Minggu, 28 Januari 2018

Cersil KPH Kisah Si Pedang Kilat 2

Cersil KPH Kisah Si Pedang Kilat 2
baca juga:

Dengan sikap tenang dan gagah Hui Hong bangkit dan memberi hormat, dibalas oleh tuan rumah yang
mempersilakan ia duduk kembali.
"Bun Houw, apakah yang telah terjadi ? Hatiku dalam beberapa hari ini sungguh merasa tidak enak
sekali semenjak kemunculanmu."
"Banyak hal terjadi, paman, di antaranya adalah usaha para penjahat itu untuk membunuh Souw
Ciangkun."
"Ahhh ...!”
"Akan tetapi berkat kelihaian nona Ouwyang ini, dan kebetulan saya dapat membntu pula, usaha
pembunuhan itu dapat digagalkan?”
"Dan penjahatnya adalah kaki tangan ... kepala daerah?"
Bun Houw mengangguk. "Paman Cia Kun Ti, tidak perlu dirahasiakan lagi bahwa Kepala Daerah Cun
memelihara banyak sekali penjahat-penjahat yang berbahaya. Banyak pembunuhan yang terjadi itu
dilakukan olek anak buahnya. Hal ini sudah diketahui pula oleh Souw Ciangkun dan dia akan melakukan
tindakan, karena ada gejala bahwa Kepala Daerah Cun mempunyai niat buruk, yaitu pemberontakan
atau setidaknya akan merebut kekuasaan di daerah ini, membunuh semua orang yang menentangnya.
Oleh karena itu paman, saya datang ini untuk minta kepadamu agat paman cepat-cepat, hari ini juga
mengajak adik Cia Ling Ay untuk pulang ke sini atau menyingkir dari rumah keluar Cun yang akan
diserbu. Kasihan puterimu, paman, jangan sampai ia menjadi korban pula dari kejahatan keluarga Cun."
Wajah Cia Kun Ti berubah agak pucat. Dia amat mengkhawatirkan keselamatan puterinya. Bahkan juga
isterinya berada di rumah keluarga Cun.
"Baik, sekarang juga aku akan pergi ke sana dan akan kuusahakan dengan segala cara untuk mengajak
anak isteriku keluar dari rumah itu." katanya. "Sebaiknya kalau kalian menunggu dulu di rumahku ini
agar kalian melihat kalau aku sudah berhasil membawa anak Isteriku keluar, baru kalian bengerak."
Karena memang lebih baik kalau mereka tidak memperlihatkan dulu di tempat umum agar tidak dikenal
para penjahat, Bun Houw setuju dan dia bersama Hui Hong menunggu di ruangan belakang itu sambil
bercakap-cakap.
***
“Nyonya besar, di luar ada tuan besar Cia ingin bertemu dengan nyonya besar." kata pelayan itu. Setiap
kali mendengar dirinya disebut "nyonya besar Cia", Isteri Cia Kua Ti merasa kepalanya membengkak dan
dadanya menggembung. Sebagai besan keluarga Cun, di rumah gedung yang serba mewah ini ia
diperlakukan dengan sikap amat menghormat, bahkan menjilat oleh para pelayan! Betapa bangga dan
senangnya hatinya melihat segala penghormatan yang diberikan kepadanya itu.
Sejak kecil kita dididik oleh peradaban dan kebudayaan kita untuk mengejar nilai-nilai dan kehormatan.
Tidaklah mengherankan setelah dewasa, kita tetap saja mendewa dewakan nilai-nilai diri dan
kahormatan diri sehingga kita menjadi manusia yang gila hormat. Betapa senangnya hati ini kalau ada
orang bersikap hormat kepada kita! Betapa sakitnya hati ini kalau orang lalu memandang rendah kepada
kita. Si aku dalam diri ini telah membentuk gambaran diri sendiri sedemikian hebatnya, sedemikian
tingginya sehingga senanglah kalau disanjung dan dihormati orang lain. Saking gila hormat, kita sampai
menjadi buta dan tidak tahu bahwa semua nilai itu hanya pulasan belaka, semua kehormatan itu hanya
palsu dan semu belaka. Bukan lagi kita sebagai manusianya yang dihormati orang, melainkan apa yang
menempel kepada kita, apakah itu harta, kedudukan, kepandaian dan sebagainya. Oleh karena itu,
sekali segala yang menempel pada kita itu berubah, maka sikap terhadap diri kitapun berubah dan
barulah kita sadar akan kepalsuan segala nilai dan kehormatan yang nampak pada sikap manusia.
Hartawan yang tadinya dihormati akan direndahkan kalau dia jatuh miskin. Pejabat berkedudukan tinggi
yang tadinya disanjung dan dipuji akan dicela dan dimaki kalau dia jatuh dari kedudukannya dan
selanjutnya. Maka, seorang bijaksana tidak akan sakit hati kalau dicela dan tidak akan besar kepala dan
mabuk kalan disanjung, sebaliknya, diapun tidak suka mencela maupun menyanjung orang karena
kedudukan orang itu. Kalau seorang bijaksana menghormati seseorang, yang dihormati adalah
manusianya, bulan pakaiannya, bukan kekayaannya, bukan kedudukannya atau kepintarannya. Dan
normal antar manusia macam ini adalah sikap yang timbul karena adanya cinta kasih di antara manusia.
Nyonya Cia Kun Ti sedang berada di dalam kamar bersama puterinya, Cia Ling Ay, yang sudah menjadi
Nyonya Cun Hok Seng. Putra kepala daerah itu masih marah dan dia yang merasa sangat cemburu itu
melarang iterinya keluar dari kamar, mengurungnya dan mengijinkan Ibu mertuanya saja yang menemui
Ling Ay.
Mendengar laporan pelayan itu, Nyonya Cia Kun Ti mengerutkan alisnya dan dengan lagak seorang
nyonya besar iapun bangkit dari tempat duduknya, lalu berkata kepada pelayan itu dengan nada
memerintah.
"Persilakan Tuan Besar Cia untuk duduk menanti di ruang tengah sebentar, aku akan segera
menemuinya."
"Baik, Nyonya Besar," kata pelayan itu yang segera keluar lagi.
"Ling Ay, sudahlah, engkau jangan menangis. Ayahmu datang, entah mau apa dia. Aku akan keluar
sebentar menemuinya, dan engkau jangan keluar agar tidak mendapat kemarahan lagi dari suamimu.
Percayalah, kalau engkau menurut dan bersikap manis, kemarahannya tentu akan mereda. Nah, aku
keluar dulu." berkata nyonya itu kepada puterinya yang duduk menangis di atas pembaringan. Ling Ay
tidak menjawab ketika ibunya keluar dan menutupkan daun pintu dari luar.
"Hmm, ada urusan apa engkau ke sini? Mantu kita sedang marah kepada Ling Ay, sebaiknya engkau
tidak usah datang dulu sebelum reda marahnya," begitu memasuki ruangan itu, Nyonya Cia menegur
suaminya.
Akan tetapi, Cia Kun Ti segera mendekati isterinya. Dia tahu benar watak isterinya yang haus akan
kemewahan dan kemuliaan, tahu betapa isterinya amat menikmati kebanggaan menjadi besan kepala
daerah. Maka, diapan tidak berani membuka rahasia itu kepada isterinya yang tentu akan mati-matian
membela keluarga Cun.
"Aku datang justeru untuk urusan itu! Anak kita memang bersalah, karena itu aku ingin agar ia ikut
pulang dengan kila dulu dan aku akan menasehatinya agar ia pandai-pandai membawa diri sebagai
mantu kepala daerah."
"Ihh! Mana bisa? Meninggalkan tempat ini dan kembali ke rumah kita? Jangan-jangan malah keluarga
Cun salah sangka, mengira bahwa kita hendak menarik kembali anak kita? Apakah engkau sudah
menjadi gila?"
Cia Kun Ti menjadi bingung sekali. Untuk berterus terang, dia tidak berani. Isterinya tak mungkin akan
percaya, dan isterinya bahkan tentu akan membocorkan rahasia itu kepada keluarga Cun sehingga akan
kacaulah segala-galanya. Dan anaknya tidak akan tertolong, juga isterinya kalau sampai keluarga itu
diserbu. Mereka berdua tentu akau dijadikan tawanan sebagai anggauta keluarga Cun, atau bahkan
mungkin juga akan tewas dalam penyerbuan itu kalau terjadi pertempuran.
"Percayalah kepadaku. Aku belum gila untuk mencelakakan anak kita sendiri, anak tunggal kita. Mari,
kauajak Ling Ay pulang dulu barang sehari dua hari ... "
"Tidak! Tidak mungkin, pergilah engkau pulang sendiri sana dan jangan datang lagi membujuk hal yang
tidak tidak. Kami tidak akan meninggalkan tempat ini selangkahpun, dan aku akan pulang kalau
hubungan Ling Ay dengan suaminya sudah membaik kembali ...!”
Tiba tiba mereka menghentikan percakapan karena dari luar terdengar langkah kaki dan daun pinlu itu
dibuka dari luar. Terkejutlah suami isteri itu ketika melihat munculnya Cun Hok Seng, mantu mereka!
Wajah yang tampan itu nampak muram. Hati Cun Hok Seng masih kesal kepada isterinya, dipenuhi
cemburu dan kini dia melihat ayah dan Ibu mertuanya kasak-kusuk di situ!”
"Hmm, rupanya ada hal yang amat penting dibicarakau ayah dan Ibu di sini!” katanya dengan suara
ketus.
"Ah ... tidak ... tidak ada apa-apa ... heh-heh, ayahmu banya datang menjenguk ... " Nyonya Cia berkata
gugup sambil tersenyum-aenyum menjilat.
Akan tetapi Cia Kun Ti melihat kesempatan baik itu. "Terus terang saja, putera mantuku yang baik. Aku
datang karena prihatin mendengar tentang isterimu, anak kami. Aku tahu bahwa ia bersalah besar, akan
tetapi kesalahan itu dilakukan karena ia bodoh. Oleh karena itu, perkenankanlah aku membawa ia
pulang barang sehari dua hari, agar di rumah kami aku dapat memberinya nasihat sampai ia bertaubat
dan mengerti betul bagaimana menjadi seorang isleri yang baik, setia, dan mengabdi kepada suaminya
tercinta. Tentu saja kalau diperbolehkan, karena engkaulah yang berhak sepenuhnya, putera mantuku
yang baik."
Sepasang alis itu berkerut, kepala itu menunduk, kemudian Cun Hok Seng mengangguk-angguk.
"Baiklah, kalau memang ayah hendak menasihatinya. Mudah-mudahan ia dapat merobah dan tidak
mengulang lagi kesalahannya. Aku beri waktu dua hari kepada Ling Ay untuk pulang ke rumah ayah dan
menerima nasihat-nasihat ayah." Setelah berkata demikian dia membalikkan tubuhnya, tidak jadi
mendatangi kamar isterinya, melainkan kembali ke ruangan dalam.
Setelah putera mantunya pergi. Nyonya Cia mengomeli suaminya. "Engkau sudah gila! Memberi nasihat
saja, apa tidak bisa di sini. Kenapa harus dibawa pulang ? Celaka, bagaimana kalau tidak diterima
kembali ? Kita yang akan celaka dan malu !”
"Hushhh, tenanglah. Engkau mendengar sendiri bahwa Hok Seng sudah memberi ijin untuk isterinya
pulang selama dua hari. Dia sendiri sudah setuju dan memberi ijin, kenapa engkau malah masih rewel
dan banyak ribut?"
"Engkau memang laki-laki tolol. Sekali keluar dari rumah, kalau pintunya ditutup dari dalam, bagaimana
bisa masuk kembali? Tidak, aku tidak mau pulang. Kalau engkau hendak mengajak Ling Ay pulang dua
hari, silakan. Akan tatapi aku tinggal di sini agar dapat membukai pintu kalau Ling Ay kembali ke sini!"
Tentu saja Cia Kun Ti terkejut sekali mendengar ini, "Jangan, kau harus ikut pulang!” katanya.
"Masa bodoh! Aku tidak mau pergi dari sini. Sudah kukatakan, aku di sini merupakan jaminan
kembalinya Ling Ay di keluarga ini. Tahu ? Bodoh amat engkau ini!”
Tentu saja Cia Kun Ti, biarpun seringkali dirong-rong oleh wanita yang galak itu. tetap mencinta isterinya
dan dia khawatir sekali kalau isterinya tinggal di situ. Akan tetapi bagaimana dia dapat memaksa wanita
ini? Semakin dipaksa, semakin keras kepala.
"Kaupanggil dulu Ling Ay ke sini, dan bujuk ia agar suka pulang bersamaku sekarang juga." Akhirnya dia
berkata.
Dengan sikap marah sang isteri lalu meninggalkan suaminya, memasuki kamar puterinya. Ketika ia
mengatakan bahwa ayahnya datang dan mengajaknya pulang dua hari, Ling Ay tidak nampak kaget atau
khawatir, bahkan nampak lega hatinya.
"Baik, aku akan ikut ayah pulang." katanya dan cepat ia berkemas, membawa pakaian secukupnya saja.
"Aku akan tinggal di sini menunggu engkau kembali setelah dua hari bersama ayahmu di rumah sana."
kata pula ibunya.
Ling Ay tidak perduli dan ia lalu keluar bersama ibunya, menemui ayahnya yang telah menanti di kamar
tamu.
Melihat Ling Ay keluar diantar pelayan yang membawakan buntalan pakaian, dan melihat Isterinya
sebaliknya masih biasa saja tidak nampak siap pergi, tentu saja Cia Kun Ti menjadi bingung.
"Engkaupun harus ikut, mengantarkan anak kita pulang. Dan engkaupun dapat membantuku
menasihatinya!” katanya kepada isterinya.
"Sudahlah, jangan banyak cerewet lagi!” kata Nyonya Cia dan ia segera memanggil seorang pelayan
dengan sikap angkuh. "Cepat beritahukan pelayan di belakang agar mempersiapkan kereta untuk
Nyonya Muda yang akan bepergian keluar bersama Tuan Besar Cia!"
"Baik, Nyonya Besar." kata pelayan itu.
"Tapi Ibu, aku harus berpamit dulu kepada ayah dan ibu mertua." kata Ling Ay yang bagaimanapun juga
tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang anak mantu. Diantar ibunya, ia masuk ke ruangan
dalam. Akan tetapi, kepala daerah Cun masih sibuk di kantornya sehingga Ling Ay hanya dapat berpamit
kepada ibu mertuanya yang tidak berkeberatan mantunya yang sedang dimarahi pureranya itu pulang
untuk dinasehati ayahnya selama dua hari.
Setelah berpamit dari ibu mertuanya dan tidak berhasil menemukan suaminya yang sudah keluar
rumah. Ibunya berkata. "Biarlah aku yang tinggal dan yang akan memamitkan dari ayah mertuamu dan
suamimu."
Dibujuk bagaimanapun. Nyonya Cia Kun Ti tidak mau Ikut pulang, bahkan meninggalkan suaminya yang
membujuk-bujuknya itu, lari ke dalam lagi. Terpaksa, dengan hati amat berat, Cia Kun Ti lalu mengantar
puterinya pulang dalam sebuah kereta.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan juga rikuh perasaan hati Ling Ay ketika ia memasuki rumah orang
tuanya, di ruangan dalam ia disambut oleh Bun Houw dan seorang wanita yang cantik dan juga nampak
gagah dan angkuh. Ia menundukkan mukanya, menahan langkah kakinya. Mukanya berubah merah
sekali dan ia lalu memutar tubuh menghadapi ayahnya dan memandang dengan sinar mata penuh
pertanyaan.
"Jangan heran, anakku. Memang Bun Houw sudah berada di sini ketika aku berkunjung ke rumah
suamimu. Duduklah dan aku akan menerangkan. Ini adalah li-hiap (nona pendekar) Ouwyang Hui Hong,
sahabat Kwa Bun Houw yang ikut datang mengunjungiku dan membawa kabar yang amat hebat." kata
Cia Kun Ti.
Mendengar ucapan ayahnya itu, barulah Ling Ay berani memutar tubuh lagi menghadapi Bun Houw dan
Hui Hong, dan berani mengangkat muka memandang. Bun Houw segera mengangkat kedua tangan ke
depan dada yang dibalas oleh Ling Ay.
"Adik Ling Ay. ... aku ... mohon maaf karena telah menyebabkan engkau mendapat banyak kesukaran
sejak pertemuan kita di kuburan itu." kata Bun Houw cepat-cepat dengan suara penuh penyesalan.
Ling Ay tersenyum, senyum yang pahit menurut penglihatan Hui Hong. "Engkau tidak bersalah apa-apa,
toako. Akulah yang ... ng, memang sudah ditakdirkan demikian. Tidak apa-apa ... "
Hui Hong memandang dan ia merasa menyesal bahwa ia pernah mengejek Bun Houw yang dianggapnya
masih saling mencinta dengan bekas tunangannya yang kini sudah menjadi Isteri orang lain. Kiranya,
Ling Ay seorang wanita yang selain cantik, juga berhati bersih! Ia lalu memberi hormat.
"Enci Ling Ay, aku sudah mendengar tentang engkau dari Houw-toako, dan aku girang dapat bertemu
denganmu."
Melihat gadis itu memberi hormat, Ling Ay menghampiri dan merangkulnya. Matanya yang jernih itu
menjadi agak basah dan ia berkata lirih. "Lihiap ... "
“Ihh, enci. Jangan sebut lihiap, namaku Hui Hong."
"Hong-moi, engkau sungguh seorang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa dan berhati mulia. Aku
girang toako Bun Houw mempunyai seorang sahabat seperti engkau. Semoga kalian berbahagia ... "
Hui Hong membelalakkan matanya dan tiba-tiba ia tertawa, tertawa geli dan bebas sehingga
mengejutkan Cia Kun Ti dan juga Ling Ay.
Akan tetapi Bun Houw hanya tersenyum, tidak merasa heran melihat gadis itu tertawa sebebas itu
sehingga nampak deretan giginya yang rapi dan putih. Justeru kebebasan gadis itu yang menambah
daya tarik baginya.
"Eh, adik Hong, kenapa eugkau tertawa ?"
Ling Ay bertanya, tidak marah, melainkan heran, "Engkau salah duga, enci. Memang Houw ko dan aku
telah menjadi sahabat, akan tetapi kamipun baru saja saling bertemu dan berkenalan. Baru beberapa
hari. Jadi ... eh. tidak ada apa apanya antara dia dan aku!" kembali ia tertawa dan Ling Ay juga ikut
tertawa, tawa sopan. Ia semakin suka. Gadis ini terbuka, dan jujur, tidak pura-pura.
"Aih, kiranya begitu?" katanya. "Biarlah, sekarang belum, akan tetapi aku ikut mendoakan ... "
Bun Houw mengerutkan alisnya. Dua orang wanita muda yang sama-sama cantiknya itu seolah olah
bicara dengan kata-kata sandi yang tidak dimengerti artinya sama sekali. Cia Kun Ti yang melihat
kegembiraan antara dua orang wanita muda itu, merasa tidak enak karena dia masih gelisah
membayangkau apa yang akan terjadi dengan keluarga Cun, sedangkan isterinya masih berada di sana,
segera berkata.
"Ling Ay, duduklah dan mari kita bicarakan hal yang amat penting ini."
Ling Ay duduk di atas bangku di sebelah Hui Hong, sedangkan Bun Houw duduk berhadapan di seberang
meja berdampingan dengan ayahnya, "Ayah, bukankah ayah mengajak aku pulang untuk memberi
nasihat ?" tanyanya, memandang heran.
Akan tetapi ayahnya menggeleng kepalanya. "Sama sekali bukan! Aku memang sengaja membujuk agar
engkau meninggalkan rumah keluarga Cun setelah aku menerima kunjungan Bun Houw dan Ouwyang
Lihiap ini. Akan tetapi ... ah. ibumu berkeras kepala, tidak mau ikut!”
"Ah. jadi bibi masih berada di sana ?" tanya Bun Houw. Dia sudah melupakan semua sikap wanita Ibu
kandung bekas tunangannya itu, lupa bahwa wanita itulah sesungguhnya yang memaksa putus
hubungan pertalian jodohnya dengan Ling Ay.
"Ia tidak mau pergi! Sungguh keras kepala ...!” kata Cia Kun Ti.
"Ayah, sesungguhnya apakah yang telah terjadi ? Mengapa ayah menghendaki agar aku dan Ibu
meninggalkan keluarga suamiku!”
"Ling Ay, orang yang menjadi ayah mertuamu itu, kepala daerah yang dikenal sebagai Cun Taijin yang
terhormat itu, ternyata dia adalah seorang pemberontak!”
"Ahhh ... ?” Ling Ay terbelalak. "Bagaimana mungkin ... ? Bukankah dia seorang pejabat yang paling
berkuasa di Nan-ping?"
"Justeru itulah! Dia menghimpun kekuatan, memelihara tokoh-tokoh penjahat besar, dan dia
membunuhi saingan-saingannya atau orang-orang yang menentangnya, seperti dahulu ... sahabatku,
ayah kandung Bun Houw juga terbunuh oleh anak buahnya ... "
"Aihhh ...! Be ... benarkah itu ... ?" Ling Ay kini menoleh dan menatap wajah bekas tunangannya itu,
wajahnya sendiri berubah pucat.
Bun Houw menarik napas panjang, merasa kasihan sekali kepada bekas tunangannya lalu mengangguk.
"Sesungguhnya begitulah,"
"Ahhh ...!” Ling Ay menutupi mukanya dan ia menangis. "Jadi ... mereka ... membunuh ayah ibumu ...
kemudian ... kemudian mengambil pula aku ... ah, Houw-toako, betapa ... betapa buruk nasibmu ... "
Bun Houw menarik napas panjang. "Sudahlah, adik Ling Ay. Tidak ada gunanya menyesali hal yang telah
lalu. Yang penting sekarang bagaimana agar ibumu dapat diselamatkan pula."
"Apa ... apa yang akan terjadi ... ?"
Wajah yang bernasib malang itu mengangkat mukanya yang kini pucat dan basah air mata.
Hui Hong merasa kasihan sekali kepada Ling Ay. Ia tahu bahwa dahulu teutu wanita ini amat mencinta
Bun Houw. akan tetapi dipaksa berpisah dari calon suaminya itu dan dipaksa menikah dengan putera
kepala daerah yang ternyata tidak pula mendatangkan kebahagiaan baginya, babkan kini menghadapi
malapetaka.
"Enci. perbuatan jahat kepala daerah itu telah diketahui oleh Souw Ciangkun, komandan pasukan
keamanan di kota ini karena dia pun malam tadi hampir dihunuh oleh anak buah Cun Taijin. Dan
pemberontak itu akan diserbu. Sebelum penyerbuan dilakukan. Houw-toako lebih dahulu ingin
menyelamatkau engkau dari sana."
"Ahhh ... mengapa begitu? Houw-ko, aku sudah menjadi isteri Cun Hok Seng. Apapun yang terjadi, aku
adalah keluarga mereka dan kalau mereka dibasmi, kalau mereka dihukum, sudah sepatutnya kalau
akupun ikut bertanggung jawab. Ayah, biarkan aku kembali ke sana dan bawa saja ibu keluar dari
sana ...” wanita itu menangis lagi dan kembali Hui Hong memandang kagum. Seorang wanita yang
hebat, pikirnya. Seorang isteri yang setia. Ia lalu merangkulnya, "Enci, kurasa pendapat itu keliru. Kalau
engkau tadinya mengetahui semua kejahatan itu dan menyetujuinya atau membantunya, maka engkau
harus mempertanggungjawabkan kesalahanmu itu. Akan tetapi, engkau hanya seorang korban! Korban
kejahatan mereka. Bagaimana mungkin engkau harus mempertanggungjawabkan kejahatan mereka?"
"Akan tetapi, adik Hong. Aku Isteri Cun Hok Seng! Aku keluarga mereka."
"Keluarga yang dipaksa! Bukankah engkau dahulu dipaksa untuk menikah dengan putera kepala daerah
itu? Bukankah sejak kecil sebetulnya yang menjadi calon suamimu adalah Houw-toako ini? Tidak, enci,
engkau tidak sepatutnya bertanggung jawab. Bahkan eugkau sepatutnya sakit hati kepada mereka.
Biarlah, aku yang akan membalaskan sakit hatimu, enci."
"Tapi ... rapi ... biarpun aku berada di sini, tetap saja tersangkut dan pasti akan ditangkap, bahkan ayah
dan Ibu juga. Bukankah ayah dan ibu besan mereka dan aku bahkan anak mantu?" kembali Ling Ay
membantah dan ayahnya juga terkejut karena melihat kebenaran yang terkandung dalam ucapan
puterinya itu.
"Jangan khawatir." kata Bun Houw cepat. "Aku yang akan minta kepada Souw Ciangkun agar keluarga
Cia tidak diganggu, dan aku akan menjelaskan semuanya."
"Benar," kata Hui Hong. "Souw Ciangkun, pasti akan suka mendengarkan keterangan kami!"
"Kalau begitu, biar aku mencoba lagi membujuk isteriku agar keluar dari sana sebelum terlambat," kata
pula Cia Kun Ti.
Bun Houw bangkit berdiri, juga Hui Hong. "Memang sebaiknya begitu, paman, karena kami berdua akan
melapor kepada Souw Ciangkun sekarang juga."
"Ayah, kalau ibu tidak mau, katakan saja bahwa aku tiba-tiba jatuh sakit, atau apa saja, asal dapat
memaksa ia pulang," kata Ling Ay dengan khawatir.
Mereka lalu pergi. Bun Houw pergi bersama Hui Hong, dan Cia Kun Ti berlari-lari menuju ke rumah
kepala daerah. Ling Ay yang ditinggal seorang diri membanting diri di atas pembaringan di dalam kamar
ibunya dan menangis, menutupi mulutnya dengan bantal agar tidak sampai terdengar tangisnya keluar
kamar.
***
Tidak mudah bagi Cia Kun Ti untuk dapat membujuk isterinya meninggalkan gedung kepala daerah itu.
"Tidak! Aku tidak mau menemuinya. Suruh dia datang kalau bersama Nyonya Muda." katanya kepada
pelayan yang melapor kepadanya akan kedatangan suaminya itu.
Akan tetapi, maklum babwa ini menyangkut urusan mati hidupnya atau setidaknya keselamatan
isterinya, Cia Kun Ti tidak mau pergi kalau isterinya tidak mau ikut.
"Katakan kepadanya bahwa aku mau bicara urusan penting sekali, urusan yang menyangkut diri Nyonya
Muda. Sebentar saja!”
Hari telah hampir sore, maka hati Cia Kuu Ti gelisah bukan main. Akhirnya, isterinya keluar dengan
mulut cemberut runcing dan muka keruh seperti air lumpur.
"Ihhh, engkau ini sungguh menjengkelkan! Mau apa sih mengganggu aku terus? Bukan menasihati
anaknya malah datang mengganggu aku!"
"Ssttt, dengar baik-baik, jangan sampai terdengar orang lain. Ketahuilah, anak kita mengalami
kecelakaan ... "
"Ahhh? Cilaka ? Ling Ay ... kenapa, ia ... ? Kenapa ...?”
"Iya ... setelah tiba di rumah, kunasihati ia malah mencoba untuk membunuh diri ...”
"Bunuh diri?" Nyonya itu menjerit lalu mencengkeram lengan suaminya. "Ia mati ? Kau
membunuhnya ...! Engkau yang membunuhnya !"
"Tenanglah, tenang. Ia tidak mati, hanya luka. Untung masih dapat kucegah. Karena itu. mari cepat
pulang ... cepat. Jangan sampai ia mencoba membunuh diri lagi ... “
"Ling Ay ... anakku ... ahhhh, ... !”
Kini tanpa banyak cingcong lagi Nyonya Cia Kun Ti berlari keluar, lupa benganti pakaian, lupa berpamit.
Cia Kun Ti mengikuti dari belakang, diam-diam merasa girang sekali, meeeka berdua tidak
memperdulikan pandang mata terheran-heran dari para pelayan yang melihat suami isteri itu berlari-lari
keluar dari dalam gedung itu. Mereka tidak berani bertanya karena dua orang itu adalah besan majikan
mereka, hanya saling pandang kemudian peristiwa itu menjadi bahan pergunjingan mereka.
Bagaimanapun juga, telah terbocor bahwa tuan muda mereka marah kepada isterinya, karena nyonya
muda dikabarkan mengadakan pertemuan dengan pemuda bekas kekasihnya. Tentu saja mereka
mempengunjingkan sambil tertawa-tawa di balik lengan baju mereka. Sudah lajim bahwa kita suka
sekali, membicarakan keburukan orang lain, suka sekali mempergunjingkan aib orang lain, bahkan suka
mentertawakan penderitaan orang lain. Nafsu setan menguasai batin kita sehingga seolah kita selalu
merasa iri kalau melihat orang lain serba lebih dari kita, dan merasa senang kalau melihat orang lain
lebih sengsara dari pada kita. Nafsu daya rendah yang mencengkeram batin kita membuat kita
diperbudak nafsu sehingga kita lupa segalanya. Jiwa murni yang datang dari Tuhan seperti tertutup oleh
selubung nafsu daya rendah yang menguasai kita. Susah kalau sudah begitu, nafsu setanlah yang
mengendalikan semua tingkah laku kita, bahkan mencengkeram hati dan akal pikiran kita, seluruh
pancaindra kitapun dikuasainya sehingga apapun yang kita pikirkan, ucapan, lakukan, semua hanya
mempunyai satu pamrih, yaitu menyenangkan si aku. dan si aku itu yalah nafsu setan itulah! Nafsu setan
yang sudah mencengkeram segalanya, seluruh diri kita lahir batin. Kalau "aku" yang sesungguhnya
adalah jiwa, setetes air dari samudera yang menjadi pusat, secercah sinar dari matahari yang menjadi
pusat, sebagian kecil dari kekuasaan Tuhan, maka setelah bergelimang nafsu setanlah, yang mengakuaku.
Tidak ada kekuasaan yang akan mampu mengusir setan itu dari kita, karena sesungguhnya, hidup
manusia ini tidak akan dapat bertahan tanpa adanya nafsu yang menjadi pelengkap bahkan menjadi
pelayan dan alat penting bagi kita hidup di dunia ini. Karena daya-daya rendah itu merupakan berkah
dan kasih sayang Tuhan kepada kita, melengkapi kita dengan alat-alat itu yang akan dapat membuat kita
hidup berbahagia, maka kalau daya-daya rendah itu menjadi nafsu yang tidak terkendalikan lagi bahkan
mengendalikan kita, maka hanya kekuasaan Tuhan pula yang akan mampu menolong kita. Hanya
kekuasaan Tuhan yang akan mampu membebaskan kita dari daya pengaruh setan sehingga bukan kita
manusia yang diperhamba, melainkan daya-daya rendah itu yang menjadi hamba, menjadi alat.
Ayah dan ibu itu berlari-larian menuju ke rumah mereka. Ketika mereka memasuki rumah. Nyonya Cia
Kun Ti yang melihat puterinya duduk di tempat tidur dan kelihatan, habis menangis, segera
menubruknya.
"Ling Ay anakku, apa yang telah kaulakukan, anakku?"
Ling Ay merasa lega melihat Ibunya, akan tetapi juga hatinya seperti ditusuk mengingat akan nasibnya.
Biarpun ia menjadi isteri Cun Hok Seng secara terpaksa, namun ia telah menjadi isterinya, dan biarpun
suami itu hanya menyanjung dan memanjakannya selama beberapa bulan saja ketika berbulan madu,
namun ia tetap Isterinya dan kalau keluarga suaminya tertimpa malapetaka, berarti ia pun akan terkena
aib. Maka iapun merangkul ibunya dan menangis, merasa kasihan pula kepada ibunya yang ia tahu amat
menikmati keadaannya sebagai besan kepala daerah.
"Ibu, ah, ibu ..."
"Anakku, kata ayahmu, engkau hampir membunuh diri? Ling Ay, apakah engkau tega meninggalkan
Ibumu? Kenapa engkau begitu putus asa? Suamimu hanya sedang marah, sebentar juga akan baik
kembali dan ... "
"Ibu, kalau ibu tidak mau menemani aku selama beberapa hari ini di sini, aku benar-benar akan
membunuh diri!” kata Ling Ay dengan suara yang tegas. Mendengar ini, ibunya terbelalak, akan tetapi
tidak berani banyak bicara lagi.
"Aku akan di sini ... aku akan menemanimu ... “ katanya berulang-ulang.
***
Sementara itu, bersama dengan datangnya malam, dua sosok bayangan berkelebat cepat meloncati
pagar tembok belakang bangunan yang menjadi perumahan kepala daerah. Mereka itu adalah Bun
Houw dan Hui Hong yang sudah melapor kepada Souw Ciangkun. Mereka telah bekerja sama dan
mengatur rencana bahwa dua orang pendekar itu akan lebih dahulu menyusup ke dalam, selain untuk
membuat para penjahat di situ tidak menduga akan adanya penyerbuan pasukan, juga untuk
menyelesaikan urusan pribadi Hui Hong yang hendak mencari Pek I Mo-ko yang telah mencuri akar
bunga gurun pasir dari ayahnya.
Dengan Bun Houw sebagai penunjuk jalan, mereka tiba di luar ruang pertemuan dan mengintai ke
dalam. Kiranya Pek I Mo-ko sedang marah-marah, memaki-maki para pembantunya yang dianggap tolol
karena semua tidak dapat melaksanakan tugas mereka dengan baik. Siauw-bin Pek ti bersama tiga orang
rekannya gagal membunuh Kwa Bun Houw, bahkan dihajar habis-habisan oleh pemuda itu. Bu-tek Kiammo
yang sudah dibantu Ngo-kwi juga gagal membunuh Souw Ciangkun, bahkan dua orang di antara
Ngo-kwi terluka oleh Bun Houw.
"Kalian semua tidak becus! Kalian sungguh memalukan sekali menjadi pembantu-pembantuku yang
kupercaya! Bu-tek Kiam-mo, engkau adalah pembantuku yang utama, bagaimana sekali ini engkau gagal
melaksanakan tugasmu? Padahal, Ngo-kwi sudah kusuruh membantumu!”
"Kalau tidak ada Kwa Bun Houw itu dan seorang gadis yang lihai sekali, tentu tugas itu berhasil. Aku
sendiri sudah dapat berhadapan muka dengan Souw Ciangkun dan menyerangnya, akan tetapi tiba-tiba
muncul gadis itu."
"Hemm, dikalahkan oleh seorang perempuan muda? Sungguh tak tahu malu. Percuma saja julukanmu
Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding) kalau engkau kalah oleh seorang perempuan, apalagi
masih gadis. Siapakah gadis itu ?”
"Aku ... aku tidak tahu, Ciong Tai-hiap ... "
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Ciong Kui Le, akulah gadis itu!” Yang berkumpul di dalam ruangan itu kurang lebih duapuluh orang,
yaitu Pek I Mo-ko Ciong Kui Le yang menjadi pemimpin. Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe, Siauw-bin Pek-ti Gu
Mouw, Ngo-kwi, dan beberapa orang lagi yang kesemuanya merupakan jagoan-jagoan itu dan
berkepandaian tinggi maka mereka ditarik oleh Pek I Mo-ko sebagai pembantu pembantunya.
Mendengar bentakan itu. mereka semua terkejut dan memandang ke arah datangnya suara. Nampak
dua bayangan orang berkelebat dan di ruangan itu telah berdiri Kwa Bun Houw dan seorang gadis yang
cantik dan gagah, yang masih muda. paling banyak delapanbelas tahun usianya. Melihat gadis ini. Butek
Kiam-ong terkejut karena gadis itulah yang telah menghalanginya membunuh Siauw Cingkun. Dia tidak
khawatir akan dikenal orang karena ketika melaksanakan tugas itu, dia dan Ngokwi mengenakan topeng.
Akan tetapi ketika dia menoleh kepada Pek I Mo-ko untuk memberi isyarat dia melihat betapa
pemimpinnya itupun terbalalak dan mukanya membayangkan rasa kaget dan juga takut. Akan tetapi
hanya sebentar saja, karena Pek I Mo-ko segera dapat menguasai dirinya lagi, mengandalkan banyaknya
anak buah, lalu dia bahkan tertawa.
"Ha-ha-ha ha, kukira siapa gadis yang menentang kami itu, kiranya engkau, Ouwyang Hui Hong!"
Wajah gadis itu menjadi merah dan sinar matanya mencorong. Orang ini telah dikenalnya sejak ia kecil,
dan dahulu ketika masih menjadi pembantu ayahnya, sikap Ciong Kui Le cukup baik dan sayang
kepadanya, juga menghormatnya dengan menyebutnya Hong Siociay (Nona Hong). Akan tetapi
sekarang, sikapnya demikian congkak dan menyebut namanya dengan nada mengejek!
"Ciong Kui Le manusia tak mengenal budi dan tak tahu malu! Selama belasan tahun, engkau hidup di
bawah pemeliharaan ayahku, bahkan menerima ilmu silat dari ayah, dan engkau membalasnya dengan
melarikan diri mencuri benda mustika simpanan ayah! Hayo cepat berlutut menerima hukuman dan
kembalikan mustika itu!" Berkata demikian, gadis-itu menggerakkan kedua tangan dan tahu-tahu kedua
tangan itu telah menghunus sepasang pedang yang gemerlapan.
Kembali Pek I Mo-ko tertawa. "Ha ha-haha, Hui Hong anak kemarin sore, berani engkau bicara besar di
depanku? Lupakah engkau bahwa dulu seringkali aku yang membimbingmu dan memberi petunjuk
kalau engkau berlatih silat? Ha ha-ha, orang lain boleh jadi takut kepadamu, akan tetapi aku tidak!
Engkau tidak akan menang melawanku, Hui Hong. Mustika itu ada padaku dan takkan kukembalikan.
dan sakarang engkau bahkan menyerahkan diri. Ouwyang Hui Hong, engkau tidak akan dapat keluar lari
dari tempat ini!" Pek I Mo-ko lalu memberi aba-aba dan duapuluh orang lebih itu segera membuat
gerakan mengepung. Bun Houw dan Hui Hong kini terkepung di ruangan yang cukup luas itu, dan di luar
masih berdatangan lagi puluhan orang anak buah kepala daerah Cun yaitu pasukan penjaga keamanan!
"Pek I Mo-ko!” teriak Bun Houw dengan kata lantang. "Engkau dan kawan-kawanmu ini menjadi kaki
tangan Cun Tai-jin, melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang menentangnya. Kalian adalah
kaki tangan pemberontak! Dan aku mengenal siapa Ngo-kwi yang membantumu ini! Mereka ini sejak
enam tujuh tahun yang lalu telah menjadi kaki tangan Cun Tai-jin untuk membunuhi orang-orang yang
menentangnya, termasuk ayahku! Pendekar Kwa telah mereka keroyok dan bunuh, juga ... ibuku!”
Bun Houw menekan perasaannya karena dia tidak mau dicengkeram oleh nafsu kebencian karena
dendam. dia hanya bertindak melaksanakan tugasnya sebagai pendekar untuk menentang kejahatan,
membasmi mereka yang jahat, bukan bertindak karena dendam dan benci seperti yang diajarkan
mendiang ayahnya, juga yang dipesankan gurunya. Kalau sampai dalam pertempuran dia merobohkan
dan membunuh penjahat, biarlah penjahat itu tewas sebagai akibat kejahatan mereka, bukan sebagai
akibat balas dendamnya !
"Tangkap atau bunuh mereka !" Pek I Mo-ko memberi aba-aba dan semua anak buahnya maklum
bahwa aba-aba itu berarti bahwa kalau mungkin mereka ditaruskan menangkap hidup-hidup dua orang
muda itu, terutama sekali tentunya gadis cantik itu, akan tetapi kalau tidak mungkin, mereka
diperbolehkan membunuh mereka berdua dan tidak membiarkan mereka lolos!
"Singgg ...!” Nampak sinar berkilat dan tangan kanan Bun Houw lelah memegang sebatang pedang yang
sinarnya menyilaukan mata ketika cahaya lampu menimpa pedang itu, itulah Lui-kong-kiam, pedang
pusaka yang disebut Pedang Kilat, yang selama ini disembunyikan saja di dalam sarungnya yang berupa
sebatang tongkat butut yang kini berada di tangan kiri pemuda itu. Karena maklum bahwa pihak lawan
jauh lebih banyak dan di antara mereka terdapat banyak orang yang lihai, maka sekali ini Bun Houw
terpaksa mencabut Lui-kong-kiam. Dia tahu bahwa yang paling lihai di antara mereka tentulah Pek I Moko,
laki-laki yang berpakaian serba putih itu. Akan tetapi, Bu-tek Kiam-mo. Siauw-bin Pek-ti dan Ngo-kwi
sudah mengepung dan mengeroyoknya, menyerang dari semua penjuru sehingga dia tidak sempat lagi
menghadapi Pek I Mo-ko. Agaknya hal ini memang sudah diatur oleh pemimpin gerombolan itu, karena
Pek I Mo-ko sendiri menghadapi Hui Hong gadis yang telah dikenalnya dengan baik dan diketahui tingkat
kepandaiannya maka dia memandang ringan, "Biarkan aku menangkap gadis ini. Yang lain keroyok dan
bunuh pemuda berbahaya itu!” teriaknya dan diapun mencabut sebatang pedang dengan tangan kanan,
dan sebatang kipas bergagang baja dengan tangan kirinya.
"Pengkhianat rendah!" Hui Hong membentak dan iapun menyerang dengan sepasang pedangnya. Pek I
Mo-ko Ciong Kui Le yang mengenal ilmu pedang pasangan gadis itu, sengaja menangkis, mengelak dan
membalas dengan totokan gagang kipasnya. Hui Hong meloncat ke samping untuk menghindarkan diri
dan sepasang pedangnya membuat gerakan menggunting dengan serangan yang amat dahsyat.
"Hemmm ...!” Pek I Mo-ko berseru, terpaksa melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik sambil
mengelebatkan pedang dan kipasnya untuk membalas. Tahulah dia bahwa setelah dia pergi, gadis ini
telah memperdalam ilmunya sehingga kini merupakan seorang lawan yang sama sekali tidak boleh
dipandang ringan. Dari pertemuan pedang tadi saja dia maklum bahwa Hui Hong telah memiliki tenaga
sin-kang yang cukup kuat dan hampir mengimbangi tenaganya sendiri. Agaknya dia hanya harus
mengandalkan pengalamannya untuk dapat mengalahkan puteri bekas majikan dan juga gurunya itu.
Sementara itu, Bun Houw dikeroyok oleh banyak orang, akan tetapi bagaikan seekor jengkerik dikeroyok
banyak semut, dalam gebrakan pertama saja, dua orang di antara Ngo-kwi dan dua orang pengeroyok
lain telah roboh karena tubuh mereka disambar Lui-kong-kiam bersama dengan buntungnya senjata
mereka ketika terbabat pedang pusaka itu! Dan makin hebat dan makin banyak para pengeroyok
menyerangnya, makin hebat pula amukan Bun Houw dengan Pedang Kilat di tangan kanannya. Bahkan
tongkat butut yang kini kosong di tangan kirinya itupun sempat merobohkan dua orang pengeroyok
dengan totokannya. Mereka yang roboh ditarik keluar oleh pengeroyok lain dan tempatnya digantikan
orang lain sehingga tempat yang luas itu penuh dengan mereka yang mengeroyok Bun Houw. Pemuda
ini tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri melainkan khawatir melihat betapa Hui Hong menghadapi
seorang lawan yang dia tahu amat berbahaya. Apalagi ketika dilihatnya beberapa kali gadis itu terdesak
dan sempat terhuyung. Akan tetapi, yang mengeroyoknya terlalu banyak sehingga dia tidak mungkin
dapat membantu atau melindungi gadis itu. Pula. dia mengenal watak gadis yang keras dan gagah itu,
yang mungkin malah akan tersinggung kalau dia maju membantunya padahal ia belum kalah. Dia hanya
mengharapkan Hui Hong akan mampu bertahan sampai datangnya bala bantuan yang dia tahu tidak
lama lagi tiba karena tentu kini pasukan yang dipimpin sendiri oleh Souw Ciangkun telah melakukan
pengepungan terhadap kompleks bangunan gedung tempat tinggal kepala daerah Cun.
Perhitungan Bun Houw memang tepat dan, harapannya terkabul ketika tiba-tiba terdengar bunyi
terompet dan tambur sebagai tanda penyerbuan pasukan tentara penjaga keamanan. Bukan saja
seluruh penghuni perumahan kepala daerah Cun yang menjadi geger dan panik, bahkan seluruh kota
Nan-ping menjadi gempar ketika terdengar berita bahwa gedung tempat tinggal kepala daerah Cun
dikepung dan diserbu oleh pasukan tentara penjaga keamanan dari benteng.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya kepala daerah Cun dan keluarganya. Juga Pek I Mo-ko yang sedang
bertanding mati-matian mendesak Hui Hong kaget sekali, ketika mendengar bunyi tambur dan
terompet, dan tahulah dia bahwa dia telah gagal, bahwa majikannya, kepala daerah Cun telah gagal dan
telah diketahui rahasianya oleh komandan pasukan keamanan. Habislah semua harapan dan tidak ada
artinya lagi membela kepala daerah yang ambisius dan telah gagal itu. Juga para penbantunya yang
tadinya masih bersemangat mengeroyok Bun Houw walaupun sudah banyak di antara mereka roboh
oleh Si Pedang Kilat. Ngo kwi, kelima orang yang dahulu membunuh Kwa Tin dan isterinya, juga menjadi
korban Si Pedang Kilat, tewas bersama Bu-tek Kiam-mo dan Siauw-bin Pek ti, walaupun yang dua orang
ini melanjutkan perlawanan dengan gigih dan bagi Bun Houw tidak amat mudah merobohkan mereka.
Karena dua orang ini dan Ngo kwi, maka tadi Bun Houw tidak berdaya membantu atau melindungi Hui
Hong. Bahkan ketika Ngo-kwi sudah tewas, kedua orang itu dibantu kawan-kawan mereka masih
mengepungnya ketat.
Baru setelah pasukan keamanan datang menyerbu sampai ke ruangan di mana terjadi pertempuran itu,
Bun Houw barhasil merobohkan Bu-tek Kiam-mo dengan pedangnya, dan merobohkan Siauw bin Pek-ti
dengan tongkatnya. Dia tidak memperdulikan lagi para pengeroyok lain yang sudah dikepung para
perajurit, lalu meloncat ke arah sudut kanan di mana tadi dia melihat Hui Hong bertempur-mati-matian
melawan Pek I Mo-ko. Akan tetapi, keduanya tidak nampak lagi di situ! Baik Hui Hong maupun Pek I Moko
tidak berada di sana lagi, telah pergi entah ke mana.
Bun Houw lari keluar dan bertemu dengan Souw Ciangkun di dekat pintu ruangan itu. Panglima yang
mengenakan pakaian dinas itu tersenyum kepadanya.
"Terima kasih, tai-hiap, semua berhasil baik !"
"Ciangkun, apakah ciangkun melihat nona Ouwyang ?"
Komandan pasukan itu mengacungkan jempolnya memuji. "Hebat sekali Ouwyang Li-hiap, ia tadi
mengejar-ngejar lawannya yang lari ketakutan,"
"Lawannya Pek I Mo-ko yang berpakaian serba putih?"
"Benar."
"Ke arah mana larinya ?"
Komandan itu hanya menuding keluar dan sebelum dia sempat menjawab, Bun Houw sudah meloncat
ke luar perumahan itu melakukan pengejaran. Namun, karena keadaan di situ penuh dengan tentara,
maka dia kehilangan jejak dan tak seorangpun dapat memberi keterangan ke arah mana Hui Hong
mengejar musuhnya. Hatinya khawatir sekali, akan tetapi dia tidak mampu berbuat apa-apa. Dan diapun
tidak ingin kembali menemui Souw Ciangkun karena dia menganggap bahwa tugasnya telah selesai. Dia
berputar-putar di dalam kota Nan-ping, bertanya-tanya kalau ada yang melihat Hui Hong, namun tak
berhasil dan akhirnya diapun menuju ke rumah Cia Kun Ti.
Karena mencari-cari jejak Hui Hong semalam suntuk tanpa hasil, hari telah mulai terang ketika dia tiba di
rumah Cia Kun Ti. Keadaan kota telah aman, tidak panik lagi dan di mana-mana orang membicarakan
peristiwa yang menggemparkan itu, bahwa keluarga Cun semua ditangkap, banyak kaki tangan yang
melakukan perlawanan tewas dan kini rumah kepala daerah itu ditutup dan dijaga oleh pasukan prajurit
yang tidak membolehkan siapa-pun memasuki pekarangannya.
Cia Kun Ti dan Ling Ay menyambut kedatangan Bun Houw dengan perasaan haru. Dengan muka masih
pucat karena semalam dia mendengar geger yang terjadi di rumah keluarga bekas besannya, Cia Kun Ti
merangkul Bun Houw, bekas calon mantunya itu.
"Ah, Bun Houw. kalau tidak ada engkau bagaimana jadinya dengan kami ... ! Hanya Tuhan yang tahu
betapa basar penyesalan hati kami atas perlakuan dan sikap kami dahulu terhadap dirimu dan betapa
besar rasa sukur dan terima kasih kami kepadamu ... "
Ling Ay tidak mampu bicara, hanya menangis terisak-isak. Gadis inipun pucat sekali, rambutnya kusut,
pakaiannya juga kusut dan jelas bahwa semalam ia tidak tidur dan berada dalam keadaan gelisah dan
berduka.
"Sudahlah, paman. Kita harus bersyukur kepada Thian bahwa kita masih dilindungi, dan masih utung
pula bagi rakyat bahwa usaha pemberontakan itu dapat dibasmi sehingga tidak jatuh korban lebih
banyak lagi."
"Aihhh ... kalau Ingat bahwa engkau telah menjadi korban, Bun Houw. Ayahmu, ibumu, semua tewas
oleh kaki tangan penjahat ]yang berkhianat itu ... "
"Bukan hanya keluarga saya yang menjadi korban. Juga keluarga lain, dan adik Ling
Ay ... semua menjadi korban. Eh, di mana bibi? Kenapa ia tidak kelihatan?" Tiba-tiba Bun Houw bertanya
dengan khawatir.
Sebelum ayah dan anak itu sempat menjawab, wanita yang ditanyakan Bun Houw itu berlari memasuki
ruangan itu sambil menangis. Melihat Bun Houw, ia menangis semakin sedih dan menjatuhkan dirinya di
atas lantai menangis seperti anak kecil.
"Aduh celaka ... aduh celaka ... habislah semuanya ... hu-hu-huuuu ... hancurlah semua, bagaimana kita
dapat hidup miskin dan papa ... ?" Kemudian, tiba-tiba ia mengangkat muka, memandang kepada Bun
Houw dan iapun bangkit berdiri, matanya masih bengkak dan merah-merah, kini memandang kepada
pemuda itu dengan marah lalu menghampiri dan menudingkan tangannya kepada pemuda itu.
"Engkaulah gara-garanya! Engkau penyebab malapetaka ini! Sejak engkau muncul di kuburan itu,
malapetakapun menimpa kami! Tentu engkau yang melaporkan sehingga seluruh keluarga Cun
ditangkap. "Engkau ... engkau tak tahu malu! Engkau sudah kami tolak, masih ada muka untuk muncul ...
"
"Ibuuuu. ...!” Ling Ay menjerit dan menangis. "Ibu, bagaimana ibu dapat mengeluarkan ucapan sekeji
itu! Houw-koko telah menyelamatkan kita, ibu! Dan ibu bukan berterima kasih malah mengumpat dan
menghinanya ...!”
"Berterima kasih ? Dia menolong kita ? Bohong! Kita hidup berbahagia, mulia dan terhormat, sebelam
dia muncul. Lihat apa yang terjadi setelah dia muncul. Semua ini hanya tipu muslihatnya saja ..."
"Plakkkl!”
"Onhhh!” Tubuh nyonya itu terpelanting roboh oleh tamparan suaminya.
"Uhu hu huuuu ...!” Ling Ay tersedu-sedu dan iapun lari menuju dinding dengan kepala dijulurkan ke
depan. Ayahnya sendiri tidak menduga, akan tetapi Bun Houw tetap waspada dan tahu apa yang akan
dilakukan wanita itu. Cepat tubuhnya berkelebat mendahului dan ketika kepala Ling Ay membentur,
bukan dinding keras yang dihantam kepalanya, melainkan dua buah tangan yang menerimanya dengan
lunak.
"Adik Ling Ay, jangan sebodoh itu ... "
Bun Houw menegur sambil menangkap pundak Ling Ay agar tidak sampai terpelanting jatuh. Ling Ay
terkejut dan heran mengapa kepalanya tidak pecah. Ia mengangkat mukanya dan melihat bahwa Bun
Houw sudah berdiri di depannya, menghalangi kepalanya yang akan dibenturkan pada dinding.
"Houw-koko ... " ia menjerit dan roboh pingsan dalam rangkulan Bun Houw. Sementara itu. Nyonya Cia
Kun Ti meraung dan menangisi puterinya yang telah direbahkan oleh Bun Houw di atas pembaringan.
"Diam kau! Dan tutup mulutmu yang mengeluarkan kata-kata beracun itu. Engkau hendak membunuh
anak kita dengan ucapanmu? Diam dan sekali lagi membuka mulut, akan kupukul kau! Mulai detik ini,
engkau harus mentaati semua kata-kataku, sudah terlalu lama aku membiarkan engkau gila!” kata Cia
Kun Ti dan isterinya tidak berani menangis lagi, takut melihat perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba
itu.
Bun Houw menchela napas panjang dan pada saat itu, Ling Ay siuman dari pingsannya dan ia merintih
lirih. Bun Houw cepat maju menghampiri. Ia tahu bagaimana perasaan wanita itu dan kalau tidak dapat
dihiburnya, tentu Ling Ay akan selalu berusaha untuk membunuh diri. Bagaimanapun juga, dia pernah
mengaguni dan mengharapkan Ling Ay sebagai calon isterinya, dan pernah mencintainya. Ketika Ling Ay
melihat Bun Houw, dari kedua matanya mengalir keluar air mata berderai menuruni samping atas kedua
pipi dan menyusup ke rambut yang menutupi telinga. Akan tetapi ia tidak mengeluarkan suara tangis
lagi. Agaknya tangisnya sudah dihabiskannya semalam.
"Koko, kenapa engkau menghalangi aku? Untuk apa aku hidup lehih lama lagi?"
"Adik Ling Ay, tenanglah dan ingatlah bahwa segala yang terjadi atas diri kita sudah dikehendaki oleh
Thian. Kekuasaan Tuhan tak dapat diubah oleh siapapun juga. Keluarga Cun ditangkap pemerintah
karena kesalahan mereka sendiri, disesali juga tidak ada gunanya, dan kurasa kalau di pengadilan
terbukti bahwa suamimu tidak bersalah, yang bersalah hanya ayah mertuamu, maka suamimu tentu
akan mendapatkan keringanan ... "
"Houw ko, bukan itu yang kusesalkan. Mereka memang sesat, dan kalau kini mereka memetik buah dari
hasil pohon tanaman mereka sendiri hal itu tidak perlu disesalkan. Akan tetapi, yang kusesalkan ...
bagaimana selanjutnya aku akan dapat menahan aib ini? Keluarga suamiku ditangkap, dan aku sendiri
bebas ... aib, apa akan kata orang dan ... dan ... engkau telah menjadi sengsara karena aku ... “
"Hu-hhhh, adik Ling Ay. jangan berkata demikian. Keluarga Cia, termasuk engkau, tidak akan diganggu
oleh Souw Ciangkun yang sudah berjanji kepadaku. dan tentang aib ... kalau engkau sendiri tidak
melakukan, mengapa ada aib? Tentang pergunjingan orang lain ... "
"Ling Ay. kita akan pergi dari sini, meninggalkan Nan-ping, kembali ke dusunku. Di sana takkan ada yang
mempergunjingkan kita." kata Cia Kun Ti.
"Kalau demikian lebih baik lagi sehingga engkau tidak usah mendengar omongan orang, adik Ling Ay.
Tentang diriku, semua sudah dikehendaki Tuhan, aku dapat menerimanya dan tidak menyalahkan
siapapun juga. Dan jangan khawatir, aku yang akan mengantar engkau dan orang tuamu pindah ke
dusun agar tidak terjadi gangguan di jalan. Sekarang aku harus mencari dulu jejak nona Ouwyang.
Semalam Ia mengejar Pek I Mo-ko dan aku kehilangan jejaknya, aku khawatir sekali karena Pek I Mo-ko
amat lihai. Semalam aku tidak sempat membantunya karena aku sendiri dikeroyok banyak orang."
"Ah, kklau begitu sebalknya kalau kaucari Ouwyang Li-hiap lebih duln, Bun Houw," kata Cia Kun Ti yang
juga mengkhawatirkan keselamatan pendekar wanita itu.
"Aku akan pergi sekarang juga, paman. Akan tetapi, adik Ling Ay, aku baru mau pergi kalau engkau lebih
dulu berjanji kepadaku!” Bun Houw mendekati pembaringan bekas tunangannya.
Ling Ay bangkit duduk di tepi pembaringan. "Berjanji apa, koko?”
"Berjanjilah kepadaku bahwa engkau tidak akan mengulang kebodohan tadi, tidak akan mencoba untuk
membunuh diri. Berjanjilah!”
Masih ada dua tetes air mata turun ketika muka itu menunduk, lalu diangkatnya lagi muka yang pucat
dan masih basah air mata itu. "Bun Houw-koko, kenapa engkau ... begitu memperdulikan diriku ...?"
Nyonya Cia Kun Ti yang sejak tadi diam saja karena takut kepada suaminya, tiba-tiba berkata, "Tentu
saja dia memperdulikan dan memperhatikan dirimu, anakku, karena dia adalah bekas tun ... "
"Hemm, mulai lagi?” bentak Cia Kun Ti dan isterinya terdiam.
Bun Houw tersenyum memandang wajah yang nampak cantik dan mendatangkan iba hati itu. "Moi-moi,
tentu saja aku memperdulikanmu, karena bukankah sejak kecil kita sudah saling mengenal dan aku
sayang kepadamu. Engkau seperti adikku sendiri. Nah, maukah engkau berjanji?"
Ling Ay memegang tangan Bun Houw, hatinya merasa terharu dan berterima kasih sekali. Kalau saja
dahulu Ibunya tidak mata duitan, dan gila hormat, kalau saja ia menjadi isteri pemuda ini, alangkah akan
bahagia sekarang hidupnya!”
"Terima kasih, koko. Aku berjanji." katanya dan Bun Houw tersenyum lega. Dengan lembut dia
melepaskan tangan wanita itu, lalu berkata, "Aku harus cepat mencari Ouwyang Hui Hong. Setelah
melihat ia selamat, baru aku kembali ke sini dan mengantar kalian pindah ke dusun."
Setelah berkata demikian, cepat dia keluar meninggalkan rumah itu. Dia mencari-cari lagi ke seluruh
kota, kemudian mendengar bahwa ada orang melihat gadis itu berlari keluar malam hari tadi melalui
pintu gerbang utara diapun cepat melakukan pengejaran menuju ke utara.
***
Di rumah Cia Kun Ti, suasananya sudah tenang. Isteri Cia Kun Ti tidak berani banyak bicara lagi. dan Ling
Ay juga sudah tidak menangis. Mereka bertiga kini berkemas, mempersiapkan barang-barang yang akan
mereka bawa pindah ke dusun. Cia Kun Ti memanggil A Liok, pembantunya dan memasrahkan rumah
dan tokonya kepada pembantu itu untuk dicarikan pembeli, dan agar A Liok suka menjaga dulu rumah
itu setelah keluarganya pergi, Cia Kun Ti akan kembali ke kota ini setelah mengantar keluarganya keluar
dari kota, untuk mengurus penjualan rumah dan toko.
A Liok terkejut mendengar ini. "Kenapa hendak pindah, Cia Toako ? Dan kenapa rumah dan toko hendak
dijual ? Ke manakah toako hendak pindah?”
"Menyesal aku tidak dapat memberi penjelasan, A Liok. Engkau sudah membantu selama beberapa
tahun dengan senang tentu aku tidak akan melupakan jasamu dan akan meninggalkan sedikit modal
agar engkau dapat berdagang sendiri. Carikan saja pembeli dan kalau ada yang bertanya macammacam,
katakan saja kami ingin tinggal bertani di dusun."
"Baik, toako, dan terima kasih. Kapan toako akan pindah?"
"Sekarang pulanglah dulu. Entah besok entah lusa kami pindah, engkau akan kupanggil lagi kalau kami
akan berangkat."
Demikianlah, sambil menanti kembalinya Bun Houw, Cia Kun Ti dan isterinya, juga Ling Ay, berkemaskemas.
Cia Kun Ti sudah pula memesan sebuah kereta yang siap berangkat sewaktu-waktu. Setelah
melakukan persiapan, berkemas sehari penuh itu, malamnya mereka lelah dan tidur. Ling Ay tidur
bersama ibunya dalam kamar yang dulu menjadi kamarnya ketika ia masih gadis, dan ayahnya tidur
sendiri. Karena malam tadi mereka lama sekali tidak tidur, hati mereka penuh ketegangan, dan hari tadi
mereka bekerja, berkemas sehari penuh sehingga tubuh mereka lelah, maka tidak terlalu malam mereka
telah pulas.
Tak seorangpun di antara mereka tahu di mana Bun Houw dan sampai di mana hasil usahanya mengikuti
jejak Ouwyang Hui Hong. Tadi mereka memang menunggu-nunggu, akan tetapi setelah hari menjadi
malam dan mereka mengantuk, mereka menduga bahwa tentu Bun Houw tidak datang malam ini,
mungkin besok. Maka merekapun tidur, sedikitpun tidak menduga bahwa menjelang tengah malam,
nampak bayangan berkelebat naik ke atas genteng rumah itu.
Orang itu jelas bukan Bau Houw karena dia berpakaian serba hitam dan mukanya ditutupi kedok hitam
yang hanya memperlihatkan dua buah mata yang bersinar tajam. Juga di punggung orang itu terselip
sebatang golok yang gagangnya beronce merah. Seperti seekor kucing saja, orang itu yang bertubuh
tinggi kurus, berloncatan di atas wuwungan rumah dan tak lama kemudian dia sudah berhasil memasuki
rumah itu dengan membuka genteng bagian belakang.
(Bersambung jilid 05)
Jilid 05
-OPINTU
kamar Cia Kun Ti dibuka dengan dorongan kedua tangan. Pintu itu jebol. Karena hal ini
menimbulkan suara gaduh, Cia Kun Ti yang sedang tidur nyenyak itu terkejut dan terbangun. Akan tetapi
dia hanya sempat bangkit duduk dan terbelalak memandang kepada sesosok tubuh berpakaian hitam
yang meloncat masuk melalui pintu yang sudah terbuka. Penyinaran lampu dari luar kamar membuat
orang itu hanya nampak bayangan hitam saja, akan tetapi golok di tangannya berkilau, Cia Kun Ti tidak
sempat melawan, bahkan tidak sempat berteriak karena sama sekali tidak mengira apa yang akan
terjadi, bahkan baru saja terbangun dengan kaget. Tahu-tahu golok itu telah menyambar ke arah
lehernya. Leher itu hampir putus, tubuh Cia Kun Ti terjengkang dan tempat tidur itu banjir darah.
Bayangan hitam itu meloncat keluar, kini mendorong daun pintu kamar di mana Ling Ay tidur bersama
ibunya. Tidak saperti kamar ayahnya, di kamar Ling Ay masih ada penerangan, yaitu lampu meja kecil
yang membuat suasana di kamar itu remang-remang, namun cukup terang. Ibu dan anak itu sudah
terbangun oleh suara gaduh ketika daun pintu kamar Cia Kun Ti tadi jebol. Mereka terkejut dan bangkit
duduk, saling rangkul dengan kaget. Akan tetapi, dengan mata terbelalak dan hampir tak bernapas
mereka mendengarkan dan tidak terdengar suara apa-apalagi. Selagi mereka berbisik-bisik karena Ling
Ay mencegah ibunya yang hendak turun dan melihat ke kamar sebelah, tiba-tiba pintu kamar itu jebol.
Nyonya Cia Kun Ti masih teringat akan kedudukannya sebagai besan kepala daerah, karena baru saja
bangun tidur, dan iapun masih hendak mengandalkan kekuasaannya. Ia melompat dengan berani, turun
dari tempat tidur dan menudingkan telunjuknya ke arah orang berkedok itu, "Siapa engkau! Berani
sekali memasuki kamar kami, ya? Hayo cepat keluar atau akan kupanggilkan pengawal!"
Akan tetapi, terdengar suara terkekeh di balik kedok. Orang berkedok itu menerjang maju, goloknya
menyambar dan Nyonya Cia Kun Ti roboh dengan mandi darah, lehernya nyaris putus oleh sabetan
golok tadi. Ling Ay menjerit. Orang berkedok itu sekali renggut merobek kelambu yang tertutup dan dia
menyeringai ketika melihat Ling Ay dalam pakaian tipis, pakaian tidur, "Heh-heh, engkau cantik sekali!
Biar menjadi tambahan upah jerih payahku malam ini, 'Ha-ha-ha." Akan tetapi ketika penjahat berkedok
hitam itu menyambar tubuh Ling Ay, wanita muda ini sudah lemas dan tak sadarkan dirinya.
Penjahat itu mendengus gembira karena keadaan wanita yang pingsan itu memudahkan niatnya
menculik wanita itu. Tidak banyak membuat perlawanan, tidak akan meronta. Maka, dipanggulnya
tubuh yang lemas, lembut dan hangat itu di pundak kirinya dan diapun melompat pergi meninggalkan
rumah Cia Kun Ti dan isterinya yang sudah menjadi mayat itu.
Siapakah penjahat berkedok itu ? Setelah dia melarikan Ling Ay yang masih pingsan karena ngeri melihat
ibunya dibunuh penjahat itu dan keluar dari kota Nan-ping, penjahat itu menanggalkan kedok hitamnya.
Ternyata dia seorang lakl-iaki berusia sekitar empatpuluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya
kehitaman, penuh dengan bopeng bekas penyakit kulit yang membuat kulit mukanya menjadi tebal.
Sepasang matanya sipit dan membayangkan hati yang kejam. Hidungnya pesek dan bibirnya tebal
menghitam. Wajah yang buruk menyeramkan. Dia seorang pembunuh bayaran yang terkenal dengan
Julukan Hek-coa (Ular Hitam) dan sekali inipun dia membunuh Cia Kun Ti dan isterinya bukan karena
dendam pribadi, melainkan karena uang. Dia diupah untuk membasmi keluarga Cia oleh seorang pejabat
di kota Nan-ping. Pejabat ini adalah sekutu Cun Taijin dan ketika Souw Ciangkun panglima di Nan-ping
membasmi dan menangkap komplotan Cun Taijin, tentu saja pejabat ini menjadi ketakutan. Dia
khawatir kalau-kalau rahasia persekutuannya dengan Cun Tai-jin terbongkar. Dia dapat menduga bahwa
tentu rahasia Cun Taijin pecah oleh keluarga Cia yang menjadi besan Cun Tai-Jin, maka dia tentu saja
takut kalau Cia Kun Ti membongkar pula rahasianya sebagai bekas sekutu Cun Taijin. Maka, di
panggilnya Hek-coa dan dengan upah yang besar dia menyuruh penjahat itu untuk membasmi keluarga
Cia, yaitu Cia Kun Ti, Isterinya dan anaknya, juga seluruh keluarga yang berada di rumah keluarga itu.
Kalau saja Hek-coa membunuh semua orang di rumah itu tanpa kecuali, dan dia berhasil melarikan diri,
tentu akan sukar diketahui bahwa pembunuhan itu didalangi olah pejabat yang bernama Poa Kit Seng,
pejabat pemungut pajak yang menjadi pembantu Cun Tai-jin itu. Akan tetapi, ketika melihat Ling Ay
yang cantik molek, Hek-coa merasa sayang dan diculiknya wanita itu dan dianggap sebagai tambahan
upah jerih payahnya.
Karena tidak ingin terhalang gangguan, seperti seekor anjing yang baru saja mencuri ayam dan tidak
ingin ketahuan siapapun juga, maka setelah keluar dari kota Nan-ping, Hek-coa membawa Ling Ay yang
dipanggulnya mendaki sebuah bukit di mana terdapat hutan. Dia tahu bahwa bukit itu tidak dihuni
orang, dan di puncak bukit itu terdapat sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi dan kosong.
Seringkali kalau sedang lari dari pengejaran orang sehabis dia melakukan kejahatan, dia bersembunyi di
kuil kosong itu. Kuil yang ditakuti penduduk di sekitar Nan-ping karena dikabarkan kuil itu berhantu.
Menurut dongeng, dahulu ada seorang nikouw (pendeta wanita) di kuil itu yang berbuat mesum dan
akhirnya karena malu ia mati menggantung diri. Karena aib ini, maka semua nikouw meninggalkan kuil
itu yang dianggap telah menjadi tempat yang kotor dan sejak itu, puluhan tahun yang lalu, kuil itu tidak
lagi dihuni orang. Didatangi orangpun jarang sekali karena orang-orang takut mendekat setelah
dikabarkan bahwa kuil itu berhantu.
Biarpun di angkasa hanya ada bintang-bintang, namun karena Hek-coa sudah hafal akan jalan pendakian
setapak itu, maka cepat dia dapat mendaki melalui hutan dan akhirnya, menjelang pagi, dia tiba di luar
kuil yang nampak kotor tak terawat itu. Memang dilihat dari luar, kuil itu tua, kotor dan menyeramkan.
Gentengnya sudah banyak yang pecah. temboknya penuh lumut dan daun pohon menjalar. Banyak
kelelawar beterbangan keluar masuk melalui lubang-lubang atap cukup mengerikan. Akan tetapi Hekcoa
tersenyum menyeringai, penuh kegembiraan. Dia tahu bahwa biarpun dari luar nampak kotor
menyeramkan, namun di sebelah dalamnya bersih dan hangat. Dia telah menemukan sebuah ruangan
yang tidak bocor di bagian belakang kuil itu dan dia telah membersihkan ruangan itu, dijadikan tempat
tidur. DI sana terdapat sebuah pembaringan kayu yang bersih dan hangat, dan kini akan menjadi makin
indah dengan adanya wanita cantik jelita dalam pondongannya ini.
Tiba-tiba Ling Ay mengeluh lirih dan tubuhnya bergerak. Hek-coa merasa betapa tubuh yang lembut
hangat itu, yang sejak tadi sudah menimbulkan gairah yang terbakar, kini menjadi hidup dan bergerak,
bahkan meronta. Dia lalu memondong tubuh itu seperti seorang anak kecil dan menyeringai sabar
sambil mendekatkan mukanya pada muka Ling Ay.
"Engkau sudah bangun, manis. Heh-heh-heh!”
Biarpun cuaca masih remang-remang, namun Ling Ay dapat melihat muka yang amat dekat dan yang
agaknya siap untuk melahapnya itu! Ia menahan jeritnya.
"lhhh ...! Siapa engkau ...? Lepaskan aku!” Teriaknya marah.
"Heh-he-heh, manis sayang, jangan kaget dan jangan takut. Aku ... aku ini ... eh, suamimu, ha-ha-ha"
Dan kini Hek-coa menariknya, mendekap dan berusaha mencium.
Bukan main kagetnya hati Ling Ay dan kini iapun teringat akan semua peristiwa yang terjadi di dalam
kamar Ibunya. Ibunya dibunuh orang yang berpakaian hitam dan berkedok hitam. Dan kini ia berada
dalam pelukan seorang laki-laki berpakaian hitam yang wajahnya menyeramkan sekali! Ketika orang itu
menciumnya, Ling Ay sekuat tenaga meronta dan memalingkan mukanya sehingga hidung dan mulut
Hek-coa mendarat di lehernya yang putih mulus. Mulut itu mengecup leher seperti gigitan seekor anjing
serigala pada leher seekor kijang. Ling Ay menggelinjang dan seluruh bulu di tubuhnya meremang.
Hampir saja ia pingsan kembali.
"Tidak.: ...! Jangan. ...! Kau lepaskan aku, keparat! Engkau Jahanam yang telah membunuh ibuku!
Tolooonggg ... !"
Hek-coa tertawa bergelak, dan mempererat bekapannya. "Berteriaklah, manis. Menjeritlah, merontalah.
Makin kuat engkau menjerit dan meronta akan makin menyenangkan hatiku. Akan tetapi tak
seorangpun akan mendengar jeritanmu, jeritan pengantinku di malam pertama, ha-ha-ha!” Sambil
tertawa dan tidak memperdulikan Ling Ay yang meronta-ronta dan menjerit-jerit, Hek-coa melangkah ke
dalam kuil.
Dengan kakinya, Hek-coa mendorong pintu kamar yang dibuatnya itu dan membawa Ling-Ay ke
pembaringan kayu yang baginya seperti sedang menanti dan menggapai-gapai. Dengan kasar dia
melemparkan tubuh Ling Ay ke atas pembaringan.
Tentu saja Ling Ay merasa ngeri dan ia segera merangkak ke sudut paling jauh dari pembaringan itu,
wajahnya pucat, matanya terbelalak dan ia seperti seekor kelinci yang tersudut menghadapi moncong
harimau yang siap untuk mencabik-cabik dagingnya.
"Bunuh saja aku ! Bunuh ... engkau sudah membunuh ayah ibuku, kaubunuh saja aku ...!” Ia menangis.
Kini ia dapat menduga bahwa tentu ayahnya juga sudah tewas seperti ibunya.
"Ha-ha-ha-ha, membunuhmu? Aduh, sayang secantik manis engkau kalau dibunuh. Tidak, sayang.
Engkau akan menjadi isteriku, mau atau tidak mau, dan engkau akan hidup puluhan tahun lagi untuk
menemaniku dalam dunia yang biasanya sepi ini."
"Tidak! Aku tidak sudi! Engkau Jahanam, busuk, kaubunuh saja aku! Aku lebih suka mati dari pada
menjadi isterimu!” Tiba-tiba Ling Ay menggerakkan tubuh atasnya, hendak, membenturkan kepalanya
pada dinding di belakang pembaringan. Akan tetapi agaknya Hek-coa dapat menduga akan hal ini dan
sekali dia meloncat, dia sudah menubruk dan mendekap tubuh Ling Ay yang terbanting ke atas
pembaringan, menggagalkan niatnya untuk membenturkan kepalanya ke dinding. Ling Ay merontaronta
dan memalingkan mukanya yang diciumi oleh Hek-coa sambil tertawa-tawa itu.
Tiba-tiba terjadi suatu keanehan yang membuat Ling Ay kaget, heran dan bingung sendiri. Laki-laki yang
buruk rupa dan kasar itu tiba-tiba berteriak ketakutan dan melepaskannya, meloncat turun dari atas
pembaringan dan dengan mata terbelalak memandang kepadanya dengan pandang mata jijik, bahkan
sempat penjahat itu menggerak-gerakkan pundak seperti orang yang jijik dan ketakutan! Tentu saja Ling
Ay tidak tahu mengapa begitu. Kalau saja ia tahu! Dalam pandangan Hek-coa, tiba-tiba taja tubuh yang
tadinya mulus dan lembut hangat itu, ketika digelutinya, tiba-tiba terasa dingin dan licin, berbau amis
dan ketika dia memandang, tubuh Ling Ay telah berubah menjadi seekor ular yang besarnya melebihi
besar paha Hek-coa!”
"Hiiiihhh ...! ... ilnman ... !" Hek-coa tergagap dan meraba gagang golok di punggungnya. Akan tetapi
pada saat dia menoleh, dia melihat Ling Ay sudah rebah terlentang di atas lantai, tersenyum manis
dengan sikap tubuh dan pandang mata menantang dan merangsang! Seketika Hek-coa telah melupakan
ular yang melingkar di atas pembaringan itu dan sambil menyeringai dan mendengus seperti seekor
kuda, dia menubruk Ling Ay yang rebah di atas tanah menantinya.
Ling Ay terbelalak, hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Kalau tadi ia meronta-ronta dan
menjerit-jerit, kini ia diam saja menahan napas, seolah takut kalau ia bernapas terlalu keras, samua
penglihatan itu akan membuyar dan apa yang tadi terjadi atas dirinya akan terulang atau dilanjutkan.
Betapa ia tidak akan terbelalak heran kalau melihat penjahat yang mengerikan itu tadi tiba-tiba
melepaskannya, meloncat turun dari pembaringan dan memandang kepadanya dengan ketakutan,
meraba gagang golok kemudian sekarang menubruk setumpukan jerami kotor yang diikat tali bambu,
mendekap seikat jerami itu dan menciuminya, meraba-raba dan menggigitinya dengan gemas sambil
mengeluarkan suara menggereng-gereng separti seekor binatang buas mengganyang mangsanya!”
Makin lama Hek-coa menjadi semakin buas dan tiba-tiba terdengar suara ketawa lirih namun karena
suasana sudah amat mengerikan dan di situ sunyi sekali, yang terdengar hanya napas ngos-ngosan dari
Hek-coa, maka suara ketawa itu terdengar jelas dan amat mengejutkan. Meremang bulu tengkuk Ling
Ay karena tadi ia mendengar penjahat itu menyebut-nyebut siluman. Kini suara ketawa itu tentu saja ia
hubungkan dengan siluman, apalagi ketika tiba-tiba saja, entah dari mana datangnya, di dalam cuaca
yang mulai nampak terang itu, tepat di ambang pintu, telah berdiri seorang wanita cantik! Siapalagi
kalau bukan siluman, pikir Ling Ay dan ia masih berlutut di atas pembaringan, mendekap dadanya
karena sebagian bajunya robek direnggut penjahat itu tadi.
"Hi-hi-hi-hik, orang ini tiada bedanya seperti seekor babi saja," Wanita itu tertawa dan bicara dengan
suara lembut, Ling Ay memandang penuh perhatian. Wanita itu umurnya sekitar empatpuluh tujuh
tahun, masih cantik seperti gadis berusia duapuluh lima tahun saja. Rambutnya yang amat hitam dan
subur itu melingkar di atas kepalanya dengan gelung model puteri bangsawan tinggi. Pakaiannya dari
sutera berwarna merah dan kuning. Di punggungnya nampak tersembul gagang pedang yang Indah
dengan ronce-ronce biru. Wajahnya yang berbentuk bulat telur itu manis sekali, dengan sepasang mata
tajam berwibawa, hidungnya kecil mancung dan bibirnya yang manis itu selalu mengandung senyum
mengejek.
Agaknya Hek-coa juga mendengar suara tawa dan ucapan itu dan tiba-tiba saja dia terbelalak
memandang seikat jerami kering kotor yang digeluti dan diciuminya.
"Ahhha ... ? Apa ... mengapa ... eh!” siluman ... " Dia tergagap dan bangkit berdiri.!”
Pakaiannya tidak karuan, rambut dan kumis, jenggotnya penuh jerami. Nampak lucu sekali. Hek-coa
masih terbelalak bingung, tapi dia segera dapat melihat wanita setengah tua yang, catik itu berdiri di
ambang pintu, diapun menoleh ke arah pembaringan dan kembali terkejut melihat Ling Ay masih
berlutut di sana.
Dia menoleh lagi ka arah jerami dan menjadi semakin bingung, "Ehhh! Apa ... dan bagaimana ... ular ...
ular besar itu ... "
Wanita cantik itu tersenyum lebar dan nampak deretan giginya yang putih dan rapi, masih lengkap.
"Engkau ini manusia tapi berwatak binatang! Hayo cepat pergi dari sini, kalau tidak, akan habis
kesabaranku dan engkau pasti kubunuh!”
Agaknya kini Hek-coa baru menyadari bahwa dia telah dipermainkan oleh wanita cantik itu. Entah
dengan Ilmu apa.
"Engkau siluman! Kaukira aku Si Ular Hitam takut kepadamu? Ha-ha-ha, ditambah seorang lagi seperti
engkau, sungguh menggembirakan sekali!”
Dasar seorang yang sudah dikuasai nafsu setan. Hek-coa sudah terbiasa memandang rendah orang lain
dan terlalu percaya kepada kemampuan sendiri. Apalagi yang dihadapinya hanya seorang perempuan,
cantik lagi walapun tidak semuda wanita yang berlutut di atas pembaringan.
Wanita itu memperlebar senyumnya. "Heh-leh, sikap dan ucapanmu itu menjadi keputusan hukuman
mati bagimu!”
"Uwahh! Engkau ini perempuan cantik tapi sombong. Lihat saja nanti kalau aku sudah berhasil
menundukkanmu, tentu akan lain bicaramu!” Tiba-tiba saja Hek-coa menubruk, dengan terkaman
separti seekor harimau kelaparan sehingga bukan hanya kedua lengan yang dikembangkan itu yang
menyerang, bahkan juga kedua kakinya seperti hendak mencengkeram! Ling Ay yang tahu akan
kekejaman dan kelihaian penjahat itu, tentu saja merasa khawatir sekali. Akan tetapi, kekhawatiran itu
segera berubah menjadi kelegaan hati yang amat menggembirakan ketika tiba-tiba saja, entah mengapa
dan bagaimana, tubuh penjahat yang menubruk itu telah terpelanting dan terbanting ke atas tanah
dengan kerasnya
"Ngekkk!” Penjahat itu mengeluarkan suara dari perut karena ketika dia terbanting, seluruh tulangnya
seperti remuk rasanya. Sejenak dia hanya dapat bangkit duduk, tangan kiri memegangi kepala yang
terasa puyeng, tangan kanan menggosok-gosok pantat yang tadi menghantam lantai dengan kerasnya.
Akan tetapi dasar orang tak tahu diri. dia masih belum jera. Dia kini menjadi marah bukan main. Setelah
kepeningannya hilang, diapun bangkit berdiri dan sekali tangan kanannya bergerak, golok itu sudah
dicabutnya. Sinar matahari pagi yang mulai menerobos masuk menimpa golok yang nampak berkilauan
mengerikan. Kembali Ling Ay merasa ngeri. itulah golok yang telah membunuh Ibunya, di depan
matanya, dan mungkin juga ayahnya! Dan sekarang wanita itu terancam!”
"Jangan bunuh enci itu! Bunuh saja aku, jangan bunuh ia yang sama tidak berdosa. Akulah anggauta
keluarga Cun dan Cia, bunuh saja aku!” teriak Ling Ay, Wanita itu menoleh ke arah Ling Ay dan
senyumnya manis sekali. "Jangan sebut aku enci. Aku lebih pantas menjadi bibimu dan jangan khawatir.
Dia ini bernama Ular Hitam maka bagaimana mungkin dia dapat memegang golok atau pedang? Yang
dipegangnya hanyalah seekor ular berbisa!”
Tentu saja Ling Ay merasa heran dan tidak mengerti. Ia memandang kepada Hek-coa dan melihat bahwa
yang dipegang penjahat itu adalah sebatang golok besar yang tajam mengkilap, bagaimana dikatakan
bahwa penjahat itu memegang seekor ular.
"Ha-ha-ha, sayang sekali orang cantik manis ini otaknya miring!” Hek-coa mengejek untuk membesarkan
hatinya sendiri yang sebetulnya mulai merasa gentar. Tadi, ketika dia menyerang dengan tubrukan
mautnya, agaknya wanita itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak, apalagi memukul. Hanya
nampak ia mengangkat kedua tangannya dan dia merasa ada angin yang kuat sekali mendorongnya
sehingga dia terpelanting dan terbanting dengan keras. Dia mulai curiga bahwa yang dihadapinya adalah
seorang wanita sakti. Akan tetapi dia masih mengandalkan goloknya, maka dia berani mengejek untuk
membesarkan hati dan kepercayaan kepada diri sendiri.
Wanita itu menudingkan telunjuknya. "Hek-coa, lihat baik-baik. Bukankah yang kaupegang itu seekor
ular kobra? Lihat, ular itu akan melilit lehermu sendiri!”
Bagi Ling Ay, penjahat itu tetap saja memegang sebatang golok tajam, bahkan golok itu sudah diangkat
dan diamangkannya dengan penuh ancaman. Akan tetapi ia melihat betapa Hek-coa tiba-tiba
memandang golok yang berada di tangan kanannya dan mata yang sipit itu terbelalak, muka hitam itu
berubah pucat dan mulutnya ternganga mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh tidak karuan seperti orang
yang merasa ngeri dan ketakutan!”
Betapa tidak ? Hek-coa yang mendengar ucapan wanita itu. tentu saja memandang kepada golok di
tangannya dan inilah awal kesalahannya. Begitu memandang goloknya, berarti dia sudah jatuh di bawah
pengaruh wanita itu, mentaati perintahnya dan dia melihat goloknya bukan berbentuk golok lagi
melainkan seekor ular kobra yang dia pegang ekornya. Kini ular itu mengangkat leher dan kepalanya,
lehernya, mengembang dan lidahnya keluar masuk dari mulut yang mendesis-desis!”
"Ahhh ... uhhhh ... ular ... ularr. ...! Tidak ... ihhh!” Dia mencoba untuk membuang golok yang telah
berubah menjadi ular kobra itu, akan tetapi celakanya, ekor ular yang dipegangnya itu seolah olah
melekat di telapak tangannya. Ular itu kini mulai mendekati lehernya! Bahkan mulai melilit lehernya.
Terasa dingin-dingin licin di kulit lehernya.
Hek-coa menjerit-jerit dan memandang ke kanan kiri ketakutan. Ling Ay menjadi bengong! Tadinya dia
masih mengira bahwa si muka hitam itu hanya berpura-pura untuk mempermainkan wanita cantik ini.
Akan tetapi kini ia melihat si muka hitam itu selain ketakutan, juga golok yang dipegangnya itu hendak
digorokkan ke lehernya sendiri! Golok itu sudah menempel di leher dan mulai nampak darah ketika
golok yang tajam itu mengiris kulit leher, Tahulah ia bahwa si muka hitam itu tentu akan mati
menggorok leher sendiri, agaknya melihat golok itu telah berubah menjadi ular yang hendak melilit
lehernya. Tiba-tiba Ling Ay turun dari atas pembaringan.
"Enci ... bibi...! Harap jangan bunuh dia dulu!”
Wanita itu menoleh dan tersenyum dan sekali ia menggerakkan tangannya ke arah Hek-coa, penjahat
itu sadar dan mukanya pucat melihat betapa dia menempelkan goloknya di lehernya sendiri. Tangan
kirinya meraba bagian leher yang perih dan temyata leher itu terluka dia menjadi semakin ketakutan.
Wanita cantik itu tentulah siluman! Dia berteriak dan sambil melempar goloknya, diapun meloncat
hendak melarikan diri. Akan tetapi kembali wanita itu menggerakkan tangan ke arahnya dan angin
menyambar dahsyat dan tubuh Hek-coa terpelanting lagi, terbanting keras. Maklumlah Hek-coa bahwa
tak mungkin dia lari dari wanita siluman ini, maka dengan tubuh menggigil kelakutan, dia lalu
menjatuhkan diri berlutut ke arah wanita itu.
"Mohon ... ampun ... hamba ... hamba berdosa, ampunkan hamba ... !"
"Diam saja di situ dan jangan bergerak!" kata wanita itu dan Hek-coa tidak berani lagi bengerak atau
membuka mulut, hanya berlutut dengan tubuh gemetar, "Nona, engkau tadi mengatakan bahwa ayah
dan ibumu dibunuh oleh Ular Hitam ini, dan sekarang engkau minta kepadaku agar jangan
membunuhnya dulu? Apakah engkau hendak membalas dendam dan hendak menyiksanya dulu
sebelum membunuhnya ? Hi-hik, kalau begitu, aku dapat mengajarimu cara menyiksa yang paling hebat,
yang akan membuat dia menderita siksaan yang membuat dia mati tidak hiduppun tidak!”
Ling Ay maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita sakti, maka ia segera menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki wanita itu. "Bibi, harap maafkan saya. Bukan maksud saya untuk membalas
dendam dengan penyiksaan. Akan tetapi, mengingat bahwa keluarga saya mempunyai dosa besar
terhadap pemerintah dan sudah sepatutnya kalau saya pun dihukum. Hanya saya ingin tahu dari orang
ini, mengapa dia membunuh ayah dan ibu dan menculik saya. Seperti itukah pelaksanaan hukuman
pemerintah? Saya ingin mendengar dari dia segala rahasia yang terdapat di balik perbuatannya yang
terkutuk ini."
Wanita cantik itu nampak tertarik sekali dan sejenak ia mengamati wajah Ling Ay. "Anak yang baik,
siapakah keluargamu? Siapa pula engkau dan dosa apa yang dilakukan keluargamu? Ceritakanlah
segalanya sebelum kupaksa jahanam ini mengaku.”
Ling Ay sudah putus asa. Ayah ibunya telah tewas, keluarga suaminya juga telah terbasmi. Tidak ada
seorangpun di dunia ini yang dapat ia harapkan. Kwa Bun Houw? Ah, ia malas kalau harus mengganggu
pemuda bekas tunangannya itu. Sudah terlampau banyak pemuda itu menderita karena dirinya! Maka,
kemunculan wanita sakti ini menghidupkan kembali harapan yang hampir padam di hatinya dan
pertanyaan itu membuat ia begitu terharu sehingga ia menangis di depan kaki wanita itu, terisak-isak.
Sejenak wanita itu membiarkan saja Ling Ay menangis. Iapun tahu bahwa biarpun lemah dan tidak
memiliki kepandaian silat, namun wanita muda yang berlutut di depan kakinya ini bukanlah seorang
wanita cengeng yang menuruti perasaan saja. Akan tetapi tak lama kemudian ia berkata dengan suara
tegas. "Hentikan tangismu. Aku paling tidak suka kecengengan! Ceritakan keadaanmu dan aku akan
membantumu. Kalau kau menangis terus aku akan meninggalkanmu!”
Mendengar itu, seketika Ling Ay berhenti menangis. Hai ini saja menunjukkan bahwa wanita ini memiliki
kekerasan hati yang mampu mengatasi perasaannya. Setelah mengusap dan mengeringkan sisa air mata
dari kedua pipinya. Ling Ay lalu menceriterakan semua riwayatnya secara singkat. Ia menceriterakan
betapa ia dipaksa oleh orang tuanya untuk menjadi isteri Cun Hok Seng, putera kepala daerah Nan-ping
walaupun ia sama sekali tidak mencinta pemuda itu. Betapa ia berusaha untuk menjadi seorang isteri
yang baik, akan tetapi suaminya ternyata amat pencemburu dan suka kepadanya hanya karena nafsu
yang haus kecantikan belaka.
"Kemudian terjadilah malapetaka itu," sambungnya. "Tanpa saya ketahui, ternyata ayah mertua saya.
Cun Tai-jin, mempengunakan orang-orang jahat untuk memberontak! Hal ini ketahuan oleh panglima
pasukan keamanan di Nan-ping dan rumahnya diserbu pasukan. Saya diajak pulang ayah karena ayah
telah tahu hal itu. Keluarga Cun ditangkapi, akan tetapi saya terbebas karena jaminan ... seorang
pendekar yang membantu Souw Ciangkun membasmi persekutuan pemberontak. Dan malam ini ... dia
ini datang membunuh ayah dan Ibu, dan menculik saya. Karena itulah, bibi yang mulia, saya mohon agar
orang ini jangan dibunuh sebelum dia mengaku siapa yang menyuruhnya dan mengapa pula ayah ibu
saya dibunuh."
Wanita itu menoleh ke arah Hek-coa yang masih berlutut tak berani bengerak. "Nah, Ular Hitam, engkau
sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan oleh nyonya muda ... eh, siapa namamu tadi, Cia Ling Ay?
Hayo ceritakan mengapa engkau membunuh ayah ibunya lalu menculiknya! Awas, sekali berbohong
akan kupenggal sebuah telingamu!”
Hek-coa sudah mati kutu benar-benar. Dia tahu bahwa dia tidak akan dapat meloloskan diri dari tangan
wanita sakti ini. Satu-satunya jalan baginya hanyalah minta ampun, atau kalau toh dia harus menjalani
hukuman, dia tidak mau menanggungnya sendiri, Sifat umum yang amat buruk dari kita seperti sikap
Hek-coa itu, yalah segala hal yang menyenangkan ingin diborong sendiri dan sebaliknya, segala hal yang
menyusahkan ingin ditanggung beramai-ramai.
"Ampunkan saya, li-hiap (pendekar wanita)," katanya merendah. "Sesungguhnya, saya hanyalah seorang
bawahan saja, seorang pelaksana. Saya diperintah seseorang untuk membunuh keluarga Cia. Ketika
melihat nyonya muda ini, hati saya merasa tidak tega dan karena saya belum mempunyai isteri, maka
maksud saya untuk memperisterinya karena saya merasa kasihan. Saya pribadi tidak mengenal keluarga
Cia, bagaimana bisa bermusuhan ? Saya diperintah ... "
"Siapa yang menyuruhmu?" Kini Ling Ay yang bertanya karena ia merasa penasasan sekali.
Bahkan terhadap Ling Ay yang tadi hampir diperkosanya, Hek-coa bersikap takut dan hormat. Hal ini
adalah karena dia mengharapkan pengampunan dari Ling Ay yang tidak begitu galak dibandingkan
wanita sakti itu. Tadipun nyonya muda ini yang minta kepada si wanita sakti agar tidak membunuhnya.
"Yang memerintahkan saya untuk melakukan pembunuhan adalah Poa Tai-jin ... saya hanya
melaksanakan perintah ..."
"Poa Tai-Jin?” Ling Ay mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. "Poa Tai-jin yang menjadi pembantu Cun
Tai-jin. pengumpulan pajak itu ?”
"Benar, toanio. Dia Poa Kit Seng, dia yang memerintahkan saya dan saya ... saya hanya melaksanakan. ...
"
"Kutu busuk!” Wanita sakti itu membentak, muak melihat sikap pengecut penjahat itu, "Engkau
pembunuh bayaran, ya ?"
Hek-coa hanya mengangguk-angguk dan menyembah-nyembah. "Ampunkan saya ... "
Kini Ling Ay bangkit berdiri, memandang kepada wanita sakti dan berkata, "Bibi, kumohon bibi sudi
menemani saya untuk pergi kepada Souw Ciangkun bersama penjahat ini. Saya harus melaporkan
tentang hal ini, karena agaknya masih banyak sisa sekutu pemberontak."
Wanita itu memandang heran. "Pergi kepada panglima pasukan di Nan-ping? Dan engkau adalah
anggauta keluarga Cun, tentu engkau akan ditangkap pula."
"Sudah semestinya begitu, bibi. Saya tidak takut dan memang sudah sepatutnya saya bertanggung
jawab sebagai anggauta keluarga Cun. Akan teiapi yang terpenting, semua sisa pemberonlak harus
dibersihkan."
"Hemm, engkau memang aneh dan tabah sekali, Ling Ay." kata wanita itu yang kemudian membentak
Hak-coa, "Hayo katakan kenapa pejabat she Poa itu membayarmu untuk membunuh keluarga Cia! Awas,
ceritakan sesungguhnya kalau tidak ingin kusiksa!”
"Poa Kit Seng takut kalau sampai rahasianya dibocorkan oleh keluarga Cia, li-hiap. Dia ... seperti dugaan
toa-nio ini tadi, dia memang sekutu dari Cun Taijin, Dia takut kalau ketahuan oleh pemerintah dan ikut
ditangkap. Yang mengetahui rahasia itu agaknya hanya keluarga Cia, maka dia memerintahkan hamba
membasmi keluarga itu."
"Hemm, ternyata apa yang kau duga memang tepat, Ling Ay. Sekarang, apa yang kau inginkan?”
"Saya ingin menyerahkan diri sebagai anggauta keluarga Cun, bibi, dan saya ingin agar Souw Ciangkun
menangkap orang she Poa itu bersama semua sisa pemberontak."
"Tapi engkau dapat dihukum penjara, bahkan dihukum mati!”
"Saya sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi, bibi. Ayah ibuku sudah tidak ada, juga keluarga suamiku
tidak ada. Saya sebatang kara dan hidup ini hanya penuh kedukaan. Saya bersedia untuk dihukum mati
sekalipun.”
"Hemm, hendak kulihat nanti. Mari kita pergi." kata wanita itu dan membentak Hek-coa, "Engkau sudah
mendengar tadi ? Hayo antarkan kami kembali ke Nan-ping menghadap Souw Ciangkun!"
Tentu saja diam-diam Hek-coa merata takut sekali. Menghadap panglima yang membasmi
pemberontakan itu seperti juga seekor tikus menghadap kucing! Akan tetapi terhadap wanita sakti ini
dia tidak mampu berbuat apa-apa, maka diapun bangkit dan mereka bertiga keluar dari dalam kuil tua.
Ketika mereka tiba di hutan dalam perjalanan menuruni bukit itu, di bagian yang belukar dan masih agak
gelap karena matahari pagi masih terlalu lemah unluk dapat menerobos daun-daun pohon yang rimbun,
tiba-tiba Hek-coa meloncat ke kiri, hendak melarikan diri. Dia melihat kesempatan baik ketika berada di
dalam hutan ini, satu-satunya kesempatan untuk dapat menyelamatkan diri dari tangan wanita sakti itu.
Tentu saja Ling Ay terkejut ketika tiba-tiba penjahat itu meloncat ke kiri dan lenyap di balik semak
belukar. Akan tetapi wanita cantik itu tidak nampak terkejut, bahkan tersenyum manis dan iapun
berseru dengan suara nyaring, lembut namun penuh wibawa.
"Hek-coa, berhenti kau!”
Wanita itu lalu menggandeng tangan Ling Ay dan diajak melangkah ke balik semak belukar dan ... Hekcoa
nampak berdiri seperti patung dan matanya terbelalak, mukanya yang hitam itu menjadi semakin
gelap. Bagaimana dia tidak akan ketakutan kalau tadi, setelah dia berhasil meloncat ke balik semak
belukar dan sudah siap untuk melarikan diri ke dalam hutan lebat, menuju kebebasan, tiba-tiba
terdengar bentakan lembut itu dan anehnya, begitu mendengar dia disuruh berhenti, seketika kakinya
tidak mau lagi diajak berlari!”
Kini wanita itu sudah tiba di depannya, bersama Ling Ay yang juga memandang terheran-heran. Orang
ini sudah berhasil meloncat ke balik semak belukar, kenapa kini berdiri seperti patung?
"Engkau hendak melarikan diri dariku ? Hemm, biar engkau bersayap sekalipun, jangan harap dapat
melarikan diri. Engkau memang seorang yang jahat dan licik, pantas dihajar!" Cepat sekali tangan wanita
itu bengerak, terdengar suara "pletak" dua kali dan kedua tulang pundak Hek-coa telah patah-patah!
Tentu saja dia tidak mampu lagi menggerakkan kedua lengannya yang kini tengantung lemas karena
kalau digerakkan, kedua pundaknya terasa nyeri bukan main.
“Hayo jalan!” bentak wanita itu dan dengan kedua lengan tengantung di kanan kiri, dengan muka
menunduk, Hek-coa melanjutkan langkahnya, menahan rasa nyeri yang membuat seluruh tubuhnya
basah oleh keringat dingin. Wanita itu berjalan di belakangnya, masih menggandeng tangan Ling Ay.
"Bibi, kalau boleh saya bertanya. Siapakah bibi?"
"Namaku Kwan Hwe Li dan orang di dunia persilatan menyebut aku Bi Moli (Iblis Wanita Cantik). Akan
tetapi engkau boleh memanggil aku Bibi Hwe Li saja."
"Aih, sungguh keterlaluan orang-orang itu!” Ling Ay berseru penasaran. "Engkau lebih pantas disebut
Sianli (Dewi) dari pada Moli (Iblis Betina), bibi!”
Sementara itu, mendengar disebutnya julukan Bi Moli, seluruh tubuh Hek-coa menggigil. Dia pernah
mendengar akan nama besar Bi Moli, seorang wanita kang-ouw, bahkan seorang datuk sesat yang selain
amat lihai ilmu silat dan ilmu sihirnya, juga amat ganas dan kejam terhadap lawannya!”
Bi Moli Kwan Hwe Li tersenyum mendengar ucapan Ling Ay. "Tidak, Ling Ay, aku memang seorang Iblis
wanita terhadap musuh-musuhku yang jahat. Kautahu, kalau tidak karena engkau, orang ini sudah
menggeletak di kuil yang tadi, menjadi bangkai yang kini diperebutkan oleh binatang hutan. Sudah
kubunuh dia!”
Tentu saja Hek-coa menjadi semakin ketakutan. Perjalanan dilanjutkan dengan cepat menuju ke kota
Nan-ping. Mereka tiba di kota itu setelah tengah hari dan mereka langsung menuju ke markas pasukan
yang dipimpin Souw Ciangkun. Benteng itu berada di ujung selatan kota Nan-ping.
***
Ketika menerima laporan dari penjaga pintu gerbang bahwa ada dua orang wanita cantik membawa
tawanan seorang pembunuh minta menghadap, Souw Ciangkun merasa heran akan tetapi cepat
menyuruh pengawalnya mempersilakan dua orang wanita dengan tawanannya itu untuk datang
menghadapnya dalam ruangan kantor. Tadinya dia mengira bahwa seorang di antara dua wanita cantik
itu tentulah pendekar wanita Ouwyang Hui Hong yang sudah dikenalnya. Maka, dia merasa heran sekati
ketika melihat bahwa tamunya itu bukan lain adalah Cia Ling Ay atau yang pernah dikenalnya sebagai
Nyonya Cun Hok Seng, mantu dari Cun Tai jin Dia sudah berjanji kepada Kwa Bun Houw bahwa wanita
ini tidak akan dituntut sebagai anggauta keluarga Cun. maka tentu saja dia merasa heran bagaimana
wanita ini sekarang muncul menghadapnya. Dan diapun tidak mengenal wanita cantik setengah tua
yang datang bersama Ling Ay. Akan tetapi, sebagai komandan pasukan di Nan-ping, dia segera mengenal
Hek-coa yang kedua lengannya tengantung lumpuh itu.
Setelah memberi hormat dan mempersilakan dua orang tamunya duduk sedangkan Bi Moli membentak
dengan suara halus agar Hek-coa berlutut di lantai, Souw Ciangkun lalu bertanya akan maksud
kunjungan itu.
"Souw Ciangkun tentu masih mengenal saya. Saya adalah mantu Cun Tai-Jin dan selain saya datang
untuk menyerahkan diri sebagai mantu seorang pemberontak, juga saya hendak melaporkan akan
peristiwa yang menimpa keluarga ayah saya."
"Kami sudah menerima laporan pagi ini tentang peristiwa menyedihkan di rumah orang tuamu itu, Cun
Hujin (Nyonya Cun). Ayah dan ibumu terbunuh dan engkau lenyap. Akan tetapi kami tidak tatu siapa
yang melakukan pembunuhan itu dan ke mana engkau pergi." kata Souw Ciangkun, nada suaranya
mengandung iba. Nyonya muda ini memang bernasib malang, pikirnya. Baru saja keluarga suaminya
ditangkapi karena memberontak, disusul pembunuhan terhadap ayah dan ibu kandungnya.
Ling Ay menarik napas panjang. "Dia inilah pembunuh ayah Ibuku, Ciangkun, dan dia pula yang menculik
saya. Untung saya ditolong oleh Bibi Kwan ini yang juga menanggapnya."
"Hek-coa, si keparat! Sekali ini engkau tidak akan lolos dari hukuman!” Souw Ciangkun membentak
marah.
"Saya menyerahkan kepada Ciangkun untuk menghukumnya, akan tetapi dia ini tidak begitu penting,
Ciangkun. Ternyata yang meryuruh dia membasmi keluarga Cia adalah Poa Ku Seng, pejabat pemungut
pajak itu dan dalihnya karena dia takut rahasianya terbongkar. Dia adalah sekutu dari ayah mertuaku.
Karena itulah saya menghadap Ciangkun, agar semua sisa pemberontak dapat dibersihkan, juga untuk
menyerahkan diri untuk ditangkap."
Souw Ciangkun memandang kagum, lalu bangkit berdiri dan begitu dia bertepuk tangan, beberapa
orang pengawalnya datang menghadap. Souw Ciangkun bangkit berdiri dan berkata kepada mereka,
"Cepat panggil Tan Ciangkun datang menghadap. Sekarang juga!”
Tan Ciangkun adalah wakilnya dan tinggal di dalam benteng itu juga, maka sebentar saja Tan Ciangkun,
seorang perwira yang usianya sekitar empat puluh tahun. Tan Ciangkun masuk dan memandang dengan
penuh pertanyaan kepada dua orang wanita dan seorang laki-laki yang berlutut itu.
"Tan Ciangkun, suruh seret Hek-coa ini dan jebloskan ke dalam tahanan, dijaga ketat jangan sampai lolos
atau bunuh diri. Dia akan menjadi saksi penting. Dan kerahkan pasukan, tangkap seluruh keluarga
pejabat Poa Kit Seng, jangan ada yang sampai melarikan diri. Sekarang juga! Dia adalah sekntu dari
pemberontak Cun!"
Tan Ciangkun memberi hormat, lalu memerintahkan dua orang pengawal untuk menyeret Hek-coa pergi
dan dia sendiri lalu keluar untuk melaksanakan perintah penangkapan terhadap keluarga pembesar Poa
Kit Seng.
Setelah ruangan itu sunyi kembali dan hanya mereka bertiga yang berada di situ, Ling Ay lalu berkata
kepada Bi Moli, "Bibi, untuk yang terakhir kalinya, saya menghaturkan banyak terima kasih kepada bibi,
bukan saja karena bibi telah menyelamatkan saya, terutama sekali karena bibi telah dapat menangkap
pembunuh orang tuaku dan membongkar sekutu pemberontakan." Setelah berkata demikian, Ling Ay
memberi hormat kepada wanita cantik itu lalu menghadap Souw Ciangkun sambil berkata, "Ciangkun,
saya sudah siap untuk ditangkap dan dituntut. Silakan.” Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di atas lantai
sambil menundukkan mukanya.
Bi Moli sejak tadi hanya melihat dan mendengarkan saja akan tetapi diam-diam ia merasa kagum dan
suka kepada wanita muda yang tabah itu walaupun mengalami nasib yang buruk sekali. Ia ingin tahu apa
yang akan dikatakan panglima itu, akan tetapi diam-diam ia mengambil keputusan dalam hatinya untuk
mencegah kalau Ling Ay akan dihukum.
Souw Ciangkun melangkah maju mendekat dan membungkuk, lalu dengan sikap kebapakan dia
memegang lengan Ling Ay dan ditariknya wanita itu agar bangkit berdiri, dengan sikap lembut.
"Tidak, engkau tidak akan dituntut. Kami telah mendengar semua tentang dirimu dari Kwa Tai-hiap
(pendekar besar Kwa) dan kami sudah bersepakat dengan dia untuk tidak menuntutmu atau keluarga
orang tuamu. Kami harus memegang janji terhadap pendekar yang berjasa banyak dalam
pembongkaran rahasia pemberontakan Cun Tai-jin itu."
Mendengar ini, Ling Ay tertegun. "Ah, kembali Houw-toako yang telah menolongku ... aih, dia
melimpahkan budi kebaikan kepadaku, sedangkan aku ... aku hanya menyakiti hatinya ... " katanya lirih
dan tak terasa lagi kedua matanya menjadi basah. "Sudanlah, Ling Ay. Hal yang lalu sudah lewat, tiada
gunanya dipikirkan lagi," tiba-tiba Bi Moli berkata sambil memegang tangan Ling Ay. "Setelah selesai
urusan kita dengan Souw Ciangkun, mari kita pergi dan sini." Wanita itu menggandeng tangan Ling Ay
dan menariknya.
"Pergi? Bibi, pergi ke manakah ? Aku tidak mempunyai tempat tinggal lagi, aku tidak mau pulang ke
rumah orang tuaku. Aku hanya ingin melihat jenazah mereka, mengurus pemakaman mereka, kemudian
... aku tidak tahu harus pergi ke mana. Tinggal di rumah itu hanya akan mengingatkan aku akan segala
hal yang mengerikan." Ia menahan tangisnya karena maklum betapa Bi Moli tidak suka melihat
kecengengan.
"Baik, mari kuantar engkau mengurus jenazah orang tuamu. Setelah itu, engkau ikut denganku."
"Ke mana?”
"Kaulihat saja nanti."
Dua orang wanita itu pergi dan Souw Ciangkun hanya mengantar dengan pandang mata yang penuh iba.
Akan tetapi perwira gagah yang banyak pengalaman ini maklum bahwa di tangan seorang wanita sakti
yang cantik itu, tentu keselamatan Cia Ling Ay terjamin.
Ketika Ling Ay dan Bi Moli tiba di rumahnya, jenazah ayah Ibunya telah diurus oleh para tetangga dan
telah dimasukkan peti. Ia hanya dapat menangisi ayah ibunya di depan kedua peti mati dan semua
tetangga memandang dengan hati terharu. Akan tetapi begitu Bi Moli mendekatinya dan menyentuh
pundaknya. Ling Ay menghentikan tangisnya.
"Bibi Kwan. maafkan kelemahanku." bisiknya kepada wanita cantik yang tersenyum akan tetapi yang
memandang dengan mata tajam penuh teguran itu.
Dengan sederhana, jenazah Cia Kun Ti dan isterinya dimakamkan. Kemudian, Ling Ay menyerahkan
rumah orang tuanya kepada seorang tetangga yang baik, membawa pakaian dan perhiasannya, dan
pergilah ia mengikuti Bi Moli Kwan Hwe Li. Dan mulai saat itu, Cia Ling Ay, wanita muda yang tadinya
lemah, tumbuh menjadi seorang wanita yang digembleng ilmu silat tinggi dan juga ilmu sihir!”
Ada satu hal yang menggelisahkan hati Ling Ay selama ia mengurus pemakaman kedua orang tuanya.
Kenapa Kwa Bun Houw tidak pernah muncul ? Kalau pemuda itu tahu bahwa ayah ibunya dibunuh
orang, ia merasa yakin pemuda itu pasti datang melayat. Ia teringat bahwa pemuda itu akan mencari
Ouwyang Hui Hong yang katanya sedang melakukan pengejaran terhadap Pek I Mo-ko. Bahkan ia dan
ayah ibunya malam itu sedang menanti kembalinya, karena Bun Houw sudah berjanji akan mengantar
mereka pergi pindah ke dusun. Apakah yang terjadi dengan pemuda itu? Walaupun ia kini sudah ikut Bi
Moli Kwan Hwe Li. namun setiap teringat kepada Bun Houw, masih saja ia merasa terharu dan khawatir.
***
Kekhawatiran Ling Ay memang beralasan. Kenapa perginya Kwa Bun Houw sehingga dia tidak sempat
tahu akan kematian Cia Kun Ti dan isterinya, dan tidak datang melayat? Dia bukan seorang pemuda yang
suka melanggar janji, Apalagi janjinya terhadap bekas tunangannya!
Seperti kita ketahui, pada waktu diadakan penyerbuan oleh pasukan terhadap keluarga Cun Tai-jin yang
diakhiri dengan tewasnya para jagoan pemberontak itu dan ditangkapnya semua anggauta keluarga
pemberontak, Pek I Mo-ko berhasil melarikan diri dan dikejar oleh Ouwyang Hui Hong. Bun Houw yang
mendengar dari Souw Ciangkun bahwa gadis perkasa itu mengejar Pek I Mo-ko. segera mencari dan
melakukan pengejaran. Namun, selama semalam suntuk dia mencari-cari dengan sia-sia. Dia tidak
berhasil menemukan jejak Hui Hong ataupun Pek I Mo-ko. Ketika dia pergi ke rumah Cia Kun Ti. dia
mengatakan bahwa dia akan mengantar keluarga Cia pindah ke dusun setelah dia berhasil menemnkan
Hui Hong. Maka, pergilah dia meninggalkan rumah keluarga Cia untuk mencari Hui Hong.
Sampai seminggu lamanya Bun Houw mencari-cari tanpa hasil. Tentu saja dia menjadi gelisah bukan
main. Di satu fihak, dia harus mencari Hui Hong sampai dapat karena gadis itu melakukan pengejaran
terhadap seorang datuk sesatl yang lihai dan penuh tipu muslihat. Mungkin dalam hal ilmu silat, Hui
Hong tidak kalah dan mampu menandingi kepandaian datuk sesat itu. Akan tetapi, gadis itu masih muda
dan kurang pengalaman, maka mengejar seorang seperti Pek I Mo-ko yang amat curang, sungguh
berbahaya sekali. di lain pihak, dia teringat akan janjinya kepada keluarga Cia di Nan-ping yang akan dia
amankan pindah ke dusun. Akan tetapi, urusan mengantar keluarga Cia ke dusun tidaklah penting benar
dibandingkan urusan mercari Hui Hong karena hal ini ada hubungannya dengan keselamatan Hui Hong.
Maka, biarpun dengan berat hati karena dia harus melanggar janjinya kepada keluarga Cia, terpaksa Buo
Houw yang sudah melakukan perjalanan jauh itu tidak dapat kembali ke Nan-ping.
Akhirnya dia menemukan jejak mereka pada hari ke delapan. Ketika dia tiba di sebuah dusun di sebelah
utara kota Nan-ping, dia mendengar dari seorang penjual air teh atau semacam kedai minuman dan
makanan kecil yang berdagang di tepi jalan perempatan dusun bahwa dua orang yang dicarinya itu
kebetulan sekali singgah dan minum teh di situ.
"Empat hari yang lalu kakek berpakaian putih seperti yang sicu (tuan) gambarkan itu lewat di sini,
bahkan singgah sebentar untuk minum teh dan makan bakpauw. Dia nampak tergesa-gesa, kemudian
dia melanjutkan perjalanan ke utara. Dan dua hari kemudian, kemarin dulu, pagi-pagi seorang nona
lewat dan singgah pula di sini. Orangnya cantik muda dan galak, pakaiannya sederhana dan di
punggungnya memang nampak sepasang pedang. Ia galak sekali. Ketika seorang tuan muda yang
menjadi tamu di sini menegurnya dengan ramah karena tertarik oleh kecantikannya, kongcu itu
ditampar sampai giginya copot dua buah dan pipinya bengkak. Huh, Ia seperti harimau betina!”
Bukan main girang rasa hati Bun Houw. Tak salah lagi, mereka itu tentu Pek I Mo-ko dan Hui Hong.
Kiranya Hui Hong masih tertinggal jauh oleh Pek I Mo-ko.
"Engkau tahu ke mana perginya nona itu.?" tanyanya sambil mengeluarkan uang untuk memberi hadiah
kepada pelayan yang suka mengobrol itu. Melihat uang ini, si pelayan menjadi girang, menerimanya dan
menceritakan apa saja yang diketahuinya.
"Kami semua tidak tahu, sicu, Akan tetapi aya berani bertaruh bahwa ia tentu mencari kakek baju putih
itu dan melakukan pengejaran ke utara."
"Eh ? Bagaimana engkau bisa tahu bahwa nona itu mengejar si kakek baju putih?”
"Tentu saja saya tahu!" kata si pelayan dengan sikap bangga. "Kebetulan sekali saya yang melayani nona
itu dan ia banyak bertanya tentang seorang kakek berpakaian putih. Setelah mendeagar bahwa dua hari
yang lalu kakek itu lewat di sini dan menuju ke utara, iapun segera membayar minuman dan tergesagesa
menuju ke utara!"
Girang rasa hati Bun Houw, akan tetapi juga khawatir. Girang karena dia yakin bahwa memang Pek I Moko
dan Hui Hong lewat di dusun itu. Gelisah karena tak jauh lagi di utara merupakan daerah Kerajaan
Wei yang menguasai seluruh daerah utara, sebuah kerajaan yang besar dan kuat, dipimpin oleh suku
Bangsa Toba atau Tartar! dan agaknya Pek I Mo-ko melarikan diri ke daerah itu, dikejar oleh Hui Hong.
Sungguh berbahaya. Diapun cepat membayar harga minuman dan melanjutkan perjalanannya ke utara.
Pada waktu itu, Cina terbagi menjadi dua kerajaan. Di bagian utara, daerah Sungai Huang-ho ke utara,
dikuasai oleh Kerajaan Wei atau Dinasti Wei (386-532) dan pada waktu itu (sekitar 473) yang menjadi
kaisar Kerajaan Wei adalah Kaisar Wei Ta Ong. Kota rajanya di Lok-yang. Dinasti Wei ini di pimpin oleh
suku bangsa Toba atau yang lebih dikenal dengan Bangsa Tartar. Namun, sejak pemerintahan pertama,
keluarga kerajaan itu yang ingin disebut maju dan tidak ketinggalan jaman, selalu menyesuaikan diri
dengan bahasa, kebudayaan dan pakaian Bangsa Han, yaitu bangsa pribumi terbesar di Cina, Berkali-kali
Kerajaan Wei ini mengadakan penyerangan ke selatan, namun kerajaan lain di bagian selaian selalu
memberi perlawanan gigih sehingga gagallah usaha Kerajaan Wei untuk menguasai kerajaan di selatan.
Adapun di bagian selatan, yaitu daerah Yang-ce-kiang ke selatan, pada waktu itu dikuasai oleh kerajaan
atau Dinasti Sung atau lengkapnya Kerajaan Liu Sung (420. 477) dan pada waktu cerita ini terjadi, baru
saja Kaisar Cang Bu (473-477) atau kaisar terakhir Kerajaan Liu Sung menduduki tahta kerajaan.
Karena selalu terjadi permusuhan di antara kedua kerajaan ini, maka di daerah tapal batas antara
keduanya, yaitu di antara Sungai Huang-ho dan Sungai Yang-tse, selalu terjadi bentrokan senjata antara
pasukan kedua kerajaan. Daerah yang cukap luas di antara mereka ini menjadi daerah tak bertuan,
daerah liar yang tentu saja dimanfaatkan oleh para penjahat dan golongan sesat untuk di jadikan tempat
persembunyian.
Kerajaan Wei yang barpusat di Lok-yang sebagai kota raja itu, kini diperintah oleh Kaisar Wei Ta Ong
yang terkenal keras dalam melaksanakan pemerintahannya. Kerajaan Wei sudah berusia hampir satu
abad dan kini orang luar sukar membedakan bahwa keluarga kerajaan itu adalah orang-orang Tartar.
Selama seabad ini, keluarga mereka telah menyesuaikan diri dengan kebudayaan Han, bahkan banyak di
antara mereka yang menikah dengan orang Han sehingga anak keturunan mereka sukar dibedakan dari
orang Han aseli. Kalaupun ada sedikit perbedaannya, hal itu mungkin hanya karena sikap orang-orang
Tartar yang menjadi penguasa itu bersikap sebagai golongan yang lebih tinggi dari pada orang Han aseli,
dan biarpun pakaian dan bahasa mereka sudah sama dengan Bangsa Han, namun kesukaan mereka
mengenakan bulu burung antuk menghias rambut atau penutup kepala, merupakan ciri khas orang
Tartar yang masih melekat kepada mereka.
Pada waktu Bangsa Tartar suku Toba ini menyerbu dari daerah Mongolia ke selatan, mereka masih
merupakan suku yang liar dan buas, seperti biasa menjadi watak orang-orang Nomad yang hidupnya
menentang banyak kesukaran, membuat mereka keras dan cerdik. juga pemberani. Namun sekarang,
setelah menjajah dengan mendirikan Dinasti Wei selama seabad, keluarga kaisar telah berubah. Mereka
kini terpelajar, bangsawan, walaupun sifat keras tak mengenal ampun, cerdik dan pemberani masih ada
pada mereka.
Kaisar Wei Ta Ong mempunyai banyak jagoan, bukan saja para panglimanya yang memimpin pasukanpasukan
yang kuat, akan tetapi juga di kota raja Lok-yang, terutama di istananya, terdapat banyak
jagoan yang setia kepadanya. Kaisar Wei Ta Ong memang seorang kaisar yang suka akan olah kesaktian,
suka belajar ilmu silat dan gulat, dan dalam usia limapuluh tahun dia masih gagah perkasa dan kuat.
Juga dia penggemar wanita cantik. Di haremnya, yaitu kumpulan wanita yang menjadi selirnya,
terkumpul tidak kurang dari limapuluh orang wanita berbagai suku bangsa dengan bermacam corak
kecantikan. Selain suka akan ilmu silat dan wanita. Juga Kaisar Wei Ta Ong mempunyai satu kesukaan
lain, yaitu ilmu-ilmu yang aneh dari para pendeta To. Terutama sekali dia ingin mempelajari ilmu yang
akan membuat dia mampu memperpanjang usia sampai seribu tahun!
Kesukaan yang terakhir inilah yang memungkinkan Pek I Mo-ko diterima menghadap kaisar besar itu!
Memang luar biasa sekali. Seorang yang tidak dikenal di daerah utara itu, seorang rakyat biasa, bahkan
yang datang dari selatan, dapat diterima sendiri oleh Kaisar Wei Ta Ong! Dan para menteri rendahan
saja tidak diperbolehkan hadir! Yang ikut hadir dalam pertemuan itu hanyalah para menteri tertinggi
dan para kepala jagoan istana.
Tentu berita yang teramat penting dibawa oleh Pek I Mo-ko maka Kaisar Wei Ta Ong berkenan
menerimanya seperti itu. Dan sesungguhnya demikianlah. Pek I Mo-ko mohon menghadap Kaisar
Kerajaan Wei itu untuk menawarkan sebuah benda yang amat langka, sebuah benda yang akan
diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw kalau mereka mengetahuinya, Pek I Mo-ko menawarkan
Akar Bunga Gurun Pasir! Tanaman bunga ini teramat langka. Belum tentu ada sepuluh batang di seluruh
padang pasir Gobi yang amat luas itu! Dan inipun tidak setiap waktu ada karena bunga ini hanya akan
tumbuh puluhan tahun sekali. Entah proses alam bagaimana yang membuat tanaman yang mempunyai
bunga amat indah dan harum itu dapat tumbuh di gurun pasir yang kering gersang! Kalaupun berbunga,
maka umur bunga dan tanaman itu sendiri setelah berbunga hanya beberapa hari saja. Segera menjadi
layu dan kering. Akar pohon itulah yang agak tahan lama, dan kalau orang dapat mengambil akar ini
selagi belum rusak membusuk, maka akar itu dapat dikeringkan dan menjadi semacam obat yang
kabarnya memiliki khasiat yang luar biasa! Menurut kabar yang seperti dongeng namun dipercaya oleh
mereka yang memang tahyul, akar ini bisa dipengunakan sebagai obat untuk menyembuhkan segala
macam penyakit, menawarkan segala macam racun, bahkan lebih hebat lagi, dapat membuat orang
menjadi panjang usia sampai seribu tahun!
Mendengar bahwa Pek I Mo-ko mohon menghadap untuk menawarkan Akar Bunga Gurun Pasir, tentu
saja Kaisar Wei Ta Ong menjadi gembira bukan main. Sudah lama dia menginginkan obat panjang usia.
Sudah banyak para tosu diundang untuk memberinya rahasia panjang usia, namun semuanya tidak
meyakinkan hatinya. Apa artinya kedudukan mulia, berenang di lautan kemewahan dan kekayaan.
tenggelam dalam kesenangan dan kehormatan mempunyai banyak selir yang cantik, kalau akhirnya
semua itu terhenti karena dia harus mati dalam waktu yang singkat. Mencapai usia seratus tahun saja
sedikit sekali kemungkinannya. Maka, kalau ada obat yang membuat dia bertahan hidup sampai seribu
tahun, alangkah senangnya! Demikianlah jalan pikiran kaisar itu.
Karena merasa amat tertarik, tidak seperti biasanya, kini Kaisar Wei Ta Ong sendiri yang menghadapi
tamu biasa itu dan kaisar sendiri yang menanyainya, "Siapa namamu ?" Suara kaisar itu ramah.
Pek I Mo-ko yang berlutut itu menyembah. "Nama hamba Ciong Kui Le. Hamba berasal dari daerah Nanping
di Kerajaan Liu Sung."
"Ciong Kui Le, benarkah laporan dari petugas bahwa engkau mohon menghadap kepada kami untuk
menawarkan Akar Bunga Gurun Pasir?”
"Benar sekali. Yang Mulia. Hamba menawarkan benda mustika itu kepada paduka yang mulia."
Wajah kaisar itu berseri dan diapun menggerakkan tangan kanannya. "Ciong Kui Le, bangkitlah dan
duduklah di kursi itu agar kita dapat bicara lebih baik. Jangan takut, bangkit dan duduklah,"
Seorang Jagoan menyodorkan sebuah kursi kepada tamu itu dan Pek I Mo-ko segera duduk di atas kursi,
berhadapan dengan kaisar dalam jarak yang cukup aman bagi keselamatan kaisar. Para kepala jagoan
setiap saat mengamati dengan waspada sehingga betapapun lihainya Pek I Mo-ko, andaikata dia berniat
buruk terhadap kaisar, tentu dia akan gagal.
"Ciong Kui Le. engkau sendiri mengaku bahwa engkau tinggal di daerah Kerajaan Liu Sung, mengapa
setelah mendapatkan mustika itu, engkau membawanya ke sini dan menawarkannya kepada kami!”
Pertanyaan ini jelas menggambar kecurigaan sang kaisar, juga sekaligus memberi peringatan kepada Pek
I Mo-ko bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang cerdik.
"Tentu saja ada sebabnya yang kuat. Yang Mulia, Tadinya, hamba memang hendak mempersembahkan
mustika itu kepada Kaisar Cang Bu di Kerajaan Liu Sung. Akan tetapi, hamba yang hanya menghendaki
imbalan yang pantas, bahkan dicurigai, hamba akan ditangkap dan mustika itu akan dirampas. Tentu
saja hamba melawan, meloloskan diri dan lari ke utara, menghadap paduka dan menawarkan mustika
itu kepada paduka yang hamba dengar amat adil dan bijaksana, tidak seperti kaisar di Kerajaan Liu
Sung."
Manusia manakah di dunia ini yang tidak suka dipuji? Biarpun dia seorang kaisar. Kaisar Wei Ta Ong juga
hanya seorang manusia yang tidak lepas dari kesenangan ini, maka mendengar ucapan Pek I Mo-ko, dia
mengangguk-angguk senang.
"Hmmm, keputusan yang kauambil itu tidak keliru, Ciong Kui Le, Kami berjanji, kalau mustika itu benar
langka dan bermanfaat bagi kami, tentu engkau akan menerima Imbalan yang cukup pantas. Harta
benda atau kedudukan, boleh kaupilih. Nah, kami ingin melihat dulu bagaimana rupanya. Perlihatkan
Akar Bunga Ourun Pasir itu kepada kami sebagai bukti."
"Ampun, Yang Mulia. Mustika itu tidak ada pada hamba, tidak hamba bawa."
Kaisar Wei Ta Ong mengerutkan alisnya. "Ciong Kui Le, apakah engkau hendak mempermainkan kami?"
Nada suaranya penuh ancaman dan sikapnya berubah galak. "Di mana mustika itu?"
"Ampun, Yang Mulia. Seperti telah hamba ceritakan tadi, hamba dikejar-kejar oleh para jagoan istana
Kaisar Kerajaan Sung. Hamba melarikan diri ke utara lewat perbatasan yang menjadi daerah tak bertuan.
Karena khawatir kalau sampai Akar Bunga Gurun Pasir itu terrampas, hamba menyembunyikannya di
suatu tempat yang aman."
"Di mana?" tanya kaisar penasaran.
"Di lereng Bukit Fu-niu-san, akan tetapi tempat itu tersembunyi dan tanpa petunjuk hamba, tak
seorangpun akan mampu menemukannya,"
"Ciong Kui Le, karena engkau tidak mampu memperlihatkan mustika itu kepada kami, tentu saja kami
mencurigaimu dan belum percaya benar akan ceritamu itu. Bagaimana mungkin engkau dapat
meloloskan diri dari pengejaran para jagoan istana Kerajaan Liu Sung ? Pengawal, coba dan uji dia!”
Pek I Mo-ko terkejut sekali karena tiba tiba nampak bayangan berkelebat dan dua orang pria tinggi
besar seperti raksasa telah menghadapinya. Diapun tahu bahwa kaisar hendak mengujinya, maka
diapun memberi hormat ke pada kaisar.
"Harap paduka mengampuni hamba, akan tetapi sungguh hamba tidak berbohong,"
"Ciong Kui Le, tidak perlu banyak cakap lagi!” kata seorang di antara dua pria tinggi besar itu. "Yang
Mulia telah memerintahkan kami untuk mengujimu. Bersiaplah untuk menandingi kami!”
Pek I Mo-ko memberi hormat lagi kepada kaisar, lalu bangkit dan menghadapi dua orang itu sambll
memandang dengan penuh perhatian. Mereka itu dua orang pria raksasa berkulit hitam. Dia harus
mengangkat muka untuk memandang wajah mereka karena tingginya hanya rampai di pundak mereka.
Sungguh dua orang pria tinggi besar yang nampak kokoh kuat, dan wajah mereka serupa benar, pakaian
merekapun sama sehingga mudah diketahui bahwa mereka itu kakak beradik atau saudara kembar.
Diam-diam Pek I Mo-ko merasa khawatir dan menyesal mengapa dia menghadap Kaisar Kerajaan Wei
ini. Agaknya kaisar ini hendak memaksanya dengan kekerasan untuk menyerahkan mustika itu! Dia
harus mempertahankan diri, dan kalau kaisar berniat buruk, dia akan mencoba untuk membunuhnya!
Sebelum diperkenan menghadap kaisar, tadi di luar para penjaga keamanan telah minta agar dia
meninggalkan pedangnya. Kini senjata yang ada padanya hanya sebuah kipas. Para penjaga tidak
meminta kipas ini yang masih terselip di pinggangnya. Akan tetapi, dia melihat dua orang raksasa
kembar itupun, bertangan kosong, maka dia tidak akan menggunakan kipasnya kalau tidak terpaksa
sekali untuk melindungi diri. Dengan sikap tenang diapun memasang kuda-kuda kedua kakinya
terpentang lebar, lutut ditekuk dan kedua tangan menyembah di depan dada.
"Silakan Ji-wi (kalian) menyerang!” katanya menantang.
Dua orang pengawal pribadi Kaisar Wei Ta Ong itu adalah dua orang kembar berbangsa Tartar yang
amat terkenal sebagai jago-jago silat merangkap jago gulat. Mereka memiliki tenaga yang besar dan
sukarlah dicari tandingan mereka di antara para jagoan lain. Mereka termasuk jagoan Istana kelas dua
yang sudah dipercaya kaisar. Jagoan tingkat satu adalah panglima dan komandan paaukan keamanan
dan pasukan pengawal. Melihat orang yang harus mereka uji itu sudah siap, mereka lalu mulai
menyerang dari kanan kiri dengan terkaman biruang, kedua lengan dikembangkan dan kedua tangan
menyambar dari kanan kiri dengan cepat dan kuat sekali.
Empat buah tangan itu bersiutan menyambar dari kanan kiri. Akan tetapi keempat tangan itu hanya
menyambar udara kosong karena orang yang dicengkeram itu berkelebat menjadi bayangan putih dan
dapat mengelak dengan cepat sekali. Si kembar menjadi terkejut, apa lagi ketika bayangan putih itu
meloncat melewati kepala mereka. Mereka juga tidak bodoh dan cepat membalikkan tubuh dan benar
saja, Pek I Mo-ko telah berada di belakang mereka dan sedang membalas dengan putaran ke arah dada
mereka.
Liauw Gu dan Liauw Bu, si kembar itu, tidak mengelak melainkan cepat menangkap tangan Pek I Mo-ko
yang memukul ke arah dada mereka.
"Buk! Bukk!” Dada mereka terkena pukulan, akan tetapi mereka mengandalkan kekebalan mereka dan
kini kedua tangan Pek I Mo-ko telah dapat mereka tangkap di bagian pergelangannya.
Pek I Mo-ko terkejut dan merasa menyesal mengapa tadi dia membatasi tenaga ketika memukul, tanpa
menduga bahwa dua orang lawan memiliki tubuh yang amat kuat dan kebal. Akan tetapi, biarpun kadua
tangannya sudah tertangkap, dia tidak menjadi gugup. Cepat bagaikan sekor burung, menggunakan
kekuatan dari kedua tangan yang dipegang lawan, kedua kakinya melayang ke atas mengirim tendangan
dengan ujung sepatunya ke arah siku tangan kedua lawan yang mencengkeram pergelangan tangannya.
Dua orang raksasa ini mengeluarkan seruan kaget dan terpaksa melepaskan cengkeraman pada
pergelangan tangan Pek I Mo-ko karena tiba-tiba lengan mereka yang tertendang bagian siku itu
menjadi lumpuh selama beberapa detik. Marahlah dua orang kembar itu dan kini mereka maju
menyerang dengan terkaman, pukulan atau tendangan. Serangan mereka merupakan perpaduan dari
ilmu silat dan ilmu gulat.
Pek I Mo-ko melayani mereka dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya. Dia tahu bahwa dalam hal
ilmu silat, dia tidak perlu takut. Walaupun dua orang lawan itu memiliki tenaga gajah, namun dia
menang cepat. Yang dikhawatirkan hanyalah Ilmu gulat mereka. Dia tahu bahwa belum tentu dia akan
dapat seberuntung tadi, mampu melepaskan diri kalau sudah dicengkeram tangan-tangan yang kuat itu.
Kini, setelah tahu bahwa dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dia menang jauh, dia
mengandalkan Ilmu itu untuk mempermainkan mereka. Bagaikan seekor burung walet yang gesit, dia
sukar ditangkap. Tubuhnya menjadi bayangan putih yang berkelebat ke sana sini, selalu terlepas dari
jangkauan tangan dua orang lawannya dan sebaliknya, serangan balasannya yang cepat itu beberapa
kali sempat membuat dua orang raksasa itu terpelanting atau terjengkang. Biarpun mereka kebal dan
kuat sehingga pukulan dan tendangan Pek I Mo-ko tidak membuat mereka luka, namun mereka tidak
dapat mencegah tubuh mereka terpelanting.
Terdengar kaisar beberapa kali memuji dan mendengar ini, legalah hati Pek I Mo-ko. Agaknya kaisar itu
memang benar hendak mengujinya, maka diapun tidak ingin membunuh dua orang lawannya. Apalagi
membunuh kaisar itu karena kalau hal itu dia lakukan, sudah pasti dia akan mati konyol.
Setelah pertandingan yang seru itu berlangsung selama tigapuluh jurus, tiba-tiba Pek I Mo-ko
mengeluarkan suara bentakan nyaring dan dua orang raksasa itu kembali berturut-turut roboh, akan
tetapi sekali ini tidak dapat segera bangkit karena mereka roboh oleh totokan ujung kipas yang dicabut
oleh Pek I Mo-ko!
Liauw Gu dan Liauw Bu rebah untuk beberapa lamanya. Ketika mereka akhirnya dapat bangkit, mereka
meraba gagang golok.
"Cukup, mundurlah kalian!” bentak Kaisar Wei Ta Ong.
Dua orang kembar itu memberi hormat dan mundur. Kaisar tersenyum memandang kepada Pek I Moko,
sebaliknya orang yang dipandang itu merasa penasaran sekali walaupun tidak berani
memperlihatkan kedongkolan hatinya dengan sikap atau kata-kata. Dia memberi hormat.
"Yang Mulia, hamba datang menghadap paduka untuk menawarkan mustika, akan tetapi paduka malah
menyuruh jagoan Istana untuk mengeroyok hamba. Apakah paduka masih belum percaya kepada
hamba!"
Kaisar Wei Ta Ong tertawa. "Ha-ha, jangan salah sangka, Ciong Kui Le. Kami percaya akan
keteranganmu. Kalau kami percaya akan keteranganmu. Kalau kami berhasil mendapatkan Akar Bunga
Gurun Pasir, tentu engkau akan kami beri pangkat. Akan tetapi, sebelum melihat samapi dimana
kemampuanmu, bagaimana kami dapat memberi pangkat yang sesuai untukmu? Sekarang, kami telah
melihat kepandaianmu dan kami puas. Kami akan mengutus serombongan pembantu kami untuk
menemanimu menuju ke selatan dan mengambil mustika itu. Berangkatlah sekarang juga, lebih cepat
lebih baik. Jangan ragu, kalau berhasil, engkau akan kami beri kedudukan tinggi dan harta benda!”
Pek I Mo-ko girang bukan main dan setelah memberi hormat dengan berlutut, diapun berangkat
meninggalkan kota raja Lok-yang bersama serombongan jagoan istana sebanyak dua-belas orang. Dua
orang raksasa kembar itu tidak diikutsertakan, karena keadaan mereka itu akan menarik perhatian
orang, pada hal daerah Pegunungan Fu-niu-san merupakan daerah tak bertuan di mana berkeliaran
banyak orang kang-ouw dan juga orang-orang Kerajaan Sung.
***
Ternyata bukan hanya Kaisar Wei Ta Ong dari Kerajaan Wei di utara yang kini menginginkan mustika
berupa Akar Bunga Gurun Pasir itu setelah menerima penawaran dari Pek I Mo-ko. Juga Kaisar Cang Bu
dari Kerajaan Liu Sung mendengar akan adanya Akar Bunga Gurun Pasir dan ingin sekali
mendapatkannya.
Berita itu terdengar oleh Kaisar Cang Bu karena rahasia itu bocor ketika terjadi penyerbuan pasukan
dirumah keluarga Cun Taijin yang memberontak di Nanping. Ketika Ouwyang Hui Hong membentak
kepada Pek I Mo-ko dan menuntut dikembalikannya Akar Bunga Gurun Pasir, ada perajurit yang
mendengar. Dia menceritakan hal itu kepada kawan-kawannya sehingga sebentar saja berita tentang
Akar Bunga Gurun Pasir yang dilarikan Pek I Mo-ko itu tersiar luas dan sampai kepada Kaisar Cang Bu.
Kaisar Cang Bu mendengar pula tentang mustika itu. Kaisar yang masih muda ini mendengar bahwa
mustika itu dapat membuat seseorang menjadi kuat, bahkan dapat berusia panjang sampai seribu
tahun! Segera dia mengumpulkan penasihat dan para jagoan Istana, dan hasil dari pertemuan ini,
serombongan jagoan Istana dari Nan-king berangkat melakukan pengejaran terhadap Pek I Mo-ko yang
kabarnya lari ke utara.
Kerajaan Liu Sung ini biarpun memiliki wilayah yang amat luas, namun selalu diganggu oleh
pemberontakan-pemberontakan sehingga menjadi semakin lemah. Apalagi ketika itu yang menjadi
kaisar adalah Kaisar Cang Bu yang masih amat muda dan yang selalu mengumbar nafsu mengejar
kesenangan dan tidak bijaksana. Maka di mana-mana timbul pemberontakan. Hanya karena adanya
para menteri dan panglima tua saja maka kerajaan ini masih mampu mempertahankan diri walaupun
menjadi lemah. DI barat, selatan dan timur terjadi pemberontakan dan gangguan para bajak laut,
terutama di bagian timur. Sedangkan di bagian utara terdapat musuh mereka yang sejak dahulu menjadi
musuh besar, yaitu Kerajaan Wei. Daerah antara Kerajaan Liu Sung dan Wei sejak bertahun-tahun
menjadi daerah pertikaian dan daerah tak bertuan. Dalam keadaan seperti itu. Kaisar Cang Bu yang
masih muda itu belum juga menyadari, tidak begitu memperhatikan pemerintahan, bahkan lebih
mementingkan pengejaran kesenangan. Inilah sebabnya ketika mendengar tentang mustika Akar Bunga
Gurun Pasir, dia bertekad untuk mendapatkannya dan mengirim rombongan orang pandai untuk
mencarinya sampai dapat.
Tentu saja rombongan Jagoan istana ini lebih mudah mendapatkan keterangan tentang Pek I Mo-ko
dibandingkan Kwa Bun Houw yang juga sedang mencari jejak Pek I Mo-ko yang dikejar oleh Ouwyang
Hui Hong. Rombongan itu memiliki surat kuasa dan setiap pejabat daerah yang mereka lewati, siap
membantu dan mereka lebih mudah mengumpulkan keterangan tentang Pek I Mo-ko dari pada hasil
penyelidikan Kwa Bun Houw yang kadang-kadang malah dibohongi orang atau dicurigai orang. Maklum
bahwa daerah perbatasan antara Kerajaan Wei di utara dan Kerajaan Liu Sung di selatan merupakan
daerah liar dan di situ terdapat tokoh-tokoh sesat yang masing-masing ingin menjadi orang yang paling
berkuasa sehingga daerah itu amat tidak aman. Banyak terjadi kejahatan macam apapun karena tidak
ada alat negara yang menjamin keamanan bagi rakyat jelata. Yang ada ialah hukum rimba. Dan para
tokoh sesat di wilayah tak bertuan itupun jarang ada yang jujur atau setia kepada satu di antara dua
kerajaan itu. Mereka pada umumnya curang dan licik, hanya membantu demi keuntungan diri sendiri
belaka, maka tidak segan untuk berkhianat ke kanan atau ke kiri, demi keuntungan pribadi. Tentu saja
rakyat hidup tercekam ketakutan, tertindas dan menjadi penakut atan nekat, dan tidak ada orang yang
berani memberi keterangan sejujurnya kepada Bun Houw yang bertanya-tanya tentang Pek I Mo-ko.
Seunggunnya, berita tentang mustika Akar Bunga Gurun Pasir yang membocor di kedua kerajaan itu,
bukan hanya menjadi perhatian dua orang kaisar yang haus akan khasiat benda langka itu. Bahkan
begitu para datuk besar dunia persilatan mendengarnya, maka mereka, pun menjadi gempar dan
mereka itu tentu saja ingin sekali ikut memperebutkan dan memiliki benda wasiat atau jimat itu.
Dahulunya, benda itu dianggap dongeng saja, apalagi ketika ada berita bahwa yang beruntung memiliki
benda itu adalah datuk besar Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, tidak ada orang yang berani mati untuk
mencoba merampas di tempat tinggal datuk besar itu, yaitu di Lembah Bukit Siluman. Kini, begitu tersiar
kabar bahwa benda ajaib itu dicuri dan dilarikan Pek I Mo-ko, murid dan juga pelayan dari Bu-eng-kiam
Ouwyang Sek, majikan Lembah Bukit Siluman, tentu saja para datuk dan tokoh sesat mempunyai
keberanian dan keinginan untuk mencari Pek I Mo-ko dan merampas mustika itu.
Sungai Huai merupakan sebuah di antara sungai-sungai yang mengalir di daerah tak bertuan itu dan di
sepanjang sungai ini paling terkenal sebagai tempat yang rawan di mana seringkali timbul pertentangan,
pertempuran antara para pengikut Kerajaan Wei dan Kerajaan Liu Sung, antara gerombolan penjahat
yang saling berebutan kekuasaan, pada hal daerah di sepanjang lembah Sungai Huai ini sesungguhnya
merupakan daerah pertanian yang amat subur. Setelah meninggalkan sumbernya di Pegunungan Tapiesan,
air sungai itu lalu melewati tanah datar ke timur dan membuat tanah yang dilewatinya itu menjadi
tanah yang subur dan tak pernah kekurangan air. Rakyat di sepanjang lembah Sungai Huai semestinya
dapat hidup makmur kalau saja daerah itu tidak menjadi daerah rawan di mana yang berlaku hanyalah
hukum rimba, siapa kuat dia menang dan siapa kuat menindas yang lemah.
Kalau dilihat kenyataan, hukum rimba ini memang berlaku di dunia ini, di manapun juga, bahkan di kota
besar atau di kota raja sekalipun. Di mana-mana manusia menjadi permainan nafsu, dan di mana nafsu
memperhamba manusia, maka sudah pasti hukum rimba berjalan. Yang berkedudukan tinggi menginjak
yang rendah, yang kaya memeras yang miskin, yang pandai mempermainkan yang bodoh dan
sebagainya lagi. Namun, hukum rimba umum di kota itu selalu terselubung oleh hukum-hukum yang
justeru biasanya menjadi senjata bagi yang kuat untuk menindas yang lemah! Hukum rimba yang
berlaku di kota bermuka munafik. Sebaliknya, hukum rimba di daerah sungai Huai itu mentah dan keras,
liat dan ganas, tanpa pura-pura lagi. Orang yang berani menjelajahi daerah itu, harus memiliki kekuatan
yang dapat diandalkan. Apakah dia ahli silat pandai, atau setidaknya berkawan banyak, atau yang
memang miskin sama sekali sehingga tidak ada sesuatu pada dirinya yang menimbulkan keinginan di
hati orang lain untuk merebutnya.
Jilid 06
PADA suatu pagi yang cerah, pemandangan alam amatlah indahnya di sepanjang lembah sungai Huai.
Musim semi baru sebulan usianya sehingga di sepanjang lembah sungai nampak warna-warni yang amat
indah menyedapkan penglihatan. Daun-daunan yang hijau muda, kuning diseling bunga-bunga warnawarni,
berlatar belakang tanah yang dihiasi permadani rumput hijau.
Air sungai nampak mengalir tenang dan tidaklah sekotor di musim penghujan, dan di musim seperti itu,
air sungai itu kaya dengan ikan barbagai macam.
Hanya ada beberapa orang buruh tani miskin yang bekerja di sawah ladang milik mereka yang
mempunyai kekuasaan. Para buruh tani yang bekerja di sawah tanpa baju, hanya bercelana hitam
sampai ke bawah lutut yang telah berlumpur-lumpur itu nampaknya tidak lebih makmur dari pada
kerbau-kerbau yang dipekerjakan untuk meluku sawah. Kerbau-kerbau itu setidaknya lebih gemuk dari
pada mereka. Dan para buruh tani itu bukan merupakan pekerja bebas, melainkan lebih pantas disebut
budak belian. Mereka telah tertekan di bawah semacam "kontrak". Mereka telah tenggelam atau
terbelenggu oleh semacam hutang kepada majikan mereka, hutang uang yang mereka perlukan, entah
untuk keperluan berobat, atau keperluan sandang dan makan untuk keluarga mereka di musim rontok
dan musim salju. Kini, dengan hutang yang terus anak beranak sampai ke leher, mereka terbenam dan
terbelenggu sehingga mungkin hutang itu tidak akan terbayar oleh tenaga yang mereka berikan untuk
bekerja selama mereka hidup! Dan anak-anak mereka, yang laki-laki akan mewarisi keadaan ayah ini,
yang perempuan, itupun kalau wajahnya menarik, akan menjadi penghibur atau pelacur, paling untuk
menjadi selir, kalau buruk rupanya, akan menjadi wanita yang diperas tenaganya di rumah tangga
majikan mereka. Hanya orang-orang seperti inilah yang tidak merasa ngeri tinggal di daerah rawan ini,
karena apa yang perlu ditakutkan? Mereka tidak mempunyai apa-apa, bahkan mereka sekeluarga dapat
dikatakan adalah "kepunyaan" majikan mereka.
Tiba-tiba, kesunyian yang nampaknya saja amat hening penuh kedamaian itu, terisi oleh suara suling
yang merdu dan melengking-lengking. Keadaan yang memang amat sunyi itu, yang kadang hanya
diseling dengus kerbau dan suara pekerja sawah bicara singkat, dilatarbelakangi suara lembut air yang
mengalir tenang, kini dapat menampung sepenuhnya suara tiupan suling yang merdu itu, sehingga
terdengar amatlah indahnya seperti suara suling yang turun dari angkasa. Padahal, kalau yang pada saat
itu mendengarkan suara suling itu seorang ahli musik atau setidaknya yang mengenal sifat suara suling,
tentu akan terkejut dan bergidik ngeri. Suara suling itu memang merdu, tanda bahwa peniupnya
memang ahli. Namun, di balik kelembutan suara suling yang melengking itu terkandung nada-nada yang
selain ganjil juga keras dan penuh kekejaman, seperti suara suling yang ditiup oleh mulut yang dipenuhi
perasaan hati yang penuh kebencian!”
Sebuah perahu kecil yang ujungnya runcing meluncur terbawa arus sungai, perlahan-lahan dan dengan
tenang sekali, tak jauh dari tepi sebelah selatan. Di atas perahu itu nampak seorang pemuda yang
kepalanya tertutup sebuah caping iebar sehingga wajahnya terlindung dari sinar matahari pagi yang
menyongsong perahu yang meluncur ke timur. Pemuda inilah yang meniup suling itu, sebatang suling
yang agak panjang terbuat dari pada logam, bukan suling bambu. Warna suling itu hitam legam sehingga
jari-jari tangannya yang bermain di atas lubang-lubang suling itu nampak putih seperti jari tangan wanita
saja.
Pemuda itu memang tampan sekali. Usianya sekitar duapuluh dua tahun. Pakaiannya pesolek dan indah,
terbuat dari sutera biru putih yang mahal. Tubuhnya sedang dan ramping, dan bentuk pakaiannya
seperti seorang pemuda bangsawan atau hartawan yang terpelajar. Capingnya terbuat dari bambu,
namun anyamannya halus sekali dan pinggirnya diberi hiasan rumbai-rumbai hitam. Sepasang matanya
tajam kadang mencorong, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum mengejek, dengan
lekukan yang membayangkan watak mata keranjang.
Sungguh amat mengherankan melihat seorang pemuda yang jelas bukan orang dusun miskin itu berani
mendatangi tempat seperti itu, berperahu seorang diri saja dan meniup suling sedemikian santainya,
seolah dia memasuki daerah yang paling aman dan tenteram di dunia ini. Dia sama sekali tidak tahu
bahwa sejak satu jam yang lalu. dari kedua tepi pantai sungai itu, banyak pasang mata yang buas
mengikuti gerak-geriknya dan banyak orang menyusuri pantai untuk membayangi perahunya yang
meluncur perlahan mengikuti arus sungai yang tenang itu. Para buruh tani yang bekerja di sawah ladang
melihat berkelebatnya bayangan puluhan orang yang menyusup di balik semak-semak belukar dan
pohon pohon di sepanjang tepi sungai dan merekapun mendengar suara suling. melihat pula
meluncurnya sebuah perahu yang ditumpangi pemuda bercaping lebar. Mereka tahu apa yang akan
terjadi. Tentu para bajak dan perampok tidak akan membiarkan perahu lewat begitu saja tanpa
diganggu. Andaikata panumpangnya tidak mempunyai sesuatu yang berharga, setidaknya perahu itu
pun sudah merupakan benda yang berguna bagi mereka, yang "pantas" untuk dirampas! Seperti juga
kalau ada orang berani menunggang kuda melintasi daerah itu, si kuda itu saja sudah menjadi alasan
kuat bagi perampok untuk turun tangan mengganggu penunggangnya, kalau perlu membunuhnya untuk
merampas kudanya! Akan tetapi karena maklum bahwa mereka tidak berdaya, maka para buruh tani itu
hanya saling pandang, menggerakkan pundak dan melanjutkan pekerjaan mereka, walaupun diam-diam
mereka juga sering menengok ke arah perahu di sungai itu.
Pemuda bercaping itu agaknya sama sekali tidak tahu akan adanya bahaya yang mengancamnya. Dia
enak-enak meniup suling dan baru setelah dari empat penjuru muncul empat buah perahu besar yang
masing-masing terisi enam orang, empat buah perahu hitam yang meluncur ke arahnya dan nampak
rantai berujung kaitan menyambar dari perahu-perahu itu dan mengait perahunya yang berada di
tengah-tengah sehingga perahunya terhenti, dia menghentikan tiupan sulingnya dan menyingkap sutera
tipis di depan muka, sutera yang tengantung dari capingnya, untuk melihat apa yang terjadi.
Dia melihat empat buah perahu itu. DI masing-masing perahu, lima orang duduk dengan golok di
tangan, seorang berdiri bertolak pinggang dengan sikap memimpin. di semua ada empat orang
pemimpin bajak air dengan duapuluh orang anak buahnya. Dan perahunya sendiri sudah terkait dan
tidak dapat bergerak lagi.
"Hemm, apakah artinya semua ini? Siapakah kalian dan apa maksud kalian mengepungku dan mengait
perahuku?" terdengar pemuda itu bertanya, suaranya halus dan sopan, juga ramah walaupun sepasang
matanya kini mencorong mengintai dari balik caping lebarnya.
Seorang di antara empat pemimpin itu, yang berdiri di perahu yang berhadapan dengan perahu pemuda
itu dan yang tubuhnya tinggi besar bermuka hitam, tertawa bergelak mendengar pertanyaan itu.
"Ha-ha-h a-ha-ha, orang muda. Melihat engkau seorang pemuda tampan yang bersikap halus, biarlah
kami tidak akan membunuhmu. Cepat engkau tanggalkan seluruh pakaianmu, seluruhnya! Kemudian,
tanpa membawa apapun, engkau tinggalkan perahumu dan meloncat ke daiam air! Ha-ha!”
Tiga orang kepala bajak yang lain tertawa, disusul anak buah mereka yang sudah dapat membayangkan
pemandangan yang amat lucu kalau mereka nanti meiihat pemuda bercaping itu dengan ketakutan dan
bertelanjang bulat melempar diri ke dalam air sungai dan menjadi mangsa buaya-buaya yang banyak
terdapat di air sungai itu.
"Ah, begitukah kiranya?" pemuda itu bertata perlahan, lalu dengan tenang dia melepaskan ikatan tali
capingnya dari bawah dagu seolah dia sudah mulai untuk menanggalkan semua pakaiannya dimulai dari
capingnya dulu. Setelah caping dibuka dan diletakkan di atas lantai perahunya, semua bajak air melihat
wajahnya yang memang tampan sekali.
"Aduh sayang dia laki-laki! Kalau perempuan, tentu akan menyenangkan sekali, ha-haha!” seorang di
antara empat kepala bajak itu tertawa, disambut oleh teman-temannya pula.
Kini pemuda itu bangkit berdiri, memandang ke sekeliling, kemudian bertanya dengan suara yang tetap
halus, tenang dan ramah, "Sebelum aku mati, aku ingin tahu siapa pembunuhku. Siapakah kalian ini?”
Si raksasa hitam yang menjadi pemimpin utama itu kembali tertawa.
"Engkau ini pemuda yang sungguh tolol, berani memasuki daerah ini tanpa mengenal kami. Dengarlah!
Kami adalah Empat Buaya Sungai Huai bersama anak buah kami. Nah, cepat taati perintah kami tadi!
Buka semua pakaianmu, tinggalkan di perahu dan engkau loncat ke air dalam keadaan telanjang bulat!"
Akan tetapi pemuda itu tidak menanggalkan bajunya, hanya mengangguk-angguk dan mendekatkan
suling di mulutnya. "Aih, kiranya ini Empat Ekor Bangkai Buaya bersama bangkai buaya buaya kecil di
sungai ini!” Dan kini dia menempelkan ujung suling di mulutnya, mempengunakan suling itu sebagai
sebuah senjata tutup (alat meniupkan jarum) dan empat kali dia meniup ke arah empat orang kepala
bajak di depan, belakang dan kanan kiri. Terdengar pekik empat orang itu dan merekapun terjungkal
roboh ke dalam perahu masing-masing! Tentu saja duapuluh orang anak buah bajak menjadi terkejut
dan marah, akan tetapi pada saat itu terdengar bunyi melengking yang aneh dari suling yang ditiup oleh
pemuda itu. Mula-mula lengking tuara itu seperti benda tajam menusuk telinga para anak buah bajak.
Mereka terbelalak, akan tetapi makin lama belalak mereka makin tidak normal dan mereka mencoba
untuk menutupi kadua telinga dengan jari tangan. Namun, terlambat. Darah mengalir keluar dari telinga
mereka. Mereka roboh ke perahu mereka, merintih-rintih, merasa telinga mereka teperti dimasuki
benda tajam dan akhirnya mereka berkelojotan sekarat!
Setelah melihat semua pengepungnya yang berjumlah duapuluh empat orang itu roboh semua di
perahu masing-masing, baru pemuda itu menghentikan tiupan sulingnya yang melengkingkan suara
aneh. Senyum melebar, dan kini wajahnya yang tampan itu mengandung sesuatu yang mengerikan,
seperti topeng Iblis yang tampan.
Seorang di antara empat pemimpin bajak yang tadi roboh lebih dahulu disambar jarum yang ditiupkan
melalui suling, agaknya belum tewas dan dia mencoba untuk bangkit duduk. Tangan kirinya diangkat ke
arah pemuda itu, menuding dan terdengar suaranya parau, mulut itu hanya bergerak kaku karena
mukanya sudah menjadi biru menghitam keracunan.
"Kau ... Tok ... siauw ... kwi ...?" Dan diapun roboh terkulai.
Pemuda itu memperlebar senyumnya yang mampu meluluhkan hati setiap orang wanita, lalu
mendengus melalui hidungnya dengan sikap sombong.
"Baru engkau tahu, ya! Menentang Tok-siauw-kwi (Iblis Suling Beracun) Suma Hok sama dengan rindu
akan kematian Ha-ha-hal!” Kini, dengan tangan kanan, dia melepaskan-setiap besi pengait dan sekali dia
mengerahkan tenaga, rantai itu melambung dan perahu terisi enam orang di depannya ikut melambung
lalu jatuh terbalik. Enam orang yang sudah mati atau sedang sekarat itupun berjatuhan ke air dan
perahunya jatuh pula terbalik. Tiga perahu yang lain dia balikkan seperti itu sehingga kini empat buah
perahu itu semua terbalik dan dua puluh empat orang, ada yang sudah menjadi mayat ada yang masih
sekarat, semua jatuh ke dalam air.
"Huh. mengotori air sungai saja!” pemuda itu mengomel dan diapun menggunakan dayungnya,
mendayung perahu kecilnya meluncur ke depan lalu ke kanan, ke arah darat di tepi sungai yang datar.
Dengan wajah membayangkan rasa jijik pemuda itu lalu mendayung perahunya menjauhi mayat-mayat
itu dan akhirnya dia mendarat di sebelah selatan sungai. Sekali tarik rantai di ujung perahunya, dia
membuat perahu itu terlempar ke darat dan jatuh ke dalam semak-semak. Kalau ada yang melihat ini,
tentu akan kagum bukan main karena perbuatan itu saja sudah membuktikan bahwa pemuda yang
nampaknya tampan dan lemah lembut ini ternyata memiliki tenaga yang dahsyat.
Kalau sebelum menyerang tadi, para pimpinan bajak sungai itu tahu siapa yang mereka hadapi, seperti
diserukan oleh seorang di antara empat pimpinan mereka sebelum tewas, tentu hari itu akan ada
duapuluh empat orang bajak yang mati konyol. Pemuda ini memang bukan orang biasa saja. Namanya,
yaitu nama julukannya, akan membuat gentar seluruh dunia kang-ouw, yaitu nama julukan Tokb-siauwkwi
(Iblis Suling Beracun). Namanya adalah Suma Hok dan dia merupakan putera tunggal dari Suma
Koan yang berjuluk Kai-siauw Giam-ong (Raja Maut Suling Iblis), seorang datuk besar rimba persilatan
berusia limapuluh lima tahun yang menjadi majikan dari bukit yang disebut Kui-eng-san (Bukit Bayangan
Iblis). Dalam hal kebesaran namanya, Kui-siauw Giam-ong Suma Koan ini tidak kalah tersohornya
dibandingkan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek majikan Lembah Bukit Siluman.
Suma Hok yang berjuluk Tok-siauw-kwi ini, biarpun baru berusia duapuluh dua tahun, namun namanya
sudah amat terkenal, terutama sekali di selatan, di wilayah Kerajaan Liu-sung karena pernah dia
menggegerkan kota raja Nan-king dengan perbuatannya yang berani mencuri masuk ke istana hanya
karena dia tergila-gila kepada seorang dayang istana! Biarpun akhirnya dia terpaksa melarikan diri
menghadapi pengeroyokan puluhan orang jagoan istana kaisar, namun namanya menjadi terkenal sekali
dan ditakuti. Kemudian, Kaisar Cang Bu sendiri, atas nasihat para jagoannya, bahkan mengirim utusan
mengundang pemuda ini agar suka bekerja sebagai jago istana dan dijanjikan bahwa dayang itu akan
diserahkan kepadanya untuk menjadi isterinya. Namun, penawaran kaisar itu ditolaknya! Pertama,
karena dia tidak ingin terikat menjadi pejabat, dan ke dua, diapun tidak Ingin memperisteri dayang itu,
hanya ingin melampiaskan nafsunya saja, seperti seekor kumbang yang akan terbang pergi
meninggalkan kembang yang sudah dihisap madunya. Penolakan ini membuat dia semakin terkenal,
karena jarang ada orang berani menolak perintah kaisar, Apalagi perintah ini merupakan undangan
untuk menerima anugerah!
Suma Hok sudah mendarat karena dari sungai tadi, setelah membunuh duapuluh empat orang bajak
sungai, dia melihat beberapa orang buruh tani bekerja di sawah. Maksudnya hanya untuk bertanyatanya
kepada mereka tentang Pek I Mo-ko karena sesungguhnya, yang membuat dia melakukan
perjalanan ke daerah itu sekali ini adalah karena diapun mendengar tentang Akar Bunga Gurun Pasir
yang kabarnya telah berada di tangan Pek I Mo-ko dan diapun, seperti para tokoh kang-ouw lainnya,
ingin mencoba untuk merampas dan memilikinya.
Begitu mendarat, dia mengebut-ngebutkan bajunya, mengeluarkan sebatang sisir dari saku jubahnya
dan menyisir rambut yang agak kacau terkena angin, menyisipkan sulingnya di ikat pinggang,
mengenakan lagi capingnya untuk melindungi rambut dari angin dan debu, yang melindungi muka dari
terik matahari, lalu diapun melangkah menuju ke sawah ladang; di mana terdapat beberapa orang
sedang bekerja meluku sawah.
Akan tetapi, tiba-tiba dia berhenti dan mulutnya membayangkan senyum yang khas, senyum seperti tadi
ketika dia menghadapi pengepungan para bajak. Biarpun matanya belum melihat apa-apa yang
mencurigakan, namun pendengarannya yang terlatih dan amat tajam itu tudah menangkap gerakan
banyak orang.
"Tikus-tikus busuk, keluarlah dari balik semak kalau memang ada keperluan dengan aku?" katanya
sambil memandang ke kanan kiri di mana terdapat semak belukar. Dan nampaklah bayangan orang
berkelebat dan berloncatan keluar. Kiranya mereka adalah limabelas orang yang rata-rata mamiliki
wajah bengis dan tubuh yang kokoh, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang suka mengandaikan
kekuatan untuk memaksakan kehendak mereka untuk menang sendiri. Biar pun dikepung limabelas
orang yang tanpa bicarapun sudah mudah ditebak bahwa mereka tidak mempunyai niat baik, namun
Suma Hok hanya tersenyum saja dengan sikap tenang sekali.
"Hemm, kalian ini tikus-tikus busuk, apakah ingin berubah menjadi bangkai-bangkai tikus?"
Seorang di antara mereka, yang tubuhnya jangkung kurus bermuka kuning melangkah maju selangkah.
Di kedua tangannya terdapat sepasang pedang dan sambil menyilangkan kedua pedang yang tajam
mengkilat di depan dadanya, dia berkata, "Bocah sombong! Di air boleh jadi engkau jaya, akan tetapi di
daratan ini, kami akan mencincang badanmu menjadi bakso, kecuali kalau engkan mau berlutut dan
minta ampun, menyerahkan seluruh pakaianmu dan juga perahu yang kautarik ke darat itu. Hayo
berlutut dan minta ampun kepada aku Si Harimau Muka Kuning!”
Suma Hok tersenyum, "Baiklah, aku akan berlutut kepadamu untuk menghormati arwahmu!” Dan dia
benar benar melangkah maju kedepan si jangkung muka kuning, lalu berlutut di depannya. Akan tetapi
pada saat dia berlutut, sulingnya meluncur ke depan mematuki pusar si muka kuning yang terbelalak,
pedang-pedang di kedua tangannya terlepas dan ketika suling itu dicabut, diapun terjengkang dan tewas
seketika!”
Tentu saja empatbelas orang anak buah Si Harimau Muka Kuning menjadi terkejut bukan main. Mereka
adalah orang-orang yang biasa merampok, memperkosa, menyiksa dan membunuh. Biarpun pemimpin
mereka telah roboh dan tewas, mereka bahkan merasa penasaran dan marah sekali. Bagaikan
sekawanan serigala liar yang haus darah, mereka lalu mengepung dan mengeroyok Suma Hok dengan
berbagai senjata yang menjadi andalan mereka. Bagaimanapun juga, musuh itu hanya seorang saja dan
tadi mungkin pemimpin mereka tewas karena diserang secara mendadak.
Mereka sama sekali tidak menduga bahwa yang mereka hadapi adalah seorang yang memiliki tingkat
kepandaian yang jauh melebihi tingkat mereka atau pemimpin mereka. Begitu Suma Hok menggerakkan
sulingnya, nampak sinar hitam bengulung-gulung bagaikan seekor naga bermain di angkasa dan
terdengarlah bunyi nyaring ketika berkali-kali sinar itu membuat senjata lawan terlempar atau patahpatah,
disusul jerit-jerit kesakitan dan dalam beberapa gebrakan saja, delapan orang telah roboh
berkelojotan dan muka mereka berubah menghitam! Mereka telah tercium ujung suling sedikit saja kulit
tergores ujung suling dan terbuka, maka racun yang amat jahat akan memasuki tubuh mereka. Mulamula
muka mereka yang menghitam, disusul seluruh tubuh dan matilah orang yang terluka itu.
Melihat dahsyatnya ilmu kepandaian pemuda tampan itu dan keadaan mayat kawan-kawan mereka,
enam orang lainnya menjadi pucat dan mereka terbelalak, kemudian tanpa diperintah lagi, mereka
melempar senjata, menjatuhkan diri berlutut. Melihat akibat mengerikan dari serangan suling itu
merekapun teringat dan dapat menduga bahwa mereka tentu berhadapan dengan Tok-siauw-kwi (Iblis
Suling Beracun) Suma Hok!
"Suma Kongcu (Tuan Muda Suma), karena tidak tahu. kami telah berbuat kesalahan, mohon sudi
mengampuni kami ... " mereka meratap. Memang bagi mereka yang telah mengenalnya, pemuda ini
selalu disebut Kongcu (Tuan Muda), sebutan yang sesuai dengan penampilannya sebagai seorang
bangsawan muda yang "hartawan dan terpelajar!”
"Heran, minta ampun sudah terlambat. Siapa berani menentangku harus mati!” kata pemuda itu dan dia
mendekatkan ujung suling ke mulutnya.
Enam orang itu membentur-benturkan dahi pada tanah dan minta-minta ampun dengan tubuh gemetar.
Akan tetapi pemuda itu tidak perduli. Beberapa kali dia meniup dan jarum-jarum lembut yang beracun
menyambar ke arah mereka. Enam orang itu terjengkang, berkelojotan sebentar dan tewas dengan
tubuh menghitam karena leher setiap orang ditembusi jarum beracun.
Selagi mereka masih berkelojotan, Sumn Hok sudah meninggalkan tempat itu, melangkah menuju ke
sawah ladang. Para buruh tani tadi melihat apa yang terjadi. Mereka merasa ngeri dan tegang, akan
tetapi tidak ada yang berani bergerak atau membuka suara. Mereka tahu bahwa setiap kali ada dua
pihak berkelahi, tentu ada yang mati. Akan tetapi baru sekarang dia melihat seorang pemuda, dengan
seorang diri saja, dalam waktu sesingkat itu, telah membantai demikian banyak orang. Diam-diam
mereka mengeluh, karena akhirnya merekalah wang akan mendapatkan pekerjaan tambahan, yaitu
mengubur mayat-mayat itu. Walaupun tidak ada yang memaksa mereka untuk menguburkan mayatmayat
itu, tarpaksa mereka harus menguburnya sendiri karena kalau tidak, mayat-mayat itu akan
membusuk dan tentu mereka yang akan merasa tersiksa kalau bekerja di sawah setiap hari. Selain itu,
juga dalam hati para buruh tani miskin ini masih terdapat perasaan tidak tega membiarkan mayat-mayat
itu terlantar tanpa dikubur.
Keadaan para tokoh kang-ouw dan para petani miskin itu membuktikan betapa manusia dibentuk oleh
lingkungannya. Para petani itu sendiri kalau meninggal dunia, atau kalau ada sanak keluarganya yang
meninggal dunia, atau mati hanya dapat dikubur secara gotong-royong karena tidak mungkin mereka
dapat melakukannya sendiri karena mereka tidak mempunyai daya. Karena mereka atau keluarga
mereka sendiri kalau mati dikubur oleh pertolongan orang lain, maka tentu saja mereka tidak mungkin
dapat membiarkan ada mayat terlantar tanpa ada yang menguburnya. Di dalam setiap masyarakat yang
bergotong-royong, seorang anggauta masyarakat itu suka atau tidak suka terbawa untuk bersikap
gotong-royong pula. Sebaliknya dalam suatu masyarakat yang bersikap acuh dan mementingkan diri
sendiri masing-masing, para anggautanya tentu bersikap demikian pula. Oleh karena inilah maka para
bijaksana jaman dahulu selalu menganjurkan kepada para anak cucu dan murid agar memilih, sahabat
dalam pergaulan mereka. Bersahabat dengan orang pandai, sedikit banyak tentu akan menambah
pengertiannya. Bersahabat dengan orang saleh, sedikit banyak tentu akan memperbaiki kelakuannya.
Bersahabat dengan orang kaya juga sedikit banyak tentu akan menambah rejekinya. Akan tetapi
bersahabat dengan orang jahat, mudah sekali kita terbawa dan terjerumus ke dalam jurang kesesatan.
Bagaimana mungkin kita akan minum teh saja kalau semua sahabat kita minum arak bermabukmabukan.
Sebaliknya, kalau semua sahabat minum teh, kita merasa sungkan untuk mabuk-mabukan
seorang diri saja!”
Ketika melihat pemuda bercaping lebar itu menghampiri mereka dan berdiri di tepi sawah memandang
kepada mereka, para buruh tani merasa takut dan tegang, dan mereka itu hanya berani membungkuk
dengan sikap hormat tanpa berani mengeluarkan suara.
Suma Hok memandang ke arah tujuh orang buruh tani yang mengerjakan sawah yang hanya dibantu
oleh tujuh ekor kerbau yang menarik luku. Dia mengangkat tangan ke atas melambai dan berseru,
“Paman sekalian datanglah ke sini, aku ingin menanyakan sesuatu kepada kalian!”
Tujuh orang itu saling pandang, akan tetapi tntu saja tidak berani membantah. Mereka tidak khawatir,
karena mereka tidak merasa mempunyai kesalahan, juga tidak mempunyai apapun untuk diganggu.
Kerbau-kerbau itupun milik majikan sawah, bukan milik mereka.
Setelah tujuh orang petani itu datang mendekat, Suma Hok lalu berkata kepada mereka, "Para paman
harap jangan takut. Aku hanya membutuhkan keterangan dari kalian dan kalau keterangan kalian itu
kuanggap bermanfaat bagiku, aku akan memberi hadiah kepada kalian."
Seorang di antara para petani yang lebih berani bicara, mewakili kawan-kawannya bertanya,
"Keterangan apakah yang dapat kami berikan kepada kongcu? Kami hanyalah buruh-buruh tani yang
miskin dan bodoh,"
"Aku hanya ingin bertanya apakah kalian dalam waktu dekat ini melihat seorang kakek berusia
enampuluhan tahun yang pakaiannya serba putih yang mempunyai tahi lalat di dagu. Biasanya dia
membawa sebatang pedang dan tak pernah ketinggalan selalu membawa sebuah kipas. Adakah kalian
melihatnya lewat di sini atau berada di sekitar daerah ini?"
"Kakek berpakaian putih bertahi lalat di dagu, membawa pedang dan kipas?” kata petani itu dan kini
tujuh orang itu saling, pandang.
"Benar, apakah kalian melihatnya?" tanya Suma Hok penuh harapan.
"Apakah yang kongcu tanyakan itu disebut Pek I Mo-ko?"
"Benar dia!” Suma Hok hampir bersorak-saking gembiranya. "Jadi kalian melihat dia dan tahu di mana
mereka berada."
Kembali tujuh orang itu saling pandang dan mereka semua menggeleng kepala! Tentu saja hati Suma
Hok yang tadinya penuh kegembiraan itu, seketika berubah menjadi kecewa sekali dan dia mengerutkan
alis, senyumnya mulai aneh karena dia marah, merasa, dipermainkan, “Kalian lihat!” Dia menuding ke
arah mayat-mayat berserakan itu, "Aku akan membunuh semua orang yang membikin marah hatiku,
akan tetapi akupun dapat bermurah hati memberi hadiah banyak kepada orang yang menyenangkan
hatiku. Kalian jangan main-main. Tadi mengatakan tahu nama kakek yang kucari, sekarang bilang tidak
ada yang melihatnya! Lalu bagaimana kalian bisa tahu bahwa yang kucari adalah Pek I Mo-ko?"
"Harap maafkan kami petani-petani bodoh, kongcu. Adanya kami mengetahui bahwa yang kongcu cari
adalah Pek I Mo-ko karena baru kemarin ini kami juga mendapat pertanyaan yang sama benar dengan
pertanyaan kongcu dan nona yang bertanya itulah yang menyembutkan nama Pek I Mo-ko dan yang
menyebutkan ciri-cirinya tadi. Maka, begitu kongcu menanyakan kakek berpakaian putih, kami segera
teringat akan keterangan nona itu dan menduga bahwa yang kongcu cari tentulah Pek I Mo-ko."
Suma Hok tersenyum lagi dan lenyap kemarahannya walaupun dia masih merasa kecewa, "Dan
bagaimana kalian menjawab pertanyaan nona itu?”
"Sama seperti kami menjawab kongcu. Kami tidak pernah melihat kakek berpakaian putih yang bernama
Pek I Mo-ko itu. Kami hanya beri tahu bahwa kami tidak melihat kakek itu, akan tetapi kemarin pagi
kami melihat serombongan orang berkuda lewat di sini, dari selatan dan mereka menuju ke arah Bukit
Merpati Hitam di sana. Mendengar itu, nona itu nampak gembira sekali dan berkata bahwa itu tentulah
rombongan jagoan Istana Liu-sung yang juga mencari Pek I Mo-ko, maka iapun segera menyusul ke arah
bukit itu,"
Suma Hok mengerutkan alisnya berpikir. Ah, agaknya Kaisar Cang Bu dari Kerajaan Liu-sung di selatan
juga mengirim jagoan-jagoannya untuk merampas mustika itu, pikirnya. Ini gawat. Dia akan menghadapi
banyak lawan tangguh sehingga makin menyulitkan usahanya merampas Akar Bunga Gurun Pasir.
“Siapakah nama nona itu?” Tiba-tiba dia tertarik karena dia menduga bahwa tentu nona itu seorang
gadis kang-ouw pula yang mencoba peruntungannya memperebutkan mustika itu. Dia tersenyum
mengejek ketika mengajukan pertanyaan itu. Kalau ada pasukan jagoan istana, bagaimana mungkin
seorang gadis akan mencoba untuk memperebutkan benda itu? Bisa mati konyol!
"Kami tidak berani bertanya, kongcu. Ia masih muda, kurang lebih delapanbelas tahun usianya, cantik
seperti puteri bangsawan, sikapnya keras dan tegas, dan di punggungnya ia membawa sepasang pedang
yang sarungnya indah, Dan iapun pandai menunggang kuda dengan tangkas sekali."
"Hemm baru saja aku diganggu bajak air dan perampok. Apakah seorang gadis cantik yang melakukan
perjalanan seorang diri seperti itu, di daerah ini tidak diganggu orang?"
Petani yang mewakili teman-temannya itu menghela napas panjang. "Baru malam tadi kami
menguburkan mayat tiga orang yang lelah berani mengganggunya tak jauh dari sini. Mereka adalah tiga
orang saudara Tiga Naga Begal yang terkenal lihai sekali di daerah ini. Mereka menghadang nona itu,
dan terjadi peikelahian. Akan tetapi hanya sebentar saja. Kami tidak melihat nona itu mencabut pedang,
akan tetapi tahu-tahu tiga orang pengeroyok itu telah roboh dan tewas dengan leher hampir putus
semua!”
Suma Hok diam-diam merasa kaget dan kagum. Jelas bahwa nona itu memiliki ilmu pedang yang amat
hebat dan pantas saja ia berani mencoba untuk berlumba memperebutkan mustika!
Dia lalu memandang ke arah bukit yang ditunjuk oleh petani tadi. Bukit Merpati Hitam! Kesanalah
rombongan jagoan istana Liu-sung pergi, dan ke sana pula nona itu pergi. Agaknya Pek I Mo-ko berada di
sana!”
Dia mengeluarkan tujuh potong perak yang masing-masing ada dua tail beratnya dari buntalan
pakaiannya dan melemparkannya ke depan para petani itu. "Nah, jawaban kalian cukup berharga. itulah
upah kalian, seorang sepotong!” Setelah berkata demikian, diapun berkelebat dan lenyap dari depan
tujuh orang buruh tani yang kini menjadi bengong akan tetapi wajah mereka berseri memandang
potongan perak yang telah mereka pungut. Belum pernah selama hidup mereka memegang potongan
perak seberat itu! Malam ini mereka akan menggali lubang besar dan mengubur mayat-mayat itu tanpa
mengomel.
***
Kaum sesat di daerah tak bertuan di sepanjang Sungai Huai menjadi geger. Mereka merasa sial sekali
karena dalam waktu beberapa hari di daerah itu bermunculan orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan banyak gerombolan bajak air sungai maupun perampok mengalami nasib sial
bertemu dengan mereka dan mati konyol. Berita ini tersiar luas dan para gerombolan penjahat itu
maklum bahwa daerah rawan itu kedatangan orang-orang yang memiliki tingkat jauh lebih tinggi dari
mereka, maka gerombolan yang biasanya ganas dan kejam itu menjadi gentar dan tidak ada yang berani
keluar. Mereka juga mendengar bahwa banyak datuk kang-ouw dan pendekar perkasa, bahkan
kabarnya jagoan Istana Kerajaan Liu sung maupun Kerajaan Wei, sedang memperebutkan benda
mustika yang berada di daerah itu. Tentu saja banyak penjahat mengilar mendengar ini, akan tetapi
karena maklum bahwa yang berebutan adalah orang-orang dari tingkatan tinggi, mareka tidak berani
ikut-ikutan, bahkan menjauhi Bukit Merpati Hitam yang agaknya menjadi tujuan para datuk dan para
pendekar itu.
Bukit itu disebut Bukit Merpati Hitam karena di puncak bukit yang tidak begitu tinggi itu dijadikan sarang
ribuan atau bahkan puluhan ribu ekor burung merpati yang sebagian besar berbulu hitam. Di waktu pagi
dan senja, dapat dilihat burung-burung itu pergi dan pulang, dan kadang nampak burung-burung itu
terbang beriringan amat tinggi sehingga dari bawah kelihatan seperti seekor naga hitam terbang di
angkasa. Bukit itu sendiri tidak terlalu besar, sedang aja dan dari kaki sampai ke lereng bukit, penuh
dengan hutan liar. Tanah pegunungan ini tidak subur, mengandung kapur. Bahkan puncaknya nampak
putih dan tidak ada tumbuh-tumbuhan, gersang dan kering, berlubang-lubang dan banyak guhanya.
Itulah sebabnya maka burung-burung merpati itu bersarang di sana, Apalagi tempat itu memang jarang
didatangi manusia. Untuk apa bersusah payah mendaki bukit sampai ke puncak kalau melalui hutan liar
penuh semak berduri dan di puncaknya hanya merupakan bata kapur belaka yang sama sekali tidak
menarik?
Akan tetapi, pada hari ini. bukit itu merupakan tempat yang amat penting. Mula-mula, serombongan
orang berkuda mendaki bukit itu, dan di antara mereka terdapat pula Pek I Mo-ko. Duabelas orang
Jagoan istana Wei mengawalnya, bukan saja untuk mengawal dan menjaga keselamatan Pek I Mo-ko
yang menjadi utusan Kaisar Wei Ta Ong. akan tetapi juga untuk mencegah agar Pek I Mo-ko yang baru
diterima sebagai pembantu itu tidak akan mengkhianati Kaisar Kerajaan Wei. Hanya Pek I Mo-ko
seorang yang berpakaian seperti orang Han walaupun dia sendiri juga bukan orang suku Bangsa Han
saeli. Duabelas orang jagoan Istana itu semua berpakaian seperti biasa pakaian para jagoan atau perwira
Bangsa Tartar yang menguasai daratan Cina bagian utara pada waktu itu. Mereka semua mengenakan
topi yang dihias bulu ekor rajawali, dan di kanan kiri ada ekor tupai yang panjang bergantung sampai ke
pundak. Kalau bulu ekor rajawali itu berwarna kehitaman dan mencuat ke atas, ekor tupai itu berwarna
putih seperti kapas. Wajah mereka rata-rata angker dan keras, dan raksasa kembar Liauw Cu dan Liauw
Bu juga berada di antara mereka. Mereka masing-masing menunggang kuda yang besar dan bagus.
Karena mereka tigabelas orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja mereka merasa
kuat dan tidak membutuhkan pengawalan pasukan yang hanya akan menarik perhatian orang saja.
Mereka ingin melakukan perjalanan diam-diam dan berahasia seperti yang dikehendaki Pek I Mo-ko
yang bagaimana pun juga masih merasa khawatir kalau-kalau para tokoh kang-ouw mengetahui akan
mustika yang dia sembunyikan di puncak Bukit Merpati Hitam itu. Terutama sekali dia takut kepada
bekas guru dan majikannya, yaitu Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Apalagi setelah beberapa waktu yang lalu
puteri majikannya itu pernah menemuinya dan menuntut dikembalikannya mustika yang dia curi dari
gurunya itu.
Pek I Mo-ko bukan seorang bodoh. Betapapun rapatnya rahasia itu disimpan, dan betapa hati-hati
mereka melakukan perjalanan agar jangan diketahui orang, dia dapat menduga bahwa tentu ada saja
yang tahu dan karenanya diapun sudah berunding dengan teman-temannya dan mengatur siasat
bagaimana kalau sampai mereka menghadapi orang-orang pandai yang mencoba untuk mengganggu
usaha mereka mengambil mustika itu, atau yang hendak merampas Akar Bunga Gurun Pasir.
Ketika hampir tiba di puncak bukit itu, Pek I Mo-ko dan duabelas orang rekannya turun dari atas kuda
dan menambatkan kuda mereka di pohon terakhir yang dapat tumbuh di lereng bukit. Bukan saja
perjalanan mendaki puncak memang sulit kalau dilakukan dengan berkuda, akan tetapi melanjutkan
perjalanan dengan jalan kaki ini merupakan rencana dan siasat yang diatur oleh Pek I Mo-ko kalau-kalau
nanti mereka menghadapi gangguan musuh.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke puncak dengan jalan kaki. Pek I Mo-ko menjadi penunjuk jalan,
berada di depan diiringkan duabelas orang jagoan Istana yang selalu waspada dan siap tempur. Pek I
Mo-ko sendiri masih menggantungkan pedangnya, namun kipasnya berada di tangan kiri dan kadangkadang
dia pengunakan untuk mengipasi lehernya karena pendakian itu membuat tubuh terasa panas.
Setelah tiba di puncak, matahari telah naik cukup tinggi dan hari itu cerah sekali. Di sepanjang
perjalanan mendaki puncak tadi, tiga-belas orang jagoan istana dari Lok-yang ini selalu memandang ke
sekeliling dan mereka merasa lega karena tidak pernah melihat bayangan orang yang mengikuti mereka,
juga tidak terdengar suara yang mencurigakan.
Akan tetapi ketika mereka tiba di bagian puncak yang datar, di mana terdapat puncak terakhir berupa
dinding batu kapur yang berlubang-lubang dan menjadi sarang burung-burung merpati hitam, tiba-tiba
saja muncul limabelas orang dari balik batu-batu kapur besar yang berserakan di situ, ada pula yang
keluar dari guha-guha. Kiranya di situ telah menanti limabelas orang jagoan istana Kerajaan Liu-sung!
Inilah para jagoan yang diutus Kaisar Cang Bu untuk mengejar Pek I Moko ke utara dan merampas
mustika Akar Bunga Gurun Pasir itu! Mereka telah menyebar mata-mata dan akhirnya mereka
mengetahui bahwa Pek I Mo-ko dan duabelas orang jagoan istana Kerajaan Tartar atau Dinasti Wei di
utara sedang melakukan perjalanan ke Bukit Merpati Hitam. Mereka mendahului naik ke puncak bukit
ini dari arah lain dengan mengambil jalan yang lebih dekat dan menanti kemunculan Pek I Mo-ko dan
kawan-kawannya sejak pagi tadi!
Tentu saja Pek I Mo-ko dan kawan-kawannya terkejut. Dari pakaian dan sikap mereka, tahulah dia dan
kawan-kawannya bahwa mereka berhadapan dengan para jagoan dari kota raja Liu-sung, bahkan
mereka semua tahu siapa pria berusia limapuluh tahunan yang memimpin rombongan itu. Dia itu bukan
lain adalah Jenderal Pouw Cin yang amat terkenal sebagai panglima pasukan pengawal Istana dan
dikabarkan memiliki ilmu silat dan ilmu perang yang hebat! Pek I Mo-ko dan kawan-kawannya memang
sudah menduga akan adanya orang-orang yang mungkin akan mencoba untuk merampas mustika yang
akan mereka ambil dari tempat simpanan Pek I Mo-ko, akan tetapi mereka sama sekali tidak mengira
bahwa calon lawan mereka adalah para Jagoan Istana Kerajaan Liu-sung! Akan tetapi karena mereka
memang sudah merencanakan siasat dan telah bersiap-siap, merekapun tidak merasa gentar.
Jenderal Pouw Cin yang sudah mengenal Pek I Mo-ko, tersenyum dingin ketika melihat Pek I Mo-ko
bersama para jagoan islana Kerajaan Wei yang menjadi musuh kerajaan kaisarnya. "A-ha, kiranya kaki
tangan pemberontak di Nan-ping yang menjadi pelarian dan buruan pemerintah, kini telah bekerja sama
pula dengan orang-orang biadab Tartar dari utara! Hemm, bagus! Dosamu berlipat ganda. Ciong Kui Le,
menyerahlah engkau pengkhianat!”
Pek I Mo-ko memperlihatkan sikap menentang. "Orang she Pauw, yang memberontak terhadap
Kerajaan Liu-sung adalah kepala daerah Nan-ping. Aku hanya bekerja kepadanya, aku tidak mempunyai
urusan dengan pemberontakan. Jenderal Pouw Cin, aku tidak mempunyai urusan denganmu, dan aku
tidak akan suka menyeretkan diri untuk ditawan olehmu!”
Kata-kata itu mengandung isyarat bagi teman-temannya untuk bergerak dan dengan serentak, duabelas
orang jagoan istana itu sudah menggerakkan senjata masing-masing, menyerang limabelas orang jagoan
Liu-sung. Tentu saja limabelas orang jagoan itu dengan marah menyambut serangan itu dan terjadilah
pertempuran yang seru dan mati-matian di puncak bukit tandus itu.
Menurut yang telah direncanakan Pek I Moko dan kawan-kawannya, kalau muncul lawan-lawan yang
hendak mengganggu pengambilan mustika, para jagoan Istana Kerajaan Wei itu bertugas untuk
menyerang mereka sehingga Pek I Mo-ko mendapat kesempatan untuk mengambil mustika itu tanpa
ada yang mengetahuinya. Biarpun kini, di luar dugaan mereka, yang muncul adalah limabelas orang
jagoan dari pemerintah yang menjadi musuh mereka, rencana itu tetap dilaksanakan. Duabelas orang
jagoan Tartar itu dengan serentak menyerang pihak lawan yang limabelas orang jumlahnya, sedangkan
Pek I Mo-ko sendiri diam-diam menyelinap pergi dan lenyap ke dalam sebuah di antara guha-guha yang
banyak terdapat di dinding kapur itu. Dia memasuki guha yang berbentuk terowongan yang dalam.
Setelah memasuki terowongan sejauh ratusan meter, dia berhenti dan mengerahkan tenaga sinkang,
mendorong batu besar yang berada di sebelah kiri dinding terowongan. Batu besar yang bagi orang lain
tentu hanya merupakan balu dinding seperti yang lain itu bengeser dan nampaklah lubang terowongan
lain. Pek I Moko memasuki terowongan ini dan di tempat yang tersembunyi inilah dia menyembunyikan
mustika yang diperebutkan itu. Dia mengambil sebuah peti hitam sebesar duapuluh sentimeter persegi,
membuka tutupnya dan dia tersenyum melihat benda mustika itu masih berada di situ. Hanya
merupakan sepotong akar yang mirip sebuah tangan manusia, baik bentuk maupun ukurannya, hanya
"jari-jari" tangan itu agak panjang dan ujungnya bergantungan banyak akar rambut. Dia mengambil akar
itu dan memasukkannya ke dalam saku jubahnya, menutup kembali peti kosong dan membiarkannya di
tempat yang tadi. Kemudian dia berlari keluar melalui terowongan yang menembus ke samping puncak
bukit itu, yang berlawanan dengan bagian di mana terjadi pertempuran. Inilah siasat yang telah diatur
oleh Pek I Mo-ko. Selagi teman-temannya menahan para lawan, dia dengan aman dapat mengambil
benda yang amat diharapkan oleh Kaisar Wei Ta Ong itu! Dan kudanyapun sudah siap menantinya di
bawah puncak. Setelah nanti dia tiba di tempat panambatan kuda-kuda itu, baru dia akan melepas
tanda panah api ke udara untuk memberitahukan teman-temannya agar mereka dapat pergi
meninggalkan puncak.
Dengan hati girang, membayangkan betapa dia tentu akan mendapatkan kedudukan tinggi dan hadiah
besar dari Kaisar Wei Ta Ong dan selanjutnya hidup sebagai seorang pejabat tinggi yang dihormati dan
berenang di dalam kemuliaan dan kemewahan, Pek I Mo-ko menyelinap di antara batu-batu kapur,
menuruni puncak menuju ke hutan pertama di lereng bawah puncak di mana mereka tadi
menambatkan kuda.
Hutan pertama itu sudah dekat, tinggal ratusan meter lagi. Begitu dia sudah meloncat ke atas punggung
kudanya, lalu melepaskan panah api, berarti dia telah berhasil dan akan dapat lebih dahulu melarikan
diri ke utara, membawa Akar Banga Gurun Pasir!”
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri serang gadis yang
tersenyum mengejek kepadanya. Pek I Mo-ko terbelalak memandang karena gadis itu bukan lain adalah
Ouwyang Hui Hong, puteri bekas guru dan majikannya! Satu-satunya orang di dunia ini kecuali gurunya
yang sama sebali tidak ingin dia jumpai di saat seperti itu! Akan tetapi, dia tidak takut karena dia
maklum bahwa betapa lihaipun puteri bekas gurunya itu, dia percaya bahwa dia masih mampu
mengatasinya karena dia lebih berpengalaman dan memiliki lebih banyak tipu muslihat dalam Ilmu silat
mereka yang berasal dari satu sumber.
"Hemm, Iblis busuk, murid murtad dan khianat, kaukira akan mampu lepas dari tanganku? Serahkan
kembali mustika milik ayahku lalu serahkan tangan kananmu untuk kubuntungi sebagai hukumanmu,
atau terpaksa aku akan membunuhmu!” Hui Hong berkata, suaranya galak. Hukuman potong tangan ini
memang merupakan jenis hukuman yang biasa, dilakukan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek terhadap orangorang
yang suka mencuri, merupakan hukuman yang berlaku di daerah Lembah Bukit Siluman.
Di bagian manapun di dunia ini, setiap kelompok manusia, baik yang dinamakan sudah beradab,
setengah beradab, atau masih biadab, membentuk masyarakat, kemudian masyarakat yang membentuk
pemerintah atau kepala suku dengan para pembantunya Pemerintah atau kepala suku bagi yang belum
mempunyai pemerintahan, lalu mengadakan hukum-hukum. Hukum diadakan dengan maksud
menegakkan keadilan, membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah untuk kemudian
dihukum sesuai dengan peraturan. Memang, niat itu baik sekali, terutama untuk menghapus hukum
rimba, yaitu yang kuasa dan yang kuat selalu menang dan selalu benar. Hukum pada hakekatnya
diadakan orang untuk melindungi mereka yang lemah, mereka yang tidak mampu melindungi diri
sendiri, hukum diadakan untuk melindungi mereka yang akan dijadikan korban kesewenang-wenangan
dari mereka yang berkuasa dan kuat. Akan tetapi sungguh menyedihkan kalau dilihat betapa di bagian
manapun di dunia ini, hukum bahkan menjadi alat bagi yang kuasa dan yang kuat untuk membenarkan
diri sendiri secara sah. Kalau sebelum adanya hukum, mereka itu selain menang dan benar karena
kekuasaan dan kekuatan, setelah adanya hukum, mereka menang dan benar menurut hukum. Bahkan
yang dapat dihukum hanyalah yang berada di bawah, dan yang mengeterapkan hukum tentulah pihak
atasan. Kalau yang bawah hendak mengeterapkan hukum kepada pihak atasan, itu namanya bukan
menegakkan hukum, melainkan pemberontakan! Begitulah kenyataannya yang terjadi di seluruh dunia,
secara tertelubung maupun terang-terangan. Ada hukum ataupun tidak, yang kuasa dan yang kuat tetap
saja menang dan benar, tiada bedanya dengan hukum yang berlaku di rimba. Hanya binatang-binatang
seperti harimau, singa, gajah, banteng, beruang, mereka yang kuat-kuat, atau yang besar-besar, atau
yang bergerombolan seperti srigala, mereka sajalah yang selalu menang dan benar. Kelenci? Kijang?
Tikus? Mereka yang kecil-kecil? Aah. hanya menjadi "makanan" yang besar-besar.
Wajah Pek I Mo-ko sejenak berubah pucat. Kalau dia mengingat atau membayangkan bekas guru dan
majikannya. Bu eng-kiam Ouwyang Sek, dia sungguh merasa ketakutan sekali. Untung bukan datuk itu
yang berhadapan dengan dia, karena kalau datuk itu yang kini berada di dengannya. Biapapun takkan
mampu melindungi tangannya dibuntungi! atau bahkan lehernya! Akan tetapi, yang dihadapinya hanya
Owyang Hui Hong, seorang gadis berusia delapan belas tahun. Betapapun lihainya, dia akan dapat
menandinginya. Hanya yang membuat dia marah adalah karena kemunculan gadis ini tentu saja dapat
mengacaukan rencananya. Dia tidak dapat cepat meninggalkan tempat itu dan memberitahu kawankawannya.
Kalau sempai para jagoan Liu-sung itu dapat mengejarnya, tentu dia berada dalam bahaya!
Maka, dia harus lebih dulu membunuh gadis ini, lebih cepat lebih baik.
"Mampuslah!!" Dia membentak dan tiba-tiba saja nampak sinar pedang meluncur ke arah leher Hui
Hong, disusul totokan ujung, gagang kipas ke arah dada.
"Huh, iblis busuk!" Hui Hong memaki dan dengan lincah sekali iapun sudah meloncat ke belakang untuk
menghindarkan diri dari dua serangan maut itu sambil mencabut sepasang pedangnya. Tanpa
membuang waktu, Iapun segera menggerakkan kedua pedang itu dan balas menyerang. Terjadilah
pertandingan yang hebat antara dua orang yang memiliki ilmu silat dari satu guru itu. Keduanya sudah
mengenal ilmu silat dan gerakan masing-masing maka agak tukarlah bagi mereka untuk dapat berhasil
dengan serangan mereka. Permainan pedang dan kipas di kedua tangan Pek I Mo-ko pada dasarnya juga
merupakan Ilmu pedang pasangan, hanya pedang kiri diganti dengan kipas untuk membingungkan
lawan. Bukan itu saja, juga kipas itu mengandung alat rahasia untuk melepas jarum beracun dari
gagangnya yang berlubang, juga selain dapat dipergunakan sebagai pedang, dapat dipakai menotok
jalan darah lawan.
Hui Hong sudah mengenal kipas ini, maka biarpun beberapa kali Pek I Mo-ko mencoba untuk menyerang
lawannya dengan jarum beracun, selalu serangan itu gagal dan jarum-ja-rumnya dipukul runtuh oleh
pedang Hui Hong. Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa Pek I Mo-ko menang pengalaman dan lebih
matang gerakannya. Hanya kelebihan ini tidak berarti karena gadis itu menutup kekurangannya dengan
kelebihannya dalam hal gin-kang (Ilmu meringankan tubuh). Gadis itu dapat bergerak-gerak lebih cepat.
Dan dalam hal tenaga sintang, Hui Hong dapat menandingi bekas pembantu ayahnya itu, maka dapat
diduga bahwa perkelahian mati-matian itu akan berlangsung lama dan sukar diduga siapa yang akhirnya
akan menang.
"Cring-cring, tranggg ...!!" Pek I Mo-ko terhuyung dan meloncat ke belakang. Mukanya berubah dan
matanya terbelalak. Dia tidak mengenal jurus yang baru saja dimainkan gadis itu untuk menyerangnya
sehingga hampir saja lehernya tercium ujung pedang kiri gadis itu!
Hui Hong tersenyum mengejek. "Kaukira telah mengenal semua ilmu pedangku?" katanya dengan nada
memandang rendah. "Kaukira ayah begitu bodoh untuk tidak membekali aku dengan ilmu baru sebelum
menyuruh aku mencarimu! Iblis busuk tolol, sekarang engkau mati!” Hui Hong kembali memainkan
sepasang pedangnya, akan tetapi kini dengan gerak-gerakan aneh yang tidak dikenal Pek I Mo-ko
sehingga dia terkejut dan hanya mampu memutar pedang dan kipasnya untuk melindungi dirinya karena
dia tidak mampu menduga ke arah mana gulungan dua sinar pedang lawan itu akan menyambar. Dalam
beberapa jurus saja dia terdesak mundur terus.
Pada saat Pek I Mo-ko terdesak, tiba-tiba terdengar bunyi suling ditiup orang. Suaranya melengking, naik
turun tinggi rendah dan merdu sekali. Biarpun mungkin bagi orang lain suara ini biasa saja, suara
sebatang suling yang dimainkan orang, namun bagi Pek I Mo-ko maupun Hui Hong terkejut sekali dan
otomatis keduanya menahan senjata dan meloncat ke belakang. Mereka berdua menyangka bahwa
yang datang adalah Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, datuk besar majikan Bukit Bayangan Iblis! Kalau
datuk itu yang datang, celakalah, demikian pikir Pek I Mo-ko maupun Hui Hong. Suma Koan adalah
seorang datuk sakti yang kepandaiannya setingkat dengan ayah Hui Hong. maka tentu saja kedua orang
itu merasa jerih. Akan tetapi, ketika keduanya menoleh, ternyata yang muncul dan yang kini sudah
menurunkan sulingnya dan tidak meniupnya lagi adalah seorang pemuda yang tampan sekali.
"Tok-siauw-kwi Suma Hok!" seru Pek I Mo-ko yang mengenal pemuda itu sebagai putera tunggal Suma
Koan.
Suma Hok tersenyum dan deretan giginya berkilat. "Aha, kiranya Pek I Mo-ko masih mengenal aku?
Bagaimana kabarnya, Moko?" kata pemuda itu dengan sikap seorang yang kedudukannya lebih tinggi.
"Baik-baik, Suma Kongcu," kata Pek I Mo-ko yang mengharapkan bantuan pemuda putera datuk besar
itu. "Dan bagaimana dengan kongcu sendiri? Apa yang kongcu kehendaki maka datang ke tempat ini?”
Mendengar pertanyaan itu, Suma Hok tertawa dan mengerling ke arah Hui Hong. Gadis itupun
memandang kepadanya dan diam-diam ia harus mengakui bahwa pemuda putera datuk Kui-siauw
Giam-ong itu memang tampan dan gagah sekali, walaupun senyum dan pandang matanya membuat ia
merasa tidak sedap di hati.
"Ha ha-ha, pertanyaan yang aneh dan lucu, Moko. Biarlah kujawab begini saja. Aku kebetulan lewat dan
melihat engkau bertanding ... eh, maksudku terdesak oleh gadis cantik ini. Bukankah adik yang manis ini
puteri dari Paman Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang terkenal itu, yang pernah menjadi guru dan
majikanmu, Moko?”
Pek I Mo-ko dan Hui Hong diam-diam harus memuji kecerdikan Suma Hok, akan tetapi Hui Hong hanya
tersenyum mengejek tanpa mengatakan sesuatu.
"Bagaimana kongcu bisa menebak dengan tepat? Pernahkah kongcu bertemu dengan nona Ouwyang
Hui Hong ini?" Di dalam benak Pek I Mo-ko sedang bekerja keras untuk mencari jalan keluar yang baik
dari ancaman ini. Dia harus dapat menarik putera datuk besar ini di pihaknya. Kalau terjadi kebalikannya
dan dia dikeroyok dua, jelas itu berarti bencana baginya.
Kembali Suma Hok tersenyum dan menggerak-gerakkan sulingnya dengan sikap gagah untuk berlagak.
"Ha-ha, apa sukarnya! Biarpun aku belum pernah bertemu dengan nona Ouwyang, aku sudah
mendengar tentang namanya, dan melihat gaya permainan siang-kiam tadi, mudah diduga siapa ia.
Juga, kalau ia mencarimu lalu menyerangmu, siapalagi kalau ia bukan puteri Paman Ouwyang Sek yang
tentunya hendak minta kembali Akar Bunga Gurun Pasir yang telah kaularikan dari Lembah Bukit
Siluman. Bukankah benar begitu, adik Ouwyang Hui Hong yang baik?"
Hui Hong cemberut. "Hemm, biarpun tebakkanmu benar, apa anehnya tebakan itu. Semua orang juga
bisa menebaknya. Dan akupun bukan adikmu, dan tidak suka kau sebut adik yang baik! Tak perlu kau
merayuku, karena kata-katamu tentu sama beracunnya dengan sulingmu, Suma Hok!"
Suma Hok tidak menjadi marah, bahkan tertawa bergelak mendengar ucapan galak ini, "Ha-ha-ha-ha,
engkau memang manis sekali. Hong-moi (adib Hong) yang baik! Ha-ha-ha!”
Melihat sikap pemuda itu demikian manis dan akrab, tentu saja Pek I Mo-ko menjadi khawatir bukan
main. "Suma Kongcu, bantulah aku menghadapi gadis ini. Kalau kita berdua melawannya, tentu kita
dapat menangkapnya. Ia begitu cantik, apakah kongcu tidak ingi memilikinya! Nah, kaubantu aku, dan ia
menjadi milikmu. Juga, aku akan memintakan hadiah yang besar untuk kongcu kepada Kaisar Wei Ta
Ong!”
Suma Hok memandang kepadanya dengan alis berkerut. "Pek I Mo-ko, apa kaukira aku ini seorang yang
tolol dan suka mengabdi kepada orang Tartar macam engkau? Aku memang telah jatuh cinta kepada
adik Ouwyang Hui Hong ini, akan tetapi aku akan melamarnya dengan resmi. Nah, berikan Akar Bunga
Gurun Pasir itu kepadaku, baru kuampuni nyawamu. Mustika itu akan kukembalikan kepada Paman
Ouwyang ketika aku dan ayah datang melamar adik manis ini. Untuk membalas budi, tentu Paman
Ouwyang akan suka menerima aku sebagai mantu!”
Celaka, pikir Pek I Mo-ko dengan muka pucat. Akan tetapi karena dia bukan berhadapan dengan datuk
besar Kui-siauw Giam-ong, melainkan hanya puteranya yang masih muda, diapun tidak gentar.
"Bocah sombong, kaukira aku takut padamu? Diajak kerja sama tidak mau, baik, mari kita lihat siapa di
antara kita lebih lihai!" Diapun segera menyerang dengan pedang dan kipasnya.
Suma Hok yang maklum akan kelihatan Pek I Mo-ko, segera mengerahkan tenaga sin-kang pada
sulingnya dan menangkis, lalu balas menyerang. Setelah terjadi serang menyerang beberapa gebrakan,
masing-masing mendapat kenyataan bahwa kepandaian mereka berimbang.
"Nona Ouwyang. daripada mustika terjatuh di tangan bocah ini, lebih baik kukembalikan kepada
ayahmu. Nah, kaubantulah aku!" kata Pek I Mo-ko bukan karena dia takut kalah, melainkan dia maklum
bahwa untuk mengalahkan pemuda ini bukan soal mudah dan yang dia takuti adalah kalau para jagoan
istana dari Liu-sung datang ke tempat itu.
Tiba-tiba Hui Hong menggerakkan sepasang pedangnya dan ia menyerang Suma Hok! Tentu saja Pek I
Mo-ko menjadi girang, sebaliknya Suma Hok terkejut bukan main.
"Trang-tranggg ...!” Dua kali sulingnya menangkis dan dia mendapat kenyataan bahwa puteri Bu-engkiam
(Pedang Tanpa Bayangan) Ouwyang Sek itu memiliki sin-kang yang tak kalah kuat olehnya! Dia
semakin kagum akan tetapi juga merasa penasasan sekali.
"Hong-moi ...!”
"Aku bukan apa-apamu, tak usah menyebut Hong-moi (dinda Hong), Hong-moi segala!” bentak Hui
Hong sambil menyerang lagi dengan pedangnya.
Suma Hok meloncat ke belakang. "Nona Ouwyang, apakah engkau percaya kepada omongan orang yang
telah berkhianat kepada ayahmu ini! Dia menipumu! Dia tidak akan mengembalikan mustika itu. Mari
kita bunuh si Jahanam itu!”
Akan tetapi mana pemuda itu tahu akan isi hati Ouwyang Hui Hong? Gadis ini khawatir kalau benarbenar
benda pusaka itu terjatuh ke tangan Suma Hok, kemudian Suma Hok dan ayahnya, datuk Suma
Koan datang melamarnya kepada ayahnya sambil mengembalikan Akar Bunga Gurun Pasir tentu
ayahnya akan merasa sungkan untuk menolaknya! Daripada hal yang membuatnya khawatir itu benar
terjadi, lebih baik benda langka itu tetap berada di tangan Pek I Mo-ko dan kelak ia akan dapat
mencarinya dan merampasnya lagi. itulah sebabnya mengapa ia menyerang Suma Hok, sehingga seolaholah
ia setuju dengan ajakan bekas pembantu dan murid ayahnya itu.
Melihat gadis itu benar-benar menyerang Suma Hok dengan dahsyat, tentu saja Pek I Moko menjadi
girang. Tak disangkanya bahwa "siasatnya" berhasil. Dia sendiri tidak tahu bahwa penyerangan gadis itu
terhadap Suma Hok sama sekali bukan karena keberhasilan siasatnya, Diapun cepat menggerakkan
pedang dan kipasnya membantu Ouwyang Hui Hong mengeroyok Suma Hok.
Tingkat kepandaian tiga orang ini dapat dikata seimbang, maka kini menghadapi dua orang, tentu saja
Suma Hok menjadi terdesak hebat. Untung pada saat itu, Pek I Mo-ko segera teringat bahwa andaikata
dia dan Hui Hong berhasil merobohkan Suma Hok, tetap saja dia harus kembali menghadapi Hui Hong
yang tentu menuntut dikembalikannya akar itu! Teringat akan hal ini, juga karena khawatir para jagoan
istana Liu-sung akan datang ke situ. Pek I Mo-ko pura-pura terhuyung ketika suling di tangan pemuda itu
menangkis pedangnya. Akan tetapi dia bukan terhuyung begitu saja, bahkan sempat terjengkang lalu
bergulingan sampai jauh, kemudian meloncat dan melarikan diri!”
Baik Hui Hong maupun Suma Hok melihat akal bulus Pek I Mo-ko ini.
"Keparat. Jangan lari!” bentak Hui Hong akan tetapi ia tidak sempat melakukan pengejaran karena Suma
Hok memperhebat serangan sulingnya kepada gadis itu sambil tertawa-tawa. Suma Hok dihadapkan
kepada dua pilihan, yaitu merampas Akar Bunga Gurun Pasir atau menawan Hui Hong. Dan agaknya dia
memilih yang kedua!
"Ha-ha, sekarang aku tahu mengapa engkau menyerangku. Engkau tidak ingin akar itu terjatuh ke
tanganku, ya? Baik, ada cara lain yang akan memaksa engkau menerima pinanganku kelak. Kalau engkau
sudah menjadi milikku, mustahil engkau akan berani menolak lamaran ayahku untuk menjadi isteriku,
ha ha-ha!”
Wajah Hui Hong berubah merah sekali saking marahnya. "Jahanam busuk, lebih baik aku mati dari pada
menerima lamaran Iblis macam engkau! Dan jangan harap engkan akan dapat mengalahkan aku." Gadis
itu memperhebat gerakan sepasang pedangnya. Suma Hok terkejut dan cepat dia memutar sulingnya.
Namun, gerakan gadis itu sungguh luar biasa cepatnya sehingga nyaris lengan kirinya terbacok. Terpaksa
dia melempar tubuh ke belakang dan jatuh terjengkang! Kiranya pemuda yang amat cerdik ini tadi
melihat contoh yang dilakukan Pek I Mo-ko dan meniru kelicikan orang itu. Begitu terjengkang, dia
bergulingan dan Hui Hong yang kini sudah “naik darah" oleh ucapan penuda tadi, melilat kesempatan
baik ini segera mengejar, menubruk untuk memberi tusukan tusukan maut dengan kedua pedangnya.
Pada saat dia bengulingan. Suma Hok menggunakan tangan kiri dimasukkan ke saku dalam bajunya dan
pada saat Hui Hong menubruk ke depan, tangan kirinya bergerak cepat ke arah muka gadis itu. Yang
nampak hanya sinar merah dari sehelai saputangan merah yang dikebutkan oleh Suma Hok.
Hui Hong sama sekali tidak menyangka akan kecurangan ini. Apalagi melihat bahwa yang menyambar ke
arah mukanya hanya ujung sehelai saputangan. Maka ia hanya miringkan kepalanya dan melanjutkan
serangan pedangnya yang menusuk ke arah dada. Suma Hok menggulingkan tubuhnya dan tusukan itu
luput. Suma Hok meloncat dan menjauh. Ketika Hui Hong hendak mengejar, tiba-tiba gadis itu
terhuyung, memegangi kepalanya yang tiba-tiba menjadi pening, matanya gelap dan tahulah ia bahwa
saputangan tadi mengandung bubuk pembius yang amat kuat.
"Jahanam kau ...!” Ia memaki, hendak menyerang sambil mengerahkan tenaga, akan tetapi ia
terpelanting dan tentu akan terbanting jatuh kalau saja Suma Hok tidak cepat menerimanya dalam
rangkulan sambil tersenyum penuh kemenangan.
***
Ketika ia membuka kedua matanya, Hui Hong mendapatkan dirinya terlentang di dalam sebuah guha,
bertilamkan rumput dan daun kering. Ia teringat, kaget dan mencoba untuk bangun. Akan tetapi tidak
dapat menggerakkan kaki tangannya. Ia tahu bahwa ia dalam keadaan tertotok!
"Ha, engkau sudah sadar, sayang?”
Hui Hong menoleh ke kanan dan melihat Suma Hok duduk di dalam guha itu, tersenyum kepadanya.
"Jahanam, lepaskan totokan ini!” kata Hui Hong dan dengan mata terbelalak ia melihat ke arah
pakaiannya. Ia merasa lega karena pakaiannya masih lengkap dan ia tahu bahwa pemuda itu belum
melakukan hal yang baginya amat mengerikan, lebih hebat dari pada maut. Pemuda itu belum
memperkosanya.
"Ha.ha, tenanglah, Hong-moi. Kalau aku mau, alangkah mudahnya tadi memperkosamu selagi engkau
pingsan. Akan tetapi aku tidak mau. aku ingin engkau menyerahkan diri kepadaku dalam keadaan sadar
dan suka rela."
"Cih! Tidak sudi! Bebaskan aku dan mari kita berkelahi sampai seorang di antara kita mati. Engkau
jahanam yang curang, pengecut, engkau menggunakan racun pembius!”
"Ha-ha-ha, memang sudah lupakah engkau bahwa aku ini Tok-siauw-kwi (Iblis suling Beracun). Racun
adalah permainanku sejak kecil, manis. Dan aku ingin menundukkanmu dalam keadaan utuh, tidak
terluka, maka terpaksa aku menggunakan bubuk racun pembius. Ha-ha, sebentar lagi akan kubebaskan
engkau agar dapat menyerah kepadaku dengan penuh kesadaran, ha-ha-ha!”
"Apa yang akan kaulakukan, keparat!” Wajah Hui Hong menjadi pucat dan matanya terbelalak. Pemuda
itu menghampirinya, lalu mengikat kedua pergelangan tangan dan kakinya dengan tali kulit yang amat
kuat, dan mengikatkan ujung tali-tali itu pada empat batang besi yang dia tanam kuat-kuat di lantai
guha. Keadaan gadis itu sama sekali tidak berdaya. Kedua lengannya terpentang, juga kedua kakinya.
Setelah merasa yakin bahwa kedua kaki dan tangan gadis itu tidak akan dapat lepas dari ikatan, Suma
Hok membebaskan totokannya, "Jahanam kau! Kalau engkau berani menodaiku, ayahku tentu akan
menghancurkan kepalamu!” dalam ketakutan yang amat sangat namun ditahan-tahannya, Hui Hong
berteriak.
Namun, Suma Hok tersenyum. "Hong-moi, ayahmu adalah seorang datuk, seperti juga ayahku. Dia tidak
akan marah, Apalagi kalau ayah datang sendiri meminang dan mengantarkan akar itu."
"Goblok kau! Akar itu dilarikan Pek I Moko! Cepat kejar dia!” teriak Hui Hong penuh harapan untuk
mengalihkan perhatian Suma Hok.
"Ha.ha, kalau engkau lepas, sukar untuk menangkapmu kembali, Hong-moi. Kalau hanya Pek I Mo-ko
yang lari, apa sih sukarnya mencari dia dan merampas akar itu? Andaikan aku tidak berhasil, aku akan
minta bantuan ayah dan pasti kami berhasil. Nah, sekarang engkau harus menyerah kepadaku, Hongmoi,
Terpaksa kulakukan ini agar kelak engkau tidak mungkin lagi dapat menolak pinanganku.
Hui Hong meronta-ronta, akan tetapi karena kedua kaki dan tangannya terpentang dan terikat kuat
sekali, yang dapat ia lakukan hanyalah mengangkat-angkat tubuh di bagian perut dan dada saja!”
"Brettt! beetttt!” Dengan beberapa kali renggutan saja Suma Hok sudah berhasil merenggut lepas
pakaian Hui Hong. Gadis itu demikian marah dan malunya sehingga hampir ia jatuh pingsan. Ia tidak
melihat harapan untuk dapat lolos dari ancaman yang lebih mengerikan dari pada maut ini. Ia akan
diperkosa! Ia akan diperhina! Lebih baik mati dan jalan satu-satunya untuk dapat membunuh diri hanya
menggigit lidahnya sendiri saja sampai putus!
Pada saat ia hendak melakukan bunuh diri yang mengerikan itu, tiba-tiba ia melihat bayangan
berkelebat dari luar guha. Suma Hok yang dengan sikap mengejek dan tenang sudah mulai membuka
kancing bajunya, juga melihat berkelebatnya bayangan itu dan diapun maloncat berdiri dan tahu-tahu di
depannya telah berdiri seorang pemuda yang memandang kepadanya dengan mata mencorong
bagaikan sepasang mata seekor naga!”
Hui Hong juga melihat pemuda yang baru masuk ke dalam guha itu, dan hampir ia berteriak saking
girangnya akan tetapi juga malunya. Ia hampir telanjang bulat! Pemuda itu Kwa Bun Houw!”
Seperti telah kita ketahui, Bun Houw tak pernah menghentikan pencariannya terhadap Hui Hong yang
melakukan pengejaran terhadap Pek I Mo-ko. Dan diapun melihat rombongan Pek I Mo-ko dan duabelas
orang jagoan Kerajaan Wei atau Tartar itu mendaki Bukit Merpati Hitam. Dia hanya mengintai. Yang ia
cari adalah Hui Hong. Dari tempat pengintaiannya ia mengharapkan Hui Hong akan-muncul dan tentu
saja dia siap membantu kalau sampai Hui Hong kemudian dikeroyok oleh Pek I Moko dan kawankawannya.
Tapi yang muncul bukanlah Ouwyang Hui Hong, melainkan limabelas orang jagoan istana
Kerajaan Liu-sun! Ketika terjadi pertempuran untuk memperebutkan akar itu, diapun diam saja dan
tidak perduli. Dia tidak ingin mencampari urusan itu. Baginya, apa yang disebut Akar Bunga Gurun Pasir
itu tidak ada artinya sama sekali. Dia hanya mencari Ouwyang Hui Hong, mengharapkan agar gadis itu
dapat ditemukannya dalam keadaan selamat. Kemudian, dia, melihat Pek I Mo-ko menyelinap pergi
meninggalkan pertempuran dan lenyap ke dalam sebuah guha.
Cepat Bun Houw melakukan pengejaran dan memasuki guha yang ternyata merupakan sebuah
terowongan itu. Akan tetapi, terowongan itu mempunyai banyak cabang dia menyusup ke sana sini
dengan bingung, kehilangan jejak Pek I Moko. Dia harus dapat membayangi Pek I Mo-ko, karena dia
tahu bahwa yang dikejar oleh Hui Hong adalah orang ini, Dia akan menangkap Pek I Mo-ko dan akan
memaksanya mengaku di mana adanya nona itu. Jangan-jangan Hui Hong telah berhasil mengejar Pek I
Mo-ko dan celaka di tangan penjahat ini.
Setelah melalui lorong yang berliku-liku itu, akhirnya Bun Houw menemukan pintu sempit yang tadinya
tertutup batu besar. Dia. memasukinya dan melakukan pencarian terus sampai tiba di luar, di samping
puncak yang berlawanan dengan tempat terjadinya pertempuran. Akan tetepi di situ sunyi saja. Terlalu
lama waktu dia pengunakan untuk berputar-putar di lorong tadi sehingga dia terlambat, tidak melihat
perkelahian antara Pek I Mo-ko dan Hui Hong, juga tidak melihat munculnya Suma Hok yang berhasil
menawan Hui Hong. Tiba-tiba dia mendengar caci maki dari dalam guha di ujung dinding batu kapur itu.
Suara wanita! Suara Hui Hong! Cepat dia lari ke dalam guha itu dan hampir meledak rasa dadanya
melihat betapa seorang pemuda tengah berusaha memperkosa Hui Hong yang sudah dibelenggu kaki
tangannya dan dalam keadaan setengah telanjang!
Kini, dua orang muda itu saling berhadapan, berdiri dalam jarak lima meter, keduanya memiliki pandang
mata yang tajam mencorong, keduanya saling pandang dengan penuh kemarahan, karena Suma Hok
juga marah sekali bahwa keasyikan yang hampir dinikmatinya itu diganggu orang.
"Engkau calon bangkai yang sudah bosan hidup!" bentak Suma Hok dan tiba-tiba saja dia melompat ke
depan, kedua tangannya membentuk cakar dan agaknya dia bendak meremukkan kepala dan mengoyak
dada pengganggu itu. Serangannya dimaksudkan untuk membunuh, maka dia sudah menggerakkan
seluruh tenaga sin-kangnya.
Melihat pemuda tampan pesolek itu menerjangnya dengan terkaman yang merupakan serangan maut
itu, Bun Houw segera mengerahkan tenaga pula dan mendorong dengan kedua telapak tangannya,
menyambut dua tangan lawan.
"Dessssss ...!” Tubuh Suma Hok yang sedang meloncat itu terdorong ke belakang dan tentu dia akan
terbanting keras kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik dengan lincah dan ringan sekali. Keduanya
terkejut. Suma Hok terkejut setengah mati karena sama sekali tidak mengira bahwa lawannya memiliki
tenaga sin-kang sekuat itu. Bun Houw juga terkejut melihat betapa dorongannya yang amat kuat itu
tidak dapat merobohkan lawan yang dapat berjungkir balik seperti gerakan seekor burung walet saja.
Masing-masing mengetahui bahwa lawan merupakan orang yang lihai.
"Sobat," kata Suma Hok. "Kulihat engkau seorang yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Tentu
engkau telah mengenal namaku dan sebaiknya kalau engkau tidak mencampuri urusanku."
Bun Houw tersenyum dan di dalam hatinya merasa sayang sekali, karena dalam pandangannya, pemuda
itu demikian tampan dan halus, juga cara bicaranya kali ini menunjukkan bahwa dia terpelajar, juga
memiliki ilmu silat yang hebat. Akan tetapi kenapa hendak melakukan perbuatan yang demikian rendah
dan hina terhadap Hui Hong?
"Sayang aku tidak mengenal siapa engkau, sobat, hanya tahu bahwa hampir saja engkau melakukan
perbuatan yang amat jahat dan hina!”
“Hmm, tidak perlu mencampuri urusanku. Kalau engkau belum mengenalku, ketahuilah bahwa aku
bernama Suma Hok berjuluk Tok-siauw-kwi dan aku putera tunggal dari Kui-Siauw Giam-ong Suma Koan.
Nah, sebaiknya engkau cepat pergi dari pada mencari penyakit."
Dari gurunya, yaitu Tiauw Sun Ong bekas pangeran yang buta dan sakti itu, Bun Houw telah diberitahu
tentang nama-nama para tokoh dan datuk besar dunia kang-ouw, maka mendengar nama ini, diamdiam
dia terkejut. Pantas saja demikian lihai, tidak tahunya putera seorang di antara para datuk
persilatan yang amat tersohor.
"Aku pernah mendengar nama Suma Hok sebagai seorang laki-laki jantan yang gagah, bukan seorang
laki-laki tak mengenal susila dan seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga atau tukang
memperkosa)!”
Marahlah Suma Hok. Wajahnya yang tampan berubah kemerahan dan dia menudingkan telunjuk kirinya
ke muka Bun Houw. "Keparat, siapa engkau jangan mati tanpa meninggalkan nama!”
Nah, keluar sekarang belangnya, pikir Bun Houw. Lenyap sudah sikap halus dan kata-kata yang sopan,
yang muncul kini ucapan orang yang biasa suka memandang rendah orang lain, seperti seorang penjahat
tulen. "Aku Kwa Bun Houw dan ... "
Suma Hok yang curang mempengunakan saat Bun Houw sedang bicara itu untuk meniupkan jarum dari
sulingnya. Namun, Bun Houw justeru memiliki kelebihan dalam menghadapi serangan mendadak seperti
itu. Walaupun cuaca di dalam guha itu tidak begitu terang, namun pendengarannya yang tajam dapat
menangkap suara luncuran jarum-jarun mengikuti suara tiupun pada suling itu. Jangankan hanya
remang-remang, biar gelap gulita atau dia memejamkan mata sekalipun, pendengarannya akan mampu
menangkap serangannya itu. Dia dilatih oleh seorang guru yang buta, dan dia-pun dibiasakan untuk
berlatih dengan mata terpejam sehingga tumbuh kepekaan dan ketajaman luar biara pada bagian indra
yang lain. Dengan mudah, Bun Houw meloncat ke kiri dan jarum-jarum itu lewat, tak sebatang pun
mengenai tubuhnya, bahkan kini tongkat butut di tangannya menyambar cepat menotok ke arah tiga
jalan darah di dada dan kedua pundak Suma Hok. Gerakan ini amat cepatnya sehingga nyaris pundak kiri
Suma Hok tertotok walaupun pemuda ini sudah berusaha untuk menangkis. Terpaksa dia melempar
tubuhnya ke belakang, lalu membalas dengan serangan sulingnya yang ujungnya beracun, Bun Houw
dapat mengelak dan memutar tongkatnya. Terjadilah pertandingan yang dahsyat antara suling dan
tongkat butut. Akan tetapi lewat belasan jurus saja Suma Hok terdesak hebat. Gerakan tongkat lawan
itu terlampau cepat baginya, Apalagi dalam keadaan remang-remang begitu Suma Hok merasa tidak
leluasa memainkan sulingnya. Dia semakin kaget dan penasaran, akan tetapi diapun tahu bahwa kalau
dilanjutkan, dia yang akan rugi. Setelah berhasil menghalau sambaran tongkat ke arah kepalanya
dengan tangkisan suling yang kembali membuat seluruh lengannya sampai ke pundak tergetar hebat,
Suma Hok meloncat keluar dari dalam guha.
"Keluarlah dan kita bertanding di luar,” teriaknya.
Akan tetapi Kwa Bun Houw tidak memperdulikannya lagi. Cepat dia meloncat ke dalam guha di mana
Hui Hong masih rebah terlentang dengan kaki tangan terbelenggu dan setengah telanjang! Dengan
memalingkan mukanya, Bun Houw menggerakkan tangannya ke arah belenggu-belenggu dari tali kulit
yang mengikat kaki tangan gadis itu. Putuslah semua tali itu dan Bun Houw menanggalkan jubahnya,
menjatuhkannya di lantai, kemudian sekali meloncat diapun sudah keluar dari dalam gua, tanpa
menengok sedikitpun ke arah gadis itu!
Hui Hong dapat melihat semua ini dan kedua matanya menjadi basah. Di dalam hatinya ia berterima
kasih sekali kepada pemuda itu. Bun Houw bukan saja telah menyelamatkannya dari ancaman bahaya
maut dan penghinaan, akan tetapi yang membuat ia merasa terharu sekali adalah sikap Bun Houw
ketika membebaskannya dari belenggu tadi. Pemuda itu membuang muka, sedikitpun tidak pernah
melirik, apalagi melihat kepadanya. Kalau hal itu dilakukan Bun Houw, betapa akan malunya dan
agaknya selamanya ia tidak akan kuasa untuk dapat menentang pandang mata Bun Houw lagi. Kini ia
cepat mengenakan kembali pakaiannya! Untung bahwa renggutan tangan Suma Hok tadi hanya
membuat kancing-kancing bajunya tanggal saja, dan sedikit yang robek sehingga pakaian itu masih
dapat menutupi tubuhnya, dan setelah ia menutupinya dengan jubah yang ditinggalkan Bun Houw,
maka keadaannya menjadi sopan lagi.
Ia menyambar sepasang pedangnya yang tadi dibawa pula ke dalam guha itu oleh Suma Hok, dan
dengan hati dipenuhi amarah ia meloncat keluar dari dalam guha. Akan tetapi, yang didapatkannya dua
orang yang berkelahi di luar guha, yang tadi sudah didengarnya, bukanlah Bun Houw melawan Suma
Hok, melainkan Bun Houw melawan seorang pemuda tinggi besar dan gagah yang menggunakan pedang
dengan gerakan yang cepat bukan main. Hui Hong terkejut sekali karena hal ini sama sekali tidak pernah
diduganya. Apalagi ketika ia mengenal pemuda tinggi besar itu yang bukan lain adalah kakaknya sendiri,
yaitu Ouwyang, Toan!”
(Bersambung jilid 07)
Jilid 07
OUWYANG TOAN adalah putera Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, anak tunggal yang lahir dari isterinya yang
pertama, yang telah lama meninggal dunia. Karena itu, bagi Hui Hong. Ouwyang Toan adalah seorang
kakak tiri, seayah berlainan ibu. Akan tetapi, pemuda berusia duapuluh lima tahun itu tahu benar bahwa
sesungguhnya, gadis bernama Ouwyang Hui Hong itu sama sekali bukan adik tirinya karena Hui Hong
adalah anak ibu tirinya bersama pria lain. Hanya ayahnya dan Ouwyang Toan yang tahu selain ibu tirinya
tentu saja, bahwa ketika ibu tirinya menjadi isteri ayahnya. Ibu tirinya telah mengandung.
Ouwyang Toan disuruh ayahnya menyusul Hui Hong yang diberi tugas mencari Pek I Mo-ko dan
merampas kembali Akar Bunga Gurun Pasir setelah terdengar berita bahwa benda mustika itu kini
dijadikan rebutan. Ouwyang Toan juga mendengar bahwa Pek I Mo-ko dan rombongannya pergi ke
Bukit Merpati Hitam, maka diapun bengegas menuju ke puncak bukit itu. diapun melihat pertempuran
hebat antara belasan orang jagoan istana Kerajaan Wei melawan para Jagoan Istana Kerajaan Liu-sung.
Akan tetapi dia tidak melihat Pek I Mo-ko, juga tidak melihat adiknya. Maka, dia meninggalkan tempat
pertempuran itu dan mencari-cari di sekitar puncak. Tiba-tiba dia melihat seorang pemuda tampan
sedang lari. Dihadangnya pemuda itu ketika mereka berhadapan, keduanya terkejut karena mereka
saling mengenal.
"Hemm, kiranya Suma Hok! Agaknya engkau juga ingin ikut memperebutkan akar bunga milik ayah itu!”
Ouwyang Toan bertanya dengan suara menegur dan mengejek.
"Ouwyang Toan, jangan sembarangan menuduh! Untuk apa akar itu bagiku? Aku sudah cukup kuat,
tidak membutuhkan obat kuat! Kebetulan aku bertemu denganmu di sini. Baru saja aku melihat
adikmu!”
"Hui Hong? Di mana ia?"
Suma Hok tersenyum mengejek. "Huh. sekarang membutuhkan bantuanku, bukan? Bah. cepat-cepatlah!
Atau engkau akan terlambat. Adikmu terjatuh ke tangan seorang jai-hwa-cat yang akan memperkosanya
di sebuah guha itu di sana, guha paling kiri yang di atasnya terdapat batu berhentuk tengkorak besar!"
Setelah berkata demikian, Suma Hok lalu melanjutkan larinya meninggalkan tempat itu.
Tentu saja Ouwyang Toan terkejut bukan-main. Namun dia masih regu ragu. Dia mengenal siapa Suma
Hok, seorang yang cabul dan licik, walaupun kepandaiannya tinggi. Akan tetapi, betapapun juga,
keterangan itu membuat hatinya terbakar. Bagaimana kalau benar adiknya akan diperkosa orang?
Diapun cepat lari menuju ke guha yang ditunjukkan Suma Hok itu dan pada saat dia tiba di depan guha
itu, Bun Houw meloncat keluar dari dalam guha. Melihat pemuda yang tidak dikenalnya ini, yang tidak
mengenakan jubah luar dalam udara dingin itu, hal yang tidak wajar karena setiap orang tentu
mengenakan jubah luar, diapun yakin bahwa tentu ini si jai-hwa-cat (penjahat cabul) yang dimaksudkan
Suma Hok.
"Di mana Hui Hong?" Diapun bertanya dengan hati yang panas.
Bun Houw tidak tahu siapa orang ini. Tentu saja timbul kecurigaannya ketika orang itu menyebut nama
Hui Hong begitu saja. Yang Jelas, pemuda tinggi besar ini bukanlah pemuda yang tadi hendak
memperkosa Hui Hong, karena yang tadi menggunakan senjata suling dan tubuhnya tidak setinggi yang
ini. Mungkin pemuda pemerkosa tadi lari dan kini muncul temannya yang lebih lihai.
"Ia di dalam." jawabnya singkat pula.
Mendengar jawaban ini, Ouwyang Toan tidak ragu lagi. Tentu ini jai-hwa-cat itu! Akan tetapi dia harus
melihat dulu keadaan adiknya di dalam guna, maka tanpa banyak cakap legi, diapun melengketi hendak
memasuki guha. Akan tetapi melihat ini, Bun Houw juga melangkah menghadangnya.
"Tidak boleh masuki," katanya singkat.
Marahlah Ouwyang Toan. Tidak perlu diragukan lagi, tentu ini jahanam itu, pikirnya. Tangan kanannya
bergerak dan nampak sinar berkelebat dibarengi bunyi berdesing ketika dia sudah mencabut pedangnya
dari pinggang dan langsung saja ujung pedang itu meluncur ke arah dada Bun Houw! Bun Houw kagum
bukan main cepatnya gerakan orang ini dan diapun semakin yakin bahwa tentu pemuda ini merupakan
teman si pemerkosa tadi. Diapun tidak berani main-main. Dia mengerahkan tenaganya pada tongkatnya
dan menangkis.
"Trangggg ...!” Keduanya undur selangkah dan saling pandang. Ouwyang Toan terkejut dan tahulah dia
mengapa Suma Hok tadi tidak mau mencampuri. Kiranya jai-hwa-cat ini lihai dan tongkatnya itu pasti
menyembunyikan logam keras, sedangkan tenaga orang ini juga kuat sekali. Maka dia memutar
pedangnya dan cepat menyerang bertubi-tubi. Ouwyang Toan adalah putera tunggal Bu-eng-kiam
Ouwyang Sek, datuk besar ahli pedang, dan pemuda tinggi besar itu sudah mewarisi ilmu pedang
ayahnya, maka permainan pedangnya hebat dan cepat bukan main, menyambar-nyambar dengan
dahsyatnya.
Namun Bun Houw menghadapinya dengan tenang. Dia sendiri adalah seorang ahli pedang, bahkan
permainan pedangnya merupakan Ilmu pedang kilat yang amat cepat. Pedang yang tersembunyi di
dalam tongkatnya pun adalah pedang yang disebut Lui-kong-kiam (Pedang Kilat), maka ketika dia balas
menyerang, Ouwyang Toan terdesak mundur dan pemuda tinggi besar itu terkejut bukan main. Ayahnya
dikenal sebagai Pedang Tanpa Bayangan, membuktikan betapa ilmu pedang ayahnya memiliki gerakan
yang amat cepat seolah-olah tidak nampak bayangannya. Namun lawannya ini memiliki gerakan tongkat
yang tidak kalah cepatnya sehingga tadi, selama belasan jurus saja ujung tongkat hampir berhasil
menotok dadanya! Dia memutar pedangnya dan pertandingan itu berlangsung semakin seru.
Tiba-tiba terdengar seruan suara wanita, "Toan-ko ...! Hong-ko! Tahan senjata, jangan berkelahi!”
Mendengar suara Hui Hong, Ouwyang Toan dan Bun Houw menghentikan gerakan senjata mereka dan
keduanya melompat ke belakang, terbelalak memandang heran mengapa Hui Hong menyuruh mereka
berhenti.
Melihat dua orang pemuda itu masih marah dan setiap saat dapat saling serang lagi, tahulah Hui Hong
bahwa tentu telah timbul kesalahpahaman antara mereka, maka iapun menghampiri kakaknya dan
cepat memperkenalkan.
"Houw-ko, ini adalah kakakku, Ouwyang Toan. Dan Toan-ko, dia adalah Kwa Bun Houw seorang sahabat
yang tadi baru saja menyelamatkan aku dari bencana dan maut!”
Kedua orang muda itu terkejut bukan main mendengar ucapan Hui Hong itu, apalagi Ouwyang Toan! Dia
adalah seorang pemuda yang memiliki watak angkuh, keras dan merasa diri tidak pernah salah. Dan
baru saja dia hampir membunuh seorang yang bukan saja tidak mengganggu adiknya, bahkan menjadi
penyelamat adiknya. Dia memandang adiknya, matanya yang tajam melihat betapa pakaian adiknya
tidak beres, dan adiknya mengenakan jubah pria, sedangkan pemuda yang baru saja diserangnya itupun
tidak mengenakan jubah. Alisnya berkerut dan pandang matanya kembali dibayangi keraguan dan
kecurigaan.

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru