Minggu, 28 Januari 2018

Cersil Si Pedang Kilat Membasmi Iblis Tamat

Cersil Si Pedang Kilat Membasmi Iblis Tamat
baca juga

itu menerjang ke arah Bi Moli dan Ouwyang Toan!
Mereka yang lebih dekat dengan kaisar dan permaisuri sehingga mereka dapat menyerang
sambil membelakangi kaisar dan permaisuri. Terkejutlah Ouwyang Toan ketika hwesio yang
tadi menyerahkan alat penyulut lilin kepada kaisar tiba-tiba menyambutnya dengan serangan
tusukan alat penyulut lilin itu. Dan Bi Moli juga terkejut ketika dua orang hwesio sudah
menyerangnya dari depan. Karena para hwesio itu menyerang Ouwyang Toan dan Bi Moli dari
depan dan sekaligus menghalangi mereka menawan kaisar dan permaisuri, terpaksa kedua
orang pengkhianat itu lalu menggerakkan pedang mereka menyerang para hwesio itu! Dan
mereka semakin terkejut. Kiranya mereka bukanlah hwesio-hwesio lemah, karena mereka
mampu melakukan perlawanan dengan gerakan yang cukup gesit dan tangkas.
Biarpun akhirnya lima orang hwesio itu roboh mandi darah oleh pedang Ouwyang Toan dan Bi
Moli Kwan Hwe Li, namun telah memberi waktu yang cukup bagi Kwa Bun Houw untuk turun
tangan. Dia dan dua orang rekannya berloncatan.
"Amankan Sribaginda!" teriak Bun Houw kepada dua orang rekannya. Dua orang pengawal
pribadi kaisar itu lalu menggandeng kaisar dan permaisuri, menarik mereka keluar dari ruangan
sembahyang itu, sedangkan dua orang selir itu menangis dan lari ke sudut ruangan bersama
para dayang. Kini tinggal Bun Houw seorang yang berdiri di pintu samping dari mana kaisar tadi
menyelamatkan diri dan dia sudah berdiri tegak dengan pedang di tangan.
"Si Pedang Kilat ... !" Ouwyang Toan berseru kaget bukan main melihat pedang yang
berkilauan di tangan Bun Houw itu. Juga Bi Moli yang telah merobohkan tiga orang hwesio itu
terkejut mendengar teriakan yang mengandung rasa gentar yang amat sangat dari kekasihnya
itu.
"Siapa ...?!?" tanyanya.
"Kwa Bun Houw ... murid Tiauw Sun Ong ...!" kata Ouwyang Toan dan diapun sudah memberi
isarat kepada enam orang anggauta Thian-te Kui-pang untuk menerjang dan mengeroyok Bun
Houw. Enam orang itu-pun maklum bahwa usaha mereka gagal, maka dengan nekat mereka
lalu menggerakkan senjata dan menerjang pemuda yang memegang sebatang pedang yang
berkilauan itu.
"Moli, kita lari!" teriak Ouwyang Toan kepada kekasihnya dan mereka berloncatan keluar pintu
ruangan sembahyang. Akan tetapi, betapa kaget hati mereka melihat bahwa tempat itu telah
terkepung ratusan orang pasukan keamanan istana yang entah bagaimana tahu-tahu telah
berada di situ. Tahulah mereka bahwa kesemuanya telah gagal sama sekali. Kekecewaan
membuat mereka menjadi marah, ditambah lagi dengan rasa takut. Mereka menumpahkan
semua kesalahannya kepada Bun Houw dan seperti ada persetujuan tanpa kata, keduanya
membalik dan meloncat masuk lagi untuk membuat perhitungan dengan Kwa Bun Houw!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ouwyang Toan memang membenci pemuda itu, dan Bi Moli mengingat bahwa pemuda itu
adalah murid Tiauw Sun Ong, maka iapun amat membencinya!
Sementara itu, melihat dia diserang oleh enam orang kaki tangan Ouwyang Toan, Bun Houw
tidak mau membuang banyak waktu melayani mereka. Dia tahu bahwa kaisar dan permaisuri
sudah selamat, dan dua orang pengkhianat itu tidak akan mungkin dapat lolos dari tempat itu,
maka diapun menggerakkan pedang di tangannya. Enam orang itu rata-rata memiliki ilmu
kepandaian tinggi karena mereka merupakan para anggauta di-lihan dari Thian-tc Kui-pang.
Akan tetapi, berhadapan dengan. Si Pedang Kilat, enam orang itu seperti berhadapan kakek
guru mereka! Nampak gulungan sinar pedang berkelebatan menyilaukan mata dan satu demi
satu, enam orang itu roboh dan tewas seketika. Nampaknya saja mereka tidak terluka, saking
tajamnya pedang pusaka itu sehingga ketika menembus dada atau leher lawan, hampir tidak
meninggalkan bekas dan hanya diketahui orang itu terluka setelah darah mengalir keluar dan
orang itu tewas seketika!
Ketika Ouwyang Toan dan Bi Moli meloncat kembali memasuki ruangan sembahyang, mereka
terbelalak. Di samping mayat lima orang hwesio yang sebenarnya merupakan pengawalpengawal
yang menyamar, nampak mayat enam orang anggauta Thian-te Kui-pang itu rebah
malang melintang dalam keadaan tewas. Begitu cepatnya enam orang itu tewas dan hal ini saja
sudah membuktikan betapa lihainya pemuda yang masih berdiri dengan pedang berkilauan di
tangan itu.
"Kwa Bun Houw! Engkau selalu menjadi penghalang bagiku dan selalu memusuhiku!” bentak
Ouwyang Toan marah.
"Engkau keliru, Ouwyang Toan. Engkau tentu tahu bahwa aku menentang siapa saja yang
melakukan kejahatan, tak terkecuali engkau. Adalah engkau dan Bi Moli yang sungguh tidak
tahu diri, tak mengenal budi. Sribaginda telah memberikan kedudukan yang baik bagi kalian,
akan tetapi kalian bahkan mengkhianati dan bersekutu dengan pemberontak dan dengan
kerajaan Wei."
'Bocah she Kwa, hari ini engkau harus menebus dosa gurumu kepadaku!" Bi Moli membentak
dan ia sudah menggerakkan pedangnya. Ouwyang Toan juga membantu kekasihnya itu dan
dia sudah menerjang ke depan dengan pedangnya pula. Akan tetapi, Bun Houw memutar Luikong-
kiam dan nampak gulungan sinar yang menyilaukan mata dan dua orang itu terpaksa
meloncat keluar dari ruangan itu karena tempat itu terlalu sempit dengan adanya sebelas sosok
mayat yang bergelimpangan. Bun Houw juga menerjang keluar karena diapun menghendaki
agar dapat melawan kedua orang musuhnya itu di tempat yang lebih luas.
Melihat dua orang pengkhianat itu berloncatan keluar, disusul oleh pengawal pribadi yang baru,
para pengawal siap untuk mengepung dan mengeroyok.
"Tahan, jangan keroyok, biarkan Si Pedang Kilat sendiri menghadapi dua orang itu." kata Kaisar
Siauw Bian Ong.
Kaisar ini tadi telah mendapat laporan yang singkat dan jelas dari Koan Thai-kam tentang diri
Kwa Bun Houw yang dijuluki Si Pedang Kilat, mendengar pula bahwa dia dan Hek-tung Kaipang
mengatur agar pendekar itu melindungi kaisar, kemudian tentang persekutuan
pemberontak dan betapa dia sudah mengadakan kontak dengan para panglima untuk
menanggulangi pengkhianatan itu. Juga dia beritahukan mengapa dia tidak melapor lebih
dahulu kepada kaisar, yaitu karena kedua orang pengkhianat itu telah mendapatkan
kedudukan, maka dia khawatir kalau-kalau kaisar tidak percaya begitu saja tanpa adanya bukti.
Kaisar dapat memaklumi dan mendengar bahwa Kwan Bun Houw yang berjuluk Si Pedang Kilat
adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi, maka melihat kedua orang
pengkhianat itu kini bertanding melawan Si Pedang Kilat, kaisar ini yang juga suka ilmu silat
ingin sekali menontonnya.
"Kalau dia terdesak, barulah kalian boleh membantunya," pesannya kepada para pengawal
pribadi dan para pengawal yang mengerti apa yang dikehendaki junjungan mereka,
mengangguk dan mereka siap dengan senjata di tangan untuk membantu kalau-kalau Si
Pedang Kilat terdesak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kaisar lalu memberi isarat kepada panglima pasukan keamanan untuk mendesak, lalu berkata,
"Panglima, cepat kerahkan pasukan dan tangkapi semua anggauta gerombolan Thian-te Kuipang
yang berkeliaran di kota raja."
Panglima itu memberi hormat lalu mengundurkan diri untuk melaksanakan perintah itu, berkat
latihan yang diterimanya dari Tiauw Sun Ong, gurunya yang buta, Kwa Bun Houw telah dapat
melatih pendengarannya menjadi amat tajam, pengganti kedua mata bagi gurunya dan bagi
dia, membantu pekerjaan mata, pendengarannya menjadi amat peka dan dengan kepekaan
inilah dia dapat pula mendengar perintah kaisar kepada para pengawalnya tadi, walaupun dia
menghadapi dua lawan yang tangguh. Bun Houw maklum bahwa tentu kaisar telah mendengar
dari Koan Thai-kam siapa dia, maka kini kaisar ingin menyaksikan pertandingan yang seru,
maka dia-pun segera mengerahkan tenaganya dan memutar Lui-kong-kiam dengan dahsyat
sekali.
Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan sudah maklum bahwa mereka telah terkepung ratusan
orang pasukan pengawal. Dengan gagalnya mereka menawan kaisar dan permaisuri, mereka
tidak dapat mengandalkan apapun untuk melindungi diri, maka mereka menjadi gelisah,
kecewa dan akhirnya membuat mereka menjadi nekat. Semua kemarahan mereka tumpahkan
kepada Kwa Bun Houw yang mereke anggap sebagai penghalang dan penghancur semua
rencana mereka yang sudah tersusun rapi.
Bi Moli Kwan Hwe Li mengeluarkan suara melengking nyaring dan ia menggerakkan
pedangnya secara dahsyat karena selain didorong oleh tenaga sin-kang, juga ada kekuatan
sihir dalam gerakannya itu. Karena maklum akan kelihaian murid bekas pacarnya ini, Bi Moli
mengerahkan seluruh tenaga sin-kang dan sihirnya untuk membunuh lawan. Biarpun ia tahu
bahwa ia tidak akan lolos dari hukuman, namun setidaknya ia harus dapat melampiaskan
kemarahannya dengan membunuh Kwa Bun Houw. Demikian pula dengan Ouwyang Toan.
Pemuda inipun sudah putus asa, maklum bahwa dia tidak akan mungkin bebas dari hukuman
mati, maka dia ingin lebih dulu membunuh Bun Houw sebelum mengamuk sampai titik darah
terakhir.
Si Pedang Kilat Kwa Bun Houw juga maklum bahwa dia menghadapi dua orang lawan yang
tangguh, tidak berani memandang ringan. Dia tahu bahwa Bi Moli Kwan Hwe Li adalah seorang
datuk sesat yang tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi, setingkat dengan kepandaian para
datuk seperti Suma Koan, Ouwyang Sek, Kwan Im Sianli, bahkan tidak begitu jauh selisihnya
dengan tingkat gurunya, Tiauw Sun Ong. Kalau saja dia tidak secara kebetulan minum sari Akar
Bunga Gurun Pasir sehingga tubuhnya menjadi kokoh kuat dan tenaga sin-kangnya meningkat
secara luar biasa, dan kemudian tidak menemukan ilmu Im-yan Bu-tek Cin-keng secara
kebetulan pula, kiranya akan sukar baginya untuk dapat menandingi Bi Moli. Apalagi di situ
terdapat pula Ouwyang Toan yang mengeroyoknya dan putera datuk Bu-eng-kiam Ouwyang
Sek majikan. Lembah Bukit Siluman inipun termasuk seorang yang tangguh.
Kwa Bun Houw mengandalkan pedang pemberian suhunya. Didorong oleh kekuatan sinkangnya
yang ampuh, diapun menyambut kedua orang lawannya dan sinar pedangnya
bergulung-gulung menyilaukan mata, membuat kagum Kaisar Siauw Bian Ong dan pari
pengawal dan penonton lainnya.
"Roboh kau ... !" Bi Moli Kwan Hwe Li menjerit dengan suara melengking dan di antara para
perajuiit keamanan yang mendengar lengking suara yang mengandung tenaga sihir yang
berpengaruh dan berwibawa itu. ada yang merasa kedua lutut mereka lemas dan kalau tidak
saling berpegangan, tentu mereka itu akan roboh terguling!
Demikian hebatnya pengaruh yang terkandung dalam lengking itu. Apalagi terhadap Bun Houw
yang dijadikan sasaran, dan bentakan itu diikuti pula oleh tusukan pedang yang meluncur
bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Sungguh merupakan serangan dahsyat yang amat
berbahaya, diperhebat oleh kecepatan gerakan, kekuatan sin-kang, dan kekuatan sihir!
Namun, kekuatan sihir itu tidak ada artinya bagi Bun Houw. Lewat begitu saja seperti angin
kencang meniup batu karang. Pemuda ini maklum bahwa di antara kedua orang lawannya,
yang paling tangguh adalah Bi Moli, maka kepada Iblis Wanita Cantik inilah dia harus
mencurahkan perhatian dan perlawanannya. Pada saat itu, Ouwyang Toan juga sudah
membacokkan pedangnya dari samping ke arah kepalanya. Dengan gerakan ringan dia
dunia-kangouw.blogspot.com
memutar tubuh sehingga terlepas dari bacokan pedang, dan pedangnya sendiri dengan cepat
menyambar ke arah pergelangan tangan Bi Moli yang menusuknya, gerakan itu memutar dari
samping. Bi Moli terkejut, sama sekali tidak mengira bahwa tusukannya akan disambut oleh
bacokan dari samping yang mengancam pergelangan tangannya. Kalau ia melanjutkan
serangan, maka sebelum ujung pedangnya mengenai dada lawan, lebih dulu pergelangan
tangannya akan terbabat pedang yang mengeluarkan sinar kilat itu. Terpaksa ia menarik
kembali tusukannya. Ouwyang Toan yang serangannya mengenai tempat kosong, menjadi
penasaran sekali karena serangan itu dapat dihindarkan sedemikian mudahnya. Dia
menyerang lagi, diikuti oleh Bi Moli dan kedua orang ini agaknya hendak berlumba untuk dapat
lebih dulu merobohkan Bun Houw.
Bun Houw memperlihatkan keringanan tubuhnya dan tubuh itu seperti dibungkus gulungan
sinar kilat pedangnya dan menyusup di antara sambaran kedua pedang lawan, dan dari
gulungan sinar pedangnya kadang mencuat sinar bagaikan kilat menyambar ke arah lawan.
Terjadilah serang menyerang yang amat seru dan menyilaukan mata. Kaisar Siauw Bian Ong
tersenyum, mengangguk-angguk dan mengelus jen gotnya. Diam-diam dia amat mengagumi
Kwa Bun Houw, walapun ada pula perasaan menyesal mengapa dua orang seperti Ouwyang
Toan dan Bi Moli, yang memiliki kepandaian demikian hebat pula, telah mengkhianatinya.
Sungguh patut disayangkan ilmu kepandaian seperti itu dikuasai orang-orang yang menjadi
hamba nafsu angkara murka.
Pertandingan itu memang amat hebat. Jarang mereka semua yang hadir di situ menyaksikan
pertandingan sehebat itu, bukan sekedar pengujian ilmu seperti yang sering terjadi di istana,
melainkan suatu pertandingan yang merupakan perkelahian sungguh-sungguh! Setiap kali sinar
pedang menyambar berarti tangan maut yang haus darah mencari korban.
Diam-diam Kwa Bun Houw mengeluh. Sudah lewat dari tiga puluh jurus, belum juga dia mampu
merobohkan dua orang lawannya walaupun mereka sendiri juga tidak pernah dapat
mendesaknya. Dia maklum bahwa kalau mengadu ilmu pedang, akan sukarlah baginya untuk
dapat merobohkan mereka. Dengan mengeroyok, mereka benar-benar merupakan lawan yang
amat tangguh dan sukar dirobohkan. Ilmu pedangnya hanyalah ilmu pedang Lui-kong-kiamsut
(Ilmu Pedang Kilat) yang dia pelajari dari gurunya, dan hanya karena dia memiliki kelebihan sinkang
dari pengaruh Akar Bunga Gurun Pasir sajalah maka dia mampu mengimbangi kedua
orang pengeroyoknya. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa kalau mereka mengadu ilmu tangan
kosong, dengan Im-yang Bu-tek Cin-keng, dia pasti akan lebih unggul. Dia sejak tadi tidak
berani mengadu pedangnya secara langsung sambil mengerahkan sin-kang. Dengan cara itu,
tentu pedang kedua orang pengeroyoknya akan patah-patah, seperti yang sudah sering dia
lakukan dengan Lui-kong-kiam itu. Akan tetapi, sekali ini dia merasa khawatir kalau-kalau
pedang pusaka pemberian gurunya itu akan menjadi rusak karena dia menduga bahwa kedua
orang lawan ini tentu juga memegang pedang pusaka yang ampuh.
Kemudian dia teringat akan persiapan persekutuan pemberontak untuk menyerbu kota raja
seperti yang didengarnya dari Koan Thai-kam. Hal ini membuat dia terpaksa harus cepat
mengakhiri pertandingan itu agar perhatian dapat dialihkan untuk menghadapi persiapan para
pemberontak di luar kota raja. Maka, secara tiba-tiba saja Bun Houw mengubah gerakannya.
Kini dia mengerahkan seluruh tenaganya dan menggunakan pedangnya untuk langsung
menyambut pedang lawan, sengaja mengadukan pedangnya dengan pedang lawan.
Terdengar bunyi nyaring berdentang dua kali dan kedua orang lawannya itu mengeluarkan
teriakan kaget. Bi Moh meloncat ke belakang, demikian pula Ouwyang Toan dan mereka
memandang ke arah tangan kanan masing-masing yang kini hanya memegang sebatang
pedang buntung! Ternyata pedang mereka telah patah oleh Lui-kong-kiam yang ampuh. Hal ini
sesungguhnya bukan terjadi hanya karena keampuhan pedang di tangan Bun Houw karena
sesungguhnya, pedang kedua orang lawan itupun terbuat dari bahan yang kuat dan ampuh.
Akan tetapi, pedang Bun Houw itu disaluri tenaga sin-kang yang jauh lebih kuat, maka
getarannya tak tertahan oleh kedua pedang lawan sehingga menjadi patah. Bun Houw
menyimpan pedangnya setelah dengan lega melihat bahwa pedang pusakanya tidak rusak dan
kini dia menghadapi kedua orang lawan dengan tangan kosong. Mereka berdua juga
melemparkan sisa pedang ke atas tanah dan mereka siap melanjutkan perkelahian itu dengan
tangan kosong. Kembali Kaisar Siauw Bian Ong memandang kagum dan memberi isarat
dunia-kangouw.blogspot.com
kepada para pengawalnya agar jangan mencampuri. Dia sedang menikmati pertandingan yang
jarang dilihatnya itu.
Bi Moli dan Ouwyang Toan lega melihat Bun Houw menyimpan pedangnya yang ampuh itu, Hal
itu mereka anggap sebagai suatu kesombongan dari Bun Houw, maka keduanya
mempergunakan kesempatan setelah Bun Houw menyarungkan kembali pedangnya untuk
cepat menerjang dengan pukulan-pukulan mereka.
Akan tetapi sekali ini Bun Houw sudah siap dengan ilmunya yang amat hebat yaitu Im-yang
Bun-tek Cin-keng. Bahkan gurunya sendiri tidak mampu menandingi ilmu ini! Begitu melihat
kedua orang lawan sudah menyerang, Bun Houw segera menggerakkan kaki tangannya secara
aneh dan akibatnya hebat. Kedua orang lawan itu seperti terdorong badai yang amat kuat,
membuat mereka terjengkang dan terguling-guling. Keduanya tentu saja terkejut bukan main,
akan tetapi karena tidak melihat lain jalan, keduanya sudah mengeluarkan hentakan nyaring
dan menerjang lagi. Untuk kedua kalinya, mereka seperti menyerang gelombang dahsyat yang
membuat mereka kembali terjengkang dan terbanting. Mereka bangkit lagi, menyerang lagi
roboh lagi dan hal ini berulang sampai liga kali dan Ouwyang Toan tidak mampu bangkit
kembali karena kehabisan tenaga dan sudah terluka dalam. Bi Moli masih terus menyerang
mati-matian akan tetepi dengan menggunakan It-sin-ci (Satu Jari Sakti) Bun Houw berhasil
merobohkannya dalam keadaan tertotok dan tidak mampu bergerak lagi. Sorak-sorai
menyambut kemenangan Kwa Bun Houw, Kaisar Siauw Bian Ong kagum bukan main karena
ternyata pemuda itu tidak membunuh kedua orang lawannya, hanya membuat mereka tak
berdaya! Kini maklumlah kaisar itu bahwa kalau dia menghendaki agaknya pemuda itu sudah
sejak tadi dapat membunuh kedua orang lawannya. Karena tidak ingin membunuh itulah yang
membuat pertandingan berlangsung lebih lama. Kaisar itupun memerintahkan petugas untuk
menangkap kedua orang itu dan menjebloskan mereka kepenjara untuk menanti diadili kelak.
Kwa Bun Houw kini menghadap kaisar dan berlutut. Kaisar Siauw Bian Ong tersenyum, “Orang
muda yang gagah, kami sungguh bersukur bahwa negara kita mempunyai seorang pendekar
seperti engkau yang gagah perkasa dan bijaksana. Kami ingin melihat wajahmu yang aseli."
Bun Houw terpaksa melepaskan penyamarannya, mencabut alis palsu dan juga kedok tipis
seperti kulit yang menutupi mukanya, monggosok-gosok cat dan nampaklah wajah aselinya.
Oleh perintah kaisar, dia mengangkat mukanya dan kaisar beserta permaisurinya melihat wajah
seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah.
"Kwa Bun Houw, kami berterima kasih kepadamu dan kami ingin memberi hadiah yang sesuai
dengan kehendak hatimu. Katakanlah, apa yang kau kehendaki? Kedudukan? Atau harta
benda?"
"Ampun, Yang Mulia. Hamba sama sekali tidak mengharapkan hadiah dan imbalan, karena apa
yang hamba lakukan ini hanya merupakan suatu kewajiban hamba menentang segala bentuk
kejahatan. Hamba hanya dimintai bantuan oleh Hek-tung Lo-kai dan Koan Thai-kam." dan
maklumlah dia bahwa pemuda itu memang seorang pendekar sejati yang tidak mempunyai
keinginan demi kesenangan atau kepentingan diri sendiri. Apa yang diajukan oleh seorang
pendekar sejati semata-mata membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan, tanpa
pamrih sedikitpun.
"Hemm, biarlah kita bicarakan lagi hal ini setelah segalanya selesai. Kita masih harus
membasmi para pemberontak yang berkeliaran di kota raja, kaki tangan kerajaan Wei, dan juga
memadamkan pemberontakan yang dikobarkan oleh bekas kaisar Cang Bu."
Pada saat itu, komandan pasukan keamanan yang bertugas membasmi para anggauta Thiante
Kui-pang yang berkeliaran di luar pintu gerbang istana, datang menghadap dan melapor
kepada Kaisar bahwa usahanya gagal karena semua anggauta Thian-te Kui-pang telah
melarikan diri dan pasukannya hanya berhasil menangkap tiga orang saja!
"Bawa mereka ke sini! Kami ingin mendengar keterangan mereka tentang ikut campurnya
kerajaan Wei dalam pemberontakan ini!" perintah kaisar penasaran.
"Ampun, Yang Mulia. Begitu tertawan, tiga orang anggauta Thian-te Kui-pang itu membunuh diri
dengan menelan sebutir racun.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kaisar mengepal tinju, "Kirim pasukan dan tundukkan pemberontak bekas kaisar yang tak tahu
diri itu. Kami sengaja mengalah dan tidak mengejarnya, akan tetapi dia malah menghimpun
pasukan dan hendak memberontak!"
"Yang Mulia, biar hamba yang melakukan pengejaran terhadap Bu-tek Sam-kui yang memimpin
Thian-te Kui-pang." kata Bun Houw.
Setelah kaisar menyatakan persetujuannya, Bun Houw meninggalkan istana dan diapun
melakukan pengejaran ke sarang Thia-te Kui-pang, di daerah tak bertuan, yaitu di dusun Taibun.
Dia sudah mendengar tentang dusun ini yang dikuasai oleh Thian-te Kui-pang, sesuai
dengan petunjuk yang diperolehnya dari Koan Thai-kam.
***
Setelah tiba di luar kota raja, Bun Houw bukan langsung pergi ke sarang Thian-te Kui-pang,
melainkan menuju ke Kui-cu, ke lembah sungai untuk mengunjungi bekas kaisar Cang Bu!
Bagaimanapun juga, kaisar itu adalah bekas kaisar yang kalah perang dan Bun Houw sama
sekali tidak dapat menyalahkan kaisar ini kalau hendak berusaha merebut kembali tahta
kerajaan yang telah direbut oleh Kaisar Siauw Bian Ong yang mendirikan kerajaan Chi. Dia
tidak hendak mecampuri urusan perebutan kekuasaan itu. Akan tetapi, dia merasa tidak enak
mendengar bahwa bekas Kaisar Cang Bu bersekutu dengan kerajaan Wei di utara. Ini
berbahaya sekali karena mungkin saja kelak kerajaan Wei akan menguasai kerajaan di selatan.
itulah sebabnya mengapa dia kini melakukan perjalanan cepat ke pusat gerakan yang
dilakukan bekas kaisar itu, mendahului pasukan yang dikirim Kaisar Siauw Bian Ong untuk
membasmi pemberontakan ini. Kalau teringat kepada Liu Kiok Lan, puteri adik bekas kaisar itu,
dia merasa kasihan karena kalau tempat itu diserbu, tentu gadis bangsawan itu akan menjadi
korban pula. Dia ingin menyadarkan bekas Kaisar Cang Bu agar tidak bersekutu dengan
kerajaan Wei, dan agar cepat melarikan diri sebelum terlambat.
Pada saat itu, bekas kaisar Cang Bu sudah mendengar laporan dari seorang mata-matanya
yang ditugaskan mengamati keadaan di kota raja bahwa usaha membunuh atau menawan
kaisar telah gagal! Bahkan mata-mata itu mengabarkan betapa orang-orang Thian-te Kui-pang
yang tadinya siap di kota raja, telah pula melarikan diri setelah mendengar kegagalan itu. Juga
Suma Koan dan puteranya, Suma Hok, yang tadinya memimpin orang orang kang-ouw dan
anak buah mereka sendiri, bersiap-siap untuk membantu gerakan di kota raja kalau penawanan
terhadap kaisar berhasil, terpaksa mengundurkan diri dan ayah beserta puteranya itu kini telah
kembali ke Kui-cu. Melihat Suma Koan dan Suma Hok kembali dengan wajah lesu, bekas
kaisar Cang Bu mengepal tinju dan membanting-banting kaki. "Celaka, kenapa sampai gagal?
Dan kenapa pula paman Suma pulang dengan tangan hampa? Semestinya paman membantu
usaha di dalam istana itu sampai berhasil! Ah, aku telah mempercayakan urusan penting
kepada orang-orang yang tak dapat diandalkan.”
Kaisar Cang Bu benar-benar merasa menyesal sekali karena kegagalan ini memusnakan
harapannya untuk dapat menguasi kembali kerajaan yang telah dirampas oleh Siauw Bian Ong.
Kui-siauw Giam-ong mengerutkan alisnya. Dia memang tadinya tidak begitu ingin mencampuri
urusan pemberontakan. Hanya karena puteranya telah menjadi adik ipar bekas kaisar itu maka
dia mendapat semangat untuk ikut meraih kedudukan yang tinggi. Kini semua telah gagal dan
dia kehilangan semangat. Dia menghela napas panjang.
"Sudahlah, Liu-kongcu. Saya tidak mempunyai semangat lagi dan akan pulang ke tempat
tinggalku. Selamat tinggal!" Sebelum bekas kaisar itu sempat menjawab, kakek kurus itu telah
berkelebat dan pergi dari tempat itu. Puteranya, Suma Hok, maklum bahwa ayahnya tidak
pulang karena mereka tadi telah bersepakat untuk bergabung dengan Bu-tek Sam-kui dan
mencari kedudukan di kerajaan Wei, di utara sana! Suma Hok sendiri lalu memasuki
perkemahan di mana isterinya, Liu Kiok Lan, telah menantinya.
Seolah tidak melihat isterinya yang cantik, Suma Hok langsung saja mengumpulkan pakaian
dan barang berharga, berkemas seperti orang yang hendak melakukan perjalanan jauh. Melihat
ini, Liu Kiok Lan mengerutkan alisnya dan menghampiri suaminya yang sedang berkemas.
"Aku mendengar bahwa usaha di kota raja itu gagal. Benarkah itu, suamiku?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Tanpa menoleh Suma Hok menjawab, "Benar. Sialan! Hancurlah semua cita-citaku."
Hening sejenak. Suma Hok tetap saja mengumpulkan semua barang berharga, emas permata,
sisa kekayaan yang dibawa dari istana oleh Liu Kiok Lan ketika lari mengungsi, memasukkan
semua itu ke dalam buntalan pakaian.
"Engkau hendak mengajak aku pergi ke manakah?" tanya isterinya.
"Siapa yang hendak mengajak engkau pergi? Aku akan pergi sendiri!" jawab Suma Hok.
Liu Kiok Lan terkejut dan kerut di keningnya semakin dalam. "Apa maksudmu? Engkau
mengemasi semua barang, termasuk perhiasan dan barang berharga milikku, dan engkau akan
meninggalkan aku?"
Kini Suma Hok membalik dan isterinya terkejut melihat wajah yang tampan itu kini berubah
seperti iblis, begitu bengis dan kasar. “Sialan! Setelah semua yang kulakukan, hanya barangbarang
ini yang kudapatkan! Sungguh rugi besar selama berbulan-bulan ini aku memaksa diri
tinggal di sini dan menghambakan diri kepada bekas kaisar yang ternyata kini gagal segalagalanya.
Huh!"
Wajah Liu Kiok Lan menjadi pucat.
'"Kau ... kau ...! Bukankah engkau telah menjadi suamiku dan aku ini isterimu? Dan kau
mengatakan semua cita-citamu sia-sia? Dan aku ini kau anggap apa? Kalau memang hendak
pergi, tinggalkan semua barangku!"
"Ha-ha-ha, barang-barang ini untuk imbalan semua jasaku! Kalau bukan karena aku, engkau
akan menjadi seorang gadis yang ternoda aib, gadis yang bukan perawan lagi. Tadinya, aku
mengharapkan untuk menjadi seorang yang berkedudukan, akan tetapi melihat keadaannya
sekarang, kakakmu sudah tidak ada harapan. Untuk apa aku harus merendahkan diri lebih
lama lagi di sisimu?”
“Suma Hok!" Liu Kiok Lan membentak marah dan menudingkan telunjuknya ke arah muka
suaminya. "Setelah semua apa yang kaulakukan terhadap diriku, dan semua itu kuterima
dengan perasaan hancur namun terpaksa kudiamkan saja demi menjaga nama baik keluarga
kami, dan engkau sekarang hendak meninggalkanku begitu saja? Setelah engkau membunuh
Paman Pouw Cin yang setia, kemudian melakukan fitnah pula kepadanya, kemudian engkau
membohongi kakakku dan aku, engkau kini tidak mau bertanggung jawab? "
Suma Hok terbelalak. "Apa ...? Apa yang kaumaksudkan ...?"
Sebelum Kiok Lan menjawab, terdengar langkah kaki dan muncul seorang pengawal sehingga
suami isteri yang sedang bertengkar itu menahan kemarahan mereka dan menghentikan
pertengkaran.
"Ada keperluan apa engkau datang ke sini tanpa dipanggil?" bentak Suma Hok marah.
"Maaf, tai-hiap. Saya hanya ingin mengabarkan bahwa pemuda yang dulu pernah menjadi
buronan, yang bernama Kwa Bun Houw itu sekarang datang dan bercakap-cakap dengan
Sribaginda."
Diam-diam Suma Hok terkejut bukan main, sebaliknya Kiok Lan yang mendengar disebutnya
nama pendekar itu, nampak girang.
"Pergilah kami tidak ingin diganggu!”' kata Suma Hok dan pengawal itu lalu pergi. Setelah dia
pergi, Suma Hok menutupkan kembali daun pintu kamarnya dan menghadapi isterinya.
"Sekarang katakan, apa maksudmu dengan mengatakan semua tadi? Engkau bilang aku
melakukan fitnah kepada Paman Pouw Cin? Apa maksudmu?"
"Kaukira aku dapat percaya begitu saja ketika dahulu itu engkau mengatakan bahwa engkau
membunuh Paman Pouw Cin karena dia memperkosaku? Aku tidak pernah percaya seujung
rambutpun! Paman Pouw Cin adalah orang yang paling setia kepada kakakku dan aku, sudah
kukenal sejak aku kecil. Aku tahu dan mengenal betul orang macam apa dia. Bagaimana
mungkin dia mendadak saja berubah menjadi demikian keji? Akan tetapi karena engkau
bersedia mencuci aib pada diriku dengan menikahiku, akupun hanya menyimpan semua
dunia-kangouw.blogspot.com
keraguan itu di dalam hatiku. Kemudian, setelah aku mengenal benar watakmu. aku semakin
yakin bahwa dahulu engkaulah yang memperkosaku. Engkau membuat aku tidak sadar,
kemudian engkau memperkosaku. Ketika Paman Pouw Cin memergoki perbuatanmu, dia kau
bunuh, lalu engkau memutar balik kenyataan dan mengatakan bahwa engkau melihat Paman
Pouw Cin memperkosaku dan engkau membunuhnya. Kemudian, engkau memperlihatkan
kebaikanmu dengan bersedia mencuci aib dan menikahiku. Semua itu kaulakukan dengan
pamrih mendapatkan kedudukan! Dan sekarang, setelah usaha kakakku gagal, engkau hendak
meninggalkan aku begitu saja? Suma Hok, aku tidak akan tinggal diam, akan ku-laporkan
perbuatanmu itu kepada kakakku!”
Wajah Suma Hok berubah pucat ketika dia mendengar kata-kata itu. Kalau bekas kaisar Cang
Bu mendengar laporan adiknya ini, tentu dia akan ditangkap dan dihukum berat. Maka, dia lalu
pura-pura terkejut setengah mati dan dengan muka dibuat sedih dia mendekati isterinya.
"Isteriku, bagaimana engkau dapat mengeluarkan kata-kata sekeji itu? Tidak kusangkal bahwa
aku memang ingin mendapatkan kedudukan, akan tetapi siapakah orangnya yang tidak
mempunyai cita-cita tinggi? Akan tetapi, aku sama sekali tidak memperkosamu aku bahkan
menikahimu karena aku kasihan padamu, aku cinta padamu. Paman Pouw Cin yang
melakukannya, aku berani bersumpah Isteriku, kalau engkau tidak ingin aku pergi akupun tidak
akan pergi, akan tetapi jangan menuduhku yang bukan-bukan! Aku yang sudah mengorbankan
segalanya untukmu, kini masih menerima tuduhan keji ... " dan pemuda itu menangis sambil
menjatuhkan diri berlutut di depan isterinya.
Kiok Lan terkejut juga melihat suaminya menangis dan berlutut di depan kakinya.
Bagaimanapun juga, pria ini telah menjadi suaminya dan iapun sudah pernah berusaha
memaksa hatinya untuk mencintainya. Sikap suaminya yang menangis sedih dan berlutut di
depan kakinya itu membuat ia sejenak meragukan dugaannya sendiri dan iapun membungkuk
untuk membangunkan Suma Hok. Akan tetapi pada saat ia membungkuk untuk
membangunkan suaminya, Suma Hok menggerakkan tangan memukul dada istrinya. Pukulan
itu datangnya sama sekali tidak terduga-duga oleh Kiok Lan.
"Dukkk!!" Dadanya kena hantaman tangan Suma Hok dan seketika ia muntah darah. Akan
tetapi matanya melotot dan wanita itu masih mampu melakukan serangan totokan dengan ilmu
totok It-sin-ci, yaitu totokan satu jari. Namun, Suma Hok dapat menangkisnya sehingga jari
tangan Kiok Lan hanya mengenai lengan baju dan lengan baju itu berlubang, akan tetapi tubuh
wanita muda itu terkulai dan roboh, tewas seketika dengan mulut mengalirkan darah.
Suma Hok berteriak-teriak setelah mendorong jendela kamar itu terbuka dan diapun menangis.
Beberapa orang pengawal datang dan melihat adik majikan mereka tewas ditangisi Suma Hok,
mereka segera melapor kepada bekas kaisar Cang Bu.
Pada saat itu, Liu Tek atau bekas kaisar Cang Bu sedang menerima kunjungan Kwa Bun
Houw. Mula-mula, bekas kaisar itu terkejut bukan main melihat munculnya Kwa Bun Houw di
depannya. Akan tetapi karena sikap Bun Houw baik, tidak seperti musuh, diapun
mempersilakan tamu itu duduk dan diam-diam dia memberi isarat agar para pengawalnya
melakukan penjagaan.
"Kwa Bun Houw, apakah maksud kedatanganmu sekarang ini? Sebagai kawan atau sebagai
lawan?" tanya bekas kaisar itu sambil menatap tajam.
"Kongcu, saya datang bukan sebagai kawan maupun lawan karena sesungguhnya saya tidak
mempunyai urusan pribadi apapun dengan kongcu. Akan tetapi mengingat akan kebaikan
kongcu dan terutama sekali Nona Liu Kiok Lan, saya datang untuk memberi nasihat kepada
kongcu. Pertama, sebaiknya kalau kongcu menghentikan hubungan kongcu dengan kerajaan
Wei di utara. Dan ke dua sebaiknya kongcu cepat meningalkan tempat ini karena pasukan
kerajaan Chi akan melakukan penyerbuan setelah usaha pembunuhan terhadap Kaisar Siauw
Bian Ong dapat digagalkan."
Pada saat itulah pengawal datang berlari-larian dan melaporkan dengan napas memburu
bahwa adik bekas kaisar itu telah tewas di kamarnya. Mendengar ini, Liu Tek terbelalak dan
segera lari ke dalam, diikuti oleh Bun Houw yang juga terkejut bukan main mendengar laporan
itu. Dia belum tahu bahwa adik bekas kaisar itu telah menikah dengan Suma Hok.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika mereka tiba di kamar itu, mereka melihat Kiok Lan telah diangkat ke pembaringan dan
Suma Hok duduk di tepi pembaringan sambil menangisi kematian isterinya.
"Suma Hok, apa yang telah terjadi?" Liu Tek berteriak ketika memasuki kamar. Bun Houw juga
berdiri tertegun memandang ke arah mayat Kiok Lan yang masih nampak mengalirkan darah
dari mulutnya.
Suma Hok menoleh dan begitu melihat Kwa Bun Houw, diapun meloncat dan menyerang Bun
Houw dengan marah sambil membentak, "Engkau pembunuh! Engkau telah membunuh
isteriku!"
Bun Houw cepat mengelak ketika tangan Suma Hok menyambar ke arah mukanya. Suma Hok
yang serangannya luput itu membalik dan sudah menyerang lagi dengan pengerahan tenaga
sekuatnya. Namun, Bun Houw menangkis dan Suma Hok terhuyung.
"Suma Hok, hentikan ini! Engkau menuduhku yang bukan-bukan!" kata Bun Houw.
Suma Hok sudah menyambar sulingnya yang tadinya terletak di atas meja. "Jahanam Kwa Bun
Houw, engkau telah membunuh isteriku, aku harus membalas kematian isteriku!"
Mendengar ini, Liu Tek menengahi. "Nanti dulu, apa artinya ini, Suma Hok? Saudara Kwa Bun
Houw ini baru saja datang dan menghadap padaku, bagaimana engkau dapat mengatakan
bahwa dia telah membunuh Kiok Lan?"
"Ah, paduka tidak tahu. Jahanam ini memang licik sekali. Sebelum menghadap paduka dia
telah menyelinap ke kamar ini dan membunuh dinda Kiok Lan. Saya melihat sendiri ketika saya
memasuki kamar, jahanam ini melarikan diri melalui jendela!" Dia menunjuk ke arah daun
jendela yang terbuka.
Bekas kaisar ini kini menghadapi Bun Houw dan memandang penuh perhatian dan keraguan.
Bun Houw segera berkata, "Kongcu, harap diteliti dulu peristiwa ini. Mungkinkah saya akan
masih berada di sini, mengingatkan kongcu akan datangnya bahaya, kalau benar saya
membunuh nona Kiok Lan? Kalau boleh, saya ingin memeriksa jenazah nona Kiok Lan untuk
meneliti apa yang menyebabkan kematiannya."
Bekas kaisar itu mengangguk dan bersama Bun Houw dia mendekati jenazah adiknya. Bun
Houw memeriksa dan membuka baju di bagian dada. Nampak tanda pukulan membiru di dada
itu, pukulan yang amat kuat dan mengandung hawa panas! Akan tetapi bekas pangeran itu
lebih tertarik melihat tangan kanan adiknya seperti menekan atau mencengkeram ke arah perut.
Ketika dia menarik tangan itu, Bun Houw melihat betapa jari telunjuk tangan kanan itu bengkak
dan ketika dirabanya, maka tulang telunjuk itu patah pada buku jarinya. Bekas kaisar Cang Bu
melihat ujung lipatan kertas menyembul dari balik baju di pinggang adiknya. Diambilnya benda
itu yang ternyata sehelai kertas berlipat yang agaknya disembunyikan di ikat pinggang. Dia
membuka dan merabanya. Wajahnya berubah pucat sekali, dan tanpa bicara dia menyerahkan
kertas itu kepada komandan pengawalnya. Panglima itu membaca pula dan cepat dia berlari
keluar entah apa yang dilakukannya, hanya dia dan bekas kaisar itu yang mengetahuinya.
Sementara itu, Bun Houw yang memeriksa telunjuk, kini memandang kepada Suma Hok yang
masih berdiri tegak. Dan diapun menemukan apa yang dicarinya. Lengan baju Suma. Hok
berlubang dan tahulah dia bahwa agaknya tangkisan Suma Hok membuat jari telunjuk wanita
itu patah buku jarinya dan lubang pada lengan baju itu akibat ilmu totokan It-sin-ci dari
mendiang Liu Kiok Lan Suma Hok, “Engkaulah yang telah membunuh Nona Liu Kiok Lan
dengan pukulan Lui-kong-ciang (Tangan Halilintar), dan agaknya Nona Liu menyerangmu
dengan totokan It-sin-ci yang mengenai lenganmu ketika kau tangkis. Buktinya, lengan bajumu
itu berlubang. Dan engkau masih berani menuduh, aku yang membunuhnya!" kata Bun Houw.
"Ha-ha-ha, Kwa Bun Houw, engkau murid Tiauw Sun Ong, tentu tidak jauh berbeda dari
gurunya! Tidak perlu menyangkal atau memutarbalikkan kenyataan. Kenapa aku membunuh
isteriku sendiri yang tercinta? Engkaulah yang membunuhnya dan ketika aku memasuki kamar
ini, aku masih melihat bayanganmu meloncat keluar melalui jendela!"
Pada saat itu, komandan pengawal tadi muncul lagi bersama tujuh orang perwira, termasuk
pengawal yang tadi mengabarkan kepada Suma Hok tentang kedatangan Kwa Bun Houw.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Yang Mulia." kata panglima itu kepada Liu Tek. "Pengawal ini menjadi saksi bahwa ketika dia
melapor tentang kedatangan tamu, dia melihat Nona itu dan suaminya berada di kamar ini dan
agaknya sedang bertengkar."
"Suma Hok, engkau hendak berkata apalagi?" bekas kaisar itu menegur marah. "Bukan itu saja,
bukan hanya engkau membunuh adikku, juga dahulu engkaulah yang berbuat keji terhadap
adikku, lalu mengatakan bahwa Jenderal Pouw Cin yang melakukannya!"
Wajah Suma Hok menjadi pucat. "Sribaginda, semua itu bohong!" katanya membantah.
"Hemm, bohongkah surat yang ditulis sendiri oleh adikku ini? Agaknya adikku telah
mendapatkan firasat tidak enak dan membuat pengakuan ini di atas kertas. Sayang sebelum
melapor kepadaku, engkau sudah membunuhnya. Engkau manusia iblis!"
"Sudahlah, kalau engkau tidak percaya lagi kepadaku, aku mau pergi!” Suma Hok mencabut
sulingnya dan hendak menerjang keluar.
"Nanti dulu, engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang jahat dan kejam!"
kata Kwa Bun Houw dan diapun menghadang di pintu.
"Kwa Bun Houw, pengecut busuk. Engkau, hendak mengandalkan pengeroyokan?" teriak
Suma Hok yang tidak melihat jalan keluar lagi dan bersikap gagah untuk menyembunyikan rasa
takutnya.
"Siapa hendak mengeroyokmu? Hayo kita bertanding satu lawan satu di luar. Harap Kongcu
tidak memerintahkan orang mengeroyoknya, biar saya sendiri melawanuya."
Mendengar ucapan Kwa Bun Houw itu, Li Tek mengangguk, hanya memerintahkan para
perwiranya untuk mengatur pasukan mengepung agar Suma Hok tidak sampai lolos. Melihat
bahwa tidak mungkin lagi baginya untuk mololoskan diri, maka Suma Hok menjadi nekat.
Semuanya sudah gagal dan tidak ada jalan lain kecuali menunjukkan kegagahannya. Maka,
melihat Kwa Bun Houw sudah melangkah keluar, diapun dengan mengangkat dada, membawa
sulingnya, mengikuti keluar. Mereka saling berhadapan di ruangan terbuka sebelah luar kamar.
Maklum bahwa lawannya adalah putera seorang datuk besar dan sama sekali tidak boleh
dipandang ringan, Bun-Houw sudah mencabut pula senjatanya, yaitu Lui-kong-kiani (Pedang
Kilat)! dan semua orang terkesiap karena pedang itu seperti mengeluarkan sinar kilat ketika
dicabut.
"Kwa Bun Houw, sejak dahulu engkau menentangku dan menjadi penghalang bagiku! Sekali
ini, engkau atau aku yang mati!" bentak Suma Hok.
"Yang kutentang kejahatanmu, bukan dirimu!" bentak pula Bun Houw akan tetapi dia sudah
harus cepat menghindar karena selagi dia bicara, Suma Hok telah menyerang dengan suling
mautnya. Suling digerakkan dan ada sinar hitam menyambar dari ujung suling Bun Houw
miringkan tubuhnya dan menggerakkan pedang. Beberapa batang jarum beracun halus dapat
dipukul runtuh oleh pedangnya dan diapun memutar pedang membalas serangan lawan.
Tok-siauw-kwi (Iblis Suling Beracun) Suma Hok adalah seorang pemuda gemblengan yang
sukar dicari tandingannya. Dia telah mewarisi sebagian besar ilmu dari ayahnya dan bahkan dia
amat keji mempergunakan racun sehingga dijuluki Suling Beracun. Sulingnya yang disepuh
perak itu bukan saja mampu mengeluarkan jarum beracun, juga permukaan suling itu
mengandung racun yang amat jahat. Ketika dia mengamuk dan menerjang Bun
Houw, bentuk suling itu lenyap dan yang nampak hanyalah gulungan sinar putih dibarengi
suara mendengung-dengung.
Akan tetapi, yang dilawannya adalah Kwa Bun Houw, Si Pedang Kilat yang dalam segala hal
jauh lebih tinggi tingkatnya. Bahkan ayahnya sendiri, Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, tidak
akan mampu menandingi Si Pedang Kilat, apalagi dia! Ketika Bun Houw memainkan
pedangnya, nampak sinar kilat bergulung-gulung dan menggulung sinar perak dari suling di
tangan Suma Hok. Pemuda ini terkejut bukan main karena ke manapun sulingnya bergerak,
selalu bertemu sinar pedang yang bagaikan benteng yang kokoh. Sebaliknya, dari gulungan
sinar pedang itu kadang mencuat sinar yang menyambar bagaikan kilat, membuat Suma Hok
dunia-kangouw.blogspot.com
berulang kali harus melempar tubuh ke belakang dengan muka pucat karena nyaris dia
disambar sinar pedang kilat.
Mulailah rasa takut dan panik mencengkeram hati Suma Hok. Dia maklum bahwa dia tidak akan
menang bertanding melawan Kwa Bun Houw, maka dari pada melanjutkan perkelahian yang
tidak memberi harapan itu. lebih baik dia mencoba menerobos kepungan dan melarikan diri ...
Tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah meloncat ke sebelah kiri. Dia
disambut todongan golok dan tombak pasukan, akan tetapi Suma Hok menggerakkan
sulingnya dan sinar hitam dari jarum-jarum halusnya merobohkan lima orang! Dan diapun
mengamuk dengan sulingnya dan berhasil merobohkan lagi lima orang! Dalam sekejap mata
saja dia sudah merobohkan sepuluh orang lawan yang tidak mungkin dapat ditolong lagi karena
keracunan. Melihat ini, sekali melompat Bun Houw sudah berada di depannya dan
menggerakkan pedangnya.
"Trangg ...!!” Nampak bunga api berpijar ketika suling di tangan Suma Hok menangkis dan
patah menjadi dua potong! Iblis Suling Beracun ini terkejut dan marah, lalu dengan nekat dia
menubruk ke depan dengan sulingnya yang buntung, akan tetapi kaki Bun Houw
menyambutnya dengan tendangan.
"Desss ...!!" Dada Suma Hok tertendang dan diapun terjengkang pingsan.
"Tangkap dia hidup-hidup!” bentak bekas kaisar Cang Bu yang sudah marah sekali terhadap
bekas adik iparnya itu. Banyak tangan membelenggu Suma Hok yang sudah pingsan itu
sehingga kaki tangannya terikat kuat-kuat, membuat dia setelah siuman tak mampu bergerak
lagi.
Bun Houw segera menghadapi bekas kaisar itu dan berkata, "Kongcu, seperti pernah saya
katakan dahulu, saya tidak ingin mencampuri urusan perebutan kekuasaan. Kedatangan saya
ini hanya untuk memberi tahu agar kongcu suka cepat menyelamatkan diri. Saya ikut bersedih
dengan peristiwa terbunuhnya Nona Liu Kiok Lan. Sekarang, perkenankan saya untuk
berparait."
Bekas kaisar itu merasa kecewa sekali bahwa seorang yang lihai seperti Si Pedang Kilat itu
tidak mau bekerja sama dengan dia. Biarpun dia berterima kasih dengan peringatan dan
pemberitahuan bahwa pasukan kerajaan Chi akan menyerbu, namun dia tidak ingin mundur
lagi. Dia sudah bersusah payah mengumpulkan tenaga untuk melakukan perang merebut
kembali tahta kerajaan, maka dia tidak mau melarikan diri lagi.
"Terima kasih, Kwa-taihiap. Mudah-mudahan kita akan dapat saling bertemu lagi dalam
keadaan yang lebih baik. Aku merasa menyesal sekali telah terkena bujukan dan tipuan
penjahat macam Suma Hok sehingga pernah memusuhimu."
Bun Houw meninggalkan tempat itu dan benar seperti yang dia peringatkan kepada bekas
kaisar itu, dua hari kemudian, tempat itu diserbu pasukan yang amat besar jumlahnya. Terjadi
perang karena bekas Kaisar Cang Bu melakukan perlawanan mati-matian. Namun semua
usahanya itu sia-sia. Kerajaan Wei di utara juga tidak mengirim bantuan melihat sekutunya
diserang itu, hanya memperkuat penjagaan di perbatasan. Pasukan dari bekas kaisar Cang Bu
itu dapat dihancurkan setelah pertempuran selama sehari semalam. Kaisar Cang Bu sendiri
tidak mau ditawan dan membunuh diri, setelah dia dengan pedangnya sendiri membunuh
Suma Hok yang menjadi tawanan.
Perang merupakan puncak merajalelanya nafsu, karena perang memperebutkan kemenangan
tanpa menghiraukan pengorbanan banyak nyawa manusia. Mengapa di seluruh dunia ini,
kehidupan manusia tidak terbebas dari pada perang, baik perang antara bangsa, antara
kelompok, antar keluarga, maupun antar perorangan? Perang terjadi setiap hari, dimulai dari
perang atau konflik dalam batin pribadi, mencetus keluar menjadi konflik antar perorangan,
membengkak menjadi perang antar kelompok, sampai antar bangsa. Sumbernya terletak
kepada si aku yang mengejar kesenangan dengan cara apapun juga. Si aku adalah pikiran
yang bergelimang nafsu, dan nafsu selalu memang mengejar kesenangan dan kepuasan.
Memperebutkan kemenangan karena yang menang itu berkuasa, dan yang berkuasa tentu saja
selalu benar, selalu berada di atas, karenanya menginjak yang di bawah dan tidak mungkin
dunia-kangouw.blogspot.com
terinjak karena yang di bawah tidak mungkin dapat menginjak yang berada di atas. Menang,
berkuasa, duduk di atas, selalu benar, selalu baik, selalu dapat menentukan apa saja,
karenanya, tentu saja senang! Jadi, semua pencarian itu menuju ke arah satu, yaitu
kesenangan! Kedudukan diperebutkan karena kedudukan merupakan sarang kesenangan.
Segala macam kebutuhan terpenuhi, segala macam keinginan tercapai, dan di dalam
kekuasaan itu terdapat segalanya. Kekayaan, identitas, dan kemuliaan.
Betapa kita mudah melupakan kenyataan: yang dapat kita lihat dati sejarah, bahwa makin
besar kesenangan yang kita raih dan dapatkan, makin besar pula kesusahan menanti di
ambang pintu. Seseorang yang disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai pendukungan,
pada lain keadaan mungkin akan disambut dengan cemooh dan binaan, sebagai korban dari
kedudukannya. Seorang yang kaya raya dan menikmati kekayaannya di satu saat, di lain saat
mangkin saja akan dicekam ketakutan hebat akan kehilangan kekayaannya, atau disiksa
kedukaan besar karena kehilangan kekayaannya. Seorang yang berada di puncak kemashuran
dan dipuja-puja, sekali waktu dapat saja jatuh ke bawah dan pujaan itu berubah menjadi ejekan
dan kutukan. Bagaikan sebuah biduk kecil dipermainkan gelombang samudera. kitapun
dipermainkan oleh hasil dan gagal, kepuasan dan kekecewaan, kesenangan, dan kesusahan,
kebosanan, iri hati, iba diri, dan segala macam permainan pikiran yang dicengkeram nafsu daya
rendah.
***
Sekelompok orang yang berada di dalam ruangan besar itu nampak muram, bahkan ada
beberapa orang di antara mereka yang marah-marah. Mereka duduk mengelilingi meja besar
dan yang duduk di kepala meja adalah tiga orang yang kelihatan berwibawa. Mereka
merupakan pimpinan dari pasukan Kerajaan Wei yang kini menduduki dusun Thai-bun dan
yang membentuk sebuah perkumpulan bernama Thian-te Kui-pang. Tiga orang pimpinan itu
merupakan saudara-saudara seperguruan, yaitu yang pertama berjuluk Pek-thian-kui (Iblis
Putih dari Utara) berusia lima puluh tahun dengan tubuh gendut bundar dan mukanya halus.
Orang ke dua berjuluk Huang-ho Kui (Iblis Sungai Ku ning) berusia empat puluh sembilan
tahun, bertubuh tinggi kurus dengan jenggot dan kumis jarang. Yang ke tiga berjuluk Toar
beng-kui (Iblis Pencabut Nyawa) bertubuh sedang, berusia empat puluh tahun dan wajahnya
tampan, matanya liar. Mereka inilah yang dikenal sebagai Bu-tek Sam kui (Tiga Iblis Tanpa
Tanding) yang menjadi jagoan-jagoan istana kaisar kerajaan Wei dan nama mereka amat
terkenal di utara. Kini mereka menerima tugas dari kaisar mereka untuk membawa seratus
orang anak buah, menyusup ke selatan untuk membikin kacau kerajaan baru Chi yang nampak
semakin berkembang. Di dusun Thai-bun, pasukan itu membunuhi penduduk, menjadikan
dusun itu sebagai markas mereka dan mereka tidak lagi memakai seragam pasukan kerajaan
Wei, melainkan berpakaian hitam-hitam sebagai anggauta. Thian-te Kui-pang.
Di sisi lain dari meja panjang itu, menghadap tiga orang Bu-tek Sam-kui, duduk tokoh-tokoh
persilatan yang dikenal sebaga datuk-datuk persilatan yang lihai. Kui-siauw Giam-ong (Raja
Maut Suling Iblis) Suma Koan, datuk besar majikan bukit Bayangan Iblis berada di situ. Juga
nampak Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) Ouwyang Sek, datuk besar majikan Lembah
Bukit Siluman yang berusia lima puluh tiga tahun, beberapa tahun lebih muda dibandingkan
Suma Koan.
Di samping Ouwyang Sek duduk pula Kwan Im Sian-li (Dewi Kwan Im) Bwe Si Ni yang biarpun
sudah berusia hampir lima puluh tahun akan tetapi masih nampak cantik manis seperti baru
berusia tiga puluh tahun saja. Seperti kita ketahui, wanita yang dahulunya merupakan seorang
dayang istana ini, yang pernah jatuh cinta dan tergila-gila kepada bekas Pangeran Tiauw Sun
Ong, dalam usahanya membalas dendam karena ditolak cintanya oleh bekas pangeran itu,
kalah oleh Tiauw Sun Ong dan ia dibantu oleh Ouwyang Sek. Semenjak waktu itu, ia
bersahabat dengan Ouwyang Sek dan memang keduanya memiliki watak yang sama, apalagi
Ouwyang Sek telah menjadi seorang duda, maka keduanya menjadi akrab. Oleh karena itu,
ketika Ouwyang Sek dibujuk oleh Bu-tek Sam kui untuk bekerja sama, dia mengajak pula Kwan
Im Sian-li sehingga keduanya sekarang berada di markas Thian-te Kui-pang itu.
Selain tiga pimpinan Thian-te Kui-pang dan tiga orang datuk ini, masih ada lagi lima orang
pembantu Bu-tek Sam-kui yang merupakan perwira atau pimpinan pasukan Thian-te Kui-pang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka agaknya nampak murung dan marah, membicarakan sesuatu yang penting dengan
penuh semangat.
"Brakk!” Tangan kiri Kui-siauw Giam-ong menggebrak meja di depannya sehingga tergetar.
"Puteraku Suma Hok mati terbunuh! Akan tetapi aku tidak mau melakukan balas dendam
karena pembunuhnya, bekas Kaisar Cang Bu, juga sudah mampus. Sungguh membuat hati
merasa penasaran sekali!” Kakek yang kecil kurus namun amat lihai ini menyambar cawan
araknya dan sekali tuang, arak dalam cawan sudah memasuki perutnya. Agaknya dia masih
belum puas dan menyambar guci arak lalu menuangkan isinya, menggelogoknya, seolah arak
itu akan dapat mengusir ke marahannya.
"Giam-ong, kenapa penasaran kepada bekas kaisar itu? Yang menjadi biang keladi kematian
puteramu bukanlah dia, melainkan orang yang juga menjadi biang keladi puteraku Ouwyang
Toan tertangkap dan dihikum mati. Orang itulah yang telah membunuh anakmu dan anakku!"
"Siapakah dia !” Suma Koan bertanya dan memandang kepada rekannya dengan mata merah.
"Siapalagi kalau bukan si jahanam Kwa Bun Houw? Menurut para penyelidik yang berhasil lolos
ketika markas bekas Kaisar Cang Bu diserbu pasukan pemerintah, sebelum pasukan
pemerintah menyerbu, Kwa Bun Houw datang berkunjung untuk memperingatkan bekas kaisar
itu agar tidak bergabung dengan kerajaan Wei dan agar melarikan diri karena akan diserbu
pasukan pemerintah. dan dalam pertemuan itulah Kwa Bun Houw menyerang dan merobohkan
puteramu. Dia ditangkap dengan tuduhan membunuh isterinya serdiri, adik bekas Kaisar Cang
Bu. Kemudian, setelah terjadi penyerbuan dan Kaisar Cang Bu kalah, dia membunuh anakmu
yang telah tertawan sebelum membunuh diri. Nah. bukankah kematian anakmu itu gara-gara
Kwa Bun Houw? Karena Kaisar Cang Bu sudah mati, engkau harus membalas kematian
anakmu kepada Kwa Bun Houw, seperti juga aku akan menuntut balas atas kematian anakku."
"Bukankah Ouwyang Toan, anakmu itu mati karena dihukum mati oleh pemerintah kerajaan
Chi?" tanya Suma Koan.
Bu-eng kiam Ouwyang Sek menghela napas panjang sebelum menjawab dengan suara sedih.
“Memang benar, akan tetapi kegagalan Ouwyang Toan dan Bi Moli Kwan Hwe Li juga garagara
campur tangannya Kwa Bun Houw yang menyamar dan menjadi pengawal pribadi kaisar.
Karena dialah maka penyerangan itu gagal dan anakku bersama Bi Moli tertawan dan dijatuhi
hukuman mati." Dia mengepal tinju dan berteriak. "Kwa Bun Houw, aku pasti akan
menghancurkan kepalamu untuk membalas kematian anakku!"
Dua orang datuk yang biasanya tidak pernah saling mengacuhkan itu, kini bersatu hati untuk
menentang dan membalaskan kematian putera mereka kepada Kwa Bun Houw.
Melihat kedua orang datuk itu marah-marah, Pek-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kwi,
berkata, "ji wi (kalian berdua) suka bersabar. Kami mengetahui akan dendam kemarahan hati jiwi,
akan tetapi kita harus mengingat bahwa selain Kwa Bun Houw itu memiliki ilmu silat yang
amat tangguh, juga agaknya dia memiliki pula kawan-kawan dari golongan kang-ouw yang
menentang kita, seperti terbukti ketika dia membantu Thian-beng-pai dan Hek-tung Kai-pang
yang tidak mau tunduk kepada kita. Oleh karena itu, harap ji-wi suka bersabar dan bergabung
dengan kami. Kalau kita bersatu, dengan kekuatan anak buah kita, kiranya tidak akan sukar
untuk membalas dendam kita terhadap Kwa Bun Houw.”
"Akupun harus menghajar pemuda sombong itu!" Kwan Im Sian li Bwe Si Ni berkata. "Beberapa
kali diapun berani menentangku!”
"Kalau begitu, bagus sekali! Pek-thian-kui, kami rasa, kami bertiga saja sudah cukup untuk
menemukan Kwa Bun Houw dan memenggal lehernya! Tidak perlu kalian Bu-tek Sam-kui ikutikut!"
kata Ouwyang Sek.
"Apa yang dikatakan Bu-eng-kiam itu benar, Bu-tek Sam-kui." kata pula Kui-siauw Giam-ong
Suma Koan. "Setelah usaha kita bersama gagal, bahkan kami berdua telah mengorbankan
putera kami, maka tidak ada gunanya lagi kerja sama ini. Kaisar Cang Bu telah tewas,
pasukannya telah hancur, untuk apalagi kita bekerja sama? Kalian adalah petugas dari
kerajaan Wei, akan tetapi kami bertiga tidak mempunyai urusan dengan perebutan kekuasaan
dunia-kangouw.blogspot.com
antara kerajaan di utara dan kerajaan di selatan. Kami bertiga hendak mencari dan menghukum
Kwa Bun Houw karena urusan pribadi, tidak ada lagi sangkut-pautnya dengan kerajaan Wei."
"Akupun setuju," kata Kwan Im Sian-li. “Yang jelas, kerja sama itu ternyata tidak
menguntungkan, bahkan merugikan kami. Giam-ong dan Bu-eng-kiam, mari kita bertiga
mencari Kwa Bun Houw dan kalau Tiauw Sun Ong membela muridnya, kita bunuh sekalian
manusia sombong itu!"
Tiga orang datuk itu lalu bangkit dan meninggalkan tempat itu tanpa ada yang berani
mencegah. Bu-tek Sam-kui hanya dapat saling pandang saja. Mereka mendapat tugas
memimpin anak buah mereka untuk mengacau dan melemahkan kerajaan Chi, dan untuk
melaksanakan tugas itu mereka berhasil menarik banyak tokoh kang-ouw golongan sesat untuk
membantu mereka dengan janji yang muluk. Bahkan mereka berhasil mengikat kerja sama
dengan bekas Kaisar Cang Bu dan bersama-sama mengatur siasat untuk membunuh Kaisar
kerajaan Chi dan menguasai dunia kang-ouw. Akan tetapi, ternyata usaha membunuh Kaisar
Siauw Bian Ong itu gagal, juga mereka tidak berhasil menguasai dunia kang-ouw sepenuhnya.
Tadinya, mereka mengharapkan para datuk seperti Ouwyang Sek dan Suma Koan untuk
mereka jadikan jago dan beng-cu dalam pemilihan beng-cu dunia kang-ouw. Hal inipun gagal
karena sekarang, dua orang datuk itu bersama Kwan Im Sian-li meninggalkan mereka dalam
usaha mereka untuk mencari musuh pribadi mereka.
'Tidak ada jalan lain, kita harus mulai dari pertama, yaitu mengadakan pengacauan di
sepanjang tapal batas selatan sambil mengirim laporan tentang kegagalan itu kepada
Sribaginda dan menanti perintah selanjutnya," kata Pek-thian-kui. Dua orang sutenya setuju
dan segera mereka membuat laporan untuk dikirim kepada kaisar mereka di utara.
Mulailah para anggauta Thian-te Kui-pang itu mengganas lagi di perbatasan, mengganggu
dusun-dusun, merampok dan membunuh dan mereka dikenal sebagai gerombolan iblis Hitam
karena pakaian mereka serba hitam dan kebuasan mereka seperti iblis. Gegerlah perbatasan
dan banyak penduduk mengungsi ke pedalaman. Kalau ada pendekar atau petugas keamanan
berani menentang, mereka semua dibunuh.
Sementara itu, Ouwyang Sek, Bwe Si Ni dan Suma Koan melakukan perjalanan bersama
menuju Hoa-san. Bwe Si Ni yang menjadi penunjuk jalan karena wanita itu pernah mendatangi
tempat bekas pangeran itu mengasingkan diri, yaitu di sebuah di antara puncak-puncak
pegunungan Hoa-san. Mereka bertiga sudah bertekad untuk mencari Bun Houw di sana dan
kalau pemuda yang menjadi musuh besar mereka itu tidak berada di sana, mereka akan
menawan Tiauw Sun Ong untuk memancing datangnya pemuda itu yang mereka yakin pasti
akan membela gurunya.
"Si Buta itu lihai bukan main," Ouwyang Sek memperingatkan rekannya, Suma Koan. "Babkan
aku dan Sian-li pernah mengeroyoknya dan biarpun kami dapat melukainya, dia masih mampu
memaksa kami pergi membawa luka."
"Akan tetapi aku yakin bahwa dengan adanya Giam-ong membantu, kita akan dapat
menundukkan jahanam buta itu," kata Kwa Im Sian-li gemas karena kini ia amat membenci pria
yang pernah dicintanya setengah mati itu.
Cintakah itu kalau dapat berubah menjadi benci? Cinta yang mengandung cemburu, ingin
memiliki, kemudian berubah menjadi kebencian sesungguhnya hayalah gairah nafsu belaka
Cinta seperti itu tentu saja menimbulkan berbagai masalah, mendatangkan konflik-konflik-
Sudah menjadi sifat nafsu untuk selalu mengejar kesenangan. Aku cinta padamu, karena kamu
mendatangkan kesenangan padaku, demikianlah isi cinta gairah nafsu itu, baik itu cinta antara
pria dan wanita, kitara orang tua dan anaknya, antara sahabat, bah kan cinta seseorang
terhadap apa saja. Selama terkandung pamrih demi kesenangan diri pribadi, walaupun pamrih
ini seringkali bersembunyi di balik siogan dan gagasan agung maka cinta seperti itu pasti
menimbulkan konflik, dan dapat berubah meojadi benci, karena cinta gairah dan kebencian
bersumber satu, yaitu nafsu. Aku cinta kamu selama kamu menyenangkan. Begitu kamu tidak
menyenangkan, maka aku benci kamu! Karena itu, cinta seperti ini selalu memilih, yang paling
menyenangkan, itulah yang dicinta.
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikian pula "cinta" yang pernah mengusik hati Kwan Im Sian-li Bwe Si Ni. Ia pernah jatuh
cinta kepada seorang pangeran yang tampan dan menyenangkan, yaitu Pangeran Tiauw Sun
Ong. Biarpun cintanya tidak mendapat balasan, namun ia tetap mencinta karena ia kagum dan
suka kepada pangeran itu, bahkan setelah dia tidak lagi menjadi pangeran dan menjadi
seorang buta, ia tetap mengharapkan menjadi pasangan hidupnya. Namun, penolakanpenolakan
Tiauw Sun Ong, bahkan yang mengakibatkan perkelahian, mengubah cintanya
menjadi benci. Kalau ia masih mengharapkan diterima sebagai pasangan hidup, adalah karena
biarpun sudah tua dan buta, Tiauw Sun Ong masih amat menarik hatinya sebagai seorang
yang amat lihai ilmu silatnya. Penolakan itu menyakitkan hatinya dan sekaligus mengubah
cintanya menjadi benci dan kini ia hanya mempunyai satu keinginan terhadap Tiauw Sun Ong,
yaitu membunuhnya!
Pada waktu itu, Tiauw Sun Ong tidak tinggal sendirian lagi di pondoknya. Kini dia ditemani
puterinya, Tiauw Hui Hong, anak kandung yang baru ditemukannya setelah anak itu berusia
dua puluh satu tahun! Bahkan baru saja dia mengetahui bahwa dia mempunyai seorang
keturunan dari selir kaisar yaitu kakaknya, yang menjadi kekasihnya. Ternyata kekasihnya itu
telah mengandung keturunannya ketika mereka tertangkap dan dipisahkan. Tentu saja ayah
dan anak ini merasa berbahagia sekali dan Tiauw Sun Ong yang menemukan anaknya sebagai
seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi sebagai anak tiri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek.
segera menggembleng puterinya itu dan mengajarkan ilmu-ilmu simpanannya. Karena gadis itu
memang telah memiliki dasar yang kuat sebagai anak angkat dan murid datuk majikan Lembah
Bukit Siluman itu, maka tidaklah terlalu sukar baginya untuk melatih ilmu-ilmu yang kini
diajarkan ayah kandungnya kepadanya. Selama beberapa bulan tinggal bersama ayahnya di
Hoa-san. Hui Hong telah memperoleh kemajuan pesat sekali dan ia kini menjadi jauh lebih lihai
dibandingkan beberapa bulan sebelumnya, Karena puterinya itu memiliki ilmu Siang-kiam
(Sepasang Pedang) yang cukup lihai, maka Tiauw Sun Ong lalu mengajarkan ilmu totok
dengan tongkat yang dimainkan oleh tangan kiri Hui Hong, sedangkan tangan kanannya tetap
memainkan pedangnya. Kalau tadinya Hui Hong bersenjatakan sepasang pedang, kini ia
mengganti pedang kirinya dengan sebatang tongkat yang dapat diambilnya di mana saja,
sebatang rantingpun jadi. Dan ternyata ranting itu jauh lebih berbahaya. bagi lawan
dibandingkan kalau tangan kirinya memegang pedang! Juga pedang di tangan kanannya
mendapatkan banyak kemajuan setelah Tiauw Sun Ong menambahkan jurus-jurus baru. Juga
bekas pangeran ini mengajarkan cara menghimpun hawa sakti kepada puterinya sehingga
dalam hal tenaga sakti, Hui Hong juga menjadi semakin kuat.
Gadis itu merasa berbahagia sekali. Bukan hanya karena kini ia hidup dekat ayahnya, dapat
mencucikan pakaian ayahnya, dapat memasakkan makanan untuk ayahnya dan menerima
pelajaran ilmu dari ayahnya. Akan tetapi juga karena ayahnya menjodohkan ia dengan Bun
Houw! Kini ia tinggal menanti datangnya pemuda yang memang sebelum ayahnya
menjodohkannya, telah menjadi pujaan hatinya itu. Kebahagiaan membuat Hui Hong nampak
semakin cantik jelita karena wajahnya selalu cerah. Kalau dahulu, sebagai puteri datuk
Ouwyang Sek, ia bersikap dingin, keras dan galak, kini di bibirnya yang mungil itu selalu
nampak senyum manis, matanya yang tajam bersinar-sinar itu mengandung kelembutan, dan
wajahnya selalu berseri.
Pada sore hari itu, Hui Hong berlatih silat pedang dan tongkatnya di belakang pondok ayahnya.
Kini ia duduk mengaso dan menghapus keringat yang membasahi leher dan dahinya, dengan
sehelai kain. Ia harus mengeringkan dulu keringatnya sebelum mandi! Dalam udara dingin
puncak dapat berkeringat seperti itu, menunjukkan bahwa dalam latihan tadi Hui Hong
mengerahkan banyak tenaga. Namun ia merasa puas dan tersenyum-senyum. Jurus paling
sulit yang diajarkan ayahnya, setelah diulang-ulang selama beberapa hari, akhirnya hari ini
dapat ia lakukan dengan baik. Ayahnya tentu akan girang sekali. Melihat Hui Hong duduk di
atas batu, rambutnya awut-awutan, mukanya basah oleh keringatnya, dan kemerahan karena
mengerahkan tenaga, kedua pipinya segar kemerahan dan bibirnya lebih merah lagi, membuat
siapa saja yang melihatnya akan merasa kagum. Ia memang cantik jelita, seperti ibunya, selir
kaisar yang memadu kasih dengan ayahnya.
Hui Hong sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, tiga orang bersembunyi di balik batu-batu
gunung yang besar dan mengintai ke arah pondok ayahnya. Tentu saja tiga orang itu tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
dapat melihat Tiauw Sun Ong yang berada di dalam pondok, sebaliknya melihat jelas Hui Hong
yang duduk di atas batu.
"Bu-eng-kiam, bukankah gadis itu anakmu Hui Hong?” Suma Koan berbisik.
"Ia bukan anakku lagi,” jawab Ouwyang Sek gemas.
"Ahhh, kiranya begitu? Jadi gadis itu telah bertemu dan berkumpul dengan ayah kandungnya?"
kata pula Suma Koan.
"Ssttt, kebetulan sekali ia berada di sini," kata Kwan Im Sian-li, "Ia merupakan umpan yang
lebih baik untuk memancing datangnya Kwa Bun Houw."
"Benar sekali, bocah itu saling mencinta dengan Bun Houw. Kalau kita tawan, pasti Bun Houw
akan muncul dan mencoba untuk membebaskannya." kata Ouwyang Sek, "Hemm, kalau
begitu, kalian berdua siap menghadapi Tiauw Sun Ong, biar aku sendiri yang menangkap gadis
itu." kata Raja Maut Suling Setan itu, akan tetapi Kwan Im Sian-li menyentuh lengannya ketika
datuk itu hendak keluar dari tempat sembunyinya.
“Giam-ong, kalau engkau sembrono, engkau akan menggagalkan semuanya. Jangan pandang
ringan bekas murid Bu-eng-kiam itu. Kalau kita menghadapi Tiauw Sun Ong bertiga, tentu kita
akan mampu menang, akan tetapi kalau Tiauw Sun Ong dibantu gadis itu, akan lebih sulit bagi
kita. Sebaikya kita bertiga bersama-sama menangkap gadis itu sehingga kalau Tiauw Sun Ong
keluar, kita dapat menundukkannya tanpa membuang tenaga, hanya dengan menyandera
puterinya saja. Dan dengan mereka berdua sebagai umpan pancingan, aku yakin Kwa Bun
Houw akan segera datang dan terjatuh ke tangan kita."
Dua orang datuk itu mengangguk-angguk mendengar ucapan Kwan Im Sian-li. Mereka lalu
berbisik-bisik mengatur siasat dan tak lama kemudian ketiganya berindap-indap menghampiri
Hui Hong yang masih duduk menyeka keringat dan menikmati kenyamanan hawa udara sejuk
yang mengipasi tubuhnya yang masih panas oleh pengerahan tenaga-dalam latihan tadi. Tiga
orang itu adalah datuk-datuk persilatan yang telah memiliki kepandaian tinggi sekali sehingga
mereka mampu bergerak tanpa menimbulkan suara. Akan tetapi, selama beberapa bulan
menerima gemblengan ayahnya yang buta, Hui Hong telah diajar pula mempertajam
pendengarannya, seperti ayahnya yang seolah menggantikan tugas matanya yang tidak dapat
melihat itu dengan telinganya. Maka, setelah tiga orang itu agak dekat, pendengarannya dapat
menangkap pernapasan mereka dan cepat ia meloncat turun dari atas batu. Namun terlambat.
Tiga orang itu sudah terlampau dekat dan kini mereka telah mengepung Hui Hong dari tiga
jurusan.
Andaikata ia tidak dikepung sekalipun, Hui Hong tidak akan melarikan diri. Gadis ini memiliki
keberanian luar biasa, apalagi setelah ia mendapat gemblengan dari ayahnya dan sepasang
senjata itu masih di tangannya. Ia tidak akan gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun
juga. Akan tetapi, ketika ia melihat siapa yang mengepungnya, ia mengerutkan alisnya dan
maklum bahwa ia berhadapan dengan lawan-lawan yang amat tangguh. Tentu saja ia
mengenal Ouwyang Sek, orang yang selama ini dianggap sebagai ayahnya sendiri, juga
gurunya yang mengajarkan ilmu silat kepadanya sejak ia kecil. Dan ia mengenal pula Suma
Koan, datuk majikan Bukit Bayangan Iblis yang amat tangguh itu, orang yang pernah
melamarnya untuk dijadikan mantunya. Dan iapun mengenal pula Kwan Im Sian-li, datuk wanita
yang pernah membohonginya dan berusaha mengadu ia dengan ayah kandungnya sendiri.
Tiga orang datuk kaum sesat maju sekaligus menghadapinya! Sungguh merupakan lawan yang
amat tangguh dan berbahaya. Namun, ia siap dengan pedang dan tongkatnya, menghadapi
mereka dengan sikap gagah sekali.
"Kalian ...! Mau apa kalian bertiga datang ke sini?" ia bertanya dan sedikitpun ia tidak
memperlihatkan sikap takut.
"Tangkap ...!!" Ouwyang Sek berseru dan iapun sudah menyerang dengan kedua tangannya
terjulur ke depan dan dari kedua tangan itu menyambar angin pukulan dahsyat ketika dia
berusaha untuk merobohkan bekas murid atau anak tirinya itu dengan totokan dan
cengkeraman. Akan tetapi Hui Hong sama sekali tidak mengelak, bahkan tongkat di tangan
kirinya menyambut cengkeraman tangan Ouwyang Sek dengan totokan ke arah telapak tangan
itu, dan pedangnya menyambar ke arah pergelangan tangan yang menotoknya!
dunia-kangouw.blogspot.com
"AHHH ...!!" Ouwyang Sek berseru kaget, tidak menyangka bekas murid ini akan
menyambutnya seperti itu, dengan jurus yang sama sekali tidak disangka dan tidak dikenalnya,
bahkan menggantikan pedang kiri dengan tongkat yang lihai bukan main. Terpaksa dia
meloncat ke belakang dan pada saat itu Kwan Im Sian-li dan Suma Koan sudah bergerak maju
membantu rekan mereka. Suma Koan menggunakan suling mautnya untuk melakukan
serangan totokan, sedangkan Bwe Si Ni menerkam dari samping dengan kedua tangannya
yang membentuk cakar harimau. Serangan kedua orang ini hebat sekali sehingga Hui Hong
terdesak hebat, biarpun ia sudah memutar pedang dan tongkatnya. Tenaga sin-kang dari kedua
orang inipun amat kuat.
Selagi ia berlompatan mengelak dari desakan kedua orang lawan itu, tiba-tiha belakang lutut
kirinya terkena tendangan kaki Ouwyang Sek dan Hui Hong jatuh berlutut dengan sebelah kaki
dan pada saat itu, pedang di tangan Kwan Im Sian-li Bwe Si Ni telah menempel di lehernya.
"Jangan berserak, bergerak berarti mati!" bentak Bwe Si Ni dengan suara mengejek.
Suma Koan merampas tongkat dan pedang dari tangan Hui Hong yang terpaksa
melepaskannya karena ia sudah tidak berdaya ditempeli pedang lehernya. Ia bukan seorang
nekat yang bodoh untuk melawan dalam keadaan seperti itu yang akan sama saja dengan
membunuh diri atau mati konyol. Akan tetapi ia masih sempat berseru nyaring, "Ayaaaahhh ...!!”
Terdengar jendela pondok itu jebol dan tubuh Tiauw Sun Ong melesat di luar bagaikan seekor
burung garuda menyambar ke arah tempat itu! Tiga orang itu sudah siap dan pedang yang
menempel di leher Hui Hong semakin kuat. Tanpa mengeluarkan suara tubuh Tiauw Sun Ong
sudah berdiri di depan tiga orang itu, tongkatnya melintang di depan, mukanya agak miring
karena dia menggunakan tenaga yang dikerahkan kepada kedua telinganya untuk
mendengarkan gerakan tiga orang itu. Biarpun kedua matanya tidak dapat melihat lagi, namun
perasaan dan pendengaran, juga penciumannya, seolah dapat menggantikan kekurangan itu
dan dia dapat mengetahui apa yang sedang terjadi di depannya!
"Hui Hong, tak dapatkah engkau melepaskan dirimu?" tanya Tiauw Sun Ong dan suaranya
mengandung wibawa yang kuat sehingga tiga orang itu mau tidak mau merasa jerih juga.
“Ayah, mereka mengeroyok dan menangkapku secara curang." kata Hui Hong, namun ia tidak
berani bergerak karena sekali ia bergerak, pedang itu dapat memenggal lehernya.
"Hemm, siapa kalian bertiga dan apa maksud kalian menangkap puteriku?"
"Tiga orang datuk itu menutupi perasaan jerih mereka dengan suara tawa mereka. Mereka
sengaja menertawakan Tiauw Sun Ong karena sudah merasa menang dengan tertawannya
puteri bekas pangeran itu.
Mendengar suara tawa mereka, Tiauw Sun Ong mengerutkan alisnya, "Bwe Si Ni! dan tentu
seorang di antara kalian adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Dan siapa yang seorang lagi?"
"Tiauw Sun Ong, aku adalah orang yang suka bermain musik," jawab Suma Koan dan tiba-tiba
terdengar suara suling ditiup ketika datuk ini meniup suling mautnya.
"Hemm, kiranya Kui-siauw Giam-ong? Kalian tiga orang datuk sesat telah bertindak seperti
penjahat-penjahat kecil yang curang. Bebaskan puteriku, dan kalau kalian menghendaki, mari
hadapi aku, tua sama tua, bukan tiga orang tua mengeroyok dan menawan seorang muda!"
"Hemm, Tiauw Sun Ong manusia berhati kejam!" teriak Kwan Im Sian-ii marah. “Engkau tidak
dapat melihat akan tetapi ketahuilah bahwa pedangku sudah menempel di leher puterimu.
Sekali saja engkau membuat gerakan, pedangku akan lebih dulu memenggal batang leher
puterimu yang putih mulus ini!"
Kedua tangan Tiauw Sun Ong gemetar karena dia menahan kemarahannya, "Bwe Si Ni, apa
kehendak kalian bertiga? Katakan!” Dia tahu bahwa tiga orang manusia curang itu sengaja
menyandera Hui Hong untuk memaksa dia.
"Tiauw Sun Ong, buang tongkatmu dan menyerahlah menjadi tawanan kami atau puterimu
akan kupenggal batang lehernya di depan hidungmu!" kata pula Kwan Im Sian-li dengan suara
mengejek, hatinya girang dapat membuat orang yang kini amat dibencinya itu gelisah.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ayah, jangan dengarkan omongannya! Jangan perdulikan aku, hajar saja mereka. Aku tidak
takut mati!" teriak Hui Hong.
"Bwe Si Ni, aku selamannya tidak pernah mengganggumu, dan tidak pernah ada urusan
dengan Bu-eng-kiam maupun Kui-siauw Giam-ong. Akan tetapi kalau kalian sampai berani
mengganggu puteriku, demi Tuhan, aku tidak akan berhenti sampai dapat membunuh kalian
bertiga!" Suara bekas pangeran itu mengandung wibawa yang menggetarkan perasaan tiga
orang itu.
Suma Koan dan Ouwyang Sek sudah siap dengan senjata mereka, menghadang di depan
Tiauw Sun Ong agar bekas pangeran itu tidak mempergunakan kekerasan untuk menolong
puterinya.
"Tiauw Sun Ong, menyerahlah, atau kubunuh puterimu!" teriak Bwe Si Ni dan dari suara wanita
ini, tahulah Tiauw Sun Ong bahwa ia bersungguh-sungguh dan keselamatan nyawa puterinya
tergantung kepada sikapnya.
"Ayah, serang saja mereka!" kembali Hui Hong berseru.
"Hui Hong, tenang dan sabarlah," kata Tiauw Sun Ong yang kemudian bertanya kepada Bwe Si
Ni, "Si Ni, lihat aku sudah menyerah, lalu apa kehendak kalian bertiga?" Dia melepaskan
tongkatnya yang jatuh ke depan kedua kakinya.
Pada saat itu, terdengar suara wanita yang nyaring dan amat berpengaruh, "Kwan Im Sian-li,
lepaskan pedangmu! Cepat!"
Suara itu mengandung getaran yang amat kuat sehingga mengejutkan semua orang, terutama
sekali Kwan Im Sian-li dan tanpa disadarinya, iapun melepaskan pedangnya yang tadi
dipergunakan untuk mengancam Hu Hong.
"Hui Hong, cepat!” teriak Tiauw Sun Ong kepada puterinya, akan tetapi sebetulnya Hui Hong
tidak memerlukan peringatan ini lagi. Begitu merasa betapa pedang itu meninggalkan lehernya,
iapun menggunakan kedua tangannya mendorong ke arah dada Kwan Im Sian-li yang terpaksa
melangkah mundur menghindarkan diri dan kesempatan itu dipergunakan oleh Hui Hong untuk
bergerak cepat ke kiri dan menyambar tongkat dan pedangnya yang tadi dirampas oleh Suma
Koan dan dilemparkan ke atas tanah.
"Haiiiittt ...!!" Tiauw Sun Ong juga sudah menggerakkan kedua tangannya menerjang ke arah
Ouwyang Sek dan Suma Koan. Demikian hebat serangannya sehingga kedua orang datuk ini
mundur, dan kesempatan itu dia pergunakan untuk memungut kembali tongkatnya.
Hui Hong menoleh ke arah suara wanita tadi dan muncullah seorang wanita muda yang cantik.
Hui Hong memandang penuh perhatian. "Kau ...? Bukankah engkau ... Cia Ling Ay ... “ Nama
ini tak pernah ia lupakan karena Cia Ling Ay, seperti yang didengarnya dari Bun Houw, adalah
bekas tunangan pemuda yang dicintanya itu.
Ling Ay tersenyum dan mengangguk. "Adik Hui Hong, mari kita hajar iblis betina yang jahat ini!"
katanya.
Tanpa diminta untuk ke dua kalinya, Hui Hong sudah memutar pedang dan tongkatnya
menyerang Kwan Im Sian-li. Cia Ling Ay juga menggerakkan pedangnya membantu. Dalam hal
ilmu silat, sebagai murid mendiang Bi Moli Kwan Hwe Li, tentu saja Ling Ay bukan tandingan
Kwan Im Sian-li yang mempunyai tingkat sebanding gurunya, akan tetapi wanita muda ini
memiliki kelebihan, yaitu ilmu sihir! Biarpun dalam ilmu ini ia tidak sekuat mendiang gurunya,
namun sudah cukup untuk dapat mempengaruhi seorang datuk wanita seperti Kwan Im Sian-li
sehingga ia dapat menyelamatkan Hui Hong. Sejak tadi ia memang menyaksikan peristiwa di
belakang pondok itu. Ia datang ke Hoa-san dengan niat mencari Kwa Bun Houw. Ia merasa
menyesal sekali telah memperlihatkan perasaan duka dan putus asa meninggalkan Bun Houw
seperti seorang yang merasa cemburu. Ia hendak menemui dan minta kepada bekas
tunangannya itu dan ia mengira bahwa Bun Houw dapat ia temukan di tempat kediaman guru
pemuda itu. Ia pernah bersama gurunya datang ke tempat ini. maka ia dapat mengunjungi
pondok dari arah belakang dan kebetulan melihat betapa Hui Hong ditangkap oleh tiga orang
datuk. Tadinya, ia tidak ingin mencampuri, akan tetapi melihat betapa bekas pangeran itu dan
Hui Hong diancam secara curang oleh tiga orang itu. ia merasa penasaran dan segera
dunia-kangouw.blogspot.com
berusaha untuk membantu. Ia tidak begitu bodoh mengandalkan ilmu silatnya terhadap tiga
orang datuk yang ia tahu amat lihai, maka satu-satunya jalan baginya untuk menolong Hui
Hong adalah dengan ilmu sihirnya, menyerang dengan tiba-tiba mengejutkan Kwan Im Sian-li
sehingga datuk wanita itu terkejut dan melepaskan pedangnya dan Hui Hong dapat terbebas
dari ancaman maut.
Sementara itu, Tiauw Sun Ong sudah menggerakkan tongkatnya menghadapi pengeroyokan
Suma Koan dan Ouwyang Sek. Diam-diam dia merasa gembira bahwa puterinya terbebas dari
ancaman maut, dan dia belum tahu siapa wanita yang menyelamatkan puterinya dengan sihir
tadi. Akan tetapi dia merasa lega bahwa puterinya dan penolong itu yang kini menghadapi
Kwan Im Sian-li, karena kalau dia yang harus melawannya, bagaimanapun juga dia masih
merasa kasihan dan tidak tega untuk membunuh bekas dayang itu.
Betapapun lihainya Tiauw Sun Ong, kini dia menghadapi pengeroyokan dua orang datuk yang
berilmu tinggi. Terpaksa dia harus mengerahkan seluruh tenaganya dan masih untunglah
bahwa berkat kebutaannya, dia memiliki kepekaan melebihi orang biasa, dan pendengarannya
menjadi amat tajam sehingga dia dapat mengetahui setiap gerakan lawan walaupun gerakan itu
dilakukan dari arah belakangnya. Bagaimanapun juga, karena kedua orang lawannya
merupakan datuk-datuk yang berilmu tinggi, Tiauw Sun Ong lebih banyak menangkis dan
mengelak dari pada menyerang. Dia terdesak sungguhpun kedua orang lawannya tidak mudah
untuk dapat merobohkannya.
Di lain pihak, Kwan Im Sian-li repot sekali menghadapi pengeroyokan dua orang wanita muda
itu. Apalagi kini Hui Hong telah memperoleh kemajuan pesat di bawah bimbingan ayahnya.
Kalau ia harus melawan sendiri bekas dayang itu, agaknya Hui Hong masih akan merasa
kewalahan. Akan tetapi di situ ada Ling Ay yang juga lelah mewarisi sebagian besar ilmu
mendiang Bi Moli Kwan Hwe Li. Dengan kerja sama yang baik, dua orang wanita muda ini
perlahan-lahan mulai mendesak Kwan Im Sian-li, membuat datuk wanita itu repot membela diri
dan jarang ia dapat membalas serangan mereka.
Diam-diam Hui Hong merasa kagum kepada Ling Ay. Bekas tunangan Kwa Bun Houw ini, pada
kurang lebih empat tahun yang lalu, masih dikenalnya sebagai seorang wanita yang lemah.
Akan tetapi sekarang mendadak muncul sebagai seorang wanita yang lihai dalam ilmu silatnya,
bahkan juga memiliki kekuatan sihir yang tadi dipergunakannya dan berhasil menyelamatkan ia
dan ayahnya!
Bukan main! Dan iapun melihat betapa bekas tunangan Bun Houw itu kini bersungguh-sungguh
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menyerang Kwan Im Sian-li. Melihat
ini, timbul semangatnya dan iapun menggerakkan pedang dan tongkatnya lebih cepat lagi.
Tentu saja Kwan Im Sian-li menjadi semakin repot setelah dua orang wanita muda itu
memperhebat serangan mereka. Apalagi ketika ia mengerling ke arah kedua orang rekan
mereka, dari dua orang datuk itu iapun tidak dapat mengharapkan bantuan karena mereka
berdua itu masih bertanding seru mengeroyok Tiauw Sun Ong dan nampaknya belum ada
tanda-tanda akan menang dalam waktu pendek, Hui Hong juga mengerling ke arah ayahnya
dan ia maklum bahwa kalau dilanjutkan pertandingan itu, lambat laun ayahnya tentu akan
terancam bahaya karena dua orang datuk itu memang lihai bukan main. Ia harus dapat
merobohkan Kwan Im Sian-li lebih dahulu sebelum dapat membantu ayahnya, karena kalau ia
tinggalkan Ling Ay seorang diri menghadapi bekas dayang itu, sama saja dengan membunuh
wanita yang kemunculannya telah menyelamatkan ia dan ayahnya itu.
Maka ia mengerahkan semua tenaga dan kepandaiannya untuk mencoba merobohkan wanita
itu secepatnya, namun harapannya itu agaknya tidak akan mudah dapat menjadi kenyataan.
Kwan Im Sian-li adalah seorang datuk wanita yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi, bahkan
tidak banyak selisihnya dibandingkan tingkat kepandaian Ouwyang Sek ataupun Suma Koan.
Dan melihat betapa ayahnya mulai terdesak, timbul kegelisahan di hati Hui Hong, khawatir
kalau ayahnya akan celaka di tangan dua orang datuk itu. Dan kegelisahannya ini justeru
membuat gerakannya menjadi kacau dan hal ini membuat Kwan Im Sian-li nampak semakin
kuat dan sukar dikalahkan.
Tiauw Sun Ong memang mulai terdesak oleh kedua orang pengeroyoknya. Keadaan di dua
gelanggang pertempuran itu membuat keadaan kedua pihak seimbang. Tiauw Sun Ong
dunia-kangouw.blogspot.com
terdesak oleh dua orang pengeroyoknya, sebaliknya, puterinya dan Ling Ay juga mendesak
Kwan Im Sian-li. Mereka semua maklum bahwa pihak yang kalah lebih dulu berarti akan kalah
semua karena pihak yang menang tentu akan dapat membantu perkelahian yang lain.
"Enci Ling Ay, cepat kaubantu ayahku!” tiba-tiba Hui Hong memutar pedangnya dengan
sepenuh tenaganya menyerang Kwan Im Sian Li karena ia sudah mengambil keputusan untuk
membiarkan ia seorang diri yang terdesak oleh lawan, akan tetapi ayahnya harus dibantu dan
itulah sebabnya ia minta kepada Ling Ay untuk membantu ayahnya. Ling Ay menjadi agak
bingung mendengar permintaan itu karena ia pun tahu bahwa menghadapi Kwan Im Sian-li
sendiri saja merupakan bahaya besar bagi gadis itu. Akan tetapi Ling Ay adalah seorang yang
cukup cerdik, iapun tahu bahwa Hui Hong sengaja membiarkan dirinya terancam asal ayahnya
terbebas dari desakan dua orang pengeroyoknya. Dan iapun percaya bahwa bagaimanapun
juga Kwan Im Sian-li tidak akan mudah saja mengalahkan atau merobohkan Hui Hong.
walaupun gadis itupun tidak akan mungkin menang kalau melawan datuk wanita itu seorang diri
saja. Maka, iapun meloncat dan memutar pedangnya, terjun ke dalam gelanggang
pertandingan membantu Tiauw Sun Ong.
Bekas pangeran itu terkejut sekali ketika dengan pendengarannya ia dapat mengetahui bahwa
wanita yang tadi membantu puterinya, kini datang membantunya. Hal ini berarti bahwa
puterinya itu seorang diri saja menghadapi Kwan Im Sian-li! Dan diapun segera tahu bahwa
puterinya sengaja mengorbankan diri demi keselamatannya, sengaja menyuruh wanita
penolong tadi membantunya agar dia terbebas dari desakan dan ancaman dua orang datuk
yang mengeroyoknya.
"Nona bantulah Hui Hong saja!" teriaknya berulang kali.
"Enci Ling Ay. kau bantu ayah!” teriak pula Hui Hong.
Tentu saja terikan ayah dan anak ini membuat Ling Ay menjadi bingung. Juga membuat Tiauw
Sun Ong dan Hui Hong kehilangan pencurahan perhatiannya sehingga membuyar atau
terpecah dan tiba-tiba Hui Hong mengaduh karena ujung pedang Kwan Im Sian-li yang tadinya
menyambar ke arah lehernya, agak lambat ia mengelak dan pundak kirinya disambar ujung
pedang sehingga berdarah
Melihat ini, Ling Ay meloncat dan menangkis pedang Kwan Im Sian-Ii yang sudah menyambar
lagi ke arah tubuh Hui Hong yang terhuyung sehingga gadis itu terbebas dari maut dan mereka
berdua sudah mengeroyok lagi Kwan Im Sian-li. Teriakan Hui Hong yang tertahan ketika
pundaknya terluka, dapat tertangkap telinga Tiauw Sun Ong dan bekas pangeran itu menjadi
sedemikian kaget dan gelisahnya sehingga ujung suling di tangan Suma Koan berhasil
menghantam paha kaki kirinya.
"Dukk_ ...!" Dan tubuh bekas pangeran itu terhuyung ke belakang. Untung dia masih sempat
mengerahkan sin-kang sehingga tulang pahanya tidak patah, akan tetapi dalam keadaan
terhuyung itu. tentu saja dia membuka kesempatan bagi kedua orang pengeroyoknya untuk
mendesak maju. Melihat ini, Ling Ay mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan
pedangnya menyambar cepat untuk melindungi bekas pengeran itu. Teriakannya yang
mengandung wibawa karena dikerahkan dengan kekuatan sihir, membuat kedua orang datuk
itu agak tertahan gerakan mereka, akan tetapi ketika suling di tangan Suma Koan bertemu
pedang di tangan Ling Ay, tetap saja Ling Ay terhuyung dan pedang itu hampir terlepas dari
tangannya. Bagaimanapun juga, bantuan Ling Ay ini telah membebaskan Tiauw Sun Ong dari
ancaman maut. Ketika kedua orang datuk itu mendesak lagi, Tiauw Sun Ong sudah dapat
memutar tongkatnya membela diri, juga Ling Ay membantunya dengan putaran pedangnya.
Namun, bantuan Ling Ay ini tidak membuat keadaan Tiauw Sun Ong lebih baik. Apalagi,
pahanya telah terluka terasa nyeri.
Keadaan ayah dan anak itu sungguh gawat. Bantuan Ling Ay memang telah dua kali
menyelamatkan Tiauw Sun Ong dan Hui Hong akan tetapi tidak meloloskan mereka dari
desakan tiga orang datuk itu. Keadaan Hui Hong yang paling repot. Pundaknya telah terluka
dan biarpun luka itu tidak terlalu parah, namun gerakannya membuat luka itu terus
mengucurkan darah! Beberapa kali hampir saja ia menjadi korban tusukan pedang Kwan Im
Sian-li dan ketika ia berhasil menangkis sebuah tusukan, tiba-iiba kaki Kwan Im Sian-li berhasil
dunia-kangouw.blogspot.com
menendang kakinya di bawah lutut dan Hui Hong terpelanting! Kwan Im Sian-li mengeluarkan
suara tawa dan pedangnya berkelebat.
"Tranggg ...!"
"Aihhh ...!!" Kwan Im Sian-li terkejut bukan main dan terbelalak memandang kepada pedang
yang dipegangnya karena pedang itu telah patah ujungnya. Ia tadi hanya melihat kilat
menyambar dan tahu-tahu pedangnya telah tertangkis dan menjadi buntung! Ketika ia
memandang, kiranya di depannya telah berdiri orang yang dicari-cari tiga erang datuk itu, yaitu
Kwa Bun Houw yang sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan di tangannya, dan
dengan tangan kirinya dia menarik tangan Hui Hong dan membantu gadis itu bangkit berdiri.
"Houw-koko, kau bantu ayah ...!" kata Hui Hong, gembira bukan main melihat munculnya Bun
Houw.
Bun Houw menoleh dan melihat betapa gurunya, Tiauw Sun Ong, didesak hebat oleh Ouwyang
Sek dan Suma Koan dan gurunya itu dibantu oleh Cia Ling Ay dengan mati-matian, hal yang
membuat ia terheran-heran bukan main. Akan tetapi dia mengerti bahwa Ling Ay membantu Hui
Hong dan ayahnya, maka diapun cepat berseru, "Adik Ling Ay, kau bantu Hong-moi."
Ling Ay juga gembira melihat munculnya Bun Houw. "Baik!" katanya dan dengan penuh
semangat, janda muda ini lalu meloncat dan menyerang Kwan Im Sian-li dengan pedangnya.
Hui Hong menggerakkan pedang dan tongkatnya mengeroyok. Hui Hong sedemikian
gembiranya melihat kedatangan Bun Houw sehingga ia melupakan luka di pundaknya dan
gerakannya kini bagaikan seekor harimau betina mengamuk. Tentu saja Kwan Im Sian-li yang
sudah buntung pedangnya, menjadi semakin panik dan menurun semangatnya.
Sementara itu, sekali melompat saja Bun Houw sudah terjun ke gelanggang perkelahian. Dua
orang datuk itu pun terkejut setengah mati melihat munculnya pemuda itu. Tadinya mereka
memang ingin bertemu Bun Houw untuk membalas dendam, akan tetapi bukan sekarang, di
mana terdapat Tiauw Sun Ong, Tiauw Hui Hong, dan Cia Ling Ay yang dapat membantunya.
Menghadapi bekas pangeran dan dua orang wanita muda itu saja, sampai sekian lamanya
mereka belum mampu menundukkan mereka, apalagi kini muncul Kwa Bun Houw! Akan tetapi,
dua orang datuk yang merasa dirinya besar dan tinggi kedudukannya itu, menutupi kegelisahan
mereka.
"Bagus, engkau muncul sendiri, Kwa Bun Houw! Bersiaplah untuk mampus di tanganku sebagai
pembalasan kematian puteraku!" kata Ouwyang Sek marah.
"Puteramu sendiri yang bersalah hendak membunuh kaisar dan dia tertangkap, dihukum mati.
Kenapa salahkan aku?" Bun Houw menjawab.
"Engkau yang menyebabkan dia tertawan!" bentak Ouwyang Sek dan diapun sudah
menggerakkan pedangnya menyerang Kwa Bun Houw.
Datuk ini berjuluk Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan), tentu saja dia memiliki ilmu pedang
yang ampuh. Namun, sekali ini dia berhadapan dengan Kwa Bun Houw yang bukan saja telah
menguasai hampir seluruh kepandaian Tiauw Sun Ong, namun bahkan kini dia lebih lihai dari
gurunya karena dia telah menguasai pula ilmu rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tubuhnya
amat kuat, mengandung tenaga sakti yang hebat berkat khasiat Akar Bunga Gurun Pasir yang
secara kebetulan diminumnya. Maka, begitu Bun Houw menggerakkan pedangnya untuk
melawan, terjadi pertandingan seru dan hebat, namun yang membuat Ouwyang Sek segera
terdesak hebat!
Tiauw Sun Ong juga kini dapat mendesak Suma Koan. Biarpun pahanya terasa nyeri, akan
tetapi bekas pangeran itu dapat mendesak lawan yang hanya tinggal seorang itu, dan perlahanlahan,
sinar dari suling di tangan Suma Koan semakin mengendur dan menyempit.
Yang paling payah keadaannya adalah Kwan Iin Sian-li. Kembali Ling Ay membantu Hui Hong
dan kedua orang wanita muda itu dengan penuh semangat menghimpit dan menekan datuk
wanita yang pedangnya sudah buntung, tidak memberi kesempatan kepadanya untuk balas
menyerang, apalagi melarikan diri. Kwan Im Sian-li hanya dapat berusaha sekuat tenaga untuk
mengelak atau menangkis dengan pedang buntungnya. Namun, usaha ini hanya dapat
membuat ia bertahan selama belasan jurus saja karena ketika mendapat kesempatan baik,
dunia-kangouw.blogspot.com
ranting di tangan kiri Hui Hong berhasil menotok dadanya, membuat datuk wanita itu terhuyung
lemas dan kesempatan itu dipergunakan oleh Cia Ling Ay untuk menusukkan pedangnya ke
lambung Kwan Im Sian-li. Bekas dayang istana itu menjerit, akan tetapi jeritnya tertahan karena
saat itu, pedang di tangan kanan Hui Hong menyambar dan menusuk tembus lehernya. Wanita
itu terkulai dan tewas seketika, mandi darah.
Pada saat yang hampir bersamaan, tangan kiri Bun Houw dengan pengerahan tenaga dahsyat
Im-yang Bu-tek Cin-keng, telah menyambar dan menampar ke arah dada lawan. Pada saat itu
pedang Ouwyang Sek bertemu dengan Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) dan biarpun pedang datuk
itu tidak patah karena terbuat dari baja pilihan, namun dia tidak dapat menariknya kembali.
Pedang itu melekat dengan pedang di tangan Bun Houw dan selagi dia mengerahkan tenaga
untuk melepaskan pedangnya, tiba-tiba saja Bun Houw menampar dengan tangan kirinya.
Ouwyang Sek tidak dapat mengelak dan mengerahkan sin-kang untuk membuat dadanya
dilindungi kekebalan. Dia tidak tahu betapa hebatnya tenaga dari Im-yang Bu-tek Cin-keng itu.
"Plakkk!" Mata Ouwyang Sek terbelalak dan ketika tubuhnya terjengkang roboh, nyawanya
sudah melayang. Tamparan itu telah menghancurkan semua isi dadanya.
Melihat gurunya belum juga merobohkan Suma Koan, Bun Houw maklum bahwa agaknya
gurunya tidak ingin membunuh lawan. Gurunya sudah mendesak hebat dan kalau gurunya
menghendaki, tentu tongkat di tangan gurunya itu sudah dapat membunuh lawan. Diapun
melompat ke depan dan berseru, "Suhu, biar teecu menghadapinya!"
Mendengar ucapan muridnya ini. Tiauw Sun Ong melompat ke belakang dan Suma Koan
menjadi lega bukan main. Tadi dia sudah repot dan tinggal menanti robohnya saja dan
sekarang, lawan yang amat tangguh itu meninggalkannya dan digantikan muridnya.
Bagaimanapun juga, sang murid tidak mungkin selihai sang guru. Diapun cepat menyerang Bun
Houw dengan sulingnya, mengerahkan semua tenaganya. Bun Houw menyambut dan
mengerahkan tenaga pula.
"Tranggg ...!!" Bunga api berpijar dan hampir saja Suma Koan melepaskan sulingnya karena
telapak tangan yang memegang suling merasa panas tergetar hebat. Dia terkejut dan nekat,
namun matanya silau oleh gulungan sinar pedang yang seperti kilat menyambar-nyambar itu.
Dia berusaha untuk membela diri, namun baru dia tahu bahwa pemuda ini bahkan jauh lebih
berbahaya dibandingkan bekas pangeran itu. Sebelum dia dapat membalas hujan serangan itu,
tiba-tiba kilat menyambar berkelebat di depan matanya dan di lain saat iapun sudah roboh
terjengkang dengan dada ditembusi pedang. Raja Maut Suling Iblis itu pun roboh dan tewas
seketika.
"Ya Tuhan ... terima kasih bahwa aku tidak dapat melihat semua kengerian ini ...!" terdengar
Tiauw Sun Ong berkata, alisnya berkerut dan wajahnya nampak muram.!
"Harap suhu memaafkan teecu, terpaksa teecu membunuh mereka karena mereka memang
amat jahat dan mereka tadi berusaha mati-matian untuk mencelakai suhu." kata Bun Houw.
Hui Hong cepat menghampiri ayahnya dan memegang lengan ayahnya. “Ayah. Houw-ko tidak
bersalah. Memang benar, yang jahat adalah tiga orang sesat itu. Mereka mencari kematian
sendiri. Kalau tadi tidak ada enci Cia Ling Ay yang datang menolong, tentu ayah dan aku sudah
tewas di tangan mereka.”
“Hemm, nona yang pandai menggunakan sihir ... engkau seperti Kwan Hwe Li, bagaimana tibaliba
dapat menolong kami? Siapakah engkau?" Bekas pangeran itu bertanya dan diapun
memalingkan mukanya ke arah Ling Ay.
"Lo-cian-pwe mungkin lupa kepada saya. Saya pernah datang ke sini bersama subo Bi Moli."
"Ahhh ... !” Tiauw Sun Ong berseru kaget. "Jadi engkau murid Kwan Hwe Li itu. Akan tetapi ...
kenapa engkau sekarang malah membantu kami?"
"Ayah, enci Ling Ay bukanlah orang jahat walaupun ia menjadi murid Bi Moli.” kata Hui Hong.
"Bahkan ia dahulu adalah ... sahabat baik dan sekampung dengan Houw ko.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar ucapan Hui Hong itu, wajah. Ling Ay berubah kemerahan dan ia tersipu. Tentu Bun
Houw sudah bercerita kepada gadis itu tentang hubungan mereka dahulu. Seorang gadis yang
hebat, pikirnya. Pantas menjadi kekasih dan tunangan Bun Houw.
"Aih, sudahlah, adik Hui Hong, aku bukan seorang yang patut dipuji puji. Sekarang aku mohon
diri. Lo-cianpwe, saya mohon pamit ... akan melanjutkan perjalanan ... "
"Ling Ay, nanti dulu!" kata Bun Houw dengan perasaan tidak enak sekali. Dia tahu betapa dia
telah melukai dan mengecewakan hati wanita ini, dan sekarang wanita ini muncul sebagai
penyelamat gurunya dan kekasihnya. "Engkau tiba-tiba saja muncul di sini dan menyelamatkan
suhu dan Hong-moi, bagaimana engkau akan pergi begitu saja? Kami ingin mendengar
bagaimana engkau dapat muncul di sini dan ... "
"Benar, enci. Engkau tidak boleh pergi begitu saja! Aku ingin sekali berkenalan lebih akrab
denganmu." kata Hui Hong sambil memegang tangan wanita itu.
“Nona, kami mengundangmu untuk singgah di pondok kami dan bicara, kecuali kalau nona
tidak sudi menerima undangan kami ... “ kata pula Tiauw Sun Ong.
Tentu saja Ling Ay merasa tidak enak sekali untuk menolak. "Kalau itu yang kalian inginkan,
baiklah saya akan singgah sebentar ... "
"Bun Houw, lebih dahulu kita harus kubur tiga jenazah ini baik-baik dan dengan penuh
penghormatan.” kata Tiauw Sun Ong.
"Ayah, mereka adalah orang-orang jahat, datuk-datuk sesat!" Hui Hong memprotes.
"Hui Hong, yang kita tentang adalah kejahatan mereka, bukanlah orangnya. Mereka itu sama
saja dengan kita, manusia-manusia yang senasib sependeritaan dengan kita yang patut
dikasihani. Setelah mereka tewas, tidak ada lagi kejahatan pada diri mereka."
Mereka berempat lalu menggali lubang di permukaan puncak yang agak jauh dari pondok itu
karena mereka harus memilih tempat yang tidak mengandung banyak batu sehingga mudah
menggali lubang. Kemudian, dengan sederhana namun cukup khidmat, mereka mengubur
jenazah tiga orang datuk itu di dalam tiga buah lubang. Tidak urung Hui Hong yang pada
dasarnya berhati lembut itu menangis di depan makam Ouwyang Sek karena ia teringat akan
segala kebaikan yang telah dilimpahkan datuk itu kepadanya sejak ia kecil sampai dewasa.
Harus diakuinya bahwa sebelum ia menjadi dewasa dan hendak dijodohkan dengan Suma Hok
datuk ini bersikap amat baik kepadanya, seperti kepada anak sendiri.
Setelah pemakaman itu selesai, mereka semua memasuki pondok dan bercakap-cakap.
Terpaksa Ling Ay menceritakan bagaimana secara kebetulan sekali ia dapat berada di situ dan
membantu Tiauw Sun Ong dan Hui Hong menghadapi tiga orang datuk yang lihai itu. Akan
tetapi ceritanya itupun merupakan karangannya saja, karena bagaimana mungkin ia mengaku
kepada mereka, terutama Hui Hong, bahwa ia datang untuk mencari Bun Houw dan
menyampaikan permintaan maafkan atas sikapnya kepada Bun Houw tempo hari ketika
pemuda itu menolak harapannya untuk menyambung tali pertunangan mereka yang putus?
Dengan terus terang ia menceritakan bahwa tadinya ia mengikuti subonya ke kota raja, bahkan
mendapatkan pekerjaan di kota raja. Akan tetapi melihat subonya bekerja sama dengan
Ouwyang Toan, iapun merasa tidak setuju dan mendengar niat mereka untuk memaksanya
menjadi isteri Ouwyang Toan, ia lalu melarikan diri. Mereka mengejarnya sehingga tersusul dan
hampir saja ia celaka di tangan mereka.
"Untung sekali muncul kakak Kwa Bun Houw yang kebetulan sekali melihat aku dikeroyok
mereka, dan telah menolongku lepas dari tangan mereka. Setelah aku berpisah dari guruku,
aku lalu merantau seorang diri tanpa tujuan tertentu dan kebetulan sekali aku lewat di bawah
pegunungan Hoa-san. Aku teringat ketika diajak oleh subo naik ke puncak ini, maka isengiseng
saja aku mendaki puncak dan melihat tiga orang itu juga naik puncak di depanku. Aku
lalu membayangi mereka dan melihat apa yang terjadi tadi, maka aku lalu berusaha membantu
kalian."
"Dan engkau telah berhasil, enci Ling Ay. Kalau tidak ada engkau, entah bagaimana jadinya
dengan ayah dan aku. Houw-ko, engkau datang terlambat!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aih, adik Hui Hong, jangan berkata begitu. Kalau tidak ada kakak Bun Houw tadi datang, apa
kaukira kita juga akan mampu bertahan? Mereka amat lihai." kata Ling Ay, tidak sengaja seperti
membela Bun Houw.
Ketika tiba giliran Bun Houw menceritakan pergalamaanya, Bun Houw bercerita tentang
penyerangan yang dilakukan Bi Moli dan Ouwyang Toan di istana terhadap kaisar dan betapa
dengan perantaraan Hek-tung Lo-kui dia ditugaskan untuk menjaga keselamatan kaisar dengan
menyamar sebagai seorang pengawal baru.
"Suhu, teecu berhasil menangkap Bi Moli dan Ouwyang Toan, Sribaginda Kaisar berhasil
diselamatkan. Setelah meninggalkan istana teecu segera pergi mengunjungi bekas Kaisar
Cang Bu untuk menyadarkan beliau agar tidak bersekutu dengan kerajaan Wei di utara, dan
mengingatkan beliau bahwa gerakan beliau untuk memberontak itu tidak akan benar dan hanya
akan mendatangkan perang yang menyengsarakan rakyat. Teecu di sana bentrok dengan
Suma Hok yang mengkhianati bekas kaisar itu, dan teecu berhasil pula menundukkannya
sehingga dia ditawan bekas kaisar itu. Akan tetapi teecu tidak berhasil membujuk Kaisar Cang
Bu. Dia tidak mau mundur sehingga diserbu pasukan pemerintah. Teecu tidak mencampuri
pertempuran itu dan teecu pulang ke sini sebelum teecu melanjutkan pengejaran terhadap Butek
Sam-kwi dan membasmi Thian-te Kui-pang, gerombolan yang telah mengacau di
perbatasan dan membunuh banyak rakyat dan tokoh kang-ouw itu." Bun Houw lalu
menceritakan kepada gurunya tentang Thian-te Kui-pang, gerombolan seratus orang yang
dikirim oleh Kerajaan Wei untuk mengacau daerah perbatasan.
Mendengar penuturan muridnya itu Tiauw Sun Ong menghela napas panjang. "Semua orang
tiada henti-hentinya saling memperebutkan kekuasaan. Agaknya manusia telah lupa bahwa
kekuasaan mutlak berada di Tangan Tuhan Yang Maha Kuasa, dan kehadiran manusia di bumi
bukan untuk saling memperebutkan kekuasaan, melainkan untuk melakukan suatu manfaat
bagi manusia pada umumnya, berguna pula bagi dunia. Manusia bertugas menjadi alat dari
kekuasaan Tuhan. Akan tetapi nafsu mempermainkan manusia sehingga mereka lupa diri,
mereka memegang kekuasaan bukan demi kesejahteraan rakyat melainkan demi kesenangan
diri pribadi. Karena itu timbullah perang dan pertempuran tak kunjung hentinya yang hanya
mendatangkan kesengsaraan bagi rakyat jelata. Kalian semua memang benar. Sebagai orangorang
muda yang pernah dengan susah payah mempelajari kepandaian, setelah menguasai
ilmu harus dipergunakan demi menolong manusia yang sengsara, demi menegakkan
kebenaran, dan keadilan, menentang kejahatan, bukan ikut-ikutan memperebutkan kekuasaan.
Sayang aku sudah tua, kalau aku masih kuat, aku pun tidak dapat membiarkan saja
gerombolan seperti Thian-te Kui-pang itu mengganggu kehidupan rakyat di pedusunan
sepanjang perbatasan."
"Harap suhu tenangkan hati. Teecu adalah, murid suhu dan teecu sanggup mewakili suhu
untuk menghancurkan perkumpulan iblis itu.” kata Bun Houw.
"Houw-koko benar, ayah. Di sini ada Houw ko dan aku, untuk apa ayah harus turun tangan
sendiri? Biar aku yang akan membantu Houw-ko menghancurkan perkumpulan, iblis itu!” kata
pula Hui Hong dengan penuh semangat.
"Lo-cian-pwe, tugas ini memang untuk yang muda-muda. Sayapun siap membantu membasmi
perkumpulan iblis itu, tentu saja kalau kakak Bun Houw dan adik Hui Hong suka menerima saya
untuk membantu mereka."
"Heii, enci Ling Ay, kenapa engkau berkata demikian? Tentu saja kami senang sekali kalau
engkau suka membantu, bahkan kalau engkau tidak menawarkan bantuan sekalipun, tentu aku
akan memintamu!" kata Hui Hong sambil memegang tangan gadis itu.
Akan tetapi sambil menggandeng tangan-Hui Hong, Ling Ay masih menoleh kepada Bun Houw
untuk melihat bagaimana tanggapan pemuda itu. Ia tahu diri dan tidak ingin mengganggu kalau
memang pemuda itu tidak menghendaki bantuannya. Akan tetapi Bun Houw juga mengangguk
dan berkata dengan sungguh-sungguh. "Kawanan gerombolan iblis itu lihai, dan semakin
banyak tenaga yang dipersatukan untuk membasmi mereka, semakin baik lagi. Tentu saja kami
merasa senang mendapat bantuanmu, adik Ling Ay."
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah memberi nasihat agar mereka berhati-hati menghadapi gerombolan iblis itu, Tiauw Sun
Ong memperkenankan mereka turun gunung untuk menunaikan tugas sebagai pendekarpendekar
muda yang perkasa.
Tiga orang muda itu melakukan perjalanan cepat karena mereka mempergunakan ilmu berlari
cepat menuruni pegunungan Hwa san. Tadinya, Hui Hong berada di tengah. Bun Houw berada
di samping kanannya sedangkan Ling Ay berada di samping kirinya. Akan tetapi di dalam
perjalanan, secara halus dan tidak kentara, Hui Hong sengaja pindah dan berada di sebelah
kanan Bun Houw sehingga dengan sendirinya Bun Houw kini berada di tengah-tengah, Hui
Hong di kanannya dan Ling Ay di kirinya! Karena hal ini dilakukan Hui Hong dengan sikap
seolah tidak sengaja, maka biarpun merasa canggung Ling Ay terpaksa menahan guncangan
hatinya dan berjalan terus di sebelah kiri Bun Houw seolah tidak pernah terjadi sesuatu antara
ia dan pemuda itu.
Setiap mereka terpaksa harus bermalam di sebuah kota, mereka menyewa dua buah kamar di
rumah penginapan, sebuah kamar untuk Bun Houw dan sebuah kamar lagi untuk dua orang
wanita itu. Dan hubungan antara kedua orang wanita itu menjadi semakin akrab saja. Mereka
merasa cocok sekali. Hui Hong merasa iba kepada Ling Ay yang hidupnya penuh dengan
kepahitan, sebaliknya Ling Ay diam diam merasa bersukur bahwa bekas tunangannya itu telah
mendapatkan seorang isteri yang benar-benar gagah perkasa dan baik budi, di samping
kecantikannya.
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di sebuah dusun di dekat perbatasan. Karena dusun ini
menjadi tempat pemberhentian orang-orang yang melakukan perjalanan menyeberangi daerah
tak bertuan, untuk berdagang, maka dusun itu berkembang menjadi tempat yang ramai. Rumah
rumah penginapan didirikan orang karena banyak pedagang dan rombongan piauw-kiok
(perusahaan pengawal barang) berhenti di situ. Banyak pula rumah makan yang cukup lengkap
berada di tempat itu.
Bun Houw, Hui Hong dan Ling Ay pada pagi hari itu memasuki sebuah rumah makan untuk
sarapan. Malam tadi mereka bermalam di dusun itu dan mereka mendengar keterangan bahwa
dusun Tai-bun yang dijadikan sarang gerombolan Thian-te Kui-pang berada sekitar lima puluh li
dari dusun itu, di sebelah barat. Mereka bermaksud melanjutkan perjalanan ke sana dan
sebelum itu hendak sarapan dulu dan membeli bekal makanan karena perjalanan di daerah tak
bertuan itu kakang-kadang tidak akan bertemu penjual makanan lagi. Memang banyak dusun
yang sudah ditinggalkan penduduknya yang lari mengungsi semenjak Thian-te Kui-pang
berkuasa di dusun Tai-bun dan sekitarnya.
Selagi tiga orang itu makan minum, tiba-tiba terdengar suara tuk-tuk-tuk menghampiri mereka.
Ketiganya menengok dan nampaklah seorang pengemis yang usianya sekitar lima puluh tahun,
berjalan menghampiri meja mereka yang berada di sulut luar. Suara berketuk itu adalah suara
tongkat yang dibawanya, dan dia berjalan bertopang kepada tongkat itu yang mengeluarkan
bunyi yang berat. Pengemis tua itu tidak mendatangkan kesan sesuatu, akan tetapi ketika Bun
Houw memandang kearah tongkatnya, dia mengerutkan alisnya. Tongkat itu terbuat dari logam
berat, mungkin besi dan tidak jelas karena dicat hitam.
"Kalau tidak salah, orang ini tentu anggauta Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis
Tongkat Hitam),” bisik Bun Houw kepada dua orang wanita itu. Mereka melirik dan melihat
pengemis itu sudah tiba di dekat meja mereka. Tentu saja dua orang wanita itu mengerutkan
alis merasa tidak senang sedang makan di dekati seseorang pengemis yang bajunya nampak
kotor. Akan tetapi Bun Houw yang tidak ingin mencari keributan, segera mengambil sepotong
uang dan memberikan kepada pengemis itu sambil berkata dengan suara lembut.
"Paman, ambilah uang ini dan sampaikan salam hormatku kepada Hek-tung Kai-pangcu (Ketua
Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) Kam Cu."
Pengemis itu menerima kepingan uang dan menjura dengang sikap hormat sekali. "Ah, kiranya
saya dapat menemukan taihiap dengan mudah. Tentu taihiap yang oleh pangcu kami disebut
Perdekar Pedang Kilat. Pangcu kami mengundang taihiap bertiga untuk bertemu dengannya."
Bun Houw tercengang. Setahunya, Hek-tung Lo-kai (Pengemis Tua Tongkat Hitam) Kam Cu
berada di sebelah selatan Nan-king. Bagaimana dapat mengundangnya?"
dunia-kangouw.blogspot.com
'"Di mana Kam-pangcu?" tanyanya cepat.
"Hal ini harus dirahasiakan," bisik pengemis itu. "Nanti kalau sam-wi (anda bertiga) sudah
selesai makan, saya menanti di luar dan akan menjadi penunjuk jalan. Sam-wi ikuti saja aku
keluar dusun." Setelah berkata demikian, tanpa banyak bicara lagi sehingga tidak menarik
peihatian orang, pengemis itu menghampiri meja lain untuk minta sedekah. Kemudian, diapun
keluar dari rumah makan itu.
Sambil melanjutkan makan, dengan lirih Bun Houw menceritakan tentang Hek-tung Kai-pang,
perkumpulan pengemis yang tidak sudi diajak bekerja-sama dengan Thian-te Kui-pang.
"Tentu ada hal penting sekali maka dia berada di sini, dan agaknya dia mengetahui bahwa kita
berada di dusun ini." Bun Houw berkata dan setelah mereka selesai makan, mereka membayar
harga makanan lalu melangkah keluar dari rumah makan itu dengan sikap santai sehingga
tidak akan menarik perhatian orang.
Benar saja, mereka melihat pengemis yang tadi berada dalam jarak serarus meter dari tempat
itu dan kini pengemis itu berjalan santai pula menuju ke timur dan keluar diri dusun itu. Dari jauh
Bun Houw dan dua orang wanita itu mengikutinya. Setelah tiba di tempat yang sunyi, pengemis
itu lalu berjalan dengan cepat, Bun Houw dan dua orang temannya membayanginya dengan
cepat pula dan dia menghilang di dalam sebuah hutan.
Setelah Bun Houw, Hui Hong dan Ling Ay berlari memasuki hutan itu, agak ke tengah, mereka
telah ditunggu oleh belasan orang yang berpakaian pengemis dan kesemuanya memegang
tongkat hitam, yang berada di depan sendiri adalah seorang pengemis berusia lima puluhan
tahun yang bertubuh kurus. Bun Houw segera mengenal orang ini sebagai Hek-tung Lo-kai
Kam Cu, ketua dari Hek-tung Kai-pang dan di sebelahnya lagi nampak seorang pria berusia
lima puluh tahun yang bertubuh tinggi besar, bermuka brewok dan dia tidak mengenakan
pakaian pengemis. Sebatang golok besar tergantung di pinggangnya.
Bun Houw juga mengenal si golok besar ini yang bukan lain adalah ketua diri Thian-beng-pang
yang bernama Ciu Tek. Dua orang inilah yang pernah dibantu Bun Houw ketika mereka hendak
dipaksa oleh Pek-thian-kui orang pertama dari Bu-tek Sam-kui yang dibantu oleh Suma Hok
dan Suma Koan.
"Ha ha-ha, sungguh beruntung sekali kami bertemu dengan Si Pedang Kilat Kwa Thai hiap di
sini!" kata si brewok Ciu Tek, ketua Thian-beng pang itu.
Bun Houw membalas penghormatan mereka dan memperkenalkan nama Hui Hong dan Ling
Ay. Dua orang ketua itu memberi hormat kepada dua orang wanita itu dan Hek-tung Lo-kai
berkata, "Kami sungguh kagum sekali, karena melihat cara ji wi li hiap (kedua pendekar wanita)
berlari cepat tadi saja kami sudah dapat menduga bahwa ji-wi li-hiap memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi."
"Ji-wi pang cu (kedua ketua) mengundang kami ke sini, sebenarnya ada kepentingan apakah?”
"Mari kita duduk di sana, ada urusan penting sekali, taihiap," kata dua orang ketua itu. Mereka
lalu duduk di atas batu-batu yang berada di tengah hutan.
"Kwa taihiap, kami lelah lama sekali menanti tai-hiap di dusun ini, dan begitu tai-hiap bertiga
dengan ji-wi li hiap ini memasuki dusun, kami sudah mengetahuinya, akan tetapi kami
membiarkan sam-wi beristirahat semalam baru pagi ini kami hubungi. Kami yakin bahwa taihiap
tentu akan membasmi gerombolan Thian-te Kui pang, maka kami sudah siap di tempat ini
menanti tai-hiap dan kami telah mengerahkan anak buah kami berdua, sebanyak tiga ratus
orang. Tentu tai hiap bertiga datang ke sini hendak menyerang sarang Thian-te Kui pang,
bukan?"
"Benar sekali, pangcu. Dan kami juga gembira sekali mendapat bantuan ji-wi pangcu dan anak
buah ji wi. Kalau begitu, mari kita segera berangkat ke sarang gerombolan iblis itu."
"Harap tai-hiap berhati-hati dan tidak memandang rendah pihak lawan. Anak buah mereka
memang hanya kurang lebih seratus orang, akan tetapi rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
Dan lebih dari itu, kami berhasil mengetahui bahwa Bu-tek Sam kui kini menjadi lebih kuat dari
pada dahulu." kata Thian beng-pangcu Ciu Tek.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bun Houw tersenyum dan menggeleng kepala. "Pangcu salah kira. Dahulu mereka dibantu oleh
para datuk sesat seperti Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan puteranya, Suma Hok, Bu-engkiam
Ouwyang Sek dan puteranya, Ouwyang Toan. Akan tetapi kini mereka semua itu telah
tewas. Mereka hanya tinggal bertiga, bagaimana pangcu mengatakan bahwa Bu-tek Sam-kui
kini menjadi lebih kuat?”
"Ah, engkau tidak mengerti. Lui-kong Kiam hiap (Pendekar Pedang Kilat)," kata Hek-tung Lo
kai. "Biarpun para datuk itu sudah tidak ada, akan tetapi kini Bu-tek Sam kui dibantu sendiri
oleh guru mereka, yaitu Thian-te Seng-jin yang menjadi Koksu (Guru Negara) Kerajaan Wei.
Kabarnya, Thian-te Seng-jin memiliki ilmu silat yang amat tinggi, juga ilmu sihirnya amat
berbahaya.”
"Hemm, betapapun lihainya pihak lawan, kita harus tetap menentang kejahatan, pang-cu." kata
Bun Houw tenang.
"Akupun tidak takut!" kata Hui Hong penuh semangat.
"Kalau mereka menggunakan kekuatan sihir, biar aku yang menghadapi mereka!" kata Ling Ay
yang selain ilmu silat, juga pernah mempelajari ilmu sihir dari mendiang gurunya, yaitu Bi Moli
Kwan Hwe Li.
Melihat semangat tiga orang muda itu. kedua orang pangcu menjadi kagum bukan main. "Kami
juga sama sekali tidak menjadi gentar taihiap, hanya amat baik kalau kita berhati-hati dan
mempergunakan siasat dalam penyerbuan kita."
"Memang begitulah sebaiknya, dan kami serahkan saja kepada ji-wi pangcu untuk mengatur
siasat penyerbuan itu." kata Bun Houw karena dia sendiri belum pernah mengatur pasukan
sehingga tidak tahu bigaimana harus mengatur anak buah untuk menyerbu sarang gerombolan
iblis itu.
Kedua orang pangcu itu lalu mengutarakan siasat yang memang sudah mereka persiapkan
sebelumnya. Tiga ratus orang anak buah mereka akan dibagi empat, masing-masing tujuh
puluh lima orang dan setiap pasukan dipimpin oleh mereka berdua dan tiga orang pendekar
muda itu. "Kami berdua akan memimpin sebuah pasukan dari tujuh puluh lima orang dan akan
menyerbu dari pintu depan," kata Hek-tung Lo-kai. “Kedua lihiap memimpin masing-masing
sebuah pasukan menyerbu dari kanan dan kiri, sedangkan tai-hiap memimpin sebuah pasukan
menyerang dari belakang. Dengan cara demikian, mereka tidak akan mendapat kesempatan
untuk kabur atau membokong kita. Juga diserang dari empat penjuru, tentu mereka akan
menjadi kacau dan di dalam sarang mereka, empat pasukan kita dapat saling bantu.
Bagaimana pendapat tathiap dan ji-wi lihiap dengan yaiasat kami itu?"
Bun Houw, Hui Hong dan Ling Ay merasa kagum. "Bagus sekali, pangcu!" kata Bun Houw.
Setelah terjadi pertempuran nanti, biar aku yang menghadapi Thian-te Seng-jin, sedangkan
Hong-moi, adik Ling Ay dan ji-wi pangcu mengeroyok Bu-tek Sam-kui, dibantu pula oleh anak
buah yang memiliki kepandaian tinggi."
Mereka juga merencanakan bahwa gerakan itu akan dilakukan malam hari itu karena kalau
dilakukan shang hari, tentu gerak gerik tiga ratus orang akan menarik perhatian dan sebelum
mereka tiba di sarang gerombolan, pihak Thian-te Kai-pang akan lebih dulu mengetahui dan
dapat membuat persiapan yang akan menjebak mereka.
Berita yang didapat oleh kedua orang ketua itu memang benar. Kaisar Thai Wu dari kerajaan
Wei merasa penasaran dan marah sekali mendengar laporan akan gagalnya usaha Bu-tek Sam
kui untuk membunuh Kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan Chi, bahkan gerakan bekas Kaisar
Cang Bu yang menjadi sekutu mereka juga dapat dihancurkan oleh pasukan kerajaan Chi.
Mendengar betapa kerja-sama yang sudah amat baik, kemajuan yang mendatangkan harapan
itu akhirnya, hancur karena ulah seorang pendekar muda yang dijuluki Si Pedang Kilat, Kaisar
Thai Wu segera memanggil penasihatnya, juga gurunya, Thian-te Seng-jin untuk dimintai
pendapatnya, juga setengah ditegur mengapa tugas yang dipikul saudara-saudara
seperguruannya yaitu Bu-tek Sam-kui, menjadi gagal.
dunia-kangouw.blogspot.com
Thian-te Seng-jin sendiri juga merasa penasaran. "Biarlah hamba sendiri yang akan datang
membantu Bu-tek Sam-kui, Yang Mulia. Hamba akan menangkap dan menyeret bocah
bernama Kwa Bun Houw itu ke depan kaki paduka!”
Demikianlah, tosu yang berusia empat puluh lima tahun itu segera menyusul tiga orang
muridnya itu ke Tai-bun, tinggal di sarang gerombolan itu untuk menyusun rencana baru
setelah rencana yang pertama itu mengalami kegagalan.
Malam itu gelap. Tidak ada sebuahpun bintang nampak di langit yang tertutup mendung.
Suasana di dusun Tai-bun yang kini menjadi sarang gerombolan itupun nampak sunyi. Hanya
di sana-sini di antara rumah-rumah penduduk yang kini menjadi rumah-rumah anggauta
gerombolan, terdengar isak tangis wanita. Mereka adalah para wanita yang diculik oleh
gerombolan Thian-te Kui-pang dan menjadi korban kebuasan mereka, dipaksa untuk melayani
mereka. Tentu saja gerombolan ini tidak membutuhkan harta kekayaan karena para penduduk
dusun mana ada yang kaya? Pula, mereka sudah mendapatkan upah cukup dari kerajaan Wei.
Yang mereka butuhkan dalam tugas mereka mengacau di daerah wilayah kerajaan Chi adalah
wanita-wanita, dan kadang mereka juga merampok, akan tetapi bukan harta yang mereka
rampok, melainkan bahan makanan seperti ternak, gandum dan lain-lain. Tentu saja banyak
wanita yang mereka culik dan mereka paksa tinggal di sarang mereka.
Sore tadi Thian-te Seng-jin sudah merencanakan siasat baru dengan para muridnya. Mereka
mengambil keputusan untuk menguasai dunia kang-ouw dengan merebut kedudukan beng-cu,
dan Thian-te Seng-jin sendiri akan muncul sebagai calon beng-cu, mengalahkan para tokoh
kang-ouw. Tentu saja dia akan menggunakan penyamaran dan menggunakan nama lain. Kalau
mereka sudah dapat menguasai dunia kang-ouw, akan mudah menimbulkan kekacauan di
wilayah kerajaan Chi, sehingga kerajaan itu akan menjadi lemah sehingga akan membuka
kesempatan bagi kerajaan Wei untuk meluaskan wilayah kekuasaan mereka ke selatan.
Tanpa ada yang mengetahui, dari kegelapan malam muncullah pasukan yang bergerak
perlahan-lahan, datang dari empat jurusan dan kini mereka, menjelang tengah malam, telah
mengepung sarang gerombolan iblis itu dari empat penjuru. Mereka semua masih bersembunyi
di luar dusun Tai bun, menanti datangnya isarat seperti yang telah mereka rencanakan, isarat
itu tak lama kemudian nampak oleh mereka semua, yaitu hujan anak panah berapi yang mulamula
dilepaskan oleh pasukan dari depan yang dipimpin oleh Hek-tung Lo-kai dan Thian-beng
Pang-cu. Begitu melihat anak panah api menghujani sarang itu dan mulai nampak kebakaran
pada atap beberapa buah rumah, pasukan dari empat penjuru itu lalu menyerbu, baik melalui
pintu gerbang dusun maupun merobohkan pagar dusun, sambil berteriak-teriak.
Anak buah Thian-te Kui-pang memang merupakan perajurit pilihan di kerajaan Wei, akan tetapi
sekali ini, mereka menjadi panik juga karena sebagian besar di antara mereka sudah tidur
nyenyak dan tiba-tiba saja terdengar suara gaduh dan terjadi kebakaran di mana-mana,
kemudian sarang mereka diserbu banyak orang. Mereka sendiri ada yang masih belum
bersepatu, bahkan banyak yang dalam keadaan setengah telanjang! Mereka mengira bahwa
pasukan pemerintah yang menyerbu, maka mereka menjadi semakin panik.
Bu-tek Sam kui sendiri berlompatan keluar dan mereka berteriak-teriak kepada anak buah
mereka agar tidak panik dan melakukan perlawanan. Juga Thian-te Seng-jin keluar dari
pondoknya, sebatang pedang tergantung di punggungnya. Sebagai orang-orang
berpengalaman. Bu-tek Sam kui dan guru mereka itu sekali melihat saja maklum bahwa yang
menyerbu sarang mereka bukanlah pasukan pemerintah, melainkan orang-orang bergolok dan
orang-orang berpakaian pengemis dan bertongkat hitam.
“Lawan, jangan panik!" Mereka berteriak-teriak sambil mengamuk dan menyambut para
penyerbu. "Mereka hanya jembel-jembel busuk! Hajar mereka!!”
Akan tetapi, dibawah sinar api dari rumah-rumah yang terbakar, Bu-tek Sam-kui terkejut ketika
melihat dua orang wanita muda yang cantik dan gagah menerjang mereka, dibantu pula oleh
dua orang setengah tua gagah yang mereka kenal sebagai Hek-tung Lo-kai Kam Cu ketua Hektung
Kai-pang dan Thian-beng-pangcu Ciu Tek. Hui Hong yang sudah diberi tahu oleh Bun
Houw segera menerjang Pek-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui yang bersenjata
pedang. Dengan pedang di tangan kanan dan sebatang ranting di tangan kiri, Hui Hong
menyerang Pek-thian-kui. Orang pertama dari Bu-tek Sam-kui ini terkejut bukan main karena
dunia-kangouw.blogspot.com
dari gerakan pedang meluncur bagaikan kilat itu dia maklum bahwa dia sama sekali tidak boleh
memandang rendah lawannya. Dia menggerakkan pedangnya menangkis, akan tetapi sebelum
dia sempat membalas, ranting di tangan kiri Hui Hong sudah menotok ke arah dadanya dan
yang membuat Pek-thian-kui terkejut adalah bahwa serangan ranting di tangan kiri ini bahkan
lebih lihai dibandingkan serangan pedang di tangan kanan. Terpaksa dia membuang diri ke
belakang dan membuat salto sampai empat kali, baru dapat terbebas dari susulan serangan
Hui Hong yang bertubi-tubi. Kini mereka berhadapan dengan penasaran, dan diam-diam
mereka mengerahkan seluruh tenaga karena maklum menghadapi lawan tangguh.
Huang-ho-kui, orang ke dua dari Bu-tek Sam kui, juga menghadapi lawan berat ketika Ciu Tek,
ketua Thian-beng-pang dibantu oleh tujuh orang murid kepala mengeroyoknya. Dia mengamuk
dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang dayung dari besi yang dimainkan seperti
sebuah toya. Andaikata Ciu Tek hanya maju seorang diri, tentu ketua ini akan payah
menandingi Huang-ho-kui yang tingkat kepandaiannya sedikit lebih tinggi. Akan tetapi karena
ada tujuh orang muridnya membantu kini Huang-ho-kui yang terdesak hebat dan dia harus
memutar dayungnya secepatnya untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan para
pengeroyoknya.
Adapun Toat beng-kui, orang ke tiga dari Bu-tek Sam-kui yang bersenjata golok, segera
diterjang oleh Ling Ay yang dibantu oleh Hek-tung lo-kai seperti yang telah mereka atur
sebelumnya. Orang ke tiga dari Bu-tek Sam-kui inipun segera terdesak hebat karena tingkat
kepandaian kedua orang itu masing-masing hanya terpaut sedikit di bawah tingkatnya. Karena
mereka maju bersama, maka dialah yang terdesak.
Bu-tek Sam-kui yang kewalahan ini mengharapkan bantuan guru mereka, namun ketika mereka
menengok, mereka terkejut melihat guru merekapun sedang didesak hebat oleh seorang
pemuda yang bukan lain adalah Si Pedang Kilat Kwa Bun Houw! Thian-te Seng-jin yang seperti
juga tiga orang muridnya terkejut melihat penyerbuan tiba-tiba di tengah malam itu, tadinya
tidak merasa khawatir karena mengira bahwa yang menyerbu hanya orang-orang biasa saja
yang pasti akan mampu dihadapi tiga orang muridnya dan anak buahnya. Akan tetapi, melihat
betapa tiga orang muridnya itu menghadapi lawan berat, diapun terkejut dan melolos pedang
dari punggungnya. Dia bermaksud hendak menggunakan ilmu sihir untuk membantu para
muridnya, akan tetapi pada saat itu, Bun Houw sudah melompat di depannya.
"Hemm, agaknya engkau yang bernama Thian-te Seng-jin, guru Bu-tek Sam-kui yang
mendirikan Thian-te Kui-pang dan mengacau di daerah ini? Sebagai guru mereka, engkau
harus bertanggung jawab atas kejahatan mereka, Thian-te Seng-jin!"
Melihat seorang pemuda berani bersikap seperti itu di depannya, Thian-te Seng-jin menjadi
marah. Matanya mencorong dan diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan
menudingkan pedangnya ke arah muka pemuda itu dan membentak, suaranya lantang
berpengaruh. "Orang muda, siapakah engkau berani bicara seperti itu di depan pinto?"
"Aku bernama Kwa Bun Houw, dan aku tahu bahwa engkau adalah Thian-te Seng-jin. Koksu
Kerajaan Wei yang bertugas mengacau di daerah kerajaan Chi!"
Diam-diam Thian-te Seng-jin terkejut. Tugas tiga orang muridnya adalah tugas rahasia yang
tidak boleh diketahui orang, karena Kaisar Thai Wu yang juga muridnya tidak menghendaki
perang terbuka dengan kerajaan Chi. Tugas mereka hanya mengacau dan melemahkan
kerajaan Chi yang semakin kuat dan kini ternyata rahasia itu telah diketahui oleh pemuda yang
bernama Kwa Bun Houw ini.
"Kwa Bun Houw, lihat baik-baik, aku adalah Naga Merah dari Utara yang akan menghukum
kamu atas kelancanganmu. Berlututlah kamu! !” Suara itu melengking nyaring menggetarkan
siapa saja yang berada di dekatnya.
Terutama sekali Bun Houw yang langsung menerima serangan yang ditujukan kepadanya. Dia
terbelalak karena benar-benar lawannya telah berubah menjadi seekor naga bersisik merah!
Mata naga itu mencorong dan moncongnya terbuka lebar mengeluarkan api. Sungguh
merupakan penglihatan yang menyeramkan sekali. Seandainya Bun Houw tidak memiliki
keberanian yang amat kuat, tentu dia sudah menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi dia seorang
pemberani dan tabah, apalagi ada tekad di hatinya bahwa dia akan melawan kejahatan tanpa
dunia-kangouw.blogspot.com
mengenal rasa takut dan siap mengorbankan dirinya demi membela kebenaran dan keadilan.
Oleh karena itu, biarpun dia terkejut sekali, dia tetap tabah dan tidak mau berlutut.
Akan tetapi apa yang dilihatnya memang menggiriskan hati. Naga itu siap untuk menerkamnya,
dan biarpun Bun Houw sudah siap dengan pedang Lui kong kiam (Pedang Kilat) di tangan,
namun wajahnya tetap saja berubah agak pucat karena memang penglihatan itu cukup untuk
membuat jerih hati orang yang paling tabah sekalipun. Bun Houw menerjang dengan pedang
kilatnya membacok ke arah kepala naga merah itu.
"Singg ... wuuuttt ... plakkk!" Tubuh Bun Houw terpelanting. Ketika pedangnya bertemu kepala
naga merah, pedang itu tembus seperti membacok bayang-bayang saja dan ekor naga itu
menghantamnya dari samping, sedemikian kerasnya sehingga dia terpelanting!
Pada saat yang gawat itu, Ling Ay muncul di depan naga merah itu. Wanita ini tadi merasakan
getaran hebat dari pengaruh sihir yang dikerahkan Thian-te Seng-jin, maka ia lalu berteriak
kepada Hek-tung Lo-kai untuk menghadapi Toat-beng-kui sendiri bersama anak buahnya
karena ia akan membantu Bun Houw. Hek-tung Lo-kai berteriak memanggil para murid kepala
dan lima orang murid Hek-tung Lo-kai membantu ketua mereka mengeroyok Toat-beng-kui
sedangkan Ling Ay sudah meloncat ke depan Naga Merah buatan itu. Ia meraih tanah dan
setelah berkemak-kemik membaca mantera dan mengerahkan segenap tenaga sihir seperti
yang pernah ia pelajari dari mendiang Bi Moli Kwan Hwe Li, iapun menyambitkan tanah itu ke
arah naga sambil berteriak dengan suara melengking, suara yang berpengaruh karena
mengandung tenaga sakti.
"Asal dari tanah kembali kepada tanah!!"
Tanah yang disambitkan itu meluncur mengenai naga merah. Terdengar suara letupan keras
dan naga jadi-jadian itupun lenyap berubah menjadi asap! Bun Houw merasa girang sekali dan
kini dia melihat lagi tosu siluman itu, maka diapun menggerakkan pedangnya untuk menyerang
dengan dahsyat.
"Trang-trang-trang ...!!" Bunga api berpijar-pijar ketika pedang di tangan Thian-te Seng-jin
bertemu dengan pedang Lui-kong-kiam di tangan Bun Houw-Pedang tosu itu juga merupakan
sebatang pedang pusaka yang terbuat dari logam pilihan, maka tidak menjadi rusak ketika
beradu dengan Lui kong-kiam. Akan tetapi, tosu itu merasa betapa telapak tangan kanannya
yang memegang pedang menjadi panas dan nyeri. Hal ini menunjukkan bahwa lawannya itu,
biarpun masih muda, memiliki teaaga sakti yang amat kuat. Juga tosu ini merasa penasaran
sekali betapa ilmu sihirnya tadi dapat dipunahkan oleh seorang wanita muda yang kini hanya
menjadi penonton dan siap untuk menandingi ilmu sihirnya. Mulailah dia merasa jerih, apalagi
ketika melihat betapa tiga orang muridnya menghadapi lawan-lawan berat, dan anak buah
Thian-te Kui-pang juga mulai kocar kacir menghadapi pengeroyokan jumlah musuh yang jauh
lebih banyak.
Tiba-tiba Thian-te Seng-jin mengeluarkan gerengan aneh dan Ling Ay sudah siap untuk
menghadapi ilmu sihirnya. Akan tetapi ternyata kakek tinggi kurus bermuka pucat itu tidak
menggunakan sihir, melainkan mengeluarkan ilmu silat yang amat aneh. Tubuhnya tiba-tiba
saja ditekuk seperti seekor binatang menggiling dan dia menjatuhkan diri di atas tanah,
bagaikan seekor menggiling atau sebuah bola dia lalu menggelundung ke arah Bun Houw.
Pemuda ini terkejut dan cepat menggerakkan pedangnya untuk menangkis ketika bola
menggelundung itu tiba dekat dan dari gulungan itu mencuat sinar pedang yang menyerang
kakinya.
"Trangg ... !” Kembali bunga api berpijar akan tetapi kini Bun Houw yang terhuyung ke
belakang. Kiranya pedang yang diserangkan sambil bergulingan itu kini menjadi amat kuat,
seolah memperoleh tenaga aneh dari dalam bumi, dan tangan kiri tosu itupun ikut pula
menyerang dengan dorongan yang kuat sekali.
Kembali tubuh tosu yang seperti menggiling melingkar itu sudah bergulingan dengan cepat
menyerang Bun Houw lagi. Bun Houw menyambutnya dengan tangkisan yang akan dilanjutkan
tusukan balasan, namun dia tidak sempat membalas karena begitu pedangnya bertemu pedang
lawan ada kekuatan dahsyat yang membuat dia terhuyung, bahkan semakin keras sampai lima
langkah ke belakang. Banyak sudah dia melihat ilmu silat yang dimainkan dengan bergulingan,
dunia-kangouw.blogspot.com
terutama sekali bagi orang yang bersenjatakan golok dan perisai, dan permainan silat dengan
bergulingan itu memang berbahaya bagi lawan. Akan tetapi, belum pernah melihat cara
bergulingan seperti ini, tosu itu benar-benar mirip seekor trenggiling. Tubuhnya melingkar
menjadi bulat dan tenaganya menjadi berlipat ganda ketika menyerang dari atas tanah seperti
itu.
Berulang kali Bun Houw diserang dan dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk
membalas, dan setiap kali serangan lawan itu menjadi semakin kuat saja. Pemuda ini maklum
bahwa kalau dilanjutkan seperti itu mungkin akhirnya dia akan terluka, baik oleh pedang lawan
maupun oleh dorongan tangan kiri atau tendangan kaki yang tiba-tiba mencuat. Setelah
memperhatikan gerakan lawan yang menyerangnya berulang kali, begitu tubuh lawan
menggelundung ke arahnya, sebelum Thian-te Seng-jin menyerang, dia menghindar dengan
loncatan. Tubuh yang seperti bola itu cepat mengejarnya dan kini Bun Houw sudah siap siaga.
Dia bahkan menyimpan pedangnya dan mengerahkan tenaga dari ilmunya yang dahsyat, yaitu
Im-yang Bu-tek Cin-keng. Ketika bola manusia itu menggelundung dekat, dia menyambut
dengan dorongan kedua tangannya, pada saat lawan menyerang.
Satu di antara keanehan ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah daya tolak yang membuat
seorang penyerang akan diserang oleh tenaganya sendiri yang membalik!”
"Desas ... !!" Bertemu dengan tenaga dahsyat Im-yang Bu-tek Cin-keng, tosu itu mengeluarkan
teriakan kaget dan tubuhnya seperti sebuah bola yang ditendang, terlempar dan
menggelundung jauh. Beberapa orang yang sedang bertempur, ketika terlanda bola ini,
terlempar dan tak mampu bangkit kembali.
Bun Houw berloncatan mengejar, diikuti oleh Ling Ay.
"Houw-ko, hati-hati!" teriak Ling Ay dan pada saat itu terdengar ledakan kecil dan nampak asap
hitam mengepul tebal. Tosu itu menghilang di balik asap dan mendengar peringatan Ling Ay,
Bun Houw tidak mengejar melainkan meloncat jauh ke belakang. Hal ini menguntungkan
karena asap hitam yang keluar dari bahan peledak itu adalah asap beracun. Tidak kurang dari
lima orang, baik dari pihak penyerbu maupun anak buah Thian-te Kui-pang sendiri, roboh dan
tewas ketika terlanda asan hitam itu. Dan tentu saja Thian-te Seng-jin sendiri sudah lenyap dari
tempat itu. Bun Houw menengok dan melihat betapa Bu-tek Sam kui masih terdesak hebat,
namun belum juga dapat dirobohkan. Hanya Pek-thian-kui yang benar-benar payah melawan
Hui Hong. Pundak kirinya sudah terluka pedang di tangan Hui Hong dan kini dia yang tidak
mampu melarikan diri kerena tempat itu sudah dikepung anak buah Hek-tung Kaipang dan
Thian-beng-pang, mengamuk mati-matian sehingga membuat Hui Hong harus berlaku hati-hati.
Melawan seorang yang sudah nekat untuk mengadu nyawa memang berbahaya sekali, sama
dengan melawan seorang gila. Tongkat di tangan kiri Hui Hong membuat orang pertama dari
Bu-tek Sam-kui itu benar-benar repot. Biarpun dia berusaha untuk mengamuk dan membalas
dengan pedangnya, namun selalu pedangnya bertemu dengan periasi sinar pedang yang
dibuat oleh putaran pedang Hui Hong, sedangkan luncuran tengkat di tangan kiri Hui Hong
mengirim totokan-totokan yang benar-benar amat dahsyat karena sekali saja totokan itu
mengenai tubuhnya, tentu dia akan roboh!
Melihat ini, Bun Houw lalu berkata kepada Ling Ay, "Adik Ling Ay, kau bantulah Hong-moi, dan
aku akan menghadapi dua orang iblis yang lain."
Ling Ay mengangguk dan ia lalu menerjang maju dengan pedang di tangan, membantu Hui
Hong. "Adik Hong, mari kita basmi iblis busuk ini!" bentaknya sambil menggerakkan pedang
menusuk ke arah lambung Pek-thian-kui.
Menghadapi Hui Hong seorang saja, Pek-thian-kui sudah kewalahan, apalagi kini ditambah
dengan seorang wanita selihai Ling Ay. Nyaris tusukan itu mengenai lambungnya dan diapun
melempar tubuh ke belakang dan begitu dia meloncat bangun, tangan kirinya bergerak dan
sinar hitam menyambar ke arah Hui Hong dan Ling Ay. Namun, dengan mudah kedua orang
wanita itu menangkis dan paku-paku hitam beracun yang menyambar ke arah mereka tadi
dipukul runtuh semua dan kini kedua orang wanita perkasa itu sudah menghujani lawan dengan
serangan pula, Hek-tung Lo-kai Kam Cu dan anak buahnya mengepung dan mengeroyok Toatbeng-
kui, demikian pula Thian-beng Pang-cu Ciu Tek dibantu anak buahnya mengeroyok
Huang-ho-kui. Namun, kedua orang lawan itu memang lihai bukan main dan mereka dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
mengamuk sehingga beberapa orang anak buah kedua orang ketua itu roboh terkena senjata
mereka.
Melihat betapa dayung di tangan Huang-ho-kui memang dahsyat sekali sehingga orang-orang
Thian-beng-pang nampaknya menjadi jerih, Bun Houw yang sudah kehilangan lawan, lalu
meloncat dan tangan kirinya menyambar dengan pengerahan tenaga dari ilmu Im-yang Bu-tek
Cin-keng.
"Wuuuuttt ... dessas ... !" Huang-ho-kui mengeluarkan teriakan kaget dan tubuhnya seperti
dilanda badai, terlempar sampai sejauh beberapa meter dan sebelum dia sempat bangun lagi
karena masih merasa nanar, orang-orang Thian-beng-pang, dipimpin oleh Ciu Tek, telah
menghujaninya dengan senjata mereka sehingga tewaslah orang ke dua dari Cu-tek Sam-kui
ini dengan tubuh yang tidak utuh lagi.
Bun Houw kini meloncat dan melihat Hek-tung Lo-kai dan anak buahnya masih belum mampu
merobohkan Toat-beng-kui, diapun menyerang Toat-beng-kui dengan dorongan tangan yang
mengandung kekuatan dahsyat itu. Seperti juga rekannya, tubuh Toat-beng-kui terlempar dan
diapun tewas di bawah hujan senjata Hek-tung Lo-kai dan para anak buahnya. Bun Houw kini
melihat ke arah dua orang wanita yang mengeroyok Pek-thian kui. Tepat pada saai dia
memandang, Pek-thian-kui mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya terjungkal dengan
dada ditembusi dua batang pedang!
Anak buah Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang bersorak gembira melihat Bu-tek Sam-kui
tewas dan mereka menjadi lebih bersemangat. Sebaliknya, anak buah Thian-te Kui-pang yang
sudah kehilangan pimpinan dan banyak pula di antara mereka yang sudah tewas, menjadi
panik dan mereka berusaha untuk melarikan diri. Namun, kedua orang ketua itu bersama anak
buah mereka mengejar dan menganuk dan akhirnya hanya belasan orang saja di antara para
anak buah Thian-te Kui-pang yang berhasil lolos. Juga Thian-te Seng-jin sendiri sudah lebih
dulu melarikan diri dan kembali ke utara untuk melapor kepada kaisarnya tentang kegagalan
gerakan Thian-te Kui pang.
Bun Houw sendiri bersama Hui long dan Ling Ay segera berpamit dari dua orang ketua itu
setelah Bun Houw terpaksa menyanggupi untuk kelak dicalonkan menjadi beng-cu (pemimpin)
kalau tiba saatnya diadakan pemilihan beng-cu atau pemimpin dunia persilatan. Bagi dia, siapa
saja yang menjadi beng-cu baik atau bukan tokoh dunia sesat yang akan menyeret dunia
persilatan ke arah kejahatan.
Mereka bertiga sudah jauh meninggalkan dusun Tai-bun yang berada diperbatasan daerah tak
bertuan itu. Setelah melewati sebuah bukit terakhir, mereka tiba di persimpangan jalan. Sejak
tadi Ling Ay tidak banyak bicara dan hanya menjawab dengan ya atau tidak kalau Hui Hong
mengajaknya bicara. Wajahnya yang cantik manis itu nampak muram, sinar matanya suram
seperti lampu kehabisan minyak atau seperti bintang terselaput kabut.
Setelah tiba di persimpangan jalan, Ling Ay menahan langkahnya dan berkata, "Sudah, sampai
di sini saja ... " suaranya lirih. Bun Houw dan Hui Hong juga berhenti dan mereka memandang
kepada janda muda itu.
"Enci Ling Ay, kenapa berhenti?" tanya Hui Hong.
Ling Ay memaksa senyum, namun wajahnya agak pucat dan layu sehingga senyumnya
nampak menyedihkan, "Adik Hong, dan Houw ko, aku tidak ingin mengganggu kalian lebih lama
lagi. Kita harus berpisah, aku akan pergi ... entah ke mana, mungkin merantau ke mana saja
kaki ini membawa diriku dan ... aku hanya memujikan semoga kalian diberkahi Tuhan ...
selamat berpisah ... " tanpa menanti jawaban, Ling Ay cepat membalikkan tubuhnya dan
berjalan cepat meninggalkan mereka.
"Enci Ling Ay, berhenti dulu?” Hui Hong berseru karena ia melihat betapa Ling Ay cepat
membalik untuk tidak memperlihatkan mukanya. Ketika Ling Ay tetap berjalan tanpa menoleh,
Hui Hong melompat dan tiba di belakang Ling Ay terus ia memegang kedua pundak wanita itu
dan memutarnya menghadapinya. Tepat seperti diduganya, Ling Ay menangis tanpa suara. Air
matanya bercucuran.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Enci, kau kenapa? Engkau ... menangis?" Hui Hong bertanya heran.
"Adik Hong ...!" Ling Ay menjadi semakin bersedih dan mereka berangkulan.
“Adik Hong, lepaskan aku, kuharap engkau dapat membahagiakan Houw-koko. Kalian berhak
menikmati kebahagiaan hidup, kalian orang-orang baik, dan aku ... ahh, biarkan aku pergi ... "
Hui Hong mengerti. Ia merasa iba sekali kepada janda yang kini menjadi sahabat baiknya itu.
Sudah berulang kali Ling Ay membantu dan menolongnya, memperlihatkan kebaikan hati dan
kesungguhannya dalam persahabatan. Memang jauh sebelum hari ini ia telah mengambil suatu
keputusan dalam hatinya dan apa yang hendak diputuskannya sekarang ini bukan sekedar
dorongan keharuan belaka.
"Tidak, enci Ay, engkau tidak boleh pergi. Aku ingin bicara berdua denganmu. Mari ...!" Hui
Hong masih merangkul pundak janda itu dan diajaknya menjauh.
"Heiii ... ! Kalian hendak pergi ke mana?" teriak Bun Houw melihat betapa kedua orang wanita
pergi menjauh.
Hui Hong menengok dan berteriak kembali. "Houw-ko, engkau tunggu saja di situ sebentar
jangan mendekati kami!"
Bun Houw membelalakkan matanya, menggerakkan kedua pundaknya lalu mencari tempat
duduk di bawah sebatang pohon, tidak mengerti akan ulah kedua orang wanita itu. Setelah
berada agak jauh sehingga suara mereka tidak akan dapat didengar oleh Bun Houw, Hui Hong
menoleh. Ia melihat Bun Houw duduk di atas batu besar seperti arca dan iapun tersenyum.
"Adik Hong, apa yang ingin kaubicarakan dengan aku?”" Ling Ay telah dapat menguasai
keharuan hatinya dan bertanya sambil memandang heran. Mereka sendiri saling berhadapan,
dua orang wanita muda yang cantik jelita dan sebaya. Hui Hong berusia dua puluh satu tahun
dan Ling Ay berusia dua puluh tiga tahun.
"Enci Ling Ay, sebelum aku bertanya, lebih dulu aku mengharapkan kejujuranmu. Dapatkah dan
maukah engkau menjawab semua pertanyaanku dengan jujur, sejujur-jujurnya?"
Ling Ay mengerutkan alisnya, tidak mengerti ke mana maksud tujuan ucapan itu, akan tetapi
selama ini ia memang bersikap jujur maka ia mengangguk, bahkan dapat tersenyum kini,
senyum seorang yang merasa lebih dewasa menghadapi seorang gadis yang masih kekanakkanakan.
"Tanyalah dan aku akan menjawab sejujurnya.”
Sambil menatap tajam wajah Ling Ay, Hui Hong bertanya, "Enci Ling Ay, apakah engkau masih
mencinta Houw-koko?"
Mata itu terbelalak, mulut itu ternganga dan wajah itu menjadi agak pucat, lalu kemerahan.
"Adik Hong, apa artinya pertanyaanmu ini? Mengapa engkau bertanya begini?” Mata yang
terbelalak itu memandang penuh selidik untuk menjenguk isi hati dari penanyanya.
"Enci Ling Ay, engkau berjanji akan menjawab sejujurnya!”
"Adik Hong, aku sudah tidak berhak lagi bicara tentang itu. Hubungan antara kami sudah lama
putus, dan aku ... aku tidak berhak menjawab." Ling Ay menundukkan mukanya, dan sekilas
matanya mengerling ke arah Bun Houw duduk.
"Enci Ling Ay, itu bukan jawaban. Yang kutanyakan, apakah engkau masih mencinta Houwkoko?"
Didesak begitu, Ling Ay berkata, "Adik Hong, cinta adalah cinta, sekali ada akan tetap ada,
tidak berkurang tidak berlebih, bagaimana bisa ditanyakan masih ada atau sudah tidak ada
lagi? Akan tetapi, aku sudah tidak berhak mengenang tentang itu.'“
“Kenapa tidak berhak?"
"Kenapa? Engkau tentu sudah mengetahui. Aku telah mengkhianati cinta kasih Houw-koko.
Ketika kami masih bertunangan, pihak keluargaku yang memutuskan pertunangan itu dan aku
menikah dengan pria lain. Aku ... aku malu untuk bicara tentang cintaku itu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak, engkau tidak mengkhianatinya” enci. Aku sudah mendengar semuanya. Engkau dipaksa
ayah ibumu untuk menikah dengan pemuda bangsawan. Engkau tidak berdaya karena ketika
itu engkau bukanlah enci Ling Ay yang sekarang, engkau hanya seorang gadis lemah. Engkau
sama sekali tidak mengkhianati cintanya, enci."
"Adik Hong, apa perlunya engkau mengorek-ngorek hal yang telah lampau? Semua itu hanya
menyakitkan hatiku. Apakah engkau merasa cemburu kepadaku karena urusan yang lampau
itu?"
"Sama sekali tidak. enci. Bahkan aku merasa iba kepadamu, aku merasa suka kepadamu dan
aku ingin menolongmu, aku ingin melihat engkau berbahagia pula. Karena itu aku ingin melihat
engkau menyambung kembali pertalian jodoh yang dirusak orang tua mu dengan paksa. Aku
ingin engkau menjadi isteri Houw-koko."
"Gila ...!!" Saking kagetnya Ling Ay meloncat ke belakang. "Hong-moi, apa maksudmu ini?
Jangan engkau memperolok dan menggodaku!" Wajah itu berubah kemerahan karena marah,
mengira bahwa Hui Hong sengaja hendak mempermainkannya.
"Siapa menggodamu, enci? Aku bicara sungguh-sungguh!" jawab Hui Hong serius pula.
"Tapi ... Houw-koko sendiri pernah mengaku kepadaku bahwa dia telah bertunangan
denganmu, bahwa dia saling mencinta dengan mu!”
"Memang benar, enci Ay, dan kami memang akan menikah, menjadi suami isteri ... “
"Nah, kalau begitu kenapa engkau mengusulkan hal yang gila itu kepadaku?"
"Bukan usul gila, enci. Aku ingin agar engkaupun menikmati kebahagiaan keluarga bersama
kami, menjadi keluarga kita. Perjodohanku dengan Houw-koko tidak akan menghalangi engkau
menjadi isteri pula dari Houw-koko ... "
"Gila. Kaumaksudkan ... aku ... engkau ... kita berdua menjadi isterinya ... ?"
"Kenapa tidak, enci? Aku telah mengenalmu dan tahu bahwa engkau seorang wanita yang
berbudi baik, gagah perkasa dan aku tahu pula bahwa engkau masih mencinta Houw-koko. Aku
akan suka sekali menjadi saudaramu dan kita bersama menjadi isteri Houw-koko yang samasama
kita cinta.”
Wajah itu berubah merah sekali dan kedua mata itu menjadi basah kembali. Ling Ay meraba
betapa jantungnya seperti diremas-remas. "Tapi ... bagaimana ini, adik Hong? Aku ... aku
pernah memusuhimu, bahkan hampir membunuh ayah kandungmu dan sekarang ... kau ... " Ia
menutupi muka dengan kedua tangannya.
Hui Hong merangkulnya. “Semua itu kaulakukan karena hendak menaati guru, bukan salahmu,
enci. Akan tetapi, yang lalu biarkan lalu, tidak perlu dibicarakan lagi. Yang penting sekarang ini,
aku ingin engkau menjadi saudaraku, bersama-sama membahagiakan Houw-koko. Nah,
bagaimana jawabanmu?"
"Adik Hui Hong, bagaimana aku harus menjawab? Aku tidak memiliki apa-apalagi, tidak berhak
apa-apalagi untuk memilih atau memutuskan. Semua terserah kepada ... Houw-ko dan
kepadamu ... "
"Jadi, kalau aku setuju dan Houw-koko setuju, engkau mau menjadi isteri Houw-koko, hidup
sekeluarga dengan aku?"
Dengan salah tingkah dan merasa malu dan sungkan, terpaksa Ling Ay mengangguk. Habis,
apalagi yang dapat ia lakukan? Menolak tawaran itu? Berarti ia gila! Ia memang tak pernah
kehilangan cintanya terhadap Bun Houw, dan kini ia melihat betapa Hui Hong adalah seorang
gadis yang baik sekali.
"Nah, kau tunggu sebentar di sini, enci. Aku mau bicara dengan Houw-ko."
"Tapi ... tapi ... jangan membikin malu padaku, adik Hong. Jangan sekali-kali memaksa dia ... "
Hui Hong hanya tersenyum dan iapun ber lari-lari menghampiri kekasihnya yang masih duduk
melamun karena tidak dapat menduga apa yang dibicarakan oleh kedua orang wanita itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Houw-koko, aku ingin bertanya kepadamu, akan tetapi aku minta engkau menjawab
sejujurnya!" Hui Hong berkata. Pemuda itu bangkit dari duduknya dan menatap wajah
kekasihnya dengan heran. Belum pernah dia melihat Hui Hong seserius sekarang ini.
"Tentu saja, Hong-moi. Pernahkah aku tidak jujur kepadamu?"
"Nah, sekarang jawablah sejujurnya. Apakah engkau masih mencinta enci Ling Ay?"
Bun Houw terbelalak, lalu mengerutkan alisnya. "Aih, Hong-moi, setelah engkau kini bersahabat
baik dengannya, kenapa engkau mengorek peristiwa dahulu yang hanya akan menimbulkan
perasaan tidak enak? Apakah engkau merasa cemburu !”
“Jangan berlika-liku, Houw ko. Aku hanya bertanya apakah engkau masih cinta kepada enci
Ling Ay itu saja dan jawablah sejujurnya.”
"Bagaimana aku dapat menjawabnya? Engkau sudah kuberitahu bahwa dahulu memang Ling
Ay adalah tunanganku, akan tetapi sejak ia dipisahkan dariku dan menikah dengan orang lain,
lalu aku bertemu denganmu dan kita saling mencinta. Aku tidak lagi berhak untuk memikirkan
dirinya, Hong-moi! Engkau tidak adil kalau mengajukan pertanyaan seperti itu kepadaku."
"Sudahlah, jangan bertele-tele. Sekarang jawab, apakah engkau cinta padaku?"
"Ehh? Tentu saja!"
"Dan engkau akan memenuhi semua keinginanku? Engkau mau memenuhi syaratku untuk
menjadi isterimu?"
"Wah? Engkau mengajukan syarat lagi?" Bun Houw tersenyum. "Syarat apakah itu, calon
isteriku yang manis?"
"Syaratku bukan harta bukan kedudukan, syaratku hanya satu. Aku mau menjadi isterimu
hanya kalau ... engkau juga memperisteri enci Ling Ay."
Mata itu terbelalak, memandang penuh selidik, tidak percaya.
"Apa kata-katamu tadi? Aku belum mengerti!" kata Bun Houw, bingung dan menduga-duga
apakah ucapan tadi hanya untuk menguji kesetiaannya!
"Kukatakan bahwa aku mengajukan syarat agar engkau juga mengambil enci Ling Ay sebagai
isterimu, hidup bersamaku dalam satu keluarga."
"Heii! Kenapa begini? Apa alasanmu mengambil keputusan yang aneh ini?"
"Aku sayang kepada enci Ling Ay, aku kasihan kepadanya dan aku tahu ia masih mencintamu.
Perpisahan kalian bukan kehendaknya. Kalau kita membiarkan ia pergi, ia akan hidup merana
dan aku akan selalu terkenang kepadanya dengan hati duka. Karena itu, aku ingin ia hidup
berbahagia bersama kita."
Sampai lama Bun Houw termenung. Harus diakuinya bahwa di samping keheranan dan
kekejutan, jantungnya berdebar tegang dan girang. Dia memang tak pernah dapat melupakan
Ling Ay, dan dia merasa kasihan kepada bekas tunangannya itu. Akan tetapi tak pernah
terbayangkan olehnya akan dapat hidup bersama dengan wanita itu, Apalagi, menjadi isterinya
atas kehendak Hui Hong! Bagaikan mimpi saja!
"Bagaimana, Houw-ko? Jawablah. Maukah engkau memenuhi syaratku itu?"
Bun Houw menghela napas panjang dan melirik ke arah di mana Ling Ay berdiri dengan kepala
ditundukkan. Baru sekarang dia teringat betapa dalam perjalanan mereka bertiga, Hui Hong
berpindah tempat ke sebelah kanannya sehingga dia berada di tengah diapit kedua orang
wanita itu. Agaknya memang sudah lama Hui Hong mempunyai gagasan aneh itu.
"Apa yang harus kujawab, Hong-moi?" katanya, sikapnya seperti seorang kanak-kanak yang
ditawari kembang gula, sebetulnya hatinya senang dan ingin sekali menerimanya, akan tetapi
karena malu-malu maka sukar melaksanakan. "Hal ini tentu terserah kepadamu sajalah."
Hui Hong tertawa. "Hi-hik, seperti diatur saja. Enci Ling Ay menjawab terserah kepadaku, dan
engkau juga menjawab begitu. Kalau terserah kepadaku, maka jadilah! Engkau akan memiliki
dunia-kangouw.blogspot.com
dua isteri sekaligus, koko, aku dan enci Ling Ay! Tunggu di sini!” Gadis itu lalu berlari cepat
menghampiri Ling Ay dan Bun Houw hanya melihat betapa kekasihnya itu menarik-narik tangan
Ling Ay dibawa mendekat.
Dia berdiri dan ketika menatap wajah itu, kebetulan Ling Ay juga memandang kepadanya dan
keduanya menunduk dengan muka kemerahan dan jantung berdebar keras.
"Hong-moi, bagaimana aku dapat menghadapi suhu dalam urusan ini?"
"Benar, Hong-moi. Akupun malu berhadapan dengan ayahmu." kata Ling Ay lirih.
"Aih, ayahku adalah seorang yang bijaksana. Akulah yang akan menghadapinya dan aku yakin
dia akan menyetujuinya. Aku yang akan bicara kepadanya dan memberi penjelasan."
"Kalau begitu, terserah kepadamu, Hong-moi."
"Akupun hanya menyerahkan kepadamu, adik Hong."
Hui Hong memandang mereka bergantian lalu tertawa, membuat keduanya tersipu malu. "Hikhik,
jawaban kalian selalu sama, seolah kalian telah bersekutu!"
"Ihh, engkau nakal, adik Hong. Siapa yang bersekutu?" Ling Ay mencubit.
Hui Hong lalu menggandeng tangan kanan Bun Houw dan memaksa kekasihnya itu untuk
menggandeng Ling Ay di sebelah kirinya, kemudian mereka meninggalkan tempat itu, berjalan
bergandeng tangan dengan wajah penuh seri bahagia, menyosong masa depan yang cerah…..
>>>>> T A M A T <<<<<

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru