyatnya, namun baginya serangan-serangan
itu kurang berbahaya, dan kelihaiannya hanya terdorong oleh tenaga lweekang dan gerakan yang hebat
dari anak muda itu dan sama sekali bukan karena ilmu pedangnya yang hebat.
“Benar seperti yang kuduga!” Ang I Niocu berseru sambil melompat mundur.
Cin Hai juga segera menahan pedangnya.
“Memang benar, Susiok-couw hanya memberikan pokok-pokok dasar ilmu silat padamu, tanpa memberi
pelajaran penting untuk melakukan penyerangan. Mengapa engkau dulu tidak mau minta supaya orang tua
yang aneh itu menurunkan satu atau dua macam ilmu silat agar dapat kau gunakan untuk menyerang
lawan?”
Sambil tersenyum Cin Hai pun berkata, “Niocu, apakah kau masih belum kenal adat Suhu yang kukoai
(aneh)? Kalau dia sendiri tak menghendaki, meski diminta sampai menangis pun tak akan dia berikan!”
Ang I Niocu memang sungguh-sungguh merasa sayang kepada Cin Hai, maka pada saat itu gadis ini
memutar-mutar otaknya demi kebaikan anak muda itu. Ia tahu bahwa dengan kepandaiannya yang
sekarang ini, Cin Hai tak usah merasa takut kepada seorang lawan yang mana pun juga. Akan tetapi, tanpa
memiliki daya serang yang lihai, bagaimana ia akan dapat menjatuhkan musuh-musuhnya?
Apa lagi sekarang masih ada seorang musuh yang tangguh bukan main, yaitu Hai Kong Hosiang yang
agaknya dibantu oleh pendeta tua renta yang gagu dan lihai sekali itu. Bila pemuda ini tidak mempunyai
ilmu serangan yang dahsyat, banyak kemungkinan dia akan mendapat celaka dari tangan Hai Kong
Hosiang.
Cin Hai yang melihat betapa Ang I Niocu termenung, lalu meninggalkan gadis itu untuk mengumpulkan
kayu kering. Mereka telah tiba dalam sebuah hutan dan hari sudah mulai gelap, sedangkan di tempat itu
banyak nyamuk dan hawanya terasa dingin.
Tiba-tiba Ang I Niocu melompat ke atas dan berkata dengan girang. “Benar, benar! Kau harus melakukan
itu,” katanya kepada Cin Hai sehingga tentu saja pemuda ini menjadi terheran-heran oleh karena tidak
mengerti apakah yang dimaksudkan oleh gadis itu yang nampak demikian gembira.
“Hai-ji, kau harus menciptakan ilmu pedang sendiri!” katanya kepada Cin Hai.
Cin Hai terkejut dan mukanya menjadi merah. “Ah, Niocu, kau ini ada-ada saja! Aku yang bodoh dan tolol
ini mana mampu menciptakan ilmu pedang? Jangan mentertawakan aku, Niocu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Anak tolol! Merendahkan diri di depan orang lain memang baik, akan tetapi memandang rendah
kesanggupan sendiri hanya dilakukan oleh orang malas dan kurang bersemangat. Kau dapat melihat
dasar-dasar segala ilmu silat, maka kalau kau memang mau, mengapa kau tidak bisa menggabungkan
semua ilmu silat itu menjadi satu dan menciptakan sendiri gerakan-gerakan serangan yang kau anggap
tepat dan lihai?”
Cin Hai memandang dengan sinar mata bodoh oleh karena dia memang belum mengerti. “Niocu, tolong
kau beri tahu kepadaku, bagaimana caranya?”
Ang I Niocu lalu memberi penjelasan dengan sabar dan telaten. “Hai-ji, terus terang saja kuberitahukan
padamu bahwa Sianli Utauw atau Tarian Bidadari itu pun aku sendiri yang menciptakan. Maka jika kau
memang tekun, kau pun pasti akan dapat menciptakan ilmu pedang yang tidak ada keduanya di dunia ini.
Caranya begini. Kau perhatikan dan ingat semua ilmu silat yang telah kau lihat dan lalu kau pilih gerakangerakan
serangan musuh yang dilancarkan kepadamu. Mana yang kau anggap lihai dan baik, boleh kau
pilih. Lalu gerakan-gerakan ini kau rangkai menjadi semacam ilmu pedang yang sangat lihai. Tentu saja
kau harus merubahnya sedikit supaya tidak sama dengan aslinya lagi, dan bahkan harus diperbaiki mana
yang kurang tepat. Hanya kau dan Susiok-couw yang mempunyai kemampuan seperti ini.”
Mendengar ucapan Ang I Niocu, diam-diam Cin Hai lalu tertarik hatinya. Mengapa tidak ia coba? Memang
tak enak kalau selalu mempertahankan diri dari serangan orang, dan pula memang memalukan kalau
menghadapi seorang lawan lalu menyerang lawan itu dengan ilmu silat yang ditirunya dari lawan itu sendiri.
Alangkah senangnya kalau ia memiliki ilmu pedang sendiri yang dapat dibanggakan.
Cin Hai lalu duduk termenung dan dia lalu bersemedhi mengumpulkan seluruh perhatian dan perasaannya.
Ia bayangkan semua ilmu-ilmu silat yang telah dilihatnya. Oleh karena ia telah mempunyai dasar batin yang
kuat dan pikirannya telah jernih oleh latihan-latihan napas dan semedhi, maka sebentar saja di dalam
otaknya terlintas semua gerakan ilmu silat yang pernah dilihatnya.
Di antara semua ilmu silat, gerakan-gerakan Hek Pek Moko adalah yang paling dahsyat dan kejam,
sedangkan ilmu silat dan gerakan-gerakan Ang I Niocu yang ia anggap paling indah dan baik. Dia lalu
mengumpulkan ingatannya dan mencatat di dalam hati gerakan-gerakan yang dianggapnya paling lihai,
kemudian dengan mata masih meram dan sambil membayangkan gerakan-gerakan itu, tubuhnya lalu
berdiri dan bergerak-gerak menurut gambaran gerakan yang masih tampak di dalam matanya yang meram
itu.
Ang I Niocu mengikuti gerakan pemuda ini dengan heran dan kagum. Dia melihat betapa Cin Hai
memainkan ilmu-ilmu silat yang aneh-aneh dan bermacam-macam, malah di situ dia melihat pula Cin Hai
memainkan Sianli Utauw, dan juga Liong-san Kun-hoat. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang memilih-milih,
maka ia tidak mau mengganggu, hanya mencari tambahan kayu kering dan menjaga agar api unggun itu
tidak padam.
Setengah malam lebih Cin Hai tanpa henti bergerak ke sana ke mari sambil memejamkan mata. Dia tidak
merasa bahwa ia telah bersilat selama itu, sedangkan Ang I Niocu masih tetap duduk di dekat api dengan
setia. Ia sedikit pun tidak mau mengganggu Cin Hai dan hanya memandang pemuda yang disayanginya itu
dengan penuh harapan.
Setelah lewat tengah malam, mendadak Cin Hai menghentikan gerakan-gerakannya dan mukanya menjadi
agak pucat. Dia memandang kepada Ang I Niocu dan berkata,
“Niocu, terima kasih atas petunjuk dan nasehatmu tadi. Agaknya aku telah mendapatkan semacam ilmu
silat ciptaanku sendiri.”
Ang I Niocu girang sekali dan berkata, “Coba kau sempurnakan ilmu itu dengan pedang, Hai-ji!”
Cin Hai lalu mencabut pedangnya dan berkata lagi,
“Ketika aku bersilat dan mengumpulkan tipu-tipu gerakan semua cabang persilatan yang pernah kulihat,
tiba-tiba aku melihat bahwa memang selama ini aku terlalu lemah dan tak pernah mempunyai pikiran untuk
membalas menyerang lawan. Aku tidak ingat bahwa aku tak perlu mengerahkan seluruh perhatian untuk
pertahanan, karena sebetulnya aku telah memiliki daya tahan yang otomatis hingga tak perlu menggunakan
seluruh perhatian lagi. Karena kesalahan itu, maka dulu aku tidak melihat lowongan-lowongan dan
kesempatan-kesempatan yang sebenarnya dapat kumasuki untuk merobohkan lawan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah berkata demikian, dia menghampiri serumpun bambu dan tetumbuhan lain yang tumbuh dengan
suburnya di dekat situ. Tetumbuhan itu penuh dengan daun-daun hingga batang-batangnya yang kecil
hampir tidak tampak dari luar dan oleh karena angin malam pada saat itu bertiup kencang, maka semua
daun-daun yang berbentuk runcing itu bagai ratusan senjata menyerang ke depan dan melindungi batangbatang
mereka yang kecil.
Cin Hai lalu membayangkan bahwa ratusan daun itu adalah senjata-senjata musuh yang melindungi tubuh
musuh, dan bahwa ia harus berusaha menyerang tubuh-tubuh musuh yang kini dilindungi oleh ratusan
pisau yang bergerak-gerak itu.
Dia lantas menggerakkan Liong-coan-kiam di tangan kanannya dan mulai bersilat dengan gerakan aneh.
Gerakannya mula-mula lambat seakan mengintai rumpun itu, akan tetapi makin lama semakin cepat. Ia
berusaha untuk melukai tubuh-tubuh yang bersembunyi di balik ratusan senjata itu tanpa mengadu
pedangnya dengan senjata itu!
Hal ini tentu saja sukar bukan main oleh karena ratusan daun itu bergerak-gerak cepat dan tidak menentu
karena tertiup angin hingga tubuh-tubuh atau batang-batang itu hanya nampak sekelebat dan sekilat saja!
Akan tetapi, Cin Hai berlaku cepat dan hati-hati dan setiap kali daun-daun itu bergerak hingga sebatang
pohon kecil nampak, biar pun hanya sekilas, namun dengan pedangnya sudah memasuki lowongan itu dan
ujung pedangnya tepat menusuk batang itu tanpa mematahkannya!
Gerakan-gerakan pedangnya ini luar biasa sekali hingga Ang I Niocu yang masih duduk di dekat api, ketika
melihat ini menjadi kagum sekali. Ia merasa begitu gembira sehingga diam-diam dia pun menggerakkan
kedua tangannya, kemudian bersilat meniru-niru dan mengimbangi gerakan pedang Cin Hai!
Ia melihat betapa gerakan-gerakan anak muda itu masih nampak kaku, karena itu sambil menggerakkan
kedua tangannya, dia berkali-kali menyerukan bahwa tangan kiri pemuda itu harus begini dan sikap
tubuhnya harus begitu! Pendek kata, pada waktu itu Cin Hai bersama dengan Ang I Niocu sedang
menciptakan semacam ilmu pedang. Cin Hai yang mencipta ilmu pedangnya, sedangkan Gadis Baju Merah
itu memperbaiki gerak gayanya!
Setelah Cin Hai selesai bersilat, Ang I Niocu lalu menghampiri rumpun bambu dan ketika dia menyibakkan
daun-daun yang menutupnya, ternyata batang-batang yang jumlahnya puluhan itu semua sudah berlubang
bekas tusukan ujung pedang Ci Hai! Ang I Niocu bersorak girang dan menari-nari bagaikan anak kecil!
Cin Hai juga merasa girang sekali dan ia tidak menolak ketika Ang I Niocu mengajak dia sekali lagi
bertanding dan dia diharuskan menggunakan ilmu pedangnya yang baru saja diciptakannya itu! Dan
hasilnya benar-benar hebat!
Setiap jurus bila mana Cin Hai menyerang, selalu serangannya ini membingungkan Ang I Niocu. Dan kalau
saja pemuda itu menyerang dengan sungguh-sungguh, dalam sepuluh jurus saja Pendekar Wanita Baju
Merah ini pasti akan roboh!
Ternyata bahwa Cin Hai sudah menciptakan sebuah ilmu pedang yang benar-benar luar biasa, sebab ilmu
pedangnya ini didasarkan atas kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan ilmu silat lain yang
telah dilihatnya. Ia pergunakan kesempatan untuk mengisi lowongan-lowongan serta menyerbu bagianbagian
yang lemah dengan gerakan-gerakan aneh, bahkan kadang-kadang kedudukan kaki atau
tangannya berbalik dan merupakan kebalikan dari pada gerakan ilmu silat biasa!
Ang I Niocu merasa gembira sekali dan minta Cin Hai bersilat pedang lagi seorang diri. Pada gerakan yang
kaku, gadis yang memang ahli tari dan memiliki gerak gaya indah ini lalu memperbaiki tanpa merusak
gerakan asli.
Sampai fajar menyingsing, kedua orang ini tiada hentinya berlatih, atau lebih tepat lagi Cin Hai melatih diri
dan Ang I Niocu membantunya dengan nasehat-nasehat mengenai keindahan gerakannya. Semalam
suntuk mereka tidak beristirahat.
Pada keesokan harinya mereka hanya beristirahat sebentar, kemudian Cin Hai kembali melatih diri dengan
ilmu silat pedangnya yang baru itu. Ang I Niocu melihat dari samping memberi petunjuk di bagian yang
masih kaku gerakannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Walau pun ilmu pedang ini dapat dilihat dan ditirukan oleh Ang I Niocu, akan tetapi oleh karena untuk
menggunakan ilmu pedang ini sebelumnya harus memiliki kepandaian dan pengertian pokok tentang
segala gerakan ilmu silat sebagaimana yang sudah dimiliki Cin Hai, maka ilmu pedang ini tidak akan ada
gunanya bagi Ang I Niocu. Pendeknya, tanpa pengetahuan dasar yang diajarkan oleh Pun Su, orang lain
tidak mungkin menggunakan ilmu ini dalam menghadapi lawan!
Demikianlah, setelah berlatih terus-menerus selama tiga hari tiga malam, akhirnya ilmu pedang ini mampu
dimainkan secara baik sekali oleh Cin Hai hingga Ang I Niocu menjadi puas dan girang. Pada waktu dia
mencoba untuk melawan ilmu pedang ini dengan ilmu pedangnya, maka dalam tiga jurus saja pedangnya
telah dapat dirampas oleh Cin Hai.
“Aduh Hai-ji! Ilmu pedangmu ini benar-benar luar biasa dan jangankan Hai Kong Hosiang, biar Hek Pek
Moko sendiri tentu akan roboh di tanganmu! Kionghi, kionghi! (Selamat).”
Tiba-tiba saja terdengar suara orang berkata dengan suara nyaring, “Ya, kionghi, kionghi! Akan tetapi
berhati-hatilah kau, Cin Hai, agar ilmu jahat ini tidak merusak hatimu menjadi jahat dan kejam pula!”
Cin Hai dan Ang I Niocu terkejut sekali dan tahu-tahu Bu Pun Su sudah berdiri di dekat mereka!
“Cin Hai, ilmu pedang tadi memang baik sekali dan tak kusangka bahwa kau yang bodoh ini mampu
mencipta ilmu pedang seperti itu! Akan tetapi oleh karena kau melatih dengan melukai batang-batang
bambu dengan ujung pedangmu, maka ketika menghadapi lawan, kau baru akan dapat merobohkan dia
dengan tusukan yang melukainya pula! Ini jahat sekali, muridku!”
Cin Hai merasa bingung dan terkejut sekali oleh karena kata-kata gurunya tadi memang betul semua. Tadi
dia berhasil merampas pedang Ang Niocu oleh karena gadis pendekar itu terlalu terdesak oleh ilmu
pedangnya sehingga memungkinkan dia menyambar lantas merampas pedang gadis itu. Sedangkan apa
bila bertempur dengan lawan yang melawan dengan mati-matian, maka untuk merobohkannya dia harus
mempergunakan pedangnya yang mengirim serangan-serangan maut itu!
“Mohon ampun, Suhu, dan sudi memberi petunjuk-petunjuk kepada teecu,” katanya.
Bu Pun Su tersenyum dan tiba-tiba dengan suara sungguh-sungguh dia berkata, “Coba cabutlah pedangmu
itu dan seranglah aku!”
Cin Hai tidak ragu-ragu untuk melakukan hal ini oleh karena ia mempunyai kepercayaan penuh akan
kesaktian suhu-nya. Karena itu, sesudah memberi hormat sekali lagi, dia lalu mencabut Liong-coan-kiam
dan lantas menyerang dengan hebat. Pedangnya berkelebat merupakan sinar yang melenggang-lenggok
dan dia sudah mempergunakan jurus ke lima yang dianggapnya cukup berbahaya.
Ia maklum bahwa suhu-nya memiliki mata tajam sekali dan telah hafal sekali akan segala gerakan pundak
yang mendahului semua gerakan pukulan tangan dan juga sudah tahu akan pergerakan lutut yang
mendahului semua gerakan kaki, maka ia lalu mengeluarkan serangan jurus ke lima ini.
Memang dalam menciptakan ilmu pedangnya, Cin Hai juga memikirkan kemungkinan apa bila menghadapi
orang yang telah mempunyai kepandaian melihat gerakan orang seperti yang sudah dipelajarinya dari Bu
Pun Su. Karena itu dalam beberapa gerakan ia sengaja membuat ilmu serangan yang dilakukan dengan
gerakan-gerakan terbalik!
Menurut gerakan ilmu silat biasa, jika pundaknya bergerak itu tentu menjadi tanda bahwa pedang di tangan
kanannya akan ditusukkan ke depan, akan tetapi sebelum pedangnya menusuk, secepat kilat gerakan itu
sudah dibalik dan menjadi sabetan pada kedua kaki lawan dan sebelum sabetan ini diteruskan, kembali
telah dibalikkan pula menjadi sebuah serangan memutar ke arah leher!
“Ganas sekali!” Bu Pun Su berseru sambil meloncat ke belakang oleh karena guru yang lihai ini benarbenar
tercengang dan terkejut melihat kehebatan serangan muridnya. “Ayo kau serang terus dan keluarkan
semua ilmu pedangmu yang liar ini!” katanya.
Cin Hai tak berani membantah dan segera maju menyerang terus.
Akan tetapi, ilmu meringankan tubuh dari Bu Pun Su sudah sampai pada tingkat tertinggi sehingga boleh
dibilang tubuhnya seperti sehelai bulu yang dapat bergerak pergi tiap kali angin pedang menyambar hingga
dunia-kangouw.blogspot.com
biar pun pedang Cin Hai hampir menyerempet pakaian kakek itu, namun tetap pedang itu tak dapat
melukainya!
Akan tetapi kali ini Bu Pun Su benar-benar menghadapi semacam ilmu pedang yang luar biasa dan hanya
dengan mengerahkan seluruh ginkang-nya saja maka ia bisa mengelak bagaikan seekor burung
beterbangan di antara sambaran pedang!
Ang I Niocu memandang demonstrasi yang dilakukan oleh guru dan murid ini dengan mata terbelalak
saking kagum dan herannya. Selama hidupnya belum pernah dia melihat kelihaian seperti ini dan hatinya
diam-diam girang sekali memikirkan bahwa Cin Hai kini telah menjadi seorang jago pedang tingkat tinggi!
Ilmu pedang Cin Hai seluruhnya ada tiga puluh sembilan jurus dan sesudah semuanya dia mainkan,
akhirnya pemuda ini meloncat ke belakang sambil berkata dengan napas terengah-engah, “Sudahlah,
Suhu, teecu tidak kuat lagi!”
Dia lalu berlutut dengan muka merah karena hatinya kecewa betapa dengan mudahnya kakek itu dapat
mengelak dari serangannya. Ia anggap ilmu pedangnya ini tiada gunanya sama sekali dan bahwa ia telah
menyia-nyiakan waktu tiga hari tiga malam!
“Ha-ha-ha-ha!” Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh karena kakek ini maklum dan dapat membaca isi hati
Cin Hai dari muka pemuda itu, “Jangan kecewa, Cin Hai. Ketahuilah, bahwa ilmu pedang yang baru saja
kau mainkan ini kelihaiannya jauh melebihi dugaanku semula!”
“Mohon Suhu jangan mentertawakan kebodohan teecu,” kata Cin Hai.
“Siapa yang mentertawakan kau? Anak bodoh, dengan ilmu pedangmu tadi, kau boleh menjelajah ke
seluruh negeri dan mengharapkan kemenangan dari setiap pertempuran! Akan tetapi, jangan kira bahwa
aku merasa senang atau bangga melihat ilmu pedangmu ini! Mungkin kau kira aku tidak percaya atau tidak
suka kepadamu maka aku tidak pernah menurunkan ilmu kepandaian menyerang kepadamu? Ketahuilah,
dan kau juga Im Giok, aku memang sengaja tidak mengajarkan ilmu serangan kepadamu, oleh karena
apakah baiknya menyerang orang? Akan tetapi, memang segala apa sudah ditentukan oleh takdir sehingga
kau yang tidak mempelajari ilmu menyerang, ternyata kini menghadapi banyak musuh yang lihai. Namun
jangan kau anggap bahwa ilmu pedangmu ini saja akan cukup kuat untuk menghadapi Si Rangka Hidup
Kam Ki Sianjin, supek dari Hai Kong Hosiang itu! Ahh, kau terlalu mengunggulkan diri kalau kau
mempunyai pikiran demikian! Di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai dan mungkin kelak
sewaktu-waktu engkau akan menemui musuh yang lebih lihai lagi! Sekarang engkau telah berhasil
menciptakan semacam ilmu menyerang, maka biarlah supaya jangan kepalang tanggung, kau pelajari juga
Ilmu Silat Tangan Kosong Kong-ciak Sin-na beserta Ilmu Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih).”
Bukan main girang rasa hati Cin Hai dan segera mengangguk-anggukkan kepala untuk menghaturkan
terima kasih.
“Juga kau yang telah banyak membuat jasa boleh mempelajari ilmu ini, Im Giok.” Ang I Niocu lalu berlutut
dan mengucapkan terima kasih pula.
Demikianlah, selama dua pekan, Bu Pun Su memberi pelajaran dua macam ilmu silat itu kepada Cin Hai
dan Ang I Niocu yang dipelajari dengan penuh perhatian oleh dua orang pendekar muda itu.
Pek-in Hoat-sut adalah ilmu sihir yang sebetulnya hanya sebutannya saja ilmu sihir, oleh karena ilmu ini
merupakan gerakan ilmu silat yang sepenuhnya digerakkan oleh tenaga khikang sehingga dari kedua
kepalan tangan yang memainkannya keluar uap putih bagai awan yang dapat menolak setiap hawa
serangan dari lawan yang bagaimana jahat pun!
Uap putih ini terjadi dari keringat yang berubah menjadi uap sebagai akibat dari dorongan tenaga khikang
yang panas dan disalurkan ke arah kedua lengan dalam setiap serangan. Meski lawan menggunakan ilmu
hitam atau pukulan keji seperti Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) dan lain-lain, apa bila bertemu dengan
orang yang mempergunakan Pek-in Hoat-sut ini akan mati kutunya, tenaga serangan mereka yang buyar
dengan sendirinya. Oleh karena tenaga hebat inilah maka ilmu ini disebut ilmu sihir!
Ilmu ke dua adalah Ilmu Silat Tangan Kosong Kong-ciak Sin-na atau Ilmu Silat Tangan Kosong Burung
Merak. Gerakan-gerakan ilmu silat ini selain memukul juga menggunakan jari-jari tangan untuk
mencengkeram dan merampas senjata musuh sehingga tepat sekali digunakan dengan tangan kosong apa
dunia-kangouw.blogspot.com
bila menghadapi lawan yang bersenjata.
Setelah kedua orang itu mempelajari dua macam ilmu silat itu dengan sempurna, Bu Pun Su lalu berkata,
“Cin Hai dan Im Giok! Walau pun kalian tidak bertanya, akan tetapi aku maklum bahwa kalian ingin sekali
mendengarkan tentang nasib Lin Lin.”
Cin Hai mendengarkan dengan wajah tiba-tiba berubah pucat, sedang Ang I Niocu juga mendengarkan
dengan hati berdebar khawatir.
“Kalian jangan khawatir, menurut dugaanku Lin Lin telah selamat dan kalau tidak keliru ia sedang
melakukan perjalanan bersama kawan-kawan baik. Sekarang ada hal yang lebih penting lagi. Orang-orang
Turki dan orang-orang Mongol sedang berlomba untuk merebut sebuah pulau di laut timur dan apa bila
pulau ini sampai jatuh ke dalam tangan mereka, maka bahaya besar mengancam seluruh negeri! Aku
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa ratusan orang-orang Turki dan Mongol dengan diamdiam
dipimpin oleh orang-orang berilmu dari kedua bangsa itu dan secara bersembunyi mereka menyerbu
ke daerah timur untuk berlomba menemukan pulau itu. Oleh karena ini, kalian berdua segera berangkatlah
ke laut timur melalui sungai yang mengalir di sebelah utara ini, oleh karena hanya di sana saja, maka kalian
akan dapat bertemu dengan Lin Lin, bahkan mungkin dapat bertemu pula dengan musuh besarmu yang
bernama Hai Kong Hosiang itu. Nah, sekarang aku hendak pergi!”
Cin Hai dan Ang I Niocu maklum akan sikap aneh dari orang tua ini yang bicaranya selalu mengandung
rahasia. Mereka maklum pula bahwa secara membuta mereka juga harus menurut petunjuk ini, oleh karena
petunjuk ini pasti betul dan biar pun tidak jelas, namun kalau tidak nyata tentu tak akan dikeluarkan dari
mulut kakek luar biasa itu.
Tanpa menunda lagi, Cin Hai serta Ang I Niocu berlari cepat ke utara dan tidak lama kemudian mereka
bertemu dengan sungai yang melintang dan mengalir ke arah timur itu. Di tempat itu tidak terlihat perahu
dan keadaannya sunyi sekali, maka keduanya segera mempergunakan ilmu lari cepat dan mengikuti aliran
sungai menuju ke timur. Akan tetapi, jalan di tepi sungai itu sukar sekali, penuh rawa dan hutan-hutan
berbahaya, juga amat sukar dilalui.
Setelah mereka berlari selama dua hari, akhirnya mereka melihat sebuah dusun kecil dan mereka menjadi
girang sekali saat melihat beberapa buah perahu diikat di pinggir sungai. Segera Cin Hai mencari pemilik
perahu untuk disewa atau dibelinya.
Dua orang menghampiri mereka dan bertanya, “Jiwi membutuhkan perahu?”
“Betul,” kata Cin Hai dengan girang. “Kami berdua ingin menyewa atau membeli sebuah perahu.”
“Membeli?” kedua orang itu saling pandang “Ahh, Kongcu. Di sini tidak ada yang mau menjual perahunya.
Pernah kau mendengar ada orang menjual isterinya?”
“Apa katamu?” Cin Hai bertanya heran dan tak senang, oleh karena menyangka bahwa nelayan itu hendak
mempermainkannya.
“Kongcu ingin membeli perahu, sedangkan bagi seorang nelayan sebuah perahu adalah sama dengan
seorang isteri. Siapakah yang mau menjual perahu atau isterinya? Tidak, Kongcu, kalau kalian berdua
hendak menyewa, boleh kalian pakai perahuku ini. Biar pun kecil, tetapi kuat dan laju!”
Cin Hai tersenyum geli. “Boleh, aku hendak menyewa perahumu ini.”
“Jiwi hendak ke manakah?” tanya nelayan yang seorang lagi.
Ang i Niocu tidak senang melihat ada orang lain turut bicara, bahkan bertanya tentang maksud kepergian
mereka.
“Apa perlunya kau ikut campur dan bertanya ke mana kami hendak pergi?” tanyanya tak senang.
Orang itu berkata sambil mengangkat dadanya, “Aku berhak penuh untuk turut campur, oleh karena perahu
ini adalah milik kami berdua!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Cin Hai tertawa. “Aha, kalau begitu isterimu ini mempunyai dua orang suami?”
Kedua orang nelayan itu tertawa. “Kongcu, kami adalah orang-orang miskin sehingga dua orang memiliki
sebuah perahu saja.”
“Kami berdua hendak menuju ke laut dan hendak mencari sebuah pulau.”
Kedua orang itu nampak terkejut sekali. “Apa? Hendak mencari pulau? Apakah itu Pulau Emas?”
Cin Hai dan Ang I Niocu tercengang, akan tetapi mereka memang hendak menyelidiki pulau yang belum
pernah meraka ketahui ini sedangkan Bu Pun Su juga tidak memberi penjelasan, maka Cin Hai lalu
tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, kami mencari Pulau Emas!”
Tiba-tiba salah seorang di antara kedua nelayan itu menjadi pucat dan berkata kepada kawannya, “Twako,
marilah kita pergi dan jangan melayani mereka ini. Agaknya mereka ini pun sudah kegilaan emas dan
mungkin akan timbul mala petaka kembali apa bila kita membawa mereka seperti hal kita tempo hari itu!”
Cin Hai menjadi tertarik, dan Ang I Niocu segera membentak,
“Apakah yang terjadi? Apa ada orang lain yang juga mencari Pulau Emas itu?”
Kedua nelayan itu saling pandang dan keduanya kemudian berdiri hendak meninggalkan tempat itu, sama
sekali tidak berani menjawab. Ang I Niocu cepat meloncat dan sekali tangannya bergerak, maka pedang
yang tajam telah dicabutnya dan pedang itu sekarang menempel di leher seorang nelayan.
“Ke mana engkau hendak pergi? Jangan main-main, sebelum kalian menceritakan hal itu kepada kami,
jangan harap akan dapat pergi dengan kepala menempel di lehermu!”
Nelayan itu menghela napas. “Apa kataku, Twako? Pulau Emas itu benar-benar pulau berhantu dan hanya
setan-setan saja yang berani mengunjungi pulau itu! Toanio, harap kau berlaku murah dan jangan begini
galak. Kami hanya nelayan-nelayan biasa saja dan kalau Toanio menghendaki, baiklah kami tuturkan
pengalaman kami. Beberapa hari yang lalu, kami kedatangan seorang asing yang sangat murah hati dan
royal dengan hadiah-hadiahnya. Ia minta kami suka mendayung perahunya yang besar, oleh karena ia
berkata bahwa ia tidak kenal daerah sini. Ia hendak pergi ke laut dan mencari Pulau Emas seperti kalian
pula. Tetapi pada suatu malam perahu orang asing bangsa Turki ini kedatangan seorang perwira yang
galak dan gagah, sedangkan perwira ini ketika datangnya saja sudah sangat aneh dan menakutkan, yaitu
ia mengempit tubuh seorang gadis muda yang cantik jelita!”
Berdebarlah hati Cin Hai dan Ang I Niocu. Bukankah gadis yang dimaksudkan ini Lin Lin adanya? Akan
tetapi Cin Hai lalu mendesak, “Teruskan, teruskan ceritamu!”
“Setelah perwira galak ini naik ke dalam perahu kami, maka kami berdua lalu mendapat perintah untuk
mendayung perahu dan sepanjang yang kami dengar, perwira itu tadinya hendak membunuh gadis yang
ditawannya, akan tetapi maksudnya dihalangi oleh orang asing itu, dan agaknya Si Perwira takut dan
tunduk kepadanya. Gadis itu lalu ditahan di dalam kamar perahu dan tidak diganggu. Akan tetapi, memang
setan berkeliaran di atas sungai ini! Tiba-tiba perahu yang kami dayung itu bertumbuk dengan sebuah
perahu lain yang biar pun kecil, akan tetapi maju dengan kuat hingga perahu kami terhalang. Dan yang
lebih hebat lagi, ketika kami menegur nelayan tua yang berada di perahu kecil itu, ia menjadi marah dan
sekali memukulkan dayungnya yang besar, perahu yang kami dayung menjadi pecah dan bocor hingga
tenggelam!”
“Nelayan Cengeng!” tak terasa lagi Cin Hai berseru.
Nelayan yang bercerita itu menjadi terkejut karena menyangka bahwa dialah yang dimaki cengeng. Akan
tetapi sebelum ia sempat bertanya, Cin Hai sudah kembali mendesaknya. “Teruskanlah, teruskanlah!”
“Penumpang-penumpang kami orang Turki yang aneh dan perwira yang galak itu menjadi marah kemudian
melompat ke darat, sedangkan gadis cantik yang ditawan itu pun tak tersangka-sangka lihai juga dan dapat
pula melompat ke darat! Kami berdua tak dapat melompat sejauh itu maka kami lalu menceburkan diri ke
dalam air dan berenang ke tepi. Ternyata di tepi itu terjadi pertempuran hebat! Orang Turki bertempur
dunia-kangouw.blogspot.com
melawan nelayan tua yang memegang dayung dan yang sudah memecahkan perahu kami, sedangkan Si
Perwira dikeroyok oleh gadis tawanannya dan seorang pemuda tampan kawan nelayan tua itu.”
“Ma Hoa!” kata Ang I Niocu dan kembali nelayan itu memandang heran karena tidak tahu maksud Dara
Baju Merah yang berseru karena amat tertarik mendengar penuturan ini.
“Dan bagaimana hasil pertempuran itu?” Cin Hai mendesak dengan tak sabar, karena ia telah merasa pasti
bahwa yang mengeroyok perwira itu tentu Lin Lin dan Ma Hoa dan yang bertempur melawan orang Turki
tentu Si Nelayan Cengeng.
“Kesudahannya mengerikan sekali...” nelayan yang pandai bercerita itu sengaja berhenti sebentar untuk
membikin pendengar-pendengarnya makin bernafsu dan ceritanya makin menarik, “perwira yang galak dan
gagah itu tewas. Kepalanya remuk dipukul oleh dayung yang dipegang gadis tawanannya, sedangkan
dadanya bolong-bolong tertembus pedang Si Pemuda tampan!”
Baik Cin Hai mau pun Ang I Niocu menghela napas lega. “Mampuslah si keparat!” seru Cin Hai dengan
gembira, kemudian ia menegaskan, “Bukankah perwira itu masih muda, kira-kira tiga puluh tahun, dan
bibirnya tebal?”
Nelayan itu memandangnya heran, “Betul sekali, apakah Kongcu kenal padanya?”
Akan tetapi Cin Hai tidak menjawab pertanyaan ini, hanya bertanya lagi, “Dan bagaimana hasil
pertempuran orang Turki melawan nelayan tua itu?”
“Mereka bertempur secara luar biasa sekali hingga kami berdua tidak dapat melihat siapa menang siapa
kalah. Mendadak mereka berhenti bertempur dan agaknya lalu mengikat persahabatan. Si Nelayan Tua itu
benar-benar setan air! Ia menyelam ke dalam air dan berhasil mencari dan mengambil perahu yang sudah
tenggelam itu. Bukan main! Selama hidupku belum pernah aku melihat orang dapat melakukan hal
semacam itu. Tentu ia iblis air sungai itu!”
“Hush! Jangan membuka mulut sembarangan saja. Sekali lagi kau memaki dia, kutampar mulutmu!” kata
Cin Hai sambil mendelikkan matanya sehingga nelayan itu terkejut dan merasa ketakutan. “Teruskan
ceritamu, bagaimana selanjutnya dengan mereka itu?”
“Selanjutnya? Tak ada apa-apa lagi. Setelah memperbaiki perahu, mereka berempat lalu berangkat pergi
dan kami ditinggalkan dengan perahu kecil ini dan hadiah uang!”
“Jadi perahu kecil ini adalah perahu kepunyaan nelayan tua itu?” tanya Cin Hai dengan girang. Kedua
nelayan itu menjadi pucat karena mereka telah kelepasan omong.
“Kalau begitu kami hendak memakai perahu ini,” kata Ang I Niocu yang merogoh keluar dua potong uang
perak dari sakunya. “Nih, kalian ambillah seorang satu! Perahu ini kami ambil!”
Melihat bahwa perahu itu hanya diganti dengan dua potong uang perak, kedua nelayan itu menjadi
bingung, “Ehh, Siocia, ehhh... Toanio, nanti dulu, perahu... perahu kami ini harganya lebih dari lima potong
uang perak!”
Ang I Niocu mengangkat tangan mengancam. “Perahu ini bukan perahu kalian! Memberi dua potong perak
sudah terlalu banyak untukmu dan itu pun bukan untuk membeli perahu ini, akan tetapi sebagai upah kalian
bercerita tadi!”
Cin Hai dan Ang I Niocu lalu melompat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu ke tengah sungai.
Kedua nelayan itu tidak berani berbuat sesuatu, hanya melihat perahu itu pergi makin jauh dengan hati
memaki-maki kalang kabut, akan tetapi mulut tidak berani bersuara!
Dua hari kemudian, saat perahu melalui sebuah hutan, Ang I Niocu melihat pohon-pohon buah lenci di
dekat pantai. Melihat buah yang bergantungan dan sudah masak itu, timbul seleranya dan dia mengusulkan
untuk berhenti dan beristirahat sebentar sambil mencari dan makan buah. Cin Hai setuju, oleh karena dia
pun merasa ingin makan buah yang segar nampaknya itu.
Mereka kemudian mendayung perahu ke pinggir dan menarik perahu kecil itu ke darat. Kemudian, oleh
karena melihat tempat itu sunyi dan indah sekali, timbullah kegembiraan mereka dan keduanya lalu
dunia-kangouw.blogspot.com
melompat ke atas cabang pohon dan memilih buah sesuka hati mereka.
Akan tetapi tiba-tiba Cin Hai berseru kaget dan cepat melompat turun dan ketika Ang I Niocu memandang
ke arah perahu mereka, ia pun terkejut sekali. Seorang tosu (pendeta penganut Agama Tao) sedang
menarik perahu mereka ke arah air, dan agaknya tosu ini ingin menggunakan kesempatan itu untuk
mencuri perahu mereka! Ang I Niocu menjadi marah sekali dan ia pun cepat melompat turun dari atas
pohon.
Ketika Cin Hai dan Ang I Niocu berlari ke arah perahu mereka, tiba-tiba dari balik batang pohon besar
melompat keluar seorang hwesio (pendeta penganut Agama Buddha) yang bertubuh pendek namun gemuk
sekali. Hwesio ini kelihatan lucu sekali, mukanya seperti muka anak kecil yang gemuk, dan jika dilihat, ia
persis seperti boneka besar atau Jilaihud yang berwajah baik dan peramah.
Mukanya yang bulat itu selalu tersenyum ramah. Tubuhnya bagian atas yang serba bulat dan gemuk dililit
kain yang hanya menutupi kedua pundak dan lengannya saja, ada pun tubuh atas bagian depan terbuka
sama sekali! Dadanya yang bergajih dan pusarnya yang besar kelihatan menambah kelucuannya.
Ia menghadang Cin Hai dan Ang I Niocu sambil tertawa-tawa dan berkata, “Ai, aih, kalian sepasang burung
dara yang bahagia! Kenapa melayang turun dari pohon dan berlari-lari. Bukankah lebih senang bermainmain
di atas pohon?”
Bukan main marahnya Cin Hai mendengar ini, ada pun Ang I Niocu dengan muka merah lalu membentak,
“Bangsat gundul kurang ajar! Tutup mulutmu dan minggirlah!”
Akan tetapi hwesio tadi memandang heran dan tertawa lagi, “Ehh, ehh, mengapa kalian malah marahmarah?
Apakah aku mengganggu kalian?”
“Hwesio gemuk, jangan kau menghadang di depan kami!” kata Cin Hai yang lebih sabar, “Kami akan
mengejar pencuri perahu itu!”
Si Hwesio tertawa terus dan berkata, “Pencuri perahu? Kau maksudkan tosu itu? Ahh, dia adalah
saudaraku! Kami hanya ingin pinjam sebentar perahumu itu!”
“Bagus, hwesio maling!” kata Ang I Niocu yang segera melompat maju sambil mengayun kepalan
tangannya menghantam dada hwesio yang gemuk itu. Akan tetapi Ang I Niocu terkejut sekali karena tidak
menyangka bahwa hwesio segemuk ini dapat bergerak gesit sekali ketika ia mengelak dari pukulan Ang I
Niocu.
“Waduh, ganas... ganas...!” seru hwesio gendut itu yang masih saja tertawa-tawa meski pun Ang I Niocu
menyerang bertubi-tubi dengan pukulan cepat hingga ia harus mengelak ke sana ke mari dengan repot
sekali.
Sementara itu, tosu yang hendak mencuri perahu tadi, ketika melihat betapa saudaranya diserang oleh Ang
I Niocu dan terdesak sekali, cepat-cepat menarik kembali perahu itu ke darat dan berlari-lari ke arah tempat
pertempuran.
“Jangan kau memukul Adikku!” teriaknya dan segera menyerang Ang I Niocu.
Melihat serangan ini hebat juga datangnya, Cin Hai lalu maju menangkis dan keduanya lalu bertempur
ramai! Keadaan tosu ini sama sekali berbeda dengan hwesio itu. Kalau hwesio itu gemuk dan pendek
bermuka ramah dan mulutnya selalu tersenyum, adalah Si Tosu ini mukanya seperti orang sedang mewek
dan menangis. Matanya yang sangat sipit itu seakan-akan memandang dengan sedih sehingga membikin
sedih pula kepada orang yang melihatnya.
Walau pun Ang I Niocu sedang marah, akan tetapi melihat betapa hwesio itu biar pun terdesak sekali masih
saja tertawa-tawa dengan muka sama sekali tidak memperlihatkan ketakutan, menjadi tidak tega hati untuk
melukainya, dan hanya mendesak dengan ilmu silat yang baru dipelajarinya dari Bu Pun Su, yaitu ilmu Silat
Kong-ciak Sin-na sehingga hwesio itu tak dapat membalas menyerang dan dipermainkan oleh Ang I Niocu
bagaikan seekor kucing. Ang I Niocu memang sengaja menggunakan hwesio itu sebagai ujian bagi ilmu
silatnya yang baru dan ia merasa girang sekali mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dipelajarinya
dari Bu Pun Su ini memang betul-betul luar biasa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebaliknya, dengan mudahnya Cin Hai pun dapat mendesak Si Tosu. Kemudian, sebelah kakinya berhasil
menggaet kaki tosu itu yang segera jatuh terguling-guling dan mengeluh kesakitan.
“Nah, biar kau kapok mendapat hajaran sedikit!” kata Cin Hai. “Dan supaya lain kali tidak berani mencoba
untuk mencuri perahu lain orang.”
Dengan muka seperti orang menangis, Si Tosu itu menoleh ke arah hwesio yang masih diserang kalangkabut
oleh Ang I Niocu. Ia mengeluh lagi dan berseru.
“Ceng Tek, sudahlah baik kita menyerah. Mereka ini bukan makanan kita!”
Mendengar kata-kata ini, hwesio gemuk itu cepat melompat mundur dan berkata sambil tertawa, “Sudahlah
Nona, pinceng mengaku kalah!”
Ang I Niocu menjadi geli hatinya dan ia pun tidak tega untuk menyerbu terus.
“Siapakah kalian dua orang tua ini, dan mengapa kalian hendak mencuri perahu kami?” tanyanya.
Kedua pendeta itu saling pandang dan sambil menjura, tosu itu berkata. “Kami dua kakak beradik adalah
pendeta-pendeta perantau. Adikku ini bernama Ceng Tek Hwesio ada pun pinto sendiri bernama Ceng To
Tosu. Tadinya kami mengira bahwa kalian berdua adalah sepasang orang muda yang hendak berpelesir di
sini, maka kami berani mengganggu dan hendak meminjam perahu kalian. Tidak tahunya, melihat pakaian
serta kepandaian Nona ini, kami tidak akan heran apa bila kau mengaku wanita yang berjuluk Ang I Niocu!”
Ang I Niocu tersenyum. “Memang dugaanmu tepat sekali, Totiang. Memang aku adalah Ang I Niocu dan
saudaraku ini adalah Pendekar Bodoh!”
Kedua mata Ceng To Tosu yang sipit itu dipentang lebar. “Apa? Dengan kepandaiannya seperti itu, ia
masih disebut Pendekar Bodoh? Ah, kalau yang bodoh saja kepandaiannya setinggi ini, apa lagi yang
pintar?”
Biar pun tosu ini mengucapkan kata-kata yang mengandung kelakar, namun tetap saja mukanya mewek
seperti mau menangis! Dan hwesio pendek gemuk itu tetap tersenyum dengan muka sesenang-senangnya!
Cin Hai tertarik sekali melihat dua saudara yang aneh ini, maka ia lalu bertanya. “Harap kau dua orang suci
suka berkata terus terang saja. Sebenarnya mau meminjam perahu kami hendak pergi ke manakah?”
Kini hwesio gemuk itu yang menjawab dan ucapannya penuh kejujuran. “Kami hendak pergi ke laut dan
mencari sebuah pulau.”
“Pulau Emas?” Cin Hai cepat menyambung dan kedua pendeta itu tercengang.
“Kau... sudah tahu?”
“Tentu saja! Kami hendak pergi ke sana!”
“Aha! Sungguh kebetulan sekali. Sudahkah kalian dua anak muda tahu di mana letaknya Kim-san-to (Pulau
Gunung Emas)?”
Secara terus terang saja Cin Hai menyatakan belum tahu. Kedua pendeta itu lalu saling pandang dan
akhirnya Si Tosu berkata,
“Baiklah, sekarang diatur begini saja. Perahu ini cukup lebar untuk ditumpangi oleh empat orang. Kami
berdua membonceng kalian dan sekaligus menjadi penunjuk jalan. Kalian mempunyai perahu akan tetapi
tidak mengenal jalan, sedangkan kami berdua yang kenal jalan tidak mempunyai perahu! Bukankah kita
dapat saling menolong?”
Cin Hai dan Ang I Niocu kini saling berpandangan dan akhirnya Cin Hai mengangguk dan berkata,
“Kata-katamu ini pantas juga. Biarlah kita bersama-sama mencari pulau itu dan kalian berdua menjadi
penunjuk jalan!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Akan tetapi perahu kita kecil dan hwesio gemuk ini tentu berat sekali! Asal saja kau tidak banyak bergerak
hingga jangan-jangan perahu kita akan terguling dan tenggelam!” kata Ang I Niocu sambil tertawa sehingga
mereka berempat sama-sama tertawa gembira.
Cin Hai dan Ang I Niocu merasa suka pada dua orang aneh itu. Mereka dapat menduga bahwa kedua
orang ini tentulah orang-orang kang-ouw yang berwatak baik.
Beberapa hari kemudian, empat orang dalam perahu kecil itu sudah sampai di samudera dan mulai dengan
usaha mereka untuk mencari Pulau Kim-san-tho. Atas petunjuk kedua pendeta itu, perahu lalu didayung ke
kiri melalui pantai yang curam dan batu-batu karang yang tinggi.
Ketika perahu mereka bergerak perlahan di tepi batu karang yang tinggi dan hitam, dari atas tiba-tiba saja
menyambar turun bayangan yang gerakannya cepat sekali! Bayangan ini menyambar ke arah dada dan
perut Ceng Tek Hwesio yang telanjang.
Empat orang di dalam perahu itu terkejut sekali ketika melihat bahwa yang menyambar adalah seekor
burung rajawali yang besar dan buas sekali! Agaknya burung ini tertarik oleh kegemukan dada dan perut
Ceng Tek Hwesio yang bergajih dan montok itu, hingga ia menyambar turun dan hendak mencengkeram
daging gemuk itu!
Ceng Tek Hwesio merasa kaget dan hendak berkelit, namun berat badannya membuat perahu itu
berguncang!
“Hai, jangan bergerak!” Ang I Niocu mencegah.
Gadis ini dengan cepat lalu menendang ke arah burung yang menyambar turun itu dan alangkah kagetnya
ketika burung itu dengan cepat mampu mengelak dari tendangannya dan melayang ke atas lagi!
Cin Hai yang berdiri di kepala perahu dan memandang tajam, juga merasa kagum melihat ketangkasan dan
kecepatan burung yang besar itu. Sedangkan hwesio pendek gemuk itu melihat bahwa dirinya diserang
oleh burung rajawali, hanya tersenyum-senyum dan tertawa ha-ha hi-hi saja, dan biar pun hatinya berdebar
ngeri, akan tetapi mukanya tetap tersenyum. Sebaliknya, muka Ceng To Tosu makin nampak sedih dan
mewek bagaikan betul-betul hendak menangis tersedu-sedu oleh karena ia merasa kuatir dan juga marah
kepada burung pemakan manusia itu.
Sekarang burung rajawali itu dengan cepatnya menyambar turun dari atas. Ang I Niocu yang merasa
mendongkol melihat tendangannya tadi dapat dikelit oleh burung besar itu, berkata kepada kawankawannya,
“Jangan bergerak dan biarkan aku bikin mampus burung celaka itu!”
Ketika burung itu mengulur cakarnya dan kembali hendak menyerang hwesio gendut itu, Ang I Niocu cepat
menghantam sekerasnya dengan tangan kanannya! Namun kembali ia tertegun oleh karena burung itu
dapat miringkan tubuh dan mengibas dengan sayapnya seakan-akan menangkis pukulan Ang I Niocu!
Akan tetapi pukulan itu bukanlah pukulan biasa dan dilakukan dengan tenaga lweekang sehingga biar pun
burung itu menangkis dengan sayap, tetapi tubuh burung itu terlempar jauh dan oleh karena sakitnya, tibatiba
sambil memekik keras burung yang terlempar ke atas itu mengeluarkan kotoran yang jatuh
berhamburan menimpa ke arah perahu seperti hujan. Kebetulan sekali kotoran itu jatuh tepat ke arah Ceng
Tek Hosiang dan Ceng To Tosu sehingga muka dan baju kedua pendeta itu menjadi kotor kena kotoran
burung itu.
Ang I Niocu makin gemas dan marah karena burung itu agaknya tidak terluka dan hanya terpental serta
kaget saja. Juga burung itu kini terbang berputaran di atas perahu sambil mengeluarkan suara nyaring. Ang
I Niocu mencabut keluar pedangnya dan dengan muka merah karena gemas ia berkata,
“Burung keparat, turunlah kalau kau berani!”
Seakan-akan mengerti dan dapat mendengar tantangan gadis itu, burung rajawali yang berbulu kuning
emas dan berparuh merah itu memekik panjang dan kembali menyerang turun. Kini dia bukan menyerang
kepada hwesio gendut, akan tetapi langsung menyerang Ang I Niocu, oleh karena agaknya dia marah
sekali kepada Dara Baju Merah yang telah dua kali menyerangnya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Burung ini adalah sejenis Kim-tiauw atau Rajawali Emas yang jarang terdapat dan yang disebut raja segala
burung. Ketika dia menyerang Ang I Niocu, gerak tubuhnya cepat dan tak terduga oleh karena ia bukan
menyerang langsung dari atas, akan tetapi turun sambil bergerak-gerak ke kanan kiri dengan cepatnya.
Ang I Niocu bukanlah sembarang gadis yang takut akan segala macam burung. Dengan seruan keras,
sebelum burung itu menyambar, Ang I Niocu sudah mendahului melompat ke atas sambil menyambar
dengan pedangnya.
Kembali burung Kim-tiauw itu secara aneh mampu mengelak dan mumbul lagi ke atas, kemudian berkalikali
dia menyerang turun. Terjadilah pertempuran yang hebat dan indah dipandang antara Ang I Niocu di
atas perahu dengan burung rajawali yang menyambar-nyambar dari atas.
Beberapa kali pedang Ang I Niocu yang hampir saja dapat memenggal leher burung itu, tiba-tiba dapat
disampok dengan sayap atau cakar dengan kuku burung itu, hingga Ang I Niocu menjadi semakin marah
dan penasaran saja. Biar pun Ang I Niocu belum berhasil membunuh Kim-tiauw, akan tetapi banyak bulu
burung itu sudah rontok ketika sayapnya menyampok pedang, sedangkan burung itu sama sekali tak
mendapat kesempatan untuk menyerang gadis perkasa itu.
Sebenarnya, apa bila dia berada di atas tanah keras, tentu Ang I Niocu sudah berhasil membunuh Kimtiauw
itu. Akan tetapi kini dia berada di atas perahu yang bergerak-gerak sehingga membuat gerakannya
tidak leluasa sekali.
Sesudah berkali-kali serangannya gagal, bahkan hampir saja pedang tajam menembus dadanya dan
memenggal leher, akhirnya Kim-tiauw itu agaknya mengakui kelihaian Ang I Niocu dan sambil mengibaskan
sayapnya yang lebar dan kuat serta mengeluarkan bunyi seperti orang mengeluh panjang, ia kemudian
terbang pergi dengan cepat sekali hingga sebentar saja tubuhnya hanya merupakan titik kuning emas di
langit biru.
Ang I Niocu menyimpan kembali pedangnya dan duduk dengan muka merengut. Hatinya tidak puas sekali
karena kegagalannya membunuh burung besar itu, akan tetapi Ceng To Tosu lalu berkata sambil menghela
napas panjang,
“Baiknya kau tidak membunuhnya Lihiap.”
“Ehh, mengapa kau berkata baik sedangkan hatiku kecewa sekali karena tidak berhasil membunuhnya?”
kata Ang I Niocu sambil memandang heran.
“Burung itu adalah burung Kim-sin-tiauw atau Rajawali Sakti Berbulu Emas, dan burung itu di daerah ini
terkenal sebagai burung pembawa rezeki dan kebahagiaan. Kita sudah bertemu dengan dia dan memusuhi
kita, hal ini tidak baik sekali, apa lagi kalau kau tadi sampai salah tangan dan membunuhnya!”
Diam-diam Cin Hai terkejut sekali mendengar ini, akan tetapi Ang I Niocu lantas berkata, “Burung jahat itu
mana bisa membawa kebahagiaan?”
Biar pun Cin Hai tidak setuju mendengar ucapan gadis ini akan tetapi oleh karena ia telah maklum bahwa
gadis ini tidak takut apa pun juga, ia diam saja dan tidak menyatakan kekuatirannya, hanya berkata memuji,
“Kim-sin-tiauw itu lihai sekali dan gerakannya tangkas dan cepat.”
“Kalau di darat ada harimau menjadi raja dan di laut ada naga, maka Kim-sin-tiauw boleh dibilang menjadi
raja di angkasa!” kata Ceng Tek Hwesio yang masih tersenyum-senyum seakan-akan kejadian tadi adalah
hal yang menyenangkan hatinya!
“Dan raja angkasa itu hampir saja berpesta pora menikmati kelezatan dagingmu yang gemuk!” kata Cin
Hai.
Semua orang tertawa geli, kecuali Ceng To Tosu yang agaknya selama hidup tak pernah tertawa. Dia
hanya mengutarakan kegelian hatinya dengan mewek makin menyedihkan!
Kita tinggalkan dulu perahu kecil yang dinaiki empat orang yang sedang mencari Pulau Emas itu, pulau
yang aneh dan mengandung rahasia dan yang pada waktu itu menjadi sebab terjadinya hal-hal yang hebat
dunia-kangouw.blogspot.com
karena ada tiga bangsa sedang berusaha merampas pulau itu…..
********************
Pada waktu itu, Kerajaan Turki yang telah mendengar tentang adanya Pulau Emas di laut timur Negara
Tiongkok sudah mengirim dan menyebar para penyelidiknya, di antaranya Yousuf yang cerdik dan yang
menjadi orang pertama mendapatkan pulau itu. Di samping menyebar mata-mata, Kerajaan Turki lalu
mengirim pula sejumlah besar tentaranya untuk menyerbu ke daerah ini.
Mereka tak berani melalui daratan Tiongkok, oleh karena maklum bahwa apa bila mereka melalui daratan
pedalaman Tiongkok mereka pasti akan menghadapi rintangan-rintangan besar yang memungkinkan
gagalnya usaha mereka, oleh karena selain memiliki daerah luas yang berbahaya, Tiongkok juga
mempunyai banyak orang pandai yang tentu akan melawan tentara Turki yang menjelajah negaranya.
Oleh karena ini, barisan Turki itu mengambil jalan memutar dari utara, bergerak ke timur melalui sepanjang
perbatasan Negara Tiongkok dan masuk di daerah Mongol. Mereka ini pun tidak tinggal diam dan melawan
barisan asing yang memasuki tanahnya. Akan tetapi oleh karena pada waktu itu bangsa Mongol masih
belum kuat dan hidupnya berkelompok-kelompok ini, dengan mudah dapat dihalau oleh barisan Turki yang
kuat.
Barisan Turki ini dipimpin oleh orang-orang pandai, bahkan di dalam barisan ini terdapat seorang pemimpin
aneh yang merupakan seorang pendeta bertubuh besar sekali seperti seorang raksasa akan tetapi agak
pendek. Pendeta ini berkepala botak, berjenggot hitam dan kaku bagaikan kawat dan yang menyongot ke
sana ke mari tidak terawat.
Tubuhnya yang gemuk besar itu mengenakan pakaian yang amat aneh pula, oleh karena pakaian ini
terbuat dari banyak macam kain kembang yang ditambal-tambal. Dilihat dari keadaan pakaiannya, pendeta
ini lebih pantas disebut seorang pengemis jembel!
Pendeta ini lihai dan sakti sekali dan ia adalah jago nomor satu di seluruh Kerajaan Turki. Namanya di Turki
terkenal sebagai Balutin, sedangkan pendeta yang sudah sering kali merantau di pedalaman Tiongkok ini
disebut dalam bahasa Tiongkok sebagai Pouw Lojin. Oleh karena sering masuk di daerah Tiongkok, maka
Balutin pandai bicara dalam bahasa Tionghoa.
Dengan adanya pendeta ini, maka ekspedisi Turki ini tidak mengalami banyak rintangan, oleh karena setiap
penghalang yang kuat selalu hancur kalau saja berhadapan dengan Balutin yang lihai. Selain ilmu silatnya
yang tinggi, Balutin juga mahir dalam ilmu sihir, dan lweekang serta khikang-nya sudah mencapai tingkat
tinggi sekali.
Gerakan tentara Turki ini membuat bangsa Mongol merasa gelisah sekali. Mereka ini pun akhirnya bisa
juga mencari tahu akan rahasia Kerajaan Turki dan dapat pula mengetahui bahwa bangsa Turki ini hendak
mencari sebuah Pulau Emas di Laut Tiongkok.
Karena itu, bangsa Mongol lalu menguasakan kepada Pangeran Vayami yang cerdik dan mempunyai
kepandaian tinggi untuk menghubungi Kaisar Tiongkok. Ini pulalah sebabnya maka Hai Kong Hosiang
diutus oleh kaisar untuk mengundang Pangeran Vayami datang ke istana kaisar.
Setelah Vayami bertemu dengan kaisar, secara cerdik sekali Vayami lalu menghasut dan memberi tahu
bahwa tentara Turki bermaksud mengurung ibu kota Tiongkok dan merebut sebuah pulau di Laut Tiongkok
yang mengandung banyak emas! Dengan cerdik sekali Pangeran Vayami menghasut dan hendak mengadu
dombakan tentara Turki dan tentara Tiongkok, sedangkan diam-diam pangeran yang cerdik dan licin ini
telah menyiapkan kaki tangannya untuk secara mendadak menyerbu pulau itu. Ia memakai siasat
‘Membiarkan Dua Ekor Anjing Berebut Tulang’ dan kemudian diam-diam membawa tulang itu berlari
sementara kedua anjing itu masih bergumul!
Akan tetapi, Kaisar Tiongkok pun bukan orang bodoh, dan seandainya dia sendiri bodoh, akan tetapi para
penasehatnya adalah orang-orang cendekiawan yang berpemandangan luas. Memang kaisar sudah masuk
dalam perangkapnya dan mengirimkan barisan besar yang bergerak menuju ke pantai laut di sebelah utara
dekat tapal batas negeri Tiongkok, di mana menurut keterangan Pangeran Vayami tentara Turki itu
berkumpul.
Barian besar ini dikepalai oleh Beng Kong Hosiang beserta beberapa orang perwira yang tertinggi
dunia-kangouw.blogspot.com
kepandaiannya. Bahkan kepala bayangkari, yaitu seorang perwira kekasih kaisar yang amat tinggi
kepandaiannya dan bernama Lui Siok In, mendapat tugas khusus untuk memimpin barisan itu bersamasama
Beng Kong Hosiang dan lain-lain perwira.
Sementara itu, kaisar memerintahkan Hai Kong Hosiang untuk tetap menemani Pangeran Vayami dengan
alasan melindungi keselamatan tamu agung itu dalam perjalanan kembali ke negerinya. Akan tetapi
sebetulnya kaisar ini bukan ingin menjaga keselamatan orang, namun bahkan hendak mengawasi dan
mengikuti gerak-geriknya, dan membatasi segala usaha kecurangan yang mungkin akan dilakukan oleh
Pangeran Vayami yang cerdik itu. Oleh karena ini, Hai Kong Hosiang mendapat tugas istimewa dan hwesio
ini pun lantas mengajak supek-nya, yaitu Kiam Ki Sianjin yang telah pikun dan gagu, akan tetapi masih lihai
sekali itu.

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments