Kamis, 16 November 2017

Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh

Baca Juga Cerita Silat Sebelumnya

Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh
Di sebelah barat kota Tiang-an, di luar tembok kota dekat hutan pohon cemara, terdapat sebuah kuil tua
yang temboknya sudah banyak yang rusak dan warna tembok itu tidak karuan lagi. Tapi huruf-huruf yang
ditulis pada dinding dan bermaksud sebagai puja-puji kepada dewata berbunyi ‘Lam Bu O Mi To Hud’
masih dapat terbaca, demikian pula merk bio (kuil) itu yang dipasang pada depan pintu luar dan berbunyi
‘Ban Hok Tong’ atau ‘Kuil Selaksa Rejeki’.
Pada siang hari yang sunyi itu terdengar suara orang mengajar ilmu membaca dari dalam bio dan kadangkadang
terdengar suara pendeta membaca liamkeng (doa). Karena suara liamkeng pendeta bukan
merupakan hal aneh lagi, maka yang menarik perhatian adalah suara guru sastera yang tinggi parau itu,
dan kadang-kadang dijawab oleh suara seorang kanak-kanak yang nyaring dan bening.
“Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya...!” terdengar penuh kegemasan dan tidak sabar.
“Tahu, tahu...,” suara anak kecil itu cepat menjawab, “Artinya adalah, di empat penjuru samudera, semua
adalah saudara!”
“Bagus! Tapi, tahukah kau siapakah yang dimaksudkan saudara itu?”
“Siapa, Sianseng (Pak Guru)? Tentu bukan kita, karena kau dan aku bukanlah saudara,” terdengar jawab
ketolol-tololan hingga guru itu memukul meja.
“Bodoh! Yang dimaksud dengan saudara bukanlah pertalian persaudaraan yang berdasar kekeluargaan,
tapi adalah rasa persaudaraan berdasarkan peri kemanusiaan, tahu?”
Suara anak itu menandakan bahwa ia masih amat kecil, mana mungkin ia bisa menikmati ‘makanan rohani’
yang berat ini. Maka terdengar jawabannya yang takut-takut, “Hakseng (Murid) tidak mengerti, Sianseng.”
“Memang kau tolol, bodoh, dungu seperti kerbau! Mengajar kau tidak bisa dengan mulut saja, harus dengan
tangan. Nah, kau rasakan ini supaya mengerti!”
Lalu terdengarlah suara tamparan, akan tetapi sedikit pun tidak terdengar pekik kesakitan walau pun kalau
orang menjenguk ke dalam akan melihat betapa seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam tahun
telah ditampar sampai merah pipinya. Anak itu hanya menggigit bibirnya.
“Nah, sekarang kau sebutkan ujar-ujar yang kemarin telah kuterangkan padamu.”
“Ujar-ujar yang manakah, Sianseng? Kemarin kita mempelajari banyak sekali ujar-ujar,” jawab murid itu.
“Ujar-ujar yang ke tiga.”
Sunyi sebentar, lalu terdengarlah suara lantang anak itu, “Janganlah kau perbuat kepada lain orang
sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain perbuat kepadamu!”
“Bodoh, itu adalah ujar-ujar yang kita pelajari kemarin dulu, bukan kemarin. Kau selalu sebut ujar-ujar ini
saja! Agaknya hanya ujar-ujar ini yang bisa memasuki batok kepalamu yang keras itu.”
“Memang hakseng paling suka kepada ujar-ujar yang satu ini, Sianseng,” jawab anak itu yang tiba-tiba
menjadi berani.
“Mengapa begitu?”
“Harap Sianseng terangkan dulu apakah semua ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu itu baik dan betul?”
“Tentu saja, tolol! Kalau tidak baik dan betul tak nanti dipelajari orang sedunia.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalau begitu, apakah Sianseng suka kalau kutampar mukamu?”
“Apa katamu? Kau... kau bangsat...”
“Sianseng tadi menampar pipiku, tapi tidak suka kalau kutampar, bukankah itu menyalahi ujar-ujar yang kita
pelajari?”
Untuk beberapa saat tak terdengar suara apa-apa seakan-akan guru itu tercengang, tapi kemudian
terdengar ia memaki kalang kabut. Dan pada saat itu pula di luar kuil terjadilah hal-hal yang lebih hebat lagi.
Seorang hwesio (pendeta) gundul yang bertubuh tinggi besar dengan sepasang mata bundar menakutkan
dan lengan tangan yang besar berbulu, entah dari mana datangnya, berhenti di luar kuil dan ia menurunkan
sebuah keranjang rotan besar sekali yang tadi dipanggulnya. Ia lalu duduk di atas keranjang itu sambil
melihat ke arah pintu kuil dengan penuh perhatian.
Tiba-tiba saja dari dalam pintu kuil itu keluarlah tiga orang-orang tua yang juga pendeta-pendeta penganut
Agama To (Tosu) yang memelihara rambut dan rambut itu digelung ke atas dan diikat di tengah-tengah.
Tiga orang tosu itu juga aneh sebab yang seorang tinggi kurus bertongkat kayu cendana, yang ke dua
pendek namun gerak-geriknya gesit sekali, ada pun yang seorang lagi tinggi besar dan bercambang bauk
yang menyongot ke sana sini, berbeda dengan dua orang kawannya yang berjenggot putih panjang dan
halus.
Ketika melihat tiga tosu ini keluar dari pintu kuil, hwesio gundul tinggi besar itu tampak terkejut karena
memang dia tidak menduga sama sekali akan melihat mereka di sana. Sebaliknya, ketika melihat hwesio,
ketiga orang tosu itu juga terkejut sekali dan mereka bertiga lalu menggerakkan tubuh meloncat
menghampiri. Loncatan ini luar biasa sekali, karena sekali saja meloncat, mereka bertiga telah melayang ke
tempat hwesio itu yang jauhnya tak kurang dari sepuluh tombak (setombak kira-kira dua meter)!
“Hai Kong, kau berani menemui kami? Apakah kau mencari mampus?” Tosu jangkung kurus bertanya
sambil mengketuk-ketukkan ujung tongkatnya ke atas tanah.
Tiba-tiba hwesio gundul yang bernama Hai Kong Hosiang itu tertawa dan suara tawanya ini aneh sekali.
Keras dan parau memekakkan telinga dan sebentar merendah bagaikan suara orang bernyanyi. Suara ini
terdengar sampai di tempat jauh hingga guru dan murid yang sedang berada di dalam sebuah kamar dalam
kuil itu menjadi terkejut.
Anak kecil itu tak dapat menahan keinginan tahunya, karena itu sambil membawa suling bambunya ia lalu
berlari keluar dari kamar itu. Gurunya marah dan mengejarnya sambil berteriak,
“Cin Hai… Cin Hai... kau tolol kembalilah nanti kuadukan kau kepada Pamanmu!”
Karena dikejar-kejar, Cin Hai berlari ke tempat yang rendah di pinggir kuil lalu memanjat naik. Ketika siucai
(sasterawan) tua yang kurus sekali bagai orang cacingan itu mengejar ke situ, ia lalu memanjat ke atas
genteng!
Ternyata Cin Hai yang baru berusia enam tahun itu berani sekali memanjat naik berlari di sepanjang
wuwungan bangunan pinggir dari kuil itu. Kepalanya yang gundul dan bulat kecil itu seperti berkilau karena
tertimpa cahaya matahari!
Gurunya berteriak-teriak memanggil dengan gemas dan memburu sampai di luar pintu, tetapi tiba-tiba
sasterawan itu melihat tiga orang tosu dan seorang hwesio aneh yang kini saling berhadapan di luar kuil itu.
Dia menjadi ketakutan dan buru-buru bersembunyi di belakang pintu kuil!
Cin Hai kini duduk di atas genteng sambil memandang ke bawah. Dia juga heran sekali melihat ketiga
orang tosu itu yang kini siap hendak mengeroyok Si Hwesio tinggi besar.
Sementara itu, sesudah tertawa keras yang mengejutkan Cin Hai dan gurunya, hwesio gundul itu berdiri
dengan kedua kaki terpentang lebar dan ia menggerak-gerakkan kedua lengannya yang hebat sambil
berkata, “Ha-ha-ha! Kalian Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu, jangan kalian sombong karena
kemenanganmu yang tipis pada beberapa tahun yang lalu di Heng-san! Apakah kau kira aku takut
menghadapi Kanglam Sam-lojin (Tiga Kakek dari Kanglam) yang tersohor? Ha-ha-ha! Dahulu kalian maju
bertiga baru mampu mengimbangi aku, tapi sekarang jangankan bertiga, kau tambah tiga belas lagi akan
dunia-kangouw.blogspot.com
kutewaskan semua, ha-ha-ha!”
Hwesio gundul itu kemudian menggerakkan tubuhnya dan memang ia hebat bukan main. Berbeda dengan
tubuhnya yang besar dan kasar itu, gerakannya sebat dan gesit sekali. Tubuhnya bagaikan lenyap dan
hanya bayang-bayangnya saja yang nampak bergerak menyerang ketiga lawannya!
Tetapi Kanglam Sam-lojin adalah tiga tokoh persilatan yang telah lama disohorkan orang. Mereka adalah
tokoh-tokoh terakhir dari cabang persilatan Liong-san-pai dan ketiganya merupakan saudara seperguruan
yang memiliki kepandaian silat tinggi dan keistimewaan masing-masing.
Giok Im Cu yang tertua memiliki tenaga lweekang yang tinggi sekali hingga sukar dicari keduanya, Giok
Yang Cu yang tinggi besar dan brewokan mempunyai tenaga gwakang (tenaga luar, kekuatan urat) yang
melebihi tenaga seekor kerbau jantan, sedangkan Giok Keng Cu adalah ahli menggunakan piauw (senjata
rahasia yang disambitkan) bersayap. Di samping kepandaian khusus ini, ilmu silat mereka juga tinggi dan
lihai sekali.
Maka, menghadapi serangan Hai Kong Hosiang ini, mereka bertiga lalu berpencar dan menghadapi hwesio
itu dari tiga jurusan. Hai Kong Hosiang ternyata luar biasa, karena gerak-geriknya sangat aneh bagai
menari berlenggak-lenggok, sama sekali bukan seperti gerakan silat.
Kedua tangannya bagaikan dua ekor ular yang hidup, ada pun sepuluh jari tangannya juga hidup bergerakgerak
dan setiap jari selalu mengancam jalan darah lawannya! Inilah ilmu silatnya yang aneh dan
dinamakan Jian-coa Kun-hoat atau Ilmu Silat Seribu Ular. Ia gesit bagaikan ular dan setiap serangan yang
dilancarkan selalu mengarah urat kematian lawan dan datangnya secara tiba-tiba tak terduga sama sekali!
Baiknya ketiga tosu yang menjadi lawannya pernah bertempur dengan dia kira-kira tiga tahun yang lalu di
puncak Heng-san sehingga ketiga tosu itu sedikitnya tahu pula akan keganasan ilmu silat ini sehingga
mereka dapat menjaga diri dan melancarkan serangan balasan yang tidak kalah hebatnya.
Cin Hai yang duduk di atas genteng itu dengan senang menonton pertempuran dan gembira sekali.
Memang dia suka sekali menonton orang bersilat dan tiap kali di kota diadakan keramaian dan
dipertunjukkan permainan demonstrasi silat, ia selalu pasti ada di antara penonton, dan minggat dari
gedung pamannya biar pun sudah dilarang.
Kini ada tontonan adu silat tanpa bayar, tentu saja ia senang sekali. Apa lagi adu silat kali ini sungguh
berbeda dengan adu silat biasa yang dilakukan di atas panggung.
Ia melihat betapa empat orang yang berkelahi itu bergerak-gerak dengan aneh sekali dan kedua matanya
menjadi kabur dan silau ketika melihat betapa tubuh keempat orang itu lenyap terganti dengan bayangbayang
hitam yang bergerak cepat sekali. Matanya yang silau kini tidak dapat membedakan lagi mana
hwesio gundul dan mana tiga orang tosu yang mengeroyoknya! Hanya kadang-kadang saja warna merah
dari jubah hwesio gundul itu masih tampak dan ternyata ia terkurung di tengah-tengah.
Sungguh satu tontonan yang mengasyikkan dan menegangkan hati, apa lagi karena Cin Hai tahu bahwa
hwesio gundul itu dikeroyok bertiga dalam pertempuran yang sungguh-sungguh dan mati-matian, berbeda
dengan segala pibu (adu kepandaian silat). Maka dengan tak terasa pula saking tegangnya, Cin Hai
memasukkan ujung suling ke mulut seperti orang sedang meniup suling.
Sementara itu, ketiga tosu yang mengeroyok Hai Kong Hosiang semakin lama semakin terdesak oleh Jiancoa
Kun-hoat yang benar-benar lihai. Mereka terkejut sekali karena kepandaian Si Gundul ini betul-betul
telah maju hebat, jauh bedanya kalau dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu.
Karena tahu bahwa apa bila terus bertempur dengan tangan kosong akhirnya akan kalah, tiba-tiba Giok Im
Cu berseru keras,
“Hai Kong, kau benar-benar hendak mengadu jiwa?”
Setelah berkata demikian, Giok Im Cu yang bertubuh tinggi kurus itu mencabut ranting kayu yang tadi
ketika bertempur ia selipkan pada ikat pinggangnya. Biar pun ranting itu hanya kecil saja, namun berada di
dalam tangannya lalu berubah menjadi sebuah senjata yang ampuh karena ranting yang lemas itu dapat
menerima tenaga lweekang yang dia salurkan ke dalamnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kedua kawannya lalu meniru perbuatan ini. Giok Keng Cu yang bertubuh kecil pendek dan sangat gesit itu
kemudian mencabut sebatang golok besar bergagang emas yang ia putar-putar sampai menerbitkan angin
dingin, sedangkan Giok Yang Cu yang tinggi besar seperti Thio Hwie (seorang tokoh ternama dalam
dongeng sejarah Samkok) kemudian mencabut keluar sebatang pedang pusaka yang berkilauan saking
tajamnya!
Ketiga tosu dengan senjata masing-masing ini lalu menyerang dengan hebatnya seperti serangan badai
mengamuk.
“Ha-ha-ha! Hayo kalian lekas keluarkan semua kepandaian, akhirnya akan kumampuskan seorang demi
seorang!” Hai Kong Hosiang menyindir dan ia lalu mengeluarkan sebatang senjata aneh, yang tadi
tersimpan di sebelah dalam jubahnya hingga tidak kelihatan.
Senjata ini dilihat dari jauh kelihatan seperti sebatang kayu kering yang tidak lurus dan bengkak-bengkok,
tetapi kalau dilihat dari dekat akan ternyata bahwa senjata itu adalah seekor ular yang sudah kering! Walau
pun telah mati dan kering, tapi tubuh binatang itu masih utuh dan lengkap, bahkan matanya yang melotot
dan lidahnya yang terjulur itu membuat ular itu seakan-akan masih hidup. Senjata ini selain aneh juga
berbahaya sekali karena ular itu bukan sembarang ular, tapi seekor ular berbisa yang luar biasa jahatnya.
Hai Kong Hosiang memegang senjata tongkat ular itu pada ekornya sehingga kalau dia memainkan senjata
istimewa ini, lidah ular yang bercabang dua dan tajam itu dapat pula digunakan untuk menotok jalan darah,
ada pun mulut bergigi ular itu dapat melukai kulit. Ini masih ditambah lagi dengan kejahatan racun yang
memenuhi mulut ular itu, yang membuat setiap luka kecil pada tubuh lawan dapat menyeretnya ke lubang
kuburan!
Sebentar saja keempat orang itu telah bertanding pula, kini jauh lebih hebat karena kalau tadi tubuh mereka
masih tampak sebagai bayang-bayang yang bergerak ke sana ke mari, maka kini setelah mainkan senjata,
tubuh mereka lenyap dan sebagai gantinya tampak gulungan-gulungan sinar yang bermacam-macam
bentuk dan warnanya. Pertempuran adu jiwa yang seru dan seram, tapi yang membuat pemandangan
indah menarik hingga Cin Hai menonton di atas genteng menjadi makin gembira lagi.
Hampir saja dia bersorak dan bertepuk tangan, namun tiba-tiba kakinya yang menginjak genteng terpeleset
hingga hampir saja ia jatuh ke bawah. Ia kaget dan pindah duduk di tempat yang lebih rendah.
Sementara itu, gurunya yang tadi bersembunyi di balik pintu, pada waktu mencoba untuk menjenguk keluar
dan menongolkan kepalanya, terkejut sekali melihat keempat orang itu kini bertempur dengan senjata
tajam. Karena itu segera kepala yang nongol itu ditariknya kembali ke belakang dengan cepat seperti
kepala kura-kura, sedangkan tubuhnya yang kurus kering seperti cecak itu menggigil ketakutan!
Biar pun senjata di tangan Hai Kong Hosiang hebat sekali dan permainan silatnya yang berdasarkan
permainan ilmu Pedang Jian-coa Kiam-sut (Ilmu Pedang Seribu Ular) lihai dan berbahaya, tapi menghadapi
tiga macam permainan senjata dari Kanglam Sam-lojin itu, ia merasa kewalahan dan keteter juga.
Gerakannya mulai tak tetap dan sinar ketiga senjata lawannya makin menekan tongkat ularnya.
“Ha, Hai Kong, sekarang kau hendak lari ke mana?” Giok Keng Cu si kecil pendek itu menyindir sambil
memperhebat gerakan golok besarnya.
“Ha-ha-ha! Tiga tikus tua, kamu kira kalian akan terlepas dari tanganku, ha-ha-ha!”
Biar pun dalam keadaan terdesak, Hai Kong Hosiang masih sempat tertawa. Kemudian terdengar bunyi
melengking yang sangat aneh dari mulutnya. Suara ini menyerupai bunyi suling dan melengking tinggi
rendah seperti berlagu.
Dan pada saat itu, keranjang rotan besar yang tadi dia panggul dan kini terletak di atas tanah, kemudian
bergoyang-goyang dan tutupnya terangkat naik seperti di dalamnya ada apa-apa yang hendak keluar! Dan
sesaat kemudian, ketika bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang itu meninggi, maka terbukalah tutup
keranjang besar itu dan dari dalamnya tersembul kepala ular yang besar sekali!
Ular itu mendesis-desis dan membuka mulutnya yang lebar. Lidahnya yang merah dan tajam itu menusuknusuk
keluar masuk dari tengah-tengah mulutnya yang merah. Kedua matanya liar memandang ke arah
suara lengking yang menggairahkannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kemudian ia keluar dari keranjang itu dan alangkah panjang tubuhnya! Kepala ular itu terangkat, naik
bagaikan sedang mencari-cari mangsanya dan pada saat itu, dari dalam keranjang keluar pula ular lain
berturut-turut sehingga semua isi keranjang yang ternyata mengandung lima ekor ular yang mengerikan itu
telah keluar semua.
Tiga orang tosu yang sedang mendesak Hai Kong Hosiang terkejut sekali melihat betapa kelima ekor ular
itu cepat menghampiri mereka dan segera mengurung dalam segi lima yang teratur. Gerakan kelima
binatang buas itu cepat dan gesit, sedangkan tubuh mereka yang berkembang dengan warna merah
kehijauan itu berlenggak-lenggok seperti sedang menari-nari. Nyata sekali bahwa semua gerakan mereka
terpengaruh oleh bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang!
Giok Keng Cu cepat mengeluarkan hui-piauw (piauw terbang) dari sakunya dan sekali menggerakkan
tangan, lima batang menyambar ke arah dua ekor ular yang berada di depannya. Tapi pada saat itu juga,
dari jurusan Hai Kong Hosiang menyambar dua benda hitam yang membentur dua batang piauw itu
sedangkan tiga batang piauw yang masih menyambar, dapat dikelit oleh dua ekor ular yang ternyata
gerakannya gesit sekali itu!
Biar pun pada dasarnya mempunyai hati yang besar dan ketabahan serta keberanian luar biasa, tapi ketika
melihat betapa dari keranjang itu keluar lima ekor ular yang menakutkan sekali, Cin Hai merasa ngeri juga!
Ia memandang keadaan di bawah dengan mata yang terbelalak dan mulut ternganga. Bunyi lengking yang
keluar dari mulut Hai Kong Hosiang membuat telinganya terasa sakit dan perasaannya tidak enak sekali.
Sementara gurunya yang bersembunyi dengan tubuh menggigil, ketika mendengar bunyi lengking yang
aneh itu, tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk melihat. Meski pun masih menggigil ketakutan, ia
lalu memaksakan diri untuk menongolkan kepala lagi. Tapi pemandangan yang dihadapinya sekarang
terlampau hebat dan mengerikan untuknya.
Jantungnya terasa berloncat-loncatan ke atas, berjungkir balik beberapa kali di dalam dadanya kemudian
jatuh kembali ke tempat semula dengan terbalik! Ia merasa lemas dan roboh pingsan bagai sehelai kain
yang dilepaskan, ada pun di bawah tubuhnya tiba-tiba saja menjadi basah!
Keadaan ketiga tosu itu makin berbahaya. Kini lima ekor ular itu, atas desakan bunyi lengking dari Hai Kong
Hosiang, mulai dengan penyerangan mereka. Sedikit demi sedikit kurungan mereka semakin rapat dan
ketiga tosu yang bergerak di dalam kurungan itu tak dapat keluar, sedangkan ruang untuk bergerak makin
sempit.
Mereka mempertahankan diri dan melakukan serangan hebat dengan senjata mereka, namun lima ular itu
ternyata gesit sekali dan dapat mengelakkan setiap serangan senjata lawan. Selain itu masih ada Hai Kong
Hosiang yang tidak tinggal diam, tetapi juga ikut menyerang dengan tak kurang hebatnya!
Keadaan tiga orang tosu itu berbahaya sekali dan agaknya mereka takkan tertolong lagi. Tapi pada saat itu,
dari atas terdengarlah bunyi yang lebih tinggi nadanya dari pada bunyi lengking dari mulut Hai Kong
Hosiang, dan aneh!
Mendengar bunyi lengking yang lain ini, kelima ular itu agaknya menjadi bingung sekali. Gerakan mereka
menjadi kacau-balau, mereka berlima hanya mengangkat-angkat kepala tinggi-tinggi seolah-olah tak tahu
harus berbuat apa. Terang sekali bahwa mereka sedang mencari-cari ke atas dengan sepasang mata
mereka untuk dapat mendengar ‘perintah’ itu lebih nyata dan jelas lagi!
Melihat hal ini, Hai Kong Hosiang lalu menyelipkan tongkat ularnya di dalam jubah dan ia menggerakgerakkan
kedua tangannya untuk memperkuat perintahnya sehingga lengking yang keluar dari mulutnya
makin menghebat. Tapi bunyi lengking dari atas itu juga makin hebat seakan-akan tak mau kalah bersaing!
Ular-ular itu makin panik dan bingung hingga akhirnya seekor yang terkecil kena disabet oleh ranting pada
tangan Giok Im Cu hingga berkelojotan!
Sebenarnya apakah yang terjadi tadi? Ternyata Cin Hai, anak kecil gundul yang dengan enak-enak asyik
nonton di atas genteng dan merasa betapa bulu tengkuknya meremang melihat lagak dan keganasan ularular
itu, makin lama semakin tak tertahan mendengar bunyi lengking yang keluar dari mulut Hai Kong
Hosiang karena suara itu seakan-akan menembus anak telinganya dan langsung menusuk-nusuk hatinya.
Karena itu dia menjadi marah, lalu ditiupnyalah suling yang memang semenjak tadi telah dimasukkan di
mulutnya. Cin Hai memang pandai meniup suling dan ia suka meniru-niru segala macam lagu yang
dunia-kangouw.blogspot.com
didengarnya.
Kini mendengar nada lengking hwesio gundul yang aneh itu, dia lalu mencoba-coba dan bersusah payah
untuk menirunya pula. Tapi, biar pun ia telah meniup nada yang setinggi-tingginya tak juga dapat meniru
dengan tepat dan baik, bahkan suara lengking sulingnya terdengar sumbang dan lebih menyakitkan telinga
dari pada suara Hai Kong Hosiang!
Akan tetapi aneh, ketika ia telah meniup sulingnya, semakin tinggi nada yang ditiupnya, makin berkuranglah
rasa sakit di telinga dan hatinya akibat suara yang dikeluarkan oleh hwesio itu, maka dengan gembira Cin
Hai makin memperkeras bunyi sulingnya. Ketika ia melirik ke bawah, kegembiraannya bertambah karena
dia melihat betapa hwesio gundul yang berwajah menyeramkan dan yang ia benci itu tampaknya marah
sekali, sedangkan lima ekor ular itu menjadi tidak karuan gerakannya.
Cin Hai lalu meniup dan meniup lagi tak tentu apa yang dilagukannya asal meniup nada yang tinggi-tinggi
saja! Ia sama sekali tak mengira bahwa karena perbuatannya ini maka ular-ular itu kehilangan bimbingan
dan karenanya ia telah menolong tiga orang itu.
Bukan main marahnya hati Hai Kong Hosiang karena perbuatan anak kecil yang nakal itu ternyata telah
menggagalkan kurungannya terhadap ketiga tosu musuhnya, padahal tadi dia sudah merasa pasti sekali
bahwa tidak lama lagi ketiga tosu itu tentu akan dapat ia robohkan.
Sebaliknya, tiga orang tosu itu pada saat melihat betapa keadaan Hui Kong Hosiang dan ular-ularnya
sudah kacau, segera mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat keluar kurungan. Mereka bertiga
mengeluarkan keringat dingin karena keadaan mereka tadi benar-benar berbahaya.
“Hai Kong, kau makin tua semakin jahat dan lihai!” Giok Im Cu berkata memuji, lalu dia mengajak kedua
kawannya pergi secepat mungkin.
Ia tahu bahwa meski pun seekor ular hwesio itu telah dapat dilukai, namun dengan empat ekor ularnya
yang lihai, hwesio itu masih merupakan lawan yang sangat tangguh dan sulit dilawan. Tanpa
mempedulikan anak kecil gundul yang tanpa sengaja telah menolong jiwa mereka, ketiga tosu itu lari
meninggalkan tempat itu.
Hai Kong Hosiang membanting kakinya yang besar dan kuat. Dia tidak mau mengejar, karena biar pun ia
tak usah kalah dalam hal ilmu lari cepat, tapi jika dapat mengejar juga, apa gunanya? Seorang diri tanpa
dibantu ular-ularnya ia takkan menang menghadapi tiga orang tosu yang lihai itu.
Ia marah sekali karena telah gagal membunuh tiga orang musuh lamanya, bahkan seekor ularnya masih
berkelojotan akibat kena gebuk ranting Giok Im Cu yang lihai. Tentu tulang punggung ular itu telah remuk!
Semua gara-gara anak setan itu, pikirnya.
Hai Kong Hosiang melihat ke arah Cin Hai yang masih saja meniup sulingnya. Hwesio gundul itu lalu
mengayun tangan kirinya dan sebutir pelor batu hitam menyambar.
Cin Hai sama sekali tak tahu akan datangnya serangan. Tahu-tahu suling yang terpegang di tangannya dan
sedang ditiup itu sudah terbang bagaikan direnggut oleh tangan yang tidak kelihatan! Ketika ia memandang
ke bawah, kembali tangan kiri Hai Kong Hosiang diayun dan sebutir pelor hitam melayang menuju arah
kepala Cin Hai!
Dengan muka merah karena gemas, Hai Kong Hosiang sudah membayangkan betapa kepala anak kecil
yang gundul bagai kepalanya sendiri itu akan pecah ditembusi pelornya dan betapa tubuh itu akan
menggelinding turun dari atas genteng tanpa nyawa pula. Tapi alangkah heran dan kagetnya melihat
pelornya itu tiba-tiba saja melenceng arahnya dan sebaliknya malah menghantam tembok di dekat anak itu
hingga tembus dan tembok itu berlubang!
Ketika ia sedang bengong terdengar suara yang halus penuh kesabaran menegur.
“Tidak malukah kau, Hwesio? Menyerang seorang anak kecil tak berdaya?”
Dan tiba-tiba saja di belakang Cin Hai muncul seorang kakek tua yang berpakaian penuh tambalan. Kakek
ini bertubuh sedang, mukanya penuh cambang kasar dan kaku, bajunya tambal-tambalan, semuanya
membayangkan kemiskinan dan kekasaran hingga agaknya sangat aneh dan janggal bila suara teguran
dunia-kangouw.blogspot.com
yang halus dan sabar itu keluar dari mulutnya yang tampak kasar kejam itu!
Ketika melihat kakek jembel itu, Hai Kong Hosiang menjadi pucat. Tanpa banyak cakap lagi dia mengambil
semua ular besarnya dan memasuk-masukkan mereka ini ke dalam keranjang kembali. Lalu ia memanggul
keranjang rotannya dan pergi secepat terbang dari situ sambil mengomel panjang pendek.
“Setan alas benar-benar! Belum pernah seperti hari ini sialnya diriku. Gagal membasmi Kanglam Sam-lojin,
lalu bertemu dengan Bu Pun Su Si Jembel Tua! Baiknya dia tidak menurunkan tangan jahat kepadaku.
Dengan dia berada di sini, apa perlunya lagi aku melelahkan diri?”
Tapi Hai Kong Hosiang keliru kalau menganggap bahwa kakek jembel itu berlaku murah padanya karena
pada saat itu juga dia merasa betapa keranjang yang dipanggulnya itu menjadi berat dan tiba-tiba dari
keranjang itu menetes turun darah ke atas pundaknya. Ia cepat menurunkan keranjangnya dan cepat
membuka tutupnya. Apa yang dilihatnya?
Kelima ularnya sudah mati semua dan di kepala kelima ular itu tampak luka kecil yang mengalirkan darah.
Dia tahu bahwa ini adalah akibat dari serangan gelap Bu Pun Su, Si Jembel tadi, yang mempergunakan
gin-ciam (jarum perak) untuk membunuh ular-ular itu.
Melihat betapa binatang-binatang peliharaan yang sudah bertahun-tahun dipelihara serta dididiknya sampai
pandai dan dapat membela dirinya itu mati semua, tiba-tiba Hai Kong Hosiang membanting-banting kakinya
dan menangis! Hwesio gundul yang bertubuh tinggi besar itu melolong-lolong dan tersedu-sedu
melampiaskan rasa dongkol dan marahnya.
Kemudian ia berdiri dan meninggalkan keranjangnya. Sambil berlari-lari ia berkata. “Awas Bu Pun Su, lain
kali aku akan membunuhmu untuk ini!”
Cin Hai yang masih duduk di atas genteng kini tahu bahwa kakek jembel yang berdiri di belakangnya itu
telah menolongnya, maka ia lalu bertanya, “Eh, kakek tua renta, dia tadi menyambit dengan apakah?”
Bu Pun Su (Tiada Kepandaian) Si Jembel Tua itu tertawa bergelak dan kembali suara ketawanya sama
sekali tidak sesuai dengan keadaannya, merdu dan halus.
“Ehh, anak tolol, dia tadi menyambitmu dengan tangan maut. Kalau tidak ada aku si tua renta, sekarang
kau sudah menghadap Giam Lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa)!”
Sementara itu, guru anak itu yang masih berdiri di belakang pintu, setelah mendengar di luar sunyi dan
suara Cin Hai bercakap-cakap di atas, lalu berlari keluar dan memanggil-manggil.
“Cin Hai... Cin Hai... kau turunlah, mari kita pulang!”
Akan tetapi Cin Hai tidak mempedulikannya, bahkan dia lalu bertanya kepada kakek yang menolongnya
tadi, “Kakek, bagaimanakah kau tadi menolongku?”
“Kau ingin mempelajarinya?” tanya Bu Pun Su.
“Tentu saja, asal kau orang tua sudi mengajarku,” jawab anak itu.
“Cin Hai... Cin Hai...!” terdengar gurunya memanggil lagi.
“Tunggulah sebentar, Sianseng, itu Si Gundul dengan ular-ularnya datang lagi!” Cin Hai berteriak dari atas.
“Ya Tuhan Yang Maha Esa... !” guru itu menjerit dan cepat-cepat dia menyelinap lagi ke belakang daun
pintu.
Cin Hai menahan gelinya dan ia berkata kepada kakek jembel itu, “Dia juga Guruku dan mengajar ilmu
surat padaku.”
Bu Pun Su tertawa dan berkata, “Bila kau ingin aku mengajarmu, kau harus mengangkat guru padaku.”
“Boleh, boleh, jika mengangkat guru saja, apa susahnya? Asal jangan disuruh menghafal ujar-ujar yang
sulit dan membingungkan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lebih dari itu, anak bodoh. Kau harus tunduk dan taat kepadaku serta menurut segala perintahku.”
Tiba-tiba Cin Hai merengut. “Semua orang menyebutku bodoh, bahkan kau caIon guruku juga! Lama-lama
aku bisa percaya bahwa aku benar-benar bodoh.”
“Ha-ha-ha, memang kau bodoh. Bagaimana, kau mau mentaati segala perintahku?”
“Tentu, tentu saja. Ada ujar-ujar yang berkata bahwa apa pun juga kata guru, murid harus taat dan
menurut.”
“Nah, kalau begitu, kau loncatlah ke bawah!”
“Lo... lo... loncat ke bawah?” Ci Hai memandang kakek jembel itu dengan matanya yang bundar terbelalak.
“Tapi, tapi... begini tinggi...”
Kakek jembel yang matanya lebih bundar dan lebih lebar itu berdiri.
“Ingat, apa pun juga kata guru, murid harus...”
“Iya, dah! Aku loncat!” kata Ci Hai yang lalu mengenjot kakinya dan mengayun tubuh ke bawah!
Tapi ia tidak terbanting dan kakinya tidak patah-patah sebagaimana yang ia khawatirkan, karena pada saat
ia terjun, sebuah tangan yang kuat telah memegang leher bajunya dan membawanya turun dengan ringan.
“Bagus, kau harus turuti segala perintahku. Sekarang kau pulanglah dengan gurumu itu dan setahun
kemudian, sekembaliku dari Nam-thian, kau akan kuambil!”
Cin Hai yang kini maklum akan kelihaian kakek jembel ini, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya yang
gundul! Dan pada saat itu pun Bu Pun Su berkelebat lenyap dari depan anak itu!
Cin Hai lalu mencari gurunya di belakang pintu. Guru sekolahnya itu sampai menjumbul karena merasa
kaget ketika Cin Hai tiba-tiba muncul di depannya sambil berteriak keras, “Sianseng!”
Melihat anak kecil itu, guru itu mulai marah lagi. Dengan lengan terulur ia hendak menjiwir telinga Cin Hai,
namun anak itu mengangkat kedua lengan ke atas melindungi telinganya sambil berkata,
“Sianseng, jangan kau berbuat sesuatu kepada lain orang apa yang kau sendiri tak suka orang lain berbuat
kepadamu!” dan ketika guru kurus kering itu menjadi makin marah dan hendak menjatuhkan tamparan
padanya, dia buru-buru berkata lagi, “Sianseng, bukankah kau tadi mengajarkan Su-hai-ci-lwee-heng-teya?
Lalu kenapa Sianseng selalu memukul hakseng tanpa ingat peri kemanusiaan?”
Dihujani ujar-ujar yang sering ia ajarkan kepada muridnya itu, Si Guru menjadi bohwat (habis daya) dan
tangan yang sudah diangkat naik itu diturunkan kembali.
“Hayo kita lekas pulang, takut kalau siluman-siluman itu datang lagi.”
Dia lalu memegang lengan muridnya dan menyeretnya sambil berlari anjing menuju ke kota yang tak
berapa jauh karena tembok kotanya tampak dari kuil itu…..
********************
Anak kecil yang bernama Cin Hai itu adalah seorang anak yatim piatu. Semenjak berusia empat tahun, dia
sudah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya dan ia lalu dipelihara oleh ie-ienya (bibi adik ibu) yang
menjadi isteri ke dua dari Kwee In Liang, seorang pembesar militer berpangkat touwtong yang tinggal di
Tiang-an. Karena ketika ditinggal mati kedua orang tuanya dia masih kecil sekali, maka Cin Hai tidak dapat
ingat lagi bagaimana rupa kedua ayah bundanya dan tidak tahu pula bagaimana matinya.
Kwee-ciangkun (Panglima Kwee) telah ditinggal mati oleh isterinya yang pertama hingga ia kawin lagi
dengan ie-ie dari Cin Hai itu. Dari isteri pertama ia mempunyai enam orang anak, lima orang anak laki-laki
dan seorang anak perempuan. Anak laki-laki yang sulung berusia sepuluh tahun dan tiap tahun bertambah
seorang anak hingga anak perempuan yang bungsu itu kini sudah berusia lima tahun! Mungkin karena
dunia-kangouw.blogspot.com
setiap tahun melahirkan anak inilah yang menyebabkan isteri Kwee-ciangkun menjadi lemah kemudian
jatuh sakit sampai matinya.
Kwee-ciangkun sangat memanjakan anak-anaknya hingga mereka itu rata-rata bersifat manja dan nakal.
Akan tetapi hal ini dapat dimengerti karena keenam orang anak-anak itu ditinggal mati ibunya ketika usia
mereka masih belum dewasa.
Ketika itu Loan Nio, bibi Cin Hai itu, menjadi pelayan di gedung keluarga Kwee, dan dia memang telah
bekerja di sana sejak masih kanak-kanak hingga dewasa. Boleh dibilang semua anak-anak Kwee-ciangkun
ketika kecilnya diasuh oleh gadis ini sehingga mereka menjadi suka dan biasa kepada Loan Nio. Maka,
sesudah ibu anak-anak itu meninggal, dan melihat sifat-sifat yang baik serta wajah yang manis dari gadis
itu, Kwee-ciangkun lalu mengambilnya menjadi isteri kedua.
Memang boleh dipuji tindakan panglima yang masih muda ini, karena pilihannya memang tepat dan
bijaksana, tidak semata-mata terdorong oleh nafsu ingin senang sendiri, tetapi sebagian besar didasarkan
untuk kepentingan anak-anaknya. Demikianlah, Loan Nio lalu menjadi seorang isteri panglima dan
sekaligus menjadi ibu enam orang anak, seorang ibu yang baik karena di dalam hatinya memang dia
mempunyai rasa kasih sayang terhadap anak-anak yang semenjak kecil diasuhnya itu.
Cuma sayangnya, anak-anak itu sudah terlampau manja dan karena mereka pun tahu bahwa ibunya yang
sekarang ini bukanlah ibu sendiri, perasaan mereka tentu berbeda dan kadang-kadang terasa ada suatu
ganjalan yang tak menyenangkan.
Apa lagi pada saat Loan Nio mendatangkan anak kemenakannya yang telah yatim piatu, yakni Cin Hai,
maka sering terjadi hal-hal yang menyakitkan hati Cin Hai dan Loan Nio, sungguh pun kejadian-kejadian itu
terjadi di luar tahu Kwee In Liang sendiri.
Kwee In Liang adalah seorang pembesar militer yang memiliki kepandaian silat tinggi, karena dia adalah
seorang murid dari Kun-lun-pai. Karena ini, maka tidak heran bila dia mendidik kelima puteranya dengan
ilmu silat, di samping mendidik mereka dalam ilmu surat.
Ketika isterinya membawa Cin Hai ke dalam gedung, hal ini diterima oleh Kwee-ciangkun dengan tangan
terbuka dan senang hati, karena ia yang berhati baik juga merasa kasihan kepada Cin Hai. Melihat bahwa
Cin Hai usianya sebaya dengan puteranya yang ke lima, maka ia lalu sekalian menyuruh Cin Hai belajar
sama-sama dengan putera-puteranya, di bawah pimpinan seorang guru sastera dan untuk belajar silat,
untuk tingkat permulaan ia serahkan mereka kepada seorang guru silat she Tan yang terkenal di kota itu.
Tapi ternyata bahwa Cin Hai menjadi korban dari segala ejekan dan kebencian. Anak ini kepalanya sengaja
digundul plontos karena dulu sering mendapat sakit kulit di kepalanya. Pula, mukanya yang
membayangkan kebodohan, mungkin karena bingung dan banyak menangis pada saat ditinggal mati oleh
kedua orang tuanya, membuat ia menjadi bahan godaan semua orang.
Apa bila sedang belajar bersama-sama dengan anak-anak Kwee-ciangkun, kalau ia tidak menghafal dan
tak dapat menjawab pertanyaan guru, ia dimaki tolol dan bodoh bahkan si guru tak segan-segan untuk
mengetok kepalanya yang gundul itu. Tetapi kalau dia rajin menghafal hingga pengertiannya melebihi lima
anak-anak Kwee-ciangkun, ia lalu dibenci oleh mereka itu dan dianggap sombong. Tak jarang di luar
tahunya orang-orang tua, dia dikeroyok, dipukuli, dan dimaki-maki oleh kelima anak laki-laki Kwee-ciangkun
itu.
Guru silat she Tan yang mengajar mereka agaknya juga sengaja menghina Cin Hai. Entah mengapa,
mungkin karena mengingat bahwa anak gundul itu datang dari dusun, atau karena ingin menyenangkan
hati tuan-tuan muda, yakni lima putera Kwee-ciangkun, atau memang ia sendiri mempunyai rasa tak suka
melihat wajah Cin Hai, tapi nyatanya ia tidak mengajar sungguh-sungguh kepada Cin Hai. Bahkan sering
kali dia menyuruh Cin Hai menghadapi Kwee Tiong, putera tertua yang sudah berusia sepuluh tahun itu
untuk berlatih. Tentu saja Cin Hai hanya mendapat gebukan-gebukan dalam latihan itu karena selain kalah
besar, juga kalah tenaga dan kalah kepandaian!
Baiknya, sikap yang tahu diri dan agung dari Loan Nio yang kini telah menjadi ‘nai-nai’ (nyonya) itu
membuat semua orang tidak berani menghina Cin Hai secara berterang di muka nyonya muda itu. Dan
Loan Nio menjadi tempat Cin Hai menumpahkan segala kesedihannya.
Kalau ia sedang digoda atau dipukul, tak sebutir pun air mata dapat meloncat keluar dari kedua matanya
dunia-kangouw.blogspot.com
yang bundar, tapi kalau sudah berada dengan bibinya, dan kepala yang gundul rebah di pangkuan nyonya
muda itu, barulah air mata membanjir keluar. Betapa pun juga, tak pernah satu kali pun ia mengadu kepada
bibinya mengapa ia menangis, mengapa kepalanya benjol-benjol dan mukanya biru-biru.
Bibinya hanya menganggap bahwa lazim bagi seorang anak laki-laki untuk kadang kala berkelahi sampai
kepalanya benjol! Dan ia menyangka bahwa kesedihan anak itu karena teringat akan orang tuanya, maka
dia tidak pernah bertanya karena tak mau menambah kesedihan anak itu.
Akan tetapi, tidak semua orang berhati kejam dan buruk. Ada beberapa orang pelayan yang merasa
kasihan melihat nasib Cin Hai lalu diam-diam memberitahukan kepada Loan Nio tentang perlakuan guru itu
kepada Cin Hai.
Biar pun hatinya sangat panas, tapi sebagai seorang bijaksana yang panjang pikir, Loan Nio tidak
menimbulkan ribut-ribut. Ia hanya memberi tahu kepada Cin Hai supaya jangan belajar silat lagi dan
sengaja ia memanggil seorang guru sasterawan tua untuk mengajar Cin Hai. Cita-citanya hanya agar
supaya anak itu kelak menjadi seorang pandai yang dapat menempuh ujian dan menggondol pangkat
tinggi. Dan ia sengaja menyewa sebuah kamar di kelenteng yang terletak di luar tembok kota sebelah barat
itu untuk tempat Cin Hai belajar.
Nyonya muda bijak yang mencinta kemenakannya itu tentu saja tidak tahu bahwa Cin Hai memang tak
begitu rajin belajar dan guru kurus kering ini pun berlaku sewenang-wenang dan main ketok kepala saja.
Agaknya kepala Cin Hai yang gundul plontos itu memang mempunyai daya tarik kepada orang untuk
mengulurkan tangan dan mengetoknya!
Lima putera Kwee-ciangkun semua berwajah tampan dan gagah. Yang sulung bernama Kwee Tiong, ke
dua Kwee Sin, ke tiga Kwee Bun, ke empat Kwee Siang, ke lima Kwee An. Sedangkan anak ke enam yang
perempuan adalah seorang anak mungil dan manis, bermuka bundar dengan mulut kecil dan mata lebar,
namanya Kwee Lin dan biasanya disebut Lin Lin.
Karena hanya mempunyai seorang saja anak perempuan, tak heran bila Kwee-ciangkun sangat cinta
kepada Lin Lin dan diam-diam, di luar tahu orang lain, setelah Lin Lin berusia lima tahun, ia mulai
menurunkan kepandaian silat yang tinggi pada anak perempuannya ini!
Biar pun orang luar tidak tahu, namun Lin Lin tentu saja sebagai seorang anak kecil tak dapat menyimpan
rahasia dan membocorkannya kepada saudara-saudaranya. Semua saudaranya merasa iri hati, tetapi
mereka tidak berani mengganggu Lin Lin, karena tahu betapa sayangnya ayah mereka kepada anak yang
bungsu lagi perempuan ini…..
********************
Guru Cin Hai yang kurus kering itu adalah seorang she Kui. Setelah mengalami peristiwa aneh yang
menyeramkan di luar kuil tempat dia mengajar itu, dia segera lari ke gedung Kwee-ciangkun sambil menarik
tangan muridnya bagaikan dikejar setan. Ia tak pedulikan celananya yang telah menjadi basah karena tak
tahan lagi saking kagetnya ketika melihat orang-orang aneh itu bertempur, dan melihat ular-ular yang
mengerikan itu.
Pada saat memasuki pekarangan gedung keluarga Kwee, mereka bertemu dengan Kwee Tiong.
“Ehh, Kui-sianseng, mengapa kau lari-lari seperti maling dikejar?” tanya anak itu.
“Twa-kongcu (Tuan Muda Terbesar)... celaka, ada... ada... siluman...,” jawab kakek kurus kering itu gagap.
Kwee Tiong terbelalak memandang. “Apa katamu? Siluman?”
Cin Hai memotong, “Ya, siluman menyeramkan sekali. Beginilah macamnya...” Dia lalu mempergunakan
kedua tangan untuk menarik mata dan mulutnya sambil mengeluarkan suara, “hii... hiii... hiiii...”
Kwee Tiong menggerakkan hidungnya ke atas mengejek, “Ahh, betapa pun buruknya, kukira siluman itu
tidak lebih buruk dari pada mukamu!”
Cin Hai hanya tertawa ha-ha-hi-hi dan dia menurut saja ketika gurunya terus menarik tangannya dibawa ke
dalam gedung menghadap bibinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja nyonya muda itu amat terkejut melihat kedatangan mereka yang tidak seperti biasanya, apa lagi
melihat muka Kui-sianseng itu pucat dan tubuhnya gemetar.
“Ehh, Kui-sianseng, kenapa masih begini siang sudah pulang? Apakah yang terjadi? Cin Hai, apakah kau
tadi berlaku nakal?”
Cin Hai tersenyum kepada bibinya dan menggelengkan kepala.
“Maaf... saya... saya tidak sanggup mengajar di kuil itu... ada... siluman...,” Kui-sianseng itu masih saja
gugup, bingung dan takut.
“Sabarlah, Kui-sianseng, sebetulnya apakah yang telah terjadi?”
Dengan suara terputus-putus, sasterawan tua kurus kering itu lalu menceritakan segala peristiwa yang
dilihatnya tadi dengan ditambahi bumbu-bumbu yang timbul dari khayalan pikirannya yang penuh
kepercayaan tahyul hingga Cin Hai tertawa geli.
Akhirnya tanpa dapat ditahan lagi, guru yang hafal segala ujar-ujar dan filsafat semua nabi, tapi yang satu
pun tak pernah terbukti dalam segala perbuatannya itu, lalu berpamit dan minta berhenti, kemudian pergi
dari situ. Kalau tidak takut kepada bibinya, tentu Cin Hai bersorak karena girang hati bahwa akhirnya ia
terlepas jua dari siksaan dan godaan guru she Kui yang memaksa dia ‘makan’ segala ujar-ujar di dalam
buku-buku tebal itu secara bulat-bulat!
Nyonya muda itu menghela napas. “Cin Hai, mengapa nasibmu begini buruk? Agaknya tidak ada seorang
guru pun yang suka mengajarmu, habis bagaimanakah dan kau akan menjadi apakah kelak? Biarlah, mulai
sekarang, aku sendiri akan mengajarmu membaca dan menulis, tapi pengertianku dalam hal ini juga tidak
sangat banyak. Apakah terpaksa aku harus memberi pelajaran menjahit dan menyulam padamu?”
Cin Hai menggunakan tangan kiri untuk menutup mulutnya supaya tidak tertawa geli. Dia belajar
menyulam? Tapi ia menjawab,
“Ie-ie, kalau memang kau anggap perlu, boleh saja aku belajar menjahit dan menyulam.”
Bibinya melerok. “Anak tolol, masak anak lelaki belajar menyulam?”
“Ie-ie, mengapa semua orang menyebutku bodoh dan tolol, bahkan tadi ie-ie sendiri juga menyebutku tolol?
Apakah aku benar-benar tolol? Ahh... tentu saja aku bodoh dan tolol, kalau tidak masak semua guru
membenciku?”
Bibinya menjadi terharu dan menariknya dekat-dekat.
“Tidak, Cin Hai, kau tidak bodoh, asal saja kau mau rajin-rajin belajar.” Nyonya muda yang murah hati itu
mengelus-elus kepala Cin Hai yang gundul plontos.
“Itulah sukarnya, ie-ie, terus terang saja, aku lebih suka belajar silat dan meniup suling.”
“Anak tolol...”
Cin Hai mengangkat telunjuk ke atas.
“Nah, nah, lagi-lagi aku disebut tolol!”
“Sudahlah, aku lupa. Kau tidak boleh berkata demikian, Cin Hai. Kau harus belajar ilmu surat agar kelak
menjadi seorang pandai yang memegang jabatan penting dan menjadi seorang pembesar. Alangkah akan
bangga dan senangnya hatiku kelak kalau kau bisa menjadi seorang pembesar yang dihormati orang!”
Sampai di sini suara nyonya muda itu terdengar parau karena keharuan hatinya membuat ia terisak.
Cin Hai memegang tangan bibinya, “Hatimu mulia sekali, ie-ie. Baiklah, aku akan belajar ilmu membaca
dan menulis dari le-ie sendiri. Tapi, sekarang aku teringat bahwa sulingku telah lenyap, maka aku harus
membuat lagi sebuah. Di hutan sebelah utara kota ada tumbuh bambu-bambu kuning gading yang kecil
dan dapat dibuat suling. Bolehkan aku ke sana, ie-ie?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Baru saja datang mau pergi lagi! Bagaimana kalau le-thio-mu sewaktu-waktu bertanya tentang kau?”
“Apa bila le-thio (Paman, suami Bibi) bertanya beri tahukan saja, ie-ie, dan lagi, untuk apa le-thio
menanyakan aku? Belum pernah ia mempedulikan aku!”
“Kau suka benar akan suling, Cin Hai?” tanya ie-ie-nya.
“Ie-ie, suling adalah satu-satunya kawan baikku. Kalau aku hendak menyatakan segala perasaan hatiku,
aku nyatakan kepada seorang kawan baikku, sedangkan aku tidak... ya, kecuali kau, aku tidak mempunyai
kawan baik lagi selain suling bambu yang dapat kutiup sesuka hatiku...”
Nyonya muda itu menghela napas dan menggunakan sapu tangan untuk menahan air matanya. “Pergilah,
Cin Hai. Buatlah sulingmu tapi jangan terlalu lama di hutan.”
Cin Hai dengan girang hati lalu berlari-lari keluar.
“Engko Hai. Kau mau ke mana?” mendadak terdengar suara halus menegur dari sebelah kiri dan seorang
anak perempuan muncul dengan rambutnya yang dikuncir bergantungan di kanan-kiri lehernya.
“Ehh, Lin Lin! Sampai kaget aku. Kau tahu, sesudah bertemu dengan para siluman dan setan itu, aku
menjadi mudah kaget! Kukira kau siluman yang tadi!”
Anak perempuan itu mencibirkan mulutnya yang kecil manis, tetapi matanya yang lebar terbelalak, tanda
bahwa ia tertarik sekali.
“Apa? Kau tadi melihat siluman? Di mana, bagaimana?” tanyanya ingin tahu sekali.
“Ahh, nanti saja lain kali kuceritakan. Sekarang aku mau pergi.”
“Engko Hai, kau mau ke manakah?”
“Mau ke hutan di sebelah utara itu mencari bambu.”
“Aneh benar, itu di belakang kan banyak bambu, mengapa mesti mencari jauh-jauh?”
“Ahh, kau tahu apa? Bambu yang kucari ini adalah bambu untuk suling.”
“Engko Hai, aku ikut! Nanti di jalan kau ceritakan tentang siluman itu.”
“Jangan!”
“Aku mau! Aku tidak minta kau gendong, aku jalan dengan kaki sendiri!” anak perempuan itu berkeras.
Oleh karena tak dapat menolak lagi, dengan muka ‘apa boleh buat’ Cin Hai lalu bertindak keluar, diikuti oleh
Lin Lin yang sementara itu telah mengeluarkan topi milik kakeknya dan memakainya sehingga dari
belakang dan dari jauh dia kelihatan seperti seorang laki-laki. Memang anak-anak dari Kwee-ciangkun
sangat dimanja dan bebas sehingga boleh pergi ke mana mereka suka tanpa ada yang berani mencegah.
Kedua anak itu berjalan dengan tindakan yang pendek-pendek tapi cepat menuju ke jalan yang kecil. Jalan
itu mengarah ke utara, menuju luar kota di mana terdapat sebuah hutan yang cukup besar.
Di sepanjang jalan Cin Hai kemudian bercerita tentang pengalamannya siang tadi, dan ia menambahkan
betapa dengan suara sulingnya ia dapat mengusir semua ular siluman! Ia menambah-nambahi ceritanya
dan menonjolkan diri sendiri sebagai jagoan hingga Lin Lin memandang padanya dengan matanya yang
bagus itu setengah percaya dan kagum!
Memang di antara anak-anak Kwee-ciangkun, yang tidak membenci pada Cin Hai hanya Lin Lin seorang.
Ini pun bukan berarti Lin Lin suka kepada Cin Hai, karena kalau mereka berdua dekat, sering mereka
berbantah dan bercekcok membawa mau sendiri, tapi tidak sampai saling pukul atau saling membenci.
Sejak kecil Lin Lin memang telah memiliki sifat peramah dan suka bergaul serta memiliki perangai yang
dunia-kangouw.blogspot.com
halus. Pula anak ini sangat cerdas dan mempunyai bakat dalam ilmu silat sehingga pada saat itu biar pun
usianya belum lebih dari lima tahun, ia telah mempelajari dasar-dasar ilmu silat.
“Engko Hai, itu yang kita tuju sudah tampak. Hayo kita balapan lari ke sana!”
Cin Hai memandang Lin Lin dengan senyum mencemooh. Tapi ia menjawab juga, “Boleh, hayo kita mulai.
Satu… dua... ti... ga!”
Dan larilah ia secepatnya untuk mendahului Lin Lin. Ia ingin meninggalkan Lin Lin sejauh mungkin supaya
ia dapat sampai di hutan lebih dahulu dan menanti anak perempuan itu sambil mentertawakannya!
Pada waktu ia menengok, tidak tahunya ternyata Lin Lin telah lari di sebelahnya, bahkan perlahan-lahan
tapi tentu mulai menyusulnya! Dan yang membuat ia heran adalah kedua kaki Lin Lin tampaknya begitu
ringan dan langkahnya lebar dan tinggi!
Kini Lin Lin sudah mendahuluinya dan anak perempuan itu menengok sambil tersenyum manis tapi yang
menyakiti hati Cin Hai karena dianggapnya senyum itu mengejeknya! Ia merapatkan gigi dan mempercepat
larinya hingga benar-benar saja ia bisa menyusul lagi dan mereka lari berendeng.
Akan tetapi, tidak seperti kelihatannya, hutan yang di depan itu ternyata bukanlah dekat, jauhnya tak kurang
dari setengah li hingga ketika mereka tiba di hutan dengan berbareng, Cin Hai membuka mulutnya dan
dadanya turun naik karena ia terengah-engah bagaikan ikan dilempar di pasir panas! Sebaliknya, Lin Lin
hanya mengeluarkan peluh di leher dan di dahinya, tapi napasnya biasa saja!
Tentu saja hal ini tidak mengherankan, karena anak perempuan itu semenjak kecil sudah dilatih oleh Tankauwsu
(Guru Silat Tan) dan juga telah diberi latihan napas oleh ayahnya sendiri! Sedangkan Cin Hai
hanya lari sekuatnya dan mempergunakan tenaganya tanpa disesuaikan dengan jalan napas, karena ia tak
pernah diberi latihan dasar pelajaran silat.
Walau pun merasa penasaran tidak dapat mengalahkan Lin Lin, namun Cin Hai terhindar dari rasa malu
karena mereka tiba di hutan berbareng.
“Tak kusangka, Lin Lin, larimu secepat kelinci!” katanya setelah napasnya pulih kembali.
Lin Lin tersenyum. “Dan larimu seperti kuda.” Keduanya tertawa.
“Di mana tempat bambu yang kau maksudkan itu?” tanya Lin Lin sambil memandang ke sekelilingnya,
takut-takut karena hutan itu memang besar dan agak gelap sebab matahari telah mulai turun.
“Di sebelah kiri sana, hayo!” Cin Hai mengajak kawannya.
Betul saja, tidak jauh dari sana terdapat rumpun bambu kuning gading yang bagus dan kecil-kecil serta
lurus batangnya. Tapi tiba-tiba Cin Hai teringat bahwa ia tidak membawa pisau atau senjata tajam lainnya!
Bagaimana ia harus mengambil itu?
Sementara itu karena berada di bawah pohon-pohon besar, keadaan makin gelap hingga mereka menjadi
cemas dan menyangka bahwa senja sudah tiba. Cin Hai tidak berpikir panjang lagi, maju dan memegang
batang bambu yang diinginkan lalu mencabut sekuat tenaganya.
Namun sia-sia saja karena bambu itu banyak sekali akarnya dan kuat pula. Jangankan tenaga seorang
anak-anak seperti Cin Hai, biar seorang dewasa sekali pun belum tentu akan dapat mencabut sebatang
bambu dari rumpunnya.
Betapa pun juga, Cin Hai mempunyai kemauan keras dan pantang mundur. Ia mencoba dan mencoba lagi
sampai akhirnya dia berteriak kesakitan karena tangannya penuh bulu bambu yang gatal!
“Biarkan aku mencobanya,” kata Lin Lin.
Ia ingat ketika ayahnya pernah memberi petunjuk kepadanya tentang dasar-dasar melatih sinkang. Saat itu
ayahnya pernah mendemonstrasikan gerakan sinkang dan menendang sebatang pohon hingga pohon itu
jebol berikut akar-akarnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena tangannya sudah gatal-gatal, Cin Hai mundur dan membiarkan Lin Lin mencoba. Dia menyangka
bahwa anak perempuan itu tentu akan mencoba untuk mencabut seperti yang dilakukannya tadi, karena itu
ia berkata memperingatkan, “Hati-hati, Lin Lin, banyak bulu-bulu gatal!”
Tapi alangkah herannya ketika Lin Lin tidak mencabut, tetapi memasang kuda-kuda, lalu berseru keras,
“Haihhh…!”
Anak itu menggunakan kaki kanan menyapu sebatang bambu! Batang bambu bergoyang-goyang dan dua
helai daunnya rontok, akan tetapi batangnya tidak dapat dijebolkan oleh tendangan Lin Lin tadi. Berkali-kali
anak itu mencoba dengan kedua kakinya, tapi sia-sia.
Tiba-tiba terdengar seruan orang memuji, “Bagus betul!”
Lin Lin dan Cin Hai terkejut dan menengok. Ternyata tanpa mereka ketahui, di belakang mereka telah
berdiri seorang tokouw (pendeta wanita) yang berwajah buruk sekali. Kulit muka tokouw itu hitam seperti
pantat kuali, sedangkan pipinya telah kisut berkerut-kerut dan matanya sebelah kanan buta. Tokouw itu
pakaiannya panjang dan longgar berwarna putih dan pada tangan kanannya terdapat sebuah hudtim
(kebutan pertapa) yang berbulu panjang berwarna putih pula. Di punggungnya tampak gagang sebilah
pedang.
Lin Lin dan Cin Hai terkejut sekali melihat tokouw yang buruk rupa itu, sedangkan Lin Lin merasa agak
takut.
“Bagus, anak yang manis. Siapakah yang telah mengajarmu menggunakan ilmu Gerakan Menyapu Ribuan
Tiang itu tadi?”
Biar pun agak takut-takut Lin Lin menjawab juga, “Ayah yang mengajarku.”
“Bagus! Sekarang kau lihat ini!”
Tokouw itu menggerakkan hudtim yang dipegangnya sehingga ujung bulu hudtim yang hanya beberapa
lembar itu, yaitu bulu-bulu yang terpanjang, membelit beberapa batang bambu.
“Naik!” Tokouw itu berseru dan heran sekali, rumpun bambu dengan kurang lebih lima belas batang bambu
itu dengan mengeluarkan suara keras jebol berikut akar-akarnya.
Tokouw itu kembali mengerakkan hudtim-nya dan rumpun bambu itu terlempar beberapa tombak jauhnya
seperti dilontarkan oleh tenaga yang kuat sekali, lalu roboh ke arah lain sehingga daun-daunnya tidak
menimpa mereka!
Lin Lin melongo dan terheran-heran, sedangkan Cin Hai tidak dapat ditahan lagi bertepuk tangan dan
berseru, “Bagus! Bagus!”
Ia tidak saja girang menyaksikan kehebatan tenaga ini, tetapi juga girang karena bambu yang dikehendaki
telah berada di situ, tinggal ambil saja!
“Nah, anak baik, sekarang kau turutlah padaku dan menjadi muridku!”
“Tidak mau, aku tidak mau!” Lin Lin berkata sambil melangkah mundur ketakutan.
Tokouw itu mengedikkan kepalanya sehingga mukanya yang buruk itu nampak semakin mengerikan.
“Dengarlah, anak manis. Ribuan orang akan berlutut dan memohon-mohon di hadapanku untuk minta
menjadi muridku. Tapi kau menolak begitu saja!”
Lin Lin sekali lagi memandang muka yang menyeramkan itu dan melihat betapa rambut tokouw itu dikuncir
panjang dan membelit-belit pada lehernya bagaikan seekor ular yang menambah keburukan rupanya, anak
itu melangkah mundur dan berkata lagi.
“Tidak, aku tidak mau...!”
Tapi tokouw itu tertawa ha-ha hi-hi lalu berkata lagi, “Kau berjodoh dengan aku, betapa pun juga kau harus
dunia-kangouw.blogspot.com
menjadi muridku!” dan ia bertindak maju hendak memegang lengan Lin Lin.
Tetapi pada saat itu Cin Hai membentak keras, “Jangan kau paksa dia! Cih, tidak tahu malu, orang tidak
sudi menjadi muridnya, dipaksa-paksa!”
Tokouw itu menggunakan mata kirinya untuk memandang Cin Hai dengan tajam, namun mulutnya tetap
tersenyum dan berkata, “Kau boleh juga, tapi tak berjodoh dengan aku.”
Lin Lin yang merasa ketakutan karena hendak ditangkap, berubah menjadi marah dan ketika tokouw itu
mendekat serta mengulurkan tangan, ia mengepal tangannya yang kecil lalu memukul tangan itu. Biar pun
Lin Lin masih kecil, tapi ternyata ia sudah terlatih baik dan pukulannya itu dilakukan dengan gerakan yang
baik.
Tokouw buruk rupa itu tertawa ha-ha hi-hi dan berkata, “Anak baik, anak baik... kau mau main-main? Boleh
coba kau serang terus padaku agar dapat kuketahui sampai di mana kau telah mempelajari ilmu pukulan!”
Ia lalu bergerak-gerak menghindari pukulan-pukulan Lin Lin.
Tiba-tiba saja Cin Hai membentak. “Tokouw jahat, kau mengganggu orang saja, apakah itu baik?”
Ia lalu menyerang. Tapi karena Cin Hai belum pernah belajar silat dengan baik, tentu saja pukulannya
ngawur dan sekenanya saja!
Melihat kenekatan Cin Hai, tokouw itu segera menangkap tangan anak itu. Tapi tiba-tiba tokouw itu
meringis dan mendongkol sekali karena Cin Hai tanpa dapat diduga lebih dulu telah menggunakan giginya
dan menggigit tangan itu!
Dengan gerakan perlahan tokouw itu telah berhasil membanting Cin Hai hingga anak itu merasa tulangtulang
punggungnya seperti remuk dan merayap bangun sambil merintih-rintih. Baiknya tokouw itu hanya
ingin melampiaskan kedongkolan hatinya saja dan tidak membanting sesungguhnya, hingga ia hanya
menderita sakit di luar saja. Tapi dasar Cin Hai mempunyai ketabahan dan kenekatan luar biasa, sambil
maju terpincang-pincang ia menyerang lagi!
Untuk kedua kalinya Cin Hai terbanting ke tanah setelah kena ditowel pundaknya oleh jari telunjuk tokouw
itu, sementara itu Lin Lin yang menyerang sejak tadi dan selalu memukul dan menendang angin, telah
mulai lelah dan berpeluh.
Kebetulan sekali pada waktu itu Tan Hok atau Tan-kauwsu (Guru Silat she Tan) lewat di situ, hendak
kembali ke kota dari mengunjungi seorang kenalannya. Ia terkejut dan heran sekali melihat betapa Lin Lin
sedang menyerang seorang tokouw yang bermuka seperti setan sedangkan Cin Hai merangkak-rangkak
kesakitan.
“Hai, tahan dulu!” Tan-kauwsu membentak pertapa wanita itu yang segera menghadapi guru silat itu. “Kau
seorang pendeta mengapa main-main dengan anak kecil?”
Tokouw itu tersenyum hingga wajahnya makin buruk saja. “Pinni hendak membawa anak perempuan ini
untuk dijadikan murid,” katanya berterus terang.
Tan-kauwsu terkejut dan bertanya, “Siankouw siapakah?”
“Sicu (Tuan yang gagah) berdandan sebagai guru silat tapi belum kenal kepada pinni? Sungguh aneh!
Ketahuilah Pinni she Biauw.”
Tan-kawsu makin terkejut karena dia teringat akan seorang pertapa wanita yang disebut Biauw Suthai dan
yang namanya telah menggemparkan dunia persilatan.
“Ahh, jadi siauwte berhadapan dengan Biauw Suthai yang terkenal itu?”
“Ha, agaknya namaku terdengar juga sampai ke Tiang-an,” kata tokouw itu senang.
Tan-kauwsu tidak berani berkata kasar lagi dan sesudah menjura, dia kemudian berkata, “Siankouw,
tentang pemungutan murid kepada anak ini, kebetulan sekali siauwte adalah guru yang diserahi tugas oleh
ayah anak ini untuk mendidiknya. Tentu saja siauwte tidak merasa keberatan apa bila Siankouw sudi
dunia-kangouw.blogspot.com
memungut ia sebagai murid, akan tetapi hal ini harus dirundingkan dulu dengan Ayahnya. Karena itu, saya
persilakan kepadamu untuk menjumpai Kwee-ciangkun dan merundingkan soal ini.”
“Sicu seperti tidak tahu saja kebiasaan kita orang-orang kang-ouw. Jika kita menghendaki sesuatu yang
dirasa baik, maka kita lakukan saja tanpa banyak rewel dan pusing. Siapa yang sudi mengadakan
rundingan dengan segala ciangkun? Aku hendak mengambil dia sebagai murid dan habis perkara!”
“Kalau begitu, terpaksa siauwte berlaku lancang dan melindungi anak ini.”
“Ha, kau hendak menghalangi maksudku membawa anak ini?”
“Biarlah kali ini siauwte melupakan kebodohan sendiri.”
Tokouw yang buruk rupa itu tertawa panjang dan mata kirinya memandang penuh ejekan. Melihat sikap
pendeta perempuan itu Tan-kauwsu segera mencabut pedangnya. Suara ketawa Biauw Suthai terdengar
makin aneh dan menyeramkan ketika ia melihat gerakan Tan-kauwsu, lalu tiba-tiba saja kebutan di
tangannya menyambar ke arah guru silat itu!
Tan-kauwsu maklum bahwa lawannya adalah seorang yang berilmu tinggi, maka ia tidak berani berlaku
sembrono. Cepat ia berkelit, tapi sebelum ia sempat membalas serangan, ternyata ujung kebutan tokouw
itu telah menyambar kembali, bahkan sudah mengirim serangan pula yang lebih berbahaya. Ujung kebutan
itu selalu mengarah jalan darahnya, merupakan totokan yang lebih berbahaya sekali.
Tan-kauwsu cepat menggunakan pedangnya untuk menyabet putus ujung hudtim, namun tiba-tiba hudtim
itu bagai bernyawa tahu-tahu telah melibat pedangnya dan sekali tokouw itu menggerakkan tangannya,
pedangnya sudah terampas tanpa dia dapat bertahan pula! Dan pada saat itu juga, kembali ujung hudtim
telah menyambar pundaknya.
Tan-kauwsu merasa betapa tubuhnya menjadi kesemutan akibat urat darahnya tersentuh sehingga tidak
ampun lagi ia jatuh dengan tubuh lemas tak bertenaga. Ketika ia merayap bangun lagi, ternyata tokouw itu
telah lenyap, begitu pun Lin Lin telah hilang pula!
Walau pun merasa benci kepada tokouw berwajah buruk itu, tetapi melihat betapa dalam beberapa
gebrakan saja guru silat Tan Hok itu jatuh bangun dan pedangnya terampas, Cin Hai merasa puas sekali.
Ia memang sangat benci terhadap guru silat ini yang tidak pernah mengajar silat padanya, sebaliknya
malah sering kali memukul dan mengadunya dengan Kwee Tiong sehingga ia sering dipukul sampai
matang biru.
Maka, untuk menyatakan kepuasan hatinya, dia tersenyum-senyum dan berkata kepada Tan-kauwsu.
“Tan-suhu, sakitkah engkau? Tokouw siluman itu hebat dan lihai sekali, ya?”
Mendengar kata-kata ini, Tan-kauwsu merasa semakin gemas dan mendongkol sekali. Segala perasaan ini
dikumpulkan menjadi satu di dalam dada dan menjadi kemarahan besar yang kini seluruhnya ditujukan
kepada Cin Hai.
“Anak setan! Engkau sedang berbuat apa di sini dan mengapa kau ajak Nona Lin Lin? Tahukah kau bahwa
kali ini engkau menimbulkan bencana yang hebat sekali? Nona Lin Lin diculik orang, dan tahukah engkau
apa artinya ini? Batok kepalamu pasti akan diketok sampai pecah oleh Kwee-ciangkun!”
“Bukan aku yang membawa Lin Lin, akan tetapi dia sendiri yang memaksa untuk ikut. Aku hendak mencari
bambu ini untuk dibuat suling dan ia ikut padaku. Salahkukah itu?”
“Anak tolol, kalau bukan salahmu, lalu siapa lagi?”
“Tan-suhu, aku sih bukan lawan tokouw siluman itu. Tetapi engkau adalah guru silat yang katanya
mempunyai kepandaian tinggi, kenapa kau biarkan saja Lin Lin diculik olehnya? Mengapa baru satu
gebrakan saja kau telah menyerah kalah?”
Baru saja bicara sampai di sini, tangan Tan-kauwsu melayang dan kepala yang gundul itu ditempeleng
hingga Cin Hai merasa matanya gelap dan kepalanya terasa berputaran. Ia terhuyung-huyung dan sebuah
tendangan membuat ia terlempar dan tertelungkup di atas tanah sampai mengeluarkan suara berdebuk.
dunia-kangouw.blogspot.com
Malang baginya, sebuah batu menyambut mulutnya hingga bibirnya berdarah.
Anak ini marah sekali di dalam hati dan rasa sakit hatinya melenyapkan segala rasa sakit pada tubuhnya. Ia
cepat merayap bangun dan berdiri dengan tegak sedangkan sepasang matanya memandang tajam, sedikit
pun tidak takut dan jeri.
“Nah, kau baru tahu adat sedikit sekarang setelah kuhajar, ya?” Tan Hok berkata sambil uring-uringan.
“Tan-suhu memang beraninya hanya terhadap anak kecil yang tidak berdaya. Alangkah baiknya kalau
kegagahanmu ini kau perlihatkan pada saat menghadapi Biauw Suthai tadi, sehingga Lin Lin tidak sampai
terculik.”
“Bangsat kecil, kuhancurkan kepalamu!” Guru silat itu lalu melangkah maju dengan sikap mengancam.
Tetapi Cin Hai tidak mundur sedikit pun.
“Boleh, boleh! Pukullah aku sampai mati. Sayang, Bibiku tak melihat kelakuanmu ini.”
Teringatlah Tan-kauwsu bahwa anak ini setidak-tidaknya masih menjadi kemenakan dari Kwee-hujin maka
ia menahan tangannya yang telah terangkat di atas untuk menjatuhkan pukulan. Ia lalu meludahi kepala
anak yang gundul itu sambil membentak,
“Hayo kita pulang dan kau menjadi saksi utama betapa aku telah membela Nona Lin Lin dengan matimatian.
Kau harus terangkan duduknya perkara yang sebetulnya di hadapan Kwee-ciangkun!”
Cin Hai tak menjawab, tapi segera memungut sebatang bambu kuning. Tan Hok menjadi marah dan ia
menyambar tangan anak itu dan diseretnya sambil berlari cepat!
Alangkah terkejut dan marahnya Kwee In Liang ketika dia mendengar laporan Tan Hok. Mukanya sebentar
merah sebentar pucat ketika Tan-kauwsu berkata,
“Hamba sudah melawan mati-matian untuk mencegah penculikan itu, tapi ternyata Biauw Suthai sangat
lihai hingga akhirnya pedang hamba dapat terampas dan hamba dibikin tak berdaya. Sebelum hamba
dapat mencegahnya, Nona Lin Lin sudah dibawa pergi cepat sekali.”
Karena sangat marah dan sedih, Kwee In Liang menggebrak meja di hadapannya sambil membentak
kepada Cin Hai, “Cin Hai! Mengapa kau ajak Lin Lin ke hutan tanpa memberi tahu siapa-siapa? Kau anak
tolol lancang sekali!”
Cin Hai merasa hatinya seperti tertusuk. Biasanya pamannya ini baik sekali terhadapnya, tidak pernah
memukul tak pernah memaki, bahkan jarang sekali bertemu atau mengajak dia bicara. Sekarang ie-thio-nya
membentak dan memakinya, sungguh menyakitkan hati.
“Ie-thio (Paman),” katanya dengan suara perlahan, “memang aku yang lancang. Biarlah sekarang aku pergi
mencari Adik Lin Lin sampai dapat...”
Hampir saja Cin Hai mengeluarkan air mata karena hatinya merasa pilu. Dia meraba-raba kepala
gundulnya yang masih merah karena ditempeleng oleh Tan Hok tadi.
Melihat betapa kepala anak itu merah serta bibirnya pecah-pecah, kemarahan Kwee In Liang lantas
berkurang, “Apakah engkau juga dilukai oleh tokouw siluman itu?”
Sebelum Cin Hai menjawab, Tan Hok yang merasa khawatir kalau-kalau anak itu akan mengadu, cepat
berkata,
“Apa bila hamba tidak lekas-lekas datang, tentu kemenakan Ciangkun ini akan mendapat celaka pula.”
Cin Hai melirik kepada guru silat itu dengan pandangan mata mengejek.
“Benar, ie-thio, sayang sekali bahwa baru maju segebrakan saja, Tan-suhu yang lihai ini telah terampas
pedangnya dan bahkan ia dibikin jatuh bangun oleh ujung kebutan tokouw siluman itu!”
“Begitu lihaikah dia?” tanya Kwee In Liang kepada Tan Hok.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Memang dia luar biasa lihai, dan hamba bukanlah lawannya.” Tan Hok mengaku dengan muka merah
karena malu, dan kebenciannya terhadap Cin Hai semakin bertambah.
Karena kejadian itu, Kwee In Liang merasa sedih sekali. Kwee-hujin yang diberitahu oleh pelayan akan
peristiwa itu segera berlarian keluar dan sambil menangis tersedu-sedu ia duduk di sebelah Kweeciangkun.
Loan Nio memang cinta sekali kepada Lin Lin dan telah menganggap anak itu sebagai anak
sendiri, maka berita ini benar-benar menghancurkan hatinya.
“Cin Hai, kau... kau anak tolol! Bodoh dan lancang! Mengapa kau mengajak Lin Lin pergi ke hutan?
Bukankah engkau berpamit padaku, tetapi mengapa engkau tidak menyatakan hendak pergi dengan Lin
Lin?” Bibi ini menegur Cin Hai.
“Ie-ie, sungguh aku menyesal sekali, ie-ie... Bukan kusengaja membawa dan mengajak Lin Lin, tetapi ketika
aku hendak keluar, Adik Lin Lin melihat dan bertanya. Aku mengaku terus terang bahwa aku hendak
mencari bambu kuning di hutan dan ia memaksa hendak ikut.”
Sementara itu, melihat bahwa nyonya muda itu keluar, Tan Hok segera mengundurkan diri. Kwee In Liang
segera memerintahkan para pengawalnya untuk mengejar tokouw itu, dan ia sendiri naik kuda mencari
sampai jauh ke dalam hutan.
Biar pun kepada bibinya sendiri, Cin Hai tidak pernah menceritakan mengenai perlakuan Tan-kauwsu yang
sewenang-wenang padanya. Anak ini memang tak suka mengadu dan segala hal yang menyakitkan hati
hanya ia pendam di dalam dada sendiri saja.
Ia selalu ingat akan ujar-ujar yang bermaksud: Balaslah kebaikan dengan kebaikan pula dan kejahatan
dengan keadilan! Maka dia menganggap kurang adil apa bila ia membalas kejahatan Tan-kauwsu dengan
mengadukan hal itu kepada ie-ie-nya atau ie-thio-nya. Itu kurang adil dan kurang tepat karena ia yang
dijahati, maka baru adil kalau ia sendiri yang membalasnya! Tidak dapat sekarang, tentu kelak akan tiba
masanya ia membalas segala perlakuan tak pantas itu.
Hatinya telah merupakan sebuah buku catatan di mana ia mencatatkan segala perlakuan baik dan buruk
yang dijatuhkan orang kepada dirinya, dan yang ia anggap sudah menjadi kewajibannya untuk membayar
lunas semua perlakuan dan budi itu, baik yang jahat mau pun yang baik.
Ketika Ie-thio-nya sedang sibuk mencari-cari tokouw yang melarikan anaknya itu dibantu puluhan pengawal
dan anak buahnya, sedangkan bibinya masih menangisi nasib Lin Lin di kamarnya, Cin Hai menyeret
bambu kuning ke belakang. Ia duduk di kebun belakang sambil asyik menggosok bambu itu,
menghilangkan bulu-bulu bambu dan mencabut daun dan cabang-cabangnya.
Tiba-tiba terdengar suara anak-anak memasuki kebun itu.
“Nah, itu dia Si Jahat!” terdengar seorang di antara mereka berkata.
Yang masuk adalah lima orang anak-anak, yakni putera-putera Kwee-ciangkun. Mereka ini tampan
wajahnya dan indah-indah pakaiannya.
Yang sulung bernama Kwee Tiong berusia sepuluh tahun, ke dua bernama Kwee Sin berusia sembilan
tahun, ke tiga Kwee Bun delapan tahun. Ke empat Kwee Siang berusia tujuh tahun dan ke lima ialah Kwee
An berusia enam tahun.
Di antara mereka ini, hanya dengan Kwee An saja Cin Hai sering bergaul, karena selain Kwee An memiliki
perangai yang baik dan halus, juga mereka ini sebaya, jadi lebih cocok. Yang empat lainnya sudah biasa
menggoda dan memukul atau memaki Cin Hai.
Kini mendengar betapa adik perempuan mereka dibawa lari oleh karena tadinya ikut Cin Hai ke hutan,
maka marahlah mereka. Bahkan Kwee An yang bersedih akibat kehilangan adiknya, juga merasa marah.
Mereka mencari Cin Hai dan melihat Cin Hai duduk seorang diri membawa bambu kuning di dalam kebun,
mereka segera menangkapnya!
Kwee Tiong lalu mengambil tali dan menyeret Cin Hai ke sebatang pohon lalu mengikat Cin Hai di situ
dengan tali tadi. Cin Hai tidak dapat melawan sebab dia sudah lelah sekali, malah tubuhnya masih sakitdunia-
kangouw.blogspot.com
sakit bekas bantingan Biauw Suthai tadi dan terutama bekas tangan Tan-kauwsu. Sekarang diperlakukan
kasar oleh kelima anak-anak itu, sama sekali dia tidak melawan, walau pun andai kata dia melawan juga
tak akan berguna.
“Bangsat, mengakulah bahwa kau yang menjadi gara-gara atas lenyapnya Lin Lin!” Kwee Tiong
membentak.
“Bukan, bukan aku!” jawab Cin Hai sambil membalas pandang mata Kwee Tiong dengan berani.
“Kepala anjing!” Kwee Tiong memaki sambil menempeleng kepala Cin Hai yang gundul itu.
“Bukan aku!” Cin Hai tetap berkokoh menyangkal.
Lima saudara yang sedang marah itu berganti-ganti memukul dan menempeleng kepala Cin Hai yang
gundul, tetapi meski pun merasa kesakitan dan kepalanya pening, anak ini tetap berteriak-teriak, “Bukan
aku... bukan aku!”
Melihat betapa keadaan Cin Hai makin lemas dan suara teriakannya semakin parau dan lemah, Kwee An
menjadi kasihan dan timbul sifat baiknya.
“Koko sekalian, aku jadi ingat akan perkataan Ayah bahwa di dalam segala hal kita harus berlaku gagah
berani. Sekarang kita mengikat Cin Hai dan memukulinya tanpa dia dapat membalas, apakah ini adil?
Kurasa ini bukan kelakuan gagah berani seperti yang sudah dianjurkan oleh Ayah, dan kalau Ayah melihat
perbuatan kita ini tentu kita akan mendapat marah.”
“Ehh, pengecut, apa kau hendak membela dia?” Kwee Tiong membentak marah kepada adiknya.
“Dia bukan pengecut, juga bukan membelaku,” Cin Hai yang sudah matang biru mukanya dan lemas
tubuhnya itu mewakili Kwee An menjawab, “tapi dia ini mempunyai kegagahan lebih besar dari pada kalian
berempat yang terhadap seorang anak lebih kecil saja mesti melakukan pengeroyokan secara pengecut.”
“Plokk!”
Tangan Kwee Tiong terayun, menampar mulut Cin Hai hingga bibir yang sudah bengkak karena jatuh
terpukul oleh Tan-kauwsu tadi, kini lukanya terbuka pula dan mengeluarkan darah baru.
“Twako, kalau memang kau hendak main pukulan dan berkelahi, lakukanlah secara jujur. Lepaskan dia
lebih dahulu dan berkelahilah dengan adil!” Kwee An berkata marah melihat kekejaman kakaknya, lalu ia
sendiri maju membuka belenggu tangan Cin Hai.
“Baik, baik! Kau bukalah ikatannya, biar ia coba menahan seranganku,” kata Kwee Tiong gembira.
Cin Hai merasa seluruh tubuhnya lemas dan tidak bertenaga, maka biar pun dia sudah dilepaskan dari
ikatan, tetap saja dia tak berdaya. Sebaliknya, Kwee Tiong yang bertubuh tegap dan lebih besar darinya itu,
lagi pula memiliki kepandaian silat yang sudah cukup lumayan, segera maju menyerang dengan sepasang
kepalan dan tendangan kakinya.
Berkali-kali Cin Hai dipukul jatuh dan selagi anak itu dengan mata kabur hendak merayap bangun, sebuah
tendangan Kwee Tiong tepat mengenai lambungnya sehingga ia kembali tersungkur lagi.
“Nah, rasakan ini, nah, ini lagi! Kau anak celaka, anak tolol, kau yang menjadi gara-gara sehingga Lin Lin
terculik orang! Rasakan ini!”
Sambil menunggangi tubuh Cin Hai pada punggungnya, Kwee Tiong menghujani pukulan pada seluruh
tubuh Cin Hai yang sudah tak berdaya. Karena rasa sakitnya, Cin Hai lalu meramkan mata dan
mempergunakan kedua tangannya untuk balas menyerang. Ia tidak dapat memukul, tetapi menangkap apa
saja yang dapat ditangkap.
Karena kebingungan dan putus asa dihujani pukulan-pukulan keras oleh Kwee Tiong, Cin Hai menjadi
nekad. Dengan tenaga terakhir ia dapat membalikkan tubuhnya yang tadinya tertelungkup itu sehingga
menjadi miring. Tangan kanannya lantas menyerang ke depan dan mencengkeram, dan seketika itu juga
terdengar Kwee Tiong memekik ngeri karena tanpa disengaja tangan Cin Hai dapat mencengkeram
dunia-kangouw.blogspot.com
anggota rahasia Kwee Tiong.
Mendengar jeritan ini barulah Cin Hai tahu bahwa Kwee Tiong kesakitan hebat. Alangkah senang hatinya
mendengar anak itu menjerit-jerit kesakitan. Timbul niatnya untuk sekali remas membikin hancur anggota
tubuh yang dicengkeramnya itu supaya anak jahat yang selama ini cukup banyak menghina dan cukup
sering menyiksanya itu mampus seketika itu juga.
Tetapi entah kenapa, di dalam pikirannya yang telah kabur itu tiba-tiba terdengar ujar-ujar nabi yang
dipelajarinya. Betapa pun hebat Kwee Tiong menyiksanya dan menghinanya, akan tetapi anak itu tidak
sampai membunuhnya, apa bila sekarang ia membalas dengan membunuh, itu tidak adil namanya. Pula,
ada ujar-ujar yang ia lupa lagi bunyinya, tetapi yang ia masih ingat bahwa orang tak boleh membunuh
sesamanya hanya untuk sekedar melampiaskan kemarahan dan memuaskan perasaan. Teringat akan
semua ini, tiba-tiba cengkeraman tangannya mengendur.
Tadinya Kwee Tiong sudah sambat, bahkan tanpa malu-malu lagi ia telah mengeluarkan kata-kata, “Cin
Hai... lepaskan aku... ampun, Cin Hai...”
Tetapi ucapan ini agaknya tak terdengar oleh Cin Hai. Kini merasa betapa cengkeraman Cin Hai
mengendur, kesempatan baik ini tidak disia-siakan oleh Kwee Tiong yang segera merenggut tangan Cin
Hai itu dan meloncat berdiri.
“Bangsat! Anjing! Pengecut hina, kau berlaku curang!” Kwee Tiong memaki-maki sambil menggunakan
kedua kakinya menendang-nendang tubuh Cin Hai.
Namun anak gundul ini sama sekali tidak bergerak dan tidak mengeluh.
“Tahan, Twako, ia... ia... mati!” tiba-tiba Kwee An berseru sambil loncat berlutut.
“Hahh?! Mati...?!”
Kwee Tiong terkejut sekali dan seketika itu juga wajahnya berubah pucat. Juga semua adiknya yang tadi
turut memaki-maki menjadi terkejut sekali dan beramai-ramai mereka berlutut untuk melihat dan memeriksa
tubuh Cin Hai. Sebetulnya Cin Hai hanya pingsan saja, namun karena banyak mengeluarkan darah dan
perutnya kosong, maka mukanya nampak pucat sekali seperti mayat.
Pada saat itu terdengar teriakan kaget dan semua anak-anak itu makin terkejut karena yang datang bukan
lain adalah Loan Nio, bibi Cin Hai! Ketika datang ke situ, Loan Nio menyangka bahwa kemenakannya itu
sudah mati, maka dia berteriak kaget. Dua orang pelayan lalu diperintahkan untuk mengangkat tubuh anak
itu ke dalam kamar, sedangkan Loan Nio memarahi kelima saudara Kwee.
“An-ji, coba kau ceritakan, apakah yang sudah terjadi tadi?” Loan Nio atau Kwee-hujin itu sengaja bertanya
kepada Kwee An, oleh karena ia yang telah mengenal perangai semua anak-anak itu sejak kecil, tahu
bahwa hanya Kwee An yang boleh ia percaya.
“Cin Hai telah berkelahi dengan Engko Tiong,” Kwee An berkata terus terang, kemudian dia menceritakan
mengenai sebab-sebab perkelahian, yakni bahwa mereka marah sekali karena menganggap bahwa Cin
Hai yang menjadi biang keladi lenyapnya Lin Lin.
Loan Nio menghela napas, lalu dia berkata dengan suara kereng, “Anak-anak, memang perbuatan Cin Hai
mengajak Lin Lin ke hutan itu adalah sangat lancang dan tidak baik. Seharusnya ia memberi tahu dulu
kepada orang tua. Tetapi kurasa Cin Hai sudah cukup terhukum apa lagi jika diingat bahwa dia biar pun
kecil juga telah membela Lin Lin hingga terpukul oleh penculik, maka kalian seharusnya bisa
memaafkannya. Pula peristiwa telah terjadi, Lin Lin masih belum ketemu, sekarang kalian tambahi
kepusingan orang-orang tua dengan perkelahian-perkelahian itu. Sungguh tidak baik sekali!”
Pada saat itu Kwee In Liang kembali dari pengejarannya kepada penculik itu. Wajahnya muram dan tampak
lelah sekali.
“Bagaimana, terdapatkah?” Kwee-hujin bertanya dengan muka cemas.
Kwee-ciangkun menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas, nampaknya susah sekali. Kemudian
melihat anak-anaknya yang berada di situ seperti orang ketakutan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Anak-anak ini sedang bekerja apa di sini? Mengapa tidak berada di kamar dan belajar?”
Terpaksa Loan Nio yang tidak pernah membohong segera menceritakan bahwa ia baru saja menegur
mereka karena berkelahi dan mengeroyok Cin Hai sehingga anak itu jatuh pingsan. Muka Kwee In Liang
semakin muram mendengar ini, lalu ia membentak mereka supaya pergi ke kamar masing-masing.
Melihat kemarahan serta kesedihan suaminya ini, dengan manis budi Loan Nio mencoba menghiburnya.
Tapi ayah yang kehilangan anak kesayangannya itu hanya menggunakan kedua tangan menutupi mukanya
dan berkali-kali menghela napas.
“Tadi aku mendengar bahwa Biauw Suthai yang menculik Lin Lin adalah seorang wanita gagah dan tokoh
yang ternama sekali, maka kurasa pertapa wanita itu tidak mempunyai maksud buruk. Barang kali dia
memang benar-benar senang kepada Lin Lin dan hanya bermaksud untuk menurunkan ilmu silatnya dan
segala kepandaiannya pada anak kita.” Kwee hujin menghibur.
Sesudah berulang-ulang kali menghela napas, Kwee In Liang hanya menjawab perlahan, “Mudah-mudahan
begitu. Karena apa bila siluman wanita itu sampai berani mengganggu selembar rambut saja dari anakku,
maka dia harus mengganti dengan selembar jiwanya!”
Dan panglima gagah ini mengertak-ngertak gigi serta mengepal-ngepal tinju tangannya, sedangkan kedua
matanya mengeluarkan sinar mengancam. Isterinya lalu menghiburnya lagi dan mengajak suaminya yang
sedang bersedih itu masuk ke dalam gedung karena di luar sudah mulai gelap.
Malam itu keadaan di gedung keluarga Kwee sunyi saja. Biasanya pada malam hari terdengar suara anakanak
menghafal sastera mereka, tetapi malam ini sengaja dilarang mengeluarkan suara keras. Sore-sore
Kwee Tiong dan keempat adiknya telah pergi tidur sambil membicarakan Cin Hai dengan suara berbisik.
Cin Hai sendiri berbaring terlentang dengan mata terbelalak memandang ke langit-langit kamar dan
pikirannya melamun jauh sekali. Tubuhnya masih terasa sakit, namun hatinya telah terhibur sebab tadi
bibinya datang dan menghiburnya, serta memerintahkan pelayan untuk menyediakan makan. Bahkan
dengan kedua tangannya sendiri bibi yang baik hati itu membaluri seluruh tubuhnya yang bengkak-bengkak
dan matang biru dengan minyak gosok.
Ketika tadi bibinya menggosok-gosok badannya dengan minyak gosok, ia merasa terharu dan diam-diam
air matanya mengalir di kedua pipinya.
“Ie-ie, sebenarnya di manakah kedua orang tuaku?” tanyanya perlahan.
Tangan bibinya yang menggosok-gosok punggungnya itu mendadak menggigil dan untuk sesaat berhenti
menggosok, tapi lalu terdengar jawabannya, “Anak, mengapa berkali-kali kau tanyakan hal ini? Bukankah
sudah kuberitahukan padamu bahwa kedua orang tuamu telah kembali ke alam baka?”
“Tetapi di manakah makam mereka, ie-ie? Aku ingin sekali mengunjungi makam kedua orang tuaku.”
”Aku tidak tahu, Cin Hai.”
“Mengapa kau tidak tahu ie-ie, bukankah kau adik mendiang ibuku?”
“Sudah berapa kali kukatakan bahwa aku tidak tahu, Cin Hai! Sudahlah, jangan kau terus mendesak. Kau
harus mengaso dan aku akan kembali ke kamar, ie-thio-mu masih sangat bersedih.”
Nyonya muda itu mengelus-elus kepala kemenakannya, kemudian meninggalkan kamar itu. Tetapi sebelum
melangkah ke luar pintu, Cin Hai menegur,
“Ie-ie yang baik!”
Nyonya muda itu berhenti lalu menengok, dan Cin Hai sempat melihat betapa ie-ie-nya telah mengalirkan
air mata!
“Setidak-tidaknya beritahukan padaku siapa nama dan she Ayahku!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kau she Kwee juga, bukankah sudah pernah kuberitahukan padamu?”
“She... Kwee...? Ahh, tak mungkin... ahh, kenapa kau membohongi, Ie-ie yang baik? Aku bukan she
Kwee...”
Tetapi Ie-ie-nya sudah melangkah keluar dari pintu dan Cin Hai mendengar suara sandal bibinya itu makin
menjauhi kamarnya.
Demikianlah, setelah bibinya pergi, sampai jauh malam Cin Hai masih tak bisa meramkan matanya. Bibinya
telah membohong padanya ketika menerangkan bahwa dia she Kwee! Juga bibinya telah membohong
ketika bilang bahwa dia tidak mengetahui makam kedua orang tuanya.
Ia dapat merasakan kebohongan itu, karena setiap kali bibinya diajak bicara tentang hal kedua orang
tuanya, selalu nyonya muda itu mendadak menjadi sedih dan gelisah, dan jawabannya selalu ragu-ragu.
Aku harus mencari kedua orang tuaku, dan aku harus tahu siapa sebenarnya diriku ini.
Cin Hai lalu turun dari pembaringan dengan maksud hendak pergi ke kamar bibinya dan mendesak
keterangan dan penjelasan-penjelasan. Ia sengaja menanggalkan sepatu agar tindakan kakinya tidak
menerbitkan suara dan mengagetkan atau membangunkan orang lain dari tidurnya. Ketika sudah tiba di
dekat kamar bibinya, tiba-tiba ia mendengar suara bibinya terisak menangis, kemudian suara pamannya
yang besar itu seakan-akan sedang memarahi bibinya.
Cin Hai bergerak hati-hati sekali ke arah kamar yang masih terang karena lampu di dalam belum
dipadamkan. Ia mendekati jendela dan mengintai. Ternyata bibinya sedang duduk di pembaringan sambil
menutup mukanya dengan selampai, menahan tangis. Pamannya berjalan mondar-mandir di dalam kamar
itu.
“Ayahnya yang berdosa, dan Ayah serta seluruh keluarganya telah menebus dosa itu dan semua dihukum
penggal leher. Sekarang janganlah kau ikut-ikutkan pula anaknya yang tak berdosa apa-apa.” Nyonya
muda itu berkata sambil menangis.
“Kau kira aku manusia berhati sekejam itu? Kalau aku kejam, apakah aku mengijinkan anak pemberontak
itu berdiam di rumahku sampai bertahun-tahun? Pemberontak she Sie yang menjadi iparmu itu sudah
dihukum mati berikut semua keluarganya, dan aku sama sekali tiada sangkut-paut dengan perkara itu.”
“Tiada sangkut-paut, hanya engkaulah yang menangkap mereka semua,” kata Loan Nio.
“Apa salahnya? Bukankah itu sudah menjadi kewajibanku? Jangankan orang she Sie itu yang tidak punya
hubungan apa-apa dengan aku, biar pun andai kata adikku sendiri yang menjadi pemberontak, tentu aku
akan menangkapnya. Inilah jiwa seorang gagah. Harus kau ingat bahwa yang tiap hari kita makan dan
pakaian yang tiap hari kita pakai ini adalah hasilku mengabdi kepada raja. Apakah aku hanya boleh
menerima hasil saja tanpa harus memenuhi kewajiban? Pula, bukan aku yang ingin dia dihukum, tetapi ini
perintah atasan. Tugas tetap tugas, perasaan pribadi jangan dibawa-bawa!” Agaknya panglima itu marah
betul karena terdorong kesedihan hatinya kehilangan Lin Lin.
Hening sejenak kecuali isak Loan Nio dan helaan napas Kwee In Liang, kemudian baru terdengar lagi
nyonya muda itu berkata agak sabar,
“Aku tahu semua itu, dan aku tidak salahkan kau. Hanya mengenai anak ini, Cin Hai yang malang... kau
berlakulah murah hati sekali.”
“Istriku, betapa pun juga kau pertimbangkanlah baik-baik. Engkau lebih sayang Cin Hai dari pada
suamimu? Aku benci Cin Hai, juga aku tidak menghubungkan dia dengan orang tuanya. Akan tetapi,
semenjak Lin Lin hilang...,” sampai di sini suaranya sember dan sedih, “...aku tak tahan melihat muka Cin
Hai lagi. Betapa pun juga, Lin Lin diculik orang karena ikut pergi dengan Cin Hai! Perasaan ini tidak akan
pernah hilang dari hatiku yang menuduh dan mempersalahkannya, maka tidak baik kiranya apa bila anak
itu berada di depan mataku. Tidak baik untuknya dan tidak baik untukku sendiri. Dia harus pergi dari sini,
titipkanlah kepada keluarga lain...”
Semenjak tadi, di luar Jendela Cin Hai mendengar dengan air mata turun bagaikan hujan membasahi
kedua pipinya. Orang tuanya, juga semua keluarganya, mendapat hukuman penggal kepala! Alangkah
hebatnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ayahnya yang she Sie itu disebut-sebut sebagai pemberontak! Apakah pemberontak itu? Perasaannya
yang terasa perih itu semakin hancur mendengar betapa bibinya sampai bertengkar dengan Ie-thio-nya
karena dia! Pula, hatinya sakit sekali mendengar betapa ie-thio-nya kini membencinya karena hilangnya Lin
Lin dan ie-thio-nya sudah mengambil keputusan supaya ia pergi dari situ!
Cin Hai menggigit bibirnya yang tadinya mewek menangis itu. Timbul perasaan angkuh di dalam kepalanya
yang gundul. Orang tidak menghendaki dia di situ, untuk apa menanti lebih lama lagi? Ia tak perlu mintaminta
ampun dan mohon agar diperkenankan tinggal terus di situ. Dia harus pergi karena dia bukan
keluarga Kwee! Hanya ie-ie-nyalah yang selama ini menahan ia berada di tempat itu, karena itu ia amat
mencinta ie-ie-nya yang berbudi baik itu.
Dengan pikiran kacau balau Cin Hai lalu pergi dari situ. Dengan hati-hati sekali ia hendak keluar dan
minggat dari gedung keluarga Kwee. Dia benci sekali kepada Kwee In Liang, sebab dari mulut pamannya
itu sendiri dia tadi mendengar bahwa yang menangkap orang tuanya adalah pamannya itu sendiri.
Ia memasuki kamarnya dan mengambil semua pakaiannya, lalu dibuntal. Tetapi tiba-tiba ia teringat akan
kata-kata pamannya tadi yang menyatakan bahwa semua pakaian yang dipakai itu adalah hasil
pengabdiannya kepada raja! Dan karena pengabdian kepada raja itulah yang memaksa pamannya itu
menangkap dan membasmi seluruh keluarga Sie.
Tiba-tiba timbullah rasa jijik dan bencinya kepada semua pakaiannya dan dilemparkannya buntalan itu jauhjauh
dengan perasaan jijik. Dia tak akan membawa pakaian pemberian pamannya.
Lalu dia teringat akan pakaiannya sendiri. Yang dipakainya ini pun pakaian pemberian bibinya yang berarti
pemberian pamannya pula! Dengan hati panas dan penuh marah ia lalu menanggalkan semua pakaiannya
itu dan dengan telanjang bulat ia lari keluar.
Tetapi dari mana ia harus keluar dari gedung itu? Pintu depan telah tertutup dan terkunci. Cin Hai yang
gundul dan telanjang itu lalu lari ke belakang dan memasuki kebun. Angin malam yang dingin menyerang
kulitnya sehingga ia menggigil. Tetapi dikeraskan hatinya dan segera menuju ke dinding yang mengelilingi
kebun. Memang ia telah biasa memanjat dinding itu waktu bermain-main, maka kini dengan mudah saja ia
dapat memanjat dinding mempergunakan lubang-lubang dan pecahan-pecahan yang terdapat di beberapa
bagian dinding.
“He, bangsat kecil, kau hendak berbuat apa lagi?!”
Itu adalah suara Tan-kauwsu!
Cin Hai terkejut sekali dan dia memegang sulingnya erat-erat di tangan kanan. Memang, anak gundul itu
tidak membawa bekal apa-apa bahkan pakaiannya pun tidak, akan tetapi suling buatan sendiri itu tak akan
ia lupakan.
Ketika Tan-kauwsu sudah datang dekat dan melihat betapa Cin Hai dengan bertelanjang bulat berada di
atas dinding, ia merasa heran sekali dan untuk beberapa lama ia berdiri bengong memandang. Sudah
gilakah anak ini? Demikian ia berpikir, dan kemudian timbul maksudnya hendak menangkap lalu
menyerahkan anak ini kepada Kwee-ciangkun dalam keadaan demikian, agar anak itu dan juga bibinya
merasa malu!
“Bangsat tolol, turun kau!” bentaknya.
Tetapi dalam takut dan bingungnya Cin Hai tak mempedulikan bahaya lagi. Dia meloncat ke sebelah luar
dan untung sekali dia jatuh ke dalam semak-semak hingga kakinya tidak patah-patah, hanya tubuhnya
yang telanjang itu saja lecet-lecet. Ia segera berdiri dan lari secepat mungkin di dalam kegelapan malam.
Tan Hok, guru silat yang membenci Cin Hai itu menjadi penasaran dan marah. Sekali loncat saja ia sudah
berada di atas dinding. Tetapi malam itu gelap sekali sehingga ia tak melihat Cin Hai. Ia memanggilmanggil
dan memaki-maki.
Tiba-tiba ia mendengar suara keluhan, karena pada saat itu, Cin Hai yang sudah lari agak jauh itu kakinya
tersandung akar pohon di dalam gelap hingga tubuhnya terguling! Karena dadanya yang telanjang
tertumbuk pada akar, maka tanpa disengaja ia mengeluh hingga terdengar oleh Tan Hok. Guru silat ini
dunia-kangouw.blogspot.com
meloncat turun dari tembok dan mengejar ke arah suara itu sambil memaki,
“Anak totol, apakah kau sudah gila?”
Cin Hai makin takut dan dia berdiri lagi, lalu memaksa kakinya yang terasa sakit karena jatuh itu untuk
berlari lagi. Saat itu telah lama lewat tengah malam hingga keadaan gelap sekali. Namun dari suara kaki
Cin Hai yang berlari-lari dapat juga Tan Hok mengejar ke mana anak itu berlari. Hanya keadaan yang
sangat gelap itu membuat Tan-kauwsu tidak mungkin dapat berlari cepat, takut kalau-kalau dia akan
menabrak pohon atau terjeblos ke dalam tanah berlubang.
Sebaliknya, Cin Hai yang ketakutan dan bingung, tak mempedulikan semua ini dan ia lari sekerasnya.
Maksud hatinya hendak lari secepat-cepatnya supaya dapat menghindarkan diri dari tangan guru silat yang
jahat dan yang tentunya akan membawa dia kembali ke tempat yang tak disukainya itu.
Oleh karena berlari dengan nekad membuta ini, tiba-tiba saja dia terjeblos ke bawah! Cin Hai terkejut sekali
tetapi tak berani mengeluarkan keluhan, takut kalau-kalau pengejarnya mendengarnya.
Ketika ia meraba-raba di sekitar dirinya, ternyata ia telah terjeblos ke dalam tanah lumpur yang lembek
berair. Sesudah berpikir-pikir sejenak dapatlah ia menduga bahwa ia tentu terjatuh ke dalam kolam lumpur
yang biasa dipergunakan oleh para penggembala kerbau untuk membawa kerbau-kerbau mereka mandi
lumpur di situ.
Anehnya, apa bila tadi dia merasa tubuhnya dingin sekali karena angin yang meniup-niup tubuhnya, kini
sesudah masuk ke dalam lumpur itu, dia merasa hangat! Agaknya seperti ada hawa yang aneh dan hangat
keluar dari kolam lumpur itu.
Akan tetapi, rasa girangnya hanya sebentar saja karena lagi-lagi terdengar suara makian guru silat yang
masih tetap mencari-carinya itu. Cin Hai menjadi gemas sekali. Kalau saja ia kuasa mengalahkan guru silat
itu, pasti ia akan menghajar habis-habisan padanya! Ia memutar-mutar otak di dalam kepalanya yang
gundul itu, mencari akal.
Tan Hok si guru silat merasa mendongkol sekali. Biar pun ia lari tidak cepat, tetapi sudah dua kali ia
menabrak pohon dan tabrakan yang ke dua kali membuat hidungnya berdarah! Ia tidak menyesalkan
hidungnya yang terlalu panjang itu, akan tetapi menimpakan semua penyesalan, kemendongkolan, dan
kemarahannya kepada Cin Hai.
“Anak tolol, anak binatang rendah, anak haram! Kalau saja kau sampai terpegang olehku, tentu akan
kubeset kulit kepalamu!” demikian ia memaki-maki dan maju terus, tetapi kini dengan kedua tangan di
depan agar jangan sampai tertumbuk pada pohon lagi.
Tiba-tiba saja dia mendengar suara kaki Cin Hai berlari-lari di depan. Ia mendengar jelas betapa napas
anak itu terengah-engah dan beberapa kali pula mengaduh-aduh. Girang hatinya mendengar ini.
“Bangsat kecil, kau hendak lari ke mana sekarang?!” bentaknya.
Dia mempercepat larinya, karena dia pun mendengar suara kaki anak itu berlari semakin cepat. Dia maju
dengan langkah lebar, tetapi setelah berlari beberapa tindak tiba-tiba dia menjerit dan terdengar betapa
tubuhnya yang besar itu jatuh terjerambab di dalam kolam lumpur! Celakanya dia jatuh telungkup hingga
mukannya penuh tertutup lumpur.
“Ha-ha-ha! Alangkah lucunya!” terdengar Cin Hai mentertawakan guru silat itu.
Ternyata tadi anak itu mendapat akal untuk menjebak pengejarnya. Ia berdiri di seberang kolam lumpur,
lalu berlari di tempat sambil sengaja mengeluarkan suara napas terengah-engah.
Tubuh Tan-kauwsu telungkup di dalam lumpur bagai seekor kerbau besar! Setelah puas memaki-maki dan
mengejek serta mentertawakan Tan Kauwsu, Cin Hai lalu berlari lagi ke depan dengan cepat. Kini malam
telah hampir terganti fajar hingga samar-samar mata dapat menembus kegelapan yang dari warna gelap
hitam menjadi abu-abu.
Sudah tentu rasa marah Tan Hok meluap. Untuk beberapa lama dia tak berdaya karena selain merasa
pengap akibat lubang hidungnya tertutup lumpur, juga dia merasa bingung bagaimana harus
dunia-kangouw.blogspot.com
membersihkan lumpur yang memasuki mata kirinya!
Akhirnya ia dapat juga ke luar dari kolam lumpur itu dan dapat menggunakan bajunya yang masih bersih,
yakni yang berada di bagian belakang tubuhnya, untuk membersihkan lumpur dari hidung, mulut dan
matanya. Walau pun mata kirinya masih terasa pedas dan lamur, tetapi dengan mata kanan dia dapat
memandang ke depan. Tampaklah olehnya sebuah lorong kecil di depan dan tanpa membuang waktu ia
segera lari mengejar.
Fajar telah menyingsing ketika dari jauh Tan Hok dapat melihat berkelebatnya tubuh Cin Hai di depan. Guru
silat ini mengeluarkan seruan girang, karena sebentar lagi dia pasti akan bisa memuaskan hati membalas
dendam kepada setan cilik itu! Ia lalu memperkuat larinya dan sebentar saja jarak antara dia dan Cin Hai
yang berlari sekuatnya itu tinggal beberapa tombak saja lagi!
“Bocah tolol! Sekarang kau hendak lari ke mana? Bersiaplah untuk mampus di tanganku!” teriak Tan Hok
dengan girang sekali dan dia sudah siap-siap mengulurkan tangan untuk menangkap.
Cin Hai yang sudah putus asa tidak mau menerima nasib. Ia bahkan berlari sekerasnya dan ia sudah
mengambil keputusan tetap bahwa bila mana ia tertangkap, sebelum mati ia hendak melawan dahulu
sekuatnya, hendak menggunakan kaki tangan dan giginya untuk melawan. Ia ingat akan bunyi sebuah ujarujar
kuno yang berkata bahwa lebih baik mati sebagai harimau dari pada mati sebagai babi!
Tetapi pada saat itu, ketika ia sudah mendengar suara kaki dan napas Tan-kauwsu dekat sekali di
belakangnya, tiba-tiba ia menabrak tubuh seorang yang berdiri di depannya! Dan tahu-tahu tubuh Cin Hai
melayang ke atas lalu terduduk di atas lengan seorang tua yang pendek.
Cin Hai menjadi terkejut, heran dan bingung sekali. Mengapa tahu-tahu ada seorang tua pendek di
depannya dan bagaimana maka dia tahu-tahu sudah melayang ke atas lantas duduk di atas lengan kanan
orang tua yang bertubuh pendek itu, yang mulutnya selalu menyeringai, memakai jubah hitam dan kopiah
hitam pula. Maka teringatlah dia bahwa orang ini bukan lain adalah seorang di antara tiga orang yang
belum lama ini bertempur melawan hwesio gundul pemelihara ular di depan Kelenteng Ban-hok-tong!
Sementara itu, ketika melihat betapa seorang tosu pendek tahu-tahu menangkap Cin Hai dan berdiri di
depannya, Tan Hok menjadi kaget sekali. Sebaliknya tosu itu yang bukan lain adalah Giok Keng Cu, yakni
orang ke tiga dari Kanglam Sam-lojin (Tiga Orang Tua dari Kanglam), tidak kurang terkejutnya melihat Cin
Hai dan Tan Hok.
Ia tidak mengenal anak itu karena bertelanjang bulat dan hanya berpakaian lumpur yang telah mulai
mengering dan heran juga melihat pengejar anak itu yang juga penuh dengan lumpur pada seluruh tubuh
bagian depan. Ia hanya memandang sambil menyeringai dan tertawa ha-ha-hi-hi.
Ketika melihat bahwa tosu pendek itu hanya orang biasa saja yang berpakaian sebagai seorang pendeta,
Tan-kauwsu menyangka bahwa tosu itu kebetulan saja berada di situ. Maka ia lalu membentak keras
karena hatinya masih panas penuh kemarahan,
“Totiang, kau berikan anak tolol itu kepadaku!”
Mendengar kata-kata ini, Giok Keng Cu lalu bertanya. “Sicu (Orang Gagah), apakah kau ayah anak ini?”
“Siapa sudi menjadi ayah anak haram ini? Dia ini... adalah bujang dari keluarga Kwee yang melarikan diri
dan aku mendapat tugas menangkapnya! Lekas lepaskan dia!”
“Sabar dulu, Sicu, sabar dan tenanglah! Aku ingin sekali tahu, mengapa anak ini sampai bertelanjang bulat
dan penuh lumpur dan kenapa pula kau juga agaknya mandi lumpur? Kalian ini orang-orang Tiang-an
agaknya suka benar dengan lumpur.”
Tiba-tiba saja Cin Hai tertawa geli. Dia menganggap tosu ini lucu dan dia merasa senang mendengar
betapa Tan Hok dipermainkan. Dia pun maklum bahwa tosu pendek ini lihai sekali, maka hatinya menjadi
tabah dan keberaniannya timbul.
“Totiang, kau seharusnya menonton pada waktu kerbau hitam ini kujerumuskan ke dalam lumpur! Kerbau
ini adalah kerbau gila, Totiang, dia mengejarku dari malam tadi dengan maksud membunuhku, tetapi
sayang aku terlalu cepat baginya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bangsat kecil!”
Tan Hok meloncat maju dan hendak menerkam Cin Hai serta merampasnya dari tangan tosu itu, tetapi
dengan sekali menggerakkan lengan saja tubuh Cin Hai dapat dilempar ke atas hingga terhindar dari
serangan Tan Hok, lalu ketika tubuh kecil itu turun, diterima lagi dengan lengannya!
“Sabar dulu, Sicu. Biar pinto dengar dulu penuturan bocah ini. Hai, anak bodoh, coba kau ceritakan
kepadaku hal yang sesungguhnya telah terjadi.”
Diam-diam tosu ini suka sekali melihat keberanian Cin Hai, hanya ia masih heran kenapa bocah kecil yang
membawa-bawa suling ini bertelanjang bulat dan di seluruh tubuhnya penuh dengan lumpur.
Dengan singkat Cin Hai lalu menuturkan betapa ia melarikan diri dari gedung keluarga Kwee karena ia
dibenci. Ia sama sekali tak mau menceritakan tentang sebab-sebab yang sebenarnya dari kepergiannya itu.
Ia menceritakan pula bahwa dia sengaja meninggalkan pakaiannya karena tidak mau pergi membawa
sepotong pun barang dari gedung itu, takut kalau-kalau disangka mencuri, dan betapa di tengah jalan ia
lalu dikejar oleh Tan-kauwsu yang selamanya memang benci padanya.
“Betul demikiankah, Sicu?” tanya Giok Keng Cu dengan tetap menyeringai.
“Sudahlah, kau orang tua jangan ikut campur urusan ini. Ketahuilah, anak ini ikut dengan keluarga Kweeciangkun
dan aku adalah guru silat di gedung itu. Janganlah kau mencari penyakit!” Tan Hok membentak
marah.
Giok Keng Cu berpaling kepada Cin Hai yang masih duduk di atas lengannya, kemudian bertanya sambil
tertawa, “Anak gundul, apakah kau sering dipukul oleh Kauwsu ini?”
“Bukan sering lagi, kalau ia diberi kesempatan tentu aku akan dibunuhnya!” jawab Cin Hai terus terang.
“Apakah kau berani melawannya kalau diberi kesempatan?”
“Kalau aku mempunyai kepandaian seperti Totiang, tentu kerbau hitam ini akan kuhajar kepalanya sampai
benjut!”
“Anjing kecil, kau turunlah!” Tan Hok menantang.
“Nah, kalau kau berani, kau lawanlah dia sambil duduk di atas lenganku!” kata Giok Keng Cu sambil
tertawa.
Cin Hai belum mengerti benar maksud tosu itu. Tetapi ia yakin bahwa tosu ini bermaksud membantunya,
maka dia lalu mengangguk-angguk dan berkata, “Baik, baik, akan kupukul kepalanya sampai benjol dan
benjut.”
“Pukullah!” Giok Keng Cu berkata sambil mengulurkan lengan yang diduduki Cin Hai ke dekat Tan Hok dan
benar-benar Cin Hai mengayun kepalan tangannya arah kepala guru silat itu.
Mana Tan Hok mandah saja dirinya dipukul. Dia mengangkat tangan kiri menangkis dan tangan kanannya
memukul ke arah muka Cin Hai, maksudnya hendak sekali pukul lantas menjatuhkan anak itu dari atas
lengan Si tosu. Akan tetapi Giok Keng Cu menggerakkan lengannya dan tahu-tahu Cin Hai sudah pindah
ke lengan kiri!
“Guru silat, kalau kau bisa menjatuhkan anak ini dari lenganku, boleh kau bawa dia!” Giok Keng Cu
mengejek.
Tan Hok marah sekali dan ia lalu menyerang. Tetapi ternyata Cin Hai dibawa oleh lengan tosu itu dan
dengan cepat menghindari setiap serangannya, bahkan tangan anak itu lalu balas menghantam!
Tan Hok dengan geram dan marah lalu maju dan menyerang dengan gerak tipu Cin-jip Houw-hiat (Terjang
Masuk Goa Harimau), sebuah serangan yang sangat hebat karena dilakukan dengan kedua tangan. Kalau
kepala Cin Hai yang gundul terkena pukulan ini, pasti otaknya akan berceceran keluar dari batok kepalanya
yang pecah!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi dengan enak dan tenang Giok Keng Cu meloncat ke pinggir dan menggerakkan lengannya dengan
cepat sekali. Tahu-tahu Cin Hai merasa badannya terlempar ke atas melalui kepala Tan Hok, maka cepat
anak itu menggunakan kakinya menyepak ke arah kepala itu! Tan Hok yang kena sepak kepalanya menjadi
marah sekali dan menggunakan tangan hendak menerkam tubuh yang masih berada di atasnya itu, namun
tangan Giok Keng Cu lebih cepat lagi mendahuluinya menyangga tubuh Cin Hai dan dibawa turun lagi.
Demikianlah, dengan gerakan-gerakan aneh serta cepat melebihi angin, Cin Hai dapat dibawa oleh lengan
Giok Keng Cu mempermainkan Tan Hok. Beberapa kali kepalan Cin Hai yang kecil dapat memukul muka,
kepala dan dada guru silat itu sekerasnya, tetapi akibatnya ia sendiri yang mengeluh dan mengaduh karena
anggota tubuh guru silat yang terlatih itu keras dan kuat, sedangkan kepalan tangannya lemah tak terlatih.
“Totiang, tanganku sakit…,” Cin Hai berbisik.
“Anak tolol, kau pukul daun telinganya!” Giok Keng Cu balas berbisik.
Benar saja, semenjak saat itu, Cin Hai menujukan pukulannya kepada dua daun telinga Tan Hok hingga
guru silat itu menjadi makin gemas, marah dan mendongkol. Ia rasakan daun telinganya pedas dan sakit,
tetapi hatinya lebih perih dan sakit lagi. Bagian-bagian tubuh lain memang terlatih, tetapi daun telinganya
tidak dapat dilatih dan terasa sekali hingga biar pun pukulan seorang anak kecil juga mendatangkan rasa
sakit dan bahkan mendatangkan bunyi mendenging di dalam telinganya!
Cin Hai merasa girang sekali karena ia mendapat kesempatan untuk membalas dendam. Kini dia tidak
hanya memukul, tetapi menjewer, mencengkeram, menusuk lubang telinga dengan sulingnya dan lain-lain
serangan yang membuat Tan Hok merasa mata gelap dan isi kepala berputaran karena marah, gemas dan
tak berdaya!
Tan Hok sudah mendapat hajaran hebat. Ketika guru silat itu menyerang lagi, Giok Keng Cu sengaja
menangkis dengan tangan kirinya sambil membentak,
“Masih belum cukupkah?”
Tangkisan itu membuat Tan Hok hampir menjerit kesakitan. Seluruh lengan kanannya, dari ujung jari
sampai ke pundak, terasa seakan-akan dibakar api dan sakit sekali, hingga sambil meringis-ringis ia
melangkah mundur, lalu berkata,
“Aku sudah menerima pengajaran dari orang pandai. Tidak tahu siapakah Totiang ini dan apa pula
hubungannya dengan anak tolol ini sehingga Totiang membantunya serta tanpa segan-segan memberi
pukulan kepada siauwte.”
Pada saat itu matahari telah mulai bersinar hingga wajah Cin Hai dengan kepalanya yang gundul pelontos
tampak nyata. Pada saat mendengar ucapan guru silat itu, Giok Keng Cu lalu memandang muka anak kecil
yang ditolongnya.
“Ehh, kau?” tanyanya.
Cin Hai tersenyum mengangguk sambil berkata, “Ya, aku. Dan bagaimana dengan kedua Totiang yang
lain?” tanyanya.
Giok Keng Cu lalu berdongak dan tertawa keras, hingga suara ketawanya menggetarkan daun-daun pohon.
“Dengarlah, guru silat buruk adat! Kau sedang berhadapan dengan Giok Keng Cu, atau kalau nama ini
tidak kau kenal, boleh juga kau ketahui bahwa pinto adalah orang termuda dari Kanglam Sam-lojin. Ada
pun tentang anak ini, dia ini adalah in-jin (penolong) kami!”
Bukan main kagetnya Tan Hok mendengar bahwa dia berhadapan dengan seorang dari pada Kanglam
Sam-lojin yang sangat tenar namanya dan yang sudah menggemparkan dunia kang-ouw dengan kelihaian
dan kehebatan mereka. Tetapi lebih heran lagi ketika dia mendengar pengakuan orang tua itu bahwa Cin
Hai dianggap sebagai in-jin mereka! Sungguh aneh dan gila! Cepat ia mundur dan menjura dalam-dalam
sambil berkata,
“Maafkan siauwte yang tak bisa mengenali Gunung Thai-san menghalang di depan mata (Orang Gagah
dunia-kangouw.blogspot.com
berdiri di depan mata) bahkan berani berlancang tangan. Biarlah siauwte memberi laporan kepada Kweeciangkun
bahwa anak tolol...,” dia menahan makiannya, lalu melanjutkan, “…anak ini telah ikut dengan
Locianpwe.”
Tetapi Giok Keng Cu yang kegirangan dapat bertemu lagi dengan ‘tuan penolong’ itu, tak mempedulikan
lagi guru silat itu dan sekali berkelebat dia telah lenyap dari pandang mata Tan Hok, sedangkan Cin Hai
juga dibawanya pergi bersama.
Berulang-ulang kali Tan Hok menghela napas dan hatinya penasaran, malu dan gemas. Berturut-turut
dalam dua hari ia mengalami nasib sialan! Kemarin bertemu dengan Biauw Suthai dan mendapat hajaran
yang memalukan dan menjatuhkan namanya, malam tadi dipermainkan oleh Cin Hai si setan kecil,
sedangkan sekarang tiba-tiba saja berhadapan dengan seorang dari Kanglam Sam-lojin yang lihai! Semua
ini gara-gara Cin Hai si setan kecil.
Kemudian guru silat ini pergi ke gedung Kwee-ciangkun untuk memberi laporan bahwa Cin Hai pergi
bersama seorang tua jahat yang mungkin mengambilnya sebagai murid. Ia tentu saja tak mau
menceritakan pengalamannya memalukan itu, hanya bercerita bahwa orang tua yang membawa Cin Hai itu
agak miring otaknya, ada pun Cin Hai sendiri ketika ikut orang tua itu bertelanjang bulat seperti anak gila.
Kwee In Liang tidak terlalu memperdulikan peristiwa ini, akan tetapi Loan Nio lalu lari ke kamarnya dan
setelah memeriksa kamar Cin Hai dan mendapatkan betapa anak itu pergi tanpa membawa sedikit pun
barang atau sepotong pun pakaian, dia langsung menangis tersedu-sedu dengan hati merasa terharu dan
iba sekali…..
********************
Giok Keng Cu berlari bagaikan terbang cepatnya sambil memondong tubuh Cin Hai yang segera menutup
mata karena angin kencang menderu-deru di kedua telinganya. Akhirnya tosu ini membawa Cin Hai ke
sebuah kuil rusak yang jauhnya beberapa li dari situ.
Baru saja tiba di pekarangan kuil, ia telah berteriak ke dalam.
“Twa-suheng (Kakak Seperguruan tertua)! Ji-suheng (Kakak Seperguruan Ke Dua)! Coba keluar dan lihat
siapa yang kubawa ini!”
Baru saja ucapan itu habis dikatakan, dari dalam kuil rusak itu berkelebat dua bayangan orang dan
tampaklah Giok Im Cu si tinggi kurus dan Giok Yang Cu si tinggi besar yang brewokan. Untuk sesaat
mereka tak dapat mengenali anak kecil berlumpur itu, tetapi Giok Yang Cu segera ingat akan kepala gundul
itu, maka cepat ia berkata girang.
“In-kongcu (tuan penolong muda)!”
Cin Hai segera turun dari pondongan Giok Keng Cu dan memandang kepada ketiga tosu itu dengan muka
bodoh. “Samwi-totiang (Ketiga Bapak Pendeta) mengapa menyebut aku penolong? Apakah memang caracara
pendeta memutar balikkan kenyataan? Sebetulnya aku telah ditolong, tapi sebaliknya malah disebut
penolong, bagaimanakah ini?”
Ketiga tosu ini saling pandang, lalu ketiganya berdongak dan tertawa bergelak.
“Kau tidak tahu, anak baik. Ketika kami bertiga bertempur melawan Hai Kong Hosiang di depan Kelenteng
Ban-hok-tong, kami bertiga terdesak dan dikurung oleh kelima ularnya yang berbahaya dan lihai sekali.
Nah, ketika itu kalau tidak ada kau penolong kami yang membunyikan suling dan mengacaukan pertahanan
ular-ular itu, tentu sekarang Kanglam Sam-lojin sudah tidak ada lagi! Kepada Hai Kong si hwesio itu kami
tidak gentar, tetapi barisan ular sungguh lihai!”
Barulah Cin Hai mengerti kenapa ia disebut sebagai tuan penolong, tetapi ia lalu tertawa dan berkata,
“Sungguh aku gembira sekali telah dapat menolong Sam-wi Totiang, tetapi sungguh mati ketika itu aku
tidak sengaja menolong, hanya karena mendengar suara melengking dari Hai Kong Hosiang, aku merasa
telingaku sakit lantas kugunakan sulingku untuk melawan suara itu. Tidak tahunya suara itu sudah dapat
menolong Sam-wi, maka Sam-wi tak perlu berterima kasih kepadaku, melainkan seharusnya kepada suling
dunia-kangouw.blogspot.com
ini!” Dia lalu mengangkat dan mengacung-acungkan suling barunya.
“Anak baik, kata-katamu betul juga,” kata Giok Im Cu, tosu tertua yang tinggi kurus, lalu tiba-tiba tosu ini
menyanyikan sebuah syair dengan suara tinggi nyaring,
“Tun Hek Ki Jiak Phak, Kong He Ki Jiak Kak, Huk He Ki Jiak Tak!”
Syair ini bukan sembarangan syair, tetapi merupakan syair dari kitab To-tek-keng yang merupakan kitab
pelajaran dari Nabi Lo Cu atau nabinya para penganut agama To-kauw, yang mempunyai arti seperti
berikut,
Berlakulah sopan jujur seperti balok. Berwataklah sunyi agung seperti jurang dalam. Dan bersikaplah
seperti air keruh!
Cin Hai semenjak kecil telah dijejali bermacam-macam ujar-ujar, dari ujar-ujar Kitab Suci dari Khong Cu dan
berbagai kitab-kitab Nabi Lo Cu dan lain-lain kitab kuno lagi. Di kala mempelajari segala ujar itu, dia hanya
hafal seperti burung beo saja, dapat mengucapkan tanpa mengerti isi dan maksudnya.
Jangankan baru seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai, sedangkan orang-orang dewasa pun tak akan
mudah begitu saja menyelami arti ujar-ujar kuno yang biar pun singkat jika dipecahkan dan direnungkan
panjang tiada habisnya dan makin mendalam. Oleh karena hafalan-hafalan ini, tiap ada kalimat yang dipetik
dari buku dan kitab ujar-ujar itu, Cin Hai dapat ingat sambungannya. Mendengar syair ujar-ujar yang
dinyanyikan oleh Giok Im Cu, ia tahu bahwa ujar-ujar itu diambil dari kitab To-tek-keng, maka cepat dan
otomatis ia pun lalu menyanyikan ujar-ujar sambungan atau lanjutan dari pada ujar-ujar yang dinyanyikan
tosu itu tadi.
“Siok Ling Tok I Ci, Cing Ci Ji Jing, Siok Ling An I Kiu, Tong Ci Ji Seng! (Siapa dapat bersikap seperti air
keruh lama-lama menjadi jernih, siapa bisa berlaku sabar lambat laun memetik buahnya)”
Maka terbelalaklah mata Giok Im Cu mendengar syair ini dinyanyikan oleh Cin Hai. Harus diketahui bahwa
Giok Im Cu adalah seorang pendeta To-kauw yang sejak muda sangat tekun mempelajari ujar-ujar nabi Lo
Cu, maka tentu saja ia sangat pandai dan hafal akan segala macam ujar-ujar suci itu. Kini mendengar ujarujar
itu disambung dengan tepatnya oleh Cin Hai, ia pun menjadi kagum dan heran. Diangkatnya anak kecil
itu dengan penuh kasih sayang dan tiada hentinya ia menyebut,
“Siancai, siancai (damai, damai,) anak baik, anak baik!”
Sesudah cukup memuji-muji Cin Hai, ketiga tosu itu lalu berkata kepadanya, “Anak baik, sebenarnya
siapakah namamu dan kau she apa? Kau pernah apakah dengan pembesar she Kwee itu?”
Cin Hai bermuka sedih ketika menjawab, “Teecu (murid) she Sie bernama Cin Hai. Kedua orang tua teecu
telah terhukum mati oleh kaisar, entah apa salahnya. Kwee-hujin adalah Ie-ie teecu, tetapi karena seluruh
penghuni gedung itu kecuali Ie-ie tidak ada yang suka kepada teecu, teecu lalu mengambil keputusan untuk
pergi saja!” Juga kepada tiga tosu ini Cin Hai tidak mau membuka rahasia dan menceritakan sebenarnya
tentang keadaan Kwee-ciangkun dan apa yang telah terjadi baru-baru ini.
“Tidak apa, tidak apa, Cin Hai. Karena kau yatim piatu dan pernah menolong kami, sudah selayaknya kalau
kami membalas jasamu. Kau ingin menjadi orang pandai? Bagaimana kalau kau menjadi murid kami
bertiga?”
Girang sekali Cin Hai mendengar ini. Memang semenjak dulu ia ingin sekali belajar silat, hanya sayang
tidak ada kesempatan baginya. Kini ketiga orang yang berilmu tinggi dan luar biasa kepandaiannya itu
hendak mengangkat dia sebagai murid, tentu saja hal ini menggembirakan sekali.
Kedua matanya telah bersinar dan mukanya berseri-seri, tetapi tiba-tiba dia teringat akan janjinya kepada
seorang jembel yang telah lebih dahulu menjadi suhu-nya, yakni Bu Pun Su Si Jembel Tak Berkepandaian!
Oleh karena ini, ia lalu menjura dan berkata,
“Besar sekali rasa terima kasih dan kebanggaan teecu menerima budi kecintaan Sam-wi Totiang, tetapi
terpaksa teecu tidak berani menjadi murid Sam-wi.”
“Ehh, mengapa?” Giok Yang Cu yang tinggi besar memelototkan matanya karena heran. Tosu tinggi besar
dunia-kangouw.blogspot.com
ini adatnya kaku tapi amat jujur. “Apa kau anggap kami bertiga kurang berharga untuk menjadi gurumu?”
“Bukan demikian, Totiang. Tetapi sesungguhnya teecu sudah mempunyai seorang guru. Dan seorang saja
sudah cukuplah!”
“Siapa? Siapa suhu-nya itu?” ketiga tosu itu serentak bertanya.
Cin Hai menundukkan kepala, karena sesungguhnya ia malu untuk mengaku. Akan tetapi keangkuhannya
yang menentang segala rasa rendah itu bangkit membuat ia mengangkat mukanya dan berkata gagah,
“Guruku itu adalah seorang jembel tua yang tidak memiliki kepandaian apa-apa!”
Di luar dugaannya, biar pun ia tidak menyebut namanya, ketiga tosu itu tiba-tiba menjadi pucat dan Giok
Keng Cu si pendek kecil bahkan memandang ke kanan kiri seakan-akan ada yang ditakutinya.
“Gurumu adalah Bu Pun Su Sianjin? Celaka, Sute, kita selalu didahului oleh orang tua aneh itu!”' kata Giok
Im Cu menyesal.
“Jadi, Sam-wi Totiang sudah kenal kepada suhu-ku. Di mana dia sekarang?” tanya Cin Hai dengan girang.
Tetapi ketiga tosu itu menggeleng-gelengkan kepala menyatakan bahwa mereka pun tak tahu. Kemudian,
karena agaknya mereka ini tidak suka membicarakan tentang orang tua itu, Cin Hai pun tidak mau bertanya
lebih jauh.
”Dan sekarang, bila kau tidak bisa menjadi murid kami, cobalah kau mengajukan sebuah permintaan, akan
kami penuhi. Kau boleh ajukan semacam permintaan kepada seorang di antara kami sehingga jumlahnya
tiga macam permintaan, ini adalah untuk pembalas jasamu yang telah menolong kami.”
“Tetapi teecu tidak minta dibalas, Sam-wi, ujar-ujar yang mengatakan bahwa pertolongan yang dilakukan
sambil mengharapkan balasan bukanlah pertolongan namanya, tapi ialah utang-piutang! Dan teecu tidak
suka menjadi tukang kredit!”
Kembali Giok Im Cu kagum dan pada dugaannya tentu anak ini memang sudah paham akan ilmu batin.
Padahal sebenarnya Cin Hai hanyalah banyak menghafal belaka dan dia selalu menggunakan ujar-ujar
hafalan itu untuk diucapkan pada saat yang tepat dengan maksud dipakai sebagai pembela diri!
“Biar pun kau tidak merasa menghutangkan kepada kami bertiga, tetapi kami akan selalu merasa
mempunyai utang jika kau belum minta apa-apa dari kami,” jawab Giok Yang Cu. Karena didesak-desak
akhirnya Cin Hai mengajukan ketiga permintaan.
“Pertama,” katanya, “teecu sudah lapar sekali dan belum makan sejak sore kemarin!”
Ketiga tosu itu tertawa bergelak, lalu Giok Yang Cu lari ke belakang kuil untuk mengambil kue kering dan
sepotong daging yang telah digarami. Tanpa sheji (sungkan) lagi Cin Hai lalu menyikat makanan itu dan
karena lupa bahwa dia tidak berpakaian, ia menggunakan lengan tangan dan menyapu-nyapu mulutnya
yang berminyak setelah makanan itu habis. Perutnya sudah kenyang dan perasaannya enak.
“Permintaan teecu yang ke dua adalah minta diberi seperangkat pakaian karena teecu semenjak malam
kemarin bertelanjang bulat dan merasa dingin sekali.”
Sekali lagi tiga orang tosu itu saling pandang dan sinar mata mereka berubah ragu-ragu karena ternyata
anak ini mengajukan permintaan remeh dan menyia-nyiakan ketika ada kesempatan bagus. Benar-benar
tolol dan bodoh anak ini, pikir mereka. Mengapa tidak minta harta atau senjata pusaka atau ilmu kesaktian?
Tapi karena permintaan Cin Hai yang ke dua sudah diucapkan, terpaksa mereka segera mencarikan
pakaian. Kini giliran Giok Keng Cu yang mencarikannya. Ketiga tosu itu tak pernah membekal pakaian,
maka Giok Keng Cu lalu pergi mencari. Tak lama kemudian ia kembali dan membawa seperangkat pakaian
warna putih.
Pada saat dengan girang Cin Hai mengenakan pakaian itu, ternyata baik celana mau pun jubahnya terlalu
besar! Karena pakaian itu adalah pakaian pendeta hwesio yang sangat kebesaran, maka tubuh Cin Hai
yang kecil itu lenyap di dalam lubang-lubang pakaian yang longgar dan besar itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sambil tertawa-tawa ketiga tosu itu lalu membantunya dan mengikat yang terlalu longgar. Akhirnya pakaian
itu dapat juga dipakai, walau pun potongannya sangat kebesaran dan lengan bajunya melompong terbuka
sehingga terpaksa dibelit-belitkan pada lengannya!
Betapa pun juga Cin Hai merasa senang sekali dengan pakaian itu. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Giok
Keng Cu mendapatkan pakaian itu dengan jalan mencuri dari sebuah kelenteng yang berdekatan karena
hendak membeli, beli di mana?
Setelah merasa tubuhnya hangat perutnya kenyang hingga matanya menjadi mengantuk sekali, akhirnya
Cin Hai mengemukakan permintaannya ke tiga,
“Permintaan teecu yang ketiga, jika Sam-wi Totiang tak keberatan teecu mohon diijinkan ikut dan belajar
silat dari Sam-wi!”
Sekali ini ketiga tosu itu tertawa girang. Mereka merasa puas karena ternyata akhirnya bahwa anak ini
bukannya gendeng dan tolol.
“Jika begitu, sekarang juga kau lekas berlutut mengangkat guru kepada kami!” kata Giok Keng Cu.
Tetapi ketiga orang tua itu kaget karena Cin Hai menggeleng-geleng kepala. Kemudian anak itu berlutut
tetapi tidak menyebut suhu, bahkan berkata,
“Sam-wi Totiang, tadi sudah teecu katakan bahwa teecu tak dapat mengangkat lain guru. Teecu hanya
ingin ikut dan belajar silat, tetapi tidak ingin mengangkat guru!”
“He?! Mana bisa? Ini tak mungkin!” kata Giok Yang Cu.
Cin Hai mengangkat muka memandang, “Bukankah tadi teecu sudah mengatakan bahwa teecu tak ingin
minta balasan dan tak ingin apa-apa? Kenapa Sam-wi Totiang mendesak? Sekarang permintaan teecu
yang ke tiga ternyata tidak dapat dikabulkan, padahal tidak berapa berat! Totiang, pernahkah mendengar
ujar-ujar yang berkata bahwa sekali orang gagah mengeluarkan kata-kata, seribu ekor kuda pun tidak akan
mampu mengejar, iya? Bukankah ujar-ujar ini berarti bahwa satu kali seorang budiman berludah, tak akan
ia jilat kembali?”
“Ha-ha-ha! Anak baik, anak baik! Kau telah menjatuhkan ji-sute! Biarlah kami mengaku kalah. Semenjak
sekarang, kau boleh ikut kami ke goa kami dan belajar silat sampai kau menjadi bosan dan melepaskan diri
sendiri!”
Tapi pada saat itu Cin Hai sudah tak kuat menahan kantuknya lagi. Semalam suntuk dia tidak tidur dan
berlari-larian hingga dia sangat lelah dan mengantuk. Kini menghadapi tiga tosu yang mengajak dia
berbantahan saja itu, membuat dia semakin lelah dan semakin mengantuk. Setelah mendengar betapa
permintaannya yang ke tiga lulus juga, ia menjadi begitu girang dan lega sehingga tiba-tiba saja kedua
matanya dimeramkan dan tak dapat dibuka lagi karena ia telah pulas sambil duduk!
“Kasihan, anak yang baik!” kata Giok Im Cu, “Ji-sute, kau pondonglah dia dan mari kita berangkat.”
“Anak yang tolol!” sambil mengomel Giok Yang Cu yang tinggi besar segera memondong tubuh Cin Hai
yang telah mendengkur itu.
Ketiga tosu itu lalu meninggalkan tempat itu dengan menggunakan Ilmu Lari Hui-heng-sut mereka. Karena
tingginya kepandaian mereka, maka sepasang kaki mereka seakan-akan tidak menginjak tanah dan
mereka seperti orang melayang terbang saja.
Karena tidur nyenyak di dalam pondongan Giok Yang Cu yang tinggi besar dan kuat, Cin Hai tidak tahu
bahwa ia telah dibawa lari puluhan li jauhnya. Saat ia sadar dan membuka matanya, ia merasa kepalanya
yang gundul dingin sekali dan karena kepalanya berada di dekat dada dan perut Giok Yang Cu yang gemuk
berdaging dan hangat, tanpa disengaja ia lalu menyusupkan kepalanya ke dalam jubah orang! Tetapi tibatiba
ia merasa betapa dirinya tidak dibawa lari lagi. Cepat dia mengeluarkan kepalanya yang gundul dari
balik jubah pendeta itu dan memandang keluar.
Ternyata mereka telah tiba di sebuah padang rumput di lereng gunung yang tinggi. Tidak heran bahwa
hawa demikian dinginnya. Tetapi yang membuat Cin Hai merasa heran ialah ketiga tosu itu berdiri diam dan
dunia-kangouw.blogspot.com
memandang ke satu tempat dengan muka tegang. Ia pun lalu menengok dan tampak olehnya dua orang
sedang bertempur seru!
Karena kesukaannya melihat orang bersilat dan berkelahi, segera Cin Hai melorot turun dari pondongan
Giok Yang Cu dan hendak menonton lebih dekat, tetapi tiba-tiba tangan Giok Im Cu memegang pundaknya.
“Jangan mendekat!” Tosu tinggi kurus itu berbisik dengan suara yang menyatakan bahwa larangannya itu
sungguh-sungguh.
Cin Hai merasa heran akan tetapi dia tidak berani banyak ribut melihat sikap ketiga tosu demikian tegang.
Maka dia lalu duduk di atas rumput dan menonton orang yang sedang bertempur.
Ternyata yang bertempur adalah seorang wanita dengan seorang laki-laki. Yang wanita berbaju hijau
bercelana putih, mukanya cantik tapi kelihatan galak dan kejam sedangkan rambutnya yang hitam bagus itu
beriap-riapan ke belakang memenuhi punggungnya.
Usianya paling banyak tiga puluh tahun tetapi karena ia memang cantik, orang yang baru melihat pertama
kali dan tidak mengetahui keadaannya pasti mengira dia seorang dara berusia belasan tahun. Ilmu silatnya
hebat sekali karena gerakan-gerakannya cepat dan lincah bagaikan seekor burung kepinis.
Laki-laki yang menjadi lawannya juga aneh, karena pakaiannya bagaikan seorang siucai (pelajar sastra)
dan mukanya cakap. Usianya paling banyak dua puluh lima tahun dan mukanya putih agak kepucatpucatan.
Kedua orang itu bersilat dengan tangan kosong, tetapi agaknya tidak kurang hebat dari pada kalau orang
bertempur dengan senjata tajam. Buktinya serangan-serangan mereka hebat sekali dan setiap pukulan
atau tendangan selalu merupakan serangan maut yang berbahaya sekali.
Kepandaian mereka berimbang. Tiba-tiba laki-laki itu berseru keras dan dua kakinya lalu bergerak bagaikan
kitiran angin! Kedua kakinya itu mengirim serangan berupa tendangan bertubi-tubi dan tiada hentinya
karena kaki kiri kanan bergantian bergerak menendang saling susul sehingga agaknya sukar sekali untuk
dihindarkan atau ditangkis!
“Celaka, Totiang! Kouwnio (Nona) itu tentu kena tendang!” dengan gembira tetapi cemas Cin Hai berkata
sambil memegang tangan Giok Im Cu, “Mengapa tidak kau tolong dia?”
Namun Giok Im Cu menekan tangannya dan menjawab perlahan, “Ssttt! Jangan berisik, kau lihat saja!”
Memang tadinya wanita baju hijau itu tampak terdesak hebat dan agaknya ia tentu akan tertendang roboh.
Tetapi tiba-tiba ia tertawa, suara tawanya nyaring dan merdu, bernada menyeramkan karena setengah
merupakan jerit tangis mengharukan.
“Hi-hi-hi! Kang Ek Sian! Akhirnya kau tidak tahan juga dan terpaksa harus mengeluarkan tendanganmu
yang terkenal lihai! Inikah ilmu Tendangan Chit-seng-twie (Ilmu Tendangan Tujuh Bintang) yang kau
sohorkan itu? Hi-hi, orang she Kang, keluarkanlah yang lain lagi, yang lebih lihai!”
Sambil menyindir-nyindir, wanita itu meloncat tinggi dan berkelit ke sana ke mari dengan gerakan yang
aneh karena bagaikan sedang menari-nari, tetapi setiap gerakannya selalu berkelit atau menghindari
serangan kedua kaki lawan!
Tiba-tiba wanita itu balas menyerang. Gerakannya masih seperti menari-nari, tetapi kalau tadi kedua
lengannya bergerak-gerak ke atas dengan gaya yang luar biasa lemas sambil mengelit serangan lawan,
sekarang ia menggerakkan kedua tangannya ke belakang dan depan. Jari-jari tangannya masih bergerak
lemah gemulai, tetapi sebenarnya ini adalah serangan yang sangat lihai karena ujung sepuluh jarinya dapat
digerakkan untuk menotok jalan darah lawan. Akhirnya lelaki yang dipanggil Kang Ek Sian itu tak tahan
menghadapi lawannya dan main mundur saja.
“Pengecut, rebahlah kau!” Tiba-tiba wanita itu berseru.
Dan benar saja, pundak Kang Ek Sian kena tertepuk oleh tangan wanita itu yang biar pun kelihatannya
dilakukan perlahan sekali, namun cukup membuat laki-laki itu roboh! Wanita yang rambutnya riap-riapan itu
lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa ha-ha hi-hi, mukanya tampak manis tetapi suara
dunia-kangouw.blogspot.com
ketawanya menyeramkan perasaan.
Tiba-tiba perempuan aneh itu menengok dan memandang ketiga tosu yang masih berdiri tak bergerak. Ia
memandang dengan matanya yang bening dan bersinar tajam, kemudian mengembangkan hidung dan
mengedikkan kepalanya.
“Baiknya tidak ada yang lancang tangan, kalau tidak demikian, tentu aku terpaksa harus merobohkan
beberapa orang lagi!” Wanita itu berkata seakan-akan kepada diri sendiri, tetapi cukup keras sehingga
terdengar oleh Giok Im Cu dan kedua kawannya.
Giok Im Cu menjura ke arah wanita itu dan berkata perlahan, juga seperti kepada diri sendiri, “Kami Samlojin
(Tiga Orang Tua) bukanlah orang-orang usilan.”
Maka tertawalah wanita itu dan kini suara tawanya seperti mengejek. Lalu pergilah dia berlari turun gunung
dengan cepat sekali sehingga bajunya yang hijau itu berkibar-kibar ke belakang di bawah rambutnya yang
hitam, yang juga ikut berkibar-kibar tertiup angin di belakangnya. Dipandang dari jauh, ia laksana seekor
kupu-kupu besar melayang-layang. Suara ketawanya lambat laun lenyap dari pendengaran.
Giok Im Cu menghela napas. “Mengapa iblis wanita itu bisa berada di sini?” dia berkata perlahan seakanakan
kepergian wanita itu membuat dadanya merasa lega.
“Totiang, siapakah perempuan yang pandai menari itu?”
Giok Yang Cu tertawa mendengar ucapan ini. “Dasar kau tolol! Sehari penuh tidur terus, dan kini setelah
bangun bicara tidak karuan. Kau anggap dia itu menari-nari? Ha-ha-ha!”
Giok Im Cu lalu berkata sambil menghela napas lagi. “Mana kau tahu? Tarian itu justru kepandaiannya
yang membuat ia ditakuti orang dan sukar sekali dilawan. Itulah ilmu silat yang disebut Tari Biang Iblis!
Oleh karena kepandaiannya ini maka dia disebut Giok-gan Kuibo (Biang Iblis Bermata Kumala) dan
namanya menggemparkan seluruh permukaan bumi.”
“Tetapi mengapa Sam-wi takut kepada iblis itu?” tanya Cin Hai penasaran.
“Takut sih tidak,” jawab Giok Keng Cu yang semenjak tadi diam saja, “hanya saja, kita tidak tahu selukbeluk
urusan mereka, mengapa harus ikut campur dengannya?”
Tetapi pernyataan Cin Hai ini membuat ketiga tosu itu teringat akan laki-laki yang masih rebah di atas
tanah, maka buru-buru mereka segera menghampiri. Laki-laki yang rebah terlentang dengan wajahnya
yang telah pucat itu kini makin kuning dan kedua matanya meram.
Ketika Giok Im Cu perlahan meraba pundak orang itu, tahulah ia bahwa orang itu telah mendapat luka
dalam yang cukup hebat, biar pun tidak dapat dikatakan membahayakan jiwanya. Maka Giok Im Cu lalu
menggunakan kepandaiannya menotok serta mengurut pundak yang terluka oleh tangan Giok-gan Kuibo
yang halus putih tetapi ganas lihai itu!
Laki-laki itu siuman dan membuka matanya. Ia tersenyum pahit ketika melihat tiga orang tosu itu.
“Kanglam Sam-lojin?” tanyanya perlahan.
Giok Im Cu mengangguk. “Sicu siapakah dan mengapa sampai bertempur dengan dia?”
Laki-laki itu kembali tersenyum lalu duduk. “Siauwte Kang Ek Sian sungguh tak mengukur kepandaian
sendiri dan telah berani menempur Giok-gan Kouwnio (Nona Bermata Intan), sungguh tidak tahu diri!”
jawaban ini merupakan tangkisan terhadap pertanyaan Giok Im Cu, maka orang tua itu pun maklum bahwa
orang tak suka menceritakan sebab musabab pertempurannya.
“Untung bagimu dia masih berlaku murah hati dan tidak menjatuhkan maut,” dia berkata singkat lalu
mengajak kedua kawannya dan Cin Hai untuk meninggalkan tempat itu.
“Totiang, sebenarnya sampai di manakah kelihaian iblis wanita itu? Kulihat dia hanyalah seorang
perempuan cantik yang lemah lembut, galak dan aneh sikapnya,” kata Cin Hai yang sungguh-sungguh tak
mengerti kenapa seorang perempuan seperti itu ditakuti oleh tokoh-tokoh yang berilmu tinggi ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha, anak tolol, dengarlah!” kata Giok Yang Cu.
Cin Hai segera berjalan mendekatinya. Ia memang gemas dan mendongkol sekali disebut tolol dan bodoh
oleh tosu tinggi besar ini tetapi sebaliknya ia senang karena Giok Yang Cu selalu berterus terang
kepadanya.
“Perempuan yang kau anggap lemah-lembut tadi, yang disebut orang-orang kang-ouw sebagai Biang Iblis
Bermata Intan, dengan kedua tangan kosong dan seorang diri saja telah naik ke Cin-liong-san dan
mengobrak-abrik sarang berandal The Kok, menewaskan lebih dari dua puluh tauwbak dan kepala
berandal dan membasmi lebih dari tiga puluh liauwlo (anak buah perampok), dan yang seorang diri saja
sudah mendatangi hampir seluruh jagoan di daerah selatan untuk dicoba kepandaiannya. Dan tahukah kau,
bahwa selama itu hanya baru beberapa kali saja ia tidak dapat merobohkan orang? Pendeknya, jarang ada
orang yang dapat mengalahkan dan karena tangannya yang terkenal ganas, banyak orang merasa segan
untuk berurusan dengan dia!”
“Dan lagi,” sambung Giok Keng Cu si Tosu Pendek, “coba kau lihat yang seorang lagi. Lebih hebat lagi!”
Dan tiba-tiba Si Pendek itu memperlihatkan muka jeri.
“Yang satu lagi siapakah itu?” tanya Cin Hai dengan ingin sekali tahu.
Kini Giok Yang Cu yang melanjutkan kata-kata sute-nya. “Yang dimaksudkan oleh Sute tadi adalah seorang
wanita lain yang sifatnya sangat berlainan dengan Giok-gan Kuibo. Wanita ini adalah Sumoi-nya (Adik
Perempuan Seperguruan) yang berjuluk Ang I Niocu (Si Nona Baju Merah) dan yang selalu berpakaian
merah. Nona ini masih muda dan ilmu kepandaiannya mungkin masih berada di atas kepandaian Suci-nya
(Kakak Perempuan Seperguruan) itu! Ang I Niocu seorang diri pernah naik ke Bu-tong-san dan menantang
adu tenaga dengan semua tokoh Bu-tong-pai dan ternyata ilmu pedangnya belum pernah dikalahkan
orang!”
Mendengar kelihaian-kelihaian sedemikian hebatnya itu, Cin Hai meleletkan lidah saking kagumnya. “Hebat
sekali!” serunya kagum.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan dan Cin Hai yang digandeng tangannya oleh Gak Im Cu, merasa
tubuhnya tergantung dan tidak menginjak tanah, tetapi ia maju cepat sekali sehingga angin dingin berkesiur
di kanan-kiri kepalanya. Jurang-jurang yang tidak berapa besar dilompati begitu saja oleh ketiga orang tosu
itu hingga berkali-kali Cin Hai terpaksa meramkan mata karena ngeri memandang ke bawah.
Ia diam-diam berpikir bahwa di dunia ini ternyata banyak sekali orang pandai yang luar biasa. Baru ketiga
tosu ini saja kepandaiannya sudah demikian hebatnya, padahal tadi ia mendengar betapa mereka ini masih
memuji-muji kepandaian orang lain, maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya kepandaian orang-orang
yang mereka puji itu! Karena itu timbullah keinginan di dalam hatinya untuk belajar keras supaya ia pun
bisa mempunyai kepandaian itu sehingga kelak tidak ada lagi orang di dunia ini yang berani memaki dan
menghinanya.
Di sepanjang jalan, orang-orang yang melihat Cin Hai pasti tertawa geli karena di dalam pakaian yang
besar dan longgar itu, Cin Hai yang gundul memang nampak lucu dan aneh sekali.
“Mungkin anak gila,” terdengar orang berkata.
“Mungkin karena tololnya maka memakai pakaian demikian besarnya,” kata orang lain.
Ketiga tosu merasa kasihan dan berkata kepada Cin Hai untuk membiarkan pakaiannya diubah, dikecilkan
dan dijahit pula. Namun dengan keras hati dan bersungut-sungut Cin Hai menjawab.
“Tidak, biarkan sajalah! Biarkan saja anjing-anjing itu menggonggong, mereka tidak akan menggigit!
Biarkanlah, teecu tidak merasa sakit dengan gonggongan mereka!”
Tiga orang tosu itu saling pandang dan mereka kagum akan kekerasan serta ketabahan hati anak ini. Dan
untuk memperlihatkan bahwa ia benar-benar tak peduli kepada semua orang yang mentertawakannya itu,
Cin Hai mengeluarkan suling bambunya dan sambil berjalan dengan para tosu itu, ia meniup sulingnya
memainkan beberapa lagu merdu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga hari kemudian sampailah mereka di daerah Kanglam.
Dengan menggunakan ilmu lari cepat, Kanglam Sam-lojin itu membawa Cin Hai ke dalam sebuah hutan
yang sangat liar dan luas. Di tengah-tengah hutan itu terdapat sebuah lapangan rumput bersih dan indah
permai, berbeda dengan tempat yang penuh rumput, alang-alang, dan pohon-pohon tua dan liar.
Di tengah-tengah padang rumput itu terdapat sebuah gunung kecil yang ditumbuhi oleh pohon-pohon liu,
ada pun bunga-bunga berwarna tumbuh di kaki gunung itu. Di sebelah kiri terdapat mulut goa yang lebar
dan gelap. Inilah tempat tinggal Kanglam Sam-lojin.
Benar-benar tempat yang indah menyenangkan. Di dekat goa terdapat sumber air yang memancar keluar
dan mengalir merupakan beberapa anak sungai kecil yang airnya bagai berdendang tiada hentinya,
bermain-main dengan batu-batu yang hitam dan halus. Ada pun burung-burung memenuhi pohon-pohon
dan tiada hentinya berkicau.
Cin Hai merasa senang sekali berada di tempat itu. Biar pun mulut goa itu tampak gelap, akan tetapi
sesudah masuk ke dalam, terdapat penerangan matahari yang masuk melalui beberapa lubang di kanan
kiri yang menembus atas gunung.
Semenjak hari itu, Cin Hai mulai menerima latihan silat tingkat permulaan dari ketiga tosu itu dengan
bergantian. Sering sekali ketiga pendeta itu keluar dari sana dan pergi untuk berbulan-bulan lamanya,
kadang-kadang hanya seorang yang pergi, kadang kala berdua, ada kalanya bertiga dan Cin Hai ditinggal
seorang diri.
Kanglam Sam-lojin, tiga orang tua dari Kanglam itu merupakan tiga saudara seperguruan, sebab itu
kepandaian mereka berasal dari satu cabang persilatan, yaitu cabang persilatan Liong-san-pai. Hanya saja
ketiganya mempunyai keistimewaan khusus, yaitu seperti telah diketahui pada permulaan cerita ketika
mereka bertempur menghadapi Hai Kong Hosiang pendeta pemelihara ular itu.
Giok Im Cu yang tinggi kurus adalah ahli lweekeh (tenaga dalam) yang sudah mencapai tingkat tinggi
sehingga pada waktu bertempur, segala macam benda jika terjatuh di dalam tangannya akan berubah
menjadi senjata yang amat ampuh. Oleh karena mengandalkan tenaga lweekang-nya, Giok Im Cu tak
pernah memegang senjata. Dulu pun pada waktu menghadapi Hai Kong Hosiang ia cukup menggunakan
sebatang ranting kayu.
Sebaliknya dari pada suheng-nya, Giok Yang Cu adalah seorang tosu tinggi besar yang memiliki tenaga
luar (gwakang) yang luar biasa dan kulitnya telah dilatih sedemikian rupa sehingga menjadi kebal dan
keras. Di samping itu, dia mahir sekali memainkan pedang yang digerakkannya secara luar biasa cepat dan
kerasnya. Tentu saja ilmu pedangnya ini adalah Liong-san Kiam-hoat yang memang dikenal memiliki
gerakan-gerakan yang cukup lihai.
Tosu ke tiga jika dipandang begitu saja memang dapat menimbulkan pandangan rendah sebab tubuhnya
yang kecil itu kelihatan tak bertenaga. Tapi janganlah orang memandang rendah padanya, karena tosu kate
ini kepandaiannya tidak kalah oleh kedua suheng-nya! Keistimewaannya ialah melepas piauw (senjata
rahasia) yang bersayap di kanan kirinya sehingga disebut hui-piauw atau piauw terbang! Di samping ini, dia
memiliki ginkang yang paling sempurna dibandingkan kedua suheng-nya sehingga gerakannya lincah,
cepat dan ringan sekali.
Walau pun Cin Hai bukan termasuk anak luar biasa yang mempunyai kecerdasan hebat, namun dia pun
tidak sangat tumpul otaknya, dan baiknya ia memiliki ketekunan terhadap sesuatu yang disukainya. Justru
ia suka ilmu silat dan sudah semenjak dulu ia ingin sekali mempelajarinya. Apa lagi ketika dia sering
menerima pukulan serta hinaan, keinginannya untuk belajar silat lebih bernafsu lagi.
Kini, ketika sekaligus dia mendapat didikan dari tiga orang lihai, tentu saja dia tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan baik ini. Tanpa mengenal lelah dia menerima pelajaran dan berlatih siang malam hingga
kadang-kadang lupa makan lupa tidur.
Karena ketiga tosu itu memang bukan ahli mendidik dan pula karena mereka memberi pelajaran kepada
Cin Hai hanya semata-mata karena merasa berhutang budi dan hendak membalasnya, bukan berdasarkan
kasih sayang seorang guru terhadap muridnya, maka mereka memberi pelajaran tanpa mengenal waktu
dan tanpa memakai peraturan lagi!
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka berganti-gantian memberi pelajaran silat Liong-san Kun-hoat secara cepat sekali, padahal Ilmu
Silat Liong-san-pai ini mempunyai seratus delapan jurus dan setiap jurus mempunyai pecahan-pecahan
sedikitnya tiga macam, hingga seorang anak-anak seperti Cin Hai yang menerima pelajaran ini secara
bertubi-tubi mana dapat mengingatnya?
Selain itu, Ilmu Silat Liong-san-pai bukan ilmu silat sembarangan yang dapat digerakkan oleh sembarang
orang. Untuk mempelajari satu jurus dengan masak dan sempurna saja membutuhkan latihan-latihan keras
berhari-hari. Memang karena penolakan Cin Hai yang tidak mau mengangkat mereka sebagai guru,
membuat ketiga tosu itu menjadi kurang perhatian dan kurang mengacuhkan anak itu lagi. Mereka pikir
bahwa jika anak itu diberi kepandaian asli sampai sempurna, padahal ia bukan anak murid Liong-san-pai
maka jika kelak menodai nama Liong-san-pai mereka tidak berhak melarangnya, karena dia bukan anak
murid Liong-san-pai.
Oleh karena tindakan ketiga tosu ini, Cin Hai menjadi bingung sekali dan dia tidak dapat berlatih dengan
baik. Baru saja dia mempelajari beberapa jurus dan sama sekali belum sempurna, lain tosu sudah memberi
pelajaran pula jurus-jurus berikutnya! Dengan begitu, maka jurus-jurus pertama yang belum dihafalnya
benar-benar telah terlupa lagi!
Meski pun masih kecil, tetapi ternyata berkat ujar-ujar para cendekiawan dan ahli filsafat yang dipelajarinya
dahulu, dia menjadi perasa sekali dan sikap ketiga tosu itu dapat juga ditangkap dan dirasainya. Ia lalu
memutar otaknya dan segera melakukan hal yang cerdik juga.
Dengan diam-diam dia mempergunakan kepandaiannya menulis dan menggambar untuk mengumpulkan
semua jurus-jurus yang dipelajarinya itu di atas selembar kertas! Tiap kali menerima pelajaran jurus baru,
dia segera mengingat baik-baik dan malamnya pada saat berada seorang diri dalam kamarnya di goa itu, ia
segera mencatat semua gerak tipu dan menggambar gerakan-gerakan yang dilakukan oleh tosu yang
mengajarnya tadi!
Demikianlah dua tahun telah lewat dan dari seratus delapan jurus Ilmu Silat Liong-san-pai itu telah dapat
ditulis dan dilukis sampai lebih dari delapan puluh jurus oleh Cin Hai. Tapi, sebenarnya kalau disuruh
berlatih silat, paling banyak ia hanya bisa mainkan dua puluh jurus dengan agak baik, belum sempurna
betul.
Melihat ketololan anak itu, ketiga tosu diam-diam merasa girang karena mereka tak perlu khawatir lagi,
akan tetapi di luar mereka memperlihatkan muka tidak senang dan sering memaki-maki Cin Hai yang
dikatakan tolol dan bodoh. Kelambatan ini sebenarnya bukan karena Cin Hai terlalu tolol, tetapi adalah
karena waktunya banyak dia pergunakan untuk memperbaiki catatan dan lukisannya yang disimpannya
baik-baik secara rahasia.
Seperti semua anak-anak di dunia ini, seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai masih haus akan permainan
dan kesenangan. Anak-anak lain tentu akan mencari teman-teman untuk bermain-main atau mencari
segala macam barang permainan untuk menyenangkan hati, tetapi bagi Cin Hai semua itu tak mungkin. Ia
berdiam di dalam goa dan kalau ia keluar dari goa, yang ada hanya hutan betantara yang penuh pohonpohon
besar dan binatang-binatang buas.
Pernah terjadi ketika pada beberapa bulan yang lampau dia pergi agak jauh dari goa dan memasuki hutan
yang agak gelap tiba-tiba seekor harimau yang besar menghadang jalan pulangnya! Cin Hai terkejut sekali,
kedua kakinya gemetar dan dadanya berdebar-debar. Tetapi anak itu dapat menetapkan hatinya dan
berlaku waspada.
Sambil mengeluarkan gerengan hebat, harimau itu loncat menerkam. Pada saat itu Cin Hai sudah
mempelajari jurus Ilmu Silat Liong-san-pai. Maka, melihat datangnya terkaman harimau itu, otomatis
kakinya bergerak dengan tipuan Lo-wan Tong-ki atau Monyet Tua Meloncati Cabang sehingga ia terhindar
dari terkaman harimau. Setelah berhasil berkelit, Cin Hai segera lari hendak pergi dari sana, tetapi
terdengar auman keras dan harimau itu menubruk dari belakang!
Biar pun matanya tak melihat, akan tetapi ternyata latihan-latihan silat yang dipelajarinya telah membuat
telinganya dapat menangkap angin sambaran tubuh harimau itu. Cepat ia berkelit sambil meloncat ke
samping, dan dengan gerakan membalik, pada saat harimau itu lewat di sampingnya, ia lalu memukul
dengan telapak tangan terbuka ke arah lambung harimau!
Namun apakah artinya pukulan tangan seorang kanak-kanak yang baru saja berlatih silat kurang dari dua
dunia-kangouw.blogspot.com
tahun? Harimau itu sedikit pun tidak merasa sakit dan begitu keempat kakinya menginjak tanah, cepat
tubuhnya berbalik dan meloncat menubruk lagi!
Cin Hai benar-benar terdesak dan ia hanya dapat menggunakan segala kepandaian yang dipelajarinya
untuk bergerak ke sana-sini. Ia sama sekali tak menyangka bahwa biar pun baru mempelajari beberapa
belas jurus dari Liong-san Kun-hoat, ia telah dapat bertahan dari seekor harimau besar sampai beberapa
lama! Apa bila ia tidak memiliki kepandaian silat itu, tentu sekali tubruk saja ia sudah menjadi mangsa
binatang itu.
Tiba-tiba Cin Hai teringat akan pelajaran meloncat yang didapatnya dari Giok Keng Cu. Tosu kate itu
adalah seorang yang suka dipuji-puji dan tahu pula akan adatnya, maka Cin Hai sengaja memuji-mujinya
sehingga tosu itu lantas menurunkan semacam kepandaian loncat tinggi kepadanya!
Ilmu loncat ini merupakan pecahan dari ilmu lari loncat jauh yang disebut Liok-te Hui-teng Kang-hu yang
jika sudah dipelajari secara sempurna dapat dipergunakan untuk meloncat jauh sambil menggunakan
kedua tangan sebagai imbangan badan sehingga tampaknya seperti melayang! Tetapi tosu kate itu hanya
memberi pelajaran pada bagian loncat tinggi saja, yakni tipu gerakan Cian-liong Seng-thian (Naga Naik ke
Langit).
Demikianlah, sesudah teringat dengan pelajaran meloncat ini, Cin Hai perlahan-lahan lalu menggeser
kakinya dan tiap kali berkelit ia sengaja meloncat mendekati sebatang pohon yang memiliki cabang rendah
dan berada di atas kepalanya. Ketika harimau itu meloncat lagi menubruknya untuk kesekian kalinya, Cin
Hai menerobos ke bawah tubuh harimau yang menyambar itu dan secepatnya ia lalu meloncat ke atas
cabang pohon di atasnya dengan gerakan Cian-liong Seng-thian yang sudah dipelajarinya itu!
Ia berhasil dan tubuhnya melayang ke atas cabang, lalu cepat ia menggunakan tenaga kaki mengenjot diri
pula dari cabang itu ke cabang yang lebih tinggi. Untung sekali dia berbuat demikian, karena baru saja ia
meninggalkan cabang terendah itu, tiba-tiba saja si harimau yang tahu maksud calon mangsanya yang
hendak lari, segera meloncat pula ke atas cabang itu yang segera patah sambil mengeluarkan bunyi keras!
Tubuhnya segera jatuh lagi ke atas tanah dan harimau itu lalu berdongak memandang ke arah Cin Hai
yang telah berada di cabang tinggi dengan aman.
Anak itu dengan hati geli dan senang mentertawakan harimau itu, memaki-makinya, serta meludahinya dan
melemparinya dengan cabang-cabang kering yang dia dapatkan di atas pohon-pohon! Harimau itu
mengaum-ngaum dan meraung-raung, mengeluarkan suara keras sekali untuk melampiaskan hatinya yang
marah dan kecewa.
Untuk beberapa lamanya binatang itu terus mendekam di bawah pohon, menanti calon mangsanya itu
sambil kadang-kadang mendongakkan kepalanya memandang ke atas dengan hidung kembang-kempis.
Tetapi Cin Hai tetap memaki-maki, bahkan anak itu lalu membuang air kencing di atas kepala harimau itu!
Entah karena jengkel dan kesal menanti, atau karena tersiram air kencing itu, si harimau segera berdiri dan
setelah berdongak sambil mengaum keras dan panjang sekali lagi, lalu pergi meninggalkan tempat itu
dengan tindakan perlahan.
Cin Hai tak berani segera turun karena takut kalau-kalau harimau itu masih bersembunyi di dekat situ. Ia
menanti lagi sampai hampir setengah hari, barulah ia berani turun dan lari pulang ke goa. Semenjak
pengalamannya itu Cin Hai tahu akan manfaat kepandaiannya, maka ia mempergiat latihannya dan ia tidak
berani lagi meninggalkan goa terlalu jauh.
Pada suatu hari, ia ditinggalkan oleh ketiga tosu itu. Seperti biasa, jika merasa kesepian, Cin Hai lalu
bermain-main dengan sulingnya. Ia berdiri di mulut goa lalu meniup sulingnya dengan asyik. Anak itu
memang mempunyai bakat bermain suling.
Selama berdiam di goa itu sampai dua tahun, kepalanya selalu digundul karena penyakit kudis itu selalu
timbul tiap kali rambutnya tumbuh agak panjang. Juga pakaiannya masih yang dulu, yakni jubah hwesio
yang terlalu besar itu!
Ketika dia sedang asyik meniup suling, dari jauh datanglah setitik bayangan merah yang makin lama makin
membesar. Tahu-tahu bayangan itu setelah dekat merupakan seorang wanita berpakaian serba merah. Dia
berdiri di depan goa, tidak jauh dari tempat Cin Hai berdiri, dan memandang dengan mata tak berkedip dan
tubuh tak bergerak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cin Hai juga melihat kedatangan orang itu. Namun dia tetap saja menyuling tanpa ambil peduli sama sekali,
karena yang datang adalah seorang wanita asing.
Wanita itu adalah seorang gadis yang masih muda, paling banyak berusia delapan belas tahun. Wajahnya
luar biasa cantik jelitanya, dengan sepasang mata lebar bersinar-sinar dan mulut yang sangat manis
dengan sepasang bibir yang berbentuk indah dan berwarna merah. Pakaiannya serba merah dan bersih
sekali, juga sepatunya berkembang indah. Di punggungnya tampak gagang pedang.
Dara baju merah itu agaknya tertarik sekali oleh tiupan suling Cin Hai dan ia mendengar dengan penuh
perhatian. Memang Cin Hai pandai meniup suling dan ia tahu banyak akan lagu-lagu klasik karena gurunya
yang mengajar dahulu, yaitu Kui-sianseng, memang ahli menyuling dan dari mendengarkan gurunya itu
bersuling, maka dapatlah Cin Hai meniru lagunya.
Makin lama makin merdu dan merayu suara suling Cin Hai sehingga Dara Baju Merah itu tanpa terasa pula
lalu berjalan mendekati dan duduk di atas sebuah batu karang hitam. Melihat gadis itu duduk di dekatnya
dan melihat pula pedang di punggung gadis itu, Cin Hai menjadi tertarik sekali dan menghentikan tiupan
sulingnya.
Dara muda itu terlihat kecewa dan berkata, “Hwesio cilik! Tiupan sulingmu bagus sekali, mainkanlah lagi
beberapa lagu untukku, nanti kuberi hadiah uang perak.” Suaranya halus dan merdu dan ketika bicara
kedua matanya bergerak-gerak indah.
Cin Hai merengut ketika disebut ‘hwesio cilik’. Ia menjawab tak senang. “Kira-kira dong kalau memanggil
orang! Aku bukan hwesio kecil.”
Melihat anak itu marah, Dara Baju Merah itu tersenyum geli. Dia memang merasa aneh dan ganjil bertemu
dengan seorang anak kecil berpakaian hwesio dan kepalanya gundul berada di tengah-tengah hutan liar
seorang diri, dan anak ini pandai bersuling pula! Kini melihat lagak Cin Hai ia makin tertarik.
“Saudara kecil, kalau kau memang bukan seorang hwesio, kenapa kepalamu gundul dan pakaianmu jubah
hwesio?”
Baru kali ini Cin Hai merasa tidak senang ada orang menyebutnya gundul dan mencela pakaiannya. “Aku
gundul kepalaku sendiri, apa hubungannya dengan engkau? Kau cantik juga cantikmu sendiri, perlu apa
kau mencela keburukan orang?”
Walau pun kata-kata Cin Hai itu kasar, tetapi karena anak itu menyebutnya cantik, Dara Baju Merah itu
tidak marah, malah memperlihatkan senyum yang agaknya akan membuat hati Cin Hai jungkir balik kalau
saja dia sudah dewasa. Namun senyum nona itu hanya membuat Cin Hai merasa senang saja, karena ia
menganggap nona itu berhati sabar dan tidak mudah marah.
“Engko cilik, apa bila aku berkata salah, kau maafkanlah. Sekarang aku mohon padamu, tiuplah lagi
sulingmu, aku suka sekali mendengarnya.”
“Boleh, asal saja kau suka menari menurut lagu sulingku.”
Mendadak gadis itu meloncat bangun dan bertanya dengan suara kaget, “Dari mana kau tahu bahwa aku
pandai menari?” Pertanyaan ini mengandung ancaman supaya Cin Hai mengaku.
Cin Hai merasa heran dan menjawab, “Siapa yang tahu kalau kau pandai menari? Hanya menurut
pendapatku, seorang wanita yang cantik jelita seharusnya pandai menari.”
Maka tertawalah Gadis Baju Merah itu. “Baiklah, kau tiup sulingmu dan aku akan menari untukmu.”
Cin Hai merasa girang sekali. Ia berdiri di tengah-tengah mulut goa yang gelap sehingga pakaiannya yang
putih dan kepalanya yang gundul nampak nyata di depan latar belakang goa hitam gelap itu. Ia mulai
meniup suling sebaik-baiknya. Gadis Baju Merah yang cantik itu melolos pedangnya dan mulai menari
pedang.
Sambil menyuling Cin Hai memandang gadis itu dan dia bagaikan kena pesona. Bukan main indah tarian
itu. Gerakannya halus, lemah gemulai dan seakan-akan tarian seorang bidadari! Pedang di tangannya itu
dunia-kangouw.blogspot.com
menambah keindahan tarian dan membuatnya nampak cantik dan gagah sekali!
Dara Baju Merah itu memulai tariannya dengan perlahan dan halus gerakannya, dengan gerakan-gerakan
leher yang lemas, diikuti gerakan tubuhnya yang indah menggairahkan. Tetapi makin lama gerakannya
makin cepat menuruti irama suling yang ditiup Cin Hai dan pada saat Cin Hai meniup sulingnya dalam lagu
perang, maka tubuh Dara Baju Merah itu lenyap dan yang tampak hanyalah gundukan sinar pedang yang
berwarna putih dengan sinar merah dari bajunya!
Cin Hai kagum sekali dan setelah merasa betapa lehernya kaku karena tiada hentinya meniup suling,
barulah dia berhenti dan Dara Baju Merah itu pun menghentikan tariannya yang luar biasa dan indah itu.
“Hebat sekali permainan sulingmu!” dengan senyum manis sekali gadis itu memuji.
“Lebih hebat adalah tarianmu!” Cin Hai memuji sambil memandang dengan dua matanya yang lebar.
“Kau menyukai tarianku?” tanya gadis itu.
“Suka sekali, dan tentu jauh lebih dari pada sukamu kepada suara sulingku,” kata Cin Hai cepat-cepat dan
sejujurnya.
Gadis itu tersenyum. “Engko kecil, siapakah namamu?”
Cin Hai menjawab sambil tersenyum juga, “Namaku Cin Hai, tetapi orang tua itu lebih suka menyebutku
Tolol atau Bodoh!”
Gadis itu untuk beberapa lama menatap wajahnya, memandang kepalanya yang gundul dan besar,
kemudian ke arah pakaiannya yang terlalu besar itu. Setelah memandang, dia lalu menganggukkan
kepalanya dan berkata pasti,
“Memang kau kelihatan tolol dan bodoh!”
Cin Hai mengangguk-angkuk dan berkata seperti lagak seorang tua, “Memang aku bodoh dan tolol, pula
buruk rupa, sedangkan kau pandai dan cantik. Tetapi harus diingat, bodoh itu dasar kepintaran dan buruk
itu tempat akhir kecantikan.”
Si Nona Baju Merah mengerutkan alisnya yang kecil memanjang. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.”
“Bukankah sebelum pintar harus bodoh dulu? Nah, karena itulah maka pintar itu berdasar pada bodoh. Dan
kecantikan macam apakah yang tak akan lenyap dan berakhir dengan keburukan? Lihat saja cahaya
matahari berganti malam yang gelap lagi buruk. Lihat saja kembang segar indah yang menjadi layu dan
membusuk, lihat saja wajah nenek-nenek keriput ompong padahal tadinya mereka itu nona-nona cantik
jelita.”
“Stop segala omongan ini!” Nona Baju Merah itu berseru ngeri mendengar tentang nona cantik yang
berubah menjadi nenek keriput ompong, “kau anak kecil tetapi bicara seperti pendeta, dari siapakah kau
mempelajari semua ini?”
Cin Hai tertawa. “Dari ujar-ujar para nabi dan orang cerdik pandai.”
“Jadi kau ini benar-benar murid pendeta yang tak makan daging?”
Cin Hai cepat-cepat menggelengkan kepalanya, “Aku bukanlah pendeta, dan mengenai pakaian…” dia
menundukkan kepalanya dan memandang pakaiannya, “apa daya, hanya ada satu yang terpaksa kupakai.”
Dara Baju Merah itu tertawa geli. Sepasang matanya yang seperti bintang pagi itu tampak berseri-seri,
karena ia suka sekali kepada anak yang gundul, lucu dan pandai bersuling ini.
“Engko gundul, kau sebenarnya tinggal dengan siapakah di tempat liar ini?”
“Aku dibawa oleh orang tua yang berjuluk Kanglam Sam-lojin.”
“Ahh? Jadi mereka itu suhu-suhu-mu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Cin Hai cepat menggeleng kepalanya, “Bukan, bukan guru, hanya kenalan saja. Dan kau ini siapakah? Aku
pernah mendengar tentang wanita berbaju merah yang disebut Ang I Niocu…”
Nona itu meloncat dengan amat kaget. “Siapa yang memberi tahu engkau tentang Ang I Niocu?”
Cin Hai menghela napas. “Semua orang agaknya takut kepada Ang I Niocu, dia itu orang macam apakah?
Bahkan kau sendiri juga takut agaknya. Aku mendengar tosu-tosu itu bercerita.”
Gadis itu tersenyum pula. “Kau betul-betul suka akan tarianku tadi?”
Cin Hai mengangguk.
“Kalau begitu, mari kita bertukar saja. Kau kuberi pelajaran menari dan aku ingin sekali belajar menyuling.”
Cin Hai mengangkat mukanya dan memandang wajah yang berkulit halus putih kemerah-merahan itu.
Sungguh wajah yang luar biasa cantiknya. Maka anak itu berseri-seri karena mendengar bahwa orang
hendak memberi pelajaran menari padanya.
“Boleh, boleh!” katanya. “Tetapi siapakah namamu, Nona?”
Sambil tersenyum gadis itu menjawab, “Akulah Ang I Niocu.”
Kini Cin Hai lah yang terkejut dan mukanya berubah. Tetapi sambil tertawa geli gadis itu berkata,
“Mengapa? Apakah kau juga takut kepada Ang I Niocu? Apakah mukaku begitu menyeramkan?”
“Tidak, tidak!” Cin Hai cepat-cepat menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mukamu halus
dan cantik. Aku tidak takut kepadamu.”
“Dan tidak takut kepada Ang I Niocu?” dara itu menegaskan.
“Dan tidak takut kepada Ang I Niocu!” Cin Hai berkata tetap.
“Kalau begitu, lekas kau kumpulkan barang-barangmu. Sekarang juga kita pergi.”
Cin Hai memandang pada wajah yang halus cantik dan mata yang bening bersinar tajam itu. Ia
memandang dengan muka bodoh dan berkata,
“Barang-barangku?” Ia lantas memandang ke arah suling yang dipegangnya dan pakaian hwesio yang
dipakainya. “Barangku hanya suling dan pakaian ini.”
Pandangan mata Ang I Niocu mengandung perasaan iba. “Jadi kau tak berbohong ketika tadi berkata
bahwa kau tidak mempunyai lain pakaian?”
“Membohongi orang lain berarti membohongi diri sendiri,” jawab Cin Hai menirukan bunyi sebuah ujar-ujar,
“dan aku tidak mau membohongi diriku sendiri.” Ia lalu mengosok-gosok kepalanya yang gundul.
“Kalau begitu mari kita berangkat!”
Cin Hai mengangguk.
Namun pada saat itu, dari bawah gunung melayang naik tiga bayangan orang. Gerakan mereka sedemikian
cepatnya sehingga sebentar saja, sebelum Cin Hai dan Dara Baju Merah pergi jauh, tiga bayangan itu telah
tiba di situ. Mereka ini bukan lain ialah Kanglam Sam-lojin yang baru pulang dari perantauan mereka.
Melihat bahwa Cin Hai berjalan pergi dengan seorang gadis, mereka segera memanggil dengan suara
keras. Namun Cin Hai hanya menoleh sambil tertawa, lalu melambaikan tangan sebagai salam berpisah!
Tentu saja Kanglam Sam-lojin merasa penasaran dan segera mengejar. Karena Ang I Niocu dan Cin Hai
hanya berjalan biasa saja, dengan beberapa loncatan mereka telah dapat menyusul.
“Hai, Tolol, kau hendak minggat ke mana?” tegur Giok Yang Cu yang brewok dan tinggi besar dengan
suara mengguntur.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ji-totiang, teecu hendak pergi belajar menari!”
“Apa? Belajar menari? Kepada siapa dan di mana?” Giok Keng Cu si pendek bertanya dengan heran.
“Belajar kepada Nona ini, dia pandai sekali menari dan belajar di mana saja, di sepanjang jalan, bukankah
begitu, Nona?”
Ang I Niocu hanya tersenyum manis dan mengangguk-anggukkan kepala. Ketiga tosu itu memandang ke
arah Ang I Niocu dengan penuh perhatian. Mendadak ketiganya saling berbisik dan Giok Im Cu lalu berkata
dengan hati-hati.
“Kami bertiga pernah mendengar nama Ang I Niocu, apakah sekarang kami berhadapan dengan Nona
yang gagah itu?”
“Sam-wi Totiang, kalian memang mempunyai pandangan yang sangat tajam. Aku betul Ang I Niocu.”
Kalau dilihat sungguh mengherankan, oleh karena begitu mendengar nama Ang I Niocu, tiga tokoh kangouw
yang telah berusia lanjut ini lalu nyata sekali tampak terkejut dan dari jauh mereka mengangkat tangan
memberi hormat.
“Sungguh pinto merasa terhormat sekali mendapat kunjungan Lihiap. Tidak tahu apakah keperluan yang
membawa Lihiap sampai datang di tempat kami yang sunyi ini?”
Ang I Niocu tersenyum dan wajahnya yang jelita menjadi makin manis ketika sepasang lesung pipit
menghias sepasang pipinya yang kemerahan. Dia kemudian bersyair sambil memandang ke langit.
Berkawan sebatang pedang,
Menjelajah ribuan li tanah dan air
Tanpa maksud tiada tujuan,
Hanya mengandalkan kaki dan hati.
Kau masih bertanya maksud keperluan?
Tanyalah kepada burung di puncak pohon,
Terbang ke sini berkehendak apa?
“Bagus, bagus sekali!” Cin Hai bersorak girang. “Niocu, syairmu ini bagus sekali, biar aku nanti buatkan
lagunya yang merdu!”
Ang I Niocu mengangguk-angguk sambil tersenyum manis kepada Cin Hai lalu menjawab kepada tiga tosu
itu,
“Totiang, seperti kukatakan dalam syairku tadi, aku hanya kebetulan lewat saja di sini dan bertemu dengan
engko cilik ini. Kami telah bermufakat untuk saling menukar kepandaian tari dan permainan suling!”
Kanglam Sam-lojin tidak senang mendengar keterangan ini, karena bagaimana pun juga, mereka sudah
menganggap Cin Hai sebagai murid yang tentu saja tidak boleh diambil orang lain sedemikian mudahnya
yang berarti akan merendahkan derajat mereka. Akan tetapi terhadap Ang I Niocu yang mempunyai nama
besar, mereka masih ragu-ragu untuk menggunakan kekerasan.
Akan tetapi, Giok Keng Cu si pendek gesit yang memang memiliki watak agak sombong, melihat bahwa
Ang I Niocu tak lain hanyalah seorang dara muda cantik jelita yang berkulit halus dan bersikap lemah
lembut lalu memandang rendah sekali.
“Eh, Ang I Niocu! Banyak orang bilang bahwa kau adalah seorang tokoh dunia kang-ouw yang gagah dan
namamu telah menggemparkan empat penjuru. Tidak tahunya hanyalah seorang anak muda yang masih
hijau dan tidak tahu peraturan kang-ouw! Ataukah kau sengaja tidak memandang mata kepada kami tiga
orang tua dan berbuat kurang ajar?”
Sungguh pun Ang I Niocu tampaknya baru berusia tujuh belas atau delapan belas tahun saja, akan tetapi
sebetulnya ia telah berusia dua puluh tahun dan selama lima tahun lebih namanya sudah menggegerkan
dunia kang-ouw karena selain kepandaiannya yang luar biasa, juga ia terkenal sebagai seorang dara yang
sangat berani dan dapat menyimpan perasaannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini mendengar betapa ada orang memandang rendah kepadanya, ia hanya tersenyum manis, karena
walau pun Giok Keng Cu memandang rendah, namun persangkaan kakek pendek itu bahwa dia masih
sangat muda merupakan pujian baginya! Wanita mana di dunia ini yang tidak ingin disebut muda dan
ditaksir jauh lebih muda dari usianya yang sebetulnya.
Karena inilah maka Ang I Niocu dengan suara tetap merdu dan sabar bertanya,
“Totiang, bicaramu agak berlebihan. Mengapa kau anggap aku tidak memandang kalian orang tua dan
berbuat kurang ajar?”
“Anak tolol itu adalah murid kami, mengapa tanpa minta ijin kau kini hendak menculiknya begitu saja?
Bukankah hal itu melanggar aturan namanya?” berkata Giok Ken Cu dengan marah.
Sebelum Ang I Niocu menjawab, Cin Hai mendahuluinya dengan suaranya yang nyaring.
“Ehh, ehh, semenjak kapan Totiang memungut teecu sebagai murid? Harap Totiang ingat bahwa teecu
bukanlah murid Totiang, maka tidak baik membohong kepada Niocu!”
Sementara itu, Ang I Niocu yang tadinya mengira bahwa Cin Hai yang membohonginya, kini melihat betapa
anak gundul itu berani berkata sedemikian rupa terhadap tosu itu, menjadi lega karena menganggap bahwa
anak ini benar-benar berhati tabah dan jujur. Maka ia tertawa girang sambil memandang muka Giok Keng
Cu yang menjadi kemerah-merahan karena malu dan untuk beberapa lama tidak dapat menjawab kata-kata
Cin Hai.
Melihat keadaan sute-nya yang terdesak, Giok Yang Cu yang tinggi besar berkata keras,
“Ang I Niocu! Betapa pun juga, tidak boleh kau membawa anak itu begitu saja. Biar pun dia bukan murid
kami, tetapi dia sudah ikut kami dan tidak boleh diambil oleh orang lain tanpa ijin kami!”
Giok Yang Cu sengaja berkata keras karena dia hendak menghilangkan rasa malu yang diderita oleh sutenya,
apa lagi memang dia tidak puas melihat sikap Ang I Niocu dan Cin Hai yang sama sekali tidak
mengindahkan mereka bertiga!
“Kalian ini orang-orang tua jangan bicara seenaknya saja,” kata Ang I Niocu yang mulai merasa sebal.
“Siapa yang menculik anak ini? Ia hendak ikut aku dengan suka rela dan aku pun tidak keberatan, habis
kalian mau apa?”
Kini Giok Im Cu yang menjawab sesudah mengeluarkan suara melalui lubang hidungnya seperti biasa
dikeluarkan orang yang hendak menghina lawan.
“Hm, Ang I Niocu, melihat sikapmu maka benarlah kata para sahabat di dunia kang-ouw bahwa kau adalah
seorang yang tinggi hati dan sombong. Apa bila kau berkeras hendak membawa anak ini, biarlah kami
bertiga lebih dulu menerima petunjuk-petunjuk darimu!” Ini adalah kata-kata yang maksudnya menantang
atau hendak mengajak pibu (mengadu kepandaian).
“Begini lebih bagus, tak usah membuang kata-kata dan obrolan kosong!” kata Ang I Niocu dengan senyum
manis dan wajahnya berseri gembira ketika dia mencabut pedang dari pinggangnya.
Ketiga pendeta tua itu pun lalu mencabut senjata masing-masing. Giok Im Cu memungut sebatang ranting
kayu dari bawah pohon, Giok Yang Cu mencabut pedangnya dan Giok Keng Cu meloloskan goloknya.
Melihat mereka hendak bertempur, Cin Hai yang memang paling doyan melihat pibu atau pertandingan
silat, lalu duduk di bawah pohon besar. Ketika melihat betapa ketiga tosu semua mencabut senjata, ia
segera berkata,
“He, Sam-wi Totiang, apa kalian bertiga hendak maju bersama dan mengeroyok seorang gadis muda
seperti Ang I Niocu? Aneh, sungguh aneh!”
Ang I Niocu sambil tertawa berkata, “Hai-ji (Anak Hai), biarlah mereka sekaligus maju bertiga agar gembira
kau menonton!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebenarnya ketiga tosu tadi merasa ragu-ragu. Untuk maju seorang saja, mereka takut kalau-kalau tidak
kuat melawan Nona Baju Merah yang sudah tersohor kelihaiannya ini, tetapi maju mengeroyok pun mereka
merasa sungkan sekali. Kini mendengar kata-kata Cin Hai, mereka otomatis tidak berani maju bersama.
Akan tetapi sesudah mendengar kata-kata Ang I Niocu, kegembiraan mereka timbul karena jelas bahwa
gadis itu sendiri yang menantang mereka untuk maju bersama, sehingga mereka kini tidak perlu
sungKansungkan lagi!
Akan tetapi, Giok Im Cu tetap berlaku sungkan dan berkata,
“Ang I Niocu, benar-benarkah kau menantang kami untuk maju bertiga? Apakah kau nanti tidak akan
mengatakan kami keterlaluan, tiga orang tua mengeroyok seorang muda?”
“Totiang, kau majulah saja bertiga, untuk apa berlaku sheji-sheji (sungkan) segala?” kata Ang I Niocu
sambil memalangkan pedang di dada.
Kini marahlah ketiga tosu itu dan mereka maju bersama mengeroyok dengan serangan-serangan mereka
yang sangat berbahaya! Tetapi begitu pedangnya bergerak, sekaligus tiga senjata lawan dapat tertangkis
oleh Ang I Niocu.
Ketiga orang tosu itu terkejut sekali melihat gerakan pedang yang luar biasa cepat dan anehnya ini. Mereka
kemudian memainkan senjata mereka dengan hati-hati sekali sambil mengerahkan ilmu silat mereka dari
cabang Liong-san-pai. Mereka sengaja mengurung nona itu dari tiga jurusan, berupa kepungan segi tiga
yang sebentar-sebentar berubah gerakannya, karena mereka bertiga selalu berpindah-pindah tempat!
Inilah keistimewaan Kanglam Sam-lojin yang dapat maju bersama dengan secara kompak sekali.
Akan tetapi, dengan tenang dan senyum manisnya tak pernah meninggalkan bibir, Ang I Niocu menghadapi
mereka dengan pedangnya yang luar biasa sekali gerakannya. Gadis ini seakan-akan tidak sedang
menghadapi tiga orang yang mengeroyok dirinya dari tiga penjuru, karena ia tak pernah mengubah
kedudukan tubuhnya yang menghadap ke utara, tetapi ujung pedangnya bergerak sedemikian rupa hingga
tiap kali senjata lawan datang dari arah mana pun, selalu dapat tertangkis. Bahkan ia masih sempat
mengirim tusukan dan serangan-serangan pembalasan yang tidak kalah hebatnya!
Cin Hai yang melihat jalannya pertempuran itu, menahan napas saking kagumnya. Dia melihat betapa tiga
orang tosu itu berputar-putar dan tubuh mereka tak tampak lagi hanya merupakan tiga bayangan orang
yang berkelebat menjadi putaran cepat sekali. Tetapi di tengah lingkaran itu ia melihat Ang I Niocu
bergerak-gerak dengan tenang dan dengan gerakan indah, bahkan dalam pandangannya gadis cantik itu
tidak seperti orang sedang bertempur, karena ternyata bahwa Nona Baju Merah itu sedang menari-nari!
Tarian yang indah dengan gaya yang lemas dan amat sedap dipandang.
Ia tidak tahu bahwa itulah limu Pedang Tarian Bidadari yang tidak ada keduanya di dunia ini! Tarian pedang
ini dilakukan dengan gerakan yang halus dan nampak lambat karena memang kecepatannya hanya
terdapat dari tenaga dan kecepatan lawan saja hingga Ang I Niocu sendiri tak perlu mengeluarkan tenaga
dan kecepatan.
Tiap kali ada serangan lawan yang datang, dengan gerakan cepat sekali, cukup ia sentuh sedikit dengan
ujung pedang, maka senjata lawan itu pasti lantas menyeleweng arahnya. Sedangkan dengan pinjaman
tenaga dan kecepatan senjata musuh, pedangnya dapat ia pentalkan dengan luar biasa cepatnya dalam
serangan balasan! Juga ia melakukan tarian luar biasa ini dengan tenaga lweekang yang tinggi sehingga
setiap kali ujung pedangnya membentur senjata lawan, maka lawannya akan merasa betapa tangan
mereka tergetar!
Cin Hai menonton dengan mata terebelalak kagum dan mulut ternganga. Saking asyiknya menonton
pertempuran luar biasa itu, ia tidak merasa betapa seekor lalat beterbangan menyambari mukanya.
Pikiran anak ini terlalu senang dan gembira karena ia mendapat kenyataan bahwa gadis baju merah yang
berlaku manis kepadanya itu ternyata memiliki kepandaian yang lebih hebat dan lihai dari pada Hai Kong
Hosiang, hwesio gundul yang memelihara ular itu.
Ketika Hai Kong Hosiang dulu dikeroyok oleh tiga tosu ini di depan Ban-hok-tong, hwesio itu tidak kuat
melawan mereka sehingga akhirnya terpaksa melepaskan ular-ularnya.
Akan tetapi kini, walau pun dikeroyok dengan hebat, ternyata Ang I Niocu masih sempat menari-nari
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan bibir tersenyum. Mendadak lalat yang beterbangan dan menyambar-nyambar hidung Cin Hai itu
tersesat kemudian salah masuk ke dalam mulut Cin Hai yang ternganga!
Anak itu baru sadar dan dengan marah ia lalu menyumpah-nyumpah dan meludah-ludah serta memakimaki
lalat itu. Lalu dia teringat akan sesuatu. Tarian yang dilihatnya ketika gadis itu menari di depan goa.
Sayang kalau tarian seindah ini tidak dihiasi dan diiringi nyanyian suling. Maka dia lalu meniup sulingnya,
meniup lagu yang merdu dan bernada tinggi.
Benar saja, ketika mendengar suara suling, Ang I Niocu tertawa senang dan tiba-tiba saja gerakan
pedangnya berubah semakin hebat! Apa lagi ketika Cin Hai meniup sulingnya dengan nada meninggi dan
irama cepat, maka gadis itu bersilat makin cepat lagi hingga sebentar saja orang dan pedangnya lenyap
terganti gundukan sinar putih dan di tengah-tengah gundukan sinar itu tampak warna merah pakaiannya!
Tentu saja perubahan ini membuat tiga tosu itu terkejut sekali. Hampir saja ujung pedang gadis itu berhasil
melukai mereka dengan cepat dan tak terduga serta dalam waktu yang bersamaan sehingga ketiganya
juga meloncat mundur berbarengan!
“Ang I Niocu, kau memang lihai bukan main! Kini kami mengakui bahwa ilmu pedangmu benar-benar lihai,”
kata Giok Yang Cu dengan jujur.
“Kau memang cukup pantas untuk menjadi guru anak tolol ini, Nona,” kata Giok Keng Cu dengan suara
mengandung ejekan.
“Hemm, Cin Hai, kalau kau baik-baik belajar silat dari Ang I Niocu, kelak kau tentu akan mencapai
kemajuan hebat,” kata Giok Im Cu.
Namun Cin Hai tidak mempedulikan semua omongan itu karena hatinya sangat gembira melihat betapa
Nona Baju Merah itu ternyata benar-benar lihai dan berkepandaian jauh lebih tinggi dari pada tiga tosu itu
digabung menjadi satu!
Sementara itu, mendengar kata-kata ketiga pendeta itu, Ang I Niocu lalu berkata sambil tetap tersenyum,
“Sam-wi Totiang, aku bukan guru engko cilik ini dan juga tidak akan menjadi gurunya.”
Mendengar kata-kata ini, Cin Hai mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan berkata cepat,
“Betul, betul! Ada nyanyian kuno menyatakan bahwa guru yang terpandai berada di dalam diri sendiri! Nona
perkasa ini belajar menyuling dari aku, dan aku sendiri belajar menari darinya, siapakah yang disebut guru
dan siapa murid?”
Ang I Niocu tertawa manis mendengar ucapan ini dan keduanya lalu menjura ke arah tiga tosu yang
memandangnya dengan bengong, lalu keduanya berjalan dengan perlahan dan pergi meninggalkan tempat
itu.
Setelah beberapa bulan lamanya mengikuti Ang I Niocu, maka kini mengertilah Cin Hai bahwa ketika dara
baju merah itu dahulu bersyair di depan Kanglam Sam-lojin, maka itu adalah syair yang memang
menggambarkan keadaan hidupnya. Gadis itu tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, berkelana,
merantau bagaikan seekor burung, terbang ke sana ke mari, tanpa maksud atau tujuan tertentu dan pergi
ke mana saja mengandalkan kaki dan hati!
Akan tetapi, karena Cin Hai juga sebatang kara dan tak mempunyai tujuan hidup tertentu, maka perantauan
ini tak menyusahkan hatinya. Bahkan ia merasa bahagia sekali karena Ang I Niocu benar-benar baik sekali
kepadanya.
Wanita muda itu selain sangat pandai menari, juga pandai bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Setiap
waktu bila mereka singgah di tempat yang baik dan menyenangkan, Ang I Niocu segera meminjam suling
milik Cin Hai dan mulai belajar meniupnya dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk anak gundul itu.
Sebaliknya, dengan gembira Cin Hai mulai mempelajari tari yang sebenarnya bukan lain adalah ilmu silat
luar biasa yang disebut Sian-li Kun-hoat atau Ilmu Silat Bidadari. Tetapi pada mulanya dia mengalami
kesukaran karena betapa pun juga, ia adalah seorang anak laki-laki dan tentu saja tubuhnya tak selemas
tubuh perempuan, padahal Sian-li Kun-hoat membutuhkan tubuh yang lemas dan gaya yang lemah lembut.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi dengan sabar serta telaten Ang I Niocu melatih lweekang kepada Cin Hai hingga tenaga anak
gundul ini bertambah cepat sekali, apa lagi juga memberi latihan Ilmu Jui-kut-kang yaitu ilmu untuk
melemaskan badan hingga Cin Hai dapat juga memainkan Sian-li Kun-hoat, biar pun masih agak kaku.
Sementara itu Cin Hai tidak lupa untuk mempelajari Ilmu Silat Liong-san Kun-hoat yang telah dicatat dan
dilukis sebanyak depalan puluh jurus itu!
Melihat bahwa Cin Hai mempelajari Liong-san Kun-hoat, Ang I Niocu hanya tersenyum dan berkata,
“Jangankan baru kau pelajari delapan puluh jurus, biar pun kau bisa mempelajari sampai tamat yaitu
seratus delapan jurus, tetap ilmu silat ini tak kan mampu mengalahkan Sian-li Kun-hoat.”
Cin Hai juga tersenyum. Dia maklum bahwa Ang I Niocu tidak akan melarangnya karena memang dara itu
tidak berhak melarangnya. Ia bukan murid Gadis Baju Merah itu! Dan ia tetap mempelajari Liong-san Kunhoat
sampai dia hafal semua delapan puluh jurus yang telah dicatatnya.
Sudah lima tahun Ang I Niocu berkelana seorang diri dan hampir selalu bertemu dengan orang-orang jahat
dan orang-orang yang membuat dia jemu. Hampir semua laki-laki yang berjumpa dengan dia selalu
memperlihatkan pandangan mata yang mengandung maksud tidak baik, hingga ia benci melihat orang lakilaki.
Akan tetapi perasaannya terhadap Cin Hai lain lagi. Pandangan mata anak ini demikian jujur, demikian
mesra dan demikian menimbulkan perasaan iba di dalam hatinya, hingga dia tertarik dan suka sekali
kepada Cin Hai. Oleh karena ini, maka sungguh pun dia tidak menganggap Cin Hai sebagai muridnya, tapi
dengan sungguh hati ia hendak menurunkan Sian-li Kun-hoat yang merupakan tarian indah dan sangat
digemari oleh Cin Hai itu.
Juga Ang I Niocu sangat tertarik akan kepandaian Cin Hai meniup suling dan bakatnya mencipta lagu-lagu
luar biasa. Pula, dia kagum akan pengertian Cin Hai tentang sastera, tentang sejarah kuno, dan tentang
segala macam ujar-ujar yang sangat indah didengar. Apa lagi nyanyian To-tik-keng sangat menarik hatinya
hingga setiap kali ada kesempatan tentu ia menghapalkan sebuah ayat dari pada kitab peninggalan Nabi
Locu yang sangat bijaksana itu.
Sebaliknya, Cin Hai merasa sangat berterima kasih dan suka kepada Ang I Niocu, karena sikap gadis yang
lemah lembut, kata-katanya yang halus merdu serta pandang matanya yang kadang-kadang sayu itu
mengingatkan dia akan Loan Nio, Ie-ie-nya (bibinya), yang dianggap satu-satunya orang yang cinta
padanya.
Akan tetapi bibinya terikat kepada keluarga Kwee-ciangkun sehingga dia maklum bahwa rasa suka di hati
bibinya terhadap dia masih terbagi-bagi, sedangkan Ang I Niocu hidup sebatang kara seperti dia. Oleh
karena inilah maka timbul rasa suka dan bakti yang besar sekali di dalam hati Cin Hai. Kini ia menganggap
Ang I Niocu sebagai satu-satunya orang yang patut ia sayangi, patut ia bela dan patut ia ikuti.
Pernah pada suatu saat Dara Baju Merah itu bertanya tentang riwayatnya yang dijawab oleh Cin Hai
dengan terus terang akan tetapi karena pengaruh ujar-ujar yang telah masuk ke dalam kepala, Cin Hai
sama sekali tidak mau menyebut-nyebut segala kejahatan dan siksaan yang telah dilempar orang lain
kepadanya.
Ia teringat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa keburukan orang lain tak perlu disebut-sebut, sedangkan
kesalahan sendiri harus selalu diingat dan diperbaiki! Karena inilah, maka dia tidak pernah menceritakan
kepada Ang I Niocu mengenai kenakalan-kenakalan Kwee Tiong beserta adik-adiknya, tidak menceritakan
kebencian guru silat Tan Hok yang hampir saja membunuhnya.
Akan tetapi, pada waktu Cin Hai bertanya mengenai riwayat Ang I Niocu, gadis itu hanya tersenyum sedih
dan untuk beberapa lama sinar matanya yang biasanya berseri-seri itu tiba-tiba menjadi suram.
“Ah, Niocu, kalau kau tidak suka mengenang kembali atau menceritakan riwayat hidupmu padaku,
sudahlah. Lebih baik kita berlatih saja, engkau berlatih meniup suling, sedangkan aku berlatih menari.”
Ang I Niocu kembali tersenyum dan lenyaplah kenang-kenangan sedih tadi. Ia menatap Cin Hai dengan
rasa terima kasih terkandung di dalam sinar matanya, lalu dia mengambil suling itu dan mulai meniupnya.
Cin Hai juga segera meloncat dan menggulung lengan bajunya serta mengencangkan ikat pinggangnya,
dunia-kangouw.blogspot.com
lalu mulai bergerak menari!
Memang berkat kerja sama mereka, maka tarian itu dapat disesuaikan dan diselaraskan dengan lagu
tiupan suling hingga dengan demikian pelajaran menari menjadi lebih mudah diingat oleh Cin Hai. Biar pun
pada saat itu ia telah mempelajari tari lebih dari setengah tahun, namun dia baru saja mampu memainkan
beberapa belas jurus tarian dengan baik, sedangkan selanjutnya gerakannya masih sangat kaku dan tidak
tepat! Karena itu dapat dimengerti betapa sukarnya mempelajari Sian-li Kun-hoat itu.
Juga karena sebagian besar dari tarian itu dilakukan dengan berdiri di atas ujung jari kaki, maka tentu saja
membutuhkan tenaga kaki yang lebih besar sehingga bila orang kurang latihan tentu tidak akan sanggup
menarikannya sampai lama.
Sehabis latihan, Ang I Niocu berkata,
“Gerakan yang ke tiga dan ke delapan masih kurang sempurna. Hanya jurus satu, dua, empat sampai tujuh
dan sembiIan sampai lima belas yang sudah lumayan. Akan tetapi selebihnya, mulai jurus ke enam belas,
masih sangat jauh untuk dapat disebut lumayan. Gerak-gerakkanlah jari tanganmu dengan hidup, karena
gerakan-gerakan jari itulah yang akan menghidupkan jurus gerak tipu Burung Surga Membuka Sayap. Kau
harus mengerti bahwa Burung Surga adalah burung yang biasa ditungganggi Bidadari, karena itu semua
gerakannya mengandung arti dan maksud tertentu. Dalam gerakan ini jari-jari kita akan merupakan ujungujung
sayap yang harus digerak-gerakkan dalam menghadapi lawan, maka gerakan-gerakan jari ini sangat
penting karena dapat membingungkan lawan dan dapat menyembunyikan maksud gerakan satu serangan
kita yang sesungguhnya. Kau tentu masih ingat bahwa sepuluh jari tangan kita dapat dipergunakan untuk
menotok jalan darah lawan dalam berpuluh macam gerakan. Apakah kau masih hafal semua?”
Demikianlah Ang I Niocu memberi petunjuk-petunjuk yang didengar dan diturut oleh Cin Hai dengan penuh
perhatian. Dan dari uraian Ang I Niocu itu dapat diketahui betapa sulit dan lihainya Ilmu Silat Sian-li Kunhoat
itu, karena satu jurus saja mempunyai pecahan demikian banyak dan hebat!
Setelah berlatih, mereka beristirahat di bawah pohon besar dan pada kesempatan ini Ang I Niocu
menuturkan mengenai tokoh-tokoh besar yang pernah dijumpai Cin Hai. Memang Cin Hai menceritakan
pengalamannya ketika ia berada di atas genteng Kuil Ban-hok-tong dan melihat Kanglam Sam-lojin
berkelahi mati-matian melawan Hai Kong Hosiang!
“Kau sungguh mujur dan beruntung sekali dapat terlepas dari tangan Hai Hong Hosiang. Ketahuilah,
hwesio ini memang jahat sekali dan berwatak kejam, walau pun ia bukanlah seorang penjahat kecil yang
suka melakukan segala perbuatan jahat yang tidak berarti. Kalau ia melakukan sesuatu kejahatan, maka
kejahatan besar dan hebat sekali. Dan kau sungguh boleh dibilang lebih-lebih beruntung lagi, oleh karena
telah tertolong dan bahkan diterima menjadi murid oleh seorang kakek yang mengaku bernama Bu Pun Su
atau Tiada Kepandaian itu. Tahukah kau siapa adanya kakek itu? Dia adalah Su-siok-couw-ku (Kakek
Paman Guru) sendiri!”
Cin Hai sangat terkejut mendengar ini. “Astaga! Jembel tua itu adalah Susiok-couw-mu? Hebat, hebat dan
tidak masuk akal. Kau yang berkepandaian begini tinggi hanya menjadi cucu muridnya? Kalau begitu,
kepandaiannya tentu hebat sekali?”
Ang I Niocu menganggukkan kepalanya. “Memang beliau adalah Susiok-couw-ku, karena mendiang
ayahku adalah murid keponakannya. Dan tentang kepandaiannya, ahhh, sukar untuk diukur sampai berapa
tingginya. Kalau tidak ada Susiok-couw, maka tiga gerobak emas itu tentu telah dirampas oleh Hai Kong
Hosiang atau Kanglam Sam-lojin, atau oleh beberapa orang gagah lain yang mengingini harta besar itu!”
“Tiga gerobak emas yang mana, milik siapa?” Cin Hai bertanya heran.
“Emas sisa simpanan ahala Beng yang belum terampas oleh Kaisar Boan dan berhasil dilarikan oleh
beberapa orang patriot yang gagah berani, disimpan di sebelah kuil kuno di dekat kota Tiang-an, ternyata
hal itu dapat diketahui oleh Pemerintah Boan yang segera berusaha merampasnya. Tapi hal ini sudah lama
diketahui oleh orang-orang gagah yang masih setia pada Pemerintah Han sehingga mereka cepat-cepat
mengambil harta itu dan berusaha mengungsikannya ke utara untuk dipergunakan bila mana saat
pemberontakan tiba. Tetapi selain musuh-musuh dari pihak Kaisar, para patriot itu menghadapi musuh
yang lebih berbahaya lagi, yaitu orang-orang kang-ouw semacam Hai Kong Hosiang dan lain-lain, karena
mereka ini pun mempunyai telinga yang tajam sehingga mendengar pula tentang harta karun itu dan
berusaha pula merampasnya! Karena inilah, maka mereka ini berkumpul di Tiang-an dan kebetulan sekali
dunia-kangouw.blogspot.com
Hai Kong Hosiang yang pernah bermusuhan dengan Kanglam Sam-lojin berjumpa di depan Kuil Ban-hoktong
dan bertempur sebagai mana yang kau lihat itu. Sedangkan semua orang kang-ouw yang ingin
merampas emas, semua ketakutan dan lari pada saat melihat Bu Pun Su yang sengaja turun gunung untuk
membantu para patriot mengungsikan emas itu. Dan secara kebetutan sekali, kau dapat ditolong olehnya
dan diaku sebagai muridnya, bukankah ini hal yang aneh sekali?”
“Dia orang pandai dan suka mengaku murid kepadaku apakah anehnya?”
Ang I Niocu tersenyum. “Mana kau tahu? Susiok-couw adalah orang yang adatnya sangat kukoai (ganjil)
dan selama hidupnya belum pernah memiliki seorang murid pun. Menurut kata-kata Ayahku dulu, Susiokcouw
benci sekali pada orang-orang yang berkepandaian silat, karena menurut beliau, kepandaian silat itu
hanya mendatangkan mala petaka saja! Agaknya orang tua itu sudah pikun dan lupa bahwa dia sendiri
adalah seorang di antara tokoh-tokoh yang tingkatnya paling tinggi di dunia ini! Dan sekarang secara tibatiba
saja dia mengangkat engkau sebagai muridnya. Bukankah ini aneh sekali?”
“Tetapi aku tidak senang menjadi muridnya!” tiba-tiba Cin Hai berkata.
“He, mengapa?” Ang I Niocu bertanya.
“Entahlah, tetapi rasa hatiku, aku lebih senang belajar darimu dari pada harus belajar dari kakek jembel
yang aneh adatnya itu. Bukankah kalau belajar padanya aku harus berpisah darimu?”
Ucapan ini dikatakan dengan hati jujur seorang kanak-kanak, akan tetapi Ang I Niocu mendengarkan
dengan hati terharu sekali.
“Berjanjilah, Niocu, kau tak akan meninggalkan aku!” Cin Hai mendesak.
Ang I Niocu mengangguk-angguk dan berkata lirih, “Jangan kuatir, aku tidak akan pernah meninggalkan
kau.”
Sebenarnya kurang pantas bagi Cin Hai untuk memanggil Ang I Niocu dengan sebutan ‘Niocu’ yang biar
pun artinya ‘nona’ namun biasanya hanya dilakukan oleh seorang suami atau seorang kekasih. Akan tetapi,
karena nona itu memang mempunyai gelaran Ang I Niocu, maka Cin Hai lalu menyebutnya ‘niocu’ begitu
saja, karena hatinya yang jujur tidak dapat mencari lain sebutan yang lebih tepat. Sedangkan Ang I Niocu
juga tidak peduli akan sebutan ini.
Ketika Cin Hai yang pernah mendengar dari Kanglam Sam-lojin tentang Giok-gan Kui-bo Si Biang Iblis
Mata lntan yang pernah dilihatnya ketika bertempur melawan seorang yang berpakaian sasterawan,
mengajukan pertanyaan kepada Ang I Niocu.
Kemudian Gadis Baju Merah itu menjawab, “Kanglam Sam-lojin berkata benar. Memang dia itu adalah ciciku,
yaitu Suci (Kakak Seperguruan), karena dia adalah murid Ayahku.”
Tetapi Cin Hai juga tidak mendesak lagi karena anak ini selalu kuatir kalau-kalau hati Ang I Niocu akan
menjadi sedih. Dari pandang matanya yang amat tajam, anak yang berusia paling banyak sepuluh tahun ini
dapat melihat keadaan orang dan seakan-akan ia dapat membaca isi hati gadis yang gagah perkasa itu!
Demikanlah, Cin Hai diajak merantau ke selatan sampai ke daerah Lam-hu yang panas. Ketika mereka
memasuki kota Nam-tin, maka dua tahun sudah berlalu semenjak Cin Hai ikut Ang I Niocu merantau.
Anak ini sekarang tidak gundul lagi, rambutnya tumbuh dengan subur, tebal dan hitam sekali. Keningnya
lebar dan tubuhnya makin tegap dan tinggi. Tadinya memang Cin Hai tidak berniat memelihara rambut,
sebab setiap kali rambutnya sudah agak panjang, selalu timbul lagi kudis di kulit kepala.
Akan tetapi ketika ia hendak mencukur rambutnya, Ang I Niocu melarangnya.
“Kau bukan seorang hwesio, kenapa harus mencukur rambutmu?” tanya dara baju merah itu.
“Siapa yang tidak suka memelihara rambut yang hitam dan panjang? Aku pun tidak suka menjadi hwesio
kecil, tapi apa daya, setiap kali rambutku memanjang, timbullah penyakit kudis yang gatal sekali di
kepalaku!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan tertawa geli Ang I Niocu berkata, “Coba kau pelihara rambutmu baik-baik, kau cuci setiap hari
sampai bersih, tentu penyakit gatal itu lenyap!”
Dan benar saja, setelah mendapat perawatan Ang I Niocu yang setiap hari menyikat kulit kepala Cin Hai
dengan air panas sampai bersih, penyakit gatal itu tidak mau timbul lagi! Tentu saja Cin Hai menjadi girang
sekali dan ia lalu memelihara rambutnya yang tumbuh subur dan hitam.
Juga Ang I Niocu mencarikan pakaian untuk Cin Hai, sebuah celana putih dan sepotong baju biru. Setelah
mengenakan baju biru dan memelihara rambut, maka Cin Hai tampak cakap dan tampan sekali, hanya
sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kejujuran itu membuat mukanya selalu nampak bodoh!
Ketika mereka tiba di kota Nam-tin, Cin Hai sudah berusia dua belas tahun, tetapi karena tubuhnya
memang tinggi tegap, ia kelihatan seperti seorang pemuda berusia lima belas tahun lebih. Hubungannya
dengan Ang I Niocu semakin mesra dan di dalam hati mereka terjalin rasa kasih murni yang putih bersih,
seperti kasih sayang seorang antara ibu dan anak atau kakak beradik.
Ketika mereka berdua berjalan di depan sebuah toko obat-obatan di dalam kota Nam-tin, tiba-tiba Cin Hai
berbisik kepada Ang I Niocu.
“Niocu lihat, itulah orangnya yang dulu dirobohkan Giok-gan Kui-bo!”
Ang I Niocu menoleh ke arah toko obat itu dan melihat seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun sedang
berdiri di dalam toko. Orang itu tampan dan berpakaian seperti seorang sasterawan.
Tiba-tiba Ang I Niocu menarik tangan Cin Hai pergi dari situ hingga Cin Hai merasa heran melihat sikap
nona itu.
“Ehh, Niocu, apakah kau kenal kepadanya?” tanyanya.
“Hai-ji, tidak salahkah kau? Benar-benarkah orang yang berpakaian sasterawan tadi yang dirobohkan oleh
Suci-ku?”
“Benar, benar dia. Mana aku bisa salah lihat?”
Ang I Niocu meremas-remas tangannya sendiri dan berkata perlahan, “Suci-ku memang keterlaluan!
Kasihan Kang Ek Sian, tentu saja ia bukan lawan Suci...”
Melihat kegelisahan Ang I Niocu, Cin Hai maklum bahwa tentu gadis ini mengenal baik sasterawan itu dan
ada sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka. Tetapi karena ia maklum akan kekerasan hati Ang I
Niocu dan bahwa kalau tidak dikehendaki maka gadis itu tak akan menuturkan sesuatu, ia pun diam saja
tidak mau bertanya.
Tiba-tiba Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berkata, “Hai-ji, aku harus pergi ke sana menemui
dia!”
Tanpa menjawab Cin Hai mengangguk dan mengikuti Nona Baju Merah itu kembali ke toko obat tadi.
Ternyata Kang Ek Sian sudah tidak tampak lagi di situ. Yang menjaga toko adalah seorang berpakaian
pelayan.
Melihat yang datang adalah seorang gadis berpakaian merah yang cantik serta gagah, pelayan itu dengan
sikap hormat bertanya maksud kedatangan mereka.
“Aku hendak bertemu dengan majikanmu,” jawab Ang I Niocu singkat.
“Apakah Nona maksudkan hendak berjumpa dengan Kang-taihiap?”
Ang I Niocu agak tercengang mendengar betapa pelayan itu menyebut ‘taihiap’ (tuan pendekar) terhadap
Kang Ek Sian yang biasanya berlaku sangat sederhana serta tidak suka mengaku sebagai seorang
pendekar silat. Akan tetapi karena menduga bahwa yang disebut Kang-taihiap tentu bukan lain Kang Ek ia
mengangguk.
“Silakan menanti sebentar, Nona, akan saya sampaikan kepada Kang-taihiap.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pelayan itu masuk ke dalam dan tidak lama kemudian keluar pula sambil menjura dan memberi tahukan
bahwa Kang-taihiap mempersilakan kedua tamu itu masuk ke dalam. Ang I Niocu tanpa ragu-ragu lagi lalu
mengikuti pelayan itu masuk ke ruang belakang dan Cin Hai juga tidak ketinggalan ikut pula memasuki
rumah yang bagian depannya dipakai sebagai toko itu.
Ternyata rumah itu besar juga dan mempunyai bagian belakang yang dua kali lebih besar dan lebar dari
pada bagian depannya. Kedatangan mereka disambut oleh seorang lelaki setengah tua yang kurus dan
mempunyai jenggot tipis kecil panjang dan sepasang kumis kecil panjang pula berjuntai ke bawah. Seorang
anak laki-laki sebaya Cin Hai turut pula menyambut.
Laki-laki berkumis panjang itu bersikap dingin, angkuh dan menyambut kedatangan Ang I Niocu dengan
pandangan mata tajam dan menyelidik. Juga anak laki-laki itu memandang kepada Cin Hai dengan mata
mengandung ejekan sehingga baru bertemu muka satu kali saja Cin Hai telah merasa tidak senang kepada
mereka ini.
Akan tetapi, dengan senyum manis di bibir Ang I Niocu segera memberi hormat dengan mengangkat kedua
tangan dan menjura. Tuan rumah segera membalas hormatnya.
“Maafkan kalau kedatangan kami mengganggu. Maksud kami hendak bertemu dengan Kang-enghiong
sebentar,” kata Ang I Niocu.
“Orang she Kang adalah aku sendiri, Nona,” kata orang laki-laki berkumis panjang itu.
“Tuan salah sangka. Aku hendak bertemu dengan Saudara Kang Ek Sian,” berkata Ang I Niocu lagi.
Tuan rumah itu memandang tajam dan terutama ia memperhatikan pakaian Ang I Niocu yang berwarna
merah itu dan gagang pedangnya yang tergantung pada pinggang kirinya. Kemudian tiba-tiba dia
tersenyum dan pada waktu ia tersenyum, maka wajahnya berubah tampan dan hampir sama dengan wajah
Kang Ek Sian.
“Oo, kau mencari Kang Ek Sian? Dia adalah adikku dan aku adalah Kang Bok Sian.”
Ang I Niocu yang tadi hanya menunduk saja kini mengangkat muka memandang. Kedua matanya tajam
menyambar wajah orang itu dan ia berkata,
“Ahh, tidak tahunya aku yang bodoh berhadapan dengan Kang-taihiap!”
Mendengar pujian ini Kang Bok Sian tertawa tergelak dan ia pun berkata, “Lihiap sungguh berlaku sungkan.
Apakah dikira bahwa aku tak mengenal Gunung Thai-san? Lihiap tentu Ang I Niocu yang terkenal bukan?”
Melihat sikap orang yang biar pun di mulut memuji tetapi sikap dan bibirnya menyeringai seakan-akan
orang memandang rendah itu, Cin Hai merasa mendongkol.
Namun walau pun tak kurang gemasnya di dalam hatinya, Ang I Niocu tetap tersenyum ketika berkata,
“Kang-taihiap, tolonglah kau panggil Saudara Kang Ek Sian, karena ada sepatah dua patah kata yang
hendak kusampaikan kepadanya.”
“Ahh, mengapa terburu-buru benar, Li-hiap. Silakan duduk, silakan duduk. Kau juga, anak muda!”
Kang Bok Sian dan anak laki-laki itu lalu mendahului duduk di dekat sebuah meja yang pendek sekali.
Mereka berdua tidak duduk di atas bangku karena meja itu memang amat rendah dan mereka hanya duduk
bersila menghadapi meja!
“Lihiap, silakan duduk!” kata Kang Bok Sian dan anak itu segera mengambil empat buah cawan kosong dan
sepoci air teh.
Namun ketika Kang Bok Sian menuang isi poci itu, ternyata bukanlah teh yang keluar tetapi arak wangi!
Bau arak itu memenuhi ruangan. Dengan cepat cawan-cawan diisi arak dan Kang Bok Sian memberi Cin
Hai secawan, sedangkan anak laki-laki tuan rumah itu pun mengambil secawan. Ketika hendak
menyuguhkan arak kepada Ang I Niocu, Kang Bok Sian berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ang I Lihiap, untuk menghormati kedatanganmu, silakan minum secawan arak!”
Tapi Ang I Niocu menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. “Kang Taihiap, terima kasih atas
penghormatan besar ini. Tetapi sesungguhnya kedatanganku ini hanya untuk menemui Kang Ek Sian saja,
bukan hendak minum arak!”
Tiba-tiba saja muka Kang Bok Sian berubah merah. “Apakah kedatanganmu ini hendak menghina lagi
kepada Adikku?”
Ang I Niocu memandang heran. “Siapa yang menghina? Apa maksudmu?”
Kang Bok Sian tiba-tiba tertawa menghina. “Ah, jangan kau berpura-pura lagi. Bukankah kalau tidak
kebetulan bertemu dengan Kanglam Sam-lojin, adikku Kang Ek Sian itu telah mati dalam tangan Suci-mu?”
Sekarang mengertilah Ang I Niocu mengapa sikap Kang Bok Sian memusuhinya. Ia lalu berkata perlahan,
“Harap kau tidak salah paham. Kedatanganku ini justru ingin minta maaf kepada Adikmu atas kelancangan
tangan Suci-ku.”
Untuk beberapa lama kedua orang itu berpandang-pandangan lalu perlahan-lahan wajah Kang Bok Sian
menjadi sabar kembali. “Baik, baik, aku percaya kepadamu. Nah, marilah minum!”
Ia sendiri menenggak habis secawan arak, lalu memandang Cin Hai. Melihat betapa Cin Hai masih saja
berdiam diri tidak hendak minum araknya, ia berkata,
”He, anak muda, apakah kau tidak biasa minum arak? Atau…, apakah kau takut minum racun? Kalau kau
tidak mau minum arakku, mengapa kau memasuki rumahku?”
Mendengar ini anak laki-laki yang duduk di hadapan Cin Hai tertawa perlahan, kemudian mengangkat
cawan lalu mengangguk kepada Cin Hai sambil berkata, “Sobat, mari minum arakmu!”
Terpaksa Cin Hai memegang cawannya, tetapi dia tidak segera minum karena melihat bahwa Ang I Niocu
juga tidak mau minum!
“Ang I Niocu, apakah benar-benar kau tak mau menerima kebaikan dan penghormatanku berupa secawan
arak?” Kang Bok Sian berkata dengan suara keras.
Lalu tiba-tiba ia melontarkan cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang I Niocu itu ke atas dan
aneh! Cawan itu membentur langit-langit yang terbuat dari pada papan dan menempel di situ! Sambil duduk
bersila di dekat meja, Kang Bok Sian mengangkat kedua tangannya seakan-akan menjaga agar cawan itu
tidak jatuh.
“Beginikah caranya menghormat tamu?” tiba-tiba Ang I Niocu berkata menyindir.
Dia mengangkat tubuhnya hingga setengah berdiri, lalu menggunakan tangan kanannya memukul ke arah
cawan yang masih menempel di atas itu. Sambil mengerahkan tenaga lweekang-nya dia pun berseru,
“Kang-taihiap, kau terimalah kembali arakmu!”
Pertemuan tenaga yang keluar dari tangan kanan Ang I Niocu dan kedua tangan Kang Bok Sian yang
sama-sama mengerahkan tenaga lweekang ini terjadi secara diam-diam tetapi tak lama berlangsung
karena tiba-tiba cawan yang berisi arak itu bagaikan dilempar dan melayang kembali ke arah Kang Bok
Sian!
Tuan rumah berkumis panjang itu segera menggunakan tangan kanan menyambut, tetapi tetap saja ada
beberapa tetes arak memercik ke luar membasahi lengan bajunya yang lebar! Muka orang she Kang ini
menjadi merah dan kedua matanya bercahaya, tanda panas hatinya.
“Hai-ji, mari kita pergi!” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang masih duduk bersila sambil memegang
cawan arak di tangan kirinya tanpa meminum arak itu.
Sejak tadi ia bengong melihat pertempuran tenaga lweekang yang hebat menarik itu! Kini mendengar suara
dunia-kangouw.blogspot.com
Ang I Niocu, dia segera menaruh kembali cawan araknya di atas meja dan bangkit berdiri, lalu mengikuti
Nona Baju Merah itu bertindak keluar.
“Ang I Niocu, tunggu dulu! Aku sudah merasakan kelihaian tenagamu, sekarang berilah sedikit petunjuk
padaku!”
Tiba-tiba terasa ada sambaran angin dan tahu-tahu tubuh tuan rumah itu telah mengejar mendekat dan dia
mengulurkan tangan kanannya hendak memegang lengan Ang I Niocu. Kelihatannya seperti seorang yang
hendak menahan kepergian gadis perkasa itu, tetapi sebenarnya ini adalah sebuah serangan berbahaya
karena jari-jari tangan Kang Bok Sian bergerak dengan Tenaga Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku
Garuda) yang kalau saja sampai dapat menangkap lengan tangan orang maka tentu kulit lengan itu akan
hancur berikut dagingnya!
Tetapi tanpa menoleh sedikit pun, Ang I Niocu berkata, “Orang she Kang, jangan banyak tingkah!”
Tiba-tiba lengan tangannya yang hendak dicengkeram itu bergerak cepat sekali mengelit serangan itu
sehingga cengkeraman Kang Bok Sian tidak mengenai sasaran. Kang Bok Sian penasaran dan
meneruskan serangannya dengan gerakan Pek-ho Tok-hi (Bangau Putih Menotol Ikan), menotok ke arah
lambung Ang I Niocu.
Tetapi Dara Baju Merah ini dengan tenang sekali mendahului gerakan lawan dan sekali menyentil dengan
jari tangannya, tangan kanan Kang Bok Sian menjadi lumpuh dan dia meringis kesakitan. Ternyata sentilan
jari tangan itu tepat sekali mengenai jalan darah di lengannya sehingga lengannya terasa lumpuh tak
bertenaga. Maka selain serangannya gagal sama sekali, juga ia sendiri menderita kesakitan!
Bagaikan tidak terjadi sesuatu hal, Ang I Niocu bertindak ke luar dari toko obat itu, diikuti oleh Cin Hai yang
diam-diam menengok ke belakang melihat ke arah tuan rumah yang masih meringis kesakitan dan
puteranya yang berdiri bengong terheran-heran! Cin Hai tertawa geli dan cepat menyusul Ang I Niocu yang
berjalan cepat meninggalkan tempat itu.
“Niocu, mengapa Kang Bok Sian itu bersikap ganjil dan seakan-akan hendak memusuhi kau?” tanyanya
kepada Dara Baju Merah itu.
Ang I Niocu menghela napas panjang. “Ini semua gara-gara Suci yang terlalu gegabah. Memang telah
sering kali terjadi aku dimusuhi tanpa sebab oleh orang-orang yang pernah dijatuhkan dan dibuat sakit hati
oleh Suci-ku!”
Gadis itu kemudian mengajak Cin Hai meninggalkan kota Nam-tin agar urusan itu jangan sampai terulang
lagi. Tetapi pada waktu mereka hendak keluar dari pintu gerbang kota, tiba-tiba terdengar suara orang
berteriak.
“Niocu, tunggu sebentar!”
Ang I Niocu berhenti dan memutar tubuhnya. Cin Hai juga cepat berpaling. Ternyata yang datang berlari
cepat itu adalah Kang Ek Sian sendiri! Wajah sastrawan ini berseri-seri dan matanya bersinar gembira.
“Ahh, Niocu. Sayang sekali kita tidak bertemu ketika kau mengunjungi rumah kami tadi,” katanya setelah
saling memberi hormat.
“Tidak apa, sekarang kita kan sudah bertemu di sini,” jawab Ang I Niocu sederhana.
“Niocu, kau maafkan banyak-banyak Kakakku itu. Dia tidak tahu kelihaianmu sampai di mana, maka
hendak mencoba,” Kang Ek Sian berkata dengan suara halus sehingga Cin Hai merasa suka kepada
sastrawan yang bersikap sopan ini.
“Tidak apa, Kang-twako. Sebetulnya akulah yang hendak datang menyatakan penyesalan dan maafku,
sebab aku mendengar bahwa kau telah dihina oleh Suci. Sebetulnya kenapa kau sampai bentrok dengan
dia?”
Kang Ek Sian menghela napas. “Memang aku yang bernasib malang. Giok-gan Kuibo, suci-mu itu marah
kepadaku karena aku dianggap terlalu lancang karena berani... jatuh cinta padamu! Ia menganggap aku
menghinamu dan juga menghina dia, karena... orang macam aku tidak pantas dan tidak boleh mencintai
dunia-kangouw.blogspot.com
seorang gadis seperti engkau. Ia lalu menantangku dan terpaksa aku melayaninya.”
Ang I Niocu menghela napas dan memandang sastrawan itu dengan rasa kasihan. “Ahh, Suci-ku memang
terlalu angkuh dan sembrono.”
“Sudahlah, jangan kita bicarakan hal yang sudah lalu,” Kang Ek Sian memotong, “mari kita bicarakan hal
kita sendiri. Bagaimana, Niocu, apakah sudah ada sedikit rasa kasihan dalam hatimu terhadap aku?
Adakah harapan bagiku?”
Ang I Niocu menggigit bibir dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Niocu, kasihanilah aku yang menderita bertahun-tahun karena kau!”
“Siapa yang menyuruh kau menderita? Kau sendiri yang... lemah! Sudah, aku tak ingin lagi mendengar hal
ini!” jawab Ang I Niocu.
“Niocu, begitu kejamkah hatimu terhadapku?”
Ang I Niocu tidak menjawab, tetapi memandang ke tempat jauh.
“Niocu, apakah hatimu terbuat dari pada batu karang?”
Akan tetapi Ang I Niocu tetap tak mau menjawab. Tiba-tiba gadis ini wajahnya pucat dan matanya
dilingkungi warna merah, seakan-akan ia menahan keharuan hatinya. Kemudian ia lalu melihat Cin Hai
yang memandangnya dengan sepasang matanya yang lebar dan jernih. Maka perlahan-lahan timbullah
senyuman di sepasang bibirnya yang indah. Ia lalu memegang tangan Cin Hai dan berkata,
“Hai-ji, marilah kita pergi.”
Mereka lalu saling bergandeng tangan dan meninggalkan Kang Ek Sian.
“Niocu, begitu kejamkah kau?” terdengar suara sasterawan itu memilukan hati dan ia ikut bertindak di
belakang Ang I Niocu. Ketika gadis itu tetap tidak mempedulikan dirinya dan bahkan mengajak Cin Hai
berbicara gembira, Kang Ek Sia merayu-rayu dan membujuk-bujuknya sambil menyatakan perasaan
hatinya yang hancur dan mencinta.
Ang I Niocu bersikap seakan-akan Kang Ek Sian tidak ada di situ dan melangkah terus. Tetapi Cin Hai tidak
kuat mendengar terus. Ia tidak benci melihat sasterawan itu, bahkan ada perasaan kasihan di dalam
hatinya, tetapi tidak puas melihat sikap orang.
Biar pun dia tidak tahu akan duduknya persoalan antara Ang I Niocu dan Kang Ek Sian namun dia dapat
menduga bahwa dulu tentu ada pertalian yang erat antara ke dua orang ini. Hal ini mudah diduga karena
dari panggilan mereka kepada masing-masing juga telah menyatakan eratnya hubungan mereka.
Ia menganggap sasterawan itu terlalu lemah, dan tak selayaknya seorang lelaki selemah itu. Karena itu
sambil berjalan dia lalu menyanyikan sebuah lagu yang kuno yang pernah dibacanya dari buku.
Lima macam rupa indah membuat mata buta,
Lima macam suara merdu membuat telinga tuli,
Tetapi seorang laki-laki sejati,
memiliki keteguhan iman dan kekuatan hati,
untuk menentang godaan lima anggota tubuhnya!
Mendengar nyanyian ini, Kang Ek Sian merasa tersindir dan juga tertarik. Sejak tadi dia tidak
memperhatikan anak muda yang hubungannya dengan Ang I Niocu tampak begitu erat dan mesra, karena
tadinya ia menyangka bahwa anak itu adalah seorang pelayan atau seorang murid dari Dara Baju Merah
itu. Tetapi kini melihat sikap dan mendengar lagu kuno yang dinyanyikan Cin Hai, ia kagum dan
memandang dengan penuh perhatian.
Melihat betapa Kang Ek Sian menghentikan bujuk rayunya kepada Ang I Niocu dan kini hanya mengikuti
mereka sambil memandangnya, Cin Hai maklum bahwa nyanyian tadi sudah mengenai sasaran dengan
tepat, maka ia lalu mendongakkan kepala ke udara dan berkata kuat-kuat,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sungguh tak dapat dibenarkan sikap Cou Han yang membunuh diri hanya karena gagal dalam asmara!
Padahal ia memiliki kepandaian bun dan bu (sastera dan silat) dan dapat menggunakan sisa hidupnya
untuk mengabdi kepada negara dan bangsa! Tapi sayang... sayang... !” Ucapan ini adalah ucapan guru
Cou Han yang menyayangkan muridnya itu membunuh diri karena gagal dalam asmara dan kisah ini
adalah sebuah cerita kuno yang terkenal di masa itu.
Mendengar ini, karena sebagai sasterawan tentu saja ia mengenal baik nyanyian tadi dan cerita ini, sekali
lagi Kang Ek Sian merasa betapa mukanya panas seolah-olah mendapat tamparan keras dan tiba-tiba
insyaflah dia dari kelemahannya. Pantas saja Ang I Niocu menyebutnya lemah karena memang benar dia
bersikap lemah sekali dan memalukan benar!
Kang Ek Sian lalu mengangkat dada dan berkata keras,
“Terima kasih, anak muda! Siapa pun adanya engkau, ternyata kau jauh lebih gagah dari padaku. Ang I
Niocu, maafkan aku dan selamat berpisah!”
Kini Ang I Niocu tiba-tiba saja memutar tubuhnya menghadapi Kang Ek Sian dan berkata dengan suara
agak gemetar karena terharu,
“Kang-twako, kita saling memaafkan dan selamat tinggal!”
Gadis ini lalu memegang tangan Cin Hai dan menariknya cepat-cepat sehingga Cin Hai terpaksa
mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat supaya jangan tertinggal di belakang.
“Hai-ji, tahukah kau bahwa baru saja kau telah menolong jiwa seorang gagah?”
“Aku kasihan padanya, Niocu,” jawab Cin Hai. “Ia seorang baik.”
Tiba-tiba Ang I Niocu menghentikan larinya dan duduk di bawah sebatang pohon yang tumbuh di pinggir
jalan. Ternyata mereka telah jauh dari kota Nan-tin, karena sebentar saja mereka telah berlari dua puluh li
lebih!
Memang tadi mereka telah lari cepat sekali dan hal ini tidak dirasakan oleh Cin Hai yang masih tidak sadar
akan kemajuan kepandaiannya yang cepat sekali dan tak terduga-duga olehnya sendiri. Cin Hai juga ikut
duduk di depan nona itu.
“Hai-ji, kau berkata benar. Memang Kang Ek Sian adalah seorang laki-laki yang gagah dan baik.”
“Kalau begitu... mengapa kau... sia-siakan cintanya?” tanya Cin Hai dengan berani.
Wajah Ang I Niocu memerah. “Ahh, anak baik, jangan kau marah. Kau tidak tolol, sama sekali tidak!”
Sambil berkata begini Nona Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai yang terpaksa tertawa juga
mendengar godaan ini.
“Dengarlah, Hai-ji. Kini telah tiba waktunya aku menceritakan sedikit riwayatku padamu, karena aku telah
mengetahui betul watakmu yang boleh kupercaya.”
Maka dengan singkat Ang I Niocu menceritakan riwayatnya. Ternyata Gadis Baju Merah ini sebenarnya
bernama Kiang Im Giok, anak tunggal dari Kiang Liat yang dahulu sangat termasyur karena kepandaian
silatnya yang luar biasa tingginya.
Kiang Liat ini dijuluki Manusia Dewa Tangan Seribu dan menjadi seorang tokoh besar dalam dunia
persilatan. Ibu Im Giok meninggal dunia ketika Im Giok masih sangat kecil, disebabkan oleh serangan
penyakit panas yang hebat.
Sejak kematian isterinya, Kiang Liat menjadi berubah ingatan dan dia menjadi setengah gila! Wataknya
menjadi aneh sekali dan ditakuti semua orang gagah. Akan tetapi ia tidak lupa untuk menurunkan
kepandaian silatnya yang istimewa kepada puteri tunggalnya.
Im Giok mempunyai seorang kawan perempuan sekampung yang bernama Kim Lian dan karena eratnya
bergaul maka Im Giok mengajukan permohonan kepada ayahnya untuk menerima Kim Lian sebagai murid
dunia-kangouw.blogspot.com
pula. Hal ini disetujui oleh ayahnya dan Kim Lian lalu menjadi muridnya. Gadis ini lebih tua enam tahun dari
pada Im Giok, akan tetapi Im Giok lebih cerdik sehingga sejak kecil kepandaian Im Giok lebih tinggi dari
pada kepandaian Kim Lian.
Setelah dewasa, Im Giok bertemu dengan seorang pemuda tampan dan berbudi halus. Pertemuan ini
terjadi ketika Im Giok sedang berjalan dalam sebuah hutan dan menolong siucai atau sasterawan muda itu
dari serangan para perampok, dan semenjak itu mereka berkenalan dan di dalam hati masing-masing terbit
rasa cinta suci.
Tetapi ketika Kiang Liat mendengar tentang perhubungan gadisnya ini, orang tua yang setengah gila itu
menjadi marah sekali. Ia mencari pemuda itu dan membunuhnya!
Tentu saja Im Giok menjadi sakit hati dan gadis yang berwatak keras ini dengan terus terang menyatakan
penyesalannya kepada ayahnya, bahkan ayah dan anak ini sampai saling menyerang! Akan tetapi, di
tengah-tengah pertempuran, Im Giok teringat bahwa ia tidak boleh melawan ayahnya sendiri, maka ia lalu
melempar pedangnya dan memasang dadanya untuk ditusuk mati oleh ayahnya sendiri.
Pada saat itu, ayahnya berteriak keras dan muntahkan darah segar lalu roboh! Ternyata orang tua itu
mendapat serangan jantung yang sangat hebat. Tidak tahunya, semenjak ditinggal mati oleh ibunya, untuk
bertahun-tahun lamanya yakni sedari dia berusia empat tahun sampai tujuh belas tahun, ayahnya telah
menyimpan rasa kesedihan amat hebat di dalam dadanya yang membuat ia menjadi setengah gila dan
menderita sakit jantung!
Perbuatan ayahnya yang membunuh pemuda kekasih Im Giok itu ternyata berdasarkan kekhawatiran
kalau-kalau anaknya, satu-satunya di dunia ini yang dicintainya semenjak isterinya meninggal, akan kawin
dan meninggalkan dia seorang diri! Karena pikiran tidak waras inilah maka ia membunuh pemuda itu.
Tetapi kemudian ketika melihat betapa anak yang dicintanya itu melawannya, jantungnya terserang
kekecewaan dan kesedihan demikian hebatnya sehingga ia muntah darah dan roboh! Ternyata hal ini
mengantarkannya ke lubang kubur dan membuat Im Giok menjadi yatim piatu!
“Demikianlah Hai-ji, kau mengerti sekarang kenapa aku tidak dapat menerima cinta Kang Ek Sian! Rasa
cinta di dalam hatiku sudah terbawa mati oleh sasterawan itu dan oleh kematian Ayah yang menjadi seperti
itu keadaanya karena ia terlalu mencinta lbu sampai berlebih-lebihan. Sastrawan itu mati terbunuh karena
cintanya kepadaku. Ah, cinta hanya mendatangkan kepahitan belaka.”
Cin Hai menjadi terharu sekali dan rasa sayangnya terhadap Ang I Niocu makin besar. Ketika teringat akan
keadaan diri sendiri yarg juga sudah sebatang kara dan yatim piatu, tak terasa pula matanya yang lebar
menjadi basah.
“Niocu, nasibmu buruk sekali. Sungguh Thian tidak adil, orang sebaik kau bisa memiliki nasib seburuk
itu...,” katanya sambil memandang wajah Ang I Niocu dengan mesra.
Gadis Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai dengan terharu. “Hai-ji, kau juga baik sekali, dan nasibmu
juga buruk...”
Untuk beberapa lama keduanya diam saja tak dapat berkata, hanya duduk melamun.
Tiba-tiba Cin Hai menepuk kepala dan berkata, “Aih, aih... mengapa kita menjadi begini? Ujar-ujar kuno
menyatakan bahwa melamun dan bersedih hanya diperbuat oleh orang yang bodoh dan lemah. Dan kita
bukanlah orang bodoh, apa lagi lemah!”
Kata-kata ini pun menyadarkan Ang I Niocu. Tiba-tiba wajah manis yang tadinya muram itu bersinar dan
berseri kembali dan senyumnya segera tampak membayang menambah kecantikannya.
“Kau lagi-lagi benar, Hai-ji. Ahh, sungguh baik apa bila hafal akan semua ujar-ujar kuno seperti kau.”
“Niocu, tadi kau belum bercerita tentang diri Kang Ek Sian. Bagaimana dulu kau bisa mengenalnya?”
“Kang Ek Sian adalah anak murid dari Bu-tong-pai dan kepandaiannya sebetulnya juga tidak lemah, karena
dia adalah murid Lo Beng Hosiang dari Bu-tong-pai. Empat tahun yang lalu, pada waktu orang-orang gagah
mengadakan pertemuan di Puncak Thai-san, Bu-tong-pai mengutus wakil dan di sanalah kami bertemu dan
dunia-kangouw.blogspot.com
berkenalan. Dia memang seorang baik dan kalau saja hatiku belum terluka oleh asmara, mungkin aku akan
dapat membalas perasaan hatinya itu,”
“Niocu, kiranya sudah cukup kita berbicara tentang hal-hal yang mendatangkan kenangan tidak
menggembirakan. Tempat ini sunyi dan indah, bagaimana kalau kita berlatih?”
“Baik, coba kita berlatih gerakan ke sembilan belas karena gerakanmu masih amat kaku,” jawab Ang I
Niocu yang lalu menerima suling Cin Hai dan mulai meniupnya.
Cin Hai telah beberapa lama menerima latihan Ngo-lian-hwa Kiam-hoat atau Tari Pedang Lima Kembang
Teratai. Ilmu pedang ini merupakan pecahan dari Sian-li Kiam-hoat yang digubah oleh Ang I Niocu sendiri
untuk disesuaikan dengan pemain laki-laki. Gerakannya tetap indah bagaikan orang menari, tetapi tidak
begitu membutuhkan kelemasan tubuh. Ternyata bahwa ilmu silat ini lebih mudah dipahami oleh Cin Hai
dan ia mainkan pedang dengan bagus sekali.
Pada saat mereka berlatih dengan gembira, tiba-tiba datang serombongan orang lewat di jalan itu. Karena
mereka sedang asyik berlatih, baik Cin Hai mau pun Ang I Niocu tidak memperhatikan dan tidak
mempedulikan mereka.
Rombongan itu terdiri dari sembilan orang yang berpakaian seragam. Melihat di pinggir jalan ada seorang
wanita cantik sedang meniup suling dan seorang anak muda tanggung sedang menari pedang, mereka ini
berhenti dan menonton.
Tiba-tiba seorang dari mereka tertawa bergelak, “Eh, ehh, sungguh lucu. Apakah mereka ini sedang
membarang tarian? Tetapi mengapa di tempat sunyi tanpa ada penontonnya?”
Cin Hai menghentikan permainannya dan Ang I Niocu menunda sulingnya. Ketika Ang I Niocu menengok,
ia agak heran karena dari pakaian rombongan itu ia maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seregu
pasukan Sayap Garuda, yakni para pengawal istana kaisar yang terkenal lihai dan ganas!
Ang I Niocu yang sudah berpengalaman dan telah mendengar akan kekejaman pasukan Sayap Garuda,
tidak mau mencari perkara dan berkata kepada Cin Hai,
“Hai-ji, mari kita pergi dari sini.”
Cin Hai memandang rombongan orang itu dengan heran dan penuh perhatian. Dia tidak tahu siapakah
mereka itu, karena biar pun pakaian mereka seragam biru tetapi keadaan mereka sungguh bermacammacam.
Ada yang masih muda, ada pula yang sudah seperti kakek-kakek. Ikat kepala mereka berupa topi
Boancu yang dihias dengan sayap burung garuda di atasnya.
Sebetulnya Cin Hai ingin mencari tahu tentang keadaan mereka. Tapi mendengar ajakan Ang I Niocu untuk
pergi dari situ, ia tidak berani membantah dan tanpa berkata sesuatu ia mengikuti Dara Baju Merah itu.
Akan tetapi sebelum mereka pergi, tiba-tiba terdengar desir angin dan tahu-tahu seorang di antara mereka
yang bertubuh tinggi kurus dan berusia kurang lebih empat puluh tahun telah meloncat dengan gerakan
cepat sekali dan tahu-tahu sudah berada di depan Ang I Niocu sambil memalangkan kedua lengannya yang
dipentang lebar-lebar. Kumis tipisnya bergerak-gerak ketika ia tersenyum-senyum dengan sikap yang
menjemukan sekali.
“Ahh, Nona manis, mengapa terburu-buru hendak pergi? Bukankah kau memang hendak
mempertontonkan tarian? Menarilah untuk kami, tetapi jangan suruh bujang ini menari, lebih baik kau
sendiri. Kami ingin sekali melihat tarianmu!”
Ang I Niocu memandang dengan mata setengah terkatup serta pelupuk mata gemetar sedikit sehingga bulu
mata yang lentik itu bergerak-gerak. Hal ini dilihat jelas oleh Cin Hai yang memperhatikannya dan anak ini
maklum bahwa Ang I Niocu sedang menahan rasa marahnya.
Dulu ketika bertemu di rumah Kang Bok Sian, pernah dia melihat getaran bulu mata ini, maka ia kini dapat
mengetahui perasaan Ang I Niocu. Orang ini mencari penyakit sendiri, pikirnya.
Pada saat itu, seorang di antara delapan orang yang juga telah mengelilingi Ang I Niocu, yaitu yang masih
muda, berkata pula sambil memandang wajah dara itu dengan kagum.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nona, kau harus menari untuk kami. Biarlah, berapa saja upahnya akan kami bayar!”
Dengan tenang dan gerakan perlahan, Ang I Niocu memandang dan menatapi wajah seorang demi
seorang. Agaknya gadis ini hendak melihat apakah barang kali di antara mereka itu ada yang pernah dilihat
dan dikenalnya. Tetapi ternyata mereka ini adalah wajah-wajah baru yang belum pernah dijumpainya, maka
ia lalu tersenyum.
Kesembilan orang itu, termasuk seorang di antaranya yang sudah kakek-kakek tertawa gembira melihat
senyum yang sangat manis dan menggiurkan hati ini. Alangkah jelitanya dan manisnya, pikir mereka.
“Cuwi sekalian ingin melihat aku menari?” mendadak terdengar suara Ang I Niocu, suara yang sangat
merdu bagaikan berlagu.
Namun bagi pendengaran Cin Hai suara itu mengandung sindiran yang dingin. Baginya, suara gadis itu
biasanya hangat dan menyedapkan telinga, tetapi kali ini, biar pun masih tetap halus dan merdu, terdengar
sangat dingin menyeramkan. Ia dapat menduga bahwa sebentar lagi pasti terjadi hal-hal hebat.
“Ya, ya, kami ingin sekali menikmati tarianmu!” sembilan orang itu berkata dengan suara riuh.
“Boleh, tapi kalian harus menurut syarat-syaratku.”
“Apa syaratnya?”
“Buatlah lingkungan yang cukup luas dan kalian duduklah di atas tanah sambil berlutut untuk menghormati
kami berdua, baru aku mau menari.”
Tentu saja kesembilan pengawal raja ini merasa heran dan marah. Terang sekali bahwa gadis ini hendak
mempermainkan mereka dan bahkan telah berani menghina mereka.
“Eh penari rendah! Jangan kau kurang ajar! Tak tahukah bahwa kau sedang berhadapan dengan
pahlawan-pahlawan istana? Hayo lekas berlutut minta ampun dan segera menari untuk kami!” bentak lakilaki
tinggi kurus tadi.
“Dan kau lekas berlutut, anjing kecil!” bentak pengawal muda kepada Cin Hai.
“Anjing besar, kau harus berlutut lebih dulu!” Cin Hai balas memaki.
Bukan main hebatnya akibat dari makian ini. Kesembilan orang itu memandang kepada Cin Hai dengan alis
berdiri. Mereka ini lebih banyak merasa tercengang dari pada marah, karena mana mungkin ada seorang
pemuda tanggung berani memaki seorang anggota Sayap Garuda? Mereka menganggap bahwa anak ini
tentu berotak miring.
Akan tetapi pengawal muda itu tidak dapat menahan marahnya lagi. Meski gila mau pun waras, pemuda
kecil ini terlalu menghinanya dan harus dipukul mampus. Maka ia segera melangkah maju kemudian
mengayunkan tangan kanan memukul kepala Cin Hai sambil membentak,
“Bangsat kecil, mampuslah kau!”
Pukulan ini adalah gerakan Siok-lui Kik-ting atau Petir Menyambar Kepala dan dilakukan dengan tenaga
mengeluarkan angin. Hebatnya tidak terkira, dan kepala seekor kerbau mungkin akan terpukul pecah oleh
pukulan ini, apa lagi hanya kepala seorang pemuda yang masih anak-anak! Pengawal muda itu bermaksud
untuk menghancurkan kepala Cin Hai dengan sekali pukul!
Tetapi dengan gerakan indah dan lucu bagaikan seorang sedang menari, Cin Hai melejit ke samping sambil
tertawa mengejek dan berkata, “Hei, bangsat besar, percuma saja kau hidup karena hidungmu terlalu
besar!”
Melihat betapa pukulannya yang dahsyat itu dapat dikelit semudah itu oleh Cin Hai dan mendengar sindiran
anak itu, pengawal muda itu marah sekali dan tanpa terasa pula ia mempergunakan tangan kiri untuk
memegang hidungnya! Hidungnya memang besar dan mancung dan selalu menjadi kebanggaannya, tidak
tahunya sekarang digunakan sebagai bahan menyindir oleh anak ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Anjing kecil, kalau hari ini aku tidak bisa menghancurkan kepalamu yang besar, jangan panggil aku
Harimau Kepala Besi lagi!”
Dan Tiat-thou-houw atau Harimau Kepala Besi itu segera maju menyerang lagi dengan gerak tipu To-cukim-
ciang atau Robohkan Lonceng Emas. Serangan ini lebih hebat lagi karena kedua tangannya bergerak
menyerang ke arah dada dan kepala Cin Hai.
“Anjing besar! Aku tak akan menyebut kau Harimau Kepala Besi melainkan Anjing Hidung Panjang!” Cin
Hai mengejek lagi.
Anak ini kemudian mengeluarkan kepandaiannya Ngo-lian-hwa Kun-hoat yang baru saja dipelajari
beberapa bulan dari Ang I Niocu! Dengan mudah ia dapat berkelit dari serangan lawannya karena tubuhnya
sudah mempunyai kelemasan dan kelincahan yang luar biasa berkat latihan-latihan Tarian Bidadari.
Kemudian dia balas menyerang, namun karena Ilmu Silat Lima Kembang Teratai belum lama dipelajarinya,
maka ia tidak dapat mempergunakannya untuk menyerang, dan untuk melakukan serangan balasan ini ia
terpaksa mengeluarkan Ilmu Silat Liong-san Kun-hoat yang dia pelajari dari catatannya pada waktu masih
mempelajari ilmu silat dari Kanglam Sam-lojin!
Biar pun Cin Hai belum mempunyai pengalaman dalam pertempuran, tapi karena selama ini ia telah
mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dari orang-orang yang tergolong tokoh persilatan kelas berat, maka
gerakannya juga istimewa dan tidak terduga-duga. Sebab itu Tiat-thou-houw menjadi terkejut sekali melihat
perubahan ini,
Tadi pada waktu mengelit serangan-serangannya, Cin Hai bergerak lemah lembut seperti sedang menari.
Kini dalam melakukan serangan, anak muda itu bergerak cepat dan kuat! Karena tercengang, serangan Cin
Hai dalam jurus pertama itu berhasil baik dan kepalan tangannya menumbuk dada lawan!
Tiat-thou-houw mengeluh dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Ia tadinya tidak menduga bahwa anak
muda yang masih kecil itu akan berbahaya pukulannya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Cin Hai telah dilatih
lweekang yang cukup lumayan oleh Ang I Niocu, karena itu ketika kepalan tangannya mengenai sasaran,
maka berat pukulannya tidak kurang dari seratus kati!
Melihat betapa dengan mudah saja Cin Hai bisa menggulingkan lawannya, delapan orang pengawal
lainnya menjadi marah sekali. Terlihat cahaya berkeredepan pada saat mereka mencabut senjata masingmasing
dari sarungnya!
“Bangsat kecil, memang kau sudah bosan hidup!” pimpinan rombongan itu membentak marah.
“Hai-ji, kau minggirlah. Biarlah aku layani kaleng-kaleng kosong ini!” tiba-tiba Ang I Niocu loncat
menghadang di depan Cin Hai, rnenanti datangnya delapan orang anggota Sayap Garuda yang maju
mengancam.
Cin Hai segera meloncat ke pinggir dan berdiri sambil menyiapkan sulingnya, lalu berkata keras kepada
para pengawal itu,
“He, bangsat-bangsat besar. Kalian tadi hendak melihat tarian indah? Nah, sekarang kau lihatlah!” Ia lalu
meniup sulingnya dengan perlahan-lahan, maka bergeraklah Ang I Niocu menarikan Tari Bidadari dengan
pedangnya!
Untuk sejenak delapan orang pengawal istana itu memandang tercengang kepada gadis itu dengan kagum,
karena tarian Dara Baju Merah itu benar-benar indah. Tetapi mereka lalu teringat akan kawan yang telah
dirobohkan, maka Pimpinan yang tinggi kurus lantas berseru,
“Serbuuu…!”
Dan menyeranglah delapan orang itu bagaikan air pasang, menyerbu Ang I Niocu yang tengah menari. Cin
Hai lalu mempercepat tiupannya dan sebentar saja kalang kabutlah delapan orang anggota Sayap Garuda
itu. Mereka sudah kehilangan lawan karena tubuh Ang I Niocu tidak tampak lagi, tertutup oleh sinar
pedangnya, hanya bajunya saja yang merupakan cahaya merah berkelebat ke sana kemari!
dunia-kangouw.blogspot.com
Delapan orang itu bukanlah orang lemah, dan mereka rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kini
mereka maklum bahwa yang mereka hadapi adalah seorang pendekar pedang yang sama sekali tak bisa
dipandang ringan. Maka lenyaplah nafsu mereka untuk mempermainkan gadis jelita ini, dan mereka lalu
mengerahkan tenaga serta kepandaian dalam perlawanan sungguh-sungguh dan mati-matian!
Sambil meniup sulingnya, Cin Hai kagum sekali melihat sepak terjang Ang I Niocu. Kini benar-benar ia
dapat menikmati dan mengagumi kehebatan Sian-li Kiam-hoat yang benar jarang terlihat dan tak mungkin
dicari keduanya!
Dahulu ketika menghadapi Kanglam Sam-lojin, Ang I Niocu tidak memperlihatkan seluruh kepandaiannya.
Namun kini, menghadapi delapan orang jagoan istana, anggota-anggota Sayap Garuda yang terkenal
berkepandaian tinggi, Nona Baju Merah itu mengeluarkan dan memperlihatkan kepandaiannya yang benarbenar
luar biasa!
Tidak hanya Cin Hai yang merasa kagum, bahkan kedelapan anggota Sayap Garuda itu sendiri terkejut dan
terheran karena selamanya mereka belum pernah menghadapi lawan yang sehebat serta selihai ini!
Mereka merasa menyesal mengapa tadi telah berlaku jail dan sembrono hingga kini terpaksa harus
menelan pel pahit! Akan tetapi, tidak ada jalan mundur lagi bagi mereka selain mengerahkan tenaga dan
mengepung makin rapat.
Sesudah pertempuran berlangsung lima puluh jurus lebih, Ang I Niocu baru menurunkan tangan besi dan
sinar pedangnya berubah ganas. Sebentar kemudian terdengar teriakan-teriakan mengaduh yang diikuti
dengan pedang-pedang beterbangan karena terlepas dari pegangan tangan!
Dalam beberapa jurus saja Ang I Niocu berhasil merobohkan delapan orang lawannya, masing-masing
mendapat hadiah guratan pedang di lengan tangan, pundak, muka dan paha, hingga biar pun mereka
mandi darah dan roboh di tanah, tak seorang pun di antara mereka yang menderita luka berat sehingga
membahayakan keselamatan jiwa mereka!
“Puaskah kalian melihat tarianku?” Ang I Niocu berkata sambil memasukkan pedang ke sarungnya dan
tersenyum manis.
Pemimpin rombongan Sayap Garuda itu dengan muka merah dan mata terbelalak lantas bertanya dengan
suara parau, “Lihiap ini siapakah...?”
Tetapi Ang I Niocu tidak menjawab, hanya tersenyum dan berpaling memandang Cin Hai yang menyimpan
sulingnya,
“Kalian belum tahu siapakah pendekar wanita yang gagah perkasa ini? Ahhh…, sungguh percuma hidup di
dunia mempunyai mata seakan-akan buta!” Dengan senyum sindir Cin Hai lalu menyanyikan syair Ang I
Niocu.
Berkawan sebatang pedang dan suling,
Menjelajah ribuan li tanah dan air,
Tanpa maksud tiada tujuan,
Hanya mengandalkan kaki dan hati!
Memang Cin Hai sudah menggubah sebuah lagu yang bernada gagah untuk syair ini dan menambahkan
kata ‘suling’ di belakang ‘pedang’. Sehabis menyanyikan syair itu, Cin Hai memandang wajah mereka.
Tetapi ternyata bahwa para anggota Sayap Garuda itu masih saja belum mengerti siapa adanya nona
gagah perkasa yang demikian lihai ilmu silatnya itu.
Karena mendongkol melihat kebodohan mereka, Cin Hai lalu membentak, “Orang-orang macam kalian ini
mana pantas mengenal dia?!”
Sementara itu, Ang I Niocu bertaka, “Hai-ji mari kita pergi”
Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dengan tenang seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu. Kawanan
Sayap Garuda itu merangkak-rangkak bangun sambil menyumpah-nyumpah dan saling tolong. Untung bagi
mereka bahwa kekalahan hebat ini tidak terlihat oleh orang lain. Sungguh peristiwa yang memalukan sekali
dan andai kata kelihatan oleh orang lain, nama mereka akan jatuh rendah sekali!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba pemimpin mereka berseru sambil menepuk-nepuk jidatnya, “Ah, siapa lagi kalau bukan dia!”
Kawan-kawannya memandang heran dan dia lalu melanjutkan kata-katanya. “Tentu nona tadi Ang I Niocu!
Kepandaiannya hebat, pakaiannya merah, siapa lagi kalau bukan Ang I Niocu?”
“Akan tetapi ia masih begitu muda dan cantik, paling banyak berusia delapan belas tahun. Sedangkan Ang I
Niocu telah membuat nama besar empat lima tahun yang lalu!”
Kawan-kawannya menganggap ucapan ini ada betulnya juga, maka mereka hanya saling pandang dengan
heran dan menduga-duga sambil menggunakan robekan baju atau ikat kepala untuk membalut luka
masing-masing.
Sementara itu, Ang I Niocu segera mengajak Cin Hai menggunakan Hui-heng-sut (Ilmu Berlari Cepat) untuk
menuju ke Pek-tiauw-san (Gunung Rajawali Putih). Ketika Cin Hai menanyakan maksud tujuannya pergi ke
gunung itu, Ang I Niocu lalu menjawab sambil tersenyum,
“Di puncak Pek-tiauw-san itu terdapat sarang burung rajawali. Burung itu hanya bertelur sekali dalam
setahun. Sekarang kebetulan musim burung itu bertelur dan aku perlu sekali mendapatkan satu atau dua
butir telur rajawali putih.”
“Mencari telur mengapa begitu jauh, Niocu? Untuk apakah?”
Ang I Niocu tertawa kecil. “Kau benar-benar masih tolol. Tidak tahu khasiat telur rajawali putih?”
Benar-benar Cin Hai tidak mengerti dan memandangnya dengan mata bodoh sehingga sekali lagi Ang I
Niocu tertawa. “Di antara segala macam akar terdapat akar jin-som yang mengandung obat mujizat, dan di
antara segala macam telur terdapat telur rajawali putih yang khasiatnya tidak kalah dari jin-som!”
Cin Hai pernah melihat dan tahu akan khasiat jin-som, akar yang berbentuk anak orok itu, maka ia heran
mendengar bahwa khasiat telur rajawali itu lebih manjur dari pada jin-som.
“Benarkah itu, Niocu? Apakah telur itu dapat menguatkan tubuh seperti jin-som?”
“Tidak hanya menguatkan tubuh, tetapi juga memperpanjang umur dan mencegah orang menjadi tua.
Makan sebutir saja kau akan menjadi lebih muda dua tahun!”
“Begitukah? Hebat sekali. Sebutir telur kecil bisa memudakan orang sampai dua tahun!”
Ang I Niocu tertawa merdu. “Kecil katamu? Anak tolol, telur burung itu besarnya melebihi kepalamu!”
Cin Hai melebarkan matanya dan wajahnya tampak bertambah bodoh hingga Ang I Niocu makin geli
melihatnya.
Demikianlah, sambil berlari cepat mereka bercakap-cakap dengan gembira hingga waktu lewat tak terasa
oleh mereka berdua…..
********************
Gunung Pek-tiauw-san menjulang tinggi menembus awan. Pada kaki dan lereng gunung penuh dengan
rimba raya yang kaya akan pohon-pohon besar yang sudah ratusan tahun umurnya. Pohon-pohon itu ada
yang demikian besar ukurannya hingga untuk mengelilingi sebatang saja, orang harus berjalan sedikitnya
empat puluh langkah!
Pohon sebesar ini mungkin umurnya sudah ada seribu tahun. Tinggi besar, kokoh kuat, seakan-akan
raksasa berdiri sambil bertolak pinggang memandangi segala yang berada di bawahnya!
Berbeda dengan keadaan kaki dan lereng gunung yang dipenuhi tetumbuhan, di puncak tidak ditumbuhi
pohon, sebaliknya kaya akan batu-batu karang yang tinggi dan meruncing ke atas. Bahkan ada batu karang
yang tingginya sampai puluhan kaki seakan-akan ingin menyaingi pohon-pohon raksasa yang tumbuh di
sebelah bawah.
Tempat inilah yang dipilih oleh burung rajawali untuk bertelur. Pada puncak batu karang yang tinggi, burung
dunia-kangouw.blogspot.com
raksasa itu membuat sarang dan bertelur serta memelihara anaknya. Di seluruh daratan Tiongkok, hanya
pada puncak Pek-tiauw-san ini saja terdapat burung-burung rajawali yang berbulu putih dan indah. Karena
jumlah burung itu hanya beberapa puluh ekor saja, maka jarang orang dapat melihatnya, apa lagi tempat di
mana mereka bersarang adalah puncak gunung yang tinggi dan sangat sukar sekali didaki orang.
Jangankan orang biasa yang tidak memiliki kepandaian, sedangkan Cin Hai yang sudah memiliki
kepandaian yang lumayan juga, masih menderita kesukaran ketika Ang I Niocu membawanya naik ke atas.
Pendakian Gunung Pek-tiauw-san ini benar merupakan ujian baginya, bahkan merupakan latihan ginkang
(ilmu meringankan tubuh) yang baik sekali.
Seandainya ia diharuskan mendaki sendiri, belum tentu ia dapat mencapai puncak, sebab setelah melewati
rimba terakhir, jalan menjadi demikian sulit, penuh dengan jurang-jurang yang curam, melalui batu-batu
karang yang tinggi dengan permukaan tajam hingga dapat menembus sepatu!
Akan tetapi Ang I Niocu nampak tenang dan enak saja. Gerakannya tetap sangat gesit dan ringan sehingga
sekali lagi Cin Hai mendapat bukti akan kelihaian Dara Baju Merah ini. Pada saat melalui tempat-tempat
yang berbahaya dan sukar Cin Hai tidak ragu-ragu lagi untuk memegang tangan Ang I Niocu, bahkan di
waktu harus meloncati jurang yang curam dan lebar, gadis itu tidak sungKansungkan untuk memondong
dan membawanya melompat ke seberang jurang!
Betapa pun juga, setelah setengah hari melakukan perjalanan yang sukar baru mereka sampai di puncak,
memandang batu-batu karang yang menjulang tinggi menembus awan yang merupakan gumpalangumpalan
halimun tipis.
“Aku tidak melihat ada sarang burung di puncak batu karang itu!” Cin Hai berkata sambil terengah-engah
kelelahan dan duduk di atas sebuah batu hitam yang halus.
“Apa kau kira mudah saja mendapatkan sarangnya? Di antara seluruh batu-batu karang yang ratusan
banyaknya ini, paling untung kita dapat menemukan empat atau lima buah sarang saja!”
Cin Hai menghela napas. Seluruh tubuhnya telah payah dan penat-penat, dan agaknya ia tak akan kuat
harus berjalan lagi mengelilingi batu-batu karang itu untuk mencapai sarang rajawali. Melihat keadaan Cin
Hai, Ang I Niocu juga ikut duduk mengaso.
“Biarlah kita beristirahat lebih dulu melepaskan penat,” katanya sambil menghibur Cin Hai dengan
senyumnya yang membesarkan hati. Pada saat itu terdengar suara yang keras dan dahsyat menggetarkan
anak telinga!
”Seekor Pek-tiauw (Rajawali Putih)!” Ang I Niocu berkata perlahan seolah-olah menjawab pertanyaan yang
diajukan oleh Cin Hai dengan pandangan matanya. “Dia sedang marah, entah mengapa?”
Gadis itu dengan hati-hati lalu bangkit berdiri dan perlahan-lahan maju ke arah suara tadi. Cin Hai terpaksa
mengikutinya dari belakang, biar pun sebenarnya ia merasa takut. Baru suaranya saja sudah sehebat itu,
apa lagi burungnya. Tentu besar dan liar!
Makin dekat, makin keras pula pekik burung raksasa itu dan terdengar gerakan sayapnya mengebut-ngebut
membuat batu-batu karang yang kecil menggelinding pergi serta angin bertiup dari arah itu! Dengan
gerakan hati-hati sekali Ang I Niocu terus maju, kemudian mengintai dari balik batu karang. Cin Hai juga
ikut mengintai dan terkejutlah dia melihat betapa seekor burung yang luar biasa besarnya menyambarnyambar
serta menerjang seorang kakek di depannya!
Cin Hai memandang dengan melongo, mata terbelalak dan mulut ternganga, oleh karena kejadian yang
dilihatnya ini memang luar biasa sekali! Kakek tua itu berjenggot panjang berwarna putih, juga rambutnya
yang digelung ke atas telah putih semua. Pakaiannya sederhana sekali, lebih pantas disebut kain yang
dililitkan pada tubuhnya dan terbuat dari kain kasar berwarna putih yang biasa dipakai oleh petani-petani
miskin atau orang-orang jembel. Akan tetapi kakek itu mengenakan sebuah rompi yang terbuat dari bulu
merak yang masih baru!
Pada waktu itu, burung rajawali putih yang tampak marah sekali itu sedang menyerang dengan kedua
cakarnya yang berkuku tajam bagaikan kaitan-kaitan baja serta paruhnya yang besar melengkung bagaikan
sebuah catut besar. Serangan ini dibantu pula oleh dua sayapnya yang berkembang dan siap menyambar
dengan tenaga sedikitnya seribu kati!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi kakek itu tidak jeri, bahkan terdengar dia tertawa terkekeh-kekeh, lalu dia pun mengembangkan
kedua lengan tangannya yang dibentang ke kanan kiri dengan jari-jari terbuka merupakan cakar hingga
seakan-akan ia telah siap untuk bermain cakar-cakaran dengan burung itu. Tubuhnya merendah dengan
kaki kiri diulur ke depan, seakan-akan ia hendak memperlihatkan kepada burung itu bahwa kakinya tak
lebih buruk dari pada kaki burung rajawali putih!
“Ha-ha-ha, majulah, tolol, majulah!” kakek itu mengejek burung itu.
Tiba-tiba teringatlah Cin Hai bahwa kakek itu bukan lain adalah Bu Pun Su, kakek jembel yang telah dia
angkat sebagai guru ketika mereka berjumpa di atas Kelenteng Ban Hok Tong pada beberapa tahun yang
lalu!
Pada saat itu burung rajawali itu menerkam dan memukul dengan sayap kanannya. Akan tetapi dengan
ringan sekali kakek itu meloncat menghindari kebutan sayap hingga sayap burung yang besar itu
menghantam batu karang di belakang Bu Pun Su! Terdengar suara keras dan batu karang itu terpukul
hancur sehingga batu-batu kecil terbang berhamburan! Demikian hebat pukulan itu, maka dapat
dibayangkan betapa kepala orang akan hancur lebur terkena pukulan sayap satu kali saja.
Namun Bu Pun Su benar-benar luar biasa lihainya. Dia menghadapi burung raksasa itu dengan tenang,
bahkan mempermainkannya. Padahal pada saat itu dia berdiri di tempat yang sempit sekali.
Di depan kakinya terbuka jurang yang amat curam, sedangkan di belakangnya menjulang tinggi batu
karang besar. Kalau ia sampai terdorong oleh serangan burung rajawali, maka nasibnya hanya dua
macam, kalau tidak terpukul hancur terbentur pada batu karang yang keras, tentu terguling ke dalam jurang
dan menemui maut di dasar jurang yang ratusan kaki dalamnya!
Pada saat Cin Hai sedang berdiri kagum dan heran, tiba-tiba saja Ang I Niocu memegang lengannya dan
menariknya cepat-cepat pergi dari tempat itu.
“Lekas kita turun gunung dan lari dari Susiok-couw!” Ang I Niocu berkata dengan wajah pucat!
“Ehh, Niocu, kau mengapa? Kenapa begitu takut melihat dia?”
“Anak tolol! Bukankah dia adalah Bu Pun Su, Gurumu? Kalau melihatmu, tentu kau akan dibawanya dan
berpisah dariku, lupakah kau?”
Terkejutlah Cin Hai teringat akan hal ini. Ia segera ikut berlari turun dari puncak itu, ada pun hatinya makin
suka kepada Ang I Niocu, karena ternyata bahwa Gadis Baju Merah ini pun takut kalau-kalau harus
berpisah darinya!
Sambil bergandeng tangan mereka berdua berlari-lari dengan cepat seperti dikejar setan. Akan tetapi
karena Cin Hai sudah lemah sekali serta sepatunya sudah banyak berlubang sehingga telapak kakinya
terasa sakit tertusuk batu-batu tajam, perjalanan mereka tidak secepat yang mereka inginkan.
Ketika mereka telah lari jauh dan keduanya sudah menarik napas lega karena menduga bahwa Bu Pun Su
tentu takkan dapat bertemu dengan mereka karena tadi pun orang tua itu sedang sibuk menghadapi pektiauw
yang berbahaya, mendadak mereka mendengar pukulan sayap burung di atas. Pada waktu mereka
memandang ke atas, tiba-tiba wajah mereka menjadi pucat sekali. Terutama Ang I Niocu, wajah gadis yang
biasanya agak kemerah-merahan itu kini menjadi pucat ketakutan!
Seekor Pek-tiauw terbang di atas mereka, yakni burung rajawali yang tadi bertempur melawan Bu Pun Su.
Dan di atas punggung burung itu tampak Bu Pun Su sendiri duduk sambil menggunakan tangan kanan
memegang leher burung dan tangan kiri memegang ekor dan leher, kakek itu berhasil memaksa burung
rajawali putih untuk terbang menurut arah yang ditunjuknya. Kalau ia memutar leher ke kiri, terpaksa
burung itu terbang ke kiri, dan demikian sebaliknya. Sekarang Bu Pun Su membetot-betot ekornya dan
membekuk lehernya ke arah bawah sehingga burung rajawali putih yang besar itu dapat menangkap
maksudnya bahwa ia harus turun!
Setelah meloncat dari punggung burung dengan ringan sekali, Bu Pun Su membentak burung itu yang
segera terbang pergi sambil mengeluarkan suara keluhan panjang tanda takluk terhadap kakek yang lihai
itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ang I Niocu segera menjatuhkan diri dan berlutut di depan Bu Pun Su sambil menyebut, “Susiok-couw!”
Juga Cin Hai tidak dapat berbuat lain kecuali ikut berlutut di belakang Ang I Niocu tanpa berani mengangkat
mukanya!
“Hm, hemm! Kau mencari telur Pek-tiauw?” tanyanya kepada Ang I Niocu.
“Benar, Susiok-couw, harap maafkan kalau teecu mengganggu Susiok-couw!” kata Ang I Niocu dengan
hormat.
“Siapa yang mengganggu? Kau atau aku?” kata Kakek itu sambil melirik ke arah Cin Hai. Kemudian ia
bertanya lagi, “Kau bawa-bawa anak ini untuk apa? Apa ia muridmu?”
Ang I Niocu tidak berani membohong terhadap kakek gurunya, maka dia menggelengkan kepala
menyangkal.
Tetapi Bu Pun Su agaknya tidak percaya. “Kalau bukan murid mengapa dibawa-bawa? Hai, anak muda,
apakah Ang I Niocu mengajar silat kepadamu?”
Terpaksa Cin Hai mengangguk karena dia memang tidak bisa membohong.
“Kiang Im Giok! Kau berani berbohong terhadap Susiok-couw-mu?” Bu Pun Su menegur tetapi tidak marah
karena mulutnya tersenyum.
“Teecu mana berani membohong Susiok-couw? Anak ini memang bukan muridku,” jawab Ang I Niocu.
“Tetapi kau mengajarkan ilmu silat cabang kita! Ah, apakah kebisaanmu maka kau berani mengajar silat
kepada orang lain? Kau lancang sekali. Ketahuilah bahwa murid-muridlah yang biasanya merusak nama
baik cabang persilatan! Apakah kau tahu benar bahwa orang yang kau beri pelajaran silat itu orang baikbaik?
Bagaimana kalau kelak dia akan mengotori dan mencemarkan nama baik kita?”
“Maafkan teecu, Susiok-couw,” kata Ang I Niocu sambil menundukkan kepala.
“Sudahlah, yang sudah lewat sudah saja. Kau masih anak-anak berani menerima murid, sedangkan aku
tua bangka yang hampir mati ini pun belum pernah mempunyai murid. Pernah aku menerima seorang
murid tolol, tetapi Si Gundul tolol itu sudah pergi minggat entah ke mana?”
Tadinya Cin Hai hendak mengaku bahwa anak gundul tolol itu adalah dia sendiri. Tetapi melihat betapa
kakek itu memarahi Ang I Niocu, dia menjadi tidak senang dan diam saja sambil menundukkan kepalanya
yang kini sudah tidak gundul lagi. Ternyata kakek tua itu sudah lupa dan pangling.
“Sekarang kau pergilah, Im Giok, dan kau wakili aku pergi ke Kun-lun-pai. Di sana sedang timbul pertikaian
hebat antara para pemimpin Kun-lun-pai dengan Go-bi-pai karena salah paham yang ditimbulkan oleh anak
murid mereka, kau pergilah ke sana dan atas namaku kau coba damaikan mereka itu demi persatuan para
hohan yang kelak akan diperlukan tenaganya oleh bangsa!”
Ang I Niocu memberi hormat dan berjanji mentaati perintah Susiok-couw-nya itu. Tetapi dengan bingung ia
melirik ke arah Cin Hai. Bu Pun Su yang bermata tajam dapat melihat lirikan ini, maka ia lalu membentak,
“Pergilah dan jangan pedulikan anak ini. Dia sudah belajar kepandaian, biarlah kini dia menggunakan
kepandaiannya itu untuk turun gunung seorang diri!”
Terpaksa Ang I Niocu bangkit berdiri dan sambil memandang kepada Cin Hai dengan wajah pucat dia
hanya berkata, “Sampai bertemu kembali!”
Lalu gadis itu melompat jauh sehingga sebentar saja dia hanya merupakan setitik warna merah yang
kemudian menghilang. Bu Pun Su tertawa bergelak-gelak dan ketika Cin Hai mengangkat muka
memandang dengan marah, kakek itu telah lenyap dari situ!
Cin Hai berdiri dan membanting-banting kaki dengan gemas serta sedih. Hatinya terasa hancur dan
pikirannya bingung. Ang I Niocu telah meninggalkannya. Satu-satunya orang yang dikasihinya di dunia ini
dunia-kangouw.blogspot.com
telah pergi dan meninggalkan ia hidup seorang diri, sebatang kara di atas gunung ini, tanpa tujuan, tanpa
mengetahui apa yang harus ia perbuat!
Cin Hai tak dapat menahan sedihnya lagi dan dia menjatuhkan diri di atas rumput sambil menangis tersedusedu!
Dia menangis bukan karena takut menghadapi nasibnya, tetapi karena merasa sedih ditinggalkan
oleh Ang I Niocu, kawan dan guru yang dianggapnya sebagai orang yang paling baik di atas dunia ini!
Setelah menangis beberapa lama sampai air matanya kering dan habis, akhirnya ia dapat menetapkan
hatinya dan dengan tubuh limbung dan lesu ia pun menuruni bukit itu. Senja telah datang ketika ia tiba di
kaki bukit dan perutnya terasa lapar sekali.
Biasanya, saat dia masih merantau bersama-sama dengan Ang I Niocu, yang memikirkan kebutuhan
makan mereka berdua ialah gadis itu. Pandai sekali gadis itu mencari makan untuk mereka berdua, baik
dengan jalan membeli, mencari buah-buahan, berburu, mau pun kadang-kadang memasak sendiri!
Kini perutnya terasa lapar, uang ia tidak punya dan ia berada di tengah belukar. Apa daya? Kembali air
matanya turun membasahi kedua pipinya.
Tiba-tiba ia teringat akan nyanyian dalam sebuah kitab kuno, yaitu kata-kata Ci Kui yang menasehati
puteranya ketika sedang bersedih.
‘Air mata adalah mahal dan tak layak keluar dari mata seorang jantan, simpan air matamu dan gantilah
dengan cucuran peluhmu! Demikianlah sifat jantan (Pahlawan) sejati!’
Teringat akan nyanyian ini, Cin Hai merasa jengah dan malu terhadap dirinya sendiri. Ia lalu menggunakan
lengan bajunya menghapus kering segala sisa air mata di pipinya, lalu ia mulai mencari buah-buahan di
dalam hutan itu.
Akhirnya dapat juga dia menemukan buah-buahan yang telah masak dan lezat. Dia lalu makan buah itu
dan beristirahat di atas dahan pohon yang besar. Karena sudah biasa, maka dia berani tidur di atas cabang
tanpa kuatir jatuh selagi tidur.
Hawa malam di hutan itu dingin sekali sehingga Cin Hai harus mengerahkan hawa dalam tubuhnya yang
dialirkan cepat untuk menahan dingin. Baiknya dia sudah sering berlatih khikang sehingga dia tidak sangat
menderita kedinginan.
Yang sangat dia derita adalah kenangan akan Ang I Niocu. Biasanya kalau tidur berdua di atas pohon,
gadis itu tentu mengajak ia bercakap-cakap atau mempelajari tiupan suling hingga ia tak pernah merasa
sunyi.
Bahkan dulu ketika khikang-nya belum begitu maju dan ia sangat menderita kedinginan, Ang I Niocu
menanggalkan mantelnya lalu diselimutkan kepadanya, dan ketika mantel itu masih belum mampu
mengusir hawa dingin yang menyusup ke tulang-tulang, Dara Baju Merah itu lantas memegang tangannya
dan menyalurkan hawa hangat yang luar biasa melalui telapak tangan hingga hawa hangat itu menjalar ke
dalam tubuhnya dan mengusir hawa dingin.
Ahh, alangkah baik dan mulia hati gadis itu. Dalam diri Ang I Niocu, Cin Hai seakan-akan menemukan
seorang kawan dan guru, bahkan juga seorang ibu dan ayah yang sangat mengasihinya! Kini gadis itu
pergi meninggalkan dia dan tidak tahu sampai kapan dapat bersua kembali!
Semalam penuh Cin Hai tak dapat memejamkan matanya dan pikirannya penuh dengan Ang I Niocu.
Berkali-kali terdengar helaan napasnya dan bisikannya, “Niocu... Niocu...,” ia menyebut-nyebut nama gadis
itu dengan perasaan rindu yang menekan dadanya.
Pada keesokan harinya, dia mulai merantau seorang diri dengan hati tertekan dan pikiran bingung. Karena
tak tahu bagaimana harus mendapatkan makan untuk mengisi perutnya sehari-hari terpaksa ia minta
makanan dari orang kampung yang dilewatinya dan menjadi seorang pengemis! Ia terpaksa menjadi
seorang pengemis karena ia ingat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa seribu kali lebih baik menjadi
seorang pengemis dari pada jadi seorang pencuri, tidak ada lain jalan lagi.
Beberapa bulan telah berlalu dan keadaan Cin Hai semakin buruk. Pakaiannya kotor dan compangcamping.
Dahulu ketika ia merantau dengan Ang I Niocu, paling lama tiga hari sekali dia tentu disuruh
dunia-kangouw.blogspot.com
mencuci pakaiannya, bahkan setiap kali bertemu dengan anak sungai, dia diharuskan mandi dan
membersihkan tubuhnya oleh Ang I Niocu. Akan tetapi sekarang, dia menjadi sangat malas untuk mencuci
pakaian atau mandi sehingga selain pakaiannya kotor, tubuhnya juga kotor penuh debu!
Bahkan kudis yang gatal di kepalanya mulai timbul lagi sehingga ia lalu mencari pinjaman pisau dan
mencukur rambutnya yang tadinya hitam, tebal dan bagus itu! Sungguh amat mengherankan betapa dalam
beberapa bulan saja, keadaan Cin Hai yang tadinya hidup penuh kegembiraan dan kebahagiaan, sekarang
berubah menjadi penuh penderitaan dan kesengsaraan. Ini semua karena Ang I Niocu, Dara Baju Merah
yang cantik dan memiliki kepandaian tinggi itu!
Kurang lebih setahun kemudian Cin Hai tiba di kota Kibun. DIa sudah berubah menjadi seorang pengemis
muda. Tubuhnya begitu kurus hingga tulang-tulangnya tampak di balik kulitnya yang kotor. Rambutnya
yang tumbuh kembali tidak teratur dan awut-awutan tidak karuan. Kakinya telanjang tidak bersepatu dan
wajahnya yang kurus tampak muram, tapi sepasang matanya bersinar lebih tajam dari pada dulu.
Pengalaman-pengalaman hidup yang pahit membuat dia masak dan terbukalah kini mata hatinya akan
kesengsaraan hidup miskin. Karena hidup menderita, maka kini dia dapat merasakan pula penderitaan
rakyat miskin di sekelilingnya, dan timbul rasa iba di dalam hatinya yang tadinya hanya mengenal
kegembiraan belaka.
Biar pun menjadi pengemis, tetapi Cin Hai hanya mengemis makanan apa bila perutnya sudah lapar benar
dan tubuhnya sudah menjadi lemas karenanya. Oleh karena ini, maka belum tentu sekali sehari dia makan.
Kadang-kadang sampai dua hari dia tidak mengisi perut dengan makanan dan hanya minum air untuk
menahan lapar.
Juga ia tidak sembarangan mengemis asal minta-minta saja. Hatinya tidak merasa sedap kalau untuk
semangkuk yang diberikan orang kepadanya tidak dia tukar dengan bantuan tenaganya kepada
pemberinya itu. Terlebih dahulu dia akan melakukan suatu pekerjaan untuk pemberinya, misalnya memikul
air, menyapu lantai, membelah kayu dan lain-lain pekerjaan kasar lagi. Memang Cin Hai seorang pengemis
muda yang istimewa.
Kota Ki-bun menarik hatinya dan menimbulkan rasa senang dan betah padanya. Kota ini cukup ramai dan
hawanya yang nyaman membuat kota itu nampak bersih. Penduduknya peramah dan perdagangan di sana
kelihatan ramai dan hidup karena tanah di sekeliling daerah itu memang cukup subur. Rupanya anak
sungai yang mengalir di tengah-tengah kota mendatangkan keadaan makmur ini, karena selain air sungai
dapat menyuburkan tanah dan sawah, juga sungai itu ternyata mengandung banyak ikan.
Pada saat ia berjalan-jalan seenaknya mengelilingi kota dan melihat-lihat, Cin Hai tertarik dengan sebuah
bangunan yang dikelilingi tembok tebal. Di depan pintu gedung kuno itu terdapat tulisan yang menyatakan
bahwa bangunan itu adalah sebuah bukoan (tempat belajar silat) dari seorang guru silat she Louw.
Papan nama itu terbuat dari pada sepotong papan. Tulisannya bergaya kuat dan indah. Sayang sekali
papan nama itu agaknya tidak terawat sehingga tampak kotor dan bahkan memasangnya juga miring.
Cin Hai memang suka akan keindahan. Ia kagum sekali melihat corak tulisan pada papan nama itu dan
menyayangkan kenapa tulisan seindah itu dituliskan pada papan yang kotor dan dipasangnya miring pula.
Tanpa dapat menahan perasaan hatinya, dia kemudian mengambil sebuah bangku yang terdapat di luar
pintu dan sambil berdiri di atas bangku itu ia menurunkan papan nama itu dari gantungannya. Lalu ia
membersihkan dan menggosok-gosok papan itu dengan ujung lengan bajunya yang sudah kotor. Dia
menggosok-gosok sambil memandangi tulisan itu dengan hati senang sekali.
Tiba-tiba saja timbul sebuah pikiran dalam kepalanya. Inilah yang dia cari-cari selama ini! Pekerjaan! Ia
telah terlampau lama menganggur. Tiada suatu yang dapat dikerjakan, dan karena tak mempunyai
kewajiban apa pun yang harus dikerjakan, maka ia menjadi malas dan menderita. Dalam menggosok-gosok
papan ini dia merasakan kesenangan. Ahh, dia harus bekerja!
Setelah papan itu bersih hingga tulisannya tampak nyata dan makin indah dipandang, dia lalu
menggantungkan papan itu baik-baik, tidak miring seperti tadi. Segera dia turun dari bangkunya dan sambil
berdiri menjauhi, ia memandang papan nama itu dengan gembira. Ia melihat hasil dari pada pekerjaannya
tadi dan tampak jelas hasil itu. Ia membayangkan betapa papan itu sebelum digosoknya tadi tampak buruk
dan kotor, sekarang bersih dan seakan-akan benda itu kini berseri-seri gembira, tidak seperti tadi yang
dunia-kangouw.blogspot.com
kotor dan muram!
Cin Hai lalu mendorong perlahan dan ternyata daun pintu tidak terkunci dan mudah saja terbuka. Dia
masuk ke dalam. Ternyata bukoan itu terdiri dari dua buah rumah kecil dan sebuah lagi rumah besar agak
di belakang. Di depannya terdapat pelataran yang luas tak ditumbuhi rumput. Pada sudut kiri tampak
sebuah rak tempat menyimpan senjata dan di sudut kanan tampak batu-batu dan besi-besi yang biasa
digunakan orang untuk belajar olah raga dan berlatih kekuatan.
Cin Hai senang sekali melihat semua ini. Ia melihat betapa tempat yang menyenangkan hatinya itu kotor
sekali, maka ia memandang ke sana-sini, mencari-cari. Tiba-tiba saja dia melihat benda yang dicari-cari itu
bersandar ke dinding. Cepat diambilnya sapu itu dan ia mulai menyapu pelataran tempat berlatih silat.
Karena asyiknya menyapu, Cin Hai tidak melihat kedatangan seorang lelaki setengah tua yang masuk dari
luar. Orang itu bertubuh tinggi besar dan berpakaian sebagai seorang kauwsu (guru silat). Memang dia
adalah Louw Sun Bi guru silat yang mengajar di bukoan itu.
Guru silat ini baru pulang dari bepergian dan ia heran melihat seorang pemuda tanggung yang berpakaian
compang-camping tengah menyapu pelataran bukoan-nya dengan asyik sekali. Tadi pun ia telah merasa
heran melihat papan nama yang tergantung di atas pintu demikian bersih seakan-akan baru saja ada yang
membersihkannya. Kini ia pun mengerti bahwa yang membersihkan papan nama tentu anak itu juga.
“He, anak muda! Siapa yang menyuruhmu membersihkan tempat ini?” tegurnya.
“Tidak… tidak ada yang menyuruh. Aku melihat tempat ini begitu kotor dan… dan sudah sepatutnya
dibersihkan.”
Louw Sun Bi adalah guru silat yang berwatak jujur dan baik. Mendengar jawaban Cin Hai, dia dapat
menduga bahwa anak muda itu tentu bukan seorang pengemis sembarangan, maka ia lalu bertanya, “He,
anak muda. Apakah kau mau bekerja di sini?”
Wajah Cin Hai yang tadinya muram berubah dan berseri. “Suka sekali, suka sekali!”
Memang tadi ia telah sadar bahwa kebutuhan yang dirindukan olehnya ialah pekerjaan, maka sekarang
begitu ada orang menawarkan pekerjaan, tentu saja ia merasa senang.
“Kau tak berumah dan sebatang kara?” kembali guru silat itu bertanya.
Dugaannya yang tepat ini bukanlah karena ia orang waspada, tetapi karena pada masa itu memang banyak
sekali terdapat orang-orang berkeliaran seperti Cin Hai, orang-orang yang hidupnya merantau dan
mengemis tanpa mempunyai tempat tinggal yang tetap dan kebanyakan adalah orang-orang yang telah
yatim piatu dan hidup sebatang kara.
Cin Hai mengangguk-angguk membenarkan kata-kata kauwsu itu.
“Kalau begitu, mulai sekarang kau bekerja saja di sini, juga melayani segala keperluan murid-murid
bukoan.”
“Baik, baik Loya,” jawab Cin Hai dengan gembira sekali.
Pada saat itu dari luar terdengar suara orang bercakap-cakap sambil tertawa dan tidak lama kemudian dari
pintu gerbang itu masuklah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang berbadan pendek
gemuk tetapi gerakannya gesit, diikuti oleh belasan anak-anak berusia rata-rata lima belas atau empat
belas tahun.
Mereka yang baru datang ini semua memberi hormat kepada Louw Sun Bi. Anak-anak muda itu menyebut
‘suhu’ dan Si Gemuk Pendek menyebut Louw-twako.
Louw-kauwsu segera memperkenalkan orang-orang itu kepada Cin Hai. Ternyata bahwa orang yang
gemuk pendek itu adalah wakil kauwsu yang pekerjaannya adalah mewakili Louw-kauwsu mengajar
sekalian murid-murid itu, sedangkan anak-anak muda itu adalah para murid bukoan, putera-putera
penduduk kota itu yang belajar silat. Sambil tersenyum Louw-kauwsu menuturkan kepada mereka betapa
Cin Hai telah membersihkan pelataran itu dan betapa ia telah menerima Cin Hai menjadi bujang di situ.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terhadap seorang pengemis muda seperti Cin Hai, tentu saja tidak ada di antara mereka yang menaruh
perhatian dan anak-anak murid itu segera memulai latihan-latihan mereka. Ada yang angkat besi atau batu
untuk melatih otot-otot lengan. Mereka yang terkuat lalu berdemonstrasi, seakan-akan sengaja ingin
memamerkan tenaga mereka kepada bujang kecil itu!
Terhadap seorang pengemis muda seperti Cin Hai, tentu saja mereka tidak menaruh perhatian dan anakanak
murid itu memulai latihan-latihan mereka. Ada yang angkat besi, atau batu untuk melatih otot-otot
lengan. Mereka yang terkuat lalu berdemonstrasi, seakan-akan sengaja hendak memamerkan tenaga
mereka kepada bujang kecil itu!
Wakil kauwsu itu adalah seorang yang biar pun bertubuh gemuk pendek, tetapi berwajah tampan juga.
Namanya Ting Sun dan ia adalah anak murid dari Bu-tong-pai, satu cabang dengan Louw Sun Bi, hanya
lebih rendah tingkatnya. Watak Ting Sun takabur sekali dan ia sombong akan kepandaian silatnya. Karena
Cin Hai diterima oleh Lauw Sun Bi, maka tidak berani berkata apa-apa, hanya bertanya,
“Ehh, siapa namamu?”
“Nama saya Cin Hai,” jawab Cin Hai.
“Ini adalah Ji-kauwsu (Guru Silat Ke Dua) kau boleh menyebutnya Ji-suhu,” kata Louw Sun Bi tertawa.
Kemudian guru silat itu meninggalkan mereka pergi ke dalam.
“Ehh, jembel! Aku tidak mempunyai murid seperti macammu, jangan sebut aku Suhu!”
“Harus menyebut bagaimana?” tanya Cin Hai, terkejut melihat perubahan sikap orang.
“Harus sebut aku Siauwya (Tuan Muda), mengerti?!”
Dalam hatinya Cin Hai tertawa geli melihat kecongkakan akan guru silat gemuk pendek itu, tetapi mulutnya
menjawab, “Baik, Siauwya.”
Kemudian Cin Hai melanjutkan pekerjaannya menyapu lantai sampai bersih. Sementara itu, Ting Sun
melatih murid-muridnya.
Ketika Cin Hai membersihkan pekarangan di dekat gedung belakang, tiba-tiba Louw Sun Bi keluar dan
memanggilnya. Cin Hai cepat-cepat menghadap. Guru silat itu diiringi oleh seorang gadis berusia kira-kira
delapan belas tahun.
Gadis itu bertubuh tinggi besar seperti ayahnya, karena dia adalah Louw Bin Nio, anak tunggal Louw Sun
Bi. Wajah Bin Nio tidak cantik, tetapi cukup manis dan sikapnya gagah, hingga dapat diduga bahwa gadis
ini pun pandai ilmu silat seperti ayahnya.
“Kau tentu belum makan,” kata guru silat itu dengan suara ramah, “kau makanlah dahulu dan gantilah
pakaianmu itu, setelah kau bersihkan tubuhmu.”
Cin Hai merasa berterima kasih sekali dan ia memberi hormat sambil berlutut. Ia merasa terharu karena
baru sekarang ada orang yang mau memperhatikan keadaan dirinya. Bin Nio lalu mengantarnya ke ruang
belakang dan memerintahkan pelayan-pelayan lain untuk memberi makan kepada Cin Hai, sedangkan
seorang pelayan lain mengambil satu stel pakaian tua dari Louw-kauwsu.
Semenjak hari itu, berubah pulalah keadaan hidup Cin Hai. Ia tidak usah menderita lapar dan dingin lagi,
dan setiap hari ia bekerja dengan gembira dan bersemangat. Akan tetapi, di samping pekerjaan yang
memuaskan hatinya dan sikap Louw Sun Bi yang sangat baik terhadapnya, ia mengalami penderitaan lain
yang timbul dari sikap Ting Sun dan sikap Louw Bin Nio kepadanya.
Entah kenapa, Ting Sun Si Guru Silat gemuk pendek itu tidak suka kepadanya dan sering kali
menghinanya. Pernah pada suatu senja dia berdiri melihat latihan silat, tiba-tiba Ting Sun memanggilnya.
“Kalian lihatlah baik-baik. Untuk menjalankan tiamhoat (ilmu menotok jalan darah), kedua jari telunjuk dan
tengah harus diluruskan seperti ini.” Ia memberi contoh dengan dua jari tangan. “Dan biarlah Si Jembel ini
kita totok, kalian lihat bagian leher ini!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia lalu meraba-raba leher Cin Hai yang tidak berani membantah dan diam saja berdiri bagaikan patung.
“Nah, untuk menotok jalan darah harus tepat di bagian ini!” Sambil berkata demikian, jari tangannya benarbenar
menotok leher Cin Hai.
Anak itu terkejut sekali dan hendak mengerahkan lweekang-nya untuk melawan totokan, tetapi cepat
berpikir bahwa kalau dia melakukan hal ini tentu akan terbukalah rahasianya. Maka dia segera
mengendorkan semua uratnya dan tidak melawan. Ketika totokan tiba di lehernya, dia merasa leher itu
sakit dan tubuhnya menjadi lemas hingga dia roboh tanpa daya!
“Lihat, beginilah lihainya totokan Bu-tong-pai!” guru silat itu tertawa puas dan bangga.
Sedangkan belasan anak murid itu lalu memeriksa tubuh Cin Hai yang sudah lemas. Dia dapat melihat dan
mendengar, tetapi tak mampu menggerakkan tubuh karena segala urat di tubuhnya seakan-akan berhenti
bekerja! Juga lehernya terasa sakit sekali hingga dia tidak berani menggerakkan leher itu.
Sementara itu, tanpa pedulikan Cin Hai, Ting Sun lalu memberi petunjuk-petunjuk terlebih jauh kepada
murid-muridnya. Dalam keadaan menyedihkan itu Cin Hai harus menderita sampai dua jam lebih, barulah
pelan-pelan jalan darahnya terbuka dan darahnya kembali mengalir hingga ia dapat cepat-cepat
menggunakan tenaga dalamnya untuk memulihkan kesehatannya. Akan tetapi, dia pura-pura masih lemah
dan sakit sehingga berdiri sambil terhuyung-huyung.
“Nah, nah, kalian lihat. Sesudah beberapa lama, totokan di leher itu buyar sendiri dan dia dapat bergerak
kembali. Yang tadi itu adalah pelajaran pertama. Masih banyak lagi jalan darah yang dapat ditotok, di
antaranya tai-hwi-hiat yang letaknya di punggung. Kalau aku totok tai-hwi-hiat jembel ini, maka dia akan
roboh dengan lemas dan selamanya tak akan dapat berdiri kembali, kecuali kalau totokan itu telah
dibebaskan dengan tepukan-tepukan tertentu. Tapi hal ini akan kalian pelajari kelak bila mana sudah
sempurna gerakan tangan kalian.”
Semua murid memandang kagum, sementara dengan langkah terhuyung-huyung Cin Hai meninggalkan
tempat itu, sambil di dalam hatinya dia mengutuk guru silat itu. Kalau saja Louw-loya tidak demikian baik
hati padaku, hmm... akan kuhajar kau! Demikian ia berpikir dengan hati mendongkol sekali.
Selain gangguan-gangguan dari Ting Sun yang sangat menghinanya, Cin Hai juga harus menderita
penghinaan dari Louw Bin Nio. Gadis ini ternyata centil dan genit dan dalam hal menyombongkan
kepandaian silatnya, dia tak kalah dari Ting Sun. Alangkah jauhnya beda perangai gadis ini dengan
ayahnya.
Pernah pada suatu malam terang bulan Cin Hai duduk di bawah pohon di dekat tembok itu sambil
melamun. Ia teringat akan Ang I Niocu dan ia merasa rindu sekali kepada Dara Baju Merah itu. Di manakah
gerangan nona itu pada saat ini? Cin Hai termenung sambil memandang bulan yang agaknya sedang
berjalan-jalan di angkasa mencari-cari sesuatu yang telah pergi meninggalkannya!
Tiba-tiba ia mendengar suara Bin Nio memanggilnya, dan ia cepat menghampiri gadis itu yang telah berdiri
di tengah tempat berlatih silat.
“Cin Hai, kau pergi ke dalam ambilkan pedangku!” Gadis itu memerintah.
Cin Hai cepat lari ke belakang dan kepada pelayan gadis itu ia menyampaikan pesan Bin Nio. Setelah
menerima pedang dari Cin Hai, gadis itu lalu main silat dengan pedangnya.
Cin Hai berdiri di tepi sambil menonton gadis itu bersilat pedang. Alangkah jauh bedanya dengan
permainan pedang Ang I Niocu! Ia tak menganggap permainan Bin Nio ini bagus, tetapi tentu saja ia tidak
berani menyatakan itu, bahkan setelah gadis itu selesai bermain pedang, ia memuji dengan suara kagum.
Bin Nio duduk di atas sebuah bangku.
“Ahh, kau mana mengerti ilmu pedang bagus atau tidak? Tahumu hanya menyapu lantai sampai bersih,
menyiram kembang dan mengampak kayu, Ah, sayang pada malam yang begini indah hanya ada kau,
anak tolol. Hayo kau bersihkan sepatu ini!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Cin Hai tak berani membantah dan menggunakan ujung bajunya untuk menyusut sepatu gadis itu yang
kotor terkena debu ketika bersilat tadi.
“Ilmu pedang Siocia memang bagus sekali,” ia berkata lagi memuji untuk menyenangkan hati puteri
majikannya ini.
“Tentu saja bagi kau yang tolol tak mengerti apa-apa memang bagus sekali, tapi cobalah kau lihat Tingkauwsu
bermain pedang!” gadis itu menghela napas dengan rasa kagum. “Tahukah kau? Ilmu pedang yang
kumiliki adalah buah pelajaran darinya!”
Cin Hai merasa heran. “Bukankah Loya sendiri yang memberi pelajaran padamu, Siocia?” tanyanya.
“Ahh, Ayah tidak begitu suka melihat aku pandai bermain pedang. Ia bahkan ingin sekali melihat aku
mengganti pedangku dengan jarum sulam! Untungnya ada Ting-kawsu yang mengajarku pada waktu
malam. Sayang, sekarang sudah tidak diijinkan lagi oleh Ayah!” Gadis itu tampak kecewa sekali dan Cin
Hai yang telah selesai membersihkan sepatunya lalu mundur.
Tetapi tiba-tiba Bin Nio memanggil dengan suara perlahan.
“Ehh, Cin Hai, maukah kau membantu aku?”
Cin Hai menjawab perlahan, “Tentu saja, Siocia. Membantu apakah?”
“Kau berikan suratku kepada Ting-kauwsu tetapi jangan sampai terlihat oleh orang lain, terutama jangan
sekali-kali terlihat oleh Ayah. Bagaimana?”
“Tentu saja aku mau memberikan surat itu, Nona. Tetapi kenapa tidak boleh terlihat oleh orang lain?”
“Anak goblok! Tak perlu kau tahu sebab-sebabnya. Kau turuti saja perintahku dan habis perkara. Nah, ini
suratnya. Besok pagi-pagi kau berikan kepadanya. Tetapi awas, kalau sampai ketahuan oleh Ayah,
kepalamu akan kupenggal dengan pedang ini!” Bin Nio lalu menempelkan mata pedangnya pada leher Cin
Hai.
Cin Hai pura-pura ketakutan kemudian berkata, “Baik, baik... Nona, tentu akan kukerjakan baik-baik!”
Setelah menerima surat bersampul itu berikut pesan berkali-kali agar dia berlaku hati-hati untuk
menyampaikan surat rahasia itu, Cin Hai lalu pergi ke kamarnya di tempat pelayan. Malam itu dia tidak
dapat tidur, seluruh pikirannya terganggu oleh tugas yang diserahkan oleh Bin Nio kepadanya.
Pada waktu itu, dia sudah dua tahun bekerja sebagai bujang di Bukoan Louw Sun Bi, dan usianya telah
hampir empat belas tahun. Karena telah mendekati masa dewasa, ia dapat menduga bahwa di antara Louw
Bin Nio dengan Ting Sun pasti ada hubungan yang tidak sebenarnya. Hal ini harus diberantas, pikirnya.
Louw Sun Bi sudah melepas budi padanya, dan guru silat tua itu hendak dicemarkan oleh anaknya sendiri
dan oleh pembantunya. Dia harus menghalangi hal ini. Sudah menjadi kewajibannya untuk membela nama
baik Louw-kauwsu!
Dengan pikiran ini Cin Hai lalu membuka surat gadis itu dengan hati-hati sekali kemudian membacanya. Ia
tahu bahwa perbuatannya ini tidak layak dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang laki-laki, tetapi demi
untuk membela dan membalas kebaikan Louw Sun Bi, ia rela melakukan hal yang tidak patut ini!
Dengan cepat dibacanya surat Bin Nio untuk Ting Sun itu dan benar saja sebagaimana dugaannya, gadis
itu berjanji hendak menunggu kedatangan guru silat pendek gemuk itu besok malam di pekarangan tempat
berlatih silat! Waktu yang dijanjikan adalah tengah malam!
Cin Hai merasa gemas sekali. Sungguh manusia-manusia yang tak tahu malu. Ting Sun adalah pembantu
Louw Sun Bi dan masih murid seperguruan dan bahkan mengangkat saudara sehingga Ting Sun menyebut
twako kepada Louw-kauwsu, sebaliknya guru silat she Louw itu menyebut Ting Sun dengan sebutan adik,
hingga boleh dibilang bahwa Bin Nio merupakan keponakan Ting Sun sendiri! Namun ternyata dua orang
itu sudah saling mencinta bagaikan dua orang kekasih. Cin Hai lalu memutar otaknya, mencari jalan untuk
menggagalkan pertemuan ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Semalaman penuh Cin Hai tidak dapat tidur. Pada keesokan harinya, dengan diam-diam setelah Ting Sun
yang tinggal di luar bukoan itu datang, ia berhasil memberikan surat Bin Nio kepada guru-silat itu.
Ting Sun menerima surat dan membacanya dengan wajah gembira. Berbeda dari pada biasanya, dia
berlaku manis terhadap Cin Hai dan bahkan memberi persen uang sepuluh chie. Ia menganggap anak itu
kini dapat merupakan jembatan bagi hubungannya dengan Bin Nio.
Sesudah memberikan surat itu kepada Ting Sun, Cin Hai lalu menjumpai Louw Sun Bi di kamarnya. Guru
silat yang berhati sabar itu heran melihat betapa Cin Hai datang-datang berlutut di depannya dan
menangis!
Ia cepat memegang pundak anak itu dan menyuruhnya duduk di atas sebuah bangku.
“Cin Hai kau kenapakah? Siapa yang sudah mengganggumu? Kau pucat sekali, apakah kau sakit?”
“Loya, saya hendak menyampaikan sesuatu yang mungkin akan membuat Loya marah dan sedih sekali!”
Louw Sun Bi memandang heran. Ia suka sekali kepada Cin Hai yang jujur, rajin dan tidak banyak cerewet
ini.
“Katakanlah, jangan takut-takut!”
“Sebelumnya saya harap Loya suka siap sedia menerima pukulan ini dan terlebih dahulu saya mohon maaf
sebesar-besarnya karena sesudah hal ini saya ceritakan kepada Loya, saya hendak mohon diri dan hendak
melanjutkan perantauan saya.”
Kini terkejutlah Louw-kauwsu. “Apa? Peristiwa hebat apakah yang telah terjadi sehingga kau hendak keluar
dari sini? Ceritakanlah!”
Dengan perlahan Cin Hai lalu menceritakan mengenai surat Bin Nio dan bahwa malam nanti kedua orang
itu akan mengadakan pertemuan. Cin Hai menutup pembicaraannya dengan berkata sedih, “Saya sangat
bersedih dengan adanya peristiwa ini, Loya. Loya adalah seorang yang berbudi mulia dan telah berlaku
begitu baik kepada saya. Sekarang melihat Loya yang baik hati tertimpa kejadian macam ini, ahhh...” Cin
Hai menundukkan kepala karena ia tidak berani memandang muka Louw Sun Bi yang makin pucat itu.
Guru silat itu mendengar penuturan Cin Hai dengan dada terasa panas hampir meledak. Penasaran,
marah, malu, kecewa membuat dia bisu tak dapat berkata-kata. Ia telah tahu akan hubungan puterinya
dengan Ting Sun dan dulu dia bahkan telah melarang anaknya itu belajar ilmu pedang dari Ting Sun karena
dilihatnya gejala-gejala yang kurang sehat timbul di antara mereka berdua. Tetapi sama sekali tak
diduganya bahwa anaknya berani menulis surat kepada Ting Sun.
Melihat betapa Louw-kauwsu duduk diam tidak bergerak bagaikan patung batu, Cin Hai terharu sekali, lalu
ia berkata,
“Loya, harap Loya sebagai orang tua dapat menenangkan hati dan pikiran. Socia tergoda oleh nafsu dan
hal ini tidak aneh, karena manusia manakah yang tak pernah khilaf? Saya teringat akan bunyi ujar-ujar
yang menyatakan bahwa lebih baik Loya menjaga datangnya penyakit dari pada mengobatinya sesudah
datang! Karena itu, maka dari pada ribut-ribut dan marah sehingga semua orang mendengar hal yang
belum terjadi ini, lebih baik Loya menjaganya agar jangan sampai terjadi. Pertemuan itu belum belum
berlangsung, maka tak perlu dibuat sedih dan menyesal!”
Terhiburlah hati Louw Sun Bi mendengar ini. Dia memandang wajah Cin Hai dengan hati heran, karena
hampir tak percaya bahwa kata-kata tadi keluar dari mulut anak itu!
“Cin Hai, kau adalah seorang anak yang luar biasa dan baik. Peristiwa ini sama sekali tidak menyangkut
dirimu, mengapa kau tadi mengatakan bahwa kau hendak keluar dari sini?”
“Loya, Siocia sudah mempercayakan kepada saya untuk menyerahkan surat itu. Tetapi dengan lancang
dan tidak tahu malu saya telah membuka dan membaca suratnya itu. Hal ini membuat saya malu untuk
bertemu muka dengan Siocia lagi, maka lebih baik saya pergi melanjutkan perantauan.”
Louw Sun Bi menghela napas dan sekali lagi dia terheran akan sikap Cin Hai yang polos dan bersifat
dunia-kangouw.blogspot.com
gagah ini.
“Kau mundurlah, dan tentang keluar itu lebih baik kita bicarakan besok setelah peristiwa ini kubereskan.”
“Loya, kalau boleh, saya hendak pergi hari ini juga.”
Louw Sun Bi memandangnya tajam. “Apa? Kau takut kepada Ting Sun? Jangan kau takut akan
pembalasannya, ada aku di sini!”
Mendengar ini, terbangun semangat Cin Hai. “Loya, biar pun saya hanya seorang bodoh dan lemah, tetapi
saya tidak takut menghadapi kebenaran! Baiklah, saya akan menunggu sampai besok dan jika besok
terjadi sesuatu antara Ji-kauwsu dan saya, saya harap Loya jangan ikut-ikut!” Setelah berkata demikian, ia
lalu bertindak keluar.
Malam hari itu bulan bersinar penuh. Pada menjelang tengah malam, sesosok bayangan hitam dengan
gesit sekali melompat ke atas tembok yang mengelilingi bukoan. Bayangan itu bukan lain Ting Sun yang
hendak menjumpai kekasihnya. Dia langsung meloncat ke pelataran tempat berlatih silat dan begitu
kakinya menginjak tanah, dia langsung berdiri diam bagaikan patung!
Di sana, di bawah pohon dekat tembok, duduk di atas bangku dengan kedua lengan di atas dada, Louw
Sun Bi sedang memandangnya dengan kedua mata bersinar tajam!
“Ting Sun, tengah malam buta kau datang ada keperluan apakah? Lagi pula, kau datang bukan sebagai
tamu tetapi sebagai seorang pencuri!”
Ting Sun kaget bukan main dan merasa seakan-akan ada petir menyambar kepalanya. Tubuhnya gemetar
dan ia tak kuasa mengucapkan sepatah kata pun!
“Orang she Ting, aku sudah mengetahui maksudmu yang buruk. Semenjak saat ini kita tidak punya
hubungan apa-apa lagi. Besok kau boleh mengatakan kepada semua murid bahwa kau hendak pergi jauh
dan tidak kembali lagi, sehingga kepergianmu dari kota ini takkan menimbulkan kecurigaan. Selanjutnya,
jangan kau berani-berani memperlihatkan mukamu di sini!”
Setelah berkata demikian, Louw Sun Bi lalu meninggalkan Ting Sun yang masih berdiri bagaikan patung.
Otak guru silat ini berputar.
Celaka sekali! Orang tua itu telah mengetahui sebelumnya bahwa malam ini ia datang ke situ hingga
sengaja menanti di bawah pohon! Dan ini tentu gara-gara bujang tolol itu! Ting Sun mengertak giginya
dengan gemas sekali. Ia akan pergi meninggalkan tempat ini, tapi setelah lebih dulu menghancurkan
kepala Cin Hai yang membocorkan rahasianya!
Pada keesokan harinya, sesudah semua anak murid berkumpul, Louw Sun Bi sengaja mengajak Bin Nio
untuk hadir di sana dan mendengarkan serta menyaksikan Ting Sun berpamit. Sengaja Louw Sun Bi
mengajak Bin Nio untuk memberi pelajaran kepada anak gadisnya itu bahwa sebagai seorang gadis baikbaik
dia harus tahu menjaga kehormatan nama keluarganya, dan tidak mudah menyerah kepada godaan
dari luar.
Melihat betapa Louw-kauwsu pagi-pagi benar sudah berada di sana, semua murid yang berjumah delapan
belas orang itu saling berbisik dan menduga-duga bahwa tentu akan terjadi hal yang penting. Bagaikan tak
terjadi sesuatu dan tak pernah berani menentang pandangan mata Bin Nio, Cin Hai melakukan pekerjaan
seperti biasanya, yakni pagi-pagi sekali ia menyapu lantai yang dikotori oleh daun-daun kering yang malam
tadi rontok dari pohon.
Akhirnya orang yang dinanti-nantikan, Ting Sun, datang dari pintu luar. Dengan tindakan gagah serta dada
terangkat, guru silat itu memasuki pelataran itu lalu menjura kepada Louw Sun Bi. Kemudian dia melihat ke
arah Cin Hai yang sedang menyapu lantai dan matanya berkilat menahan napas. Akhirnya dia menghadapi
semua murid dan berkata,
“Anak-anak sekalian, aku membawa berita yang penting sekali untuk kalian. Mulai hari ini kalian akan dilatih
oleh Louw-kauwsu sendiri, karena hari ini juga aku akan berangkat meninggalkan Ki-bun.”
“Hendak pergi ke mana, Suhu?” tanya seorang murid.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pergi jauh mengerjakan sebuah tugas penting. Belum tentu aku akan kembali ke sini. Tetapi kalian tidak
usah kuatir, karena di bawah pimpinan Louw-kauwsu, kepandaianmu pasti akan lebih maju. Sekarang aku
datang hanya untuk mengucapkan selamat berpisah kepadamu sekalian. Sebelum aku pergi, aku hendak
menerangkan kepada kalian tentang ilmu tiam-hoat yang paling penting, yakni untuk menotok jalan darah
tai-twi-hiat yang ada di punggung. He, bujang tolol, kau ke sinilah!”
Cin Hai maklum bahwa saat yang dikuatirkan sudah tiba. Dia menghampiri guru silat itu dengan tenang dan
pura-pura tidak melihat pandang mata yang penuh kemarahan dan kebencian itu.
“Nah, anak-anak, seperti biasa agar lebih jelas terlihat olehmu, aku hendak menggunakan jembel busuk ini
untuk contoh!” Memang sudah biasa Ting Sun memanggil dan menyebut Cin Hai dengan segala sebutan
menghina. “Lihatlah baik-baik, untuk menotok jalan darah tai-twi-hiat kedudukan jari harus begini.”
Ia menyusun telunjuk dan jari tengah disatukan dan yang tiga lainnya ditekuk ke dalam.
“Perhatikan tempat yang akan kutotok!” Sambil berkata demikian dia lalu menggerakkan jarinya itu menotok
punggung Cin Hai.
Tetapi sambil berpura-pura ketakutan, Cin Hai melompat mundur hingga totokan itu tidak mengenai
sasaran.
“Jangan, Siauwya, jangan…!” Cin Hai berkata sambil menggoyang-goyangkan tangannya mencegah
serangan Ting Sun. Akan tetapi guru silat itu marah sekali melihat betapa tadi totokannya dikelit.
“Bangsat rendah! Kau berani melawanku?” bentaknya.
Ia mengirim tendangan ke arah lambung Cin Hai. Tendangan ini hebat sekali dan kalau terkena, pasti
nyawa anak itu akan melayang ke akhirat.
Louw Sun Bi amat terkejut dan marah. Pada saat dia bangun berdiri dan hendak loncat menolong, tiba-tiba
ia merasa terheran-heran dan duduk kembali dengan mata terbelalak. Ternyata sambil terhuyung-huyung
mundur ketakutan, ketika kaki Ting Sun menyambar ke arah lambungnya, Cin Hai berkelit ke samping
hingga tendangan itu tidak mengenai sasaran.
Dengan terus berpura-pura ketakutan, Cin Hai berdiri lagi kemudian berlari-lari memutari pelataran berlatih
silat itu. Tetapi anehnya, kalau dikatakan takut dan melarikan diri, anak itu tidak mau lari keluar dari
kalangan!
Ting Sun yang tidak mengenal gelagat, biar pun dua kali serangannya telah dapat dikelit, masih terus
mengirim serangan-serangan bertubi-tubi. Kalau dibicarakan memang sangat aneh, tetapi benar-benar
terjadi. Cin Hai terhuyung-huyung dan bahkan sekarang mulai menari-nari!
Semua murid bukoan itu, termasuk Bin Nio bukan main herannya melihat sikap Cin Hai. Mereka
menganggap anak itu tiba-tiba menjadi gila. Mana ada orang diserang oleh lawan tidak berkelit atau
menangkis, tetapi bahkan menari-nari?
Dalam pandangan mata anak-anak murid dan Bin Nio, disangka bahwa Ting Sun merasa kasihan kepada
Cin Hai dan tidak menyerang sungguh-sungguh hanya untuk menakut-nakuti saja, maka setiap pukulan
dan tendangannya selalu tidak mengenai sasaran dan hanya menyerempet sedikit pakaian Cin Hai!
Mereka ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu Ting Sun merasa terkejut dan
terheran-heran sekali karena sudah lebih dari dua puluh jurus dia menyerang sambil mengeluarkan
pukulan-pukulan maut yang paling berbahaya, namun pukulannya itu selalu meleset dan tidak pernah
mampu mengenai tubuh Cin Hai! Pada saat pukulan hampir mengenai sasaran, tiba-tiba saja tubuh atau
bagian tubuh anak muda itu bergerak mengelak dengan cara yang luar biasa dan aneh sekali!
Yang dapat mengetahui hal yang sebenarnya hanyalah Louw Sun Bi seorang. Guru silat tua ini duduk
bengong dengan mulut ternganga dan mata terbelalak heran. Ia tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan
semacam ilmu silat yang aneh dan yang belum pernah dilihat seumur hidupnya, akan tetapi yang
kelihatannya betul-betul mengherankan. Ia tidak tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan Tari Bidadari yang
dipelajarinya dari Ang I Niocu. Biar pun belum banyak mempelajari ilmu silat mukjijat ini, namun mana
dunia-kangouw.blogspot.com
seorang kasar seperti Ting Sun dapat melawannya?
Makin cepat Ting Sun menyerang, makin lincah pula gerakan Cin Hai dan makin indah gerakan tarinya.
Sesudah merasa cukup mempermainkan Ting Sun dengan kelitan dan loncatan, Cin Hai menganggap
sudah tiba waktunya untuk memberi hajaran kepada guru sombong itu.
Pada saat Ting Sun menendang, cepat ia menggeser tubuh ke samping dan tanpa dapat diduga lebih dulu
kaki kirinya bergerak dan menotok urat pergelangan kaki Ting Sun yang berdiri. Maka, tanpa ampun lagi
guru silat itu roboh terguling-guling!
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments