Rabu, 15 November 2017

Khopinghoo Dara Baju Merah 3

baca cerita silat cersil sebelumnya
Khopinghoo Dara Baju Merah 3

----Tiba-tiba selarik sinar merah melayang dengan cepat sekali ke arah cambuk pendek yang lalu terpental
melayang ke atas. Gadis itu tertawa pahit sambil menengok ke arah kanan.
“Suci, bunga merah tak boleh sembarang dipetik!” kata dara yang baru datang dan yang menunggang
seekor kuda bulu putih.
Kalau orang merasa kagum dan tertarik melihat gadis baju kuning yang cantik manis itu, kini dia akan
terpesona dan boleh jadi lupa bernapas kalau dia melihat gadis yang baru datang ini. Ia jauh melebihi gadis
baju kuning dalam segala hal, bahkan kiranya akan jauh melampaui mimpi dan lamunan tiap orang
pemuda.
Cantik jelita sulit menemukan cacat-celanya. Rambutnya hitam sekali, halus panjang, biar pun digelung
secara istimewa di atas kepala dengan hiasan-hiasan dari emas permata, masih saja rambut itu kelebihan,
memanjang dan bermain-main di atas punggung dan kedua pundaknya. Sepasang alis yang juga hitam
kecil memanjang menghias dua buah mata yang indah, dilindungi oleh butu-bulu mata yang melengkung
dan panjang.
Mata itu memang tidak begitu bercahaya dan indah seperti mata gadis baju kuning, akan tetapi demikian
bening dan jelas terisi api kehidupan yang bagaikan tidak pernah padam, membayangkan semangat yang
kuat, ketabahan luar biasa, dan kegembiraan hidup yang sehat. Yang paling mengesankan adalah bibirnya
yang berbentuk manis luar biasa, akan tetapi kadang-kadang kulit di bawah bibir, pada lekukan dagu
nampak mengeras, tanda bahwa dara ini memiliki hati yang kadang-kadang dapat keras membaja, walau
pun dari bibirnya dapat diketahui bahwa hati ini pun dapat melembut mesra, hati seorang wanita sejati.
Gadis ini usianya baru tujuh belas tahun paling banyak, akan tetapi sinar matanya sudah menunjukkan
kematangan jiwa, juga bentuk tubuhnya sangat bagus, berisi dan sedang. Tubuh ini tertutup oleh pakaian
serba merah, berpotongan indah dan terbuat dari sutera mahal.
Pada pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terukir indah. Tangan kanannya
memegang sebatang cambuk yang berwarna merah pula. Inilah sinar yang tadi menangkis cambuk gadis
baju kuning mencegah cambuk gadis kuning itu memetik bunga merah.
“Sumoi, kenapa kau mencegah aku memetik bunga?” tanya gadis baju kuning, keningnya berkerut tanda
tak senang hati, akan tetapi sikapnya tetap menghormat seakan-akan ia takut terhadap gadis baju merah
yang menjadi adik seperguruannya itu.
“Suci, apakah kau tidak melihat warna bunga itu?”
Nona baju kuning memandang ke arah rumpun bunga, lalu tertawa gembira dan berkata, “Aha, Ang I Niocu
(Nona Baju Merah), akhirnya bunga merahmu pun pasti akan dipetik orang!” Ia tertawa lagi dengan sikap
dunia-kangouw.blogspot.com
genit.
Dara berbaju merah itu pun tertawa dan menjawab, “Giok Gan Niocu, (Nona Bermata Kemala), tidak boleh
sembarangan saja orang memetik bunga merah!”
Keduanya tertawa gembira. Nona baju juning itu lalu melemparkan bunga putih ke arah sumoi-nya yang
tidak mengelak atau menyambut, dan bukan main... bunga itu dengan tepat sekali menancap di atas kepala
sebelah kiri, menjadi penghias rambut seolah-olah ditancapkannya dengan tangan. Dari sini saja dapat
dibuktikan betapa hebat dan tinggi kepandaian menyambit dari Nona Baju Kuning itu.
“Terima, kasih, Suci. Terima kasih untuk bunga putih ini. Putih artinya suci.”
“Aku lebih suka yang kuning ini,” dan Nona Baju Kuning itu menancapkan bunga kuning di atas rambutnya,
menambah kecantikannya.
Siapakah dua orang gadis yang seperti bidadari ini? Dara-dara jelita yang selain cantik remaja menarik hati,
juga memiliki kepandaian istimewa? Dara baju merah itu bukan lain adalah Kiang Im Giok yang semenjak
ikut dengan Pek Hoa Pouwsat memang suka sekali mengenakan pakaian merah dan oleh orang-orang di
kota Sian-koan mendapat sebutan Ang I Niocu.
Ada pun dara baju kuning itu bukan lain adalah Song Kim Lian, anak yatim piatu yang menjadi murid Kiang
Liat. Karena gadis ini mempunyai sepasang mata yang luar biasa seperti kemala, maka para pemuda kota
Sian-koan menghadiahi julukan Giok Gan Niocu.
Bagi para penduduk Sian-koan, sepasang dara ini sudah amat terkenal, terutama sekali bagi para
pemudanya. Biar pun Im Giok lebih cantik dan hal ini diakui oleh semua orang, tetapi para pemuda di kota
Sian-koan lebih suka mendekati Kim Lian, karena tak seorang pun berani main-main terhadap Im Giok
yang terkenal amat angkuh dan galak terhadap pria.
Kalau dua orang gadis ini tidak menghendaki, siapakah berani memaksa dan main-main terhadap mereka?
Semua orang tahu bahwa kepandaian sepasang dara ini amat tinggi, bahkan ada yang berani menyatakan
bahwa kepandaian mereka sudah lebih tinggi dari pada kepandaian Jing-jiu-sian Kiang Liat sendiri!
Akan tetapi Kim Lian tidak seperti Im Giok, dan inilah yang membikin senang dan gembira hati para
pemuda-pemuda yang tampan, juga kadang-kadang gadis baju kuning bermata intan ini suka melayani
mereka bicara sebentar apa bila bertemu di jalan. Oleh karena ini, semua pemuda kota Sian-koan seakanakan
berlomba untuk merebut hati Giok Gan Niocu, sedangkan terhadap Ang I Niocu mereka tidak berani
berlagak.
Im Giok memang berwatak keras, terutama menghadapi para pemuda ia sama sekali tidak pernah sudi
memberi hati. Ia pernah mengalami perlakuan kasar dan menghina dari Kam Kin, dan hal ini cukup
membuat gadis ini memandang rendah kaum pria. Apa lagi karena di dalam pandangannya, di kota Siankoan,
tidak ada seorang pun pemuda yang patut mendapatkan perhatiannya!
Sebaliknya, Kim Lian sering kali mempercakapkan tentang pemuda-pemuda tampan dan pandai di kota
Sian-koan yang didengar oleh Im Giok dengan senyum mengejek. Di pihak para pemuda, banyak
berlancang mulut menyatakan bahwa Kim Lian adalah kekasihnya.
Telah dituturkan pada bagian depan betapa Kiang Liat lebih banyak merendam diri dalam lamunan dan
kenangan akan isterinya, dan hubungannya dengan puteri serta muridnya hanya apa bila ia melatih ilmu
silat mereka. Selebihnya, Im Giok dan Kim Lian bertindak sekehendak hati sendiri.
Pelayan banyak, uang ada, segalanya lengkap. Akan tetapi, untungnya Im Giok adalah seorang gadis yang
pandai mengatur rumah tangga pengganti ayahnya. Bahkan Kim Lian yang wataknya binal dan tidak mau
tunduk terhadap siapa pun kecuali terhadap gurunya, patuh juga menghadapi Im Giok.
Tidak jarang kedua gadis ini keluar rumah berjalan-jalan atau menunggang kuda kalau keluar kota, untuk
pesiar. Bahkan beberapa kali mereka mengunjungi jago-jago silat di kota lain untuk minta petunjuk atau
kasarnya untuk menguji kepandaian! Dan setiap kali mereka mengunjungi seorang guru silat, pasti guru
silat atau jago silat itu roboh baik oleh Im Giok mau pun oleh Kim Lian! Oleh karena inilah maka sebentar
saja nama Ang I Niocu terkenal sampai jauh di luar kota.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada pagi hari itu, untuk menyambut datangnya musim Chun, dua orang dara ini pergi meninggalkan kota
Sian-koan, menunggang kuda berpesiar ke dalam hutan yang indah itu. Hutan ini belum pernah mereka
datangi karena letaknya memang jauh, kurang lebih lima puluh li dari Sian-koan, terletak di lereng
pegunungan yang kaya akan hutan-hutan indah.
Seperti biasa, mereka bergembira-ria, terbawa oleh suasana yang indah dan damai di dalam hutan itu.
“Ayah telah berkata benar,” kata Ang I Niocu sambil duduk di atas kuda dan memandang ke kanan kiri,
“indah sekali keadaan hutan ini waktu pagi. Pantas saja Ayah menyuruh kita berangkat sebelum fajar agar
dapat pagi-pagi sampai di sini.”
“Suhu memang sudah banyak pengalaman, sudah menjelajah ke seluruh pelosok. Aku ingin sekali
berkelana seperti yang pernah dilakukan oleh Suhu,” kata Giok Gan Niocu Song Kim Lian.
“Mengapa tidak? Aku pun ingin sekali merantau jauh di propinsi-propinsi lain, Suci. Kalau teringat akan
guruku Pek Hoa Pouwsat, aku ingin sekali mencari dia.”
“Kau ingin mencoba kepandaian bekas gurumu sendiri?” tanya Kim Lian.
“Tidak hanya mencoba, bahkan aku harus merobohkannya. Dialah yang menyebabkan ibuku meninggal
dunia dan ayahku selalu berduka. Dia adalah musuh besarku yang mesti kubunuh!” kata Im Giok dengan
suara gemas, akan tetapi hatinya perih kalau ia teringat betapa ia amat kagum dan cinta kepada gurunya
itu.
“Mengapa tidak sekarang saja kau pergi mencarinya? Aku suka membantumu, Sumoi, biar pun
kepandaianku tidak ada artinya.”
Im Giok menarik napas panjang. “Tak mungkin. Aku tidak mau pergi meninggalkan Ayah. Aku tidak tega,
dia kelihatan selalu bersedih...”
Wajahnya yang cantik menjadi muram dengan mendadak. Juga Kim Lian mengerutkan sepasang alisnya
yang hitam seperti dicat.
Tadi ketika mereka bergembira dan bercakap-cakap, mereka kurang memperhatikan hal lain. Sekarang
setelah keduanya berdiam diri, telinga mereka segera menangkap suara yang mencurigakan. Sayup
sampai terdengar bentakan-bentakan dan derap kaki kuda. Ang I Niocu Kiang Im Giok mendengar terlebih
dahulu, karena memang telinganya lebih terlatih.
“Suci ada terjadi sesuatu di sebelah timur hutan ini,” katanya.
Kim Lian memiringkan kepalanya, penuh perhatian. “Benar, Sumoi. Ada orang berteriak minta tolong. Mari
kita ke sana.”
Akan tetapi Im Giok sudah membedal kudanya dan di lain saat kedua orang dara itu telah membalapkan
kuda masing-masing menuju ke timur. Mereka seakan berlomba, akan tetapi apa bila biasanya mereka
berlomba sambil tertawa, kini mereka berlomba dengan kening berkerut dan sikap garang.
Selain berkepandaian silat tinggi, mereka juga ahli menunggang kuda, maka sebentar saja mereka telah
tiba di tempat terjadinya peristiwa yang sampai di telinga mereka tadi. Dan apa yang mereka lihat di situ
membuat dua orang dara itu menjadi merah mukanya saking marahnya.
Ternyata bahwa serombongan orang yang jumlahnya dua puluh lebih, berpakaian seperti tentara, sedang
menghajar dan membunuhi serombongan orang-orang yang membawa buntalan seperti orang-orang
sedang mengungsi. Rombongan orang-orang ini terdiri dari lima orang kakek dan tujuh orang muda yang
pakaiannya seperti pelajar-pelajar lemah.
Keadaan di tempat itu mengerikan sekali. Semua anggota rombongan pengungsi itu telah menggeletak
mandi darah, ada yang masih berkelojotan menghadapi maut.
Akan tetapi yang mengagumkan sekali, di sana terdapat seorang pemuda pelajar yang sedang melawan
mati-matian. Mulutnya tak pernah mengeluarkan keluhan, sungguh pun tubuhnya sudah penuh luka. Ia
menggunakan sebatang tongkat untuk membela diri dan sungguh pun gerakannya menandakan bahwa dia
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak mengerti ilmu silat, akan tetapi agaknya dia memiliki keberanian besar sehingga dengan nekat dia
masih dapat melawan dan melindungi diri.
Akan tetapi tentu saja dia bukan lawan serdadu-sedadu yang terlatih itu, karena itu dia dibuat permainan,
sengaja tak dibunuh dulu, hanya dipukul sana-sini sambil ditertawakan. Ada pula sebagian tentara yang
sedang mengumpulkan bungkusan yang tadinya dibawa oleh para pengungsi itu, mencari-cari barang
berharga.
“Anjing-anjing hina dina!” Terdengar Giok Gan Niocu Song Kim Lian berseru keras dan tubuhnya sudah
melayang turun dari kuda.
Bagai seekor harimau betina dia menerjang dan robohkan dua orang yang tadinya berdiri bengong melihat
kedatangan dua orang bidadari ini. Kim Lian segera merebut sebatang pedang yang tadi dipegang oleh dua
orang ini dan sekali babat putuslah leher dua orang itu.
Keadaan menjadi geger. Semua serdadu ini memandang dan mereka yang tadi sedang mengumpulngumpulkan
barang, kini menerjang Kim Lian.
“Keparat jahanam, kalian harus dibasmi!” Terdengar bentakan halus lain dan nampaklah sinar merah
menyambar ke sana ke mari, lalu sinar merah ini menerjang mereka yang sedang mempermainkan
pemuda itu. Lima orang roboh tak bangun lagi karena mereka menjadi korban pedang di tangan Ang I
Niocu Kiang Im Giok!
Pemuda itu entah saking lelahnya, entah saking girangnya mendapat bantuan, atau entah saking kagum
dan herannya melihat melihat seorang dara baju merah sedemikian gagah dan cantik jelitanya, tiba-tiba
lenyap semua daya dan semangatnya untuk melawan dan lemaslah ia, lalu terduduk dengan mata
bengong.
Im Giok beserta Kim Lian mengamuk garang. Dalam beberapa jurus saja belasan orang serdadu
menggeletak dalam keadaan luka berat. Yang mengagumkan adalah Im Giok. Pedangnya berkelebatan
dan setiap jurus pasti pedang itu merobohkan seorang lawan. Akan tetapi tak pernah Im Giok menewaskan
lawannya, dia hanya merobohkannya saja. Berbeda dengan Im Giok, orang yang roboh oleh pukulan Kim
Lian pasti tak akan dapat bangun lagi untuk selamanya!
Menghadapi amukan dua orang dara yang datang secara tiba-tiba ini, rombongan tentara itu tidak kuat
bertahan lagi. Mulailah mereka yang belum roboh lari pontang-panting dan sebagian pula berteriak-teriak
keras,
“Kam-ciangkun...! Tolonglah kami...”
“Suci, sudahlah jangan mengejar mereka lagi,” Im Giok mencegah Kim Lian yang hendak mengejar terus.
Kim Lian tidak puas, akan tetapi dia tidak membantah dan menghentikan pengejarannya. Pada waktu dua
orang dara ini memandang, ternyata bahwa amukan mereka tadi telah menghasilkan robohnya enam belas
orang lawan, yang enam orang tewas dan sepuluh lannya terluka.
Akan tetapi ketika mereka memperhatikan, ternyata bahwa rombongan pengungsi tadi sebanyak dua belas
orang, sebelas orang sudah tewas. Hanya pemuda sastrawan yang tabah tadi saja masih hidup. Tubuhnya
penuh darah, akan tetapi luka-lukanya ringan dan ia masih duduk bengong telongong memandang ke arah
Im Giok dan Kim Lian.
Melihat betapa semua serdadu dapat dikalahkan oleh dua orang dara yang luar biasa itu, si Sastrawan
muda lalu memaksa diri berdiri, berjalan terhuyung-huyung menghampiri Im Giok dan Kim Lian, kemudian
menjura dengan tubuh gemetar saking lemah dan merasa sakit-sakit.
“Ji-wi-lihiap sungguh gagah... sayang kedatangan Ji-wi terlambat sehingga mereka ini...” dia menengok ke
arah kawan-kawannya yang menggeletak tak bernyawa lagi, “mereka ini... tak tertolong lagi...” Pemuda itu
menjadi pucat dan nampak berduka sekali.
“Akan tetapi kami masih dapat menolongmu,” kata Kim Lian sambil memandang dengan mata bersinarsinar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Juga Im Giok baru sekarang melihat betapa tampan dan cakapnya wajah pemuda yang berdiri di depannya
itu. Tadi dalam keributan ia tidak memperhatikan, akan tetapi baru sekarang ia melihat dan ia harus
mengakui bahwa selamanya belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang mempunyai wajah
demikian tampan dan menarik hati.
Juga tadi ia sudah membuktikan bahwa semangatnya besar, tabah dan kini dibuktikannya lagi bahwa
pemuda ini berjiwa besar. Dalam keadaan sengsara itu, ia tidak memikirkan keadaan dirinya sendiri,
bahkan menyayangkan bahwa kawan-kawannya tidak tertolong. Juga bicaranya demikian sopan-santun,
lemah-lembut dan ketika bicara, matanya tidak memandang kurang ajar seperti semua laki-laki yang
pernah dijumpainya! Hati Im Giok berdebar aneh.
Mendengar kata-kata Kim Lian, pemuda itu menggeleng-geleng kepalanya dengan sedih.
“Sungguh pun aku sangat berterima kasih kepada Ji-wi-lihiap atas pertolongan yang telah menyelamatkan
nyawaku yang tak berharga, akan tetapi apakah artinya seorang seperti aku tertolong kalau mereka ini
tewas? Aku seorang yatim piatu tiada guna, lemah dan tak dapat melindungi mereka ini... sebaliknya
mereka ini... ah, keluarga mereka menanti, dan alangkah akan hancur hati keluarga mereka kalau tahu
akan mala petaka ini...”
Bicara sampai di situ, pemuda itu semakin pucat. Ia telah kehilangan banyak darah dan semenjak tadi
tubuhnya yang tidak terlatih itu sudah terlalu banyak menahan rasa nyeri dari luka-lukanya. Ia mencoba
untuk mempertahankan diri, akan tetapi kepalanya pening, kedua kakinya lemas dan pandang matanya
gelap. Akhirnya ia terguling dan tentu akan roboh kalau Kim Lian tidak cepat-cepat melangkah maju dan
memeluknya!
“Suci...!” Im Giok menegur dengan muka berubah merah ketika dia melihat bagaimana suci-nya memeluk
tubuh seorang pemuda demikian erat dan mesranya. Ia merasa jengah dan juga... panas!
“Sumoi, dia patut dikasihani, dia bersemangat gagah namun lemah...” Kim Lian membela diri sambil
tersenyum, lalu secara perlahan ia merebahkan pemuda itu di atas tanah.
Im Giok mengambil botol arak dari atas punggung kudanya dan dengan cekatan ia cepat meminumkan
sedikit arak kepada pemuda yang masih pingsan itu. Kemudian, sesudah memeriksa beberapa luka yang
agak banyak mengeluarkan darah, tanpa rasa sungkan-sungkan lagi ia lalu menotok jalan darah untuk
menghentikan keluarnya darah.
Kim Lian memandang semua ini dengan senyum berarti. Belum pernah selamanya dia melihat sumoi-nya
berlaku demikian sopan dan teliti terhadap seorang pemuda!
“Sumoi, lihat siapa yang datang itu!” tiba-tiba Kim Lian berkata sambil berdiri.
Im Giok juga mendengar suara derap kaki yang berlari mendatangi, maka ia pun cepat melompat berdiri,
tidak sempat lagi memperhatikan pemuda itu yang sudah siuman dan perlahan bangun duduk dengan
tubuh masih lemas.
Yang datang adalah sisa dari serdadu yang mereka amuk tadi, kini datang sambil berlari mengiringkan dua
orang yang menarik perhatian. Yang seorang adalah laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai
seorang komandan tentara, lengkap dengan baju bersisik besi dan golok besar tergantung di pinggang.
Orang kedua adalah seorang kakek jangkung dan bungkuk. Kepalanya besar sekali akan tetapi tubuhnya
kurus kecil, sehingga nampak amat lucu. Akan tetapi ketika melihat cara kakek aneh ini berlari, tahulah Im
Giok dan Kim Lian bahwa kakek aneh itulah yang tak boleh dipandang ringan karena terang sekali memiliki
kepandaian tinggi.
Kim Lian sama sekali tidak mengenal dua orang ini, jangankan melihat, mendengar pun belum pernah.
Akan tetapi, ketika Im Giok melihat laki-laki berpakaian komandan tadi, ia merasa kenal akan tetapi lupa
lagi di mana pernah bertemu dengannya. Ketika melihat golok besar yang tergantung di pinggang orang,
tiba-tiba teringatlah ia bahwa komandan itu adalah Giam-ong-to Kam Kin, sute dari Pek Hoa Pouwsat!
“Suci, komandan itu adalah Giam-ong-to Kam Kin, kau sambutlah kalau mereka berniat buruk. Kakek aneh
itu bagianku, ia lebih lihai,” kata Im Giok berbisik.
Kim Lian tersenyum mengejek. Biar pun ia belum pernah bertemu dengan Kam Kin, akan tetapi dia pernah
dunia-kangouw.blogspot.com
mendengar cerita Im Giok tentang Golok Maut ini dan dia memandang rendah.
Memang betul apa yang dikatakan oleh Im Giok tadi, komandan itu adalah Kam Kin yang berjulukan Giamong-
to Si Golok Maut. Sedangkan kakek yang aneh itu adalah Ceng-jiu Tok-ong (Raja Racun Tangan
Seribu), yakni guru dari Kam Kin, juga pernah menjadi guru Pek Hoa Pouwsat sebelum wanita ini menjadi
muridnya Thian-te Sam-kauwcu. Ia adalah seorang tokoh barat.
Dahulu ketika dia masih muda memang Ceng-jiu Tok-ong melakukan banyak perbuatan jahat, akan tetapi
karena di Tiongkok terdapat Lima Tokoh Besar, yakni Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu Kak Thong Thaisu, Kiubwe
Coa-li, Hek-i Hui-mo, dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai (tokoh-tokoh dalam Pendekar Sakti), maka Cengjiu
Tok-ong tidak berani muncul di pedalaman Tiongkok. Operasi kejahatannya hanyalah di sekitar
perbatasan Tiongkok dan Tibet, atau di perbatasan Bhutan dan India saja. Sesudah puluhan tahun dia
bersembunyi dan bertapa, sekarang tua-tua dia turun gunung lagi adalah atas hasutan muridnya, yaitu
Giam-ong-to Kam Kin.
Semenjak masih muda, Kam Kin terkenal seorang mata keranjang. Sekarang mendapat laporan dari orangorangnya
bahwa anak buahnya banyak yang tewas dalam tangan dua orang gadis gagah, ia menjadi
marah sekali.
Akan tetapi begitu sampai di tempat itu dan memandang kepada dua orang gadis yang cantik jelita jarang
tandingannya, matanya pun bersinar dan mulutnya menyeringai. Apa lagi ketika melihat Im Giok, ia benarbenar
merasa kagum bukan main.
Selama hidup belum pernah dia bertemu dengan seorang dara muda secantik ini. Bahkan Pek Hoa juga tak
secantik ini, pikir Kam Kin. Akan tetapi karena sedang berada bersama gurunya dan juga di depan anak
buahnya, ia berkata,
“Ahh, inikah dua gadis yang sudah berani mati membunuh tentara?”
Im Giok melangkah maju kemudian berkata dengan lesung pipit berkembang di kanan kiri mulutnya. “Bagus
sekali! Semenjak kapankah Giam-ong-to Kam Kin menjadi komandan tentara? Apakah kedatanganmu ini
hendak minta maaf atas kekejaman anak buahmu?”
Kam Kin melengak dan memandang Im Giok penuh perhatian. Dia telah berpisah dari Im Giok semenjak
anak ini berusia sepuluh tahun. Tujuh tahun sudah lewat dan kini Im Giok telah menjadi seorang gadis
dewasa. Akan tetapi dahulu pun pada waktu berusia sepuluh tahun, Im Giok telah memiliki dasar
kecantikan yang mengagumkan. Biar pun kini ibarat bunga ia telah mulai mekar, akan tetapi garis-garis
pada mukanya, bentuk mata hidung dan mulutnya tidak berubah dan akhirnya teringatlah Kam Kin.
“Kiang Im Giok! Kaukah ini?”
“Baru terbuka matamu,” kata Im Giok tenang dengan senyum mengejek.
“Kurang ajar! Kau berani bersikap begini terhadap susiok-mu sendiri?” bentak Kam Kin.
Ia marah sekali karena dihina oleh murid keponakan di depan gurunya dan anak buahnya sehingga untuk
sekejap lupalah ia akan kecantikan luar biasa dari murid keponakannya itu.
“Kam Kin, siapakah Nona ini?” Ceng-jiu Tok-ong bertanya dengan suaranya yang seperti burung kakatua.
“Suhu, dia ini sebetulnya bukan orang lain, karena dia adalah murid Suci Pek Hoa. Akan tetapi memang
wataknya buruk sekali. Biar teecu menghajarnya.” Kemudian ia berpaling lagi kepada Im Giok dan
membentak, “Im Giok, andai kata kau tidak menaruh sungkan kepada susiok-mu, apakah kau juga tidak
menaruh hormat terhadap sucouw-mu (kakek gurumu)? Hayo lekas berlutut memberi hormat kepada
sucouw-mu ini, guru dari Suci Pek Hoa.”
Akan tetapi Im Giok memandang dingin dan menjawab, “Aku tidak mempunyai sucouw seperti ini. Jangan
kau mengaco, lekas katakan apa maksud kedatanganmu ini.”
Kam Kin menjadi amat marah. Ia membanting-banting kaki dan menudingkan telunjuknya ke muka Im Giok.
“Bocah tidak tahu aturan! Tidak saja kau sudah membunuh banyak anggota tentara, akan tetapi kau juga
dunia-kangouw.blogspot.com
bersikap kurang ajar kepadaku dan kepada Suhu! Kau benar-benar telah bosan hidup!”
“Monyet bercelana, kau berani menghina sumoi-ku?” tiba-tiba saja Kim Lian membentak marah dan dia
melangkah maju di depan Im Giok, menghadapi Kam Kin sambil bertolak pinggang. “Mentang-mentang kau
berjuluk ‘Si Golok Maut’, lalu hendak menjual lagak di sini? Tidak laku, monyet!”
“Gadis liar kurang ajar!” Kam Kin marah sekali.
“Kau yang kurang ajar!” bentak Kim Lian. “Karena itu mulutmu harus ditampar. Lihatlah, akan kutampar
mulutmu!”
Baru saja kata-kata ini diucapkan, tangan kanan kiri gadis ini bergerak. Kam Kin bingung melihat gerakan
ini dan berlaku agak lambat.
“Plakk!” tangan kiri Kim Li menampar mulutnya sampai pecah bibirnya dan berdarah.
“Anjing betina, kubunuh kau!” bentak Kam Kin sambil mencabut goloknya.
“Kutempiling kepalamu, awas!” Kim Lian kembali berseru lagi, disusul oleh gerakan kedua tangannya.
“Plakk!”
Lagi-lagi terdengar suara keras. Topi di kepala Kam Kin sampai miring terkena tamparan telapak tangan
gadis jenaka itu.
Kam Kin merasa kepalanya puyeng dan cepat dia melompat ke belakang, menggeleng-geleng kepala untuk
mengusir rasa puyeng. Kemudian, sambil mengeluarkan suara keras seperti seekor harimau, ia menyerang
Kim Lian dengan golok besarnya.
Tadi Kim Lian berhasil dengan tamparan dan tempilingannya, karena memang gadis ini telah mewarisi ilmu
silat dari keluarga Kiang yang sangat lihai. Ilmu silat yang selain indah seperti tarian, juga mengandung
gerakan yang membingungkan dan tidak terduga-duga. Apa lagi sesudah ilmu silat itu diperbaiki oleh
nasehat-nasehat dan petunjuk Bu Pun Su, kelihaiannya mengagumkan orang.
Akan tetapi setelah Kam Kin mencabut golok, Kim Lian tak berani lagi berlaku main-main. Gerakan golok
Kam Kin benar-benar amat berbahaya dan kuat, tidak seharusnya dilawan dengan main-main.
Berbeda dengan Im Giok yang sudah bermain pedang, Kim Lian mendapat pelajaran ilmu silat tangan
kosong secara lebih mendalam. Gadis ini memang memiliki bakat yang besar sekali untuk menggerakgerakkan
tangan kakinya, karena itu Kiang Liat Si Dewa Tangan Seribu memberi pelajaran ilmu silat tangan
kosong secara tekun kepada muridnya ini.
Menghadapi rangsekan golok Kam Kin, gadis ini segera mengeluarkan ilmu silatnya dan mainkan gerak
tipu ilmu silat tangan kosong yang disebut Kong-jiu Sin-i (Tangan Kosong Menyambut Hujan). Kedua
lengannya dipentang, demikian pula sepuluh jari tangannya dipentang dan bergerak-gerak seakan-akan
orang menari, akan tetapi gerakan sepasang lengan itu demikian lemas dan tak terduga seperti dua ekor
ular, ada pun jari-jari tangan itu masing-masing merupakan alat penotok jalan darah yang amat berbahaya.
Dalam beberapa kali gebrakan pertama saja, jalan darah di pergelangan lengan, siku dan pundak kanan
Kam Kin hampir saja menjadi korban! Kam Kin terkejut sekali dan ia cepat berlaku hati-hati, maklum bahwa
dia sedang menghadapi seorang gadis cantik jelita yang benar-benar lihai.
Pada jurus ke tiga puluh, terdengar Kim Lian menjerit nyaring, “Monyet tua, pergilah!”
Jari-jari tangan kiri Kim Lian menyambar cepat sekali, menangkis serangan golok dengan mendahului
kecepatan lawan dan menyampok pergelangan tangan kanan Kam Kin yang memegang golok. Pada saat
itu juga, jari-jari tangan kanan bergerak menusuk muka dan kaki kiri menyusul cepat menendang lutut!
Kam Kin terkejut sekali karena tidak mengira bahwa lawannya akan bergerak secepat itu dan berani
menyampok pergelangan tangannya, kemudian mendadak jari tangan kanan gadis itu sudah menusuk dan
hampir saja matanya menjadi korban. Cepat ia membuang tubuh bagian atas ke belakang untuk dapat
menyelamatkan mukanya, akan tetapi segera serangan kaki Kim Lian sudah mengenai sasaran.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kam Kin berseru kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang, jatuh bergebruk kemudian merintih-rintih
karena sambungan tulang lututnya sudah terlepas! Anak buahnya cepat menolong dan menggotong tubuh
komandan mereka ke pinggir.
Kim Lian tertawa-tawa mengejek, “Monyet tua, mana golok mautmu?”
“Bocah sombong, pergilah!”
Yang berseru ini adalah kakek tua aneh tadi, sambil melangkah maju mendekati Kim Lian yang masih
bertolak pinggang dan tertawa-tawa.
Kim Lian maklum akan kelihaian kakek ini, maka cepat ia mengangkat tangan menangkis ketika melihat
kakek itu menggerakkan ujung lengan bajunya yang panjang ke arahnya. Akan tetapi betapa kagetnya
ketika ujung lengan baju itu bagaikan hidup, tahu-tahu telah membelit lengannya yang menangkis tadi.
Sebelum dia sempat mengatur keseimbangan tubuhnya, ia merasa dirinya dibetot!
Kim Lian mengerahkan lweekang untuk menahan tubuh sambil menarik lengannya akan tetapi tiba-tiba ia
berseru, “Celaka...!”
Tubuhnya terhuyung ke belakang dan pasti akan roboh terjengkang kalau saja Im Giok tidak cepat-cepat
menggunakan kaki mencokel kaki Kim Lian sehingga gadis ini tidak jadi roboh, sebaliknya bahkan tercokel
dan terangkat ke atas!
Ternyata bahwa Ceng-jiu Tok-ong tadi telah mengakali Kim Lian. Ketika melihat gadis itu mengerahkan
tenaga menarik lengan, kakek ini cepat merubah tenaganya, kalau tadinya membetot sekarang dia
mendorong. Tidak heran apa bila Kim Lian lantas terjengkang ke belakang, terbawa oleh tenaga
betotannya sendiri ditambah tenaga dorongan Tok-ong. Gadis ini marah sekali, mukanya merah dan ia siap
hendak menyerang.
“Kakek bangkotan, kau curang!” bentaknya.
“Suci, mundurlah.” Im Giok mencegah dan Kim Lian terpaksa menahan marahnya.
Kemudian Im Giok menghadapi Ceng-jiu Tok-ong dan berkata tenang,
“Kalau tidak salah, Locianpwe ini adalah Ceng-jiu Tok-ong, tokoh yang kenamaan. Akan tetapi aku yang
muda sungguh merasa amat heran kenapa Locianpwe mendiamkan saja, bahkan membela Giam-ong-to
Kam Kin yang sesudah menjadi komandan membiarkan anak-anak buahnya berlaku sewenang-wenang
terhadap rakyat. Aku dan suci-ku sedang bermain-main di hutan ini dan tadi kami melihat banyak tentara
melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang tidak berdosa. Oleh karena itu, tanpa
mengetahui bahwa tentara ini adalah anak buah Giam-ong-to Kam Kin, kami membela rakyat dan
melakukan pembasmian. Sekarang kedatangan Locianpwe ke sini membawa sisa tentara mempunyai niat
apakah?”
“Bocah, kau benar-benar menggemaskan. Kalau kau bukan murid Pek Hoa, agaknya aku akan mengagumi
kata-katamu, sebagai seorang bocah kau ternyata memiliki pandangan yang luas dan kata-kata yang
teratur baik. Akan tetapi kau adalah murid Pek Hoa, berarti kau adalah cucu muridku sendiri. Bagaimana
sekarang kau berani sekali bersikap begini kurang ajar kepadaku? Andai kata sekarang juga kau
menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun, belum tentu aku mau memberi ampun. Sikapmu sudah jauh
melampaui batas. Mengapa?”
“Locianpwe, jangan salah sangka. Aku yang muda cukup mendapat didikan ayahku, tak nanti berani
bersikap kurang ajar tanpa alasan. Pek Hoa Pouwsat bukan guruku yang sesungguhnya karena aku telah
diculiknya dari orang tuaku, oleh karena itu aku pun tidak mungkin mengakui kau sebagai sucouw.”
“Suhu, bocah kurang ajar macam ini lebih baik lekas-lekas ditangkap saja, dia dan gadis liar satunya itu
sudah membunuh banyak anggota tentara, mereka adalah pemberontak-pemberontak yang berbahaya!”
tiba-tiba Kam Kin berteriak dari tempatnya.
Ia telah dirawat oleh anak buahnya, akan tetapi masih belum dapat berdiri, hanya duduk di atas rumput di
kelilingi oleh anak buahnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, kau telah melakukan pelanggaran besar-besaran. Lebih baik kau dan suci-mu itu menyerah saja
untuk kami jadikan tangkapan,” kata Ceng-jiu Tok-ong kepada Im Giok.
Agaknya dia merasa sungkan untuk turun tangan terhadap seorang gadis yang demikian muda. Betapa pun
juga, dia adalah seorang tokoh kang-ouw yang besar, seorang dengan kedudukan atau tingkat tinggi,
karena itu dia agak segan dan malu untuk bertanding ilmu melawan seorang yang masih setengah bocah,
apa lagi wanita pula.
Im Giok mulai panas hatinya. “Ceng-jiu Tok-ong, apa bila kau menurut saja akan hasutan Giam-ong-to Kam
Kin, terserah saja. Kami telah melakukan perbuatan yang kami anggap sudah sewajarnya dilakukan oleh
pendekar-pendekar pembela rakyat. Kalau kau hendak ikut-ikutan dan mau menangkap kami, silakan,
terpaksa aku yang muda berlaku kurang ajar dan melawanmu!” sambil berkata demikian, Im Giok mencabut
pedangnya dengan gerakan cepat dan gaya yang indah.
Terdengar Ceng-jiu Tok-ong tertawa geli.
“Bocah, kau sungguh-sungguh lucu sekali. Bagaimana kau hendak melawan sucouw-mu sendiri, orang
yang menciptakan ilmu silat yang hendak kau mainkan untuk melawanku?”
“Ceng-jiu Tok-ong, awas serangan pedangku!” bentak Im Giok tanpa mau mempedulikan kata-kata kakek
itu yang dianggapnya tidak keruan.
Ceng-jiu Tok-ong ialah seorang kakek yang memiliki julukan Raja Racun Tangan Seribu. Julukan ini saja
sudah menunjukkan bahwa ia tentu mempunyai ilmu silat yang tinggi dan cepat sehingga seakan akan ia
bertangan seribu. Oleh karena itu, dalam menghadapi Im Giok, ia sengaja bertangan kosong. Apa lagi
kalau Im Giok murid Pek Hoa, bukankah yang akan diperlihatkan juga ilmu silat yang dahulu ia ajarkan
kepada Pek Hoa?
Akan tetapi, baru pada gerakan pertama saja, Ceng-jiu Tok-ong sudah terkejut sekali dan cepat-cepat dia
menggunakan dua ujung lengan baju untuk menangkis serangan pedang Im Giok yang gerakannya amat
tak terduga-duga itu. Kakek ini benar-benar heran sekali.
Melihat gerakan yang indah itu, memang bocah ini hampir sama dengan Pek Hoa kalau bermain pedang.
Akan tetapi, ternyata isi dari pada pedang itu jauh berbeda. Bukan main cepat dan kuatnya, bahkan
sampokan ujung lengan bajunya tidak dapat membikin gadis itu melepaskan pedangnya.
Jurus-jurus berikutnya membuat Ceng-jiu Tok-ong tidak hanya terkejut, akan tetapi juga bingung dan ia
terpaksa melompat ke sana ke mari kalau tidak ingin terluka oleh pedang Im Giok yang luar biasa lihainya.
“Ayaaa, kau lihai juga...!” kata kakek itu.
Pada jurus ke sepuluh Ceng-jiu Tok-ong sudah tidak kuat menghadapi Im Giok dengan tangan kosong. Dia
melompat cepat ke kanan dengan ginkang yang luar biasa, kemudian ketika Im Giok maju mendesaknya,
ternyata kakek ini sudah memegang sebatang golok berwarna hitam kehijauan!
“Bocah, lebih baik lekas kau menyerah. Sayang kalau Ceng-tok-to (Golok Racun Hijau) mengambil
nyawamu yang masih muda,” berkata kakek ini, benar-benar merasa sayang kalau sampai terpaksa ia
membunuh gadis yang demikian muda dan cantik jelitanya.
“Tak usah banyak cakap, monyet bangkotan. Kalau ada kepandaian majulah, kau pasti mampus oleh
sumoi-ku!” teriak Kim Lian yang masih gemas kepada kakek itu.
Timbul amarah di dalam hati Ceng-jiu Tok-ong dan bangkit kembali sifat jahatnya yang dahulu.
“Sumoi-mu ini akan kubunuh lebih dulu, akan tetapi kau... kau akan kuhadiahkan kepada serdadu-serdadu
kasar, siluman cilik!” makinya kepada Kim Lian, kemudian dengan cepat ia menyerang Im Giok dengan
goloknya.
Bagi Im Giok, gerakan golok dari kakek itu tidak begitu hebat dan dengan amat mudah ia menangkis
dengan pedangnya. Akan tetapi, yang membuat Im Giok terkejut adalah bau busuk yang memuakkan
perutnya ketika golok hitam kehijauan itu menyambar.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Celaka,” pikirnya, “golok ini tentu mengandung bisa yang amat jahat.”
Ia mencoba menetapkan hatinya dan cepat membalas dengan serangan hebat. Memang segera terbukti
bahwa setiap serangan pedangnya membuat Ceng-jiu Tok-ong sibuk dan bingung untuk melindungi tubuh,
akan tetapi serangannya makin menjadi lemah.
Sebaliknya lawannya semakin ganas dan gerakan goloknya makin kuat. Kakek ini jelas sekali berusaha
mendekatkan golok dengan muka Im Giok, buktinya ia selalu menyerang kepala dan leher. Hal ini diketahui
pula oleh Im Giok dan gadis ini pun mengerti bahwa lawannya sengaja mendekatkan golok dengan
hidungnya supaya dia mencium bau busuk yang mengandung racun itu!
Meski pun keadaannya semakin berbahaya, Im Giok yang berdarah muda dan panas itu merasa
penasaran. Memang tak mengherankan jika gadis ini merasa penasaran, karena sebetulnya, dalam setiap
pertemuan senjata, ternyata bahwa tenaga lweekang-nya dapat mengimbangi tenaga kakek itu.
Dalam hal ginkang dan kecepatan gerakan tubuh, dia menang jauh dan ilmu pedangnya juga selalu
menindih ilmu golok lawan. Akan tetapi, dia kalah pengalaman, kalah gertak dan hatinya sudah bingung
sekali ketika bau busuk dari golok itu semakin memusingkan kepalanya.
Tiba-tiba terdengar teriakan keras, “Lo-enghiong, harap jangan bunuh dia...! Bunuh saja aku yang tidak
berharga, jangan kau ganggu kedua Lihiap yang budiman itu...!”
Pemuda sastrawan yang tadinya duduk bengong sambil menonton semua itu, tiba-tiba kini menjadi nekat
ketika melihat Im Giok menghadapi kakek yang kelihatannya demikian menyeramkan.
Bagaimana seorang dara sehalus itu akan dapat menang terhadap seorang kakek yang terlihat seperti
iblis? Melihat pemuda itu dengan nekat mendatangi seakan-akan hendak menyerbu dan menyerang Cengjiu
Tok-ong, Kim Lian cepat melompat maju dan sekali jari tangannya digerakkan, pemuda itu telah roboh
terguling dalam keadaan tertotok jalan darahnya.
“Kakek siluman, jangan banyak lagak...!” bentaknya kemudian sambil menyerang dengan golok yang
dipungutnya di atas tanah, yakni salah sebuah di antara senjata-senjata para serdadu yang bergeletak di
situ.
“Suci, hati-hati...!” Im Giok memperingatkan dengan suara yang amat lemah sehingga ia terkejut sendiri.
Kenapa suaranya hampir habis? Ia tidak tahu bahwa dirinya telah banyak terpengaruh oleh racun yang
keluar dari golok lawannya.
Mendengar suara yang aneh dan amat perlahan dari Im Giok, Kim Lian merasa kaget dan mengerling ke
arah sumoi-nya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ceng-jiu Tok-ong. Cepat tangan kirinya memukul
ke arah dada Kim Lian. Biar pun pukulan itu dilakukan dari samping, namun amat berbahaya.
Kim Lian yang mendengar suara hawa pukulan dahsyat ini cepat miringkan tubuh sambil menangkis.
Sepasang lengan bertemu, dan Kim Lian menjerit karena lengannya terasa panas sekali sehingga dia
kurang dapat mempertahankan diri dan pukulan lawan masih mampir di pundaknya.
Gadis ini merasa pundaknya panas dan rasa nyeri menusuk jantung. Cepat sekali dia menggulingkan
tubuhnya dan terus bergulingan menjauhkan diri dari kakek yang lihai itu. Ketika meraba pundaknya, ia
kaget melihat baju di bagian pundak sudah robek dan kulit pundaknya ada tanda merah. Juga di
pergelangan lengan yang bertemu dengan lengan kakek tadi, kini telah merah menghitam.
“Celaka, aku terkena racun, Sumoi, kau berhati-hatilah...”
Setelah berkata demikian, Kim Lian bersila dan mengatur napas, mengempos hawa di dalam tubuh untuk
mengusir racun yang mengeram di pundak dan lengannya. Memang inilah satu-satunya cara yang sudah
dia pelajari dari suhu-nya untuk menolak hawa racun itu menjalar makin hebat ke dalam tubuh.
Melihat dan mendengar keadaan suci-nya, Im Giok semakin bingung dan gugup. Baiknya ilmu pedang
gadis ini memang lihai bukan main sehingga biar pun kini hampir tak berani bernapas dan pandang
matanya telah berkunang-kunang, akan tetapi pedangnya secara otomatis masih sanggup melindungi
tubuh dan menangkis setiap serangan golok lawan, bahkan kadang kala masih dapat membalas dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
serangan yang bukan tak berbahaya bagi Ceng-jiu Tok-ong.
“Lihai sekali... mengagumkan...!”
Beberapa kali Raja Racun itu memuji akan ketangguhan Im Giok. Namun, tanpa sedikit pun mengenal
kasihan ia mendesak terus. Ia tidak mau mempergunakan senjata rahasia beracun lainnya karena melihat
dengan golok saja ia sudah dapat mendesak lawannya. Tokoh ini masih malu untuk menggunakan seluruh
kepandaian hanya untuk menjatuhkan seorang bocah.
Setelah Im Giok terdesak betul-betul, tiba-tiba saja terdengar bentakan halus, “Ceng-jiu Tok-ong, sungguh
tak tahu malu engkau! Berani menghina cucu muridku?”
Mendadak tubuh Im Giok terlempar ke samping dalam keadaan bersila! Gadis ini sendiri terheran karena
dia tadi hanya merasa tubuhnya ditarik orang lalu dilemparkan jauh dari lawannya, akan tetapi ia terjatuh
dalam keadaan bersila dengan pedang masih di tangan.
Pada saat membuka mata dan melihat siapa orangnya yang telah menolongnya, Im Giok menjadi girang
bukan main, lalu meletakkan pedang di atas tanah dan bersila meramkan mata mengatur napas untuk
mengusir hawa beracun yang tadi sudah memasuki lubang hidungnya ketika ia bertempur melawan Cengjiu
Tok-ong!
Sementara itu, Ceng-jiu Tok-ong heran sekali melihat lawannya tiba-tiba terlempar jauh, kemudian dia
melihat seorang laki-laki setengah tua telah berdiri di depannya.
Laki-laki ini berpakaian sederhana, sikapnya tenang, rambutnya sudah berwarna dua dan pada
pinggangnya terselip sebatang suling. Melihat sikapnya, Ceng-jiu Tok-ong menduga bahwa dia ini tentulah
seorang tokoh kang-ouw. Oleh karena ia sendiri telah sangat lama meninggalkan kang-ouw, maka dia tidak
berani berlaku sembrono dan berkata membela diri,
“Engkau siapakah, sobat? Gadis liar itu adalah cucu muridku sendiri yang hendak kuberi hajaran, mengapa
engkau mencampuri urusan kami dan mengapa kau berani mengakui dia sebagai cucu muridmu?”
Orang itu tersenyum tenang. “Raja Racun, dalam pengakuanmu tadi ada dua kesalahan. Kau mengakui
gadis ini sebagai cucu muridmu karena kau anggap dia murid Pek Hoa Pouwsat? Kau mimpi, Ceng-jiu Tokong.
Pertama karena gadis ini bukan murid Pek Hoa Pouwsat, melainkan pernah diculiknya dan dipaksa
menjadi muridnya. Ke dua, andai kata benar dia pernah menjadi murid Pek Hoa, kau sekarang kiranya
sudah tak patut mengaku guru Pek Hoa Pouwsat. Kepandaian Pek Hoa Pouwsat agaknya sudah jauh
melampaui kepandaianmu sendiri, orang tua. Kau sudah baik-baik menyembunyikan diri, menjauhi
kepusingan dunia, akan tetapi siapa kira, makin mendekati hari terakhir, kau malah makin lemah. Mudah
dihasut orang, keluar dari tempat pertapaan yang tenang dan damai, lalu membela orang-orang sesat dan
begitu keluar kau bahkan sudah hampir saja membunuh dua orang gadis. Alangkah sesat...!”
Ceng-jiu Tok-ong marah sekali. Betapa pun juga, dia bukan seorang yang takut digertak. Dahulu di waktu
mudanya, hanya terhadap Lima Tokoh Besar saja ia gentar, kalau para tokoh lainnya dia tidak takut!
Akan tetapi, sebelum ia mengutarakan marahnya, tiba-tiba Kam Kin yang mengenal siapa adanya orang
yang baru datang dan menjadi pucat telah berseru keras,
“Suhu, dia itu adalah Bu Pun Su! Dia bukan manusia biasa! Suhu... lari...!”
Setelah berkata demikian, Kam Kin mengajak berlari anak buahnya yang pada ketakutan seakan-akan
seorang penakut melihat setan di tempat sunyi!
Akan tetapi Ceng-jiu Tok-ong belum lama turun dari gunung, belum pernah ia mendengar nama Bu Pun Su.
Oleh karena itu ia tidak takut. Ia menduga bahwa orang ini tentu lihai, maka paling baik mendahuluinya.
Sambil membentak keras ia mengayun tangan kiri dan tiba-tiba sinar hijau menyambar ke arah Bu Pun Su.
“Kau lebih patut menjadi ular, selalu bermain-main dengan bisa!” kata Bu Pun Su sambil menyampok
dengan tangannya.
Sinar hijau itu ternyata adalah jarum-jarum beracun yang secara istimewa dilepaskan oleh Ceng-jiu Tokong.
Akan tetapi Raja Racun tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu menyebar jarumnya, dia telah
dunia-kangouw.blogspot.com
menubruk maju dan menyerang dengan goloknya, sengaja menyerang ke arah hidung Bu Pun Su!
Bu Pun Su memindahkan kaki miringkan tubuh, lalu berkata,
“Manusia ular, lebih baik kau pergi menyusul muridmu!” Kata-kata ini diucapkan sambil tangannya
bergerak.
Tangan kirinya menyampok golok, hal yang amat luar biasa. Kecuali pendekar sakti ini, kiranya tidak ada
orang ke dua yang berani menyampok golok dengan tangan kosong begitu saja, apa lagi kalau golok itu
mengandung racun berbahaya sekali seperti golok yang dipegang oleh Tok-ong! Sementara itu, secepat
kilat sehingga tak terlihat oleh mata, tangan kanannya sudah mencabut suling dan melakukan gerakan
menotok ke arah iga lawannya.
Ceng-jiu Tok-ong hanya merasa betapa separuh tubuhnya pegal dan linu-linu. Sebagai seorang tokoh
persilatan yang sudah mempunyai ilmu silat tinggi, tahulah ia bahwa jalan darahnya telah terkena totokan
lawan dan ia telah mendapat luka di dalam, biar pun luka itu tidak berat akan tetapi ini menandakan bahwa
kini ia menemui guru dalam ilmu silat!
Tanpa banyak cing-cong lagi Ceng-jiu Tok-ong menarik kembali goloknya, segera berlari terpincangpincang
menyusul Kam Kin. Kakinya yang kiri terasa kaku sehingga ia harus berlari terpincang-pincang.
Terdengar suara ketawa cekikikan. Bu Pun Su mengerutkan kening dan menengok ke arah gadis yang
masih bersila akan tetapi menutupi mulutnya yang mungil sambil tertawa cekikikan, telunjuk menunjuk ke
arah Ceng-jiu Tok-ong yang lari terpincang-pincang.
“Monyet bangkotan itu lucu sekali larinya...!” kata Kim Lian.
Gadis itu tadi membuka matanya dan menyaksikan pertandingan hebat antara Ceng-jiu Tok-ong dengan Bu
Pun Su. Kim Lian sudah pernah mendengar nama besar Bu Pun Su yang terhitung masih susiok-couw-nya
sendiri.
Tadinya melihat sikap Im Giok dan Kiang Liat yang selalu takut dan menghormat nama Bu Pun Su ia pun
merasa takut dan mengira bahwa susiok-couw yang bernama Bu Pun Su itu orangnya tentu sangat dahsyat
dan menyeramkan sekali. Akan tetapi siapa nyana, sekarang setelah Bu Pun Su muncul, kiranya orangnya
hanya sedemikian saja, begitu sederhana, seperti seorang petani biasa saja. Maka lenyaplah rasa takutnya
dan gadis ini saking girangnya melihat Ceng-jiu Tok-ong kalah, lalu tertawa-tawa.
“He, kau! Tahan lidahmu yang jahat!” Bu Pun Su menegur marah.
“Suciok-couw, kau tadi telah mengalahkan musuh secara hebat sekali, apakah teecu tak boleh bergirang?”
Kim Lian membantah. Dia melihat wajah Bu Pun Su begitu ramah dan tenang, membayangkan watak yang
sabar sekali, maka ia tidak takut.
“Suci, jangan kurang ajar terhadap Susiok-couw!” Tiba-tiba Im Giok menegur suci-nya. Ia lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan Bu Pun Su sambil berkata,
“Susiok-couw, mohon dimaafkan kelancangan Suci Song Kim Lian.”
Bu Pun Su mengangguk-angguk. Diam-diam ia mengeluh ketika melihat Kim Lian berlutut pula sambil
matanya mengerling dan bibirnya tersenyum manis.
“Hm, bagaimana Kiang Liat bisa mempunyai seorang murid seperti ini?” katanya di dalam hati. Kemudian
katanya dengan suara rendah,
“Hm, ini suci-mu? Jadi ayahmu mempunyai murid? Tidak apa dia lancang asal dia tahu diri. Luka pada
pundak dan lengannya adalah akibat pukulan Ang-tok-jiu (Tangan Racun Merah) dari Tok-ong, siapa
terkena pukulan itu dalam tiga hari kalau tidak mati tentu akan cacad seluruh kulitnya, keluar bintik-bintik
merah akhirnya menjadi bopeng-bopeng. Dia terancam bahaya hebat tapi masih menertawakan orang lain,
sungguh tak tahu diri...”
Alangkah kagetnya Kim Lian mendengar ucapan ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Susiok-couw, tolonglah teecu...,” ratapnya kemudian sambil membentur-benturkan jidat di atas tanah.
“Aku hanya akan menolong nyawamu, akan tetapi tentang bopeng itu...”
Kim Lian menjerit dan menangis sedih. “Susiok-couw, lebih baik teecu mati saja. Biarlah tak usah diobati,
biar teecu mati saja dari pada harus menderita, bopeng seluruh tubuh... alangkah ngerinya...”
“Hanya kalau mukamu jelek kiranya watakmu yang genit ini akan berubah,” kata Bu Pun Su yang dengan
suara dingin. “Sikapmu terlalu genit dan berani, kau sungguh-sungguh memalukan aku yang menjadi
susiok-couw!”
Kini baru tahulah Kim Lian mengapa Im Giok dan Kiang Liat takut terhadap Bu Pun Su. Tak tahunya
pendekar ini mempunyai hati yang keras dan suka sekali menghukum anak muridnya. Ketika ia
mengangkat muka, hatinya berdebar ketakutan melihat sinar mata Bu Pun Su yang demikian tajamnya
menembus dada memeriksa isi hati.
Benar-benar manusia aneh. Kim Lian bergidik. Belum pernah ia melihat sinar mata yang begitu
berpengaruh!
Im Giok segera berkata kepada Bu Pun Su dengan suara memohon, “Susiok-couw, Suci memang bersalah.
Mohon Susiok-couw sudi memberikan ampun. Susiok-couw, seorang gadis yang diandalkan hanyalah
kebersihan muka dan hati, walau pun hati bersih kalau muka kotor dan bopeng, bukankah itu berarti
hancurnya hidup seorang gadis? Karena itu, mohon Susiok-couw menaruh belas kasihan dan sudi
mengobatinya.”
“Lebih baik muka bopeng asal hati bersih, dari pada muka cantik hatinya kotor!” kata pula Bu Pun Su,
suaranya kini menggeledek, membuat Kim Lian gemetar sambil mendekam di atas tanah.
Im Giok tak berani banyak cakap lagi, hanya melirik ke arah suci-nya dengan hati merasa kasihan. Bu Pun
Su melihat semua ini, akan tetapi sebelum sempat ia berkata, pemuda sastrawan yang semenjak tadi
sudah sadar dari totokan ringan dan kini menjatuhkan diri berlutut pula, berkata,
“Boanseng Gan Tiauw Ki memohon kepada Lo-enghiong, sudilah menaruh kasihan dan mengobati Lihiap
yang terkena racun. Lihiap sudah melakukan perbuatan gagah berani, kasihanilah kalau sampai menderita
hidupnya. Kalau bisa, biarlah boanseng mengoper racun itu dan biar boanseng menjadi cacat untuk
membalas budinya.”
Mendengar permintaan pemuda sastrawan yang bersedia menggantikan hukuman yang menimpa diri Song
Kim Lian, Bu Pun Su mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada pemuda itu. Akan tetapi, Gan
Tiauw Ki menentang pandang mata ini dengan tabah dan tidak takut-takut, karena memang pemuda ini rela
untuk membalas budi Kim Lian.
“Hmm, kau tidak mengecewakan menjadi seorang terpelajar,” kata Bu Pun Su, pandang matanya melunak.
“Baiklah, setelah dua orang memintakan ampun, biar aku sembuhkan dia. Kau maju ke sini!” katanya
kepada Kim Lian yang maju dengan sikap takut-takut.
Bu Pun Su menggerakkan kedua tangan ke arah pundak dan lengan Kim Lian yang tadi terkena pukulan
Ceng-jiu Tok-ong. Terlihat uap putih mengepul dan bergerak menyambar ke arah dua bagian tubuhnya,
terutama sekali pada bagian yang terluka oleh racun. Rasa panas hampir tak dapat ditahannya sampai
mukanya menjadi merah sekali dan berpeluh.
Bu Pun Su menarik kembali dua tangannya. “Sudah sembuh, sudah sembuh...,” katanya perlahan.
Kim Lian berlutut menghaturkan terima kasih. Akan tetapi Bu Pun Su justru mengeluarkan kata-kata
ancaman, “Sebagai murid Kiang Liat, kau telah mewarisi kepandaian yang pada dasarnya datang dari aku.
Oleh karena itu, berhati-hatilah kau menjaga gerak-gerik dan perbuatanmu. Aku sendiri yang akan
menghukum anak murid yang menyeleweng!”
Kemudian Bu Pun Su menoleh kepada Gan Tiauw Ki dan bertanya secara tiba-tiba.
“Bukankah surat kaisar untuk Suma-huciang berada di tanganmu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiauw Ki sebetulnya kaget bukan main, akan tetapi pemuda ini tidak kelihatan berubah air mukanya,
bahkan dengan tabah ia menatap wajah Bu Pun Su.
“Kepada Lo-enghiong yang menjadi susiok-couw dari kedua orang Lihiap ini, boanseng tentu saja tak
berani berbohong. Akan tetapi, mengenai pertanyaan tadi, harap maafkan, boanseng tidak dapat
menjawab.”
Kim Lian mengangkat mukanya, memandang dengan kening berkerut. Alangkah kurang ajarnya pemuda
itu, pikirnya marah. Kalau saja ia tidak takut kepada Bu Pun Su, tentu ia telah beri hajaran kepada pemuda
itu.
Juga Im Giok mengerling ke arah Tiauw Ki dengan pandang mata heran. Akan tetapi, anehnya, Bu Pun Su
sendiri tidak menjadi marah, bahkan sebaliknya pendekar sakti ini mengangguk-angguk dengan muka
puas.
“Bagus, bagus! Tidak percuma kau menjadi orang kepercayaan Kaisar, Gan-sicu! Tidak usah kau takuttakut
dan merasa curiga, kau boleh ketahui bahwa mendiang Menteri Lu Pin adalah kakekku.”
Mendengar ini, Gan Tiauw Ki lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su.
“Mohon Lo-enghiong sudi memaafkan boanseng yang kurang ajar. Memang sebenarnya boanseng yang
telah menerima tugas itu dan boanseng betul-betul kagum sekali melihat Lo-enghiong yang begitu
waspada. Untuk selanjutnya boanseng yang bodoh hanya dapat mengharapkan petunjuk dari Loenghiong.”
“Sesungguhnya, mana aku tahu mengenai urusan ini? Hanya secara kebetulan saja aku mendengar bahwa
Kaisar sudah mengirimkan utusan untuk menghubungi Suma-huciang di Tiang-hai. Di antara mereka yang
terbunuh oleh tentara Gubernur Lie Kong, hanya kau yang kelihatan paling cerdik dan mempunyai pribadi.
Kebetulan pula kau seorang yang selamat, maka aku menduga tentu kau yang menjadi utusan itu.”
“Jadi mereka yang menyerang tadi adalah pasukan dari Gubernur Lie Kong?” pemuda itu bertanya dengan
muka kaget.
“Apa kau kira Lie Kong demikian bodoh sehingga tidak tahu akan gerak-gerik Kaisar?” Bu Pun Su tertawa,
“Bocah she Gan, hanya satu yang belum kau punyai, yakni pengalaman. Kau tentu tak pernah menyangka
bahwa di antara orang-orang yang terlihat setia kepada Kaisar, yang tiap hari dekat dengan Kaisar di
istana, terdapat kaki tangan pemberontak!”
Sekarang Gan Tiauw Ki benar-benar terkejut dan mukanya berubah. “Kalau begitu, tugas boanseng masih
belum terlepas dari bahaya. Boanseng sendiri tidak takut akan bahaya yang dapat menimpa diri boanseng,
akan tetapi surat ini... boanseng mohon petunjuk dari Lo-enghiong...”
“Kau harus dikawal sampai Tiang-hai. Im Giok, sekarang tiba saatnya kau menggunakan kepandaian yang
selama ini kau pelajari guna kebaikan. Tugas yang dipegang Gan-siucai ini bukan urusan kecil dan kaulah
yang kutugaskan mengawalnya sampai ke Tiang-hai. Aku sendiri yang akan memberi tahukan hal ini
kepada ayahmu. Nah, berangkatlah kalian berdua!”
Kiang Im Giok memang takut dan tunduk kepada susiok-couw ini dan pula... tidak dapat disangkal lagi
bahwa hatinya berdebar girang tercampur jengah menerima tugas ini. Dia sejak tadi sudah amat tertarik
pada pemuda yang tampan ini, dan sekarang ia ditugaskan untuk mengawalnya ke Tiang-hai, berarti dia
akan melakukan perjalanan sedikitnya tiga hari bersama pemuda itu!
“Teecu mentaati perintah Susiok-couw,” katanya sambil menundukkan mukanya.
“Berangkatlah dan ingat, bila sampai pemuda ini terbunuh orang, itu masih belum hebat, akan tetapi jagalah
baik-baik supaya surat yang berada di saku baju dalamnya jangan sampai dicuri orang!”
“Baik, susiok-couw, teecu akan ingat dan menjaga surat itu baik-baik.”
Im Giok lalu menghampiri kudanya. “Suci, biar kudamu dipakai oleh Gan-siucai.”
Kim Lian tersenyum akan tetapi tak berani mengeluarkan kata-kata sembrono di hadapan Bu Pun Su, maka
dunia-kangouw.blogspot.com
ia hanya berkata, “Baiklah, Sumoi, memang Gan-siucai habis terluka dan lemah, harus melanjutkan
perjalanan naik kuda.”
Gan Tiauw Ki buru-buru berkata, “Tidak usah, Lihiap. Mana berani aku mengganggu dan memakai kuda
Lihiap? Habis Lihiap sendiri mau naik apa? Tidak usahlah, biarkan aku berjalan kaki saja...”
Tentu saja Tiauw Ki merasa amat sungkan untuk memakai kuda Kim Lian, karena meski pun gadis itu
seorang pendekar gagah, tetapi tetap saja Kim Lian adalah seorang wanita. Mana patut seorang laki-laki
mengambil kuda seorang gadis dan membiarkan gadis itu berjalan kaki?
Bu Pun Su yang melihat semua ini lalu berkata, “Gan-siucai, tidak usah sungkan-sungkan dalam saat
seperti ini. Kau pakailah kuda itu dan cepat berangkat!”
Mendengar ini, Gan Tiauw Ki tak berani membantah lagi. Ia menjura kepada Bu Pun Su, lalu kepada Kim
Lan. Setelah itu ia lalu menunggangi kuda Kim Lan. Biar pun gerakannya lemah, namun dapat dilihat
bahwa dia sudah biasa menunggang kuda.
Hal ini melegakan hati Im Giok. Karena kalau pemuda itu tidak biasa menunggang kuda, nanti bisa repot
juga di jalan! Sesudah Im Giok memberi hormat kepada Bu Pun Su dan berpamit kepada Kim Lian, ia lalu
berangkat bersama Tiauw Ki.
Di dalam perjalanan ini, Tiauw Ki secara terus terang menuturkan segala sesuatu yang berhubungan
dengan tugasnya kepada pengawalnya yang cantik jelita itu. Dan penuturan Tiauw Ki singkatnya sebagai
berikut…..
Semenjak pemberontakan dari perusuh An Lu Shan, Sie Su Beng dan yang lain-lain bisa dihancurkan
kemudian ibu kota Tiang-an jatuh kembali kepada Kerajaan Tang, keadaan di seluruh negeri sudah tidak
seperti biasa lagi. Kembalinya pasukan-pasukan Tang yang merebut kota raja bukanlah atas kekuatan
sendiri, akan tetapi dengan bantuan dari suku bangsa-suku bangsa dari utara dan barat, terutama sekali
mendapat bantuan dari suku bangsa Uigur yang terkenal kuat dan gagah berani.
Setelah pasukan pemberontak dihancurkan, para pembantu ini merasa keenakan tinggal di Tiongkok dan
tidak mau keluar lagi, bahkan mereka ini memperebutkan harta benda dan kekuasaan. Negara menjadi
kacau balau, keamanan tidak terjamin lagi dan di sana sini para pembesar hidup laksana raja kecil. Banyak
gubernur dari propinsi-propinsi yang berjauhan dari kota raja, mulai tidak taat lagi kepada Kaisar.
Bahkan lambat-laun Kaisar hampir hilang pengaruhnya dan sering kali harus menurut apa yang diusulkan
oleh para gubernur, yang sesungguhnya bukan merupakan usul lagi akan tetapi lebih mendekati perintah!
Kaisar seakan-akan menjadi boneka belaka, sedangkan yang berkuasa adalah para pembesar tinggi yang
memiliki pasukan-pasukan kuat.
Betapa pun juga, sampai begitu jauh belum ada pembesar yang secara terang-terangan berani menentang
Kaisar, karena masih banyak juga pembesar-pembesar yang setia kepada Kaisar. Sebetulnya kesetiaan ini
bukan karena memandang kepada Kaisar, akan tetapi kepada Kerajaan Tang sendiri.
Para pembesar dan juga rakyat memang setia terhadap pemerintah Tang dan apa pun juga yang menjadi
alasan, mereka ini tak akan membiarkan orang memberontak terhadap pemerintah Tang. Oleh karena itu,
Kaisar juga tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan Kaisar menghubungi pembesar-pembesar yang setia
untuk dapat berjaga-jaga terhadap pemberontakan yang mungkin timbul.
Gan Tiauw Ki adalah seorang siucai yang baru saja lulus dalam ujian di kota raja. Dia merupakan putera
seorang janda petani di dusun Lee-siang-chung di Propinsi Hok-kian. Semenjak kecilnya dia memang amat
rajin belajar. Waktunya sejak kecil sampai dewasa dihabiskan untuk mempelajari semua buku-buku kuno
hingga akhirnya dengan mendapat dukungan ibunya yang bangga melihat puteranya, Gan Tiauw Ki
berangkat ke kota raja untuk mengikuti ujian yang diadakan setiap tahun.
Selain pandai ilmu kesusastraan, di dalam dada pemuda ini menyala api cinta bangsa dan cinta negara
yang amat besar. Oleh karena itu, dalam menempuh ujian, ia mendapat angka tertinggi sehingga pembesar
tua yang menjadi ko-khoa (kepala examinator) kagum sekali.
Kemudian, sesudah pemuda ini ditanya asal-usulnya, jawaban-jawabannya bersemangat sehingga
pembesar itu membawanya ke depan Kaisar. Memang Kaisar telah memesan kepada ko-khoa ini supaya
dunia-kangouw.blogspot.com
mencarikan seorang kepercayaan yang setia, bersemangat, dan pandai.
Demikianlah, setelah diuji dengan banyak pertanyaan oleh Kaisar yang ingin mengetahui isi hatinya, Gan
Tiauw Ki lalu diangkat menjadi utusan Kaisar untuk menghubungi para pembesar dan gubernur-gubernur di
daerah lain yang masih setia kepada Kaisar. Bahkan pemuda ini kadang-kadang mendapat tugas untuk
menghubungi gubernur-gubernur yang tidak tunduk kepada Kaisar untuk mencoba membujuknya.
Sekali ini Gan Tiauw Ki mendapat tugas dari Kaisar untuk menyampaikan surat kepada Suma Huciang,
seorang berpangkat huciang di kota Tiang-hai. Dan dalam perjalanan ini, sebagaimana telah dituturkan
pada bagian depan, Gan Tiauw Ki yang menyamar sebagai pengungsi dan melakukan perjalanan bersama
para pengungsi lain, sudah dihadang dan hampir saja menjadi korban keganasan para tentara
pemberontak, yakni tentara di bawah perintah gubernur Liok yang tidak tunduk kepada Kaisar, dan pasukan
ini dipimpin oleh Giam-ong-to Kam Kin yang dibantu oleh suhu-nya, yakni Ceng-jiu Tok-ong.
Begitulah penuturan Gan Tiauw Ki pada Im Giok dalam perjalanan mereka ke Tiang-hai. Makin lama
mereka bercakap-cakap, makin tertariklah Im Giok kepada pemuda ini. Di lain pihak, Tiauw Ki juga kagum
dan tertarik sekali kepada Ang I Niocu sehingga biar pun bibir mereka tak mengeluarkan sepatah kata pun
mengenai perasaan hati mereka dan bahkan sinar mata mereka selalu hendak menyembunyikan pancaran
rasa hati karena keduanya adalah orang-orang muda yang sopan.
Akan tetapi mereka sama-sama tahu apa yang terkandung dalam hati masing-masing…..
********************
Kita tunda dulu perjalanan sepasang teruna remaja yang baru pertama kali dibuai asmara ini, dan mari kita
menengok keadaan Giok Gan Niocu Song Kim Lian yang ditinggalkan oleh Kiang Im Giok dan berada
bersama Bu Pun Su. Kakek ini setelah melihat Im Giok pergi dengan Tiauw Ki, lalu berkata kepadanya
dengan suara kereng,
“Nah, sekarang kau boleh pulang. Cepat-cepatlah kau pulang ke rumah gurumu, jangan menyeleweng ke
mana-mana!”
Hati Kim Lian tak senang sekali mendengar ucapan kasar ini, karena biar pun dia hanya murid Kiang Liat,
namun biasanya dia diperlakukan dengan manis. Akan tetapi dia dapat berbuat apakah? Bahkan untuk
menjawab saja ia tak sempat sebab tahu-tahu berkelebat bayangan yang membuat ia terkesiap dan terasa
angin menyambar. Ketika ia membuka mata, kakek sakti itu telah lenyap dari situ!
Kim Lian menghela napas dan berkata seorang diri,
“Hebat sekali kepandaian Susiok-couw Bu Pun Su, seperti bukan manusia saja.”
Ia bergidik kalau mengingat sinar mata yang mengandung ancaman pada saat kakek itu memandangnya.
Sinar mata itu begitu berpengaruh dan agaknya segala kehendak kakek itu tidak mungkin ditentang. Maka
ia segera cepat melangkah, kemudian di lain saat dia sudah berlari cepat yang jauh melampaui kepandaian
ahli-ahli silat biasa.
Bahkan ilmu lari cepatnya sudah mengimbangi kepandaian gurunya sendiri sungguh pun harus ia akui
bahwa ia masih kalah kalau dibandingkan dengan kepandaian Im Giok. Ini pun tidak begitu mengherankan
karena Im Giok berlatih sejak kecil, sedangkan dia baru belajar ilmu silat setelah dewasa. Kalau tidak
demikian halnya, seandainya ia pun berlatih sejak kecil dan sama lamanya dengan Im Giok, belum tentu
sumoi-nya itu akan dapat mengalahkannya. Dalam hal bakat, kecerdikan, dan ketekunan, kiranya Kim Lian
tidak kalah oleh Im Giok.
Kali ini Kim Lian benar-benar heran dan kagum sekali melihat kelihaian susiok-couw-nya. Meski pun ia
sudah pergunakan ilmu lari cepat yang tak sembarang orang dapat imbangi, ketika ia tiba di rumah gurunya
di Sian-koan, ternyata Bu Pun Su sudah berada di situ, bercakap-cakap dengan Kiang Liat! Dan begitu
datang dengan kulit muka agak merah dan peluh tipis membasahi jidat dan lehernya, Bu Pun Su sudah
menegurnya,
“Kau harus banyak berlatih lari, jangan menunggang kuda saja! Ilmu lari cepat Yan-cu Hui-po yang kau
lakukan tadi masih jauh dari sempurna!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kim Lian kaget sekali. Kakek ini berlari lebih dulu, bagaimana bisa tahu tentang ilmu lari cepatnya?
Memang benar tadi ia menggunakan ilmu lari Yan-cu Hui-po ajaran suhu-nya. Melihat suhu-nya juga
bersikap sangat hormat kepada Bu Pun Su, Kim Lian cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Teecu yang bodoh mohon petunjuk Susiok-couw.”
Sikap ini menyenangkan hati Bu Pun Su, maka setelah menarik napas panjang kakek sakti ini berkata,
“Ketahuilah, dulu gurumu ini menerima Yan-cu Hui-po dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng. Ilmu lari
cepat Yan-cu Hui-po (Lari Terbang Burung Walet) ini adalah ciptaan dari tokoh besar wanita Kiu-bwe Coa-li
dan merupakan ilmu lari cepat yang tingkatnya tinggi sekali di dunia persilatan. Kau secara kebetulan telah
menjadi cucu muridku, oleh karena secara kebetulan pula gurumu ini menjadi murid atau murid
keponakanku. Jadi, selain mewarisi ilmu-ilmu yang berasal dari aku, kau telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi
warisan keluarga Kiang, ditambah pula warisan dari aku dan sute-ku Han Le. Oleh karena itu, selain kau
harus tekun dan rajin agar ilmu-ilmu silat yang bersih dan tinggi itu dapat kau kuasai sebaiknya, juga kau
harus selalu menjaga agar kepandaian itu tidak dipergunakan untuk jalan sesat.”
“Teecu akan memperhatikan segala petunjuk dari Susiok-couw,” jawab Kim Lian dengan suara perlahan.
“Nah, sekarang mundurlah, aku hendak bicara dengan gurumu.”
Kim Lian lalu mengundurkan diri. Hatinya ingin sekali mengetahui apakah gerangan yang hendak
dibicarakan oleh guru besar ini dengan gurunya. Tetapi tentu saja dia tidak berani mengintai. Dengan
kepandaian setinggi itu, susiok-couw-nya tentu akan mengetahui jika diintai orang.
Maka Kim Lian tak berani muncul dan mengaso di dalam kamarnya, lalu membayangkan peristiwa yang
baru terjadi. Di dalam hatinya ia merasa iri sekali terhadap Im Giok.
“Dia untung,” pikirnya, “melakukan perjalanan dengan sastrawan muda yang tampan itu. Tentu
menyenangkan sekali...“
Gadis ini lalu merebahkan diri, melamun jauh, membayangkan pemuda-pemuda tampan yang pernah
dilihatnya, kadang-kadang tersenyum manis seorang diri dan akhirnya dia pun tertidur…..
********************
“Kiang Liat, kulihat anak perempuanmu Im Giok itu mempunyai bakat baik dan semangat besar. Dia boleh
diharapkan,” kata Bu Pun Su setelah Kim Lian mengundurkan diri. “Juga muridmu ini bakatnya amat bagus,
aku tidak menyalahkan engkau menurunkan pelajaran kepada seorang yang demikian baik bakatnya.
Hanya aku merasa khawatir sekali kalau melihat sifat-sifatnya. Aku tidak hendak mendahului Thian, akan
tetapi kelak mungkin sekali muridmu ini akan menimbulkan hal-hal yang mencemarkan nama baik kita.
Oleh karena itu, kau harus berhati-hati mengawasi tingkah lakunya dan gerak-geriknya.”
Sebetulnya, Kiang Liat sama sekali tidak ada nafsu untuk memikirkan hal-hal lain kecuali mengenangkan
isterinya yang sampai sekarang sering kali terbayang dan seperti hidup di depan matanya. Sudah semenjak
lama sekali Kiang Liat seakan-akan menjadi pertapa, menjauhkan urusan dunia dan tak peduli akan segala
sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Akan tetapi sekarang ia berhadapan dengan Bu Pun Su, orang yang
paling disegani di dunia ini, terpaksa ia menjawab,
“Baiklah, Supek. Akan teecu perhatikan.”
Bu Pun Su menarik napas panjang. Kakek ini mempunyai penglihatan dan pendengaran yang luar biasa
tajamnya. Sekali saja mendengar suara Kiang Liat, dapatlah ia menduga apa yang menjadi isi hati Kiang
Liat.
“Kiang Liat, tak kusangka batinmu demikian lemah sehingga sampai sekarang kau masih terus menghukum
diri, menyesali perbuatan sendiri secara berlebihan dan menyedihkan sesuatu yang sudah lewat.
Perbuatan salah tak cukup disesalkan dengan jalan menyiksa diri sendiri, akan tetapi bahkan sedapat
mungkin harus ditebus dengan perbuatan baik sebanyak mungkin dan membatasi diri sedapatnya agar
jangan lagi menyeleweng seperti yang sudah-sudah. Obat hati luka tidak dapat kau temukan di dalam
kamar. Dengan jalan bersunyi, justru sakit di hati makin parah. Kau kurang pandai menghibur diri sendiri.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiang Liat menundukkan mukanya dan mengeraskan hatinya agar matanya yang mulai panas itu jangan
sampai mengeluarkan air.
“Teecu sudah melakukan dosa besar terhadap seorang wanita mulia, bagaimana teecu tidak akan merasa
sedih selalu? Rasanya teecu rela dihukum mati untuk menebus dosa.”
Tiba-tiba saja Bu Pun Su tertawa, suara ketawanya nyaring sehingga biar pun Kiang Liat sudah tahu bahwa
supek-nya ini mempunyai watak yang aneh sekali, namun tetap saja ia terheran. Keadaannya amat
menyedihkan, patutkah ditertawakan?
“Ha-ha-ha, bocah tolol! Manusia di dunia ini siapakah yang takkan mampus? Akan tetapi banyak sekali
jalan ke arah kematian dan di antara sekian banyaknya cara untuk mati, kiraku cara mati bersedih di dalam
kamar bukanlah cara yang baik, apa lagi bagi seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Banyak sekali
cara untuk melewati hidup dan untuk menanti datangnya maut yang pasti akan tiba, kenapa memilih cara
rendah? Mati ngenes adalah kematian yang hina. Kau sudah mempelajari ilmu dan mengutamakan
kegagahan, mengapa tidak mencari kematian yang gagah? Mengapa tidak menumpas musuh besar dalam
hati sendiri dengan terjun ke dunia ramai dan menumpas kejahatan?”
“Teecu tidak punya semangat, tidak punya nafsu, dan pula, teecu harus berada di rumah untuk mendidik Im
Giok dan Kim Lian.”
“Mereka sudah cukup pandai. Kiang Liat, kebetulan sekali aku datang ini untuk memberi tugas kepadamu.
Tugas yang penting demi kepentingan negara. Kau tentu senang kalau mati dalam melakukan tugas ini,
berarti mati dalam perjuangan selaku seorang patriot, bukan?”
Karena dibakar dengan kata-kata bersemangat, timbul kegembiraan di dalam hati Kiang Liat yang sudah
hampir kering.
“Tugas apakah, Supek? Tentu teecu siap sedia menerima perintah Supek.”
“Bagus! Sekarang dengarlah baik-baik.”
Bu Pun Su lalu menceritakan mengenai keadaan negara. Betapa banyak gubernur yang kini membelakangi
pemerintah dan betapa pendatang-pendatang asing, yakni suku-suku bangsa yang dulu membantu
pemerintah mengusir pemberontak An Lu Shan, sekarang merajalela, dan betapa sukar dan lemahnya
kedudukan Kaisar.
Di mana-mana timbul gejala pemberontakan, dan di propinsi yang jauh dari kota raja, para pembesar saling
bermusuhan sebab ada yang pro dan ada yang kontra pemerintah. Demikian pula kedudukan orang-orang
gagah di dunia kang-ouw yang menjadi goncang. Mereka terpecah belah karena terpengaruh oleh
gubernur-gubernur atau para pemimpin pemberontak di daerah masing-masing.
Bu Pun Su adalah keturunan keluarga Lu yang sejak dulu terkenal sebagai patriot-patriot sejati dan
pembesar-pembesar yang setia kepada negara. Biar pun Bu Pun Su hanyalah cucu angkat dari Menteri Lu
Pin, akan tetapi kiranya semangat serta jiwa kepahlawanan ikut mengalir pula di dalam tubuhnya sehingga
kakek sakti ini tidak tega melihat keadaan negara yang demikian kalut (baca Pendekar Sakti).
“Demikianlah, Kiang Liat,” katanya sambil menghela napas. “Negara sangat kalut, perang saudara
mengancam, perpecahan di antara orang-orang gagah berada di ambang pintu. Kalau sampai semua ini
meletus, yang menderita tak lain hanyalah rakyat jelata. Negara kalut, keamanan tak terjamin, maka orangorang
jahat muncul merajalela dan mengacau kehidupan rakyat kecil. Apa bila timbul perang, rakyat pula
yang menderita, terpukul dari kanan kiri. Apa lagi bila dibayangkan perpecahan yang akan terjadi di antara
orang-orang gagah, benar-benar menyedihkan sekali. Oleh karena itu, aku mengambil prakarsa untuk
mengadakan pertemuan orang-orang kang-ouw di puncak Bukit Kauw-san. Aku hendak mengajak mereka
membela negara dan mencegah timbulnya perang saudara yang pasti takkan pernah ada habisnya, melihat
betapa banyak orang yang hendak memperebutkan kedudukan dan kekuasaan. Hanya kau beserta gurumu
Han Le yang kiranya akan dapat membantuku.”
“Bagaimana teecu dapat membantu Supek?” tanya Kiang Liat.
“Ancaman yang paling hebat bagi negara kita adalah bahaya yang datang dari utara dan barat. Karena itu,
untuk membendung pengaruh ini, kita harus menghubungi tokoh-tokoh Kun-lun-pai dan Thian-san di barat,
dunia-kangouw.blogspot.com
juga tokoh-tokoh Gobi-san di utara. Kau wakililah aku pergi ke Go-bi-pai di utara dan berikan suratku
kepada Twi Mo Siansu Ketua Go-bi-pai. Aku sendiri hendak mencari Han Le dan menyuruhnya pergi
kepada Thian It Cinjin di Thian-san, sedangkan aku akan pergi ke Kun-lun-pai menemui Keng Thian
Siansu.”
Kiang Liat menerima baik perintah ini. Memang ia pun sudah amat rindu akan dunia luar kampungnya.
Setelah membuatkan surat untuk Ketua Go-bi-pai Bu Pun Su minta kepada Kiang Liat supaya segera
berangkat.
“Kau tak usah menanti datangnya Im Giok karena ia sedang mengantar utusan Kaisar ke Tiang-hai. Kalau
dia datang, Kim Lian dapat memberi tahu kepadanya ke mana kau pergi. Pertemuan yang kurencanakan itu
akan terjadi tiga bulan lagi, maka kita harus bekerja cepat.”
Maka berangkatlah Kiang Liat menuju ke utara, ke Go-bi-san yang jauh. Ada pun Bu Pun Su, sesudah
meninggalkan pesan kepada Kim Lian supaya berhati-hati menjaga rumah, lalu pergi menuju ke Pulau Pekle-
to mencari Han Le…..
********************
Dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi, beberapa pekan kemudian Bu Pun Su telah tiba di
pesisir Pulau Pek-le-to. Alangkah kagetnya ketika ia mendaratkan perahu, ia melihat jenazah tiga orang
menggeletak di pinggir laut. Dan lebih-lebih terkejut hatinya ketika ia mengenal jenazah-jenazah itu, yakni
Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan ketiga Cin Giok Sianjin tokoh
Kun-lun-pai! Agaknya belum lama mereka ini tewas, paling lama dua hari.
“Omitohud...!” Bu Pun Su berseru kaget dan cepat ia memeriksa.
“Celaka...!” serunya sambil melompat mundur pada waktu ia mendapat kenyataan bahwa ketiga orang ini
semua mempunyai bekas pukulan ilmu Pek-in Hoat-sut!
Ia tahu bahwa di dunia ini yang memiliki ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut hanya dia sendiri, sedangkan Han Le
juga dapat, akan tetapi hanya beberapa bagian setelah mempelajari gambar-gambar di dalam goa.
Ia terkejut sekali karena tahu bahwa tiga orang ini telah bertempur dan terluka oleh Han Le. Terang bahwa
mereka ini dirobohkan oleh Han Le, sungguh pun mereka tewas bukan karena pukulan itu, akan tetapi
karena tikaman pedang yang tepat menembus pada ulu hati mereka.
“Tokoh-tokoh Kun-lun dan Siauw-lim dimusuhi oleh Han Le? Apa artinya ini?” Bu Pun Su menjadi cemas
memikirkan sute-nya, maka cepat ia berlari ke tengah pulau mencari Han Le.
Han Le tidak berada di dalam goa. Bu Pun Su mencari terus dan akhirnya dia melihat pemandangan yang
membuat wajahnya menjadi pucat, hampir saja ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri sehingga Bu
Pun Su sejenak berdiri terpaku, memandang ke arah dua orang yang duduk di bawah pohon. Apa yang
dilihatnya?
Han Le sedang rebah telentang di atas rumput, dan kepalanya terletak di atas pangkuan seorang wanita
yang cantik jelita yang dikenalnya sebagai Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat! Sambil menundukkan muka dan
membisikkan kata-kata rayuan, Pek Hoa membelai-belai rambut kepala Han Le yang setengah tertidur.
Melihat ini, timbullah amarah di dalam hati Bu Pun Su. Juga berbareng terbayanglah di depan matanya
peristiwa dahulu ketika ia terjerumus ke dalam perangkap Wi Wi Toanio. Juga dia pernah tergila-gila dan
roboh oleh kecantikan wanita, pernah menurutkan nafsu hati dan lupa diri, melakukan hal yang amat
rendah memalukan.
Akan tetapi, dengan Wi Wi Toanio ia hanya melakukan kebodohan, bukan kejahatan. Ia tidak membunuh
siapa-siapa, sedangkan Han Le, tak salah lagi, tentu Pek Hoa siluman wanita yang cantik itu sudah
membujuk Han Le untuk merobohkan tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Kun-lun!
“Han-sute...!” Bentakan yang menggeledek ini mengejutkan Han Le dan Pek Hoa.
Mereka cepat-cepat melompat berdiri dan memandang kepada Bu Pun Su dengan mata terbelalak. Pek
Hoa agak pucat, akan tetapi bibirnya yang manis tersenyum. Sedangkan Han Le merah sekali mukanya,
dunia-kangouw.blogspot.com
merah sampai ke telinganya.
“Sute, kesesatan apa yang kau lakukan ini?”
Han Le mengangkat muka, akan tetapi dia tidak kuat menatap pandang mata Bu Pun Su sehingga
menundukkan kepalanya lagi. Tiba-tiba terdengar suara ketawa perlahan, suara ketawa yang merdu dan
sedap didengar, kemudian Pek Hoa yang tertawa itu melangkah maju menghadapi Bu Pun Su.
“Bu Pun Su, kebetulan sekali kau datang. Kenapa kau tidak mau membawa Wi Wi Toanio ke sini agar kita
dua pasang manusia berbahagia mencari kesenangan hidup di pulau ini?”
“Apa katamu?!” Bu Pun Su membentak dan mukanya berubah pucat.
Pek Hoa Pouwsat tersenyum manis sekali sehingga Bu Pun Su diam-diam merasa heran sekali. Kalau
diingat, perempuan ini usianya sudah tidak muda lagi, sedikitnya lima puluh tahun. Akan tetapi mengapa
cantik jelita seperti gadis berusia dua puluh lebih?
“Bu Pun Su, kau seorang laki-laki, demikian pula Han-ko seorang jantan. Kau bisa jatuh cinta, mengapa
Han-ko tidak boleh? Kau pernah tergila-gila kepada Wi Wi Toanio isteri orang lain, kenapa Han-ko tidak
boleh jatuh hati kepada aku, seorang yang masih bebas belum bersuami? Kau benar-benar aneh dan di
manakah keadilanmu, Bu Pun Su?”
Pendekar sakti itu merasa seolah-olah kepalanya disambar petir. Tak disangkanya bahwa siluman wanita
ini juga sudah mengetahui rahasianya, dan tahulah ia bahwa tentu Wi Wi Toanio yang membuka rahasia ini
di depan Pek Hoa.
Teguran wanita ini memang tepat sekali sehingga ia tidak dapat menjawab! Akhirnya Bu Pun Su berpaling
kepada Han Le dan berkata dengan suara dingin,
“Han Le, mengapa kau membunuh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai?”
Suara Bu Pun Su mengandung ancaman dan amarah besar, membuat Han Le menjadi pucat dan nampak
ia takut sekali,
“Suheng, siauwte... siauwte tidak membunuh mereka...”
“Jangan memutar lidah sesuka hatimu, Han Le. Setidaknya kau yang telah merobohkan mereka!” Bu Pun
Su mendesak dan Han Le tak dapat menjawab.
Melihat kekasihnya terus didesak, Pek Hoa lalu menjawab, “Memang benar, Han-ko yang merobohkan
mereka. Akan tetapi akulah yang sudah membunuh mereka. Mereka adalah musuh-musuh besarku dan
mereka datang untuk membunuhku, maka Han-ko melindungi dan mengalahkan mereka. Apa salahnya
dalam hal ini? Tidak tepatkah orang melindungi kekasihnya yang terancam oleh orang lain? Bu Pun Su, kau
mau apakah? Han-ko dan aku hidup bahagia di sini, sebagai suami isteri yang saling mencinta. Apakah kau
merasa iri hati? Apakah kau merasa iri melihat Han-ko hidup berbahagia sedangkan kau tidak? Kalau kau
merasa iri, carilah sendiri seorang kekasih dan bawa ke sini, bukankah itu baik sekali dari pada kau datang
dan marah-marah seperti ini?”
“Siluman keparat, tutup mulutmu!” Bu Pun Su membentak dan amarahnya meluap.
Belum pernah Bu Pun Su semarah itu. Selama ini ia telah bisa menguasai seluruh dirinya lahir batin, akan
tetapi sekarang menghadapi kebodohan Han Le yang dipermainkan oleh siluman wanita ini, ia benar-benar
lupa diri.
Bu Pun Su maklum siapa adanya Pek Hoa Pouwsat dan orang macam apa wanita ini. Jauh lebih cabul dan
lebih jahat dari pada Wi Wi Toanio, jauh lebih berbahaya. Dan dia tahu pula bahwa Han Le adalah seorang
laki-laki beriman teguh, seorang laki-laki yang hampir ‘jadi’ karena semenjak muda tidak mau mendekati
wanita.
Celakanya, sekarang Han Le tergoda dan tergelincir, tidak kuat menghadapi bujukan dan cumbu rayu dari
Pek Hoa, siluman wanita yang cantik sekali dan genit. Dan ia tahu pula bahwa hal ini harus dicegahnya,
kalau tidak akan mendatangkan bahaya besar. Han Le berkepandaian tinggi, kalau sudah tercengkeram
dunia-kangouw.blogspot.com
oleh orang perempuan seperti Pek Hoa, kelak dapat dibujuk untuk membunuh siapa saja yang dibenci oleh
Pek Hoa!
“Bu Pun Su, kau mau apakah?” Pek Hoa menantang sambil membusungkan dadanya yang montok.
“Kau harus pergi meninggalkan pulauku ini, lekas!”
“Kau hendak mengusir kami?” tanya Pek Hoa sambil menggandeng tangan Han Le dan menyandarkan
kepalanya ke pundak laki-laki itu.
“Aku mengusir kau, perempuan jahat! Lekas pergi dari sini kalau kau tidak ingin melihat aku
melemparkanmu ke dalam laut! Han Le tidak boleh ikut!”
Pek Hoa menyandarkan kepala makin dekat dan berbisik di dekat telinga Han Le, “Kau dengar itu
kekasihku? Sudah semenjak dulu aku bilang bahwa suheng-mu ini jahat sekali, akan tetapi kau tidak
percaya. Aku bilang bahwa sebenarnya dia tergila-gila dan suka padaku dan ia menjadi benci padaku
karena cintanya kutolak, dan kau tidak percaya lagi. Sekarang kau melihat sendiri, bukan? Dia iri hati
padamu, iri hati dan cemburu, kau tahu? Dia ingin melihat aku mati dari pada jatuh ke dalam tangan orang
lain, ingin melihat aku mati dan kau menderita. Kekasihku, ayah anakku, apakah kau akan tinggal diam saja
melihat isterimu yang mencintamu dengan seluruh tubuh dan nyawa?” Suaranya makin merayu dan dua
titik air mata meloncat keluar dari mata Han Le.
“Pek Hoa, dia... dia suheng-ku... tak dapat aku melawan Suheng...,“ bisiknya.
Pek Hoa menarik dirinya dengan sentakan, sepasang matanya bersinar-sinar, nampak sangat marah.
“Aha, jadi kau lebih berat kehilangan suheng dari pada kehilangan isteri?”
“Bukan begitu, Pek Hoa... aku... aku tidak berani...”
“Hemm, jadi kau takut? Baiklah, Han-ko. Kalau kau takut membantuku, biar aku sendiri mengadu nyawa
dengan Bu Pun Su!”
Pek Hoa sudah mencabut siang-kiam-nya (sepasang pedangnya), kemudian melompat maju.
“Bu Pun Su, kau benar-benar menghinaku. Kau hendak melemparkan aku ke dalam laut? Boleh kau coba,
laki-laki gagah perkasa tukang menghina wanita!”
Menghadapi Pek Hoa yang berdiri dengan sepasang pedang di tangannya dan bersikap amat gagah itu,
yang menantangnya dengan kulit muka kemerahan sehingga menambah kecantikannya, Bu Pun Su
menjadi serba salah. Ia tahu sedalam-dalamnya betapa jahat perempuan ini, betapa palsu hatinya dan
betapa berbahayanya. Apa bila dibandingkan dengan mendiang Thian-te Sam-kauwcu guru dari Pek Hoa,
kiranya perempuan ini lebih berbahaya. Akan tetapi melemparkan dia begitu saja ke laut? Kiranya tak akan
mampu ia lakukan.
“Pek Hoa, aku harap kau suka pergi dari sini dengan baik-baik dan tidak melawan. Aku sungguh malu
harus melawan wanita.”
Pek Hoa sudah mendengar dari Han Le bahwa Bu Pun Su tak pernah menyerang orang sebelum diserang.
Oleh karena inilah maka tadi ia menahan sabar dan menanti supaya Bu Pun Su menyerang dulu. Sekarang
ia sengaja hendak memanaskan hati Bu Pun Su.
“Pengecut! Laki-laki pengecut, kau sebenarnya suka kepadaku, bukan? Maka tidak mau menyerangku. Kau
hanya iri hati dan cemburu. Ehhh, Bu Pun Su, apa bila sekarang aku menyatakan bahwa aku suka ikut
denganmu dan meninggalkan Han-ko, tentu kau tidak marah lagi, bukan? Akan tetapi aku tidak sudi!
Dengar, aku tidak sudi, aku tidak suka padamu, aku benci padamu. Muak perutku melihat mukamu, tahu
kau?”
Bu Pun Su tersenyum. Ia tidak mendapat julukan Pendekar Sakti kalau ia tidak tahu akan siasat ini. Dan ia
bukanlah seorang yang gemblengan kalau dia tidak tahan menghadapi serangan batin ini.
Tadi untuk sebentar ia menurutkan nafsu amarah karena kecewa melihat kegagalan Han Le menghadapi
dunia-kangouw.blogspot.com
rayuan wanita. Sekarang ia sudah dapat menguasai diri lagi, karena itu ia tenang-tenang dan tersenyum
saja dalam menghadapi siasat lain dari Pek Hoa.
“Pek Hoa, bagaimana kau bisa bilang bahwa aku tergila-gila kepadamu? Hanya laki-laki yang berhati lemah
saja yang dapat jatuh cinta kepada seorang perempuan cabul seperti engkau. Kau menggoda aku tidak
berhasil, menggoda Kiang Liat dapat pula kugagalkan, menggoda tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw kau
sudah tidak laku sebab mereka semua sudah tahu bahwa kau ini seorang siluman yang lebih jahat dari
pada Tat Ki (siluman wanita dalam dongeng Hong Sin Pong). Karena itu sekarang kau sengaja menggoda
Han-sute. Akan tetapi ini pun hanya untuk sementara, karena tidak lama lagi Sute tentu akan insyaf dan
tahu bahwa wanita yang dipuja-pujanya itu bukan lain adalah seekor siluman betina...”
“Jahanam, lihat pedang!”
Dua cahaya kemilau dari sepasang pedang Pek Hoa menyambar dalam serangan yang dahsyat. Ternyata,
ia kalah dalam adu urat-syaraf, karena Bu Pun Su tadi membuatnya marah sekali.
Bu Pun Su tersenyum, akan tetapi dia tidak berlaku lambat atau sembrono karena ia tahu betul akan
kelihaian ilmu pedang wanita ini. Cepat ia mengelak dan di lain saat keduanya sudah bertempur hebat.
Mula-mula Pek Hoa mengeluarkan ilmu pedangnya berdasarkan kecepatan dan semua seranganserangannya
ditujukan untuk menewaskan lawan. Akan tetapi menghadapi Bu Pun Su, ia ketemu gurunya.
Dengan tenang saja Bu Pun Su menghindarkan diri dari setiap serangan lawan dengan totokan-totokan ke
arah jalan darah yang kalau mengenai sasaran tentu akan mengakhiri pertempuran itu. Sebentar saja Pek
Hoa terdesak hebat oleh kakek sakti itu dan tiba-tiba ia tertawa merdu kemudian ilmu silatnya mendadak
berubah.
“Ayaaa...!” Bu Pun Su berseru kaget sekali ketika ia menyaksikan ilmu pedang ini.
Pek Hoa telah mainkan ilmu pedangnya yang hebat, ilmu pedang Bi-jin Khai-i. Ilmu silat yang mengandung
daya sihir ini dapat melumpuhkan setiap orang lawan berjenis laki-laki, membuat lawan itu seperti terkena
hikmat. Gerakan ilmu silat ini mengandung sifat cabul dan genit, menarik hati laki-laki dan meruntuhkan
semangat perlawanannya.
Tak heran apa bila Bu Pun Su menjadi kaget sekali karena pendekar ini pun merasa dan menjadi
terpengaruh oleh hawa mukjijat yang terkandung dalam gerakan ilmu silat yang dimainkan oleh Pek Hoa.
Pek Hoa gembira sekali melihat hasil ilmunya dan dia segera memperindah gerakannya untuk merobohkan
atau mengalahkan Bu Pun Su. Akan tetapi, kali ini ia kecele. Ia bukan menghadapi manusia sembarangan
melainkan seorang manusia gemblengan lahir batin.
Bu Pun Su sadar bahwa ia menghadapi ilmu mukjijat, maka ia lalu meramkan mata dan menandingi
serangan-serangan lawannya hanya mengandalkan ketajaman pendengaran saja. Dengan cara meramkan
mata, ia tidak usah melihat gerakan tubuh lawan dan tidak terpikat. Di samping itu, kini ia mainkan ilmu
silatnya yang ampuh, Pek-in Hoat-sut.
Begitu Bu Pun Su mengerahkan sinkang dan menggerakkan tubuh, dari kedua lengannya mengebul uap
putih yang makin lama semakin tebal sampai akhirnya seluruh tubuhnya, terutama di bagian ubun-ubun,
mengepul uap putih yang menolak semua hawa pukulan dan hawa mukjijat dari ilmu pedang lawannya.
Sesudah merasa diri kuat terlindung oleh Pek-in Hoat-sut, baru Bu Pun Su membuka matanya dan mulai
mendesak lawan.
Pek Hoa mengeluh. Harapan untuk berhasil kini sudah buyar pula, bahkan sebaliknya ia terancam hebat
oleh hawa pukulan yang beruap putih itu. Ia hanya dapat memutar-mutar pedang sambil main mundur.
Akhirnya ia mengeluh,
“Han-ko, apakah kau tega melihat aku mati tanpa membantu?”
Sebetulnya semenjak tadi Han Le telah menonton petempuran itu dengan hati kebat-kebit tidak karuan. Ia
merasa cemas sekali akan keselamatan kekasihnya, dan ingin sekali ia membantu. Akan tetapi ia merasa
sungkan terhadap suheng-nya ini. Oleh karena itu ia hanya berdiri dengan kedua tangan dikepalkan eraterat,
keningnya berkerut dan bibirnya digigit, akan tetapi kedua kakinya seperti terpaku pada tempat ia
dunia-kangouw.blogspot.com
berdiri. Kini melihat Pek Hoa terdesak hebat, hampir-hampir ia tak dapat bertahan lagi.
“Han-ko...!” Pek Hoa menjerit sayu ketika tangan kirinya terserempet tamparan tangan Bu Pun Su. Pedang
kirinya terlempar dan tangan menjadi lumpuh.
Akan tetapi Pek Hoa masih melawan dengan pedang kanannya, melawan nekat sambil berseru,
“Bu Pun Su, kau tamatkanlah nyawaku. Han-ko tidak mau membantu, apa artinya hidup bagiku?”
“Suheng, sudahlah...!” Han Le tiba-tiba melompat dan pedangnya menyambar di tengah-tengah untuk
menghalangi Bu Pun Su menyerang Pek Hoa.
“Han Le, pergi kau jangan ikut-ikut!” bentak Bu Pun Su marah.
“Suheng, jangan melukai dia... aku cinta padanya...,” jawab Han Le sambil menghadang di tengah.
“Han-ko, dia bukan suheng-mu lagi. Dia manusia kejam. Mari kita bunuh bersama. Lihat, tangan kiriku
sudah lumpuh. Balaskan sakit hatiku ini, Han-ko!” Pek Hoa berkata dan ia mulai menyerang Bu Pun Su lagi
dengan pedang kanannya.
Kini Han Le tak bicara lagi, akan tetapi memutar pedang di tangannya secara cepat untuk melindungi Pek
Hoa dari serangan Bu Pun Su.
Kakek sakti itu menarik napas panjang. “Han Le, kau sudah tersesat jauh. Apa boleh buat, aku lebih rela
melihat sute-ku binasa dalam tanganku dari pada melihat dia tersesat dan menjadi seorang jahat!”
Begitu kata-kata ini habis diucapkan, Bu Pun Su segera mempercepat dan memperkuat gerakannya.
Memang bukan hal yang mudah menghadapi keroyokan orang-orang selihai Pek Hoa dan Han Le, yang
keduanya selain memiliki ilmu silat tinggi sekali, juga memiliki keistimewaan masing-masing.
Kalau saja tokoh yang dikeroyok bukannya Bu Pun Su yang sakti, agaknya sukar sekali mengalahkan
keroyokan dua orang ini. Dan andai kata Pek Hoa tidak lebih dulu sudah terluka tangan kirinya, agaknya Bu
Pun Su juga tidak akan mudah mengalahkan mereka. Apa lagi Bu Pu Su merasa gelisah dan kecewa sekali
melihat sute-nya yang sekarang bertempur secara mati-matian mengeluarkan seluruh kepandaian untuk
membela wanita jahat itu!
“Han Le, mundur kau!” berkali-kali Bu Pun Su berseru.
Akan tetapi Han Le seperti sudah tuli, tidak mendengar seruan ini bahkan memperhebat gerakan
pedangnya.
“Bagus, Han-ko, kekasihku. Tikam dia, bunuh jahanam ini!” sebaliknya berkali-kali pula Pek Hoa
membujuknya.
Setelah tiga kali Bu Pun Su memberi peringatan kepada sute-nya tanpa ada perhatian, pendekar ini
menjadi marah dan membentak,
“Han Le, kalau begitu robohlah kau!”
Ia lalu mengirim serangan hebat ke arah sute-nya sendiri. Han Le terkejut menghadapi pukulan Pek-in
Hoat-sut ini. Ia mencoba untuk menangkis dan miringkan tubuh sambil membalas dengan tusukan pedang.
Akan tetapi akibatnya, pedangnya terpental dan ia terguling roboh, sambungan tulang pundaknya terlepas
karena pukulan Pek-in Hoat-sut yang lihai.
Han Le meringis kesakitan dan tak dapat bangun lagi karena sambungan tulangnya telah terlepas. Juga ia
menderita luka di sebelah dalam yang membuat ia tak mungkin bangun lagi.
“Keparat, rasakan pembalasanku!” Pek Hoa menjerit dan pedangnya menyambar ke arah bawah pusar Bu
Pun Su.
“Siluman betina, kau harus mampus!” bentak Bu Pun Su yang merasa muak menghadapi serangan yang
keji ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tangan kirinya bergerak ke bawah menyampok pedang sehingga pedang itu terlepas dari pegangan,
kemudian secepat kilat, sebelum Pek Hoa menarik kembali tangan kanannya, Bu Pun Su mendahului
dengan ketokan telunjuknya ke arah sambungan tulang siku.
Pek Hoa menjerit dan tangan kanannya lumpuh pula seperti tangan kirinya! Akan tetapi wanita ini memang
sudah nekat. Bagai seekor singa betina, ia menerjang maju, sekarang mempergunakan kedua kakinya,
melakukan tendangan bertubi-tubi. Tetapi dengan sekali sampok dengan ujung lengan bajunya, Bu Pun Su
berhasil membuat dia roboh terguling dan merintih-rintih kesakitan.
“Kalau orang macam kau tidak mati, hanya akan mengacaukan dunia saja!” kata Bu Pun Su sambil
melangkah maju, agaknya hendak menewaskan Pek Hoa.
“Suheng, tahan...!”
Sambil merangkak dan setengah menggulingkan tubuh, Han Le menghampiri Bu Pun Su, lalu berlutut di
depan Bu Pun Su sambil menangis, “Suheng, ampunkan dia, biar dia pergi meninggalkan pulau ini, akan
tetapi jangan bunuh dia, Suheng. Kalau Suheng bernafsu hendak membunuh orang, biar siauwte saja
Suheng bunuh sebagai penebus nyawanya.”
Bu Pun Su serentak kaget. Baru ia sadar bahwa hampir saja ia melakukan pembunuhan dengan mata
terbuka. Musuh sudah kalah, tak perlu didesak lagi, pikirnya.
“Dan kau tetap hendak pergi bersama dia?”
Han Le menggeleng-geleng kepalanya. “Siauwte sudah mengaku salah. Siauwte terlalu menurutkan nafsu
hati dan akhirnya siauwte jatuh cinta. Kini siauwte bersedia menebus dosa, biar siauwte merana di sini, biar
siauwte berpisah darinya, siauwte rela. Siauwte takkan meninggalkan pulau ini selamanya.”
Kemudian Han Le berpaling kepada Pek Hoa, berkata dengan suara perlahan, “Pek Hoa, selamat berpisah.
Pergilah kau meninggalkan pulau ini, meninggalkan aku. Jangan kau kembali lagi selamanya. Kita tak usah
bertemu lagi selamanya.”
Sebetulnya, ketika Pek Hoa memikat hati Han Le, niat terutama di dalam hatinya adalah mencari kawan
untuk membalaskan dendam kepada musuh-musuhnya. Hal ini pun telah terlaksana dengan terbunuhnya
tiga orang tokoh Kun-lun dan Siauw-lim. Bahkan ia sudah berhasil lebih jauh lagi, yakni ia telah dapat
mewarisi sebagian dari ilmu silat Han Le.
Yang hebat, hampir saja ia berhasil mengadu dombakan Han Le melawan Bu Pun Su. Akan tetapi setelah
rencananya tidak berhasil dan akibatnya bahkan Han Le dan dia sendiri terluka, dan ternyata Bu Pun Su
terlampau kuat baginya, hati Pek Hoa menjadi dingin dan putus harapan.
Ia menguatkan diri untuk bangun dan berdiri, mukanya pucat kedua lengannya lumpuh. Ia memandang
kepada Bu Pun Su dengan mata penuh kebencian. “Bu Pun Su, banyak aku membenci orang, akan tetapi
tidak seperti aku membencimu. Kelak akan tiba saatnya aku membalas penghinaan ini, kalau tidak oleh
tanganku sendiri, tentu oleh tangan anakku atau tangan Wi Wi Toanio!” Setelah berkata demikian, dia
berpaling kepada Han Le dan berkata,
“Kau jembel busuk, jembel tua, kau kira aku benar-benar mencintamu? Hah, tak tahu diri! Aku
menyerahkan diri kepadamu dengan harapan agar supaya kau mau membalas budi kecintaanku, dapat
membalaskan sakit hatiku terhadap musuh-musuh besarku. Namun ternyata, menghadapi orang ini saja
kau menunjukkan ketidak gunaanmu. Hah, sungguh kau memualkan perutku!”
Setelah berkata demikian, dengan terhuyung Pek Hoa meninggalkan tempat itu menuju ke pantai, makin
lama makin jauh merupakan sosok bayangan orang yang putus asa.
“Wanita yang berbahaya sekali. Hmm, lihai dan berbahaya melebihi setan. Pada akhirnya masih tega
menghancurkan hati Han-sute,” kata Bu Pun Su perlahan.
Tiba-tiba keningnya berkerut ketika dia menoleh dan melihat Han Le pucat sekali dan air mata bercucuran
keluar dari sepasang matanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ehh, Han-sute, kau sudah dihina olehnya. Apakah kepergiannya masih bisa membuat hancur hatimu? Di
mana sifat jantanmu, Sute?”
Han Le menggeleng-geleng kepalanya. “Suheng, siauwte memang harus dipukul, bahkan sudah sejak dulu
siauwte mengerti bahwa dia hanya... mempermainkan siauwte belaka. Namun, siauwte sudah dicengkeram
oleh nafsu. Akhir-akhir ini... bagaimana siauwte bisa membencinya? Dia... dia telah mejadi calon ibu
anakku...”
Bu Pun Su terkejut sekali, sampai berubah air mukanya.
“Apa katamu?! Betul-betulkah begitu?”
Han Le mengangguk. “Siauwte tidak sayang kepadanya, melainkan kepada anak yang dikandungnya.
Suheng, siauwte sudah bersumpah tak akan meninggalkan pulau ini, akan menanti di sini hingga maut
datang mencabut nyawa, untuk menebus dosa-dosa siauwte. Akan tetapi anak itu... ah, Suheng, kalau
sudah terlahir dan berada di bawah asuhan Pek Hoa, akan menjadi apakah? Oleh karena itu, siauwte
mohon bantuan Suheng, kalau anak itu terlahir, harap Suheng suka merampasnya dan memberikan
kepada orang lain supaya dididik menjadi manusia baik-baik. Jangan sampai keturunan siauwte menambah
dosa siauwte sehingga membuat siauwte tak dapat mati dengan mata meram.”
Bu Pun Su mengangguk-angguk. Hatinya terasa pilu. Ia sendiri belum pernah merasakan bagaimana
perasaan seorang calon ayah. Akan tetapi ia dapat membayangkan betapa hancur hati Han Le pada saat
itu.
“Baikiah, Han-sute. Tadinya aku datang untuk meminta bantuanmu, akan tetapi melihat keadaanmu
sekarang, tak usahlah. Bahkan, sesudah terjadi peristiwa antara kau dengan tokoh-tokoh Kun-lun dan
Siauw-lim, amat tidak baik kalau kau sendiri yang muncul. Biar aku yang akan membereskan hal itu dan
menjernihkan keadaan. Kau rawat baik-baik tiga jenazah itu, jangan dibiarkan begitu saja. Meski pun kau
tak akan meninggalkan pulau ini selamanya, percayalah, sewaktu-waktu aku akan datang menemanimu di
sini.”
Han Le menghaturkan terima kasih dan tidak lama kemudian Bu Pun Su meninggalkan Pulau Pek-le-to
dengan hati penuh iba kepada adik seperguruannya itu. Tidak pernah dia menyangka bahwa Han Le akan
bernasib sedemikian buruk, jauh lebih buruk dari pada nasibnya sendiri…..
********************
Debu mengebul tinggi ketika dua ekor kuda berlari congklang menuju ke gerbang pintu kota Tiang-hai yang
letaknya hanya tinggal berjarak beberapa li lagi. Waktu itu musim panas sedang teriknya, jalan-jalan
mengering dan debu mengebul tinggi setiap kali jalan itu dilalui kuda atau kendaraan yang ditarik kuda.
Pohon-pohon nampak mengering dan sawah ladang kuning kosong.
Namun alam di sekitar tempat itu yang sama sekali tidak menimbulkan pemandangan indah, tak
mengurangi seri muka gembira dari dua orang muda yang menunggang kuda. Mereka ini adalah Gan
Tiauw Ki dan Kiang Im Giok.
Sebagaimana diketahui, Gan Tiauw Ki menuju ke kota Tiang-hai untuk menyampaikan surat dari Kaisar
untuk seorang berpangkat huciang bernama keturunan Suma di kota itu, dan untuk melakukan
penyelidikan. Ada pun Im Giok mendapat tugas dari Bu Pun Su untuk mengawal pemuda ini.
Di sepanjang perjalanan, Tiauw Ki memperlihatkan bahwa dia adalah seorang pemuda yang terpelajar
tinggi, hafal akan bunyi sajak-sajak gubahan para pujangga jaman dahulu yang berjiwa patriot, hafal akan
sejarah, pandai pula membuat sajak-sajak bersemangat dan indah-indah. Selain ini, ia pandai bernyanyi
dan meniup suling sehingga beberapa kali di waktu mereka beristitahat, pemuda ini mengeluarkan suling
peraknya dan mainkan beberapa lagu.
Im Giok tertarik sekali. Hatinya tambah suka terhadap Tiauw Ki melihat sikap pemuda ini amat sopan, biar
pun ramah tamah, dan kadang-kadang gembira, namun sikapnya selalu sopan dan menyenangkan, tidak
pernah memperlihatkan pandang mata kurang ajar atau kata-kata yang tidak sopan. Dalam diri pemuda ini
Im Giok melihat orang yang sangat bersemangat, berjiwa patriot dan gagah, jujur, setia dan sopan-santun.
Sebaliknya, selama hidupnya baru sekali ini Tiauw Ki berjumpa dan berkenalan dengan seorang gadis
dunia-kangouw.blogspot.com
seperti Im Giok. Memang pemuda itu sudah banyak pengalaman kota-kota besar, sudah banyak melihat
puteri-puteri istana, puteri-puteri bangsawan yang tersohor cantik jelita dan pandai, akan tetapi ia harus
akui bahwa baru kali ini hatinya jatuh oleh kecantikan seorang gadis. Tidak saja ia kagum sekali melihat
wajah jelita dari Im Giok, juga ia kagum sekali akan kegagahan gadis ini.
Oleh karena kedua pihak merasa saling tertarik dan suka, maka tentu saja perjalanan itu merupakan
pengalaman yang amat menyenangkan, tak pernah memperlihatkan pandang mata sayang, tidak
memperlihatkan apa yang terkandung dalam hati, akan tetapi jauh di lubuk hati, mereka tahu bahwa hidup
akan kurang sempurna apa bila mereka berpisah.
Makin dekat dengan kota Tiang-hai, semakin sering mereka bertemu orang dan makin banyak mereka
melihat orang-orang mendatangi Tiang-hai.
“Heran, mereka itu datang ke Tiang-hai ada apakah?” kata Tiauw Ki perlahan pada saat melihat
serombongan orang berkuda mendahului mereka.
Rombongan ini terdiri dari tujuh orang. Melihat pakaian dan sikap mereka, dapat diduga bahwa tujuh orang
ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi.
“Mereka siapakah?” tanya Im Giok.
Gadis ini merasa lebih heran lagi sebab ia tahu bahwa tujuh orang itu adalah orang-orang kang-ouw.
Bagaimana seorang sastrawan seperti Gan Tiauw Ki bisa mengenal mereka?
“Mereka itu adalah panglima-panglima ternama dari Gubernur Shansi. Mereka menyamar seperti orangorang
biasa dan datang di Tiang-hai, apakah kehendak mereka?” Tiauw Ki berkata perlahan.
Ketika tidak mendapat jawaban, Tiauw Ki menengok.
“Ada apakah, Nona?” tanyanya ketika Im Giok memandang kepadanya dengan penuh keheranan dan
kecurigaan.
“Bagaimana kau dapat mengenal orang-orang seperti itu?” tanya Im Giok.
Tiauw Ki tersenyum merendah.
“Apa sukarnya? Badan penyelidik dari istana sudah memperlihatkan gambar tokoh-tokoh terpenting dari
mereka yang dianggap sebagai orang-orang yang hendak memberontak. Gubernur Shansi dan Honan
melopori pemberontakan-pemberontakan atau sikap yang anti Kaisar, maka panglima-panglima ternama
dari kedua gubernur itu tentu saja sudah kukenal gambarnya. Inilah sebabnya maka aku dapat mengenali
mereka tanpa mereka tahu siapa aku.”
Im Giok mengangguk-angguk kagum. “Gan-kongcu, otakmu benar-benar sangat tajam, dapat mengingat
semua orang dalam gambar.”
“Bukan aku yang berotak tajam, melainkan tukang lukisnya yang benar-benar pandai. Hanya dengan
beberapa coretan saja ia dapat melukis muka orang demikian tepatnya. Benar-benar aku makin kagum saja
kepada pelukis Ong dari istana itu.”
Im Giok lalu bertanya tentang pelukis itu dan mereka bercakap-cakap dengan asyik. Dan kembali Ang I
Niocu Kiang Im Giok mendapat kenyataan bahwa pemuda ini mempunyai kepandaian lain yang menarik,
yakni melukis. Pemuda ini sendiri seorang pelukis pandai akan tetapi dia memuji-muji pelukis Ong Pouw di
istana, menandakan bahwa wataknya memang sopan dan suka merendahkan diri sendiri.
Tiba-tiba terdengar seruan dari belakang, “Minggir! Minggir!”
Im Giok terkejut. Suara ini terdengar nyaring, disusul oleh suara derap kaki kuda yang berlari cepat. Orang
yang dapat mengirim suara mendahului suara derap kaki kuda tentu seorang yang memiliki kepandaian
tinggi.
Tiauw Ki tentu saja tidak tahu akan hal ini dan ia hanya berkata, “Datang orang kasar, baik kita minggir.
Jangan sampai terjadi ribut-ribut.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Im Giok maklum bahwa tugas yang amat penting dari Tiauw Ki memang harus dilindungi dan sebaiknya
apa bila mereka tidak memancing permusuhan sebelum tugas itu selesai. Maka ia pun lalu menggebrak
kudanya dan minggirkan kuda untuk memberi jalan kepada serombongan orang berkuda yang mendatangi
dengan cepat.
Rombongan kali ini adalah orang-orang dengan pakaian indah serta gagah, akan tetapi yang paling
menarik adalah orang pertama yang berada di depan. Orang ini masih muda, wajahnya tampan sekali,
sikapnya gagah, pakaiannya indah dan mewah. Jelas nampak bahwa dia adalah seorang pesolek besar,
dan kudanya pun bukan kuda biasa melainkan kuda pilihan berbulu putih. Ia membalapkan kudanya,
sedikitnya seperempat li di depan rombongannya sambil tertawa-tawa.
Kuda yang ditunggangi oleh Im Giok juga kuda pilihan, demikian pula kuda Kim Lian yang ditunggangi oleh
Tiauw Ki. Tidak hanya manusia yang suka memilih golongan, kuda pun agaknya mengenal kawan dan
mengenal bulu.
Tiba-tiba saja kuda yang ditunggangi oleh Im Giok dan Tiauw Ki mengeluarkan ringkikan keras. Mereka
menjadi gembira, kedua kaki depan diangkat tinggi dan mereka melompat ke tengah jalan menghadang
datangnya kuda putih yang ditunggangi pemuda tampan itu!
Terdengar Tiauw Ki memekik kaget. Ternyata tubuh pemuda ini sudah dilemparkan oleh kudanya ketika
kuda itu berdiri di atas dua kaki belakang. Gerakannya demikian kuat dan cepat sehingga Tiauw Ki tidak
dapat menguasai diri dan terjengkang ke belakang.
Tentu tubuhnya akan terbanting di atas batu di jalan kalau saja Im Giok tidak cepat-cepat melompat dan
menyambar. Dengan gerakan cekatan dan lincah bagaikan seekor burung terbang, gadis ini hanya
kelihatan sebagai bayangan merah dan tahu-tahu Tiauw Ki telah disambar lengannya. Di lain saat, pemuda
ini sudah berdiri di tengah jalan dan lengannya dipegang oleh Im Giok.
“Bagus sekali!” terdengar suara orang memuji.
Ketika itu, pemuda tampan gagah yang berada di atas kuda putih sudah datang dekat, agaknya hendak
menubruk Tiauw Ki dan Im Giok. Im Giok sudah bersiap sedia, sedikit pun tidak khawatir karena ia maklum
bahwa jika perlu, dengan mudah ia akan mendorong tubuh kuda putih itu ke samping.
Akan tetapi Im Giok tidak perlu turun tangan karena tiba-tiba saja kuda itu berhenti sambil meringkik keras,
kedua kaki depan diangkat, ada pun kaki belakangnya merendah hampir berlutut!
Im Giok kagum sekali. Penunggang itu sudah memperlihatkan kepandaiannya, tidak saja kepandaian
menunggang kuda, tapi juga kepandaian ilmu lweekang yang tinggi sehingga pada saat itu ia dengan cepat
dapat membikin berat tubuhnya kemudian mempergunakan kekuatannya untuk menahan larinya kuda
sendiri.
Tiauw Ki yang sudah lenyap kagetnya, berkata sambil merengut,
“Mengapa melarikan kuda cepat-cepat amat? Membikin kuda orang lain kaget setengah mati?”
Pemuda itu memandang sejenak ke arah Tiauw Ki, senyumnya berubah mengejek dan menghina, sinar
matanya memandapg rendah seperti seekor harimau memandang anjing buduk.
Kalau tadinya Im Giok merasa tertarik dan kagum melihat pemuda tampan dan gagah ini, sekaligus rasa
kagum dan sukanya lenyap bagaikan awan tertiup angin badai. Melihat senyum mengejek serta pandang
mata yang membayangkan kesombongan besar penuh penghinaan kepada Tiauw Ki, sekaligus hati Im
Giok mendongkol dan timbul rasa tidak sukanya kepada pemuda tampan ini.
Memang harus diakui bahwa dalam segala hal, pemuda asing ini jauh melebihi Tiauw Ki. Dia lebih tampan,
jauh lebih gagah, dan juga pakaiannya lebih indah. Akan tetapi ia tidak mempunyai apa yang dimiliki Tiauw
Ki, yakni kepribadian yang menarik, gaya sewajarnya yang penuh kecerdikan, kejujuran, dan kesetiaan.
Pemuda itu tidak lama memandang ke arah Tiauw Ki, sebaliknya cepat ia mengalihkan pandang matanya
kepada Im Giok. Senyumnya berubah, tidak menyeringai penuh ejekan seperti tadi, akan tetapi senyum
penuh madu memikat, senyum yang membuat parasnya makin tampan, dan sepasang matanya berseri
dunia-kangouw.blogspot.com
penuh kagum dan terpikat.
“Pek-in-ma (Kuda Awan Putih) yang kutunggangi ternyata bisa mengenal keindahan dan kegagahan! Di
dunia ini jarang terdapat paduan yang tepat, indah dan gagah. Nona, kau tidak saja memenuhi syarat
paduan ini, bahkan melebihi…, jauh melebihi sehingga tidak berlebih-lebihan kalau kukatakan bahwa aku
Lie Kian Tek selama hidupku baru sekali ini melihat paduan yang demikian sempurna!”
Im Giok maklum akan pujian ini, akan tetapi ia berpura-pura tidak mengerti dan berkata,
“Apakah maksud kata-katamu ini?”
Pemuda tampan ini tertawa sambil menoleh kepada kawan-kawannya yang sudah tiba di sana pula. “Cuwi
(Tuan-tuan sekalian), berhenti sebentar dan lihatlah, pernahkah kalian melihat seorang yang begini cantik
dan gagah?”
Lima orang yang mengawal pemuda ini, yang semuanya orang-orang setengah tua yang berpakaian indah
dan bersikap gagah, memandang dan tersenyum.
“Memang cantik sekali akan tetapi kegagahan, hmm... banyak sekali orang yang berlagak gagah akan
tetapi tiada guna, seperti gentong kosong dipukul bersuara namun tak berisi,” demikian kata seorang di
antara mereka.
Pemuda itu tertawa, nampak giginya yang berbaris rapi dan putih bersih. “Ha-ha-ha, kau betul sekali,
Ciang-lopek. Akan tetapi kau tidak tahu betapa nona ini tadi dengan gerakan indah dan luar biasa sudah
menyelamatkan nyawa seorang yang benar-benar tidak ada gunanya! Eh, Nona, maksud kata-kataku tadi
kalau disalin dengan lain kalimat berarti aku kagum sekali melihatmu sebab kau betul-betul cantik jelita dan
gagah perkasa. Bolehkah aku mengetahui namamu, Nona? Dan kau hendak ke manakah?”
Ujung hidung yang kecil mancung itu bergerak, perlahan sekali dan hanya dapat terlihat oleh orang yang
memperhatikan. Dan yang memperhatikan ujung hidung Ang I Niocu ini hanya Tiauw Ki seorang.
Pemuda ini cepat mengulur tangan dan menyentuh lengan Im Giok, lalu katanya kepada pemuda tampan
itu, “Tuan, harap jangan mengganggu kami lagi dan hendaknya menjaga tata susila antara kaum pria dan
wanita, pula memberi kebebasan kepada kami sebagai orang-orang yang bertemu di tengah perjalanan.
Nona ini tidak bersalah, kenapa hendak diganggu?”
Pemuda itu menengok dan memandang kepada Tiauw Ki dari atas kudanya.
“Hah! Siapa yang mengajak bicara orang macam engkau?”
Im Giok sementara itu sudah bisa menekan perasaannya, maka ia lalu membalas isyarat Tiauw Ki dengan
sentuhan perlahan pada tangannya, kemudian ia menjawab,
“Cuwi sekalian hendak mengetahui namaku? Aku she Kiang, seorang yang tak ternama. Aku hendak pergi
ke Tiang-hai...”
“Ke Tiang-hai?” pemuda yang mengaku bernama Lie Kian Tek itu memotong, “Kiang-siocia, kebetulan
sekali! Aku, Lie Kian Tek bersama kawan-kawanku ini pun hendak pergi ke Tiang-hai. Kau hendak memberi
selamat kepada Suma-huciang untuk ulang tahunnya yang ke enam puluh ini, bukan?”
“Ulang tahunnya yang ke enam puluh?” tanya Im Giok merdu. “Ya, benar, begitulah! Akan tetapi aku pergi
bersama dia ini, tidak bersama engkau.”
“Ha-ha-ha, alangkah lucu dan janggalnya! Kiang-siocia, kudamu dan kudaku patut jalan berdampingan, kau
dan aku pun kiranya patut menjadi sahabat seperjalanan. Tetapi dia ini? Hmm, biar pun kudanya bagus,
akan tetapi ia tidak patut menunggang kudanya itu, buktinya tadi belum apa-apa sudah jatuh dari kudanya.
Ha-ha-ha!”
“Tuan Lie, kau akan menjadi tamu dari pamanku, kenapa kau menghina keponakannya?”
“Kau keponakan Suma-huciang?” tanya Lie Kian Tek sambil memandang dengan tajam.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku yang bodoh memang keponakan luar dari Suma-huciang,” Gan Tiauw Ki menjawab dingin.
Pemuda yang mewah itu nampak tercengang dan mukanya segera berubah. Ia bertukar pandang dengan
kawan-kawannya, kemudian dia menjura kepada Tiauw Ki dan berkata, “Maaf, maaf, kami tidak tahu bahwa
Tuan adalah keponakan dari Suma-huciang. Sampai bertemu di dalam pesta.”
Sesudah berkata demikian, Lie Kian Tek membalapkan kudanya, diikuti oleh lima orang kawannya. Debu
mengebul di belakang mereka sehingga Tiauw Ki dan Im Giok harus menutupi mulut dan hidung dengan
ujung lengan baju.
“Manusia sombong...!” kata Ang I Niocu Kiang Im Giok.
“Sombong juga sudah sepatutnya karena dia adalah putera dari Gubernur Lie di Shansi,” jawab Tiauw Ki
sambil menghapus debu dari mukanya sehingga kulit mukanya menjadi merah.
“Gan-kongcu...”
“Nona, harap kau jangan menyebut kongcu kepadaku, aku hanyalah seorang pemuda miskin biasa saja.
Aku malu menerima sebutan ini.”
Im Giok tersenyum manis.
“Habis, aku harus menyebut bagaimana?” tanyanya.
“Walau pun kita baru tiga hari berkenalan, akan tetapi aku merasa seperti sudah seabad mengenalmu,”
kata Tiauw Ki.
“Aduh, sudah berapa abadkah usiamu?” Im Giok menggoda.
Tiauw Ki tersenyum. “Sesungguhnya, Nona. Aku merasa seakan-akan sudah lama sekali mengenalmu.”
“Aku pun demikian, Gan-kongcu,” jawab Im Giok jujur. “Agaknya memang watak kita yang cocok.”
“Kita seperti saudara saja,” kata pula Tiauw Ki.
“Memang kau baik sekali.”
“Kalau begitu, mengapa kau tidak menyebut aku twako (kakak besar) saja? Dan aku akan menyebutmu
adik, bukankah ini lebih tepat dan lebih enak didengarnya?”
Im Giok memandang. Tiauw Ki memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, bibir tertutup, hati
terbuka mengalirkan rasa yang hanya dapat ditangkap melalui sinar mata.
“Baiklah, Gan… Twako. Ehh, ya, aku lupa. Kau tadi mengaku di depan orang she Lie tadi sebagai
keponakan Suma-huciang, bukankah kau telah membohong?”
“Memang aku tadi berbohong. Nama Suma-huciang amat disegani orang, biarpun dia itu putera seorang
gubernur, tetap saja saja dia tidak berani bersikap kurang ajar terhadap Suma-huciang. Karena itu, ketika
melihat dia hendak kurang ajar padamu, aku terpaksa membohong untuk menutup mulutnya dan mengusir
dia pergi.”
Im Giok tersenyum “Bagaimana nanti kalau dia bercakap-cakap dengan Suma-huciang dan menyebutnyebutmu?”
“Tidak apa, selain aku tidak takut, juga tadi aku tak sudi menyebut nama, bagaimana dia bisa bicara
tentang orang yang tak bernama?”
“Gan-twako, lain kali kau tak perlu mencoba melindungiku dengan jalan membahayakan dirimu sendiri. Aku
tidak takut akan gangguan she Lie itu. Apa bila tadi aku mau, hemm... aku dapat membuat dia jungkir balik
dari atas kudanya!” kata Im Giok gagah.
“Nona...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lho, kau sendiri yang merubah sebutan, Twako...”
“O, ya! Maaf, begini, Siauw-moi...”
“Kenapa kau menyebutku Siauw-moi (Adik Cilik)? Aku tidak kecil lagi, Twako...”
“Ehh ya... Kiang-moi, sebenarnya aku pun percaya dan mengerti bahwa kau tidak takut kepadanya. Akan
tetapi, orang she Lie itu amat terkenal lihai ilmu silatnya, sedangkan kalau terjadi keributan, hal itu amat
tidak baik bagi tugasku.”
Im Giok mengangguk-angguk. “Aku mengerti, Twako, kalau tidak demikian, dan kalau aku tidak ingat akan
tugasmu yang amat penting, apakah kau kira aku masih dapat menahan sabar menghadapi ocehan
manusia sombong macam Lie Kian Tek itu?”
Dua orang muda itu melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Tiang-hai. Tidak lama kemudian mereka
memasuki kota itu, sebuah kota yang besar dan ramai. Setelah mereka memasuki kota, nampak makin
banyak orang yang agaknya datang dari luar kota, ada yang berkuda, berkereta, banyak pula yang berjalan
kaki.
Mata Im Giok yang tajam dapat melihat betapa banyak orang-orang yang kelihatannya berkepandaian
tinggi, seperti orang-orang kang-ouw. Akan tetapi karena ia sendiri belum terkenal, maka ia tidak dikenal
orang dan hal ini melegakan hatinya.
“Gan-twako, mengapa kau tidak bilang bahwa hari ini Suma-huciang sedang merayakan hari lahirnya yang
ke enam puluh tahun?” Im Giok menegur kawannya.
“Aku sendiri pun baru tadi mendengar dari mulut Lie Kian Tek,” jawab Tiauw Ki. “Akan tetapi hal ini lebih
baik, aku dapat menghadap Suma-huciang dengan dalih menghaturkan selamat serta menghaturkan
barang persembahan tanpa dicurigai orang lain. Agaknya Suma-huciang sengaja mengadakan pesta untuk
mengumpulkan orang-orang, dan untuk mengetahui siapa lawan siapa kawan.”
Im Giok memuji kecerdikan Gan Tiauw Ki. “Kalau begitu, kurasa kau akan menghadapi banyak bahaya,
Gan-twako. Kulihat orang-orang yang datang ke kota ini hampir semua adalah orang-orang kang-ouw, dan
di antaranya tentu banyak yang jahat. Ada baiknya kalau aku pun menghadiri pesta itu dan untuk memberi
hormat dan selamat pula kepada Suma-huciang. Ada pun untuk barang hantaran, biarlah aku memberikan
ini.”
Im Giok mencabut tusuk kondenya yang terbuat dari emas dihias kemala indah. Melihat barang ini, Tiauw
Ki berubah air mukanya dan kulit mukanya menjadi merah sekali. Im Giok tertegun.
“Ehh, Gan-twako, kau kenapakah?” tanyanya.
Muka Tiauw Ki makin merah. “Kiang-moi, alangkah tajamnya pandang matamu. Sedikit saja ada apa-apa
terasa dalam hatiku, kau sudah tahu!”
Im Giok tertawa. “Kau pun tajam pandang matamu, Twako. Ketika aku marah dan hendak mendamprat
orang she Lie, kau menyentuh tanganku dan melarangku marah-marah.”
“Mudah saja, kulihat ujung hidungmu bergerak-gerak, aku sering kali melihat kau berhal seperti itu kalau
merasakan sesuatu, maka aku dapat menyangka bahwa kau tentu akan marah terhadap orang she Lie itu.”
“Begitukah? Apakah ujung hidungku suka bergerak-gerak? Alangkah lucu dan anehnya. Tentu seperti
hidung kuda!”
“Ahh, tidak Kiang-moi, bahkan lucu dan... dan manis sekali,” kata Tiauw Ki.
“Aah, sudahlah. Kau memang pandai memuji. Kau sendiri pun mudah dilihat. Mukamu merah seperti udang
direbus, bagaimana aku tidak tahu bahwa kau memikirkan sesuatu? Lebih baik sekarang kau mengaku,
kau sedang berpikir apakah?”
“Tusuk kondemu itu, Kiang-moi. Sayang sekali kalau diberikan kepada Suma-huciang.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahh, ini benda tidak begitu berharga, Twako.”
“Mungkin harganya tidak begitu tinggi, akan tetapi selama ini sudah menghias rambutmu, jadi... jadi...
begitulah, amat berharga dalam pandanganku. Karena itu jangan diberikan sebagai hadiah, kalau hendak
memberi hadiah, lebih baik kita beli saja di toko emas di kota ini, aku membawa bekal banyak uang Kiangmoi.”
Tiba-tiba muka Im Giok menjadi merah dan gadis ini merasa amat girang.
“Twako, aku sendiri tidak membawa uang. Tetapi aku tidak mau kalau kau membelikan barang hadiah itu
untukku. Aku lebih suka memberikan tusuk konde ini dari pada aku harus menyusahkanmu membeli di
toko.”
“Begini saja, Kiang-moi. Kalau kau begitu angkuh dan tidak mau menerima uangku untuk membeli barang
tanda mata, bagaimana kalau... kalau... aku tukar saja tusuk kondemu itu? Sebagai gantinya aku
membelikan barang hadiah yang jauh lebih mahal harganya untuk diberikan kepada Suma-huciang?”
Kembali dua pasang mata beradu dan keduanya bermerah muka.
“Sesukamulah, bagiku benda ini jatuh di tangan siapa saja pun tidak ada bedanya. Tentu saja… kalau
berada di tanganmu lebih baik lagi.”
“Mengapa lebih baik, Kiang-moi?” Tiauw Ki mendesak.
“Mengapa? Ahh... kau mendesak dengan pertanyaan yang bukan-bukan.”
“Mengapa, Kiang-moi? Mengapa lebih baik?” kembali pemuda itu mendesak.
“Sstt, lihat, banyak orang memperhatikan kita. Mari kita pergi ke rumah penginapan dan berganti pakaian,
lalu mengunjungi rumah Suma-huciang.”
Keduanya lalu mencari rumah penginapan, menyewa dua buah kamar, lalu berkemas. Tak lama kemudian
keduanya keluar lagi dengan pakaian sudah ditukar pakaian bersih. Mereka pun mandi lebih dahulu
sehingga sepasang orang muda itu nampak bersih dan tampan, benar-benar merupakan pasangan yang
amat sedap dipandang.
Dengan diantar oleh Tiauw Ki, Im Giok mencari barang hadiah di toko emas dan akhirnya setelah memilihmilih
lalu membeli sebuah kotak kuno berukir yang indah sekali dari toko perhiasan. Ia hendak memberikan
tusuk kondenya kepada Tiauw Ki, akan tetapi pemuda itu menolak dan mengatakan nanti saja.
Kemudian dua orang muda itu pergi ke gedung pembesar Suma-huciang yang berada di tengah kota.
Gedung itu besar dan bentuknya kuno, sebab semenjak beberapa keturunan Suma-huciang memang
sudah menjabat pangkat dan berjasa kepada Kaisar. Jadi bukan semata karena kedudukannya maka
Suma-huciang disegani oleh para pembesar lainnya, akan tetapi terutama sekali karena nama keluarganya
yang semenjak dulu menjadi tokoh besar yang disayang oleh Kaisar karena setia dan berani mati membela
negara.
Ketika mereka tiba di situ, ternyata sudah banyak sekali tamu memenuhi ruangan depan. Keadaan
sungguh ramai dan meriah. Tambur, canang, suling dibunyikan orang, didahului suara biduan pria yang
parau dan nyaring.
Di ruangan depan sebelah kiri ramai orang bermain judi, di sebelah kanan serombongan orang-orang tua
bertanding minum arak sehingga suasana di kanan kiri ruangan itu amat ramai. Hanya di ruang tengah
yang luas sekali itu berkumpul orang-orang muda yang duduk mengobrol sambil menghadapi makanan dan
minuman.
Tuan rumah, Suma-huciang yang sudah berusia enam puluh tahun namun nampak masih gagah bermuka
merah bagai muka Kwan Kong (tokoh Sam Kok yang terkenal), bertubuh tinggi besar, memakai pakaian
kebesaran dengan pedang pemberian Kaisar tergantung pada pinggangnya, duduk di ruangan sebelah
dalam di mana berkumpul tamu-tamu yang dipandang sebagai golongan tinggi dan terhormat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Banyak sekali pelayan hilir mudik mengatur kelancaran pesta itu. Setiap orang tamu yang datang tentu
disambut oleh pelayan yang berpakaian indah. Tamu baru ini dibawa masuk dan diantar menghadap
Suma-huciang yang duduk di ruangan dalam, kemudian tamu ini menghaturkan selamat sekalian memberi
hormat serta memberikan barang hadiah yang dibawanya, kemudian oleh pelayan ia dipersilakan duduk di
ruangan yang tepat baginya. Pelayan penyambut ini adalah orang yang berpengalaman luas dan mengenal
hampir semua tamu sehingga ia maklum ke mana ia harus membawa tamunya duduk.
Barang-barang sumbangan diletakkan di atas sebuah meja besar panjang yang ditilami sutera merah,
diatur berjajar seakan-akan berlomba keindahannya dan kemahalannya. Tamu-tamu wanita yang
jumlahnya paling banyak dua puluh lima orang, amat sedikit apa bila dibandingkan dengan jumlah tamu
pria, duduk di dekat tempat sumbangan.
Ada pula beberapa orang tamu wanita yang duduk semeja dengan tamu-tamu pria. Tamu wanita seperti ini
pasti orang-orang kang-ouw dan para ahli silat, mudah dilihat dari gerak gerik mereka, pakaian, dan pedang
mereka. Bagi wanita yang sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, tidak ada lagi pantangan hubungan
dalam pergaulan dengan kaum pria, sungguh pun hubungan ini amat terbatas oleh tata susila yang tetap
dipegang teguh.
Tiauw Ki dan Im Giok disambut oleh pelayan penyambut yang menjura dengan senyum ramah-tamahnya.
“Selamat datang, Tuan Muda beserta Nona. Harap Ji-wi (Tuan Berdua) sudi memberi tahukan nama dan
alamat agar dapat melaporkan kedatangan Ji-wi kepada Taijin.”
“Terima kasih, Lopek. Tolong beri tahukan kepada Suma-taijin bahwa keponakannya she Gan dari kota raja
datang berkunjung bersama seorang sahabat, yaitu Nona Kiang. Kami datang dari jauh sengaja hendak
menghaturkan selamat,” jawab Tiauw Ki dengan suara tenang sewajarnya.
Pada saat pelayan itu mendahului mereka menuju ke ruangan dalam, Tiauw Ki berbisik kepada Kiang Im
Giok sebagai jawaban atas pandang mata keheranan dari nona ini.
“Agar Suma-taijin mengerti bahwa yang datang tentu seorang yang istimewa dari kota raja.”
Diam-diam Im Giok memuji ketabahan dan kecerdikan pemuda ini mengatur siasat. Tiap meja yang
dikelilingi tamu terdiam apa bila mereka lewat dekat, baru kemudian terdengar bisikan-bisikan disertai suara
ketawa ketika mereka sudah lewat, tanda bahwa mereka menjadi pusat perhatian.
Baik Tiauw Ki mau pun Im Giok maklum bahwa lagi-lagi yang menjadi pusat perhatian para tamu pria ini,
tentu Im Giok yang cantik! Akan tetapi gadis itu tak ambil peduli sama sekali, hanya ketika ia mulai masuk
ke ruang dalam, sepasang matanya bergerak penuh perhatian dan terlihatlah olehnya putera gubernur
yang bernama Lie Kian Tek bersama kawan-kawannya berada di dalam ruangan ini.
Ruangan ini paling lebar dan luas, dan di tengah-tengah terdapat sebuah panggung yang menempel pada
dinding, dihias dengan kain sutera dan langkan-langkan indah. Agaknya akan diadakan pertunjukan di atas
panggung, pikir Im Giok yang kemudian memindahkan perhatiannya kepada seorang tua yang berdiri
mendengarkan laporan pelayan, kemudian menyambut kedatangan Tiauw Ki dengan wajah berseri dan
melambaikan tangan.
“Aha, kiranya Gan-hiantit yang baru datang! Bagaimana keadaan ayahmu di kota raja? Baik-baik sajakah?”
Im Giok sampai menahan berdebarnya jantung ketika mendengar ini. Apakah Tiauw Ki betul-betul
keponakan Suma-huciang, ataukah pembesar tua itu yang ikut-ikutan bermain sandiwara secara cerdik
sekali?
“Terima kasih, Paman, terima kasih. Ayah baik-baik saja dan dari jauh menghaturkan selamat atas ulang
tahun Paman disertai doa semoga Paman panjang usia dan hidup bahagia. Ada pun siauwtit sendiri pun
menghaturkan selamat dan membawa sebuah benda tak berharga untuk sekedar sumbangsih dari siauwtit,
mohon diterima.”
Pemuda itu mengeluarkan bungkusan dari saku bajunya, bungkusan sutera kuning yang besarnya hanya
dua tiga kepalan tangan orang. Suma-huciang tertawa sambil menerima bungkusan itu.
“Aah, kau terlalu sungkan, Gan-hiantit, akan tetapi terima kasih atas kebaikanmu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma-huciang lalu memberikan bungkusan itu kepada seorang pelayan yang memang sudah berdiri di situ
dan bertugas menerima barang-barang hadiah, kemudian pelayan itu menaruh bungkusan itu di tengahtengah
meja bersama dengan lain-lain hadiah.
Im Giok yang berpendengaran tajam sekali tiba-tiba saja merasa aneh. Suara berisik dari orang-orang
bercakap-cakap di ruangan itu tiba-tiba menjadi sunyi sejenak, dan ketika ia menyapu ruangan dengan
kerling matanya, ia melihat betapa semua orang mengarahkan pandang mata kepada bungkusan itu!
Akan tetapi dia mendengar suara Tiauw Ki memperkenalkannya kepada Suma-huciang, maka cepat dia
menjura kepada pembesar itu dan berkata,
“Saya yang bodoh kebetulan sekali bertemu dengan Saudara Gan di tengah perjalanan. Mendengar bahwa
Suma-taijin hendak merayakan hari ulang tahun ke enam puluh, saya memberanikan diri ikut dengan
Saudara Gan dan ikut pula menghaturkan sedikit tanda mata yang tidak berharga.”
Dia mengeluarkan bungkusannya, yakni kotak kayu yang indah yang dibelinya dari toko perhiasan. Kembali
kotak itu diterima oleh Suma-huciang dan segera dioperkan kepada pelayannya lalu disimpan di atas meja.
“Terima kasih, Kiang-siocia. Kau sungguh baik sekali. Silakan kalian orang-orang muda memilih tempat
duduk yang enak. Maafkan aku tidak dapat melayani lebih lama karena harus menerima tamu-tamu baru
yang datang.”
Tiauw Ki dan Im Giok menjura, lalu mengundurkan diri. Pelayan hendak mempersilakan mereka duduk di
ruangan luar, akan tetapi Tiauw Ki berkata,
“Aku ingin duduk di ruangan ini, di dekat pamanku.”
Pelayan itu tak berani membantah karena betapa pun juga pemuda ini adalah keponakan Suma-huciang
dan kiranya seorang keponakan sudah patut disejajarkan dengan ‘orang-orang besar’ di situ. Juga Im Giok
sudah memilih tempat di sudut yang masih kosong dan kebetulan sekali, kursi yang dia duduki itu berada
tepat di depan panggung yang masih kosong. Tiauw Ki duduk di seberang meja.
“Kau lihat kalau-kalau bungkusan tadi diambil orang,” bisiknya perlahan kepada Im Giok.
Nona ini maklum dan mengangguk dengan pandang matanya. Baginya hal ini mudah saja karena memang
dia duduk dengan muka menghadap meja besar tempat menaruh barang-barang sumbangan.
Tamu-tamu baru masuk memberi selamat dan barang-barang sumbangan makin banyak sehingga
memenuhi meja. Akhirnya habis juga aliran tamu, ada pun semua tempat sudah penuh oleh tamu.
Hidangan-hidangan lezat dan arak-arak wangi dikeluarkan.
Kemudian salah seorang pengawal dari Suma-huciang angkat bicara mewakili pembesar itu menghaturkan
selamat datang dan terima kasih atas kedatangan para tamu, kemudian mengumumkan bahwa untuk
menghibur para tamu, akan dimainkan tari-tarian oleh para penari yang sengaja datang dari kota raja
sebagai sumbangan dari Kaisar!
Pengumuman ini mendapat sambutan gempar dari semua hadirin, karena hal ini adalah sesuatu yang
istimewa. Tidak sembarang orang pernah menonton pertunjukan luar biasa ini, yaitu para penari cantik jelita
dari dalam istana!
Suma-huciang menjadi gembira sekali melihat sambutan para tamu maka pembesar tua ini bangkit berdiri,
menjura dan berkata,
“Saudara-saudara sekalian, memang hal ini amat menggembirakan. Aku telah menerima karunia besar
sekali dari Hongsiang, karunia yang sangat mengharukan hatiku dan yang selama hidup tidak akan kulupa.
Dalam keadaan seperti ini Hongsiang masih mengingat hambanya yang sudah tua seperti aku, benar-benar
hal yang amat menggembirakan dan mengharukan. Alangkah mulia hati Hongsiang.”
Suma-huciang menghentikan kata-katanya untuk menahan suaranya yang mulai bergetar saking harunya.
Kemudian disambungnya lagi, kini air mukanya berseri.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ada kabar yang baik sekali, Saudara sekalian. Sebelum tari-tarian dari kota raja dimulai, Lie-kongcu putera
dari Paduka Gubernur di Shansi, berkenan memberi hiburan dengan menyumbangkan tarian silat di
hadapan suadara-saudara. Kiranya semua orang sudah mengenal atau mendengar betapa pandainya Liekongcu
bermain silat. Nah, Lie-kongcu, silakan!”
Suma-huciang membungkuk ke arah Lie Kian Tek yang sudah bangkit berdiri disambut tepuk-sorak oleh
para hadirin yang berada di situ. Kini semua tamu wanita memandang ke arah pemuda tampan ini dengan
mata bersinar dan bibir tersenyum-senyum.
“Sebetulnya siauwte merasa amat malu menunjukkan kebodohan, akan tetapi demi untuk meramaikan
pesta Suma-taijin, apa boleh buat!” katanya tersenyum manis.
Mendadak, sekali dia bergerak, tubuhnya melayang naik ke atas panggung! Jarak antara tempat dia berdiri
dengan panggung ada enam puluh tombak, dan dia dapat melompat sedemikian rupa melewati kepala para
tamu, betul-betul merupakan demonstrasi ginkang yang tak boleh dipandang ringan!
Tukang pemukul tambur, canang dan suling sudah siap dan kini terdengar suara musik dipukul gencar.
Akan tetapi Lie Kian Tek memberi isyarat dengan tangan ke belakang sehingga tiba-tiba suara musik
dipukul perlahan sekali.
“Cuwi sekalian, perkenankan siauwte masuk dulu untuk berganti pakaian,” kata pemuda ini dengan lagak
dibuat-buat, kemudian dia berlari masuk melalui pintu sutera di dekat rombongan pemain musik.
Para tamu menjadi ribut, berebutan memilih tempat dekat panggung.
“Tamu wanita di depan!” terdengar suara orang.
Terpaksa tamu-tamu pria mengalah dan sebentar saja terciumlah bau harum serta suara berkereseknya
pakaian ketika tamu-tamu wanita berlari-lari kecil memilih tempat duduk di depan panggung. Tentu saja
otomatis Im Giok terkurung di tengah-tengah.
Sebelum para tamu wanita itu datang Tiauw Ki sudah berbisik, “Adik Im Giok, aku hendak mendekati
Suma-huciang.”
Dan pemuda ini segera berdiri lalu pergi dari situ ketika para tamu wanita datang di depan panggung. Tidak
hanya Tiauw Ki yang meninggalkan tempat itu, juga banyak tamu-tamu pria yang meninggalkan tempat
duduknya lalu diberikan pada para tamu wanita, kecuali beberapa orang laki-laki yang bermuka tebal dan
tidak tahu malu, tetap saja duduk di situ bahkan merasa kebetulan sekali! Oleh sebab itu, maka kepergian
atau kepindahan Tiauw Ki ini tidak menarik perhatian orang.
Setelah semua orang mengambil tempat duduk, dengan kerling matanya Im Giok melihat bahwa Tiauw Ki
benar-benar sudah dapat duduk di dekat Suma-huciang, bahkan juga di dekat panggung, sebelah kiri
panggung di mana orang menyediakan tempat khusus bagi tuan rumah.
Sementara menanti munculnya Lie Kian Tek yang jelas sekali pada malam itu menarik hati orang banyak,
terutama sekali hati para wanita yang hadir di sana, para penabuh musik membunyikan alat musik masingmasing
sehingga keadaan menjadi ramai sekali.
Secara diam-diam Im Giok memperhatikan Tiauw Ki. Ia melihat pemuda itu menggerak-gerakkan tangan
sambil bercakap-cakap asyik sekali dengan Suma-huciang yang tampak mengangguk-angguk.
Karena semua orang, atau hampir semua, boleh dibilang sedang mempercakapkan Lie Kian Tek yang
menjadi populer itu, tentu orang mengira bahwa Tiauw Ki juga berbicara tentang pemuda itu dengan Sumahuciang.
Apa lagi dalam kebisingan suara tambur dan canang, suara mereka sama sekali tidak dapat
terdengar oleh orang lain.
Tidak lama kemudian terdengar tepuk tangan ketika Lie Kian Tek muncul dari belakang pintu sutera. Im
Giok memandang dan diam-diam gadis ini harus mengakui bahwa Lie Kian Tek kelihatan gagah dan
tampan sekali.
Dandanan Lie Kian Tek sebagai seorang pendekar besar pada jaman dulu benar-benar pantas sekali untuk
wajahnya yang gagah tampan dan potongan tubuhnya yang tegap berisi. Pendeknya, pemuda she Lie itu
dunia-kangouw.blogspot.com
potongan pendekar benar, pendekar seperti yang sering kali dijadikan kembang mimpi oleh para gadis
remaja.
Irama musik berubah setelah pemuda ini muncul. Sekarang semua orang terdiam dan hanya memandang
penuh perhatian ketika Lie Kian Tek memulai pertunjukannya dengan menjura ke arah Suma-huciang,
kemudian kepada semua hadirin. Ketika pandangan matanya tertuju ke arah para penonton wanita, ia
memberi kedipan mata kepada Im Giok.
Gadis ini membuang muka, akan tetapi dia melihat semua wanita muda yang berada di sana tertawa
cekakak-cekikik sambil saling cubit, bersikap genit sekali. Im Giok menjadi sebal. Dia tahu bahwa Lie Kian
Tek secara kurang ajar berkedip kepadanya dan para wanita itu masing-masing merasa diajak bermain
mata oleh Lie Kian Tek sehingga timbul suasana yang menggelikan dan menjemukan itu.
Musik ditabuh dengan irama lambat dan Lie Kian Tek mulai bersilat. Pada mulanya dia bergerak lambat,
ada pun pedangnya masih tergantung di pinggang. Pemuda ini memang pandai sekali dan berbakat
sehingga setiap gerakannya merupakan tarian indah. Kadang kala tangannya memegang atau menyambar
ujung ikat pinggang berkembang kemudian bergerak amat gagahnya.
Im Giok secara terus terang harus mengakui bahwa dia sangat tertarik dan suka melihat gerak-gerik
pemuda itu, juga ilmu silat yang dimainkan itu bukanlah ilmu silat biasa, akan tetapi ilmu silat yang
mempunyai dasar tinggi. Namun digerakkan secara lembut-gemulai sedap dipandang.
Dasar Im Giok sendiri seorang ahli seni atau seorang seniwati yang suka akan tari-tarian, kini menonton
orang bermain silat seperti menari, karuan saja ia tertarik sekali. Ketika Lie Kian Tek kebetulan menghadap
ke arah tempat dia duduk, pemuda itu kembali berkedip dan tersenyum kepadanya.
Im Giok mendongkol sekali, mengerutkan kening dan tanpa terasa tangan kirinya naik ke mulutnya untuk
menahan bibirnya yang sudah hendak memaki marah. Akan tetapi dia dapat menekan perasaan
mendongkolnya, bahkan dapat memaksa bibirnya tersenyum seakan-akan dia tertarik seperti orang-orang
lain dan tidak melihat adanya isyarat-isyarat kurang ajar dari pemuda itu.
Lie Kian Tek bersilat semakin cepat dan tidak lama kemudian di atas panggung bagaikan ada beberapa
orang yang bersilat. Gerakannya cepat sekali, dan semua itu tambah indah menarik karena diiringi suara
musik yang gencar dan ramai. Tepuk tangan menyambut permainannya yang memang indah.
Lie Kian Tek makin bangga. Tiba-tiba dia berseru keras dan orang melihat berkelebatnya sinar pedang
yang menyilaukan mata. Ternyata pemuda itu sudah mencabut pedangnya dan kini bersilat pedang dengan
gerakan indah dan cepat. Pedang di tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti
seluruh tubuhnya.
Akan tetapi Im Giok yang bermata tajam dapat mengikuti setiap gerakannya dan biar pun ia harus memuji
bahwa ilmu pedang pemuda itu cukup baik, akan tetapi tidak begitu lihai kalau dilawan, atau pendeknya ia
sanggup untuk menandingi pemuda itu dalam ilmu silat.
Mendadak Lie Kian Tek berseru keras dan mengakhiri ilmu pedangnya dengan gerakan menyambit. Inilah
gerakan Sin-liong Hian-bwe (Naga Sakti Mengulur Ekornya) semacam gerakan yang sukar dilakukan dan
biasanya di dalam pertempuran hanya dilakukan oleh orang yang sudah sangat terdesak atau sudah
terluka sehingga gerakan terakhir adalah dengan menimpukkan pedangnya. Pedang di tangan Lie Kian Tek
meluncur cepat sekali dan tahu-tahu telah menancap di atas tiang yang berada di depan Suma-huciang,
kurang lebih satu kaki di atas kepala pembesar itu!
Tadinya semua orang terkejut karena menyangka bahwa pedang itu ditimpukkan ke arah Suma-huciang,
akan tetapi segera meledak tepuk tangan memuji ketika Suma-huciang tertawa-tawa sambil bertepuk
tangan pula! Tiauw Ki yang duduk di dekat pembesar itu menjadi pucat dan dia kagum bukan main melihat
ketenangan Suma-huciang yang masih dapat bertepuk tangan memuji, padahal baru saja dia mengalami
kekagetan yang cukup menegangkan hati. Ia sudah biasa dan memiliki kepandaian silat tinggi pula, akan
tetapi Tiauw Ki yang belum melihat kepandaiannya bersangsi apakah pembesar yang sudah tua ini mampu
menandingi kepandaian Lie Kian Tek yang muda dan lihai.
“Kepandaian hebat, Lie-kongcu.” Suma-huciang berkata sambil tertawa kepada Lie Kian Tek yang masih
membungkuk-bungkuk menerima pujian dan tepuk tangan. “Akan tetapi sayang, timpukanmu kurang keras
sehingga pedang hanya menancap setengahnya saja pada tiang kayu. Apa bila dipergunakan dalam
dunia-kangouw.blogspot.com
perang, kiranya tak akan dapat menembus baju perang musuh yang terbuat dari besi!”
Sambil berkata demikian, pembesar ini berdiri dari kursinya, menggunakan dua buah jari tangan kanan,
yakni jari tengah dan telunjuk menjepit pedang yang menancap di tiang itu dan sekali betot pedang itu telah
tercabut keluar! Lalu sambil tertawa ia memuji,
“Pedang bagus! Pedang bagus!”
Kemudian sambil menjura ia mengembalikan pedang itu kepada Lie Kian Tek, lalu duduk kembali di
kursinya.
Tepuk tangan riuh menyambut demonstrasi tenaga lweekang yang hebat ini. Tiauw Ki memandang dengan
melongo dan hampir saja pemuda ini menjulurkan lidahnya saking kagum dan heran. Im Giok tertegun.
Tenaga lweekang seperti itu tidak mudah dilakukan oleh sembarang orang, pikirnya dan ia gembira bahwa
pembesar yang menjadi ‘sahabat’ Tiauw Ki itu ternyata bukanlah orang lemah dan kiranya tidak kalah kalau
dibandingkan dengan Lie Kian Tek.
Lie Kian Tek mengerutkan kening dan wajahnya yang tampan itu mulai berubah muram. Ia lalu menerima
pedangnya dari tangan Suma-huciang, kemudian sambil menyeringai ia berkata, menjura kepada
pembesar itu,
“Ahhh, nama besar Suma-taijin bukanlah nama kosong belaka, membuat siauwte takluk sekali. Hari ini
adalah hari gembira sekaligus hari baik, maka untuk menambah meriah suasana, aku sangat
mengharapkan supaya Taijin sudi menunjuk seorang jagoan untuk menunjukkan kepandaiannya di
panggung ini. Selain untuk menambah pengalaman kami orang-orang Shansi, juga untuk sekedar
perbandingan kegagahan antara kawan-kawan kita.”
Kata-kata ini sebenarnya bukan semata untuk menyatakan ketidak senangan hati putera Gubernur ini
sebab tadi telah menerima celaan dari Suma-huciang, tapi pada hakekatnya mengandung segi politis yang
mendalam.
Suma-huciang adalah seorang pembesar yang sangat setia kepada Kaisar, dan yang di daerah ini
merupakan satu-satunya orang yang disegani oleh para pembesar yang korup dan yang hendak
memberontak, karena mereka tahu bahwa Suma-huciang akan menjadi penghalang besar dan akan
membela negara dengan nyawa. Dan para pemberontak itu pun tahu bahwa selain diri sendiri lihai. Sumahuciang
mendapat dukungan banyak orang pandai di dunia kang-ouw, karena itu sejauh ini para
pemberontak belum berani turun tangan mengganggu Suma-huciang.
Ada pun Lie Kiang Tek adalah putera Gubernur Shansi, gubernur di samping gubernur Propinsi Honan,
merupakan orang terkemuka dan tokoh besar yang anti Kaisar! Tidak mengherankan kalau di dalam hati
mereka terkandung rasa permusuhan besar, sungguh pun pada lahirnya kedua pihak belum berani
berterang menyatakan rasa kebencian dan permusuhan.
Kini mendapatkan kesempatan baik, Lie Kian Tek sengaja mengeluarkan kata-kata untuk memancing
keluarnya jago pembela Suma-huciang sehingga di samping untuk mengenal siapa pembela pembesar
setia raja ini, juga untuk mengukur sampai di mana kelihaian mereka! Dilihat dari sini, ternyata bahwa Lie
Kian Tek bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga cerdik dan licin.
Suma-huciang bukan seorang pembesar kawakan yang sudah banyak pengalaman kalau kalau ia tidak
mengerti akan maksud hati putera Gubernur ini. Sambil senyum ia berkata,
“Terima kasih kepada Lie-kongcu yang sudah begitu memperhatikan untuk memeriahkan pestaku ini.”
Suma-huciang lalu memberi isyarat kepada seorang tamu yang cepat berdiri dan menjura kepadanya.
Orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus, sikapnya tenang
dan matanya bersinar tajam.
Dia ini adalah seorang piauwsu (pengawal barang) di kota Tiang-hai yang sangat terkenal dan juga amat
setia terhadap Kaisar, karena itu selalu membela Suma-huciang. Sesudah memberi hormat kepada Sumahuciang,
dia segera berjalan menghampiri panggung dan dengan gerakan ringan melompat naik, menjura
kepada Lie Kian Tek lalu berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hamba Chi Liok menerima tugas dari Suma-huciang untuk memenuhi usul Lie-kongcu. Harap saja
kebodohan hamba tak akan menjadi tertawaan para Enghiong dari Shansi.”
Lie Kian Tek tersenyum mengejek, “Aha, kiranya Chi-piauwsu yang akan menjadi wakil Tiang-hai. Bagus,
sudah lama kami ingin menyaksikan kelihaian Chi-piauwsu. Silakan.”
Sesudah berkata begitu, Lie Kian Tek melepaskan penghias kepala dan melompat turun, memilih tempat
duduk tidak jauh dari tempat duduk Im Giok, menoleh atau melirik sambil tersenyum kepada gadis itu,
kemudian melepaskan jubah luarnya sehingga sekarang dia kembali memakai pakaiannya yang tadi
sebelum ia bermain di atas panggung.
Para wanita melirik-lirik, kerling memikat menyambar-nyambar ke arahnya dan senyum simpul menghujani
pemuda itu! Kian Tek melempar senyum dan membagi kerling kepada para wanita yang mengaguminya itu,
lalu duduk dengan sikap angkuh, memandang ke arah panggung.
Sementara itu, musik sudah dibunyikan pula dan Chi Liok mulai bersilat tangan kosong. Gerakannya lambat
saja dan jauh kalah menarik kalau dibandingkan dengan pertunjukan Lie Kian Tek tadi, maka di sana-sini
lantas terdengar suara ejekan. Bahkan di antara para penonton wanita ada yang terkekeh menertawakan.
Akan tetapi Im Giok melihat bahwa piauwsu itu adalah seorang ahli lweekeh yang tak boleh dipandang
ringan.
Setiap gerak tangan mengandung tenaga lweekang yang cukup kuat, sedangkan bhesi kakinya bukan
main. Sesudah menyelesaikan babak permainan ilmu silat tangan kosong, Chi-piauwsu segera
mengeluarkan senjatanya, yakni sebatang joan-pian (ruyung lemas) yang berwarna hitam.
Dia lalu bersilat dengan joan-pian ini. Kembali gerakannya lembut dan perlahan, namun joan-pian itu
kadang-kadang mengeluarkan suara mengiuk, tanda bahwa gerakan senjata itu cepat dan mengandung
tenaga besar.
Setelah selesai bersilat, Chi-piauwsu menjura kepada penonton dan berkata, ”Aku orang she Chi sudah
memperlihatkan kebodohan, harap jangan ditertawakan mengingat bahwa aku naik ke panggung ini atas
perintah Suma-taijin.” Ia lalu melompat turun dan kembali duduk di tempatnya semula.
Lie Kian Tek memberi isyarat dengan tangannya kepada seorang bermuka kuning yang tadi ikut mengantar
ia datang, yakni salah seorang di antara lima orang kawannya. Orang bermuka kuning ini mengangguk
sambil menyeringai, kemudian berseru keras,
“Suma-taijin, hamba mohon diberi kesempatan mewakili Shansi!”
Sebelum Suma-huciang menjawab, tubuhnya sudah melayang ke atas panggung dengan gerakan indah.
Ternyata orang ini datang-datang mendemonstrasikan ginkang yang lihai.
Suma-huciang tertawa. “Boleh, boleh! Tak usah bertanya lagi, karena memang tiba giliran pihak Shan-si,”
jawabnya.
Si Muka Kuning tersenyum lalu menjura kepada penonton, kemudian berkata, suaranya lantang tinggi.
“Siauwte bernama Coa Keng, menerima titah Lie-kongcu mewakili Shansi. Akan tetapi, siauwte bukanlah
seorang yang suka pamer. Ada banyak orang yang suka memamerkan sedikit kepandaian yang tak berarti,
sebaliknya banyak pula orang yang tak perlu banyak pamer. Kalau orang berkepandaian seperti Liekongcu,
patutlah jika diperlihatkan kepada orang banyak, karena memang indah dan mengagumkan, sedap
dipandang. Akan tetapi ketika melihat Saudara Chi Liok tadi bersilat, betul-betul siauwte diam-diam
menggeleng kepala. Siauwte tak mau berlaku seperti Saudara Chi Liok, mempertontonkan keburukan dan
kebodohan sendiri.”
“Eh, Coa-kauwsu, kau naik ke panggung mau bersilat atau berpidato?” terdengar Chi Liok menegur. Orangorang
tertawa dan kali ini yang ditertawakan adalah Coa Keng sehingga muka yang kuning itu menjadi
hijau.
“Chi-piauwsu, bermain silat seorang diri kurang menggembirakan. Untuk membuktikan bahwa kau tadi
hanya menjual keburukan dan kebodohan sendiri, silakan kau naik ke sini dan mengawani aku bermainmain
sebentar. Tentu akan lebih menggembirakan suasana, bukan? Ataukah, kau... takut?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Inilah tantangan hebat. Chi Liok mendongkol sekali, akan tetapi piauwsu ini tidak berani sembarangan
bergerak. Sikap Si Muka Kuning itu dia anggap kurang ajar sekali, akan tetapi ia tidak berani bersikap
seperti itu di depan Suma-huciang. Maka ia memandang ke arah pembesar ini.
Bukan saja Chi Liok tidak berani bersikap kurang ajar, juga ia tahu siapa adanya Lie Kian Tek dan kawankawannya.
Ribut dengan mereka hanya berarti memancing kekacauan besar, dan memancing timbulnya
pertentangan besar antara mereka yang anti Kaisar dan pihaknya yang pro Kaisar yang memang sudah
lama sekali diam-diam saling membenci.
Semenjak tadi sebelum keadaan meruncing, Suma-huciang telah bertukar pikiran dengan Tiauw Ki, bahkan
sudah menerima pesanan Kaisar dan para pembesar tinggi di istana. Di antara beberapa nasehat yang
dibawa oleh Tiauw Ki, juga pemuda ini menyampaikan kehendak kaum berkuasa di istana bahwa Sumahuciang
diberi tugas untuk memancing sampai di mana tingkat pemberontakan Gubernur Shansi dan
Honan terhadap Kaisar dan sampai di mana pula kekuatan mereka.
Kini dia menghadapi tantangan, tantangan untuk timbulnya keributan hebat, yang dia tahu sengaja
dicetuskan oleh Lie Kian Tek. Agaknya memang pemuda putera gubernur itu datang hanya berdalih
memberi selamat, akan tetapi sebetulnya sudah mendapat tugas dari ayahnya.
Inilah kesempatan baik, pikir Suma-huciang. Kesempatan untuk menguji serta melihat ‘isi hati’ musuhmusuhnya
tanpa menimbulkan kesan bahwa keributan itu terjadi dikarenakan perasaan pribadi. Maka ia
lalu mengangguk kepada Chi Liok.
Setelah melihat isyarat dari Suma-huciang bahwa dia boleh melayani Coa Keng, piauwsu itu menjadi
gembira sekali. Tidak seperti tadi ketika mendemonstrasikan kepandaian di atas panggung ia bermain
lambat-lambatan, kini sekali melompat dia sudah melayang ke atas panggung menghadapi Coa Keng!
Ia menjura, dibalas oleh Coa Keng. Dua jago berhadapan dan saling mengukur ‘isi’ lawan dengan
pandangan mata. Penonton memandang tegang.
“Saudara Coa Keng, betulkah kau mengundang aku naik ke panggung untuk melayanimu bermain silat?”
tanya Chi Liok, suaranya masih tenang.
Coa Keng tersenyum mengejek. “Kenapa tidak betul? Untuk meramaikan suasana pesta dan sebagai
penghormatan kepada Suma-taijin, sudah sepatutnya bila kita bermain-main sebentar. Asal saja kau tidak
takut, karena dalam permainan silat bersama kita berdua pasti maklum bahwa kemungkinan terluka besar
sekali, bahwa ada kemungkinan terpukul tewas.”
“Ini sebuah tantangan!” Chi Liok menegur gemas.
“Kau takut?” Coa Keng menggerakkan alis, menghina.
“Orang sombong, kau sajakah yang memiliki keberanian? Baik, kuterima tantanganmu. Di sini banyak
sekali yang melihat alangkah kurang ajarnya sikapmu, dan bahkan aku hanya membela diri, membela
kepentingan nama taijin, nama daerah dan namaku sendiri. Kau mulailah!”
Coa Keng mengeluarkan suara nyaring dan mendadak dengan suara licik, sambil masih tertawa, ia
langsung mengirim pukulan kilat ke arah lambung Chi Liok!
“Bukkk!”
Tubuh Chi Liok terpental dan hampir saja piauwsu ini roboh apa bila ia tidak lekas-lekas berpoksai dan
berdiri lagi. Mukanya agak berubah, tapi pukulan tadi tidak mendatangkan luka dalam yang hebat karena ia
masih keburu mengerahkan lweekang ke arah bagian yang akan terpukul.
“Kau curang!” bentaknya.
“Bukankah kau menyuruh aku mulai? Baru sekali pukul saja hampir roboh. Ha-ha-ha!”
“Rasakan ini!” Chi Liok menyerang tiba-tiba sebelum lawannya berhenti tertawa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pukulannya hampir saja mengenai leher di bagian yang berbahaya kalau saja Coa Keng tidak lekas-lekas
miringkan tubuh sehingga yang terpukul hanya pundaknya. Namun ini cukup membuat Coa Keng
terhuyung ke samping sebanyak tiga tindak sambil meringis karena pundaknya terasa sakit sekali.
“Kurang ajar kau!” bentaknya.
Dan di lain saat dua orang ini sudah saling gebuk, saling tendang dan bertanding secara kasar sekali.
Sebetulnya ilmu silat mereka juga tidak terlalu rendah akan tetapi oleh karena watak Coa Keng amat kasar,
cara berkelahinya juga kasar sehingga mereka lebih sering memukul tanpa membahayakan lawan dari
pada mengirim serangan yang betul-betul berbahaya bagi keselamatan lawan.
Pertempuran itu berjalan seru. Bagi orang-orang yang tidak tahu ilmu silat atau yang ilmu kepandaiannya
masih rendah, memang pertandingan itu terlihat ramai dan menegangkan sekali. Akan tetapi bagi orangorang
yang kepandaiannya tinggi, makin lama pertempuran itu nampak makin menjemukan. Akhirnya
terdengar suara teriakan sakit dan tubuh Coa Keng terlempar terkena tendangan Chi Liok dan
menggelundung keluar dari panggung!
Orang-orang wanita yang tadinya masih menonton dengan muka khawatir mengeluarkan jeritan dan cepatcepat
mereka berbondong pergi meninggalkan panggung untuk duduk di tempat semula, menjauhi
panggung. Hanya ada empat orang wanita termasuk Im Giok yang tidak beranjak pergi dan karena ini Im
Giok dapat menduga bahwa tiga orang wanita di dekatnya itu tentulah orang-orang yang mengerti ilmu silat.
Dia melirik dan melihat bahwa tiga orang ini adalah seorang wanita tua yang memegang tongkat dan
rambutnya diikat kain putih, sedangkan dua orang lainnya adalah gadis-gadis yang berpakaian sederhana
akan tetapi cukup manis. Sikap mereka memang tak seperti orang-orang sembarangan dan Im Giok ingin
sekali tahu siapa gerangan mereka bertiga ini.
Sementara itu, di atas panggung terjadi hal lain yang menggemparkan. Begitu tubuh Coa Keng terguling
meninggalkan tempat itu, lantas berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di hadapan Chi-piauwsu sudah
berdiri seorang kakek. Kakek ini satu kali menggerakkan tangan ke depan, Chi Liok langsung memekik dan
terlempar keluar panggung!
“Orang-orang macam ini berani betul menjual lagak di atas panggung, benar-benar tidak menghormat
kepada Suma-taijin, harap disuruh keluar tokoh Tiang-hai yang betul-betul memiliki kepandaian untuk
bermain-main dengan aku. Barang kali Taijin sudah lupa lagi, aku adalah Ceng-jiu Tok-ong dari barat dan
kini mewakili Shansi.”
Im Glok terkejut bukan main. Tadi ia tidak melihat kakek ini dan tiba-tiba kakek itu naik ke panggung, tentu
untuk mengacau. Teringat olehnya bahwa Giam-ong-to Kam Kin, murid kakek ini pun sudah menjadi
seorang komandan pasukan, tentu pasukan dari Gubernur Shansi! Kalau demikian, tentu Ceng-jiu Tok-ong
menjadi kaki tangan Lie Kian Tek.
Mengingat sampai di sini, Im Giok lalu menengok ke arah Kian Tek. Akan tetapi ia tidak melihat pemuda itu
dan kursinya kosong. Otomatis Im Giok teringat akan bungkusan yang disumbangkan oleh Tiauw Ki kepada
Suma-huciang, maka dia menengok ke arah meja tempat menaruh barang-barang sumbangan.
Pada lain saat, tubuh Im Giok sudah lenyap, yang tampak hanya bayangan merah yang amat cepat. Gadis
ini tadi melihat Lie Kian Tek berada di dekat meja dan tengah menegur seorang laki-laki yang dengan
gerakan cepat sekali mengulur kedua tangan mengambil barang-barang berharga yang kecil-kecil dari atas
meja!
Kedatangan Im Giok tak terlihat oleh mereka dan tahu-tahu orang laki-laki yang bertubuh kecil pendek itu
berseru kaget ketika pundaknya ditotok orang. Akan tetapi dia ternyata lihai bukan main karena dia masih
sempat mengelak dan walau pun totokan itu masih mengenai pundaknya, akan tetapi tidak berakibat apaapa.
Im Giok yang tadi menotok merasa kaget dan sama sekali tak mengira orang itu demikian lihai, maka ia
menyerang terus sambil membentak,
“Bangsat kecil, kau hendak mencuri apa?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua kali lm Giok menyerang dan dua kali gagal karena Si Kate Kecil itu dengan amat lincahnya dapat
mengelak dan hendak melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba Lie Kian Tek menendangnya sambil berseru,
“Kau hendak lari ke mana?”
Kembali secara mengagumkan sekali Si Kate itu mengelak dan mencoba untuk lari terus. Dua kali lagi Im
Giok berusaha menangkapnya, sedangkan Lie Kian Tek sudah tiga kali mencoba untuk merobohkannya
dengan serangan maut, namun semua dapat dielakkan oleh Si Kate itu.
“Copet, kau bikin gara-gara saja, tidak tahu kalau sedang kucari-cari!” tiba-tiba terdengar teguran orang.
Mendengar suara ini Si Kate lalu melesat dan tahu-tahu ia telah berada di belakang orang ini dan mencari
perlindungan di belakang tubuhnya! Pada saat Im Giok dan Lie Kian Tek menengok, ternyata orang yang
datang ini adalah Suma-huciang!
“Lie-kongcu, apakah kesalahan dia maka kau serang dia?” tanya Suma-huciang kepada Lie Kian Tek.
“Aku melihat dia menggeratak di meja dan hendak mencuri barang-barang sumbangan,” kata putera
gubernur itu.
Suma-huciang menengok kepada Im Giok, “Dan kau, Nona, mengapa pula kau hendak menangkapnya?”
“Aku melihat dia mengambil barang-barang dari atas meja, Taijin,” jawab In Giok sambil mengerling ke arah
Tiauw Ki yang juga menengok dan memandang ke arah mereka dari tempat duduknya di belakang
panggung.
Suma-huciang tertawa. “Harap kalian memaafkan dia ini. Dia dijuluki Sin-touw-ong (Raja Copet Sakti) dan
di Tiang-hai sudah terkenal. Dia nakal akan tetapi tak pernah membawa pergi barang orang lain. Copet,
kau mengambil apa saja? Hayo lekas keluarkan!”
Sin-touw-ong yang kate sekali tubuhnya itu tersenyum-senyum gembira seperti seorang pelawak, kemudian
dia mengeluarkan banyak sekali benda dari sakunya yang ternyata banyak pula.
Benda-benda itu lalu dikeluarkan satu demi satu seperti tukang sulap dan Im Giok sendiri sampai terheranheran
karena sukar dipercaya bagaimana seorang kate seperti itu dapat menyimpan benda sebanyak itu
tanpa kelihatan dari luar. Juga, yang membikin ia cemas, di antara benda-benda itu tidak terdapat
bungkusan sumbangan Tiauw Ki yang ternyata telah lenyap dari atas meja!
“Segera kembalikan barang-barang itu, dan mari kau wakili Tiang-hai di atas panggung, Touw-ong,” kata
Suma-huciang yang tidak pedulikan semua itu dan tidak memperhatikan barang apa yang mungkin hilang.
Sin-touw-ong cepat mengembalikan barang-barang itu di atas meja, kemudian ia berjalan menuju ke
panggung bersama Suma-huciang. Im Giok memandang kepada Lie Kian Tek dengan penuh curiga, akan
tetapi mukanya menjadi merah ketika dia melihat pemuda itu tengah memandangnya sambil tersenyum
penuh arti!
“Nona, kau betul-betul gagah. Kau benar-benar mengagumkan dan dibandingkan dengan engkau, semua
wanita yang berada di sini, juga yang berada di mana saja, semua tiada artinya! Nona, pertemuan ini
benar-benar dapat dinamakan jodoh. Kau dan aku berjodoh, maukah kau ikut aku keluar dari tempat ini dan
kita bercakap-cakap di tempat yang lebih sunyi dan dingin? Hubungan kita perlu dipererat dan...”
“Jahanam, tutup mulutmu!” Im Giok memaki marah.
Gadis ini lalu pergi ke tempat duduknya. Mukanya terasa panas sekali dan kedua pipinya merah sekali. Dia
mendongkol bukan main. Kalau tidak ingat bahwa dia berada di tempat orang lain dan kalau saja ia tidak
ingat akan tugasnya mengawal Tiauw Ki dan melakukan perintah Susiok-couw-nya, tentu dia tadi sudah
memukul putera gubernur yang bermulut lancang itu.
Sementara itu, di atas panggung Ceng-jiu Tok-ong sekarang sudah berhadapan dengan Sin-touw-ong.
Ceng-jiu Tok-ong tertawa bergelak dan berkata lantang,
“Ha-ha-ha, Suma-taijin bagaimanakah ini? Benar-benarkah Taijin mengajukan dia ini ke atas panggung?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika ia melihat pembesar itu mengangguk sambil tersenyum, Ceng-jiu Tok-ong menjadi marah. Dia
merasa terhina sekali karena harus menghadapi seorang demikian tak berarti. Ditatapnya wajah Sin-touwong
seperti seekor harimau menatap tikus.
“Kau ini manusia tiada guna, benar-benarkah kau sudah bosan hidup? Kau manusia tidak ternama, tahukah
kau dengan siapa kau berhadapan?”
Raja copet yang kate itu cengar-cengir laksana seorang badut. Ia memiliki bentuk muka yang lucu.
Tubuhnya pendek kecil, matanya lebar dan hidungnya dapat bergerak-gerak. Apa lagi berhadapan dengan
Ceng-jiu Tok-ong, benar-benar bagaikan seorang raksasa yang berhadapan dengan seorang katai.
“Aku memang tidak terkenal, akan tetapi kau... kau ini siapakah?” tanyanya memicingkan mata.
“Setan pendek, dengar baik-baik. Aku adalah Ceng-jiu Tok-ong!”
Si Kate menggerakkan kedua pundaknya. “Aku tidak ternama, kau pun tidak terkenal,” dia berkata acuh tak
acuh.
“Bangsat, aku adalah tokoh besar dari barat. Di dalam dunia kang-ouw, siapakah yang tidak mengenal
namaku?” Ceng-jiu Tok-ong membentak.
“Setan besar, kau tak mengenal namaku, aku pun tak mengenal namamu, siapa di antara kita yang paling
tidak terkenal? Kau berjulukan Ceng-jiu Tok-ong (Raja Racun Bertangan Seribu), dan aku berjuluk Sintouw-
ong (Raja Copet Sakti), sungguh kalau dibilang kita ini tidak terkenal, akan tetapi sebetulnya kau dan
aku adalah raja-raja besar!”
Meledak suara ketawa para hadirin di situ mendengar kata-kata ini.
“Lo-enghiong, mengapa tidak lekas-lekas ratakan setan pendek itu dengan tanah? Injak saja kepalanya,
habis perkara!” seorang kawan dari Lie Kian Tek berseru tak sabar lagi melihat jagonya dipermainkan oleh
raja copet itu.
“Ya, ya, injaklah! Injaklah!” Sin-touw-ong mengejek.
Dia lantas memasang kuda-kuda rendah sekali di depan Ceng-jiu Tok-ong, seakan-akan mempersiapkan
diri untuk diinjak. Kembali terdengar suara orang tertawa riuh, sungguh pun mereka yang telah mengenal
kelihaian Ceng-jiu Tok-ong, juga merasa khawatir akan keselamatan Si Kate itu.
“Bangsat tukang copet, bersiaplah kau untuk mampus!” Ceng-jiu Tok-ong yang tak dapat menahan
sabarnya lagi sudah maju menyerang.
Serangannya keras dan cepat sekali sehingga Sin-touw-ong terkejut setengah mati. Raja copet ini bukan
orang biasa. Ia adalah seorang kang-ouw yang telah berpengalaman dan sebagai seorang maling dan
copet, dia memiliki kepandaian istimewa, yakni kepandaian menjaga diri. Ia licin bagaikan belut dan
gerakannya lincah, ditambah pula dengan bentuk tubuhnya yang pendek kecil, sukarlah bagi lawan untuk
menyerangnya.
Tentu saja ia sudah pernah mendengar nama besar Ceng-jiu Tok-ong, akan tetapi ia tak mengira bahwa
serangan lawannya akan sehebat itu. Cepat raja copet itu mengelak.
Akan tetapi Ceng-jiu Tok-ong adalah seorang tokoh besar dunia persilatan yang sudah lebih
berpengalaman, maklum pula apakah yang diandalkan oleh lawannya. Maka ia tidak mau memberi
kesempatan dan terus menyerang dengan cepat dan bertubi-tubi. Setiap serangannya merupakan pukulan
atau tendangan maut. Jangankan baru seorang seperti Sin-touw-ong, biar pun lebih tinggi kepandaiannya
tak akan kuat menerima pukulan ini.
Im Giok memandang semuanya ini dengan hati berdebar. Gadis ini pernah bertemu dan bertempur dengan
Ceng-jiu Tok-ong, maka dia tahu sampai di mana kelihaian kakek ini. Dan menurut pandangannya, walau
pun Si Raja Copet memiliki kegesitan luar biasa dan ilmu silat yang berdasarkan pertahanan dan
penjagaan diri, akan tetapi bila dibandingkan dengan Ceng-jiu Tok-ong, dia masih jauh sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia dapat menduga bahwa Si Kate itu biar pun seorang pencopet, tentulah termasuk orang atau pembela
Suma-huciang, jadi masih segolongan dengan pemuda pelajar Tiauw Ki. Lagi pula dia ingin sekali
menyelidiki siapakah yang mengambil bungkusan Tiauw Ki yang disumbangkan kepada Suma-huciang
karena tadi sudah lenyap dari atas meja. Si Kate itulah yang mengambilnya dan belum
mengembalikannya? Ataukah Lie Kian Tek?
Melihat Sin-touw-ong sudah terdesak hebat, Im Giok lalu berlari mendekati panggung dan melompat ke
atas panggung. Sekali ia mengulur tangan, ia telah dapat memegang leher baju Sin-touw-ong dan
membawanya lompat ke dekat tempat Suma-huciang. Gerakan ini cepat sekali.
Ceng-jiu Tok-ong yang mengenal gadis itu seketika menjadi berubah air mukanya. Kakek ini merasa
sangsi. Kepada gadis itu biar pun ia tahu amat lihai, ia masih belum jeri. Akan tetapi kalau ia teringat akan
Bu Pun Su yang pernah menolong gadis itu, bulu tengkuknya langsung berdiri!
Semua orang menjadi gempar pada waktu melihat seorang gadis baju merah yang cantik, secara aneh
telah menahan Si Raja Copet dan membawanya ke dekat Suma-huciang. Akan tetapi Im Giok tidak
mempedulikan semua itu dan kepada Suma-huciang ia berkata,
“Taijin, tadi kulihat barang sumbangan dari Gan-twako telah lenyap, mungkin sekali dicuri oleh tukang copet
itu!”
Tiauw Ki dan Suma-huciang saling bertukar pandang, kemudian pembesar itu tersenyum kepada Im Giok.
“Terima kasih, Nona. Jika Nona tidak maju, kiranya nyawa pencopet ini sudah melayang. Touw-ong, lekas
kau haturkan terima kasih kepada penolongmu!”
Sin-touw-ong cengar-cengir, kemudian ia menjura berkali-kali di hadapan Im Glok sambil berkata,
“Nona yang cantik dan gagah perkasa, mataku sungguh buta tidak dapat melihat Bukit Thai-san! Akan
tetapi aku tidak kalah terhadap setan beracun itu.”
“Kau tidak kalah? Jangan main-main!” Suma-huciang berkata menegur orangnya.
Si Tukang Copet mengeluarkan sebuah benda dari sakunya yang aneh dan segera Im Giok terkejut.
Ternyata bahwa pencopet ini sudah berhasil mencopet golok pusaka milik lawannya, yakni, Cheng-tok-ong
(Golok Racun Hijau).
“Inilah buktinya bahwa tadi aku tidak kalah dan ini pula, Nona. Kiranya ini obat penolak racun!” Kembali
dirogohnya saku bajunya dan. keluarlah obat bubuk dalam botol tanah.
Im Giok merasa kagum bukan main. Biar pun ilmu silatnya belum begitu tinggi akan tetapi dalam hal ilmu
mencopet, kiranya orang kate ini memang patut disebut Raja Copet Sakti!
Sementara itu, di atas panggung terdengar Ceng-jiu Tok-ong berteriak-teriak, “Ha-ha-ha, begitu sajakah
jagoan dari Tianghai? Segala tukang copet dan tukang maling! Ha-ha-ha. Hayo, mana lagi jago Tiang-hai?
Suma-taijin, apakah pertunjukan silat disudahi sampai di sini saja dengan pengakuan kalah dari pihakmu?
Kalau begitu, biarlah kini kita menikmati pertunjukan tari-tarian dari kota raja. Ha-ha-ha!”
“Hemm, manusia itu menghina sekali,” kata Sin-touw-ong.
“Biarlah, lebih baik kita sudahi keributan ini,” usul Tiauw Ki.
Suma-huciang menghela napas. “Kalau saja aku bukannya tuan rumah dan tidak pantas sekali apa bila aku
sendiri yang naik ke panggung, aku ingin sekali belajar kenal dengan kepandaian manusia sombong kaki
tangan Gubernur Lie itu!”
Sambil berkata demikian, pembesar itu memandang kepada Im Giok. Gadis ini dapat menangkap arti
pandang mata Suma-huciang. Kiranya pembesar ini bermata amat tajam. Sekali saja melihat bagaimana
gadis itu menangkap Sin-touw-ong, ia maklum bahwa Im Giok memiliki kepandaian tinggi dan pasti dapat
melawan Ceng-jiu Tok-ong. Akan tetapi karena baru saja dia kenal dengan gadis ini, apa lagi baru saja
gadis ini telah bebaskan Sin-touw-ong dari ancaman bahaya maut di tangan lawannya, maka ia tidak berani
minta kepada Im Giok untuk mewakilinya di atas panggung.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Taijin, kalau memang Taijin menghendaki supaya aku mencuci nama Taijin yang dikotori oleh manusia itu,
akan kulakukan sekarang juga.”
“Ahh, aku akan membikin repot saja, juga tidak enak terhadap Gan-siucai, karena kau dibawa olehnya,”
kata pembesar itu.
“Tidak apa, Taijin. Justru karena Gan-twako mempunyai hubungan baik dengan Taijin, maka orang
menghina Taijin seperti menghina Gan-twako dan berarti pula menghina aku sendiri,” kata Im Giok.
Ia kemudian cepat menghampiri panggung sambil membawa golok rampasan. Lebih dulu dengan sangat
cepat gadis ini mengoleskan sedikit bubuk rampasan itu di bawah hidung sehingga ia lantas mencium
aroma yang wangi sekali.
Dengan gerakan ringan Im Giok melompat ke atas panggung, disambut tepuk sorak para penonton. Dari
atas panggung Im Giok dapat melihat muka Lie Kian Tek berubah pucat. Im Giok tidak pedulikan itu semua
dan langsung dia menghadapi Ceng-jiu Tok-ong yang masih ragu-ragu karena mengira gadis ini datang
dikawal oleh Bu Pun Su!
“Apa kau datang hendak melanjutkan pertandingan dahulu itu? Asal saja kau berani maju sendiri, jangan
bawa-bawa orang tua!” katanya perlahan, hanya terdengar oleh Im Giok.
Gadis itu tersenyum, lalu berkata keras kepada orang banyak, “Si Sombong ini mengira bahwa dia telah
menang dalam pertempuran melawan Sin-touw-ong. Padahal, kalau aku tidak datang dan membawa pergi
Sin-touw-ong, kiranya Raja Copet itu kini telah berhasil mencopet isi perutnya tanpa ia mengetahui!”
“Bohong! Omongan apa ini? Dialah yang hampir saja mampus!” bantah Ceng-jiu Tok-ong marah.
Kiang Im Giok tersenyum manis. Dia lalu memperlihatkan golok yang dibawanya dengan mengacungkan
senjata itu ke atas agar kelihatan oleh semua orang yang hadir.
“Tok-ong, kau lihat baik-baik, golok siapakah ini? Dan bungkusan obat penawar racun ini, punya siapa
pula?”
Ceng-jiu Tok-ong kaget bukan main dan meraba pinggangnya, ternyata golok di pinggang dan bungkusan
obat di dalam saku telah lenyap!
“Bagaimana bisa berada di tanganmu?” tanyanya heran dan mukanya berubah merah.
“Siapa lagi kalau bukan Sin-touw-ong yang mengambilnya? Nah, kalau dia menghendaki, apakah dia tidak
sanggup mengambil nyawamu dari pada mengambil dua benda ini dari tubuhmu? Benar-benar kau tak tahu
diri. Apakah masih saja kau tidak mau terima kalah?” Dalam kata-kata ini Im Giok mengancam, lalu ia
melemparkan golok dan bungkusan obat itu ke atas lantai panggung.
Ceng-jiu Tok-ong ragu-ragu. Dia masih jeri menghadapi Im Giok yang ilmu pedangnya amat lihai, juga ia
takut setengah mati kalau memikirkan apakah Bu Pun Su tidak sedang bersembunyi di tempat itu dan akan
muncul kalau sampai dia mendesak Im Giok. Kini, secara aneh sekali Si Kate itu telah berhasil mencopet
golok beserta bungkusan obatnya. Benarkah Si Copet itu yang melakukan hal aneh ini?
Dia tadi sudah mendesak hebat, apa mungkin Si Kate itu sempat mencuri senjatanya? Siapa tahu kalaukalau
ini pun perbuatan Bu Pun Su, kiranya tidak ada hal tak mungkin! Mengingat sampai di sini, Ceng-jiu
Tok-ong bergidik dan dia pikir lebih baik cepat mundur sebelum celaka. Sekarang ada kesempatan baik
baginya untuk mundur tanpa mendapat malu.
Ia lalu membungkuk, mengambil senjata dan obatnya, lalu berkata sambil menjura, bukan kepada Im Giok
melainkan kepada Sin-touw-ong.
“Kepandaian Sin-touw-ong lihai sekali, sungguh membuat orang kagum!” Setelah berkata begitu, Ceng-jiu
Tok-ong lalu melompat turun dari panggung.
Im Giok tersenyum puas. Memang dia tidak menghendaki kalau pesta ulang tahun dari Suma-huciang itu
berubah menjadi gelanggang pertempuran yang akan mengorbankan nyawa. Baiknya ia dapat mengusir
dunia-kangouw.blogspot.com
mundur Ceng-jiu Tok-ong hanya dengan kata-kata dan gertakan belaka, tanpa menurunkan tangan keras,
karena ia maklum bahwa bila sampai terjadi pertempuran, walau pun ia tak akan kalah, akan tetapi juga
bukan hal yang mudah untuk mengalahkan Ceng-jiu Tok-ong!
Gadis ini melompat turun dari panggung dan menghampiri Suma-huciang dan Gan Tiauw Ki. Pembesar itu
menyambutnya dengan muka berseri.
“Baiknya ada Lihiap yang mencuci bersih nama kota Tiang-hai yang hendak dihina oleh orang lain,”
katanya, kemudian pembesar ini berkata dengan suara lantang,
“Terima kasih kepada semua enghiong yang sudah menyumbangkan tenaga untuk turut meramaikan pesta
ini. Sekarang tibalah gilirannya para penari yang akan memperlihatkan keindahan tarian mereka!”
Terdengar musik dibunyikan orang dan tak lama kemudian, tujuh orang gadis penari yang cantik jelita
muncul di atas panggung, menari-nari dengan gerakan tubuh yang indah dan gemulai, membuat darah
orang-orang muda yang hadir di sana tersirap ke muka serta denyut jantung menjadi cepat sekali.
Perhatian semua tamu tercurah kepada para penari dari kota raja ini. Hal ini membuat Im Giok leluasa
bicara dengan Tiauw Ki.
“Tidak apa, Giok-moi,” kata pemuda itu setelah mendengar akan kekhawatiran gadis itu tentang hilangnya
bungkusan barang sumbangan.
“Bungkusan itu kosong tidak berisi suatu apa pun yang berharga. Surat dari Kaisar yang sesungguhnya
tidak berada di situ, akan tetapi kuserahkan kepada Suma-huciang ketika kami bercakap-cakap tadi.”
Im Giok menjadi lega dan dia memandang dengan wajah berseri. Ia kagum sekali akan kecerdikan pemuda
ini. Dengan demikian, surat rahasia itu tidak terampas oleh orang lain dan ini berarti tugas Im Giok
mengawal pemuda serta suratnya berhasil baik. Kini surat sudah berada di tangan Suma-huciang, orang
yang berhak, maka sudah tidak ada tugas apa-apa lagi di tempat itu.
“Kalau begitu, tugas kita sudah selesai. Kapan kita meninggalkan tempat ini?” tanyanya.
“Sebetulnya aku sendiri pun tidak suka tinggal terlalu lama di sini,” jawab Tiauw Ki sambil melempar kerling
ke arah Lie Kian Tek seakan-akan hendak menyatakan bahwa ketidak senangan itu disebabkan oleh
kehadiran putera gubernur itu. “Akan tetapi, Suma-taijin minta kepadaku untuk bermalam di sini malam ini
dan besok hari baru kita meninggalkan tempat ini. Kuharap kau tidak keberatan, Adik Im Giok.”
“Keberatan sih tidak, asal saja malam ini tidak akan terjadi sesuatu atas dirimu,” kata Im Giok mengerutkan
kening.
“Giok-moi yang baik, dengan adanya kau di sini, aku takut apakah?” Kata-kata ini disertai senyum dan
pandang mata penuh arti, yang hanya dapat dimengerti oleh Im Giok.
Tiba-tiba gadis ini merasa jengah, mukanya kemerahan dan untuk sesaat ia tidak berani memandang
langsung kepada Tiauw Ki.
“Aku hanya memenuhi perintah Susiok-couw...,” katanya kemudian perlahan.
Karena takut kalau-kalau keadaan mereka diperhatikan oleh orang lain, lalu mengalihkan pandang mata ke
atas panggung di mana para penari sedang menunjukkan kepandaian mereka dengan indahnya.
Demikianlah, pesta berjalan terus dengan sangat lancar dan kejadian sebelum tari-tarian diadakan agaknya
telah dilupakan orang. Bahkan dari pihak Lie Kian Tek sendiri agaknya tidak ada aksi-aksi selanjutnya.
Sesudah tari-tarian berhenti dan diganti dengan biduan-biduan istana yang menyanyikan lagu-lagu merdu,
berangsur-angsur para tamu mengundurkan diri, berpamit kepada tuan rumah sambil menghaturkan terima
kasih. Akhirnya Suma-huciang sendiri yang sudah tua merasa lelah dan minta maaf kepada para tamu
yang masih hadir, mengundurkan diri untuk mengaso.
Setelah minta maaf kepada tamu-tamu yang tersisa tak berapa banyak lagi dan menjura, Suma-huciang
lalu mengajak Gan Tiauw Ki masuk ke dalam. Kepada Im Giok ia berkata, “Nona, kalau Nona hendak
mengaso, sebuah kamar sudah tersedia. Silakan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Im Giok menjura kepada tiga orang wanita yang masih berada di situ, yakni nenek yang duduk dengan dua
orang wanita muda dan nampak bukan orang-orang sembarangan itu. Semenjak tadi mereka diam saja,
maka Im Giok juga tak mempedulikan mereka dan tidak tahu siapakah gerangan mereka ini.
Ketika tiga orang ini berjalan menuju ke ruangan dalam, mereka melewati tempat duduk Lie Kian Tek dan
kawan-kawannya. Pemuda putera gubernur Shansi ini nampak tengah bercakap-cakap dengan Ceng-jiu
Tok-ong. Suma-huciang berhenti dan menjura.
“Lie-kongcu, maafkan aku tak dapat melayani lebih lama karena terlalu lelah dan hendak mengaso. Kamar
untuk Lie-kongcu beserta rombongan telah dipersiapkan di penginapan terbesar di kota ini. Silakan Kongcu
bersenang-senang menikmati nyanyian di sini dan bila mana Kongcu ingin beristirahat, perintahkan saja
kepada pelayan untuk menyediakan kendaraan.”
Lie Kian Tek tersenyum dan menjura, akan tetapi matanya melirik ke arah Im Giok.
“Terima kasih, memang sebentar lagi kami pun hendak beristirahat pula. Selamat tidur, Suma-taijin.”
Suma-huciang yang diiringi oleh Tiauw Ki dan Im Giok melanjutkan langkahnya menuju ke ruang dalam.
Setelah tiba di ruangan yang sunyi ini, pembesar itu lalu berkata kepada Tiauw Ki,
“Gan-siucai, tentu kau masih ingat akan semua pesanku, bukan? Ada sedikit pesanku lagi harap
disampaikan kepada Hong-siang, yaitu bahwa bahaya yang datang dari Shansi tidak begitu besar apa bila
dibandingkan dengan bahaya yang mengancam dari Honan. Karena itu, terhadap Honan (Propinsi Honan)
hendaknya ditaruh perhatian sepenuhnya dan jangan diabaikan.”
Tiauw Ki mengerutkan keningnya dan matanya memandang heran. Namun sebelum dia mengeluarkan
pertanyaan, ia telah didahului oleh pembesar itu.
“Aku tahu mengapa engkau merasa heran, Gan-siucai. Memang nampaknya keadaan di Honan tenangtenang
saja, akan tetapi percaya sajalah, di dalamnya terdapat pengaruh yang kelak akan membahayakan
kedudukan Kaisar. Aku tak dapat bicara panjang lebar lagi, harap kau mengaso dan besok segera
menyampaikan pesanku. Hong-siang akan mengerti apa yang kau maksudkan.”
Terpaksa Tiauw Ki tidak membantah. Ia menjura dan berkata, “Baiklah, Taijin, akan saya perhatikan dan
sampaikan semua pesan Taijin. Besok pagi-pagi saya serta Kiang-lihiap akan berangkat. Kalau tidak
sampai berpamit, harap Taijin sudi memaafkan.”
Suma-huciang menoleh kepada Im Giok, tersenyum berkata, “Kau amat mengagumkan, Kiang-lihiap. Aku
harus berterima kasih kepadamu. Benar-benar kau patut menjadi cucu murid Bu Pun Su, seorang sakti
yang semenjak dulu aku kagumi. Tolong kau sampaikan hormatku kepada pendekar sakti itu kalau kau
bertemu dengan dia.”
Im Giok menjadi jengah mendengar pujian ini dan dia cepat memberi hormat. Kemudian pembesar itu
memasuki kamarnya, sementara kedua orang muda itu pun pergi ke kamar masing-masing yang sudah
disediakan, sesudah mereka berjanji akan berangkat besok pagi-pagi pada waktu ayam jantan berkokok.
Malam hari itu Im Giok tak dapat tidur. Dia gelisah di dalam kamarnya. Ada kekhawatiran kalau-kalau akan
terjadi sesuatu pada malam hari itu, sesuatu yang akan menimpa diri Suma-huciang atau Gan Tiauw Ki.
Ancaman terhadap diri Suma-huciang masih belum menggelisahkan hatinya. Akan tetapi kalau dia teringat
bahwa tugas yang dibawa oleh Tiauw Ki bukanlah tugas ringan dan keselamatan anak muda itu selalu
terancam, Im Giok menjadi gelisah. Bagaimana kalau ada bahaya mengancam diri pemuda itu?
Malam itu ia selalu memikirkan Tiauw Ki. Tiap saat hanya pemuda inilah yang memenuhi pikirannya. Tanpa
disengaja bayangan Tiauw Ki selalu tampak di depan matanya, gema suara pemuda itu selalu berdengung
di telinganya!
“Aku harus melindunginya, biar pun aku harus bertaruh nyawa!” pikir gadis yang sedang tergoda asmara
ini.
Keputusan ini membuat Im Giok tidak berani merebahkan diri. Ia lalu duduk bersila di atas pembaringan
dunia-kangouw.blogspot.com
dan beristirahat dengan cara bersemedhi. Menjelang subuh dia mendengar suara berkeresekan di atas
genteng. Ia cepat membuka mata dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Akan tetapi karena
selanjutnya tidak ada suara apa-apa.
Dia pun tidak mau lancang mengejar keluar, takut kalau-kalau hanya akan menimbulkan keributan belaka.
Sayang sekali gadis ini tidak keluar, kalau ia melakukan hal ini, mungkin ia akan mencegah terjadinya hal
yang mengerikan!
Tak lama kemudian, terdengar ayam jantan berkokok, saling sahut ramai sekali. Im Giok melompat turun
dari pembaringan, menggantungkan pedang di pinggang, mengikatkan buntalan pakaian di punggung dan
siap untuk berangkat. Karena ia tidak tidur, maka ia dapat bersiap-siap dengan cepat, bahkan tanpa
menyisir rambutnya yang digelung indah, cukup memperkuat tali dan tusuk rambutnya saja.
Dia mendengar langkah kaki di luar pintunya. Cepat daun pintu kamarnya dia buka dan ternyata Tiauw Ki
sudah berdiri di situ, juga sudah siap untuk berangkat.
Dua orang pelayan menghampiri mereka dan menjura sambil berkata, “Selamat pagi, Siauw-ya dan Siocia!
Apakah berangkat sekarang?”
“Benar, Lopek. Tolong suruh tukang kuda mengeluarkan kuda kami dan menyediakan di depan.”
“Baik, Siauw-ya,” jawab pelayan-pelayan itu dengan girang sambil menerima dua potong uang perak
sebagai hadiah dari Tiauw Ki.
Dua orang muda ini lalu berjalan menuju ke luar dari gedung yang besar dan panjang ini.
“Enak tidurkah kau malam tadi, Giok-moi?” tanya Tiauw Ki kepada Im Giok.
“Enak juga. Dan kau?”
“Aku gelisah saja, entah mengapa. Agaknya karena hawa terlalu panas,” jawab Tiauw Ki.
Im Giok teringat akan bunyi di atas genteng. Kamar pemuda ini letaknya tidak jauh dari kamar Sumahuciang,
maka dia lalu bertanya, “Twako, apakah kau tidak ada mendengar suara apa-apa malam tadi?
Kalau kau tidak dapat tidur, tentunya kalau ada apa-apa kau mendengarnya.”
Tiauw Ki menggeleng kepala. “Tadinya aku pun takut kalau-kalau terjadi sesuatu, akan tetapi sukurlah,
sampai aku tertidur, aku tidak mendengar apa-apa.”
Diam-diam Im Giok merasa lega, akan tetapi ia tidak puas dan masih curiga. Pemuda ini tidak mengerti
ilmu silat, bagaimana ia dapat mendengar suara gerakan penjahat yang tinggi ilmu silatnya? Ia malam tadi
mendengar suara yang ia tahu adalah suara kaki orang menginjak dan berjalan di atas genteng, orang
yang ilmu ginkang-nya sudah tinggi sekali. Ataukah barang kali pendengarannya salah? Karena selanjutnya
tidak ada suara apa-apa, ia tidak menyelidik lebih lanjut.
Sementara itu, pelayan-pelayan tadi sudah membawa kuda mereka ke depan gedung. Maka berangkatlah
Tiauw Ki dan Im Giok pada pagi hari itu dalam keadaan cuaca masih remang-remang dan segala apa
nampak berwarna kelabu.
Sampai lama mereka melarikan kuda berdampingan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Keduanya amat
muram. Tanpa kata-kata mereka merasakan peristiwa duka yang mereka hadapi, yakni perpisahan.
Im Giok sudah selesai tugasnya mengawal pemuda itu menghadap Suma-huciang dan menyampaikan
pesanan Kaisar, karenanya dia harus memisahkan diri. Tidak selayaknya seorang gadis seperti dia terusterusan
melakukan perjalanan bersama seorang pemuda tanpa ada alasan yang kuat. Sekarang dia harus
pulang ke Sian-koan, sedangkan Tiauw Ki tentunya hendak ke kota raja. Terpaksa mereka harus berpisah.
Tak ada alasan untuk melakukan perjalanan bersama karena berbeda tujuan.
Tanpa berkata-kata keduanya maklum bahwa perjalanan mereka bersama hanya akan sampai di sungai
kecil yang berada kurang lebih lima belas li di depan, di mana terdapat jalan simpangan dan di sana
keduanya akan berpisah untuk melanjutkan perjalanannya masing-masing. Semakin dekat dengan sungai
itu, otomatis keduanya memperlambat lari kudanya sehingga di lain saat kuda mereka hanya berjalan saja!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Adik Im Giok, selanjutnya kau akan ke mana?” Tiauw Ki bertanya.
Sebuah pertanyaan yang aneh dan lucu karena keduanya sudah sama-sama mengetahui ke mana gadis
itu akan pergi kalau tidak pulang ke rumah ayahnya di Sian-koan! Dan dari pertanyaan ini saja telah
membayangkan keadaan hati pemuda itu, dan Im Giok maklum pula akan hal ini.
Memang cinta kasih itu aneh sekali. Biar pun pemuda dan gadisnya sama-sama selama hidupnya belum
pernah mengalami buaian asmara dan baru kali itu mengalami perasaan yang amat aneh ini, akan tetapi
keduanya seakan-akan sudah berpengalaman, keduanya sudah dapat menangkap maksud hati masingmasing
hanya dengan rasa.
Kerling mata mengandung seribu bahasa mesra, senyum tipis membayangkan perasaan hati berdebar,
gerak-gerik mengisyaratkan suara hati. Demikian tajamnya perasaan orang yang menghadapi pujaan
hatinya, seakan-akan antara keduanya sudah ada kontak yang timbul oleh getaran-getaran perasaan.
Sungguh pun Im Giok maklum mengapa pemuda itu masih juga bertanya ke mana dia hendak pergi, ia
menjawab juga perlahan sambil menundukkan muka,
“Aku hendak pulang ke Sian-koan. Dan kau... ke manakah, Twako?”
“Tentu ke kota raja... tugasku belum selesai. Sayang...”
Lama tidak terdengar mereka berkata-kata dan sunyi di pagi hari yang indah itu. Matahari belum kelihatan,
akan tetapi cahayanya telah mulai mengusir kabut fajar dan menggugah alam yang terlelap dalam mimpi.
Yang terdengar hanya suara kicau burung, diseling oleh derap kaki dua ekor kuda yang berjalan perlahan
di atas jalan berbatu.
“Mengapa sayang, Twako?” Im Giok sudah membolak-balik pertanyaan ini beberapa kali di dalam hati
sebelum ia mengeluarkan melalui bibirnya. Hatinya berdebar-debar menanti jawab, seperti seorang
penjahat menanti pengucapan hukuman oleh hakim.
“Sayang karena... karena terpaksa kita harus berpisah.” Suara pemuda itu menggetar.
Tiba-tiba Im Giok menjadi merah mukanya, merah sampai ke telinganya. Mengingat akan keadaan dirinya
sendiri, tiba-tiba Im Giok mengerahkan tenaga batinnya untuk mengusir perasaan malu dan jengah yang
luar biasa ini, kemudian ketabahannya yang luar biasa dapat membuat dia menguasai diri lagi. Ia
tersenyum dan dengan wajah ayu memandang Tiauw Ki.
“Twako, kau ini aneh. Ada waktu bertemu pasti ada pula waktu berpisah. Bukankah ada kata-kata para
cerdik pandai di jaman dahulu bahwa bertemu itu artinya berpisah? Atau jelasnya bahwa pertemuan adalah
awal perpisahan?”
Tiauw Ki yang tiba-tiba menjadi lemas melihat senyum yang demikian manisnya, wajah yang berseri dan
mata bersinar-sinar sehingga membuat baginya seakan-akan matahari sudah muncul setinggi-tingginya,
menjadi seperti orang linglung.
“Mengapa demikian?”
Pertanyaan ini tak karuan juntrungnya, padahal sebagai seorang sastrawan, sudah tentu pemuda ini hafal
akan semua filsafat kuno, tidak kalah oleh Im Giok. Akan tetapi pada waktu itu, otaknya seakan-akan
tertutup dan ia tidak sadar apa-apa, yang ada hanyalah wajah yang luar biasa cantik jelitanya dari gadis
yang berada di sampingnya.
Melihat betapa pemuda itu duduk di atas kudanya sambil memandang bengong padanya seperti orang
kena sihir, Im Giok tersenyum makin lebar.
“Mengapa? Ehh, Gan-twako, tentu saja pertemuan adalah awal perpisahan, karena kalau tidak bertemu
lebih dulu, bagaimana bisa berpisah?”
Jawaban yang merupakan kelakar ini membikin sadar Tiauw Ki dari lamunan. Ia menarik napas panjang
dan berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tepat sekali kata-katamu, Giok-moi. Dan inilah yang menyakitkan hatiku. Bagiku... berat sekali perpisahan
ini. Kalau boleh aku ingin membuang jauh-jauh ucapan kuno itu, ingin kuganti...”
Im Giok mengangkat alisnya dan memandang lucu. “Ehm, apa kau ingin menyaingi para pujangga kuno
dan merubah kata-kata mereka?”
“Ya, khusus tentang pertemuan itulah. Dengar aku merubahnya, dan ini terutama sekali untuk kita berdua,
Adikku. Pertemuan bukanlah awal perpisahan, akan tetapi pertemuan adalah awal persatuan abadi.
Bagaimana kau pikir, bukankah ini lebih tepat dan lebih baik?”
Im Giok menutup mulutnya menahan ketawa, kemudian melarikan kudanya.
“Ada-ada saja kau ini, Twako,” katanya seperti marah.
Akan tetapi suara ketawanya berlawanan dengan kata-kata yang seperti marah ini, maka Tiauw Ki juga
membalapkan kudanya mengejar.
“Adik Im Giok, tunggu...! Kita tidak akan berpisah selamanya!” Tiauw Ki berani berteriak menyatakan
perasaan hatinya ini saking gembiranya. Akan tetapi Im Giok yang timbul kembali rasa malu dan jengah,
tidak mau menghentikan kudanya.
Karena kuda dibalapkan, sebentar saja tahu-tahu sudah sampai di sungai yang melintang di depan. Im
Giok tersentak kaget dan menghentikan kudanya dengan tiba-tiba. Melihat sungai itu ia tersadar bahwa
semua tadi bukan main-main, melainkan sungguh-sungguh perpisahan telah berada di depan mata! Dan ia
pun menjadi berduka.
Alisnya berkerut, kegembiraannya lenyap sama sekali. Dia telah merasakan kebahagiaan luar biasa di
dalam hatinya selama dekat dengan Tiauw Ki. Sekarang perpisahan dengan pemuda itu mendukakan
hatinya.
“Giok-moi...!” Tiauw Ki juga sudah tiba di situ. Pemuda ini melompat turun dari kudanya. “Giok-moi, harap
jangan tergesa-gesa. Begitu girangkah hatimu untuk meninggalkan aku maka kau tergesa-gesa?”
Im Giok melompat turun dari kudanya pula dan berkata, “Twako, janganlah kau berkata begitu...” Dalam
suaranya kini terkandung sedu-sedan.
“Marilah kita gunakan saat terakhir ini untuk bercakap-cakap dan memberi kesempatan kepada kuda kita
beristirahat,” kata Tiauw Ki yang membawa kudanya ke pinggir sungai di mana terdapat rumput yang hijau
dan gemuk.
Im Giok meniru perbuatannya dan sesudah kedua ekor kuda itu makan rumput dengan lahapnya, mereka
lalu mencari tempat duduk. Kebetulan sekali tidak jauh dari sana, di pinggir sungai kecil terdapat sebatang
pohon yang teduh dan di bawah pohon terdapat batu-batu sungai yang besar dan bersih licin. Ke situlah
dua orang ini berjalan perlahan.
Tiauw Ki duduk di atas sebuah batu besar, merenung ke arah air sungai. Im Giok juga duduk di atas batu
tak jauh dari tempat pemuda itu duduk, bermain-main dengan ujung daun pepohonan yang tumbuh di
dekatnya.
“Adik Giok, rasanya janggal dan aneh sekali jika kita harus berpisah di sini. Benar-benar heran sekali,
bagiku terasa seakan-akan kita telah berkumpul selamanya, telah semenjak kecil, semenjak lahir... Giokmoi,
benar-benar berat untukku harus berpisah darimu, tak sampai hatiku...”
“Habis, bagaimana, Twako. Kita harus mengambil jalan masing-masing. Kau ke kota raja dan aku pulang
ke Sian-koan.”
“Memang semestinya demikian. Akan tetapi... ahh, rasanya sedikit pun juga aku tidak ada keinginan sama
sekali untuk pergi ke kota raja. Kalau saja kau dapat pergi bersamaku ke kota raja atau aku pergi
bersamamu ke Sian-koan...”
Im Giok melirik, mukanya merah dan hatinya berdebar senang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mana boleh begitu, Gan-ko? Kau mempunyai tugas penting. Apa sih sukarnya? Kau ke kota raja dahulu
dan sesudah tugasmu selesai, bukankah kau dapat mengunjungi aku di Sian-koan?”
Di dalam kata-kata ini terkandung sindiran yang dalam, seolah-olah Im Giok menyatakan bahwa ia akan
menanti kedatangan pemuda itu di Sian-koan! Tiauw Ki yang cerdik dapat mengerti arti yang terkandung
dalam kata-kata ini, maka saking girang perasaannya, dia menangkap kedua tangan gadis itu.
“Giok-moi…,” suaranya gemetar.
Selama hidupnya baru kali ini Im Giok merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Menurut kata
hatinya, ingin ia menarik kembali kedua tangannya yang dipegang oleh jari jemari tangan yang gemetar dari
pemuda itu, akan tetapi ia tak kuasa menarik tangannya seakan-akan semua tenaganya telah hilang! Dia
hanya menundukkan muka dan bibirnya tersenyum malu.
“Giok-moi, betulkah kau akan menerimaku bila aku sewaktu-waktu datang ke Sian-koan!” suara Tiauw Ki
perlahan dan halus penuh perasaan.
“Mengapa tidak?” Im Giok hanya menjawab singkat karena dia sendiri takut untuk bicara terlalu panjang,
mendengar betapa suaranya sendiri gemetar!
“Tidak… tidak ada halangannya kalau… kalau aku…” Tiauw Ki tak dapat lagi melanjutkan kata-katanya.
“Ada apakah, Gan-twako? Lanjutkanlah, mengapa begitu sukar?”
Tiauw Ki makin gagap menerima teguran ini. Ia mengigit bibirnya menenangkan hatinya lalu berkata nekad,
“Bagaimana kalau kelak aku datang ke Sian-koan... dan...”
“Dan apa...?”
“Aku... aku hendak... meminangmu!” Lega hatinya setelah kata-kata yang mengganjal di kerongkongannya
ini akhirnya terlepas juga.
Im Giok sejak tadi sudah menduga, akan tetapi setelah kata-kata itu diucapkan, mukanya yang cantik itu
menjadi merah sekali, membuat sepasang pipinya kemerahan bagai buah tho masak, membikin dia
nampak makin cantik jelita. Memang jarang ada gadis secantik Im Giok, apa lagi kalau yang
memandangnya seorang yang jatuh hati kepadanya, dia laksana bidadari dari kahyangan saja!
“Bagaimana, Giok-moi...?” tanya Tiauw Ki.
Dengan sudut matanya Im Giok mengerling kepada pemuda itu, bibirnya yang manis itu tersenyum malu,
lalu ia menundukkan muka kembali sambil berkata lirih, “Entahlah...”
Tiauw Ki menjadi makin berani melihat sikap gadis itu. Ia menggenggam kedua tangan yang kecil halus itu
dengan erat dan menarik Im Giok mendekat. Karena gadis itu duduk di atas batu yang lebih rendah, maka
setelah ditarik ia bersandar kepada paha Tiauw Ki.
“Giok-moi, bagaimana? Apakah kau keberatan kalau kelak kupinang?”
Bukan main malunya Im Giok dan ia pun tidak dapat membuka mulut menjawab. Sambil tersenyumsenyum
malu dan wajah ditundukkan, dia hanya menjawab dengan gelengan kepala perlahan.
Tiauw Ki merasa diayun di sorga ke tujuh. Ingin dia melompat turun dari atas batu dan menari-nari
kegirangan atau ingin dia mengangkat tubuh Im Giok dalam pondongannya dan diputar-putar.
Akan tetapi sebagai seorang pemuda terpelajar yang sopan ia tidak berani melakukan hal ini. Sebagai
seorang pemuda yang tahu akan arti kesopanan dan kesusilaan, Tiauw Ki hanya memandang kepada
wajah kekasihnya dengan mata bersinar, wajah berseri dan penuh kasih sayang.
“Terima kasih, Moi-moi, terima kasih. Akan tetapi, bagaimana kalau saudara-saudaramu tidak suka
kepadaku dan tidak mau menerima?” Di dalam ucapan ini terkandung suara yang penuh kecemasan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maka Im Giok cepat mengangkat muka dan berkata tegas,
“Aku tidak mempunyai saudara kandung. Aku anak tunggal. Yang ada hanya suci-ku Giok Gan Niocu Song
Kim Lian!”
Tiauw Ki tersenyum lega, lalu tertawa kecil. “Ahh, suci-mu itu benar-benar seorang gadis yang gagah
perkasa dan berhati mulia, biar pun agak galak. Akan tetapi tentu saja tidak melawan kau baik dalam hal
kegagahan, kemuliaan mau pun kecantikan.”
Im Giok hanya melempar senyum menghadiahi pujian kekasihnya ini.
“Akan tetapi, bagaimana kalau... kalau ayah bundamu tidak suka kepadaku? Ayahmu seorang gagah, tentu
dia tidak suka mempunyai calon mantu seorang pemuda sekolah yang lemah...!” Kembali dalam suara
pemuda itu terkandung kekhawatiran besar.
“Ibuku sudah tidak ada, dan Ayah... dia sangat sayang kepadaku, tidak mungkin Ayah membiarkan aku
kecewa dan berduka.” Im Giok mengambil tusuk kondenya, kemudian memberikan benda itu kepada Tiauw
Ki dengan suara halus, “Koko, inilah tusuk kondeku, harap kau simpan baik-baik.”
Tiauw Ki menerima benda itu dan menekannya di dada, lalu menciumnya dengan penuh kasih sayang.
“Terima kasih, Moi-moi. Benda ini selamanya takkan berpisah dariku, akan kuanggap sebagai
penggantimu. Dengan adanya tusuk konde ini, Moi-moi, hatiku akan terhibur. Hanya menyesal sekali, aku
adalah seorang yang bodoh dan miskin pula, tidak mempunyai sesuatu yang berharga untuk diberikan
kepadamu kecuali ini...”
Pemuda itu mengeluarkan sebuah kipas yang tidak begitu baik dari dalam saku bajunya. Sudah menjadi
kebiasaan para siucai untuk selalu menyimpan kipas di sakunya.
“Kipas ini tadinya masih kosong, Moi-moi, seperti kosongnya hatiku. Sekarang kipas ini tidak seharusnya
dibiarkan kosong seperti juga hatiku yang kini sudah penuh...”
Sambil berkata begitu, pemuda itu ‘menyulap’ keluar sebatang pit dan arang tintanya dari dalam saku
bajunya. Diambilnya sedikit air dari sungai untuk membasahi arang tinta dan di atas batu itu dia menulis
huruf-huruf indah di atas kipasnya yang putih bersih.
Im Giok hanya memandang saja semua yang dilakukan oleh kekasihnya ini dengan bibir tersenyum dan
hati bungah. Dengan hati berdebar Im Giok membaca tulisan yang indah gayanya itu:
Tusuk konde dan kipas
menjadi saksi
bertemunya dua hati
di bawah pohon, di tepi sungai…
semoga cinta kasih kita
kekal abadi takkan berpisah,
sehidup semati…
Tiauw Ki memberikan kipas itu kepada Im Giok yang menerimanya dengan wajah berseri.
“Aduh indahnya tulisanmu, Koko...” katanya.
Akan tetapi Tiauw Ki hanya menatap wajahnya, nampaknya berduka.
“Kau mengapa, Twako?”
“Sayang pertemuan seindah ini harus diputuskan oleh perpisahan...” kata Tiauw Ki sambil memegang
pundak gadis itu, ditariknya sehingga kembali Im Giok bersandar kepadanya.
“Hanya untuk sementara waktu, Koko. Bukankah kau segera akan ke Sian-koan setelah tugasmu selesai?
Aku selalu menantimu di sana, Koko...”
Kata-kata ini terdengar begitu manis dan merdu oleh Tiauw Ki sehingga saking terharu hatinya, kedua mata
pemuda itu sampai basah. Didekapnya kepala gadis itu ke dadanya lebih erat lagi dan sampai lama mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
tak bergerak, tenggelam ke dalam lautan madu asmara.
Biar pun keduanya diam tak bergerak, biar pun suasana di sekitar mereka sunyi senyap, namun suara daun
pohon tertiup angin dan air sungai mengalir bagi mereka seperti suara musik mengiringi nyanyian surga
yang amat merdu. Pohon, daun, batu, apa saja yang nampak di sekeliling mereka seakan-akan tertawatawa
dan ikut beriang gembira.
Tiauw Ki dan Im Giok bagaikan mabuk oleh buaian ombak perasaan yang paling indah di antara segala
macam perasaan, tapi keduanya masih sadar sepenuhnya dan ingat akan kesopanan dan kesetiaan.
Sungguh mengagumkan mereka ini, teladan bagi muda-mudi beradab. Meski pun mereka juga diombangambingkan
oleh ombak asmara yang memabukkan, akan tetapi mereka pantang melakukan pelanggaran
dan mereka teguh bagaikan karang di pantai samudra.
Apa pun juga yang terjadi, mereka berpegang kepada semboyan nenek moyang mereka, yang bagaimana
pun juga, ATURAN (Lee) di atas segala apa! Kesopanan dan kesusilaan termasuk dalam Lee ini dan
karenanya mereka tetap sadar dan menjaga jangan sampai mengecewakan hati kekasihnya dengan
pelanggaran tata susila yang dijunjung tinggi!
Dalam keadaan bagaikan setengah pulas itu, ternyata kelihaian Im Giok tidak berkurang. Pendengarannya
memang amat tajam sehingga Tiauw Ki menjadi terheran ketika secara tiba-tiba Im Giok merenggutkan
kepalanya yang tadinya bersandar pada dadanya sambil berkata,
“Koko, ada penunggang kuda datang...”
Tiauw Ki memperhatikan dan sampai lama setelah suara itu semakin mendekat baru dia mendengar derap
kaki kuda.
“Ada tiga orang penunggang kuda,” kata pula Im Giok.
Dia sudah dapat membedakan suara itu sebelum orang-orangnya kelihatan, siap karena mengira bahwa
yang datang ini tentu pihak musuh yang selalu mengancam keselamatan Tiauw Ki. Akan tetapi setelah tiga
orang penunggang kuda itu muncul, ia bernapas lega.
Mereka itu ternyata adalah tiga orang wanita yang membalapkan kuda dan membuktikan bahwa ketiganya
adalah ahli-ahli penunggang kuda yang mahir. Apa lagi ketika tiba di dekat Tiauw Ki dan Im Giok, ketiga
orang penunggang kuda itu dapat menghentikan kuda mereka dengan serentak, hal ini lebih-lebih
membuktikan bahwa mereka bertiga memiliki lweekang yang cukup kuat.
Setelah mereka mendekat, barulah Im Giok dan Tiauw Ki melihat dan mengenal mereka sebagai tiga orang
wanita yang malam tadi ikut hadir pula dalam pesta yang diadakan di rumah Suma-huciang, yakni nenek
yang pada kepalanya diikat kain putih dan memegang tongkat, bersama dua orang gadis manis yang
sikapnya galak. Kini kedua orang gadis itu memandang kepada Tiauw Ki, lalu kepada Im Giok dengan
pandangan mata terbelalak dan mengandung sinar kebencian.
Pada saat itu, Im Giok sedang berada dalam keadaan gembira dan bahagia, maka tentu saja muka
cemberut dari dua orang gadis itu tidak terlihat olehnya. Sebaliknya, dengan senyum manis ia lalu menjura
kepada mereka sambil berkata,
“Selamat bertemu di tempat ini! Apakah Sam-wi baru pulang dari rumah Suma-taijin?”
Nenek itu menjawab cepat-cepat, “Kau bermalam di rumah Suma-taijin. Kami bermalam di rumah
penginapan.”
Im Giok menggerakkan alis agak heran melihat sikap ini, akan tetapi tetap tersenyum dan melanjutkan
katanya dengan ramah,
“Ah, maaf. Maksudku, tentu Sam-wi baru meninggalkan Tiang-hai dan hendak ke mana?”
Tiba-tiba seorang di antara dua gadis itu, yang ada tahi lalatnya di dagu, membentak,
“Siapa sudi bicara dengan segala perempuan gila lelaki!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiauw Ki menjadi pucat saking marahnya, dan Im Giok menjadi merah mukanya. Kedua matanya yang
indah itu kini menyambar bagaikan cahaya kilat ke arah gadis itu. Meski suaranya tetap halus dan ramah,
akan tetapi di dalam suara ini terkandung sesuatu yang dingin dan tajam menembus jantung.
“Cici yang baik, kau bilang apa?”
“Aku bilang kau perempuan cabul, gila lelaki!” Gadis bertahi lalat dagunya itu membentak lagi sambil
mengangkat hidungnya, mengejek.
Im Giok masih tersenyum lebar.
“Alasannya?”
“Dari semula kau datang, kau sudah berdua dengan pemuda ini, sungguh memalukan. Kemudian kau
bermanis-manis terhadap Suma-huciang, bahkan kau mencoba pula untuk memikat hati Lie-kongcu.
Menyebalkan sekali!”
Im Giok memang cerdik luar biasa. Dari ucapan ini saja dia sudah dapat menerka apa yang menyebabkan
gadis ini marah-marah seperti kemasukan setan. Senyumnya makin lebar dan sinar matanya berseri.
“Ahh, Cici yang baik, kau memutar balikkan kenyataan. Jelas sekali kulihat bahwa kaulah yang tergila-gila
kepada Lie-kongcu, akan tetapi ia tidak memperhatikan tahi lalatmu yang menjijikkan itu, kau jadi marahmarah
kepadaku!”
Mendengar ini, wajah gadis itu menjadi pucat, tetapi sebentar kemudian berubah merah. Mulutnya terbuka,
matanya terbelalak, dan saking marahnya ia sampai-sampai tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Sesudah
menenangkan hatinya, akhirnya dapat juga suaranya keluar. Diangkatnya cambuknya ke atas, dipukulkan
kepala Im Giok didahului makiannya,
“Perempuan rendah, kau berani sekali memaki aku! Tidak tahu kau sedang berhadapan dengan siapa?”
“Hei, jangan pukul dulu!” Im Giok membentak, suaranya demikian berpengaruh sehingga wanita bertahi
lalat itu menjadi kaget dan otomatis cambuk yang sudah diangkat itu tidak dipukulkan! “Teruskan dulu
keteranganmu, sebenarnya siapakah kalian ini yang bersikap demikian tengik?”
Wanita itu menahan marahnya dan sengaja memperkenalkan nama dengan maksud agar Im Giok menjadi
ketakutan. “Buka telingamu lebar-lebar, kami berdua adalah Kim-jiauw Siang-eng Kwan Ci-moi (Kakak
Beradik Kwan yang Berjuluk Sepasang Garuda Berkuku Emas)! Dan dia itu adalah ibu kami Koai-tung
Toanio. Siapa yang tidak mengenal kami dari Kong-thong-pai?”
Im Giok merasa geli sekali melihat gadis yang dogol dan otak-otakan ini, akan tetapi dia mengangkat kedua
mata seakan-akan orang terkejut dan ketakutan.
“Aduh... tak tahunya aku berhadapan dengan tiga orang sakti dari Kong-thong-pai...,” kata Im Giok.
“Ji Kim, jangan menyombong!” tegur nenek itu yang mengerti bahwa Im Giok tadi hanya pura-pura saja
ketakutan, sebetulnya sikap gadis baju merah itu adalah ejekan belaka.
“Hayo lekas berlutut dan minta ampun kepadaku!” gadis bertahi lalat yang bernama Kwan Ji Kim itu
membentak, masih belum mengerti bahwa Im Giok hanya pura-pura takut saja.
“Kau datang-datang lantas memaki orang dan bersikap sombong, bagaimana aku harus berlutut?
Jangankan kau baru Garuda berkuku emas, biar pun tahi lalatmu berubah emas aku tetap tak sudi
berlutut!” jawab Im Giok, kini tidak berpurap-pura lagi.
Ji Kim marah sekali dan kini cambuk kudanya diayun cepat menghantam kepala Im Giok. Akan tetapi, Ang I
Niocu Kiang Im Giok hanya miringkan tubuh dan secepat kilat tangan kirinya menyambar, dan pada lain
saat cambuk itu telah berpindah ke tangannya. Sambil tersenyum Im Giok mempergunakan cambuk itu
menghajar kedua kaki depan kuda yang ditunggangi oleh Kwan Ji Kim sehingga kuda itu roboh bertekuk
lutut dan terpaksa Kwan Ji Kim melompat untuk menjaga diri agar tidak jatuh terjungkal!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kudamu lebih tahu adat!” Im Giok mengejek. “Tahu akan kesalahan nonanya sehingga mintakan maaf
kepadaku.”
Kwan Ji Kim marah bukan main. Dicabutnya pedang yang tergantung pada pinggangnya, lalu diserangnya
Im Giok dengan sengit. Namun, melihat gerakan nona ini, Im Giok hanya tersenyum dingin. Dengan
gerakan indah sekali tubuhnya melenggok ke kiri, kemudian tangannya menyambar ke arah pipi lawan.
“Plakk...!”
Pipi gadis bertahi lalat itu telah kena ditampar sehingga ia terhuyung-huyung ke belakang setelah
mengeluarkan jerit kesakitan. Sesudah ia dapat menguasai keseimbangan badan dan kembali berdiri
tegak, ternyata pipi kanan Kwan Ji Kim telah bengkak menggembung sehingga muka yang manis itu kini
menjadi lucu dan jelek!
“Setan betina, kau berani menyakiti adikku?!” Gadis ke dua melompat turun dari kuda dengan pedang
terhunus pula.
Gerakan pedang ini jauh lebih cepat dari pada Kwan Ji Kim dan tusukan pedangnya lebih kuat lagi. Namun
ia bukan lawan Im Giok, karena dengan amat mudahnya Im Giok dapat menghindarkan diri dari tusukan
pedang itu. Tiba-tiba saja Im Giok merasa ada sambaran angin dingin dari kanan. Cepat ia melompat ke
belakang dan tahu-tahu sebatang tongkat menyambar dengan dahsyatnya.
Im Giok maklum bahwa nenek yang memegang tongkat itu mempunyai kepandaian tinggi dan merupakan
lawan berat, maka cepat ia pun mencabut pedangnya sambil berkata,
“Koai-tung Toanio! Kalau kau betul-betul seorang tokoh kang-ouw yang mengerti aturan dan seorang ibu
yang baik, mengapa kau tidak menegur anak-anakmu yang kurang ajar sebaliknya bahkan ikut-ikut
menyerangku? Ada permusuhan apakah di antara kita maka kalian begini mendesak padaku?”
Nenek itu menyeringai, kemudian berkata, suaranya tinggi serak, “Kemarin kau begitu sombong
memamerkan kepandaian dan aku tidak sempat membuktikan. Sekarang ingin aku melihat sampai di mana
kelihaianmu, jangan kau hanya berani menghina dua anakku yang bodoh. Majulah!”
Im Giok mengerti bahwa nenek ini bukan hanya hendak menjajal kepandaiannya, akan tetapi jika tidak
membela anaknya yang sudah ia tampar tadi, tentu tersembunyi maksud lainnya. Ia pun tidak sudi
memperlihatkan kelemahannya. Setelah orang menantangnya, ia harus melayani dan memperlihatkan
kepandaiannya. Apa lagi di situ ada Tiauw Ki yang menyaksikan. Dicabutnya pedangnya dan dengan
tenang dia berdiri memandang kepada tiga orang lawannya.
“Kalian hendak mencari perkara? Boleh saja, Ang I Niocu Kiang Im Giok bukan seorang pengecut dan tak
pernah menolak tantangan.”
Im Giok menanti serangan, tidak mau ia mendahului bergerak karena memang ia tidak mempunyai
permusuhan dengan tiga orang ini.
Koai-tung Toanio mengeluarkan seruan keras, lantas tongkatnya diputar bagaikan kitiran cepatnya dan
diterjangnya gadis baju merah yang berdiri tenang di hadapannya. Anaknya yang sulung, Kwan Twa Kim,
juga maju menyerang dengan pedangnya.
Sekilas pandang saja tahulah Im Giok bahwa kepandaian nenek itu memang lihai, jauh lebih lihai dari pada
puterinya, maka menghadapi pengeroyokan dua orang ini, lebih dulu ia harus mengalahkan yang lemah
agar seluruh perhatiannya dapat dicurahkan kemudian kepada yang kuat.
Oleh karena itu pedangnya segera bergerak, merupakan tarian indah dan dengan halus gerakannya itu
terbagi dua, yakni bersifat lembek apa bila menghadapi serangan tongkat Koai-tung Toanio, akan tetapi
keras dan kuat menghadapi Kwan Twa Kim. Siasatnya ini berhasil baik sekali karena sebentar saja Kwan
Twa Kim telah terdesak hebat, sedangkan tongkat Koai-tung Toanio belum juga dapat mendesaknya,
bahkan beberapa kali tongkat di tangan nenek itu terbetot dan ‘diselewengkan’ sehingga membentur
pedang anaknya sendiri apa bila bertemu dengan pedang Im Giok!
Beberapa jurus kemudian, terdengar suara keras dan pedang di tangan Kwan Twa Kim terlempar, disusul
pekik kesakitan dari gadis ini. Ternyata bahwa lengan kanannya sudah keserempet pedang dan
dunia-kangouw.blogspot.com
mengeluarkan darah.
“Twa Kim, mundur kau...!” ibunya berkata marah dan memperhebat gerakan tongkatnya, menyerang Im
Giok dengan mati-matian.
“Toanio, kita tidak bermusuhan, mengapa kau begini nekat?” Im Giok menegur, hatinya tak senang melihat
sikap nenek yang terlalu mendesak ini.
“Tutup mulut dan lihat tongkatku!” bentak Koai-tung Toanio yang dari penasaran menjadi marah sekali
mengapa begitu lama belum juga ia dapat mengalahkan gadis muda ini.
Timbul kemarahan di hati Im Giok. Tadinya ia tidak suka merobohkan nenek ini yang tak mempunyai
permusuhan sesuatu dengannya. Seorang tokoh kang-ouw sangat menjaga nama besarnya dan tahu
bahwa kalau nenek itu sampai kalah olehnya, hal ini merupakan penghinaan besar bagi nenek yang keras
hati ini. Tadinya dia mengharapkan nenek ini akan melihat gelagat dan mundur sendiri setelah
menyaksikan kelihaiannya, tak tahunya nenek ini bahkan berlaku nekad dan menyerang mati-matian.
“Kau tidak boleh diberi hati!” Im Giok mencela.
Kini tiba-tiba saja gerakan pedangnya berubah. Pedangnya menyambar-nyambar dalam gerakan yang
amat indah dan halus. Namun di dalam kehalusan ini tersembunyi gerakan-gerakan menyerang yang
dahsyat bukan main. Inilah Sian-li Kiam-hoat atau ilmu pedang bidadari yahg indah dilihat namun
berbahaya sekali dilawan.
Koai-tung Toanio tidak mau menyerah kalah begitu saja. Sungguh pun dia terkesiap juga menyaksikan ilmu
pedang yang aneh ini, namun dia memutar tongkat semakin cepat dan mengerahkan segala kepandaian
untuk rnengalahkan lawan. Tetapi, betapa pun juga ia berusaha, tetap saja sinar pedang yang
perubahannya sukar diduga-duga itu, makin lama makin mendesak sinar tongkatnya dan makin lama ia
merasa makin terkurung oleh sinar pedang yang bergulung-gulung dan yang membuat pandangan matanya
berkunang.
“Pergilah!” terdengar seruan Im Giok.
Dengan gerakan cepat tangan kirinya sudah berhasil mencengkeram tongkat lawannya dan jika saja ia
mau, pedangnya dapat ditusukkan. Akan tetapi Im Giok tidak bermaksud membunuh lawannya, maka
sebagai gantinya pedang, ia hanya menendang.
Tubuh Koai-tung Toanio terlempar dan tongkatnya terampas. Namun kepandaian nenek ini memang tinggi.
Biar pun ia sudah terluka oleh tendangan itu dan tubuhnya terlempar, ia masih mampu menjaga diri
sehingga jatuhnya berdiri! Ia memandang kepada Im Giok dengan mata melotot marah. Kemudian ia
melompat ke atas kudanya, diikuti oleh kedua orang puterinya.
“Toanio, ini tongkatmu ketinggalan!” Im Giok tertawa sambil melontarkan tongkat itu ke arah Koai-tung
Toanio.
Tanpa menoleh nenek itu menghantam tongkatnya sendiri dengan tangan kanan. Segera terdengar bunyi
keras dan tongkat itu patah menjadi dua, meluncur ke bawah kemudian menancap di atas tanah!
Im Giok menarik napas panjang. “Kepandaiannya tinggi dan mengagumkan, tapi sayang wataknya tidak
patut sekali.”
Tiauw Ki menghampiri Im Giok dan memegang lengannya.
“Moi-moi, bukan main hebatnya engkau ini. Benar-benar aku kagum sekali melihatmu dan makin terasalah
olehku betapa tiada gunanya aku ini. Aku seorang laki-laki yang lemah, sedangkan kau... ahh, kau benarbenar
seorang bidadari yang sakti...”
“Husshhh, Twako. Ada pasukan berkuda datang!” Suara Im Giok terdengar agar khawatir pada waktu
mengucapkan kata-kata ini dan merenggut lengannya terlepas dari pegangan Tiauw Ki.
Pemuda itu menoleh dan benar saja, segera terlihat debu mengepul tinggi mengiringkan pasukan berkuda
yang datang dengan cepat. Setelah dekat, Im Giok dan Tiauw Ki saling pandang dengan muka berubah
dunia-kangouw.blogspot.com
melihat bahwa pasukan berkuda terdiri dari empat puluh orang lebih itu dipimpin oleh Lie Kian Tek, Ceng-jiu
Tok-ong, dan juga terdapat banyak perwira-perwira pembantu Suma-huciang, di antaranya terlihat juga Sintouw-
ong Si Raja Copet. Mereka semua kelihatan marah dan sekarang mereka telah berhadapan dengan
Im Giok dan Tiauw Ki.
“Pembunuh keji, menyerahlah supaya kami tak usah menggunakan kekerasan!” kata Lie Kian Tek sambil
mencabut pedangnya.
“Eh, tikus, kau memaki siapakah?” Im Giok membentak dengan marah. Ia masih merasa benci kepada
kongcu yang ceriwis ini.
Lie Kian Tek tertawa bergelak dan menengok kepada kawan-kawannya.
“Lihat, pandai benar perempuan ini bermain sandiwara, seakan-akan dia suci bersih dan tidak tahu apaapa.
Ha-ha-ha!” kemudian dia memandang kepada Tiauw Ki dan berkata, “Pengkhianat pengecut! Kau
mengaku sebagai keponakan Suma-huciang, tidak tahunya kau adalah penjahat besar yang datang dengan
niat buruk. Kau tidak segera menyerah dan mengakui dosamu?”
Tiauw Ki mengerutkan kening dan bertanya,
“Kedosaan apakah yang telah kuperbuat?” dan terhadap Sin-touw-ong Siauw Hap, Raja Copet yang kate
itu ia pun bertanya, “Siauw-sicu, sebetulnya ada apakah maka kau juga datang menyusulku? Apakah ada
pesanan sesuatu dari Suma taijin?”
Si Kate yang sudah dikenal sebagai pembantu setia dari Suma-huciang itu terlihat amat bingung
menghadapi Tiauw Ki dan Im Giok. Kemudian dia berkata dengan suara duka, “Suma-taijin telah meninggal
dunia, tadi kami mendapatkan beliau sudah rebah di lantai kamarnya dengan leher putus!”
“Apa katamu...?!” Tiauw Ki meniadi pucat mukanya dan juga Im Giok terkejut bukan main.
Terdengar suara ketawa dingin dari Lie Kian Tek. “Gan Tiauw Ki penjahat besar, jangan kau berpura-pura
kaget. Kami bukan anak-anak kecil dan kami juga sudah tahu bahwa pembunuhan atas diri Suma-taijin
adalah perbuatanmu dengan pengawalmu yang cantik. Malam tadi semua tamu pulang atau kembali ke
rumah penginapan, hanya kau bersama pengawalmu saja yang bermalam di rumah Suma-taijin. Ada pula
yang bermalam akan tetapi pada bagian lain, tidak seperti kalian yang bermalam di dekat kamar Sumataijin
di bawah satu wuwungan! Dan pula, kalau tamu-tamu lain masih ada pagi hari ini, kau dan
pengawalmu tanpa pamit telah minggat pergi. Bukti-bukti sudah jelas apakah kau masih hendak
menyangkal?”
“Bohong! Fitnah belaka!” Tiauw Ki memaki marah. “Siapa percaya akan tuduhan dusta ini? Aku dan nona
ini sama sekali tidak tahu-menahu tentang pembunuhan itu dan malam tadi kami pun sudah berpamit
kepada Suma-taijin!”
Lie Kian Tek tertawa bergelak. “Tidak ada pembunuh mengaku sudah membunuh orang, seperti juga tidak
ada maling mengaku telah mencuri barang. Hayo tangkap orang ini, kita harus menyeretnya ke
pengadilan!”
Didahului oleh Ceng-jiu Tok-ong, pasukan itu lalu bergerak menyerang. Gerakan Ceng-jiu Tok-ong cepat
sekali dan sekali kakek ini melompat turun dari kudanya menubruk, di lain saat Tiauw Ki sudah
diringkusnya dan sebuah totokan membuat pemuda itu lemas tidak berdaya lagi.
“Lepaskan dia!” Im Giok berseru.
Gadis ini marah sekali melihat perlakuan orang terhadap kekasihnya. Ia menerjang dan menyerang Cengjiu
Tok-ong.
Kakek ini cepat-cepat menggerakkan tangan menangkis sambil mencabut goloknya yang bersinar hijau.
Juga orang-orang lain sudah mencabut senjata, sedangkan Lie Kian Tek berteriak,
“Perempuan pemberontak, kaulah yang membunuh Suma-taijin!” Kata-kata ini membuat Im Giok marah
sekali dan pada lain saat ia telah dikurung oleh banyak orang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nona, lebih baik kau menyerah!” kata Sin-touw-ong Siauw Hap.
Dia merasa sayang sekali kalau sampai gadis ini terluka. Sebetulnya Raja Copet ini pun meragukan bahwa
Im Giok telah membunuh Suma-huciang, akan tetapi bukti-buktinya memang memberatkan Tiauw Ki dan
Im Giok sehingga sebagai alat negara ia pun harus ikut membantu menangkap pembunuh Suma-huciang.
Im Giok mengamuk. Gadis ini maklum bahwa keselamatan Tiauw Ki terancam bahaya besar sesudah
terjatuh ke dalam tangan orang seperti Lie Kian Tek, karena itu ia hendak menolong pemuda kekasihnya itu
dengan kekerasan.
Sebentar saja ia dikurung hebat sekali oleh Ceng-jiu Tok-ong, Sin-touw-ong dan perwira-perwira lain yang
cukup tinggi kepandaiannya. Akan tetapi Im Giok tidak gentar. Untuk menolong Tiauw Ki, dia rela
mengorbankan nyawa. Lebih baik mati bersama dari pada dia membiarkan kekasihnya dibikin celaka
orang.
Akan tetapi keadaan lawan terlampau berat. Menghadapi seorang Ceng-jiu Tok-ong saja masih sulit ia
mengalahkan, apa lagi dikeroyok pula oleh belasan orang. Memang, selain Ceng-jiu Tok-ong dan Sin-touwong,
yang lain-lain hanya menyerang dari jarak jauh dan tidak berani terlalu mendekat, akan tetapi cara ini
bahkan melelahkan Im Giok.
Gadis ini tak dapat merobohkan mereka yang mengeroyoknya dari jarak jauh, sedangkan untuk
mengerahkan kepandaian melayani Ceng-jiu Tok-ong dan Sin-touw-ong, dia selalu diganggu oleh para
pengeroyok yang menyerangnya dari jauh, baik dari kanan, kiri mau pun belakang.
“Giok-moi, menyerah saja, Giok-moi. Kita tidak berdosa, biar mereka membawa kita ke pengadilan!” Tiauw
Ki berseru kepada Im Giok karena pemuda ini merasa gelisah sekali melihat kekasihnya dikeroyok oleh
banyak orang dan terdesak hebat.
Mendengar ini, Im Giok pikir betul juga. Belum tiba saatnya buat melakukan pertempuran mati-matian.
Mereka hanya diduga menjadi pembunuh dan di depan pengadilan mereka dapat menyangkal. Kalau nanti
mereka tetap saja difitnah dan tidak ada jalan keluar lagi, barulah dia akan mempergunakan pedangnya.
Maka cepat dia melompat keluar kalangan pertempuran dan membentak,
“Aku akan menyerah dengan syarat bahwa Gan-twako dan aku diberi kebebasan ikut ke tempat
pengadilan. Aku tidak sudi dijadikan tawanan dan diikat!”
“Enak saja kau bicara!” Ceng-jiu Tok-ong membentak dan hendak menyerang lagi.
Akan tetapi Lie Kian Tek berkata, “Locianpwe, biar kita menerima syaratnya!”
Mendengar ini, Ceng-jiu Tok-ong membatalkan niatnya dan memandang dengan muka merah. Lie Kian Tek
lalu menghadapi Im Giok dan berkata,
“Kami menerima syaratmu. Mari kau ikut dengan kami. Aku berjanji bahwa kalian berdua akan diperiksa
dengan adil.”
Sambil berkata demikian, Lie Kian Tek tersenyum ramah kepada Im Giok. Dia berusaha mengambil hati
gadis ini dengan wajahnya yang tampan dan sikapnya yang manis. Akan tetapi Im Giok sama sekali tidak
tertarik.
“Bebaskan Gan-twako terlebih dahulu!” katanya sambil menunjuk ke arah Tiauw Ki yang lemas terduduk di
atas tanah. Pemuda ini sudah tertotok dan biar pun dapat bicara, akan tetapi tak mampu menggerakkan
kaki tangannya!
“Locianpwe, harap bebaskan dia!” kata Lie Kian Tek kepada Ceng-jiu Tok-ong.
Kakek ini nampak ragu-ragu. Maka, Im Giok lalu melompat maju menghampiri Tiauw Ki dan sekali
menepuk punggung pemuda itu, Tiauw Ki terbebas dari pengaruh totokan dan dengan bantuan Im Giok
dapat berdiri lagi.
Wajah Tiauw Ki merah sekali karena diam-diam pemuda ini menyesal mengapa ia begitu lemah. Ia
memandang kepada Im Giok dan meski pun mulutnya tidak berkata sesuatu, tapi sinar matanya
dunia-kangouw.blogspot.com
menyatakan bahwa ia akan menyelamatkan mereka berdua apa bila mereka dihadapkan ke depan
pengadilan. Im Giok maklum pula akan hal ini sebab ia pun tahu bahwa pemuda ini adalah kepercayaan
Kaisar dan tentu saja mempunyai pengaruh terhadap para hakim.
Lie Kian Tek berkata kepada Sin-touw-ong dan beberapa orang perwira yang datang dari Tiang-hai untuk
pulang saja dan memberi laporan kepada para pembesar di Tiang-hai bahwa dua orang pembunuh sudah
menyerah.
“Aku hendak membawa mereka ke kota raja,” berkata Lie Kian Tek. “Urusan membunuh Suma-huciang
adalah urusan besar dan karenanya mereka harus diadili di kota raja!”
Karena kalah pengaruh dan kalah kedudukan, Sin-touw-ong serta para perwira menurut saja. Mereka lalu
kembali ke Tiang-hai seperti yang diperintahkan oleh Lie Kian Tek.
Lie Kian Tek bersama Ceng-jiu Tok-ong dan anak buahnya lalu membawa Im Giok dan Tiauw Ki
melanjutkan perjalanan. Tiauw Ki beserta Im Giok menunggang kuda di tengah-tengah rombongan
sehingga mereka seakan-akan dikurung terus.
Wajah Tiauw Ki nampak berseri dan beberapa kali ia memandang kepada Im Giok sambil tersenyum geli.
Im Giok membalas senyumnya. Gadis ini juga merasa geli akan ketololan Lie Kian Tek. Tiauw Ki datang
dari kota raja dan menjadi kepercayaan Kaisar. Sekarang pemuda ini ditangkap dan hendak dihadapkan di
depan pengadilan di kota raja! Ini sama halnya dengan menangkap seekor ikan dari kolam untuk
dilepaskan di sungai besar!
Oleh karena inilah maka Im Giok juga tidak peduli ketika dia dikurung rapat-rapat dan memang sukar kalau
sekaligus para pengurung itu menyerangnya. Juga dia tidak peduli ketika kurang lebih lima li kemudian, di
sebuah persimpangan jalan muncul serombongan pasukan terdiri darl lima puluh orang lebih yang temyata
adalah anak buah dari Lie Kian Tek pula dan yang kini menggabungkan diri menjadi barisan besar.
Akan tetapi, ketika mereka tiba di persimpangan jalan lagi dan Lie Kian Tek memimpin pasukannya
membelok ke kiri, Tiauw Ki berseru keras,
“Hee! Mengapa ke kiri? Jalan ke kota raja adalah terus ke utara!”
Tiba-tiba pasukan itu bergerak dan lebih dari lima puluh batang tombak panjang sudah ditodongkan ke arah
Im Giok! Terdengar Lie Kian Tek tertawa bergelak.
“Gan Tiauw Ki, kalau kau ingin selamat, keluarkan surat dari Suma-huciang untuk Kaisar dan berikan
kepadaku!” kata putera gubemur itu.
Im Giok terkejut. Ia kini dapat menduga semuanya. Tak salah lagi bahwa Suma-huciang tentu dibunuh oleh
kaki tangan orang she Lie ini dan kini teringatlah dia akan tiga orang wanita yang sudah bertempur
dengannya tadi. Besar sekali kemungkinannya bahwa tiga orang wanita itulah yang membunuh Sumahuciang
dan mereka itu tentulah kaki tangan orang she Lie ini pula.
Kemudian Lie Kian Tek sengaja menuduh Gan Tiauw Ki dan dia sehingga para perwira di Tiang-hai dapat
ditipunya dan diajaknya menangkap Tiauw Ki. Kemudian putera gubernur yang amat licin itu sengaja
menyuruh Sin-touw-ong dan lain perwira dari Tiang-hai untuk kembali ke Tiang-hai dan memberi tahu
bahwa dia hendak mengantar Tiauw Ki ke kota raja untuk diadili! Hemm, kalau dilihat begini, ternyata bukan
Lie Kian Tek yang bodoh, melainkan Tiauw Ki dan dia yang mudah ditipu dan sebaliknya orang she Lie itu
ternyata cerdik dan penuh siasat!
Im Giok mencabut pedangnya, akan tetapi segera belasan ujung tombak yang runcing telah menempel
pada tubuhnya dari kanan kiri dan depan belakang, demikian pula tubuh Tiauw Ki telah ditodong oleh
belasan mata tombak!
Kembali terdengar Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak.
“Ha-ha-ha, Nona manis! Sebelum kau bergerak, kau dan sahabatmu ini lebih dahulu akan menjadi mayat.
Gan Tiauw Ki, lekaslah kau menjawab, pesanan apa yang kau dapat dari Suma-huciang untuk Kaisar?!”
Sudah gatal-gatal mulut Tiauw Ki untuk mengumpat cacian kepada putera gubernur itu. Ia tidak takut mati
dunia-kangouw.blogspot.com
dalam menunaikan tugasnya. Akan tetapi pemuda ini menengok ke arah Im Giok dan gemetarlah seluruh
tubuhnya.
“Lie Kian Tek, kau bebaskan dahulu Nona itu. Biarkan dia pergi dari sini. Dia tidak ada sangkut-pautnya
dengan urusan kita dan dia bersamaku hanya kebetulan saja. Bebaskan dia dan aku akan mengaku
semuanya kepadamu.”
“Bebaskan dia? Ha-ha-ha, kau kira aku begitu bodoh? Jika dia dibebaskan tentu dia akan menimbulkan
keributan lagi.”
“Tidak! Aku yang tanggung kalau dia tidak akan menimbulkan keributan,” kata Tiauw Ki cepat-cepat dan
pemuda ini menoleh kepada Im Giok sambil berkata, “Giok-moi, kuminta dengan sangat agar kau jangan
mencampuri urusanku dan lebih baik kau segera pulang ke tempatmu sendiri.”
Im Giok menjadi pucat mukanya. Ia merasa menyesal dan kecewa sekali melihat betapa pemuda pujaan
hatinya kini tiba-tiba menjadi begitu lemah, mudah saja hendak mengaku seolah-olah sudah takut akan
kematian. Pemuda macam ini tak patut menjadi kekasihnya dan dia merasa kecewa bukan main. Dua titik
air mata membasahi matanya dan sudah akan menetes turun kalau saja dia tidak lekas-lekas mengerahkan
tenaga batinnya untuk menekan perasaan.
“Jadi kau hendak mengaku semuanya? Hemm, baiklah, dan antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi...,”
katanya dengan suara sayu sambil memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang.
Hatinya sakit sekali. Ia siap sedia mengorbankan nyawa untuk melindungi kekasihnya ini yang sedang
menunaikan tugas penting dan mulia. Tidak tahunya sekarang kekasihnya menggigil menghadapi ancaman
tombak!
“Lie Kian Tek, lekas kau bebaskan dia!” kata Tiauw Ki kepada putera gubemur itu tanpa mempedulikan
sikap Im Giok.
Lie Kian Tek ragu-ragu. Ia tergila-gila kepada Im Giok dan mengaku di dalam hatinya bahwa ia jatuh cinta
kepada gadis baju merah itu yang memiliki kecantikan begitu luar biasa sehingga baginya baru pertama kali
ini selama hidupnya ia bertemu dengan gadis sejelita ini. Akan tetapi, dia pun perlu sekali memancing
keterangan dari mulut Tiauw Ki tentang pesanan Suma-huciang.
“Lie Kian Tek, kalau kau tak mau membebaskannya, jangan harap kau dapat mendengar pengakuanku!”
kata pula Gan Tiauw Ki kepada Lie Kian Tek.
Tiba-tiba Im Giok menjadi marah dan ia memandang kepada Tiauw Ki dengan mata yang berapi-api.
“Orang she Gan! Apakah kau kira aku takut mati? Tak perlu keselamatanku ditebus oleh pengakuanmu!
Kalau aku mau pergi, siapa berani menghalangiku?”
Sambil berkata demikian, Im Giok menggerakkan kepala kudanya, lantas menerjang para pengepungnya
sehingga para anggota pasukan itu cepat-cepat menyingkir.
Mereka semua merasa lega bahwa Lie Kian Tek tidak memberi aba-aba sesuatu, karena semua
pengepung, kecuali Ceng-jiu Tok-ong, merasa kagum dan sayang sekali apa bila mereka harus turun
tangan melukai gadis yang demikian cantik jelita. Ketika tadi mereka diharuskan menodongkan mata
tombak kepada gadis itu, mereka merasa seolah-olah bersiap untuk disuruh merusak setangkai bunga
yang amat cantik dan indah dipandang, bunga yang harum dan menimbulkan kasih sayang.
Sebaliknya, Im Giok merasa makin mendongkol karena Lie Kian Tek ternyata diam saja. Ia sengaja berlaku
begini untuk memancing supaya Lie Kian Tek mengeluarkan aba-aba menangkapnya dan dia akan
mengamuk mati-matian.
Memang Im Giok maklum bahwa seorang diri saja tidak mungkin ia dapat menang dalam menghadapi
Ceng-jiu Tok-ong yang dibantu oleh lima puluh orang prajuritnya. Akan tetapi untuk melindungi dan
membela Tiauw Ki, ia siap mengorbankan nyawanya.
Kedongkolannya terutama sekali dikarenakan sikap Tiauw Ki yang seakan-akan hendak menolongnya
dengan jalan menjadi pengkhianat! Memang sikap ini dapat dilakukan oleh seorang pemuda yang amat
dunia-kangouw.blogspot.com
mencintanya, tetapi oleh Im Giok dianggap bukan perbuatan seorang gagah.
Membela kekasih boleh saja dengan taruhan nyawa, akan tetapi sama sekali tidak boleh mempertaruhkan
kesetian terhadap negara dan mempertaruhkan nama kehormatan! Bila Tiauw Ki hendak menolongnya
dengan jalan berkhianat, baginya itu bukan pertolongan, akan tetapi penghinaan besar!
Sebagai seorang kepercayaan Kaisar, seorang pemuda yang berjiwa patriot, seharusnya Tiauw Ki mengerti
baik akan hal ini. Maka dengan hati marah dan mendongkol Im Giok lalu membalapkan kuda meninggalkan
tempat itu!
Untuk sejenak Tiauw Ki memandang ke arah bayangan merah di atas kuda itu dengan muka pucat dan
wajah muram. Akan tetapi setelah bayangan Im Giok tidak kelihatan lagi, wajahnya menjadi tenang dan
pemuda ini kelihatan lega dan puas. Tadinya dia memang merasa sakit hati sekali melihat betapa Im Giok
marah kepadanya, akan tetapi sesudah gadis itu pergi, hatinya sedikit terhibur.
Biarlah, pikirnya, apa pun juga yang menimpaku, asal dia itu selamat. Ia lalu memandang kepada Lie Kian
Tek dengan mata bersinar dan mulut tersenyum mengejek.
“Gan Tiauw Ki, dia sudah kami bebaskan. Hayo kau lekas membuat pengakuanmu!” kata putera gubemur
itu. Ia ingin Tiauw Ki menjawab cepat-cepat karena masih ada harapan di dalam hatinya untuk nanti
mengejar dan menawan bunga cantik itu!
Sebaliknya dari menjawab cepat-cepat, Tiauw Ki tertawa bergelak.
“Lie Kian Tek, kau telah menyuruh orang membunuh Suma-huciang, lalu kau menangkap aku dan hendak
memaksa aku mengaku tentang pesan Suma-huciang. Perbuatanmu ini benar-benar sudah melewati batas.
Tidak tahukah kau, apakah hukuman untuk seorang pemberontak?”
“Bangsat besar!” Lie Kian Tek memaki dan tangannya menampar hingga Tiauw Ki yang pipinya kena
ditampar hampir saja jatuh terguling dari kudanya. “Jangan banyak cakap, kau ingin hidup atau mampus?
Kalau ingin hidup, lekas kau mengaku!”
Kembali Tiauw Ki tertawa. Bekas tamparan yang membuat pipinya menjadi matang biru itu tak
dirasakannya. ”Pemberontak she Lie, kau kira aku tidak mengetahui akal bulusmu? Biar pun aku mengaku,
kau tetap akan membunuhku juga.”
“Jahanam, apakah benar-benar kau tidak mau mengaku? Tadi kau sudah berjanji hendak mengaku bila aku
membebaskan perempuan itu. Aku sudah membebaskannya, dan kau tidak bisa melanggar janji.”
“Siapa yang melanggar janji? Lie-siauwjin (manusia rendah she Lie), aku seorang laki-laki sejati, tidak biasa
melanggar janji. Dengarlah, Suma-huciang berpesan kepadaku supaya terhadap manusia macam engkau
aku menutup mulut dan jangan mengatakan apa-apa. Nah, begitulah pesannya kepadaku!”
“Keparat, kau menipuku!”
“Kau berani bicara tentang menipu? Kiranya aku hanya mencontoh perbuatanmu, orang she Lie. Kau
membunuh Suma-huciang kemudian menghasut para perwira Tiang-hai dan menuduhku, kemudian kau
menyuruh mereka kembali ke Tiang-hai dan pura-pura akan membawaku ke kota raja, semua itu bukankah
akal busuk dan tipuan jahat? Aku hanya minta kau membebaskan Kiang-siocia agar supaya ia selamat dari
tanganmu yang kotor dan jahat! Sekarang kau mau apa? Mau membunuhku? Bunuhlah, memangnya aku
takut mampus? Mau siksa? Hayo, kau boleh lakukan apa saja. Pendeknya yang nyata, Kiang-siocia
selamat dan rahasia Suma-huciang dengan Kaisar juga selamat!”
Bukan main marahnya Lie Kian Tek. Tangannya yang memegang cambuk kuda diayun. Terdengar ledakan
keras dan Tiauw Ki terguling dari kudanya. Ketika ia merayap bangun, jidat dan lehernya terdapat bekas
cambukan, merah biru dan mengalirkan darah.
Akan tetapi bibir pemuda ini masih tetap tersenyum, matanya bersinar-sinar dan ia berdiri tegak menanti
datangnya siksaan selanjutnya yang akan mengantar nyawanya ke tempat asal. Sedikit pun ia tidak
mengeluh dan sedikit pun tidak takut.
“Jahanam she Gan, kau masih tidak mau mengaku!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Lie Kian Tek melompat turun dari kuda, diikuti oleh para pembantunya. Kini pasukan itu mengundurkan
kuda-kuda yang berada di situ dan duduk menonton mengelilingi Tiauw Ki merupakan lingkaran yang lebar.
Tiauw Ki hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Lie Kian Tek menggulung lengan baju sebelah
kanan dan menggenggam erat-erat gagang cambuknya.
“Kau mau mengaku atau tidak?” sekali lagi putera gubemur ini membentak.
Tiauw Ki yang berdiri di depannya hanya menggeleng kepala sambil tersenyum tabah. Lie Kian Tek
mengangkat dan mengayun cambuknya.
“Tar! Tar! Tar!”
Tiga kali bertubi-tubi cambuk itu mengenai muka Tiauw Ki dan darah muncrat dari bibir serta hidung
pemuda she Gan itu, namun dia masih berdiri tegak dan sedikit pun tidak mengeluh.
“Jahanam, kau masih keras kepala?” Sekali lagi Lie Kian Tek mengayun cambuknya, kini ke arah mata
Tiauw Ki.
Tiauw Ki terhuyung. Sepasang matanya tak dapat dibuka lagi, pelupuk matanya menjadi bengkak! Lie Kian
Tek terus memukul, bahkan kini tangan kirinya ikut pula meninju, maka robohlah Tiauw Ki.
Walau pun menggeliat-geliat saking sakitnya, tidak sedikit pun pemuda ini mengeluh dan masih mencoba
untuk berdiri. Akan tetapi dia terjatuh lagi dan menunjang tubuh dengan kedua lengannya yang ditahan
pada tanah.
Pukulan cambuk masih menghujani tubuhnya dan pakaiannya bagian atas sudah robek dan hancur.
Nampak kulit punggung dan dadanya yang putih dan kini darah memenuhi kulit itu, membasahi pakaiannya
yang compang-camping.
Akhirnya Lie Kian Tek menghentikan siksaannya. Diam-diam ia merasa ngeri juga melihat kekerasan hati
Gan Tiauw Ki. Ia merasa lelah dan melempar cambuknya.
“Bedebah, benar-benar menggemaskan!” gerutunya. “Ceng-jiu Tok-ong Locianpwe, harap kau gantikan aku
memaksa jahanam ini mengaku. Periksa dulu semua isi sakunya!”
Ceng-jiu Tok-ong melangkah maju dan cepat mengeluarkan semua isi saku baju Tiauw Ki. Akan tetapi dia
tidak mendapatkan sesuatu yang penting. Isi saku pemuda ini hanya dua buah kitab sajak serta beberapa
helai kertas dan alat tulis. Dan akhirnya dari saku baju bagian dalam dikeluarkannya sebuah tusuk konde
perak.
“Kembalikan itu kepadaku!” Tiauw Ki berseru marah sambil mengulurkan tangan hendak merampas tusuk
konde itu, benda keramat pemberian Im Giok.
Akan tetapi mana dapat dia merampas benda yang berada di tangan Ceng-jiu Tok-ong? Sekali saja kakek
itu menggerakkan tangan, Tiauw Ki telah didorong roboh dan benda itu diberikan kepada Lie Kian Tek yang
menerimanya sambil tersenyum mengejek,
“Hemm, agaknya kau punya kekasih, ya? Bagus, apakah kau tidak ingin hidup untuk bisa bertemu lagi
dengan kekasihmu itu?” Sambil berkata demikian, Kian Tek menekuk-nekuk tusuk konde dan agaknya
hendak ia patahkan.
Terdengar gerengan marah dan tahu-tahu Tiauw Ki telah menubruknya dan secara nekat merampas
kembali tusuk konde itu! Saking nekatnya, dia menjadi lupa akan segala dan kekuatannya bertambah. Hal
ini tidak disangka oleh Lie Klan Tek dan kawan-kawannya sehingga Tiauw Ki yang lemah itu berhasil
merampas kembali tusuk konde pemberian Im Giok.
“Kau boleh saja merampas segala yang ada padaku, akan tetapi benda ini hanya akan berpisah denganku
bersama nyawaku!” kata Tiauw Ki sambil memegang tusuk konde itu dengan kedua tangannya dan
menekannya di dekat dada kiri. Melihat kelakukan pemuda ini, Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Locianpwe, kaulah yang memaksa dia bicara. Kau tentu ada akal yang baik!” katanya.
Ceng-jiu Tok-ong menyeringai sambil menghampiri Tiauw Ki. Kakek ini lalu mengeluarkan sesuatu dari
saku bajunya dan ternyata bahwa yang dikeluarkannya itu ialah seekor ular berwarna hitam! Ular itu
menggeliat-geliat di antara jari-jari tangannya dan lidah berwarna kemerahan terjulur keluar masuk.
“Orang she Gan, sekali aku melepas ular ini dan menggigitmu, kau akan mengalami rasa nyeri yang tak
pernah dialami orang lain. Tubuhmu akan sakit-sakit semua selama sehari penuh dan kau akan menderita
sepenuhnya karena kau tidak akan pingsan atau pun mati sebelum sehari penuh. Maka lebih baik kau
mengaku, rahasia apakah yang harus kau sampaikan kepada Kaisar. Kau hanya mengaku saja, tak
seorang pun akan melihat atau mendengar pengakuanmu ini. Apa sih sukarnya?”
“Siluman tua, aku tidak takut mati! Sejak semula aku tidak takut akan ancaman kalian dan tadi aku bersikap
lemah hanya untuk memberi kesempatan kepada Giok-moi menjauhkan diri. Setelah dia selamat,
keberanianku lebih besar lagi. Kau mau siksa, mau bunuh, mau apa pun, sesukamulah, aku tetap pada
pendirianku. Aku seorang laki-laki dan kematian hanya berarti kebebasan dari pada berdekatan dengan
siluman-siluman semacam kalian ini!”
Wajah Ceng-jiu Tok-ong menjadi merah dan ia marah sekali.
“Kau memang tidak boleh dikasihani. Rasakanlah hukumanku!”
Akan tetapi, pada saat itu pula terdengar beberapa orang menjerit dan dua orang prajurit roboh ketika ada
bayangan merah berkelebat menerjang lingkaran itu. Bayangan merah ini dengan gerakan luar biasa
cepatnya sudah tiba di dalam lingkaran dan sinar pedang yang berkilauan menyerang Ceng-jiu Tok-ong.
Kakek ini terkejut dan dalam gugupnya ia menangkis dengan ular hitam tadi.
“Crakk!” Tubuh ular itu terbabat putus dan Ceng-jiu Tok-ong berseru marah.
“Ang I Niocu, kau berani datang lagi?”
Memang, yang datang itu adalah Im Giok. Dengan cepat gadis ini lalu melompat ke dekat Tiauw Ki dan
berlutut. Air matanya mengucur deras ketika ia melihat keadaan pemuda itu yang memandangnya dengan
bibir tersenyum.
“Koko...,” katanya perlahan.
“Giok-moi, mengapa kau kembali...?”
“Koko, aku akan mencarikan kebebasan untuk kita berdua, kalau tidak... kita akan mati bersama.”
Im Giok cepat merangkul leher pemuda yang sudah berlepotan darah itu dan Tiauw Ki mengeluarkan suara
sedu sedan yang tadi ditahan-tahannya. Ia terharu bukan main dan berbisik,
“Terima kasih, Moi-moi, hati-hatilah…”
Im Giok melepaskan pelukannya, lalu mendukung tubuh kekasihnya yang sudah lemas itu, disandarkannya
di batang pohon yang tumbuh di situ. Semua orang melihat gerakan gadis ini dengan senjata siap-siap di
tangan. Ada pula yang terharu menyaksikan adegan ini.
Kemudian Im Giok berdiri, pedang melintang di dada, mata berapi-api dan ia berkata,
“Sudah kulihat dan kudengar semua semenjak tadi. Lie Kian Tek, kau ternyata seorang pengkhianat dan
pemberontak yang berhati buas laksana srigala. Lekas kau bebaskan Gan-twako, atau aku akan membuka
jalan darah! Andai kata usahaku gagal, maka aku dan Gan-twako akan mati bersama di tempat ini, tetapi
kiraku tidak sedikit orang-orangmu yang akan menghadap Giam-kun (Malaikat Maut) terlebih dulu sebelum
aku roboh!”
Memang, tadi setelah dengan hati gemas dan mendongkol Im Giok meninggalkan Tiauw Ki bersama
pasukan Lie Kian Tek, di tengah jalan Im Giok merasa tidak enak hati dan menyesal. Dia sudah
menyerahkan hatinya kepada Tiauw Ki dan dia sudah percaya betul akan sifat jantan dalam diri kekasihnya
itu. Mengapa tiba-tiba Kiauw Ti berubah menjadi seorang pengecut? Mengapa Tiauw Ki tidak percaya
dunia-kangouw.blogspot.com
kepadanya dan apakah artinya mati kalau tidak mati berdua? Mengapa Tiauw Ki menyuruhnya dan
membiarkannya pergi dan mengalah hendak membuka rahasia, hendak menjadi seorang pengkhianat?
“Tidak mungkin! Tidak mungkin dia mau berbuat itu,” pikir Im Giok dan ia menghentikan larinya kuda.
Setelah berpikir sejenak ia lalu melompat turun dari kudanya, menambatkan kendali kuda itu pada
sebatang pohon dan berlarilah Im Giok ke tempat tadi. Ia mempergunakan ilmu lari cepat, dengan
kepandaiannya yang luar biasa ia dapat mendekati pasukan itu sambil bersembunyi dan menyelinap di
antara pohon-pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu.
Ia sempat menyaksikan Tiauw Ki disiksa dan sempat mendengarkan kata-kata Tiauw Ki, melihat pula
betapa kekasihnya secara nekat merampas kembali tusuk konde pemberian darinya. Melihat semua ini, Im
Giok tak dapat menahan mengalirnya air matanya.
Tepat seperti yang diduganya semula, Tiauw Ki tadi hanya menipu Lie Kian Tek untuk memberikan
kesempatan kepadanya menyelamatkan diri. Pemuda itu sama sekali bukan seorang pengecut dan sama
sekali bukan pengkhianat pula, bahkan telah membuktikan bahwa dia seorang yang berani mati, seorang
gagah dan yang mencintanya sampai di saat terakhir!
Demikianlah, Im Giok lalu menghunus pedang dan menerjang masuk, dan kini dia sudah menghadapi Lie
Kian Tek dan pasukannya dengan sikap tenang dan gagah. Ia tidak takut apa-apa karena maklum bahwa
andai kata ia gagal, ia akan mati bersama kekasihnya!
“Kepung dan tangkap dia! Boleh lukai jangan bunuh!” Lie Kian Tek berseru.
Serentak Im Giok dikepung, didahului oleh Ceng-jiu Tok-ong yang menyerang dengan golok hijaunya.
Sekali lagi Im Giok mengamuk. Tubuhnya berkelebat merupakan sosok bayangan merah, pedangnya
menyambar-nyambar lebih dahsyat dari pada amukannya yang sudah-sudah karena sekarang di samping
hati gadis ini amat sakit melihat kekasihnya tersiksa, juga ia nekad untuk mati bersama kekasihnya.
Para pengeroyoknya menjadi kewalahan. Terlena sedikit saja atau terlalu dekat sedikit saja, pasti pedang di
tangan Im Giok mendapatkan mangsa dan seorang pengeroyok langsung roboh. Mereka mengepung dari
jauh dan Lie Kian Tek memberi aba-aba.
Maka tombak-tombak panjang dan jaring lebar segera dikeluarkan. Dengan dua macam senjata yang
biasanya dipergunakan untuk menangkap harimau atau lain binatang buas ini, Im Giok kini dikepung!
Timbul kegembiraan para prajurit itu dan seperti kalau mereka menangkap harimau, kini mereka bersoraksorak
dan mendesak Im Giok dengan tombak-tombak panjang dan jaring yang amat kuat itu.
Lie Kian Tek memang suka sekali memburu binatang, bukan untuk dibunuh akan tetapi ditangkap hiduphidup.
Maka setiap kali pergi dengan pasukannya, selalu anak buahnya tidak lupa membawa alat-alat
menangkap binatang buas ini, yakni jaring serta tombak-tombak panjang.
Menghadapi serangan istimewa ini, Im Giok menjadi marah sekali, juga amat bingung. Ia mengamuk
bagaikan singa betina, pedangnya menyambar-nyambar dan banyak tombak telah dapat ia patahkan
dengan pedangnya. Akan tetapi pihak pengeroyok terlalu banyak.
Im Giok merasa gugup juga menghadapi pengeroyok yang bersorak-sorak itu. Karena itu, setelah melawan
mati-matian, akhirnya ia tidak dapat mengelak lagi ketika jaring yang lebar dan kuat dilempar dan
menimpanya dari atas. Bagaimana ia dapat mengelak kalau di depan belakang dan kanan kirl belasan
tombak menghadangnya?
Ia membabat dengan pedangnya, akan tetapi jala atau jaring kedua kembali menimpa sehingga gadis itu
kini benar-benar seperti seekor singa betina tertangkap! Saat Im Giok meronta terdengar suara kain robek
dan terkejutlah gadis ini ketika mendapat kenyataan bahwa di sebelah dalam jaring ini dipasangi kaitankaitan
kecil dari baja sehingga kalau ia berani meronta, tentu pakaiannya akan robek semua dan juga
kulitnya akan terkait dan luka-luka. Oleh karena itu, terpaksa dia tidak berani bergerak dan memasang
kuda-kuda setengah duduk, di atas tanah, di dalam jaring-jaring itu.
Para prajurit bersorak-sorak gembira sekali. Terdengar pula suara Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Keluarkan dia dan ikat kaki tangannya!” perintahnya dan suaranya terdengar gembira sekali.
Akan tetapi perintah ini hanya mudah diucapkan, sebaliknya sangat sukar dilaksanakan. Para prajurit yang
ingin sekali memegang dan membelenggu gadis jelita itu tadinya pada berebut maju. Celaka bagi mereka,
lima orang menjerit roboh dan tak dapat bangun lagi. Seorang roboh ditendang, seorang terpukul oleh
tangan kiri dan tiga orang lagi tertusuk pedang! Biar pun berada di dalam jaring, namun Im Giok masih
tetap lihai dan sangat sukar didekati.
Melihat ini, Ceng-jiu Tok-ong menjadi marah sekali. Dia melompat maju dan secepat kilat tangannya
bergerak mengirim totokan ke arah jalan darah di punggung Ang I Niocu Kiang Im Giok. Dia mengira bahwa
kalau diserang dari belakang, gadis yang berada di dalam jaring itu tentulah sukar mengelak lagi. Akan
tetapi, akibatnya dia sendiri yang memekik kesakitan dan telapak tangannya terluka mengeluarkan darah.
Dalam keadaan terjepit seperti itu, hanya dengan mendengarkan suara angin pukulan, Ang I Niocu dapat
menyusupkan pedangnya melalui bawah lengan kiri dan menyambut totokan lawan itu dengan ujung
pedang!
Karuan saja telapak tangan Ceng-jiu Tok-ong menjadi terluka dan kakek ini berjingkrak-jingkrak saking
marahnya. Ia lupa akan pesan Lie Kian Tek agar supaya gadis itu jangan dibunuh. Dalam kemarahannya,
Ceng-jiu Tok-ong mencabut golok hijaunya yang beracun dan mengayun golok itu ke arah tubuh Ang I
Niocu!
“Traaang...!”
Golok di tangan Ceng-jiu Tok-ong terpental membalik, bahkan hampir saja terlepas dari tangannya,
membuat kakek ini melompat mundur dengan terkejut sekali. Pada saat itu, seorang nenek tua yang entah
dari mana datangnya dan yang tadi telah menangkis golok Ceng-jiu Tok-ong dengan sepasang pedang
yang berkilauan tajamnya, kini membabat jaring yang menutupi tubuh Im Giok.
Gadis ini sendiri pun dengan bersemangat lalu mengerjakan pedangnya, membabat dari dalam sehingga
sebentar saja jaring itu rusak dan ia dapat melompat keluar. Di beberapa bagian tubuhnya terluka oleh
kaitan, akan tetapi Im Giok tidak mempedulikannya.
Baik Im Giok mau pun Ceng-jiu Tok-ong dan semua orang yang berada di situ tak ada yang mengenal
siapa gerangan nenek yang memegang sepasang pedang ini. Wajahnya keriputan, rambutnya sudah putih
semua, namun gerakan-gerakannya masih sangat gesit dan lincah.
“Serbu...! Bunuh siluman ini!” Lie Kian Tek berseru keras.
Akan tetapi dia cepat mengangkat pedangnya ketika tiba-tiba nenek itu menyambar dan menyerangnya
dengan pedang kiri, sedangkan pedang kanannya merobohkan dua orang prajurit yang menghalang di
jalan! Lie Kian Tek cepat menangkis, tapi tangannya tergetar dan pedangnya terlempar! Sinar putih
meluncur ke arah lehernya dan putera gubernur ini sudah meramkan mata.
Baiknya Ceng-jiu Tok-ong cepat datang menolong. Ditusuknya lambung nenek itu dengan golok hijaunya
sehingga nenek itu terpaksa menarik kembali serangannya pada Lie Kian Tek, kemudian menghadapi
Ceng-jiu Tok-ong. Mereka segera bertempur dengan hebat.
Ada pun Im Giok kini sudah dikepung lagi. Para prajurit sekarang maklum bahwa kalau tidak dibunuh, nona
baju merah yang cantik jelita ini amat berbahaya, apa lagi sekarang tiba bantuan seorang nenek yang
seperti setan. Mereka lalu beramai mengeroyok, yang pandai maju di depan, yang kurang pandai hanya
membantu di belakang dengan tombak atau toya panjang.
Im Giok memutar pedangnya, kini dia menyerang dengan ganas dan sebentar saja lima orang pengeroyok
roboh bergelimpangan. Oleh karena Ceng-jiu Tok-ong tidak dapat ikut mengeroyok, tentu saja bagi Im Giok
para pengeroyok itu merupakan makanan lunak! Apa lagi gadis ini merasa sakit hati dan marah sekali telah
menerima hinaan, sekarang pembalasan yang ia lakukan benar-benar hebat sehingga membuat para
pengeroyoknya kalang kabut.
Pertempuran antara nenek itu melawan Ceng-jiu Tok-ong yang dibantu oleh enam orang perwira juga
dahsyat sekali. Kepandaian nenek itu tinggi bukan main, kedua pedangnya menyambar-nyambar amat
ganasnya. Telah banyak orang yang roboh olehnya dan para perwira yang membantu Ceng-jiu Tok-ong
dunia-kangouw.blogspot.com
sudah beberapa kali berganti orang.
Diam-diam Ceng-jiu Tok-ong amat kaget ketika memperhatikan permainan pedang nenek ini. Ia mengenal
gerakan-gerakan ilmu pedang itu, akan tetapi jika ia melihat wajah yang keriputan ini, ia menjadi ragu-ragu.
“Tahan! Toanio, siapakah kau dan mengapa engkau memusuhi kami?” Ceng-jiu Tok-ong berseru.
Terdengar nenek itu tertawa dan semua orang menjadi terheran-heran mendengar suara ketawanya, begitu
merdu seperti suara ketawa seorang gadis belasan tahun!
“Ceng-jiu Tok-ong, kini kau sudah menjadi kaki tangan pemberontak dan berani sekali menghina muridku.
Benar-benar keterlaluan!” Seperti juga suara tawanya, kata-katanya ini diucapkan dengan suara yang
merdu sekali!
Mendengar suara ini, Ceng-jiu Tok-ong dan Ang I Niocu hampir berbareng berseru,
“Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat...”
Nenek yang berambut putih dan berwajah keriputan itu sekali lagi tertawa merdu, namun nadanya
mengejek.
“Pek Hoa... mengapa kau menyerangku? Dia itu muridmu, akan tetapi mengapa berani sekali melawanku?
Biar pun demikian, kalau kau menghendaki, aku bisa mengampunkan dia. Mari kita bicara baik-baik, Pek
Hoa...”
Akan tetapi Pek Hoa Pouwsat atau nenek buruk itu hanya tertawa terkekeh-kekeh dan tiba-tiba saja
sepasang pedangnya bergerak secara aneh sekali! Gerakan ini disusul oleh seruan kaget dari para
pengeroyoknya dan dalam beberapa gebrakan saja empat orang pengeroyoknya telah roboh dan tewas!
Ceng-jiu Tok-ong kaget setengah mati, apa lagi ketika ia menyaksikan sepasang pedang dari bekas
muridnya ini yang benar-benar luar biasa sekali, gerakannya demikian indah dan halus, dan nenek yang
tubuhnya masih nampak langsing itu bergerak-gerak seperti orang menari secara amat menggairahkan!
Meski hal ini nampak lucu karena nenek itu tua, namun tetap saja masih mendatangkan pengaruh yang luar
biasa terhadap para pengeroyoknya. Inilah ilmu pedang ciptaan Pek Hoa Pouwsat yang dinamakan ilmu
pedang Bi-jin Khai-i, ilmu pedang yang mengandung kekuatan sihir dan bahkan sudah berhasil
merobohkan pendekar sakti seperti Han Le!
Juga Im Giok terheran-heran. Tidak salah lagi pendengarannyag suara itu adalah suara bekas gurunya, Bi
Sian-li Pek Hoa Pouwsat. Akan tetapi dahulu Pek Hoa Pouwsat adalah seorang wanita yang amat cantik
jelita bagai bidadari, kenapa sekarang menjadi seorang nenek-nenek tua sekali yang buruk?
Betapa pun juga, melihat kelihaiannya, kedatangan nenek yang membantunya ini sudah membuat hati Im
Giok menjadi besar dan pedangnya menjadi cahaya bergulung-gulung bagai naga mengamuk. Untuk
mengimbangi keindahan permainan sepasang pedang Pek Hoa Pouwsat, Ang I Niocu lalu mainkan limu
pedangnya yang seperti tarian indah, akan tetapi kehebatannya luar biasa sekali sehingga tiap kali
berkelebat tentu ada lawan yang roboh!
Betapa pun juga sepak terjang Im Giok masih belum ada artinya apa bila dibandingkan dengan Pek Hoa
Pouwsat. Nenek ini benar-benar mengerikan sekali sepak terjangnya. Tiap kali pedang kanan atau kiri di
tangannya berkelebat, bukan satu orang yang roboh, sedikitnya ada tiga orang yang roboh tak bernyawa
lagi. Sebentar saja tempat itu berubah menjadi tempat yang mengerikan, di mana nampak mayat
bertumpuk-tumpuk dan darah membanjir.
Ceng-jiu Tok-ong semakin terdesak hebat oleh sepasang pedang bekas muridnya sendiri itu. Ngeri dia
memikirkan betapa dia terancam bahaya maut di tangan bekas muridnya sendiri. Terbayanglah semua
peristiwa yang terjadi dahulu pada waktu Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat masih menjadi muridnya.
Pek Hoa adalah seorang anak perempuan yatim-piatu, oleh karena ayah bundanya yang menjadi kepala
penyamun sudah tewas di dalam tangan Ceng-jiu Tok-ong. Melihat bocah perempuan yang berkulit halus
putih dan berbibir merah itu, Ceng-jiu Tok-ong tertarik lalu membawanya pulang dan bocah berusia tujuh
tahun ini diambil menjadi muridnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek Hoa lalu menjadi dewasa dalam asuhan orang yang berwatak bejat, bahkan Ceng-jiu Tok-ong tidak
malu untuk mempermainkan muridnya sendiri sehingga semenjak kecil Pek Hoa telah diajarkan segala
macam perbuatan buruk dan tak tahu malu. Akhirnya Pek Hoa pergi meninggalkannya dan kemudian ia
mendengar bahwa bekas murid, dan juga bekas kekasihnya itu sudah menjadi murid Thian-te Sam-kauwcu
dan memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya.
Sekarang teringat akan ini semua, Ceng-jiu Tok-ong lantas mengeluarkan keringat dingin. Sangat boleh jadi
bahwa Pek Hoa yang kini sudah kenyang dengan pengalaman di dunia kang-ouw, dapat menduga bahwa
dialah yang dulu telah membunuh ayah bunda dari Pek Hoa. Boleh jadi sekali bekas muridnya ini sekarang
datang untuk membalas dendam!
Teringat akan semua ini, Ceng-jiu Tok-ong lalu berlaku nekad dan secara diam-diam dia mengeluarkan
jarum-jarumnya yang beracun, juga mengeluarkan Cheng-tok-see (Pasir Hijau Beracun). Ia maklum bahwa
ia tidak akan mendapat ampun dan pula tidak mungkin baginya untuk melepaskan diri lagi.
Maka, ketika Pek Hoa Pouwsat kembali merobohkan empat orang kawannya sehingga yang lain-lain
menjadi gentar dan menjauhkan diri, Ceng-jiu Tok-ong cepat menggunakan kesempatan selagi Pek Hoa
mencabut pedangnya dari tubuh lawan yang dirobohkan, segera menyerang bertubi-tubi. Jarum dan pasir
beracun disambitkannya dan semua ini dibarengi dengar serangan golok Cheng-tok-to secara nekad dan
mati-matian.
Pek Hoa Pouwsat terkejut juga menghadapi serangan ini. Dia berhasil menangkis golok dan mengelak ke
kiri, terus menusukkan pedangnya yang tepat mengenai ulu hati bekas gurunya. Akan tetapi tiga batang
jarum juga tepat mengenai leher, pundak, dan dadanya!
Tiga batang jarum ini adalah Cheng-tok-ciam dan Pek Hoa tahu bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Ia
membiarkan jarum-jarum ini menelusup memasuki dagingnya dan sambil tertawa terkekeh-kekeh melihat
gurunya berkelojotan lalu tewas, ia mengamuk terus!
Di lain pihak, dalam amukannya Im Giok melihat Lie Kian Tek berlari mendekati Tiauw Ki dengan pedang
terangkat tinggi. Gadis ini maklum akan maksud putera gubemur ini, pasti hendak membunuh kekasihnya
yang masih duduk tak berdaya karena luka-lukanya.
Cepat ia melompat laksana terbang dan tepat sekali datangnya ini. Terlambat sedikit saja tentu kekasihnya
tidak dapat ditolong pula. Dengan perasaan gemas ia menangkis sambil mengerahkan tenaga.
Terdengar suara keras dan pedang di tangan Lie Kian Tek terbabat putus. Pada lain saat tubuh putera
gubernur itu terlempar jauh terkena tendangan kaki Im Giok! Im Giok masih marah dan hendak mengejar
tubuh Lie Kian Tek yang sudah pingsan itu supaya dapat dibunuhnya, akan tetapi ia dihadang oleh belasan
orang perwira sehingga ia mengamuk lagi.
Para prajurit dan perwira-perwiranya melihat betapa Lie Kian Tek telah terluka hebat dan Ceng-jiu Tok-ong
sudah tewas, menjadi lenyap semangat mereka. Apa lagi sudah terlalu banyak teman mereka yang tewas.
Karena itu, sambil membawa tubuh Lie Kian Tek yang pingsan, mereka segera melarikan diri ke atas kuda
dan membalapkan kuda tunggangan mereka!
Im Giok sudah merasa terlalu lelah untuk mengejar mereka. Sebaliknya, dia melihat Pek Hoa Pouwsat
mengeluh, melepaskan sepasang pedangnya dan terhuyung-huyung mau roboh. Cepat Im Giok melompat
dan memeluk wanita itu.
Melihat betapa Pek Hoa kini telah menjadi seorang wanita yang mukanya tua dan buruk seperti iblis, dan
melihat pula betapa bekas gurunya ini sekarang menderita luka berat dalam usahanya menolong
nyawanya, hati Im Giok menjadi terharu sekali. Kini semua kebencian yang timbul di hatinya terhadap
bekas guru ini lenyap, berganti dengan kasih sayang yang hangat seperti yang dulu terkandung di hatinya
terhadap bekas guru ini.
“Enci Pek Hoa...” bisiknya sambil memondong tubuh bekas gurunya itu, dibawa ke tempat yang bersih dari
tumpukan mayat. Tiauw Ki menguatkan tubuh dan setengah merangkak ia pun menghampiri tempat itu.
Pek Hoa Pouwsat membuka matanya. Terlihatlah oleh Im Giok bahwa nenek ini memang benar-benar Pek
Hoa Pouwsat gurunya. Sepasang mata yang bersinar-sinar dan bening bagus itu memang mata Pek Hoa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tidak ada wanita kedua yang memiliki mata sebagus mata Pek Hoa, demikian pikir Im Giok. Ketika
pandang matanya melihat luka pada leher, pundak, dan dada yang mengeluarkan darah hijau, Im Giok
menahan isak.
“Enci Pek Hoa...!” bisiknya lagi.
Pek Hoa tersenyum dan terbukalah mulutnya yang ompong. Im Giok bergidik. Dahulu gigi Pek Hoa bukan
main indahnya, berderet rapi dan putih bersih laksana mutiara.
“Im Giok, anak baik, kau makin cantik saja...”
Kemudian ia muntahkan darah yang wamanya hijau pula.
“Im Giok..., aku... aku takkan lama lagi dapat bertahan... kau cantik, sayang sekali kalau lenyap
kecantikanmu... kau pergilah ke Pek-tiauw-san (Gunung Rajawali Putih), carilah telur Pek-tiauw... campur
dengan obat ini... kau minum setengah tahun sekali... selama hidup kau akan tinggal muda dan cantik...”
Pek Hoa menghentikan kata-katanya dan tangannya mengeluarkan sebuah bungkusan, kemudian ia
tertawa ha-ha-hi-hi, tampaknya geli dan seperti ada sesuatu yang amat lucu, tertawa terus akan tetapi
suara ketawanya makin lama makin lemah sehingga akhirnya terhenti sama sekali!
“Enci Pek Hoa, kau mati karena aku... terima kasih...” bisik Im Giok di dekat telinga bekas gurunya dan tak
tertahan pula dua titik air mata menetes di kedua pipinya.
Sayang sekali Im Giok tidak sempat mendengar tentang pengalaman Pek Hoa, tidak tahu mengenai
riwayatnya sehingga dia menyimpan obat pemberian bekas gurunya itu tanpa ragu-ragu lagi. Kalau saja ia
tahu... kiranya ia akan membuang obat itu jauh-jauh dengan ngeri hati.
Sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan, setelah dikalahkan oleh Bu Pun Su dan terusir dari Pulau
Pek-le-to, Pek Hoa Pouwsat pergi dengan hati perih sekali. Dia tidak berdaya menghadapi Bu Pun Su
kakek sakti itu dan betapa pun sakit hatinya, ia tak dapat berbuat apa apa.
Yang lebih menyakitkan hatinya adalah karena ia sudah mengandung. Ia mendekati dan menggoda Han Le
bukan sekali-kali karena ia mencinta pada pengemis sakti itu. Tadinya ia bermaksud menundukkan Han Le
agar cita-citanya membalas dendam tercapai, agar ia mendapat pembantu yang lihai.
Memang ia berhasil, karena bukankah ia sudah berhasil menewaskan Bok Beng Hosiang dan Kok Beng
Hosiang dua orang tokoh Siauw-lim-pai, dan juga menewaskan Cin Giok Sianjin tokoh Kun-lun-pai atas
bantuan Han Le! Sayang sekali bahwa biar pun mendapat bantuan dari Han Le, tetap saja ia tidak mampu
mengalahkan Bu Pun Su yang amat lihai itu. Dan semua itu dibelinya dengan penghinaan hebat.
Tadinya ia hendak mengganggu Han Le, tidak tahunya ada juga rasa kasih sayang di dalam lubuk hatinya
terhadap Han Le, apa lagi ia telah mengandung! Dan kini ia terusir dari pulau itu, terpisah dari Han Le dan
sama sekali tidak dapat membalas dendamnya.
Bukan main marah dan kecewanya hati Pek Hoa. Ia bersembunyi di dalam hutan lebat, menanti saat
kelahiran anak yang dikandungnya. Wanita ini memang berhati keras dan merupakan seorang yang luar
biasa sekali. Tanpa bantuan siapa-siapa, dan hanya berkat lweekang-nya yang tinggi serta kepandaiannya
yang sudah sampai di tingkat puncak, dia dapat melahirkan anak yang dikandungnya dengan selamat.
Akan tetapi apa yang terjadi? Setelah anaknya terlahir, terjadilah perubahan hebat pada dirinya! Kulitnya
mengeriput, rambutnya yang hitam panjang berubah menjadi putih, dan sebaliknya kulitnya yang putih
menjadi hitam dan tubuhnya menjadi kurus kering!
Sejak kecil Pek Hoa Pouwsat mengutamakan kecantikan. Untuk menjaga kecantikannya dia bahkan
setengah tahun sekali makan telur Pek-tiauw yang dicarinya dengan susah payah. Dengan obat ini dia
memang tidak pemah menjadi tua dan selalu tetap cantik dan muda.
Sekarang dia berubah menjadi sedemikian tua dan buruk, tentu saja hal ini merupakan pukulan yang hebat
sekali baginya. Dia tidak mengira sama sekali bahwa khasiat obat itu akan musnah, bahkan sebaliknya
merusak semua kecantikannya apa bila dia mempunyai anak!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini baru dia tahu dan saking marah dan sedihnya, Pek Hoa Pouwsat seperti orang gila lalu membanting
mati anaknya sendiri! Kemudian ia lalu berlari-larian seperti orang gila, merantau ke sana ke mari sampai
akhimya ia bertemu dengan Im Giok yang dikeroyok oleh Ceng-jiu Tok-ong dan orang-orangnya.
Melihat Ceng-jiu Tok-ong, timbullah kenang-kenangan lama yang membuat hatinya sakit, maka ia
mengambil keputusan untuk membunuh bekas gurunya ini. Juga melihat Im Giok yang cantik jelita, Pek
Hoa tersenyum seorang diri dan berkata,
“Dia harus menggantikan aku..., ha-ha, anak Kiang Liat harus merasai seperti aku pula...”
Demikianlah, Pek Hoa Pouwsat lalu menyerbu dan berhasil membunuh Ceng-jiu Tok-ong juga berhasil
memberikan obatnya kepada Im Giok, sungguh pun untuk tercapainya dua maksud ini dia harus
mengorbankan nyawanya.
Setelah Pek Hoa Pouwsat meninggal, Im Giok lalu menghampiri kekasihnya. Keduanya berpelukan dan
keduanya mengeluarkan air mata.
“Aduh, Giok-moi, sama sekali aku tak mengira bahwa kita dapat bertemu dalam keadaan hidup,” kata
Tiauw Ki.
Im Giok meraba muka Tiauw Ki yang penuh dengan luka-luka kecil akibat cambukan Lie Kian Tek,
menjamah luka-luka itu dengan jari-jarinya yang halus, penuh kasih sayang.
“Kasihan sekali kau, Koko... kau maafkan aku yang telah meninggalkanmu seorang diri...”
“Tidak ada yang harus dimaafkan, adikku sayang. Aku memang sengaja membikin kau marah dan pergi,
agar kau selamat...”
“Aku tahu, Koko, aku mengerti... alangkah besarnya kasih sayangmu kepadaku.”
“Aku mencintamu lebih dari mencinta jiwaku sendiri, Giok-moi...“
Sesudah keharuan mereka mereda, Tiauw Ki bertanya, “Nenek yang menolong kita itu, siapakah dia?”
“Dahulu, di waktu kecil, dia pemah menjadi guruku. Tadinya dia yang berjalan sesat, akan tetapi selalu aku
tahu bahwa di dalam hatinya, ia sangat sayang kepadaku. Dan ternyata benar...” Suara Im Giok menjadi
lambat penuh keharuan. “Dia mengorbankan nyawanya untukku... Aku harus merawat jenazahnya baikbaik,
Twako. Ia harus dikubur baik-baik...”
Tiauw Ki menyetujui dan sibuklah mereka menggali lubang untuk mengubur mayat Pek Hoa Pouwsat.
“Bagaimana dengan mereka itu? Sudah sepatutnya mereka itu dikubur pula, bukankah mereka juga
manusia?” Tiauw Ki menuding ke arah tumpukan mayat yang berserakan di sana-sini dan suaranya
gemetar. Ngeri dia melihat mayat manusia yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu. Benar-benar hebat
amukan Ang I Niocu dan Pek Hoa Pouwsat.
Im Giok memandang dan menarik napas panjang. “Tak mungkin, Koko. Bagaimana kita berdua sanggup
mengubur mayat sebanyak itu? Apa lagi tanpa ada alat untuk menggali lubang.”
“Akan tetapi hatiku tidak menginginkan kalau mereka itu ditinggalkan begitu saja menjadi makanan
binatang buas...,” Tiauw Ki membantah.
“Jangan khawatir, Koko. Penduduk di sekitar tempat ini tentu akan mengurusnya. Pula, mereka itu adalah
anggota pasukan dari Lie Kian Tek, tentu kawan-kawan mereka akan datang kembali untuk mengurus
mayat mereka. Terlebih lagi, kita harus cepat-cepat pergi meninggalkan tempat ini. Apa bila mereka datang
lagi membawa bala bantuan, celakalah kita. Aku sudah kehabisan tenaga dan tak mungkin dapat melawan
lagi...”
Kebetulan sekali mereka masih dapat menemukan dua ekor kuda yang tadinya telah lari kacau-balau.
Maka, cepat mereka menunggang kuda ini dan melarikan kuda menuju ke utara, ke kota raja.
Di tengah perjalanan, Tiauw Ki berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Giok-moi, aku ingin sekali lekas-lekas menyelesaikan tugasku dan bersamamu pergi ke Sian-koan
menemui ayahmu. Kalau... kau sudah menjadi isteriku, kau harus membuang jauh-jauh pedangmu dan
selanjutnya kita hidup dalam damai dan tenteram. Aku tak bisa membiarkan isteriku merenggut nyawa
manusia sedemikian banyaknya...!”
Im Giok tersenyum. Hatinya membantah, sebab dalam hal pertempuran, membunuh atau terbunuh adalah
hal biasa. Akan tetapi ia tidak mau membantah dengan mulut karena maklum bahwa kekasihnya yang
lemah itu baru saja terlepas dari bahaya maut dan baru mengalami sesuatu yang betul-betul menakutkan.
Perjalanan kemudian dilakukan secara cepat. Pada saat mereka lewat di sebuah kota, Im Giok membeli
obat di toko obat untuk mengobati luka-luka kecil pada tubuh Tiauw Ki…..
********************
Kiang Liat yang melakukan perjalanan ke Go-bi-san untuk menyampaikan surat dari Bu Pun Su kepada
Ketua Go-bi-pai tidak mengalami rintangan dan sampai di puncak gunung itu dengan selamat. Ia
menghadap ciangbunjin dari Go-bi-pai, yakni Twi Mo Siansu, yaitu seorang kakek berusia tujuh puluh tahun
lebih dan sikapnya halus, tubuhnya tinggi kurus dan alisnya putih semua. Setelah membaca surat dari Bu
Pun Su, kakek ini mengangguk dan tersenyum.
“Bu Pun Su benar-benar mengagumkan sekali. Sudah tua masih berhati muda, bergelora dan
bersemangat. Jatuh-bangunnya sebuah kerajaan berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa, orang-orang
seperti kita ini mau bisa apakah?”
Mendengar kata-kata ini, di dalam hatinya Kiang Liat tidak setuju sama sekali. Alangkah lemah dan
pikunnya ketua Go-bi-pai ini, pikirnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani bilang apa-apa, hanya terus
mendengarkan lebih lanjut. Juga para murid Go-bi-pai yang berada di situ, yang jumlahnya belasan orang,
tidak ada yang mengeluarkan suara.
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dan mengandung tenaga.
“Maafkan teecu, Susiok. Teecu sudah berani berlancang mulut dan ikut-ikutan berbicara dalam urusan
yang sama sekali teecu tak berhak mencampuri. Akan tetapi, sungguh pun teecu tunduk dan setuju akan
kata-kata Susiok tadi bahwa apa pun yang diusahakan oleh manusia, akhirnya keputusan berada di tangan
Thian. Akan tetapi, sebagai manusia yang berakal budi, apa lagi yang menjunjung tinggi keadilan dan
kegagahan seperti kita, teecu rasa sudah sepatutnya kalau kita berusaha demi keadilan dan kebajikan. Ada
pun akibat dan keputusannya, memang terserah kepada Thian Yang Maha Kuasa. Maafkan kalau
pendapat teecu keliru dan selanjutnya mohon petunjuk, Susiok.”
Semua orang memandang kepada pembicara ini, juga Kiang Liat. Ia melihat bahwa yang berbicara itu
adalah seorang pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan gagah, patut sekali menjadi seorang
pendekar. Pakaiannya amat indah, pedangnya tergantung di pinggang, alisnya hitam dan matanya berapiapi.
Usianya paling banyak dua puluh lima tahun.
Jika Kiang Liat memandang dengan kagum dan tertarik kepada pemuda ini, adalah murid lain-lain Go-bi-pai
yang berada di sana memandang dengan muka merah dan ada yang khawatir. Mereka menduga bahwa
Twi Mo Siansu pasti akan marah sekali, karena sudah merupakan peraturan perguruan di situ bahwa para
anak murid tidak sekali-kali boleh ikut mencampuri percakapan antara guru besar ini dengan tamu yang
datang. Apa lagi untuk urusan yang besar dan yang belum dimengerti oleh para anak murid.
Akan tetapi pemuda ini sudah berlancang mulut. Dia tidak saja mencampuri percakapan, bahkan terangterangan
berani mencela pendirian Twi Mo Siansu!
Suasana menjadi sunyi…..
Tadinya Twi Mo Siansu menjadi merah mukanya, sepasang mata yang masih amat tajam berpengaruh itu
memandang pada pemuda gagah itu dengan marah. Akan tetapi, ketika bertemu dengan wajah yang
tampan terbuka, mata yang berani menentangnya penuh pengertian itu, wajah kakek ini melembut kembali
dan ia tersenyum.
“Bagus sekali, Liem Sun Hauw. Meski pun pendirianmu itu pikiran orang muda dan tidak sejalan dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
pikiranku, akan tetapi aku setuju sekali! Kau murid Go-bi-pai dari luar kuil, tentu tidak tahu akan peraturan di
dalam kuil, karena itu kelancanganmu itu masih dapat kumaafkan. Sayang Suheng sudah meninggal, kalau
tidak tentu dia akan bangga sekali mendengar ucapan muridnya di depanku.” Kakek ini lalu tertawa dengan
girang.
“Harap maafkan, Susiok. Sebenarnya teecu tadi sudah lancang bicara tanpa dipikir dulu, harap banyak
maaf.”
“Tidak apa, tidak apa. Bahkan kebetulan sekali. Aku sedang berpikir-pikir siapa gerangan orangnya yang
dapat mewakili aku. Sudah kukatakan tadi bahwa biar pun tidak sejalan dengan pikiranku, tapi aku setuju
sekali dengan pendirianmu. Karena itu aku pun setuju dengan pendapat Bu Pun Su. Pendekar Sakti itu
minta bantuanku agar supaya kita dari Go-bi-pai ikut mengamati-amati kalau-kalau ada pihak penyerang
mendatangi dari utara, karena menurut pendapat Bu Pun Su, negara berada dalam bahaya dari ancaman
musuh berbagai pihak. Hal ini bisa dilakukan oleh semua anak murid yang berada di sini dengan
melakukan penjagaan di sepanjang tapal batas sebagai pengawas. Akan tetapi tentang permintaan yang
kedua dari Bu Pun Su agar supaya aku turun gunung dan menghubungi kawan-kawan untuk memperkokoh
persatuan dan melenyapkan pertikaian antara kawan sendiri, sungguh tidak dapat kulakukan. Kaulah, Sun
Hauw, kau yang harus mewakili aku turun gunung!”
“Teecu siap sedia menjalankan perintah Susiok. Mohon nasehat dan petunjuk selanjutnya agar teecu dapat
melakukan tugas dengan baik,” jawab pemuda itu dengan suara tegas dan bersemangat.
“Kau hubungi semua tokoh besar dunia kang-ouw dan katakan bahwa aku sendiri sudah menyatakan
setuju sekali dengan pendapat Bu Pun Su bahwa pada saat seperti ini kita semua harus bersatu. Jangan
sampai ada perpecahan di antara kita dan kalau misalnya ada, urusan itu harus diselesaikan dengan cara
damai. Persatuan harus ditujukan untuk melindungi negara dan rakyat dari bahaya. Apa bila benar-benar
terjadi perang, tentu akan muncul manusia-manusia jahat dan perlu sekali kita melindungi rakyat jelata dari
penindasan mereka ini. Sampaikanlah salamku kepada mereka dan pertama-tama lebih tepat kalau kau
pergi ke Bu-tong-san mengingat bahwa partai Bu-tong-pai pada waktu ini sedang ada urusan percekcokan
dengan Kim-san-pai. Katakan kepada Lo Beng Hosiang ciangbunjin dari Bu-tong-pai bahwa jika dia mau
mengadakan pertemuan damai dengan pihak Kim-san-pai, boleh mempergunakan kuil kita di Go-bi-san
sini.”
“Teecu sudah ingat akan semua pesan dari Susiok dan akan mentaati,” kata Sun Hauw, pemuda gagah itu.
Seorang di antara para anak murid Go-bi-pai yang duduk di sana, tiba-tiba berdiri dan berkata dengan
suara lantang,
“Maaf, Suhu. Teecu merasa kurang puas dengan diangkatnya Liem-sute sebagai wakil Suhu. Hal ini
menyangkut nama baik partai kita, maka teecu merasa ragu-ragu apakah kelak nama baik partai kita tidak
akan terancam bahaya. Liem-sute baru saja datang di Go-bi-pai, baru tiga hari, dan Suhu tahu bahwa dia
adalah murid Thian Mo Siansu Supek hanya menurut pengakuannya sendiri. Bagaimana kalau dia itu
sebenamya bukan murid Supek? Sungguh pun andai kata dia itu benar-benar murid Supek, masih belum
boleh dia dianggap sebagai anak murid Go-bi-pai, mengingat bahwa antara Suhu dan Supek...”
“Cukup!” Twi Mo Siansu membentak.
Murid yang bicara tadi, yaitu seorang tosu pula yang berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, tak
berani melanjutkan kata-katanya dan duduk kembali.
“Tek Sin, aku mengerti akan maksud kata-katamu. Tapi kita telah menerima tugas untuk menjadi tukang
menggalang persatuan, bagaimana kita masih teringat akan perpecahan sendiri? Tidak, bagaimana pun
juga, murid Suheng adalah murid Go-bi-pai pula. Ada pun keraguanmu tentang kemampuan Sun Hauw,
memang tepat. Baiklah kau kuserahi tugas mengujinya apakah benar dia itu anak murid Go-bi-pai, dan
apakah kiranya dia sudah cukup kuat untuk melakukan tugas mewakili aku.”
Tek Sin Tojin terkejut. Tak disangkanya bahwa ucapannya tadi membuat suhu-nya marah dan dia kini
diharuskan menguji Liem Sun Hauw! Tek Sin Tojin adalah murid pertama dari Twi Mo Siansu dan tadi
mendengar tugas mewakili suhu-nya diberikan kepada pemuda itu, tentu saja ia merasa tidak senang.
Sekarang, ada jalan baginya untuk menunjukkan bahwa pandangannya tepat dan bahwa gurunya telah
berlaku keliru menyerahkan tugas sepenting itu kepada seorang pemuda seperti Liem Sun Hauw yang baru
saja datang dan mengaku sebagai murid Thian Mo Siansu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Teecu tidak berani menolak perintah Suhu,” katanya sambil berdiri, lalu katanya kepada Liem Sun Hauw.
“Liem-sute, tentunya kau telah mendengar sendiri perintah Suhu bahwa pinto harus mengujimu. Oleh
karena itu, marilah kita pergi ke lian-bu-thia (tempat berlatih silat).”
Liem Sun Hauw tersenyum dan menjura kepada tosu yang tubuhnya tinggi besar ini.
“Twa-suheng, siauwte mana berani menolak? Hanya mengharap belas kasihan Suheng supaya jangan
berlaku terlalu keras terhadap siauwte yang masih hijau.” Sambil berkata demikian, Liem Sun Hauw lalu
bersiap mengikuti Tek Sin Tojin pergi ke lian-bu-thia.
“Tidak usah ke lian-bu-thia, ruangan ini pun sudah cukup lebar jika hanya untuk menguji kepandaian saja,
Tek Sin, kau coba kepandaian Sun Hauw ini di sini saja,” kata Twi Mo Siansu.
Semua anak murid Go-bi-pai lalu mengundurkan diri dan berdiri di pinggir untuk memberi tempat yang lega
bagi dua orang yang hendak mengadu kepandaian itu. Juga Kiang Liat yang sebagai tamu tidak berani
turut bicara lalu minggir.
Ia melihat Tek Sin Tojin sebagai seorang tosu tinggi besar yang jelas sekali mempunyai tenaga kuat dan
dari pandang mata tosu ini dia dapat mengetahui bahwa Tek Sin Tojin mempunyai lweekang dan
kepandaian yang tinggi. Maka diam-diam ia mengkhawatirkan keadaan pemuda tampan itu. Kiang Liat
yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa Tek Sin Tojin merasa iri hati kepada Sun Hauw dan dalam
ujian silat ini tentu saja tosu itu akan berusaha untuk membikin malu dan merobohkan Sun Hauw.
Liem Sun Hauw menanggalkan jubah luarnya dan kini ia berpakaian ringkas, menambah kegagahannya
karena nampaklah bentuk tubuhnya yang bidang dan tegap. Dia berdiri di tengah ruangan menghadapi Tek
Sin Tojin dengan tubuh sedikit direndahkan dan kepala ditundukkan, tanda menghormat kepada saudara
tua.
“Liem-sute, pinto melihat ada pokiam (pedang pusaka) tergantung di pinggangmu. Dalam ujian ini, apakah
kau hendak mempergunakan pedang?”
Liem Sun Hauw cepat menjura. “Siauwte menyerahkan pada kebijaksanaan Suheng saja, bagaimana cara
Suheng hendak menguji, siauwte siap mentaati perintah.”
“Hemm, kalau begitu cabut pedangmu. Biar aku menghadapi pedangmu dengan tangan kosong saja.”
Liem Sun Hauw patuh. Dia menghunus pedangnya dan nampak sinar putih berkilauan, tanda bahwa
pedang itu adalah pedang yang baik. Dia lalu memutar pedangnya dengan gerakan indah dan cepat, tahutahu
pedang itu kini sudah dipegang di bagian pucuknya dan gagangnya disodorkan ke arah Tek Sin Tojin,
tangan kiri dibuka terpentang di depan dada.
Melihat ini, Kiang Liat tahu bahwa meski pun kelihatannya aneh sekali memegang ujung pedang secara
terbalik, akan tetapi gerakan ini bukanlah gerakan sembarangan dan tentu saja mempunyai arti tertentu.
“Ketika Suhu memberikan gin-kiam (pedang perak) ini kepada siauwte, Suhu berpesan supaya siauwte
jangan sekali-kali mempergunakan pedang ini untuk menghina orang dan melawan orang bertangan
kosong dalam pibu,” kata pemuda itu dengan sikap hormat.
Twi Mo Siansu mengangguk-angguk girang. “Ah kiranya Suheng masih ingat akan pesan Sucouw, masih
ingat untuk mengajarkan peraturan ini kepada muridnya.”
Memang Go-bi-pai terkenal keras dengan peraturan-peraturannya. Di antaranya, seorang murid sama
sekali tak boleh memamerkan ilmu pedangnya, juga tidak boleh menghadapi lawan dalam pibu
(pertandingan persahabatan) yang bertangan kosong dengan pedang. Kalau terjadi lawan itu bertangan
kosong menantang, ia harus menyerahkan pedang itu dengan sikap dan gerakan tertentu sebagaimana
yang dilakukan oleh Sun Hauw ini. Tadi memang Tek Sin Tojin menguji apakah pemuda ini mengerti akan
peraturan ini dan ternyata Sun Hauw mengerti baik!
“Kau hendak memberikan pedangmu padaku? Baik, kuterima dan awas terhadap caraku
mengembalikannya!” kata Tek Sin Tojin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tangan kanannya menyambar dan pada lain saat pedang itu sudah berpindah ke dalam tangannya. Tosu
tinggi besar itu lalu membuat gerakan melompat ke belakang, berjungkir balik tiga kali, kemudian pada
jungkiran terakhir, ia menggerakkan tangannya dan pedang itu meluncur seperti anak panah menyambar
ke arah dada Liem Sun Hauw!
Pemuda itu cepat meloloskan sarung pedangnya dan dengan gerakan yang indah namun cepat sekali ia
menyambut pedang yang meluncur ke dadanya itu dengan sarung pedang dan... tepat sekali pedang itu
masuk ke dalam sarungnya sehingga mengeluarkan suara keras! Indah sekali gerakan dua orang itu.
Tek Sin Tojin melakukan gerakan menyambit yang merupakan jurus terakhir dari ilmu pedang Go-bi-pai,
yakni gerakan yang disebut Sin-liong Kian-hwe (Naga Sakti Mengulur Ekor) yang dimaksudkan untuk
dipergunakan pada saat terakhir atau pada saat sudah amat terdesak oleh lawan yang lebih tangguh.
Timpukan pedang yang tidak terduga-duga ini akan dapat menolong diri, kalau tidak berhasil merobohkan
lawan, sedikitnya memberi kesempatan untuk melarikan atau menjauhkan diri!
Ada pun Sun Hauw yang sudah menduga lebih dulu, telah meloloskan sarung pedangnya dan cepat
memperlihatkan kelihaiannya sebagai anak murid Go-bi-pai, melakukan jurus ilmu silat yang disebut Sinliong
Siu-cu (Naga Sakti Menyambut Mustika). Memang, dari gerakan ini saja sudah dapat dilihat bahwa
Sun Hauw benar-benar seorang anak murid Go-bi-pai yang jempol.
Ada pun Kiang Liat yang juga seorang ahli pedang terkemuka, melihat petunjukan ilmu pedang ini, diamdiam
dia merasa kagum sekali. Ia sudah tahu bahwa Go-bi-pai memang sebuah perguruan yang memiliki
ilmu pedang indah dan aneh-aneh, maka menyaksikan demonstrasi tadi, ia merasa gembira dan memuji,
“Bagus sekali!”
Ia tidak tahu bahwa memang di dalam ilmu pedang cabang Go-bi-pai terdapat pelajaran terakhir, yaitu
bersilat dengan sarung pedang. Hal ini dipelajari untuk berjaga kalau-kalau pedang terampas lawan, maka
biar pun dengan sarung pedang, masih dapat anak murid Go-bi-pai melakukan perlawanan hebat.
Sementara itu, sekarang Tek Sin Tojin dan Liem Sun Hauw sudah mulai bertempur dengan tangan kosong.
Gerakan mereka cepat dan indah, setiap pukulan ditangkis atau dielakkan dengan tepat dan cepat. Dilihat
sepintas lalu, mereka seakan-akan dua orang anak murid Gobi-pai yang sedang berlatih silat, akan tetapi
sebenarnya bukan demikian, karena Tek Sin Tojin mendesak dan menyerang dengan sungguh-sungguh.
Sekali saja Liem Sun Hauw meleset dalam menangkis atau mengelak, dia akan terpukul dan mendapat
luka di dalam tubuh yang tidak ringan! Akan tetapi ternyata Liem Sun Hauw hafal akan semua jurus
serangannya sehingga pemuda ini dapat menangkis atau mengelak dengan tepat, kemudian melakukan
serangan balasan sebagaimana mestinya dalam jurus dan gerak yang dilakukannya menghadapi suhengnya
ini.
Kalau tadi Kiang Liat merasa kagum melihat demonstrasi ilmu pedang, sekarang melihat ilmu silat tangan
kosong yang diperlihatkan, ia tidak merasa heran atau kagum. Ilmu silat itu memang cepat dan indah, lagi
kuat gerakannya, akan tetapi tidak terlalu hebat dan Kiang Liat merasa bahwa ilmu silatnya sendiri, ilmu
silat keturunan keluarga Kiang atau ilmu silat yang ia dapat dari Han Le dan Bu Pun Su, tidak usah kalah
menghadapi ilmu silat yang dimainkan oleh kedua orang itu.
Lima puluh jurus telah lewat dan belum juga Tek Sin Tojin dapat mendesak sute-nya, apa lagi
mengalahkannya! Tiba-tiba saja tosu itu merubah gerakannya dan kagetlah Liem Sun Hauw. Biar pun ia
sudah menerima latihan ilmu-ilmu silat Go-bi-pai, tapi baru kali ini ia melihat ilmu silat yang sekarang
dimainkan oleh Tek Sin Tojin. Ilmu silat ini hebat sekali. Gerakannya seperti seorang kakek tua memberi
pelajaran menulis dengan telunjuknya. Sebentar saja Liem Sun Hauw terdesak.
Akan tetapi pemuda ini mengeluarkan seruan keras dan ia pun merubah gerakannya. Kini Twi Mo Siansu
sendiri sampai mengeluarkan seruan kaget ketika melihat ilmu silat yang cepat sekali gerakannya akan
tetapi sama sekali bukan ilmu silat dari Go-bi-pai! Tadinya ia sudah hendak menegur murid kepala karena
mengeluarkan ilmu silat ‘simpanan’. Ilmu silat yang sekarang dimainkan oleh Tek Sin Tojin adalah ilmu silat
Go-bi-pai yang khusus diajarkan kepada murid kepala yang kelak dicalonkan menjadi ketua apa bila ketua
yang sekarang meninggal dunia, maka tidak boleh sembarangan dikeluarkan.
Bahkan Thian Mo Siansu sendiri pun tidak pernah diberi pelajaran ilmu silat ini, maka tentu saja Liem Sun
Hauw tidak mengenalnya. Akan tetapi Twi Mo Siansu yang merasa senang melihat kegagahan Sun Hauw,
dunia-kangouw.blogspot.com
tadinya ingin sekali tahu sampai berapa lama Sun Hauw dapat mempertahankan diri. Alangkah kagetnya
pada waktu ia melihat pemuda itu mengeluarkan ilmu silat yang luar biasa dan yang agaknya dapat
menandingi ilmu silat simpanan Go-bi-pai itu!
“Tahan! Tek Sin dan Sun Hauw, cukuplah ujian ini!” seru Twi Mo Siansu. Dia khawatir kalau-kalau sampai
terjadi korban dan dia merasa malu kalau sampai akhirnya Tek Sin Tojin kalah, apa lagi di sana terdapat
seorang tamu.
“Tek Sin, bagaimana pendapatmu? Sudah puaskah kau?”
Tek Sin Tojin adalah seorang jujur. Dia cepat berlutut di depan suhu-nya dan berkata, “Dalam hal ilmu silat
Go-bi-pai, Liem-sute sudah memperlihatkan bahwa dia benar-benar anak murid Go-bi-pai dan tidak kalah
oleh teecu sendiri. Bahkan agaknya Liem-sute telah mempelajari ilmu silat-ilmu silat lain yang lebih hebat!”
Kata-kata ini mengandung sindiran bahwa sebagai murid Go-bi-pai, tidak selayaknya Sun Hauw menjadi
murid partai lain tanpa seijin Ketua Go-bi-pai.
“Liem Sun Hauw, apakah kau juga menjadi murid dari partai lain?” tanya Twi Mo Siansu dengan suara
kereng.
Sun Hauw berlutut, “Teecu hanya menjadi murid Suhu Twi Mo Siansu saja, tidak menjadi murid partai lain.”
“Sute, jangan kau berbohong! Kalau menjadi murid partai lain, lebih baik mengaku saja, mungkin Suhu
masih dapat mempertimbangkan!” tegur Tek Sin Tojin.
“Mana siauwte berani membohong di depan Susiok, Suheng?”
“Ilmu silatmu dalam jurus-jurus terakhir bukanlah ilmu silat Go-bi-pai! Apakah kau hendak menyangkal?”
“Memang bukan ilmu silat Go-bi-pai, akan tetapi siauwte menerima pelajaran ilmu silat itu dari Suhu pula,
dan Suhu katanya menerima ilmu silat itu dari seorang tokoh yang sakti bernama Hok Peng Taisu di Honglun-
san.”
Twi Mo Siansu terkejut mendengar nama ini. Nama itu adalah nama seorang di antara tokoh-tokoh
terkemuka yang dianggap sebagai tokoh-tokoh sakti di samping Bu Pun Su dan Han Le.
“Sun Hauw, mengapa kau tadi mengeluarkan ilmu silat itu? Apakah kau sengaja hendak memamerkannya
dan menganggap bahwa ilmu silat itu lebih unggul dari pada ilmu silat Go-bi-pai?”
“Tidak sekali-kali teecu berani beranggapan demikian, Susiok. Tadi tiba-tiba saja teecu menghadapi
serangan jurus-jurus ilmu silat yang sama sekali belum teecu kenal, yang amat hebat dan membingungkan
teecu. Karena merasa bahwa tidak ada jurus ilmu silat Go-bi-pai yang teecu kenal bisa menghadapi
serangan Suheng itu, maka terpaksa teecu mengeluarkan ilmu silat lain itu... harap Susiok sudi
memaafkan.”
Twi Mo Siansu menarik napas panjang. “Sudahlah. Di dunia ini memang banyak sekali ilmu silat tinggi,
mana bisa Go-bi-pai berani mengangkat dada mengagulkan kepandaian sendiri? Hanya pesanku, Sun
Hauw, apa bila kau mengeluarkan ilmu silat yang tadi, kau sekali-kali tak boleh mengaku sebagai anak
murid Gobi-pai! Pantangan besar bagi murid Go-bi-pai untuk mengandalkan penjagaan diri bukan dengan
ilmu silat Go-bi-pai.”
”Teecu mentaati perintah Susiok,” kata Sun Hauw.
Twi Mo Siansu berpaling kepada Kiang Liat. “Sicu, sampaikan kepada sahabat baik Bu Pun Su bahwa
permintaannya sudah kuterima dan kusetujui. Mengenai penjagaan di bagian utara, aku berianji akan
mengerahkan anak murid Go-bi-pai. Dan tentang usaha mempersatukan sahabat-sahabat segolongan, kau
lihat murid Liem Sun Hauw mewakili aku dan dia akan berusaha untuk mendamaikan urusan antara Kimsan-
pai dan partai Bu-tong-pai.”
“Terima kasih, Locianpwe. Sesudah melihat sikap saudara muda Liem ini, saya merasa kagum dan tertarik.
Karena perjalanan menuju ke Bu-tong-san sejalan dengan perjalanan saya, maka ingin sekali saya
menemani Saudara Liem di perjalanan,” kata Kiang Liat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah membuat persiapan dan minta diri dari Twi Mo Siansu, maka berangkatlah Kiang Liat dan Liem
Sun Hauw turun gunung…..
********************
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments