Kho Ping Hoo Teranyar Kisah Sepasang Rajawali 8
- Kho Ping Hoo Romantis Kisah Sepasang Rajawali 7
- Kho Ping Hoo Ternew Kisah Sepasang Rajawali 6
- Kho Ping Hoo Keren Kisah Sepasang Rajawali 5
- Kho Ping Hoo Bagus Kisah Sepasang Rajawali 4
- Kho Ping Hoo New Kisah Sepasang Rajawali 3
- Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali 2
- Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Lanjutan Pend...
- Kho Ping Hoo Online : Sepasang Pedang Iblis 10 Tam...
- Kho Ping Hoo Terbaik : Sepasang Pedang Iblis 9
- Kho Ping Hoo Paling Gres : Sepasang Pedang Iblis 8...
- Kho Ping Hoo Terebaru : Sepasang Pedang Iblis 7
- Kho Ping Hoo : Sepasang Pedang IBlis 6
- Cersil Kho Ping Hoo : Sepasang Pedang Iblis 5
- Cersil Anyar Sepasang Iblis 4
- Cersil Baru Sepasang Pedang Iblis 3
- Cersil Mandarin Sepasang Pedang Iblis 2
- Cersil Sepasang Pedang Iblis 1 Lanjutan Pendekar S...
- Cersil Tegal Pendekar Super Sakti 8
- Cersil Terbaru Bingit : Pendekar Super Sakti 7
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan
Kemarahannya membuat dia lupa akan segala kenyerian yang menusuk-nusuk seluruh tubuh dari kepala
sampai kaki, dan dengan ganas dia sudah menerjang lagi, otomatis dia menggunakan jurus Pat-mo Sinkun
(Ilmu Silat Sakti Delapan Iblis) yang menjadi ilmu silat tinggi pertama kali yang dilatihnya. Gerakan ilmu
silat ini memang hebat dan ganas sekali, dan sinkang yang mendorong gerakan ilmu ini adalah sinkang
yang mengeluarkan hawa panas.
“Aihhh...!”
Puteri Milana terkejut dan terheran-heran bukan main. Cepat dia menggerakkan kaki tangannya dengan
ilmu silat yang sama pula. Tentu saja dia merasa heran karena gerakan pemuda ini adalah gerakan ilmu
silat rahasia dari perkumpulan Thian-liong-pang, yaitu perkumpulan yang dahulu diketuai oleh ibunya,
Puteri Nirahai (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS). Dan ilmu silat ini adalah ciptaan ibunya itu, yang
mengambil gerakan-gerakan dari Ilmu Silat Pat-mo Kiam-sut digabung dengan Ilmu Silat Pat-sian Kiam-sut
(Ilmu Pedang Delapan Dewa) sehingga terciptalah Ilmu Silat Tangan Kosong Pat-mo Sin-kun itu. Akan
tetapi ilmu itu hanya dikenal oleh ibunya, dia sendiri dan para bekas tokoh Thian-liong-pang saja.
Bagaimana sekarang bisa dimainkan oleh pemuda ini secara demikian baiknya?
“Hai, dari mana engkau mempelajari Pat-mo Sin-kun?” Puteri Milana berseru makin heran karena
mendapat kenyataan betapa pemuda ini memiliki tenaga yang amat kuat, sungguh pun jelas bahwa
pemuda ini sudah menderita luka-luka parah dan keracunan.
Tek Hoat juga terkejut ketika melihat wanita menghadapinya dengan Pat-mo Sin-kun yang demikian baik
gerakannya, jauh lebih baik dari pada gerakannya sendiri. Maka tanpa menjawab dia lalu mengerahkan
tenaga Inti Bumi dan mendorong.
“Bresss... ihhhh...!” Milana terdorong dan terhuyung, bukan main kagetnya.
“Keparat, engkau pemberontak keji!” Kian Bu sudah melepaskan Syanti Dewi. Melihat kakaknya terdorong
itu, dia lalu menerjang ke depan dan memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang.
Tek Hoat yang amat marah dan benci kepada pemuda yang memeluk Syanti Dewi ini, lalu membalikkan
tubuh mengerahkan tenaga sinkang-nya dan menangkis. Keduanya mengeluarkan tenaga sekuatnya, akan
tetapi Kian Bu sama sekali tidak tahu bahwa lawannya itu telah terluka parah.
“Desssss...!”
Tubuh Tek Hoat terlempar, membentur batang pohon dan roboh tergelimpang, tidak bergerak lagi! Ketika
mengadu tenaga dengan Puteri Milana tadi, ternyata dia telah mengerahkan tenaga Inti Bumi dan hal ini
membuat luka-lukanya di sebelah dalam tubuhnya menjadi lebih parah lagi. Maka begitu dia bertemu
dengan Kian Bu yang memiliki sinkang murni dari Pulau Es, tentu saja dia tidak mampu menandinginya
dan dia terbanting dengan keras sampai pingsan.
“Ahhh, Bu-ko, kau membunuhnya...?” Syanti Dewi berlari menghampiri tubuh Tek Hoat, berlutut dan
memandang penuh kekhawatiran.
“Adik Syanti Dewi, dia kaki tangan pemberontak, dia jahat...!” Kian Bu berkata dengan heran dan
penasaran melihat dara itu membela lawannya.
Puteri Milana memandang dengan heran dan diam-diam dia kagum akan kecantikan Puteri Bhutan ini.
Pantas saja adik kandungnya tertarik kepada puteri ini dan sikap mereka ketika bertemu tadi menimbulkan
dunia-kangouw.blogspot.com
dugaannya bahwa adiknya itu jatuh hati kepada Syanti Dewi. Maka kini sikap Syanti Dewi yang berlutut di
dekat kaki tangan pemberontak itu mengherankan hatinya.
“Apa artinya ini?” Dia bertanya.
“Adik Syanti, pemberontak ini dibunuh pun sudah sepatutnya,” Kian Bu berkata lagi.
“Tidak... tidak...! Bu-koko, engkau tidak tahu. Dialah yang telah menolongku. Dia yang telah membunuh
Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang pengawalnya. Lihat itu, mayat mereka masih berada di sana.
Kalau tidak ada Tek Hoat ini, aku tentu telah menjadi mayat sekarang.” Syanti Dewi berkata sambil
menunjuk ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan dan dia membayangkan betapa dia sekarang tentu
telah membunuh dirinya karena hendak diperkosa oleh Pangeran Liong Khi Ong kalau saja tidak ditolong
oleh Tek Hoat.
“Ehhh...?” Kian Bu tertegun heran.
“Dia adalah tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong yang terkenal sekali. Dialah yang berjuluk Si Jari Maut
dan yang mempergunakan nama Gak Bun Beng Taihiap! Dia jahat dan keji, juga menjadi kaki tangan
pemberontak. Syanti, minggirlah, orang ini harus ditangkap atau dibunuh.” Jenderal Kao Liang juga berkata
sambil melangkah maju menghampiri Puteri Bhutan yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri itu.
“Gi-hu (Ayah Angkat)...!”
Syanti Dewi bangkit dan memegang lengan jenderal tinggi besar itu. “Harap jangan bunuh dia. Dia terluka
dan menderita seperti itu karena menolong saya. Andai kata dia tidak menolong saya, tentu dia sudah
dapat melarikan diri jauh dari sini dan kalian tidak dapat menangkapnya. Dia menolong saya dan
karenanya dia terluka dan tidak dapat lari. Kalau kalian membunuhnya, sama artinya dengan saya yang
membunuhnya. Gi-hu, apakah engkau ingin mempunyai seorang anak angkat yang berwatak palsu tidak
mengenal budi orang?”
Puteri Milana sudah melangkah maju dan berkata kepada adiknya, “Bu-te (Adik Bu), dia betul. Kita harus
merawatnya, dan aku melihat keanehan pada dirinya. Dia mengenal ilmu rahasia Thian-liong-pang!
Mungkin pemuda ini menyimpan rahasia.”
Kian Bu masih ragu-ragu. “Tetapi, Enci, menurut Kao-goanswe dia telah menggunakan nama Gak-suheng
dan merusak namanya!”
“Hal itu pun ada rahasianya. Kita rawat dan menahan dia sebagai seorang tawanan yang terawat baik.
Betapa pun juga, dia telah berjasa dengan membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang
pengawalnya yang lihai ini.”
Kian Bu tidak berani membantah lagi, dia lalu memanggul tubuh Tek Hoat yang lunglai dan pingsan.
Mereka lalu kembali ke Teng-bun yang sudah diduduki oleh pasukan pemerintah. Pukulan hebat yang
dilakukan oleh pasukan di bawah pimpinan Jenderal Kao Liang dan Puteri Milana itu sekaligus
menghancurkan kekuatan pemberontak, apa lagi kematian Panglima Kim Bouw Sin dan kematian
Pangeran Liong Khi Ong melemahkan semangat perlawanan para anak buah pasukan sehingga sebagian
besar di antara mereka segera takluk dan menyerah dan hanya sedikit saja yang melarikan diri secara liar
karena takut akan hukuman yang pasti dijatuhkan kepada mereka.
Seperti juga kota Teng-bun, kota pemberontak kedua, Koan-bun, dengan mudah terjatuh ke tangan
pemerintah setelah terjadi perang yang amat hebat di dalam kota itu. Pasukan yang dipimpin oleh
Panglima Thio dan dibantu oleh putera Jenderal Kao itu telah berhasil membasmi pemberontak yang telah
kelelahan karena baru saja pasukan pemberontak bertanding mati-matian ketika mereka menghancurkan
pasukan liar Tambolon. Apa lagi di kota ini terdapat Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee yang telah berhasil
mengusir tokoh hitam lihai yang membantu pemberontak, yaitu ketua Pulau Neraka Hek-tiauw Lo-mo dan
sumoi-nya, Mauw Siauw Mo-li.
Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng telah roboh pingsan karena luka-lukanya akibat
pukulan-pukulan yang mengandung racun, terutama sekali pukulan yang diterimanya dari Hek-tiauw Lomo,
karena tangan Ketua Pulau Neraka ini mengandung racun yang amat ampuh sehingga biar pun Ceng
Ceng sendiri merupakan seorang ahli tentang racun, namun tetap saja dia menderita luka di sebelah dalam
tubuhnya yang parah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan hati penuh kekhawatiran, Suma Kian Lee memondong tubuh dara yang telah mencuri hatinya
sejak pertama kali dia melihat dara ini di pasar kuda dahulu, mengikuti seorang perwira menuju ke sebuah
gedung yang telah diduduki pasukan pemerintah. Setelah merebahkan tubuh yang mukanya sekarang
pucat agak kehijauan itu di atas pembaringan, Kian Lee cepat duduk bersila di dekat gadis itu, meletakkan
kedua tangannya di atas pundak Ceng Ceng dan mulailah dia mengerahkan tenaga sinkang yang amat
kuat untuk membantu gadis itu mengusir hawa beracun yang mengeram di dalam tubuhnya.
Namun dengan amat terkejut dan heran Kian Lee merasakan betapa ada tenaga lain yang keluar melawan
pengerahan tenaganya. Dia tidak tahu bahwa tubuh dara itu telah mengandung racun setelah dia
menguasai ilmu tentang racun dari Ban-tok Mo-li dan melatih diri, tubuhnya menjadi beracun sehingga dara
itu dapat mengerahkan hawa beracun yang amat hebat, bukan hanya di dalam pukulannya, bahkan di
ludahnya sekali pun! Adalah hawa ini yang melawan ketika dia mengerahkan sinkang untuk mengusir hawa
beracun yang disangkanya adalah akibat pukulan-pukulan Hek-tiauw Lo-mo.
Andai kata pukulan Hek-tiauw Lo-mo itu merupakan pukulan beracun biasa saja, agaknya tidak akan
mampu membuat Ceng Ceng terluka sedemikian beratnya. Akan tetapi pukulan Hek-tiauw Lo-mo adalah
pukulan beracun yang dilatihnya dari kitab yang dapat dicurinya dari Dewa Bongkok, dan pukulan beracun
ini hebat sekali, melebihi kehebatan hawa beracun di tubuh Ceng Ceng! Itulah sebabnya maka pemuda
yang memiliki sinkang murni dari Pulau Es ini akan tetapi bukan seorang ahli pengobatan, menjadi gagal
dan bingung.
Akan tetapi dia tidak menghentikan usahanya untuk menolong Ceng Ceng dan masih terus saja dia
mengerahkan sinkang-nya, tidak peduli bahkan ketika dia mulai merasa betapa ada perasaan gatal-gatal
menjalar masuk melalui telapak tangannya. Dia tahu bahwa secara aneh sekali, ada hawa beracun yang
menular kepadanya, akan tetapi dia tidak mempedulikan dirinya sendiri dalam keinginannya untuk
menyembuhkan Ceng Ceng.
Setengah hari lebih Kian Lee berusaha mati-matian untuk menyembuhkan gadis itu dengan sia-sia. Lewat
tengah hari, Ceng Ceng siuman dari pingsannya dan terkejutlah dia ketika melihat pemuda tampan yang
menolongnya itu duduk bersila, menempelkan kedua telapak tangan di kedua pundaknya dan dari kedua
telapak tangan pemuda itu keluar hawa yang hangat. Apa lagi ketika dia melihat betapa kedua tangan
pemuda itu menjadi agak kehijauan, dia terkejut sekali, dan tahu apa yang telah terjadi dengan diri pemuda
itu.
“Jangan...! Hentikan itu...!” katanya sambil bangkit duduk.
“Tenanglah, Nona. Aku sedang berusaha untuk mengusir hawa beracun dari dalam tubuhmu...”
“Jangan lakukan itu! Ah, engkau tidak tahu... engkau mencari celaka sendiri...!” Ceng Ceng menolak kedua
tangan pemuda itu dan duduk di pinggir pembaringan, kepalanya terasa pening sekali dan di dada kanan
dan punggung terasa nyeri. “Engkau malah meracuni dirimu sendiri...” katanya, suaranya agak terharu
melihat tangan pemuda itu menjadi kehijauan.
“Nona Lu, engkau terkena pukulan-pukulan beracun, kalau tidak segera dilenyapkan hawa beracun itu,
amat berbahaya. Biarlah aku mencobanya lagi...”
“Tidak! Engkau sendiri yang akan celaka... ah, kau tidak tahu. Racun di tubuhku telah menular kepadamu.
Lihat kedua telapak tanganmu.”
Kian Lee memandang kedua telapak tangannya. “Tidak mengapa, yang penting engkau harus terhindar
dari bahaya maut.”
Ceng Ceng memandang pemuda itu penuh perhatian, alisnya berkerut saat ia bertanya, “Engkau
mengenalku?”
Kian Lee mengangguk. “Engkau adalah Nona Lu Ceng, saudara angkat Puteri Syanti Dewi dari Bhutan,
engkau seorang dara perkasa yang berjiwa pahlawan, engkau hampir mengorbankan nyawa sendiri ketika
menolong Jenderal Kao Liang, sekarang engkau pun terancam bahaya maut setelah engkau berhasil
mengadu domba Tambolon dengan pemberontak. Engkau seorang dara yang hebat, Nona Lu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Jantung gadis ini berdebar tegang dan aneh. Pandang mata pemuda ini mengingatkan dia akan
pandangan mata Pangeran Yung Hwa, sungguh pun sikapnya tidak seperti pangeran itu yang menyatakan
cintanya terang-terangan! Pandang mata seorang pria yang mencintanya.
“Kenapa... kenapa engkau berusaha menolongku dengan menempuh bahaya? Kau bisa keracunan dan
mati!”
Suma Kian Lee tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku tidak akan mati, Nona, dan andai kata mati pun
kalau dapat menyelamatkan engkau dari bahaya maut, hatiku akan puas.”
“Hemm, kau siapakah namamu?”
“Namaku Suma Kian Lee dan... ohhh, engkau kenapa, Nona?” Dia hendak menubruk maju dan sudah
mengulur tangan, tetapi dia tidak berani memegang atau menyentuh tubuh itu demi kesopanan.
Ceng Ceng memegang kepalanya yang terasa pening sekali. Dia menguatkan dirinya dan membuka
matanya lagi.
“Engkau pernah kulihat... ahhh, lupa lagi aku di mana...”
“Di pasar kuda, dan kedua kalinya di waktu engkau hendak ditangkap oleh Hek-tiauw Lo-mo....” Kian Lee
berhenti sebentar dan memandang wajah yang cantik itu penuh perhatian, karena dia teringat betapa jauh
bedanya keadaan dara itu dalam dua kali pertemuan itu. Yang pertama dara itu kelihatan lincah jenaka dan
gembira, akan tetapi yang kedua kalinya dara itu menjadi dingin dan amat ganas.
“Dan yang ketiga kalinya aku dan adikku melihat engkau di rumah Jenderal Kao di kota raja, akan tetapi
engkau terus berlari pergi. Nona Lu, biarkan aku mengobatimu, kalau engkau sudah sembuh baru kita
bicara lagi.” Kian Lee khawatir sekali melihat wajah cantik yang kehijauan itu.
Ceng Ceng menggeleng kepala, lalu bangkit berdiri, agak terhuyung dan dia terpaksa berpegang kepada
punggung kursi. “Tidak, tidak ada gunanya. Engkau tidak akan dapat menyembuhkan aku, tidak ada yang
dapat menyembuhkan... biarkan aku pergi saja dari sini...”
“Heh! Siapa bilang tidak ada orang dapat menyembuhkan? Aku belum pernah melihat penyakit yang tak
dapat kusembuhkan!”
Kian Lee cepat menengok, dan dengan mata sayu Ceng Ceng yang pandang matanya berkunang itu pun
menoleh ke arah pintu.
“Sute, kau kenapa...?” Gak Bun Beng cepat menghampiri Kian Lee, menangkap tangan pemuda itu dan
memeriksanya. “Ahh, kau keracunan!” Pendekar itu berseru kaget.
“Dia... dia keracunan... ketularan oleh racun di tubuhku...” Ceng Ceng berkata lemah. “Biarkan aku pergi...”
Dia terhuyung hendak menuju ke pintu.
“Dia telah keracunan hebat, dan pemuda ini pun keracunan,” kata kakek yang datang bersama Gak Bun
Beng, seorang kakek yang aneh, membawa tongkat dan pandang matanya tidak acuh. “Akan tetapi jangan
mengira aku tidak dapat menyembuhkan!” Kakek ini adalah Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok.
Seperti telah diketahui kakek ini adalah ahli pengobatan yang pernah bertemu dan bahkan mengadu
kepandaian dengan Gak Bun Beng yang ketika itu sedang sakit dan melakukan perjalanan bersama Syanti
Dewi. Biar pun wataknya aneh bukan main, Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Bertangan Sakti) ini adalah
seorang yang benci terhadap pemberontakan, maka begitu mendengar bahwa Koan-bun dan Teng-bun
diserbu oleh pasukan-pasukan pemerintah, dia cepat datang dan membantu. Kebetulan dia bertemu
dengan Gak Bun Beng di Koan-bun.
Kehadiran seorang ahli pengobatan tentu saja penting sekali bagi Bun Beng karena di dalam perang
terjatuh banyak korban yang perlu dengan pengobatan, apa lagi dia juga teringat gadis yang telah
menderita keracunan hebat, maka dia mengajak Sin-ciang Yok-kwi untuk menyusul Kian Lee setelah dia
menyelesaikan bantuannya terhadap serbuan tentara pemerintah.
“Yok-kwi, kalau begitu cepat obati mereka. Nona ini adalah Nona Lu Ceng, seorang nona muda yang
berjiwa pahlawan, dan pemuda ini sute-ku.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Lu Ceng menudingkan telunjuknya ke arah Gak Bun Beng. “Engkau mengenal aku, akan tetapi siapakah
kau...?”
Kian Lee seakan-akan hendak menutupi sikap suheng-nya, maka cepat dia berkata, “Nona Lu, dia ini
adalah suheng-ku, Gak Bun Beng... Ehh, kenapa?” Dia terkejut sekali melihat Ceng Ceng membelalakkan
matanya, memandang kepada Gak Bun Beng bagai orang melihat setan, kemudian dia menggeleng kepala
keras-keras.
“Bohong! Gak Bun Beng sudah mati...!” Dan dia pun terguling dan tentu akan terbanting jatuh kalau tidak
ditangkap oleh Kian Lee yang selalu siap di dekatnya. Dara itu telah pingsan.
“Suheng...” Kian Lee memandang Gak Bun Beng.
Dari pandang mata ini saja cukup jelaslah bagi pendekar itu apa yang terkandung di dalam hati sute-nya
itu. Hatinya merasa terharu, karena dia pun pernah merasakan dorongan cinta kasih pertama seperti yang
dialami sute-nya pada saat itu. Maka dia lalu menoleh kepada Sin-ciang Yok-kwi.
“Yok-kwi, kalau kau tidak cepat menolong mereka berdua ini, pandanganku terhadap kemampuanmu akan
menurun!” kata Bun Beng dengan muka sungguh-sungguh.
Sin-ciang Yok-kwi tidak menjawab, alisnya berkerut dan kedua tangannya sudah mulai memeriksa Ceng
Ceng yang direbahkan kembali oleh Kian Lee di atas pembaringan. Makin dalam kerut di muka kakek itu
dan beberapa kali dia mengeluarkan seruan aneh. Sampai lama dia memeriksa tubuh Ceng Ceng,
kemudian dia membalik kepada Kian Lee yang duduk di pinggir pembaringan lalu memeriksa pemuda itu,
memeriksa kedua tangannya yang menghijau sampai ke bawah siku, memeriksa detik jantungnya pula.
Kakek itu terhenyak ke atas kursi, matanya memandang kosong melalui pintu kamar itu.
“Yok-kwi, bagaimana?” Bun Beng bertanya dengan penuh kekhawatiran karena pada wajah tabib pandai
itu nampak kebingungan.
Yok-kwi menggelengkan kepala dan menghela napas panjang. “Baru sekali ini aku berhadapan dengan
keadaan yang luar biasa sekali!” katanya dan menoleh ke arah Ceng Ceng dengan pandang mata penuh
keheranan.
“Pukulan yang diterima oleh gadis ini pasti sudah akan mematikan orang lain karena racun yang
terkandung di dalamnya amat luar biasa. Akan tetapi gadis ini tidak mati, bahkan di samping racun pukulan
itu, di seluruh tubuhnya terdapat hawa beracun yang membuat dia berbahaya sekali bagi orang lain, racun
yang kehijauan dan pemuda ini pun terkena racun yang terkandung di seluruh tubuhnya itu. Luar biasa
sekali! Gadis ini bisa dinamakan manusia beracun!”
“Cukup semua keterangan itu! Yang penting, bisakah engkau menyembuhkannya, Sin-ciang Yok-kwi Kwan
Siok?” Bun Beng membentak tak sabar.
Kakek itu memandang kepada Bun Beng. “Gak-taihiap, engkau tahu bahwa aku adalah seorang tabib yang
sanggup mengobati segala macam penyakit dan luka yang beracun sekali pun. Akan tetapi mengobati
seorang manusia beracun? Sungguh tidak mungkin bagiku. Pemuda ini dapat kuobati, apa lagi sute-mu ini
memiliki sinkang yang murni dan amat kuat. Akan tetapi gadis ini... terus terang saja aku hanya mampu
memberi obat penawar yang melenyapkan rasa nyeri sehingga dia tidak akan terlalu tersiksa. Akan tetapi...
kalau dia dapat bertahan sampai satu bulan saja sudah amat luar biasa namanya. Mungkin dalam belasan
hari saja dia sudah harus mati...”
“Tidak...!” Tiba-tiba Kian Lee yang biasanya bersikap tenang itu berteriak. “Suheng, tidak mungkin
membiarkan dia mati...!”
Gak Bun Beng menarik napas panjang. “Sute, bukan kitalah yang menentukan tentang hidup atau mati.
Kita hanya dapat berusaha, dan tentu saja kita harus berusaha sedapat mungkin untuk menyembuhkan
Nona Lu ini. Yok-kwi, sebagai orang yang telah berani memakai julukan Setan Obat, tidak malukah engkau
kalau harus mengatakan bahwa engkau tidak mengenal cara penyembuhan bagi nona ini?”
Kakek ahli obat itu memandang Bun Beng dengan mata melotot, kelihatan marah sekali. “Gak Bun Beng,
engkau terlalu mendesak dan memandang rendah padaku!” Kemudian dia menarik napas panjang. “Di
dunia-kangouw.blogspot.com
dunia ini, hanya ada Pulau Es yang terkenal dengan ketinggian ilmu silatnya, sayang tidak terbuka bagi
semua orang dan hanya dikenal oleh orang-orang seperti engkau dan keluarga Pulau Es sehingga Pulau
Es menjadi tempat dalam dongeng, kemudian ada tokoh yang luar biasa ilmunya tentang racun dan dia
adalah Ban-tok Mo-li, namun sayang tidak ada seorang pun tahu di mana nenek iblis itu berada. Ada lagi
tempat yang dikenal dalam dongeng, yaitu Istana Gurun Pasir yang kabarnya ditempati oleh orang yang
seperti dewa dan ahli pula tentang segala macam racun. Kemudian orang keempat adalah suheng-ku,
yang dalam kepandaian tentang racun dan pengobatan boleh menjadi guruku, akan tetapi suheng yang
berjuluk Yok-sian (Dewa Obat) telah meninggal, sedangkan dua orang anaknya entah ke mana aku sendiri
pun tidak tahu. Kau lihat, Gak-taihiap, di dunia ini yang dapat mengobati Nona ini kiranya hanyalah Ban-tok
Mo-li, atau manusia dewa di Gurun Pasir, atau Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, yaitu gurumu sendiri.”
“Suheng, biar kubawa dia ke Pulau Es, minta pertolongan ayah...,” Kian Lee berkata penuh semangat.
“Apa...? Jadi pemuda ini adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?” Yok-kwi bertanya sambil
memandang dengan mata terbelalak kagum. Ketika dia melihat Gak Bun Beng mengangguk
membenarkan, dia cepat berkata, “Ah, maaf... maaf... sungguh beruntung aku dapat memperoleh
kesempatan bertemu dengan puteranya, sungguh pun tidak beruntung dapat melihat ayahnya.”
“Sute, kiranya akan terlambat kalau membawanya ke Pulau Es,” Bun Beng berkata kepada pemuda itu.
“Engkau sudah mendengar keterangan Yok-kwi tadi bahwa Nona Lu hanya dapat bertahan selama satu
bulan, sedangkan perjalanan ke sana sedikitnya akan makan waktu satu bulan lebih.”
“Suheng, habis bagaimana lagi baiknya? Locianpwe, saya harap dapatlah Locianpwe menolongnya...” Kian
Lee menghadapi dua orang sakti itu dengan sikap bingung. Hal ini tidak perlu diherankan karena biar pun
Kian Lee seorang pemuda gemblengan yang memiliki kepandaian tinggi dan biasanya berwatak tenang,
namun kini melihat dara yang dicintanya terancam bahaya maut, dia menjadi gelisah sekali.
“Harap tenang, orang muda yang gagah perkasa. Tepat seperti yang dikatakan oleh Suheng-mu tadi, kita
manusia hanya dapat berusaha, dan untuk dapat berusaha dengan baik kita perlu memiliki batin yang
tenang. Biarlah sekarang aku memberi obat penawar kepadanya agar dia terbebas dari rasa nyeri, dan
kedua tanganmu pun perlu diberi obat agar bersih dari hawa beracun.”
“Yok-kwi, hawa beracun di kedua tangan sute-ku biarlah kukeluarkan dengan sinkang...”
“Jangan, Gak-taihiap. Engkau telah melihat sendiri betapa sute-mu ketularan begitu dia berusaha
mengobati gadis itu dengan kekuatan sinkang. Hawa beracun hijau ini aneh sekali dan hawa inilah yang
telah membuat Nona Lu menjadi manusia beracun. Cara pengobatanmu dengan sinkang tentu akan
membuat engkau ketularan pula.” Kakek itu mencegah, lalu dia membuat ramuan obat-obatan yang anehaneh
dan yang bahannya sebagian dicarinya sendiri di dalam hutan.
Setelah diobati oleh Yok-kwi, diberi minum obat dan kedua lengannya digosok, benar saja warna
menghijau itu lenyap dari kedua lengan Kian Lee. Kemudian Ceng Ceng yang masih setengah pingsan itu
diberi minum obat oleh Yok-kwi, dan dia kemudian meninggalkan beberapa bungkus obat kepada Kian Lee
untuk digodok dan diberi minum kepada Ceng Ceng setiap hari. Obat itu cukup untuk sebulan lamanya.
Kakek itu lalu berkata kepada Bun Beng, “Gak-taihiap. Aku memang harus malu kalau sampai tidak dapat
menyembuhkan Nona Lu. Karena itu, aku akan pergi mencari obat untuknya. Syukur kalau aku dapat
bertemu dengan penghuni Istana Gurun Pasir, atau Ban-tok Mo-li, atau mungkin keponakan-keponakanku
yang hilang. Kalau sampai aku tidak berhasil, biarlah kubuang saja nama julukanku Yok-kwi.”
Gak Bun Beng terkejut sekali dan merasa menyesal bahwa ucapannya yang pernah dikeluarkannya itu
diterima dengan sungguh-sungguh oleh Setan Obat ini. “Ahh, Yok-kwi, aku tidak bermaksud demikian...”
Akan tetapi Yok-kwi tertawa dan menjura kepadanya, lalu kepada Kian Lee. “Sudah demikianlah keputusan
hatiku. Di samping itu, melakukan sesuatu untuk putera Pendekar Super Sakti merupakan suatu
kehormatan dan kebahagiaan besar bagiku. Selamat tinggal, mudah-mudahan aku tidak akan terlambat
memperoleh obat itu.” Tanpa dapat dicegah lagi, Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok pergi meninggalkan kota
Koan-bun yang sudah aman kembali dan mulai dibersihkan dari mayat-mayat yang bergelimpangan itu.
Dengan penuh ketekunan Kian Lee merawat sendiri gadis itu dan dua hari kemudian barulah Ceng Ceng
siuman dari pingsan atau setengah pingsan itu. Dia membuka mata, menoleh ke kanan kiri, kemudian
melihat Kian Lee duduk tertidur di atas kursi dekat pembaringannya, dia bangkit duduk. Tubuhnya tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
terasa sakit lagi, ringan dan enak. Teringatlah dia akan semua yang dialaminya, terutama sekali teringat
dia akan wajah seorang laki-laki setengah tua yang gagah perkasa, laki-laki yang mengaku bernama Gak
Bun Beng!
Padahal nama ayahnya adalah Gak Bun Beng. Akan tetapi ayahnya yang telah menyia-nyiakan ibunya itu
telah mati. Tentu hanya sama namanya saja, pikirnya. Lalu dia memandang kepada pemuda itu. Pemuda
yang tampan sekali, dan gagah perkasa, dan... tentu pemuda ini mencintanya. Jantung Ceng Ceng
berdebaran aneh. Pemuda ini tentu telah merawatnya, dan menjaganya!
Sedikit gerakan Ceng Ceng itu cukup membangunkan Kian Lee. Dia memandang dan cepat bertanya,
“Engkau sudah dapat bangun? Syukurlah, Nona...,” nada suaranya girang dan penuh harapan.
“Bagaimana rasanya tubuhmu...?”
Ceng Ceng menatap wajah itu, hatinya diliputi keharuan. “Saudara Suma Kian Lee... bagaimana
tanganmu...?”
Kian Lee mengulurkan kedua tangannya, memandang tangannya sambil berkata, “Ah, tidak apa-apa,
sudah disembuhkan oleh Yok-kwi.”
“Berapa lamanya aku tidur... ehh, tak sadarkan diri?”
“Ah, aku khawatir sekali, Nona Lu. Engkau pingsan dan mengigau, mengeluh selama dua hari dua
malam...”
Kian Lee bergidik kalau teringat betapa nona itu dalam pingsannya atau tidurnya selalu gelisah, bahkan
sering berteriak-teriak lirih seperti orang ketakutan yang dianggapnya tentulah akibat rasa takutnya ketika
hendak diperkosa oleh Tambolon dahulu itu.
“Dua hari dua malam...? Dan selama itu... kau terus merawat dan menjaga aku...?”
Kian Lee tersenyum. “Ahh, itu sudah semestinya, Nona. Habis, engkau membutuhkan perawatan. Engkau
telah mendapat obat penawar dari Yok-kwi, yang untuk sementara dapat melenyapkan rasa nyeri, akan
tetapi... ah...,” Kian Lee tergagap mengingat bahwa sebenarnya gadis ini masih belum sembuh sama sekali
dan masih berada dalam cengkeraman maut!
“Yok-kwi Locianpwe sedang mencarikan obat penyembuh bagimu... ehhh, Nona, kau... kau menangis?”
Ceng Ceng menundukkan mukanya dan menghapus beberapa titik air matanya. Hatinya terharu dan
seperti ditusuk-tusuk rasanya. Pemuda ini selain telah mempertaruhkan nyawa sendiri ketika berusaha
menyedot racun dari tubuhnya, juga telah merawat dan menjaganya selama dua hari dua malam dan jelas
bahwa pemuda itu agaknya tidak makan dan tidak tidur, buktinya wajahnya pucat lesu dan tadi sampai
tertidur di atas kursi! Pemuda yang begini tampan dan gagah, berbudi mulia, telah menyatakan cinta
kasihnya lewat perbuatannya, cinta kepada dia yang tidak berharga lagi!
Makin diingat tentang keadaannya, makin terharu dan sakit rasa hatinya. Pemuda-pemuda pilihan telah
jatuh cinta kepadanya. Pangeran Yung Hwa, seorang pangeran putera Kaisar yang tampan, terpelajar
tinggi, halus, romantis dan jujur! Kini, seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa tingginya,
tampan dan gagah perkasa! Mereka itu jelas amat mencintanya, akan tetapi dia... ah, dia telah menjadi
setangkai bunga yang layu, tidak berharga lagi, telah diperkosa oleh seorang pemuda laknat, seorang
pemuda biadab.
Tiba-tiba dia teringat!
“Ah, di mana dia...?” Tiba-tiba Ceng Ceng meloncat turun dari pembaringan akan tetapi cepat Kian Lee
memegang lengannya dengan halus.
“Nona, hati-hatilah. Engkau belum sembuh... beristirahatiah dulu...”
Ceng Ceng sadar bahwa sikapnya terlalu kasar. Dia menoleh ke kanan kiri, mencari kalau-kalau pemuda
tinggi besar yang menjadi musuhnya, pemuda yang bernama Kok Cu, pemerkosanya, berada di situ. Dia
tidak mimpi! Dia telah bertemu dua kali!
dunia-kangouw.blogspot.com
Bayangan berkelebat di pintu dan Ceng Ceng siap untuk menyerang kalau yang datang ini adalah musuh
besarnya. Akan tetapi yang muncul di pintu adalah laki-laki setengah tua yang mengaku bernama Gak Bun
Beng. Ceng Ceng bengong dan terduduk kembali di atas pembaringan.
“Gak-suheng...,” Kian Lee berkata menyambut suheng-nya.
Bun Beng tersenyum. “Ahhh, Nona Lu sudah sadar kembali? Syukurlah, bagaimana rasanya tubuhmu?”
Ceng Ceng tidak menjawab. Jantungnya berdebar keras dan dengan hati tak sabar lagi dia bertanya
setelah mendengar Kian Lee menyebut orang ini Gak-suheng. “Apakah namamu Gak Bun Beng?”
Bun Beng dengan tenang lalu menarik sebuah bangku dan duduk menghadapi gadis yang duduk kembali
di pinggir pembaringan itu. Memang dia sudah merasa tertarik dan heran melihat sikap Ceng Ceng
sebelum jatuh pingsan ketika gadis itu mendengar namanya disebut, dan mendengar gadis itu menyatakan
bahwa yang bernama Gak Bun Beng sudah mati!
“Benar, Nona Lu Ceng. Namaku memang Gak Bun Beng. Apakah engkau pernah pula mendengar namaku
itu?”
“Mendengar...? Apakah engkau murid Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?” Ceng Ceng pernah
mendengar kakeknya dulu bilang bahwa ayahnya yang bernama Gak Bun Beng bukan orang
sembarangan, melainkan seorang pendekar sakti, murid majikan Pulau Es yang berjuluk Pendekar Super
Sakti!
Pertanyaan ini mengejutkan Bun Beng dan Kian Lee. “Benar sekali, Nona. Dari mana Nona mengetahui
namaku?”
Wajah Ceng Ceng yang agak kehijauan itu tiba-tiba menjadi pucat, matanya terbelalak memandang wajah
Bun Beng dan jantungnya berdebar tidak karuan seolah-olah dia melihat setan di tengah hari. “Harap...
harap kau jangan membohongi aku...,” katanya gagap. “Gak Bun Beng murid Pendekar Super Sakti itu
telah mati...! Dia adalah ayah kandungku, sudah mati, jangan kau berani-berani memalsukan namanya!”
“Ohhh...!”
“Ahhhh...!”
Bun Beng dan Kian Lee terkejut dan saling berpandangan.
“Aihh, Nona Lu, sadarlah... ingatlah... ah, harap kau istirahat dulu...” Dengan hati penuh iba karena mengira
bahwa nona ini menjadi bingung dan telah berubah ingatan karena menderita keracunan, Kian Lee sudah
bangkit dari bangkunya, menghampiri Ceng Ceng dan dengan sikap lemah lembut berusaha membujuk
gadis itu untuk berbaring kembali.
“Sute, biarkan dia. Ada apa-apa di balik semua ini.” Bun Beng berkata dan sute-nya duduk kembali,
memandang dengan penuh kecemasan. Bun Beng melihat bahwa Ceng Ceng tidak bicara seperti seorang
yang hilang atau berubah ingatan, melainkan dengan sungguh-sungguh.
“Nona Lu Ceng,” katanya tenang sambil memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Engkau
adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi dan diberi nama Candra Dewi, bukan?”
Ceng Ceng mengangguk, matanya masih memandang Gak Bun Beng dengan rasa penasaran karena
mengira bahwa orang ini berani sekali memalsukan nama ayahnya yang sudah meninggal dunia.
“Syanti Dewi sudah banyak bercerita tentang dirimu.”
“Kak Syanti...? Engkau mengenalnya? Di mana dia?”
“Tentu saja aku mengenalnya. Aku menyelamatkannya dari air sungai...”
“Ah, syukurlah...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dan kini pun dia telah diselamatkan dari tangan pemberontak. Nona Lu, sepanjang pendengaranku dari
cerita Syanti Dewi, engkau sejak kecil tinggal di Bhutan. Benarkah demikian?”
Ceng Ceng mengangguk lagi. Terlalu banyak hal-hal aneh terdengar olehnya sehingga sukar baginya
untuk membuka suara.
“Jika sejak kecil engkau berada di Bhutan, bagaimana engkau dapat mengenal nama Gak Bun Beng yang
kau katakan sebagai ayah kandungmu?”
“Memang dia ayah kandungku! Kongkong yang bercerita kepadaku,” katanya kemudian.
“Pernahkah engkau bertemu dengan ayah kandungmu itu?”
Ceng Ceng menggeleng kepala.
“Siapakah nama kakekmu?”
“Kakek adalah Lu Kiong...”
“Yang menurut cerita Syanti Dewi tewas ketika melindungi engkau dan Syanti Dewi?” Bun Beng
menyambung.
“Benar.”
“Dan nama ibumu?”
“Ibuku bernama Lu Kim Bwee...” Ceng Ceng kini terkejut memandang Bun Beng yang meloncat berdiri dari
bangkunya.
“Lu Kim Bwee...? Di mana dia sekarang?” tanyanya penuh semangat.
“Ibuku...? Dia... dia sudah mati...” Ceng Ceng berkata dan dia memejamkan matanya. Teringat bahwa ayah
bundanya sudah mati, juga kongkong-nya, dan dia sendiri tertimpa mala petaka hebat, dia merasa betapa
sengsara hidupnya!
“Ahhh...!” Bun Beng berseru kembali dan duduk di atas bangkunya, menghela napas panjang. “Nona Lu,
harap kau suka menceritakan kepadaku, apa saja yang diceritakan oleh kongkong-mu itu kepadamu,
tentang orang bernama Gak Bun Beng itu.”
Hati Ceng Ceng merasa tegang. Sikap dua orang itu, yang dia tahu adalah orang-orang yang berilmu
tinggi, menimbulkan dugaan di hatinya bahwa memang ada sesuatu yang aneh, suatu rahasia mengenai
keadaan dirinya. Kakeknya jelas adalah seorang Han, bahkan menurut pengakuan kakeknya, dahulu
kakeknya adalah seorang pengawal Kaisar yang setia, maka kakeknya selalu menanamkan kesetiaan dan
kepahlawanan padanya.
Akan tetapi mengapa kakeknya dan ibunya meninggalkan tanah air dan berada di Bhutan yang begitu
jauh? Tentu ada rahasia di balik itu semua, dan dia merasa bahwa saat terbukanya rahasianya itu hampir
tiba. Maka dengan singkat namun jelas dia pun menuturkan keadaan dirinya dan kakeknya.
“Kongkong adalah seorang bekas pengawal Kaisar yang mengundurkan diri dan tinggal bersamaku di
Bhutan,” dia bercerita sambil menatap wajah Bun Beng dan pura-pura tidak melihat betapa sepasang mata
Kian Lee seperti melekat dan bergantung kepada bibirnya, mata yang sinarnya penuh kemesraan dan
kasih sayang! “Kongkong bernama Lu Kiong dan ibu sudah tidak ada. Menurut penuturan Kongkong, ayah
kandungku bernama Gak Bun Beng dan ibuku yang bernama Lu Kim Bwee telah meninggal dunia karena
merana dan berduka ditinggal pergi oleh ayah kandungku itu.”
“Ahh... sungguh kasihan engkau, Kim Bwee...” Bun Beng mengeluh.
Jantung Ceng Ceng makin berdebar tegang. Orang ini jelas mengenal ibuku, pikirnya! Akan tetapi dia
melanjutkan. “Mendengar penuturan Kongkong, aku lalu menyatakan hendak mencari dan menegur Ayah
atas perbuatannya terhadap Ibu, tetapi... Kongkong bilang bahwa ayahku yang bernama Gak Bun Beng,
murid Pendekar Super Sakti dari Pulau Es itu telah mati. Nah, begitulah cerita Kongkong kepadaku.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak, Nona Lu Ceng. Orang yang bernama Gak Bun Beng itu belum mati. Kakekmu dan ibumu salah
sangka... akulah orang yang mereka maksudkan itu...”
Ceng Ceng mengeluarkan jerit tertahan. Mukanya menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada
Gak Bun Beng. “Kalau... kalau begitu... engkau... Ayaaahh...!” Ceng Ceng sudah menubruk ke depan,
merangkul pinggang pendekar itu dan menangis tersedu-sedu.
Gak Bun Beng membiarkan gadis itu menangis di dadanya, kemudian baru dia berkata dengan halus,
“Nona, tenanglah Nona, dan duduklah baik-baik untuk mendengarkan penuturanku...”
“Suheng! Jadi dia... dia ini... puterimu...?” Kian Lee juga bertanya.
