Minggu, 28 Januari 2018

Cerita Silat Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Kilat 3

Cerita Silat Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Kilat 3 -
baca juga:

"Adik Hong, apa artinya semua ini? Kalan ia menolongmu, kenapa ia lari keluar guha dan kenapa pula
engkau memakai jubahnya?” Dia yakin bahwa jubah yang dipakai adiknya itu tentu milik pria ini.
Hui Hong tentu saja mengenal watak kakaknya. Kakaknya ini teramat sayang kepadanya, bahkan
memanjakannya, dan kakaknya ini keras hati dan juga cerdik dan angkuh. Hui Hong tersenyum, menoleh
kepada Bun Houw dan berkata sambil tersenyum. "Houw-koko, kaulihat. Kakakku ini cerdik sekali,
bukan? Dia tahu saja bahwa jubah ini milikmu!” Ketika Hui Hong memandang kakaknya dan melihat
Ouwyang Toan mengerutkan alis dan memandangnya dengan keras, senyumnya melebar.
"Tenanglah, toako, dan jangan berpikir yang bukan-bukan. Di tempat ini aku sudah beruntung dapat
berhadapan dengan Pek I Mo-ko untuk merampas akar yang kuyakin tentu telah berada padanya. Kami
bertanding mati-matian dan tadinya aku yakin sudah mulai dapat mendesaknya. Tiba-tiba muncul si
keparat jahanam curang busuk itu! Dia membantu Pek I Mo-ko!"
"Siapa dia?" Ouwyang Toan berseru, suaranya mengandung penuh ancaman.
Hmm, aku akan menjaga jangan sampai bermusuhan dengan kakak beradik ini, pikir Bun Houw.
Mengerikan! Mereka itu kelihatan begitu galak dan sadis!
"Siapalagi? Tentu saja Si Suling Beracun Suma Hok itu."
"Keparat dia!"
"Ketika kami berkelahi, Pek I Moko melarikan diri. Si jahanam Suma Hok tetap menyerangku dan akupun
tidak akan kalah kalau saja dia tidak bertindak curang, mengebutkan kain yang mengandung debu
pembius sehingga aku ditawannya. Ia membawaku ke guha ini dan nyaris aku bunuh diri menggigit
putus lidahku sendiri dari pada diperkosa, ketika tiba-tiba muncul Houw-koko ini yang segera
menyerangnya. Mereka bertanding dan Suma Hok yang licik dan curang pengecut itu melarikan diri.
Houw-koko melepaskan ikatan kaki tanganku dan meninggalkan jubahnya untukku, lalu mengejar
keluar. Ketika aku mengejarnya, ternyata dia malah berkelahi denganmu dan ... untung aku ... "
"Jahanam suma Hok!" Ouwyang Toan memotong keterangan adiknya dan diapun sudah meloncat pergi
dan lari cepat meninggalkan tempat itu. Bun Houw memandang dengan bengong.
"Agaknya kakakmu akan mengejar dan mencari Suma Hok," katanya.
Hui Hong tertawa kecil. "Kakakku Ouw-yang Toan memang keras hati dan galak sekali. Mana mungkin
dia dapat menangkap Suma Hok yang begitu licik? Tentu jahanam itu sudah lari jauh. Lebih baik mari
kita kejar Pek I Mo-ko. Engkau mau membantuku, bukan? Aku harus merampas kembali akar itu dari
tangannya."
"Tapi kakakmu ...? Apakah tidak lebih baik kita menunggu dia dulu? Atau membantunya menghadapi
Suma Hok?"
"Tidak, koko."
Entah mengapa, hati Bun Houw berdebar girang mendengar sebutan koko (kakak atau kakanda) yang
memasuki telinganya dengan merdu dan mesra itu.
"Kalau dia kembali, pasti dia melarang kita melakukan perjalanan bersama. Dia lebih galak dan keras
dari pada ayah sendiri. Dan aku juga tidak mau terlambat. Kalau sampai akar itu didahului Suma Hok
yang mendapatkannya celakalah aku!”
"Ehh? Kenapa begitu?" Bun Houw bertanya heran.
Hui Hong membanting kakinya tak sabar. "Aih, kalau kita banyak mengobrol saja, berarti membuang
waktu dan kalau tidak kakakku keburu datang lagi, juga tentu aku kedahuluan Suma Hok! Marilah,
Houw-koko, apakah engkau tidak suka lagi membantu aku?" Hui Hong cemberut, yang dalam
pandangan Bun Houw menjadi semakin manis saja. "Kalau tidak mau, katakan saja terus terang dan aku
akan pergi sendiri mengejar Pek I Mo-ko. Kalau engkau mau menunggu kakakku di sini, silakan!" Dan Hui
Hong meloncat pergi, benar cepat sekali meninggalkan tempat itu.
"Nona Ouwyang Hui Hong ...!” Bun Houw memanggil sambil cepat mengejar. Akan tetapi gadis itu
bahkan mempercepat larinya sehingga Bun Houw juga harus mengerahkan tenaga untuk berlari lebih
cepat.
"Nona Ouwyang, tunggu aku ...!" Teriaknya dan teriakan ini dia ulangi sampai lima kali, akan tetapi Hui
Hong berlari terus, dan panggilan yang terakhir dijawabnya tanpa menoleh.
"Tuan Kwa Bun Houw, tak usah engkau mengejarku!”
Jawaban ini membuat Bun Houw mengangkat kedua alisnya ke atas karena matanya dilebarkan saking
herannya. Mengapa gadis itu tiba-tiba saja menyebut dia tuan? Padahal tadi telah menyebutnya koko
dengan demikian mesranya! Dan diapun teringat. Dasar tolol kau! Dia mengeluarkan kepandaiannya dan
bagaikan terbang dia mengejar, sekali ini dia berseru dengan mengerahkan khi-kang sehingga suaranya
terdengar nyaring melengking.
"Hoog-moi ...! Adinda Hui Hong... kau tunggulah aku ...!”
Dan benar saja. Gadis itu tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuh, wajahnya berseri dan mulutnya
tersenyum manis sekali. Bun Houw tiba di depannya. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan
keduanya berkeringat, keduanya agak terengah-engah karena tadi mereka telah mengerahkan seluruh
tenaga untuk berlari cepat dan tahu-tahu kini mereka telah tiba di bawah bukit!”
"Hong-moi, kenapa kaupanggil aku tuan!”
'Hemm, cobalah bercermin! Kau sendiri memanggil aku nona!”
Bun Houw tertawa. Hui Hong juga tertawa.
"Houw-koko, aku belum mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu di guha tadi. Nah sekarang
terimalah ucapan terima kasihku."
Gadis aneh! Berterima kasih sesudah kejar-kejaran dan marah-marahan.
"Sudahlah, Hong-moi. Di antara kita, mana ada yang disebut tolong-tolongan segala? Kita sudah menjadi
sahabat baik, sudah seharusnya kita saling bantu, bukan!”
"Benarkah? Engkau selamanya mau membantuku? Selamanya sampai aku ... sampai rambut kepalaku ini
menjadi putih semua?"
Wah, makin aneh saja gadis ini. Saling bantu antara sahabat memang sudah sewajarnya. Akan tetapi
mana menuntut saling bantu sampai mereka menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek? Akan tetapi tibatiba
wajah pemuda itu berseri dan kulit mukanya menjadi kemerahan. Dia mengangguk serius.
"Tentu! Akan kubantu engkau sampai selama hidupku."
Agaknya jawaban ini memuaskan hati Hui Hong. "Mari kita lanjutkan perjalanan mencari Pek I Mo-ko
dan nanti kuceritakan mengapa aku tidak ingin akar itu didapatkan lebih dulu oleh Suma Hok." Setelah
berkata demikian, tanpa sungkan tanpa ragu, seperti mereka masih kanak-kanak saja, Hui Hong
menggunakan tangan kanan memegang tangan kiri Bun Houw dan menggandengnya sambil melangkah
melanjutkan perjalanan.
Tangan kiri Bun Houw merasakan kulit tangan gadis itu yang halus dan hangat, dan jantungnya berdebar
tidak karuan. Saking tegangnya dan karena tidak ingin disangka yang bukan-bukan, maka dia tidak
berani menggerakkan jari tangan kirinya yang digandeng itu. bahkan bukan hanya jari tangan, seluruh
lengan, kirinya dia biarkan tengantung dan terkulai mati!”
Tiba-tiba Hui Hong menahan langkahnya, melepaskan tangannya yang memegang tangan Bun Houw,
mengangkat muka memandangnya dengan alis berkerut.
"Ihhhh ...!”
"Ehh? Kenapa?" Bun Houw kaget melihat sikap gadis itu seolah tangannya dipagut ular.
"Tanganmu itu ... seperti tangan mayat saja! Engkau kenapa sih, Houw-ko? Apakah engkau sakit?
Tanganmu dingin dan gemetar dan seperti tidak hidup lagi!”
Tentu saja Bun Houw menjadi gugup karena pertanyaan itu seperti serangan yang langsung mengenai
jantungnya. "Tidak ... eh, aku ... hanya ... hanya ... " Dia menggagap.
"Hanya apa? Engkau begini gugup!”
Bun Houw memang berwatak jujur, walaupun tidak dapat dikata bodoh. Dia merasa sukar kalau harus
berbohong, maka dalam keadaan terhimpit itu, dia mengaku terus terang. "Ketika tanganmu
menggandeng tanganku, aku ... ah, entahlah Hong-moi. Aku merasa takut akan kausangka yang bukanbukan
kalau aku menggerakkan tanganku."
"Apa itu yang bukan-bukan?”
"Misalnya engkau menganggap aku tidak sopan dan kurang ajar ... "
"Ihhh, engkau ini aneh sekali. Belum pernah aku bertemu laki-laki seaneh engkau."
"Dan engkau lebih aneh lagi, Hong-moi, biarpun aku belum pernah bergaul dengan banyak wanita
seperti kita sekarang ini."
"Hemmm, bohongnya! Dan engkau bahkan sudah pernah bertunangan!”
Bun Houw mengerutkan alirnya. "Hong-moi, harap jangan sebut-sebut lagi hal itu Sudah kuceritakan
bahwa Cia Ling Ay menjadi sahabatku sejak kami masih kanak-kanak. Ia seperti adik saja bagiku.
Kemudian bubungan perjodohan yang diikat oleh orang tua kami itu dibikin putus setelah orang tuaku
meninggal dunia, dan ia dinikahkan dengan orang lain. Tidak ada apa-apalagi antara kami, tidak ada apaapalagi
... " Bun Houw merasa sedih sekali.
Bukan sedih karena putusnya hubungan jodoh itu, melainkan sedih teringat dan membayangkan nasib
Ling Ay yang demikian buruk, dijodohkan dengan seorang suami seperti putera pembesar pemberontak
itu. Bahkan tidak hanya sampai sekian nasib buruk yang menimpa diri bekas tunangannya yang juga
merupakan sahabatnya terbaik di waktu mereka masih remaja itu. Ketika ia gagal memperoleh jejak Hui
Hong, dia merasa tidak enak karena dia telah meninggalkan keluarga Cia Kun Ti dengan janji bahwa dia
akan mengantar dan mengawal mereka untuk pindah ke tempat aman di dusun. Maka, sebelum
melanjutkan pencariannya terhadap Hiu Hong, dia kembali dulu ke Nan-ping untuk memberitaku
kepada keluarga Cia agar mereka itu berangkat lebih dulu dan dia akan melanjutkan pencariannya. Akan
tetapi, ketika tiba di rumah keluarga Cia, dia terkejut setengah mari mendengar bahwa Cia Kun Ti dan
isterinya tewas terbunuh, sedangkan Ling Ay sendiri lenyap diculik penjahat!
Dengan marah dan khawatir akan keselamatan Ling Ay, Bun Houw lalu berusaha mencari jejak penculik
Ling Ay. Dia lalu menyelidiki dan menemukan jejaknya, terus melakukan pengejaran. Akhirnya dia tiba di
kuil kosong di mana Ling Ay hampir diperkosa penculiknya. Akan tetapi, ketika Bun Houw tiba di situ, dia
tidak menemukan Ling Ay dan penculiknya hanya menemukan sebuah tusuk sanggul perak di lantai.
Dipungutnya tusuk sanggul itu. Dia tidak tahu apakah itu tusuk sanggul milik Ling Ay, akan tetapi dia
menyimpannya dalam saku bajunya.
Bun Houw melakukan penyelidikan terus dan akhirnya dia mendapat keterangan dari penduduk dusun
bahwa ada wanita muda yang menurut keterangan itu tentu Ling Ay adanya, melakukan perjalanan
bersama seorang wanita lain yang cantik sekali. Mendengar bahwa Ling Ay nampak akrab dengan
wanita itu, hatinya merasa lega. Ayah ibu Ling Ay telah tewas, akan tetapi Ling Ay masih dalam keadaan
selamat. Dia lebih mengkhawatirkan Hui Hong yang mengejar Pek I Mo-ko, penjahat yang lihai itu. Maka
diapun melanjutkan usahanya mencari jejak Hui Hong. Ketika dia mendapat jejak itu menuju ke utara,
diapun cepat melakukan perjalanan ke utara. Kebetulan sekali dia melihat rombongan Pek I Mo-ko dan
membayanginya. Demikianiah, ketika percakapannya dengan Hui Hong menyangkut nama Ling Ay, dia
teringat lagi kepada bekas tunangannya itu merasa bersedih mengingat akan nasibnya yang amat buruk.
"Tapi engkau kelihatan seperti orang berduka. Houw-ko. Ada apakah?"
Bun Houw teringat babwa gadis ini pernah menggodanya dan mengatakan bahwa dia masih mencinta
Ling Ay. Oleh karena itu, diapun tidak berani berterus terang.
"Aku tidak berduka, Hong-moi, hanya kecewa karena bukan saja engkau tidak berhasil merampas
kembali mustika itu dari tangan Pek I Mo-ko, bahkan engkau nyaris celaka di tangan Suma Hok yang
jahat itu."
Ucapan itu seperti menggugah Hui Hong dari tidurnya. Ia menyambar tangan Bun Houw dan
menariknya, diajak lari cepat. "Celaka aku sampai lupa. Mari kita kejar Pek I Mo-ko sebelum jahanam itu
lari jauh!”
Bun Houw mengikuti saja, bahkan dia menunjukkan ke arah mana larinya Suma Hok yang tadi dikejar
pula oleh Ouwyang Toan. Hui Hong mengejar ke sana, karena ia tahu bahwa Suma Hok bekerja nama
dengan Pek I Mo-ko, maka mencari Suma Hok tentu akan dapat bertemu pula dengan Pek I Mo-ko.
Dugaan Hui Hong memang benar. Ketika tadi Pek I Mo-ko melihat betapa Suma Hok telah bertanding
melawan Hui Hong, dia lalu mempengunakan akal dan berhasil melarikan diri, membiarkan Suma Hok
yang melewan gadis itu. Dia sendiri cepat lari ke arah di mana dia dan rombongannya meninggalkan
kuda, dengan maksud untuk melepas panah api memberi isarat kepada kawan-kawannya dan melarikan
diri dari tempat berbahaya itu.
Akan tetapi baru saja dia tiba di situ, dari balik semak belukar dan pohon-pohon, berlompatan keluar
banyak orang dan Pek I Moko terbelalak memandang kepada mereka. Kiranya mereka adalah tujuh
orang tokoh dunia persilatan yang rata-rata memiliki Ilmu kepandaian silat yang sudah tinggi tingkatnya!
Biarpun dia tidak takut melawan mereka karena bagaimanapun juga, tingkat kepandaianaya masih lebih
tinggi dari mereka, namun munculnya orang-orang ini jelas hendak memperebutkan Akar Bunga Gurun
Pasir yang kini berada di saku jubahnya sebelah dalam. Ini berarti bahwa perjalanannya menyerahkan
mustika itu kepada Kaisar Wei Ta Oag tidak akan lancar dan selalu akan terancam bahaya. Apalagi kalau
muncul empat orang yang amat ditakutinya, yaitu Empat Datuk Besar! Di antara mereka adalah bekas
majikan dan gurunya sendiri, pemilik aseli dari mustika yang dicurinya, yaitu Bu-eng-kiam Ouwyang Sek
Si Pedang Tanpa Bayangan! Puteri datuk itu, Ouwyang Hui Hong telah muncul mengejar-ngejarnya. Juga
putera dari datuk besar ke dua yang ditakuti telah muncul, yaitu Suma Hok. Untung bahwa ayah
pemuda itu, datuk besar Kui-siauw Giam-ong Suma Koan (Raja Maut Suling Setan) tidak ikut muncul!
Masih ada dua orang datuk besar lagi yang amat ditakutinya, keduanya wanita namun kelihaian mereka
tidak kalah dibandingkan dua orang datuk besar yang pria itu. Kalau dia bertemu dengan seorang saja
dari mereka, berarti celaka baginya dan akan sukarlah baginya mempertahankan mustika yang sudah
berada di saku jubahnya, dan berarti lenyap pula harapannya untuk mendapatkan kedudukan tinggi dan
kemuliaan di Kerajaan Wei di utara.
Dengan lagak angkuh dia menghadapi tujuh orang itu, mengangkat dada lalu bertanya dengan suara
menantang, "Kalian menghadang perjalananku mempunyai maksud apakah? Aku Pek I Mo-ko tidak
mempunyai banyak waktu untuk berurusan dengan kalian. Oleh karena itu, mengingat akan hubungan
kita sebagai tokoh-tokoh kang-ouw, harap kalian mundur dan biarlah lain kali kalau ada waktu, aku Pek I
Mo-ko Ciong Kui Le akan berkunjung kepada kalian sambil membawa oleh-oleh!"
"Ha-ha-ha, Moko. Tidak perlu lagi berpnra-pura bodoh dan bersih!" kata seorang pria hitam penuh
beewok berusia limapuluhan tahun. Dia adalah Yang-ce Hek-kwi (Iblis Hitam Sungai Yang-ce), seorang
kepala bajak sungai yang amat ditakuti karena selain berkepandaian tinggi, dia juga mempunyai banyakanak
buah dan wataknya kejam sekali.
"Kami-semua sudah tahu bahwa engkau telah mencuri mustika Akar Bunga Gurun Pasir. Nah, mengingat
bahwa kita adalah orang-orang kang-ouw yang setia kawan, maka kaukeluarkan mustika itu, kita bagi
rata agar masing-masing dari kita dapat memperoleh manfaat dari mustika itu. Kami pasti tidak akan
melupakan kebaikanmu ini!”
Enam orang yang lain mengangguk-angguk menyatakan setuju dengan usul atau tuntutan Iblis Hitam itu.
Akan tetapi Pek I Mo-ko mengerutkan alisnya.
"Kalian semua adalah orang-orang tolol yang rakus. Aku tidak mempunyai akar itu!” Tujuh orang itu
saling pandang, akan tetapi seorang dari mereka yang tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat
tertawa. Suara ketawanya seperti ringkik kuda dan mengandung getaran khi-kang kuat. "Hi-hi-hihhh e
Kalau benar engkau tidak membawa mustika itu, biarkan kami menggeledah pakaianmu Moko. Baru
kami percaya!”
"Pek-bio-go (Buaya Muka Putih), berani engkau menghinaku? Kalau engkau sekarang sudah begitu lihai,
hendak kuilhat apakah engkau berani menggeledah tubuhku. Lakukanlah kalau engkau bosan hidup!”
bentak Pek I Mo-ko marah.
"Hi-hi-hiehhh, Ingat, kami bertujuh, Moko. Bukan aku sendiri yang membutuhkan mustika itu. Kami
hanya minta bagian yang adil darimu. Kalau engkau berkeras, terpaksa kami bertujuh akan
menggeledahmu. Kami sudah bersepakat untuk merampas mustika itu. dan kami bagi menjadi tujuh!”
Kini marahlah Pek I Mo-ko. Kedua tangannya bergerak dan tangan kanannya sudah memegang pedang,
tangan kirinya memegang kipas mautnya. "Bagus, kalian semua sudah bosan hidup!” bentaknya dan
diapun indah menerjang ke depan dengan marah. Tujuh orang itu maklum akan kelihaiannya, maka
mereka pun berloncatan ke belakang sambil mencabut senjata masing-masing dan mengeroyok Pek I
Moko.
Tujuh orang kang-ouw ini memang sudah bersepakat untuk bekerja sama. Mereka maklum bahwa yang
memperebutkan mustika itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi,
tokoh-tokoh besar itu biasanya bertindak sendiri-sendiri, bahkan saling bertentangan. Maka, kalau
mereka bertujuh dapat bersatu dengan janji kelak hasilnya akan dibagi rata, yaitu akar itu akan mereka
bagi rata, tentu mereka tidak takut menghadapi lawan yang lebih lihai.
Pertempuran antara Pek I Mo-ko yang dikeroyok tujuh orang itu berlangsung seru dan mati-matian.
Melihat betapa Pek I Mo-ko tidak mau digeledah, tujuh orang kang-ouw itu makin bersemangat. Mereka
yakin bahwa benda mustika yang diperebutkan tentu ada pada diri kakek rambut putih dan pakaian
pulih itu, maka mereka mengepung dan mendesak dengan ganas, Pek I Mo-ko yang marah juga
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun, karena dikeroyok oleh tujuh orang yang
tingkat kepandaian masing-masing hanya sedikit di bawah tingkatnya, dan karena tnjuh orang itu
menyerang penuh semangat, setelah lewat empatpuluh jurus, Pek I Mo-ko terdesak sekali.
Bahkan tiga kali bajunya robek terkena senjata pengeroyok. Robekan yang ke tiga tepat mengenai saku
jubah di sebelah kanan di mana tersimpan benda mustika itu. Dia terkejut dan merasa tidak perlu
menyembunyikan lagi. Karena khawatir Akar Bunga Gurun Pasir itu akan terjatuh dari saku bajunya, dia
mengeluarkannya dan menggigit kantung sutera kuning terisi mustika itu sambil terus mengamuk
dengan pedang dan sulingnya. Sementara itu, tujuh orang kang-ouw yang mengeroyok, begitu melihat
Pek I Mo-ko mengeluarkan sebuah kantong sutera dan menggigitnya, semangat mereka bertambah
besar. Kini mereka yakin bahwa kantung itu terisi akar yang mereka perebutkan!”
Pada saat itu, sepasang mata mengintai dari balik semak belukar yang tebal dan penuh duri. Sudah sejak
tadi orang ini mengintai. Dia seorang laki-laki berusia tigapuluk tahun lebih, bertubuh kekar dan
terbakar sinar matahari. Akan tetapi dia bukan seorang di antara para tokoh kang-ouw yang
memperebutkan mustika. Sama sekali bukan! Dia hanya seorang pemburu binatang hutan dan biarpun
dia bertenaga besar, namun tidak ada artinya, bila dibandingkan dengan para tokoh kang-ouw. Maka,
ketika dia dalam tempat pengintaiannya menyaksikan perkelahian antara para tokoh kang-ouw, dia
memandang ketakutan.
Orang ini bernama So Kian, pemburu yang tinggal di dusun tak jauh dari puncak Bukit Merpati Hitam
bersama isterinya. Dia dan isterinya hidup sederhana dari penghasilannya sebagai pemburu dan juga
bertani di kebun belakang rumah mereka.
Ketika pada pagi hari itu So Kian sedang mengintai kijang atau binatang apa saja yang dapat dijadikan
uang untuk biaya hidupnya, dia melihat rombongan tujuh orang kang-ouw itu. Dia menjadi curiga, juga
takut, lalu bersembunyi di dalam semak belukar itu. Dan dia kini menjadi saksi pertempuran hebat yang
membuat tubuhnya gemetar. Dia tahu bahwa kalau dia memperlihatkan diri, nyawanya tentu takkan
dapat tertolong lagi! Maka, diapun bersembunyi dan tidak berani berkutik. Dia juga tidak tahu mengapa
orang-orang yang berilmu tinggi itu bertempur mati-matian.
Kini Pek I Mo-ko terdesak dan berada dalam bahaya! Dia bahkan tidak sempat melepas panah api untuk
memberitahn kepada para jagoan Kerajaan Wei yang menjadi rombongannya dan yang ia tinggalkan
ketika pasukan jagoan liu bertanding melawan para jagoan dari Kaisar Cang Bu Kerajaan Liu-sung di
selatan.
Pada saat yang amat berbahaya baginya itu. nampak lagi beberapa orang bermunculan. Mereka adalah
orang-orang dari partai-partai persilatan yang juga bertualang untuk memperebutkan benda mustika
itu. Jumlah para pendatang ini tidak kurang dari limabelas orang, terdiri dari beberapa rombongan yang
agaknya tertarik oleh perkelahian itu. Akan tetapi, di samping rasa kagetnya, Pek I Mo-ko juga girang
ketika melihat Suma Hok berada di antara orang-orang yang datang itu dan pemuda tampan putera
datuk besar majikan Bukit Kui-eng-san (Bukit Bayangan Iblis) itu sendirian saja, Pek I Mo-ko hanya
melihat satu jalan untuk menyelamatkan diri dan menyelamatkan benda mustika Akar Bunga Gurun
Pasir. Kalan akar itu tidak ada lagi padanya, tentu tidak akan ada orang yang menyerangnya lagi. Dan
akar itu akan aman kalau berada di tangan Suma Hok. pemuda yang dikenalnya, dan yang juga dapat
diharapkan bisa bekerja sama dengannya itu. Tidak ada pilihan lain.
"Suma Kongcu, simpanlah benda ini untuk-ku!" teriaknya dan diapun melemparkan kantung sutera ke
atas, ke arah Suma Hok. Pemuda yang berjuluk Tok-siauw-kui (Iblis Suling Beracun) itu cerdik sekali. Dia
segera mengerti apa benda yang dilontarkan itu, maka sekali dia mengenjot tubuh, dia melayang ke atas
untuk menangkap benda yang terlempar di udara itu.
"Suma Hok, engkau layak mampus!” terdengar bentakan dan sesosok tubuh lain melayang ke atas.
bukan untuk menangkap kantung sutera, melainkan untuk menangkap Suma Hok. Bayangan ini bukan
lain adalah Ouwyang Toan. Seperti diketahui, putera Bu-eng-kiam Ouwyang Cek ini marah sekali ketika
mendengar bahwa Suma Hok nyaris memperkosa adik tirinya. Kini begilu melihat pemuda tampan itu,
Ouwyang Toan yang bertubuh tinggi besar dan berwatak keras sudah meloncat dan menyerang tubuh
Suma Hok yang masih melayang di udara! Melihat serangan Ouwyang Toan ini, tentu saja Suma Hok
terkejut dan terpaksa dia tidak dapat menyambar kantung sutera yang dilemparkan Pek I Mo-ko tadi,
melainkan menggunakan kedua tangannya untuk menangkis serangan Ouwyang Toan.
"Desssss ...!" Hebat sekali pertemuan tenaga melalui dua pasang tangan putera-putera datuk besar itu
sehingga keduanya terpental dan melayang ke bawah. Sedangkan kantung sutera itu melayang lenyap,
tak dapat dilihat siapapun. Pek I Mo-ko tidak dapat melihatnya karena dia sedang dihimpit serangan
tujuh orang lawannya. Suma Hok maupun Ouwyang Toan juga tidak melihatnya.
Begitu mereka turun ke atas tanah, Ouwyang Toan sudah menerjang lagi. Suma Hok maklum bahwa
tentu Ouwyang Toan telah tahu akan perbuatannya tadi yang nyaris memperkosa Ouwyang Hui Hong,
adik Ouwyang Toan. Maka diapun tidak banyak cakap, menangkis dan membalas seningga terjadilah
perkelahian seru antara dua orang muda perkasa itu.
Pada saat itu, sebelum belasan orang tokoh dunia persilatan yang tadi muncul tahu siapa yang
memegang Akar Bunga Gurun Pasir dan siapa yang harus mereka serang, terdengar suara gaduh dan
bermunculan rombongan jagoan Kerajaan Liu-sung dan rombongan jagoan Kerajaan Wei yang tadi
saling serang. Para jagoan Liu-sung akhirnya tahu bahwa Pek I Mo-ko tidak berada di antara para jagoan
Wei, maka merekapan dapat menduga bahwa Pek I Mo-ko tentu telah melarikan diri membawa mustika
yang diperebutkan itu. Maka, dengan sendirinya mereka meninggalkan lawan dan melakukan
pengejaran. Para Jagoan Wei juga Ikut mengejar. Di antara kedua rombongan sudah ada beberapa orang
yang terluka dalam pertempuran tadi.
Setelah dua rombongan itu tiba, keadaan menjadi semakin kacau. Melihat betapa dia tidak akan mampu
mengalahkan Ouwyang Toan dengan mudah, suma Hok mendapat akal dan diapun berteriak.
"Cuwi (saudara sekalian) harap hentikan perkelahian!" teriaknya sambil melompat ke belakang.
Ouwyang Toan yang keras hati itu mendelik. "Suma Hok, aku harus membunuh atas perbuatanmu
terhadap adikku!”
"Ouwyang Toan, urusan pribadi yang tidak ada artinya perlukah diperpanjang di sini? Semua orang ribut
mencari Akar Bunga Gurun Pasir, dan engkau ribut urusan tetek-bengek!"
Mendengar ini, Ouwyang Toan seperti diingatkan akan tugasnya. Dia di suruh ayahnya menyelidiki hasil
tugas adiknya, Ouwyang Hui Hong yang ditugaskan mencari Pek I Mo-ko, merampas kembali Akar Bunga
Gurun Pasir dan menghukum bekas pelayan dan murid yang murtad itu! Mendengar ucapan yang
mengingatkan dia akan tugasnya itu, dia lalu menghadapi Pek I Mo-ko yang juga sudah tidak dikeroyok
oleh tujuh orang kang-ouw karena mereka tadi melihat betapa Pek I Mo-ko yang tadinya menggigit
kantung sutera, telah melemparkan kantung sutera itu.
"Pek I Mo-ko, cepat berlutut! Engkau harus mengembalikan Akar Bunga Gurun Pasir milik ayah dan
menerima hukuman buntung lengan!”
Pek I Mo-ko memandang Ouwyang Toan dengan senynm mengejek. "Ouwyang Toan, orang menuduh
seseorang mencuri haruslah disertai buktinya. Kalau ada buktinya bahwa Akar Bunga Gnrun Pasir berada
di tanganku, barulah tuduhan itu berisi. Kalan tidak, bukan kah itu hanya fitnah saja? Aku tidak
membawa mustika itu, Kalau tidak percaya, siapa saja boleh menggeledahku!”
"Kami melihat dia melemparkan benda mustika itu ketika kami desak tadi!” Tiba-tiba Yang-ce Hek kwi
berseru.
"Dia melemparkannya kepada pemuda bersuling itu!” kala orang ke dua sambil menuding ke arah Suma
Hok. Dia tidak mengenal Suma Hok, yang dikiranya hanya seorang di antara mereka yang
memperebutkan benda mustika itu atau juga kawan Pek I Mo-ko. Mendengar ini semua orang
mamandang kepada Suma Hok dengan sinar mata penuh selidik dan juga mengancam. Banyak di antara
mereka yang mengenal Tok-siauw-kui Suma Hok dan tahu akan kelihaiannya, akan tetapi karena di situ
berkumpul banyak tokoh kang-ouw yang memperebutkan, maka mereka yang mengenalnya juga tidak
merasa takut. Siapa yang memegang mustika itu tentu akan dikeroyok banyak orang!”
Suma Hok juga maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Akan tetapi dia tersenyum, dan
menggeleng kepalanya. "Aku memang meloncat untuk menangkap benda yang melayang tadi, akan
tetapi Ouwyang Toan muncul dan menyerangku. Aku terpaksa melayaninya dan benda tadi entah
melayang ke mana?”
"Kalau begitu benda itu tentu masih berada di sekitar sini! Mari kita cari!” kata Yang-ce Hek-kwi dan
tujuh orang kang-ouw yang sudah bersekutu itu lalu mulai mencari. Melihat ini, tentu saja semua orang
juga tidak mau ketinggalan dan ikut pula mencari, bahkan termasuk Pek I Mo-ko, Suma Hok, dan
Ouwyang Toan! Semua semak belukar dibabat bersih dan semua orang bekerja keras sambil saling
memperhatikan. Agar kalau ada yang menemukan dapat saling mengetahui. Dalam keadaan seperti itu,
andaikata ada yang berhasil menemukan, tentu dia akan celaka, akan diserang oleh semua orang! Hal ini
mereka sama mengetahui, maka tentu saja mereka mencari dengan hati tegang dan gelisah. Bahkan
tujuh orang kang-ouw yang sudah bergabung itupun menjadi gelisah karena bagaimana mungkin
mereka bertujuh dapat menghadapi lawan yang demikian banyak dan lihai?
Akan tetapi, sampai habis semak belukar di sekeliling tempat itu dibabat, kantung sutera itu tidak juga
dapat ditemukan! Semua orang merasa heran, juga Pek I Mo-ko memandang dengan wajah pucat. Suma
Hok juga terheran-heran, demikian pula tujuh orang yang tadi mengeroyok Pek I Mo-ko. Hanya mereka
sembilan orang itulah yang tahu benar akan melayangnya kantung sutera tadi.
"Kita ditipu!” teriak seorang jagoan Liu-sung. "Mustika itu tentu masih disimpan Pek I Mo-ko!”
Mendengar ucapan ini, semua orang memandang kepada Pek I Mo-ko dengan pandang mata
mengancam. Bahkan para jagoan Wei sendiri juga mengerutkan alisnya memandang kepada Pek I Moko.
Si kembar raksasa Liauw Gu dan Liauw Bu saling pandang. Mereka telah menerima tugas rahasia dari
Kaisar Wei Ta Ong, bahwa kalau Pek I Mo-ko menipu mereka dan hendak melarikan mustika itu, boleh
dikeroyok dan dibunuh saja!”
"Kalau mustika itu dilemparkan lalu tidak diterima orang, mengapa tidak berada di sekitar tempat ini?"
tanya Liauw Bu.
"Sungguh telah kulemparkan kepada Suma Hok ...!” kata Pek I Mo-ko bingung dan gelisah!
"Dia bohong! Pek I Mo-ko bohong! Tentu mustika itu disembunyikan!” orang-orang mulai berteriakteriak.
"Hukum dia! Bunuh dia kalau tidak mau menyerahkan mustika itu!" terdengar teriakan orang-orang lain.
Tiba-tiba terdengar suara yang dalam dan berat, mengandung getaran amat kuat. "Siapa-pun tidak
berhak menghukum dan membnnuh Ciong Kui Le kecuali aku!"
Semua orang menengok ke arah orang yang bicara itu. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ
telah muncul seorang pria yang gagah perkasa penuh wibawa. Usianya sekitar limapuluh tahun,
tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat seperti sebongkah batu karang, mukanya hitam seperti arang,
akan tetapi muka itu tidak buruk, bahkan ganteng dan gagah. Pakaiannya dari sutera halus dan nampak
bersih, dan di punggungnya tengantung sebatang pedang yang sarungnya dibuat dari emas murni
berukir naga yang amat indah, dan gagang pedang itu dihias ronce merah kuning.
Mereka yang mengenal pria ini nampak gemetar dan gentar karena pria ini bukan lain adalah Bu-engkiam
Ouwyang Sek, majikan Lembab Bukit Siluman, seorang di antara Empat Datuk Besar yang aneh dan
ditakuti orang! Setelah melempar pandang matanya yang mencorong, menyapu semua orang yang
berada di situ dengan sinar mata merendahkan, dia berkata lagi.
“Akar Bunga Gurun Pasir adalah benda mustika yang tidak boleh dimiliki orang lain! Pek I Mo-ko harus
menyerahkannya kepadaku dan yang lain boleh pergi dari sini!”
Mendengar ucapan ini, tujuh orang kang-ouw yang tadi mengeroyok Pek I Mo-ko dan yang belum
pernah bertemu dengan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, menjadi marah sekali. Mereka bertujuh
mengandalkan diri sebagai sekelompok orang yang tangguh karena mereka bekerja sama. Dengan maju
bertujuh, mereka tidak takut menghadapi siapapun juga. Dengan dipimpin Yang-ce Hek-kwi, mereka kini
maju dan mengepung Ouwyang Sek, Si Iblis Hitam itu berdiri di depan Ouwyang Sek dan menudingkan
telunjuk kirinya ke arah muka datuk besar itu, "Dari mana datangnya manusia sombong ini? Akar Bunga
Gurun Pasir dimiliki siapa saja yang menang dalam perebutan! Kami bertujuh yang akan membunuh Pek
I Mo-ko kalau dia tidak mau menyerahkan mustika itu, dan kalau engkau ini manusia sombong hendak
menghalangi, kau akan kami bunuh pula!”
Bu-eng-kiam Ouwyang Sek tersenyum, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar berkilat.
“'Kalian bertujuh sudah bosan hidup agaknya,” katanya perlahan.
"Engkaulah yang bosan hidup dan sekarang juga akan kuantar engkau ke alam baka!” Yang-ce Hek-kwi
yang sudah marah sekali dan pemberani karena mengandalkan gerombolannya, sudah menggerakkan
goloknya membacok ke arah muka Bu-eng kiam Ouwyang Sek. Melihat ini, semua orang kang-ouw yang
sudah mengenal datuk besar itu memandang dengan hati tegang dan mereka semua maklum bahwa
tujuh orang tokoh kang-ouw tingkat pertengahan itu sungguh mencari penyakit!
Melihat golok menyambar ke arah mukanya. Ouwyang Sek sana sekali tidak mengelak, bahkan tangan
kirinya bergerak, dengan tangan terbuka dia menyambut golok itu! Golok itu menyambar dengan cepat
dan kuat. namun tertahan dan tertangkap tangan itu bagaikan terjepit catut baja yang amat kuat.
Tentu saja Yang-ce Hek-kwi terkejut dan marah. Dia mengerahkan tenaga untuk membuat tangan itu
terbuka, juga ingin menarik lepas goloknya sekuat tenaga. Akan tetapi, golok itu seperti melekat pada
tangan itu dan pada saat Yang-ce Hek-kwi mengerahkan tenaga terakhir, tiba-tiba Ouwyang Sek
mendorong golok itu sehingga membalik dan meluncur ke arah muka pemiliknya. Yang-ce Hek-kwi
terbelalak, akan tetapi tidak sempat mengelak lagi ketika golok yang ditariknya itu meluncur ke arah
mukanya.
"Crakkk ...!” Golok itu tepat membacok di tengah-tengah mukanya sehingga kepala bagian depan itu
terbelah karena golok itu masuk sampai ke tengah kepala. Tubuh Yang-ce Hek-kwi terjengkang dan dia
tewas seketika dengan muka terbelah!
Seorang temannya menyerang Ouwyang Sek dari belakang dengan menusukkan pedang kanan ke arah
punggung dan pedang kiri mengikuti dengan bacokan ke arah kepala datuk besar itu. Ouwyang Sek
miringkan tubuh, mengangkat lengan kanan sehingga pedang itu terjepit di bawah ketiaknya, lalu
tubuhnya membalik ke kiri, tangan kirinya membuat gerakan menampar kepala penyerangnya lalu
merampas pedang kirinya.
Penyerang itu mengeluarkan pekik dan roboh terjengkang. Sepasang pedangnya tertinggal di jepitan
ketiak kanan Ouwyang Sek dan di tangan kiri datuk itu. Kepala orang itu retak dan diapun tewas
seketika!”
Lima orang kawanan kang-ouw itu terkejut dan marah. Mereka serentak menyerang dari lima penjuru.
Akan tetapi, begitu Bu-eng-kiam Ouwyang Sek menggerakkan sepasang pedang rampasan, tiga orang
pengeroyok yang berada di depan, kanan dan kiri roboh mandi darah dan lewat dengan leher hampir
putus. Melihat ini, dua orang yang tersisa menjadi gentar dan mereka melarikan diri. Akan tetapi, belum
sepuluh langkah mereka melarikan diri, terdengar suara berciut nyaring dan dua batang pedang
rampasan itu telah menembus tubuh mereka dari punggung sampai ke dada dan merekapun roboh
menelungkup dan tewas seketika!”
Suasana menjadi sunyi melengang! Semua orang menahan napas, tegang dan kagum bukan main.
Biarpun tujuh orang kang-ouw tadi hanya memiliki ilmu kepandaian pertengahan saja, namun mereka
maju bertujuh dan sungguh membutuhkan ketangkasan luar biasa untuk membunuh mereka dalam
beberapa gerakan saja. Pek I Mo-ko sudah seperti lumpuh saking takutnya. Tadipun dia tidak berani
menggunakan kesempatan untuk melarikan diri, dan dia terpukau di tempatnya, memandang dengan
muka pucat sekali.
"Ciong Kui Le, ke sini kau!” Tiba-tiba Bu-eng-kiam Oowyang Sek membentak. Suaranya penuh wibawa,
terasa getaran kuat dalam suara itu oleh semua orang.
Pek I Mo-ko menghampiri bekas guru dan majikannya, lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Hamba Ciong Kui Le menerima kesalahan hamba dan mohon pengampunan." katanya merendah.
"Serahkan Akar Bunga Gurun Pasir kepadaku!”
Tubuh Pek I Mo-ko menggigil dan mukanya menjadi semakin pucat. "Mohon maaf, suhu ... "
"Lancang! Siapa sudi mempunyai murid macam engkau? Aku bukan gurumu!” bentak Bu eng-kiam
Ouwyang Sek dan mukanya yang berkulit hitam itu nampak semakin hitam!
"Maaf, ... lo cian-pwe ... akan tetapi akar itu ... tadi hamba lemparkan kepada Suma Kongcu ...! Banyak
yang melihatnya ... hamba tidak berani berbohong ... "
Ouwyang Sek mencari dengan pandang matanya rampai pandang mata itu berhenti pada wajah Suma
Hok. Pemuda putera Kui-siauw Giam ong Suma Koan ini tersenyum, melangkah maju dan memberi
hormat kepada Ouwyang Sek dengan kedua tangan di depan dada.
"Paman Ouwyang, selamat datang, paman."
Terhadap pemuda itu. Ouwyang Sek bersikap ramah, karena ayah pemuda itu merupakan seorang yang
setingkat dengan kedudukannya. "Hemm, kiranya engkau pun barada di sini! Di mana ayahmu?"
"Ayah mengutus saya untuk mencoba merampas kembali mustika itu dari tangan Pek I Mo-ko, dan tentu
akan kami serahkan kepada paman kalau saya berhasil mendapatkannya. Saya tidak tahu apakah ayah
sendiri juga akan datang."
"Benarkah engkau menerima akar itu dari Pek I Mo-ko seperti diceritakannya tadi.?"
"Ketika Pek I Mo-ko dikeroyok tujuh orang tak tahu diri itu," dia menunjuk mayat tujuh orang yang
tewas di tangan Ouwyang Sek, "dia terdesak dan dia melemparkan sebuah kantung sutera kepada saya.
Ketika saya meloncat untuk menyambutnya, tiba-tiba saya diserang oleh saudara Ouwyang Toan!
Terpaksa saya menangkis dan kantung sutera itu lenyap entah ke mana. Sudah kami cari sampai ke
seluruh tempat di sekitar ini, namun tidak berhasil."
Ouwyang Sek memandang puteranya yang sudah mendekat. "Benarkah itu. Toan-ji (anak Toan)?"
"Memang benar, ayah. Aku tidak tahu bahwa kantung sutera itu berisi akar yang kita cari. Setelah kami
semua tahu, kami mencarinya namun tidak berhasil. Sudah pasti bahwa akar dalam kantung sutera itu
dibawa pergi orang lain."
"Kenapa kau menyerang Suma Hok?"
"Dia telah berbuat kurang ajar terhadap adik Hui Hong, ayah."
"Paman, saya mencinta adik Hui Hong, bagaimana berani berbuat kurang ajar? Kelak saya dan ayah akan
berkunjung dan melamar adik Hui Hong." kata Suma Hok cepat.
Ouwyang Sek mengerutkan alisnya. Urusan itu tidak penting baginya.
"Sudahlah, aku ingin mendapatkan kembali akar itu." Dia lalu memandang ke sekeliling. "Kalau di antera
saudara ada yang menemukan akar itu dan mengembalikannya kepadaku, tentu akan kuberi hadiah
besar. Sebaliknya, siapa saja yang menemukannya dan tidak mau mengembalikan, biar dia bersembunyi
di manapun akan dapat kutemukan dan kubunuh! Nah, aku sudah bicara dan harap saudara sekalian
pergi dari sini meninggalkan kami sendiri!”
Orang-orang kang-ouw itu merasa jerih, bahkan para pendekar dari partai persilatan yang hadir di situ,
tidak ingin bermusuhan dengan datuk besar yang lihai itu. Akar yang diperebutkan sudah lenyap, apalagi
pemilik aselinya sudah berada di situ. Tidak perlu lagi memperebutkan benda yang tidak tentu ke mana
lenyapnya. Maka, pergilah mereka meninggalkan tempat itu.
Rombongan para jagoan dari Kerajaan Wei melangkah maju menghadapi Ouwyang Sek.
Pemimpin rombongan, yaitu Liauw Gu dan Liauw Bu, raksasa kembar itu, mewakili rombongannya.
Liauw Gu. berkata, "Lo-cian-pwe, kami adalah utusan Kerajaan Wei. Kami tidak ingin bermusuhan
dengan lo-cian-pwe. Akan tetapi hendaknya diketahui bahwa Pek I Mo-ko Ciong Kui Le ini sekarang telah
menjadi seorang ponggawa Kerajaan Wei dan merupakan anggauta rombongan kami. Oleh karena itu,
kami harap dapatlah kiranya lo-cian-pwe memandang kaisar kami dan membiarkan dia pergi bersama
kami."
Berkerut sepasang alis yang tebal itu. "Hemm, urusan antara Ciong Kui Le dan aku adalah urusan peibadi
kami berdua saja, dan terjadi sebelum dia menjadi orangnya kaisar Kerajaan Wei. Aku tidak mempunyai
urusan dengan Kerajaan Wei. Kalian kembalilah ke utara dan sampaikan kepada Kaisar Wei Ta Ong
bahwa setelah aku selesai membuat perhitungan dengan orang ini, baru kulepaskan dan untuk pergi
menghadap beliau. Kalau sekarang ada yang melindungi dia dariku, siapapun juga, termasuk kalian,
maka contohnya adalah tujuh orang itu!" Ouwyang Sek menunjuk ke arah mayat tujuh orang yang tadi
dibunuhnya.
Para jagoan Kerajaan Wei tidak berani nekat menentangnya. Pula, sudah jelas bahwa mustika itu tidak
ada lagi kepada Pek I Mo-ko sudah lenyap tanpa ada yang mengetahui ke mana lenyapnya. Untuk apa
mempertaruhkan nyawa membela Pek I Mo-ko? Bahkan Sribaginda Kaisar sendiri tentu akan
menjatuhkan hukuman berat kepada Pek I Mo-ko apa bila dia pulang tanpa membawa mustika itu, dan
dianggap sebagai pembohong dan penipu yang berani mempermainkan kaisar. Mereka lalu saling
memberi isarat dengan pandang mata dan pergilah mereka tanpa bicara apa-apalagi. Akhirnya, yang
tinggal di situ hanyalah Ouwyang Sek. Ouwyang Toan, dan Pek I Mo-ko yang masih berlutut, di antara
tujuh mayat yang berserakan.
"Toan-ji, kau geledah dia!” Ouwyang Sek berkata, Ouwyang Toan mengangguk dan begitu tubuhnya
bergerak, terdengar suara kain robek dan pakaian luar yang membungkus tubuh Pek I Mo-ko sudah
menjadi koyak-koyak, tinggal pakaian dalam saja. Akan tetapi, mereka tidak menemukan Akar Bunga
Gurun Pasir yang mereka cari, Ouwyang Sek menjadi kecewa dan dia memandang ke sekeliling, seolaholah
hendak mencari mustika itu.
"Kami semua tadi sudah mencari dan aku memperhatikan kalau-kalau mustika itu di temukan orang,
akan tetapi tidak berhasil, ayah. Benda itu hilang. Tentu sudah diambil orang lain yang tadinya
bersembunyi."
"Kui Le," kata Ouwyang Sek kepada bekas murid dan pelayannya, "Katakan siapa yang kini menguasai
mustika milikku itu! Baru akan kupertimbangkan nyawamu!”
Pek I Mo-ko yang kini hanya mengenakan celana dalam sebatas lutut dan tubuh atasnya tidak
berpakaian, memberi hormat sambil berlutut, "Lo-cian-pwe, hamba tidak berbohong. Tadinya memang
berada pada hamba. Hamba ditekan oleh Kaisar Wei Ta Ong untuk menyerahkan benda itu kepadanya.
Ketika tadi hamba dikeroyok dan terdesak, dari pada benda itu dirampas penjahat, maka hamba
lemparkan kepada Suma Hok karena hamba tahu bahwa dia hendak mengembalikan kepada lo-cianpwe
kalau nanti dia meminang Ouwyang Siocia. Akan tetapi Ouwyang Kongcu menyerangnya pada saat
dia hendak menyambut benda itu sehingga benda itu melayang dan entah jatuh ke mana. Anehnya,
ketika semua orang mencari, benda itu tidak dapat ditemukan. Hamba kira pengambilnya tentulah
orang yang berkepandaian tinggi sehingga tak seorangpun di antara kami semua dapat melihatnya. Dan
yang memiliki kepandaian tinggi itu, selain lo-cian-pwe, hanya ada tiga orang lain lagi."
"Hmm, kaumaksudkan, tiga orang datuk besar lainnya! Kui-siauw Giam-ong (Raja Maut Suling Iblis), Bi
Mo-li (Iblis Betina Cantik), atau Kwan Im Sian-li (Dewi Kwan Im)?"
"Siapalagi kalau bukan mereka yang memiliki ilmu kepandaian setinggi lo-cian-pwe?"
Ouwyang Sek mengangguk-angguk, kemudian dia memandang kepada bekas pelayan itu dan suaranya
terdengar tegas. "Baik, kuampunkan nyawamu, akan tetapi karena perbuatanmu, mustika milikku itu
lenyap. Hayo cepat kaubuntungi sendiri tangan kirimu!”
"Lo-cian-pwe, ampunkan hamba ... " Pek I Moko meratap.
"Jahanam busuk!" Ouwyang Toan membentak. "Apa kau ingin ayah atau aku yang membuntunginya?
Kalau aku yang diperintahkan membuntungi, bukan hanya tanganmu, juga kedua kakimu!”
Ouwyang Sek tersenyum mendengar ucapan puteranya. Pek I Mo-ko maklum bahwa tidak mungkin ada
pengampunan baginya dan ucapan Ouwyang Toan tadi memang ada benarnya. Perintah bekas
majikannya hanya membuntungi tangan kiri. Hal itu masih ringan dari padat dibuntungi lengan
kanannya, atau bahkan kedua lengannya dan kakinya! Cepat dia menyambar sebatang golok yang
banyak berserakan di situ, senjata tujuh orang yang tewas, dan sekali tabas, buntunglah pengelangan
tagan kirinya. Darah mengucur deras dan Pek I Mo-ko cepat menotok jalan darah di lengan kirinya untuk
menghentikan keluarnya darah dari luka di pergelangan tangannya.
Ouwyang Sek mengangguk-anggnk. "Toan-ji, mari kita pergi! Kita cari Hui Hong!”
Ayah dan anak itu berkelebat lenyap meninggalkan Pek I Mo-ko di antara mayat-mayat itu. Pek I Mo-ko
menggigit bibir menahan rasa nyeri, dan dengan tangan kanannya dia mengambil obat luka dari
pakaiannya yang terkoyak-koyak tadi, mengobati luka dan membalut pergelangan tangan kiri yang
buntung itu dengan robekan kain pakaiannya. Kemudian, tertatih-tatih dia meninggalkan tempat itu.
***
"Mari, Hong-moi, kita harus cepat dapat menangkap Pek I Mo-ko!” kata Bun Houw yang berlari cepat di
samping Hui Hong.
"Houw-ko, tentu saja aku ingin cepat menangkapnya, agar benda mustika milik ayah itu tidak sampai dia
serahkan kepada orang lain."
"Dan dia harus memberitahu siapa yang membunuh keluarga Cia dan menculik Ling Ay." kata pula Bun
Houw yang masih penasaran karena dia teringat akan nasib Ling Ay.
Tiba-tiba Hui Hong menghentikan langkahnya. Tentu saja Bun Houw merasa heran dan diapun berhenti,
lalu menghampiri gadis itu. "Hong-moi, kenapa engkau berhenti?"
Hui Hong menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut. Sudah sejak pertemuannya dengan Bun
Houw. hatinya merasa tidak senang melihat Bun Houw mencampuri urusan rumah tangga wanita yang
pernah menjadi tunangannya itu.
"Kwa Bun Houw," katanya dengan suara dingin. "Sebagai seorang pendekar, engkau sungguh tidak
pantas sekali mencampuri urusan pribadi dan rumah tangga seorang wanita yang bukan apa-apamu!”
"Eihhh?" Bun Houw membelalakkan matanya memandang, "Apa maksudmu, Hong-moi dan kenapa
engkau tiba-tiba marah kepadaku?"
"Engkau masih pura-pura tidak mengerti? Aku muak melihat sikapmu itu, mengingat bahwa kita telah
bersahabat. Engkau tidak berhak mencampuri urusan perempuan bernama Cia Ling Ay itu! Ingat, ia
tetah menjadi isteri orang lain. Kenapa engkau masih memperhatikan dan mengurus dirinya? Tidak
malukah engkau kalau diketahui orang bahwa engkau, seorang pendekar yang berkepandaian lumayan,
memperhatikan isteri orang lain?"
Bun Houw menjadi semakin heran, akan tetapi juga penasaran. Kenapa begitu dia menyebut nama Ling
Ay, Hui Hong berubah sikap, menjadi marah dan galak? Tiba-tiba Bun Houw teringat akan sesuatu dan
diapun tersenyum memandang wajah gadis itu.
"Kwa Bun Houw, mengapa engkau cengar-cengir seperti itu? Aku tidak main-main! Aku marah dan
jengkel, engkau tahu?"
Bun Houw tertawa. "Ha ha, aku tahu, Hongmoi. Engkau ... cemburu kepada Ling Ay! Benarkah?"
Wajah Hui Hong menjadi merah sekali dan matanya melotot. "Aku? Cemburu? Kalau bukan engkau yang
mengeluarkan ucapan itu, tentu akan kutampar mulutmu sampai hancur! Kenapa aku mesti cemburu?
Huh, Bun Houw, engkau tidak patut menjadi sahabatku!” Dan iapun menggerakkan tubuhnya, lari
meninggalkan Bun Houw.
Kini pemuda itu, terkejut. "Heiii..! Hong-moi, jangan begitu! Jangan marah dan meninggalkan aku.
Maafkan ucapanku tadi!” teriak Bun Houw sambil mengerahkan tenaga mengejar.
Karena ilmu berlari cepat Bun Houw tidak berada di bawah tingkat Hui Hong, maka gadis itu tetap tidak
mampu meninggalkannya. Hal ini membuat Hui Hong menjadi semakin marah. Gadis ini marah kepada
diri sendiri karena ia merasakan benar bahwa ia memang cemburu! Ia merasa tidak senang karena Bun
Houw begitu memperhatikan Ling Ay yang sudah menjadi isteri orang lain. Hal ini membuat ia merasa
seolah ia sama sekali tidak menarik hati, kalah oleh seorang wanita lain yang sudah menjadi uteri orang.
Akan tetapi, tentu saja ia tidak mau mengaku bahwa ia cemburu, bahkan perasaan ini membuat ia
merasa malu dan bahkan menambah kemarahannya. Marah kepada diri sendiri yang semua ia
tumpahkan kepada Bun Houw yang ia anggap sebagai biang keladinya!
Melihat ia tidak mampu meninggalkan Bun Houw, ia pun tiba-tiba berhenti, "Mau apa engkan
mengejarku?"
"Hong-moi, Jangan begitu. Jangan engkau marah kepadaku. Aku ... aku minta maaf kalau ucapanku
menyinggung hatimu."
"Tidak ada yang menyinggung, tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku hanya ingin engkau jangan
mendekati aku, jangan mengikuti aku!” kata Hui Hong ketus.
"Tapi, Hong-moi. Tadi kita begitu akrab, engkau bersikap demikian ramah dan baik kepadaku dan ... "
"Cukup. pergilah! pergi dan jangan ikut aku lagi!” kata Hui Hong dan iapun lari lagi. Tentu saja Bun Houw
masih merasa penasaran dan diapun mengejar lagi. Terjadi lagi kejar-kejaran sampai Hui Hong berhenti
lagi dan membalik.
"Kalau engkau masih mengejar, akan kuhajar kau!”
"Hong-moi, ...!" Bun Houw terkejnt karena tidak menyangka bahwa Hui Hong benar-benar marah sekali
dan seperti membencinya.
"Cukup! Aku tidak mau lagi berkenalan denganmu, tidak mau lagi bicara denganmu!”
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring, "Hong-moi. apakah dia kurang ajar kepadamu?" Dan muncullah
Ouwyang Toan dan Ouwyang Sek.
"Ayah ...!” Hui Hong lari menghampiri ayahnya.
"Hong-moi, apa yang dilakukan orang ini kepadamu?” Ouwyang Toan kembali bertanya sikapnya marah.
"Dia ... dia menjengkelkan, dia menuduh aku cemburu!" kata Hui Hong yang masih marah dan jengkel.
Ouwyang Toan menghampiri Bun Houw dengan sikap menantang. Pemuda tinggi besar ini memang
berwatak keras, pencemburu, dan memandang rendah orang lain.
"Hemmm, siapapun yang mengganggu adikku, harus dihajar!”
Bun Houw mengerutkan alisnya. "Aku tidak ingin berkelahi dengan siapapun."
"Engkau pengecut! Hanya berani mengganggu perempuan, tidak berani bertanggung jawab dan takut
menerima tantanganku?" Ouwyang Toan tersenyum mengejek.
Wajah Bun Houw berubah merah. "Sobat, harap jangan keterlaluan dan jangan mendesakku. Aku tidak
mempunyai alasan untuk berkelahi denganmu."
"Kalau aku mendesak, kau mau apa? Aku mempunyai alasan cukup kuat untuk menantangmu, kalau
engkau berani. Kalau engkau takut. cepat berlutut dan minta ampun kepada kami!”
Sepasang mata Bun Houw berkilat, "Engkau terlalu sombong!”
"Kau berani? Nah, sambutlah ini!” Ouwyang Toan menyerang dengan dahsyat sekali.
Tangan kanannya yang dikepal menghantam ke arah kepala Bun Houw, diikuti tangan kiri yang
menyusut dan mencengkeram ke arah dada.
Bun Houw mengelak dan ketika tangan kiri lawan mencengkeram, diapun menangkis dengan
pengerahan tenaga. Tangan kirinya berputar di depan dada ketika menangkis sambil miringkan
tubuhnya ke kanan.
"Dukkk!” Pertemuan kedua lengan kiri itu membuat keduanya terdorong ke belakang. Ouwyang Toan
merasa penasaran dan diapun menyerang kalang kabut, gerakannya bengis dan ganas sekali.
Biarpun dia tidak ingin bermusuhan dengan kakak Hui Hong, namun karena dihina dan didesak, timbul
kemarahan di hati Bun Houw dan diapun mulai membalas serangan lawan. Terjadilah perkelahian yang
seru. Karena maklum bahwa lawan lihai dan memiliki tenaga yang kuat, Bun Houw segera menggunakan
ilmu silatnya yang menggunakan jari-jari tangan untuk menotok.
"Ihhh ...!” Ouwyang Toan terhuyung ketika lengannya bertemu dengan totokan jari tangan lawan. Dia
menjadi semakin marah karena terhuyungnya itu menunjukkan bahwa dia terdesak walaupun belum
roboh. Diapun cepat mencabut pedangnya.
"Kalau engkau benar laki-laki, keluarkan senjatamu!" tantang Ouwyang Toan, pedangnya melintang di
depan dada.
Karena tantangan itu juga merupakan penghinaan, Bun Houw mencabut tongkat bututnya dari
pinggang. "Hemm. engkau terlalu mendesakku, Ouwyang Toan. Jangan salahkan aku kalau sampai
engkau terluka." Dia memperingatkan, merasa tidak enak sekali ketika dia melihat ke arah Hui Hong
gadis itu tetap memandangnya dengan marah.
"Lihat pedang!” Ouwyang Toan membentak, dan nampak sinar berkilat ketika pedangnya menyambarnyambar.
Bun Houw seperti tidak melihat datangnya bahaya, bersikap acuh dan tetap memandang ke
arah Hui Hong, akan tetapi begitu pedang lawan menyambar, dia sudah mengelak dengan ringan.
Memang bagi pemuda murid Tiauw Sun Ong ini, tidak perlu mempergunakan matanya ketika
bertanding. Dia biasa berlatih tanpa menggunakan penglihatan matanya, berlatih di dalam kegelapan
yang pekat, bahkan berlatih dengan mata terpejam, seperti gurunya yang buta. Karena latihan-latihan
itu, seluruh bagian tubuhnya memiliki kepekaan seolah-olah di semua bagian tubuhnya terdapat mata.
Gerakannya demikian otomatis tanpa melihat lagi.
Setiap kali pedang di tangan Ouwyang Toan bertemu tongkat, terdengar suara nyaring seolah-olah
tongkat butut itu merupakan sebuah benda logam yang amat kuat. Mudah diduga bahwa tongkat butut
itu menyembunyikan senjata yang terbuat dari pada baja. Permainan tongkat Bun Houw demikian aneh,
cepat dan kuat sehingga setelah lewat belasan jurus, gulungan sinar pedang Ouwyang Toan makin
menyempit dan mengecil, tanda bahwa dia terdesak.
"Toan-ji, mundur, biar aku bermain-main sebentar dengan bocah ini!” terdengar suara yang dalam dan
berwibawa.
Mendengar suara ayahnya, Ouwyang Toan terkejut dan heran, akan tetapi dia meloncat keluar dari
perkelahian itu, ke dekat ayah dan adiknya. Tentu saja dia merasa heran. Ayahnya adalah seorang datuk
besar yang tidak mau sembarangan melayani orang-orang yang rendah tingkatnya, Apalagi seorang
pemuda! Dan bagaimana mungkin pemuda ini akan mampu menandingi ayahnya? Tingkat
kepandaiannya hanya setinggi tingkatnya, tidak banyak selisihnya!”
Sementara itu, ketika kakek berusia lima-puluhan tahun yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam
itu menghampirinya, Bun Houw merasa jantungnya berdebar tegang. Dia tidak takut, akan tetapi
merasa tidak enak sekali. pria ini adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang sudah banyak didengar
namanya. Gurunya sendiri pernah menceritakan kepadanya tentang Empat Datuk Besar. Biarpun
gurunya yang buta belum pernah melihat mereka, namun gurunya mendengar banyak tentang mereka.
Hal ini masih belum banyak artinya bagi Bun Houw. Yang membuat dia tidak enak dan gelisah adalah
karena Bu eng-kiam ini adalah ayah kandung Hui Hong! Tadipun dia sudah merasa tidak enak harus
berkelahi melawan kakak gadis itu, Apalagi sekarang dia berhadapan dengan ayahnya. Maka, cepat dia
mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada orang tua itu.
"Lo-cian-pwe, harap maafkan saya. Sesungguhnya, saya tidak ingin bermusuhan atau berkelahi dengan
siapapun apa lagi dengan lo-cian-pwe yang saya hormati. Tidak ada alasan bagi kita untuk bertanding
dan saya tidak berani kurang ajar melawan lo-cian-pwe yang berkedudukan tinggi dalam dunia
persilatan.”
“Orang muda, siapa namamu?”
“Nama saya Kwa Bun Houw, locianpwee.”
“Kwa Bun Houw, engkan sudah berani menentang kedua orang anakku, dan kulihat tadi ilmu pedangmu
cukup baik sehingga Toan-ji tidak mampu mengalahkanmu. Sudah sepatutnya kalau aku mengukur
sampai di mana kehebatan Ilmu pedangmu yang tersembunyi dalam tongkat. Biarlah aku melawan
pedangmu itu dengan tangan kosong, agar jangan dikatakan aku yang tua menghina yang muda. Hayo
maju dan seranglah aku."
"Saya tidak berani, lo-cian-pwe." Alis yang tebal itu berkerut.
"Berani atau tidak, tidak perduli! Engkau harus menyerangku, atau aku akan tutun tangan
membunuhmu. Aku membenci seorang penakut!”
"Kalan begitu, biar lo-cian-pwe yang menghajar dan membunuh saya, dan saya akan mencoba untuk
membela diri," kata Bun Houw yang tetap tidak mau mendahului menyerang.
Ouwyang Sek mendengus. "Huh, memang kau sudah bosan hidup. Kalau engkau menyerang dulu, paling
banyak aku hanya akan menjatuhkanmu. Akan tetapi, kalau sekali aku menyerang, aku tidak akan
berhenti sebelum orang yang kuserang mampus!”
"Terserah kepada lo-cian-pwe. Saya tidak akan berani menyerang lebih dulu." kata Bun Houw sambil
memandang ke arah Hui Hong. Dia melihat betapa Hui Hong berdiri dengan alis berkerut dan muka
berubah agak pucat. Jelas gadis itu nampak gelisah sekali dan diam-diam ada perasaan lega dan girang
dalam hati Bun Houw. Gadis itu mengkhawatirkan keselamatannya! ini saja sudah cukup mengobati
semua kegelisahannya! Hui Hong mengkhawatirkan dirinya. Hal ini hanya berarti bahwa gadis itu diamdiam
suka kepadanya dan tidak membencinya seperti diperlihatkan dalam sikapnya tadi. Sungguh
membuat dia semakin bingung karena dia tidak dapat mengetahui bagaimana sebenarnya isi hati gadis
itu.
Bu-eng-kiam Ouwyang Sek tentu tidak akan dikenal sebagai seorang di antara Empat Datuk besar kalau
wataknya tidak aneh, di samping ilmu silat tinggi yang dimilikinya. Dia aneh, wataknya keras dan kadang
amat kejam, akan tetapi juga adil, bahkan kadang dapat lembut seperti seorang gagah atau seorang
pendekar sejati. Sikapnya selalu tengantung dari keadaan perasaannya pada saat itu yang berubah-ubah
seperti pasang surutnya air laut.
Saat itu hatinya sedang kesal dan marah karena mustika Akar Bunga Gurun Pasir miliknya yang dicuri
dan dilarikan Pek I Mo-ko belum dapat kembali kepadanya. Dalam keadaan kecewa dan marah ini, dia
bertemu Bun Houw yang dianggapnya berani memusuhi puterinya dan puteranya. Tentu saja timbul
perasaan benci terhadap pemuda itu.
"Engkau benar-benar sudah bosan hidup! Baik, akan kuantar engkau ke neraka!” bentak datuk itu dan
begitu tubuhnya bergerak, tangan kirinya sudah menyambar ke arah pelipis kanan Bun Houw.
Gerakannya demikian cepat dan kuat sehingga sebelum pukulan tiba, angin pukulan dahsyat telah
menyambar.
Bun Houw menjadi serba salah. Dia mengenal serangan maut yang berbahaya, maka cepat dia mengelak
dengan loncatan ke belakang. Dia tidak berani menggunakan senjata, mengingat bahwa yang
dihadapinya adalah ayah Hui Hong, gadis yang telah menarik hatinya itu. Maka, mengandalkan
kelincahan tabuhnya, dia mengelak. Akan tetapi, begitu pukulannya luput, kaki datuk itu sudah
menyusul dengan sambaran tendangan yang lebih berbahaya lagi.
Kembali Bun Houw berbasil menghindarkan diri dengan elakan.
Makin gagal, kakek itu menjadi semakin penasaran dan marah. Serangan susulannya semakin ganas
sehingga dalam waktu sepuluh jurus saja, Bun Houw sudah merasa kewalahan, terdesak dan terhimpit
oleh serangkaian serangan yang kalau mengenal sasaran berarti maut! Akan tetapi tetap saja dia tidak
berani mempergunakan senjata untuk melindungi dirinya, karena mempergunakan senjata berarti balas
menyerang. Walaupun dia tahu bahwa dalam sebuah perkelahian, sikap menghindar tanpa membalas
merupakan suatu kelemahan yang membahayakan diri sendiri, Apalagi menghadapi lawan yang jauh
lebih kuat.
"Hyaanattt ...!" Untuk kesekian kalinya Ouwyang Sek menyerang dan sekali ini, kedua tangannya itu
bergerak secara beruntun, saling susul menyusul sehingga tidak sempat bagi Bun Houw untuk mengelak
terus. Terpaksa dia lalu mengerahkan tenaga pada telunjuknya dan menyambut serangan talapak
tangan kiri lawan itu dengan totokan. Hanya itu satu-satunya jalan untuk melindungi dirinya dari
sambaran telapak tangan yang ampuh itu.
"Tukk ...!” Ouwyang Sek mengeluarkan seruan tertahan dan melangkah mundur tiga tindak, sedangkan
Bun Houw meloncat ke samping dan merasa betapa tangannya tergetar hebat saking kuatnya telapak
tangan lawan yang ditotoknya tadi.
"It-sin-ci (Satu Jari Sakti) ...!” Ouwyang Sek berseru dan pandang matanya menjadi semakin marah.
"Bagus, memang engkau layak mati di tanganku!" Dan kini dia menyerang dengan semakin bebat,
bagaikan gelombang dahsyat yang hendak menelan dirinya.
Biarpun Bun Houw sudah siap siaga dan menggunakan kedua tangannya ditambah kegesitan tubuhnya
untuk menangkis dan mengelak, tetap saja dia tidak kuat menahan dan angin pukulan yang kuat sekali
membuat dia terjengkang dan terguling-guling.
"Mampuslah!" Ouwyang Sek membentak dan menyusulkan serangan maut. Karena tubuh Bun Houw
bengulingan, agaknya pukulan maut itu akan benar-benar mengantar nyawanya ke alam baka. Pukulan
datang menyambar ke arah dada pemuda yang sedang terguling-guling itu.
“Dukk ...!” Ouwyang Sek berseru kaget dan terhuyung ke belakang. Tak disangkanya sama sekali bahwa
pada detik pukulannya mendekati dada lawan, sebatang tongkat telah menangkis sedemikian kuatnya
sehingga dia merasa lengannya yang tertangkis nyeri dan tubuhnya terhuyung ke belakang karena
tongkat itu menotok pula lutut kirinya!
Kini mereka berhadapan dan Bun Houw sudah berdiri dengan tongkat di tangan. "Lo-cian-pwe,
bagaimanapun juga, saya adalah seorang manusia yang berhak hidup dan mempertahankan hidupnya.
Kalau lo-cian-pwe mendesak terpaksa saya bersikap tidak hormat dan menggunakan senjata saya."
Datuk besar itu memandang tajam penuh selidik, dan Bun Houw yang maklum bahwa dia berada di
ambang maut karena lawan sungguh amat lihai, tidak mau bersikap sungkan lagi dan begitu tangan
kanannya bergerak, nampak sinar berkilat menyilaukan mata dan Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) telah
terlolos dari sarungnya yang merupakan sebatang tongkat butut itu. Kini tangan kanan memegang
pedang dan tangan kirinya memegang tongkat.
Ouwyang Sek mengangguk-angguk ketika melihat pedang itu, "Orang muda, apa hubunganmu dengan
Tiauw Sun Ong? tiba-tiba dia bertanya.
Bun Houw mengerutkan alisnya, dia sudah dipesan oleh gurunya agar tidak menyebut namanya karena
tidak mau berurusan dengan dunia ramai.
"Lo-cian-pwe, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan beliau, dan saya tidak mau menyebutnyebut
tentang beliau."
Tiba tiba datuk besar itu tertawa. "Ha-ha-ha, Tiauw Sun Ong telah menjadi pengecut yang
menyembunyikan diri dan nama. Kwa Bun Houw, sekarang tidak ada siapa-apalagi yang dapat
menyelamatkan nyawamu! Hari ini engkau akan mati di tanganku dan nyawamu boleh memberitahu
kepada Tiauw Sun Ong!” Setelah berkata demikian, tiba tiba datuk itu menyerang dengan tubrukan
seperti seekor beruang.
Bun Houw mengelebatkan pedang dan tongkatnya dan sekarang dia melawan mati-matian. Untuk dapat
terhindar dari malapetaka, satu-satunya jalan adalah balas menyerang. Dia tidak ragu-ragu lagi sekarang
karena bagaimanapun juga, dia tidak mau mati konyol di tangan datuk ini, walaupun mengingat Hui
Hong, dia tidak senang harus bermusuhan dengan orang tua ini.
Akan tetapi, tingkat kepandaian datuk betar itu memang jauh lebih tinggi dari pada tingkat Bun Houw,
maka biarpun pemuda itu menggunakan pedang dan tongkat, tetap saja dia terdesak hebat setelah
lewat limabelas jurus. Sebuah tendangan mengenai pahanya, membuat dia terhuyung dan sebelum dia
dapat sempat mengatur keseimbangan dirinya, tiba-tiba pergelangan tangan kanannya terpukul. Pedang
itu terlepas dan pindah tangan, dan sebuah hantaman keras mengenai dadanya. Tubuh Bun Houw
terjengkang, tongkatnya terlepas dari tangan kiri dan diapun muntah darah. Dadanya terasa sesak dan
nyeri bukan main.
"Ha-ha-ha, bersiaplah engkau untuk mati melalui Pedang Kilat!” Ouwyang Sek berseru sambil tertawatawa,
lalu mengelebatkan pedang rampasan tadi untuk memenggal leher Bun Houw yang sudah tidak
berdaya, Pemuda itu hanya dapat bangkit duduk dan dia memejamkan mata, maklum bahwa dia tidak
akan mampu menghindarkan diri dari maut.
"Ayah, jangan bunuh dia!” Tiba-tiba Hui Hong meloncat dan tahu-tahu tubuhnya sudah menghadang di
depan Bun Houw, menghadapi ayahnya.
"Hong-moi, jangan lancang kau!” Ouwyang Toan meloncat mendekati adiknya dan menyentuh
pundaknya, hendak menarik adiknya itu agar jangan menghalangi ayah mereka membunuh Bun Houw.
Akan tetapi Hui Hong mengibaskan tangan kakaknya yang menyentuh pundak dan berkata ketus, "Toankoko,
ini urusanku pribadi dengan ayah, jangan kau mencampuri!” Kemudian dia menoleh kepada
ayahnya dan suaranya terdengar tegas, "Ayah, aku minta agar ayah jangan membunuh Kwa Bun Houw!”
"Hui Hong, apakah engkau sudah gila? Engkau berani menghalangi ayahmu dan membela anak setan
ini?" Ouwyang Sek mengerutkan alisnya, memandang kepada puterinya dengan bengis.
(Bersambung jilid ke 08)
Jilid 08
“AYAH, maukah ayah menukar nyawa Kwa Bun Houw dengan nyawa puterimu?"
"Ehh? Apa maksudmu?"
"Ayah, tanpa adanya pertolongan pemuda ini, saat ini anakmu tentu telah mati. Ketika aku nyaris
diperkosa Suma Hok dan pada saat akan membunuh diri dengan menggigit lidah sendiri, Kwa Bun Houw
muncul dan menyelamatkan aku. Aku berhutang nyawa kepadanya, ayah. Oleh kerena itu, aku minta
ayah jangan membunuhuya."
"Hemm, sekali aku mengambil keputusan, tidak dapat diubah lagi. Aku akan membunuh dia, apalagi
dengan adanya pedang ini!”
"Ada apa dengan pedang itu, ayah '!”
"Kau tak perlu tahu!” Tiba-tiba suara datuk besar itu terdengar kaku dan marah. "Minggirlah dan aku
akan membunuhnya!”
"Hong-moi. minngirlah dan jangan membikin ayah marah!" tegur Ouwyang Toan kepada, adiknya.
Akan tetapi Hui Hong tetap berdiri tegak menghadang. "Ayah, kalau ayah memaksa hendak
membunuhnya, biarlah aku yang mati lebih dulu. Aku akan malu hidup kalau berhutang nyawa tanpa
mampu membalas. Ayah bebaskanlah dia, berarti ayah telah membayar hutangku kepadanya!”
Ouwyang Sek mengerutkan alisnya, lalu mendengus dan memandang kepada Kwa Bun Houw. Sekali
pandang saja dia tahu bahwa pemuda itu telah menderita luka parah yang akhirnya akan membawanya
ke lubang kubur juga. Pukulannya tadi hebat sekali, kalau bukan pemuda yang memiliki kekuatan tubuh
yang hebat, tentu sudah mati seketika.
"Baiklah, biar dia pergi!” akhirnya dia berkata. "Biar pedang ini menjadi pengganti nyawanya, ha-ha-ha!”
"Terima kasih, ayah!" Hui Hong berkata dengan girang, lalu membalik dan menghadapi Bun Houw ...
"Nah, engkau telah bebas, Kwa Bun Houw, pergilah cepat selagi ada kesempatan." Suara Hui Hong
dingin, akan tetapi Bun Houw melihat betapa pandang mata gadis itu kepadanya membayangkan
perasaan iba. Biarpun dadanya terasa amat nyeri, akan tetapi sikap Hui Hong tadi sudah mendatangkan
perasaan senang yang membuat dia lupa akan kenyeriannya. Gadis itu membelanya! Bahkan
mempertaruhkan nyawanya!”
"Sampai ... jumpa ... " Bun Houw berkata lirih, membalikkan tubuhnya dan terhuyung-huyung
meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Hui Hong.
"Ha ha ha-ha!” Tiba-tiba Ouwyang Sek tertawa bergelak setelah bayangan Bun Houw lenyap ditelan
pohon-pohon. "Tiauw Sun Ong, bocah itu tentu ada hubungan dekat denganmu. Biar belum dapat
menemukan dan membunuhmu, setidaknya aku telah dapat menghajar orang yang dekat denganmu.
Hatiku puas, ha-ha ha!”
"Ayah, siapakah Tiauw Sun Ong?" Hui Hong bertanya.
"Tak perlu kautahu!" Ouwyang Sek membentak dengan suara ketus dan diapun melangkah pergi dari
situ, diikuti Ouwyang Toan dan Ouwyang Hui Hong.
***
Bun Houw menahan rasa nyeri dan terhuyung huyung keluar dari dalam hutan. Dadanya sesak dan ada
rasa panas dan pedih menghentak-hentak. Rasa hatinya bahkan lebih sakit dibanding tubuhnya. Dia
dihajar oleh ayah gadis yang dicintanya. Bahkan pedang pemberian garunya juga disita. Ayah Hui Hong
membencinya. Juga kakak Hui Hong. Gadis itu sendiri? Hanya mengenal budi. Kalau gadis itu juga
mencintanya, tentu takkan membiarkan dia dihajar seperti itu. Cintanya bertepuk tangan sebelah! Satu
hal lagi yang membuat dia semakin sakit adalah kenyataan bahwa ayah Hui Hong telah mengenal
gurunya dan agaknya amat membenci gurunya itu.
Suara orang dari belakang membuat Bun Houw cepat menyusup ke dalam semak-semak. Dia tidak ingin
bertemu dengan siapapun dalam keadaan seperti itu. Begitu dia menyusup ke dalam semak-semak,
Ouwyang Sek dan kedua orang anaknya lewat. Dia merasa beruntung sudah bersembunyi. Dia tidak sudi
bertemu lagi dengan mereka, sekarang maupun kapan saja. Keluarga Ouwyang itu bukan keluarga orang
baik-baik.
"Ayah, yang mengambil mustika itu tentu seorang di antara tiga datuk lainnya." terdengar suara
Ouwyang Hui Hong suara yang membuat jantungnya berdebar. Hemm, gadis itupun tentu sekejam
ayahnya, bantah hatinya sendiri untuk meredakan rasa rindunya.
"Akan kucari mereka! Kalau seorang di antara mereka berani menguasai benda milikku itu, akan
kurampas dengan kekerasan!” suara Ouwyang Sek masih terdengar olehnya sebelum mereka lenyap
sama sekali.
Setelah mereka pergi jauh, barulah Bun Houw keluar dari semak belukar dan melanjutkan perjalanan
menuruni lembah. Dia harus mencari obat. Setidaknya dia harus mencari tempat yang aman untuk
melakukan siu-lian (samadhi), untuk mencoba menyembuhkan atau mengurangi lukanya.
Beberapa jam kemudian, setelah dengan susah payah menuruni lereng, dari tempat itu dia melihat
genteng-genteng rumah sebuah dusun kecil. Dia lalu mengerahkan sisa tenaganya menuju ke dusun itu
karena matahari telah condong jauh ke barat. Dia harus mendapatkan tempat berlindung melewati
malam, karena dalam keadaan terluka dalam separah itu, amat berbahaya kalau dia melewatkan malam
di tempat terbuka. Apalagi kalau sampai diserang binatang buas atau orang jahat. Dia takkan mampu
membela diri sama sekali. Sedikit saja dia mengerahkan tenaga, lukanya akan makin menghebat dan
mungkin nyawanya akan melayang saat itu juga.
Tiba-tiba dia terkejut melihat dua sosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah
berdiri seorang pria berusia limapuluh lima tahun yang bertubuh kecil kurus dan seorang pemuda
tampan. Pemuda inilah yang mengejutkan hatinya karena dia mengenalnya sebagai pemuda yang lihai,
yang nyaris memperkosa Hui Hong.
Suma Hok juga mengenal Bun Houw dan dengan muka merah dan mata melotot dia berkata kepada pria
kecil kurus yang ternyata adalah ayahnya. "Ayah, orang ini pasti tahu siapa yang mengambil mustika itu!
Mungkin dia sendiri yang mengambilnya!"
Pria kurus itu memang Suma Koan yang berjuluk Kui-siauw Kiam-ong (Raja Maut Suling Iblis), seorang di
antara Empat Datuk Besar yang ditakuti dunia kang-ouw. Melihat orangnya, sungguh takkan ada yang
mengira bahwa dia datuk besar yang ditakuti itu. Namanya sejajar dengan Ouwyang Sek dan para datuk
lainnya. Akan tetapi tubuhnya yang kecil kurus, penampilannya yang tidak mengesankan, akan membuat
siapapun memandang rendah kepadanya. Entah berapa banyaknya orang yang mati konyol hanya
karena memandang rendah datuk itu!”
Suma Koan menyeringai mendengar ucapan puteranya itu. Sudah beberapa orang dibunuhnya tadi
karena dia dan puteranya mengira orang itu yang mengambil Akar Bunga Gurun Pasir yang diperebutkan
dan yang lenyap ketika diperebutkan.
"Begitukah? Kalau begitu, geledah seluruh badannya!" katanya.
Akan tetapi, Suma Hok kelihatan ragu-ragu. Dia sudah merasakan kelihaian Kwa Bun Houw, maka
menggeledah badan merupakan pekerjaan yang berbahaya. Ayahnya melihat keraguan ini dan dia
mengerutkan alisnya. "Kenapa ragu-ragu?"
"Ayah, orang ini lihai sekali, sebelum kurobohkan bagaimana dapat menggeledahnya?"
"Hemm, ada aku di sini, takut apa?" bentak ayahnya marah karena sikap takut-takut dari puteranya itu
merupakan tamparan bagi keangkuhannya.
Suma Hok menghampiri Bun Houw, tangannya mencengkeram ke arah baju, menduga bahwa Bun Houw
tentu akan mengelak atau menangkis. Akan tetapi, ternyata dia dapat mencengkeram baju itu dengan
mudah dan sekali tarik, terdengar suara memberebet dan baju itupun koyak-koyak! Nampaklah dada
Bun Houw dan melihat kulit dada yang matang biru itu, Suma Hok tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya engkau
telah terluka parah!” Dan timbullah kesombongan Suma Hok. Dengan sikap gagah dia lalu merobekrobek
pakaian Bun Houw sehingga tinggal cawat saja yang menutupi tubuh pemuda itu. Akan tetapi,
Suma Hok tidak menemukan apa-apa kecuali sebuah kantung kecil berisi beberapa potong emas, yaitu
emas pemberian gurunya yang masih bersisa. Melihat isi kantung itu sambil menyeringai Suma Hok
memasukkannya ke dalam saku bajunya sendiri.
"Dia tidak membawa akar itu, ayah. Tentu dia sembunyikan entah ke mana. Orang ini licik sekali, ayah."
"Hemm, terhadap aku dia tidak dapat licik!” kata Suma Koan sambil menghampiri Bun Houw. Sepasang
matanya yang tajam dan mengandung kekejaman itu menyelidiki wajah Bun Houw.
"Hayo katakan, di mana engkau simpan akar itu!" Dia bertanya, langsung saja menuduh seperti yang
dilakukannya tadi terhadap banyak orang yang dibunuhnya satu demi satu karena mereka tidak mampu
menunjukkan di mana adanya benda yang amat diinginkannya itu.
Bun Houw sudah menderita luka parah. Dia tahu bahwa kalau tidak mendapatkan obat yang amat
manjur, dia akan terancam maut. Kini, dia ditelanjangi dan dihina tanpa mampu membalas karena
begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, dia akan mati seketika. Maka, tentu saja dia tidak mengenal
lakut lagi. Dia tahu dengan siapa dia berhadapan. Sudah pernah didengarnya tentang Kui-siauw Giamong.
Karena tadi dia telah mendengar bahwa pemuda yang nyaris memperkosa Hui Hong adalah Suma
Hok putera Kui-siauw Giam-ong, siapa lagi kakek kecil kurus ini kalau bukan si datuk sesat itu? Dia
merasa penasaran sekali dan biarpun terancam maut. Sebelum mati dia harus memperlihatkan
keberaniannya dan menyatakan perasaan hatinya.
Dengan pandang mata berani dia menatap wajah Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, lalu tersenyum
mengejek. "Orang tua, apakah engkau tidak malu dengan sikapmu ini?"
Sepasang mata Suma Koan terbelalak dan mukanya berubah merah sekali. Beraninya anak ini! "Hei,
setan. Apakah engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan?" bentaknya, sedangkan puteranya.
Suma Hok, juga marah sekali. Akan tetapi melihat kemarahan ayahnya, dia tilak berani lancang turun
tangan membunuh Bun Houw dan membiarkau ayahnya yang akan menangani sendiri pemuda itu.
Senyum di bibir Bun Houw melebar. "Tentu saja aku tahu, paman. Namamu disohorkan orang sebagai
Kui-siauw Giam-ong, seorang di antara datuk sesat yang besar dan berkepandaian tinggi, dihormati dan
ditakuti orang. Siapa kira orangnya hanyalah pengecut besar!"
“Apa kaukata? Orang muda, engkau benar-benar sudah bosan hidup!” datuk besar itu membentak,
kemarahannya sudah memenuhi kepala sampai ke ubun-ubun.
"Mati hidup di tangan Tuhan! Engkau dihormati sebagai seorang datuk besar, akan tetapi engkau hanya
pandai memaksa dan menghina seorang muda yang sudah tertuka parah! Sudah kukatakan bahwa aku
tidak tahu tentang akar itu, bahkan melihatpun belum. Kalau engkau tidak percaya, sudahlah mau
bunuh tinggal bunuh. Lebih senang aku yang mati dari pada engkau yang hidup akan tetapi sebagai
seorang pengecut besar yang namanya akan ditertawakan orang sampai tujuh turunan!”
"Jahanam busuk, tutup mulutmu! Ayah, biar kuhabiskan saja keparat ini!” Suma Hok melangkah maju
dan mengangkat tangannya, akan tetapi ayahnya mendelik kepadanya, "Jangan bunuh! Kau ingin
ucapannya yang menghina tadi terbukti? Aku tidak akan membunuhnya, aku akan membuat dia tetap
hidup, menderita dan tersiksa, dan biar dia tahu betapa lihainya Kui-siauw Giam-ong yang dihinanya!"
Suma Koan mengerahkan tenaga dan sekati dia menepuk punggung Bun Houw, pemuda itu terpelanting
dan roboh, tak mampu bangkit kembali, terengah-engah seperti ikan dilempar ke darat, seluruh tubuh
terasa nyeri seperti ditusuki seribu batang jarum dan napasnya makin sukar seolah dadanya terhimpit
kuat.
Kui-siauw Giam-ong Suma Koan tertawa, diikuti oleh puteranya dan Suma Hok berkata, "Jahanam
sombong, rasakan kau sekarang. Pukulan ayah itu akan membuat engkau mati perlahan-lahan. Tidak
ada tabib di dunia ini mampu menyembuhkanmu dan dalam waktu tiga bulan atau paling lama seratus
hari, engkau akan mampus dalam keadaan yang amat tersiksa!"
"Sudah, biarkan dia mengenang kelihaianku. Mari kita pergi!” kata datuk sesat itu dan mereka berdua
berkelebat lenyap dari situ, meninggalkan Bun Houw yang masih terengah-engah di atas tanah.
Sementara itu, hari semakin gelap. Bun Houw mencoba bangkit berdiri, akan tetapi terpelanting lagi.
Kepalanya pening, napasnya sesak dan kedua kakinya menggigil, tubuhnya sebentar panas sebentar
dingin. Dia berusaha untuk meninggalkan tempat itu. Dia harus dapat mencapai dusun di depan. Sambil
merangkak-rangkak, kadang-kadang harus berhenti terengah-engah, Bun Houw menuju ke dusun.
Sudah nampak ada sinar lampu berkelap-kelip dan sinar itulah yang menjadi pedoman ke arah mana dia
harus merangkak.
Malam tiba dengan cepatnya.
Dengan susah payah, dalam keadaan setengah mati, akhirnya Bun Houw dapat mencapai depan pintu
sebuah rumah sederhana yang terpencil, merupakan rumah pertama dari dusun yang kecil itu. Dia
mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk mengetuk daun pintu.
Di dalam gubuk terdengar gerakan dan api penerangan yang tadi berkelap kelip ditiup padam. Di
sebelah dalam, di kamar rumah sederhana itu, So Kian, pemburu yang tadi mengintai orang-orang kangouw
bertempur, berpelukan dengan isterinya. Isterinya ketakutan setengah mati! Sore tadi suaminya
pulang dengan pakaian yang kotor penuh lumpur dan debu, dengan tubuh gemetar dan muka pucat.
Dengan ketakutan So Kian menceritakan kepada isterinya apa yang dilihatnya di dalam hutan dekat
puncak Bukit Merpati Hitam itu. Betapa banyak orang-orang kang-ouw yang menyeramkan dan
berkepandaian tinggi sekali saling serang. Betapa akhirnya setelah mereka saling serang, dia dapat pula
melarikan diri dan terus pulang.
Dalam keadaan tegang dan ketakutan, kini setelah malam tiba mendengar daun pintu di luar diketuk
orang, tentu saja So Kian dan isterinya menjadi semakin ketakutan. So Kian adalah seorang pemburu
yang biasa hidup di tengah hutan dan sering menghadapi bahaya dan kekerasan. Dia seorang
pemberani. Akan tetapi sekali ini, setelah melihat banyak orang kang-ouw yang berilmu tinggi mengadu
kepandaian, dia merasa dirinya kecil dan lemah, dan dia tahu bahwa kalau ada orang kang-ouw yang
melihatnya dan menyerangnya, tentu dia akan tewas dan tidak berdaya melawannya. Kini, dia dan
isterinya saling peluk di atas pembaringan, dalam kamar mereka dan hanya berdoa agar orang di luar itu
segera pergi.
Ketukan itu terdengar beberapa kali, makin lama semakin lemah dan akhirnya tidak terdengar lagi. So
Kian dan isterinya merasa lega. akan tetapi semalam itu mereka gelisah dan tidak berani keluar dari
dalam kamar.
Baru pada keesokau harinya, pagi-pagi sekali So Kian suruh isterinya berindap-indap menuju ke depan
dan mengintai dari celah-celah di balik pintu depan. Mereka berdua terkejut bukau main melihat
seorang laki-laki muda, hanya bercawat, rebah terlentang di depan pintu. Muka pemuda itu pucat agak
kebiruan, seperti muka mayat.
"Celaka ...! Ada orang mati di sini ...!"
So Kian berbisik dengan suara gemetar. "Kita harus cepat minggat dari sini. Jangan ada yang menyangka
kami yang membunuhnya!
“Celaka ... ah, sungguh celaka ...-!” katanya kebingungan dan hendak lari ke dalam.
Akan tetapi, isterinya yang masih terus mengintai, memegang lenganuya. "Ihh, kenapa engkau sekarang
menjadi seperti anak kecil ketakutan?" isterinya mengomel. "Lihat, orang itu belum mati. Dia kelihatan
sakit keras dan membutuhkan pertolongan."
"Ah. aku tidak berani. Jangan-jangan iblis-iblis itu akan datang semua ke sini dan hancurlah kita ... "
'Tolol kau! Mana ada iblis jahat seperti orang itu? Dia masih muda dan sedang menderita. Mau kita
tolong dia!” Wanita itu karena merasa kasihan, timbul keberaniannya dan ia membuka daun pintu.
Terpaksa So Kian mengikuti isterinya dan mereka berlutut di dekat tubuh Bun Houw. Setelah dekat, baru
mereka tahu bahwa pemuda yang hampir telanjang itu memang belum mati Bun Houw roboh pingsan
setelah ketukan pintu itu dibukai orang.
“Dia pingsan. Mari kita angkat ke dalam. Kasihan sekali, dia membutuhkan pertolongan." kata isteri So
Kian. Kini So Kiao tidak takut lagi dan pada dasarnya dia seorang yang baik budi. Diangkatnya tubuh
lunglai itu di kedua lengannya yang kuat dan dibawanya ke dalam kamar sebelah yang kosong. Dia
meletakkan lubuh yang pingsan itu ke atas sebuah pembaringan.
"Cepat ambilkan pakaianku. Dia harus diberi pakaian agar tidak kedinginan." kata So Kian kepada
isterinya.
Tak lama kemudian, Bun Houw sudah berpakaian dan diselimuti. Akan tetapi melihat wajah yang pucat
kebiruan, dada dan punggung yang menghitam dan membengkak, napas terengah-engah, suami isteri
itu menjadi bingung sekali.
"Cepat kau pergi mengundang tabib atau membeli obat. Aku akan menunggunya." kata isterinya dan So
Kian mengangguk, kemudian diapun pergi karena dia tidak ingin orang itu mati di dalam rumahnya.
Belum lama So Kian pergi, Bun Houw merintih dan bergerak. Isteri So Kian yang tadi duduk, kini bangkit
berdiri menghampiri. Bun Houw tidak membuka mata, akan tetapi bibirnya bergerak-gerak seperti
orang mengigau.
"Akar ... Akar Bunga Gurun Pasir ... harus didapatkan mustika itu ... "
Isteri So Kian membungkuk. "Akar Bunga Gurun Pasir apakah yang kau maksudkan, kong-cu (tuan
muda)?" Ia menyebut Bun Houw "kong-cu" karena ia mengira bahwa tentu pemuda itu seorang pemuda
kota yang pantas disebut kongcu. Akan tetapi Bun Houw tidak menjawab, bahkan tidak pula membuka
matanya, seperti orang tertidur. Isteri So Kian merasa lega melihat si sakit seperti tidur nyenyak, maka ia
pun merasa tidak enak berdua saja dengan seorang pemuda. Ditinggalkannya Bun Houw ke belakang
dan iapun hendak mencuci pakaian suaminya yang kotor berlumpur, yang ditanggalkannya kemarin sore
dan belum sempat dicuci karena mereka sudah ketakutan mendengar cerita suaminya tentang orangorang
kang-ouw yang saling serang.
Ketika ia mencuci baju suaminya yang kotor, tiba-tiba tangannya memegang benda keras di saku baju
itu. Diambilnya benda itu. Ternyata sebuah kantung sutera kecil yang terisi benda keras sebesar tangan.
Diambilnya benda itu dan ia mengamatinya dengan heran. Seperti kayu atau akar, bentuknya seperti
tangan, ada jari-jarinya dan akar rambut bergantungan. Nampaknya agak mengerikan seperti tangan
manusia kering. Dimasukkannya kembali benda itu ke dalam kantung dan disimpannya. Setelah selesai
mencuci pakaian dan dijemurnya, dibawanya kantung itu dan ia kembali ke kamar.
Bun Houw bergerak gelisah dalam tidurnya. "Akar ... Akar Bunga Gurun Pasir ... ah, di mana mustika itu?
Aku harus mendapatkannya ... " dia mengigau.
Mendengar ini, dan melihat betapa wajah pemuda itu menjadi kebiruan, napasnya terengah-engah,
wanita itu mengambil benda dari dalam kantung dan mengamatinya. Akar Bunga Gurun Pasir? Inikah
benda yang dicarinya Memang seperti akar, akar yang aneh. Orang yang sakit parah itu selalu
menanyakan Akar Bunga Gurun Pasir, kalau benar ini barang yang dicarinya, tentu akar inilah obatnya!
Karena melihat keadaan Bun Houw semakin parah, napasnya tinggal satu-satu dan mukanya biru
kehitaman mengerikan, wanita itu takut kalau-kalau Bun Houw mati sebelum suaminya kembali. Dalam
bingungnya, ia lalu membawa akar itu ke dapur dan memasaknya dengan air.
Ketika api mulai panas, ia terkejut mendengar ledakan-ledakan kecil dan akar itu bergerak-gerak dalam
air seperti hidup. Dan lebih aneh lagi, air itu cepat sekali mendidih. Ia tidak tahu bahwa akar itu memang
Akar Bunga Gurun Pasir, benda mustika yang langka sekali. Di dalam akar bunga yang dapat hidup di
Gurun Pasir itu terdapat hawa dingin yang merupakan inti dingin sehingga dapat membuat tanaman itu
bertahan di gurun yang panas. Darah atau getah akar itu mengandung hawa dingin akan tetapi karena
luarnya terselubung hawa panas, maka ketika ditemukan dengan air panas, hawa dingin di dalam itu
melawan sehingga terjadi ledakan-ledakan kecil. Setelah hawa dingin itu terserap oleh hawa panas dari
api, maka air itu cepat sekali mendidih.
Seperti biasanya kalau ia menggodok obat, air itu dibiarkan sampai tinggal sepertiga bagian, baru ia
tuangkan air yang kini menjadi kehijauan itu ke dalam mangkok dan terjadi keanehan lain. Air yang
tadinya mendidih itu setelah diangkat dari atas api, sebentar saja menjadi dingin kembali. Isteri So Kian
cepat membawa mangkok obat itu ke dalam kamar.
"Akar ... ah. akar ... Akar Bunga Gurun pasir ... " Bun Houw masih mengerang dan mengeluh.
"Inilah obat akar itu. Minumlah." kata isteri So Kian sambil membantu Bu Houw bangkit duduk dan
memberi minum obat dari dalam mangkok. Dalam keadaan tidak sadar Bun Houw menelan air obat
hijau itu sampai habis berteguk-teguk. Wanita itu lalu merebahkannya kembali dan ia melangkah
hendak keluar dari dalam kamar, untuk mempersiapkan masakan di dapur. Tiba-tiba terdengar suara
teriakan keras mengejutkan di belakangnya. Ketika ia membalik, ia terbelalak dan mangkok kosong
itupun terlepas dari tangannya, terbanting pecah di atas lantai kamar. Ia memandang dengan mata
terbalalak dan muka pucat, takut dan bingung.
Memang hebat akibat dari obat yang diminum habis oleh Bun Houw itu. Kini tubuhnya bergerak-gerak
aneh, menegang, bergerak-gerak seperti sepotong benda aneh, tangan dan kakinya mencakar-cakar,
memukul menendang dalam keadaan masih rebah, matanya terbelalak merah, mulutnya terbuka dan
mengeluarkan suara yang aneh seperti seekor binatang disiksa, jari-jari tangannya terbuka, dan
terdengar suara berkerotokan di tubuhnya, seolah-olah semua tulangnya hendak rontok, dan perlahanlahan,
tubuhnya menjadi kemerahan seperti kepiting direbus, dan mengeluarkan uap panas!”
Agaknya teriakan-teriakan yang keluar dari mulut Bun Houw terdengar pula oleh So Kian yang datang
berlari-lari. Dia mendengar suara aneh di dalam rumahnya, dan diapun lari memasuki rumah. Dilihatnya
isterinya berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak di luar pintu kamar di mana tamu yang sakit itu
berada.
"Apa yang terjadi ...?” tanyanya sambil cepat menghampiri isterinya. Wanita itu tadi tidak mampu
bergerak saking kaget dan khawatir, juga takutnya. Kini mendengar suara suaminya ia membalik dan
hampir pingsan roboh dalam rangkulan suaminya. Ia tidak mampu bicara, hanya menuding ke arah
dipan dalam kamar.
So Kian cepat memandang dan diapun terbelalak. Sambil merangkul Isterinya, dia melangkah masuk ke
dalam kanar itu, hendak menghampiri tamu mereka yang kini berkelonjotan dan menggeliat-geliat aneh.
Akan tetapi, baru tiga langkah mereka mendekat, mereka terpaksa mundur lagi dengan cepat. Hawa
panas yang menyerang mereka, yang keluar dari tubuh di atas dipan itu. sungguh tak tertahankan! Tamu
mereka itu seperti dalam keadaan terbakar tanpa nampak ada apinya! Agaknya terbakar dari dalam oleh
hawa panas yang melebihi api!
"Apa ... apa yang lelah terjadi ... “ So Kian bertanya kepada isterinya, Isterinya menggigil dan
memandang ke arah tubuh yang berkelonjotan itu dengan hati ngeri. "Aku ... aku meminumkan obat ... “
"Obat? Obat apakah?" Suaminya bertanya. Kini mereka hanya berdiri di luar pintu kamar. Di tempat itu
pun masih terasa panas yang keluar dari dalam kamar, seolah kamar itu kebakaran.
Aku menggodok akar itu dan memberi minum. Dia selalu mengigau menanyakan akar itu. Maka, ketika
aku menemukan akar dalam kantung itu di dalam saku bajumu, kukira itulah obat yang dicarinya, dan
kugodok lalu kuminumkan.
"Akhh! Benda itukah?” So Kian termenung. Kemarin sore ketika dia bersembunyi menonton para tokoh
kang-ouw bertempur hebat, ada benda yang jatuh menimpa pundaknya. Dia terkejut dan mengambil
benda itu yang ternyata sebuah kantung sutera. Tanpa disadarinya, karena dalam keadaan tegang dan
ngeri, dia mengantongi benda itu, tanpa mengetahui apakah benda itu dan kenapa pula dia
mengantungnya. Kalau dia tahu bahwa benda itu yang dijadikan perebutan antara para tokoh kangouw
yang lihai itu, tentu menjamahpun dia tidak berani. Kini baru dia teringat. Mereka memperebutkan Akar
Bunga Gurun Pasir!”
“Benda apakah itu?" tanya isterinya.
Suaminya menggeleng kepala. "Aku sendiri tidak tahu, akan tetapi agaknya benda itulah yang disebut
Akar Bunga Gurun Pasir itu dan dijadikan rebutan. dan kenapa engkau menggodok dan
meminumkannya? Lihat, dia sekarat mengerikan!”
Wanita itu menutupi mukanya dengan tangan. "Ah, kukira ... dia mencari obat itu, dan aku ... aku tidak
tega melihat dia tersiksa ... aku tidak tahu obat itu akan membunuhnya ... “ Dan wanita itu menangis.
Suaminya merangkulnya. "Sudahlah, bukan kau sengaja. Maksudmu baik. dan aku sendiri tidak tahu
benda apa Akar Bunga Gurun Pasir itu. Kebetulan saja kudapatkan dan dia sudah meminumnya.
Sudahlah, kita harus cepat pergi dari sini. Cepat kumpulkan semua pakaian dan barang berhanga yang
dapat kita bawa."
"Eh? Ke mana kita akan pergi? Dan kenapa harus pergi!”
"Sudahlah, cepat lakukan apa yang kuminta, bahaya maut mengancam kita. Kita pergi mengungsi untuk
sementara, kalau kelak sudah aman kita kembali lagi."
"Tapi ... tapi orang itu sakit ... "
Suaminya menghela napas panjang. "Memang dia sakit, mungkin akan mati. Akan tetapi apa yang dapat
kita lakukan? Akupun gagal mencari tabib, satu-satunya tabib sedang pergi untuk beberapa hari
lamanya. Kita harus cepat mengungsi."
"Tapi ... bagaimana kita dapat meninggalkan dia dalam keadaan seperti itu? Dia akan mati ...!”
"Sudahlah! Kebaikan hatimu mungkin akan menyeret kita berdua ke dalam maut!” Suaminya
membentak dan wanita inipun tidak berani membantah lagi. Tak lama kemudian, mereka pergi
meninggalkan rumah itu sambil membawa buntalan pakaian.
Bun Houw dapat mendengar dan melihat semua itu! Dia mengalami hal amat aneh. Ketika dia
ditemukan oleh So Kian dan Isterinya. dia benar-benar dalam keadaan pingsan dan tidak ingat apaapalagi,
tidak merasakan apa-apalagi. Akan tetapi, pagi tadi, dia siuman dan merasa betapa tubuhnya
nyeri-nyeri, kemudian perasaan panas dingin menyerangnya silih benganti. Ketika wanita itu datang
membawa mangkok dan membantunya minum, dia masih sadar dan tahu bahwa wanita itu telah
menolongnya dan kini berusaha mengobatinya. Karena dia memang membutuhkan obat. obat apa saja
untuk mengusir rasa nyeri yang menusuk-nusuk, tanpa membantah diapun menelan cairan yang
dituangkan ke dalam mulutnya, meneguk sampai habis isi mangkok itu.
Dan mulailah dia terbakar! Terjadi kebakaran hebat di dalam tubuhnya. Rasa panas menyerangnya
sedemikian hebatnya sehingga dia tidak mampu menguasai tubuhnya lagi. Tubuh itu meregang dan
menggelepar, menggeliat dan berkelonjotan tanpa dapat dia kuasai lagi. Bahkan kerongkongannya
mengeluarkan suara di luar kehendaknya, lepas dari pengendaliannya. Anehnya, matanya yang melotot
itu dapat melihat segala dengan jelas, dan juga telinganya dapat menangkap semua suara sehingga dia
dapat melihat dan mendengar ketika suami isteri penolongnya itu bercakap-cakap. Akan tetapi dia tidak
dapat bicara, tidak dapat membuat gerakan kecuali hanya menyerah saja dan membiarkan hawa panas
yang teramat kuat di dalam tubuhnya itu menguasainya. Tubuhnya kini menjadi seperti medan perang
di mana terjadi pertempuran hebat antara dua kekuatan yang menguasai dirinya. Kekuatan racun dan
kekuatan obat.
Bun Houw tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya, tidak tahu obat apa yang telah diminumnya tadi.
Dia masih teringat bahwa dua kali dirinya telah menjadi bulan-bulan pukulan orang-orang sakti, yaitu
datuk sesat Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, kemudian terjatuh ke tangan Kui-siauw Giam-ong Suma Koan
dan menerima siksaan pula. Nyawanya sudah bergantung kepada sehelai rambut. Dan kini, setelah
minum obat dari mangkok yang diberikan isteri orang yang menolongnya, tubuhnya kebakaran dari
dalam! Dan tadi dia masih mendengar percakapan mereka, akan tetapi dia masih belum mengerti benar.
Mereka bicara tentang Akar Bunga Gurun Pasir! Benarkah dia telah diberi minum Akar bunga Gurun
Pasir? Benarkah mustika yang dijadikan perebutan semua orang kang-ouw itu kini telah masuk ke dalam
perutnya dan mengakibatkan tubuhnya kebakaran seperti itu? Dia tentu akan mati! Belum pernah
selama hidupnya dia merasakan siksaan yang sedemikian hebatnya. Bahka siksaan dua orang datuk
sesat itupun tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi dalam tubuhnya
setelah dia minum obat itu.
Saking panasnya. Bun Houw membuat gerakan untuk melepas bajunya. Terdengar suara berebrebetan
dan baju itu koyak-koyak.
Baru membuat sedikit gerakan saja, bajunya koyak-koyak. Untung dia masih teringat untub tidak
membuka celananya. Biarpun sudah bertelanjang baju, masih saja dia merasa terbakar. Dadanya seperti
akan meledak rasanya dan ketika dia memandang ke arah dadanya, ternyata tanda menghitam bekas
pukulan dua orang datuk itu telah lenyap! Kulit dadanya halus dan bersih, akan tetapi kini seluruh
tubuhnya berwarna kemerahan seperti kepiting direbus!
Setelah berkelojotan selama setengah jam, akhirnya Bun Houw dapat mengendalikan kekuatan hebat
yang mencengkeram dirinya dari dalam itu. Di dalam dirinya seperti ada gas yang hendak keluar,
mencari jalan keluar dan bagaikan liar. Akan tetapi, setelah rasa nyeri di tubuhnya perlahan-lahan
lenyap, yang ada hanyalah perasaan panas, dia mulai dapat mengendalikan hawa yang amat kuat itu.
Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi yang pernah digembleng oleh orang sakti, diapun dapat
merasakan betapa dirinya telah dikuasai oleh tenaga dalam yang amat dahsyat. Diapun dapat bangkit
duduk, lalu bersila.
Kini dia dapat merasakan benar hawa yang dahsyat itu berputar-putar di seluruh tubuh melalui jalau
darahnya. Mula-mula, memang kekuatan itu tak terkendalikan olehnya, berputar-putar liar dan tak
menentu. Akan tetapi, akhirnya, perlahan-lahan dia dapat mengendalikannya. Ketika dia mengendalikan
tenaga dahsyat itu dan membiarkan berputaran secara teratur, hampir saja dia pingsan. Begitu cepatnya
hawa itu berputar sehingga dia merasa seperti akan terapung ke atas. Setelah dia dapat membiarkan
diri dengan keliaran tenaga dalam tubuh itu, dapat juga dia menghentikannya ke dalam pusar di perut
bawah dan di situ, tenaga dahsyat itu masih berputar-putar dan beberapa kali sukar dikuasai, akan
tetapi akhirnya dapat bergabung dengan tenaga sin-kang yang selama ini terhimpun di situ dan dapat
diam.
Setelah tenaga itu tidak liar lagi, dia mulai dapat mempengunakan ingatannya. Mula-mula Hui Hong
marah-marah dan cekcok dengan dia karena Hui Hong nampaknya cemburu kepada Ling Ay,
menuduhnya masih mencinta bekas tunangannya itu yang telah menjadi isteri orang. Kemudian muncul
Ouwyang Toan yang memaksanya untuk berkelahi, dan sesudah itu, ayah Hui Hong, datuk sesat
Ouwyang Sek memaksanya berkelahi. Dan agaknya Ouwyang Sek telah mengenal gurunya, Tiauw Sun
Oug, bahkan amat membenci gurunya itu. Dalam perkelahian yang terpaksa dia layani itu, akhirnya dia
terkena pukulan pada dadanya, pukulan keras mengandung racun yang amat hebat, dan Pedang Kilat,
pedang pusaka bersarung tongkat yang dia peroleh dari gurunya itu, dirampas Ouwyang Sek. Kemudian,
Hui Hong yang menyelamatkannya, ketika Ouwyang Sek hendak membunuhnya.
'Heran, bagaimanapun juga, ada pula perasaan iba dan sayang dalam hati Hui Hong kepadaku," keluh
Bun Houw ketika mengenang, paristiwa itu. Dia melanjutkan lamunannya, mengingat-ingat.
Dalam keadaan terluka oleh pukulan Ouwyang Sek, dia diperbolehkan pergi dan dalam perjalanan itu,
dia bertemu dengan datuk sesat yang lain, yaitu Suma Koan bersama puteranya Suma Hok. Dia pernah
membebaskan Hui Hong dari cengkeraman Suma Hok yang nyaris memperkosanya. Tentu saja Suma
Hok mendendam kepadanya. Ayah dan anak itu menuduh dia menyembunyikan Akar Bunga Gurun
Pasir. Mereka menghinanya, menelanjanginya, bahkan menyiksanya, kemudian datuk sesat yang kejam
itu sengaja memukulnya sehingga dia keracunan dan akan mati perlahan-lahan. Dalam keadaan tiga
perempat mati itu dia merangkak-rangkak ke dusun dan akhirnya dia tiba di depan pintu sebuah
pondok, lalu tidak ingat apa-apalagi.
Dia memejamkan mata, lalu mengingat-ingat lagi. Dia kini tahu bahwa dia telah ditolong oleh wanita itu
dan suaminya, dibawa masuk ke dalam rumah mereka. Kemudian, entah bagaimana, dia merasa seperti
dalam mimpi, dalam keadaan setengah sadar dia merasa dibantu wanita itu bangkit duduk dan diberi
minum dari sebuah mangkok. Minuman yang terasa amat dingin di mulut akan tetapi amat panas di
perut. Dan setelah obat itu diminumnya sampai habis, mulailah dia kebakaran! Kemudian dia
mendengar percakapan suami isteri itu, melihat pula mereka berdiri di ambang pintu. Mendengar
mereka menyebut tentang Akar Bunga Gurun Pasir.
"Ah, tidak salah lagi. Orang itu telah menemukan Akar Bunga Gurun Pasir secara kebetulan dan Isterinya
menemukan mustika itu, lalu memasaknya dan memberikan kepadaku sebagai obat! Mustika yang
diperebutkan orang seluruh dunia kang-ouw itu secara aneh dan kebetulan, tidak disangka-sangka dan
tidak disengaja, telah masuk ke dalam perutku!” Dan tiba-tiba, karena merasa geli, Bun Houw tertawa
dan begitu tertawa, dia terkejut bukan main karena hawa dahsyat yang tadi sudah agak jinak berdiam di
dalam dian-tin (pusat bawah perut), kini bangkit lagi dan meliar, dan suara ketawanya tak terkendalikan
lagi, bergelak-gelak menggelegar dan didorong oleh tenaga sakti yang dahsyat itu.
Akhirnya, setelah dengan susah payah, Bun Houw berhasil meredakan tawanya, mengembalikan tenaga
itu ke dalam pusar dan diapun mengatur pernapasannya. Tenaga yang berdiam di dalam tubuhnya itu.
Sungguh dahsyat akan tetapi juga liar dan berbahaya. Dia bisa bersikap seperti orang yang tidak waras
pikirannya kalau tidak mampu mengendalikan hawa sakti itu. Kini dia dapat menduga bahwa itulah
hawa yang ditimbulkan oleh mustika Akar Bunga Gurun Pasir! Dia tentu saja tidak tahu bahwa tenaga
sekti itu menjadi liar setelah bengulat dan bercampur dengan hawa beracun di tubuhnya akibat pukulan
dua orang datuk esat. Tenaga bawa sakti itu menjadi semakin dahsyat, akan tetapi juga menjadi liar.
Kemudian dia teringat. Suami Isteri pemilik pondok ini telah melarikan diri. Dia tidak menyalahkan
mereka. Tentu saja mereka ketakutan, bukan saja melihat keadaan dirinya, akan tetapi juga takut,
kepada orang-orang kang-ouw. Dan ketakutan mereka itu beralasan. Besar sekali kemungkinannya, dia
yang akan menjadi perebutan oleh orang-orang kang-ouw, kalau mereka tahu bahwa dia telah minum
habis sari Akar Bunga Gurun Pasir! Dan suami isteri itu tentu saja takut kalau mereka menjadi korban
kekejaman orang-orang kang-ouw.
"Aku tidak boleh berada di sini," pikirnya. "Jangan sampai para datuk menemukan aku di rumah ini.
Suami isteri itu telah menanam budi kepadaku, bukan saja menolongku, memberi pakaian, bahkan juga
wanita itu telah menyelamatkan nyawaku dengan memberi Akar Bunga Gurun Pasir, walaupun secara
tidak disengaja. Aku harus pergi!”
Setelah berkata demikian kepada diri sendiri, Bun Houw lalu turun dari pembaringan. Begitu dia turun,
kembali dia terkejut. Gerakannya demikian ringannya, seperti melayang-layang. Dia merasakan dirinya
seperti sehelai bulu, ringan dan seperti akan terapung! Melihat betapa tubuh atasnya telanjang, dan di
atas meja masih tersangkut sebuah baju milik tuan rumah yang agaknya tertinggal. Dipakainya baju itu
dan Bun Houw keluar dari dalam rumah. Matahari telah naik cukup tinggi dan keadaan di luar rumah itu
sunyi saja. Agaknya dusun itu hanya kecil dan para penghuninya sudah pergi ke sawah ladang mereka.
Bun Houw merasa lega bahwa tidak ada orang lain melihat dia berada di rumah itu. Dengan demikian,
maka setelah dia meninggalkan rumah itu, pemiliknya akan terhindar dari bahaya tersangkut dalam
urusan perebutan Akar Bunga Gurun Pasir.
Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang melihatnya, Bun Houw lalu menyelinap keluar dari dusun
itu dan pergi menuju ke sebuah bukit yang nampak tak jauh dari tempat itu.
***
Bun Houw memasuki hutan di lereng bukit itu. Perutnya terasa lapar sekali setelah dia terbebas dari
siksaan rasa nyeri. Kini tubuhnya terasa enak, hangat dan nyaman. Ternyata setelah dia berjalan kaki
dan tubuhnya berkeringat, rasa panas yang amat hebat itu makin lama semakin mereda, berubah
menjadi rasa hangat. Dia merasa tubuhnya sehat sama sekali. Tidak ada lagi sisa rasa nyeri akibat
pukulan dan siksaan dua orang datuk sesat itu. Dia telah sembuh sama sekali! Hanya masih ada
perasaan aneh karena tubuhnya kadang-kadang masih terasa ringan bukan main. seolah-olah kalau ada
angin besar bertiup, tubuhnya akan dibawa melayang ke angkasa. Dan kini perutnya lapar bukan main.
Sanggup rasanya dia untuk menghabiskan daging seekor kijang gemuk!
Bun Houw mengharapkan untuk menemukan buah apa saja untuk mengisi perutnya yang amat lapar.
Akan tetapi, sampai jauh memasuki hutan, dia tidak melihat pohon buah, tidak pula bertemu dengan
binatang buruan. Tidak bertemu manusia yang dapat dimintai tolong memberi makanan. Dan ketika dia
menghentikan langkahnya dan menghapus keringat, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan lima
orang muncul di depannya. Lima orang laki-laki tinggi besar dan kokoh kuat, antara tigapuluh sampai
empatpuluh tahun usia mereka. Setiap orang memegang sebatang golok yang besar dan sikap mereka
bengis, wajah mereka membayangkan kekerasan dan kejahatan.
Sialan, pikir Bun Houw. Dia mengharapkan bertemu makanan, malah bertamu lima orang penjahat!
Mereka ini jelas penjahat, pikirnya. Dari sikap seseorang, kita dapat menduga wataknya. Dan sinar mata
lima orang ini amat kejam dan bengis. Akan tatapi, dia pura-pura tidak perduli dan tidak melihat mereka
lalu melanjutkan langkahnya ke kiri.
"Tunggu ...!" Tiba-tiba terdengar bentakan dan lima orang itu, dengan gerakan cepat yang menunjukkan
bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat, lima orang itu telah mengepung Bun Houw
dalam setengah lingkaran di depannya.
Bun Houw bersikap tenang. Ketika hendak membuka mulut bicara, dia merasa lagi betapa hawa yang
amat kuat bergerak dari pusarnya, mendorong ke atas dan hampir saja dia mengeluarkan teriakan atau
pekikan nyaring. Dia masih mampu menahan dirinya, menarik napas panjang untuk menenteramkan
hawa liar yang masih mencengkeramnya dari dalam.
"Ngo wi (anda berlima) menahan parjalananku ada urusan apakah?"
"Tak perlu banyak tingkah. Engkau melanggar wilayah kekuasaan kami. Cepat serahkan segala yang
kaumiliki sebagai pajak jalan kepada kami, baru kami perbolehkan engkau melanjutkan perjalanan."
bentak seorang di antara mereka yang codet (berbekas luka) pipi kanannya.
Tak salah dugaannya. Mereka ini penjahat, perampok! "Maafkan aku, sobat. Terus terang saja, aku
orang miskin tidak mempunyai apa-apa, bahkan saat ini perutku lapar sekali karena sejak kemarin belum
makan apa-apa." katanya tenang sambil mengerahkan kemauannya untuk mengendalikan hawa dahsyat
dari pusarnya.
"Enak saja bicara!" bentak orang ke dua yang mukanya hitam. "Engkau tahu dengan siapa berhadapan?
Kami adalah Hek-san Ngo-houw (Lima Harimau Bukit Hitam) yang menguasai wilayah ini. Kalan engkau
tidak punya apa-apa, hayo tinggalkan semua pakaianmu berikut sepatu itu!”
Bun Houw tersenyum. Aneh mereka ini. Mengaku sebagai Hek-san Ngo-houw dan bersikap garang.
Padahal, baru kemarin orang-orang kang-ouw, bahkan para datuk besar, muncul di Bukit Merpati Hitam.
Apakah lima orang ini demikian beraninya memperlihatkan kekuasaannya pada saat seperti itu?
"Sobat, apakah Bukit Merpati Hitam juga merupakan daerah kekuasaan kalian?" pancingnya.
Lima orang itu saling pandang, kemudian mereka mengamati Bun Houw dengan penuh perhatian,
pandang mata mereka menyelidik. Kemudian si codet melangkah maju, menatap wajah Bun Houw dan
bertanya, "Apa hubunganmu dengan Bukit Merpati Hitam?"
"Tidak ada hubungan apa-apa. Sobat, mari kita baik-baikan saja. Punyaku hanya pakaian yang menempel
di tubuh ini, pakaian sederhana yang tidak ada harganya. Kalau kalian memintanya, apakah aku harus
bertelanjang dan tidak bersepatu? Harap jangan keterlaluan." kata Bun Houw dengan alis berkerut
karena dia menganggap sikap para perampok ini keterlaluan. Mana ada perampok tega merampok
seorang miskin yang tidak punya apa-apa?
"Cerewet amat sih engkau?" bentak orang ke tiga yang mukanya kekuningan. "Cepat tanggalkan pakaian
dan sepatumu, atau terpaksa kubikin engkau menanggalkan kepalamu dari tubuhmu!" Orang itupun
maju dan goloknya menempel di leher Bun Houw dengan sikap bengis mengancam.
Bun Houw menahan diri agar tidak sampai terbakar perasaan marah. Dia tahu bahwa dia berhadapan
dengan penjahat-penjahat kecil .yang biasanya hanya berani menindas yang lemah, menggunakan
gertakan dan memaksakan kehendak dengan menggunakan kekerasan. Tidak semestinya dia melayani
orang-orang semacam ini.
"Sudahlah, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk melayani orang-orang seperti kalian!" katanya
sambil membalikkan tubuhnya, dan melanjutkan perjalanan dengan langkah lebar. “Heh, kurang ajar!
Engkau ingin mampus!” bentak mereka dan lima orang itu sudah menyerang sambil memaki-maki.
menggerakkan golok mereka seperti hendak berlumba membunuh pemuda yang berani memandang
rendah mereka.
Mendengar gerakan kaki mereka dan sambaran golok. Bun Houw membalikkan tubuh dan kedua
tangannya bergerak seperti orang mengusir lalat. Akan tetapi akibatnya hebat. Dari kedua tangannya
menyambar keluar hawa yang dahsyat dan panas dan lima orang itu seperti ditiup badai panas yang
membuat mereka terjengkang dan terguling-guling dengan senjata mereka terlepas dari tangan. Mereka
terkejut bukan main dan begitu dapat bangkit mereka segera melarikan diri tanpa di komando lagi,
lintang pukang dan jatuh bangun. Akan tetapi Bun Houw ingin memberi pelajaran kepada mereka agar
jangan mereka melanjutkan perbuatan jahat itu mengganggu orang-orang yang tidak bersalah. Sekali
lagi tangannya mendorong ke depan, ke arah orang yang terdekat dan orang itupun terpelanting roboh.
Dengan beberapa langkah saja Bun Houw sudah menghampirinya dan menginjakkan kaki pada dadanya.
Biarpun injakan itu tidak disertai pengerahan tenaga, namun orang itu merasa betapa dadanya tertindih
benda yang amat berat.
"Am ... pun ... taihlap ... “ Dia mencoba untuk berseru dengan napas terengah-engah.
Melihat seorang kawannya roboh dan tertawan, empat orang perampok yang sudah lari itu menoleh
dan mereka pun kembali, menghampiri Bun Houw yang siap menghadapi pengeroyokan mereka. Akan
tetapi setelah dekat, empat orang itu sama sekali tidak mengeroyok, melainkan menjatuhkan diri
berlutut pula.
“Taihiap, ampunkan kawan kami." kata mereka berulang-ulang.
Tergerak perasaan Bun Houw. Bagaimanapun Juga, orang-orang itu masih mempunyai perasaan setia
kawan, pikirnya.
"Kalau kalian mengharapkan ampun, berjanjilah bahwa kalian tidak akan mengganggu arang tak
berdosa, Apalagi kalan dia miskin."
"Kami berjanji ... kami berjanji ... “ kata mereka berulang-ulang.
Bun Houw melepaskan injakannya dan ternyata yang ditangkapnya tadi adalah pimpinan gerombolan
itu. Mereka berlima menghaturkan terima kasih dan pimpinan perampok itu berkata dengan sungguhsungguh.
"Percayalah, taihiap. Dahulu kami adalah pemburu-pemburu. Akan tetapi, setelah hasil baruan makin
berkurang sehingga tidak cukup untuk makan kami sekeluarga, kami mulai minta sokongan kepada
rombongan pedagang yang lewat. Akan tetapi, kemudian rombongan pedagang itu tidak lewat di sini
lagi, semenjak banyak orang kang-ouw berkeliaran di sini dan mereka itu menjadi korban siluman Guha
Setan."
Bun Houw mengerutkan alisnya. "Siluman Guha Setan? Apa dan siapakah itu?”
Kepala perampok itu mengeluarkan makanan dari buntalan mereka. "Marilah kita makan dulu, taihiap.
Bukankah taihiap tadi mengatakan sejak kemarin belum makan? Kamipun lapar. Kita makan dan kami
akan menceritakan tentang guha itu."
Melihat kesungguhan hari mereka, walaupun makanan dan minuman yang dikeluarkan hanya roti kering
dan dendeng bersama seguci arak, Bun Houw tidak sungkan lagi. Dia mengangguk dan merekapun
duduk di atas tanah berumput, makan makanan sederhana namun terasa nikmat dan lezat bagi perut
yang lapar.
Sambil makan, mereka bercerita dan Bun Houw mendengarkan dengan mata penuh keheranan.
Menurut cerita mereka, di puncak Bukit Hitam itu terdapat sebuah guha yang besar. Tadinya tak pernah
ada orang berani memasuki guha itu yang menurut kepercayaan penduduk dnsun di sekitar kaki bukit,
guha itu dihuni setan, dan karenanya guha itu diberi nama Guha siluman. Akan tetapi akhir-akhir ini,
semenjak beberapa bulan yang lalu. orang-orang kang-ouw berdatangan ke bukit itu, mendaki sampai
ke guha di dekat puncak
"Yang mengerikan, setiap orang kang-ouw. betapapun tingginya ilmu kepandaiannya, setelah memasuki
guha itu, tahu-tahu menjadi gila dan mati di depan guha. Di depan guha itu kini berserakan rangka
manusia. Kami sendiri hanya berani nonton dari jauh, sama sekali tidak berani mendekat karena kami
masih sayang nyawa," si kepala perampok mengakhiri ceritanya.
Biarpun tertarik dan heran, namun Bun Houw tidak mau menelan mentah-mentah cerita itu.
Dianggapnya bahwa cerita itu hanya kepercayaan orang-orang tahynl belaka.
"Ketika kalian melakukan pengintaian itu. apa yang kalian lihat? Apakah orang-orang-kang-ouw itu
dibunuh oleh setan atau siluman?”
“Kami pernah melihat dua orang kang-ouw yang gagah keluar dari dalam guna itu setelah mereka
bertapa beberapa minggu lamanya. Begitu keluar, mereka saling serang dengan ilmu silat yang
gerakannya aneh sekali, entah mereka itu berkelahi ataukah latihan karena pertandingan itu bagi kami
amat seru. Akan tetapi, keduanya roboh dan tewas tanpa terluka!”
Bun Houw semakin tertarik. "Dan kalian sudah melihat adanya siluman itu? Kalau tidak pernah
melihatnya, bagaimana kalian dapat mengatakan bahwa orang-orang kang-ouw itu dibunuh siluman?"
"Memang tidak ada yang pernah melihatnya, taihiap. Akan tetapi kematian orang-orang itu aneh. Ada
yang melihat seorang kang-ouw keluar dari guha, lalu bersilat seperti orang gila dan kemudian roboh
sendiri dan mati. Siapalagi kalau bukan siluman yang membunuhnya? Guha itu memang dihuni siluman,
siapa yang masuk ke sana tentu keluarnya akan menjadi gila dan mati konyol."
Bun Houw menjadi tertarik bukan main. "Sungguh menarik. Aku akan ke sana sekarang juga."
Mendengar ini, lima orang perampok itu terbelalak dan saling pandang, kemudian pimpinan mereka
berkata, "Taihiap, jangan pergi ke sana! Biarpun ilmu kepandaian taihiap amat tinggi, akan tetapi
bagaimana mungkin taihiap sunggup melawan siluman yang tidak kelihatan. Harap taihiap menjauhi
tempat itu. Kami peringatkan karena kami berhutang nyawa kepada taihiap." Juga yang lain membujuk,
akan tetapi Bun Houw hanya tersenyum.
"Sudahlah, makin aneh kalian bercerita, semakin tertarik hatiku dan kalan kesempatan ini tidak
kupergunakan untuk melihat tempat itu, aku akan selalu merasa menyesal dan kecewa. Nah, selamat
tinggal, kawan-kawan, jangan melupakan janji kalian tadi." Setelah berkata demikian, Bun Houw
mempengunakan kepandaiannya. Sekali berkelebat dia lenyap dari depan lima orang itu. Setelah dia
minum sari Akar Bunga Gurun Pasir, dia memiliki tenaga sin-kang yang demikian dahsyat dan kuatnya
sehingga kadang-kadang dia belum mampu mengendalikannya. Seperti ketika dia melompat dari depan
lima orang itu, tubuhnya melayang seperti terbang saja, bahkan lebih cepat lagi seolah-olah dia pandai
menghilang!
Lima orang perampok itu terbelalak dan seorang di antara mereka berbisik, "Wah, dia pandai
menghilang. Jangan-jangan ... “ dan tidak berani melanjutkan.
"Jangan-jangan apa?" bentak kepala perampok dan mereka semua merasa betapa bulu tengkuk mereka
meremang karena sebelum dijawab mereka sudah dapat menduga apa yang menjadi dugaan kawan
mereka.
"Jangan-Jangan dia itu justeru penghuni guha siluman ..." Lima orang itu saling pandang, bengidik dan
tidak berani banyak cakap lagi, melainkan segera pergi menuruni lereng, menjauhi puncak di mana
terdapat guha yang mereka yakini menjadi tempat tinggal Iblis-iblis dan siluman itu.
Sementara itu, dengan cepat sekali Bun Houw mendaki bukit dan tak lama kemudian tibalah dia di
depan guha yang dimaksudkan. Sebuah guha di puncak yang tandus itu, guha batu yang besar, mulut
guha itu tidak kurang dari lima meter lebarnya dan tiga meter tingginya. Akan tetapi bukan guha itu
yang menarik perhatian Bun Houw, melainkan benda-benda yang berserakan di depan guha yang
merupakan tanah datar yang kering kerontang. Rangka-rangka manusia berserakan! Bahkan ada mayat
menghitam, sudah melewati masa membusuk akan tetapi kulitnya masih ada dan dagingnya belum
habis semua. Mengerikan rangka dan mayat itu masih berpakaian! Dan senjata bermacam-macam
berserakan pula di situ. Ada pedang, golok, tombak, toya dan bayak macam lagi. Suasana di situ sunyi
senyap, hanya kadang diseling suara burung gagak yang menyeramkan. Pantas menjadi tempat iblis dan
setan. Akan tetapi Bun Houw bukan seorang penakut. Kalau orang-orang itu, dia dapat menduga tentu
orang-orang yang pandai Ilmu silat melihat banyaknya senjata di situ, sampal tewas di tempat ini, tentu
ada yang membunuh mereka. Setidaknya, dia harus mencari tahu apa yang menyebabkan matinya
orang-orang itu. Dan agaknya rahasianya terletak di dalam guha besar itu.
Dia bersikap hati-hati sekali. Untuk menyelidiki lebih dahulu kaadaan guha itu dari luar, Bun Houw
memejamkan kedua matanya dan mengerahkan sin-kang kepada pendengarannya. Dia pernah dilatih
gurunya yang buta untuk mengandalkan telinga atau pendengarannya yang kadang lebih tajam, lebih
waspada dan lebih dapat diandalkan dari pada penglihatan. Kalau dia memejamkan kedua matanya,
maka pendengarannya menjadi lebih tajam dan peka. Dan ternyata apa yang tidak mampu ditangkap
penglihatannya, kini dapat dia tangkap dengan pendengarannya. Ada suara di dalam guha, suara orang
bergerak!”
Bila memang tidak dapat memastikan siapakah orang yang membuat gerakan di dalam guha itu, atan
bukan. Yang jelas, ada sesuatu yang bergerak di sana. Setankah? Manusia? Hewankah? Dia tidak tahu
dan diapun tidak berani lancang mematuki guha, Apalagi pendengarannya menangkap bahwa gerakan
itu menuju ke mulut guha!
Bun Houw tetap mengintai dan akhirnya dia melihat apa yang tadi didengarnya lebih dahulu. Seorang
laki-laki keluar dari dalam guha itu. Laki-laki ini berusia kurang lebih limapuluh tahun, bertubuh tinggi
besar dan bersikap gagah. Pakaiannya kumal, agaknya sudah beberapa lamanya tidak pernah diganti,
rambutnya kusut akan tetapi wajahnya nampak gembira bukan main. Bahkan dia tersenyum lebar, lalu
tertawa bergelak dan mencabut pedangnya, memandang kepada mayat dan rangka yang berserakan.
"Ha-ha-ha, akhirnya akulah yang menang. Aku yang menguasai Ilmu itu dan aku yang akan menjadi jago
silat nomor satu di dunia ini, ha-ha-ha! Dengan Im-yang Bu-tek Cin-keng aku merajai dunia persilatan,
semua datuk akan kutalukkan satu demi satu, ha-ha-ha!" Dan orang itu lalu menggerakkan tubuh dan
pedangnya, bersilat secara aneh sekali. Akan tetapi, yang membuat Bun Houw terkejut, hawa pedang
yang menyambar-nyambar itu terasa olehnya padahal dia bersembunyi di balik batu besar yang jaraknya
ada limapuluh meter! Sungguh hebat ilmu silat itu! Akan tetapi, belum ada sepuluh jurus orang itu
bersilat, tiba-tiba dia mengeluh, terhuyung, pedangnya terlepas dan dengan susah payah dia
mempertahankan diri agar tidak jatuh, kedua tangan memegangi kepala dan napasnya terengahengah!”
Bun Houw terkejut dan cepat dia meloncat keluar untuk menolong orang itu! Akan tetapi, begitu
mendengar ada gerakan orang menghampiri dari arah kiri, tiba-tiba orang yang terhuyung itu
membalikkan tubuh dan kedua tangan yang tadi memegangi kepala kini menyambar dengan dorongan
ke arah Bun Houw! Bun Houw terkejut, mengenal pukulan ampuh ketika merasakan angin dahsyat
menyambar. Diapun cepat mengerahkan tenaga dan menggerakkan kedua tangan menyambut karena
sudah tidak mungkin dapat mengelak lagi tanpa membahayakan dirinya.
"Desst ...!!" Bun Houw merasa betapa tubuhnya tengetar, akan tetapi hawa dahsyat, timbul dari
pusarnya menolak kekuatan aneh dari tangan lawan dan diapun dapat mempertahankan dirinya. Dan
orang itupun terjengkang dan ketika dia melihat, ternyata orang itu telah tewas! Bun Houw tercengang.
Jelas, bahwa orang itu memiliki ilmu yang hebat bukan main. Dan tangkisannya tadi sama sekali tidak
mengandung daya serang. Akan tetapi kenapa orang ini tewas, diapun teringat akan keadaan orang itu
sejak tadi keluar dari dalam guha. Ketika baru kaluar, jelas dia sehat dan ketika bermain silat, gerakangerakannya
luar biasa, sedikitpun tidak menunjukkan kelemahan, bahkan hawa sambaran pedangnya
dapat mencapai tempat dia bersembunyi. Kemudian selagi bermain silat, orang itu terhuyung seperti
terluka parah. Namun masih mampu melancarkan serangan sedemikian dahsyatnya, dan ketika dia
menangkisnya, orang itu tewas! jelas bukan karena tangkisannya, melainkan karena orang itu sudah
terluka lebih dahulu selagi berlatih silat.
Tentu saja dia merasa heran bukan main. Tentu ada rahasia yang amat eneh di dalam, guha yang dikenal
dengan sebutan Guha Siluman itu! Benarkah orang itu tadi telah di lukai oleh setan penghuni guha?
Melihat banyaknya senjata berserakan di situ, Bun Houw memungut sebatang padang yang cukup baik
dan dengan pedang di tangan, diapun memasuki guha itu dengan hati-hali sekali, penuh kewaspadaan.
Ternyata guha itu selain lebat dan tinggi juga dalam dan ada terowongan besar di sebelah kiri. Dan di
dinding guha itu segera nampak tulisan yang diukir pada batu, huruf-huruf besar yang indah bentuknya.
HANYA YANG BERJODOH DAN BERBAKAT SAJA MAMPU MEWARISI IM YANG BU TEK CIN KENG, YANG
TIDAK AKAN MATI KONYOL.
Membaca tulisan itu, Bun Houw tertegun, teringat akan ucapan orang yang baru saja tewas di luar guha.
Orang itupun mengatakan bahwa dia telah menguasai Im-yang Bu-tek Cin-keng dan akan merajai dunia
persilatan. Akan tetapi tiba-tiba saja orang itu mati konyol. Seperti mereka yang mayat dan rangkanya
berserakan di luar guha itukah yang dinamakan "mereka yang tidak berjodoh"? Ataukah ada rahasia lain
di balik semua ini? Karena merasa amat tertarik untuk memecahkan rahasia kematian begitu banyak
orang gagah di depan guha, Bun Houw segera berindap memasuki lorong terowongan di sebelah kiri
guha. Bagaimanapun juga, tempat itu menyeramkan dan membuat dia berhati-hati, dengan pedang
yang diambil di luar guha tadi, siap di tangan kanan, pendengarannya memperhatikan dengan tajam ke
arah depan dan belakang. Namun, terowongan itu sunyi saja tidak ada sesuatu yang mencurigakan.
Setelah melangkah sejauh kurang lebih seratus meter dalam kegelapan, akhirnya terowongan itu
membawanya ke sebuah ruangan bawah tanah yang luas dan ada sinar masuk dari atas karena terdapat
retakan-retakan yang lebar di atas.
Setelah merasa yakin bahwa di sana tidak ada orang, tidak ada mahluk bergerak, dia memperhatikan
sekeliling. Ruangan itu merupakan kamar bawah tanah yang berbentuk bulat dan pada dindingnya
penuh dengan ukiran huruf-huruf dan gambar-gambar orang yang membuat bermacam gerakan silat.
Mengertilah Bun Houw bahwa rnangan itu menyembunyikan pelajaran silat rahasia, dengan tulisan dan
gambar di dinding dan agaknya ilmu inilah yang disebut Im-yang Bu-tek-Cin-keng itu! Sebagai seorang
ahli silat yang pernah digembleng oleh orang sakti, tentu saja Bun Houw tertarik bukan main untuk
mempelajari Ilmu di dinding itu. Apalagi mengingat bahwa dibandingkan dengan para datuk,
kepandaiannya masih jauh. Melawan para datuk, kepandaiannya masih kalah jauh, Hampir saja dia
tewas di tangan datuk Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, kemudian di tangan Kui-siauw Giam-ong Suma Koan
diapun tidak berdaya, disiksa hampir mati, belum bertemu para datuk lain. Kalau memang ilmu di
dinding ini hebat, tentu dia akan dapat membela diri lebih baik kalau bertemu dengan orang-orang jahat
seperti mereka itu.
Setelah memeriksa huruf-huruf dan gambar itu, dia tercengang. Ilmu silat yang diajarkan di dinding itu
sungguh merupakan ilmu yang amat aneh! Nampaknya saling bertentangan, namun serasi! Dia
mendapatkan tulisan huruf-huruf kecil di sudut bawah yang mengatakan bahwa yang berjodoh dan
berbakat, boleh mewarisi ilmu itu, akan tetapi tidak boleh setengah-setengah, harus dipelajari dengan
sempurna dan hal ini akan makan waktu bertahun-tahun! Tulisan itu memperingatkan bahwa kalau hal
ini dilanggar, maka akan mendatangkan kegilaan atau kematian.
Hemm, kalau memang sudah ingin belajar kenapa harus setengah-setengah, pikir Bun Houw. Dia hidup
sebatang-kara, tidak mempunyai urusan apa-apalagi, tidak mempunyai tempat tinggal. Mengapa dia
tidak mempelajari ilmu di dinding ini sampai dapat menguasainya dan tinggal di guha ini?
Demikianlah, dengan hati yang tetap Bun Houw mulai hari itu tinggal di dalam guha yang dinamakan
Guha Siluman itu. Ketika dia mulai berlatih samadhi menurut petunjuk tulisan dinding, cara bersamadhi
dan melatih pernapasan yang aneh dan berbeda dengan yang pernah dipelajarinya, tiba-tiba dia merasa
ada bentrokan tenaga sin-kang di dadanya. Akan tetapi, perasaan yang tidak enak itu akhirnya lenyap
"ditelan” oleh hawa yang dahsyat, yang didapatnya dari minum sari Akar Bunga Gurun Pasir. Dan diapun
mulai menghafalkan ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng. Setelah berlatih selama beberapa bulan, baru dia
tahu mengapa ada peringatan di bagian depan guha. Kiranya pelajaran itu memang diperuntukkan
mereka yang memiliki sin-kang yang amat kuat sehingga bagi orang yang sin-kangnya tidak kuat, melatih
diri dengan ilmu ini bisa mencelakai dirinya sendiri. Latihan itu menimbulkan hawa sin-kang yang aneh
dan kuat, akan tetapi kalau tidak memiliki dasar yang kuat, bangkitnya sin-kang itu dapat membuat
orang tidak kuat bertahan dan mengalami luka dalam yang hebat. Tahulah dia mengapa orang-orang itu
tewas di depan guha. Mereka semua datang mempelajari ilmu, akan tetapi tidak memenuhi syarat.
Mungkin ada yang tidak kuat sin-kangnya sehingga luka dalam dan tewas, dan mungkin ada pula yang
tidak sabar, tergesa-gesa sehingga menghentikan latihan sebelum sempurna benar, atau hanya
mempelajari setengah-setengah sehingga menjadi korban ilmu aneh yang masih belum dikuasainya
benar itu.
Beberapa bulan setelah dia berada di guha itu, pernah dia mendengar dari dalam guha betapa ada
datang beberapa orang di luar guha. Akan tetapi agaknya mereka itu mengenal korban terakhir, laki-laki
tinggi besar itu. Mereka berseru kaget.
"Ahh, bukankah ini Toat-beng Kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa)? Lihat itu pedangnya!”
"Benar dia ini ikat pinggangnya dari baja yang dapat dipergunakan sebagai senjata pedang pula! Ahh,
bagaimana seorang seperti dia menjadi korban pula di sini?"
"Kalau tokoh seperti dia saja tewas di sini, apalagi kita! Ikh, aku tidak mau berlama-lama disini. Aku mau
pergi saja sebelum mati konyol di sini!”
"Aku juga mau pergi. Tingkat Ilmu kepandaian Toat-beng Kiam-ong lebih tinggi dari tingkat guruku, kalan
dia saja gagal, apalagi aku!"
Merekapun pergi dan sejak itu, tidak pernah lagi Bun Houw mendengar ada orang datang ke guha itu.
Agaknya, matinya orang yang berjuluk Toat-beng Kiam-ong itu membuat orang-orang kang-ouw menjadi
gentar dan tidak ada lagi yang berani mencoba-coba untuk mempelajari ilmu dari guha itu. Makin
mendalam dia mempelajari ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng, semakin tahulah dia bahwa para korban itu
benar-benar menjadi korban kealaian mereka sendiri. Ada yang memang tidak persiapan! Dia sendiri,
kalau saja tidak secara aneh dan kebetulan mendapatkan kekuatan dahsyat dari pertemuan antara
racun-racun dalam tubuhnya akibat pukulan para datuk dengan khasiat obat Akar Bunga Gurun Pasir
belum tentu akan sanggup bertahan mempelajari ilmu yang aneh ini.
***
Bukit itu memang pantas mendapat nama Hwa-san (Bukit Bunga). Apalagi kalau tiba musim bunga,
sungguh tidak ada tempat yang lebih indah dari pada Hwa-san. Sebuah bukit penuh bunga! Dari jauh
nampak seperti segunduk kain berkembang beraneka warna. Apalagi kalau orang berada di puncak bukit
itu dan melihat ke bawah. Hamparan penuh bunga yang menghamburkan semerbak harum, menarik
datangnya lebah dan kupu-kupu. Segala terdapat di sisi lain lereng bukit itu.
Kalau saja ada orang yang mampu mendaki bukit itu dan berada di puncaknya pada saat itu, ketika
musim bunga sedang dalam puncak keindahannya, maka orang itu akan dapat menikmati segala
keindahan melalui mata, telinga dan hidungnya. Karena bukan saja pemandangan amat indah dan udara
dipenuhi keharuman bunga. Juga kicau burung-burung memenuhi tempat itu, berseling nada dan irama
dengan gemercik air anak sungai yang mengalir turun dan menjadi air terjun kecil dengan dendang
abadi. Bahagialah orang yang dapat menikmati segala keindahan di dunia ini dengan batin yang bebas
dari pengaruh nafsu. Karena keindahan yang dinikmati dengan batin bengelimang nafsu, akan berubah
menjadi kesenangan dan keindahan itu akhirnya menjadi kebosanan. Dan kalau sudah bosan, maka
keindahan itu tidak akan lagi karena nafsu selalu mengejar yang baru, yang tidak ada, yang belum
dicapai atau dimilikinya.
Pria yang duduk diatas batu besar di puncak yang datar itu berusia enam puluh tahun. Namun dia masih
nampak muda seperti baru limapuluh tahun saja, wajahnya segar dan belum banyak keriput, duduknya
masih tegak dan baru sedikit uban menghias rambutnya. Wajah pria ini masih jelas meninggalkan sisa
ketampanan di waktu muda. Wajah yang nampak gembira bukan main sehingga jelas mudah diduga
bahwa orang itu sedang menikmati keindahan di sekelilingnya, dan yang terhampar di sebelah bawah
sana Namun, kalau kita mendekatinya, akan nampak bahwa pria ini adalah seorang yang tidak dapat
melihat lagi. Dia seorang buta! Tentu dia menikmati keindahan itu melalui telinga dan hidungnya saja.
dan perasaannya yang menjadi amat peka karena kurangnya indra penglihatan yang paling penting bagi
manusia itu.
Pria yang duduk bersila seperti patung dengan mulut tersenyum-senyum itu adalah Tiauw Sun Ong,
bekas pangeran yang kini menjadi seorang yang sakti itu. Dalam menikmati kesegaran di puncak Hwasan,
mencium keharuman selaksa bunga, mendengar kicau burung dan dendang air terjun, terbayang
dalam benaknya kehidupan yang lalu ketika dia masih dapat melihat dan menjadi seorang pangeran di
istana. Setiap musim bunga, diapun selalu berada di taman bunga Istana yang luas dan indah, minum
arak, bersajak, bermain musik dan dalam suasana yang romantis itu, selalu saja terjadi pertemuan
antara dia dengan wanita cantik yang disusul dengan hubungan mesra. Dia terkenal sebagai seorang
pangeran yang tampan dan pandai, juga adik kaisar sehingga dia terpandang, dihormati dan dimuliakan,
membuat banyak gadis bangsawan tergila-gila kepadanya.
Keharuman bunga itu membuat Tiauw Sun Ong teringat kembali betapa di waktu mudanya dia dihujani
cinta kasih banyak wanita, walaupun di antara sekian banyaknya, yang masih teringat sampai sekarang,
masih berkesan di hatinya hanya beberapa orang saja. Dan yang terakhir sekali adalah wanita yang amat
dicintanya dan hubungannya dengan wanita itu mengakibatkan dia menjadi buta dan terasing dari
keluarga kaisar.
"Cu Lan ...!” Bibirnya bergerak memanggil nama ini tanpa bersuara. Wanita itu adalah selir kakaknya,
selir kaisar yang paling disayang oleh kaisar. Memang amat cantik jelita.
Kebetulan saja dia bertemu dengan selir itu pada musim bunga seperti ini, di taman bunga. Dan
peristiwa itu bukan hanya bertemunya dua pasang mata yang bertautan, melainkan juga dua buah hati.
Mereka lupa segala, menjalin hubungan cinta yang mesra.
Ketika itu, Pouw Cu Lan selir kaisar itu berusia duapuluh tahun, telah tiga tahun menjadi selir kaisar dan
belum mempunyai anak. Hubungan mesra mereka itu hanya berjalan kurang lebih tiga bulan. Para selir
lain yang iri hati terhadap Cu Lan, melaporkan kepada kaisar. Mereka tertangkap basah di pondok
taman dan dalam keadaan amat main. dia lalu membikin buta kedua matanya sendiri, kemudian pergi
meninggalkan istana. Dia tidak tahu apa yang terjadi dengan diri kekasihnya itu, setelah dia pergi. Dia
hidup terlunta-lunta sampai jauh ke utara. Ketika itu, dia berusia tigapuluh satu tahun. Hanya
pertemuannya dengan seorang tosu yang sakti saja yang membuat dia bersemangat kembali untuk
melanjutkan hidup. Dia menjadi murid tosu itu, mempelajari ilmu-ilmu sehingga menjadi seorang yang
sakti, walaupun buta.
Masih ada beberapa orang wanita yang tak pernah dapat dia lupakan, namun tidak seperti Pouw Cu Lan
yang benar-benar telah dapat merebut cinta hatinya. Namun, dia sungguh merasa bersalah kepada
kakaknya, dan merasa malu sekali. Maka, biarpun hatinya selalu tersiksa apabila dia teringat kepada
kekasihnya itu, dia menahan diri dan tidak pernah dia mau mencari tahu lagi tentang diri kekasihnya.
Bahkan dia selalu menjauhkan diri dari kota raja, berkelana di gunung-gunung dan di tempat-tempat
sunyi, seperti seorang terlantar, seperti pengemis walaupun dia tidak pernah minta-minta.
Diapun mendengar akan kehancuran kerajaan kakaknya. Lima tahun yang lalu, Kerajaan Liu-sung yang
dipimpin kakaknya, yaitu Kaisar Cang Bu telah jatuh ke tangan pemberontakan yang dipimpin oleh
seorang pemberontak bernama Siauw Hui Kong bersama keluarga Siauw. Para pemberontak itu dapat
merebut tahta kerajaan. Kaisar Cang Bu membunuh diri, dan para pemberontak yang berbaik dengan
Kerajaan Wei di utara, mendirikan sebuah kerajaan baru yang dinamakan Kerajaan Chi. Tiauw Sun Ong
bersedih mendengar semua itu. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan? Dia tidak berdaya. Walaupun
dia memiliki ilmu kepandaian yang membuat dia sakti, namun dia hanya seorang buta. Bagaimana dia
akan mampu menyelamatkan kerajaan kakaknya! Setelah kerajaan kakaknya jatuh, dia semakin acuh
terhadap urusan dunia dan kini dia berada di Hwa-san, menemukan tempat yang amat menyenangkan,
tenang dan tenteram. Dia mengambil keputusan untuk tinggal di tempat indah itu sampai dia mati, tidak
akan turun dari bukit itu.
Tiauw Sun Ong tidak tahu bahwa bagaimanapun besar keinginan manusia, kadang-kadang nasib
menentukan lain. Dia tidak tahu bahwa pada saat dia termenung itu, terjadi peristiwa di kaki bukit yang
merupakan awal perubahan kehidupannya, yang akan mengguncang kedamaian yang dia rasakan di
puncak bukit itu. Jauh di kaki bukit Hwa-san, pagi hari itu seorang wanita memasuki sebuah dusun di
kaki bukit. Wanita itu hampir limapuluh tahun usianya, namun masih nampak cantik dan muda. Orang
akan mengira ia berusia tigapuluh tahun lebih. Wajahnya yang manis itu berkulit putih kemerahan,
hidungnya mancung dan mulutnya kecil penuh gairah. Akan tetapi orang akan bersikap hati-hati dan
bahkan mungkin jerih kalau melihat matanya. Mata itu memang indah dan jeli, akan tetapi sinarnya
kadang-kadang seperti mata harimau marah, menusuk dan berapi. Pakaiannya sederhana seperti juga
riasan wajahnya yang manis, akan tetapi cukup bersih dan karena potongannya ringkas dan ketat, maka
bentuk tubuhnya yang ramping padat itu nampak nyata. Pakaian seorang wanita yang sering melakukan
perjalanan jauh, bukan pakaian seorang ibu rumah tangga yang selalu sibuk dengan anak-anaknya dan
pekerjaan rumahnya.
Setelah memasuki dusun itu, wanita cantik ini mencari-cari dengan pandang-matanya. Ia tidak perduli
akan pandang mata orang-orang dusun, terutama prianya, yang memandang heran dan kagum
kepadanya. Ia mencari kedai nasi atau rumah makan karena perutnya terasa lapar dan ia ingin sarapan.
Ketika ia melihat dua orang pemuda berusia duapuluhan tahun berdiri di tepi jalan memandang
kepadanya, ia lalu menghampiri mereka. Seorang membawa sabit panjang dan seorang lagi memegang
cangkul. Agaknya dua orang pemuda petani yang hendak pergi ke ladang.
"Sobat, tolong tunjukkan di mana aku dapat membeli makanan di tempat ini! Aku merasa lapar dan
ingin makan." kata wanita itu, suaranya lembut dan merdu.
Dua orang pemuda itu sudah menyeringai girang ketika wanita cantik itu mendekati mereka tadi. Kini,
mendengar ucapan itu, mereka saling pandang dan wajah mereka berseri, gembira dan bangga. Siapa
orangnya tidak akan bangga dilihat orang bahwa wanita kota yang cantik itu menghampiri mereka dan
mengajak mereka bercakap-cakap? Dan benas saja, para penduduk berhenti melangkah dan
memandang ke arah mereka, dengan heran.
Dua orang pemuda yang merasa bangga itu setelah saling pandang, lalu dengan ramah seorang di antara
mereka, yang hidungnya pesek, memperlihatkan senyumnya yang dianggsap paling manis. "Aih, nona
hendak mencari kedai makanan? Di dusun ini tidak ada yang menjualnya, nona."
Wanita itu tersenyum. Senyumnya mengandung sejuta madu dan dua orang pemuda itu semakin
terpesona. "Tidak perlu kedai penjual makanan. Kalau ada penduduk yang mau membagi sedikit
makanan dan air teh kepadaku, akan kubayar mahal."
Pemuda ke dua yang mempunyai tahi lalat di dagu, segera berkata, "Kalau begitu, marilah ikut dengan
kami ke rumah kami, nona. Kami dapat menyuguhkan makanan dan minum sekadarnya untuk nona."
Wanita itu nampak girang bahwa dua orang pemuda itu menyebutnya "nona" dan iapun mengangguk.
Dapat dibayangkan betapa bangga dan girangnya hati dua orang pemuda itu. Dengan dada membusung
mereka berjalan mendampingi wanita itu di kanan kirinya dan membawanya pergi ke rumah mereka
yang tak jauh dari situ.
Rumah mereka sederhana namun bersih dan dua orang pemuda kakak beradik itu segera memanggil Ibu
mereka yang menjanda. Ibu mereka sudah berusia limapuluh tahun, tampak tua sekali dan ia tergopoh
memasuki rumah dari belakang ketika mendengar suara, anak-anaknya.
"Eh, kenapa kalian tidak ke ladang dan hei, siapakah ia?"
"Ibu, nona ini datang untuk minta sedikit makan dan minum, ia lapar dan ingin membeli makanan dan
minuman, akan tetapi tidak ada." kata yang pesek.
"Ibu, keluarkan semua yang ada untuk nona ini." kata yang bertahi lalat.
"Maafkan kalau aku mengganggu," kata wanita itu, "aku hanya ingin sarapan karena lapar, dan nanti
kubayar hanganya, berapapun kalian minta."
"Aih, tidak usah, nona ... " kata Ibu itu yang tentu saja bersikap hormat melihat seorang wanita kota. Ia
lalu sibuk di dapur dan tak lama kemudian ia sudah menghidangkan nasi putih dengan lauknya sayuran
dan ikan asin. Juga semangkok teh hangat.
Melihat hidangan yang sederhana itu, sang tamu nampak girang. Perut yang lapar hanya menuntut
makanan, tidak memilih lagi dan tanpa sungkan iapun segera makan dan minum sampai kenyang. Ketika
ibu itu menyingkirkan mangkok piring, wanita itu menghapus bibirnya dengan saputangan dan
memandang kepada dua orang pemuda yang masih duduk menghadapinya dan tadi dengan ramahnya
menemaninya makan. Ia melihat betapa pandang-mata dua orang pemuda itu berbeda dari tadi.
Kalau tadi ketika bertemu di jalan dan mengnjaknya ke rumah mereka, dua orang pemuda itu ramah
dan sopan, kini pandang mata mereka membuat alisnya berkerut. Ia sudah hafal akan pandang mata
pria seperti ini, pandang mata penuh gairah yang membuatnya marah dan tidak senang. Akan tetapi
mengingat bahwa baru saja ia terhindar dari rasa lapar karena keramahan dan suguhan mereka, ia
menahan diri, hal yang jarang sekali ia lakukan, dan dengan acuh ia bertanya kepada mereka.
(Bersambung jilid 09)
Jilid 09
"WAH, aku sudah makan dan minum cukup kenyang, sobat. Sekarang katakan berapa yang harus
kubayar kepada kalian untuk harga makanan dan minuman ini."
Doa orang pemuda itu saling lirik dan menyeringai, kemudian yang berhidung pesek mengangkat muka,
memberanikan diri dan dengan cengar cengir dia menjawab, "Aih, nona yang manis, makanan dan
minuman itu tidak kami jual. Kami tidak minta uang, hanya minta ... “
Makin dalam kerut di antara alis mata yang hitam kecil dan panjang melengkung itu "Minta apa?”
Dua orang pemuda itu kembali saling pandang dan tertawa kecil, kemudian yang bertahi lalat
melanjutkan ucapan saudaranya yang terputus tadi, "kami hanya minta engkau bersikap manis kepada
kami." Dan seperti dikomando saja, dua orang pemuda itu bangkit berdiri dan menghampiri wanita itu
dari kanan kiri, kemudian keduanya merangkul dan mendekatkan muka hendak menciuminya!
Wanita itu masih duduk dan melihat niat dua orang pemuda itu, tiba-tiba saja kedua tangannya
bergerak menampar ke kanan kiri dengan punggung tangannya.
"Plak! Plakkl" Kelihatan perlahan saja kedua tangan itu menampar, akan tetapi akibatnya sungguh
hebat. Dua orang pemuda itu terpelanting dan roboh pingsan dengan sebelah muka hancur seperti kena
ditampar dengan senjata baja yang amat kuat. Kulit sebelah muka mereka itu seperti terkupas, telinga
remuk dan mata membengkak. Mereka hanya sempat memekik pendek terus roboh pingsan.
Mendengar pekik ini, ibu kedua orang pemuda itu berlari masuk dari belakang dan ia menjerit-jerit
ketika melihat kedua orang anaknya roboh dengan muka mandi darah.
Wanita cantik itu bangkit berdiri, memandang dengan senyum dingin dan berkata, "Mengingat ibunya,
aku mengampuni mereka dan tidak akan membunuh meraka." Setelah berkata demikian, dengan
langkah gontai ia keluar dari rumah itu.
Ibu kedua orang anak itu mengejarnya kasar dan masih menjerit-jerit. "Tolooonggg ... perempuan ini
membunuh kedua orang anakku ...!”
Wanita cantik itu tidak berhenti atau menengok. Ia tahu bahwa Ibu itu mengira kalau anaknya yang
pingsan itu tewas. Akan tetapi pada saat itu, teriakan si Ibu yang berulang-ulang membuat para tetangga
berlarian ke tempat itu dan terpaksa si wanita cantik menghentikan langkahnya karena terhalang,
bahkan terkepung.
Tangkap perempuan ini! Ia membunuh dua orang anakku setelah kami menyuguhkan makan dan minum
kepadanya. Ia jahat, ia siluman betina!” ibu itu berteriak-teriak sambil menudingkan telunjuknya ke arah
si perempuan cantik yang masih tersenyum-senyum saja.
Melihat belasan orang laki-laki maju dengan sikap marah, wanita itu menyapu mereka dengan pandang
matanya yang jeli dan tajam. "Aku menghajar mereka. Dan, kalian mau apa! Minta sekalian dihajar?”
Tentu saja ucapan ini membuat semua orang menjadi marah. Perempuan ini memang cantik, akan
tetapi jahat bukan main, "Tangkap perempuan ini!” teriak seorang laki-laki setengah tua.
"Seret ia dan hadapkan kepala dusun!”
“Pembunuh ini harus dihukum!"
Duabelas orang mengepung dan menggerakkan tangan hendak menangkap wanita itu. Ia tersenyum dan
mendengus, "Kalian memang menjemukan!" dan sebelum ada tangan yang dapat menyentuhnya,
wanita itu bergerak, tubuhnya berkelebatan ke kanan kiri dan terdengarlah guara orang-orang itu
mengaduh kesakitan dan duabelas orang itupun roboh satu demi satu. Semua orang terbelalak melihat
duabelas orang itu merintih-rintih dengan tulang patah atau muka matang biru. Padahal, wanita itu
hanya nampak berkelebatan dan menggerakkan kedua tangannya secara lembut saja.
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan muncul dua orang pria yang pakaiannya gagah seperti
yang biasa dipakai oleh para pendekar. Dengan pakaian ringkas, pedang tergantung di punggung, dua
orang laki-laki yang usianya sekitar tigapuluh lima tahun ini sudah melompat ke depan wanita cantik itu.
"Dari mana datangnya perempuan jahat, iblis betina yang kejam?” bentak seorang di antara mereka
yang rambutnya sudah banyak dihias uban.
Wanita itu mengangkat muka, memandang kepada dua orang itu dengan senyum dingin mengejek.
Sejenak ia mempelajari keadaan mereka. Memang ada keanehan pada dua orang yang usianya antara
tigapuluh lima sampai empat puluh tahun itu. Keduanya membawa pedang di punggung, dan kalau
yang seorang rambut kepalanya sudah banyak putihnya, yang ke dua biar rambutnya masih hitam, akan
tetapi jenggot dan kumisnya semua sudah putih!
"Hemm, kiranya Pek-mau Siang-kaw (Sepasang Anjing Rambut Putih) yang muncul! Kalian mau apa?"
tanya wanita itu dengan suara lembut.
Dua orang gagah itu saling pandang, membelalakkan mata dan muka mereka berubah merah sekali.
Mereka adalah sepasang pendekar yang terkenal di wilayah Hwa-san, terkenal dengan julukan Pek-mau
Siang-houw (Sepasang Harimau Rambut Putih) karena mereka memiliki kelainan pada rambut dan
jenggot kumis mereka. Akan tetapi wanita cantik ini sengaja mengubah julukan mereka Siang-houw
(Sepasang Harimau) menjadi Siang-Kaw (Sepasang Anjing)! Sungguh penghinaan yang berupa ejekan
merendahkan.
"Siluman betina, siapakah engkau yang berani bermain gila dan bersikap kurang ajar terhadap Pek-mau
Siang-houw?" bentak yang kumisnya putih.
Kini sepasang mata itu mencorong marah dan senyumnya berubah menjadi dingin mengejek. "Anjinganjing
seperti kalian tidak pantas mengenal namaku. Pergilah sebelum engkau tidak hanya menjadi
sepasang anjing, melainkan menjadi sepasang bangkai anjing!"
Sungguh hebat penghinaan ini, amat memandang rendah dan makian itu dilakukan di depan banyak
orang pula! Pek-mau Siang Houw adalah dua orang bersaudara yang selalu menentang kejahatan
sehingga mereka telah membuat nama besar. Kebetulan sekali pada pagi hari itu mereka lewat di situ
dan mendengar ribut-ribut. Melihat bahwa yang mengacau di dusun itu hanya seorang wanita cantik
setengah tua, mereka masih bersikap sabar dan lembut. Siapa kira wanita itu malah menghinanya.
"Singgg ...!” Keduanya mencabut pedang dari punggung dan nampak sinar berkilat saking tajamnya
pedang mereka, berkilauan tertimpa sinar matahari pagi.
Wanita itu sama sekali tidak kelihatan gentar, bahkan mengeluarkan saputangan merahnya dan
menghapus keringat dari leher dan mukanya, nampak kesal melihat lagak kedua orang pendekar itu.
"Siluman betina! Keluarkan senjatamu dan hadapi pedang kami!” bentak dua orang pendekar itu.
Mereka melihat betapa wanita itu telah merobohkan dua belas orang dengan mudah, maka merekapun
dapat menduga bahwa tentu wanita ini lihai, maka mereka tidak ragu dan sungkan untuk maju bersama,
akan tetapi tetap saja mereka tidak suka menyerang lawan seorang wanita yang bertangan kosong
dengan pedang mereka.
“Huh, pedang mainan kanak-kanak itu kau pergunakan untuk menakut-nakuti aku? Majulah, agaknya
kalian memang sudah bosan hidup!" bentak wanita itu, mengebut-ngebutkan saputangannya di depan
leher untuk mengusir panasnya matahari pagi yang makin meninggi.
"Siluman, engkau patut dibasmi dari muka bumi!" bentak kedua orang pendekar itu dan merekapun
menyerang dengan pedang mereka dari kanan kiri.
"Wuuuttt, sing-sing ... !” Nampak sinar pedang bergulung-gulung ketika sepasang pedang itu
menyambar. Namun, yang diserangnya lenyap dan berkelebat di antara sambaran sinar pedang! Dua
orang pendekar itu membalik dan mereka menghujankan serangan kilat ke arah wanita itu. Namun,
sungguh hebat gerakan wanita itu. Lembut seperti orang menari saja, namun langkahnya ringan dan
seperi bayangan yang tak pernah dapat disentuh sinar pedang! Sampai belasan jurus, dua orang
pendekar itu menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga mereka dan memainkan jurus-jurus pilihan
yang paling ampuh, namun wanita itu tetap saja tidak dapat disentuh pedang mereka. Kemudian,
wanita itu menggerakkan saputangan suteranya yang panjangnya hanya tiga jengkal, saputangan sutera
yang lembut dan ringan. Akan tetapi, begitu sapu tangan itu menyambar sebatang pedang, ujungnya
melibat dan sekali wanita itu menggerakkan tangannya, pedang yang di libat saputangan itu palah!
Melihat pedang saudaranya patah, si rambut putih menusukkan pedangnya ke arah lambung wanita itu
dari arah kiri.
"Cappp ... !” Pedang itu menancap sampai setengahnya dan semua orang ternganga, mengira bahwa
wanita itu tentu akan tewas.
Akan tetapi, tiba-tiba si rambut putih memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat karena dia
melihat bahwa pedang itu bukan menembus lambung melainkan dijepit di bawah ketiak wanita itu.
Sebelum dia mampu menghindarkan diri, kaki wanita itu menendang bawah pusarnya.
"Kekkk ...!" Tubuh si rambut putih terjengkang, pedangnya terlepas dan diapun roboh terbanting dan
tewas seketika karena tubuhnya di bawah pusar, bagian kelamin, telah hancur oleh ujung sepatu wanita
itu. Si kumis putih terkejut, akan tetapi pada saat itu, wanita tadi melemparkan pedang yang dijepit
dengan lengannya ke arah si kumis putih. Pedang itu meluncur seperti anak panah, tak dapat dielakkan
atau ditangkis lagi oleh si kumis putih dan pedang itu memasuki dadanya sampai tembus ke punggung.
Si kumis putih roboh dan tewas di dekat mayat saudaranya..
Wanita itu tertawa, suara kerawa yang merdu dan halus, lalu ia pergi dari situ sambil mengebutngebutkan
saputangan suteranya untuk mengusir keringat, dan tangan kirinya menyapu-nyapu baju
yang terkena debu. Semua penghuni dusun memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Tak
eorang pun berani menghalangi wanita itu atau mengejarnya.
Andaikata ada yang mengejar pun tidak akan berhasil menyusul wanita itu yang kini berkelebatan
dengan ilmu lari cepat, mendaki bukit di depan dengan kecepatan seperti larinya seekor kijang.
Siapakah wanita yang demikian lihainya dan juga amat kejamnya itu. Kalau saja dua orang pendekar itu,
Pek-mau Siang-houw, mengetahui dengan siapa mereka berhadapan, belum tentu mereka berani
bersikap seperti itu di depan wanita cantik itu. Ia sungguh bukan wanita biasa, bahkan bukan wanita
kang-ouw biasa. Ia adalah seorang datuk besar yang namanya ditakuti semua orang, bahkan para
pendekar juga harus berpikir masak-masak untuk menentang datuk yang luar biasa lihai dan kejamnya
ini.
Kekejamannya itu hanya ditujukan kepada para pria! Ia seorang pembenci laki-laki! Tidak ada lagi orang
yang mengenal nama aselinya, hanya mengenalnya dengan julukan Kwan Im Sian-li (Dewi Kwan Im).
Sungguh julukan yang sama sekali berlawanan dengan wataknya, karena julukan ini memang ia sendiri
yang memilihnya. Ia menyamakan dirinya dengan Kwan Im Pouw-sat. Dewi Belas Kasih yang dipuja
orang karena ia merasa bahwa selama ini belum pernah ia berhubungan dengan pria, ia masih perawan
walau usianya sudah hampir limapuluh tahun. Dan memang penampilannya seperti seorang dewi, cantik
jelita, sederhana, lemah lembut dan sedikitpun tidak menunjukkan bahwa ia seorang ahli silat. Apa lagi
seorang yang dapat membunuh banyak orang tanpa berkedip. Pagi hari itu saja, ia telah melukai parah
dua orang pemuda yang memberinya hidangan, kemudian melukai duabelas orang dusun, bahkan
membunuh dua orang pendekar yang menentangnya. Tidak ada yang tahu bahwa watak kejamnya
terhadap pria ini muncul ketika ia menderita patah hati karena cintanya gagal. Pria yang dicintanya tidak
membalas cintanya dan sejak itu ia membenci pria yang dianggapnya palsu dan hanya mendatangkan
duka saja bagi wanita!
Cepat sekali wanita itu mendaki bukit Hwat-san, biarpun pendakian itu amat sukar, namun ternyata
wanita cantik itu dapat mencapai puncak dalam waktu tingkat. Tebing-tebing yang licin dan keras ia
panjat dengan mudah, jurang yang amat curam dan lebar dapat ia lompati. Ketika tiba di puncak yang
landai dan penuh bunga, Kwan Im sianli tertegun dan sejenak ia berdiri terpesona, memandang ke
sekeliling dan berputar pada ujung kakinya.
"Aihhhh, betapa indahnya ...!” Ia menghirup napas panjang, memasukkan udara sejuk segar itu
sebanyaknya ke dalam paru-parunya, ia merasa nyaman sekali. Kalau orang melihatnya pada saat itu,
tentu akan mengakui bahwa julukan wanita itu memang tepat. Berdiri di puncak bukit, di antara bungabunga
yang sedang mekar, pantaslah ia menjadi seorang dewi!
"Pantas kalau tempat seindah ini menjadi tempat tinggal Si Buta yang menjengkelkan hati itu. ... “
katanya lirih dan di dalam suaranya terkandung penyesalan, kekecewaan dan penasaran.
"Bwe Si Ni ... engkaukah yang datang itu ...?" Tiba-tiba terdengar suara lembut, dan Kwan Im Sianli cepat
meloncat ke arah datangnya suara. Dan di sana, di atas batu datar yang lebar, duduklah pria itu! Pria
yang dicari-carinya selama ini.
"Pangeran ...!” serunya sambil menghampiri dan sekali ini dalam suaranya terdengar kelembutan yang
luar biasa, suara yang mengandung kasih sayang dan kerinduan. Pancaran matanya juga lembut dan
sayu, dan mulutnya tersenyum pahit, menggetar penuh harap.
Pria itu, Tiauw Sun Ong, tertawa dan ketika dia tertawa, wajahnya nampak lebih muda. "Ha-ha-ha, Si Ni,
apakah engkau tidak pernah tua? Engkau masih seperti dulu saja. Engkau tahu, aku bukan lagi seorang
pangeran, melainkan seorang jembel. Bahkan sekarang Kerajaan Liu-sung juga sudah jatuh, keluargaku
sudah terbasmi. Aku orang buangan, jangan sebut pangeran lagi."
Dia lalu menggerakkan tangan mempersilakan. "Duduklah, Si Ni. Sudah bertahun-tahun kita tidak saling
jumpa. Bagaimana kabarnya dengan dirimu?"
Kwan Im Sianli duduk pula di atas batu yang lebar itu, berhadapan dengan Tiauw Sun Ong. Sejenak
mereka berdiam diri dan wanita itu memandang dengan sinar mata penuh kasih dan keharuan.
Sementara itu, Tiauw Sun Ong hanya menunduk, diam-diam dia terkejut ketika tadi mengenal suara
wanita ini, seorang di antara wanita yang tak pernah dapat dia lupakan. Teringat olehnya betapa dahulu,
ketika dia masih menjadi pangeran, di antara para gadis yang mengejar dan merindukannya terdapat
seorang dayang istana yang cantik bernama Bwe Si Ni. Tanpa main-main Bwe Si Ni menyatakan
cintanya, rela mengorbankan nyawa sekalipun untuknya asal cintanya diterima. Karena merasa kasihan
kepada gadis cantik manja yang begitu pasrah, Tiauw Sun Ong merasa tidak tega untuk menolak begitu
saja. Dia bersikap ramah dan manja walaupun belum menyatakan bahwa dia membalas cinta kasih gadis
dayang istana itu. Apalagi ketika itu dia sudah mempunyai seorang pacar, yaitu seorang gadis
bangsawan puteri keluarga Kwan. Memang Tiauw Sun Ong mempunyai kelemahan terhadap wanita. Dia
tidak tega menolak untuk bersikap manis terhadap wanita yang jatuh cinta kepadanya!
Akan tetapi, dalam taman, dia bertemu selir kaisar, Pouw Cu Lan dan dia begitu tergila-gila sehingga
terjadilah hubungan antara-mereka. Melihat ini, Bwe Si Ni menjadi cemburu dan marah, bahkan sakit
hati. Ialah seorang di antara mereka yang melapor kepada kaisar sehingga hubungan antara selir dan
adik kaisar itu tertangkap basah. Ketika Tiauw Sun Ong membutakan matanya dan meninggalkan istana,
Bwe Si Ni, gadis dayang itupun minggat dari Istana!”
Belasan tahun kemudian setelah Tiauw sun Ong menjadi perantau buta dan mendapatkan ilmu, manjadi
orang sakti, pada suatu hari muncul Bwe Si Ni di depannya! Akan tetapi bukan Bwe Si Ni gadis dayang
yang dahulu, yang lemah lembut dan hangat, yang mati-matian mencintanya, melainkan Bwe Si Ni yang
sudah berubah menjadi seorang iblis betina, seorang yang memiliki Ilmu kepandaian yang tinggi dan
dahsyat. Dan Bwe Si Ni yang ketika itu sudah berusia tigapuluh lima tahun. menuntut agar dia suka
hidup bersamanya menjadi suami isteri. Biarpun dia telah menjadi seorang buta yang hidup terluntalunta
ternyata cinta kasih Bwe Si Ni tidak pernah berkurang! Namun, bekas pangeran itu menolak dan
hal ini membuat Bwe Si Ni menjadi kecewa dan berduka sekali. Ia menangis dan memohon, mengatakan
bahwa ia tidak pernah mau berdekatan dengan pria lain karena ia sudah bersumpah untuk hidup
menjadi isteri Tiauw Sun Ong. Ketika bekas pangeran itu tetap menolak, ia menjadi penasaran dan
marah. Dengan tegas ia mengatakan, bahwa kalau Tiauw Sun Ong menolak, ia akan membunuhnya
kemudian membunuh diri sendiri. Ingin mati bersama! Tiauw Sun Ong tetap menolak dan Bwe Si Ni
menyerang. Terjadi perkelahian yang hebat. Akan tetapi, ternyata tingkat kepandaian Bwe Si Ni masih
belum mampu menandingi Tiauw Sun Ong walaupun bekas pangeran yang buta ini mengalah dan selalu
mengelak dan menangkis saja. Akhirnya, dengan hati kecewa, duka, penasaran dan makin mendendam,
Bwe Si Ni pergi dan ia memperdalam Ilmunya sehingga akhirnya ia terkenal sebagai seorang wanita sakti
yang berjuluk Kwan Im Sianli. Akan tetapi, kegagalan cintanya dengan bekas pacarnya itu membuat
hatinya menjadi pahit getir dan pembenci pria. Kalau ada pria bersalah sedikit saja kepadanya, apalagi
bersikap kurang ajar. ia dengan kejam akan membunuhnya atau setidaknya membikin cacat!”
Dan kini, dalam usia hampir limapaluh tahun, setelah bertahun-tahun mencari, akhirnya ia dapat
berhadapan dengan Tiauw Sun Ong lagi! Tentu saja ada ketegangan di hati Tiauw Sun Ong yang maklum
akan isi hati bekas dayang ini, akan tetapi ia tetap tenang dan menahan diri sehingga suaranya tidak
membayangkan perasaan hatinya.
Sementara itu, begitu berjumpa dengan bekas pangeran itu, hati bekas dayang itu seperti terbakar
kembali api cintanya. Biarpun pria yang menjadi idaman hatinya itu kini sudah hampir enampuluh tahun
usianya, namun dalam pandangannya, tidak ada pria lain di dunia ini yang lebih disayangnya dari pada si
buta ini. Bagaikan awan disapu angin, dendamnya untuk membunuh pria yang dikasihinya itu lenyap,
terganti perasaan rindu yang menyesakkan dadanya. Selama ini ia membenci pria. tidak sudi didekati
pria manapun juga karena seluruh hatinya telah terisi oleh pangeran ini.
Selama belasan tahun ini, sejak kegagalannya membujuk kekasihnya untuk hidup bersama atau mati
bersama, Bwe Si Ni telah memperdalam ilmu-ilmunya sehingga ia menjadi datuk besar dunia kang-ouw
yang ditakuti orang. Akan tatapi, begitu bertemu, semua dendamnya, mengabur dan kembali timbul
kerinduannya kepada pria ini.
"Pangeran, aku datang untuk mengajakmu hidup bersama. Ketahuilah, pangeran, aku tetap setia
kepadamu dan sampai kini aku tetap menjaga diriku sebagai calon milikmu, tidak membiarkan diriku
disentuh pria manapun juga. Pangeran, aku tetap mengharapkan untuk menghabiskan sisa hidup kita
yang tidak berapa lama lagi ini sebagai suami isteri ... "
"Si Ni ... "
"Pangeran, kasihanilah aku, bayangkan betapa selama puluhan tahun aku menunggu saat ini, penuh
penderitaan, penuh harapan dan kerinduan. Tegakah engkau mengecewakan harapanku yang terakhir
ini? Pangeran, aku rela meninggalkan segalanya, dan hidup di sini, di sisimu, sampai hayat meninggalkan
badan ... “
Wanita itu meratap dengan suara yang bercampur tangis.
Sampai lama Tiauw Sun Ong tidak mampu menjawab. Diam-diam dia mengeluh. Tak disangkanya sama
sekali bahwa kedamaian yang dinikmatinya itu kini dapat terganggu dan terguncang sedemikian
hebatnya! Kemudian, setelah menarik napas panjang beberapa kali, diapun berkata dengan suara yang
tenang namun tegas.
“Bwe Si Ni, dengarlah baik-baik. Aku sekarang tidak mempunyai apa-apalagi, maka yang bersisa hanya
tinggal kejujuran. Kalau aku tidak jujur, berarti aku kehilangan segala-galanya. Dan kejujuran kadang kala
menyakitkan perasaan, Si Ni. Maka, dengarlah baik-baik, pertimbangkan baik-baik dan jangan terburu
nafsu, karena aku akan membuat pengakuan secara sejujurnya."
Wanita itu menghapus sisa air matanya dan iapun duduk bersila dengan tegak di depan pria itu, di atas
batu datar. "Bicaralah, pangeran."
"Si Ni, menghadapi urusan kita ini, aku hanya mempunyai dua pilihan. Yaitu, menjadi seorang yang jujur
akan tetapi dianggap kejam, atau menjadi seorang yang palsu akan tetapi dianggap baik. Dan setelah
kupertimbangkan, aku memilih menjadi orang pertama. Yaitu jujur biarpun engkau akan menganggap
aku kejam dan jahat. Kalau aku menuruti perasaan hatiku yang penuh iba kepadamu, tentu aku akan
menerima permintaanmu, hidup sebagai suami isteri denganmu di sini sampai kita mati tua. Akan
tetapi, itu berarti aku palsu biarpun kauanggap baik, karena terus-terang saja, Si Ni, sejak mataku buta,
hatiku tidak buta lagi dan aku tidak mau mengikat diri dalam perjodohan dengan siapapun juga. Aku
akan berterus terang bahwa tidak ada lagi cinta berahi di dalam hatiku terhadap seorang wanita. Kau
tentu tidak ingin kubohongi, bukan! Nah, tinggalkan aku dalam damai. Si Ni, dan aku tahu bahwa kalau
engkau mau, engkau akan dapat menemukan seorang suami yang jauh lebih baik dari pada aku yang tua
dan buta ini."
"Pangeran Tiauw Sun Ong!” Tiba-tiba wanita itu membentak marah, "Sudah tigapuluh tahun aku
menanti dangan sabar, dengan setia, dan engkau tetap menolakku? Aku bisa membikin orang yang
paling kau cinta menderita, aku bahkan dapat membunuhnya!”
"Sudahlah, Si Ni, kita berpisah dengan baik-baik saja. Engkau tidak perlu membujuk dan mengancam,
aku sudah bicara dan tidak akan mengubah sikapku."
"Keparat! Kalau aka tidak dapat hidup bersamamu, aku bersumpah untuk mati bersamamu!”
“Sin Ni ... !” Akan tetapi teriakan Tiauw Sun Ong ini tidak ada gunanya karena wanita itu sudah meloncat
sambil menghunus pedang yang tersembunyi dibalik jubahbya, ia sudah menyerang bagaikan kilat
menyambar cepatnya! Pedang itu menusuk Tiauw Sun Ong!
"Trranggg ...!” Tongkat itu seperti otomatis bergerak dan berhasil menangkis pedang.
Kwan Im Sianli Bwe Si Ni merasa betapa tangannya tergetar, maka iapun meloncat turun dari atas batu.
"Bagus! Engkau masih lihai, pangeran. Mari kita membuat perhitungan terakhir. Engkau dulu atau aku
dulu yang mati!”
"Si Ni, janganlah ... " akan tetapi bujukan ini dijawab dengan serangan begitu Tiauw Sun Ong turun dari
atas batu. Si buta yang memiliki pendengaran amat tajam dan peka itu melompat dan menghindarkan
diri dari serangan pedang. Wanita itu mengejar dan menyerang terus, dan pangeran itu kagum.
Serangan-serangan Bwe Si Ni bukan main dahyatnya.
Sungguh sama sekali tidak boleh disamakan dengan lima belas tahun yang lalu! Serangan itu didukung
tenaga sin-kang yang kuat sekali, dan selain gerakannya kuat, juga cepat dan amat berbebaya. Untuk
melindungi dirinya, dari ancaman bahaya maut, bekas pangeran itu didukung tenaga sinkang yang kuat
sekali dan selain gerakannya kuat, juga cepat dan amat berbahaya. Untuk melindungi dirinya dari
ancaman maut bekas pangeran itu sudah memutar tongkatnya dengan pengerahan sin-kang sehingga
potongan kayu itu membentuk sebuah sinar bergulung-gulung seperti payung yang menjadi perisai
dirinya.
Sebetulnya, Tiauw Sun Ong juga tidak takut mati atau begitu ingin untuk hidup terus dalam keadaan
yang tak dapat dikata bahagia secara lahiriah. Akan tetapi, dia tidak mau bunuh diri, juga dia tidak ingin
kalau wanita itu sampai menjadi pembunuhnya hanya karena ingin hidup atau mati bersama! Dia tidak
ingin menjadi sebab kedosaan Bwe Si Ni setelah dia tidak mampu membahagiakan wanita itu.
Sementara itu. Kwan Im Sianli juga terkejut bukan main di samping kekagumannya. Ia telah maju pesat
dalam ilmu silat, bahkan ditakuti dunia kang-ouw, dianggap sebagai seorang datuk persilatan yang sukar
dicari tandingannya. Akan tetapi, kini kembali ia tahu bahwa untuk membunuh pria yang dikasihinya ini
jelas bukan perkara mudah. Bahkan untuk mengalahkannya saja belum tentu ia mampu! Ilmu tongkat
yang dimainkan orang buta itu selain aneh, juga sukar ditembus pedangnya, bahkan setiap kali
pedangnya bertemu tongkat, tangannya terasa panas dan nyeri!”
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa seorang wanita. Suara tawa yang amat aneh, makin lama
semakin nyaring dan amat mengejutkan hati Kwan Im Sianli dan juga Tiauw Sun Ong karena tanpa dapat
mereka tahan lagi. Kwan Im Sianli ikut pula tertawa bergelak dan biarpun dia sudah menahannya, tetap
saja bekas pangeran itupun tertawa di luar kehendaknya. Tentu saja keduanya terkejut dan otomatis
meloncat ke belakang.
Kwan Im Sianli menoleh ke arah wanita yang tertawa itu, sedangkan bekas pangeran itu memperhatikan
dengan pendengarannya yang tajam. Setelah, kini tidak perlu lagi mengerahkan sin-kang untuk
menandingi Tiauw Sun Ong, Kwan Im Sianli berhasil memusatkan sin-kangnya dan menghentikan
tawanya yang tak dapat dikendalikannya tadi itu. Dan ia melihat seorang wanita yang satu dua tahun
lebih tua darinya, akan tetapi yang juga kelihatan masih muda sekali, bersama seorang wanita muda
berusia, dnapuluh tahun lebih. Dan iapun segera mengenal wanita itu dan mukanya berubah merah
karena marah!”
“Setan perempuan, kiranya engkau yang menggangguku?" bentak Kwan Im Sianli dengan marah.
"Engkau tidak berhak mencampuri urusan pribadiku!”
Wanita yang baru datang itu tidak kalah cantiknya dibandingkan Bwe Si Ni dan ia tertawa lagi, lalu
berkata kepada wanita muda yang ikut datang bersamanya. "Hi-hi-hi hik ... Ling Ay, kaulihat baik-baik.
Inilah wanita yang pernah kuceritakan kepadamu. Kwan Im Sianli Bwe Si Ni. Engkau berhati-hatilah kalau
bertemu dengan orang ini!"
Wanita muda itu memang Ling Ay adanya, Cia Ling Ay, janda muda dari Nan-ping yang ditolong oleh Bi
Moli Kwan Hwe Li dan kemudian menjadi murid wanita cantik yang menjadi datuk besar persilatan itu.
Sudah tiga tahun lamanya Cia Ling Ay ikut gurunya, setiap hari digembleng Ilmu silat dan sihir sehingga
kini ia bukanlah Ling Ay tiga tahun yang lalu. Dan selain gurunya memiliki cara mengajar yang istimewa,
juga Ling Ay ternyata memiliki bakat terpendam yang besar sekali sehingga mudah baginya menguasai
Ilmu-Ilmu yang aneh dan dahsyat. Kini ia mengikuti gurunya mandaki puncak Hwa-san dan mereka
melihat betapa Kwan Im Sianli bertanding atau lebih tepat lagi mendesak dan menyerang seorang lakilaki
buta yang lihai sekali.
"Bi Moli, aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Jangan angkau mencampuri urusan pribadi kami dan
pergilah, biarkan aku menyelesaikan urusanku dengan Pangeran Tiauw Sun Ong!” kata pula Kwan Im
Sianli yang maklum bahwa sebagai sama-sama datuk besar, tingkat kepandaian mereka berimbang dan
kalau wanita itu membantu Tiauw Sun Ong, ia sungguh tidak berdaya. Baru menghadapi Tiauw Son Ong
seorang saja tadi ia sudah sukar untuk dapat mengalahkannya.
"Hemm!. Bwe Si Ni! Dahulu ketika kita masih muda, aku telah menjadi seorang puteri bangsawan dan
engkau hanya seorang dayang. Engkau menyembah-nyembah kepadaku. Sekarang, setelah angkau
memiliki sedikit kepandaian dan berjuluk Kwan Im Sianli, apa kau kira angkau ini benar-benar seorang
dewi dan menganggap semua wanita lain sebagai setan perempuan? Engkaulah yang iblis betina,
perempuan tak tahu malu! Engkau tentu masih ingat bahwa akulah dahulu pacar dan tunangan kakanda
Tiauw San Ong! Kalau tidak terjadi peristiwa dengan selir kaisar itu, tentu aku yang menjadi isterinya!
Engkau dayang tak tahu malu, mendesak-desaknya, bahkan sampai sekarang, setelah kanda Tiauw Sun
Ong menjadi buta dan mengasingkan diri, engkau masih berani mengganggunya!"
Wajah Bwe Si Ni menjadi pucat, lalu merah kembali. Biarpun ucapan itu dirasakan amat menghinanya,
namun ia tidak mungkin dapat membantah. Memang, puluhan tahun yang lalu ketika ia masih menjadi
seorang dayang istana, Kwan Hwe Li adalah pacar dan tunangan Pangeran Tiauw Sun Ong. Bahkan
pangeran itu menolak cintanya karena telah mempunyai pacar wanita itu, puteri seorang bangsawan
tinggi she Kwan. Hubungan antara Kwan Hwe Li dan Tiauw Sun Ong juga putus setelah Tiauw Sun Ong
membutakan matanya dan meninggalkan istana dan kota raja.
"Kwan Hwe Li, lidak perlu engkau menyombongkan diri. Mungkin saja dahulu engkau puteri bangsawan,
akan tetapi sekarang tidak lagi! Bahkan Kerajaan Liu-sung telah hancur. Engkau hanya bekas puteri
bangsawan. Dan tentang Pangeran Tiauw Sun Ong, biarpun engkau mengaku pacar dan tunangan, akan
tetapi siapa tidak tahu bahwa engkaulah yang dahulu mencelakainya dan melaporkan hubungannya
dengan selir Pouw Cu Lan kepada kaisar sehingga mereka tertangkap basah?"
"Bwe Si Ni, tak tahu malu engkau! Memang aku melaporkan karena hal itu kuanggap tidak benar. Dan
aku berhak karena aku merasa cinta kami dilanggar. Akan tetapi engkau, hanya seorang dayang,
engkaupun berani ikut pula melapor kepada kaisar!"
"Hemm, jadi kita ini sama, saja? Lalu mau apa engkau datang ke sini kalau tidak ingin merayu Pangeran
Tiauw Sun Ong?" Kwan Im Sianli mengejek.
"Aku bukan perempuan hina macam kamu! Aku sudah merasa sebagai seorang wanita tua yang tidak
haus lagi akan kemesraan pria. Aku dalang karena mengingat akan persahabatan antara aku dan kanda
Tiauw Sun Ong, dan hanya akan menjenguknya tanpa ingin mengganggunya. Akan tetapi aku melihat
engkau mati-matian menyerangnya untuk membunuhnya. Kanda Tiauw Sun Ong bisa saja mengalah
kepadamu, akan tetapi aku tidak! Kalau engkau melanjutkan niat busukmu, aku akan membantunya
membunuhmu atau mengusirmu!”
Tiauw Sun Ong yang sejak tadi diam saja, menghela napas panjang dan berkata, "Sudah, dinda Kwan
Hwe Li. Bagaimanapun juga, Bwe Si Ni tidak berniat jahat, hanya menuruti gelora perasaannya. Ingin
mengajak aku hidup bersama atau mati bersama."
Kwan Im Sianli mambanting kakinya dengan gemas, lalu menudingkan pedangnya ke arah muka Tiauw
Sun Ong. "Pangeran, ilmu kepandaianku masih terlampau rendah untuk dapat mengalahkanmu. Akan
tetapi jangan mengira bahwa aku tidak akan mampu menyiksa batinmu tanpa menyentuh tubuhmu!”
Setelah berkata demikian, Kwan Im Sianli Bwe Si Ni melompat dan meninggalkan tempat itu dengan
cepat sekali.
"Seorang wanita yang keras hati ... " kata Tiauw Sun Ong, nada suaranya menyesal karena kembali dia
telah membikin hati seorang wanita menderita. "Entah apa yang dimaksudkan dengan kalimatnya yang
terakhir itu.”
"Pangeran, ancamannya tadi bukan kosong belaka. Ia tidak dapat mengalahkanmu, akan tetapi ia dapat
mengganggu atau bahkan membunuh Pouw Cu Lan dan anaknya ... anakmu, pangeran!”
Belum pernah bekas pangeran itu terkejut seperti ketika dia mendengar kata terakhir itu. "Hwe Li! Apa
maksudmu? Anakku ...??"
Pria buta itu sudah bangkit berdiri, mukanya menjadi agak pucat dan jelas bahwa dia nampak gelisah
dan terkejut sekali.
"Kanda Tiauw Sun Ong, mari kita duduk, dan dengarkan keteranganku." kata Bi Moli Kwan Hwe Li.
Wanita ini masih cantik sekali, sehingga sesuai dengan julukannya, yaitu Bi Moli (Iblis Betina Cantik).
Setelah mereka duduk di atas batu dan Ling Ay juga duduk di belakang subonya (ibu gurunya). Bi Moli!
melanjutkan. "Sebetulnya, ketika mengetahui bahwa pangeran berada di sini, aku hanya datang
menjenguk saja tanpa maksud lain. Akan tetapi, kiranya iblis betina berkedok dewi itu juga berada di sini
bahkan sedang berusaha untuk membunuhmu ... "
"Sudahlah, Hwa Li. Katakan saja apa maksudmu dengan anakku tadi." Pangeran itu memotong dengan
tidak sabar. Dia tidak dapat terlalu menyalahkan sikap Bwe Si Ni, akan tetapi dia juga tidak mau
berbantah dengan Hwe Li tentang wanita yang lain itu.
"Pangeran, ketika pangeran meninggalkan Istana. Pauw Cu Lan menerima hukuman berat dari Kaisar, Ia
dihukum buang. Akan tetapi ketika hukuman dilaksanakan, di dalam perjalanan ia dirampas oleh Bueng-
kiam Ouwyang Sek dan dipaksa menjadi isterinya. Akan tetapi, ketika itu ia sudah mengandung,
pangeran, mengandung anakmu. Nah, sekarang agaknya Kwan Im sianli Bwe Si Ni hendak mencari ibu
dan anak itu dan akan membunuh mereka."
Bi Moli Kwan Hwe Li memandang dengan sinar mata berkilat, lalu bangkit dan berkata kepada muridnya.
"Ling Ay mari kita pergi!” Dan iapun tanpa banyak cakap lagi sudah meninggalkan tempat itu dengan
cepat, diiringi muridnya.
Tiauw Sun Ong masih duduk bersila seperti arca, mukanya pucat sekali. Dia tahu bahwa guru dan murid
itu meninggalkannya, akan tetapi dia tidak berusaha mencegah mereka. Keterangan Kwan Hwe Li tadi
sudah cukup baginya. Lebih dari pada cukup untuk menikam jantungnya. Dia maklum bahwa tidak
banyak bedanya antara Kwan Hwe Li dan Bwe Si Ni. Kedua wanita mencintanya dan kecewa karena cinta
mereka dia tolak. Keduanya mendendam kepadanya karena patah hati dan cemburu.
Dan tidak ada musuh yang lebih berbahaya dari pada seorang wanita yang dilanda cemburu. Wanita
yang cemburu dapat melakukan kekejaman yang melebihi pembunuhan. Akan tetapi, diapun tahu
bahwa orang separti Kwan Hwe Li dan Bwe Si Ni tidak akan berbohong. Mereka-berdua telah menjadi
datuk besar dalam dunia persilatan.
Dia mempunyai seorang anak! Dia tidak perlu tahu pria atau wanita anak itu. Yang penting, dia
mempunyai seorang keturunan dan sekarang anak itu terancam bahaya maut di tangan Bwe Si Ni!
"Tidak, anak itu tidak berdosa. Anak itu tidak boleh dibunuh, aku akan melindunginya!" Dengan tekad
ini, Tiauw Sun Ong lalu bangkit berdiri dan mengambil bekal pakaian dari dalam gubuk tempat
tinggalnya di puncak itu dan tak lama kemudian diapun turun gunung, suatu hal yang sama sekali tidak
pernah disangkanya pagi itu. Pagi tadi, menikmati keindahan musim bunga di puncak Hwa-san, dia
mengambil kepulusan untuk tinggal di situ sampai mati, tidak akan turun gunung. Siapa kira, baru
beberapa jam saja kini dia sudah terpaksa turun gunung untuk melaksanakan tugas yang amat berat!
Bukan saja dia harus melindungi nyawa seorang anak dari ancaman maut di tangan Kwan
Im Sianli Bwe Si Ni, akan tetapi dia juga akan mengalami kesulitan kalau berhadapan dengan suami Cu
Lan yang agaknya menjadi ayah tiri anaknya, yaitu Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, seorang di antara para
datuk berar. Dan dia tahu ke mana harus mencari anak itu. Tentu di tempat tinggal Ouwyang Sek, di
Lembah Bukit Siluman! Dengan sebuah tongkat, bekas pangeran yang buta itu menuruni bukit yang
amat berbahaya itu dengan cepatnya, jauh lebih cepat dari pada seorang yang tidak buta! Orang takkan
percaya bahwa dia buta kalau melihat betapa dia menuruni bukit itu. Ternyata kepekaan yang hebat
pada dirinya dapat menggantikan tugas mata yang telah buta itu. Kepekaan ini ditambah penguasaan
ilmu yang tinggi.
***
Rumah yang berdiri megah di Lembah Bukit Siluman itu amat besar dan angker. Gedung kuno itu
mempunyai banyak arca dan ukir-ukiran, seperti istana raja saja di antara bangunan-bangunan lain yang
nampak kecil sederhana yang terdapat di sekitar lembah itu. Gadung itu milik Bu-eng.kiam Ouwyang
Sek, majikan Lembah Bukit Siluman. Seluruh sawah ladang yang berada di bukit itu adalah milik datuk
ini, dan para petani yang tinggal di sekitar tempat itu merupakan buruh tani penggarap sawah
ladangnya. Bu-eng-kiam Ouwyang Sek terkenal sebagai daluk persilatan yang ditakuti, besar
pengaruhnya, dan kaya raya.
Pada pagi hari itu, para pelayan laki-laki dan perempuan yang jumlahnya belasan orang di gedung itu
nampak sibuk. Pihak tuan rumah sekeluarga, yaitu Ouwyang Sek, isterinya, dan kedua anaknya, yaitu
Ouwyang Toan pemuda berusia dua puluh delapan tahun, dan Ouwyang Hui Hong gadis berusia dua
puluh satu tahun, sedang menerima kunjungan tamu-tamu yang agaknya dihormati oleh keluarga tuan
rumah.
Memang jarang terjadi dan agak aneh kalau keluarga Ouwyang yang terkenal angkuh dan memandang
rendah orang lain itu sekali ini menerima kunjungan tamu yang dihormati. Akan tetapi, tidak akan
mengherankan lagi kalau diketahui siapa yang datang berkunjung. Tamu tamu kehormatan itu adalah
datuk besar Kui-siauw-giam-ong Suma Koan, majikan Bukit Bayangan Setan bersama putera tunggalnya,
Tok-siauw-kwi Suma Hok. Datuk yang datang sebagai tamu ini mempunyai kedudukan dan tingkat yang
sama dengan pihak tuan rumah, dan kunjungannya adalah kunjungan kehormatan, membawa
segerobak barang-barang hadiah amat berharga. Tentu saja Ouwyang Sek merasa terhormat dan girang
sekali, dan disambutlah rekan setingkat itu dengan gembira dan penuh kehormatan pula. Dia
mengarahkan isteri dan dua orang anaknya untuk ikut menyambut! Tentu saja hal ini menggirangkan
pihak tamu, karena kedatangan mereka mempunyai maksud untuk mengajukan pinangan!”
Setelah para pengawal dan pengikutnya menghamparkan semua barang hadiah di atas meja besar di
ruangan tamu yang luas itu, dipandang dengan kagum oleh Ouwyang Sek dan keluarganya, Suma Koan
dengan wajah berseri bangga lalu mamberi hormat kepada tuan rumah.
“Sahabatku Ouwyang, sudah puluhan tahun antara kita terdapat ikatan yang akrab, bukan saja sebagai
saingan dalam dunia persilatan, juga sebagai orang setingkat dan sederajat. Biarpun kadang-kadang
keadaan membuat kita saling berhadapan sebagai saingan maupun lawan, namun di lubuk hatiku selalu
ada perasaan kagum terhadapmu, sobat! Dan karena rasa kagum itulah, maka hari ini kami datang,
bukan saja membawa sakedar oleh-oleh sebagai tanda persahabatan dan penghormatan. Juga
membawa iktikad baik untuk lebih mempererat hubungan di antara keluarga kita."
Ouwyang Sek yang berusia limapuluh tiga tahun, bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan gagah
perkara itu, tertawa bergelak sambil memandang kepada tamunya yang usianya limapuluh delapan
tahun, dan biarpun tubuh datuk itu kecil kurus, namun Ouwyang Sek tidak memandang rendah
kepadanya karena dia tahu bahwa tubuh yang kecil itu memiliki kemampuan luar biasa dan dia sendiri
tidak akan mampu mengalahkan Suma Koan dengan mudah.
"Ha-ha-ha-ha, engkau selalu merupakan orang yang kukagumi, sobat Suma! Baik sebagai saingan, lawan
maupun kawan. Aku dan keluargaku menghargai kunjungan persahabatan ini, dan marilah engkau dan
puteramu menerima hidangan kami seadanya!" Langsung saja dua orang tamu itu dipersilakan
memasuki ruangan dalam, di mana telah diatur meja yang penuh hidangan. Tamu ayah dan anak itu
bersama pihak tuan rumah yang terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak duduk mengelilingi meja
hidangan. Sejak tadi, setelah diberi kesempatan memberi hormat kepada pihak tuan rumah, Suma Hok
yang tampan dan pesolek berulang kali melepas pandang mata yang penuh kagum dan sayang ke arah
Ouwyang Hui Hong. Namun gedis ini pura-pura tidak tahu saja walaupun ia bersikap ramah terhadap
dua orang tamu itu demi ayahnya. Dalam lubuk hatinya Hui Hong tak pernah dapat melupakan peristiwa
tiga tahun yang lalu ketika ia nyaris diperkosa olah pemuda tampan pesolek itu.
Kedua pihak saling memberi hormat dan selamat melalui pengangkatan cawan arak dan mereka makan
minum dengan gembira seperti layaknya tamu dan tuan rumah yang menjadi sahabat akrab dan saling
menghormati. Sungguh luar biasa sekali kalau diingat betapa dua orang datuk ini pernah beberapa kali
berhadapan sebagai lawan dan saling serang mati-matian!”
Setelah mereka makan minum sampai kenyang. pihak tuan rumah mempersilakan dua orang tamunya
ke ruangan dalam yang lebih luas. di mana mereka dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan gembira.
Ouwyang Toan dan Ouwyang Hui Hong tetap disuruh menemani ayahnya menyambut tamu-tamu itu
dan melayani mereka bercakap-cakap.
Melihat sikap yang ramah dan senang hati dari Ouwyang Sek, Suma Koan melihat kesempatan baik
sekali untuk menyampaikan isi hatinya. "Sahabat Ouwyang, sesungguhnya kedatangan kami ini
mempanyai niat yang amat baik, yaitu kami ingin sekali agar keluarga antara kita terjalin hubungan yang
lebih baik. bahkan dua keluarga dapat menjadi satu!"
Ouwyang Sek adalah seorang yang keras hati dan keras kepala, kasar dan terbuka, maka dia masih
belum mengerti apa yang dimaksudkan tamunya. "Ha-ha-ha, sahabat Suma kunjunganmu ini saja sudah
mempererat hubungan antara kita. Niat baik apalagi yang kau miliki terhadap kami?"
"Sahabat Ouwyang, engkau tahu bahwa aku hanya mempunyai seorang anak, yaitu puteraku Suma Hok
ini, biarpun dia bodoh akan tetapi namanya cukup dikenal di dunia kang-ouw dan aku sudah bersusah
payah untuk mewariskan seluruh kepandaian dan milikku kepadanya. Tahun ini, usianya sudah
duapuluh lima tahun dan setelah mencari-cari sampai beberapa lama, aku tidak melihat seorangpun
gadis yang pantas menjadi jodohnya, kecuali puterimu yang cantik jelita dan pandai ini. Kami datang
untuk meminang puterimu!”
Ouwyang Sek terbelalak mendengar ini, menoleh ke arah puterinya yang mengerutkan alis dan mukanya
menjadi merah sekali, dan diapun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, aku sampai lupa bahwa aku mempunyai
seorang anak perempuan yang sudah dewasa!” Dia tertawa-tawa lagi.
"Ayah, aku belum ingin menikah!” Tiba-tiba Hui Hong berkata dengan suara tegas.
Ouwyang Sek menghentikan tawanya. "Ehhh!” Dia menggerak-gerakkan alisnya yang tebal. "Hui Hong,
ingat, usiamu sekarang sudah dua puluh satu tahun, dan pelamarmu sekali ini adalah putera datuk besar
Suma Koan, majikan Bukit Bayangan Setan!”
Suma Koan tertawa. "Ha-ha, sahabat Ouwyang, harap jangan terlalu memuji. Keadaanku tidak lebih
besar dari pada keadaanmu, akan tetapi kalau keluarga Ouwyang menjadi satu dengan keluarga Suma,
bukankah kita berdua menjadi yang terbesar dan siapa yang akan berani menentang kita!"
"Benar ... benar ... ah, pinanganmu ini akan kami pertimbangkan baik-baik ...!” kata Ouwyang Sek sambil
tertawa lagi.
"Ayah! Aku tidak sudi menjadi jodoh jahanam yang tiga tahun lalu nyaris memperkosaku ini!” kata Hui
Hong dan iapun bangkit berdiri lalu lari meningalkan ruangan itu menuju ke kamarnya.
"Hui Hong ...!” ibunya berseru dan lari mengejar.
Ouwyang Sek bersungut sungut, merasa tidak senang melihat sikap puterinya dan merasa tidak enak
kepada tamunya. "Sobat Suma Koan, engkau dan puteramu duduklah dulu, aku akan membujuk anak
bandel itu. Percayalah, dia pasti akan taat kepada ayahnya," Katanya dan diapun lari mengejar anak dan
isterinya. Suma Koan tersenyum dan minum araknya, tidak memperdulikan putranya yang kelihatan
kecewa. Dia sudah merasa yakin bahwa tentu Ouwyang Sek akan menerima pinangannya. Dia tahu
betapa rekannya itu terlalu mementingkan diri sendirl dan akan menggunakan siapapun, termasuk anak
sendiri, demi keuntungan diri pribadi. Kalau keluarga Ouwyang menerima pinangannya, berarti dua
keluarga datuk itu menjadi satu dan kedudukan masing-masing menjadi semakin kuat. Mana mungkin
penawaran yang demikian menguntungkan akan ditolak oleh Ouwyang Sek. Ouwyang Toan yang kini
duduk sendiri bersama dua orang temannya, sejak tadi memang sudah merasa canggung dan tidak suka.
Diapun ikut merasa tidak suka mendengar pinangan itu, mengingat bahwa adiknya pernah akan
diperkosa Suma Hok yang menjadi saingannya sebagai putera datuk yang bersaingan. Maka, melihat
ayahnya lari mengejar, diapun baugkit dan mengaagguk kepada dua orang tamunya, dan melangkah
pergi meninggalkan ruangan itu, juga menyusul adiknya.
Hui Hong duduk di tepi pembaringannya, alisnya berkerut, mukanya merah dan mulutnya cemberut.
Ibunya kini duduk di dekatnya sambil merangkul pundak puterinya.
"Hui Hong. kenapa engkau bersikap seperti itu? Usiamu sudah duopuluh satu tahun dan ayahmu benar,
engkau sudah cukup dewasa untuk berumah tangga. Dan biarpun aku belum mengenal pemuda itu,
akan tetapi aku tidak melihat keburukan pada dirinya, Dia tampan, halus dan sopan ... "
"Ibu! Ibu tahu apa? Jahanam itu pernah menawan aku dan nyaris memperkosaku, ibu! Kalau tidak ada
Kwa Bun Houw yang menyelamatkan aku, tentu anakmu ini sekarang sudah mati membunuh diri karena
dinodai jahanam busuk itu. Bagaimana mungkin aku dapat menjadi isterinya!”
"Omong kosong!" Tiba-tiba ayahnya memasuki kamar dan membentak marah. “Perbuatannya itu bukan
berarti dia jahat dan busuk, melainkan karena dia cinta padamu, Hui Hong. Buktinya, sekarang dia
datang bersama ayahnya dan mengajukan pinangan secara resmi. Dan kaulihat sendiri, hadiah yang
dibawanya lebih besar dari pada kalau engkau dipinang putera seorang bangsawan tinggi. Ini berarti
bahwa keluarga Suma menghargaimu, Hui Hong. Kalau engkau menjadi mantu Suma Koan, engkau akan
menjadi seorang nyonya yang terhormat kaya raya, mulia dan terlindung."
"Tidak, aku tidak sudi, ayah!" Hui Hong berseru, juga dengan suara keras penuh kemarahan.
"Engkau harus mau, ini perintahku!" ayahnya membentak pula.
Pouw Cu Lan, ibu Hui Hong, segera menengahi. "Aih, kalian ini ayah dan anak sama-sama keras kepala.
Kenapa urusan ini tidak dibicarakan dengan tenang saja? Keduanya suka mengalah, serta
mempertimbangkan pendapat masing-masing dan kita rundingkan, mana yang benar dan baik."
Hui Hong adalah seorang gadis yang cerdik walaupun ia keras hati. Ia juga mengenal ayahnya sebagai
seorang yang berhati baja dan sukar sekali untuk mengubah apa yang sudah diputuskan ayahnya. Maka,
tadi ia sudahi memutar otak dan kini ia turun dari pembaringan, berdiri tegak menghadapi ayahnya yang
sudah mulai marah.
"Ayah, dongeng-dongeng jaman dahulu menyatakan bahwa setiap orang gadis yang terhormat harus
dapat menjaga harga dirinya, dan setiap orang puteri kalau dipinang orang selalu mengajukan syarat.
Aku pun ingin menjadl puteri terhormat dan siapapun yang meminangku, harus memenuhi syarat yang
kuajukan!"
Mendengar ini, agak berkurang kemarahan Ouwyang Sek. "Hemm, sekarang engkau bicara dengan
sehat. Memang engkau berhak mengajukan syarat. Nah, syarat apa yang kauajukan itu, cepat katakan
agar dapat kusampaikan kepada keluarga Suma."
"Aku mempunyai dua macam syarat yang harus dipenuhi." kata gadis itu dengan suara tegas. "Pertama
aku minta agar mustika Akar Bunga Gurun Pasir yang hilang dari tangan ayah itu dapat ditemukan
kembali dan diserahkan kepadaku. Hal ini menyangkut kehormatan keluarga kami, ayah."
Ouwyang Sek memandang puterinya dengan wajah yang cerah dan dia menganggukkan kepala. "Bagus!
Syarat itu memang pantas dan aku sendiri memperkuat syarat itu. Keluarga Suma harus bisa
mendapatkan kembali mustika itu dan menyerahkannya kepada kita!” katanya gembira.
"'Masih ada syarat ke dua dan ke tiga, ayah."
"Hemm, katakan dua yang lain!”
“Syarat ke dua, aku hanya mau menjadi isteri seorang yang dapat menandingi dan mengalahkan aku. Hal
inipun kulakukan untuk mengangkat nama dan kehormatan ayah."
Pria tinggi besar itu kini tersenyum dan mengangguk-angguk. "Baik sekali. Memang putera Suma Koan
itu harus belajar yang rajin dan harus dapat mengunggulimu dalam ilmu silat. Syarat ke dua itupun akan
kusampaikan kepada mereka."
"Syarat yang ke tiga adalah untuk menebus penyesalanku, ayah. Syarat itu adalah bahwa sebelum aku
menerima pinangan itu, harus diusahakan agar aku dapat bertemu dengan Kwa Bun Houw dalam
keadaan sehat!”
Terbelalak sepasang mata itu dan kulit muka yang kehitaman itu menjadi semakin hitam. Datuk itu
kembali marah. "Hui Hong, apakah engkau gila? Syaratmu yang ke tiga itu tidak mungkin!”
"Kenapa tidak, ayah? Ketika aku nyaris diperkosa jahanam Suma Hok, aku diselamatkan oleh Kwa Bun
Houw. Akan tetapi ayah tidak membalas budi itu. sebaliknya ayah bahkan memukulnya dan melukainya.
Aku merasa menyesal sekali, maka aku ingin bertemu dengan dia dan minta maaf."
"Huh, mana bisa begitu? Kalau dia sudah mampus?"
"Kalau dia sudah mati, aku tidak mau menikah!”
"Heiii?" Gilakah engkau? Celaka, anak ini jatuh cinta kepada setan itu!”
"Memang aku cinta kepada Houw-ko, ayah. Dia baik, berbudi, gagah perkasa dan aku berhutang nyawa
dan kehormatan kepadanya. Aku, ... "
"Cukup! Syarat gila itu tidak dapat diterima."
"Kalan begitu, akupun tidak sudi menikah dengan siapapun!”
"Aku akan memaksamu!”
Sepasang mata gadis itu mencorong penuh kemarahan. “Ayah keras hati dan hendak memaksaku? Apa
ayah kira akupun tidak dapat berkeras hati? Dengan kekerasan ayah dapat memaksaku, akan tetapi,
akupun dapat membalas. Aku akan membunuh diri ketika pernikahan dirayakan dan jahanam itu hanya
akan mengawini mayatkn dan ayah akan mendapat malu besar di depan para tamu!"
"Anak setan! Kalau begitu lebih baik sekarang saja engkan mati!” Datuk itu sudah mengangkat tangan
dan hendak menyerang Hui Hong yang sama sekali tidak kelihatan takut. Melihat ini, Pouw Cu Lan
menubruk suaminya.
"Jangan ...!” teriaknya.
Akan tetapi sekali dorong, tubuh wanita itu terlempar ke atas pembaringan. Dorongan yang terarah ini
menunjukkan betapa sayangnya Ouwyang Sek kepada isterinya, walau dalam keadaan marah sekalipnn.
Dia melangkah maju hendak melanjutkan serangannya membunuh Hui Hong.
"Ouwyang Sek, engkau tidak berhak membunuh anakku! Ia bukan anakmu, engkau tidak berhak
membunuhnya!” Wanita itu berteriak, nadanya lantang dan mendengar ini, Ouwyang Sek seperti
tersentak, tangan yang sudah diangkat itu turun dan perlahan-lahan dia memutar tubuhnya,
menghadapi isterinya yang masih terduduk di atas pembaringan.
"Cu Lan, ... kau ... kau membuka rahasia itu ...!” kata Ouwyang Sek, semua kekerasan lenyap dari
suaranya.
"Tidak perduli! Engkau tidak berhak membunuh anakku. Bukankah selama duapuluh tahun ini aku
memegang janji, menyerahkan segalanya kepadamu, bahkan mencoba untuk belajar mencintamu? Akan
tetapi, hari ini engkau hendak memaksanya menikah dengan orang yang tidak disukainya, hendak
membunuhnya. Ia bukan anakmu!”
Diserang dengan ucapan seperti itu oleh Isterinya, Ouwyang Sek tertegun, mukanya berkerut seperti
menahan rasa nyeri di dalam dadanya, kemudian dia menarik napas panjang dan mengangguk-angguk.
"Baik ... baik, Cu Lan. aku tidak akan membunuhnya ... "
Dan dia menoleh ke arah Hui Hong. "Aku akan minta mereka memenuhi syarat pertama dan ke dua,
akan tetapi aku tidak perduli akan syaratmu yang ke tiga. Kalau dua syarat itu telah dipenuhi engkau
harus menikah dengan Suma Hok, mau atau tidak mau! Kalau engkau akan membunuh diripun silakan,
akan tetapi engkan harus menikah dengan putera Kui-siauw Giam-ong kalau dia dapat memenuhi dua
syaratmu!"
Setelah berkata demikian, datuk besar ini keluar dari dalam kamar puterinya dan membanting daun
pintu. Ketika tiba di luar, dia melihat puteranya, Ouwyang Toan berada di situ dan tahulah dia bahwa
puteranya tadi juga ikut mendengarkan semua percakapan dalam kamar.
"Mau apa kau di sini?" tegur Ouwyang Sek yang masih marah.
Wajah pemuda tinggi besar dan gagah itu nampak tegang dan sinar matanya berseri. "Ayah ... kalau
begitu ... adik Hui Hong bukanlah adik tiriku, bukan anak kandung ayah? Kalau begitu ... antara ia dan
aku tidak ada hubungan darah sama sekali ... "
"Hemm, kalau sudah begitu kenapa?" ayahnya membentak dengan suara lirih agar jangan terdengar
isterinya yang berada di kamar puterinya, sambil terus melangkah meninggalkan tempat itu diikuti
puteranya, "Kalau begitu aku dapat mengawininya, ayah! Aku ... sejak dulu aku ... cinta kepada Hui
Hong."
Kembali Ouwyang Sek tertegun, akan tetapi karena hatinya sedang risau dan mendongkol, dia
cemberut." Masa bodoh ia mau menikah dengan siapa, asal dapat mamenuhi syarat-syaratnya."
"Apakah syarat-syaratnya, ayah? Aku masih kurang begitu jelas. Ia menyebut-nyebut Kwa Bun Houw ... "
"Itu tidak masuk hitungan! Syaratnya hanya dua, pertama harus dapat menemukan kembali mustika
Akar bunga Gurun Pasir, ke dua harus mampu mengalahkannya."
"Akan kucoba, ayah."
Ayahnya menoleh dan memandang kepadanya, lalu mendengus marah. "Agaknya engkau pun sudah
gila!"
Mereka memasuki ruangan tamu dan dua orang tamu mereka segera bangkit menyambut. Suma Koan
tersenyum lebar. "Aha, sobat Ouwyang Sek, aku percaya engkau tentu telah berhasil membujuk
puterimu, dan menerima pinangan kami."
Ouwyang Sek duduk, juga Ouwyang Toan mengambil tempat duduk semula. Setelah memandang
kepada kedua orang tamu itu, dia lalu berkata. "Aih. puteriku memang manja sekali. Ia tidak lagi
menolak, akan tetapi mengajukan syarat-syarat!"
"Aihh! Syarat-syarat apakah yang diajukan adinda Ouwyang Hui Hong itu, paman!” terdengar Suma Hok
bertanya, suaranya penuh gairah karena dia merasa yakin akan mampu memenuhi syarat yang diajukan
gadis yang membuatnya tak nyenyak tidur tak enak makan itu.
"Syarat ini bukan hanya untuk keluarga Suma, melainkan syarat umum terhadap siapa saja yang ingin
memperisteri Hui Hong. Pertama, pemuda itu harua mampu mencari sampai dapat mustika Akar Bunga
Gurun Pasir kami yang hilang dan menyerahkan kepada Hui Hong, dan ke dua, pemuda itu harus mampu
menandingi dan mengalahkan Hui Hong?”
Suma Hok mengerutkan alisnya. Syarat syarat itu, terutama yang pertama, terasa berat olehnya dan dia
memandang kepada ayahnya. Akan tetapi Suma Koan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, syarat-syarat itu cukup sukar, akan tetapi untuk mendapatkan seorang gadis sehebat
Ouwyang Hui Hong. syarat itu masih terlalu lunak. Sobat Ouwyang, kami menyanggupi syarat-syarat itu.
Pertama akan kami coba penuhi syarat pertama menemukan kembali mustikamu itu, baru kemudian
kami memenuhi syarat ke dua. Nah, kami minta diri, akan segera melaksanakan syarat pertama."
Ouwyang Sek bangkit dan mengantar kedua orang tamunya sampai ke pintu depan, ditemani oleh
Ouwyang Toan. Diam-diam Ouwyang Toan merasa lega dan girang. Tadi ayahnya mengajukan di depan
dua orang tamunya bahwa syarat-syarat itu ditujukan kepada siapa saja yang hendak memperisteri Hui
Hong! Berarti dia pula berhak mempertsteri gadis itu kalau dapat memenuhi dua syarat itu. Dia harus
lebih dulu mendapatkan kembali Akar Bunga Gurun Pasir, jangan sampai keduluan Suma Hok!
Akan tetapi Suma Hok merasa tidak puas sama sekali. Biarpun ayahnya telah menyanggupi dan
menerima dua syarat itu, akan tetapi dia merasa seperti dipersukar, apalagi dia tidak mendapat
kesempatan untuk berpamit kepada Hui Hong sehingga dapat bertemu lagi dengan gadis itu. Maka,
sebelum ayahnya meninggalkan pintu gerbang keluarga Ouwyang, dia berhenti dan memberi hormat
kepada Ouwyang Sek.
"Maafkan saya, paman Ouwyang, Karena syarat itu cukup berat dan entah sampai kapan saya akan
dapat membawa ke sini mustika itu untuk dihaturkan kepada paman dan adinda Ouwyang Hui Hong,
maka perkenankanlah saya untuk berpamit kepada puteri paman yang amat saya cinta itu."
Mendengar ini, Suma Koan cepat berkata untuk membela puteranya, "Ha-ha-ha, dasar orang muda.
Sobat Ouwyang, kurasa permintaan anakku itu pantas saja. Pula, sebagai tamu, aku sendiri merasa
kurang enak kalau tidak pamit dari semua keluargamu yang tadi menyambut kami. Akupun ingin
berpamit kepada isterimu dan puterimu."
Ouwyang Sek baru teringat akan sopan santun. Keluarganya telah menyambut tamu, bagaimana
sekarang tidak muncul ketika tamu-tamunya pulang. "Ha-ha-ha, memang sulit mengatur wanita. Toan-Ji
(anak Toan), kau cepat minta ibumu dan adikmu keluar mengantar tamu!"
Biarpun hatinya merasa tidak senang, Ouwyang Toan pergi juga ke kamar adiknya. Dia mengetuk pintu
kamar dan yang keluar adalah ibu tirinya. Akan tetapi dia dapat mendengar suara adiknya menangis!
Adiknya menangis! Sungguh hal yang teramat aneh. Gadis yang keras hati dan gagah berani itu
menangis! Dan dia teringat akan rahasia yang dibuka ayahnya tadi. Agaknya itulah yang membuat Hui
Hong menangis.
Ketika mendengar Ouwyang Toan menyampaikan permintaan suaminya, Pouw Cu Lan mengerutkan
alisnya. "Katakan pada ayahmu bahwa saat ini adikmu tidak mungkin dapat keluar mengantar tamu
pulang,"
"Tapi ayah akan marah ..."
"Katakan saja kepada ayahmu bahwa kalau besok para tamu mendatang lagi, aku tentu sudah dapat
membujuk Hui Hong untuk keluar dan mengantar mereka pulang." Ia lalu masuk lagi dan menutupkan
daun pintu kamar anaknya.
Terpaku Ouwyang Toan menyampaikan jawaban ibunya itu kepada ayahnya yang menjadi bingung, tak
tahu bagaimana harus bersikap atau bicara kepada tamunya.
Akan tetapi mendengar laporan Ouwyang Toan itu. Suma Hok yang cerdik segera berkata dengan
gembira. "Kalau begitu, biarlah kita menanti semalam di sini, ayah! Kesempatan ini dapat kupergunakan
untuk melihat-lihat keindahan bukit ini."
"Ha-ha-ha, boleh saja kalau sobat Ouwyang Sek tidak berkeberatan menerima kita bermalam di sini
semalam, agar besok aku dapat berpamit dari semua keluarganya." kata Suma Koan.
Tentu saja Ouwyang Sek tidak dapat berbuat lain kecuali menerima mereka, dan mereka semua masuk
kembali. Hanya Ouwyang Toan yang diam-diam mendongkol kepada Suma Hok yang mulai saat itu
dianggap sebagai saingannya untuk memperisteri Hui Hong yang sudah disayangnya sejak kecil. Rasa
sayang sebagai kakak terhadap adik yang makin lama berkembang menjadi asmara, Apalagi setelah
diketahui bahwa Hui Hong bukan adiknya, melainkan orang lain!”
***
Ouwyang Toan tidak salah dengar. Ketika dia menyampaikan pesan ayahnya kepada ibu tirinya, dia
memang mendengar adiknya sedang menangis. Dan memang hal ini amat aneh. Hui Hong sejak kecil
hidup dalam keluarga Ouwyang Sek, digembleng sehingga menjadi seorang gadis yang berani, keras hati
dan seolah-olah pantang menangis, seperti seorang laki-laki gagah perkasa saja. Akan tetapi ketika itu, ia
menangis terisak-isak, tak tertahankan sampai sesenggukan.
Kemarahan ayahnya yang hendak memaksanya menerima pinangan Suma Hok tidak membuat ia
menangis walaupun ia marah, kecewa dan penasaran sekali. Akan tetapi, ketika mendengar ucapan
ayah dan ibunya, ketika ibunya mengatakan bahwa ia bukan anak kandung ayahnya, hal itulah yang
menikam ulu hatinya. Setelah ayahnya pergi, ia menubruk ibunya, bahkan mengguncang kedua pundak
Ibunya.
"Ibu, apa artinya semua itu? Aku bukan-anak kandung ayah? Ibu, apa artinya ini? Ayah bilang ibu telah
membuka rahasia. Ibu, rahasia apakah yang terkandung di balik kehidupan ibu dan ayah? Kalau aku
bukan anak kandung ayah, lalu siapakah ayahku? Ibu, ceritakan semua kepadaku!”
Dan berceritalah Pouw Cu Lan. Wanita cantik berusia empatpuluh dua tahun kita berceritera dengan
suara gemetar menahan perasaan yang menusuk-nusuk. "Tahukah engksu siapa ibumu ini, anakku?”
"Bukankah ayah sering membanggakan bahwa ibu adalah bekas selir kaisar? Apakah kalau begitu
ayahku adalah ... kaisar?"
Wanita itu menggeleng kepalanya. Sungguh berat rasanya membuka rahasianya, rahasia yang penuh
keaiban terhadap anak kandungnya sendiri.
"Memang benar, aku adalah seorang yang pernah menjadi selir mendiang Kaisar Cang Bu di Nan-king.
kaisar Kerajaan Liu-sung yang telah jatuh dan digantikan Kerajaan Chi yang sekarang ini, anakku. Dengan
mendiang kaisar, aku tidak mempunyai anak. Akan tetapi, duapuluh dua tahun yang lalu, sebagai selir
kaisar aku bertemu dengan seorang pangeran. Kami. ... saling jatuh hati, saling mencinta dan kami ...
mengadakan hubungan gelap."
Hui Hong yang mendengar cerita itu mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Ia
hanya tahu bahwa ibunya terpaksa menjadi selir kaisar tidak mencinta kaisar dan bertemu dengan
pangeran yang di cintanya.
"Akan tetapi, hubungan kami ketahuan kaisar. Pangeran itu merasa malu dan ... membutakan kedua
matanya sendiri, lalu minggat dari Istana, dan aku ... aku menerima hukuman dari kaisar. Aku dihukum
buang, ... " Kini Pouw Cu Lin tidak dapat menahan tangisnya lagi karena ia teringat akan kekasihnya,
pangeran itu.
"Lalu bagaimana, ibu?" Karena penasaran dan ingin tahu, Hui Hong mendesak ibunya yang sedang
menangis.
"Ketika aku sedang dikawal menuju ke tempat pembuangan, Ouwyang Sek menghadang, membunuh
para pengawal dan membebaskan aku dari kerangkeng, lalu dia ... dia mengambil aku sebagai isterinya.
Hui Hong mengerutkan alisnya. Cerita ibunya sungguh membuat ia tidak merasa senang. Ibunya seorang
yang demikian cantik, dan pria yang selama ini dianggap sebagai ayahnya demikian buruk dan kasar.
"Dan ibu mau?" komentarnya yang mengandung teguran karena penasaran.
Wanita itu terisak, kepalanya tunduk dan ia mengangguk. "Aku ... aku terpaksa mau karena ... karena
hendak menyelamatkan ... engkau, Hui Hong."
Sekali ini Hui Hong terlonjak kaget. "Ibu, apa artinya ini! Apa maksud ibu?"
"Hui Hong, apakah engkau kira ibumu ini demikian rendah sehingga rela begitu saja dipisahkan dari
pangeran itu, satu-satunya orang yang kukasihi dengan badan dan batinku. Demi engkaulah maka aku
terpaksa menerima paksaan derita lahir batin. Kalau tidak ada engkau, tentu sebelum dihukum buang,
aku sudah membunuh diri mencuci aib dan duka karena dipisahkan dari pangeranku."
"Demi aku, Ibu, jelaskanlah!" Hui Hong semakin penasaran.
"Ketika aku dan pangeran itu dipisahkan dengan paksa. aku dalam keadaan mengandung, anakku.
Mengandung ... engkau! Baru tiga bulan kandunganku itu. Aku tidak ingin kehilangan engkau, karena
engkaulah satu-satunya peninggalan kekasihku itu kepadaku. Aku rela dihukum buang, bahkan ketika
aku diselamatkan Ouwyang Sek, aku rela diperisteri dengan syarat bahwa aku baru mau menjadi
isterinya setelah engkau terlahir dan setelah dia berjanji bahwa dia akan menganggapmu sebagai anak
sendiri, akan memperlakukanmu dengan kasih sayang seperti anak sendiri."
"Aihhhh, ibu ... !” Mulai saat itulah Hui Hong menangis, merangkul ibunya.
Ia dapat membayangkan betapa hebat penderitaan ibunya, derita lahir batin demi untuk
menyelamatkan dirinya, puterinya! Semua itu dilakukan ibunya karena amat besar cinta ibunya,
terhadap ayah kandungnya, pangeran itu, sehingga rela berkorban perasaan, menderita lahir batin asal
dapat menyelamatkan keturunan pangeran itu.
Sampai lama dua orang wanita itu saling rangkul dan bertangis-tangisan. "Menangislah anakku ...
menangislah karena engkau adalah manusia biasa, dari ayah yang luhur budi bukan anak seorang datuk
sesat yang keras kepala dan keras hati ... menangislah, anakku sayang ... " Belaian Ibunya itu membuat
Hui Hong makin mengguguk dalam tangisnya.
Setelah tangis itu mereda, Hui Hong hanya terisak-isak, dan pada saat itu Ouwyang Toan muncul di pintu
memanggil ibunya. Ia mendengar percakapan mereka dan matanya terbelalak, kemudian dia
tersenyum-senyum dan batinnya bersorak. Hui Hong bukan adik kandungnya, bukan adik tirinya, bukan
apa-apa, orang lain. Ini berarti bahwa dia boleh mengawini gadis itu!”
Setelah pemuda itu pergi, Hui Hong telah dapat menguasai dirinya, tidak terisak lagi. Ada perasaan aneh
dalam hatinya. Ia bukan putri Ouwyang Sek! Sungguh aneh sekali perasaan ini membuat ia merasa lega
dan bahkan bangga! Seringkali diam-diam ia merasa tidak suka akan sifat dan watak ayahnya itu. Terlalu
keras, terlalu kejam, dan kadang terlalu licik. Kini bahkan ia merasa lega bahwa yang berbuat jahat dan
keji terhadap Kwa Bun Houw bukanlah ayah kandungnya, bukan pula sanak saudara, melainkan orang
lain. Tidak ada sedikitpun darah datuk itu mengalir di tubuhnya. Ayah kandungnya seorang pangeran!
Perasaan bangga timbul dan ia merasa betapa harga dirinya melambung tinggi!
"Ibu, siapakah nama pangeran itu, ayah kandungku itu?" akhirnya ia bertanya.
Tiba-tiba terdengar suara lembut menyelinap masuk kamar itu. Datang dari arah jendela kamar.
“Namanya Pangeran Tiauw Sun Ong!”
“Ehh? Siapa itu ...?" Pouw Cu Lan terkejut dan terbelalak memandang ke arah jendela.
Akan tetapi, reaksi Hui Hong sudah lebih cepat lagi. Sekali berkelebat, gadis itu telah meloncat keluar
dari dalam kamar sambil mendorong daun jendela kamar terbuka. Ia masih sempat melihat
berkelebatnya bayangan seorang wanita berlari cepat sekali meninggalkan taman bunga di luar
kamarnya. Tanpa mengeluarkan suara, iapun mengerahkan ilmunya berlari cepat dan melakukan
pengejaran.
Bayangan itu mampu bertari secepat terbang. Hui Hong merasa penasaran sekali melihat bayangan itu
melesat amat cepatnya menuruni bukit melalui bagian belakang yang sunyi dan juga amat sukar dilalui.
Ia tidak mau kalah, mengerahkan ilmunya berlari cepat, meloncat bagaikan seekor kijang melakukan
pengejaran. Namun, sampai tiba di kaki bukit yang sudah amat jauh dari rumah Ouwyang Sek, belum
juga ia mampu menyusulnya. Akan tetapi, setelah mereka tiba di tepi hutan yang amat sunyi, wanita itu
berhenti dan membalikkan tubuhnya, menanti pengejarnya sambil tersenyum. Dan begitu berhadapan,
Hui Hong, tertegun. Wanita itu cantik manis dengan kulit muka yang putih dan tubuh yang ramping,
padat. Nampaknya baru berusia tiga puluhan tahun, dan ia sama sekali tidak mengenalnya, bahkan
belum pernah merasa berjumpa dengan wanita itu. Suara wanita inikah yang tadi menjawab
pertanyaannya tentang nama ayah kandungnya?
"Bibi, engkaulah yang tadi menjawab pertanyaanku dari luar kamar?" tanya Hui Hong, sambil
memandang dengan penuh perhatian.
Wanita itu tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih, Ia hanya mengangguk tanpa menjawab,
akan tetapi pandang matanya juga mengamati wajah dan bentuk tubuh Hal Hnng yang merupakan
seorang gadis yang cantik jelita, nampak gagah dan anggun, seorang gadis yang sudah matang, bagaikan
setangkai bunga sedang mekarnya.
Melihat wajah yang cantik itu tersenyum ramah, Hui Hong merasa tidak enak kalau bersikap kasar, maka
iapun merangkap kedua tangan di depan dada, lalu bertanya, "Kalau boleh aku mengetahui, siapakah
bibi dan mengapa pula bersikap seaneh ini?"
"Engkau tentu Tiauw Hui Hong, bukan?" Wanita itu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan pula.
Hui Hong mengerutkan alisnya. "Tiauw ...?" ia menegaskan.
"Tentu saja," wanita itu tersenyum. "Ayah kandungmu adalah Pangeran Tiauw Sun Ong, engkau tentu
she Tiauw, bukan she Ouwyang."
"Siapakah engkau, bibi? Kenapa engkau mengetahui tentang ayah kandungku?"
"Hemm, hanya akulah yang tahu di mana adanya ayah kandungmu sekarang. Ibumu sendiri mana tahu?
Sejak pangeran meninggalkan istana, ibumu tak pernah bertemu lagi dengan ayahmu, apalagi ia lalu
menjadi isteri datuk iblis itu."
"Bibi, siapa nama bibi?"
“Belum waktunya engkau mengenal namaku. Kalau sekarang engkau suka ikut dengan aku, tentu aku
akan dapat mengusahakan pertemuan antara engkau dan ayahmu. Nah, marilah engkau ikut pergi
denganku."
Hui Hong mengerutkan alisnya. "Bibi, bagaimana mungkin aku pergi bagitu saja? Ibuku tentu tahu di
mana adanya ayah kandungku dan aku dapat mencarinya sendiri."
Wanita itu memandang kepadanya dengan senyum mengejek. "Hemm, keras hati dan sombong seperti
ayahnya. Kalau tidak percaya kepadaku, boleh kau tanya sekarang juga kepada Ibumu. Akan tetapi ingat,
tanpa aku engkau takkan dapat tahu di mana adanya ayahmu itu. Nah, aku tunggu di sini, akan tetapi
tidak sampai malam. Tanyalah kepada ibumu."
Hui Hong mengangguk dan cepat ia mempergunakan Ilmu berlari cepat mendaki bukit, diikuti pandang
mata wanita itu yang tersenyum-senyum.
"Pangeran, kalau aku menahan puterimu, engkau pasti akan datang kepadaku." kata wanita itu seorang
diri.
Kwan Im Sianli Bwe Si Ni merasa senang karena ia memperoleh akal yang baik. Tidak ada gunanya
membunuh puteri kandung pangeran itu, karena hal itu tentu membuat pangeran itu makin benci
kepadanya. Padahal ia menghendaki pangeran yang dicintanya itu akan membalas cintanya dan
menghabiskan sisa hidup di sampingnya.
Pouw Cu Lan masih berada di kamar puterinya dengan bingung, menduga-duga siapa suara wanita tadi
yang mengenal nama Pangeran Tiauw Sun Ong! Iapun merasa khawaitir karena sudah agak lama
puterinya melakukan pengejaran belum juga kembali. Namun, ia percaya akan kelihaian puterinya, dan
menanti di situ sampai puterinya kembali.
Ketika Hui Hong meloncat masuk melalui jendela. Pouw Cu Lau memandang dengan gembira.
"Bagaimana, Hui Hong. Siapakah orang yang bicara tadi?"
"Nanti dulu, ibu. Aku ingin kepastian, benarkah nama ayah kandungku Tiauw Sun Ong?”
"Benar, anakku. Akan tetapi siapakah ia tadi ... ?”
"Dan ibu tahu, di mana sekarang ayah kandungku itu? Di mana Pangeran Tiauw Sun Ong sekarang?"
Ibunya menggeleng kepala dengan sedih. “Bagaimana aku tahu, anakku? Sejak peristiwa itu terjadi, aku
ditangkap lalu dihukum buang, dan sejak itu aku tidak pernah lagi bertemu dangan dia, bahkan tidak
pernah mendengar di mana ia berada. Aku yakin bahwa ayahmu ... ah maksudku, Ouwyang Sek, dia
tentu tahu di mana adanya Pangeran Tiauw Sun Ong, akan tetapi dia tidak pernah mau bicara tentang
pangeran itu."
“Benar juga ucapan perempuan cantik tadi.” pikir Hui Hong. “Ibunya sendiri tidak tahu di mana adanya
ayah kandungnya!”
"Ibu, aku akan pergi mencari ayah kandungku."
"Tapi, di mana engkau akan mencarinya! Dan belum kauceritakan, siapa wanita yang tadi menyebut
nama ayahmu?"
"Aku tidak mengenalnya, ibn. Ia seorang wanita cantik yang usianya sekitar tigapuluh tahun lebih. Ia
tahu di mana ayahku berada dan aku akan diajaknya pergi mencari ayah."
"Tapi ... tapi, apakah ia? Aku khawatir sekali, anakku. Jangan engkau pergi kalau belum mengenal benar
wanita itu."
Akan tetapi Hui Hong tidak perduli. Cepat ia mengambil beberapa potong pakaian dan berkemas,
dibuntalnya pakaian itu dan setelah membawa bekal, tidak lupa membawa siang-kiam (sepasang
pedang) yang menjadi senjatanya, iapun pergi meninggalkan ibunya walaupun wanita itu menangis dan
mencegahnya
Di kaki bukit itu, ia melihat wanita cantik tadi masih menantinya dan tanpa banyak cakap lagi Hui Hong
lalu pergi bersamanya, meninggalkan Bukit Siluman.
***
Pria itu usianya sudah kurang lebih enam puluh tahun, namun tubuhnya masih gagah dan ramping
kokoh, tidak seperti orang seusia dia yang biasanya kalau tidak kurus kering, tentu gendut dan gembrot
dengan kulit bergantungan penuh lemak, muka penuh keriput dan garis-garis ketuaan tanda derita
hidup. Wajahnya masih nampak tampan dan anggun walaupun kedua matanya buta, terpejam dan tidak
berbiji lagi. Dia melangkah perlahan dengan tongkat butut di tangan pada saat ada belasan orang
berdatangan dari depan. Pada hal tadi, ketika tidak ada orang lain, pria ini berjalan dengan cepat seperti
orang berlari saja, akan tetapi begitu muncul rombongan terdiri dari belasan orang itu, tiba-tiba saja
langkahnya menjadi perlahan dan biasa. Hal ini saja membuktikan bahwa biarpun kedua matanya buta,
orang ini dapat mengetahui akan munculnya belasan orang itu.
Bersambung jilid 10
Jilid 10
BELASAN orang itu rata-rata nampak gagah dan kuat. berusia dari tigapuluh sampai limapuluh tahun,
dipimpin seorang laki-laki tinggi besar berusia limapuluh tahun yang sikapnya gagah sekali. Begitu
melihat pria buta itu, belasan orang ini saling berbisik dan mereka sengaja lari menghadang pria itu. Pria
buta itu maklum bahwa belasan orang itu menghadang di depannya. Dia menahan langkahnya, berdiri
bersandar tongkat bututnya dan menundukkan muka. Nampak acuh, namun sesungguhnya, sepasang
telinganya menangkap semua gerakan belasan orang itu, sampai gerakan yang sekecil-kecilnya.
Setelah berhadapan. pemimpin rombongan itu, yang tinggi besar dan gagah, segera maju dan berlutut
dengan sebelah kakinya, memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada. Empat belas
orang pengikutnya. Ikut pula berlutut ketika si tinggi besar berlutut dan semua orang memberi hormat.
Akan tetapi, pria buta itu bersikap seolah tidak tahu akan, apa yang terjadi di depannya.
"Pangeran, hamba bekas Jenderal Yap Lok, maafkan hamba dan empat belas orang pengikut hamba
yang tardiri dari bekas para perwira menengah Kerajaan Liu-sung kalau hamba sekalian menghadang
dan mengganggu ketenteraman paduka."
Pria buta itu memang bekas Pangeran Tiauw Sun Ong. Dia tersenyum, senyum lembut dan suaranya
juga lembut ketika dia berkata, "Seperti juga kalian ini bebas jenderal dan bekas perwira, akupun hanya
bekas pangeran saja. Saudara Yap, kita sekarang menjadi orang-orang biasa, harap jangan memakai
segala macam peradatan dan kesungkanan. Marilah kita bicara seperti kanalan dan sahabat saja.
Bangkitlah kalian dan kalau aku boleh bertanya, kalian hendak ke mana?"
"Maaf, pangeran. Kami tidak dapat menghapus sebutan pangeran karena bagi kami, paduka satusatunya
pangeran yang masih ada, dan padukalah harapan kami satu-satunya. Kami sengaja mendaki
Bukit Hwa-san untuk mencari dan menghadap paduka."
Pria buta itu mengerutkan alisnya. Sudah puluhan tahun dia meninggalkan Kerajaan Liu-sung, sampai
beberapa tahun yang lalu kerajaan itu hancur dan runtuh, kini digantikan oleh Kerajaan Chi. Dia sudah
tidak menganggap dirinya sebagai pangeran, Apalagi berhubungan dengan bekas pembesar militer
kerajaan keluarganya yang sudah jatuh itu.
"Saudara Yap, ada urusan apakah engkau dan teman-temanmu mencari aku? Sudah puluhan tahun aku
mengasingkan diri dan tidak ingin lagi berurusan dengan keributan dunia." Biarpun mulutnya berkata
demikian, namun diam-diam Tiauw Sun Ong merasa hatinya pedih. Baru saja dia terpaksa meninggalkan
puncak Hwa-san setelah mendengar bahwa dia mempunyai keturunan, mempunyai seorang anak
kandung yang terlahir dari Pouw Cu Lan, hasil hubungan gelapnya dengan selir kaisar duapuluhan tahun
yang lalu. Dan kini, keselamatan Pouw Cu Lan dan puterinya itu diancam oleh Kwan Im Sianli Bwe Si Ni
yang hendak membalas dendam kepadanya karena dia tidak mau diajak hidup bersama! Dia terpaksa
terjun ke dunia ramai untuk melindungi anak kandungnya, akan tetapi di depan bekas Jenderal Yap Lok,
dia mengatakan bahwa dia tidak ingin lagi berurusan dengan keributan dunia!”
"Pangeran, bagaimana mungkin kita mendiamkan saja para pemberontak dari keluarga siauw yang hina
itu merampas tahta kerajaan, menghancurkan Kerajaan Liu-Sung kita yang jaya dan mendirikan kerajaan
baru? Selama kita masih hidup, kita harus berusaha untuk merebut kembali kekuasaan itu dan
menegakkan kembali Kerajaan Liu-sung? Selama ini, kami tidak berdaya karena tidak ada lagi
seorangpun pangeran dari Kerajaan Liu-sung. Kami telah berusaha mencari paduka, namun sia-sia
belaka. Baru sekarang kami dapat menemukan jejak paduka, dan kami sengaja menghadap untuk
mohon agar paduka suka memimpin kami, menyusun barisan untuk merebut kenbali kekuasaan dari
raja pemberontak Chi itu.”
Tiauw Sun Ong tertawa, tertawa karena geli mendengar usul yang penuh semangat itu. "Ha-ha-ha,
sungguh lucu mendengar kata-katamu itu, seperti bermain sandiwara di panggung saja, maaf saudara
Yap Lok, cita-citamu itu seperti membangun benteng di awang-awang saja. Aku hanya seorang buta,
apalagi sudah tidak menginginkan segala kemuliaan duniawi, bagaimana kini kalian menganjurkan aku
untuk menjadi pemimpin pemberontak terhadap Kerajaan Chi? Tidak, selain aku tidak mampu, juga aku
tidak mau terlibat dalam perang dan keributan."
"Harap paduka tidak berpura-pura lagi. Kami telah melakukan penyelidikan dengan seksama dan kami
tahu bahwa paduka sekarang, biarpun tidak dapat melihat lagi, namun telah menjadi seorang sakti yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pangeran, demi kejayaan Kerajaan Liu-sung, demi nama dan
kehormatan keluarga paduka sendiri, marilah kita bangkit dan rampas kembali kerajaan ... "
"Cukup! Aku tidak mau dengar lagi dan harap kalian memilih orang lain saja. Jangan ganggu aku lagi."
kata bekas pangeran itu, nada dan suaranya tegas.
Wajah bekas jendral itu berubah merah dan dengan matanya dia memberi isarat kepada kawankawannya.
Limabelas orang itu kelihatan marah dan garang, bahkan sudah meraba gagang senjata
masing-masing.
"Hemmm, sungguh tidak kami sangka bahwa Pangeran Tiauw Sun Ong hanya seorang penakut dan
pengecut."
"Yap Lok, tahan mulutmu!" bentak pria buta itu.
"Pangeran, kalau paduka tidak takut dan bukan pengecut, maka paduka lebih rendah lagi, karena
paduka akan menjadi seorang pengkhianat yang menaruh dendam terhadap kerajaan keluarga sendiri
karena peristiwa dengan selir yang sangat memalukan itu. Paduka dendam dan karena itu tidak perduli
kerajaan sendiri dirampas orang lain."
"Yap Lok. aku tidak mau bekerja sama denganmu. Tidak perlu engkau menghinaku dan memanaskan
hatiku. Pergilah kalian dan jangan ganggu aku lagi."
"Kalau paduka tidak mau, terpaksa kami paksa. Lebih baik kami melihat paduka tewas di tangan kami
dari pada melihat paduka berkeliaran sebagai seorang pengkhianat," kata Yap Lok sambil mencabut
pedangnya.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru