Kho Ping Hoo Lawas Jodoh Rajawali 2 Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf Kho Ping Hoo Lawas Jodoh Rajawali 2
- Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 1 Lanjutan Kisah Sepas...
- Kho Ping Hoo Tamat Kisah Sepasang Rajawali 12
- Kho Ping Hoo Jawa Kisah Sepasang Rajawali 11
- Kho Ping Hoo Terbagus : Kisah Sepasang Rajawali 10...
- khopinghoo cerita silat kisah sepasang rajawali 9
- Kho Ping Hoo Teranyar Kisah Sepasang Rajawali 8
- Kho Ping Hoo Romantis Kisah Sepasang Rajawali 7
- Kho Ping Hoo Ternew Kisah Sepasang Rajawali 6
- Kho Ping Hoo Keren Kisah Sepasang Rajawali 5
- Kho Ping Hoo Bagus Kisah Sepasang Rajawali 4
- Kho Ping Hoo New Kisah Sepasang Rajawali 3
- Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali 2
- Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Lanjutan Pend...
- Kho Ping Hoo Online : Sepasang Pedang Iblis 10 Tam...
- Kho Ping Hoo Terbaik : Sepasang Pedang Iblis 9
- Kho Ping Hoo Paling Gres : Sepasang Pedang Iblis 8...
- Kho Ping Hoo Terebaru : Sepasang Pedang Iblis 7
- Kho Ping Hoo : Sepasang Pedang IBlis 6
- Cersil Kho Ping Hoo : Sepasang Pedang Iblis 5
- Cersil Anyar Sepasang Iblis 4
- Cersil Baru Sepasang Pedang Iblis 3
- Cersil Mandarin Sepasang Pedang Iblis 2
- Cersil Sepasang Pedang Iblis 1 Lanjutan Pendekar S...
- Cersil Tegal Pendekar Super Sakti 8
- Cersil Terbaru Bingit : Pendekar Super Sakti 7
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan
Gegerlah istana Bhutan. Sri Baginda menjadi marah sekali dan juga sangat gelisah memikirkan puterinya
yang untuk kedua kalinya diculik orang. Dahulu, kurang lebih lima tahun yang lalu, Sang Puteri bersama
Ceng Ceng juga lenyap, sampai setahun lebih baru berhasil ditemukan. Sekarang, Sang Puteri lenyap
pula, bahkan sekarang lenyap dari dalam kamarnya! Maka, ketika Panglima Mohinta mohon perkenan Sri
Baginda untuk pergi mencari Sang Puteri, Sri Baginda segera menyetujuinya. Panglima Mohinta lalu
mengumpulkan jagoan-jagoan dari Bhutan, tokoh-tokoh yang berilmu tinggi untuk menemaninya pergi
mencari jejak Sang Puteri Syanti Dewi.
Keadaan Syanti Dewi benar-benar seperti seekor burung yang tadinya terkurung dalam sangkar dan kini
terlepas dari kurungan, terbang bebas di udara. Kesehatannya pulih kembali, dalam waktu satu bulan saja
melakukan perjalanan, wajahnya sudah menjadi segar kemerahan, sepasang matanya yang tadinya sayu
kini bersinar-sinar penuh semangat dan gairah hidup dan biar pun pakaiannya tidak seindah dan semewah
ketika dia berada di istana, namun hal ini sama sekali tak mengurangi kecantikannya, bahkan dia kelihatan
segar dan cantik sekali, dengan mata bersinar, mulut tersenyum dan wajah berseri-seri.
Dia telah berhasil menyelinap keluar dari tembok kota raja setelah bertemu dengan Siang In di tempat yang
telah dijanjikan oleh mereka, dan berkat kelihaian Siang In, Sang Puteri dapat dibawa keluar tembok kota
dan dengan cepat mereka melarikan diri ke timur.
Memang bukan perjalanan yang mudah yang mereka tempuh selama sebulan ini. Naik turun gununggunung
yang tinggi dan liar, masuk keluar hutan-hutan yang amat besar dan gelap. Namun, karena di
sampingnya ada Siang In, pula karena memang puteri ini pernah mempelajari ilmu silat dan telah banyak
mengalami hal-hal yang hebat, maka perjalanan ini tidaklah terlalu sukar dan sengsara baginya.
Sebaliknya malah, dia benar-benar merasa seperti hidup baru, merasa gembira dan penuh harapan yang
muluk-muluk, yaitu harapan untuk dapat bertemu kembali dengan pria yang dicintanya, ialah Ang Tek Hoat.
Makin akrab saja hubungan di antara dua orang dara yang sifat dan wataknya bagaikan bumi dan langit itu.
Syanti Dewi adalah seorang wanita yang berwatak lembut, halus budi, halus perasaan, pandai mengekang
perasaan, dan memiliki keagungan seseorang puteri. Sebaliknya, Teng Siang ln adalah seorang wanita
yang berwatak periang jenaka, bahkan bengal dan suka menggoda orang, suka tertawa, jujur, polos dan
tidak begitu mempedulikan tentang peraturan dan sopan santun, perasaannya sudah mengeras oleh
gemblengan hidup, dan walau pun dia termasuk seorang dara yang suka berpakaian indah dan suka pula
bersolek, namun pada dasarnya dia amat sederhana.
Betapa pun besar perbedaan watak antara mereka, akan tetapi mereka dapat segera menjadi sahabat
yang akrab sekali. Syanti Dewi benar-benar merasa seolah-olah dia mendapatkan pengganti Ceng Ceng!
Memang ada persamaan antara Ceng Ceng dan Siang In, persamaan dalam hal watak periang, agak binal
dan jujurnya. Akan tetapi Ceng Ceng tidaklah sebinal Siang In!
Betapa pun juga, dengan adanya Siang In di sampingnya, perjalanan yang amat sukar itu tidak terasa oleh
Syanti Dewi dan dia dalam waktu sebulan itu saja sudah mengenal benar-benar watak Siang In. Biar pun
kelihatan binal dan terpengaruh oleh keindahan yang membawa keanehan, kadang-kadang kelihatan
keras, namun pada hakekatnya dara ini memiliki watak yang amat baik, setia dan jujur!
“Enci Syanti, ajari aku nyanyian yang kemarin kau nyanyikan ketika kita mandi di telaga itu! Kau sudah
berjanji.“
Mereka tengah duduk beristirahat di sebuah hutan yang amat indah. Hutan itu berada di pegunungan yang
jauh dari dusun-dusun, hutan yang liar dan tentu amat jarang terinjak kaki manusia. Akan tetapi ternyata
alam memiliki daya cipta yang tak dapat terukur oleh otak manusia. Pohon-pohon besar kecil tumbuh
dengan subur dan amat nyeni seolah-olah diatur saja, berkelompok dan memiliki keindahan sendirl-sendiri
yang khas, namun juga merupakan suatu kesatuan yang amat indah, yang tidak terpisahkan. Agaknya,
sebatang pohon saja dipindahkan, akan hambarlah keindahan kesatuan itu. Kembang-kembang dan
rumput-rumput seolah-olah tumbuh di tempat yang memang sudah semestinya, begitu serasi, begitu cocok
sehingga suasana di hutan itu menjadi indah membahagiakan hati.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua orang dara yang benar-benar sadar atau tidak terpengaruh oleh keindahan yang membahagiakan itu,
dan yang kini beristirahat melepaskan lelah di bawah sebatang pohon besar, merasa bergembira pula dan
bercakap-cakap dengan asyiknya sampai terdengar Siang In minta diajari nyanyian.
“Adikku yang manis, engkau sudah begini pandai, mempunyai banyak macam ilmu-ilmu yang aneh-aneh,
tetapi kulihat engkau masih selalu haus akan pelajaran-pelajaran. Betapa rajinnya engkau, In-moi.” Syanti
Dewi memuji sambil meletakkan tangannya ke atas pundak dara itu.
Siang In tersenyum. “Selama ini, aku hanya mempelajari hal-hal yang kasar saja, Enci. Ilmu silat, ilmu
memukul orang. Huh! Dan ilmu sihir, ilmu menipu orang. Wah, tidak ada yang baik dan hanya bisa
menyusahkan orang lain saja. Akan tetapi engkau sebagai seorang puteri benar-benar memiliki banyak
kepandaian yang dapat menyenangkan orang lain, dan aku ingin sekali mempelajarinya, Enci.”
“Akan tetapi, aku mempelajari segala macam kepandaian nyanyi, tari, bermain musik dan lain-lain itu
bukan untuk menyenangkan sembarang orang, adikku. Aku bukannya ingin menjadi seorang penari atau
penyanyi umum.“
“Aku tahu, Enci. Tentu engkau hanya mau bernyanyi atau menari di depan orang yang kau cinta. Bukankah
begitu?”
Dengan kedua pipinya berubah merah, Syanti Dewi mengangguk.
“Aku pun demikian, Enci. Aku minta diajar bernyanyi sebab aku suka sekali mendengar senandungmu
kemarin itu, dan aku... hemmm, aku pun tidak akan mau sembarangan memamerkan nyanyian di depan
orang lain!”
Wajah itu berseri dan mata yang halus pandangnya itu menatap wajah Siang In penuh selidik. Akan tetapi
yang dipandang hanya tersenyum saja.
“Aihhh, kalau begitu engkau juga tentu sudah mempunyai seorang pilihan hati, seorang kekasih, adikku!”
Siang In menggeleng kepala. “Belum, Enci. Pilihan hati... hemmm, ya, mungkin saja, siapa tahu... akan
tetapi kekasih? Belum! Enci dengan Ang Tek Hoat, nah, itu baru namanya kekasih, karena saling
mencinta.”
Tiba-tiba pandang mata Syanti Dewi berubah, penuh kekhawatiran. “Adikku yang manis, apakah... apakah
cintamu hanya sepihak...?”
Kembali Siang In menggeleng dan tersenyum. “Tidak ada cinta, baik dari pihak mana pun, Enci. Aku
sendiri tidak tahu benar apakah aku telah mencinta seseorang. Banyak memang pria yang menyatakan
cinta padaku, baik melalui pandangan matanya, melalui rayuannya...“
“Aku percaya. Engkau sungguh cantik jelita seperti bidadari!”
“Tidak ada sepersepuluhmu dalam kecantikan, Enci. Akan tetapi kalau hanya seperti itu cinta yang
diagung-agungkan itu, seperti para pria yang menyatakan cinta melalui pandang mata atau rayuan mulut
penuh nafsu itu, hihhh...“ Siang In bergidik. “Lebih baik aku tidak mengenal cinta!”
Syanti Dewi memandang tajam. “Hemmm... janganlah engkau berkata begitu, In-moi. Kalau benar engkau
belum mempunyai kekasih, habis siapa yang kau cari-cari itu? Dulu di Bhutan engkau pernah bilang bahwa
engkau datang ke Bhutan mencari seseorang siapakah dia itu yang kau cari-cari?”
Terjadi perubahan, akan tetapi hanya pada sinar mata dara itu yang tiba-tiba menjadi bersinar-sinar seperti
orang gembira, akan tetapi juga bisa jadi seperti orang marah. Dia mengangguk. “Memang aku sedang
mencari seseorang yang tadinya kusangka berada di Bhutan atau sekitarnya. Akan tetapi mungkin aku
salah sangka dan dia mungkin tidak berada di barat.”
“Siapakah dia, In-moi? Mungkin saja aku mengenalnya dan tahu di mana dia berada.”
“Enci mengenalnya, tentu. Dia adalah Suma Kian Bu.“
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ehhh...? Dia...?” Sejenak puteri itu termenung, teringat akan pemuda gagah perkasa, putera Majikan
Pulau Es yang jatuh cinta kepadanya itu! Seorang pemuda hebat dan andai kata di dunia ini tidak ada Ang
Tek Hoat, betapa akan mudahnya dia jatuh cinta kepada seorang seperti Suma Kian Bu!
“Tahukah Enci di mana adanya dia?”
Syanti Dewi dalam keadaan masih termenung menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, tentunya di Pulau
Es, di ternpat tinggal orang tuanya, In-moi. Suma Kian Bu adalah seperti kakakku sendiri, seperti
saudaraku sendiri. Katakanlah kenapa engkau mencari dia? Kuharap saja tidak ada permusuhan di antara
kalian.“
Siang In menggeleng kepalanya. “Tidak ada permusuhan apa-apa.“
“Kalau begitu kalian saling mencinta! Wah, syukurlah…!”
“Juga tidak, Enci. Tidak ada permusuhan, juga tak ada ikatan itu karena selama ini kami tidak pernah
saling jumpa, hanya ada sedikit penasaran dan aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan
suatu hal agar rasa penasaran di hatiku dapat lenyap.”
“Syanti Dewi mengerutkan alisnya dan merasa khawatir. “Penasaran? Urusan apakah itu yang membuat
engkau penasaran, adikku? Bolehkah aku mengetahuinya? Aku khawatir sekali...”
“Ahh, tidak apa-apa, Enci Syanti. Hanya rasa penasaran karena suatu perbuatan yang dia lakukan
kepadaku, lima tahun yang lalu,” jawab Siang In dan mendadak wajahnya berubah merah.
Tentu saja puteri itu menjadi makin penasaran. “In-moi, perbuatan apakah yang dia lakukan kepadamu
sampai membuatmu penasaran? Atau... engkau kurang percaya kepadaku untuk memberitahu...“
“Ahhh, mengapa tidak percaya, Enci Syanti Dewi?” Siang In merangkul. “Tidak ada rahasia, perbuatan itu
hanyalah... eh, lima tahun yang lalu dia... eh, dia pernah mencium bibirku.”
“Ihhh...!” Syanti Dewi terkejut bukan main! Dara ini menceritakan hal seperti itu demikian jujurnya, seolaholah
itu ‘bukan apa-apa’!
“Kenapa kau terkejut, Enci?” Siang In memandang penuh selidik.
“Tidak apa-apa...“ Syanti Dewi mengatur napasnya yang agak memburu. “Hanya... jika sudah begitu...
berarti kalian saling mencinta.”
Siang In menggeleng kepala. “Bagaimana engkau dapat memastikan begitu?”
“Ya... karena... pria yang mau mencium seperti itu, berarti dia mencinta, dan kalau kau mau menerima
ciuman itu, berarti engkau pun mencintanya.”
“Hemmm... aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, dan aku tidak tahu pula apakah dia cinta padaku.
Akan tetapi, terus terang saja, ciuman itu membuat aku sering kali tidak bisa tidur, Enci Syanti.”
Syanti Dewi menutupi mulutnya, menahan ketawa. Anak ini benar-benar jujur bukan main, pikirnya dengan
hati terharu. Jujur dan polos, murni bagaikan setangkai mawar hutan yang mulus tak pernah ternoda.
“Itulah tandanya bahwa kau jatuh cinta kepada Kian Bu koko, adikku.”
“Ah, tidak. Belum tentu. Aku tidak yakin apakah aku cinta padanya. Memang aku sering kali
membayangkan ciuman itu, tetapi dengan hati penasaran. Maka aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk
menanyakan artinya, untuk bertanya kepadanya mengapa lima tahun yang lalu itu dia menciumku seperti
itu!”
Syanti Dewi menggeleng-geleng kepalanya. Selama hidupnya baru kini dia bertemu dengan seorang gadis
seperti Siang In, juga dalam kitab-kitab lama belum pernah dia bertemu dengan cerita tentang seorang
gadis seperti Siang In!
“Jadi jauh-jauh engkau bersusah-payah mencari Kian Bu koko, hanya untuk bertanya tentang itu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, akan tetapi sudahlah, Enci. Hatiku menjadi tidak enak dan amat kecewa karena kenyataannya
perjalananku sia-sia belaka, tak dapat bertemu dia. Baiknya aku bertemu denganmu dan dapat
membantumu lolos dari sangkar emas di istana Bhutan itu. Sekarang kau ajarkan lagu yang kau nyanyikan
kemarin itu.”
“In-moi, lagu itu adalah lagu lama dari Bhutan, dan sebetulnya untuk menyanyikannya harus diiringi musik
dan dinyanyikan sambil menari.”
“Bagus sekali! Aku pun senang menari, bahkan aku pernah belajar menari, Enci. Biar kau ajarkan sekalian
tariannya.”
“Musiknya?”'
“Asal kau ajarkan pada aku iramanya, dapat digantikan dengan irama ketukan batu.”
Syanti Dewi tertawa. Memang, inti dari musik adalah iramanya, dan andai kata tidak ada alat musik, asal
iramanya dibunyikan dengan tepuk tangan, ketukan batu atau apa pun jadilah! Dia lalu mengajarkan
iramanya yang sederhana saja seperti semua irama dari segala macam musik di dunia ini.
“Lagu ini bernama HARAPAN JUMPA KEKASIH. Nah, kau iringilah dengan irama yang baik dan teratur,
dan dengarkan nyanyiannya, lihat gerak tariannya kalau kau ingin pula mempelajarinya.”
Terdengarlah ketukan-ketukan batu berirama di dalam hutan itu, kemudian terdengarlah suara halus merdu
dari Syanti Dewi yang bernyanyi sambil menari. Kata-kata dalam lagu itu memang tepat sekali dengan
keadaan dan suara hati Sang Puteri sendiri.
Kekasih telah lama pergi
tak tahu bila akan jumpa kembali
namun hati pantang membeku
tak mengenal putus harapan
selama hayat dikandung badan
cintaku tak pernah padam
jika tiada kesempatan jumpa di dunia
di akhirat kita akan saling bersua
harapan jumpa kekasih
kubawa sampai mati…..
“Hebat, Enci! Hebat sekali, baik nyanyiannya mau pun tariannya. Cepat, kau yang mengiringi dengan
irama, selagi aku masih ingat.”
Gembira bukan main hati kedua orang dara itu dan ketika Siang In belajar menyanyi dan menarikan lagu
Harapan Jumpa Kekasih itu, Syanti Dewi yang bengong dan kagum! Kiranya di samping kepandaian silat
dan sihirnya yang hebat, dara ini pun memiliki suara yang nyaring merdu seperti burung kenari, dan
tubuhnya yang padat ramping itu memang telah jelas memiliki gerakan yang lemas dan lemah gemulai
sehingga ketika dia menari, benar-benar amat indah dan mengandung daya pikat yang mempesonakan.
Gerak-gerik tarian Syanti Dewi mengandung kehalusan dan masih terselubung oleh tradisi sopan santun
yang telah mendarah daging dalam diri puteri itu, akan tetapi tidak demikian dengan Siang In. Gadis ini
bebas dari segala ikatan tradisi, gerakannya wajar dan tidak terkekang maka setiap anggota tubuhnya
seolah-olah ‘hidup’ dan menari-nari sehingga menimbulkan daya tarik yang menggairahkan!
Demikianlah, dengan asyiknya dua orang dara itu menari dan bernyanyi di dalam hutan. Siang In belajar
penuh semangat, kadang-kadang Syanti Dewi masih turun tangan mengajarnya bagaimana harus
menggerakkan tangan dan jari-jari tangan yang benar, bagaimana harus menggerakkan kaki melangkah.
Puteri itu memberi petunjuk dengan penuh ketelitian dan Siang In makin gembira mempelajarinya sampai
akhirnya dia dapat menangkap inti dari nyanyian dan tarian itu. Sejak kecil, Siang In mempelajari ilmu silat
dan sesungguhnya orang yang berbakat pula mempelajari ilmu tari, karena di dalam gerakan ilmu silat
memang terkandung inti gerakan ilmu tari pula. Oleh karena itu, dengan mudah saja dara yang memang
bertubuh ramping dan lemas ini menguasai tarian Harapan Jumpa Kekasih itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Siang In menangkap tangan Syanti Dewi dan ditariknya puteri itu menyelinap ke balik semaksemak
belukar yang tinggi. Tentu saja puteri itu terkejut bukan main, akan tetapi melihat Siang In memberi
isyarat dengan jari tangan ke depan mulut, dia pun tidak berani bertanya dan maklum bahwa tentu ada
sesuatu yang tidak beres. Melihat pandang mata Siang In ditujukan ke barat, dia pun menoleh dan kini
setelah dia memusatkan perhatiannya, dia pun mendengar lapat-lapat derap kaki kuda datang dari jurusan
itu.
Tidak lama mereka menanti. Derap kaki kuda makin keras dan segera kelihatan belasan orang
penunggang kuda membalapkan kuda lewat di hutan itu dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati
Syanti Dewi saat melihat bahwa rombongan berkuda itu ternyata dipimpin oleh Panglima Mohinta! Seketika
wajahya menjadi pucat dan tangannya yang memegang tangan Siang In menggigil. Disangkanya bahwa
dia telah terlepas dari bahaya karena telah meninggalkan Bhutan selama satu bulan. Siapa kira, ternyata
dia dikejar dan kini para pengejarnya telah tiba di situ!
Setelah derap kaki kuda itu menghilang ke jurusan timur, barulah Syanti Dewi bernapas lega dan Siang In
kemudian berkata, “Aihhhh, tidak kusangka monyet-monyet itu akan bisa menyusul secepat itu. Dan
tunanganmu sendiri yang memimpin pasukan pengejar.”
“Dia bukan tunanganku! Jangan menyebut-nyebut lagi dia sebagai tunanganku, In-moi. Engkau tahu
bahwa tunanganku adalah Ang Tek Hoat!”
“Maaf, Enci Syanti. Sekarang kita tidak boleh lalai. Mereka telah mengejar, tentu mereka telah mendengar
tentang kita dari dusun terakhir yang kemarin dulu kita lewati untuk membeli roti kering. Kalau mereka nanti
tiba di dusun depan dan tidak mendengar tentang kita, tentu mereka akan kembali lagi dan mencari kita di
sepanjang jalan.”
“Tapi mereka hanya belasan orang banyaknya. Dengan kepandaianmu...“
“Hemmm, apa engkau tidak melihat pendeta lama jubah kuning yang tadi menunggang kuda di samping
tunang... ehh, Panglima Mohinta itu?”
“Ya, aku melihatnya dan aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Siapa dia dan mengapa, In-moi?”
“Ketika lewat tadi, aku sempat melihat sinar matanya dan tentu dia itu seorang jagoan undangan. Agaknya
dari Tibet dan melihat sinar matanya, aku dapat menduga bahwa dia tentu seorang yang lihai dan tidak
mudah dipengaruhi oleh kekuatan sihir. Tentu saja aku tidak takut kepada mereka, akan tetapi aku harus
melindungimu, Enci. Dan agaknya akan sukarlah kalau aku harus melawan mereka sambil melindungimu.
Aku tidak ingin melihat usaha kita gagal setelah kita berhasil pergi sejauh ini dari Bhutan. Mari kita
mengambil jalan lain saja, bukan jalan umum.”
“Terserah kepadamu, In-moi.”
Siang In lalu mengubah rencana perjalanannya, tidak melanjutkan melalui jalan umum ke timur melainkan
membelok ke utara melalui jalan liar, naik turun gunung dan jurang yang amat liar, akan tetapi yang
menjamin mereka bahwa pasukan berkuda itu tidak akan mungkin dapat mencari jejak mereka. Siasat
Siang In berhasil baik. Memang tepat perhitungannya.
Ketika Mohinta dan anak buahnya tiba di dusun depan dan mereka tidak mendengar adanya dua orang
gadis itu lewat di dusun ini, Mohinta dan kawan-kawannya segera kembali dan mencari-cari di dalam hutan
di mana dua orang tadi bernyanyi dan menari. Namun Mohinta kehilangan jejak mereka dan terpaksa dia
membawa rombongannya terus mengejar dan mencari ke timur. Mohinta dapat menduga bahwa tentu
Syanti Dewi akan berusaha mencari bekas kekasihnya, Ang Tek Hoat, maka dengan mencari pemuda itu,
dia percaya akhirnya akan dapat pula menemukan Syanti Dewi.
Setelah melakukan perjalanan yang amat jauh, sukar dan melelahkan, namun mereka berdua selalu
berada dalam keadaan gembira, terutama sekali karena watak jenaka dan periang dari Siang In telah
menular kepada Syanti Dewi, akhirnya pada suatu senja mereka tiba di kaki sebuah di antara pegunungan
yang mempunyai banyak puncak. Itulah Pegunungan Lu-liang-san yang menjadi tapal batas Propinsi Shensi
di barat, Ho-nan di selatan, dan Shan-si di utara.
Lebih dari sepekan mereka berdua melakukan perjalanan melalui air Sungai Wei-ho, dan di kota Sian, yaitu
ibukota Propinsi Shen-si, mereka mendarat dan melakukan perjalanan darat. Tujuan mereka adalah Kota
dunia-kangouw.blogspot.com
Raja Peking di utara. Setelah berjalan beberapa hari lamanya, pada senja hari itu mereka tiba di kaki
puncak dan mereka memandang ke atas puncak di mana nampak sebuah kota yang dikelilingi tembok,
mereka merasa lelah sekali karena anehnya, setelah melakukan perjalanan sehari lamanya mereka tidak
juga bertemu dengan kota atau dusun! Baru sekarang mereka melihat kota di puncak bukit itu, dan di
depan agak jauh nampak mengalir Sungai Kuning yang amat lebar.
“Hari sudah gelap dan sudah dua hari kita tidak makan nasi,” kata Siang In, “Kalau melanjutkan ke depan,
kita terhalang Sungai Kuning yang lebar. Bagaimana kalau kita naik ke puncak itu? Kelihatannya di atas itu
adalah sebuah kota kuno yang besar dan kita bisa mencari penginapan di sana dan makan sepuasnya di
rumah makan.”
Syanti Dewi yang merasa sudah lelah sekali itu mengangguk. “Terserah kepadamu, In-moi. Aku setuju
saja. Hanya lain kali lebih baik kita melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja. Perjalanan melalui
air yang telah kita tempuh, demikian enak dan membikin malas hingga begitu diganti dengan perjalanan
darat, kaki ini menjadi seperti mau patah-patah rasanya. Padahal, sebelum itu, dipakai berjalan sampai
sebulan lebih tidak apa-apa.”
Siang In tersenyum dan menggandeng puteri itu. “Kasihan engkau, Enci Syanti, dan kasihan kedua kakimu
yang mungil itu. Biasanya kalau pergi dekat saja engkau tentu menggunakan joli atau kereta, dan biasanya
kalau terasa capai, tentu ada pelayan-pelayan yang memijatinya. Sayang, kalau ada Tek Hoat, tentu….“
“Hushhh, genit kau...!” Syanti Dewi mencubit lengan Siang In dan dara ini menjerit-jerit minta ampun.
Dengan kelakar itu Siang In berhasil membuat puteri itu melupakan kelelahannya dan mereka bersendaugurau
sambil mendaki jalan naik ke puncak itu.
Sungguh kasihan kedua orang dara cantik jelita itu. Mereka tertawa-tawa bersenda gurau, membayangkan
bahwa mereka akan tiba di sebuah kota atau dusun besar di mana mereka akan dapat melepaskan lelah di
rumah penginapan, mandi air hangat dan makan masakan yang lezat-lezat. Mereka sama sekali tidak
pernah menyangka bahwa mereka itu seolah-olah dua ekor anak domba yang berdaging empuk dan yang
sedang menuju ke goa yang penuh dengan harimau dan naga!
Tempat apakah yang dikurung tembok di atas puncak itu? Bagi wilayah itu, bahkan hampir semua orangorang
kang-ouw di Propinsi-propinsi Shan-si, Ho-nan dan Shen-si, tempat itu telah amat terkenal, disegani
dan tidak sembarangan orang kang-ouw berani mendatangai tempat itu, apa lagi sejak beberapa tahun
akhir-akhir ini. Puncak bukit itu merupakan daerah berbahaya dan gawat, bahkan di sekitar itu, orang-orang
tidak lagi berani tinggal sehingga dusun-dusun itu ditinggalkan orang. Inilah sebabnya mengapa selama
sehari perjalanan Siang In dan Syanti Dewi tidak pernah melihat kota atau dusun.
Puncak itu dinamakan puncak Hwee-liong (Naga Api) dan yang kelihatan seperti dusun itu sesungguhnya
adalah sekelompok bangunan yang dikurung dinding tembok yang kuat seperti benteng saja. Tempat itu
menjadi markas sebuah perkumpulan yang amat terkenal, yaitu Perkumpulan Liong-sim-pang
(Perkumpulan Hati Naga). Yang menjadi ketuanya, atau lebih tepat menjadi pemiliknya karena
sesungguhnya perkumpulan itu didirikan oleh seorang yang amat kaya raya, adalah seorang laki-laki yang
terkenal dengan julukan Hwa-i-kongcu (Pemuda Baju Kembang), bernama Tang Hun dan memang dia
merupakan keturunan terakhir dari keluarga Tang yang kaya raya dan seolah-olah sejak turun-temurun
menjadi raja kecil yang menguasai semua tanah di daerah itu.
Mengapa pemuda bernama Tang Hun ini sampai mendirikan Perkumpulan Liong-sim-pang? Karena selain
kaya raya dia pun sejak kecil suka sekali akan ilmu silat, bahkan kini ia terkenal sebagai seorang yang
amat tangguh dan lihai, apa lagi setelah sejak beberapa tahun ini dia berguru kepada seorang nenek hitam
yang kini tinggal di puncak itu sebagai seorang yang dipuja-puja. Sejak berguru kepada nenek hitam ini
kabarnya kepandaian Hwa-i-kongcu menjadi hebat bukan main karena selain silat nenek itu amat tinggi,
juga terutama sekali nenek itu seorang ahli sihir yang menurunkan sebagian dari kepandaian ini kepada
muridnya itu! Dan selain dia sendiri amat lihai, juga Hwa-i-kongcu mempunyai pembantu-pembantu yang
sakti dan setia.
Sebagai seorang majikan atau ketua dari sebuah perkumpulan, apa lagi karena amat kaya raya, tentu saja
Hwa-i-kongcu membentuk pasukan sebagai anak buah Liong-sim-pang. Anak buahnya berjumlah lima
puluh orang, dan rata-rata memiliki kepandaian lumayan, sebab mereka yang masuk menjadl anggota
harus lulus melalui ujian tertentu. Bahkan setelah menjadi anak buah Liong-sim-pang mereka ini mendapat
pendidikan khusus dari para pembantu Hwa-i-kongcu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat namanya, perkumpulan ini didirikan oleh Tang Hun dengan maksud untuk mengangkat diri sendiri
sebagai majikan atau ketua perkumpulan orang-orang gagah yang berhati naga! Akan tetapi, sudah
menjadi kelajiman di dunia bagian mana pun juga, baik dalam bentuk pangkat, kedudukan, dan kepintaran,
harta benda, mau pun kekuatan, selalu mendatangkan kekuasaan dan kekuasaan inilah yang
menimbulkan kesombongan, kesewenang-wenangan dan penindasan. Maka tidak lama kemudian, nama
Liong-simpang menjadi tersohor dan ditakuti orang karena para anak buahnya mengandalkan kekuasaan
itu untuk menang sendiri terhadap pihak lain.
Hwa-i-kongcu Tang Hun sendiri tentu saja merasa dirinya terlalu tinggi untuk melakukan hal-hal yang
remeh. Dia sudah kaya raya, maka tidak pernah dia melakukan pemerasan atau merampas harta. Akan
tetapi dia memiliki kesenangan lain, yaitu wanita cantik!
Dengan berbagai jalan, baik menggunakan kekayaannya, ketampanannya, atau kalau perlu
kepandaiannya, dia mengumpulkan banyak wanita cantik di dalam gedungnya dan celakanya, pemuda
mata keranjang dan hidung belang ini adalah seorang pembosan sehingga kumpulan wanita di gedungnya
selalu berganti. Yang sudah membosankan, dan biasanya hal ini takkan pernah terjadi lebih dari beberapa
bulan saja, kemudian dipulangkan begitu saja dan dia mulai berkeliaran lagi mencari penggantinya. Kamarkamarnya
selalu penuh dengan wanita cantik yang jumlahnya paling sedikit ada sepuluh orang!
Hwa-i-kongcu sendiri biar pun usianya sudah tiga puluh tahun namun dia kelihatan amat muda, seperti
seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun. Wajahnya tampan dan selalu putih karena dibedaki
dengan bedak harum. Dia pesolek sekali, dengan pakaian seperti seorang sastrawan yang selalu
berwarna-warni dan berbunga-bunga, pakaian dari sutera yang mahal dan mewah.
Karena kelihatan masih amat muda, tampan dan ganteng serta kaya raya, pandai ilmu sastra dan silat,
maka tentu saja dengan mudah dia dapat memikat hati wanita-wanita cantik. Akan tetapi, begitu wanitawanita
itu berhasil diperolehnya dan dibawa ke dalam gedungnya, wanita-wanita itu menyesal bukan main
dan barulah mereka sadar bahwa mereka telah memasuki neraka karena pria yang tampan itu memiliki
watak yang amat aneh dan kejam, yang suka menyiksa wanita demi untuk memuaskan nafsu birahinya
dan menganggap wanita hanya sebagai barang permainan belaka, sebagai pemuas nafsu belaka!
Sampai berusia tiga puluh tahun, Hwa-i-kongcu ini tidak pernah menikah. Hal ini adalah karena dia
berwatak pembosan dan terutama sekali karena dia amat tinggi hati, merasa bahwa di dunia ini tidak ada
wanita yang cukup berharga untuk menjadi isterinya yang sah! Semua wanita itu hanya mau dijadikan
barang permainannya untuk sementara saja.
Demikianlah, di luar kesadaran atau dugaan mereka, kini Siang In dan Syanti Dewi sedang mendaki bukit
itu menuju ke tempat seperti itu! Tentu saja para penjaga di atas tembok yang seperti benteng itu sudah
melihat akan adanya dua orang yang mendaki bukit. Sepasukan anak buah Liong-sim-pang yang
jumlahnya selosin orang segera bergegas turun dari puncak untuk menghadang dua orang yang berani
lancang naik ke puncak itu.
Siang In dan Syanti Dewi sudah tidak bergurau lagi karena mendaki jalan naik itu cukup melelahkan,
membuat mereka terutama Syanti Dewi menjadi kecapaian, keringatnya membasahi seluruh tubuh dan
nafasnya agak memburu.
“Ihhhhh...“ Puteri itu mengeluh. “Kelihatan dekat, tapi kalau dijalani kenapa tidak juga sampai-sampai!”
Siang In tertawa. “Enci, kita sudah melewati gunung-gunung yang jauh lebih tinggi dan sukar dari pada
bukit kecil ini, akan tetapi kau tidak pernah mengeluh. Hal itu adalah karena kau tergesa-gesa ingin lekaslekas
tiba di puncak itu, maka menjadi lama dan kelihatan jauh...“
Tiba-tiba Siang In menghentikan kata-katanya, lalu memegang tangan puteri itu dan menghentikan
langkahnya. Syanti Dewi terkejut dan memandang ke depan. Tampak olehnya serombongan orang
berjalan cepat turun dari atas. Bukan rombongan orang, melainkan sepasukan orang karena mereka itu
berjalan dengan berbaris rapi seperti pasukan saja! Dan pakaian mereka juga seragam. Setelah mereka
datang agak dekat, nampaklah bahwa pakaian mereka itu seragam dengan baju kuning dan celana hitam,
dan di dada mereka terdapat lukisan seekor naga.
Syanti Dewi menjadi gelisah dan memegang tangan Siang In, akan tetapi gadis ini hanya tersenyum dan
berkata lirih. “Tenanglah, Enci, biar aku menghadapi badut-badut itu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pasukan itu berhenti di depan mereka dan Si Tinggi Kurus yang agaknya menjadi komandan pasukan
menyerukan aba-aba dan mereka lalu berpencar menghadang ke depan dua orang dara itu, berdiri berjajar
memenuhi jalan. Mereka memandang dengan mata terbelalak, terheran-heran ketika melihat bahwa dua
orang yang naik dan mereka curigai itu ternyata adalah dua orang dara yang memiliki bentuk badan dan
wajah yang aduhai! Sampai bengong mereka memandang, karena sesungguhnya, selama mereka hidup,
belum pernah mereka bertemu dengan dua orang dara yang begini cantik jelitanya! Seolah-olah dua orang
bidadari yang baru turun dari kahyangan!.
Melihat dua orang wanita cantik, komandan pasukan segera pasang aksi. Ia mengebut-ngebutkan pakaian
seragamnya, membusungkan dadanya yang tipis hingga tubuhnya menjadi melengkung seperti huruf S
atau seperti seekor ular sendok bergaya, kemudian melangkah maju dengan langkah seorang jenderal dan
dia berdehem dua kali sebelum bicara. Suaranya lantang dibesar-besarkan akan tetapi tetap saja sumbang
karena memang si jangkung ini suaranya kecil parau.
“Heiiiii! Kalian dua orang Nona Muda ini siapakah, dari mana dan hendak ke mana?” Si jangkung ini
bertanya dengan suara mengandung nada-nada seperti orang bernyanyi, dan tentu saja nyanyian
sumbang!
Melihat lagak orang ini mau tidak mau hati Syanti Dewi merasa geli dan dia menutupi mulutnya untuk
menyembunyikan senyumnya. Akan tetapi Siang In tersenyum lebar, bahkan tidak menahan suaranya
terkekeh kecil. Inilah perbedaan antara dua orang dara cantik itu. Syanti Dewi sejak kecil sudah dikurung
oleh semacam kebiasaan, tradisi, dan sopan santun sehingga setiap gerak-geriknya terbentuk oleh
suasana di dalam istana. Di lain pihak, Siang In sudah biasa hidup bebas, maka dia tidak merasa kurang
sopan untuk tersenyum atau tertawa sesuka hatinya.
“Kami adalah dua orang pelancong, dari belakang hendak ke depan, hik-hik!” Siang In menjawab sambil
terkekeh.
“Ha-ha-ha, Nona ini lucu!”
“Lucu dan manis, heh-heh.”
“Kedua-duanya cantik jelita!”
“Hushhh, diam kalian!” Si jangkung membentak ke belakangnya dan para anak buahnya berhenti bicara.
Sungguh pun mereka masih menyeringai gembira dan pandangan mata mereka kadang-kadang melayang
mengagumi wajah dua orang dara itu, kemudian pandang mata mereka meraba-raba ke seluruh anggota
tubuh yang menggairahkan Itu. Hal ini terasa sekali oleh Syanti Dewi yang cepat menundukkan muka
dengan alis berkerut.
“Nona, jangan kau main-main! Kalian berdua berhadapan dengan Jiu Koan, seorang tokoh Liong-sim-pang!
Hayo lekas mengaku baik-baik, jangan sampai aku bertindak kasar terhadap kalian dua orang dara-dara
muda.”
“Nanti dulu, mengaku ya mengaku, akan tetapi kalian ini mau apakah? Kami tidak melakukan apa-apa
yang merugikan kalian, mengapa kalian menghadang perjalanan kami? Kami hendak pergi ke kota di
puncak itu.”
“Ha-ha-ha-ha-ha!” Semua anggota pasukan tertawa dan Siang In mengerutkan alisnya, lalu memandang
ke arah kota berdinding tebok itu.
“Mengapa kalian tertawa!?” tanyanya.
“Di atas itu bukan kota Nona, melainkan markas dari perkumpulan kami, Liong-sim-pang. Dan kalian
berdua telah melanggar wilayah kami, tentu saja kami menghadang kalian,” kata pula si jangkung bernama
Jiu Koan dan mengaku tokoh Liong-sim-pang itu. Padahal tentu saja dia hanya seorang petugas rendahan
yang paling tinggi berpangkat kopral.
Siang In dan Syanti Dewi saling pandang dan merasa terkejut serta kecewa. Kiranya mereka telah salah
duga! Akan tetapi mendengar bahwa mereka itu adalah anak buah perkumpulan yang bernama Hati Naga,
dia merasa dadanya lapang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hati Naga berarti keberanian. Hanya orang-orang gagah saja yang mau menggunakan nama seperti itu.
Dan orang gagah tentu bukan orang-orang jahat. Maka cepat dia menjura dan berkata, “Aihh, kalau begitu
harap Cu-wi (Anda Sekalian) suka memaafkan kami yang salah terka dan salah jalan. Kami kira yang di
atas itu sebuah kota atau dusun. Setelah kami mengetahui akan kesalahan kami, biarlah kami kembali dan
harap maafkan kami.”
“Eh-eh, nanti dulu, Nona!” Jiu Koan membentak ketika melihat Siang In dan Syanti Dewi hendak pergi dan
membalikkan tubuh mereka. Dia memberi isyarat dan dua belas orang pasukannya itu berpencar lalu
membentuk lingkaran mengurung dua orang dara itu.
“Hemmm... kalian mau apa?” Siang In tersenyum. Dia menyembunyikan kemarahannya dibalik senyum
manis.
“Kalian sudah melanggar wilayah kami, tidak boleh begitu saja sebelum ikut dengan kami untuk
menghadap Kongcu.”
“Hemmm, siapa itu Kongcu?” tanya Siang In.
“Kongcu adalah majikan dan ketua kami.”
“Kongcu pasti akan senang sekali melihat kalian, heh-heh!”
“Tentu saja, dan kita akan mendapatkan hadiah!”
Mereka tertawa-tawa dan lenyaplah keyakinan di hati Siang In bahwa dia berhadapan dengan anggotaanggota
perkumpulan orang gagah. Lagak mereka ini tiada bedanya dengan penjahat-penjahat kecil atau
sebangsa perampok liar saja.
“Kalau kami tidak mau?” tanyanya.
“Ha-ha, mau tidak mau kalian harus ikut bersama kami,” jawab Jiu Koan.
Siang In melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Jiu Koan dan bertanya, “Eh, siapa
namamu tadi? Jiu Koan?”
“Benar.”
“Jadi engkau ini seorang jagoan Liong-sim-pang? Nah, sekarang begini saja orang she Jiu. Kalau kau
memang jagoan, aku tantang kau untuk bertanding. Kalau aku kalah, biar kami akan menyerah dan ikut
bersama kalian ke atas sana. Tetapi kalau aku menang, kalian harus membiarkan aku pergi. Bagaimana?”
Jiu Koan memandang dengan mata terbelalak. Gadis ini menantangnya? Akan tetapi dia seorang yang
cerdik pula. Kalau gadis ini berani menantangnya, agaknya gadis yang membawa payung ini memiliki
kepandaian. Kalau dia mempertaruhkan kebebasan mereka, amatlah berbahaya. Akan tetapi gadis kedua
itu, yang kelihatan lemah lembut, tentu tidak bisa silat.
“Baik, akan tetapi karena kalian berdua, maka haruslah kalian berdua pula yang maju, masing-masing
melawan seorang pembantuku dan aku. Kalau kalian berdua menang, biarlah kalian boleh pergi. Akan
tetapi, seorang saja yang kalah, dia harus ikut kami ke atas untuk menghadap Kongcu.”
“Baiklah,” jawab Siang In sambil berkedip kepada Syanti Dewi yang ingin membantu. “Kau ajukan jagomu
biar dilawan temanku ini.” Dan dia menggunakan ilmunya sehingga hanya Syanti Dewi saja yang
mendengar bisikannya, “Enci, kau lawanlah saja, aku akan membantumu dan tidak mungkin kau kalah.”
Syanti Dewi mengangguk. Memang dia pernah mempelajari ilmu, bahkan ilmu silatnya telah memperoleh
kemajuan hebat saat dia mendapat petunjuk-petunjuk dari pendekar sakti Gak Bun Beng beberapa tahun
yang lalu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Akan tetapi selama bertahun-tahun ini dia tidak pernah
berlatih karena semangatnya seperti telah hilang terbawa pergi oleh Tek Hoat. Maka untuk bertanding
tentu saja gerakannya kaku dan memang puteri ini bukan seorang yang suka berkelahi!
Jiu Koan lalu memberi isyarat dan majulah seorang laki-laki tinggi besar bermata lebar. Usianya tentu
belum ada empat puluh tahun dan kedua lengannya nampak penuh dengan lingkaran otot-otot besar
dunia-kangouw.blogspot.com
karena dengan bajunya digulung sebatas siku. Dia ini tersenyum menyeringai, agaknya girang sekali
mendapat kesempatan untuk bertanding melawan dara cantik seperti bidadari itu. Sudah terbayang dalam
benaknya betapa dia akan memperoleh kesempatan untuk memeluk dara itu.
Syanti Dewi merasa agak ngeri berhadapan dengan raksasa ini, akan tetapi dia pun bersiap sedia dan
memasang kuda-kuda. Ketika Si Tinggi Besar meliihat betapa dara cantik ini dapat memasang kuda-kuda
ilmu silat, dia bersikap hati-hati dan berkata, “Nona manis, lebih baik kau menyerah dan mengaku kalah.”
“Tidak perlu banyak cakap, majulah!” Syanti Dewi berkata.
“Ha-ha, hendak kulihat apakah kau akan mampu bergerak dalam dekapanku!” Raksasa itu tertawa dan
menubruk cepat sekali ke arah Syanti Dewi.
Puteri ini amat terkejut, tak disangkanya orang tinggi besar itu dapat bergerak demikian cepatnya. Akan
tetapi dia dapat mengelak dengan meloncat ke kanan sambil mengirim tendangan ke arah lambung lawan.
Dalam perjalanan yang jauh ini, puteri Bhutan itu sengaja memakai sepatu kulit yang dipasangi besi di
ujungnya, maka tendangannya itu bukanlah tidak berbahaya.
“Ehhh!” Lawannya berseru kaget juga karena hampir saja lambungnya tercium sepatu.
Dia mengelak sambil berusaha menangkap kaki itu, akan tetapi Syanti Dewi sudah menarik kembali
kakinya. Raksasa itu kini menyerang dengan marah, tidak lagi hanya berusaha menangkap Sang Puteri,
tetapi juga menggunakan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Karena kaki dan tangannya memang besar
dan panjang, repot jugalah Syanti Dewi mengelak ke sana ke mari.
“Kau hendak lari ke mana sekarang?” Raksasa itu berseru keras, tangan kanannya diulur untuk
mencengkeram ke arah rambut kepala Syanti Dewi.
Puteri ini cepat merendahkan tubuh mengelak, dan selagi ia membalas dengan pukulan ke arah muka
raksasa itu, lawannya sama sekali tidak menangkis atau mengelak, agaknya akan menerima pukulan itu
begitu saja, akan tetapi kedua tangannya kini mencengkeram ke arah kedua buah dada Sang Puteri!
“Aihhh...!” Syanti Dewi menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang.
Dia berjungkir-balik dan terbebas dari serangan yang kasar itu, akan tetapi karena kurang latihan, ketika
berjungkir-balik itu tubuhnya agak terhuyung-huyung hampir jatuh. Kesempatan itu dipergunakan oleh si
raksasa untuk menyerbu ke depan.
Pada saat itu, Siang In menggerak-gerakkan tangannya ke arah si raksasa sambil berseru, “Laki-laki tidak
sopan, jangan kau main curang dan kurang ajar!”
Suaranya melengking nyaring dan mengandung daya tarik yang luar biasa sehingga si raksasa itu
memandang kepadanya. Inilah kesalahannya karena begitu dia bertemu pandang dengan dara itu,
otomatis dia telah terjatuh ke dalam pengaruh sihir Siang In.
“Eh... eh... mana...?” Raksasa itu bingung karena secara tiba-tiba saja dia tidak melihat lagi dara cantik
yang menjadi lawannya.
“Plak! Plak!”
Dua kali pipinya ditampar orang, ditampar oleh tangan yang tidak kelihatan sampai menjadi merah dan
terasa panas sehingga dia terhuyung ke belakang.
Syanti Dewi sendiri merasa telapak tangannya panas ketika menampar muka orang itu. Dia melihat
lawannya berdiri bingung dan tahulah puteri ini bahwa Siang In mulai membantunya, maka dia kemudian
melangkah maju, dan memukul ke arah dada orang dengan tinju tangannya yang kecil.
“Buk-buk-bukkk!” Tiga kali dia memukul dan raksasa itu berteriak kaget dan terhuyung-huyung lagi ke
belakang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Semua temannya menjadi bengong. Apa yang terjadi dengan raksasa itu? Tadi jelas tampak oleh mereka
bahwa nona cantik itu yang terdesak hebat, kenapa kini kawan mereka itu seperti orang bingung dan
dengan mudah saja ditampar dan ditonjok?
Si raksasa itu memang bingung dan ngeri. Jelas bahwa dia ditampar dan ditonjok, akan tetapi dia sama
sekali tidak dapat melihat lawan yang menampar dan menonjoknya itu. Dia masih berusaha menggunakan
kedua lengannya yang panjang untuk memukul sana-sini, mencengkeram sana-sini, namun hanya
mengenai angin saja karena Syanti Dewi sudah menjauhkan diri. Teman-teman orang itu menjadi makin
kaget dan heran melihat raksasa itu memukul dan mencengkeram tempat kosong di depannya, padahal
lawannya berada di sebelah kirinya!
“Takkk! Aughhhhh... aduhhhhh...!”
Raksasa itu mengangkat kaki kirinya, memegangi tulang kakinya dengan tangan dan berloncatan dengan
kaki kanan. Hanya orang yang pernah digajul (ditendang dengan ujung sepatu) tulang keringnya saja akan
mengerti bagaimana perasaan si raksasa di saat itu. Tulang kering kakinya dicium oleh ujung besi sepatu
Syanti Dewi, tentu saja nyeri bukan main, kiut-miut rasanya, bernyut-nyutan sampai terasa di dalam
sumsum.
“Dukkk...! Aduhhh...!”
Dan si raksasa roboh terpelanting ketika tulang kering kaki kanannya yang berloncatan itu ditendang lagi
oleh Syanti Dewi. Dia mengelus-elus dua kakinya yang sudah menjadi biru dan bengkak itu.
Siang In menggerakkan tangannya. Kini si raksasa telah dapat melihat lagi Syanti Dewi yang berdiri di
depannya, bertolak pinggang dengan bangga karena kemenangannya yang amat mudah itu.
Siang In meloncat ke depan sambil tersenyum. “Nah, jelas bahwa temanku memperoleh kemenangan!
Hayo, orang she Jiu. Sekarang kau majulah!”
Jiu Koan masih terheran-heran oleh kekalahan temannya. Dia lalu memandang ke arah Syanti Dewi
dengan pandang mata penuh selidik. Apakah yang sudah terjadi, pikirnya. Temannya itu bukan seorang
lemah atau tolol, akan tetapi dalam pertandingan tadi, temannya telah bersikap lebih dari pada tolol!
Setelah dia memberi isyarat dan si raksasa itu oleh teman-temannya diangkat minggir, Jiu Koan lalu
berkata, “Kemenangan temanmu mencurigakan!”
“Ehh-ehh-ehh, sudah jelas kawanmu kalah, engkau masih mencari alasan!” Siang In mengejek.
“Benar, akan tetapi sungguh tak wajar! Tendangan-tendangan yang dilakukan temanmu tadi sebetulnya
bukan apa-apa, sungguh tidak mungkin bisa mengalahkan kawanku itu kalau saja dia dalam keadaan
wajar. Mungkin dia sedang sakit atau ada sesuatu yang mengganggunya.“
”Ah, omong kosong! Sudah kalah masih mencari-cari alasan kosong. Orang she Jiu, ketahuilah bahwa
kami berdua adalah ahli-ahli menggunakan kaki untuk mengalahkan lawan! Temanku tadi menggunakan
keahliannya itu dan telah merobohkan kawanmu, maka jangan banyak alasan. Kalah ya kalah saja, habis
perkara!”
Muka Jiu Koan menjadi merah sekali. “Bagus!” bentaknya marah. “Kalau begitu coba kau kalahkan aku
dengan keahlian kakimu itu!”
Diam-diam Siang In harus mengakui kecerdikan orang ini, akan tetapi dia tersenyum dan menjawab, “Baik,
engkau lihat saja, aku tidak akan menggunakan kedua tanganku untuk mengalahkanmu, cukup dengan
kedua kakiku saja!”
Ucapan dara ini dianggap terlalu sombong oleh Jiu Koan, maka kemarahannya meluap dan dia
membentak, “Bocah sombong, kau boleh lihat betapa aku akan menangkap kedua kakimu dan merobek
celanamu agar kau tidak bersikap sombong lagi!”
Baru saja orang ini berkata demikian, tiba-tiba kaki kiri Siang In yang menjadi marah mendengar kata-kata
itu sudah melayang dengan kecepatan yang tidak terduga-duga.
“Plakkk!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kaki itu sudah menendang dagu Jiu Koan sehingga orang ini terhuyung ke belakang sambil memegangi
dagunya, matanya terbelalak kaget dan juga marah. Dia kemudian menggereng seperti seekor harimau
terluka, kemudian dia menyerbu ke depan dengan kedua tangannya menyerang dari kanan kiri,
menghujamkan pukulan dan cengkeraman bertubi-tubi.
Namun, kini Siang In sudah mengetahui bahwa lawannya itu lebih besar lagak dari pada kepandaiannya,
maka dengan mudah saja ia menggunakan ginkang-nya yang istimewa untuk mengelak ke kanan kiri. Jika
menghadapi seorang lawan seperti ini saja memang baginya tidak perlu menggunakan kedua tangan, apa
lagi menggunakan sihirnya. Dia mengelak sambil membalas dengan tendangan kakinya dan tiap kali
kakinya bergerak, kalau tidak ada bagian tubuh yang kena tertendang, tentu lawannya itu terhuyung ketika
menangkis, karena tendangan kaki dara itu mengandung kekuatan yang amat hebat.
Baru saja berjalan belasan jurus pertandingan itu, Jiu Koan sudah terdesak terus dan tak mampu
menyerang lagi karena kedua kaki lawannya bergerak seperti kilat cepatnya, bergantian kanan kiri
menyambar dan menghajarnya. Memang Siang In tadi berkata tidak berlebihan bahwa dia adalah seorang
ahli menggunakan sepasang kakinya. Oleh gurunya ia telah diberi ilmu silat yang mendasarkan atas
permainan kaki dan dinamakan ilmu tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) hingga kedua
kakinya dapat melakukan tendangan berantai yang bertubi-tubi.
Terdengar bunyi bertubi-tubi ketika tubuh Jiu Koan dihajar oleh tendangan-tendangan kaki yang kecil
mungil itu. Tentu saja kini keadaannya berbeda dengan ketika Syanti Dewi melawan raksasa tadi. Syanti
Dewi yang pernah belajar ilmu silat tentu mengerti pula bagaimana cara untuk menggunakan kaki
menendang, akan tetapi dia sama sekali bukanlah ahli seperti Siang In. Tadi dia dengan mudah
menendangi tulang kering kaki lawannya karena lawannya itu tidak dapat melihatnya oleh kekuatan sihir
Siang In. Kini, biar pun Jiu Koan berusaha mengelak dan menangkis, namun datangnya tendangantendangan
yang bertubi dan amat cepat itu sukar dihindarkan dan akhirnya, sebuah tendangan kilat
bersarang di perutnya.
“Bukkk!”
Dan kini tubuh Jiu Koan terjengkang, terbanting ke atas tanah di mana dia meringis dan mengaduh-aduh,
memegangi perutnya yang menjadi mulas dan nyeri bukan main.
“Tangkap mereka! Bunuh...!” Jiu Koan berteriak-teriak.
Dia bangkit sambil memegangi perutnya, kemudian tangan kanannya mencabut golok yang tergantung di
pinggangnya. Juga semua anak buahnya mencabut senjata masing-masing. Melihat ini, Syanti Dewi
menjadi cemas juga dan cepat dia mendekati Siang In.
Akan tetapi Siang In malah melangkah maju. “Kalian ini anggota-anggota Perkumpulan Hati Naga, apakah
tidak mengenal seekor naga asli? Lihat baik-baik siapa aku!”
Syanti Dewi memandang penuh perhatian kepada tiga belas orang itu dan terjadilah keanehan. Tiga belas
orang itu terbelalak memandang kepada Siang In, muka mereka menjadi pucat sekali, kemudian didahului
oleh Jiu Koan mereka membuang senjata mereka dan lari tunggang langgang! Syanti Dewi cepat menoleh
dan dia melihat betapa dara itu masih biasa saja tubuhnya, akan tetapi kepalanya yang cantik jelita itu kini
telah berubah menjadi kepala seekor naga yang menyeramkan! Tentu saja Syanti Dewi juga ketakutan dan
menjauhkan dirinya. Karena dia tidak langsung dikuasai sihir, maka dia hanya melihat kepala Siang In saja
yang berubah menjadi naga, tidak seperti tiga belas orang itu yang melihat seekor naga yang lengkap,
yang mengancam untuk menerkam mereka.
“Enci, kau kesinilah, aku tidak apa-apa,” kata Siang In tersenyum lucu dan ketika Syanti Dewi menoleh,
ternyata Siang In sudah biasa kembali.
“Aihhh, kau menakutkan aku...,“ katanya.
Pada saat itu pula terdengar suara melengking panjang dan suara ini disusul bentakan, “Kembalilah kalian
penakut-penakut menjemukan!”
Mendengar suara ini, Jiu Koan dan dua belas orang anak buahnya berhenti dan mereka cepat menjura
kepada seorang pemuda yang baru muncul.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ampun, Kongcu... ada... ada siluman...,” Jiu Koan berkata akan tetapi dia menoleh dan memandang ke
arah dua orang gadis itu, dan ternyata mereka adalah dua orang gadis cantik yang tadi dan tidak nampak
ada naga di situ. Tanpa mempedulikan Jiu Koan lagi pemuda tampan itu segera bertindak menghampiri
Siang In dan Syanti Dewi.
Dua orang dara itu pun memandang penuh perhatian dan mereka dapat menduga bahwa tentulah orang ini
yang disebut kongcu dan menjadi majikan atau ketua dari Perkumpulan Liong-sim-pang yang markasnya
seperti benteng di puncak bukit itu.
Ketika pemuda itu yang bukan lain adalah Hwa-i-kongcu Tang Hun melihat bahwa yang ribut-ribut di situ
adalah dua orang dara yang demikian cantik jelitanya, diam-diam dia merasa terkejut, terheran dan juga
girang sekali. Jantungnya sudah bergoncang hebat karena dia harus mengakui bahwa selama hidupnya
belum pernah dia melihat wanita sedemikian hebat dan cantiknya seperti dua orang dara ini! Sejenak dia
bengong dan pandangan matanya seperti terasa oleh dua orang gadis itu, menggerayangi wajah dan tubuh
mereka.
Siang In memandang sambil tersenyum, penuh perhatian. Pemuda itu memang tampan, bahkan terlalu
tampan dan wajah yang dibedaki putih, alis yang dipertebal dengan cat alis, bibir yang di beri sedikit
pemerah bibir dan pipi yang agak kemerahan itu mendekati kecantikan wajah seorang wanita. Pemuda itu
pesolek sekali, pakaiannya serba indah dan terbuat dari sutera mahal, bajunya berkembang-kembang dan
biar pun pemuda itu berdiri dalam jarak empat meter darinya, dia masih dapat mencium bau wangi
semerbak datang dari tubuh pemuda itu!
Diam-diam Siang In bergidik. Pemuda ini betul-betul mengerikan! Usianya tentu tidak lebih dari dua puluh
tahun, pikirnya. Dia tidak tahu bahwa Tang Hun sesungguhnya sudah berusia tiga puluh tahun.
“Enci, mari kita pergi,” kata Siang In, menggandeng tangan Syanti Dewi dan mengajak untuk turun kembali
dari lereng bukit itu karena dia merasa tidak enak menyaksikan pandang mata pemuda pesolek yang
mengerikan itu.
“Eh-eh, harap perlahan dulu, Ji-wi Siocia (Nona Berdua)...!” Terdengar suara halus dan ada angin
menyambar dari samping mereka.
Kembali Siang In terkejut karena ternyata pemuda pesolek itu kini telah berdiri di depan mereka, tanda
bahwa pemuda itu memiliki ginkang yang hebat juga! Sekarang mereka berhadapan dekat dan bau harum
semerbak makin menyengat hidung kedua orang dara itu.
Siang In pura-pura tidak mengenal orang itu dan dia bertanya, “Siapa engkau dan perlu apa engkau
menghadang perjalanan kami?”
Hwa-i-kongcu Tang Hun menjura dengan sikap hormat dan dengan tersenyum ramah dia berkata, “Harap
Ji-wi Siocia suka memaafkan anak buah kami jikalau mereka itu lancang dan membikin Jiwi tidak senang
hati.”
“Hemmm, anak buahmukah mereka itu?”
“Benar, Nona. Saya adalah Tang Hun, majikan atau ketua dari Liong-Sim-pang dan di atas itu adalah
tempat tinggal kami”.
“Ah, kiranya begitu? Memang anak buahmu tadi kurang ajar terhadap kami, akan tetapi telah kami beri
hajaran kepada mereka. Kalau kau hendak membela mereka...“
“Aihhh, tidak sama sekali, Nona! Bahkan kalau mereka itu berani kurang ajar terhadap tamu-tamu kami
yang terhormat, mereka patut dihukum. Jiu Koan, ke sini kau!” pemuda itu membentak dan Jiu Koan,
komandan pasukan itu cepat-cepat datang menghampiri ketuanya dengan sikap takut dan hormat.
“Siap, Kongcu,” katanya dengan berdiri tegak seperti prajurit.
“Aku melihat tadi engkau dan seorang lagi bertanding melawan Nona ini. Siapa yang seorang lagi? Panggil
sini!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Jiu Koan berteriak memanggil temannya, si raksasa yang tadi telah digajul kedua tulang kering kakinya
oleh Syanti Dewi. Raksasa ini pun datang menghadap dengan sikap hormat dan takut.
“Mereka berdua inikah yang telah mengganggu, Ji-wi?” Tang Hun bertanya sambil kini memandang kepada
Syanti Dewi.
Puteri ini yang dipandang oleh sepasang mata yang mempunyai sinar tajam dan aneh itu bergidik lalu
mengangguk. Sinar mata pemuda ini amat tajam dan aneh, hampir setajam mata Siang In, akan tetapi
kalau mata Siang In tajam lembut dan jujur, mata orang ini tajam akan tetapi mengandung gairah nafsunafsu
yang mengerikan.
“Baik, kalian lihatlah, Ji-wi Siocia. Aku menghukum mereka karena kekurang ajaran mereka. Kupenggal
kepala mereka!”
Syanti Dewi terkejut bukan main melihat pemuda itu mencabut pedang dan dengan satu kali gerakan kilat,
pedangnya itu berkelebat membacok ke arah leher dua orang itu.
“Wuuuttttt... crak-crakkk!” Dan leher kedua orang itu terbabat putus, lalu kepala mereka terpental dan darah
muncrat-muncrat!
“Ihhh...!” Syanti Dewi menjerit dan meloncat ke belakang dengan hati penuh kengerian. Akan tetapi Siang
In memegang lengannya dan berbisik, suaranya berwibawa sekali.
“Tidak apa-apa, Enci. Lihat lagi baik-baik, badut itu hanya membohongi kita.”
Syanti Dewi terheran, mengangkat mukanya dan benar saja. Dia melihat dua orang tadi masih berdiri dan
tidak terjadi sesuatu dengan leher mereka! Pemuda itu tersenyum.
“Tang-pangcu, kami bukan anak kecil. Tidak perlu kau menipu kami dengan sulapan yang hanya pantas
kau pertunjukkan di pasar itu. Dan kami pun tidak ingin melihat dua ekor babi ini disembelih!” Berkata
demikian, Siang In menggerakkan tangan ke arah dua orang anak buah Liong-sim-pang itu dan kini
pemuda itu terbelalak dan meloncat ke belakang karena tiba-tiba dia melihat dua orang pembantunya itu
berubah menjadi dua ekor babi!
“Aihhhhh..., bukan main...!” Dia lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya, kelihatan mengerahkan
sinkang dan seluruh tenaga batinnya, barulah dia melihat kedua orang pembantunya itu kembali menjadi
manusia seperti biasa.
“Hebat...!” Dia berseru lagi dan sekarang dia saling pandang dengan Siang In. Dia lalu menjura. “Engkau
amat hebat, Nona. Marilah kita naik ke puncak, kita bicara di sana. Ji-wi adalah tamu-tamu agung kami.”
Akan tetapi Siang In menggeleng kepala. “Terima kasih. Kami akan pergi saja.”
“Mana bisa begitu, Nona? Bukankah kalian sudah naik sampai ke sini? Kemana lagi jika bukan hendak
mengunjungi Liong-sim-pang?” Pemuda pesolek itu bertanya heran.
Siang In menggeleng kepala dan berkata, “Maaf, sesungguhnya bukan niat kami untuk mengunjungi Liongsim-
pang atau siapa pun juga. Dari bawah bukit tadi kami mengira bahwa yang di atas itu adalah sebuah
dusun atau kota, maka hendak kami kunjungi. Kemudian kami bertemu dengan orang-orangmu dan terjadi
salah paham. Sekarang biarkan kami pergi dan kami akan menganggap Liong-sim-pang perkumpulan
orang-orang gagah yang tidak suka mengganggu wanita.”
Pemuda itu menjura dengan hormat. “Maaf, Ji-wi Siocia. Mungkin orang-orangku telah berlaku lancang,
tetapi sekali lagi aku mengundang kalian menjadi tamu kehormatan kami. Hari sudah hampir malam dan Jiwi
akan kemalaman di jalan. Maka sebaiknya bermalam ditempat kami ini.”
Akan tetapi, bujukan ini tak dapat menundukkan hati dua orang gadis itu. Dari pandang mata pemuda itu
saja mereka sudah dapat menduga bahwa pemuda seperti ini tidak boleh dipercaya.
“In-moi, mari kita pergi saja,” Syanti Dewi berkata.
“Pangcu, kami berterima kasih atas undangannmu, akan tetapi kami akan pergi saja. Selamat berpisah…”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat itu, terdengar suara ketawa yang melengking panjang dan terkejutlah Siang In karena dia
mengenal suara ini. Syanti Dewi juga terkejut karena ada suara ketawa namun tiada orangnya. Dia
menoleh ke arah Siang In dan mengikuti arah pandangan mata temannya itu. Segera tampak olehnya ada
asap hitam yang bergumpal-gumpal dan bergulung-gulung yang datang dari atas, kemudian setelah tiba di
situ, asap itu membuyar dan tampaklah seorang nenek tua India yang berpakaian serba hitam, sudah tua
sekali, berdiri di situ. Syanti Dewi terkejut karena dia pun mengenal nenek ini yang dulu merupakan
pembantu dan guru mendiang Tambolon, raja liar yang sakti itu.
“Subo...!” Siang In juga cepat memberi hormat dengan menjura ke arah nenek itu.
Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan dengan jelas siapa adanya nenek ini. Seorang
nenek India ahli sihir yang berilmu tinggi sekali, isteri dari See-thian Hoatsu, yaitu guru Siang In. Oleh
karena itu, Siang In menyebut subo (ibu guru) kepada nenek itu.
“Ehh, ehhh, Subo, siapakah Nona ini dan mengapa menyebutmu Subo?” Hwa-i-kongcu bertanya dengan
heran, kaget dan juga girang.
“Ho-ho, dia itu adalah murid See-thian Hoatsu,” kata Si Nenek sambil tertawa sehingga mulutnya yang
tidak ada giginya sama sekali itu terbuka seperti goa gelap.
“Aih, kiranya masih Sumoi-ku sendiri!” Tang Hun berseru girang.
“Hehh, bocah, siapa namamu? Aku sudah lupa lagi!” Nenek itu dengan kata-katanya yang logatnya kaku
bertanya.
“Teecu (Murid) Teng Siang In...“
“Oya, Siang In! Mana tua bangka gurumu itu? Biar kuketuk kepalanya, hoho!” Durganini celingukan ke
kanan kiri.
“Suhu sedang bertapa di Goa Tengkorak di Po-hai, Subo...“
“Hi-hik, dia tentu akan mampus dan menambah jumlah tengkorak di sana.” Tiba-tiba dia memandang ke
arah Syanti Dewi yang sejak tadi menunduk dengan jantung berdebar. “Hei! Ini... bukankah ini Puteri
Bhutan itu?”
Siang In terkejut, tidak menyangka bahwa nenek itu mengenali Syanti Dewi. Memang Durganini seorang
yang aneh, kadang-kadang pikun sekali, akan tetapi kadang-kadang ingatannya tajam.
“Benar, Subo...“
“Wah, kebetulan. Tang Hun, Inilah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan! Dialah yang paling tepat menjadi
permaisurimu. Hayo bawa dia!”
Tang Han juga terkejut dan girang sekali. Memang sudah lama dia mencari wanita yang kiranya cocok
untuk menjadi isterinya yang syah, yang dapat dibanggakannya. Ketika tadi bertemu dengan dua orang
dara ini, seketika dia telah jatuh cinta kepada keduanya dan wanita-wanita seperti mereka inilah yang
kiranya pantas menjadi isterinya. Siapa tahu, yang satu masih sumoi-nya sendiri dan yang lain adalah
Puteri Bhutan yang amat terkenal itu karena pernah nama puteri itu disebut-sebut oleh seluruh dunia kangouw
sebagai puteri asing yang pernah menggegerkan negara. Kiranya orangnya demikian cantik seperti
bidadari dan kini gurunya sendiri menganjurkan agar dia memperisteri puteri itu! Tentu saja tanpa disuruh
untuk kedua kalinya, Tang Hun sudah maju dan mengulur tangan hendak menangkap lengan Puteri Syanti
Dewi.
“Tahan...!” Siang In berseru marah.
“Ho-ho, Siang In, kau mau apa? Sudah sepantasnya kau datang membawakan calon isteri untuk Suhengmu!
Bawa dia, Tang Hun,” kata Durganini.
Tang Hun menyambar lengan Syanti Dewi. Puteri ini tentu saja tidak sudi menyerah begitu saja. Dia
mengelak dan tangannya menampar ke arah muka Tang Hun. Akan tetapi pemuda ini tertawa,
dunia-kangouw.blogspot.com
membiarkan pipinya ditampar dan pada saat itu juga, dia telah menotok Syanti Dewi yang menjadi lemas
dan memondong tubuh yang padat menggairahkan itu.
“Keparat...!” Siang In menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba dia berhenti sebab ada asap hitam
menghadangnya seperti tirai. Dia tidak dapat maju, hanya melihat Syanti Dewi dipondong dan dibawa lari
oleh pemuda itu naik ke puncak bukit. Sedangkan kini dari atas datang banyak sekali anak buah Liong-simpang
menuju ke tempat itu.
“Hi-hik, bocah tolol. Apakah engkau mau melawan aku?” Durganini tertawa mengejek.
Hati Siang In mendongkol sekali. Sesungguhnya dia tidak takut menghadapi nenek ini karena dia maklum
bahwa biar pun nenek ini memiliki sihir yang amat hebat, melebihi kepandaian gurunya sendiri, namun
dalam hal ilmu silat dia dapat mengatasinya dan dia sudah mendapat petunjuk dari See-thian Hoat-su
bagaimana untuk melindungi dirinya sendiri dari serangan ilmu sihir lawan yang lebih handal. Akan tetapi,
anak buah Liong-sim-pang begitu banyak. Mana mungkin dia seorang diri akan dapat menang? Bahkan dia
tentu akan tertawan sehingga celakalah mereka berdua kalau dia juga sampai tertawan. Tidak, dia harus
tetap bebas agar dapat mencari akal untuk menolong Syanti Dewi.
“Subo, kau terlalu!” teriaknya. “Kau hanya berani menggangguku. Suhu berkata bahwa kalau Suhu
bertemu Subo, kalau Subo berani datang ke Goa Tengkorak di pantai Po-hai, Suhu akan menggunduli
kepalamu!”
Nenek itu menjerit, suaranya melengking saperti suara iblis dari neraka layaknya. Akan tetapi Siang In
yang sudah menduga bahwa nenek itu akan marah, telah membalikkan tubuhnya dan mengerahkan
ginkang-nya untuk lari secepatnya menuruni bukit. Nenek itu mengejar, akan tetapi seperti telah diduga
oleh Siang In, nenek yang sudah amat tua itu tak mampu menyusulnya dan dari belakang juga tak mampu
menggunakan sihirnya.
Dia sudah tahu dari gurunya bahwa nenek Durganini mempunyai pantangan besar, yaitu tidak mau
diganggu rambutnya yang dibanggakannya, rambut yang panjang dan sampai dia tua renta pun rambutnya
tetap hitam. Maka secara sengaja Siang In tadi mengatakan bahwa gurunya hendak menggunduli
kepalanya, maka tentu saja nenek itu menjadi marah karena merasa dihina dan dengan gemas dia
mengejar Siang In.
Karena dia tak mampu menyusul dara yang larinya cepat sekali itu, sehingga napasnya sampai hampir
putus tetap saja tidak mampu menyusul, nenek yang marah sekali ini melanjutkan perjalanannya menuju
ke pantai Po-hai untuk mencari bekas suaminya, See-thian Hoat-su yang katanya hendak menggunduli
kepalanya. Ia hendak membalas penghinaan itu kepada si kakek yang katanya bertapa di Goa Tengkorak.
Dan memang inilah maksud Siang In membohongi nenek itu agar si nenek sakti itu meninggalkan benteng
Liong-sim-pang!
Malam itu, Siang In duduk dengan bingung dan termenung di bawah bukit, di dalam sebuah hutan. Hatinya
gelisah sekali dan kadang-kadang dia mengepal tinjunya. Dia bersumpah bahwa kalau sampai pemuda
pesolek murid Durganini itu mengganggu Syanti Dewi, memperkosa puteri itu, dia akan menyiksa dan
membunuhnya!
Tetapi hatinya agak lapang ketika dia menyelidiki pada keesokan harinya, menangkap seorang penjaga di
dekat tembok benteng dan memaksanya mengaku, dia mendengar bahwa Hwa-i-kongcu tidak
mengganggu Sang Puteri, hanya mengumumkan bahwa dua minggu lagi Hwa-i-kongcu akan merayakan
pernikahannya dengan Syanti Dewi dan mengundang semua kenalan dan tokoh-tokoh kang-ouw sambil
menanti kembalinya Nenek Durganini yang semalam telah pergi entah ke mana.
Mendengar ini Siang In kemudian mencari akal untuk dapat menolong puteri itu dari cengkeraman pemuda
pesolek itu. Dia tidak berani sembrono memasuki benteng untuk menolong sendiri, karena selain pemuda
pesolek itu juga pandai ilmu sihir sehingga mungkin sihirnya tidak banyak menolong, juga dia mendengar
bahwa di dalam benteng itu Hwai-kongcu mempunyai pembantu-pembantu banyak orang pandai dan anak
buah Liong-sim-pang juga tidak kurang dari lima puluh orang banyaknya. Dia harus mencari akal dan
agaknya, menurut perhitungannya, sebelum hari pernikahan tiba, Syanti Dewi akan aman. Pemuda
pesolek itu tentu tidak akan mau merusak keadaan dan suasana pengantin baru, tentu tak akan
memperkosa gadis yang dicalonkannya menjadi isterinya yang syah…..
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekarang kita tinggalkan dulu Teng Sian In yang sedang mencari akal untuk dapat menyelamatkan Syanti
Dewi dan marilah kita kembali mengikuti pengalaman Suma Kian Lee yang telah kita tinggalkan, karena
dua peristiwa itu sejalan dan agar jangan sampai salah satu di antaranya tertinggal jauh.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, terjadi keributan di taman istana Gubernur Ho-nan, di mana
Gubernur Kui Cu Kam, yaitu Gubernur Ho-nan, menyambut datangnya utusan kaisar yang bukan lain
adalah putera kaisar sendiri, yaitu Pangeran Yung Hwa yang masih muda belia itu.
Keributan di dalam taman terjadi ketika ada penghinaan dari mereka yang bersikap anti kaisar kepada
utusan sehingga mengakibatkan pertempuran antara para pengawal utusan dan pihak yang anti kaisar.
Pertempuran yang hebat terjadi antara jagoan-jagoan Ho-nan yang diam-diam menentang kaisar dan para
pengawal utusan. Jagoan-jagoan Ho-nan dibantu oleh seorang tokoh kaum sesat yang berjuluk Mauw
Siauw Mo li yang cantik genit, sedangkan para pengawal istana itu dibantu oleh jagoan-jagoan Gubernur
Ho-pei yang bertugas sebagai pengiring utusan kaisar ke Ho-nan.
Seperti telah kita ketahui, diam-diam Suma Kian Lee hadir pula di dalam pesta itu dan menyaksikan
pertempuran-pertempuran tanpa campur tangan. Akan tetapi ketika dia melihat Pangeran Yung Hwa,
utusan kaisar itu melarikan diri dikejar oleh Perwira Su Kiat yang pernah bentrok dengan dia di celah-celah
tebing ketika dia hendak ditangkap tempo hari. Tentu saja Suma Kian Lee tidak dapat tinggal diam lagi.
Betapa pun juga, ayahnya adalah menantu kaisar dan dia terhitung adalah cucu kaisar.
Biar pun sudah amat jauh karena yang berdarah keluarga kaisar adalah ibu tirinya, ibu Kian Bu, akan tetapi
Pangeran Yung Hwa itu masih sedarah dengan Nirahai, ibu tirinya, dengan demikian masih ada hubungan
darah pula dengan Suma Kian Bu, adik tirinya! Oleh karena itu pangeran ini harus ditolongnya, apa lagi
pada saat itu Pangeran Yung Hwa merupakan seorang utusan kaisar yang sebetulnya tidak boleh
diganggu oleh siapa pun karena mengganggu utusan sama dengan mengganggu yang mengutusnya.
Pada saat itu, Pangeran Yung Hwa hampir terpegang oleh perwira tinggi besar bernama Su Kiat itu yang
telah mengulur tangan kanannya yang panjang untuk menangkap pundak Sang Pangeran sambil berseru,
“Pangeran, perlahan dulu...!”
“Plakkk!”
Dari belakang Kian Lee menampar perlahan pundak Su Kiat, akan tetapi cukup hebat akibatnya karena
tubuh yang tinggi besar itu terpelanting dan pingsan seketika!
“Keparat, kiranya engkau pun mata-mata dari Ho-pei!” terdengar bentakan keras dan tiba-tiba ada angin
menyambar dahsyat dari belakangnya.
Kian Lee cepat mengelak dan ternyata yang menyerangnya itu adalah kakek berambut merah tadi, yang
menyerangnya dengan guci araknya. Hebatnya, bukan hanya guci arak itu yang menyambar ke arah
kepalanya, tetapi juga dari mulut guci itu muncrat arak wangi yang seolah-olah hidup, yang menyambar ke
arah matanya! Namun serangan dari kakek bernama Wan Lok It dan berjuluk Ho-nan Ciu-lo-mo ini dengan
cepat dapat dihindarkan oleh Kian Lee.
“Singgg...!” Sinar hijau menyambar dari arah kiri Kian Lee.
Sekali ini Kian Lee terkejut karena pedang yang bersinar hijau itu benar-benar amat berbahaya, sangat
cepat dan mendatangkan angin dingin. Dia segera membuang diri dan menggerakkan kakinya untuk
menendang agar si pemegang pedang tidak dapat melanjutkan serangan. Pemegang pedang itu dengan
gesitryya dapat pula mengelak dan ketika Kian Lee memandang, ternyata penyerangnya itu adalah wanita
cantik yang agaknya menjadi pembesar para panglima di Ho-nan, yaitu Mauw Siauw Mo-li.
Kian Lee masih diserang oleh beberapa orang lain yang memiliki kepandaian cukup tinggi, namun dia
masih dapat mengelak dan balas memukul tanpa menggunakan pukulan maut karena memang dia tidak
ingin bermusuhan dengan para jagoan ini dan kalau tadi dia turun tangan hanyalah karena dia melihat
Pangeran Yung Hwa melarikan diri dan dikejar oleh Perwira Su Kiat.
Sambil menghadapi pengeroyoknya yang lihai dan jumlahnya ada enam orang itu, Kian Lee
memperhatikan keadaan di situ dan melihat bahwa Pangeran Yung Hwa sudah digandeng oleh Gubernur
Kui Cu Kam dari Ho-nan, dan gubernur ini bersikap seolah-olah hendak menghentikan pertempuran dan
dunia-kangouw.blogspot.com
hendak melerai, lalu menarik Pangeran Yung Hwa untuk menyelamatkan diri. Juga dia melihat Gubernur
Hok Thian Ki, yaitu Gubernur Ho-pei yang sudah tua itu berlari-lari dan dikejar oleh beberapa orang jagoan
Ho-nan pula. Kian Lee menjadi bingung, akan tetapi karena dia sendiri pun dikepung dan dikeroyok, maka
dia harus menyelamatkan diri sendiri lebih dulu.
Pemuda perkasa itu memang tadi salah menduga. Dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri karena
pangeran ini hendak menyingkir dari keributan dan pertempuran itu. Dan Perwira Su Kiat mengejarnya
bukan untuk mencelakai pangeran itu. Gubernur Ho-nan belumlah begitu nekat untuk mencelakakan
utusan kaisar, bahkan gubernur itu hendak melindungi Pangeran Yung Hwa agar jangan sampai pangeran
itu ikut celaka dalam penyergapan yang sebenarnya ditujukan untuk menawan Gubernur Ho-pei. Dia ingin
menawan Gubernur Hok Thian Ki dan mempergunakannya sebagai sandera untuk dapat menguasai
sebagian daerah Ho-nan di perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei.
Gubernur Hok Thian Ki yang melihat bahaya cepat berusaha menyelamatkan diri, lari dan dilindungi oleh
Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw, yaitu si mata satu tinggi besar yang merupakan pengawal pribadinya, juga
dibantu dua orang pengawal lain. Belasan orang pengawal Ho-nan mengejarnya dan ditahan oleh Tok-gan
Sin-ciang bersama dua orang kawannya, sedangkan Gubernur Hok yang tua itu terus melarikan diri,
menyelinap di sebuah lorong gelap. Melihat betapa para pengawalnya terus mundur sambil menahan
serbuan para pengeroyoknya, Gubernur Hok cepat-cepat menyelinap memasuki sebuah kamar dan segera
menutupkan pintu kamar itu.
“Taijin, cepat ke sini...“ Suara halus ini mengejutkannya.
Gubernur itu tadi tidak memperhatikan dan mengira kamar itu kosong. Tetapi ternyata kamar itu kamar
tamu yang tadinya ditinggali oleh Kian Lee, dan wanita muda yang menegurnya itu bukan lain adalah
Phang Ciu Lan, yaitu pelayan cantik yang melayani Kian Lee! Gubernur Hok membalikkan tubuh dan siap
untuk melawan, akan tetapi ketika melihat bahwa yang menegurnya hanya seorang pelayan muda yang
cantik, hatinya menjadi lega.
“Sssttttt... harap kau diam dan menolongku... aku hanya ingin bersembunyi... mereka mengejar untuk
membunuhku,” katanya terengah-engah oleh karena tadi dia berlari-lari dengan hati tegang. Di luar kamar
masih terus terdengar suara beradunya senjata dan teriakan-teriakan orang bertempur, akan tetapi masih
agak jauh.
“Saya mengerti, Taijin. Biar pun saya hanya pelayan di sini, tetapi saya memperhatikan semua dan
mengenal Taijin. Bukankah Taijin adalah Hok-taijin, gubernur dari Ho-pei?”
“Benar, anak baik. Biarkan aku bersembunyi di sini sampai aman.“
“Justeru kalau bersembunyi di sini tidak akan aman, Taijin. Sebaiknya Taijin cepat dapat pergi dari tempat
ini, pergi dari Ho-nan dan kembali ke utara.”
“Tapi... tapi bagaimana?”
“Saya akan membantu Taijin, tetapi Taijin harus menyamar. Marilah, Taijin.“
Dengan tabah sekali wanita muda itu lalu membantu Gubernur Ho-pei itu melakukan penyamaran.
Dicukurnya kumis gubernur tua itu dan jenggotnya yang panjang dipotong pendek, rambut kepala diawutawut
dan topi kebesarannya dlilepas, lalu rambutnya digelung biasa secara sederhana dan diikat dengan
kain kepala yang kotor. Kemudian Cui Lai menyerahkan seperangkat pakaian tukang kebun dan menyuruh
gubernur itu berganti pakaian sebagai tukang kebun.
“Bagaimana dengan Pangeran...?” Gubernur yang setia itu mengeluh dan merasa khawatir sekali.
“Jangan khawatir, Taijin. Saya yakin Pangeran yang menjadi utusan Kaisar tidak akan apa-apa“
“Eh, engkau seorang pelayan, bagaimana tahu ?”
“Saya memperhatikan dan mendengarkan percakapan mereka, Taijin, antara gubernur dan Ouw-teetok
dan juga para pengawal. Pangeran tidak akan diganggu, akan tetapi memang Paduka yang akan ditawan.“
“Celaka...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jangan khawatir, kini tidak akan ada yang mengenal Paduka. Mari, saya antar ke luar,“ Cui Lan
menggandeng tangan pembesar tua itu.
“Nanti dulu...!” Pembesar itu berhenti, lalu membalik kepada Cui Lan dan dirangkulnya dara itu penuh
keharuan. “Nona... kau seorang pelayan, akan tetapi... ahh, berhasil atau tidak usahamu ini percayalah
bahwa aku Hok Thian Ki selamanya tak akan melupakan pertolonganmu ini!”
Cui Lan menjadi terharu. “Sudahlah, Taijin. Saya berani melakukan ini karena saya memperoleh suatu
keyakinan dari seorang yang saya puja bahwa hidup haruslah diisi dengan perbuatan yang berguna, yaitu
antaranya menolong orang yang berada di pihak yang benar. Marilah!”
Dia menggandeng tangan pembesar itu dan ditariknya keluar, lalu mereka menyelinap di antara rumahrumah
dan pohon-pohon serta di antara orang-orang yang masih ribut bertempur tanpa ada yang
mempedulikan mereka. Siapa juga yang akan mempedulikan seorang pelayan dan seorang tukang kebun
di saat geger seperti itu?
“Kita harus melalui taman...”
“Tempat pertempuran itu?” Gubernur Hok terkejut.
“Benar, akan tetapi hanya di sana terdapat pintu belakang untuk lolos. Pula, sebagai tukang kebun berada
di taman, Paduka tidak akan menarik perhatian dan kecurigaan. Mariliah, Taijin...”
Mereka berjalan terus memasuki taman di mana benar saja masih terjadi pertempuran hebat antara para
pengawal utusan kaisar, para jagoan Ho-pei serta para prajurit pengawal Ho-nan yang sangat banyak.
Juga nampak Kian Lee masih dikurung oleh Mauw Siauw Mo-li, Bun Hok Ti pengawal Ouw-teetok yang
mata keranjang itu, Ho-nan Ciu-lo-mo jagoan dari Ho-nan, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh pengawal
yang berkepandaian tinggi karena mereka melihat betapa lihainya pemuda tampan yang tadinya menjadi
tamu mereka akan tetapi ternyata kini membantu pihak Ho-pei itu.
Kian Lee memang sengaja mengamuk untuk menarik tenaga-tenaga yang terkuat dari Ho-nan agar
mengeroyoknya sehingga dengan demikian, pihak Ho-pei akan dapat meloloskan diri. Dengan ilmunya
yang tinggi, kalau mau tentu saja dia bisa mengirim pukulan-pukulan maut dan menewaskan banyak orang.
Akan tetapi pemuda ini tidak bermaksud membunuh, hanya merobohkan saja beberapa orang tanpa
membunuhnya. Tetapi menghadapi orang-orang seperti Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo, tentu
saja tidak akan mudah merobohkan mereka tanpa membunuhnya.
Sambil menghadapi pengeroyokan itu, menggunakan kaki tangannya untuk menangkisi senjata-senjata
yang menyambar, juga mengelak ke sana-sini, pandang mata Kian Lee masih terus mencari-cari.
Bagaimana dengan Pangeran Yung Hwa? Bagaimana pula dengan Gubernur Ho-pei? Demikian pikirnya
dengan hati khawatir juga.
Tiba-tiba dia mengenali wajah Cui Lan. Terkejutlah dia. Apa yang dilakukan oleh gadis pelayan cantik itu di
dalam taman, tempat yang telah menjadi medan pertempuran itu? Dan siapa yang jalan tergesa-gesa
bersama pelayan itu? Pada saat itu, Cui Lan juga menengok dan memandang ke arah pemuda yang
dilayaninya tadi, pemuda yang amat baik dan sopan.
“Aiiiiihhh...!” Cui Lan menjerit ketika melihat Si Rambut Merah, yaitu Ho-nan Ciu-lo-mo, dengan dahsyat
menggerakkan guci araknya menghantam dan mengenai dada Kian Lee yang agak terpecah perhatiannya
memandang Cui Lan.
“Desssss...!”
Kian Lee terkejut. Tubuhnya sudah terlindung sinkang yang otomatis bekerja, dan dia tidak mengalami luka
parah, namun tetap saja dia terlempar ke belakang dan karena dia berdiri membelakangi kolam besar di
taman itu, otomatis dia jatuh ke dalam kolam.
“Byuuuuurrr...!”
“Aiiiiihhhhh...!” Kembali Cui Lan menjerit dan banyak orang menoleh ke arah suara jeritan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi karena yang menjerit itu hanyalah seorang pelayan yang berdiri bersama seorang tukang
kebun, maka mereka tidak memperhatikan lagi, juga pada waktu itu si tukang kebun sudah memegang
tangan Cui Lan dan diajaknya pergi dari situ dengan cepat, menyelinap ke dalam gelap.
Tok-gan Sin-ciang dan dua orang temannya juga sudah mengamuk di dalam taman. Mereka tadi dapat
memancing para pengeroyoknya untuk menjauhi tempat di mana Gubernur Ho-pei bersembunyi dan kini,
Tok-gan Sin-ciang biar pun hanya bermata sebelah, namun dia mengenal ‘tukang kebun’ yang tadi berdiri
di sana bersama pelayan itu. Dia berteriak girang dan terus mengamuk, agar pihak musuh tidak
memperoleh kesempatan memperhatikan tukang kebun itu!
Sedangkan komandan pasukan pengawal yang gagah perkasa, yaitu komandan Pasukan Garuda yang
melihat betapa pemuda perkasa yang membantu pihaknya itu terjengkang ke dalam air kolam, dia cepat
meloncat dan terjun ke dalam air. Komandan ini adalah seorang yang pandai renang, maka dia khawatir
akan keadaan pemuda yang membantu pihaknya itu, maka dia ingin menolong.
Tetapi, sebetulnya Kian Lee tidak apa-apa dan bagi pemuda yang lahir dan dibesarkan di Pulau Es ini tentu
saja bergerak di air bukan merupakan hal yang asing baginya. Melihat komandan yang perkasa itu
berenang menghampirinya, Kian Lee lalu berkata, “Tidak apa-apa, Ciangkun!”
“Awas...!” Komandan itu berseru ketika melihat banyak sekali anak panah menyambar ke arah Kian Lee.
Akan tetapi dengan tenang Kian Lee menggerakkan kedua tangannya dan anak-anak panah itu runtuh
semua, membuat Sang Komandan menjadi kagum bukan main. Akan tetapi sekarang, anak-anak panah itu
bukan hanya menyerang Kian Lee, melainkan juga menyerangnya! Terpaksa dia menyelam dan ternyata
bahwa di tepi kolam telah berdiri pasukan panah yang siap untuk menyerang mereka berdua dengan anak
panah mereka!
Sibuk jugalah Kian Lee dan komandan itu. Biar pun Kian Lee amat lihai, namun berada di air tentu saja
gerakannya tidak leluasa. Dia dapat menangkis atau menyelam, juga komandan yang cukup tangguh itu
dapat pula menyelam untuk menghindarkan diri dari sambaran anak-anak panah, akan tetapi mereka
berdua pun tidak bisa naik ke darat!
“Kita harus mencari jalan ke luar!” Kian Lee berseru dan komandan itu mengangguk lalu menyelam lagi
karena dia sudah dijadikan sasaran anak panah.
Mereka mulai berenang menjauh ke tengah. Kolam itu cukup luas dan dalam, dan ternyata di pinggir timur
terdapat pintu air, agaknya untuk membuang atau menguras air itu. Kalau saja airnya tidak sedalam ini,
tidak setinggi tubuhnya, tentu dia akan dapat menggunakan dasar kolam untuk berpijak dan meloncat ke
dalam, pikir Kian Lee.
Tiba-tiba Kian Lee terkejut bukan main melihat munculnya Mauw Siauw Mo-li di antara para pemanah itu.
Tadi Kian Lee sudah merobohkan beberapa orang anggota pasukan itu dengan menangkapi anak panah
dan menyambitkannya ke arah mereka.
“Hentikan anak-anak panah itu, kalian orang-orang tolol. Lihatlah, aku akan membunuh mereka dengan
ini!” Dan wanita cantik itu melontarkan sebuah benda ke arah Kian Lee!
“Celaka...!” Kian Lee berseru.
Dia mengenal sekali benda itu karena dia tahu bahwa Mauw Siauvv Mo-li, sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo
ketua Pulau Neraka ini selain amat lihai ilmunya, juga mernpunyai senjata rahasia yang amat mengerikan,
yaitu senjata peledak! Kalau sampai senjata itu meledak di kolam, dia dan komandan pasukan pengawal
Kuku Garuda itu tentu akan celaka dan tewas!
Pemuda ini memang memiliki dasar watak yang tenang sekali. Walau pun menghadapi ancaman bahaya
yang amat besar ini, bahaya maut baginya, namun dia masih dapat bersikap tenang dan ketenangannya
inilah yang menyelamatkannya, karena di dalam ketenangan itu terkandung kewaspadaan dan kecerdasan
yang luar biasa, yang dapat bergerak lebih cepat dari apa pun juga di dunia ini.
Dalam waktu beberapa detik itu saja, ketika benda itu melayang ke arahnya, Kian Lee telah dapat
mempergunakan kecerdasannya dan membuat perhitungan yang amat tepat. Dia lalu mengulur tangan,
maklum bahwa benda itu akan meledak setiap bertemu dengan benda keras, maka dia mengerahkan
dunia-kangouw.blogspot.com
sinkang membuat telapak tangannya selunak kapas, lalu begitu benda itu menempel di tangannya, dia
cepat melontarkan benda itu ke arah pintu air di timur!
“Blaaarrrrr...!”
Sinar kilat menyilaukan mata memecahkan kegelapan dan api muncrat ketika benda peledak itu
menghancurkan pintu air. Karena pintu air yang pecah dengan mendadak ini, air kolam membanjir ke arah
pintu air itu, dan arus yang terjadi karena sedotan air yang mengalir turun itu sedemikian kuatnya sehingga
seorang yang perkasa seperti Suma Kian Lee sendiri pun sampai tersedot dan hanyut oleh arus yang amat
kuat itu. Apa lagi si komandan yang biar pun gagah namun masih jauh di bawah Kian Lee tingkatnya.
Keduanya tak kuasa menahan diri, hanyut oleh arus air yang amat kuat, melewati pintu air dan terus
disedot masuk ke saluran air di bawah tanah yang memang menjadi pembuangan air kolam itu dan semua
air yang datang dari seluruh bagian istana.
Suma Kian Lee menangkap tangan komandan yang mengeluh karena terbentur-bentur batu, lalu mereka
berdua membiarkan diri mereka hanyut sambil meraba ke depan untuk melindungi diri dari benturan tibatiba.
Sementara itu melihat betapa dua orang itu selamat, Mauw Siauw Mo-li dan Wan Lok It Si Setan Arak
menjadi penasaran sekali.
“Kita hadang mereka di sungai, di mana saluran itu memuntahkan airnya dan kita bunuh mereka di sana
kalau mereka belum mampus!” teriak Wan Lok It. Bersama beberapa orang pengawal dia kemudian cepat
berlari menuju ke tempat itu, yaitu ke sungai yang mengalir di pinggir dan luar kota.
Kian Lee dan komandan pasukan Kuku Garuda itu terus hanyut dan setelah agak jauh ternyata arus air
tidak lagi begitu kencang, dan karena saluran itu melebar, maka air pun menjadi dangkal. Hanya setinggi
pinggang. Maka mereka lalu berjalan kaki dengan hati-hati di tempat gelap itu, mengikuti aliran air. Gelap
pekat di terowongan saluran air ini, sampai tangan sendiri pun tidak dapat mereka lihat.
“Eh, apakah di depan itu?” Tiba-tiba komandan pasukan Kuku Garuda itu berseru.
Kian Lee juga sudah melihat benda-benda yang berkelap-kelip mengeluarkan sinar kehijauan itu. Begitu
kecil dan banyak, bergerak-gerak, dan agaknya benda-benda itu tentulah kunang-kunang. Akan tetapi
bagaimana terdapat kunang-kunang, di dalam terowongan, di atas air? Biasanya binatang-binatang kecil ini
hanya terdapat di kebun-kebun dan ladang-ladang di mana terdapat padi atau gandum. Mereka merasa
heran sekali, dan mereka lalu berjalan mendekati makin lama makin dekat dan betapa pun mereka
membelalakkan mata, tetap saja mereka tak dapat melihat benda atau binatang apakah yang berkerlapan
seperti kunang-kunang itu.
“Ehh, baunya...!” Tiba-tiba Kian Lee terkejut sekali. Teringatlah dia akan ular-ular merah di Pulau Es yang
juga mengeluarkan bau seperti ini, wangi-wangi amis, tanda ular beracun atau sejenis binatang lain yang
beracun.
“Awasss...!”
Akan tetapi terlambat. Komandan itu yang ingin tahu binatang apa yang mengeluarkan sinar berkeredepan
itu telah mengulur tangan untuk menangkap seekor, akan tetapi ‘kunang-kunang’ itu bergerak dan tahutahu
tangannya telah digigit oleh seekor ular!
“Aduhhhh...!” Dia menangkap dengan tangan kedua, dari rabaannya tahulah dia bahwa yang menggitnya
adalah seekor ular, maka diremasnya ular itu sampai hancur. “Celaka, aku digigit ular...!”
Dan memang yang mereka sangka kunang-kunang itu ternyata adalah mata ular-ular yang banyak sekali
terdapat di dekat mulut terowongan saluran air itu! Kini ular-ular itu bergerak cepat dan mengeroyok
mereka!
“Kerahkan singkang melindungi tubuh!” Kian Lee berseru.
Mulailah dia menggunakan kedua tangannya untuk memukul-mukul ke depan sehingga ular-ular yang
berdekatan dengan mereka mati semua dan bangkai mereka hanyut oleh air. Kian Lee lalu memasukkan
kedua tangannya ke air untuk memungut batu-batu kecil dari dasar terowongan itu, dan dengan batu-batu
ini dia menyambiti ular-ular itu yang mudah saja dia ketahui dari mata mereka yang bersinar-sinar.
Bagaikan lampu-lampu kecil, setiap terkena sambitan batu, lampu itu padam, tanda bahwa sambitan itu
dunia-kangouw.blogspot.com
tepat mengenai kepala ular dan membuatnya tewas seketika. Akan tetapi komandan itu tidak dapat
membantunya karena lengan kirinya sudah terasa lumpuh dan kaku, tanda bahwa dia telah terkena racun
gigitan ular tadi yang mulai memperlihatkan pengaruhnya.
“Celaka...!” serunya. “Lenganku lumpuh...“
Kian Lee meraba lengan itu, lalu dia menotok pundak dan ketiak sang komandan untuk menghentikan jalan
darah agar racun ular tidak terus menjalar ke jantung. Kemudian dia minta pinjam pedang komandan itu,
dan sambil meraba-raba dia merobek kulit daging tangan yang tergigit dan menyuruh komandan itu
menyedot dan meludahkan sendiri darah dari luka itu.
“Biar pun bukan merupakan pengobatan yang manjur, namun sementara cukup untuk menyelamatkan
nyawamu, Ciangkun,” katanya.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk di sebelah depan. Di samping suara orang-orang, juga
terdengar suara batu-batu besar di lempar dan menimpa air. Telinga Kian Lee yang tajam dapat
menangkap suara Si Setan Arak rambut merah, Ho-nan Ciu-Io-mo yang tertawa dan berkata nyaring,
“Tutup mulut saluran itu, ha-ha-ha, biar mereka mati seperti tikus-tikus dalam selokan!”
Kian Lee maklum apa yang terjadi.
“Cepat, kita harus mencapai mulut terowongan sebelum ditutupi!” Dia berkata sambil menarik tangan
komandan itu.
Akan tetapi, komandan itu mengeluh dan tidak dapat berjalan cepat di dalam air itu dan ternyata setelah
mereka tiba di mulut terowongan, dengan rabaan tangan tahulah mereka bahwa mereka telah terlambat.
Terowongan itu telah tertutup oleh batu-batu besar, tidak mungkin lagi dapat mereka lewati dan hanya
sedikit air saja yang dapat lolos keluar, karena terbendung air ini, air mulai naik perlahan-lahan! Selain air
mulai naik, juga hawa dari ular-ular beracun menimbulkan bau yang menyesakkan dada…..
********************
Kita tinggalkan dulu Kian Lee dan komandan pasukan pengawal istana yang terkurung di dalam
terowongan yang gelap pekat dan terancam maut, dan mari kita mengikuti perjalanan Gubernur Hok Thian
Ki dari Ho-pei yang menyamar sebagai tukang kebun dan melarikan diri bersama Phang Cui Lan. Mereka
dapat berlari cepat melalui tempat-tempat gelap sehingga dapat lolos dari perhatian para penjaga dan
pengawal yang sedang kacau dan sibuk bertempur itu sehingga mereka dapat keluar dari tembok kota.
Karena mereka itu hanya seorang tukang kebun dan seorang pelayan yang diaku anak oleh tukang kebun,
dalam keadaan ribut-ribut itu semua nafsu kebengalan mereka agaknya menjadi padam dan hal ini
memudahkan Gubernur Ho-pei dan Cui Lan untuk meloloskan diri dari tembok kota. Pagi-pagi sekali
mereka telah keluar dari pintu gerbang kota dan langsung menuju ke utara, ke perbatasan. Kini Gubernur
Hok yang memimpin perjalanan dan gubernur ini berkata bahwa kalau mereka sudah melintasi batas
propinsi berarti dia akan selamat dan akan dapat menyuruh pejabat setempat untuk mempersiapkan
pengawal dan kereta untuk melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi, belum jauh mereka berjalan tiba-tiba Gubernur Hok memegang lengan Cui Lan, kemudian
menarik gadis itu menyelinap di balik semak-semak belukar karena dia mendengar derap kaki kuda. Benar
saja, tidak lama kemudian muncul belasan orang pengawal Gubernur Ho-nan yang lewat dengan cepatnya
di jalan itu. Setelah mereka pergi jauh, Gubernur Hok menghela napas panjang.
“Berbahaya sekali...“ Dia mencegah Cui Lan yang hendak berdiri. “Kita bersembunyi dulu di sini, siapa tahu
mereka segera kembali...“
Cui Lan duduk di atas rumput di balik semak-semak itu. “Habis, bagaimana baiknya, Taijin?”
“Kalau mereka itu sudah kembali, kita boleh melanjutkan perjalanan, akan tetapi kalau belum terpaksa kita
harus mencari tempat persembunyian di dekat jalan ini untuk melihat sampai mereka kembali.”
Akan tetapi mereka tidak perlu menanti terlalu lama, karena hanya sejam kemudian nampak belasan orang
itu sudah kembali menjalankan kuda mereka perlahan-lahan dan mata mereka menengok ke kanan kiri
mencari-cari! Ketika lewat di dekat mereka, Gubernur Hok dan Cui Lan mendengar komandan pasukan itu
dunia-kangouw.blogspot.com
berkata, “Tidak mungkin mereka sudah pergi jauh dari sini! Tidak mungkin! Seorang tua dan seorang gadis
lemah tentu mereka bersembunyi dan kita harus terus mengawasi jalan ini. Sewaktu-waktu mereka pasti
akan muncul. Si tua itu kita serahkan kepada gubernur dan kita menerima hadiah, sedangkan si pelayan
yang kabarnya cantik itu hemmm... dia harus dihukum karena melarikan Gubernur Ho-pei, dihukum
mesra!”
“Eh, Twako. Mana ada hukuman mesra?”
“Kau tahu sendiri, ha-ha-ha! Kabarnya dia masih perawan!” Dan mereka tertawa-tawa sampai suara
mereka lenyap dan mereka pergi jauh. Wajah Cui Lan sebentar merah sebentar pucat, kedua tangannya
menggigil ketika dipegang oleh Gubernur Hok yang juga kelihatan pucat.
“Celaka, kalau begitu kita tidak bisa lewat jalan ini. Kita harus mengambil jalan liar, akan tetapi, aku tidak
tahu jalan...” kata Si Gubernur tua dengan khawatir. “Baiknya, biarlah aku menyerahkan diri saja agar jalan
ini aman. Lalu engkau terus melarikan diri ke Ho-pei. Biar aku mereka tangkap asalkan engkau jangan...”
“Aihhh, mengapa demikian, Taijin? Tidak boleh Taijin mengorbankan diri untuk saya...“
“Engkau seorang wanita...“
“Hanya seorang pelayan...“
“Bagiku engkau bukan sekedar pelayan, melainkan seorang penolong, seorang wanita muda yang berani
dan berbudi. Nona, siapa namamu?”
“Phang Cui Lan...“
“Nah, Cui Lan, kita berpisah di sini. Aku akan berjalan ke selatan, biar mereka tangkap dan bawa ke Honan.
Kemudian engkau boleh melanjutkan perjalanan ke utara dan di sana engkau boleh melaporkan
kepada pembesar setempat bahwa aku ditahan oleh Gubernur Ho-nan. Mudah-mudahan kita akan dapat
saling bertemu kembali, Cui Lan, agar aku bisa membalas budimu.”
Gubernur tua itu lalu bangkit berdiri, meloncat ke atas jalan raya dan melangkah dengan tabahnya menuju
ke selatan. Cui Lan memandang dengan mata basah air karena dia merasa kasihan dan khawatir sekali
kepada pembesar itu. Baru sekarang dia bertemu dengan pembesar yang demikian manis budi, seakanakan
sikapnya seperti seorang ayah saja baginya.
“Taijin...!” Tiba-tiba gadis itu memanggil dan dia bangkit berdiri.
Gubernur Hok berhenti, membalikkan tubuhnya dan memandang heran melihat gadis itu sudah keluar dari
tempat persembunyian, lalu naik ke jalan raya dan menghampirinya.
“Eh, Cui Lan, jangan keluar!”
“Cepat, Taijin, saya mendapat akal. Mari!” Gadis itu memegang tangan Hok-taijin dan menariknya kembali
ke tepi jalan dan kembali seperti tadi mereka bersembunyi di balik semak-semak belukar yang cukup lebat
hingga dapat menyembunyikan mereka sama sekali dari jalan raya itu.
Dengan suara bisik-bisik Cui Lan berkata, “Taijin, keputusan yang Taijin, ambil tadi terlalu berbahaya.
Sudah pasti bahwa jika Taijin tertawan, keselamatan Taijin terancam bahaya hebat. Saya teringat akan
pesan seorang yang saya puja-puja, yaitu apa bila sewaktu-waktu saya menghadapi bahaya, saya boleh
pergi ke rumah seorang pemburu yang bertempat tinggal di tepi hutan, tak jauh dari sini. Saya kira
sekaranglah waktunya untuk pergi ke sana dan minta tolong seperti pesan orang itu.”
Gubernur Hok Thian Ki mengerutkan alisnya. “Cui Lan, engkau hendak melakukan perbuatan berbahaya
demi menyelamatkan aku. Akan tetapi justeru aku akan menyeret engkau seorang wanita muda yang tak
tahu apa-apa dan tak berdosa ke dalam bahaya. Siapakah orang yang meninggalkan pesan itu? Apakah
dapat dipercaya?”
“Taijin, saya tidak dapat mengatakan siapa dia, tetapi dia boleh dipercaya sepenuhnya, untuk itu saya
berani tanggung dengan nyawa saya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah... betapa bahagianya orang itu yang mendapatkan kepercayaan mutlak seperti itu dari orang seperti
engkau.“
Kedua pipi gadis itu menjadi merah, namun matanya berseri tanda bahwa dia girang sekali mendengar
pujian dari pejabat yang amat tinggi kedudukannya ini.
“Marilah, Taijin, sebelum mereka kembali ke sini!” Dia lalu bangkit, memegang tangan orang tua itu dan
kembali mereka berjalan setengah berlari, tersaruk-saruk, tergurat dan kena lecutan semak-semak yang
mereka terjang, melalui jalan liar menuju ke sebuah hutan di lereng gunung yang nampak dari situ.
Yang seorang biar pun laki-laki adalah orang yang sudah lanjut usianya dan tak pernah melakukan
pekerjaan berat, yang seorang lagi biar pun masih muda remaja hanyalah seorang gadis lemah, maka
ketika mereka akhirnya tiba di dekat hutan, napas mereka memburu terengah-engah, muka beserta leher
mereka penuh keringat dan kedua kaki mereka gemetar saking lelahnya.
“Wah, aku tidak kuat lagi...“ Gubernur Hok Thian Ki mengeluh.
“Saya juga capai, Taijin, akan tetapi sudah dekat. Kurasa di sana itulah tempatnya, lihat ada genteng
rumah di sana.”
Tiba-tiba terdengar bunyi ramai di bawah. Ketika mereka menoleh, dapat dibayangkan betapa kagetnya
hati mereka melihat belasan orang mengejar mereka dari bawah lereng gunung.
“Celaka, mereka adalah para pengawal yang mengejar kita!” Cui Lan berseru kaget dan mukanya menjadi
pucat sekali. “Mari, Taijin...!” Gadis itu seakan-akan memperoleh semangat baru dan rasa capainya lenyap
sama sekali karena dia sudah menggandeng tangan pembesar itu lagi dan menariknya, mengajaknya lari
ke arah hutan.
“Heiiiii! Berhenti...!” Teriakan-teriakan para pengejar mulai terdengar dan kedua orang pelarian ini makin
mempercepat larinya.
“Auhhhhh...!” Tiba-tiba Gubernur Hok tersandung dan terguling roboh. Untung dia tidak sampai terjerumus
ke dalam jurang yang ada di dekat mereka karena Cui Lan sudah merangkulnya dan membantunya berdiri.
“Auhhhhh... kakiku...“ Pembesar itu terpincang-pincang, akan tetapi terus digandeng Cui Lan, dipapahnya
menuju ke rumah yang sudah berada di depan mereka.
“Mari, Taijin...!” Cui Lan menariknya dan mereka berdua berlari menuju ke rumah yang bentuknya aneh itu.
Sebuah rumah yang kokoh kuat, berbentuk segi empat seperti sebuah peti besar. Rumah itu berdiri di
tebing sebuah sungai yang airnya tenang dan cukup lebar. Yang luar biasa pada rumah itu adalah bahwa
berbeda dengan rumah biasa, rumah ini tidak mempunyai jendela, hanya ada sebuah daun pintunya yang
terbuat dari pada besi! Benar-benar seperti sebuah rumah penjara saja, penjara yang aneh di pinggir
hutan!
Akan tetapi karena para pengejar sudah berada dekat di belakang mereka, Cui Lan dan Gubernur Hok
tentu saja tidak lagi memperhatikan rumah aneh ini dan langsung saja mereka menghampiri pintu besar
yang terbuat dari pada besi itu dan menggedor-gedor sekuat tangan mereka dapat bertahan. Akan tetapi,
tidak ada yang menjawab dari dalam, apa lagi membuka daun pintunya.
“Bukalah... bukalah...!” Tolonglah kami...!” Berulang kali Cui Lan menggedor daun pintu dengan kepalan
tangannya sampai punggung tangannya berdarah!
“Cukup, Nona. Agaknya rumah ini kosong...“ Gubernur Hok memegang tangan yang berdarah itu. Cui Lan
menangis terisak-isak dan gubernur itu dengan terharu kemudian mencium punggung tangan yang
berdarah itu.
“Tenanglah, kita masih hidup dan kita akan menghadapi ini bersama...,“ bisiknya.
Empat belas orang pengawal itu telah tiba dan mengurung mereka sambil tertawa-tawa mengejek ketika
mereka tadi menggedor-gedor pintu dan tidak ada yang menjawab. Juga mereka mentertawakan gubernur
dunia-kangouw.blogspot.com
itu ketika dia tadi mencoba untuk menarik dan membuka pintu yang kokoh kuat itu. Ejekan-ejekan
dilontarkan ke arah Gubernur Hok dan godaan-godaan kotor dan cabul mereka lemparkan kepada Cui Lan.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring, suara anak-anak yang masih belum pecah suaranya, bening dan halus,
“Heiiiii, jangan menghalang di depan pintu orang, aku mau lewat!”
Karena munculnya anak kecil itu begitu tiba-tiba, semua pengawal itu menjadi terkejut dan di luar
kesadaran mereka, mereka itu bergerak memberi jalan kepada seorang anak laki-laki kecil yang datang
dari belakang mereka.
Anak ini menghampiri pintu, memandang kepada Gubernur Hok dan Cui Lan, kemudian berkata lirih, “Mari
ikut dengan aku!”
Anak itu meraba sesuatu di dekat pintu dan terdengar suara berkeret keras, daun pintu besi terbuka dan
cepat anak itu menarik tangan keduanya masuk ke dalam. Seperti digerakkan oleh tangan raksasa yang
tidak nampak, daun pintu itu menutup kembali dengan suara keras berderak!
Para pengawal Gubernur Ho-nan itu cepat mengejar. Mereka lalu mendorong-dorong, menarik-narik,
menggedor-gedor, namun pintu itu tidak dapat dibuka, dan juga tidak dibuka dari sebelah dalam. Biar pun
empat belas orang itu telah menyatukan tenaga, namun tetap saja mereka tidak mampu membuka pintu
besi itu.
Marahlah para pengejar itu. Mereka berteriak-teriak bahwa kalau dua orang itu tidak mau keluar, rumah itu
akan dibakar! Komandan mereka dengan suara lantang lalu memerintahkan anak buahnya mengumpulkan
kayu di sekeliling rumah itu dan setelah cukup lalu dia berteriak lagi, suaranya lantang menembus celahcelah
yang ada memasuki rumah itu, “Heiiiii! Kalian yang berada di dalam. Kalau kalian tidak cepat keluar,
kalian akan terbakar hidup-hidup di dalam!”
Tentu saja Cui Lan, Gubernur Hok, dan bocah itu mendengar suara ini dari dalam dan Cui Lan yang takut
kalau-kalau anak itu akan membuka pintu, segera berkata, “Anak baik, tolonglah kami... jangan kau buka
pintunya, mereka itu hendak membunuh kami berdua...!”
Bocah itu memiliki sifat-sifat yang gagah. Mendengar ini, dia membusungkan dadanya yang masih kecil
sambil berkata dan menepuk dada, “Percaya padaku, aku tidak akan menyerahkan kalian kepada orangorang
jahat itu!”
Mereka yang berada di dalam mendengar suara kayu terbakar dan melihat sinar terang di luar rumah, ada
asap masuk dan hawa panas mulai terasa oleh mereka. Anak itu lalu lari mengambil air dan menyiramkan
di bagian yang ada sinar api membakar di luar tembok rumah. Cui Lan dan Gubernur Hok membantunya,
akan tetapi usaha mereka itu tiada gunanya. Air itu tidak dapat langsung menyerang api yang menyala di
luar rumah tembok tebal itu dan memang api tidak dapat masuk pula, akan tetapi hawa panas mulai
menyerang makin hebat ke dalam!
Rumah itu kecil saja, terbuat dari tembok tebal dan dibagi menjadi empat buah kamar. Tidak ada pintu lain
kecuali pintu depan itu, dan tidak ada jendela. Yang ada hanyalah lubang-lubang hawa yang amat kecil di
bagian atas. Tentu saja kini rumah itu mulai terasa seperti dipanggang.
Tiga orang itu mulai mandi peluh, sekujur tubuh mereka basah, juga pakaian mereka mulai basah kuyup
seolah-olah mereka bertiga baru saja jatuh ke dalam air sungai atau kehujanan! Akan tetapi napas mereka
mulai megap-megap. Rasa panas hampir tidak tertahankan lagi.
“Bukalah... bukalah... kalian berdua tidak layak mati untukku..., bukalah...“
“Jangan, Taijin... Paduka akan celaka...“
“Tidak, Cui Lan, aku akan lindungi kau sedapatku.“
Tetapi anak itu yang tadi kelihatan berkeliaran dan tidak mendengarkan pembicaraan mereka, kini datang
mendekat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Harap kalian jangan gugup,” katanya sambil menunjuk ke sebuah kamar. “Ini kamarku dan Ayah, ini kamar
kedua orang Pamanku, masing-masing satu, dan kamar yang sudut itu adalah kamar... Ibuku dahulu! Mari
kita dobrak dan buka kamar itu!”
Daun pintu yang satu ini digembok dan dikunci, sukar sekali dibuka. Dengan tenaga seadanya, bocah itu
dibantu oleh Cui Lan dan Gubernur Hok berusaha untuk membuka pintu itu, menggunakan segala alat
yang ada seperti palu dan linggis untuk merusak gembok.
Mengapa bocah itu berkeras hendak membuka kamar ini? Padahal, sejak kecil ayahnya melarang dia
membuka pintu itu yang selalu ditutup dan digembok? Barusan anak ini teringat akan cerita seorang di
antara kedua pamannya, yang seperti juga ayahnya adalah pemburu-pemburu yang mencari binatang di
hutan-hutan untuk dijual kulit dan dagingnya.
Menurut cerita pamannya itu, ayahnya adalah seorang suami yang cemburunya amat besar. Karena
cemburunya itulah maka ayahnya membuat rumah aneh seperti penjara itu dan setiap kali ayahnya pergi
berburu, rumah itu ditutup dan ibunya seperti dikurung di dalam penjara. Akhirnya ibunya tidak tahan dan
setiap kali ayahnya pergi berburu, ibunya itu menggali terowongan sedikit demi sedikit, sampai bertahuntahun
lamanya sehingga akhirnya dia berhasil membuat terowongan dari kamarnya itu menembus ke
dinding tebing sungai! Maka, pada suatu hari kaburlah isteri ini meninggalkan anaknya yang masih kecil.
Teringat oleh cerita inilah maka bocah itu lalu berusaha mati-matian untuk membuka daun pintu kamar
ibunya itu. Akhirnya, setelah tangan mereka terasa sakit semua, gembok itu dapat dipatahkan. Cui Lan
girang sekali, cepat dia mendorong pintu kamar itu dan gadis ini melangkah mundur dengan mata
terbelalak karena terkejut melihat tiga orang laki-laki yang bertubuh tegap dan berpakaian kasar berdiri di
belakang pintu kamar itu dengan mata terbelalak marah!
“Ayah...! Paman...!” Bocah itu berseru dengan girang, akan tetapi begitu melihat wajah ayahnya yang
beringas dan teringat bahwa dia telah melanggar pantangan ayahnya, dia menjadi ketakutan dan mundurmundur
berlindung di belakang Cui Lan!
Ayah bocah itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka bengis sekali. Dia tidak memakai baju,
hanya bercelana hitam. Dadanya penuh bulu, cambang bauknya membuat wajahnya makin seram
kelihatannya. Tangan kirinya memegang sebatang kapak dan tangan kanannya memegang gendewa
besar.
“Keparat, kau berani membuka pintu ini? Kubunuh kau... dan dua orang asing ini yang berani lancang
memasuki rumahku!” Pemburu kasar itu mengangkat kapaknya tinggi-tinggi dan hendak mengejar
anaknya. Dia bukan hanya marah kepada anaknya yang dianggapnya telah mendatangkan bencana,
rumahnya dikepung pengawal dan dibakar, juga berani membuka pintu kamar yang dirahasiakan, namun
kemarahannya meluap ketika dia melihat Cui Lan yang cantik. Semenjak isterinya minggat, setiap kali
melihat perempuan cantik, hati pemburu ini seperti dibakar rasanya dan dia membenci setiap wanita cantik!
“Sabar dulu, Saudara!” Cui Lan cepat melindungi bocah itu dan menentang si pemburu dengan berani. Dia
penasaran sekali. Masa ada ayah yang hendak membunuh anaknya hanya karena membuka pintu kamar
itu saja? Kamar itu pun hanya kamar yang kosong!
”Anak ini tidak bersalah. Dia terpaksa membuka kamar untuk menyelamatkan kami. Kalau mau bunuh,
bunuhlah aku, akan tetapi aku benar-benar menyesal mengapa aku datang ke sini seperti yang dipesankan
oleh Siluman Kecil.”
Mendengar ini, kapak di tangan pemburu itu terlepas ke atas lantai dan mukanya segera berubah pucat
sekali, juga kedua orang paman bocah itu kelihatan terkejut dan cepat melangkah maju.
“Kau... kau bilang... Siluman Kecil...?” Suara pemburu tinggi besar itu agak gemetar.
Cui Lan merasa mendapat hati. Jelas bahwa disebutnya Siluman Kecil itu membuat tiga orang itu menjadi
terkejut dan ketakutan. “Benar!” katanya lantang. “Dulu Siluman Kecil pernah berpesan kepadaku bahwa
jika aku berada dalam kesukaran, aku boleh minta bantuan para pemburu yang datang tinggal di rumah
ini!”
“Ah, maaf... maaf... kami tidak tahu bahwa Siocia (Nona)...“
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sudahlah, aku hampir tak kuat bertahan!” Cui Lan berkata dan cepat dia menggandeng tangan Pembesar
Hok. “Dan dia pun sudah tidak kuat! Tolonglah kami terhindar dari mala petaka ini.”
“Mari...!” Ayah bocah itu berkata dan cepat dia membuka sebuah tutup di lantai kamar kecil itu.
Ternyata terdapat sebuah lubang seperti sumur, sebuah terowongan dan semua orang lalu memasuki
terowongan ini. Tidak terlalu panjang terowongan ini dan kiranya inilah terowongan yang dahulu dibuat oleh
ibu bocah itu. Tadi, ketika pulang dari berburu dan melihat rumah mereka dikurung para pengawal dan
dibakar dari luar, mereka terkejut sekali. Mereka adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman, dan
melihat bahwa pasukan itu adalah pasukan pengawal, mereka tidak berani sembrono.
Untuk menolong puteranya yang berada di dalam rumah, pemburu itu lalu mengajak dua orang adiknya
untuk memasuki rumahnya melalui terowongan buatan isterinya dulu itu dan demikianlah, ketika mereka
tiba di dalam kamar, tepat sekali Cui Lan membuka daun pintu kamar yang berhasil mereka rusak
gemboknya. Begitu melihat Cui Lan dan kakek itu, dan melihat anaknya merusak gembok daun pintu
kamar itu, marahlah si pemburu dan nyaris dia membunuh mereka bertiga kalau saja Cui Lan tidak cepat
menyebut nama Siluman Kecil!
Kini mereka tiba di mulut terowongan di tebing sungai. Dengan bantuan mereka, Cui Lan dan Gubernur
Hok dapat meloncat ke dalam air dan karena tempat itu tak nampak dari atas tebing, maka para pengawal
yang masih tertawa-tawa di luar rumah yang mereka bakar itu, mereka dengan mudahnya dapat
menyelamatkan diri.
Dengan menggunakan sebuah perahu para pemburu, mereka menjauhi tempat itu dan setelah melakukan
perjalanan setengah hari keluar dan masuk hutan, akhirnya mereka tiba di dalam sebuah hutan lebat di
mana terdapat sebuah pondok yang dibuat oleh tiga orang pemburu itu dan yang digunakan pada waktu
mereka memburu binatang.
Hampir patah-patah rasanya kaki Cui Lan dan Gubernur Hok ketika mereka akhirnya dapat melempar
tubuh mereka ke atas lantai pondok yang ditilami daun-daun kering itu. Gubernur Hok saking lelahnya
sudah tidak dapat bertahan lagi, langsung dia tertidur pulas!
Setelah membuat api unggun, memasak air dan nasi yang memang tersedia di situ, dibantu oleh bocah
kecil, pemburu dan dua orang adiknya lalu duduk pula di atas lantai dan bertanyalah ayah bocah itu
kepada Cui Lan. “Kami tidak hendak mencampuri urusan Siocia dan Lopek ini, dan oleh karena Siocia
mengenal beliau, maka kami akan menolong sampai sekuat tenaga kami. Jika Siocia tak keberatan, kami
ingin mengetahui kenapa Siocia dan Lopek ini dikejar-kejar para pengawal itu? Bukankah para pengawal
itu adalah pengawal-pengawal dari gubernuran?”
Cui Lan adalah seorang gadis yang cerdik sekali. Dia bukan seorang pelayan biasa tapi puteri seorang
kepala kampung yang terpelajar juga.Karena itu, ditambah pula dengan wataknya yang memang halus dan
pribadinya yang tinggi, dara ini dapat bersikap tenang dan cerdik menghadapi keadaan yang bagaimana
pun juga. Dia maklum bahwa mereka masih berada di wilayah Ho-nan, dan sungguh pun bagi dirinya
sendiri tidak perlu dia menyembunyikan diri, namun tidak demikian halnya dengan Gubernur Ho-pei ini.
Keadaan diri pembesar ini harus disembunyikan, maka dia sudah cepat mengarang cerita sambil
menjawab pertanyaan itu.
“Benar seperti yang kalian duga. Mereka memang adalah pengawal-pengawal di istana gubernur. Dan aku
bernama Phang Cui Lan, seorang pelayan di istana Gubernur Kui, melayani isteri beliau. Akan tetapi pada
suatu hari, aku akan dikawinkan oleh gubernur dengan seorang pelayan beliau. Karena sejak kecil aku
sudah ditunangkan, aku tidak mau, akan tetapi tentu saja tidak berani menolak dengan terus terang. Maka
aku lalu minggat dengan bantuan Pamanku ini yang menjadi tukang kebun di sana.” Dia berhenti sebentar
karena pada saat itu, Gubernur Hok agaknya telah sadar dan mendengarkan cerita itu.
“Kami berdua melarikan diri dan berhasil lolos dari kota, akan tetapi ketika tiba di dekat hutan tempat
tinggal kalian itu, kami melihat para pengawal istana gubernuran mengejar kami. Maka kami lalu lari ke
rumah kalian dan kebetulan sekali putera kalian berada di pintu dan membantu kami masuk. Selanjutnya,
kalian ketahui.”
Ketiga orang itu mengangguk-angguk dan ayah dari bocah itu kemudian mengangkat muka, memandang
kepada Cui Lan dengan kagum. “Ahhh, sungguh hebat engkau, Nona. Engkau adalah seorang wanita yang
dunia-kangouw.blogspot.com
setia kepada tunangan. Aku kagum dan aku merasa girang telah dapat menolongmu. Kemudian, mengenai
perkenalanmu dengan beliau itu..., bolehkah kami mendengarnya?”
Cui Lan merasa ragu-ragu untuk menceritakan pengalamannya dengan Siluman Kecil, apa lagi karena
perasaan hatinya terhadap Siluman Kecil itu akan disimpannya sebagai rahasia hidupnya dan hanya satu
kali dia menceritakan rahasia itu kepada Kian Lee! Kini, ditanya oleh tiga orang kasar ini, dia menjadi raguragu,
akan tetapi kecerdikannya kembali menolongnya, “Siluman Kecil... pendekar itu pernah menolong
kami ketika kami diganggu perampok...“
“Nona adalah seorang pelayan di gubernuran, bagaimana bisa diganggu perampok?” seorang di antara
dua paman bocah itu terheran-heran.
Kini Gubernur Hok yang telah sadar betul dan sejak tadi mendengarkan percakapan itu, bangkit duduk dan
berkata, “Kalian tidak tahu. Keponakanku ini baru saja menjadi pelayan di gubernuran, bahkan sejak
peristiwa itulah dia menjadi pelayan. Ada pun saya yang sudah lama menjadi tukang kebun di taman istana
Kui-taijin, Gubernur Ho-nan.” Dia terbatuk-batuk lalu menghirup air teh yang dihidangkan oleh bocah itu,
kemudian melanjutkan, “Pada waktu itu saya mendengar bahwa Nyonya Gubernur membutuhkan seorang
pelayan yang boleh dipercaya. Saya lalu menawarkan keponakan saya Cui Lan ini dan karena sudah lama
saya bekerja di gubernuran, penawaran saya diterima dan saya lalu pergi ke dusun untuk menjemput
keponakan saya ini. Nah, dalam perjalanan kami ke kota itulah kami dihadang segerombolan perampok
dan kami tentu celaka kalau tidak ditolong oleh beliau.” Gubernur itu tentu saja tidak pernah tahu tentang
‘beliau’ itu, akan tetapi dari percakapan tadi dia mengerti bahwa yang disebut oleh Cui Lian sebagai
‘Siluman Kecil’ dan oleh tiga orang pemburu disebut sebagai ‘beliau’ itu tentu seorang pendekar atau
seorang yang luar biasa yang pernah menolong Cui Lan dan yang amat ditakuti oleh tiga orang kasar itu.
“Demikianlah…,” Cui Lan menyambung hati-hati dan mengerling ke arah ‘pamannya’ sambil tersenyum
dengan penuh rasa syukur dan dibalas oleh gubernur yang kini selain menjadi tukang kebun juga menjadi
paman itu, “Dalam kesempatan itulah pendekar itu memperkenalkan namanya sebagai Siluman Kecil dan
berpesan bahwa apa bila aku tertimpa bahaya, aku boleh minta bantuan kalian yang disebutnya sebagai
pemburu-pemburu gagah yang tinggal di pinggir hutan itu.”
Tiga orang pemburu itu tersenyum girang dan bangga bukan main karena mereka disebut ‘pemburu gagah’
oleh Siluman Kecil! Tentu saja sebutan itu adalah tambahan Cui Lan sendiri!
“Kami girang sekali telah dapat membantu Nona yang ternyata menjadi sahabat baik beliau,” kata si ayah
bocah itu.
“Karena kami telah memperkenalkan diri, yaitu namaku Phang Cui Lan dan Pamanku ini...“
“Aku bernama Hok An, kakak dari Ibu Cui Lan,” sambung sang gubernur.
“Maka kami harap kalian suka menceritakan pula kepada kami siapakah kalian ini dan bagaimana pula
kalian dapat berhubungan dengan beliau.” Kini Cui Lan juga menyebut beliau kepada Siluman Kecil,
karena dia merasa ngeri juga menyaksikan sikap yang begitu takut kepada pendekar pencuri hatinya itu.
“Maaf, aku dan adikku ini tidak pandai bicara, hanya adikku paling kecil itu yang agak bisa bicara. Kun-te,
kau berceritalah!” Pemburu berewok itu menyuruh adiknya yang termuda, dan berceritalah laki-laki yang
usianya kurang lebih dua puluh delapan tahun, berwajah cukup tampan dan bertubuh gagah itu sungguh
pun tidak sebesar kakaknya yang tertua.
Mereka itu adalah kakak beradik. Yang tertua, yang berewok dan ayah dari bocah itu bernama Sim Hoat
dan seperti telah diceritakan oleh puteranya yang bernama Sim Hong Bu tadi, isteri Sim Hoat yang tersiksa
batinnya oleh suaminya yang pencemburu itu minggat dan meninggalkannya. Dan ada pun orang kedua itu
adalah adiknya yang bernama Sim Tek. Kalau Sim Hoat berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, Sim
Tek berusia tiga puluh tahun sedangkan adik terkecil yang tidak pendiam seperti dua orang kakaknya, yaitu
yang bercerita itu adalah Sim Kun, berusia dua puluh delapan tahun. Semenjak kecil mereka itu telah
menjadi pemburu-pemburu yang ulung karena mereka memang keturunan pemburu.
Mereka mulai mengenal Siluman Kecil kira-kira dua tahun yang lalu. “Memang nama beliau muncul sekitar
dua tahun yang lalu.” Sim Kun melanjutkan ceritanya. “Tadinya tidak ada nama julukan itu di dunia kangouw.
Pada waktu itu, terjadi pertikaian dan perebutan wilayah perburuan di antara para pemburu di sekitar
perbatasan tiga Propinsi Ho-nan, Ho-pei, dan Shen-si. Ratusan orang pemburu terpecah menjadi tiga
dunia-kangouw.blogspot.com
kelompok dan saling berebutan, hingga sering terjadi pertumpahan darah untuk memperebutkan wilayah
perburuan itu. Pada suatu hari, muncullah beliau dan dengan kesaktian yang luar biasa beliau
mengalahkan dan menundukkan semua pemburu untuk menghentikan permusuhan dan membagi-bagi
wilayah perburuan secara adil menurut wilayah propinsi masing-masing. Semenjak saat itulah kami semua
mentaati perintah itu karena setiap kali ada pelanggaran, si pelanggar tentu akan menerima hukuman
hebat dari beliau dan sampai sekarang kami saling menghormati wilayah masing-masing dan dapat bekerja
sama dengan baik. Itulah sebabnya, ketika mendengar bahwa Nona adalah sahabat beliau, kami sangat
girang dan bersedia membela Nona sampai titik darah terakhir!”
Cui Lan merasa terharu bercampur kagum terhadap kehebatan pendekar yang sangat dipujanya itu. Juga
diam-diam Gubernur Ho-pei menyesalkan mengapa dirinya sebagai gubernur tidak tahu akan adanya hal
itu, dan tidak mengenal pula pendekar yang demikian besar jasanya mendamaikan pertikaian antara para
pemburu kasar itu.
“Pertolongan kalian bertiga cukup berharga bagi kami dan kami berdua menghaturkan terima kasih,” kata
Cui Lan. “Akan tetapi kalau kalian memang suka menolongku, aku minta dengan sangat sukalah kalian
menyelidiki tentang seorang penolong kami pula yang dikeroyok di taman istana gubernuran.”
“Tentu saja, kami siap melakukan segala permintaan Nona!” kata Sim Hoat karena dia dan adik-adiknya
yakin bahwa kelak mereka tentu akan dipuji oleh Siluman Kecil atas pertolongan mereka terhadap nona
cantik ini. Siapa tahu kalau-kalau nona cantik ini selain pernah ditolong, juga menjadi kekasih pendekar
ajaib itu! Dan memang sudah sepatutnya karena nona ini cantik sekali!
“Begini, Sim-twako,” Cui Lan yang amat pandai itu segera menyebut twako sehingga si pemburu yang
kasar merasa makin girang dan akrab. “Di taman rumah gubernuran ada seorang pemuda yang terlibat
dalam pertempuran. Ketika kami berdua melarikan diri memang sedang terjadi keributan dan hal itu
menolong kami, akan tetapi ada seorang pemuda yang baik kepada kami, yang terlibat dalam pertempuran
dan dikeroyok oleh para pengawal gubernuran. Harap Sam-wi (Kalian Bertiga) sudi membantuku
menyelidiki bagaimana kabarnya dengan pemuda itu.”
“Ah, mudah saja itu! Siapa namanya?” tanya Sim Hoat.
“Namanya Suma Kian Lee.”
“Suma...?” Tiga orang kasar itu saling pandang.
“Mengapa?” Cui Lan bertanya heran.
“Tidak apa-apa, hanya pernah dahulu beliau bertanya kepada kami semua apakah kami bertemu atau
mendengar adanya seorang she Suma. Ahhh, mungkin hanya kebetulan saja dan pertanyaan itu sudah
hampir dua tahun. Baiklah, Nona Phang, kami akan segera menyelidikinya dan harap Nona dan Hok-lopek
suka menanti saja di sini dan jangan pergi ke mana-mana. Daerah ini aman dan tidak mungkin para
pengawal dapat mencari sampai ke sini. Hong Bu akan melayani semua keperluan kalian selama kami
pergi.”
Mereka bertiga segera pergi dengan cepat dan menjelang malam mereka telah kembali membawa berita
yang membuat wajah Cui Lan menjadi pucat sekali dan juga Gubernur Hok yang mendengar dari Cui Lan
betapa pemuda itu membantunya melawan para pengawal lihai dari Ho-nan merasa khawatir sekali. Berita
itu adalah bahwa Suma Kian Lee dan komandan pasukan Kuku Garuda dari istana terjebak di dalam
terowongan saluran air dan bahwa kini kedua mulut saluran air dari kolam di taman istana sampai ke jalan
keluar itu telah ditutup dan di jaga oleh banyak pasukan pengawal.
“Padahal menurut pendengaran kami, di dalam terowongan itu terdapat banyak ular-ular beracun.” Sim
Hoat melanjutkan ceritanya.
“Aihhhhh...!” Cui Lan mendekap mukanya dengan kedua tangannya dan memejamkan mata, ditahannya
tangisnya. Dia ngeri membayangkan betapa pemuda yang amat tampan, amat baik dan yang sikap dan
gerak-geriknya mengingatkan dia akan pendekar yang dipujanya itu kini terbenam di air saluran dan
dikeroyok ular-ular beracun!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apakah kalian tidak dapat menolongnya?” Tiba-tiba Gubernur Hok berkata, suaranya lantang dan penuh
semangat. “Percayalah, kalau kalian dapat membantunya kelak aku akan memberi ganjaran yang amat
besar kepada kalian!”
“Ganjaran? Lopek memberi ganjaran?” Sim Hoat bertanya dan gubernur itu terkejut dan menyadari
kesalahan bicaranya. Akan tetapi kembali Cui Lan yang cekatan dan cerdik itu sudah cepat menolongnya.
“Sim-twako, yang dimaksudkan oleh Pamanku adalah ganjaran dari beliau. Karena tentu kami kelak akan
menceritakan kepada beliau betapa hebatnya kalian, betapa gagahnya kalian dan mati-matian telah
membantu kami. Tentu beliau tidak akan melupakan jasa kalian dan akan memberi ganjaran...“
“Bagus! Kami tentu saja dapat membantunya kalau mengerahkan teman-teman kami!” Sim Hoat sudah
terlampau girang mendengar ucapan Cui Lan itu.
“Tek-te (Adik Tek) hayo cepat kau lepaskan tanda rahasia!”
Sim Tek mengangguk dan dengan gendewa di tangan dia kemudian keluar dari dalam pondok,
melepaskan anak panah berapi dan tak lama kemudian, berturut-turut dari empat penjuru nampak sinarsinar
kuning melayang di udara sebagai sambutan atas anak panah berapi kuning yang dilepaskan oleh
Sim Tek tadi.
Malam itu juga, datanglah dari empat penjuru orang-orang yang bersikap kasar-kasar menakutkan, para
pemburu yang sudah biasa hidup di hutan dan hidup dengan liar. Sampai menjelang pagi, di tempat itu
sudah berkumpul dua puluh orang yang terdiri dari macam-macam orang, akan tetapi yang rata-rata
berperawakan tinggi besar, kuat dan kasar sehingga Cui Lan merasa ngeri juga.
Akan tetapi, biar pun tadinya banyak di antara mereka yang meringis memperlihatkan gigi seperti seekor
harimau bertemu domba ketika melihat Cui Lan yang cantik, begitu mendengar dari tiga saudara Sim
bahwa dara itu adalah sahabat ‘beliau’, otomatis sikap mereka berubah menjadi lunak dan menghormat
biar pun sikap hormat ini kasar pula!
Maka berundinglah mereka dan Cui Lan juga menghadiri perundingan itu dengan hati tabah. Diam-diam
Gubernur Hok makin kagum melihat sepak terjang Cui Lan. Gadis ini memang mempunyai sifat-sifat yang
mengejutkan dan luar biasa. Seorang pelayan saja kini ternyata dapat bersikap sedemikian hebat, bukan
hanya suka menolong dia yang tidak dikenalnya sama sekali dengan taruhan nyawa, tetapi juga kini
memperlihatkan kesetiaan yang luar biasa kepada seorang yang dianggapnya baik, yaitu kepada Suma
Kian Lee.
Mulai terbukalah mata pembesar ini betapa selama usianya yang enam puluh lima tahun ini, dia tadinya
seperti orang buta saja yang memandang kepada orang-orang yang berkedudukan rendah seperti pelayan
dan lain-lain, yang dianggapnya adalah manusia-manusia yang berderajat rendah, berpengetahuan
dangkal, berpribudi tipis dan lebih mendekati binatang dari pada seorang manusia yang luhur dan
mengenal apa artinya hidup dan apa artinya perikemanusiaan dan sebagainya!
Sekarang terbukalah matanya bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang tadinya dikira rendah,
hina dan bodoh, yang ternyata bahkan lebih manusiawi dari pada orang-orang besar, lebih memiliki
kejujuran, kesetiaan, kewajaran dari pada orang-orang besar yang merasa dirinya penuh pengetahuan dan
kepandaian! Bahkan di dalam diri orang-orang kasar seperti para pemburu itu dia menemukan sifat-sifat
yang jauh lebih agung dari pada sifat para pembesar, bangsawan, cendekiawan yang biasa menjilat ke
atas dan menginjak atau merendahkan ke bawah!
Orang-orang kasar dan liar itu bukan seluruhnya pemburu, bahkan ada yang tadinya menjadi kepala
perampok, bajak sungai dan lain-lain. Akan tetapi mereka semua adalah kepala-kepala dan pemimpinpemimpin
rombongan mereka, dan mereka semua telah tunduk kepada Siluman Keicl, maka begitu melihat
tanda anak panah berapi kuning sebagai tanda bahwa seorang ‘sahabat’ Siluman Kecil minta bantuan,
mereka cepat datang! Di antara mereka, banyak yang belum pernah berjumpa dan belum kenal, akan
tetapi mereka kelihatan rukun karena semuanya merasa berada di bawah pengaruh Siluman Kecil yang
mereka anggap sebagai manusia dewa itu!
Cui Lan tentu saja seram melihat muka-muka liar dan kasar itu mengelilinginya. Di antara mereka itu, dua
orang adik Sim Hoat kelihatan tampan dan ganteng, setidaknya bersih dan umum! Kini dara itu yang
diperkenalkan oleh Sim Hoat sebagai sahabat Siluman Kecil yang mohon bantuan mereka, segera
dunia-kangouw.blogspot.com
menceritakan niatnya untuk menyelamatkan Suma Kian Lee yang terjebak ke dalam terowongan saluran
air dan terancam nyawanya itu.
Tidak ada seorang pun di antara mereka yang menanyakan siapa adanya Suma Kian Lee itu, sungguh pun
mereka juga tercengang karena teringat bahwa dulu Siluman Kecil pernah menanyakan she Suma, seperti
juga seperti juga yang dialami oleh ketiga orang saudara Sim. Mereka datang untuk membantu nona yang
menjadi sahabat Siluman Kecil dan mereka tidak perlu tahu urusan apa itu. Demikianlah kesetiaan mereka
terhadap sahabat-sahabat Siluman Kecil, dan andai kata seorang di antara mereka juga mengalami
malapetaka, tentu teman-teman ini semua juga akan membelanya mati-matian seperti kalau mereka akan
membela Siluman Kecil. Demikian dalam Siluman Kecil menanam rasa setia kawan kepada orang-orang
kasar ini.
“Tidak mungkin kita akan menang melawan pasukan-pasukan pengawal Gubernur Ho-nan,” Sim Hoat
menyatakan pendapatnya.
“Menang kalah sih bukan soal dan kami pun bukannya takut, hanya amat tidak baik jika golongan kami
nanti dicap sebagai pemberontak-pemberontak!” kata salah seorang yang matanya lebar sekali.
“Beliau tentu akan marah kepada kami kalau kami memberontak terhadap kerajaan, memberontak
terhadap Gubernur Ho-nan tidak ada bedanya dengan memberontak terhadap pemerintah!” sambung
seorang yang mukanya seperti monyet besar dan berbulu!
Cui Lan mengangkat tangannya dan mereka semua terdiam! Gubernur Hok makin kagum, kagum kepada
pendekar yang berjuluk Siluman Kecil yang ternyata memiliki pengaruh hebat itu, dan juga kagum terhadap
Cui Lan yang tadinya hanya seorang pelayan akan tetapi kini memiliki sifat seperti seorang pemimpin!
“Saya tidak mengharapkan saudara-saudara untuk membunuh diri, apa lagi untuk memberontak. Saya
hanya minta bantuan saudara sekalian untuk menyelamatkan pemuda itu yang terjebak di dalam
terowongan yang kedua pintunya telah ditutup itu. Dengan membobol terowongan, kalau dia masih hidup
tentu dia akan dapat keluar dari situ.”
“Bagus! Nona cerdik bukan main!”
“Akal yang baik sekali!”
“Aku setuju!”
Mereka bicara lagi tidak karuan seperti sekawan burung tidur dikejutkan sesuatu.
“Akan tetapi mana mungkin membobol terowongan tanpa diketahui oleh para pasukan pengawas.”
Pertanyaan dari seorang di antara mereka ini membungkam mulut mereka semua dan dua puluh pasang
mata yang menyeramkan itu semua ditujukan kepada Cui Lan. Bahkan Gubernur Hok sendiri pun
menujukan pandang matanya kepada dara itu karena terus terang saja, biar pun dia seorang gubernur, jadi
seorang pembesar yang memiliki kepandaian dan kecerdikan tentunya, kini sama sekali merasa tidak
berdaya!
“Saya sudah mengenal jalan terowongan itu. Tempat yang terbaik untuk digali adalah di kebun belakang
sebuah kuil. Tempat itu tertutup dan mana mungkin ada pengawal akan memeriksa sebuah kuil? Hanya
saya khawatir kalau-kalau penjaga kuil tidak setuju!”
“Kita paksa kepala gundul itu!”
“Kita serbu saja kuil ltu!”
Kembali Cui Lan mengangkat tangannya. “Saya harap saudara sekalian tidak berbuat ceroboh. Melakukan
perbuatan menolong di dalam ibu kota ini amatlah berbahaya dan harus memakai kecerdikan. Tidak boleh
bertindak sendiri-sendiri dan saya mengangkat Saudara Sim Kun untuk memimpin kalian. Kalian, walau
pun lebih pandai dari pada Saudara Sim Kun, harus menurut perintah dan petunjuknya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja Sim Kun girang bukan main dan memang tepatlah pilihan Cui Lan. Dara ini melihat bahwa di
antara mereka, hanya Sim Kun yang tidak begitu liar dan memiliki kecerdikan, maka dia memilih pemuda
ini.
“Sekarang kita rundingkan bagaimana kita akan dapat menguasai kuil itu untuk sehari saja,” kata pula Cui
Lan.
“Kita serbu!”
“Kita bunuh hwesio-hwesio-nya!”
Sim Kun mengangkat tangan ke atas dan mereka semua membungkam. Jelas bahwa mereka telah
mentaati perintah Cui Lan tadi dan telah menganggap Sim Kun sebagai pemimpin mereka, yaitu dalam
urusan menolong pemuda dalam terowongan itu saja tentunya, bukan pemimpin seterusnya!
“Harap kalian jangan mempunyai pendapat sendiri-sendiri dan dengarlah siasat kita bersama yang baik
dan tidak ngawur,” kata Sim Kun.
“Tentu Kun-twako sudah mempunyai akal, bukan?” Cui Lan bertanya dengan cerdik melihat sikap pemuda
itu yang dia sebut ‘twako’ pula sehingga wajah pemuda itu berseri gembira.
“Begini,” katanya. “Kita harus menyelundup ke dalam ibu kota dan kita akan menyamar sebagai orangorang
dusun yang hendak bersembahyang di kuil itu. Kemudian, dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan
suara, kita tangkap semua hwesio dan membuat mereka tidak berdaya, dan kemudian...” Dengan suara
bisik-bisik Sim Kun melanjutkan penuturannya tentang rencana siasatnya.
Sampai lama semua orang mendengarkan dengan serius, kemudian meledaklah suara ketawa mereka.
Gubernur Hok diam-diam menarik napas. Siasat mereka ini tidak kalah oleh siasat kelompok perwiraperwira
perang yang mengatur siasat!
“Aku percaya kalian tak akan gagal, hanya pintaku agar kalian tidak sampai melakukan pembunuhan, apa
lagi terhadap hwesio-hwesio itu. Saya dan Paman Hok akan menanti di sini bersama Hong Bu,” kata Cui
Lan akhirnya.
Siang hari itu juga, berangkatlah serombongan petani dengan berpencar ke kota dan memasuki ibu kota
tanpa dicurigai karena mereka itu adalah petani-petani biasa. Seperti yang telah direncanakan, petanipetani
yang masuknya berpencar, secara berpencar pula memasuki sebuah kuil di pinggir kota, sebuah kuil
besar dan karena biasanya orang pergi ke kuil di waktu pagi dan malam, maka siang hari itu agak sunyi.
Orang-orang kota yang datang bersembahyang hanya beberapa orang. Mereka ini pun segera pergi
meninggalkan kuil, enggan berdesakan dengan orang-orang dusun kasar dan berbau apek yang baru saja
memasuki kuil untuk bersembahyang.
Di antara dua puluh orang dusun yang memasuki kuil itu, ada sepuluh orang yang kepalanya tertutup ikat
kepala sehingga tidak nampak rambutnya sama sekali. Para hwesio pengurus kuil yang jumlahnya dua
belas orang itu sibuk melayani orang-orang dusun ini yang bertanya ini itu dan minta ini itu sehingga
mereka sibuk melayani dengan pisah-pisah.
Tidak ada suara terdengar ketika hwesio-hwesio itu dirobohkan dengan totokan-totokan, diikat dan sepuluh
orang yang kepalanya ditutupi tadi kini menanggalkan ikat kepala dan ternyata bahwa kepala mereka
sudah digunduli licin seperti kepala para hwesio! Cepat mereka lalu menanggalkan jubah hwesio-hwesio itu
dan muncullah kini sepuluh orang hwesio baru menjaga dan melayani kuil, sedangkan dua belas orang
hwesio itu setelah diikat kaki tangannya dan disumpal mulutnya lalu dilempar ke dalam gudang di belakang
dan dikunci dari luar!
Hwesio-hwesio baru itu tentu saja canggung dan kaku ketika ada tamu yang datang bersembahyang, akan
tetapi dengan cerdiknya mereka itu menceritakan bahwa mereka memang hwesio-hwesio baru yang dilatih
melayani tamu dan kalau ada pelayanan yang kurang memuaskan mereka mohon maaf! Selagi mereka ini
sibuk melayani tamu-tamu yang mulai berdatangan karena hari mulai senja, yang lain-lain sibuk menggali
lubang di kebun belakang kuil dipimpin oleh Sim Hoat, karena Sim Kun yang cerdik itu pun termasuk
seorang di antara ‘hwesio-hwesio’ baru itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, keadaan Suma Kian Lee dan komandan Pasukan Kuku Garuda itu benar-benar amat
sengsara. Karena di dekat pintu air dekat sungai itu jalan keluarnya telah ditutup dan air makin lama makin
naik tinggi, terpaksa Kian Lee lalu kembali ke hilir sambil meraba-raba karena keadaannya sangat gelap.
Berbeda dengan tadi ketika berjalan mengikuti aliran air, kini perjalanan kembali amatlah sukarnya. Selain
air naik makin tinggi, juga Kian Lee harus memapah komandan yang lumpuh separuh badannya itu.
Akhirnya sampai juga dia di pintu air yang dihancurkan oleh senjata peledak tadi, di taman istana
gubernuran. Akan tetapi betapa kaget hatinya melihat bahwa lubang di tempat ini pun telah ditutup! Dia dan
komandan itu sekarang benar-benar seperti tikus terjebak, tidak bisa keluar lagi dan air di saluran dalam
terowongan itu semakin lama semakin tinggi! Walau pun air dari kolam sudah habis, akan tetapi karena
saluran itu menampung air pembuangan dari semua bagian istana, tentu saja makin lama makin
bertambah, dan yang bertambah jauh lebih banyak dari pada yang dapat mengalir keluar melalui celahcelah
batu yang menutup mulut terowongan. Maka dengan sendirinya air naik makin tinggi!
Tadi ketika air masih setinggi lutut, bahkan ketika mencapai pinggang, Kian Lee masih dapat ke sana-sini
untuk mencari-cari, kalau-kalau terdapat jalan keluar lain di samping dua mulut terowongan depan dan
belakang yang sudah ditutup itu. Akan tetapi, yang ada hanya lubang-lubang kecil yang merupakan cabang
terowongan dari mana air mengalir dari segala jurusan. Akan tetapi sekarang air sudah sampai di bawah
leher! Sukar sekali untuk maju dan dengan setengah berenang. Sambil menggandeng tangan komandan
itu, Kian Lee tidak mau menyerah begitu saja dan selalu mencari bagian yang dangkal. Dia maklum bahwa
kalau air sudah memenuhi saluran itu mereka berdua akan tewas, akan tetapi sebelum mereka mati dia
harus berdaya dan mencari jalan keluar.
Mereka tidak mengenal waktu karena di dalam terowongan itu cuaca selalu gelap. Dan melihat betapa
pemuda itu tiada hentinya hilir-mudik sambil menggandeng lengannya dengan susah payah, komandan
pasukan Kuku Garuda itu berkata lemah, “Taihiap... tidak ada gunanya lagi... dari pada menghabiskan
tenagamu yang tinggal sedikit itu... lebih baik... mari kita hadapi maut dengan tenang...“
“Aku tidak takut mati, Ciangkun. Akan tetapi sebelum hayat meninggalkan badan kita pantang menyerah
begitu saja!”
Komandan itu menarik napas panjang, kagum akan semangat pemuda ini yang tak kunjung pandam. “Akan
tetapi mati hidup di tangan Tuhan, Taihiap.”
“Mungkin engkau benar, Ciangkun, akan tetapi kita pun telah diberi perlengkapan untuk berusaha sekuat
tenaga mempertahankan hidup dan itu harus kita pergunakan, apa lagi menghadapi ancaman maut seperti
sekarang ini.”
Terpaksa komandan itu tidak mampu membantah dan dia pun memaksa tubuhnya yang hampir tidak kuat
lagi mengikuti kemana pun pemuda itu bergerak. Mereka sama sekali tak menyangka bahwa sudah dua
hari mereka berada di dalam terowongan itu bergulat dengan maut! Tidak tahu bahwa saat itu sudah
menjelang malam yang ketiga!
“Taihiap… sebelum kita mati... aku ingin sekali mati sebagai salah seorang sahabatmu. Perkenalkanlah,
saya bernama Souw Kee An... dan siapakah nama Taihiap?” berkata Panglima Pasukan Kuku Garuda itu
yang sudah bertahun-tahun menjadi komandan pasukan pengawal di istana, bahkan ternyata dia adalah
adik dari pengawal kaisar yang bernama Souw Kee It yang muncul dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali.
Tentu saja Suma Kian Lee tidak merasa keberatan sedikit pun, maka dengan sejujurnya dia menjawab,
“Namaku adalah Suma Kian Lee, Ciangkun.”
Panglima itu terkejut dan memandang ke arah Suma Kian Lee sungguh pun dia tidak melihat apa-apa
kecuali kehitaman yang padat. “Suma...? Suma Kian Lee...? Ahhh... Keluarga Suma dari Pulau Es ?”
Kian Lee menghela napas. Dia tidak perlu menyembunyikan diri lagi, apa lagi terhadap seorang panglima
pengawal istana. Pula, apa sih bedanya keluarga Pulau Es dengan orang biasa dalam menghadapi
kematian secara tidak berdaya itu?
“Kau benar, Ciangkun.”
“Ahhh...! Mataku seperti buta tidak mengenal orang pandai! Ahhh, Suma-taihiap, kau maafkan saya...“
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sudahlah, Ciangkun. Dengar... aku seperti mendengar sesuatu...!” Tiba-tiba Kian Lee tidak bergerak dan
mengerahkan tenaga pendengarannya untuk menangkap suara itu. Komandan Souw Kee An juga tidak
bergerak dan memasang telinga mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Dukkk! Dukkk! Dukkk!”
Suara ini terus-menerus terdengar, makin lama makin keras seolah-olah ada sesuatu yang memukul-mukul
di atas mereka. Kian Lee belum dapat menduga suara apa yang terdengar itu, akan tetapi dalam keadaan
seperti itu, apa pun menarik perhatian dan lalu bergerak mencari-cari sambil memapah Souw-ciangkun,
menuju ke arah suara sampai dia tiba tepat di bawah suara itu. Suara itu makin terdengar keras dan
karena bergema di seluruh terowongan maka terdengar menyeramkan sekali.
Tiba-tiba tangan Panglima Souw mencengkeram lengan Kian Lee di dalam air yang sudah mencapai leher
mereka itu. “Suara orang menggali di atas kita!” teriaknya dengan suara serak dan tergetar penuh harapan.
“Kita lihat saja apa yang akan terjadi, Ciangkun. Tidak perlu terlalu mengharap karena yang mengharapkan
mungkin akan kecewa. Kita tidak tahu siapa yang menggali itu, kawan ataukah lawan. Oleh karena itu kita
bersiap-siap saja dan kalau nanti lubang sudah terbuka dan ternyata mereka adalah lawan, kuharap
Ciangkun suka bersembunyi di sini saja dulu, dan biarkan aku yang meloncat keluar menghadapi mereka.”
“Baik, Suma-taihiap.”
Suara itu makin keras saja dan akhirnya nampaklah sebuah lubang! Dan terdengarlah suara orang-orang
di atas, kemudian lubang itu makin lebar. Hawa segar memasuki terowongan itu dan dua orang itu menarik
napas dalam-dalam. Di atas lubang itu pun hitam, akan tetapi tidak segelap di bawah, dan setelah lubang
itu cukup besar, mulailah nampak bayang-bayang muka orang di atas lubang dan jauh tinggi sekali nampak
berkelap-kelipnya bintang-bintang! Pemandangan ini sungguh amat menyedapkan mata kedua orang itu.
Akan tetapi mereka tetap tidak bergerak, sungguh pun seluruh urat syaraf mereka menegang. Setiap ada
kesempatan harus dia pergunakan sebaiknya, pikir Suma Kian Lee. Kalau yang di atas itu pihak musuh,
dia harus menyergap dan menyerbu keluar dan sekarang dia akan melawan mati-matian!
Sebuah kepala nampak di lubang yang besar itu, lalu terdengar suara parau kasar, “Apakah ada yang
bernama Suma Kian Lee di bawah sana?”
Suara ini bergema dengan aneh, seperti suara iblis dari neraka saja layaknya. Kian Lee tidak menjawab,
menanti perkembangan selanjutnya karena dia tidak tahu siapakah mereka itu dan mendengar suaranya,
di atas itu terdapat banyak sekali orang!
Pertanyaan itu diulang lagi, dengan suara yang lebih keras dan ada lanjutanya, “Apakah ada yang
bernama Suma Kian Lee di bawah sana? Kami diutus oleh Nona Phang Cui Lan, sahabat Siluman Kecil,
untuk menolongmu!”
“Suma Kian Lee berada di sini!” Kian Lee menjawab, suaranya nyaring hingga terdengar oleh semua orang
yang berada di atas. Mereka itu kelihatan girang karena ada suara-suara tertawa lega.
“Kalau begitu naiklah melalui tali ini!” terdengar suara yang kasar parau itu lagi, lalu nampak sehelai tali
besar diturunkan dari lubang, seperti seekor ular.
“Taihiap, biarkan saya naik dulu. Kalau ini merupakan jebakan, biarlah saya dulu...“
“Tidak, aku akan naik dulu, Ciangkun.”
“Taihiap, kalau ini jebakan dan kau naik dulu kemudian kau terjebak, berarti kita berdua akan mati.
Sebaliknya, kalau aku yang naik dulu dan terjebak, hanya aku yang akan mati karena Taihiap dapat
mengetahui dan menghindarkan jebakan itu. Biarkan aku naik dulu!”
“Engkau gagah sekali, Ciangkun. Akan tetapi jangan khawatir, aku tidak akan mudah mereka celakakan di
atas sana. Pula, aku yakin mereka itu tentu orang-orang yang hendak menolong, apa lagi tadi menyebut
nama Phang Cui Lan, dan andai kata mereka itu adalah musuh, perlu apa susah-susah menolong kita?
Mereka tentu tahu bahwa membiarkan kita begini saja, kita akan mati sendiri.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Panglima itu tidak membantah lagi dan Kian Lee lalu menyambar tali dan merayap naik, tentu saja dia
sudah siap dengan sinkang melindungi tubuh dan satu di antara kedua tangannya bebas dan siap untuk
menghadapi serangan. Tali itu ditarik dari atas dan ketika Kian Lee meloncat ke luar, dia melihat belasan
orang laki-laki yang berpakaian seperti petani dan ternyata mereka itu benar-benar hendak menolong
karena tidak ada seorang pun yang kelihatan hendak menyerangnya.
Kian Lee lalu menurunkan lagi tali itu ke dalam lubang sambil berseru ke bawah. “Souw-ciangkun,
sekarang naiklah!”
Dengan satu tangannya, panglima itu bergantung kepada tali dan ditarik ke atas oleh Kian Lee. Setelah
keduanya berada di atas, Kian Lee dan Souw-ciangkun menjura pada belasan orang itu dan Kian Lee
berkata, “Banyak terima kasih atas pertolongan Cu-wi sekalian. Sekarang, di manakah adanya Nona
Phang Cui Lan?”
Tanpa banyak cakap Sim Hoat dan teman-temannya lalu berkata, “Mari kita pergi!” dan Kian Lee berdua
panglima itu terheran-heran melihat hwesio-hwesio ikut pula bersama rombongan mereka dan jumlah
mereka yang menolong itu ada dua puluh orang!
Kiranya hwesio-hwesio yang jumlahnya sepuluh orang itu hanya hwesio-hwesio palsu karena di tengah
jalan mereka menanggalkan pakaian hwesio dan di bawah jubah ini ternyata mereka berpakaian seperti
petani pula. Kian Lee dan Panglima Souw juga diberi pakaian petani itu, dan dengan menggotong Souwciangkun
yang tidak dapat berjalan, mereka berangkat meninggalkan kota. Dengan cepat mereka menuju
ke hutan di mana Cui Lan dan Gubernur Hok menanti.
Air mata bercucuran dari sepasang mata Cui Lan yang bening ketika dia melihat orang-orang kasar itu
berhasil menyelamatkan Kian Lee, dan pemuda ini pun dengan hati terharu memegang tangan dara itu.
“Terima kasih... terima kasih... Cui Lan,” katanya berulang-ulang.
“Jangan kepada saya, Kongcu, melainkan kepada dia...”
“Siluman Kecil?”
Cui Lan mengangguk dan kedua pipinya merah.
“Sekali waktu aku pasti akan bertemu dengan dia dan menghaturkan terima kasihku.”
Souw-ciangkun ketika bertemu dengan Gubernur Ho-pei, yang tidak dikenal oleh Kian Lee, segera menjura
dengan penuh hormat sambil berkata, “Syukur bahwa Taijin ternyata dapat diselamatkan, akan tetapi
Pangeran...“ Dan komandan pengawal ini mengeluh karena begitu dipakai bergerak, tubuhnya terasa sakitsakit
dan dia tentu terguling roboh kalau tidak cepat disambar oleh Kian Lee dan dibaringkan.
“Engkau harus kuobati dulu, Ciangkun. Kalau tidak bisa berbahaya!” Kian Lee kemudian membawa
komandan itu ke dalam kamar di pondok, membaringkannya di atas lantai yang bertilam daun kering,
kemudian dia sendiri duduk di dekatnya dan menggunakan sinkang untuk mengusir hawa beracun dari
tubuh panglima itu.
Hanya dalam waktu beberapa jam saja, pendekar muda ini telah berhasil membersihkan hawa beracun
dari tubuh Souw-ciangkun, dan biar pun tubuhnya masih terasa lemah, namun Souw-ciangkun sudah sehat
kembali. Mereka berdua lalu makan nasi yang dihidangkan oleh Cui Lan dan Hong Bu, makan dengan
lahapnya karena selama tiga hari mereka itu sama sekali tidak makan apa-apa.
“Kemanakah perginya orang-orang yang menolong kami semalam?” tanya Kian Lee ketika melihat
keadaan yang sunyi di pondok itu.
Cui Lan menggelengkan kepala. “Mereka telah pergi semua, tak mungkin dapat ditahan lagi. Mereka
berkumpul dan menolong Kongcu atas permintaanku itu karena nama Siluman Kecil. Setelah tugas mereka
selesai, tugas yang akan mereka lakukan dengan taruhan nyawa demi Siluman Kecil, kini mereka lalu
pergi. Urusan kita selanjutnya tidak mereka pedulikan karena mereka hanya mau bergerak karena
mengingat pendekar itu.” Lalu Cui Lan menceritakan pengalamannya sejak ia melarikan Gubernur Ho-pei
sampai bertemu dengan para pemburu dan nyaris saja dia dan Hok-taijin mati terbakar hidup-hidup.
“Bukan main Siluman Kecil itu!” Kian Lee memuji penuh kagum.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Akan tetapi bagi saya, yang lebih hebat adalah Nona Phang Cui Lan ini, Taihiap,” kata Gubernur Hok yang
sudah mendengar dari Souw-ciangkun tentang kegagahan Suma Kian Lee membantu pihak istana
menentang para jagoan Ho-nan. “Dia ini hanyalah seorang gadis muda yang lemah, namun sepak
terjangnya sungguh tidak kalah oleh seorang pendekar yang perkasa!”
“Ah, Taijin bisa saja memuji orang...“ Cui Lan menunduk dengan muka merah.
“Memang, saya pun mengerti, Taijin,” kata Kian Lee. “Memang engkau patut menjadi sahabat baik Siluman
Kecil, Cui Lan.”
“Sudahlah, Suma-kongcu. Kalian hanya membuat saya merasa malu saja, sebaiknya sekarang dipikirkan
bagaimana dengan nasib Pangeran utusan Kaisar itu dan para pengawal beliau.”
“Aku pun sedang memikirkan hal itu dan karena Souw-ciangkun sendiri masih lemas, biarlah aku sendiri
yang menyelidiki ke sana malam ini.”
“Aihhh..., itu berbahaya sekali, Kongcu!” Cui Lan berseru sambil matanya terbelalak penuh khawatir. “Kami
dengan susah payah membantu Kongcu keluar dari terowongan maut itu dan sekarang Kongcu malah
hendak ke kota yang penuh dengan bahaya itu!”
Kian Lee merasa terharu. Dara ini benar-benar seorang wanita yang memiliki watak halus dan berbudi
mulia. Berbahagialah pria yang dicintai oleh seorang wanita seperti Cui Lan ini, pikirnya dan diam-diam dia
agak iri juga kepada Siluman Kecil dan juga diam-diam berjanji pada diri sendiri bahwa kelak tentu Siluman
Kecil akan berhadapan dengan dia sebagai lawan. Hanya seorang yang berhati mati saja yang tidak akan
menerima cinta kasih seorang dara berperasaan halus dan berbudi mulia seperti Cui Lan!
“Ahhh, Cui Lan, engkau belum tahu siapa adanya Suma-taihiap ini! Engkau masih menganggap dia
seorang pemuda terpelajar yang lemah. Ha-ha!” kata Gubernur Hok.
“Nona Phang, ketahuilah bahwa Suma taihiap ini tidak kalah saktinya dengan pendekar yang berjuluk
Siluman Kecil itu!” kata pula Souw Kee An.
“Ahhh...!” Sepasang mata itu memandang Kian Lee penuh selidik dan pemuda ini tersenyum, diam-diam
menyesal mengapa panglima itu lancang mulut sehingga selain mengejutkan juga dapat menurunkan
pandangan nona itu yang teramat tinggi terhadap Siluman Kecil.
“Jangan percaya kepadanya, Cui Lan, Souw-ciangkun hanya suka berkelakar. Nah, aku harus berangkat
sekarang juga. Harap Taijin dan Cui Lan menanti di sini, dan kau lindungi dia dulu, Souw-ciangkun. Setelah
aku kembali, baru kita berunding lagi bagai mana baiknya. Syukur-syukur kalau aku berhasil menolong dan
membawa Pangeran Yung Hwa ke sini.”
Maka berangkatlah Kian Lee, diiringkan pandang mata penuh harapan oleh Gubernur Hok dan Souwciangkun,
akan tetapi pandang mata Cui Lan penuh kekhawatiran…..
********************
Tidaklah sukar bagi Kian Lee untuk menyelundup masuk ke dalam kota Lok-yang di Ho-nan. Dengan
ilmunya yang tinggi, mudah saja dia meloncati dinding tembok di sekeliling kota dan menyelinap di antara
rumah-rumah penduduk menuju ke istana Gubernur Ho-nan.
Malam itu sunyi. Semenjak peristiwa keributan yang terjadi di taman istana, memang keadaan ibu kota
menjadi sunyi dan penduduk banyak yang merasa takut keluar malam. Penjagaan diperketat, tetapi
dengan mudah Kian Lee menggunakan ginkang-nya meloncat ke atas pagar tembok istana dan terus
meluncur ke dalam. Dengan sigap dia telah menotok roboh seorang penjaga yang sedang meronda di
dekat taman, lalu menyeretnya ke semak-semak dan mengancamnya, “Kubunuh kau kalau kau berani
berteriak!”
Di dalam keadaan yang remang-remang itu, penjaga ini tidak dapat melihat muka Kian Lee dengan jelas,
dan andai kata dapat melihat pun, dia tidak akan mengenal wajah pemuda ini yang baru satu kali datang
sebagai tamu dan belum banyak dikenal, kecuali oleh pasukan yang dulu menghadangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ampun, Hohan...!” penjaga itu memohon.
“Aku tak akan membunuhmu asal engkau suka menceritakan di mana adanya Pangeran Yung Hwa!” Kian
Lee mengancam.
“Ampun... siapa Pangeran Yung Hwa...? Saya tidak tahu, Hohan...“
Kian Lee mengerutkan alisnya. “Kau tidak kenal? Pangeran yang menjadi utusan Kaisar tempo hari...”
“Ah, kalau beliau tentu saja saya tahu. Yang menjadi utusan Kaisar dan kemudian terjadi keributan di
taman?”
“Ya, benar. Di mana dia ditahan?”
“Ditahan? Saya sungguh tidak mengerti apa maksudmu, Hohan.”
“Bukankah kau sendiri bilang terjadi keributan di taman ketika Pangeran itu muncul, lalu diserang dan
ditangkap?”
“Ahh, sama sekali tidak, Hohan. Memang terjadi keributan antara jagoan-jagoan Ho-nan melawan jagoanjagoan
Ho-pei, akan tetapi tidak ada yang berniat buruk terhadap Pangeran utusan Kaisar. Bahkan pada
keesokan harinya pun utusan itu telah kembali ke kota raja dengan pengawalan ketat.”
“Bohong! Kubunuh kau kalau membohong!”
“Saya... saya tidak berani membohong Hohan!”
Kian Lee menjadi bingung, lalu dia menotok lagi agar orang itu tidak mampu bergerak atau mengeluarkan
suara, kemudian dia meninggalkannya di balik semak-semak dan karena penasaran, Kian Lee lalu mencari
dan akhirnya dia berhasil menyergap dan menangkap seorang perwira pengawal seperti yang
dilakukannya kepada prajurit itu. Akan tetapi, keterangan perwira pengawal ini pun sama dengan apa yang
didengarnya dari si prajurit. Sungguh mengherankan!
Suma Kian Lee menjadi penasaran sekali. Para prajurit dan perwira itu tentu saja sudah diperintahkan
untuk membuat pengakuan seperti itu setiap kali ada penyelidik datang hendak menolong Pangeran Yung
Hwa. Betapa bodohnya dia! Satu-satunya orang yang akan dapat dia paksa membebaskan Pangeran Yung
Hwa hanyalah si gubernur sendiri. Dia harus menangkap Gubernur Kui Cu Kam dan memaksanya
membebaskan Pangeran Yung Hwa! Dia sudah memperhitungkan bahayanya.
Menurut penglihatannya kemarin dulu ketika terjadi pertempuran, yang patut dianggap lawan berat hanya
beberapa orang, yaitu Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo serta beberapa orang panglima pengawal
saja. Bahkan baginya, hanya dua orang itulah yang merupakan lawan yang cukup tangguh, namun dia
yakin akan dapat mengatasi mereka berdua.
Yang dikhawatirkan hanya kalau semua pasukan dikerahkan. Tentu saja tidak mungkin dia dapat
menghadapi pengeroyokan ratusan orang pasukan, apa lagi di dalam istana yang masih asing baginya.
Kalau sampai demikian halnya, tentu akan gagal usahanya menangkap gubernur itu. Yang penting adalah
menyelundup dan kemudian diam-diam menangkap gubernur itu, karena kalau gubernur itu sudah
ditawannya, tentu yang lain-lain akan mundur teratur. Juga dia akan membawa pula gubernur yang
memberontak itu sebagai tawanan ke kota raja!
Dengan keputusan hati yang bulat ini Kian Lee lalu melayang naik ke atas wuwungan istana, mendekam
karena khawatir kalau-kalau di atas genteng terdapat pula penjaga-penjaga. Ternyata dugaannya betul,
namun hanya terdapat dua orang yang menjaga di menara untuk mengamati keamanan di atas gentenggenteng.
“Aku harus merobohkan mereka dulu, baru dapat bergerak dengan leluasa mencari kamar gubernur,” pikir
Kian Lee.
Bagaikan seekor kucing saja, dia bergerak-gerak di atas genteng tanpa mengeluarkan suara, menghampiri
tempat pejagaan di menara itu, sedikit pun tidak diketahui oleh dua orang penjaga yang sedang bercakapcakap.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, kenapa kita masih harus melakukan penjagaan yang begini ketat? Sampai-sampai semua atap harus
diawasi seolah-olah ada musuh yang akan terbang ke sini,” seorang di antara mereka mengeluh.
“Ah, siapa tahu!” bantah orang kedua. “Semenjak utusan Kaisar itu datang dan pulang, kita harus berjagajaga
karena sudah pasti pihak Ho-pei tidak mau tinggal diam begitu saja. Demikian yang kudengar dari
para perwira.”
Kian Lee yang sudah siap untuk menerjang itu menunda gerakannya dan merasa makin heran. Dua orang
ini sedang bercakap-cakap tanpa paksaan dia, tetapi toh mereka menyatakan bahwa utusan kaisar sudah
pulang. Bagaimana ini? Benarkah Pangeran Yung Hwa tidak menjadi tawanan Gubernur Ho-nan?
Dua orang itu kini membalikkan tubuh untuk memeriksa keadaan di sekeliling mereka dan pada saat itu
Kian Lee meloncat. Dua kali tangannya bergerak, dua orang penjaga itu roboh pingsan karena tengkuk
mereka kena disambar oleh jari tangan Kian Lee. Cepat pendekar ini menotok mereka sehingga untuk
waktu yang agak lama mereka akan lumpuh dan menyumpal mulut mereka dengan robekan baju mereka
sendiri, kemudian dia berloncatan di atas genteng mencari-cari kamar gubernur.
Selagi dia mencari-cari dan mengintai, tiba-tiba dia mendengar suara ketawa yang mengejutkan hatinya.
Suara ketawa macam itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki khikang tinggi dan amat kuat!
Suara itu bergema dan menggetarkan genteng yang diinjaknya, lalu dia mendengar suara orang bercakapcakap
dari arah datangnya suara ketawa itu. Dengan hati tertarik dan amat hati-hati karena dia tahu bahwa
ada orang pandai di bawah sana, Kian Lee lalu menghampiri tempat itu dan mendekam di atas genteng
lalu mengintai ke bawah.
Akan tetapi, berbeda dengan ruangan-ruangan lain, ruangan di bawah ini ternyata rapat dan di bawah
genteng itu terdapat langit-langit sehingga dia tidak dapat melihat ke dalam ruangan. Kian Lee mendongkol
sekali karena kini dia merasa yakin bahwa sang gubernur yang dicari-cari itu berada di bawah genteng ini!
Hal ini dapat dia ketahui karena suara yang besar dan mengandung tenaga khikang amat kuat, agaknya
suara orang yang tertawa tadi, berkata dengan nyaring.
“Percayalah, Kui-taijin, semua akan berjalan dengan baik menurut rencana!” kemudian dia mendengar
langkah kaki yang berat sekali, seperti gajah berjalan, dan suara itu terdengar lagi, “Harap Taijin
beristirahat dan besok kita sambung lagi perundingan kita.”
Kian Lee cepat melayang turun dari atas genteng, bersembunyi di balik dinding dan mengintai. Dilihatnya
seorang laki-laki yang tubuhnya sangat besar, seperti raksasa, kepalanya botak dan besar sekali, keluar
dari ruangan itu. Raksasa ini sukar ditaksir usianya, tetapi tentu sudah lebih dari setengah abad. Sungguh
pun tubuhnya besar sekali namun gerak-geriknya lemas dan gesit, pakaiannya mewah dengan memakai
sehelai jubah mantel berwarna merah dan sepatunya memakai tapal baja. Langkahnya lebar dan tetap,
kadang-kadang mengeluarkan bunyi seperti seekor gajah lari, kadang-kadang tidak berbunyi sama sekali
seperti seekor harimau melangkah. Sebentar saja kakek ini lenyap dan diam-diam Kian Lee menarik napas
panjang. Orang itu sudah jelas merupakan lawan yang amat tangguh, taksirnya.
Akan tetapi karena yang dicarinya berada di kamar itu, dia tidak mempedulikan lagi kakek raksasa itu, dan
mengintai dari jendela. Ruangan itu luas, merupakan ruangan perundingan agaknya, dengan banyak kursi
dan meja yang panjang besar. Hatinya girang bukan main ketika dia melihat sang gubernur kini duduk
seorang diri di sudut ruangan itu, di atas kursi dan menghadapi sebuah meja, agaknya sedang menuliskan
sesuatu di atas buku yang terletak di atas meja, di depannya. Inilah kesempatan yang baik, pikir Kian Lee.
Lebih baik dia cepat turun tangan sebelum ada pengawal datang.
Dengan gerakan kilat, Kian Lee menerobos melalui pintu dari mana kakek raksasa tadi keluar dan sedetik
kemudian dia telah berdiri di tengah ruangan itu, memandang kepada Gubernur Kui Cu Kam yang masih
duduk di atas kursi. Akan tetapi, tiba-tiba gubernur itu menoleh, memandang kepadanya dan mendadak
kursi yang diduduki gubernur itu berikut mejanya amblas ke dalam lantai!
“Heiiiii!” Kian Lee terkejut dan meloncat, akan tetapi ketika dia tiba di sudut tempat itu, meja dan kursi
berikut sang gubernur telah lenyap dan lantai itu telah tertutup kembali!
“Ha-ha-ha-ha!” Suara ketawa yang menggetarkan seluruh ruangan itu terdengar dan ketika Kian Lee
menengok, ternyata kakek botak raksasa itu telah berdiri di ambang pintu, berdiri tegak dengan dua kaki
dunia-kangouw.blogspot.com
terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan perutnya yang besar bergoncang-goncang ketika
dia tertawa.
Mengertilah Kian Lee bahwa dia telah tertipu, maka dengan marah dia lalu meloncat ke depan, kemudian
menggerakkan kedua tangannya mendorong kakek raksasa itu sambil membentak, “Pergilah!”
Kian Lee adalah seorang pemuda yang berwatak halus dan dia sama sekali tidak mau membunuh orang
begitu saja. Dia tak mengenal kakek ini, sungguh pun dia tahu bahwa kakek ini adalah kaki tangan
Gubernur Ho-nan yang agaknya tadi telah mengetahui akan kedatangannya dan mengatur siasat untuk
menjebaknya di ruangan itu. Maka ketika dia menyerang untuk meloloskan diri, dia hanya menggunakan
setengah tenaga sinkang-nya karena dianggapnya itu sudah cukup dan agar jangan sampai dia melukai
orang dan membahayakan keselamatan orang itu.
Kakek itu dengan kedua kaki masih terpentang lebar, agaknya memandang rendah kepada pukulan kedua
tangan pemuda itu. Buktinya, dia sama sekali tidak mengelak dari pukulan itu, juga tidak menangkis,
melainkan juga menggerakkan kedua tangannya menyambut dengan pukulan telapak tangan yang
didorongkan.
Kian Lee terkejut sekali. Dia mengenal keampuhan pukulannya sendiri yang dilakukan dengan tenaga
Swat-im-sin-kang, yaitu Tenaga Sakti Inti Es yang amat ampuh, tenaga sakti dari ayahnya yang dilatihnya
di Pulau Es. Karena dia tidak ingin mencelakakan orang, maka kembali dia mengurangi tenaganya dengan
agak menahan pukulan kedua tangannya yang mendorong itu.
“Desssss...!”
Akibat benturan dua pasang telapak tangan itu, tubuh Kian Lee lalu terjengkang dan terlempar sampai jauh
ke dalam ruangan itu!
“Ha-ha-ha-ha-ha!” Kakek raksasa itu tertawa bergelak, suara ketawanya menggetarkan ruangan dan tadi
ketika bertemu tenaga sakti, tubuhnya hanya bergoyang sedikit saja!
Dan pada saat itu, kelihatan dua orang menubruknya dan mereka ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li
dan Ho-nan Ciu-lo-mo! Kiranya dua orang ini juga telah bersembunyi di balik pintu-pintu rahasia dan begitu
melihat dia terjengkang dan bergulingan, mereka sekarang menubruk dengan serangan maut mereka.
Mauw Siauw Mo-li menggunakan pedangnya yang bersinar hijau itu menusuk ke arah dadanya, sedangkan
Ho-nan Ciu-lo-mo menggunakan guci arak menghantam ke arah kepalanya!
Akan tetapi biar pun tubuhnya terlempar dan bergulingan, Kian Lee sama sekali tidak terluka. Kalau dia
terpental, hal itu hanyalah karena dia hanya menggunakan tenaganya sedikit saja, hanya kurang dari
setengahnya dan ternyata, di luar dugaannya, kakek botak raksasa itu benar-benar lihai bukan main!
Kiranya kalau dia tadi mengerahkan seluruh tenaganya, baru dia akan dapat menandingi kakek itu! Betapa
bodohnya!
Dengan ginkang-nya yang sangat hebat, yang hanya kalah oleh ilmu mukjijat ayahnya yang disebut
Gerakan Angin dan Petir, yaitu gerakan khas ayahnya sebagai seorang pendekar kaki tunggal yang
terkenal sebagai Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Kian Lee menggerakkan tubuhnya melesat
dari bawah hingga hanya nampak bayangan berkelebat dan dua serangan maut itu hanyalah mengenai
tempat kosong! Nyaris dia celaka, pikirnya dan karena tahu bahwa usahanya gagal sama sekali, tubuhnya
mencelat lagi ke arah daun jendela yang masih tertutup.
“Brakkk!”
Daun jendela pecah kena terjangan tubuhnya dan terdengar pekik kesakitan ketika empat orang pengawal
di luar jendela itu kena diterjang pula oleh kaki Kian Lee hingga mereka terpental dan terguling-guling.
Kiranya di luar ruangan itu telah menanti banyak sekali pengawal! Kian Lee tidak mau membuang waktu
lebih lama lagi. Sebelum kakek raksasa yang lihai bersama dua orang lihai tadi keluar, dia sudah meloncat
ke atas genteng dan melarikan diri.
Teriakan disusul sambaran anak panah sama sekali tiada artinya bagi Kian Lee yang melarikan diri
secepatnya. Untung bahwa kakek raksasa itu, mungkin karena tubuhnya yang terlalu berat dan besar, tidak
memiliki ginkang yang terlalu tinggi sehingga tidak mengejarnya. Di antara mereka, yang ginkang-nya
paling lihai adalah Mauw Siauw Mo-li, tetapi wanita ini agaknya tidak berani mengejar sendirian karena dia
dunia-kangouw.blogspot.com
pun maklum bahwa pemuda itu luar biasa sekali dan amatlah berbahaya kalau dia berhadapan seorang diri
saja melawan pemuda itu.
Sambil melarikan diri, Kian Lee merasa heran dan menduga-duga siapa adanya kakek yang lihai itu. Ketika
terjadi keributan tempo hari, dia tidak melihat kakek itu dan andai kata pada waktu itu terdapat kakek itu di
pihak Gubernur Ho-nan, agaknya dia tidak akan dapat lolos dengan selamat, juga Gubernur Ho-pei dan
Cui Lan tidak akan dapat lolos demikian mudahnya.
Tentu saja pemuda ini tidak mengenal kakek raksasa itu, bahkan seluruh tokoh dunia kang-ouw agaknya
juga tidak ada yang mengenalnya, kecuali mereka yang pernah pergi ke negeri Nepal, jauh di barat, di
sebelah selatan Pegunungan Himalaya. Kakek ini adalah utusan dari negeri Nepal dan selain utusan, juga
dia adalah seorang yang berpangkat tinggi di negeri itu, yaitu sebagai kok-su (guru negara). Selain
berkedudukan tinggi dan dipercaya oleh Raja Nepal, kakek ini memiliki kepandaian yang hebat, karena dia
masih peranakan Han dan dahulu di waktu mudanya dia memperoleh pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi dan
setelah dia merantau ke Nepal dia dapat meraih kedudukan tinggi berkat kepandaiannya itu.
Ketika mendengar betapa pemberontakan dua orang Pangeran Liong yang gagal itu mengakibatkan
kemunduran sinar kekuasaan Kaisar Kang Hsi yang sudah tua, maka Kerajaan Nepal yang tadinya juga
menjadi negara taklukan atau lebih tepat lagi sebagai negara yang mengakui kedaulatan Kerajaan Cengtiauw
(Mancu), kemudian berusaha mendekati daerah-daerah yang menentang kaisar untuk bersekutu!
Untuk memberontak sendiri, Nepal merasa kurang kuat, akan tetapi kalau ada gubernur yang
memberontak, mereka akan membonceng. Demikianlah, ketika mendengar akan sikap Gubernur Kui Cu
Kam dari Propinsi Ho-nan yang kelihatan mulai menjauhkan diri dari pemerintah pusat, raja mengirim
utusan untuk mendekatinya.
Utusan itu adalah kakek itu, yang di timur mengaku berjuluk Ban-hwa Sengjin. Nama ini memang sudah
terkenal di wilayah Tiongkok bagian barat, dari Tibet sampai ke wilayah Secuan. Baru sekarang Ban-hwa
Sengjin membawa belasan orang pengawal pilihan yang menjadi pembantu-pembantunya untuk
berkunjung ke Ho-nan dan kebetulan sekali dia mendengar akan keributan di gubernuran itu.
Tadi Ban-hwa Sengjin sedang mengadakan perundingan dengan Gubernur Kui, dan dia yang berilmu tinggi
dapat mengetahui bahwa ada orang pandai datang mengintai, maka diam-diam dia lalu memberi isyarat
kepada gubernur dan sang gubernur juga cepat membunyikan alat rahasia untuk memberi tahu kepada
kepala pengawal. Lalu diaturlah oleh Ban-hwa Sengjin untuk menjebak musuh, akan tetapi ternyata
pemuda yang lihai itu berhasil juga meloloskan diri.
Cui Lan girang bukan main melihat Suma Kian Lee kembali dalam keadaan selamat, akan tetapi Gubernur
Ho-pei dan Komandan Souw Kwe An kecewa melihat pemuda itu kembali seorang diri saja tanpa
membawa Pangeran Yung Hwa.
“Bagaimana dengan Sang Pangeran?” Gubernur Hok bertanya gelisah.
Kian Lee lalu menceritakan pengalamannya ketika dia mendengar pengakuan para pengawal yang
ditawannya dan juga percakapan antara dua orang penjaga yang semua menyatakan bahwa Pangeran
Yung Hwa telah kembali ke kota raja pada keesokan harinya setelah terjadi keributan di dalam taman!
Tentu saja dua orang pembesar itu menjadi terheran, akan tetapi juga ragu-ragu untuk percaya berita itu.
“Sebaiknya kalau Souw-ciangkun cepat-cepat kembali ke kota raja,” kata gubernur itu, “Kalau benar
Pangeran telah kembali dengan selamat, syukurlah. Kalau belum, maka perlu cepat melaporkan kepada
Kaisar agar dapat diambil tindakan terhadap Gubernur Ho-nan yang khianat itu!”
“Sebaiknya begitu,” kata Kian Lee. “Dan saya akan mengantarkan Hok-taijin kembali ke Ho-pei. Perjalanan
itu masih amat berbahaya karena saya menduga bahwa sebetulnya yang dijadikan sasaran oleh Gubernur
Ho-nan adalah Paduka Gubernur.”
Pembesar tua itu mengangguk dan menarik napas panjang. “Kalau orang she Kui itu hanya mencoba untuk
menawan atau membunuh aku, masih tidak mengapa karena memang dia bermaksud buruk terhadap Hopei
di perbatasan. Tetapi kalau dia hendak memberontak, aku akan mengerahkan seluruh kekuatanku
untuk menggempurnya!”
“Lalu bagaimana dengan Nona Phang?” tanya Souw-ciangkun yang bagaimana pun merasa berhutang
budi kepada nona itu, karena kalau tak ada bantuan nona itu, belum tentu dia masih hidup saat ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jangan Sam-wi memikirkan saya...,“ kata Cui Lan.
“Ah, mana bisa demikian? Engkau harus dilindungi juga karena engkau tentu dicari-cari oleh Gubernur Honan
setelah mereka semua tahu bahwa aku lolos oleh bantuanmu. Kalau engkau suka, kau ikut
bersamaku, Nona. Engkau... kalau kau... suka aku akan mengangkatmu sebagai anakku, anak angkatku!”
Ucapan ini keluar dengan suara yang sungguh-sungguh, bahkan sepasang mata orang tua itu berlinang air
mata.
Melihat ini, Cui Lan menunduk. Dia terharu sekali dan sampai lama dia tidak mampu menjawab. Akhirnya
keluar juga suaranya yang lirih dan tergetar saking terharunya.
“Saya... hanya seorang pelayan... bagaimana mungkin menerima penghormatan yang demikian besar?
Menjadi puteri... seorang gubernur...?”
“Nona Cui Lan! Cepat kau haturkan terima kasih kepada Gihu-mu (Ayah Angkatmu). Engkau lebih dari
pantas untuk menjadi seorang puteri gubernur, bahkan aku melihat engkau tidak kalah oleh puteri-puteri
istana!” kata Kian Lee yang merasa girang sekali atas niat yang amat baik dari gubernur itu.
“Dan lagi, bukankah engkau sendiri yang mengakui saya sebagai paman?” Gubernur itu menggoda.
Dengan air mata berlinang Cui Lan tersenyum, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gubernur itu sambil
berkata, “Gihu...“
“Anakku! Cui Lan, sekarang kau anakku!” Gubernur itu mengangkat bangun dara itu dan merangkulnya
dengan girang.
Souw-ciangkun juga girang sekali dan cepat-cepat dia menjura bersama Kian Lee, mengucapkan selamat
kepada ayah dan anak itu yang dibalas dengan gembira pula oleh Gubernur Hok dan Cui Lan. Kemudian
komandan pasukan pengawal istana itu berpamit dan meninggalkan tempat itu untuk cepat kembali ke kota
raja. Meski pun perjalanan ke kota raja melalui Propinsi Ho-pei pula, akan tetapi demi keselamatan mereka
sendiri, mereka melakukan perjalanan terpisah karena gubernur itu harus tetap melakukan penyamaran
sebelum mereka keluar dari wilayah Propinsi Ho-nan.
Kian Lee lalu mengawal Gubernur Hok Thian Ki dan Phang Cui Lan dengan hati-hati. Dia maklum bahwa
tentu Gubernur Ho-nan tidak akan berhenti demikian saja dan terus mengerahkan anak buahnya untuk
mencari musuhnya itu. Dan dugaan ini memang benar karena pada hari itu juga, menjelang senja, ketika
Kian Lee meninggalkan dua orang itu di dalam hutan dan dia sendiri menyelidiki keadaan, dia melihat
sepasukan pengawal gubernur dipimpin sendiri oleh Perwira Su Kiat lewat di dekat hutan itu! Maka
terpaksa dia melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali, melewati hutan-hutan dan gunung-gunung
sehingga perjalanan keluar dari Propinsi Ho-nan itu makan waktu jauh lebih lama dari pada kalau
menggunakan perjalanan biasa.
Biar pun masih muda, usianya baru sekitar dua puluh dua tahun, namun Suma Kian Lee adalah seorang
yang telah mengalami banyak hal-hal yang hebat. Sejak berusia tujuh belas tahun dia sudah meninggalkan
Pulau Es bersama adiknya, Suma Kian Bu, dan mengalami banyak hal sampai akhirnya dia disuruh pulang
ke Pulau Es oleh ayahnya untuk memperdalam ilmu kepandaiannya. Dan sekarang dalam perjalanannya
mencari adiknya yang selama itu belum pernah pulang ke Pulau Es, dia juga mengalami hal-hal hebat,
bahkan nyaris nyawanya berakhir di terowongan air! (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali)
Maka kini dia dapat melakukan pengawalan dengan baik dan teliti terhadap dua orang yang terhormat dan
disuka itu, yaitu Hok Thian Ki Gubernur Ho-pei dan Phang Cui Lan, gadis cantik yang biar pun lemah tidak
berkepandaian silat, akan tetapi sesungguhnya memiliki jiwa yang gagah, penuh keberanian, kecerdikan,
dan kebijaksanaan itu.
Ketika tiba di tepi sungai yang mengalir ke timur, mereka telah melakukan perjalanan tiga hari, perjalanan
yang lambat namun aman. “Lebih baik kita mengambil jalan melalui sungai, tidak terlalu melelahkan Cui
Lan,” usul Gubernur Hok. “Apa lagi saya rasa, di sekitar perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei tentu penuh
dengan pasukan yang menjaga. Melalui sungai ini, kita akan memasuki daerah Propinsi Shan-tung,
kemudian dari situ kita ke barat memasuki Propinsi Ho-pei. Selain lebih aman, juga tidak terlalu
melelahkan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebetutnya Kian Lee kurang setuju karena bagi seorang ahli silat seperti dia, di darat merupakan daerah
yang leluasa dan aman baginya kalau menghadapi bahaya, tidak seperti kalau di air. Akan tetapi dia
memang melihat Gubernur Hok dan Cui Lan sudah amat lelah melakukan perjalanan kaki itu, sungguh pun
dara itu sama sekali tidak pernah mengeluh. Maka dia menerima usul ini dan dari seorang nelayan sungai
mereka lalu membeli sebuah perahu yang cukup besar, yang ada biliknya untuk berteduh.
Perjalanan dengan perahu memang mengasyikkan dan memang kakek dan gadis itu dapat melepaskan
kelelahan mereka. Lagi pula, karena perjalanan mereka menurutkan aliran air sungai, maka juga tidak
perlu mendayung, hanya mengemudikan perahu saja yang tidak makan banyak tenaga. Baru berlayar
setengah hari saja Gubernur Hok telah mulai memancing ikan dengan alat pancing yang dibelinya dari
nelayan, sedang Cui Lan juga memasak air sambil bersenandung!
Benar juga usul Hok-taijin, pikir Kian Lee. Biar pun perjalanan menjadi memutar, keluar ke arah timur
melalui propinsi atau wilayah perbatasan dengan Shan-tung, namun tidak melelahkan dan kalau sudah tiba
di wilayah Ho-pei, tentu pembesar setempat akan dapat menyediakan kereta untuk gubernur dan anak
angkatnya itu.
Malam itu mereka menginap di sebuah dusun di tepi sungai dan dalam kesempatan ini, Cui Lan berbelanja
bahan makanan untuk dimasak di atas perahu. Kemudian, pagi-pagi sekali mereka sudah kembali di
perahu mereka. Akan tetapi betapa kagetnya hati mereka ketika melihat seorang kakek tua yang bertubuh
kate kecil bersama tujuh orang laki-Iaki yang kelihatan gagah, kasar dan menyeramkan telah berdiri di
dekat perahu mereka itu.
Kian Lee yang seperti juga Hok-taijin dan Cui Lan telah menyamar, memakai pakaian seperti nelayan,
dengan cepat mendekati mereka dan siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Pandang matanya
yang tajam dan dapat melihat bahwa kakek kate kecil ini bukan sembarang orang, melainkan orang yang
biasa mengandalkan tenaga dan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka. Namun dia bersikap
tenang dan pura-pura tidak tahu akan kedatangan mereka, lalu membantu Hok-taijin dan Cui Lan
memasuki perahu dan dia sendiri mulai melepaskan tali perahu itu dari akar pohon di pantai.
“Ehh, sobat, apakah ini perahumu?” tiba-tiba kakek tua kecil itu bertanya. Aneh sekali, orangnya kecil akan
tetapi suaranya besar dan dalam. Matanya yang kecil sipit menatap wajah Kian Lee dengan tajam penuh
perhatian.
Kian Lee pura-pura kaget mendengar suara besar nyaring itu dan dia menengok, lalu mengangguk, “Benar,
Loya (Tuan Tua).”
“Kamu hendak berlayar ke arah mana?” tanya Si kakek, sedangkan tujuh orang laki-laki bertubuh kuat itu
melirik ke dalam bilik perahu di mana Cui Lan sedang sibuk mengatur barang belanjaannya dan Hok-taijin
pura-pura menggulung tali pancingnya, padahal kedua orang ini sudah berdebar penuh ketegangan karena
mereka mengira bahwa delapan orang itu tentulah mata-mata dari Gubernur Ho-nan.
“Kami hendak ke hilir...“
“Bagus! Kami delapan orang juga mempunyai keperluan untuk cepat pergi ke hilir, maka kami akan nunut
perahumu dan kami akan membayar mahal.”
“Maaf, Loya. Kami bukan tukang perahu, kami hanya nelayan-nelayan yang baru habis berbelanja dan...“
“Kami tahu! Akan tetapi perahumu ini cukup besar untuk dapat memuat kami. Apakah kamu tidak bersedia
menolong kami dengan bayaran mahal?”
“Hemmm, Twako, kenapa tidak dorong saja dia ke air?” Seorang di antara mereka yang berkumis tebal
berkata marah.
“Hushhh, jangan menggunakan kekarasan, Ang-kwi. Kita kini bukan di daerah sendiri!” Kakek tua itu
menegur Si Kumis Tebal yang disebut Setan Merah itu. “Bagaimana, sobat? Apakah kamu masih juga
menolak?”
Kian Lee memutar otaknya. Jika dia menolak, jelas tentu akan terjadi keributan dengan mereka. Dia tidak
takut, tetapi kalau dia merobohkan mereka, terutama kakek yang tentu lihai ini, berarti dia membuka
dunia-kangouw.blogspot.com
rahasianya sebagai nelayan biasa dan hal ini akan menimbulkan kecurigaan. Masih baik kalau orang-orang
ini tiada hubungannya dengan Gubernur Ho-nan. Kalau mereka melapor, bisa celaka.
“Baiklah jika memang Loya dan Cuwi sekalian mempunyai keperluan penting,” akhirnya dia berkata dan
mengedipkan matanya kepada Cui Lan dan Hok-taijin. Cui Lan lalu duduk di sudut dalam bilik itu, sebagian
ditutupi oleh Hok-taijin yang diam-diam merasa khawatir sekali.
Kakek tua itu memasuki bilik dan karena bilik itu sempit, hanya dia dan dua orang termasuk Si Kumis Tebal
yang dapat ke bilik, sedangkan lima orang yang lain terpaksa duduk di luar bilik, di papan perahu.
Kian Lee mengemudikan perahu ke tengah. Kalau sampai terjadi keributan, pikirnya, dan hal itu agaknya
bukan tidak mungkin melihat sikap mereka dan cara pandang mata mereka yang penuh nafsu ke arah Cui
Lan, maka sebaiknya dia merobohkan mereka di tengah sungai, jauh dari pantai sehingga tidak kelihatan
oleh orang-orang lain.
Si Kumis Tebal memang semenjak tadi memandang kepada Cui Lan, secara terang-terangan tidak seperti
teman-temannya yang lain. Kemudian dia memandang kepada Hok-taijin dan bertanya, “Orang tua, apakah
dia ini anakmu?”
Hok-taijin mengangguk dan bibirnya bergerak membenarkan.
“Hah, cantik sekali!”
“Dan dia itu mantuku,” kata pula Hok-taijin sambil menunjuk ke arah Kian Lee.
Hal ini dia lakukan dengan harapan bahwa jika mendengar anaknya telah menikah dan menjadi isteri orang
lain, tentu Si Kumis Tebal akan merasa sungkan untuk menggoda. Akan tetapi agaknya gubernur tua ini
tidak tahu dengan siapa dia berhadapan! Dia berhadapan dengan segerombolan bajak sungai!
Kakek kecil kate itu adalah seorang bajak sungai yang sangat terkenal di sepanjang Sungai Huang-ho
karena dia adalah Huang-ho Lo-cia yang amat ditakuti dan yang mempunyai banyak anak buah! Dia
memakai julukan Lo-cia karena biar pun dia sudah tua, namun tubuhnya kecil seperti kanak-kanak, maka
dia memakai julukan Lo-cia, tokoh dalam cerita Hong-sin-pong yang memang seorang manusia dewa yang
bertubuh anak-anak, namun luar biasa lihainya itu. Dan tujuh orang itu adalah sebagian dari anak buahnya!
Maka, Si Kumis Tebal berjuluk Setan Merah atau Ang-kwi itu menyeringai ketika Hok-taijin
memperkenalkan Kian Lee. Dia memandang ke arah Kian Lee, lalu meludah di lantai perahu, “Cuihhh!
Mengapa pula setangkai mawar yang demikian indahnya hanya diberikan kepada seorang nelayan kotor?”
katanya.
Tentu saja Hok-taijin tak berani berkata apa-apa lagi dan Cui Lan menjadi merah sekali mukanya, merah
saking marahnya mendengar penghinaan yang tadi dilontarkan orang kasar itu kepada Kian Lee. Tentu
Kian Lee juga mendengar ini, akan tetapi pemuda itu pura-pura tidak mendengar apa-apa.
Melihat betapa Kian Lee tetap saja mengemudikan perahu tanpa memperlihatkan suatu perasaan apa pun
pada mukanya, diam-diam Cui Lan menjadi makin kagum kepada pemuda ini, juga merasa kasihan.
Pemuda itu adalah pelindungnya pada saat itu, juga pelindung Gubernur Ho-pei, maka bolehlah dibilang
jiwa raganya dan jiwa raga ayah angkatnya itu berada di tangan Kian Lee. Kini pemuda itu sudah
mengalami penghinaan luar biasa karena dia. Dia maklum bahwa kalau tidak karena dia, penghinaan
semacam itu yang dilontarkan oleh seorang kasar seperti itu, tentu tidak akan didiamkan saja oleh
pendekar sakti ini.
Cui Lan kemudian menuangkan secangkir teh dan keluar dari bilik menghampiri Kian Lee dengan cangkir
air teh di tangan.
“Minumlah...,“ katanya halus sambil menyodorkan cangkir teh itu.
Kian Lee tersenyum, menerima cangkir teh dan meminumnya. Tanpa menggerakkan bibir, terdengar dia
berkata lirih sekali, hanya untuk telinga Cui Lan, “Tenanglah dan jangan takut selama aku berada di sini.”
Tiba-tiba Si Kumis Tebal bangkit berdiri dan dengan langkah gagah ia menghampiri Cui Lan yang masih
berdiri di dekat Kien Lee. Mukanya yang merah itu seperti muka orang mabuk dan agaknya muka inilah
dunia-kangouw.blogspot.com
yang membuat dia dijuluki Ang-kwi (Setan Merah) dan agaknya dia merupakan pembantu yang penting
juga dari Huang-ho Lo-cia karena di antara tujuh orang pengikut kakek pendek kecil itu, dialah yang
nampaknya paling berani.
“Eh, Manis, kami juga minta secangkir teh! Tidak patut kalau pihak tuan rumah minum sendiri sedangkan
tamu-tamu tidak disuguhi. Harganya berapa akan kami bayar, dan kalau dijual dengan orangnya sekali pun
akan kubayar tunai, Manis! Heh-heh!” Teman-temannya tertawa mendengar ini dan sikap teman-temannya
itu membuat Si Kumis Tebal makin berani.
“Berapa harga secangkir tehmu, Manis? Berapa harga sebuah ciuman di mulutmu itu? Dan berapa harga
semalam? Ha-ha-ha!”
“Sobat, harap jangan mengganggu dia!” Kian Lee berkata dan Cui Lan makin mepet kepada Kian Lee
untuk minta perlindungan.
“Siapa menggoda siapa?!” Si Kumis Tebal mengejek dan tangannya yang besar dan lengannya yang
panjang bergerak, jari-jari tangannya dengan cara kurang ajar hendak mencubit pinggul Cui Lan.
Dara ini menjerit dan Kian Lee menggerakkan tangan, tidak tampak oleh orang di situ saking cepatnya dan
tahu-tahu Si Kumis Tebal berteriak dan tubuhnya terjungkal keluar dari perahu.
“Byuuuuurrrrr...!”
Air mucrat tinggi dan Si Kumis Tebal gelagapan, namun sebagai seorang bajak sungai tentu saja dia
pandai renang dan cepat dia telah menguasai diri, memegang pinggiran perahu.
“He, kenapa Si Ang-kwi...?” Orang-orang berteriak.
“Keparat, kau berani pukul aku?” teriak Ang-kwi yang sudah merangkak naik ke dalam perahu.
“Siapa yang pukul?” Kian Lee bertanya, tersenyum.
“Kau berdiri tidak benar, terpeleset dan jatuh sendiri, bilang suamiku yang pukul. Tidak tahu malu!” Cui Lan
juga berkata.
Teman-teman Ang-kwi tertawa, akan tetapi Ang-kwi masih marah dan melompat tinggi hendak menghajar
Kian Lee. Akan tetapi pada saat itu terdengar kakek kecil itu berseru, “Jangan ribut! Lihat di depan itu!”
Tujuh orang anak buahnya memandang ke depan dan melihat tiga buah perahu sedang meluncur dari
samping menghadang mereka, akan tetapi masing-masing perahu hanya didayung oleh seorang laki-laki.
Melihat perahu-perahu itu dan pendayung tunggalnya, tiba-tiba tujuh orang itu bersorak. Mereka mengenal
perahu-perahu mereka itu.
“Ha, itu perahu kita sendiri!”
“Lebih enak dari pada perahu sempit ini!”
“Kita pindah saja!”
“Akan tetapi wanita itu baik kita bawa saja!” kata Ang-kwai.
Hok-taijin yang sudah mempelajari cara mengemudikan perahu dari Kian Lee, dan atas isyarat Kian Lee
cepat pergi mendekati pemuda itu, menggantikan Kian Lee memegang kemudi perahu sedangkan Kian
Lee sendiri lalu memberi isyarat kepada Cui Lan agar dara ini memasuki bilik yang sudah kosong karena
semua orang itu telah keluar dari bilik dan berdiri di kepala perahu. Setelah Cui Lan memasuki bilik, Kian
Lee duduk di depan bilik menjaga!
Setelah tiga buah perahu itu berdekatan, mereka berloncatan ke atas perahu-perahu itu. Akan tetapi
alangkah terkejut hati mereka ketika dari dalam bilik-bilik tiga buah perahu itu bermunculan wanita-wanita
cantik yang lantas menyambut mereka dengan pedang di tangan!
“Heiii...“
dunia-kangouw.blogspot.com
“Celaka...!”
“Kita terjebak!”
“Lawan mereka! Mereka itu adalah orang-orang Hek-eng-pang!” teriak Huang-ho Lo-cia dan dia sendiri lalu
meloncat ke sebuah di antara tiga perahu itu untuk menghadapi pimpinan wanita-wanita Hek-eng-pang itu
yang bersenjatakan siang-kiam (sepasang pedang). Kakek ini sudah melolos joan-pian dari pinggangnya,
dengan senjata ini dia menerjang wanita itu yang menyambut dengan siang-kiam-nya.
Kiranya mereka itu memang benar adalah orang-orang Hek-eng-pang, dan wanita yang memegang siangkiam
itu bukan lain adalah Kim-hi Niocu, kepala dari Pasukan Air. Tiga buah perahu itu adalah perahuperahu
milik bajak sungai anak buah Huang-ho Lo-cia yang mereka rampas. Hal ini merupakan
pembalasan mereka karena beberapa hari yang lalu dua orang anggota Hek-eng-pang menjadi korban
pembajakan anak buah Huang-ho Lo-cia, bahkan mereka itu selain dirampas senjata dan barangbarangnya,
juga telah diperkosa oleh beberapa orang anak buah Huang-ho Lo-cia. Karena itu, kini mereka
datang untuk membikin pembalasan, merampas perahu, membunuh beberapa orang bajak, memaksa tiga
orang bajak mendayung perahu mereka dan mereka kini menghadang kedatangan Huang-ho Lo-cia dan
tujuh orang pembantunya!
Setiap perahu itu ternyata ditumpangi oleh lima orang wanita Hek-eng-pang dan karena wanita-wanita itu
juga memiliki kepandaian lumayan, maka untuk menghadapi setiap orang bajak cukup dilayani oleh
seorang di antara mereka, sedangkan yang lain-lain lalu menyerbu dan berloncatan ke perahu Kian Lee!
Melihat Kian Lee duduk di depan bilik perahu, mereka lalu menyerang, akan tetapi betapa kaget hati
mereka ketika dorongan-dorongan tangan pemuda itu demikian kuatnya sehingga angin dorongannya saja
sudah membuat dua orang di antara mereka terlempar ke dalam air!
Sementara itu pertandingan berlangsung dengan seru. Ternyata bahwa para anggota bajak itu tidak kuat
menahan gerakan lawan mereka yang semua terdiri dari wanita-wanita itu. Seorang demi seorang
terlempar ke sungai dan mereka yang telah terlempar ini tidak mampu mengganggu perahu-perahu itu
karena lawan mereka juga mengejar dengan terjun ke air dan terus menyerang mereka. Kiranya permainan
di air dari wanita-wanita itu pun hebat, tak kalah oleh para anggota bajak! Hal ini tidaklah mengherankan
karena mereka itu adalah anggota-anggota Hek-eng-pang bagian Pasukan Air yang tentu saja terlatih baik
untuk berkelahi di air!
Sekarang hanya tinggal kakek kecil tua itulah yang masih melawan. Kim-hi Niocu harus mengakui
keunggulan kakek ini. Biar pun tadi dia dibantu oleh empat orang anggotanya, namun empat orang itu
terpaksa mundur dan terluka karena senjata joan-pian di tangan kakek itu hebat juga. Gerakannya cepat
dan joan-pian yang merupakan senjata lemas (ruyung lemas) itu menyambar-nyambar seperti ular. Kim-hi
Niocu terus terdesak hebat, bahkan pahanya telah kena dilecut ujung joan-pian sehingga celananya robek
dan kulit pahanya yang putih terluka mengeluarkan darah.
“Pangcu... harap bantu...!” Akhirnya Kim-hi Niocu menjerit.
Tersingkaplah tirai di perahu itu dan sebuah kepala seorang wanita berusia lima puluh tahun akan tetapi
cantik tampak. Kim-hi Niocu melompat ke belakang dan dengan sikap tenang nenek cantik itu keluar dari
bilik perahu, tangan kirinya memegang sebatang ranting yang-liu yang masih hijau segar, masih ada daundaunnya
yang kecil runcing.
“Ehmm, agaknya Huang-ho Lo-cia sendiri yang muncul di sini?” tanya nenek itu sambil memandang dan
menggerak-gerakkan ranting itu di depan mukanya yang masih cantik.
Sementara itu melihat betapa anak buahnya telah terlempar ke air dan kini masih terus dikejar oleh wanitawanita
itu, Huang-ho Lo-cia menjadi marah. Dia memandang nenek itu dan walau pun belum pernah
melihat wajahnya, namun dia menduga bahwa tentu nenek itulah yang terkenal sebagai ketua Hek-engpang
dan dia membentak.
“Dan engkau tentu Hek-eng-pangcu?”
Nenek itu tersenyum mengejek dan mengangguk. “Engkau memang lagi berhadapan dengan Yang-liu
Nionio!” katanya dan kembali ranting yang-liu (semacam cemara) itu dipakai membelai mukanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hek-eng-pangcu! Apa sebabnya engkau dan anak buahmu yang berada di Gunung Cemara, yang tidak
pernah ada urusan dengan kami, hari ini merampas perahu dan menyerang kami? Apakah kalian tidak
mengenal lagi sopan santun dan setia kawan antar golongan kang-ouw dan liok-lim?”
“Bajak tua, kau masih belum menyadari dosa sendiri? Anak buahmu mengandalkan banyak orang telah
mengeroyok dua orang anak buahku, tidak hanya merampas barang milik mereka akan tetapi juga telah
memperkosanya dan menghina mereka! Untuk itu, dalam sehari harus ada dua nyawa anak buahmu yang
menebusnya. Sudah lewat empat hari, maka kami telah mencabut nyawa delapan anak buahmu dan
merampas perahu. Kebetulan sekarang kita berhadapan, hayo kau lekas berlutut dan minta ampun
kepadaku, mengangguk-angguk tiga belas kali barulah aku mau mengampuni nyawa tikusmu!”
Bukan main marahnya kakek kecil itu. Dia memang sudah mendengar akan perbuatan anak buahnya itu
dan dia sudah menghukum anak buahnya yang bersangkutan, yang dianggap melakukan perbuatan
lancang, berani mengganggu anggota Hek-eng-pang yang berarti mengganggu orang segolongan dan
mencari permusuhan. Akan tetapi, dua orang wanita Hek-eng-pang masih menghinanya dan menuntut
agar dia berlutut dan minta ampun. Ini benar-benar merupakan penghinaan yang luar biasa.
“Hek-eng-pangcu, sungguh engkau keterlaluan!” bentaknya dan joan-pian di tangannya sudah bergerak
cepat, mengeluarkan bunyi meledak dan menyambar ke arah kepala nenek itu.
“Plak-tak-tak-takkk!” Joan-pian itu tiga kali terpental oleh tangkisan ranting cemara yang kecil itu!
Huang-ho Locia terkejut bukan main. Hanya sebatang ranting kecil lemas, namun telah dapat membuat
joan-pian di tangannya terpental! Akan tetapi karena sudah tersudut, dia berlaku nekat. Sambil
mengeluarkan suara bentakan nyaring ia menubruk, mengirim serangan yang dahsyat.
“Trak-trak-desssss...!”
Cepat sekali gerakan ranting yang-liu di tangan nenek itu setelah menangkis dua kali, tangan kanannya
menghantam dengan jari terbuka dan tepat mengenai dada kakek kate itu sehingga kakek ketua bajak itu
terjengkang di atas papan perahu. Dia merasa dadanya panas sekali dan dari mulutnya tampak darah
segar mengalir melalui pinggir bibirnya.
“Hemmm, kami sudah membunuh delapan orang-orangmu, itu sudah cukup dan tepat untuk waktu empat
hari. Empat kali dua nyawa, karena itu kami tidak membunuhmu, hanya memberi pelajaran agar kelak
kalian tidak lancang berani mengganggu Hek-eng-pang. Nah, pergilah!” Kaki nenek itu menendang dan
tubuh kakek kate itu terlempar ke air!
Para anggota Hek-eng-pang yang kini sudah naik ke perahu setelah menghajar babak-belur ketujuh orang
pembantu Huangho Lo-cia, sekarang tertawa terkekeh-kekeh, mentertawakan kakek itu yang karena
terluka, dengan susah payah berenang ke tepi menyusul anak buahnya.
“Pangcu, di perahu itu terdapat seorang yang telah merobohkan banyak teman kita,” Kim-hi Niocu berkata
sambil jarinya menuding ke arah perahu Kian Lee yang kini sudah dikepung atau dihadang oleh tiga orang
perahu itu.
Tadi Kim-hi Nio-cu sendiri sudah meloncat ke perahu itu, tetapi ketika dia menyerang Kian Lee dengan
pedangnya, pemuda itu menangkis dengan dayung perahu dan sekali tangkis saja Kim-hi Niocu terkejut
dan jeri, maka begitu melihat ketuanya yang juga menjadi gurunya itu telah mengalahkan kepala bajak, dia
lalu melaporkan kepada nenek yang lihai itu.
“Ehhh...?!” Si nenek berseru dengan alis berkerut, kemudian kedua kakinya yang kecil mengenjot tubuhnya
dan mencelatlah tubuhnya itu ke atas perahu Kian Lee.
Ketika kedua kakinya turun ke atas papan perahu, sedikit pun tidak terjadi guncangan sehingga pemuda
Pulau Es ini maklum bahwa nenek itu memang memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan kepandaian para bajak dan para wanita Hek-eng-pang yang tadi menyerbu ke perahunya. Maka ia
bersikap waspada dan cepat bangkit berdiri ketika melihat nenek itu berdiri di perahunya, namun sikapnya
tetap tenang.
Ketika nenek itu melihat bahwa yang berada di perahu itu hanyalah seorang kakek nelayan, seorang
nelayan muda dan seorang wanita yang kelihatan ketakutan dan kini bersembunyi di dalam bilik perahu,
dunia-kangouw.blogspot.com
hanya si nelayan muda yang berdiri menghadapinya dengan sikap bodoh dan tenang, dia maklum bahwa
mereka ini bukanlah anggota bajak dan bahwa mungkin tadi perahu mereka ini dipakai oleh para bajak dan
mereka dipaksa oleh Huang-ho Lo-cia, Maka dia memandang rendah.
“Nelayan, apakah ini perahumu?” tanyanya dengan suara bernada halus karena melihat bahwa tiga orang
itu adalah orang-orang biasa saja.
“Benar,” jawab Kian Lee dan si nenek mulai merasa tidak senang akan sikap Kian Lee yang dianggapnya
terlalu tenang dan terlalu berani, tidak lekas-lekas berlutut dan minta ampun kepadanya.
“Kami bukan perampok atau pun bajak,” kata si nenek lagi, “Harap kau jangan khawatir. Akan tetapi kami
memerlukan perahumu ini karena perahu kami yang tiga buah itu terlalu kecil. Mari kau antarkan kami
sampai ke kaki Gunung Cemara, dan kami akan memberi upah selayaknya.”
Kian Lee maklum bahwa biar pun mereka ini bukan bajak, namun dibandingkan dengan para bajak tadi
mereka ini mungkin lebih berbahaya lagi! Maka dia menggeleng kepala dan berkata, “Satu kali saja kami
membawa orang-orang tadi dan kami sudah menemui kesukaran. Tidak, kami mau melanjutkan perjalanan
kami sendiri, harap kalian jangan mengganggu kami.”
Nenek itu memandang dan matanya berkilat. Belum pernah dia dibantah orang, apa lagi yang
membantahnya hanya seorang nelayan biasa saja! Akan tetapi untuk langsung turun tangan terhadap
seorang nelayan juga dia merasa enggan dan hal itu akan amat merendahkan dirinya.
“Jangan banyak membantah, orang muda. Aku melihat engkau seorang nelayan yang masih muda dan
baik. Kalau kau tidak mau mengantarkan kami, terpaksa aku akan memaksa kalian bertiga meninggalkan
perahu ini sekarang juga seperti yang telah dilakukan oleh para bajak tadi. Nah, pikir baik-baik. Bukankan
lebih baik mengantarkan kami dan menerima upah selayaknya?”
Akan tetapi Kian Lee, seorang pendekar yang tidak biasa mengalah dan merendahkan diri terhadap siapa
pun juga, yang tidak pernah merasa takut, saat itu lupa bahwa dia harus mengalah demi keselamatan Cui
Lan dan Gubernur Hok. Dia merasa betapa dia dipandang rendah sekali, maka dia tetap menggeleng
kepala.
Nenek itu mulai penasaran. “Kau tetap membantah? Kalau begitu, biarlah kau terjun ke air dan biar
nelayan tua itu yang mengantar kami!” Sambil berkata demikian tangannya bergerak mendorong ke arah
Kian Lee. Tentu saja dia tak menggunakan tenaga terlalu keras karena bukan maksudnya untuk melukai
seorang nelayan, hanya untuk menakut-nakutinya saja. Kalau nelayan itu sudah terlempar ke air, tentu
akan tobat dan akan suka mengantarkannya.
“Plak!” Kian Lee menangkis dan nenek itu terkejut bukan main.
Tangkisan itu membuat lengannya bergetar! Maklumlah dia mengapa tadi Kim-hi Niocu melaporkan bahwa
nelayan muda ini telah merobohkan beberapa orang anak buahnya. Kiranya ada ‘isinya’ juga pemuda ini,
pikirnya. Tetapi tetap saja dia memandang rendah dan mengira bahwa pemuda itu hanyalah seorang
nelayan yang pernah memperoleh bimbingan seorang ahli silat maka mempunyai sedikit kemampuan.
“Berani kamu melawanku? Nah, terimalah ini!”
Sekarang dia menyerang dengan tangan kanannya, mendorong ke arah dada Kian Lee, akan tetapi juga
hanya mengerahkan separuh tenaganya saja karena dia tetap belum berniat membunuhnya. Kian Lee
melihat serangan ini dan dia pun cepat mendorongkan tangannya memapaki.
“Desss...! Eihhhhh...!” Hek-eng-pangcu yang berjuluk Yang-liu Nionio itu menjerit kaget ketika dia
terhuyung ke belakang dan hanya dengan berjungkir-balik saja dia mampu menghindarkan tubuhnya
terjengkang.
Matanya terbelalak dan kemudian menyipit ketika dia memandang kepada Kian Lee penuh perhatian.
Mukanya menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Dia yang terkenal sekali dan ditakuti
banyak orang kang-ouw, yang tadi dengan amat mudahnya membuat kepala bajak Huangho Lo-cia yang
tersohor itu roboh dalam satu gebrakan saja, kini dibuat terhuyung oleh seorang nelayan muda!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan suara mendesis seperti seekor ular marah, nenek itu lalu membentak, “Bocah, kau sudah bosan
hidup!”
Kini dia menyerang benar-benar! Ranting yang-liu di tangannya, yang amat ampuh dan yang membuat dia
dijuluki Yang-liu Nionio kini bergerak, berubah menjadi sinar hijau menyambar ke arah kepala Kian Lee.
Pemuda itu segera mengelak, maklum bahwa meski pun hanya merupakan sebatang ranting yang-liu
namun kalau digerakkan dengan pengerahan sinkang yang kuat dapat menjadi senjata yang ampuh.
Lima kali berturut-turut sinar hijau itu terus menyambar-nyambar ke arah kepalanya dan selalu dapat
dielakkan dengan baik oleh Kian Lee. Mendadak tangan kanan nenek itu memukul dadanya dari depan,
sekali ini dengan pengerahan tenaga sepenuhnya oleh karena dia sekarang benar-benar ingin membunuh
pemuda yang telah membikin malu padanya, membuatnya terhuyung tadi. Kian Lee juga memapakinya
dengan tangan kiri, mengerahkan sinkang Swat-im Sin-kang yang amat dahsyat itu, tentu saja dengan
mengendalikan tenaganya karena dia pun tidak ingin membunuh orang.
“Desssss...!”
Kini tubuh nenek itu benar-benar terjengkang di atas papan perahu dan dengan mata terbelalak mulutnya
mendesis-desis dan tubuhnya menggigil karena dia diserang hawa dingin yang menusuk tulang. Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati Yang-liu Nionio. Dia memandang ke arah Kian Lee dengan mata
terbelalak.
“Sssss... siapa engkau...?” tanyanya karena kini dia sadar bahwa nelayan muda itu benar-benar seorang
yang amat hebat kepandaiannya, dan dia terheran-heran kenapa orang sehebat ini datang bersama
kawanan bajak tadi. Dia khawatir sekali kalau-kalau pemuda ini kawan dari bajak-bajak tadi dan tentu akan
membalas dendam.
“Aku? Aku adalah seorang nelayan, engkau sudah mengetahuinya, Toanio,” katanya.
Tiba-tiba Yang-liu Nionio memberi isyarat dengan tangannya dan Kim-hi Niocu segera mengeluarkan suara
melengking. Itulah isyarat untuk para anak buahnya dan dengan pimpinan dia sendiri, Kim-hi Niocu dan
anak buah atau pasukannya itu meloncat terjun ke air. Kian Lee terkejut ketika merasa betapa perahu yang
ditumpangi itu bergerak-gerak dan Cui Lan menjerit ngeri.
“He-heh-heh, orang muda yang aneh!” Hek-eng-pangcu berkata. “Bagaimana sekarang, apakah engkau
masih hendak berkeras dan tidak mau menyerah? Kalau begitu, kami akan menenggelamkan perahumu!”
Nenek itu meloncat ke perahunya sendiri.
“Tahan!” Kian Lee terpaksa berseru.
Dia sendiri tidak takut menghadapi mereka di air sekali pun. Akan tetapi Cui Lan dan Gubernur Hok tentu
akan celaka karena mereka tidak pandai berenang. Pula, kalau dia melindungi mereka berdua di air sambil
menghadapi pengeroyokan orang-orang Hek-eng-pang itu, rasanya berat juga dan amat membahayakan
keselamatan Cui Lan dan Hok-taijin.
“Baiklah, aku menyerah.”
“Suruh nelayan tua dan nona itu pindah ke perahu sini dulu!” Nenek yang cerdik itu membentak. Dia
memang sudah dapat menduga bahwa pemuda hebat itu hanya mau menyerah karena mengkhawatirkan
keselamatan dara muda dan kakek yang kelihatan lemah itu.
Kian Lee terpaksa mengangguk ke arah Cui Lan dan Hok-taijin karena di atas sungai itu tidak ada lain
jalan. Hanya menyerah sajalah yang paling aman. Mereka itu tentu tidak akan mengganggu Cui Lan dan
Hok-taijin selama dia tak melawan, karena yang mereka butuhkan hanya perahu itu saja.
Cui Lan dan Hok-taijin lalu meninggalkan perahu itu dan pindah ke perahu si nenek. Betapa pun juga, Cui
Lan bersikap tenang karena yang menawannya adalah wanita-wanita, bukan laki-laki kasar seperti para
bajak tadi. Empat orang anggota Hek-eng-pang, dipimpin oleh Kim-hi Niocu sendiri lalu berlompatan ke
atas perahu Kian Lee setelah melihat bahwa dua orang kawan pemuda itu berpindah perahu.
“Mari berangkat!” Nenek itu berseru dan bergeraklah empat buah perahu itu meluncur ke depan dengan
cepatnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kim-hi Niocu mendekati Kian Lee yang memegang kemudi perahu. Sambil tersenyum manis kepala
Pasukan Air yang cantik itu menatap wajah Kian Lee dengan penuh kagum. Seorang nelayan muda yang
demikian tampan dan gagah, memiliki kepandaian hebat sehingga mampu menandingi ketua atau gurunya,
benar-benar sukar ditemukan di dunia ini!
Melihat wanita cantik berusia tiga puluh tahun yang berpakaian serba hitam dan basah kuyup sehingga
pakaian itu melekat di tubuhnya memperlihatkan semua lekuk lengkung tubuh yang sedang masakmasaknya,
Kian Lee mengalihkan pandang matanya, tidak mau melihat bentuk tubuh yang agaknya
sengaja dipamerkan padanya itu. Melihat ini, Kim-hi Nio-cu tersenyum lebar, kemudian terkekeh geli
karena dia menganggap sikap Kian Lee itu sikap seorang muda yang masih hijau dan malu-malu. Padahal
pemuda itu sudah mempunyai isteri! Kemudian dia teringat bahwa isteri pemuda itu kini berada di perahu
lain, maka dia menganggap bahwa sikap Kian Lee itu tentu karena marah dan khawatir akan nasib
isterinya.
“Jangan kau khawatir, asal engkau tidak membangkang perintah Pangcu, isterimu itu tentu tidak akan
diganggu.”
“Isteri? Dia bukan isteriku,” jawab Kian Lee.
Karena Cui Lan tidak terancam seperti ketika para bajak laut tadi hendak kurang ajar, maka dia tidak perlu
lagi mengaku sebagai suami dara itu, pikirnya.
“Ahhh...!” Kim-hi Niocu berseru kaget dan girang. Jadi pemuda ini benar-benar masih perjaka, pikirnya
kagum.
“Dan kakek itu?”
Kian Lee teringat bahwa dua orang itu, terutama Hok-taijin, harus menyembunyikan keadaan dirinya, maka
dia menjawab cepat, “Dia adalah sahabatku, sedang gadis itu puterinya. Kami sedang mencari ikan ketika
bajak-bajak itu memaksa kami membawa mereka sampai bertemu dengan kalian.”
“Dan kau begitu gagah dan berkepandaian tinggi...!”
Kian Lee tersenyum mengejek. “Dan tidak berdaya karena kecurangan kalian!”
Kim-hi Niocu tertawa kecil, menutupi mulut dengan gaya genit. “Kami golongan wanita, selain
menggunakan ilmu silat juga harus menggunakan akal dan siasat menghadapi kaum pria. Hi-hi-hik. Ehh,
pemuda yang lihai, siapakah namamu?”
“Tidak perlu mengenal namaku, kuberitahu pun kau takkan mengenalku.”
“Wah-wah, tanpa nama bagaimana dapat menyebut dan memanggilmu?” Kim-hi Niocu tertawa genit
karena dia makin tertarik kepada pemuda yang aneh ini.
“Hemmm, engkau sebut saja aku si Nelayan,” kata Kian Lee yang memang tidak ingin memperkenalkan
namanya sembarangan saja.
“Ehh, Nelayan Muda, ya, kusebut kau Nelayan Muda, yang tampan dan gagah!”
Kian Lee merasa jemu dan membuang muka, selanjutnya tidak melayani lagi semua kata-kata Kim-hi
Niocu yang jelas amat tertarik kepadanya.
Pelayaran itu makan waktu cukup lama juga, sampai sehari semalam barulah si nenek memerintahkan
semua perahu ke pinggir. Selama itu, Kian Lee, Cui Lan dan Hok-taijin tidak mendapat gangguan, dan
diajak makan bersama dengan baik, hanya Kian Lee yang selalu diganggu oleh rayuan Kim-hi Niocu yang
sama sekali tidak dilayaninya dan karena wanita itu maklum akan kelihaian pemuda itu, maka dia pun
sama sekali tidak berani menggunakan paksaan.
Semua orang mendarat dan beberapa orang anggota Hek-eng-pang yang dipimpin oleh Kim-hi Niocu lalu
menodongkan pedang mereka ke punggung Cui Lan dan Hok-taijin. Karena ini maka Kian Lee tidak
berdaya sama sekali dan dia pun ikut mendarat, akan tetapi dia tetap bersikap tenang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Nenek itu sekarang menghadapinya, memandang dengan penuh perhatian, kemudian berkata, “Orang
muda, kami merasa kagum sekali padamu dan kami mengundangmu untuk datang berkunjung ke markas
kami di puncak Bukit Cemara.” Setelah berkata demikian, nenek itu membalikkan tubuhnya dan memberi
isyarat kepada anak buahnya untuk berangkat.
“Tapi, Pangcu...!” Kian Lee membantah.
Kim-hi Niocu mendorong Cui Lan dan Hok-taijin ke depan dan dari jauh dia berkata kepada Kian Lee,
“Nelayan Muda, tidak ada yang boleh membantah kehendak Pangcu, apa lagi beliau mengundangmu
secara baik-baik sebagai seorang tamu. Jangan sampai kami terpaksa harus menggunakan kekerasan
terhadap dua orang kawanmu ini.”
Karena Cui Lan dan Hok-taijin ditodong, maka terpaksa Kian Lee mengangguk dan mengikuti perjalanan
mereka. Dia maklum bahwa selama dia tidak membantah, tentu dua orang itu selamat dan karena
permintaan mereka itu pun bukan hal yang tidak patut, melainkan mengundangnya datang berkunjung, dia
pun tidak keberatan. Pula, dia pun ingin mengenal markas perkumpulan yang semua anggotanya terdiri
dari wanita-wanita yang memiliki kepandaian lumayan ini.
Belum jauh mereka berjalan, baru tiba di sekitar kaki bukit, mereka telah disambut oleh serombongan
wanita yang dipimpin oleh seorang wanita muda berpakaian serba hitam seperti Kim-hi Niocu, mukanya
putih dan manis dan rombongan ini segera memberi hormat kepada Hek-eng-pangcu dengan hormat.
Kiranya mereka itu adalah Pasukan Tanah yang dipimpin oleh Liong-li.
Tiba di lereng bukit mereka disambut oleh Pasukan Kayu dan Kian Lee merasa makin kagum. Kiranya
perkumpulan Hek-eng-pang itu sungguh pun merupakan perkumpulan kaum wanita, namun mempunyai
disiplin yang baik dan semua anggotanya kelihatan gagah dan patuh kepada pimpinan mereka.
Setelah mereka tiba di puncak di mana terdapat markas perkumpulan itu yang berupa sebuah
perkampungan yang dikelilingi tembok seperti benteng dan mereka memasuki pintu gerbang, Kian Lee
menjura ke arah nenek itu dan berkata, “Saya kira cukup sampai di sini saja dan harap Pangcu suka
membiarkan kami bertiga kembali ke perahu kami.”
Hek-eng-pangcu yang tadi merasakan kelihaian pemuda itu sudah merasa tertarik dan ingin sekali dia
mendapatkan seorang pembantu selihai itu, maka mendengar ucapan itu dia menjawab dengan suara
dingin. “Kami bermaksud baik, hendak menjamu Sicu sebagai seorang tamu yang terhormat. Bawa mereka
ke dalam!” perintahnya kepada Kim-hi Niocu yang segera menggiring Cui Lan dan Hok-taijin ke dalam,
tentu saja di bawah todongan pedangnya.
Cui Lan menoleh dan memandang ke arah Kian Lee dengan alis berkerut dan melihat pemuda itu seperti
orang marah. Dia khawatir kalau-kalau pemuda itu menjadi marah dan mengamuk, maka cepat
menggelengkan kepalanya dan tersenyum menenangkan hati Kian Lee. Kian Lee menarik napas panjang
dan diam-diam dia memuji Cui Lan yang dalam segala hal selalu bersikap tenang dan tidak putus harapan,
sama sekali tidak kelihatan khawatir.
Setelah dua orang itu ‘disimpan’, nenek itu sendiri kemudian mempersilakan Kian Lee memasuki ruangan
luas di sebuah gedung pusat di mana akan diadakan pesta untuk merayakan kemenangan mereka yang
berhasil membalas penghinaan yang ditimpakan kepada dua orang anggota mereka. Kian Lee dipersilakan
duduk di meja nenek itu sendiri dan tak lama kemudian hidangan-hidangan pun dikeluarkan.
“Saya harap Pangcu tidak melupakan dua orang kawan saya, karena kalau mereka itu sengsara,
bagaimana pun saya tidak suka makan minum,” kata Kian Lee.
“Hemmm, Sicu benar-benar seorang gagah perkasa yang tahu akan rasa setia kawan. Sungguh aku
merasa kagum sekali. Jangan Sicu khawatir, dua orang kawanmu itu tidak akan mengalami suatu
kesengsaraan apa pun dan mereka saat ini juga dijamu seperti Sicu, hanya tempatnya yang berbeda. Mari
minum untuk persahabatan kita, Sicu.”
Tiba-tiba seorang anggota Hek-eng-pang datang melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang hendak
bertemu dengan pangcu.
“Siapa dia? Liong-li, kau lihat siapa dia dan apa niatnya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Liong-li, kepala Pasukan Tanah yang hadir dalam pesta itu bersama keempat orang kepala pasukan
lainnya, cepat bangkit dan berjalan cepat keluar bersama anggota yang melaporkan itu dan tak lama
kemudian dengan wajah berubah lalu mendekati nenek itu dan berbisik, “Pangcu, dia... dia itu yang
datang... Si Jari Maut.“
“Ahhh...? Persilakan dia masuk!” katanya dengan wajah berubah.
Dia dahulu telah mendengar laporan Kim-hi Niocu dan Liong-li tentang seorang pemuda lihai bukan main
yang memesan kepada wanita itu agar mengatakan kepada ketuanya bahwa dia akan datang berkunjung
dan kalau si ketua bertanya disuruh mengatakan bahwa dia adalah seorang yang biasa membunuh dengan
jari tangan! Hek-eng-pangcu sudah mendengar bahwa orang muda selihai itu yang biasa membunuh
dengan jari tangan tentulah Si Jari Maut yang beberapa tahun yang lalu namanya menggetarkan dunia
kang-ouw. Kini ternyata pemuda itu benar-benar muncul! Padahal tadinya, diam-diam di dalam hatinya
timbul dugaan bahwa pemuda nelayan itulah Si Jari Maut karena menurut berita, Si Jari Maut itu yang
memiliki kesaktian hebat adalah seorang pemuda yang tampan. Sekarang kiranya bukan pemuda yang
duduk di depannya ini.
“Aku sudah di sini, Pangcu!” Tiba-tiba terdengar suara tenang, dingin dan tegas.
Kian Lee terkejut bukan main ketika dia menoleh dan melihat bahwa orang yang masuk itu bukan lain
adalah Ang Tek Hoat!
“Saudara Ang..., kau di sini...?”
Tentu saja Kian Lee menegur dengan perasaan ragu-ragu dan heran karena sepanjang pengetahuannya,
Ang Tek Hoat telah menjadi panglima di Bhutan, juga bahkan telah menjadi calon suami Puteri Syanti
Dewi. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tempat ini dan mengaku lagi julukannya yang telah lama
ditinggalkannya itu, julukan ketika Si Jari Maut ini masih menggunakan nama Gak Bun Beng, suheng-nya,
ketika pemuda ini memburuk-burukkan nama Gak Bun Beng dengan segala macam kejahatan karena
menganggap Gak Bun Beng seorang musuh besarnya? Dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali diceritakan
dengan jelas tentang peristiwa itu.
Pemuda itu memang Ang Tek Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia pernah bertemu dengan
Kim-hi Nio-cu dan Liong-li ketika ia menolong dua orang putera Jenderal Kao Liang yang terancam
keselamatannya oleh dua orang dari Huang-ho Kui-liong-pang, kemudian dia mengatakan kepada dua
orang kepala pasukan Hek-eng-pang itu bahwa dia akan mengunjungi ketua mereka. Ketika dia
memandang kepada pemuda yang menyebutnya pada she-nya itu segera dia mengenal putera Pulau Es
itu, putera Majikan Pulau Es!
Bahkan dia pun tahu bahwa Suma Kian Lee ini terhitung masih paman tirinya sendiri. Suma Kian Lee
adalah putera dari neneknya, Lulu dan Suma Han si Pendekar Super Sakti, sedangkan mendiang ayahnya
yang amat jahat itu, Wan Keng In, adalah putera Lulu bersama seorang she Wan. Akan tetapi, mengingat
akan pesan ibunya yang kini telah tewas dengan cara yang menyedihkan sekali, walau pun dahulu dia
tidak setuju dengan pesan ibunya, yaitu bahwa dia harus membalas dendam kepada keluarga Pulau Es,
kini melihat Suma Kian Lee dia teringat akan ibunya dan hatinya menjadi dingin terhadap keluarga yang
dibenci oleh ibunya itu. Dengan sikap dingin dan acuh tak acuh dia mengangguk kepada Kian Lee.
Tentu saja Kian Lee menjadi heran menyaksikan sikap Tek Hoat ini. Bukankah pemuda yang tadinya
tersesat itu kabarnya telah menjadi baik kembali? Bukankah pemuda itu sudah maklum bahwa dia masih
terhitung pamannya sendiri? Akan tetapi jelas bahwa sikap Tek Hoat seperti sikap seorang musuh! Ada
apa pula ini?
“Aihhh... Ji-wi (Anda Berdua) sudah saling mengenal?” Hek-eng-pangcu terkejut dan heran, memandang
kepada Kian Lee dengan kagum. Kiranya pemuda ini bukan orang sembarangan, bukan seorang nelayan
biasa melainkan seorang sahabat dari Si Jari Maut yang amat tersohor itu!
Tek Hoat tersenyum mengejek dan sambil memandang kepada Suma Kian Lee, dia berkata, “Siapa yang
tidak mengenal Suma Kian Lee, saudara dari Suma-kongcu yang merampas harta pusaka yang kalian caricari
itu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar ini, nenek itu dan semua anak buahnya berteriak kaget dan otomatis segera mereka bergerak
mengepung Kian Lee.
“Hemmm, bagus! Kiranya engkau adalah saudara dari Suma-kongcu yang mencuri harta keluarga Jenderal
Kao? Kiranya engkau memang sengaja hendak menyelidiki dan memata-matai kami? Hayo katakan di
mana harta itu. Kalau kau tidak mengaku, jangan harap akan dapat lolos dari tempat ini!” Yang-liu Nionio
mengangkat tangannya dan salah seorang anak buahnya melemparkan sebatang ranting pohon yang-liu
yang segar kepadanya.
Kian Lee memandang kepada Tek Hoat yang kini tersenyum-senyum dan duduk di atas sebuah kursi
sambil minum arak dan bersikap sebagai orang yang sedang menonton dan menikmati pertunjukan yang
menyenangkan hati. Bermacam perasaan mengaduk hati Kian Lee.
Pertama, dia ingat akan Cui Lan dan Hok-taijin yang masih terancam keselamatannya. Kedua, dia merasa
heran mendengar adiknya, Suma Kian Bu, merampok harta benda Jenderal Kao. Mungkinkah ini? Akan
tetapi kalau tidak, mengapa Jenderal Kao dan dua orang puteranya menyerang dia? Benarkah Kian Bu kini
telah tersesat dan menjadi seorang perampok? Ketiga, dia merasa gembira juga mendengar tentang
Suma-kongcu yang tentu saja Kian Bu adanya, kalau tidak siapa lagi? Berita itu menandakan bahwa Kian
Bu masih hidup dan berada di sekitar daerah ini. Keempat, dia juga heran dan tidak mengerti melihat sikap
Tek Hoat.
“Apakah artinya ini? Aku tidak tahu sama sekali tentang harta pusaka Jenderal Kao!” teriaknya penasaran
melihat dirinya dikepung oleh para anak buah Hek-eng-pang.
“Tidak perlu menyangkal lagi, orang muda. Engkau adalah saudara dari Suma-kongcu yang merampas
harta pusaka Jenderal Kao, tetapi engkau menyamar sebagai seorang nelayan miskin. Hal ini saja sudah
bisa membuktikan bahwa engkau sedang melakukan penyelidikan. Sekarang lekas mengaku, di mana
saudaramu itu menyembunyikan harta pusaka itu, kalau tidak, terpaksa kami akan menggunakan
kekerasan.”
Kian Lee menjadi marah. Apa pun yang dilakukan andai kata benar adiknya merampas harta pusaka
keluarga Jenderal Kao, tentu telah diperhitungkan oleh adiknya itu dan tentu ada alasannya yang kuat.
“Pangcu, kau hendak menggunakan kekerasan bagai mana? Silakan!”
Yang-liu Nionio memberi isyarat dengan ranting pohon yang-liu di tangan kirinya itu dan terdengarlah
teriakan nyaring dari mulut lima orang wanita cantik, yaitu Kim-hi Niocu, Liong-li dan tiga orang kepala
pasukan yang semua telah berkumpul di situ. Lima orang wanita cantik ini maju mengepung diiringi
pasukan masing-masing yang terdiri dari dua belas orang sehingga ketika itu ada enam puluh orang wanita
mengepung Kian Lee dari lima penjuru, semuanya memegang senjata!
“Hemmm, kalian sungguh nekad dan gila!” Kian Lee membentak. “Aku sungguh tidak tahu-menahu tentang
harta pusaka yang kalian maksudkan itu, akan tetapi kalau kalian memaksa dan hendak bertanding,
majulah!”
Kembali kelima orang wanita cantik itu kini bergerak secara teratur sekali, membentuk lingkaran dan
bergerak-geraklah lingkaran yang berlapis dua itu, yang sebelah dalam bergerak dari kanan ke kiri
sedangkan yang sebelah luar bergerak sebaliknya dari kiri ke kanan. Senjata mereka berbeda, yang depan
menggunakan golok dan pedang akan tetapi barisan lingkaran kedua menggunakan tombak dan senjata
bergagang panjang.
Yang-liu Nionio dan lima orang muridnya itu hanya berdiri di luar lingkaran, menonton dan mengatur
barisan. Ketika Kian Lee melirik, ia melihat Tek Hoat masih duduk minum arak sambil tersenyum-senyum
sehingga hatinya merasa mendongkol bukan main.
“Seranggggg...!” Terdengar teriakan nenek itu.
Lingkaran dalam itu segera menghentikan gerakannya memutari tubuh Kian Lee dan berkelebatanlah
pedang dan golok, menimbulkan sinar menyilaukan mata menyambar ke arah Kian Lee dari semua
jurusan! Pemuda ini tentu saja tidak dapat mengelak ke kanan atau kiri atau belakang karena senjatasenjata
itu datang dari semua jurusan. Namun dia menggunakan keringanan tubuhnya dan tiba-tiba tiga
puluh orang wanita dari barisan lingkaran pertama itu terkejut karena pemuda itu telah lenyap dari tengahtengah
mereka. Kiranya Kian Lee telah mencelat ke atas.
dunia-kangouw.blogspot.com
Nenek ketua Hek-eng-pang yang memimpin langsung penyerbuan itu berteriak lagi dan kini lingkaran
pertama mundur dan lingkaran kedua yang maju, menggunakan tombak mereka untuk menyambut tubuh
Kian Lee yang melayang turun!
Pemuda ini terpaksa menggerakkan kedua tangannya, didorongkan ke sekelilingnya dan lingkaran
pemegang tombak dan senjata panjang itu menjadi kalang kabut karena mereka terhuyung-huyung
sebelum senjata mereka sempat menyentuh tubuh pemuda itu sehingga Kian Lee dapat turun ke atas
lantai dengan selamat, akan tetapi kini dua barisan lingkaran itu telah mengepungnya lagi.
Wajah pemuda itu menjadi merah dan sinar matanya mulai bercahaya. Seperti juga adiknya, Suma Kian
Lee memiliki sepasang mata seperti mata ayahnya, Pendekar Super Sakti, yaitu tajam sekali sinarnya.
Hanya bedanya, kalau sinar mata Pendekar Super Sakti mengandung keanehan yang mukjijat, daya sihir
yang kuat dan berwibawa, mata dua orang puteranya itu hanya tajam saja, hanya membayangkan
kewajaran dan keberanian yang luar biasa.
“Kalian memaksa hendak menggunakan kekerasan? Baiklah!” Kata-katanya ini disusul dengan gerakan
tubuhnya.
Kedua tangannya mendorong ke sana-sini dan terdengarlah teriakan-teriakan dan jerit-jerit para wanita
yang mengepung itu karena enam puluh orang wanita itu seperti daun-daun kering diamuk badai,
terpelanting ke sana-sini, terhuyung dan ada yang langsung terjengkang roboh. Senjata mereka terpental
dan mencelat ke mana-mana sehingga menimbulkan suara gaduh ketika terbanting ke atas lantai.
Dalam waktu singkat saja Kian Lee telah membuat enam puluh orang anggota Hek-eng-pang itu mundur
ketakutan, barisan mereka telah rusak dan biar pun tidak ada di antara mereka yang tewas, namun
semuanya telah dibikin takut dan kaget oleh hawa pukulan yang menyambar dari kedua tangan pemuda
itu, hawa pukulan rasa panas yang luar biasa dan menakutkan. Memang tadi untuk membuyarkan
lingkaran yang dengan ketat mengurungnya, Kian Lee sudah menggunakan tenaga sakti Hwi-yang Sinkang
yang panas.
Tentu saja kelima orang kepala pasukan itu menjadi kaget setengah mati menyaksikan betapa enam puluh
orang anak buah mereka dibikin kocar-kacir semudah itu oleh Kian Lee. Mereka tahu bahwa pemuda itu
memang hebat, akan tetapi ketika guru mereka memberi isyarat, mereka berlima menemani guru mereka
mengurung Kian Lee.
Sekarang pemuda itu dikurung oleh enam orang, yaitu Nenek Yang-liu Nionio ketua Hek-eng-pang dan
lima orang muridnya yang masing-masing menjadi kepala pasukan di perkumpulan itu. Jumlah murid
langsung dari nenek ini hanya ada belasan orang saja dan yang lima ini merupakan murid-murid utama,
maka tentu saja mereka berlima telah memiliki kepandaian yang lumayan. Kalau kelima orang muridnya itu
masing-masing memegang senjata tajam seperti siang-kiam, golok, pedang dan lain-lain, adalah Si nenek
itu sendiri hanya membawa sebatang ranting yang-liu tadi karena memang itulah senjatanya yang paling
ampuh, di samping pukulan atau cengkeraman tangannya yang terkenal yaitu Hek-eng-jiauw-kang atau
Cengkeraman Kuku Garuda Hitam yang mengandung racun berbahaya.
“Bentuk barisan mengepung! Jaga dua orang itu agar jangan lolos!” Tiba-tiba nenek itu berseru kepada
semua anak buahnya yang kocar-kocir tadi.
Biar pun takut-takut, enam puluh orang itu sudah berkumpul dan membentuk lingkaran lebar mengurung
ruangan itu. Beberapa orang murid ketua itu sendiri yang memimpin penjagaan terhadap Cui Lan dan Hoktaijin
agar supaya tidak kabur dan menodongkan senjata mereka kepada dua orang tawanan ini.
“Hek-eng-pangcu, engkau sungguh keterlaluan!” Tiba-tiba Kian Lee membentak dan tubuhnya sudah
bergerak menyerang ke depan.
Yang-liu Nionio lalu menggerakkan rantingnya dan kelima orang muridnya juga sudah menubruk dengan
serangan dalam berbagai gaya. Kian Lee menggerakkan tubuhnya, mengelak, menangkis kemudian balas
menyerang dengan hebatnya sehingga terjadilah pertandingan yang amat seru dan ramai.
Kalau saja Kian Lee bermaksud membunuh mereka berenam, tentu saja dia tidak akan membutuhkan
terlalu banyak waktu. Namun pemuda ini tidak suka membunuh, maka ia hanya mempertahankan diri,
kemudian kalau dia membalas, itu pun dilakukan dengan hati-hati agar jangan sampai membunuh orang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Lee adalah seorang pemuda yang selalu berhati-hati dan sikapnya bijaksana. Dalam keadaan marah
sekali pun dia tetap tenang dan waspada, tidak mau diseret oleh arus kemarahannya dan ia masih sadar
bahwa para murid Yang-liu Nionio ini hanyalah mentaati perintah guru mereka, maka dia pun bersikap
lunak terhadap mereka. Yang diincarnya adalah Yang-liu Nionio, maka ketika dia memperoleh kesempatan
baik, saat nenek itu menggerakkan ranting untuk melecutnya, dia tidak menangkis, membiarkan ranting itu
melecut lehernya, dan dengan pengerahan tenaganya dia lalu menangkis cengkeraman tangan nenek itu
yang ditujukan ke arah lambungnya.
“Plakkk! Aughhhhh...!”
Nenek itu melompat jauh ke belakang sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kirinya, mengaduhaduh
karena biar pun tulang lengannya tidak patah, namun hawa dingin yang menusuk tulang menjalar dari
lengan itu sampai masuk ke dalam dadanya! Kemudian nenek itu lari keluar dari kepungan anak buahnya,
menghampiri Tek Hoat yang masih menonton dengan sikap acuh tak acuh.
“Mengapa Sicu diam saja? Bantulah kami! Bukankah Sicu datang sebagai tamu kami?” katanya.
Tek Hoat tersenyum dan memandang ke arah Kian Lee yang masih dikepung anak buah Hek-eng-pang itu,
kemudian menghadapi nenek itu. “Aku sanggup mengalahkan dia dan membantumu, akan tetapi aku tidak
pernah membantu orang-orang seperti engkau tanpa imbalan.”
“Apa imbalannya? Katakan!” Nenek itu mendesak karena melihat betapa anak buahnya kini telah mulai
terlempar ke sana-sini oleh amukan Kian Lee.
“Kalian harus membantuku menyerbu Liong-sim-pang “
“Apa? Liong-sim-pang di puncak Naga Api?” Nenek itu terbelalak dan kelihatan khawatir sekali.
Siapa yang tidak mengenal nama Hwa-i-kongcu, ketua perkumpulan Liong-sim-pang yang amat lihai dan
memiliki banyak anak buah dan memiliki tempat yang juga amat kuat seperti benteng istana itu?
“Aku hendak membebaskan seseorang yang tertawan di sana. Bagaimana, mau atau tidak?” Tek Hoat
bertanya, sambil tetap tersenyum.
Terdengar suara menjerit dan tubuh Kim-hi Niocu yang terlempar itu jatuh berdebuk di depan kaki Yang-liu
Nionio.
“Pangcu... aduhhhh... kami tidak kuat menghadapinya,“ Kim-hi Niocu mengeluh sambil mengelus
pinggulnya yang tadi terkena ditendang kaki Kian Lee.
“Baiklah, kami menerima syaratmu, orang muda. Nah, kau robohkan dia dan kami akan membantumu
menyerbu Liong-sim-pang!” Akhirnya nenek itu berkata dengan cepat.
“Mundurlah kalian semua!” Tiba-tiba Tek Hoat membentak dengan suara mengandung getaran khikang
kuat sehingga biar pun yang memerintah mereka ini bukan ketua atau kepala mereka, melainkan seorang
pemuda yang belum mereka kenal, akan tetapi bentakan Tek Hoat itu membuat mereka semua mundur,
apa lagi karena memang mereka telah merasa jeri sekali terhadap Kian Lee.
Dua orang pemuda itu sekarang berdiri saling berhadapan. Keduanya sama tampan dan sama gagahnya,
dan mereka kini bukan lagi pemuda lima tahun yang lalu. Ang Tek Hoat telah berusia dua puluh tiga tahun,
dan Suma Kian Lee sudah berusia hampir dua puluh dua tahun. Mereka telah menjadi seorang laki-laki,
seorang yang sudah dewasa dan matang, bukan lagi seorang pemuda remaja seperti ketika mereka
pernah saling bertemu empat lima tahun yang lalu.
Keadaan menjadi penuh ketegangan dan ini dirasakan oleh Yang-liu Nionio dan semua murid dan anak
buah mereka yang kini menjadi penonton, tidak bergerak. Bahkan mereka yang ditugaskan menjaga Cui
Lan dan Hok-taijin, kini juga membawa dua orang tawanannya itu keluar di bawah todongan senjata, untuk
menyaksikan pertandingan yang tentu akan terjadi hebat sekali antara Si Jari Maut yang nama besarnya
telah mereka dengar melawan pemuda nelayan yang ternyata adalah saudara dari Suma-kongcu yang
mereka cari-cari itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ang Tek Hoat, apa artinya ini? Benarkah engkau hendak membantu kaum sesat ini untuk menentang aku?
Ketahuilah bahwa aku melindungi dua orang yang tidak berdosa itu!” Dia menunjuk ke arah Cui Lan dan
Hok-taijin yang berdiri di sudut ruangan dengan pedang ditodongkan di punggung mereka.
Cui Lan memandang dengan penuh perhatian. Wajahnya yang cantik membayangkan kekhawatiran ketika
dia memandang Kian Lee.
“Suma Kian Lee, dahulu kita bukan sahabat, sekarang bukan pula teman! Aku tidak membantu siapa-siapa
melainkan saling menukar jasa. Kalau kau enggan bertanding melawan aku, penuhilah permintaan Hekeng-
pangcu.”
“Ang Tek Hoat, tidak kusangka engkau ternyata sama sekali tidak berubah sejak dulu! Engkau tidak juga
bertobat dan kembali menjadi orang baik-baik!” Kian Lee menegur dengan suara penuh penyesalan karena
betapa pun juga, pemuda di depannya ini adalah cucu kandung ibunya sendiri!
Tek Hoat tertawa, tertawa yang pahit sekali karena matanya tidak ikut tertawa bahkan mulutnya
menyeringai seperti orang menderita nyeri. “Ha-ha-ha, memang aku bukan orang baik-baik, tidak seperti
keluarga Pulau Es yang bersih dan terhormat! Dan aku pun tidak ingin menjadi orang baik-baik yang
sombong seperti keluarga Pulau Es! Tak perlu banyak cakap, Suma Kian Lee, kau menyerah dan
memenuhi permintaan ketua Hek-eng-pangcu atau harus melawan aku.”
“Hemmm, kau tentu mengira aku takut padamu! Majulah!” Kian Lee menantang, sedikit pun tidak merasa
takut. Empat lima tahun yang lalu, memang Tek Hoat merupakan seorang tandingan yang lihai bukan
main. Akan tetapi selama lima tahun ini dia telah melatih diri di bawah bimbingan ayahnya di Pulau Es dan
telah memperoleh kemajuan pesat sekali.
“Kalau begitu terpaksa aku merobohkan engkau!” Tek Hoat berkata dan sebelum kata terakhir habis
diucapkan, tangannya sudah menyambar dan sebuah tamparan yang seperti kilat cepatnya menyambar ke
arah kepala Kian Lee.
“Plak-plak-plak-plakkkkk!”
Empat kali Tek Hoat menyerang dan empat kali pula ditangkis oleh Kian Lee. Keduanya merasa betapa
lengan lawan mengandung tenaga yang amat kuat, akan tetapi yang terkejut sekali adalah Tek Hoat. Dia
maklum akan kelihaian putera Pulau Es ini, maka tadi serangannya sudah dilakukan dengan sepenuh
tenaganya, dengan tenaga yang dinamakan tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Butek
Siauw-jin datuk kedua dari Pulau Neraka. Namun, tangkisan Kian Lee mnembuat tenaga mukjijat itu
buyar dan dia merasakan hawa dingin menghantamnya, membuatnya tergetar dan terguncang!
Akan tetapi, Tek Hoat dapat cepat mengusir hawa dingin itu dan sekarang dia telah menerjang dengan
hebat dan dahsyat, mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang dahulu dipelajarinya dari kitab peninggalan
Cui-beng Koai-ong, datuk pertama dari Pulau Neraka dan Bu-tek Siauw-jin. Dia menyerang dan memang
pemuda ini memiliki watak yang ganas, maka serangan-serangannya itu pun bukan hanya sekedar untuk
mengalahkan lawan, melainkan mengandung cengkeraman maut untuk membunuh!
Menyaksikan keganasan sepak terjang Ang Tek Hoat, diam-diam Kian Lee mengeluh. Pemuda ini benarbenar
telah tersesat dan seperti seekor harimau yang haus darah, pikirnya. Tentu saja dia tidak mau
melayani nafsu membunuh Tek Hoat ini dan dia lebih banyak melindungi dirinya dengan menangkis atau
mengelak, hanya kadang-kadang membalas dengan serangan yang hebat pula, tetapi serangannya selalu
diperhitungkan agar jangan sampai membunuh orang. Dia tidak suka membunuh orang, apa lagi Ang Tek
Hoat cucu ibu kandungnya sendiri, keponakannya sendiri. Dia ingin mengalahkan Tek Hoat tanpa
membunuhnya. Dan inilah sebabnya mengapa pertandingan itu menjadi ramai dan seimbang.
Kalau dibuat perbandingan, kedua orang pemuda ini sama-sama mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dan
tinggi, sukar dicari bandingnya di dunia ini. Hanya bedanya, sejak kecil Suma Kian Lee dibimbing oleh
Pendekar Super Sakti, ayahnya sendiri, maka tentu saja ilmunya lebih matang dan murni, tidak seperti Ang
Tek Hoat yang biar pun menemukan kitab-kitab yang mengandung ilmu-ilmu tinggi, namun dipelajarinya
sendiri tanpa bimbingan langsung orang pandai, maka ilmunya tidak lagi murni tapi bercampur dengan
ilmu-ilmu lain pernah di pelajarinya sebelum dia memperoleh kitab-kitab peninggalan dua orang datuk
Pulau Neraka itu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali).
dunia-kangouw.blogspot.com
Maka, dalam kematangan ilmu, Kian Lee masih lebih menang setingkat. Akan tetapi kemenangan setingkat
ini tidak banyak artinya karena Kian Lee tidak mau melakukan serangan yang mematikan, sedangkan Tek
Hoat yang maklum akan kehebatan lawan telah bertanding dengan nekat. Baginya kali ini bukanlah
merupakan pertandingan adu kepandaian, melainkan suatu perkelahian mengadu nyawa. Inilah yang
membuat Kian Lee kehilangan kemenangan tingkatnya dan pertandingan itu berjalan seimbang dan amat
hebatnya.
Angin pukulan yang didorong oleh tenaga sakti mereka terdengar bersuitan dan terasa oleh para anggota
Hek-eng-pang yang berdiri jauh, membuat pakaian mereka berkibar dan kulit mereka nyeri, kadang-kadang
terasa dingin sekali dan kadang-kadang juga terasa panas sekali. Hawa dingin dan panas ini timbul dari
dua macam sinkang yang dipergunakan, yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang. Menghadapi dua
macam sinkang yang saling bertentangan ini, diam-diam Tek Hoat mengakui bahwa dalam hal kekuatan
sinkang, dia benar-benar kewalahan menghadapi lawannya. Dan hal ini bukan karena kalah tekun berlatih,
melainkan selain kalah bimbingan juga kalah murni.
Tek Hoat mengandalkan ilmu silatnya yang aneh, yang didapat dari peninggalan kitab kedua orang datuk
Pulau Neraka. Mendadak dia berseru keras, suaranya melengking nyaring sekali sehingga ada empat
orang wanita anggota Hek-eng-pang yang kurang jauh berdirinya roboh terjungkal dan pingsan karena
jantung mereka tergetar! Tubrukan Tek Hoat ini merupakan jurus serangan yang amat dahsyat. Mula-mula
tangan kirinya yang menyambar ubun-ubun lawan dengan membentuk cakar, akan tetapi dalam detik
selanjutnya, tangan kanannya mencuat dari bawah lengan kiri itu menyambar ke arah ulu hati lawan
dengan totokan dua jari tangan. Keduanya adalah serangan maut yang dilakukan hampir bersamaan
waktunya.
Kian Lee menghadapi cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala itu dengan miringkan tubuh atas yang agak
ditarik ke belakang, tangan kanannya menangkis, lalu melihat tangan kanan lawan menotok ke arah ulu
hatinya, dia cepat pula meloncat ke samping sambil menangkis dengan tangan kirinya.
“Hyaaattttt...!”
Tiba-tiba tubuh Tek Hoat meluncur dengan kaki kanannya, melakukan tendangan maut ke arah leher
lawan. Tendangan ini sangat cepat dan kuat sekali datangnya, tubuhnya mencelat ke udara dan dari atas
kakinya meluncur ke arah lawan.
“Haaaiiiiittttt...!” Kian Lee juga berteriak dan tubuhnya mencelat pula ke atas memapaki.
“Desssss...!”
Dua pasang kaki yang sama kuatnya bertemu di udara dan keduanya terlempar ke atas lantai lagi. Kian
Lee berjungkir balik tiga kali dan Tek Hoat agak terhuyung, mukanya berubah pucat. Diam-diam Tek Hoat
merasa menyesal mengapa dia tidak mempunyai lagi pedangnya yang diandalkannya, yaitu Cui-bengkiam.
Kalau dia masih mempunyai pedang yang dulu terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka
itu, tentu dia dapat mempergunakan pedangnya itu menghadapi Kian Lee yang begini lihai.
Pertandingan dilanjutkan, akan tetapi tetap saja mereka berimbang karena Kian Lee tetap tidak mau
menggunakan tenaga sepenuhnya atau pukulan yang mematikan. Hal inilah yang membuat panas hati Tek
Hoat. Dia tahu bahwa pemuda Pulau Es itu tidak mengerahkan seluruh tenaga, bahkan beberapa kali
terasa olehnya Kian Lee sengaja mengurangi kecepatan dan tenaganya. Dia pun merasa penasaran dan
marah sekali, karena dia merasa seperti dipandang ringan!
Saking marahnya, Tek Hoat lalu mengambil keputusan untuk mengadu nyawa! Mereka telah bertanding
lebih dari seratus jurus tanpa ada yang kalah, dan mata nenek ketua Hek-eng-pang sendiri sampai silau
menyaksikan pertandingan itu dan merasa bahwa sebenarnya tingkat kepandaiannya kalah jauh oleh dua
orang pemuda perkasa itu.
“Suma Kian Lee manusia sombong! Bersiaplah untuk mampus!” teriak Tek Hoat dan dia menyerang makin
ganas.
Melihat serangan ini, Kian Lee cepat-cepat menghindarkan diri dengan mengelak dan menangkis,
kemudian untuk menahan serbuan lawan, dia membalas dengan pukulan ke arah dada Tek Hoat. Dia
maklum dan yakin bahwa pukulan ini tentu membuat Tek Hoat mengelak atau menangkis sehingga dia
akan dapat membalas dengan desakan pukulan-pukulan berantai.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Tek Hoat tidak mengelak mau pun menangkis, melainkan menerima
begitu saja pukulannya itu, akan tetapi pada saat yang sama, kedua tangan Tek Hoat memukul ke arah
paha dan lehernya.
Suma Kian Lee yang terkejut itu mengeluarkan bunyi melengking yang amat nyaring, membuat lima orang
anggota Hek-eng-pang kembali terjungkal pingsan. Maklum bahwa tidak mungkin dia menghindarkan diri
dari dua pukulan sekaligus karena tangan kirinya sedang memukul dada Tek Hoat, Kian Lee
menggerakkan tangan kanan menangkis pukulan ke arah lehernya yang lebih berbahaya dan terpaksa
membiarkan pahanya terpukul.
“Plakkk! Desssss...!”
Dada Tek Hoat terkena dorongan tangan Kian Lee dan pada saat yang sama, paha Kian Lee terkena
pukulan keras dari tangan kanan Tek Hoat. Akibatnya, Tek Hoat terlempar ke belakang sampai tiga meter
jauhnya dan dia terhuyung-huyung sedangkan Kian Lee roboh pingsan karena kakinya di bagian paha
terkena pukulan beracun. Pukulan ini hebat sekali karena merupakan pukulan jari tangan Tek Hoat yang
biasanya membunuh orang sehingga dia dijuluki Si Jari Maut, yaitu pukulan yang disebut Toat-beng-ci (Jari
Pencabut Nyawa). Paha itu menjadi biru dan hawa pukulan berancun menyerang ke atas, membuat putera
Pulau Es itu roboh pingsan.
Tek Hoat memejamkan mata dan mengatur pernapasannya. Kalau saja tadi Kian Lee tidak mengurangi
tenaganya, tentu sudah putus nyawanya! Dia tahu akan hal ini dan menarik napas panjang, lalu menyusut
darah yang menetes dari ujung bibirnya.
“Kongcu...!” Cui Lan yang ditodong pedang itu tidak peduli dan dia sudah lari menubruk tubuh Kian Lee
yang disangkanya mati, berlutut sambil menangis. Kemudian, melihat Nenek Yang-liu Nionio dan Tek Hoat
menghampiri, dia lalu bangkit berdiri dan dengan air mata bercucuran, dia menudingkan telunjuknya ke
arah muka Tek Hoat.
“Engkau... pemuda tiada guna! Engkau hanya menjadi tukang pukul orang! Sungguh malu hidup seperti
engkau, pemuda yang tampan dan gagah namun di dalamnya jahat seperti sebutir buah yang berulat! Dan
kau...” Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Yang-liu Nionio, “Kau seorang wanita yang berhati
busuk, dan engkau pengecut besar yang harus merasa malu karena beraninya hanya mengandalkan
pengeroyokan saja!”
“Diam, bocah lancang mulut!” Seorang anak buah Hek-eng-pang yang tadi bertugas menjaga Cui Lan kini
sudah mengejar dan tangannya diayun keras.
“Plakkk!” Pipi kiri Cui Lan kena ditampar.
Kulit pipi yang halus putih itu menjadi merah sekali dan dara itu terhuyung ke belakang, akan tetapi bibirnya
tersenyum mengejek dan dengan keberanian luar biasa dara ini memandang mereka semua sambil
berkata, “Kalian boleh membunuh aku dan aku akan mati sebagai seorang terhormat, tidak seperti kalian
yang akan hidup sebagai manusia-manusia hina dan kotor!”
“Bangsat, tutup mulutmu!” Anggota Hek-eng-pang itu menjadi makin marah dan kini dia mengayun tangan,
tidak menampar seperti tadi melainkan memukul ke arah mulut Cui Lan dengan kuat.
“Krekkk... aduuuhhhhh...!”
Anggota Hek-eng-pang yang memukul itu menjerit dan memegangi tangan kanannya yang patah tulangnya
ketika bertemu tadi dengan tangkisan tangan Tek Hoat!
“Hemmm, apa artinya ini?” Yang-liu Nionio menegur dengan alis berkerut, memandang pada Tek Hoat
dengan heran dan penasaran. “Dia memaki-maki kita, sudah sepatutnya dihajar!”
“Siapa yang memaki? Apa yang di katakannya itu benar belaka, kenapa kita mesti marah? Pangcu, janji
kita hanya aku merobohkan Suma Kian Lee dan dia sudah roboh, aku tidak suka ditambah dengan
penyiksaan atau pembunuhan orang! Dan sekarang juga engkau harus mengerahkan orang-orangmu
untuk ikut dan membantuku.” Di dalam suara Tek Hoat terkandung perintah yang mengancam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Nenek itu menelan kembali kemarahannya dan memberi isyarat kepada Kim-hi Niocu. “Kau bawa mereka
bertiga ke tempat tahanan. Pisahkan mereka dan pergunakan yang dua itu sebagai sandera agar pemuda
ini tidak sampai lari.” Kemudian setelah Kian Lee yang masih pingsan itu digotong pergi, Cui Lan dan Hoktaijin
digiring meninggalkan ruangan itu.
Hek-eng-pangcu kemudian mengumpulkan orang-orangnya dan akhirnya memilih tiga pasukan. Pasukan
Tanah yang dipimpin oleh Liong-li, Pasukan Kayu dan Pasukan Api, semua berjumlah tiga puluh enam
orang ditambah ketiga orang kepala pasukan lainnya, mengiringkan dia sendiri dan Tek Hoat
meninggalkan puncak Bukit Cemara.
Kiranya Ang Tek Hoat telah mendengar, bahkan sudah menerima undangan, bahwa Hwa-i-kongcu Tang
Hun, ketua dari Liong-sim-pang di puncak Naga Api, Pegunungan Lu-Iiang-san di dekat belokan Sungai
Huang-ho, akan menikah dan calon isterinya itu adalah seorang puteri dari Bhutan yang amat cantik jelita!
Mendengar ini, jantung Tek Hoat berdebar keras, timbul kekhawatirannya karena dia menduga keras
bahwa Puteri Bhutan yang cantik jelita itu sudah pasti adalah Syanti Dewi. Kalau tidak, siapa lagi?
Memang banyak wanita muda, puteri-puteri Bhutan yang cantik jelita, akan tetapi puteri-puteri itu tidak akan
meninggalkan istana Bhutan. Kemungkinan satu-satunya hanyalah Syanti Dewi yang entah mengapa dan
bagaimana telah dapat sampai di tempat itu dan agaknya ditawan Liong-sim-pang.
Tek Hoat maklum akan kekuatan Liong-sim-pang, dan kalau hanya sendirian saja tidak mungkin dia akan
dapat menolong Puteri Bhutan itu, maka dia lalu mengundang ketua Hek-eng-pang dengan maksud untuk
minta ‘bantuan’ mereka. Kebetulan sekali dia melihat Suma Kian Lee dan ketika ketua Hek-eng-pang dan
anak buahnya tidak mampu mengalahkan Kian Lee, timbul akalnya untuk memaksa mereka membantunya.
Akan tetapi sungguh tidak disangkanya, melawan Kian Lee hampir saja dia celaka dan biar pun akhirnya
dia bisa merobohkan putera Pulau Es itu, dia sendiri juga menderita luka yang cukup parah dan dalam
keadaan seperti itu, tentu saja amat berbahaya kalau dia bertemu dengan lawan tangguh. Untungnya dia
kini dibantu oleh pasukan-pasukan Hek-eng-pang dan ketua mereka…..
********************
Seluruh perkampungan Liong-sim-pang dihias dengan meriah, mulai dari pintu gerbang tembok yang
seperti benteng itu, sampai menara yang berdiri di luar tembok sebagai tempat jaga, juga sampai di
sepanjang saluran air yang mengelilingi tembok benteng. Suasana perkampungan Liong-sim-pang yang
seperti benteng dan biasanya muram dan menyeramkan itu kini nampak meriah, tanda bahwa orang-orang
yang menjadi penghuni sedang bersenang-senang dan bersuka-ria. Dan memang hari itu merupakan hari
gembira, untuk menyambut para tamu karena malam itu merupakan malam ‘midodareni’, yaitu menyambut
hari pernikahan sang ketua Liong-sim-pang yang akan dilangsungkan besok pagi.
Sejak pagi hari dari tadi para tamu sudah membanjiri tempat itu dan mereka itu harus melalui satu-satunya
jembatan yang menuju ke pintu gerbang tembok benteng karena jalan lain tidak ada lagi untuk memasuki
benteng perkampungan Liong-sim-pang yang dikelilingi saluran air lebar itu. Para penjaga dengan ketat
melakukan penjagaan dan pengawasan di pintu gerbang sehingga tidak ada orang luar dapat
menyelundup masuk dan para tamu itu membawa undangan sebagai tanda pengenal.
Menjelang senja rombongan pemain opera yang memang dipesan oleh Liong-sim-pang menyeberang
jembatan itu menuju ke pintu gerbang. Mereka terdiri dari tujuh orang wanita dan belasan orang pria,
sebagian pemain dan ada pula yang sebagai penabuh musik. Para penjaga yang memeriksa semua orang
yang masuk memperhatikan para pemain opera ini dengan sikap ceriwis, cengar-cengir dan tersenyumsenyum
penuh aksi karena tujuh orang wanita anggota rombohgan itu memang cantik-cantik. Terutama
sekali seorang di antara mereka, yang termuda dan memakai pakaian berwarna ungu, bukan main
cantiknya!
Cantik jelita dan manis sekali, dengan gayanya yang manja dan memikat, lenggangnya yang berliak-liuk
seperti lemasnya batang pohon yang-liu sedang tertiup angin. Kedua lengannya yang agak melengkung
seperti gendewa itu bergerak seperti orang menari kalau dia melenggang, dan senyumnya yang manis
membuat semua penjaga mabuk kepayang itu tak pernah meninggalkan belahan bibir yang membuat
orang ingin menjadi buah anggur agar dikecup oleh bibir itu!
Gerak-gerik dara muda yang jelita ini membuat para penjaga ingin sekali mencubitnya, memeluknya,
pendeknya saking tertariknya membuat mereka menjadi gemas, seperti kalau kita melihat seorang anak
dunia-kangouw.blogspot.com
kecil yang genit dan montok bersih. Saking tidak dapat menahan gairahnya melihat gerak-gerik dara jelita
ini, seorang di antara para penjaga itu sambil berpura-pura memeriksa bawaan mereka, menggerakkan
tangannya ingin meraba pinggul yang penuh itu. Akan tetapi... tangannya hanya meraba angin karena
secara cepat sekali gadis itu menggerakkan pinggulnya mengelak. Si penjaga menjadi makin penasaran,
kini terang-terangan dia mengulur tangannya meraba ke arah dada. Kembali gadis itu miringkan tubuh dan
rabaan itu pun mengenai tempat kosong. Melihat ini, teman-temannya mentertawakan.
“Ha-ha, si A-kiong menangkap katak akan tetapi luput!”
A-kiong makin penasaran dan dia hendak merangkul.
“Jangan kurang ajar kalian!” Tiba-tiba gadis itu membentak, suaranya halus akan tetapi nyaring dan
mulutnya masih tersenyum, akan tetapi anehnya, semua penjaga termasuk komandannya menjadi gemetar
ketakutan seakah-olah mereka itu dimarahi seorang jenderal! Dengan muka pucat ketakutan komandan itu
lalu memberi isyarat agar rombongan penari dan pemain opera itu cepat-cepat masuk.
Setelah rombongan itu masuk, si komandan dan anak buahnya saling pandang dengan heran dan
bengong. Tidak mengerti mengapa mereka tadi begitu ketakutan mendengar bentakan si dara jelita tadi,
yang memiliki wibawa luar biasa sekali dan bentakan tadi mengguncangkan jantung mereka menimbulkan
rasa takut yang hebat.
“Ihhhh... seperti siluman saja...!” seorang akhirnya berkata dan mendengar ini, semua orang bergidik.
Memang mereka semua pernah mendengar bahwa siluman selalu mengubah diri menjadi seorang dara
cantik sekali untuk memikat pria yang kemudian akan dlhisap darahnya sampai habis!
“Hihhh... jangan-jangan benar siluman...“
Pada saat mereka dicekam perasaan yang menyeramkan karena memang hari telah mulai menjadi gelap.
Untunglah datang serombongan wanita lain yang membuyarkan keseraman itu. Rombongan wanita ini
dipimpin oieh seorang wanita yang cantik, dan anggota rombongan yang jumlahnya dua puluh empat orang
itu pun terdiri dari wanita-wanita yang cantik. Pimpinan rombongan itu, yang usianya sekitar tiga puluh
tahun memperlihatkan sehelai surat undangan dan sesampul surat yang ditujukan kepada Hwa-i-kongcu
Tang Hun.
“Kami adalah utusan dari sahabat Tang-kongcu, yaitu Si Jari Maut,” berkata pemimpin rombongan itu.
Melihat kartu undangan itu, para penjaga tentu saja menaruh kepercayaan, apa lagi mendengar nama
orang yang mengutus mereka, Si Jari Maut, cepat-cepat mereka mempersilakan semua wanita itu masuk
tanpa ada yang berani bersikap kurang ajar. Rombongan ini bukan lain adalah para anggota Hek-eng-pang
yang menyamar, dipimpin oleh Liong-li, kepala Pasukan Tanah dan membawa surat Ang Tek Hoat untuk
Hwai-kongcu.
Setelah rombongan pemain opera diterima sendiri oleh Hwa-i-kongcu dan diantar oleh para pelayan untuk
berhias dan bersiap-siap untuk mulai pertunjukan mereka malam nanti, kini rombongan wanita itu pun
diterima oleh Hwa-i-kongcu sendiri. Liong-li yang sudah berhias sebagai seorang pelayan yang cantik,
berlutut dan menghaturkan selamat, serta menyerahkan surat dari Ang Tek Hoat.
“Aihhh, dari Si Jari Maut?” Hwa-i-kongcu berseru bangga. “Mengapa beliau tidak muncul sendiri?”
Sudah lama dia mendengar nama Si Jari Maut dan mengaguminya, tetapi belum pernah bertemu dengan
orangnya. Surat itu segera dibukanya dan dengan wajah berseri dia membaca bahwa Si Jari Maut
menghaturkan selamat atas pernikahannya, dan minta maaf bahwa berhalangan hadir, akan tetapi
mengirim dua puluh lima orang wanita untuk membantu pelayanan dalam pesta itu.
“Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut sungguh mengagumkan sekali, dapat mengumpulkan begini banyak wanita
cantik dan begitu memperhatikan keperluan kami sehingga mengirim bantuan pelayan!” Dia kemudian
memanggil kepala pelayan dan memerintahkan kepala pelayan untuk menerima dua puluh lima orang
wanita itu dan agar diberi tugas dalam pelayanan malam nanti dan besok pagi.
Malam pun tibalah. Para tamu sudah berkumpul di sebuah ruangan yang luas sekali, ruangan yang
menyambung pada taman indah di mana juga penuh dengan kursi-kursi untuk para tamu. Suara musik
dunia-kangouw.blogspot.com
sudah semenjak sore tadi dibunyikan oleh rombongan pemain opera, sungguh pun opera itu sendiri belum
dimulai.
Para pelayan yang sebenarnya adalah anggota-anggota Hek-eng-pang yang menyamar itu mulai pula
dengan tugas yang sesungguhnya. Di antara mereka memang ada yang membantu para pelayan Liongsim-
pang melayani para tamu mempersiapkan minuman, hidangan dan lain-lain. Akan tetapi sebagian pula
di antara mereka mulailah meryelidiki dan mencari-cari di mana adanya Puteri Bhutan seperti yang
diceritakan oleh Tek Hoat, puteri yang akan menjadi pengantin besok pagi dan yang harus mereka culik itu.
Dua puluh empat orang ini adalah dari Pasukan Tanah dan Pasukan Kayu, sedangkan Pasukan Api
bertugas mempersiapkan ‘jalan keluar’ untuk teman-temannya itu apa bila mereka telah berhasil menculik
sang puteri. Tek Hoat sendiri yang masih menderita luka bekas gempuran tenaga melawan Suma Kian
Lee, menanti di luar tembok dan sudah mempersiapkan kuda untuk melarikan puteri itu. Dia maklum
bahwa dalam keadaan terluka, amat berbahaya kalau dia sendiri masuk ke dalam. Selain dia tentu akan
dikenal, juga tidaklah mungkin untuk melawan banyak orang pandai dalam keadaan terluka, maka dia
mengandalkan kecerdikan para temannya, yaitu wanita-wanita dari Hek-eng-pang itu.
Sementara itu, Syanti Dewi yang selalu mengharapkan pertolongan dari Siang In, masih berada dalam
kamarnya dan dia tidak membantah ketika para pelayan menghias dan merias dirinya di dalam kamarnya.
Diam-diam dia masih mengharapkan kemunculan gadis luar biasa yang telah berhasil meloloskan dirinya
dari istana ayahnya itu. Dia akan menanti sampai saat terakhir, yaitu sampai besok malam. Kalau sampai
besok malam Siang In atau siapa saja tidak datang menolongnya, kalau sampai tiba saatnya dia
menyerahkan diri kepada Hwa-i-kongcu, pemuda tampan pesolek yang mengerikan hatinya itu, maka dia
akan membunuh diri!
Ketika dia mendengar dari para pelayan yang merias bahwa malam itu di dalam pesta akan diadakan
pertunjukan tari-tarian dan permainan opera, dan bahwa sang bintang panggung amat cantik jelita dan
jenaka, hati Syanti Dewi tertarik sekali. Dia menduga bahwa tentu Siang In gadis yang cerdik itu menyamar
sebagai pemain opera, maka dia lalu minta kepada seorang di antara para pelayan untuk memanggil
bintang opera itu karena dia ingin bertemu dan bicara tentang tarian.
Permintaan ini disampaikan oleh si pelayan kepada Hwa-i-kongcu dan tentu saja calon suami yang merasa
beruntung akan memperisteri seorang puteri raja lalu mengijinkan permintaan itu. Apa lagi karena pelayan
yang melayani calon isterinya itu merupakan pelayan-pelayan kepercayaannya, ya pelayan ya selir, maka
dia tidak menjadi curiga dan lalu diperintahkan kepada seorang pengawalnya untuk menyampaikan
permintaan calon mempelai puteri itu kepada pimpinan rombongan opera. Pimpinan opera lalu berbisik
kepada bintang panggung, si dara cantik jelita tadi. Sambil tersenyum gembira bintang panggung ini lalu
mengikuti si pelayan meninggalkan kamar rias itu.
Liong-li dan kawan-kawannya mencari-cari namun belum berhasil menemukan di mana adanya kamar
sang puteri. Tetapi tiba-tiba Liong-li melihat seorang pelayan bersama seorang dara cantik jelita berjalan
lewat. Diam-diam dia lalu mengikuti mereka dari jauh. Karena dia pun berpakaian pelayan, maka para
pengawal yang berjaga-jaga di seluruh tempat itu tidak ada yang menaruh curiga kepadanya.
Dara cantik yang diiringkan oleh pelayan itu lincah dan jenaka sekali, di sepanjang jalan bicara dan
memuji-muji keindahan rumah gedung seperti istana milik Hwa-i-kongcu yang kaya raya itu. Liong-li terus
membayangi mereka dari jauh, melewati gang-gang, kamar-kamar, ruangan-ruangan terbuka, pendapapendapa
dan taman-taman. Kiranya sang puteri itu berada di tempat yang demikian tersembunyi!
Akhirnya tibalah mereka di sebuah bangunan kecil yang mungil dan langsung masuk ke dalamnya. Bintang
panggung itu lalu diajak masuk ke dalam kamar. Kini mereka berdiri saling pandang, si bintang panggung
dan Syanti Dewi. Syanti Dewi kecewa bukan main. Memang bintang panggung itu cantik jelita, dan bentuk
tubuhnya seperti bentuk tubuh Siang In yang ramping, tetapi mukanya bukanlah Sian In! Akan tetapi
bintang panggung itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Saya menghaturkan selamat kepada
mempelai puteri, semoga hidup bahagia dan dikarunia banyak putera dan berumur panjang!”
Mendengar suara ini, Syanti Dewi terkejut bukan main. ltulah suara Siang In! Dia dapat menenangkan
hatinya dan berkata, “Terima kasih.” Lalu puteri itu menoleh kepada para pelayannya yang jumlahnya lima
orang itu, berkata, “Harap kalian keluar dari kamar ini dulu, aku ingin bicara seenaknya dengan seniwati ini.
Kalian tunggu saja panggilanku dan menanti di luar.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Para pelayan itu saling pandang, tersenyum dan segera mengundurkan diri. Mereka mendapat pesan yang
amat keras dari majikan mereka agar sebaiknya melayani sang puteri dan agar memenuhi semua
permintaannya. Tentu saja permintaan untuk hanya berduaan dengan bintang panggung yang cantik itu
tidak menimbulkan kecurigaan hati mereka dan mereka pun mundur dan keluar dari dalam kamar itu.
Setelah yakin bahwa mereka hanya berdua, Syanti Dewi memandang tajam wajah cantik itu dan bertanya,
“Siapakah engkau?”
Bintang panggung itu tersenyum lebar. “Enci, apakah engkau lupa akan suaraku?”
“Ah, Siang In...!” Syanti Dewi lalu maju merangkul dan mereka berangkulan sejenak, dua titik air turun dari
mata Syanti Dewi yang merasa girang bukan main itu, “Kukira engkau takkan muncul lagi, adikku... hampir
lenyap harapanku...“
“Jangan khawatir, Enci. Aku pasti akan berusaha segera menolongmu keluar dari sini sedapatku. Akan
tetapi, banyak orang pandai di sini, kita harus berhati-hati dan Enci bersikap yang wajar saja. Aku melihat
keanehan di sini. Pelayan-pelayan bantuan itu demikian banyaknya, katanya mereka itu adalah utusan dari
Si Jari Maut.“
“Ahhhhh...!” Muka Syanti Dewi menjadi pucat mendengar nama julukan ini. “Dia...?”
Siang In mengangguk. “Namun aku masih curiga. Sikap mereka mencurigakan sekali. Tetapi mungkin
mereka ini akan dapat membantu kita, memudahkan aku membawamu keluar dari sini, Enci Syanti Dewi.
Kau tinggallah di sini, bersikaplah tenang dan wajar dan percayalah kepadaku.”
Syanti Dewi merangkul dan mencium pipi dara itu, lalu menatap wajah itu dengan penuh keheranan.
“Bagaimana mukamu bisa begini berubah sama sekali?”
Siang In tersenyum, meraba dengan kedua tangannya ke bawah dagu, kemudian sekali dia menarik,
mukanya berubah menjadi muka Siang In sendiri! Kiranya mukanya ditutup oleh sehelai ‘kedok’ yang amat
tipis, setipis kulit manusia, akan tetapi kedok itu sama sekali mengubah mukanya dengan kecantikan yang
sama sekali berbeda! Mulutnya menjadi lebar, hidungnya lebih mancung, pipinya lebih montok dan dahinya
lebih lebar, matanya agak sipit. Tentu saja Syanti Dewi sendiri tidak mengenalnya.
“Aku harus menyamar sebaiknya, dan kalau tidak, mana mungkin aku bisa mengelabuhi mata Hwa-ikongcu
yang berminyak itu?”
“Berminyak? Apa ada mata berminyak?” Syanti Dewi terheran karena dia sendiri belum pernah
memandang mata calon suaminya secara teliti!
“Hi-hi-hik, berminyak dan berkeranjang! Mata minyak dan mata keranjang, hidungnya belang! Hi-hik!”
Syanti Dewi tertawa geli dan terkejutlah dia betapa dalam sedetik saja dia sudah bisa tertawa! Berdekatan
dengan gadis ini memang membuat orang tidak dapat tidak menjadi gembira. Dia sendiri seketika
melupakan kenyataan bahwa sesungguhnya dia masih menjadi tawanan, seperti seekor burung masih
berada di dalam sangkar tertutup. Hatinya masih geli ketika dia melihat Siang In mengenakan kembali
kedoknya yang luar biasa itu dan makin gelisah dia teringat betapa Siang In juga mempunyai kedok yang
kalau dipasang tentu akan membuat para pelayannya menjerit-jerit!
“Eh, In-moi, bagaimana kalau kau meminjamkan kedokmu yang polos itu kepadaku dan mengajari aku
bagaimana untuk memakainya?”
“Wah, Enci Syanti. Engkau ini aneh-aneh saja. Untuk apa kedok setan itu untukmu?”
“Kalau tidak ada jalan lain, di waktu si hidung belang itu datang kepadaku, aku akan memakai kedok polos
itu, hendak kulihat apakah...“ Syanti Dewi tidak dapat menahan ketawanya.
“Apakah hidungnya masih belang atau tidak? Hi-hik, Enci. Tentu akan lucu sekali dan ingin memang aku
melihat bagaimana dia akan lari tunggang-langgang melihat isterinya bermuka polos seperti itu, hi-hi-hik.
Akan tetapi berbahaya sekali, Enci. Sudahlah, aku harus kembali ke tempat pertunjukan, dan akan kuatur
nanti bagaimana baiknya untuk menolongmu sambil melihat perkembangan. Selamat berpisah untuk
sebentar, Enci.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Syanti Dewi merangkul dan mencium kedua pipinya yang sudah tertutup kedok, namun masih halus dan
menarik kemerahan itu. “Nyawaku berada di tanganmu, adikku,” bisik Syanti Dewi.
Siang In tersenyum dan melangkah mundur. “Hi-hi-hik, apa kau kira aku ini Giam-lo-ong (Raja Akherat)?
Sampai nanti, Enci...“ Dan pergilah dia keluar dari kamar.
Para pelayan yang berada di luar dan tadi hanya mendengar betapa calon majikan mereka itu tertawa-tawa
dengan sripanggung itu, cepat masuk kembali dan mereka melihat wajah yang tadinya agak pucat itu kini
berseri dan yang mengherankan hati mereka, kalau selama ini jarang sekali sang puteri ini mau makan, kini
Syanti Dewi menyambut kedatangan mereka dengan kata-kata yang menggirangkan mereka.
“Cepat ambilkan nasi dan masakan yang paling enak. Bukankah malam ini ada pesta? Aku pun ingin pesta
sendiri!”
Sementara itu, pada saat itu para tamu mulai dengan pesta. Hidangan makanan kecil mulai dikeluarkan
dan para tamu menikmati pertunjukan tari-tarian yang ditarikan oleh enam orang penari yang cantik-cantik.
Semua orang memandang ke arah Siang In yang baru kembali dan ada yang kecewa mengapa dara yang
paling cantik dan yang menjadi sripanggung itu tidak pula ikut menari.
Setelah para penari itu selesai menari, banyak tamu yang berteriak meminta agar sri panggung juga
menari! Pemimpin rombongan itu, seorang tua yang juga menabuh alat musik, yaitu meniup suling, segera
bangkit berdiri dan berkata dengan hormat bahwa sripanggung akan main sebagai Kauw Gee Thian Si
Raja Monyet dalam cerita See-yu yang akan dipentaskan malam itu, dan karenanya tidak dapat ikut
menari. Pemimpin ini khawatir kalau-kalau dara cantik itu tidak pandai menari.
Siang In baru kemarin masuk perkumpulannya. Karena gadis itu memiliki kepandaian bermain sulap, maka
diterimanya gadis ini sebagai anggota rombongaannya, namun sebagai pemain opera, bukan sebagai
penari. Dia hanya tahu bahwa gadis itu memiliki wajah cantik jelita, tubuh yang indah, memikat, pandai
main sulap dan tari silat.
Akan tetapi tiba-tiba Siang In berkata, “Lopek, biarkanlah aku menari sendiri!” Dan dia bangkit, lalu menjura
ke arah para tamu yang menyambutnya dengan tepuk tangan riuh.
“Cuwi sekalian, baru saja saya dipanggil oleh calon mempelai puteri dan beliau telah mengajarkan sebuah
tarian asing kepada saya. Maka saya akan mencoba tarian itu untuk dinikmati oleh Cuwi sekalian, sebagai
persembahan dari mempelai puteri!” Semua orang bersorak gembira dan Hwa-i-kongcu juga menganggukangguk
dengan gembira dan bangga!
Siang In lalu mulai bernyanyi dengan suaranya yang merdu dan halus, dan mulai pula tubuhnya bergerakgerak
menari. Para penabuh musik dari rombongan itu baiknya ialah ahli-ahli yang sudah berpengalaman
puluhan tahun, maka ketika mereka mendengar nyanyian yang asing itu, biar pun tidak dapat mengikuti
lagu itu seluruhnya, setidaknya mereka dapat memperdengarkan irama untuk membayangi nyanyian dan
tarian itu, perlahan-lahan sehingga dengan iringan yang sayup sampai ini, suara nyanyian itu menjadi
makin jelas dan gerak tarian itu makin menonjol. Itulah nyanyian dan tarian yang dipelajari oleh Siang In di
dalam hutan dari Syanti Dewi.
Memang indah sekali! Baik nyanyiannya mau pun tariannya, dan lebih-lebih suaranya dan gerakannya!
Memang harus ada perpaduan antara lagu dan yang menyanyikannya, juga antara tarian dan yang
menarikannya. Dan semua penonton terpesona, bahkan ada yang sampai lupa diri, bengong terlongong,
semangatnya seperti diterbangkan oleh alunan suara Sian In, diayun oleh gerak kaki tangan yang lemah
gemulai itu!
“Ini tarian Kerajaan Bhutan!” Tiba-tiba terdengar teriakan orang.
Hanya beberapa orang saja yang memperhatikan ini dan ternyata yang berteriak itu adalah seorang lakilaki
yang kepalanya memakai sorban dan memang dia adalah seorang tamu yang berkebangsaan Nepal.
Dia memandang dengan kagum sekali, dan menggerak-gerakkan tongkat yang dipegangnya sehingga
tongkatnya itu mengeluarkan bunyi tak-tok-tak-tok namun iramanya cocok sekali dengan nyanyian dan
tarian Siang In itu. Bahkan kemudian suara pukulan tongkatnya inilah yang dijadikan pedoman bagi para
pemain musik untuk mengiringi nyanyian dan tarian itu. Dan si kakek Nepal ini menggeleng-gelengkan atau
menggoyang-goyang kepala menurutkan irama musik sehingga jenggotnya yang panjang sampai ke perut
itu pun bergoyang-goyang amat lucunya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah Siang In menyelesaikan nyanyian dan tariannya, tepuk tangan lalu meledak di ruangan itu dan
semua anggota opera itu pun bertepuk tangan memuji, terutama kakek pemimpin yang merasa girang,
seolah-olah dia telah memperoleh mutiara yang tidak ternilai harganya! Tentu rombongannya kini akan
terkenal dan laris dengan adanya sri panggung ini, pikirnya.
Kini permainan opera pun dimulai. Pementasan ini hanya beberapa adegan saja dari cerita See-yu yang
panjang, yaitu di waktu Kauw Cee Thian Si Raja Monyet itu sedang mempermainkan enam orang Siluman
Laba-laba yang menjadi enam orang wanita cantik. Siang In lalu memakai topeng monyet dan mulailah ia
menari-nari seperti seekor monyet yang membawa sebatang tongkat panjang, yaitu tongkat Kim-kauwpang,
senjata ampuh dari Si Raja Monyet.
Di sini Siang In memperlihatkan kemahirannya bermain sulap! Dia maklum bahwa guru dari Hwa-i-kongcu,
Nenek Durganini, adalah seorang ahli sihir yang luar biasa, dan bahwa saat itu Durganini tidak ada di situ
karena nenek itu telah kena dia akali dan agaknya telah pergi untuk mencari suhu-nya, See-thian Hoatsu,
maka kini gadis ini berani memperlihatkan kepandaian dalam ilmu sihir. Kalau ada nenek itu di situ, tentu
dia tidak berani banyak bertingkah!
Tongkat itu, seperti tongkat Kim-kauw-pang yang sesungguhnya dalam cerita See-yu, digerakkan untuk
bermain sulap. Dia sebagai Kauw Cee Thian lalu menyulap tongkat itu menjadi kecil seperti sebatang
pensil yang dapat ia selipkan di atas daun telinganya! Kemudian ia menyulapnya menjadi besar sampai
panjangnya menjadi tiga kali lipat panjang biasa. Siang In lalu bermain silat, diputar-putarnya tongkat itu
sedemikian rupa sampai lenyap bentuk tongkatnya dan yang nampak hanyalah gulungan putih yang amat
indah. Tentu saja semua orang bertepuk tangan memujinya.
Akan tetapi, dasar Siang In adalah seorang dara yang lincah dan bengal, kadang-kadang timbul sifat yang
ugal-ugalan sehingga dia suka menggoda orang. Pada saat itu timbul kerakusannya akan pujian setelah
melihat semua orang terheran-heran dan memujinya. Dia lalu membuat api dengan tongkatnya. Suasana
menjadi seram karena pada adegan yang menceritakan pembakaran itu, tahu-tahu dari tongkatnya muncul
api berkobar-kobar. Dan semua orang terbelalak kaget ketika melihat betapa gadis cantik itu kini bermain
sebagai Sun Go Kong atau Kauw Cee-Thian yang beralih rupa, berkali-kali berteriak akan berganti rupa,
dan dia benar-benar telah beralih rupa di depan mata mereka!
“Lihat, aku akan menjadi seekor harimau!” terdengar dara itu berseru dan… “Hauwww!” Di situ nampak
seekor harimau dan si Kauw Cee Thian itu lenyap!
Bahkan pada akhir pertunjukan, semua orang menjadi panik dan di samping merasa kagum mereka juga
memandang dengan mata terbelalak, muka pucat dan kepala pening ketika si Kauw Cee Thian itu
mencabut bulu tubuhnya, meniup bulu-bulu itu dan muncullah belasan orang Kauw Cee Thian lain di atas
panggung!
Suasana menjadi sunyi. Bahkan para pemain opera lainnya menjadi terbelalak, lalu terdengar para pelayan
menjerit saking takut dan ngerinya, dan pada saat itu tiba-tiba saja terdengar bunyi kelenengan yang
nyaring sekali. Begitu terdengar suara ini, semua penglihatan aneh itu pun lenyaplah! Bayangan-bayangan
Kauw Cee Thian ciptaan dari bulu itu pun lenyap dan di atas panggung Si Raja Monyet yang dimainkan
oleh gadis itu terhuyung-huyung.
Baiknya suara kelenengan itu berhenti dan Siang In dapat menyelinap di antara kawan-kawan anggota
opera sambil menanggalkan topeng monyetnya. Untung dia memakai kedok sehingga tldak kelihatan
betapa muka yang sesungguhnya dari gadis ini agak pucat. Dia tadi telah diserang oleh suara kelenengan
yang mengandung daya mukjijat untuk memusnahkan semua sihirnya! Diam-diam dia melirik ke arah orang
Nepal tadi, yang kini sudah menyimpan kembali kelenengannya. Hemmm, dia seorang ahli, aku harus
waspada, bisik hati Siang ln.
“Bagus! Bagus sekali pertunjukan tadi!” Si orang Nepal itu bangkit sambil berkata dalam bahasa Han yang
agak kaku namun cukup lancar, tanda bahwa biar pun dia belum dapat melenyapkan lidah asingnya,
namun dia sudah mempelajari bahasa daerah ini dengan baik dan telah menguasai sepenuhnya.
“Kepandaian sripanggung tadi memang hebat, dan saya Gitananda dari Nepal benar-benar merasa
beruntung dapat melihat kepandaian yang amat hebat dari seorang yang masih begitu muda. Sekarang,
untuk meramaikan pesta biarlah saya yang bodoh menyumbangkan sedikit permainan, jika Hwa-i-kongcu
mengijinkannya!” Sambil berkata demikian, dia menjura ke arah tuan rumah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hwa-i-kongcu yang duduk dan sejak tadi memperhatikan permainan Siang In dengan penuh keheranan
dan kekaguman itu mengangguk. Diam-diam Hwa-i-kongcu terheran-heran. Dia sendiri adalah murid
seorang ahli sihir dan bagi dia, sihir yang diperlihatkan oleh sripanggung tadi bia pun tidak aneh, namun
amat mengherankan hatinya karena kalau sripanggung itu dapat menguasai para penonton dengan ilmu
sihirnya, maka sri panggung itu bukan orang sembarangan! Dan agaknya kakek Nepal ini pun seorang ahli
sihir pula!
Kalau saja subo-nya tidak pergi! Tentu saja bagi subo-nya, semua pertunjukan tadi hanya berupa
permainan kanak-kanak saja, sungguh pun bagi dia sendiri sudah merupakan kepandaian yang tidak
mudah dilakukan.
Kini Kakek Gitananda melangkah ke tengah ruangan itu, membawa tongkatnya dan membawa pula
sebuah kotak kecil. Setelah mengangguk keempat penjuru seperti lagak seorang ahli sulap sedang
berdemonstrasi, dia lalu melemparkan kotak itu ke atas, lalu tongkatnya diacungkan ke atas menyambar
kotak itu yang disangganya dan dibawanya berkeliling. Kemudian ia kembali ke tengah ruangan dan tibatiba
ia menarik tongkatnya dan... kotak itu masih tetap terapung di udara tanpa penyangga! Kakek itu lalu
duduk bersila di bawah kotak yang terapung itu dan membawa tongkat ke mulutnya, meniup dan...
terdengarlah suara suling yang merdu, seolah-olah dia sedang meniup sebatang suling, bukan tongkat!
Semua orang terpesona memandang kearah kakek itu kemudian menahan napas ketika melihat kotak di
udara itu terbuka tutupnya, dan dari dalam kotak muncullah seekor ular kobra! Kulitnya yang hitam coklat
kekuningan itu berkilat, matanya kemerahan dan lehernya mekar, mulutnya mendesis-desis, akan tetapi
ular itu lalu mulai menari-nari mengikuti suara suling tongkat! Lucu dan juga indah karena tubuh ular begitu
lemasnya ketika menari-nari, tidak kalah dengan lemasnya pinggang sripanggung yang ramping tadi!
Dengan gerakan melenggang-lenggok ular itu melayang keluar dari kotak, lalu turun ke atas lantai di depan
si kakek Nepal, lalu kepalanya berubah menjadi dua, tiga, empat dan akhirnya nampaklah ular kobra itu
memiliki tiga belas buah kepala yang semuanya diangkat dan kemudian menari-nari menurut bunyi suling
yang ditiup kakek itu, suling yang sebetulnya hanyalah sebatang tongkat. Tidak lama kemudian, ketika
suara suling meninggi, ular kobra berkepala tiga belas itu lalu melayang ke atas, kembali memasuki kotak
dan turunlah kotak itu perlahan-lahan ke atas pangkuan si kakek Nepal yang juga menghentikan tiupan
pada tongkatnya.
Tentu saja permainannya yang luar biasa itu disambut tepuk tangan riuh, dan si kakek Nepal bangkit
berdiri, menjura keempat penjuru dan matanya yang seperti menjuling di atas sebatang hidung
melengkung itu mengerling ke arah Siang In yang diam-diam juga terkejut bukan main, maklum bahwa
kakek Nepal itu merupakan seorang lawan yang amat tangguh dalam ilmu sihir.
Hidangan besar dan arak mulai membanjiri meja-meja para tamu dan mulailah para tamu bergembira
makan dan minum arak. Minuman keras itu membuat mereka menjadi gembira dan obrolan di antara
mereka menjadi makin terlepas dan bebas. Kini di atas panggung diadakan pertunjukan pelawak dan
lawakan mereka membuat para tamu yang mulai terpengaruh minuman keras itu tertawa bergelak.
Suasana menjadi meriah dan gembira sekali. Para anggota Hek-eng-pang yang menyamar sebagai
pelayan-pelayan yang dikirim oleh Si Jari Maut sebagai sumbangan kepada Hwa-i-kongcu, dengan
sigapnya membantu pelayanan hidangan untuk para tamu sedangkan sebagian pula mulai menyelidiki
tempat persembunyian pengantin wanita yang harus mereka culik.
Di panggung kini terjadi pertunjukan yang amat menarik, yaitu kekuatan minum arak! Dan kembali kakek
Nepal yang bernama Gitananda dan yang tadi telah bermain sulap, memperlihatkan kepandaiannya yang
hebat. Dia menantang jago-jago minum untuk adu kuat minum arak melawan dia dan sudah ada tiga orang
roboh pingsan karena mabuk melawan Gitananda. Mereka digotong ke luar.
Kini yang menghadapinya adalah seorang kakek bertubuh pendek, perutnya sebesar gentong dan
kepalanya botak. Orang ini terkenal sebagai ‘setan arak’ di antara kawan-kawannya dan perutnya yang
gendut luar biasa dan kepalanya yang botak itu kabarnya juga karena kebanyakan minum arak!
Cawan demi cawan diminum oleh Gitananda dan lawannya yang baru ini. Setiap cawan yang memasuki
mulut mereka langsung diikuti sorak-sorai para tamu yang menonton pertandingan yang menggembirakan
ini.
“Ahhh, aku haus sekali, sungguh tidak memuaskan minum dari cawan yang kecil ini. Kesinikan dua guci
penuh!” tiba-tiba Gitananda bertepuk tangan dan seorang pelayan segera berlari mengambilkan dua guci
dunia-kangouw.blogspot.com
penuh arak yang digotong oleh empat orang pelayan dan diletakkannya dua buah guci arak itu ke atas
meja. Gitananda tertawa memandang kepada lawannya yang gendut.
“Bagaimana kalau kita minum dari guci ini saja?”
Si gendut tersenyum. “Silakan kau dulu!” dia menantang.
Gitananda lalu mengangkat guci itu, menempelkan bibir guci ke mulutnya dan segera terdengarlah suara
menggelogok ketika dia menuangkan isi guci ke dalam perut melalui mulutnya. Lama sekali dia minum
sampai akhirnya guci itu kosong dan dia meletakkan guci itu di atas meja. Semua orang mengeluarkan
seruan kaget, heran dan kagum sekali. Satu guci arak itu biasanya dihabiskan oleh delapan orang atau
satu meja untuk satu kali perjamuan. Akan tetapi sekarang ditenggak habis sekaligus oleh kakek Nepal ini.
Sungguh merupakan hal yang luar biasa.
“Ha-ha-ha, giliranmu!” kata Gitananda kepada Si gendut.
Dengan dorongan kawan-kawannya, akhirnya Si gendut yang terkenal sebagai setan arak itu pun
mengangkat gucinya dan seperti yang dilakukan oleh lawannya tadi, dia pun menenggak arak itu langsung
dari gucinya. Lebih lama lagi dia minum, mukanya sampai ke botak-botaknya menjadi merah dan ketika
akhirnya dia menghabiskan arak itu, gucinya terlepas dari tangannya dan jatuh menggelinding ke atas
lantai. Si gundul botak itu sendiri tertawa aneh, lalu bangkit. Perutnya yang gendut menjadi makin besar
dan matanya menjadi merah. Suara ketawanya menunjukkan bahwa dia telah menjadi mabuk!
“He-he-heh... kau hebat... heh-heh, aku mengaku kalah deh...“ Si gendut bangkit berdiri, terhuyung kembali
ke kursinya, akan tetapi hampir dia jatuh. Untuk menahan tubuhnya, tangannya diulur untuk meraih
pinggang seorang dayang atau seorang pelayan wanita yang sedang lewat membawa baki.
Akan tetapi pelayan itu, yang bukan lain adalah salah seorang anggota Hek-eng-pang, dengan mudah
mengelak dengan menggerakkan pinggul dan miringkan tubuh. Tentu saja karena raihan tangannya
dielakkan, tubuh si gendut mendoyong ke depan. Akan tetapi ternyata setan arak ini bukan hanya kuat
minum arak, melainkan juga pandai ilmu silat dan biar pun dia mabuk sekali, dalam keadaan mendoyong
hampir jatuh itu kedua tangannya dapat bergerak cepat ke samping untuk merangkul, sekali ini
rangkulannya ditujukan kepada buah pinggul yang menonjol besar itu.
Semua tamu tertawa menyaksikan ini. Akan tetapi dengan gerakan lincah, si pelayan itu kembali mengelak.
Masakan yang berada di dalam mangkok di atas bakinya sama sekali tidak tumpah, dan sekali ini si gendut
tidak dapat mencegah lagi tubuhnya yang limbung. Dia jatuh! Kembali semua orang menertawakannya.
“Ehhhhh!” Si Gendut yang merasa malu karena ditertawakan menjadi marah kepada pelayan itu. Begitu dia
terguling, kakinya mencuat untuk menyerampang kaki si pelayan agar jatuh bersama dia. Akan tetapi
kembali dia keliru karena pelayan itu meloncat dan kembali dapat menghindarkan diri, terus menyelinap
pergi. Para tamu bertepuk tangan memuji kelincahan pelayan wanita itu.
Sementara itu, Hak Im Cu, seorang tosu tinggi kurus yang wajahnya bengis, yang amat tinggi ilmu silatnya
dan terkenal sebagai seorang ahli ginkang dan menjadi seorang di antara pembantu-pembantu utama
Hwa-i-kongcu, dengan secara diam-diam menjaga keamanan bersama dua orang temannya untuk
menjamin keselamatan Hwa-i-kongcu dan Liong-sim-pang. Mereka bertiga sesungguhnya bukanlah
anggota Liong-sim-pang, melainkan tamu-tamu, juga mereka bertiga merupakan sahabat-sahabat dan
pembantu-pembantu utama.
Di samping tosu Hak Im Cu ini, masih ada dua orang lainnya yang tidak kalah lihainya. Yang pertama
adalah Ban-kin-kwi Kwan Ok, yang sebaya dengan Hak Im Cu, berusia kurang lebih enam puluh tahun.
Berbeda dengan Hak Im Cu yang tinggi kurus dan ahli ginkang, Kwan Ok ini, sesuai dengan julukannya,
yaitu Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan tenaganya
sekuat gajah!
Ada pun yang kedua atau orang ketiga di antara tiga sekawan ini adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To, juga
usianya kurang lebih enam puluh tahun, tubuhnya gemuk pendek dan kepalanya gundul akan tetapi dia
bukan seorang pendeta, melainkan seorang bekas bajak tunggal yang amat terkenal karena selain ahli
bermain di air juga dia seorang ahli lweekeh yang memiliki tenaga dalam kuat sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang tadinya tiga orang ini bukan merupakan sahabat-sahabat. Tetapi, ketiganya diundang oleh Hwa-ikongcu
dan menjadi pembantu utama, tentu saja mereka menjadi sahabat yang memiliki keahlian berbedabeda.
Dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, tiga orang lihai ini pernah muncul di Telaga Sungai, ketika
terjadi perebutan anak ular naga di telaga tersebut dan biar pun tiga orang ini lihai sekali, namun karena di
telaga itu berkumpul banyak sekali orang-orang pandai, mereka tidak berhasil mendapatkan anak naga itu.
Demikianlah keadaan singkat tiga orang pembantu utama Hwa-i-kongcu yang kini telah berada di tempat
pesta itu. Sejak semula, mereka sudah agak curiga ketika mendengar bahwa Si Jari Maut mengirim
sumbangan berupa wanita-wanita pelayan yang cantik-cantik itu, maka diam-diam mereka, terutama sekali
tosu Hak Im Cu, memasang mata dan mencurahkan perhatian kepada para pelayan itu.
Peristiwa yang terjadi ketika seorang pelayan hendak dirangkul setan arak yang gendut, melihat cara
pelayan itu menghindarkan diri, membuat Hak Im Cu menjadi makin curiga. Jelas bahwa pelayan itu
memiliki ilmu silat cukup tinggi sehingga dapat menghindarkan tubrukan dan terkaman si gendut demikian
mudahnya dan dalam gerakannya mengelak itu, baki tidak terguling bahkan kuah dalam mangkok tidak
tumpah. Walau pun yang mengirim Si Jari Maut yang terkenal, namun pelayan-pelayan yang pandai ilmu
silat sungguh mencurigakan. Apa lagi pemimpin pelayan itu, yang cantik dan agung dan yang kini tidak
nampak.
Hak Im Cu lalu menghubungi dua orang temannya, mereka berbisik-bisik, lalu dengan tergesa-gesa
ketiganya pergi menuju ke belakang untuk menyelidiki dan jikalau perlu mengumpulkan pelayan-pelayan
sumbangan itu untuk memeriksa mereka. Akan tetapi pada saat itu pula terdengar suara terompet dan
canang dipukul gencar. Itulah tanda bahaya dan tak lama kemudian terdengarlah teriakan-teriakan bahwa
pengantin puteri diculik orang! Gegerlah keadaan dalam pesta itu ketika suara berisik ini terdengar dan
mereka mendengar bahwa pengantin puteri diculik orang.
Keributan ini disusul oleh keributan lain yang lebih meributkan lagi ketika para pelayan wanita itu, dengan
menggunakan batu-batu yang memang sudah mereka persiapkan sebelumnya, ada pula yang
menggunakan mangkok piring, menyambit ke arah lampu-lampu di seluruh tempat sehingga lampu-lampu
itu pecah dan padam. Keadaan menjadi gelap gulita dan tentu saja para tamu menjadi panik, kecuali
mereka yang mempunyai kepandaian tinggi, karena mereka ini maklum bahwa terjadi hal hebat dan cepat
mereka menggunakan kepandaiannya untuk bersiap-siap turun tangan membantu pihak tuan rumah.
Tentu saja Siang In juga terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak mengira bahwa akan terjadi hal seperti
itu. Ketika teman-temannya para penari menjerit dan berkumpul menjadi satu dalam keadaan ketakutan,
dia sendiri cepat meloncat dan menyelinap di antara orang-orang yang sedang panik, melihat para pelayan
wanita menyambiti lampu-lampu dengan ketepatan seorang ahli. Dia kemudian memaki kebodohan sendiri
yang tidak menduga bahwa pelayan-pelayan wanita itu ternyata adalah orang-orang yang mempunyai niat
sama dengan dia, yaitu menculik sang puteri! Dia berlari terus menuju ke tempat tinggal Syanti Dewi dan
benar saja, tepat seperti yang dikhawatirkannya, sang puteri telah lenyap dan di situ terdapat Hwa-i-kongcu
dan para pembantunya. Hwa-i-kongcu marah-marah dan memaki-maki para pengawalnya yang
dikatakannya tolol.
“Kejar! Isteriku harus dapat dirampas kembali!” teriaknya marah-marah.
Dari tempat persembunyiannya, Siang In bisa melihat betapa tosu tinggi kurus, raksasa tinggi besar muka
hitam, dan si gemuk pendek berkepala gundul itu berkelebat dengan kecepatan yang sangat mengejutkan,
dan melakukan pencarian atau pengejaran tanpa mengeluarkan kata-kata apa pun. Dia terkejut. Kiranya
Hwa-i-kongcu dibantu orang-orang pandai. Namun toh Syanti Dewi dapat diculik orang. Hal ini
menunjukkan betapa lihainya si penculik yang agaknya dibantu oleh para pelayan wanita.
Dia meninggalkan tempat sembunyinya untuk melakukan pengejaran pula. Dia harus mendapatkan Syanti
Dewi karena agaknya, terjatuh ke tangan siapa pun juga, kecuali ke tangannya, tentu Puteri Bhutan itu
akan celaka. Ketika dia ke luar, ternyata di sana sini telah terjadi pertempuran-pertempuran hebat antara
wanita-wanita pelayan dan para pengawal dan anak buah Hwa-i-kongcu.
Kini jelaslah sudah bahwa pelayan-pelayan wanita itu adalah serombongan orang yang menyamar untuk
menculik sang puteri! Dan ternyata mereka itu terdiri dari orang-orang lihai, sama sekali bukan lawan para
pengawal Hwa-i-kongcu atau anggota-anggota Liong-sim-pang biasa saja. Hanya tiga orang lihai tadi yang
dapat mengatasi mereka dan mulailah ada beberapa orang wanita pelayan roboh dan selebihnya lalu
melarikan diri, dikejar oleh tiga orang itu dan para anak buah Liong-sim-pang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tamu-tamu makin panik dan sebagian besar menyelamatkan diri dengan sembunyi di balik semak-semak
atau pohon-pohon di dalam taman, dan ada pula yang begitu saja memasuki kamar-kamar, tidak peduli
kamar siapa, ada pula yang menyelinap ke dalam dapur, tidak peduli pakaian dan mukanya penuh hangus.
Hanya yang berkepandaian saja membantu para anggota Liong-sim-pang melakukan pengejaran pada
rombongan wanita pelayan yang ternyata merupakan gerombolan penculik itu.
Ternyata orang-orang Hek-eng-pang amat cerdik, dan sebelum melakukan penculikan, sebagian di antara
mereka telah mengatur ‘jalan lari’ untuk kawan-kawannya. Sekarang, mereka mengikuti jalan yang mereka
buat, dan dipimpin oleh Hek-eng-pangcu sendiri, yaitu Yang-liu Nionio, mereka berserabutan memasuki
taman melalui jalan yang sudah direncanakan semula.
“Penculik-penculik hina, hendak lari ke mana kalian?” Hak Im Cu mengejar dan tosu ini paling cepat larinya
karena dia memang seorang ahli ginkang yang hebat.
“Liong-li, bawa dia ini!” Yang-liu Nionio berteriak dan melemparkan tubuh Syanti Dewi yang sudah
ditotoknya itu ke arah muridnya itu. Liong-li menyambut tubuh itu dan terus melarikan diri, sedangkan
Yang-liu Nionio menyambut serangan pedang Hak Im Cu dengan ranting yang-liu yang tadi dipegangnya.
“Singgg... trakkkkk!” Pedang itu tertahan oleh ranting dan keduanya lalu bertempur seru.
Sementara itu, melihat pengantin wanita dilarikan seorang pelayan dan belasan pelayan lain, para
pengawal cepat mengejar. Liong-li lari bersama teman-temannya, meloncati jalan di antara semak-semak.
Para pengawal atau anak buah Liong-sim-pang mengejar.
“Blarrrrr...!”
Terjadi ledakan keras dan empat orang anak buah Liong-sim-pang terlempar ke sana sini oleh ledakan itu.
Kiranya di situ sudah dipasang jebakan semacam ranjau oleh orang-orang Hek-eng-pang yang tadi
meloncati tempat itu. Anak buah Liong-sim-pang yang tidak tahu tentu saja berlari biasa dan menginjak
ranjau itu.
Bersama bunyi ledakan, Yang-liu Nionio diikuti oleh beberapa orang anak buahnya juga lari karena Bankin-
kwi Kwan Ok dan Hai-liong-ong Ciok Gu To telah tiba di situ. Melihat adanya tiga orang yang amat lihai
ini, Yang-liu Nionio mengajak anak buahnya lari dan mereka menyelinap di semak-semak belukar di luar
taman.
“Keparat jangan lari!” Hak Im Cu memaki dan mengejar.
Akan tetapi tiba-tiba semak-semak itu terbakar dan nyalanya demikian besar karena ternyata semaksemak
itu telah disiram minyak. Terpaksa tiga orang lihai ini tidak berani menerjang api dan harus
mengambil jalan memutar. Mereka melihat wanita tua cantik memegang ranting itu bersama lima orang
wanita pelayan lain menyeberangi jembatan di luar taman. Tentu saja dengan cepat mereka mengejar.
Wanita-wanita itu telah tiba di seberang jembatan dan baru saja Hak Im Cu dan kawan kawannya tiba di
jembatan dan meloncat ke atasnya, tiba-tiba jembatan itu ambruk! Tentu saja ini pun buatan para anggota
Hek-eng-pang. Untung bahwa yang berada di jembatan itu adalah Hak Im Cu bertiga yang tentu saja dapat
meloncat kembali ke belakang dan tidak sampai ikut terjatuh bersama jembatan itu.
Hak Im Cu dan teman-temannya, juga para anak buah Liong-sim-pang cepat mengejar para wanita yang
telah tiba di tembok yang mengelilingi tempat markas Liong-sim-pang itu. Dengan gerakan-gerakan yang
sangat ringan mereka meloncat ke atas tembok, didahului oleh Liong-li yang memondong tubuh Syanti
Dewi.
“Ha-ha-ha, kalian hendak lari kemana?” Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan kiranya di atas tembok, di
menara penjagaan, telah nongkrong seorang tinggi besar bersorban yang bukan lain adalah Gitananda,
tokoh aneh dari Nepal tadi!
“Liong-li, lari...!” Yang-liu Nionio berteriak dan dia sendiri menggunakan ranting yang-liu, langsung
menubruk dan menyerang kakek Nepal itu.
Si kakek Nepal terkejut karena tahu bahwa serangan nenek cantik ini cepat dan kuat bukan main, maka dia
pun menggerakkan tongkatnya menangkis dan mereka segera bertempur di dalam menara penjagaan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong-li untuk berloncatan pergi ke tempat di mana Tek Hoat dan para
anak buah Hek-eng-pang yang lain sudah siap dengan kuda mereka.
Hak Im Cu dan kawan-kawannya tidak mempedulikan nenek yang masih bertanding melawan orang Nepal
itu, oleh karena bagi mereka yang terpenting adalah merampas kembali pengantin wanita yang terculik.
Maka mereka lalu mengerahkan para anak buah Liong-sim-pang untuk mengejar melalui pintu gerbang
sedangkan mereka bertiga sendiri melakukan pengejaran dari atas dengan berlompatan.
Melihat bahwa anak muridnya dan para anak buah Hek-eng-pang sudah berhasil keluar dari tembok, Yangliu
Nionio cepat mendesak kakek Nepal dengan gerakan ranting yang-liu dan ketika kakek itu menangkis
dengan tongkatnya, tangan kirinya melakukan pukulan atau cengkeraman mautnya, yaitu Hek-eng-jiauwkang
yang hebat bukan main. Dari jari-jari tangannya yang dibentuk seperti kuku garuda itu menyambar
hawa dahsyat sekali.
“Ehhhhh...!” Gitananda terkejut dan cepat meloncat ke belakang, akan tetapi dia melihat nenek cantik itu
pun meloncat jauh dan melarikan diri di dalam gelap.
Karena malam itu gelap dan penerangan dari atas tembok tidak seberapa besar, maka kakek Nepal yang
hanya menjadi tamu ini tak mau membahayakan dirinya. Dia maklum bahwa mengejar seorang lawan
pandai di tempat gelap amatlah berbahaya, maka dia pun melakukan pengejaran seenaknya saja, dengan
sikap amat berhati-hati.
Kini terjadilah kejar-kejaran di luar tembok dan di tempat terbuka di daerah Pegunungan Lu-liang-san, di
malam gelap itu. Akan tetapi sebentar saja, para wanita yang memang sebelumnya sudah mengatur jalan
dengan cerdiknya, dapat melarikan diri di tempat gelap dan terus dikejar oleh para anggota Liong-sim-pang
yang dipimpin oleh Hak Im Cu dan kedua orang temannya, bahkan kemudian Hwa-i-kongcu, pengantin pria
yang gagal itu pun melakukan pengejaran sendiri…..
********************
Kita tinggalkan dulu para penculik Syanti Dewi yang melarikan diri dan dikejar oleh anggota Liong-simpang,
dan juga secara diam-diam dikejar pula oleh seorang gadis cantik, yaitu Siang In dan mari kita
kembali mengikuti keadaan Suma Kian Lee yang menjadi tawanan Hek-eng-pang.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Suma Kian Lee tidak berdaya dan menjadi setengah tawanan
dari Hek-eng-pang dikarenakan Hek-eng-pang mengancam akan membunuh Cui Lan dan Gubernur Hok
kalau dia melawan. Akan tetapi munculnya Ang Tek Hoat membuka rahasianya dan akhirnya, dalam
pertandingan melawan Tek Hoat dia dikeroyok dan roboh pingsan.
Ketika Kian Lee sadar kembali, dia telah berada di dalam sebuah kamar dan dijaga oleh empat orang
wanita anggota Hek-eng-pang yang cantik-cantik. Begitu siuman, dia lalu bangkit duduk dan siap untuk
mengamuk. Akan tetapi seorang wanita cantik yang dia tahu merupakan seorang di antara kepala-kepala
pasukan di Hek-eng-pang, muncul dan langsung berkata, “Harap kau suka tenang, Kongcu. Kalau tidak,
terpaksa kedua orang kawanmu itu kami bunuh!”
Teringat akan Cui Lan dan Hok-taijin, Suma Kian Lee tenang kembali dan dia bangkit duduk kemudian
berkata, “Sesungguhnya, apakah yang kalian kehendaki dariku?” Dia memandang ke kanan kiri dan
bertanya lagi, “Mana ketua kalian itu? Dan mana pula Tek Hoat? Suruh mereka bicara dengan aku!”
“Pangcu sedang pergi dan aku yang diberi tugas untuk minta agar kau mengaku saja semuanya, Sumakongcu.
Bukankah sudah jelas bahwa yang merampas harta keluarga Kao adalah seorang pemuda yang
dikenal pula sebagai Suma-kongcu dan menjadi saudaramu? Nah, sekarang, demi keselamatan dua orang
kawanmu itu, terutama dara cantik jelita yang selalu menanyakan keadaan dan mengkhawatirkan
keselamatanmu itu, yang agaknya adalah... ehhh, kekasihmu.“
“Jangan bicara sembarangan!” Kian Lee menghardik dan mukanya berubah merah.
Dia tahu betapa lembut dan halus perasaan Phang Cui Lan, dan betapa dara itu masih
mengkhawatirkannya, akan tetapi hal itu bukan berarti dara itu cinta kepadanya karena hati dan cinta kasih
dara itu telah ditumpahkan kepada Siluman Kecil!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Maaf, Kongcu. Sekarang, demi keselamatan mereka, harap Kongcu berterus terang saja. Di mana adanya
harta itu dan supaya dikembalikan kepada kami untuk ditukar dengan dua orang kawanmu.”
“Kalian adalah orang-orang bodoh yang suka menuduh orang secara ngawur saja!” Kian Lee berkata
dengan nada menyesal. ”Aku bukanlah orang-orang macam kalian yang suka membohong, apa lagi
menghendaki barang orang lain. Sesungguhnya, aku sama sekali tidak tahu tentang harta itu. Kalau kau
tak keberatan, ceritakanlah kepadaku apa yang telah terjadi?”
Wanita cantik itu tersenyum, seolah-olah dia tahu bahwa Kian Lee berpura-pura. Lalu dia menarik napas
panjang dan berkata, “Kongcu, engkau membuat tugas kami menjadi lebih berat lagi. Mengapa masih
pura-pura tidak tahu kalau yang melakukan ini adalah saudaramu sendiri?”
Kian Lee menahan kesabarannya. “Aku memang mempunyai saudara yang kini sedang kucari-cari, tetapi
saudaraku bukanlah perampok atau penculik! Nah, sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu apa-apa dalam
hal ini. Kau mau menjelaskan atau tidak terserah!”
Melihat sikap ini, wanita itu menjadi ragu-ragu dan dia pun bercerita, “Kami mendengar bahwa keluarga
Jenderal Kao Liang telah mengundurkan diri dan hendak pulang ke kampung membawa harta yang besar.
Karena rombongannya akan lewat tidak jauh dari sini, maka pangcu kemudian memerintah kami untuk
menghadang dan merampas harta pusaka itu. Kami sudah hampir berhasil, akan tetapi ternyata banyak
pihak lain yang juga mengandung niat yang sama dengan kami. Mereka adalah orang-orang lembah, yaitu
perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang yang selalu menjadi musuh besar kami. Kemudian dalam perebutan
harta pusaka keluarga Kao itu muncul pula pengawal-pengawal kerajaan yang menyamar, dan kami
mendengar pula nama Suma-kongcu. Karena kami tidak berhasil merampas harta, juga pihak Kui-liongpang
tidak pula, sedangkan para pengawal itu telah kami hancurkan, maka tinggal Suma-kongcu itulah
yang mencurigakan dan tentu dia yang telah merampas harta pusaka keluarga Kao.”
“Hemmm, dan di mana adanya keluarga Kao sendiri?”
Wanita itu tersenyum dan mencibirkan bibirnya yang merah. “Mereka terculik dan kami tidak tertarik oleh
hal itu. Kami hanya mementingkan harta pusaka dan karena jelas bahwa harta itu dirampas oleh Sumakongcu,
sedangkan engkau adalah saudaranya, maka kami mengharap bantuanmu untuk mengembalikan
harta itu kepada kami sebagai penukaran diri dua orang kawanmu.”
Akan tetapi Kian Lee sudah tidak mempedulikan omongan wanita itu lebih lanjut karena dia sudah
melamun! Kini mengertilah dia mengapa hal-hal aneh itu terjadi kepadanya. Jenderal Kao dan kedua orang
puteranya menyerangnya, tentu mereka itu pun sudah mendengar bahwa Suma kongcu yang tentu saja
kalau memang benar demikian adalah adiknya, Kian Bu, yang mencuri harta mereka dan menculik
keluarga mereka. Pantas saja jenderal itu dan dua orang puteranya menyerang dia! Tentu ini fitnah belaka!
Tidak mungkin adiknya, Suma Kian Bu, kini telah berubah menjadi garong! Apa lagi menjadi penculik!
Ini tentu fitnah! Dan dia berkewajiban untuk membongkar rahasia ini. Dia harus dapat menemukan
keluarga Jenderal Kao dan menemukan harta yang dirampas orang, bukan hanya untuk membantu
keluarga Jenderal Kao itu melainkan juga untuk membersihkan nama adiknya dari fitnah. Akan tetapi
sebelum dapat mencari keluarga Jenderal Kao dan harta pusakanya itu, lebih dulu dia harus dapat
meloloskan diri dari tempat ini tanpa membahayakan Cui Lan dan Gubernur Hok.
Ahh, betapa banyaknya hal yang masih harus dia kerjakan, betapa banyaknya halangan dihadapinya
dalam perjalanannya kali ini. Masih ada lagi tugas yang juga amat penting, yaitu menyelidiki dan
membebaskan Pangeran Yung Hwa!
“Biarkan aku bicara sendiri dengan Tek Hoat dan dengan ketua kalian,” akhirnya dia berkata. “Terjadi salah
duga atau fitnah keji dalam hal ini,” hanya demikian jawabnya dan akhirnya wanita itu pun
meninggalkannya, mengatakan bahwa ketua Hek-eng-pang yang pergi bersama Si Jari Maut belum
pulang.
Sampai hari menjadi malam, ketua Hek-eng-pang dan Si Jari Maut belum juga pulang dan malam ini
terjadilah peristiwa hebat di puncak Gunung Cemara. Di waktu malam gelap itu, secara tiba-tiba orangorang
lembah, yaitu musuh besar perkumpulan Hek-eng-pang, datang menyerbu! Mereka ini adalah orangorang
Huang-ho Kui-liong-pang yang datang secara tidak terduga-duga dan menyerang perkampungan
Hek-eng-pang dengan hebat, membakari rumah di situ.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pihak Hek-eng-pang tentu saja melakukan perlawanan sekuatnya, akan tetapi karena sebagian besar di
antara mereka pergi bersama ketua mereka, maka jumlah mereka kalah banyak, dan juga tanpa adanya
ketua mereka, para anggota Hek-eng-pang ini lemah semangatnya. Akhirnya mereka melarikan diri ceraiberai
mencari keselamatan, meninggalkan rumah-rumah mereka yang menjadi lautan api!
Tentu saja Kian Lee yang terkejut oleh penyerbuan ini, cepat meninggalkan tempat tahanannya. Para
wanita yang menjaga kamar tahanan juga sudah tidak ada lagi dan di dalam keributan itu, Kian Lee tidak
mau ikut campur, tetapi langsung saja dia mencari Cui Lan dan Gubernur Hok. Akan tetapi alangkah
kagetnya ketika dia tiba di tempat tahanan dua orang itu, dia melihat dua orang penjaganya, yaitu wanitawanita
anggota Hek-eng-pang yang ditugaskan menjaga dan menodong mereka telah menggeletak tewas
dan di dalam kamar itu tidak lagi nampak bayangan Cui Lan dan Hok-taijin. Kian Lee lalu berlari ke sanasini
mencari-cari, akan tetapi dia tidak dapat menemukan jejak dua orang itu.
Ketika melihat orang-orang Huang-ho Kui-liong-pang meninggalkan Gunung Cemara sambil bersoraksorak
seperti barisan tentara menang perang, Kian Lee diam-diam membayangi mereka. Tetapi,
gerombolan orang-orang dari lembah itu menggunakan perahu-perahu melanjutkan perjalanan mereka dan
terpaksa Kian Lee lalu membayangi terus di sepanjang pantai sungai.
Sampai pagi hari, perahu-perahu itu terus meluncur dan Kian Lee juga terus menerus membayanginya.
Tibalah mereka di sebuah dusun di pinggir sungai dan perahu--perahu itu berhenti mendarat. Namun tidak
semua anggota Kui-liong-pang mendarat sehingga Kian Lee tidak tahu di mana adanya Cui Lan dan
Gubernur Hok, di perahu yang mana. Selagi dia ragu-ragu dan menduga-duga, siap untuk menyerbu dan
menolong Cui Lan dan Gubernur Hok, tiba-tiba dia dikejutkan oleh teriakan orang di belakangnya.
“Ehh, inilah dia pemuda itu!”
Kian Lee cepat menengok dan dia melihat Ho-nan Cui-lo-mo Wan Lok It, tokoh jagoan dari Gubernur Honan
itu, yang gendut dan rambutnya merah, tak pernah melepaskan guci araknya! Bersama kakek ini, ada
pula belasan orang anak buahnya dan agaknya mereka tiba di dusun ini dalam usaha mereka mencari-cari
Gubernur Hok dan juga dia sendiri. Kian Lee terkejut dan diam-diam dia mengharapkan agar Gubernur Hok
dan Cui Lan jangan keluar dari tempat mereka, karena kalau sampai ketahuan, tentu akan ditangkap dan
sukar baginya untuk melindungi mereka.
Ciu-lo-mo sudah menerjang dengan guci araknya sebagai senjata, dibantu belasan orang itu yang sudah
mengurung Kian Lee. Pemuda ini menganggap bahwa andai kata Cui Lan dan Gubernur Hok ditawan
orang-orang lembah, keadaan mereka lebih aman dari pada kalau ditawan oleh orang-orang ini, karena
orang-orang lembah itu belum tahu siapa adanya Hok-taijin, sedangkan orang-orang ini adalah kaki tangan
Gubernur Ho-nan.
Maka dia lalu melompat merobohkan dua orang anak buah Si Setan Arak Tua dari Ho-nan itu dan
melarikan diri, untuk memancing mereka menjauhi perahu-perahu itu yang diduganya menawan Cui Lan
dan Hok-taijin. Benar saja, Cui-lomo dan anak buahnya cepat melakukan pengejaran. Setelah berjarak
cukup jauh, barulah Kian Lee membalik dan menghadapi mereka dengan tenang, menanti kedatangan
mereka dan mengambil putusan untuk memberi hajaran kepada mereka.
Tetapi, begitu orang-orang itu tiba di depannya dan sebelum mereka menyerangnya terdengar bentakan
halus, “Omitohud...! Tahan senjata... pinni hendak bicara...!”
Semua orang menengok ke arah datangnya suara itu dan muncullah seorang nikouw (pendeta wanita) tua
yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil dan mukanya pucat, akan tetapi matanya
mengeluarkan sinar yang membuat Kian Lee mengenal bahwa nikouw itu bukan sembarang orang. Nikouw
itu memegang sebatang tongkat panjang dan dengan pandang mata menyelidik, dia bertanya kepada Honan
Ciu-lo-mo dengan suara nyaring, “Apakah kalian orang-orang Kui-liong-pang?”
Ciu-lo-mo Wan Lok It memandang marah, akan tetapi karena dia berhadapan dengan seorang nikouw, dia
menahan kemarahannya dan berkata, “Harap Lo-suthai jangan menduga sembarangan dan mengira kami
adalah orang-orang dari perkumpulan kotor itu. Kami adalah pasukan dan utusan dari Kui-taijin, yaitu
Gubernur Ho-nan!” Ciu-lo-mo mengangkat dada untuk membanggakan kedudukannya sebagai utusan
gubernur.
Akan tetapi sungguh celaka. Ketika nikouw itu mendengar bahwa dia adalah utusan Gubernur Ho-nan,
wajah nikouw itu menjadi merah dan sinar matanya menunjukkan kemarahan. “Bagus! Sungguh kebetulan
dunia-kangouw.blogspot.com
sekali. Justeru kalian inilah orang-orang yang harus pinni cari. Hayo lekas katakan, di mana adanya Phang
Cui Lan? Apa yang terjadi dengan dia?”
Ho-nan Cui-lo-mo Wan Lok It adalah seorang jagoan Ho-nan yang sama sekali tidak mengenal nikouw ini.
Maka tentu saja dia tidak menjadi takut, bahkan dia menghadapi kemarahan nenek ini dengan muka tidak
senang. Apa lagi sekarang nenek itu menyebut nama Phang Cui Lan, yaitu gadis pelayan istana gubernur
yang telah berkhianat dan membantu larinya Gubernur Ho-pei, musuh dari Gubernur Ho-nan.
“Hemmm... nikouw tua...,“ katanya, kini berkurang nada hormatnya. “Apa maksudmu menanyakan gadis
pelayan yang berkhianat itu?”
Nikouw itu makin marah. “Kau ini siapa? Dan apa kedudukanmu di gubernuran?”
Ditanya demikian, Wan Lok It menepuk dadanya. “Belum mengenal aku? Inilah Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok
It. Aku adalah pengawal pribadi Gubernur Ho-nan! Gadis bernama Phang Cui Lan itu adalah seorang
pengkhianat, apa maksudmu menanyakan gadis itu?”
“Omitohud! Sungguh kebetulan sekali. Tentu orang-orang macam engkau inilah yang membujuk gubernur
untuk mencelakai gadis itu. Pinni telah mendengar bahwa gadis itu dikejar-kejar oleh orang-orangnya
gubernur, bahkan hendak membunuhnya. Benarkah begitu?”
“Benar sekali! Dan apakah engkau tahu di mana dia bersembunyi? Kalau kau berani melindunginya,
engkau juga akan celaka!”
“Omitohud, sungguh berani mati! Ehhh, Setan Arak, Nona Phang itu adalah seorang sahabat pendekar
Siluman Kecil yang dititipkan Gubernur Ho-nan, dan sekarang berani kalian hendak membunuh dia!
Bukankah dengan demikian gubernur tidak menghargai beliau? Awas, kalau sampai terjadi sesuatu
dengan nona itu, gubernur dan semua kaki tangannya tentu tidak akan bebas dari hukuman!”
Kian Lee merasa kagum dan heran mendengar ucapan nikouw itu. Kiranya nikouw tua yang lihai dan
berwibawa ini juga merupakan seorang pembantu dari pendekar yang terkenal dengan sebutan Siluman
Kecil! Dia kagum karena selain pendekar itu memiliki banyak pembantu dan namanya amat dikenal dan
disegani semua orang, juga ternyata bahwa pendekar itu mempunyai rasa setia kawan yang besar, dan
juga semua kawan kawannya demikian tunduk dan setia kepadanya. Betapa banyaknya orang yang setia
kepada pendekar itu, dari seorang gadis cantik jelita dan halus budi seperti Cui Lan, sampai kepada orangorang
kasar seperti para pemburu yang menolongnya keluar dari terowongan saluran air itu dan nikouw tua
yang menimbulkan rasa hormat ini.
Namun orang yang sudah biasa mengandalkan kepandaiannya sendiri, kedudukannya dan banyak kawan
seperti Cui-lo-mo tidak merasa takut menghadapi nikouw itu, bahkan dia menjadi marah sekali. Tentu saja
dia sudah mendengar akan nama Siluman Kecil yang kabarnya muncul seperti siluman, membasmi orangorang
jahat akan tetapi tidak pernah dapat dilihat dengan nyata orangnya itu, yang pernah pula membasmi
penjahat yang mengganggu Propinsi Ho-nan dan juga dihormati oleh gubernur sendiri. Tetapi dia sendiri
belum pernah melihat sendiri kelihaiannya, maka tentu saja dia tidak mau tunduk begitu mudah, apa lagi
yang muncul hanya seorang nikouw tua sepertl itu, yang berani mengeluarkan kata-kata keras bernada
mengancam terhadap gubernur beserta kaki tangannya!
“Ehhh, nikouw tua! Hati-hati engkau bicara, atau kau kutangkap sebagai seorang kaki tangan pengkhianat!”
“Hemmm, Setan Arak. Kalau kau berani, boleh coba kau tangkap pinni!” jawab nikouw itu.
“Bagus! Engkau yang menantang, jangan nanti persalahkan aku dan mengatakan aku tidak menghormat
seorang pendeta wanita tua!” Ho-nan Cui-lo-mo lalu menerjang maju dengan gucinya, menyerang nikouw
itu.
“Trang-trang-tringgggg...!”
Tongkat nikouw itu menangkis guci dan ketika ada arak muncrat dari guci itu ke arah mukanya, nikouw itu
hanya meniup dan arak itu pecah dan buyar. Kemudian tongkatnya membalas. Ternyata serangan balasan
nikouw itu pun kuat sekali hingga mengejutkan Ho-nan Ciu-lo-mo. Maklum bahwa nenek itu ternyata
merupakan lawan yang cukup tangguh, dia lalu meneriaki anak buahnya untuk maju mengeroyok.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sungguh tidak tahu malu!” Kian Lee membentak dan pemuda ini telah melompat maju, mengamuk dan
dalam beberapa gebrakan saja para anak buah dari gubernuran itu cerai-berai dan kacau-balau, bahkan Si
Setan Arak sendiri terdorong mundur oleh hawa pukulan yang keluar dari tangan Kian Lee.
Wan Lok It bukan orang bodoh. Dia memang sudah tahu bahwa pemuda itu lihai, akan tetapi dengan
mengandalkan belasan orang anak buahnya yang merupakan pengawal pengawal pilihan dari gubernuran,
hatinya lantas menjadi besar dan dia tadi hendak menangkap pemuda itu. Namun siapa tahu, di situ
muncul nikouw yang juga lihai dan dengan majunya nikouw itu bersama si pemuda yang lihai, tentu saja
dia dan kawan kawannya merasa kewalahan dan akhirnya larilah mereka sambil menyeret teman teman
yang terluka.
Nikouw itu memandang kepada Kian Lee dengan kagum kemudian berkata memuji, “Omitohud! Pinni
sungguh keliru dan tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata. Kongcu memiliki
kepandaian yang amat tinggi dan tadi pinni sudah berani mengkhawatirkan keselamatan Kongcu. Sungguh
menggelikan!”
Kian Lee menjura kepada nikouw tua itu dan berkata, “Suthai membela Nona Phang, hal itu saja sudah
menunjukkan bahwa Suthai adalah seorang sahabat. Kini saya pun sedang mencari dia dan hendak
menolongnya dari cengkeraman orang-orang jahat.”
“Ohhhhh... begitukah? Di mana dia dan bagaimana Kongcu bertemu dengan dia?”
“Marilah kita mengejar perahu-perahu yang tadi berlabuh di dusun sana, Suthai. Kalau tidak salah, Nona
Phang dan seorang... paman dibawa di dalam salah sebuah di antara perahu-perahu itu. Mari kita
mengejar dan nanti saya ceritakan kepada Suthai tentang pertemuan antara kami.”
Kian Lee dan nikouw tua itu mengejar dan ternyata bahwa perahu-perahu itu telah lama pergi. Kiranya
begitu melihat keributan di darat, perahu-perahu itu tidak jadi singgah dan melanjutkan perjalanan cepatcepat
hingga tidak nampak lagi. Kian Lee lalu mengajak nikouw itu mengejar dengan cepat di sepanjang
pinggir sungai.
Dalam perjalanan ini dia menceritakan bagaimana dia bertemu dengan Phang Cui Lan dan dengan singkat
dia lalu bercerita bahwa Cui Lan bersama dengan seorang kakek melarikan diri dari gubernuran Ho-nan,
dikejar-kejar dan dia sendiri terjerumus ke dalam terowongan saluran air. Diceritakannya betapa dia telah
ditolong oleh Cui Lan yang mengerahkan teman-temannya para pemburu sehingga dia selamat.
“Ahhh... kiranya Kongcu yang ditolong itu? Pinni mendengar dari para pemburu tentang itu, dan dari
mereka itulah pinni jadi tahu bahwa nona Phang dikejar-kejar dan hendak dibunuh, maka sekarang pinni
mewakili beliau untuk menegur gubernur Ho-nan dan untuk menyelamatkan Nona Phang.”
”Maksud Suthai beliau Si Siluman Kecil?” Kian Lee bertanya.
“Siapa lagi?” Nenek itu mengangguk. “Lalu bagaimana, harap Kongcu lanjutkan.”
“Saya mengantar Nona Phang untuk mengungsi ke Ho-pei, akan tetapi di tengah jalan kami ditangkap oleh
gerombolan Hek-eng-pang. Karena mereka itu mengancam hendak membunuh Nona Phang, terpaksa
saya menyerah. Dan malam tadi, Hek-eng-pang diserang oleh gerombolan lain yang menjadi musuh
mereka. Saya dapat terbebas, akan tetapi ketika saya mencari Nona Phang, dia telah lenyap. Mungkin
sekali ditawan oleh gerombolan yang melarikan diri dengan perahu-perahu itu. Sayang, sebelum saya
berhasil mendapatkan apakah Nona Phang berada di perahu itu, muncul si Setan Arak yang mengenal
saya ketika terjadi keributan di gubernuran Ho-nan dan dia menyerang saya sehingga perahu-perahu itu
sempat pergi.”
Nikouw itu mendengarkan dengan penuh perhatian. ”Ahhh, kalau begitu Kongcu telah banyak membela
dan melindungi Nona Phang dan dengan demikian maka bolehlah dibilang Kongcu adalah seorang
sahabat juga dari beliau.”
Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, akan tetapi belum juga dapat menyusul perahu-perahu itu.
Hati Kian Lee makin tertarik kepada tokoh yang berjuluk atau dijuluki Siluman Kecil itu.
“Suthai, siapakah sebenarnya Siluman Kecil itu? Siapa namanya dan dia datang dari mana?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba nikouw tua itu berhenti dan memandang kepada Kian Lee dengan sinar mata penuh selidik dan
kecurigaan. Akan tetapi melihat sikap Kian Lee tenang-tenang dan biasa saja, dia menjawab, “Pinni juga
tidak tahu banyak. Yang pinni ketahui hanyalah bahwa beliau sering kali datang ke kuil kami dan bercakapcakap
dengan Subo. Beberapa hari yang lalu beliau datang dan setelah bercakap-cakap dengan Subo,
pinni dipanggil dan diserahi tugas untuk menyelidiki keadaan Nona Phang.” Nikouw itu menghentikan
ceritanya dan jelas bahwa dia enggan untuk banyak bicara tentang tokoh itu. Tentu saja sikap ini bahkan
makin menarik hati Kian Lee.
“Telah lama saya mendengar nama besar Siluman Kecil. Ingin sekali saya bertemu dengan orangnya dan
berkenalan,” katanya.
“Hemmm, tidak mudah!” Nikouw itu menggelengkan kepala dan mereka melanjutkan perjalanan. “Sungguh
sangat sukar bertemu dan berkenalan dengan beliau, mungkin sama sukarnya dengan mendaki puncak
Thai-san! Beliau tidak suka bertemu orang, bahkan dengan sahabat-sahabat yang amat dipercayanya pun
jarang bertemu.”
Setelah itu, nikouw tua yang mengaku berjuluk Liang Wi Nikouw itu tak mau lagi bicara tentang Siluman
Kecil. Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, namun anehnya, mereka tidak juga dapat menyusul
rombongan perahu itu. Akan tetapi mereka terus mengejar dengan cepat sekali.
Hari telah sore. Matahari telah condong ke barat dan sinarnya kehilangan teriknya yang hebat. Kian Lee
dan Liang Wi Nikouw tiba di daerah yang berbatu-batu, batu karang yang tajam meruncing dan sukar
dilewati. Namun berkat ginkang mereka, keduanya masih dapat melanjutkan perjalanan, sungguh pun
dengan hati-hati dan meloncat dari batu ke batu.
Terdengar suara air bergemuruh. Kiranya dibagian yang berbatu-batu itu merupakan tebing yang curam
sekali dan air sungai itu kini menjadi air terjun yang amat terjal. Keduanya mendekati dan menjenguk ke
bawah. Tinggi sekali tempat itu dan air sungai itu terjun ke tempat yang dalamnya sampai ratusan meter!
Air yang menghantam batu batu di bawah berubah menjadi uap dan dari atas kelihatan gelap seolah-olah
mereka berdiri di atas awan.
Jauh sekali di bawah, di sekitar air terjun yang tertutup awan air itu, nampak dikelilingi tebing yang amat
curam dan agaknya tidak mungkin di datangi manusia. Dan di antara tebing-tebing itu, seolah-olah
dikelilingi tebing yang curam, terdapat tanah datar yang luas dan nampaklah beberapa petak rumah yang
dlingkari tembok seperti benteng yang berdiri di tanah datar itu.
“Ahh, ada perkampungan di sana!” Nikouw itu berkata.
“Dan agaknya perahu-perahu yang lenyap itu telah disembunyikan dan sangat boleh jadi bahwa
perkampungan di bawah itulah perkampungan orang-orang yang menyerang Gunung Cemara, yang
disebut orang-orang lembah atau pun Perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang.”
“Akan tetapi, sungai ini bukan Sungai Huang-ho,” nikouw itu berkata heran.
“Memang bukan, akan tetapi saya rasa merupakan cabang Sungai Huang-ho dan mereka itu adalah bajakbajak
Sungai Huang-ho, maka memakai nama demikian. Kalau saya tidak salah menduga, Suthai, di
sanalah adanya Nona Phang dan Paman Hok.”
“Siapa Paman Hok itu?”
Kian Lee tidak mau sembrono membuka rahasia Gubernur Ho-pei, maka dia menjawab, “Seorang pekerja
di Gubernuran Ho-nan yang membantu Nona Phang melarikan diri.”
“Kita harus dapat turun ke sana untuk menyelidiki,” kata Liang Wi Nikouw.
“Memang benar, akan tetapi bagaimana kita dapat turun ke sana?”
Mereka lalu mencari-cari jalan turun, akan tetapi tidak ada jalan turun yang merupakan jalan manusia, juga
mereka tidak berhasil menemukan jalan rahasia. Jalan turun satu satunya menuju ke perkampungan di
bawah sana itu hanya menuruni tebing curam itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nona Phang harus ditolong!” kata si nikouw tua. “Kalau terpaksa, kita harus mendaki tebing dan turun ke
sana.”
Kian Lee mengangguk. “Tebing ini biar pun curam, namun terdiri dari batu karang yang runcing dan kuat.
Kita dapat merayap turun. Akan tetapi kalau dilakukan di waktu cuaca masih terang, amat berbahaya,
Suthai. Kalau kita sedang merayap lalu diserang dari bawah atau dari atas, bagaimana kita dapat
menyelamatkan diri? Lebih baik menanti sampai cuaca mulai gelap. Nah, baru kita merayap turun.”
Nikouw itu mengangguk-angguk. “Kongcu benar dan cerdik, biarlah kita menanti sampai gelap.”
Mereka lalu mencari tempat duduk untuk menanti datangnya gelap dan mereka mencari batu yang agak
datar di antara batu-batu karang yang kasar dan runcing itu. Dengan duduk bersila di atas batu yang datar,
mereka mengaso, melepaskan lelah dan menanti sampai matahari tenggelam di barat. Liang Wi Nikouw
sudah duduk bersila dan tidak lama kemudian tenggelam dalam semedhi.
Tiba-tiba batu itu bergerak. Bahkan bergeser! Cepat-cepat Kian Lee menyambar lengan nikouw itu,
dibawanya meloncat turun dan mereka lalu bersembunyi di balik batu karang yang besar, dan mengintai
dengan mata terbelalak heran dan kaget. Batu yang tadi mereka duduki itu terus bergeser, terdengar suara
berderit dan ternyata di bawah batu itu terdapat sebuah lubang yang besar. Sebuah mulut terowongan!
Kiranya batu yang mereka jadikan tempat mengaso itu merupakan sebuah pintu rahasia!
Terdengar suara orang dan muncullah belasan orang dari dalam lubang, dikepalai oleh seorang kakek
berusia enam puluh tahun lebih yang bertubuh kecil dan pendek. Orang ini sikapnya tenang dan angkuh,
tanda bahwa ia adalah orang yang memiliki kekuasaan di antara teman-temannya itu. Dan kenyataannya
memang demikianlah.
Dua orang anak buahnya cepat-cepat membersihkan permukaan batu yang menjadi pintu itu dengan sapu
tangan, mengebut bersih debu yang menempel di atas batu itu dan mempersilakan kakek bertubuh kecil
pendek itu untuk duduk di situ. Sedangkan dua belas orang anak buah itu hanya duduk sembarangan saja
di sekitar tempat itu.
“Ji-pangcu (Ketua kedua), apakah para tamu sudah akan datang?” seorang yang duduk paling dekat
bertanya.
Kakek kecil itu mengangguk. Dengan mata disipitkan dia memandang ke depan, seperti merenung jauh.
“Tadi sudah ada tanda rahasia bahwa mereka akan datang, maka kita harus bersiap-siap menyambutnya
di sini.”
Kian Lee dan Liang Wi Nikouw masih bersembunyi di balik batu karang besar sambil mendekam, mengintai
dan mendengarkan dengan perasaan tegang. Mereka sudah bersepakat untuk tidak akan sembarangan
turun tangan sebelum dapat menyelamatkan Nona Phang dan ‘paman’ Hok, karena kalau mereka itu
belum diselamatkan lebih dulu, tentu sukar bagi mereka untuk turun tangan.
Tak lama kemudian, dari jauh terdengar suara suitan nyaring sekali. Orang yang disebut Ji-pangcu itu
bangkit berdiri, kemudian dia pun mengeluarkan suara melengking nyaring sebagai sambutan. Diam-diam
Kian Lee menilai bahwa orang tua yang pendek kecil ini memiliki khikang yang cukup tangguh, maka dia
makin berhati-hati.
Terdengar kini suara kaki kuda berderap dan tak lama kemudian, muncullah seorang kakek yang diiringkan
oleh dua puluh orang yang berpakaian seperti jago-jago silat. Kakek itu bersikap gagah dan segera
disambut oleh Ji-pangcu. Setelah saling menjura, kakek pemimpin rombongan ini mengeluarkan sehelai
kartu yang cepat diterima oleh Ji-pangcu.
Setelah membaca tulisan di atas kartu itu, Ji-pangcu segera menjura lagi dan berkata dengan hormat,
“Kiranya Boan-wangwe (Hartawan Boan) yang datang! Selamat datang di Lembah Kui-liong-pang!”
Kakek yang disebut Hartawan Boan ini memandang kakek kecil pendek dengan penuh perhatian,
kemudian tertawa, “Ha-ha-ha, biar pun baru sekarang saling berjumpa, tetapi kami telah mendengar nama
besar dari Khiu-pangcu (Ketua Khiu). Benarkah dugaan kami?”
Kakek pendek kecil itu pun lalu tertawa. “Tepat sekali dugaan Boan-wangwe. Silakan masuk!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ji-pangcu atau juga disebut Khiu-pangcu itu mempersilakan dengan tangan kanannya dan masuklah
Hartawan Boan bersama anak buahnya melalui pintu terowongan itu, diantar oleh salah seorang di antara
dua belas anak buah yang berjaga di luar pintu terowongan itu.
Boan-wangwe itu sebenarnya adalah seorang bekas kepala bajak yang amat terkenal, lihai dan juga
berpengaruh. Akan tetapi kini dia tidak pernah menjadi pembajak lagi karena dia sudah menjadi seorang
pedagang besar, dagangannya adalah... ikan yang dihasilkan oleh sungai cabang Huang-ho itu. Akan
tetapi dia sendiri bukanlah nelayan dan semua nelayan dari belasan desa di sepanjang sungai itu harus
menjual ikan hasil tangkapan mereka kepada Boan-wangwe! Tentu saja dengan harga rendah! Dan tidak
ada seorang pun berani menentangnya.
Boan-wangwe selain terkenal mempunyai banyak tukang pukul jagoan, juga terkenal murah hati dalam hal
memberi pinjaman dengan bunga-bunga yang mencekik leher. Dan hampir semua nelayan sudah
mempunyai hutang padanya. Dia bersedia memberi hutang berupa jala, perahu dan lain-lain keperluan
dengan janji bahwa semua hasil tangkapan nelayan itu harus disetorkan kepadanya dengan pengganti
sedikit uang lelah! Pendeknya, hartawan she Boan bekas kepala bajak ini merupakan seorang pemeras
hebat di sepanjang sungai itu dan kekuasaannya seperti raja saja di kalangan para nelayan.
Kian Lee dan nikouw tua itu mengintai terus dan tak lama kemudian, kembali terdengar suitan nyaring dan
seperti juga tadi, Ji-pangcu menjawab dengan suara melengking. Kiranya suitan nyaring itu adalah tanda
rahasia dari penjaga di sebelah depan untuk memberi tahu akan datangnya tamu. Muncullah rombongan
kedua dan rombongan ini terdiri dari sepuluh orang yang mengawal dua orang yang memikul sebuah
tandu. Cara mereka datang juga amat aneh dan mengagumkan karena dua orang pemikul tandu itu
memikul sambil berloncatan dengan tubuh ringan dan gesit bukan main, demikian pula sepuluh orang
pengikut atau pengiring itu, semuanya menggunakan ginkang yang mengagumkan berloncatan dengan
ringan sekali seolah-olah yang datang ini adalah sekumpulan burung yang aneh atau sekumpulan kucing
yang berloncatan dari batu ke batu dengar gerakan yang cepat sekali!
Setelah tiba di depan Ji-pangcu, tandu atau joli diturunkan dan keluarlah seorang gadis yang cantik sekali,
berpakaian serba merah muda yang mentereng dan di punggungnya terdapat sebatang pedang yang
gagang dan sarungnya terukir indah, dihias dengan ronce-ronce merah tua.
Melihat gadis cantlk ini, Ji-pangcu segera menyambut sambil tertawa. “Selamat datang, Ang-siocia! Kiranya
Siocia yang datang mewakili Hek-sin Touw-ong (Raja Maling Sakti Hitam)?”
Nona itu tersenyum manis dan menjura. “Benar, Khiu-pangcu. Suhu sedang banyak urusan maka
mengutus aku untuk mewakilinya.” Dia mengeluarkan sebuah kartu nama seperti tadi dan segera
diperkenankan masuk dengan penuh keramahan dan diantar pula oleh seorang anak buah Kui-liong-pang.
Senja mulai mendatang dan cuaca makin gelap. Akan tetapi, setelah malam tiba, bulan muncul sore-sore
dan langsung menjadi pengganti dari matahari sehingga meski pun cuaca tidak seterang siang hari, namun
cukup terang karena langit bersih dari awan mendung. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw masih bersembunyi
karena maklum bahwa tentu masih ada tamu-tamu lain, buktinya Ji-pangcu masih menanti di situ bersama
anak buahnya. Mereka diam-diam merasa heran sekali karena tidak mengerti apa yang terjadi di lembah
bawah sana hingga orang-orang aneh berdatangan mengunjunginya.
Tidak lama kemudian, muncullah seorang laki-laki tinggi besar, tanpa pengawal. Juga kedatangannya
didahului oleh suitan tanda rahasia. Ji-pangcu cepat menyambutnya dan ternyata pendatang baru ini
adalah kenalan lama karena mereka berjabat tangan dan bersendau-gurau. Oleh Ji-pangcu, orang itu
disebut Toat-beng Sin-to Can Kok Ma (Golok Sakti Pencabut Nyawa), seorang perampok tunggal yang
terkenal. Seperti yang lain-lain, perampok tunggal tinggi besar ini diperkenankan masuk setelah
menyerahkan surat pengenal atau surat berupa kartu rahasia. Kemudian banyak lagi orang-orang aneh
berdatangan dan mereka semua itu agaknya merupakan orang-orang golongan hitam atau kaum sesat
yang rata-rata memiliki sikap aneh dan kepandaian tinggi. Ada pula serombongan yang datang dengan
perahu-perahu mereka.
Kemudian, sampai lama tidak ada lagi tamu datang dan Kian Lee diam-diam menduga bahwa agaknya kini
semua tamu sudah datang. Demikian pula dengan Ji-pangcu dan anak buahnya, mereka mulai tidak sabar
dan kelihatan ingin segera masuk ke dalam terowongan itu karena menanti di situ berarti dikeroyok nyamuk
yang banyaknya bukan main.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba terdengar suara riak air dan muncullah beberapa buah perahu dari dalam air! Dan belasan orang
berlompatan dari permukaan air sambil menyeret perahu mereka. Hebatnya, pemimpin mereka, seorang
kakek yang rambutnya awut-awutan dan terdiri dari dua warna, meloncat sambil mengempit perahunya
dengan kedua kaki, bagai orang menunggang kuda dan kini perahu itu mendarat dengan empuknya di atas
batu karang, seolah-olah batu karang itu hanya kasur saja!
Kian Lee terkejut sekali. Orang ini pun kepandaiannya hebat, pikirnya. Namun sebelum hilang kagetnya,
dia melihat bayangan hitam meluncur turun dari atas dan hampir saja pemuda ini berseru saking herannya.
Dia mengenal benda itu, yang sama dengan burung Rajawali Pulau Es. Benda yang meluncur itu, yang
orang lain hanya kelihatan sebagai tanda hitam yang meluncur turun, dikenal oleh Kian Lee sebagai seekor
burung juga, burung yang besar sekali, akan tetapi bukan rajawali, melainkan garuda yang agak berbeda
dengan Rajawali Pulau Es, akan tetapi sama besarnya! Dan ketika burung itu melayang setinggi pohon,
tiba-tiba dari atas punggung burung itu melayang turun sesosok bayangan manusia dan dengan enaknya
orang ini hinggap di atas batu karang di depan Khiu pangcu.
“Kau boleh pergi!” Suara itu merdu sekali, ditujukan kepada burung yang masih tetap melayang-layang dan
burung itu memekik kegirangan, lalu terbang pergi. Ternyata dia adalah seorang gadis yang berpakaian
serba hitam yang luar biasa cantiknya, demikian cantiknya sampai Khiu-pangcu dan anak buahnya menjadi
bengong!
Dengan gerakan sembarangan gadis itu melayang pergi. Tampak sebuah tali yang panjang berwarna
hitam meluncur turun dari burung itu dan kini tali itu tepat mengenai tangan si gadis dan melingkar-lingkar.
Khiu-pangcu dan anak buahnya makin terkejut. Ternyata benda itu bukan tali melainkan dua ekor ular
hitam! Akan tetapi dua ekor ular yang panjang bukan main, sungguh pun besarnya hanya sebesar ibu jari
kaki.
Gadis itu menengok ke kanan kiri dan pada saat sinar bulan menimpa wajahnya yang benar-benar luar
biasa cantiknya itu, Suma Kian Lee terkejut dan berbisik lirih, “Ahhh... dia...?”
Liang Wi Nikouw berbisik, “Engkau kenal padanya, Kongcu?”
“Tidak... ehh, rasanya sudah pernah melihatnya...“
“Pinni pun belum pernah jumpa, akan tetapi melihat burung itu, dan ular-ular itu, pinni pernah mendengar
Subo bercerita tentang ketua Pulau Neraka dan puterinya. Agaknya dialah puteri dari Pulau Neraka yang
tadinya pinni kira hanya dongeng belaka.”
Makin yakin kini hati Kian Lee. Tidak salah lagi, gadis itu adalah Hwee Li! Puteri dari Hek-tiauw Lo-mo
ketua Pulau Neraka. Ahhh, lima tahun tidak bertemu, kiranya Hwee Li telah menjadi seorang gadis yang
luar biasa... cantiknya dan juga lihainya. Namun cara gadis itu muncul, dan ular-ular itu membuat Kian Lee
bergidik ngeri.
Kakek yang mengepalai rombongan perahu itu, setelah melompat turun dari atas batu karang dan
meninggalkan perahunya di situ, cepat menghormat kepada Khiu-pangcu, agaknya tidak mempedulikan
gadis yang baru turun dari burung garuda tadi, dan dia menyerahkan kartu undangan seperti yang lain-lain
tadi. Akan tetapi pada saat yang hampir bersamaan, gadis itu pun sudah melemparkan kartu undangan itu
ke arah Khiu pangcu. Kartu undangannya berputar seperti hidup kemudian menyambar turun ke arah
tangan Khiu-pangcu yang sedang diulur untuk menerima kartu undangan yang sedang diserahkan oleh
kakek pemimpin rombongan perahu.
“Plakkk! Ahhhhh...!”
Khiu-pangcu terkejut karena mendadak saja ada kartu undangan menimpa tangannya yang diulur dan
berbareng dia menerima pula kartu undangan yang diserahkan oleh kakek itu.
Kini kakek yang mengerutkan alisnya menyaksikan perbuatan nona itu, melangkah ke arah lubang
terowongan, namun ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu nona cantik itu pun sudah mendahuluinya
hendak memasuki lubang terowongan! Kiranya nona ini tidak mau didahului orang!
“Ah, aku yang datang lebih dulu!” Kakek itu menjadi penasaran dan kakinya menendang sebongkah batu
besar yang berat sekali. Batu itu meluncur dan menghalang di depan si gadis cantik sehingga menutupi
lubang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Brakkkkk!”
Gadis itu menggerakkan tangan kirinya ke arah batu dan batu sebesar perut kerbau hamil itu pecah
berantakan! Dengan mata melotot, gadis itu pun menendang sebongkah batu besar yang langsung
menyambar ke arah kakek itu. Kakek itu mendengus, bukan menyambut dengan tangan atau mengelak,
melainkan menyambut dengan kepalanya!