Kho Ping Hoo Keren Bingit Suling Emas Naga Siluman 4 Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf Kho Ping Hoo Keren Bingit Suling Emas Naga Siluman 4
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan
Ketika Cin Liong menanyakan ‘jalan’ itu, Tek Hoat tidak mau menerangkan, melainkan menyuruh dua
orang muda itu cepat kembali ke Lhagat.
Akan tetapi tiba-tiba mereka mendengar suara orang dan Tek Hoat sudah menerjang Cin Liong dengan
pukulan-pukulan dahsyat sambil berbisik. “Cepat lawan aku!”
Cin Liong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Biar pun terkejut, dia sudah dapat mengetahui siasat
pamannya itu, maka dia pun cepat menangkis dan balas menyerang. Ci Sian juga seorang dara yang
cerdik, akan tetapi sejenak dia bengong karena tidak tahu mengapa jembel sinting yang ternyata masih
paman dari jenderal muda itu, tiba-tiba malah menyerang pemuda itu. Akan tetapi ketika dia mendengar
derap kaki banyak kuda, mengertilah dia dan dia pun segera membantu Cin Liong menyerang jembel
sinting itu!
Terkejutlah tiga orang yang sedang bertempur ini ketika melihat bahwa pasukan yang datang itu adalah
pasukan Nepal yang dipimpin sendiri oleh panglima wanita, Puteri Nandini yang ditemani oleh Siok Lan.
“Kalian harus roboh....,“ bisik Wan Tek Hoat dengan cepat dan lirih, hanya terdengar oleh dua orang muda
itu, dan dia pun cepat melakukan serangan dahsyat kepada dua orang muda itu.
Cin Liong dan Ci Sian menangkis, akan tetapi mereka berteriak kaget dan terlempar, terpelanting dan
roboh. Melihat ini, Puteri Nandini dan Siok Lan membalapkan kuda mereka dan berloncatan sambil
mencabut senjata dan menyerang Wan Tek Hoat. Akan tetapi jembel sinting ini mengelak dari sambaran
pedang panglima wanita itu, kemudian dengan jari tangan terbuka dia menghantam pedang di tangan Siok
Lan dari samping. Dara ini menjerit kaget karena pedangnya menjadi patah-patah ketika bertemu dengan
jari-jari tangan itu! Puteri Nandini juga terkejut dan cepat dia menerjang sambil memberi aba-aba agar
pasukannya bergerak.
Wan Tek Hoat tertawa bergelak melihat pasukan maju hendak mengeroyoknya itu. Dia melempar tubuh ke
belakang dan bergulingan di atas tanah, terus melompat jauh sambil tertawa terus. Puteri Nandini mencoba
untuk mengejar, namun jembel sinting itu telah lenyap di balik pohon-pohon dan dia hanya dapat
memerintahkan para pembantunya untuk melakukan pengejaran dan pencarian. Sementara itu, Siok Lan
sudah cepat lari menghampiri Ci Sian dan Cin Liong.
Akan tetapi pertama-tama dara ini berlutut di dekat pemuda itu dan bertanya dengan nada suara khawatir,
“Kau terluka....?”
Cin Liong bangkit dan mengeluh lirih. Pangkal lengan kirinya terluka, baju di bagian itu robek berikut kulit
dan sedikit dagingnya. Hanya luka kecil saja. Juga Ci Sian menderita luka kecil pada pundaknya, berdarah
sedikit.
“Tidak berapa parah, Nona. Penjahat itu lihai luar biasa.... kami berdua tidak mampu menangkapnya....”
“Hemm, kurasa dia itulah mata-mata yang pernah mencuri dalam gedung, Enci Lan! Tentu dia itulah yang
dikabarkan orang-orang jenderal dari kota raja Ceng itu!” Ci Sian menyambung dengan bersungut-sungut.
Panglima wanita itu cepat memeriksa luka mereka dan mengobatinya, lalu mengajak mereka bicara. Dia
menanyakan bagaimana keduanya dapat berada di tempat ini dan bertanding dengan jembel yang lihai itu.
Ci Sian dan Ci Liong lalu saling bantu, menceritakan betapa malam tadi mereka berdua melihat bayangan
berkelebat di gedung. Karena tidak ingin menggegerkan gedung dan pula karena percaya pada diri sendiri
bahwa mereka berdua akan mampu menangkap penjahat itu, keduanya kemudian mengejar. Akan tetapi
ternyata penjahat itu lihai dan mempermainkan mereka, melarikan diri keluar dari kota sampai ke tempat
dunia-kangouw.blogspot.com
ini, bahkan berlari-larian dan berkejaran sampai pagi, baru penjahat itu menanti mereka dan terjadi
perkelahian yang merugikan mereka berdua.
Cin Liong menarik napas panjang ketika mengakhiri ceritanya. “Li-ciangkun, harap suka berhati-hati. Matamata
itu sungguh amat lihai. Saya dan Nona Ci Sian sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa
terhadapnya dan kalau dia menghendaki, agaknya kami berdua sudah tewas sewaktu kami melawannya
tadi. Masih untung bahwa kami hanya menderita luka yang tidak parah.”
“Biar dia lihai seperti setan, kalau lain kali bertemu dengan dia, aku akan menantangnya untuk berkelahi
sampai seribu jurus!” Ci Sian berseru dan kelihatan amat penasaran.
“Akan tetapi, bagaimana bisa begitu kebetulan bahwa hanya kalian berdua saja yang melihat mata-mata itu
pada saat yang sama?” Tiba-tiba Siok Lan bertanya dan dari sikap dan suaranya jelas dapat ditangkap
bahwa dara ini merasa cemburu!
“Enci Lan, engkau menyangka apa?” Ci Sian membentak dengan wajar, sesuai dengan wataknya yang
memang keras dan sikapnya ini banyak menolong dia dan Cin Liong dari pengamatan dua pasang mata
yang memandang tajam dari Siok Lan dan ibunya. “Seperti biasa, malam itu karena gerah aku keluar dari
kamar dan aku memang selalu waspada untuk membantumu mengamat-amati gedung kalau-kalau ada
tamu yang tak diundang menyelundup. Dan tiba-tiba aku melihat bayangan penjahat itu, dibayangi oleh
Liong Cin. Dia memberi isyarat kepadaku bahwa dia mengejar orang di depan, maka aku pun ikut
mengejar. Kami membantumu untuk mengejar mata-mata dan kini engkau hendak mencurigai kami?”
“Memang benar demikian, Nona Siok Lan. Malam itu mendengar orang di luar jendela kamarku. Aku lalu
mengintai dari jendela dan melihat bayangan orang itu longak-longok seperti maling. Aku sengaja tidak
menegur, melainkan diam-diam aku membayanginya, maka ketika dia lari keluar dari gedung dan aku
mengejarnya. Nona Ci Sian melihat kami dan ikut mengejar.”
“Biarlah aku pergi saja dari Lhagat kalau sudah tidak kau percaya lagi, Enci Lan!”
Siok Lan memegang lengan Ci Slan. “Maaf, Adik Sian. Bukan kami tak percaya padamu atau kepada
Saudara Liong Cin, melainkan.... ehh, kami harus hati-hati dalam keadaan seperti ini.... Sudahlah, kami
sungguh berterima kasih kepada kalian berdua, sungguh pun amat sayang bahwa mata-mata itu dapat
meloloskan diri.”
“Lain kali, jika kalian melihat hal-hal yang mencurigakan, harap suka berteriak memberi tahu supaya kami
semua dapat serentak bergerak menangkapnya.” Puteri Nandini juga berkata, akan tetapi dari sikap
panglima ini dan puterinya, mereka berdua agaknya sudah tak curiga lagi dan tentu saja hal ini membuat Ci
Sian dan Cin Liong merasa lega.
Akan tetapi, di samping kelegaan hati itu, ada sesuatu perasaan amat tidak enak dalam hati Ci Sian.
Semenjak peristiwa itu, kalau kini dia melihat Cin Liong bersama Siok Lan berdua sedang berjalan-jalan
atau bercakap-cakap, melihat betapa mesranya sikap Siok Lan kepada pemuda itu, diam-diam dia merasa
tidak senang!
Kadang-kadang dia melawan perasaannya sendiri ini. Apakah dia cemburu? Ihh, mana mungkin?
Perasaan ini timbul ketika dia merasa betapa Siok Lan cemburu terhadapnya. Dia amat sayang kepada
Siok Lan dan merasa bahwa di samping semua keadaan mereka yang berlawanan, namun terdapat
perasaan suka dan sayang antara mereka, perasaan suka antara dua orang sahabat yang cocok.
Akan tetapi setelah kini dia merasa yakin bahwa Siok Lan jatuh cinta kepada pemuda itu. Dialah yang kini
merasa tidak senang atau setidaknya ada perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Tentu saja dia
mengambil sikap tidak peduli dan selalu dia menekankan di dalam hatinya bahwa sikap manis Cin Liong
kepada Siok Lan itu merupakan ‘alasan’ dari jenderal muda itu untuk menjauhkan kecurigaan dan untuk
menyembunyikan diri, tentu saja.
Tiga hari semenjak terjadinya peristiwa itu, pagi hari itu Siok Lan mendekati Cin Liong dan mengajak
pemuda ini berjalan-jalan ke atas sebuah bukit kecil di tepi kota Lhagat. Mereka melakukan perjalanan
seenaknya, berjalan berdampingan dan Siok Lan yang beberapa kali menengok dan memandang wajah
pemuda itu bertanya, “Liong-ko (Kakak Liong), mengapa kau kelihatan termenung saja sejak tadi?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Cin Liong terkejut akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu. Dia bukan hanya terkejut karena
teguran yang membuktikan ketajaman mata dara ini, akan tetapi juga terkejut mendengar sebutan Liongko.
Hanya jarang sekali dara ini menyebutnya koko, biasanya hanya menyebut namanya saja, terutama
kalau berada di depan ibu dara ini atau di depan Ci Sian.
“Ahh, tidak apa-apa, Nona.”
Mereka berjalan terus melalui tempat penjagaan dan tidak mempedullkan pandangan para prajurit Nepal
yang menyeringai. Mereka berdua terus asyik bercakap-cakap dan agaknya sudah bukan rahasia lagi
betapa akrabnya hubungan antara puteri panglima itu dengan pemuda ‘pemburu’ itu.
Mereka sekarang tiba di puncak bukit kecil itu dan mereka duduk berdampingan di atas rumput hijau,
memandang ke arah utara di mana nampak bukit yang dikepung tentara Nepal, bukit di mana terdapat
lembah di mana tentara Ceng sedang dikepung. Sudah hampir sebulan mereka dikepung tak berdaya di
tempat itu! Melihat bukit ini, tak terasa lagi jantung Cin Liong berdebar keras sekali, penuh ketegangan.
Malam nanti saat itu tiba, seperti telah diaturnya dengan matang. Ia telah menghubungi semua
pembantunya dan semua pembantu itu tentu telah bersiap-siap melaksanakan semua perintah dan
siasatnya sampai ke bagian yang sekecil-kecilnya. Dia sendiri perlu berada di Lhagat, selain mengamati
gerakan panglima musuh, juga untuk membantu lancarnya penyerbuan ke Lhagat setelah malam nanti
pasukannya berhasil lolos dari kepungan. Dan dia yakin pasukannya akan berhasil. Semua sudah
diperhitungkannya masak-masak.
Dia dapat membayangkan apa yang akan terjadi kalau bendungan di atas itu dibobol dan air yang
dipergunakan sebagai pasukan pelopor untuk menghantam dan menjebol kepungan musuh. Dan pada
saat yang sama, pasukan-pasukan Tibet yang sudah dipersiapkannya akan bergerak pula menghantam
dari arah lain untuk mengalihkan perhatian lawan. Dan pada saat air menipis, pasukan yang terkepung
akan meloloskan diri, turun dari bukit, keluar dari lembah melalui jalan yang telah dibikin rata dan aman
oleh air bah itu! Dan dengan kekuatan disatukan dengan pasukan-pasukan Tibet, lalu pasukannya akan
menggempur Lhagat! Untuk semua itu, dia juga amat mengharapkan bantuan orang-orang pandai yang
telah diam-diam diselundupkan ke Lhagat dan sekitarnya!
“Liong-koko....”
Cin Liong terkejut dan sadar dari lamunannya. Dengan enggan dia menarik kembali pandang matanya
yang sejak tadi ditujukan ke arah bukit itu dan dia menoleh kepada dara yang duduk di sampingnya. Dia
melihat betapa sepasang mata yang jeli itu menatapnya dengan sayu, sepasang mata yang nampaknya
seperti setengah terpejam, seperti mata yang mengantuk, akan tetapi ada sinar aneh dari sepasang mata
di balik bulu-bulu mata yang lentik itu.
Siok Lan memang cantik sekali, kecantikan yang manis dan aneh seperti biasa terdapat pada kecantikan
dara-dara yang berdarah campuran. Siok Lan adalah seorang dara berdarah peranakan Han dan Nepal
dan agaknya dara ini menerima kurnia yang luar biasa dari alam, dia agaknya telah mewarisi segi-segi
baiknya saja dari ayah bundanya yang berbeda bangsa itu.
Kulitnya putih kuning halus seperti kulit wanita bangsa ayahnya, demikian pula pada kehitaman dan
kelebatan rambutnya, ramping dan semampainya bentuk tubuhnya. Dan dia memiliki sepasang mata yang
lebar dan indah dengan bulu mata lentik, hidung yang agak mancung dan dagu meruncing seperti
kemanisan wajah ibunya.
Cin Liong adalah seorang pemuda yang semenjak kecil mengejar ilmu kepandaian dan belum pernah
melibatkan diri dengan hubungan antara pria dan wanita. Hubungannya dengan Siok Lan hanya
merupakan hubungan yang berdasarkan siasat perangnya belaka, maka selama ini dia menganggap dara
ini sebagai puteri dari panglima pasukan musuhnya, sungguh pun secara pribadi dia amat mengagumi dara
ini, juga ibunya yang dianggapnya seorang panglima yang pandai. Dan dara ini memiliki watak yang sangat
baik.
Kini, dalam keadaan santai, duduk berdua di tempat sunyi itu, mendengar suara Siok Lan memanggilnya,
kemudian setelah menoleh bertemu pandang mata yang demikian indah dan penuh getaran perasaan
memandangnya, jantung Cin Liong terasa berdebar aneh. Selama dia hidup baru kini dia merasakan suatu
getaran aneh dalam hatinya, dan wajah dara itu seolah-olah baru sekarang dilihatnya, baru sekarang dia
menemukan keindahan dan kecantikan luar biasa pada mata dan bibir itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sejenak dua pasang mata itu bertemu pandang, bertaut seolah-olah ada sesuatu yang membuat mereka
terpesona dan seolah-olah pandang mata saling melekat tak dapat dipisahkan lagi. Akan tetapi akhirnya
Cin Liong dapat menguasai debaran jantungnya dan kedua pipinya menjadi merah ketika dia bertanya lirih.
“Ada apakah, Nona?”
Siok Lan juga baru sadar bahwa sejak tadi dia seperti terayun dalam alam mimpi, dan dia menjadi malu
sekali. Cepat dia menunduk dan mukanya yang menjadi lebih merah dari pada muka pemuda itu. “Liongko,
sejak tadi kulihat engkau melamun saja, seperti orang yang berduka, atau seperti orang yang khawatir.
Ada apakah?”
Cin Liong tersenyum. “Tidak apa-apa, Nona.”
Dara itu mengangkat muka memandang dan kini sepasang matanya tidak sayu lagi seperti tadi, melainkan
bersinar tajam penuh selidik. “Sejak kita datang ke tempat ini, engkau duduk melamun dan memandang ke
arah bukit di sana itu, Liong-ko. Aku dapat merasakan bagaimana kedukaan dan kekhawatiran menekan
hatimu melihat pasukan kerajaan itu terkepung di sana sudah sebulan....”
“Ahh, tidak....!” Cin Liong cepat membantah dan diam-diam dia terkejut sekali.
Apakah dara ini mengetahui pula rahasianya? Kalau begitu, amat berbahaya dan dia harus cepat turun
tangan. Terbongkarnya rahasianya akan berbahaya sekali, dan dapat menggagalkan siasatnya yang akan
dilaksanakan malam nanti.
Akan tetapi dara itu nampak tenang saja, bahkan tersenyum pahit. “Aku mengerti, Liong-koko. Engkau
adalah seorang bangsa Han, dan tentu saja tidak senang melihat pasukan bangsamu terkepung dan
menghadapi kehancuran....”
Karena masih meragu, Cin Liong belum turun tangan, dan ia memancing. “Engkau tahu bahwa aku
hanyalah seorang pemburu Nona, aku tidak mencampuri urusan perang....”
“Aku mengerti, Liong-ko, akan tetapi aku pun dapat menduga betapa hatimu duka dan khawatir oleh akibat
perang yang mengancam pasukan bangsamu. Aku sendiri pun benci perang! Aneh kedengarannya. Ibu
seorang panglima perang, namun aku benci perang. Dan tahukah engkau, Liong-ko, Ibu sendiri pun benci
perang!”
“Ehh....?” Cin Liong benar-benar terkejut mendengar ini, dan dia menatap wajah cantik itu dengan heran.
Siok Lan mengangguk kemudian menunduk, merenung. “Ya, Ibuku benci perang. Ibuku adalah seorang
puteri Nepal, sejak kecil mempelajari kesenian dan kesusastraan. Akan tetapi dia pun mempelajari ilmu
silat dan perang. Walau pun begitu, dia selalu mencela perang!”
“Akan tetapi mengapa dia menjadi panglima?”
“Karena.... patah hati.... gagal dalam asmara.”
“Ahhh....!”
Dara itu menoleh dan menatap wajah Cin Liong, kemudian dia menggeser duduknya sehingga berhadapan
dengan pemuda itu. Sejenak dia menatap tajam, kemudian dia berkata, “Dengarlah, Liong-ko, aku akan
menceritakan riwayat kami kepadamu. Akan tetapi harap semua ini dirahasiakan.” Cin Liong hanya
mengangguk-angguk dan merasa heran mengapa dara ini demikian percaya kepadanya.
“Ibuku adalah seorang wanita Nepal, puteri dari seorang pendeta yang semenjak kecil mempelajari seni,
ilmu sastra, silat dan ilmu perang. Kemudian Ibuku menikah dengan seorang pangeran Nepal, seorang
pangeran tua yang menjadi Ayah tiriku.”
“Ayah tirimu....?”
“Ya, aku.... Ayah kandungku adalah seorang pria berbangsa Han, seperti juga engkau, Liong-ko.”
“Hemmm.... sudah kuduga itu, melihat keadaanmu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Karena Ibu lebih perkasa dan pandai dari pada Ayah tiriku, maka Ibu lalu diangkat menjadi perwira tinggi
dalam ketentaraan. Ibu menerima pengangkatan itu hanya untuk menghibur hatinya, karena.... karena
sesungguhnya Ibu tidak mencinta suaminya yang jauh lebih tua, dan hal itu terjadi sampai Ayah tiriku
meninggal dunia. Semenjak itu Ibu menjadi panglima dan biar pun dia membenci perang, terpaksa dia
melakukan tugas kewajibannya sebaik mungkin.”
“Dan.... Ayah kadungmu?”
Dara itu menggeleng kepala. “Ibu merahasiakannya. Aku bahkan tidak tahu siapa she Ayahku itu. Aku tidak
tahu di mana dia, masih hidup ataukah sudah mati. Heran sekali, Ibu agaknya amat membenci Ayah
kandungku sehingga setiap kali aku bertanya, dia marah-marah dan bahkan pernah menamparku karena
bertanya tentang itu. Agaknya.... agaknya dia akan sanggup membunuhku kalau aku bertanya terus.” Dan
sampai di sini Siok Lan, dara yang biasanya lincah gembira itu kelihatan berduka, bahkan ada air mata
menitik turun dari kedua matanya.
Diam-diam Cin Liong merasa kasihan sekali, akan tetapi dia diam saja, masih terheran-heran mendengar
cerita yang luar biasa itu. Ibu dara ini, panglima yang pandai dan perkasa itu, ternyata menyimpan rahasia
kehidupan yang amat menyedihkan! Siok Lan mengusap air matanya, berhenti menangis, kemudian
menarik napas panjang berulang-ulang.
“Liong-ko, betapa inginku pertemuan antara kita tidak terjadi di tempat ini, pada waktu perang seperti ini.
Ahhh, betapa akan senangnya duduk bercakap-cakap denganmu di tempat ini kalau tidak ada perang di
situ, kalau keadaan tenteram dan damai. Akan tetapi.... betapa pun juga.... oleh karena adanya perang
inilah, maka kita dapat saling bertemu.”
Cin Liong diam saja, tidak tahu harus mengatakan apa dan dia pun tidak tahu mengapa dara itu
mengeluarkan ucapan seperti itu.
“Liong-ko, di mana adanya Ayah Bundamu?”
Pertanyaan tiba-tiba ini mengejutkan Cin Liong juga, akan tetapi dengan sikap tenang dia menjawab,
“Mereka tinggal jauh di utara, Nona.”
“Liong-ko, harap kau jangan menyebut Nona padaku, Panggil saja namaku!”
“Akan tetapi, Nona....”
“Apakah engkau tidak mau menganggap aku sebagai seorang.... sahabat baikmu?” bertanya demikian,
dara itu mengangkat muka dan menatap wajah Cin Liong dengan sepasang mata yang tajam berseri.
Akhirnya Cin Liong menunduk dan mengangguk.
“Baiklah, Lan-moi (Adik Lan). Engkau sungguh baik sekali.”
“Bukan aku, melainkan engkaulah yang baik sekali, Liong-ko. Aku berhutang budi dan nyawa padamu....”
“Cukuplah itu, harap engkau jangan sebut-sebut lagi soal itu. Engkau dan Ibumu telah menerimaku di sini
dengan baik sekali, malah akulah yang harus malu....“ Cin Liong teringat betapa kehadirannya itu adalah
sebagai mata-mata padahal dara ini demikian baik kepadanya. Nampak makin jelaslah olehnya betapa keji
dan kejamnya perang!
“Akan tetapi, peristiwa itu tidak akan terlupakan olehku selama hidup, Liong-ko. Dan.... kalung itu.... apakah
masih kau simpan?”
Otomatis tangan kiri Cin Liong meraih ke lehernya, dan gerakan ini saja membuat Siok Lan merasa girang
sekali dan dia yakin bahwa kalung itu masih dipakai oleh pemuda ini, maka ia lalu melanjutkan katakatanya.
“Terima kasih jika masih kau simpan. Liong-ko, ketahuilah jika aku.... aku memberikan kalung
itu.... dengan sepenuh hati.... kalung itu pemberian Ibu dan.... mewakili diriku....” Tiba-tiba dia menunduk
dan mukanya menjadi merah sekali.
Cin Liong juga dapat merasakan kejanggalan kata-kata ini dan makna mendalam yang dikandungnya,
maka dia pun tiba-tiba merasa jengah dan malu. Sejenak mereka berdua yang duduk berhadapan itu tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
mengeluarkan kata-kata, keduanya lebih banyak menunduk dan kalau kebetulan saling pandang, lalu
tersenyum canggung! Hati Cin Liong tergetar dan tertarik.
Dara ini memang memiliki daya tarik yang kuat sekali, akan tetapi selama ini, biar pun bergaul dengan
akrab, dia tidak merasakan daya tarik ini karena seluruh perhatiannya tercurah kepada tugasnya. Kini baru
dia merasakan daya tarik itu yang membuat dia ingin sekali memandang wajah itu dan menikmati
kejelitaannya, ingin sekali bersikap dan berbicara manis, ingin sekali menyentuh dan merangkul mesra.
Akan tetapi Cin Liong masih ingat akan kedudukan dan tugasnya, maka dia mengeraskan hatinya dan
akhirnya dia bangkit berdiri. Siok Lan juga ikut bangkit dan memandang heran.
“Nona.... eh, Adik Siok Lan, marilah kita pulang. Ibumu tentu akan mencarimu, dan tidak baik bagimu kalau
berlama-lama kita duduk berdua saja di tempat ini.”
Dara itu mengerutkan alisnya dan sinar matanya mengandung kekerasan. “Liong-ko, mengapa tidak baik
bagiku? Aku tidak peduli dengan orang lain, dan Ibu tentu tidak akan melarang kalau aku berdua di sini
bersamamu.”
Cin Liong tersenyum. Dalam marahnya, dara itu bahkan nampak semakin cantik! “Syukurlah kalau begitu,
Lan-moi. Akan tetapi, akulah yang merasa tidak enak, karena aku adalah seorang tamu yang diterima
dengan ramah dan baik, dan aku hanya seorang pemburu miskin biasa, sedangkan kau.... kau puteri
panglima....“
“Hussshh, jangan ucapkan lagi kata-kata seperti itu, Liong-ko! Ingat, Ibuku hanya anak seorang pendeta
sederhana yang miskin dan bodoh. Dan aku.... hemm, aku bahkan tidak pernah kenal siapa Ayah
kandungku! Engkau yang mempunyai Ayah Bunda yang jelas dan terhormat, engkau lebih terhormat dari
pada aku.”
Kembali Cin Liong tersenyum. Banyak segi-segi yang baik pada diri dara ini, pikirnya. “Baiklah, Lan-moi.
Engkau benar, akan tetapi sudah lama kita di sini, mari kita kembali.”
Tanpa disengaja, tangannya menyentuh tangan dara itu. Perbuatan tidak disengaja oleh Cin Liong ini
berakibat besar karena dara itu merasa tangannya dipegang dan dia cepat memegang tangan pemuda itu
dan jari-jari tangan mereka saling pegang, kemudian sambil bergandeng tangan mereka menuruni bukit itu.
Dua orang muda remaja yang selama hidupnya baru pertama kali ini mendekati lawan jenisnya, merasa
betapa ada getaran-getaran halus pada jari tangan mereka, getaran yang timbul dari hati mereka yang
berdebar-debar tidak karuan, getaran mesra yang menjalar ke seluruh tubuh, yang membuat mereka
kadang-kadang saling pandang, saling senyum tanpa kata-kata.
Namun apa artinya lagi kata-kata dalam keadaan seperti itu? Senyum dan pandang mata ini sudah cukup
mengeluarkan seluruh apa yang terkandung dalam perasaan masing-masing, yang belum tentu dapat
dilukiskan dengan kata-kata yang betapa indah sekali pun.
Tiba-tiba Cin Liong melepaskan tangannya yang saling bergandengan dengan gadis itu dan Siok Lan juga
cepat-cepat agak menjauhkan diri dari pemuda itu ketika dia melihat munculnya Ci Sian di tikungan depan.
“Eh, Enci Lan, kucari engkau ke mana-mana tidak tahunya berada di sini. Hemm, maaf ya, aku
mengganggu, ya?” kata dara ini sambil tersenyum menggoda, sungguh pun ada perasaan tidak enak di
dalam hatinya, perasaan tidak enak yang dia sendiri tidak tahu mengapa.
“Ahh, ada-ada saja engkau, Sian-moi. Siapa mengganggu siapa? Aku bercakap-cakap dengan.... ehhh,
Liong-ko....”
Akan tetapi dia berhenti karena teringat bahwa baru sekarang di depan Ci Sian dia menyebut pemuda itu
dengan sebutan koko. Mukanya menjadi merah sekali dan melihat ini, Ci Sian tersenyum walau pun
hatinya terasa semakin tidak enak. Mereka bertiga kemudian kembali ke gedung di mana Puteri Nandini
sudah menunggu karena memang panglima inilah yang menyuruh Ci Sian untuk pergi mencari Siok Lan
dan memanggilnya pulang karena dia perlu untuk bicara.
Setelah tiba di dalam gedung, Siok Lan langsung memasuki kamar ibunya dan di situ dia melihat bahwa
ibunya sedang berunding dengan para panglima pembantu ibunya, dan sikap mereka menunjukkan bahwa
tentu terjadi sesuatu yang gawat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ibu, ada apakah?” tanyanya.
“Duduklah. Dengar baik-baik, Siok Lan. Menurut para penyelidik, ada sesuatu yang aneh sedang
direncanakan oleh pihak musuh, entah apa. Ada pergerakan dari pasukan-pasukan Tibet yang telah kita
kalahkan. Kita tidak percaya bahwa pasukan Tibet akan berani bergerak menyerang Lhagat tanpa suatu
rencana tertentu. Agaknya mereka merahasiakan rencana itu dan keadaan pasukan musuh yang
terkepung juga nampak tenang-tenang saja. Ketenangan inilah yang membuat hatiku tidak enak. Maka,
siapa pun harus kita curigai. Engkau bertugas selain menjaga keamanan gedung ini, juga untuk mematamatai
dua orang tamu kita itu.”
“Apa? Ibu maksudkan Adik Sian dan Liong-koko?”
Mendengar puterinya menyebut koko pada pemuda itu. Puteri Nandini memandangnya dengan sepasang
mata penuh selidik dan mata ibu yang tajam ini melihat betapa ada warna kemerahan pada kedua pipi
puterinya.
“Ya, dua orang itu adalah orang-orang asing bagi kita. Biar pun sampai kini tidak ada gerakan-gerakan dan
bukti-bukti yang menjadikan kecurigaan kita, namun kita harus tetap waspada. Dan karena mereka adalah
teman-temanmu, maka sebaiknya engkau yang menyelidiki dan membayangi keadaan mereka agar tidak
terlalu mencolok.”
Siok Lan tidak dapat membantah, apalagi di situ hadir banyak pembantu ibunya, maka dia cepat
mengangguk dan menjawab, “Baiklah, Ibu.”
Mereka lalu berunding dan Sang Panglima Wanita itu lalu membagi-bagi tugas untuk memperketat
penjagaan dan bahkan memutuskan bahwa kalau sampai dua hari lagi pasukan yang terkepung tidak
menyerah dan tidak ada tanda-tanda kedatangan orang-orang penting dari kota raja, maka lembah itu akan
digempur dan pasukan terkurung itu akan dipaksa untuk menyerah!
Malam itu tiada bulan nampak di langit. Hanya ada bintang-bintang gemerlapan di langit hitam, seperti
ratna mutu manikam di atas kain beludru hitam, berkilauan cemerlang, berkedip-kedip seperti ada selaksa
bidadari bermain mata kepada manusia di atas bumi. Bima sakti nampak nyata, dibentuk oleh kelompok
bintang-bintang yang berderet memanjang putih, sehingga nampaknya seperti awan putih cemerlang,
membentuk bayang-bayang hitam yang tetap dan dalam.
Pada malam hari yang indah dan kelihatan penuh ketenteraman itu, dengan angin malam lembut bersilir,
orang-orang di Lhagat dan sekitarnya tiba-tiba dikejutkan oleh sinar yang berluncuran dari bawah. Sinarsinar
yang seperti kembang api meluncur tinggi ke atas, berwarna hijau, kuning dan merah. Mula-mula
warna merah yang lebih dulu meluncur dari lembah bukit di mana pasukan Ceng terkepung, lalu disusul
oleh luncuran warna-warna lain dari bukit-bukit dan bahkan dari dalam kota Lhagat!
Selagi orang-orang menonton kembang api itu dengan heran, kagum hati bertanya-tanya siapa yang
meluncurkan ke atas dan apa artinya itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari atas puncak bukit di mana
pasukan musuh terkepung, suara ledakan keras disusul gemuruhnya air membanjir! Itulah permulaan dari
gerakan yang dilakukan oleh Panglima Kao Kok Han bersama pasukannya yang terkepung, sesuai dengan
siasat yang telah diatur oleh Panglima Kao Cin Liong!
Mula-mula saling diluncurkan anak-anak panah api ke atas oleh para pasukan yang terkepung, yang
disambut oleh pasukan-pasukan Tibet, kemudian disambut pula oleh para anggota pasukan gerilya yang
telah menyelundup ke dalam kota Lhagat. Lalu, Panglima Kao Kok Han, yaitu paman dari Kao Cin Liong,
memimpin anak buahnya membobolkan bendungan air yang telah merupakan danau kecil di puncak
karena mereka membendung air yang keluar dari sumber sehingga terkumpul amat banyaknya. Jebolnya
bendungan ini tentu saja membuat air yang amat banyak itu membanjir ke bawah dengan derasnya,
kemudian langsung menyerbu ke arah pasukan Nepal yang mengepung di bagian barat lembah bukit itu!
Tentu saja pasukan Nepal di sebelah barat bukit ini menjadi kaget, panik dan kacau balau diserang oleh
banjir yang datang dari puncak bukit itu. Mereka tidak tahu apa yang terjadi sehingga ada air yang
mendadak menyerbu mereka dari atas, menyeret perkemahan mereka, dan membunuh banyak orang
serta menyeret orang-orang itu, menghempaskan mereka kepada batu-batu dan pohon-pohon. Mereka
masih belum menyangka bahwa ini adalah perbuatan musuh, dan kepanikan menjadi semakin hebat ketika
tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan hujan anak panah datang dari sebelah luar kepungan yang merobohkan
dunia-kangouw.blogspot.com
lebih banyak orang lagi karena mereka tidak sempat berlindung dan masih panik oleh serangan air bah dari
atas bukit.
Kepanikan ini menjadi-jadi ketika pasukan dari atas bukit yang terkepung itu tiba-tiba menyerbu turun,
mengikuti air yang makin menipis. Pasukan Nepal yang mengepung segera memusatkan kekuatan di
tempat itu, akan tetapi karena mereka sudah kena gempuran air dan pasukan Tibet yang menghujankan
anak panah tadi, mereka mengira bahwa tentu pasukan Ceng-tiauw memperoleh bantuan barisan Cengtiauw
yang besar, dan mereka sudah terlalu panik sehingga mereka melakukan perlawanan dengan hati
takut.
Makin banyaklah pasukan-pasukan Tibet muncul dari berbagai jurusan, menghadang bagian pasukan
Nepal yang tadinya mengepung dari arah lain dan kini berdatangan ke tempat itu untuk membantu kawankawan
mereka. Pasukan-pasukan gerilya Tibet ini memotong-motong pasukan itu dan terjadilah
pertempuran di sana-sini membuat pasukan Nepal yang mengepung itu terpecah-pecah dan kacau-balau.
Mereka mencoba untuk mempertahankan diri, namun akhirnya, menjelang fajar mereka semua terpaksa
harus mundur dan memasuki kota Lhagat setelah mereka kehilangan lebih dari separuh jumlah pasukan
yang sebagian tewas atau roboh oleh air bah, sebagian pula oleh hujan anak panah dan yang terbesar
karena pertempuran yang berat sebelah itu karena kalau pihak Nepal bertempur dengan hati panik dan
ketakutan, adalah pihak tentara Ceng-tiauw yang ingin bebas dari kepungan dan tentara Tibet yang ingin
mengusir musuh itu bertempur dengan penuh semangat!
Panglima wanita Nandini dengan pakaian perang ternoda banyak darah musuh yang dirobohkannya dalam
pertempuran tengah malam itu, dan muka serta leher basah oleh peluh terpaksa memimpin sisa pasukan
itu memasuki Lhagat. Siok Lan yang bertugas menjaga kota itu menyambut bersama para pengawalnya
dan terkejut melihat keadaan ibunya. Tanpa banyak tanya pun dia tahu bahwa pasukan Ibunya kalah dan
kini sisa pasukan itu mundur memasuki Lhagat.
Akan tetapi, baru saja pasukan yang sudah patah semangat itu memasuki kota Lhagat, nampak kebakaran
terjadi di semua penjuru kota itu! Orang-orang berteriak-teriak kebakaran dan keadaan menjadi semakin
panik ketika dengan marah sekali Panglima Nandini memerintahkan para pembantunya untuk memeriksa
kebakaran-kebakaran itu dan memadamkannya.
“Di mana Ci Sian? Di mana Liong Cin?” Panglima itu membentak dengan muka agak pucat kepada Siok
Lan.
Siok Lan memandang ibunya, wajahnya juga menjadi pucat dan dia berkata dengan hati tegang. “Tadi
mereka membantuku melakukan perondaan, bahkan aku memberi tugas kepada mereka berdua untuk
menjaga di sekitar penjara agar jangan sampai tawanan memberontak dan membobol penjara dalam
keadaan seperti ini, Ibu.”
Panglima itu mengangguk-angguk, tetapi tetap saja alisnya berkerut karena dia merasa ragu-ragu. Dia
sudah memperoleh pukulan hebat dan sama sekali tidak disangkanya bahwa musuh demikian lihai
menjalankan siasatnya sehingga dia benar-benar tak dapat menduga sama sekali bahwa pasukan yang
terkepung itu akan mampu meloloskan diri. Tentu ada pengaturnya semua siasat itu, dan pengaturnya
tentulah jenderal sakti yang dikabarkan orang datang dari kota raja dan yang kabarnya amat lihai itu. Kini
baru dia tahu bahwa berita itu tidak berlebih-lebihan, bahwa di pihak musuh terdapat seorang ahli siasat
perang yang hebat.
“Celaka, Li-ciangkun..!” Tiba-tiba seorang penjaga dengan tubuh luka-luka parah datang berlari dan
langsung roboh di depan kaki panglima itu.
Biar pun orang itu sudah terluka parah, akan tetapi melihat orang itu dalam keadaan ketakutan seperti itu,
Panglima Nandini membentak, “Pengecut! Bangun dan ceritakan apa yang terjadi!” Suara panglima ini
penuh kemarahan.
“Penjara.... bobol dan semua tawanan.... lolos.... kami tak dapat menahan mereka....“
“Ahh! Bagaimana terjadinya? Siapa yang berkhianat?”
“Mereka.... mereka.... seorang pemuda dan gadis.... tamu Li-ciangkun....”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Keparat!” Panglima itu membentak marah dan sekali meloncat dia telah berada di atas kudanya kemudian
melarikan kudanya itu ke arah penjara, diikuti oleh Siok Lan yang wajahnya menjadi pucat sekali dan ada
dua butir air mata meloncat turun ke atas pipinya. Hampir dia tidak percaya, Liong Cin seorang
pengkhianat? Seorang mata-mata musuh yang meloloskan para tawanan bersama Ci Sian? Dan Ci
Sian....? Ahhh, dia hampir tidak dapat mempercayai hal ini.
Akan tetapi para tawanan memang telah lolos keluar dan terjadilah pertempuran di mana-mana antara para
tawanan dan para penjaga, juga di antara para tawanan itu terdapat beberapa orang yang lihai berbangsa
Tibet dan Han, dan mereka ini bukanlah tawanan yang lolos, melainkan tenaga-tenaga baru yang entah
muncul dari mana!
Puteri Nandini dengan marah lalu mengamuk dan merobohkan empat orang tawanan yang tidak dapat
menahan sambaran pedangnya. Akan tetapi pada saat itu terdengar tambur tanda bahaya dari menara dan
ternyata pasukan musuh telah mulai menyerang pintu-pintu gerbang kota Lhagat! Hal ini tentu saja
mengejutkan Nandini dan terpaksa dia meninggalkan tempat itu untuk pergi ke menara. Penyerbuan
musuh dari luar lebih penting dari pada pemberontakan para tawanan itu. Siok Lan juga mengikuti ibunya
karena bagaimana pun juga, dalam keadaan yang genting dan gawat itu, dia harus selalu mendekati
ibunya untuk membantu ibunya.
Dan memang pasukan Ceng-tiauw yang dibantu oleh banyak sekali pasukan Tibet telah mulai menyerbu
benteng tembok Lhagat dari pelbagai jurusan! Serbuan itu dimulai pagi sekali ketika cuaca masih gelap.
Tentu saja pasukan-pasukan Nepal menjadi semakin panik karena mereka baru saja mengalami kekalahan
dan gempuran hebat. Dalam keadaan lelah lahir batin mereka kini terpaksa dikerahkan untuk
mempertahankan kota itu dari kepungan musuh. Celakanya, dari sebelah dalam juga terjadi serbuanserbuan,
pembakaran-pembakaran, yang amat menggelisahkan para pasukan itu.
Terutama sekali Puteri Nandini yang menerima laporan bertubi-tubi tentang adanya serbuan-serbuan pada
gedung-gedung pemerintah, pembakaran-pembakaran, bahkan gedung tempat tinggalnya tidak terkecuali
mengalami penyerbuan dan para pengawal gedung itu tewas semua. Mendengar laporan-laporan ini,
maklumlah Sang Puteri yang menjadi panglima ini bahwa kota Lhagat ternyata penuh dengan mata-mata
yang kini dibantu oleh para tawanan yang lolos untuk mengacaukan kota. Kalau kekacauan di sebelah
dalam ini tak segera dibasmi, tentu akan membahayakan pertahanan kota dari serbuan musuh di luar.
Oleh karena itu, sambil mengajak puterinya dia lalu turun dari menara, menyerahkan pengaturan
penjagaan pintu-pintu gerbang kepada komandannya dan dia bersama puterinya lalu menuju ke tempattempat
terjadinya penyerbuan para pengacau itu. Akan tetapi para pengacau itu bergerak secara
bergerilya. Kalau pihak penjaga terlampau kuat mereka menghilang, menyelinap di antara rumah-rumah
penduduk dan membakar atau mengacau di bagian lain, dan tujuan mereka agaknya selain untuk
mengacaukan penjagaan juga untuk mendekati pintu-pintu gerbang karena mereka bertugas untuk
membobolkan pintu itu dari sebelah dalam.
Dirongrong seperti ini dari dalam, para penjaga Nepal menjadi semakin panik dan lelah sekali dan
akhirnya, pintu gerbang sebelah selatan bobol dan dengan suara hiruk-pikuk pasukan Kerajaan Ceng-tiauw
bersama pasukan Tibet menyerbu masuk bagaikan air bah terlepas dari bendungan yang pecah. Keadaan
dalam kota Lhagat menjadi semakin kacau dan bersama dengan terbitnya matahari, pasukan Ceng dan
Tibet yang terbagi bagi menjadi beberapa pasukan itu menyerbu dari semua pintu gerbang yang akhirnya
dapat dibobolkan.
Terjadilah pertempuran-pertempuran di dalam kota itu dengan hebatnya. Bala tentara Nepal kehilangan
kepercayaan diri, dan para pemimpin mereka tak dapat lagi memberi komando secara langsung karena
pertempuran telah pecah di mana-mana memenuhi kota itu. Penduduk yang memang banyak bersimpati
kepada Tibet, sekarang keluar dan membantu pihak Tibet untuk menggempur pasukan Nepal yang mereka
benci! Dan di dalam pasukan mata-mata yang menyelinap di dalam kota dan tadi telah melakukan
pembakaran-pembakaran terdapat cukup banyak orang-orang pandai yang mengamuk bagaikan harimauharimau
buas, membuat pasukan Nepal menjadi makin gelisah.
Di antara pertempuran-pertempuran yang pecah di mana-mana secara kacau-balau itu, pertempuranpertempuran
jarak dekat yang amat seru, nampak Panglima Nandini dan Siok Lan mengamuk bahu
membahu. Dengan pedang di tangan, ibu dan puterinya ini mengamuk, bukan lagi mempertahankan kota
atau demi pasukan Nepal, melainkan untuk mempertahankan diri yang dikepung dan dikeroyok!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, yang membongkar penjara adalah Cin Liong sendiri dibantu oleh Ci Sian. Dara itu ikut
membongkar penjara karena dia hendak mencari Lauw-piauwsu yang dia tahu berada di antara mereka
yang menjadi tawanan. Setelah penjara terbongkar dan semua tawanan menyerbu keluar, Ci Sian seorang
diri memasuki penjara dan bertanya-tanya kepada para tawanan yang lolos itu di mana adanya Lauwpiauwsu.
Para tawanan itu yang menjadi gembira sekali memberi tahu bahwa Lauw-piauwsu dalam
keadaan sakit payah dan mendengar ini Ci Sian segera berlari-lari menuju ke kamar tahanan orang tua itu.
Akhirnya dia melihat laki-laki tua itu rebah di atas lantai beralaskan rumput kering dalam keadaan
mengenaskan sekali. Biar pun selama bertahun-tahun Ci Sian tidak bertemu dengan orang ini dan keadaan
Lauw-piauwsu amat menyedihkan, namun Ci Sian segera mengenalnya dan cepat dia berlutut di atas
lantai dekat tubuh yang kurus kering itu. Tubuh itu kurus sekali, dengan muka pucat dan mata sayu,
napasnya tinggal satu-satu dan tubuhnya amat panas. Kiranya kakek itu diserang demam hebat. Sungguh
menyedihkan sekali keadaan Toat-beng Hui-to Lauw Sek yang dulunya adalah seorang kakek yang
demikian gagahnya itu!
“Paman Lauw....,” Ci Sian memanggil dengan hati terharu melihat keadaan orang ini.
Lauw Sek membuka matanya yang tadinya dia pejamkan, seolah-olah dalam keadaan mata terbuka sayu
tadi dia sama sekali tidak melihat gadis itu memasuki kamarnya setelah mematahkan rantai yang mengunci
daun pintu.
Sejenak mata yang sudah kelihatan tidak bersemangat itu memandang, akan tetapi agaknya dia tidak ingat
lagi kepada Ci Sian. “Siapa.... siapa engkau....?”
“Paman Lauw, lupakah engkau kepadaku? Aku Ci Sian....”
“Ci.... Sian....?”
“Aku Ci Sian atau.... Siauw Goat, cucu dari Kakek Kun, lupakah kau, Paman?”
“Ahhh....” Sejenak mata itu bersinar dan agaknya dia teringat. “Engkau.... ahhh, Nona.... aku.... aku.... amat
payah....”
“Paman, tolong kau beritahukan aku menurut penuturan Kakek Kun dahulu itu, siapakah adanya Ayah
kandungku, Ibu kandungku, dan di mana aku dapat mencari mereka?”
“Ahhh.... aku.... aku tidak kuat lagi membawamu ke sana....”
“Aku akan mencari sendiri, Paman. Harap kau katakan saja di mana mereka dan siapa mereka itu.”
Lauw Sek terengah-engah, agaknya pertemuannya dengan gadis yang sama sekali tak disangkasangkanya
ini, gadis yang tadinya disangkanya sudah tewas, mendatangkan ketegangan yang menambah
berat penyakitnya.
“Paman.... Paman.... tolonglah, kuatkan dirimu, dan beritahu aku....“ Ci Sian memegang pundak orang itu.
Mata yang sudah terpejam itu terbuka lagi. “Ayahmu.... Bu-taihiap.... petualang besar.... Ibu.... Ibumu....
telah meninggal.... kau disia-siakan dan ditinggal.... sebab dia sudah mempunyai isteri lain lagi.... Dia.... dia
di....”
Kakek itu terkulai lemas dan Ci Sian cepat meletakkan telapak tangannya pada dada orang tua itu untuk
menyalurkan tenaga sinkang dan membantu peredaran darahnya. Mata itu dibuka lagi, nampaknya terkejut
dan heran menyaksikan kelihaian dara itu.
“Di mana dia, Paman? Di mana Ayah?”
“Di puncak.... Merak Emas.... di Kongmaa La.... Kakekmu.... dia.... Kiu-bwe Sin-eng Bu Thai Kun....
Ayahmu.... Ayahmu....” Kakek itu mengeluh, terkulai dan Ci Sian menarik kembali tangannya.
Kakek itu telah mengakhiri hidupnya, tanpa sempat memberitahukan nama ayahnya. Dia hanya tahu
bahwa ayahnya disebut Bu-taihiap, dan hal ini amat mendatangkan rasa nyeri di dalam dadanya.
Teringatlah dia akan sikap dan ucapan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang pernah berhubungan dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
seorang pendekar yang disebut Bu-taihiap! Dan juga menurut penuturan mendiang Lauw Sek, ayahnya
seorang petualang besar, dan Ibunya sudah meninggal dunia pula. Bahkan dia telah ditinggalkan oleh
ayahnya itu, disia-siakan!
Ci Sian mengepal tinjunya. Teringat dia akan pesan kakeknya bahwa dia harus bertemu dengan ayahnya
yang bertanggung jawab padanya. Sekarang, ternyata ayahnya adalah seorang laki-laki yang tidak
bertanggung jawab, seorang petualang besar, agaknya gila perempuan karena buktinya, bersama
isterinya, dan entah isteri yang mana, entah ibu kandungnya atau bukan, pernah datang menemui Cuibeng
Sian-li Tang Cun Ciu yang cantik dan ayah kandungnya itu berjinah dengan Tang Cun Ciu. Betapa
memalukan dan rendah! Ayahnya seperti itu! Apa pula perlunya dia mencari ayahnya jauh-jauh?
Dia lalu meninggalkan jenazah itu setelah menggerakkan bibir mengucapkan terima kasih kepada
mendiang Lauw-piauwsu, kemudian berlari keluar dari penjara. Di mana-mana terjadi pertempuran dan
malam telah terganti pagi, cuaca sudah tidak gelap lagi. Matahari telah terbit disambut oleh aliran darah
dan teriakan-teriakan kematian, mayat berserak-serakan, dan di antara suara beradunya senjata terdengar
nyaring pekik-pekik kemenangan dan jerit-jerit kesakitan.
Melihat keadaan ini, tahulah Ci Sian bala tentara Ceng sudah berhasil menyerbu dan memasuki kota
Lhagat, dibantu oleh pasukan-pasukan Tibet. Maka diam-diam dia merasa kagum bukan main kepada Cin
Liong, karena dia tahu bahwa pemuda itulah yang mengatur segala-galanya. Dia lalu teringat kepada Siok
Lan dan mengkhawatirkan keselamatan sahabat baiknya itu. Maka dia kemudian mencari-cari, tidak
mempedulikan pertempuran yang terjadi di sekelilingnya.
Akhirnya dia dapat menemukan ibu dan anak itu yang sedang mengamuk, dikeroyok oleh kurang lebih dua
puluh orang tentara dan perwira yang rata-rata mempunyai kepandaian silat tangguh. Puteri Nandini yang
masih berpakaian perang itu kelihatan telah lelah sekali, bahkan pundaknya telah luka berdarah,
sedangkan Siok Lan sudah terpincang-pincang karena kaki kirinya terluka. Namun dua orang wanita itu
dengan gagahnya, agaknya mengambil keputusan tidak akan sudi menyerah selama masih mampu
melawan dan akan melawan sampai titik darah terakhir.
Melihat ini, hati Ci Sian menjadi tidak tega. Dia telah mengenal Siok Lan yang amat baik kepadanya, dan
tahu akan kegagahan dara itu, maka melihat sahabat itu dikeroyok, mana mungkin dia mendiamkannya
saja?
“Lan-cici, jangan khawatir, aku membantumu!” bentaknya dan dia pun meloncat ke dalam kalangan
pertempuran.
Begitu dia maju menubruk, dia telah berhasil menampar dari samping yang mengenai leher seorang
pengeroyok. Orang itu berteriak kaget dan jatuh terpelanting tak dapat bangkit kembali, pedangnya telah
pindah ke tangan Ci Sian!
“Sian-moi....!” Siok Lan berteriak girang bukan main, bukan girang oleh karena dibantu semata, melainkan
girang dan lega melihat bahwa gadis yang oleh ibunya disangka memberontak dan membantu musuh,
berkhianat itu, ternyata tidak demikian dan kini dibuktikannya dengan membantu dia dan Ibunya!
Juga Puteri Nandini terkejut, akan tetapi diam-diam girang juga bahwa ternyata dara yang menjadi sahabat
puterinya itu bukanlah pengkhianat, melainkan seorang sahabat sejati. Maka dia pun cepat memutar
pedangnya dan merobohkan seorang pengeroyok pula.
Akan tetapi kini kepungan makin ketat dengan datangnya pasukan baru dan jumlah mereka tidak kurang
dari lima puluh orang! Tentu saja tiga orang wanita itu, betapa pun lihai mereka, mulai terdesak dan
kepungan semakin sempit sehingga gerakan-gerakan mereka semakin tidak leluasa.
“Adik Sian, cepat panggil ular-ularmu!” Siok Lan berseru, melihat keadaan mereka yang terancam.
“Ahhh, mana mungkin, Enci Lan? Kota penuh orang yang bertempur, ular-ular itu tidak berani muncul!”
jawab Ci Sian sambil memutar pedang rampasannya tadi.
Kini dia tak lagi dapat menyerang lawan, melainkan hanya membela diri dan menangkis semua sanjata
para pengeroyok yang datang menyambar bagaikan hujan. Demikian pula Siok Lan dan ibunya yang hanya
mampu menangkis. Mereka bertiga kini saling membelakangi, membentuk posisi segi tiga dan menahan
dunia-kangouw.blogspot.com
serbuan senjata-senjata para pengeroyok dari luar. Namun keadaan mereka sungguh sudah sangat
terdesak dan mudah dibayangkan bahwa tak lama lagi akhirnya mereka tentu akan roboh juga.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan tiga orang wanita itu, tiba-tiba terdengar bentakan
halus, namun nyaring dan penuh wibawa. “Tahan semua senjata! Hentikan pengeroyokan!”
Luar biasa sekali bentakan ini, sebab selain dapat menembus semua suara kegaduhan, juga semua
pengeroyok itu seketika berhenti, mundur dan berdiri dengan amat hormat, memberi jalan kepada seorang
pemuda yang mengeluarkan perintah yang amat ditaati itu. Panglima Nandini dan Siok Lan memandang
kepada orang itu dan mata mereka terbelalak, karena mereka mengenal pemuda yang berpakaian jenderal
amat indah dan mentereng ini.
“Liong-ko....!” Siok Lan berseru kaget sekali karena jenderal muda yang gagah itu bukan lain adalah Liong
Cin.
“Hemm…, kiranya Liong Cin adalah jenderal sakti yang dikabarkan orang itu?” Puteri Nandini juga berkata
dengan kaget dan penasaran.
Akan tetapi Cin Liong yang begitu masuk memandang kepada Ci Sian, berkata kepada dara itu dengan alis
berkerut, “Ci Sian, engkau membantu mereka?”
Ditanya dengan suara penuh teguran itu, Ci Sian menegakkan kepalanya, sepasang matanya bersinar
marah dan dia menjawab gagah, “Tentu saja! Aku diterima dengan baik di sini, Enci Siok Lan adalah
sahabatku, melihat dia dan Ibunya terancam bahaya, tentu saja aku membantu dan membela mereka. Aku
bukan seorang yang tidak kenal budi!”
Mendengar jawaban ini, Cin Liong menahan senyumnya dan dia memandang kepada Siok Lan yang masih
terbelalak. Ketika dara ini melihat betapa sahabatnya itu agaknya sama sekali tidak heran melihat keadaan
Liong Cin yang muncul sebagai jenderal, dia lalu berkata, “Dia.... dia.... jenderal musuh....?”
“Ya, Enci Lan, jangan kaget. Dialah jenderal yang dikabarkan orang itu, jenderal muda sakti yang datang
menyelundup dan kalian malah telah menerimanya sebagai tamu dan sahabat! Dan namanya bukanlah
Liong Cin, melainkan Kao Cin Liong!” jawab Ci Sian yang tahu bahwa keadaan panglima muda itu tidak
perlu lagi disembunyikan sekarang.
Mendengar bahwa nama yang dikenalnya itu hanya nama palsu, atau nama asli yang dibalikkan saja, Siok
Lan memandang kepada panglima muda itu dengan heran, akan tetapi ibunya, Puteri Nandini menjadi
terkejut bukan main.
“She Kao?” Panglima wanita itu berseru. “Apakah hubungannya dengan Jenderal Kao Liang?”
Cin Liong mengangguk kepada puteri peranakan Nepal yang gagah itu. “Mendiang Jenderal Kao Liang
adalah Kakekku.”
“Hemm....” Puteri Nandini mengangguk-angguk, tidak penasaran lagi bahwa dia telah dikalahkan oleh
jenderal muda ini karena nama Jenderal Kao Liang telah sangat terkenal dan tentu saja cucunya ini pun
mewarisi kepandaian yang hebat dari jenderal besar itu. “Jadi kalau tidak salah, Ciangkun adalah putera
pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?”
Kembali Cin Liong mengangguk tanpa menjawab oleh karena dia memang tidak ingin memamerkan
keadaan keluarganya.
“Setelah kami kalah, apa yang hendak kau lakukan dengan kami?” kini Puteri Nandini bertanya, dalam
suaranya mengandung tantangan.
“Li-ciangkun, dan.... Nona Siok Lan, tepat seperti yang dikatakan oleh Ci Sian tadi, kami bukanlah orangorang
yang tidak mengenal budi. Oleh karena itu, sebagai pembalasan budi, silakan kalian pergi dengan
aman.”
“Apa? Engkau berani membebaskan kami?” Puteri Nandini berteriak kaget dan juga heran. Dia adalah
seorang panglima musuh yang telah kalah, dan sekarang dibebaskan begitu saja oleh panglima ini!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Li-ciangkun hanya seorang petugas, bukan biang keladi peperangan ini. Silakan!”
“Mari, Anakku!” kata Nandini sambil menarik tangan Siok Lan. Dara ini masih menoleh dan memandang
kepada Cin Liong, mukanya pucat dan sepasang matanya basah.
“Selamat jalan, Nona, mudah-mudahan kita dapat saling bertemu kembali dan maafkan semua
kesalahanku,” kata Cin Liong sambil menjura ke arah Siok Lan yang terisak dan menutupi mukanya.
“Ci Sian, engkau sahabat baik kami, apakah engkau tidak mau pergi bersama kami?” Puteri Nandini
mengajak Ci Sian akan tetapi dara ini menggeleng kepala dengan sikap yang keras. Kembali ada rasa
tidak enak di hatinya menyaksikan sikap Cin Liong dan Siok Lan.
“Tidak, Bibi, aku mau pergi sendiri, aku mempunyai urusan pribadi!” katanya dan tanpa banyak cakap lagi,
bahkan tanpa menoleh kepada Cin Liong, dia lalu meloncat dan pergi dari tempat itu.
“Adik Sian....!” Terdengar panggilan Siok Lan dengan suara mengandung isak.
Ci Sian berhenti, menoleh dan berkata kepada sahabatnya itu, “Sampai jumpa, Enci Lan!” Dan dia pun
melanjutkan larinya tanpa mempedulikan lagi.
“Mari, Siok Lan!” Puteri Nandini menarik tangan puterinya, akan tetapi Siok Lan masih menoleh dan
memandang kepada Cin Liong. Akhirnya, dengan menahan isak, dia pun mengikuti ibunya lari pergi dari
tempat itu, diikuti dan dikawal oleh pasukan pengawal atas perintah Cin Liong agar ibu dan anak itu tidak
diganggu dan dibiarkan lolos dari kota Lhagat di mana masih terjadi pertempuran-pertempuran dengan sisa
pasukan Nepal yang masih melakukan perlawanan. Sebagian besar pasukan Nepal sudah roboh atau
melarikan diri.
Setelah Panglima Nandini dan puterinya pergi lolos dari Lhagat, pertempuran pun tak lama kemudian
berhenti karena pasukan Nepal sudah kehilangan semangat dan keberanian. Sebagian dari mereka
melarikan diri atau membuang senjata dan menaluk. Para taklukan ini oleh Cin Liong diserahkan kepada
para pimpinan pasukan Tibet untuk dijadikan tawanan, kemudian Cin Liong yang menduduki gedung bekas
tempat tinggal Puteri Nandini mengumpulkan para pembantunya. Di antara mereka itu terdapat pula Wan
Tek Hoat yang berjasa besar ketika membantu pasukan membobolkan kepungan karena pendekar sinting
ini yang mengamuk sehingga membuat pasukan kocar-kacir.
“Paman, saya telah menerima perintah untuk melanjutkan gerakan ini ke Nepal, untuk menghajar
pemerintah Nepal yang telah berani menyerang dan memasuki wilayah Tibet. Saya sedang minta bantuan
pasukan dari kerajaan untuk memperkuat barisan. Harap Paman sudi membantu kami.”
Akan tetapi Tek Hoat menggeleng kepala. “Aku tidak mau lewat Bhutan, aku tidak mau perang, aku tidak
bisa ikut.”
Cin Liong hanya menarik napas panjang. Dia merasa kasihan sekali kepada pamannya yang gagah
perkasa ini dan melihat keadaannya seperti jembel sinting ini dia merasa kasihan sekali.
“Kalau begitu sebaiknya Paman mengunjungi orang tua saya, Ibu tentu akan senang sekali bertemu
dengan Paman.”
Cin Liong lalu memberi bekal, kuda, pakaian dan uang secukupnya. Akan tetapi Tek Hoat tertawa bergelak
melihat pemberian ini.
“Jenderal muda, kau kira aku masih membutuhkan semua itu? Bukan itu yang sekarang kubutuhkan, sama
sekali bukan....” Dia masih tertawa ketika berlari pergi meninggalkan Cin Liong yang menjadi bengong.
Jenderal muda ini lalu menggeleng kepala dan menarik napas panjang berkali-kali. Dia sudah banyak
bertemu orang-orang pandai di dunia kang-ouw yang memang wataknya aneh-aneh, dan pamannya itu
mempunyai watak yang lebih aneh lagi…..
********************
“Siok Lan, diamlah jangan menangis lagi!” Nandini membentak dengan marah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di sepanjang perjalanan puterinya hanya menangis saja, menangis demikian sedihnya. Semenjak kecil,
puterinya itu adalah seorang anak yang tabah dan tidak cengeng, bahkan belum pernah dia melihat Siok
Lan menangis seperti sekarang ini, menangis demikian sedihnya! Dikiranya bahwa anaknya itu menangis
karena kekalahannya yang dideritanya.
“Di dalam perang, kalah menang adalah hal yang lumrah sekali, seperti juga dalam pertempuran dunia
persilatan. Harus kita akui bahwa pihak musuh mempunyai seorang ahli yang amat lihai dan siasatnya itu
sama sekali tidak pernah kusangka-sangka dan kuperhitungkan. Kita sudah kalah, mengapa harus
ditangisi? Biasanya engkau bukanlah seorang anak cengeng!”
Siok Lan tidak menjawab akan tetapi tangisnya semakin sedih.
“Semula memang aku sudah menduga bahwa tidak mungkin bala tentara Nepal akan mampu
mengalahkan bala tentara Kerajaan Ceng-tiauw yang amat kuat. Semua adalah kesalahan koksu jahat itu
yang membikin Nepal bermusuhan dengan Kerajaan Ceng. Dan kekalahanku ini membuat aku tidak ada
muka untuk kembali ke Nepal....! Ahh, kita hanya hidup berdua, Anakku, kita tidak mempunyai apa-apa di
Nepal, maka jangan kau terlalu menyusahkan kekalahan ini.”
“Bukan.... bukan itu, Ibu,” kata Siok Lan yang berhenti berjalan dan dara ini duduk di tepi jalan, di antara
sebuah batu besar dan kembali air matanya jatuh berderai.
Nandini terkejut dan memandang penuh selidik. “Kalau bukan karena kekalahan itu, habis mengapa kau
menangis dan begini berduka?”
“Ibu.... dia ternyata jenderal musuh.... hu-hu-huuuuhhh....“ dan kini Siok Lan menangis sesenggukan dan
menubruk kaki ibunya, berlutut sambil menangis.
Nandini terkejut dan sejenak dia termenung, menunduk, kemudian memandang kepala anaknya yang
menangis di depan kakinya. Lalu dia mengangkat bangun anaknya itu setengah paksa, merangkul dan
membawanya duduk kembali di atas batu, membiarkan anaknya itu menangis di atas dadanya. Puteri itu
memejamkan matanya dan tiba-tiba terbayanglah semua pengalamannya di waktu dahulu, di waktu dia
masih muda, masih sebaya dengan puterinya ini.
Nandini adalah puteri seorang pendeta bangsa Nepal yang hidup di atas puncak sebuah bukit yang sunyi.
Ayahnya adalah seorang pertapa yang sakti dan oleh ayahnya, dia digembleng dengan ilmu-ilmu
ketangkasan dan ilmu silat. Pada suatu hari, pada saat Nandini sedang memburu binatang di dalam salah
sebuah hutan, dia melihat perampok-perampok sedang merampok seorang Pangeran Nepal.
Nandini menggunakan kepandaiannya menolong pangeran itu, dan Sang Pangeran amat berterima kasih
dan sekaligus jatuh cinta kepadanya, lalu melamar Nandini dari tangan ayahnya. Sang pendeta tentu saja
merasa terhormat dan menerima lamaran itu dengan girang. Akan tetapi Nandini sendiri merasa berduka
karena dia tidak suka kepada pangeran itu.
Biar pun kedudukannya tinggi, sebagai seorang pangeran yang tentu saja terhormat, mulia dan kaya raya,
namun pangeran itu sudah berusia kurang lebih empat puluh tahun, berwajah kasar buruk dan kabarnya
telah memiliki belasan orang selir. Biar pun dia akan diambil sebagai isteri, bukan selir, namun hatinya
tidak senang. Akan tetapi sebagai seorang wanita, tentu saja dia tidak berani menolak kehendak ayahnya
dan demikianlah, dia menjadi tunangan pangeran tua itu!
Dan pada suatu hari, beberapa bulan sebelum dia menikah, bertemulah dia dengan pendekar itu di dalam
hutan! Seorang pendekar bangsa Han yang masih muda, tampan, sakti sekali, dan di samping itu, pandai
merayu hatinya sehingga jatuhlah hati Nandini! Apalagi jika dia membandingkan pendekar muda ini dengan
calon suaminya, membuat Nandini kehilangan kesadarannya dan dia menyerahkan dirinya kepada
pendekar itu yang memang merayunya. Terjadilah hubungan di antara mereka di dalam hutan itu,
hubungan mesra yang kini terbayang oleh sepasang mata yang dipejamkan itu.
Akan tetapi hubungan antara mereka itu akhirnya ketahuan! Ayahnya menjadi marah dan menyerang
pendekar itu, tetapi ayahnya sama sekali bukan tandingan pendekar itu dan ayahnya malah tewas dalam
penyerangan itu, bukan tewas oleh karena tangan Si Pendekar, tetapi tewas karena serangan jantung
karena kemarahannya yang meluap-luap.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kemudian terjadilah hal yang sangat menyakitkan hatinya. Pendekar itu kemudian pergi meninggalkannya!
Meninggalkannya begitu saja, padahal dia sudah mengandung! Hasil dari pada pencurahan kasih dan
nafsu birahi antara mereka selama hampir satu bulan di dalam hutan!
Namun, pangeran tua itu ternyata amat mencintainya dan bahkan mau memaafkan semua hubungannya
dengan Si Pendekar. Pangeran itu tetap saja mengawininya, dan tidak mau menjamahnya sampai dia
melahirkan seorang anak perempuan, yaitu Siok Lan! Melihat kebaikan pangeran itu, sungguh pun
sebagian dari penyebabnya adalah karena pangeran itu ingin menutupi aib yang akan mencemarkan
namanya sendiri, akhirnya Nandini menerima nasib dan mau melayani pangeran itu sebagai suaminya.
Kemudian, berkat ilmu kepandaiannya, suaminya memberi jalan kepada Nandini sehingga dia dapat
bertugas di dalam ketentaraan dengan pangkat lumayan. Dan ketika pangeran itu meninggal dunia karena
suatu penyakit, Nandini terus menanjak dalam kedudukannya sampai akhirnya dia mendapat kedudukan
tinggi sebagai seorang panglima perang!
Dan akhirnya kedudukannya itu berakhir dengan kekalahan yang amat memalukan! Dia tidak berani
kembali lagi ke Nepal. Kemudian, mendengar tangis puterinya, teringatlah dia akan semua pengalamannya
itu, terbayanglah wajah tampan pendekar itu!
“Siok Lan, apa yang sudah terjadi antara engkau dan Jenderal muda itu?” Akhirnya dia bertanya, setengah
mengkhawatirkan bahwa peristiwa yang dialaminya dahulu itu kini terulang lagi pada puterinya!
Siok Lan memandang ibunya dan melihat sinar mata ibunya tajam penuh selidik, dia pun membalas
dengan pandang mata bersih dan tenang. “Tidak ada terjadi apa-apa kalau itu yang kau maksudkan, Ibu.
Akan tetapi kami.... kami telah saling jatuh cinta.... akan tetapi.... tentu saja kusangka bahwa dia seorang
pemburu muda biasa, bukan seorang jenderal besar.... hu-huuuhh, apalagi jenderal musuh....”
Nandini mengelus rambut kepala puterinya. “Aku girang bahwa tidak terjadi apa-apa antara engkau dan
dia.... dia memang seorang pemuda yang patut mendapat cintamu, Anakku, akan tetapi.... dia jenderal
musuh! Mana mungkin dia mau menikah atau berjodoh dengan seorang seperti engkau....”
“Tapi, kami sudah saling mencinta, Ibu!”
Hemm.... dia seorang ahli siasat perang! Siapa tahu bahwa cintanya kepadamu itu pun hanya merupakan
siasatnya belaka....“
“Ibu....! Jangan begitu kejam.... ahhh, tidak mungkin itu! Ibu, aku mau susul dia, akan kutanyakan hal itu.
Kalau.... kalau benar cintanya itu hanya siasat, aku.... aku akan....”
“Kau mau apa?”
“Aku akan membunuhnya!”
Nandini tersenyum sedih. Dia pun dahulu ingin membunuh pendekar tampan itu, akan tetapi dia tahu
bahwa biar pun dia belajar sampai sepuluh tahun lagi, tidak mungkin dia dapat menandingi pendekar itu.
Dan puterinya ini, biar belajar puluhan tahun lagi mana mungkin dapat menandingi putera Naga Sakti
Gurun Pasir dan cucu mendiang Jenderal Kao Liang?
“Kau takkan menang Anakku.”
“Tidak peduli! Kalau dia menipuku, hanya bersiasat dalam cintanya, biar dia atau aku yang mati!”
“Hemm, itu tidak bijaksana, Siok Lan. Ingat, engkau adalah puteri panglima musuh, selain perbuatanmu
menyusul jenderal musuh itu amat memalukan, juga begitu muncul engkau tentu akan dianggap musuh
dan dikeroyok para anak buah pasukan....“
“Aku tidak takut!” kata Siok Lan yang nampak amat penasaran mengingat betapa cinta pemuda itu mungkin
hanya siasat perang saja! “Lebih baik aku mati dikeroyok dari pada tidak ada harapan berjodoh dengan
dia!”
Siok Lan sudah nekat. Memang benar bahwa pemuda itu dan dia masing-masing belum pernah
menyatakan cinta dengan kata-kata melalui mulut, akan tetapi dia merasa benar ketika mereka saling
dunia-kangouw.blogspot.com
pandang, saling senyum dan saling bergandeng tangan. Dia dapat merasakan cinta kasih itu melalui sinar
mata, melalui seri senyum, melalui getaran dalam sentuhan jari-jari tangan antara mereka.
“Siok Lan, jangan terburu nafsu. Aku sebagai ibumu dapat memaklumi perasaanmu dan aku setuju
sepenuhnya andai kata engkau dapat berjodoh dengan Jenderal muda itu. Dia itu adalah cucu Jenderal
Kao Liang, ini saja sudah merupakan suatu jaminan. Apalagi diingat bahwa dia putera Naga Sakti Gurun
Pasir, itu lebih lagi. Pula, kita sudah melihat betapa lihainya dia mengatur siasat perang, dan aku yakin
bahwa ilmu silatnya pun amat tinggi. Maka, mana mungkin engkau, hanya anak seorang Panglima Nepal
yang telah kalah....“
“Ibu, bukankah Ibu pernah mengatakan bahwa aku juga seorang anak kandung dari pendekar yang sakti?”
“Ayahmu....?” Wajah wanita yang masih cantik itu berubah merah, kemudian menjadi pucat kembali.
Dia memejamkan matanya dan terbayanglah dia ketika dia belum berangkat memimpin pasukan, pernah
ada seorang pengembara datang membawa surat dari pendekar bekas kekasihnya itu, ayah kandung Siok
Lan. Surat itu seperti juga watak orangnya, penuh rayuan dan ternyata pendekar itu sudah mendengar
bahwa dia telah menjadi seorang janda dan pendekar itu merayunya dalam surat, menyatakan rindunya,
menyatakan bahwa pendekar itu kini hidup seorang diri, kesepian dan menanggung rindu, dan
membujuknya agar suka datang ke tempatnya, menikmati hidup bersama! Surat itu telah dirobek-robeknya
dan dia berangkat memimpin pasukan menyerbu ke Tibet. Akan tetapi kini, ketika puterinya merengek,
teringatlah dia akan isi surat.
“Hemmm, memang hanya ada satu jalan. Dan Ayah kandungmu itu, yang selama hidupnya belum pernah
menderita jerih payah merawat dan mendidikmu, sekarang dia harus bertanggung jawab! Ya, dia harus
membuktikan bahwa dia seorang ayah yang patut dan yang sudah sepantasnya kalau menjodohkan
puterinya! Mari kita pergi kepadanya, Siok Lan, dan kita serahkan urusan jodoh ini kepadanya!”
Siok Lan merasa girang sekali dan kedukaannya segera terhapus dari wajahnya dan pada wajah yang
cantik itu terbayang penuh harapan ketika dia pun berlari mengikuti ibunya…..
********************
Puncak Merak Emas merupakan satu di antara puncak-puncak Gunung Kongmaa La yang menjulang
tinggi di atas awan-awan. Kongmaa La merupakan gunung yang nomor tiga tingginya dari deretan
Pegunungan Himalaya, dan mempunyai banyak puncak yang sedemikian tingginya sehingga hampir selalu
tertutup es dan salju. Akan tetapi, puncak Merak Emas hanya pada musim salju saja tertutup es dan pada
musim-musim lain, terutama di musim semi dan musim panas, puncak Merak Emas amat indahnya dan
subur dengan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon besar. Mungkin karena banyaknya terdapat merak
dengan bermacam-macam warna, maka puncak itu dinamakan puncak Merak Emas, meski pun jarang
sekali ada manusia yang dapat bertemu dengan seekor merak yang bulunya keemasan.
Karena tanahnya yang subur dan keadaannya yang lebih enak ditinggali, tidak seperti puncak-puncak
lainnya di Pegunungan Himalaya, maka di kaki dan lereng gunung ini terdapat kelompok-kelompok dusun
yang penghuninya bekerja sebagai petani atau pemburu binatang hutan. Namun di puncaknya sendiri
hanya terdapat sebuah pondok kayu yang sederhana akan tetapi kokoh kuat dan setiap hari orang dapat
mendengar suara seorang pria membaca sajak dengan suara yang lantang dan merdu dari dalam pondok
itu. Di belakang pondok itu terdapat kebun yang cukup luas, penuh dengan tanaman sayur-sayuran seperti
kobis, sawi, wortel, lobak dan sebagainya lagi, di samping beberapa petak sawah yang ditanami padi
gandum.
Semua penghuni dusun di sekitar puncak itu tahu bahwa pondok itu dihuni oleh seorang pria yang hidup
menyendiri di situ, di tempat sunyi itu. Seorang pria yang berpakaian seperti petani biasa, usianya sudah
empat puluh tahun lebih namun masih nampak gagah dan muda, tampan dan periang. Tubuhnya kokoh
kuat biar pun gerak-geriknya halus seperti seorang sastrawan, wajahnya yang gagah dan tampan itu selalu
berseri kemerahan, sepasang matanya bersinar-sinar dan jenggot serta kumisnya terpelihara rapi selalu.
Meski pakaiannya sederhana, pakaian petani, namun selalu nampak bersih dan rapi, sungguh amat
berbeda dengan para petani yang biasanya selalu berlepotan lumpur.
Melihat betapa dia hidup dalam keadaan tenang dan tenteram, nampaknya amat berbahagia, orang akan
menganggap dia seorang petani biasa yang berbahagia, tidak butuh apa-apa lagi, hidup sehat dan penuh
damai. Akan tetapi kalau malam tiba, dan orang melihat dia duduk di senja kala menikmati matahari
dunia-kangouw.blogspot.com
tenggelam sambil melamun, kadang-kadang minum arak sendirian dan membaca sajak-sajak yang indah
dengan suara lantang, maka, melihat wajahnya yang lantas menjadi berduka, mendengar bunyi rangkaian
sajak yang bernada sedih, maka orang akan tahu bahwa sebenarnya ada kedukaan besar tersembunyi di
balik kehidupan yang nampak bahagia itu.
Dan kalau sudah begitu, maka akan jelaslah bahwa dia bukanlah seorang petani biasa, baik dilihat dari
caranya membaca sajak, dan gerak-geriknya. Bahkan, di waktu keadaan sunyi sekali dan dia merasa yakin
tidak ada mata lain memandang, tubuhnya akan berkelebatan seperti kilat pada saat dia berlatih ilmu silat
yang sangat hebat sehingga gerakan tangan kakinya dapat membuat daun-daun pohon rontok dan tanah
di sekeliling tempat dia berlatih itu tergetar seperti ada gempa bumi!
Akan tetapi ada kalanya, agaknya untuk melarikan diri dari kesepian, orang itu nampak bercakap-cakap
dengan orang-orang dusun yang tinggal di lereng. Dia sengaja turun dari puncak membawa arak
buatannya sendiri, mendatangi para penghuni dusun yang diajaknya minum arak sambil bercakap-cakap,
tentang tanaman atau tentang alam atau juga tentang filsafat kehidupan sederhana menurut pandangan
para penghuni dusun.
Ada kalanya pula dia nampak berada di sebuah kuil yang juga berada menyendiri di sebuah lembah di
lereng gunung, sebuah kuil yang dihuni oleh hanya seorang nikouw. Keadaan nikouw ini pun aneh, sama
anehnya dengan petani yang suka bersajak itu, karena nikouw ini tinggal seorang diri dalam kesunyian
pula. Nikouw ini masih muda, kurang lebih tiga puluh lima tahun usianya, berwajah bersih dan cantik,
namun jarang dia memperlihatkan wajahnya yang selalu disembunyikan di balik kerudung putih.
Nikouw ini sangat ramah dan manis budi terhadap para penghuni dusun, sering kali berkeliling untuk
memberi petunjuk dan pengobatan, dan sering kali menerima orang-orang bersembahyang memohon
berkah dari para dewa. Biar pun tidak pernah bertanya dan tidak pernah melihat buktinya, namun semua
penduduk dusun dapat merasakan bahwa baik si petani di puncak, mau pun nikouw di kuil sunyi itu
tentulah bukan orang-orang sembarangan.
Nikouw itu mendiami kuil lama yang dibersihkan dan diperbaikinya sendiri, juga hidup dari bertanam sayur
di belakang kuil. Tiada seorang pun dapat mengatakan kapan dua orang ini muncul di tempat itu, akan
tetapi seingat para kaum tua di dusun-dusun itu, kemunculan mereka juga dalam waktu yang sama.
Ada kalanya pula petani itu duduk seorang diri di waktu pagi sekali atau di waktu senja menikmati matahari
timbul atau matahari tenggelam, sambil meniup suling bambunya. Dia pandai bermain suling, suara tiupan
sulingnya mengalun halus dan lembut sekali, mendatangkan hikmat ke mana pun suara itu dapat
terdengar. Melihat para petani itu membaca sajak dan meniup suling, dapat diduga bahwa dia tentu
seorang ahli sastra, di samping ahli silat.
Pada senja hari itu, kembali dia meniup sulingnya sambil duduk menghadap ke barat, menikmati keindahan
angkasa yang seperti terbakar oleh warna merah, kuning dan biru dari sinar matahari senja. Ketika suara
sulingnya melambat dan melirih kemudian hilang ditelan keheningan, petani itu tersenyum dan biar pun dia
menunduk, namun matanya mengerling ke kanan dan dia melihat berkelebatnya bayangan orang di bawah
puncak. Dia bersikap tidak peduli, bahkan lalu bangkit berdiri dan melangkah lambat-lambat memasuki
pintu pondoknya.
Bayangan yang berkelebatan cepat itu adalah Ci Sian. Dara ini, seperti kita ketahui telah meninggalkan
Lhagat, kemudian dia melakukan perjalanan menuju ke Pegunungan Kongmaa La, mencari tempat tinggal
ayahnya seperti yang diketahuinya dari penuturan mendiang Lauw Sek. Sore tadi, atau lewat tengah hari,
dia tiba di kuil sunyi dan melihat seorang nikouw muda dan cantik sedang mencangkul di kebun sayur
belakang kuil.
Sejenak Ci Sian merasa terheran melihat seorang nikouw yang muda dan cantik sendirian saja di kuil tua
yang sunyi, apalagi melihat nikouw itu melakukan pekerjaan berat mencangkul kebun. Akan tetapi nikouw
itu tiba-tiba berhenti mencangkul, menoleh dan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik,
kemudian terdengar suaranya bertanya, suaranya mengandung teguran halus namun tajam.
“Siapakah engkau dan mengapa melihat orang yang sedang bekerja?”
Ci Sian adalah seorang dara yang berwatak keras. Melihat sikap nikouw itu, terutama mendengar nada
suara pertanyaannya, dia sudah merasa tidak senang. Tetapi karena dia datang untuk bertanya, maka dia
masih bersabar dan dia cepat menghampiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nikouw yang baik, saya ingin bertanya apakah di tempat ini ada seorang pertapa she Bu?”
Sungguh mengherankan sekali, mendengar pertanyaannya itu, jelas nampak betapa nikouw itu menjadi
marah. Mukanya yang putih halus itu menjadi kemerahan, sepasang mata yang bening itu kini berapi-api.
“Mau apa engkau mencari orang she Bu?”
“Ehhh, apa hubungannya hal itu denganmu?” Ci Sian bertanya kembali, kini dia mulai marah. “Beri tahu
saja di mana aku dapat bertemu dengan pertapa she Bu itu!”
Sepasang mata yang bening dari nikouw itu makin tajam dan penuh selidik. “Hemm, engkau ini perempuan
masih begini muda juga sudah tergila-gila kepadanya?”
Mendengar ini Ci Sian terkejut dan marah bukan main. Mukanya seketika berubah merah dan dia
membentak. ”Engkau nikouw yang seharusnya hidup suci dan bersih, kiranya mulutmu begini kotor! Hayo
beri tahu di mana adanya orang she Bu itu!”
“Huh, kau tidak mau memberi tahu keperluanmu, aku pun tidak sudi memberi tahu. Kau cari sendiri saja!”
Setelah berkata demikian, nikouw itu mengambil kembali cangkulnya dan mulai lagi mencangkul,
mengayun cangkulnya kuat-kuat dan mencangkul tanah tanpa mempedulikan lagi kepada Ci Sian.
Ci Sian sudah mengepal tinju untuk memberi hajaran kepada nikouw yang dianggapnya tidak sopan dan
menuduhnya yang bukan-bukan itu, akan tetapi dia terbelalak melihat betapa batu-batu yang terkena
hantaman cangkul itu terbelah seperti tanah lempung saja! Maklumlah dia bahwa nikouw ini adalah orang
yang memiliki kepandaian tinggi, maka dia pun tak berani bertindak lancang dan ceroboh. Dia hendak
mencari ayahnya, dan tempat ini merupakan tempat sunyi di mana dia tahu banyak terdapat pertapapertapa
yang sakti, maka tidak baik kalau dia mencari keributan dengan sembarang orang. Maka setelah
memandang sekali lagi, dia lalu membalikkan tubuhnya dan berlari pergi meninggalkan kebun dan nikouw
yang aneh itu.
Setelah meninggalkan nikouw itu, Ci Sian melanjutkan penyelidikannya dan setelah dia bertanya-tanya
kepada para penghuni dusun di sekitar pegunungan itu, akhirnya dia mendengar tentang seorang petani
aneh yang berada di puncak Merak Emas, tinggal seorang diri dalam pondok dan biar tidak ada seorang
pun di antara mereka yang tahu she dari petani itu, tidak ada pula yang mengenal seorang pertapa she Bu,
namun hatinya tertarik untuk menyelidiki petani itu.
Dan pada senja hari itu dia mendaki ke arah puncak. Dari jauh dia telah mendengar suara suling yang
amat merdu itu dan diam-diam dia sudah merasa semakin tertarik dan terheran karena bagaimana
mungkin seorang petani dapat memainkan lagu-lagu klasik itu? Dia mengenal beberapa buah lagu kuno
yang tentu hanya dikenal oleh pemain-pemain musik yang pandai, bukan oleh seorang petani biasa saja.
Maka dia pun mempercepat gerakannya untuk mendaki puncak, dan setelah melihat pondok itu, dia
mempergunakan suara suling untuk menyembunyikan bunyi gerakannya dan cepat dia meloncat naik ke
atas wuwungan rumah, lalu bersembunyi di balik wuwungan sambil menanti datangnya malam untuk
mengintai ke dalam.
Petani itu kini duduk di dalam pondok, minum arak seorang diri dan setelah ruangan dalam pondok itu
gelap, dia menyalakan lampu minyak sehingga ruangan itu nampak remang-remang namun cukup terang
bagi Ci Sian yang mengintai dari atas genteng. Dia melihat dengan jelas kini wajah seorang laki-laki yang
tampan dan gagah, wajah yang terpelihara baik-baik dan tidak pantas dengan pakaiannya yang amat
sederhana itu.
Perabot rumah itu pun amat sederhana pula, dan pondok itu pun hanya memiliki sebuah ruangan saja, di
mana terdapat sebuah meja bundar dengan enam buah bangku, semua terbuat dari pada kayu sederhana,
dan di sudut ruangan itu terdapat sebuah dipan dari kayu yang besar. Pria itu duduk di sebuah di antara
bangku-bangku itu, menghadap ke arah pintu. Dua buah daun jendela berada di kanan kirinya, sudah
tertutup dan kini pria itu agaknya sudah merasa cukup minum arak. Dia meletakkan cawan araknya di atas
meja, mengusap bibir dengan saputangan dan jari-jari tangannya membereskan jenggot dan kumisnya
yang terpelihara baik-baik itu dan dia kemudian mengambil suling yang menggeletak di atas meja.
Tak lama kemudian, terdengarlah lagi alunan suara suling yang amat merdu, terutama sekali terdengar
dengan amat jelasnya oleh Ci Sian yang mengintai di atas genteng. Dia tidak berani turun memperlihatkan
dunia-kangouw.blogspot.com
diri karena dia masih belum yakin apakah benar orang ini yang dicarinya. Jantungnya berdebar penuh
ketegangan kalau membayangkan bahwa ada kemungkinan inilah orangnya, inilah ayah kandungnya!
Akan tetapi dia masih ragu-ragu karena dia tidak mempunyai sesuatu yang dapat membuktikan bahwa
dugaannya tidak keliru. Bagaimana dia bisa yakin bahwa orang ini adalah benar-benar ayahnya?
Selagi dia merasa bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba matanya yang tajam dapat
menangkap berkelebatnya bayangan dua orang di dekat pondok itu. Dia terkejut dan terheran, hatinya
merasa semakin tegang karena dia menduga bahwa tentu akan terjadi sesuatu, atau kalau sampai orang di
bawah itu menerima tamu dan bercakap-cakap, mungkin saja hal itu akan menjadi jawaban keraguannya
apakah benar orang ini ayah kandungnya ataukah bukan.
Ketika Ci Sian melihat betapa dua bayangan yang berkelebat dengan gerakan ringan dan cepat itu kini
mendekati pondok dengan hati-hati lalu mengintai ke dalam melalui jendela di sebelah utara, hatinya
semakin tegang dan dia memperhatikan. Bukan main kaget dan herannya ketika dia merasa mengenal
bentuk tubuh dua orang itu. Dua orang wanita! Dan Ci Sian hampir berani memastikan bahwa mereka itu
adalah Siok Lan dan ibunya! Semakin yakin hatinya ketika dia melihat wanita yang sekarang memberi
tanda dengan menaruh jari di depan bibir kepada wanita kedua, tanda bahwa mereka tidak boleh membuat
suara gaduh. Karena merasa amat tertarik, Ci Sian lalu mengintai lagi ke dalam dan melihat betapa pria itu
masih saja enak-enak meniup sulingnya, sekarang dengan suara yang makin merdu dan romantis, juga
mengandung suara-suara keluhan duka.
Memang tidak keliru dugaan Ci Sian. Kedua sosok bayangan wanita itu adalah Puteri Nandini dan
anaknya, Siok Lan. Seperti diketahui, ibu dan anak ini telah meninggalkan Lhagat dan Puteri Nandini tidak
mau kembali ke Nepal setelah kekalahan pasukannya, melainkan mengajak anaknya untuk pergi mencari
ayah kandung Siok Lan untuk diajak berunding tentang niat Siok Lan berjodoh dengan Jenderal Muda Kao
Cin Liong. Ketika dia mendengar bahwa di puncak itu terdapat seorang petani setengah tua yang hidup
menyendiri, dia tidak merasa ragu-ragu lagi dan mengajak puterinya untuk melakukan penyelidikan.
“Hati-hati, jangan kau sembarangan ikut campur kalau terjadi keributan di rumah itu. Urusan antara aku
dan siapa pun di sana, jangan kau mencampurinya.”
Siok Lan mengangguk, sungguh pun dia merasa heran dan tidak mengerti. Betapa pun juga, hatinya
tegang sekali membayangkan betapa dia akan bertemu dengan ayah kandungnya yang selamanya tidak
pernah dilihatnya itu.
Dengan jantung berdebar dan tangan terkepal membentuk tinju, perasaannya tidak karuan, Puteri Nandini
mendekati jendela dengan puterinya. Mendengar tiupan suling yang merdu sekali itu, hatinya tergetar dan
dia memejamkan kedua matanya, wajahnya menjadi merah dan terbayanglah semua pengalamannya di
masa lampau, pengalaman penuh kemesraan.
Dia kemudian mengintai melalui jendela itu dan begitu dia melihat petani itu yang duduk meniup suling
dengan wajah mengandung duka, diam-diam dia mengeluh dan tubuhnya gemetar, penuh kerinduan yang
selama belasan tahun ditahan-tahannya akan tetapi di samping keindahan itu juga terdapat perasaan duka
dan penyesalan yang amat pahit. Setelah memejamkan mata sejenak, wanita ini mengintai lagi dan pada
saat itu, tiupan suling yang mengalun itu berbunyi panjang dan semakin bernada penuh duka, makin lama
makin lambat dan lirih sehingga akhirnya berhenti sama sekali.
Pria itu mengeluh, lalu melepaskan suling ke atas meja, kemudian memejamkan mata, menggunakan
kedua tangannya untuk menutupi mukanya dan terdengar keluhannya panjang pendek. Tak dapat
ditangkap jelas apa yang dikeluhkannya, akan tetapi bekas panglima wanita Nepal itu dengan sangat jelas
dapat menangkap namanya disebut-sebut dalam keluhan itu, keluhan yang menyatakan rindu terhadap
Nandini!
“Nandini.... kekasihku.... mengapa kau tidak kasihan kepadaku.... aku rindu padamu, kenapa kau tidak mau
menemaniku di sini....?” Demikianlah kata-kata di antara keluhan yang dapat tertangkap oleh telinga
Nandini.
Tentu saja wanita ini segera menjadi terharu sekali dan tubuhnya terasa panas dingin mendengar suara
yang amat dikenalnya dan yang pernah amat dicintanya itu! Suara yang dahulu selalu merayunya dengan
kata-kata indah, dan betapa pun besar perasaan marah, sakit hati dan penyesalannya mengingat betapa
dia ditinggalkan begitu saja oleh pria ini, namun begitu melihat wajahnya, melihat bentuk tubuhnya,
dunia-kangouw.blogspot.com
mendengar suara tiupan sulingnya, mendengar suara keluhannya, semua kekerasan hatinya mencair dan
kini dia mengintai dengan dua mata basah air mata!
Terbayanglah semua pengalamannya yang mesra bersama pria ini! Suasana romantis penuh kemesraan
ketika dia dan pria ini memadu kasih, belasan tahun yang lalu pada waktu mereka berdua masih samasama
muda. Teringat olehnya betapa ilmu silatnya menjadi selihai sekarang karena dia menerima petunjuk
dari pria ini. Berlatih silat, bermain cinta, di antara pohon-pohon dan bunga-bunga di tempat terbuka.
Betapa hidup penuh dengan kenikmatan dan kebahagiaan di waktu itu.
Teringat akan semua ini, Nandini ingin sekali membobol daun jendela itu, ingin sekali menghampiri,
mendekati, menghibur pria itu. Cintanya yang dulu timbul kembali karena memang tidak pernah padam
sama sekali. Bahkan, penyerahan dirinya sebagai isteri pangeran tua itu menambah rindu dan cintanya
kepada pria ini. Akan tetapi dia teringat akan Siok Lan yang berada di situ, maka ditahan-tahannya
perasaannya, hanya hatinya yang merintih menyebut nama pria yang pernah menjadi kekasihnya ini.
“Nandini.... ahhh, Nandini, tidak terasakah hatimu betapa aku menderita rindu?”
”Omitohud....! Dasar mata keranjang, hidung belang, jahanam ceriwis keparat!” dari luar jendela yang
berlawanan, yaitu di sebelah selatan, terdengar suara menyumpah yang nyaring ini.
Mendengar ini, pria itu menoleh ke arah jendela sebelah selatan, tanpa bangkit berdiri, melainkan
tersenyum. Dan begitu dia tersenyum, wajahnya nampak semakin menarik, tampan dan kelihatan jauh
lebih muda dari pada usianya yang sebenarnya. Memang pria ini amat tampan, di waktu mudanya dahulu
sudah tentu amat tampan dan banyak menjatuhkan hati kaum wanita, sedangkan sekarang pun masih
nampak sangat tampan menarik.
“Aihh, Bi-moi yang manis, mengapa engkau main sembunyi-sembunyi dan mengintai? Kalau memang kau
merasa rindu padaku dan ingin bicara dan bercanda, masuklah, sayang!” Sungguh ucapan ini mengandung
rayuan maut bagi seorang setengah tua seperti dia dan terdengar amat menggairahkan dan juga amat
menarik hati.
“Omitohud, dasar gila wanita!” terdengar suara dari luar jendela itu dan tiba-tiba jendela itu jebol didorong
dari luar dan melayanglah sesosok tubuh ke dalam kamar itu.
Melihat siapa yang masuk ini, Ci Sian terkejut sekali. Tadi dia telah bengong terlongong ketika dia
mengenal bahwa dua orang wanita itu adalah Siok Lan dan ibunya. Selagi dia kebingungan dan terheranheran
belum tahu benar siapa pria itu dan mengapa Siok Lan dan ibunya berada di situ mengintai seperti
dia, maka ketika mendengar suara wanita dari luar jendela selatan itu dia pun amat kaget. Karena dia sejak
tadi mengintai, maka dia tidak melihat munculnya wanita ini di belakang jendela selatan dan tahu-tahu dia
mendengar suaranya. Kini, melihat siapa yang muncul di dalam kamar dengan gerakan yang demikian
ringan dan cekatan, Ci Sian hampir berseru kaget. Wanita yang masuk ini bukan lain adalah nikouw muda
cantik yang dijumpainya siang tadi! Makin bingung dan heranlah dia, akan tetapi dengan penuh perhatian
dia terus mengintai dari atas genteng.
Nikouw muda itu kini berhadapan dengan pria itu, wajahnya yang putih halus itu merah sekali, tanda bahwa
dia sudah amat marah dan suaranya nyaring ketika dia berkata sambil menudingkan telunjuk kirinya yang
berkuku runcing terpelihara itu ke arah hidung pria itu.
“Dasar kerbau hidung belang kau! Katanya hendak bertapa di sini menjauhkan diri dari semua wanita,
siapa tahu diam-diam engkau merindukan wanita lain! Keparat, sungguh tak tahu malu engkau!”
“Eh.... ehhh.... sabarlah, sayang. Engkau sendiri yang dulu mengambil keputusan untuk menjadi nikouw
sehingga aku terpaksa kekeringan dan kesepian di sini, membuat aku teringat kepada bekas-bekas
kekasih lama yang kurindukan. Mengapa kini kau marah? Marilah, sayang, mari kau mendekat, aihhh, tidak
tahukah engkau betapa selama ini aku amat rindu kepadamu, dan betapa setelah engkau berpakaian
nikouw dan kepalamu gundul engkau menjadi semakin cantik saja?”
“Phuhh, siapa sudi dengan rayuanmu? Dan kepalaku sudah tidak gundul lagi!” Berkata demikian, nikouw
itu membuka penutup kepalanya dan memang benar, kepala gundul itu sudah ditumbuhi rambut, walau
pun baru setengah jari panjangnya.
“Aduh, engkau makin manis. Ke sinilah, mari minum arak bersamaku, Cui Bi kekasihku yang denok!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Brakkkkk!”
Tiba-tiba daun jendela sebelah utara pecah berantakan disusul melayangnya tubuh Nandini! Wanita ini
sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi melihat betapa pria itu merayu nikouw itu sedemikian rupa.
Hatinya penuh dengan cemburu yang membuat dadanya hampir meledak sehingga dia tak ingat apa-apa
lagi lalu menghantam jendela itu dan meloncat masuk.
“Nandini....!” Pria itu berseru, nampaknya kaget akan tetapi mulutnya tersenyum penuh daya pikat. “Engkau
baru datang, bidadariku dari Nepal?”
“Laki-laki kejam, mata keranjang dan rendah budi! Jadi untuk nikouw inilah engkau dulu meninggalkan
aku?” bentak Nandini sambil menudingkan telunjuknya.
“Bu Seng Kin! Jadi engkau telah mempunyai gendak orang Nepal ini?” bentak nikouw itu dan dua orang
wanita itu sejenak saling pandang penuh kebencian dan cemburu, akan tetapi kemarahan mereka itu kini
tertumpah kepada pria yang disebut Bu Seng Kin itu dan mereka berdua kini menubruk maju dan
menyerang pria dari kanan kiri dengan pukulan-pukulan maut yang amat cepat dan ganas!
“Wah, beginikah kalian memperlihatkan rasa rindu kalian? Heh-heh, mana bisa kalian menyerangku
dengan ilmu-ilmu pukulan yang kuajarkan sendiri kepada kalian? Ha-ha, tidak kena! Wah, hampir saja,
Nandini! Nah, meleset, Cui Bi!” Biar pun diserang dengan ganas oleh dua orang wanita itu, namun dengan
amat mudahnya pria itu menggerakkan langkah-langkah kaki sedemikian rupa sehingga semua serangan
itu mengenai tempat kosong belaka!
“Wah, mana bisa kita bicara baik-baik kalau kalian marah-marah begini? Sabarlah, tenanglah....!” pria itu
membujuk.
Akan tetapi bagaikan dua ekor singa betina yang marah-marah, dua orang wanita itu terus menyerang
semakin hebat. Akhirnya, entah bagaimana Siok Lan yang mengintai dari jendela dan Ci Sian yang
mengintai dari genteng itu tidak tahu benar, tiba-tiba saja dua orang wanita yang marah-marah itu telah
kena dirangkul pinggang mereka di kanan kiri dan pria itu sambil tersenyum-senyum menarik mereka dan
mengajak mereka duduk di atas bangku, di kanan kirinya!
Akan tetapi Ci Sian segera dapat menduga bahwa tentu pria yang amat lihai itu telah berhasil menotok
jalan darah dua orang wanita itu sehingga menjadi lemas dan tidak dapat melawan lagi. Dugaannya
memang benar karena biar pun mereka tidak melawan ketika dirangkul dan didudukkan ke atas bangku,
keduanya memaki-maki kalang-kabut!
“Bu-taihiap, kalau engkau sampai mengganggu dan menghinaku, aku bersumpah akan memusuhimu
sampai titik darah terakhir!” Nandini berkata, akan tetapi tidak mampu melepaskan dirinya yang dipaksa
duduk di samping pria itu sedangkan pinggangnya yang masih ramping itu dirangkul!
“Bu Seng Kin, aku bersumpah akan membunuh diri kalau engkau berani mengganggu diriku!” nikouw itu
juga berkata tanpa mampu melepaskan dirinya yang juga dirangkul pinggangnya.
“Ha-ha-ha, manisku, sayangku, kalian adalah isteri-isteriku, kalian adalah jantung hatiku, aku sayang dan
cinta kepada kalian, mana mungkin aku akan mengganggu dan menghina kalian? Akan tetapi kalian juga
jangan mengecewakan hatiku lagi, dan suka temani aku makan.”
Sambil tersenyum girang, petani yang bernama Bu Seng Kin itu kemudian melepaskan rangkulannya dan
mengeluarkan beberapa makanan dari sudut belakang ruangan yang merupakan dapur. Tak banyak
macamnya makanan itu, hanya beberapa macam sayur sederhana, nasi dan daging kering. Akan tetapi
dengan lagak sedang pesta besar, Bu Seng Kin kemudian mengatur semua itu di atas meja. Kedua orang
wanita itu hanya memandang saja, kadang-kadang saling lirik dan saling menyelidiki keadaan masingmasing.
“Ha-ha, mari kita makan, manis. Nandini sayangku, kau makanlah, sawi putih ini dahulu menjadi
kesukaanmu, bukan?” Dan dia lalu mengambil sepotong sayur dari mangkok dengan sumpitnya dan
membawa makanan itu ke mulut Nandini. Karena maklum bahwa dia tidak berdaya, juga karena terharu
akan sikap yang manis dan menyayang dari pria itu, Nandini tidak dapat menolak, membuka mulut dan
makan sayur itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dan kesukaanmu dahulu adalah daging dendeng asin ini, bukan, Cui Bi?” Dia lalu mengambil sepotong
kecil daging dengan sumpitnya dan mendekatkannya ke mulut Cui Bi yang kecil mungil itu.
“Gila! Kau tahu sebagai nikouw aku tidak makan daging!” Cui Bi berkata.
“Ahh, engkau menjadi nikouw karena terpaksa dalam kemarahanmu, bukan sewajarnya. Sekarang setelah
berkumpul kembali dengan aku, tidak perlu kau berpantang daging lagi. Hayolah, jangan pura-pura,
manisku.” Dengan terpaksa nikouw itu menerima pula daging itu dan memakannya.
Demikianlah, dengan sikap luar biasa gembira Bu Seng Kin kemudian makan minum, menyuapkan
makanan secara bergantian kepada dua orang wanita di kedua sisinya itu, juga memberi mereka minum
arak. Karena pandainya dia bicara dan merayu, dua orang wanita itu agaknya perlahan-lahan lenyap
kemarahan mereka, bahkan kadang-kadang mereka sudah mau tersenyum oleh cerita lucu, walau pun
senyum yang ditahan-tahan.
“Hayo ceritakan pengalamanmu semenjak berpisah dariku, Bu-taihiap, ceritakan semua tanpa ada yang
kau sembunyikan tentang wanita-wanita yang kau ambil sebagai penggantiku, baru aku mau melanjutkan
makan minum bersamamu,” tiba-tiba Nandini berkata sambil melirik ke arah nikouw yang berada di
samping kiri pendekar itu.
“Benar! Aku pun harus mendengar semua petualanganmu sebelum bertemu dengan aku yang agaknya
merupakan seorang di antara banyak wanita yang kau rayu dan menjadi jatuh!” kata pula nikouw itu. “Kalau
tidak, aku pun tidak sudi duduk bersamamu lagi.”
Bu Seng Kin tersenyum lebar dan berdongak ke atas, mengejutkan hati Ci Sian karena dara ini merasa
seolah-olah pendekar itu tepat memandang kepadanya yang sedang mengintai. Akan tetapi pendekar itu
lalu menunduk kembali dan dia pun mencurahkan perhatiannya.
Biar pun dia merasa muak menyaksikan adegan roman-romanan itu, akan tetapi dia pun ingin mendengar
cerita orang yang diduganya adalah pria yang dicarinya, yaitu ayah kandungnya. Hatinya sudah seperti
disayat-sayat karena kecewa melihat tingkah pria di bawah itu yang jelas merupakan seorang pria tukang
merayu wanita, seorang pria yang hidung belang yang pandai sekali menjatuhkan hati wanita.
“Ha-ha-ha, baiklah, baiklah, akan kuceritakan. Aihh, biar pun sudah lewat belasan tahun, hampir dua puluh
tahun, engkau masih nampak cantik jelita saja, Nandini, betapa masih kuingat benar ketika aku terpaksa
meninggalkanmu, kasihku.”
“Bohong! Dan jangan sebut aku kekasihmu, kalau engkau benar cinta padaku tidak mungkin engkau
meninggalkan aku!” kata Nandini dengan marah karena hatinya masih panas kalau teringat betapa dalam
keadaan mengandung dia telah ditinggal pergi oleh kekasihnya ini.
“Aihh, jangan kau berkata begitu. Saat itu aku pergi meninggalkanmu dengan hati yang berdarah, luka
parah oleh kedukaan. Ahhh, ya, Cui Bi belum tahu akan riwayat kami, biarlah kuceritakan secara singkat.”
Pendekar itu kemudian bercerita, didengarkan oleh Siok Lan dan Ci Sian yang masih mengintai.
“Biar pun terus terang saja, Nandini bukan merupakan wanita pertama yang pernah menjadi kekasihku,
akan tetapi baru kuakui bahwa dialah wanita pertama yang benar-benar membuat aku tergila-gila dan
dengan Nandinilah untuk pertama kali aku benar-benar menaruh cinta.”
“Huh, siapa yang percaya?” kata Nandini, akan tetapi sepasang matanya berseri penuh kegembiraan
mendengar ini, dan nikouw di sebelah itu memandang iri!
“Sungguh mati! Akan tetapi, seperti kau ketahui, Ayah Nandini marah-marah melihat hubungan antara
puterinya dan aku karena Nandini telah ditunangkan kepada seorang pangeran. Ayah Nandini bahkan
menyerangku dan berusaha membunuhku, akan tetapi dia sudah tua dan sampai meninggal karena
serangan jantungnya sendiri. Aku merasa menyesal sekali, apalagi ketika aku mendengar bahwa kalau
Nandini tidak berpisah dariku, maka pangeran itu akan menangkap dan membunuh seluruh keluarganya.
Tentu saja aku tidak menghendaki hal itu terjadi, maka aku lalu pergi meninggalkan Nandini, dengan hati
hancur berdarah, hanya demi menjaga keselamatan keluargamu, Nandini.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, benarkah itu?” Nandini bertanya, nampaknya terharu.
“Aku berani bersumpah tujuh turunan....“
“Turunanmu jangan dibawa-bawa ke dalam hukuman akibat petualanganmu!” Nandini memotong.
“Teruskan ceritamu,” kata Gu Cui Bi, nikouw itu, dengan hati semakin iri dan cemburu.
“Setelah meninggalkan Nepal, tentu saja aku bertemu dengan banyak wanita cantik, di antaranya adalah
puteri kepala suku Biauw yang manis, ada pula pendekar-pendekar wanita petualang kang-ouw, ada pula
puteri-puteri datuk kaum sesat, akan tetapi semua itu hanya merupakan selingan-selingan saja dan
tidaklah sungguh-sungguh seperti yang terjadi antara aku dan Nandini. Kemudian, kurang lebih setahun
sejak meninggalkan Nepal dan bertualang dengan belasan orang wanita secara selewat saja, aku bertemu
dengan seorang pendekar wanita yang bernama Sim Loan Ci dan kami saling mencinta lalu kami
menikah.”
Hampir saja Ci Sian mengeluarkan suara saking kagetnya, akan tetapi dia cepat-cepat menutup mulutnya
dan mengerahkan tenaga untuk menekan batinnya yang terguncang ketika dia mendengar nama ibunya
disebut-sebut itu! Sim Loan Ci adalah ibunya, ibu kandungnya seperti yang pernah didengarnya dari
kakeknya bahwa ibunya she Sim dan ayahnya seorang pendekar besar yang tentu saja she Bu, sama
dengan she kakeknya. Dia lalu mendengarkan lagi dengan penuh perhatian.
“Dialah isteriku pertama yang sah, walau pun wanita seperti Nandini ini juga kuanggap isteriku sendiri, dan
juga engkau, Cui Bi.”
“Tak perlu merayu, lanjutkan ceritamu,” desak dua orang wanita itu.
“Setelah menikah setahun lamanya, kami mempunyai seorang anak perempuan. Akan tetapi, berbareng
dengan kebahagiaan ini, datanglah mala petaka. Kiranya hubunganku dengan puteri-puteri datuk kaum
sesat itu, yang kutinggalkan karena memang kuanggap hanya hubungan selewat dan merupakan hiburan
belaka, mulai mendatangkan akibat panjang! Aku dicari-cari oleh para datuk kaum sesat, bahkan di
antaranya terdapat pula Im-kan Ngo-ok yang mencari-cariku, karena seorang puteri mereka telah
membunuh diri setelah kutinggalkan sehingga kini Im-kan Ngo-ok mencariku untuk membunuhku!”
“Huh, sudah sepatutnya engkau dibunuh!” kata Nandini.
“Dasar mata keranjang!” Nikouw itu menyambung.
“Biarlah kulanjutkan ceritaku dahulu,” kata pendekar itu setelah menarik napas panjang. “Semenjak
melahirkan, kesehatan Loan Ci amat buruk. Hal ini menggelisahkan hatiku, karena dalam keadaan seperti
itu, memiliki seorang bayi dan seorang isteri yang tidak sehat, tentu saja amat berbahaya menghadapi
ancaman musuh-musuh seperti Im-kan Ngo-ok yang lihai itu. Maka terpaksa aku lalu membawa isteriku
dan anakku kepada Ayahku. Ayahku adalah seorang pendekar yang amat terkenal, yaitu Kiu-bwe Sin-eng
Bu Thai Kun, seorang tokoh besar di dunia selatan. Ketika itu aku agak takut-takut menghadap Ayah, oleh
karena aku pernah diusir oleh Ayah ketika di waktu muda aku bermain-main dengan seorang gadis dusun
tempat kami.”
“Dasar hidung belang ceriwis!” Nandini kembali mencela.
“Mata keranjang tak tahu malu, kecil-kecil sudah gila perempuan sehingga diusir Ayah sendiri!” Gu Cui Bi
menyambung.
“Wah, kalian ini terus menerus mencelaku,” Bu Seng Kin terkekeh. “Ayahku tidaklah segalak kalian. Dia
memaafkan aku dan menerima kedatanganku dengan sangat baik. Kemudian malah Ayah menganjurkan
agar meninggalkan anak kami bersama Ayah, kemudian aku bersama isteriku pergi menjauhkan diri agar
Im-kan Ngo-ok tidak dapat mencelakai anak kami. Beberapa kali kami tersusul oleh mereka dan aku
melakukan perlawanan mati-matian. Kalau saja isteriku tidak dalam keadaan sakit payah, kiranya kami
berdua tidak akan takut menghadapi mereka. Akan tetapi karena isteriku sedang sakit, dan aku harus
melindunginya, maka terpaksa aku melarikan diri bersama isteriku dan terus dikejar-kejar oleh Im-kan Ngook.
Tetapi akhirnya aku berhasil melepaskan diri dari mereka, kami bersembunyi di Pegunungan Go-bi-san
dan di sanalah isteriku meninggal dunia....”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pendekar itu diam dan di atas genteng, Ci Sian menangis. Air matanya berlinang-linang dan dia menahan
isaknya. Jelaslah sekarang bahwa pria di bawah itu, pria yang mata keranjang itu, adalah ayah
kandungnya, dan ibunya benar-benar telah meninggal dunia.
“Semenjak itu, kembali aku berkeliaran....”
“Dan main perempuan....!” Nandini mencela.
“Habis, mau apa lagi? Agaknya aku tidak boleh berjodoh lama-lama dengan wanita yang kucinta. Aku
pindah dari pelukan satu ke lain wanita, akan tetapi semua itu hanya merupakan selingan hidup dan aku
tidak pernah bersungguh-sungguh. Paling lama sebulan aku dapat bertahan dalam pelukan seorang wanita
dan aku sudah pergi lagi....”
“Mencari yang lain! Phuihh!” Nandini mencela.
“Sampai engkau berjumpa denganku,” tiba-tiba nikouw itu berkata, di dalam suaranya mengandung
kebanggaan.
Pendekar itu menarik napas panjang. “Ya, sampai aku bertemu denganmu, Cui Bi. Sekarang biar Nandini
mendengar cerita tentang kita. Setelah aku mulai bosan merantau, bosan bertualang, pada suatu malam
bertemulah aku dengan seorang nikouw di sebuah kuil Kwan-im-bio, di sebelah lereng bukit. Nikouw itu
cantik dan muda dan.... aku jatuh cinta….”
“Pada seorang nikouw? Dan engkau merayunya pula?” Nandini bertanya, alisnya berkerut.
“Ha, apa bedanya? Dia pun seorang wanita, bukan? Dia masuk menjadi nikouw karena patah hati, akan
dikawinkan dengan seorang kakek kaya. Dia tidak sudi dan melarikan diri setelah dipaksa menjadi isteri
kakek itu selama sepekan. Lalu dia masuk menjadi nikouw dan bertemu dengan aku.”
“Engkau makhluk berdosa, Bu Seng Kin! Engkau merayu pinni dan menyeret pinni ke dalam jalan sesat!”
Tiba-tiba nikouw itu berkata dan dalam suaranya mengandung isak penyesalan. Bu Seng Kin cepat
merangkul pundaknya.
“Aih, Cui Bi, hal itu telah lama berlalu, bukan? Kita sama-sama mencinta, dan kemudian engkau melarikan
diri dari kuil bersamaku, memelihara rambut lagi dan menjadi wanita biasa, kita hidup sebagai suami isteri
yang penuh kebahagiaan.”
“Ya, sampai aku tahu bahwa engkau adalah Si Petualang besar, bahkan engkaulah Si Perayu yang pernah
membuat Bibiku tergila-gila dan diceraikan oleh Paman sehingga akhirnya Bibiku mati karena nelangsa.
Kiranya engkaulah petualang yang telah menghancurkan hati banyak sekali kaum wanita itu. Aku menyesal
dan aku lalu kembali menjadi nikouw, untuk minta ampun atas dosaku, juga untuk mintakan ampun atas
dosamu. Dan engkau sudah berjanji akan bertapa di sini, untuk menebus dosa!”
Bu Seng Kin tersenyum lebar. “Sudah kuusahakan hal itu, Cui Bi. Engkau tahu betapa bertahun-tahun aku
menahan diri, aku hidup kesepian penuh kerinduan, terutama rindu sekali kepada orang-orang yang
kucinta. Engkau menyiksaku, Cui Bi, maka sekarang, bertepatan dengan kedatangan Nandini, kita
berkumpul di sini bertiga. Marilah kita hidup bersama, menikmati kehidupan kita yang tinggal tidak lama lagi
ini, menikmati kebahagiaan hidup kita bertiga di hari tua bersama. Aku cinta kalian....!” Dia lalu merangkul
keduanya.
“Bu-taihiap, demi Tuhan, bersumpahlah bahwa engkau tidak akan mengganggu dan menghinaku!” Nandini
berseru.
“Orang she Bu, jangan engkau mengotori diriku, telah dua tahun aku menyucikan diri!” Nikouw itu pun
berkata.
“Aku bersumpah tak akan mengganggu dan menghina kalian berdua, aku cinta pada kalian, tidak mungkin
aku mau menyusahkan kalian,” kata pendekar itu dan tiba-tiba dia menarik leher Nandini dan.... mencium
mulut wanita itu dengan penuh kemesraan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Nandini terkejut sekali, tak mampu bergerak, bahkan tubuhnya menggigil dan naik sedu sedan dari
dadanya. Setelah pria itu melepaskan ciumannya, dia memandang dengan mata terbelalak dan muka
pucat sekali.
“Kau.... kau.... manusia busuk.... kau melanggar sumpahmu....!”
“Ha-ha, siapa melanggar sumpah, Nandini yang manis? Aku bersumpah tidak akan mengganggu dan
menghina kalian. Engkau adalah isteriku yang kucinta, kalau seorang suami mencium isterinya, apakah itu
mengganggu atau menghina namanya?”
“Aku.... aku bukan isterimu, engkau bukan suamiku!”
“Mungkin menurut umum, namun bukankah kita sudah menjadi suami isteri, bukankah engkau pertama kali
menyerahkan diri kepadaku, dan bukankah kita saling mencinta, Nandini? Apa salahnya orang yang saling
mencinta berciuman?”
“Laki-laki busuk, mata keranjang, hidung belang.... tak tahu malu!” Cui Bi memaki-maki dengan marah,
akan tetapi tiba-tiba dia pun harus menghentikan maki-makinya karena mulutnya sudah dicium pula oleh
pria itu, dengan sama mesranya seperti ketika dia mencium Nandini tadi! Nikouw itu gelagapan tanpa
mampu bersuara, dan dia hanya memejamkan mata dan tanpa disadarinya, kedua lengannya merangkul
leher pendekar itu!
“Kau memang tak tahu malu!” Nandini membentak penuh cemburu dan tangannya bergerak menampar,
akan tetapi tamparan yang sama sekali tidak bertenaga.
Bu Seng Kin lalu membujuk rayu keduanya dengan kata-kata manis. “Maafkanlah aku, Nandini dan Cui Bi,
aku cinta kalian, tidak kasihankah kalian kepadaku? Aku hanya ingin menikmati kehidupan di dunia ini
bersama kalian orang-orang yang kucinta sepenuh jiwa ragaku.”
Pendekar itu bahkan berlutut di depan mereka, memohon-mohon dan akhirnya kembali dia merangkul
mereka dan sekali ini, ketika dia mencium mereka, dua orang wanita itu hanya dapat memejamkan mata
dengan muka berubah merah sekali. Mereka lupa segala! Ternyata pria ini masih hebat kemampuannya
untuk merayu dan menundukkan wanita-wanita, dan terutama sekali karena memang dua orang wanita itu
tak pernah mampu melupakannya dan masih mencintanya.
Ci Sian yang melihat tontonan ini, di samping merasa heran dan juga malu, terutama sekali dia merasa
berduka, teringat akan ibu kandungnya yang telah meninggal dunia, maka dia menghapus air matanya dan
mengambil keputusan untuk pergi saja lagi dari situ. Untuk apa menemui seorang ayah kandung seperti
itu? Seorang petualang asmara yang memalukan. Seorang laki-laki hidung belang, mata keranjang yang
berwatak gila perempuan!
“Brukkkk....!”
Tiba-tiba saja pintu depan dari pondok itu runtuh ke dalam, tertendang orang dari luar dan muncullah
seorang wanita cantik yang kelihatan galak. Seorang wanita yang selain cantik juga berpakaian mewah,
dan melihat wanita ini, kembali Ci Sian terkejut bukan main dan dia tidak jadi meninggalkan tempat itu,
melainkan mengintai penuh perhatian dengan hati tertarik dan amat tegang karena dia mengenal wanita itu
yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, wanita tokoh Lembah Suling Emas, musuh dari
gurunya See-thian Coa-ong itu! Teringatlah dia akan cerita Tang Cun Ciu. Wanita ini pernah bercerita
bahwa dia memiliki wajah seperti isteri Bu-taihiap, dan bahwa berjinah dengan Bu-taihiap ketika pendekar
itu bersama isterinya berkunjung ke Lembah Suling Emas! Mengertilah dia sekarang! Tentu wanita isteri
Bu-taihiap yang datang bersama pendekar itu ke Lembah Suling Emas adalah ibu kandungnya!
Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang sudah marah sekali melihat bekas kekasihnya itu berkasih-kasihan
dengan dua orang wanita, kini sudah melangkah masuk dan seketika dia menuding ke arah muka pria itu.
“Sungguh sampai sekarang engkau masih mata keranjang dan gila perempuan! Dan engkau mudah
melupakan yang lama berganti yang baru, laki-laki tak punya jantung!”
“Eh-ehhh.... lihat siapa yang datang ini! Bidadari dari Lembah Suling Emas! Cun Ciu, kekasihku yang
manis. Mari, mari sayang, mari duduk bersama Kakanda....”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Keparat, engkau sudah main gila dengan wanita asing ini dan dengan seorang nikouw malah, tak tahu
malu! Dan engkau masih berani bersikap manis kepadaku! Selayaknya kalau kubunuh engkau, Bu Seng
Kin!”
Pada saat itu, sungguh aneh sekali, Nandini dan Gu Cui Bi sudah meloncat dengan sigapnya dari atas
bangku mereka dan berdiri di kanan kiri Bu Seng Kin dengan pandang mata dan sikap marah! Diam-diam
Ci Sian dan Siok Lan merasa heran sekali. Bukankah dua orang wanita itu seperti tertotok dan kehilangan
tenaga, akan tetapi mengapa kini tiba-tiba saja mampu bergerak selincah itu?
Hal ini tidaklah aneh dan merupakan sebab pula mengapa Bu Seng Kin begitu yakin akan dirinya sendiri
dalam merayu dua orang wanita itu. Dia hanya menotok dua orang wanita itu untuk membuat mereka
kehilangan tenaga sementara saja, sebentar saja. Akan tetapi, melihat dua orang itu tidak pulih-pulih
tenaganya, tahulah dia bahwa mereka itu sengaja berpura-pura masih belum bebas dari totokan, tentu
hanya dengan maksud agar mereka berdua dapat ‘mendekatinya’ tanpa harus merasa malu, karena
berada dalam keadaan ‘tertotok’. Mengetahui rahasia mereka ini maka tadi Bu Seng Kin berani
melanjutkan rayuannya, maklum bahwa dua orang wanita itu ternyata menyambut rayuannya dan ternyata
bahkan mengharapkan rayuannya. Kini, melihat betapa ada seorang wanita lain mengancam kekasih
mereka, dua orang wanita itu tanpa mereka sadari sudah meloncat dan hendak menghadapi wanita itu.
Cun Ciu adalah seorang wanita yang berwatak keras dan juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia
masih marah sekali oleh cemburu ketika tadi melihat bekas kekasihnya itu bermesraan dengan dua orang
wanita itu, yang dilihatnya sama sekali bukanlah isteri kekasihnya itu. Maka sambil berseru nyaring dia
sudah menerjang maju, mengirim pukulan ke arah Bu Seng Kin.
“Ah, jangan marah dong, sayang!” Bu Seng Kin cepat mengelak dan menangkis karena dia tahu betul
bahwa wanita ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan, merupakan seorang di antara tokoh-tokoh
Lembah Suling Emas yang merupakan keluarga sakti.
“Dukkk!!”
Dua buah lengan bertemu dan akibatnya, baik Bu Seng Kin yang tentu saja tidak mengerahkan seluruh
tenaga itu, mau pun Cun Ciu terdorong mundur ke belakang. Diam-diam Bu Seng Kin kagum dan terkejut
karena dari pertemuan lengan itu saja maklumlah dia bahwa wanita ini telah memperoleh kemajuan hebat
semenjak berpisah darinya belasan tahun yang lalu!
“Cun Ciu Moi-moi, engkau sungguh lihai!” dia memuji, akan tetapi wanita itu sudah menyerangnya lagi
kalang kabut. Dan memang wanita ini memiliki ilmu kepandaian hebat, maka terjadilah pertandingan yang
amat hebat dan membingungkan Bu Seng Kin.
“Ah, mengapa kau marah-marah, Ciu-moi? Apakah kau datang menemui aku yang rindu kepadamu ini
hanya untuk menyerang dan hendak membunuhku?”
“Tutup mulut dan jaga serangan ini!” bentak Cun Ciu yang menyerang terus.
Tingkat kepandaian Bu Seng Kin sudah amat tinggi dan kalau dia bersungguh-sungguh, biar Cun Ciu
sendiri pun takkan mampu mengalahkannya. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau bersungguh-sungguh
melawan wanita cantik ini, maka dia kelihatan terdesak hebat.
Melihat ini, Nandini membentak, “Dari mana datangnya perempuan liar?” Dan dia pun maju membantu
kekasihnya.
“Pinni juga tak mungkin diam saja melihat perempuan ganas hendak membunuh orang!” Dan Gu Cui Bi
juga sudah meloncat ke depan dan mengeroyok.
Dua orang wanita ini tentu saja bukan wanita sembarangan, melainkan wanita-wanita lihai yang sudah
memiliki tingkat tinggi, maka begitu dikeroyok tiga, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menjadi kewalahan dan
terdesak juga.
Melihat ini, Bu Seng Kin khawatir kalau-kaiau dua orang kekasihnya itu akan melukai Tang Cun Ciu, maka
dia lalu membentak keras, “Tahan....!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tang Cun Ciu yang memang sudah terdesak itu kemudian melompat ke belakang dan memandang dengan
mata marah. “Mau apa engkau menghentikan pertempuran?” bentaknya. Nandini dan Gu Cui Bi
memandang dengan kagum karena mereka berdua tahu bahwa wanita yang baru datang ini memiliki
kepandaian yang lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian mereka sendiri.
“Cun Ciu, mengingat akan hubungan antara kita dahulu, tidak maukah engkau bicara baik-baik dari pada
menyerang dan marah-marah seperti itu?”
“Siapa tidak marah? Aku jauh-jauh meninggalkan lembah, hanya karena tidak betah lagi di sana dan aku
rela meninggalkan keluarga di sana untuk mencarimu dan apa yang kudapatkan? Bukan engkau hidup
bersama isterimu, melainkan dengan dua orang wanita asing....“
“Ahhh, engkau salah paham, manis. Ketahuilah, dia ini bernama Nandini dari Nepal dan dia merupakan
isteriku yang pertama! Dan ini adalah Gu Cui Bi, dia ini adalah isteriku yang terakhir.”
“Hemm.... begitukah....?” Tang Cun Ciu memandang ragu. “Dan di mana isterimu yang dahulu bersamamu
mengunjungi lembah?”
“Dia sudah meninggal dunia. Mari, kau duduklah, Cun Ciu, dan kita bicara baik-baik. Sungguh mati, aku
akan sedih sekali kalau engkau memusuhiku, aku.... aku cinta padamu, Cun Ciu, dan engkau tentu tahu
akan hal ini.”
Dirayu seperti itu, hati Tang Cun Ciu mulai menjadi dingin, kemarahannya mereda dan dia pun langsung
duduk menghadapi meja bersama pendekar itu dan dua orang wanita saingannya.
“Bu Seng Kin, kau bilang hanya ada kami berdua, sekarang muncul seorang lagi!” Gu Cui Bi menegur.
“Dia.... dia ini bernama Tang Cun Ciu. Ketika aku datang ke Lembah Suling Emas, aku dan dia.... ehhh,
kami saling jatuh cinta. Dan sampai sekarang.... ahh, aku masih cinta kepadanya.... apalagi setelah dia
menyusulku ke sini, rela meninggalkan suaminya....”
“Suamiku sudah lama meninggal dunia!” kata Cun Ciu. “Belum ada setahun semenjak engkau pergi,
suamiku meninggal dan aku terus tinggal menjanda sampai sekarang. Kutunggu-tunggu beritamu akan
tetapi engkau tak kunjung datang atau memberi kabar, sungguh engkau kejam sekali!”
“Ahhh, siapa tahu bahwa engkau sudah menjadi janda, kekasihku? Kalau aku tahu.... hemm, mungkinkah
aku membiarkan engkau kesepian sendiri?” berkata Bu Seng Kin sambil memegang tangan yang halus itu
di atas meja. Cun Ciu cepat-cepat menarik tangannya karena dia merasa malu melihat tangannya
dipegang-pegang di depan dua orang wanita lain.
“Cun Ciu, kalian bertiga ini adalah wanita-wanita yang kucinta sepenuh hatiku. Engkau tinggallah
bersamaku di sini, kita hidup bersama, berempat, sampai akhir hayat....“
“Hemm, dan esok atau lusa bermunculan lagi wanita-wanita lain bekas kekasihmu yang tak dapat dihitung
banyaknya!” Nandini menegur ketus.
“Aih, Nandini manis. Aku memang belum menceritakan tentang Cun Ciu karena mengira dia masih menjadi
isteri orang. Tak baik menceritakan isteri orang, bukan? Berbeda lagi kalau dia sudah menjanda. Dia
memang bekas kekasihku, kami saling mencinta....”
“Kalau ada wanita lain lagi yang muncul, bagaimana?” tanya Cun Ciu.
“Aku bersumpah, hanya tiga orang kalian ini saja, tidak ada yang lain!” kata Bu Seng Kin.
“Laki-laki macam engkau ini mana bisa dipercaya?” kata Gu Cui Bi.
“Sungguh mati....”
“Begini saja,” kata Cun Ciu, “aku memang meninggalkan lembah untuk tinggal bersama dia. Dan
mengingat bahwa kalian berdua sudah datang terlebih dahulu, aku pun mau menerima hidup di sini
bersama kalian, asal dia tidak pilih kasih! Dan kalau ada datang wanita lain, kita bertiga maju membunuh
wanita itu! Dan kalau perlu, membunuh juga dia ini!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Cun Ciu benar, memang dia seorang belum tentu dapat mengalahkan aku, akan tetapi kalau kalian bertiga
maju bersama, mana aku bisa menang?” kata Bu Seng Kin sambil tertawa. “Nah, isteri-isteriku yang
terkasih, marilah kita rayakan pertemuan ini dengan minum arak. Cun Ciu, aku sungguh rindu padamu!”
Dan tanpa malu-malu dia merangkul wanita ini dan menciuminya, di depan Nandini dan Cui Bi yang
memandang sambil tersenyum masam tentunya!
Cun Ciu meronta lemah akan tetapi seperti dua orang wanita terdahulu, dia pun tidak mampu melawan
rayuan maut dari pria itu dan akhirnya mereka berempat duduk dengan mesra, bercakap-cakap dan sambil
makan minum mereka menceritakan riwayat dan pengalaman masing-masing.
Kalau Ci Sian terkejut dan kemudian merasa semakin penasaran dan muak melihat semua yang terjadi itu,
adalah Siok Lan yang merasa khawatir ketika melihat ibunya ikut bertempur tadi. Akan tetapi karena dia
sudah menerima pesan ibunya agar tidak ikut campur, maka dia hanya menahan diri dan seperti juga Ci
Sian, dia merasa kecewa menyaksikan tabiat ayah kandungnya yang demikian mata keranjang dan tukang
merayu wanita. Hatinya sendiri penasaran, akan tetapi melihat betapa ibunya sudah mau berbaik dengan
pria itu bahkan dengan dua orang madunya, dia pun tidak dapat berkata apa-apa.
Akan tetapi Siok Lan tidak dapat berdiam diri lagi dan meloncatlah dia dari luar jendela, memasuki pondok
itu. Semua orang, kecuali Nandini dan Bu Seng Kin, memandang dengan kaget. Kiranya Bu Seng Kin
sudah tahu bahwa di balik jendela itu ada orang yang mengintai, bahkan dia sudah tahu sejak tadi bahwa
di atas genteng juga ada yang mengintai, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan memandang rendah.
Kini, melihat bahwa yang mengintai dari balik jendela ternyata adalah seorang dara yang cantik, wajah
pendekar ini berseri gembira.
“Ahhh, seorang dara cantik seperti bidadari! Apakah kedatanganmu juga mencari aku, Anak manis?”
“Laki-laki gila, sudah butakah engkau dan hendak merayu anakmu sendiri?” Nandini marah.
“Ehhh, anak sendiri?”
“Dia itu anakmu, anak kita. Lupakah engkau betapa ketika kita hidup bersama selama sebulan itu
mengakibatkan aku mengandung? Dan lupakah engkau bahwa ketika aku menyatakan kekhawatiranku itu,
engkau meninggalkan dua nama untuk seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yaitu kalaukalau
kekhawatiranku terbukti? Anak ini namanya Bu Siok Lan, nama yang telah kau tinggalkan itu.”
“Ahhh....!” Bu Seng Kin memandang dengan mata terbelalak kepada Siok Lan. “Anakku.... anakku....!”
“Siok Lan, inilah macamnya ayah kandungmu!” kata Nandini kepada puterinya.
Biar pun hatinya kurang senang dan meragu, namun Siok Lan lalu melangkah maju dan berlutut di depan
kaki pria itu sambil menyebut, “Ayah....”
“Anakku yang baik.... kau maafkan Ayahmu yang berkelakar tadi,” kata Bu Seng Kin dan mendengar
kesungguhan dalam suara pria itu, diam-diam Siok Lan merasa terharu juga. Agaknya sikap ayahnya yang
mudah merayu wanita itu seolah-olah terlalu dibuat-buat! Beginikah sesungguhnya watak dasar dari pria
ini? Dia masih meragu.
“Bu-taihiap,” kata Nandini yang tidak bisa mengubah sebutan Bu-taihiap itu kepada pria yang menjadi ayah
kandung puterinya itu, “sesungguhnya, kedatanganku ini bersama anakmu Siok Lan adalah untuk
keperluan anak kita itu.”
“Tentu saja,” jawab Bu Seng Kin. “Dia berhak untuk bertemu dengan Ayahnya. Kau duduklah, Siok Lan,”
kata Bu Seng Kin sambil menarik bangun puterinya. Dara itu pun lalu duduk di atas sebuah bangku, di
dekat ibunya.
“Bukan begitu maksudku. Ketahuilah bahwa seperti yang telah kuceritakan tadi, aku baru saja mengalami
kekalahan dalam memimpin pasukanku, kalah melawan pasukan Kerajaan Ceng sehingga terpaksa aku
melepaskan Lhagat dan pergi ke sini. Nah, di dalam peristiwa itu, terjadi hal yang menimpa anak kita, yang
membuat aku bingung sekali dan terpaksa kami datang untuk minta bantuanmu.”
“Tentu saja aku siap membantu anakku. Urusan apakah itu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Nandini lalu dengan singkat menceritakan betapa ketika dia masih memimpin pasukan menduduki Lhagat,
di situ kemudian muncul seorang jenderal muda yang menyelinap dan menyamar, dan jenderal muda itu
akhirnya telah berhasil mengalahkannya dalam perang. “Ketika Jenderal muda itu menyamar dan
menyusup ke Lhagat, dia menjadi seorang pemburu muda dan dengan pandainya dia berhasil menjadi
tamu kami karena dia pernah menyelamatkan nyawa Siok Lan. Kemudian.... mereka berdua, Jenderal
Muda itu dan Siok Lan, saling jatuh cinta....“
“Bagus sekali! Anakku tentu pantas menjadi isteri Jenderal Muda!” pendekar itu berkata sambil tertawa
girang.
“Enak saja kau bicara! Tidak begitu mudah!”
“Apa? Apa kau sendiri tidak setuju? Karena Jenderal itu adalah Jenderal yang pernah menjadi musuhmu?”
“Bukan begitu. Kekalahan itu membuat aku enggan pulang ke Nepal dan memang.... kami hendak
mencarimu. Akan tetapi, engkau tidak tahu siapa Jenderal itu.”
“Siapa dia? Seorang jenderal muda, apa sih artinya? Tidak terlalu tinggi untuk puteriku, bahkan andai kata
dia Pangeran pun tidak akan terlalu tinggi!”
“Engkau tidak tahu siapa dia. Jenderal Muda Itu bernama Kao Cin Liong, dan dia adalah putera dari Si
Naga Sakti Gurun Pasir, cucu mendiang Jenderal Kao Liang!”
“Ahhh....!”
Yang mengeluarkan suara itu adalah Bu Seng Kin, Gu Cui Bi dan juga Tang Cun Ciu karena mereka
terkejut bukan main mendengar nama-nama yang sangat terkenal itu. Bahkan pendekar she Bu itu sendiri
mengerutkan alisnya yang tebal, termangu-mangu. Lalu dia memandang kepada puterinya dengan penuh
perhatian. Dipandang seperti itu, Siok Lan menundukkan mukanya. Pendekar itu menggeleng kepala dan
menarik napas panjang berkali-kali.
“Naga Sakti Gurun Pasir.... bukan main....!”
“Apakah sekarang kau hendak mengatakan bahwa dia tidak terlalu tinggi? Apakah kau masih berani
memandang rendah?” Nandini bertanya dan yang ditanya seperti orang kahabisan akal karena terkejutnya.
“Ahhh, siapa kira akan terjadi peristiwa aneh ini? Tidak kelirukah kalian? Benarkah Jenderal Muda itu
putera Naga Sakti Gurun Pasir?”
“Dia telah diperkenalkan pada saat terakhir. Maka, dapat kau bayangkan betapa kaget dan bingungku
ketika anak kita memberitahukan hal itu. Aku hanya seorang wanita Nepal, mana mungkin membicarakan
hal ini dengan keturunan Jenderal Kao Liang? Akan tetapi, mengingat bahwa orang tua jenderal itu adalah
pendekar yang amat kenamaan, maka sebaiknya engkau yang menemuinya, Bu-taihiap, sebagai sesama
pendekar kiranya akan lebih mudah membicarakan urusan jodoh itu.”
Bu Seng Kin mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya masih berkerut. “Akan tetapi aku tidak berani
bertindak ceroboh. Siok Lan anakku, benarkah engkau dan putera Naga Sakti Gurun Pasir itu saling
mencinta?”
Ditanya seperti itu, tentu saja jantung dara itu berdebar dan mukanya berubah merah sekali. Akan tetapi
dia adalah keturunan orang gagah yang sejak kecil mengutamakan kegagahan, maka cepat dia membuang
rasa malu itu dan memandang wajah pria yang menjadi ayahnya itu dan menjawab, “Aku tidak tahu bahwa
dia adalah seorang jenderal muda, lebih tidak tahu lagi bahwa dia putera seorang pendekar sakti dan cucu
seorang jenderal terkemuka. Pada waktu itu aku hanya mengenalnya sebagai seorang pemburu muda,
Ayah.”
“Tidak peduli tentang itu, yang penting, apakah benar bahwa kalian saling mencinta?”
“Aku.... aku cinta padanya.... Ayah.”
“Dan dia? Apakah dia juga cinta padamu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kukira begitulah.”
“Ehhh, bagaimana ini? Cinta orang tidak, anak baik. Apakah engkau tidak yakin benar bahwa dia cinta
padamu?”
“Aku yakin.”
“Lalu mengapa engkau mengira-ngira saja? Apakah dia sudah menyatakan cintanya kepadamu dengan
jelas, melalui kata-kata?”
Dara itu menggeleng. “Habis bagaimana? Ayah, perlukah kujelaskan hal ini? Seorang wanita akan dapat
mengetahui apakah pria itu mencintanya ataukah tidak, melalui sinar matanya, melalui senyumnya, melalui
suaranya, dan.... dan.... pendeknya aku yakin dia pun cinta padaku, Ayah.”
“Hemmm.... kita tidak boleh ceroboh, Anakku. Sekali aku, Ayahmu ini, mengajukan perjodohan, haruslah
diterima oleh pihak sana, karena kalau tidak, hal itu akan dapat menimbulkan kesan yang menghina,
kecuali kalau pihak sana mengemukakan dua alasan, yaitu pertama, bahwa putera mereka tidak cinta atau
jika dia sudah bertunangan dengan orang lain. Oleh karena itu, sebelum aku menemui Naga Sakti Gurun
Pasir, hal yang selama hidupku belum pernah kuimpikan, aku harus yakin dulu bahwa pihak sana akan
menerima.”
“Jadi engkau mau mengurus perjodohan anak kita?” tanya Nandini dengan girang.
“Tentu saja, itu sudah menjadi kewajibanku. Semenjak Siok Lan kecil, aku tidak pernah memperlihatkan
kasih sayang sebagai seorang ayah, maka kini aku berkesempatan membuktikan sayangku kepada anak.”
“Lalu apa yang akan kau lakukan?”
“Kita bersama pergi ke kota raja! Ya, kita semua, aku, Siok Lan, dan kalian bertiga. Kalau memang kalian
bertiga sudah bertekad untuk hidup bersamaku, suka duka ditanggung berempat, mari kalian ikut
bersamaku ke kota raja. Di sana, biar Siok Lan bertemu dengan jenderal muda itu dan memperoleh
ketegasan bahwa dia memang mencinta anak kita dan bahwa jenderal muda itu belum terikat jodoh
dengan orang lain. Setelah ada ketentuan ini, barulah aku akan pergi menghadap pendekar sakti itu.”
“Baik, Ayah, aku setuju,” kata Siok Lan yang maklum akan maksud ayahnya itu.
“Hemm, belum mau turun jugakah kamu yang berada di atas sejak senja tadi?” tiba-tiba orang she Bu itu
berseru sambil memandang ke atas.
Ci Sian mendengar semua urusan yang dibicarakan di bawah itu dan hatinya terasa semakin berduka.
Sambil menahan isak dia hendak meloncat turun, maka ketika tiba-tiba dia mendengar suara pria yang
sesungguhnya adalah ayah kandungnya sendiri itu, dia seperti didorong saja dan cepat dia melayang turun
dari atas genteng.
“Ada orang! Dan kau sudah mengetahui sejak tadi, mengapa diam saja?” Tang Cun Ciu berteriak dan
wanita ini sudah berkelebat keluar melalui jendela untuk melakukan pengejaran.
Khawatir kalau kekasihnya yang berhati keras dan berwatak ganas itu akan melakukan sesuatu yang
lancang, Bu Seng Kin mengejar dan dua orang wanita lain bersama Siok Lan juga melakukan pengejaran.
Keadaan di luar malam itu ternyata cukup terang karena bulan tersenyum di atas, seolah-olah
mentertawakan ulah manusia-manusia di dunia ini. Tidak ada segumpal pun awan menghalangi
senyumnya sehingga keadaan cukup terang. Nampaklah bayangan Ci Sian berlari-lari meninggalkan
puncak itu, dikejar oleh mereka semua.
Pengejar Ci Sian itu adalah orang-orang yang tinggi ilmunya, maka sebentar saja Ci Sian tersusul, apalagi
karena memang dara ini tidak ingin berlomba lari. Dia terpaksa menghentikan larinya dan berdiri tegak
menanti orang-orang yang mengejarnya itu. Diam-diam ia lalu mengerahkan tenaga dan ilmunya,
terdengar suara melengking tinggi dari mulutnya yang menggetarkan seluruh keadaan sekeliling tempat itu.
Mendengar suara ini, Bu Seng Kin mengeluarkan seruan heran, demikian pula Tang Cun Ciu karena
mereka berdua mengenal khikang yang tinggi dan aneh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan ketika mereka semua tiba di depan dara yang berdiri tegak itu, mereka terbelalak kaget melihat betapa
banyak ular berdatangan dari segenap penjuru dan sekarang mengelilingi tempat di mana dara itu berdiri,
seolah-olah merupakan pasukan pengawal yang melindungi dara itu. Sedikitnya ada seratus ekor ular
besar kecil berada di situ dan dari jauh masih nampak beberapa ekor ular bergerak datang. Agaknya
semua ular yang berada di puncak dan sekitarnya telah memenuhi panggilan dara pawang ular itu!
Tang Cun Ciu merasa seperti mengenal dara itu, akan tetapi begitu melihat Ci Sian, Nandini dan Siok Lan
berseru heran.
“Ci Sian....!” Nandini berseru.
“Sian-moi, engkau di sini? Mengapa engkau di sini dan mengapa engkau melakukan pengintaian?
Singkirkan ular-ularmu itu, Sian-moi, kita bukanlah musuh!”
Akan tetapi dengan sikap dingin Ci Sian lalu berkata, “Pergilah kalian semua, aku tidak butuh dengan
kalian semua. Pergi....!”
“Omitohud, bocah siluman ini berbahaya!” kata Gu Cui Bi yang merasa ngeri melihat begitu banyak ular
yang seakan-akan melindungi dara itu.
“Hemm, tak semudah itu, Nona!” Bu Seng Kin membentak. Dia tidak ingin mengganggu nona muda itu,
akan tetapi dia tahu bahwa nona muda inilah orang pertama yang mendatangi pondoknya dan sejak tadi
mengintai.
“Dia ini yang siang tadi berkeliaran menanyakan tempat tinggalmu!” Gu Cui Bi berseru dan Bu Seng Kin
merasa makin curiga, lalu dia bergerak maju hendak menangkap dara itu. Tetapi Ci Sian mengeluarkan
suara melengking nyaring dan ular-ularnya bergerak menyerang semua orang itu!
Terdengar jerit-jerit karena jijik, akan tetapi wanita-wanita yang lihai itu tentu saja tidak mudah menjadi
korban ular dan mereka pun mengelak dan menendang atau menginjak ular-ular itu. Ci Sian sendiri
mengamuk, menyerang orang yang berani mendekatinya dan karena yang berani menyerangnya adalah
Tang Cun Ciu dan Bu Seng Kin, maka dia menerjang dua orang ini dengan kemarahan meluap-luap! Dara
ini mengeluarkan seluruh ilmunya yang dipelajarinya dari See-thian Coa-ong. Akan tetapi dia berhadapan
dengan Cui-beng Sian-li Tang Cu Ciu dan Bu-taihiap yang memiliki ilmu silat tinggi, maka tentu saja dia
terdesak hebat dan ular-ularnya pun banyak yang mati. Bahkan kalau saja Bu Seng Kin menghendaki,
tentu dalam waktu singkat dia yang dikeroyok dua itu akan roboh.
Akhirnya, semua ularnya mati dan Ci Sian yang melihat ini merasa begitu marah dan berduka sehingga dia
menjerit dan tidak dapat mengelak ketika tangan Cui-beng Sian-li menampar ke arah lehernya. Melihat
serangan dahsyat yang mengancam nyawa dara muda itu, Bu Seng Kin cepat menyentuh lengan
kekasihnya itu sehingga menyeleweng dan hanya mengenai pundak Ci Sian, namun cukup membuat Ci
Sian roboh terguling dalam keadaan pingsan karena selain terkena tamparan itu, juga dara ini menderita
tekanan batin yang hebat sejak dia tiba di pondok itu.
Tang Cun Ciu memiliki watak yang sangat keras. Melihat betapa tamparannya disentuh oleh kekasihnya
sehingga menyeleweng dan hanya mengenai pundak, hatinya tidak puas sekali. “Budak siluman ini harus
dibunuh!” Dan dia pun sudah mengirim pukulan lagi ke arah tubuh yang sudah tidak bergerak itu.
“Cun Ciu, jangan....!” Bu Seng Kin mencegah dan dia pun bergerak maju mengulur tangan untuk
mendahului wanita itu, menyelamatkan nyawa dara itu.
“Dukkkk!”
Tiba-tiba ada sesosok bayangan berkelebat, sebuah lengan menangkis tangan Cun Ciu dan Bu Seng Kin
sekaligus. Pendekar sakti dan kekasihnya yang juga berilmu tinggi itu terkejut bukan main sebab tangkisan
lengan itu membuat mereka terdorong ke belakang sampai terhuyung! Ketika mereka memandang ke
depan, sudah tidak ada apa-apa lagi di situ kecuali bangkai seratus lebih ular-ular mati. Tubuh dara muda
yang tadi menggeletak pingsan itu pun telah lenyap!
“Ehh, ke mana dia....?” Bu Seng Kin berseru kaget.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku hanya melihat bayangan berkelebat,” kata Gu Cui Bi, nikouw itu.
Nandini dan Siok Lan juga melihat berkelebatnya bayangan hitam dan mereka pun tidak melihat ke mana
perginya Ci Sian yang tadi terpukul roboh.
“Ahh.... telah muncul seorang yang memiliki kepandaian luar biasa hebatnya!” seru Bu Seng Kin dengan
nada suara penuh kagum dan juga khawatir. “Mudah-mudahan saja dia tidak salah paham, bukan maksud
kita untuk mencelakai dara itu. Sungguh heran, siapakah dara itu, dan mengapa ia datang ke sini?”
“Ayah, dia bernama Ci Sian dan....”
“Ah, aku ingat sekarang! Dia adalah gadis murid See-thian Coa-ong itu! Ya benar, gadis yang.... ahhh,
sekarang aku mengerti mengapa dia datang ke sini. Apakah engkau tidak sempat melihat wajahnya, Kinkoko?”
Tokoh wanita Lembah Suling Emas ini menyebut kekasihnya Kin-koko, sebutan yang mesra.
“Tidak, aku tidak begitu memperhatikan wajahnya.”
“Dia serupa benar dengan mendiang Sim Loan Ci, isterimu....!”
“Ahhh....! Benar, dia Anakku sendiri! Bu Ci Sian, aihh, kenapa aku bisa melupakan dia?” Sekali berkelebat,
tubuh pendekar ini sudah lenyap.
Ketiga orang kekasihnya hanya mengangkat pundak, maklum bahwa agaknya pendekar itu hendak
melakukan pengejaran terhadap puterinya yang lenyap dibawa orang itu. Mereka lalu kembali ke dalam
pondok.
Tak lama kemudian Bu Seng Kin memasuki pondok dengan wajah muram. Dia kelihatan kecewa dan
menyesal sekali. “Dia lenyap tak berbekas. Orang yang membawanya sungguh memiliki kepandaian yang
luar biasa sekali. Mungkinkah gurunya, See-thian Coa-ong yang membawanya pergi?”
“Tidak mungkin. Aku pernah bertanding melawan kakek itu dan biar pun terus terang saja aku tidak mampu
mengalahkan dia, akan tetapi sebaliknya dia pun tidak dapat mengalahkan aku. Sedangkan tangkisan tadi
bukan main kuatnya, jauh lebih kuat dari pada tenaga Raja Ular itu,” kata Tang Cun Ciu.
Bu Seng Kin menjatuhkan diri duduk di atas bangku sambil menarik napas panjang, nampaknya dia
menyesal bukan main. “Dan dia sudah sejak tadi mengintai di atas, kudiamkan saja. Ahh, dia telah
mendengar semuanya, tahu akan kematian ibunya, tentu dia merasa berduka, kecewa dan menyesal
sekali. Ah, mengapa tidak dari tadi kusuruh dia turun?”
“Hemm, sesal kemudian tiada gunanya! Semua adalah salahmu sendiri. Karena itu, Bu Seng Kin, kau
bertobatlah dan mintalah ampun atas semua dosa-dosamu. Semua yang terjadi adalah karena
kesalahanmu sendiri, maka sekarang engkau memetik buah dari pohon yang kau tanam sendiri.
Omitohud....!” Nikouw Gu Cui Bi berkata dengan nada menegur.
Pendekar itu hanya menarik napas panjang. Kemudian Gu Cui Bi, wanita nikouw itu, menggandeng tangan
Nandini dan berkata, “Marilah Nandini Cici, engkau dan puterimu sebaiknya ikut bersamaku, bermalam di
kuilku yang cukup luas, tidak seperti gubuk ini yang terlalu sempit.”
Nandini mengangguk dan bersama Siok Lan dia lalu bangkit dan berjalan menuju ke pintu bersama nikouw
itu. Setibanya di pintu, nikouw itu berhenti dan menengok, lalu memandang ke arah Bu Seng Kin yang
nampak bingung dan kepada Tang Cun Ciu yang duduk tenang saja di atas bangku, lalu berkata kepada
pendekar itu, “Bu Seng Kin, kalau malam nanti engkau tidak datang ke kuil menengok Cici Nandini, berarti
engkau seorang laki-laki yang selain tidak punya budi juga tidak adil sama sekali dan tidak pantas
mempunyai tiga orang isteri.” Setelah berkata demikian, dia lalu pergi bersama Nandini dan Siok Lan.
“Hemm, jangan khawatir, aku tentu akan datang menengokmu, Cui Bi.”
“Bukan aku, melainkan Cici Nandini!” teriak nikouw itu dari luar, tetapi yang terdengar hanya suara tawa
pendekar itu disusul padamnya lampu di dalam pondok itu!
“Sialan, dasar laki-laki mata keranjang!” Cui Bi Nikouw itu mengomel dan melanjutkan perjalanannya
bersama Nandini dan puterinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua orang ini segera dapat akur karena mereka berdua maklum bahwa di antara tiga orang kekasih Bu
Seng Kin, kepandaian Tang Cun Ciu paling tinggi dan mereka berdua masing-masing bukanlah tandingan
wanita tokoh Lembah Suling Emas itu. Oleh karena itu, mereka segera saling mendekati karena kalau
mereka maju berdua, kiranya mereka akan mampu menandingi Cun Ciu! Pula, biar bagaimana rindu hati
mereka terhadap Bu Seng Kin, kalau harus bermalam bersama-sama di pondok yang kecil itu, tentu saja
mereka merasa malu, apalagi di situ terdapat Siok Lan.
Sementara itu, diam-diam Seng Kin menjadi bingung dan mengeluh sendiri karena dia tahu bahwa
bagaimana pun juga, malam itu harus mengunjungi kuil di mana dia tidak tahu bagaimana dia harus
melayani tiga orang wanita yang seperti tiga ekor harimau betina yang kelaparan itu! Lempoh…..
********************
Ci Sian merasa terapung-apung di angkasa gelap. Dia melihat seorang pria, ayah kandungnya, bersama
seorang wanita yang tidak begitu jelas air mukanya, berjalan di sebelah depan, seperti melayang-layang.
Ibunya, pikirnya. Itulah ibunya yang berjalan bersama ayahnya. Tetapi tiba-tiba ayahnya melihat ke depan
dan berlari meninggalkan ibunya, mengejar banyak sekali wanita-wanita yang tertawa-tawa genit. Ibunya
lalu terhuyung dan terjatuh, melayang turun dari angkasa! Dia terkejut sekali, berusaha hendak lari
mengejar sambil menjerit, “Ibu.... Ibu....!” Akan tetapi dia pun tergelincir dan jatuh tergelincir.
“Ibu....!”
Sebuah tangan yang halus menjamah dahinya yang berkeringat dan agak panas.
“Ibu....,“ Ci Sian mengeluh lirih dan tangan yang halus itu mengusap rambut di atas dahinya, dia merasa
nyaman dan tidak begitu pening lagi, lalu tertidur kembali, sekali ini tanpa mimpi.
Tak jauh dari situ nampak api unggun bernyala memberi cahaya yang cukup terang dan ternyata bahwa
dara itu rebah di dalam sebuah goa yang besar, bertilamkan rumput kering dan berselimutkan jubah
panjang. Seorang pria duduk bersila di dekatnya dan setelah dara itu tidur pulas, pria itu memejamkan
mata sambil terus bersila sampai pagi.
Pada keesokan harinya, ketika sinar matahari kemerahan telah mulai memasuki goa itu dari samping, Ci
Sian mengeluh panjang kemudian membuka matanya. Dia mengejap-ngejapkan matanya sebab silau oleh
sinar merah yang menerobos masuk dan menimpa lantai dekat kepalanya, lalu dia terbelalak keheranan
ketika melihat bahwa dia berada di sebuah goa yang diketahuinya karena melihat langit-langit batu itu. Lalu
dia menoleh dan melihat seorang pria duduk bersila di sebelahnya, seorang pria yang berwajah tampan
dan ramah, yang memandang kepadanya sambil tersenyum.
“Ah.... ahh.... aku.... aku masih mimpi....,“ Ci Sian mengejap-ngejapkan dan menggosok-gosok kedua
matanya.
“Tidak, Ci Sian, engkau tidak mimpi,” kata pria itu dengan halus.
Ci Sian terbelalak, lalu bangkit duduk, memandang kepada pria itu. “Engkau.... engkau Paman Kam
Hong....!”
Pria itu mengangguk dan tersenyum, lalu menambahi kayu bakar sehingga api unggun membesar karena
hawa pagi itu amat dinginnya meski sinar matahari telah memasuki goa. Pria itu tentu saja dikenalnya baikbaik.
Wajah itu tak pernah meninggalkan lubuk hatinya dan ternyata pendekar itu tidak berubah sama
sekali setelah berpisah hampir lima tahun dengan dia! Masih seperti dahulu, tampan, pendiam dan tenang,
begitu tenangnya!
“Tapi.... tapi.... mengapa aku di sini? Bukankah aku dikeroyok....”
“Engkau terlalu menuruti nafsu amarah dan engkau pingsan, maka kubawa lari ke tempat ini, Ci Sian.”
Setelah merasa yakin bahwa dia tidak mimpi, tiba-tiba saja Ci Sian menutupi mukanya. Tidak terdengar
isaknya, hanya pundaknya terguncang dan di antara celah-celah jari kedua tangannya mengalir air mata.
Dia menangis! Akan tetapi dasar hatinya keras, dia menahan tangisnya sehingga tidak mengeluarkan
bunyi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalau engkau sedang merasa berduka, kecewa dan penasaran, menangislah, Ci Sian, menangislah, tidak
ada yang mendengarmu di sini,” kata Kam Hong yang memandang dengan penuh iba.
Ci Sian menggeleng kepala dengan kedua tangan masih menutupi mukanya. “Aku tidak mau menangis!
Aku tidak mau menangis! Mereka.... mereka telah membunuh semua ular itu....!” Dan kembali dia
menunduk dan air matanya menetes-netes.
“Karena itu, lain kali janganlah sembarangan minta bantuan ular-ular untuk menghadapi lawan, Ci Sian.
Apa sih kekuatan ular-ular itu kalau menghadapi orang pandai? Hanya bisa menakut-nakuti anak kecil saja
dan sayang membuang nyawa ular-ular yang tidak bersalah apa-apa.”
Mendengar suara yang nadanya menegur ini, Ci Sian menurunkan kedua tangannya dan muka yang masih
basah air mata itu dihadapkan kepada pendekar itu, sepasang mata yang masih merah basah itu
memandang tajam. “Kau salahkan aku....?”
Kam Hong mengangguk. Sejenak Ci Sian memandang dengan penuh penasaran, akan tetapi akhirnya dia
pun menangis, sekali ini mewek dan bersuara! “Kau.... kau malah memarahiku.... hu-hu-huuh, ahhh....
Ibuku telah mati.... Ayahku.... Ayahku.... aku benci Ayahku! Aku benci manusia itu, aku benci! Hu-huuh, aku
tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini....”
“Hemm, masih ada aku, Ci Sian.”
“Kau.... kau malah memarahiku.... hu-huuhh!”
Diam-diam Kam Hong merasa geli akan tetapi juga terharu sekali. Orang-orang yang sedang dikuasai
perasaannya, baik itu perasaan terlalu girang, terlalu marah, atau terlalu duka, suka bersikap seperti
kanak-kanak. Dara ini sekarang sudah dewasa, akan tetapi pada saat itu dikuasai oleh himpitan batin yang
hebat. Perasaan kecewa, penasaran, marah dan duka menindihnya sehingga dia tidak mampu menguasai
dirinya lagi dan bersikap seperti kanak-kanak, sungguh patut dikasihani. Maka dia pun lalu mendekati dan
mengelus rambut kepala dara itu bagaikan sikap seorang paman yang menghibur seorang keponakannya
yang masih nakal.
“Sudahlah, tenanglah, aku tidak marah padamu, Ci Sian, sama sekali tidak....”
Mendengar ucapan itu, dan merasa betapa tangan yang mengelus kepalanya itu amat lembut dan penuh
perasaan sayang, Ci Sian menjerit lalu menyembunyikan mukanya pada dada pendekar itu, lalu
menangislah dia sejadi-jadinya. Kam Hong membiarkan saja karena hal itu amat baik bagi Ci Sian.
Kekuatan yang mendorong perasaan marah atau duka amatlah kuatnya dan kalau tidak disalurkan keluar
melalui tangis, akan terpendam di dalam dan selain dapat meledak menjadi pelampiasan marah yang
berbahaya, juga amat berbahaya bagi kesehatan dara itu sendiri.
Setelah menangis sesenggukan tanpa mengekangnya, akhirnya Ci Sian merasa dadanya lapang sekali.
Dia teringat betapa dia menangis di atas dada Kam Hong dan membuat baju pendekar itu menjadi basah,
maka cepat-cepat dia menjauhkan dirinya dan memandang kepada baju yang basah itu.
“Maaf, Paman.... aku telah membasahi bajumu.”
Kam Hong melihat bajunya dan tersenyum sabar. “Baju basah bisa dijemur, Ci Sian. Yang penting, engkau
tidak menyimpan perasaan dalam batin lagi. Nah, mari kita bicara sekarang.”
Ci Sian mengerutkan alis dan menarik napas panjang. Terasa hawa yang disedotnya itu memenuhi paruparu
sampai ke pusar, dan terasa dadanya nyaman sekali. Mengertilah dia kini mengapa pendekar itu
membiarkan dia menangis sepuasnya di dadanya tadi, dan dia merasa berterima kasih sekali.
“Aku sedih sekali mengingat nasib Ibuku, Paman. Aku tidak tahu mengapa Ibu dapat menjadi lemah begitu,
padahal menurut penuturan Ayah.... ahhh, orang itu, Ibu adalah seorang pendekar wanita. Aku belum tahu
jelas mengapa sampai meninggal dunia begitu mudah, hanya karena sakit-sakitan. Tubuh seorang
pendekar wanita mana mungkin sakit-sakitan begitu?”
“Aku tahu, Ci Sian.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ehh? Bagaimana kau tahu?”
“Kebetulan saja. Setelah membawamu ke sini, aku berjaga-jaga dan melihat Ayahmu itu....“
“Jangan sebut dia Ayahku lagi! Aku benci mempunyai Ayah macam dia!”
“Membenci bukanlah sikap bijaksana dalam hidup.”
“Lanjutkan ceritamu, Paman, apa yang kau lihat dan dengar?”
“Ayahmu itu agaknya mencari-carimu, akan tetapi tanpa hasil dan diam-diam aku lalu membayanginya
sebab aku ingin memperoleh keyakinan apakah benar kita tidak dikejar orang. Dan aku membayanginya
sampai ke pondoknya di mana dia bicara dengan.... ehh, wanita-wanita yang menjadi isterinya itu dan dia
menceritakan bahwa Ibumu yang bernama Sim Loan Ci itu menjadi lemah dan sakit-sakitan semenjak dia
dan Ayahmu bertanding melawan gerombolan siluman di Sin-kiang yang terkenal dengan sebutan Hek-imo
(Iblis Baju Hitam).”
“Siapakah itu Hek-i-mo?”
“Aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka, akan tetapi sudah kudengar nama mereka. Hek-i-mo
adalah perkumpulan, atau lebih tepat dinamakan gerombolan yang merajalela di daerah Sin-kiang. Selain
berpengaruh dan mempunyai hubungan dekat dengan penguasa, juga gerombolan itu lihai bukan main,
dipimpin oleh datuk-datuk kaum sesat dan memiliki pasukan yang kuat.”
“Jadi ibu berpenyakitan setelah bertanding melawan mereka?”
“Begitulah menurut penuturan Ayahmu kepada seorang di antara isterinya, karena dalam pertempuran
antara orang tuamu melawan gerombolan itu, mendiang Ibumu menderita pukulan beracun dan pada
waktu itu Ibumu sedang mengandung. Hanya itulah yang kudengar dari percakapan mereka dan aku lalu
pergi karena merasa tidak enak mendengarkan pembicaraan suami isteri.”
“Kalau begitu, aku akan mencari Hek-i-mo dan akan membasminya untuk membalaskan kematian Ibu!”
“Hemm, jangan kira hal itu mudah saja, Ci Sian. Sepanjang pendengaranku, Hek-i-mo merupakan
gerombolan yang amat berbahaya dan sudah banyak pendekar-pendekar berilmu tinggi yang gagal dan
bahkan menemui kematian ketika berhadapan dengan mereka. Bahkan Ayah Ibumu yang demikian lihai
pun agaknya gagal.”
“Aku tidak takut gagal, aku tidak takut mati!”
Kam Hong menahan senyumnya. Dara ini masih seperti dulu, pemberani dan keras hati sehingga amat
mengkhawatirkan karena sikap seperti itu banyak mengakibatkan mala petaka kepada diri sendiri.
“Biar pun engkau berusaha, kalau sudah pasti bahwa engkau akan gagal, apa artinya? Engkau harus
memperdalam ilmu kepandaianmu, dan untuk itu, aku mau membantumu, Ci Sian. Ingat, aku masih ada
hutang padamu.”
“Hutang? Hutang apa?”
“Hutang ilmu. Lupakah kau akan ilmu yang kita bersama temukan pada tubuh jenazah kakek kuno itu? Aku
masih harus mengajarkannya kepadamu dan engkau pun berhak mempelajarinya, karena kita berdualah
yang menemukannya.”
Ci Sian mengerti bahwa apa yang dikatakan oleh pendekar ini memang benar. Biar pun tadinya dia merasa
bahwa ilmu kepandaian yang dipelajarinya dari See-thian Coa-ong cukup tinggi, namun ternyata bahwa
ilmunya itu masih jauh dari pada cukup jika dia berhadapan dengan orang-orang pandai, juga ular-ularnya
itu tidak ada artinya kalau dia bertemu dengan lawan tangguh. Dan dia percaya bahwa pendekar ini
memang memiliki ilmu yang tinggi sekali, kalau tidak demikian, mana mungkin dapat melarikan dia dari
tangan ayahnya dan isteri-isteri ayahnya yang demikian lihainya?
“Baiklah, Paman, aku akan belajar darimu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nah, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi denganmu semenjak kita saling berpisah. Ke manakah
engkau pergi ketika kita berdua terdampar di lembah tanpa jalan keluar itu? Kau ingat ketika bukit itu
longsor dan kita terasing di lembah salju?”
“Aku sedang mencari burung dan aku lalu terpeleset jatuh ke dalam jurang.”
“Hemm, sudah kuduga begitu. Akan tetapi bagaimana engkau dapat tetap hidup setelah terjatuh ke dalam
jurang yang sedemikian dalamnya?”
“Aku ditolong oleh seorang kakek yang bernama See-thian Coa-ong, Paman.” Dara itu lalu menceritakan
pengalamannya sampai dia diambil murid oleh kakek Raja Ular itu.
“Bagus sekali, engkau beruntung, selain dapat diselamatkan dari ancaman bahaya maut, juga masih
menemukan seorang guru yang pandai. Pantas saja engkau pandai bermain-main dengan ular.”
“Paman, hal itu belum seberapa penting. Yang kuanggap paling menarik dan penting adalah ketika aku
diajak oleh guruku itu untuk menemui musuhnya di Lembah Suling Emas, yaitu di luar lembah di mana
tinggal musuh Guruku. Di situ aku bertemu degan seseorang yang tentu akan membuat Paman terkejut
sekali, dan tak mungkin Paman dapat menduganya siapa.”
Di dalam hatinya, Kam Hong tertarik sekali, akan tetapi dia tetap nampak tenang dan tersenyum, seperti
seorang dewasa mendengarkan penuturan seorang anak kecil saja. “Siapakah dia yang kau maksudkan
itu?”
“Musuh Guruku itu adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, seorang di antara.... eh, isteri Ayah, wanita yang
paling galak dan paling lihai yang hampir membunuhku malam tadi. Dia adalah seorang tokoh Lembah
Suling Emas dan ilmunya tinggi sekali.”
“Hemm, sungguh aneh sekali ada lembah yang bernama Lembah Suling Emas.”
“Aku pun tadinya merasa heran, Paman. Menurut Guruku, Lembah Suling Emas itu adalah lembah tempat
keluarga yang amat sakti, yaitu keluarga Suling Emas.”
“Hemmm....!” Kam Hong mengelus dagunya dan alisnya berkerut. Apa pula ini?
“Aku pun merasa penasaran, Paman. Bukankah Paman satu-satunya Pendekar Suling Emas dan Paman
memiliki sebuah suling dari emas, juga Paman malah memiliki ilmu-ilmu peninggalan Pendekar Suling
Emas, namun di Pegunungan Himalaya ada lembah yang yang bernama lembah Suling Emas dan menjadi
tempat tinggal keluarga Suling Emas! Akan tetapi Guruku tidak dapat bercerita lebih jelas. Akan tetapi Cuibeng
Sian-li Tang Cun Ciu itu memang lihai bukan main sehingga Suhu-ku sendiri hanya mampu
mengimbangi dalam ilmu silat tanpa dapat mengalahkannya. Dan yang luar biasa adalah muridnya,
Paman.”
“Murid wanita itu? Bagaimana hebatnya?”
“Dia itu bukan lain adalah Yu Hwi!”
Sekali ini benar-benar Kam Hong terkejut bukan main dan dia menatap wajah dara itu dengan mata
terbelalak. Akan tetapi hanya sekejap saja karena dia sudah bersikap biasa kembali, tenang dan agak
dingin. “Sungguh-sungguhkah engkau, Ci Sian?”
“Mengapa tidak, Paman? Aku malah sudah menegurnya, dan mengingatkan dia akan namamu, dan....
ahhh, sungguh aku tidak mengerti akan sikap isterimu itu, Paman. Mengapa dia begitu.... ehhh, agaknya
begitu membencimu dan tidak peduli kepadamu? Aku sudah menegurnya, mengingatkan dia tentang
engkau, akan tetapi dia malah marah-marah. Dan tahukah engkau apa yang terjadi? Gurunya, Si Cui-beng
Sian-li itu, mengadakan perjanjian dengan suhuku, See-thian Coa-ong, untuk mengadukan murid-murid
mereka, yaitu Yu Hwi itu dan aku, setelah belajar lima tahun lamanya. Coba pikir, bukankah perjanjian itu
gila?”
Kam Hong menarik napas panjang. “Yu Hwi adalah calon isteriku, ikatan jodoh antara kami telah disahkan
oleh orang-orang tua yang menjadi wali kami. Dia belum menjadi isteriku, akan tetapi menurut keputusan
wali-wali kami, kami harus saling berjodoh. Di manakah dia, Ci Sian? Aku harus menemuinya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, Paman Kam Hong. Kalau dia tak mau, apakah akan dipaksa menjadi isterimu?”
“Justru aku harus menemuinya untuk membicarakan urusan kami itu. Selain itu, aku pun ingin sekali
berkenalan dengan keluarga yang tinggal di Lembah Suling Emas itu, Ci Sian.”
“Baik, aku akan mengantarmu ke sana, Paman. Akan tetapi dengarkanlah lanjutan ceritaku….”
Ci Sian lalu menceritakan tentang semua pengalamannya, betapa dia setelah belajar empat tahun dari
See-thian Coa-ong lalu meninggalkan pertapaan gurunya itu dan hendak mencari Kam Hong atau Lauwpiauwsu
untuk menanyakan di mana adanya orang tuanya seperti yang diceritakan oleh kakeknya kepada
piauwsu itu. Kemudian betapa dia terlibat dalam perang di Lhagat, tentang Jenderal Kao Cin Liong, tentang
Siok Lan, panglima wanita Nandini dan lain-lain sampai kemudian perang berakhir dengan kekalahan di
pihak tentara Nepal dan dia mendengar tentang tempat tinggal ayahnya dari Lauw-piauwsu yang tewas
karena luka-lukanya.
“Begitulah, aku bertemu dengan Ayahku, akan tetapi dalam keadaan yang sama sekali tidak
menyenangkan hatiku dan aku tidak sudi bertemu dengan dia! Sekarang, kau ceritakan pengalamanmu
semenjak kita berpisah, Paman.”
“Mari kita berangkat, Ci Sian. Di dalam perjalanan nanti akan kuceritakan semua itu kepadamu.”
Mereka melakukan perjalanan lagi, seperti lima tahun yang lalu. Hanya bedanya, kini Ci Sian bukan lagi
anak-anak, bukan lagi anak perempuan tiga belas tahun, melainkan seorang dara remaja yang sudah
berusia tujuh belas tahun, seorang dara remaja yang amat cantik dengan tubuh yang padat meranum,
seperti setangkai bunga yang sedang mulai mekar! Diam-diam Kam Hong harus mengakui bahwa dia
kagum sekali kepada dara ini, kagum akan kecantikannya yang sukar dicari keduanya itu, dan diam-diam
dia merasa amat bergembira dapat bertemu kembali dengan Ci Sian dan dapat melakukan perjalanan
bersama kembali. Lenyaplah segala rasa kesunyian dan nelangsa sebagai akibat perpisahan dengan Yu
Hwi semenjak dia bertemu dengan dara ini kurang lebih lima tahun yang lalu.
Sebaliknya, setelah kini berjumpa dengan Kam Hong hati Ci Sian merasa begitu ringan dan gembira.
Semua kekecewaan dan rasa penasaran, semua rasa duka yang tertimbun sejak kekecewaannya
menyaksikan hubungan antara Siok Lan dan Cin Liong sampai kepada kenyataan yang amat pahit dari
keadaan ayah kandungnya, kini lenyap tak berbekas dan wajahnya yang jelita itu berseri-seri! Dia lupa
sama sekali kepada bayangan Cin Liong yang tadinya amat dikaguminya itu, dan dia merasa bergembira
sekali, gembira dan puas seolah-olah dia memperoleh kembali sesuatu yang hilang dari lubuk hatinya.
Seperti juga dulu, mereka melakukan perjalanan melalui gunung-gunung yang tinggi, lembah-lembah yang
dingin dan puncak-pucak bukit yang tertutup es. Seperti juga dulu, Kam Hong yang bersikap pendiam dan
tenang, bahkan agak dingin itu, seperti gunung es menghadapi api karena sikap Ci Sian sebaliknya dari
pada dia. Dara ini, panas dan penuh semangat, penuh gairah hidup dan selalu jenaka, kocak dan gembira,
agak kenakal-nakalan sehingga mulai mencairlah gunung es dalam hati Kam Hong itu!
Sambil melakukan perjalanan seenaknya, Kam Hong bercerita tentang pengalamannya semenjak dia
berpisah dari Ci Sian. Akan tetapi tidak banyak yang dapat diceritakan. Seperti kita ketahui, ketika Ci Sian
tergelincir ke dalam jurang yang mengelilingi ‘pulau salju’ terpisah dari tempat-tempat lain itu, Kam Hong
merasa amat gelisah, khawatir sekali dan berduka. Dia mengira bahwa tentu dara itu telah tewas tergelincir
ke dalam jurang.
Akan tetapi dia tidak dapat berbuat sesuatu. Biar pun dia sudah berusaha keras untuk mencari jalan turun,
namun dia mendapatkan kenyataan yang makin mendukakan hatinya bahwa tidak mungkinlah menuruni
tempat itu dan siapa yang tergelincir ke bawah yang tidak nampak dasarnya saking dalamnya itu, agaknya
tidak mungkin dapat diharapkan akan selamat. Pendekar itu selama beberapa hari termenung di tepi
jurang, penuh kedukaan dan hampir dia menangis kalau teringat betapa gadis cilik itu kini telah mati!
Batinnya yang sudah tertekan selama bertahun-tahun dengan lenyapnya Yu Hwi, kini bertambah berat
dengan dugaan bahwa Ci Sian telah mati tergelincir ke dalam jurang.
Sampai hampir sepekan dia merenungi keadaan yang menyedihkan itu, akan tetapi akhirnya dia sadar
bahwa membiarkan diri tenggelam ke dalam kedukaan merupakan hal yang tidak baik sama sekali, maka
dia lalu menyibukkan diri dengan latihan ilmu yang baru saja dia peroleh dan pelajari dari catatan di tubuh
jenazah tua. Dan ilmu itu memang hebat bukan main, merupakan ilmu yang amat tinggi, sakti dan penuh
dunia-kangouw.blogspot.com
rahasia. Ilmu meniup suling berdasarkan sinkang yang luar biasa tingginya itu dipelajarinya dengan amat
susah payah, kemudian dia melatih pula ilmu pedang Kim-siauw Kiam-sut yang dilakukan dengan suling.
Selama setahun lebih Kam Hong terasing di tempat itu, tidak memperoleh kesempatan untuk keluar dari
tempat itu. Kemudian, setelah pergantian musim, puncak bukit di atas longsor dan jutaan ton es batu tanah
dan salju menutup jurang sehingga tempat itu kembali tertutup dan dia dapat keluar dari pengasingan itu!
Maka dipilihnyalah tempat yang amat baik untuk melatih ilmu, di lereng sebuah puncak yang subur, tidak
seperti di tempat pengasingan itu yang hanya terdiri dari batu es dan salju yang amat dinginnya. Di tempat
ini, Kam Hong melanjutkan latihannya setelah beberapa hari dia mencari-cari di sekitar tempat
pengasingan itu dan tidak berhasil menemukan Ci Sian, bahkan tulang kerangkanya pun tak dapat
ditemukannya. Dia menduga bahwa tentu gadis cilik itu telah tertimbun es dan tidak mungkin ditemukan
lagi kerangkanya.
Selama tiga tahun Kam Hong memperdalam ilmunya sampai dia berhasil menguasai ilmu-ilmu itu, walau
pun untuk bersuling tanpa suling dia masih belum sanggup melakukannya. Akan tetapi, kini dia dapat
menyuling tanpa menutup lubang-lubang sulingnya dan dapat menyanyikan lagu apa pun juga melalui
sulingnya tanpa memainkan jarinya. Bahkan dia dapat mainkan ilmu pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu
Pedang Suling Emas) sedemikian rupa sehingga sulingnya mengeluarkan suara berlagu merdu!
Kemudian dia meninggalkan tempat pertapaannya untuk melanjutkan usahanya mencari Yu Hwi, dan
dalam perjalanan inilah dia mendengar tentang perang yang terjadi di Lhagat, dan tentang pasukan
pemerintah yang terkepung di lembah oleh pasukan-pasukan Nepal. Kedatangannya tepat sekali, karena
pada waktu itu, pasukan Kerajaan Ceng, dibantu oleh pasukan Tibet dan orang-orang kang-ouw yang lihai
sedang mulai dengan gerakan mereka.
Melihat betapa pasukan yang terkurung itu mulai membuka bendungan sehingga air dari puncak
membanjir, disusul gerakan pasukan yang terkepung itu untuk membobolkan kepungan, Kam Hong segera
turun tangan pula membantu, diam-diam dia mengamuk dan mengacaukan pasukan Nepal yang
mengepung, seperti yang juga telah dilakukan oleh Si Jari Maut Wan Tek Hoat! Akan tetapi karena mereka
berdua itu bergerak di kanan kiri air bah, jadi terpisah, maka mereka tak saling jumpa. Setelah melihat
betapa pasukan pemerintah Ceng berhasil merebut Lhagat, Kam Hong tak mencampuri perang tadi dan
dia menyingkir tanpa memperlihatkan diri.
Tetapi dia melihat panglima wanita Nepal bersama seorang dara melakukan perjalanan tergesa-gesa dan
diam-diam dia membayangi mereka dari jauh sampai ke Pegunungan Kongmaa La.
“Demikianlah, tanpa tersangka-sangka olehku, aku dapat bertemu denganmu, Ci Sian.” Pendekar itu
mengakhiri ceritanya. “Mula-mula aku memang pangling, apalagi ketika melihat seorang dara memanggil
ular-ular itu. Aku hanya ingin menolongnya karena dia dikeroyok oleh orang-orang yang demikian lihainya,
dan baru aku mengenalmu setelah aku membawamu ke dalam goa itu.”
“Dan aku merasa seperti dalam mimpi begitu membuka mata dan melihatmu, Paman. Akan tetapi
sekarang, setelah aku yakin bahwa kita benar telah berkumpul kembali, aku merasa seolah-olah
perpisahanku denganmu selama hampir lima tahun itu hanya mimpi belaka!”
Kam Hong tersenyum karena ucapan itu sama benar rasanya seperti yang berada dalam hatinya. Dia
seolah-olah tak pernah berpisah dari Ci Sian, seolah-olah semua yang dialaminya sendiri tanpa Ci Sian
selama ini hanya sebuah mimpi saja…..
********************
Gadis itu bersilat dengan cepatnya. Gerakannya gesit bukan main, pukulan-pukulannya mendatangkan
angin bersuitan dan daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang, bahkan ada yang rontok
tertiup angin pukulan kedua tangan dan kakinya yang berloncatan ke sana sini seperti seekor burung yang
sedang berlagak di pagi hari itu. Pagi hari itu cerah dan indah sekali dan lapangan rumput itu amat bersih,
kehijauan, segar, hening tidak nampak seorang pun manusia lain di situ.
Gadis itu memang lihai sekali karena dia ini bukan lain adalah Yu Hwi. Usianya sudah dua puluh delapan
tahun, akan tetapi dia nampak masih muda, agaknya hanya dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun.
Pakaiannya yang serba merah muda itu membuat dia nampak lebih muda dari pada usia yang sebenarnya.
Dan memang gadis ini lihai bukan main. Apalagi sekarang setelah dia menjadi murid tersayang dari Cuibeng
Sian-li Tang Cun Ciu yang sakti, tentu saja kepandaiannya meningkat dengan amat pesatnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dulu pun dia telah merupakan seorang pendekar wanita yang amat lihai, yang terkenal dengan julukan Ang
Siocia karena pakaiannya selalu kemerahan. Dari gurunya yang pertama, yaitu Hek-sim Touw-ong Si Raja
Maling, dia telah mewarisi ilmu silat yang tinggi, bahkan ilmunya yang disebut Kiam-to Sin-ciang (Tangan
Sakti Pedang dan Golok) amat hebatnya. Dengan tangan kosong dia mampu memutuskan benda-benda
keras bagai disabet dengan pedang atau golok saja! Di samping ilmu Kiam-to Sin-ciang ini, dia pun
terkenal pandai melakukan penyamarannya, dan pandai pula dalam ilmu mencuri atau mencopet,
kepandaian khas dari Hek-sim Touw-ong!
Seperti telah kita ketahui dari cerita JODOH RAJAWALI, hati gadis ini merasa kecewa bukan main.
Sebagai seorang dara jelita, dia pernah jatuh cinta. Dia jatuh hati kepada seorang pendekar sakti, yaitu
Pendekar Siluman Kecil, atau Suma Kian Bu putera dari Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es! Akan
tetapi cintanya bertepuk tangan sebelah, pendekar yang dicintanya itu ternyata mencinta dara lain
sehingga hati gadis ini menjadi hancur dan patah-patah.
Kemudian Yu Hwi mendengar tentang rahasia dirinya, bahwa ia adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong
Tek dan bahwa sejak kecil dia diculik oleh gurunya Si Raja Maling. Hal ini tidak menyusahkan hatinya,
akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia mendengar bahwa sejak kecil dia telah ditunangkan dengan
seorang anak laki-laki yang bukan lain adalah Siauw Hong atau Kam Hong, pemuda yang sudah
dikenalnya, bahkan pemuda yang tanpa disengaja pernah membuka rahasia penyamarannya pada saat itu
sebagai seorang pemuda (baca cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI).
Maka, karena malu terhadap Kam Hong, juga karena berduka mengingat bahwa hatinya telah jatuh cinta
kepada Siluman Kecil, Yu Hwi kemudian melarikan diri, meninggalkan kakeknya, dan mengambil
keputusan tidak mau kembali lagi. Dia telah gagal cintanya dengan Siluman Kecil, dan dia tidak sudi
dikawinkan dengan orang lain, apalagi yang bukan pilihannya sendiri, sungguh pun harus diakuinya bahwa
tunangannya itu adalah seorang pemuda yang hebat pula. Dia sudah terlanjur malu dan tidak mau kembali
lagi.
Dan di dalam perjalanannya itulah dia bertemu dengan Cui-beng Sian-Ii Tang Cun Ciu dan diambil sebagai
murid. Hatinya menjadi girang sekali, apalagi saat ia diperkenalkan dengan keluarga sakti yang menjadi
penghuni Lembah Suling Emas. Hatinya kagum bukan main, terutama sekali kepada seorang di antara
para tokoh lembah itu, yang masih terhitung susiok-nya (paman seperguruannya), yaitu yang bernama Cu
Kang Bu, pemuda sakti tinggi besar dan gagah itu. Dia merasa kagum bukan main terhadap keluarga yang
amat sakti itu, terutama para paman gurunya yang menurut subo-nya bahkan lebih lihai dari pada subo-nya
sendiri yang sudah amat dikaguminya itu!
Selama beberapa hari ini, subo-nya nampak murung saja, tetapi hatinya girang karena subo-nya
mengatakan bahwa pelajarannya telah tamat, dan bahwa waktu yang lima tahun itu sudah hampir tiba dan
dia akan harus berhadapan dengan murid See-thian Coa-ong untuk memenuhi janji dua orang yang
bermusuhan secara aneh itu, untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Dahulu, dalam pertempuran
mati-matian antara Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu dan See-thian Coa-ong, tiada yang kalah atau menang,
kepandaian mereka seimbang. Maka kini, murid-murid mereka yang akan menentukan siapa yang lebih
unggul di antara mereka.
Yu Hwi merasa girang, bukan hanya karena dia akan bertanding mewakili subo-nya, melainkan karena dia
telah bebas dan setelah melakukan pertandingan itu, dia boleh turun gunung atau pergi dari tempat itu,
melanjutkan perjalanan atau perantauannya. Dan dia sudah merasa rindu untuk kembali ke timur, ke dunia
ramai. Akan tetapi, harus diakui bahwa ada sesuatu yang membuat dia merasa berat meninggalkan
Lembah Suling Emas, dan selama berbulan ini wajah yang gagah dari susiok-nya sering muncul di alam
mimpi, menggerakkan gairah di dalam hatinya yang sudah lebih dari dewasa, bahkan yang sudah agak
terlambat itu, mengingat usianya sudah dua puluh delapan tahun!
Pagi hari itu, dalam cuaca cerah dari hari yang indah itu, Yu Hwi bersilat dengan tangan kosong, berlatih
sebaik-baiknya dan dia merasa girang karena dapat bergerak dengan lancar sekali dan merasa yakin
bahwa dalam mewakili subo-nya, dia tentu akan dapat mengalahkan anak perempuan murid See-thian
Coa-ong yang bicara lancang tentang Kam Hong itu!
Setelah dia berhenti bersilat dan menghapus keringat di lehernya, tiba-tiba terdengar tepuk tangan. Yu Hwi
terkejut bukan main. Kalau ada orang mampu datang ke tempat itu tanpa diketahuinya, tentu ilmu
kepandaian orang itu tinggi bukan main. Akan tetapi ketika dia menoleh dengan kaget dan melihat siapa
yang bertepuk tangan itu, wajahnya berseri dan kedua pipinya berubah kemerahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aihh.... kiranya Sam-susiok (Paman Guru ke Tiga).... ah, gerakanku amat buruk, harap Susiok jangan
mentertawakan,” katanya dengan sikap agak genit, tersenyum manis dan mengerling tajam.
Pria yang tinggi besar dan telah berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu tersenyum dan meloncat turun dari
atas sebuah batu besar di mana dia tadi berdiri, menghampiri gadis itu dengan pandang mata penuh
kagum.
“Sungguh mati, Yu Hwi, aku tidak mentertawakan. Gerakan-gerakanmu tadi lincah dan hebat, dan amat
manis sekali, sungguh pun aku melihat adanya beberapa kelemahan yang agaknya tidak nampak oleh
Subo-mu.”
“Ahh, betulkah Sam-susiok? Harap Susiok sudi memberi petunjuk kepadaku. Harap Susiok ingat bahwa
beberapa hari lagi aku harus menghadapi murid See-thian Coa-ong mewakili Subo untuk mengadu
kepandaian seperti janji mereka lima tahun yang lalu.”
Pria itu menarik napas panjang. “Ahh, Toaso…, Subo-mu itu, selalu menuruti hati panas sehingga suka
berjanji untuk mengadu ilmu. Mempelajari ilmu silat bukan untuk diadu seperti ayam jago atau jangkerik.”
Yu Hwi tersenyum. “Betapa pun, janji tetap janji dan apa jadinya kalau Subo melanggar janjinya? Samsusiok,
berlakulah baik untuk memberi petunjuk agar supaya aku dapat memperbaiki kekurangan atau
kesalahan itu. Susiok tidak ingin melihat aku kalah dalam pertandingan itu, bukan?”
“Tentu saja tidak. Nah, dalam jurus ke sebelas dan dua belas, juga jurus ke sembilan belas dan ke dua
puluh, kau terlalu menekankan kepada penyerangan, terlalu bernafsu sehingga kau melalaikan
pertahananmu hingga pada bagian-bagian itu pertahananmu amat lemah dan mudah sekali dimasuki
lawan.”
“Ahhh, begitukah, Susiok? Akan tetapi menurut Subo, permainanku sudah sempurna,” kata Yu Hwi dengan
kaget.
“Mari kita coba. Kau seranglah aku dengan jurus ke sebelas itu.”
Karena maklum betapa lihainya susiok-nya yang ganteng dan gagah ini, yang menurut subo-nya memiliki
tingkat kepandaian lebih tinggi dari subo-nya, dan karena dia akan memperoleh petunjuk, maka Yu Hwi
menjadi girang dan tanpa ragu-ragu kemudian dia mengerahkan tenaganya dan menyerang sambil
berseru, “Awas Susiok!”
Jurus ke sebelas disebut Lam-hong Tong-te (Angin Selatan Getarkan Bumi), dilakukan dengan pukulan
tangan kiri yang disambung dengan langkah kaki kanan ke depan lalu kaki kiri menyambar dari samping
dengan jalan memutar. Gerakan yang amat cepat dan tidak tersangka oleh lawan, berbahaya sekali.
“Pinggang kananmu terbuka!” kata Kang Bu.
Dan dengan memutar tubuh, setelah mengelak dan menepuk kaki yang menendang, tahu-tahu tangannya
sudah mencengkeram ke arah pinggang kanan Yu Hwi. Tentu saja tidak dia lanjutkan, hanya jari-jari
tangannya menyentuh pinggang itu, menimbulkan rasa geli.
“Seharusnya tangan kananmu merapat ke pinggang, seperti ini!” Dengan jelas Kang Bu lalu memberi
contoh dan memegang tangan kanan Yu Hwi, merapatkan di pinggang.
“Mengertikah engkau? Setiap serangan sudah tentu membuka sebagian dari tubuh kita, dan hal itu akan
dipergunakan oleh lawan yang tangguh untuk mencari titik kelemahan kita, dan oleh karena itu, di samping
penyerangan kita harus mengenal titik kelemahan sendiri sewaktu menyerang dan sedapat mungkin
melindungi kelemahan itu.”
Yu Hwi mengerti dan mengulang jurus itu sampai beberapa kali sehingga Kang Bu mengangguk-angguk
puas. “Nah, sekarang coba seranglah aku dengan jurus ke dua belas,” katanya pula.
“Baik, nah, awas Susiok! Haitttt....!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Jurus ke dua belas ini memang seharusnya dilakukan dengan bentakan nyaring. Jurus ini disebut Siahong-
khai-bun (Angin Bawah Membuka Pintu). Serangan ini lebih hebat dari pada tadi karena tiba-tiba dara
itu merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua lututnya dan kedua tangannya mendorong dari bawah
ke atas dengan kekuatan hebat karena didasari tenaga sinkang yang amat kuat sehingga angin
pukulannya menyambar dahsyat. Namun tiba-tiba tubuh Kang Bu meloncat ke atas, berjungkir balik dan
kedua tangannya dari atas melakukan dua pukulan, yang kiri menusuk ke arah mata Yu Hwi sedangkan
yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun!
“Aihhhhh....!” Yu Hwi terkejut sekali dan cepat dia membuang tubuh ke belakang dan bergulingan,
mukanya berubah pucat.
Kang Bu sudah berdiri di depannya sambil tersenyum. “Bagus sekali cara engkau tadi menyelamatkan diri.
Akan tetapi hal itu tidak perlu karena apa kau kira aku hendak mencelakakan engkau dengan sungguhsungguh?”
“Aku.... aku kaget, Susiok....“ kata Yu Hwi dan dia pun tersenyum malu-malu ketika Kang Bu membantunya
membersihkan pakaiannya yang terkena tanah ketika tadi dia bergulingan.
“Nah, engkau lihat betapa berbahayanya jika engkau mencurahkan seluruh tenaga dan perhatianmu untuk
menyerang di jurus ke dua belas itu. Memang jurus ini merupakan jurus berbahaya bagi lawan, akan tetapi
kalau lawanmu memiliki ginkang yang tinggi dan melihat keterbukaan bagian kepalamu, engkau sebaliknya
akan terancam bahaya. Oleh karena itu, pada saat memukul, perhatikan gerakan musuh, kalau dia
membalikkan keadaan dengan meloncat dan mengancam kepalamu, kau tinggal melanjutkan pukulan itu
ke atas, mendahuluinya, dan menghantamnya dari bawah. Mengertikah engkau?”
“Baik, aku telah mengerti dan terima kasih, Sam-susiok. Memang engkau benar sekali, Susiok.”
“Sekarang jurus ke sembilan belas dan ke dua puluh. Kedua jurus itu merupakan jurus yang
bergandengan, yaitu See-hong-coan-in (Angin Barat Menerjang Awan) yang lalu disambung dengan Pakhong-
sang-thian (Angin Utara Naik Langit) dan merupakan dua jurus terampuh dari Ilmu Silat Pat-hong Sinkun
(Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) itu. Coba kau serang aku dengan dua jurus yang bersambungan
itu.”
“Baik, Susiok.”
Yu Hwi kemudian menyerang. Gerakannya cepat bukan main, kedua tangan bergantian melakukan
pukulan sambil meloncat, lalu dengan kedua kaki ditekuk dua tangannya menyambar ke depan ke arah
leher dan pusar lawan.
“Lihat dadamu terbuka!” terdengar susiok-nya itu berkata dan kedua tangannya telah terpentang oleh
tangkisan dan tangan susiok-nya yang besar dan kuat itu tiba-tiba telah mencengkeram ke arah dadanya,
hampir saja menyentuh buah dadanya, akan tetapi Kang Bu sudah cepat menarik kembali tangannya.
Kemudian Yu Hwi melanjutkan gerakannya, tubuhnya meloncat ke atas dan kedua kakinya menyerang
dengan totokan dari atas ke arah pundak dan ubun-ubun kepala lawan. Gerakannya memang cepat bukan
main sehingga dalam pertandingan yang sungguh-sungguh, pihak lawan akan terancam bahaya.
“Bagian belakangmu kosong!” teriak pula Kang Bu dan dia sudah menggeser kaki sehingga dua tendangan
itu luput dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di sebelah belakang Yu Hwi dan sekali tangannya
menyambar, sepatu kiri Yu Hwi telah copot!
“Ihhh....!” Yu Hwi terkejut dan melayang turun dengan muka merah, memandang ke arah kakinya yang
hanya tinggal berkaus saja sedangkan sepatu kaki kirinya telah berada di tangan susiok-nya.
“Maaf, ini hanya untuk membuktikan betapa bahayanya jurus-jurus itu kalau engkau tidak hati-hati. Jadi
ingat baik-baik, jurus ke sembilan belas jaga baik-baik dadamu dan jurus ke dua puluh memiliki kelemahan
di bagian belakang tubuhmu pada saat engkau meloncat.”
Yu Hwi tak dapat berkata-kata, mukanya merah sekali dan jantungnya berdebar-debar ketika dia melihat
betapa paman gurunya itu berjongkok dan memasangkan sepatu kirinya. Lebih berdebar lagi rasa
jantungnya ketika dia melihat betapa jari-jari tangan yang kokoh kuat dari pendekar yang lihai itu gemetar
tidak karuan ketika membantunya memakai kembali sepatunya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka lalu duduk berhadapan di atas rumput hijau, bercakap-cakap dengan mesranya. Seperti biasa,
dalam pertemuan dan percakapan ini, Cu Kang Bu memberi petunjuk-petunjuk dalam hal ilmu silat kepada
Yu Hwi, sikapnya amat ramah dan juga mesra, jelas sekali nampak betapa pria muda itu ‘ada hati’
terhadap murid keponakan yang manis itu! Dan diam-diam Yu Hwi juga harus mengakui bahwa dia amat
tertarik kepada pemuda ini, seorang pria yang jantan, matang, pendiam, jujur dan tidak pernah berpurapura,
sikapnya terbuka dan ilmu kepandaiannya amat luar biasa. Pria seperti ini dapat dibandingkan
dengan Pendekar Siluman Kecil sekali pun!
Tanpa mereka sadari, dari tempat yang agak jauh sepasang mata bening memandang ke arah mereka,
dan kemudian sepasang mata itu nampak tidak senang, dan akhirnya lenyap.
Tiba-tiba Yu Hwi berkata, suaranya halus dan lembut, agak mengandung kemanjaan seorang wanita yang
yakin bahwa dirinya dicinta. “Sam-Susiok....”
“Ehhh, mengapa? Mengapa tidak kau lanjutkan bicaramu?” Kang Bu bertanya sambil memandang heran,
melihat betapa dara itu memanggilnya kemudian menunduk, dan kelihatannya seperti ragu-ragu dan
bimbang.
“Aku hendak bertanya sesuatu, akan tetapi takut Susiok marah.”
Kang Bu tertawa, ketawanya bebas lepas. “Ha-ha-ha-ha, engkau aneh sekali, Yu Hwi. Pernahkah aku
marah kepadamu? Dan pula, kenapa aku harus marah?”
Yu Hwi mengingat-ingat dan memang belum pernah susiok-nya ini marah. Semenjak dia diperkenalkan
kepada para penghui Lembah Suling Emas, dia merasa amat takut kepada toa-susiok-nya, yaitu Cu Han
Bu yang sikapnya pendiam, serius dan kelihatan galak. Juga dia tidak pernah bicara dengan ji-susiok-nya,
yaitu Cu Seng Bu yang juga pendiam. Hanya kepada sam-susiok ini saja dia merasa suka dan cocok, dan
susiok-nya ini selain amat ramah dan baik, juga usianya tidak banyak selisihnya dengan dia. Susiok-nya ini
paling banyak baru berusia tiga puluh empat tahun. Apalagi semenjak diperkenalkan, dari sinar mata samsusiok-
nya ini dia tahu bahwa pendekar gagah ini tertarik dan sayang kepadanya. Naluri kewanitaannya
amat tajam dan tentu saja dia dapat menangkap hal ini.
“Tapi aku merasa khawatir kalau-kalau engkau marah mendengar pertanyaanku ini, Sam-susiok.”
“Ha-ha, kalau aku marah, biarlah engkau hitung-hitung mengalami satu kali mendapat marah dariku!”
Pendekar itu kemudian memandang dengan matanya yang lebar dan mencorong. “Yu Hwi, katakanlah,
apa yang akan kau tanyakan kepadaku?”
“Sam-susiok.... aku ingin sekali tahu lebih banyak tentang keluargamu, keluarga Suling Emas yang amat
sakti itu. Kulihat Toa-susiok sudah menduda, padahal dia belum tua benar, dan Pek In semenjak kecil tidak
beribu. Kenapa Toa-susiok tidak pernah menikah lagi, Susiok? Dan juga Ji-susiok tidak pernah menikah....”
“Ahh, engkau tidak tahu, Yu Hwi. Twako kematian isterinya yang sangat dicintainya dan dia tidak berani
menikah lagi, tidak melihat adanya wanita yang dapat menggantikan isterinya, apalagi setelah melihat
betapa mendiang Twako Cu San Bu suami Subo-mu itu menderita karena ulah isterinya. Maka dia tidak
percaya lagi kepada wanita dan memilih tidak kawin lagi selamanya. Ada pun Ji-ko Cu Seng Bu, dia.... dia
itu memiliki penyakit sejak kecil, penyakit yang tak dapat disembuhkan dan jika dia menikah, maka penyakit
itu akan membahayakan nyawanya. Selain itu, dia melihat kehidupan yang sengsara dari mendiang Twako
Cu San Bu dan Cu Han Bu sehingga dia merasa ngeri untuk menikah.”
“Akan tetapi, keluarga Cu belum memiliki keturunan seorang laki-laki….“
Cu Kang Bu menghela napas panjang. “Memang hal itu kadang-kadang membuat kami gelisah. Akan
tetapi semenjak datang Sim Hong Bu, hati kami terhibur. Anak itu baik sekali, dan memiliki bakat yang
amat besar. Dia telah dipilih oleh mendiang Toapek, dan ternyata dia dapat mewarisi ilmu kami dengan
baik. Biarlah dia yang menjadi murid dan juga keturunan kami, siapa tahu dia kelak akan dapat menjadi
suami Pek In seperti yang telah direncanakan dan diharapkan oleh Twako Han Bu....“
“Ahh, apakah di antara Sumoi dan Sute itu ada pertalian cinta....?”
Yang ditanya menggeleng kepada. “Mereka itu masih terlalu muda kiraku untuk itu, akan tetapi hubungan
di antara mereka cukup baik. Engkau tahu, murid kami Hong Bu itu memang hebat sekali. Dia bahkan
dunia-kangouw.blogspot.com
sudah berhasil, atau hampir berhasil melatih ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang-toapek, ilmu yang amat
sukar dan mukjijat itu....“
“Koai-liong Kiam-sut?”
Yang ditanya mengangguk dan sejenak mereka diam.
“Sam-susiok….“
“Ya....?”
“Bagaimana dengan kau sendiri?”
“Aku mengapa?”
“Maksudku.... eh, apakah engkau juga seperti Ji-susiok yang merasa ngeri menghadapi pernikahan dan
menganggap tidak ada wanita yang patut menjadi.... ehh, jodohmu?”
Pertanyaan itu membuat wajah pendekar tinggi besar itu menjadi merah. “Aku.... eh, aku tidak pernah....
aku belum memikirkan soal jodoh....,“ jawabnya gagap. Pendekar sakti yang menghadapi ancaman maut
apa pun juga akan bersikap tenang ini, menghadapi pertanyaan tentang jodoh itu menjadi gugup. Sungguh
hebat!
“Ahh, Sam-susiok, kenapa?”
“Aku.... ehh, kurasa belum waktunya bagiku untuk memikirkan jodoh.”
“Belum waktunya? Menurut dugaanku, Sam-susiok tentu sudah berusia tidak kurang dari tiga puluh tiga
tahun sekarang....”
“Sudah tiga puluh lima.”
“Nah, kenapa masih belum waktunya? Apakah engkau tidak juga hendak menikah kalau sudah berusia
setengah abad?”
“Ha, bukan begitu, Yu Hwi, akan tetapi.... selama ini memang belum ada seorang gadis yang cocok
untukku.... dan sekarang.... setelah ada yang cocok, hemm.... aku mungkin sudah terlalu tua untuknya.”
Yu Hwi adalah seorang dara yang sudah matang, maka tentu saja dia dapat menduga ke mana tujuan
percakapan itu dan siapa yang dikatakannya tidak cocok itu. Dengan sikap seolah tidak tahu dan manja dia
bertanya. “Siapakah dara itu, Susiok? Mengapa mengatakan terlalu tua? Aihhh, coba dengar ini kakekkakek
yang berusia seabad mengeluh....“ Dia menggoda.
Kang Bu tidak pandai bicara, akan tetapi sekali ini dia bercakap-cakap sampai sedemikian banyaknya
dengan Yu Hwi, sungguh membuat dia sendiri merasa terheran. Mendengar godaan itu dia tersenyum,
akan tetapi segera memandang tajam kepada Yu Hwi dan memegang tangan dara itu.
Sekali ini Yu Hwi memang terkejut, tidak dibuat-buat karena tak disangka-sangkanya bahwa pemuda itu
akan memegang tangannya dan dia merasa betapa jari-jari tangan yang amat kuat itu menggenggam
tangannya dan ada terasa getaran olehnya, getaran hangat dan mesra yang membuat jantungnya
berdebar tidak karuan.
“Yu Hwi, katakanlah, engkau pun seorang dara yang usianya sudah cukup dewasa, kenapa sampai
sekarang engkau belum juga menikah?”
“Aku.... aku sudah ditunangkan dengan orang, Susiok!”
“Ah....!” Tiba-tiba Kang Bu menarik kembali tangannya seolah-olah dia telah memegang bara api, wajahnya
pucat dan matanya terbelalak memandang kepada wajah dara itu. “Maafkan aku.... ahhh, mafkan aku....,“
katanya gagap. “Sungguh aku lancang.... nah, habislah harapan Cu Kang Bu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Susiok, aku.... aku ditunangkan di luar kehendakku, di waktu aku masih kecil, dan karena itulah aku pergi
minggat dari rumah Kakekku, tidak mau kembali lagi ke sana. Aku tidak sudi dipaksa berjodoh dengan
orang yang bukan pilihanku sendiri. Aku telah membebaskan diri, dan yang menyatakan pertunangan itu
adalah orang-orang tua, sedangkan aku tidak merasa terikat jodoh dengan siapa pun juga!”
Kata-kata yang tegas ini seakan-akan mengembalikan darah ke muka Kang Bu. Dia memandang dengan
sinar mata mencorong, kemudian dia memegang lagi tangan Yu Hwi, harapannya pulih kembali. “Benarkah
itu, Yu Hwi?”
“Aku bersumpah bahwa apa yang kukatakan itu setulusnya dari hatiku, Susiok.”
“Kalau begitu biarlah aku berterus terang. Aku.... aku telah menemukan wanita yang cocok dengan hatiku
itu, Yu Hwi, dan wanita itu adalah engkau. Aku cinta padamu!”
Bukan main bahagia rasa hati Yu Hwi. Dia balas memegang tangan pemuda itu dan memandang dengan
wajah berseri, dan senyum malu-malu. Dari pandangan matanya saja, sudah jelas terlukislah bahwa dia
menerima cinta kasih pemuda itu dan bahwa pemuda itu tidak bertepuk tangan sebelah.
“Yu Hwiiii....!” Tiba-tiba terdengar suara panggilan subo-nya.
Yu Hwi terkejut dan melepaskan tangannya. “Sam-susiok, Subo memanggilku. Sampai jumpa nanti.... ah,
aku bahagia sekali, Susiok!” Dan dara itu lalu meloncat dan berlari-lari meninggalkan Kang Bu menuju ke
pondok subo-nya, diikuti pandangan Kang Bu yang tersenyum dengan hati penuh kebahagiaan.
Ketika ia duduk berhadapan dengan subo-nya, Yu Hwi dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu
karena sikap subo-nya tidak seperti biasa. Subo-nya kelihatan berwajah muram, bahkan seperti orang
marah ketika memandang wajahnya.
“Yu Hwi, engkau jangan main-main dengan keluarga Lembah Suling Emas,” begitu dia berhadapan dengan
Subo-nya, dia mendengar kata-kata yang aneh dan mengejutkan ini.
“Subo, apa maksud Subo dengan kata-kata itu?” tanyanya sambil memandang wajah gurunya dengan
heran dan penuh selidik.
Sepasang mata subo-nya yang biasanya jeli dan cemerlang itu sekarang nampak agak muram dan
terbayang kemarahan. “Engkau saling mencinta dengan Kang Bu, bukan?”
Yu Hwi tidak merasa terkejut karena dia tahu bahwa subo-nya adalah seorang yang berkepandaian tinggi,
maka tentu sudah dapat menduga tentang hubungannya yang mesra dengan Kang Bu. Maka dia tidak mau
banyak menyangkal, melainkan hanya mengangguk.
“Hemm, apakah engkau akan mengulangi pengalamanku yang pahit? Engkau jatuh cinta, kemudian
menjadi isteri Kang Bu, berarti menjadi keluarga Lembah Suling Emas dan hidup terkurung di situ, seperti
seekor burung dalam sangkar, tidak boleh keluar, tidak boleh berhubungan dengan dunia luar sampai
engkau tua dan mati di situ!”
“Ehh, Subo! Apa artinya ini? Teecu tidak mengerti....”
“Tidak ingatkah engkau kepada apa yang kualami di lembah itu? Aku menjadi isteri mendiang Cu San Bu,
kakak tertua mereka, dan aku hidup seperti boneka di dalam lembah itu, tidak pernah keluar, dan tidak
diperbolehkan berhubungan dengan dunia luar. Siapa kuat? Siapa dapat bertahan? Maka ketika datang
tamu yang menarik dan amat ramah, aku mudah tertarik, salah siapa? Dan kau ingat lagi ibunya Pek In!
Mana mungkin dia dapat tahan hidup seperti burung dalam sangkar? Keluarga Cu itu adalah keluarga iblis!
Mereka mau hidup enak sendiri, mau merahasiakan tempat mereka dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan keluarga mereka. Mereka menganggap keluarga mereka sebagai keluarga langit, tak boleh dikotori
dengan hubungan bersama manusia lain di luar lembah. Dan engkau mau membiarkan dirimu tersesat ke
dalam neraka itu?”
“Ahhh....!” Yu Hwi benar-benar terkejut bukan main mendengar ini.
“Aku sebagai Gurumu, aku sayang kepadamu, maka kuperingatkan engkau tentang hal ini, karena aku
akan pergi meninggalkan tempat ini.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Subo mau pergi....?”
“Benar, sekarang juga. Dan oleh karena itulah engkau kupanggil, bukan hanya untuk memperingatkanmu
tentang hal tadi, akan tetapi juga untuk memberi tahu bahwa hari ini kita saling berpisah. Engkau harus
tidak mengecewakan aku. Kau wakililah aku, temui See-thian Coa-ong dan kau kalahkan muridnya agar
hatiku puas.”
“Baik, Subo. Akan tetapi, Subo sendiri.... hendak pergi ke manakah?”
Wanita itu menoleh dan memandang keluar pondok, ke arah puncak yang jauh di sana. “Entahlah, aku
hendak pergi menurutkan kata hatiku. Aku sudah tidak tinggal dalam Lembah Suling Emas, maka aku
bebas pergi ke mana pun juga. Dan aku mungkin tidak akan kembali lagi ke tempat ini untuk selamanya.”
“Tapi.... tapi ke mana Subo pergi? Agar teecu dapat tahu dan dapat menyusul kelak.”
“Mau apa kau menyusulku? Engkau kembalilah ke tempat asalmu, ke dunia ramai di timur. Aku akan
merantau di pegunungan ini, Pegunungan Himalaya yang maha luas....”
“Subo akan pergi mencari Bu-taihiap?”
Tiba-tlba wanita itu bergerak dengan cepat dan tahu-tahu lengan tangan Yu Hwi sudah dicengkeramnya,
“Bagaimana kau tahu?”
Yu Hwi tidak kaget dan juga tidak takut, melainkan tersenyum. “Subo demikian dekat dengan teecu, sudah
seperti Ibu sendiri atau kakak sendiri. Subo pernah bercerita tentang Bu-taihiap, dan teecu tahu bahwa
Subo masih mencintanya. Maka begitu Subo mengatakan hendak merantau ke Pegunungan Himalaya,
siapa lagi yang Subo cari kecuali Bu-taihiap?”
Wanita itu mengangguk lesu, “Engkau memang cerdik sekali, muridku. Akan tetapi.... aku berhak
menikmati hidupku, berhak meraih cintaku....“
“Demikian pula teecu, Subo.”
“Aku tahu, akan tetapi engkau akan sengsara kalau menjadi keluarga di Lembah Suling Emas.... tapi kau
cerdik, engkau lebih cerdik dari pada aku, semoga saja kau berhasil mengatasi hal itu. Nah, kau
berangkatlah mencari See-thian Coa-ong, muridku, aku pun akan pergi sekarang juga.”
Dua orang wanita itu sejenak saling berpandangan, kemudian mereka saling rangkul untuk beberapa
lamanya. “Hati-hatilah engkau, muridku,” kata Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu lirih dan mereka lalu saling
melepaskan rangkulan dan berpisahlah mereka.
“Akan tetapi janji itu masih kurang beberapa hari lagi, Subo.” Yu Hwi berkata ketika mereka akan berpisah.
“Memang, kurang sebulan lagi. Nah, aku pergi dulu, selamat tinggal, Yu Hwi.”
“Selamat jalan, Subo, harap Subo jaga baik-baik diri Subo,” kata dara itu dengan hati terharu. Memang,
subo-nya berhak menikmati hidupnya, berhak meraih cintanya. Akan tetapi, pria yang dicinta oleh subo-nya
itu telah beristeri! Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada wanita yang menjadi gurunya itu.
Setelah tiba waktunya, kurang lebih sebulan kemudian, berangkatlah Yu Hwi mencari See-thian Coa-ong di
tempat pertapaan kakek itu. Dia berangkat dengan hati besar sebab selain dia percaya kepada diri sendiri
dan merasa yakin akan dapat mengalahkan murid Raja Ular itu, juga dia merasa tenang karena dia tahu
bahwa diam-diam kekasihnya atau juga paman gurunya, Cu Kang Bu, diam-diam membayanginya dari
jauh seperti yang telah dijanjikan oleh pendekar sakti itu. Kang Bu tidak mau datang berterang membantu
Yu Hwi karena hal ini amat merendahkan nama keluarga Lembah Suling Emas yang terkenal, maka dia
hendak melindungi kekasihnya secara diam-diam saja.
Akan tetapi betapa kecewa hati Yu Hwi ketika dia tiba di tempat pertapaan kakek itu, seperti yang
diberitahukan subo-nya, dia hanya mendapatkan kakek itu seorang saja! See-thian Coa-ong bangkit
berdiri, menyambut kedatangannya dan kakek ini berkata dengan ramah.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jadi engkau adalah murid Cui-beng Sian-li, Nona? Memang hari ini adalah hari perjanjian antara Gurumu
dan aku untuk saling menguji kepandaian murid masing-masing, untuk menentukan siapa di antara kami
yang lebih becus mengajar murid. Akan tetapi sayang, muridku itu telah pergi setahun yang lalu. Ahh, dia
masih kanak-kanak, tidak dapat bertahan menanti sampai lima tahun, Nona, dan dia telah pergi....” Kakek
itu menarik napas panjang. “Oleh karena itu, biarlah aku tua bangka yang tiada gunanya ini sekarang
mengaku kalah kepada Subo-mu, Cui-beng Sian-li karena aku tidak dapat memenuhi janji.”
Yu Hwi mengerutkan alisnya, hatinya kecewa dan dia merasa penasaran sekali. Dia tahu bahwa gurunya
memang suka kepadanya dan suka pula mengajarkan ilmu-ilmu silat kepadanya, akan tetapi di samping
itu, gurunya mengajarnya selama lima tahun juga dengan maksud agar dia dapat mengalahkan murid
kakek ini. Dan sekarang, harapan dari subo-nya itu dikesampingkan begitu saja, dengan sedemikian
mudahnya seolah-olah janji itu hanya main-main belaka. Bagaimana dia akan menjawab kalau subo-nya
kelak bertemu dengan dia dan bertanya tentang pertandingan itu? Lalu apa buktinya terhadap subo-nya
yang telah dengan susah payah melatihnya selama lima tahun itu?
“See-thian Coa-ong, mana mungkin engkau membatalkan janji selama lima tahun dengan demikian
mudahnya? Jika memang muridmu itu takut menghadapi aku, kenapa engkau membuat janji lima tahun
yang lalu? Kalau begitu, biarlah engkau saja mewakili muridmu dan aku mewakili Guruku! Pertandingan
lima tahun yang lalu kita lanjutkan sekarang.”
“Ahh, jangan begitu, Nona. Mana mungkin aku yang tua bangka ini melawan engkau yang masih muda?
Lawanmu adalah muridku, dan karena muridku kini tidak ada....“
“Maka engkaulah yang menjadi wakilnya, See-thian Coa-ong. Nah, majulah!” Yu Hwi menantang.
Kakek itu menggeleng kepala. “Aku sudah tua....”
“Kalau begitu kau berlututlah menghadap ke barat dan mengaku kepada Subo bahwa engkau kalah
olehnya!” kata Yu Hwi.
Kakek itu tersenyum. “Eh, mana mungkin ini? Aku mengaku kalah cara mengajar murid, bukan kalah
bertanding.”
“Kalau begitu sambutlah ini. Haiittt....!” Yu Hwi mengeluarkan suara melengking sebelum menyerang,
kemudian dia menerjang maju mengirim serangan kepada kakek itu!
“Ehh....!” See-thian Coa-ong cepat mengelak sehingga serangan pertama itu luput, akan tetapi Yu Hwi
sudah menerjangnya lagi kalang-kabut sehingga kakek itu harus cepat mengelak dan menangkis karena
serangan-serangan yang dilakukan oleh gadis itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Kepandaian Yu Hwi pada waktu itu telah mencapai tingkat tinggi sekali sehingga tidak sembarang orang
akan mampu bertahan terhadap serangan-serangan yang dilakukan untuk memaksakan kemenangan ini.
Akan tetapi See-thian Coa-ong adalah seorang pertapa sakti yang tingkat kepandaiannya seimbang
dengan tingkat Cui-beng Sian-li, maka tentu saja dia mampu melindungi dirinya dari serangkaian serangan
yang dilakukan oleh Yu Hwi. Akan tetapi karena kakek ini sama sekali tidak pernah membalas seranganserangan
itu, dan hanya bertahan saja, maka sudah tentu dia segera terdesak hebat dan berloncatan
mundur sambil beberapa kali menangkis.
Pada saat itu, nampak sesosok tubuh ramping berlari-lari mendatangi dari jauh menuju ke tempat itu dan
setelah dekat, terdengar suara orang yang datang ini berseru keras. “Siapa berani menghina Suhu?”
Yang datang itu bukan lain adalah Ci Sian! Seperti kita ketahui, Ci Sian ditolong oleh Pendekar Suling
Emas Kam Hong, lalu ketika mereka saling menceritakan pengalaman, Ci Sian bercerita kepada pendekar
itu tentang diri Yu Hwi, calon isteri yang dicari-cari oleh pendekar itu. Mendengar ini, Kam Hong menjadi
girang sekali dan dia minta kepada Ci Sian untuk mengantarkan dia menemui Yu Hwi di kaki Bukit Lembah
Suling Emas. Selain ingin bertemu dengan Yu Hwi, juga Kam Hong tertarik sekali mendengar tentang
lembah yang bernama Lembah Suling Emas itu dan ingin menyelidikinya.
Di sepanjang perjalanan, mulailah Kam Hong memberi petunjuk-petunjuk kepada Ci Sian dalam ilmu silat,
terutama sekali untuk memberi dasar kepada dara ini agar dapat menerima ilmu-ilmu yang mereka
dapatkan bersama dari catatan di tubuh kakek kuno! Kam Hong juga mulai melatih Ci Sian cara
dunia-kangouw.blogspot.com
memainkan suling, dan untuk memudahkan latihan, Kam Hong membuatkan sebuah suling bambu gading
untuk dara itu.
Karena tempat pertapaan See-thian Coa-ong berada di antara perjalanan menuju ke Lembah Suling Emas,
maka Ci Sian mengajak Kam Hong untuk singgah di tempat pertapaan kakek itu karena dia hendak
menjenguknya. Ketika dari jauh dia melihat suhu-nya sedang diserang oleh seorang wanita, dan suhu-nya
itu hanya mengelak dan menangkis tanpa membalas, Ci Sian terkejut dan marah sekali, maka berlarilah
dia secepatnya ke tempat itu meninggalkan Kam Hong sambil berteriak-teriak marah.
Mendengar teriakan itu, Yu Hwi meloncat ke belakang dan See-thian Coaong berseru girang sekali, “Ci
Sian....!”
Sementara itu, Ci Sian sudah mengenal Yu Hwi dan dia berkata, “Hemmm, kiranya engkau yang
menyerang Suhu? Suhu, mengapa dia menyerang Suhu?”
“Ci Sian, lupakah kau? Hari ini adalah hari perjanjian antara Gurumu dan Gurunya. Syukur engkau
datang....”
“Ahh, kiranya begitu? Bagus, aku sudah datang. Engkau Yu Hwi murid Ciu-beng Sian-li, bukan? Hayo,
akulah lawanmu, jangan menghina orang tua!”
Yu Hwi tersenyum mengejek, memandang kepada dara yang cantik itu, cantik dan muda, kelihatan masih
hijau maka tentu saja dia tidak gentar. “Bagus, memang engkau yang kucari untuk menentukan guru siapa
yang lebih pandai. Aku menyerang Gurumu sebagai penggantimu, gara-gara engkau ketakutan dan
melarikan diri setahun yang lalu!”
“Apa? Aku melarikan diri? Aihhh, engkaulah manusia yang paling sombong di dunia ini, yang paling tak
tahu diri, kejam dan angkuh!” Ci Sian teringat betapa wanita ini telah meninggalkan Kam Hong dan menyianyiakan
kesetiaan Kam Hong, membuat pendekar itu selama bertahun-tahun menderita.
Yu Hwi terbelalak, tidak mengerti mengapa dara remaja itu agaknya amat marah dan benci kepadanya!
“Hemm, tidak perlu banyak mulut, kalau memang ada kepandaian, kau majulah!” tantangnya.
“Baik, baik! Aku akan melawanmu sampai selaksa jurus!” bentak Ci Sian dan dua orang wanita yang samasama
cantik manis itu sudah saling terjang, entah siapa yang lebih dulu menyerang karena keduanya
sudah sama-sama menyerang!
Tentu saja mereka berdua juga terkejut dan kini mereka keduanya mengelak. Terjadilah kini pertempuran
yang amat seru dan hebat, jauh bedanya dengan tadi ketika Yu Hwi menyerang See-thian Coa-ong karena
kakek itu sama sekali tak membalas. Kini kedua orang muda itu saling serang dengan dahsyatnya!
See-thian Coa-ong sudah duduk bersila dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar. Kakek ini memang
mempunyai semacam penyakit, yaitu suka sekali menonton orang bertanding silat dan suka pula
bertanding sendiri mengadu kepandaian, namun bukan bertanding didasari marah atau benci, melainkan
semata-mata karena suka bersilat dan bertanding silat, seperti bertanding olah raga, lupa bahwa
bertanding silat sama sekali tidak dapat disamakan dengan pertandingan olah raga atau catur umpamanya
karena dalam ilmu silat terdapat ancaman-ancaman maut yang mengerikan. Sedikit pun tidak ada sikap
berat sebelah atau ingin membantu muridnya dalam hati Coa-ong, sungguh pun, seperti seorang botoh adu
jago, dia ingin melihat muridnya menang. Baginya, kalah menang, luka atau mati sekali pun dalam adu ilmu
silat, bukan apa-apa dan bukan hal yang dapat dibuat sesalan!
Pertandingan silat itu sungguh hebat bukan main. Setelah menerima petunjuk-petunjuk dari kekasihnya,
yaitu Cu Kang Bu, ilmu kepandaian Yu Hwi telah meningkat hebat. Dia bersilat dengan ilmu silat yang
dipelajarinya dari subo-nya, yang memang sengaja dilatihnya dengan tekun untuk menghadapi murid Seethian
Coa-ong, yaitu Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun. Di samping memainkan ilmu silat yang banyak ragamnya,
dan yang kedudukan kakinya mengatur kedudukan Pat-kwa ini, Yu Hwi juga mempergunakan tenaga
sinkang untuk melancarkan pukulan dari Ilmu Kiam-to Sin-Ciang sehingga kedua tangannya itu seolah-olah
berubah menjadi pedang dan golok! Hebatnya ilmu ini bukan kepalang!
Akan tetapi lawannya, Ci Sian, biar pun masih muda, namun memang sudah memiliki ilmu kepandaian
yang hebat pula. Tak percuma See-thian Coa-ong menggemblengnya selama empat tahun dan
menurunkan Ilmu Sin-coa Thian-te-ciang (Ilmu Silat Bumi Langit Ular Sakti) yang hebat. Ilmu ini adalah
dunia-kangouw.blogspot.com
ciptaan See-thian Coa-ong sendiri, digabung dari Ilmu Silat Thian-te-kun dengan gerakan-gerakan binatang
ular yang lincah! Karena dia sendiri merupakan seorang pawang ular yang sudah dijuluki Raja Ular, tentu
saja dia mengenal baik gerakan-gerakan ular dan dia mengambil bagian-bagian yang amat lincah dari
gerakan-gerakan ular yang bertarung dan menciptakan gerakan-gerakan ini menjadi ilmu silat digabungkan
dengan Ilmu Silat Thian-te-kun.
Maka sekarang setelah Ci Sian memainkan Ilmu Silat Sin-coa Thian-te ciang, gerakan-gerakannya amat
aneh, lincah dan tidak terduga-duga sehingga Yu Hwi sendiri sampai menjadi kaget dan kagum. Akan
tetapi, andai kata dara remaja ini tidak menerima petunjuk-petunjuk dari Kam Hong, tentu dia akan kalah
menghadapi ilmu silat Yu Hwi yang lebih matang. Baiknya, latihan-latihan yang diberikan Kam Hong barubaru
ini telah membangkitkan sinkang yang luar biasa dalam diri Ci Sian hingga mampu mengimbangi
pukulan-pukulan Kiam-to Sin-ciang dari lawan yang amat berbahaya itu. Maka terkejut dan kagumlah Yu
Hwi ketika sambaran angin pukulan Kiam-to Sin-ciang darinya dapat terpental kembali oleh hawa yang
keluar dari kedua tangan dara remaja itu ketika menangkisnya.
Bukan main serunya pertandingan antara dua orang gadis itu, sehingga Kam Hong sendiri yang menonton
dari jauh merasa kagum. Tidak disangkanya bahwa Yu Hwi, tunangannya yang bertahun-tahun tidak
pernah di jumpainya itu, kini sudah menjadi seorang wanita yang matang dan semakin cantik bahkan telah
memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi dia juga kagum melihat Ci Sian, kagum dan bangga bahwa
dara remaja itu ternyata mampu menghadapi Yu Hwi yang demikian lihainya! Dia melihat bakat yang amat
baik pada diri Ci Sian dan mengambil keputusan untuk menurunkan Ilmu-ilmu yang mereka dapat dari
tubuh jenazah kuno itu, karena Ci Sian juga berjasa dalam menemukan rahasia ilmu-ilmu itu.
Juga See-thian Coa-ong kegirangan bukan main menyaksikan pertandingan seru itu. Dia menggerakgerakkan
kedua tangannya, seperti seorang anak kecil yang nonton adu jago atau adu jangkerik dan tidak
dapat menahan emosinya, ikut menjotos jika melihat muridnya menyerang dan ikut mengelak kalau melihat
ada pukulan menyambar ke arah muridnya. Sungguh menggelikan dan lucu sekali tingkah kakek yang gila
tontonan adu silat ini!
Hanya seorang yang menonton pertandingan itu dengan alis berkerut dan hati gelisah. Orang ini bukan lain
adalah Cu Kang Bu! Dia adalah seorang pendekar sakti dan tentu saja dengan mudah dia dapat mengikuti
jalannya pertandingan dan maklum bahwa kekasihnya tidak kalah oleh lawannya. Akan tetapi dia melihat
pula bahwa tidaklah mudah bagi kekasihnya untuk mengalahkan lawan, karena dara remaja itu memang
lihai sekali, terutama memiliki dasar ginkang dan sinkang yang aneh dan kuat. Sebagai seorang yang
sedang jatuh cinta dan tergila-gila, tentu saja dia merasa amat khawatir kalau-kalau kekasihnya itu terluka.
Membayangkan Yu Hwi terluka mendatangkan rasa ngeri dalam hatinya, maka diam-diam dia lalu
mengerahkan khikang-nya dan bibirnya bergerak-gerak sedikit. Biar pun tiada suara yang keluar, namun
nampaklah perubahan pada pertempuran itu!
Yu Hwi terkejut ketika tiba-tiba dia mendengarkan bisikan-bisikan di dekat telinganya. Dia tidak tahu suara
siapa itu, karena hanya terdengar lirih berbisik-bisik seperti suara angin bermain pada daun-daun pohon,
namun jelas sekali tertangkap olehnya dan ketika dia mendengar bahwa bisikan-bisikan itu merupakan
petunjuk-petunjuk untuk gerakan-gerakannya selanjutnya, giranglah hatinya karena dia dapat menduga
bahwa siapa lagi jika bukan Kang Bu yang memberi petunjuk kepadanya? Maka dia kemudian bergerak
mengikuti petunjuk ini dan dalam beberapa jurus saja dia telah berhasil menampar pundak Ci Sian
sehingga dara remaja ini terpelanting. Memang tidak tepat benar kenanya, akan tetapi setidaknya dia telah
mampu mengenai tubuh lawan, maka dia mendesak lagi dengan penuh semangat sambil terus mentaati
bisikan-bisikan yang memberi petunjuk itu!
Melihat ini, See-thian Coa-ong terkejut dan mengeluh, tetapi tiba-tiba dia merasa girang ketika dalam
keadaan terdesak dan terhuyung, mendadak saja kaki Ci Sian bergerak sedemikian rupa dan ujung
sepatunya dapat mencium betis lawan, membuat Yu Hwi juga terhuyung! Kiranya dalam keadaan terdesak
itu, tiba-tiba Ci Sian mendengar suara bisikan yang amat jelas, memberi petunjuk kepadanya dan dia pun
tahu bahwa suara itu tentu suara Kam Hong, oleh karena siapakah yang demikian saktinya untuk memberi
petunjuk kepadanya? Suhu-nya tidak mungkin mau melakukan hal itu karena suhu-nya itu memang luar
biasa ‘sportifnya’, tidak mau berlaku curang. Dan memang dugaannya itu benar.
Kam Hong amat khawatir menyaksikan keadaannya, apalagi ketika pendekar ini melihat seorang pria muda
yang berdiri jauh di belakang Yu Hwi dan dia cepat mengheningkan cipta. Dia dapat merasakan getarangetaran
kuat datang dari pria itu, maka dia terkejut bukan main karena maklumlah dia bahwa pria itu amat
lihai dan sedang mengirimkan suara dari jauh untuk membantu Yu Hwi! Maka, dia pun cepat mengerahkan
dunia-kangouw.blogspot.com
khikang untuk membantu Ci Sian sehingga tanpa diduga-duga oleh Yu Hwi, Ci Sian yang kena ditampar
pundaknya itu mampu membalas dan dapat menendang betis lawan.
Kini terjadi pertandingan yang semakin hebat. Gerakan-gerakan mereka menjadi makin aneh, akan tetapi
setiap serangan amat hebat dan ganas, menyimpang dari gerakan semula, akan tetapi hebatnya, masingmasing
lawan dapat saja menghindarkan diri dan membalas pula dengan serangan yang tidak kalah aneh
dan dahsyatnya!
Kini See-thian Coa-ong berhenti menggerak-gerakkan kedua tangannya dan matanya terbelalak
memandang ke arah pertempuran itu. Mulutnya ternganga karena dia melihat hal yang luar biasa sekali,
yang hampir tak dapat dipercayainya. Dia seperti melihat betapa dua orang wanita itu berubah menjadi dua
orang lain karena kini pertandingan itu berlangsung dengan hebatnya, dengan gerakan-gerakan yang amat
aneh. Muridnya itu sama sekali tidak lagi menggerakkan ilmu Sin-coa Thian-te-ciang lagi! Dan gerakan
lawan muridnya itu pun amat anehnya!
Yu Hwi dan Ci Sian kini hanya bergerak menurutkan petunjuk bisikan-bisikan itu saja, dan ternyata dengan
menurut petunjuk-petunjuk itu, mereka masing-masing bisa selalu menghindarkan diri dari serangan lawan
yang amat dahsyat, maka mereka lalu menurut secara membuta, maklum bahwa mereka masing-masing
sudah dituntun oleh petunjuk-petunjuk yang dilakukan oleh orang yang memiliki tingkat jauh lebih tinggi dari
pada mereka!
Cu Kang Bu merasa terkejut bukan main menyaksikan kelihaian dara remaja itu. Akan tetapi dia segera
melihat Kam Hong berdiri jauh di belakang Ci Sian dan maklumlah dia bahwa ada orang pandai yang
melakukan hal yang sama dengan dia, yaitu membantu dara remaja itu dengan melalui Ilmu Coa-im-jip-bit
(Mengirim Suara Dari Jauh). Dia merasa penasaran dan makin memperhebat petunjuknya, akan tetapi
betapa kagetnya ketika melihat bahwa dara remaja itu tetap selalu dapat menghindarkan diri, bahkan
membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya! Juga Kam Hong menjadi kagum dan
maklum bahwa orang yang membantu Yu Hwi itu benar-benar sakti dan luar biasa sekali!
Tiba-tiba terdengar suara teriakan nyaring sekali, menggetarkan seluruh tempat itu dan membuat dua
orang wanita yang sedang bertanding itu terkejut dan meloncat mundur. Tiba-tiba saja di situ sudah berdiri
Cu Han Bu yang tadi mengeluarkan teriakan nyaring, sikapnya tenang, akan tetapi suaranya mengandung
penuh wibawa ketika dia berkata. “Hentikan semua pertandingan bodoh ini!”
Semua orang memandang kepada pendekar ini, seorang pria berusia empat puluh lima tahun, berpakaian
sederhana, bertubuh tegap dan sedang, rambutnya sudah banyak putihnya dan rambut itu digelung ke
atas, tidak dikuncir seperti pada umumnya di jaman itu. Inilah Cu Han Bu yang berjuluk Kim-kong-sian
(Dewa Sinar Emas), tokoh pertama dari Lembah Suling Emas. Biar pun pakaian dan sikapnya sederhana,
namun sungguh dia berwibawa sekali sehingga Kam Hong yang juga sudah menghampiri tempat itu
memandang kagum. Kedua orang itu, Cu Han Bu dan Cu Kang Bu, benar-benar merupakan dua orang pria
hebat dengan sinar mata yang mencorong membayangkan tenaga dalam yang amat hebat.
Sementara itu, See-thian Coa-ong juga terkejut melihat munculnya dua orang laki-laki gagah lain, yaitu Cu
Kang Bu dan Kam Hong. Cepat-cepat dia bangkit berdiri dan menghampiri Cu Han Bu, memandang penuh
perhatian lalu menjura dengan hormat.
“Harap maafkan kalau mataku yang sudah lamur ini tidak salah lihat. Apakah kini saya berhadapan dengan
Kim-siauw San-kok-cu (Majikan Lembah Gunung Suling Emas) yang berjuluk dan bernama Kim-kong-sian
Cu Han Bu?”
Cu Han Bu memandang pada kakek itu dengan sikap dingin akan tetapi cukup hormat. Dia membalas
penghormatan kakek itu dan berkata, suaranya cukup ramah. “Harap See-thian Coa-ong tidak terlalu
sungkan. Saya memang Cu Han Bu dan dia itu adik saya Cu Kang Bu.” Ia menuding ke arah adiknya,
agaknya yang tinggi besar dan gagah perkasa itu.
“Aihhh, ternyata Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati)? Sungguh merupakan penghormatan besar
bagiku dapat berjumpa dengan tokoh-tokoh besar Lembah Suling Emas!” kata See-thian Coa-ong dan
Kang Bu membalas penghormatan orang dengan sikap bersahaja.
Mendengar semua ini, Kam Hong menjadi makin kagum. Dua orang itu memang hebat, pikirnya dan
semakin tertariklah dia saat mendengar bahwa mereka berdua itu adalah majikan-majikan atau tokoh-tokoh
Lembah Suling Emas.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Coa-ong, kami sudah mendengar akan persaingan seperti kanak-kanak antara engkau dan Toaso kami.”
“Wah, wah.... Cui-beng Sian-li memang hebat dan bersemangat sekali, telah membuat perlombaan yang
menggembirakan, sayang dia tidak hadir...,” kata kakek itu tersenyum.
“Dia sudah pergi dan tidak berada di daerah lembah lagi, Coa-ong. Oleh karena itu, habislah sudah semua
perjanjian dan perlombaanmu dengan dia. Dan kami harap agar engkau suka menghentikan persaingan
bodoh itu. Engkau dan Toaso telah melakukan permainan berbahaya, sehingga murid-murid diadu, bahkan
engkau telah minta bantuan orang pandai. Perbuatanmu itu dapat membuahkan permusuhanpermusuhan!”
kata Cu Han Bu dengan suara menegur dan dia menoleh dan memandang ke arah Kam
Hong yang sejak tadi memandang kepada mereka dan kepada Yu Hwi yang kini berdiri dekat sekali
dengan Kang Bu.
“Minta bantuan orang pandai? Ah, aku tidak minta bantuan siapa pun juga....!” See-thian Coa-ong berseru
dan kini dia pun memandang kepada Kam Hong yang berdiri dekat Ci Sian dengan heran. Melihat betapa
Ci Sian nampaknya sangat akrab dengan pemuda berpakaian sastrawan itu, dia menegur, “Ci Sian,
muridku, siapakah temanmu itu?”
Kini Kam Hong melangkah maju dan dengan penuh hormat dia pun menjura kepada See-thian Coa-ong
dan kepada dua orang pendekar sakti itu. Suaranya halus dan tenang ketika dia berkata. “Harap Sam-wi
tidak salah mengerti. Sesungguhya saya tidak hendak mencampuri urusan Locianpwe ini, dan kedatangan
saya di sini adalah untuk urusan pribadi. Maafkan saya!”
Dia lalu melangkah maju dan berdiri menghadapi Yu Hwi, memandang dengan tajam sampai beberapa
lama. Yu Hwi melangkah mudur dan tanpa dia sengaja tangannya menyentuh tangan Kang Bu yang
menggenggam tangan itu.
“Moi-moi, kuharap dengan hormat dan sangat agar engkau suka ikut bersamaku,” Kam Hong berkata
dengan singkat saja karena dia tidak ingin banyak bicara dengan Yu Hwi di depan begitu banyak orang
asing.
Wajah Yu Hwi sebentar pucat sebentar merah memandang kepada Kam Hong, lalu dia menoleh kepada
Kang Bu, memegang tangan yang besar itu semakin kuat dan dia memandang lagi kepada Kam Hong, lalu
berkata suaranya lirih namun tegas, “Aku tidak mau pergi bersamamu!”
Kam Hong mengerutkan alisnya. Tidak mungkin dia bicara banyak di depan banyak orang yang semua
memandang kepadanya dan kepada Yu Hwi itu, karena yang akan dibicarakan adalah urusan pribadi. Dia
merasa heran kenapa Yu Hwi tak mau mengerti akan hal ini dan mengapa gadis itu masih bersikap begitu
keras kepala seperti seorang anak kecil saja.
“Dinda Yu Hwi, bertahun-tahun aku mencarimu dan setelah kita bertemu, mengapa kau bersikap begini?
Aku hanya ingin bicara denganmu, dan orang-orang tua di rumah menanti-nanti.”
“Aku tidak mau pulang! Aku tak mau bicara lagi tentang urusan kita!” Yu Hwi berkata, di dalam suaranya
terkandung isak.
“Hwi-moi....,” Kam Hong masih hendak membujuk. Betapa pun juga, baik perjodohan itu dilanjutkan atau
dibatalkan, mereka harus dibicarakan dengan baik-baik di depan para orang tua yang menjodohkan
mereka.
Mendadak terdengar suara lantang dan nyaring, besar dan kasar tetapi mengandung keterbukaan.
“Memaksa seseorang yang tidak mau apalagi kalau yang dipaksa itu seorang wanita, merupakan
perbuatan rendah dan pengecut!”
Kam Hong yang tadinya memandang kepada Yu Hwi, perlahan-lahan mengalihkan pandangannya dan kini
dia memandang kepada wajah yang gagah perkasa itu. Sejenak dua pasang mata yang mencorong seperti
mata naga-naga sakti itu saling pandang, seolah-olah kedua orang pendekar sakti ini sudah saling serang
melalui sinar mata mereka dan keduanya tak ada yang mau tunduk, keduanya memiliki kekuatan pandang
mata yang luar biasa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kam Hong tersenyum tenang dan suaranya juga halus ketika dia berkata, “Mencampuri urusan pribadi
orang lain merupakan perbuatan yang lebih rendah lagi selain tidak sopan sama sekali.”
Kembali suasana menjadi hening menegangkan setelah terdengar kata-kata yang sama menusuknya ini.
Kang Bu nampak terkejut dan dia memandang kepada kekasihnya yang berdiri di dekatnya, lalu bertanya
lirih, “Yu Hwi, diakah orangnya....?” Pertanyaan yang hanya dimengerti oleh mereka berdua dan Yu Hwi
mengangguk.
Melihat kenyataan ini, wajah Kang Bu menjadi merah sekali dan tahulah dia bahwa dia berada di pihak
yang salah. Pria yang tampan dan lembut berpakaian sastrawan ini kiranya adalah tunangan Yu Hwi! Tentu
saja, sebagai orang luar, dia sama sekali tidak berhak mencampuri pembicaraan atau urusan antara dua
orang tunangan! Kang Bu adalah seorang gagah, maka kini dia merasa terpukul dan tidak berani bicara
lagi, hanya memandang kepada Kam Hong dengan sinar mata tak senang dan mengepal tinjunya yang
besar, tidak tahu harus berkata apa atau bertindak apa!
Sejak tadi Ci Sian memperhatikan kesemuanya itu. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Kam
Hong dan menyesalkan sikap Yu Hwi yang demikian keras kepala. Apa sih hebatnya perempuan ini
sehingga berani bersikap demikian angkuh terhadap Kam Hong? Menurut penilaiannya, Yu Hwi masih
belum pantas menjadi calon isteri Kam Hong, sama sekali belum pantas! Lalu dia melihat sikap Kang Bu,
melihat betapa Kang Bu dan Yu Hwi saling berpegang tangan dan mengertilah dara ini. Hatinya terasa
panas sekali dan tiba-tiba dia terkekeh.
Suara ketawa yang halus nyaring ini tentu saja seperti halilintar memecah kesunyian yang menegangkan
itu sehingga semua orang memandang kepadanya. Ci Sian berjebi, bibirnya yang kecil mungil dan merah
itu meruncing dan dia memandang kepada Yu Hwi dan Kang Bu, lalu berkata dengan suara mengejek
sekali. “Laki-laki yang merebut calon isteri orang dan perempuan yang sudah bertunangan masih
bergandeng tangan dengan laki-laki lain, sungguh merupakan pasangan yang setimpal sekali!”
Bukan main hebatnya ejekan ini yang ditujukan kepada Kang Bu dan Yu Hwi. Wajah Yu Hwi sampai
menjadi pucat dan wajah Kang Bu menjadi merah bukan main dan tangan mereka yang saling
bergandengan itu tiba-tiba terlepas.
“Ci Sian....!” Kam Hong menegur karena dia merasa betapa ejekan itu melampaui batas, terlalu kasar dan
menusuk perasaan walau pun dia mengerti bahwa dara itu melakukan ejekan karena kasihan kepadanya
dan marah kepada Yu Hwi dan pria gagah perkasa itu.
“See-thian Coa-ong....,” terdengar suara Kang Bu dalam dan berat, menggetar dan membuat jantung yang
mendengarnya ikut tergetar, “Jikalau engkau tidak mampu menghajar mulut muridmu, biarlah aku yang
akan menghajarnya. Dia menghina orang keterlaluan!”
Dan tiba-tiba saja tangannya bergerak ke depan, dan dia sudah menampar ke arah Ci Sian! Betapa pun Ci
Sian memiliki gerakan cepat, namun dia sama sekali tidak mampu mengelak lagi dan hanya terbelalak.
Pada saat itu, See-thian Coa-ong meloncat dan menangkis.
“Desss....!” Tubuh kakek itu terbanting keras ke atas tanah sampai bergulingan!
“Hemm, engkau malah melindungi muridmu yang kurang ajar itu?” kata pula Kang Bu dan kembali dia
hendak menyerang Ci Sian, kini bahkan meloncat ke depan.
Akan tetapi tahu-tahu di depannya sudah berdiri Kam Hong. Kang Bu sengaja tidak mempedulikan orang
ini dan tangan kirinya tetap menampar ke arah Ci Sian yang lari berlindung ke belakang Kam Hong.
Kam Hong berkata, “Sabarlah, Sobat!” Dan dia pun menangkis.
“Dukkk!” Dua lengan beradu dan akibatnya keduanya bergetar, akan tetapi tubuh Kam Hong sama sekali
tidak terguncang dan dia memandang dengan sinar mata dingin.
“Hemm, tadi pun engkau telah mengajakku main-main, apakah artinya ini? Dara remaja itu tidak salah
karena apa yang dikatakan itu adalah kenyataan belaka. Apakah benar-benar engkau hendak mencampuri
urusan antara dua orang yang sejak kecil sudah dijodohkan untuk menjadi calon suami isteri?” berkata
Kam Hong sambil memandang tajam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kang Bu merasa serba salah. Akan tetapi dia adalah seorang yang jujur, tidak mau berpura-pura karena
sopan santun, dan dia suka bertindak atau mengucapkan apa yang terkandung di dalam hatinya. “Engkau
tentu yang bernama Kam Hong, tunangan Yu Hwi, bukan? Nah, terus terang saja, aku sudah mendengar
tentang engkau dan kini ketahuilah bahwa Yu Hwi tidak suka menjadi tunanganmu, dan kami berdua saling
mencinta. Aku akan melindunginya, kalau perlu mempertaruhkan nyawaku untuk itu!”
“Hemm, caramu kasar sekali, sobat!” Kam Hong mencela.
“Tidak peduli, aku sudah bicara terus terang! Kalau engkau hendak memaksa dia, nah, biarlah kita
memperebutkan dia melalui kepalan atau ujung senjata. Kita adalah laki-laki, tidak perlu kiranya banyak
bicara!” Setelah berkata demikian, Kang Bu memasang kuda-kuda dan siap untuk berkelahi.
Tubuh Cu Kang Bu memang tinggi besar dan kokoh kuat, dan kini dia berdiri dengan tubuh tegak, dua kaki
dipentang lebar, kedua tangan tergantung di kanan kiri tubuhnya, agak ditekuk sikunya dan nampak jari-jari
tangannya menggetar, tanda bahwa tenaga sinkang dari dalam pusarnya telah mengalir ke seluruh tuhuh,
siap untuk dipergunakan menghadapi lawan! Wajahnya membayangkan kemarahan dan kejujuran, kasar
namun terbuka sesuai dengan wataknya.
Sebaliknya, Kam Hong sejak kecil telah terdidik dengan budi pekerti dan sopan santun, juga dia telah
mendalami kitab-kitab Su-si Ngo-keng, juga pelajaran-pelajaran tentang kebatinan dan kesusastraan. Maka
sikap Cu Kang Bu itu terasa amat kasar dan tidak sopan baginya, biar pun sebagai seorang yang berjiwa
pendekar dia amat menghargai kejujuran orang itu.
Melihat betapa kekasihnya itu telah memasang kuda-kuda dan menantang Kam Hong berkelahi, hati Yu
Hwi merasa khawatir juga. Memang dia tidak mau dijodohkan dengan Kam Hong, akan tetapi hal ini bukan
karena dia membenci Kam Hong, melainkan karena kekecewaannya. Dahulu dia tergila-gila kepada
Siluman Kecil yang dalam hal ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dari pada tingkat Siauw Hong atau Kam
Hong, maka kenyataan bahwa dia dijodohkan dengan pemuda ini sedangkan dia jatuh cinta kepada
Siluman Kecil amat mengecewakan hatinya. Andai kata dia dulu tidak jatuh cinta lebih dulu pada Siluman
Kecil yang dikaguminya, belum tentu dia akan menolak perjodohan yang ditentukan oleh orang-orang tua
itu.
Dan kini, dia telah melakukan pilihan hatinya lagi, yaitu kepada Cu Kang Bu, pria yang dianggapnya amat
gagah perkasa. Maka melihat betapa Kang Bu menantang Kam Hong, dia merasa khawatir dan dia tidak
menghendaki Kang Bu bertempur melawan Kam Hong, yang bagaimana pun juga tidak mempunyai
kesalahan apa-apa kepadanya. Wajarlah kalau Kam Hong yang ditunangkan dengan dia kini datang
mencarinya dan mengajaknya pulang.
“Sam-susiok....!” Dia berteriak sambil mendekati Kang Bu dan menyentuh lengannya. “Jangan
berkelahi....!”
Mendengar ini, Kam Hong menjadi terheran-heran. “Hemm, Susiok-nya, ya?” katanya dengan suara dingin
karena dianggapnya amat aneh dan janggal jika kini tunangannya itu jatuh cinta dengan susiok-nya sendiri.
Bagi dia yang telah memiliki dasar pelajaran tata susila, seorang susiok (paman guru) tiada bedanya
dengan seorang paman sendiri, maka tidaklah pantas kalau terjadi hubungan cinta antara seorang
keponakan dan seorang pamannya sendiri.
Mendengar kata-kata yang nadanya mencela atau mengejek itu, Cu Kang Bu segera memandang kepada
tunangan kekasihnya dengan sinar mata mencorong dan dia pun berkata dengan suara lantang. “Benar,
dia adalah murid Toaso-ku! Dia adalah murid keponakanku, akan tetapi kami saling mencinta dan kami
hendak menikah. Hayo, kalau engkau memang seorang jantan, hadapi aku sebagai laki-laki sejati!”
Kam Hong tersenyum. “Hemm, lagaknya seperti seorang jagoan tukang pukul di pasar saja, padahal, kalau
aku tak keliru mendengar tadi, engkau adalah seorang tokoh besar dari Lembah Suling Emas yang berjuluk
Ban-kin-sian. Tidak tahu apa hubungannya lembah tempat tinggalmu itu dengan Suling Emas! Kalau
tokohnya hanya seorang laki-laki yang sekasar engkau, aku menyangsikan apakah suling yang kalian
pakai sebagai nama itu benar-benar terbuat dari pada emas, ataukah hanya tembaga yang diselaput
emas?”
Ucapan Kam Hong ini selain hendak menyelidiki tentang Lembah Suling Emas, juga sebagai ejekan karena
hatinya mulai panas melihat orang menantangnya tanpa ada perkaranya, hanya karena orang ini mengaku
cinta kepada Yu Hwi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Engkau laki-laki cerewet seperti nenek-nenek! Hayo maju kalau engkau berani!” Cu Kang Bu yang tidak
pandai bicara itu semakin marah.
Akan tetapi pada saat itu, Cu Han Bu sudah melangkah maju dan menjura ke arah Kam Hong. Gerakan
kedua tangannya memberi hormat itu mendatangkan suara bersuit nyaring sehingga diam-diam Kam Hong
terkejut sekali dan dia sudah siap menjaga diri dengan mengangkat kedua tangannya pula ke depan dada.
Akan tetapi sambaran angin itu tiba-tiba berhenti di tengah jalan dan hal ini membuat Kam Hong kagum
bukan main. Hanya orang yang sudah amat kuat sinkang-nya saja mampu menguasai gerakan angin
tenaga yang keluar dari gerakan tangan semacam itu, maka dia mulai memperhatikan orang ini.
Seorang pria yang usianya empat puluh lima tahun kurang lebih, berpakaian sederhana sekali seperti
seorang petani, bertubuh sedang dan tegap, rambutnya tidak dikuncir seperti kebiasaan orang-orang pada
waktu itu melainkan digelung ke atas dan di kanan kiri kepalanya sudah terdapat banyak uban, tetapi
sepasang matanya yang bersinar lembut itu mengandung wibawa yang dingin dan kadang-kadang
mencorong bagaikan mata harimau.
“Perkenankan saya Cu Han Bu mintakan maaf terhadap sikap adik saya Cu Kang Bu. Maklumlah, orang
yang sedang jatuh cinta kadang-kadang berkurang kesadarannya dan mudah marah kalau orang yang
dicintanya terancam atau tersinggung. Akan tetapi, Saudara tadi menyinggung-nyinggung tentang Lembah
Suling Emas. Ketahuilah bahwa kami keluarga lembah sejak turun-temurun adalah orang-orang yang
menjunjung tinggi keluarga Suling Emas yang menjadi nenek moyang kami, maka Saudara yang telah
berani meremehkan keluarga Suling Emas, agaknya memiliki kepandaian yang berarti. Maka, biarlah
sekarang adikku Cu Kang Bu mencoba kepandaianmu, bukan untuk membela kekasih, melainkan untuk
membela nama Lembah Suling Emas. Tentu saja kalau Saudara berani menyambutnya."
Tadinya Kam Hong sudah hendak minta maaf dan tidak melayani tantangan itu, akan tetapi tak
disangkanya sikap sopan dan hormat dari orang itu ditutup dengan ucapan yang kembali mengobarkan
kemarahannya. Kalimat ‘tentu saja kalau Saudara berani menyambutnya’ itu merupakan tantangan yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi! Maka tersenyumlah dia, senyum yang pahit.
“Jadi kalian adalah keturunan Suling Emas? Hemmm, agaknya keluarga kalian terlalu memandang tinggi
kepandaian sendiri, maka mudah saja menantang semua orang. Baiklah, kalau urusannya untuk
mempertahankan nama dan menantang pibu, aku menerimanya, asal bukan untuk memperebutkan
wanita!” Sambil berkata demikian, dia mengerling ke arah Yu Hwi yang menjadi merah mukanya dan gadis
ini pun lalu melangkah mundur, membiarkan kekasihnya menghadapi tunangannya yang sah itu.
Dua orang pendekar itu sudah saling berhadapan. Kang Bu tetap memasang kuda-kuda seperti tadi,
sedangkan Kam Hong berdiri biasa saja, namun seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah menegang dan
bergetar.
Mendadak Ci Sian melangkah maju dan berkata dengan suara lantang, “Nanti dulu, Paman Kam Hong!”
Suasana yang amat tegang itu menjadi kendur kembali dan semua mata ditujukan kepada dara lincah itu
yang telah berani menghentikan dua orang sakti yang hendak mengadu ilmu.
“Paman, kita harus berhati-hati menghadapi mereka ini! Orang-orang yang telah berani menggunakan
nama orang lain sebagai nenek moyangnya tentu merupakan orang-orang yang tidak boleh dipercaya!
Paman hanya seorang diri saja sedangkan mereka ini begini banyak. Jangan-jangan Paman akan
dikeroyok nanti, maka sebaiknya diadakan perjanjian lebih dulu. Hei, orang-orang Lembah Suling Emas!
Bagaimana kalau kalian bersumpah dulu bahwa kalian tidak akan mengeroyok Paman Kam Hong?”
Mendengar ucapan ini, See-thian Coa-ong berseru, “Aihhh, Ci Sian..... apakah engkau mau mati? Engkau
tak mengenal siapa Kim-siauw-kok-san-cu dan keluarganya! Mereka adalah pendekar-pendekar sakti yang
tak pernah terkalahkan, yang gagah perkasa dan yang tidak pernah mencampuri urusan dunia, nama
mereka bersih laksana air gunung!”
Tiba-tiba terdengar suara, “Han-ko, apakah yang telah terjadi?”
Dan belum juga gema suara itu lenyap, orangnya sudah nampak di situ seolah-olah dia pandai menghilang
saja! Inilah Cu Seng Bu, orang kedua dari keluarga Lembah Suling Emas dan tokoh ini memang memiliki
kelebihan diantara saudara-saudaranya dalam hal ginkang. Gerakannya amat cepat sehingga tadi pun
dunia-kangouw.blogspot.com
suaranya telah datang dan masih bergema ketika tubuhnya tahu-tahu telah berada di situ tanpa nampak
bayangannya!
Melihat ini, See-thian Coa-ong yang tadi kata-katanya terputus, kini melanjutkan kata-kata yang ditujukan
sebagai teguran kepada muridnya itu, “Ah, ahhh.... kini lengkaplah sudah dan mataku yang memang hari
ini untung besar. Ci Sian, lihatlah baik-baik dan kenalilah orang-orang sakti di masa ini. Pemilik Lembah
Suling Emas yang pertama itu adalah pendekar Cu Han Bu yang berjuluk Kim-kong-sian (Dewa Sinar
Emas), dan yang kedua dan baru datang ini adalah Cu Seng Bu yang berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa
Bayangan), kemudian yang ketiga dan tinggi besar itu adalah pendekar Cu Kang Bu yang berjuluk Ban-kinsian
(Dewa Bertenaga Selaksa Kati). Mereka adalah tiga saudara sakti majikan-majikan Lembah Suling
Emas, maka jangan kau bicara sembarangan, mana mungkin akan terjadi pengeroyokan?”
“Ahhh, Suhu hanya terkesan oleh julukan-julukan! Biar pun julukannya dewa, apa dikira dewa tidak ada
yang jahat? Buktinya tadi ada susiok yang berpacaran dengan murid keponakannya sendiri hendak
membunuhku!”
“Ci Sian, sudahlah. Aku percaya bahwa mereka tidak akan terlalu pengecut untuk mengeroyokku. Pula,
siapa yang takut dikeroyok?”
“Bagus!” Ci Sian bertepuk tangan memuji. “Itu baru suara seorang gagah sejati! Hayo, kalian penghunipenghuni
Lembah Suling Emas, kalian keroyoklah Paman Kam Hong kalau kalian memang tebal muka!”
“Bocah bermulut kotor!” Tiba-tiba Yu Hwi membentak dan melotot kepada Ci Sian. “Dari pada banyak
mulut, mari kita lanjutkan pertempuran tadi sampai seorang di antara kita mampus dan tidak dapat
mengoceh lagi!”
“Yu Hwi, kau mundurlah dan jangan layani anak-anak. Sobat Kam Hong, benar seperti yang dikatakan oleh
Han-ko tadi, mari kita saling menguji kepandaian untuk menebus kelancanganmu merendahkan keluarga
kami tadi,” kata Cu Kang Bu sambil mendorong kekasihnya mundur dengan halus. Suaranya kini tenang
dan sabar dan hal ini dianggap berbahaya oleh Kam Hong, maka dia pun tidak berani memandang rendah.
“Silakan, aku sudah siap sejak tadi.”
“Kang-te (Adik Kang), hati-hatilah, lawanmu ini bukan orang lemah,” kata Cu Seng Bu kepada adiknya.
“Aku mengerti, Seng-ko,” jawab adiknya.
Dua orang pendekar itu segera saling mendekati dan semua orang memandang dengan penuh perhatian
dan hati tegang, karena betapa pun tenang sikap mereka berdua, semua maklum bahwa di balik pibu ini
terdapat semacam ‘perebutan’ atas diri Yu Hwi! Yu Hwi sendiri merasakan hal ini dan wajahnya menjadi
merah sekali, jantungnya berdebar.... girang dan bangga! Dia merasa bagaikan seorang puteri yang
diperebutkan oleh dua orang pahlawan perkasa seperti yang terjadi dalam dongeng!
Memang naluri kewanitaan selalu mendorong perasaan hati wanita untuk condong ke arah ingin dicinta,
ingin dikagumi, ingin dimanja, ingin diperhatikan dan tentu saja semua itu memuncak apabila dirinya
diperebutkan! Dan dia tidak merasa khawatir karena dia maklum benar akan kelihaian kekasihnya, Cu
Kang Bu. Dia sendiri sudah merasakan betapa saktinya pemuda ini sehingga dia sendiri, yang semenjak
kecil telah menerima latihan ilmu-ilmu silat tinggi seperti tidak mampu apa-apa berhadapan dengan Cu
Kang Bu.
Dan apakah kepandaian Kam Hong? Dahulu, ketika dia mengenalnya sebagai Siauw Hong, kepandaian
pemuda itu tidak banyak selisihnya dengan kepandaiannya sebelum dia menjadi murid Cui-beng Sian-li
Tang Cun Ciu, bahkan mungkin dia masih unggul sedikit. Andai kata sekarang kepandaian pemuda itu
sudah meningkat maju sekali pun, rasanya tidak mungkinlah kalau akan mampu menandingi ilmu
kepandaian Cu Kang Bu yang dia anggap tidak akan kalah oleh Pendekar Siluman Kecil sekali pun.
Kam Hong mengerti bahwa lawannya ini merupakan seorang yang memiliki kepandaian tinggi, merupakan
lawan terpandai yang pernah dijumpai dan merupakan orang pertama yang baik sekali untuk dipakai
menguji ilmu-ilmu yang baru saja dipelajarinya secara tekun sekali dari catatan di tubuh jenazah kakek
kuno, selama lima tahun di tempat sunyi itu.
“Majulah!” katanya tenang sambil menghadapi dan menatap wajah lawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak, aku mewakili keluarga Lembah Suling Emas sebagai pihak tuan rumah, engkau mulailah, sobat.”
jawab Kang Bu.
Kam Hong tersenyum. Kalau dia tidak ingat lagi tentang urusan Yu Hwi, tentu dia akan merasa kagum dan
suka kepada keluarga yang sikapnya gagah ini. “Nah, sambutlah seranganku!” katanya, kemudian
tubuhnya sudah bergerak ke depan. Dia mulai dengan tamparan tangan kirinya yang dilakukan dengan
kecepatan luar biasa sehingga tahu-tahu tangan pendekar ini sudah menyambar ke arah leher lawan.
Sebelum dia mempelajari ilmu-ilmu yang mukjijat dari catatan di tubuh jenazah kuno, sebetulnya Kam
Hong sudah memiliki kepandaian yang luar biasa. Seperti diketahui, di waktu masih remaja dia sudah
digembleng oleh seorang tokoh besar dunia persilatan, yaitu Sai-cu Kai-ong yang telah menurunkan ilmuilmu
silat tinggi Khong-sim Sin-ciang sebagai ilmu warisan dari Khong-sim Kai-pang kepadanya, di samping
juga Ilmu Sai-cu Ho-kang yang dilakukan dengan pengerahan khikang pada suara sehingga dapat
mengeluarkan suara gerengan singa yang melumpuhkan lawan yang kurang kuat sinkang-nya.
Kemudian dia digembleng pula oleh Sin-siauw Sengjin, yaitu kakek keturunan pelayan keluarga Suling
Emas yang menjadi pemegang pusaka ilmu-ilmu Suling Emas, dan kakek ini dengan penuh kesungguhan
menurunkan semua ilmu-ilmu itu kepada Kam Hong sebagai keturunan terakhir keluarga Kam, yaitu
keluarga Suling Emas. Dari mendiang Sin-siauw Sengjin ini Kam Hong mewarisi ilmu-ilmu yang luar biasa
hebatnya, yaitu Hong-in Bun-hoat, Pat-sian Kiam-hong-hoat, Kim-kong Sin-in, dan Lo-hai San-hoat.
Dengan ilmu-ilmu silat yang sangat tinggi itu saja sebetulnya dia sudah merupakan seorang tokoh yang
akan sukar dicari tandingannya, apalagi setelah dia menemukan rahasia peninggalan jenazah kuno
pembuat suling emas itu! Kim-siauw Kiam-sut merupakan ilmu pedang yang memang khusus diciptakan
oleh pembuat suling itu untuk dimainkan dengan suling emas buatannya sehingga merupakan ilmu pedang
yang luar biasa dahsyatnya, sedangkan ilmu meniup suling yang diajarkan melalui catatan rahasia di
tubuhnya itu pun merupakan ilmu tinggi yang memperkuat khikang hebat pula.
Cu Kang Bu adalah seorang pemuda yang sejak kecil tekun mempelajari ilmu-ilmu warisan keluarganya,
ilmu-ilmu silat kuno simpanan yang sudah jarang dilihat di dunia persilatan. Dalam keluarganya, di antara
kakak beradik yang tiga orang itu, kiranya Cu Han Bu yang lebih tinggi setingkat kepandaiannya, akan
tetapi mereka memiliki keistimewaan masing-masing dan Cu Kang Bu terkenal dengan kekuatan tubuhnya
yang hebat sehingga dia dijuluki Ban-kin-sian atau Dewa Bertenaga Selaksa Kati, sesuai dengan tubuhnya
yang tinggi besar. Biar pun dia merupakan seorang pemuda perkasa yang kasar dan jujur, namun dia
bukanlah orang bodoh dan dia tidak memandang rendah lawan karena dia dapat menduga bahwa bekas
tunangan kekasihnya ini bukan seorang yang lemah.
Maka begitu melihat tamunya sudah mulai menyerang dengan tamparan tangan kiri yang menyambar
cepat ke arah lehernya, dia pun sengaja mengerahkan tenaganya yang besar pada lengan kanan dan
menangkis sambil membuat gerakan memutar. Maksudnya adalah untuk mengadu tenaga, dan kekuatan
yang ditimbulkan oleh lengan yang diputar itu bukan main dahsyatnya, dapat mematahkan tulang lengan
lawan yang ditangkisnya. Pendeknya dia mengandalkan kekuatannya untuk mengadu tenaga dan
mengalahkan lawan dalam segebrakan saja atau setidaknya dia akan dapat mengukur sampai di mana
kekuatan Kam Hong.
Melihat tangkisan kasar ini, Kam Hong tersenyum dan tahulah dia apa yang dikehendaki oleh lawan.
Dengan tenang ia melanjutkan tamparannya tanpa mempedulikan tangkisan itu.
“Plakk!”
Tangkisan itu keras dan kuat bukan main. Lengan kanan Cu Kang Bu yang menangkis itu seolah-olah
berubah menjadi tongkat baja yang keras dan kuat, yang bukan hanya akan dapat mematahkan tulang,
bahkan senjata besi pun kiranya akan dapat dibikin patah atau melengkung. Akan tetapi, ketika lengan itu
bertemu dengan lengan Kam Hong, wajah Cu Kang Bu berubah, matanya terbelalak karena dia merasa
betapa lengannya yang keras bertemu dengan benda yang lunak dan lentur hingga lengannya itu
membalik seolah-olah sepotong besi memukul karet saja! Mengertilah dia dengan kaget bukan main bahwa
lawannya telah memiliki tenaga sinkang yang amat tinggi tingkatnya, yang mampu mempergunakan tenaga
lemas sedemikian rupa sehingga di balik kelunakan itu terdapat kekuatan dan keuletan yang amat ampuh
sehingga dia tidak mungkin lagi dapat mengandalkan kekuatan tenaga besar.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagus!” pujinya dan dia pun kini membalas dengan pukulan-pukulan dahsyat yang datangnya beruntun
dan setiap pukulan mengandung hawa pukulan dahsyat, juga kedua tangan yang memukul itu berubahrubah,
kadang-kadang terkepal, kadang-kadang terbuka jari-jari tangannya, sedangkan dari kedua tangan
itu menyambar hawa pukulan yang kadang-kadang keras, kadang-kadang lemas, sehingga terasa hawa
yang kadang-kadang panas dan kadang-kadang dingin!
“Hemmm....!” Kam Hong berseru kaget dan juga kagum.
Dia memang sudah menyangka akan kelihaian lawan, namun apa yang diperlihatkan lawan dalam
serangkaian serangan ini benar-benar merupakan ilmu yang amat tinggi dan berbahaya. Maka dia pun lalu
cepat menyambutnya dengan mainkan ilmu silat tangan kosong Khong-sim Sin-ciang.
Ilmu silat warisan dari Khong-sim Kai-pang ini mengandalkan kepada kekosongan untuk melawan yang
berisi, mengandalkan keluwesan menghadapi kekasaran, mengandalkan kelembutan menghadapi
kekerasan. Karena lawannya menyerang dengan kekerasan, maka yang paling tepat baginya untuk
menghadapi serbuan itu adalah dengan Ilmu Silat Khong-sim Sin-ciang itulah. Dan memang
sesungguhnya, semua serbuan itu seolah-olah tenggelam tak berbekas, semua serangan dapat dielakkan
atau ditangkis dengan mudah sehingga dalam serangkaian serangan yang tidak kurang dari dua puluh
jurus banyaknya, Cu Kang Bu sama sekali tidak berhasil mengenai tubuh lawannya.
Tiba-tiba Cu Kang Bu berseru nyaring dan seruan itu melengking seperti suara suling! Kam Hong terkejut
bukan main. Itulah suara lengkingan yang didasari khikang yang mirip dengan yang dipelajarinya, hanya
tingkatnya masih belum begitu tinggi, namun sudah tentu akan dapat menggetarkan perasaan orang yang
kurang kuat sinkang-nya jika diserang oleh suara ini.
Kang Bu melengking dan terus menubruk, kini gerakan-gerakannya bagaikan seekor harimau, kedua
lengannya juga ditekuk di bagian siku, pergelangan tangan dan buku-buku jari persis menyerupai cakar
harimau. Itulah semacam Houw-kun (Ilmu Silat Harimau) yang hebat, karena kalau Ilmu Silat Harimau itu
biasanya mengandalkan tenaga otot dan jari-jari terlatih saja, kini didasari tenaga sinkang yang amat kuat
sehingga sebelum ‘cakaran’ datang lebih dulu telah ada hawa pukulan yang menyerang lawan dan
hawanya amat panas sehingga dari kedua tangan yang membentuk cakar harimau itu mengepul uap putih!
Kam Hong maklum akan lihainya Ilmu Silat Harimau yang aneh dan lain dari pada yang lain itu, sementara
itu suara melengking-lengking masih kadang-kadang terdengar dari kerongkongan lawan yang mengiringi
setiap tubrukan atau cakaran tangan. Melihat gerakan Cu Kang Bu, lawan yang kurang kuat sinkang-nya
tentu akan melihat seolah-olah pemuda tinggi besar itu telah benar-benar berubah menjadi seekor harimau
yang amat kuat dan ganas!
Kam Hong lalu mengerahkan tenaga dari dalam pusarnya dan ketika dia menggunakan khikang melalui
tenggorokan, terdengarlah gerengan singa yang menggetarkan tanah di sekeliling tempat itu! Itulah Sai-cu
Ho-kang, ilmu yang dipelajarinya dari Sai-cu Kai-ong, akan tetapi karena tenaga khikang di dalam diri Kam
Hong sudah jauh maju setelah dia mempelajari ilmu meniup suling dari ilmu rahasia jenazah kuno, maka
kekuatannya sudah sedemikian hebatnya sehingga kalau kalau Sai-cu Kai-ong sendiri mendengarnya dia
tentu akan merasa terkejut dan heran.
Hebatnya ilmu ini adalah hawa suara itu dapat dipusatkan dan diarahkan kepada yang hendak diserang
saja, sehingga kalau lain orang di situ hanya merasakan getaran hebat saja, tidaklah demikian dengan Cu
Kang Bu. Dia terhuyung dan mukanya agak pucat karena suara gerengan itu seolah-olah memasuki
tubuhnya dan menyerang jantungnya, dan selagi dia terhuyung itu Kam Hong sudah maju dan melakukan
tamparan-tamparan dengan Ilmu Khong-sim Sin-ciang yang lembut namun amat berbahaya itu.
Cu Kang Bu mengeluarkan seruan kaget dan dia cepat melindungi dirinya dengan putaran kedua tangan,
akan tetapi tetap saja dia didesak dan dihimpit oleh lawan. Bukan main heran dan kagetnya rasa hati
pendekar tinggi besar ini. Dia memang tidak memandang rendah lawan dan dapat menduga bahwa
lawannya lihai, akan tetapi sama sekali tidak pernah diduganya akan sedahsyat ini! Maka sambil
mengeluarkan bentakan nyaring karena dirinya sudah terdesak dan terancam bahaya, tiba-tiba tangannya
meraba ke pinggang dan nampaklah sinar hitam berkelebat disusul suara ledakan yang mengeluarkan
asap putih dan tahu-tahu tangan kanan pendekar ini telah memegang sebatang cambuk baja yang tadinya
menjadi ikat pinggangnya.
Cambuk baja lemas ini berwarna hitam dan kini meledak-ledak di udara. Akan tetapi, Cu Kang Bu sama
sekali tidak menyerang lawan, hanya membunyikan cambuknya di udara tanpa berkata-kata, sikapnya
dunia-kangouw.blogspot.com
menantang dan penuh rasa penasaran bahwa dia telah dikalahkan oleh bekas tunangan kekasihnya itu
dalam adu silat tangan kosong. Di tempatnya dari pinggiran, Yu Hwi memandang dengan mata terbelalak
keheran-heranan melihat betapa ‘Siauw Hong’ yang dulu merupakan kacung dari Pendekar Siluman Kecil
itu ternyata kini mampu menandingi seorang pendekar sakti seperti Cu Kang Bu yang menjadi kekasihnya.
Sementara itu, biar pun dia agak pening oleh lengkingan-lengkingan dan gerengan-gerengan yang
menggetarkan tadi ditambah mengikuti gerakan mereka yang amat cepat, namun Ci Sian dapat menduga
bahwa pihak Kam Hong tentu menang karena kalau tidak, tidak nanti pihak lawan mengeluarkan senjata.
Melihat cambuk hitam itu meledak-ledak mengeluarkan asap, hatinya gentar bukan main, akan tetapi
sambil tertawa dia berkata, “Paman Kam Hong, lawanmu telah kalah dan kini mengandalkan cambuk
kerbau! Hati-hati, jangan kena dicurangi olehnya!”
Tentu saja ucapan Ci Sian ini membikin panas perut Cu Kang Bu dan saudara-saudaranya, akan tetapi
tetap saja Cu Kang Bu tidak mau menyerang lawan yang masih bertangan kosong. Katanya dengan suara
parau karena menahan kemarahan, “Sobat Kam Hong, ilmu silatmu dengan tangan korong hebat sungguh,
akan tetapi marilah kita main-main dengan senjata sebentar dan kau hadapi cambukku ini!”
Diam-diam Kam Hong juga kagum. Sukar atau jaranglah mencari orang gagah seperti Cu Kang Bu ini. Ilmu
silatnya jelas amat lihai dan tinggi, dan selain tidak sombong, juga sama sekali tidak curang dan tidak mau
mempergunakan senjata menyerang dia yang masih bertangan kosong. Betapa pun juga, pria ini agaknya
tidak akan mengecewakan kalau menjadi suami Yu Hwi dan pilihan Yu Hwi kiranya tidaklah keliru! Akan
tetapi, batinnya terasa panas juga kalau mengingat betapa Yu Hwi adalah tunangannya, calon isterinya
yang hendak direbut oleh pemuda tinggi besar ini!
“Hemmm, kau masih penasaran? Hendak mengadu senjata? Baiklah, akan tetapi aku bukan tukang bunuh
atau tukang siksa maka tidak membawa senjata mengerikan. Aku hanya membawa sebuah alat pengusir
panasnya badan dan batin ini!”
Tangan kirinya bergerak dan seperti sedang main sulap saja, tahu-tahu tangan itu telah memegang sehelai
kipas yang dikembangkan dan dipakai mengipasi lehernya seolah-olah dia merasa gerah sekali. Namun,
meski kipasnya digerak-gerakkan, tiga pasang mata dari kakak beradik penghuni Lembah Suling Emas
yang memiliki penglihatan terlatih dan tajam sekali itu dapat membaca huruf yang tertulis di permukaan
kipas yang digoyang-goyangkan itu. Tentu saja untuk dapat melakukan hal ini orang harus memiliki
kepandaian yang sudah amat tinggi sehingga mata mereka sedemikian tajamnya dapat mengikuti gerakan
kipas yang bagi mata biasa tentu membuat huruf-huruf itu kabur dan tidak terbaca. Diam-diam mereka
bertiga memandang dan membaca huruf-huruf itu. Kipas itu permukaannya putih bersih dan huruf-huruf
indah itu berwarna hitam, maka jelas sekali bagi mereka.
Hanya yang kosong dapat menerima tanpa meluap
Hanya yang lembut dapat menerobos yang kasar
Yang merasa cukup adalah yang sesungguhnya kaya raya!
“Hmm, khong-sim (hati kosong). Sobat Kam Hong masih mempunyai hubungan apakah dengan yang
terhormat Sai-cu Kai-ong Ketua Khong-sim Kai-pang?” tiba-tiba terdengar Cu Han Bu bertanya dengan
suara halus.
Kam Hong terkejut dan diam-diam kagum akan keluasan pengetahuan orang itu.
“Beliau pernah menjadi Guruku,” jawabnya jujur dan sederhana.
“Dia memang pernah menjadi seorang yang disebut Pangeran Pengemis!” Tiba-tiba Yu Hwi berkata dan di
dalam suaranya mengandung cemooh.
Kini mulai mengertilah Kam Hong mengapa dara itu tidak setuju menjadi jodohnya. Kiranya latar belakang
kehidupannya yang dahulu, pertemuan mereka yang pertama di mana dia menjadi pengemis dan menjadi
semacam pelayan dari Siluman Kecil, yang membuat gadis ini memandang rendah kepadanya! Dia
tersenyum.
“Benar sekali.... aku hanya seorang pengemis dan sekarang pun bukan majikan yang kaya raya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi melihat betapa pemuda itu menyindir kekasihnya, Cu Kang Bu sudah menjadi marah lagi. “Kam
Hong, kalau kipas itu merupakan senjatamu, beranikah engkau menghadapi cambuk bajaku dengan kipas
itu?”
“Mengapa tidak berani? Aku hanya melayanimu, sobat!” berkata Kam Hong sambil tersenyum.
“Hajarlah dia, Paman Kam Hong! Dia belum mengenal kipas mautmu!” Ci Sian berkata lagi, sungguh pun di
dalam hatinya dia merasa kecut sekali melihat senjata pihak lawan yang berupa cambuk hitam panjang
terbuat dari baja itu sedangkan ‘senjata’ Kam Hong hanya sebuah kipas yang lebih tepat untuk mengusir
kegerahan saja. Namun, kini telah semakin tebal kepercayaannya kepada Kam Hong, maka dia mengusir
kekhawatirannya dan diam-diam dia mendekati See-thian Coa-ong, gurunya.
“Suhu.... bagaimana pendapat Suhu....? Apakah Paman Kam Hong dapat menang?” bisiknya.
Sungguh lucu dara ini. Dia berbisik seolah-olah tidak akan dapat terdengar oleh orang-orang yang berilmu
tinggi. Ia bicara hanya sambil berbisik-bisik, semua orang termasuk juga Yu Hwi dapat menangkap
bisikannya itu, tetapi mereka terlalu tegang memandang ke arah kedua orang pendekar yang sudah siap
untuk bertanding lagi itu dan tidak mempedulikan ulah Ci Sian.
“Apa....?” Kakek hitam botak itu berkata, lalu menarik napas panjang. “Aahhhh, aku seperti baru sadar dari
mimpi! Sungguh mati, selama hidupku baru ini menyaksikan pertandingan seperti ini! Sungguh beruntung
mata ini dapat menyaksikan pertandingan tingkat atas yang demikian hebatnya. Ternyata Pegunungan
Himalaya yang tinggi masih ada yang melebihi tingginya....“ kakek itu menarik napas panjang lagi.
“Suhu, bagaimana? Apakah Paman Kam Hong akan dapat menang?” kembali Ci Sian bertanya sambil
mengguncang lengan gurunya yang seperti orang sedang terpesona memandang ke arah dua orang
pendekar itu.
“Siapakah aku ini yang dapat menentukan kalah menangnya pertandingan antara dua ekor naga? Kita lihat
saja, Ci Sian, kita lihat saja....,“ katanya pelan tanpa mengalihkan pandangannya.
Ci Sian menjadi makin gelisah dan diam-diam dia lalu duduk bersila dan mengerahkan kekuatan batinnya
untuk memanggil ular-ular sebanyak mungkin ke tempat itu untuk dapat membantu Kam Hong! Akan tetapi
tiba-tiba dia merasa betapa pencurahan kekuatannya itu membuyar dan terdengar suara See-thian Coaong,
“Anak bodoh kau, pembelamu itu takkan kalah!”
Ci Sian lalu teringat betapa dia pernah memanggil ular-ular ketika menghadapi isteri-isteri ayah
kandungnya, dan akibatnya malah ular-ularnya yang tewas dan dia dimarahi oleh Kam Hong! Maka dia
tidak jadi melanjutkan usahanya itu dan kini dia memandang ke arah perkelahian yang sudah mulai
berlangsung.
“Tar-tar-tarrrr....!”
Cambuk hitam itu melayang-layang ke udara kemudian turun meluncur dan melecut sampai tiga kali ke
arah kepala Kam Hong, tetapi dengan tenang pendekar ini mengelak dua kali dan sambaran yang ketiga
kalinya dia kebut dengan kipasnya. Aneh sekali, ujung cambuk baja itu begitu kena dikebut lalu
menyimpang atau melecut ke samping, menyeleweng seperti sehelai rambut ditiup saja! Dan ujung
cambuk itu luput mengenai kepala Kam Hong, menyambar ke bawah dan mengeluarkan ledakan nyaring,
mengenai sebuah batu sebesar kepala orang yang pecah berantakan menjadi beberapa potong! Melihat
ini, Ci Sian merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan dingin. Batu saja terkena lecutan menjadi
pecah berantakan, apalagi kepala manusia!
Akan tetapi Kam Hong masih tetap bersikap tenang, seolah-olah melihat batu pecah berantakan terkena
ujung cambuk itu hanya merupakan permainan anak-anak baginya. Dan kini dia tidak membiarkan dirinya
menjadi bulan-bulanan cambuk, melainkan kedua kakinya bergerak dengan langkah-langkah indah dan
tahu-tahu dia sudah menyusup dekat melalui gulungan sinar hitam dari cambuk itu dan menggunakan
ujung kipas untuk membalas serangan lawan dengan totokan-totokan ke arah jalan darah dari ubun-ubun
sampai ke lutut lawan! Gerakan kipasnya cepat dan tak terduga-duga datangnya, sebab dia telah mainkan
ilmu silat kipas Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang merupakan satu di antara ilmu silat
warisan nenek moyangnya, yaitu Pendekar Suling Emas!
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang satu-satunya jalan untuk melawan musuh yang menggunakan senjata panjang hanya dengan
cara melakukan perkelahian jarak dekat, apalagi kalau dia sendiri hanya bersenjata sebuah kipas yang
amat pendek. Kam Hong juga melakukan siasat ini, dia menggunakan langkah-langkah Pat-kwa-pouw dari
Ilmu Silat Pat-sian-kun-hoat dan dengan langkah-langkah ini dia dapat selalu mendekati lawan hingga
dapat menyerang dengan kipasnya.
Akan tetapi Cu Kang Bu adalah seorang tokoh yang sudah mahir sekali menggunakan senjata yang
diandalkannya itu, maka biar pun senjatanya merupakan senjata untuk menyerang dari jarak jauh, ujung
cambuk bajanya itu dapat membalik dan menyerang dari arah belakang, kanan, kiri atau atas bawah!
Hebat bukan main gerakan cambuknya dan ujung cambuk itu seolah-olah hidup menuruti segala gerakan
pergelangan tangan Kang Bu.
Bukan main serunya perkelahian itu. Kipas di tangan kiri Kam Hong berubah-ubah, sebentar terbuka untuk
mengebut ujung cambuk lawan, kadang-kadang tertutup untuk menyerang dengan totokan-totokan yang
amat berbahaya. Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang mendesak dan siapa yang terdesak karena
mereka seolah-olah saling menukar serangan yang selalu dapat dipecahkan dan dilumpuhkan oleh lawan.
Kurang lebih seratus jurus telah lewat dan perkelahian itu diikuti oleh semua orang sambil menahan napas
karena memang amat menegangkan hati.
Kam Hong sendiri merasa kagum. Semenjak tadi, dia hanya mempergunakan ilmu-ilmu yang telah
dipelajarinya dari Sai-cu Kai-ong dan dari Sin-siauw Sengjin, yang telah dikuasainya dengan matang
sehingga akan sukarlah mencari lawan yang mampu menandinginya dengan ilmu-ilmu itu. Akan tetapi,
dengan ilmu-ilmu itu dia hanya dapat berimbang saja dengan lawannya ini.
Diam-diam dia merasa penasaran juga dan dikumpulkannyalah tenaga khikang yang diperolehnya ketika
dia mempelajari ilmu pusaka yang tercatat di tubuh jenazah kuno. Dan tiba-tiba saja suara pernapasannya
terdengar mencicit nyaring, makin lama makin tinggi sehingga tidak tertangkap oleh telinga, namun bagi Cu
Kang Bu, dia merasakan getaran yang luar biasa hebatnya dari tubuh lawannya! Dia terkejut sekali dan
berusaha untuk meloncat mundur sambil menggerakkan pecut bajanya.
Akan tetapi, kini Kam Hong mendesak ke depan, kipasnya terbuka dan begitu kipasnya mengebut, ada
angin dingin menyambar ke arah muka lawan dan Cu Kang Bu hampir tidak kuat membuka matanya yang
tersambar angin dingin. Begitu matanya berkejap, maka ujung kipas itu telah meluncur dan melakukan
totokan-totokan, membuat Kang Bu kaget setengah mati dan terhuyung ke belakang sambil memutar
cambuk dan tangan kiri melindungi tubuhnya. Akan tetapi lawannya mendesak dan akhirnya, maklumlah
bahwa mempertahankan diri sama dengan mencari mati, Kang Bu meloncat jauh ke belakang lalu turun
dan merangkap kedua tangan depan dada.
“Aku Cu Kang Bu mengaku kalah!”
Kam Hong membuka kipas di depan dada dan dia merasa semakin kagum dan suka kepada bekas
lawannya itu, seorang yang kasar jujur namun juga tidak keras kepala dan mampu menghadapi kekalahan
sendiri secara jantan. Seorang yang benar-benar patut, bahkan terlalu baik mungkin, untuk menjadi jodoh
Yu Hwi!
“Saudara Cu Kang Bu, kepandaianmu sungguh amat hebat, aku kagum sekali!” katanya membalas
penghormatan orang.
Akan tetapi dengan muka pucat Cu Han Bu melangkah maju. Pendekar ini diam-diam merasa penasaran
bukan main melihat kekalahan adiknya. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa adiknya dengan cambuk
bajanya dapat dikalahkan lawan yang hanya memegang setangkai kipas! Sungguh kekalahan yang
menghancurkan keharuman nama besar keluarga Lembah Suling Emas, apalagi di situ ada orang-orang
lain yang menyaksikan seperti See-thian Coa-ong dan terutama sekali dara murid Coa-ong yang pandai
bicara itu, yang tentu akan menyiarkan berita kekalahan keluarga Lembah Suling Emas ke seluruh dunia
kang-ouw! Mukanya menjadi pucat karena penasaran dan marah.
“Saudara Kam Hong, harap jangan membikin kami penasaran dan jangan bertindak kepalang-tanggung.
Kau kalahkanlah aku sebagai orang pertama dari Lembah Suling Emas, agar kami yakin benar bahwa di
luar lembah ada orang yang lebih pandai dari pada kami!” Setelah berkata demikian, sambil membungkuk
dan memberi hormat, Cu Han Bu melolos sebuah sabuk emas dari pinggangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sikap orang ini sedemikian sungguh-sungguh sehingga Kam Hong maklum bahwa jalan satu-satunya
baginya adalah memenuhi tantangan orang pertama dari Lembah Suling Emas ini. Pula, diam-diam dia pun
merasa penasaran bahwa dialah yang benar-benar keturunan keluarga Suling Emas dan mereka ini hanya
kebetulan saja memakai nama Lembah Suling Emas. Kalau dia dapat menangkan orang pertama dari
keluarga lembah yang aneh ini, tentu dia berhak untuk minta dengan hormat kepada mereka agar nama
Suling Emas tidak mereka pakai lagi.
Kam Hong maklum bahwa sebagai orang pertama dari keluarga itu, tentu pria yang berpakaian sederhana
dan bersikap halus dan dingin ini tentulah memiliki tingkat kepandaian yang hebat dan lebih tinggi dari
pada tingkat Kang Bu. Padahal, Kang Bu saja sudah demikian lihainya. Maka dia pun tidak boleh mainmain
lagi dan dia tentu akan harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mencapai kemenangan.
Maka, sambil tetap membuka kipasnya dengan tangan kiri, tangan kanannya lalu meraih ke pinggang dan
begitu bergerak, nampak sinar emas berkilauan dan tangan kanan itu telah memegang sebatang suling
emas yang tadinya tersembunyi di balik jubahnya!
Kalau tadi ketika Cu Han Bu mengeluarkan dan melolos sabuk emas dari pinggangnya nampak sinar
keemasan yang menyilaukan mata, kini suling emas di tangan kanan Kam Hong itu mengeluarkan cahaya
yang amat gemilang, apalagi karena gerakannya ketika mengeluarkan amat cepat sehingga selain
mengeluarkan cahaya yang amat kemilau, juga terdengar suara mendengung seolah-olah suling itu ditiup!
“Silakan!” katanya dengan suara tenang.
Akan tetapi, Cu Han Bu dan dua orang adiknya berdiri seperti kena pesona, mata mereka terbelalak
menatap suling emas di tangan Kam Hong dan muka mereka menjadi pucat sekali.
“Suling Emas....!” Tiba-tiba mereka bertiga berseru dengan suara hampir berbareng dan ketiganya sudah
melangkah maju menghadapi Kam Hong.
Tentu saja Kam Hong bersiap siaga dan alisnya berkerut, karena sama sekali tidak pernah disangkanya
bahwa orang-orang gagah itu akan maju bertiga! Benarkah apa yang dikhawatirkan oleh Ci Sian tadi
bahwa orang-orang ini dapat bertindak curang dan hendak mengeroyoknya? Dengan sinar mata
mencorong dia memandang mereka dan siap untuk menghadapi mereka dengan suling dan kipasnya.
Akan tetapi Han Bu malah menyimpan kembali sabuk emasnya dan dengan muka masih pucat dia berkata
dengan suara gemetar, “Sobat Kam Hong.... dari mana engkau memperoleh suling itu....?”
Kam Hong memandang kepada suling di tangannya, lalu kepada mereka bertiga dan menjawab tenang,
“Suling ini telah ada pada keluargaku semenjak ratusan tahun yang lalu, semenjak jaman Kerajaan Sung
tujuh delapan ratus tahun yang lalu....“
“Ahhh....! Keluarga Pendekar Suling Emas....?”
Kam Hong memandang tajam penuh selidik. Ia maklum bahwa keluarganya itu memiliki banyak musuh di
samping sahabat, oleh karena itu banyak pula orang kang-ouw yang berlomba untuk mendapatkan
pusaka-pusaka dari nenek moyangnya dan terpaksa dia sampai harus disembunyikan di waktu kecil
sebagai keturunan terakhir dari keluarga itu, demikian Sin-siauw Sengjin bercerita kepadanya. Dia tidak
tahu apakah ketiga orang kakak beradik yang amat lihai ini merupakan golongan sahabat ataukah musuh.
Akan tetapi dia tidak takut menghadapi mereka, baik sebagai sahabat mau pun musuh.
“Benar, aku adalah turunan terakhir dari keluarga Suling Emas! Hemm, kalian kelihatan heran, padahal aku
sendiri juga merasa amat heran, kenapa di tempat ini ada keluarga Lembah Suling Emas!”
Pada saat itu terdengar suara suling yang amat merdu, akan tetapi juga amat nyaring melengking dan di
dalam suara itu terkandung kekuatan yang menggetarkan dada pendengarnya. Itu bukan suara suling
sembarangan, melainkan suara yang diciptakan dengan tiupan yang didasari khikang kuat! Semua orang
menoleh ke arah datangnya suara suling itu dan tidak lama kemudian nampaklah seorang pemuda tampan
sekali berjalan perlahan-lahan menuju ke tempat itu sambil meniup sebatang suling. Suling itu berkilauan
dan dari jauh saja sudah nampak bahwa suling itu terbuat dari pada emas.
Kam Hong memandang dengan heran dan penuh perhatian. Suling yang ditiup oleh pemuda itu lebih kecil
dari pada sulingnya, akan tetapi modelnya serupa benar! Dan pemuda yang meniupnya itu juga amat
menarik. Wajahnya amat tampan, terlalu tampan malah dan usianya masih tampak amat muda dan
dunia-kangouw.blogspot.com
caranya meniup suling menunjukkan bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan dan telah memiliki
khikang yang lumayan kuatnya.
Setelah pemuda tampan itu tiba dekat, terdengar Cu Han Bu menegur dengan suara halus, di balik suara
teguran itu terkandung kasih sayang mendalam.
“Pek In, hentikan tiupan sulingmu yang bodoh itu!”
Dengan gerakan cepat Kam Hong telah menyimpan kembaii sulingnya di balik jubah lebarnya dan dia
memandang kepada pemuda itu dengan penuh perhatian. Pemuda itu menghentikan tiupan sulingnya,
memainkan suling emas itu di antara jari-jari tangan yang kecil meruncing, diputar-putarnya di antara jarijari
tangannya dengan gerakan yang gagah sekali, akan tetapi mulutnya cemberut dan dia memandang
kepada Cu Han Bu dengan sikap manja.
“Ayah, mengapa tidak boleh bermain suling? Mengunjungi Suheng tidak boleh, bermain suling sendiri
mengusir sunyi juga tidak boleh, aihh, betapa menjemukan hidup ini....!” Akan tetapi dia segera
menghentikan kata-katanya karena pada saat itu dia baru melihat bahwa ayahnya dan para pamannya
sedang berhadapan dengan seorang pria berpakaian sastrawan yang memegang sebatang kipas dan di
situ terdapat pula seorang dara jelita, seorang kakek botak kurus dan juga di situ terdapat Yu Hwi, murid
Cui-beng Sian-li yang dia tahu berpacaran dengan pamannya dan yang diam-diam tidak disukainya itu.
Akan tetapi Cu Han Bu tidak mempedulikan puterinya, dan dia sudah menjura kepada Kam Hong.
“Maafkan gangguan puteriku tadi.”
Kam Hong kini mengerti mengapa pemuda itu luar biasa tampan dan halusnya, kiranya seorang dara!
“Kulihat puterimu juga mempunyai sebatang suling yang mirip dengan sulingku.”
“Itulah dia Saudara Kam Hong! Di antara keluarga kita ada sesuatu yang perlu kita bicarakan. Sudah lama
kami mendengar tentang keluarga pendekar Suling Emas, dan kami pernah mencoba mencarinya namun
tidak berhasil. Maka, mendengar bahwa engkau adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan
melihat pula bahwa memang engkau yang memiliki suling emas pusaka itu, kami terkejut bukan main. Juga
girang, karena yang kami cari-cari ternyata kini malah datang menjenguk kami. Oleh karena itu, kami
persilakan kepadamu untuk berkunjung ke lembah kami di mana kita akan bicara lebih mendalam tentang
suling emas agar semua rahasia dapat saling kita ketahui.”
“Paman Kam Hong, hati-hatilah, jangan kena dibujuk mereka. Siapa tahu mereka hendak menjebakmu!” Ci
Sian berseru.
“Nona, harap jangan bicara sembarangan!” Cu Seng Bu yang sejak tadi diam saja kini berseru keras.
“Kami bukanlah sebangsa pengecut yang suka bermain curang dan suka menjebak orang! Gurumu Seethian
Coa-ong berada di sini dan engkau juga. Kalian berdua dapat menjadi saksi kalau kami bermain
curang dan tentu dunia kang-ouw akan mengutuk kami!”
“Ci Sian, tenanglah. Aku percaya kepada mereka, dan pula, siapakah yang takut akan jebakan dan
kecurangan. Aku akan pergi mengunjungi mereka,” kata Kam Hong dengan sikap tenang dan tersenyum.
“Aku ikut!” Ci Sian berkata nyaring.
“Ci Sian, jangan kau lancang....!” See-thian Coa-ong menegur muridnya dengan suara khawatir.
Dia menganggap muridnya terlalu lancang bersikap seberani itu terhadap keluarga Lembah Suling Emas
yang demikian lihainya, akan tetapi diam-diam dia pun merasa amat bangga dan girang bahwa muridnya
itu mengenal baik bahkan kelihatan akrab dengan pendekar yang memiliki suling emas dan yang
kepandaiannya juga amat luar biasa tingginya itu. Apalagi ketika dia juga mendengar bahwa pria sakti itu
adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas, hati kakek ini sudah menjadi gembira bukan main. Ia
merasa beruntung sekali pada hari itu dapat menyaksikan pertandingan hebat dan bertemu dengan orangorang
yang amat hebat, yaitu penghuni Lembah Suling Emas dan bahkan dengan keturunan Pendekar
Suling Emas.
“Tidak, Suhu! Paman Kam Hong orangnya terlalu baik hati, terlalu mengalah, maka perlu aku harus
menemaninya untuk menjadi saksi apakah benar-benar mereka ini tidak hendak menjebaknya. Kulihat
mereka tidak berniat baik, mungkin hendak merampas senjata keramat dari Paman Kam Hong. Biarlah aku
dunia-kangouw.blogspot.com
ikut untuk menjadi saksi di dalam lembah, dan Suhu tinggal menanti di sini, sebagai saksi di luar lembah.
Kalau Paman Kam Hong dan teecu tidak keluar lagi dari lembah, berarti kami berdua sudah masuk
perangkap dan dicelakai mereka, dan Suhu boleh siarkan kepada seluruh dunia bahwa para penghuni
lembah ini adalah orang-orang yang curang dan jahat.”
“Hei! Dari mana datangnya perempuan liar yang membuka mulut seenaknya memburuk-burukkan keluarga
Lembah Suling Emas?” Tiba-tiba Pek In berseru marah sambil memandang kepada Ci Sian dengan mata
berapi-api. “Kami adalah keluarga baik-baik, tidak seperti engkau ini perempuan siluman yang
menggunakan kata-kata buruk untuk memaki orang!”
Ci Sian bersungut-sungut dan memandang kepada Cu Pek In, kemudian tersenyum mengejek. “Memang
keluarga Lembah Suling Emas tak bisa dipercaya. Ada isteri yang menyeleweng dengan pendekar yang
menjadi tamunya! Ada perempuan yang sudah bertunangan melarikan diri dan ditampung di lembah! Ada
pula hubungan gelap antara paman guru dan murid keponakannya sendiri. Dan sekarang muncul lagi
seorang.... banci! Phuh, sungguh tidak layak dipercaya!”
Wajah Pek In yang putih halus itu seketika berubah merah. Baru sekarang ini selama hidupnya ada orang
berani memakinya seperti itu. Dia dinamakan banci! Kalau saja dia memakai pakaian wanita seperti
umumnya, kiranya makian ini tak akan mendatangkan kemarahan di hatinya. Akan tetapi karena memang
sejak kecil dia mengenakan pakaian pria, yang mulanya dilakukan oleh ayah bundanya yang menginginkan
anak laki-laki sehingga dia menjadi terbiasa dan lebih suka mengenakan pakaian pria setelah dia remaja
dan dewasa, maka makian itu sungguh menyentuh dan menyinggung perasaan dan membuat dia marah
bukan main!
“Aku bukan banci! Kau perempuan siluman!” Dan dara ini sudah mencabut sulingnya pula yang tadi
ditancapkan di ikat pinggang dan dia sudah meloncat dan menyerang Ci Sian.
“Huh, siapa takut padamu?” Ci Sian mengelak dan balas menyerang.
“Tahan!” Cu Han Bu berseru keras. “Pek In, kau mundurlah. Mereka ini adalah tamu-tamu kita, bukan
musuh.”
“Tapi mulutnya busuk, Ayah. Dia memakiku!”
“Dan kau pun memakiku. Siapa memaki aku perempuan liar dan perempuan siluman? Huh, tak tahu diri!”
Ci Sian juga berteriak.
“Ci Sian, harap kau bersabar dan mari kita mengunjungi mereka dan bicara dengan baik-baik,” kata Kam
Hong kepada Ci Sian.
Seketika lenyaplah kemarahan Ci Sian. Dia tadi sudah merasa khawatir kalau-kalau tidak akan
diperbolehkan mengunjungi lembah menemani Kam Hong, akan tetapi kini Kam Hong mengajaknya!
Kegirangan hatinya mengusir semua kemarahan.
“Aku boleh pergi menemanimu, Paman? Baiklah, mari kita pergi dan aku tidak akan banyak cakap lagi.”
“Sobat Kam Hong, silakan!” kata Cu Han Bu.
Kam Hong mengangguk dan balas memberi hormat, lalu melangkah bersama pihak tuan rumah
meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata See-thian Coa-ong yang kelihatan tegang dan girang bukan
main. Dia merasa gembira dan bangga sekali menjadi satu-satunya orang yang menyaksikan pertemuan
antara orang-orang sakti yang hebat itu, apalagi karena kini Ci Sian, muridnya, menemani pendekar
keturunan Pendekar Suling Emas memasuki lembah itu bersama keluarga Lembah Suling Emas! Betapa
hebatnya peristiwa ini dan tentu akan menggemparkan dunia kang-ouw kalau dia menceritakan di luar.
Melihat Ci Sian berjalan di samping Kam Hong, Yu Hwi dan juga Pek In memandang kepada dara itu
dengan sinar mata tidak senang. Apalagi Pek In yang sedang jengkel itu. Seperti diketahui, kurang lebih
empat lima tahun yang lalu, Sim Hong Bu diterima di lembah itu sebagai murid keluarga Cu, atau sebagai
ahli waris dari Ouwyang Kwan yang berubah menjadi Yeti, mewarisi pedang Koai-liong-po-kiam dan Ilmu
Koai-liong Kiam-sut yang hanya boleh dipelajari oleh pemuda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Semenjak itu, Sim Hong Bu digembleng oleh ketiga orang saudara Cu itu secara bergantian sehingga dia
memperoleh kemajuan yang amat pesat, apalagi karena memang pada dasarnya Hong Bu mempunyai
bakat yang amat baik sekali. Dan di antara pemuda itu dan Pek In pun terjalin hubungan persahabatan
yang amat akrab. Melihat ini, dan melihat betapa baiknya bakat dalam diri Sim Hong Bu dan melihat pula
bahwa pemuda itu memiliki dasar watak yang gagah perkasa, jujur dan bernyali besar, diam-diam tiga
orang saudara Cu itu merasa kagum. Apalagi melihat hubungan yang akrab antara pemuda itu dan puteri
tunggalnya, diam-diam timbul dalam hati Cu Han Bu untuk menjodohkan puterinya dengan murid itu.
Dalam waktu hampir empat tahun, berkat ketekunan dan kesungguhan hati tiga orang saudara Cu itu, Sim
Hong Bu telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dan sudah memiliki dasar yang cukup kuat untuk mulai
dengan pelajaran ilmu peninggalan Ouwyang Kwan! Pada waktu itu, tingkat kepandaian Sim Hong Bu
bahkan telah jauh melampaui tingkat kepandaian Pek In karena memang selain Hong Bu memiliki dasar
atau bakat yang lebih besar, juga tiga orang she Cu itu mencurahkan seluruh perhatian dan harapan
mereka kepada pemuda ini untuk kelak mengangkat tinggi nama Lembah Suling Emas!
Setelah memiliki dasar yang cukup kuat, ketiga orang gurunya itu lalu menyuruh Hong Bu untuk memulai
mempelajari ilmu-ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang Kwan dalam kulit Yeti-nya, dan untuk keperluan ini,
Hong Bu tidak boleh diganggu siapa pun juga karena hanya dia seorang yang diperbolehkan mempelajari
ilmu-ilmu itu. Maka, dia diharuskan oleh guru-gurunya untuk belajar sendiri di dalam goa di mana terdapat
mayat suami isteri Kam Lok dan Loan Si yang tewas oleh pedang Koai-liong-kiam itu! Di tempat sunyi inilah
dia harus mempelajari catatan ilmu-ilmu peninggalan Ouwyang Kwan, terutama Ilmu Pedang Koai-liong
Kiam-sut. Hanya beberapa pekan sekali ketiga orang gurunya datang menjenguknya dan melihat muridnya
berlatih.
Sementara itu, Cu Pek In memang diam-diam cinta kepada suheng-nya itu, kepada Sim Hong Bu dan
walau pun dia tidak pernah menyatakannya dengan kata-kata, namun dalam hubungan mereka yang akrab
itu nampak jelas bahwa dara ini memang jatuh cinta. Maka, dapat dibayangkan betapa dara itu merasa
kesepian setelah pemuda yang dicintanya itu ‘bertapa’ di luar lembah dan tak pernah dapat dijumpainya.
Bahkan ketika dia minta kepada ayahnya untuk menjenguk suheng-nya, ayahnya melarangnya dan
mengatakan bahwa Sim Hong Bu tidak boleh diganggu untuk waktu sedikitnya satu tahun! Inilah yang
membuat dara itu menjadi amat kesepian dan gelisah, juga jengkel sehingga kejengkelannya itu nampak
ketika dia bertemu dengan Ci Sian.
Ketika mereka tiba di tepi jurang lebar yang dijadikan tempat penyeberangan ke lembah, Cu Kang Bu
mengeluarkan pekik melengking nyaring untuk memberi tanda kepada para penjaga di seberang sana
untuk menarik tambang yang kalau tidak akan dipergunakan lalu diturunkan sehingga lenyap di dalam
kabut tebal yang memenuhi jurang. Tak lama kemudian, nampaklah tambang itu dari bawah, makin lama
makin naik dan akhirnya menegang, merupakan jembatan yang aneh dan mengerikan.
“Maaf, hanya inilah jembatan yang akan membawa kita ke Lembah Gunung Suling Emas!” kata Cu Kang
Bu kepada Kam Hong. “Harap saja Saudara Kam Hong dan Nona tidak merasa sungkan untuk
menyeberang dengan menggunakan tambang ini.”
Di dalam hatinya, Ci Sian merasa ngeri. Kalau hanya berjalan di atas tambang, tentu saja bukan hal sukar
baginya. Disuruh lari pun dia sanggup. Akan tetapi, kalau tambang itu menyeberang di atas jurang yang tak
nampak dasarnya seperti itu, penuh kabut, tak dapat diukur betapa dalamnya, tentu saja hatinya terasa
ngeri bukan main dan dia merasa mulutnya kering!
“Tidak mengapa, jembatan ini cukup baik,” kata Kam Hong dengan tenang.
Mendengar ucapan ini, Ci Sian kemudian menarik napas panjang dan menenteramkan jantungnya yang
berdebar penuh ketegangan dan kengerian itu. “Cukup baik.... cukup baik....,” katanya dan dia tidak berani
bicara banyak-banyak, takut kalau-kalau suaranya terdengar menggigil!
Akan tetapi tetap saja dia khawatir. Bagaimana kalau dia dan Kam Hong menyeberang tambang itu dan
tiba di tengah-tengah lalu pihak tuan rumah membikin putus tambang itu? Ngeri dia membayangkan
peristiwa ini, membayangkan bahwa dia dan Kam Hong meluncur turun ke bawah jurang! Teringat dia akan
pengalamannya ketika terjatuh ke dalam jurang dan nyaris nyawanya melayang kalau saja tidak ada Seethian
Coa-ong yang menyelamatkannya. Dara itu merasa jantungnya berdebar, tengkuknya dingin dan rasa
takut mencekam hatinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Rasa takut memang selalu menguasai kehidupan manusia semenjak masa kanak-kanak sampai sudah tua
sekali pun. Dari manakah timbulnya rasa takut ini? Mengapakah hidup ini penuh dengan rasa takut atau
khawatir, cemas dan tidak menentu sehingga kebanyakan dari kita lalu hendak melarikan diri dari rasa
takut ini, mencari perlindungan, mencari keamanan, mencari hiburan agar rasa takut atau khawatir terlupa?
Takut akan setan, takut tidak lulus ujian sekolah, takut kehilangan pekerjaan, takut kehilangan orang-orang
yang dicinta, takut menderita, takut sengsara, takut sakit, takut mati dan selanjutnya. Mengapa kita selalu
dikelilingi oleh rasa takut ini?
Dapatkah kita hidup bebas dari rasa takut yang seolah-olah menjadi bayangan kita ini? Dapatkan kita
menghentikan sumber dari mana timbul rasa takut yang terus-menerus ini? Mengalahkan, rasa takut satu
demi satu tidaklah mungkin, karena selama sumber itu masih terus menciptakan rasa takut, maka tidak
akan ada habisnya selama kita hidup dan kita akan harus bergulat mengatasi rasa takut itu satu demi satu.
Akan tetapi kalau sumbernya sudah diketahui sehingga sumber itu tidak lagi menciptakan rasa takut, maka
kita tidak perlu lagi mengalahkan rasa takut satu demi satu.
Apakah rasa takut itu dan bagaimana timbulnya? Rasa takut adalah bayangan pikiran akan sesuatu yang
mungkin akan mendatangkan kesusahan kepada kita atau akan sesuatu yang mungkin akan merampas
kesenangan kita. Rasa takut adalah bayangan pikiran akan sesuatu yang belum ada atau belum terjadi.
Jadi, rasa takut atau khawatir, gelisah, cemas dan sebagainya adalah permainan dari pikiran sendiri.
Pikiran selalu mengenang masa lalu, memisah-misahkan pengalaman-pengalaman di masa lalu antara
yang menyenangkan dan yang menyusahkan. Kemudian pikiran selalu berusaha untuk mengejar
kesenangan, untuk mengulang semua kesenangan yang telah dialaminya, dan berusaha untuk menolak
segala kesusahan yang pernah dialaminya. Dan apabila pikiran melihat masa depan, membayangkan
bahwa dia akan ditimpa hal yang tidak menyenangkan, lalu timbul rasa takut!
Hal ini dapat kita lihat kalau kita mau membuka mata memandang diri sendiri, kalau sewaktu timbul rasa
takut kita mau menghadapi rasa takut itu TANPA MELARIKAN DIRI, menyelidiki dan mempelajarinya. Jadi,
jelaslah bahwa pikiran itu sendiri yang menjadi pencipta rasa takut. Tanpa adanya pikiran yang
membayang-bayangkan hal yang belum terjadi, takkan ada rasa takut itu.
Mungkin ada yang bertanya, apakah kita lalu harus acuh sehingga kita menjadi lengah terhadap sesuatu
yang mengancam di masa depan? Tanpa membayangkan hal-hal yang belum terjadi, mana mungkin kita
dapat bersiap-siap menjaga diri dan menghindar dari bencana atau menghindarkan bencana?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu timbul dari rasa takut itu sendiri! Sama sekali bukan menjadi tidak acuh.
Bahkan kita selalu waspada, bukan waspada yang timbul dari rasa takut, bukan waspada terhadap sesuatu
yang mengancam, melainkan waspada setiap saat akan diri sendiri lahir batin dan akan keadaan sekeliling.
Sebaliknya, rasa takut yang mencekam hati akan membuat kita melakukan hal-hal yang menyeleweng,
membuat kita mungkin saja menjadi pengecut saking takutnya, dan tidak jarang membuat kita menjadi
kejam karena dalam usaha melenyapkan hal-hal yang mendatangkan rasa takut itu dapat terjadi
perbuatan-perbuatan kejam! Banyak sekali orang-orang yang melakukan hal-hal kejam terhadap manusia
lain sebenarnya didorong oleh rasa takut yang mencekam hatinya! Dia selalu merasa terancam dan oleh
karena itu, untuk menghalau semacam itu dia tidak segan-segan mendahului dan melenyapkan orang lain
yang dianggap menjadi sumber atau penyebab rasa takutnya. Atau karena rasa takut, maka kita lalu
melarikan diri mencari hiburan dan dari sinilah timbulnya segala pelarian kepada ilmu klenik dan ramalanramalan.
Sebaliknya, kalau kita menghadapi rasa takut itu sebagaimana adanya, bukan ingin mengendalikan atau
mengalahkannya, melainkan menghadapinya dan mengamatinya di waktu rasa takut timbul,
mempelajarinya, akan nampak jelaslah bahwa rasa takut itu hanyalah permainan pikiran yang ingin
mengulang kesenangan dan ingin menjauhi kesusahan belaka! Tanpa permainan pikiran yang
mengenang-ngenang masa lalu dan membayang-bayangkan masa depan, yang ada hanyalah
kewaspadaan dan kesadaran setiap saat terhadap segala sesuatu yang terjadi! Dan di dalam
kewaspadaan ini, perhatian sepenuhnya ini, tidak ada rasa takut, yang ada hanyalah tindakan yang timbul
dari kecerdasan dan kewajaran. Jadi, setiap saat timbul rasa takut, atau khawatir dan sebagainya, kita
mengamatinya, menyelidikinya, mempelajarinya. Cobalah…..
“Sebagai pihak tuan rumah, silakan Saudara menyeberang lebih dulu,” kata Kam Hong dengan nada suara
halus kepada Cu Han Bu dan hati Ci Sian lega bukan main. Kiranya Kam Hong juga cerdik, pikirnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cu Han Bu memandang dan tersenyum. “Agaknya sobat Kam Hong masih curiga?” tanyanya akan tetapi
dia pun lalu meloncat ke atas tali itu.
“Bukan curiga, hanya berhati-hati,” jawab Kam Hong tersenyum pula dan dia pun lalu meloncat ke atas tali
di belakang Cu Han Bu.
Ci Sian juga melangkah ke depan dan menginjak tali itu, lalu melangkah hati-hati di belakang Kam Hong
dan dia melihat bahwa di belakangnya melangkah pula pihak tuan rumah. Hatinya lega karena kalau tali
putus, mereka semua yang akan jatuh, bukan hanya dia dan Kam Hong!
Lihatlah betapa besar si Aku menguasai batin manusia! Setiap kali tertimpa mala petaka atau tercekam
rasa takut, manusia akan merasa terhibur kalau melihat ada orang lain juga tertimpa hal yang sama!
Seolah-olah melihat orang lain tertimpa mala petaka, apalagi kalau lebih besar dari pada mala petaka yang
menimpa dirinya, hal itu menjadi hiburan yang amat manjur! Tangis karena menyedihi mala petaka yang
menimpa diri bisa saja berubah tawa ketika melihat orang lain mengalami hal yang sama atau lebih parah!
Sebaliknya, si Aku ini selalu tidak rela kalau dalam menerima keuntungan lalu ada orang lain yang juga
menerima keuntungan yang sama, apalagi yang lebih besar. Timbullah iri hati! Ahhh, kalau saja kita mau
mengamati diri setiap saat, akan nampaklah dalam diri sendiri segala kekotoran, kemunafikan, kepalsuan,
kebencian, iri hati dalam si Aku ini! Sayang, kita hanya suka mengamati orang lain, mencela orang lain,
tidak pernah mau mengamati diri sendiri, atau kalau mau pun kita hanya mau melihat kebaikan-kebaikan
diri sendiri belaka dan itu bukanlah pengamatan namanya!
Mereka semua dapat menyeberang dengan selamat sampai di seberang dan setelah semua orang
melompat ke tepi jurang di daerah lembah, tali itu lalu dikendurkan lagi sehingga menghilang tertutup
kabut.
“Mari silakan, sobat!” Cu Han Bu mempersilakan ketika mereka tiba di depan sebuah gedung yang cukup
megah di tengah-tengah lembah.
Dengan tenang Kam Hong bersama Ci Sian mengikuti tuan rumah memasuki gedung itu dan mereka lalu
dipersilakan untuk duduk di ruangan dalam yang luas dan di sinilah dua orang tamu ini dijamu oleh pihak
tuan rumah. Mereka semua mengelilingi sebuah meja panjang. Kam Hong dan Ci Sian duduk bersanding
di tempat kehormatan, kemudian berturut-turut duduk Cu Han Bu, Cu Seng Bu, Cu Kang Bu, lalu Yu Hwi
dan Pek In sendiri duduk di dekat ayahnya. Mereka duduk makan minum sambil bercakap-cakap atau lebih
tepat, yang bercakap-cakap adalah Kam Hong dan Cu Han Bu berdua saja, karena yang lain hanya diam
mendengarkan.
Ci Sian melihat betapa kadang-kadang Yu Hwi mengerling ke arah Kam Hong dan dia menangkap
pandang mata penuh kagum dari wanita itu kepada bekas tunangannya. Hati Ci Sian merasa puas. Hemm,
perempuan tolol, pikirnya, menolak Kam Hong dan memilih pria tinggi besar itu sama dengan menolak batu
intan dan memilih batu karang! Tentu saja dia tidak tahu bahwa sebetulnya tidaklah demikian.
Yu Hwi sudah jatuh cinta kepada Kang Bu dan tentu saja baginya tidak ada pria yang lebih hebat dari pada
kekasihnya itu. Dia memandang kagum kepada Kam Hong adalah karena kekaguman yang sungguhsungguh,
mengingat bahwa dulu kepandaian bekas tunangannya ini hanya setingkat dia, bahkan lebih
rendah mungkin. Akan tetapi kini, ternyata bukan hanya mampu menandingi Kang Bu, bahkan sekarang
berani memasuki Kim-siauw San-kok dengan sikap demikian tenangnya. Betapa bedanya dibandingkan
dengan Siauw Hong dahulu!
Setelah mereka selesai makan minum dan semua mangkok piring telah dibersihkan dari meja, Cu Han Bu
lalu berkata kepada Kam Hong, “Nah, sekarang kami harap sudilah kiranya engkau menceritakan
mengenai nenek moyangmu, keluarga Pendekar Suling Emas, sobat Kam Hong.”
Kam Hong tersenyum. “Saudara Cu, bukan aku yang sengaja datang, melainkan karena kalian yang
mengundangku, oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau engkau lebih dulu menceritakan keadaan
keluargamu dan mengapa ada hubungan di antara keluarga kita seperti yang kau katakan. Apa pula
sebabnya tempat ini memakai nama Suling Emas, dan bagaimana puterimu dapat memiliki sebatang suling
emas yang serupa dengan sulingku, sungguh pun lebih kecil.”
Cu Han Bu juga tersenyum, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, “Hemm, rahasia
keluarga kami tidak boleh diceritakan begitu saja kepada siapa pun juga.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Demikian pun keadaan keluarga nenek moyangku bukan untuk diceritakan kepada pihak lain.”
“Betapa pun juga, kita berdua mempunyai hubungan melalui suling emas, oleh karena itu terpaksa kita
harus saling menceritakan keadaan kita. Dan karena tidak ada jalan untuk menentukan siapa yang harus
bercerita lebih dulu, marilah kita tentukan dengan cara menguji kepandaian masing-masing, sobat Kam
Hong. Adikku telah kalah olehmu, maka aku ingin sekali untuk mengukur sendiri kehebatanmu, dan biarlah
ini dijadikan penentu siapa yang lebih dulu menceritakan keadaannya.”
“Hemm, aku tidak ingin bertanding, akan tetapi kalau pihak tuan rumah meminta, aku sebagai tamu tidak
berani menolak.”
“Bagus, sikapmu amat mengagumkan hatiku, sobat!” kata Cu Han Bu yang tadinya khawatir kalau-kalau
tamunya akan menolak.
Ketika melihat adiknya kalah, hatinya sudah dipenuhi rasa penasaran dan ingin sekali dia maju untuk
menandingi pemuda itu. Akan tetapi oleh sikap dan kata-kata Ci Sian, pula karena baru saja adiknya kalah,
apa pula ditonton oleh See-thian Coa-ong, dia merasa sungkan juga untuk langsung menantang Kam
Hong. Juga melihat adanya senjata suling emas itu sangat mengejutkan hatinya maka dia tidak berani
lancang menantang di tempat itu, di luar lembah.
Kini mereka tengah berada di dalam lembah dan dia memperoleh kesempatan untuk menantang Kam
Hong dengan cara yang lebih ‘lunak’, dalam suasana persahabatan, sebagai seorang tuan rumah
menghidangkan sesuatu kepada tamunya yang terpaksa harus diterimanya. Dalam pertandingan
‘persahabatan’ ini, kalau sampai kalah, tidaklah begitu menjatuhkan nama, tidak seperti dalam pi-bu yang
memang sengaja diadakan untuk menentukan siapa kalah siapa menang, siapa lebih pandai.
Kini meja itu disingkirkan dan semua orang duduk di atas kursi yang ditarik ke pinggir dekat dinding
sehingga ruangan itu menjadi sebuah tempat terbuka yang cukup luas. Cu Han Bu telah mengeluarkan
sabuk emasnya dan sambil tersenyum dia melangkah maju ke tengah ruangan yang luas itu.
“Silakan, sobat Kam Hong!” katanya.
Kam Hong juga melangkah maju. Tanpa sungkan lagi ia pun mencabut suling emasnya. Melihat lawan
hanya memegang sebatang senjata, dia pun tak mengeluarkan kipasnya, sungguh pun dibantu oleh
kipasnya, dia akan menjadi semakin lihai.
Kemudian Cu Han Bu berkata lagi, “Saling uji kepandaian ini selain untuk menentukan siapa yang harus
lebih dahulu menceritakan keadaan keluarganya, juga biarlah untuk menentukan siapa yang berhak
memakai nama Suling Emas.”
Kam Hong mengerutkan alisnya, memandang dengan mata mencorong tajam kemudian berkata dengan
suara lambat namun mengandung tekanan kuat, ”Saudara Cu Han Bu, apa maksudmu dengan kata-kata
itu?”
“Sobat, engkau memakai julukan Pendekar Suling Emas, atau setidaknya mengaku sebagai keturunan
keluarga Pendekar Suling Emas, sedangkan kami mengaku sebagai keluarga penghuni Lembah Suling
Emas dari mana datangnya suling emas yang asli. Karena itu, biarlah kita mengeluarkan ilmu warisan
keluarga kita masing-masing untuk menentukan siapa yang asli dan siapa yang kalah berarti tidak boleh
lagi menggunakan julukan Suling Emas, baik bagi namanya mau pun bagi tempat tinggalnya. Jelaskah?”
Suling Emas mengangguk-angguk. Tentu saja di dalam hatinya dia tidak setuju dengan taruhan gila ini,
namun dia pun terpaksa tidak dapat menolak karena seorang pendekar amat memegang kehormatan dan
nama baik. “Jikalau demikian kehendakmu, baiklah,” jawabnya.
“Bagus, sikapmu memang amat mengagumkan. Nah, kau sambutlah, sobat Kam Hong.”
Cu Han Bu sudah mulai menyerang dan begitu menyerang, dia sudah mengeluarkan seluruh kepandaian
dan mengerahkan semua tenaganya. Sabuk emas yang lemas itu tiba-tiba menjadi kaku bagaikan
sebatang pedang dan ketika Cu Han Bu bergerak menyerang, hampir Kam Hong berseru kaget oleh
karena dia mengenal bahwa gerakan itu mirip sekali dengan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut yang telah
dipelajarinya dari catatan jenazah kuno!
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang gerakan itu tidak serupa benar, perkembangan selanjutnya bahkan berbeda, akan tetapi gerakan
dasar dan permulaannya tak dapat diragukan lagi adalah Kim-siauw Kiam-sut! Dan bukan main hebat dan
dahsyatnya, tenaganya amat besar dan sabuk itu mengeluarkan suara berdesing kemudian mengaungngaung
dan mengeluarkan suara seperti suling ditiup, sungguh pun tidak melengking terlalu tinggi!
Lenyaplah tubuh Cu Han Bu, terbungkus sinar keemasan yang bergulung-gulung.
Kam Hong maklum bahwa dia tidak boleh main-main, maka dia pun lalu menggerakkan sulingnya dengan
gerakan panjang dari kanan ke kiri lalu memutar seluruh tubuhnya, dan mulailah dia mainkan Kim-siauw
Kiam-sut seperti yang dipelajarinya selama hampir lima tahun ini! Begitu Kam Hong bergerak dan tubuhnya
pun lenyap dibungkus sinar keemasan yang lebih gemilang lagi, Han Bu tak dapat menahan seruan
kagetnya. Apalagi ketika mereka berdua sudah saling menyerang dengan hebatnya, keheranan Han Bu
makin meningkat. Ternyata pemuda lawannya itu mampu memainkan ilmu silat keturunan keluarganya
dengan demikian hebat dan lengkap, dengan perkembangan-perkembangan aneh yang belum pernah
dilihat atau didengarnya!
Sementara itu, para penonton, yaitu tiga orang gadis yang tingkat kepandaiannya belum setinggi Cu Han
Bu dan dua orang adiknya, segera menjadi agak pening dan tidak dapat mengikuti jalannya perkelahian itu
dengan pandang mata mereka. Mereka melihat betapa dua orang itu bergerak terlalu aneh dan terlalu
cepat sehingga tubuh mereka terbungkus dua sinar yang sama-sama keemasan dan gilang-gemilang,
sedangkan suara mendengung-dengung dari sabuk emas di tangan Han Bu itu kini ditambah lagi dengan
suara suling melengking-lengking aneh sehingga terdengar luar biasa sekali. Suling di tangan Kam Hong
itu seolah-olah tidak sedang digerakkan seperti sebatang senjata melainkan sedang ditiup dengan lagu
yang aneh melengking-lengking, kadang-kadang tinggi serta kadang-kadang rendah dan mendatangkan
kepeningan pada yang mendengarnya.
Memang hebat luar biasa perkelahian antara dua orang pendekar sakti itu. Bagi Kam Hong, semenjak ia
meninggalkan gurunya dan pewaris ilmu-ilmu keluarga Suling Emas, yaitu Sin-siauw Sengjin, Cu Han Bu
ini merupakan lawan yang paling lihai sesudah Yeti! Dan sebaliknya bagi pihak tuan rumah, Kam Hong
merupakan lawan paling lihai yang pernah dijumpainya!
Setiap serangan mereka disertai sinkang yang amat kuat, dan setiap jurus serangan dibalas dengan jurus
serangan lain. Dasar-dasar gerakan ilmu silat mereka sama, dan biar pun yang seorang menggunakan
senjata sabuk emas dan yang lain menggunakan suling emas, namun mereka menggunakan senjatasenjata
itu seperti orang memegang sebatang pedang dan ilmu silat yang mereka mainkan juga ilmu silat
pedang! Akan tetapi perkembangan gerakan itu yang berbeda sehingga diam-diam Cu Han Bu harus
mengakui bahwa ilmu silat lawan ini benar-benar luar biasa, merupakan ilmu silat pusaka keluarganya
akan tetapi lebih ampuh dan lengkap. Juga dalam hal sinkang, dia merasa tidak mampu menandingi
kekuatan pemuda sastrawan ini.`
Akan tetapi, keluarga Cu ini sudah terlampau lama, mungkin telah beberapa keturunan, merasa bahwa
mereka adalah keluarga yang tidak dapat dikalahkan, yang memiliki kepandaian tinggi turun-temurun,
maka mereka tidak biasa dengan kekalahan. Hal itu membuat mereka dalam mengasingkan diri selalu
memandang rendah orang lain meski diam-diam keluarga ini amat memperhatikan dan mempelajari orangorang
kang-ouw yang terkenal, bukan hanya mengenal bentuk-bentuk mereka, julukan dan keistimewaan
mereka, akan tetapi juga mempelajari keistimewaan mereka itu dan tiga orang saudara itu selalu mencari
kelemahan mereka.
Akan tetapi mereka belum pernah mendengar tentang Kam Hong ini dan begitu pemuda yang tidak
terkenal di dunia kang-ouw ini maju, mereka harus kalah! Tentu saja Cu Han Bu tidak dapat menelan ini,
dan dengan penasaran memuncak dia pun melakukan perlawanan mati-matian dalam pertandingan itu.
Setelah lewat hampir dua ratus jurus, tahulah Kam Hong bahwa kalau pertandingan ini dilanjutkan,
akhirnya tentu salah seorang di antara mereka akan roboh dengan terluka parah, kalau tidak tewas. Dan
dia tidak ingin sampai menewaskan tuan rumah, apalagi karena memang tidak terdapat permusuhan apa
pun di antara mereka.
Di dalam ilmu yang dipelajarinya dari catatan di tubuh jenazah itu, terdapat jurus yang dinamakan Tiangkhing-
toan-san (Bianglala Memecahkan Bukit) dan jurus ini khusus untuk mematahkan senjata lawan yang
bagaimana pun ampuhnya. Akan tetapi untuk ini dia harus mengerahkan seluruh tenaga khikang yang
dihimpunnya dari latihan meniup suling. Kalau tidak berhasil, berarti dia akan menghamburkan banyak
dunia-kangouw.blogspot.com
sekali tenaga dalam. Akan tetapi melihat bahwa itu merupakan jalan satu-satunya untuk mengakhiri
pertandingan ini tanpa merobohkan lawan, maka dia lalu mulai memainkan jurus ini.
Cu Han Bu terkejut sekali ketika tiba-tiba gulungan sinar emas dari lawan itu berubah memanjang dan
melengkung, dan terdengarlah suara melengking tinggi sekali sampai hampir tidak tertangkap oleh telinga,
namun yang mengandung getaran yang luar biasa, membuat jantungnya terasa perih dan kedua kakinya
menggigil! Semua orang yang berada di situ agaknya terpengaruh juga, karena Cu Seng Bu dan Cu Kang
Bu cepat duduk bersila menghimpun tenaga untuk melawan getaran itu, sedangkan Cu Pek In, Yu Hwi,
dan Ci Sian cepat-cepat menggunakan kedua telapak tangan untuk menutup telinganya rapat-rapat karena
mereka merasa telinga mereka seperti ditusuk-tusuk!
Kam Hong maklum akan hal ini, maka begitu tenaganya sudah bulat terhimpun, dia meluncurkan sulingnya
ke atas, seolah-olah hendak menyerang kepala lawan. Cu Han Bu cepat mengangkat sabuk emasnya
untuk melindungi kepala dan pada saat itu, dengan gerakan melengkung seperti bianglala, suling emas di
tangan Kam Hong datang melayang dan menghantam ke arah sabuk emas itu.
“Cringggg....! Trakkkk!!”
“Aiihhhh....!”
Cu Han Bu meloncat jauh ke belakang, berdiri dengan muka pucat memandang ke arah sabuk emasnya
yang telah patah menjadi dua hingga yang tinggal di tangannya hanya sepotong pendek sedangkan
patahannya berada di atas tanah, di bawah kaki lawan.
Cu Han Bu boleh jadi adalah seorang yang berhati keras dan tidak pernah mau kalah oleh orang lain, tetapi
dia memiliki kegagahan dan tahu bahwa dalam pertandingan ini, betapa pun sukar dipercaya, dia telah
kalah oleh Kam Hong! Mukanya yang pucat itu menjadi merah sekali dan dia lalu melempar sisa sabuk
emas itu ke atas lantai dan dengan sikap terpaksa sekali dia menjura ke arah Kam Hong sambil berkata,
“Aku Cun Han Bu harus mengakui bahwa dalam hal ilmu silat, engkau lebih unggul dari pada aku, sobat
Kam Hong, sungguh pun aku sama sekali tidak mengerti bagaimana engkau dapat mainkan ilmu pusaka
keturunan keluarga kami. Akan tetapi biarlah hal itu nanti kita bicarakan. Dalam ilmu silat aku kalah, akan
tetapi sesuai dengan nama Suling Emas yang dipakai oleh kedua pihak, biarlah sekarang kita
memperlihatkan siapa di antara kita yang lebih tepat memakai nama itu dengan cara meniup suling.
Engkau yang membawa-bawa pusaka suling emas dan keluargamu memakai julukan Suling Emas tentu
pandai sekali meniup suling. Maukah engkau melayaniku mengadu ilmu meniup suling, sobat Kam?”
Karena tantangan ini pun mengenai nama keluarganya, maka tentu saja Kam Hong tidak menolak, apalagi
karena memang dia ingin melihat sampai di mana kepandaian keluarga yang mengaku sebagai keluarga
Suling Emas dan yang ternyata mampu pula memainkan ilmu yang mirip dengan Kim-siauw Kiam-sut itu.
“Baik, aku sebagai tamu hanya melayani kehendak tuan rumah.”
Cu Han Bu lalu minta suling emas yang dibawa oleh Pek In, kemudian mempersilakan Kam Hong duduk
sedangkan dia sendiri lalu duduk bersila di atas lantai. Kam Hong melihat tuan rumah duduk bersila
menghadapinya, hanya dalam jarak kurang lebih empat meter mereka duduk bersila saling berhadapan.
Sejenak, kedua orang yang sama-sama memegang suling emas yang bentuknya serupa benar itu, hanya
suling di tangan Kam Hong agak lebih besar, saling pandang dengan penuh perhatian. Cu Han Bu
menggunakan ujung baju lengan kirinya untuk mengusap keringat di dahi dan lehernya. Pertandingan
selama dua ratus jurus yang mempergunakan banyak tenaga itu tadi membuat dia merasa lelah sekali dan
tubuhnya basah oleh keringat. Akan tetapi sebaliknya, Kam Hong hanya berkeringat sedikit saja.
“Saudara Kam Hong, aku kagum sekali padamu,” akhirnya Cu Han Bu berkata, ucapan yang sejujurnya
sungguh pun kekagumannya itu bercampur dengan rasa penasaran. “Kalau ternyata engkau juga mampu
mengalahkan aku dalam hal meniup suling, biarlah aku mengaku kalah. Engkau bersiaplah menerima
permainan sulingku.” Cu Han Bu lalu menoleh kepada puterinya dan berkata kepadanya, “Pek In, bagikan
pelindung telinga kepada Nona tamu dan Yu Hwi.”
“Baik, Ayah,” jawab Cu Pek In dan dia mengeluarkan benda-benda kecil penyumbat telinga berwarna putih
terbuat dari karet, lalu memberikan sepasang kepada Yu Hwi kemudian dia menghampiri Ci Sian dan
diberinya pula sepasang kepada dara ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Ci Sian tersenyum mengejek dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak perlu memakai pelindung
telinga,” katanya.
Tentu saja wajah Pek In menjadi merah oleh penolakan ini. Dia sudah menjadi marah, akan tetapi ketika
dia memandang kepada ayahnya, Cu Han Bu menggelengkan sedikit kepalanya sehingga dia mundur lagi,
duduk di tempat semula dan dia pun kemudian mengenakan sepasang penyumbat telinga.
“Nona, kau harus memakai pelindung telinga, kalau tidak, maka akan berbahaya bagi keselamatanmu,”
tiba-tiba Cu Seng Bu berkata karena tokoh ini merasa tidak enak kalau sampai pihak tamu yang tidak ikut
mengadu ilmu kena celaka.
Ci Sian masih tersenyum ketika dia menggeleng kepala. “Mengapa celaka? Andai kata perlu melindungi
telinga, bukankah aku masih memiliki dua tangan untuk menyumbat kedua telingaku?”
Cu Seng Bu tidak bicara lagi dan bersama Cu Kang Bu, dia pun menyumbat kedua telinganya dengan
karet pelindung telinga itu karena dia maklum bahwa kakaknya akan mengeluarkan ilmu meniup suling
yang mukjijat, yang suaranya dapat merobohkan lawan, bahkan dapat membunuhnya!
Sementara itu, Kam Hong terkejut bukan main saat melihat Ci Sian menolak pemberian pelindung telinga
itu. Dia makin menghargai pihak tuan rumah yang ternyata demikian baik hati untuk menawarkan pelindung
telinga kepada Ci Sian, akan tetapi celakanya, dara yang keras hati itu menolak dan dia tahu bahwa hal ini
berarti bahaya besar bagi Ci Sian, mungkin bahaya maut karena suara tiupan suling yang dilakukan oleh
orang yang amat kuat tenaga khikang-nya dapat merusak telinga atau bahkan membunuhnya. Akan tetapi
karena Ci Sian sudah terlanjur menolak, dia pun tentu saja tidak mau memaksa gadis itu menarik kembali
penolakannya karena hal itu sampai mati pun kiranya tidak akan dilakukan oleh Ci Sian yang keras hati.
Maka dia pun lalu mengambil keputusan untuk melindungi Ci Sian dari bahaya ancaman suara suling Cu
Han Bu.
Kini Cu Han Bu sudah mulai menempelkan ujung suling pada bibirnya dan mulailah dia meniup suling
emas itu. Mula-mula terdengar suara suling yang merdu naik turun, akan tetapi kemudian suara suling itu
terus menaik dan mulailah Ci Sian merasa tersiksa karena kedua telinganya bagai dikilik-kilik rasanya.
Suara suling itu makin meninggi saja dan rasa yang mula-mula hanya geli itu makin nyeri dan telinganya
seperti dimasuki semut dan digigit! Ci Sian tadinya hendak mempertahankan, akan tetapi akhirnya dia tidak
kuat lagi dan dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi lubang telinganya!
Akan tetapi betapa kaget rasa hati Ci Sian bahwa suara itu masih saja terus mengiang di dalam telinganya,
makin lama makin hebat sehingga kini terasa seperti telinganya ditusuk-tusuk jarum! Tubuhnya mulai
menggigil dan matanya terbelalak memandang ke arah Kam Hong seolah-olah hendak minta tolong.
Pada saat itu, Kam Hong sudah mendekatkan suling di bibirnya dan meniup sulingnya sambil menutup
semua lubang suling. Dia tahu bahwa jika dia menggunakan sulingnya untuk balas menyerang, dia akan
dapat membuat lawan celaka, akan tetapi juga Ci Sian akan ikut celaka, maka kini ia meniup sulingnya
dengan lembut sekali. Terdengar suara lembut dari sulingnya, suara yang bergelombang halus akan tetapi
dapat menggulung suara melengking lirih yang mengandung getaran berbahaya dari suara suling Cu Han
Bu.
Ci Sian merasa betapa perlahan-lahan kenyerian di telinganya lenyap, dan dia berani membuka kedua
tangannya dan kini yang terdengar olehnya hanya suara suling lembut yang amat merdu dan
mendatangkan rasa nikmat! Makin lama, makin lembut suara suling Kam Hong dan akhirnya Ci Sian tidak
dapat menahan lagi, tubuhnya terguling dan dia tertidur pulas di atas lantai!
Suara suling dari suling emas yang ditiup Kam Hong itu semakin kuat saja, dan kini setelah dia meilhat Ci
Sian tidur pulas, dia menambah kekuatan tiupannya dan suara suling itu menggetar halus, biar pun kedua
telinga orang-orang yang berada di situ telah ditutup penyumbat telinga dari karet, namun getaran itu masih
terus menyerang melalui urat saraf di atas telinga dan pelipis sehingga akhirnya, berturut-turut Cu Pek In
dan Yu Hwi juga terguling dan roboh pulas!
Melihat ini, Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu terkejut sekali. Mereka berdua kini duduk bersila di atas lantai,
mengerahkan tenaga sinkang mereka untuk melawan serangan suara suling dari suling Kam Hong.
Sementara itu, Cu Han Bu juga memperhebat suara sulingnya untuk menyerang lawan. Namun semua
serangan suara sulingnya itu tenggelam di dalam kelembutan itu seperti bara api yang berkobar dijatuhkan
dunia-kangouw.blogspot.com
ke dalam kubangan air dingin saja. Sedangkan alunan suara suling dari Kam Hong terus bergetar
menyerang ketiga orang kakak beradik Cu itu yang kini makin hebat melakukan perlawanan dan
mengerahkan sinkang mereka. Dari ubun-ubun kepala Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu sampai mengepul uap
putih dan muka mereka menjadi merah sekali karena keduanya telah mengerahkan sinkang sekuatnya
untuk menahan rasa kantuk hebat yang menyerang mereka. Syaraf mereka seperti diayun atau dibelai oleh
suara itu, suara yang mengandung kekuatan mukjijat dan yang membuat seluruh tubuh terasa lemas dan
satu-satunya hal yang mereka inginkan saat itu hanyalah tidur, lain tidak!
Memang hebat sekali kekuatan yang terkandung dalam suara suling yang ditiup secara istimewa oleh Kam
Hong itu. Suara itu selain dapat menembus pelindung telinga, juga langsung menyerang dan merangsang
syaraf-syaraf di kepala menembus kulit kepala yang perasa seperti di pelipis dan bagian lain, terutama
sekali merangsang syaraf di pusat pendengaran. Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu yang merupakan orangorang
yang memiliki kesaktian dan memiliki tenaga sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi dan amat
kuat itu, mereka telah mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh suara itu, akan tetapi lambat laun
wajah mereka yang merah menjadi semakin pucat, uap putih yang mengepul di kepala mereka semakin
menipis dan akhirnya keduanya tertidur pulas dalam keadaan masih duduk bersila!
Kini tinggal Cu Han Bu seorang yang masih terus melawan sambil meniup sulingnya. Cu Han Bu juga
merasa betapa tenaga suara sulingnya itu kini sama sekali tidak dapat menembus suara suling lawan yang
seolah-olah merupakan benteng yang amat kuat, dan dia pun bahkan mulai merasa betapa gelombang
yang hebat menggulung dirinya, membuainya dengan nikmat sekali. Diam-diam dia terkejut, maklum
bahwa suara suling Kam Hong benar-benar memiliki kekuatan yang amat dahsyat.
Dia berusaha melawan terus, kadang-kadang meniup sulingnya amat tinggi, kadang-kadang amat rendah,
namun semua usahanya itu gagal karena semua perlawanannya itu membalik dan bahkan agaknya
menambah kedahsyatan gelombang getaran dari suara suling Kam Hong. Akhirnya tanpa disadari sendiri,
Cu Han Bu juga jatuh pulas dalam keadaan bersila sedang sulingnya masih berada dalam genggaman dan
masih menempel di bibirnya yang tidak bergerak lagi. Dia seolah-olah telah berubah menjadi patung orang
menyuling!
Setelah melihat lawannya tertidur, barulah Kam Hong menghentikan tiupan sulingnya. Wajahnya agak
pucat dan seluruh tubuhnya basah oleh peluh! Kiranya dia pun telah mengerahkan banyak tenaga tadi dan
baru setelah dia mengeluarkan semua tenaganya dia dapat menyelamatkan Ci Sian dan sekaligus
membuat tidur semua orang, termasuk lawannya yang kuat itu. Dia menyimpan sulingnya lalu
menggunakan sapu tangan untuk menyusuti peluhnya.
Setelah kini suara suling terhenti dan getaran suara yang amat kuat itu lenyap, berturut turut terjagalah
mereka semua yang tertidur pulas itu. Pertama-tama adalah Cu Han Bu dan dua orang adiknya yang
terjaga.
“Ahhhh....!” Cu Han Bu mengeluh dan terbelalak, lalu teringat akan segala yang telah terjadi, maka dia pun
meloncat bangun lalu cepat-cepat dia menjura ke arah Kam Hong yang juga telah bangkit dengan tenang.
“Saudara Kam Hong, sungguh engkau luar biasa sekali dan aku Cu Han Bu benar-benar harus mengakui
keunggulanmu, baik dalam hal ilmu silat mau pun dalam hal ilmu meniup suling. Engkau memang berhak
memakai julukan Suling Emas!”
Juga Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu tidak ragu-ragu lagi untuk memberi hormat kepada pendekar yang jelas
memiliki tingkat kepandaian di atas mereka itu.
Kam Hong cepat-cepat membalas penghormatan mereka dan dia pun berkata, “Harap Sam-wi tidak
merendahkan diri karena terus terang saja, baru kini saya menemukan keluarga yang memiliki kepandaian
sehebat yang dimiliki Sam-wi. Saya percaya bahwa tentu ada hubungannya antara Sam-wi dengan Suling
Emas.”
Pada saat itu, tiga orang dara juga telah terjaga dan mereka mula-mula merasa bingung dan terheranheran,
tetapi setelah teringat dan melihat betapa sikap tiga orang she Cu itu amat menghormat Kam Hong,
mereka maklum bahwa Kam Hong telah menangkan pertandingan aneh itu. Yu Hwi memandang dengan
mata terbelalak penuh keheranan, akan tetapi dia telah bangkit dan menghampiri Cu Kang Bu, kekasihnya.
Sedangkan Ci Sian lari menghampiri Kam Hong.
“Paman, engkau telah menang?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kam Hong hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Tentu saja Ci Sian merasa sangat penasaran dan dia
lalu menoleh kearah Cu Han Bu, dan bertanya dengan lantang, “Paman Cu Han Bu, apakah engkau mau
bersikap jantan mengakui bahwa Paman Kam Hong telah memperoleh kemenangan dalam pertandingan
ini?”
Cu Han Bu menarik napas panjang. Dara itu telah berkali-kali membikin sakit perasaan, akan tetapi dia tak
dapat mengelak lagi. “Benar, Saudara Kam Hong telah mengalahkan kami.”
“Nah, apa kubilang? Dialah Pendekar Suling Emas yang sejati!”
“Ssssttt, Ci Sian, menyombongkan diri di atas kemenangan hanyalah perbuatan yang bodoh.” Kam Hong
mencela dan Ci Sian mengerutkan alisnya, bersungut-sungut dan tidak banyak cakap lagi.
Dia sering kali ditegur Kam Hong dan setiap kali ditegur, dia merasa tidak senang, apalagi kini ditegur di
depan banyak orang, di depan Yu Hwi terutama sekali. Dia ingin marah, akan tetapi tidak berani karena dia
tahu bahwa kalau dia marah terhadap Kam Hong di depan banyak orang, hal itu akan merendahkan nama
Kam Hong yang baru saja keluar sebagai pemenang. Maka dia pun lalu duduk diam saja di dekat Kam
Hong, bibirnya yang merah mungil itu agak meruncing.
“Saudara Cu, kiranya sudah sepatutnya kalau sekarang Sam-wi menceritakan kepadaku tentang keluarga
Cu yang tinggal di Lembah Suling Emas ini....“ Kam Hong berkata kepada Cu Han Bu karena memang dia
ingin sekali mendengar riwayat keluarga yang amat lihai ini dan ingin tahu apa hubungan mereka dengan
Suling Emas. “Setelah itu, baru saya akan menceritakan tentang keluarga Pendekar Suling Emas.”
Cu Han Bu mengangguk, lalu dia memandang ke arah Yu Hwi dan Ci Sian. “Riwayat keluarga kami adalah
rahasia kami, tidak boleh didengar oleh orang lain. Engkaulah orang pertama yang akan mendengarnya,
Saudara Kam Hong. Yu Hwi, biar pun engkau seorang luar, akan tetapi mengingat akan hubunganmu
dengan Kang-te, berarti engkau merupakan calon keluarga juga, maka engkau boleh mendengarnya.
Hanya Nona ini....“ Dia memandang Ci Sian dengan ragu-ragu.
“Dia adalah keponakanku dan juga boleh dianggap adik seperguruanku, maka kalau aku boleh mendengar,
dia pun berhak mendengarkan pula.” Kam Hong cepat-cepat berkata karena dia tahu bahwa kalau sampai
dara ini dilarang ikut mendengar, Ci Sian tentu akan marah dan entah apa yang akan dilakukan kalau dia
marah. Dalam tempat seperti itu, dia tidak ingin membiarkan Ci Sian berpisah dari sampingnya, karena hal
itu akan amat membahayakan keselamatannya.
Mendengar ini, lenyaplah sama sekali rasa tidak senang dari hati Ci Sian oleh teguran Kam Hong tadi. Dia
tersenyum dan memandang kepada pihak tuan rumah dengan sinar mata menantang!
Cu Han Bu menarik napas panjang. “Kalau begitu baiklah, karena Saudara Kam Hong yang menanggung
dia. Nah, dengarkanlah cerita singkat dari keadaan keluarga kami, terutama yang bersangkutan dengan
Suling Emas…..” Maka mulailah pendekar yang menyembunyikan diri di lembah itu bercerita tentang
keluarganya.
Dari cerita turun-temurun dalam keluarga itu, Cu Han Bu dan keluarganya mendengar bahwa seorang di
antara nenek moyang mereka pada seribu tahun lebih yang lalu ialah seorang pangeran bernama Cu Keng
Ong yang melarikan diri dari kota raja karena berselisih dengan kaisar. Cu Keng Ong ini mengasingkan diri
ke lembah Kongmaa La di Pegunungan Himalaya itu bersama keluarganya dan hidup sebagai pertapa dan
petani di tempat ini.
Cu Keng Ong adalah seorang pangeran yang berilmu tinggi, selain pandai ilmu silat juga ahli dalam hal
kerajinan tangan, terutama mengukir dan membuat benda-benda dari pada emas. Ketika berada dalam
pengasingan ini, Cu Keng Ong bahkan memperdalam ilmu-ilmunya dari para pertapa di Himalaya sehingga
akhirnya dia menjadi seorang manusia yang amat lihai, tetapi yang selalu menyembunyikan diri dan hidup
tenteram dalam lembah itu.
Karena kehidupan di lembah itu sama sekali tidak memerlukan emas, maka Cu Keng Ong lalu
mengumpulkan semua emas yang mereka bawa sebagai bekal, kemudian dia melebur emas itu dan
dibuatlah sebatang suling emas yang amat baik, bukan saja indah bentuknya akan tetapi terutama sekali
dengan ukuran-ukuran sempurna sehingga akan mengeluarkan bunyi yang amat indah kalau dimainkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena Cu Keng Ong sering kali bertiup suling di lembah itu dengan suling emasnya, dan suara sulingnya
terdengar sampai jauh ke luar lembah, maka mulailah lembah itu diberi nama Lembah Suling Emas!
“Demikianlah asal-usul nama lembah ini menurut dongeng keluarga kami,” Cu Han Bu melanjutkan. “Akan
tetapi sayang, menurut dongeng keluarga turun-temurun itu, tidak ada lanjutan tentang nenek moyang kami
yang bernama Cu Keng Ong itu dan suling emas itu pun tidak ada pada keluarga kami lagi. Yang ada
hanyalah suling emas ini yang dibuat oleh seorang nenek moyang kami kemudian yang bernama Cu Hak
dan yang juga ahli dalam pembuatan benda-benda dari emas dan baja. Kakek buyut Cu Hak itu kabarnya
hanya membuat suling ini disesuaikan dengan cerita keluarga itu tentang bentuk suling emas asli buatan
Cu Keng Ong. Dan di samping suling ini, juga keluarga kami mewarisi ilmu silat yang menjadi pasangan
dari suling ini, yaitu ilmu silat yang disebut Kim-siauw Kiam-sut dan yang telah kumainkan dengan sabuk
emas karena saya lebih biasa berlatih dengan sabuk emas itu. Akan tetapi ternyata Saudara Kam Hong
juga mainkan ilmu itu dengan suling emasnya, bahkan lebih sempurna dari pada saya!” Han Bu menarik
napas panjang.
Diam-diam Kam Hong terkejut sekali dan saling lirik dengan Ci Sian. Kedua orang ini setelah mendengar
riwayat keluarga Cu, dapat menduga bahwa kakek kuno yang jenazahnya mereka temukan itu tidak salah
lagi tentulah Cu Keng Ong adanya! Akan tetapi mereka diam saja dan mendengarkan terus.
Cu Han Bu melanjutkan ceritanya. Nenek moyang yang bernama Cu Keng Ong itu menurut berita
keluarganya telah lenyap, dan ada berita bahwa kakek itu mengawetkan jenazahnya dan jenazah itu
mengandung rahasia ilmu keluarga mereka yang paling tinggi. Sejak turun-temurun, keluarga Cu berusaha
mencari jenazah kakek Cu Keng Ong ini, akan tetapi tanpa hasil. Juga suling emas buatan Pangeran Cu
Keng Ong itu lenyap dari keluarga Cu. Hanya bentuk-bentuk suling dan warisan turun-temurun yang
sampai pada tiga orang kakak beradik Cu ini.
“Karena merasa khawatir bahwa suling pusaka itu akhirnya lenyap sama sekali, kami pernah melakukan
penyelidikan. Dan kami mendengar bahwa suling itu terjatuh ke tangan Pendekar Suling Emas beberapa
ratus tahun yang lalu. Kami berusaha untuk mendapatkan keturunannya, akan tetapi usaha kami sia-sia
saja, seolah-olah keluarga Suling Emas itu sudah musnah dan bersama namanya terbawa lenyap pula.
Agaknya Saudara Kam Hong telah mempelajari ilmu-ilmu keluarga kami dengan lebih sempurna dari pada
yang kami warisi sendiri!” Ucapan terakhir itu keluar dengan nada penuh rasa penasaran.
Kam Hong dapat merasakan ini dan dapat mengerti mengapa pihak tuan rumah merasa penasaran dan
diam-diam dia pun merasa kasihan. Sekarang mengertilah dia mengapa keluarga Cu ingin sekali
mengalahkan dia dan merasa amat penasaran ketika tidak berhasil, karena itu berarti bahwa keluarga itu
dikalahkan orang dengan menggunakan senjata pusaka dan ilmu pusaka keluarga mereka sendiri! Biar
pun tahu bahwa hal itu bukan kesalahannya, namun dia sedikit merasa bahwa dia seolah-olah menjadi
pencuri pusaka dan ilmu keluarga Cu.
“Demikianlah riwayat keluarga kami yang berhubungan dengan suling emas, Saudara Kam. Sekarang
harap Saudara ceritakan tentang keluarga Saudara yang menggunakan nama Suling Emas, agar kami
mengerti bagaimana duduk perkaranya,” kata Han Bu.
Kam Hong menghela napas. Dia harus menceritakan semuanya agar mereka ini tidak merasa penasaran
dan menganggap bahwa keluarganya adalah pencuri-pencuri ilmu dan pusaka! Setelah memandang ke
arah wajah tiga orang kakak beradik she Cu yang duduk dihadapannya itu, Kam Hong lalu berkata,
“Julukan Suling Emas dipakai oleh nenek moyangku yang bernama Kam Bu Song dan beliau pulalah yang
pertama-tama memiliki suling emas ini yang menurut cerita keluarga kami diterimanya dari sastrawan
besar Ciu Bun di Pulau Pek-coa-to (Pulau Ular Putih). Suling emas ini secara turun-temurun lalu dimiliki
oleh keluarga Kam dan memang pada akhir-akhir beberapa keturunan ini keluarga kami menyembunyikan
diri, sampai kepada saya. Demikianlah riwayat suling emas ini dan dapat kujelaskan bahwa suling emas ini
kumiliki dari warisan nenek moyang yang sudah tujuh ratus tahunan lamanya, dan kakek besar Kam Bu
Song itu pun menerima dari pemberian yang syah, bukan mencuri. Dan sekarang tentang ilmu yang baru
saja kupergunakan untuk menghadapi Saudara Cu Han Bu.”
Tiga orang kakak beradik itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka dapat percaya keterangan
itu dan mereka menduga bahwa tentu suling yang hilang itu akhirnya, entah secara bagaimana tak ada
seorang pun mengetahui, terjatuh ke tangan sastrawan Ciu Bun itu dan diberikan kepada Pendekar Suling
Emas. Dengan demikian, keluarga pendekar itu memang berhak memilikinya. Kini mereka ingin sekali
mendengar bagaimana Kam Hong dapat mainkan Ilmu Silat Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup yang
dunia-kangouw.blogspot.com
merupakan ilmu pusaka keluarga mereka dengan demikian baiknya, lebih baik dari pada yang mereka
miliki.
“Tadinya saya hanya mewarisi ilmu-ilmu pusaka keluarga kami yang tidak Sam-wi kenal, yaitu ilmu-ilmu
yang saya pakai saat menghadapi Saudara Cu Kang Bu tadi. Sedangkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut yang
saya mainkan dengan suling ketika menghadapi Saudara Cu Han Bu tadi, juga ilmu meniup suling, baru
saja saya pelajari selama kurang lebih empat tahun baru-baru ini, yaitu kupelajari dari catatan yang
terdapat pada jenazah kuno yang kami temukan....“
“Ahhhh....!” Tiga orang gagah itu bangkit berdiri dan muka mereka pucat, mata mereka terbelalak karena
kaget.
“Jadi engkau malah yang telah menemukan jenazah Kakek Cu Keng Ong leluhur kami itu....?” Cu Kang Bu
bertanya dengan suara yang mirip bentakan.
Kam Hong mengangguk tenang. “Mungkin saja jenazah itu ialah jenazah Cu Keng Ong seperti yang kalian
ceritakan tadi. Saya tidak tahu benar, hanya saya tahu dari catatan di tubuhnya bahwa dia adalah pembuat
suling emas dan siapa yang dapat menemukan jenazahnya dianggap berjodoh untuk mewarisi ilmunya....“
“Celaka....!” Cu Seng Bu berseru nyaring dan penuh dengan penyesalan, dan dia sudah meloncat ke
depan.
Akan tetapi Cu Han Bu cepat memegang lengannya dan memandang adiknya dengan sinar mata tajam
penuh teguran. “Seng-te, bukan demikian sifat keluarga kita! Kita harus dapat mengendalikan diri dan tidak
memalukan leluhur kita!” Kemudian Cu Han Bu menoleh kepada Kam Hong sambil berkata, “Sungguh
aneh sekali mengapa suling pusaka dan ilmu pusaka keluarga kami dapat terjatuh semuanya kepadamu,
Saudara Kam Hong. Maukah kau menceritakan tentang jenazah leluhur kami itu?”
“Terjadinya secara kebetulan. Saya dan Ci Sian diserang gunung salju longsor sehingga kami hampir saja
tewas. Di antara gumpalan-gumpalan salju longsor itu, kami kemudian menemukan jenazah kuno itu dan
setelah kami selidiki, jenazah mengandung tulisan-tulisan yang mewariskan ilmu-ilmu itu kepada kami.
Karena kami dianggap sebagai jodoh yang berhak mewarisi ilmu, dan oleh karena di situ tidak disebutsebut
tentang keluarga di sini, maka tentu saja saya mempelajari ilmu-ilmu itu dan saya tidak merasa
bersalah sedikit pun. Apalagi diingat bahwa suling emas buatan kakek itu juga telah menjadi milik keluarga
sejak ratusan tahun! Nah, kupelajari ilmu-ilmu itu selama hampir lima tahun, dan sekarang saya ketahui
siapa guru saya yang ternyata bernama Cu Keng Ong dan menjadi leluhur penghuni lembah ini....“
“Dan kau pergunakan pusaka dan ilmu itu untuk mengalahkan kami!” Cu Kang Bu berteriak lalu menutupi
muka dengan kedua tangan.
Pendekar tinggi besar yang gagah perkasa ini menangis tanpa bersuara! Yu Hwi yang duduk di
sampingnya lalu memegang tangannya hingga kedua tangan mereka saling genggam. Melihat ini, diamdiam
Kam Hong merasa terharu juga dan dia merasa terheran-heran mengapa sebelum dia bertemu
dengan Yu Hwi, sering kali dia amat merindukan dara itu, sering membayangkan wajahnya yang manis dan
membayangkan kemesraan bersama calon isterinya itu! Akan tetapi sekarang, setelah bertemu dengan Yu
Hwi, melihat Yu Hwi bermesraan dengan pria lain, dia tidak merasa cemburu atau sakit, walau pun pada
pertama kalinya dia merasa penasaran dan marah. Apakah yang menyebabkan kedinginan terhadap Yu
Hwi itu, dan perbedaan yang amat jauh antara dahulu ketika dia masih merindukan Yu Hwi dan sekarang?
Mendadak dia merasa ada tangan halus yang menyentuh lengannya. Dia menoleh dan memandang wajah
Ci Sian yang jelita dan pada saat dua pasang mata mereka saling bertemu sinar pandangan, Kam Hong
melihat kenyataan yang sangat mengejutkan hatinya. Bayangan Yu Hwi itu kiranya telah lama lenyap dari
lubuk hatinya, sepenuhnya terganti oleh bayangan Ci Sian! Dia telah jatuh cinta kepada Ci Sian semenjak
lama, semenjak Ci Sian masih merupakan seorang dara tanggung empat tahun yang lalu! Dan sekarang,
Ci Sian telah menjadi seorang dara cantik jelita berusia tujuh belas tahun! Kenyataan yang nampak jelas
olehnya itu membuat jantungnya berdebar tegang.
“Paman, marilah kita pergi saja dari sini....,” Ci Sian berkata halus dan ucapannya itu membuyarkan dunia
mimpi aneh dan lamunan Kam Hong yang tadi seperti terpesona oleh kenyataan itu.
“Baik, mari kita pergi....,“ kata Kam Hong yang memegang tangan Ci Sian dan bangkit berdiri. Sejenak Kam
Hong memandang ke arah Yu Hwi, lalu berkata, “Nona Yu, demi untuk kebaikan namamu sendiri,
dunia-kangouw.blogspot.com
seyogianya kalau engkau pulang dan menerangkan kepada Suhu Yu Kong Tek akan keputusan yang kau
ambil agar pertalian jodoh antara kita itu dapat dibatalkan atau diputuskan secara resmi.”
Yu Hwi membalas pandang mata Kam Hong, lalu menoleh kepada kekasihnya yang masih menunduk,
kemudian dia berkata dengan suara lembut kepada Kam Hong, tidak berani lagi memandang rendah bekas
tunangan itu yang ternyata telah menjadi seorang yang mempunyai kesaktian hebat. “Baiklah, sekali waktu
aku pasti akan mengunjungi Kongkong.”
Setelah menerima janji ini, Kam Hong lalu menarik tangan Ci Sian diajak keluar dari gedung itu. Tidak ada
seorang pun yang bergerak menghalangi, dan dengan langkah-langkah tenang mereka keluar dari dalam
gedung. Akan tetapi ketika mereka tiba di pintu gerbang depan, nampak bayangan tiga orang berkelebat
dan ternyata tiga orang kakak beradik she Cu itu telah berdiri di depan mereka, wajah mereka pucat.
“Hemm, apa lagi yang kalian kehendaki?” Kam Hong bertanya dengan berkerut, siap untuk menghadapi
mereka kalau saja mereka hendak menggunakan kekerasan.
Cu Han Bu melangkah maju dan menjura sambil berkata. “Saudara Kam Hong, kami hanya hendak
bertanya di mana kau temukan jenazah nenek moyang kami itu. Kiranya itu adalah hak kami untuk
menanyakan di mana adanya jenazah leluhur kami.”
“Tentu saja, akan tetapi sayang sekali, jenazah kuno itu telah kubakar....“
“Dibakar....?” terdengar Seng Bu dan Kang Bu berteriak.
“Benar, sesuai dengan tulisan pesanan terakhir pada tubuh beliau. Jenazah itu telah kubakar menjadi abu
dan kukubur di tempat itu.”
“Ahhhh....!”
Tiga orang itu saling pandang dengan muka putus asa. Tadinya mereka mempunyai harapan untuk
menemukan jenazah leluhur itu untuk dapat mempelajari ilmu pusaka keluarga mereka, akan tetapi
harapannya itu hancur sama sekali mendengar betapa jenazah itu telah dibakar oleh Kam Hong.
Dengan hati duka penuh kekecewaan Cu Han Bu mengepal tinjunya, kemudian berkata dengan suara
mengandung geram kekecewaan dan kemarahan. “Nenek moyang kami Cu Keng Ong itu sudah
mewariskan suling emas dan ilmu pusakanya kepadamu. Baiklah, mulai sekarang kami takkan memakai
lagi nama Lembah Gunung Suling Emas, melainkan kami ganti menjadi Lembah Gunung Naga Siluman!
Dan kau tunggulah, Kam Hong, biar pun engkau telah mewarisi ilmu yang tadinya menjadi milik keluarga
kami, akan tetapi kami masih mempunyai ilmu pusaka yang lain, yang diciptakan oleh Toa-pek kami
sendiri. Kelak akan tiba saatnya Ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu akan dikalahkan oleh ilmu keluarga kami,
yaitu Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman)!”
Kam Hong menarik napas panjang dan menjura. “Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga.
Perkenankanlah kami pergi dari sini.”
Cu Han Bu bisa mengatasi kekecewaannya. Melihat sikap tamunya yang cukup hormat dan tidak merasa
tinggi hati oleh kemenangannya itu, dia pun menarik napas panjang dan balas menjura, “Saudara Kam
Hong, maafkan sikap kami yang kecewa karena nasib telah mempermainkan kami yang kehilangan benda
pusaka dan ilmu pusaka ini. Mari kuantar kalian sampai ke jembatan tambang.”
Setelah berkata demikian, Cu Han Bu seorang diri saja lalu menemani Kam Hong dan Ci Sian menuju ke
tepi jurang yang amat curam itu. Ketika mereka tiba di tepi jurang, Cu Han Bu memandang ke arah para
penjaga jembatan itu dan bertanya dengan tegas.
“Apakah kalian tadi melihat Nona di sini?”
Para penjaga nampak ketakutan mendengar pertanyaan itu. Seorang di antara mereka, yaitu kepala jaga,
lalu memberi hormat dan menjawab, “Harap ampunkan kami.... tadi Cu-siocia (Nona Cu) memaksa kami
memasang tambang dan dia telah menyeberang. Kami tidak berani menolak permintaannya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dalam keadaan biasa tentu Cu Han Bu akan menjadi marah dan melakukan pengejaran kepada puterinya.
Akan tetapi saat itu hatinya sedang kesal dan murung, maka dia pun tidak peduli, lalu memberi tanda agar
jembatan tambang itu diangkat dan membiarkan dua orang tamunya menyeberang.
“Silakan, Saudara Kam Hong,” Cu Han Bu mempersilakan ketika jembatan tambang itu sudah diangkat dan
membentang lurus menyeberang jurang.
Melihat jembatan tambang itu dan membayangkan betapa dia dan Kam Hong berdua harus menyeberang
dan meninggalkan tuan rumah yang sedang dalam keadaan marah, kecewa dan penasaran itu, hati Ci
Sian tentu saja merasa ngeri sekali.
“Nanti dulu, Paman Kam Hong,” katanya menahan lengan pendekar itu yang sudah siap menyeberang.
“Berbeda dengan ketika kita datang sebagai tamu, kini kita pergi sebagai orang-orang yang dimusuhi dan
tidak disukai, dan jika ketika datang kita menyeberang bersama mereka, kini kita harus menyeberang
berdua saja. Bagaimana kalau selagi tiba di tengah-tengah jembatan, tambang ini lalu dibikin putus
olehnya?”
Kam Hong terkejut sekali mendengar kelancangan ucapan Ci Sian ini, akan tetapi tiba tiba Cu Han Bu
sudah mengeluarkan teriakan nyaring dan pendekar itu mengangkat tangan kanan ke atas. Kam Hong
sudah siap untuk melindungi Ci Sian, akan tetapi pria yang sekarang matanya melotot dan mukanya
menjadi merah itu menurunkan tangan kanannya dan mencengkeram jari kelingking tangan kirinya sendiri.
Terdengar bunyi tulang patah dan darah mengucur ketika jari kelingking tangan kirinya sendiri itu telah
remuk dan lenyap setengahnya! Ci Sian terbelalak memandang dengan muka pucat.
“Nona.... kau.... kau sudah berkali-kali terlalu menghina kami!” Cu Han Bu berkata, matanya masih melotot
dan napasnya agak terengah menahan marah. “Kalau tidak melihat muka Saudara Kam Hong, aku tentu
sudah membunuhmu! Akan tetapi kalau lain kali kita bertemu kembali, aku takkan dapat mengampunimu
lagi!”
Ci Sian merasa ngeri, bukan hanya melihat sikap orang itu, akan tetapi juga melihat jari kelingking yang
hancur dan masih meneteskan darah segar itu. Akan tetapi pada saat itu Kam Hong sudah menarik
tangannya dan mengajaknya meloncat ke atas tambang dan dengan cepat berlari ke seberang. Setelah
mereka dengan selamat meloncat ke daratan di seberang, tambang itu lalu diturunkan kembali dan lenyap
di dalam kabut. Legalah rasa hati Ci Sian setelah mereka selamat sampai ke darat.
“Ci Sian, mengapa engkau begitu lancang mulut sehingga membikin marah Cu Han Bu seperti itu? Lain
kali engkau harus berhati-hati kalau bicara, jangan menurutkan hati dan pergunakan kebijaksanaan.”
Ci Sian kaget, sejenak dia menatap wajah Kam Hong karena suara teguran itu benar benar dirasakan amat
pedas dan menusuk, dan tiba-tiba ia menangis. Bukan menangis manja, melainkan menangis sedih sekali.
Dia sudah tak punya siapa-siapa lagi, ayahnya yang diharapkannya itu ternyata mengecewakan hatinya
dan dia tidak mungkin hidup di samping ayahnya yang telah mempunyai isteri begitu banyak. Kini tinggal
Kam Hong seoranglah yang dianggapnya sebagai pelindung dan orang terdekat, dan sekarang.... Kam
Hong agaknya marah-marah dan tidak senang kepadanya. Karena sedih, maka dia menangis.
Melihat Ci Sian menangis, Kam Hong menggeleng-geleng kepala, lalu menghampiri dan memegang
pundaknya. “Sudahlah, kenapa kau malah menangis?”
Akan tetapi Ci Sian menarik pundaknya dari sentuhan Kam Hong, lalu di antara isaknya dia berkata. “Dia
orang jahat.... hu-huuh, dia mengancam untuk membunuhku, kau.... kau peduli apa? Aku.... aku hanya
membikin susah padamu saja....”
Kam Hong menyambar lengan dara itu dan menariknya mendekat, “Kau marah oleh teguranku tadi? Ci
Sian, ingatlah, aku menegur demi kebaikanmu! Dan selama ada aku di sampingmu, takkan ada seorang
pun yang boleh mengganggumu! Akan tetapi.... ada waktunya berkumpul tentu akan datang saatnya
berpisah, dan karena itu engkau harus mempelajari ilmu yang kita temukan itu dengan tekun agar kelak
engkau akan mampu menjaga diri sendiri kalau terancam oleh lawan yang lihai.”
Ci Sian mengangkat muka memandang wajah itu. “Kau.... kau tidak marah kepadaku, Paman?”
Terpaksa Kam Hong tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku tidak marah, aku tadi menegur agar engkau
sadar bahwa hal itu berbahaya bagimu sendiri.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ci Sian cepat merangkul pundak dan menyembunyikan mukanya di dada Kam Hong. “Paman.....aku tidak
punya siapa-siapa lagi kecuali engkau, maka janganlah kau marah padaku....”
Kam Hong mendekap dan sejenak hatinya merasa amat terharu, kemudian berdebar aneh ketika
menyadari betapa dia mendekap dara remaja itu. Teringat akan ini segera dengan halus dia melepaskan
dekapannya dan mendorong tubuh dara itu menjauh sambil berkata, “Sudahlah, mari kita mulai berlatih.
Engkau telah mulai maju dalam latihan ginkang menurut ilmu penghimpunan khikang dari tiupan suling,
maka mari kita lanjutkan latihan ginkang itu. Mari kita lari ke puncak bukit di depan itu dan pergunakan
semua tenagamu.”
“Baik, Paman, mari kita berlomba!” Ci Sian telah melupakan kesedihannya. Air matanya masih belum
kering, kedua pipinya masih basah, akan tetapi bibirnya yang manis itu telah tersenyum lagi ketika dia
mulai meloncat dan lari ke depan dengan cepat seperti seekor kijang betina muda yang bahagia. Kam
Hong tersenyum dan dia pun mengejar, maka berlarianlah dua orang itu menuju ke puncak bukit di depan.
Ketika dia berlari-lari di samping Ci Sian, Kam Hong seolah-olah mendengar suara nyanyian yang timbul
dari perasaan hatinya sendiri, yang membuat dia merasa demikian senang. Dia sendiri merasa heran
sekali dan dia masih dalam keadaan meraba-raba dan menduga-duga, apakah ini yang dinamakan cinta
asmara? Benarkah dia jatuh cinta kepada Ci Sian? Pertanyaan ini selama ini selalu berbisik di dalam
hatinya dan dia belum berani menentukannya.
Dahulu, sebelum bertemu dengan Ci Sian, Kam Hong selalu menganggap bahwa dia mencinta calon
isterinya, Yu Hwi, sungguh pun antara dia dan Yu Hwi belum pernah terjadi hubungan yang akrab. Bahkan
ketika Yu Hwi mendengar akan pertunangan itu, Yu Hwi lalu melarikan diri, hal itu juga membuktikan
bahwa Yu Hwi tidak setuju dengan perjodohan itu dan berarti pula tidak cinta kepadanya. Akan tetapi,
karena adanya ikatan jodoh itu membuat dia selalu mengenangkan Yu Hwi, kenangan yang luar biasa
karena dia mula-mula mengenal Yu Hwi sebagai seorang pemuda bernama Kang Swi Hwa (baca cerita
JODOH SEPASANG RAJAWALI).
Dan dialah yang membuka rahasia Kang Swi Hwa itu sebagai seorang gadis ketika dia hendak mengobati
‘pemuda’ itu dan melihat bahwa pemuda itu mempunyai dada seorang dara! Kenangan inilah yang
mengingatkan dia akan Yu Hwi sebagai seorang wanita, lebih lagi sebagai seorang calon isterinya,
kenangan yang lucu, mesra dan aneh. Ini pula agaknya yang membuat dia merasa selalu rindu kepada Yu
Hwi dan ini pula yang membuat dia mengira bahwa dia mencinta Yu Hwi.
Akan tetapi, semenjak dia bertemu dengan Ci Sian beberapa tahun yang lalu, sejak Ci Sian hanya seorang
dara cantik berusia tiga belas tahunan, ada sesuatu di dalam hatinya yang melekat kepada dara ini. Kini,
setelah berjumpai kembali dengan Ci Sian sebagai seorang dara yang sudah dewasa, dia merasa seolaholah
Yu Hwi hanya merupakan bayangan mati dan kini terganti oleh seorang dara yang benar-benar hidup
dan yang membutuhkan perlindungannya!
Apalagi setelah dia berjumpa sendiri dengan Yu Hwi dan menyaksikan sikap calon isterinya itu, bayangan
lama tentang Yu Hwi itu seketika lenyap sama sekali dan dia merasa gembira! Kalau dulu dia tidak berani
memikirkan bahwa dia tertarik kepada Ci Sian sebab dia selalu ingat bahwa dia adalah seorang pria yang
telah mempunyai calon isteri, jodoh yang sudah ditentukan sehingga haram baginya untuk menoleh
kepada wanita lain, kini dia merasa seolah-olah dia telah terbebas dari belenggu ikatan itu. Dia telah
bebas, sama bebasnya dengan Ci Sian. Inilah agaknya yang mendatangkan rasa senang sekali di saat dia
berlari di samping Ci Sian itu. Benarkah dia telah jatuh cinta kepada dara ini? Dara yang memanggilnya
paman, yang memang sepatutnya menjadi keponakannya? Dia tahu bahwa usia Ci Sian kurang lebih baru
tujuh belas tahun, sedangkan dia sendiri sudah berusia dua puluh tujuh tahun! Pantaskah kalau dia jatuh
cinta kepada dara remaja ini?
Akan tetapi, pada saat itu keraguan kecil ini segera lenyap seperti awan tipis terhembus angin. Dia merasa
gembira, bahkan dia ingin berloncatan dan bermain-main seperti kembali menjadi anak-anak, atau
setidaknya kembali menjadi semuda Ci Sian.
Cinta asmara memang sesuatu pengalaman hidup yang amat luar biasa bagi setiap orang manusia.
Segala macam perasaan tercakup lengkap di dalamnya. Ada dorongan-dorongan yang timbul dari dalam,
bukan dari pikiran, yaitu membuat kita merasa amat mesra, ingin selalu berdekatan, ingin selalu
memandang, ingin selalu menyenangkan hatinya, ingin selalu mendengar suaranya. Ada sesuatu yang
sukar diselidiki, yang timbul di luar kesadaran kita, sesuatu yang amat mengharukan, yang mendorong hati
dunia-kangouw.blogspot.com
kita untuk condong bersatu dengan dia, takkan terpisah lagi, ada sesuatu yang lebih dari pada sekedar
kegembiraan, sekedar dorongan birahi belaka.
Tetapi, jika kita tak berhati-hati, pikiran yang selalu ingin mengejar kesenangan pribadi, baik kesenangan
jasmani atau rohani, pikiran dapat menimbulkan bayangan-bayangan kenikmatan nafsu yang menjurus
kepada nafsu birahi dan sekali nafsu menguasai batin, menjadi yang terpenting, maka akan cemarlah yang
dinamakan cinta itu. Birahi adalah soal yang wajar, tuntutan jasmani, daya tarik antara pria dan wanita,
yang alamiah karena dari daya inilah lahirnya keinginan untuk bersatu dan dari sinilah pula datangnya
rahasia perkembang-biakan manusia, anak beranak.
Daya tarik ini merupakan sesuatu yang wajar, tanpa ada unsur kesengajaan, karenanya alamiah dan gaib,
dan hal itu tercakup pula dalam cinta. Akan tetapi, begitu nafsu birahi dipupuk oleh pikiran dengan dasar
mencari kepuasan atau kenikmatan, akan rusaklah segala-galanya dan cinta menjadi sesuatu yang
mungkin saja menimbulkan segala macam kerusakan, kekerasan, konflik dan kesengsaraan. Cinta yang
telah dicengkeram dan dikuasai oleh nafsu birahi itu, yang pada hakekatnya adalah nafsu keinginan
menyenangkan diri sendiri belaka, akan menimbulkan cemburu, ingin menguasai, dan bahkan dapat
berbalik menjadi benci kalau keinginan menyenangkan dirinya sendiri itu terhalang.
Akan tetapi, kalau pikiran membentuk nafsu keinginan menyenangkan diri sendiri itu tidak mencampuri,
tidak mengotori, yang tinggal hanyalah kewajaran cinta yang amat indah, cinta yang sinarnya memenuhi
seluruh jagat dan menembus ke lubuk hati setiap orang manusia, yang getarannya menghidupkan segala
sesuatu yang nampak mau pun yang tidak nampak. Kalau sudah ada sinar dan getaran cinta itu, maka
tidak ada lagi persoalan, segala sesuatu menjadi indah dan suci, bahkan birahi pun menjadi sesuatu yang
indah dan suci, cinta asmara antara seorang pria dan seorang wanita pun menjadi sesuatu yang indah
dalam sinar cinta kasih.