“Tenang, Sute. Dan engkau pun boleh mendengarkan penuturan ini karena... ahhh, Tuhan saja yang Maha
Tahu dan mengatur segala sesuatu di dunia ini sehingga terjadi hal seperti yang kuhadapi ini, karena
engkau pun... agaknya ada kepentingan dalam hal ini. Semoga Tuhan memberi kekuatan kepada kita
bertiga. Duduklah, Nona Ceng...”
Ceng Ceng melepaskan pelukannya, melangkah mundur dan duduk kembali ke atas pembaringan.
Wajahnya pucat, matanya memandang penuh kekagetan dan keraguan pada Bun Beng. “Engkau... engkau
ayah kandungku, mengapa...” Dia tidak melanjutkan ketika melihat sinar mata penuh iba terpancar dari
mata pendekar itu, dan karena itu keheranannya bertambah. Tadi mendengar ayah kandungnya masih
saja menyebutnya nona, dia sudah terkejut dan terheran sekali.
“Sayang sekali, Nona Ceng, sungguh sayang sekali bahwa terpaksa aku mengaku bahwa aku bukan ayah
kandungmu. Ah, aku akan bersukur kepada Tuhan andai kata benar aku adalah ayah kandungmu. Aku
akan merasa bahagia dan bangga mempunyai seorang anak seperti engkau...”
Makin terbelalak mata Ceng Ceng. Jelas bahwa kata-kata dari Bun Beng itu merupakan tikaman hebat
yang membuyarkan semua harapan dan kebahagiaannya tadi. Mukanya seperti muka mayat hidup yang
berwarna kehijauan.
“Ah, Nona... tabahkanlah hatimu...” Kian Lee berkata dan tanpa terasa lagi, tidak malu-malu lagi kepada
suheng-nya karena dia seolah-olah tak sadar apa yang dilakukannya, dia memegang tangan Ceng Ceng.
Gadis itu terisak, memejamkan matanya, membiarkan air matanya bertitikan jatuh ke atas kedua pipinya
dan dia menggenggam erat-erat tangan pemuda itu, seolah-olah dia minta bantuan dan kekuatan dari Kian
Lee.
Bun Beng melihat ini semua dan hatinya tertusuk. “Kalian berdua tenanglah dan beri kesempatan
kepadaku untuk bercerita dengan tenang.”
Ceng Ceng sadar kembali, menarik tangannya, memandang kepada Kian Lee dengan mata basah dan
bersinarkan terima kasih, kemudian menghapus air matanya, menarik napas panjang. “Hidupku memang
selalu dirundung kemalangan dan kekecewaan demi kekecewaan menimpa diriku. Mengapa perjumpaan
kembali dengan ayah kandung pun direnggut dari harapanku! Gak Bun Beng, kalau benar engkau bukan
ayah kandungku, setelah tadi engkau menghidupkan kembali ayah kandungku yang telah mati... engkau
jelaskanlah ini semua. Demi Tuhan, kau beri penjelasan akan semua ini!” Suaranya setengah menjerit.
Bun Beng menarik napas panjang. “Aku semakin kagum kepadamu, Nona. Engkau menghadapi pukulan
batin yang hebat itu dengan tabah. Kian Lee-sute, kuharap engkau pun dapat mencontoh kegagahan dan
ketabahan hati Nona ini.”
Kian Lee memandang kepada suheng-nya dengan heran, akan tetapi dia mengangguk. Dua orang muda
kini menanti dengan penuh perhatian dan suasana menjadi sunyi dan hening sekali sebelum Bun Beng
mulai bercerita.
“Dahulu di waktu aku masih muda, belasan tahun, hampir dua puluh tahun yang lalu, terdapat seorang
pemuda sesat yang melakukan banyak sekali perbuatan jahat, di antaranya memperkosa wanita, akan
tetapi ilmu kepandaiannya tinggi sekali...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pemuda semacam itu harus dibunuh!” Ceng Ceng berseru, marah karena dia teringat akan pemuda yang
memperkosa dirinya.
Bun Beng tersenyum. Dara ini mengingatkan dia akan watak Giam Kwi Hong, murid dan keponakan
Pendekar Super Sakti (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS). Lalu dia melanjutkan. “Pemuda sesat itu
bermusuhan dengan aku, maka dia selalu menggunakan namaku dalam melakukan perbuatannya yang
sesat itu. Pada suatu hari, aku mengejar pemuda itu dan tiba di tepi telaga, di mana terdapat sebuah
pondok tempat peristirahatan seorang gagah bernama Lu Kiong...”
“Kakekku...”
“Dan seorang gadis cantik bernama Lu Kim Bwee...”
“Ibuku...”
“Ya, tetapi Lu Kim Bwee itu sesungguhnya bukan anak kakek itu, melainkan cucunya!”
“Ahhh...!” Ceng Ceng terheran-heran dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Lu Kiong adalah seorang bun-bu-cwan-jai (ahli surat dan ahli silat), bekas pengawal yang setia. Ketika
mendengar bahwa pemuda sesat yang kucari-cari berada di sekitar telaga, Kakek Lu Kiong lalu
membantuku untuk mencari dan mengejar pemuda itu. Akan tetapi ketika malam itu dia dan aku pergi
berpencar melalui kanan dan kiri telaga, mengelilingi telaga mencari pemuda sesat itu, ternyata orang jahat
itu diam-diam memasuki pondok dan memperkosa Lu Kim Bwee.”
“Ahhhh...!” Ceng Ceng meloncat ke atas dan mengepal tinjunya, penuh kemarahan. “Katakan, siapa
penjahat laknat itu?”
“Dia sekarang sudah tidak ada lagi, Nona.” Bun Beng berkata.
Ceng Ceng menjadi lemas kembali, duduk dan dua titik air matanya meloncat keluar, teringat betapa sama
nasib ibunya dan dia!
“Celakanya, penjahat itu melakukan perbuatan biadab itu di dalam kegelapan dan dia memang sengaja
melakukan hal itu dengan memakai namaku, sehingga Kakek Lu dan Kim Bwee menuduhku! Kakek Lu
menuntut agar aku mengawini Kim Bwee. Karena aku tidak merasa melakukan perbuatan biadab itu, aku
menolak dan mereka lalu memusuhi aku. Bahkan kemudian, bekerja sama dengan wanita-wanita lain yang
telah dibuat sakit hati oleh penjahat itu yang mengaku namaku, Lu Kim Bwee dan beberapa orang lain itu
mengeroyok aku dan aku terjatuh ke dalam jurang. Mereka tentu mengira bahwa aku telah mati, Padahal
sebenarnya tidaklah demikian kenyataannya. Aku masih hidup dan semenjak itu aku tidak lagi bertemu
dengan Lu Kim Bwee. Demikianlah, Nona. Agaknya ibumu itu, Lu Kim Bwee, bersama kakeknya, Lu Kiong,
lalu pindah ke Bhutan, mungkin untuk menghindarkan aib karena agaknya ibumu telah mengandung
sebagai akibat perbuatan pemuda sesat itu. Kemudian engkau terlahir dan tentu saja kakekmu masih
menganggap bahwa Gak Bun Beng yang memperkosa ibumu, maka dengan sendirinya kakekmu
menceritakan bahwa ayah kandungmu adalah Gak Bun Beng. Padahal tidak demikianlah kenyataannya.”
“Penjahat terkutuk!” Kian Lee memaki marah. “Siapakah manusia jahat itu, Suheng?”
“Janganlah kau memaki dia, Sute. Dia sudah meninggal dunia dan tentu dia pun telah menyesalkan semua
perbuatannya. Dia itu bukan orang lain...”
“Siapa dia?” Ceng Ceng mendesak ketika melihat Bun Beng meragu. “Siapa penjahat yang memperkosa
ibuku dan menjadi ayah kandungku itu?”
“Namanya adalah Wan Keng In...”
“Ya Tuhan...!” Kian Lee menjerit, mukanya pucat.
“Eh, mengapa engkau...?” Ceng Ceng terkejut melihat Kian Lee yang kini menundukkan muka yang
disembunyikan di balik kedua tangannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat keadaan Kian Lee, Bun Beng menghela napas panjang. Betapa kejam nasib mempermainkan
mereka bertiga! Dia dapat merasakan kehancuran hati Ceng Ceng tadi, dan kini kehancuran hati Kian Lee,
yang melihat kenyataan bahwa dara yang dicintanya itu ternyata adalah keponakannya sendiri, karena
Wan Keng In adalah putera ibunya dari lain ayah. Bun Beng bangkit berdiri meninggalkan kamar itu menuju
ke kamarnya sendiri, membiarkan dua orang muda itu menghadapi kenyataan itu berdua saja.
“Saudara Kian Lee, kau kenapakah...?” Kini Ceng Ceng memegang lengan Kian Lee dan
mengguncangnya.
Kian Lee menahan napas, mengerahkan kekuatan batinnya untuk mengatasi pukulan hebat itu, kemudian
menurunkan tangan. Ceng Ceng terkejut melihat wajah yang kini menjadi pucat, mata yang sayu dan agak
cekung itu karena memang Kian Lee menjadi agak kurus dan lemas.
“Ceng-ji, (Anak Ceng), engkau she Wan, dan jangan menyebut aku saudara karena aku adalah pamanmu!”
“Ehhh...?”
“Ketahuilah bahwa Wan Keng In itu adalah putera ibu kandungku, dari lain ayah. Ibuku sebelum menjadi
isteri ayahku, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, menjadi isteri orang lain she Wan dan mempunyai anak
Wan Keng In itu. Kau... kau maafkan aku... Wan Ceng... bahwa aku... sebagai pamanmu, telah... pernah...
jatuh cinta padamu. Nah, sudah kuakui sekarang, agak lega hatiku. Namun... tentu saja hal itu tak mungkin
lagi... aku adalah siok-hu-mu (pamanmu) dan engkau keponakanku...”
“Paman...!” Ceng Ceng menubruk dan mereka berpelukan.
Ceng Ceng merasa suka dan berhutang budi kepada pemuda yang halus ini dan biar pun tahu betapa
akan mudah bagi dia untuk jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti ini, di samping pemuda seperti
Pangeran Yung Hwa. Akan tetapi jangankan terdapat kenyataan bahwa pemuda ini adalah pamannya
sendiri, andai kata tidak demikian pun, mana mungkin dia berani membalas cinta seorang seperti Suma
Kian Lee ini? Apa lagi setelah diketahuinya bahwa pemuda itu adalah putera dari Pendekar Super Sakti
Majikan Pulau Es! Dia sudah tidak berharga lagi!
“Paman, maafkanlah saya...!” Hatinya seperti diremas mengingat betapa tanpa sengaja dia telah
menghancurkan hati pamannya yang baik ini, mematahkan cinta kasih yang bersemi di hati pemuda ini.
“Sudahlah, Ceng Ceng, sudahlah. Tuhan sudah menghendaki demikian dan memang sebaiknya begini dari
pada menghadapi kenyataan bahwa cintaku hanya sepihak. Bagiku sama saja, Ceng Ceng, engkau
tetaplah seorang keluarga dekat dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mengusahakan pengobatan
bagimu. Engkau masih dalam cengkeraman bahaya maut...” Tiba-tiba Kian Lee berhenti dan kaget karena
tanpa disengaja dia telah membuka rahasia itu.
“Jangan ragu-ragu, Sioksiok (Paman). Dalam keadaan setengah sadar aku pun samar-samar mendengar
dari kakek tukang obat ini bahwa aku hanya dapat bertahan hidup sampai sebulan saja, bukan?”
Kian Lee mengangguk. “Tetapi dia sedang berusaha untuk mencarikan obat bagimu, Ceng Ceng. Dan aku
akan pergi mencari Ayah, karena menurut Yok-kwi, yang dapat mengobatimu hanyalah Ayah, atau Ban-tok
Mo-li...”
“Ban-tok Mo-li sudah mati.”
“Bagaimana engkau bisa tahu?”
“Karena aku muridnya.”
“Ahhh!” Kian Lee terkejut dan sekarang mengertilah dia mengapa gadis ini berubah menjadi dingin dan
aneh. Kiranya telah menjadi murid nenek iblis itu. “Kata Yok-kwi, tubuhmu mengandung racun sehingga dia
tidak mampu menyembuhkanmu. Kalau engkau murid Ban-tok Mo-li, tentu kau dapat mengobati sendiri.”
“Tidak bisa, Sioksiok. Ilmuku belum sedemikian tingginya dan pukulan Hek-tiauw Lo-mo amat hebat. Akan
tetapi, biarlah... aku tidak takut menghadapi kematian... dan pula, hidup lebih lama lagi untuk apakah?”
“Ceng Ceng...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, Paman. Hidupku penuh dengan kesengsaraan dan mala petaka selalu datang menimpa diriku...”
“Ceng Ceng, jangan putus harapan,” Kian Lee berkata, hatinya sendiri seperti ditusuk pisau dan dia
maklum bahwa tidak akan mudah baginya untuk menyembuhkan lukanya sendiri ini.
Tiba-tiba seorang prajurit penjaga muncul dan berkata bahwa di luar ada seorang tamu yang mengaku
bernama Topeng Setan dan hendak bertemu dengan Nona Lu Ceng.
“Topeng Setan?” Kian Lee berseru kaget.
Akan tetapi Ceng Ceng tersenyum. “Dia pembantuku, Paman.”
Dari luar terdengar suaira memanggil, “Lu-bengcu...!”
“Eh, siapakah yang berteriak itu?”
“Itulah Topeng Setan, pembantuku. Sioksiok, ketahuilah bahwa keponakanmu yang sesat ini telah menjadi
seorang bengcu kaum sesat di dekat kota raja dan Topeng Setan adalah pembantuku.”
Ceng Ceng lalu keluar dari kamar itu diikuti oleh Kian Lee yang masih bengong saking herannya. Bun Beng
juga keluar dari kamarnya dan mereka bertiga lalu keluar dari gedung itu.
Topeng Setan sudah berdiri di depan gedung, dan dia menjura ketika melihat Ceng Ceng. “Harap Bengcu
maafkan saya yang terlambat menghadap karena saya tidak tahu bahwa Bengcu berada di sini.”
“Tidak apa. Aku telah bertemu dengan musuh-musuh berat, terkena pukulan-pukulan dari Tambolon dan
kemudian terpukul oleh Hek-tiauw Lo-mo sehingga keracunan hebat. Topeng Setan, aku telah ditolong
oleh mereka ini. Kau harus memberi hormat, pemuda ini adalah siok-hu Suma Kian Lee dan ini adalah...”
Dia meragu ketika memandang kepada Gak Bun Beng karena tidak tahu harus menyebut apa kepada
orang yang tadinya dianggap sebagai ayahnya itu.
“Menurut hubungan keluarga, sebut saja aku supek-hu (uwak seperguruan),” Bun Beng membantunya
sambil tersenyum.
“Dia ini supek-hu Gak Bun Beng,” Ceng Ceng melanjutkan.
Topeng Setan menjura kepada Kian Lee dan Bun Beng. “Terima kasih kepada Ji-wi Taihiap (Dua Pendekar
Besar) yang telah menyelamatkan Bengcu kami.” Kemudian Topeng Setan berkata lagi kepada Ceng
Ceng, “Karena Bengcu menderita luka parah, marilah kita pergi mencari obatnya.”
Ceng Ceng mengangguk. “Supek, dan Siok-hu, aku akan segera pergi bersama Topeng Setan...”
“Eh, Ceng Ceng, engkau masih sakit. Kita sedang menanti kembalinya Yok-kwi yang mencarikan obat
untukmu,” Gak Bun Beng berkata.
“Ceng Ceng, harap kau menanti di sini. Aku akan mengusahakan sekuat tenaga untuk mencarikan obat
bagimu. Aku akan ke Pulau Es...,” kata Kian Lee.
“Tidak perlu, Supek dan Sioksiok, terima kasih atas kebaikan kalian. Akan tetapi, kurasa lebih baik kalau
aku pergi saja dan tidak merepotkan kalian lagi... aku... aku... ahhh, aku lebih senang merantau...!” Ceng
Ceng mengangguk kemudian pergi dari situ tanpa menoleh lagi.
Topeng Setan menjura dengan hormat kepada Bun Beng dan Kian Lee. “Harap Ji-wi jangan khawatir, saya
akan mengusahakan sampai Bengcu kami sembuh kembali,” katanya perlahan, kemudian dia pergi
menyusul Ceng Ceng.
Kian Lee hendak mencegah, akan tetapi Bun Beng memegang tangannya. “Sebaiknya begitu, Sute. Dan
kulihat Topeng Setan itu bukan orang sembarangan. Mungkin saja dia dapat mengusahakan
kesembuhannya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka berpandangan dan Kian Lee menunduk, tidak menjawab, hanya mengangguk. Hatinya terasa
kosong, seolah-olah semangatnya ikut pergi terbawa oleh Ceng Ceng, gadis yang menjadi cinta
pertamanya akan tetapi yang ternyata adalah keponakannya sendiri itu.
“Kita harus menyusul ke Teng-bun, melihat keadaan di sana dan menemui Syanti Dewi dan Kian Bu sute.
Kabarnya Syanti Dewi telah diselamatkan di sana.” Bun Beng berkata lagi dan Kian Lee hanya
mengangguk sunyi.....
********************
“Gak-taihiap, apakah engkau tidak bertemu dengan puteraku?” tanya Jenderal Kao Liang kepada Gak Bun
Beng ketika Bun Beng dan Kian Lee tiba di Teng-bun disambut oleh jenderal itu sendiri.
“Puteramu, Goanswe?” Bun Beng bertanya heran karena baru sekali dia melihat putera jenderal itu, dan
yang terjadi di dalam medan pertempuran, maka dia lupa lagi.
“Saudara Kok Cu dengan pasukannya telah menyerbu Koan-bun dan mereka berhasil membasmi
pemberontak, Kao-goanswe. Akan tetapi dia bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo dan mengejar Ketua Pulau
Neraka itu.” Kian Lee menjelaskan karena dia sudah mendengar dari Bun Beng tentang putera jenderal Itu
yang mengejar Hek-tiauw Lo-mo.
“Ahhh, anak itu terlalu berbakti kepada suhu-nya, melaksanakan perintah suhu-nya sampai lupa kepada
orang tua dan belum juga dapat berkumpul dengan kami.” Jenderal itu menghela napas. “Dan... apakah Jiwi
bertemu dengan Nona Lu Ceng?”
Kian Lee merasa jantungnya tertusuk, dia menunduk dan tidak berkata apa-apa. Bun Beng yang kini
menjawab, “Nona itu hebat sekali, Kao-goanswe! Akan tetapi dia telah pergi bersama Topeng Setan,
pembantunya, padahal dia menderita luka hebat.”
Jenderal yang hatinya penuh kegembiraan karena pemberontakan telah terbasmi dan yang selalu bersikap
polos dan terbuka itu menghela napas dan berkata kepada Gak Bun Beng, “Gak-taihiap, lihat betapa
seorang tua seperti aku selalu menjadi kecewa karena ulah orang-orang muda! Ataukah kekecewaanku ini
terjadi karena keinginanku sendiri yang bukan-bukan sehingga tidak tercapai? Aihhh, sampai bermimpimimpi
olehku betapa akan bahagianya kalau benar Nona Lu Ceng masih hidup dan kelak menjadi
mantuku, menjadi jodoh Kok Cu...!”
Mendengar pernyataan yang terang-terangan ini, Bun Beng dan Kian Lee lalu saling pandang. Akan tetapi
karena Kian Lee melihat bahwa suheng-nya tidak berkata apa-apa mengenai hubungan keluarga antara
dia dan Ceng Ceng, dia pun tidak mau mengatakannya, pula karena ada rahasia yang kurang baik tentang
ayah kandung gadis itu.
Betapa pun juga dia tidak dapat berdiam diri saja ketika teringat akan peristiwa aneh di Koan-bun antara
Ceng Ceng dan Kok Cu, maka dia berkata, “Kao-goanswe, ketika puteramu datang memimpin pasukan
menyerbu Koan-bun, dia telah bertemu dengan nona itu pula, akan tetapi, entah mengapa... Nona Lu Ceng
telah menjadi marah-marah dan memukul Saudara Kok Cu sampai dua kali.”
“Eihhh...?” Kenapa?” Jenderal itu berseru kaget sekali.
“Entahlah, kami juga tidak tahu mengapa. Mungkin saja di dalam perantauan mereka sudah pernah saling
bertemu,” kata Kian Lee.
“Pada saat itu Nona Lu Ceng baru saja mengalami pukulan tangan beracun yang hebat. Bisa saja terjadi
bahwa dia dalam keadaan kurang sadar lalu menganggap puteramu adalah musuh dan memukulnya, Kaogoanswe.”
Bun Beng cepat berkata dan jenderal itu mengangguk-angguk.
Hanya Kian Lee yang tahu bahwa suheng-nya itu sebetulnya juga merasa heran, dan ucapannya itu hanya
untuk menghibur belaka sebab mereka berdua mendengar betapa Ceng Ceng memaki dan menyebut
nama Kok Cu sebelum memukul, yang hanya berarti bahwa Ceng Ceng memukul dalam keadaan sadar
dan telah mengenal pemuda putera jenderal yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi itu.
“Kao-goanswe, di mana adanya Enci Milana, kakakku? Dan di mana pula adikku Kian Bu dan Puteri Syanti
Dewi? Kami mendengar bahwa mereka berada di sini.” Kini Kian Lee bertanya, merasa heran mengapa
dunia-kangouw.blogspot.com
hanya jenderal itu seorang yang menyambut dia dan suheng-nya. Bun Beng juga memandang kepada
Jenderal itu dengan pandang mata penuh pertanyaan, karena sesungguhnya sejak tadi dia pun ingin sekali
tahu di mana adanya Puteri Syanti Dewi dan Puteri Milana, dua orang yang selalu berada dekat sekali di
lubuk hatinya.
“Mereka telah berangkat ke kota raja. Puteri Milana khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan keluarga
Kaisar di istana karena perbuatan Pangeran Liong Bin Ong, dan beliau ingin cepat-cepat melaporkan
kepada Kaisar tentang tertumpasnya pemberontakan dan juga agar cepat dapat menangkap Pangeran
Liong Bin Ong yang sebetulnya malah merupakan tokoh pertama dalam pemberontakan itu. Maka beliau
segera berangkat ke kota raja, sekalian mengajak Puteri Syanti Dewi menghadap Kaisar, diikuti oleh Suma
Kian Bu taihiap. Selain itu, beliau juga membawa seorang tawanan yang amat penting, yaitu Ang Tek Hoat
bekas tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong.”
“Ahhh, pemberontak lihai itu!” Kian Lee berseru.
Gak Bun Beng kemudian juga teringat akan tokoh muda pemberontak yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi, bahkan yang memiliki tenaga sinkang seperti tenaga Inti Bumi sehingga pernah mengejutkan
hatinya.
“Benar,” kata Jenderal Kao Liang. “Dan dia pulalah yang berjuluk Si Jari Maut, yang telah banyak
melakukan kejahatan dengan menggunakan namamu, Gak-taihiap.”
“Ahhh...!” Gak Bun Beng berseru heran.
“Heran sekali, mengapa orang sejahat itu tidak dibunuh saja dan malah dibawa ke kota raja oleh Enci
Milana?” Kian Lee bertanya.
Jenderal Kao Liang menghela napas. “Kalau aku tidak salah menduga, hal itu adalah karena cinta! Cinta
memang amat kuasa menimbulkan segala macam peristiwa hebat-hebat dan aneh-aneh di dalam dunia ini
di antara manusia.”
“Heemmm, apa maksud kata-katamu itu, Goanswe?” Bun Beng bertanya.
“Puteri Milana, aku sendiri, dan Suma-taihiap tadinya juga berpendapat demikian dan akan membunuh saja
Ang Tek Hoat itu. Akan tetapi anak angkatku itu, Puteri Syanti Dewi, adalah seorang wanita yang halus
budi dan mulia. Dialah yang melarang kami membunuh Tek Hoat.”
“Ahhh...!” Gak Bun Beng terkejut dan alisnya berkerut, “Mengapa?”
“Kiranya Tek Hoat yang terluka berat dan parah itu telah menyelamatkan Syanti Dewi dari bahaya maut
dan pemuda yang sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi itu ternyata telah membunuh
Pangeran Liong Khi Ong, sepasang kakek kembar Siang Lo-mo, dan Hek-wan Kui-bo yang lihai dalam
perlawanannya membela Syanti Dewi. Mengingat akan jasa-jasanya semua itu, bukan hanya
menyelamatkan nyawa Syanti Dewi akan tetapi juga membunuh pentolan-pentolan pemberontak itu, maka
Puteri Milana lalu memutuskan untuk menawan pemuda itu dan membawanya ke kota raja sebagai
tawanan dalam keadaan masih terluka hebat karena pukulan-pukulan maut dari Siang Lo-mo. Apa lagi
menurut Puteri Milana, beliau merasa terheran-heran melihat betapa pemuda itu pandai mainkan ilmu silat
rahasia dan simpanan dari Puteri Nirahai sehingga menduga bahwa tentu ada hubungan sesuatu antara
pemuda itu dengan Thian-liong-pang, bekas perkumpulan yang dipimpin Puteri Nirahai.”
Gak Bun Beng mengangguk-angguk. Kini dia bisa mengerti mengapa Milana menawan pemuda itu dan dia
dapat menduga pula bahwa yang dimaksudkan oleh jenderal itu tentang cinta tadi adalah perubahan yang
terjadi pada diri pemuda pemberontak itu yang karena cinta sampai membalik dan melawan, bahkan
membunuh Pangeran Liong Khi Ong sendiri bersama tiga orang pengawalnya yang lihai-lihai itu. Dan tidak
anehlah baginya kalau Syanti Dewi mencegah pemuda itu dibunuh. Dia sudah cukup mengenal
kepribadian Syanti Dewi yang penuh dengan kelembutan dan belas kasihan, juga penuh dengan perasaan
ingat budi.
“Kalau begitu, aku akan segera menyusul ke kota raja, Suheng!” Kian Lee berkata. “Harap Gak-suheng
suka menemani aku ke sana.”
“Hemm... aku tidak mempunyai kepentingan di kota raja, Sute.” Bun Beng menjawab karena di dalam
dunia-kangouw.blogspot.com
hatinya dia sungkan, bahkan takut untuk bertemu dengan Milana dan Syanti Dewi, maklum akan
kelemahan hati sendiri.
Jenderal Kao Liang memandang tajam dan berkata, suaranya biasa saja akan tetapi pandang matanya
bicara banyak. “Gak-taihiap, sebelum berangkat Puteri Milana telah meninggalkan pesan kepada saya
untuk menyampaikan kepada Taihiap bahwa beliau ingin membicarakan suatu hal penting dengan Taihiap
setelah urusan negara selesai. Hanya itulah pesan beliau.”
“Jikalau begitu, sebaiknya kita berangkat berdua, Suheng. Apakah Suheng tidak ingin bertanya kepada
Ang Tek Hoat yang ditawan itu, kenapa pula dia menggunakan nama Suheng untuk melakukan kejahatan?
Lagi pula, apakah Suheng tidak ingin mengurus tentang Adik Syanti Dewi?”
Bun Beng tidak dapat mengelak lagi. Terpaksa dia memenuhi permintaan Kian Lee dan setelah bermalam
di Teng-bun pada keesokan harinya mereka berangkat meninggalkan Teng-bun, naik kuda pilihan yang
disediakan oleh Jenderal Kao Liang untuk mereka.
********************
Ang Tek Hoat rebah terlentang di atas pembaringan. Mukanya pucat sekali dan napasnya empas-empis.
Semenjak dia dibawa dari Teng-bun sampai ke kota raja, dia terus pingsan, tak sadarkan diri dan
keadaannya makin memburuk. Ramuan obat yang diminumkan kepadanya oleh tabib-tabib tentara tidak
menolong sama sekali. Akhirnya Puteri Milana yang mendengar akan keadaan tawanan ini, lalu menyuruh
pengawal membawa pemuda yang menderita luka-luka pukulan beracun itu ke istananya.
Puteri Milana bersama suaminya, Han Wi Kong, yang ketika bala tentara menyerbu ke utara juga ikut
memimpin pasukan penyerbu ke Teng-bun, diikuti pula oleh Suma Kian Bu dan Puteri Syanti Dewi telah
menghadap Kaisar. Kaisar menerima mereka dengan girang sekali, terutama mendengar laporan bahwa
pemberontak di utara telah dibasmi dan bahwa dara jelita itu adalah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan yang
ternyata dapat diselamatkan.
Ketika mendengar laporan Puteri Milana tentang Pangeran Liong Khi Ong yang tewas sebagai pimpinan
pemberontak, Kaisar hanya menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Akan tetapi ketika Puteri
Milana melapor bahwa Pangeran Liong Bin Ong berada di balik pemberontakan itu, Kaisar mengerutkan
keningnya dan berkata, “Liong Bin Ong tidak pernah meninggalkan Istananya di kota raja. Untuk
menentukan salah tidaknya, harus dilakukan pemeriksaan dan penelitian lebih dulu, jangan sampai aib
menimpa kerajaan.”
Kemudian Kaisar menahan Syanti Dewi sebagai tamu Istana untuk menghormat Raja Bhutan dan untuk
memperlihatkan iktikad baik kerajaan terhadap Kerajaan Bhutan, dan minta kepada Puteri Milana untuk
menanti keputusannya tentang Pangeran Liong Bin Ong, dan juga tentang diri Puteri Syanti Dewi yang kini
gagal menjadi mantu Kaisar karena matinya Liong Khi Ong itu.
Berat hati Milana terutama hati Kian Bu, meninggalkan Syanti Dewi di Istana Kaisar. Akan tetapi tentu saja
mereka tidak berani membantah, apa lagi karena Puteri Bhutan itu diberi kebebasan untuk saling
berkunjung dengan Puteri Milana setiap saat pun.
Demikianlah, ketika Ang Tek Hoat sudah diangkut ke istana Puteri Milana, puteri ini dan Kian Bu
memeriksa keadaannya. “Enci, kiranya hanya ada satu jalan untuk mencoba menolongnya. Dia terpukul
oleh pukulan beracun yang hebat. Bagaimana kalau kita berdua membantunya?”
Milana mengangguk. “Memang itulah yang ingin kulakukan. Dia telah berjasa besar dan untuk jasanya itu
sudah cukup menjadi alasan bagi kita untuk menolongnya.”
Han Wi Kong yang juga berada di situ berkata, “Memang tepat sekali pendapat itu. Belum tentu orang yang
sekali berbuat dosa, lalu selama hidupnya menjadi orang berdosa. Apa lagi dia masih amat muda.”
Bekas panglima yang gagah ini selalu bermuram durja semenjak dia kembali dari penyerbuan di utara. Biar
pun dia tidak menyaksikan serdiri, tetapi dia mendengar akan pertemuan antara isterinya, Puteri Milana
dengan Gak Bun Beng, dan merasa berduka sekali karena merasa dialah yang menjadi penghalang bagi
kebahagiaan isterinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang cinta kasih mengambil jalan yang aneh-aneh. Han Wi Kong dahulu adalah seorang panglima
muda yang gagah perkasa, yang terpaksa dipilih oleh Puteri Milana karena desakan Kaisar agar cucu ini
menikah. Han Wi Kong dipilih di antara banyak calon karena selain gagah perkasa, juga sifat lemah-lembut
dan penuh pengertian dari panglima ini menimbulkan kepercayaan di dalam hati Milana.
Memang tadinya Han Wi Kong pun tertarik sekali dan laki-laki manakah yang tidak akan tergila-gila kepada
seorang puteri seperti Milana? Akan tetapi, setelah menikah Han Wi Kong betul-betul jatuh cinta kepada
isterinya, cinta yang suci murni dan hanya satu keinginan di hatinya, yaitu melihat Milana hidup bahagia.
Oleh karena itu, dia mau menerima kenyataan bahwa Milana tidak cinta kepadanya, bahkan kenyataan
pahit bahwa Milana mau menikah dengan dia hanya karena hendak memenuhi perintah Kaisar. Karena
cintanya yang murni, yang jauh lebih kuat dari pada nafsu birahi, Han Wi Kong menekan penderitaan
batinnya, dia rela menderita batin dan tidak pernah menuntut haknya sebagai seorang suami!
Justru sikap Han Wi Kong inilah yang membuat Milana terharu dan selalu berusaha agar terlihat di depan
umum mereka merupakan suami isteri yang rukun. Dia berusaha menyenangkan hati suaminya dengan
cara yang lain, sungguh pun dia maklum bahwa semua itu tentu tidak dapat mengobati kesengsaraan batin
suaminya.
Han Wi Kong telah mendengar pengakuan Milana tentang cinta kasih yang gagal dari isterinya itu, tentang
Gak Bun Beng yang semenjak pernikahan mereka itu tidak pernah terdengar lagi namanya, seolah-olah
pendekar itu telah lenyap ditelan bumi. Hatinya mulai merasa lega karena dia ingin sekali melihat Milana
dapat melupakan kekasihnya itu, dan kalau Gak Bun Beng telah meninggal dunia atau lenyap, dia percaya
lambat laun kedukaan hati isterinya itu akan sembuh. Dia sama sekali bukan mengharapkan agar isterinya
akan dapat membalas cintanya, hal ini sudah tidak menjadi jangkauan harapannya lagi. Dia melainkan
ingin melihat isterinya bahagia.
Maka dapat dibayangkan betapa duka rasa hatinya mendengar bahwa Gak Bun Beng muncul kembali dan
sejak pendekar ini muncul di kota raja, isterinya selalu gelisah dan merana. Bahkan secara halus namun
terus terang Milana telah menyatakan kepadanya sejak Milana melihat Bun Beng di kota raja, bahwa
Milana akan pergi mencari Bun Beng sampai dapat bertemu setelah urusan pemberontak dapat
diselesaikan.
Kemudian dia mendengar akan pertemuan Bun Beng dengan Milana yang membuat isterinya pingsan dan
sejak itu isterinya berwajah pucat dan sering termenung. Tentu saja dia merasa makin berduka dan diamdiam
dia menaruh hati benci kepada Bun Beng, bukan membenci karena didasari iri atau cemburu,
melainkan benci karena Bun Beng dianggapnya sebagai orang yang telah merusak kehidupan dan
kebahagiaan Milana!
Demikianlah, dengan menahan perasaan gelisah karena melihat isterinya kehilangan kegembiraan
hidupnya, Han Wi Kong ikut menyaksikan ketika Ang Tek Hoat dibawa ke istananya oleh isterinya. Dia pun
dapat menerima pendapat isterinya tentang Ang Tek Hoat, apa lagi ketika isterinya menceritakan betapa
pemuda bekas tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong ini mahir Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun yang digabung
dengan Pat-sian Sin-kun, padahal penggabungan ilmu ini adalah merupakan ilmu simpanan dan rahasia
dari Puteri Nirahai!
“Kalau begitu, mari kita mencoba untuk menolongnya, Adik Bu. Kong-ko (Kanda Kong), harap kau suka
menjaga di pintu, jangan sampai ada yang mengganggu kami karena hal itu bisa berbahaya.”
“Baik,” Han Wi Kong menjawab.
Dia sendiri pun seorang yang berkepandaian, dan walau pun sinkang-nya tidak sekuat isterinya atau Kian
Bu sebagai anak-anak dari Pendekar Super Sakti, namun dia cukup maklum akan bahayanya gangguan
orang luar terhadap orang-orang yang sedang mengerahkan sinkang untuk menyembuhkan orang lain. Dia
mengambil sebuah bangku dan duduk di ambang pintu.
Puteri Milana dan Kian Bu lalu duduk di tepi pembaringan, bersila sambil meletakkan telapak tangan
mereka di dada dan lambung Tek Hoat, mengumpulkan hawa murni dan mulailah mereka mengerahkan
sinkang ke dalam tubuh pemuda yang terluka parah di sebelah dalam tubuhnya itu.
Dari ambang pintu Han Wi Kong duduk dan memandang penuh kagum. Isterinya dan Kian Bu adalah
keturunan dari Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai dan betapa bahagianya dia dapat disebut sebagai
dunia-kangouw.blogspot.com
suami dari puteri yang cantik jelita dan berilmu tinggi serta gagah perkasa ini. Seorang pahlawan wanita
sejati.
Wajah Tek Hoat tadinya pucat sekali. Lewat satu jam setelah dua orang keturunan Pulau Es itu
menyalurkan sinkang mereka, wajah Tek Hoat berubah, makin lama makin menghitam. Itulah tanda bahwa
hawa beracun yang mengeram di dalam tubuh mulai dapat didesak naik dan keluar. Lewat tiga jam, warna
hitam di muka Tek Hoat itu makin lama makin menipis, lalu berubah menjadi putih pucat lagi.
Han Wi Kong melihat betapa isterinya dan adik iparnya mulai berpeluh. Akan tetapi lewat lima jam, warna
putih wajah Tek Hoat mulai menjadi merah dan pernapasannya mulai teratur. Akhirnya terdengar pemuda
itu mengeluh dan membuka matanya. Mata itu melirik dan terbelalak seperti orang terkejut dan keheranan
melihat dua orang itu yang sedang mengobatinya.
Cepat dia pun mengerahkan sinkang-nya untuk menolak sehingga kedua orang itu melepaskan tangan
mereka lalu melompat turun dari pembaringan, menghapus keringat dari dahi dan leher. Milana
memandang adiknya dengan senyum penuh kagum, karena ternyata bahwa pernapasan Kian Bu tidak
begitu memburu seperti napasnya, hal ini menandakan bahwa dalam hal sinkang, adiknya itu sedikit lebih
kuat dari pada dia!
“Engkau sudah sembuh sekarang,” katanya sambil memandang kepada Ang Tek Hoat.
Pemuda ini segera bangkit duduk, memejamkan mata sejenak karena ketika bangkit itu matanya
berkunang dan kepalanya terasa pening, tubuhnya lemas sekali karena sudah berhari-hari dia tidak makan.
“Berbaringlah dulu, engkau masih lemah,” kata pula Milana.
Tetapi Tek Hoat tetap duduk di tepi pembaringan, lalu membuka mata lagi memandang kepada Milana,
Kian Bu, dan Han Wi Kong yang sudah masuk ke kamar lagi bergantian.
“Pa... paduka... adalah Puteri Milana...!” katanya agak gagap dan bingung, karena apa yang dilihat dan
dialaminya tadi terasa seperti dalam mimpi saja. “Dan kau... kau adalah seorang di antara dua pemuda
perkasa itu, mata-mata pemerintah!”
Milana memandang dengan senyum dan Kian Bu memandang dengan tajam penuh selidik. Tidak seperti
enci-nya, dia masih curiga kepada bekas pembantu pemberontak yang dia tahu amat lihai ini.
“Kenapa...? Kenapa Ji-wi (Anda Berdua) menolong dan mengobati saya?”
“Ang Tek Hoat, engkau telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong si pemberontak dan ketiga orang
pengawalnya yang lihai untuk menyelamatkan Syanti Dewi. Hal itu saja cukup membuat kami berpendapat
bahwa engkau bukanlah musuh lagi,” kata Milana.
“Enci-ku ini memang bermurah hati, akan tetapi kalau engkau masih berpendirian untuk menjadi
pemberontak, sama sekali masih belum terlambat untuk menghukummu!” Kian Bu menyambung.
Akan tetapi Tek Hoat tidak begitu memperhatikan ucapan Kian Bu, dia menoleh ke kanan kiri, lalu
bertanya, “Di mana dia? Sang Puteri Bhutan...?” Dia lalu memandang kepada Kian Bu dengan penuh
selidik, karena dia teringat betapa puteri itu lari memeluk pemuda ini pada waktu itu.
“Dia telah selamat dan kini menjadi tamu agung dari Kaisar,” kata Milana.
Hening sejenak. Kemudian Tek Hoat bangkit berdiri dengan limbung, menjura kepada mereka bertiga dan
berkata, “Saya Ang Tek Hoat bukan orang yang tidak tahu terima kasih. Ji-wi telah menolong saya dan
saya menghaturkan terima kasih. Saya tidak ingin mengganggu dan merepotkan lebih lama lagi dan
sebaiknya kalau saya pergi...”
“Nanti dulu, engkau bisa celaka kalau pergi dalam keadaan seperti ini, Ang Tek Hoat. Tubuhmu masih
lemas dan lemah.”
Tepat pada saat itu, seorang pengawal yang tadi diperintah oleh Han Wi Kong datang membawa baki terisi
semangkok obat penguat dan bubur.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Engkau minumlah obat ini dan makan bubur ini, baru kita bicara.”
Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi dia maklum bahwa perutnya kosong dan tubuhnya lemah
sekali, mungkin dipakai berjalan pun akan terguling, maka dia hanya mengangguk, menerima mangkok
obat dan bubur itu lalu minum dan menghabiskannya dengan cepat. Biar pun tidak berapa banyak, bubur
itu menghangatkan perutnya dan tenaganya agak pulih kembali.
“Sekarang kita bicara, Ang Tek Hoat,” kata Milana setelah pengawal itu pergi. “Engkau berhadapan dengan
Puteri Milana, dan ini suamiku Han Wi Kong, dan adikku Suma Kian Bu...”
“Ahhh, kiranya dia ini adik paduka? Jadi... jadi putera Pendekar Super Sakti?” Tek Hoat tahu bahwa Puteri
Milana adalah anak dari Pendekar Super Sakti seperti yang pernah diceritakan oleh ibunya.
“Benar, dan agaknya sedikit banyak engkau tahu akan keluarga ayahku, Pendekar Super Sakti dari Pulau
Es. Dari siapa engkau mengenal kami?”
“Dari ibu, akan tetapi sudahlah... saya merasa heran sekali akan tetapi juga berterima kasih kepada
paduka yang tidak membunuh saya, malah menolong saya. Agaknya benar cerita ibu bahwa keluarga
Pendekar Super Sakti terdiri dari orang-orang gagah dan budiman, sungguh tidak seperti kami...”
Melihat pemuda itu merendah dan hendak pergi, selalu memandang ke pintu seolah-olah tidak betah
berada di situ terlalu lama, Milana dapat memaklumi isi hatinya. Pemuda ini jelas adalah seorang yang
memiliki kepandaian tinggi dan kegagahan, hatinya keras dan memiliki harga diri yang tinggi. Namun entah
bagaimana terjeblos ke dalam tangan para pemberontak sehingga kini pemuda ini merasa betapa dia kotor
dan tidak berharga, merasa malu terhadap diri sendiri sehingga tidak betah berada di antara orang-orang
yang dianggapnya gagah dan budiman!
“Ang Tek Hoat, terus terang saja, kami bukan orang-orang budiman dan terlalu gagah seperti yang kau
sebutkan tadi. Kita sama saja, hanya kebetulan saja kami berada di pihak yang benar dan engkau terjeblos
ke dalam kesesatan. Ketika menolongmu, selain untuk membalas jasamu membunuh Pangeran
pemberontak dan kaki tangannya serta menolong Syanti Dewi, juga karena kami ingin mengajukan
pertanyaan kepadamu yang kuharap engkau akan suka menjawabnya.”
Ang Tek Hoat menatap wajah yang cantik jelita itu. Biar pun usianya lebih tua, namun kecantikannya
mengingatkan dia kepada Syanti Dewi, terutama sepasang mata yang bening dan tajam itu. Kemudian dia
menjawab, “Asal saja pertanyaan paduka itu pantas untuk dijawab, dan dapat saya jawab, tentu akan saya
jawab,” katanya singkat.
“Hemm, pemuda ini benar-benar keras hati dan juga cerdik,” pikir Milana. “Pertanyaanku yang pertama
adalah sama dengan pertanyaan yang pernah kuajukan padamu ketika engkau melawanku di hutan itu.
Dari mana engkau mempelajari Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun dan siapa yang melatihmu?”
Tek Hoat sendiri sudah mendengar dari Sai-cu Lo-mo yang pernah menggemblengnya bahwa kakek sakti
itu memperoleh kepandaiannya dari Puteri Nirahai, bekas Ketua Thian-liong-pang yang kini menjadi isteri
Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Maka dia pun tidak merasa heran bahwa Puteri Milana dapat mainkan
ilmu silat itu dengan mahir sekali. Karena tidak ingin disangka mencuri ilmu orang, maka dia menjawab
sejujurnya, “Saya pernah menerima pelajaran ilmu itu dari Suhu Sai-cu Lo-mo.”
“Aihh, kalau begitu engkau masih murid keponakanku!” Milana berseru.
“Maaf, saya tidak berani, karena Suhu Sai-cu Lo-mo pernah berpesan agar saya tidak mengakuinya
sebagai guru. Hanya karena paduka bertanya dan saya sudah tahu bahwa antara beliau dengan paduka
ada hubungan, maka saya berani berterus terang menyebutnya.”
Milana mengangguk-angguk. Dia merasa heran sekali, mengapa Sai-cu Lo-mo sampai menurunkan ilmu
rahasia itu kepada pemuda ini.
“Akan tetapi, dibandingkan dengan Sai-cu Lo-mo, kepandaianmu jauh lebih tinggi.”
Ang Tek Hoat tidak mau menanggapi kata-kata Puteri Milana itu, dan dia diam saja, menanti pertanyaan
kedua.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sekarang pertanyaanku yang kedua, Tek Hoat. Di beberapa tempat, engkau memakai julukan Si Jari Maut
dan menggunakan nama Gak Bun Beng. Mengapa begitu? Kenapa engkau begitu jahat dan curang,
melakukan kejahatan dengan menggunakan nama lain orang?”
Karena diingatkan kepada musuh besarnya, kini dengan suara ketus dia menjawab, “Memang semua
perbuatan itu saya lakukan untuk memburukkan nama Gak Bun Beng, karena jahanam itu telah
membunuh ayah! Sayang dia telah mampus, kalau tidak, tentu sudah kucari dan kubunuh dia, tidak perlu
lagi saya memburuk-burukkan nama orang yang sudah mati.”
“Ah keparat bermulut lancang!” Kian Bu sudah bergerak hendak menerjang Tek Hoat, akan tetapi Milana
memegang lengannya.
“Jangan terburu nafsu, Bu-te!”
Kian Bu teringat bahwa orang yang akan diserangnya itu masih lemah, dan memang amat lucu untuk
menyerang orang yang baru saja dia tolong dan sembuhkan! Tetapi, mendengar kata-kata Tek Hoat tadi
dia sudah marah sekali. “Ang Tek Hoat, engkau sungguh kurang ajar, berani engkau memaki suheng-ku
dan mengatakan bahwa sudah mati. Kalau tidak ingat bahwa engkau belum sehat benar tentu sudah
kuhancurkan mulutmu!”
Ang Tek Hoat terbelalak memandang Kian Bu, Milana, dan Han Wi Kong. “Apa katamu? Dia... dia... masih
hidup...?” Tentu saja dia merasa heran sekali. Bukankah ibunya telah dengan jelas bercerita kepadanya
bahwa musuh besar yang bernama Gak Bun Beng itu telah mati terbunuh ibunya?
“Engkau memang tukang membohong! Suheng Gak Bun Beng masih segar bugar, bahkan pernah engkau
bertemu dengan dia beberapa kali, sudah pernah mengadu tenaga pula. Dia adalah Suheng yang
melakukan perjalanan bernama aku, Lee-ko, dan Adik Syanti Dewi.”
Mata Tek Hoat makin terbelalak dan mukanya berubah. “Aihhh... dia...? Gak Bun Beng pembunuh ayahku?
Masih hidup? Kalau begitu...” Dia diam saja tenggelam ke dalam pikirannya yang bergelombang. Memang
tidak mungkin kalau ibunya dapat membunuh musuh dengan kepandaian seperti itu! Bahkan laki-laki
setengah tua gagah perkasa itu memiliki tenaga sakti Inti Bumi yang amat kuat! Akan tetapi kenapa ibunya
mengatakan bahwa dia telah membunuh Gak Bun Beng. Apakah hanya namanya saja yang sama?
Dia harus memecahkan rahasia ini. Dia harus menemui laki-laki yang bernama Gak Bun Beng itu dan
memaksanya untuk mengaku apa yang telah terjadi dengan ayahnya!
“Ang Tek Hoat, benarkah ayahmu dibunuh oleh Gak Bun Beng?” Puteri Milana bertanya sambil
memandang dengan tajam penuh selidik.
“Saya tidak perlu membohong. Ayah saya dibunuh oleh Gak Bun Beng dan karena saya kira dia sudah
mati maka saya sengaja memburukkan nama musuh besar saya itu,” jawabnya.
“Engkau melihat sendiri bahwa ayahmu dibunuh olehnya?” tanya lagi Puteri Milana dan diam-diam dia
mengingat-ingat karena wajah pemuda yang tampan ini mengingatkan dia akan seseorang akan tetapi dia
lupa lagi siapa. Mata itu, bibir itu, benar-benar tidak asing baginya!
“Hal itu terjadi sebelum saya lahir. Ibu yang memberitahukan saya...”
“Ahhh...! Siapa ibumu? Dan siapa ayahmu?”
Tek Hoat menggeleng kepalanya. “Maaf, itu merupakan rahasia saya, dan tidak dapat saya ceritakan
kepada lain orang. Biarlah saya mencari Gak Bun Beng dan bicara sendiri dengan dia. Saya mohon
kepada paduka agar suka memberi kesempatan kepada saya untuk berhadapan dengan musuh besar
saya itu, kecuali... kecuali kalau paduka hendak menghukum saya karena pemberontakan itu... saya tidak
akan dapat melawan...”
“Enci Milana, manusia ini berhati palsu dan curang, lagi jahat dan berbahaya sekali kalau dia dibiarkan
pergi begitu saja!” Kian Bu berkata dengan alis berkerut.
“Benar, sebaiknya dia ditahan dulu, sambil kita menanti kedatangan Gak-taihiap,” kata Han Wi Kong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, ucapan suaminya itu dirasakan oleh Milana seperti ujung belati menusuk jantungnya. Setiap
kebaikan sikap suaminya mengenai diri Gak Bun Beng merupakan tusukan baginya, makin baik sikap
suaminya, makin tertusuk dia karena dia maklum bahwa dia telah berdosa terhadap suaminya ini. Maka
kata-kata suaminya itu membuat dia bangkit menentang.
“Tidak, biarkan dia pergi! Pertama, dia adalah murid Sai-cu Lo-mo, berarti masih orang sendiri. Kedua, dia
memang pernah membantu pemberontak, akan tetapi kesesatan itu telah ditebusnya dengan membunuh
Pangeran Liong Khi Ong dan juga ketiga orang pengawalnya, juga dengan menolong Syanti Dewi. Tentang
urusannya dengan... Gak-suheng, biarlah dia selesaikan sendiri dengan yang berkepentingan. Ang Tek
Hoat, jika engkau ingin pergi, pergilah. Hanya kuharap bahwa engkau akan selalu ingat bahwa kami tak
mempunyai niat buruk terhadap dirimu, maka jika menghadapi segala urusan, jangan engkau terburu nafsu
dan kami selalu siap untuk membantumu memecahkan persoalan yang sulit.”
Sikap dan ucapan Milana ini benar-benar mengharukan hati Tek Hoat. Selama dia meninggalkan ibunya,
dia tidak pernah menemui manusia yang bersikap tulus, jujur dan mulia terhadap dirinya. Kalau toh ada
yang bersikap baik terhadap dia, kebaikan itu hanya menutupi suatu pamrih tertentu yang lebih merupakan
penjilatan atau juga penggunaan karena tenaganya dibutuhkan seperti halnya kaum pemberontak yang
berbaik kepadanya. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan seorang yang amat dikaguminya,
seorang wanita yang cantik jelita, gagah perkasa, berbudi mulia dan berwibawa.
Tanpa disadarinya sendiri, kedua kakinya menjadi lemas dan Ang Tek Hoat pemuda yang angkuh dan
keras hati itu, yang tidak pernah mengenal takut dan tidak pula mau tunduk kepada siapa pun, kini sudah
menjatuhkan diri berlutut di depan Puteri Milana! Dia merasa betapa dirinya adalah orang yang sudah
kotor, yang bergelimang dengan kesesatan, yang membuat dia memandang dirinya amat rendah sekali
dibandingkan dengan orang-orang gagah seperti kedua orang saudara putera Pendekar Super Sakti itu,
yang membuat dia merasa seperti tidak berharga, akan tetapi yang sekaligus juga memperkeras hatinya,
menimbulkan keangkuhannya sehingga sampai mati pun dia tidak akan sudi tunduk kepada ‘orang-orang
bersih’ seperti mereka itu.
Akan tetapi, sikap Milana mencairkan kekerasan dan keangkuhannya, karena puteri ini bersikap sungguhsungguh
kepadanya, tidak memandang rendah, bahkan sinar mata yang mengandung iba yang mendalam
itu membuat dia tunduk dan terharu. Suaranya agak tergetar ketika dia berkata, “Saya Ang Tek Hoat
sungguh kagum kepada paduka dan selama hidup saya akan memuliakan nama paduka Puteri Milana.”
Setelah berkata demikian, dia bangkit berdiri, menjura kepada tiga orang itu dan dengan langkah lebar dia
keluar dari kamar dan gedung itu, agak terhuyung-huyung.
Milana meneriaki pengawal dan dengan singkat memerintahkan agar pengawal itu terus membayangi dan
menjaga agar pemuda itu tidak diganggu dan dibiarkan keluar dari kota raja tanpa halangan. Pengawal itu
memberi hormat, lalu tergesa-gesa mengejar Tek Hoat.
“Enci Milana, betapa pun juga, aku masih tetap menganggap dia itu seorang yang berbahaya...” Suma Kian
Bu menyatakan pendapatnya, hatinya kurang puas akan sikap enci-nya yang demikian lunak terhadap
pemuda jahat itu.
Milana hanya menggeleng kepala dan menghela napas, memegangi kepalanya. “Bu-te, aku seperti pernah
mengenalnya... dahulu... Ahhh, biarkanlah aku mengaso dulu sambil mengingat-ingat...” Dia lalu pergi
memasuki kamarnya sendiri, meninggalkan suaminya yang kini duduk bercakap-cakap dengan Kian Bu,
membicarakan pengalaman mereka ketika pasukan pemerintah menyerbu Koan-bun dan Teng-bun.
Di dalam kamarnya, Milana lalu mengunci pintu dan menjatuhkan diri di pembaringan. Kepalanya agak
pening, bukan hanya karena urusan Tek Hoat dan bukan hanya karena dia agak lelah mengerahkan
tenaga sinkang selama lima jam untuk mengobati Tek Hoat tadi. Akan tetapi ada hal lain yang lebih
mendalam lagi, yang selama beberapa hari ini menusuk-nusuk jantungnya. Teringat dia akan peristiwa itu,
peristiwa yang takkan dapat dilupakannya, ketika Puteri Syanti Dewi yang muda dan cantik jelita itu
menegurnya dengan hebat sewaktu mereka berdua berada di dalam kamar dan tidak ada orang lain lagi.....
********************
“Bibi Milana, saya tidak tahu apakah nanti Bibi akan membunuh saya atau menganggap saya kurang ajar
setelah saya selesai bicara, akan tetapi bagaimana pun juga, saya akan menanggung semua akibatnya
karena hal ini tidak mungkin saya simpan saja dan tidak dibicarakan dengan Bibi. Sudah berada di ujung
bibir saya sejak kita saling bertemu, bahkan jauh sebelum pertemuan itu hal ini selalu berada di lubuk hati
dunia-kangouw.blogspot.com
saya dan sekaranglah tiba saatnya kita hanya berdua saja di dalam kamar ini maka saya akan keluarkan isi
hati saya.”
Melihat Puteri Bhutan yang muda remaja itu berhadapan dengan dia di kamar itu sambil memandang
dengan sepasang pipi kemerahan seperti dibakar, mata bersinar-sinar dan bibir penuh semangat, Milana
yang selalu bersikap tenang dan sabar itu tersenyum.
“Syanti Dewi, kau keluarkan isi hatimu dan bicaralah dengan hati tenang agar jelas karena tidak baik
membiarkan hati dikuasai kemarahan.”
“Bibi Milana, setelah bertemu dengan engkau, maka aku merasa kagum sekali. Engkau seorang puteri
sejati, begitu gagah perkasa, bersikap agung dan berhati mulia, akan tetapi sungguh sayang sekali bahwa
di balik kebaikan itu semua tersembunyi hati yang amat kejam terhadap pria!”
Milana mengerutkan alisnya, akan tetapi dia tidak menjadi marah mendengar tuduhan yang hebat ini.
“Syanti Dewi, aku yakin bahwa orang seperti engkau tidak mungkin mengeluarkan kata-kata seperti itu
tanpa alasan yang kuat. Jelaskanlah tuduhanmu itu dan tidak perlu menyimpan rahasia.”
“Bibi Milana, mengapa Bibi melakukan kehidupan yang palsu ini? Bibi mencinta pria lain, akan tetapi
menikah dengan pria lain lagi! Bibi membiarkan pria yang mencinta Bibi dan juga Bibi cinta itu hidup
sengsara selamanya, hidup tersiksa dalam duka nestapa setiap saat, padahal pria yang sampai sekarang
masih mencinta Bibi dengan seluruh tubuh dan nyawanya itu adalah orang yang sebaik-baiknya orang, dan
yang tidak ada keduanya di dunia yang penuh dengan manusia palsu dan jahat ini!” Syanti Dewi
mengeluarkan kata-kata itu dengan cepat karena kata-kata itu sudah lama tersimpan di hatinya, matanya
berapi-api dan mukanya kemerahan. “Bibi Milana sungguh kejam sekali! Nah, puaslah sudah hatiku
mengeluarkan umpatan yang sudah lama terkandung ini dan kalau Bibi marah dan hendak membunuhku,
silakan!”
Wajah cantik Puteri Milana menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah, dan pucat lagi. Dia
memandang Syanti Dewi dengan mata terbelalak dan bibir gemetar, kedua tangan dikepal dan andai kata
yang bicara itu bukan Syanti Dewi, agaknya puteri ini tentu sudah menggerakkan tangan untuk melakukan
pukulan maut, dan kalau hal itu dilakukan, tentu Syanti Dewi sudah menggeletak tak bernyawa lagi!
“Bibi pasti marah, akan tetapi aku tidak menyesal mengeluarkan semua ucapanku tadi, sebab aku
menuntut agar Bibi Milana suka mengambil keputusan dan tidak membiarkan hidup seorang pria yang
kujunjung tinggi itu dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak.”
“Syanti Dewi...,” suara Milana gemetar dan serak, seperti bisikan. “Siapa... siapa yang kau maksudkan
dengan pria itu...?” Dia bangkit perlahan, tidak peduli betapa kedua kakinya menggigil.
“Siapa lagi kalau bukan Paman Gak Bun Beng? Kalian saling mencinta dengan sepenuh jiwa raga, akan
tetapi Bibi telah begitu tega untuk meninggalkannya dan menikah dengan orang lain, membiarkan dia
merana sepanjang hidupnya.”
“Oohhh...” Tubuh Milana menjadi lemas, dia memejamkan matanya dan jatuh terduduk lagi di atas
kursinya. Kemudian dia membuka lagi matanya yang menjadi kemerahan dan basah air mata. “Syanti
Dewi... dari manakah... engkau mengetahui semua tentang kami...?”
“Paman Gak Bun Beng yang bercerita kepadaku.”
“Ahhh...? Tidak mungkin...!” Milana meloncat ke depan dan memegang pundak Syanti Dewi, jari-jari
tangannya yang kecil lembut halus itu kini mencengkeram seperti cakar harimau dan Syanti Dewi
menggigit bibir menahan sakit. “Kau... kau mencintanya!”
Ucapan Milana yang menuduh ini mendatangkan semangat dan mengusir rasa sakit di pundaknya. Syanti
Dewi juga bangkit berdiri dan berkata dengan gagah, “Memang! Aku pernah mencintanya, Bibi. Dan
seandainya di dunia ini tidak ada Puteri Milana, tentu aku akan tetap mencinta Gak Bun Beng sampai aku
mati! Akan tetapi aku tahu bahwa cintaku sia-sia dan aku yakin bahwa dia tidak dapat mencintaku. Cinta
kasihnya hanya untukmu, Bibi Milana! Karena itu, aku mengubur cintaku, cinta seorang wanita terhadap
pria yang semulia-mulianya orang, dan kupaksa menjadi kasih seorang anak terhadap ayah atau seorang
murid terhadap guru. Hanya engkaulah wanita pujaan hatinya yang akan dicintanya sampai dia mati, dan
dia bahkan berbahagia di dalam kesengsaraannya asalkan engkau hidup bahagia! Betapa kejamnya
dunia-kangouw.blogspot.com
engkau, Bibi Milana!” Dan tanpa dia sadari lagi, air mata bercucuran dari kedua pelupuk mata Puteri
Bhutan itu.
“Ouhhhhh...” Milana terisak, menggigit bibirnya, memejamkan mata menahan kepedihan hati yang bagai
ditusuk-tusuk rasanya. “Aihhh... Syanti Dewi... kau tidak tahu... kau tidak tahu... betapa selama belasan
tahun aku hidup dengan hati remuk-redam... betapa aku hidup sangat sengsara dan amat merana... yang
mungkin tidak kalah pahitnya dengan penderitaannya...” Wanita cantik itu sekarang menundukkan wajah
dan memejamkan mata, menggoyang-goyangkan kepala untuk mengusir semua kepedihan yang teramat
menghimpitnya.
Kini Syanti Dewi membelalakkan matanya, dan cepat dia menghapus air matanya. Lalu dia maju berlutut di
depan Milana, memeluk pinggang puteri itu.
“Syanti...!” Milana tidak dapat menahan keharuan dan kepedihan hatinya, dia memeluk kepala Puteri
Bhutan itu sambil menangis sesenggukan.
Betapa belasan tahun ini ia menahan kesengsaraannya, tak pernah dikeluarkan hingga sekarang bagaikan
air bah memecah bendungannya, air matanya mengalir membasahi kepala dan rambut Syanti Dewi. Puteri
Bhutan ini mengejap-ngejapkan mata menahan tangis, lalu dengan sikap halus dan lemah lembut dia
mengeluarkan sapu tangannya, menghapus air mata dari pipi Puteri Milana seperti orang dewasa
menghibur seorang anak kecil yang sedang menangis.
Sejenak dia membiarkan Milana menangis sesenggukan sampai beberapa lamanya, kemarahannya telah
berubah menjadi perasaan kasihan sekali terhadap puteri gagah perkasa ini, yang kini oleh kekuatan cinta
kembali ke asalnya, seorang wanita yang lemah dan hanya bergantung kepada tangis dan rintihan hatinya.
“Bibi Milana,” suara Syanti Dewi kini penuh kesungguhan, penuh kedewasaan, dan juga penuh teguran.
“Bibi Milana, mengapa Bibi telah bertindak begitu bodoh? Jelas bahwa sesungguhnya Bibi amat mencinta
Paman Gak Bun Beng, sejak dahulu sampai saat ini, tetapi mengapa Bibi memaksa diri menikah dengan
pria lain? Apa sebabnya tindakan yang amat bodoh ini?”
Milana sudah dapat menekan perasaannya. Tangisnya tadi, yang baru sekali ini dapat dia curahkan keluar,
sedikit banyak melegakan hatinya. Dia mengangkat Syanti Dewi bangkit dan mengajak dara itu duduk
berdampingan di pinggir pembaringannya.
“Engkau anak yang baik, pertanyaanmu sungguh tidak tepat! Engkau sendiri tahu akan keadaan wanitawanita
yang tidak kebetulan menjadi puteri-puteri istana seperti kita ini! Apa daya kita menghadapi perintah
junjungan kita, dalam hal ini Kaisar yang menjadi kakekku dan Raja Bhutan yang menjadi ayahmu?
Engkau sendiri menerima saja ketika dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang sudah tua!”
“Aih, Bibi Milana. Keadaan saya lain lagi dengan keadaan Bibi! Andai kata saya seperti Bibi, sudah
mempunyai seorang kekasih di Bhutan, sampai mati pun saya tidak akan sudi! Kalau saya mentaati
perintah ayah, adalah karena hati saya masih bebas dan betapa pun saya tidak suka dikawinkan dengan
orang yang belum pernah saya lihat, akan tetapi demi kebaktian terhadap ayah, terutama terhadap negara
karena ayah menyerahkan saya demi negara, terpaksa saya menyetujuinya. Jauh bedanya dengan Bibi
yang telah mempunyai seorang pujaan hati sehebat Paman Gak! Mengapa Bibi begitu bodoh?”
Demikianlah, percakapannya dengan Puteri Syanti Dewi itulah yang terus menghantui hatinya. Kini Puteri
Milana rebah seorang diri di atas pembaringannya dalam kamarnya yang tertutup, mengenangkan semua
percakapannya dengan Syanti Dewi dan baru terbuka matanya betapa dia telah berbuat kesalahan besar
terhadap Gak Bun Beng! Pernikahannya dengan Han Wi Kong juga tidak mempunyai arti apa-apa bagi
Kaisar atau kerajaan, dan yang jelas dia telah merusak kehidupan Gak Bun Beng, merusak kebahagiaan
hidupnya sendiri!
Teringatlah dia akan semua pengalamannya di waktu dahulu, belasan tahun yang lalu dan semakin diingat,
semakin menyesallah dia karena sejak dahulu, Bun Beng selalu bersikap baik dan penuh cinta kasih
kepadanya, sebaliknya, telah beberapa kali dia menyakiti hati kekasihnya itu! Bahkan yang terakhir sekali,
dia menuduh Gak Bun Beng sebagai seorang pria jahat dan keji, tukang memperkosa wanita! Dan dia
bahkan telah bersekutu dengan wanita-wanita lain yang disangkanya menjadi korban kebiadaban Gak Bun
Beng untuk membunuh pria itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan hampir saja maksud kejamnya ini terlaksana (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS). Kemudian
barulah dia tahu, baru terbuka matanya bahwa Gak Bun Beng adalah pria yang bersih, gagah perkasa,
mulia, karena si jahat itu bukanlah Gak Bun Beng, melainkan Wan keng In!
“Aihhhh... Wan Keng In, benar dia...!” Tiba-tiba Puteri Milana meloncat turun dari atas pembaringannya,
memandang terbelalak ke arah pintu kamarnya.
Ketika mengenangkan masa lalu dan terbayang wajah Wan Keng In, tiba-tiba saja dia melihat wajah Ang
Tek Hoat! Mengapa dia begitu bodoh? Wajah Ang Tek Hoat persis wajah Wan Keng In!
Han Wi Kong dan Kian Bu terkejut sekali ketika melihat Milana memasuki kamar di mana mereka berdua
bercakap-cakap itu dengan muka berubah agak pucat. “Mana dia? Bu-te, lekas kau kejar dia! Ang Tek
Hoat itu adalah putera Wan Keng In!”
Kian Bu terkejut. Tentu saja dia telah mendengar siapa adanya Wan Keng In yang disebut oleh enci-nya
itu. Wan Keng In adalah putera ibu tirinya, ibu kandung Kian Lee, anak tiri ayahnya yang telah lama
meninggal dunia dan kabarnya dahulu amat lihai akan tetapi juga menyeleweng.
“Bagaimana kau bisa tahu, Enci?”
“Aku bodoh, telah lupa wajah Wan Keng In yang persis benar dengan wajahnya. Lekas, Bu-te, susul dia
dan suruh dia kembali, aku akan bicara dengan dia. Kini aku tahu mengapa dia memusuhi Gak Bun Beng.”
Kian Bu cepat berlari keluar dan melakukan pengejaran. Akan tetapi, pengawal tadi menceritakan bahwa
pemuda itu telah keluar dari pintu gerbang kota raja dan entah pergi ke mana, Kian Bu menyusul dan
mengejar sampai jauh di luar kota raja, keluar dari pintu gerbang selatan, namun hasilnya sia-sia dan
terpaksa dia kembali kepada enci-nya dengan tangan hampa.
Milana merasa menyesal sekali. “Di dalam kamar tadi barulah aku teringat. Memang tadinya aku sudah
merasa mengenal wajah Tek Hoat, hanya sayang aku lupa bahwa wajahnya itu persis wajah Wan Keng In,
kakakmu Bu-te. Dia she Ang pula, siapa lagi dia kalau bukan anak Ang Siok Bi yang dahulu diperkosa oleh
Wan Keng In yang menyamar sebagai Gak Bun Beng? Ahh, tentu akan terjadi hal-hal hebat kalau mereka
saling bertemu!”
“Sebaiknya aku segera kembali ke Teng-bun atau Koan-bun, mencari Gak-suheng dan memberi tahukan
hal Tek Hoat itu kepadanya agar dia dapat berjaga-jaga, Enci!” kata Kian Bu.
“Tidak perlulah, Bu-te. Kurasa dia dapat menghadapi pemuda itu, apa lagi Tek Hoat masih lemah tubuhnya
dan perlu mengumpulkan tenaga sampai belasan hari lamanya. Pula, kita menanti datangnya kakakmu,
Kian Lee, dan yang lain-lain. Mengapa mereka belum juga datang?”
Hanya Han Wi Kong yang dapat menduga bahwa yang dimaksudkan ‘yang lain-lain’ oleh isterinya itu,
bukan lain adalah Gak Bun Beng yang amat diharap-harapkan kedatangannya.
Dan pada keesokan harinya, benar saja Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee muncul di istana Puteri Milana
itu! Han Wi Kong dan Milana bersama Kian Bu menyambut mereka dengan gembira, akan tetapi Milana
hanya sekilas saja bertemu pandang mata dengan Bun Beng, kemudian wajahnya berubah merah
sedangkan wajah Bun Beng berubah pucat dan mereka tidak bicara apa-apa kecuali menyapa.
“Gak-suheng!”
“Sumoi...!”
Han Wi Kong maklum betapa kedua orang itu merasa sungkan dan tidak enak, maka dia bersikap ramah
sekali. “Gak-taihiap, sudah amat lama saya mendengar nama besar Taihiap dan sungguh merupakan
suatu kehormatan besar bagi saya dapat berjumpa dengan Taihiap ini!”
Gak Bun Beng menatap wajah yang tampan dan gagah itu, dan hatinya ikut gembira bahwa Milana
ternyata telah menikah dengan seorang pria yang tidak mengecewakan. “Terima kasih, Han-ciangkun, dan
karena saya adalah suheng dari isterimu, harap kau jangan menyebutku taihiap (pendekar besar).”
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Wi Kong tertawa dan begitu bertemu saja dia sudah merasa suka kepada pendekar besar yang
sederhana sekali ini. “Kalau begitu, baiklah saya menyebutmu Gak-twako saja. Akan tetapi saya pun bukan
lagi menjadi seorang perwira maka jangan menyebut saya ciangkun, Gak-twako (Kakak Gak).”
“Baiklah, Han-laote (Adik Han).”
Karena sikap Han Wi Kong, maka rasa sungkan dan tidak enak di pihak Bun Beng dan Milana perlahanlahan
berkurang. Han Wi Kong lalu menjamu tamu yang dihormatinya itu dengan pesta kecil. Sambil
bercakap-cakap, Han Wi Kong, Milana, Suma Kian Lee, Suma Kian Bu, dan Gak Bun Beng makan minum
menghadapi meja bundar. Karena sedang makan, mereka tidak membicarakan urusan penting dan setelah
mereka selesai makan dan duduk di ruangan tamu, barulah mereka bicara tentang hal-hal yang lebih
penting menyangkut diri mereka.
“Lee-ko, mengapa kau kelihatan pucat dan tidak bersemangat?” Kian Bu bertanya dan Milana juga
memandang adik ini dengan penuh perhatian.
“Engkau kelihatan seperti orang sakit, Adik Kian Lee,” dia juga berkata.
“Ah, tidak ada apa-apa,” jawab Kian Lee.
“Jangan-jangan karena kakimu yang terluka dahulu itu, Lee-ko? Tapi sekarang sudah sembuh sama sekali,
bukan?”
“Sudah, Bu-te,” Kian Lee menjawab singkat.
Saat adiknya itu bertanya tentang pengalamannya dan ketika kakinya terluka sehingga mereka terpisah,
Kian Lee hanya menceritakan dengan singkat saja bahwa dia kebetulan bertemu dengan puteri Hek-tiauw
Lo-mo dan mendapatkan obat sehingga sembuh dengan mudah.
“Heran..., heran...!” Kian Bu berkata sambil tertawa. “Ayahnya iblis akan tetapi puterinya bidadari agaknya!”
Kini tiba giliran Bun Beng yang bertanya, tidak langsung menghadapi Milana melainkan pertanyaannya
ditujukan kepada Han Wi Kong, “Saya mendengar bahwa ada seorang tahanan bernama Ang Tek Hoat.
Apakah benar dia berada di kota raja dan apakah dapat saya bertemu dengan dia?”
“Ahhh, Gak-suheng, memang terjadi hal yang hebat sekali dengan pemuda itu!” Milana berkata. “Dia...
dia... itu... putera Wan Keng In...!”
“Ehh...?!” Bun Beng demikian kagetnya sehingga dia bangkit berdiri, lalu kembali duduk. Sementara itu
Milana sudah teringat akan peristiwa dahulu, maka dia menjadi pucat dan menunduk, tidak mampu
melanjutkan kata-katanya.
“Bu-sute, apakah yang terjadi?” tanya Bun Beng, menoleh kepada Kian Bu.
“Gak-suheng, kami tadinya bertanya kepadanya mengapa dia berjuluk Si Jari Maut dan menggunakan
nama Suheng untuk melakukan kejahatan. Dia menjawab bahwa Suheng telah membunuh ayahnya dan
dia tidak melanjutkan keterangannya, hanya tadinya menyangka bahwa Suheng telah mati, maka setelah
mendengar bahwa Suheng masih hidup, dia menyatakan ingin bertemu dan ingin membalas dendam
kematian ayahnya.”
“Hemm..., sungguh aneh...” Bun Beng berkata.
“Akan tetapi Enci Milana lalu teringat akan wajah Keng In...”
“Bukan mirip lagi, Suheng, melainkan persis seperti pinang dibelah dua! Dan dia she Ang, siapa lagi kalau
bukan anak Ang Siok Bi?” Milana berkata.
Ketika Bun Beng memandangnya, mereka bertemu pandang dan Milana menunduk, karena menyebut
nama Siok Bi sama dengan menggali kenangan lama yang membuat Milana merasa berdosa sekali.
Bun Beng mengangguk-angguk. “Hemm, sekarang aku mengerti! Pantas dia memusuhi aku...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Enci Milana khawatir sekali kalau sampai terjadi sesuatu yang hebat apa bila Suheng bertemu dengan
dia,” kata pula Kian Bu.
“Aku dapat mengatasinya. Ahhh, sungguh kejadian yang amat luar biasa aneh, dan sekaligus terjadi dalam
waktu yang hampir bersamaan...” Bun Beng menghela napas panjang.
“Gak-suheng, apa pula maksudmu?” Milana bertanya, karena dia merasa bahwa ada sesuatu yang penting
terkandung dalam ucapan pendekar itu.
Bun Beng memandang kepada Milana, sedikit pun tidak memperlihatkan penyesalan ketika dia bertanya,
“Sumoi tentu masih ingat kepada Lu Kim Bwee, bukan?”
Pertanyaan ini amat mengejutkan hati Milana karena tak disangka-sangkanya, padahal dia selalu
membayangkan dua orang wanita, Ang Siok Bi dan Lu Kim Bwee, dua orang wanita yang dahulu bersama
dia mengeroyok Bun Beng dan hampir saja membunuh pendekar ini (baca cerita SEPASANG PEDANG
IBLIS). Milana menelan ludah, memandang kepada Bun Beng tanpa dapat menjawab dengan kata-kata,
hanya mengangguk.
“Nah, Lu Kim Bwee itu pun ternyata mempunyai seorang anak dari Wan Keng In, dan anaknya itu adalah
Lu Ceng.”
“Ooohhh...!”
“Aihhhh...!” Kian Bu terbelalak dan menoleh kepada Kian Lee.
Melihat Kian Lee menundukkan muka, Kian Bu membungkam mulutnya lagi, tak berani mengeluarkan
suara. Maklumlah dia sekarang mengapa Kian Lee begitu pucat dan muram. Kiranya dara yang dia tahu
telah mencuri hati kakaknya itu ternyata adalah anak dari mendiang Wan Keng In, kakak mereka sendiri,
yang berarti pula bahwa Ceng Ceng adalah keponakan mereka sendiri.
Keadaan lalu menjadi sunyi karena semua orang tenggelam dalam lamunan masing-masing. Han Wi Kong
yang pernah mendengar cerita tentang Ang Siok Bi dan Lu Kim Bwee, yang tadinya disangka menjadi
korban kebiadaban Gak Bun Beng yang kemudian ternyata adalah perbuatan Wan Keng In, memecahkan
kesunyian itu sambil berkata, “Kiranya dua orang yang menggemparkan itu adalah keponakan-keponakan
Adik Kian Lee sendiri.”
Kian Lee mengangguk sunyi dan semua orang masih tenggelam ke dalam keanehan yang luar biasa ini,
peristiwa yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka. Milana tidak menyangka bahwa peristiwa
ketika dia muda dahulu, yang dilakukan oleh Wan Keng In, ternyata berekor demikian panjang sehingga
biar pun pelakunya telah tewas, ternyata akibat kelakuannya masih terus menjadi riwayat! Dan celakanya,
kalau dulu Wan Keng In melakukan perbuatan yang mencelakakan diri Gak Bun Beng, sekarang
keturunannya juga melakukan hal yang sama, sungguh pun apa yang dilakukan oleh Tek Hoat adalah
karena pemuda itu mengira bahwa Gak Bun Beng sudah mati dan menjadi pembunuh ayahnya.
Selagi mereka semua termenung, tiba-tiba datang penjaga pintu yang melaporkan bahwa ada utusan dari
Kaisar datang untuk bertemu dengan Puteri Milana! Puteri Milana terkejut dan cepat menyambut. Kiranya
yang datang adalah Perdana Menteri Su sendiri, yang tentu saja cepat disambutnya dengan penuh hormat.
Han Wi Kong, Gak Bun Beng, dan kedua orang saudara Suma ikut menyambut, dan karena perdana
menteri datang sebagai utusan Kaisar yang berarti wakil Kaisar sendiri, Milana dan yang lain-lain
menyambut dan berlutut.
Perdana Menteri Su mengenal semua yang hadir. Dia sudah mendengar akan kedua orang adik Puteri
Milana, putera-putera dari Pendekar Super Sakti, dan dia dahulu sudah pernah bertemu dengan Gak Bun
Beng. Maka cepat dia menggerakkan tangan minta kepada mereka semua untuk bangkit berdiri.
“Harap Cu-wi bangkit kembali dan penghormatan Cu-wi terhadap Sri Baginda telah saya terima. Sekarang
kita bicara sebagai sahabat dan biarlah pesan Sri Baginda akan saya bicarakan di atas cawan-cawan arak
saja oleh karena keputusan beliau ini perlu kita pertimbangkan bersama.”
Puteri Milana dan yang lain-lain segera bangkit berdiri dan mempersilakan tamu agung itu ke ruangan
tamu, di mana mereka menjamu Perdana Menteri Su dengan hormat dan ramah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Perdana Menteri Su yang sudah tua dan setia itu menghela napas panjang dan berkata, “Aihhh... betapa
girang dapat bertemu dengan orang-orang gagah seperti Cu-wi, dan betapa kecewa hati membawa berita
yang amat tidak menyenangkan. Puteri Milana, Sri Baginda Kaisar menitah saya untuk menyampaikan
keputusan beliau tentang Pangeran Liong Bin Ong dan Puteri Syanti Dewi.”
“Bagaimana dengan Paman Pangeran Liong Bin Ong?” Puteri Milana bertanya.
“Sri Baginda menyatakan bahwa menurut penyelidikan beliau, Pangeran Liong Bin Ong tidak bersalah apaapa,
dan pemberontakan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab mendiang Pangeran Liong Khi Ong...”
“Ahhh...!” Puteri Milana berseru, mukanya merah dan kelihatan penasaran sekali.
“Puteri Milana, demikianlah keputusan Sri Baginda,” Perdana Menteri Su berkata kereng dan memandang
wajah puteri itu penuh arti.
Sang Puteri mengangguk dan membungkuk, tidak berani berkata apa-apa lagi sungguh pun dia maklum
bahwa keputusan ini bukan hanya membuat dia penasaran, bahkan terutama sekali membuat perdana
menteri itu menjadi kecewa dan khawatir. Mereka berdua tahu belaka bahwa Liong Khi Ong hanya
merupakan orang kedua, hanyalah pembantu dari Pangeran Liong Bin Ong yang sebenarnya menjadi
dalang pertama dari pemberontakan itu!
“Ada pun tentang diri Puteri Bhutan itu, Puteri Syanti Dewi yang tadinya akan menikah dengan Pangeran
Liong Khi Ong, menurut keputusan Sri Baginda akan dinikahkan dengan Pangeran Yung Hwa!”
“Heiiiihh...!” Kian Bu berteriak sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya.
“Bu-te, duduklah! Ini perintah Sri Baginda Kaisar!” Puteri Milana membentak adiknya, akan tetapi matanya
memandang adiknya dengan penuh duka karena puteri ini maklum bahwa adiknya itu telah jatuh cinta
kepada Syanti Dewi.
“... ya... ya, Enci Milana...” Kian Bu duduk kembali dan menundukkan mukanya yang berubah menjadi
pucat.
“Betapa pun juga, keputusan kedua ini adalah cukup adil dan tepat,” Perdana Menteri Su berkata sambil
mengelus jenggotnya. “Memang tadinya Pangeran Yung Hwa yang ingin berjodoh dengan Puteri Bhutan,
hanya dia terdesak dan kalah oleh mendiang Pangeran Liong Khi Ong. Ikatan jodoh ini berarti akan
memperkuat tali hubungan antara Kerajaan Ceng dengan Kerajaan Bhutan.”
Milana tidak menjawab karena dia maklum bahwa perdana menteri itu tidak tahu akan rahasia hati Kian Bu.
Dia hanya mengangguk saja. Tidak lama kemudian, Perdana Menteri Su berpamit dan setelah dia pergi,
barulah Milana meremas cawan araknya sampai perak itu menjadi satu gumpalan!
“Sungguh celaka sekali! Pangeran Liong Bin Ong si pemberontak besar itu dibebaskan! Tentu dia akan
membuat huru-hara lagi! Ahh, mengapa Sri Baginda tidak dapat melihat kenyataan?”
Milana melirik ke arah Kian Bu yang masih menundukkan mukanya dan tiba-tiba dia bangkit berdiri. “Dan
Syanti Dewi... ah, sungguh membikin orang penasaran...!” Milana mengerutkan alisnya, sejenak bertukar
pandang dengan Gak Bun Beng, lalu dia minta maaf kepada Bun Beng dan meninggalkan ruangan itu
memasuki kamarnya.
Kian Bu bangkit berdiri pula, tanpa berkata apa-apa dia pun lalu setengah lari menuju ke kamarnya, diikuti
oleh Kian Lee yang kini memandang adiknya itu dengan wajah penuh kecemasan.
Tinggallah Han Wi Kong duduk berhadapan dengan Gak Bun Beng. Keduanya bengong dan termenung.
“Hemmm..., banyak sekali peristiwa terjadi dalam kehidupan manusia yang berlawanan dengan apa yang
dikehendakinya, bukan, Gak-twako?”
“Ehhh...?” Bun Beng yang lagi melamun sambil tak sadar mengambil cawan yang telah menjadi gumpalan
perak karena dicengkeram oleh Milana tadi, membolak-balik benda itu di tangannya, terkejut mendengar
ucapan itu, lalu mengangkat muka memandang. “Agaknya begitulah hidup...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mengapa harus begitu, Twako?” Han Wi Kong mendesak.
“Yah, manusia tidak akan dapat melawan nasib...” Bun Beng menarik napas panjang.
“Hemmm..., begitukah? Atau bukan sebaliknya bahwa nasib berada di tangan manusia sendiri? Orang
yang menyerah kepada nasib adalah orang lemah, dan orang-orang lemah memang sudah sepatutnya
hidup menderita, Twako! Hanya orang yang berani menentang dan menghadapi keadaan dan peristiwa
dengan tabah, merubah nasibnya sendiri dan terbebas dari penderitaan kelemahannya!”
Gak Bun Beng menatap wajah panglima yang tampan dan gagah itu dengan sinar mata penuh pertanyaan,
kemudian bertanya, “Akan tetapi, keputusan-keputusan yang telah dikeluarkan oleh Kaisar merupakan
keputusan mutlak dan mana mungkin dirubah...”
“Mengapa tidak mungkin? Tergantung dari si manusia sendiri yang mampu atau tidak, berani atau tidak
untuk merubahnya. Keadaan tidak akan berubah selama si manusia sendiri tidak berusaha untuk
merubahnya!”
Bun Beng merasa terpukul dan ucapan itu mendatangkan kesan mendalam. Dia harus mengaku pada diri
sendiri bahwa dia merana dalam hidupnya karena dia lemah, karena dia ‘menerima nasib’, karena dia lebih
condong menangisi nasibnya dari pada berusaha merubah keadaan itu! Dan kedua orang adik
seperguruannya, Kian Lee dan Kian Bu, juga mengalami ‘nasib’ yang sama dengan dia, yaitu kalau mereka
tidak mau turun tangan, tidak mau bertindak melawan ‘nasib’ itu!
“Kata-katamu mengandung kebenaran yang patut untuk direnungkan, Laote. Maafkan, saya harus
menengok kedua orang sute-ku itu.”
Gak Bun Beng meninggalkan Han Wi Kong yang tersenyum-senyum seorang diri, memasuki kamar kedua
orang sute-nya dan melihat mereka itu duduk termenung di depan meja. Wajah Kian Bu pucat sekali dan
Kian Lee yang bersikap tenang itu berusaha menghibur adiknya ketika Bun Beng muncul di depan pintu.
Diam-diam Bun Beng kagum juga terhadap Kian Lee. Dia tahu betul betapa sute-nya ini juga ‘patah hati’
karena cintanya yang gagal terhadap Ceng Ceng, namun kini masih dapat menghibur adiknya yang
mengalami hal yang sama!
Bun Beng tersenyum, menghampiri Kian Bu dan menepuk bahu pemuda itu. “Eh, Bu-sute, apakah engkau
ini seorang banci?”
Ditanya seperti itu, Kian Bu yang sedang termenung dan tenggelam dalam kekecewaan dan kedukaan itu
terperanjat, dan memandang kepada suheng-nya itu dengan mata terbelalak. Kalau saja dia tidak terlalu
dihimpit duka dan kecewa, tentu wataknya yang gembira ini akan menanggapi pertanyaan Bun Beng
sebagai suatu kelakar.
“Apa maksudmu, Suheng?”
“Hanya seorang banci saja yang merenungi nasibnya dan menangisi peristiwa yang menimpa diri. Seorang
jantan pastilah akan bertindak melawan keadaan yang tidak menyenangkan hatinya. Akan tetapi kulihat di
sini engkau termenung menangisi nasib!”
“Aihh, Suheng. Apa yang dapat saya lakukan menghadapi keputusan Kaisar? Biar pun beliau itu kakek
besarku sendiri, namun aku tetap saja rakyat!” Kian Bu berkata.
“Hemm, mengapa engkau begitu lemah? Pula, mengapa engkau sudah menjadi patah hati? Apakah
engkau pun sudah tahu bagaimana perasaan hati Syanti Dewi terhadap dirimu? Kalau aku menjadi
engkau...”
“Bagaimana, Suheng?” Kian Bu bertanya penuh gairah. Dia adalah seorang pria yang baru menjelang
dewasa, masih ‘hijau’ dan tentu saja dia memandang suheng-nya ini sebagai seorang pria yang sudah
‘berpengalaman’ yang patut ditiru.
“Kalau aku yang menghadapi peristiwa seperti engkau ini, aku akan menemui dia dan terus terang
kunyatakan perasaan hatiku kepadanya untuk mengetahui bagaimana tanggapannya. Kalau dia ternyata
tidak mencintaku, mengapa engkau menangisi hal kosong? Sebaliknya, kalau dia memang cinta kepadaku
seperti aku cinta kepadanya, aku akan mengajak dia lari bersama!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah Kian Bu menjadi berseri dan dia memegang tangan suheng-nya. “Terima kasih, Suheng. Aku bukan
seorang banci! Aku seorang laki-laki sejati dan akan kulaksanakan nasehatmu itu sekarang juga!” Kian Bu
lalu meloncat keluar dari tempat itu. Kian Lee memanggilnya, namun pemuda itu sudah pergi jauh.
“Ahh, Gak-suheng, engkau bisa menimbulkan gara-gara dengan nasehatmu itu,” Kian Lee berkata,
khawatir. “Jangan-jangan akan timbul keributan.”
“Lee-sute, yang sudah jelas, kalau didiamkan saja, sudah terjadi keributan dalam hati Bu-sute yang
mungkin akan membuat dia merana selama hidupnya. Belum lagi diingat betapa puteri itu pun akan
menjadi sengsara. Bukankah itu sudah merupakan hal yang hebat? Sebaliknya, kalau memang mereka
saling mencinta, apa salahnya mereka berdua melarikan diri dan berjodoh? Ingat, Puteri Nirahai juga dulu
kawin lari dengan ayahmu, buktinya sekarang mereka berbahagia.” Sampai di sini Bun Beng berhenti
karena dia teringat akan urusannya sendiri dengan Milana.
Dia bisa memberi nasehat, bahkan sudah ada contoh yang mutlak, yaitu antara Puteri Nirahai dan
Pendekar Super Sakti, akan tetapi toh dia dahulu sengaja menjauh dan tak berani menghadapi kenyataan
bahwa dia dan Milana saling mencinta. Hal ini hanya dikarenakan dia merasa rendah diri, sebagai
keturunan penjahat, merasa tidak pantas menjadi jodoh seorang gadis mulia seperti Puteri Milana!
Setelah berkata demikian Bun Beng lalu meninggalkan Kian Lee dan pergi ke kamarnya sendiri, tak jauh
dari kamar kakak beradik itu. Akan tetapi dia merasa gelisah. Bayangan Milana terus mengejarnya, dan
timbul rasa takut di hatinya, takut dan tidak percaya kepada diri sendiri, karena kalau terlalu lama dia
berada di rumah kekasihnya ini, terlalu sering berjumpa dengan Milana, dia khawatir kalau-kalau
pertahanan batinnya akan bobol. Aku harus segera pergi dari sini, pikirnya. Tidak ada urusan apa-apa lagi.
Syanti Dewi sudah jelas akan dinikahkan dengan Yung Hwa, dan kalau betul seperti yang diharapkannya
bahwa Syanti Dewi membalas cinta Suma Kian Bu, biarlah puteri itu hidup bahagia dengan sute-nya itu.
Tek Hoat pun sudah pergi dan ternyata pemuda itu adalah putera Wan Keng In yang kembali mengulang
perbuatan ayah kandungnya dahulu. Sebaiknya dia pergi dan menjumpai pemuda itu agar persoalannya
menjadi jelas dan dendam dapat dihapus dari dalam dada pemuda itu. Akan tetapi dia merasa tidak enak
juga kalau harus pergi begitu saja tanpa pamit, dan dia pun harus menanti kembalinya Kian Bu untuk
melihat bagaimana jadinya dengan sute-nya itu.
Kegelisahannya membuat Bun Beng tidak betah di dalam kamarnya. Hanya sebentar dia rebahan,
kemudian dia turun dan keluar dari kamar, melalui pintu samping dia masuk ke dalam taman bunga yang
luas dan indah dari istana itu. Hari telah menjelang senja dan di dalam taman bunga itu sunyi sekali. Bun
Beng terus masuk ke dalam dan di tengah-tengah taman, tertutup oleh pohon-pohon apel, terdapat kolam
ikan emas yang lebar dan indah. Airnya jernih sehingga ikan-ikan yang berenang ke sana ke mari itu
nampak nyata, beriring-iringan dengan warna sisik mereka yang keemasan dan berkilauan tertimpa sinar
kemerahan matahari senja.
Bun Beng duduk di atas bangku batu di dekat kolam. Air yang memancar keluar dari pinggir kolam
membuat kolam itu selalu jernih airnya dan luapan air kolam mengalir ke dalam selokan kecil yang berlikuliku
di dalam taman, mengairi kembang-kembang yang tampak mekar dengan indahnya, seolah-olah
sedang bersaing kecantikan.
“Dia hidup bahagia, dan itu sudah cukup bagiku,” diam-diam Bun Beng mengeluh. “Kehadiranku hanya
akan memungkinkan datangnya gangguan dalam hidupnya. Suaminya amat gagah dan baik,
kedudukannya mulia dan terhormat, kekayaannya berlimpah, terpenuhilah semua syarat hidup senang.
Kalau dahulu ikut bersamaku? Tentu akan hidup serba kekurangan, bahkan hidup di tempat asing dan
miskin...” Akan tetapi, suara hatinya yang menghibur diri bahwa orang-orang yang dicinta sudah hidup
bahagia itu dibantah oleh suara lain dalam benaknya.
“Siapa bilang dia bahagia? Dia cukup dengan kesenangan dunia, memang. Akan tetapi apakah itu dapat
mendatangkan bahagia? Lihat, dia begitu terguncang sampai pingsan begitu bertemu dengan aku. Dan
tentang hidup miskin, mungkin saja mendatangkan bahagia karena cinta. Lihat contohnya Puteri Nirahai
dan Pendekar Super Sakti. Biar hidup di Pulau Es yang sunyi, namun penuh madu bahagia...”
“Huh, tolol!” bentaknya sendiri kepada diri sendiri. “Habis kau mau apa?”
“Gak-suheng...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Bun Beng terkejut dan hampir saja dia meloncat ke dalam kolam! Suara itu dikenalnya benar. Bahkan
sampai mati pun suara itu tentu akan terus terngiang di telinganya dan dikenalnya baik-baik. Cepat dia
membalikkan tubuh dan dia berdiri berhadapan dengan Milana!
“Sumoi..., mafkan aku... aku memasuki tamanmu tanpa permisi...,” dia menghentikan kata-katanya karena
dia melihat puteri yang berdiri tegak dan agung itu ternyata telah mencucurkan air mata! Satu demi satu
butiran air mata turun seperti untaian mutiara di sepanjang kedua pipinya.
“Gak-suheng, sudikah kau mengampunkan aku? Suheng, betapa aku telah membuat hancur hidupmu...,
aku telah berkali-kali berdosa kepadamu, Suheng...”
Berdebar keras rasa jantung Bun Beng dan dia hanya menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak... tidak
demikian... Sumoi. Apa yang kau ucapkan ini...?”
“Suheng, tidak perlu kau berpura-pura lagi. Aku sudah tahu betapa hidupmu menderita, sengsara dan
merana karena aku. Suheng, apakah engkau masih tidak mau juga mengampunkan aku? Mengampunkan
pernikahan dengan Han Wi Kong?” Pertanyaan itu diucapkan dengan suara penuh permohonan, dengan
pandang mata yang menusuk ulu hati Bun Beng.
Pendekar itu menguatkan hatinya dan memaksa tersenyum. “Sumoi... Sumoi! Milana... mengapa engkau
bertanya demikian? Sudah sepantasnya engkau menikah dengan dia, dia seorang yang amat baik dan
aku... aku sudah merasa cukup senang melihat engkau hidup bahagia di sampingnya, Sumoi. Aku...
sebaiknya pergi saja...”
“Gak-suheng...!” Milana meloncat dan memegang lengan pendekar itu. Sejenak mereka berdiri saling
berhadapan, dekat sekali dan mendadak Milana terisak lalu memeluk pinggang Bun Beng. “Suheng... ah,
Suheng... aku melihat betapa jahatnya aku... betapa hancurnya hidupmu karena aku... ampunkan aku,
Suheng.”
Bun Beng memejamkan matanya. Merasa betapa tubuh orang yang paling dicintanya di dunia ini memeluk
dan menempel di tubuhnya, hampir dia tidak kuat menahan lagi dan dia pun merangkul dan mengusap
rambut yang selalu dirindukannya itu, mendekap kepala yang disayangnya itu. Akan tetapi dia segera
teringat dan cepat dia melepaskan diri dan melangkah dua tindak ke belakang.
“Tidak... tidak boleh begini...! Sumoi, jangan menuruti bisikan setan!”
Milana mengangkat muka memandang, matanya berlinangan air mata. “Gak-suheng, katakanlah terus
terang, apakah engkau masih cinta kepadaku?”
“Aku? Mencinta padamu? Wahai, Milana, tidak pernah ada sedetik pun aku berhenti mencintamu... akan
terkutuk dan bohonglah aku kalau mengatakan tidak. Akan tetapi, semua itu sudah terlambat... Sumoi...”
“Tidak, Suheng. Aku siap mengikutimu ke mana pun engkau membawaku! Aku... aku... ahhh..., engkau
tidak tahu betapa hidupku selama berpisah denganmu seperti dalam neraka. Aku menderita dan kalau saja
tidak kuat-kuat aku bertahan, aku tentu sudah membunuh diri. Kalau sekarang engkau menolak, kiranya
tidak ada lagi pegangan bagiku, Suheng...”
“Ahhh...?” Bun Beng terkejut bukan main mendengar kata-kata itu, dia merasa seperti disambar petir.
“Jangan berkata yang bukan-bukan! Engkau bahagia dengan suamimu!”
“Tidak... tidak... dia memang seorang yang amat baik, akan tetapi... aku... aku tidak mencintanya, Suheng.
Hanya engkaulah seorang...”
“Aihhh, Sumoi, kini engkau menghancurkan hatiku!” Bun Beng berteriak, terhuyung ke belakang dan
menjatuhkan diri duduk di atas bangku tadi, mukanya pucat sekali, dadanya terasa sakit. “Kalau begitu...
sia-sia belaka semua pengorbananku... sia-sia belaka aku menyiksa diri... Sumoi, mengapa begitu?”
Milana lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bun Beng.
“Aku sudah berdosa, Suheng. Aku mentaati perintah Kaisar untuk kawin. Akan tetapi, baru sekarang aku
melihat betapa bodohnya hal itu, aku hanya menyiksa diri sendiri dan engkau, orang yang kucinta. Akan
dunia-kangouw.blogspot.com
tetapi sekarang kiranya masih belum terlambat, Suheng... untuk memperbaiki kesalahan itu, kalau... kalau
engkau masih mencintaku seperti aku mencintamu.”
“Milana!” Bun Beng setengah membentak, “Omongan apa yang kau keluarkan ini? Tak malukah engkau?
Kau kira aku ini orang apa, hendak melarikan isteri orang? Apakah engkau hendak membuat dosa
terhadap suamimu yang baik?”
Milana memandang dan air mata makin deras bercucuran, dia menggeleng kepalanya. “Dia seorang yang
berbudi mulia... aku bahkan merusak hidupnya karena dia tahu bahwa aku masih mencintamu, tidak dapat
mencintanya. Tahukah kau, Suheng? Dialah yang tadi membujuk aku agar menemanimu... dia telah
memberi restunya... dia yang membujuk agar aku menyambung tali cinta kasih kita demi kebahagiaanku...”
“Tidak...!” Gak Bun Beng meloncat dan menjauh, mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil. “Tidak...!
Engkau adalah Nyonya Han Wi Kong, engkau bukan Milana lagi. Tidak boleh lagi aku menyentuhmu, tidak
boleh sama sekali...! Duhai Milana... Sumoi... jangan... jangan kita lakukan itu... lebih baik aku mati dari
pada melakukan perbuatan terkutuk itu!” Bun Beng lalu berkelebat dan lari keluar dari taman.
“Suheng...!” Namun Bun Beng tidak menengok dan berkelebat lenyap.
“Gak-suheng...!” Milana mengeluh dan terguling roboh, pingsan di dekat kolam!
Han Wi Kong lari tergopoh-gopoh, dia mengangkat tubuh isterinya, dibawa masuk ke dalam kamar. Mata
panglima ini merah dan basah. Dia merebahkan isterinya di atas pembaringan, kemudian menulis surat,
meletakkan surat di atas meja, dan memanggil pelayan, disuruh menjaga isterinya yang masih pingsan dan
disangka tidur oleh pelayan itu. Kemudian Han Wi Kong pergi dari istananya setelah berganti pakaian
sebagai bekas panglima, cucu mantu Kaisar dan pergi tanpa pengawal.....
********************
Sementara itu, di sudut ruangan luas di dalam kompleks Istana Kaisar, Puteri Syanti Dewi duduk
berhadapan dengan Suma Kian Bu yang tadi diterimanya sebagai seorang tamu yang datang berkunjung
kepadanya. Para pengawal tentu saja sudah mengenal Kian Bu, bahkan tahu bahwa adik Puteri Milana ini
yang ikut mengantarkan Puteri Bhutan itu ke istana, maka tentu saja kunjungannya diperbolehkan dan
tidak ada yang berani mencurigainya. Bahkan ketika Sang Puteri menerimanya bercakap-cakap di sudut
ruangan yang luas itu, para pengawal tidak ada yang berani mendekat dan hanya menjaga di luar pintu
ruangan.
Syanti Dewi girang sekali melihat Kian Bu dan dia menyambut kedatangan pemuda itu dengan kata-kata,
“Sungguh girang hatiku bahwa engkau yang datang, Bu-koko. Aku sudah menanti-nanti berita dari Bibi
Milana...”
“Engkau sudah mendengar tentang keputusan Kaisar, Adik Syanti...?”
Dara itu mengangguk dan alisnya berkerut, pandang matanya penuh kegelisahan.
“Lalu bagaimana pendapatmu dengan keputusan itu?”
“Aku tidak suka! Aiiih, Koko, kau tolonglah, suruh Bibi Milana menolongku... aku tidak suka dengan
pernikahan itu!”
“Akan tetapi, itu adalah keputusan Kaisar dan Pangeran Yung Hwa tidak dapat kau samakan dengan
Pangeran Liong Khi Ong. Dia seorang pangeran muda yang tampan dan pandai, bahkan dialah yang dulu
suka kepadamu sebelum kau dijodohkan dengan Pangeran Liong...”
“Aku tak peduli dia tampan atau buruk, pandai atau bodoh. Akan tetapi sekali ini, bukan ayahku yang
menjodohkan aku. Aku tidak mau, Koko... kau sampaikan permohonanku kepada Bibi Milana... tolonglah
aku... atau... tolong kau cari Paman Gak Bun Beng. Dia adalah satu-satunya orang yang kugantungi
harapanku.”
“Kalau benar engkau tidak suka menerima keputusan itu, Adik Syanti... aku... aku...” Kian Bu yang
biasanya paling pandai menggoda wanita itu kini menjadi gagap gugup, beberapa kali menelan ludahnya
dan sukar sekali kata-kata keluar dari mulutnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ada apa, Koko? Bagaimana?” Puteri Syanti Dewi memandang lekat dengan sepasang matanya terbelalak
lebar dan begitu indahnya sehingga Kian Bu menjadi makin bingung lagi.
“Adik Syanti... hemm... ehhh, aku... aku bersedia untuk menolongmu... untuk mengajak kau lari dari sini...”
“Bu-koko...! Terima kasih...! Ahhh, aku tahu engkau seorang yang amat berbudi, seperti suheng-mu,
Paman Gak Bun Beng!” Syanti Dewi bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Kian Bu, memegang
lengan pemuda itu penuh harapan.
Kian Bu juga lalu bangkit berdiri. “Aku... aku akan mempertaruhkan nyawaku untukmu, Syanti Dewi,
karena... aku... aku cinta padamu, aku cinta padamu semenjak kita dahulu pertama bertemu... dan kalau
kau lebih memilih aku dari pada menjadi isteri seorang pangeran, marilah kita lari...”
“Ahhhh...!” Syanti Dewi melepaskan kembali pegangan tangannya dan melangkah mundur, lalu menunduk
dan memejamkan matanya, akan tetapi tetap saja air matanya bertitik yang cepat diusapnya. Puteri ini
lemah lembut, mudah menaruh kasihan kepada orang, juga mudah terharu, namun dia memiliki keagungan
seorang puteri raja.
“Bu-koko, harap engkau maafkan padaku. Engkau seorang pemuda yang hebat... ahh, amat baik dan
hebat, tampan dan gagah perkasa, berbudi dan putera seorang pendekar yang sudah tersohor di seluruh
dunia, adik dari seorang mulia seperti Puteri Milana! Gadis mana yang tak akan berbahagia menerima
cintamu? Akan tetapi aku... ahhh, aku akan berbohong kalau aku berpura-pura mengatakan cinta
kepadamu, hanya agar engkau suka menolongku. Tidak, aku tidak mau membohongimu demi
keselamatanku, dan kelak menghancurkan hatimu. Tidak, Bu-koko, kalau engkau menolongku dengan
dasar cinta kasih seperti itu, aku lebih baik... menghadapi mala petaka itu seorang diri saja, tanpa
pertolonganmu.”
Wajah Kian Bu yang tadinya sudah merah karena ada harapan ketika dia menuruti nasehat suheng-nya,
kini menjadi pucat sekali.
“Kau... kau tidak... tidak cinta padaku, Adik Syanti?” tanyanya dengan suara serak.
Syanti Dewi menggeleng kepalanya, memandang penuh iba. “Maafkan aku.”
“Kalau begitu engkau... engkau tentu sudah mencinta lain orang...?”
Syanti Dewi mengerutkan alisnya. “Memang, aku pernah mencinta orang, yaitu suheng-mu, Gak Bun Beng!
Aku cinta Kepadanya, aku memujanya karena dia seorang jantan, seorang laki-laki sejati, seorang yang
mulia hatinya. Hanya sayang dia tidak cinta kepadaku, maka aku menghapus cinta itu. Aku tidak dan belum
mencinta siapa-siapa lagi. Sudahlah, Bu-koko, aku suka kepadamu, aku kagum dan menghormatimu, akan
tetapi jangan mengharapkan yang lebih dari itu. Kau kembalilah dan kalau engkau suka, harap sampaikan
permohonanku kepada Bibi Milana agar beliau sudi menolongku.”
Kian Bu diam sampai lama karena dia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menekan pukulan yang amat
menyakitkan itu. Kemudian dia berkata lemah, “Biar pun engkau tidak cinta kepadaku, Adik Syanti, aku...
aku bersedia menolongmu. Mari kau kularikan keluar dari istana ini.”
“Tidak, Bu-koko. Engkau adalah cucu Kaisar, engkau akan celaka kalau melakukan hal itu, padahal aku
tidak dapat menerima cintamu. Tidak, biarlah Bibi Milana saja yang menolongku dan mencarikan akal...”
“Aku menolongmu dengan ikhlas! Tadi engkau suka kutolong...”
“Tadi lain lagi, Koko. Pulanglah, dan maafkan aku...” Puteri Syanti Dewi bertepuk tangan memberi isyarat
kepada pengawal. “Suma-taihiap hendak pulang, antarkan keluar,” katanya penuh wibawa.
Kian Bu menunduk, lalu berjalan ke luar seperti mayat hidup, diikuti pandang mata Syanti Dewi yang
berlinang-linang karena merasa kasihan. Pemuda yang sebenarnya masih terlalu muda untuk jatuh cinta ini
merasa seolah-olah dunia hampir kiamat, kehilangan keindahannya. Bangunan-bangunan istana yang
biasanya mempesonakan dan amat dikaguminya itu, kini tidak lebih seperti onggokan-onggokan batu nisan
di kuburan yang tidak menarik sama sekali. Orang-orang yang ditemuinya di sepanjang jalan, seolah-olah
semua menyeringai dan mencemoohkannya. Syanti Dewi ternyata tidak cinta kepadanya seperti yang
dunia-kangouw.blogspot.com
disangkanya, atau lebih tepat, seperti yang diharapkannya. Bahkan mencinta suheng-nya, Gak Bun Beng!
Si Tua.....
Hatinya memaki, akan tetapi kesadarannya memperingatkannya bahwa tidak adil dan tidak tepatlah kalau
dia memaki dan menyalahkan suheng-nya. Gak-suheng adalah seorang laki-laki sejati, pikirnya, tepat
seperti yang dikatakan Syanti Dewi, dan suheng-nya itu tidak menerirna Syanti Dewi sehingga dara jelita ini
merubah cintanya menjadi cinta seorang anak kepada ayahnya atau seorang murid kepada gurunya. Aih,
betapa dia amat tidak berharga! Seorang yang sudah setengah tua seperti suheng-nya saja mampu
merebut hati seorang dara seperti Syanti Dewi, mengapa dia yang jauh lebih muda tidak mampu? Apakah
dia kurang tampan? Kurang gagah? Mungkin kurang jantan! Pikiran demi pikiran bergelombang dan
mengaduk-aduk hati Kian Bu ketika dia kembali ke istana enci-nya.
Senja telah lewat, malam mulai tiba dan Kian Bu langsung menuju ke kamarnya, hampir tidak melihat dan
tidak menjawab penghormatan para pengawal yang berjaga di depan istana enci-nya itu. Ketika memasuki
kamarnya, langsung saja dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan, telentang dan menatap langitlangit
kamar.
“Bu-te, bagaimana...?” Kian Lee mendekat, duduk di tepi pembaringan dan memandang wajah adiknya
yang pucat dan tidak bersemangat itu.
Kian Bu tadi juga tidak melihat bahwa kakaknya termenung di dalam kamar itu, kini melihat kakaknya
mendekatinya, dia bangkit dan mereka berdua duduk di tepi ranjang.
“Lee-ko... aku menyesal sekali tentang... Lu Ceng...” Kian Bu berkata dengan suara halus penuh iba.
Kian Lee menggeleng kepala. “Jangan kau pedulikan aku, Bu-te. Bagaimana dengan engkau? Sudahkah
kau...”
“Sudah, dan dia... dia ternyata tidak cinta kepadaku, Lee-ko...”
“Ahhh...?” Kian Lee hampir tidak percaya dan dia menatap wajah adiknya penuh selidik.
“Dia sudah mencinta orang lain...”
“Hemmm...?”
“Dia mencinta Gak-suheng.”
“Hehhh...?!” Kian Lee mengeluarkan seruan heran dan kaget sambil meloncat turun. “Gak-suheng?”
Melihat wajah kakaknya seperti orang yang penasaran dan marah, Kian Bu cepat menjelaskan. “Dia telah
berterus terang bahwa dia mencinta Gak-suheng, akan tetapi Gak-suheng tidak mencintanya sehingga dia
merubah cintanya sebagai cinta anak terhadap ayah, atau murid terhadap guru...”
“Aahhhh... sungguh aneh, dan Gak-suheng baru saja pergi tanpa pamit.”
“Pergi ke mana? Mengapa tanpa pamit?”
“Entah, Enci Milana yang memberi tahu dan kulihat mata Enci Milana merah bekas tangis, mukanya pucat
dan sinar matanya layu, mengandung kedukaan besar. Entah mengapa aku tidak tahu.”
“Hemm, mengapa tiba-tiba timbul peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan di antara kita bersaudara ini?”
Kian Bu menunduk dan tertekan batinnya.
“Engkau tidak mengajak dia pergi dari istana untuk menghindarkan pernikahan itu?” Kian Lee bertanya.
“Dia tidak mau karena katanya aku melakukan itu karena cinta. Dia tak dapat membalas cintaku dan dia
hanya minta agar aku menyampaikan permohonannya kepada Enci Milana supaya ditolong.”
Kian Lee merangkul adiknya. “Aih, adikku... mengapa kita semua gagal dalam bercinta? Mengapa kita
harus menghadapi kekecewaan ini?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lee-ko...”
Kakak beradik itu saling peluk dan memejamkan mata, karena pantang bagi kedua orang pemuda gagah
perkasa ini untuk mencucurkan air mata kedukaan.
“Bu-te, kuatkan hatimu. Dan kau sampaikan nanti kepada Enci Milana bahwa aku pun terpaksa harus pergi
lebih dulu, sekarang juga.”
Kian Bu memandang muka kakaknya yang muran dan tidak ada sinarnya itu. “Lee-ko... kau... kau
tenggelam dalam kedukaan!”
“Tidak lagi, Bu-te, aku harus... dan kau juga, harus dapat mengatasi ini semua, jangan biarkan diri kita
tenggelam oleh kegagalan cinta. Aku akan pergi mencari Hek-tiauw Lo-mo, harus kubalas jahanam itu
yang telah memukul... Ceng Ceng dengan pukulan beracun sehingga mengancam keselamatan
nyawanya.”
“Lee-ko, aku ikut...”
“Jangan Bu-te. Sebaiknya kita berpisah dulu. Kita masing-masing perlu waktu untuk mengembalikan
ketenangan batin... dalam keadaan begini aku lebih suka menyendiri dulu, Bu-te. Sebetulnya sudah tadi
aku hendak pergi, akan tetapi aku menanti kau kembali. Lihat, pakaianku pun sudah kusiapkan.” Kian Lee
lalu mengambil buntalan pakaiannya dan setelah menepuk-nepuk pundak adiknya dengan mata merah
karena menahan turunnya air mata, dia lalu pergi meninggalkan istana itu dengan cepat.
Kian Bu duduk termenung, merasa kasihan sekali kepada kakaknya dan aneh, begitu dia merasa kasihan
kepada kakaknya, penderitaannya sendiri terlupa dan dadanya terasa ringan! Dia tidak tahu bahwa duka
timbulnya dari pikiran, dari ingatan yang membayang-bayangkan segala kekecewaan dan segala macam
hal yang terjadi dan yang tidak menyenangkan dirinya. Begitu ingatan ini tidak ada, begitu pikiran beralih ke
lain hal, maka dengan sendirinya duka pun lenyap dan baru akan muncul lagi kalau ingatan kembali
ditujukan kepada hal-hal yang mengecewakan atau tak menyenangkan tadi.
Jelaslah bahwa Si Pembuat Duka adalah pikiran kita sendiri. Segala peristiwa yang terjadi adalah suatu
fakta yang wajar, tidak membawa duka mau pun suka, dan suka atau duka adalah hasil permainan pikiran
kita sendiri. Maka, bebas dari pikiran berarti bebas pula dari duka! Bebas dari ingatan berarti bebas dari
masa lalu, tidak mengingat-ingat lagi hal-hal yang telah lalu atau telah terjadi, baik hal itu menguntungkan
atau merugikan diri pribadi.
Kian Bu teringat akan suheng-nya yang katanya pergi tanpa pamit, dan akan enci-nya yang menurut
kakaknya tadi seperti orang yang berduka, maka dia lalu bangkit dan keluar dari kamarnya, menuju ke
kamar enci-nya. Pintu kamar itu tertutup dan dia mengetuknya.
“Siapa di luar?” terdengar suara Milana setelah agak lama Kian Bu mengetuk pintu kamar itu.
“Aku, Enci Milana.”
“Oh, Bu-te. Kau masuklah!”
Kian Bu mendorong daun pintu dan memasuki kamar itu. Dia melihat enci-nya sedang rebah di atas
pembaringan dan di bawah sinar penerangan, dia melihat wajah enci-nya pucat seperti orang sakit.
“Enci Milana, kau kenapakah? Sakitkah?” Kian Bu menghampiri dan duduk di atas bangku dekat ranjang.
Milana bangkit duduk dan menggeleng kepala lemah. “Tidak, Bu-te. Engkau sudah kembali? Bagaimana
dengan Syanti Dewi?”
Kian Bu menunduk. Tak disangkanya bahwa enci-nya juga agaknya sudah tahu bahwa dia tadi pergi
mengunjungi Syanti Dewi, dan memang Milana mendengar akan hal ini dari Kian Lee.
“Dia... dia menyampaikan pesan untuk mohon pertolongan darimu, Enci, agar dia dapat keluar dari istana
karena dia tidak suka akan keputusan pernikahannya itu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Milana memandang tajam dan tentu saja dia melihat wajah muram adiknya itu. Sampai lama mereka
berdua diam saja, Milana memandang penuh selidik sedangkan Kian Bu lebih banyak menunduk.
“Bu-te, engkau... cinta kepada Syanti Dewi?”
Kian Bu makin menunduk, dia merasa malu dan juga sedih. Akhirnya dia mengangguk dan berkata, “Akan
tetapi dia... dia tidak cinta padaku... dia mencinta orang lain...”
Milana diam-diam menarik napas panjang, maklumlah dia siapa yang dicinta oleh Puteri Bhutan itu.
“Tenangkan hatimu, adikku. Kiraku sebaiknya begitulah, lebih baik mencinta namun tidak terbalas dan
dengan demikian menginsyafkan kita, bahwa cinta kita salah alamat, dari pada saling mencinta akan tetapi
tidak dapat berjodoh. Saling mencinta akan tetapi harus saling berpisah. Engkau adalah seorang laki-laki
yang memiliki kegagahan. Ditolak cintamu oleh seorang gadis tidak perlu menurunkan semangat dan
merendahkan diri, bahkan kau harus berterima kasih dan bersyukur bahwa Syanti Dewi bersikap jujur
kepadamu.”
Kian Bu mengangguk-angguk. Sedikit nasehat itu dirasakannya tepat sekali dan sudah merupakan obat
yang manjur baginya.
“Enci Milana, aku mendengar dari Lee-ko bahwa Gak-suheng sudah pergi. Ke manakah dia dan mengapa
tidak memberitahukan Lee-ko dan aku?”
“Entahlah... dia sudah pergi. Kau tahu orang aneh seperti dia...!”
Milana tidak mau banyak bicara tentang Bun Beng, juga memang dia tidak sanggup bicara banyak tentang
pria itu karena hal ini hanya akan menusuk perasaannya saja.
“Enci, Lee-ko juga sudah pergi, dia minta agar aku memberitahukan kepadamu.”
“Ehhh?!” Milana terkejut. “Mengapa anak itu? Ke mana dia pergi?”
“Enci, agaknya kau tidak tahu. Sebetulnya... Lee-ko juga mengalami patah hati.”
“Heiii? Patah hati bagaimana?”
“Dia sesungguhnya amat mencintai Ceng Ceng, kemudian terdapat kenyataan bahwa gadis itu adalah
keponakannya sendiri.”
“Aihhh...!” Milana terbelalak, diam-diam perasaannya makin tertusuk. Mengapa begini kebetulan? Mereka
bertiga, anak-anak dari Pendekar Super Sakti, dalam waktu yang bersamaan semua menderita patah hati
karena cinta gagal?
“Dia bilang hendak mencari Hek-tiauw Lo-mo yang telah melukai Ceng Ceng, hendak membalas dendam
kepada kakek Pulau Neraka itu. Karena semua sudah pergi, aku pun akan pergi sekarang juga, Enci.”
“Eh, anak nakal! Engkau pula? Hendak ke mana kau?”
“Aku hendak menghibur hati dan pergi malam ini juga... mungkin aku terus kembali ke Pulau Es... atau ke
mana saja, pokoknya jauh dari sini...”
Milana menarik napas panjang. Dia mengerti apa yang dimaksudkan oleh adiknya ini yang setelah
kekecewaannya dalam kegagalan cintanya kini ingin secepat mungkin pergi sejauh mungkin meninggalkan
wanita yang menjadi sebab kepatahan hatinya itu.
“Kenapa tidak besok saja, Adikku...?”
“Tidak, Enci Milana. Sekarang juga aku pergi, dan harap sampaikan maafku kepada Ci-hu (kakak ipar)...
selamat tinggal, Enci.” Dia kemudian berlari ke luar untuk mengambil pakaiannya dan malam itu juga dia
pergi meninggalkan istana enci-nya.
Milana mengerutkan alis, termenung dan membayangkan semua peristiwa yang telah menimpa dirinya,
mengikuti bayangan Gak Bun Beng yang pergi dalam keadaan patah hati dan semangatnya, dan bayangan
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Lee dan Kian Bu yang juga mengalami kegagalan dalam cintanya. Tak terasa lagi, puteri yang cantik
jelita dan gagah perkasa ini meruntuhkan air mata, terisak-isak menangis di atas pembaringannya.
Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, tiga orang laki-laki gagah perkasa itu semua patah hati
dan menderita sengsara karena wanita. Betapa banyaknya peristiwa seperti itu terjadi di dunia ini,
semenjak jaman dahulu kala sampai sekarang.
Sejak jaman dahulu, banyak sudah tercatat dalam sejarah betapa laki-laki yang gagah perkasa, satriasatria
dan pahlawan-pahlawan, pendekar-pendekar sakti yang sukar menemukan tandingan, akhirnya
roboh oleh wanita! Banyak pula dalam sejarah tercatat betapa kaisar-kaisar, raja-raja besar, panglimapanglima
dan pemimpin-pemimpin gemblengan, seorang demi seorang roboh tak berdaya di bawah
telapak kaki halus seorang wanita. Bahkan di dalam dongeng-dongeng kuno dari bahasa apa pun, tentu
terdapat peristiwa di mana para dewata yang memiliki kesaktian dan kekuatan, dapat pula roboh karena
wanita. Siapa pula yang tidak mengenal cerita tentang manusia pertama, Adam yang juga runtuh karena
bujuk rayu Hawa, seorang wanita pula?
Tetapi, benarkah demikian? Benarkah itu bahwa mereka, para pria yang jatuh itu, raja-raja yang kehilangan
tahtanya, pahlawan-pahlawan yang kehilangan kepahlawanannya, pendekar-pendekar yang kehilangan
kegagahannya, semua jatuh karena kesalahan wanita? Wanitakah yang bersalah sehingga kaum pria
runtuh oleh kelembutan mereka?
Tidak! Kiranya tidaklah tepat kalau kita berpendapat demikian. Wanita pun banyak yang menjadi korban
karena hubungannya dengan pria. Hampir semua wanita yang terperosok ke dalam lembah kehinaan, yang
umumnya dinamakan pelacur, tentu akan dapat menceritakan riwayat masing-masing yang hampir semua
adalah akibat dari perbuatan pria, atau menjadi korban hubungan mereka dengan pria. Juga dalam hal
mereka ini, tidak dapat dipersalahkan kepada kaum pria.
Bukan wanita atau pria yang bersalah dengan terjadinya semua kegagalan hidup itu. Yang bersalah adalah
yang disebut cinta antara pria dan wanita, yang sesungguhnya bukankah cinta sejati, melainkan cinta yang
diciptakan oleh nafsu belaka. Cinta nafsu tentu saja menimbulkan bermacam peristiwa, yang menimbulkan
kenikmatan dan kesenangan hebat, namun di lain saat bisa mendatangkan derita dan kedukaan yang
hebat pula. Karena cinta nafsu adalah penonjolan dari diri pribadi dalam bentuk yang paling nyata, dan
selama diri pribadi ditonjolkan, sudah pasti yang ada hanyalah suka dan duka, nikmat dan derita!
Tiada yang senikmat cinta sorgaloka turun ke dunia
membuai dan membius manusia!
Tiada yang selucu cinta
manusia menjadi badut-badut dibuatnya
segala kepalsuan dilakukannya!
Tiada yang secelaka cinta
mendatangkan derita tiada taranya
dunia berubah menjadi neraka!
Akan tetapi...,
tiada yang seindah cinta sejati
dalam tawa remaja puteri
Dalam sinar matahari pagi
yang terkandung dalam tangis bayi
dalam lautan danau dan sungai
dalam semua isi langit dan bumi
dalam segala yang hidup dan mati
Cinta mulia dan suci
tetap ADA dan kekal abadi
apa bila AKU TIADA lagi.
********************
“Apa kau bilang...?” Puteri Milana meloncat dengan kaget sekali mendengar laporan dari seorang
pengawalnya dengan muka pucat bahwa suaminya, Han Wi Kong, sedang membuat huru-hara di istana
Pangeran Liong Bin Ong dan kini sedang dikeroyok oleh para pengawal pangeran itu.
“Hamba... hamba dengar... Pangeran Liong Bin Ong telah dibunuhnya...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Milana menahan jeritnya. Sekali berkelebat tubuhnya telah lenyap dari depan pengawal yang melaporkan
peristiwa hebat itu. Bagaikan bayangan siluman saja saking cepatnya, Milana berlari ke istana Pangeran
Liong Bin Ong dan ketika dia melayang naik ke atas genteng istana itu, dia sudah mendengar suara ributribut
di bagian belakang istana. Cepat dia melayang turun.
Dua orang pengawal berteriak dan menghadang, tetapi dua kali tangannya bergerak, dua orang pengawal
itu terpelanting ke kanan kiri seperti disambar petir. Milana terus lari ke dalam dan ketika dia tiba di tempat
yang luas di ruangan belakang menuju ke pintu taman, dia terkejut bukan main. Pangeran Liong Bin Ong
telah menggeletak di atas lantai dengan dada tertusuk pedang yang dia kenal sebagai pedang suaminya!
Pangeran tua itu mati dan melihat meja yang penuh hidangan, agaknya tadi pangeran itu sedang menjamu
tamu yang agaknya suaminya itulah! Dan tak jauh dari situ dia melihat suaminya dikepung dan dikeroyok
oleh belasan orang pengawal, dan di antaranya terdapat seorang kakek yang tidak berbaju. Kakek ini
memegang sebatang gendewa besar dan kelihatan lihai sekali sungguh pun melihat pakaian dan sikapnya
dia itu sepantasnyalah seorang pekerja di dapur atau tukang kebun di taman!
Han Wi Kong sudah luka-luka dan dengan gagah berani panglima ini membela diri dengan tangan kosong.
Ketika dia melihat isterinya muncul di situ, dia terkejut sekali.
“Milana..., pergilah kau...!”
“Desss...!” Sebatang toya menghantam pundak panglima itu ketika dia menoleh kepada isterinya. Han Wi
Kong terhuyung, kemudian dia meloncat ke arah Milana.
“Cepat... pergi dari sini... tiada jalan lain, aku membunuh pemberontak itu...”
“Wirrr-wirrr-wirrr...!”
“Awas panah...!” Milana menjerit kaget.
“Cep-cep-ceppp...! Aughhhh...!”
Tiga batang anak panah yang dilepas oleh kakek telanjang baju dari jarak dekat dengan gendewanya yang
besar itu sudah menancap di lengan serta punggung Han Wi Kong. Panglima itu mengeluh, terbelalak
karena dua batang anak panah yang menancap di punggung menancap dalam sekali, sedangkan
lengannya tertembus sebatang anak panah.
“Milana... maafkan aku... lekas pergi... surat di atas mejaku... kau berikan dia...” Setelah berkata demikian,
Han Wi Kong roboh terguling dan tewas di saat itu juga karena dua batang anak panah yang menancap di
punggungnya itu menembus jantung.
“Aiiihhhh...!” Milana terbelalak memandang mayat suaminya sambil menutup mulutnya dengan punggung
tangan kanan. Kemudian dia mengangkat muka, memandang kakek telanjang itu dan para pengawal yang
sudah maju menghampiri dan mengurungnya, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi-api, cuping
hidungnya kembang-kempis dan bibirnya gemetar.
Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi yang nyaring dan menggetarkan semua pengawal, suara
lengking mengerikan yang keluar dari mulut kecil Puteri Milana, dan tampak bayangan merah dari jubahnya
yang lebar berkelebat ke depan. Para pengawal terkejut dan mengangkat senjata, namun terdengar suara
keras dan empat orang di antara mereka terpental, terbentur pada dinding dan tewas seketika dengan
kepala pecah!
Para pengawal itu adalah orang-orang pilihan yang sengaja dipelihara oleh Liong Bin Ong untuk mengawal
dirinya. Mereka adalah orang-orang kepercayaan pemberontak itu, maka biar pun mereka tahu akan
kelihaian Puteri Milana, mereka menganggap puteri ini sebagai musuh majikannya. Bahkan laki-laki
memegang gendewa itu adalah seorang tokoh hitam yang bekerja di situ menyamar sebagai tukang
masak, padahal dia pun merupakan seorang pengawal dalam yang dipercaya dan memiliki ilmu
kepandaian tinggi.
Tadi sore Han Wi Kong datang secara baik-baik, resminya adalah untuk mengucapkan berduka cita atas
kematian Pangeran Liong Khi Ong. Akan tetapi Liong Bin Ong yang cerdik itu menyambut ucapan duka cita
itu dengan tertawa.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dia mati karena ulahnya sendiri. Siapa suruh dia memberontak terhadap pemerintah yang sah?” kata
Liong Bin Ong. “Sudah sering aku memberi nasehat, akan tetapi tidak diturutnya. Sekarang dia tewas,
itulah hukumannya, dan kita tidak perlu berduka cita!”
Untuk memperlihatkan bahwa dia ‘tidak ada hubungan’ dengan adiknya yang sudah memberontak itu,
Liong Bin Ong memperlihatkan kegembiraan, bahkan dia kemudian menjamu makan kepada suami Puteri
Milana yang diam-diam merupakan musuh besar dan lawan tangguhnya itu. Milana masih terhitung
keponakan pangeran ini, maka Han Wi Kong juga masih merupakan keluarga dekat, yaitu mantu
keponakan.
Mereka makan minum di ruangan belakang dan dijaga oleh dua belas orang pengawal kepercayaan
Pangeran Liong Bi Ong. Akan tetapi, tanpa tersangka-sangka sama sekali, ketika tuan rumah dan tamu itu
sudah minum sampai setengah mabok, tiba-tiba saja Han Wi Kong mencabut pedang dan menusuk
pangeran tua itu dari depan, tepat mengenai dadanya sehingga Pangeran Liong Bin Ong roboh dan tewas
seketika. Tentu saja peristiwa yang tidak tersangka-sangka ini tidak dapat dicegah oleh para pengawal
yang lalu menjadi marah dan mengepung serta menyerang Han Wi Kong. Keributan ini terdengar dari luar
sehingga sampai juga ke istana Puteri Milana sehingga seorang pengawal cepat melaporkan kepada puteri
itu.
Kini Milana mengamuk. Kedukaan dan kemarahan bercampur menjadi satu membuat puteri ini menjadi
luar biasa berbahayanya. Gelang di tangan kirinya yang terbuat dari emas itu telah berlepotan darah dan
dalam waktu singkat saja, delapan orang pengawal telah roboh oleh wanita sakti ini. Kini tinggal empat
orang pengawal bersama kakek telanjang baju yang masih melawannya, tetapi biar pun kakek itu memiliki
kepandaian tinggi dan gerakan gendewa sebagai senjatanya itu amat kuat, namun sudah dua kali dia
terhuyung kena diserempet hawa pukulan dari tangan lembut Puteri Milana.
“Serr-serr-serrr...!” Tiga batang anak panah meluncur, dilepas oleh kakek itu dari jarak dekat.
“Bedebah...!” Milana memaki karena panah-panah ini mengingatkan dia akan kematian suaminya. Cepat
tangannya menyambar dan tiga batang anak panah itu telah dapat disambarnya di udara, kemudian dia
memekik dan tiga batang anak panah itu balik dilontarkan dengan kecepatan kilat ke arah kakek itu.
Kakek itu terkejut sekali melihat betapa wanita itu dapat menangkap tiga batang anak panahnya dan
kekagetannya inilah yang mencelakakan dia karena ketika dia melihat berkelebatnya tiga sinar kilat
menyambarnya, dia kurang cepat mengelak sehingga sebatang di antara tiga anak panah itu menyambar
tenggorokannya.
“Arrgghhhh...!” Kakek itu mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih, kemudian dia menubruk
dengan nekat, menggunakan gendewanya untuk melakukan serangan terakhir.
Namun, Milana sudah meloncat ke samping, kakinya menendang dan tubuh kakek itu roboh terjengkang,
tewas seketika. Empat orang pengawal menjadi jeri, dan hendak lari, namun tahu-tahu ada bayangan
berkelebat melewati mereka dan ketika mereka memandang, Puteri Milana sudah berdiri di depan mereka!
“Tidak ada yang kubiarkan hidup!” Milana membentak.
Begitu dia bergerak, kaki tangannya telah menyerang dan berturut-turut robohlah empat orang pengawal
itu. Baru puas rasa hati Milana dan dia cepat meloncat ke dekat mayat suaminya, mencabuti tiga batang
anak panah itu kemudian memanggul mayat itu dan meloncat pergi, terus melarikan diri ke dalam
istananya sendiri.
Dia merebahkan mayat suaminya di atas pembaringan, teringat akan pesan suaminya dia menoleh ke atas
meja. Benar saja, di situ terdapat dua buah sampul surat kuning yang ketika dibacanya, yang sebuah
dialamatkan kepadanya dan yang sebuah lagi dialamatkan kepada Gak Bun Beng! Dengan jari-jari tangan
gemetar Milana membuka sampul surat untuknya, membaca dengan muka pucat dan perlahan-lahan air
matanya yang tadi tertahan oleh kemarahan mulai menetes-netes ke atas surat yang dibacanya,
melunturkan tintanya.
Milana isteriku tercinta, Hanya ada satu jalan bagi kita semua, juga bagi keselamatan negara, yaitu aku
harus membunuh Liong Bin Ong. Percayalah, aku bukan melakukan bunuh diri dengan membuta,
melainkan sudah kupertimbangkan masak-masak, demi keselamatan negara dan terutama sekali demi
dunia-kangouw.blogspot.com
kebahagiaan hidupmu. Kau bawalah suratku dan berikan kepada Gak Bun Beng, dia patut menerima cinta
kasihmu.
Selamat tinggal.
Suamimu, juga sahabatmu,
Han Wi Kong
“Ahhhhhh...!” Milana menubruk ke pembaringan dan berlutut sambil menangis di depan mayat suaminya.
Dia maklum, dia pun mengerti mengapa suaminya melakukan perbuatan ini. Suaminya sudah tahu bahwa
dalam membunuh Pangeran Liong Bin Ong, dia pasti akan tewas. Dan memang harus diakui bahwa satusatunya
jalan untuk menghindarkan negara dari bahaya ancaman pangeran yang palsu hatinya itu, hanya
dengan cara membunuhnya, karena Kaisar terlampau sayang dan terlampau percaya kepada saudaranya
itu.
Dan Han Wi Kong telah sengaja melakukan itu untuk memberi kesempatan kepada dia dan Gak Bun Beng!
“Han Wi Kong, harap kau sudi mengampunkan aku. Di dunia ini aku tidak bisa menjadi isterimu, biarlah di
dalam kehidupan lain kelak aku akan suka menjadi apa saja untuk melayanimu.”
Tiba-tiba para pengawal berlari masuk dan dengan terengah-engah melaporkan bahwa Perdana Menteri
Su sendiri dengan para petugas keamanan istana telah datang, dan pasukan itu mendapat perintah, untuk
menangkap Puteri Milana!
“Jangan melawan!” kata Milana.
Cepat dia menyimpan dua buah surat itu ke saku bajunya, kemudian dia menggunakan pit untuk membuat
corat-coret di atas tembok kamar suaminya karena dia sudah tidak mempunyai waktu untuk menulis surat
dengan baik-baik. Kemudian, secepatnya dia mengumpulkan beberapa perhiasan dan pakaian,
membuntalnya dengan kain kuning, menyambar pedangnya dan mengikatkan pedang dan buntalan di
pundak, kemudian dia meloncat melalui jendela kemar itu ketika mendengar derap kaki banyak orang
mendatangi ke arah kamar itu.
Ketika Perdana Menteri Su dan para pasukan memasuki kamar, pembesar ini hanya melihat mayat Han Wi
Kong dan coretan-coretan di atas tembok yang berbunyi:
Milana akan berterima kasih sekali kepada Perdana Menteri Su jika sudi mengurus jenazah Han Wi Kong
dengan sepatutnya.
Tertanda :
Puteri Milana.
Perdana Menteri Su menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Biar pun dia tadi terkejut
sekali mendengar akan peristiwa pembunuhan Pangeran Liong Bin Ong, namun dia mengerti mengapa
Han Wi Kong melakukan perbuatan nekat itu dan diam-diam dia bersyukur karena dibunuhnya Pangeran
Liong Bin Ong itu terbebaslah negara dari ancaman bahaya besar.
Maka dia lalu menghampiri jenazah Han Wi Kong dan tanpa ragu-ragu lagi pembesar tinggi yang sudah tua
ini menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan sebagai penghormatan dan mulutnya berkemak-kemik
menghaturkan terima kasih kepada Han Wi Kong yang disebutnya sebagai seorang pahlawan bangsa!
Mudah saja dia akan membujuk Kaisar dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi hanyalah pertikaian
pribadi antara keluarga Milana dan Liong Bin Ong, sehingga dengan demikian Han Wi Kong tidak akan
dianggap sebagai seorang musuh negara.
“Hei, mengapa kalian bengong saja?” Setelah dia berdiri lagi dia membentak pasukan yang dipimpin oleh
seorang panglima itu. “Hayo lekas cari dan tangkap Puteri Milana!”
Pasukan itu kemudian lari cerai-berai. Hanya lagaknya saja Perdana Menteri Su berkata demikian, akan
tetapi diam-diam dia maklum bahwa tidak ada seorang pun di antara pasukan itu yang akan berani
menyentuh ujung jubah Puteri Milana yang mereka kagumi dan hormati.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maka lenyaplah Puteri Milana dan berbareng dengan menghilangnya puteri ini dari kota raja, hilang pula
Puteri Syanti Dewi dari kamarnya tanpa ada yang tahu ke mana Puteri Bhutan itu pergi. Hanya Perdana
Menteri Su yang mengangguk-angguk dan menduga bahwa pasti Puteri Milana yang melakukan hal itu,
sengaja mengajak Puteri Syanti Dewi lari dari istana karena tidak setuju Puteri Bhutan itu dikawinkan
dengan Pangeran Yung Hwa.
Perdana Menteri Su merasa heran sekali dan tidak mengerti kenapa Milana melakukan hal itu. Maka
didatanginyalah Pangeran Yung Hwa dan alangkah herannya pembesar yang bijaksana dan setia ini
melihat Pangeran Yung Hwa justru kegirangan luar biasa mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah
melarikan diri!
“Paman Menteri, saya girang sekali, ahhh, saya bersyukur sekali bahwa dia telah pergi, karena kalau tidak,
tentu aku yang akan pergi lagi.”
“Ehh, kenapa begitu, Pangeran?”
“Aku tidak suka diharuskan menikah dengan puteri Bhutan.”
Perdana Menteri Su memandang heran dan mengerutkan alisnya. “Ingatlah, Pangeran Muda, dahulu
engkau marah-marah dan melarikan diri dari istana karena permintaanmu untuk menikah dengan puteri
Bhutan ditolak Sri Baginda. Sekarang keinginanmu itu dituruti, engkau malah menolak. Apa artinya ini?”
Pangeran Yung Hwa tersenyum. “Artinya, Paman, bahwa dulu itu cintaku adalah cinta yang mentah, cinta
monyet, cinta kanak-kanak karena yang kucinta adalah bayangan seorang gadis yang muncul karena
cerita-cerita indah tentang dirinya. Dahulu aku mencinta seorang dara yang belum pernah kulihat, cinta
bayangan saja. Sekarang, saya telah tahu apa artinya cinta, saya telah mencinta seorang dara dari darah
daging, bukan bayangan kosong belaka. Biar dia gadis biasa, aku cinta padanya dan setelah Syanti Dewi
pergi, saya pun akan pergi untuk mencari dara yang saya cinta itu. Saya girang dapat terbebaskan dari
Puteri Bhutan!” Pangeran Yung Hwa bergembira dan bersenandung!
Perdana Menteri Su meninggalkan pangeran itu sambil menggeleng-geleng kepalanya yang penuh uban.
Heran dia melihat ulah orang-orang muda dan makin kagum hati kakek itu menyaksikan kekuatan cinta
yang menguasai hampir seluruh kehidupan manusia. Tanpa cinta, matahari akan kehilangan sinarnya,
bunga-bunga akan kehilangan keharumannya dan madu akan kehilangan manisnya!
Dengan hati-hati dan cerdik, perdana menteri ini akhirnya dapat pula meredakan kemarahan Kaisar dan
mengajukan alasan-alasan masuk akal bahwa peristiwa itu terjadi karena pertikaian pribadi antara keluarga
Puteri Milana dan Pangeran Liong Bin Ong, sama sekali tidak menyangkut urusan negara, maka
hendaknya Kaisar tidak mencampurinya. Ada pun tentang kehilangan Puteri Syanti Dewi, Perdana Menteri
berjanji akan menyebar orang untuk mencarinya dan mengusulkan bahwa seyogianya urusan perjodohan
itu ditunda saja.
“Dahulu Paduka melamar Puteri Bhutan untuk mendiang Pangeran Liong Khi Ong, dan kalau sekarang
suami untuk Puteri itu ditukar tanpa mengadakan perundingan lebih dulu dengan Kerajaan Bhutan, hamba
kira hal itu malah akan menanamkan sakit hati seolah-olah Paduka kurang menghargai Kerajaan Bhutan.
Sebaiknya dinanti sampai ada kabar tentang puteri itu, baru mengajukan usul perubahan ikatan jodoh itu
dengan Kerajaan Bhutan.”
Semua alasan yang kuat diajukan oleh Perdana Menteri Su dan akhirnya Kaisar dapat dibujuk sehingga
tidak meributkan lagi peristiwa-peristiwa yang terjadi itu. Malah Kaisar juga tidak keberatan ketika
mendengar betapa Perdana Menteri Su mengurus jenazah Han Wi Kong dan menguburkan jenazah itu di
dalam kuburan keluarga Kaisar tingkat dua, karena betapa pun juga, Han Wi Kong adalah mantu cucu dari
kaisar sendiri. Maka terlaksanalah apa yang menjadi permohonan Milana kepada Perdana Menteri Su.
Duka timbul dari kecewa. Kecewa timbul dari tidak tercapainya nafsu keinginan. Nafsu keinginan adalah
hasrat pengejaran terhadap sesuatu yang menyenangkan dari si aku. Si aku timbul dari pikiran. Si aku
adalah pikiran sendiri. Pikiran adalah ingatan yang mengenang masa lalu, ingin mengejar lagi kenangan
baru yang menyenangkan dan menjauhi yang tidak menyenangkan.
Kebahagiaan hidup, baru mungkin ada apa bila bebas dari nafsu keinginan, tidak lagi mencari-cari, tidak
lagi mengejar sesuatu seperti yang kita inginkan. Bebas dari pikiran yang membanding-bandingkan,
berambisi, berkhayal. Bebas dari si aku. Kebebasan ini menimbulkan kewaspadaan dan kesadaran bahwa
dunia-kangouw.blogspot.com
segala sesuatu ini adalah indah dan sempurna, tidak ada kecualinya. Yang ada hanyalah kenyataannya,
apa adanya dan ini adalah wajar dan mutlak.
Bukan suka bukan pula duka, bukan puas bukan pula kecewa, bukan nikmat dan bukan derita karena
banding-membandingkan dan semua kebalikan-kebalikan ini adalah permainan pikiran yang memilih-milih
sehingga timbullah konflik-konflik batin yang lalu meledak menjadi konflik-konflik lahir. Kebahagiaan
terletak di atas segalanya itu, di atas dan bebas dari pikiran. Kekurangan dan kekecewaan hanya diderita
oleh mereka yang tidak mengenal kecukupan. Maka hanya mereka yang tidak membutuhkan apa-apa lagi
sajalah yang dapat menyentuh kebahagiaan.....
********************
Hawa udara panas sekali. Terik mentari seolah-olah hendak membakar segala sesuatu di permukaan
bumi. Sinar matahari yang langsung menimpa bumi, terpantul kembali menciptakan hawa yang gerah.
Seorang pemuda duduk di bawah sebatang pohon besar dalam hutan itu, membuka kancing bajunya dan
meniupi leher dan dadanya. Pemuda ini berwajah tampan dan rambutnya mengkilap hitam, dikuncir
panjang berjuntai di belakang pundak kanan. Pakaiannya sederhana, jubahnya yang hitam kebiruan lebar
dan panjang, menutupi baju dan celana sehingga membuat dia makin kegerahan. Pemuda ini adalah Suma
Kian Bu yang telah melakukan perantauan seorang diri, pergi dari kota raja di mana hatinya untuk pertama
kali mengalami pecah berantakan akibat cinta gagal. Akan tetapi, karena dasar wataknya memang
gembira, setelah merantau sebulan lebih, luka di hatinya itu hanya tinggal bekasnya saja, tidak terasa nyeri
lagi.
“Uihhhh, panasnya...!” Dia mengeluh.
Hutan yang penuh pohon itu masih belum mampu melawan hawa panas yang datang dari gurun. Daerah
sekitar hutan itu adalah daerah pegunungan yang diselang-seling padang rumput dan padang pasir. Tadi
sebelum memasuki hutan, Kian Bu melewati padang pasir yang luar biasa panasnya. Matanya silau
melihat sinar matahari menimpa pasir-pasir yang berkilauan, dan terasa benar olehnya hawa yang panas
menyerangnya dari bawah. Maka ketika dia memasuki hutan itu, hawa terasa sejuk dan nyaman sehingga
dia menjatuhkan diri di bawah pohon besar itu sambil meniupi lehernya.
Tubuhnya lelah sekali dan betapa nikmatnya duduk di bawah pohon, terlindung dari sengatan terik
matahari. Angin sepoi-sepoi semilir meniupi muka dan lehernya, membuat matanya menjadi berat dan
mengantuk. Betapa enak rasanya dilanda kantuk! Sudah pasti bahwa tidak ada yang lebih nikmat di dunia
ini dari pada tidur bagi orang yang mengantuk, seperti juga makan bagi orang yang lapar dan minum bagi
orang yang haus.
“Dukk...!” Kepalanya membentur batang pohon.
“Heh-heh-heh, pemalas!” Kian Bu mengomel sambil tertawa ketika dia tersadar karena ketika melenggut
tadi, kepalanya terbanting ke belakang dan membentur batang pohon. Agaknya sudah tidak berbekas lagi
kepatahan hati pemuda yang berwatak gembira ini.
Dia bangkit berdiri, memandang ke sekeliling. Hutan itu liar dan lebat, sunyi bukan main. Dia ingin sekali
tidur barang sejenak, akan tetapi jangan-jangan ada binatang buas dan berbisa di hutan asing ini datang
mengganggunya di waktu dia tertidur nyenyak. Maka dia lalu berdongak ke atas dan di lain saat pemuda
yang memiliki kepandaian tinggi itu sudah melesat ke atas pohon, memilih tempat yang enak di atas
cabang pohon yang besar, duduk mepet di pangkal cabang, melingkar seperti seekor monyet dan tak lama
kemudian pemuda ini sudah tertidur pulas!
Tidur merupakan berkat bagi tubuh manusia. Tidur dengan pikiran kosong tanpa mimpi, biar hanya sekejap
saja, sudah sanggup memulihkan kesegaran tubuh, dan tidur pulas sejam saja sudah terasa amat lama.
Sebaliknya, yang membuat tidur merupakan suatu kemalasan yang bahkan melelahkan adalah jika pikiran
bekerja terus di waktu tidur sehingga timbul mimpi-mimpi buruk.
“Clekittt...!”
“Auwwww...!” Kian Bu terbangun dan cepat menggaruk-garuk pinggulnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sialan... semut merah!” gerutunya ketika dia merogoh ke balik celananya dan jari-jari tangannya menjepit
seekor semut merah. Pinggulnya sudah bintul dan terasa sangat gatal. Kiranya semut itu menyelinap
masuk melalui pakaiannya dan entah mengapa, menggigit pinggulnya.
“Huh, tentu semut betina!” gerutunya lagi. “Kalau jantan mana mau mencubit pinggul? Sialan!” Dia
menggaruk-garuk pinggulnya, makin digaruk makin gatal.
Tiba-tiba dia berhenti menggaruk pinggul. Ada suara derap kaki kuda! Kiranya hutan liar ini bukannya tidak
ada manusianya seperti yang dia kira semula. Makin lama makin jelas suara derap kaki kuda menuju ke
tempat itu dan tak lama kemudian dia melihat dua orang penunggang kuda yang berpakaian sebagai ahliahli
silat dan bertubuh tegap-tegap dan kuat-kuat seperti tubuh orang-orang yang biasa hidup
mengandalkan kekuatan tubuhnya. Di punggung mereka terselip golok telanjang yang mengkilap tajam.
Ketika tiba di bawah pohon itu, mereka menahan kuda mereka. Dua ekor kuda itu meringkik dan
mengangkat kaki depan, hidung mereka mendengus-dengus dan mulut mereka mengeluarkan busa.
“Sudah jelaskah bahwa dia itu mata-mata?” tanya yang bercambang tebal.
“Tidak salah lagi, dia mengejar kita dan kepandaiannya hebat. Kita harus cepat pulang dan melaporkan ini
kepada pimpinan. Siapa tahu kita diikuti oleh pasukan musuh.”
“Baiknya kita berpencar di sini, dan kalau dapat terbebas dari dia, kita berkumpul di dusun Ma-cin,” kata
pula yang bercambang tebal.
“Baik!”
Dua orang itu lalu berpisahan, yang seorang membalapkan kuda membelok ke kiri, dan yang seorang lagi
ke kanan. Keadaan menjadi sunyi kembali setelah derap kaki kedua ekor kuda itu menghilang dan tak
terdengar lagi. Sunyi yang menegangkan.
Kian Bu duduk di atas cabang pohon, bersembunyi di balik daun-daun lebar sambil termenung. Jelas
bahwa dua orang itu adalah anggota suatu kelompok atau pasukan atau gerombolan. Perkumpulan apakah
yang agaknya menguasai daerah ini? Siapa kedua orang itu dan siapa ketua mereka? Dan siapa pula
orang-orang yang mereka bicarakan tadi, yang disangka mata-mata musuh? Dia menanti sampai lama
karena mengira bahwa orang yang dibicarakan mereka berdua tadi, yang katanya mengejar mereka, tentu
akan muncul pula. Akan tetapi, sampai satu jam lebih dia menanti, tidak juga tampak ada yang datang
mengejar.
“Huh, pengejar yang lambat dan bodoh seperti itu mana akan mampu menyusul buruan?” Dia sudah
mengomel karena merasa kesal juga menanti sebegitu lamanya di atas pohon, dan merasa mendongkol
karena dia telah terganggu dari kenikmatan tidur siang terayun-ayun di cabang itu. Kini dia harus berjaga
dengan penuh ketegangan, namun yang dinanti-nanti tidak kunjung muncul. Siapa tidak menjadi gemas?
“Uuuhhh, pengejar tolol...!” Habis kesabarannya dan selagi dia hendak meloncat turun, tiba-tiba terdengar
suara orang bernyanyi! Sayup-sampai suaranya, akan tetapi makin lama makin jelas.
Suara seorang wanita bernyanyi. Merdu bukan main! Suara itu bening, halus dan pulen, terbawa angin
semilir memasuki telinganya mendatangkan perasaan nyaman dan sedap! Kian Bu terbelalak heran. Suara
wanita begitu merdu di hutan liar dan sunyi ini? Jangan-jangan suara siluman itu! Yang dinantikannya
adalah seorang pengejar yang bengis, bukan orang yang suaranya mengalahkan biduanita yang pernah
didengarnya bernyanyi di kota raja! Dan isi nyanyian itu! Dia mendengarkan penuh perhatian.
Pada usia delapan tahun
aku mencuri pandang di dalam cermin,
dan aku sudah dapat menghitami alis mataku!
Pada usia sepuluh
aku pergi ke pesta sincia
dengan baju baru berkembang bunga teratai!
Pada usia dua belas
aku belajar meniup suling,
hiasan kuku tak pernah lepas dari jari tanganku!
Pada usia empat belas
aku tak berani bertemu pria,
dunia-kangouw.blogspot.com
menduga-duga akan segera dijodohkan.
Pada usia lima belas
aku menangis di dalam musim bunga,
dan menyembunyikan mukaku di balik pintu taman...
Kian Bu tertegun. Tentu saja dia mengenal baik sajak nyanyian itu. Kian Bu telah diberi pelajaran sastra
oleh ibunya dan banyak sajak-sajak ciptaan sastrawan-sastrawan kuno hafal olehnya. Dia ingat bahwa
nyanyian itu diambil dari sajak ciptaan pujangga Li Shang Yin yang hidup di abad ke sembilan (812-858). Li
Shang Yin terkenal dengan tulisan sajaknya, terutama sajak Tujuh Sajak Cinta dan yang dinyanyikan suara
merdu itu adalah sajak ketiga!
Kian Bu menjadi penasaran karena sampai lama orangnya belum juga muncul. Kalau penyanyi itu berjalan
kaki, tentu jalannya lambat sekali, apa lagi kalau naik kuda. Agaknya kudanya itu berjalan sambil makan
rumput di sepanjang jalan! Akan tetapi, wanita dengan suara seperti itu tidak pantas kalau berjalan kaki
atau naik kuda di hutan liar ini, pantasnya naik kereta. Akan tetapi dia tidak mendengar suara roda kereta!
Kian Bu merayap turun dari atas pohon. Kalau yang muncul seorang wanita bersuara semerdu ini, dia tidak
perlu lagi bersembunyi. Sebaliknya malah, dia ingin menemui wanita itu dan melihat apakah orangnya juga
seindah suaranya! Dengan tergesa-gesa dia merayap turun, lalu meloncat ke bawah.
“Heiiitttt... eihhhh...!” Kian Bu meloncat ke samping menghindarkan kakinya yang hampir menginjak sebuah
kepala orang!
Dia memandang dengan mata terbelalak dan tengkuknya berdiri karena merasa seram. Kepala itu
berambut panjang sudah putih semua, kepala yang kecil, kepala seorang tua renta, seorang kakek kurus
yang sedang tidur mendengkur di bawah pohon, kepalanya berbantalkan akar pohon itu.
Kian Bu melongo. Bagaimana dan bila mana orang ini bisa berada di bawah pohon tanpa diketahuinya?
Mustahil! Kalau sudah lama, pasti tampak oleh dua orang berkuda tadi. Kalau baru saja, bagaimana
sampai dia tidak tahu? Jangan-jangan ini bukan orang, melainkan setan, iblis hutan yang menjaga hutan
itu! Dan jangan-jangan suara merdu tadi itu pun suara peri atau siluman yang suka menjadi perempuan
cantik. Dia bergidik, akan tetapi dilawannya dengan keyakinan bahwa menurut dongeng-dongeng mana
pun juga, setan dan iblis tidak muncul di siang hari!
Dan sekarang masih siang. Kata yang empunya dongeng, semua makhluk halus takut akan sinar matahari.
Bukan kalau begitu, bukan iblis! Kalau manusia, tentu luar biasa sekali kepandaian kakek ini! Kiranya
hanya orang dengan kepandaian setingkat kakaknya atau dia sendiri yang akan mampu datang tanpa
suara seperti itu! Kian Bu menjadi khawatir, dan melihat orang itu tidur mendengkur, dia lalu melayang lagi
ke atas, sembunyi di dalam daun-daun sambil mengintai ke bawah. Kalau kakek itu berniat buruk
kepadanya, tentu sudah dilakukannya dari tadi, tidak tidur mendengkur dulu di bawah pohon.
Kini terdengar bunyi kerincingan. Masih lirih tanda bahwa suara itu masih jauh akan tetapi suara
kerincingan itu bening sekali. Tang-ting-tang-ting dan crang-cring-crang-cring seperti perak dipukul. Dan
kini terdengar lagi suara wanita bernyanyi, suara yang merdu tadi, kini diiringi suara kerincingan tang-tingtang-
ting itu, seolah-olah yang-kim (kecapi) yang hanya mempunyai dua macam nada. Suaranya yang
merdu itu kini bernada gembira dan jenaka.
Hujan musim rontok, hujan musim rontok!
Tiada bulan, tiada malam.
Berintik-rintik, bercucuran deras!
Lampunya padam, kasurnya dingin,
kesepian yang menjemukan.
Si Cantik Jelita berduka merana!
Angin barat semilir meniup bambu di jendela,
berhenti sebentar dan mulai lagi,
dua butir air mata seperti mutiara
bergantung di sepasang pipi dingin.
Betapa sering kakanda berjanji,
Apa bila angsa liar terbang datang...
Kakanda melanggar janji,
angsa liar telah datang,
namun kakanda tidak...
dunia-kangouw.blogspot.com
Saking kagumnya karena dia pun mengenal sajak indah ini, Kian Bu meloncat turun lagi, lupa bahwa di
bawah itu ada orang tidur. Untung rambut putih itu tampak olehnya sehingga dia cepat berjungkir balik dan
turun di balik pohon besar. Sialan, pikirnya. Kamu mengejek aku, ya! Dia baru saja mengalami kegagalan
cinta dan sejak tadi suara itu bernyanyi tentang cinta gagal! Tapi kakek ini agaknya menanti yang bersuara
itu.
Kian Bu menyelinap di balik batang pohon besar, tak jauh dari situ, menanti dan siap untuk membantu
kalau kakek seperti setan ini nanti menyerang si penyanyi yang tentu saja seorang wanita... dan
sepatutnya cantik pula. Suara seperti itu sepantasnya keluar dari bibir yang mungil, mulut yang basah kecil
dan segar! Kalau tidak begitu, mau dia mempertaruhkan... kuncirnya!
Suara berkerincing tadi makin jelas dan dari balik tempat sembunyinya, Kian Bu memandang ke depan,
sama sekali dia sudah lupa akan kehadiran kakek yang tadi tidur mendengkur di bawah pohon. Hatinya
berdebar tegang karena ingin sekali dia melihat orang yang mempunyai suara indah itu.
Mula-mula yang tampak adalah kuda putih kecil seperti keledai muncul di tikungan jalan. Kuda itu mungkin
keturunan keledai, pendek dan telinganya panjang seperti telinga keledai. Leher kuda itu dipasangi kalung
yang terbuat dari kerincingan-kerincingan kecil itu sehingga selalu mengeluarkan bunyi ketika kuda
setengah keledai itu berjalan. Akan tetapi, kuda atau keledai Kian Bu tidak peduli, yang penting adalah
penunggangnya! Seorang dara remaja yang... aduhai! Cantik manis, jelita remaja, dengan bentuk tubuh
yang meranum, duduk seenaknya di atas punggung keledai hingga Kian Bu mendengar hatinya berbisik,
“Aku juga mau menjadi keledai itu!”
Dara itu memegang sebatang payung yang terbuka dan payung itu bergerak-gerak terkena angin, akan
tetapi tetap dipertahankan menjaga mukanya yang manis itu dari sengatan sinar matahari.
Seperti orang terpesona, Kian Bu lupa bahwa dia harus bersembunyi. Tahu-tahu dia sudah melangkah
keluar dari pohon besar itu, memandang kepada dara ayu beraksi dengan payungnya di atas keledai itu
sambil tersenyum, memasang ‘senyum mautnya’ karena kini sudah pulih kembali Kian Bu, menjadi seperti
Kian Bu yang dahulu, jenaka gembira dan paling suka berhadapan dengan wanita jelita!
“Selamat siang, Nona. Wahai... suaramu tadi, nyanyianmu tadi, hebat bukan main...” Kian Bu menegur
ramah.
Dara itu menahan keledainya, berhenti di depan Kian Bu tanpa menurunkan payungnya, memandang
penuh selidik, kemudian terdengar dia bertanya, suaranya serak-serak basah tidak seperti nyanyian yang
bening tadi, akan tetapi malah terdengar makin menarik bagi ‘telinga keranjang’ Kian Bu.
“Apanya yang hebat? Apakah engkau mengerti nyanyian tadi?” Agaknya dara itu menduga bahwa Kian Bu
hanyalah seorang pemuda gunung yang mencari kayu bakar di hutan itu.
“Kesemuanya hebat dan indah! Sajak ketiga dari Lagu Tujuh Cinta karangan Li Shang Yin di jaman Tongtiauw
itu hebat, akan tetapi sajak Yen Sian di jaman Sung-tiauw tadi pun indah. Dan terutama sekali...
suaramu amat merdu, Nona...”
Dara itu membelalakkan matanya, dan sekali lagi tangannya bergerak....
“Treppp!” Payung itu telah tertutup. Sekali pinggangnya yang ramping dan pinggulnya yang melengkung itu
bergerak, dia sudah meloncat turun dari punggung keledai.
Kian Bu makin kagum melihat gadis itu sudah berdiri. Kiranya bentuk tubuhnya juga hebat, seperti yang
diduganya, setelah kini dara itu berdiri. Akan tetapi untuk memuji tubuh orang dia tidak berani, maka biar
pun sepasang matanya memandang tubuh dara itu, mulutnya memuji keledai, “Keledaimu putih mulus dan
bentuknya mempesona!”
“Apa, keledai? Buka matamu baik-baik, sobat. Engkau pandai mengenal sajak, akan tetapi tidak dapat
mengenal binatang keramat!”
“Hahhh...?!” Kian Bu baru sekarang memandang keledai itu penuh perhatian karena disebutnya binatang
keramat oleh dara itu. Dia mendekati dan melihat dengan teliti dari moncong sampai ke ekor, dari ujung
telinga sampai ujung kaki, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu yang aneh pada binatang ‘keramat’ ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kau melihat sesuatu yang aneh?” dara itu bertanya.
Kian Bu menggeleng kepalanya. “Ini hanya seekor keledai biasa, hanya bulunya putih dan...”
“Engkaulah yang bodoh melebihi keledai!” Gadis itu mencela. “Ini bukanlah keledai melainkan seekor
kuda.”
“Hah? Kuda? Memang mukanya tidak sebodoh keledai, akan tetapi telinganya panjang dan kakinya
pendek...”
“Agaknya engkau seorang kutu buku yang hanya tahu tentang sajak,” gadis yang amat lincah dan galak itu
mengomel. “Ini adalah keturunan dari kuda Han-hiat-po-ma (Kuda Keramat Berkeringat Darah) dan seekor
keledai. Masih keturunan yang ketiga puluh sembilan dari kuda tunggangan Kaisar Jenghis Khan di jaman
dahulu!”
“Ahhhh...!” Kian Bu mengangguk-angguk. “Tentu hebat sekali!”
“Tentu saja hebat!” Dara itu lalu mengalungkan gagang payung yang bengkok itu ke sebuah di antara
telinga keledai itu dan... telinga itu menegang dapat menahan payung!
“Ha-ha, kiranya bisa juga dipakai sebagai tempat menyimpan payung!” Kian Bu tertawa.
“Kau menertawakan kuda keramat ini? Hemm, dasar engkau tolol. Tetapi sudahlah, aku mau bertanya
padamu.”
“Tanya? Tanyalah!” Kian Bu tertarik sekali. Gadis remaja ini lincah, gembira dan jenaka, begitu bebas dan
terbuka, akan tetapi juga memperlihatkan keberanian luar biasa, tidak malu-malu seperti kebanyakan gadis
biasa.
“Aku mau bertanya, apakah engkau tadi melihat orang lewat di sini?”
“Orang lewat? Dua orang laki-laki penunggang kuda?”
“Ihhh, bukan! Siapa yang mencari laki-laki? Cihh!”
Kian Bu tersenyum, lalu dia teringat akan kakek yang mendengkur itu. Wah, sudah pasti kakek itu yang
dicari. Gadis manis jenaka dengan keledai aneh ini pantasnya memang berkawan dengan kakek aneh itu.
“Apakah kau mencari dia...?” Kian Bu menoleh dan menuding ke bawah pohon di mana dia tidur tadi.
“Ehhhh...? Heeee, ke mana dia...?” Kian Bu tertegun karena di bawah pohon itu tidak ada apa-apanya.
Jangankan seorang kakek tidur, seekor cacing pun tidak nampak.
Kian Bu mencari-cari dengan pandang matanya, ke kanan kiri, ke atas bawah, depan belakang, akan tetapi
tidak kelihatan lagi bayangan seorang kakek. “Wah, ke mana dia? Apakah aku mimpi...?”
Gadis itu juga menoleh ke kanan kiri dan dia tertawa geli melihat sikap Kian Bu yang kebingungan. Dia
tertawa dengan manis sekali, mengeluarkan suara ketawa kecil yang merdu sambil menutupi mulut dengan
tangan, akan tetapi karena jari-jari tangan yang dipakai menutupi mulut itu merenggang, jadi masih nampak
deretan gigi putih seperti mutiara di balik belahan bibir merah.
“Hi-hi-hik, kau mencari apa?”
“Kakek tua renta...”
“Aku juga tidak butuh kakek-kakek! Yang kucari adalah seorang wanita!”
Kian Bu memandang dara itu. “Seorang wanita?”
“Ya, seorang wanita cantik sekali, pakaiannya indah menyala, mukanya bundar telur, dagunya runcing,
matanya seperti bintang kejora, berkedip-kedip dan lirikannya tajam seperti gunting, hidungnya agak terlalu
mancung, pipinya merah, bibirnya lebih merah lagi dan senyumnya manis melebihi madu lebah.
Pakaiannya indah dan dari sutera mahal, jubahnya berwarna merah muda, ikat pinggangnya kuning dan
dunia-kangouw.blogspot.com
celananya biru, rambutnya digelung ke atas seperti puteri istana. Hemm, pendeknya seorang wanita cantik
dan kaya, dan dia amat genit, genit memikat hati. Kau melihat dia?”
Kian Bu melongo. Bukan karena penuturan itu, akan tetapi melongo mengikuti gerakan bibir yang tiada
hentinya bergerak ketika bicara panjang lebar itu. Bibir yang gerakannya menggemaskan, mencas-mencos
akan tetapi manis sehingga Kian Bu merasa seolah-olah pandang matanya melekat pada bibir itu, bibir
bawah yang mempesona itu.
Gadis ini benar-benar genit menarik, dan dia masih dapat mengatakan orang lain genit memikat! Melihat
usianya tentu tidak akan lebih dari lima belas tahun, seperti tersebut di dalam nyanyiannya tadi. Akan tetapi
‘bocah’ ini sudah pandai bicara, pandai mainkan bibir dan gerak bola mata, bahkan sudah pandai pula
menilai wanita lain!
“Yang bagaimana sih yang disebut genit memikat itu?” Kian Bu menggoda, akan tetapi sikapnya seolaholah
dia mengingat-ingat barangkali dia pernah bertemu dengan wanita yang digambarkan oleh dara itu.
“Genit memikat saja kau tidak tahu? Waahh, sungguh bocah gunung yang terbelakang kau! Genit memikat
adalah... aihh... bagaimana, ya?” Dara itu kelihatan tersipu, agaknya sukar juga baginya untuk memberi
penjelasan. “Pendeknya sikap yang genit dan centil, yang mempunyai daya pikat, terhadap pria terutama.
Masa kau tidak mengerti?”
Kian Bu yang merasa suka sekali kepada sikap dara ini, mulai menggodanya.
“Apakah kau maksudkan, genit memikat hati itu seperti sikap ini?” Kian Bu lalu bergaya, meliak-liukkan
tubuhnya, melerok dan menjulurkan lidahnya seperti orang menakut-nakuti anak kecil. “Beginikah genit
memikat?”
“Hi-hi-hik!” Dara itu tertawa geli, menggeleng kepalanya keras-keras. “Ahh, sama sekali bukan!”
“Apakah begini?” Kian Bu merubah gayanya, melotot cemberut seperti nenek-nenek marah.
“Bukan! Bukan...! Ihh, menakutkan begitu mana bisa disebut memikat?”
“Habis bagaimana? Coba kau beri contoh biar aku mengerti!”
Gadis itu menjadi gemas akan kebodohan pemuda itu. “Dasar engkau yang tolol! Nah, dengarkan baikbaik,
dan lihat baik-baik, buka telinga dan matamu lebar-lebar. Wanita yang genit memikat itu adalah
seorang wanita yang pandai bergaya palsu, tidak wajar, seperti seorang pemain sandiwara, kau pernah
melihat wayang? Nah, dia selalu beraksi di depan pria untuk memikat hati pria itu, langkahnya dibuatbuat...”
Gadis itu lalu melangkah hilir-mudik di depan Kian Bu, lenggangnya dibuat-buat dan karena memang
bentuk tubuhnya ramping dan lekuk-lengkungnya penuh dan padat dalam keranumannya, belum masak
benar akan tetapi tubuhnya lunak dan lemas sekali, maka ketika dia melenggang dengan gaya dibuat-buat
itu, pinggangnya berliuk seperti batang yang-liu tertiup angin, pinggulnya seperti dua benda hidup bergerak
ke kanan kiri dan lehernya yang panjang menoleh kanan kiri!
“Selain lenggangnya menarik, dia pun menggerak-gerakkan bibirnya dan juga matanya menyambarkan
kerling maut, seperti ini...”
Kian Bu berdiri bengong, matanya terbelalak, mulutnya ternganga sehingga jika banyak lalat di situ,
mungkin mulutnya akan kemasukan lalat tanpa sempat dia sadari. Seluruh perhatiannya terbetot dan
semangatnya terseret karena dia sudah terpikat benar-benar oleh peniruan sikap genit memikat dari gadis
itu! Kini dia mengikuti gerak bibir yang mencap-mencep. Dasar bibirnya itu berbentuk bagus sekali, merah
membasah, yang bawah penuh dan berkulit tipis seperti mudah sekali pecah, kadang-kadang digigit oleh
giginya yang putih, kemudian dilepaskan lagi, dijebikan, pendeknya setiap gerak bibir itu menimbulkan
kemanisan tersendiri. Semua ini ditambah oleh matanya yang bening itu mengerling penuh daya pikat
sehingga Kian Bu merasa seolah-olah disedot dan ingin dia melangkah mendekati gadis itu, seperti besi
ditarik semberani!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lenggang dan gerak bibir dan mata ini tentu saja ditambah dengan sentuhan-sentuhan memikat untuk
menjatuhkan hati pria, begini contohnya...” Kini gadis yang melenggang hilir-mudik di depan Kian Bu itu
mendekat dan sambil lewat kini telunjuknya bergerak, mencubit lengan, menowel dagu Kian Bu.
Hampir saja Kian Bu tidak kuat bertahan lagi. Bau sedap harum yang keluar dari dara itu ketika mendekat,
sentuhan halus telunjuk ke dagunya yang mengirim getaran sampai ke ujung kaki dan ubun-ubun
kepalanya, benar-benar membuat gadis itu amat menarik dan memikat. Hampir saja dia lupa diri dan
memeluk dengan gemas. Akan tetapi tentu saja ditahannya keinginan ini dan dia makin bingung, makin
melongo dan bengong terpesona.
Dara itu tertawa cekikikan dengan geli hati ketika melihat betapa pemuda tampan itu plonga-plongo seperti
seorang tolol ketika melihat dia bergaya tadi.
“Eh, kau kenapa sih?”
Kian Bu sadar kembali dan dia tersenyum, mengusap kepalanya seolah-olah hendak mengusir kepeningan
otaknya. “Wah, engkau hebat sekali, Nona. Ehh, sebetulnya siapa sih yang kau cari itu? Dan mengapa kau
mencarinya?”
Gadis itu duduk di atas akar pohon, membiarkan kuda keramatnya itu terlepas begitu saja. Kian Bu juga
duduk di depannya dan gadis itu memandang wajah Kian Bu penuh selidik, baru dia berkata, “Wajahmu
mendatangkan kepercayaan di hatiku, tidak seperti wajah orang-orang yang kutemui sebelum ini.”
Kian Bu mengusap mukanya. “Wajahku kenapa sih?”
“Wajahmu seperti orang tolol... hi-hik, dan orang-orang tolol merupakan orang yang boleh dipercaya, tidak
seperti orang-orang pintar yang biasanya terlalu pintar, akan tetapi kepintarannya itu hanya untuk menipu
orang lain. Eh, siapa sih namamu? Kalau belum kenal, mana mungkin aku menceritakan keadaanku?”
“Aku Suma Kian Bu, dan kau...”
“Namaku Siang In, she Teng.”
“Teng Siang In, nama yang indah, seindah orangnya.”
“Hi-hik!”
“Kenapa kau tertawa, Siang In?”
“Kurasa kau agaknya berdaya-upaya untuk memuji-mujiku. Apakah engkau merupakan seorang yang genit
memikat pula? Tentu saja dari golongan laki-laki! Biasanya laki-laki memikat wanita dengan pujian-pujian.”
“Wah, kau agaknya serba tahu saja. Siang In, aku suka bersahabat denganmu. Engkau seorang gadis
yang jujur, pandai sastra, suaramu merdu, wajahmu cantik jelita, dan kau aneh sekali, sungguh menarik
hatiku. Sekarang ceritakan, siapa yang kau cari itu?”
“Kian Bu, entah mengapa, begitu bertemu dengan engkau hatiku terus saja percaya penuh, seolah-olah
sudah lama aku mengenalmu. Ehh, kau tadi bilang tentang orang di bawah pohon, yang kau cari-cari tadi.
Siapakah dia?” Gadis itu tiba-tiba memandang dengan penuh kecurigaan ke kanan kiri.
“Aku pun heran sekali. Tadi aku melihat seorang kakek tua renta berada di bawah pohon, tertidur
mendengkur, akan tetapi dalam sekejap mata saja lenyap seperti setan.”
“Ihhh... aku paling ngeri dengan segala setan!” Gadis itu ketakutan dan menggeser duduknya lebih dekat
dengan Kian Bu. Tentu saja pemuda itu menjadi girang dan dia melanjutkan ceritanya.
“Tadi aku mengaso di atas pohon itu dan aku tidak melihat ada orang datang dekat... ehhh, tahu-tahu ada
seorang kakek tua sekali tidur di bawah pohon, mendengkur dan kakek itu rambutnya sudah putih semua,
tidak seperti manusia biasa. Aku sudah curiga karena kedatangannya yang tiba-tiba itu tidak lumrah, dan
tadi... ehh, tahu-tahu dia lenyap begitu saja. Apa lagi kalau bukan iblis penunggu hutan ini...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Gadis ini makin ketakutan, mepet dan memegang lengan Kian Bu. Akan tetapi betapa kagetnya hati Kian
Bu melihat wajah gadis itu menjadi pucat sekali dan ada air mata di pipinya. Gadis itu menangis saking
takutnya! Kian Bu menjadi menyesal sekali dan cepat dia meloncat berdiri sambil bertepuk tangan. “Ha-haha,
engkau kena kubohongi! Tidak ada setan tidak ada apa-apa!”
Dara itu cemberut. “Ihh, engkau sungguh nakal. Aku sampai hampir pingsan ketakutan. Kau bukan orang
baik, kau suka bohong, aku tidak jadi berteman denganmu kalau begitu!” Gadis itu sudah bangkit berdiri
dan hendak pergi menghampiri keledainya.
Kian Bu tertegun. Bocah ini benar aneh. Biar pun belum matang benar, akan tetapi juga bukan kanakkanak
lagi, akan tetapi di samping kecantikannya, dan pandainya bergaya seperti orang dewasa, gadis ini
takut pula kepada setan dan suka ngambek seperti anak kecil!
“Ah, Siang In, kau maafkanlah aku. Tadi aku hanya main-main, masa engkau menjadi marah? Maafkan
aku.”
“Aku mau maafkan kalau kau berlutut dan menyebut aku nenek!” gadis itu berkata cemberut dan
membanting-banting kaki kanannya.
Kian Bu hampir tertawa bergelak, akan tetapi untuk menyenangkan hati gadis remaja yang aneh itu, apa
boleh buat dia lalu berlutut, mengangkat kedua tangan sebagai penghormatan sambil menyebut, “Nenekku
yang baik, kau ampunkan cucumu ini!”
“Hi-hi-hik!” Gadis itu terkekeh dan Kian Bu juga bangkit sambil tertawa-tawa.
Keduanya tertawa gembira dan duduk lagi di atas akar pohon. Aneh, Kian Bu merasa gembira sekali dan
lenyaplah semua bayangan gelap dari masa lalu. Dia kini sudah lebih matang dan hati-hati, tidak mau
gampang saja jatuh cinta. Dara ini merupakan seorang sahabat yang amat menyenangkan.
“Siang In, sekarang kau ceritakan tentang dirimu dan kenapa engkau berada di tempat sunyi ini seorang
diri dan siapa itu wanita genit memikat yang kau cari itu.”
Setelah bebas dari perasaan takut akan setan, sekarang sepasang pipi dara itu menjadi kemerahan lagi,
bibirnya yang manis merekah penuh senyum dan matanya yang jeli besinar-sinar.
“Tidak ada apa-apanya yang menarik dalam riwayatku,” gadis itu memulai.
“Orangnya saja sudah sangat menarik, apa lagi riwayatnya.” Kian Bu berkata dan pandang matanya tidak
menyembunyikan rasa kagumnya.
“Eh, Twako... kau mau kan kusebut twako? Aku tidak mempunyai kakak laki-laki, maka biarlah engkau
menjadi penggantinya. Kalau aku tidak merasa yakin bahwa engkau seorang yang baik, tentu aku curiga
melihat sikapmu terlalu manis, pujian-pujianmu terlalu muluk itu. Sikapmu seperti laki-laki perayu wanita
benar!”
“Aku hanya bilang sejujurnya, masa tidak boleh? Aku suka akan kembang indah harum, juga suka melihat
dara secantik engkau. Apakah aku harus membohong mengatakan engkau gadis buruk?”
Siang In tertawa. “Akan tetapi sinar matamu kalau memandangku... hihhh, aku menjadi ngeri dibuatnya!
Nah, aku mau bercerita tentang diriku. Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda lagi...”
“Aduh kasihan...!”
“Akan tetapi aku mempunyai seorang enci (kakak perempuan)...”
“Juga cantik jelita jelita seperti engkau?”
“Ihhh, Twako. Engkau mata keranjang benar!”
“Lho, mengapa mata keranjang? Itu pertanyaan wajar, kan? Masa aku harus bertanya apakah enci-mu itu
tampan dan gagah, kan menjadi banci nanti!” Mereka berdua lalu tertawa-tawa lagi dan hutan yang
biasanya sunyi itu kini bergema suara tertawa pemuda dan dara itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tentu saja enci-ku yang bernama Siang Hwa amat cantik melebihi aku yang buruk ini. Kami berdua tinggal
di lereng gunung sana itu melanjutkan usaha mendiang Ayah, menanam obat-obatan yang kami jual ke
kota dan sebagian kami bagi-bagikan kepada rakyat miskin yang membutuhkan pertolongan obat.”
“Aih, kiranya engkau ini ahli obat, ya? Lengkap benar kepandaianmu?”
“Lengkap apanya?”
“Coba kuhitung. Satu, engkau pandai memelihara kuda keramat, dua, engkau pandai meniru gaya wayang
dan berperan sebagai wanita genit memikat, tiga, engkau pandai ilmu silat, dan empat, engkau pandai ilmu
pengobatan!”
“Huhh, engkau hanya memuji kosong saja, kalau kudengarkan kepalaku bisa berubah menjadi segentong
besarnya. Sudah, tak perlu memuji-muji, tapi dengarkan ceritaku. Mendiang ayahku barulah berani disebut
ahli pengobatan karena beliau itu terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Yok-sian...”
“Ahhh...!” Kian Bu berteriak dan meloncat berdiri.
Teringat akan setan yang amat ditakuti, Siang In juga meloncat dan memandang ke kanan kiri.
“Ada apa?” Dia sudah memegang lengan pemuda itu lagi.
“Ohh, tidak ada apa-apa, aku hanya terkejut mendengar julukan ayahmu.”
“Huh, kekagetanmu membikin aku kaget.” Mereka duduk kembali di atas akar pohon.
“Apakah ayahmu itu Suheng dari kakek yang berjuluk Sin-ciang Yok-kwi?”
“Ehh, bagaimana engkau bisa mengenal julukan Susiok (Paman Guru)?”
“Wah, engkau yang kami caci-cari, ketemu sekarang orangnya!”
“Lho, kenapa mencari-cari aku?”
Kian Bu lalu menceritakan tentang ‘keponakannya’ yang terluka hebat oleh pukulan beracun dan menurut
keterangan Sin-ciang Yok-kwi, seorang di antara mereka yang kiranya dapat mengobati gadis
keponakannya itu adalah keturunan Yok-sian.
“Sayang, sekarang keponakanku itu sudah pergi entah ke mana sehingga biar pun aku berjumpa
denganmu juga percuma.”
“Dan pula, aku juga tidak bisa mengobati. Aku hanya ahli mengenal buah, bunga, daun, dan akar obat.
Yang mewarisi kepandaian Ayah adalah Enci Siang Hwa. Bu-twako, kalau kau terus-terusan mengganggu
ceritaku, tidak akan habis-habis riwayatku.”
“Oh, teruskanlah.”
“Seperti kuceritakan tadi, kami hidup berdua saja. Aku tukang menanam tumbuh-tumbuhan obat, mencari
dan memilih bibit-bibitnya dari hutan, dan enci yang menjual hasil tanaman itu ke kota. Pada beberapa hari
yang lalu, aku sendirian saja di rumah, Enci sudah dua hari pergi ke kota menjual obat dan belum juga
pulang, padahal biasanya tidak pernah bermalam. Lalu datang seorang wanita...”
“Genit pemikat...”
“Kok tahu?”
“Yang kau cari-cari itu tentu, siapa lagi!”
“Benar. Wanita cantik pesolek itu datang dan karena sikapnya manis budi, dan di lereng itu kami tidak
mempunyai tetangga dan hari sudah malam, aku tidak keberatan ketika dia menyatakan hendak bermalam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia pandai bicara dan ramah sekali, sampai aku lalai dibuatnya dan pada keesokan harinya, Si Cantik
Genit itu telah pergi sebelum aku bangun...”
“Wah engkau tentu pemalas dan bangunmu kesiangan!”
“Ngaco! Siapa bilang aku pemalas? Jam lima pagi aku sudah bangun, tidak mau keduluan ayam...”
“Makannya!”
“Ihh, kau menghina, ya? Kalau aku gembul makan, tentu tubuhku menjadi gendut. Nih, lihat, apa aku
gendut?”
“Kau ramping! Habis, tidak mau keduluan apa oleh ayam?”
“Mandi.”
“Wah, tentu saja! Habis, ayam tidak pernah mandi, biar kau bangun jam sembilan dan mandi jam sepuluh
juga tidak akan keduluan ayam. Sudahlah, lalu bagaimana?”
“Ya sudah habis. Wanita cantik genit memikat itu pergi dan aku kemudian melakukan pengejaran sampai di
sini. Tadinya aku mencari di pegunungan itu tidak ketemu, lalu aku pulang menanti Enci kembali dari kota
untuk melaporkan hal itu. Akan tetapi sampai lima hari Enci tidak pulang-pulang, aku khawatir Enci
mendapatkan halangan biar pun dia pandai ilmu silat dan tidak sembarangan orang mampu
mencelakainya. Aku lalu mengajak Pek-liong pergi mencari Enci dan perempuan maling kitab itu.”
“Pek-liong (Naga Putih)...?”
“Itulah dia Pek-liong.” Dara itu menuding ke arah keledai yang masih enak enak makan rumput. Kian Bu
menahan gelinya. Keledai kecil itu dinamakan Naga Putih!
“Wah, kasihan sekali engkau, Siang In.”
“Sudah, aku tidak minta kasihanmu, sekarang kau ceritakan riwayatmu.”
“Riwayatku? Aku orang biasa saja...”
“Tidak, engkau luar biasa. Tidak ada pemuda gunung buta huruf yang mengenal sajak Li Shang Yin dan
Yen Siang!”
“Habis, menurut penglihatanmu, aku orang apa?”
“Engkau tentu seorang pemuda kota, seorang sastrawan lemah yang terbuai khayal, agak berfilsafat dan
engkau perayu wanita tapi tidak kurang ajar dan... sudahlah, kau ceritakan riwayatmu.”
“Riwayatku tidak ada apa-apanya. Namaku Suma Kian Bu dan aku sedang merantau untuk menghibur hati
dan melihat keindahan alam. Aku suka akan kesunyian maka aku berada di hutan ini. Eh, sekarang kau
hendak ke mana, Adik Siang In yang baik?”
Dara itu lupa bahwa penuturan riwayat Kian Bu itu sama sekali tidak lengkap, karena dia sudah terpikat
oleh sikap dan pertanyaan yang ramah itu. “Aku hendak mencari enci-ku dan perempuan genit itu.”
“Ke mana?”
Dara itu mengerutkan alisnya. “Entahlah. Sampai di sini aku kehilangan jejak. Di dusun seberang gurun itu
masih ada yang melihat Si Perempuan Genit menuju ke sini, maka aku mengejar. Kiranya bertemu dengan
engkau, dan sialnya engkau tidak melihat perempuan itu.”
“Mari kubantu engkau mencari dia dan enci-mu.”
“Ke mana?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ke mana saja, dan karena menurut penyelidikanmu wanita itu lewat ke jurusan ini, kita tentu akan dapat
menemukan jejaknya lagi di luar dusun ini, asal kita dapat melewati dusun.”
“Aku pernah mencari daun-daun obat di hutan ini dan di sebelah barat hutan ini terdapat perkampungan.”
“Bagus sekali. Kalau begitu kita mencari ke sana. Hayo kita berangkat!”
Siang In kelihatan girang sekali. Dia mengambil payungnya dari telinga keledai karena biar pun keledai itu
makan rumput, payung tadi masih saja tergantung di telinganya, kemudian menuntun keledainya.
“Kenapa tidak kau tunggangi?”
“Ahhh, tidak. Lebih enakan berjalan bersama engkau, Twako. Kalau hanya aku sendiri menunggang
keledai dan kau jalan, tidak enak, ah!”
“Ditunggangi berdua pun kasihan, keledai kecil begitu.”
“Ih, jangan memandang rendah kuda keramatku, ya? Mau mencoba kekuatannya? Mari kau meloncat ke
punggungnya,” Siang In menantang.
Karena ingin tahu, Kian Bu menurut dan naik ke punggung kuda atau keledai itu.
“Kau maju sedikit, beri tempat untukku!” Siang In berseru.
Kian Bu makin heran, akan tetapi dia menggeser ke depan dan tiba-tiba dia merasa betapa bagian
belakang tubuhnya bersentuhan ketat dengan sesuatu yang lunak dan hangat. Tubuh dara itu yang sudah
duduk di belakangnya! Dia merasa geli dan bulu tengkuknya berdiri semua sehingga dia tertawa-tawa.
“Apa cekikikan? Lihat betapa kuatnya kuda keramatku Pek-liong agar engkau tidak menghinanya lagi. Pekliong,
terbanglah!” Siang In mengeprak perut keledai itu dengan tumit kakinya.
Dan hampir saja Kian Bu berteriak saking kagetnya ketika tiba-tiba keledai itu meloncat ke depan lalu
berlari cepat sekali! Benar-benar cepat larinya, tidak kalah oleh kuda besar yang mana pun sehingga dia
melihat pohon-pohonan berlari-lari di kanan kirinya dan telinganya mendengar desir angin! Tentu saja Kian
Bu sama sekali tidak merasa takut karena ilmunya berlari cepat tidak kalah cepatnya dengan larinya
keledai ini, dan sebetulnya dia merasa nikmat dan senang sekali karena punggungnya beradu ketat
dengan dada gadis itu ketika keledai berlari, akan tetapi karena dia ingin dianggap sebagai ‘sastrawan
lemah’ maka dia sengaja berteriak-teriak ketakutan.
Siang In menghentikan keledainya dan tertawa. “Bagaimana? Apakah kau masih berani menghina Pekliong?”
Dia melompat turun dan Kian Bu juga merosot turun. Dilihatnya keledai itu bernapas biasa saja
sehingga diam-diam dia menjadi kagum juga.
“Wah, wah, sebentar lagi dia tentu benar-benar terbang. Agaknya kudamu ini memang penjelmaan naga
putih, Adik Siang In.”
Gadis itu gembira sekali mendengar pujian ini dan mereka lalu melanjutkan perjalanan sambil bercakapcakap,
bersendau-gurau dan tertawa-tawa, jika dilihat dari jauh seperti sepasang muda-mudi sedang
bertamasya saja layaknya. Betapa indah hidup ini bagi orang-orang muda, maka kasihanlah orang-orang
muda yang tak mampu menikmati keindahan hidup, bahkan terseret mencari-cari kesenangan hampa yang
mengotorkan tubuh dan jiwa!
Dusun itu cukup besar dan ramai, menjadi tempat perhentian mereka yang melakukan perjalanan di
perbatasan utara itu. Hari telah senja ketika Kian Bu dan Siang In tiba di dusun ini.
“Perutku lapar...” Siang In berkata sambil menekan perutnya.
“Sama...” Kian Bu menjawab. “Mari kita cari kedai makanan.”
Sambil menuntun Pek-liong, Kian Bu berjalan bersama Siang In memasuki dusun dan mencari-cari.
Akhirnya mereka melihat sebuah kedai makanan dan Kian Bu segera mencancang keledai itu di luar kedai,
kemudian mereka berdua masuk ke dalam kedai makanan yang penuh dengan orang makan minum itu. Di
dunia-kangouw.blogspot.com
antara para tamu, Kian Bu mengenal dua orang penunggang kuda yang dilihatnya dari atas pohon di hutan
tadi, maka dia lalu mengajak Siang In duduk di meja tak jauh dari mereka. Kian Bu memasang telinga dan
mendengar percakapan bisik-bisik dua orang itu.
Ternyata mereka berdua ‘lolos’ dari kejaran mata-mata musuh dan menurut percakapan itu, kiranya
mereka menduga adanya banyak mata-mata musuh yang berkeliaran di daerah itu dan yang agaknya
menyelidiki keadaan.
“Kita harus cepat lapor kepada pimpinan.” Demikianlah kata Si Cambang Tebal yang segera menghentikan
percakapan setelah melihat masuknya beberapa orang tamu lagi dan duduk di dekat mereka.
Tiba-tiba mereka kelihatan terkejut, bergegas bangkit, memanggil pelayan, membayar makanan yang
belum habis mereka makan dan mereka berdua dengan sikap tergesa-gesa menyelinap keluar melalui
pintu samping. Melihat sikap mereka, Kian Bu menjadi terheran-heran. Dia maklum bahwa pasti dua orang
itu melihat sesuatu yang membuat mereka seperti ketakutan, maka otomatis dia lalu menengok ke arah
pintu depan.
“Aahhhh...” Dia menahan seruannya dan bengong memandang ke luar.
Melihat sikap Kian Bu dan mendengar seruan kagum ini, Siang In juga cepat menengok dan memandang
ke luar. Di luar warung, di seberang jalan, tampaklah seorang wanita yang cantik sekali, berpakaian
menyala, rambutnya digelung tinggi ke atas. Wanita itu sedang memandang dan longak-longok mengulur
leher, agaknya ada yang sedang dicari-carinya.
“Itu dia...!” Tiba-tiba Siang In menjerit, membuat Kian Bu tersentak kaget. Dengan cepat Siang In meloncat
dan lari ke pintu kedai itu.
“Brussss...!”
Tanpa dapat dicegah lagi Siang In bertumbukan dengan seorang laki-laki setengah baya yang secara tibatiba
masuk pintu kedai itu dan diiringkan oleh empat orang yang kelihatannya gagah dan tegap. Karena
Siang In tidak mengira ada orang masuk pada saat perhatiannya tercurah kepada wanita cantik yang
berada di seberang jalan, dan pria itu pun agaknya tidak mengira akan ada orang lari ke luar, maka
tumbukan antara mereka tak dapat dihindarkan lagi. Siang In terpelanting dan hampir roboh. Untung lakilaki
setengah tua itu dengan gerakan cepat telah menyambar dan memegang lengan Siang In sehingga
dara ini tidak sampai terbanting jatuh.
Laki-laki setengah tua itu tersenyum dan bertanya dengan sikap sopan dan suara halus sambil melepaskan
pegangannya, “Maafkan saya, Nona. Untunglah tidak sampai jatuh. Apakah ada yang sakit...?”
Siang In membelalakkan matanya dan membentak marah, “Orang kurang ajar dari mana jalan nabraknabrak
saja?”
Kian Bu sudah tiba di samping gadis itu, memegang lengannya dan berkata, “Sudahlah, engkau sendiri
yang kurang hati-hati berlari ke luar. Paman ini tidak bersalah...” Kian Bu setengah menarik tangan Siang
In.
Dara ini bersungut-sungut dan setelah mengirim lirikan marah kepada laki-laki setengah tua yang dengan
tenang dan sabar tersenyum memandang, Siang In lalu melanjutkan langkahnya keluar dari kedai,
pandang matanya mencari. Akan tetapi, wanita cantik tadi sudah tidak kelihatan lagi.
“Sialan! Orang buta tadi yang jadi gara-gara sampai dia hilang lagi!”
“Eh, orang buta mana?”
“Yang menabrak aku tadi, kalau matanya tidak buta, masa nabrak-nabrak?”
Kian Bu tersenyum. Biar pun sedang muring-muring, gadis ini makin cantik saja!
“Sudahlah, aku sendiri juga tidak tahu siapa yang menabrak tadi, dia atau engkau.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dia! Si Buta itu! Aku harus menghajarnya!” Dia kembali memasuki pintu dan hampir saja menabrak
seorang pelayan yang membawa baki dan sedang keluar. Untung Kian Bu sudah menarik lengannya, kalau
tidak tentu terjadi tabrakan untuk kedua kalinya dan sekali ini berbahaya karena di atas baki terdapat bakmi
kuah yang masih panas.
“Eh... Kongcu (Tuan Muda) dan Siocia (Nona), mau ke mana? Ini pesanan kalian tadi... dua bakmi kuah
dan...”
“Kau makan saja sendiri!” Siang In membentak dan membalikkan tubuhnya keluar dari kedai itu. Kian Bu
melemparkan mata uang ke atas baki.
“Kami tidak jadi makan, ini uangnya,” katanya dan terus menyusul Siang In yang sudah pergi menuntun
keledainya sambil cemberut.
“In-moi (Adik In), jangan marah ah...”
“Aku harus mencari dia! Si Tolol buta itu tadi menghalangiku!” Siang In cemberut dan melihat ke sana-sini
mencari-cari.
“Dia siapa?”
“Si Genit!”
“Ohh...”
“Si Pemikat! Kau tidak lihat dia tadi?”
Kian Bu mengangguk. Kiranya wanita itukah yang dicari? Memang cantik, cantik sekali, akan tetapi dia
belum melihat jelas benar. Agaknya wanita yang sudah matang, tidak seperti dara ini yang masih mentah,
atau baru setengah matang, setengah dewasa setengah kanak-kanak, akan tetapi malah amat menarik
hati.
Mereka lalu mencari sampai ke setiap sudut dusun itu, akan tetapi sia-sia belaka dan akhirnya Siang In
berhenti di tepi jalan yang sunyi, duduk di atas rumput dan kelihatan marah dan kecewa sekali. Kian Bu lalu
pergi membeli sepuluh butir kue bakpauw dan mereka makan bakpauw di tepi jalan. Lima butir bakpauw
sudah cukup mengenyangkan perut, akan tetapi mencekik tenggorokan!
Karena malam tiba, mereka lalu mencari pondokan dan bermalam di dalam dua buah kamar sederhana di
pondok dusun itu, setelah memesan mi-bakso dan minum teh hangat kemudian mandi. Pada keesokan
harinya, agaknya Siang In sudah tidak cemberut lagi, akan tetapi pagi-pagi sekali dia sudah menggedor
pintu kamar Kian Bu dan mengajak pemuda itu cepat-cepat berangkat melanjutkan perjalanan mencari
pencuri kitab itu. Kian Bu gelagapan, terpaksa hanya sempat mencuci muka, kemudian sarapan dan
berangkatlah mereka lagi keluar dari dusun itu sambil bertanya-tanya tentang wanita cantik yang
rambutnya digelung tinggi.
Akhirnya, jejak yang mereka temukan dan ikuti membawa mereka ke sebuah dusun kecil di tepi sungai
yang besar dan yang menjadi tapal batas dengan daerah liar di utara. Di seberang sungai itu sudah
merupakan daerah liar yang tidak memperoleh penjagaan dari pasukan-pasukan pemerintah. Karena itu
dusun ini cukup ramai karena menjadi tempat penyeberangan para pedagang. Banyak orang-orang suku
Nomad dan liar yang menyeberang ke selatan untuk menjual rempah-rempah dan hasil sungai dan laut,
sebaliknya para pedagang dari selatan banyak yang mengeduk keuntungan besar dengan membawa
dagangan dan menyeberang ke utara, menjual atau menukar dagangan mereka dengan suku-suku asing
di luar tapal batas.
Ketika Kian Bu dan Siang In tiba di tepi sungai, suasana di situ sudah sunyi. Waktu penyeberangan yang
ramai adalah pagi dan sore, dan siang hari yang panas itu di tempat itu sudah sunyi dan hanya terdapat
seorang penjaga perahu kosong yang duduk melenggut ngantuk.
“Dia tentu menyeberang. Kita menyeberang saja,” kata Siang In.
“Bagaimana dengan Pek-liong?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kita tinggal saja.”
“Aih! Ditinggalkan? Sayang dong...!”
“Bu-twako, engkau masih belum mengenal kehebatan Pek-liong. Dia kutinggalkan akan tetapi dia bisa
pulang sendiri. Itulah satu di antara kelihaiannya. Kau lihat!” Siang In lalu melepaskan kendali keledai itu,
lalu berkata, “Pek-liong, kau pulanglah dan jaga rumah baik-baik! Hayo!”
Dia menepuk pantat kuda keledai itu tiga kali, dan binatang itu meringkik terus berlari congklang pergi dari
tempat itu dengan cepat. Kian Bu melongo. Benar-benar hebat binatang itu. Kelihatannya saja seekor
keledai bodoh, kiranya seekor binatang yang jinak dan cerdik!
Mereka lalu membangunkan tukang perahu yang mengantuk. Tukang perahu kelihatan ogah-ogahan
menyambut mereka. Menyeberangkan dua orang saja tentu merugikan dirinya, karena biasanya perahunya
itu menyeberangkan sedikitnya lima belas orang penumpang. Kalau dua orang itu mau membayar lebih...
“Sudahlah jangan khawatir, kami bayar dobel!” kata Kian Bu tak sabar.
Akan tetapi, dibayar dobel pun masih rugi dan dengan malas-malasan tukang perahu itu mendayung
perahunya ke tengah. Belum jauh perahu meluncur, terdengar orang-orang berteriak memanggil dan
ternyata di tepi sungai itu sudah berdiri lima orang laki-laki yang dikenal oleh Siang In dan Kian Bu sebagai
laki-laki gagah yang ditabraknya di kedai bersama empat orang pengikutnya!
Tentu saja tukang perahu menjadi girang dan cepat mendayung kembali perahunya ke pinggir. “Tidak usah
kembali, terus saja!” Siang In membentak.
“Aihh, Nona, kasihan mereka dan saya pun ingin penghasilan lebih,” bantah tukang perahu.
“Biarlah, In-moi. Mereka itu kelihatan orang-orang yang baik dan sopan. Masa urusan kecil begitu saja
membuat engkau masih marah-marah terus? Kata Nenek, orang marah lekas tua!”
Siang In membanting-banting kaki, akan tetapi tidak berani marah lagi karena tidak mau menjadi lekas tua,
hal yang amat dibuat ngeri oleh seluruh wanita di permukaan bumi ini!
Ketika lima orang itu naik ke perahu, laki-laki setengah tua yang bertubuh tegap dan bersikap gagah itu
segera tersenyum dan menjura. “Aih, kiranya Ji-wi yang telah berada di perahu. Terima kasih atas kerelaan
Ji-wi membiarkan perahu kembali lagi untuk membawa kami, dan harap Nona sudi memaafkan peristiwa di
kedai tadi.”
Mau tidak mau Siang In pun harus mengakui bahwa pria setengah tua itu benar-benar sopan dan halus
budi. Maka dia pun cepat meniru perbuatan Kian Bu untuk membalas penghormatan mereka, dan perahu
meluncur terus ke tengah sungai karena layar telah dibentangkan dan angin bertiup keras.
Tiba-tiba tukang perahu kelihatan gugup dan wajahnya menjadi pucat. “Ahh, celaka...,” bisiknya.
Lima orang yang bersikap gagah itu bangkit berdiri, memandang ke arah dua buah perahu kecil yang
meluncur cepat mendekati perahu mereka. “Siapa mereka?” tanya pria setengah tua yang usianya kira-kira
empat puluh tahun dan berjenggot pendek itu.
“Mereka... mereka... bajak sungai...” tukang perahu berbisik. “Biasanya tidak pernah mengganggu...”
“Jangan takut!” Laki-laki berjenggot pendek berkata tenang, kemudian bersama empat orang temannya dia
berdiri di kepala perahu, mencabut golok dan dengan golok terhunus mereka menanti dua buah perahu
yang meluncur datang itu. Sikap mereka gagah sehingga Siang In menjadi kagum.
“Kiranya mereka itu pendekar-pendekar kang-ouw...,” bisiknya kepada Kian Bu yang hanya tersenyum saja
dan sudah tentu dia pun diam-diam bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Setelah dua buah perahu yang membawa sepuluh orang tinggi besar dan kelihatan bersikap ganas itu
mendekat, orang setengah tua yang berjenggot pendek itu berseru dengan suara nyaring dan berwibawa,
“Kami bukanlah pedagang yang membawa banyak uang atau barang berharga, harap Cu-wi tidak
mengganggu kami!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sepuluh orang itu memandang, kemudian dua perahu itu melempar jangkar dan mereka semua lalu terjun
ke air dan menyelam! Tentu saja lima orang gagah itu memandang dengan heran, akan tetapi tukang
perahu berseru lagi, “Celaka...!”
Sebelum semua penumpang tahu mengapa tukang perahu begitu ketakutan, tiba-tiba perahu itu bergerak
dan miring, lalu bergoncang keras. Maka tahulah Kian Bu bahwa sepuluh orang bajak sungai itu menyelam
dan dari bawah kini berusaha menggulingkan perahu.
“Ahhh, bagaimana ini, Bu-twako?” Siang In sudah memeluk Kian Bu dengan ketakutan dan menjerit setiap
kali perahu miring. Gadis ini memiliki kepandaian silat lumayan dan seorang yang pemberani, akan tetapi
karena dia tidak pandai renang, menghadapi air sungai yang bergelombang itu dia ngeri.
Para penumpang sama sekali tidak berdaya dan akhirnya perahu terbalik dan mereka semua terlempar ke
air!
“Bu-twako...!” Siang In memeluk Kian Bu erat-erat sehingga membuat pemuda itu makin gelagapan.
Kian Bu yang sejak kecil tinggal di Pulau Es dan dekat dengan lautan, tentu saja pandai berenang akan
tetapi dia bukan ahli dan berenang di air laut lebih ringan dari pada berenang di air sungai, maka ketika
Siang In yang gelagapan itu saking takutnya memeluknya dengan ganas, Kian Bu juga menjadi repot sekali
dan beberapa kali dia terpaksa minum air sungai.
Ternyata bahwa lima orang gagah itu pun tidak pandai berenang sehingga dalam waktu belasan menit
saja, semua penumpang termasuk Kian Bu ditawan dalam keadaan pingsan dan dinaikkan ke dalam dua
buah perahu kecil, terus dibawa pergi setelah masing-masing kedua tangan mereka dibelenggu. Tukang
perahu itu menangis sambil memegangi pinggiran perahunya yang terguling. Dia rugi besar-besaran di hari
itu, sungguh pun untung bahwa dia tidak dibunuh para bajak.
Ketika Kian Bu membuka matanya dan siuman, dia telah berada di dalam sebuah kamar tahanan yang
kuat dan dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya. Cepat dia menoleh ke kanan-kiri dan hatinya lega
ketika dia melihat Siang In masih rebah di dekatnya, juga tangan dara ini terbelenggu dan biar pun Siang In
masih pingsan, namun dara ini tidak mati. Demikian pula dengan lima orang gagah yang juga terbelenggu
dan sudah mulai siuman.
Kian Bu menggerakkan kedua tangannya dan dengan jari-jari tangan dia mengurut perlahan tengkuk Siang
In. Gadis itu mengeluh lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk, kemudian
memandang kedua lengannya yang terbelenggu di depan tubuhnya.
“Aihhh... di mana kita?” Siang In bertanya dan memandang Kian Bu, lalu menoleh kepada lima orang lain
yang juga sudah mulai siuman.
“Kita agaknya menjadi tawanan bajak-bajak itu,” kata Kian Bu.
Dia sudah memeriksa tali belenggunya, dan kalau mau, tentu dia dapat mematahkan belenggunya itu biar
pun tali itu terbuat dari otot binatang yang amat kuat. Dia melihat lima orang itu mulai merenggut-renggut
tangan mereka, namun hasilnya sia-sia. Kian Bu maklum bahwa tidak sembarangan orang akan dapat
mematahkan belenggu ini, harus menggunakan sinkang tingkat tinggi. Maka dia pun dapat mengukur
bahwa kepandaian lima orang itu, terutama pemimpin mereka yang berjenggot pendek, biar pun mungkin
tinggi namun sinkang mereka belumlah begitu kuat.
“Tenang...!” Tiba-tiba Si Jenggot Pendek berkata. “Mereka menawan kita, berarti mereka tidak akan
membunuh kita. Menggunakan kekerasan tidak ada gunanya, apa lagi belenggu ini amat kuat. Kita harus
tenang dan menanti keadaan.”
Siang In juga mencoba-coba untuk mematahkan belenggu, tetapi malah kulit lengannya yang menjadi
nyeri. “Aih, Twako, bagaimana ini...?” keluhnya.
“Nona, harap jangan khawatir, kami akan melindungimu,” Si Jenggot Pendek berkata menghibur.
Siang In cemberut. “Huh, melindungi bagaimana? Kalian sendiri pun tidak berdaya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Bu bangkit berdiri dan memandang ke luar dari terali besi di atas pintu, lalu dia memberi isyarat
kepada mereka semua untuk ikut melihat. Mereka kini bangkit semua dan memandang ke luar. Kiranya
tempat itu merupakan sebuah perkampungan kecil yang dikurung pagar tembok kuat, tampak dari tempat
tahanan yang berada di tengah kampung itu.
Semua penduduk perkampungan itu agaknya sedang bersuka ria, sedang menghadapi suatu pesta yang
sedang mereka rayakan. Ada yang membawa kertas-kertas berwarna, pajangan-pajangan dan orangorang
itu hilir-mudik sambil tersenyum-senyum, akan tetapi rata-rata mereka itu mempunyai wajah bengis,
dan melihat dari pakaian mereka, baik yang perempuan mau pun yang laki-laki, mereka adalah orangorang
suku Nomad yang berkeliaran di daerah utara, terdiri dari campuran bermacam suku bangsa, akan
tetapi sebagian besar adalah keturunan suku bangsa Mongol.
Sepasukan orang terdiri dari dua belas orang bersenjata golok besar datang ke tempat tahanan itu dan
pintu besi dibuka dari luar. Kemudian tujuh orang tawanan itu digiring memasuki sebuah rumah besar dan
terus ke ruangan samping rumah gedung besar itu. Di dalam sebuah ruangan telah menanti seorang lakilaki
tua yang duduk di atas kursi.
Tujuh orang tawanan itu mengira bahwa tentu mereka akan dihadapkan kepada kepala bajak yang kejam
dan bengis, dan Kian Bu yang sengaja tidak mematahkan belenggu untuk melihat perkembangan sebelum
turun tangan, sudah siap untuk mengambil tindakan. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia memandang
dan mengenal orang yang duduk di atas kursi itu.
Pernah dia bertemu dengan orang ini di Koan-bun. Orang itu berpakaian sastrawan dan dia tahu bahwa
orang itu adalah pengawal lihai dari Raja Tambolon, yaitu Yu Ci Pok yang berpakaian pelajar (siucai) di
samping pengawal lain yang berpakaian petani dan bernama Liauw Kui! Akan tetapi perjumpaannya
dengan Tambolon dan dua orang pengikutnya itu hanya sepintas saja maka kini Yu Ci Pok Si Siucai Maut
itu tidak mengenalnya dan Kian Bu juga hanya menundukkan mukanya.
Memang tidak salah penglihatan Kian Bu, orang itu adalah Yu Ci Pok, pengawal Raja Tambolon, dan
tempat itu adalah tempat yang dijadikan sarang oleh Raja Tambolon pada saat itu! Seperti telah diceritakan
di bagian depan, Raja Tambolon gagal dalam merebut Koan-bun dan di kota itu pasukannya yang terdiri
dari seribu orang malah hancur-lebur dan terbasmi, hampir tidak ada lagi sisanya. Tetapi, berkat
kelihaiannya, dia dan dua orang pengawalnya berhasil menyelamatkan diri dan dia lalu lari ke utara.
Biar pun dia telah kehilangan pasukan, namun nama Raja Tambolon telah dikenal oleh para suku Nomad,
maka tentu saja kemunculannya disambut dengan penuh penghormatan dan sebentar saja Raja Tambolon
sudah dapat mengumpulkan kekuatan dan dia bahkan menjadi raja kecil di daerah perbatasan di seberang
sungai dan kekuasaannya meliputi daerah yang cukup luas! Ada pun kedua orang pengawalnya itu kini
diangkatnya menjadi menteri-menterinya karena dia sendiri menjadi raja kecil di situ. Para bajak sungai
yang beroperasi di sepanjang sungai itu semua ditundukkannya dan menjadi anak buahnya!
Kian Bu melirik ke depan dan melihat bahwa sastrawan itu ditemui oleh dua orang laki-laki yang dikenalnya
sebagai dua orang penunggang kuda yang dilihatnya di hutan itu. Kiranya dua orang itu adalah kaki tangan
sastrawan pengawal Tambolon ini, pikirnya. Dia menduga bahwa pengawal Raja Tambolon ini telah
berdikari dan menjadi kepala bajak. Tidak heran, karena memang orang itu lihai, pikirnya.
“Mereka berlima itulah!” Terdengar Si Kumis Tebal menerangkan kepada sastrawan itu. “Jelas bahwa
mereka itu adalah orang-orang dari Bhutan!”
Siucai itu memandang penuh perhatian, kemudian membentak kepada lima orang itu. “Benarkah kalian
adalah keparat-keparat dari Bhutan?” Kerajaan Bhutan telah menjadi musuh-musuh dari Tambolon dan
kaki tangannya.
Orang setengah tua itu mengangkat dadanya dan berkata, suaranya tabah dan nadanya memandang
rendah, “Hemm, kiranya di sini pun terdapat kaki tangan Tambolon yang merajalela! Aku tahu bahwa
engkau adalah Yu-siucai, pengawal Tambolon. Di manakah rajamu yang liar itu sekarang? Ha-ha-ha, aku
mendengar akan kehancurannya di Koan-bun!”
Siucai itu terbelalak, memandang penuh perhatian dan bangkit dari kursinya, mendekati orang setengah
tua itu, mengamat-amati, lalu membentak, “Keparat! Kiranya engkau adalah Panglima Jayin dari Bhutan!”
“Matamu masih awas, Yu-siucai!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siucai itu kembali duduk dan tertawa gembira, “Ha-ha-ha, siapa kira kita bisa menawan tokoh kedua dari
Bhutan! Ahhh, tentu Tai-ong akan gembira sekali melihat mukamu, Jayin!” Dia lalu menoleh kepada dua
orang itu. “Lekas kalian laporkan kepada Ong-ya bahwa lima orang tawanan dari Bhutan itu adalah Jayin
dan empat orang pembantunya! Akan tetapi hati-hati, jangan ganggu Ong-ya yang sedang bergembira.”
Dua orang itu mengangguk dan pergi, wajah mereka tampak girang sebab mereka telah membuat jasa
besar.
Yu-siucai lalu memandang Kian Bu dan Siang In. Gadis ini menundukkan mukanya, pakaiannya masih
basah dan menempel ketat di tubuhnya sehingga lekuk-lengkung tubuhnya yang ranum itu nampak nyata.
“Kalian siapa?!” bentaknya.
“Maaf, Taijin (Pembesar)...” Kian Bu menjawab cepat, mendahului Siang In. “Saya bernama Teng Bu dan
ini adik saya, Teng Siang In... kami berdua sedang menumpang perahu... tidak ada hubungan kami dengan
mereka ini...” Kian Bu memperlihatkan sikap ketakutan, dan diam-diam Siang In melirik kepadanya, agak
geli juga mendengar Kian Bu merubah namanya dan mengaku sebagai kakaknya dan membonceng shenya
(nama keturunan).
“Yu-siucai, dua orang ini memang hanya kebetulan saja menumpang perahu. Harap bebaskan mereka
yang tidak bersalah apa-apa.”
“Hemm, keputusannya berada di tangan raja kami. Dan untung bahwa kini kami sedang mengadakan
pesta pernikahan raja kami, kalau tidak, tentu kalian sudah menerima hukuman langsung.”
Panglima Jayin, tokoh Bhutan itu tertawa. Seperti telah kita kenal, panglima ini adalah murid dari Kakek Lu
Kiong, kakek dari Ceng Ceng dan telah menjadi orang terkenal di Bhutan. Dia bersama empat orang
pembantunya itu kini sedang bertugas untuk mencari Puteri Syanti Dewi.
“Ha-ha-ha, entah sudah berapa puluh kali aku mendengar Tambolon menikah!”
Siucai itu melompat ke depan, tangannya menampar.
“Plak-plak!”
Bibir Panglima Jayin pecah dan berdarah, namun dia masih berdiri tegak, memandang dengan mata
menghina.
“Kalau bukan hari baik raja kami, aku tentu sudah membunuhmu!”
“Pengecut!” Tiba-tiba Siang In memaki dan matanya terbelalak memandang siucai itu. “Laki-laki macam
apa engkau ini? Beraninya menghina orang yang terbelenggu. Hih, tak tahu malu! Buang saja pakaian
pelajar itu, ganti pakaian penjahat!”
Siucai itu terkejut dan memandang kepada dara itu dengan muka merah, dan Panglima Jayin tertawa
bergelak. “Ha-ha-ha, Yu-siucai, dengarkan suara seorang dara sederhana yang jauh lebih gagah dari pada
engkau. Ha-ha-ha! Terima kasih, Nona. Engkau sungguh patut dikagumi, dan aku akan mati gembira
mengenangkan seorang dara yang gagah seperti engkau!”
Siang In tersenyum dan dia tidak takut lagi kini. Pada saat itu, dua orang tadi datang lagi dan berkata,
“Pesta sudah dimulai, Yu-taijin diminta menghadiri pesta dan para tawanan diperbolehkan nonton dan ikut
bersenang-senang sebelum diambil keputusan hukuman mereka. Demikian pesan Ong-ya.”
Yu-siucai mengangguk. “Hemm, sungguh kalian masih bernasib baik. Raja kami sedang bergembira dan
tidak ada nafsu melihat darah musuh-musuhnya. Giring mereka ke sana!”
Kembali dua belas orang pasukan menggiring tujuh orang tawanan itu menuju ke ruangan besar dan luas
di mana telah terdengar suara riuh rendah orang berpesta. Kiranya pada waktu itu Raja Tambolon sedang
merayakan hari pernikahannya dan pesta besar dirayakan. Ruangan yang luas itu penuh dengan para
tamu, akan tetapi tamu-tamu itu terdiri dari orang-orang yang kasar dan liar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suasana pesta di situ kacau-balau dan sama sekali tidak teratur dan sebagian sudah mabok. Dan hampir
di setiap meja di ‘hias’ dengan perempuan-perempuan cantik yang bermacam-macam sikapnya. Ada yang
genit dan agaknya sudah mahir melayani orang-orang besar itu, ada yang kelihatan berduka dan takuttakut,
akan tetapi semuanya berpakaian mewah dan berbedak tebal. Mereka ini adalah wanita-wanita
rampasan yang telah dijadikan alat hiburan secara paksa oleh Tambolon dan kaki tangannya, dan kini
mereka dikerahkan untuk menemani dan menghibur para tamu!
Siang In memandang dengan cemas, dan diam-diam Kian Bu juga muak menyaksikan keadaan di situ.
Tanpa aturan sama sekali! Ada yang berkeliaran ke sana-sini, dan ada yang mengadu kekuatan minum
sampai ada yang muntah-muntah. Ada pula yang mengadu kekuatan pergelangan tangan, dirubung dan
disoraki dengan bising, ada pula yang sedang menggeluti seorang wanita. Tawa dan kekeh terdengar
memenuhi udara, bercampur dengan bau keringat dan arak dan mulut busuk! Di sudut kiri terdapat para
pemain musik dan para penyanyi yang suaranya sudah mulai serak dan sumbang karena diloloh minuman
keras oleh para tamu yang merubung tempat hiburan ini, agaknya mereka yang agak ‘nyeni’ atau yang
suka akan seni musik!
Tujuh orang tawanan itu digiring masuk terus ke tempat Tambolon untuk menghadap raja itu. Akan tetapi
Tambolon sedang sibuk dan ketika Yu-siucai mendekatinya dan berbisik, raja itu hanya menoleh sebentar
ke arah tawanan, kemudian menggeleng kepala dan menyuruh semua menunggu karena dia sedang sibuk
menonton adu gulat yang berlangsung di ruangan itu.
Memang adu gulat merupakan tontonan dan olahraga yang amat populer di daerah itu, dan Tambolon
sendiri dahulu merupakan seorang ahli gulat nomor satu di daerahnya. Setelah dia belajar ilmu silat tinggi,
tentu saja dia memandang rendah ilmu ini, akan tetapi dia masih suka menonton. Ramai sekali
pertandingan adu gulat di gelanggang yang disediakan khusus itu dan banyak tamu yang suka akan
tontonan ini mengepung tempat itu untuk menonton. Tambolon kini sudah tercurah seluruh perhatiannya
kepada pertandingan itu lagi setelah tadi terganggu sebentar.
Kian Bu tetap memegang kedua tangan Siang In sehingga empat tangan mereka yang pergelangannya
terbelenggu itu tidak pernah berpisah. Dia memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tempat itu penuh orang,
hampir kesemuanya orang-orang asing dan hanya sedikit saja orang-orang Han yang juga merupakan
orang-orang kasar dari golongan hitam. Banyak pula kepala-kepala suku yang mendapat tempat
kehormatan akan tetapi juga kini bercampur menjadi satu menonton apa saja yang disukai mereka di
dalam pesta awut-awutan itu.
Dari bentuk tubuh mereka yang tegap dan tinggi besar, dengan otot-otot yang membelit-belit seperti tali
kuat, dapat dimengerti bahwa mereka itu rata-rata adalah orang-orang kasar, tukang-tukang berkelahi yang
kuat dan berani. Kian Bu agak gentar hatinya mengingat bahwa dia harus melindungi Siang In. Dia lalu
melirik ke arah lima orang tawanan dari Bhutan itu, dan kebetulan Panglima Jayin memandangnya. Mereka
saling tersenyum dan Kian Bu kagum sekali. Panglima ini benar-benar amat gagah berani dan tenang. Dia
menarik Siang In, mendekati panglima itu, lalu berbisik,
“Agaknya engkau mencari Syanti Dewi?”
Panglima Jayin terkejut sekali, terbelalak dan mengangguk.
“Dia berada di istana kaisar, di kota raja,” Kian Bu berbisik lagi lalu menjauh karena khawatir kalau
didengar orang lain.
Panglima itu mengangguk-angguk dan terlihat girang. Panglima yang setia ini memang merasa girang
sekali. Dia sendiri terancam bahaya, akan tetapi hal itu bukan apa-apa baginya dan mendengar bahwa
puteri yang dicarinya sudah berada di tempat aman, di istana kaisar, tentu saja dia merasa lega dan girang.
Kini Kian Bu memperhatikan Tambolon. Raja itu kelihatan menyeramkan, dengan tubuhnya yang tinggi
besar dan matanya yang terbelalak lebar, mulut besar menyeringai dan kedua tangannya bergerak-gerak
mengikuti gerakan kedua orang pegulat yang sedang bertanding. Raja itu kelihatan amat tertarik sehingga
tak peduli akan keramaian di sekitarnya.
Di sebelah kirinya duduk pengantin perempuan yang selalu menundukkan mukanya yang tertutup tirai
halus, dan kelihatan pengantin ini lesu dan lemas. Di belakang agak ke samping, berdiri seorang yang
memakai pakaian perang dan Kian Bu mengenalnya sebagai pengawal Tambolon yang lihai, yaitu Si
Petani Maut Liauw Kwi! Dan di sebelah pengantin perempuan, agak jauh dan menyendiri, seperti
dunia-kangouw.blogspot.com
mengantuk dan malas, duduk seorang nenek tua yang berkulit kehitaman, memakai pakaian sutera hitam
yang hanya dilibat-libatkan di seluruh tubuhnya, dari kaki sampai ke kepalanya.
Melihat sepasang mata nenek yang mengantuk itu, sinar mata yang tajam seperti sepasang mata ular,
Kian Bu terkejut sekali. Dia dapat mengenal orang berilmu seperti yang pernah didengar dari ayahnya.
Melihat sinar mata itu mungkin sekali nenek ini pandai ilmu sihir! Dan dugaannya berdasarkan penuturan
ayahnya memang benar. Nenek itu adalah guru dari Tambolon, seorang yang datang dari Pegunungan
Himalaya, dari daerah See-thian (India) yang tinggi ilmu silatnya dan mahir ilmu sihir!
Jantung Kian Bu berdebar. Keadaannya sulit dan berbahaya! Dia harus melindungi Siang In, dan terutama
sekali dia harus berhati-hati menghadapi Tambolon, Petani Maut, Yu-siucai, dan nenek itu! Di samping itu
masih ada ratusan orang liar yang kelihatan kuat-kuat. Baru dua orang pegulat yang sedang berlaga itu
saja sudah amat hebat. Tubuh mereka yang telanjang dan hanya memakal cawat, seperti tubuh dua ekor
gajah. Otot-otot mereka menggelembung dan mengeluarkan bunyi berkerotan ketika mereka mengadu
kekuatan otot, berusaha untuk saling membanting. Benar-benar dia berada di tengah-tengah jagoanjagoan
yang tak boleh dipandang ringan!
Tiba-tiba Kian Bu tersentak kaget. Ada suara orang mendengkur di belakangnya. Di tengah-tengah orang
hiruk-pikuk berpesta-pora ini, masih ada yang tidur mendengkur. Gila! Mendengkur? Dia bergidik dan
teringat akan sesuatu, cepat menoleh dan... terbelalak dia memandang kepada seorang kakek berambut
putih semua yang tidur mendengkur di atas sebuah kursi, tepat di belakangnya!
Tangan kakek itu masih memegang sebuah guci arak yang menetes-netes araknya. Agaknya dia mabok
dan tertidur. Akan tetapi Kian Bu ingat benar bahwa di belakangnya tadi tidak ada apa-apa, tidak ada
kursinya, apa lagi kakek yang tertidur mendengkur. Hatinya tergetar. Betapa lihainya kakek ini! Dengan
hadirnya kakek ini sebagai lawan, makin beratlah keadaannya. Dia harus berlaku hati-hati sekali. Tempat
ini menjadi sarang orang-orang pandai.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai menggegap-gempita dari mereka yang menonton adu gulat, setelah
terdengar suara berdebuk keras. Kiranya seorang di antara pegulat itu dapat dibanting keras dan tentu saja
kalah dengan tulang punggung remuk! Tambolon agaknya menjagoi sang pemenang, buktinya dia
bersorak-sorak dan menjadi girang sekali.
“Si Bolohok menang! Ha-ha-ha, sudah kuduga. Kau lihat, isteriku, jagoanku menang. Hayo minum untuk
kegembiraan ini!” Tambolon melihat pengantin wanita menggeleng kepala, akan tetapi dia memaksa,
tangan kanan memegang cawan arak, tangan kiri membuka kerudung yang menutupi muka pengantin
wanita. Kian Bu melihat wajah seorang wanita yang cantik!
“Enci Siang Hwa...!” Mendadak Siang In yang berdiri di sampingnya menjerit ketika kerudung muka
pengantin wanita itu dibuka, dan dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, lari ke arah enci-nya yang juga
sudah melihatnya.
“Adikku...!” Pengantin wanita juga menjerit dan menangis.
Jarak antara mereka agak jauh dan semua orang tercengang mendengar jerit dua orang gadis itu dan
memandang bengong. Pengantin wanita dengan kerudung terbuka bangkit berdiri mengembangkan kedua
tangan, sedangkan dara remaja yang terbelenggu kedua tangannya itu lari terhuyung menghampirinya
sambil menangis juga.
Melihat ini, Yu Ci Pok yang semenjak tadi menjaga para tawanan, meloncat untuk menangkap Siang In.
Akan tetapi, loncatannya gagal karena dia merasa seperti ada sesuatu yang mengait kakinya sehingga dia
terperosok ke depan. Akan tetapi siucai ini memang lihai sekali, dengan berjungkir-balik dia dapat
mematahkan bantingan itu dan tubuhnya mencelat ke depan. Dia berhasil menyambar lengan Siang In,
akan tetapi karena gerakannya tidak wajar lagi oleh gangguan hebat tadi, tidak urung dia terhuyung dan
menabrak meja di depan Tambolon sehingga meja itu terbalik dan arak serta hidangan makan tumpah
semua. Tentu saja keadaan menjadi kacau dan geger!
“Siang In...!”
Pengantin wanita itu kini memegang tangan adiknya dan mereka berpelukan, namun Tambolon yang
menjadi marah dengan gangguan itu, menarik tangan pengantinnya. Yu Ci Pok yang merasa kaget
membikin terbalik meja junjungannya, lalu menyelinap di antara orang banyak untuk mencari orang yang
telah menjegal kakinya tadi. Saking marahnya, siucai ini lupa akan para tawanannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Bu yang memperhatikan semua itu, kini melihat betapa kakek yang tadi menjegal kaki Yu Ci Pok, kini
dengan gerakan cepat menghampiri lima orang Bhutan dan begitu jari-jari tangannya meraba, belenggubelenggu
lima orang itu patah semua. Kakek itu menghampiri dia, mengulur tangan ke arah belenggu yang
mengikat kedua tangan Kian Bu dan... kakek itu terbelalak dan mengeluarkan suara “huhh!” ketika melihat
betapa dengan amat mudahnya pemuda itu menggerakkan kedua tangan dan belenggu itu patah-patah!
“Enci... kenapa engkau menjadi begitu...?”
“Adikku... aku... aku dipaksa...”
“Bocah lancang, kau bosan hidup!” Tambolon menjadi marah sekali dan mengangkat tangan hendak
memukul Siang In.
Melihat ini, Kian Bu menjadi merah mata dan mukanya, darahnya naik dan perutnya pun terasa panas.
Lengkingan yang tinggi dan nyaring mengejutkan semua orang dan turut menambah kekacauan keadaan,
bahkan beberapa di antara orang-orang tinggi besar dan bertubuh kuat itu ada yang terguling dan
menutupi telinganya, ada yang menekan dadanya karena suara melengking yang keluar dari mulut Kian Bu
itu adalah pengerah khikang sakti dari Pulau Es, suara yang mengandung getaran hebat sehingga dapat
memecahkan anak telinga dan melumpuhkan jantung!
Dengan kemarahan meluap, Kian Bu meloncat ke atas, melewati kepala banyak orang dan melesat ke
arah Tambolon sambil menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka dan mengerahkan
tenaga Swat-im Sinkang sekuatnya. Tenaga Inti Salju yang amat hebat ini mendatangkan hawa dingin
yang amat luar biasa sehingga beberapa orang yang tersentuh hawa ini menggigil kedinginan, sampai gigi
mereka berkerutukan seperti orang menderita sakit demam!
Mendengar lengking tadi, Tambolon terkejut dan sudah mengurungkan pukulannya terhadap Siang In. Kini
lebih kaget lagi melihat seorang pemuda melayang datang dan menghantam dengan pukulan yang
membawa hawa dingin amat dahsyatnya itu.
Dari belakang raja itu, Petani Maut yang mengenal serangan dahsyat, sudah bergerak, meloncat ke depan,
tangannya masih memegang sebuah guci arak penuh yang tadi hendak digunakan mengisi cawannya.
Guci arak yang penuh itu kini dia pergunakan untuk menyambut hantaman Kian Bu yang dahsyat itu.
“Pyaaaarrrr...!”
Petani Maut terhuyung ke belakang dan menggigil kedinginan. Tambolon juga terbelalak melihat betapa
guci itu pecah berkeping-keping dan araknya berhamburan ke mana-mana, sebagian menjadi butiranbutiran
es karena beku oleh hawa mukjijat dari Swat-im Sinkang! Menyaksikan kelihaian pemuda ini,
Tambolon cepat berteriak kepada para pembantunya untuk mengepung dan mengeroyok. Gegerlah
keadaan pesta itu. Kian Bu mengamuk dikeroyok oleh banyak jagoan-jagoan kaki tangan Tambolon.
Panglima Bhutan dan empat orang pembantunya yang telah dibebaskan dari belenggu oleh kakek
berambut putih tadi, kini juga mengamuk dan berusaha untuk mencari jalan keluar. Akan tetapi, tempat itu
sudah dikepung dengan ketat oleh anak buah Tambolon sehingga seperti juga Kian Bu, mengamuklah
Panglima Jayin bersama keempat orang pembantunya. Pertandingan hebat, mati-matian dan kacau
terjadilah di tempat itu.
Medan pesta berubah menjadi medan pertempuran. Para tamu yang sudah mabok ada yang ikut-ikut
mengamuk, akan tetapi mereka ini roboh sendiri tanpa diserang karena berdiri pun mereka ini sudah tidak
mampu tegak lagi. Ada pula tamu mabok yang enak-enak bernyanyi, ada yang memeluk wanita tanpa
mempedulikan segala keributan itu. Pendeknya, tempat itu menjadi kacau-balau sama sekali.
Keributan menjadi makin kacau dan hebat, ketika ada minyak mengalir di bawah bangku dan meja yang
berserakan dan tak lama kemudian minyak bakar ini disambar api yang dilepas oleh kakek berambut putih
dengan membantingkan sebuah lentera ke atas lantai yang berminyak. Ruangan itu mulai dimakan api
yang bernyala besar dan hawa menjadi panas bukan main. Gegerlah semua orang yang sedang bertempur
itu. Amukan api yang hebat membuat mereka lupa akan pertempuran, lupa akan lawan karena api
merupakan lawan dan bahaya yang lebih hebat lagi. Larilah semua orang berserabutan menuju ke pintu
dan berjejal-jejal dalam usaha mereka untuk keluar dari pintu karena api yang menjilat minyak itu berkobar
tinggi dan sudah menjilat atap!
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat bahaya maut dari api yang mengamuk ini, Tambolon cepat menoleh dan hendak menyambar ke
arah pengantinnya. Ketika tangannya bergerak hendak menangkap lengan Teng Siang Hwa yang kini
berpelukan dengan adiknya, dalam keadaan takut dan memandang ke arah pertempuran yang bubar oleh
amukan api, Siang Hwa cepat mengelak dan gerakannya ini menyeret adiknya sehingga mereka terhuyung
dan terpisah.
“Hayo cepat kita pergi dari ruangan ini!” Tambolon berseru dan kembali tangannya menyambar dan sekali
ini agaknya Siang Hwa tidak akan dapat mengelak lagi.
“Dukkkk...!” Tambolon terkejut dan terhuyung. Ketika dia memandang, ternyata seorang kakek berambut
putih telah berdiri di depannya.
Suara hiruk-pikuk terdengar dan ada bagian atap yang roboh termakan api. Sebatang balok kayu bernyala
jatuh menimpa ke dekat mereka. Kakek itu menjadi terhalang dan tak dapat melindungi Siang Hwa. Namun
melihat Tambolon yang melompat ke samping menghindarkan diri dari timpaan balok sambil berusaha
menubruk pengantinnya, kakek itu menggerakkan tangan kanannya mendorong ke arah Tambolon. Itulah
pukulan jarak jauh yang amat dahsyat. Tambolon kembali tertahan gerakannya dan merasa ada hawa
menyambar dia kemudian menangkis.
Api makin membesar dan asap membuat mata Tambolon menjadi pedas dan panas. Maka dia lalu
menubruk ke depan, tetapi karena dia melakukan ini dengan sebagian perhatian ditujukan kepada Si
Kakek, dan matanya juga hampir terpejam karena panas dan pedas, dia salah tubruk dan yang tertangkap
dan cepat ditotoknya itu bukannya Siang Hwa melainkan Siang In, adik Si Pengantin Wanita.
Akan tetapi Tambolon agaknya tidak peduli lagi dan cepat dia memanggul tubuh Siang In yang lemas
tertotok itu di atas pundak kanannya dan dia meloncat dan lari dari ruangan yang terbakar itu melalui
sebuah pintu rahasia.
Api mengamuk makin ganas dan makin banyak bagian atap ruangan itu yang ambruk. Sekarang mulailah
penduduk perkampungan bajak atau anak buah Tambolon itu menggunakan air untuk mencoba
memadamkan api yang mulai menjilat dan menjalar ke mana-mana. Asap hitam bergulung-gulung
memenuhi tempat itu, menghalangi pandangan dan menyesakkan napas. Kekacauan ini memberi
kesempatan baik sekali kepada Kian Bu dan lima orang Bhutan itu untuk melarikan diri karena semua
orang lebih memperhatikan amukan api dari pada para tawanan itu.
Bahkan agaknya tidak ada lagi yang peduli akan tawanan-tawanan itu karena semua orang kini sibuk
berusaha memadamkan api yang telah membakar habis ruangan pendopo tempat pesta tadi. Dengan
suara gemuruh ambruklah ruangan pesta yang luar biasa itu, berikut bangunan-bangunan di dekatnya,
terbakar menjadi arang dan abu. Akhirnya api dapat dipadamkan setelah puas menghabiskan tempat itu,
dan tawanan telah lolos! Lenyap semua tawanan-tawanan itu dan juga pengantin wanita.
Tambolon marah-marah, mencak-mencak karena sekali ini dia menderita rugi besar. Sebagian bangunan
gedungnya musnah, para tawanan lolos dan pengantinnya kabur! Beberapa orang anak buahnya ada yang
tewas dimakan api, ada pula yang luka-luka. Setelah dia melemparkan tubuh Siang In yang lumpuh itu ke
atas pembaringan, dia lalu berlari ke luar dan teringatlah dia akan gurunya, nenek dari India itu. Ke mana
perginya gurunya itu? Mengapa tidak kelihatan keluar dari ruangan yang terbakar?
Tambolon keluar dan menenangkan para tamu yang cerai-berai itu, dan berkata, “Harap para tamu jangan
pergi dulu, pesta akan dilanjutkan di taman bunga! Kebakaran ini tidak akan menghalangi kita bersenangsenang!”
Para tamu bersorak-sorai gembira dan semua menuju ke taman di mana mulai diatur oleh para anak buah
Tambolon, sedangkan Tambolon sendiri bersama dua orang pengawalnya menuju ke puing bekas ruangan
tadi untuk mencari nenek yang menjadi gurunya. Nenek itu amat lihai dan sakti, akan tetapi memang sudah
agak pikun. Jangan-jangan gurunya itu keenakan melamun sehingga dimakan api, atau bisa jadi juga
gurunya itu melakukan pengejaran terhadap para tawanan dengan pembantu mereka yang lihai, yaitu
pemuda tampan itu dan Si Kakek berambut putih!
Tambolon dan dua orang pengawalnya menghadapi tumpukan abu dan kayu-kayu yang menjadi arang,
yang berupa puing menggunung. Tiba-tiba terdengar suara terkekeh kekeh dan tumpukan debu arang dan
dunia-kangouw.blogspot.com
kayu itu berhamburan dan muncullah Si Nenek guru Tambolon itu sambil tertawa-tawa dan dalam keadaan
segar bugar, hanya kotor penuh debu.
Tidak ada luka, tidak ada yang terbakar pada tubuh nenek itu, dan sedikit pun tidak kelihatan dia
kepanasan ketika dia melangkah dan menginjak sisa-sisa api yang masih membara itu dengan enaknya.
Para anak buah Tambolon yang sejak nenek itu datang memandang rendah nenek tua renta itu dan hanya
menghormatinya karena Tambolon mengakui sebagai gurunya, kini terbelalak memandang kagum dan
ngeri. Nenek ini seperti bukan manusia biasa tampaknya!
Tambolon cepat menyongsongnya dan bertanya, “Subo (Ibu Guru) tidak apa-apa?”
Nenek itu tertawa, hanya mulutnya saja yang terbuka dan memperlihatkan lubang yang dalam dan tanpa
ada giginya, hanya nampak gelap saja, tidak ada terdengar suara ketawa, “Aku sedang melamun, tahutahu
atap runtuh dan aku tertimpa. Mana dia si bocah tua bangka itu?” Matanya yang kecil penuh keriput di
seputarnya itu memandang ke kanan kiri, mencari-cari. “Mana bocah gila itu? Dia selalu mengikuti dan
mengganggu aku!”
“Siapakah yang Subo cari?” Tambolon bertanya.
“Siapa lagi kalau bukan See-thian Hoat-su? Aku tahu betul bahwa tadi dia datang dan kau kira siapa yang
menimbulkan kebakaran kalau bukan dia? Sayang aku tadi sedang melamun, kalau tidak sudah kutangkap
dia!”
Tambolon terkejut mendengar nama See-thian Hoat-su itu. Dia belum pernah bertemu dengan kakek itu,
akan tetapi dia tahu bahwa See-thian Hoat-su adalah bekas suami gurunya ini. Menurut cerita yang pernah
didengarnya, gurunya itu dahulu mempunyai seorang suami, seorang bangsa Han yang di waktu mudanya
merantau ke India dan berguru kepada ayah nenek itu untuk belajar ilmu sihir. Nenek itu pun masih muda
dan mereka saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri. Akan tetapi makin tua makin tidak
cocoklah mereka dan sering kali mereka bercekcok sampai bertanding ilmu.
Dalam hal ilmu silat, Si Suami lebih pandai, akan tetapi menghadapi ilmu sihir isterinya yang lebih lihai dari
padanya, See-thian Hoat-su (Ahli Sihir dari Dunia Barat) ini merasa tobat sehingga akhirnya dia
meninggalkan isterinya, kembali ke pedalaman. Nenek itu sendiri setelah amat terkenal dan disebut
Durganini, seolah-olah dia adalah titisan atau penjelmaan Dewi Durga, isteri dari maha dewa yang menjadi
kepala dari bangsa iblis! Tambolon berguru kepada Durganini setelah nenek itu berpisah dari suaminya.
Tambolon teringat akan kakek rambut putih yang dilihatnya muncul tiba-tiba di waktu keadaan kacau-balau
tadi. “Ah, kakek rambut putih itukah See-thian Hoat-su?”
“Kalau dia muncul lagi, cepat beritahu agar dapat kucengkeram tengkuknya!” Nenek itu berkata sambil
berjalan ke kamarnya dan meneriaki pelayan agar datang membawa air, memandikannya dan mengganti
pakaiannya.
Pesta itu tetap dilanjutkan juga pada malam harinya. Para tamu dijamu lagi di ruangan belakang, tidak
kalah meriahnya dengan sebelum terjadi keributan, dan kini pengantin wanita telah digantikan tempatnya
oleh Siang In! Dara remaja ini tidak berdaya karena ditotok dan dipaksa duduk bersanding dengan
Tambolon di dalam ruangan itu! Pesta berlangsung dengan penuh kegembiraan dan gila-gilaan.
Setelah merasa puas minum dan menjamu para tamunya, Tambolon yang sudah mulai mabok itu timbul
kegembiraannya melihat bahwa dara pengganti pengantinnya itu ternyata tidak kalah cantiknya dengan
kakaknya yang telah melarikan diri! Maka sambil tersenyum dia lalu memanggul tubuh ‘pengantinnya’ itu
dan di bawah sorak dan tawa para tamu yang masih belum pulang, Tambolon membawa pengantinnya itu
pergi dari dalam ruangan dan terus menuju ke dalam kamar pengantin yang sudah terhias meriah dan
berbau harum karena disiram minyak wangi dan dibakari dupa wangi! Siang In terkejut dan ketakutan, akan
tetapi karena dia sudah ditotok lumpuh, dia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali terbelalak seperti seekor
kelinci yang diterkam harimau.
Tambolon sebenarnya bukanlah seorang yang mata keranjang atau gila wanita. Tetapi, dia mempunyai
kepercayaan bahwa dia akan ‘awet muda’ dan dapat menggunakan ilmunya untuk memindahkan
kemurnian seorang gadis ke dalam tubuhnya sehingga memperkuat tenaga mukjijatnya jika dia
memperoleh seorang gadis, maka raja liar yang berilmu tinggi ini di mana-mana selalu mencari korban
seorang gadis.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia tidak pernah jatuh cinta dan setiap kali mendapatkan seorang perawan, setelah dipermainkannya
paling lama sepekan saja lalu ‘dioperkan’ kepada para pembantunya untuk menyenangkan hati para
pembantunya itu. Tentu saja setelah dia menyedot hawa murni dari gadis korbannya itu untuk memperkuat
dirinya. Dia tidak pernah mempunyai isteri dan karena kepandaiannya yang tinggi dan bantuan para kaki
tangannya, amat mudah bagi Tambolon untuk di mana saja mencari perawan untuk menjadi korbannya.
Betapa pun juga, tentu saja untuk membangkitkan birahinya, dia selalu memilih wanita yang cantik.
Ketika membawa bahan-bahan obat untuk dijual ke kota, Siang Hwa bertemu dengan serombongan kaki
tangan Tambolon yang dipimpin oleh Si Petani Maut. Melihat gadis cantik ini, Petani Maut yang memang
sudah dipesan oleh Tambolon untuk mencarikan ‘isteri’ lalu menangkapnya dan perlawanan Siang Hwa
percuma saja. Tambolon yang baru saja kehilangan pasukannya dan sedang berusaha untuk menghimpun
tenaga, lalu menggunakan kesempatan mendapat ‘isteri’ baru itu untuk mengundang para pimpinan suku
bangsa liar di utara mengadakan perjamuan untuk menyenangkan hati mereka. Pesta pernikahan itu
hanyalah alasan saja, karena yang penting baginya adalah menyenangkan hati calon-calon pembantu dan
sekutunya itu dan kedua memperoleh korban seorang perawan baru.
Demikianlah, dengan wajah berseri-seri sungguh pun tadi dia marah-marah karena gangguan di dalam
pesta sehingga terjadi kebakaran, kini Tambolon memanggul tubuh Siang In. Dengan kasar dia
membentak para pelayan dan penjaga di depan kamarnya agar pergi, kemudian dia berkata kepada Siang
In, “Heh-heh, manis, sekarang kita hanya berdua saja, jangan kau bersikap malu-malu lagi...”
“Jahanam, iblis keji, anjing babi hina dina! Kau bunuhlah saja aku...!” Siang In memaki-maki dengan suara
serak karena sudah sehari penuh dia memaki-maki tadi. Kalau saja kaki tangannya tidak menjadi lumpuh
ditotok secara istimewa oleh Tambolon, tentu dia sudah mengamuk atau membunuh diri.
“He-he-heh, sayang kalau dibunuh, kau begini segar dan muda!” Tambolon menendang daun pintu
kamarnya terbuka, lalu melangkah masuk ke dalam kamar.
“Heh-haaa?” Dia terbelalak dan terheran-heran memandang ke dalam karena di tengah kamarnya, seperti
seorang dewi dari kahyangan, berdiri seorang wanita yang cantik dan menyala pakaiannya, dengan gelung
rambut tinggi dihias emas mutiara, jubahnya merah dan pakaiannya ketat membayangkan tubuh yang
penuh tantangan, akan tetapi wanita ini berdiri sambil bertolak pinggang, sikapnya gagah dan sebatang
pedang tergantung di punggungnya!
“Ehh, Nona cantik, siapakah kau...?” Tambolon benar-benar terkejut dan kagum sekali. Wanita yang berdiri
di dalam kamarnya itu biar pun tidak semuda gadis remaja yang dipanggulnya, akan tetapi cantik menarik
dan penuh daya pikat, dengan tubuh yang sudah matang!
“Tambolon, kau bebaskan bocah itu.”
“Kenapa?” Tambolon bertanya. “Dan siapakah kau?”
“Hi-hik, kalau kau tidak keburu melarikan diri ketika pasukanmu dihancurkan di Koan-bun, tentu engkau
telah bertemu dengan aku. Suheng Hek-tiauw Lo-mo dan aku Mauw Siauw Mo-li yang memimpin pasukan
pemberontak menghancurkan pasukan itu!”
“Ahhhh...!” Tambolon terkejut dan cepat melemparkan tubuh Siang In yang lumpuh itu ke atas
pembaringan sambil berkata, “Manis, kau tunggu sebentar di situ!” Kemudian ia menghadapi wanita itu dan
memandang dengan penuh perhatian. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama Hek-tiauw Lo-mo yang
hebat dan kiranya wanita ini adalah adik seperguruan tokoh itu.
“Jadi begitukah? Hek-tiauw Lo-mo dan sumoi-nya menentang Tambolon?”
“Tambolon, semua itu adalah salahmu sendiri. Mula-mula engkau membantu Pangeran Liong, seperti juga
kami, akan tetapi siapa suruh kau berkhianat dan malah menyerang pasukan Pangeran Liong hingga
terjadi saling serang dan akhirnya kita dihancurkan semua oleh pasukan pemerintah? Sekarang kita semua
telah gagal, dan kedatanganku bukan karena urusan kegagalan itu, melainkan untuk minta Nona ini.”
Tambolon mengangguk-angguk. Memang dia telah sadar bahwa dia telah dipancing oleh Lu Ceng dan
Topeng Setan! Juga tidak baik kalau dia harus memusuhi Hek-tiauw Lo-mo dan sumoi-nya ini. Dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
orang-orang seperti itu jauh lebih baik bersekutu dari pada bermusuhan, dan dia sedang membutuhkan
banyak tenaga bantuan untuk menghimpun kekuatan baru. Maka dia lalu tertawa.
“Ha-ha-ha, Mauw Siauw Mo-li sungguh enak saja bicara. Engkau tahu bahwa nona ini telah menjadi
isteriku, bagaimana mungkin akan kau minta begitu saja?” Kemudian dia melanjutkan setelah menjelajahi
tubuh wanita cantik itu dengan pandang matanya.
“Kalau kau hendak mengambil dia, apakah engkau akan menggantikan dia menemaniku malam ini? Ha-haha!”
Mauw Siauw Mo-li tersenyum. “Menemanimu saja bukan merupakan keberatan bagiku, Tambolon. Tetapi
aku perlu nona ini sekarang, dan kalau kau memberikannya baik-baik, kelak masih belum terlambat bagiku
untuk berkunjung dan menemanimu beberapa malam. Akan tetapi sekarang aku tidak ada waktu lagi, dan
biarkan aku pergi membawa nona itu.”
“Kalau aku menolak?”
“Hi-hi-hik-hik, engkau tentu tahu bahwa kami kakak beradik seperguruan tidak biasa dibantah!”
Tambolon tersenyum. Baginya, mendapatkan Siang In atau tidak bukanlah merupakan hal yang amat
penting. Masih banyak perawan yang bisa didapatkan pada malam itu juga dan berapa banyak pun. Dan
sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ini amat cantik, pula kalau dia dapat bersekutu dengan Hek-tiauw Lo-mo
melalui wanita ini, hal itu akan memperkuat kedudukannya. Tetapi dia adalah seorang raja, selain amat
merendahkan kalau dia harus menurut perintah wanita itu begitu saja, juga sebagai seorang yang berilmu
tinggi dia ingin sekali mencoba kepandaian wanita yang mengaku sebagai sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo.
“Bagus, Mauw Siauw Mo-li, aku pun ingin sekali mencoba apakah kepandaianmu juga sehebat
kecantikanmu. Sambutlah!” Tambolon lalu loncat ke depan mengirim serangan dengan kedua tangannya
mencengkeram ke arah pundak wanita cantik itu.
“Hemm, bagus...!” Wanita itu dengan gerakan yang amat lincahnya sudah mengelak ke kiri.
Mauw Siauw Mo-li bukan tidak tahu bahwa raja orang liar ini memiliki kepandaian yang amat tinggi, dan dia
pun tahu pula bahwa Tambolon mempunyai pembantu-pembantu yang lihai dan dia telah memasuki
sarang naga yang berbahaya. Maka sambil meloncat, dia terus mencelat ke arah pembaringan dan di lain
saat dia telah berhasil menyambar tubuh Siang In yang dikempit dengan lengan kiri, sedangkan tangan
kanannya sudah mengeluarkan sebuah benda kecil. Benda itu berbentuk dos kecil tempat yanci (alat
pemerah pipi).
Melihat wanita memegang yanci, Tambolon tertawa dan tentu saja tidak menduga apa-apa, terus
menubruk ke depan. Akan tetapi wanita itu membawa Siang In meloncat keluar kamar melalui jendela
sambil menyambitkan dos kecil itu ke arah Tambolon. Raja yang liar ini cukup cerdik. Biar pun benda itu
hanya dos kecil, namun dia menjadi curiga dan cepat melompat jauh menghindari sambil bertiarap.
“Darrrrr...!”
Seperti yang telah dikhawatirkan oleh Tambolon, benda kecil yang kelihatan tak berarti itu kiranya adalah
sebuah senjata rahasia peledak yang amat hebat kekuatannya. Meja kursi dan pembaringan di dalam
kamar itu hancur berantakan dan kalau saja Tambolon tidak bertiarap, tentu dia dapat terluka pula. Dia
menjadi kagum akan tetapi juga marah. Wanita itu memang patut dijadikan sekutu, akan tetapi telah terlalu
menghinanya, maka dia segera berteriak memanggil anak buahnya dan minta bantuan gurunya untuk
melakukan pengejaran. Karena Mouw Siauw Mo-li sudah berlari jauh dan berlindung di kegelapan malam
bersama Siang In, maka dengan hati mendongkol Tambolon lalu mengirim pasukan untuk mengejar terus.
Siang In tadinya marah sekali ketika melihat Mauw Siauw Mo-li, karena wanita pesolek itulah yang telah
mencuri kitab catatan peninggalan ayahnya. Akan tetapi ketika melihat wanita itu menolongnya dan
melarikannya dari kamar Tambolon, dia merasa heran dan juga bersyukur sekali, sungguh pun dia
menduga bahwa perbuatan wanita itu tentu mengandung pamrih sesuatu. Seorang yang berwatak palsu
seperti wanita ini, yang diterimanya sebagai tamu dengan ramah kemudian malah mencuri kitab seperti
maling, tidak mungkin mengenal perbuatan baik. Di balik pertolongannya melarikan dia dari tangan
Tambolon pasti bersembunyi keinginan lain demi kepentingan dirinya sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mauw Siauw Mo-li membebaskan totokannya dan Siang In kini berjalan di sampingnya di dalam kegelapan
malam, melalui pegunungan yang hanya disinari cahaya bulan muda dan bintang-bintang di langit.
“Setelah mencuri kitab, engkau ini pura-pura menolongku ada keperluan apa?” Siang In menegur, akan
tetapi tidak menghentikan kakinya yang berjalan mengikuti wanita itu karena dia maklum bahwa Tambolon
dan anak buahnya tentu melakukan pengejaran.
“Kitab itu? Nih, kau boleh terima kembali!” Mauw Siauw Mo-li menyerahkan kitab kuno kecil kepada Siang
In.
Dara ini makin heran, tetapi menerima kitab itu dan disimpannya di saku baju dalamnya. Kitab itu
sebetulnya tidak lagi berguna bagi dia atau kakaknya karena mereka telah hafal akan isinya, dan sekarang
mereka menyimpannya hanya sebagai barang pusaka peninggalan ayah mereka.
“Engkau seorang yang aneh sekali. Engkau tadi menyebutkan nama julukanmu Mauw Siauw Mo-li?
Apakah artinya semua perbuatanmu ini? Mula-mula engkau mengunjungi aku, lalu mencuri kitab ini.
Sekarang engkau bersusah payah menyelamatkan aku dari tangan Tambolon kemudian mengembalikan
kitab. Sebetulnya, apakah kehendakmu?”
Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, lalu berkata, “Engkau puteri mendiang Yok-sian, sayang kalau
sampai menjadi makanan Tambolon yang rakus! Dan, ehh, adik kecil yang baik, siapa namamu?”
“Aku Teng Siang In.”
“Adik Siang In, sebagai keturunan orang pandai, engkau tentu mengutamakan balas budi. Engkau tentu
tahu bahwa tanpa aku yang melarikanmu dari tangan Tambolon, saat ini engkau sudah mengalami hal
yang amat menyenangkan hati Tambolon akan tetapi yang bagi dirimu merupakan penghinaan yang akan
terasa seumur hidupmu. Engkau akan sudah diperkosa, menderita penghinaan berkali-kali sampai kau
tidak kuat menahan dan mati, dalam keadaan hina dan mengerikan. Nah, kau mengakui adanya
pertolonganku ataukah tidak?”
Mendengar ucapan itu, Siang In membayangkan apa yang dapat menimpa dirinya itu dan dia bergidik
ngeri. Akan tetapi dia seorang dara yang cerdik, dan setelah terbebas dari ancaman bahaya maut dari
tangan Tambolon, sekarang dia pun tidak takut lagi menghadapi bahaya baru dan dia menjawab, “Mo-li,
lebih baik katakan saja terus terang, apa yang kau kehendaki dari aku setelah kitab yang kau curi ini
agaknya tidak ada gunanya bagimu.”
“Hi-hik, engkau lumayan juga, engkau cerdik! Nah, lebih baik aku berterus terang saja.” Dia berhenti di
bawah pohon kecil dan duduk di atas batu, Siang In berdiri di depannya.
“Terus terang saja, aku menderita keracunan di sebelah dalam darahku. Hal ini terjadi ketika aku mencuri
mempelajari ilmu pukulan beracun dari kitab milik suheng-ku. Sebelum sempurna aku mempelajarinya,
suheng-ku tahu akan hal itu dan dia merampas kembali kitab itu sehingga aku tidak dapat melanjutkan
latihanku. Karena tidak ada lagi petunjuknya, hawa beracun yang sudah terkumpul itu tidak dapat
kusalurkan dan mulai meracuni diriku sendiri. Aku telah minta tolong Suheng, akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo
yang menjadi suheng-ku itu memang orang kejam! Dia malah menyukurkan, bilang bahwa itu hukumannya
seorang yang mencuri pelajaran orang lain. Huh, seperti aku tidak tahu saja bahwa dia pun mencuri kitab
itu dari Dewa Bongkok....” Mauw Siauw Mo-li berhenti sejenak untuk menarik napas.
“Akan tetapi untuk memaksanya, aku tidak berani karena dia lihai sekali. Nah, aku mendengar bahwa tokoh
pengobatan yang paling pandai adalah Yok-sian, ayahmu. Sayang dia telah meninggal dunia, maka aku
lalu mencuri kitab itu. Kiranya kitab itu hanya berisi catatan tentang nama-nama dan macamnya
tetumbuhan obat, sama sekali tidak ada gunanya bagiku. Karena itu, Adik Siang In, aku menolongmu dan
ingin minta bantuanmu agar engkau suka menerangkan, obat apa yang kiranya akan dapat
menyembuhkan aku, karena engkau tentu telah mewarisi kepandaian itu dari ayahmu.”
Siang In mengerutkan alisnya. “Sayang sekali, kepandaian pengobatan itu diwarisi oleh enci-ku, dan aku
hanya bisa mengenal bahan-bahan obat saja. Akan tetapi, biar enci-ku sendiri kiranya tidak akan dapat
menyembuhkan akibat racun yang menyerang dari dalam karena latihan yang salah. Ada suatu rahasia
besar yang diketahui oleh enci-ku dan aku, dan karena engkau telah menyelamatkan aku, biarlah aku
membuka rahasia itu kepadamu dan mungkin saja rahasia itu akan menjadi jalan penyembuhanmu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mauw Siauw Mo-li gembira sekali mendengar ini. “Rahasia apa itu yang akan mampu menyembuhkan
aku? Lekas katakan!”
“Mendiang Ayah pernah bercerita kepadaku. Ketika aku masih berusia lima tahun, Ayah sendiri pernah
mencoba untuk mendapatkan anak naga itu...”
“Anak naga? Apa maksudmu? Ceritakan yang jelas!”
Karena merasa telah dihindarkan dari bahaya yang mengerikan di tangan Tambolon, Siang In lalu
membuka rahasia seperti yang pernah dituturkan oleh mendiang ayahnya itu.....
Di sebuah telaga yang amat luas, yaitu Telaga Sungari yang jarang didatangi manusia, di sebelah barat
Pegunungan Jang-kwan-cai, hidup seekor naga yang mungkin sekali merupakan naga terakhir di dunia ini.
Naga itu tidak pernah keluar dari dasar telaga yang amat dalam itu, dan hanya setiap sepuluh tahun sekali,
pada permulaan musim semi, naga itu keluar dari dalam telaga, membawa anaknya yang baru menetas
untuk menerima sinar matahari.
Setiap sepuluh tahun sekali naga itu bertelur dan jarang sekali ada telurnya yang menetas, akan tetapi
kalau ada yang menetas, anaknya lalu dibawa ke permukaan telaga untuk menghisap tenaga yang dari
matahari. Nah, anak naga yang baru menetas itu merupakan mustika yang tak ternilai harganya, karena
dapat dipergunakan untuk obat yang menyembuhkan segala macam penyakit, terutama keracunan. Juga
bagi yang tidak menderita sakit, anak naga itu merupakan obat yang dapat membikin tubuh menjadi kuat
dan kebal, dapat pula memperkuat tenaga sinkang.
“Sekarang aku telah berusia lima belas tahun, berarti sepuluh tahun telah lewat sejak naga itu muncul di
permukaan air Telaga Sungari. Bulan depan adalah permulaan musim semi, maka kalau engkau mau pergi
ke telaga itu dan dengan kepandaianmu engkau dapat merampas anak naga, jangankan baru keracunan di
dalam darahmu, biar engkau sudah tiga perempat mati pun akan dapat disembuhkan.”
Mauw Siauw Mo-li tertarik sekali. “Permulaan musim semi? Hanya kurang beberapa hari lagi...”
Dia berhenti dan menatap wajah dara itu, menajamkan pandangan untuk menembus kegelapan remangremang
itu menyelidiki wajah Siang In. “Siang In, benarkah apa yang kau ceritakan semua itu?”
Siang In cemberut. “Mo-li, engkau tadi menyebut-nyebut nama ayahku yang telah meninggal dunia. Apa
kau kira aku sudi untuk mencemarkan nama baik ayahku dengan cara membohongimu? Betapa pun juga,
engkau telah menyelamatkan aku dari tangan Tambolon, dan sudah sepatutnya kalau kau kuberi tahu
tentang anak naga itu agar engkau dapat mencari penyembuhan untuk darahmu yang keracunan.”
“Bagus! Kalau ceritamu benar dan aku berhasil, kelak aku akan menghaturkan terima kasih ke lembah
Pek-thouw-san di mana engkau tinggal. Akan tetapi kalau engkau membohong, aku pun akan datang ke
sana dan engkau akan menerima hukuman yang pasti lebih mengerikan dari pada kalau engkau terjatuh ke
tangan Tambolon.” Setelah berkata demikian, wanita itu berkelebat dan lenyap.
Siang In hanya mendengar suara lengking aneh seperti seekor kucing terinjak ekornya dari jauh. Dia
bergidik. Pantas julukannya Siluman Kucing, pikirnya. Kemudian dia teringat bahwa dia ditinggalkan
sendirian saja, sedangkan mungkin sekali pasukan Tambolon masih melakukan pengejaran, maka
kemudian dia melanjutkan perjalanan melarikan diri.
Siang In adalah seorang dara remaja yang sejak kecil hidup tenteram di lereng Gunung Pek-thouw-san,
sebuah puncak di Pegunungan Jang-pai. Dia hidup bersama enci-nya, Siang Hwa dan biasanya dia hanya
pergi ke hutan-hutan di sekitar pegunungan itu mencari bahan-bahan obat atau rempah-rempah yang
banyak tumbuh di daerah itu.
Kini, dia melakukan perjalanan mencari enci-nya, tentu saja dia kurang pengalaman dan dia sama sekali
asing dengan daerah yang dilaluinya sekarang ini. Apa lagi perjalanan pelarian itu dilakukan di malam hari,
hanya diterangi bulan muda dan bintang-bintang, dalam keadaan gelisah karena dikejar pula, maka dia lalu
melarikan diri secara ngawur.
Sebaliknya, yang melakukan pengejaran dua rombongan. Rombongan pertama adalah pasukan yang
melakukan pengejaran terhadap lima orang Bhutan, Kian Bu, dan Siang Hwa yang dapat melarikan diri
lebih dulu ketika terjadi kebakaran. Rombongan kedua adalah pasukan yang mengejar Mauw Siauw Mo-li
dunia-kangouw.blogspot.com
dan Siang In. Yang pertama dipimpin oleh Si Petani Maut, sedangkan pasukan kedua dipimpin oleh Yu Ci
Pok Si Siucai Maut. Pasukan-pasukan pengejar ini terdiri dari orang-orang Nomad yang sejak kecil hidup di
daerah itu secara berpindah-pindah, tentu saja mereka mengenal baik daerah itu dan mereka dapat
melakukan pengejaran dengan terarah dan mengepung serta memotong jalan-jalan di daerah itu.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apa bila pada keesokan harinya, Siang In terkejut sekali mendengar
derap kaki kuda jauh dari belakangnya. Dia sudah keluar dari daerah hutan dan berada di tanah datar
tanpa pohon, maka tidak sempat lagi baginya untuk bersembunyi, maka larilah dara ini ke depan, secepat
mungkin!
Tak lama kemudian terdengar suara hiruk-pikuk dan para pengejar itu membalapkan kuda mereka karena
mereka telah melihat gadis yang berlari cepat itu, dan mendengar betapa derap kaki kuda makin dekat,
Siang In mempercepat larinya dan mengeluh,
“Ahhh... kalau saja Pek-liong berada di sini...” Kalau dia menunggang keledai itu, dia tidak takut biar dikejar
oleh siapa pun juga karena keledainya dapat berlari lebih cepat dari kuda yang bagaimana pun.
Para pengejar semakin dekat dan napas Siang In sudah terengah-engah ketika tiba-tiba dia
membelalakkan mata dan menghentikan larinya karena di depannya membentang luas sebatang sungai
yang amat lebar. Sungai ini adalah Sungai Yi-tung.
“Celaka...!” Siang In berseru kaget dan cepat dia memutar tubuhnya. Belasan orang penunggang kuda
mendatangi dengan cepat dipimpin oleh Si Sastrawan!
“Biar aku melawan sampai mati!” Siang In yang maklum bahwa dia tidak dapat lari terus karena ada sungai
lebar menghalang di depannya, kini sudah berdiri tegak, kedua tangan dikepal dan dia menggigit bibir
bawah dan matanya berkilat penuh kemarahan!
Akan tetapi, terdengar teriakan-teriakan dari kiri dan ketika Siang In menoleh, dia melihat belasan orang
lagi datang berlarian di tepi sungai, dan mereka itu bukan lain adalah orang-orang liar yang dipimpin oleh
Si Petani Maut, yaitu para pengejar pertama yang dalam usahanya mengejar para tawanan yang lolos
telah tiba pula di tempat itu! Tentu saja hati Siang In menjadi makin gelisah, akan tetapi dara itu telah
kehilangan rasa takut karena dia tahu bahwa melawan atau tidak, dia akan celaka di tangan mereka, dan
dia memilih mati sambil melawan dari pada hidup menjadi tawanan dan permainan dari Raja Tambolon!
“In-moi...!”
Siang In terkejut dan jantungnya berdebar keras. Itulah suara enci-nya Siang Hwa!
“Cici...!” Dia cepat menoleh dan makin girang hatinya saat dia melihat Kian Bu bersama enci-nya, seorang
kakek tua berambut putih, dan lima orang tawanan itu berada di atas rakit bambu yang didayung oleh
mereka ke tepi sungai.
“Bu-koko... kau tolonglah aku...” Siang In berteriak girang melihat munculnya pemuda itu.
Dia telah salah mengira bahwa pemuda yang pandai mengenal sajak kuno itu hanyalah seorang kutu buku
yang lemah. Dia mengerti sekarang bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka begitu
bertemu dia berteriak minta tolong.
“Siauw-moi, (Adik Kecil), kau tenanglah!” Kian Bu berkata sambil meloncat ke darat dengan gerakan yang
amat lincah, diikuti oleh kakek berambut putih yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su.
Pada saat itu, hampir berbareng Si Petani Maut Liauw Kui dan Si Sastrawan Yu Ci Pok telah tiba di situ.
“Nona, ke mana engkau hendak lari?” Yu Ci Pok yang bertugas menawan kembali ‘pengantin kedua’ ini
menubruk sambil meloncat dari atas kudanya.
Siang In mencoba untuk mengelak ke kiri sambil mengirim pukulan dengan tangan kanannya ke arah dada
sastrawan itu.
“Plakk!” Pukulan dara itu yang dilakukan dengan sekuatnya diterima oleh Si Sastrawan sambil tertawa dan
sebaliknya sastrawan itu menangkap pergelangan tangan Siang In.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lepaskan aku...!” Siang In meronta namun percuma karena pegangan Yu Ci Pok itu kuat sekali.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Keparat, Lepaskan dia!”
Yu Ci Pok cepat menengok dan melihat tubuh pemuda tampan bekas tawanan itu pesat melayang ke
arahnya. Dia terkejut, melepaskan Siang In dan menyambut Kian Bu dengan tamparan dahsyat,
mengambil kesempatan selagi pemuda itu masih melayang.
“Dessss...!”
Kian Bu telah mendorong dan mengerahkan sinkang-nya. Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya
tubuh sastrawan itu hampir roboh terjengkang kalau saja dia tidak cepat meloncat ke belakang sambil
memandang heran dan mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang poan-koan-pit.
Sementara itu, Si Petani Maut juga sudah tiba di situ, akan tetapi sebelum dia sempat turun tangan,
terdengar suara ketawa dan ketika dia menoleh ada tangan menampar mukanya. Untung Liauw Kui adalah
seorang berkepandaian tinggi dan merupakan pembantu utama dari Tambolon, maka begitu mendengar
ada angin menyambar, dia sudah mengelak dan cepat menengok. Kiranya yang menamparnya tadi adalah
seorang kakek berambut putih yang menamparnya sambil tertawa-tawa!
Liauw Kui teringat bahwa kakek ini yang muncul di dalam kekacauan pesta, maka dia dapat menduga
bahwa kakek ini tentu lihai sekali. Seperti juga Tambolon sendiri, dua orang pembantu utamanya ini juga
belum mengenal See-thian Hoat-su, bekas suami Durganini guru Tambolon. Liauw Kui sudah cepat
mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu batang pikulannya lalu menyerang kakek itu sambil
menyerukan perintah mengepung dan mengeroyok kepada semua anak buah kedua pasukan yang
jumlahnya ada tiga puluh orang lebih itu!
Siang Hwa, Panglima Jayin dan empat orang pembantunya sudah cepat mendayung perahu getek atau
rakit bambu itu ke tengah setelah Siang Hwa yang tadi meloncat ke darat, berhasil menarik adiknya dan
membawanya lari ke atas rakit. Sedangkan Kian Bu dan See-thian Hoat-su mengamuk dikeroyok oleh dua
orang pembantu Tambolon yang lihai dan tiga puluh orang lebih itu.
See-thian Hoat-su tidak mengeluarkan ilmu sihirnya karena kakek ini mengira bahwa bekas isterinya,
Durganini ikut pula mengejar dan mengeluarkan ilmu sihir berarti mencari penyakit kalau nenek bekas
isterinya yang merupakan tokoh sihir itu berada di situ. Malah dia pun sudah merasa gentar, maka cepat
dia berkata, “Orang muda, mau tunggu apa lagi? Hayo lekas kembali ke rakit!”
Kakek itu sudah menyambar beberapa buah batu, lalu dia melemparkan sebuah batu melayang lurus ke
depan, tepat di permukaan air sungai, disusul tubuhnya meloncat, menginjak batu itu sambil melempar lagi
batu kedua ke depan, meloncat lagi dan dengan cara mengagumkan ini dia telah tiba di atas rakit. Akan
tetapi, ternyata Kian Bu juga telah berada di atas rakit itu. Kiranya pemuda ini tadi melayang tinggi ke atas,
lalu di atas membuat jungkir balik sembilan kali sehingga tubuhnya meluncur terdorong gerakan poksai
susul-menyusul ini dan hinggap di atas rakit dengan ringan. Siang Hwa, Siang In, Panglima Jayin dan
empat orang pembantunya melongo melihat demonstrasi ginkang istimewa yang dilakukan oleh kakek
berambut putih dan pemuda tampan itu.
Siang Hwa dan Siang In berpelukan dan mencucurkan air mata saking girang dan terharu bahwa mereka
berdua telah lolos dari bahaya mengerikan yang mengancam diri mereka di sarang Raja Tambolon. Namun
mereka tidak mendapat banyak kesempatan untuk bertangisan dan saling menceritakan pengalaman lebih
lama lagi karena Kakek See-thian Hoat-su berseru, “Hayo kalian hentikan tangis-menangis itu, lihat mereka
telah mengejar kita!”
Semua orang menengok dan memang benar. Kiranya tiga puluh lebih anak buah Tambolon itu telah
mempergunakan rakit-rakit yang banyak terdapat di tepi sungai dan melakukan pengejaran di atas enam
buah rakit yang mulai mengepung dan mencegat dari empat jurusan.
“Awas anak panah!” Kian Bu berseru sambil meloncat berdiri.
Bersama Kakek See-thian Hoat-su, pemuda Pulau Es ini dengan tangkas menyambut anak-anak panah
yang datang menyambar, menangkis dengan kaki tangannya. Melihat ini, See-thian Hoat-su tertawa
gembira.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha, orang muda perkasa. Engkau memang hebat!”
Dan seperti berlomba dan tidak mau kalah, dia pun menangkis dan menendang setiap anak panah yang
meluncur dan menyambar di dekatnya. Kakek tua renta itu tertawa-tawa, gembira sekali seperti seorang
anak kecil bermain perang-perangan. Akan tetapi selagi kedua orang ini sibuk menghadapi serangan anak
panah dengan menangkis, enam buah rakit itu telah mengepung dekat dan mereka telah menyerang
dengan tombak-tombak panjang.
Si kakek berambut putih menjadi makin girang. Dia dapat menangkap sebatang tombak musuh dan sambil
bersorak girang dia meloncat ke atas sebuah rakit musuh dan mengamuk di situ. Susahnya bagi para
pelarian itu, kakek ini seperti anak kecil, tidak segera merobohkan enam orang di atas rakit itu melainkan
mempermainkan mereka dan hanya menampar dan menendang perlahan saja untuk mempermainkan,
membuat mereka berjatuhan akan tetapi mereka masih dapat bangkit kembali dan mengeroyok lagi. Hal ini
agaknya menyenangkan hati kakek itu, seperti seekor kucing yang sedang mempermainkan enam ekor
tikus, melayani mereka, membagi-bagikan tamparan sambil tertawa-tawa.
“Heiittt, wuuhh, tidak kena... heh-heh-heh, nah, berlututlah engkau, dan kau rebahlah!” Demikianlah kakek
itu bermain-main, membuat gemas juga hati Kian Bu.
Kalau kakek itu bersungguh-sungguh, agaknya bersama dia akan dapat melawan dan menahan semua
musuh ini. Akan tetapi kakek itu main-main dan kini dia sibuk seorang diri menahan pengeroyokan para
pengepung. Untung bahwa Panglima Jayin dan empat orang pembantunya juga melawan dengan gagah
berani, juga Siang Hwa dan Siang In membantu sekuat tenaga mereka, sungguh pun keadaan mereka
amat repot karena dikepung dan dikeroyok.
“Awas pinggir rakit!” Kian Bu berteriak.
Cepat kakinya menendang kepala seorang musuh yang tahu-tahu muncul di pinggir rakit. Kiranya sekarang
mereka telah mengirim beberapa orang untuk menyelam dan agaknya ingin menggulingkan rakit! Akan
tetapi Panglima Jayin dan para pembantunya juga sudah siap menjaga keselamatan rakit mereka yang
mulai bergoyang-goyang.
“Auuhhh...!” Salah seorang di antara pembantu Panglima Jayin mengeluh dan tubuhnya terjungkal ke
dalam air sungai karena perutnya telah terkena sebatang senjata rahasia paku beracun yang dilepas oleh
Si Petani Maut.
“Awas senjata rahasia!” Kian Bu berteriak lagi dan dia sudah menghadapi serangan paling dahsyat di
pinggir rakit.
Berkat amukan Kian Bu yang amat tangguh, Si Petani Maut Liauw Kui dan Sastrawan Yu Ci Pok yang tidak
dapat langsung menyerang secara dekat itu kembali menyuruh para anak buahnya mundurkan rakit.
“Lepas anak panah...!” perintahnya.
Kembali anak-anak panah berluncuran menyerang ke perahu para pelarian itu. Kian Bu sibuk sendiri dan
tidak mungkin dia harus melindungi seluruh rakit dari anak-anak panah itu. Panglima Jayin dan anak
buahnya juga sudah memutar golok mereka menangkisi anak-anak panah yang datang menyambar ke
arah mereka. Juga dua orang gadis itu harus berlompatan ke sana-sini menghindarkan diri. Akan tetapi
tiba-tiba Siang Hwa mengeluh dan roboh di atas rakit.
“Cici...!” Siang In menubruk enci-nya dan alangkah kaget hatinya ketika dia mendapat kenyataan bahwa
punggung enci-nya terluka hebat dan ketika dia mendekap enci-nya, Siang Hwa mengerang lirih.
“In-moi... kau... jaga dirimu... baik-baik...” Gadis ini mengerang lalu terkulai. Sebatang paku beracun yang
dilepaskan oleh Petani Maut kembali telah memperoleh korban, memasuki punggung Siang Hwa dan tepat
mengenai jantung sehingga gadis itu tewas seketika.
“Enci Siang Hwa...!” Siang In menjerit dan menangis sambil memeluk enci-nya yang sudah menjadi mayat.
Melihat ini, Kian Bu menjadi semakin gemas kepada See-thian Hoat-su, “Kakek yang menjemukan! Kau
membantu kami ataukah membantu musuh?” teriaknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
See-thian Hoat-su tertawa dan sekali kaki tangannya bergerak, enam orang yang dipermainkannya itu
terlempar semua dari atas rakit, tenggelam dan hinggap di pinggir rakit para pelarian itu.
“Ehh, ohhh, kenapa menangis...? Kenapa dia?”
“Enci Siang Hwa... telah... tewas...!” Siang In menangis.
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Sudah enak-enak mati mengapa pula ditangisi? Apa kau ingin melihat enci-mu
hidup lagi dan menderita seperti kita ini? Ohhhh, bocah tolol kau! Aku yang ingin sekali mampus sampai
puluhan tahun tidak juga mampus, sekarang enci-mu sudah enak-enak mati, membikin aku iri saja, engkau
malah menangis!”
Siang In tidak mempedulikan kata-kata yang aneh dan gila-gilaan dari kakek itu, terus memeluki mayat
enci-nya dengan hati hancur dan dia tidak peduli lagi apakah dia terancam bahaya atau tidak, karena
setelah enci-nya mati, dia amat ngeri dan takut menghadapi hidup seorang diri saja di dunia yang kejam ini.
Enci-nya merupakan pengganti ayah bundanya, sekarang enci-nya telah mati, berarti bahwa dia akan
hidup seorang diri saja di dunia yang penuh dengan kekerasan dan kesengsaraan ini.
Kakek See-thian Hoat-su, Kian Bu, Panglima Jayin dan pembantunya yang tinggal tiga orang itu masih
melakukan perlawanan mati-matian karena para anak buah Tambolon masih terus mengepung mereka.
Andai kata pertandingan itu terjadi di atas daratan, dengan adanya See-thian Hoat-su dan Suma Kian Bu,
tentu sudah sejak tadi dua orang pengawal Tambolon beserta puluhan orang anak buahnya itu akan roboh
semua dalam waktu singkat.
Akan tetapi pertempuran terjadi di atas sungai, di atas rakit dan dikepung dari jauh, dihujani anak panah
dan senjata rahasia, maka tentu saja para pelarian itu makin lama makin repot. Rakit mereka telah berada
di tengah sungai yang lebar itu, terlalu jauh dari tepi sehingga tidak mungkin lagi bagi mereka untuk
mendarat. Para pengeroyok sudah mengepung mereka dan biar pun di antara para pengeroyok itu sudah
sepuluh orang yang terjungkal ke dalam air, namun Liauw Kui dan Yu Ci Pok yang maklum akan
kelemahan lawan di air, terus mengepung dan berusaha menggulingkan rakit itu dengan berbagai cara.
Sementara itu, langit di atas mereka berkumpul awan mendung yang menghitam tanpa diketahui oleh
mereka yang sedang sibuk bertempur. Pada waktu itu Liauw Kui sudah memerintahkan anak buahnya
untuk menyerang dengan panah api! Dia merasa amat penasaran bahwa dengan banyak anak buah belum
juga mereka dapat mengalahkan para pelarian itu, maka timbul keinginannya untuk menumpas musuh
yang tidak bisa ditawan kembali itu.
Berhamburanlah anak panah berapi ke rakit itu dan See-thian Hoat-su berteriak-teriak marah. Akan tetapi
kakek yang lihai ini bersama Suma Kian Bu repot menangkis panah-panah ini, demikian pula Jayin dan
anak buahnya. Hanya Siang In yang tidak peduli akan itu semua, dan kalau tidak ada Kian Bu yang selalu
melindunginya, tentu gadis ini akan menjadi korban panah berapi. Tetapi, walau pun mereka tidak atau
belum terkena anak panah tetapi ada panah yang menancap di rakit mereka yang mulai terbakar!
Salah seorang anak buah Panglima Jayin cepat melepas jubahnya, membasahi jubah itu dengan air sungai
kemudian dia cepat memadamkan api yang mulai membakar permukaan rakit dari bambu. Akan tetapi,
karena sibuk dengan usaha ini, dia tidak dapat melindungi dirinya sendiri dan terdengar teriakan
mengerikan ketika orang ini terkena anak panah yang menancap di lambungnya! Orang Bhutan ini
terjungkal dan jatuh ke dalam air sungai.
Pada saat itu tiba-tiba turun hujan dengan derasnya seperti dituang dari langit, dibarengi dengan angin
yang kencang. Amukan hujan dan angin ini sekaligus membubarkan pertempuran, karena selain hujan
yang amat deras membuat cuaca menjadi gelap sekali dan membuat mereka sukar membuka mata, juga
angin ribut membuat air sungai mulai bergelombang yang makin lama makin dahsyat.
Beberapa kali Siang In menjerit karena hampir dia tak dapat menahan mayat kakaknya yang akan
terlempar keluar karena rakit itu mulai berguncang dan miring ke kanan kiri. Semua orang harus
berpegangan kuat-kuat pada pinggiran rakit agar tidak terlempar keluar. Ternyata hujan sejak tadi sudah
turun di hulu Sungai Yi-tung dan kini air mulai membanjir datang, menciptakan arus yang amat kuat
sehingga rakit-rakit itu hanyut dan terputar-putar tanpa dapat dikendalikan lagi.
Rakit yang membawa para pelarian itu pun hanyut terseret arus, berputaran. Kian Bu mendengar Siang In
menjerit dan menangis karena jenazah enci-nya tidak dapat dipertahankannya lagi. Rakit itu hampir jungkirdunia-
kangouw.blogspot.com
balik dan dia hampir saja terbawa air kalau saja dia tidak cepat-cepat memegang pinggiran rakit. Dan
karena menyelamatkan diri sendiri ini, dia melepaskan mayat enci-nya yang tahu-tahu telah lenyap
disambar air.
“Enci...!” Dara itu menjerit dan dengan nekat dia hendak menyusul mayat enci-nya.
“In-moi, jangan...!”
Di antara deras air hujan yang membuat orang sukar membuka mata, Kian Bu melihat dara itu bangkit
berdiri. Dia lalu meloncat dan berhasil mendorong kembali Siang In sehingga terlempar dan roboh di atas
rakit, disambar lengannya oleh See-thian Hoat-su, namun Kian Bu sendiri tergelincir di pinggir rakit dan
terseret oleh air yang mengganas.
“Bu-twako...!” Siang In menjerit akan tetapi Kian Bu telah lenyap ditelan air sungai yang menggelora itu.
Siang In menjerit-jerit dan roboh pingsan di pelukan Kakek See-thian Hoat-su.
“In-moi... ah, In-moi...”
Kian Bu mengeluh, kepalanya terasa pening dan yang pertama kali teringat olehnya ketika dia siuman dari
pingsannya adalah Siang In karena ketika dia terlempar ke air sungai dia sedang berusaha menolong gadis
itu. Betapa pun kuatnya tubuh Kian Bu di dalam air yang mengamuk itu dia sama sekali tidak berdaya. Dia
terseret oleh arus, dibuat terguling-guling, tenggelam-timbul, diangkat ke atas oleh gelombang, dihempas
lagi ke bawah dan dia pingsan. Tubuhnya seperti tidak bernyawa lagi dipermainkan air Sungai Yi-tung yang
mengamuk. Mungkin saja karena pingsan inilah maka nyawanya tertolong.
Andai kata dia tidak pingsan, tentu dia akan melawan maut dan justru perlawanan yang sia-sia itu
membuat tubuhnya kaku dan mungkin akan remuk-remuk terbanting-banting seperti itu. Setelah pingsan
tubuhnya menjadi lemas dan tidak pernah melawan saat dipermainkan air dan agaknya air sungai pun
tidak bernafsu lagi menghadapi korban yang tidak mau melawan, seperti seekor kucing tidak bernafsu lagi
mempermainkan seekor tikus yang sudah tidak dapat bergerak.
Akhirnya air menjadi bosan dengan tubuh manusia yang tak mampu bergerak lagi itu dan menyeretnya ke
tepi, melontarkan ke pinggir sehingga separuh tubuhnya berada di atas tanah sedangkan dari pinggang ke
bawah masih di dalam air.
“Siang In... kasihan kau...” Kembali dia mengeluh.
“Engkau juga kasihan, muda belia yang tampan...” Terdengar suara halus berada di dekatnya.
Kian Bu terkejut dan kesadarannya mulai kembali. Ketika dia merasa betapa kepalanya rebah di tempat
yang lunak dan hangat, dia cepat membuka matanya dan terbelalak heran melihat sebuah wajah yang
cantik sekali berada di atasnya. Wajah yang berkulit halus, dengan sepasang mata bening yang menatap
mesra, dengan bibir yang merah tersenyum ramah. Dan dia ternyata rebah di atas rumput di tepi sungai,
kepalanya rebah di atas pangkuan wanita berwajah cantik itu!
Tentu saja Kian Bu terkejut sekali dan cepat dia bangkit duduk dan membalikkan tubuh memandang.
Wanita itu cantik bukan main dan ia mencium bau harum semerbak.
“Kau... kau siapakah...?” Kian Bu bertanya meragu karena dia seperti pernah melihat wanita ini.
Senyum di bibir merah itu makin melebar dan nampaklah deretan gigi putih bersih, kemudian, hanya
sekilas pandang, nampak ujung lidah yang meruncing dan merah menjilat keluar di antara deretan gigi atas
bawah, hanya sebentar saja akan tetapi mendatangkan penglihatan yang mengesankan.
“Namaku Hong Kui... she Lauw... aku melihat engkau rebah di tepi sungai, kukira sudah mati, lalu kutarik
ke sini, ternyata engkau masih hidup. Sukurlah, Kongcu, sukur engkau masih hidup...” Suara wanita ini
merdu dan seperti orang bernyanyi saja penuh dengan nada tinggi rendah dan kata-katanya diiringi gerak
bibir mempesona dan kerling mata yang menyambar-nyambar.
Heran sekali, ketika melihat bibir yang bergerak-gerak dan mata mengerling tajam itu teringatlah Kian Bu
kepada Siang In ketika dara itu berlagak meniru gerak-gerik wanita yang genit memikat. Wanita genit
memikat! Tak salah lagi, dia inilah orangnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jadi... engkaukah ini...?” Dia meloncat berdiri.
Wanita itu memandang ke arah celananya yang basah kuyup dan menempel ketat di tubuhnya, sambil
tertawa. Kian Bu menunduk dan cepat dia menutupkan jubahnya yang juga basah kuyup di depan
tubuhnya. Sialan! Celana yang basah kuyup itu membuat dia seperti telanjang saja.
“Engkau sudah mengenal aku, Kongcu?” wanita itu bertanya dan memandang penuh selidik.
“Bukankah engkau yang dicari-cari oleh Teng Siang In?” Kian Bu bertanya, diam-diam harus mengakui
bahwa wanita yang sudah matang ini benar-benar cantik menarik dan mempunyai daya pikat yang amat
kuat. “Bukankah engkau yang... eh, mencuri kitab dari dara itu?”
Wanita yang berpakaian mewah dan indah, dengan gelung rambutnya yang tinggi itu tersenyum lagi. Dia
ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li. Seperti telah kita ketahui, setelah mendengar dari Siang In
tentang obat anak naga di Telaga Sungari, wanita ini meninggalkan Siang In dan melanjutkan perjalanan
hendak menuju ke telaga itu.
Tetapi dia terhalang oleh hujan angin dan terpaksa dia mencari tempat perlindungan dan berteduh di dalam
sebuah bekas bangunan kuil tak jauh dari Sungai Yi-tung yang akan diseberangi. Setelah hujan berhenti,
dia keluar dari tempat peneduhan itu dan secara kebetulan saja dia melihat Kian Bu terdampar di tepi
sungai. Melihat seorang pemuda yang amat tampan dan muda itu terdampar seperti telah mati, dia merasa
sayang sekali dan cepat menghampiri. Segera ditolongnya pemuda itu ketika dia mendapat kenyataan
bahwa pemuda itu masih hidup.
“Ahh, agaknya Adik Siang In telah bercerita kepadamu tentang kitab itu? Ahh, Kongcu, kitab itu hanya
kupinjam saja dan sekarang telah kukembalikan. Apakah dia tidak bercerita kepadamu betapa aku telah
menolong dan menyelamatkannya dari tangan Tambolon? Akulah yang mengajaknya lari sebelum dia
menjadi korban kejahatan Tambolon dan mengantarnya sampai dia selamat dari kejaran mereka.”
Kian Bu lalu duduk kembali dan wanita itu membuat api unggun. Sampai lama mereka tidak bicara, dan
wanita itu sering mengerling dan tersenyum kepadanya, sedangkan semua gerak-geriknya ketika membuat
api unggun, ketika melangkah dan melenggang, semua penuh daya pikat dan seluruh bagian tubuh wanita
itu seperti hidup sendiri-sendiri, bergerak dengan penuh keindahan, dari gerak matanya, sampai ke ujung
jari tangannya, pinggungnya, kakinya, bibirnya.
“Agaknya engkau telah menolong aku pula, Toanio...”
“Aihhh, jangan kau menyebut aku Toanio, Kongcu...,” wanita itu cepat memutar tubuh, mencela akan tetapi
sambil tertawa. “Setelah kita bertemu di sini dan kebetulan aku menarikmu dari air, bukankah kita telah
menjadi sahabat?”
“Engkau juga menyebut aku Kongcu (Tuan Muda)...”
“Hi-hik, engkau sungkan benar..., biarlah kau menyebut aku... enci, karena aku memang lebih tua darimu
dan kau... eh, siapa sih namamu?”
“Aku Kian Bu, Suma Kian Bu.”
“Namamu gagah, seperti orangnya. Nah, Kian Bu, bukankah kini kita sudah bersahabat dan lebih akrab
kalau aku menyebut namamu saja dan kau menyebut enci kepadaku seolah-olah kita ini dua orang
bersahabat atau bersaudara?”
“Terima kasih... Enci Hong Kui, engkau baik sekali.”
Wanita itu kembali tersenyum dan membesarkan api unggun. “Kau duduklah dekat api, biar tubuhmu
hangat dan pakaianmu kering.”
“Aku harus segera pergi mencari yang lain-lain, Enci. Mungkin mereka pun terdampar dan selamat seperti
aku.”
“Ehh, yang lain-lain siapakah?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka berdua duduk berdampingan di atas rumput, dekat api unggun. Malam itu gelap dan dingin, tetapi
api unggun itu hangat. Kian Bu lalu menceritakan pengalamannya, betapa dia bersama Siang Hwa, Kakek
See-thian Hoat-su dan lima orang Bhutan melarikan diri dari sarang gerombolan Tambolon. Kemudian
setelah berhasil membawa pula Siang In yang muncul di tepi sungai, mereka dikepung oleh anak buah
Tambolon dan dikeroyok, akhirnya sampai hujan angin menyerang mereka semua.
“Aku tidak tahu bagaimana dengan nasib mereka karena aku terlempar keluar dari rakit dan aku tidak ingat
apa-apa lagi. Aku harus segera mencari Siang In. Kasihan sekali gadis itu, sudah kehilangan enci-nya yang
tewas di atas rakit, kemudian dia sendiri masih terancam bahaya maut. Mudah-mudahan saja dia masih
hidup dan selamat, dan aku harus mencarinya sekarang juga, Enci Hong Kui.”
Akan tetapi Mauw Siauw Mo-li menggeleng kepalanya. “Tidak akan ada gunanya, Kian Bu. Malam amat
gelap, langit masih diliputi mendung dan tidak mungkin kita dapat mencari dia di tempat gelap begini. Kita
menanti sampai besok dan aku pasti akan membantumu mencari dia. Sekarang, mari kau makan dulu, aku
membawa bekal roti dan arak.”
Kian Bu bangkit berdiri dan memandang ke arah sungai. Air masih penuh sungguh pun gelombang tidak
mengamuk seperti tadi, akan tetapi keadaannya gelap benar sehingga memang tidak mungkin untuk
mencari Siang In di sepanjang tepi sungai itu. Dia menarik napas panjang dan duduk kembali, sementara
wanita itu mengeluarkan bungkusan roti dan seguci arak. Makanan itu dibelinya dari warung di dusun yang
dilewatinya tadi dan dibawa sebagai bekal.
“Sungguh kasihan sekali Siang In...” Kian Bu berkata ketika dia sudah kembali duduk dan membayangkan
keadaan dara yang lincah jenaka itu.
“Eh..., apamukah dia itu? Sahabat baikmu? Pacarmu?”
Wajah pemuda itu menjadi merah sekali mendengar pertanyaan terakhir itu, pertanyaan yang diajukan
dengan suara biasa saja.
“Oh, bukan! Kami hanya teman-teman seperjalanan yang beberapa hari yang lalu saling berjumpa dalam
hutan.”
“Ah, kukira pacar atau... calon isteri.”
“Hemmm, aku masih belum bertunangan,” Kian Bu menjawab cepat untuk menyetop percakapan
mengenai hal itu
Wanita itu memandangnya dengan kerling tajam dan senyumnya melebar, manis sekali. Wajahnya
kelihatan kemerah-merahan di bawah sinar api unggun. “Kian Bu, engkau makanlah. Roti ini kubeli di
dusun tadi, masih lunak. Marilah!”
“Terima kasih.”
Kian Bu menerima roti dan bersama Mauw Siauw Mo-li yang mengaku bernama Lauw Hong Kui, nama
kecilnya yang jarang dikenal orang itu, dia makan roti karena memang perutnya terasa lapar sekali.
Teringat olehnya betapa dia bersama Siang In sudah sejak ditawan tidak makan apa-apa dan perutnya
menerima roti dengan hangat.
Melihat Kian Bu menelan roti agak seret, Mauw Siauw Mo-li tersenyum mengulurkan tangannya yang
memegang guci arak. “Minumlah... arak ini pun arak baik, manis dan tidak begitu keras.”
“Mana cawan atau mangkoknya?” Kian Bu menerima guci.
“Ih, membawa cawan di perjalanan berabe saja dan di tempat ini mana ada mangkok? Kau minum saja
dari guci itu.”
“Tapi... tapi... ini guci arakmu dan...”
“Aih, Kian Bu, mengapa engkau banyak sungkan? Minum begitu saja mengapa sih?”
“Habis, bagaimana engkau nanti kalau hendak minum?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagaimana? Ya biasa saja, dari guci.”
“Kalau begitu, kau minumlah dulu!” Kian Bu mengembalikan guci arak, merasa sungkan kalau harus
mendahului. Untuk minum dari guci, berarti bahwa mulut guci akan beradu dengan mulutnya.
“Hi-hi-hik, engkau seperti anak kecil saja.” Mauw Siauw Mo-li diam-diam merasa girang sekali dan makin
tergila-gila kepada pemuda remaja yang tampan dan sopan ini. Dia membuka tutup guci, mencucup mulut
guci dan mereguk sedikit arak, lalu menyerahkan guci itu kepada Kian Bu. “Nah, giliranmu minum!”
Karena memang roti itu sebagian berhenti di kerongkongannya, Kian Bu menerima guci arak dan mereguk
araknya, langsung dari mulut guci masuk ke mulutnya. Setelah dia menurunkan guci itu, Mauw Siauw Mo-li
mengambil dari tangannya dan tanpa ragu-ragu wanita itu minum lagi. Kian Bu melihat betapa sepasang
bibir yang berkulit tipis itu mengulum mulut guci dan betapa leher yang panjang itu bergerak-gerak ketika
arak memasukinya. Cepat Kian Bu menunduk karena penglihatan itu terlalu mendebarkan jantungnya,
entah mengapa dia sendiri pun tidak mengerti.
Baru saja mereka selesai makan roti dan minum arak, pada waktu Kian Bu duduk membelakangi api untuk
mengeringkan pakaiannya di bagian punggung, tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan dia bersikap
waspada sungguh pun masih kelihatan tenang saja. Dia tahu bahwa ada gerakan beberapa orang
mendekat tempat itu dari arah daratan yang penuh pohon-pohon.
Mula-mula dengan penuh harapan, timbul dugaannya bahwa itu adalah Siang In dan teman-teman lain,
akan tetapi dia tahu bahwa harapannya itu sia-sia karena kalau Siang In, tentu sudah berseru
memanggilnya, pula kalau mereka itu teman-teman, tentu tidak berindap-indap seperti kelakuan orangorang
yang mempunyai niat buruk.
“Ssssttt, kau mendekatlah ke sini. Ada orang-orang yang datang...” Mauw Siauw Mo-li berbisik.
Tahulah Kian Bu bahwa wanita ini juga memiliki pendengaran yang amat tajam. Dan wanita ini kelihatan
tenang saja, bahkan kini menambah kayu kering pada api unggun sehingga keadaan di situ menjadi cukup
terang.
“Kau mendekatlah agar aku dapat melindungimu, Kian Bu. Mereka itu tentu orang-orang yang berniat
buruk...”
Kian Bu menurut dan dia mendekati wanita itu. Mereka masih duduk dekat api unggun ketika orang-orang
itu telah datang mengurung dan dari sudut matanya Kian Bu melihat bahwa mereka itu adalah dua orang
pembantu Tambolon bersama sepuluh orang anak buah mereka. Dia bersikap waspada karena maklum
bahwa dua orang pembantu raja liar itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga. Munculnya dua orang
pengejar ini mendatangkan dua macam perasaan di hati Kian Bu. Dengan masih berkeliarannya mereka itu
di sini, berarti bahwa mereka belum dapat menawan kembali Siang In dan yang lain-lain, akan tetapi juga
menimbulkan keraguan apakah mereka semua yang menjadi pelarian itu dapat menyelamatkan diri dari
sungai yang mengganas.
Yang datang itu memang benar adalah sisa-sisa anak buah Tambolon yang berhasil menyelamatkan diri
dari amukan badai di Sungai Yi-tung, dipimpin oleh Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut.
Mereka tidak berhasil menemukan para pelarian itu dan melihat api unggun dari jauh, mereka lalu
berindap-indap datang ke tempat itu. Marah hati mereka ketika mengenal Kian Bu sebagai seorang di
antara para pelarian itu, dan dua orang pembantu Tambolon ini mengenal pula Mauw Siauw Mo-li, karena
ketika Siluman Kucing ini dahulu bersama Hek-tiauw Lo-mo memimpin pasukan pemberontak menumpas
pasukan Tambolon di Koan-bun, mereka berdua langsung berhadapan dengan wanita ini dan suheng-nya
yang lihai.
“Hemm, kiranya engkau pula yang berada di sini, Siauw Mo-li!” Liauw Kui berkata marah sambil
melintangkan batang pikulannya di depan dada. “Sudah beberapa kali engkau sengaja merintangi jalan
kami. Sesudah penyerbuan di Koan-bun, engkau melarikan pengantin raja kami, kemudian sekarang
engkau di sini bersama seorang buruan kami. Berikan dia kepada kami.”
Mauw Siauw Mo-li tersenyum. “Kalian orang-orang liar kaki tangan Tambolon, lebih baik lekas pergi dari
sini, jangan mengganggu aku kalau kalian belum bosan hidup.” Dengan sikap tenang seenaknya Lauw
dunia-kangouw.blogspot.com
Hong Kui, wanita cantik yang kesenangannya merasa terganggu itu berkata sambil mengorek api unggun
sehingga nyalanya menjadi makin besar.
“Perempuan sombong! Kau kira aku takut kepadamu?” Liauw Kui membentak marah sekali.
“Hi-hik, engkau sudah bosan hidup!” Mauw Siauw Mo-li tertawa lalu berbisik kepada Kian Bu, “Engkau
tunggu sebentar, aku akan menghajar tikus-tikus busuk ini!”
Kian Bu mengangguk dan memandang dengan terheran-heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa
wanita cantik jelita yang telah menolongnya ini, yang mempunyai nama indah, yaitu Lauw Hong Kui,
kiranya adalah Mauw Siauw Mo-li, Si Siluman Kucing yang telah dia dengar namanya dari kakaknya itu.
Kiranya ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo yang lihai!
Heran sekali dia mengapa seorang iblis seperti Hek-tiauw Lo-mo memiliki seorang sumoi sehebat ini dan
sama sekali tidak disangkanya bahwa wanita yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li yang dikabarkan seperti iblis
betina itu ternyata adalah seorang wanita yang begitu cantik. Dan wanita ini ternyata tidak membohong
ketika mengatakan bahwa dia menyelamatkan Siang In dari tangan Tambolon, karena menurut ucapan
Liauw Kui yang marah tadi agaknya memang demikian. Kini Kian Bu duduk di dekat api unggun dan
menonton dengan hati tertarik. Lauw Hong Kui tidak tahu bahwa dia memiliki kepandaian maka dia pun
tidak akan turun tangan kalau tidak perlu sekali, sungguh pun dia telah siap karena maklum betapa lihainya
dua orang pembunuh utama Tambolon.
“Mampuslah...!”
Tiba-tiba tangan Mauw Siauw Mo-li bergerak dan dia telah melontarkan sebatang ranting yang ujungnya
bernyala ke arah Petani Maut. Ranting yang ujungnya terbakar itu meluncur seperti anak panah cepatnya,
menyambar ke arah dada pembantu utama Tambolon itu. Liauw Kui mendengus marah, batang pikulannya
bergerak menangkis dan ranting itu meluncur ke kiri. Terdengar pekik mengerikan dan seorang di antara
anak buah pasukan Tambolon itu roboh dengan perut tertembus ranting tadi yang kini menjadi padam.
Siauw Mo-li tertawa dan Liauw Kui menjadi marah bukan main. Tak disangkanya bahwa lontaran ranting itu
sedemikian kuatnya sehingga biar pun telah dapat ditangkis, namun masih dapat membunuh seorang anak
buahnya.
Lauw Hong Kui sudah meloncat berdiri dan tangan kanannya meraba punggung. Sinar kehijauan nampak
di antara cahaya api ketika wanita ini sudah mencabut pedangnya. Melihat ini Liauw Kui sudah berteriak
keras dan menerjang maju, sambil menggerakkan senjatanya yang istimewa, yaitu batang pikulannya.
“Singgg... wirrr...!”
Pikulan itu berubah menjadi sinar bergulung ketika menyambar ke arah Siauw Mo-li. Namun wanita ini
tidak menjadi gentar, cepat mengelak dan menggerakkan pedangnya untuk balas menyerang.
“Tring-tring-tringgg...!”
Berkali-kali kedua senjata bertemu dan bunga api berhamburan. Keduanya merasa betapa tangan mereka
yang memegang senjata tergetar, maka dengan kaget mereka melangkah mundur dan memeriksa senjata
masing-masing. Setelah ternyata bahwa senjata mereka tidak menjadi rusak, mereka bergerak lagi saling
menyerang dengan marah.
Kian Bu yang menonton pertempuran itu menjadi kagum. Ternyata bahwa Lauw Hong Kui selain cantik
jelita dan memiliki daya tarik yang amat luar biasa, juga memiliki kepandaian tinggi, ilmu pedangnya indah
dan lihai sehingga kalau saja pembantu utama Tambolon itu bukan seorang yang berilmu, tentu tidak akan
kuat bertahan menghadapi gerakan pedang yang cepat dan aneh itu. Mereka ternyata seimbang karena
senjata batang pikulan itu pun luar biasa, berputar seperti kitiran dan mengandung kekuatan yang dahsyat.
Kian Bu mengerti bahwa dalam hal tenaga, Petani Maut itu lebih kuat dibandingkan dengan Siauw Mo-li,
akan tetapi jelas bahwa wanita itu lebih cepat gerakannya, lebih lincah dan ringan sehingga mengandalkan
kelincahannya ini, Siauw Mo-li dapat mengimbangi desakan lawan.
Betapa pun juga, Kian Bu maklum bahwa kalau dilanjutkan, besar kemungkinan wanita itu akan dapat
merobohkan lawannya, meski pun akan tidak mudah baginya melakukan hal itu. Maka dia hanya menonton
dunia-kangouw.blogspot.com
saja dan waspada terhadap gerak-gerik Si Siucai Maut dan anak buahnya yang juga menonton dengan
penuh perhatian.
Melihat betapa setelah lewat lima puluh jurus temannya belum juga dapat mengalahkan wanita itu, bahkan
kini gulungan sinar pedang kehijauan itu menjadi makin lebar dan makin menghimpit, Yu Ci Pok menjadi
tidak sabar.
“Iblis betina banyak tingkah!” teriaknya.